BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. dimanfaatkan oleh masyarakat (Damono, 1979:1). Faruk (2010:40) menyatakan

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. dimanfaatkan oleh masyarakat (Damono, 1979:1). Faruk (2010:40) menyatakan"

Transkripsi

1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Karya sastra diciptakan oleh pengarang untuk dinikmati, dipahami, dan dimanfaatkan oleh masyarakat (Damono, 1979:1). Faruk (2010:40) menyatakan bahwa karya sastra merupakan ekspresi jiwa pengarang. Karya sastra berhubungan dengan peristiwa-peristiwa yang terjadi secara nyata atau hanya berupa pikiran atau ide dari pengarang. Atar Semi (1993:8-13) berpendapat bahwa sastra adalah suatu bentuk hasil pekerjaan seni kreatif yang objeknya adalah manusia dan kehidupannya dengan menggunakan bahasa sebagai mediumnya. Karya-karya ini sering menceritakan sebuah kisah, baik dalam orang pertama atau orang ketiga, dengan plot dan melalui penggunaan berbagai perangkat sastra yang terkait dengan waktu mereka (Semi, 1993:8-13). Karya sastra dibagi menjadi dua yang terdiri dari karya satra lisan dan karya sastra tulis. Karya sastra lisan yaitu cerita rakyat, legenda, mite, dan lain-lain; sedangkan karya sastra tulis, misalnya cerkak, cerbung, novel, naskah drama, dan sebagainya. Terdapat sebuah simpul yang sangat erat antara sastra daerah terutama sastra lisan dengan folklor. Hal ini dikarenakan sastra daerah merupakan bagian dari folklor. Menurut Danandjaja (Didipu, 2010:30) folklor adalah sebagian kebudayaan suatu kolektif, yang tersebar dan diwariskan turun-temurun, diantara kolektif macam apa saja, secara tradisional dalam versi yang berbeda, baik dalam bentuk lisan maupun contoh yang disertai dengan gerak isyarat atau alat pembantu pengingat. 1

2 2 Karya sastra dapat mempunyai persepsi berbeda. Persepsi atau perspektif merupakan 1) Cara melukiskan suatu benda pada permukaan yang mendatar sebagaimana yang terlihat oleh mata dengan tiga dimensi (panjang, lebar, dan tinggi); 2) Sudut pandang atau pandangan (Kamus Besar Bahasa Indonesia, 2012). Simpulan dari arti perspektif di atas yaitu suatu pandangan tentang sesuatu hal. Cerita rakyat Kyai Ageng Pengging ini mempunyai sisi lain yang dapat dilihat yaitu adanya hegemoni kekuasaan. Istilah hegemoni berasal dari bahasa Yunani kuno yaitu eugemonia. Sebagaimana yang sudah dikemukakan encylclopedia Britanica dalam prakteknya di Yunani, diterapkan untuk menunjukkan dominasi posisi yang diklaim oleh negara-negara kota (polism atau citystates) secara individual misalnya yang dilakukan oleh negara Athena dan Sparta terhadap negara-negara lain yang sejajar (Hendarto, 1993:73). Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (2012), hegemoni merupakan pengaruh kepemimpinan, dominasi, kekuasaan, dan sebagainya dari suatu negara atas negara lain (negara bagian). Pencetus teori hegemoni bernama Antonio Gramsci, dia lahir pada tahun Gramsci dapat mencetuskan teori ini karena ia terkesan dengan gerakan kaum buruh di kota Turin, suatu minat yang kemudian mendorongnya untuk bergabung dengan Partai Sosialis Italia (PSI) tahun Penjelasan Gramsci tentang hegemoni merupakan suatu kekuasaan atau dominasi atas nilai-nilai kehidupan, norma, maupun kebudayaan sekelompok masyarakat yang akhirnya berubah menjadi doktrin terhadap kelompok masyarakat lainnya dimana kelompok yang didominasi tersebut secara sadar mengikutinya. Kelompok yang didominasi tidak merasa ditindas oleh penguasa.

3 3 Hegemoni ini tak dapat luput dari sebuah kekuasaan, dan kepemimpinan. Kekuasaan sendiri menurut Max Weber (Thoha, 2005) merupakan suatu kemungkinan yang membuat seorang aktor di dalam suatu hubungan sosial berada dalam suatu jabatan untuk melaksanakan keinginannya sendiri dan yang menghilangkan halangan. Kewenangan yang didapatkan oleh seseorang atau kelompok guna menjalankan kewenangan tersebut sesuai dengan kewenangan yang diberikan, kewengangan tidak boleh dijalankan melebihi kewenangan yang diperoleh. Hegemoni kekuasaan ini merupakan dominasi atas nilai-nilai kehidupan, norma, maupun kebudayaan sekelompok masyarakat yang akhirnya berubah menjadi doktrin terhadap kelompok masyarakat lainnya dimana kelompok yang didominasi tersebut secara sadar mengikutinya dengan tidak melebihi kewenangan yang sudah diperoleh oleh suatu kelompok yang mendominasi. Hegemoni kekuasaan ini dapat dikaitkan dengan cerita rakyat seperti pada cerita rakyat Kyai Ageng Pengging di Kecamatan Banyudono, Kabupaten Boyolali, Jawa Tengah. Menurut James Danandjaja (1984:4), cerita rakyat merupakan suatu karya sastra yang lahir dan berkembang dalam masyarakat tradisional dan disebarkan dalam bentuk relatif tetap, atau dalam bentuk baku disebarkan diantara kolektif tertentu dalam waktu yang lama. Salah satu contoh cerita rakyat ini adalah cerita rakyat Kyai Ageng Pengging. Cerita rakyat Kyai Ageng Pengging dapat digolongkan sebagai jenis folklor yang merupakan cerita prosa rakyat atau lebih dikenal cerita rakyat. Folklor merupakan istilah serapan dari bahasa Inggris yaitu folk dan lore. Folk berarti sekelompok orang yang memiliki ciri pengenal fisik, sosial dan kebudayaan; sedangkan lore yaitu sebagian kebudayaan yang

4 4 diwariskan secara lisan atau melalui suatu contoh yang disertai dengan gerak isyarat. Folklor dapat diartikan sebagai suatu kebudayaan yang diwariskan dan disebarluaskan secara turun temurun secara tradisional baik lisan maupun melaui contoh dan perilaku. Cerita rakyat Kyai Ageng Pengging ini sangatlah menarik untuk diteliti karena cerita rakyat ini banyak mengandung nilai-nilai budaya dan nilai magis yang masih kental. Cerita rakyat ini masih eksis dan banyak orang yang mengunjungi makam Kyai Ageng Pengging. Alasan lain yang melatarbelakangi peneliti mengambil objek penelitian ini karena tertarik dengan adat dan tradisi yang dilakukan masyarakat sekitar makam Kyai Ageng Pengging dalam merawat serta melestarikan makam ini dan tetap dijaga kebersihannya pula. Makam Kyai Ageng Pengging ini juga dapat menarik perhatian baik masyarakat sekitar maupun peziarah yang datang dari luar kota untuk sekedar berdoa meminta berkah di tempat itu. Mereka berdoa menurut agama dan kepercayaan mereka masingmasing, tidak ada aturan atau alat-alat khusus yang harus dibawa pada saat berdoa atau berziarah. Beranjak dari beberapa latar belakang tersebut, tiga alasan utama yang menjadi pendorong dilaksanakannya penelitian ini, antara lain: 1. Penelitian ini penting dilakukan untuk mengetahui bentuk dan struktur cerita rakyat Kyai Ageng Pengging di Kecamatan Banyudono, Kabupaten Boyolali, Jawa Tengah. Bagian ini penting untuk diketahui sebagai cara untuk mengetahui cerita rakyat yang baik.

5 5 2. Penelitian ini diupayakan untuk menggali bentuk hegemoni kekuasaan dalam isi cerita rakyat Kyai Ageng Pengging di Kecamatan Banyudono, Kabupaten Boyolali, Jawa Tengah. 3. Penelitian ini didasari adanya persepsi masyarakat terhadap bentuk hegemoni dalam cerita rakyat Kyai Ageng Pengging bagi masyarakat Desa Jembungan, Kecamatan Banyudono, Kabupaten Boyolali, Jawa Tengah. Berdasarkan dari penelitian lain yang sejenis yang terdapat di jurnal antara lain: 1. Skripsi oleh Monica Arti Wijaya dari Fakultas Ilmu Budaya UNS tahun 2015, yang mengkaji tentang cerita rakyat Onggoloco dengan judul Aspek Kultural dan Nilai-nilai Kearifan Lokal dalam Cerita Rakyat Onggoloco di Dusun Duren, Desa Beji, Kecamatan Ngawen, Kabupaten Gunungkidul, Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta (sebuah tinjauan folklor). Hasil penelitian ini adalah, profil masyarakat dusun Duren, Desa Beji, Kecamatan Ngawen, Kabupaten Gunungkidul, sebagai masyarakat pemilik cerita rakyat Onggoloco; bentuk cerita cerita rakyat ini dapat dikategorikan sebagai cerita prosa rakyat dengan golongan Mite; aspek-aspek kultural yang ada di dalam cerita yaitu mengenai peranan Onggoloco di dalam pertanian dan perhutanan, serta kreatifitas masyarakat dusun Duren untuk menciptakan kesenian tradisional untuk mengenang tokoh Onggoloco ini; dan unsur mitos yang tersebar di dalam masyarakat berupa gugon tuhon seperti, apabila merusak hutan Wonosadi maka akan mendapatkan ganjaran seperti mengalami sakit

6 6 yang berkepanjangan, kerasukan, sampai kematian, selain itu upacara sadranan harus dilakukan setiap tahun sekali guna memperingati tokoh Onggoloco sebagai orang yang pernah berpengaruh di desa tersebut, apabila tidak dilakukan sadranan akan mengalami paceklik berkepanjangan; 2. Cerita Rakyat dan Upacara Adat Tradisional Dhugderan di Kota Semarang (Tinjauan Folklor) yang diteliti serta ditulis oleh Betha Ericka Ayu dari Fakultas Sastra dan Seni Rupa UNS pada tahun Kesimpulan dari penelitian ini yaitu asal mula munculnya Cerita rakyat Dhugdheran berawal dari ketika Islam masuk ke tanah Jawa, keramaian rakyat tak dapat lepas dari peran Walisanga yaitu Sunan Kalijaga dalam menyadarkan Ki Ageng Pandanaran II hingga membunyikan bedhug di Semarang; cerita Rakyat Dhugdheran masuk ke dalam golongan folklor sebagian lisan. Upacara Adat Tradisional Dhugdheran dilaksanakan sebagai penentu awal jatuhnya bulan Ramadan; di dalam Cerita Rakyat dan pelaksanaan Upacara Adat Tradisional Dhugdheran terdapat beberapa perlengkapan yang digunakan sebagai perlambang untuk menggambarkan hal-hal yang baik dan hal-hal yang buruk, serta bermakna sebagai pengungkapan rasa syukur karena; nilai guna dari adanya Cerita Rakyat Dhugdheran mampu memberikan hal-hal yang bermanfaat bagi masyarakat, yaitu sebagai sistem proyeksi, alat pengesahan pranata dan lembaga kebudayaan, alat pendidikan anak, serta sebagai alat pemaksa dan pengawas agar norma-norma masyarakat

7 7 akan selalu dipatuhi anggota kolektifnya; dan pelestarian sebuah kebudayaan tradisi Dhugdheran sangat penting untuk dilakukan.; 3. Penelitian selanjutnya yang relevan dengan penelitian yang akan dilaksanakan ialah jurnal yang berjudul Gramsei Good Sense and Critical Folklore Studies yang ditulis oleh Stephen Olbrys Gencarella (2010). Penelitian ini membahas kekosongan ilmiah kontribusi Antonio Gramsci untuk studi cerita rakyat di dunia yang berbahasa Inggris. Menurutnya kritik Gramsci, cerita rakyat telah sering disalahpahami karena belum dibaca bersama-sama dan diberi komentar pada bahasa yang menggunakan akal sehat dan agama, dan juga belum ada konteks diskusi perbedaan diantara cerita rakyat, filasafat, dan ilmu pengetahuan. Penelitian ini juga menarik perbandingan singkat dengan karya Hans George Gadamer dalam rangka untuk mengatasi ide-ide untuk penelitian kontemporer dan merebut kembali legimitasi politik cerita rakyat kritis yang terang-terangan akan menjadi dilema politik dan penderitaan manusia. 4. Skripsi Shanti Dyah Puspa Ratri Fakultas Sastra dan Seni Rupa tahun 2010 dengan judul Cerita Rakyat dan Upacara Tradisional Perang Obor di Desa Tegalsambi Kecamatan Tahunan Kabupaten Jepara Propinsi Jawa Tengah (Tinjauan Folklor). Kesimpulan dari penelitian ini yaitu, kondisi geografis Desa Tegalsambi Kecamatan Tahunan Kabupaten Jepara jawa Tengah ini termasuk wilayah bagian utara; cerita rakyat Perang Obor ini merupakan mite karena ditokohi oleh dua orang manusia yaitu Kiai Babadan dan Ki Gemblong; akibat adanya

8 8 peristiwa perang obor, muncul kepercayaan / mitos yang dijadikan landasan warga setempat untuk tidak melanggar larangan-larangan dalam pelaksanaan Upacara Tradisional Perang Obor; dalam pelaksanaan Upacara Tradisional Perang Obor menggunakan sesaji yang kemudian diletakkan di tempat-tempat yang diyakini sebagai tempat persinggahan arwah leluhur mereka. Tiap-tiap sesaji memiliki makna simbolik yang mengandung tentang pesan kebaikan sebagai pedoman dan permohonan kepada Tuhan Yang Maha Kuasa; dan nilai guna yang terkandung dalam Cerita Rakyat Perang Obor yaitu sebagai cermin atau proyeksi angan-angan pemiliknya, alat pengesah pranata dan lembaga kebudayaan, alat pendidikan, dan lain-lain. 5. Rhian Ardila Maretin Lanua (2014), Sastra Daerah Fakultas Ilmu Budaya dengan judul Hegemoni Kekuasaan Dalam Naskah Ketoprak Lurah Ganjur Karya Trisno Santosa (Sebuah Tinjauan Strukturalisme). Penelitian ini mempunyai simpulan yaitu (1) Struktur drama dalam naskah ketoprak Lurah Ganjur karya Trisno Santosa merupakan perpaduan antar unsur struktur satu dengan yang lain dan saling berhubungan. (2) Bentuk serta proses hegemoni yang terdapat dalam naskah ketoprak adalah hegemoni persuasif dan represif. (3) Pengarang memandang bahwa hegemoni yang terdapat dalam naskah ketoprak sangat relevan dengan dunia nyata. Menurut peneliti, cerita rakyat Kyai Ageng Pengging ini mampu memberikan tauladan yang dapat diambil dari ceritanya yang sangat menginspiratif sehingga cerita rakyat tidak akan hilang ditelan oleh waktu karena

9 9 keberadaannya yang lama-kelamaan terkikis oleh jaman. Penelitian terhadap makam Kyai Ageng Pengging dengan kajian folklor belum pernah dilakukan. Berdasarkan dari penelitian terdahulu yang sudah diteliti, maka peneliti meneliti cerita rakyat dengan judul Hegemoni Kekuasaan dalam Cerita Rakyat Kyai Ageng Pengging di Kecamatan Banyudono, Kabupaten Boyolali, Jawa Tengah (Suatu Tinjauan Sosiologi Sastra). Penelitian ini menceritakan tokoh Kyai Ageng Pengging yang merupakan tokoh penguasa di daerah Pengging (sekarang pusatnya berada di desa Jembungan, Kecamatan Banyudono, Boyolali) yang dihukum mati oleh kerajaan Demak pada masa pemerintahan Raden Patah karena dia dituduh memberontak. Dia seorang pemimpin yang memimpin padepokan yang ia bangun sendiri. Nama aslinya adalah Raden Kebo Kenongo. Kematian Kyai Ageng Pengging disebabkan karena penolakannya terhadap pemerintahan Demak karena tidak mau membayar pajak yang kemudian dianggap memberontak kerajaan Demak. Ia adalah murid terbaik Syekh Siti Jenar, yaitu seorang wali yang mengajarkan kesederajatan manusia dan menolak basa-basi duniawi. Cerita rakyat ini cukup populer di kalangan masyarakat sekitarnya, tidak dipungkiri juga banyak sekali peziarah yang datang untuk berziarah dengan maksud dan tujuan tertentu. Peziarah yang datang bukan hanya peziarah dari sekitar makam saja melainkan dari berbagai daerah di Indonesia bahkan sampai ke negeri sebelah yaitu Malaysia, sempat ada peziarah asal sana datang untuk berziarah ke makam ini. Menurut penjelasan sebelumnya, penulis merasa tertarik untuk menjadikan cerita rakyat ini sebagai sebuah karya ilmiah. Bukan tidak

10 10 mungkin dengan dilakukan penelitian ini, cerita rakyat Kyai Ageng Pengging bisa lebih bertahan lebih lama lagi. Tinjauan yang digunakan dalam cerita rakyat Kyai Ageng Pengging ini adalah menggunakan suatu tinjauan folklor. Terlepas dari permasalahan tersebut, dengan pertimbangan bahwa dalam cerita ini terdapat unsur hegemoni kekuasaan, yaitu Kyai Ageng Pengging berani mempertahankan keyakinannya untuk tidak tunduk pada pemerintahan Demak. Skripsi ini berjudul HEGEMONI KEKUASAAN DALAM CERITA RAKYAT KYAI AGENG PENGGING DI KECAMATAN BANYUDONO, KABUPATEN BOYOLALI, JAWA TENGAH (Suatu Tinjauan Sosiologi Sastra). B. Rumusan Masalah Perumusan masalah ini berasal dari Cerita Rakyat Kyai Ageng Pengging dengan melihat hegemoni kekuasaannya. Masalah-masalah yang ada dirumuskan sebagai masalah yang akan dibahas secara detail. Perumusan masalah ini bertujuan agar penelitian yang dilakukan terfokus pada masalah yang akan diteliti dan tidak meluas pada masalah-masalah di luar penelitian. Perumusan masalah penelitian sebagai berikut: 1. Bagaimanakah bentuk dan struktur cerita rakyat Kyai Ageng Pengging di Kecamatan Banyudono, Kabupaten Boyolali, Jawa Tengah? 2. Bagaimanakah bentuk hegemoni kekuasaan dalam isi cerita Kyai Ageng Pengging di Kecamatan Banyudono, Kabupaten Boyolali, Jawa Tengah?

11 11 3. Bagaimanakah persepsi masyarakat terhadap bentuk hegemoni dalam cerita Kyai Ageng Pengging bagi masyarakat Desa Pengging, Kecamatan Banyudono, Kabupaten Boyolali, Jawa Tengah? C. Tujuan Penelitian Tujuan penelitian terhadap Cerita Rakyat Kyai Ageng Pengging dapat diperoleh dari perumusan masalah yang ditulis di atas, maka tujuan penelitiannya adalah sebagai berikut: 1. Mendeskripsikan bagaimanakah bentuk dan struktur cerita rakyat Kyai Ageng Pengging di Kecamatan Banyudono, Kabupaten Boyolali, Jawa Tengah. 2. Mendeskripsikan bentuk hegemoni kekuasaan dalam isi cerita Kyai Ageng Pengging di Kecamatan Banyudono, Kabupaten Boyolali, Jawa Tengah. 3. Menemukan persepsi masyarakat terhadap bentuk hegemoni dalam cerita Kyai Ageng Pengging bagi masyarakat Desa Pengging, Kecamatan Banyudono, Kabupaten Boyolali, Jawa Tengah. D. Batasan Masalah Berdasarkan tujuan yang hendak dicapai dalam penelitian ini, maka permasalahan dalam penelitian ini dibatasi pada usaha mendeskripsikan bentuk dan struktur cerita rakyat Kyai Ageng Pengging di Kecamatan Banyudono, Kabupaten Boyolali, Jawa Tengah. Bentuk hegemoni kekuasaan dalam Cerita Rakyat Kyai Ageng Pengging di Kecamatan Banyudono, Kabupaten Boyolali, Jawa Tengah dengan analisis sosiologi sastra; serta persepsi masyarakat terhadap

12 12 bentuk hegemoni dalam Cerita Rakyat Kyai Ageng Pengging di Kecamatan Banyudono, Kabupaten Boyolali, Jawa Tengah dengan analisis sosiologi sastra. E. Manfaat Penelitian Manfaat penelitian ini dihasilkan dari analisis masalah sosiologi yang dilakukan dengan mendeskripsikan cerita rakyat Kyai Ageng Pengging dengan analisis sosiologi sastra. Manfaat penelitian ini dapat ditinjau dari manfaat teoretis dan manfaat praktis. 1. Manfaat teoretis Hasil penelitian ini diharapkan membawa manfaat untuk menambah wawasan tentang teori sastra dan tentang folklor, khususnya cerita rakyat Kyai Ageng Pengging di Kecamatan Banyudono, Kabupaten Boyolali, Propinsi Jawa Tengah. Penelitian diharapkan dapat mengungkapkan nilainilai yang terkandung dalam cerita rakyat Kyai Ageng Pengging di Kecamatan Banyudono, Kabupaten Boyolali, Jawa Tengah sastra melalui penelitian sosiologi sastra ini. 2. Manfaat Praktis Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi tentang keberadaan makam Kyai Ageng Pengging di Kecamatan Banyudono, Kabupaten Boyolali dan dapat menambah wawasan tentang fungsi bagi masyarakat. Penelitian ini dapat merupakan suatu data yang dapat dijadikan bahan untuk penelitian sejenis selanjutnya. Data ini diharapkan dapat menjadi tambahan dokumen perpustakaan

13 13 F. Landasan Teori Karya sastra adalah fenomena yang kompleks dan dalam (Endraswara, 2011:8). Karya sastra semakin digali semakin banyak makna dan problem yang terkandung di dalamnya. Maka dari itu sebagai parameternya sebuah karya sastra membutuhkan suatu teori. Teori yang mampu menganalisis dan mengungkapkan masalah yang terdapat dalam sebuah karya sastra. Cerita rakyat Kyai Ageng Pengging membutuhkan teori yang digunakan terkait dengan masalah yang akan dibahas. Teori yang digunakan dalam penelitian ini sebagai berikut: 1. Pengertian Folklor Karya sastra lisan berupa folklor, yaitu suatu adat-istiadat tradisional dan cerita rakyat yang diwariskan secara turun-temurun, tetapi tidak dibukukan (Kamus Besar Bahasa Indonesia, 2012). Folklor telah berkembang sejak zaman dahulu kala sebelum nenek moyang kita mengenal tulisan. mereka menurunkannya secaraturun temurun dari mulut ke mulut kepada orang-orang yang ada di sekitarnya. Penyampaian tersebut berupa kebiasaan, perilaku, larangan, cerita pengalaman, pepatah dan tahayul. Dalam penyampaiannya folklor diibaratkan seperti orang yang di amanatkan untuk menyampaikan pesan atau berita secara lisan kepada orang lain, pasti saja ada kata atau kalimat yang kurang atau lebih ketika disampaikan kepada orang yang bersangkutan, sehingga tidak sepenuhnya kalimat yang disampaikan oleh orang yang diberi amanat tersebut sama dengan apa yang diucapkan oleh si pemberi amanat (Danandjaja, 1986:1) Secara etimologis, folk adalah sinonim dengan kolektif, yang juga memiliki

14 14 pengenal fisik atau kebudayaan yang sama, serta mempunyai kesadaran kepribadian sebagai kesatuan masyarakat. Sementara untuk lore adalah tradisi dari folk, yaitu sebagai kebudayaannya, yang diwariskan secara turuntemurun secara lisan atau melalui suatu contoh yang disertai dengan gerak isyarat atau alat pembantu pengingat (mnemonic device) (Danandjaja, 1986:1). Menurut Brunvard (1968:5) dalam Danandjaja (1986:2), folklor adalah sebagian kebudayaan suatu kolektif, yang tersebar dan diwariskan turun-temurun, diantara kolektif macam apa saja, secara tradisional dalam versi yang berbeda, baik dalam bentuk lisan maupun contoh yang disertai dengan gerak isyarat atau alat pembantu pengingat (mnemonic device). Sehingga dapat dikatakan bahwa sastra lisan merupakan begian dari folklor itu sendiri. Pendapat mengenai folklor ini juga dikemukakan oleh Albert B. Lord, dia berpendapat bahwa setiap folklor memiliki formula tertentu, misalnya struktur kepala, badan, dan kaki. Struktur kepala biasanya berhubungan dengan pembukaan. Struktur badan berhubungan dengan inti cerita dan struktur kaki biasanya berupa penutup. Masyarakat modern sekarang ini banyak mengabaikan budayabudaya Indonesia bahkan dapat dikatakan hampir punah, sebagai salah satu contohnya adalah folklor. Zaman sekarang sangat berbeda dengan zaman dahulu, semuanya serba teknologi canggih. Contohnya seperti masa kecil anak zaman sekarang, dulu anak-anak senang bermain permainan tradisional seperti kelereng dan petak umpet, namun sekarang anak-anak lebih senang bermain playstation maupun bermain gadget daripada permainan tradisional

15 15 tersebut. Berawal dari hal yang kecil tersebut secara perlahan-lahan budaya yang terdahulu akan terkikis dan lenyap. Peneliti mengambil judul ini karena mengingat masalah di atas yang perlu dilestarikan supaya kebudayaankebudayaan tersebut tidak punah. 2. Bentuk Folklor Menurut Jan Harold Brunvard (1968:2-3), seorang ahli folklor dari Amerika Serikat (AS), folklor dapat digolongkan ke dalam tiga kelompok besar berdasarkan tipenya yaitu folklor lisan, sebagian lisan dan bukan lisan. a. Folklor Lisan (verbal folklore) Folklor yang bentuknya memang murni lisan. Bentuk-bentuknya (genre) folklor yang termasuk ke dalam kelompok besar ini antara lain: 1) Bahasa rakyat (folk speech) seperti logat, julukan, pangkat tradisional dan titel kebangsawanan; 2) Ungkapan tradisional, seperti peribahasa, pepatah, dan pameo; 3) Pertanyaan tradisional, seperti teka-teki; 4) Puisi rakyat, seperti pantun, gurindam dan syair; 5) Cerita prosa rakyat, seperti mite, legenda dan dongeng; dan 6) Nyanyian rakyat. b. Folklor Sebagian Lisan (partly verbal folklore) Folklor yang sebagian bentuknya merupakan campuran unsur lisan dan bukan lisan. Bentuk-bentuk folklor yang termasuk kelompok besar selain kepercayaan rakyat adalah permainan rakyat, tarian rakyat, adat istiadat, upacara, pesta rakyat, dan lain-lain.

16 16 c. Folklor Bukan Lisan (non verbal folklore) Folklor yang bentuknya bukan lisan walaupun cara pembuatannya disampaikan secara lisan. Kelompok ini dibagi menjadi yang material dan yang bukan material. Bentuk yang material antara lain: arsitektur rakyat (bentuk rumah asli daerah, bentuk lumbung padi, dan sebagainya); kerajinan tangan rakyat; pakaian dan perhiasan tubuh adat; makanan dan minuman; serta obat-obatan tradisional. Termasuk bukan material adalah gerak isyarat tradisional, bunyi isyarat untuk komunikasi rakyat (kentongan tanda bahaya di Jawa atau bunyi gendang untuk mengirim berita seperti yang dilakukan masyarakat Afrika) dan musik rakyat (Danandjaja, 1984:21-22). 3. Ciri-Ciri Folklor Cerita lisan dapat dikategorikan dalam ragam sastra lisan. Sastra lisan adalah karya sastra yang diwariskan turun-temurun secara lisan, salah satunya adalah cerita rakyat atau folklore. Folklor merupakan suatu karya sastra prosa lisan yang berasal dari warisan leluhur dan harus dilestarikan. Folklor dan kebudayaan lainnya dapat dibedakan dengan cara mengetahui ciri-ciri utama folklor. Folklor memiliki ciri-ciri sebagai berikut: a) Bersifat anonim; b) Berkembang secara lisan dari generasi ke generasi; c) Bersifat pralogis, yaitu mempunyai logika sendiri yang tidak sesuai dengan logika umum; d) Menjadi milik bersama pada masyarakat setempat;

17 17 e) Pada umumnya lugu atau polos sehingga seringkali kelihatannya terlalu kasar atau terlalu sopan (sentra-edukasi, 2012); f) Berkembang dalam versi yang berbeda beda namun pada dasarnya sama saja. 4. Tahap-Tahap Penelitian Folklor Macam pengumpulan dengan tujuan pengarsipan atau pendokumentasian ini bersifat penelitian ditempat (field work). Ada tiga tahapan yang harus dilalui oleh seorang peneliti ditempat : a. Tahap Pra-penelitian di tempat Rencana penelitian harus mengandung beberapa pokok seperti: bentuk folklor apa yang hendak kita kumpulkan, bagaimana kita memperoleh pengetahuan itu. Selain itu di dalam rencana penelitian sudah harus pula ditentukan dengan teliti daerah kediaman kolektif yang bentuk folklornya hendak diteliti dan berapa lama penelitian itu akan berlangsung. b. Tahap penelitian di tempat yang sesungguhnya Penelitian secepat mungkin harus mengusahakan hubungan rapport, hubungan harmoni saling mempercayai kolektif yang hendak diteliti atau paling sedikit dengan para informan. Memperoleh hubungan akrab itu kita harus bersifat jujur, rendah hati, tidak sok tahu pada informan. Tujuan kita kesana untuk belajar bukan untuk mengajar. Cara untuk memperoleh bahan folklor di tempat adalah wawancara dengan informan dan pengamatan.

18 18 1) Wawancara dalam penelitian folklor dua macam saja yakni wawancara yang terarah (directed) dan yang tidak terarah (non directed). Wawancara tidak terarah adalah wawancara yang bersifat bebas, santai, dan memberi kesempatan yang besar-besaran untuk memberi pertanyaan yang ditanyakan. Wawancara yang terarah adalah pertanyaan yang akan kita ajukan sudah tersusun dalam suatu bentuk daftar tertulis. Jawaban yang diharapkan dibatasi yang relevan saja dan diusahakan informan tidak melantur kemana-mana. 2) Pengujian pengajaran data wawancara, caranya ada banyak antara lain mengecek kepada informan lain dengan daftar pertanyaan yang sama. Cara lain adalah dengan melihat kenyataan berdasarkan pengamatan kita sendiri dalam menguji kebenaran keterangan itu harus bersifat taktis dan berhati-hati melakukannya, jangan sampaimemberi kesan kepada informan pertama bahwa kita tidak percaya kepada keterangan yang telah ia berikan sebelumnya. 3) Pengamatan adalah cara melihat suatu kejadian dari luar sampai kedalam dan melukis secara tepat seperti apa yang kita liat. Khusus untuk peneliti tarian rakyat digunakan cara pengamatan yang disebut pengamatan terlihat (participant observation) yaitu mengamati suatu pertunjukan folklor sebagai lisan seperti tarian rakyat, bukan sebagai tarian luar, melainkan dari dalam dan terlibat dalam proses pertunjukan. Hal-hal yang harus kita amati dalam penelitian antara lain: 1. Lingkungan fisik suatu bentuk folklor yan dipertunjukkan

19 19 2. Lingkungan sosial suatu bentuk folklor 3. Interaksi para peserta suatu pertunjukan bentuk folklor 4. Pertunjukan bentuk folklor itu sendiri 5. Masa pertunjukkan c. Cara Pembuatan Naskah Folklor Bagi Kearsipan Sebelum membahas naskah bagi kearsipan maka harus dipastikan bahwa folklor tersebut diakui dan dipercaya oleh masyarakat. Cerita rakyat Kyai Ageng Pengging ini diakui keberadaannya dan dipercaya oleh masyarakat sekitar. Folklor adalah sebagian kebudayaan yang diwariskan secara turun temurun dan jika folklor itu belum diakui atau dipercaya oleh masyarakat, maka bukan termasuk cerita rakyat. Masyarakat Desa Pengging sebagai pemilik cerita tersebut masih melaksanakan norma-norma yang berlaku dalam masyarakat yang timbul karena adanya cerita tersebut. Menurut Danandjaja (1984), setiap naskah koleksi folklor harus mengandung tiga bahan teks bentuk folklor yang dikumpulkan, konteks teks yang bersangkutan, pendekatan dan penilaian informasi serta pengumpulan folklor. 5. Hegemoni Antonio Gramci Hegemoni berasal dari kata Hegisthai (Yunani), berarti memimpin, kepemimpinan, kekuasaan yang melebihi kekuasaan yang lain (Ratna, 2010:175). Teori hegemoni merupakan sebuah teori politik paling penting abad XX. Teori ini dikemukakan oleh Antonio Gramci ( ). Menurut

20 20 Gramci, bahwa supremasi suatu kelompok sosial menyatakan dirinya dalam dua cara, yaitu sebagai dominasi dan sebagai kepemimpinan moral intelektual. Suatu kelompok sosial mendominasi kelompok-kelompok antagonistik yang cenderung ia hancurkan, atau bahkan taklukkan dengan kekerasan (Faruk, 1999:69). Titik awal konsep Gramci tentang hegemoni, bahwa suatu kelas dan anggotanya menjalankan kekuasaan terhadap kelas-kelas di bawahnya dengan dua cara, yaitu kekerasan dan persuasi. Cara kekerasan (represif/dominasi) yang dilakukan kelas atas terhadap kelas bawah disebut dengan tindakan dominasi, dengan maksud untuk menguasai guna melanggengkan dominasi. Perantara tindak dominasi ini dilakukan oleh para aparatur negara seperti polisi, tentara, dan hakim. Menurut Gramsci, faktor terpenting sebagai pendoron terjadinya hegemoni adalah faktor ideologi dan politik yang diciptakan penguasa dalam mempengaruhi, mengarahkan, dan membentuk pola pikir masyarakat. Faktor lainnya adalah pertama paksaan yang dialami masyarakat, sanksi yang diterapkan penguasa, hukuman yang menakutkan, kedua kebiasaan masyarakat dalam mengikuti suatu hal yang baru dan ketiga kesadaran dan persetujuan dengan unsur-unsur dalam masyarakat (Gramsci dalam Patria, 2009:133). Analisis Gramsci di atas berusaha memberikan pennjelasan bahwa sebenarnya semua kelas sosial di masyarakat memiliki kecenderungan untuk menghegemoni, ketika memiliki kemampuan untuk mendominasi. Dominasi adalah kunci awal dalam proses hegemoni. Antara sekian potensi dominasi, negara adalah institusi yang paling subur dalam hal dominasi, sehingga wajar apabila negara memiliki kecenderungan tinggi untuk menghegemoni

21 21 masyarakatnya (Gramsci dalam Hendarto, 1993:82-83). Pemikiran Gramsci tidak boleh dilepaskan dari manusia. Manusia merupakan pusat revolusi. Inilah sumbangan penting Gramsci atas pemikiran Marxis (Hendarto, 1993:71). Bukan basis ekonomi menentukan superstruktur, tetapi basis ekonomi memberi batasan bagi bentuk-bentuk kesadaran yang mungkin atas manusia. Konsep-konsep yang harus diketahui, yaitu hegemoni ideologi, intelektual organik, dan intelektual tradisional (Salamini, 1981:60-65). Aktivitas superstruktur dan proses promosi blog historis yang baru, konsep hegemoni ideologi amatlah penting. Erosi ideologi dari kelas yang berkuasa harus diikuti oleh penciptaan suatu ideologi baru, suatu sistem gagasan baru, sistem kepercayaan dan nilai-nilai baru. Intelektual berfungsi mengelaorasi kelompok ideologi dominan, memberikan kesadaran akan ideologi ini dan mentransformasikannya menjadi suatu konsep ideologi yang kemudian harus disebarkan kepada seluruh masyarakat. Intelektual model itu disebut intelektual organik, karena mereka membentuk suatu hubungan organik antara suatu kelas sosial dengan superstruktur. Intelektual organik beroposisi dengan intelektual tradisional. Setiap kelompok yang mencoba meraih kekuasaan harus menyerap intelektual-intelektual tradisional untuk menyerang intelektual organik (Patria dalam Arif, 2003:15). 6. Pendekatan Sosiologi Sastra Konsep sosiologi sastra didasarkan pada dalil bahwa karya sastra ditulis oleh seorang pengarang, dan pengarang merupakan a salient being, makhluk yang mengalami sensasi-sensasi dalam kehidupan empirik

22 22 masyarakatnya. Sastra juga dibentuk oleh masyarakatnya, sastra berada dalam jaringan sistem dan nilai dalam masyarakatnya. Kesadaran muncul pemahaman bahwa sastra memiliki keterkaitan timbal-balik dalam derajat tertentu dengan masyarakatnya, dan sosiologi sastra berupaya meneliti pertautan antara sastra dengan kenyataan masyarakat dalam berbagai dimensinya (Soemanto, 1993). Konsep dasar sosiologi sastra sebenarnya sudah dikembangkan oleh Plato dan Aristoteles yang mengajukan istilah mimesis, yang menyinggung hubungan antara sastra dan masyarakat sebagai cermin. Pengertian mimesis (Yunani: perwujudan atau peniruan) pertama kali dipergunakan dalam teoriteori tentang seni seperti dikemukakan Plato ( ) dan Aristoteles ( ), dan dari abad ke abad sangat memengaruhi teori-teori mengenai seni dan sastra di Eropa (Luxemburg, 1986:15). Timbulnya sosiologi, semua ilmu pengetahuan yang dikenal pada dewasa ini pernah menjadi bagian dari filsafat yang dianggap sebagian induk dari segala ilmu pengetahuan (Mater scientiarum). Filsafat mencakup segala usaha pemikiran mengenai masyarakat. Seiring dengan perkembangan zaman dan peradaban manusia, pelbagai ilmu yang semula tergabung dalam filsafat memisahkan diri. Baru pada abad ke-19 ilmu tentang sosiologi (ilmu yang mempelajari masyarakat) dikenal oleh masyarakat (Soerjono, 2010:3). Sosiologi jelas merupakan ilmu sosial yang objeknya adalah masyarakat. Sosiologi merupakan ilmu pengetahuan yang berdiri sendiri karena telah memenuhi segenap unsur-unsur ilmu pengetahuan (Soerjono, 2010:13). Sosiologi sastra adalah cabang penelitian sastra yang bersifat reflektif. Penelitian ini banyak diminati oleh peneliti yang ingin melihat sastra sebagai

23 23 cermin kehidupan masyarakat. Asumsi dasar penelitian sosiologi sastra adalah kelahiran sastra tidak dalam kekosongan sosial. Kehidupan sosial akan menjadi pemicu lahirnya karya sastra. Karya sastra yang berhasil atau sukses yaitu mampu merefleksikan zamannya (Endraswara, 2003:77). Kehadiran sosiologi sastra, meskipun masih tergolong baru namun sudah menghasilkan banyak penelitian. Bahkan, sosiologi sastra telah berdiri sebagai mata kuliah. Tentu saja dengan lingkup kajian yang lebih beragam. Itulah sebabnya memang beralasan jika penelitian sosiologi sastra lebih banyak memperbincangkan hubungan antara pengarang dengan kehidupan sosialnya. Baik aspek bentuk maupun isi karya sastra akan terbentuk oleh suasana lingkungan dan kekuatan sosial suatu periode tertentu. Aspek-aspek kehidupan sosial akan memantul penuh kedalam karya sastra (Endraswara, 2003:78) Cerita Rakyat Ki Ageng Pengging yang diwariskan turun temurun oleh masyarakat secara lisan. Dengan demikian cerita rakyat memilki hubungan erat dengan masyarakat, sebagai suatu kelompok sosial pemilik warisan adat-istiadat tersebut. Sapardi Djoko Damono (1984:42) berpendapat bahwa sosiologi sastra adalah pendekatan terhadap karya sastra yang mempertimbangkan segi-segi kemasyarakatan. Pendekatan sosiologi sastra menekankan pada tiga komponen. Tiga komponen itu adalah : sosiologi pengarang yang mencerminkan keadaan sosial pengarang yang mencakup aspek-aspek antara lain status sosial, pendidikan sosial budaya, ekonomi, politik serta aspek religius sebagai komponen pertama. Kedua, sosiologi karya yang menekankan kajian isi maupun tujuan karya sastra itu sendiri, yang mencakup pembicaraan tentang proses kelahiran dan pengaruh

24 24 sosial budaya yang yang melingkupinya.dalam arti apa yang tertuang atau dijelaskan dalam suatu karya merupakan proyeksi diri kondisi masyarakat yang melatarbelakanginya. Ketiga, sosiologi pembaca yang menekankan pembahasan terhadap suatu karya sastra. Hal ini menyangkut sejauh mana karya sastra berpengaruh dan berfungsi dalam kehidupan masyarakat. Masyarakat didalam memberikan penilaian dan tanggapan terhadap suatu karya sastra juga dipengaruhi oleh latar belakang yang berbeda dengan penghayatan masyarakat pada umumnya. Sosiologi sastra adalah hubungan serta pengaruh timbal balik antara karya sastra dengan masyarakatnya. Dalam sosiologi sastra terdapat tiga komponen yaitu, karya sastra, pengarang dan masyarakat penikmat. Dalam penelitian ini akan menelaah dua komponen sosiologi sastra yaitu komponen karya sastra itu dan masyarakat penikmatnya. Karena ini bersifat anonim maka aspek sosiologi pengarang tidak tampilkan dan tidak diteliti. Dengan demikian sosiologi sastra dapat mengungkap komponen sosiologi sastra dari kepercayaan masyarakat pada Cerita Rakyat Ki Ageng Pengging yaitu komponen karya sastra itu dan komponen penikmat. Tetapi menurut Sangidu (2004:26) sosiologi sastra menentukan jenis masyarakat yang melahirkan sastra sehingga dapat diketahui sifat-sifat masyarakat yang melahirkan sastra tersebut. Dalam penelitian sosiologi sastra ini juga terdapat dua corak (Junus, 1986:2) dalam Sangidu (2004: 27) yaitu corak yang pertama disebut pendekatan sociology of literature (sosiologi sastra). Pendekatan ini bergerak dan melihat faktor sosial yang menghasilkan karya sastra pada masa tertentu, dan corak yang kedua adalah disebut dengan literary sociology (sosiologi sastra) pendekatan ini

25 25 bergerak dari faktor-faktor sosial yang terdapat di dalam karya sastra dan selanjutnya digunakan untuk memahami fenomena sosial yang ada diluar teks sastra. Sapardi (1978) mengemukakan beberapa pendekatan mengenai aneka ragam pendekatan terhadap karya sastra seperti dikemukakan Wolff di atas. Dari Wellek dan Warren ia menemukan setidaknya tiga jenis pendekatan yang berbeda dalam sosiologi sastra, yaitu sosiologi pengarang yang mempermasalahkan status sosial, ideologi sosial, dan lain-lain yang menyangkut pengarang sebagai penghasil karya sastra itu sendiri, dan sosiologi sastra yang memasalahkan pembaca dan pengaruh sosial karya sastra (Faruk, 1999: 4). 7. Pengertian Cerita Rakyat Cerita rakyat adalah bentuk karya sastra lisan yang lahir dan berkembang dalam masyarakat tradisional, dan disebarkan dalam bentuk relatif tetap atau dalam bentuk standar disebarkan diantara kolektif tertentu dalam waktu yang cukup lama (Danandjaja, 1984:50). Cerita rakyat adalah salah satu bentuk tradisi lisan yang memakai media bahasa. Pengertian ini akan kabur bila mana diperhadapkan dengan bentuk sastra lisan yang juga memakai media bahasa seperti teka-teki dan ungkapan (Gaffar, 1990:3). Djamaris (1993:15), juga mengungkapkan pengertian cerita rakyat yaitu sebagai golongan cerita yang hidup dan berkembang secara turun temurun dari satu generasi ke generasi berikutnya. Cerita rakyat biasanya merupakan fragmen kisah yang menceritakan perjalanan kehidupan seorang

26 26 yang dianggap mengesankan atau paling tidak mempunyai peran vital dan dipuja oleh si empunya cerita. Masyarakat tradisional merupakan masyarakat yang awam dan mereka merasa bahwa cerita rakyat yang ada merupakan warisan yang harus dijaga dan dilestarikan keberadaannya (Damono 1984:42). Cerita rakyat itu juga dapat memberikan sumbangannya. Demikian pula dialektologi, lebih-lebih mengingat kemungkinan cerita rakyat mengandung bahan yang khas di suatu daerah, dan mengandung bahan peninggalan masa lalu. Cerita rakyat di dalamnya akan kita dapatkan nama bagian tubuh sejak dalam kandungan, nama musim, pembagian waktu, nama bilangan, frase yang menyangkut masalah fonetik, morfologi, sintaksis, kata seru, kehidupan desa dan masyarakatnya, penguburan, kepercayaan, nama bagian-bagian bangunan, nama makanan, nama tumbuhan, nama benda langit, alat tenun, kehidupan seksual, magis, pergeserean makna, permainan, pernyataan penghormatan, logam, penyakit, alat pertanian, alat pertukangan, pakaian dan lain-lain yaitu hal yang biasa ditanyakan pada waktu pengumpulan data. Perhatian studi sastra terhadap cerita rakyat tampak dari perhatian apa yang disebut comparative literature yang melakukan penelitian tentang tema, penyebaran, dan kapan cerita rakyat meningkat menjadi sastra yang lebih tinggi, dan sastra artistik. Dari segi studi sastra terdapat pandangan bahwa studi cerita rakyat adalah bagian yang integral dari penyelidikan sastra, karena cerita rakyat itu tak dapat diceraikan dari studi tentang sastra tulis, dan terjadi saling pengaruh antara keduanya. Studi tentang cerita rakyat itu adalah suatu hal yang penting bagi para ahli sastra yang ingin memahami proses

27 27 perkembangan sastra, asal mula dan timbulnya genre sastra, serta penyimpangan-penyimpangan yang terjadi (Wellek dan Warren, 1956:46). 8. Ciri-ciri Cerita Rakyat Cerita rakyat merupakan genre dari folklor yang hidup tersebar dalam bentuk lisan dan kisahnya bersifat anonim yang tidak terikat pada ruang dan waktu serta nama penciptanya sudah tidak diketahui lagi. Oleh karena itu, cerita rakyat yang merupakan bagian dari folklor menurut Danandjaya (2007:3), memiliki ciri-ciri sebagai berikut. a. Penyebaran dan pewarisannya biasanya dilakukan secara lisan, yakni tutur kata yang disebarkan melalui tutur kata dari mulut ke mulut (atau dengan suatu contoh yang disertai gerakan isyarat dan alat pembantu pengingat) dari satu generasi ke generasi berikutnya. Namun, kini penyebaran folklor dapat kita temukan dengan bantuan mesin cetak dan elektronik. b. Bersifat tradisional, yakni disebarkan dalam bentuk relatif tetap atau dalam bentuk standar. Disebarkan di antara kolektif tertentu dalam waktu yang cukup lama (paling sedikit dua generasi). c. Ada (exist) dalam versi-versi bahkan varian-varian yang berbeda, karena cara penyebarannya dari mulut ke mulut (lisan), biasanya bukan melalui cetakan atau rekaman, sehingga oleh proses lupa diri manusia atau proses interpolasi (interpolation) muncul varian-varian tersebut. d. Bersifat anonim, yaitu nama penciptanya sudah tidak diketahui lagi.

28 28 e. Biasanya mempunyai bentuk berumus dan berpola. f. Mempunyai kegunaan (function) dalam kehidupan bersama suatu kolektif. Cerita rakyat misalnya mempunyai kegunaan sebagai alat pendidikan, pelipur lara, protes sosial dan proyeksi keinginan terpendam. g. Bersifat pralogis, yaitu mempunyai logika sendiri yang tidak sesuai dengan logika umum. Ciri pengenal ini terutama berlaku bagi floklor lisan dan sebagian lisan. h. Menjadi milik lisan bersama (collective) dari kolektif tertentu. i. Pada umumnya bersifat polos dan lugu, sehingga seringkali kelihatanya kasar, terlalu spontan. Hal ini dapat dimengerti apabila mengingat bahwa banyak folklor merupakan proyeksi manusia yang paling jujur manifestasinya. Berdasarkan ciri-ciri folklor tersebut, ada sebagian orang yang berpandangan bahwa cerita rakyat atau dongeng tidak berarti apa-apa, atau dongeng hanyalah sebuah sarana untuk menidurkan anak saja. Hal ini menurut penulis tidak dapat dibenarkan begitu saja sekaligus juga tidak dapat disalahkan begitu saja. Jika mencermati ciri folklor yang ke tujuh yang disampaikan Dananjaja di atas, yaitu bahwa ciri folklor lisan dan sebagian lisan adalah bersifat pralogis maka anggapan masyarakat tersebut dapat dibenarkan. Namun demikian jika melihat ciri yang ke enam yaitu folklor juga berguna atau memiliki fungsi maka anggapan ini tidak dapat dikatakan benar.

29 29 9. Fungsi Cerita Rakyat Secara umum fungsi sastra termasuk cerita rakyat, hampir sama dengan karya sastra lainnya. Kosasih (2003:222) menyatakan bahwa fungsi sastra dapat digolongkan dalam lima kelompok besar, yaitu: (1) fungsi rekreatif, yaitu memberikan rasa senang, gembira, serta menghibur, (2) fungsi didaktif, yaitu mendidik para pembaca karena nilai-nilai kebenaran dan kebaikan yang ada di dalamnya, (3) fungsi estetis, yaitu memberikan nilainilai keindahan, (4) fungsi moralitas, yaitu mengandung nilai moral yang tinggi sehingga para pembaca dapat mengetahui moral yang baik dan buruk, (5) fungsi religiuditas, yaitu mengandung ajaran yang dapat dijadikan teladan bagi para pembacanya. Selain fungsi secara umum yang hampir sama dengan fungsi karya sastra di atas, Bascom, menyampaikan fungsi cerita rakyat yang lebih spesifik. Menurut Bascom (Danandjaya, 2007:19), folklor termasuk juga di dalamnya cerita rakyat memiliki empat fungsi, yakni: (1) sebagai sistem proyeksi, yaitu sebagai alat pencermin angan-angan kolektif, (2) sebagai alat pengesahan pranata-pranata dan lembaga-lembaga kebudayaan, (3) sebagai alat pendidik anak, (4) sebagai alat pemaksa dan pengawas agar norma-norma masyarakat akan selalu dipatuhi anggota kolektifnya. 10. Bentuk Cerita Rakyat Cerita prosa rakyat dapat dilihat dari bentuknya, dibagi menjadi beberapa menurut William R. Bascom (dalam Danandjaja, 1997:50), yaitu:

30 30 a) Mite (myth) Mite adalah cerita prosa rakyat yang dianggap benar-benar terjadi serta dianggap suci oleh yang empunya cerita, mengandung tokoh-tokoh dewa atau setengah dewa. Tempat terjadinya di tempat lain dan masa terjadinya jauh di masa purba. Mite pada umumnya mengisahkan terjadinya alam semesta, dunia, manusia pertama, dan terjadinya maut. Mitos yaitu cerita-cerita suci yang mendukung sistem kepercayaan atau agama (religi). Pengertian mitos dalam kamus Bahasa Indonesia dibedakan dari mite. Mitos adalah cerita suatu bangsa tentang dewa dan pahlawan jaman dulu, yang mengandung penafsiran tentang asal-usul semesta alam, manusia dan bangsa itu sendiri yang mengandung arti mendalam yang diungkapkan dengan cara gaib. Mite adalah cerita yang mempunyai latar belakang sejarah, dipercaya oleh masyarakat sebagai cerita yang benar-benar terjadi, dianggap suci, banyak mengandung hal-hal ajaib, umumnya ditokohi oleh dewa. Sudjiman (Lantini,1996:224) mengartikan kata mitos dalam dua pengertian, yaitu (1) cerita rakyat legendaris atau tradisional, biasanya bertokoh makhluk yang luar biasa dan mengisahkan peristiwa-peristiwa yang tidak dijelaskan secara rasional, seperti terjadinya sesuatu; (2) kepercayaan atau keyakinan yang tidak terbukti tetapi diterima mentah-mentah. Sejalan dengan pendapat di atas yang menyatakan bahwa dongeng mite adalah cerita tradisional yang pelakunya makhluk

31 31 supranatural dengan latar suci dan waktu masa purba. Mitos merupakan salah satu genre cerita rakyat yang dianggap suci dan diyakini betul-betul terjadi oleh masyarakat pendukungnya, bersifat religius karena memberi rasio pada kepercayaan. Selain itu, mitos berfungsi untuk menyatakan, memperteguh dan mengkondifikasi kepercayaan, melindungi dan melaksanakan moralitas, dan sebagai alat pemaksa berlakunya norma-norma serta pengendali masyarakat. Mite menceritakan tentang cerita- cerita yang berbau supranatural dan ditokohi oleh makhluk-makhluk dunia lain. b) Legenda (legend) Ciri-ciri legenda yaitu dianggap benar benar terjadi, tidak dianggap suci oleh empunya cerita, tokoh manusia kadang dengan sifat luar biasa, setting di dunia, dan waktu belum terlalu lama.legenda sendiri berarti cerita cerita yang oleh masyarakat yang mempunyai cerita tersebut dianggap sebagai peristiwa peristiwa sejarah. Ciri-ciri dari legenda ini hampir sama dengan mite, namun legenda bersifat sekuler. Terjadi pada masa yang belum begitu lampau, dan bertempat di dunia seperti yang kita kenal. Tokoh dalam legenda tidak disakralkan oleh pendukungnya. Tokoh merupakan manusia biasa yang mempunyai kekuatan-kekuatan gaib, tempat terjadinya di dunia kita. Legenda merupakan salah satu genre cerita rakyat yang mencangkup hal-hal luar biasa dan terjadi dalam dunia nyata. Legenda dipandang sebagai sejarah masyarakat sehingga diyakini

32 32 kebenarannya. Legenda berfungsi mendidik dan membekali manusia agar terhindar dari ancaman marabahaya. Legenda tidak setua mite. Legenda menceritakan terjadinya tempat, seperti: pulau, gunung, daerah/desa, danau/sungai, dan sebagainya. Itulah sebabnya ada orang yang mengatakan bahwa legenda adalah sejarah rakyat. Salah satu contoh legenda adalah cerita rakyat Kyai Ageng Pengging yang terletak di Kecamatan Banyudono, Kabupaten Boyolali, Jawa Tengah. c) Dongeng (folktale) Dongeng yaitu cerita yang dianggap tidak benar-benar terjadi dan tidak terkait oleh ketentuan tentang pelaku, waktu serta tempat. Dongeng hanyalah sebuah cerita khayalan belaka. Bagi orang awam, dongeng seringkali dianggap meliputi seluruh cerita rakyat yang disebutkan di atas (legenda dan mite). Tetapi, menurut beberapa ahli, dongeng adalah cerita yang khusus yaitu mengenai manusia atau binatang. Penulis menganggap bahwa pembedaan-pembedaan antara konsep-konsep cerita rakyat, mitos, legenda dan dongeng tidak terlalu penting untuk diperhatikan dalam penelitian ini, dan untuk selanjutnya istilah mitos, legenda dan dongeng dapat dipakai secara bergantian. Berdasarkan pendapat-pendapat tersebut, penulis mengambil kesimpulan bahwa baik mite, legenda maupun dongeng pada intinya merupakan hasil dari imajinasi-imajinasi manusia berdasarkan apa

33 33 yang mereka lihat dan rasakan dalam kehidupan sehari-hari yang kemudian tertuang dalam sebuah karya sastra lisan. 11. Struktur Cerita Rakyat Secara etimologis struktur berasal dari kata structure, bahasa Latin yang berarti bentuk atau bangunan. Nurgiyantoro (2005:37-38) menyatakan struktur cerita diartikan susunan, penegasan, dan gambaran dari semua bahan dan bagian yang menjadikan komponennya secara bersama membentuk suatu kebulatan. Struktur cerita karya sastra juga mengacu pada pengertian hubungan antar unsur intrinsik yang bersifat timbal balik, saling menentukan, saling mempengaruhi dan secara bersama-sama membentuk kesatuan yang utuh. Karya sastra besar merupakan produk strukturilisasi dari subjek kolektif. Oleh karena itu karya sastra mempunyai struktur yang koheren dan padat. Cerita rakyat sebagai sebuah karya sastra bisa disebut bernilai apabila masing-masing unsur pembentuknya tercermin dalam strukturnya, seperti tema, karakter, plot, setting dan bahasa yang merupakan satu kesatuan utuh (Fananie, 2001:76). Dalam suatu struktur terdapat satuan-satuan unsur pembentuk dan aturan susunannya. Struktur dapat diterangkan sebagai hubungan antara unsur-unsur pembentuk itu dalam suatu susunan keseluruhan. Hubungan itu misalnya hubungan waktu, logika, dan dramatik (Rusyana, 1975:52).

34 34 a. Tema Tema adalah ide, gagasan, pandangan hidup pengarang yang melatarbelakangi ciptaan karya sastra. Sastra merupakan refleksi kehidupan masyarakat, maka tema yang diungkapkan dalam karya sastra bisa sangat beragam. Tema dapat berupa persoalan moral, etika, agama, sosial budaya, perjuangan, teknologi, tradisi yang berkaitan erat dengan masalah kehidupan (Fananie, 2001:84). Senada dengan pernyataan di atas, Nurgiyantoro (2005:70) menyatakan tema merupakan ide, gagasan, pandangan hidup yang melatarbelakangi penciptaan karya sastra. Karena sastra merupakan refeleksi kehidupan masyarakat, tema yang diungkapkan dalam karya sastra sangat beragam. Tema dapat berupa persoalan moral, etika, sosial budaya, agama, teknologi, dan tradisi yang terkait erat dengan masalah kehidupan. Tema dapat juga berupa pandangan pengarang dalam menyiasati persoalan yang muncul. Tema dapat dipandang sebagai dasar cerita dan gagasan dasar umum tersebut digunakan untuk mengembangkan cerita. Tema menjadi dasar pengembangan seluruh cerita dan menjiwai seluruh bagian cerita tersebut. Berdasarkan beberapa pendapat di atas, dapat disintesiskan bahwa tema merupakan gagasan, pandangan hidup, pengalaman pengarang yang melatarbelakangi ciptaan karya sastra dan merefleksikan kehidupan masyarakat.

BAB 1 PENDAHULUAN. Perkembangan peradaban manusia tidak pernah terlepas dari apa yang

BAB 1 PENDAHULUAN. Perkembangan peradaban manusia tidak pernah terlepas dari apa yang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Perkembangan peradaban manusia tidak pernah terlepas dari apa yang disebut karya sastra. Karya sastra merupakan hasil ide atau pemikiran dari anggota masyarakat yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. penemuan penelitian. Penelitian ini mengambil cerita rakyat Onggoloco sebagai

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. penemuan penelitian. Penelitian ini mengambil cerita rakyat Onggoloco sebagai digilib.uns.ac.id BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Penelitian sastra lisan sangat penting untuk dilakukan sebagai perlindungan dan pemeliharaan tradisi, pengembangan dan revitalisasi, melestarikan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. cerita rakyat sebagai folklor dalam tradisi lisan.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. cerita rakyat sebagai folklor dalam tradisi lisan. BAB II TINJAUAN PUSTAKA Tinjauan pustaka ini akan membahas tentang tinjauan pustaka atau kajian teori yang berkaitan dengan judul penelitian. Adapun tinjauan pustaka dalam penelitian ini meliputi 1) Repustakaan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Kepustakaan yang Relevan Ada beberapa buku yang penulis pakai dalam memahami dan langsung mendukung penelitian ini, diantaranya buku yang berkaitan dengan revitalisasi yang

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. merupakan saat-saat penting dalam kehidupan seseorang. Peristiwa-peristiwa penting

BAB 1 PENDAHULUAN. merupakan saat-saat penting dalam kehidupan seseorang. Peristiwa-peristiwa penting BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Dalam kehidupan manusia, kita mengenal adanya siklus hidup, mulai dari dalam kandungan hingga kepada kematian. Berbagai macam peristiwa yang dilalui merupakan saat-saat

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA Kajian pustaka sangat diperlukan dalam penyusunan sebuah karya ilmiah. Kajian pustaka adalah paparan atau konsep konsep yang mendukung pemecahan masalah dalam suatu penelitian yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Sastra daerah merupakan bagian dari suatu kebudayaan yang tumbuh dan

BAB I PENDAHULUAN. Sastra daerah merupakan bagian dari suatu kebudayaan yang tumbuh dan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Sastra daerah merupakan bagian dari suatu kebudayaan yang tumbuh dan berkembang di tengah-tengah masyarakat. Kehidupan sastra daerah itu dapat dikatakan masih

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia adalah negara yang kaya kebudayaan. Kebudayaan tersebut

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia adalah negara yang kaya kebudayaan. Kebudayaan tersebut 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Indonesia adalah negara yang kaya kebudayaan. Kebudayaan tersebut tersebar di daerah-daerah sehingga setiap daerah memiliki kebudayaan yang berbeda-beda.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. sebagai fakta sosial, manusia sebagai makhluk kultural (Ratna, 2005:14). Dalam

BAB I PENDAHULUAN. sebagai fakta sosial, manusia sebagai makhluk kultural (Ratna, 2005:14). Dalam BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Karya sastra merupakan salah satu hasil karya seni yang sekaligus menjadi bagian dari kebudayaan. Sebagai salah satu hasil kesenian, karya sastra mengandung

Lebih terperinci

A. Latar Belakang Kegiatan pembelajaran di sekolah dilaksanakan dalam rangka untuk meningkatkan kemampuan siswa, baik pada aspek pengetahuan, sikap

A. Latar Belakang Kegiatan pembelajaran di sekolah dilaksanakan dalam rangka untuk meningkatkan kemampuan siswa, baik pada aspek pengetahuan, sikap A. Latar Belakang Kegiatan pembelajaran di sekolah dilaksanakan dalam rangka untuk meningkatkan kemampuan siswa, baik pada aspek pengetahuan, sikap maupun keterampilan. Untuk mencapai ketiga aspek tersebut

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Bascom (dalam Danandjaja, 2002: 50) cerita prosa rakyat dibagi dalam tiga golongan

BAB I PENDAHULUAN. Bascom (dalam Danandjaja, 2002: 50) cerita prosa rakyat dibagi dalam tiga golongan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Setiap suku bangsa di dunia memiliki khazanah cerita prosa rakyat. Menurut Bascom (dalam Danandjaja, 2002: 50) cerita prosa rakyat dibagi dalam tiga golongan besar,

Lebih terperinci

BAB 7. Standar Kompetensi. Memahami kesamaan dan keberagaman Bahasa dan Dialek. Kompetensi Dasar. Tujuan Pembelajaran

BAB 7. Standar Kompetensi. Memahami kesamaan dan keberagaman Bahasa dan Dialek. Kompetensi Dasar. Tujuan Pembelajaran BAB 7 Standar Kompetensi Memahami kesamaan dan keberagaman Bahasa dan Dialek Kompetensi Dasar 1. Menjelaskan keberadaan dan perkembangan tradisi lisan dalam masyarakat setempat. 2. Mengembangkan sikap

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat. Kebudayaan Indonesia sangat beragam. Pengaruh-pengaruh

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat. Kebudayaan Indonesia sangat beragam. Pengaruh-pengaruh 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kebudayaan merupakan sistem nilai yang terkandung dalam sebuah masyarakat. Kebudayaan Indonesia sangat beragam. Pengaruh-pengaruh kebudayaan yang membentuk lapis-lapis

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kearifan nenek moyang yang menciptakan folklor (cerita rakyat, puisi rakyat, dll.)

BAB I PENDAHULUAN. kearifan nenek moyang yang menciptakan folklor (cerita rakyat, puisi rakyat, dll.) 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Ada peribahasa yang menyebutkan di mana ada asap, di sana ada api, artinya tidak ada kejadian yang tak beralasan. Hal tersebut merupakan salah satu kearifan nenek

Lebih terperinci

PELAKSANAAN PENGABDIAN KEPADA MASYARAKAT BIDANG KEBUDAYAAN

PELAKSANAAN PENGABDIAN KEPADA MASYARAKAT BIDANG KEBUDAYAAN PELAKSANAAN PENGABDIAN KEPADA MASYARAKAT BIDANG KEBUDAYAAN A. PENGANTAR Pengabdian kepada Masyarakat (PkM) merupakan salah satu unsur dalam Tri Darma Perguruan Tinggi. Secara umum, PkM tidak hanya untuk

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dikenal masyarakat luas sampai saat ini adalah prosa rakyat. Cerita prosa rakyat

BAB I PENDAHULUAN. dikenal masyarakat luas sampai saat ini adalah prosa rakyat. Cerita prosa rakyat BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Indonesia memiliki banyak warisan kebudayaan dari berbagai etnik. Warisan kebudayaan yang disampaikan secara turun menurun dari mulut kemulut secara lisan biasa disebut

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN TEORI. Kata folklor berasal dari bahasa Inggris, yaitu folklore. Dari dua kata

BAB II KAJIAN TEORI. Kata folklor berasal dari bahasa Inggris, yaitu folklore. Dari dua kata 5 BAB II KAJIAN TEORI A. Deskripsi Teori 1. Folklor Kata folklor berasal dari bahasa Inggris, yaitu folklore. Dari dua kata dasar, yaitu folk dan lore. Menurut Alan Dundes (Danandjaja, 2007: 1-2), folk

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Meskipun bangsa Indonesia sudah memiliki tradisi tulis, tidak dapat disangkal

BAB 1 PENDAHULUAN. Meskipun bangsa Indonesia sudah memiliki tradisi tulis, tidak dapat disangkal BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Meskipun bangsa Indonesia sudah memiliki tradisi tulis, tidak dapat disangkal bahwa tradisi lisan masih hidup di berbagai suku bangsa di Indonesia. Tradisi lisan sering

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dikaruniai berbagai kelebihan dibandingkan dengan ciptaan lainnya. Karunia itu

BAB I PENDAHULUAN. dikaruniai berbagai kelebihan dibandingkan dengan ciptaan lainnya. Karunia itu BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Manusia adalah makhluk hidup ciptaan Tuhan Yang Maha Esa dan dikaruniai berbagai kelebihan dibandingkan dengan ciptaan lainnya. Karunia itu berupa akal, cipta, rasa,

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA. Secara institusional objek sosiologi dan sastra adalah manusia dalam masyarakat,

BAB II KAJIAN PUSTAKA. Secara institusional objek sosiologi dan sastra adalah manusia dalam masyarakat, BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Sosiologi dan Sastra Secara institusional objek sosiologi dan sastra adalah manusia dalam masyarakat, sedangkan objek ilmu-ilmu kealaman adalah gejala alam. Masyarakat adalah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. khusus, karena terjadinya hubungan erat di antara keduanya.

BAB I PENDAHULUAN. khusus, karena terjadinya hubungan erat di antara keduanya. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Karya sastra merupakan salah satu hasil karya seni yang sekaligus menjadi bagian dari kebudayaan. Sebagai salah satu hasil kesenian, karya sastra mengandung

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA

BAB II KAJIAN PUSTAKA BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Kepustakaan yang Relevan Dalam penulisan sebuah karya ilmiah diperlukan kajian pustaka. Kajian pustaka bertujuan untuk mengetahui keauntetikan sebuah karya ilmiah. Kajian yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Bima itu. Namun saat adat istiadat tersebut perlahan-lahan mulai memudar, dan

BAB I PENDAHULUAN. Bima itu. Namun saat adat istiadat tersebut perlahan-lahan mulai memudar, dan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masyarakat Bima merupakan perpaduan dari berbagai suku, etnis dan budaya yang hampir menyebar di seluruh pelosok tanah air.akan tetapi pembentukan masyarakat Bima yang

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA. studi penelaahan terhadap buku-buku, literatur-literatur, catatan-catatan, dan laporanlaporan

BAB II KAJIAN PUSTAKA. studi penelaahan terhadap buku-buku, literatur-literatur, catatan-catatan, dan laporanlaporan BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Kajian Yang Relevan Studi kepustakaan merupakan teknik pengumpulan data dengan mengadakan studi penelaahan terhadap buku-buku, literatur-literatur, catatan-catatan, dan laporanlaporan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. rumah adat yang menjadi simbol budaya daerah, tetapi juga tradisi lisan menjadi

BAB I PENDAHULUAN. rumah adat yang menjadi simbol budaya daerah, tetapi juga tradisi lisan menjadi 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Indonesia merupakan sebuah negeri yang memiliki aneka ragam budaya yang khas pada setiap suku bangsanya. Tidak hanya bahasa daerah, pakaian adat, rumah adat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. kebudayaan antik (antiquarian) Inggris memperkenalkan istilah folklor ke dalam

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. kebudayaan antik (antiquarian) Inggris memperkenalkan istilah folklor ke dalam BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Folklor merupakan khazanah sastra lama. Salah satu jenis folklor adalah cerita rakyat. Awalnya cerita rakyat merupakan cerita lisan yang dapat dikategorikan

Lebih terperinci

ARSITEKTUR VERNAKULAR INDONESIA

ARSITEKTUR VERNAKULAR INDONESIA Modul ke: 03 Primi Fakultas FTPD ARSITEKTUR VERNAKULAR INDONESIA Vernakular dalam Arsitektur Tradisional Artiningrum Program Studi Teknik Arsitektur Tradisi berasal dari bahasa Latin: traditio, yang berarti

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Karya sastra merupakan wujud dari pengabdian perasaan dan pikiran pengarang yang muncul ketika ia berhubungan dengan lingkungan sekitar. Sastra dianggap sebagai

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Papua seperti seekor burung raksasa, Kabupaten Teluk Wondama ini terletak di

BAB I PENDAHULUAN. Papua seperti seekor burung raksasa, Kabupaten Teluk Wondama ini terletak di BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kabupaten Teluk Wondama merupakan salah satu kabupaten di Provinsi Papua Barat, yang baru berdiri pada 12 April 2003. Jika dilihat di peta pulau Papua seperti seekor

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dan seloka. Sedangkan novel, cerpen, puisi, dan drama adalah termasuk jenis sastra

BAB I PENDAHULUAN. dan seloka. Sedangkan novel, cerpen, puisi, dan drama adalah termasuk jenis sastra 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Sastra pada umumnya terdiri atas dua bentuk yaitu bentuk lisan dan bentuk tulisan. Sastra yang berbentuk lisan seperti mantra, bidal, pantun, gurindam, syair,

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Kajian pustaka adalah paparan atau konsep-konsep yang mendukung pemecahan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Kajian pustaka adalah paparan atau konsep-konsep yang mendukung pemecahan BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Kepustakaan Yang Relevan Dalam menyusun sebuah karya ilmiah sangat diperlukan kajian pustaka. Kajian pustaka adalah paparan atau konsep-konsep yang mendukung pemecahan masalah

Lebih terperinci

03FDSK. Folklore. Denta Mandra Pradipta Budiastomo, S.Ds, M.Si.

03FDSK. Folklore. Denta Mandra Pradipta Budiastomo, S.Ds, M.Si. Modul ke: Folklore Fakultas 03FDSK Penjelasan mengenai kontrak perkuliahan yang didalamnya dijelaskan mengenai tata tertib, teknis, serta bahan untuk perkuliahan di Universitas Mercu Buana Denta Mandra

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dari luapan emosional. Karya sastra tidak menyuguhkan ilmu pengetahuan dalam

BAB I PENDAHULUAN. dari luapan emosional. Karya sastra tidak menyuguhkan ilmu pengetahuan dalam BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sastra adalah suatu kegiatan kreatif pada sebuah karya seni yang tertulis atau tercetak (Wellek 1990: 3). Sastra merupakan karya imajinatif yang tercipta dari luapan

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelilitian

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelilitian 1 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelilitian Ziarah merupakan istilah yang tidak asing di masyarakat. Ziarah adalah salah satu bentuk kegiatan berdoa yang identitik dengan hal yang berkaitan dengan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Bangsa Indonesia adalah bangsa yang memiliki kekayaan budaya dan

BAB I PENDAHULUAN. Bangsa Indonesia adalah bangsa yang memiliki kekayaan budaya dan 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Bangsa Indonesia adalah bangsa yang memiliki kekayaan budaya dan tradisi yang beragam yang tersebar di seluruh pelosok tanah air. Kekayaan budaya dan tradisi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dari kata majemuk bahasa Inggris folklore, yang terdiri atas kata folk dan lore.

BAB I PENDAHULUAN. dari kata majemuk bahasa Inggris folklore, yang terdiri atas kata folk dan lore. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Dananjaya (dalam Purwadi 2009:1) menyatakan bahwa kata folklor berasal dari kata majemuk bahasa Inggris folklore, yang terdiri atas kata folk dan lore. Kata folk berarti

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Salah satu kebanggaan nasional (national pride) bangsa Indonesia adalah

BAB I PENDAHULUAN. Salah satu kebanggaan nasional (national pride) bangsa Indonesia adalah 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Salah satu kebanggaan nasional (national pride) bangsa Indonesia adalah memiliki keanekaragaman budaya yang tak terhitung banyaknya. Kebudayaan lokal dari seluruh

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. anggota masyarakat yang berkembang sesuai dengan lingkungannya. Karya

BAB I PENDAHULUAN. anggota masyarakat yang berkembang sesuai dengan lingkungannya. Karya BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Perkembangan peradaban manusia tidak pernah terlepas dari apa yang disebut karya sastra. Karya sastra merupakan hasil ide atau pemikiran dari anggota masyarakat

Lebih terperinci

CERITA RAKYAT GUNUNG SRANDIL DI DESA GLEMPANG PASIR KECAMATAN ADIPALA KABUPATEN CILACAP (TINJAUAN FOLKLOR)

CERITA RAKYAT GUNUNG SRANDIL DI DESA GLEMPANG PASIR KECAMATAN ADIPALA KABUPATEN CILACAP (TINJAUAN FOLKLOR) CERITA RAKYAT GUNUNG SRANDIL DI DESA GLEMPANG PASIR KECAMATAN ADIPALA KABUPATEN CILACAP (TINJAUAN FOLKLOR) Oleh: Dyah Susanti program studi pendidikan bahasa dan sastra jawa shanti.kece@yahoo.com Abstrak:

Lebih terperinci

NILAI-NILAI SOSIAL DAN BUDAYA DALAM MITOS KIAI KALADETE TENTANG ANAK BERAMBUT GEMBEL DI DATARAN TINGGI DIENG KABUPATEN WONOSOBO SKRIPSI

NILAI-NILAI SOSIAL DAN BUDAYA DALAM MITOS KIAI KALADETE TENTANG ANAK BERAMBUT GEMBEL DI DATARAN TINGGI DIENG KABUPATEN WONOSOBO SKRIPSI NILAI-NILAI SOSIAL DAN BUDAYA DALAM MITOS KIAI KALADETE TENTANG ANAK BERAMBUT GEMBEL DI DATARAN TINGGI DIENG KABUPATEN WONOSOBO SKRIPSI Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan Guna Mencapai Derajat Sarjana

Lebih terperinci

BAB II KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN TINJAUAN PUSTAKA. Adapun konsep yang digunakan dalam penelitian ini adalah:

BAB II KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN TINJAUAN PUSTAKA. Adapun konsep yang digunakan dalam penelitian ini adalah: BAB II KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Konsep Adapun konsep yang digunakan dalam penelitian ini adalah: 2.1.1 Sastra Sastra pada dasarnya merupakan ciptaan, kreasi bukan sebuah imitasi.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Dalam Katalog Profil Daerah Kota Padang (2012: 8) keadaan topografi wilayah

BAB I PENDAHULUAN. Dalam Katalog Profil Daerah Kota Padang (2012: 8) keadaan topografi wilayah BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sumatera Barat merupakan daerah yang kaya dengan panorama alamnya. Dalam Katalog Profil Daerah Kota Padang (2012: 8) keadaan topografi wilayah Sumatera Barat bervariasi,

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA

BAB II KAJIAN PUSTAKA BAB II KAJIAN PUSTAKA Untuk mencapai hasil penelitian yang objektif penulis berusaha menjelaskan variabel-variabel atau kata-kata kunci yang berhubungan dengan penelitian ini. Variabel variabel tersebut

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. diwariskan secara turun temurun di kalangan masyarakat pendukungnya secara

BAB 1 PENDAHULUAN. diwariskan secara turun temurun di kalangan masyarakat pendukungnya secara digilib.uns.ac.id 1 BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Upacara tradisional merupakan salah satu wujud peninggalan kebudayaan dan pada dasarnya upacara tradisional disebarkan secara lisan. Upacara

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Permainan merupakan sebuah aktivitas rekreasi dengan tujuan bersenangsenang,

BAB I PENDAHULUAN. Permainan merupakan sebuah aktivitas rekreasi dengan tujuan bersenangsenang, BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Permainan merupakan sebuah aktivitas rekreasi dengan tujuan bersenangsenang, mengisi waktu luang, atau berolahraga ringan. Menurut Nugroho, 2005:1, bahwa permainan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Sastra adalah karya lisan atau tertulis yang memiliki berbagai ciri keunggulan seperti keorisinilan, keartistikan, keindahan dalam isi dan ungkapannya (Sudjiman,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang unik pula. Selain itu, di setiap daerah tersebut memiliki suatu cerita atau

BAB I PENDAHULUAN. yang unik pula. Selain itu, di setiap daerah tersebut memiliki suatu cerita atau BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia merupakan negara yang memiliki sumber daya alam yang luas, beragam suku tersebar di berbagai wilayah, dan memiliki sumber daya manusia yang unik pula.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. objeknya manusia dan kehidupannya dengan menggunakan bahasa sebagai

BAB I PENDAHULUAN. objeknya manusia dan kehidupannya dengan menggunakan bahasa sebagai BAB I PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Penelitian Karya sastra merupakan suatu bentuk dan hasil pekerjaan kreatif yang objeknya manusia dan kehidupannya dengan menggunakan bahasa sebagai medianya (Semi,1989:8).

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Dina Astrimiati, 2014 MOTIF HUKUMAN PADA LEGENDA GUNUNG PINANG KECAMATAN KRAMATWATU KABUPATEN SERANG, BANTEN

BAB I PENDAHULUAN. Dina Astrimiati, 2014 MOTIF HUKUMAN PADA LEGENDA GUNUNG PINANG KECAMATAN KRAMATWATU KABUPATEN SERANG, BANTEN A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN Legenda bagian dari folklor merupakan bentuk refleksi dari kehidupan masyarakat yang membesarkan cerita tersebut. Umumnya memiliki kegunaan sebagai alat pendidik,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. ini sudah memiliki kebudayaan dan karya sastra tersendiri.

BAB I PENDAHULUAN. ini sudah memiliki kebudayaan dan karya sastra tersendiri. BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Bangsa Indonesia adalah bangsa yang besar yang terdiri atas berbagai suku yang tersebar di seluruh pelosok tanah air. Salah satunya adalah etnis Batak. Etnis

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Sastra lisan merupakan bagian dari kebudayaan yang tumbuh dan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Sastra lisan merupakan bagian dari kebudayaan yang tumbuh dan 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sastra lisan merupakan bagian dari kebudayaan yang tumbuh dan berkembang di tengah-tengah masyarakat pemiliknya, sebagai milik bersama, yang isinya mengenai berbagai

Lebih terperinci

BAB II GAMBARAN UMUM CERITA RAKYAT LUTUNG KASARUNG. lampau yang menjadi ciri khas setiap bangsa dengan kultur budaya dan

BAB II GAMBARAN UMUM CERITA RAKYAT LUTUNG KASARUNG. lampau yang menjadi ciri khas setiap bangsa dengan kultur budaya dan BAB II GAMBARAN UMUM CERITA RAKYAT LUTUNG KASARUNG 2.1 Cerita Rakyat Cerita rakyat adalah cerita yang berasal dari masyarakat dan berkembang dalam masyarakat. Cerita rakyat atau legenda adalah cerita pada

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Sastra sebagai cabang dari seni, yang keduanya unsur integral dari

BAB I PENDAHULUAN. Sastra sebagai cabang dari seni, yang keduanya unsur integral dari BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sastra sebagai cabang dari seni, yang keduanya unsur integral dari kebudayaan. Usianya sudah cukup tua. Kehadiran hampir bersamaan dengan adanya manusia. Karena ia diciptakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Sastra secara nyata memang berbeda dengan psikologi. Psikologi

BAB I PENDAHULUAN. Sastra secara nyata memang berbeda dengan psikologi. Psikologi 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Penelitian Sastra secara nyata memang berbeda dengan psikologi. Psikologi merupakan aktivitas ilmiah tentang prilaku manusia yang berkaitan dengan proses mental

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Karya sastra dapat dikatakan bahwa wujud dari perkembangan peradaban

BAB I PENDAHULUAN. Karya sastra dapat dikatakan bahwa wujud dari perkembangan peradaban BAB I PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Masalah Karya sastra dapat dikatakan bahwa wujud dari perkembangan peradaban manusia sesuai dengan lingkungan karena pada dasarnya, karya sastra itu merupakan unsur

Lebih terperinci

Pada bab ini dipaparkan (1) latar belakang penelitian (2) rumusan penelitian (3) tujuan

Pada bab ini dipaparkan (1) latar belakang penelitian (2) rumusan penelitian (3) tujuan BAB I PENDAHULUAN Pada bab ini dipaparkan (1) latar belakang penelitian (2) rumusan penelitian (3) tujuan penelitian (4) mamfaat penelitian. A. Latar Belakang Penelitian Karya sastra merupakan suatu bentuk

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Karya sastra merupakan seni yang bermediumkan bahasa dan dalam proses terciptanya melalui intensif, selektif, dan subjektif. Penciptaan suatu karya sastra bermula

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat dapat dikelompokkan menjadi tiga jenis yakni prosa (fiksi), puisi, dan

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat dapat dikelompokkan menjadi tiga jenis yakni prosa (fiksi), puisi, dan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Sastra merupakan sebuah karya seni yang dapat memikat hati dan bersifat mendidik. Berbagai jenis karya sastra yang telah hadir dalam lingkungan masyarakat dapat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. batas formal namun semua itu tidak begitu subtansial. Mitos tidak jauh dengan

BAB I PENDAHULUAN. batas formal namun semua itu tidak begitu subtansial. Mitos tidak jauh dengan 1 BAB I PENDAHULUAN E. Latar Belakang Mitos adalah tipe wicara, segala sesuatu bisa menjadi mitos asalkan disajikan oleh sebuah wacana. Mitos tidak ditentukan oleh objek pesannya, namun oleh bagaimana

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. suku bangsa yang ada di Indonesia memiliki ciri khas budaya tersendiri. Selain

BAB 1 PENDAHULUAN. suku bangsa yang ada di Indonesia memiliki ciri khas budaya tersendiri. Selain 1 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Indonesia adalah sebuah negeri yang kaya dengan budayanya. Setiap suku bangsa yang ada di Indonesia memiliki ciri khas budaya tersendiri. Selain bahasa daerah,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pengarang serta refleksinya terhadap gejala-gejala sosial yang terdapat di

BAB I PENDAHULUAN. pengarang serta refleksinya terhadap gejala-gejala sosial yang terdapat di BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Karya sastra lahir di tengah-tengah masyarakat sebagai hasil imajinasi pengarang serta refleksinya terhadap gejala-gejala sosial yang terdapat di sekitarnya.

Lebih terperinci

MATERI USBN SEJARAH INDONESIA. 6. Mohammad Ali : Sejarah adalah berbagai bentuk penggambaran tentang pengalaman kolektif di masa lampau

MATERI USBN SEJARAH INDONESIA. 6. Mohammad Ali : Sejarah adalah berbagai bentuk penggambaran tentang pengalaman kolektif di masa lampau MATERI USBN SEJARAH INDONESIA PENGERTIAN DAN RUANG LINGKUP ILMU SEJARAH 1. PENGERTIAN SEJARAH Istilah Sejarah berasal dari bahasa Arab yaitu Syajaratun yang berarti Pohon. Penggunaan kata tersebut dalam

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. seorang pengarang yang dituangkan melalui kata-kata yang indah sehingga. berbentuk tulisan dan karya sastra berbentuk lisan.

BAB I PENDAHULUAN. seorang pengarang yang dituangkan melalui kata-kata yang indah sehingga. berbentuk tulisan dan karya sastra berbentuk lisan. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Karya sastra merupakan sebuah hasil ciptaan manusia yang mengandung nilai keindahan yang estetik. Sebuah karya sastra menjadi cermin kehidupan yang terjadi pada

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Penelitian BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Kemajuan teknologi komunikasi menyebabkan generasi mudah kita terjebak dalam koptasi budaya luar. Salah kapra dalam memanfaatkan teknologi membuat generasi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Karya sastra merupakan hasil kreasi manusia yang indah, di dalamnya

BAB I PENDAHULUAN. Karya sastra merupakan hasil kreasi manusia yang indah, di dalamnya BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Karya sastra merupakan hasil kreasi manusia yang indah, di dalamnya terdapat daya kreatif dan daya imajinasi. Kedua kemampuan tersebut sudah melekat pada jiwa

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Sastra bersumber dari kenyataan yang berupa fakta sosial bagi masyarakat sekaligus sebagai pembaca dapat

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Sastra bersumber dari kenyataan yang berupa fakta sosial bagi masyarakat sekaligus sebagai pembaca dapat BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Sastra bersumber dari kenyataan yang berupa fakta sosial bagi masyarakat sekaligus sebagai pembaca dapat memberikan tanggapannya dalam membangun karya sastra.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Negara Indonesia memiliki beribu-ribu pulau di dalamnya.

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Negara Indonesia memiliki beribu-ribu pulau di dalamnya. 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Negara Indonesia memiliki beribu-ribu pulau di dalamnya. Banyaknya pulau-pulau di Indonesia menghadirkan suku dan budaya yang memiliki adat istiadat yang berbeda disetiap

Lebih terperinci

Seminar Nasional dan Launching ADOBSI 463

Seminar Nasional dan Launching ADOBSI 463 SUMBANGAN CERITA RAKYAT DI WILAYAH MADIUN DALAM PEMBELAJARAN BAHASA INDONESIA Eni Winarsih IKIP PGRI Madiun Abstrak Cerita rakyat adalah ragam cerita yang berkembang dalam masyarakat. Cerita rakyat disebarkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Sastra merupakan suatu bagian dari kebudayaan. Bila kita mengkaji kebudayaan

BAB I PENDAHULUAN. Sastra merupakan suatu bagian dari kebudayaan. Bila kita mengkaji kebudayaan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Sastra merupakan suatu bagian dari kebudayaan. Bila kita mengkaji kebudayaan kita tidak dapat melihatnya sebagai sesuatu yang statis, tetapi merupakan sesuatu

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Pradopo (1988:45-58) memberi batasan, bahwa karya sastra yang bermutu

BAB 1 PENDAHULUAN. Pradopo (1988:45-58) memberi batasan, bahwa karya sastra yang bermutu BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Pembicaraan karya sastra tidak lepas dari penilaian-penilaian. Pradopo (1988:45-58) memberi batasan, bahwa karya sastra yang bermutu seni adalah yang imajinatif,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. keadaan sekitar yang dituangkan dalam bentuk seni. Peristiwa yang dialami

BAB I PENDAHULUAN. keadaan sekitar yang dituangkan dalam bentuk seni. Peristiwa yang dialami BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sastra merupakan ekspresi yang kreatif dari sebuah ide, pikiran, atau perasaan yang telah dialami oleh seseorang dan diungkapkan melalui bahasa. Sastra adalah bentuk

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. di Indonesia disatupadukan dari kebudayaan nasional dan kebudayaan. daerah. Kebudayaan nasional Indonesia merupakan puncak puncak

BAB I PENDAHULUAN. di Indonesia disatupadukan dari kebudayaan nasional dan kebudayaan. daerah. Kebudayaan nasional Indonesia merupakan puncak puncak BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kepulauan Nusantara terdiri atas aneka warna kebudayaan dan bahasa. Keaneka ragaman kebudayaan dari berbagai suku bangsa yang ada di Indonesia disatupadukan dari kebudayaan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Karya sastra merupakan hasil cipta, rasa dan karsa manusia, selain memberikan hiburan juga sarat dengan nilai, baik nilai keindahan maupun nilai- nilai ajaran

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Bahasa yang digunakan terdiri atas bahasa lisan dan bahasa tulis. Oleh karena itu,

BAB 1 PENDAHULUAN. Bahasa yang digunakan terdiri atas bahasa lisan dan bahasa tulis. Oleh karena itu, BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Teks sastra adalah teks artistik yang disusun dengan menggunakan bahasa. Bahasa yang digunakan terdiri atas bahasa lisan dan bahasa tulis. Oleh karena itu, ada sastra

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. berkembang di tengah-tengah masyarakat. Kehidupan sastra daerah itu dapat. Mitchell (dalam Nurgiyantoro, 2005 : 163) yakni,

BAB I PENDAHULUAN. berkembang di tengah-tengah masyarakat. Kehidupan sastra daerah itu dapat. Mitchell (dalam Nurgiyantoro, 2005 : 163) yakni, BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Sastra daerah merupakan bagian dari suatu kebudayaan yang tumbuh dan berkembang di tengah-tengah masyarakat. Kehidupan sastra daerah itu dapat dikatakan masih

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah digilib.uns.ac.id BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia mempunyai berbagai suku bangsa dan warisan budaya yang sungguh kaya, hingga tahun 2014 terdapat 4.156 warisan budaya tak benda yang

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, DAN LANDASAN TEORI. nilai-nilai moral terhadap cerita rakyat Deleng Pertektekkendengan menggunakan kajian

BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, DAN LANDASAN TEORI. nilai-nilai moral terhadap cerita rakyat Deleng Pertektekkendengan menggunakan kajian BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, DAN LANDASAN TEORI 2.1 Kajian Pustaka Sepanjang pengamatan peneliti, tidak ditemukan penelitian yang membahas nilai-nilai moral terhadap cerita rakyat Deleng Pertektekkendengan

Lebih terperinci

PEMBELAJARAN SASTRA YANG KONTEKSTUAL DENGAN MENGADOPSI CERITA RAKYAT AIR TERJUN SEDUDO DI KABUPATEN NGANJUK

PEMBELAJARAN SASTRA YANG KONTEKSTUAL DENGAN MENGADOPSI CERITA RAKYAT AIR TERJUN SEDUDO DI KABUPATEN NGANJUK PEMBELAJARAN SASTRA YANG KONTEKSTUAL DENGAN MENGADOPSI CERITA RAKYAT AIR TERJUN SEDUDO DI KABUPATEN NGANJUK Ermi Adriani Meikayanti 1) 1) Fakultas Pendidikan Bahasa dan Seni, IKIP PGRI Madiun Email: 1)

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. pengarang menciptakan karya sastra sebagai ide kreatifnya. Sebagai orang yang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. pengarang menciptakan karya sastra sebagai ide kreatifnya. Sebagai orang yang 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Karya sastra tercipta sebagai reaksi dinamika sosial dan kultural yang terjadi dalam masyarakat. Terdapat struktur sosial yang melatarbelakangi seorang pengarang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara yang kaya keanekaragaman seni dan budaya.

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara yang kaya keanekaragaman seni dan budaya. BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan negara yang kaya keanekaragaman seni dan budaya. Kebudayaan lokal sering disebut kebudayaan etnis atau folklor (budaya tradisi). Kebudayaan lokal

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Karya sastra adalah salah satu bentuk karya seni yang pada dasarnya merupakan sarana menuangkan ide atau gagasan seorang pengarang. Kehidupan manusia dan pelbagai

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Semua bangsa di dunia memiliki cerita rakyat. Cerita rakyat adalah jenis

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Semua bangsa di dunia memiliki cerita rakyat. Cerita rakyat adalah jenis BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Semua bangsa di dunia memiliki cerita rakyat. Cerita rakyat adalah jenis sastra oral, berbentuk kisah-kisah yang mengandalkan kerja ingatan, dan diwariskan.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. karya sastra. Karya sastra merupakan hasil ide atau pemikiran dari anggota

BAB I PENDAHULUAN. karya sastra. Karya sastra merupakan hasil ide atau pemikiran dari anggota BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Perkembangan peradaban manusia tidak pernah terlepas dari apa yang disebut karya sastra. Karya sastra merupakan hasil ide atau pemikiran dari anggota masyarakat

Lebih terperinci

BAB 2 LANDASAN TEORI. 12 Universitas Indonesia

BAB 2 LANDASAN TEORI. 12 Universitas Indonesia BAB 2 LANDASAN TEORI Kehidupan sosial dapat mendorong lahirnya karya sastra. Pengarang dalam proses kreatif menulis dapat menyampaikan ide yang terinspirasi dari lingkungan sekitarnya. Kedua elemen tersebut

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Universitas Indonesia. 1 Drs. Atar Semi. Kritik Sastra, 1984: Ibid. Hal. 52.

BAB I PENDAHULUAN. Universitas Indonesia. 1 Drs. Atar Semi. Kritik Sastra, 1984: Ibid. Hal. 52. 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kesusastraan merupakan sebuah bentuk ekspresi atau pernyataan kebudayaan dalam suatu masyarakat. Sebagai ekspresi kebudayaan, kesusastraan mencerminkan sistem sosial,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. ekspresi dan kegiatan penciptaan. Karena hubungannya dengan ekspresi, maka

BAB I PENDAHULUAN. ekspresi dan kegiatan penciptaan. Karena hubungannya dengan ekspresi, maka BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Sastra merupakan seni dan karya yang sangat berhubungan erat dengan ekspresi dan kegiatan penciptaan. Karena hubungannya dengan ekspresi, maka karya sastra

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, DAN LANDASAN TEORI. oleh peneliti terdahulu yang ada kaitannya dengan penelitian yang akan dilakukan.

BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, DAN LANDASAN TEORI. oleh peneliti terdahulu yang ada kaitannya dengan penelitian yang akan dilakukan. BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, DAN LANDASAN TEORI 2.1 Kajian Pustaka Penelitian ini memuat tentang hasil hasil penelitian yang ditemukan oleh peneliti terdahulu yang ada kaitannya dengan penelitian yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. ungkapannya (Sudjiman, 1990:71). Sastra juga dapat digunakan oleh semua yang

BAB I PENDAHULUAN. ungkapannya (Sudjiman, 1990:71). Sastra juga dapat digunakan oleh semua yang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Sastra merupakan karya lisan atau berupa tulisan yang memiliki berbagai ciri, keunggulan seperti keorisinilan, keartistikan dan keindahan dalam isi dan ungkapannya

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Kebudayaan dapat diartikan sebagai suatu nilai dan pikiran yang hidup pada sebuah masyarakat, dan dalam suatu nilai, dan pikiran ini berkembang sejumlah

Lebih terperinci

CERITA RAKYAT DEWI SRITANJUNG SEBAGAI UPAYA MEWUJUDKAN PENDIDIKAN KARAKTER BERBASIS NILAI KEARIFAN LOKAL

CERITA RAKYAT DEWI SRITANJUNG SEBAGAI UPAYA MEWUJUDKAN PENDIDIKAN KARAKTER BERBASIS NILAI KEARIFAN LOKAL CERITA RAKYAT DEWI SRITANJUNG SEBAGAI UPAYA MEWUJUDKAN PENDIDIKAN KARAKTER BERBASIS NILAI KEARIFAN LOKAL Firdauzia Nur Fatimah, Edy Tri Sulistyo Universitas Sebelas Maret ningfirda15@gmail.com, edytrisulistyo9@gmail.com

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kehidupan sosial, dan karya sastra memiliki kaitan yang sangat erat. Menurut

BAB I PENDAHULUAN. kehidupan sosial, dan karya sastra memiliki kaitan yang sangat erat. Menurut 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Moral, kebudayaan, kehidupan sosial, dan karya sastra memiliki ruang lingkup yang luas di kehidupan masyarakat, sebab sastra lahir dari kebudayaan masyarakat. Aspek

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Karya sastra merupakan ungkapan kehidupan manusia yang memiliki nilai dan disajikan melalui bahasa yang menarik. Karya sastra bersifat imajinatif dan kreatif

Lebih terperinci

BAB V SIMPULAN, IMPLIKASI, DAN SARAN. A. Simpulan. asing, kata sapaan khas atau nama diri, dan kata vulgar. Kata konotatif digunakan

BAB V SIMPULAN, IMPLIKASI, DAN SARAN. A. Simpulan. asing, kata sapaan khas atau nama diri, dan kata vulgar. Kata konotatif digunakan BAB V SIMPULAN, IMPLIKASI, DAN SARAN A. Simpulan Berdasarkan hasil analisis data yang telah dilakukan hingga pembahasan, dapat diambil simpulan sebagai berikut. 1. Gaya Kata (Diksi) Pada naskah film Kembang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Karya sastra tidak lahir dalam kekosongan budaya (Teew, 1991:

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Karya sastra tidak lahir dalam kekosongan budaya (Teew, 1991: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Karya sastra tidak lahir dalam kekosongan budaya (Teew, 1991: 11) seperti halnya budaya, sejarah dan kebudayaan sastra yang merupakan bagian dari ilmu humaniora.

Lebih terperinci

PENYELENGGARAAN PENGELOLAAN PENGETAHUAN TRADISIONAL & EKSPRESI BUDAYA TRADISIONAL. Dra. Dewi Indrawati MA 1

PENYELENGGARAAN PENGELOLAAN PENGETAHUAN TRADISIONAL & EKSPRESI BUDAYA TRADISIONAL. Dra. Dewi Indrawati MA 1 Subdit PEBT PENYELENGGARAAN PENGELOLAAN PENGETAHUAN TRADISIONAL & EKSPRESI BUDAYA TRADISIONAL Dra. Dewi Indrawati MA 1 PENDAHULUAN Indonesia merupakan negara dengan kekayaan dan keragaman budaya serta

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. (tradisional) yang banyak ditemukan dalam masyarakat Bali. Satua atau dongeng

BAB I PENDAHULUAN. (tradisional) yang banyak ditemukan dalam masyarakat Bali. Satua atau dongeng BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Satua merupakan salah satu karya sastra dari kesusastraan Bali purwa (tradisional) yang banyak ditemukan dalam masyarakat Bali. Satua atau dongeng (bahasa Indonesia)

Lebih terperinci

BAB IV RESEPSI MASYARAKAT DESA ASEMDOYONG TERHADAP TRADISI BARITAN. Secara definitif resepsi sastra berasal dari kata recipere (Latin), reception

BAB IV RESEPSI MASYARAKAT DESA ASEMDOYONG TERHADAP TRADISI BARITAN. Secara definitif resepsi sastra berasal dari kata recipere (Latin), reception 88 BAB IV RESEPSI MASYARAKAT DESA ASEMDOYONG TERHADAP TRADISI BARITAN A. Analisis Resepsi 1. Pengertian Resepsi Secara definitif resepsi sastra berasal dari kata recipere (Latin), reception (Inggris),

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. lebih teratur dan mempunyai prinsip-prinsip yang kuat. Mengingat tentang

BAB I PENDAHULUAN. lebih teratur dan mempunyai prinsip-prinsip yang kuat. Mengingat tentang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Budaya merupakan cerminan dari suatu bangsa, bangsa yang menjunjung tinggi kebudayaan pastilah akan selalu dihormati oleh negara lainnya. Budaya yang terdapat dalam

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pendidikan berkaitan erat dengan proses belajar mangajar. Seperti di sekolah tempat pelaksanaan pendidikan, peserta didik dan pendidik saling melaksanakan pembelajaran

Lebih terperinci

MENGEMBANGKAN KEARIFAN LOKAL DALAM PEMBELAJARAN SEJARAH *) Oleh : Dr. Agus Mulyana, M.Hum

MENGEMBANGKAN KEARIFAN LOKAL DALAM PEMBELAJARAN SEJARAH *) Oleh : Dr. Agus Mulyana, M.Hum MENGEMBANGKAN KEARIFAN LOKAL DALAM PEMBELAJARAN SEJARAH *) Oleh : Dr. Agus Mulyana, M.Hum Pembelajaran sejarah pada umumnya yang terjadi di lapangan mengajarakan materi yang jauh dari realitas kehidupan

Lebih terperinci