ANALISIS FINANSIAL KONVERSI TANAMAN KARET MENJADI TANAMAN KELAPA SAWIT DAN DAMPAKNYA TERHADAP DISTRIBUSI PENDAPATAN DI KABUPATEN MUARO JAMBI

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "ANALISIS FINANSIAL KONVERSI TANAMAN KARET MENJADI TANAMAN KELAPA SAWIT DAN DAMPAKNYA TERHADAP DISTRIBUSI PENDAPATAN DI KABUPATEN MUARO JAMBI"

Transkripsi

1 ANALISIS FINANSIAL KONVERSI TANAMAN KARET MENJADI TANAMAN KELAPA SAWIT DAN DAMPAKNYA TERHADAP DISTRIBUSI PENDAPATAN DI KABUPATEN MUARO JAMBI ARDHIYAN SAPUTRA SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2013

2 PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA* Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Analisis Finansial Konversi Tanaman Karet Menjadi Tanaman Kelapa Sawit dan Dampaknya Terhadap Distribusi Pendapatan di Kabupaten Muaro Jambi adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini. Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor. Bogor, Agustus 2013 Ardhiyan Saputra H

3 RINGKASAN ARDHIYAN SAPUTRA. Analisis Finansial Konversi Tanaman Karet Menjadi Tanaman Kelapa Sawit dan Dampaknya Terhadap Distribusi Pendapatan di Kabupaten Muaro Jambi. Dibimbing oleh YUSMAN SYAUKAT dan M. PARULIAN HUTAGAOL. Tanaman karet dan kelapa sawit mampu memberikan kontribusi yang besar terhadap pengembangan perekonomian daerah di Provinsi Jambi. Ekspor komoditas perkebunan tersebut menempatkan urutan pertama untuk ekspor tanaman perkebunan. kegiatan konversi kebun dari tanaman karet menjadi tanaman kelapa sawit terjadi dengan berbagai alasan. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengestimasi tingkat keuntungan dari usaha tani karet dan kelapa sawit, mengidentifikasi faktor-faktor yang mempengaruhi konversi lahan karet menjadi kelapa sawit dan mengetahui dampak dampak konversi terhadap distribusi pendapatan petani karet dan petani kelapa sawit. Analisis usaha tani dilakukan untuk mengetahui struktur penerimaan dan biaya produksi, sedangkan analisis finansial untuk mengetahui kelayakan usaha budidaya tanaman karet dan kelapa sawit selama 25 tahun. Faktor-faktor yang mempengaruhi keputusan petani dalam melakukan konversi dianalisis dengan menggunakan analisis regresi logit dan perubahan pendapatan yang terjadi terhadap petani dianalisis dengan menggunakan analisis distribusi pendapatan. Penelitian ini dilakukan dari bulan Februari sampai bulan Maret 2013 di Kecamatan Jambi Luar Kota Kabupaten Muaro Jambi. Penelitian menggunakan metode survei terstruktur dengan wawancara responden menggunakan kuisioner. Data primer dikumpulkan dari petani karet dan petani kelapa sawit yang telah mengkonversi tanaman karetnya, sedangkan data sekunder dikumpulkan dari instansi terkait. Hasil penelitian menunjukkan bahwa terjadi penurunan luas areal perkebunan karet dari tahun seluas hektar, dimana dalam periode yang sama terjadi peningkatan luas areal perkebunan kelapa sawit dengan rata-rata peningkatan sebesar hektar per tahun. Analisis keuntungan dan kelayakan finansial pada usaha tani karet lebih besar dibandingkan dengan usaha tani kelapa sawit. Faktor-faktor yang mempengaruhi keputusan petani dalam melakukan konversi tanaman karet menjadi kelapa sawit adalah tingkat pendidikan petani, frekuensi penyadapan dan dummy pendapatan lain pada taraf nyata 10 persen. Kesempatan kerja bagi buruh tani harian pada usaha tani karet lebih sedikit dibandingkan pada usaha tani kelapa sawit. Kata kunci : usaha tani karet, usaha tani kelapa sawit, konversi lahan

4 SUMMARY ARDHIYAN SAPUTRA. Financial Analysis of Rubber Plantation Conversion into Oil Palm Plantation and Its Impact on Income Distribution in Muaro Jambi Regency. Supervised by YUSMAN SYAUKAT and M. PARULIAN HUTAGAOL. Rubber and oil palm plantations give bigger contribution to region economics development in Jambi Province. These commodities export rank first in that of farm estate commodity. Land conversion activities happened from rubber plantation into oil palm plantation because of many reasons. The objectives of this research are to estimate profit of rubber and oil palm farming, to identify influencing factors of land conversion and to know its impact on income distribution. Methods to determine the structure of income and production cost are performed by farming analysis and feasibility of rubber and oil farming for 25 years are used by financial analysis. Factors influencing of farmer decision are analyzed using logit regression analysis and the impact on farmers income are analyzed using income distribution analysis. The research was conducted from February to March 2013 in Jambi Luar Kota Subdistrict, Muaro Jambi Regency. It applied a survey method using structured questionnaires. Primary data collected from rubber farmers and oil palm farmers who converted their rubber plantation. Secondary data also collected from relevant agencies. The results showed that a decrease of rubber plantation area in Muaro Jambi Regency during 2005 to 2010 about hectares while in the same period the area of palm oil plantation increasing with average of hectares per year. Profit and financial feasibility analysis of rubber farming is higher than oil palm farming. Influencing factors of land conversion are farmers education, frequency of rubber tapping and dummy other income sources at ten percent probability level. The job creation of rubber farming is less than oil palm farming for daily worker there. Key words : rubber farming, oil palm farming, land conversion

5 Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2013 Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB

6 ANALISIS FINANSIAL KONVERSI TANAMAN KARET MENJADI TANAMAN KELAPA SAWIT DAN DAMPAKNYA TERHADAP DISTRIBUSI PENDAPATAN DI KABUPATEN MUARO JAMBI ARDHIYAN SAPUTRA Tesis sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Ilmu Ekonomi Pertanian SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2013

7 Penguji pada Ujian Tesis: Dr Ir Sri Hartoyo, MS Dr Ir Mety Ekayani, MSc

8

9 PRAKATA Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala karunia, nikmat dan hidayah-nya sehingga tesis dengan topik Analisis Finansial Konversi Tanaman Karet Menjadi Tanaman Kelapa Sawit dan Dampaknya Terhadap Distribusi Pendapatan di Kabupaten Muaro Jambi berhasil diselesaikan sebagaimana mestinya. Amin. Terima kasih penulis ucapkan kepada Bapak Dr Ir Yusman Syaukat, MEc selaku ketua komisi pembimbing dan Bapak Dr M Parulian Hutagaol, MS selaku anggota komisi pembimbing yang telah banyak memberikan sarannya. Terima kasih pula penulis ucapkan kepada Bapak Dr Ir Sri Hartoyo, MS dan Ibu Dr Mety Ekayani, MSc selaku penguji dan pengelola Program Studi Ilmu Ekonomi Pertanian Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor yang telah memberikan arahan dan saran dalam penyusunan tesis ini. Di samping itu, penghargaan penulis sampaikan kepada Bapak Camat Jambi Luar Kota yang memberikan rekomendasi dan izin penelitian di Kecamatan Jambi Luar Kota, Bapak Kepala Desa Muhajirin, Bapak Kepala Desa Maro Sebo, dan Bapak Kepala Desa Sungai Bertam beserta staf, yang telah membantu selama pengumpulan data. Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada segenap keluarga, istri dan anak-anak tercinta atas doa, kesabaran, dukungan dan kasih sayangnya. Semoga karya ilmiah ini bermanfaat. Bogor, Agustus 2013 Ardhiyan Saputra

10 DAFTAR ISI DAFTAR TABEL xi DAFTAR GAMBAR xiii DAFTAR LAMPIRAN xiii 1 PENDAHULUAN 1 Latar Belakang 1 Perumusan Masalah 4 Tujuan Penelitian 7 Manfaat Penelitian 7 Ruang Lingkup Penelitian 7 2 TINJAUAN PUSTAKA 8 Perkembangan Komoditas Karet 8 Perkembangan Komoditas Kelapa Sawit 10 Ekonomi Komversi Lahan 12 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Konversi Lahan 14 Distribusi Pendapatan 16 3 KERANGKA PEMIKIRAN 17 4 METODE PENELITIAN 19 Penentuan Lokasi Penelitian 19 Jenis dan Sumber Data 19 Metode Pengambilan Sampel 19 Metode Analisis Data 20 Asumsi Dasar yang Digunakan 26 Definisi Operasional 27 5 GAMBARAN UMUM OBYEK PENELITIAN 28 Keadaan Umum Daerah Penelitian 28 Karakteristik Petani Sampel Karet dan Kelapa Sawit 31 6 HASIL DAN PEMBAHASAN 33 Konversi Tananam Karet Menjadi Tanaman Kelapa Sawit 33 Perkembangan Luas Konversi Perkebunan Karet 33 Kondisi Kebun Sebelum Konversi Tanaman 34 Proses Konversi Kebun Karet Menjadi Kelapa Sawit 36 Analisis Kelayakan Finansial Usaha Tani Karet dan Kelapa Sawit 40 Usaha Tani Karet 40 Usaha Tani Kelapa Sawit 48 Perbandingan Kelayakan Finansial Usaha Tani Karet dan Kelapa Sawit 56 Dampak Konversi terhadap Penggunaan Input 57 Analisis Faktor-faktor yang Mempengaruhi Konversi Kebun 62 Analisis Distribusi Pendapatan 70 7 SIMPULAN DAN SARAN 72 Simpulan 72 Saran 73 DAFTAR PUSTAKA 73 LAMPIRAN 77

11 DAFTAR TABEL 1 Sebaran sampel petani karet dan kelapa sawit di Kabupaten Muaro Jambi 19 2 Jenis, sumber data dan mentode analisis 20 3 Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) atas dasar harga konstan Kabupaten Muaro Jambi tahun (dalam jutaan rupiah) 29 4 Luas areal, produksi dan sentra tanaman perkebunan di Kabupaten Muaro Jambi tahun Karakteristik sampel petani perkebunan karet dan kelapa sawit di Kabupaten Muaro Jambi Tahun Perkembangan laju konversi kebun karet di Kabupaten Muaro Jambi tahun Perubahan jenis penggunaan lahan di Kabupaten Muaro Jambi tahun Distribusi umur tanaman karet rakyat yang dikonversi menjadi tanaman kelapa sawit di Kabupaten Muaro Jambi 36 9 Sebaran dan proporsi alasan petani dalam melakukan konversi tanaman karet menjadi kelapa sawit di Kabupaten Muaro Jambi Sebaran petani sampel berdasarkan cara mengkonversi kebun karet di Kabupaten Muaro Jambi Rata-rata biaya investasi usaha tani karet di lokasi penelitian per hektar Rata-rata penggunaan sarana produksi pada usaha tani karet tahun ke-1 sampai tahun ke-5 di lokasi penelitian per hektar Rata-rata biaya produksi pada usaha tani karet tahun ke-1 sampai tahun ke-5 di lokasi penelitian Rata-rata penggunaan sarana produksi pada usaha tani karet tahun ke-6 sampai tahun ke 25 di lokasi penelitian per hektar Rata-rata biaya produksi pada usaha tani karet tahun ke-6 sampai tahun ke 25 di lokasi penelitian per hektar Analisis keuntungan usaha tani karet per hektar per tahun Profil usaha tani kelapa sawit pada kebun karet yang dikonversi Rata-rata biaya investasi usaha tani kelapa sawit di lokasi penelitian per hektar Rata-rata penggunaan sarana produksi pada usaha tani kelapa sawit tahun ke-1 dan ke-2 di lokasi penelitian per hektar Rata-rata biaya produksi pada usaha tani kelapa sawit tahun ke-1 dan ke-2 di lokasi penelitian Rata-rata penggunaan sarana produksi pada usaha tani kelapa sawit tahun ke-3 sampai tahun ke-25 di lokasi penelitian per hektar Rata-rata biaya produksi pada usaha tani kelapa sawit tahun ke-3 sampai dengan tahun ke-25 di lokasi penelitian Analisis keuntungan usaha tani kelapa sawit per hektar per tahun 56

12 24 Perbandingan nilai keuntungan terdiskonto usaha tani karet dan kelapa sawit di lokasi penelitian Alokasi penggunaan tenaga kerja pada usaha tani karet dan kelapa sawit tahun 2013 per hektar per tahun di lokasi penelitian Rata-rata pengeluaran untuk upah buruh tani pada per tahap kegiatan budidaya kelapa sawit tahun 2013 di lokasi penelitian Rata-rata jumlah dan nilai penggunaan pupuk pada tanaman menghasilkan karet dan kelapa sawit per hektar per tahun Rata-rata nilai penggunaan pestisida dan alat pertanian pada tanaman karet dan kelapa sawit di lokasi penelitian per hektar per tahun Hasil estimasi model regresi logistik terhadap faktor-faktor yang mempengaruhi petani dalam mengkonversi tanaman karet menjadi kelapa sawit di lokasi penelitian Sebaran dan proporsi petani sampel berdasarkan umur di lokasi penelitian Sebaran dan proporsi petani sampel berdasarkan tingkat pendidikan di lokasi penelitian Sebaran dan proporsi petani sampel berdasarkan luas lahan di lokasi penelitian Sebaran dan proporsi petani sampel berdasarkan frekuensi sadap di lokasi penelitian Sebaran dan proporsi petani sampel berdasarkan resiko usaha tani di lokasi penelitian Sebaran dan proporsi petani sampel berdasarkan ketersediaan sarana produksi di lokasi penelitian Sebaran dan proporsi petani sampel berdasarkan pendapatan lain di lokasi penelitian Distribusi pendapatan usaha tani karet dan kelapa sawit per hektar selama 25 tahun 71

13 DAFTAR GAMBAR 1. Perkembangan luas areal karet di Indonesia, tahun Pohon industri karet 9 3. Perkembangan luas areal kelapa sawit di Indonesia, tahun Kerangka pikir penelitian Luas daerah menurut kecamatan di Kabupaten Muaro Jambi Distribusi pekerjaan sampingan petani kelapa sawit 59 DAFTAR LAMPIRAN 1. Analisis usaha tani karet dari tahun ke-0 sampai dengan tahun ke Analisisi usaha tani kelapa sawit dari tahun ke-0 sampai dengan tahun ke Cashflow finansial usaha tani karet per hektar Cashflow finansial usaha tani kelapa sawit per hektar Harga TBS kelapa sawit berdasarkan umur tanaman per Februari tahun Potensi produksi tanaman kelapa sawit menurut umur tanaman Hasil olahan data regresi logistik faktor-faktor yang mempengaruhi konversi kebun 89

14 1 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pembangunan pertanian memiliki arti yang sangat strategis, tidak hanya untuk negara-negara berkembang, bahkan untuk negara maju, seperti EU, Amerika, Australia dan Jepang tetap memberi perhatian dan perlindungan yang sangat serius terhadap pertanian. Peran strategis tersebut digambarkan melalui kontribusi pertanian yang nyata melalui pembentukan kapital; penyediaan bahan pangan, bahan baku industri, pakan dan bioenergi; penyerap tenaga kerja; sumber devisa negara; sumber pendapatan; serta pelestarian lingkungan melalui praktek usahatani yang ramah lingkungan. Berbagai peran strategis pertanian dimaksud sejalan dengan tujuan pembangunan perekonomian nasional yaitu: 1) meningkatkan kesejahteraan masyarakat Indonesia, 2) mempercepat pertumbuhan ekonomi, mengurangi kemiskinan, 3) menyediakan lapangan kerja, 4) memelihara keseimbangansumberdaya alam dan lingkungan hidup (Bappenas 2010). Perkembangan sektor pertanian tidak dapat dilepaskan dari subsektor pendukungnya. Subsektor perkebunan memiliki kontribusi paling besar terhadap nilai ekspor pertanian. Dalam tahun 2010 sumbangan devisa yang dihasilkan dari subsektor perkebunan mencapai US$20 miliar yang berasal dari kelapa sawit US$15.5 miliar, karet US$7.8 miliar dan kopi US$1.7 miliar. Penerimaan negara dari cukai rokok Rp63 triliun, bea keluar minyak kelapa sawit Rp20 triliun dan bea keluar kakao Rp615 miliar. Dari peran penyerapan tenaga kerja, subsektor perkebunan pada tingkat on farmsaja dapat menyerap sekitar 19.7 jutaorang. 1 Tanaman karet merupakan komoditas perkebunan yang merupakan tanaman tahunan yang tumbuh subur di daerah tropis dengan curah hujan yang cukup. Pola pengusahaan perkebunan karet di Indonesia masih didominasi oleh perkebunan karet rakyat yang mencapai lebih dari 85 persen dari luas total perkebunan karet di Indonesia, kemudian disusul oleh perkebunan besar swasta dan perkebunan besar negara (Ditjenbun 2011). Dalam kenyataannya pola pengusahaan karet rakyat tersebut menyebabkan petani karet masih dihadapkan oleh keterbatasan modal dalam usaha peremajaan dan pemeliharaan sehingga berakibat rendahnya produktifitas tanaman karet tersebut. Menurut Budiman (2005), ada beberapa manfaat dalam pembangunan tanaman karet adalah : 1) Pohon karet memberikan hasil sadapan harian selama 25 tahun tanpa berhenti, 2) Selain menghasilkan elastomer yang sangat dibutuhkan dunia, pohon karet juga menghasilkan kayu unggulan di akhir masa sadapan, 3) pohon karet memberikan banyak manfaat pelestarian lingkungan seperti cadangan air dan konservasi lahan. Pembangunan tanaman karet juga bermanfaat secara ekonomi untuk pembentukan pusat pertumbuhan ekonomi. Komoditas unggulan perkebunan yang memberikan sumbangan devisa terbesar dalam nilai ekspor pertanian Indonesia adalah kelapa sawit. Selain sebagai penyumbang nilai ekspor pertanian terbesar, kelapa sawit juga mampu 1 ( diakses tanggal 30 Mei 2012

15 2 memberikan pendapatan yang lebih tinggi kepada petani dibandingkan dengan jenis tanaman perkebunan lainnya (Syahza 2008). Pada awal perkembangannya, kegiatan pengembangan kelapa sawit selalu dilakukan oleh perusahaan perkebunan besar baik oleh perusahaan pemerintah maupun oleh perusahaan swasta. Hal ini dikarenakan bahwa membangun perkebunan kelapa sawit membutuhkan sumberdaya modal yang besar dan teknologi yang mahal. Pola pengusahaan yang berbeda pada tamanan kelapa sawit menyebabkan laju pertumbuhan luas areal perkebunan kelapa sawit lebih cepat dibandingkan dengan perkebunan karet. Pusat Penelitian Kelapa Sawit (2006) menyatakan bahwa minyak sawit (CPO) adalah komoditas yang sangat potensial sehingga layak disebut sebagai komoditas ekspor non migas andalan dari kelompok agroindustri. Hal ini dapat dilihat dari kondisi : 1) secara komparatif terdapat ketersediaan lahan yang dapat digunakan untuk perluasan produksi, berbeda halnya dengan negara pesaing terberat Indonesia, Malaysia yang luas areal produksinya telah mencapai titik jenuh, 2) secara kompetitif pesaing Indonesia hanya sedikit, 3) kelapa sawit merupakan tanaman perkebunan yang memiliki produktivitas tertinggi dibandingkan tanaman perkebunan lainnya. Kontribusi minyak sawit terhadap ekspor nasional adalah yang tertinggi dibandingkan ekspor hasil perkebunan lainnya. Selain itu minyak sawit juga dapat digunakan sebagai bahan baku industri seperti industri minyak goreng, biodiesel, shortening, kosmetika, farmasi, dan sebagainya. Berbagai manfaat minyak sawit inilah yang mendorong tingginya permintaan akan minyak sawit. Peningkatan konsumsi tersebut antara lain juga dipengaruhi oleh meningkatnya jumlah penduduk, pendapatan per kapita, serta permintaan minyak sawit dunia untuk bahan baku industri di Uni Eropa, dan juga meningkatnya permintaan impor CPO oleh negara India dan RRC. Permintaan CPO di pasar dunia diperkirakan terus meningkat di masa depan. Hal itu antara lain disebabkan oleh meningkatnya permintaan negara-negara di dunia yang mulai menggunakan komoditas tersebut untuk biodiesel. Produk energi itu relatif ramah lingkungan dan bisa menggantikan bahan bakar konvensional. Tingginya permintaan CPO itu mengakibatkan harga di pasar dunia meningkat tajam (Purba 2012). Penelitian yang juga dilakukan oleh Wicke et al.(2011) menyatakan bahwa peningkatan permintaan dunia terhadap CPO, antara lain disebabkan meningkatnya permintaan oleh industri makanan, bahan baku industri,dan sumber energi alternatif. Selain itu tingginya harga CPO dipasaran yang pernah mencapai US$ 780/ton pada tahun 2008 dapat memberi keuntungan besar bagi produsen CPO tersebut. Keuntungan yang besar itu memicu produsen CPO untuk meningkatkan kegiatan produksinya. Peningkatan produksiyang dilakukan telah menyebabkan terjadinya pola perubahaan penggunaan lahan sehingga dapat menimbulkan dampak sosial dan lingkungan. Di Malaysia perluasan areal untuk meningkatan produksi kelapa sawit dilakukan dengan mengkonversi perkebunan karet dan kelapa menjadi perkebunan kelapa sawit, sedangkan di Indonesia dilakukan pada areal hutan alam dan gambut. Konversi lahan merupakan suatu proses dari pengggunaan tertentu dari lahan menjadi penggunaan lain yang dapat bersifat sementara maupun permanen yang dilakukan oleh manusia. Konversi lahan yang bersifat permanen lebih besar dampaknya dari pada konversi lahan sementara. Konversi lahan pertanian ke non

16 3 pertanian bukan hanya fenomena fisik, yaitu berkurangnya luasan lahan melainkan suatu fenomena dinamis yang menyangkut aspek sosial-ekonomi kehidupan masyarakat (Winoto 2005). Jadi secara umum kegiatan konversi lahan merupakan bentuk peralihan dari penggunaan lahan sebelumnya ke penggunaan yang lain. Sifat dari luas lahan adalah tetap (fixed), sehingga adanya konversi lahan tertentu akan mengurangi atau menambah penggunaan lahan lainnya. Konversi lahan tersebut terjadi karena adanya sifat kompetitif hasil dari pilihan manusia. Proses konversi lahan pada dasarnya dapat dipandang sebagai suatu bentuk konsekuensi logis dari adanya pertumbuhan dan transformasi perubahan struktur sosial ekonomi masyarakat yang sedang berkembang. Perubahan yang dimaksud tercermin dengan adanya pertumbuhan aktivitas pemanfaatan sumberdaya alam akibat meningkatnya jumlah penduduk dan kebutuhan perkapitanya serta adanya pergeseran kontribusi sektor-sektor pertanian dan pengelolaan sumberdaya alam ke aktivitas sektor-sektor sekunder (manufaktur) dan tersier (jasa). Dalam hukum ekonomi pasar, konversi lahan berlangsung dari aktifitas dengan land rent yang lebih rendah ke aktivitas-aktivitas dengan land rent yang lebih tinggi. Land rent dapat diartikan sebagai nilai keuntungan bersih dari aktivitas pemanfaatan lahan persatuan luas lahan dan waktu tertentu (Rustiadi et al2009). Menurut Munir (2008), ada dua faktor yang mendasar berhubungan dengan konversi lahan meliputi faktor internal petani dan faktor eksternal. Faktor internal adalah karakteristik petani yang mencakup umur, tingkat pendidikan, jumlah tanggungan keluarga, luas lahan yang dimiliki, dan tingkat ketergantungan terhadap lahan, sedangkan faktor eksternal mencakup pengaruh tetangga, investor, dan kebijakan pemerintah daerah dalam hal pengembangan pertanian. Selanjutnya penyebab dari perubahan penggunaan lahan adalah adanya faktor-faktor penyebab (driving factors) seperti: faktor demografi (tekanan penduduk), faktor ekonomi (pertumbuhan ekonomi), teknologi, policy (kebijakan), institusi, budaya dan biofisik. Analisis perubahan penggunaan lahan mencari penyebab (driver) perubahan land use dan dampak (lingkungan dan sosio ekonomi) dari perubahan land use. Penyebab dari perubahan penggunaan lahan, antara lain kelangkaan sumberdaya; perubahan kesempatan akibat pasar; intervensi kebijakan dari luar; hilangnya kapasitas adaptasi dan meningkatnya kerentanan; perubahan dalam organisasi sosial dalam akses sumberdaya dan dalam tingkah laku (Lambin et al 2002dalam Warlina 2007). Kegiatan konversi lahan perkebunan dari tanaman karet ke kelapa sawit disebabkan oleh fluktuasi harga yang tidak stabil dan cenderung menurun,serta mutu dan produktifitas tanaman karet yang rendah. Pada awal tahun 2000, harga karet Indonesia (FOB Belawan) hanya berkisar antara US$0.55/kg US$0.56/kg. Harga tersebut merupakan yang terendah dalam 40 tahun terakhir. Melemahnya harga karet sangat tidak menguntungkan bagi negara produsen seperti Indonesia. Kondisi ini semakin bertambah parah dengan prilaku negara-negara pengimpor utama karet yang menahan diri untuk tidak masuk pasar. Rendahnya produktifitas rata-rata tanaman karetnasional yang hanya mampu berproduksi antara kg/ha, jauh dibawah produktifitas negara pesaing, seperti Malaysia dan Thailand yang menghasilkan karet dengan produksi rata-rata masing-masing sebesar 1000 kg/ha dan 750 kg/ha. Selain itu, mutu karet Indonesia yang rendah menyebabkan negara importir beralih ke negara produsen lain. Hal inilah yang menjadi

17 4 penyebab terjadinya kecendrungan beberapa perusahaan perkebunan melakukan konversi tanaman karet ke tanaman perkebunan lain, seperti kelapa sawit dan coklat, bahkan menjadi kawasan industri dan pemukiman (Herlina 2002). Keputusan petani untuk meremajakan tananam karet atau replanting maupun mengkonversi menjadi tanaman kelapa sawit sangat bergantung pada besarnya modal yang dimiliki oleh petani. Hal ini dikarenakan untuk meremajakan atau mengkonversi tanaman perkebunan memerlukan modal yang relatif besar. Modal tersebut dapat berasal dari modal sendiri (dari petani sendiri jika petani memiliki kemampuan finansial) dan dari skim kredit. Kurang tersedianya skim kredit bagi petani perkebunan lebih disebabkan karena resiko usaha perkebunan yang tinggi, waktu tanaman menghasilkan relatif lama dan tidak adanya anggunan yang dapat menjadi jaminan pembayaran kredit membuat petani perkebunan memiliki alternatif dalam melakukan peremajaan tanaman maupun menggantinya dengan tanaman perkebunan lain, seperti dengan mengganti sebagian tanaman perkebunannya dengan tanaman baru sementara tanaman lama yang masih menghasilkan dapat digunakan untuk membiayai kebutuhan hidup petani selama tanaman baru masih belum menghasilkan dan setelah tanaman baru sudah menghasilkan kemudian dilakukan penggantian tanaman selanjutnya. Oleh karena itu kegiatan konversi yang dilakukan petani dari tanaman karet menjadi tanaman kelapa sawit dalam jangka panjang merupakan sesuatu hal yang penting dan strategis. Mengingat tanaman karet merupakan tanaman yang sudah membudaya bagi petani karet di Provinsi Jambi dan sumber mata pencaharian hampir 50 persen petani disektor perkebunan. Kegiatan konversi yang telah dilakukan petani memerlukan suatu penelitian yang dapat memberikan gambaran perbandingan biaya dan pendapatan yang diterima petani. 1.2 Perumusan Masalah Kegiatan konversi tanaman perkebunan marak terjadi pada beberapa wilayah di Provinsi Jambi, seperti dari tanaman karet ke kelapa sawit dan tanaman kayu manis ke tanaman kakao. Konversi tanaman perkebunan karet mejadi kelapa sawit dilakukan baikoleh perusahaan perkebunan dalam skala besar maupun oleh perkebunan karet rakyat. Perusahaan perkebunan karet terbesar yang terdapat di Provinsi Jambi adalah PTPN VI (Persero). PTPN VI merupakan perusahaan BUMN yang ditunjuk pemerintah untuk melaksanakan pembangunan proyek Perkebunan Inti Rakyat Perkebunan (PIR-BUN) dengan tanaman yang dibudidayakan adalah karet, kelapa hibrida, dan kakao. Dalam melaksanakan pengembangan usaha dilakukan dengan pola perkebunan inti plasma, dimana perkebunan inti merupakan kebun yang dimiliki dan dikelola langsung oleh perusahaan, sedangkan perkebunan plasma merupakan pola pengembangan perkebunan dengan melibatkan petani dalam pengelolaannya dengan sistem kemitraan atau kerjasama tertentu, sehingga diharapkan dapat terjadi transfer teknologi dari perusahaan kepada petani. Konversi tanaman karet ke kelapa sawit dimulai pada tahun Konversi yang dilakukan oleh perusahaan disebabkan oleh beberapa faktor, seperti produktivitas tanaman yang berkurang karena banyaknya tanaman yang tua, harga jual karet yang cenderung menurun dan faktor keamanan akibat lemahnya sistem

18 pengawasan oleh perusahaan terhadap kebun produksi yang berakibat sering terjadinya tindakan pencurian hasil sadapan secara liar sehingga dapat merugikan perusahaan.konversi tanaman oleh perusahaandilakukan pada perkebunan inti terjadi pada beberapa daerah di Provinsi Jambi, meliputi kebun Rimbo Satu (Kabupaten Bungo), kebun Durian Luncuk (Kabupaten Batanghari), kebun Bahar dan Ness (Kabupaten Muaro Jambi) dengan luas kebun keseluruhan yang dikonversi mencapai hektar (Disbun Jambi 2002). Konversi tanaman karet ke kelapa sawit juga dilakukan oleh perkebunan rakyat di Kabupaten Muaro Jambi. Ada dua jenis tipe pengelolaan usaha perkebunan karet rakyat, yaitu hutan karet dan kebun karet. Hutan karet merupakan perkebunan karet yang pengelolaanya dilakukan tanpa kegiatan perawatan dan pemeliharaan, kondisi kebun heterogen yang terdiri dari tanaman karet dan non karet, sedangkan kebun karet merupakan kebun yang ditanam dengan tanaman karet yang dirawat dan dipelihara. Kecenderungan konversi tanaman yang dilakukan oleh petani hutan karet dengan mengganti menjadi tanaman kelapa sawit dengan sistem plasma, yaitu pola kerjasama yang telah disepakati sebelumnya dengan perusahaan perkebunan, sedangkan konversi tanaman pada kebun karet umumnya dilakukan secara swadaya oleh petani karet sendiri. Berdasarkan data statistik perkebunan luas areal kebun karet di Kabupaten Muaro Jambi pada tahun 2006 seluas hektar turun menjadi hektar pada tahun Menurut Kepala Seksi Tanaman Perkebunan Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Muaro Jambi penyusutan areal tanaman karet sebagian besar disebabkan oleh alih fungsi menjadi tanaman kelapa sawit dan sebagian lainnya diperuntukkan sebagai daerah pemukiman dan pembangunan sarana infrastruktur. Alih fungsi kebun karet menjadi kelapa sawit tersebut dilakukan oleh perusahaan perkebunan swasta dan negara serta perkebunan rakyat. Pada periode yang sama, perkembangan luas areal perkebunan kelapa sawit mengalami peningkatan dari seluas hektar pada tahun 2006 menjadi seluas hektar pada tahun Peningkatan luas areal tanam tersebut berasal dari pembukaan lahan baru dengan perubahan pada beberapa jenis penggunaan lahan, seperti sawah, lahan kering, tegalan dan alih fungsi dari perkebunan karet (Dishutbun 2011). Potensi pengembangan perkebunan kelapa sawit yang dikonversi dari perkebunan karet di Kabupaten Muaro Jambi memerlukan kajian yang mendalam.produktifitas yang tinggi dan tahan terhadap serangan hama penyakit menjadikan daya tarik petani perkebunan untuk mengusahaan tanaman kelapa sawit. Akan tetapi hasil yang tinggi tentu membutuhkan input dan pemeliharaan yang intensif pula. Kondisi ini sangat bertolak belakang dengan keadaan petani perkebunan rakyat yang memiliki keterbatasan dalam akses sumber modal dan teknologi. Sebagaimana diketahui bahwa pada awal perkembangannya, kegiatan pengembangan perkebunan kelapa sawit selalu dilakukan oleh perusahaan perkebunan besar baik oleh perusahaan pemerintah maupun oleh perusahaan swasta. Hal ini dikarenakan bahwa membangun perkebunan kelapa sawit membutuhkan sumberdaya modal yang besar dan teknologi yang mahal. Dalam perkembangannya produktifitas perusahaan perkebunan milik swasta lebih tinggi dibandingkan dengan perusahaan perkebunan besar nasional dan perkebunan rakyat. Tingginya laju permintaan Crude Palm Oil (CPO) 5

19 6 menyebabkan industri pengolahan CPO harus meningkatkan produksi untuk menghasilkan produk lebih banyak. Kondisi ini berdampak pada peningkatan bahan baku tandan buah sawit yang lebih banyak pula sehingga terbuka peluang pasar untuk menjual TBS kepada perusahaan. Pemasaran hasil yang relatif mudah mendorong petani karet mengganti tanaman karet yang sudah tidak produktif tadi menjadi tanaman kelapa sawit. Berbagai upaya dari pemerintah sudah sejak lama dilakukan dalam mengembangkan perkebunan kelapa sawit. Salah satu upaya pengembangan perkebunan kelapa sawit adalah melalui pola kemitraan. Pola kemitraan usaha perkebunan kelapa sawit diarahkan agar petani plasma dapat mengembangkan perkebunan kelapa sawit yang berorientasi pasar, meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan keluarga petani, serta mendorong perluasan dan pemerataan kesempatan kerja. Akan tetapi pada kenyataannya, pola kemitraan tersebut tidak selamanya menguntungkan petani dan masyarakat sekitarnya. Menurut penelitian yang dilakukan oleh Daliman (2005)dalam Yasri (2006) di daerah Ngabang Pontianak menyimpulkan bahwa penghasilan petani plasma tidak cukup untuk untuk memenuhi kebutuhan fisik minimum seorang pekerja (tidak termasuk keluarganya), yakni rata-rata perbulan hanya Rp per hektar. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa petani kelapa sawit rakyat yang bermitra dengan perusahaan belum sepenuhnya mampu untukmeningkatkan pendapatan dan kesejahteraan apabila dibandingkan dengan petani swadaya. Adanya perbedaan karakteristik produk hasil panen antara tanaman karet dan kelapa sawit menyebabkan penanganan yang berbeda pula. Pada komoditas karet, getah karet yang dihasilkan dapat dikumpulkan terlebih dahulu oleh petani sebelum dijual atau petani karet dapat menunda penjualan getah karet bila harga relatif murah, sedangkan pada komoditas kelapa sawit, pemasaran tandan buah segar sesudah dipanen memerlukan waktu penanganan yang cepat untuk menghindari kerugian sehingga menyebabkan posisi tawar petani rendah.selain itu struktur pasar kelapa sawit yang lebih cenderung kearah pasar monopsoni dapat merugikan petani kelapa sawit. Hal ini dilakukandengan menetapkan harga secara sepihak oleh pihak pabrik kelapa sawit dan pedagang pengumpul tandan buah segar (tauke).disamping itu tingginya harga pupuk dan berfluktuasinya harga jual akan mengakibatkan rendahnya minat petani dalam meningkatkan produktifitas kelapa sawit. Dengan demikian perlu dilakukan analisis secara mendalam terhadap usahatani karet dan kelapa sawit sehingga investasi yang telah ditanamkan oleh petani dapat menghasilkan keuntungan atau memiliki manfaat yang lebih besar dari biaya yang telah dikeluarkan sehingga usahatani tersebut layak dan berhasil untuk dikembangkan. Konversi tanaman yang dilakukan petani juga akan berdampak terhadap jumlah penggunaan input yang digunakan dalam kegiatan usaha tani. Perubahan penggunaan input dapat mempengaruhi tingkat pendapatan yang diperoleh petani sehingga perlu dilihat dari distribusi pendapatan usaha tani. Dari distribusi pendapatan dapat dilihat pembagian (proporsi) keuntungan masing-masing pelaku pada usaha tani karet dan kelapa sawit. Selain itu, budidaya kelapa sawit merupakan suatu hal yang baru bagi petani yang sebelumnya mengusahakan tanaman karet. Keputusan mengkonversi tersebut dapat menimbulkan resiko yang merugikan petani sendiri apabila dalam pengelolaan usaha taninya

20 7 menyebabkan produktivitas tanaman kelapa sawit menjadi rendah atau bahkan tidak berproduksi sama sekali. Berdasarkan latar belakangdiatas, maka pertanyaan-pertanyaan yang ingin dijawab dalam penelitian ini berkaitan dengan konversi tanaman karet menjadi tanaman kelapa sawitdi Kabupaten Muaro Jambi, yaitu : 1. Benarkah pengusahaan usaha tani kelapa sawit lebih menguntungkan dari usaha tani karet di Kabupaten Muaro Jambi? 2. Faktor-faktor apakah yang mempengaruhi petani untuk mengkonversi tanaman karet menjadi tanaman kelapa sawit di Kabupaten Muaro Jambi? 3. Bagaimana dampak konversi terhadap distribusi pendapatan petani karet dan petani kelapa sawit di Kabupaten Muaro Jambi? 1.3 Tujuan Penelitian Berdasarkan perumusan masalah di atas, maka tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah : 1. Mengestimasi nilai keuntungan dari usaha tani tanaman karet dan usaha tani kelapa sawit. 2. Mengidentifikasi faktor-faktor yang mempengaruhi petani mengkonversi tanaman karet menjadi tanaman kelapa sawit. 3. Mengetahui dampak konversi terhadapdistribusi pendapatan petani karet dan petani kelapa sawit. 1.4 Manfaat Penelitian Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi yang dapat digunakan sebagai bahan pertimbangan untuk melaksanakan suatu kegiatan investasi. Bagi pengambil kebijakan di Provinsi Jambi dapat digunakan untuk menentukan kebijakan yang tepat rangka meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan petani yang bekerja di sektor perkebunan. Bagi kalangan akademisi dapat memberi kontribusi dalam pengembangan ilmu pengetahuan khususnya mengenai usaha komoditas tanaman perkebunan karet dan kelapa sawit. 1.5 Ruang Lingkup Penelitian Penelitian ini merupakan studi kasus yang dilaksanakan pada salah satu wilayah sentra usaha perkebunan karet yang mengalami konversi tanaman menjadi kelapa sawit di Kabupaten Muaro Jambi. Ruang lingkup penelitian ini adalah menganalisis biaya dan manfaat usaha tani kelapa sawit dan faktor-faktor yang mempengaruhi petani dalam mengkonversi tanaman karet ke kelapa sawit serta dampaknya terhadap distribusi pendapatan. Kegiatan usaha tani kelapa sawit yang dilakukan petani secara swadaya.periode umur ekonomis tanaman karet dan kelapa sawitditetapkan selama 25 tahun.

21 8 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Perkembangan Komoditas Karet Karet merupakan salah satu komoditas perkebunan yang memiliki peranan penting bagi peningkatan pendapatan petani dan masyarakat. Disamping itu, ekspor karet alam memberikan kontribusi yang cukup besar bagi devisa negara. Indonesia merupakan negara produsen dan pengekspor utama karet alam yang mempunyai luas areal tanam paling besar di dunia. Akan tetapi tingkat produktivitasnya urutan kedua setelah Thailand. Hal ini dikarenakan lebih dari 85 persen perkebunan karet Indonesia berasal dari perkebunan rakyat dan sisanya berasal dari perkebunan besar milik negara dan swasta (Ditjenbun 2011). Perkembangan luas areal tanam karet alam Indonesia tahun ditunjukan pada Gambar 1. Dari Gambar 1 dapat dilihat bahwa peningkatan luas areal didominasi oleh perkebunan karet rakyat. Dari total areal karet tersebut, baru 15 persen yang ditangani oleh pemerintah melalui proyek, sedangkan sebagian besar adalah areal karet rakyat tradisional yang umumnya berupa hutan karet dengan produktivitas dan mutu bokar yang rendah (Ditjenbun 2011). Luas areal karet sejak tahun 1968 hingga tahun 2010 terus meningkat dengan laju pertumbuhan rata-rata sebesar 1.06 persen per tahun. Luas areal tahun 2010 mencapai kali lipat dari luas areal pada tahun Luas Areal (Ha) Tahun Gambar 1. Perkembangan Luas Areal Karetdari Tahun di Indonesia Perkebunan Rakyat, Perkebunan Besar Swasta,Perkebunan Besar Negara, Jumlah Produktivitas karet alam Indonesia yang relatif rendah disebabkan oleh beberapa hal, antara lain umur ekonomis tanaman karet alam relatif tua sehingga kemampuan produksinya menurun. Tanaman karet yang tua memberi pengaruh pada biaya pemeliharaan yang tinggi, sedangkan penerimaan dari tanaman tersebut semakin menurun. Upaya peremajaan dan penanaman baru tanaman karet

22 9 dilakukan untuk memacu peningkatan produktivitas, peningkatan optimalisasi pola usahatani, dan peningkatan teknologi budidaya. Keberhasilan langkah peningkatan produktivitas tersebut diharapkan akan mendukung peningkatan produksi karet alam Indonesia dan pada akhirnya berbanding lurus dengan jumlah dan kualitas ekspor karet alam Indonesia. Komoditas karet sangat berhubungan erat dengan kebutuhan manusia sehari-hari. Hasil olahan yang menggunakan bahan dasar karet 73 persennya berupa ban, sedangkan sisanya dalam bentuk alat kesehatan, mainan anak-anak, peralatan otomotif, sol sepatu sandal dan sebagainya. Karet terdiri dari dua jenis yaitu karet sintesis dan karet alami. Karet sintesis adalah karet yang memerlukan minyak mentah dalam proses pembuatannya, sedangkan karet alami diperoleh langsung dari tanaman karet. Kualitas karet alami terletak pada daya elastisitas yang sempurna sehingga memudahkan pengolahan serta daya tahan yang tinggi terhadap panas dan keretakan. Potensi nilai tambah produk karet dapat diperoleh melalui pengembangan industri ilir dan pemanfaatan kayu karet sebagai bahan baku industri kayu (Gambar 2). Terlihat bahwa cukup banyak ragam produk yang dapat dihasilkan dari lateks, utamanya non ban, sedangkan ragam produk dari kayu karet tidak sebanyak dari lateks. Namun, sampai saat ini potensi kayu karet tua belum dimanfaatkan secara optimal. Alat kesehatan dan laboratorium Pipet, slang, stetoskop, dll Lateks, sheet, bokar Crumb Rubber Perlengkapan kendaraan Ban, pedal gas, karet kaca, dll Alat olah raga Bola sepak, volley, dll Pohon Karet Perlengkapan pakaian Sepatu dan sandal karet, dll Kayu Arang, kayu gergajian, pulp Perlengkapan teknik industri Air house, oil seal, rubber,dll Furnitur Perlengkapan anak dan bayi Dot susu, perlak, mainan anak, dll Perlengkapan rumah tangga Perlengkapan lain, karpet Barang lain Kondom, pelampung, dll Sumber : Departemen Pertanian 2007 Gambar 2. Pohon Industri Karet

23 10 Menurut Anwar (2005), diperkirakan akan terjadi kekurangan pasokan karet alam pada periode dua dekade ke depan. Hal ini menjadi kekuatiran pihak konsumen, terutama pabrik-pabrik ban seperti Bridgestone, Goodyear dan Michelin. Pada tahun 2004, IRSG membentuk Task Force Rubber Eco Project (REP) untuk melakukan studi tentang permintaan dan penawaran karet sampai dengan tahun Hasil studi REP meyatakan bahwa permintaan karet alam dan sintetik dunia pada tahun 2035 adalah sebesar 31.3 juta ton untuk industri ban dan non ban, dan 15 juta ton diantaranya adalah karet alam. Dari studi ini diproyeksikan pertumbuhan produksi Indonesia akan mencapai 3 persen per tahun, sedangkan Thailand hanya 1 persen dan Malaysia -2 persen. Pertumbuhan produksi Indonesia ini dapat dicapai melalui peremajaan atau penaman baru karet yang cukup luas, dengan perkiraan produksi pada tahun 2020 sebesar 3.5 juta ton dan tahun 2035 sebesar 5.1 juta ton. Jenis mutu karet alam terdiri dari TNSR (Technically Specified Natural Rubber) atau SIR (Standart Indonesian Rubber), RSS (Ribbed Smoked Sheets), Latex, Crepe dan lainnya. Jenis mutu yang menempati tempat teratas adalah SIR persen, RSS persen, lateks pekat 3.39 persen, pale crepe dan lain-lain 1.55 persen. Ragam produk karet yang dihasilkan dan diekspor oleh Indonesia masih terbatas, akan tetapi umumnya masih didominasi oleh produk primer (raw material) dan produk setengah jadi. 2.2 Perkembangan Komoditas Kelapa Sawit Tanaman kelapa sawit memiliki usia produktif tahun, setelah usia tersebut tanaman kelapa sawit sudah tidak dianggap menguntungkan secara ekonomis. Pada tiga tahun pertama kelapa sawit disebut pohon muda karena belum menghasilkan buah yang sempurna atau disebut buah pasir. Kelapa sawit sudah mampu berbuah sempurna pada usia tahun, di masa ini kelapa sawit sudah mampu menghasilkan tandan buah segar (TBS) dengan potensi ton/ha/tahun. Kelapa sawit berproduksi secara optimal pada usia 8 14 tahun setelah itu kelapa sawit akan mengalami penurunan jumlah produksi (PPKS 2006). Kelapa sawit merupakan komoditas unggulan perkebunan yang memberikan sumbangan devisa yang terbesar dalam nilai ekspor pertanian bagi Indonesia. Pengembangan kelapa sawit di Indonesia secara komersial dimulai sejak tahun 1967 yang pada mulanya hanya terdiri dari Perkebunan Besar Negara (PBN) dan Perkebunan Besar Swasta (PBS). Baru pada tahun 1979 adanya perkebunan rakyat yang dikembangkan dengan pola PIR-BUN (Perkebunan Inti Rakyat Perkebunan) dan selanjutnya berkembang pola swadaya. Secara konsepsional PIR-BUN adalah suatu pola pengembangan perkebunan dengan menggunakan perkebunan besar sebagai inti yang membantu dan membimbing perkebunan rakyat di sekitarnya sebagai plasma dalam sistem kerja sama yang saling menguntungkan, utuh dan berkesinambungan melalui sistem pengolahan usaha mulai dari produksi, pengolahan dan pemasaran hasil. Produksi minyak sawit di Indonesia sebagian besar berada di pulau Sumatera diikuti oleh Kalimantan. Berdasarkan provinsi, Riau merupakan provinsi penghasil minyak sawit terbesar di Indonesia dengan produksi mencapai 24 persen dari produksi nasional pada tahun 2007 sementara Jambi menyumbang

24 11 minyak sawit sebesar 7.70 persen dari produksi nasional dengan luas lahan mencapai 8.82 persen dari luas lahan nasional (Ditjenbun 2011). Sejak tahun 1979 hingga tahun 2007 luas areal maupun produksi kelapa sawit Indonesia terus mengalami peningkatan. Indonesia merupakan negara produsen kelapa sawit terbesar pertama di dunia (sejak tahun 2006). Dalam perdagangan dunia, Indonesia merupakan eksportir kelapa sawit terbesar kedua di dunia setelah Malaysia. Berdasarkan perkembangan data ekspor impor selama tahun Indonesia selalu mengalami surplus neraca perdagangan kelapa sawit. Walaupun Indonesia mulai melakukan impor minyak sawit sejak tahun 1981, namun hal ini tidak mempengaruhi neraca perdagangan yang terjadi. Neraca perdagangan kelapa sawit justru terus mengalami surplus dan cenderung meningkat dari tahun ke tahun (Ditjenbun 2011). Adapun perkembangan luas areal tanam kelapa sawit Indonesia tahun ditunjukan pada Gambar 3. Dari Gambar 3 dapat dilihat bahwa pada awal perkembangan kelapa sawit dilakukan oleh perusahaan perkebunan negara dan swasta kemudian baru dikembangkan perkebunan rakyat pada tahun Peningkatan luas areal kelapa sawit dan produksi minyak sawit adalah akibat dari pesatnya perkembangan industri hilir kelapa sawit yang berdampak pada peningkatan permintaan minyak sawit baik dari dalam maupun luar negeri. Luas Areal (Ha) Tahun Gambar 2. Perkembangan Luas Areal Kelapa Sawit dari Tahun di Indonesia. Perkebunan Rakyat, Perkebunan Besar Swasta, Perkebunan Besar Negara, Jumlah. Peluang Indonesia masih terbuka lebar untuk meningkatkan devisa melalui ekspor minyak sawit ke pasar dunia dengan tren peningkatan produksi dan konsumsi minyak sawit dunia. Hal ini dikarenakan, konsumsi pada tahun telah menggambarkan tingginya konsumsi minyak sawit pada tahun-tahun yang akan datang. Saat ini banyak negara di dunia yang telah mendirikan pabrikpabrik biodiesel, dimana sebagian besar pabriknya telah beroperasi. Kondisi ini sangat menguntungkan, karena konsumsi minyak sawit di dunia akan terus mengalami peningkatan yang pesat di kemudian hari (Novindra 2011).

25 Ekonomi Konversi Lahan Dalam pandangan ekonomi tanah atau lahan adalah salah satu faktor produksi. Faktor produksi yang berupa tanah itu makin lama makin merupakan barang yang langka. Kondisi tersebut dikarenakan perbandingan jumlah manusia dengan luas lahan pertanian menjadi semakin timpang. Lahan juga merupakan sumberdaya alam yang sangat penting untuk kelangsungan hidup manusia. Lahan digunakan dalam berbagai aktivitas ekonomi pada setiap kegiatan manusia, seperti untuk pertanian, daerah industri, daerah perumahan (real estate), jalan untuk transportasi, daerah rekreasi atau daerah-daerah yang dipelihara kondisi alamnya untuk tujuan ilmiah. Lahan merupakan faktor produksi yang mempunyai peranan sangat penting. Hal ini dapat dilihat dari besarnya balas jasa yang diterima dari lahan dibandingkan dengan faktor-faktor produksi lainnya. Selain itu status penguasaan lahan juga berkaitan dengan keputusan jenis komoditas yang akan diusahakan dan juga berkaitan dengan besar kecilnya bagian yang akan diperoleh dari usahatani yang diusahakan.lokasi dan akses jalan juga berdampak pada nilai ekonomi lahan pertanian ( Mann et al 2010). Cumbie el al (2006) melakukan pendekatan dengan analisis ekonomi terhadap maraknya kegiatan konversi lahan pertanian menjadi tempat wisata pemancingan yang terjadi di Alabama Amerika Serikat. Secara ekonomi, pendapatan yang diperoleh dengan mengelola wisata pemancingan lebih besar dibandingkan dengan pengelolaan lahan pertanian. Hal ini juga berdasarkan hasil analisis kelayakan finansial yang dilakukan pada usaha pertanian dan wisata pemancingan dengan tingkat discount rate sebesar 8 persen, diperoleh nilai NPV positif, IRR lebih besar dari discount rate dan B/C ratio lebih besar dari satu, sehingga kedua kegiatan tersebut layak untuk dikembangkan. Namun, pengusahaan lahan sebagai tempat wisata pemancingan lebih menguntungkan dibandingkan penggunaan lahan hanya untuk kegiatan pertanian. Konversi tanaman kayu manis menjadi kakao dilakukan oleh petani di Kabupaten Kerinci Provinsi Jambi terjadi sejak tahun Ashari (2006) melakukan analisis kelayakan finansial terhadap tanaman kayu manis dan kakao dengan menggunakan beberapa kriteria investasi seperti Net Present Value (NPV), Internal Rate of Return (IRR), Benefit Cost Ratio (B/C rasio) menunjukkan hasil perhitungan bahwa pada tingkat diskonto sebesar persen, kedua tanaman tersebut masih menguntungkan untuk dikembangkan. Namun, pengusahaan tanaman kakao lebih menguntungkan dibandingkan dengan tanaman kayu manis, sehingga dapat dinyatakan bahwa tanaman kakao layak untuk menggantikan tanaman kayu manis. Konversi lahan sawah menjadi kebun kelapa sawit juga marak terjadi di Kabupaten Seluma Provinsi Bengkulu. Dalam rentang waktu , laju konversi lahan sawah mencapai hektar. Hasil penelitian Hamdan (2011) menunjukkan bahwa nilai land rent rata-rata padi sawah sebesar Rp /ha/tahun, sehingga diperoleh nilai PVNR land rent (Present Value Net Return) sebesar Rp /ha untuk komoditas padi sawah. Nilai land rent komoditas kelapa sawit sebesar Rp /ha/tahun dengan nilai PVNR land rent sebesar Rp /ha untuk kelapa sawit. Nilai PVNR land rent kelapa sawit persen lebih tinggi dibandingkan dengan dibandingkan dengan padi

26 sawah. Dengan demikian keputusan petani padi sawah melakukan konversi menjadi tanaman kelapa sawit merupakan keputusan yang logis secara ekonomi. Utomo et al. (1992) menyatakan bahwa alih fungsi lahan atau sering disebut dengan konversi lahan sebagai perubahan penggunaan atau fungsi sebagian atau seluruh kawasan lahan dari fungsinya semula (seperti yang direncanakan) menjadi fungsi lain yang membawa dampak negatif (masalah) terhadap lingkungan dan potensi lahan sendiri. Alih fungsi lahan dalam artian perubahan/penyesuaian peruntukan penggunaan, disebabkan oleh faktor-faktor secara garis besar meliputi keperluan untuk memenuhi kebutuhan penduduk yang makin banyak jumlahnya dan meningkatnya tuntutan akan mutu kehidupan yang lebih baik. Pembangunan yang berkembang pesat dan meningkatnya pertambahan penduduk menyebabkan lahan yang dibutuhkan untuk kegiatan non pertanian juga semakin meningkat. Nilai ekonomi lahan yang lebih tinggi tinggi pada kegiatan non pertanian, seperti untuk permukiman, perdagangan, dan industri dibandingkan pada kegiatan pertanian mengakibatkan meningkatnya perubahan fungsi lahan dari pertanian ke non pertanian. Penelitian Pambudi (2008) di Kabupaten Bogor menunjukkan bahwa pertumbuhan perubahan penggunaan lahan pertanian dalam kurun waktu tujuh tahun mengalami penurunan dengan laju pertumbuhan sebesar persen tiap tahunnya, sedangkan pada lahan pemukiman mengalami penambahan dengan laju pertumbuhan sebesar 3.96 persen tiap tahunnya. Pada hasil perhitungan land rent diketahui bahwa nilai land rent lahan pemukiman lebih besar 79 kali dibandingkan land rent lahan pertanian, sedangkan keuntungan yang tidak diperoleh oleh pihak petani atas hilangnnya kesempatan akibat konsekuensi mereka dalam mempertahankan lahan pertanian (opportunity cost) sebesar Rp /m 2 /tahun. Penelitian yang dilakukan Arief (2003) terhadap kegiatan konversi kebun damar mata kucing di Kabupaten Ogan Komering Ulu Provinsi Sumatera Selatan menunjukkan bahwa motif ekonomi untuk mendapatkan keuntungan yang menjadi faktor utama yang menyebabkan petani mengkonversi tanaman damar menjadi tanaman jeruk. Usaha tani jeruk mampu memberikan pendapatan bersih kepada petani berkisar antara Rp Rp /ha/tahun bila dibandingkan dengan pendapatan dari penjualan getah damar yang hanya berkisar antara Rp Rp /ha/tahun. Dalam proses pemasaran hasil, petani jeruk tidak memerlukan biaya transportani karena pedagang jeruk mendatangi petani jeruk langsung dalam melakukan pembelian jeruk, sedangkan dalam menjual getah damar petani memerlukan biaya transportasi karena tempat pengumpulan getah damar relatif jauh dari tempat tinggal petani. Besarnya biaya transportasi yang dikeluarkan petani sebesar Rp /ha/tahun. Selain itu panen perdana jeruk yang lebih cepat dibandingkan dengan damar serta kemudahan dalam mendapatkan bibit jeruk menyebabkan petani cenderung mengambil keputusan untuk membudidayakan jeruk daripada damar. Irawan (2004), juga mengungkapkan bahwa konversi lahan berawal dari permintaan komoditas pertanian terutama komoditas pangan yang kurang elastis terhadap pendapatan dibanding permintaan komoditas non pertanian. Oleh karena itu, pembangunan ekonomi yang berdampak pada peningkatan pendapatan penduduk cenderung menyebabkan naiknya permintaan komoditas non pertanian dengan laju lebih tinggi dibanding permintaan komoditas pertanian. Konsekuensi 13

27 14 lebih lanjut adalah, karena kebutuhan lahan untuk memproduksi setiap komoditas merupakan turunan dari permintaan komoditas yang bersangkutan, maka pembangunan ekonomi yang membawa kepada peningkatan pendapatan akan menyebabkan naiknya permintaan lahan untuk kegiatan di luar pertanian dengan laju lebih cepat dibanding kenaikan permintaan lahan untuk kegiatan pertanian. Kuantitas atau ketersediaan lahan di setiap daerah relatif tetap atau terbatas walaupun secara kualitas sumberdaya lahan dapat ditingkatkan. Pada kondisi keterbatasan tersebut maka peningkatan kebutuhan lahan untuk memproduksi komoditas tertentu akan mengurangi ketersediaan lahan yang dapat digunakan untuk memproduksi komoditas lainnya. Oleh karena pembangunan ekonomi cenderung mendorong permintaan lahan di luar sektor pertanian dengan laju lebih besar dibanding permintaan lahan di sektor pertanian, maka pertumbuhan ekonomi cenderung mengurangi kuantitas lahan yang dapat digunakan untuk kegiatan pertanian. Pengurangan kuantitas lahan yang dialokasikan untuk kegiatan pertanian tersebut berlangsung melalui konversi lahan pertanian, yaitu perubahan pemanfaatan lahan yang semula digunakan untuk kegiatan pertanian ke pemanfaatan lahan di luar pertanian seperti kompleks perumahan, kawasan perdagangan, kawasan industri, dan seterusnya. 2.4 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Konversi Lahan Menurut Sihaloho (2004), konversi lahan dapat dibagi menjadi tujuh pola atau tipologi yaitu (1) konversi gradual berpola sporadis; dipengaruhi oleh dua faktor utama yaitu lahan yang kurang/tidak produktif dan keterdesakan ekonomi pelaku konversi, (2) konversi sistematik berpola enclave ; dikarenakan lahan kurang produktif, sehingga konversi dilakukan secara serempak untuk meningkatkan nilai tambah, (3) konversi lahan sebagai respon atas pertumbuhan penduduk (population growth driven land conversion); lebih lanjut disebut konversi adaptasi demografi, dimana dengan meningkatnya pertumbuhan penduduk, lahan terkonversi untuk memenuhi kebutuhan tempat tinggal, (4) konversi yang disebabkan oleh masalah sosial (social problem driven land conversion); disebabkan oleh dua faktor yakni keterdesakan ekonomi dan perubahan kesejahteraan, (5) konversi tanpa beban; dipengaruhi oleh faktor keinginan untuk mengubah hidup yang lebih baik dari keadaan saat ini dan ingin keluar dari kampung, (6) konversi adaptasi agraris; disebabkan karena keterdesakan ekonomi dan keinginan untuk berubah dari masyarakat dengan tujuan meningkatkan hasil pertanian, dan (7) konversi multi bentuk atau tanpa bentuk; konversi dipengaruhi oleh berbagai faktor, khususnya faktor peruntukan untuk perkantoran, sekolah, koperasi, perdagangan, termasuk sistem waris yang tidak dijelaskan dalam konversi demografi. Wahyunto et al (2001) menyatakan perubahan penggunaan lahan dalam pelaksanaan pembangunan tidak dapat dihindari. Perubahan tersebut terjadi karena dua hal, pertama adanya keperluan untuk memenuhi kebutuhan penduduk yang makin meningkat jumlahnya dan kedua berkaitan dengan meningkatnya tuntutan akan mutu kehidupan yang lebih baik. Menurut Mc Neill et al (1998), faktor-faktor yang mendorong perubahan penggunaan lahan adalah politik, ekonomi, demografi dan budaya. Selanjutnya pertumbuhan ekonomi, perubahan

28 15 pendapatan dan konsumsi juga merupakan faktor penyebab perubahan penggunaan lahan. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Daulay (2003) di Desa Batu Tunggal Kabupaten Labuhan Batu Provinsi Sumatera Utara menyatakan bahwa faktorfaktor yang memotivasi petani mengkonversi lahan karet ke kelapa sawit adalah 70 persen didominasi oleh faktor coba-coba mengikuti orang lain dan selebihnya disebabkan faktor lain, seperti panen perdana kelapa sawit lebih awal, status sosial petani kelapa sawit lebih tinggi dan lebih tahan terhadap hama penyakit. Wahid (2006), menyatakan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi masyarakat petani untuk mengkonversi lahan karet menjadi lahan sawit di Kabupaten Asahan Provinsi Sumatera Utara lebih didominasi oleh faktor sosial ( tingkat pendidikan dan minat) yang kemudian diikuti oleh faktor ekonomi (tingkat pendapatan dan kemampuan menabung petani). Tingginya tingkat keuntungan yang diperoleh dari usaha perkebunan kelapa sawit membuat banyak perusahaan perkebunan karet di Malaysia mengkonversi tanaman karet mereka menjadi perkebunan kelapa sawit. Dengan tingkat harga rata-rata harga jual karet sebesar RM345 sen/kg, dan produksi sebesar kg/ha, maka perusahaan akan memperoleh keuntungan sekitar RM1 550/ha. Kondisi yang sangat berbeda jika perusahaan mengembangkan perkebunan kelapa sawit. Dengan tingkat produksi sebesar 22.5 ton/ffb/ha, dengan harga jual CPO sebesar RM1 250/ton perusahaan akan memperoleh keuntungan sebesar RM3 200/ha. Selain tingkat keuntungan yang besar, faktor-faktor lain yang menyebabkan perusahaan mengkonversi tanaman karet menjadi kelapa sawit adalah lamanya masa panen awal karet dan keterbatasan tenaga penyadap (Hoong dan San 2000) Menurut Hamdan (2006), ada dua faktor yang mempengaruhi petani dalam mengkonversi lahan sawah menjadi kebun kelapa sawit, yaitu faktor pendorong (push factor) dan faktor penarik (pull factor). Faktor pendorong terdiri dari kendala irigasi, resiko usaha tani padi sawah, dan jumlah tenaga kerja keluarga. Faktor kendala irigasi dan resiko usaha tani berpengaruh positif terhadap kecenderungan konversi lahan, dimana jika ada kendala irigasi dan resiko usaha tani padi semakin tinggi maka peluang petani untuk mengkonversi lahan semakin besar.faktor penarik konversi lahan adalah tingkat harga tandan buah segar (TBS) kelapa sawit, dimana semakin tinggi harga TBS, maka peluang petani melakukan konversi akan semakin besar Faktor-faktor yang mempengaruhi konversi lahan dari analisis kualitatif juga dilakukan oleh Subali (2005). Pada penelitian tersebut dapat diketahui bahwa faktor yang berpengaruh positif terhadap konversi lahan pertanian ke penggunaan non pertanian terdiri dari dua yaitu faktor intern dan ekstern. Faktor intern meliputi tingkat pendidikan, pengalaman kerja, tingkat pendapatan rumahtangga, dan tingkat ketergantungan pada lahan, sedangkan faktor eksternal meliputi investor, pemerintah desa, calo, dan tetangga. Pendekatan dengan menggunakan model empirik juga dilakukan oleh Bukenya (2006) untuk mengkaji penyebab dan kecenderungan terjadinya konversi lahan di Alabama Utara. Dalam model tersebut diasumsikan bahwa perkembangan wilayah akan berdampak terhadap konversi lahan. Faktor-faktor yang diduga mempengaruhi adalah populasi penduduk, pendapatan, luas lahan dan nilai lahan pertanian. Hasil penelitian menunjukkan bahwa peningkatan konversi lahan berhubungan erat dengan

29 16 peningkatan populasi dan pendapatan masyarakat, sedangkan luas dan nilai lahan pertanian tidak memiliki pengaruh yang signifikan. 2.5 Distribusi Pendapatan Usaha Tani Karet dan Kelapa Sawit Analisis distribusi pendapatan dapat dilakukan dengan dua pendekatan, yaitu: (1) analisis distribusi pendapatan personal, untuk mengukur distribusi pendapatan di antara individu-individu dalam suatu masyarakat, dan (2) analisis distribusi pendapatan fungsional, yang mengukur distribusi pendapatan antara faktor-faktor produksi dalam suatu proses produksi (Soejono 1977 dalam Hutagaol 1985). 1. Distribusi Pendapatan Personal atau Institusional Distribusi pendapatan personal atau institusional adalah merupakan ukuran yang paling umum digunakan oleh para ekonom. Ukuran ini hanya berkaitan dengan masing-masing individu atau satu kelompok masyarakat dan jumlah penghasilan yang mereka terima. Besarnya pendapatan personal yang diterima oleh masing-masing individu atau kelompok masyarakat, sangat tergantung dari kepemilikan faktor produksi. Individu dapat memberikan jasa tenaga kerja, keterampilan (manajemen), dan modal yang dimilikinya dalam suatu proses produksi. Imbalan terhadap digunakannya faktor produksi milik individu atau kelompok masyarakat itulah yang diterima sebagai pendapatan personal. Imbalan yang diterima oleh setiap individu atau kelompok masyarakat, dapat berupa : (1) upah atau gaji, sebagai balas jasa atas penggunaan faktor produksi dalam suatu proses produksi, (2) laba, deviden, bunga, sewa, dan lain sebagainya, atas imbalan penggunaan modal atau kapital, dan (3) pendapatan lain, atas imbalan yang dibayarkan untuk kepemilikan faktor produksi lainnya. 2. Distribusi Pendapatan Fungsional Distribusi pendapatan fungsional ini menjelaskan distribusi pendapatan yang diterima oleh masing-masing faktor produksi yang digunakan dalam proses produksi. Besarnya kecilnya pendapatan ini tergantung dari seberapa besar atau seberapa banyak faktor produksi yang digunakan, selain juga ditentukan oleh faktor harga faktor produksi. Dalam melakukan analisis distribusi pendapatan fungsional ini, produksi total dibagi habis dalam faktor produksi yang digunakan. Ada dua faktor produksi yang digunakan yaitu modal dan tenaga kerja. Perubahan dalam pemakaian faktor produksi akan menyebabkan perubahan dalam distribusi pendapatan faktorial atau fungsional. Selanjutnya, pendapatan yang diterimakan kepada masing-masing faktor produksi tersebut akan diterima oleh pemilik faktor produksi. Pengukuran distribusi pendapatan fungsional dapat dilakukan dengan metode akuntansi dan dengan menggunakan fungsi produksi guna memperoleh andil faktor (factor share) dari setiap faktor produksi yang digunakan. Metode akuntansi dalam menghitung andil faktor setiap masukan (faktor produksi) memerlukan data mengenai jumlah faktor produksi yang digunakan dalam proses produksi dan balas jasa yang diterima oleh setiap faktor tersebut. Dalam perhitungannya, nilai produksi dialokasikan kepada setiap faktor produksi sebagai balas jasa dari penggunaan faktor produksi tersebut. Balas jasa terhadap faktor produksi ini, merupakan pendapatan dari masing-masing faktor tersebut, atau yang disebut sebagai pendapatan faktorial.

30 17 3 KERANGKA PENELITIAN Pada umumnya petani perkebunan rakyat di Indonesia memiliki karakteristik (1) mengelola usahataninya secara swadaya atau sebagai petani plasma, (2) memiliki posisi tawar yang lemah, (3) modal terbatas, (4) manajemen pengelolaan kebun sederhana, (5) penggunaan teknologi seadanya, dan (6) produk yang dihasilkan dijual dalam bentuk raw materials. Petani perkebunan karet rakyat dalam mengelola usahataninya bertujuan untuk memperoleh keuntungan. Namun dalam mencapai tujuan, petani menghadapi beberapa kendala. Kendalakendala yang umum dihadapi petani karet di Kabupaten Muaro Jambi adalah banyaknya tanaman yang melebihi umur ekonomis, rusak, tidak produktif dan penggunaan bibit sapuan serta kondisi kebun yang menyerupai hutan sehingga menyebabkan rendahnya produktivitas tanaman karet. Kondisi ini yang kemudian berdampak terhadap menurunnya pendapatan petani karet. Untuk mengatasinya petani karet dihadapkan kepada keputusan melakukan peremajaan/replanting atau mengkonversi tanaman karet miliknya menjadi tanaman perkebunan lain, seperti kelapa sawit. Kegiatan peremajaan maupun konversi tanaman memerlukan penilaian investasi. Penilaian investasi tersebut dengan membandingkan sejumlah uang yang telah dikorbankan oleh petani untuk membeli input atau sarana produksi. Uang yang telah dikeluarkan merupakan biaya yang harus dikeluarkan petani pada saat ini. Input atau sarana produksi kemudian akan diproses dengan kegiatan budidaya yang baik sehingga menghasilkan sejumlah produk yang diharapkan. Hasil penjualan produk tersebut mendatangkan sejumlah uang yang diterima petani sebagai manfaat pada masa yang akan datang. Dalam hal ini yang diperlukan adalah perbandingan nilai uang yang hanya dapat dilakukan pada waktu yang bersamaan atau untuk tahun yang sama. Untuk itu suatu kegiatan investasi harus menggunakan faktor potongan (discounting factor) dan faktor pengganda (compounding factor). Dasar penggunaan discount factor dan compound factor adalah bahwa pada kenyataannya nilai uang pada saat ini tidak sama dengan nilai uang pada sepuluh tahun yang lalu. Begitu juga nilai uang pada sepuluh tahun yang akan datang. Petani sebagai pelaksana dan pengambil keputusan dalam kegiatan usahataninya harus mampu menentukan pilihan yang tepat dengan keterbatasan sumberdaya yang dimilikinya. Dengan demikian diperlukan suatu perencanaan, pembiayaan dan pelaksanaan yang disesuaikan dengan tujuan yang ingin dicapai. Untuk mendapatkan informasi yang tepat apakah suatu kegiatan layak untuk dilaksanakan perlu dilakukan analisis biaya manfaat. Pada hakekatnya analisis proyek berguna sebagai alat ukur yang dapat menaksir dan merumuskan biaya dan manfaat suatu proyek. Analisis proyek memberikan gambaran mengenai pengaruh-pengaruh investasi yang diusulkan terhadap para peserta dalam suatu proyek apakah perusahaan-perusahaan swasta, petani, perusahaan pemerintah atau masyarakat luas. Analisis proyek bertujuan untuk memperbaiki pemilihan investasi karena sumbersumber yang tersedia untuk pembangunan ialah terbatas, maka perlu sekali diadakan pemilihan antara berbagai macam proyek. Kesalahan dalam memilih proyek dapat mengakibatkan pengorbanan terhadap sumber-sumber yang langka. Ada beberapa kriteria investasi yang dapat digunakan untuk menilai layak atau tidak layaknya suatu kegiatan dilaksanakan. Penilaian tersebut dilihat dari sisi profitabilitas komersialnya. Kriteria investasi yang biasa digunakan untuk menghitung kelayakan proyek, antara lain adalah Net Present Value (NVP), Internal

31 18 Rate of Return (IRR), dan Net B/C Ratio. Ketiga kriteria investasi tersebut memiliki kesamaan yaitu memperhatikan aliran kas.penelitian ini menggunakan analisis finansial mengingat petani adalah bagian masyarakat yang mengusahakan tanaman perkebunan yang memiliki dana yang terbatas untuk pengelolaannya Tingkat efisiensi dari proyek dapat diukur berdasarkan keuntungan finansial yang diperoleh. Selain itu kegiatan konversi tanaman yang dilakukan petani akan berdampak terhadap penggunaan input dalam usaha tani sehingga perlu dilihat dengan membandingkan besarnya proporsi keuntungan yang diterima oleh masing-masing pelaku usaha tani karet dan kelapa sawit. Untuk lebih jelasnya mengenai kerangka pemikiran dapat dilihat dalam Gambar 1. Konversi Lahan Tanaman Karet - Tanaman tua dan rusak - Panen perdana lama - Rentan terhadap penyakit - Frekuensi panen harian Tanaman Kelapa Sawit - Produktivitas tinggi - Panen perdana cepat - Tahan terhadap penyakit - Frekuensi panen mingguan Tanaman karet Tanaman Kelapa Sawit Input Proses Output Input Proses Output t Biaya Penerimaan Biaya Penerimaan Analisis Faktor yang Mempengaruhi Analisis Ekonomi Analisis Distribusi pendapatan Evaluasi Hasil Gambar 4. Kerangka Pikir Penelitian

32 19 4 METODE PENELITIAN 4.1 Penentuan Lokasi Penelitian Penelitian ini dilakukan di Kecamatan Jambi Luar Kota Kabupaten Muaro Jambi. Penetuan daerah penelitian dilakukan secara sengaja (purposive) dengan pertimbangan Kabupaten Muaro Jambi merupakan kabupaten yang mengalami laju penurunan luas areal kebun karet rakyat terbesar, sedangkan Kecamatan Jambi Luar Kota dipilih karena merupakan salah satu daerah produksi karet yang mengalami konversi menjadi kebun kelapa sawit. Penelitian ini dilakukan selama dua bulan, dari bulan Februari 2013 sampai dengan bulan Maret Jenis dan Sumber Data Penelitian ini menggunakan data primer dan sekunder. Data primer diperoleh dari wawancara dengan responden penelitian, yaitu petani karet dan petani kelapa sawit. Wawancara juga dilakukan dengan pihak terkait yang dapat memberi informasi mengenai kegiatan usaha tani karet dan kelapa sawit, seperti petugas penyuluh lapangan, kelompok tani dan aparat pemerintah setempat. Data sekunder diperoleh dari hasil-hasil penelitian, laporan, peta, dan data statistik dari dinas dan instansi terkait yang telah dipublikasikan kepada masyarakat. Jenis-jenis data yang dibutuhkan dalam penelitian ini disajikan pada Tabel Metode Pengambilan Sampel Petani yang dijadikan sampel dalam penelitian ini adalah petani yang mengusahakan tanaman karet dan tanaman kelapa sawit ditiga desa, yaitu Desa Muhajirin, Desa Muaro Sebo dan Desa Sungai Bertam. Desa-desa tersebut merupakan sentra usaha tani karet dan kelapa sawit di Kecamatan Jambi Luar Kota Kabupaten Muaro Jambi. Populasi petani karet dan populasi petani kelapa sawit disetiap desa memiliki peluang yang sama untuk dijadikan sampel. Penyusunan sampling frame (kerangka sampel) disetiap desa dilakukan untuk memilih petani sampel. Metode pengambilan petani sampel dilakukan secara acak sederhana (simple random sampling). Adapun jumlah sebaran petani sampel dapat dilihat pada Tabel 1. Tabel 1 Sebaran sampel petani karet dan kelapa sawit di Kabupaten Muaro Jambi Nama desa Jumlah petani (orang) Karet Kelapa sawit Total Desa Muhajirin Desa Muaro Sebo Desa Sungai Bertam Total Sumber : data primer 2013 Pertimbangan yang dilakukan dalam pengambilan sampel petani karet sebagai pembanding dalam penelitian ini, yaitu keterbatasan data mengenai kegiatan usaha tani karet yang pernah dilakukan oleh sampel petani kelapa sawit

33 20 sekarang. Hal ini dikarenakan kegiatan usaha tani karet yang pernah mereka lakukan sudah relatif lama ditinggalkan (> 10 tahun), sehingga data yang diberikan petani dimungkingkan kurang valid/bias. Tabel 2 Jenis, sumber data dan metode analisis Tujuan Jenis data Sumber data Metode analisis Nilai keuntungan usaha tani karet dan kelapa sawit Faktor-faktor yang mempengaruhi konversi kebun Pengaruh terhadap pendapatan konversi distribusi Primer Dinas/instansi terkait Responden Sekunder Publikasi dan laporan tahunan dari dinas dan instansi terkait. Primer Dinas/instansi terkait Responden Sekunder Punlikasi dan laporan tahunan dari dinas dan instansi terkait. Primer Dinas/instansi terkait Responden Sekunder Publikasi dan laporan tahunan dari dinas dan instansi terkait. Analisis Tani Kelayakan Finansial Analisis logistik Usaha dan regresi Analisis distribusi pendapatan 4.4 Metode Analisis Data Analisis data dilakukan dengan cara mengolah data yang didapat untuk mencapai tujuan dalam penelitian ini yang meliputi : (1) analisis deskriptif, (2) analisis usaha tani dan finansial perkebunan karet dan kelapa sawit, (3) analisis regresi logistik dan (4) analisis distribusi pendapatan petani karet dan kelapa sawit Analisis Deskriptif Analisis deskriptif dilakukan untuk mendeskripsikan laju kegiatan konversi kebun karet ke kelapa sawit yang terjadi. Data laju konversi ini bersumber dari data primer maupun data sekunder yang berupa publikasi dari dinas/instansi terkait. Laju konversi kebun dapat dilihat dari luas pembukaan perkebunan untuk tanaman karet, sedangkan jika penurunan luas perkebunan karet lebih besar dari pembukaan perkebunan baru maka telah terjadi kegiatan konversi. Selain laju konversi, proses konversi kebun yang terjadi juga digambarkan dalam analisis, baik yang dilakukan oleh perusahaan maupun perkebunan rakyat.

34 Analisis Usaha Tani dan Finansial Perkebunan Karet dan Kelapa Sawit 1. Analisis Pendapatan Untuk melihat keberhasilan petani dalam mengelola usaha tani yang dilakukan adalah peningkatan pendapatan yang diperoleh dari kegiatan usaha taninya. Analisis pendapatan ini mempunyai kegunaan bagi petani maupun bagi pemilik faktor produksi. Ada dua tujuan utama dari analisis pendapatan, yaitu untuk menggambarkan keadaan sekarang suatu kegiatan usaha dan untuk menggambarkan keadaan yang akan datang dari perencanaan atau tindakan. Bagi seorang petani, analisis pendapatan untuk mengukur apakah kegiatan usahanya pada saat ini berhasil atau tidak. Analisis pendapatan usaha tani karet dan kelapa sawit terdiri dari dua bagian, yaitu keadaan penerimaan dan keadaan pengeluaran selama usaha tani dijalankan selama jangka waktu selama 25 tahun. Penerimaan yang diperoleh dari produk total dikalikan dengan harga penjualan di tingkat petani. Rumus pendapatan usaha tani adalah sebagai berikut: TR = Py. Qy TC = TFC + TVC π = TR TC (4.1) dimana : π = keuntungan (Rp) Py = harga ouput (Rp) Qy = jumlah output (Kg) TR = penerimaan total (Rp) TC = biaya total (Rp) TFC = biaya tetap total(rp) TVC = biaya variabel total (Rp) Penerimaan usaha tani merupakan nilai produksi yang diperoleh oleh produk total dikalikan dengan harga jual di tingkat petani. Jumlah produksi total disini menggambarkan hasil penjualan produk yang akan dijual, juga hasil penjualan produk sampingan. Biaya dalam usaha tani dapat dibedakan menjadi dua, yaitu biaya tunai dan biaya yang diperhitungkan. Biaya tunai merupakan pengeluaran tunai yang dikeluarkan petani sendiri seperti untuk pembelian sarana produksi dan pengembalian kredit beserta bunganya. Biaya tunai dapat dikelompokkan menjadi biaya tetap dan biaya variabel. Biaya tetap adalah biaya yang sifatnya tidak dipengaruhi oleh besarnya produksi dan sifat penggunaannya tidak habis terpakai dalam satu kali proses produksi. Biaya tetap terdiri dari pajak, bunga pinjaman dan sewa lahan. Biaya tetap ini harus dikeluarkan walaupun tidak melakukan produksi. Biaya variabel merupakan biaya yang berhubungan langsung dengan jumlah produksi, seperti biaya pembelian bibit, pupuk, obatobatan dan upah tenaga kerja. Biaya yang diperhitungkan adalah biaya yang dibebankan kepada usaha tani untuk penggunaan tenaga kerja dalam keluarga, dan penyusutan alat-alat. Biaya ini digunakan untuk menghitung berapa sebenarnya pendapatan kerja petani jika biaya modal, sewa lahan dan nilai tenaga kerja dalam keluarga diperhitungkan. Tenaga kerja dalam keluarga dinilai berdasarkan upah yang berlaku pada waktu

35 22 anggota keluarga menyumbang kerja pada usaha tani tersebut. Lahan yang digunakan petani diperhitungkan sebagai lahan sewa yang berdasarkan rata-rata biaya sewa di daerah penelitian. Biaya yang diperhitungkan biasa disebut biaya tidak tunai. 2. Analisis Kelayakan Finansial Untuk melihat secara keseluruhan investasi yang dimiliki oleh petani dalam kegiatan usaha tani karet dan kelapa sawit dilakukan analisis dari aspek finansial. Kriteria kelayakan investasi dari aspek finansial pada usaha tani karet dan kelapa sawit dilihat dari nilai-nilai NPV, IRR, dan B/C Ratio. Penggunaan kriteria tersebut dalam menentukan tingkat kelayakan usaha tani karet dan kelapa sawit sebagai upaya untuk melihat keadaan usaha dan tingkat kemampuannya pada kondisi yang dinamis atas nilai investasi yang ditanamkan petani dalam menghasilkan keuntungan sehingga layak/tidak untuk dikembangkan. Analisis dilakukan dengan tingkat suku bunga sebesar 5.25 persen. Tingkat suku bunga 5.25 persen merupakan tingkat suku bunga deposito bank pada tahun Alasan pemilihan tingkat suku bunga sebesar 5.25 persen adalah diasumsikan bahwa petani dihadapkan pada pilihan apakah hendak menginvestasikan uangnya pada proyek usaha tani karet dan kelapa sawit atau menginvestasikan pada bank. a. Net Present Value (NPV) Metode Net Present Value (NVP) adalah metode analisis yang digunakan untuk menghitung selisih antara penerimaan dan biaya terhadap besarnya suku bunga atau analisis yang sudah mempertimbangkan faktor diskonto pada waktuwaktu tertentu. Discount rate yang dipergunakan adalah tingkat suku bunga deposito yang harus dibayar investor. Dalam studi kelayakan proyek, yang dimaksud dengan nilai saat ini adalah nilai pada saat proyek selesai dibangun. Menurut Nurmalina et al (2011), cara menghitung NPV adalah sebagai berikut : n Bt Ct NPV (4.2) t (1 i dimana : t 1 ) B t = penerimaan pada tahun ke t per hektar per tahun C t = biaya pengeluaran pada tahun ke t per hektar per tahun r = sosial discount rate. dalam perhitungan ini dipakai angka 5.25 persen per tahun n = umur ekonomis proyek dalam perhitungan dipergunakan selama 25 tahun NPV terdapat tiga kriteria kelayakan invastasi, yaitu jika NVP > 0, maka proyek menguntungkan dan layak untuk dilaksanakan, dan jika NVP < 0, maka proyek ini merugikan karena keuntungan lebih kecil dari biaya jadi lebih baik tidak dilaksanakan. Jika NVP = 0, maka proyek tidak untung tetapi juga tidak rugi, jadi tergantung penilaian subjektif pengambil keputusan.

36 23 b. Internal Rate of Return (IRR) Internal Rate of Return (IRR) adalah tingkat discount rate yang menghasilkan NVP sama dengan 0. IRR merupakan tingkat rata-rata keuntungan intern tahunan bagi perusahaan yang melakukan investasi dan dinyatakan dalam satuan persen (Gittinger 1986). Besaran yang dihasilkan dalam perhitungan ini adalah dalam satuan persen. Suatu proyek atau kegiatan investasi dikatakan layak apabila nilai IRR > dari tingkat discount rate yang ditentukan. Sebaliknya jika nilai IRR < dari tingkat discount rate, maka proyek tidak layak untuk dilaksanakan. Rumus untuk menghitung IRR adalah sebagai berikut : IRR = i tr + dimana : i tr i NPV i tr NPV i tt c. Benefit Cost Ratio = bunga modal terendah = selisih bunga modal tertinggi dan terendah = perhitungan NPV dengan bunga terendah = perhitungan NPV dengan bunga tertinggi B/C Ratio merupakan angka perbandingan antara nilai kini arus manfaat dengan nilai sekarang arus biaya. Kriteria yang digunakan untuk pemilihan ukuran B/C ratio dari manfaat adalah memilih semua proyek yang nilai B/C rasio sebesar 1 atau lebih atau jika arus manfaat dan biaya didiskontokan pada tingkat biaya opportunitas kapital. Secara matematis rumus yang digunakan dalam perhitungan B/C rasio dapat dinyatakan sebagai berikut : dimana : NPVitr NPV NPV n itr itt x i (4.3) n Bn(1 i) B/C ratio = t 1 (4.4) (4.4) n t 1 Cn(1 i) n B n C n i n t = manfaat pada waktu ke-n = biaya pada waktu ke-n = tingkat suku bunga sebesar 5.25 persen = waktu selama 25 tahun = waktu Analisis Faktor-faktor yang Mempengaruhi Konversi Jika variabel dependen Y berupa data kualitatif dapat digunakan model logit atau logistik. Model logit adalah model yang dikembangkan dari model LPM (Linear Probability Model) dimana data Y terdiri dari 0 dan 1. Dalam model logitdata terdiri dari 0 dan 1 diubah sedemikian rupa sehingga menjadi data interval. Regresi logistik terdiri dari regresi logistik biner dan regresi logistik multinomial.

37 24 Regresi logistik biner digunakan saat variabel dependen merupakan variabel dikotomus (kategorik dengan 2 macam kategori), sedangkan Regresi Logistik Multinomial digunakan saat variabel dependen adalah variabel kategorik dengan lebih dari 2 kategori. Analisis regresi logistik (logit) biner dilakukan terhadap variabel bebas yang diduga sebagai faktor yang mempengaruhi konversi kebun karet menjadi kebun kelapa sawit. Secara spesifik model logit diturunkan berdasarkan fungsi peluang menjadi sebagai berikut (Gujarati, 2004) : Pi = E(y = 1/X i ) = β 1 + β2x i ) (4.5) Untuk merepresentasikan peluang untuk variabel bebas pada persamaan 4.5 diatas menjadi: 1 (β 1+ β 2X i) (4.6) Pi = E(y = 1/X i ) = 1+ e dimana: Pi = peluang prediksi e = logaritma natural (e = 2.718) β = intersep β i = koefisien regresi X i = nilai rata-rata paramer Untuk mudahnya eksposisi dapat ditulis sebagai berikut: 1 = e Z 1+ e Zi Pi = 1+ e Z (4.7) Jika Pi, nilai rasio kemungkinan terjadi suatu peristiwa dan (1 Pi), nilai kemungkinan tidak terjadinya peristiwa, maka: 1 1 Pi = 1+e Zi (4.8) Pada persamaan 4.8 dapat dituliskan: Pi e Zi =1+ = 1 Pi 1+ e Zi ezi (4.9) Selanjutnya pada persamaan 4.9 ditransformasi dengan logaitma naturalnya, maka diperoleh: P Li ln Z i = β 0 + β 1 X 1 + β 2 X β 4 X 4 + β 5 D β 7 D (4.10) 1 P dimana : Z i β 0 = peluang petani dalam mengelola kebun karet ( 1= kebun dikonversi menjadi kebun kelapa sawit dan 0 = kebun tidak dikonversi) = intersep β 1,.. β n = koefisien regresi X 1 = umur X 2 = pendidikan X 3 = luas lahan X 4 = frekuensi sadap karet = dummy resiko usaha tani karet D 1

38 25 D 2 D 3 = dummy ketersediaan sarana produksi = dummy pendapatan lain Untuk menguji signifikasi dari parameter dalam model digunakan Uji Rasio Likelihood dan Uji Wald. Uji Rasio Likelihood digunakan untuk menguji signifikansi koefisien parameter dari model secara keseluruhan, sedangkan uji wald digunakan untuk menguji signifikansi dari masing-masing koefisien parameter dari model. Parameter dari model logit dapat diinterpretasikan dengan cara yang sama seperti OLS, yaitu dengan gradien/slope (parameter β). Gradien ini diinterpretasikan sebagai perubah logit (p) akibat perubahan satu unit variabel x. Dengan kata lain, β menggambarkan perubahan dalam log odds dari adanya perubahan satu unit x. Parameter α menunjukkan nilai logit (p) akibat ketika x = 0 atau log odds dari keadaan x = 0. Standard error dari logit disebut ASE (Assymtotic Standard Error) Analisis Distribusi Pendapatan Usaha Tani Karet dan Kelapa Sawit Untuk mengetahui distribusi pendapatan petani karet dan kelapa sawit, digunakan analisis factor share and erner share atau yang lebih dikenal dengan pendekatan akuntansi. Pemilihan metode ini didasarkan pada pertimbangan bahwa metode ini telah sering dan lazim digunakan dalam penelitian-penelitian dalam menelaah pengaruh teknologi pertanian terhadap distribusi pendapatan. Pendekatan ini akan memperhatikan siapa pemilik dari masing-masing input sehingga factor share akan dapat diubah menjadi earner share. Hal ini berarti analisis distribusi pendapatan personal dilakukan secara tidak langsung. Cara tidak langsung ini memiliki banyak kelemahan, terutama untuk kasus di Indonesia. Seseorang atau individu dapat memiliki lebih dari satu jenis input dalam proses produksi. Jika hal ini terjadi, maka hasil perhitungan tidak menggambarkan keadaan yang sebenarnya. Namun demikian, cara ini sering digunakan untuk mengetahui gambaran makro secara kasar, khususnya untuk melihat pengaruh perubahan teknologi pertanian terhadap distribusi pendapatan (Hutagaol 1985). Definisi dan konsep pengukuran yang belum baku dalam metode ini, Hutagaol (1985) juga memberikan definisi dalam pengukuran distribusi pendapatan sebgai berikut : 1. Input. Input yang digunakan dibagi kedalam empat kelompok, yaitu : a. Input langsung, yaitu semua input yang digunakan kecuali tenaga kerja (manusia), lahan dan manjemen. b. Tenaga kerja, yaitu tenaga kerja yang digunakan dalam proses produksi di tingkat usaha tani baik untuk kegiatan prapanen maupun panen. Tenaga kerja tersebut dapat bersumber dari dalam maupun luar keluarga. c. Lahan, yaitu semua lahan yang digunakan dalam proses produksi, baik yang berasal dari milik sendiri maupun dari milik orang lain berdasarkan sewa atau bagi hasil. d. Manajemen, dalam hal ini yang dimaksudkan adalah input selain ketiga input diatas.

39 26 2. Pemilik input. Berdasarkan pengelompokkan input diatas, maka pemilik input tersebut dapat dikelompokkan menjadi empat, yaitu : a. Pemilik input langsung, dalam hal ini yang dimaksudkan adalah perorangan, kelompok ataupun lembaga yang menyediakan input tersebut. b. Pemilik lahan, perorangan, kelompok ataupun lembaga yang memiliki lahan yang digarap, baik yang digarap sendiri maupun digarap orang lain. c. Tenaga kerja upahan (tenaga kerja luar keluarga), yaitu semua tenaga kerja luar keluarga yang digunakan baik untuk kegiatan prapanen ataupun panen. Dalam perhitungan operator traktor dan ternak tidak dimasukkan dalam perhitungan input langsung. d. Penggarap adalah petani dan keluarganya yang menggarap lahan usaha tani. Selanjutnya, konsep pengukuran untuk masing-masing pembayaran adalah : a. Pembayaran untuk input langsung, sama dengan nilai pengeluaran untuk pupuk, obat-obatan, bibit, iuran irigrasi, sewa traktor dan ternak, serta pajak. b. Pembayaran untuk lahan, sama dengan nilai sewa lahan, atau bagi hasil setelah dikurangi dengan nilai input yang menjadi tanggung jawab pemilik lahan. c. Pembayaran untuk tenaga kerja, sama dengan nilai pembayaran untuk tenaga kerja luar keluarga ditambah dengan nilai yang diperhitungkan sebagai upah tenaga kerja dalam keluarga. Dalam perhitungan, biaya per unittenaga kerja dalam keluarga sama dengan tenaga kerja luar keluarga. d. Pembayaran untuk manajemen, sama dengan nilai total output dikurangi dengan nilai pembayaran untuk (a), (b) dan (c) tersebut diatas. e. Pembayaran untuk pemilik input langsung, sama dengan nilai pembayaran untuk input langsung. f. Pembayaran untuk pemilik lahan, sama dengan nilai pembayaran untuk lahan. g. Pembayaran untuk tenaga kerja upahan, sama dengan nilai pembayaran untuk tenaga kerja luar keluarga. h. Pembayaran untuk penggarap, sama dengan nilai pembayaran untuk manajemen ditambah dengan nilai yang diperhitungkan sebagai upah tenaga kerja dalam keluarga, ataupun sama dengan nilai total output dikurangi dengan (e), (f) dan (g). Distribusi pendapatan dapat dilihat dari dua aspek, yaitu: (1) distribusi pendapatan absolute (absolute share), dan (2) distribusi pendapatan relatif (relative share). Aspek pertama dimaksudkan untuk mengetahui bagaimana perubahan pendapatan absolut didistribusikan di antara input dan pemilik input. Pendekatan pada aspek kedua dimaksudkan untuk mengatahui jenis input dan pemilik input mana yang lebih diuntungkan. Metode perhitungan distribusi pendapatan usaha tani dapat dilakukan dengan uji beda menurut kelompok yang sudah dibagi berdasarkan pengusahaan tanaman. 4.5 Asumsi Dasar yang Digunakan Asumsi dasar yang digunakan dalam penelitian ini adalah : 1. Umur proyek ditentukan berdasarkan umur ekonomis tanaman karet dan kelapa sawit, yaitu 25 tahun. 2. Populasi tanaman per hektar tetap jumlahnya dan umurnya sama artinya penggantian sebagian tanaman karet dengan tanaman kelapa sawit yang dilakukan petani sama dengan umur tanaman kelapa sawit yang ditanam pada tahun pertama.

40 27 3. Seluruh biaya investasi dikeluarkan pada tahun nol. Selain itu biaya-biaya lain yang dikeluarkan adalah biaya operasional dan biaya lain-lain. 4. Harga yang digunakan adalah harga konstan. Harga jual dan harga input merupakan harga yang berlaku pada saat penelitian dilakukan yaitu pada tahun Dalam perhitungan cash flow, semua produksi yang dihasilkan petani terserap pasar. 6. Tingkat suku bunga yang digunakan adalah 5.25 persen per tahun (rata-rata tingkat suku bunga deposito berjangka satu tahun per Maret 2013) 7. Sumber modal seluruhnya yang digunakan merupakan modal sendiri. 8. Penyadapan tanaman karet dilakukan empat kali seminggu dan panen TBS (tandan buah segar) kelapa sawit dilakukan dua minggu sekali 4.6 Definisi Operasional 1. Petani karet adalah seseorang yang menanam tanaman karet pada lahan milik sendiri dan menyadapnya sendiri. 2. Petani kelapa sawit adalah seseorang yang menanam kelapa sawit pada lahan yang sebelumnya merupakan kebun karet pada lahan sendiri secara swadaya. 3. Perkebunan karet adalah lahan yang ditanami tanaman karet oleh petani dengan melakukan kegiatan perawatan dan pemeliharaan tanaman 4. Perkebunan kelapa sawit adalah lahan yang ditanami kelapa sawit pada lahan yang sebelumnya merupakan kebun karet dengan melakukan kegiatan perawatan dan pemeliharaan tanaman 5. Luas lahan garapan adalah luas lahan yang dikerjakan petani untuk usaha perkebunan karet dan kelapa sawit (ha). 6. Pupuk buatan adalah pupuk kimia yang terbuat dari bahan-bahan kimia hasil produksi pabrik antara lain : pupuk Urea, SP-36 dan KCL (Rp/kg) 7. Pupuk organik adalah pupuk yang terbuat dari bahan-bahan organik dan kotoran hewan (Rp/kg). 8. Harga tenaga kerja adalah upah yang diberikan pada pekerja untuk selama satu hari waktu orang kerja. Satu hari orang kerja sama dengan delapan jam kerja (Rp/HOK). 9. Harga lahan adalah harga lahan yang masih belum ditanami atau diolah untuk kegiatan pertanian yang berlaku dilokasi penelitian (Rp/ha) 10. Harga sewa lahan adalah nilai sewa lahan yang berlaku dilokasi penelitian pada saat pelaksanaan usaha tani dalam jangka waktu satu tahun (Rp/ha/tahun). 11. Harga ditingkat petani adalah harga jual getah karet dan tandan buah segar petani (Rp/kg). 12. Umur tanaman adalah umur tanaman sejak ditanama di kebun. Umur tanaman diukur dengan satuan tahun. 13. Pengalaman petani diukur berdasarkan lamanya petani melakukan usaha tani karet dan kelapa sawit, diukur dalam satuan tahun. 14. Tenaga kerja untuk usaha tani adalah jumlah total alokasi waktu yang dicurahkan dalam pelaksanaan usaha tani karet dan kelapa sawit, dengan tenaga kerja manusia, baik dari dalam keluarga maupun luar keluarga selama satu tahun (HOK).

41 28 5 GAMBARAN UMUM OBYEK PENELITIAN 5.1 Keadaan Umum Daerah Penelitian Kabupaten Muaro Jambi merupakan daerah pemekaran dari Kabupaten Batanghari, berdasarkan Undang-Undang Nomor 54 Tahun 1999 dan secara de facto kegiatan pemerintahan efektif berjalan terhitung tanggal 12 Oktober Wilayah Kabupaten Muaro Jambi berada pada posisi strategis karena disamping sebagai daerah yang mengelilingi kota Jambi, juga merupakan center point pertemuan lintas timur dan penghubung lintas barat Sumatera. Posisi ini sangat menguntungkan secara ekonomis karena akan memacu pertumbuhan perekonomian daerah. Luas wilayah Kabupaten Muaro Jambi adalah Km 2. Wilayah Kabupaten Muaro Jambi meliputi eks wilayah pembantu Kabupaten Batanghari wilayah timur yang meliputi 6 kecamatan dan sampai sekarang berkembang menjadi 11 kecamatan dengan 146 desa dan 5 kelurahan. Secara geografis Kabupaten Muaro Jambi terletak diantara 1 o 15 2 o 20 Lintang Selatan dan diantara 103 o o 20 Bujur Timur. Batas-batas wilayah Kabupaten Muaro Jambi adalah sebelah Utara dan Timur berbatasan dengan Kabupaten Tanjung Jabung Timur, sebelah Selatan dengan Provinsi Sumatera Selatan dan sebelah Barat dengan Kabupaten Batanghari dan Kabupaten Tanjung Jabung Barat. Luas wilayah per kecamatan disajikan pada Gambar 5. Keadaan iklim Kabupaten Muaro Jambi bertemperatur sedang dan suhu tertinggi terjadi pada bulan Mei dengan rata-rata C. rata-rata suhu udara tertinggi per tahun adalah C dan terendah C. Kelembaban udara rata-rata per bulan 85 persen dengan kelembaban tertinggi pada bulan Juni yaitu 90.5 persen dengan penguapan ratarata 3.35mm/hari. Dalam satu tahun rata-rata terdapat 18 hari curah hujan dengan hari hujan tertinggi terdapat pada bulan Maret sebanyak 22 hari hujan (BPS 2010). Jambi Luar Kota Taman Rajo Sekernan Mestong Sungai Bahar Bahar Selatan Bahar Utara Kumpeh Ulu Maro Sebo Sungai Gelam Kumpeh Gambar 5 Luas Daerah Menurut Kecamatan di Kabupaten Muaro Jambi

42 29 Berdasarkan hasil registrasi penduduk oleh Badan Pusat Statistik Kabupaten Muaro Jambi tahun 2011, jumlah penduduk Kabupaten Muaro Jambi adalah jiwa, yang terdiri dari laki-laki sebanyak jiwa dan perempuan sebanyak jiwa dengan perbandingan penduduk laki-laki dan perempuan (sex ratio) sebesar , serta kepadatan penduduknya sebesar jiwa/km 2. Rata-rata laju pertumbuhan penduduk Kabupaten Muaro Jambi dari tahun sebesar 3.34 persen. Laju pertumbuhan penduduk di Kabupaten Muaro Jambi tertinggi diantara seluruh kabupaten dan kota di Provinsi Jambi. Laju pertumbuhan penduduk Provinsi Jambi hanya 1.83 persen Kecamatan yang memiliki jumlah penduduk terbesar adalah Kecamatan Jambi Luar Kota sebanyak jiwa atau persen, diikuti oleh Kecamatan Sungai Gelam sebanyak jiwa atau persen. Kecamatan dengan jumlah jumlah penduduk terkecil adalah Kecamatan Taman Rajo dengan jumlah penduduk sebanyak jiwa atau 3.34 persen. Tabel 3 Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) atas dasar harga konstan Kabupaten Muaro Jambi tahun (dalam jutaan rupiah) No. Lapangan usaha Pertanian a. Tanaman bahan makanan b. Tanaman perkebunan c. Peternakan dan hasilnya d. Kehutanan e. Perikanan Pertambangan dan penggalian 3. Industri pengolahan 4. Listrik, gas dan air bersih 5. Bangunan Perdagangan, hotel dan restoran 7. Pengangkutan dan komunikasi 8. Keuangan, persewaan dan jasa 9. Jasa-jasa Total PDRB Tabel 3 menunjukkan bahwa struktur perekonomian Kabupaten Muaro Jambi didominasi oleh sektor pertanian. Sektor ini memberikan kontribusi yang besar dan cenderung mengalami peningkatan setiap tahunnya. Kontribusi sektor pertanian atas dasar harga konstan terhadap PDRB tahun 2007 sebesar Rp335

43 milyar naik menjadi Rp461 milyar pada tahun 2011 atau sebesar persen terhadap seluruh perekonomian Kabupaten Muaro Jambi. Subsektor perkebunan merupakan andalan penyumbang terbesar bagi sektor pertanian. Subsektor perkebunan mampu menyumbang sebesar Rp241 milyar atau persen bagi sektor pertanian. Kondisi demikian terjadi karena semakin meningkatnya usaha perkebunan di Kabupaten Muaro Jambi, baik yang diusahakan oleh perkebunan rakyat, perkebunan swasta dan perkebunan negara. Komoditi perkebunan yang banyak dibudidayakan adalah karet dan kelapa sawit. Subsektor berikutnya yang juga mendominasi dalam pembentukan nilai tambah bruto bagi perekonomian Kabupaten Muaro Jambi adalah subsektor tanaman bahan makanan. Subsektor bahan makanan mampu memberikan kontribusi lebih dari 8.60 persen terhadap perekonomian dan secara bertahap dari tahun terus mengalami ratarata peningkatan sebesar Rp91 milyar. Selanjutnya sektor perdagangan, hotel dan restoran merupakan sektor terbesar kedua setelah sektor pertanian dalam perekonomian Kabupaten Muaro Jambi. Hal ini dikarenakan letak strategis Kabupaten Muaro Jambi yang berada pada Jalur Lintas Sumatera (Jalinsum) yang mendukung kegiatan perdagangan antar wilayah di sumatera, perhotelan dan restoran. Sektor ini juga terus mengalami peningkatan setiap tahunnya, yang memberikan kontribusi pada tahun 2011 sebesar Rp201 milyar. Sektor unggulan ketiga terbesar adalah sektor industri pengolahan. Sektor ini mampu memberi nilai tambah dan penciptaan kesempatan kerja. Kontribusi sektor industri pengolahan sebesar Rp195 milyar atau persen terhadap total perekonomian Kabupaten Muaro Jambi. Produk Donestik Regional Bruto (PDRB) Kabupaten Muaro Jambi tahun 2011 adalah Rp1 244 triliun, naik sebesar Rp81 milyar dibanding tahun 2010 yaitu sebesar Rp1 163 triliun atau meningkat sebesar 6.51 persen. Laju pertumbuhan PDRB atas dasar harga konstan 2000 untuk tahun 2011 adalah sebesar 7.02 persen (BPS Kabupaten Muaro Jambi 2012). Faktor utama pendorong laju pertumbuhan ekonomi di Kabupaten Muaro Jambi adalah sektor pertanian khususnya subsektor perkebunan. Tanaman perkebunan yang paling menonjol di Kabupaten Muaro Jambi didominasi oleh tanaman karet dengan luas areal tanaman sebesar hektar dan tingkat produksi sebesar 844 ton. Kemudian diikuti oleh tanaman kelapa sawit dan kelapa dengan luas hektar dan 928 hektar dan produksinya ton dan 968 ton. Wilayah yang menjadi sentra utama tanaman perkebunan karet terdapat pada beberapa kecamatan seperti, Kecamatan Jambi Luar Kota, Kecamatan Mestong, dan Kecamatan Sungai Gelam. Umumnya daerah-daerah sentra produksi usaha tani karet tersebut merupakan daerah pengembangan proyek PIR-BUN karet, dimana sebagian besar penduduknya berasal dari pulau jawa. Daerah sentra utama perkebunan kelapa sawit terdapat di tiga kecamatan yang meliputi Kecamatan Sekernan, Kecamatan Jambi Luar Kota dan Kecamatan Maro Sebo. Pada wilayah tersebut terdapat beberapa perusahaan perkebunan besar yang mengembangkan perkebunan kelapa sawit, baik perusahaan negara maupun perusahaan swasta. Selain memiliki kebun inti produksi, perusahaan juga mengelola kebun plasma masyarakat yang berada disekitar perusahaan. Luas areal, produksi dan sentra tanaman perkebunan di Kabupaten Muaro Jambi pada tahun 2011 dapat dilihat pada Tabel 4. 30

44 31 Tabel 4 Luas areal, produksi dan sentra tanaman perkebunan di Kabupaten Muaro Jambi tahun 2011 No. Jenis Luas Produksi tanaman (ha) (ton) Kecamatan sentra 1. Karet Jambi Luar Kota, Mestong, dan Sungai Gelam. 2. Kelapa sawit Sekernan, Jambi Luar Kota, Maro Sebo dan Bahar Selatan 3. Kelapa Kumpeh Ulu, Jambi Luar Kota, Sungai Gelam dan Kumpeh 4. Kakao Kumpeh, Kumpeh Ulu, Sungai Gelam dan Jambi Luar Kota 5. Kopi Kumpeh, Jambi Luar Kota, Taman Rajo dan Maro Sebo 6. Lada Jambi Luar Kota Sumber : Muaro Jambi dalam Angka (2012) 5.2 Karakteristik Petani Sampel Karet dan Kelapa Sawit Karet dan kelapa sawit merupakan tanaman perkebunan yang diusahakan oleh sebagian besar masyarakat petani di Kabupaten Muaro Jambi. Tanaman karet dikembangkan secara turun temurun, sedangkan tanaman kelapa sawit masih relatif baru dikembangkan dan dibudidayakan oleh petani. Dalam kegiatan usaha tani karet terdapat dua macam petani karet, yaitu petani pemilik dan petani penyadap atau buruh tani. Petani pemilik adalah petani yang memiliki kebun karet dan menyadapnya sendiri, sedangkan petani penyadap adalah petani yang tidak memiliki kebun karet sendiri dan bekerja sebagai petani penyadap getah karet milik orang lain. Besarnya upah yang diberikan kepada penyadap karet ini tergantung kesepakatan antara pemilik kebun dan penyadap. Besarnya upah yang diberikan pemilik kepada penyadap getah karet di lokasi penelitian adalah sebesar setengah dari total getah karet yang diperoleh selama seminggu. Biasanya seorang buruh penyadap karet mampu menyadap getah karet seluas 2 hektar per hari. Dalam penelitian ini petani sampel karet merupakan petani pemilik kebun karet yang melakukan penyadapan karetnya sendiri. Petani kelapa sawit terdiri dari petani plasma dan petani swadaya. Petani kelapa sawit plasma adalah petani yang bekerjasama dan bermitra dengan perusahaan perkebunan dengan sistem bagi hasil, sedangkan petani kelapa sawit swadaya merupakan petani yang membudidayakan kelapa sawit dengan modal sendiri. Petani sampel kelapa sawit merupakan petani yang mengusahakan kelapa sawit dengan mengkonversi perkebunan karetnya dengan cara swadaya Petani sebagai pelaku utama kegiatan usahatani dalam mengelola usahanya dipengaruhi oleh beberapa faktor, baik fisik maupun sosial ekonomi. Faktor-faktor tersebut meliputi umur, tingkat pendidikan, pengalaman berusahatani, dan jumlah anggota keluarga. Adapun hasil survei yang dilakukan terhadap karakteristik sampel petani perkebunan karet dan kelapa sawit di Kabupaten Muaro Jambi dapat dilihat pada Tabel 5. Pada Tabel 5 menunjukan bahwa umur petani karet rakyat bervariasi antara tahun dengan rata-rata tahun. Sementara itu umur petani kelapa sawit rakyat berkisar antara tahun

45 32 dengan rata-rata tahun. Dengan menggunakan standar bahwa pekerja berumur tahun merupakan pekerja yang produktif, maka dapat dikatakan bahwa petani karet dan kelapa sawit memiliki usia yang masih produktif. Dengan demikian, petani tersebut memiliki potensi besar baik fisik maupun mental dalam usaha mengembangkan tanaman perkebunannya. Tabel 5 Karakteristik sampel petani perkebunan karet dan kelapa sawit di Kabupaten Muaro Jambi Tahun 2013 Uraian Petani Karet Petani Kelapa Sawit Minimum Maksimum Rata-rata Minimum Maksimum Rata-rata Umur Petani (tahun) Pendidikan (tahun) Pengalaman (tahun) Jumlah Anggota Keluarga (orang) Sumber : data primer (diolah) 2013 Dalam aspek tingkat pendidikan, petani responden rata-rata lama pendidikan hanya 9 tahun atau sampai tamat SLTP sederajat saja. Rendahnya tingkat pendidikan akan mempengaruhi kemampuan petani dalam mengadopsi teknologi budidaya dalam pengelolaan usahatani, seperti penanaman yang baik (pengaturan jarak tanam yang sesuai), pemanfaatan tanaman sela (pola usahatani masih bersifat monokultur), pemupukan (belum tepat waktu dan dosis), dan pengendalian hama penyakit tanaman. Keterbatasan pengetahuan karena rendahnya pendidikan dapat dilihat dari wawasan dan prilaku mereka dalam mengusahakan tanaman perkebunan miliknya dengan apa adanya tanpa proses perencanaan yang baik. Pengalaman petani dalam mengusahakan tanaman perkebunan sudah relatif cukup lama. Petani karet memiliki pengalaman berkisar antara tahun dengan rata-rata tahun. Dengan demikian mereka sudah terlibat dalam kegiatan usahatani sejak masih dalam tanggungan. Petani karet di lokasi penelitian memang sudah melibatkan anggota keluarganya dalam setiap kegiatan usahataninya. Hal ini dikarenakan keterbatasan modal untuk menggunakan tenaga kerja dari luar keluarga. Pengalaman berusahatani karet yang memadai dapat menjadi modal dasar untuk pengembangan usahatani karet di wilayah Kabupaten Muaro Jambi pada masa mendatang. Pengalaman petani kelapa sawit berkisar antara 8 18 tahun dengan rata-rata tahun. Petani kelapa sawit di lokasi penelitian sebelumnya merupakan petani karet yang mengalihfungsikan tanaman karetnya menjadi tanaman kelapa sawit, sehingga dapat dikatakan pengalaman mereka dalam berusahatani kelapa sawit masih relatif baru. Jumlah anggota keluarga yang menjadi tanggungan keluarga baik petani karet maupun petani kelapa sawit berkisar antara 3 8 orang dengan rata-rata 5.50 orangkeluarga petani karet dan 5.14 orang keluarga petani kelapa sawit. Dengan demikian berarti setiap kepala keluarga menanggung kebutuhan hidup anggota keluarganya sebanyak 4 jiwa. Umumnya anggota keluarga petani tersebut sudah tergolong anak-anak remaja yang berumur lebih dari 15 tahun, baik pria maupun wanita.

46 33 6 HASIL DAN PEMBAHASAN 6.1 Konversi Tanaman Karet Menjadi Tanaman Kelapa Sawit Perkembangan Luas Konversi Perkebunan Karet Tanaman karet merupakan komoditas perkebunan yang menjadi salah satu penggerak perekonomian daerah di Provinsi Jambi. Kabupaten yang memiliki potensi dalam pengembangan komoditas karet adalah Kabupaten Muaro Jambi. Potensi pengembangan karet tersebut didukung oleh kondisi iklim dan kesesuaian lahan untuk komoditas karet. Selain itu ketersediaan tenaga kerja yang mudah dan murah dan letak Kabupaten Muaro Jambi yang merupakan penghubung jalur lintas timur dan lintas barat sumatera serta berbagai sarana penunjang lainnya, seperti sarana pelabuhan. Pengelolaan tanaman perkebunan karet rakyat masih dilakukan secara turun temurun. Kondisi demikian mengakibatkan banyaknya tanaman tua dan rusak sehingga produktivitas tanaman menjadi rendah. Untuk itu petani dihadapkan kepada keputusan melakukan peremajaan atau mengkonversi dengan tanaman lain. Dalam rentang tahun 2005 sampai tahun 2010 terjadi penurunan luas areal perkebunan karet di Kabupaten Muaro Jambi. Data perkembangan luas areal perkebunan karet disajikan pada Tabel 6. Tabel 6 Perkembangan luas konversi perkebunan karet di Kabupaten Muaro Jambi, Tahun Laju perkembangan luas kebun karet (ha) Tahun Luas kebun karet awal Pembukaan kebun karet baru Kebun karet dikonversi Jumlah Sumber : Statistik Perkebunan Provinsi Jambi Berdasarkan data statistik, terjadi penambahan luas areal kebun dari hektar menjadi hektar tahun Hal ini dikarenakan adanya program pemerintah daerah Kabupaten Muaro Jambi yang berupaya untuk meningkatkan produksi karet daerah dengan cara membuka lahan perkebunan karet baru dengan menggunakan dan memberdayakan lahan-lahan terlantar menjadi produktif untuk dikelola oleh petani. Selain itu, petani juga mendapat bantuan bibit karet dari klon-klon unggulan, sehingga diharapkan produktivitas tanaman pada saat berproduksi nanti akan tinggi. Program pemerintah daerah tersebut relatif cukup berhasil dalam menambah luas arel perkebunan karet karena telah terjadi penambahan areal untuk perkebunan karet baru seluas hektar. Selanjutnya penurunan luas areal kebun karet terjadi tahun 2007 dengan luas penurunan sebesar hektar menjadi hektar. Tahun 2008 terjadi peningkatan luas areal kebun seluas 251 hektar. Penurunan luas kebun karet terbesar terjadi pada tahun 2009 seluas hektar. Kemudian tahun 2010 mengalami peningkatan seluas 672 hektar. Dalam rentang waktu , total pembukaan areal

47 34 kebun karet baru hanya seluas hektar, sedangkan areal kebun karet yang berkurang seluas hektar. Secara keseluruhan total penurunan luas kebun karet yang terjadi sebesar hektar. Terjadinya penurunan luas areal perkebunan karet tersebut disebabkan adanya kegiatan alih fungsi kebun karet menjadi kebun kelapa sawit, daerah pemukiman, industri dan sarana infrastruktur dan penunjang lainnya (Disbun Jambi 2011). Perubahan pengusahaan tanaman perkebunan karet menjadi tanaman perkebunan lain pada lahan tertentu dapat dikatakan sebagai bentuk konversi tanaman. Konversi tanaman dapat menimbulkan pengaruh positif dan negatif terhadap luas areal perkebunan karet. Kegiatan konversi tanaman karet dapat berpengaruh positif jika terjadi penambahan luas areal perkebunan karet dan sebaliknya berpengaruh negatif bagi kebun karet jika terjadi penurunan luas lahan. Penurunan luas perkebunan karet yang terjadi salah satunya disebabkan oleh maraknya konversi perkebunan karet menjadi perkebunan kelapa sawit. Hal ini terlihat dari penambahan luas areal perkebunan kelapa sawit dari hektar pada tahun 2005 menjadi hektar pada tahun Perubahan jenis penggunaan lahan di Kabupaten Muaro Jambi dapat dilihat pada Tabel 7. Pada Tabel 7 menunjukkan bahwa penambahan luas areal tanaman kelapa sawit selain berasal dari alih fungsi lahan perkebunan karet (6 080 ha), juga berasal dari perubahan fungsi beberapa jenis penggunaan lahan, seperti lahan sawah (3 865 ha), lahan kering (8 042 ha), tegalan (3 676 ha) dan lainnya. Tabel 7 Perubahan jenis penggunaan lahan tahun di Kabupaten Muaro Jambi Jenis penggunaan Luas penggunaan lahan (ha) lahan Sawah Lahan kering Tegalan Padang rumput Perkebunan Lainnya Sumber : Dinas Pertanian Muaro Jambi Kondisi Kebun Sebelum Konversi Tanaman Kecamatan Jambi Luar Kota merupakan salah satu kecamatan sentra usaha perkebunan karet terbesar di Kabupaten Muaro Jambi. Lebih dari 85 persen petani perkebunan bermatapencaharian sebagai petani karet. Perkebunan karet dilakukan dalam skala besar oleh perusahaan besar negara dan swasta maupun dalam skala kecil oleh perkebunan rakyat. Salah satu perusahaan perkebunan besar negara yang mengelola perkebunan karet adalah PTPN VI. Perusahaan perkebunan negara ini ditunjuk oleh pemerintah untuk melaksanakan proyek PIR- BUN yang bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan petani melalui produksi kebun karet. Selain memiliki kebun inti, perusahaan juga bekerjasama dengan masyarakat lokal maupun peserta transmigrasi yang berasal dari Jawa dan Bali dengan sistem kemitraan/plasma. Petani plasma karet wajib menyetorkan hasil produksi karetnya kepada perusahaan. Hasil produksi yang disetorkan tersebut dikenakan potongan sebesar 30 persen baik terhadap kebun yang sudah atau

48 belum dikonversi sesuai dengan SK Dirjenbun No.KB.750/E8.489/05 Tgl 30 Mei Potongan 30 persen tersebut dimaksudkan untuk mencicil hutang petani sebesar biaya yang telah dikeluarkan untuk pembangunan kebun plasma tersebut. Jika cicilan sudah lunas maka lahan dan sertifikat menjadi hak milik petani. Pengelolaan usaha perkebunan karet juga dilakukan oleh perkebunan rakyat. Petani karet rakyat yang membudidayakan tanaman perkebunan karet dilokasi penelitian berdasarkan jenis karekteristik dalam pengelolaan usaha taninya dapat dibagi menjadi dua jenis, yaitu hutan karet dan kebun karet. Hutan karet merupakan kegiatan usaha pengelolaan kebun karet secara polikultur, dimana lahan tidak hanya ditanami dengan tanaman karet tetapi juga ditanaman dengan tanaman non karet, seperti tanaman durian, jengkol, petai maupun tanaman lain yang tumbuh dengan sendirinya. Kegiatan pemeliharaan tanaman tidak dilakukan oleh petani hutan karet sehingga kebun karet mereka hampir menyerupai hutan, sedangkan petani kebun karet mengusahakan tanaman karet dengan sistem monokultur, dimana lahan yang dimiliki petani hanya ditanami dengan tanaman karet saja. Umumnya kegiatan usaha perkebunan hutan karet dilakukan oleh penduduk asli (masyarakat lokal setempat). Luas lahan perkebunan karet yang dimiliki petani hutan karet relatif cukup luas lebih dari 2 hektar. Hal ini dikarenakan petani hutan karet merupakan penduduk asli yang telah hidup dan tinggal di daerah tersebut dengan mengusahakan tanaman karet sebagai pekerjaan utama dengan cara turun temurun sehingga umur tanaman karet pada hutan karet relatif sudah cukup tua. Tanaman karet yang dibudidayakan pada hutan karet tanpa kegiatan pemeliharaan, seperti penyiangan dan pemupukan tanaman. Kegiatan penyadapan karet kadang-kadang dilakukan hampir tiap hari tapi kadang pula tidak dilakukan untuk beberapa waktu. Petani kebun karet merupakan penduduk pendatang yang berasal dari pulau jawa. Mereka mengikuti program transmigrasi melalui proyek PIR-BUN dengan luas kepemilikan lahan seluas 2.5 hektar, dimana 2 hektar diperuntukkan untuk lahan perkebunan karet dan 0.5 hektar merupakan lahan perkarangan rumah yang dimanfaatkan untuk bertanam sayuran dan memelihara ternak. Kegiatan pemeliharaan tanaman karet dilakukan secara rutin dan teratur dengan frekuensi 2 3 kali dalam setahun. Untuk menunjang kegiatan usaha tani karetnya, petani kebun karet membentuk kelompok tani dengan menunjuk beberapa orang sebagai pengurus kelompok. Kelompok tani berperanuntuk membantu memfasilitasi petani anggota dalammenghadapi permasalahan yang ditemui budidaya tanaman karet, seperti mendatangkan tenaga penyuluh dari dinas dan instansi terkait maupun berkaitan dengan pemasaran hasil produksi. Kegiatan pemasaran BOKAR (bahan olah karet rakyat) dilakukan petani dengan menjual hasil produksinya pada pasar lelang yang diadakan setiap dua minggu sekali di pasar kecamatan. Peserta lelang karet diikuti oleh perwakilan dari perusahaan crumb rubber yang terdapat di Provinsi Jambi. Pemasaran karet petani melalui mekasnisme pasar lelang ini mampu membuat harga karet lebih bersaing sehingga petani lebih berusaha untuk dapat menjaga kualitas karet yang dihasilkannya. Selain itu, pasar lelang juga bertujuan untuk mengurangi ketergantungan petani karet terhadap pedagang pengumpul desa (tauke) yang menampung hasil panen petani karet. Petani yang mempunyai keterikatan emosional dengan pedagang pengumpul menyebabkan rendahnya posisi tawar 35

49 36 karet yang dimiliki petani. Harga karet yang ditetapkan oleh pedagang pengumpul desa ini biasanya lebih rendah dari harga pada pasar lelang. Konversi tanaman karet menjadi kelapa sawit dilakukan tidak hanya pada tanaman tua saja tetapi juga pada tanaman yang masih produktif. Berdasarkan data yang diperoleh dari petani sampel, lebih dari 90 persen tanaman karet yang dikonversi menjadi kelapa sawit masih berada pada umur produktif. Hal ini dapat dilihat dari rentang umur tanaman karet yang berkisar antara tahun. Menurut Setyamidjaja (1992), tanaman karet pada perkebunan rakyat umumnya mampu berproduksi sampai umur 25 tahun. Adapun rentang umur tanaman karet yang dikonversi dapat dilihat pada Tabel 8. Tabel 8 Distribusi umur tanaman karet rakyat yang dikonversi menjadi tanaman kelapa sawit di Kabupaten Muaro Jambi Umur tanaman Jumlah petani (orang) Persentase (%) tahun tahun tahun > 25 tahun Jumlah Sumber : data primer (diolah), Proses Konversi Kebun Karet Menjadi Kelapa Sawit Kegiatan proyek konversi tanaman perkebunan karet menjadi kelapa sawit pertama kali dilakukan oleh perusahaan perkebunan besarpada tahun 1998 diareal perkebunan inti yang berada pada beberapa desa di Kecamatan Jambi Luar Kota Kabupaten Muaro Jambi.Ada beberapa faktor yang menjadi pertimbangan bagi perusahaan dalam mengambil keputusan untuk melakukan proyek konversi tanaman karet. Faktor-faktor tersebut diantaranya adalah:(1) Banyaknya tanaman tua. Proyek PIR-BUN dimulai pada tahun 1979 dengan tanaman yang dibudidayakan adalah karet, kelapa hibrida dan kakao. Umur tanaman karet yang sudah relatif tua akan berdampak terhadap produktifitas tanaman. Tanaman karet mampu berproduksi sampai tanaman berumur 30 tahun. Akan tetapi dengan intensitas penyadapan yang dilakukan setiap hari, masa produksi tanaman hanya mencapai 16 hingga 18 tahun. Untuk menghindari kerugian, maka biasanya perusahaan akan melakukan kegiatan peremajaan/replanting atau menggantinya dengan tanaman lain yang lebih menguntungkan. Penggantian dengan tanaman perkebunan lain juga merupakan bagian strategi yang dilaksanakan untuk program diversifikasi tanaman sehingga diharapkan dapat memperkecil resiko kerugian. (2) Mengurangi resiko kehilangan produksi. Luasnya kebun inti yang dimiliki perusahaan dan lemahnya pengawasan terhadap kebun produksi menyebabkan sering terjadi tindakan pencurian hasil dari hasil sadapan liar sehingga akan berdampak terhadap pendapatan yang diterima oleh perusahaan. Secara teknis, penyadapan tanaman karet dapat dilakukan oleh siapa saja dan pemasaran hasil yang diperoleh dapat dengan mudah dijual kepada pedagang pengumpul. (3) Kecenderungan harga yang menurun. Perkembangan harga komoditi karet di pasar dunia pada saat itu cenderung mengalami penurunan atau mencapai titik terendah dalam kurun waktu 40 tahun terakhir. Harga karet indonesia (FOB Belawan) pada saat itu hanya sebesar US$0.58/kg dari harga sebelumnya sebesar

50 37 US$2.16/kg (Herlina 2002), sehingga untuk mengatasinya maka perusahaan membatasi perluasan areal produksi kebun karet dan menggantinya dengan tanaman perkebunan lainnya seperti kelapa sawit. Proses konversi kebun karet menjadi kelapa sawit juga terjadi pada perkebunan karet rakyat di Kabupaten Muaro Jambi yang dimulai tahun 2001 pada beberapa desa di Kecamatan Jambi Luar Kota. Ada beberapa faktor yang mendasari petani untuk mengkonversi tanaman karet menjadi tanaman kelapa sawit, seperti umur tanaman karet yang tua (>25 tahun), terserang penyakit dan rusak.adapun jumlah dan persentase petani karet dalam melakukan konversi tanaman disajikan pada Tabel 9. Tabel 9 Sebaran dan proporsi alasan petani dalam melakukan konversi tanaman karet menjadi kelapa sawit di Kabupaten Muaro Jambi Uraian Jumlah petani (orang) Persentase (%) Tanaman rusak Tanaman terserang penyakit Tanaman tua Jumlah Sumber : data primer (diolah), 2013 Tabel 9 menunjukkan bahwa sebanyak 18 orang (56.25%) petani menyatakan bahwa konversi tanaman yang dilakukan karena tanaman karet yang mereka budidayakan sudah rusak, sehingga tidak dapat menghasilkan produksi karet lagi. Tanaman karet yang rusak tersebut disebabkan oleh kegiatan penyadapan yang dilakukan hampir setiap hari, sehingga mempengaruhi kemampuan tanaman karet untuk meregenerasi kulit batang yang terluka dalam proses penyadapan. Penyadapan yang dilakukan setiap hari akan meningkatkan pendapatan petani tetapi dapat menimbulkan pengaruh terhadap produktivitas tanaman karet itu sendiri. Tanaman karet tidak mampu berproduksi sampai pada umur ekonomis tanaman. Kemudian sebanyak 11 orang (34.38%) petani karet melakukan konversi kebun karet karena tanaman karetnya terserang penyakit. Penyakit yang sering menyerang tanaman karet adalah penyakit jamur akar putih. Tananam karet yang terserang penyakit ini dapat menularkan pada tanaman karet yang sehat. Selain itu tanaman yang terserang penyakit memerlukan penanganan yang instensif, dengan pemberian obat yang relatif sulit didapatkan. Petani yang mengkonversi dikarenakan tanaman karetnya sudah tua hanya berjumlah 3 orang (9.38%). Tanaman yang sudah tua secara ekonomis kurang menguntungkan untuk dibudidayakan. Keputusan mengkonversi ke tanaman kelapa sawit lebih dipilih petani karena panen perdana kelapa sawit lebih cepat dibandingkan dengan tanaman karet. Kegiatan konversi tanaman dari kebun karet tersebut dilakukan petani dengan pola swadaya. Faktor lain yang menyebabkan alih fungsi tanaman karet adalah tingginya permintaan kayu karet. Banyaknya usaha industri pengolahan kayu di Kecamatan Jambi Luar Kota menyebabkan permintaan bahan baku kayu juga meningkat. Keterbatasan sumber bahan baku dan sulitnya perizinan untuk menggunakan kayu log yang biasa diperoleh dari hutan menyebabkan pemilik industri pengolahan mencari alternatif bahan baku kayu, seperti kayu karet. Kayu karet juga memiliki kualitas yang baik dan untuk mendapatkannya relatif mudah dan cukup tersedia.

51 38 Konversi tanaman dilakukan petani sampel adalah dengan mengganti semua tanaman karet pada lahan yang mereka miliki (full conversion). Pembukaan perkebunan kelapa sawit baru dari alih fungsi kebun karet tentu membutuhkan modal besar untuk investasi awal. Biaya pembelian bibit kelapa sawit dan biaya tenaga kerja untuk pengolahan lahan merupakan biaya yang besar dalam pembangunan perkebunan kelapa sawit. Keterbatasan pembiayaan permodalan yang dimiliki petani membuat petani tidak langsung mengganti semua tanaman karet didalam kebun.dalam pelaksanaannya, ada tiga cara yang dilakukan petani dalam mengkonversi tanaman karetnya, yaitu secara langsung, bertahap dan sisipan. Petani karet yang memiliki kemampuan finansial, konversi tanaman karet dilakukan sekaligus dalam luasan satu hektar, sedangkan yang memiliki keterbatasan modal, proses konversi dilakukan secara bertahap ataupun secara sisipan. Sebaran petani sampel kelapa sawit yang melakukan proses konversi secara langsung, sisipan dan bertahap disajikan pada Tabel 10. Tabel 10 Sebaran petani sampel berdasarkan cara mengkonversi kebun karet di Kabupaten Muaro Jambi Uraian Jumlah petani (orang) Persentase (%) Langsung Sisipan Bertahap Jumlah Sumber : data primer (diolah), 2013 Pada Tabel 10dapat dilihat bahwa sebanyak 17 orang petani (53.13%) melakukan konversi tanaman dengan cara sisipan. Konversi kebun secara sisipan dilakukan petani dengan menanam bibit kelapa sawit diantara pohon karet. Ketika bibit kelapa sawit telah tumbuh dengan baik, barulah kemudian pohon karet yang terdapat didalam kebun ditebang. Kemudian petani yang melakukan konversi dengan cara bertahap sebanyak 13 orang (40.63%). Konversi secara bertahap dilakukan dengan cara mengganti sebagian tanaman karet menjadikelapa sawit dengan luasan tertentu hingga seluruh tanaman karet dikebun telah dikonversi semua menjadi tanaman kelapa sawit.pola konversi secara bertahap menyebabkan umur tanaman kelapa sawit yang dimiliki petani tidak sama. Petani yang melakukan konversi secara langsung hanya 2 orang (6.25%). Konversi dengan cara sisipan maupun bertahap merupakan strategi yang dilakukan oleh petani agar selama tanaman kelapa sawit yang ditanam belum menghasilkan atau berproduksi, petani masih menerima pendapatan dari tanaman karet, sehingga petani tidak kehilangan pendapatan selama proses konversi. Konversi bertahap yang dilakukan petani sampel di lokasi penelitian pada lahan perkebunan dengan luas antara hektar. Keputusan petani untuk meremajakan tananam karet atau replanting maupun mengkonversi menjadi tanaman kelapa sawit sangat bergantung pada besarnya modal yang dimiliki oleh petani. Hal ini dikarenakan untuk meremajakan atau mengkonversi tanaman perkebunan memerlukan modal yang relatif besar. Modal tersebut dapat berasal dari modal sendiri (dari petani sendiri jika petani memiliki kemampuan finansial) dan dari skim kredit. Lembaga permodalan yang menawarkan kredit bagi petani terdiri dari lembaga keuangan

52 39 formal dan non formal. Lembaga keuangan formal yang dapat diakses petani berasal dari bank umum dan koperasi, sedangkan lembaga keuangan non formal berasal dari rentenir, pedagang dan petani kaya. Keterbatasan petani dalam mengakses kredit pada lembaga formal, mendorong petani untuk mengakses kredit dari lembaga non formal yang berada disekitarnya.kondisi demikian menimbulkan keterikatan secara emosional antara petani dengan pedagang tengkulak (tauke) sehingga menyebabkan posisi tawar petani dalam menjual hasil produksinya lemah. Bantuan peremajaan untuk tanaman karet yang diberikan pemerintah hanya sebatas pemberian bibit karet unggulan yang proses untuk mendapatkannya petani harus menunggu dengan waktu yang cukup lama. Petani sampel kelapa sawit yang melakukan konversi kebun karet menerima pendapatan dari penjualan kayu karet sebesar Rp /M 2 maupun dengan borongan sebesar Rp /hektar. Kayu karet yang diperjualbelikan dapat dipergunakan sebagai bahan bangunan, kayu api, arang dan kayu gergajian. Konsumen yang menggunakan kayu karet umumnya adalah rumah tangga, rumah makan dan industri kayu (sawmill). Pemanfaatan kayu karet untuk kayu olahan, papan partikel dan papan serat baru dilakukan sebagian kecil oleh masyarakat. Hal ini terjadi karena lokasi pabrik pengolah kayu jauh dari sumber bahan baku sehingga proporsi biaya transportasi menjadi tinggi (>50% dari harga jual petani). Oleh karena itu, harga kayu karet di tingkat petani masih rendah dan tidak menarik bagi petani (Deptan 2007). Dengan penataan kelembagaan yang lebih baik, kayu karet rakyat merupakan potensi yang sangat besar dalam agribisnis karet. Beberapa penelitian juga menyatakan bahwa kayu karet memiliki potensi yang baik untuk dikembangkan sebagai bahan baku olahan dan dapat menggantikan kayu ramin yang potensinya semakin langka. Konversi tananam karet yang dilakukan oleh perusahaan perkebunan karet diareal kebun inti juga menimbukan dampak terhadap petani karet rakyat. Produktifitas tanaman yang tinggi, lebih tahan terhadap serangan hama penyakit dan resiko kehilangan akibat pencurian lebih kecil dan pemasaran hasil yang relatif mudah merupakan daya tarik dari tanaman kelapa sawit. Petani karet yang berada di desa-desa sekitar perkebunan inti perusahaan juga mulai mengkonversi tanaman karet menjadi kelapa sawit. Desa-desa yang berada dekat dengan kebun inti dan merasakan pengaruh konversi tanaman perkebunan tersebut antara lain adalah Desa Muhajirin, Desa Maro Sebo dan Desa Sungai Bertam. Kegiatan konversi tanaman dilakukan baik dengan sistem plasma maupun secara swadaya oleh petani karet. Menurut Sarno (Ketua Gapoktan Karet) menyebutkan bahwa sudah lebih dari 600 hektar kebun karet rakyat telah dialihfungsikan menjadi kebun kelapa sawit dengan jumlah petani sebanyak 58 orang. Harga jual TBS yang tinggi pada waktu itu (Rp2 300/kg) menjadi faktor penarik bagi petani karet untuk mengganti tanaman karetnya menjadi kelapa sawit. Lebih lanjut dikatakannya, bahwa petani yang telah mengkonversi tanaman karet memiliki perkerjaan sampingan selain berkebun kelapa sawit. Hal ini dikarenakan alokasi waktu yang dicurahkan pada usaha tani kelapa sawit tidak terlalu intensif dibandingkan dengan usaha tani karet. Konversi tanaman karet ke kelapa sawit menggunakan lahan yang berasal dari hutan karet maupun kebun karet. Kegiatan konversi hutan karet ke kelapa sawit lebih cenderung dilakukan dengan pola inti plasma.pada umumnya petani hutan karet memiliki lahan perkebunan yang relatif luas sehingga membuat

53 40 perusahaan perkebunan menawarkan sistem kerjasama/kemitraan dengan pola inti plasma. Kondisi demikian dikarenakan untuk perluasan areal produksi, perusahaan memiliki keterbatasan lahan sehingga strategi yang dilakukan adalah dengan mengajak petani karet dan non karet yang memiliki lahan usaha untuk mengkonversi atau menanam tanaman kelapa sawit dengan sistem kerjasama yang telah ditetapkan dan saling menguntungkan antara petani dan perusahaan. Konversi tanaman pada kebun karet cenderung dilakukan secara swadaya. Hal ini disebabkan karena petani kebun karet sebelumnya merupakan petani plasma karet yang mempunyai keterikatan atau perjanjian tertentu dengan perusahaan inti sehingga mereka merasa tidak leluasa dalam menjual hasil produksinya. Adanya perubahan jenis komoditi perkebunan yang diusahakan petani juga menyebabkan terjadinya perubahan terhadap pola usaha tani yang dilakukan petani. Pengelolaan tanaman perkebunan karet penggunaan tenaga kerja hanya berasal dari dalam keluarga saja, sedangkan pengusahaan tanaman kelapa sawit mampu menciptakan kesempatan kerja bagi buruh tani harian yang terdapat disekitar lokasi penelitian. Hal ini dikarenakan pada usaha tani kelapa sawit lebih banyak menggunakan tenaga kerja yang berasal dari luar keluarga bila dibandingkan dengan usaha tani karet. Penggunaan tenaga kerja luar keluarga yang digunakan pada perkebunan kelapa sawit terutama pada saat kegiatan pemanenan. Tandan buah segar yang sudah matang harus secepatnya dipanen dan dibawa ke pabrik pengolahan buah kelapa sawit untuk menghindari kerugian meningkatnya asam lemak bebas sehingga kualitas minyak yang dihasilkan berkurang dan mengakibatkan harga jual petani akan rendah. Aspek pemeliharaan pada tanaman kelapa sawit berbeda dengan tanaman karet. Menurut PPKS (2006), rendahnya produktivitas tanaman kelapa sawit yang dihasilkan pada perkebunan rakyat disebabkan minimnya kegiatan pemeliharaan yang dilakukan. Biaya pemupukan yang dibutuhkan pada tanaman kelapa sawit sebesar 30 persen terhadap biaya produksi. Kondisi demikian menyebabkan tanaman kelapa sawit membutuhkan pemeliharaan yang intensif, baik dari segi perawatan maupun pemberian pupuk. Keterbatasan pembiayaan dalam perawatan menyebabkan produktifitas tanaman kelapa sawit rakyat masih rendah. Petani sampel kelapa sawit masih memperlakukan sama perawatan tanaman kelapa sawit dengan tanaman karet. Kondisi ini disebabkan karena petani kelapa sawit telah terbiasa dengan kegiatan budidaya karet yang minim perawatan Analisis Kelayakan Finansial Usaha Tani Karet dan Kelapa Sawit Usaha Tani Karet Kabupaten Muaro Jambi merupakan salah satu sentra pengembangan tanaman perkebunan di Provinsi Jambi. Hampir 40 persen dari luas Kabupaten Muaro Jambi merupakan daerah perkebunan yang didominasi sebagian besar oleh tanaman karet dan kelapa sawit. Data Badan Pusat Statistik Provinsi Jambi tahun 2011 menyebutkan bahwa lebih dari 80 persen penduduk di Kabupaten Muaro Jambi tinggal di pedesaan dan bermata pencaharian sebagai petani. Karet dan kelapa sawit merupakan tanaman perkebunan utama bagi masyarakat di Kabupaten Muaro Jambi. Perkebunan karet sebagian besar masih didominasi oleh perkebunan karet rakyat. Perkebunan karet rakyat yang

54 41 dibudidayakan dikembangkan secara turun temurun. Produktivitas perkebunan karet rakyat masih rendah bila dibandingkan dengan produktivitas yang diperoleh oleh Perkebunan Besar Negara (PBN) dan Perkebunan Besar Swasta (PBS) sehingga tingkat pendapatan dan kesejahteraan petani juga rendah. Banyaknya tanaman karet yang tua dan rusak, kurangnya pemeliharaan, penggunaan bibit sapuan (seedling), serangan penyakit Jamur Akar Putih (JAP), dan penanganan panen dan pasca panen yang belum baik adalah penyebab rendahnya produktivitas karet rakyat (Disbun Jambi 2010). Dari hasil survei yang telah dilakukan di daerah penelitian, pada umumnya pola usaha tani kebun karet rakyat masih dilakukan secara monokultur. Pengolahan perkebunan karet masih dilakukan secara sederhana, dari pemilihan bibit, penanaman, pemeliharaan, panen dan pasca panen. Bibit karet yang digunakan berasal dari bibit sapuan yang diseleksi oleh petani sendiri. Namun pada beberapa wilayah telah menggunakan bibit unggul yang berasal dari bantuan pemerintah daerah. Penggunaan bibit dari klon unggulan diharapkan mampu meningkatkan produktivitas tanaman karet sewaktu memasuki masa produksi. Pemeliharaan tanaman dilakukan hanya terbatas pada pembersihan gulma. Pemupukan hanya dilakukan sebanyak dua hingga tiga kali dalam setahun. Penelitian yang dilakukan BPTP menyatakan bahwa pengusahaan tanaman karet secara polikultur sangat menguntungkan bagi petani karet. Tanaman sela yang dapat ditanam diperkebunan karet, antara lain berupa tanaman jahe, padi, jagung, kacang-kacangan dan jahe. Tanaman sela dapat dimanfaatkan petani menjelang tanaman karet sudah bisa menghasilkan. Menurut Todaro (1998) dalam BPTP (2007) menyatakan bahwa selain tingkat keuntungan yang besar, teknologi pemanfaatan tanaman sela diantara tanaman karet akan memberikan keuntungan, seperti diantaranya 1) mengurangi resiko kegagalan panen, ketidakpastian dan fluktuasi harga, 2) lebih efisien dalam pemanfaatan hara tanaman, air dan cahaya, 3) memperkecil peluang serangan hama dan penyakit, 4) pemeliharaan kebun lebih instensif dan meningkatkan produktifitas lahan, 5) membantu percepatan peremajaan karet (petani tidak kehilangan sumber pendapatan karena tanaman sela dapat dimanfaatkan sampai tanaman karet menghasilkan), dan 6) mendistribusikan sumberdaya secara optimal dan merata sepanjang tahun serta menambah peluang lapangan kerja, termasuk tenaga kerja wanita/gender Penggunaan Sarana Produksi Tanaman yang Belum Menghasilkan a. Investasi awal Untuk membuka lahan perkebunan karet baru diperlukan biaya investasi. Biaya investasi ditetapkan berdasar pada komponen atau tahap kegiatannya dari umur tanaman karet tahun ke-0 sampai tahun ke-5. Pada periode ini tanaman karet masih belum berproduksi. Investasi awal yang dikeluarkan meliputi biaya pembelian lahan, pembelian bibit, dan pengolahan lahan. Harga rata-rata lahan yang akan digunakan untuk perkebunan karet dilokasi penelitian sebesar Rp /ha. Setelah lahan untuk kegiatan perkebunan tersedia kemudian kegiatan selanjutnya adalah pembelian bibit karet. Bibit karet yang digunakan dapat berasal dari bibit liar dan bibit okulasi. Bibit liar didapatkan disekitar pohon induk, sedangkan bibit okulasi dibeli dari penangkar bibit dan Dinas Perkebunan dan Kehutanan Kabupaten Muaro Jambi. Bibit yang direkomendasikan untuk tanaman karet umumnya berasal dari klon unggulan seperti, BPM 1, PB 260, PB

55 42 330, PB 340, RRIC 100, AVROS 2037, IRR 5, IRR 32, IRR 39, IRR 42, IRR 112 dan IRR 118. Klon karet yang biasa digunakan oleh petani dilokasi penelitian adalah PB 260. Selain penggunaan bibit unggulan, pengelolaan tanaman karet pada periode awal juga memerlukan kegiatan pengolahan lahan. Kegiatan pengolahan lahan meliputi kegiatan dari awal pembukaan lahan sampai lahan siap ditanami dengan bibit karet. Petani sampel karet mendapatkan lahan dengan cara mengikuti program transmigrasi dengan pola PIR-BUN yang dilaksanakan pemerintah pusat. Luas lahan yang diberikan seluas 2.5 hektar. Lahan yang diberikan diperuntukkan untuk perkebunan karet seluas 2 hektar dan 0.5 hektar untuk pemukiman dan perkarangan rumah. Selain lahan pemberian pemerintah, pembukaan lahan baru untuk digunakan sebagai areal perkebunan karet juga berasal dari penggunaan lahan terlantar yang terdapat disekitar desa mereka. Program pemerintah daerah untuk meningkatkan produksi karet dengan memberi bantuan bibit unggul bagi petani yang memanfaatkan lahan kering dan terlantar disekitar wilayahnya cukup efektif meningkatkan luas areal perkebunan karet. Umumnya dalam pembukaan areal baru untuk perkebunan karet dilakukan petani dengan cara membakar pada lahan yang akan dijadikan areal perkebunan tersebut. Cara ini dianggap petani dapat menghemat waktu dan penggunaan tenaga kerja. Namun, cara ini sangat membahayakan karena dapat menimbulkan kebakaran hutan dan tanaman perkebunan disekitarnya. Petani yang memiliki kemampuan finansial untuk membudidayakan karet menggunakan tenaga kerja borongan dalam membuka lahan perkebunan karet. Besarnya upah tenaga kerja borongan untuk membuka areal perkebunan karet sebesar Rp /ha, sedangkan petani dengan keterbatasan modal hanya menggunakan tenaga kerja dalam keluarga saja untuk membuka lahan perkebunan karet. Dari hasil wawancara dengan petani sampel diketahui bahwa beberapa petani karet mendapatkan lahan perkebunan karet dengan melalui program transmigrasi yang diadakan oleh pemerintah dengan sistem kemitraan dengan perusahaan perkebunan, dimana produksi yang didapat harus dijual kepada perusahaan dengan dipotong sebesar 30 persen untuk pembayaran cicilan pembangunan kebun karet tersebut. Rata-rata biaya investasi usaha tani karet disajikan pada Tabel 11. Tabel 11 Rata-rata biaya investasi usaha tani karet No. Input Biaya input Persentase (%) 1. Bibit (Rp/ha) Lahan (Rp/ha) Pestisida (Rp/ha) Peralatan (Rp/ha) Tenaga kerja (Rp/ha) Jumlah Sumber : data primer (diolah) 2013 Tabel 11 memperlihatkan besarnya biaya rata-rata usaha tani yang dikeluarkan dalam pengelolaan perkebunan karet rakyat untuk tahap pembukaan lahan baru memerlukan biaya sebesar sebesar Rp /ha. Penggunaan biaya terbesar adalah untuk pembelian lahan sebesar Rp /ha (91.09%).

56 43 Lahan petani sampel yang digunakan untuk perkebunan karet merupakan lahan milik pribadi yang didapat petani dari program transmigrasi maupun warisan. Harga lahan karet tersebut didekati dengan menggunakan harga lahan kosong yang belum dimanfaatkan untuk kegiatan pertanian yang berlaku dilokasi penelitian. Biaya yang dikeluarkan untuk penggunaan tenaga kerja dalam kegiatan pengolahan lahan sampai siap untuk ditanam bibit karet sebesar Rp /ha. Tingkat upah yang berlaku dilokasi penelitian sebesar Rp per hari. Biaya tenaga kerja merupakan biaya yang diperhitungkan sebab kenyataannya petani karet lebih menggunakan tenaga kerja dalam keluarga, termasuk menyadap untuk menyadap karet. Selanjutnya biaya pembelian bibit karet sebanyak 500 batang/ha sebesar Rp (2.60%). Kemudian biaya pembelian peralatan dan pestisida masing-masing sebesar Rp (2.14%) dan Rp (0.94%). Biaya untuk peralatan dihitung berdasarkan harga beli dan masa pakai peralatan tersebut. Peralatan pertanian yang digunakan dalam pengelolaan usaha perkebunan karet berupa pisau sadap. cangkul, sabit, parang, mangkok, takaran pupuk dan hand sprayer. Pestisida juga digunakan untuk membersihkan sisa gulma atau tanaman pengganggu yang tumbuh sebelum bibit ditanam di kebun. b. Tanaman berumur satu sampai lima tahun Setelah pengolahan lahan telah selesai dilakukan, maka tahap selanjutnya adalah penanaman bibit karet. Bibit karet yang telah disiapkan didalam polybag kemudian dipindahkan kedalam lubang tanam. Umumnya jarak tanam yang digunakan petani sampel dalam usaha tani karet adalah 6 x 4 meter, dengan ratarata popolasi tanaman karet antara batang/hektar. Jarak tanam yang digunakan petani sampel sudah mengikuti rekomendasi yang dianjurkan, sehingga tidak ada persaingan dalam memperebutkan unsur hara antara tanaman karet. Selain itu. jarak tanaman yang terlalu rapat juga dapat menyebabkan tanaman karet lebih rentan terhadap serangan penyakit. Pemeliharaan tanaman belum menghasilkan perlu dilakukan dengan penuh perencanaan, karena akan berpengaruh banyak terhadap kondisi tanaman karet pada tahun-tahun berikutnya. Kegiatan pemeliharaan tanaman belum menghasilkan dilakukan sejak awal bibit ditanam di kebun. Tujuan pemeliharaan adalah agar bibit tanaman tumbuh dengan sehat, sehingga dapat disadap pada waktunya dengan potensi produksi yang tinggi. Kegiatan pemeliharaan tanaman belum menghasilkan dilokasi penelitian meliputi penyisipan/penyulaman, pengendalian gulma dan penyakit, serta pemupukan. Penyisipan/penyulaman adalah kegiatan mengganti tanaman yang mati atau tumbuh tidak nornal dengan tanaman baru yang bertujuan agar populasi tanaman tetap utuh dan pertumbuhannya seragam. Sebelum dilakukan penyisipan, perlu diketahui penyebab kematian atau gangguan pada tanaman yang akan disisip tersebut. Apabila tanaman yang mati disebabkan oleh hama dan penyakit, misalnya jamur akar, maka diperlukan pemberantasan dan pencegahan lebih dahulu. Tanaman baru yang akan disisip tidak ditanam pada bekas tanaman yang terkena penyakit, sedangkan jika tanaman mati disebabkan faktor lain seperti angin dapat segera dilakukan penyisipan. Kegiatan pemeliharaan lainnya berupa pemotongan tajuk dengan menggunakan pisau pada ketinggian 260 cm sampai 275 cm. Sebelum pemotongan dilakukan, biasanya petani karet mengukur tanaman karetnya untuk

57 menentukan apakah tanaman karet tersebut siap dipotong atau ditunda terlebih dahulu. Pemotongan tajuk adalah untuk mempercepat pembentukan cabang sehingga pertanaman cepat menutup dan tumbuh dengan kokoh. Pemotongan tajuk kemudian dilanjutkan dengan penunasan atau membuang tunas-tunas yang tidak diperlukan/liar yang tumbuh dari pangkal batang sampai ketinggian 265 cm. Tujuan penunasan adalah untuk memperoleh tanaman yang lebih jagur dengan batang yang lurus dan mulus. Penunasan dilakukan sejak tanaman tumbuh membentuk payung pertama samapai tanaman berumur 3 tahun. Penunasan dilakukan dengan menggunakan tangan apabila tunas masih lunak atau pisau tajam bila telah menjadi kayu. Arah pemotongan tunas biasanya dilakukan dari arah bawah keatas, agar menghindari terjadinya pengelupasan kulit, apalagi sampai menimbulkan luka kayu. Penunasan dilakukan sebelum tunas liar berkayu agar tidak meninggalkan bekas atau benjolan pada batang, sehingga akan menyulitkan dalam proses penyadapan. Biasanya penunasan dilaksanakan setiap dua minggu sekali. Pemupukan bertujuan untuk mempercepat pertumbuhan dan matang sadap pada tanaman karet. Selain itu juga untuk mempertahankan kesuburan tanah sehingga dapat meningkatkan produktivitas tanaman di masa mendatang. Pupuk yang digunakan petani dilapangan terdiri dari pupuk Urea, SP-36 dan KCL. Kegiatan pemupukan yang dilakukan petani sampel dilokasi penelitian umumnya sebanyak 2 kali dalam setahun. Hal ini dikarenakan keterbatasan sumber daya modal yang dimiliki petani. Takaran pemberian pupuk ditentukan sendiri oleh petani. Pemupukan yang dilakukan petani tidak mengikuti rekomendasi tentang jumlah dan dosis pupuk yang telah dianjurkan. Kondisi ini tentu akan berdampak terhadap produktivitas tanaman karet dimasa yang akan datang. Teknis pemberian pupuk dilakukan dengan cara membuat strip/cokrahan disekitan tanaman karet dengan kedalaman tertentu. Kemudian pupuk ditaburkan pada strip disekitar tanaman karet dan ditimbun kembali dengan tanah. Penyiangan yang dilakukan dengan membuang gulma yang berada disekitar tanaman yang merupakan pesaing bagi tanaman karet dalam mencari makanan. Tujuan penyiangan adalah untuk menekan pertumbuhan gulma sehingga tidak berada pada tingkat yang merugikan tanaman pokok, sanitasi, dan menghilangkan pengaruh buruk bagi tanaman. Setelah gulma dan tamanan penggangu dibersihkan, kemudian baru dilakukan pemupukan. Hal ini untuk menghindari persaingan antara gulma dan tanaman pokok. Gulma-gulma yang umumnya terdapat pada tanaman karet belum menghasilkan adalah mikania (Micania micrantha), putihan (Cromolaena odorata), alang-alang (Imperata cylindrica), kucingan (Mimosa vigra) dan rumput teki (Cyperus rotundus). Kebun yang bersih dari gulma dapat menghindari adanya hewan-hewan yang menjadi hama bagi tanaman belum menghasilkan, seperti monyet yang memakan pucuk daun. Penyiangan gulma dapat dilakukan dengan cara manual maupun cara kimia. Cara manual dilakukan dengan menggunakan parang atau arit, sedangkan cara kimia dilakukan dengan menggunakan herbisida dengan merk dagang Roundop dan alat semprot (hand sprayer). Penggunaan sarana produksi pada tanaman karet tahun ke-1 sampai tahun ke-5 dapat dilihat pada Tabel

58 45 Tabel 12 Rata-rata penggunaan sarana produksi pada usaha tani karet tahun ke-1 sampai tahun ke-5 di lokasi penelitian per hektar No. Input Volume 1. Urea (Kg/ha) SP-36 (Kg/ha) KCL (Kg/ha) Pestisida (liter/ha) Tenaga kerja (HOK/ha) Tahun pertama Tahun kedua sampai kelima Sumber : data primer (diolah) 2013 Biaya produksi usaha tani yang dikeluarkan untuk tanaman karet pada periode tanaman belum menghasilkan diasumsikan tetap kecuali penggunaan tenaga kerja. Pada tahun pertama, tenaga kerja digunakan untuk kegiatan dan penyulaman tanaman yang mati. Kegiatan pemupukan, penyiangan, dan pengendalian hama dan penyakit mulai dilakukan sejak tahun pertama penanaman sampai dengan tahun kelima. Rata-rata biaya yang harus dikeluarkan petani karet pada tahun pertama sebesar Rp /ha, sedangkan biaya dari tahun kedua sampai dengan tahun kelima rata-rata sebesar Rp /ha. Biaya yang dikeluarkan untuk pembelian pupuk dan pestisida pada periode ini masing-masing sebesar Rp /ha dan Rp /ha. Alokasi rata-rata biaya produksi disajikan pada Tabel 13. Tabel 13 Rata-rata biaya produksi pada usaha tani karet tahun ke-1 sampai tahun ke-5 di lokasi penelitian No. Input Biaya input Tahun 1 Tahun Pupuk (Rp/ha/tahun) Pestisida (Rp/ha/tahun) Tenaga kerja (Rp/ha/tahun) Jumlah Sumber : data primer (diolah) Penggunaan Sarana Produksi pada Tanaman Menghasilkan Tanaman karet sudah dapat dikatakan sebagai Tanaman Menghasilkan (TM) apabila tanaman tersebut sudah mulai menghasilkan lateks yang secara rutin dipanen melalui penyadapan dengan teknik yang dianjurkan. Kegiatan pemeliharaan pada tanaman menghasilkan lebih diarahkan kepada kesehatan tanaman, kemudahan pelaksanaan penyadapan dan kelancaran potensi produksi. Pada umumnya tanaman karet dilokasi penelitian sudah memenuhi kriteria matang sadap pada umur 6 tahun. Beberapa klon unggulan lainnya bahkan bisa lebih cepat disadap pada umur 5 tahun. Penyadapan karet dilakukan dengan cara menyayat atau mengiris kulit batang sesuai cara yang berlaku agar diperoleh lateks atau getah yang banyak. Teknis penyadapan karet akan berpengaruh terhadap produksi getah yang dihasilkan. Kesalahan dalam penyadapan akan membawa akibat yang sangat merugikan bagi pohon karet itu sendiri maupun bagi produksi getah.

59 Pada tanaman menghasilkan, kegiatan penyiangan gulma dan tanaman penggangu tetap dilakukan oleh petani. Selain untuk mengurangi gulma dan tanaman penggangu, penyiangan juga bertujuan untuk lebih mempermudah kegiatan penyadapan lateks. Kegiatan penyiangan gulma biasanya dilakukan sebelum pemupukan sehingga pemberian pupuk dapat berjalan efektif. Setelah kebun relatif bersih dari gulma kemudian baru dilanjutkan dengan pemupukan yang dilaksanakan oleh petani sebanyak 2 kali dalam setahun. Biasanya pemupukan dilakukan pada akhir musim hujan (semester 1) dan awal musim hujan (semester 2). Teknis pelaksanaan pemupukan dilapangan yaitu dengan mencampur pupuk urea, SP-36 dan KCL. Pupuk yang telah dicampur kemudian dimasukkan kedalam ember dan ditaburkan dengan menggunakan mangkuk kedalam lubang yang telah disiapkan. Pupuk yang telah ditaburkan kemudian ditutup dengan tanah. Pemupukan bertujuan agar tanaman yang sudah siap sadap dapat menghasilkan lateks sebanyak-banyaknya dan mampu dengan cepat untuk memulihkan luka pada kulit akibat proses penyadapan. Pengendalian penyakit perlu diperhatikan untuk menghindari tanaman dari resiko penularan dan kematian tanaman karet. Penyakit yang umumnya sering dijumpai pada tanaman karet adalah penyakit jamur akar putih. Penyakit ini merupakan penyakit yang paling merugikan karena menyerang akar yang berguna untuk menyerap unsur hara. Penyakit jamur akar putih dapat menular karena adanya kontak antara akar tanaman yang sehat dengan akar tanaman yang sakit atau dengan kayu-kayu yang mengandung jamur. Pengendalian serangan jamur akar putih yang dapat dilakukan petani dengan menggunakan fungisida sistemik dengan merk dagang Anvil dengan konsentrasi ml/l air. Tanaman yang terkena serangan jamur akar putih memiliki ciri-ciri daunnya pucat, menguning dan akhirnya kering. Kegiatan penanganan yang dilakukan petani diawali dengan membuat parit kecil sekeliling pangkal batang dengan menggunakan cangkul. Permukaan akar dikerok untuk membersihkan jamur dengan menggunakan alat yang tumpul agar akar tidak luka. Larutan fungisida disiramkan pada akar yang terserang sebanyak 3 4 liter hingga merata. Parit tersebut kemudian ditutup kembali dengan tanah (Setyamidjaja 1992). Penyadapan karet umumnya dilakukan pada pagi hari, yakni berkisar pada pukul WIB sampai WIB. Hal ini dimaksudkan agar diperoleh hasil lateks yang tinggi, karena pada pagi hari tekanan turgor pada pembuluh lateks masih tinggi sehingga lateks yang keluar dari pembuluh yang terpotong berlangsung dengan aliran yang kuat. Kemudian pengumpulan hasil sadapan dilakukan sebelum menjelang tengah hari. Hal-hal yang menjadi perhatian petani dalam penyadapan karet adalah konsumsi kulit, kedalaman sadapan, dan sudut sadapan (Setyamidjaja 1992). Pemakaian atau konsumsi kulit harus dilakukan dengan baik agar kontinuitas penyadapan dan keberlangsungan hidup tanaman produktif dapat terpelihara dengan baik. Pemakaian kulit yang direkomendasikan adalah 1.5 mm per sekali sadap dengan rumus sadap ½ S d/3. Yang artinya penyadapan dilakukan dengan menyadap setengah spiral (setengah lingkaran batang) dan dilaksanakan dengan rotasi tiga hari sekali. Sebelum diperkenalkan dengan sistem penyadapan ½ S d/3, petani karet dilokasi penelitian masih menggunakan sistem sadap model huruf V. Dari hasil survei dilapangan didapat beberapa petani sampel yang menyatakan bahwa tanaman karetnya rusak akibat teknik penyadapan yang salah. 46

60 47 Untuk mendapatkan hasil yang tinggi, mereka menyadap dengan sayatan yang cukup dalam sehingga mengenai kambium. Kondisi demikian akan merusak bidang sayatan karena pemulihan kulit akan terganggu. Dalam jangka panjang akan menyebabkan tanaman karet rusak dan tidak berproduksi lagi. Arah irisan sadapan yang digunakan dari kiri atas ke kanan bawah dengan sudut sadapan Arah dan sudut sadapan yang demikian bertujuan untuk memudahkan proses penyadapan dan juga agar pembuluh lateks dapat terpotong sebanyak-banyaknya. Rata-rata penggunaan pupuk pada tahun ke-6 tanaman karet terdiri dari pupuk urea sebanyak kg/ha, SP-36 sebanyak kg/ha, dan KCL sebanyak kg/ha. Penggunaan tenaga kerja meliputi pada kegiatan perawatan, pemeliharaan dan juga penyadapan pertama. Alat-alat panen yang digunakan untuk penyadapan karet adalah pisau sadap, batu asah, ember, wadah cuplump mangkuk, dan parang. Penggunaan tenaga kerja pada periode ini sebanyak HOK, yang merupakan tenaga kerja dalam keluarga. Alokasi curahan waktu tenaga kerja yang digunakan pada periode ini sebagian besar untuk kegiatan penyadapan karet. Tabel 14 Rata-rata penggunaan sarana produksi pada usaha tani karet tahun ke-6 sampai tahun ke-25 di lokasi penelitian per hektar No. Input Volume 1. Urea (Kg/ha) SP-36 (Kg/ha) NPK (Kg/ha) Pestisida (liter/ha) Tenaga kerja (HOK/ha) Sumber : data primer (diolah) 2013 Biaya rata-rata usaha tani karet pada tahun ke-6 sampai tahun ke-25 diasumsikan tetap, yakni sebesar Rp Alokasi biaya produksi terbesar pada periode ini dikeluarkan untuk tenaga kerja sebanyak Rp /ha/tahun (48.14%). Biaya tenaga kerja ini meliputi pengeluaran untuk kegiatan pemeliharaan, pemupukan, pengendalian gulma dan panen. Biaya pembelian pupuk sebesar Rp /ha/tahun (11.37%). Selanjutnya biaya untuk pembelian pestisida sebesar Rp (6.57%). Biaya lainnya yang dibebankan kepada petani karet sebesar Rp 200/kg jumlah produksi. Biaya ini terdiri dari honor pengurus, biaya sosial, lumbung desa, biaya muat dan biaya pemeriksaan kualitas. Tabel 15 Rata-rata biaya produksi pada usaha tani karet tahun ke-6 sampai dengan tahun ke-25 di lokasi penelitian No. Input Biaya input Persentase (%) 1. Pupuk (Rp/ha/tahun) Pestisida (Rp/ha/tahun) Tenaga kerja (Rp/ha/tahun) Biaya lainnya Rp200 x Produksi Jumlah Sumber : data primer (diolah) 2013 Analisis usaha tani karet dilakukan untuk melihat seberapa besar pendapatan dan biaya yang dikeluarkan untuk luasan satu hektar dalam 25 tahun masa

61 48 produksi tanaman yang ditampilkan pada Lampiran 1. Analisis pendapatan usaha tani untuk penanaman satu hektar, pada tahun ke-0 sampai tahun ke-5 menunjukkan penerimaan dari hasil produksi masih negatif dikarenakan pada periode ini masih digunakan untuk investasi dan tanaman karet belum menghasilkan. Tanaman karet sudah menghasilkan keuntungan pada tahun ke- 6.Cashflowfinansial usaha tani karet dapat dilihat pada Lampiran 3. Umur tanaman karet petani di lokasi penelitian berkisar antara tahun. Data produksi karet tersebut dikumpulkan berdasarkan data produksi aktual, sedangkan data produksi tahun-tahun sebelumnya didekati dengan hasil penelitian teknis yang relevan dengan penelitian ini. Rata-rata produksi karet rakyat dilokasi penelitian selama dua puluh lima tahun sebesar kg/ha/tahun. Penerimaan, biaya dan keuntungan usaha tani karet disajikan pada Tabel 16. Tabel 16 Analisis keuntungan usaha tani karet per hektar per tahun Uraian Rata-rata Produksi (Kg/ha/tahun) Harga (Rp/kg) Penerimaan (Rp/ha/tahun) Biaya input (Rp/ha/tahun) Biaya panen lainnya (Rp/ha/tahun) Keuntungan (Rp/ha/tahun) Sumber : data primer (diolah) Usaha Tani Kelapa Sawit Secara umum tahapan kegiatan pengelolaan perkebunan kelapa sawit berdasarkan fase pertumbuhan tanaman terbagi dalam dua periode, yaitu fase vegetatif atau tanaman belum menghasilkan dan fase generatif atau tanaman menghasilkan. Pada fase vegetatif ini tanaman kelapa sawit berumur antara 1 3 tahun. Kegiatan pemeliharaan tanaman yang belum menghasilkan ditujukan untuk menyiapkan tanaman agar mampu memberikan produksi yang tinggi, sedangkan pada fase generatif, pengelolaan tanaman dilakukan pada kegiatan pemeliharaan dan pengaturan penggunaan input, seperti pupuk dan pestisida yang tepat jumlah dan dosis. Fase ini generatif dimulai saat umur tanaman mencapai 3 4 tahun. Pengusahaan perkebunan kelapa sawit rakyat pada umumnya masih dilakukan secara sederhana. Bibit kelapa sawit yang digunakan umumnya diperoleh dari Pusat Penelitian Kelapa Sawit (PPKS) di Medan. Selain menggunakan bibit yang berasal dari PPKS, petani juga menggunakan bibit hasil penangkaran sendiri yang tidak jelas kualitasnya, yang disebut juga dengan mariles (marihat lelesan). Hal ini sangat berpengaruh terhadap produksi kelapa sawit yang dihasilkan oleh petani, sehingga akan berdampak terhadap produktifitas kelapa sawit petani perkebunan rakyat yang lebih rendah bila dibandingkan dengan perkebunan swasta dan negara. Penggunaan bibit unggul dilakukan untuk mendapatkan produksi kelapa sawit yang tinggi. Bibit kelapa sawit bisa diperoleh dari pedagang penangkar bibit setempat. Perawatan tanaman juga dilakukan dengan pemupukan dan penyiangan dengan intensitas yang terbatas. Dalam pengelolaan usaha perkebunan kelapa sawit, ada dua pola petani yang terdapat di lokasi penelitian, yaitu petani kelapa sawit pola Perkebunan Inti

62 Rakyat (PIR) atau petani plasma dan petani kelapa sawit pola swadaya. Ada beberapa perbedaan karekteristik usaha tani kelapa sawit pola PIR dengan usaha tani pola swadaya. Pada usaha tani pola PIR, petani kelapa sawit akan dibantu dalam melakukan perencanaan usaha tani, mulai dari penyediaan sarana produksi, aktivitas produksi, kegiatan panen sampai dengan penanganan pasca panen serta pemasaran. Petani kelapa sawit dengan pola PIR sudah dipastikan menjadi anggota kelompok tani yang telah dibentuk sebelumnya. Kelompok tani mempunyai peran untuk melakukan komunikasi dengan pihak inti/perusahaan berkaitan dengan kondisi teknis usaha tani kelapa sawit. Kelompok tani ini juga aktif melakukan negoisasi harga dan berbagai kegiatan pengembangan perkebunan kelapa sawit lainnya. Menurut Suroso (2008), ada beberapa keuntungan yang diperoleh petani plasma sebagai anggota kelompok tani. Pertama, kelompok tani akan mengorganisir petani anggotanya dalam membeli sarana produksi, seperti pupuk, pestisida dan peralatan pertanian lainnya dengan harga yang relatif murah. Hal ini dikarenakan kelompok tani melakukan pembelian secara kolektif sehingga sarana produksi dapat disediakan dengan tepat waktu. Kedua, kelompok tani mampu menjadi wadah bagi petani dalam mengatasi masalah-masalah yang dihadapi dalam kegiatan usaha tani kelapa sawit. Kelompok tani juga aktif mengadakan penyuluhan dengan mendatangkan tenaga penyuluh dari Universitas Jambi maupun dari Dinas Perkebunan Kabupaten Muaro Jambi. Adanya penyuluhan diharapkan dapat terjadinya transfer teknologi dan inovasi baru dalam pembudidayaan tanaman kelapa sawit. Kegiatan penyuluhan di lokasi penelitian diadakan sebulan sekali. Ketiga, kelompok juga berperan dalam melakukan pemasaran produk dan negoisasi harga. Penjualan TBS yang dilakukan berkelompok akan menghemat biaya transportasi. Selain itu posisi tawar petani dalam menetapkan harga jual TBS akan lebih kuat dibandingkan apabila petani melakukan penjualan secara perorangan. Petani plasma juga diwajibkan menjadi anggota koperasi dikarenakan dalam melakukan penjualan TBS ke pihak perusahaan dilakukan secara kolektif. Penjualan TBS secara kolektif dan melalui koperasi bertujuan untuk menghindari pihak perusahaan melakukan pembelian TBS yang didapat dari hasil pencurian. Selain aktif dalam melakukan penjualan TBS, koperasi juga menyediakan sembilan bahan pokok bagi petani, sarana produksi, pengangkutan TBS dan simpan pinjam. Dengan demikian, petani plasma akan sangat terbantu dalam berbagai aktivitas dalam pengelolaan kebun kelapa sawit dan pemenuhan kebutuhan sehari-hari. Petani sampel di lokasi penelitian merupakan petani kelapa sawit swadaya yang mengusahakan dan mengelola perkebunan kelapa sawit secara mandiri. Sebagian besar petani sampel kelapa sawit yang diwawancarai tidak ikut terlibat aktif dalam kegiatan kelompok tani. Rata-rata pemasaran hasil TBS petani kelapa sawit swadaya dijual melalui pedagang pengumpul atau tauke. Adapun profil usaha tani kelapa sawit disajikan pada Tabel

63 50 Tabel 17 Profil usaha tani kelapa sawit pada kebun karet yang dikonversi No. Uraian Jumlah 1. Luas lahan (Ha) Jumlah batang/ha Umur tanaman (Tahun) Tanaman berproduksi (%) Pengalaman usaha tani (Tahun) Sumber : data primer (diolah) 2013 Tabel 17 memperlihatkan bahwa penguasaan lahan petani sampel yang dialihfungsikan menjadi perkebunan kelapa sawit rata-rata seluas 2 hektar. Pola konversi yang dilakukan petani kelapa sawit adalah pola bertahap maupun pola sisipan. Pola bertahap dilakukan dengan mengganti sebagian dari kebun tanaman karet yang dimilikinya, sedangkan pola sisipan dengan cara menanam bibit kelapa sawit diantara pohon karet. Hal ini dilakukan petani agar selama tanaman kelapa sawitnya belum menghasilkan, petani masih menerima pendapatan dari sisa kebun karet yang masih ada. Pola konversi bertahap maupun sisipan tersebut membuat umur tanaman kelapa sawit yang dimiliki seorang petani dalam satu kapling kebun kelapa sawit relatif tidak seragam. Kemudian setelah tanaman kelapa sawit sudah menghasilkan, kebun karet yang tersisa baru dikonversi. Jumlah tanaman kelapa sawit per hektar rata-rata berjumlah batang, dengan rata-rata umur tanaman tahun. Umur tanaman kelapa sawit petani sampel tersebut sudah dalam kategori tanaman menghasilkan. Pengalaman berusaha tani kelapa sawit petani sampel rata-rata sekitar tahun. Sebelum mengusahakan perkebunan kelapa sawit sendiri, rata-rata petani sampel pernah bekerja pada perusahaan perkebunan kelapa sawit, baik sebagai buruh tani harian maupun pengawas lapangan/mandor Penggunaan Sarana Produksi pada Tanaman Belum Menghasilkan a. Investasi awal Kegiatan pembukaan lahan baru untuk perkebunan kelapa sawit memerlukan biaya investasi. Biaya investasi pada perkebunan kelapa sawit ditetapkan pada tahun ke-0 sampai tahun ke-2 atau pada saat tanaman masih belum menghasilkan. Biaya yang dikeluarkan untuk investasi awal dalam pembangunan perkebunan kelapa sawit seperti untuk pembelian sarana produksi seperti pembelian bibit, lahan dan biaya tenaga kerja. Permasalahan utama bagi petani perkebunan kelapa sawit rakyat adalah sulit untuk mendapatkan bibit unggul bersertifikat dengan harga yang relatif terjangkau. Untuk mendapatkan bibit yang berkualitas, petani harus melakukan pemesanan dahulu dengan pedagang penangkar bibit yang dipercaya. Saat ini harga kecambah kelapa sawit produksi Pusat Penelitian Kelapa Sawit (PPKS) di tingkat pedagang masih relatif mahal dengan harga sekitar Rp15 000/kecambah. Selain menggunakan bibit unggul petani juga sering menggunakan bibit hasil penangkaran sendiri. Bibit hasil penangkaran sendiri biasanya digunakan untuk menyulam bibit tanaman yang rusak atau mati. Petani kelapa sawit yang mengganti tanaman karet mendapatkan penerimaan dari penjualan kayu karet. Permintaan kayu karet untuk bahan baku industri pengolahan kayu relatif cukup

64 51 tinggi dikarenakan bahan baku kayu log yang berasal dari hutan sulit didapatkan dan harganya yang mahal sehingga pengusaha kayu olahan mencari alternatif kayu karet sebagai bahan baku alternatif. Penggunaan tenaga kerja dilakukan pada kegiatan pembukaan dan pengolahan lahan sampai siap untuk ditanam bibit kelapa sawit. Tahapan-tahapan tersebut terdiri dari pembersihan sisa batang dan akar tanaman karet yang tersisa dengan cara dibakar, pembersihan gulma, mengatur jarak tanam membuat lobang tanam, penanaman dan penyisipan tanaman yang mati. Umumnya untuk pembukaan lahan baru untuk perkebunan kelapa sawit, petani hanya menggunakan tenaga kerja dalam keluarga. Hal ini dikarenakan pembukaan lahan baru untuk tanaman kelapa sawit tidak memerlukan pengolahan lahan yang intensif karena akar kelapa sawit mampu menembus lapisan tanah tanpa diolah. Tenaga kerja juga diperlukan untuk kegiatan perawatan dan pemeliharaan sampai bibit siap ditanam dikebun. Selain mengkonversi tanaman karet ke kelapa sawit secara sistem bertahap, ada juga petani yang menggunakan sistem sisipan. Bibit kelapa sawit yang siap dipindahkan ke kebun ditanam diantara pohon karet. Kemudian setelah bibit mampu tumbuh dan berkembang, pohon karet ditebang dengan hati-hati untuk menghindari kerusakan pada bibit kelapa sawit yang terdapat diantara pohon karet tersebut. Rata-rata biaya investasi yang dikeluarkan untuk usaha tani kelapa sawit disajikan pada Tabel 18. Tabel 18 Rata-rata biaya investasi usaha tani kelapa sawit No. Input Biaya input Persentase (%) 1. Bibit (Rp/ha) Lahan (Rp/ha) Pestisida (Rp/ha) Peralatan (Rp/ha) Tenaga kerja (Rp/ha) Jumlah Sumber : data primer (diolah) 2013 Pestisida digunakan saat pembukaan lahan baru. Lahan bekas areal kebun karet yang belum ditanam akan ditumbuhi oleh gulma dan tanaman penggangu lainnya. Selain untuk pembukaan lahan, pestisida juga digunakan dalam tahap perawatan tanam. Biaya tenaga kerja yang digunakan pada tahap awal kegiatan pembukaan kebun, terdiri dari pengolahan lahan, dan pembuatan lubang dengan tingkat upah yang berlaku di lokasi penelitian sebesar Rp per hari. Peralatan pertanian yang digunakan pada kebun kelapa sawit, seperti cangkul, sabit, parang, takaran pupuk, gerobak, garpu, hand sprayer, dodos dan egrek. Dodos dan egrek digunakan untuk kegiatan pemanenan. Dodos digunakan pada tanaman umur 3 sampai sampai 9 tahun dengan ketinggian batang maksimal 4 meter, sedangkan egrek digunakan pada tanaman yang berumur lebih dari 9 tahun dengan tinggi batang lebih dari 9 meter. b. Tanaman berumur satu sampai dua tahun Secara umum budidaya kelapa sawit yang dilakukan petani sudah mengikuti pola budidaya yang telah dianjurkan. Hal ini dapat dilihat dari penggunaan bibit unggul dan pemberian pupuk organik dan anorganik. Dari hasil wawancara

65 dengan petani sampel didapatkan bahwa informasi dan adopsi teknologi tentang cara budidaya kelapa sawit yang baik mereka dapatkan dari kegiatan penyuluhan yang diadakan oleh perusahaan inti untuk petani plasma disekitar desa mereka. Jarak tanam yang digunakan dalam usaha tani kelapa sawit adalah 9 x 9 meter bahkan sampai 8 x 8 meter sehingga bibit yang dibutuhkan menjadi lebih banyak. Rata-rata penggunaan bibit petani sampel di lokasi penelitian sebanyak 128 batang per hektar. Kerapatan tanam merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi produktivitas tanaman kelapa sawit. Jarak tanam yang terlalu rapat dapat menyebabkan pertumbuhan kelapa sawit dapat terganggu. Hal ini dikarenakan kelapa sawit yang terlindung kurang mendapat cahaya matahari sehingga pertumbuhannya akan meninggi, lemah, jumlah daun sedikit dan produksi bunga betina berkurang. Berdasarkan jumlah populasi tanaman kelapa sawit yang banyak digunakan di perkebunan di Indonesia adalah 143 batang per hektar (PPKS 2006). Umur tanaman kelapa sawit yang berkisar antara satu sampai dua tahun, memerlukan kegiatan pemeliharaan dan perawatan yang lebih intensif. Kegiatan pemeliharaan dilakukan agar tanaman mencapai tingkat pertumbuhan yang sehat dan mencapai produktivitas yang tinggi. Hal ini terutama pada kegiatan pengendalian gulma dan pemupukan bibit tanaman. Pengendalian gulma dapat dilakukan dengan cara penyemprotan herbisida dan penyiangan gulma yang berada dibawah tajuk tanaman. Pada tahap ini, pemberian pupuk tanaman dilakukan antara 3-4 kali dalam setahun. Rata-rata penggunaan pupuk Urea, SP-36, KCL dan pupuk kandang masing-masing adalah sebesar kg/ha, kg/ha, kg/ha dan kg/ha. Penggunaan pupuk kandang yang lebih banyak dibanding pupuk lainnya dikarenakan harganya yang relatif murah dan mudah didapat dari pedagang pupuk kandang yang menawarkan pupuk disekitar lokasi perkebunan. Kebutuhan tenaga kerja pada saat ini rata-rata sebanyak 9.78 HOK, dimana alokasi penggunaan tenaga kerja lebih difokuskan untuk kegiatan penyisipan tanaman yang mati, pemupukan, penyiangan gulma dan pengendalian hama dan penyakit tanaman. Pemupukan yang dilakukan petani bertujuan untuk meningkatkan unsur hara didalam tanah. Pupuk yang biasa digunakan petani sampel dilokasi adalah pupuk yang banyak terdapat dipasaran seperti pupuk Urea, SP-36, KCL dan pupuk kandang. Pupuk tersebut relatif mudah didapatkan dipasaran dengan harga terjangkau. Beberapa jenis pupuk yang direkomendasikan untuk tanaman kelapa sawit, seperti Rock Phosphati (RP), pupuk ZA, pupuk Muriate of Potash (MPO) dan pupuk dolomit sulit diperoleh dilokasi penelitian. Jenis pupuk tersebut umumnya digunakan oleh perusahaan perkebunan besar. Penggunaan lahan bekas tanaman karet juga mempengaruhi jarak tanam bibit kelapa sawit. Kegiatan pemeliharan untuk bibit yang baru ditanam juga dilakukan, seperti pemupukan dan pembersihan gulma. Pada bibit yang baru ditanam, pupuk yang digunakan dengan dosis kecil tetapi dengan intensitas yang lebih sering. 52

66 53 Tabel 19 Rata-rata penggunaan sarana produksi pada usaha tani kelapa sawit tahun ke-1 dan ke-2 di lokasi penelitian per hektar No. Input Volume 1. Urea (Kg/ha) SP-36 (Kg/ha) KCL (Kg/ha) Pupuk kandang (Kg/ha) Pestisida (liter/ha) Tenaga kerja (HOK/ha) Tahun pertama Tahun kedua 9.01 Sumber : data primer (diolah) 2013 Biaya usaha tani yang dikeluarkan untuk tanaman kelapa sawit yang belum menghasilkan diasumsikan sama. Penggunaan tenaga kerja pada tahun pertama difokuskan pada kegiatan penanaman bibit kelapa sawit dan kegiatan penyulaman bibit yang mati. Kegiatan pemeliharaan seperti pemupukan, penyiangan dan pengendalian hama dan penyakit juga dilakukan agar bibit yang baru ditanam dapat tumbuh dengan baik. Untuk tahun pertama total biaya yang dikeluarkan untuk pembelian input rata-rata sebesar Rp dan tahun kedua rata-rata sebesar Rp Kemudian selanjutnya biaya untuk pembelian pupuk dan pestisida masing-masing sebesar Rp /ha dan Rp /ha. Biaya tenaga kerja dan peralatan masing-masing sebesar Rp /ha dan Rp /ha. Alokasi rata-rata biaya produksi disajikan pada Tabel 20. Tabel 20 Rata-rata biaya produksi pada usaha tani kelapa sawit tahun ke-1 dan ke-2 di lokasi penelitian No. Input Biaya input Tahun 1 Tahun 2 1. Pupuk (Rp/ha/tahun) Pestisida (Rp/ha/tahun) Tenaga kerja (Rp/ha/tahun) Jumlah Sumber : data primer (diolah) 2013 Penggunaan tenaga kerja pada periode ini lebih difokuskan kepada pemelihaaran dan persiapan tanaman untuk memasuki periode pemanenan. Pemeliharaan meliputi penyiangan gulma dan pemupukan. Selain itu juga dilakukan kegiatan pemangkasan daun yang bertujuan memperoleh tanaman yang bersih dan dapat memudahkan kegiatan pemanenan. Untuk merangsang pertumbuhan vegetatif tanaman dilakukan pembuangan bunga, baik bunga jantan maupun bunga betina. Kegiatan ini dilakukan sejak tanaman mengeluarkan bunga yang pertama sampai tanaman siap dipanen. Sesudah tahap pembuangan bunga ini dilakukan, kemudian diikuti dengan proses penyerbukan tanaman yang dapat dilakukan secara alami, dengan bantuan serangga maupun secara buatan dengan bantuan manusia.

67 Penggunaan Sarana Produksi pada Tanaman Menghasilkan Tanaman kelapa sawit mulai berbuah setelah berumur 2.5 tahun dan buahnya masak 5.5 bulan setelah penyerbukan. Lahan perkebunan kelapa sawit sudah dapat dipanen jika tanaman telah berumur 31 bulan dengan tingkat persentase kematangan buah lebih dari 60 persen. Ciri tandan buah yang sudah matang adalah jatuhnya sedikitnya 10 buah yang terlepas secara alami dari tandan dan beratnya 10 kg atau lebih. Pada saat tanaman sudah menghasilkan buah pasir, dosis pupuk yang digunakan akan meningkat dibandingkan pada saat tanaman masih belum menghasilkan. Rata-rata jumlah pupuk yang digunakan pada tahun ke-3 tanaman kelapa sawit adalah urea sebanyak kg/ha, SP-36 sebanyak kg/ha, KCL sebanyak kg/ha dan pupuk kandang sebanyak kg/ha. Penggunaan tenaga kerja selain untuk kegiatan perawatan dan pemeliharaan juga mulai disiapkan untuk melakukan panen perdana. Alat-alat panen yang digunakan antara lain dodos, gerobak dorong sebagai alat angkut TBS dan gancu sebagai alat bongkar TBS. Penggunaan tenaga kerja sebanyak 67,39 HOK, terdiri dari HOK tenaga keluarga dan HOK tenaga luar keluarga. Tabel 21 Rata-rata penggunaan sarana produksi pada usaha tani kelapa sawit tahun ke-3 sampai tahun ke-25 di lokasi penelitian per hektar No. Input Volume 1. Urea (Kg/ha) SP-36 (Kg/ha) KCL (Kg/ha) Pupuk kandang (Kg/ha) Pestisida (liter/ha) Tenaga kerja (HOK/ha) Sumber : data primer (diolah) 2013 Biaya rata-rata usaha tani kelapa sawit pada tahun ke-3 sampai tahun ke-25 diasumsikan sama sebesar Rp Alokasi biaya produksi terbesar pada periode ini dikeluarkan untuk tenaga kerja sebanyak Rp /ha/tahun (68.16%). Biaya tenaga kerja ini meliputi pengeluaran untuk kegiatan pemeliharaan, pemupukan, pengendalian gulma dan panen. Kemudian biaya pembelian pupuk sebesar Rp /ha/tahun (21.44%). Selanjutnya biaya untuk pembelian pestisida dan obat-obatan sebesar Rp /ha/tahun (7.29%). Biaya lainnya yang dibebankan kepada petani kelapa sawit sebesar Rp 100/kg dari jumlah hasil produksi. Biaya ini terdiri dari biaya sosial, lumbung desa dan biaya angkut dari kebun ke tepi jalan. Biaya sosial dan lumbung desa tidak dikenakan kepada petani kelapa sawit apabila harga jual TBS dibawah harga Rp1000/kg. Untuk melihat seberapa besar pendapatan dan biaya yang dikeluarkan untuk luasan satu hektar usaha tani kelapa sawit per tahun dalam umur ekonomis selama 25 tahun dapat dilihat dari analisis pendapatan pada Lampiran 2. Analisis pendapatan usaha tani untuk penanaman satu hektar kelapa sawit, dari tahun ke-0 sampai dengan tahun ke-2 masih menunjukkan negatif, yang artinya pada masa ini merupakan periode investasi karena tanaman kelapa sawit masih belum menghasilkan produksi. Tanaman kelapa sawit sudah mulai menghasilkan produksi pada tahun ketiga, dengan produksi tandan buah segar yang dihasilkan

68 55 tanaman kelapa sawit sebesar kg/ha. jika harga ditingkat petani sebesar Rp1 100, maka nilai penjualan yang diperoleh petani sebesar Rp Keuntungan yang yang didapat pada tahun pertama produksi ini sebesar Rp Tabel 22 Rata-rata biaya produksi pada usaha tani kelapa sawit tahun ke-3 sampai dengan tahun ke-25 di lokasi penelitian No. Input Biaya input Persentase (%) 1. Pupuk (Rp/ha/tahun) Pestisida (Rp/ha/tahun) Tenaga kerja (Rp/ha/tahun) Biaya lainnya Rp100 x Produksi Jumlah Sumber : data primer (diolah) 2013 Petani yang mengusahakan tanaman kelapa sawit dengan mengkonversi tanaman karet akan memperoleh pendapatan dari penjualan kayu karet yang dihasilkan dengan sistem borongan sebesar Rp /ha maupun secara parsial dengan harga Rp /M 2. Petani karet yang akan melakukan konversi tanaman karetnya akan menawarkan kayu karet kepada pengusaha industri pengolahan kayu, baik yang berada disekitar wilayah mereka maupun yang berdomisili diluar kecamatan. Permintaan kayu karet meningkat seiring dengan terbatasnya penawaran kayu log yang berasal dari hutan karena peraturan pemerintah sehingga kayu karet dapat dijadikan alternatif bahan baku pengganti kayu log. Penerimaan awal dari penjualan kayu karet dapat digunakan untuk tambahan biaya investasi dalam pembukaan perkebunan baru kelapa sawit. Adapun besarnya aliran cashflow dari pengusahaan kelapa sawit dapat dilihat pada Lampiran 4. Hasil kelapa sawit yang sudah dipanen dilakukan dengan menyiapkan TBS ditepi jalan kemudian pedagang pengumpul (tauke) datang untuk melakukan penimbangan. Harga ditentukan sepihak oleh pedagang pengumpul tanpa mempertimbangkan umur tanaman kelapa sawit. Harga jual resmi kelapa sawit yang dikeluarkan instansi terkait menyatakan bahwa harga sawit cendurung naik seiring dengan pertambahan umur tanaman, akan tetapi kenyataan dilapangan pedoman harga tersebut tidak berlaku (Lampiran 5). Petani kelapa sawit tetap menerima harga yang ditetapkan oleh pedagang pengumpul karena jika mereka memiliki keterbatasan modal untuk biaya transportasi TBS, dan akses penjualan ke pabrik pengolahan kelapa sawit. Pihak pabrik hanya mau menerima TBS yang berasal dari kebun plasma yang dijual secara kolektif oleh koperasi atau kelompok tani yang resmi ditunjuk oleh perusahaan. Hal ini dilakukan untuk menghindari TBS ilegal hasil pencurian. Umumnya para pedagang pengumpul mempunyai akses ke pabrik untuk menjual hasil kelapa sawit yang didapatnya dari petani. Rata-rata umur tanaman kelapa sawit petani di lokasi penelitian berkisar 11 tahun. Data produksi aktual tanaman menghasilkan hanya didapat sampai pada tahun ke 13, sedangkan tahun-tahun selanjutnya merupakan data produksi hasil yang merujuk pada penelitian Hamdan (2011). Hasil penelitian PPKS menyebutkan bahwa produksi kelapa sawit mengalami peningkatan dari umur 3 13 tahun. Penurunan produksi terjadi pada umur tanaman antara tahun

69 56 dengan rata-rata laju penurunan produksi berkisar antara 5 10 persen. Pemanenan dilakukan setiap dua minggu sekali atau 24 kali dalam setahun. Ratarata produksi TBS yang dihasilkan oleh tanaman kelapa sawit selama 25 tahun adalah sebesar kg/ha/tahun dengan pendapatan yang diterima petani kelapa sawit sebesar Rp /ha/tahun dengan keuntungan sebesar Rp /ha/tahun. Penerimaan, biaya dan keuntungan usaha tani kelapa sawit disajikan pada Tabel 23. Tabel 23 Analisis keuntungan usaha tani kelapa sawit per hektar per tahun Uraian Rata-rata Produksi (Kg/ha/tahun) Harga (Rp/kg) Penerimaan (Rp/ha/tahun) Biaya input (Rp/ha/tahun) Biaya panen lainnya (Rp/ha/tahun) Keuntungan (Rp/ha/tahun) Sumber : data primer (diolah) Perbandingan Kelayakan Finansial Usaha Tani Karet dan Kelapa Sawit Kegiatan pengelolaan tanaman perkebunan dilakukan dalam jangka waktu panjang. Kondisi tersebut akan mempengaruhi nilai manfaat yang dihasilkan dari usaha tani karet dan kelapa sawit. Pada Tabel 24 dapat dilihat bahwa usaha tani karet memberikan keuntungan yang lebih besar dibandingkan dengan usaha tani kelapa sawit (Rp /hektar/tahun : Rp /hektar/tahun). Nilai keuntungan yang terdiskonto dengan tingkat suku bunga 5.25 persen selama 25 tahun menunjukkan pengusahaan tanaman karet memiliki nilai lebih tinggi sebesar Rp /hektar dari pada usaha tani kelapa sawit yang hanya sebesar Rp /hektar. Hal ini dapat diartikan bahwa nilai manfaat yang diperoleh dari usaha tani karet 3.43 kali lebih besar dibandingkan pada kebun yang ditanam kelapa sawit. Dengan demikian motif ekonomi yang dilakukan petani karet untuk mendapatkan keuntungan dengan mengkonversi tanaman karet menjadi kelapa sawit tidak terbukti. Perbandingan nilai keuntungan usaha tani karet dan kelapa sawit terdiskonto selama 25 tahun dapat dilihat pada Tabel 24. Tabel 24Perbandingan nilai keuntungan terdiskonto usaha tani karet dan kelapa sawit di lokasi penelitian Uraian Karet Kelapa Sawit Penerimaan (Rp/ha/tahun) Biaya input (Rp/ha/tahun) Keuntungan (Rp/ha/tahun) NPV (Rp) IRR (%) B/C ratio Sumber : data primer (diolah) 2013 Periode pengusahaan tanaman perkebunan karet dan kelapa sawit yang relatif lama (25 tahun) sangat memungkinkan terjadinya perubahan harga jual

70 57 maupun harga input. Fluktuasi harga ouput dan harga input tentunya akan mempengaruhi petani dalam mengelola usaha tani dan juga dalam melakukan investasi untuk perkebunan karet dan kelapa sawit. Untuk melihat seberapa besar pengaruh perubahan harga output dan input terhadap usaha tani, maka digunakan analisis sensitivitas. Penurunan harga karet dan kenaikan harga input masingmasing sebesar 10 persen dalam usaha tani karet (dengan asumsi variabel lain tetap) menyebabkan investasi menjadi tidak layak untuk diusahakan, tetapi hanya menyebabkan terjadinya penurunan nilai. Kondisi sebaliknya, pada pengusahaan kelapa sawit jika terjadi penurunan harga output sebesar 10 persen (dengan asumsi variabel lain tetap), maka investasi pada perkebunan kelapa sawit menjadi tidak layak diusahakan, sedangkan kenaikan harga input sebesar 10 persen hanya menyebabkan penurunan nilai saja Dampak Konversi terhadap Penggunaan Input Usaha Tani Alokasi Tenaga Kerja Tenaga kerja merupakan faktor produksi produksi yang unik dan berbeda dengan faktor produksi lainnya seperti modal. Perbedaan utama adalah sumberdaya tenaga kerja tidak dapat dipisahkan secara fisik dari tenaga kerja itu sendiri. Menurut Soekartawi (1993) setiap usaha pertanian yang akan dilaksanakan pasti memerlukan tenaga kerja. Oleh karena itu dalam analisis ketenagakerjaan bidang pertanian, penggunaan tenaga kerja dinyatakan oleh besarnya tenaga kerja. Curahan tenaga kerja yang dipakai adalah besarnya tenaga kerja efektif yang dipakai. Skala usaha akan mempengaruhi besar kecilnya jumlah tenaga kerja yang dibutuhkan. Biasanya usaha pertanian skala kecil akan menggunakan tenaga kerja dalam keluarga dan tidak perlu tenaga kerja ahli (skilled). Tenaga kerja dalam kegiatan usaha tani dapat bersumber dari dalam keluarga dan luar keluarga. Tenaga kerja dalam keluarga sebagian besar berasal dari keluarga petani yang terdiri dari ayah sebagai kepala keluarga, istri dan anak, sedangkan tenaga kerja dari luar keluarga dapat berupa tenaga kerja harian atau borongan. Sistem pembayaran tenaga kerja dari luar keluarga dapat berupa pembayaran secara tunai maupun dengan bagi hasil yang didapat dari penjualan hasil dengan yang besarnya tergantung kesepakatan. Salah satu perubahan yang terjadi dalam konversi tanaman karet ke kelapa sawit adalah alokasi penggunaan tenaga kerja. Realokasi penggunaan tenaga kerja yang terjadi akibat konversi tanaman dapat berasal dari dalam maupun luar keluarga. Perbandingan jumlah alokasi penggunaan tenaga kerja pada usaha tani karet dan kelapa sawit dihitung pada tanaman menghasilkan. Hal ini dikarenakan konversi tanaman yang dilakukan pada saat umur tanaman masih produktif atau menghasilkan. Penggunaan rata-rata tenaga kerja dalam dan luar keluarga yang dihitung pada tanaman menghasilkan meliputi pada kegiatan pemupukan tanaman, penyiangan gulma, pengendalian hama penyakit dan pemanenan. Alokasi penggunaan tenaga kerja dalam dan luar keluarga pada usaha tani karet dan kelapa sawit per hektar per tahun disajikan pada Tabel 25.

71 58 Tabel 25 Alokasi penggunaan tenaga kerja pada usaha tani karet dan kelapa sawit tahun 2013 per hektar per tahun di lokasi penelitian Penggunaan Tenaga Kerja (HOK) Kegiatan Karet Kelapa Sawit TKDK TKLK TKDK TKLK Pemupukan Penyiangan Pengendalian HPT Pemanenan Jumlah Sumber : data primer (diolah) Tabel 25 menunjukkan bahwa alokasi waktu tenaga kerja pada usaha tani karet, petani sampel hanya menggunakan tenaga kerja yang berasal dari dalam keluarga, sedangkan pada usaha tani kelapa sawit menggunakan tenaga kerja baik yang berasal dari dalam keluarga maupun luar keluarga. Alokasi waktu yang digunakan untuk kegiatan perawatan dan pemeliharaan tanaman pada usaha tani kelapa sawit relatif lebih banyak atau instensif jika dibandingkan dengan pemeliharaan dan perawatan tanaman karet. Total alokasi waktu yang digunakan untuk kegiatan perawatan dan pemeliharaan tanaman karet hanya sebesar HOK/ha/tahun, sedangkan pada usaha tani kelapa sawit sebesar HOK/ha/tahun, dengan penggunaan tenaga kerja dalam keluarga sebesar 5.81 HOK/ha/tahun dan tenaga kerja luar keluarga sebesar HOK/ha/tahun. Namun, pada kegiatan pemanenan, tanaman karet memerlukan penggunaan waktu tenaga kerja yang lebih instensif dibandingkan dengan tanaman kelapa sawit. Hal ini dikarenakan kegiatan penyadapan karet dilakukan hampir setiap hari jika kondisi cuaca tidak hujan, sedangkan pemanenan tandan buah segar kelapa sawit dilakukan setiap dua minggu sekali. Penggunaan tenaga kerja luar keluarga pada saat pemanenan buah sawit yang telah matang dilakukan agar kegiatan pemanenan buah dapat berjalan dengan cepat dan selesai dalam satu hari saja. Hal ini dilakukan untuk menghindari kerugian akibat harga buah sawit yang rendah bila dijual lebih dari satu hari. Buah sawit yang akan diolah dengan waktu panen lebih dari sehari akan menyebabkan kandungan asam lemak bebasnya tinggi mempengaruhi kualitas minyak yang dihasilkan. Penggunaan tenaga kerja dalam keluarga pada usaha tani kelapa sawit relatif berkurang disebabkan adanya penambahan tenaga kerja luar keluarga. Pengusahaan tanaman karet akan menyita curahan waktu yang dimiliki petani untuk sepenuhnya digunakan dalam kegiatan budidaya perkebunan karet. Dari hasil survei dilokasi penelitian diketahui bahwa petani sampel kelapa sawit yang mengkonversi tanaman karet menjadi kelapa sawit memiliki sumber pekerjaan lain selain berkebun kelapa sawit. Dengan demikian kegiatan konversi tanaman yang dilakukan petani berdampak terhadap alokasi waktu petani untuk mendapatkan peluang mencari alternatif pekerjaan lain diluar usaha tani kelapa sawit. Pekerjaan lain yang dimiliki petani sampel kelapa sawit dalam bidang perdagangan sebanyak 9 orang (28.13%), sektor jasa sebanyak 8 orang (25%), karyawan swasta sebanyak 6 orang (18.75%), wirausaha sebanyak 4 orang (12.50%) dan usaha ternak sebanyak 5 orang (15.63%). Distribusi sumber

72 59 pekerjaan lain yang dimiliki oleh petani sampel kelapa sawit dapat dilihat pada Gambar 6. Usaha ternak Perdagangan Wirausaha Swasta Sektor jasa Gambar 6. Distribusi pekerjaan sampingan petani kelapa sawit Selain terjadinya perubahan alokasi waktu pada penggunaan tenaga kerja dalam keluarga, konversi tanaman perkebunan karet ke kelapa sawit juga berdampak terhadap penggunaan tenaga kerja luar keluarga. Penggunaan tenaga kerja luar keluaga pada usaha tani kelapa sawit mampu menciptakan kesempatan kerja bagi buruh tani harian. Penggunaan tenaga kerja luar keluarga pada usaha tani kelapa sawit meliputi kegiatan pemupukan, penyiangan gulma, pengendalian hama penyakit dan pemanenan. Petani kelapa sawit harus menganggarkan biaya untuk upah buruh tani harian yang tidak pernah dilakukan sebelumnya pada usaha tani karet dikarenakan sepenuhnya hanya menggunakan tenaga kerja dalam keluarga saja. Penggunaan tenaga kerja luar keluarga terbesar dibutuhkan terutama pada kegiatan pemanenan. Hal ini dikarenakan untuk melakukan pemanenan TBS diperlukan proses yang cepat agar hasil panen TBS tidak rusak. Upah yang harus dikeluarkan oleh petani kelapa sawit akibat penggunaan tenaga kerja luar keluarga dengan jumlah total HOK adalah sebesar Rp /ha/tahun. Untuk lebih jelasnya mengenai rata-rata upah yang dikeluarkan petani untuk tahap kegiatan pada usaha tani kelapa sawit dapat dilihat pada Tabel 26. Tabel 26 Rata-rata pengeluaran untuk upah buruh tani pada per tahap kegiatan budidaya kelapa sawit tahun 2013 di lokasi penelitian Kegiatan Unit Harga/unit Jumlah Nilai (Rp) (Rp) (Rp) Pemupukan HOK Penyiangan HOK Pengendalian HPT HOK Pemanenan HOK Jumlah Sumber : data primer (diolah) 2013

73 Penggunaan Pupuk Pupuk merupakan salah satu sarana produksi yang digunakan dalam kegiatan usaha tani karet dan kelapa sawit. Pemupukan bertujuan agar tanaman yang dibudidayakan dapat tumbuh dengan baik. Pupuk terdiri dari pupuk organik dan non organik. Pupuk organik merupakan pupuk yang berupa campuran bahanbahan yang terdapat dialam, seperti pupuk kandang dan kompos, sedangkan pupuk non organik merupakan pupuk kimia yang dibuat dipabrik dengan menambahkan zat-zat kimia tertentu pada pupuk yang akan dihasilkan. Penggunaan pupuk yang tepat waktu dan dosis pada kegiatan usaha tani sangat penting karena akan berpengaruh terhadap produktivitas tanaman. Konversi tanaman karet ke kelapa sawit mengakibatkan perubahan dalam penggunaan sarana produksi seperti pupuk sehingga berdampak terhadap biaya usaha tani yang harus dikeluarkan oleh petani. Berdasarkan data yang diperoleh dilapangan jumlah penggunaan pupuk pada usaha tani kelapa sawit relatif lebih besar jumlahnya jika dibandingkan dengan usaha tani karet. Hal ini dikarenakan kelapa sawit membutuhkan dosis dan jumlah pupuk yang relatif besar jumlahnya agar produktivitas tanaman menjadi tinggi. Selain menggunakan pupuk kimia, petani kelapa sawit juga menggunakan pupuk organik seperti pupuk kandang. Penggunaan pupuk organik dapat menjadi alternatif apabila harga pupuk mahal dan keberadaannya langka dipasaran. Aplikasi penggunaan pupuk kandang tidak dilakukan pada perkebunan karet. Hal ini untuk menghindari serangan penyakit yang timbul dari penggunaan kotoran ternak. Penggunaan Jumlah dan nilai penggunaan pupuk pada usaha tani karet dan kelapa sawit disajikan pada Tabel 27. Tabel 27 Rata-rata jumlah dan nilai penggunaan pupuk pada tanaman menghasilkan karet dan kelapa sawit per hektar per tahun Uraian Karet Kelapa Sawit Harga/unit Jumlah Nilai (Rp) Jumlah Nilai (Rp) (Rp/kg) (kg) (kg) Urea SP KCL Pupuk kandang Jumlah Sumber : data primer (diolah) 2013 Tabel 27 menunjukkan bahwa penggunaan sarana produksi pupuk yang dikeluarkan petani kelapa sawit lebih besar jika dibandingkan dengan pada usaha tani karet. Hal ini disebabkan pengelolaan tanaman perkebunan kelapa sawit mempunyai biaya pemeliharaan yang besar. Namun, jika dilihat dari jumlah nilai yang dikeluarkan menunjukkan bahwa perbedaan biaya yang dikeluarkan untuk pembelian pupuk antara usaha tani karet dengan kelapa sawit masih relatif kecil. Berdasarkan data yang diperoleh dilapangan, selain keterbatasan pembiayaan yang dimiliki, orientasi petani kelapa sawit dalam hal pengelolaan perkebunan kelapa sawit masih sama ketika mereka mengelola perkebunan karet. Kondisi ini tentu berdampak terhadap produktivitas tanaman kelapa sawit yang rendah jika dibandingkan dengan produktifitas pada perusahaan perkebunan.

74 Penggunaan Pestisida dan Alat-alat Pertanian Perubahan yang terjadi dalam penggunaan input pada kegiatan konversi tanaman perkebunan adalah pestisida. Pestisida digunakan untuk mengendalikan gulma didalam area perkebunan. Umumnya kegiatan pengendalian gulma dilakukan bertujuan untuk mengurangi kompetisi yang terjadi antara gulma dengan tanaman dalam penyerapan unsur hara, air dan sinar matahari, mempermudah dalam kegiatan pemanenan tanaman, mempermudah kontrol pemupukan sekaligus mengefektifkan aplikasi pemupukan, dan dapat menekan populasi hama dengan terjaganya sanitasi areal perkebunan. Pembersihan gulma atau tanaman penggangu biasanya dilakukan sebelum dilakukan kegiatan pemupukan tanaman. Kegiatan pengendalian gulma dapat dilakukan secara mekanik dan kimia. Pengendalian secara mekanik dilakukan menggunakan tenaga manusia dengan bantuan alat, seperti parang, sabit dan cangkul. Pengendalian secara mekanik dengan membersihkan gulma dengan cara menebas, mencabut sebagian atau keseluruhan tanaman penggangu tersebut. sedangkan pengendalian secara kimia dilakukan dengan menggunakan bahan-bahan kimia/herbisida. Herbisida yang biasa digunakan petani sampel dengan merk dagang Roundop. Frekuensi kegiatan penyiangan gulma, baik secara mekanis maupun kimia yang dilakukan oleh petani sampel karet rata-rata berkisar antara 2 3 kali dalam setahun, sedangkan petani sampel kelapa sawit melakukan penyiangan gulma rata-rata antara 4 5 kali setahun. Selain pestisida, konversi tanaman menyebabkan sebagian perubahan pada penggunaan alat-alat pertanian, terutama alat-alat yang digunakan untuk kegiatan pemanenan. Karakteristik tanaman karet dengan kelapa sawit dalam kegiatan penen menyebabkan perbedaan dalam penggunaan alat panen. Pada tanaman karet bagian yang dipanen adalah kulit pohon sehingga hasil panen berupa getah karet, sedangkan tanaman kelapa sawit yang dipenen dalam bentuk tandan buah. Alatalat pertanian yang biasa digunakan pada usaha tani karet berupa cangkul, parang, sabit, mangkok takaran pupuk, hand sprayer, dan pisau sadap. Peralatan pertanian yang digunakan pada usaha tani kelapa sawit, seperti cangkul, parang, sabit, takaran pupuk, garpu, gerobak, hand sprayer, dodos dan engrek. Rata-rata nilai penggunaan pestisida dan alat pertanian pada usaha tani karet dan kelapa sawit dapat dilihat pada Tabel 28. Tabel 28 Rata-rata nilai penggunaan pestisida dan alat pertanian pada tanaman karet dan kelapa sawit di lokasi penelitian per hektar per tahun Uraian Karet (Rp) Kelapa sawit (Rp) Pestisida Peralatan pertanian Jumlah Sumber : data primer (diolah) 2013 Tabel 28 menunjukkan bahwa penggunaan pestisida dalam kegiatan pemeliharaan tanaman kelapa sawit lebih besar nilainya jika dibandingkan dengan tanaman karet. Nilai rata-rata biaya pembelian pestisida yang dikeluarkan petani kelapa sawit sebesar Rp /ha/tahun, sedangkan petani karet hanya mengeluarkan biaya sebesar Rp /ha/tahun. Besarnya biaya pemeliharaan

75 62 kelapa sawit untuk pembelian pestisida karena tanaman kelapa sawit relatif susah berkompetisi dengan tanaman gulma dalam hal penyerapan unsur hara dan air sehingga perkebunan kelapa sawit harus bersih dari gulma dan tanaman penggangu lainnya sampai natas umur tertentu. Nilai pembelian alat-alat pertanian yang digunakan pada usaha tani kelapa sawit relatif lebih sedikit dibandingkan dengan usaha tani karet. Hal ini dikarenakan beberapa alat pertanian pada waktu mengusahakan tanaman karet masih bisa dipergunakan lagi pada usaha tani kelapa sawit. Beberapa alat pertanian yang harus dibeli, terutama alat-alat untuk kegiatan pemanenan. 6.3 Analisis Faktor-faktor yang Mempengaruhi Konversi Kebun Analisis regresi logistik digunakan sebagai alat untuk mengetahui faktorfaktor yang mempengaruhi keputusan petani dalam mengkonversi tanaman karet menjadi tanaman kelapa sawit dalam penelitian ini. Selain itu, pengaruh variabel bebas secara bersama-sama terhadap variabel terikat juga dapat diketahui denganmenggunakan analisis regresi logistik. Terdapat tujuh variabel bebas yang diduga mempengaruhi keputusan petani dalam mengkonversi lahan perkebunannya. Variabel bebas tersebut adalah umur, pendidikan, luas lahan, frekuensi penyadapan karet, resiko usaha tani karet, ketersediaan sarana produksi dan pendapatan lain. Variabel terikat merupakan keadaan petani yang berada dalam dua kemungkinan kondisi. Kondisi pertama, variabel terikat bernilai 1, ketika petani responden adalah petani yang melakukan konversi tanaman karet menjadi tanaman kelapa sawit. Kondisi kedua, variabel terikat bernilai 0, ketika petani karet tidak melakukan konversi terhadap tanaman perkebunan miliknya. Analisis regresi logistik dilakukan dalam empat tahap kegiatan. Tahap pertama yang dilakukan dalam penelitian ini adalah penentuan model terbaik. Tahap kedua dilakukan dengan melakukan pendugaan terhadap masing-masing koefisien dalam model. Tahap ketiga dilakukan dengan uji signifikansi masingmasing variabel penjelas dalam model dan menilai kelayakan model. Tahap keempat dilakukan dengan menganalisis faktor-faktor yang berpengaruh signifikan terhadap keputusan petani petani dalam mengkonversi tanaman karet menjadi tanaman kelapa sawit berdasarkan hasil analisis tahap sebelumnya. Hasil identifikasi terhadap faktor-faktor yang mempengaruhi konversi tanaman karet ke kelapa sawit diperoleh beberapa variabel penduga, yaitu umur petani sampel (X 1 ), pendidikan petani (X 2 ), luas lahan perkebunan (X 3 ), frekuensi penyadapan karet (X 4 ), dummy resiko usaha tani karet (X 5 ; 1= tinggi, 0= rendah), dummy ketersediaan sarana produksi (X 6 ; 1=ada kendala, 0=tidak ada kendala), dan dummy pendapatan selain berkebun (X 7 ; 1=ada pekerjaan lain, 0=tidak ada). Hasil estimasi model regresi logistik terhadap faktor-faktor yang mempengaruhi konversi kebun dapat dilihat pada Tabel 29.

76 63 Tabel 29 Hasil estimasi model regresi logistik terhadap faktor-faktor yang mempengaruhi petani dalam mengkonversi tanaman karet menjadi kelapa sawit di lokasi penelitian Variabel Koefisien Sig. Exp(B) Constant Umur (X 1 ) Pendidikan (X 2 ) ** Luas lahan (X 3 ) Frekuensi penyadapan (X 4 ) ** Resiko (X 5 ) Ketersediaan saprodi (X 6 ) Pendapatan lainnya (X 7 ) ** Sumber : data primer (diolah) 2013 Keterangan: **) = menunjukkan signifikansi secara statistik pada tingkat taraf nyata sebesar 10% Berdasarkan hasil analisis regresi logistik pada Tabel 29 dengan menggunakan software SPSS ver.16.0, maka secara matematis dapat ditulis model logistik terhadap faktor-faktor yang mempengaruhi petani dalam mengkonversi tanaman karet ke kelapa sawit kedalam persamaan berikut : Z = X X X X D D D 3 Nilai kelayakan suatu model regresi dapat dilihat dari -2 Log Likelihood variabel bebas sebesar dan Chi-square tabel pada taraf signifikansi 0.10 sebesar Hal ini berarti -2 Log Likelihood >Chi-square tabel yang menunjukkan bahwa terdapat perbedaan yang signifikan antara model dengan konstanta dan data. Untuk melihat kemampuan dari variabel bebas dalam menjelaskan varians konversi kebun, digunakan nilai Cox and Snell R Square dan Nagelkerke R Square. Nilai koefisien Nagelkerke R Square umumnya lebih besar dari nilai koefisien Cox and Snell R Square. Nilai koefisien Nagelkerke R Square sebesar 0.565, menunjukkan bahwa kemampuan ketujuh variabel bebas dalam menjelaskan varians konversi kebun sebesar persen dan terdapat persen dijelaskan faktor lain diluar model. Nilai Hosmer and Lemenshow Test sebesar dengan nilai signifikansi 0.602, yang lebih besar dari α = 0.10 serta nilai overall percentage sebesar persen menunjukkan model dapat diterima (Lampiran 7). Pada Tabel 29 memperlihatkan uji signifikansi memperlihatkan tiga variabel bebas yang berpengaruh signifikan, sedangkan emapt variabel bebas lainnya tidak berpengaruh terhadap faktor-faktor yang mempengaruhi petani dalam melakukan konversi kebun karet menjadi kebun kelapa sawit. Tiga variabel bebas yang berpengaruh signifikan pada taraf 10 persen, yaitu pendidikan, frekuensi penyadapan, dan dummy pendapatan lain. Variabel bebas lain yang tidak berpengaruh signifikan terhadap faktor-faktor yang mempengaruhi petani dalam mengkonversi lahan adalah umur petani sampel, luas lahan, dummy resiko usaha tani karet, dan dummy ketersediaan sarana produksi pertanian.

77 Umur Variabel umur memiliki nilai Exp (B) sebesar nilai tersebut dapat diartikan bahwa petani yang memiliki umur satu tahun lebih tua memiliki peluang sebesar kali untuk melakukan konversi kebun dibanding petani yang memiliki usia lebih muda satu tahun. Hubungan yang negatif antara umur dengan keputusan petani melakukan konversi lahan menyatakan bahwa petani yang memiliki berusia lebih tua memiliki peluang lebih rendah dalam melakukan konversi. Seorang petani dengan usia yang relatif muda pada umumnya merupakan tenaga kerja yang masih produktif. Petani tersebut memiliki potensi besar dalam mengembangkan tanaman perkebunan yang dimilikinya. Pengusahaan tanaman karet yang dilakukan secara turun temurun dan produktivitas yang rendah akan mengakibatkan petani yang muda melakukan konversi kebun. Pada Tabel 29 memperlihatkan bahwa variabel umur memiliki nilai p-value sebesar (>α=0.10), yang memiliki arti bahwa variabel umur tidak berpengaruh nyata pada selang kepercayaan 90 persen terhadap keputusan petani dalam mengkonversi lahan perkebunannya. Data sebaran dan proporsi umur petani sampel disajikan pada Tabel 30. Pada Tabel 30 dapat diketahui bahwa proporsi umur sampel petani karet paling besar berada pada rentang usia tahun (38.24%). Signifikansi variabel umur dengan hubungan yang bersifat negatif lebih disebabkan oleh sebaran data petani yang mengkonversi tanaman karet lebih rendah, yaitu persen bila dibandingkan dengan petani karet. Selain itu proporsi petani kelapa sawit cenderung menurun pada rentang umur yang semakin tua. Tabel 30 Sebaran dan proporsi petani sampel berdasarkan umur di lokasi penelitian Variabel Petani karet Petani kelapa sawit Total sampel umur (tahun) Jumlah (orang) Proporsi (%) Jumlah (orang) Proporsi (%) Jumlah (orang) Proporsi (%) > Jumlah Sumber : data primer (diolah) Pendidikan Variabel pendidikan memiliki nilai Exp (B) sebesar nilai tersebut dapat diartikan bahwa petani yang memiliki pendidikan formal satu tahun lebih tinggi memiliki peluang sebesar kali dalam melakukan konversi kebun karet menjadi kebun kelapa sawit. Petani dengan pendidikan formal tinggi memiliki peluang lebih besar untuk melakukan konversi. Hal ini menunjukkan adanya hubungan yang positif antara variabel pendidikan yang berkaitan dengan kegiatan budidaya tanaman perkebunan dengan peluang dalam mengkonversi kebun. Data Tabel 29 menunjukkan nilai p-value variabel pendidikan bernilai Nilai p-value (<α=0.10) yang berarti variabel pendidikan yang dimiliki petani sampel berpengaruh nyata pada selang kepercayaan 90 persen.

78 65 Tabel 31 Sebaran dan proporsi petani sampel berdasarkan tingkat pendidikan di lokasi penelitian Variabel Petani karet Petani kelapa sawit Total sampel pendidikan (tahun) Jumlah (orang) Proporsi (%) Jumlah (orang) Proporsi (%) Jumlah (orang) Proporsi (%) > Jumlah Sumber : data primer (diolah) 2013 Signifikansi variabel pendidikan juga dapat terlihat pada Tabel 31, dengan rata-rata tingkat pendidikan formal sebagian besar hanya SD sederajat, yaitu sebesar persen, lebih rendah bila dibandingkan dengan pendidikan petani kelapa sawit. Tingkat pendidikan yang relatif rendah akan berdampak terhadap pengelolaan tanaman perkebunan yang baik sesuai dengan rekomendasi yang dianjurkan. Petani akan susah dalam mengadopsi informasi dan teknologi terkini tentang cara perawatan dan pemeliharaan tanaman perkebunan yang sedang diusahakan, sehingga produktivitas tanaman menjadi rendah. Tingkat pendidikan yang rendah terjadi karena kurangnya kesadaran masyarakat pedesaan tentang pentingnya pendidikan. Berdasarkan data hasil wawancara dengan petani sampel menyatakan bahwa masalah pembiayaan dan akses menuju ke sekolah lanjutan yang relatif jauh dari tempat tinggal mereka turut menjadi penyebab masyarakat enggan melanjutkan sekolah kejenjang yang lebih tinggi. Petani yang memiliki tingkat pendidikan yang relatif tinggi akan berusaha mencari alternatif usaha lain diluar pertanian yang dianggap mampu memenuhi kebutuhan hidup mereka. Dalam konteks penelitian ini dapat dikatakan bahwa alokasi waktu yang diberikan pada usaha tani karet lebih intensif bila dibandingkan dengan usaha tani kelapa sawit. Proses penyadapan yang hampir dilakukan setiap hari membuat petani memiliki keterbatasan waktu untuk berusaha lain. Hal yang berbeda jika petani mengusahakan tanaman kelapa sawit yang mana panen dilakukan setiap dua minggu sekali Luas Lahan Variabel bebas selanjutnya adalah luas lahan. Variabel ini memiliki nilai Exp (B) sebesar 1.191, yang dapat diartikan bahwa petani yang memiliki luas lahan perkebunan satu hektar lebih besar memiliki peluang dalam melakukan konversi tanaman karet ke kelapa sawit sebesar kali dibandingkan petani yang memiliki luas lahan perkebunan yang lebih kecil. Walaupun tidak nyata secara statistik, tetapi terdapat hubungan yang positif antara variabel luas lahan dengan peluang petani dalam mengkonversi lahan perkebunan. Pengelolaan lahan perkebunan berhubungan dengan penggunaan input yang digunakan dalam kegiatan usaha tani. Semakin besar lahan yang digunakan untuk kegiatan perkebunan, maka akan semakin besar pula input yang dibutuhkan. Petani dengan kemampuan finansial yang baik tidak akan terkendala dengan usaha tani pada lahan yang luas, akan tetapi kondisi petani dipedesaan dalam pengelolaan usaha

79 66 tani umumnya berkaitan dengan keterbatasan pembiayaan modal yang digunakan untuk kegiatan budidaya tanaman pertaniannya. Tabel 32 Sebaran dan proporsi petani sampel berdasarkan luas lahan di lokasi penelitian Variabel Petani karet Petani kelapa sawit Total sampel luas lahan (hektar) Jumlah (orang) Proporsi (%) Jumlah (orang) Proporsi (%) Jumlah (orang) Proporsi (%) > Jumlah Sumber : data primer (diolah) 2013 Nilai p-value pada Tabel 29 memperlihatkan bahwa untuk variabel luas lahan bernilai 0.733, lebih besar dari nilai α = 10 persen. Tidak signifikannya variabel luas lahan terhadap peluang dalam kegiatan konversi lahan perkebunan lebih disebabkan oleh proporsi kepemilikan luas lahan yang relatif hampir sama antara petani karet dan petani kelapa sawit. Sebagaimana telah dijelaskan pada sub-sub bab terdahulu, bahwa petani yang mengusahakan tanaman kelapa sawit merupakan petani karet sebelumnya, yang cara mendapatkan lahan berasal dari warisan dan program transmigrasi dari pemerintah pusat. Berdasarkan pengamatan dilapangan, luas lahan perkebunan kecil dan perkebunan yang besar memiliki perluang yang sama, tergantung pada kemampuan petani dalam pembiayaan usaha taninya. Penelitian Bukenya (2006) menyatakan bahwa luas lahan bukan merupakan faktor yang memiliki pengaruh signifikan terhadap kecenderungan terjadinya konversi lahan di Alabama Utara Frekuensi Penyadapan Variabel bebas frekuensi penyadapan memiliki nilai Exp (B) sebesar Nilai Exp (B) sebesar dapat diartikan bahwa petani yang melakukan penyadapan karet setiap hari lebih memiliki peluang sebesar kali dalam melakukan konversi tanaman karet miliknya menjadi tanaman kelapa sawit dibandingkan dengan yang tidak tiap hari melakukan penyadapan karet. Hal ini menunjukkan adanya hubungan positif antara variabel jumlah frekuensi penyadapan karet dengan keputusan petani melakukan konversi tanaman. Petani yang melakukan penyadapan setiap hari berusaha mengoptimalkan produksi lateks yang dihasilkan dari tanaman karet. Dari aspek produksi, hal ini tentu akan meningkatkan penerimaan petani dari hasil penjualan lateks. Namun demikian tanaman karet memerlukan waktu dalam regenerasi kulit batang yang terluka akibat proses penyadapan. Rekomendasi penyadapan yang dianjurkan oleh pemerintah adalah setiap 2 3 hari sekali sehingga tanaman karet dapat menghasilkan getah karet dalam jangka panjang. Selain itu, penyadapan dengan melukai kulit batang yang terlalu dalam dapat mengakibatkan pohon karet menjadi rusak. Hal ini dikarenakan penyadapan yang terlalu dalam dapat merusak pembuluh kambium pada batang karet, sehingga dapat menganggu pertumbuhan tanaman. Dalam jangka panjang, penyadapan dengan cara demikian dapat

80 67 menyebabkan tanaman mati. Lateks yang dihasilkan dengan cara melakukan penyadapan dalam akan lebih tinggi bila dibandingkan dengan rekomendasi yang dianjurkan, yaitu mm dari lapisan kambium. Dari hasil pengamatan lapangan didapat bahwa pada umumnya petani dalam melakukan penyadapan menggunakan sistem sadap berbentuk huruf V, padahal sistem sadap yang dianjurkan oleh pemerintah adalah sistem sadap spiral atau setengah dari diameter batang karet. Penggunaan sistem sadap berbentuk huruf V akan mengakibatkan terjadinya penggunaan kulit batang yang berlebihan sehingga berdampak terhadap tanaman karet. Secara ekonomi, hasil yang didapat dengan sistem sadap ini relatif besar, akan tetapi dapat berakibat tanaman menjadi rusak. Tanaman karet dalam proses penyadapan dilakukan dengan sembarangan hanya mempunyai setengah dari umur ekonomisnya (Setyamidjaja 1992). Tabel 33 Sebaran dan proporsi petani sampel berdasarkan frekuensi sadap di lokasi penelitian Variabel frekuensi sadap (hari/minggu) Petani karet Petani kelapa sawit Total sampel Proporsi Jumlah Proporsi Jumlah (%) (orang) (%) (orang) Jumlah (orang) Proporsi (%) Jumlah Sumber : data primer (diolah) 2013 Nilai p-value variabel frekuensi penyadapan pada Tabel 29 memperlihatkan bahwa bernilai 0.003, yang berarti variabel tersebut berpengaruh nyata pada selang kepercayaan 90 persen dalam mempengaruhi keputusan petani untuk mengkonversi lahan perkebunannya. Hubungan yang positif dan signifikan antara frekuensi penyadapan dan peluang melakukan konversi disebabkan sebagian besar oleh kerusakan pada tanaman karetnya, sehingga mereka melakukan konversi ke tanaman kelapa sawit. Dari Tabel 33 menunjukkan bahwa petani yang menyadap karet 3 4 kali dalam seminggu sebesar persen. Proses penyadapan ini sangat tergantung pada keadaan cuaca. Apabila kondisi cuaca dalam keadaan hujan, maka penyadapan karet tidak dilakukan Resiko Variabel bebas lain yang mempengaruhi konversi lahan adalah resiko. Variabel resiko usaha tani merupakan variabel dummy sehingga nilai Exp (B) sebesar 3.017, yang diartikan jika pengelolaan perkebunan karet semakin sulit dan resiko kegagalannya semakin tinggi maka peluang kecenderungan untuk mengkonversi kebun karet semakin meningkat sebesar kali dibandingkan dengan jika pengelolaan usaha tani karet memiliki resiko yang rendah. Tanaman karet sangat rentan terhadap serangan hama, penyakit dan juga faktor alam lainnya. Hama dan penyakit sudah mulai menyerang pada tanaman karet sejak masih dalam masa pembibitan. Penyakit yang menyerang bibit adalah Colletotrichum gloeosporoides (gugur daun)dan Oidium hevea. Penyakit yang

81 68 sering menyerang tanaman yang belum menghasilkan atau menjelang umur dua tahun sejak penanamanadalah penyakit jamur akar putih. Penyakit ini sering berjangkit pada tanaman karet sampai umur lima tahun atau lebih. Penyakit jamur lain yang juga sering menyerang tanaman karet adalah penyakit Mouldy rot. Penyakit ini dapat menyebabkan bidang sadap rusak terutama pada saat pemulihan kulit masih terjadi. Penyakit ini sangat membahayakan karena bisa menyebabkan resiko kehilangan produksi (Setyamidjaja 1992). Hama atau binatang yang menjadi musuh utama pada tanaman karet diantaranya seperti babi dan monyet. Hama ini menyerang pada tanaman karet muda, sehingga tanaman menjadi rusak dan mati. Faktor alam yang juga turut berperan dalam menyebabkan kerusakan pada tanaman karet, diantaranya seperti serangan angin kencang. Angin yang bertiup dengan kencang dapat menyebabkan tanaman yang masih berusia muda dan dengan kondisi perakaran yang belum kuat menjadi rebah, sehingga pada tanaman muda perlu dilakukan pengajiran untuk menghindari tanaman menjadi rebah akibat serangan angin. Tabel 34 Sebaran dan proporsi petani sampel berdasarkan resiko usaha tani di lokasi penelitian Variabel Petani karet Petani kelapa sawit Total sampel resiko Jumlah (orang) Proporsi (%) Jumlah (orang) Proporsi (%) Jumlah (orang) Proporsi (%) Tinggi Rendah Jumlah Sumber : data primer (diolah) 2013 Nilai p-value pada Tabel 29 menunjukkan bahwa variabel resiko usaha tani karet bernilai 0.194, yang berarti variabel resiko usaha tani karet yang tinggi berpengaruh nyata terhadap keputusan petani melakukan konversi kebun dengan selang kepercayaan sebesar 20 persen. Terdapat kecenderungan bahwa usaha tani karet dengan resiko yang tinggi memiliki peluang yang lebih besar dalam kegiatan konversi kebun. Berdasarkan wawancara dan informasi yang didapat dari petani sampel kelapa sawit, lebih dari 50 persen petani melakukan konversi dikarenakan kondisi tanaman yang rusak dan mati karena serangan penyakit maupun aspek kesalahan teknis, seperti penyadapan Ketersediaan Sarana Produksi Ketersediaan sarana produksi merupakan salah satu variabel dummy yang mempunyai nilai Exp (B) sebesar 2.384, yang diartikan bahwa jika terjadi kendala dalam ketersediaan sarana produksi, maka kecenderungan untuk mengkonversi kebun akan semakin besar dengan peluang kali. Salah satu unsur penting bagi keberhasilan pengelolaan usaha perkebunan adalah ketersediaan sarana produksi, yang meliputi bibit, pupuk, pestisida, dan alat-alat pertanian. Ketersediaan sarana produksi ini terkait dengan kaidah enam tepat, yang terdiri dari tepat jumlah, jenis, mutu, tempat, harga dan dosis. Sarana produksi yang berperan dalam kegiatan pemeliharaan dan perawatan tanaman perkebunan adalah pupuk dan obat-obatan. Permasalahan utama menyangkut pupuk dan obat-obatan adalah ketersediaan dan kemampuan petani. Pupuk yang tersedia tetapi modal

82 69 petani yang terbatas dapat menjadi kendala. Berdasarkan data dilokasi penelitian didapatkan bahwa rata-rata petani perkebunan tidak menggunakan pupuk yang direkomendasikan. Hal ini dikarenakan pupuk tersebut susah didapatkan dan harganya relatif lebih mahal. Begitu juga dengan ketersediaan obat-obatan untuk menanggulangi penyakit yang menyerang tanaman. Tanaman karet yang rentan terhadap serangan penyakit harus memerlukan ketersediaan obat-obatan setiap saat. Petani karet yang melakukan konversi salah satunya dikarenakan sulitnya mendapatkan obat-obatan untuk perawatan tanaman karet. Obat-obatan yang dibutuhkan tersebut sering tidak dijumpai dipasaran, sehingga tanaman yang semestinya bisa diobati menjadi semakin parah terkena penyakit, bahkan menjadi biang penyebaran penyakit kepada tanaman disekitarnya. Tabel 35 Sebaran dan proporsi petani sampel berdasarkan ketersediaan sarana produksi di lokasi penelitian Variabel ketersediaan Sarana produksi Ada kendala Tidak ada Petani karet Petani kelapa sawit Total sampel Jumlah (orang) Proporsi (%) Jumlah (orang) Proporsi (%) Jumlah (orang) Proporsi (%) kendala Jumlah Sumber : data primer (diolah) 2013 Nilai p-value pada variabel ketersediaan sarana produksi sebesar 0.232, yang menyatakan variabel tersebut tidak berpengaruh nyata terhadap keputusan petani dalam melakukan konversi kebun. Meskipun tidak nyata secara statistik, terdapat kecenderungan bahwa petani yang terkendala dengan ketersediaan sarana produksi memiliki perluang lebih besar untuk mengkonversi tanaman perkebunannya. Pada Tabel 35 menunjukkan bahwa petani karet dan kelapa sawit yang terkendala karena ketersediaan sarana produksi masing-masing sebesar persen dan persen Pendapatan Lain Selanjutnya variabel bebas lain yang merupakan variabel dummy adalah pendapatan lain. Nilai Exp (B) untuk pendapatan lain sebesar 4.472, yang diartikan bahwa petani yang memiliki sumber pendapatan lain maka peluang petani tersebut untuk mengkonversi tanaman karetnya menjadi kelapa sawit sebesar kali jika dibandingkan dengan petani yang tidak memiliki sumber pendapatan lain. Secara statistik variabel ini berpengaruh nyata terhadap keputusan petani dalam mengkonversi kebun karet ke kebun kelapa sawit pada selang kepercayaan sebesar 90 persen. Berdasarkan wawancara dengan petani sampel kelapa sawit, alasan mereka melakukan konversi tanaman karet ke kelapa sawit disebabkan mereka memiliki pekerjaan lain yang dianggap cukup mampu dalam membantu pemenuhan kebutuhan hidup mereka, sehingga usaha tani kelapa sawit merupakan pekerjaan sambilan. Penelitian yang dilakukan Suroso (2008) pada petani kelapa sawit swadaya di Kabupaten Siak menunjukkan bahwa

83 70 hampir 60 persen petani menyatakan bahwa usaha tani kelapa sawit merupakan pekerjaan sambilan. Curahan waktu yang diberikan pada usaha tani kelapa sawit yang relatif tidak terlalu intensif bila dibandingkan dengan usaha tani karet cenderung membuat petani kelapa sawit mencari pekerjaan tambahan. Beberapa jenis pekerjaan yang dilakukan oleh petani sampel di lokasi penelitian, seperti berdagang, sektor jasa, swasta, wirausaha dan usaha ternak. Petani sampel yang memiliki pekerjaan lain sebagai pedagang menjual barang-barang kebutuhan sehari-hari dengan membuka toko di pasar kecamatan maupun menjajakan barang dagangan antar desa yang jauh dari akses pasar. Akses jalan menuju ke kota kecamatan yang tidak memiliki sarana angkutan antar desa dimanfaatkan oleh petani dengan bekerja sambilan sebagai tukang ojek. Pekerjaan ini umumnya dilakukan pada waktu pagi hari. Wirausaha yang dilakukan adalah dibidang industri pengolahan kayu. Pekerjaan ini dilakukan dengan mengolah kayu menjadi perabotan rumah tangga maupun untuk konstruksi bangunan. Bahan baku didapat dengan memanfaatkan sumberdaya hutan yang banyak terdapat disekitar wilayah mereka maupun yang dibeli dari pelanggan yang biasa mensuplai kayu dari daerah lain. Selain itu ada juga beberapa petani yang menjadi peternak ayam potong maupun ikan kolam yang dibuat secara teritegrasi sehingga kotoran ayam dapat digunakan sebagai tambahan pakan ikan dikolam. Daging ayam dan ikan yang dihasilkan dipasarkan untuk rumah makan yang terdapat didaerah sekitar maupun ke Kota Jambi. Tabel 36 Sebaran dan proporsi petani sampel berdasarkan pendapatan lain di lokasi penelitian Variabel pendapatan lain Jumlah (orang) Petani karet Petani kelapa sawit Total sampel Proporsi (%) Jumlah (orang) Proporsi (%) Jumlah (orang) Proporsi (%) Ada usaha lain Tidak ada usaha lain Jumlah Sumber : data primer (diolah) Analisis Distribusi Pendapatan Usaha Tani Karet dan Kelapa Sawit Kegiatan konversi kebun yang dilakukan oleh petani di Kabupaten Muaro Jambi akan berpengaruh terhadap biaya dan penerimaan petani. Pada Tabel 36 disajikan data mengenai distribusi pendapatan usaha tani karet dan kelapa sawit petani sampel per hektar per tahun. Analisis distribusi pendapatan dilakukan pada periode umur ekonomis tanaman selama 25 tahun. Analisis ini digunakan untuk melihat pemilik input mana yang lebih diuntungkan dari pengusahaan tanaman karet dan kelapa sawit. Data pada Tabel 37 tersebut menunjukkan bahwa konversi kebun mengakibatkan terjadinya perubahan dalam distribusi pendapatan.

84 71 Tabel 37 Distribusi pendapatan usaha tani karet dan kelapa sawit per hektar per tahun Absolut share (Rp) Relatif share (%) Karet K.Sawit Karet K.Sawit A. Factor Share 1.Input langsung Tenaga kerja prapanen a.dalam keluarga b.luar keluarga Tenaga kerja panen a.dalam keluarga b.luar keluarga Lahan Managemen Total output B. Earner Share 1.Input langsung Tenaga kerja upahan Pemilik lahan Penggarap Total output Total value added Sumber : data primer (diolah) 2013 Kegiatan konversi tanaman karet ke kelapa sawit mengakibatkan terjadinya perbedaan penggunaan input untuk masing-masing kegiatan usaha tani. Untuk usaha tani karet biaya managemen sebesar Rp /ha/tahun, sedangkan kelapa sawit sebesar Rp /ha/tahun. Penggunaan input langsung yang meliputi biaya pembelian bibit, pupuk dan pestisida yang terbesar adalah untuk usaha tani kelapa sawit. Penggunaan pupuk kimia dan pestisida pada tanaman kelapa sawit menyebabkan biaya pemeliharaan tanaman kelapa sawit lebih besar dari tanaman karet. Penggunaan tenaga kerja dalam keluarga pada kegiatan prapanen dan panen hanya dilakukan pada usaha tani karet, sedangkan pada usaha tani kelapa sawit kegiatan prapanen dan panen menggunakan tenaga kerja dalam dan luar keluarga. Alokasi tenaga kerja prapanen ini meliputi kegiatan perawatan dan pemeliharaan tanaman. Untuk kegiatan pemanenan pada usaha tani kelapa, selain menggunakan tenaga kerja dalam keluarga juga menggunakan tenaga kerja yang berasal dari luar keluarga. Penggunaan tenaga kerja luar keluarga bertujuan membantu tenaga kerja dalam keluarga untuk mempercepat proses pemanenan TBS. Hal ini dikarenakan pemanenan TBS yang cepat berguna untuk menghindari kerusakan pada kandungan minyak didalam TBS. Untuk memudahkan pemasaran, TBS yang sudah dipanen kemudian dikumpulkan dipinggir jalan disekitar kebun agar memudahkan pedagang pengumpul mengambil hasil panen petani. Untuk melihat pemilik input mana yang lebih diuntungkan selanjutnya diperhatikan dari sisi earner share pada relative share. Berdasarkan data dilapangan, umumnya petani kebun karet dan kelapa sawit merupakan petani pemilik lahan dan juga sebagai petani penggarap sehingga tidak ada hubungan sewa menyewa lahan. Adapun data sewa lahan didapatkan dari harga sewa lahan

85 72 pertanian yang berlaku di daerah penelitian. Bila dibandingkan dari kedua jenis usaha perkebunan, pemilik input yang lebih diuntungkan adalah petani penggarap perkebunan karet sebesar persen, sedangkan petani penggarap perkebunan kelapa sawit hanya sebesar persen. Untuk itu perlu suatu kebijakan yang berbeda dalam pengembangan kedua jenis usaha perkebunan tersebut. Hasil relative share untuk perkebunan karet menunjukkan bahwa terdapat peluang untuk meningkatkan pendapatan bagi petani penggarap dan pengelola. Pendapatan yang diterima petani penggarap pada perkebunan kelapa sawit relatif lebih rendah bila dibandingkan dengan perkebunan karet dikarenakan pendapatan petani kelapa sawit juga terdistribusi untuk penggunaan tenaga kerja luar keluarga, sehingga pengembangan perkebunan kelapa sawit di daerah penelitian mampu menciptakan kesempatan kerja bagi tenaga upahan (buruh tani harian) yang terdapat disekitar daerah perkebunan kelapa sawit. 7 SIMPULAN DAN SARAN 7.1 Simpulan Berdasarkan hasil pengamatan di lapangan dan analisis data yang diperoleh, maka beberapa poin penting dalam penelitian ini yang dapat disimpulkan, yaitu : 1. Hasil analisis kelayakan finansial pada usaha tani karet dan kelapa sawit menunjukkan bahwa pada tingkat discount ratesebesar 5.25 persen, pengusahaan kedua tanaman perkebunan tersebut menguntungkan. Namun, dari kriteria investasi diperoleh bahwa usaha tani karet lebih menguntungkan dibandingkan dengan usaha tani kelapa sawit. Hal ini disebabkan oleh biaya produksi yang harus dikeluarkan oleh petani kelapa sawit lebih besar dari petani karet. Selain itu, produktivitas tanaman kelapa sawit yang dibudidayakan oleh petani relatif masih rendah.berdasarkan hasil analisis keuntungan tersebut didapat bahwa motif ekonomi yang menjadi menjadi alasan petani dalam melakukan konversi tanaman tidak terbukti. Faktor lain yang menyebabkan keuntungan usaha tani kelapa sawit lebih rendah dari usaha tani karet, antara lain adalah hubungan kemitraan yang merugikan petani kelapa sawit dan diskriminasi harga TBS berdasarkan umur tanaman yang tidak berlaku. Dampak dari kedua faktor tersebut menyebabkan kesejahteraan yang seharusnya dimiliki oleh petani kelapa sawit menjadi hilang. Faktor-faktor tersebut mengakibatkan terjadinya transfer kesejahteraan dari petani kelapa sawit ke pedagang pengumpul desa (tauke). 2. Faktor-faktor yang berpengaruh nyata terhadap keputusan petani dalam melakukan konversi tanaman karet menjadi tanaman kelapa sawit adalah tingkat pendidikan, jumlah frekuensi penyadapan karet,dan dummy pendapatan lain. Faktor umur petani, luas lahan perkebunan, dummy resiko usaha tani karet, dan dummy ketersediaan sarana produksi tidak berpengaruh nyata terhadap keputusan petani dalam mengkonversi tanaman perkebunannya. 3. Konversi tanaman karet menjadi tanaman kelapa sawit memberikan dampak terhadap distribusi pendapatan. Penggunaan input langsung (bibit, pestisida, peralatan dan pupuk) yang lebih besar pada usaha tani kelapa sawit

86 73 dibandingkan dengan usaha tani karet menyebabkan biaya yang harus dikeluarkan oleh petani kelapa sawit relatif besar daripada petani karet sehingga porsi keuntungan yang paling besar dinikmati petani penggarap tanaman karet. Kegiatan usaha tani kelapa sawit tidak hanya memberikan porsi keuntungan kepada petani penggarap saja, namunusaha perkebunan kelapa sawit rakyat dapat menciptakan kesempatan kerja bagi buruh tani harian di lokasi penelitian. Hal ini dikarenakan pada kegiatan usaha tani perkebunan kelapa sawit menggunakan tenaga kerja luar keluarga yang relatif lebih banyak dibandingkan pada usaha tani perkebunan karet Saran 1. Pentingnya keterlibatan petani untuk ikut berpartisipasi dalam kegiatan kelompok tani dan koperasi yang berada di wilayah mereka. Dengan keikutsertaan petani dalam kegiatan kelompok dan koperasi diharapkan mampu meningkatkan produktivitas tanaman perkebunan mereka dan mengurangi ketergantungan terhadap tauke karet dan kelapa sawit. 2. Perlu perhatian pemerintah Kabupaten Muaro Jambi dalam pengembangan tanaman perkebunan di wilayah mereka, dengan perbaikan sarana infrastruktur, seperti jalan. Selain itu, perlu dibuat kerjasama yang baik antara pabrik crumb rubber dengan kelompok tani, dengan pemberian Delivery Order (DO), sehingga kelompok tani mempunyai akses untuk menjual langsung ke pabrik. Dengan adanya kerjasama tersebut, petani juga diharapkan dapat meningkatkan kualitas kadar karet kering mereka. 3. Diharapkan bagi pemerintah daerah setempat, untuk mempertimbangkan pemberian kredit bagi petani perkebunan yang ingin melakukan peremajaan maupun mengkonversi menjadi tanaman perkebunan lain, dengan bunga yang lebih rendah. Pemberian kredit tersebut dilakukan dengan pengawasan kontrol dari pemerintah setempat. DAFTAR PUSTAKA Anwar C Prospek Karet Alam Indonesia di Pasar Internasional: Suatu Analisis Integrasi Pasar dan Keragaan Ekspor [disertasi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Arief A Konversi Kebun Damar Mata Kucing (Shorea javanica) (Studi Kasus Pengambilan Keputusan Oleh Petani di Desa Lubuk Baru Kecamatan Sosoh Buay Rayap Baturaja Kabupaten Ogan Komering Ulu Provinsi Sumatera Selatan) [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Ashari SC Analisis Kelayakan Finansial Konversi Tanaman Kayu Manis Menjadi Kakao di Kecamatan Gunung Raya Kabupaten Kerinci Provinsi Jambi [skripsi]. Bogor (ID) : Institut Pertanian Bogor. [BAPPENAS] Badan Perencanaan Pembangunan Nasional Laporan Akhir Kajian Revitalisasi Pertanian dalam Rangka Peningkatan Pendapatan Petani Indonesia. Jakarta (ID) : BAPPENAS.

87 [BPTP] Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Success Story ; Inovasi, Teknologi, Spesifik dan Lokasi. Jambi (ID) : BPTP. [BPS] Badan Pusat Statistik Jambi dalam Angka. Jambi (ID) : BPS. [BPS] Badan Pusat Statistik Kabupaten Muaro Jambi Muaro Jambi Dalam Angka. Jambi (ID) : BPS. Budiman AFS Perkembangan Global Karet Alam dan Tantangan Bagi Indonesia.Warta Perkaretan Volume. 24 No. 2 hal Bukenya JO, Maribel M Causes and Trends of Land Conversion: A Study of Urbanization in North Alabama. Selected paper for presentation at The Southern Agricutural Economic Association. Orlando, Florida. Cumbie W, Adrian J, Fields D Conversion of Rural Land to Recreational Sportfishing Use : An Economic Analysis. Alabama Agricultural Experiment Station. Alabama and Auburn University. Daulay P Konversi Lahan Komoditi Karet Menjadi Komoditi Kelapa Sawit. Studi Kasus di Desa Batu Tunggal Kecamatan Na.IX-X Kabupaten Labuhan Batu[tesis]. Medan (ID) : Universitas Sumatera Utara. [DISHUTBUN] Dinas Kehutanan dan Perkebunan Statistik Perkebunan Jambi. Jambi (ID) : DISHUTBUN. [DISHUTBUN] Dinas Kehutanan dan Perkebunan Statistik Perkebunan Jambi. Jambi (ID) : DISHUTBUN. [DISTAN] Dinas Pertanian Kabupaten Muaro Jambi Luas Lahan Menurut Penggunaannya di Kabupaten Muaro Jambi. Jambi (ID) : DISTAN [DITJENBUN] Direktorat Jenderal Perkebunan Statistik Perkebunan Indonesia : Karet Alam. [Internet]. [diunduh 2012 Mei 30] tersedia pada Karet. [DITJENBUN] Direktorat Jenderal Perkebunan Statistik Perkebunan Indonesia : Kelapa Sawit. [Internet]. [diunduh 2012 Jun 10] tersedia pada Kelapasawit. [DEPTAN] Departemen Pertanian Program Pembangunan Pertanian Jakarta (ID) : DEPTAN. [DEPTAN] Departemen Pertanian Prospek dan Arah Pengembangan Agribisnis Karet. Balai Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Jakarta (ID) : DEPTAN. [FAO] Food and Agriculture Organization Natural Rubber and Palm Statistical ;Volume and Export Value [Internet]. [diunduh 2012 May 23] tersedia pada Gujarati DN Basic Econometrics. Ed ke-4th. Newyork (US): McGraw-Hill Hamdan Ekonomi Konversi Lahan Sawah Menjadi Kebun Kelapa Sawit di Kecamatan Seluma Kabupaten Seluma Provinsi Bengkulu [tesis] Bogor (ID). Institut Pertanian Bogor. Herlina Analisis Kelayakan Finansial dan Kesempatan Kerja Proyek Konversi Tanaman Karet Menjadi Tanaman Kelapa Sawit pada PTPN VI (Persero) Kebun Rimbo Satu Kabupaten Tebo Provinsi Jambi [skripsi] Bogor (ID) : Institut Pertanian Bogor. Hoong CW, San OT Enchanging the Sustainability of Rubber Plantation in Penisular Malaysia. Applied Agricultural Research Planter. Kuala Lumpur. 74

88 Hutagaol MP Analisis Manfaat Biaya Proyek Irigrasi Pompa pada Sawah Tadah Hujan dan Pengaruhnya terhadap Distribusi Pendapatan Usahatani [tesis] Bogor (ID) : Institut Pertanian Bogor. Irawan, B Solusi Konversi Lahan Melalui Pendekatan Sosial Ekonomi.Bogor (ID) Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian. Mann M, Kaufmann RK, Merry F The Economics of Cropland Conversion in Amazonia : The importance of agricultural rent. Journal of Ecological Economics. Volume 69.Issue 7. Pages Munir M Hubungan antara Konversi Lahan Pertanian dengan Tingkat Kesejahteraan Rumah Tangga Petani[skripsi]Bogor (ID) : Institut Pertanian Bogor. Novindra Dampak Kebijakan Domestik dan Perubahan Faktor Eksternal terhadap Kesejahteraan Produsen dan Konsumen Minyak Sawit di Indonesia [tesis]. Bogor (ID) : Institut Pertanian Bogor. Bogor. Nurmalina R, Sarianti T, Karyadi A Studi Kelayakan Bisnis. Bogor (ID) : Departemen Agribisnis Institut Pertanian Bogor. Pambudi A Analisis Nilai Ekonomi Lahan (Land Rent) pada Lahan Pertanian dan Pemukiman di Kecamatan Ciampea Kabupaten Bogor [skripsi]bogor (ID) : Institut Pertanian Bogor. Purba JHV Dampak Pajak Ekspor Crude Palm Oil terhadap Industri Minyak Goreng Indonesia [disertasi]. Bogor (ID) : Institut Pertanian Bogor. [PPKS] Pusat Penelitian Kelapa Sawit Potensi dan Peluang Investasi Industri Kelapa Sawit di Indonesia. Medan (ID) : PPKS. Rustiadi E, Saefulhakim, Panuju DR Perencanaan dan Pembangunan Wilayah. Jakarta (ID) : Yayasan Obor Indonesia. Utomo, M., Eddy Rifai dan Abdulmutalib Thahir Pembangunan dan Alih Fungsi Lahan : Lampung (ID) Universitas Lampung. Setyamidjaja D Karet, Budidaya dan Pengolahan. Yogyakarta (ID). Penerbit Kanisius. SihalohoM Konversi Lahan Pertanian dan Perubahan Struktur Agraria [tesis]. Bogor (ID) : Institut Pertanian Bogor. Subali A Pengaruh Konversi Lahan terhadap Pola Nafkah Rumah Tangga Petani[skripsi]. Bogor (ID) : Institut Pertanian Bogor. Suroso AI Analisis Daya Saing dan Dampak Ekonomi Regional Pengembangan Kelapa Sawit di Kabupaten Siak [disertasi]. Bogor (ID) : Institut Pertanian Bogor. Soekartawi Analisis Usahatani. Jakarta (ID) : Universitas Indonesia. Syahza A Pengaruh Pembangunan Perkebunan Kelapa Sawit terhadap Ekonomi Regional Daerah Riau. [internet] [diunduh 2012 Juni 28]. Pangihutan JJ Kelayakan Finanasial dan Ekonomi Pengelolaan Kebun dan Hutan Karet Rakyat di Desa Langkap Kecamatan Sungai Lilin Kabupaten Musi Banyuasin Sumatera Selatan [tesis]. Bogor (ID) : Institut Pertanian Bogor. Wahid A Faktor-faktor yang Mempengaruhi Masyarakat Mengkonversi Lahan Karet menjadi Lahan Kelapa Sawit di Kabupaten Asahan [tesis]. Medan (ID) : Universitas Sumatera Utara. 75

89 Wahyunto MZ, Priyono, Sunaryanto Studi Perubahan Penggunaan Lahan DAS Citarik, Jawa Barat dan DAS Garang, Jawa Timur. Makalah Seminar Nasional Multifungsi Lahan Sawah. Asean Secretariate Maff Japan dan Puslitbang Tanah dan Agroklimat. Bogor (ID). Warlina L Model Perubahan Penggunaan Lahan untuk Penataan Ruang dalam Kerangka Pembangunan Wilayah Berkelanjutan. Studi kasus Kabupaten Bandung [disertasi]. Bogor (ID) : Institut Pertanian Bogor. Wicke B, Sikkema R, Dornburg V, Faaij A Exploring Land Use Changes and The Role of Palm Oil Production in Indonesia and Malaysia. Land Use Policy Volume 28. Issue 2. Pages Winoto J Kebijakan Pengendalian Alih Fungsi Tanah Pertanian dan Implementasinya. Makalah Seminar Penanganan Konversi Lahan dan Pencapaian Lahan Pertanian Abadi, 13 Desember Kerjasama Kantor Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian dengan Pusat Studi Pembangunan Pertanian dan Perdesaan. Bogor (ID). Institut Pertanian Bogor. Yasri A Analisis Pendapatan dan Penyerapan Tenaga Kerja pada Sistem Kemitraan Usaha Perkebunan Kelapa Sawit. Kasus kemitraan di PT. Perkebunan Nusantara VI dan PT. Bakrie Pasaman Plantation [skripsi]. Bogor (ID) : Institut Pertanian Bogor. 76

90 77

91 78

Sosio Ekonomika Bisnis Vol 16. (2) 2013 ISSN

Sosio Ekonomika Bisnis Vol 16. (2) 2013 ISSN 17 FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI KONVERSI TANAMAN KARET MENJADI KELAPA SAWIT DI KABUPATEN MUARO JAMBI Ardhiyan Saputra Staf Pengajar Program Studi Agribisnis Fakultas Pertanian Universitas Jambi Email

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Sektor pertanian mempunyai peranan yang cukup penting dalam kegiatan

BAB I PENDAHULUAN. Sektor pertanian mempunyai peranan yang cukup penting dalam kegiatan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sektor pertanian mempunyai peranan yang cukup penting dalam kegiatan perekonomian di Indonesia, hal ini dapat dilihat dari kontribusinya terhadap Produk Domestik Bruto

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. pertanian berperan besar dalam menjaga laju pertumbuhan ekonomi nasional. Di

I. PENDAHULUAN. pertanian berperan besar dalam menjaga laju pertumbuhan ekonomi nasional. Di I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sektor pertanian merupakan salah satu sektor yang tangguh dalam perekonomian dan memiliki peran sebagai penyangga pembangunan nasional. Hal ini terbukti pada saat Indonesia

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Karet di Indonesia merupakan salah satu komoditas penting perkebunan. selain kelapa sawit, kopi dan kakao. Karet ikut berperan dalam

I. PENDAHULUAN. Karet di Indonesia merupakan salah satu komoditas penting perkebunan. selain kelapa sawit, kopi dan kakao. Karet ikut berperan dalam 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang dan Masalah Karet di Indonesia merupakan salah satu komoditas penting perkebunan selain kelapa sawit, kopi dan kakao. Karet ikut berperan dalam menyumbangkan pendapatan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. banyak kebutuhan lainnya yang menghabiskan biaya tidak sedikit. Guna. sendiri sesuai dengan keahlian masing-masing individu.

BAB I PENDAHULUAN. banyak kebutuhan lainnya yang menghabiskan biaya tidak sedikit. Guna. sendiri sesuai dengan keahlian masing-masing individu. 1 BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG PENELITIAN Pemenuhan kebutuhan pokok dalam hidup adalah salah satu alasan agar setiap individu maupun kelompok melakukan aktivitas bekerja dan mendapatkan hasil sebagai

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Karet (Hevea brasiliensis) berasal dari Brazil. Negara tersebut mempunyai

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Karet (Hevea brasiliensis) berasal dari Brazil. Negara tersebut mempunyai BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Budidaya Tanaman Karet Karet (Hevea brasiliensis) berasal dari Brazil. Negara tersebut mempunyai iklim dan hawa yang sama panasnya dengan negeri kita, karena itu karet mudah

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. dan jasa menjadi kompetitif, baik untuk memenuhi kebutuhan pasar nasional. kerja bagi rakyatnya secara adil dan berkesinambungan.

I. PENDAHULUAN. dan jasa menjadi kompetitif, baik untuk memenuhi kebutuhan pasar nasional. kerja bagi rakyatnya secara adil dan berkesinambungan. I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pada masa globalisasi, persaingan antarbangsa semakin ketat. Hanya bangsa yang mampu mengembangkan daya sainglah yang bisa maju dan bertahan. Produksi yang tinggi harus

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Pulau Jawa merupakan wilayah pusat pertumbuhan ekonomi dan industri.

I. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Pulau Jawa merupakan wilayah pusat pertumbuhan ekonomi dan industri. I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pulau Jawa merupakan wilayah pusat pertumbuhan ekonomi dan industri. Seiring dengan semakin meningkatnya aktivitas perekonomian di suatu wilayah akan menyebabkan semakin

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Perkebunan merupakan salah satu subsektor strategis yang secara ekonomis, ekologis dan sosial budaya memainkan peranan penting dalam pembangunan nasional. Sesuai Undang-Undang

Lebih terperinci

Boks 1. DAMPAK PENGEMBANGAN KELAPA SAWIT DI JAMBI: PENDEKATAN INPUT-OUTPUT

Boks 1. DAMPAK PENGEMBANGAN KELAPA SAWIT DI JAMBI: PENDEKATAN INPUT-OUTPUT Boks 1. DAMPAK PENGEMBANGAN KELAPA SAWIT DI JAMBI: PENDEKATAN INPUT-OUTPUT Sektor pertanian merupakan salah satu sektor penting di Indonesia yang berperan sebagai sumber utama pangan dan pertumbuhan ekonomi.

Lebih terperinci

V. GAMBARAN UMUM PRODUK KELAPA SAWIT DAN BAHAN BAKAR BIODIESEL DARI KELAPA SAWIT

V. GAMBARAN UMUM PRODUK KELAPA SAWIT DAN BAHAN BAKAR BIODIESEL DARI KELAPA SAWIT V. GAMBARAN UMUM PRODUK KELAPA SAWIT DAN BAHAN BAKAR BIODIESEL DARI KELAPA SAWIT 5.1 Produk Kelapa Sawit 5.1.1 Minyak Kelapa Sawit Minyak kelapa sawit sekarang ini sudah menjadi komoditas pertanian unggulan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Perekonomian merupakan salah satu indikator kestabilan suatu negara. Indonesia

I. PENDAHULUAN. Perekonomian merupakan salah satu indikator kestabilan suatu negara. Indonesia I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Perekonomian merupakan salah satu indikator kestabilan suatu negara. Indonesia sebagai salah satu negara berkembang, menganut sistem perekonomian terbuka, di mana lalu

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Sektor pertanian merupakan salah satu tulang punggung perekonomian

I. PENDAHULUAN. Sektor pertanian merupakan salah satu tulang punggung perekonomian I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Sektor pertanian merupakan salah satu tulang punggung perekonomian Indonesia. Hal ini terlihat dari peran sektor pertanian tersebut dalam perekonomian nasional sebagaimana

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. besar penduduk, memberikan sumbangan terhadap pendapatan nasional yang

I. PENDAHULUAN. besar penduduk, memberikan sumbangan terhadap pendapatan nasional yang I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Sektor pertanian merupakan sektor yang mendapatkan perhatian cukup besar dari pemerintah dikarenakan peranannya yang sangat penting dalam rangka pembangunan ekonomi jangka

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. bahan pangan utama berupa beras. Selain itu, lahan sawah juga memiliki

I. PENDAHULUAN. bahan pangan utama berupa beras. Selain itu, lahan sawah juga memiliki 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Lahan sawah memiliki manfaat sebagai media budidaya yang menghasilkan bahan pangan utama berupa beras. Selain itu, lahan sawah juga memiliki manfaat bersifat fungsional

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. opportunity cost. Perbedaan opportunity cost suatu produk antara suatu negara

BAB I PENDAHULUAN. opportunity cost. Perbedaan opportunity cost suatu produk antara suatu negara 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Salah satu kegiatan yang berperan penting dalam perekonomian suatu negara adalah kegiatan perdagangan internasional. Sehingga perdagangan internasional harus

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sektor pertanian memegang peranan penting dalam perekonomian Indonesia karena merupakan tumpuan hidup sebagian besar penduduk Indonesia. Lebih dari setengah angkatan kerja

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. menunjukkan pertumbuhan yang cukup baik khususnya pada hasil perkebunan.

I. PENDAHULUAN. menunjukkan pertumbuhan yang cukup baik khususnya pada hasil perkebunan. 1 I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Sektor pertanian di Indonesia masih menjadi primadona untuk membangun perekonomian negara. Kinerja ekspor komoditas pertanian menunjukkan pertumbuhan yang cukup baik

Lebih terperinci

KAJIAN KEMAMPUAN EKONOMI PETANI DALAM PELAKSANAAN PEREMAJAAN KEBUN KELAPA SAWIT DI KECAMATAN SUNGAI BAHAR KABUPATEN MUARO JAMBI

KAJIAN KEMAMPUAN EKONOMI PETANI DALAM PELAKSANAAN PEREMAJAAN KEBUN KELAPA SAWIT DI KECAMATAN SUNGAI BAHAR KABUPATEN MUARO JAMBI KAJIAN KEMAMPUAN EKONOMI PETANI DALAM PELAKSANAAN PEREMAJAAN KEBUN KELAPA SAWIT DI KECAMATAN SUNGAI BAHAR KABUPATEN MUARO JAMBI SKRIPSI YAN FITRI SIRINGORINGO JURUSAN/PROGRAM STUDI AGRIBISNIS FAKULTAS

Lebih terperinci

PENDAHULUAN A. Latar Belakang

PENDAHULUAN A. Latar Belakang digilib.uns.ac.id 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia adalah negara agraris dimana mata pencaharian mayoritas penduduknya dengan bercocok tanam. Secara geografis Indonesia yang juga merupakan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Sektor pertanian merupakan salah satu sektor penting yang patut. diperhitungkan dalam meningkatkan perekonomian Indonesia.

I. PENDAHULUAN. Sektor pertanian merupakan salah satu sektor penting yang patut. diperhitungkan dalam meningkatkan perekonomian Indonesia. I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang dan Masalah Sektor pertanian merupakan salah satu sektor penting yang patut diperhitungkan dalam meningkatkan perekonomian Indonesia. Negara Indonesia yang merupakan negara

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. mencapai US$ per ton dan mendekati US$ per ton pada tahun 2010.

I. PENDAHULUAN. mencapai US$ per ton dan mendekati US$ per ton pada tahun 2010. 1 I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Sebelum dan sesudah krisis ekonomi tahun 1998, harga minyak sawit (Crude Palm Oil=CPO) dunia rata-rata berkisar US$ 341 hingga US$ 358 per ton. Namun sejak tahun 2007

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. hambatan lain, yang di masa lalu membatasi perdagangan internasional, akan

I. PENDAHULUAN. hambatan lain, yang di masa lalu membatasi perdagangan internasional, akan I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pada era globalisasi saat ini, di mana perekonomian dunia semakin terintegrasi. Kebijakan proteksi, seperi tarif, subsidi, kuota dan bentuk-bentuk hambatan lain, yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan negara agraris yang didukung oleh sektor pertanian. Salah satu sektor pertanian tersebut adalah perkebunan. Perkebunan memiliki peranan yang besar

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. makin maraknya alih fungsi lahan tanaman padi ke tanaman lainnya.

BAB I PENDAHULUAN. makin maraknya alih fungsi lahan tanaman padi ke tanaman lainnya. BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Lahan sawah memiliki arti penting, yakni sebagai media aktivitas bercocok tanam guna menghasilkan bahan pangan pokok (khususnya padi) bagi kebutuhan umat manusia.

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. titik berat pada sektor pertanian. Dalam struktur perekonomian nasional sektor

I. PENDAHULUAN. titik berat pada sektor pertanian. Dalam struktur perekonomian nasional sektor 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sasaran pembangunan nasional diantaranya adalah pertumbuhan ekonomi dengan titik berat pada sektor pertanian. Dalam struktur perekonomian nasional sektor pertanian memiliki

Lebih terperinci

V. GAMBARAN UMUM EKONOMI KELAPA SAWIT DAN KARET INDONESIA

V. GAMBARAN UMUM EKONOMI KELAPA SAWIT DAN KARET INDONESIA V. GAMBARAN UMUM EKONOMI KELAPA SAWIT DAN KARET INDONESIA Pada bab V ini dikemukakan secara ringkas gambaran umum ekonomi kelapa sawit dan karet Indonesia meliputi beberapa variabel utama yaitu perkembangan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat secara ekonomi dengan ditunjang oleh faktor-faktor non ekonomi

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat secara ekonomi dengan ditunjang oleh faktor-faktor non ekonomi 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pertumbuhan ekonomi merupakan suatu proses perubahan yang dilakukan melalui upaya-upaya terencana untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat secara ekonomi dengan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dalam realita ekonomi dan sosial masyarakat di banyak wilayah di Indonesia.

BAB I PENDAHULUAN. dalam realita ekonomi dan sosial masyarakat di banyak wilayah di Indonesia. BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sejak masa kolonial sampai sekarang Indonesia tidak dapat lepas dari sektor perkebunan. Bahkan sektor ini memiliki arti penting dan menentukan dalam realita ekonomi

Lebih terperinci

1.1. Latar Belakang. dengan laju pertumbuhan sektor lainnya. Dengan menggunakan harga konstan 1973, dalam periode

1.1. Latar Belakang. dengan laju pertumbuhan sektor lainnya. Dengan menggunakan harga konstan 1973, dalam periode 1.1. Latar Belakang Pada umumnya perekonomian di negara-negara sedang berkembang lebih berorientasi kepada produksi bahan mentah sebagai saingan dari pada produksi hasil industri dan jasa, di mana bahan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Salah satu sasaran pembangunan nasional adalah pertumbuhan ekonomi dengan

I. PENDAHULUAN. Salah satu sasaran pembangunan nasional adalah pertumbuhan ekonomi dengan I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Salah satu sasaran pembangunan nasional adalah pertumbuhan ekonomi dengan menitikberatkan pada sektor pertanian. Sektor pertanian merupakan salah satu sektor yang mempunyai

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Pembangunan merupakan suatu hal yang cukup penting dalam mewujudkan

I. PENDAHULUAN. Pembangunan merupakan suatu hal yang cukup penting dalam mewujudkan I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pembangunan merupakan suatu hal yang cukup penting dalam mewujudkan keadilan dan kemakmuran masyarakat serta pencapaian taraf hidup masyarakat ke arah yang lebih baik.

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. agraris seharusnya mampu memanfaatkan sumberdaya yang melimpah dengan

I. PENDAHULUAN. agraris seharusnya mampu memanfaatkan sumberdaya yang melimpah dengan I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pertumbuhan ekonomi yang merupakan salah satu indikator keberhasilan suatu negara dapat dicapai melalui suatu sistem yang bersinergi untuk mengembangkan potensi yang dimiliki

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan negara dengan perkebunan karet terluas di dunia. Dalam kurung waktu 150 tahun sejak dikembangkannya pertama kalinya, luas areal perkebunan karet

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang 15 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Karet merupakan komoditas perkebunan yang sangat penting peranannya di Indonesia. Selain sebagai sumber lapangan kerja, komoditas ini juga memberikan kontribusi yang

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. sektor yang mempunyai peranan yang cukup strategis dalam perekonomian

I. PENDAHULUAN. sektor yang mempunyai peranan yang cukup strategis dalam perekonomian 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Salah satu sasaran pembangunan nasional adalah pertumbuhan ekonomi dengan menitikberatkan pada sektor pertanian. Sektor pertanian merupakan salah satu sektor

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pembangunan pertanian di Indonesia dianggap terpenting dari keseluruhan pembangunan ekonomi, apalagi semenjak sektor pertanian ini menjadi penyelamat perekonomian nasional

Lebih terperinci

BAB I. PENDAHULUAN. Sektor pertanian memegang peran strategis dalam pembangunan

BAB I. PENDAHULUAN. Sektor pertanian memegang peran strategis dalam pembangunan BAB I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Sektor pertanian memegang peran strategis dalam pembangunan perekonomian nasional dan menjadi sektor andalan serta mesin penggerak pertumbuhan ekonomi. Hal ini dikarenakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Produk Domestik Bruto (PDB) yang cukup besar, yaitu sekitar 14,43% pada tahun

BAB I PENDAHULUAN. Produk Domestik Bruto (PDB) yang cukup besar, yaitu sekitar 14,43% pada tahun BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sektor pertanian mempunyai peranan yang sangat penting dalam kegiatan perekonomian di Indonesia, hal ini dapat dilihat dari kontribusinya terhadap Produk Domestik Bruto

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Dalam dunia modern sekarang suatu negara sulit untuk dapat memenuhi seluruh kebutuhannya sendiri tanpa kerjasama dengan negara lain. Dengan kemajuan teknologi yang sangat

Lebih terperinci

EVALUASI POLA PENGELOLAAN TAMBAK INTI RAKYAT (TIR) YANG BERKELANJUTAN (KASUS TIR TRANSMIGRASI JAWAI KABUPATEN SAMBAS, KALIMANTAN BARAT)

EVALUASI POLA PENGELOLAAN TAMBAK INTI RAKYAT (TIR) YANG BERKELANJUTAN (KASUS TIR TRANSMIGRASI JAWAI KABUPATEN SAMBAS, KALIMANTAN BARAT) EVALUASI POLA PENGELOLAAN TAMBAK INTI RAKYAT (TIR) YANG BERKELANJUTAN (KASUS TIR TRANSMIGRASI JAWAI KABUPATEN SAMBAS, KALIMANTAN BARAT) BUDI SANTOSO C 25102021.1 SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Perkembangan Produksi CPO di Indonesia

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Perkembangan Produksi CPO di Indonesia II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Perkembangan Produksi CPO di Indonesia Menurut Martha Prasetyani dan Ermina Miranti, sejak dikembangkannya tanaman kelapa sawit di Indonesia pada tahun 60-an, luas areal perkebunan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. sawit, serta banyak digunakan untuk konsumsi makanan maupun non-makanan.

BAB I PENDAHULUAN. sawit, serta banyak digunakan untuk konsumsi makanan maupun non-makanan. BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Minyak kelapa sawit merupakan minyak nabati yang berasal dari buah kelapa sawit, serta banyak digunakan untuk konsumsi makanan maupun non-makanan. Minyak

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Disamping itu ada pula para ahli yang berpendapat bahwa kelapa sawit terbentuk pada saat

BAB 1 PENDAHULUAN. Disamping itu ada pula para ahli yang berpendapat bahwa kelapa sawit terbentuk pada saat BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kelapa sawit (elaeis guineensis) menurut para ahli secara umum berasal dari Afrika. Disamping itu ada pula para ahli yang berpendapat bahwa kelapa sawit terbentuk

Lebih terperinci

PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan negara yang mayoritas penduduknya sebagian besar adalah petani. Sektor pertanian adalah salah satu pilar dalam pembangunan nasional Indonesia. Dengan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Sektor pertanian mempunyai peranan yang sangat penting bagi

BAB I PENDAHULUAN. Sektor pertanian mempunyai peranan yang sangat penting bagi 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Sektor pertanian mempunyai peranan yang sangat penting bagi perekonomian Indonesia, peran tersebut antara lain adalah bahwa sektor pertanian masih menyumbang sekitar

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pentingnya sektor pertanian dalam perekonomian Indonesia dilihat dari aspek kontribusinya terhadap PDB, penyediaan lapangan kerja, penyediaan penganekaragaman menu makanan,

Lebih terperinci

PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Sektor pertanian memiliki peranan strategis dalam struktur pembangunan perekonomian nasional. Selain berperan penting dalam pemenuhan kebutuhan pangan masyarakat, sektor

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Indonesia menjadi salah satu negara yang memiliki areal perkebunan yang luas.

I. PENDAHULUAN. Indonesia menjadi salah satu negara yang memiliki areal perkebunan yang luas. I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia menjadi salah satu negara yang memiliki areal perkebunan yang luas. Komoditas yang ditanami diantaranya kelapa sawit, karet, kopi, teh, kakao, dan komoditas

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Tingkat perekonomian suatu wilayah didukung dengan adanya. bertahap. Pembangunan adalah suatu proses multidimensional yang meliputi

I. PENDAHULUAN. Tingkat perekonomian suatu wilayah didukung dengan adanya. bertahap. Pembangunan adalah suatu proses multidimensional yang meliputi 1 I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Tingkat perekonomian suatu wilayah didukung dengan adanya pembangunan ekonomi jangka panjang yang terencana dan dilaksanakan secara bertahap. Pembangunan adalah suatu

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. pada 2009 (BPS Indonesia, 2009). Volume produksi karet pada 2009 sebesar 2,8

I. PENDAHULUAN. pada 2009 (BPS Indonesia, 2009). Volume produksi karet pada 2009 sebesar 2,8 I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Tanaman karet merupakan komoditi perkebunan yang menduduki posisi cukup penting sebagai sumber devisa non migas bagi Indonesia, sehingga memiliki prospek yang cerah. Produk

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1. Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Perkebunan menurut Undang-undang Republik Indonesia Nomor 18 tahun 2004 tentang Perkebunan, adalah segala kegiatan yang mengusahakan tanaman tertentu pada tanah dan/atau

Lebih terperinci

KELAPA SAWIT: PENGARUHNYA TERHADAP EKONOMI REGIONAL DAERAH RIAU. Abstrak

KELAPA SAWIT: PENGARUHNYA TERHADAP EKONOMI REGIONAL DAERAH RIAU. Abstrak KELAPA SAWIT: PENGARUHNYA TERHADAP EKONOMI REGIONAL DAERAH RIAU Almasdi Syahza 1 dan Rina Selva Johan 2 Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Riau Email: asyahza@yahoo.co.id: syahza@telkom.net

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. sangat diunggulkan, baik di pasar dalam negeri maupun di pasar ekspor. Kelapa

BAB I PENDAHULUAN. sangat diunggulkan, baik di pasar dalam negeri maupun di pasar ekspor. Kelapa BAB I PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang Perkebunan kelapa sawit merupakan salah satu sektor yang cukup berkembang dalam beberapa tahun terakhir. Bahkan sejak krisis ekonomi dan moneter melanda semua sektor

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN. tersebut antara lain menyediakan pangan bagi seluruh penduduk, menyumbang

I PENDAHULUAN. tersebut antara lain menyediakan pangan bagi seluruh penduduk, menyumbang I PENDAHULUAN A. Latar Belakang dan Masalah Sektor pertanian memegang peranan penting dalam pembangunan nasional. Peranan tersebut antara lain menyediakan pangan bagi seluruh penduduk, menyumbang devisa,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Kelapa sawit, berasal dari daerah tropis di Amerika Barat yang penting

BAB I PENDAHULUAN. Kelapa sawit, berasal dari daerah tropis di Amerika Barat yang penting BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kelapa sawit, berasal dari daerah tropis di Amerika Barat yang penting sebagai suatu sumber minyak nabati. Kelapa sawit tumbuh sepanjang pantai barat Afrika dari Gambia

Lebih terperinci

ANALISIS PENGEMBANGAN KOMODITAS DI KAWASAN AGROPOLITAN BATUMARTA KABUPATEN OGAN KOMERING ULU ROSITADEVY

ANALISIS PENGEMBANGAN KOMODITAS DI KAWASAN AGROPOLITAN BATUMARTA KABUPATEN OGAN KOMERING ULU ROSITADEVY ANALISIS PENGEMBANGAN KOMODITAS DI KAWASAN AGROPOLITAN BATUMARTA KABUPATEN OGAN KOMERING ULU ROSITADEVY SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2007 PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI

Lebih terperinci

Gambar 1.1. Perkembangan Konsumsi Minyak Nabati Dunia

Gambar 1.1. Perkembangan Konsumsi Minyak Nabati Dunia 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kelapa sawit telah menjadi komoditas andalan sebagai sumber devisa negara non migas, penciptaan lapangan kerja dan pelestarian lingkungan hidup. Berdasarkan informasi

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Sektor pertanian, peternakan, kehutanan, dan perikanan memberikan

BAB 1 PENDAHULUAN. Sektor pertanian, peternakan, kehutanan, dan perikanan memberikan BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Sektor pertanian, peternakan, kehutanan, dan perikanan memberikan kontribusi yang cukup besar terhadap perekonomian Indonesia. Hal ini dilihat dari kontribusi sektor

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. penyediaan lapangan kerja, pemenuhan kebutuhan konsumsi dalam negeri, bahan

I. PENDAHULUAN. penyediaan lapangan kerja, pemenuhan kebutuhan konsumsi dalam negeri, bahan I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia merupakan negara yang memiliki kekayaan sumberdaya alam yang melimpah, terutama pada sektor pertanian. Sektor pertanian sangat berpengaruh bagi perkembangan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara agraris dimana sektor pertanian merupakan

I. PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara agraris dimana sektor pertanian merupakan 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang dan Masalah Indonesia merupakan negara agraris dimana sektor pertanian merupakan salah satu sektor penggerak utama dalam pembangunan ekonomi. Menurut Soekartawi (2000),

Lebih terperinci

IV. GAMBARAN UMUM. Sumber : WTRG Economics

IV. GAMBARAN UMUM. Sumber : WTRG Economics IV. GAMBARAN UMUM 4.1. Perkembangan Harga Minyak Bumi Minyak bumi merupakan salah satu sumber energi dunia. Oleh karenanya harga minyak bumi merupakan salah satu faktor penentu kinerja ekonomi global.

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN. Tabel 1. Luas Lahan Komoditi Perkebunan di Indonesia (Ribu Ha)

I PENDAHULUAN. Tabel 1. Luas Lahan Komoditi Perkebunan di Indonesia (Ribu Ha) 1.1. Latar Belakang I PENDAHULUAN Indonesia memiliki potensi yang sangat besar di sektor pertanian khususnya di sektor perkebunan. Sektor perkebunan memberikan sumbangan yang cukup besar terhadap produk

Lebih terperinci

POTENSI MODAL PETANI DALAM MELAKUKAN PEREMAJAAN KARET DI KABUPATEN MUSI RAWAS SUMATERA SELATAN

POTENSI MODAL PETANI DALAM MELAKUKAN PEREMAJAAN KARET DI KABUPATEN MUSI RAWAS SUMATERA SELATAN POTENSI MODAL PETANI DALAM MELAKUKAN PEREMAJAAN KARET DI KABUPATEN MUSI RAWAS SUMATERA SELATAN (FARMER CAPITAL POTENCIES FOR REPLANTING RUBBER PLANTATION IN MUSI RAWAS REGENCY SOUTH SUMATERA) Maya Riantini

Lebih terperinci

II TINJAUAN PUSTAKA. Pengembangan Pertanian. Departemen Pertanian [16 Juli 2010]

II TINJAUAN PUSTAKA. Pengembangan Pertanian. Departemen Pertanian [16 Juli 2010] II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Prospek Karet Alam Olahan Getah karet atau lateks diperoleh secara teknis melalui penyadapan pada kulit batang karet. 5 Penyadapan ini memerlukan teknik yang khusus untuk mendapat

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. komoditas utama penghasil serat alam untuk bahan baku industri Tekstil dan

I. PENDAHULUAN. komoditas utama penghasil serat alam untuk bahan baku industri Tekstil dan I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kapas merupakan salah satu bahan baku industri yang memegang peranan penting dalam perekonomian nasional karena kapas merupakan komoditas utama penghasil serat alam untuk

Lebih terperinci

226 ZIRAA AH, Volume 32 Nomor 3, Oktober 2011 Halaman ISSN

226 ZIRAA AH, Volume 32 Nomor 3, Oktober 2011 Halaman ISSN 226 ANALISIS USAHA TANI KELAPA SAWIT DI DESA HAMPALIT KECAMATAN KATINGAN HILIR KABUPATEN KATINGAN (Analysis of oil palm farming in Hampalit Village, Katingan Hilir Sub district, Katingan District) Asro

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG

I. PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG I. PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Teh merupakan salah satu komoditi yang mempunyai peran strategis dalam perekonomian Indonesia. Industri teh mampu memberikan kontribusi Produk Domestik Bruto (PDB) sekitar

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. perusahaan perusahaan besar adalah kelapa sawit. Industri kelapa sawit telah tumbuh

BAB I PENDAHULUAN. perusahaan perusahaan besar adalah kelapa sawit. Industri kelapa sawit telah tumbuh BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Persaingan antar perusahaan semakin ketat dalam suatu industri termasuk pada agroindustri. Salah satu produk komoditi yang saat ini sangat digemari oleh perusahaan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Komoditas kelapa sawit merupakan salah satu komoditas yang penting di

I. PENDAHULUAN. Komoditas kelapa sawit merupakan salah satu komoditas yang penting di I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Komoditas kelapa sawit merupakan salah satu komoditas yang penting di Indonesia, baik dilihat dari devisa yang dihasilkan maupun bagi pemenuhan kebutuhan akan minyak

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN LANDASAN TEORI

BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN LANDASAN TEORI BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN LANDASAN TEORI 2.1. Tinjauan Pustaka Pengembangan tanaman kelapa sawit di Indonesia diawali pada tahun 1848 sebagai salah satu tanaman koleksi kebun Raya Bogor, dan mulai dikembangkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pertanian (agro-based industry) yang banyak berkembang di negara-negara tropis

BAB I PENDAHULUAN. pertanian (agro-based industry) yang banyak berkembang di negara-negara tropis BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Industri kelapa sawit merupakan salah satu industri strategis sektor pertanian (agro-based industry) yang banyak berkembang di negara-negara tropis seperti

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Subsektor perkebunan merupakan salah satu bisnis strategis dan andalan dalam perekonomian Indonesia, bahkan pada masa krisis ekonomi. Agribisnis subsektor ini mempunyai

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pada 2020 dan berdasarkan data forecasting World Bank diperlukan lahan seluas

BAB I PENDAHULUAN. pada 2020 dan berdasarkan data forecasting World Bank diperlukan lahan seluas BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Meskipun dibayangi penurunan harga sejak akhir 2012, Prospek minyak kelapa sawit mentah (CPO) diyakini masih tetap akan cerah dimasa akan datang. Menurut Direktur

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. kebutuhan akan minyak nabati dalam negeri. Kontribusi ekspor di sektor ini pada

I. PENDAHULUAN. kebutuhan akan minyak nabati dalam negeri. Kontribusi ekspor di sektor ini pada I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Komoditas kelapa sawit merupakan salah satu komoditas yang penting di Indonesia, baik dilihat dari devisa yang dihasilkan maupun bagi pemenuhan kebutuhan akan minyak

Lebih terperinci

Sakti Hutabarat Staf pengajar Jurusan Agribisnis Fakultas Pertanian Universitas Riau

Sakti Hutabarat Staf pengajar Jurusan Agribisnis Fakultas Pertanian Universitas Riau Evaluasi Investasi Perkebunan Kelapa Sawit Pola PIR di Desa Gading Sari Kec. Tapung Kab. Kampar (Sakti Hutabarat) EVALUASI INVESTASI PERKEBUNAN KELAPA SAWIT POLA PIR DI DESA GADING SARI KECAMATAN TAPUNG

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. salah satu bagian penting dalam pembangunan pertanian serta merupakan bagian

I. PENDAHULUAN. salah satu bagian penting dalam pembangunan pertanian serta merupakan bagian I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pembangunan sub sektor perkebunan khususnya kelapa sawit merupakan salah satu bagian penting dalam pembangunan pertanian serta merupakan bagian integral pembangunan nasional.

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1. Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Indonesia dikenal sebagai penghasil produk-produk hulu pertanian yang mencakup sektor perkebunan, hortikultura dan perikanan. Potensi alam di Indonesia memungkinkan pengembangan

Lebih terperinci

Analisis ekspor karet dan pengaruhnya terhadap PDRB di Provinsi Jambi

Analisis ekspor karet dan pengaruhnya terhadap PDRB di Provinsi Jambi Analisis ekspor karet dan pengaruhnya terhadap PDRB di Provinsi Jambi Paula Naibaho Mahasiswa Prodi Ekonomi Pembangunan Fak. Ekonomi dan Bisnis Universitas Jambi Abstrak Penelitian ini bertujuan untuk

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Indonesia memiliki potensi alamiah yang berperan positif dalam

I. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Indonesia memiliki potensi alamiah yang berperan positif dalam 1 I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia memiliki potensi alamiah yang berperan positif dalam pengembangan sektor pertanian sehingga sektor pertanian memiliki fungsi strategis dalam penyediaan pangan

Lebih terperinci

ANALISIS KELAYAKAN FINANSIAL KELAPA SAWIT RAKYAT

ANALISIS KELAYAKAN FINANSIAL KELAPA SAWIT RAKYAT ANALISIS KELAYAKAN FINANSIAL KELAPA SAWIT RAKYAT (Studi Kasus: Kecamatan Bagan Sinembah Kabupaten Rokan Hilir Provinsi Riau) Dionica Putri 1), H M Mozart B Darus M.Sc 2), Ir. Luhut Sihombing, MP 3) Program

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. (BPS 2012), dari pertanian yang terdiri dari subsektor tanaman. bahan makanan, perkebunan, perternakan, kehutanan dan perikanan.

I. PENDAHULUAN. (BPS 2012), dari pertanian yang terdiri dari subsektor tanaman. bahan makanan, perkebunan, perternakan, kehutanan dan perikanan. I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Sektor pertanian mempunyai peranan yang cukup penting dalam kegiatan perekonomian di Indonesia. Hal ini dapat dilihat dari kontribusinya terhadap Produk Domestik

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. perubahan sistem ekonomi dari perekonomian tertutup menjadi perekonomian

BAB I PENDAHULUAN. perubahan sistem ekonomi dari perekonomian tertutup menjadi perekonomian BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Fenomensa globalisasi dalam bidang ekonomi mendorong perkembangan ekonomi yang semakin dinamis antar negara. Dengan adanya globalisasi, terjadi perubahan sistem ekonomi

Lebih terperinci

Pengembangan Jagung Nasional Mengantisipasi Krisis Pangan, Pakan dan Energi Dunia: Prospek dan Tantangan

Pengembangan Jagung Nasional Mengantisipasi Krisis Pangan, Pakan dan Energi Dunia: Prospek dan Tantangan Pengembangan Jagung Nasional Mengantisipasi Krisis Pangan, Pakan dan Energi Dunia: Prospek dan Tantangan Anton J. Supit Dewan Jagung Nasional Pendahuluan Kemajuan teknologi dalam budidaya jagung semakin

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dalam perekonomian suatu negara. Terjalinnya hubungan antara negara satu

BAB I PENDAHULUAN. dalam perekonomian suatu negara. Terjalinnya hubungan antara negara satu BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Perdagangan internasional merupakan sektor yang besar pengaruhnya dalam perekonomian suatu negara. Terjalinnya hubungan antara negara satu dengan negara yang

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. Latar Belakang

PENDAHULUAN. Latar Belakang PENDAHULUAN Latar Belakang Pembangunan yang dititikberatkan pada pertumbuhan ekonomi berimplikasi pada pemusatan perhatian pembangunan pada sektor-sektor pembangunan yang dapat memberikan kontribusi pertumbuhan

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang 1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Minyak nabati merupakan salah satu komoditas penting dalam perdagangan minyak pangan dunia. Tahun 2008 minyak nabati menguasai pangsa 84.8% dari konsumsi minyak pangan

Lebih terperinci

VIII. KESIMPULAN DAN SARAN

VIII. KESIMPULAN DAN SARAN VIII. KESIMPULAN DAN SARAN KESIMPULAN I Dari hasil analisa yang dilakukan terhadap berbagai data dan informasi yang dikumpulkan, dapat diambil beberapa kesimpulan sebagai berikut : 1. Pangsa TSR Indonesia

Lebih terperinci

1.1 Latar Belakang Masalah

1.1 Latar Belakang Masalah 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Crude palm oil (CPO) merupakan produk olahan dari kelapa sawit dengan cara perebusan dan pemerasan daging buah dari kelapa sawit. Minyak kelapa sawit (CPO)

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sektor pertanian mempunyai peranan yang sangat penting bagi perekonomian Indonesia. Peranan pertanian antara lain adalah : (1) sektor pertanian masih menyumbang sekitar

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. nasional yang diarahkan untuk mengembangkan daerah tersebut. Tujuan. dari pembangunan daerah adalah untuk meningkatkan kesejahteraan

I. PENDAHULUAN. nasional yang diarahkan untuk mengembangkan daerah tersebut. Tujuan. dari pembangunan daerah adalah untuk meningkatkan kesejahteraan I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pembangunan daerah merupakan bagian dari pembangunan nasional yang diarahkan untuk mengembangkan daerah tersebut. Tujuan dari pembangunan daerah adalah untuk meningkatkan

Lebih terperinci

Metodologi Pemeringkatan Perusahaan Kelapa Sawit

Metodologi Pemeringkatan Perusahaan Kelapa Sawit Fitur Pemeringkatan ICRA Indonesia April 2015 Metodologi Pemeringkatan Perusahaan Kelapa Sawit Pendahuluan Sektor perkebunan terutama kelapa sawit memiliki peran penting bagi perekonomian Indonesia karena

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. pertanian. Indonesia memiliki beragam jenis tanah yang mampu. menyuburkan tanaman, sinar matahari yang konsisten sepanjang tahun,

I. PENDAHULUAN. pertanian. Indonesia memiliki beragam jenis tanah yang mampu. menyuburkan tanaman, sinar matahari yang konsisten sepanjang tahun, I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia yang dikenal sebagai negara agraris didukung oleh sumber daya alamnya yang melimpah memiliki kemampuan untuk mengembangkan sektor pertanian. Indonesia memiliki

Lebih terperinci

ANALISIS KELAYAKAN FINANSIAL KONVERSI TANAMAN KAYU MANIS MENJADI KAKAO DI KECAMATAN GUNUNG RAYA KABUPATEN KERINCI PROVINSI JAMBI

ANALISIS KELAYAKAN FINANSIAL KONVERSI TANAMAN KAYU MANIS MENJADI KAKAO DI KECAMATAN GUNUNG RAYA KABUPATEN KERINCI PROVINSI JAMBI ANALISIS KELAYAKAN FINANSIAL KONVERSI TANAMAN KAYU MANIS MENJADI KAKAO DI KECAMATAN GUNUNG RAYA KABUPATEN KERINCI PROVINSI JAMBI OLEH SUCI NOLA ASHARI A14302009 PROGRAM STUDI EKONOMI PERTANIAN DAN SUMBERDAYA

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang PENDAHULUAN Latar Belakang Pertambahan penduduk Indonesia setiap tahunnya berimplikasi pada semakin meningkatkan kebutuhan pangan sebagai kebutuhan pokok manusia. Ketiadaan pangan dapat disebabkan oleh

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. yang prospektif. Komoditas karet alam memiliki berbagai macam kegunaan

I. PENDAHULUAN. yang prospektif. Komoditas karet alam memiliki berbagai macam kegunaan I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Karet alam merupakan salah satu komoditi industri hasil tanaman tropis yang prospektif. Komoditas karet alam memiliki berbagai macam kegunaan terutama sebagai bahan baku

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Pembangunan sektor pertanian khususnya subsektor perkebunan merupakan

I. PENDAHULUAN. Pembangunan sektor pertanian khususnya subsektor perkebunan merupakan 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pembangunan sektor pertanian khususnya subsektor perkebunan merupakan bagian dari pembangunan nasional. Secara umum posisi sektor perkebunan dalam perekonomian nasional

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. sektor non pertanian merupakan suatu proses perubahan struktur ekonomi.

BAB I PENDAHULUAN. sektor non pertanian merupakan suatu proses perubahan struktur ekonomi. 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan negara agraris dengan basis perekonomiannya berasal dari sektor pertanian. Hal ini disadari karena perkembangan pertanian merupakan prasyarat

Lebih terperinci

Boks 2. PENELUSURAN SUMBER PEMBENTUKAN INFLASI DI KOTA JAMBI: SUATU ANALISIS SISI TATA NIAGA DAN KOMODITAS

Boks 2. PENELUSURAN SUMBER PEMBENTUKAN INFLASI DI KOTA JAMBI: SUATU ANALISIS SISI TATA NIAGA DAN KOMODITAS Boks 2. PENELUSURAN SUMBER PEMBENTUKAN INFLASI DI KOTA JAMBI: SUATU ANALISIS SISI TATA NIAGA DAN KOMODITAS Inflasi adalah kecenderungan (trend) atau gerakan naiknya tingkat harga umum yang berlangsung

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia merupakan negara agraris yang memiliki sumber daya alam yang beraneka ragam dan memiliki wilayah yang cukup luas. Hal ini yang membuat Indonesia menjadi

Lebih terperinci