EKOBIOLOGI REPRODUKSI IKAN OPUDI Telmatherina antoniae (Kottelat, 1991) SEBAGAI DASAR KONSERVASI IKAN ENDEMIK DI DANAU MATANO, SULAWESI SELATAN

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "EKOBIOLOGI REPRODUKSI IKAN OPUDI Telmatherina antoniae (Kottelat, 1991) SEBAGAI DASAR KONSERVASI IKAN ENDEMIK DI DANAU MATANO, SULAWESI SELATAN"

Transkripsi

1 EKOBIOLOGI REPRODUKSI IKAN OPUDI Telmatherina antoniae (Kottelat, 1991) SEBAGAI DASAR KONSERVASI IKAN ENDEMIK DI DANAU MATANO, SULAWESI SELATAN FADLY Y. TANTU SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2012

2

3 PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi dengan judul Ekobiologi Reproduksi Ikan Opudi Telmatherina antoniae (Kottelat, 1991) Sebagai Dasar Konservasi Ikan Endemik di Danau Matano, Sulawesi Selatan adalah karya saya dengan arahan dari Komisi Pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir disertasi ini. Bogor, Februari 2012 Fadly Y. Tantu NRP C

4

5 ABSTRACT FADLY Y. TANTU. Reproductive Ecobiology of Telmatherina antoniae (Kottelat, 1991) as the Base of the Endemic Fish Conservation in Lake Matano, South Sulawesi. Under direction of SULISTIONO, M.F. RAHARDJO, DJADJA S. SJAFEI, and ISMUDI MUCHSIN. The research were aimed to describe characteristics of habitat, distribution patterns, growth and reproduction of the endemic fish T. antoniae as the base of endemic fish management in Lake Matano, South Sulawesi. This was conducted from September 2010 to August 2011 in nine sampling stations. Fish were collected by mini beach seine of 10 m length and 3 m depth with 3 mm mesh size. The habitat conditions were described and physical chemical parameters of the water were measured monthly. Results showed that temperature was C, dissolved oxygen was mg l -1, ph was , total suspended solids was mg l -1, total dissolved solids was mg l -1, and water transparency was m. The habitat was in shallow areas along the lake sides with clear waters, bottom substrate composed of sand to cobbles with rare aquatic vegetation. Male s standard length (SL) ranged between and mm, while female s ranged between and mm. Male and female population was dominated by those of mm SL and mm, respectively. Both male and female s growth patterns were allometric. Male s growth equation was Lt = 87.64(1-e -0,36(t-0,11) ) and female s was Lt = 85.43(1-e - 0,54(t-0,08) ). Conservation of the endemic fish need to be conducted by enhancing the functions of nature recreation park of Lake Matano. Keywords: ecobiology, reproduction, Telmatherina antoniae, conservation

6

7 RINGKASAN FADLY Y. TANTU. Ekobiologi Reproduksi Ikan Opudi Telmatherina antoniae (Kottelat, 1991) Sebagai Dasar Konservasi Ikan Endemik di Danau Matano, Sulawesi Selatan. Dibimbing oleh : SULISTIONO, M.F. RAHARDJO dan ISMUDI MUCHSIN. Penelitian kajian ekobiologi ikan opudi Telmatherina antoniae sebagai dasar pengelolaan ikan endemik di Danau Matano, Sulawesi Selatan bertujuan untuk mengkaji karakter habitat, pola distribusi, pertumbuhan dan reproduksi ikan endemik T. antoniae di daerah litoral Danau Matano untuk dijadikan dasar dalam pengelolaan ikan endemik di Danau Matano. Penelitian dilakukan di Danau Matano, Sulawesi Selatan. Sampling dilakukan setiap bulan selama 12 bulan yaitu mulai bulan September 2010 sampai dengan Agustus Sampling dilakukan pada sembilan stasiun penelitian. Metoda penelitian yang digunakan adalah metoda survei post facto. Stasiun penelitian ditetapkan berdasarkan pertimbangan: (1) merupakan habitat dari ikan T. antoniae, (2) kondisi stasiun penelitian memungkinkan untuk operasional pelaksanaan sampling, dan (3) stasiun penelitian dapat mewakili keragaman habitat dari ikan T. antoniae. Berdasarkan pertimbangan ini ditetapkan sembilan stasiun penelitian yang dibagi dalam tiga zona yang secara spasial mewakili tiga bagian danau utama yaitu: (1) Zona yang mewakili wilayah danau bagian hulu, (2) zona yang mewakili wilayah danau bagian tengah, dan (3) zona yang mewakili wilayah danau bagian hilir. Pengambilan sampel ikan dilakukan dengan menggunakan alat tangkap yang didisain khusus, yaitu pukat pantai berkantong berukuran panjang 10 meter dan lebar 3 meter dengan mata jaring 3 mm. Pukat pantai ini dioperasikan di daerah pinggiran pada kedalaman 0,5 3 m. Pengukuran parameter fisika kimia perairan dilakukan secara in situ menggunakan water quality test-kit merek Horiba. Parameter yang diukur in situ adalah suhu (⁰C), oksigen terlarut (mg l -1 ), ph. Toatal padatan tersuspensi (mg l -1 ) dan Total padatan terlarut (mg l -1 ) diperiksa di laboratorium. Transparansi perairan diukur dengan mengukur jarak pandang di dalam air secara horisontal terhadap bidang berwarna putih berukuran 30 cm x 30 cm. Fluktuasi tinggi muka air danau di atas permukaan laut (dpl) dan curah hujan

8 rata-rata harian (mm) di sekitar danau dianalisis dari data yang dikoleksi secara periodik dari stasiun pemantau PT. INCO yang ada di sekitar Danau Matano. Hasil pengukuran parameter kualitas perairan Danau Matano selama periode sampling menunjukkan dinamika dengan fluktuasi yang relatif sempit baik secara spasial maupun temporal. Secara umum kisaran nilai hasil pengukuran parameter lingkungan fisika kimiawi perairan Danau Matano sebagai berikut: suhu 27,20 30,30 C, oksigen terlarut 5,02 7,45 mg l -1, ph 8,32 8,8, TSS 0,3 3,6 mg l -1, TDS mg l -1 dan transparansi m. Habitat T. antoniae pada sembilan stasiun penelitian memperlihatkan bahwa T. antoniae di menempati daerah dangkal pinggiran danau yang memiliki karakter habitat perairan jernih, substrat dasar berpasir sampai berbatu dengan vegetasi dasar yang jarang. Ikan ini tidak menyukai substrat berlumpur. Kisaran ukuran ikan jantan yang diperiksa adalah 32,76-85,58 mm, sedangkan ikan betina 36,17-83,25 mm. Pola sebaran ukuran menunjukkan ikan jantan dengan ukuran panjang baku (PB) 41,58 54,80 mm merupakan jumlah terbanyak di dalam populasi (78,98%). Sedangkan pada ikan betina didominasi oleh ikan-ikan dengan ukuran panjang baku 37,17-54,80 mm (87,80%). Model hubungan panjang berat T. antoniae untuk individu jantan W = 0,000008L 3,210 dan betina W= 0,00003L 2,915 dengan pola pertumbuhan allometrik. Sedang bentuk persamaan pertumbuhan ikan jantan Lt = 87,64(1-e -0,36(t-0,11) ) dan ikan Lt = 85,43(1-e -0,54(t-0,08) ). Ukuran panjang baku ikan jantan terbesar yang ditemukan 85,25 mm, sedang betina 83,25 mm. Ikan ini berpasangan dengan perbandingan jantan dan betina seimbang. Pemijahan secara bertahap dan berlangsung sepanjang tahun. Puncak pemijahan terjadi pada akhir musim hujan. Starategi konservasi yang harus dibangun untuk konservasi ikan opudi adalah dengan mengefektifkan status danau sebagai kawasan konservasi taman wisata alam (TWA) sehingga pemanfaatan lahan-lahan sekitar danau yang berpotensi merusak ekosistem danau dapat dikurangi. Melalui pendekatan pemanfaatan danau serta biota yang ada didalamnya sebagai objek wisata alam (ekowisata) akan memberikan nilai manfaat bagi keberlanjutan ikan-ikan endemik dan biota endemik lainnya yang hidup di Danau Matano.memiliki muatan ilmiah dan sekaligus objek konservasi.

9 @ Hak Cipta milik IPB, tahun 2012 Hak Cipta dilindungi Undang-undang Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apapun tanpa izin IPB.

10

11 EKOBIOLOGI REPRODUKSI IKAN OPUDI Telmatherina antoniae (Kottelat,1991) SEBAGAI DASAR KONSERVASI IKAN ENDEMIK DI DANAU MATANO, SULAWESI SELATAN FADLY Y. TANTU Disertasi Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor pada Program Studi Ilmu Perairan SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2012

12 Penguji Luar Komisi pada Ujian Tertutup: 1. Dr. Ir. Gadis Sri Haryani 2. Dr. Ir Isdradjad Setyobudiandi, M.Sc. Penguji Luar Komisi pada Ujian Terbuka: 1. Prof. Dr. Ir. Bambang Soeroto, M.Sc. 2. Dr. Ir. Didik Wahju Hendro Tjahjo, M.Si.

13

14

15 PRAKATA Puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan hidayah-nya kepada penulis, sehingga dapat melaksanakan penelitian dan menyelesaikan penulisan disertasi berjudul Ekobiologi Reproduksi Ikan Opudi Telmatherina antoniae (Kottelat, 1991) Sebagai Dasar Konservasi Ikan Endemik di Danau Matano, Sulawesi Selatan. Penulis menyampaikan ucapan terima kasih kepada komisi pembimbing Bapak Dr. Ir. Sulistiono, M.Sc. selaku ketua komisi pembimbing; Bapak Prof. Dr. Ir. M.F. Rahardjo dan Bapak Prof. Dr. Ir. Ismudi Muchsin selaku anggota komisi pembimbing yang telah banyak memberikan arahan dan bimbingan dalam penyusunan disertasi ini. Penghargaan yang tinggi penulis sampaikan kepada Bapak Almarhum Dr. Ir. Djadja Subardja Sjafei yang telah memberikan arahan dan bimbingan kepada penulis pada tahap-tahap awal penelitian ini. Semoga amal ibadah beliau diterima di sisi Allah SWT. Ucapan terima kasih kepada Penguji Luar Komisi dalam Ujian Tertutup dan Ujian terbuka atas saran dan masukan guna memperkaya tulisan ini. Tak lupa penulis mengucapkan terima kasih kepada Bapak Prof. Dr. Ir. Enang Harris, M.Sc. selaku ketua Program Studi Ilmu Perairan. Penulis juga menyampaikan ucapan terima kasih kepada semua pihak yang telah memberikan bantuan dan motivasi kepada penulis sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan disertasi ini. Bogor, Februari 2012 Fadly Y.Tantu

16

17 UCAPAN TERIMA KASIH Pada kesempatan ini penulis menyampaikan ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada: 1. Kementerian Pendidikan Nasional, Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi atas bantuan beasiswa BPPS 2005 yang diberikan kepada penulis. 2. Rektor Universitas Tadulako Palu dan Dekan Fakultas Pertanian Universitas Tadulako atas bantuan dan kesempatan yang telah diberikan kepada penulis untuk melanjutkan pendidikan S3. 3. Ayahanda Yasin Tantu (Alm.) dan Ibunda Quraisyin Abdulwali (Alm.) atas doa dan harapan-harapan mereka kepada penulis agar mengedepankan menuntut ilmu. Nasehat mereka yang melekat dalam ingatan penulis adalah Hanya dengan sekolah (memiliki ilmu pengetahuan) kita bisa mengubah kehidupan ke arah yang lebih baik. 4. Kakanda Isma Y. Tantu, Muh. Roem Y. Tantu (Alm.), Ir. Ramly Y. Tantu, M.Sc. (Alm.). Usman Y. Tantu SE. M.Si., Rukiyani Y. Tantu, Maryam Y. Tantu, Adinda Isra Y. Tantu SH., Ir. Rizal Y. Tantu, M.Si., dan Irvan Y. Tantu, dan seluruh keluarga besar Tantu-Abdulwali yang selalu memberikan dukungan semangat, dorongan dan doa kepada penulis. 5. Ayah dan Ibu Mertua E. Soeparman S.A. dan Ibunda Sunarmi atas semangat, dorongan dan doa kepada penulis dalam menuntut ilmu. Dan kepada Adinda Rizki Abdussalam, SH, Afiati Nurrohmah, SH, dan Arif Rachman Saleh atas dukungan dan doa yang telah diberikan. 6. Istri tercinta Ir. Jusri Nilawati, M.Sc. dan ananda Fauzia Noorchaliza, Fadhilah Noor Nabiilah dan Fathan Noor Ilmi Fadly Tantu atas doa, kasih sayang, pengertian, dukungan, dan pengorbanan bagi keberhasilan penulis. 7. PT. INCO Tbk atas bantuan akomodasi di lapangan. 8. Balai Konservasi Sumber Daya Alam Kabupaten Luwu Timur atas ijin penelitian. 9. The Stability of Rainforest Margins in Indonesia (Storma) atas bantuan dana penelitian.

18 10. Teman-teman Program Studi Ilmu Perairan atas dukungan semangat selama masa studi. 11. Berbagai pihak yang turut memberikan andil dalam keberhasilan penulis menyelesaikan studi S3 di Program Studi Ilmu Perairan, SPs IPB, Bogor. Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

19 RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Tinombo, Kabupaten Parigi Moutong, Provinsi Sulawesi Tengah, pada tanggal 28 November 1962 dari orang tua Ayah Yasin Tantu dan Quraisyin Abdulwali. Penulis adalah anak ketujuh dari 10 bersaudara. Pendidikan sarjana ditempuh di jurusan Manajeman Sumberdaya Perairan Universitas Sam Ratulangi dan lulus tahun Pada tahun 1995 penulis mulai bekerja sebagai staf pengajar pada Fakultas Pertanian Universitas Tadulako Palu. Pada tahun 1995 penulis melanjutkan pendidikan pascasarjana pada Program Studi Ilmu Perairan Universitas Sam Ratulangi dan meraih gelar Magister Sains pada tahun Pada tahun 1998 penulis menikah dengan Ir. Jusri Nilawati, M.Sc. dan dikaruniai empat orang putera puteri yaitu Fauzia Noorchaliza (11 tahun), Fathimah Noorasysyifa (Alm.), Fadhilah Noor Nabiilah (7 tahun) dan Fathan Noor Ilmi Fadly Tantu (2,5 tahun). Kemudian pada tahun 2005 penulis melanjutkan pendidikan Doktor pada Program Studi Ilmu Perairan Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Karya ilmiah yang sudah dipublikasikan adalah: Habitat dan distribusi ukuran ikan opudi (Telmatherina antoniae) di Danau Matano, 2011 dalam Jurnal Agrisains 12(3) (in press). Tingkah laku pemijahan Telmatherina antoniae di Danau Matano, Sulawesi Selatan dalam Jurnal Agrisains 13(1) (in press).

20

21 DAFTAR ISI Halaman DAFTAR TABEL... xxiii DAFTAR GAMBAR... DAFTAR LAMPIRAN... xxv xxvii PENDAHULUAN... 1 Latar Belakang... 1 Tujuan dan Manfaat Penelitian... 3 Kebaruan... 3 TINJAUAN PUSTAKA... 5 Deskripsi Umum Danau Matano... 5 Telmatherina antoniae dan Distribusinya di Danau... 7 Reproduksi Status Konversi dan Ancaman Potensial Ikan-ikan Endemik Air Tawar METODE PENELITIAN Tempat dan Waktu Penelitian Metode dan Desain Penelitian Analisis Data HASIL DAN PEMBAHASAN Habitat Ikan T. antoniae Hidrologi dan Lingkungan Fisik Kimiawi Perairan Distribusi dan Kelas Ukuran Ikan T. antoniae Hubungan Panjang-Berat dan Pertumbuhan T. antoniae Reproduksi Nisbah kelamin Komposisi warna jantan Tingkat kematangan gonad Indeks kematangan gonad Sebaran diameter telur Fekunditas Musim pemijahan dan strategi reproduksi Sifat dan tingkah laku reproduksi T. antoniae di perairan Pengelolaan dan Konservasi KESIMPULAN DAN SARAN DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN... 81

22

23 DAFTAR TABEL Halaman 1. Parameter fisik kimiawi perairan Danau Matano Nilai rata-rata dan simpangan baku jumlah ikan menurut stasiun penelitian Kelompok umur, rata-rata ukuran PB, standar deviasi, populasi dan indeks pemisah (SI) dari individu T. antoniae jantan berdasarkan bulan sampling Kelompok umur, rata-rata ukuran PB, standar deviasi, populasi dan indeks pemisah (SI) dari individu T. antoniae betina berdasarkan bulan sampling Variasi spasial nisbah kelamin T. antoniae di Danau Matano Variasi temporal nisbah kelamin T. antoniae di Danau Matano Variasi nisbah kelamin T. antoniae menurut kelas ukuran Ukuran rata-rata PB T. antoniae jantan berdasarkan warna Jumlah individu T. antoniae jantan dan betina menurut kondisi TKG... 57

24

25 DAFTAR GAMBAR Halaman 1. Telmatherina antoniae jantan kuning (atas) dan betina (bawah) Danau Matano dan stasiun sampling Keadaan curah hujan harian dan fluktuasi muka air Danau Matano periode September 2010-Agustus Dendogram pengelompokan stasiun penelitian berdasarkan parameter fisik kimiawi perairan Histogram distribusi spasial ikan T. antoniae menurut stasiun penelitian Sebaran kelas ukuran panjang baku T. antoniae jantan dan betina Distribusi spasial T. antoniae jantan berdasarkan stasiun penelitian dan kelas ukuran di Danau Matano Distribusi spasial T. antoniae betina berdasarkan stasiun penelitian dan kelas ukuran di Danau Matano Distribusi temporal T. antoniae jantan berdasarkan kelas ukuran dan waktu sampling di Danau Matano Distribusi temporal T. antoniae betina berdasarkan kelas ukuran dan waktu sampling di Danau Matano Hubungan panjang-berat T. antoniae di Danau Matano: (a) jantan dan (b) betina Nilai rata-rata faktor kondisi relatif (FK) ikan T. antoniae jantan dan betina menurut stasiun sampling Nilai rata-rata faktor kondisi relatif (FK) ikan T. antoniae jantan dan betina menurut bulan sampling Kurva pertumbuhan Von Bartalanffy ikan T. antoniae jantan dan betina berdasarkan data frekuensi panjang Histogram komposisi warna T. antoniae jantan warna biru dan jantan warna kuning (a) menurut stasiun sampling dan (b) menurut waktu sampling Struktur histologis gonad T. antoniae jantan Struktur histologis gonad T. antoniae betina Persentase jumlah ikan T. antoniae pada berbagai tingkat kematangan gonad (TKG) berdasarkan stasiun penelitian Persentase jumlah ikan T. antoniae pada berbagai tingkat kematangan gonad (TKG) berdasarkan waktu penelitian... 59

26 20. Persentase jumlah ikan T. antoniae pada berbagai tingkat kematangan gonad (TKG) berdasarkan sebaran ukuran panjang Nilai indeks kematangan gonad (TKG) ikan T. antoniae menurut stasiun sampling Nilai indeks kematangan gonad (IKG) ikan T. antoniae jantan dan betina menurut waktu sampling Sebaran diameter telur T. antoniae pada TKG I-V Hubungan antara fekunditas dengan panjang baku (PB)... 64

27 DAFTAR LAMPIRAN Halaman 1. Teknik pembuatan preparat histologis gonad Ragam habitat pemijahan T. antoniae di Danau Matano Karakteristik habitat T. antoniae dan komunitas ikan di sembilan stasiun sampling di Danau Matano Rata-rata curah hujan harian dan fluktuasi tinggi muka air Dana Matano selama periode September 2010 Agustus Nilai rata-rata parameter fisik kimiawi perairan dan jumlah ikan menurut stasiun penelitian Nilai panjang baku (PB) rata-rata T. antoniae jantan dan betina pada lokasi berbeda di Danau Matano Nilai rata-rata panjang baku (PB) ikan T. antoniae jantan dan betina di Danau Matano Model hubungan panjang-berat dan pola pertumbuhan T.antoniae jantan dan betina Sebaran frekuensi panjang baku T. antoniae jantan yang dikoleksi mulai bulan September 2010 Agustus 2011 di Danau Matano Sebaran frekuensi panjang baku T. antoniae betina yang dikoleksi mulai bulan September 2010 Agustus 2011 di Danau Matano Deskripsi karakter morfologi dan histologis tahap perkembangan gonad T. antoniae jantan Deskripsi karakter morfologi dan histologis tahap perkembangan gonad T. antoniae betina... 97

28 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Sulawesi terletak di dalam kawasan Wallacea yang telah lama dikenal sebagai pusat biodiversitas. Hal ini disebabkan oleh tingginya derajat endemisme di antara fauna aslinya (Myers et al. 2000; Whitten et al. 2002). Danau Matano adalah salah satu danau tua di dunia yang terdapat di Pulau Sulawesi yang terbentuk sekitar 1,7 juta tahun lalu (Haffner et al. 2001). Danau ini dihuni oleh biota akuatik endemik. Saat ini terdapat lebih dari 35 spesies ikan di danau tersebut, lima belas spesies diantaranya adalah endemik yang digolongkan ke dalam empat kelompok yaitu: Telmatherinidae (sembilan spesies), Gobiidae (empat spesies), Oryziidae dan Hemiramphidae (masing-masing satu spesies) (Tantu & Nilawati 2007a). Telmatherina antoniae (Kottelat 1991) adalah salah satu dari sembilan Telmatherinidae yang ditemukan di Danau Matano. Ikan ini berukuran relatif kecil dengan panjang baku kurang dari 100 mm dan memiliki warna yang cerah. Individu jantan memiliki dua bentuk warna yaitu biru dan kuning, memiliki tingkah laku yang atraktif dan berwarna indah. Warna yang indah dan tingkah laku atraktif tersebut membuat ikan ini sangat berpotensi untuk dijadikan ikan hias yang memiliki nilai ekonomi. Masyarakat sekitar danau menyebut ikan T. antoniae dan umumnya ikanikan famili Telmatherinidae dengan nama opudi. Saat ini ikan opudi tidak dieksploitasi untuk tujuan konsumsi maupun ekonomi oleh masyarakat, tetapi ikan ini sedang menghadapi beberapa masalah karena aktivitas yang intensif di perairan maupun di daratan sekeliling danau. Beberapa aktivitas yang diprediksi memiliki potensi mengganggu habitat dan kelangsungan hidup ikan antara lain: perluasan lahan pertambangan yang terus mendekati tepian danau, pembangunan konstruksi jalan lingkar danau, perluasan permukiman, konstruksi dan pengoperasian dam, perubahan badan sungai, pembalakan di sekitar daerah aliran sungai, pembukaan lahan perkebunan, limbah rumah tangga dan buangan minyak dari mesin-mesin perahu transportasi.

29 2 Dampak nyata dari aktivitas tersebut di atas secara kualitatif dapat dilihat dari semakin meningkat dan meluasnya daerah litoral yang terpapar bahan-bahan tersuspensi. Secara fisik, dampak itu ditandai oleh meningkatnya kekeruhan perairan dan perubahan sistem hidrologis dari kondisi alami ke kondisi buatan akibat adanya pengoperasian dam di aliran sungai keluar danau (outlet). Peningkatan aktivitas di sekeliling danau menimbulkan kekhawatiran tentang kelangsungan ikan ini di habitatnya. Aktivitas-aktivitas lain yang mengancam keberadaan T. antoniae di Danau Matano adalah budidaya dan introduksi ikan yang dilakukan oleh masyarakat dan pemerintah. Jumlah ikan eksotik di danau terus meningkat setiap tahun. McKinnon et al. (2000) dan Hadiaty & Wirjoatmodjo (2002) mencatat lima spesies, sementara Tantu & Nilawati (2007b) mendokumentasikan 20 spesies ikan bukan asli. Keberadaan spesies ikan bukan asli di habitat spesies ikan endemik dikhawatirkan menimbulkan tekanan terhadap spesies endemik baik melalui predasi maupun kompetisi (Wijeyaratne & Perera 2001). Selain itu, spesies ikan bukan asli bisa menyebabkan penurunan populasi spesies endemik (Leyse et al. 2003). Ikan bukan asli di Danau Matano umumnya melakukan aktivitas mencari makan, membangun sarang dan bereproduksi di daerah litoral. Apabila masalah degradasi habitat dan peningkatan populasi ikan eksotik di danau ini berakumulasi, kelangsungan T. antoniae diprediksi terganggu. Beberapa topik penelitian mengenai ikan Danau Matano yang telah dilakukan antara lain: radiasi adaptif dan hibridisasi (Herder et al. 2006a); keragaman dan evolusi (Herder et al. 2006b); pemeriksaan pendahuluan sailfin silversides (Teleostei: Telmatherinidae) di Danau-danau Malili Sulawesi (Indonesia), dengan sinopsis sistematika dan ancaman-ancamannya (Herder et al. 2008); radiasi adaptif dan genetika populasi (Heath et al. 2006); pemeliharaan polimorfisme warna jantan pada telmatherinid (Gray et al. 2006); deskripsi perbandingan tingkah laku kawin ikan Telmatherinidae dari danau-danau Malili Sulawesi (Gray & McKinnon 2006); dan seleksi seksual pada ikan yang ditampilkan melalui polimorfisme warna yang dipengaruhi oleh lingkungan (Gray et al. 2008a); serta makan telur secara sembunyi-

30 3 sembunyi pada Telmatherina sarasinorum, ikan endemik dari Sulawesi (Gray et al. 2008b). Studi-studi tersebut difokuskan pada biologi evolusi dan ekologi tingkah laku untuk menelaah mengenai asal dan keragaman biologi dari danau-danau ini. Studi mengenai aspek reproduksi T. antoniae dilaporkan oleh Sumassetiyadi (2003). Penelitian ini menelaah ekobiologi untuk memetakan aspek habitat, biologi reproduksi, dan ancaman yang dihadapi oleh T. antoniae untuk mendapatkan konsep pengelolaan ikan-ikan T. antoniae di Danau Matano. Tujuan dan Manfaat Penelitian Tujuan penelitian ini adalah untuk menganalisis karakter habitat, pola distribusi, pertumbuhan dan reproduksi ikan endemik T. antoniae di daerah litoral Danau Matano. Hasil yang diperoleh dalam penelitian ini dapat dijadikan dasar pengelolaan ikan endemik di danau tersebut. Kebaruan Kebaruan penelitian ini adalah penggunaan ikan endemik opudi T. antoniae dalam kajian hubungan habitat, pola distribusi, pertumbuhan, dan reproduksi di Danau Matano.

31 4

32 5 TINJAUAN PUSTAKA Deskripsi Umum Danau Matano Danau Matano adalah salah satu danau yang berada dalam wilayah Wallacea. Danau ini berada di bagian tengah Pulau Sulawesi, yang termasuk dalam wilayah administrasi Provinsi Sulawesi Selatan. Danau Matano merupakan hulu dari rangkaian tiga danau besar yang berdekatan yaitu Danau Matano, Mahalona dan Towuti. Dua danau lain yang juga bertetangga dengan ketiga danau ini yaitu Danau Lantoa dan Danau Masapi. Kelima danau ini membentuk satu kompleks danau yang dikenal dengan sebutan Kompleks Danau Malili. Sistem aliran dari kompleks danau ini berhubungan dengan Teluk Bone melalui Sungai Malili (Tantu & Nilawati 2007a). Danau Matano dan dua danau tetangganya di bagian hilir (Danau Mahalona dan Danau Towuti) merupakan kawasan konservasi Taman Wisata Alam (TWA). Penetapan sebagai kawasan konservasi TWA telah relatif lama dilakukan yaitu tahun 1979 melalui Surat Keputusan Mentan No. 274/Kpts/Um/4/1979 tanggal 24 April Luas kawasan ini mencapai ,00 ha (termasuk perairan danau), dengan rincian luas masing-masing: TWA Matano ha, TWA Towuti ha, dan TWA Mahalona ha (Tantu & Nilawati 2007b). Walaupun kompleks danaudanau Malili ini telah ditetapkan sebagai kawasan konservasi TWA, namun TWA ini tidak dikelola sebagaimana mestinya sebuah kawasan TWA. Padahal danau ini memiliki keunikan dilihat dari sisi biota yang tercermin pada keragaman dan endemisitas biotanya. Danau Matano diidentifikasi sebagai sumber utama kehadiran spesies-spesies endemik dalam kompleks danau-danau Malili (Hafner et al. 2001). Keindahan, keunikan dan keragaman ikan endemik Danau Matano dan danau lainnya di kompleks Malili saat ini menarik perhatian banyak naturalis dari berbagai negara di dunia untuk menjadikan kompleks danau-danau Malili sebagai obyek penelitian (Tantu & Nilawati 2007b). Kawasan ini juga merupakan pusat perhatian keanekaragaman ikan endemik perairan tawar Sulawesi (Tantu & Nilawati 2007a).

33 6 Walaupun danau-danau ini kaya akan spesies endemik, namun produktifitasnya sangat renda dibandingkan dengan danau-danau tropis lain. Menurut Haffner et al. (2006), biomassa fitoplankton di Danau Matano, Mahalona dan Towuti berturut-turut adalah 0,013; 0,008; dan 0,09 mg l -1. Sementara biomassa di Danau Malawi, Tanganyika dan Victoria berturut-turut adalah 0,3; 0,9; dan 5 mg l -1. Studi sebelumnya yang dilakukan oleh Widhiasari (2003) menunjukkan bahwa kelimpahan fitoplankton di daerah litoral Danau Matano berkisar antara 27 dan 1287 ind. l -1 ; nilai ini berada dalam kisaran kategori oligotrof ( ind. l -1 ). Studi Widhiasari (2003) ini juga mencatat bahwa jenis fitoplankton yang dominan adalah Chlorophyceae. Sementara Haffner et al. (2006) yang melakukan studi di kompleks Danau Malili melaporkan bahwa komunitas fitoplankton yang dominan adalah cyanobacteria kecil. Taksa yang lebih besar seperti Staurastrum dan Peridinium jarang ditemukan. Demikian pula dengan komunitas zooplankton terdiri atas beberapa spesies terutama calanoid (Eodiaptomus wolterecki), copepoda cyclopoid (Tropocyclops spp.) dan rotifer (Horaella brehmi). Parameter fisik kimiawi perairan dideskripsikan oleh Bramburger et al. (2006) sebagai berikut: kisaran suhu tahunan 27 31ºC; ph 7,7-8,3; konduktivitas µs cm ¹; dan total fosfor kurang dari 5 µg l ¹. Secara fisik Danau Matano memiliki keunikan: terjadi secara tektonik; berada pada ketinggian 396 m di atas permukaan laut (dpl); luas 164 km 2 dan kedalaman kurang lebih 590 m (Haffner et al. 2001); dan merupakan danau terdalam kedelapan di dunia. Danau Matano dideskripsikan oleh Haffner et al. (2001) sebagai danau oligotrofik; perairan sangat jernih dengan kecerahan mencapai 23 m; daerah litoral relatif sempit yang dibatasi oleh dinding-dinding danau yang curam. Walaupun danau ini berhubungan dengan dua danau di hilirnya, namun danau ini terisolasi oleh elevasi 89 m, dan arus aliran keluar yang kuat, yaitu berkisar m³det ¹. Kondisi ini diduga sebagai rintangan fisik bagi penyebaran ikan dari danau-danau yang ada di bagian hilir (Haffner et al. 2001). Soeroto (1997) menyatakan bahwa ikan-ikan endemik Danau Matano merupakan anggota dari famili ikan laut yang diduga telah menempati danau itu sejak

34 7 awal kejadiannya. Mayoritas ikan air tawar Sulawesi adalah ikan sekunder, yaitu ikan yang mampu mentolerir kandungan garam. Contoh ikan-ikan sekunder adalah Oryziidae dan Adrianichthyidae, sedangkan anggota dari famili ikan laut adalah Gobiidae, Eleotridae, Atherinidae dan Hemiramphidae (Soeroto 1997). Ikan T. antoniae adalah salah satu jenis ikan endemik Danau Matano yang terdistribusi di sepanjang tepian danau Matano (Kottelat 1991). Ikan ini menempati daerah litoral danau (Heath et al. 2006; Nilawati & Tantu 2007). Zona litoral yang dihuni oleh T. antoniae terbatas pada perairan dangkal yang kedalamannya kurang dari 10 m. Zona litoral dikenal merupakan zona penting bagi juvenil dan ikan-ikan dewasa di banyak sistem danau. Sementara itu struktur komunitas, preferensi habitat dan pola-pola musiman pemanfaatan zona litoral oleh komunitas ikan danau di daerah tropis belum banyak dipahami. Zona ini merupakan daerah pengasuhan dan mencari makan yang penting (Vono & Barbosa 2001). Posisi spesies di dalam suatu komunitas sangat bergantung kepada ketersediaan sumber daya dan proses-proses ekologis seperti kompetisi interspesifik atau predasi (Piet 1998). Ada tiga dimensi penting dalam pembagian sumber daya komunitas ikan yaitu: dimensi trofik, spasial dan temporal. Dimensi trofik merupakan dimensi paling penting untuk memisahkan spesies ikan di danau, sedangkan dimensi spasial yang penting di danau adalah distribusi vertikal di dalam kolom air (Ross 1986). Telmatherina antoniae dan Distribusinya di Danau Famili Telmatherinidae (Kottelat 1991) adalah ikan-ikan kecil dari Kompleks Danau Malili dengan ciri warna yang cerah. Telmatherinidae yang ditemukan di Danau Matano adalah endemik (Gray et al. 2008). Saat ini kelompok ikan ini menjadi perhatian untuk studi yang berkaitan dengan biologi evolusi dan ekologi tingkah laku serta untuk penelaahan asal dan keragaman biologi dalam Kompleks Danau Malili (Herder et al, 2006a, 2006b, 2008; Heath et al. 2006; Gray et al. 2006; Gray & McKinnon 2006; Gray et al. 2008a; 2008b). Deskripsi taksonomik beberapa spesies Telmatherinidae pertama kali dipublikasikan oleh Boulenger pada tahun 1897, dan telah direvisi oleh Kottelat

35 8 (1990b, 1991) dan Aarn & Kottelat (1998). Telmatherina antoniae adalah salah satu dari sembilan spesies anggota Telmathernidae yang hidup di Danau Matano (Nilawati & Tantu 2007). Ikan ini pertama kali diidentifikasi dan dinyatakan sebagai spesies baru dari Danau Matano oleh Kottelat (1991). Klasifikasi T. antoniae menurut Kottelat (1991) adalah sebagai berikut: Kingdom : Animalia Phylum : Chordata Class : Actinopterygii Order : Atheriniformes Family : Telmatherinidae Genus : Telmatherina Spesies : Telmatherina antoniae Kottelat, 1991 T. antoniae mudah dibedakan dari spesies Telmatherina lain dengan karakter sebagai berikut: sirip dorsal kedua dan sirip anal membulat ke arah posterior, ada dua bentuk warna jantan (biru dan kuning), tubuh coklat kebiru-biruan, dan bagian kepala berwarna lebih muda. Suatu garis lebar yang warnanya lebih muda terletak di antara sirip dorsal kedua dan sirip anal. Dua buah garis yang lebih tipis dan lebih muda terletak agak di depan dan agak di belakang permulaan sirip ventral. Sirip dorsal pertama berwarna kehitam-hitaman dengan ujung putih kebiru-biruan. Sirip dorsal kedua, sirip anal dan sirip ventral berwarna sangat biru muda. Sirip pektoral dan sirip kaudal transparan. Ikan jantan warna kuning memiliki pola warna yang sama dengan ikan jantan warna biru, tetapi tubuhnya coklat dengan garis-garis coklat kekuningkuningan. Ikan betina berwarna abu-abu kebiru-biruan (Gambar 1), dengan garisgaris lebih muda seperti garis-garis pada ikan jantan dan satu pita aksial tipis kehitam-hitaman (Kottelat 1991). Secara morfometrik, T. antoniae memiliki karakter sebagai berikut: lebar moncong 0,88-1,05 kali panjang baku; sisik predorsal; sisik pada baris longitudinal; dan 14-17½ jari-jari anal bercabang. Jari-jari sirip dorsal pertama (D1) V-VII, dorsal kedua (D2) I,8-11½; jari-jari sirip kaudal bercabang 8+7; jari-jari sirip anal I,14-17½; jari-jari sirip pektoral 15-16; dan jari-jari sirip pelvik I,5. Sisik pada

36 9 baris longitudinal Sisik pada baris transversal ½8½, sisik predorsal 14-17; sisik preoperkulum 4-5; sisik operkulum 4-6. Gill-raker pada lengkungan pertama (Kottelat 1991). Gambar 1. Telmatherina antoniae jantan kuning (atas) dan betina (bawah) Ikan T. antoniae dewasa reproduktif memiliki dua kelompok ukuran tubuh yaitu ukuran besar dan kecil (Gray et al. 2006). Perbedaan yang nyata pada kedua kelompok ikan dewasa reproduktif ini yaitu tinggi tubuh yang mencolok meningkat pada ikan-ikan yang berukuran panjang baku (PB) kira-kira 53 mm (Kottelat 1991). Studi yang dilakukan McKinnon et al. (2000) pada T. antoniae jantan yang melakukan pemijahan pada dua lokasi berbeda yaitu di Old Camp dan Pump masingmasing memiliki ukuran rata-rata PB 47,2 mm dan 50,16 mm. Sementara itu McKinnon et al. (2000) juga menemukan bahwa ukuran rata-rata PB jantan biru dan kuning masing-masing adalah 49,8 mm dan 49,7 mm. Ikan T. antoniae hidup di daerah litoral; daerah ini dijadikan sebagai habitat pemijahan (Kottelat 1991; Gray & McKinnon 2006; Nilawati & Tantu 2007).

37 10 Pasangan yang memijah meletakkan telurnya pada substrat dasar (Gray & McKinnon 2006; Nilawati & Tantu 2007), seperti di antara batuan, di atas batuan beralga, kerikil atau pasir yang tidak memiliki tumbuhan air, dan pada tumbuhan air, pada batang pohon atau kayu-kayuan beralga yang tenggelam di dasar perairan. Ikan ini bahkan dapat memijah di perairan yang dangkal dengan kedalaman kurang lebih 0,5 m (Soeroto et al. 2004; Nilawati & Tantu 2007). Sementara itu Sumassetiyadi (2003) menyatakan bahwa ikan T. antoniae memijah di daerah bervegetasi dan meletakkan telur-telurnya pada substrat tumbuhan air (fitofil). Reproduksi Gray & McKinnon (2006) meneliti tingkah laku kawin tujuh Telmatherinidae dan menemukan bahwa secara umum ikan-ikan tersebut memperlihatkan tingkah laku sebagai berikut: tidak mempunyai kepedulian induk (non parental care), pemijah pada substrat, tidak menunjukkan teritorialitas, dan sering berganti pasangan memijah. Deskripsi tingkah laku lain dari T. antoniae dan T. albolabiosus telah dijelaskan masing-masing oleh Nilawati & Tantu (2007) dan Tantu & Nilawati (2006). Studi mengenai pemeliharaan polimorfisme warna pada ikan jantan T. antoniae oleh Gray et al. (2006) menunjukkan bahwa frekuensi bentuk warna jantan T. antoniae yang memijah di daerah litoral pada kedalaman 0,5 sampai 2,0 m lebih berhubungan dengan parameter-parameter temporal, dibandingkan dengan parameterparameter spasial. Nilawati & Tantu (2007) mendeskripsikan ritual pemijahan T. antoniae. Ikan jantan dewasa mencari pasangan dengan cara mendekati ikan betina dewasa dari sisi kiri atau kanan. Kemudian ikan betina akan memperlambat kecepatan renangnya apabila ia tertarik pada ikan jantan yang mendekati. Setelah berada di dekat ikan betina, ikan jantan melakukan gerakan seperti menari di samping betina kemudian pasangan ini akan berenang beriringan dengan posisi jantan selalu berada di bawah abdomen ikan betina. Ikan jantan yang agresif melakukan gerakan-gerakan tarian menyilang atau membentuk lingkaran di samping betina. Ikan jantan tampak memandu dan melindungi pasangannya untuk mendapatkan substrat

38 11 pemijahan. Bila ikan betina mendapatkan substrat pemijahan, ikan jantan akan segera mendekat, dan membentuk formasi posisi sejajar dengan betina. Selanjutnya pasangan ikan ini saling mendekatkan abdomen dan secara bersamaan menekannya ke arah substrat, dengan posisi tubuh membentuk sudut kira-kira 30º terhadap substrat. Ikan betina kemudian melepaskan telur dan ikan jantan melepaskan sperma. Pada posisi ini tubuh pasangan memijah ini tampak bergetar. Sumassetiyadi (2003) yang mempelajari aspek reproduksi ikan T. antoniae menyatakan bahwa nisbah kelamin antara jantan dan betina tidak seimbang, dan populasi ikan ini didominasi oleh ikan jantan. Menurut Sumassetiyadi, ikan betina pertama kali matang gonad pada ukuran panjang total 70 mm (panjang baku 52,50 mm) dan untuk jantan pada ukuran 77 mm (panjang baku 57,75mm). Status Konservasi dan Ancaman Potensial Ikan-ikan Endemik Air Tawar IUCN telah menyusun 10 kategori konservasi untuk status spesies langka yakni: (1) Punah: spesies (atau taksa lain, seperti subspesies dan varietas) yang telah punah dan tidak ditemukan dimanapun. (2) Punah di alam: spesies yang hanya ada di dalam pemeliharaan, dalam kurungan, atau sebagai populasi alam di luar kisaran asalnya. (3) Kritis: spesies yang menghadapi resiko kepunahan yang sangat tinggi di alam dalam waktu dekat. Peluang punah di alam minimal 50% dalam waktu 10 tahun atau 3 generasi. (4) Genting: spesies menghadapi resiko kepunahan yang sangat tinggi di alam dalam waktu dekat, dan beresiko menjadi kritis. (5) Rentan: spesies yang menghadapi resiko kepunahan tinggi di alam dalam jangka menengah, dan beresiko menjadi genting. Spesies dalam golongan ini dalam waktu 100 tahun mempunyai resiko kepunahan lebih dari 10%. (6) Tergantung usaha konservasi: spesies tidak sedang terancam kepunahan, tetapi kelangsungan hidupnya tergantung pada program konservasi, dan spesies itu bisa terancam punah. (7) Mendekati terancam punah: spesies mendekati kualifikasi rentan. (8) Kekhawatiran rendah: spesies tidak dimasukkan ke dalam kriteria tergantung usaha konservasi maupun kriteria mendekati terancam punah. (9) Kurang data: informasi yang ada tidak cukup untuk menentukan resiko kepunahan untuk spesies itu. Dalam banyak hal, spesies

39 12 belum terlihat selama bertahun-tahun atau dekade karena tidak ada ahli biologi yang telah berusaha untuk mencarinya. Lebih banyak informasi diperlukan sebelum spesies ini bisa digolongkan ke dalam kategori terancam. (10) Tidak di evaluasi: spesies belum dinilai kategori keterancamannya (Primack 2000). Ikan T. antoniae digolongkan berstatus rentan di dalam Red List Data Book of Threatened Animals tahun 1996 dari IUCN (International Union For Conservation of Nature and Natural Resources) (WCMC 2006). Ricciardi (2001) memperkirakan laju kepunahan hewan air tawar pada masa yang akan datang hampir lima kali lebih besar daripada hewan darat, dan tiga kali untuk mamalia laut. Status spesies air tawar di Amerika Utara menunjukkan kondisi krisis pertumbuhan dan kurang lebih 28% ikan air tawar asli telah dimasukkan ke dalam kriteria genting, rentan atau punah oleh World Conservation Union. Kepunahan keanekaragaman hayati antara lain disebabkan oleh: (1) kerusakan habitat, (2) eksploitasi jenis secara berlebihan, (3) introduksi jenis eksotik, (4) gangguan habitat termasuk pencemaran, (5) penyebaran penyakit, (6) persaingan, dan (7) pemanasan global (Reid & Miller 1989; Moyle & Leidy 1992). Danau-danau di dunia telah mengalami introduksi spesies eksotik yang menyebabkan perubahan besar pada komposisi fauna ikannya (Ogutu-Ohwayo 1990). Hal ini berhubungan dengan aktivitas manusia, preferensi masyarakat dan kebijakan pemerintah (Hall & Mills 2000). Meningkatnya introduksi spesies bukan asli dipicu oleh meningkatnya kebutuhan pangan, nilai ekonomis dan rekreasi (Welcomme 1988). Introduksi spesies bukan asli telah dijadikan sebagai strategi umum dalam pengelolaan perikanan danau yang mengalami degradasi stok (Olowo et al. 2004). Berbagai alasan introduksi spesies bukan asli yaitu: (1) olah raga atau rekreasi, (2) budidaya, (3) manipulasi ekologi dan perbaikan stok liar, (4) mengendalikan organisme-organisme yang tidak diinginkan, (5) sebagai ikan hias; (6) transfer tidak disengaja (Welcomme 1984; 1986; 1988; Mills et al. 1993), dan (7) untuk menggantikan stok yang mengalami penurunan (Olowo et al. 2004).

40 13 METODE PENELITIAN Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian dilakukan di Danau Matano, Sulawesi Selatan. Sampling dilakukan setiap bulan selama satu tahun yaitu mulai bulan September 2010 sampai dengan Agustus Sampling dilakukan pada sembilan stasiun penelitian (Gambar 2). Metode dan Desain Penelitian Metode penelitian yang digunakan adalah metode survei post facto. Stasiun penelitian ditetapkan berdasarkan pertimbangan: (1) merupakan habitat ikan T. antoniae, (2) kondisi stasiun penelitian memungkinkan untuk operasional pelaksanaan sampling, dan (3) stasiun penelitian dapat mewakili keragaman habitat ikan T. antoniae. Berdasarkan pertimbangan ini ditetapkan sembilan stasiun penelitian yang dibagi dalam tiga zona. Secara spasial pembagian zona ini mewakili tiga bagian danau yaitu: (1) Zona yang mewakili wilayah danau bagian hulu, (2) zona yang mewakili wilayah danau bagian tengah, dan (3) zona yang mewakili wilayah danau bagian hilir. Gambar 2. Danau Matano dan stasiun sampling. Ket.: Zona hulu: (1) Sungai Lawa, (2) Paku, (3) Pulau Wotu Pali; Zona tengah: (4) Bubble Beach, (5) Salonsa, (6) Tanah Merah; dan Zona hilir: (7) Otuno, (8) Sungai Petea dan (9) Sungai Soluro

41 14 Deskripsi Stasiun Penelitian Sembilan stasiun penelitian di Danau Matano ditetapkan sebagai tempat pengambilan sampel ikan, serta parameter fisik, kimiawi dan biologis perairan. Masing-masing stasiun memiliki ciri dan karakter berbeda. Zona Hulu Zona hulu adalah zona yang terdapat di bagian barat Danau Matano. Tiga stasiun penelitian di zona ini yaitu stasiun Sungai Lawa, Stasiun Paku, dan Stasiun Pulau Wotu Pali. Secara umum zona hulu mewakili kawasan yang relatif belum banyak terganggu. Hutan dan lahan yang ada di sekitarnya belum dijadikan lahan tambang. Ciri-ciri ketiga stasiun penelitian di zona ini dideskripsikan sebagai berikut. 1. Stasiun Sungai Lawa Sungai Lawa merupakan sungai utama yang sepanjang tahun mengalirkan airnya masuk ke Danau Matano. Lokasi yang dipilih sebagai tempat pengambilan sampel berada di bagian sebelah kanan muara sungai. Perairan litoral di tempat ini mempunyai kedalaman berkisar antara 0,50 3,0 m dengan jarak tepi danau ke bibir tubir berkisar antara m. Pada kondisi air surut terendah, sebagian daerah litoral mengering berubah menjadi daratan. 2. Stasiun Paku Stasiun Paku berada di sisi selatan danau. Bagian daratan di sepanjang pinggiran danau adalah daerah rawa. Kontur dasar perairan relatif datar dan meluas ke tengah danau. Kedalaman perairan di daerah litoral stasiun ini berkisar antara 0,30 dan 6,0 m; kisaran jarak tepi danau ke bibir tubir adalah m. 3. Stasiun Pulau Wotu Pali Pulau Wotu Pali adalah salah satu pulau dalam gugusan pulau yang terletak di sisi selatan bagian barat Danau Matano. Pulau ini terdiri atas batuan besar, dengan daerah litoral pulau yang relatif sempit (kisaran bibir tubir 5,0 7,0 m dari tepi danau), dengan kisaran kedalaman 0,75 4,0 m. Dasar perairan yang kedalamannya lebih dari 5 m di sekitar pulau ini terdapat banyak pecahan

42 15 tembikar. Menurut cerita masyarakat setempat, pulau ini adalah pulau yang terbentuk akibat kejadian tektonik dan pulau ini merupakan bagian dari daratan yang tenggelam (kata wotu pali dari bahasa daerah setempat berarti batu yang terbalik atau daratan yang terbalik). Zona tengah Zona tengah adalah daerah yang mewakili bagian tengah danau yang terletak di sisi bagian selatan dan utara danau. Daerah di sisi selatan danau merupakan daerah permukiman, pusat kota dan kawasan industri pertambangan nikel. Sementara sisi utara danau merupakan kawasan bekas perkebunan dan daerah rawa. 4. Stasiun Bubble Beach Stasiun Bubble Beach adalah sebuah teluk yang berada di sisi selatan danau (sebelah barat Pantai Kupu-kupu). Lokasi ini disebut Bubble Beach karena dari dasar perairannya banyak keluar gelembung gas. 5. Stasiun Pantai Salonsa Pantai Salonsa terletak di depan kompleks permukiman perumahan karyawan PT Inco. Pantai ini diperuntukkan sebagai salah satu taman rekreasi pantai. Sebagai tempat rekreasi lokasi ini ramai dikunjungi masyarakat pada hari-hari libur. Selain itu tempat ini dimanfaatkan sebagai tempat menambatkan rakit wisata (raft). 6. Stasiun Tanah Merah Stasiun Tanah Merah terletak di bagian tengah sisi utara Danau Matano. Stasiun ini adalah sebuah teluk kecil dengan daerah dangkal yang relatif luas. Perairan di daerah litoral memiliki kisaran kedalaman 0,50 2,00 m. Jarak tepi pantai ke bibir tubir m. Substrat dasar bervariasi mulai dari lumpur sampai pasir dengan formasi batuan besar di dekat bibir tubir. Zona hilir Zona hilir adalah kawasan bagian Timur Danau Matano. Zona ini memiliki teluk yang relatif besar dengan beberapa pulau yang ada di dalamnya. Terdapat dua sungai di zona ini, yaitu Sungai Soluro di sisi utara dan Sungai Petea di

43 16 bagian paling timur danau. Sungai Soluro adalah sungai yang mengalirkan airnya masuk ke danau, sementara Sungai Petea adalah sungai yang mengalirkan air keluar dari danau (out let). Sebuah bendungan yang berfungsi untuk mengatur kestabilan muka air danau terletak di Sungai Petea. Zona ini juga mewakili daerah yang lahan atasnya merupakan lahan tambang terbuka. Terdapat tiga stasiun penelitian di zona ini dengan ciri sebagai berikut. 7. Stasiun Otuno Stasiun Otuno terletak di sisi selatan bagian timur Danau Matano. Daerah ini adalah sebuah teluk dekat gugusan pulau di daerah Otuno. Kisaran kedalaman perairan litoral 0, m. Jarak bibir tubir dari tepi m. Substrat dasar perairan bervariasi mulai dari substrat tanah keras, berpasir sampai berbatu. 8. Stasiun Sungai Petea Stasiun Sungai Petea terdapat di bagian timur Danau Matano. Stasiun penelitian berada di sisi utara danau kurang lebih 500 m dari out-let Danau Matano. Kedalaman perairan dari tepi danau ke arah tengah 0,50 3,00 m. 9. Stasiun Sungai Soluro Stasiun Sungai Soluro terletak di sisi utara bagian timur Danau Matano, dengan jarak kurang lebih 30 m sebelah kanan muara Sungai Soluro. Perairan dangkal di lokasi ini relatif sempit dengan kedalaman 0,50 m 3,00 m. Jarak dari tepi danau ke bibir tubir m. Pengambilan Sampel Ikan Pengambilan sampel ikan dilakukan dengan menggunakan alat tangkap yang dirancang, yaitu pukat pantai berkantong berukuran panjang 10 meter dan lebar 3 meter. Pukat pantai ini dioperasikan di daerah pinggiran pada kedalaman 0,5 3 m. Pengambilan sampel dilakukan pada pagi hari (pukul 07:00 10:00). Ikan-ikan yang tertangkap di setiap lokasi segera dipisahkan menurut jenis kelamin dan dihitung jumlahnya. Sampel ikan disimpan di dalam wadah dengan media berpengawet formalin 4%. Perlakuan pengawetan dilakukan dengan mengikuti prosedur berikut: (1) Semua ikan yang tertangkap segera diukur panjang total dengan

44 17 menggunakan jangka sorong (vernier caliper) sampai 0,01 mm terdekat; bobot tubuh ditimbang dengan menggunakan timbangan digital sampai 0,001 gram terdekat dan diberi label; dan (2) Ikan-ikan kemudian dimasukkan ke dalam wadah sampel berformalin dalam posisi baring. Sampel dibawa ke laboratorium, kemudian dilakukan pembedahan untuk pemeriksaan gonad dan isi lambung. Pengamatan Tingkah Laku Reproduksi T. antoniae di Perairan Tingkah laku reproduksi ikan diamati secara kualitatif di bawah air. Pengamat melakukan snorkeling di daerah pemijahan ikan. Aktivitas reproduksi ikan di daerah itu dicatat pada kertas tahan air. Pengambilan Sampel Vegetasi Perairan Sampel vegetasi perairan dikumpulkan dan kemudian diidentifikasi jenisnya menggunakan buku kunci identifikasi dari Pancho & Soerdjani (1978), Fassett (1960) dan Whitten et al. (2002). Selanjutnya sampel dideskripsikan keberadaannya di perairan. Pengukuran Parameter Fisik Kimiawi dan Hidrologi Perairan Danau Pengukuran parameter fisik kimiawi perairan dilakukan secara in situ menggunakan water quality test-kit merek Horiba. Pengukuran dilakukan pada badan air pada kedalaman 0,5 m di bawah permukaan air. Parameter yang diukur in situ adalah suhu (⁰C), oksigen terlarut (mg l -1 ) dan ph. Padatan tersuspensi total (mg l -1 ) dan padatan terlarut total (mg l -1 ) diperiksa di laboratorium. Transparansi perairan diukur dengan mengukur jarak pandang di dalam air secara horisontal terhadap bidang berwarna putih berukuran 30 cm x 30 cm. Fluktuasi tinggi muka air danau di atas permukaan laut (dpl) dan curah hujan rata-rata harian (mm) di sekitar danau dianalisis berdasarkan data yang dikoleksi secara periodik dari 4 stasiun pemantau PT. INCO yang ada di sekitar Danau Matano.

45 18 Analisis Data Variabel Lingkungan Habitat Perairan Data hasil pengukuran parameter lingkungan dibandingkan antar lokasi dan antar musim, serta dihubungkan dengan kelimpahan ikan menggunakan analisis multivariate dengan perangkat lunak Minitab 14. Substrat dasar dan vegetasi yang terdapat di dalam habitat T. antoniae dideskripsikan fungsi dan peruntukannya bagi ikan. Kelas Ukuran, Hubungan Panjang-Berat dan Pertumbuhan Kelas ukuran (kohort) ikan yang dikoleksi dianalisis dengan menggunakan metode Bhattacharya. Metode ini adalah suatu teknik pemisahan data sebaran frekuensi panjang ke dalam beberapa distribusi normal dari distribusi total. Puncak masing-masing distribusi normal merupakan modus dari frekuensi panjang dari setiap bulan (kohort), kohort akan bergerak ke kanan pada bulan berikutnya, pergeseran ini adalah pertambahan panjang atau tumbuh (Sulistiono et al. 2001). Dalam penelitian ini penilaian kelompok-kelompok umur dilakukan dengan menggunakan aplikasi perangkat lunak FiSAT (Gayanilo & Pauly 1997). Analisis hubungan panjang-berat mengikuti Ricker (1975) dengan rumus umum: W = al b Keterangan: W = berat ikan (g) L = panjang ikan (mm) a = suatu konstanta, dan b = koefisien alometrik Menurut Bagenal &Tesch (1978), koefisien allometrik (b) lebih besar atau lebih kecil dari 3,0 menunjukkan pertumbuhan allometrik. Sementara nilai b > 3 menunjukkan pertumbuhan allometrik positif, dan b<3 menunjukkan pertumbuhan allometrik negatif, tetapi jika b = 3,0 pertumbuhan disebut isometrik.

46 19 Penerapan rumus hubungan panjang-berat ini dilakukan secara terpisah antara ikan jantan dan betina karena pada jenis ikan ini masing-masing jenis kelamin diduga mempunyai model pertumbuhan yang berbeda. Selanjutnya untuk menguji perbedaan antara jenis kelamin digunakan uji-t dengan menggunakan alat bantu perangkat lunak Minitab 14. Model pertumbuhan T. antoniae diduga dengan persamaan Von Bertalanffy: L t = L (1 e -K(t-to) ) Keterangan: L t = panjang ikan pada waktu t, L = panjang maksimum, K = koefisien pertumbuhan, dan t 0 = umur teoritis saat panjang ikan sama dengan 0. Selanjutnya parameter pertumbuhan K, L dan t 0 diperkirakan dengan menggunakan metode ELEFAN I (Sparre & Venema 1992; Gayanilo & Pauly 1997) yang terdapat dalam aplikasi perangkat lunak FiSAT II. Faktor Kondisi Relatif Faktor kondisi relatif mengikuti LeCren (1951) dengan rumus umum: Keterangan: W FK = Ŵ FK = faktor kondisi relatif, W = berat ikan (g), ŵ = berat yang diharapkan, diperkirakan dengan menggunakan regresi panjang-berat sebagai berikut: ŵ = al b Apabila FK > 1 berarti individu atau populasi berada dalam kondisi lebih baik, dan FK < 1 berarti individu atau populasi dalam kondisi lebih buruk.

47 20 Variabel reproduksi Nisbah kelamin T.antoniae memiliki dimorfisme seksual yang jelas oleh karena itu penentuan jenis kelamin dilakukan berdasarkan pengamatan morfologi. Nisbah kelamin ditentukan dengan cara perbandingan jumlah ikan jantan dan betina per stasiun penelitian, bulan sampling dan kelas ukuran panjang. Perhitungan nisbah menggunakan rumus: Keterangan: X = M F X = nisbah kelamin, M = jumlah ikan jantan (ekor) dan F = jumlah ikan betina (ekor). Keseimbangan perbandingan ikan jantan dan ikan betina diuji dengan uji statistik Chi-kuadrat (χ²) (Steel & Torrie 1989) sebagai berikut: χ² hitung = Σ (O E) ² E Keterangan: O = frekuensi pengamatan, dan E = frekuensi harapan. Kematangan gonad Penentuan kematangan gonad dinilai dari tingkat kematangan gonad (TKG) yang dilakukan secara morfologis dan histologis. Secara morfologis yaitu dengan menilai bentuk, ukuran, warna dan perkembangan isi gonad. Sementara secara histologis, yaitu dengan menilai fase-fase perkembangan oosit dan spermatosit. Selanjutnya perkembangan kematangan gonad dibagi dalam beberapa tingkat kematangan. Penilaian fase-fase perkembangan oosit dan spermatosit secara histologis mengacu pada kategori-kategori yang dikemukakan oleh Treasurer & Holiday (1981), Nagahama (1983), Rodriguez et al. (1995) dan Goodbred et al. (1997).

48 21 Gonad dikeluarkan dari perut ikan yang masih segar, lalu ditimbang dan diperiksa tingkat kematangannya secara makroskopis. Kemudian gonad diawetkan di dalam larutan Bouin selama jam, dan disimpan dalam etanol 70%. Sampel didehidrasi dengan etanol, dicuci dengan xylene dan dipindahkan pada paraffin. Gonad diiris dengan ketebalan 10 µm, diletakkan pada kaca preparat dan dihidrasi kembali dengan etanol. Irisan-irisan ini kemudian diberi warna (metode Y haematoxylin dan eosin) dan diamati pada mikroskop binokuler (Lampiran 1). Tingkat kematangan gonad (TKG) jantan dan betina ditentukan secara makroskopis dan mikroskopis. Tingkat kematangan gonad T. antoniae dari beberapa stasiun sampling ditentukan dan dibandingkan antara periode pengambilan sampel. Indeks kematangan gonad (IKG) dihitung mengikuti rumus (Effendie 1979): BG IKG = X 100 BT Keterangan: IKG = indeks kematangan gonad, BG = berat gonad (g) dan BT = berat tubuh (g). Kemudian nilai rata-rata IKG antar stasiun dan antar waktu sampling dianalisis menggunakan uji keragaman (ANOVA) yang tersedia dalam perangkat lunak Minitab 14. Fekunditas Fekunditas adalah jumlah telur induk betina dewasa pada saat tahap matang. Fekunditas dihitung dengan cara menghitung semua telur (fekunditas total) yang terdapat di dalam gonad. Nilai fekunditas kemudian dihubungkan dengan ukuran ikan untuk mendapatkan kecenderungan, sehingga pendugaan fekunditas dapat dilakukan. Hubungan fekunditas total dengan panjang tubuh ikan dinyatakan dalam persamaan:

49 22 F = al b Keterangan: F = fekunditas (butir), L = panjang ikan (mm), a dan b adalah konstanta. Ukuran ikan pertama kali matang gonad Ukuran ikan pertama kali matang gonad dapat dikaji dari ukuran ikan terkecil yang mempunyai kematangan gonad tingkat IV. Musim dan daerah pemijahan Pendugaan musim pemijahan dilakukan dengan menghitung jumlah (dalam persen) ikan yang mempunyai kematangan gonad tingkat III dan IV dari seluruh ikan pada saat pengambilan sampel. Perhitungan ini kemudian dibandingkan antar periode pengambilan sampel. Nilai persentase yang tinggi dari ikan-ikan dengan TKG III dan IV dianggap sebagai puncak-puncak musim pemijahan. Untuk menentukan daerah pemijahan dilakukan penghitungan jumlah (dalam persen) ikan yang mempunyai kematangan gonad tingkat III dan IV pada setiap stasiun pengambilan sampel. Penghitungan ini kemudian dibandingkan antar lokasi. Nilai persentase tertinggi dari ikan-ikan dengan TKG III dan IV pada stasiun tertentu dianggap sebagai daerah pemijahan. Diameter telur dan pola pemijahan Pengamatan diameter telur menggunakan mikroskop binokuler yang dilengkapi dengan mikrometer okuler. Telur telur yang diamati diambil dari ovari ikan-ikan yang berada pada kondisi TKG III, IV dan V. Ovari kemudian dibagi dalam tiga bagian, yaitu bagian posterior, median dan anterior; selanjutnya telur-telur yang terdapat pada masing-masing bagian dihitung jumlahnya dan diukur diameternya. Hasil pengukuran kemudian diplot ke dalam diagram untuk mendapatkan bentuk sebaran ukuran diameter telur yang akan digunakan menduga pola pemijahan.

50 23 HASIL DAN PEMBAHASAN Habitat Ikan T. antoniae Habitat ikan T. antoniae yang diamati pada sembilan stasiun penelitian menunjukkan bahwa ikan ini menempati kolom air dekat dasar perairan di daerah litoral, dan umumnya di daerah terbuka pada perairan yang jernih. Habitat ikan ini juga memiliki substrat dasar yang beragam mulai dari substrat berpasir, kerikil sampai dengan batuan besar yang permukaannya diselimuti oleh alga (Lampiran 2). Selain itu ikan ini juga menempati habitat dasar yang tidak memiliki vegetasi sampai dengan yang bervegetasi jarang, tetapi lebih umum di habitat yang tidak bervegetasi. Penelitian ini juga menemukan bahwa ikan ini tidak melakukan aktivitas di habitat yang berlumpur dan perairan yang memiliki kecerahan rendah, serta perairan yang berarus seperti aliran-aliran sungai atau pada daerah-daerah inlet dan outlet danau. Berdasarkan pengamatan bawah air diketahui bahwa ikan ini di habitatnya hampir sepanjang hari melakukan aktivitas kawin. Jadi daerah litoral adalah habitat utama untuk pemijahan. Ikan T.antoniae di habitat litoral berasosiasi dengan ikan-ikan endemik lain dan juga dengan ikan-ikan bukan asli yang saat ini telah berkembang di danau. Ikan-ikan endemik yang tampak berasosiasi dengan T. antoniae di daerah litoral adalah T. sarasinorum, T. albolabiosus, T. abendanoni, T. opudi, T. obscura, T. prognatha, T. bonti, T. wahjui, Oryzias matanensis, Glossogobius matanensis, G. intermedius, Mugilogobius adeia, M. latifrons dan Dermogenys weberi. Sementara ikan-ikan bukan asli antara lain Channa striata, Oreochromis niloticus, O. mossambicus, Anabas testudineus, Trichogaster pectoralis, Cyprinus carpio, Osphronemus goramy, Lyposarcus pardalis, Monopterus albus, Serrasalmus sp. dan Amphilophus trimaculatus. Semua ikan endemik di Danau Matano memanfaatkan daerah litoral sebagai habitat mereka. Pengamatan bawah air memperlihatkan bahwa ikan ini paling sering terlihat berada bersama-sama dengan T. sarasinorum. Interaksi kedua spesies ini ditunjukkan oleh sifat T. sarasinorum yang diluar aktivitas memijahnya selalu

51 24 membuntuti pasangan T. antoniae yang sedang memijah untuk tujuan memakan telurtelur T. antoniae yang baru dilepaskan. Selain T. sarasinorum, G. matanensis juga terlihat melakukan predator telur pada T. antoniae. Sementara itu ikan-ikan bukan asli umumnya menempati daerah-daerah dekat permukiman dan daerah-daerah bervegetasi. Tetapi jenis O. niloticus, O. mossambicus, C. carpio dan A. trimaculatus tersebar luas di daerah litoral. Beberapa jenis makro fauna dasar yang juga berasosiasi di habitat T. antoniae yaitu kelompok ketam Nautilothelphusa zimmeri, Parathelphusa pantherina, Syntripsa matannensis, udang-udang dari jenis Caridina sp., kerang-kerangan Tilomelania sp., dan Corbicula matanensis. Vegetasi yang berada di dasar perairan yaitu Ottelia mesenterium dan Ceratophylum demersum. Sementara vegetasi tepian danau didominasi oleh tumbuhan tambeua (Mirtacea sp) dan pandan air (Pandanus sp). Deskripsi karakter habitat T. antoniae dan komunitas ikan yang berada di Danau Matano disajikan pada Lampiran 3. Hidrologi dan Lingkungan Fisik Kimiawi Perairan Curah hujan dan tinggi muka air danau Keadaan curah hujan dan tinggi muka air danau selama periode sampling disampaikan dalam Lampiran 4. Pola fluktuasi curah hujan harian dan keadaan muka air selama periode penelitian ditampilkan dalam bentuk grafik (Gambar 3). Nilai ratarata curah hujan harian sepanjang periode September 2010 Agustus 2011 tertinggi terjadi pada bulan Maret 2011 (13,66 mm) dan terendah bulan Agustus 2010 (3,34 mm). Sementara itu nilai rata-rata fluktuasi tinggi muka air danau berkisar antara 319,00 dan 319,55 m dpl. Keadaan muka air terendah terjadi pada bulan Februari 2011 (319,00 m dpl) dan tertinggi pada bulan November 2010 (319,55). Jadi selisih tinggi muka air danau selama periode penelitian hanya 0,55 m. Pola curah hujan pada Gambar 3 menunjukkan dua puncak curah hujan harian wilayah selama periode sampling yaitu pada bulan Oktober November 2010 dan Maret April Curah

52 25 hujan rendah terjadi pada bulan Desember 2010 Januari 2011 dan Juni Agustus Selisih nilai rata-rata curah hujan harian wilayah 11,32 mm. Curah hujan dan tinggi muka air danau yang tampak pada Gambar 3 menunjukkan irama yang tidak harmoni terutama yang terjadi bulan April Agustus Fluktuasi muka air danau yang tidak seiring dengan keadaan curah hujan ini menunjukkan bahwa fluktuasi muka air danau tidak dalam kondisi alami. Karena jika mengikuti kondisi alamiah seharusnya fluktuasi curah hujan dan kedudukan muka air danau memiliki bentuk yang relatif sama. Curah hujan harian (mm) Curah hujan Tinggi muka air Tinggi muka air (m dpl) Bulan Gambar 3 Keadaan curah hujan harian dan fluktuasi muka air Danau Matano periode September 2010-Agustus Pengamatan di lapangan menunjukkan bahwa keadaan tinggi muka air di Danau Matano sengaja dipertahankan pada tinggi tertentu melalui pengaturan buka tutup pintu air dam dengan tujuan untuk menyimpan massa air. Pengaturan buka tutup pintu air dilakukan oleh pengelola dam yaitu PT. Inco. Massa air yang tersimpan di Danau Matano merupakan cadangan air untuk kebutuhan pembangkit listrik yang terdapat di outlet Danau Towuti. Pelepasan massa air yang tersimpan di Danau Matano dilakukan pada periode curah hujan rendah dan volume air di Danau Towuti berkurang.

53 26 Pengaturan muka air danau untuk pembangkit listrik dan atau untuk mengontrol banjir dikategorikan sebagai gangguan antropogenik utama dalam ekosistem akuatik danau (Richter et al. 1997; Coops et al. 2003). Penyebab terjadinya fluktuasi muka air bisa beragam; ada yang dipicu oleh dinamika hidrologi yang berhubungan dengan perubahan iklim, perubahan sistem tekanan atmosfir yang besar, atau yang paling sering terjadi adalah variasi musiman kondisi meteorologis (Hofmann et. al. 2008). Fluktuasi muka air juga merupakan hasil dari pemanfaatan sumber-sumber air oleh aktivitas antropogenik (Usmanova 2003). Sementara fluktuasi muka air yang dirangsang secara hidrologis adalah hasil dari perubahan simpanan air yang bergantung pada jumlah presipitasi dan evaporasi, ukuran dan karakteristik daerah tangkapan air, dan keseimbangan pada kondisi aliran masuk dan aliran keluar dari danau. Keadaan lingkungan fisik kimiawi perairan Hasil pengukuran parameter kualitas perairan Danau Matano selama periode sampling menunjukkan dinamika dengan fluktuasi yang relatif sempit baik secara spasial maupun temporal. Secara umum kisaran nilai hasil pengukuran parameter lingkungan fisik kimiawi perairan Danau Matano adalah sebagai berikut: suhu 27,20 30,30 C; oksigen terlarut 5,02 7,45 mg l -1 ; ph 8,32 8,8; padatan tersuspensi total 0,3 3,6 mg l -1 ; padatan terlarut total mg l -1 ; dan transparansi m. Nilai rata-rata hasil pengukuran disajikan pada Tabel 1. Sementara itu dinamika keadaan fisik kimiawi perairan secara spasial (antar stasiun sampling) dan temporal (antar waktu sampling) disajikan dalam Lampiran 5. Uji statistik menggunakan One-way Anova pada selang kepercayaan 95% dengan perangkat lunak MINITAB 14 menunjukkan bahwa nilai rata-rata parameter kualitas air memperlihatkan dinamika sebagai berikut: suhu perairan secara spasial maupun temporal menunjukkan adanya beda nyata antar stasiun sampling (P=0,000 < 0,05). Suhu terendah terdapat di stasiun Sungai Lawa (rata-rata 28,22 C), dan tertinggi di stasiun Sungai Petea (rata-rata 29,83 C). Nilai suhu ini lebih tinggi ± 0,7 C jika dibandingkan dengan hasil pengukuran Haffner et al. (2001). Suhu

54 27 permukaan Danau Matano pada pagi hari (jam 09.00) berkisar antara 27,53 C sampai 27,56 C pada kedalaman 40 m, dan 26,61 C di dasar perairan pada kedalaman 560 m. Suhu pada sore hari (pukul 15.00) adalah 29,06 C di permukaan dan 27,59 C pada kedalaman 20 m (Haffner et al. 2001). Berdasarkan data dalam penelitian ini, secara temporal suhu tertinggi terjadi pada bulan Juli 2011 (rata-rata 29,71 C) dan terendah pada bulan September (rata-rata 28,50 C). Secara spasial terjadi peningkatan suhu perairan pada periode curah hujan rendah (Desember 2010 Januari 2011 dan Juni- Agustus 2011). Hal ini menunjukkan bahwa periode musim berpengaruh terhadap fluktuasi suhu perairan. Tabel 1 Parameter fisik kimiawi perairan Danau Matano Parameter Rata-rata Min Maks S.B Suhu (⁰C) 29,12 27,2 30,3 0,686 Oksigen (mg l -1 ) 6,18 5,02 7,45 0,572 ph 8,52 8,32 8,8 0,097 Padatan tersuspensi total (mg l -1 ) 1,11 0,3 3,6 0,651 Padatan terlarut total (mg l -1 ) 111,94 80,00 145,00 17,235 Transparansi (m) 18,49 13,00 23,00 2,413 Oksigen terlarut secara spasial menunjukkan beda nyata yang kecil antar stasiun penelitian (P= 0,017 < 0,05). Rata-rata oksigen terlarut tinggi di stasiun S. Soluro (6,51 mg l -1 ) dan terendah di Stasiun Bubble Beach (5,82 mg l -1 ). Secara temporal rata-rata oksigen terlarut tidak berbeda nyata (P= 0,433 > 0,05), rata-rata oksigen terlarut paling rendah terjadi pada bulan Januari 2010 (5,78 mg l -1 ). Menurut Haffner et al. (2001), oksigen terlarut di permukaan hasil pengukuran di perairan tahun 1993 dan 1995 berkisar 6 8 mg l -1, sedangkan di dasar perairan pada kedalaman 560 m kandungan oksigen terlarut adalah 2,3 mg l -1. Derajat keasaman (ph) perairan secara spasial tidak berbeda nyata (P= 0,135 > 0,05). Nilai ph rata-rata antar stasiun penelitian berkisar antara ph 8,46 8,56. Tetapi secara temporal berbeda nyata (P= 0,019 < 0,05). Nilai rata-rata ph tertinggi 8,58 di bulan Januari 2011 dan nilai rata-rata ph terendah 8,44 di bulan April 2011.

55 28 Nilai rata-rata padatan tersuspensi total secara spasial tidak berbeda nyata (P = 0,175 > 0,05), nilai padatan tersuspensi total tertinggi di stasiun Salonsa (1,60 mg l -1 ), dan terendah di stasiun Tanah Merah (0,85 mg l -1 ). Selain itu secara temporal terdapat perbedaan kecil (P= 0,004 < 0,005), nilai padatan tersuspensi total tertinggi terjadi pada bulan September 2010 (1,57 mg l -1 ) dan terendah pada bulan Juni 2011 (0,75 mg l -1 ). Rata-rata total padatan terlarut secara spasial berbeda nyata (P= 0,01 < 0,05), nilai rata-rata padatan terlarut tertinggi 126,00 mg l -1 terdapat di stasiun Sungai Soluro dan terendah 100,33 di stasiun Bubble Beach. Secara temporal, rata-rata padatan terlarut total tidak berbeda nyata (P= 0,292 > 0,05), nilai tertinggi 120,11 mg l -1 terjadi pada bulan Agustus 2011, dan terendah 102,00 mg l -1 pada bulan Februari Nilai rata-rata transparansi perairan secara spasial maupun temporal menunjukkan beda nyata (P= 0,000 < 0,05). Secara spasial, transparansi perairan yang mengekspresikan jarak pandang pengamat di dalam air terhadap obyek berwarna putih rata-rata memiliki nilai jarak pandang terjauh 20,08 m berada di stasiun Otuno, sedangkan jarak pandang terendah 15,67 m di stasiun Sungai Petea. Secara temporal rata-rata jarak pandang terjauh 20,56 m terjadi pada bulan Desember 2010 dan terendah 16,11 m terjadi pada bulan Mei Kondisi padatan terlarut yang tinggi di stasiun sungai Soluro diduga sebagai penyebab rendahnya jumlah ikan yang tertangkap di stasiun tersebut. Berg & Northcote (1985) menyatakan bahwa perairan yang memiliki konsentrasi TSS tinggi mempunyai jumlah ikan sedikit. Selain itu keadaan sedimen yang tinggi di perairan akan mengurangi cahaya masuk dan membatasi produksi primer perairan, mengurangi pemangsaan, menghambat ruaya, dan menyebabkan ikan menghindari masuk ke dalam perairan yang keruh. Analisis kelompok berdasarkan tingkat kesamaan parameter fisik kimiawi dan jumlah ikan pada tingkat kesamaan 95,00% menunjukkan bahwa tidak terdapat pengelompokkan dari stasiun-stasiun yang diteliti. Ini berarti bahwa Danau Matano memiliki karakter fisik kimiawi perairan yang relatif sama (Lampiran 5). Bubble

56 Tingkat kesamaan (%) 29 Beach dan Otuno memiliki tingkat transparansi yang tinggi dibandingkan dengan stasiun lainnya. Tingginya nilai transparansi perairan di kedua stasiun ini disebabkan letak kedua stasiun ini di daerah teluk yang relatif terlindung. Selain itu di pinggiran tepian danau terdapat tumbuhan tambeua (Mirtacea sp) dan pandan air (Pandanus sp) yang padat. Tumbuhan ini mempunyai struktur perakaran seperti mangrove di daerah pantai, sehingga keberadaan vegetasi ini secara alamiah berfungsi sebagai benteng di perairan tepian danau untuk penyaring bahan masukan yang datang dari daratan serta melindungi tepian danau dari abrasi. Dendrogram Single Linkage; Correlation Coefficient Distance 99,85 99,90 99,95 100,00 S. Lawa Paku Pantai Salonsa P. Wotu Pali Tanah Merah S. Soluro S. Petea Bubble beach Otuno Stasiun penelitian Gambar 4 Dendrogram pengelompokan stasiun penelitian berdasarkan parameter fisik kimiawi perairan Distribusi dan Kelas Ukuran Ikan T. antoniae Distribusi spasial Ikan T. antoniae terdistribusi luas di daerah litoral Danau Matano. Hasil sampling yang dilakukan di sembilan stasiun penelitian menunjukkan bahwa ikan ini terdapat pada semua stasiun dengan kelimpahan berbeda. Selama periode sampling

57 30 September 2010 Agustus 2011 berhasil dikoleksi 2707 ekor ikan yang terdiri dari 1437 ekor (53,08%) ikan jantan dan 1270 ekor (46,92%) ikan betina. Secara spasial jumlah ikan mulai dari stasiun dengan jumlah koleksi tertinggi sampai dengan jumlah terendah adalah sebagai berikut: stasiun Otuno 438 ekor (16,18%), Bubble Beach 380 ekor (14,04%), Paku 335 ekor (12,38%), Pantai Salonsa 314 ekor (11,60%), Pulau Wotu Pali 277 ekor (10,23%), Tanah Merah 265 ekor (9,79%), S. Lawa 246 ekor (9,09%), S. Soluro 242 ekor (8,94%), dan S. Petea 210 (7,76%) (Gambar 5). Jumlah ikan (ekor) N = 2707 Stasiun penelitian Gambar 5 Histogran distribusi spasial ikan T. antoniae menurut stasiun penelitian. Uji perbandingan rata-rata kelimpahan antar stasiun penelitian meggunakan perangkat lunak Minitab 14 menunjukkan beda nyata rata-rata kelimpahan antar stasiun pelitian (P < 0,05) (Tabel 2). Hasil sampling juga menemukan ukuran ikan yang tertangkap berkisar antara 32,76 mm 85,67 mm dan jumlahnya bervariasi menurut jenis kelamin maupun kelas ukuran (Gambar 6). Ikan jantan umumnya didominasi oleh ukuran 41,58 mm 54,80 mm (78,98%), sementara ikan betina didominasi oleh ukuran 37,17 mm 54,80 mm (87,80%).

58 31 Tabel 2 Nilai rata-rata dan simpangan baku jumlah ikan menurut stasiun penelitian Stasiun Rata-rata SB Sungai Lawa 20,500 a 4,661 Paku 27,197 bc 3,260 Pulau Wotu Pali 23,083 ac 3,260 Bubble Beach 31,667 b 3,473 Pantai Salonsa 26,167 a 3,563 Tanah Merah 22,083 a 4,166 Otuno 36,500 d 3,451 Sungai Petea 17,500 a 3,119 Sungai Soluro 20,167 a 3,099 Catatan: huruf-huruf yang sama di belakang nilai rata-rata menunjukkan tidak berbeda nyata pada tingkat kepercayaan 95% (P < 0,05). SB= Simpangan baku Ikan-ikan berukuran kurang dari 32,76 mm tidak ditemukan dalam sampel hasil tangkapan. Hal ini diduga karena ikan-ikan ukuran kecil tersebut memiliki habitat spesifik yaitu di perairan yang bervegetasi padat dan ternaungi sehingga sulit tertangkap. Demikian juga dengan ikan-ikan yang berukuran diatas 54,80 mm secara alami terdapat dalam jumlah sedikit di habitat, dan mereka mendiami tempat yang relatif lebih dalam. Jumlah ikan (%) Jantan Betina Kelas ukuran panjang baku (mm) Gambar 6 Sebaran kelas ukuran panjang baku T. antoniae jantan dan betina

59 32 Distribusi ukuran panjang baku secara spasial bervariasi menurut jumlah baik pada ikan jantan maupun ikan betina. Ditemukan bahwa ikan jantan di stasiun penelitian Otuno, Bubble Beach dan Pantai Salonsa memiliki kisaran ukuran panjang baku yang lebar (Gambar 7). Sementara kisaran ukuran PB yang lebar untuk ikan betina terdapat di Stasiun Bubble Beach dan Pantai Salonsa (Gambar 8). Penelitian ini juga menemukan bahwa PB rata-rata ikan jantan lebih panjang dari pada ikan betina pada semua stasiun penelitian. Gambar ini menunjukkan bahwa PB rata-rata tertinggi ikan jantan berada di Otuno (50,18 mm), dan terendah di Pulau Wotu Pali (46,62 mm). Sementara PB rata-rata tertinggi ikan betina berada di Pantai Salonsa (49,12 mm) dan terendah di Sungai Petea (43,84 mm). Melalui uji perbandingan rata-rata PB ditemukan beda nyata antar stasiun penelitian (P < 0,05), baik pada ikan jantan maupun ikan betina (Lampiran 6). Perbedaan rata-rata PB ini terjadi pada stasiun-stasiun penelitian tertentu. Misalnya ikan jantan pada stasiun Pulau Wotu Pali, Tanah Merah dan Otuno secara statistik menunjukkan beda nyata antar lokasi. Sementara PB rata-rata di stasiun Sungai Lawa, Paku, Bubble Beach, Pantai Salonsa, Tanah Merah dan Sungai Soluro tidak berbeda nyata. Hasil analisis statistik untuk ikan betina di stasiun Sungai Lawa, Paku, Pulau Wotu Pali, Bubble Beach dan Sungai Soluro menunjukkan adanya beda rata-rata PB. Tetapi stasiun Pantai Salonsa, Tanah Merah dan Sungai Petea menunjukkan beda nyata antar lokasi. Jumlah ikan yang tertangkap di stasiun Otuno dan Buble Beach yang relatif tinggi daripada stasiun lainnya diduga berkaitan dengan kejernihan air di kedua stasiun ini yang tinggi dan substrat dasar yang bervegetasi. Kejernihan air yang tinggi di kedua stasiun ini diduga karena lokasi ini berbentuk teluk sehingga perairannya relatif tenang dibandingkan dengan stasiun lainnya. Selain itu peran vegetasi di tepian danau seperti tambeua (Mirtacea sp.) dan pandan air (Pandanus sp.) yang padat membentuk habitat perairan yang tenang. Tumbuhan tambeua dan pandan air ini memiliki struktur perakaran seperti vegetasi mangrove di perairan pantai. Gabungan antara substrat dasar perairan yang bervegetasi dan perairan tepian yang ditumbuhi oleh vegetasi tambeua dan pandan air ini diduga sebagai tempat yang nyaman untuk pengasuhan anak-anak ikan.

60 Gambar 7 Distribusi spasial T. antoniae jantan berdasarkan stasiun penelitian dan kelas ukuran di Danau Matano 33

61 34 Gambar 8 Distribusi spasial T. antoniae betina berdasarkan stasiun penelitian dan kelas ukuran di Danau Matano.

62 35 Keberadaan vegetasi tambeua dan pandan air selain sebagai tempat berlindung anak-anak ikan, juga berperan sebagai penyedia makanan bagi anak-anak ikan. Grenouillet et al. (2002) menyatakan bahwa vegetasi di tepian perairan berfungsi sebagai tempat penyedia makanan dan perlindungan terhadap predasi. Berkaitan dengan temuan ukuran PB rata-rata ikan jantan yang lebih besar daripada PB rata-rata ikan betina ini mempertegas bahwa ikan ini memiliki dimorfisme seksual. Beberapa ikan yang dilaporkan memiliki perbedaan ukuran tubuh secara seksual antara lain seperti yang ditemukan pada ikan rainbow Sulawesi T. celebensis dan ikan bonti-bonti Paratherina striata Aurich yang hidup di danau Towuti (Nasution 2004; Nasution 2008) serta ikan pelangi Arfak Melanotaenia arfakensis Allen dari Manokwari (Manangkalangi 2009) dan ikan pelangi merah (Glossolepis incisus) dari danau Sentani (Siby 2009). Distribusi temporal Secara temporal jumlah ikan T. antoniae tertinggi terjadi pada bulan November dan Juli, dan terendah terjadi pada bulan Oktober dan Desember (Gambar 9 dan 10). Merujuk pada Gambar 8 dan 9 terlihat bahwa jumlah ikan secara temporal berfluktuasi sempit dan tampak terdistribusi merata pada semua periode bulan. Berdasarkan jenis kelamin tampak bahwa jumlah ikan jantan selalu dominan daripada ikan betina. Hasil uji rata-rata jumlah ikan antar waktu sampling menunjukkan tidak terdapat perbedaan jumlah ikan antar waktu sampling (P > 0,05) Secara temporal ukuran PB rata-rata ikan jantan berbeda nyata menurut waktu sampling (P=0,024 < 0,05). Sementara PB rata-rata ikan betina tidak berbeda nyata (P=0,38 > 0,05). Ikan jantan yang dikoleksi pada bulan Desember 2010 dan Mei 2011 memiliki ukuran PB rata-rata yang lebih besar daripada PB rata-rata ikan yang dikoleksi pada bulan Juni 2011 (Lampiran 7). Fenomena ini diduga berkaitan dengan tingkah laku pergerakan ikan dewasa yang berukuran besar lebih terkonsentrasi di dekat tepian danau pada saat curah hujan dan muka air danau rendah. Pada kondisi ini luasan daerah litoral menjadi sempit, sehingga ikan-ikan besar lebih mudah tertangkap. Sebaliknya saat curah hujan tinggi dan muka air danau juga tinggi, pelataran litoral menjadi lebih luas dan ikan-ikan lebih menyebar.

63 36 Gambar 9 Distribusi temporal T. antoniae jantan berdasarkan kelas ukuran dan waktu sampling di Danau Matano

64 Gambar 10 Distribusi temporal T. antoniae betina berdasarkan kelas ukuran dan waktu sampling di Danau Matano 37

65 38 Akibatnya ikan-ikan yang berukuran lebih besar menjadi lebih sulit tertangkap. Sehubungan dengan fenomena hasil tangkapan di atas, Munira et al. (2010) menyatakan bahwa ikan dewasa (berukuran besar) memiliki ruaya yang luas akan lebih sulit tertangkap dibandingkan dengan ikan-ikan kecil yang memiliki luas wilayah ruaya sempit. Hasil studi ini juga memperlihatkan bahwa ikan jantan pada semua waktu sampling memiliki ukuran PB rata-rata lebih besar daripada ikan betina. Kisaran ukuran ikan jantan yang adalah 32,76-85,58 mm, sedangkan ikan betina 36,17-83,25 mm. Selain itu, ditemukan pula bahwa ikan yang dikoleksi dalam penelitian ini memiliki selang kelas ukuran yang lebih lebar daripada studi-studi sebelumnya. Misalnya, kisaran panjang baku T. antoniae jantan 47,79-50,47 mm (McKinnon et al. 2000); kisaran panjang total jantan mm (panjang baku mm) dan betina (panjang baku mm) (Sumassetiyadi 2003); panjang baku jantan 42,60-61,86 mm dan betina 37,63 61,28 mm (Nilawati & Tantu 2007). Berdasarkan data di atas tampak bahwa ikan T. antoniae yang berukuran lebih kecil sudah memasuki daerah pemijahan; dengan perkataan lain ikan ini lebih cepat matang kelamin. Hal ini didukung oleh pengamatan bawah air yang menunjukkan bahwa ikan-ikan kecil tersebut juga melakukan aktivitas kawin. Hubungan Panjang-Berat dan Pertumbuhan T. antoniae Hubungan Panjang-Berat Analisis hubungan panjang-berat ikan T. antoniae dilakukan secara terpisah antara individu jantan dan betina. Pemisahan dilakukan karena ikan ini telah diketahui memiliki dimorfisme seksual. Berdasarkan hasil analisis hubungan panjang-berat secara umum diperoleh model hubungan sebagai berikut: Jantan W = 0, L 3,210, dan Betina W = 0,00003 L 2,915 Nilai eksponen b untuk panjang dan berat pada individu jantan didapatkan nilai 3,210 dan untuk betina 2,915. Uji-t terhadap nilai b dengan konstanta 3 didapatkan

66 39 pola pertumbuhan dari kedua jenis kelamin bersifat allometrik, atau pertambahan panjang tidak seimbang. Nilai b < 3 berarti pertambahan berat tidak secepat pertambahan panjang, sedangkan nilai b > 3 berarti pertambahan panjang tidak secepat pertambahan berat. Nilai b yang lebih besar pada ikan jantan menunjukkan bahwa T. antoniae lebih montok dari ikan betina. Secara spasial model hubungan panjang-berat dan pola pertumbuhan T. antoniae bervariasi, baik menurut jenis kelamin yang sama maupun jenis kelamin berbeda sebagaimana disajikan pada Lampiran 8. Selanjutnya dari tabel ini terlihat hasil analisis menunjukkan nilai eksponen b yang berkisar antara 2,713 3,335, dan nilai koefisien r berkisar antara 0,941 0,989. Gambar regresi dari model hubungan panjang-berat dari masing-masing jenis kelamin disajikan dalam Gambar 11. Uji-t terhadap nilai b dengan konstanta 3 menunjukkan pola pertumbuhan ikan jantan di setiap stasiun penelitian umumnya allometrik, kecuali di stasiun Paku (pola pertumbuhan isometrik). Pola pertumbuhan ikan betina di enam stasiun penelitian (S. Lawa, Paku, Bubble Beach, Pantai Salonsa dan S. Petea) adalah isometrik, sedangkan di tiga stasiun lainnya (P. Wotu Pali, Tanah Merah dan Otuno) adalah allometrik. Gambar 11 Hubungan panjang-berat T antoniae di Danau Matano: (a) jantan dan (b) betina

67 40 Nilai b dari model hubungan panjang berat ikan jantan T. antoniae selalu lebih besar daripada nilai b ikan betina (Lampiran 8). Pola yang sama juga dilaporkan oleh Siby (2009) untuk ikan pelangi merah (Glossolepis incisus). Faktor kondisi Hasil analisis faktor kondisi relatif (FK) ikan T. antoniae jantan dan betina didapatkan nilai rata-rata FK masing-masing 1,032 (SE=0,109, N=1437) dan 1,006 (SE=0,212, N=1270). Nilai FK ini menunjukkan bahwa nilai rata-rata FK individu betina jauh lebih besar daripada individu jantan. Dimorfisme pada T. antoniae, dimana ikan betina memiliki ukuran kecil diduga sebagai penyebab tingginya nilai FK betina daripada FK ikan jantan. Effendie (2002) menyatakan bahwa ikan yang berukuran kecil mempunya FK yang tinggi, kemudian akan menurun ketika ikan bertambah besar. Peningkatan nilai FK terjadi pada waktu terjadi perkembangan gonad. Tingginaya nilai FK pada T. antoniae ini berkaitan dengan status gonad ikan betina yang didominasi oleh TKG IV pada semua stasiun penelitian. Sementara itu secara spasial nilai rata-rata FK untuk individu jantan dengan nilai FK tertinggi ditemukan di stasiun Bubble Beach 1,044 (SE=0,107, N=204), dan nilai terendah terdapat di stasiun Sungai Lawa 1,012 (SE=0,095, N=135). Individu betina dengan nilai FK tertinggi ditemukan di stasiun Salonsa 1,022 (SE=0,212, N=147), dan terendah di stasiun Sungai Lawa 0,955 (SE=0,232, N=111) (Gambar 12). Hasil uji statistik One-way ANOVA terhadap nilai FK menunjukkan bahwa tidak terdapat beda nyata rata-rata FK menurut stasiun sampling baik pada individu jantan maupun betina (P>0,05). Tampak pula adanya pola fluktuasi yang sinkron antara nilai-nilai FK jantan dan betina menurut lokasi, dan juga adanya kecenderungan peningkatan dan penurunan yang sama. Pola ini diduga berkaitan dengan waktu pemijahan. Secara keseluruhan nilai FK ikan betina memiliki kisaran yang lebih lebar daripada ikan jantan. Data menunjukkan kisaran nilai FK betina 0,820-1,481, dan jantan 0,944 1,117. Sementara Sumassetyadi (2003) menemukan kisaran FK ikan

68 41 betina yang lebih relatif lebih sempit yaitu 0,90 1,20 daripada ikan jantan 0,85 1,19). Perbedaan lebih disebabkan adanya perbedaan ukuran sampel yang tertangkap akibat penggunaan alat tangkap yang berbeda selektivitasnya. Gambar 12 Nilai rata-rata faktor kondisi relatif (FK) ikan T. antoniae jantan dan betina menurut stasiun sampling Temuan ini berbeda dengan hasil temuan Sumassetyadi (2003) yaitu kisaran FK ikan betina lebih besar (0,90 1,20) daripada ikan jantan 0,85 1,19). Perbedaan lebih disebabkan adanya perbedaan ukuran sampel yang tertangkap akibat penggunaan alat tangkap yang berbeda selektivitasnya. Nasution (2004) yang mempelajari ikan rainbow celebensis T. celebensis dari Danau Towuti melaporkan bahwa FK ikan jantan lebih kecil daripada FK ikan betina. Hal yang sama juga ditemukan pada ikan pelangi arfak dari Manokwari (Manangkalangi 2009) dan ikan pelangi merah dari Danau Sentani (Siby 2009).

69 42 Secara temporal terdapat perbedaan nyata nilai rata-rata FK antar waktu sampling menurut jenis kelamin (P<0,05). Nilai FK individu jantan berfluktuasi menurut bulan dengan nilai FK tertinggi terjadi pada bulan Maret 2011, sedangkan nilai FK terendah terjadi pada bulan Desember 2010 dan Agustus Individu betina mempunyai nilai FK yang bervariasi menurut bulan dengan fluktuasi lebih lebar daripada individu jantan. FK ikan betina tertinggi terjadi pada bulan April dan terendah Mei (Gambar 13). Tingginya FK pada bulan Maret sampai dengan April ini tampaknya berkaitan dengan periode musim hujan; bulan Maret dan April adalah puncak curah hujan tinggi di wilayah Danau Matano. Saat curah hujan tinggi ini diduga ketersediaan makanan di habitat tinggi, dan ikan-ikan mengumpulkan energi untuk membangun biomassa untuk kesiapan bereproduksi maupun menghadapi kondisi perubahan lingkungan pada memasuki musim panas. Sementara nilai FK terendah yang terjadi pada bulan Agustus, Desember dan Mei adalah periode ketika curah hujan rendah. Keadaan ini diduga berkaitan dengan rendahnya ketersediaan makanan di habitat. Ikan T. celebensis dari Danau Towuti mencapai FK tertinggi pada bulan November (Nasution 2004); ikan pelangi merah pada bulan Desember (Siby 2009); ikan pelangi Arfak pada bulan Juni-Agustus dan Juli-September (Manangkalangi, 2009). Ketiga hasil penelitian ini mengaitkan peningkatan FK dengan pemijahan. Le Cren (1951) menyatakan bahwa FK menentukan periode ikan membangun lebih banyak biomassa didalam tubuhnya dan memungkinkan menentukan perubahan musiman kondisi fisiologis sehubungan dengan umur, jenis kelamin, dan habitat berbeda. Menurut Ricker (1975), kondisi dalam istilah energetika bisa didefinisikan sebagai banyaknya energi yang tersedia bagi individu yang mungkin dialokasikan untuk berbagai fungsi hidup termasuk reproduksi, mencari makan dan pertahanan musim dingin. Schmitt & Dethloff (2000) menyatakan bahwa faktor kondisi adalah respon tingkat organisme, dengan faktor-faktor seperti status nutrisi, pengaruh patogen dan paparan bahan kimia toksik yang menyebabkan berat ikan bertambah atau berkurang dari kondisi normal. Selain itu, faktor kondisi mencerminkan status fisiologi ikan dalam hubungannya dengan kesejahteraannya (Lizama & Ambrosio.

70 ), dan mencerminkan kandungan lemak atau jumlah energi yang dimiliki oleh individu (Bolger & Connolly 1989). Gambar 13 Nilai rata-rata faktor kondisi relatif (FK) ikan T. antoniae jantan dan betina menurut bulan sampling Faktor kondisi bisa bervariasi baik dalam arah di luar kisaran normal sebagai respon terhadap paparan bahan kimia. Penelitian lain menunjukkan bahwa faktor kondisi meningkat pada Catostomus commersoni dan Lepomis auritus di lokasilokasi yang tercemar oleh limbah bubur kertas (Adams et al. 1993). Nutrisi, penyakit dan kontaminan sangat konsisten berpengaruh terhadap kondisi ikan. Misalnya nutrisi yang tidak cukup bisa menyebabkan meningkatnya kerentanan terhadap penyakit dan

71 44 dengan demikian mengubah faktor kondisi. Dengan demikian kejadian penyakit atau rendahnya sumber daya makanan bisa tampak pada rendahnya faktor kondisi. Pertumbuhan ikan T. antoniae Analisis pertumbuhan dan umur ikan T. antoniae didasarkan pada kelompok ukuran panjang baku (PB). Hasil penelitian menunjukkan bahwa ikan jantan yang dikoleksi pada setiap bulan umumnya memiliki lebih dari satu kelompok umur (kohort), kecuali ikan-ikan yang tertangkap pada bulan Maret, Juni dan Agustus hanya memiliki satu kelompok umur (Tabel 3). Pergeseran kelompok ukuran pada bulan-bulan sampling yang berdekatan dari kelompok ukuran kecil menjadi kelompok ukuran yang lebih besar pada bulan berikutnya, serta munculnya kelompok ukuran baru, menunjukkan adanya generasi yang berbeda yaitu kelompok ikan muda dan dewasa. Perbedaan ukuran ini menunjukkan terjadinya pertumbuhan dan adanya penambahan baru. Dalam analisis pertumbuhan ini dipisahkan antara antara ikan jantan dan betina. Hasil analisis pertumbuhan pada ikan jantan menunjukkan terdapat dua kelompok umur ikan pada bulan September yaitu kelompok umur 1 dengan rata-rata PB 46,18 mm dan umur 2 dengan rata-rata PB 60,23 mm. Kedua kelompok umur ini diduga terus tumbuh hingga bulan Januari Dugaan ini didasarkan pada hasil analisis yang menunjukkan adanya peningkatan ukuran PB rata-rata dari bulan-bulan sebelumnya ke bulan-bulan berikutnya. Selain itu munculnya kelompok ukuran kecil yang baru menunjukkan terjadinya penambahan baru kedalam populasi. Pola ini menunjukkan bahwa ikan ini memijah sepanjang tahun. Secara umum terdapat pola munculnya kelompok umur ikan muda yang terekspresi pada bulan November, Februari, April dan Juni yang diduga sebagai kelompok ikan yang berasal dari pemijahan dua atau tiga bulan sebelumnya.

72 45 Tabel 3 Kelompok umur, rata-rata ukuran PB, simpangan baku, populasi dan indeks pemisah (SI) dari individu T. antoniae jantan berdasarkan bulan sampling Bulan sampling Kelompok umur Rata-rata PB (mm) SB Jumlah populasi Indeks pemisah (SI) Sep ,18 60,23 4,460 10, na 1,900 Okt ,20 69,55 4,720 5, na 4,550 Nov ,87 58,92 78,35 3, , na 2,800 4,560 Des ,49 68,50 4,090 9, na 3,110 Jan ,14 64,75 79,05 4,640 2,21 3, na 5,140 49,10 Feb ,46 71,49 4,590 5, na 4,780 Mar ,84 6, na Apr ,47 52,02 3,210 12, na 0,850 Mei ,05 72,70 5,740 7, na 3,830 Jun ,47 4, na Jul ,65 69,22 4,210 8, na 3,220 Agu ,54 6, na Keterangan: SB= Simpangan baku; na= tidak dianalisis Pola yang sama juga terjadi pada pada ikan T. antoniae betina (Tabel 4 dan Lampiran 10) yang dapat dilihat dari adanya pergeseran ukuran rata-rata PB dari bulan sebelumnya ke bulan berikutnya, seperti pola yang ditunjukkan pada periode bulan September - Oktober 2010 (kelompok umur dengan rata-rata ukuran PB 44,98 mm bergeser menjadi 46,98 mm). Pola pergeseran ini terjadi pada periode bulanbulan berikutnya.

73 46 Tabel 4 Kelompok umur, rata-rata ukuran PB, simpangan baku, populasi dan indeks pemisah (SI) dari individu T. antoniae betina berdasarkan bulan sampling Bulan sampling Kelompok umur Rata-rata PB (mm) SB Jumlah populasi Indeks pemisah (SI) Sep ,98 5, n.a Okt ,98 5, n.a Nov ,07 4, n.a Des ,11 5, n.a Jan ,35 5, n.a Feb ,60 50,68 2,400 6, n.a 2,030 Mar ,40 6, n.a Apr ,42 6, n.a Mei ,88 6, n.a Jun ,75 5, n.a Jul ,56 6, n.a Agu ,37 5, n.a Keterangan: SB= Simpangan baku; n.a= tidak dianalisis Pada bulan Februari terdapat dua kelompok umur yaitu kelompok umur 1 dengan rata-rata PB 41,60 mm (diduga sebagai generasi baru) dan kelompok umur 2 dengan rata-rata PB 50,68 kelompok umur yang berkembang dari bulan-bulan sebelumnya. Fenomena munculnya kelompok umur dengan ukuran rata-rata lebih kecil dari bulan-bulan sebelumnya diduga sebagai indikasi masuknya kelompok generasi baru ke dalam arena pemijahan di daerah litoral. Parameter pertumbuhan ikan T. antoniae dianalisis menggunakan metode ELEFAN I yang tersedia dalam perangkat lunak FiSAT II. Analisis pertumbuhan berdasarkan jenis kelamin yang diekspresikan dalam bentuk kurva pertumbuhan. Gambar 14 menunjukkan bahwa kelompok umur baru dari populasi T. antoniae jantan maupun betina terjadi antara Maret-April. Jika dilihat dari periode musim maka tampak bahwa periode tersebut adalah periode puncak curah hujan. Analisis parameter pertumbuhan menurut jenis kelamin didapatkan perkiraan T. antoniae jantan mencapai panjang infinity (L ) 87,64 mm pada tahun ke-8. Masa pertumbuhan yang signifikan terjadi pada tahun pertama hingga tahun ke-3, kemudian melambat hingga mencapai infinity. Hasil analisis ini juga mendapatkan nilai koefisien pertumbuhan (K) sebesar 0,36 dan t o = -0,11; sedangkan pada ikan

74 47 betina didapatkan nilai panjang infinity (L ) 85,43 mm yang dicapai pada tahun keenam dan nilai koefisien pertumbuhan (K) sebesar 0,54 dan t o = -0,08. Gambar 14 Kurva pertumbuhan von Bertalanffy ikan T. antoniae jantan dan betina berdasarkan data frekuensi panjang Nilai koefisien pertumbuhan betina yang lebih besar daripada ikan jantan menunjukkan bahwa ikan betina akan mencapai panjang maksimum dalam waktu yang lebih cepat daripada ikan jantan (Gambar 14). Panjang baku (PB) maksimum hasil pengukuran untuk ikan jantan dan betina masing-masing 85,58 mm dan 83,25 mm. Nilai ini masih berada di bawah nilai panjang infinity. Berdasarkan parameter pertumbuhan yang telah didapatkan ini dapat dibangun bentuk persamaan pertumbuhan menurut jenis kelamin ikan T. antoniae yaitu Lt = 87,64 (1-e -0,36(t-0,11) ) untuk ikan jantan dan Lt = 85,43(1-e -0,54(t-0,08) ) untuk ikan betina.

75 48 Nasution (2007) menemukan bahwa ikan rainbow selebensis dari Danau Towuti mempunyai panjang infinity (L ) 11,90 cm, sementara panjang maksimal ikan jantan dan betina yang ditemukan masing-masing 10,32 mm dan 9,46 mm. Nasution (2008) juga menemukan ikan bonti-bonti (Paratherina striata Aurich) jantan memiliki panjang infinity (L ) 20,05 cm, sementara panjang maksimum yang ditemukan 19,78 cm. Ikan betina bonti-bonti infinity (L ) 20,45 cm, sementara panjang maksimum 18,33 cm. Kedua jenis ikan tersebut juga mempunyai ikan betina yang relatif lebih kecil dari ikan jantan. Nisbah kelamin Reproduksi Selama periode September 2010 sampai dengan Agustus 2011, jumlah individu jantan yang dikoleksi 1437 ekor (53,08%), dan individu betina 1270 ekor (46,92%). Pendekatan uji perbandingan kelamin menggunakan Chi-square test pada taraf nyata 0,05, menunjukkan komposisi nisbah (jantan:betina) yang tidak seimbang 1 : 1,131 (χ² table < χ² hitung ). Secara spasial umumnya nisbah kelamin menunjukkan keadaan seimbang 1 : 1 pada hampir semua stasiun penelitian, kecuali di stasiun Otuno (hasil uji menunjukkan keadaan tidak seimbang 1,258:1 (χ² table < χ²= 5,708) (Tabel 5). Tabel 5 Variasi spasial nisbah kelamin T. antoniae di Danau Matano Stasiun Jumlah ikan Nisbah χ² hitung sampling Jantan Betina kelamin (ekor) (%) (ekor) (%) S. Lawa , ,12 1,216 : 1,00 2,341 Paku , ,66 1,055 : 1,00 0,242 P. Wotu Pali , ,01 1,083 : 1,00 0,437 Bubble Beach , ,32 1,159 : 1,00 2,063 Pantai Salonsa , ,82 1,136 : 1,00 1,274 Tanah Merah , ,43 1,023 : 1,00 0,034 Otuno , ,29 1,258 : 1,00 5,708 * S. Petea , ,14 1,121 : 1,00 0,686 S. Soluro , ,93 1,086 : 1,00 0,413 Ket: χ² tabel (0,05, 1) = 3,841; χ² tabel χ² hitung perbandingan jantan dan betina = 1 : 1 (*) perbandingan jantan dan betina 1: 1

76 49 Nisbah tidak seimbang yang didominasi oleh ikan jantan di stasiun Otuno diduga karena lokasi ini merupakan tempat yang ideal bagi ikan jantan mencari makan dalam rangka persiapan energi untuk reproduksi. Beberapa ikan pelangi yang juga memiliki nisbah kelamin 1:1 misalnya T. celebensis dari Danau Towuti (Nasution 2004), G. incisus dari Danau Sentani (Siby 2009), dan M. arfakensis dari Manokwari (Manangkalangi 2009). Sementara itu T. ladigesi dari sungai Maros memiliki nisbah (1,5:1,0). Secara temporal dari populasi T. antoniae yang tertangkap terungkap bahwa jumlah ikan jantan lebih banyak daripada betina disemua waktu sampling. Tetapi hasil uji Chi-square test terhadap nisbah kelamin menunjukkan bahwa proporsi individu jantan dan betina pada semua waktu sampling berada dalam proporsi keseimbangan 1 : 1 (Tabel 6). Tabel 6 Variasi temporal nisbah kelamin T antoniae di Danau Matano Waktu Jumlah ikan Nisbah χ² sampling Jantan Betina kelamin hitung (ekor) (%) (ekor) (%) Sep , ,55 1,103 : 1,00 0,490 Okt , ,92 1,131: 1,00 0,801 Nop , ,31 1,207 : 1,00 2,250 Des , ,83 1,135 : 1,00 0,824 Jan , ,98 1,128 : 1,00 0,845 Feb , ,17 1,076 : 1,00 0,294 Mar , ,26 1,162 : 1,00 1,273 Apr , ,81 1,092 : 1,00 0,439 Mei , ,02 1,083 : 1,00 0,357 Jun , ,70 1,141 : 1,00 0,072 Jul , ,83 1,136 : 1,00 1,016 Agu , ,96 1,176 : 1,00 1,536 Ket: χ² tabel (0,05, 1) = 3,841; χ² tabel χ² hitung perbandingan jantan dan betina = 1 : 1 Data ini menunjukkan bahwa perubahan temporal tidak memengaruhi nisbah jantan dan betina pada ikan T. antoniae. Nisbah yang sama juga terjadi pada G. incisus (Siby 2009) dan M. Arfakensis (Manangkalangi 2009). Tetapi keadaan ini tidak terjadi pada T. ladigesi (Andriani 2000). Nisbah kelamin pada ikan belanak Mugil dussumeiri di perairan Ujung Pangkah, Jawa Timur adalah tidak seimbang

77 50 (Sulistiono et al. 2001a). Sementara studi yang dilakukan pada tiga jenis ikan buntal Tetraodon lunaris, T. reticulata dan T. fluviatilis menunjukkan bahwa dua jenis ikan buntal yang disebut pertama memiliki nisbah seimbang (1:1) sedangkan yang disebutkan terakhir memiliki nisbah yang tidak seimbang (Sulistiono et al. 2001b). Informasi ini menunjukkan bahwa nisbah kelamin sangat bergantung kepada sifat dan tingkah laku pemijahan ikan. Menurut kelas ukuran nisbah antara individu jantan dan betina umumnya terdapat ketidakseimbangan (χ² tabel < χ² hitung ), kecuali pada kelas ukuran 32,76 mm 37,16 mm dan 54,81 59,21 mm (nisbah 1 : 1). Berdasarkan kelas ukuran, ditemukan bahwa pada kisaran kelas ukuran 32,76 45,98 mm jumlah ikan betina mendominasi jumlah ikan jantan. Sementara pada kelas ukuran yang lebih besar umumnya jumlah ikan jantan lebih besar daripada ikan betina. Pada kelas ukuran ikan 59,22 68,03 mm tampak terjadi bias karena pada kelas ini tidak ditemukan ikan betina (Tabel 7). Tabel 7 Variasi nisbah kelamin T. antoniae menurut kelas ukuran Kelas Jumlah ikan Nisbah χ² ukuran Jantan Betina kelamin hitung (mm) (ekor) (%) (ekor) (%) 32,76-37, , ,57 0,755 : 1,00 1,674 37,17-41, , ,68 0,462 : 1,00 47,080 41,58-45, , ,55 0,813 : 1,00 8,847 45,99-50, , ,34 1,923 : 1,00 83,036 50,40-54, , ,38 1,618 : 1,00 19,128 54,81-59, , ,57 0,763 : 1,00 2,951 59,22-63, ,00 0 0,00 * 14,000 63,63-68, ,00 0 0,00 * 28,000 68,04-72,44 2 0,18 9 0,82 0,222 : 1,00 4,455 72,45-76, ,91 2 0,09 10,000 : 1,00 14,727 76,86-81, ,92 1 0,08 11,000 : 1,00 8,333 81,27-85,67 9 0,90 1 0,10 9,000 : 1,00 6,400 Ket: χ² tabel (0,05, 1) = 3,841; χ² tabel χ² hitung perbandingan jantan dan betina = 1 : 1 *=tidak ada betina Data ini menunjukkan bahwa secara umum ikan-ikan jantan berukuran besar selalu berpasangan dengan ikan betina yang berukuran kecil; hal ini didukung oleh

78 51 pengamatan bawah air. Berdasarkan hasil penelitian ini diduga bahwa ikan jantan besar ini memiliki umur yang lebih tua daripada ikan betina; dengan kata lain ikan jantan menyukai memijah dengan ikan betina yang lebih muda. Nisbah kelamin dan struktur ukuran adalah informasi penting untuk menilai potensi reproduksi dan pendugaan ukuran stok populasi (Vazzoler 1996). Sementara itu faktor lain yang dapat memengaruhi nisbah kelamin adalah ketersediaan makanan. Nikolsky (1963) menyatakan bahwa di lingkungan yang makanannya terbatas jika makanan berlimpah, maka betina dominan; situasi sebaliknya terjadi di wilayah yang makanannya terbatas. Munro (1976) menjelaskan bahwa simpangan yang diamati dalam proporsi 1:1, sering kali merupakan konsekuensi dari perbedaan laju pertumbuhan yang diamati pada jantan dan betina, yang bisa menyebabkan tangkapan preferensial terhadap skala besar atau kecil spesimen dari satu jenis kelamin. Nisbah yang seimbang antara jantan dan betina pada T. antoniae merupakan bagian dari tingkah laku reproduksi yang memijah secara berpasangan. Proporsi seimbang juga mengindikasikan bahwa ikan tidak mengalami kesulitan dalam mendapatkan pasangan memijah. Pengamatan bawah air terhadap tingkah laku memijah T. antoniae memperlihatkan ikan-ikan selalu berada dalam pasangan. Walaupun di perairan sering terlihat adanya kejadian perkelahian jantan-jantan untuk mendapatkan pasangan memijah, namun ini tidak berarti bahwa ikan jantan sulit mendapatkan pasangan. Nikolsky (1963) menyatakan bahwa perbedaan laju pertumbuhan antar jenis kelamin bisa menyebabkan nisbah tidak seimbang. Jenis kelamin yang mempunyai laju pertumbuhan yang cepat akan mengalami fase rentan yang singkat, oleh karena itu akan memperkecil pemangsaan. Sebaliknya jenis kelamin dengan laju pertumbuhan yang lambat akan memiliki peluang mengalami pemangsaan. Komposisi warna jantan T. antoniae adalah salah satu ikan yang memiliki dua bentuk warna (dikromatisme) pada jantan yaitu jantan warna biru dan jantan warna kuning, sedangkan ikan betina berwarna abu-abu pasir. Terdapat 918 ekor individu jantan

79 52 dengan warna biru (64%) dan 519 ekor individu jantan warna kuning (36%) dari total 1437 ekor ikan jantan yang dikoleksi (Tabel 8). Tabel 8 Ukuran rata-rata PB T. antoniae jantan berdasarkan warna N Rata-rata PB Min Maks St.Dev (mm) Jantan ,31 32,76 85,58 7,512 Jantan warna biru ,89 32,76 85,58 8,131 Jantan warna kuning ,07 39,60 85,45 4,244 Selanjutnya dari data ini ditemukan pula bahwa pada semua stasiun penelitian dan periode sampling jumlah individu jantan warna biru lebih banyak daripada jantan warna kuning, dengan komposisi berbeda pada setiap lokasi dan waktu (Gambar 15). Gambar 15 Histogram komposisi warna T. antoniae jantan warna biru dan jantan warna kuning (a) menurut stasiun sampling dan (b) menurut waktu sampling

80 53 Jumlah ikan warna biru yang lebih banyak daripada ikan warna kuning mungkin merupakan strategi penyamaran dari predator; ikan warna biru tidak tampak jelas di habitat yang terbuka di batuan dan di pasir dibandingkan dengan ikan warna kuning. Uji rata-rata PB terhadap warna jantan menunjukkan terdapat perbedaan (P < 0,05): 47,89 (SE=8,13; N=918) untuk warna biru dan 49,07 (SE=6,21; N=519) untuk warna kuning. Dikromatisme jantan ini diduga merupakan salah satu strategi jantan untuk menarik betina agar menjadi pasangan memijah. Pengamatan bawah air menunjukkan bahwa kedua warna ini dapat kawin dengan satu betina yang sama. Tingkat kematangan gonad Penilaian perkembangan gonad T. antoniaea dilakukan melalui pendekatan penilaian terhadap tahapan perkembangan gonad secara morfologis dan histologis. Sementara untuk mengetahui kondisi reproduksi dilakukan penelaahan perubahan ukuran berat gonad relatif yang diekspresikan dengan indeks kematangan gonad (IKG). Hasil penilaian tahap-tahap perkembangan gonad T. antoniae jantan dan betina dalam deskripsi ini dibagi ke dalam lima tahap perkembangan sebagaimana disajikan dalam Lampiran 11 dan 12. Sementara struktur histologis untuk jantan dan betina berdasarkan telaahan tahapan perkembangan gonad menurut jenis kelamin masing-masing disajikan pada Gambar 16 dan 17. Pemeriksaan makroskopis gonad T.antoniae, menunjukkan bahwa gonad jantan berukuran kecil yang belum matang memiliki berbentuk seperti benang yang sangat halus dan berwarna putih susu. Testis yang matang tampak berwarna putih susu, pejal, melebar, menebal, dan semakin memanjang bergelombang seperti lipatanlipatan dan mengisi 1/3 rongga perut. Pada tahap ini dengan hanya sedikit tekanan pada abdomen testis siap mengeluarkan cairan berwarna putih susu. Jantan pascapemijahan memiliki testis kecil yang tampak kosong, lembek berkerut, menipis, kurang pejal, warna putih susu, dan berdarah. Ikan betina yang belum matang memiliki ovari berbentuk seperti benang dengan permukaan berwarna gelap dan terdapat butiran sangat kecil berwarna putih susu. Ikan betina yang berada pada tingkat perkembangan (tingkat II) memiliki ovari

81 54 berwarna gelap kehitaman dengan butiran-butiran oosit yang semakin besar dan jaringan ikat berwarna putih susu. Ikan betina yang berada pada tahap kematangan (tingkat III) memiliki ovari berwarna gelap kehitaman pada bagian anterior dan agak kekuningan cenderung transparan di bagian anterior, butiran oosit pada bagian posterior berwarna kuning pucat. Ukuran butiran oosit tampak berdegradasi dengan ukuran besar di bagian posterior dan makin kecil pada bagian anterior. Betina matang dan mijah (tahap IV) memiliki ovari yang besar dan padat mengencang, warna hitam dan agak gelap pada bagian anterior, dan warna kekuningan transparan ke arah posterior sehingga butiran oosit terlihat jelas. Ukuran diameter telur di bagian posterior terlihat lebih besar dan berisi, dan berwarna kekuningan; ovari mengisi 2/3 rongga perut. Ikan betina pascapemijahan (tahap V) memiliki ovari yang mengerut dengan butiran telur yang didominasi ukuran kecil, tetapi masih tampak beberapa butiran yang berukuran besar di daerah posterior. Pemeriksaan secara histologis dibuat untuk jaringan testicular dan ovari dari gonad yang berkembang dan matang untuk melihat perkembangan struktur histology: Jantan Testis dalam tahap belum berkembang (tingkat I), dikenali dengan tidak adanya aktivitas spermatogenik pada germinal epithelium dan spermatogonia (Sg), dan banyak spermatosit (Sc) (Gambar 16 A). Pada tahap perkembangan awal (tingkat II) tidak ada spermatozoa yang hadir di dalam tubule, germinal epithelium tipis dan ada sel-sel yang belum matang, terdapat spermatosit (Sc) sampai spermatid (Spt), dan

82 55 Gambar 16 Struktur histologis gonad T. antoniae jantan. Ket.: A= TKG I, B= TKG II, C= TKG III, D= TKG IV, E= TKG V, Sg= spermatogonia, Sc= spermatosit, Spt= spermatid, dan Sz= spermatozoa. juga terdapat beberapa spermatozoa (Sz) (Gambar 16 B). Pada tahap kematangan (tingkat III) spermatogenesis pertengahan dicirikan oleh germinal epithelium yang cukup tebal, dan proliferasi dan kematangan sperma bisa diamati; spermatosit (Sc), spermatid (Spt) dan spermatozoa (Sz) terdapat dalam proporsi yang kira-kira seimbang (Gambar 16 C). Tahap 1-3 adalah karakteristik ikan yang matang kelamin, dengan paling sedikit aktivitas yang terjadi (tingkat I) dan aktivitas terbesar terjadi sesaat menjelang dan selama pemijahan (tingkat IV) (Gambar 16 D). Pada tahap pascapemijahan (tingkat III) testis mengerut, terdapat spermatogonia (Sg) dan spermatozoa (Sz), dan terdapat ruang-ruang kosong (Gambar16 E).

83 56 Betina Irisan ovari yang diambil dari ikan pada tingkat perkembangan awal (tingkat II) menunjukkan adanya oosit dalam tingkat perinukleosis dan pravitellogenis. Oosit perinukleosis berukuran kecil dan nukleus kira-kira 60% dari diameter oosit dengan satu atau dua nukleoli dan sitoplasma basofil yang kuat. Pada oosit pravitellogenis (Os) nukleus mengisi 2/3 sel dan berisi banyak nukleoli yang tersusun dalam membran nukleus (Gambar 17 A dan B). Ovari pada tahap kematangan ( Tingkat III) berisi ootid (Ot) dan oosit (Os) (Gambar 17 C). Ovari tahap matang dan mijah (tingkat IV) dibungkus kuat dengan oosit vitellogenis dan telur dengan kuning telur (Kt). Oosit (Os) membulat bulat dan nukleus tidak tampak karena akumulasi kuning telur yang banyak (Gambar 17 D). Ovari pascapemijahan (tingkat V) terdapat sedikit oosit (Os) kecil yang tampak dan ditandai dengan adanya oosit atresia (Oa) dari perkembangan telur yang tersisa setelah pemijahan. Oosit atresia (Oa) ditandai oleh pecahnya zona radiata dengan ruang-ruang kosong di dalam ovari (Gambar 17 E). Gambar 17 Struktur histologis gonad T. antoniae betina. Ket: OG= oogonium, Os= oosit, Ot= ootid, Yk= butir kuning telur, O= butiran minyak, Oa= oosit atresia

84 57 Walaupun tahap III adalah khas pada ikan yang mendekati pemijahan, tetapi tahap I sampai III semuanya adalah representasi ikan betina matang kelamin. Hasil penelitian pada T. antoniae ini menemukan bahwa betina yang matang secara simultan berisi oosit dengan berbagai ukuran dalam setiap tingkat perkembangan; ini adalah tipe dari ikan pemijah berulang (multiple spawner). Menurut Chellappa et al. (2010), pemijah bertahap ditandai oleh pola temporal tingkat-tingkat ovari makroskopis, kejadian teratur ovari yang dilepaskan sebagian, dan pola perkembangan oosit, dengan lepasnya oosit matang secara berkelompok. Hasil pemeriksaan kondisi gonad yang diekspresikan dengan tingkat kematangan gonad (TKG) dari populasi ikan bervariasi baik secara spasial maupun temporal. Tetapi secara umum ditemukan bahwa sebagian besar ikan berada dalam kondisi matang dan memijah (TKG IV). Sebanyak 58% ikan jantan dan 87% ikan betina berada dalam kondisi matang dan memijah (TKG IV). Ikan jantan yang berada dalam tahap kematangan (TKG III) jumlahnya relatif besar (24,57%) dibandingkan dengan tahap-tahap perkembangan gonad individu jantan lainnya; misalnya jantan yang berada dalam tahap perkembangan gonad belum berkembang TKG I (1,04%), tahap perkembangan awal TKG II (6,26%) dan tahap pascapemijahan TKG V (9,67%). Ikan yang berada dalam TKG I, II, III dan V jumlahnya sedikit (Tabel 9). Berdasarkan data ini diduga bahwa ikan-ikan yang tertangkap umumnya ikan-ikan dalam proses pemijahan, dan ikan yang berada di pelataran litoral adalah ikan-ikan dewasa kelamin. Tabel 9 Jumlah individu T. antoniae jantan dan betina menurut kondisi TKG TKG I II III IV V Total Jantan 15 (1,04%) 90(6,26%) 353(24,57%) 840(58,46%) 139(9,67%) 1437 Betina 1 (0,08%) 15(1,18%) 74(5,83%) 1107(87,17%) 73(5,75%) 1270 Secara spasial persentase frekuensi individu jantan matang dan mijah (TKG IV) dan pascapemijahan (TKG V) ditemukan dalam jumlah tertinggi di stasiun Salonsa dan terendah di stasiun Otuno. Individu betina yang berada dalam kondisi TKG IV

85 58 dan V tertinggi jumlahnya di stasiun Paku dan terendah di stasiun Sungai Soluro (Gambar 18). Gambar 18 Persentase jumlah ikan T. antoniae pada berbagai tingkat kematangan gonad (TKG) berdasarkan stasiun penelitian Hasil uji perbandingan rata-rata TKG pada individu jantan menunjukkan bahwa stasiun Salonsa memiliki nilai perbandingan rata-rata TKG berbeda nyata dengan stasiun S. Lawa, Paku, Otuno dan S. Petea, tetapi tidak berbeda nyata dengan stasiun P. Wotu Pali, Bubble beach, Tanah Merah, dan S.Soluro. Pada individu betina nilai rata-rata TKG di delapan stasiun penelitian (S. Lawa, Paku, P. Wotu Pali, Bubble Beach, Salonsa, Tanah Merah, Otuno dan S. Soluro) tidak berbeda nyata, tetapi dengan stasiun S. Petea menunjukkan beda nyata (P< 0,05). Secara temporal persentase tingkat kematangan gonad individu jantan bervariasi dengan kisaran yang relatif lebar, sedangkan ikan betina bervariasi relatif sempit (Gambar 19). Persentase individu jantan dan betina yang berada dalam TKG IV dan V tertinggi ditemukan pada bulan Juli 2011 dan terendah pada bulan April Hasil uji perbandingan rata-rata antar waktu penelitian menunjukkan bahwa terdapat beda nyata antar waktu penelitian baik pada individu jantan maupun pada individu betina (P<0,05).

86 59 Gambar 19 Persentase jumlah ikan T. antoniae pada berbagai tingkat kematangan gonad (TKG) berdasarkan waktu penelitian Hasil penelitian ini juga menunjukkan bahwa lebih dari 60% individu jantan dan betina berada dalam kondisi matang-mijah dan pascapemijahan (TKG IV dan V) (Gambar 20) dan kondisi ini terjadi pada hampir semua kelas ukuran, kecuali pada individu jantan dengan kelas ukuran 32,76 37,16 mm, 73,00% yang berada dalam TKG II, 5,40% berada dalam TKG III, serta 22,60% berada dalam TKG IV. Ikan jantan terkecil yang ditemukan matang gonad berukuran 45,42 mm, sedangkan betina 36,17 mm. Individu jantan dan betina yang berada dalam TKG I jumlahnya sangat sedikit; hanya 15 individu jantan dan tersebar di semua stasiun penelitian. Sementara individu betina hanya ditemukan satu saja yang berasal dari stasiun Bubble Beach. Menurut waktu sampling, individu jantan yang berada dalam TKG I ditemukan pada hampir semua waktu sampling kecuali pada bulan Januari 2011 dan Juni Sementara individu betina hanya ditemukan pada bulan Mei Menurut kelas ukuran ikanikan yang berada dalam TKG I untuk jantan mulai muncul pada kelas ukuran 37,17 41,57 mm. Sementara betina pada kelas ukuran 40,10-44,02 mm. Sementara itu ikan-ikan yang berada dalam TKG II dan III umumnya ditemukan di hampir semua lokasi dan waktu sampling. Hasil ini menunjukkan bahwa T. antoniae memanfaatkan habitat berbeda dalam sejarah hidupnya.

87 60 Gambar 20 Persentase jumlah ikan T. antoniae pada berbagai tingkat kematangan gonad (TKG) berdasarkan sebaran ukuran panjang Menurut Villacorta-Correa & Saint-Paul (1999), IKG dapat menjelaskan kondisi reproduksi spesies, melalui perubahan ukuran gonad relatif dihubungkan dengan waktu. IKG dan histopatologi gonad merupakan kategori indikator-indikator yang memberikan informasi struktural, tentang kesehatan gonad dan tahap kematangan (Schmitt & Dethloff 2000). Penghitungan berat gonad sebagai persentase berat tubuh telah secara rutin digunakan untuk menentukan kematangan reproduksi, dan menilai perubahan gonad sebagai respon terhadap dinamika lingkungan (misalnya perubahan musiman) atau tekanan-tekanan eksogen (misalnya paparan terhadap kontaminan) (Schmitt & Dethloff 2000). Indeks kematangan gonad Hasil perhitungan indeks kematangan gonad (IKG) T. antoniae didapatkan nilai rata-rata IKG individu jantan lebih kecil daripada IKG individu betina. Secara umum kisaran nilai rata-rata untuk individu jantan 0,595 (SE±0,268; N=1437) dan individu betina 4,245 (SE=1,641); N=1270). Telaahan secara spasial terhadap nilai rata-rata.

88 61 Gambar 21 Nilai indeks kematangan gonad (IKG) ikan T. antoniae menurut stasiun sampling IKG menggunakan One-way ANOVA menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan nilai rata-rata IKG antar stasiun penelitian (P> 0,05). Sementara untuk ikan betina terdapat perbedaan IKG rata-rata yang nyata antar lokasi (P<0,05) (Gambar 21). Stasiun penelitian yang memiliki nilai rata-rata tertinggi untuk betina adalah Pulau Wotu Pali 4,960 (SE=1,691, N=133), dan terendah adalah Sungai Soluro 3,655 (SE=1,288, N=116). Secara temporal nilai rata-rata IKG untuk individu jantan terdapat beda nyata antara stasiun penelitian (P<0,05); hanya ada satu bulan sampling yang memiliki nilai rata-rata yang beda nyata yaitu Maret 2011, sedangkan bulan lainnya tidak berbeda nyata. Nilai IKG rata-rata jantan tertinggi terjadi pada bulan Desember 2010 (0,648; SE=0,392; N=109) dan nilai terendah bulan Maret 2011 (0,475; SE=0,174; N=122). Hasil uji statistik pada individu betina menunjukkan terdapat beda nyata rata-rata nilai IKG yang kecil antar waktu sampling (P=0,049<0,05); hanya terdapat beda nyata yang kecil antar waktu sampling bulan Oktober dan November, sementara untuk bulan lainnya tidak berbeda nyata (Gambar 22).

89 62 Gambar 22 Nilai indeks kematangan gonad (IKG) ikan T. antoniae jantan dan betina menurut waktu sampling Sebaran diameter telur Diameter telur ikan T. antoniae bervariasi antara 0,33 1,23 mm (Gambar 23). Ditemukan bahwa pada setiap tingkat kematangan gonad frekuensi kelas ukuran diameter tidak merata. Pada TKG III kisaran ukuran 0,33 1,12 mm, TKG IV kisaran ukuran 1,33 1,23 dan pada TKG V kisaran ukuran 0,33 0,95 mm. Perbedaan sebaran ukuran diamer telur pada tiap tingkat kematangan menunjukkan bahwa kematangan gonad terjadi secara bertahap (partial spauner). Pengamatan terhadap telur-telur yang terdapat dalam ovari tampak bahwa ukuran diameter telur berdegradasi dari anterior dengan telur-telur berukuran kecil, bagian tengah makin besar dan pada posterior adalah telur berukuran besar. Informasi ini menunjukkan bahwa dalam proses pemijahan telur-telur berukuran besar di posterior adalah telur-telur matang yang siap dipijahkan. Selain itu dari data ini menunjukkan bahwa ikan ini merupakan ikan yang memijah sepanjang tahun. Pola pemijahan seperti ini juga ditemukan pada ikan T. ladigesi (Andriani 2000), T.

90 63 celebensis (Nasution 2004), G. incisus (Siby 2009), M. Arfakensis (Manangkalangi 2009), dan M. dussumieri (Sulistiono 2001). Gambar 23 Sebaran diameter telur T. antoniae pada TKG I - V Fekunditas Fekunditas adalah jumlah telur yang ada di dalam ovari sebelum pemijahan, Berdasarkan definisi ini dalam penelitian ini fekunditas ikan T.antoniae diperiksa dari 120 ekor ikan betina yang berada dalam kondisi TKG IV. Rata-rata fekunditas dari ikan yang diperiksa memiliki 152 butir per ovari dengan kisaran butir per ovari.

91 64 Fekunditas (butir) F = 0,167PB 1,739 r = 0,60 N = Panjang baku (mm) Gambar 24 Hubungan antara fekunditas dengan panjang baku (PB) Ikan ukuran terkecil yang ditemukan berada dalam TKG IV berukuran PB 36,21 mm memiliki fekunditas 94 butir, sedangkan ukuran terbesar 73,40 mm dengan fekunditas 316 butir. Persamaan regresi antara fekunditas dengan panjang baku ikan pada TKG IV adalah F = 0,167PB 1,739 (r=0,60) (Gambar 19). Nilai r yang diperoleh menunjukkan korelasi yang lemah antara fekunditas dengan panjang total, sehingga panjang total dari ikan T. antoniae ini tidak dapat dijadikan penduga fekunditas ikan ini. Korelasi yang lemah juga ditemukan pada ikan T. celebensis (Nasution 2004), dan G. incisus (Siby 2009). Musim pemijahan dan strategi reproduksi Dengan mempertimbangkan perkembangan tingkat kematangan gonad perbulan ditemukan bahwa 87,17% ikan betina berada pada TKG IV; 5,75% pada TKG V; 5,38% pada TKG III; 1,18% pada TKG II dan 0,8% pada TKG I. Sementara pada ikan jantan 58,46% berada pada TKG IV; 24,57% pada TKG III; 9,67% pada TKG V; 6,26% pada TKG II dan 1,04% pada TKG I. Melihat komposisi TKG ikan jantan dan betina yang sebagian besar berada pada TKG IV ini

92 65 menunjukkan bahwa ikan-ikan yang berada di daerah litoral ini adalah ikan-ikan yang sedang memijah. Terdapat empat bulan dalam periode sampling yang menunjukkan persentase jumlah ikan yang berada pada TKG IV dan V yang besar yaitu Desember, Januari, Juli dan Agustus. Jika periode bulan tersebut dihubungkan dengan dinamika hidrologis maka terlihat bahwa pada periode bulan Desember, Januari, Juli dan Agustus adalah periode curah hujan dan muka air rendah. Diduga ini adalah strategi T. antoniae memilih puncak pemijahan di musim kering dengan harapan telurtelurnya akan menetas menjelang awal musim hujan. Pada periode puncak pemijahan ini suhu air rata-rata lebih hangat dari periode bulan lainnya. Suhu air yang hangat ini akan membantu metabolisme dan pertumbuhan larva lebih cepat. Sifat dan tingkah laku reproduksi T. antoniae di perairan Ikan T. antoniae hidup di daerah litoral; daerah ini dijadikan sebagai habitat pemijahan (Kottelat 1991; Gray & McKinnon 2006; Nilawati & Tantu 2007). Mengenali spesies ini secara langsung di alam dan membedakannya dengan spesies kerabat Telmatherina lainnya dapat didekati dengan mengamati karakter tingkah laku yang ditampilkan. Di alam T. antoniae dewasa hampir selalu berada dalam pasangan jantan dan betina, walaupun kadang tampak ada yang berenang tanpa pasangan. Dari hasil pengamatan bawah air ikan-ikan jantan yang tampak sedang berenang sendiri atau tanpa pasangan adalah ikan jantan yang sedang mencari pasangan betina. Ikan jantan agresif mencari pasangan sedangkan ikan betina tampak bersifat pasif menunggu untuk dipilih oleh jantan. Sifat tingkah laku berpasangan pada T. antoniae ini memudahkan kita mengenali mereka. Pasangan-pasangan jantan-betina tampak melakukan aktivitas kawin sepanjang waktu. Beberapa sifat tingkah laku berpasangan yang selalu ditampilkan oleh individu jantan dan betina adalah berenang berpasangan di dekat dasar perairan, walaupun kadang-kadang terlihat ada pasangan yang berenang di tengah kolom air, tetapi itu

93 66 adalah taktik menghindari gangguan dari jantan lain atau dalam proses mencari tempat memijah yang nyaman. Dalam proses pemijahan ikan jantan dan betina berenang berpasangan bersamasama dan kadang memperlihatkan gerakan mendekatkan abdomennya pada substrat. Gerakan ini diduga sebagai gerakan melepaskan telur oleh betina pada substrat dan pelepasan sperma oleh jantan. Adalah sulit untuk dapat melihat dengan mata telanjang telur-telur dan sperma yang dilepaskan. Gerakan lain yang sering ditunjukkan oleh T. antoniae adalah perkelahian antara jantan-jantan, baik antara warna jantan yang sama maupun dengan warna jantan yang berbeda. Kejadian perkelahian pada jantan-jantan adalah untuk alasan memperebutkan betina yang menjadi pasangan memijah. Akhir dari perkelahian antar jantan-jantan yaitu ikan jantan yang menang akan segera mengambil betina menjadi pasangan memijah sedangkan jantan yang kalah dalam perkelahian akan segera pergi mencari betina lain. Tetapi kadang-kadang kedua individu jantan yang terlibat dalam perkelahian kehilangan betina calon pasangannya. Pada perkelahian jantan-jantan yang seru terlihat satu sama lain berusaha saling menyerang dengan menggigit tubuh lawan, sehingga keduanya membentuk gerakan berputar dengan cepat di dalam kolom air mulai dari dasar perairan sampai ke permukaan. Adanya interaksi antara kedua bentuk warna individu jantan dalam memperebutkan betina yang sama menunjukkan bahwa kedua bentuk warna ini berasal dari spesies yang sama (Kottelat 1991; McKinnon et. al. 2000). Pemijahan dilakukan di substrat berpasir, bebatuan dan kadang-kadang di atas batu-batu besar dan vegetasi. Telur-telurnya di dasar perairan (Gray & McKinnon 2006; Nilawati & Tantu 2007), diantara batuan, kerikil atau pasir yang tidak memiliki tanaman air (Soeroto et al. 2004; Nilawati & Tantu 2007), serta di habitat bervegetasi (Sumassetiyadi 2003). Ikan ini dapat memijah di perairan yang dangkal pada kedalaman kurang lebih 0,5 m (Soeroto et al. 2004; Nilawati & Tantu 2007), sampai dengan 10 m (Gray & McKinnon 2006). Dalam pengamatan bawah air kadang-kadang ditemukan ikan-ikan jantan T. antoniae yang mempunyai kelas ukuran kecil dengan tinggi tubuh relatif pendek

94 67 (ini kelas ukuran yang umum ditemukan) dan jantan yang mempunyai kelas ukuran tubuh yang lebih tinggi (sedikit jumlahnya). Gray & McKinnon (2006) mendapatkan kelas ukuran kecil dengan kisaran panjang baku 39 mm 56 mm, sedangkan kelas ukuran besar memiliki panjang baku yang bisa mencapai 80 mm (Kottelat 1991). Kedua kelas ukuran ini adalah jenis yang sama karena kedua kelas ukuran ini mempunyai tingkah laku kawin yang sama (Kottelat 1991; Gray & McKinnon 2006). Dalam beberapa pengamatan bawah air kelas ukuran yang besar ini juga mengawini betina yang sama dengan yang dikawini oleh jantan kelas ukuran kecil. Melalui pengamatan bawah air sifat atau karakter tingkah laku, kehadiran dan aktivitas umum T. antoniae di pelataran daerah litoral sepanjang hari menunjukkan bahwa ikan-ikan ini mulai beraktivitas saat matahari terbit yang ditandai dengan mulai adanya individu-individu yang berenang mencari pasangan, kemudian berpasangan, dan kawin di daerah litoral. Jumlah individu yang memijah di pelataran litoral secara bertahap meningkat seiring dengan waktu menjelang siang hari, kemudian jumlah pasangan-pasangan memijah menurun jumlahnya menjelang sore hari. Sedangkan pada malam hari ikan-ikan ini tampak tidak melakukan aktivitas pemijahan; mereka berdiam di dasar perairan di antara batuan atau di dekat dinding tubir. Fenomena ini mungkin berkaitan dengan menurunnya cahaya di perairan dan atau sebagai antisipasi menghadapi kondisi perairan yang tidak menguntungkan akibat pengadukan oleh gelombang yang terjadi pada hampir setiap menjelang sore dan malam hari. Diamati bahwa pada setiap terjadi pengadukan perairan akibat gelombang, perairan menjadi keruh dan jumlah ikan di pelataran litoral segera menurun sehingga aktivitas perkawinan menurun. Dalam kejadian seperti ini ikanikan tampak pergi ke tempat yang lebih terlindung dan perairan yang jernih di dekat bibir tubir. Pengelolaan dan Konservasi Pemanfaatan lahan sekitar Danau Matano dalam 10 tahun terakhir ini berlansung intensif. Secara nyata dapat dilihat dari terus terjadinya perubahan lahan di sekitar danau seperti; pembangunan permukiman kota yang dirancang berada dekat

95 68 dengan tepian danau, misalnya permukiman yang dibangun di bagian timur Desa Old Camp, pembanguanan konstruksi jalan lingkar danau yang menyebabkan hilangnya hutan yang menjadi pelindung perairan danau dari erosi, pembukaan lahan-lahan perkebunan di daerah tangkapan air dan daerah aliran sungai, dan perluasan lahan tambang yang mendekati perairan danau. Penggunaan lahan yang tidak terkendali di sekeliling danau dapat menyebabkan meningkatnya muatan nutrien ke dalam danau, terjadinya akumulasi sedimen, perubahan suhu air, dan meningkatnya pencemaran. Akibat dari aktivitas penggunaan lahan ini akan berdampak pada biota perairan. Misalnya studi yang dilakukan oleh Roth et al. (1996) yang mempelajari sungai-sungai di Michigan Amerika Serikat menemukan bahwa kualitas habitat dan populasi ikan menurun dengan meningkatnya penggunaan lahan untuk pertanian di bagian hulu. Walaupun hasil penelitian ini belum dapat menyimpulkan terjadinya perubahan habitat yang signifikan tetapi indikasi kualitatif seperti terjadinya penutupan daerah litoral oleh lumpur yang semakin meluas dan kejernihan perairan yang rendah di dekat kawasan permukiman memberikan indikasi adanya penurunan kualitas habitat. Pengelolaan dan konservasi ikan T. antoniae di Danau Matano harus mempertimbangkan potensi dari keunikan warna dan tingkah laku dari ikan ini, selain itu perlu memerhatikan keadaan habitat pemijahan, seperti substrat dasar perairan, kondisi temporal hidrologi, dan periode reproduksi. Sifat dan tingkah laku ikan ini yang memanfaatkan daerah litoral sebagai daerah pemijahan menjadi rawan jika daerah litoral mendapat tekanan antropogenik, seperti kerusakan hutan, pemanfaatan lahan untuk permukiman, pertambangan dan perkebunan yang kegiatannya relatif dekat dengan danau. Aktivitas antropogenik seperti ini dapat menyebabkan hilangnya habitat pemijahan di daerah litoral danau. Selain itu kondisi temporal hidrologis (tinggi muka air yang tidak alami) akan mengganggu siklus hidup T. antoniae dan ikan endemik lain yang memanfaatkan daerah litoral sebagai daerah pemijahan, misalnya penurunan muka air yang cepat akibat pengaturan muka air akan mengakibatkan keringnya daerah pemijahan sehingga telur-telur yang diletakkan pada substrat akan mati.

96 69 Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa ikan T. antoniae umumnya memijah di habitat litoral pada kedalaman 0,5 3,0 m di perairan yang jenih, pada substrat pasir, kerikil dan batuan besar, dan tidak pada substrat berlumpur. Berdasarkan penelitian ini diduga jika daerah litoral mendapatkan tekanan dari aktivitas antropogenik seperti yang disebutkan di atas maka ikan T. antoniae akan kehilangan habitat pemijahannya. Secara spasial hasil tangkapan ikan di stasiun penelitian Otuno yang tinggi dibandingkan dengan stasiun lainnya diduga berkaitan dengan kedaaan lokasi yang berbentuk teluk dan adanya vegetasi Pandanus sp. yang lebat. Vegetasi ini memiliki struktur perakaran yang membentuk ruang perlindungan di dalam perairan, baik perlindungan bagi ikan maupun perlindungan habitat dari material yang berasal dari daratan. Sistem perakaran Pandanus sp. berfungsi sebagai penyaring yang baik dan dedaunannya menjadi naungan yang melindungi anak-anak ikan. Peran vegetasi Pandanus sp. diduga menjadi penyebab stasiun ini memiliki kejernihan air yang tinggi dibandingkan dengan stasiun lainnya. Sebagai ikan yang dikenal memiliki keindahan warna dan tingkah laku pemijahan yang atraktif dan mudah dinikmati keindahannya dari permukaan perairan maupun dari bawah air (snorkling) ikan ini memiliki potensi untuk dikelola menjadi maskot objek wisata alam (ekowisata) guna mendukung fungsi kawasan konservasi taman wisata alam Danau Matano. Oleh karena itu strategi konservasi yang harus dibangun adalah dengan mengefektifkan status danau sebagai kawasan konservasi taman wisata alam sehingga pemanfaatan lahan-lahan sekitar danau yang berpotensi merusak ekosistem danau dapat dikurangi. Selain itu keunikan dari biota endemik yang ada di perairan Danau Matano dapat dimanfaatkan sebagai objek wisata yang memiliki muatan ilmiah dan sekaligus objek konservasi yang berbasis partisipatif masyarakat. Keunikan yang dapat dijadikan objek wisata alam dan memiliki muatan ilmiah, misalnya pada ikan T. antoniae di litoral sering mempertontonkan keindahan warna dan gerakan tarian alamnya saat memijah, ada juga perkelahian jantan yang seru memperlihatkan gerakan berputar dua ikan jantan yang saling menyerang yang

97 70 gerakannya sangat indah. Mereka berputar secara vertikal dari dasar perairan sampai kepermukaan. Tarian alam dari dalam perairan Danau Matano ini dapat disaksikan dari permukaan air dan atau melalui aktivitas pengamatan bawah air di daerah litoral. Konservasi secara in situ untuk ikan T. antoniae harus terintegrasi dengan konservasi habitat sekitar danau dan spesies lain yang menghuni danau. Karena tidak mungkin menerapkan konservasi secara parsial dengan hanya memfokuskan pada satu spesies saja di danau yang memiliki endemisitas tinggi. Di alam spesies-spesies endemik tersebut berinteraksi satu sama lain dan juga dengan lingkungannya. Konservasi secara ex situ perlu di upayakan yaitu dengan pembudidayaan ikan ini untuk kepentingan konservasi dan pemanfaatan sebagai ikan hias. Dalam kerangka pengelolaan dan konservasi ikan endemik di Danau Matano melalui peran partisipatif masyarakat, langkah awal yang perlu dilakukan adalah meningkatkan pengetahuan masyarakat mengenai keragaman biota endemik yang menghuni perairan Danau Matano, keunikan-keunikan yang dapat dikelola dan dimanfaatkan untuk kesejahteraan, dan fungsi habitat bagi kelestarian ikan endemik. dengan memahami hal ini diharapkan masyarakat dapat terlibat secara aktif dalam pengelolaan dan konservasi ikan di sekitar danau tersebut.

98 71 KESIMPULAN DAN SARAN Berdasarkan pembahasan hasil-hasil yang ditemukan dalam penelitian ini dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut: 1. Habitat utama ikan opudi T. antoniae di Danau Matano berada di daerah litoral yang memiliki karakter perairan jernih, berpasir sampai dengan berbatu, dasar perairan bervegetasi jarang dan pelataran litoral yang relatif dangkal. 2. Ikan opudi T. antoniae menjadikan daerah litoral sebagai habitat pemijahan. 3. Ikan opudi T. antoniae adalah ikan pemijah bertahap, yang periode pemijahannya berlangsung sepanjang tahun dengan puncak pemijahan diperkirakan terjadi pada akhir musim hujan. 4. Pola pertumbuhan ikan jantan dan ikan betina allometrik. Sementara itu bentuk persamaan pertumbuhan von Bertallanffy: ikan jantan Lt = 87,64(1-e -0,36(t-0,11) ) dan ikan betina Lt = 85,43(1-e -0,54(t-0,08) ). Berdasarkan hasil penelitian dan pengalaman selama berada di lokasi penelitian maka disarankan untuk dilakukan pengelolaan dan konservasi ikan opudi T. antoniae di Danau Matano melalui pendekatan: 1. Menjadikan ikan T. antoniae sebagai obyek wisata alam bawah air yang terintegrasi dengan aktivitas kawasan konservasi taman wisata alam (TWA) Danau Matano. 2. Melakukan konservasi secara in situ melalui pemeliharaan habitat T. antoniae seperti: menjaga kejernihan air, memelihara vegetasi alami hutan di daratan pinggiran danau serta vegetasi alami tepian danau yang berupa pohon tambeua (Mirtacea sp.), dan pandan air (Pandanus sp.), serta mengurangi masuknya limbah rumah tangga serta bahan pencemar lainnya masuk ke perairan danau. 3. Konservasi secara ex-situ melalui upaya pembudidayaan T. antoniae dan ikan endemik lainnya untuk dijadikan ikan hias akuarium yang memiliki nilai ekonomi.

99 72

100 73 DAFTAR PUSTAKA Aarn WI & Kottelat M Phylogenetic analysis of Telmatherinidae (Teleostei: Atherinomorpha), with description of Marosatherina, a new genus from Sulawesi. Ichthyol. Explor. Freshw. 9: Adams, S.M., Brown, A.M., Goede & R.W A quantitative health assessment index for rapid evaluation of fish condition in the field: Transact. Am. Fish. Soc. 122: Andriani A Bioekologi, morfologi kariotip dan reproduksi ikan hias rainbow Sulawesi (Telmatherina ladigesi). Tesis. Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. 98 hlm. Bagenal T & Tesch FW Age and growth. Method for assessment of fish production in freshwaters third edition. IBP Handbook No. 3. In: Bagenal T, editor. Oxford: Blackwell Science Publications. hlm Berg, L. and T.G. Northcote Changes in territorial, gill-flaring, and feeding behavior in juvenile coho salmon (Oncorhynchus kisutch) following short-term pulses of suspended sediment. Can. J. Fish. Aquat. Scie. 42: Bolger T & Connolly PL The selection indices for the measurement and analysis of fish condition. J. Fish Biol. 17(3): Coops H, Beklioglu M & Crisman TL The role of water-level fluctuations in shallow lake ecosystems workshop conclusions. Hydrobiol. 506: Effendie I Metoda biologi perikanan. Bogor: Yayasan Dewi Sri. Cetakan I. 112 p. Effendie I Biologi perikanan. Yogyakarta: Yayasan Pustaka Nusatama. 163 p. Fassett NC A manual of aquatic plants. Madison: The University of Wisconsin Press. 405 p. Gayanilo FC Jr & Pauly D FAO-ICLARM stock assessment tools (FiSAT): reference manual FAO computerized information series (Fisheries). No. 8. Rome: FAO. 262 p. Goodbred SL, Gilliom RJ, Gross TS, Denslow NP, Bryant WL & Schoeb TR Reconnaissance of 17ß-estradiol, 11- ketotestosterone, vitellogenin, and gonad histopathology in common carp of United States streams: potential for contaminant- induced endocrine disruption. Sacramento (CA): U. S. Geological Survey Open-File Report nr p.

101 74 Gray SM, Dill LM, Tantu FY & McKinnon JS The maintenance of male colour polymorphism in the Telmatherinids of the Malili Lakes: implication for conservatian. Proceedings International Symposium: The Ecology and Limnology of the Malili Lakes. In: Hehanussa PE, Haryani GS & Ridwansyah I, editor. Bogor, Maret Bogor: LIPI-PT INCO Tbk. hlm Gray SM, Dill LM, Tantu FY, Loew ER, Herder F & McKinnon JS. 2008a. Environment-contingent sexual selection in a colour polymorphic fish. Proc. R. Soc. B. 275: Gray SM, McKinnon JS, Tantu FY & Dill LM. 2008b. Sneaky egg-eating in Telmatherina sarasinorum, an endemic fish from Sulawesi. J. Fish Biol. 73: Gray SM & McKinnon JS A comparative description of mating behaviour in the endemic Telmatherinid fishes of Sulawesi s Malili Lakes. Environ. Biol. Fishes 75: Grenouillet G, Pont D & Seip KL Abundance and species richnes as a function of food resources and vegetation structure: juvenile fish assemblages in river. Ecography 25: Hadiaty RK & Wirjoatmodjo S Studi pendahuluan biodiversitas dan distribusi ikan di Danau Matano, Sulawesi Selatan. J. Iktiol. Ind. 2(2): Haffner GD, Hehanussa PE & Hartoto D The biology and physical processes of large lake of Indonesia: Lakes Matano and Towuti. The Great Lakes of the World (GLOW): food-web, health and integrity. In: Munawar M & Hecky RE, editor. Leiden: Backhuys. Hlm Haffner GD, Sabo L, Bramburger A, Hamilton P & Hehanussa P Limnology and sediment dynamics in the Malili Lakes: what regulates biological production. Proceedings International Symposium: The Ecology and Limnology of the Malili Lakes. In: Hehanussa PE, Haryani GS & Ridwansyah I, editor. Bogor, Maret Bogor: LIPI-PT INCO Tbk. hlm 5. Hall SR & Mills EL Exotic species in large lakes of the world. Aquat. Ecosyst. Health Manag. 3: Heath D, Haffner D, Roy D & Walter R Adaptive radiation and population genetics of the Telmatherinidae in Lake Matano. Proceedings International Symposium: The Ecology and Limnology of the Malili Lakes. In: Hehanussa PE, Haryani GS & Ridwansyah I, editor. Bogor, Maret Bogor: LIPI-PT INCO Tbk. hlm

102 75 Herder F, Nolte AW, Pfaender J, Schwarzer JJ, Hadiaty RK & Schliewen UK. 2006a. Adaptive radiation and hybridization in Wallace s Dreamponds: evidence from sailfin silversides in the Malili Lakes of Sulawesi. Proc. R. Soc. London B 273: Herder F, Hadiaty RK & Schliewen UK. 2006b. Diversity and evolution of Telmatherinidae in the Malili Lakes system in Sulawesi. Proceedings International Symposium: The Ecology and Limnology of the Malili Lakes. In: Hehanussa PE, Haryani GS & Ridwansyah I, editor. Bogor, Maret Bogor: LIPI-PT INCO Tbk. hlm Herder F, Schwarzer J, Pfaender J, Hadiaty RK & Schliewen UK Preliminary checklist of sailfin silversides (Teleostei: Telmatherinidae) in the Malili Lakes of Sulawesi (Indonesia), with a synopsis of systematics and threats. Verhandlungen der Gesellschaft für Ichthyologie Band 5: Hofmann H, Lorke A & Peeters F Temporal scales of water-level fluctuations in lakes and their ecological implications. Hydrobiol. 613: Kottelat M Sailfin silversides (Pisces: Telmatherinidae) of Lakes Towuti, Mahalona and Wawontoa (Sulawesi, Indonesia) with descriptions of two new species. Ichthyol. Explor. Freshw. 1(3): Kottelat M Sailfin silversides (Pisces: Telmatherinidae) of Lake Matano, Sulawesi, Indonesia, with descriptions of six new species. Ichthyol. Explor. Freshw. 1(4): Le Cren ED The lenght-weight relationship and seasonal cycle in gonad weight and condition in the perch (Perca fluviatilis). J. Anim. Ecol. 20(2): Leyse KE, Lawler SP & Strange T Effect of an alien fish Gambusia affinis on an endemic California fairy shrimp, Linderiella occidentalis: implications for conservation of diversity in fishless waters. Biol. Conserv. 118: Lizama M de los AP & Ambrósio AM Condition factor in nine species of fish of the Characidae family in the upper Paraná river floodplain, Brazil. Braz. J. Biol. 62(1): Manangkalangi E Makanan, pertumbuhan dan reproduksi ikan pelangi Arfak (Melanotaenia arfakensis Allen) di Sungai Nimbai dan Sungai Aimasi, Manokwari. Tesis. Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. 105 hlm.

103 76 McKinnon JS, Soeroto B, Dill L & Tantu FY An initial survey of ecological and evolutionary aspects of the Telmatherinid radiations in Sulawesi s Matano/Towuti Lake System. Report submitted to LIPI and PT.INCO. 21 p. Mills EJ, Leach JH, Carlton JT & Secor CL Exotic species in the Great Lakes: a history of biotic crises and anthropogenic introductions. J. Great Lakes Res. 19: Moyle PB & Leidy RA Loss of biodiversity in aquatic ecosystem: evidence from fish faunas. Conservation Biology: the theory and practice of nature conservation, preservation and management. In: Fiedler PL & Jain SK, editors. New York: Chapman & Hall. 507 p. Munira, Sulistiono & Zairion Hubungan panjang-bobot dan pertumbuhan ikan beronang Siganus canaliculatus (Park, 1797) di padang lamun Selat Lonthoir, Kepulauan Banda, Maluku. J. Iktiol. Ind. 10(2): Munro JJ Aspects of the biology and ecology of Caribbean reef fishes: Mullidae (giat-fishes). J. Fish Biol. 9: Myers N, Mittermeier RA, Mittermeier CG, Fonseca AB & Kent J Hotspots for biodiversity and conservation. Nature 403: Nagahama Y The functional morphology of teleost gonads. Fish physiology, Volume IX, Part A. In: Hoar WS, Randall DJ & Donaldson EM, editors. Orlando (FL): Academic Press. hlm Nasution SH Distribusi dan perkembangan gonad ikan endemik rainbow selebensis (Telmatherina celebensis Boulenger) di Danau Towuti, Sulawesi Selatan. Tesis. Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. 88 hlm. Nasution SH Ekobiologi, dinamika stok, dan pengelolaan ikan endemik bontibonti (Paraterina striata Aurich) di Danau Towuti, Sulawesi Selatan. Disertasi. Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. 152 hlm. Nikolsky GV The ecology of fishes. Jerussalem: The Israel program for scientific translation, Ltd. 538 p. Nilawati J & Tantu FY Tingkah laku reproduksi dan struktur ukuran Telmatherina antoniae di Danau Matano, Sulawesi Selatan. In: Prosiding Seminar Nasional Tahunan IV Hasil Penelitian Perikanan dan Kelautan Tahun In: Isnansetyo A., editor. Yogyakarta, 28 Juli Fakultas Perikanan dan Kelautan UGM. BL-5: 1-6.

104 77 Ogutu-Ohwayo R The decline in the native fishes of Lakes Victoria and Kyoga (East Africa) and the impact of the introduced species, especially the Nile Perch Lates niloticus, and Nile Tilapia Oreochromis niloticus. Environ. Biol. Fishes 27: Olowo JP, Chapman LJ, Chapman CA & Ogutu-Ohwayo R The distribution and feeding ecology of the Characid Brycinus sadleri in Lake Nabugabo, Uganda: implications for persistence with Nile perch (Lates niloticus). Afr. J. Aquat. Scie. 29(1): Pancho JV & Soerdjani M Aquatic weeds of Southeast Asia: a systematic account of common Southeast Asia aquatic weeds. Los Banos: University of Philippines. 130 p. Piet GJ Ecomorphology of a size-structured tropical freshwater fish community. Env. Biol. Fishes 51: Primack RB A primer of conservation biology. Second edition. Massachussetts USA: Sinauer Associates, Inc. 538 p. Reid WV & Miller KR Keeping options alive: the scientific basis for conserving biodiversity. Washington DC: World Resources Institute. 128 p. Ricciardi A Facilitative interactions among aquatic invaders: is an invasional meltdown occurring in the Great Lakes? Can. J. Fish. Aquat. Scie. 58: Richter BD, Braun DP, Mendelson MA & Master LL Threats to imperiled freshwater fauna. Conserv. Biol. 11: Ricker WE Computation and interpretation of biological statistics of fish populations. Fish. Res. Board Can. Bull. No pp. Rodriguez JN, Oteme ZJ & Hem S Comparative study of vitellogenesis of two African catfish species Chrysichthys nigrodigitatus (Claroteidae) and Heterobraanchus longifilis (Clariidae). Aquat. Living Resour. 8: Ross ST Resource partitioning in fish assemblages: a review of field studies. Copeia: Roth NE, Allan JD & Erickson DL Landscape influences on stream biotic integrity assessed at multiple spatial scale. Landsc. Ecol. 11(3):

105 78 Schmitt CJ & Dethloff GM Biomonitoring of environmental status and trends (BEST) program: selected methods for monitoring chemical contaminants and their effects in aquatic ecosystems. U.S. Geological Survey, Biological Resources Division, Columbia, (MO): Information and Technology Report USGS/BRD pp. Siby LS Biologi reproduksi ikan pelangi merah (Glossolepis incisus Weber, 1907) di Danau Sentani. Tesis. Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. 55 hlm. Soeroto B, Tantu FY, Nilawati J, Sambali H, Reptandi J, Bataragoa E, Tilaar F, Samadan G & Wantasen A The biodiversity and the management strategy of endemic fish species in Lake Towuti, South Sulawesi Indonesia. The Asean Regional Center for Biodiversity Conservation and European Commission. 26 p. Soeroto B Ikan-ikan endemik di Pulau Sulawesi dan pengelolaannya. Pidato pengukuhan guru besar madya bidang manajemen sumberdaya perairan pada Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Universitas Sam Ratulangi Manado Tanggal 21 Agustus Tidak dipublikasikan. 26 hlm. Sparre P & Venema SC Introduction to tropical fish stock assessment, part I. FAO Fisheries Technical Paper 306/1. Rome: FAO. 376 p. Steel RGD & Torrie JH Prinsip dan prosedur statistika: suatu pendekatan biometrik (Terjemahan: Sumantri B). Jakarta: Gramedia Utama. 748 hlm. Sulistiono, Arwani M & Aziz KA. 2001a. Pertumbuhan ikan belanak (Mugil dussumieri) di perairan Ujung Pangkah, Jawa Timur. J. Iktiol. Ind. 1(2): Sulistiono, Mia RJ, Yunizar E. 2001b. Reproduksi ikan belanak (Mugil dussumieri) Di Perairan Ujung Pangkah, Jawa Timur. J, Iktiol. Ind. 1(2): Sulistiono, Tri HK, Eti R & Seiichi W. 2001c. Kematangan gonad beberapa jenis ikan buntal (Tetraodon lunaris, T. fluviatilis, T. reticularis) di perairan Ujung Pangkah, Jawa Timur. J. Iktiol. Ind. 1(2): Sumassetiyadi MA Beberapa aspek reproduksi ikan opudi (Telmatherina antoniae) di Danau Matano, Sulawesi Selatan. (Skripsi tidak dipublikasikan). Program Studi Manajemen Sumberdaya Perairan. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Institut Pertanian Bogor. 55 hlm.

106 79 Tantu FY & Nilawati J. 2007a. Keanekaragaman ikan dan kondisi habitat di Danau Matano, Sulawesi Selatan. Prosiding Seminar Nasional Tahunan IV Hasil Penelitian Perikanan dan Kelautan Tahun In: Isnansetyo A. Yogyakarta, 28 Juli Fakultas Perikanan dan Kelautan UGM. MS-8: 1-8. Tantu FY & Nilawati J. 2007b. The exotic fish and fisheries in Lake Matano South Sulawesi. J. Agrokult. 3(7): Tantu FY & Nilawati J Preliminary studi on morphology and reproductive behaviour of Telmatherina whitelips (a new record) in Lake Matano, Sulawesi. J. Agrikult. Bogor 3(4): Treasurer JW & Holliday FGT Some aspects of the reproductive biology of perch Perca flaviatilis L.: a histological description of the reproductive cycle. J. Fish Biol. 18: Usmanova RM Aral Sea and sustainable development. Water Sci. Technol. 47: Vazzoler AEAM Reproduction biology of teleostean fishes: theory and practice. Maringa, EDUEM, Braz. Soc. Ichthyol. 169 p. Villacorta-Correa MA & Saint-Paul U Structural indexes and sexual maturity of tambaqui Colossoma masropomum (Cuvier, 1818) (Characiformes: Characidae) in central Amazon, Brazil. Rev. Brasil. Biol. 59(4): Vono V & Barbosa FAR Habitats and littoral zone fish community structure of two natural lakes in southeast Brazil. Environ. Biol. Fishes 61: WCMC Telmatherina antoniae. In 2006 IUCN Red List of threatened species. ( diakses pada 19 Februari Welcomme RL International transfers of inland fish species. Distribution, Biology and Management of Exotic Fishes. In: Courtenay Jr. WR & Stauffer Jr. JR). Baltimore: Johns Hopkins Press. hlm Welcomme RL International measures for the control of introductions of aquatic organisms. Fisheries 11: 4 9. Welcomme RL International introductions of inland aquatic species. FAO Fish. Tech. Papers 294: Whitten T, Henderson GS & Mustafa M The Ecology of Sulawesi. The ecology of Indonesia series Volume IV, Singapore: Periplus. 754 p.

107 80 Widhiasari R Kandungan unsur hara N dan P serta struktur komunitas fitoplankton di perairan litoral Danau Matano, Sulawesi Selatan. (Skripsi tidak dipublikasikan). Program Studi Manajemen Sumberdaya Perairan. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Institut Pertanian Bogor. 94 hlm. Wijeyaratne MJS & Perera WMDSK Trophic interrelationships among the exotic and indigenous fish co-occuring in some reservoirs in Sri Lanka. Asian Fish. Scie. 14:

108 L A M P I R A N 81

109 82

110 83 Lampiran 1 Teknik pembuatan preparat histologis gonad 1. Gonad diambil dari rongga tubuh ikan, kemudian difiksasi dalam larutan Bouin (asam pikrat jenuh, formaldehid, asam asetat) selama jam dalam botol sampel. Selanjutnya gonad dipindahkan ke dalam botol berisi alkohol 70% selama beberapa hari. 2. Gonad diberi perlakuan jaringan (dehidrasi, clearing, impregnasi, embedding dan blocking). Tujuan perlakuan ini adalah agar jaringan dapat dipotong setebal 5-7µm. Dehidrasi jaringan secara bertahap dalam alkohol (80%, 90%, 95%, 95% masing-masing selama 2 jam, dan 100% selama semalam). Clearing jaringan dilakukan dengan memindahkannya ke alkohol 100% baru selama 1 jam, lalu dipindahkan kedalam alkohol-xylol (½ jam), xylol I (½ jam), xylol II (½ jam), dan xylol III (½ jam). Impregnasi jaringan dilakukan dengan mengganti xylol dengan parafin:parafin (¾ jam dalam oven C). Embedding jaringan dalam parafin I ((¾ jam), parafin II ((¾ jam), dan parafin III (¾ jam). Blocking jaringan dilakukan dengan cara jaringan dikeluarkan dari parafin III, lalu jaringan dicetak dalam cetakan. Setelah blok menjadi dingin keesokan harinya dikeluarkan dari cetakan. 3. Jaringan dipotong dengan mikrotom (5-6 µm) lalu diapungkan dalam air suam kuku agar jaringan dalam parafin teregang. Kemudian jaringan diangkat dari air dengan kaca preparat yang bersih dan diletakkan di atas hot plate (suhu 40 0 C) supaya agak kering. 4. Jaringan dihidrasi dengan xylol I, xylol II, alkohol 100% I, alkohol 100% II, alkohol 95%, alkohol 90%, alkohol 80%, alkohol 70% dan alkohol 50% (masingmasing selama 3 menit), kemudian dicuci dua kali. Jaringan diwarnai dengan haematoxylin (7 menit), dicuci dengan air (3 detik), eosin (3 detik), dan dicuci dengan air. Setelah dicuci, kembali dilakukan dehidrasi, dan dapat direkatkan

111 84 dengan gelas tutup dan zat perekat dengan cara dimasukkan ke dalam alkohol 50%, alkohol 70%, alkohol 85%, alkohol 90%, alkohol 100% I, alkohol 100% II, xylol I, dan xylol II (masing-masing selama 2 menit). Selanjutnya ditetesi dengan balsam Canada dan langsung ditutup dengan gelas tutup. Ini dibiarkan selama semalam agar kering, dan jaringan siap diamati dengan mikroskop. Jaringan di foto menggunakan kamera digital yang terintegrasi dengan mikroskop.

112 Lampiran 2 Ragam habitat pemijahan T. antoniae di Danau Matano 85

113 86 86 Lampiran 3 Karakteristik habitat T. antoniae dan komunitas ikan di sembilan stasiun sampling di Danau Matano Stasiun Zona hulu Lebar dan kedalaman Substrat dasar Tumbuhan akuatik Ikan-ikan endemik Ikan-ikan bukan asli 1.Sungai Lawa 2.Paku ± 30 m dan 0,50 3,00 m ± 40 m dan 0,50 5,00 m Berbatu, kerikil dengan sedikit pasir Kerikil dan pasir Tidak ada tumbuhan akuatik Ceratophylum sp. di daerah dangkal sepanjang pinggiran danau T. sarasinorum, T. bonti T. opudi, O. matanensis G. matanensis D. weberi. T. sarasinorum, O. matanensis, G. matanensis, D. weberi. C. striata, O.niloticus, O. mossambicus, A. testudineus, C. striata, O. niloticus, O. mossambicus, A. testudineus, M. albus, 3.Pulau Wotu Pali ± 20 m dan 0,75 5,00 m Berbatu Tidak ada tumbuhan akuatik T. sarasinorum, O. matanensis, G. matanensis, D. weberi. C. striata, O. mossambicus, A. testudineus,

114 87 Lampiran 3 (lanjutan) Zona tengah 4.Bubble Beach 5.Pantai Salonsa ± 20 m dan 0,30 6,00 m ± 40 m dan 0,40 4,00 m Berkerikil hingga pasir halus Berbatu, kerikil hingga pasir Ceratophylum sp. di pinggiran danau, Ottelia sp. menyebar ke arah tengah Ottelia sp. menyebar ke arah tengah danau T. sarasinorum, T. albolabiosus, T. opudi, T. prognatha, O. matanensis, G. matanensis, D.weberi. T. sarasinorum, T. albolabiosus, T. opudi, T. prognatha, O. matanensis, G. matanensis, D. weberi. C. striata, O. niloticus, O. mossambicus, A. testudineus, A. trimaculatus. C. striata, O. niloticus, O. mossambicus, A. trimaculatus. 6.Tanah Merah ± 20 m dan 1,00 4,00 m Berlumpur hingga berpasir Tidak ada tumbuhan akuatik T. sarasinorum, T. albolabiosus, T. opudi, T. prognatha, O. matanensis, G. matanensis, D. weberi. C. striata, O. niloticus, O. mossambicus, A. trimaculatus. 87

115 88 88 Lampiran 3 (lanjutan) Zona hilir 7.Otuno 8.Sungai Petea 9.Sungai Soluro ± 40 m dan 0,40 3,00 m ± 20 m dan 0,40 4,00 m ± 30 m dan 0,50 3,00 m Tanah keras dengan sedikit pasir Lumpur dengan sedikit pasir Berkerikil Rumput dan Pandanus sp. Tidak ada tumbuhan akuatik Tidak ada tumbuhan akuatik T. sarasinorum, T. albolabiosus, T. abendanoni, T. opudi, T. obscura T. prognatha, O. matanensis, G. matanensis, M. adeia M. latifrons D. weberi. T. sarasinorum, T. wahjui G. matanensis, M. adeia T. sarasinorum, G. matanensis, C. striata, O. niloticus, O. mossambicus, A. testudineus, M. albus, C. striata, C. carpio O. niloticus, O. mossambicus, A. testudineus, A. trimaculatus C. striata, C. carpio O. niloticus, O. mossambicus, A. testudineus, A. trimaculatu

116 89 Lampiran 4 Rata-rata curah hujan harian dan fluktuasi tinggi muka air Danau Matano selama periode September 2010 Agustus 2011 Rata-rata curah Tinggi muka air danau Bulan hujan harian (*) (mm) (m dpl) Sep 10 7,08 319,52 Okt 10 10,06 319,50 Nov 10 10,96 319,55 Des 10 4,83 319,20 Jan 11 4,76 319,08 Feb 11 9,75 319,00 Mar 11 13,66 319,21 Apr 11 13,22 319,50 Mei 11 9,27 319,52 Jun 11 4,45 319,50 Jul 11 6,16 319,33 Agu 11 3,34 319,08 Catatan : (*) Data diolah dari curah hujan yang dipantau pada empat stasiun curah hujan PT. INCO yang terdapat di Desa Matano, Nuha, Sorowako, dan Petea

117 90 Lampiran 5 Nilai rata-rata parameter kualitas fisik kimiawi perairan dan jumlah ikan menurut stasiun penelitian. Stasiun penelitian Suhu ( C) Oksigen (mg.l -1 ) ph TSS (mg.l -1 ) TDS (mg.l -1 ) Transparansi (m) Ikan (ekor) S. Lawa 28,22 6,40 8,50 0,95 105,75 19,08 20,50 Paku 28,83 6,17 8,52 1,09 114,00 19,33 27,92 P. Wotu Pali 28,97 6,09 8,56 0,95 105,00 19,00 23,08 Bubble beach 29,09 5,82 8,54 0,99 100,33 19,75 31,67 Pantai Salonsa 29,31 5,85 8,56 1,60 111,17 20,00 26,17 Tanah Merah 29,38 6,21 8,56 0,85 117,25 16,58 22,08 Otuno 29,12 6,46 8,51 1,21 114,83 20,08 36,50 S. Petea 29,83 6,15 8,46 1,26 113,08 15,67 17,50 S. Soluro 29,38 6,51 8,50 1,07 126,00 16,92 20,17

118 91 Lampiran 6 Nilai panjang baku (PB) rata-rata T. antoniae jantan dan betina pada lokasi berbeda di Danau Matano Lokasi Jantan Betina Sungai Lawa ,915 Paku ,225 Pulau Wotu Pali ,625 N Rata-rata N Rata-rata a a b ,118 acd ,292 ac ,211 ade Bubble Beach ,630 ac ,254 Pantai Salonsa ,383 ac ,117 Tanah Merah ,182 a ,141 Otuno ,182 d ,524 de Sungai Petea ,887 ae 99 43,384 Sungai Soluro ,707 a ac ,761 ae Catatan: Huruf yang sama di belakang nilai rata-rata menunjukkan tidak ada perbedaan nyata antar lokasi. b c e

119 92 Lampiran 7 Nilai rata-rata panjang baku (PB) ikan T. antoniae jantan dan betina di Danau Matano Bulan Jantan Betina N Rata-rata N Rata-rata Sep ,159 ab 97 44,857 a Okt ,942 ab 99 46,750 a Nov ,771 ab ,207 a Des ,533 a 96 45,982 a Jan ,969 ab ,215 a Feb ,267 ab ,337 a Mar ,655 ab ,491 a Apr ,488 ab ,354 a Mei ,886 a ,590 a Jun ,460 b 99 45,672 a Jul ,009 ab ,338 a Agu ,598 ab ,113 a Catatan: Huruf berbeda di belakang nilai rata-rata menunjukkan berbeda nyata pada selang kepercayaan 95%.

120 93 Lampiran 8 Model hubungan panjang-berat dan pola pertumbuhan T.antoniae jantan dan betina Stasiun Jenis kelamin Jumlah sampel (N) Model hubungan (W = a. L b ) Koefisien korelasi (r) Pola pertumbuhan Sungai Lawa 135 W = 0, L 3,328 0,969 Allometrik 111 W = 0,00002 L 2,922 0,956 Isometrik Paku 172 W = 0, L 3,237 0,969 Allometrik 163 W = 0,00002 L 2,981 0,951 Isometrik Pulau Wotu Pali 144 W = 0,00001 L 3,117 0,951 Isometrik 133 W = 0,00004 L 2,767 0,959 Allometrik Bubble Beach 204 W = 0, L 3,251 0,983 Allometrik 176 W = 0,00002 L 3,037 0,941 Isometrik Salonsa 167 W = 0, L 3,335 0,983 Allometrik 147 W = 0,00002 L 2,998 0,973 Isometrik Tanah Merah 134 W = 0, L 3,257 0,954 Allometrik 131 W = 0,00005 L 2,713 0,970 Allometrik Otuno 244 W = 0, L 3,168 0,989 Allometrik 194 W = 0,00004 L 2,778 0,947 Allometrik Sungai Petea 111 W = 0,00004 L 2,783 0,946 Allometrik 99 W = 0,00002 L 2,932 0,952 Isometrik Sungai Soluro 126 W = 0,00001 L 3,107 0,982 Allometrik 116 W = 0,0003 L 2,909 0,970 Isometrik Ket.: = jantan dan = betina

121 94 Lampiran 9 Sebaran frekuensi panjang baku T. antoniae jantan yang dikoleksi mulai bulan September 2010 Agustus 2011 di Danau Matano

122 Lampiran 10 Sebaran frekuensi panjang baku T. antoniae betina yang dikoleksi mulai bulan September 2010 Agustus 2011 di Danau Matano 95

METODE PENELITIAN Tempat dan Waktu Penelitian Metode dan Desain Penelitian

METODE PENELITIAN Tempat dan Waktu Penelitian Metode dan Desain Penelitian 13 METODE PENELITIAN Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian dilakukan di Danau Matano, Sulawesi Selatan. Sampling dilakukan setiap bulan selama satu tahun yaitu mulai bulan September 2010 sampai dengan

Lebih terperinci

3 SEBARAN SPASIAL-TEMPORAL IKAN T. sarasinorum DI DANAU MATANO

3 SEBARAN SPASIAL-TEMPORAL IKAN T. sarasinorum DI DANAU MATANO 35 3 SEBARAN SPASIAL-TEMPORAL IKAN T. sarasinorum DI DANAU MATANO Pendahuluan Sebaran ikan T. sarasinorum di Danau Matano pertama kali dilaporkan oleh Kottelat (1991). Hingga saat ini diketahui terdapat

Lebih terperinci

2 HABITAT PEMIJAHAN IKAN T. sarasinorum DI DANAU MATANO

2 HABITAT PEMIJAHAN IKAN T. sarasinorum DI DANAU MATANO 11 2 HABITAT PEMIJAHAN IKAN T. sarasinorum DI DANAU MATANO Pendahuluan Penelitian mengenai habitat pemijahan ikan air tawar endemik Sulawesi yang dikaitkan dengan preferensi arena pemijahan belum pernah

Lebih terperinci

Deskripsi lokasi penelitian. Myrtaceae. Myrtaceae. Pohon sagu, kerikil 30%, tumbuhan rawa. batu besar 40%. Nephentes

Deskripsi lokasi penelitian. Myrtaceae. Myrtaceae. Pohon sagu, kerikil 30%, tumbuhan rawa. batu besar 40%. Nephentes LAMPIRAN 107 108 109 Lampiran 1 Deskripsi lokasi penelitian Lokasi penelitian Kedalaman Tutupan substrat dasar Zona 1 1. Sungai Lawa 0,30 6,00 m pasir 30%, - kerikil 20%, batu bulat 50%. 2. Desa Matano

Lebih terperinci

3 METODE PENELITIAN. Waktu dan Lokasi Penelitian

3 METODE PENELITIAN. Waktu dan Lokasi Penelitian 3 METODE PENELITIAN Waktu dan Lokasi Penelitian Penelitian dilaksanakan selama empat bulan dari Oktober 2011 hingga Januari 2012 di Waduk Ir. H. Djuanda, Jatiluhur, Purwakarta, Jawa Barat (Gambar 3). Pengambilan

Lebih terperinci

BIOLOGI REPRODUKSI IKAN PELANGI MERAH (Glossolepis incisus Weber, 1907) DI DANAU SENTANI LISA SOFIA SIBY

BIOLOGI REPRODUKSI IKAN PELANGI MERAH (Glossolepis incisus Weber, 1907) DI DANAU SENTANI LISA SOFIA SIBY BIOLOGI REPRODUKSI IKAN PELANGI MERAH (Glossolepis incisus Weber, 1907) DI DANAU SENTANI LISA SOFIA SIBY SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2009 2 PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Waduk merupakan salah satu bentuk perairan menggenang yang dibuat

I. PENDAHULUAN. Waduk merupakan salah satu bentuk perairan menggenang yang dibuat I. PENDAHULUAN Waduk merupakan salah satu bentuk perairan menggenang yang dibuat dengan cara membendung aliran sungai sehingga aliran air sungai menjadi terhalang (Thohir, 1985). Wibowo (2004) menyatakan

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 17 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Keadaan Umum Perairan Teluk Jakarta Pesisir Teluk Jakarta terletak di Pantai Utara Jakarta dibatasi oleh garis bujur 106⁰33 00 BT hingga 107⁰03 00 BT dan garis lintang 5⁰48

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. permukaan dan mengalir secara terus menerus pada arah tertentu. Air sungai. (Sosrodarsono et al., 1994 ; Dhahiyat, 2013).

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. permukaan dan mengalir secara terus menerus pada arah tertentu. Air sungai. (Sosrodarsono et al., 1994 ; Dhahiyat, 2013). 5 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Perairan Sungai Sungai adalah suatu perairan yang airnya berasal dari air hujan, air permukaan dan mengalir secara terus menerus pada arah tertentu. Air sungai dingin dan

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Distribusi Cumi-Cumi Sirip Besar 4.1.1. Distribusi spasial Distribusi spasial cumi-cumi sirip besar di perairan Karang Congkak, Karang Lebar, dan Semak Daun yang tertangkap

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Keadaan Umum Perairan Teluk Jakarta Perairan Teluk Jakarta merupakan sebuah teluk di perairan Laut Jawa yang terletak di sebelah utara provinsi DKI Jakarta, Indonesia. Terletak

Lebih terperinci

BIOLOGI REPRODUKSI IKAN JUARO (Pangasius polyuranodon) DI DAERAH ALIRAN SUNGAI MUSI, SUMATERA SELATAN ABDUL MA SUF

BIOLOGI REPRODUKSI IKAN JUARO (Pangasius polyuranodon) DI DAERAH ALIRAN SUNGAI MUSI, SUMATERA SELATAN ABDUL MA SUF BIOLOGI REPRODUKSI IKAN JUARO (Pangasius polyuranodon) DI DAERAH ALIRAN SUNGAI MUSI, SUMATERA SELATAN ABDUL MA SUF DEPARTEMEN MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN INSTITUT

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. disebut arus dan merupakan ciri khas ekosistem sungai (Odum, 1996). dua cara yang berbeda dasar pembagiannya, yaitu :

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. disebut arus dan merupakan ciri khas ekosistem sungai (Odum, 1996). dua cara yang berbeda dasar pembagiannya, yaitu : 5 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Perairan Sungai Sungai adalah suatu perairan yang airnya berasal dari mata air, air hujan, air permukaan dan mengalir secara terus menerus pada arah tertentu. Aliran air

Lebih terperinci

oaj STUDI PERTUMBUHAN DAN BEBERAPA ASPEK REPRODUKSI

oaj STUDI PERTUMBUHAN DAN BEBERAPA ASPEK REPRODUKSI &[MfP $00 4 oaj STUDI PERTUMBUHAN DAN BEBERAPA ASPEK REPRODUKSI RAJUNGAN (Portiinirspelngicus) DI PERAIRAN MAYANGAN, KABWATEN SUBANG, JAWA BARAT Oleh: DEDY TRI HERMANTO C02499072 SKRIPSI Sebagai Salah

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Ekosistem mangrove merupakan ekosistem pesisir yang terdapat di sepanjang pantai tropis dan sub tropis atau muara sungai. Ekosistem ini didominasi oleh berbagai jenis

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Pulau Pramuka I II III

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Pulau Pramuka I II III BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Parameter Fisika dan Kimiawi Perairan Berdasarkan hasil penelitian di perairan Kepulauan Seribu yaitu Pulau Pramuka dan Pulau Semak Daun, diperoleh nilai-nilai parameter

Lebih terperinci

bio.unsoed.ac.id TELAAH PUSTAKA A. Morfologi dan Klasifikasi Ikan Brek

bio.unsoed.ac.id TELAAH PUSTAKA A. Morfologi dan Klasifikasi Ikan Brek II. TELAAH PUSTAKA A. Morfologi dan Klasifikasi Ikan Brek Puntius Orphoides C.V adalah ikan yang termasuk anggota Familia Cyprinidae, disebut juga dengan ikan mata merah. Ikan brek mempunyai garis rusuk

Lebih terperinci

STUDI PENYEBARAN MAKROZOOBENTHOS BERDASARKAN KARAKTERISTIK SUBSTRAT DASAR PERAIRAN DI TELUK JAKARTA WAHYUNINGSIH

STUDI PENYEBARAN MAKROZOOBENTHOS BERDASARKAN KARAKTERISTIK SUBSTRAT DASAR PERAIRAN DI TELUK JAKARTA WAHYUNINGSIH STUDI PENYEBARAN MAKROZOOBENTHOS BERDASARKAN KARAKTERISTIK SUBSTRAT DASAR PERAIRAN DI TELUK JAKARTA WAHYUNINGSIH DEPARTEMEN MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN INSTITUT PERTANIAN

Lebih terperinci

3. METODE PENELITIAN

3. METODE PENELITIAN 16 3. METODE PENELITIAN 3.1. Rancangan Penelitian Pola reproduksi ikan swanggi (Priacanthus tayenus) pada penelitian ini adalah tinjauan mengenai sebagian aspek reproduksi yaitu pendugaan ukuran pertama

Lebih terperinci

STUDI BIOLOGI REPRODUKSI IKAN LAYUR (Superfamili Trichiuroidea) DI PERAIRAN PALABUHANRATU, KABUPATEN SUKABUMI, JAWA BARAT DEVI VIANIKA SRI AMBARWATI

STUDI BIOLOGI REPRODUKSI IKAN LAYUR (Superfamili Trichiuroidea) DI PERAIRAN PALABUHANRATU, KABUPATEN SUKABUMI, JAWA BARAT DEVI VIANIKA SRI AMBARWATI STUDI BIOLOGI REPRODUKSI IKAN LAYUR (Superfamili Trichiuroidea) DI PERAIRAN PALABUHANRATU, KABUPATEN SUKABUMI, JAWA BARAT DEVI VIANIKA SRI AMBARWATI SKRIPSI DEPARTEMEN MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN FAKULTAS

Lebih terperinci

PENENTUAN TINGKAT KESEHATAN SUNGAI BERDASARKAN STRUKTUR KOMUNITAS MAKROAVERTEBRATA DI SUNGAI CIHIDEUNG, KABUPATEN BOGOR

PENENTUAN TINGKAT KESEHATAN SUNGAI BERDASARKAN STRUKTUR KOMUNITAS MAKROAVERTEBRATA DI SUNGAI CIHIDEUNG, KABUPATEN BOGOR PENENTUAN TINGKAT KESEHATAN SUNGAI BERDASARKAN STRUKTUR KOMUNITAS MAKROAVERTEBRATA DI SUNGAI CIHIDEUNG, KABUPATEN BOGOR RIRIN ANDRIANI SILFIANA C24104086 SKRIPSI DEPARTEMEN MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 22 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Hasil 4.1.1. Kondisi perairan Teluk Jakarta Teluk Jakarta, terletak di sebelah utara kota Jakarta, dengan luas teluk 285 km 2, dengan garis pantai sepanjang 33 km, dan rata-rata

Lebih terperinci

STRUKTUR KOMUNITAS MEIOBENTHOS YANG DIKAITKAN DENGAN TINGKAT PENCEMARAN SUNGAI JERAMBAH DAN SUNGAI BUDING, KEPULAUAN BANGKA BELITUNG

STRUKTUR KOMUNITAS MEIOBENTHOS YANG DIKAITKAN DENGAN TINGKAT PENCEMARAN SUNGAI JERAMBAH DAN SUNGAI BUDING, KEPULAUAN BANGKA BELITUNG STRUKTUR KOMUNITAS MEIOBENTHOS YANG DIKAITKAN DENGAN TINGKAT PENCEMARAN SUNGAI JERAMBAH DAN SUNGAI BUDING, KEPULAUAN BANGKA BELITUNG KARTIKA NUGRAH PRAKITRI SKRIPSI DEPARTEMEN MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Klasifikasi dan Struktur Morfologis Klasifikasi

TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Klasifikasi dan Struktur Morfologis Klasifikasi 3 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Klasifikasi dan Struktur Morfologis 2.1.1. Klasifikasi Menurut klasifikasi Bleeker, sistematika ikan selanget (Gambar 1) adalah sebagai berikut (www.aseanbiodiversity.org) :

Lebih terperinci

2. TINJAUAN PUSTAKA Rajungan (Portunus pelagicus)

2. TINJAUAN PUSTAKA Rajungan (Portunus pelagicus) 4 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Rajungan (Portunus pelagicus) Menurut www.zipcodezoo.com klasifikasi dari rajungan adalah sebagai berikut: Kingdom : Animalia Filum : Arthropoda Kelas : Malacostrata Ordo : Decapoda

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 22 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Kelompok Umur Pertumbuhan populasi tiram dapat dilihat berdasarkan sebaran kelompok umur. Analisis sebaran kelompok umur dilakukan dengan menggunakan FISAT II metode NORMSEP.

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Air merupakan zat yang paling penting dalam kehidupan setelah udara. Oleh

TINJAUAN PUSTAKA. Air merupakan zat yang paling penting dalam kehidupan setelah udara. Oleh TINJAUAN PUSTAKA Ekosistem Sungai Air merupakan zat yang paling penting dalam kehidupan setelah udara. Oleh karena itu, sumber air sangat dibutuhkan untuk dapat menyediakan air yang baik dari segi kuantitas

Lebih terperinci

SEBARAN DAN ASOSIASI PERIFITON PADA EKOSISTEM PADANG LAMUN (Enhalus acoroides) DI PERAIRAN PULAU TIDUNG BESAR, KEPULAUAN SERIBU, JAKARTA UTARA

SEBARAN DAN ASOSIASI PERIFITON PADA EKOSISTEM PADANG LAMUN (Enhalus acoroides) DI PERAIRAN PULAU TIDUNG BESAR, KEPULAUAN SERIBU, JAKARTA UTARA SEBARAN DAN ASOSIASI PERIFITON PADA EKOSISTEM PADANG LAMUN (Enhalus acoroides) DI PERAIRAN PULAU TIDUNG BESAR, KEPULAUAN SERIBU, JAKARTA UTARA Oleh: Yuri Hertanto C64101046 PROGRAM STUDI ILMU DAN TEKNOLOGI

Lebih terperinci

JOURNAL OF MANAGEMENT OF AQUATIC RESOURCES. Volume 2, Nomor 2, Tahun 2013, Halaman Online di :

JOURNAL OF MANAGEMENT OF AQUATIC RESOURCES. Volume 2, Nomor 2, Tahun 2013, Halaman Online di : JOURNAL OF MANAGEMENT OF AQUATIC RESOURCES. Volume 2, Nomor 2, Tahun 2013, Halaman 73-80 Online di : http://ejournal-s1.undip.ac.id/index.php/maquares ASPEK REPRODUKSI IKAN NILA (Oreochromis niloticus)

Lebih terperinci

PARAMETER POPULASI DAN ASPEK REPRODUKSI IKAN KUNIRAN (Upeneus sulphureus) DI PERAIRAN REMBANG, JAWA TENGAH

PARAMETER POPULASI DAN ASPEK REPRODUKSI IKAN KUNIRAN (Upeneus sulphureus) DI PERAIRAN REMBANG, JAWA TENGAH PARAMETER POPULASI DAN ASPEK REPRODUKSI IKAN KUNIRAN (Upeneus sulphureus) DI PERAIRAN REMBANG, JAWA TENGAH 1,2) Urip Rahmani 1, Imam Hanafi 2, Suwarso 3 Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Universitas

Lebih terperinci

3. METODE PENELITIAN

3. METODE PENELITIAN 9 3. METODE PENELITIAN 3.1. Waktu dan Lokasi Penelitian Ikan contoh diambil dari TPI Kali Baru mulai dari bulan Agustus 2010 sampai dengan bulan November 2010 yang merupakan hasil tangkapan nelayan di

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 17 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Hasil 4.1.1. Kondisi umum perairan selat sunda Selat Sunda merupakan selat yang membujur dari arah Timur Laut menuju Barat Daya di ujung Barat Pulau Jawa atau Ujung Selatan

Lebih terperinci

DAMPAK KEGIATAN PERTAMBANGAN BATUBARA PT. TAMBANG BATUBARA BUKIT ASAM (PT

DAMPAK KEGIATAN PERTAMBANGAN BATUBARA PT. TAMBANG BATUBARA BUKIT ASAM (PT DAMPAK KEGIATAN PERTAMBANGAN BATUBARA PT. TAMBANG BATUBARA BUKIT ASAM (PT.BA) (PERSERO) TBK - UNIT PRODUKSI OMBILIN (UPO) DAN TAMBANG BATUBARA TANPA IZIN (PETI) TERHADAP KUALITAS AIR SUNGAI OMBILIN SAWAHLUNTO

Lebih terperinci

3. METODE PENELITIAN

3. METODE PENELITIAN 3. METODE PENELITIAN 3.1. Waktu dan Lokasi Penelitian Penelitian dilakasanakan mulai awal bulan Maret sampai bulan Mei, dengan interval pengambilan data setiap dua minggu. Penelitian berupa pengumpulan

Lebih terperinci

Beberapa contoh air, plankton, makrozoobentos, substrat, tanaman air dan ikan yang perlu dianalisis dibawa ke laboratorium untuk dianalisis Dari

Beberapa contoh air, plankton, makrozoobentos, substrat, tanaman air dan ikan yang perlu dianalisis dibawa ke laboratorium untuk dianalisis Dari RINGKASAN SUWARNI. 94233. HUBUNGAN KELOMPOK UKURAN PANJANG IKAN BELOSOH (Glossogobircs giuris) DENGAN KARASTERISTIK HABITAT DI DANAU TEMPE, KABUPATEN WAJO, SULAWESI SELATAN. Di bawah bimbingan Dr. Ir.

Lebih terperinci

IKAN HARUAN DI PERAIRAN RAWA KALIMANTAN SELATAN. Untung Bijaksana C / AIR

IKAN HARUAN DI PERAIRAN RAWA KALIMANTAN SELATAN. Untung Bijaksana C / AIR @ 2004 Untung Bijaksana Makalah Pengantar Falsafah Sains (PPS 702) Sekolah Pasca Sarjana / S3 Institut Pertanian Bogor September 2004 Dosen : Prof. Dr. Ir. Rudy C Tarumingkeng IKAN HARUAN DI PERAIRAN KALIMANTAN

Lebih terperinci

METODE PENELITIAN. Penelitian dilaksanakan selama 4 bulan dimulai dari bulan Oktober 2013

METODE PENELITIAN. Penelitian dilaksanakan selama 4 bulan dimulai dari bulan Oktober 2013 18 III. METODE PENELITIAN 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian dilaksanakan selama 4 bulan dimulai dari bulan Oktober 2013 hingga Januari 2014 agar dapat mengetahui pola pemijahan. Pengambilan sampel dilakukan

Lebih terperinci

FITOPLANKTON : DISTRIBUSI HORIZONTAL DAN HUBUNGANNYA DENGAN PARAMETER FISIKA KIMIA DI PERAIRAN DONGGALA SULAWESI TENGAH

FITOPLANKTON : DISTRIBUSI HORIZONTAL DAN HUBUNGANNYA DENGAN PARAMETER FISIKA KIMIA DI PERAIRAN DONGGALA SULAWESI TENGAH FITOPLANKTON : DISTRIBUSI HORIZONTAL DAN HUBUNGANNYA DENGAN PARAMETER FISIKA KIMIA DI PERAIRAN DONGGALA SULAWESI TENGAH Oleh : Helmy Hakim C64102077 PROGRAM STUDI ILMU DAN TEKNOLOGI KELAUTAN FAKULTAS PERIKANAN

Lebih terperinci

3. METODE PENELITIAN

3. METODE PENELITIAN 15 3. METODE PENELITIAN 3.1. Waktu dan Lokasi Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di TPI Cilincing, Jakarta Utara. Pengambilan data primer berupa pengukuran panjang dan bobot ikan contoh yang ditangkap

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 17 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Hasil 4.1.1. Organ reproduksi Jenis kelamin ikan ditentukan berdasarkan pengamatan terhadap gonad ikan dan selanjutnya ditentukan tingkat kematangan gonad pada tiap-tiap

Lebih terperinci

3 METODE PENELITIAN. Gambar 4 Peta lokasi penelitian.

3 METODE PENELITIAN. Gambar 4 Peta lokasi penelitian. 14 3 METODE PENELITIAN 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian ini dilakukan di PPI Labuan, Provinsi Banten. Ikan contoh yang diperoleh dari PPI Labuan merupakan hasil tangkapan nelayan disekitar perairan Selat

Lebih terperinci

HUBUNGAN PANJANG BOBOT DAN REPRODUKSI IKAN KEMBUNG LELAKI

HUBUNGAN PANJANG BOBOT DAN REPRODUKSI IKAN KEMBUNG LELAKI 1 HUBUNGAN PANJANG BOBOT DAN REPRODUKSI IKAN KEMBUNG LELAKI (Rastrelliger kanagurta) DI PERAIRAN SELAT MALAKA TANJUNG BERINGIN SERDANG BEDAGAI SUMATERA UTARA SKRIPSI OLEH : JULIA SYAHRIANI HASIBUAN 110302065

Lebih terperinci

KEPADATAN POPULASI IKAN JURUNG (Tor sp.) DI SUNGAI BAHOROK KABUPATEN LANGKAT

KEPADATAN POPULASI IKAN JURUNG (Tor sp.) DI SUNGAI BAHOROK KABUPATEN LANGKAT KEPADATAN POPULASI IKAN JURUNG (Tor sp.) DI SUNGAI BAHOROK KABUPATEN LANGKAT Hesti Wahyuningsih Abstract A study on the population density of fish of Jurung (Tor sp.) at Bahorok River in Langkat, North

Lebih terperinci

DISTRIBUSI DAN PREFERENSI HABITAT SPONS KELAS DEMOSPONGIAE DI KEPULAUAN SERIBU PROVINSI DKI JAKARTA KARJO KARDONO HANDOJO

DISTRIBUSI DAN PREFERENSI HABITAT SPONS KELAS DEMOSPONGIAE DI KEPULAUAN SERIBU PROVINSI DKI JAKARTA KARJO KARDONO HANDOJO DISTRIBUSI DAN PREFERENSI HABITAT SPONS KELAS DEMOSPONGIAE DI KEPULAUAN SERIBU PROVINSI DKI JAKARTA KARJO KARDONO HANDOJO SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2006 PERNYATAAN MENGENAI TESIS

Lebih terperinci

III. METODOLOGI. Bawang, Provinsi Lampung selama 6 bulan dimulai dari bulan April 2013 hingga

III. METODOLOGI. Bawang, Provinsi Lampung selama 6 bulan dimulai dari bulan April 2013 hingga III. METODOLOGI A. Waktu dan Tempat Penelitian ini dilakukan di perairan Way Tulang Bawang, Kabupaten Tulang Bawang, Provinsi Lampung selama 6 bulan dimulai dari bulan April 2013 hingga September 2013.

Lebih terperinci

3.3. Pr 3.3. P os r ed e u d r u r Pe P n e e n l e iltiitan

3.3. Pr 3.3. P os r ed e u d r u r Pe P n e e n l e iltiitan 12 digital dengan sensifitas 0,0001 gram digunakan untuk menimbang bobot total dan berat gonad ikan, kantong plastik digunakan untuk membungkus ikan yang telah ditangkap dan dimasukan kedalam cool box,

Lebih terperinci

STRUKTUR KOMUNITAS FITOPLANKTON SERTA KETERKAITANNYA DENGAN KUALITAS PERAIRAN DI LINGKUNGAN TAMBAK UDANG INTENSIF FERIDIAN ELFINURFAJRI SKRIPSI

STRUKTUR KOMUNITAS FITOPLANKTON SERTA KETERKAITANNYA DENGAN KUALITAS PERAIRAN DI LINGKUNGAN TAMBAK UDANG INTENSIF FERIDIAN ELFINURFAJRI SKRIPSI 2 STRUKTUR KOMUNITAS FITOPLANKTON SERTA KETERKAITANNYA DENGAN KUALITAS PERAIRAN DI LINGKUNGAN TAMBAK UDANG INTENSIF FERIDIAN ELFINURFAJRI SKRIPSI DEPARTEMEN MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN FAKULTAS PERIKANAN

Lebih terperinci

KARAKTERISTIK FISIKA-KIMIA PERAIRAN DAN STRUKTUR KOMUNITAS MOLUSKA (BIVALVIA DAN GASTROPODA) DI PANTAI CERMIN SUMATERA UTARA SKRIPSI

KARAKTERISTIK FISIKA-KIMIA PERAIRAN DAN STRUKTUR KOMUNITAS MOLUSKA (BIVALVIA DAN GASTROPODA) DI PANTAI CERMIN SUMATERA UTARA SKRIPSI KARAKTERISTIK FISIKA-KIMIA PERAIRAN DAN STRUKTUR KOMUNITAS MOLUSKA (BIVALVIA DAN GASTROPODA) DI PANTAI CERMIN SUMATERA UTARA SKRIPSI RAISSHA AMANDA SIREGAR 090302049 PROGRAM STUDI MANAJEMEN SUMBERDAYA

Lebih terperinci

PERAN MODEL ARSITEKTUR RAUH DAN NOZERAN TERHADAP PARAMETER KONSERVASI TANAH DAN AIR DI HUTAN PAGERWOJO, TULUNGAGUNG NURHIDAYAH

PERAN MODEL ARSITEKTUR RAUH DAN NOZERAN TERHADAP PARAMETER KONSERVASI TANAH DAN AIR DI HUTAN PAGERWOJO, TULUNGAGUNG NURHIDAYAH PERAN MODEL ARSITEKTUR RAUH DAN NOZERAN TERHADAP PARAMETER KONSERVASI TANAH DAN AIR DI HUTAN PAGERWOJO, TULUNGAGUNG NURHIDAYAH SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2009 PERNYATAAN MENGENAI

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang 1 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Ekosistem terumbu karang merupakan bagian dari ekosistem laut yang penting karena menjadi sumber kehidupan bagi beraneka ragam biota laut. Di dalam ekosistem terumbu

Lebih terperinci

IKAN DUI DUI (Dermogenys megarrhamphus) IKAN ENDEMIK DI DANAU TOWUTI SULAWESI SELATAN

IKAN DUI DUI (Dermogenys megarrhamphus) IKAN ENDEMIK DI DANAU TOWUTI SULAWESI SELATAN Ikan Dui Dui... di Danau Towuti Sulawesi Selatan (Makmur, S., et al.) IKAN DUI DUI (Dermogenys megarrhamphus) IKAN ENDEMIK DI DANAU TOWUTI SULAWESI SELATAN Safran Makmur 1), Husnah 1), dan Samuel 1) 1)

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. disebabkan karena lingkungan air tawar memiliki beberapa kondisi, antara lain:

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. disebabkan karena lingkungan air tawar memiliki beberapa kondisi, antara lain: 18 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Perairan Sungai Indonesia adalah negara kepulauan dengan kawasan maritim yang sangat luas sehingga Indonesia memiliki kekayaan perikanan yang sangat kaya.pengetahuan lingkungan

Lebih terperinci

TUGAS: RINGKASAN EKSEKUTIF Nama: Yuniar Ardianti

TUGAS: RINGKASAN EKSEKUTIF Nama: Yuniar Ardianti TUGAS: RINGKASAN EKSEKUTIF Nama: Yuniar Ardianti Sebuah lagu berjudul Nenek moyangku seorang pelaut membuat saya teringat akan kekayaan laut Indonesia. Tapi beberapa waktu lalu, beberapa nelayan Kepulauan

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN

III. METODE PENELITIAN III. METODE PENELITIAN 3.1 Waktu dan Lokasi Penelitian Penelitian dilakukan pada bulan Juni 2006, Agustus 2006 Januari 2007 dan Juli 2007 di Daerah Aliran Sungai (DAS) Musi dengan sumber air berasal dari

Lebih terperinci

METODE. Waktu dan Tempat Penelitian

METODE. Waktu dan Tempat Penelitian 17 METODE Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian dilaksanakan di Suaka Margasatwa Muara Angke, Penjaringan Jakarta Utara, pada bulan Februari 2012 sampai April 2012. Stasiun pengambilan contoh ikan merupakan

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN UMUM 1.1. Latar belakang

1. PENDAHULUAN UMUM 1.1. Latar belakang 1. PENDAHULUAN UMUM 1.1. Latar belakang Estuari merupakan daerah pantai semi tertutup yang penting bagi kehidupan ikan. Berbagai fungsinya bagi kehidupan ikan seperti sebagai daerah pemijahan, daerah pengasuhan,

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 30 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Hasil 4.1.1. Kondisi perairan Teluk Jakarta Teluk Jakarta terletak di utara kota Jakarta dengan luas teluk 285 km 2, dengan garis pantai sepanjang 33 km, dan rata-rata kedalaman

Lebih terperinci

Gambar 2. Peta Lokasi Penelitian

Gambar 2. Peta Lokasi Penelitian III. METODOLOGI 3.1. Lokasi dan Waktu Penelitian ini dilaksanakan di Perairan Karang Congkak, Karang Lebar, dan Semak Daun Kepulauan Seribu (Gambar 2). Lokasi pengambilan contoh dilakukan di perairan yang

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN. Penelitian dilakukan pada bulan April sampai dengan Desember 2013 di Sungai

III. METODE PENELITIAN. Penelitian dilakukan pada bulan April sampai dengan Desember 2013 di Sungai III. METODE PENELITIAN 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian dilakukan pada bulan April sampai dengan Desember 2013 di Sungai Tulang Bawang. Pengambilan sampel dilakukan satu kali dalam satu bulan, dan dilakukan

Lebih terperinci

KAJIAN SUMBERDAYA EKOSISTEM MANGROVE UNTUK PENGELOLAAN EKOWISATA DI ESTUARI PERANCAK, JEMBRANA, BALI MURI MUHAERIN

KAJIAN SUMBERDAYA EKOSISTEM MANGROVE UNTUK PENGELOLAAN EKOWISATA DI ESTUARI PERANCAK, JEMBRANA, BALI MURI MUHAERIN KAJIAN SUMBERDAYA EKOSISTEM MANGROVE UNTUK PENGELOLAAN EKOWISATA DI ESTUARI PERANCAK, JEMBRANA, BALI MURI MUHAERIN DEPARTEMEN MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN INSTITUT

Lebih terperinci

3. METODE PENELITIAN

3. METODE PENELITIAN 3. METODE PENELITIAN 3.1. Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian dilaksanakan di PPI Muara Angke, Jakarta Utara dari bulan Januaribulan Maret 2010. Analisis aspek reproduksi dilakukan di Fakultas Perikanan

Lebih terperinci

3 METODE PENELITIAN. Gambar 2. Peta Lokasi Penelitian

3 METODE PENELITIAN. Gambar 2. Peta Lokasi Penelitian 3 METODE PENELITIAN 3.1 Waktu dan Lokasi Penelitian Penelitian ini dilakukan selama enam bulan dari bulan Mei - Oktober 2011. Pengambilan ikan contoh dilakukan di perairan mangrove pantai Mayangan, Kabupaten

Lebih terperinci

ANALISIS HASIL TANGKAPAN SUMBERDAYA IKAN EKOR KUNING (Caesio cuning) YANG DIDARATKAN DI PPI PULAU PRAMUKA, KEPULAUAN SERIBU

ANALISIS HASIL TANGKAPAN SUMBERDAYA IKAN EKOR KUNING (Caesio cuning) YANG DIDARATKAN DI PPI PULAU PRAMUKA, KEPULAUAN SERIBU i ANALISIS HASIL TANGKAPAN SUMBERDAYA IKAN EKOR KUNING (Caesio cuning) YANG DIDARATKAN DI PPI PULAU PRAMUKA, KEPULAUAN SERIBU DESI HARMIYATI SKRIPSI DEPARTEMEN MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN FAKULTAS PERIKANAN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Sungai Tabir merupakan sungai yang berada di Kecamatan Tabir Kabupaten

BAB I PENDAHULUAN. Sungai Tabir merupakan sungai yang berada di Kecamatan Tabir Kabupaten BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Sungai Tabir merupakan sungai yang berada di Kecamatan Tabir Kabupaten Merangin Provinsi Jambi. Sungai yang berhulu di Danau Kerinci dan bermuara di Sungai Batanghari

Lebih terperinci

STRUKTUR KOMUNITAS MAKROZOOBENTOS DI PERAIRAN ESTUARIA SUNGAI BRANTAS (SUNGAI PORONG DAN WONOKROMO), JAWA TIMUR FAJLUR ADI RAHMAN SKRIPSI

STRUKTUR KOMUNITAS MAKROZOOBENTOS DI PERAIRAN ESTUARIA SUNGAI BRANTAS (SUNGAI PORONG DAN WONOKROMO), JAWA TIMUR FAJLUR ADI RAHMAN SKRIPSI STRUKTUR KOMUNITAS MAKROZOOBENTOS DI PERAIRAN ESTUARIA SUNGAI BRANTAS (SUNGAI PORONG DAN WONOKROMO), JAWA TIMUR FAJLUR ADI RAHMAN SKRIPSI DEPARTEMEN MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN FAKULTAS PERIKANAN DAN

Lebih terperinci

ANALISIS TUTUPAN LAHAN TERHADAP KUALITAS AIR SITU BURUNG, DESA CIKARAWANG, KABUPATEN BOGOR

ANALISIS TUTUPAN LAHAN TERHADAP KUALITAS AIR SITU BURUNG, DESA CIKARAWANG, KABUPATEN BOGOR ANALISIS TUTUPAN LAHAN TERHADAP KUALITAS AIR SITU BURUNG, DESA CIKARAWANG, KABUPATEN BOGOR R Rodlyan Ghufrona, Deviyanti, dan Syampadzi Nurroh Fakultas Kehutanan - Institut Pertanian Bogor ABSTRAK Situ

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kepulauan Seribu merupakan kabupaten administratif yang terletak di sebelah utara Provinsi DKI Jakarta, memiliki luas daratan mencapai 897,71 Ha dan luas perairan mencapai

Lebih terperinci

3. METODE PENELITIAN

3. METODE PENELITIAN 13 3. METODE PENELITIAN 3.1. Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian dilakukan di perairan Cirebon yang merupakan wilayah penangkapan kerang darah. Lokasi pengambilan contoh dilakukan pada dua lokasi yang

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kepulauan Wakatobi merupakan salah satu ekosistem pulau-pulau kecil di Indonesia, yang terdiri atas 48 pulau, 3 gosong, dan 5 atol. Terletak antara 5 o 12 Lintang Selatan

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Tempat dan Waktu Penelitian BAB III METODE PENELITIAN Penelitian ini dilaksanakan di Perairan Pulau Panggang Kepulauan Seribu DKI Jakarta pada bulan Maret 2013. Identifikasi makrozoobentos dan pengukuran

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pulau Semak Daun merupakan salah satu pulau yang berada di Kelurahan Pulau Panggang, Kecamatan Kepulauan Seribu Utara. Pulau ini memiliki daratan seluas 0,5 ha yang dikelilingi

Lebih terperinci

Spesies yang diperoleh pada saat penelitian

Spesies yang diperoleh pada saat penelitian PEMBAHASAN Spesies yang diperoleh pada saat penelitian Dari hasil identifikasi sampel yang diperoleh pada saat penelitian, ditemukan tiga spesies dari genus Macrobrachium yaitu M. lanchesteri, M. pilimanus

Lebih terperinci

TINGKAT KEMATANGAN GONAD KEPITING BAKAU (Scylla serrata Forskal) DI HUTAN MANGROVE TELUK BUO KECAMATAN BUNGUS TELUK KABUNG KOTA PADANG

TINGKAT KEMATANGAN GONAD KEPITING BAKAU (Scylla serrata Forskal) DI HUTAN MANGROVE TELUK BUO KECAMATAN BUNGUS TELUK KABUNG KOTA PADANG TINGKAT KEMATANGAN GONAD KEPITING BAKAU (Scylla serrata Forskal) DI HUTAN MANGROVE TELUK BUO KECAMATAN BUNGUS TELUK KABUNG KOTA PADANG SS Oleh: Ennike Gusti Rahmi 1), Ramadhan Sumarmin 2), Armein Lusi

Lebih terperinci

KONDISI EKOSISTEM TERUMBU KARANG DI KEPULAUAN TOGEAN SULAWESI TENGAH

KONDISI EKOSISTEM TERUMBU KARANG DI KEPULAUAN TOGEAN SULAWESI TENGAH KONDISI EKOSISTEM TERUMBU KARANG DI KEPULAUAN TOGEAN SULAWESI TENGAH Oleh: Livson C64102004 PROGRAM STUDI ILMU DAN TEKNOLOGI KELAUTAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2008

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. disebut arus dan merupakan ciri khas ekosistem sungai. Secara ekologis sungai

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. disebut arus dan merupakan ciri khas ekosistem sungai. Secara ekologis sungai 4 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Perairan Sungai Sungai merupakan suatu perairan yang airnya berasal dari air tanah dan air hujan, yang mengalir secara terus menerus pada arah tertentu. Aliran tersebut dapat

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 4 BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Ekosistem Danau Toba Di dalam ekosistem terdapat komunitas, populasi dan individu serta karakteristiknya. Interaksi antar populasi dalam suatu ekosistem, relung dan habitat

Lebih terperinci

3. METODE PENELITIAN

3. METODE PENELITIAN 16 3. METODE PENELITIAN 3.1. Waktu dan Lokasi Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di dua lokasi perairan pesisir Banten yaitu perairan PLTU-Labuan Teluk Lada dan Teluk Banten Bojonegara, Provinsi Banten.

Lebih terperinci

3. METODE PENELITIAN

3. METODE PENELITIAN 15 3. METODE PENELITIAN 3.1. Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian dilakukan di Situ Gede. Situ Gede terletak di sekitar Kampus Institut Pertanian Bogor-Darmaga, Kelurahan Situ Gede, Kecamatan Bogor Barat,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah Kehidupan bergantung kepada air dalam berbagai bentuk. Air merupakan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah Kehidupan bergantung kepada air dalam berbagai bentuk. Air merupakan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kehidupan bergantung kepada air dalam berbagai bentuk. Air merupakan zat yang sangat penting bagi kehidupan semua makhluk hidup yang ada di bumi. Hampir 71%

Lebih terperinci

STUDI MORFOLOGI BEBERAPA JENIS IKAN LALAWAK (Barbodes spp) DI SUNGAI CIKANDUNG DAN KOLAM BUDIDAYA KECAMATAN BUAHDUA KABUPATEN SUMEDANG

STUDI MORFOLOGI BEBERAPA JENIS IKAN LALAWAK (Barbodes spp) DI SUNGAI CIKANDUNG DAN KOLAM BUDIDAYA KECAMATAN BUAHDUA KABUPATEN SUMEDANG STUDI MORFOLOGI BEBERAPA JENIS IKAN LALAWAK (Barbodes spp) DI SUNGAI CIKANDUNG DAN KOLAM BUDIDAYA KECAMATAN BUAHDUA KABUPATEN SUMEDANG ANGGA ALAN SURAWIJAYA C02499069 SKRIPSI PROGRAM STUDI MANAJEMEN SUMBERDAYA

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Air sungai merupakan salah satu sumber daya alam yang sangat vital bagi

BAB I PENDAHULUAN. Air sungai merupakan salah satu sumber daya alam yang sangat vital bagi BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Air sungai merupakan salah satu sumber daya alam yang sangat vital bagi pemenuhan kebutuhan hidup manusia sehingga kualitas airnya harus tetap terjaga. Menurut Widianto

Lebih terperinci

PRODUKTIVITAS PRIMER PERIFITON DI SUNGAI NABORSAHAN SUMATERA UTARA

PRODUKTIVITAS PRIMER PERIFITON DI SUNGAI NABORSAHAN SUMATERA UTARA PRODUKTIVITAS PRIMER PERIFITON DI SUNGAI NABORSAHAN SUMATERA UTARA SKRIPSI Oleh: BETZY VICTOR TELAUMBANUA 090302053 PROGRAM STUDI MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Lebih terperinci

PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 121 TAHUN 2012 TENTANG REHABILITASI WILAYAH PESISIR DAN PULAU-PULAU KECIL

PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 121 TAHUN 2012 TENTANG REHABILITASI WILAYAH PESISIR DAN PULAU-PULAU KECIL PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 121 TAHUN 2012 TENTANG REHABILITASI WILAYAH PESISIR DAN PULAU-PULAU KECIL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: bahwa untuk

Lebih terperinci

LIRENTA MASARI BR HALOHO C SKRIPSI

LIRENTA MASARI BR HALOHO C SKRIPSI KEBIASAAN MAKANAN IKAN BETOK (Anabas testudineus) DI DAERAH RAWA BANJIRAN SUNGAI MAHAKAM, KEC. KOTA BANGUN, KAB. KUTAI KERTANEGARA, KALIMANTAN TIMUR LIRENTA MASARI BR HALOHO C24104034 SKRIPSI DEPARTEMEN

Lebih terperinci

BAB III BAHAN DAN METODE

BAB III BAHAN DAN METODE BAB III BAHAN DAN METODE 3.1 Tempat dan Waktu Penelitian penangkapan rajungan dengan menggunakan jaring kejer dilakukan di perairan Gebang Kabupaten Cirebon, Jawa Barat (Lampiran 1 dan Lampiran 2). Penelitian

Lebih terperinci

bio.unsoed.ac.id METODE PENELITIAN A. Spesifikasi Alat dan Bahan

bio.unsoed.ac.id METODE PENELITIAN A. Spesifikasi Alat dan Bahan III. METODE PENELITIAN A. Spesifikasi Alat dan Bahan Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah jaring tancap (gillnet), jala tebar, perahu, termometer, secchi disk, spuit, botol plastik, gelas ukur

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Kabupaten Serdang Bedagai merupakan Kabupaten yang dimekarkan dari Kabupaten induknya yakni Kabupaten Deli Serdang. Kabupaten Serdang Bedagai memiliki iklim

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 5 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Perairan sungai Sungai merupakan salah satu dari habitat perairan tawar. Berdasarkan kondisi lingkungannya atau daerah (zona) pada sungai dapat dibedakan menjadi tiga jenis,

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 20 BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Parameter Oseanografi Pesisir Kalimantan Barat Parameter oseanografi sangat berperan penting dalam kajian distribusi kontaminan yang masuk ke laut karena komponen fisik

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

1. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang 1 1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Wilayah teritorial Indonesia yang sebagian besar merupakan wilayah pesisir dan laut kaya akan sumber daya alam. Sumber daya alam ini berpotensi untuk dimanfaatkan bagi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan salah satu negara di dunia dalam bentuk negara

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan salah satu negara di dunia dalam bentuk negara 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia merupakan salah satu negara di dunia dalam bentuk negara kepulauan yang memiliki sekitar 17.508 pulau dan panjang garis pantai lebih dari 81.000

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Air merupakan unsur penting bagi kehidupan makhluk hidup baik manusia,

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Air merupakan unsur penting bagi kehidupan makhluk hidup baik manusia, BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Air merupakan unsur penting bagi kehidupan makhluk hidup baik manusia, flora, fauna maupun makhluk hidup yang lain. Makhluk hidup memerlukan air tidak hanya sebagai

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. yang menampung, menyimpan dan mengalirkan air menuju ke laut melalui sungai

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. yang menampung, menyimpan dan mengalirkan air menuju ke laut melalui sungai 21 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Daerah Aliran Sungai (DAS) Sungai Serayu merupakan salah satu kawasan atau wilayah daratan yang membentuk satu kesatuan wilayah tata air yang menampung, menyimpan dan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN UMUM

BAB I PENDAHULUAN UMUM 1 BAB I PENDAHULUAN UMUM A. Latar Belakang Mollusca sebagai salah satu hasil perairan Indonesia sampai saat ini belum mendapatkan perhatian yang layak. Pemanfaatan Pelecypoda masih terbatas yaitu di daerah-daerah

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan selama 4 bulan dimulai dari bulan Oktober 2013

III. METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan selama 4 bulan dimulai dari bulan Oktober 2013 III. METODE PENELITIAN 3.1. Waktu dan Tempat Penelitian ini dilaksanakan selama 4 bulan dimulai dari bulan Oktober 2013 hingga Januari 2014. Pengambilan sampel dilakukan di Rawa Bawang Latak, Desa Ujung

Lebih terperinci

STUDI PENGELOLAAN KAWASAN PESISIR UNTUK KEGIATAN WISATA PANTAI (KASUS PANTAI TELENG RIA KABUPATEN PACITAN, JAWA TIMUR)

STUDI PENGELOLAAN KAWASAN PESISIR UNTUK KEGIATAN WISATA PANTAI (KASUS PANTAI TELENG RIA KABUPATEN PACITAN, JAWA TIMUR) STUDI PENGELOLAAN KAWASAN PESISIR UNTUK KEGIATAN WISATA PANTAI (KASUS PANTAI TELENG RIA KABUPATEN PACITAN, JAWA TIMUR) ANI RAHMAWATI Skripsi DEPARTEMEN MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN FAKULTAS PERIKANAN

Lebih terperinci

KAJIAN ASPEK PERTUMBUHAN POPULASI POKEA (Batissa violacea celebensis Martens, 1897) DI SUNGAI POHARA SULAWESI TENGGARA 1

KAJIAN ASPEK PERTUMBUHAN POPULASI POKEA (Batissa violacea celebensis Martens, 1897) DI SUNGAI POHARA SULAWESI TENGGARA 1 KAJIAN ASPEK PERTUMBUHAN POPULASI POKEA (Batissa violacea celebensis Martens, 1897) DI SUNGAI POHARA SULAWESI TENGGARA 1 (The Study of Population Growth of Pokea (Batissa violacea celebensis Martens, 1897)

Lebih terperinci

3. METODE PENELITIAN

3. METODE PENELITIAN 14 3. METODE PENELITIAN 3.1. Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di perairan dangkal Karang Congkak, Kepulauan Seribu, Jakarta. Pengambilan contoh ikan dilakukan terbatas pada daerah

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 33 ayat (2)

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 33 ayat (2) PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 121 TAHUN 2012 TENTANG REHABILITASI WILAYAH PESISIR DAN PULAU-PULAU KECIL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : bahwa untuk

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. (Barus, 1996). Indonesia sebagai negara kepulauan yang terdiri dari pulau

BAB I PENDAHULUAN. (Barus, 1996). Indonesia sebagai negara kepulauan yang terdiri dari pulau BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sistem perairan yang menutupi seperempat bagian dari permukaan bumi dibagi dalam dua kategori utama, yaitu ekosistem air tawar dan ekosistem air laut (Barus, 1996).

Lebih terperinci