Bab III HASIL PENELITIAN

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "Bab III HASIL PENELITIAN"

Transkripsi

1 Bab III HASIL PENELITIAN A. DESKRIPSI KOTA SALATIGA Salatiga merupakan salah satu kota tertua di Indonesia. Kota kecil ini berdiri pada 24 Juli 750. Sehingga tanggal 24 Juli lantas ditetapkan sebagai hari jadi Kota Salatiga oleh pemerintah daerah. Sebelum masa reformasi, Salatiga berbentuk kotamadya. Baru pada tahun 1999, tepatnya dengan dikeluarkannya UU No. 22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah, Kotamadya Salatiga berubah menjadi Kota Salatiga. Hingga kini, Salatiga berstatus Kota meski dikelilingi oleh Kabupaten Semarang. 1 Salatiga merupakan sebuah kota kecil. Sebelum terjadi pemekaran, Salatiga hanya memiliki satu kecamatan, yaitu Kecamatan Salatiga. Namun, akhirnya Salatiga mendapat perluasan wilayah dari Kabupaten Semarang. Pascapemekaran, kota ini hanya terdiri dari 4 kecamatan dan 22 kelurahan. Keempat kecamatan tersebut antara lain Kecamatan Sidorejo, Kecamatan Tingkir, Kecamatan Argomulyo, dan Kecamatan Sidomukti. Dengan luas sebesar 56,781 km2, Kota Salatiga menempati peringkat ke-18 sebagai kota terkecil di Indonesia. Berdasarkan data tahun 2011, penduduk Kota Salatiga sebanyak orang. Dengan jumlah ini, kepadatan penduduk di Kota Salatiga sebesar orang/km2. 2 Kota Salatiga tergolong kota yang masyarakatnya sangat heterogen dengan latar belakang suku, agama dan budaya yang beragam. Dengan kondisi masyarakatnya yang sangat heterogen tersebut maka Pemerintah Kota Salatiga berusaha untuk menjaga, memupuk, melestarikan dan meningkatkan keharmonisan yang sudah ada. 3 Sehingga dalam perjalanan waktu, Salatiga mendapat predikat sebagai Kota Toleran ke dua (2) di Indonesia Ibid

2 Sebagai kota persinggahan, Salatiga menjadi tempat, ruang, wadah interaksi, pertemuan, perjumpaan antar pribadi/komunitas yang berasal dari berbagai latar belakang. Seperti pendapat Titaley dan Hidayat di bab sebelumnya bahwa kondisi yang seperti ini bisa memunculkan berbagai peluang dan tantangan. Salah satu kebutuhan mendasar dan sekaligus menjadi tantangan persoalan kemanusiaan yang muncul dan tak terhindarkan adalah persoalan perkawinan. Lebih khusus lagi yaitu persoalan perkawinan bagi pasangan beda agama. Dalam kenyataannya, sampai saat ini perkawinan dan pencatatan perkawinan bagi pasangan yang berbeda keyakinan / agama masih mengalami kendala. Kendala ini disebabkan karena sikap Pemerintah Kota di berbagai tempat di Indonesia (baca: diwakili oleh lembaga-lembaga pencatatan sipil, dalam hal ini Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil) tidak sama. Di Kota Salatiga, Dinasdukcapilnya bersedia mencatatkan. Sedangkan diluar kota Salatiga, dinasdukcapilnya tidak bersedia mencatatkan. Dualisme sikap yang ditunjukkan beberapa lembaga pencatatan sipil jelas menunjukkan adanya persoalan dalam pemahaman, interpretasi dan kebijakan tentang perkawinan pasangan beda agama dan pencatatan perkawinan khususnya bagi pasangan beda agama. Pemerintah Kota Salatiga, secara khusus Kepala Dinas Kependudukan Dan Pencatatan Sipil Kota Salatiga Sejak tahun tidak menolak pencatatan perkawinan bagi pasangan beda agama. Sekalipun di luar Pemerintah Kota salatiga hal ini masih menjadi polemik, dan terkesan terjadi penolakan Dalam bab ini kita akan mencoba melihat aturan-aturan perundangan yang berlaku yaitu Undang -undang Perkawinan No 1 Tahun Dan Apa alasan-alasan/pertimbangan yang dipakai oleh Kepala Dinas dan Kependudukan Pencatatan Sipil sebagai pejabat pemerintah ini bersedia melaksanakan pencatatan perkawinan pasangan beda agama. B. KEHIDUPAN PERKAWINAN DALAM PERSPEKTIF HUKUM/NEGARA 18

3 Salah satu prinsip dalam negara hukum adalah wetmatigheid van bestuur atau pemerintahan berdasarkan peraturan perundang-undangan. Dengan kata lain, setiap tindakan hukum pemerintah baik dalam menjalankan fungsi pengaturan maupun fungsi pelayanan harus didasarkan pada wewenang yang diberikan oleh peraturan perundang-undangan yang berlaku. 4 Beberapa fakta dan perspektif tentang perkawinan di Indonesia, khususnya bagi pasangan beda agama. Sebelum dikeluarkan UU No 23 Tahun 2006, Pencatatan administrasi kependudukan termasuk di dalamnya pencatatan perkawinan di Indonesia menggunakan dasar hukum masa kolonial Belanda yaitu Staatblad.Dalam staatblad 1896 No. 158 dikenal adanya perkawinan campuran yang mana dikenal 3 jenis perkawinan campuran yaitu : 5 1. Perkawinan campuran antar tempat : misalnya perkawinan orang 2. Perkawinan campuran antar agama: misalnya golongan eropa dengan golongan timur asia atau golongan bumi putera. 3. Perkawinan campuran antar golongan Sedangkan hukum perkawinan di Indonesia yang sekarang ini diatur melalui Undang-undang No. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan. Undang-undang ini terdiri dari 14 bab dan 67 pasal, dan untuk implementasinya dilengkapi Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975 tentang peraturan pelaksanaannya dan dinyatakan berlaku efektif sejak tanggal 1 Oktober Undang-undang Perkawinan (UUP) merupakan UU pertama di Indonesia yang mengatur soal perkawinan secara nasional. Sebelumnya urusan perkawinan dan segala yang berkaitan dengannya diatur melalui beragam hukum, yaitu hukum adat bagi warga negara Indonesia asli, hukum Islam bagi warga Indonesia asli yang beragama Islam, Ordonansi Pemerintah Hindia Belanda tentang Perkawinan Indonesia Kristen bagi warga Indonesia yang beragama Kristen di Jawa, Minahasa, dan Ambon, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (BW) bagi warga Indonesia keturunan Eropa dan Cina, dan Peraturan Perkawinan Campuran bagi perkawinan campuran. Dengan demikian salah satu tujuan dari UUP adalah unifikasi atau penyeragaman hukum perkawinan yang sebelumnya sangat 4 Ridwan HR, Hukum Adminsitrasi Negara (Jakarta: Rajawali Pers, 2014), Sudargo Gautama, Segi-segi Hukum Peraturan-Perkawinan Campuran (Bandung: Citra Aditya Bakti, 1996),2-3 19

4 beragam. 6 Secara tekstual UU 1 th 1974 yang diterbitkan dan mengatur secara khusus tentang perkawinan tidak mengatur tentang perkawinan campuran dalam arti beda agama. Hal ini oleh beberapa pihak dianggap sebagai sebuah celah hukum sehingga dalam bahasa hukum, celah hukum ini bisa mengakibatkan penyelundupan hukum. Dengan berlakunya UU 1 th 1974 ini ketentuan-ketentuan yang diatur sebelumnya dalam staatblad 1896 No. 158 dan peraturan-peraturan lainnya yang mengatur tentang perkawinan sejauh telah diatur dalam UU 1/1974 ini, dinyatakan tidak berlaku. Perlu sekali kita memahami dan memperhatikan terlebih dahulu tentang substansi dari UU Perkawinan No 1 th Pengertian Perkawinan Menurut Undang-Undang No. 1 th 1974 Undang-undang No. 1 th 1974, Pasal 1, menyatakan bahwa, Perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan ke-tuhanan Yang Maha Esa. 7 Dari pengertian ini dapat dijelaskan bahwa: a. Perkawinan tidak hanya berdimensi lahiriah, tetapi juga mempunyai dimensi batiniah atau rohaniah. b. Perkawinan hanya dapat dilaksanakan oleh seorang pria dan seorang wanita sebagai suami-istri. Dari sini dapat dijelaskan dua hal sebagai berikut: 1.) Perkawinan hanya dapat dilaksanakan seorang pria dan seorang wanita. Hal ini menunjukkan bahwa menurut UU Perkawinan dianut asas perkawinan monogami. 2.) Perkawinan jangan dipandang hanya untuk memenuhi kebutuhan biologis, karena dimungkinkan adanya perkawinan in extrimis, yaitu perkawinan yang dilaksanakan oleh mereka di mana salah satu atau keduanya sudah tua dan dalam waktu singkat akan meninggal dunia). 6 Ahmad Nurcholish, Pernikahan Beda Agama : Tinjauan Keagamaan, Hukum, dan HAM. Disajikan dalam Focus Group Discution Perkawinan Beda Agama yang dihelat Yayasan Percik, Salatiga, 24 Juni Drs. Sudarsono, S.H., M.Si, Hukum Perkawinan Nasional (Jakarta : Rineka Cipta, 2010, hal 9) 20

5 Dari pengertian perkawinan tersebut di atas dapat diketahui tentang tujuan perkawinan, yaitu : membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa, bukan untuk memeroleh anak atau pun keturunan. 2. Syarat-Syarat Perkawinan Menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Agar perkawinan yang dilakukan oleh seorang pria dan seorang wanita sah, maka harus memenuhi syarat-syarat yang telah ditentukan dalam UU Perkawinan, di mana syarat tersebut dibedakan menjadi dua kelompok, yaitu: 8 a. Syarat Formil Syarat ini sebenarnya mengatur bagaimana tata cara orang yang akan melangsungkan perkawinan, yaitu berupa formalitas yang harus dipenuhi oleh orang yang akan melangsungkan perkawinan. Syarat ini telah diaturf dalam Pasal 3 sampai dengan Pasal 9 Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975, yaitu sebagai berikut: b. Syarat Materiil Syarat meteriil perkawinan telah ditetapkan dalam UU Nomor 1, di mana syarat ini harus ada pada orang yang akan melangsungkan perkawinan serta harus adanya ijin dari pihak-pihak yang bersangkutan. Syarat materiil ini selanjutnya dibedakan menjadi dua, yaitu: 1.) Syarat Materiil Absolute: Yaitu syarat yang harus dipenuhi oleh pihak yang bersangkutan dan jika salah satu syarat tidak ada maka perkawinan tidak dapat dilaksanakan dikarenakan ada halangan perkawinan mutlak. Syarat-syarat tersebut adalah sebagai berikut: a.) Perkawinan harus didasarkan pada persetujuan kedua belah pihak, di mana hal ini ditetapkan dalam Pasal 6 ayat (1) UU Perkawinan. Itu berarti bahwa perkawinan tidak boleh 8 M.Haryanto, Tinjauan Yuridis Tentang Perkawinan, dalam rumpun tulisan Materi Pembekalan Persiapan Pasangan Suami Istri (Salatiga: Klasis Salatiga, 2009) 21

6 dilakukan kalau atas dasar paksaan, penipuan ataupun kekhilafan. b.) Dalam Pasal 7 UU Perkawinan ditentukan, batas usia melangsungkan perkawinan, untuk laki-laki harus sudah berumur 19 tahun, dan perempuan 16 tahun. Sebelum usia tersebut hanya dapat melangsungkan perkawinan jika ada dispensasi. Pembatasan ini dimaksudkan agar tujuan perkawinan tercapai dan mencegah perkawinan dibawah umur (perkawinan dini) agar tidak terjadi peningkatan angka kelahiran. c.) Menurut Pasal 6 ayat (2-6) Apabila yang akan melangsungkan perkawinan belum mencapai usia 21 tahun maka harus ada ijin dari kedua orang tuanya. Kalau salah satu orang tuanya telah meninggal atau tidak dapat menyatakan kehendaknya, maka ijin dapat diberikan oleh orang tua yang masih hidup atau dapat menyatakan kehendaknya. Kalau keduanya telah meninggal atau tidak dapat menyatakan kehendak, maka ijin dapat diperoleh dari wali, orang yang memelihara atau keluarga dalam garis lurus ke atas yang masih hidup dan mampu menyatakan kehendaknya. Demikian juga Pengadilan Negeri dapat pula memberikan ijin ini. d.) Menurut Pasal 11 UU Perkawinan dan diatur lebih lanjut dalam Pasal 39 PP No. 9 Tahun 1975, seorang wanita yang putus perkawinannya sebelum melangsungkan pernikahan lagi berlaku masa tunggu, yang dibedakan menjadi tiga kelompok, yaitu: (1) Bila perkawinan putus karena kematian, janda mempunyai waktu tunggu selama 130 hari. (2) Bila putus karena perceraian, janda masih datang bulan ditetapkan waktu tunggu 3 x suci, minimal 90 hari, 22

7 sedangkan bila janda sudah tidak datang bulan, waktu tunggu adalah 90 hari. (3) Bila perkawinan putus dan janda dalam keadaan hamil, waktu tunggu ditetapkan sampai ia melahirkan. (4) Menurut Pasal 9 UU Perkawinan, seorang yang masih dalam ikatan perkawinan dengan orang lain tidak dapat melangsungkan perkawinan lagi, kecuali yang ditentukan dalam Pasal 3 dan Pasal 4 UU Perkawinan. Pada azasnya perkawinan di Indonesia adalah monogami, tetapi tidak menutup kemungkinan poligami apabila dipenuhi syarat menurut UU. Untuk melaksanakan poligami maka suami harus mengajukan permohonan kepada Pengadilan Negeri dengan alasan sebagaimana tersebut pada Pasal 4 UU Perkawinan, yaitu: -Isteri tidak dapat menjalankan kewajiban sebagai isteri -Isteri mendapat cacat badan yang tidak dapat disembuhkan. -Isteri tidak dapat memberikan keturunan. Selain salah satu alasan tersebut, maka harus dipenuhi pula syarat-syarat sebagaimana tersebut pada Pasal 5 UU Perkawinan dan Pasal 40 s/d Pasal 44 PP No. 9 Tahun Dengan adanya PP No. 10 tahun 1983, maka poligami untuk pegawai negari lebih dibatasi lagi. 2.) Syarat materiil relative Syarat ini ada pada pihak yang akan dikawini yang diatur dalam Pasal 8 dan Pasal 10 UU Perkawinan, yaitu tidak adanya larangan mereka untuk melangsungkan perkawinan. 3. Tata Cara Perkawinan Menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun

8 Menurut Pasal 2 ayat (1) UU Perkawinan, pencatatan perkawinan merupakan suatu keharusan. Kalau orang akan melangsungkan perkawinan sebenarnya ada 4 tahapan penting yang harus dilalui, yaitu: 9 a. Pemberitahuan Tentang pemberitahuan ini diatur dalam Pasal 3 PP No. 9 tahun 1975, yaitu orang yang akan melangsungkan perkawinan harus memberitahukan hal ini kepada Kantor Pencatatan Perkawinan, baik secara lisan atau tertulis. Pemberitahuan ini dilakukan 10 hari kerja sebelum pelaksanaan perkawinan oleh salah satu atau kedua mempelai, atau oleh orang tua atau wali, dapat pula oleh orang lain dengan surat kuasa. Dapat pula kurang dari 10 hari kerja sebelum pelaksanaan perkawinan asal ada dispensasi dari camat atas nama Bupati/ Walikota dengan menjelaskan alasan-alasannya. b. Penelitian dan pemeriksaan Diatur dalam Pasal 6 PP No. 9 tahun Pemeriksaan dan penelitian menyangkut hal-hal sebagai berikut: 1. Identitas calon mempelai apakah usianya telah mencapai usia untuk melangsungkan perkawinan. 2. Status, apakah calaon mempelai gadis/janda, duda/jejaka, beristeri atau belum, pegawai negari atau bukan. Hal ini terkait dengan waktu tunggu bilai mempelainya janda atau syaratsyarat berpoligami apabila suami telah beristeri. 3. Agama, hal ini terkait dengan instansi yang mencatat perkawinan juga tentang wali bila mempelai beragama Islam. c. Pengumuman Menurut Pasal 8 PP No. 9 Tahun 1975, atas hasil penelitian tersebut harus diumumkan agar masyarakat mengetahui dan dalam waktu tertentu dapat mengajukan keberatan apabila terhadap mempelai tadi ada halangan untuk melangsungkan 9 Ibid, 39 24

9 perkawinan, dan apabila dalam tenggang waktu tertentu tidak ada yang mengajukan keberatan maka perkawinan dapat dilangsungkan. d. Pencatatan Perkawinan Setelah perkawinan sah dilaksanakan menurut hukum Agama dan Kepercayaan masing-masing, maka selanjutnya dicatatkan yaitu: a. Di Kantor Urusan Agama bagi mereka yang beragama Islam b. Di Kantor Catatan Sipil bagi mereka yang Non Islam. Pencatatan perkawinan merupakan pemenuhan dari ketentuan Pasal 2 ayat 2 Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 yang menentukan bahwa tiap-tiap perkawinan harus di catat menurut perundang-undangan yang berlaku. Pencatatan perkawinan bertujuan untuk menjadikan peristiwa perkawinan tersebut jelas, bagi suami isteri maupun orang lain dan masyarakat sehingga jika diperlukan sewaktu-waktu pencatatan tersebut menjadi alat bukti tertulis yang otentik Akibat Adanya Perkawinan Menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Setelah seorang laki-laki dan seorang perempuan melangsungkan perkawinan maka akan menimbulkan akibat hukum bagi keduanya, yaitu: 11 a. Kedudukan Dalam kehidupan suami-isteri, suami mempunyai kedudukan sebagai kepala rumah tangga dan isteri sebagai ibu rumah tangga, oleh karena itu segala sesuatu yang menyangkut masalah keluarga harus dibicarakan dan diputus bersama oleh suami-isteri. b. Hak dan Kewajian Berdasarkan UU Perkawinan antara suami-isteri diwajibkan untuk saling mencintai, saling menghormati dan memberikan bantuan 10 Tinjauan Yuridis tentang Perkawinan, Ibid 25

10 lahir maupun batin, sebagai kepala keluarga suami berkewajiban melindungi isteri dan memenuhi kebutuhan rumah tangga sesuai dengan kemampuannya demikian pula sebaliknya isteri berkewajiban mengatur rumah tangganya sedemikian rupa. c. Harta Benda Terhadap harta benda yang diperoleh selama perkawinan UU Perkawinan menyatakan bahwa harta tersebut menjadi harta bersama dan pengurusannya dilaksanakan berdua sehingga kalau akan menggunakan harta bersama harus dengan persetujuan kedua belah pihak. Harta bawaan masing-masing pihak dan harta yang diperoleh sebagai hadiah atau warisan ada di bawah pengawasan masing-masing pihak, kecuali ditentukan lain. 5. PERKAWINAN BEDA AGAMA DALAM SUDUT PANDANG HUKUM/NEGARA Perkawinan beda agama menurut pendapat O.S. Eoh yang di kutip dari pendapat Abdurrahman adalah perkawinan yang dilakukan oleh orangorang yang memeluk agama dan kepercayaan yang berbeda satu dengan yang lainnya. 12 Apakah perkawinan beda agama memiliki pengertian yang sama dengan perkawinan campuran? Seperti yang tertulis dalam pasal 57 UU No 1 / 1974 bahwa Yang dimaksud dengan perkawinan campuran dalam Undang-undang ini ialah perkawinan antara dua orang yang di Indonesia tunduk pada hukum yang berlainan, karena perbedaan kewarga-negaraan dan salah satu pihak berkewarganegaraan Indonesia. 13 Dalam zaman kompeni hingga tahun 1848 keagamaan dipergunakan sebagai pedoman dalam hal-hal perkawinan campuran. Sesuai dengan struktur masyarakat yang terdapat pada waktu itu, agama yang dianut oleh penguasa agama Nasrani dijadikan pegangan. Agama dipakai untuk melindungi golongan Belanda. Seorang Kristen tidak dapat menikah dengan seorang bukan Kristen. Karena tidak sesuai dengan keadaan zaman, pendirian 12 O.S.Eoh, Perkawinan Antar Agama Dalam Teori dan Praktek, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1998). 13 Seri Hukum Dan Perundangan, Hukum Perkawinan Indonesia UU RI No. 1 Tahun 1974, (Tangerang Selatan: SL Media, 2013 ), 22 26

11 ini dilepaskan dengan diterimanya Pasal 15 OV dari 1848 yang dalam perjalanannya dicabut dan digantikan dengan S Jadi pemahaman perkawinan beda agama dengan perkawinan campuran jelaslah dua hal yang berbeda yang sangat dipengaruhi dengan konteksnya masing-masing. Yang menjadi titik berat untuk perkawinan beda agama adalah perbedaan keyakinan/agama. Dua orang yang berbeda keyakinan/agama tetap mempertahankan keyakinan/agama yang dianutnya. Sedangkan perkawinan campuran adalah perbedaan kewarganegaraan. Dua orang yang berbeda kewarganegaraan terikat dengan hukum perkawinan atau ketentuan perundang-undangan negara masing-masing. Dalam UU Nomor 1/1974 Tentang Perkawinan tidak mengatur persoalan tentang perkawinan beda / antar agama, dan secara tegas tidak melarang pelaksanaan perkawinan bagi pasangan yang berbeda agama. Dalam Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang 1 Tahun 1974 berbunyi: (1) Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu. Menurut pasal ini, secara implisit yang dimaksud dengan hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu termasuk ketentuan perundang-undangan yang tidak bertentangan atau tidak ditentukan lain dalam undang-undang ini. Dalam Pasal 8 Undang-Undang Perkawinan mengenai larangan perkawinan dalam butir f menyatakan: Perkawinan dilarang antara dua orang yang mempunyai hubungan yang oleh agamanya atau peraturan lain yang berlaku dilarang kawin. 15 Ini berarti, Undang-undang perkawinan menyerahkan pelaksanaan perkawinan beda agama kepada ajaran/hukum agama masing-masing untuk memperbolehkan atau melarang perkawinan tersebut, khususnya bagi pasangan yang berbeda agama. Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang 1 Tahun 1974 dan Pasal 8 UU Perkawinan butir f menyebabkan adanya ketidak pastian hukum bagi pasangan yang akan menikah beda agama di Indonesia. Akhirnya, masyarakat Indonesia yang hendak melangsungkan perkawinan beda 14 Ibid, Sudargo Gautama, Ibid, Seri Hukum Dan Perundangan, 10 27

12 keyakinan/ agama justru menghindari pasal ini, dengan cara penyelundupan hukum, yaitu dengan cara meni kah di luar negeri atau pernikahan secara adat. Pasal 35 huruf a UU Adminduk sebenarnya sudah memberi ruang kepada pasangan yang berbeda agama. Dalam undang-undang Adminduk tersebut telah diatur bahwa pencatatan perkawinan sebagaimana terdapat dalam pasal 34 UU Adminduk berlaku juga untuk perkawinan yang ditetapkan oleh pengadilan, yaitu perkawinan yang dilakukan antarumat yang berbeda agama. Berdasarkan penjelasan diatas, Undang-undang Perkawinan yang menjadi dasar hukum perkawinan di Indonesia tidak membahas tentang perkawinan beda agama. Justru merujuk ke UU Adminduk, perkawinan beda agama telah diakui di Indonesia. Hal ini nampak dari diaturnya mengenai pencatatan perkawinan beda agama yang ditetapkan oleh pengadilan. Ini berarti, perkawinan beda agama dapat dilakukan di Indonesia dan perkawinan tersebut sah. 6. DINAS KEPENDUDUKAN DAN PENCATATAN SIPIL KOTA SALATIGA Pencatatan Perkawinan bagi pasangan beda agama telah dilaksanakan sejak tahun di Salatiga. Ini berarti pencatatan perkawinan bagi pasangan beda agama telah mendapat ruang dalam kehidupan public. Tentunya kebijakan yang diambil oleh Pemerintah Kota Salatiga dalam hal ini Dinas Kependudukan Dan Pencatatan Sipil tidak berangkat dari ruang kosong. Ada beberapa pertimbangan, alasan-alasan yang mendasari kebijakan tersebut. Akan tetapi sebelum membahasnya lebih lanjut kita perlu mengetahui terlebih dahulu tentang tugas pokok Pemerintah Kota dalam hal ini Kepala Dinasdukcapil. Kemudian bagaimana prosedur pencatatan perkawinan bagi pasangan beda agama. Berdasarkan informasi yang kami dapatkan bahwa Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kota Salatiga merupakan bagian dari Pemerintahan Daerah Kota Salatiga. Dan bidang kependudukan dan 28

13 pencatatan sipil di Salatiga merupakan urusan wajib pemerintah sebagaimana yang tertulis dalam pasal 3, Bab II Urusan Pemerintah Daerah. 16 Pasal 3 (1) Urusan Pemerintahan wajib sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (3) hurus a, meliputi: A. Pendidikan B. Kesehatan C. Lingkungan Hidup; D. Pekerjaan Umum; E. Penataan ruang; F. Perencanaan Pembangunan; G. Perumahan H. Kepemudaan dan olah raga; I. Penanaman Modal J. Koperasi dan usaha kecil dan menengah; K. Kependudukan dan catatan sipil L. Ketanagakerjaan M. Ketahanan pangan N.... Bidang kependudukan dan catatan sipil yang merupakan urusan wajib pemerintahan seperti yang diatur dalam pasal 4 Bab II Urusan Pemerintahan daerah berpedoman pada standard pelayanan minimal bidang-bidang urusan pemerintahan yang ditetapkan oleh Pemerintah dan berpedoman pada norma, standard, prosedur dan kristeria yang ditetapkan oleh Menteri / Kepala Lembaga Pemerintahan Non Departemen Himpunan Lembaran Daerah Kota Salatiga Dihimpun oleh Bagian Hukum Kota Salatiga. Jl.Letjen Sukowati Salatiga Ibid,

14 a. Struktur Organisasi Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kota Salatiga 18 Kepala Dinas Kelompok Jabatan Fungsional Sekretariat Sub.Bagian Perencana an, Evaluasi dan pelapora Sub bagian Keuangan Sub bagian Umum dan kepega waian Bid.Pendaft aran Penduduk Bid.Pengelolaan Data dan informasi Kependudukan Bidang Pencatatan Sipil Seksi Pendataan Penduduk Seksi Program dan jaringan Komunikasi Data Seksi Pelayanan Seksi Perpindahan dan Perkembanga n Penduduk Seksi Informasi Administrasi Kependudukan Seksi Dokumentasi dan Informasi UPTD b. Susunan Kepegawaian dan Perlengkapan 18 Rencana Stategis Satuan kerja Perangkat daerah (Renstra SKPD) Dinas Kependudukan Dan Pencatatan Sipil Kota Salatiga Tahun Pemerintah Kota Salatiga 30

15 Susunan Kepegawaian Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kota Salatiga terdiri dari: 19 1.) Kepala Dinas 2.) Sekretariat 3.) Bidang-Bidang terdiri dari: a.) Bidang Pendaftaran Penduduk b.) Bidang Adminsitrasi Kependudukan c.) Bidang Pencatatan Sipil 4.) Kelompok Jabatan Fungsional C. Tugas Pokok dan Fungsi Kepala Dinas 20 Tugas Pokok membantu Walikota dalam penyelenggaraan Pemerintah Daerah di bidang Kependudukan Dan Pencatatan Sipil. 1.) Perumusan kebijakan di bidang Kependudukan dan Pencatatan sipil. 2.) Penetapan kebijakan teknis di bidang Kependudukan dan Pencatatan Sipil sesuai dengan kebijakan yang ditetapkan oleh Walikota. 3.) Pengkoordinasian dan penaggungjawab pelaksanaan kegiatan Dinas berdasarkan kebijakan Walikota. 4.) Perumusan pedoman dan petunjuk teknis di bidang kependudukan dan catatan sipil. 5.) Penerbitan akta kelahiran, perkawinan, perceraian, pengakuan dan pengesahan anak, akta kematian serta rekomendasi tentang mutasi penduduk sesuai dengan ketentuan yang berlaku D. Uraian Tugas Kepala Dinas 21 1.) Merumuskan kebijakan di bidang kependudukan dan catatan sipil berdasarkan peraturan perundang-undangan untuk di laksanakan 19 Ibid, 6 20 Ibid 21 Ibid 31

16 2.) Menetapkan kebijakan teknis di bidang Kependudukan dan Pencatatan Sipil sesuai dengan kebijakan yang di tetapkan oleh Walikota untuk di laksanakan; 3.) Menerbitkan akta kelahiran, perkawinan, perceraian, pengakuan dan pengesahan anak, akta kematian serta rekomendasi tentang mutasi penduduk sesuai dengan ketentuan yang berlaku sebagai salah satu bentuk pelayanan masyarakat 4.) Memeriksa dan menandatangani surat-surat kependudukan dan catatan sipil serta akta catatan sipil untuk kelancaran tugas. E. Prosedur Pencatan Perkawinan Di Dinas Kependudukan Dan Pencatatan Sipil Kota Salatiga Pasal 4 Bab II jika dikaitkan dengan bidang kependudukan dan catatan sipil, menegaskan bahwa Bidang Kependudukan dan catatan sipil dalam hal ini Dinas Kependudukan dan catatan sipil Salatiga, dalam menjalankan tugas-tugasnya, secara khusus dalam hal melaksanakan pencatatan perkawinan harus berpedoman pada norma, standard, prosedur yang ditetapkan. Dibawah ini akan dijelaskan prosedur pencatatan perkawinan (khusus: beda agama) yang berlangsung di Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kota Salatiga. Prosedur permohonan Pencatatan Perkawinan (Baca: Khususnya Pasangan Beda Agama) di Dinas Kependudukan Dan Pencatatan Sipil Salatiga adalah sebagai berikut: 32

17 1. Pendaftaran Pemohon melalui loket: 22 PEMOHON MENGAMBIL FORMULIR DAN MENGISI MENYERAHKAN FORMULIR DAN BERKAS PERSYARATAN KE PETUGAS DI LOKET PENGETIKAN KUTIPAN AKTA PERKAWINAN PETUGAS MENCATAT DALAM BUKU REGISTER PETUGAS MENELITI BERKAS PERSYARATAN * PENANDATANGANAN KUTIPAN AKTA DAN BUKU REGISTER OLEH KEPALA DINAS PENYERAHAN KUTIPAN AKTA PERKAWINAN KEPADA PEMOHON 2. Pendaftaran Pemohon melalui Pemuka Agama / Pemuka Penghayat Kepercayaan yang ditunjuk oleh Dinas Kependudukan Dan Pencatatan Sipil. 23 PEMOHON 1 Bertemu dengan salah satu pemuka agama yang ditunjuk oleh Dinasdukcapil untuk menanyakan persyaratan-persyaratan yang harus dipenuhi 2 Pemohon menyerahkan berkas persyaratan kepada Pemuka Agama* 3 Petugas Dinasdukcapil mencatatkan dalam register 5 Petugas Disdukcapil meneliti berkas-berkas yang diberikan oleh pemuka agama 4 Pemohon menyerahkan berkas persyaratan kepada Pemuka Agama* dinasdukcapil 6 Penandatanganan di register dilaksanakan oleh pemuka agama yang ditunjuk oleh Dinasdukcapil pada hari pelaksanaan pemberkatan/peneguhan perkawinan si pemohon 7 Setelah dilakukan penandatanganan di register, Pemuka Agama menyerahkan kembali register tersebut kepada petugas Dinasdukcapil agar dapat diterbitkan akta perkawinan 8 22 Berdasarkan wawancara dengan salah satu karyawan Dinas Kependudukan Dan Pencatatan Sipil. 23 Adapun dasar hukum penugasan kepada pemuka agama dalam mencatatkan perkawinan ini adalah Surat Keputusan Walikota Salatiga Nomor 436/541/2015 tentang Pengesahan pemuka Agama Dan Pemuka Penghayat Kepercayaan Yang menerbitkan Surat Keterangan Terjadinya Peristiwa Perkawinan Dalam Wilayah Kota Salatiga. 33

18 Catatan: * 1). Surat pemberkatan nikah dari Lembaga Agama yang melayani. 2) Berkas persyaratan harus disertai surat pernyataan dari salah satu pemohon yang telah bersedia diberkati pernikahannya atau bersedia menundukkan diri sesuai dengan hukum agama pasangannya. 7. DASAR DASAR HUKUM, KEBIJAKAN DAN ALASAN-ALASAN DARI KEPALA DINAS KEPENDUDUKAN DAN PENCATATAN SIPIL KOTA SALATIGA TERKAIT PROSES PENCATATAN PERKAWINAN KHUSUSNYA BAGI PASANGAN BEDA AGAMA Hasil penelitian dan wawancara penulis dengan Kepala Dinasdukcapil Salatiga periode ditemukan beberapa alasan/pertimbangan dan aturan/norma/kaidah hukum pasal yang dijadikan dasar dalam mengambil sebuah kebijakan untuk mencatatkan perkawinan pasangan beda agama. 24 a. Pasal 1 Undang-Undang Perkawinan No 1 tahun 1974 : Perkawinan adalah Ikatan lahir batin antara seorang Pria dan seorang wanita sebagai suami-isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan ke Tuhanan Yang Maha Esa. b. Pasal 2 Undang-Undang Perkawinan No 1 Tahun 1974: 1. Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masingmasing agama dan kepercayaannya itu. 2. Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundangundangan yang berlaku c. Undang-Undang Administrasi dan Kependudukan no 23 tahun 2006 pasal 35a, perkawinan pasangan beda agama seharusnya melalui prosedur penetapan pengadilan. d. Pasal 34 ayat (1) Undang-undang Nomor 23 tahun 2006 tentang administrasi kependudukan yang menetapkan bahwa : Perkawinan yang sah berdasarkan ketentuan Peraturan Perundang-undangan wajib dilaporkan oleh Penduduk kepada instansi Pelaksana di tempat terjadinya 24 Berdasarkan wawancara dengan bapak D pada bulan November

19 perkawinan paling lambat 60 (enam puluh) hari sejak tanggal perkawinan. e. Pasal 67 ayat (2) Peraturan Presiden Nomor 25 Tahun 2008 tentang Persyaratan dan Tata Cara Pendaftaran Penduduk dan Pentatan Sipil ditetapkan, bahwa salah satu persyaratan pencatatan perkawinan adalah Surat keterangan telah terjadinya perkawinan dari pemuka agama/pendeta. f. UUD 1945 pasal 28 a: Setiap orang berhak untuk hidup serta berhak mempertahankan hidup dan kehidupannya. Sedangkan pasal 28 b: Setiap orang berhak membentuk keluarga dan melanjutkan keturunan melalui perkawinan yang sah. g. Pasal 29 ayat (2) UUD 1945 juga menyatakan bahwa Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduknya untuk memeluk agama. h. Kepemimpinan yang melayani, yang selalu mengedepankan pelayanan kepada masyarakat. Alasan-alasan kepala dinas yang mendasarkan pada Pasal 34 ayat (1) Undang-undang Nomor 23 tahun 2006 tentang administrasi kependudukan yang menetapkan bahwa : Perkawinan yang sah berdasarkan ketentuan Peraturan Perundang-undangan wajib dilaporkan oleh Penduduk kepada instansi Pelaksana di tempat terjadinya perkawinan paling lambat 60 (enam puluh) hari sejak tanggal perkawinan, memiliki pemahaman bahwa dengan ketentuan tersebut maka perkawinan yang telah dilaksanakan menurut hukum agamanya masing-masing wajib harus dicatatkan di Kantor catatan sipil. Apabila pencatatan tersebut tidak dilakukan walaupun orang tersebut telah melangsungkan perkawinannya menurut hukum agamanya, berarti orang tersebut telah melanggar azas legalitas, sehingga akibatnya ialah bahwa akibat-akibat dari telah dilangsungkannya perkawinan tidak diakui sah secara hukum, (misalnya apabila lahir anak, maka anak yang bersangkutan tidak diakui sebagai anak yang lahir akibat perkawinan, ia hanya mempunyai hak sebagai anak ibu dengan konsekuensi yang bermacam-macam). 35

20 Oleh karenanya, sebagai warga negara yang baik, tentu harus menghormati hukum agamanya sekaligus wajib menghormati hukum negara yang berlaku dimana ia menjadi warga negaranya. Jadi berdasarkan Pasal 34 ayat (1) ini memberikan penegasan bahwa perkawinan yang sah menurut agama yang disertai dengan bukti pemberkatan/surat nikah secara absah dan prosedural dapat dicatatkan. Dasar pemahaman kepala dinas tentang Pasal 34 ayat (1) diatas juga semakin diperkuat dengan dasar hukum lain yaitu Pasal 67 ayat (2) Peraturan Presiden Nomor 25 Tahun 2008 tentang Persyaratan dan Tata Cara Pendaftaran Penduduk dan Pencatatan Sipil ditetapkan, bahwa salah satu persyaratan pencatatan perkawinan adalah Surat keterangan telah terjadinya perkawinan dari pemuka agama/pendeta. Jadi Dinas kependudukan dan pencatatan sipil bertugas hanya mencatat dengan dasar bukti pemberkatan perkawinan / surat nikah secara agama. Dinas kependudukan dan pencataan sipil tidak memiliki kapasitas untuk menolak/melarang perkawinan khususnya bagi pasangan yang berbeda keyakinan. Kenyataan yang ada, sampai dengan saat ini masih muncul interpretasi yang berbeda dari para ahli hukum, para Pemimpin Daerah, para pimpinan Kepala Dinas Dan Kependudukan dari masing-masing daerah (secara khusus Disdukcapil Salatiga) terhadap Pasal 2 ayat (1) Undang- Undang 1 Tahun Seperti dalam pemberitaan di Kompas beberapa pemuka agama mengklaim bahwa perkawinan pasangan yang berbeda agama ini tidak sesuai dengan hukum agama. (Baca Beberapa ahli hukum juga mengklaim bahwa perkawinan beda agama tidak sesuai dengan Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang 1 Tahun 1974 yang berbunyi: (1) Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu. 25 Dengan kata lain perkawinan beda agama itu merupakan pelanggaran terhadap UU No. 1/1974. Akan tetapi sekalipun 25 Sudarsono, Hukum Perkawinan Nasional (Jakarta: Rineksa Cipta, 2010), 10 36

21 banyak multi tafsir atas ketentuan Pasal 2 ayat 1 UU Nomor 1 Tahun 1974 para Kepala Dinas Kependudukan Dan Pencatatan Sipil khususnya di Kota Salatiga tetap mengambil sebuah kebijakan yang tetap berdasarkan hukum dan Undang-undang yang berlaku, seperti yang tertuang di Pasal 34 ayat (1) Undang-undang Nomor 23 tahun 2006 tentang administrasi kependudukan, Pasal 67 ayat (2) Peraturan Presiden Nomor 25 Tahun 2008 tentang Persyaratan dan Tata Cara Pendaftaran Penduduk dan Penca tatan Sipil. Berkaitan dengan Undang-Undang Administrasi dan Kependudukan no 23 tahun 2006 pasal 35a, perkawinan pasangan beda agama seharusnya melalui prosedur penetapan pengadilan. Para kepala Dinas berpendapat bahwa Undang-Undang Administrasi dan Kependudukan no 23 tahun 2006 pasal 35a ini dikenakan bagi mereka yang masing-masing mempertahankan agama dan tidak bersedia menikah berdasarkan hukum agama pihak lain. Maka solusi untuk kasus seperti ini harus ada ijin dari Pengadilan setempat dan harus ada pernyataan dari pemimpin agama masing-masing bahwa mereka tidak sanggup melangsungkan perkawinan bagi calon pengantin. Pengadilan atas pertimbangannya akan menerima atau menolak permintaan mempelai, dan apabila menerima permohonan mempelai, Pengadilan setempat akan memerintahkan kepada Pejabat Kantor Catatan Sipil setempat atas nama Negara melangsungkan pernikahan pihak yang berkepentingan. Seorang Kepala Dinas (baca: Pemimpin) harus memiliki prioritas utama dalam kepemimpinannya. 26 Memiliki spirit melayani, yang selalu mengedepankan pelayanan kepada masyarakat. Artinya bahwa seorang pemimpin harus sungguh-sungguh melayani kepentingan masyarakat. Selalu memperjumpakan keutamaan dan kebahagiaan dalam hidup bersama (baca: konteks pelayanan masyarakat). Apa keutamaan dan kebahagiaan seorang pemimpin (baca:pelayan) dalam kepemimpinannya? Ketika dirinya sebagai pemimpin dapat me-representasikan- kehadiran negara dalam kehidupan 26 Berdasarkan wawancara dengan ibu A pada bulan Desember

22 warga negaranya 27, dalam hal ini kehidupan religiusitas warganya yang berkaitan dengan perkawinan. Ketika agama sudah mengesahkan sebuah perkawinan dengan sebuah bukti berupa surat keterangan telah terjadinya perkawinan dari pemuka agama/pendeta maka sebagai seorang pemimpin (baca: Kepala Dinas dan Kependudukan Dan Pencatatan Sipil) harus menghormati hukum agama yang mengesahkan itu dengan cara mencatatkan peristiwa perkawinan itu. Ketika semua ini terjadi maka terwujudlah sebuah keutamaan dan kebaikan dalam sebuah komunitas masyarakat yang dipimpinnya. Jadi bisa disimpulkan bahwa Kewenangan dan kebijakan khusus (baca: Otonomi kehendak) dari Kepala Dinas Kependudukan Dan Pencatatan Sipil yang terkait dengan pencatatan perkawinan, khususnya bagi pasangan beda agama bukan sekedar sebuah tindakan yang muncul dari emosi, keinginan, atau pilihan. Para pemimpin Dinasdukcapil bertindak secara moral dan berdasarkan perundang-undangan yang berlaku. Kewenangan dan kebijakan khusus yang diambil bukan karena sekedar kecenderungan atau ikut-ikutan tetapi tindakan yang dilakukan bertolak dari suatu rasa kewajiban. Sebuah kewajiban adalah apa yang harus dikerjakan apapun kecenderungan subyektif yang muncul. Dan semua yang dikerjakan selalu disertai dengan berbagai pertimbangan, seperti nilai, norma, etika dan hukum yang berlaku dalam masyarakat dan kehidupan berbangsa bernegara. 27 Hal ini sejalan dengan Pasal 29 ayat (2) UUD 1945 yang menyatakan bahwa Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduknya untuk memeluk agama dan sekaligus pelaksanaan pasal 28 b bahwa Setiap orang berhak membentuk keluarga dan melanjutkan keturunan melalui perkawinan yang sah. 38

23 39

BAB IV A. PENGANTAR. 1 Wahyudi Kumorotomo, Etika Administrasi Negara (Jakarta: Rajawali Pers, 2014), hlm 43 2 Ibid, 44

BAB IV A. PENGANTAR. 1 Wahyudi Kumorotomo, Etika Administrasi Negara (Jakarta: Rajawali Pers, 2014), hlm 43 2 Ibid, 44 BAB IV ANALISA TERHADAP ALASAN-ALASAN KEPALA DINAS KEPENDUDUKAN DAN PENCATATAN SIPIL KOTA SALATIGA DALAM MENCATATKAN PERKAWINAN PASANGAN BEDA AGAMA DITINJAU DARI TEORI SOSIAL DAN ATURAN HUKUM PERUNDANGAN

Lebih terperinci

Bab V KESIMPULAN Kesimpulan. Pasal 29 UUD 1945 Tentang Kebebasan Beragama. Pasal 28E

Bab V KESIMPULAN Kesimpulan. Pasal 29 UUD 1945 Tentang Kebebasan Beragama. Pasal 28E Bab V KESIMPULAN Setelah menguraikan dan membahas beberapa hal di beberapa bab sebelumnya, maka dalam bab V ini penulis akan memberikan kesimpulan dan saran. A. Kesimpulan. Dari hasil penelitian yang telah

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG HUKUM PERKAWINAN DI INDONESIA. Perkawinan di Indonesia diatur dalam Undang-Undang Perkawinan

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG HUKUM PERKAWINAN DI INDONESIA. Perkawinan di Indonesia diatur dalam Undang-Undang Perkawinan BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG HUKUM PERKAWINAN DI INDONESIA A. Pengertian Perkawinan Perkawinan di Indonesia diatur dalam Undang-Undang Perkawinan nomor 1 Tahun 1974. Pengertian perkawinan menurut Pasal

Lebih terperinci

2002), hlm Ibid. hlm Komariah, Hukum Perdata (Malang; UPT Penerbitan Universitas Muhammadiyah Malang,

2002), hlm Ibid. hlm Komariah, Hukum Perdata (Malang; UPT Penerbitan Universitas Muhammadiyah Malang, Pendahuluan Perkawinan merupakan institusi yang sangat penting dalam masyarakat. Di dalam agama islam sendiri perkawinan merupakan sunnah Nabi Muhammad Saw, dimana bagi setiap umatnya dituntut untuk mengikutinya.

Lebih terperinci

SEMINAR SEHARI PRAKTIK PERKAWINAN BEDA AGAMA DALAM MASYARAKAT INDONESIA

SEMINAR SEHARI PRAKTIK PERKAWINAN BEDA AGAMA DALAM MASYARAKAT INDONESIA SEMINAR SEHARI PRAKTIK PERKAWINAN BEDA AGAMA DALAM MASYARAKAT INDONESIA OLEH H.SISRUWADI, SH,M.Kn KEPALA DINAS KEPENDUDUKAN DAN PENCATATAN SIPIL KOTA YOGYAKARTA DALAM PENYELENGGARAAN ADMINISTRASI KEPENDUDUKAN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Perkawinan usia muda merupakan perkawinan yang terjadi oleh pihak-pihak

BAB I PENDAHULUAN. Perkawinan usia muda merupakan perkawinan yang terjadi oleh pihak-pihak BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia

Lebih terperinci

LEMBARAN DAERAH KOTA SALATIGA NOMOR 13 TAHUN 2013 PERATURAN DAERAH KOTA SALATIGA NOMOR 13 TAHUN 2013

LEMBARAN DAERAH KOTA SALATIGA NOMOR 13 TAHUN 2013 PERATURAN DAERAH KOTA SALATIGA NOMOR 13 TAHUN 2013 LEMBARAN DAERAH KOTA SALATIGA NOMOR 13 TAHUN 2013 PERATURAN DAERAH KOTA SALATIGA NOMOR 13 TAHUN 2013 TENTANG PENYELENGGARAAN ADMINISTRASI KEPENDUDUKAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA Menimbang : a. b.

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Sebagai makhluk sosial, manusia akan selalu membutuhkan orang lain untuk

I. PENDAHULUAN. Sebagai makhluk sosial, manusia akan selalu membutuhkan orang lain untuk I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sebagai makhluk sosial, manusia akan selalu membutuhkan orang lain untuk menjalankan kehidupannya. Selain membutuhkan orang lain manusia juga membutuhkan pendamping hidup.

Lebih terperinci

Bentuk: UNDANG-UNDANG (UU) Oleh: PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA. Nomor: 1 TAHUN 1974 (1/1974) Tanggal: 2 JANUARI 1974 (JAKARTA)

Bentuk: UNDANG-UNDANG (UU) Oleh: PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA. Nomor: 1 TAHUN 1974 (1/1974) Tanggal: 2 JANUARI 1974 (JAKARTA) Bentuk: UNDANG-UNDANG (UU) Oleh: PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Nomor: 1 TAHUN 1974 (1/1974) Tanggal: 2 JANUARI 1974 (JAKARTA) Sumber: LN 1974/1; TLN NO. 3019 Tentang: PERKAWINAN Indeks: PERDATA. Perkawinan.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Perkawinan merupakan kebutuhan kodrat manusia, setiap manusia

BAB I PENDAHULUAN. Perkawinan merupakan kebutuhan kodrat manusia, setiap manusia BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Perkawinan merupakan kebutuhan kodrat manusia, setiap manusia diciptakan oleh sang kholiq untuk memiliki hasrat dan keinginan untuk melangsungkan perkawinan. Sebagaimana

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. manusia. Perkawinan ini menjadi sebuah ikatan antara seorang laki-laki dan seorang

BAB I PENDAHULUAN. manusia. Perkawinan ini menjadi sebuah ikatan antara seorang laki-laki dan seorang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Perkawinan merupakan suatu peristiwa penting yang terjadi dalam hidup manusia. Perkawinan ini menjadi sebuah ikatan antara seorang laki-laki dan seorang perempuan yang

Lebih terperinci

KEDUDUKAN HUKUM ANAK LUAR KAWIN YANG DIAKUI. Oleh: Mulyadi, SH., MH. ( )

KEDUDUKAN HUKUM ANAK LUAR KAWIN YANG DIAKUI. Oleh: Mulyadi, SH., MH. ( ) KEDUDUKAN HUKUM ANAK LUAR KAWIN YANG DIAKUI Oleh: Mulyadi, SH., MH. (081328055755) Abstrak Anak yang sah adalah anak yang dilahirkan dalam atau sebagai akibat perkawinan yang sah maka kalau terjadi perkawinan

Lebih terperinci

MENTERI DALAM NEGERI REPUBLIK INDONESIA

MENTERI DALAM NEGERI REPUBLIK INDONESIA MENTERI DALAM NEGERI REPUBLIK INDONESIA PERATURAN MENTERI DALAM NEGERI NOMOR 12 TAHUN 2010 TENTANG PEDOMAN PENCATATAN PERKAWINAN DAN PELAPORAN AKTA YANG DITERBITKAN OLEH NEGARA LAIN DENGAN RAHMAT TUHAN

Lebih terperinci

PEMERINTAH KABUPATEN BLORA PERATURAN DAERAH KABUPATEN BLORA NOMOR 4 TAHUN 2010 TENTANG PENYELENGGARAAN ADMINISTRASI KEPENDUDUKAN

PEMERINTAH KABUPATEN BLORA PERATURAN DAERAH KABUPATEN BLORA NOMOR 4 TAHUN 2010 TENTANG PENYELENGGARAAN ADMINISTRASI KEPENDUDUKAN Menimbang : PEMERINTAH KABUPATEN BLORA PERATURAN DAERAH KABUPATEN BLORA NOMOR 4 TAHUN 2010 TENTANG PENYELENGGARAAN ADMINISTRASI KEPENDUDUKAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BLORA, a. bahwa dengan

Lebih terperinci

BAB II KONSEP PERKAWINAN MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN sembarangan. Islam tidak melarangnya, membunuh atau mematikan nafsu

BAB II KONSEP PERKAWINAN MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN sembarangan. Islam tidak melarangnya, membunuh atau mematikan nafsu BAB II KONSEP PERKAWINAN MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 A. Pengertian Perkawinan Nafsu biologis adalah kelengkapan yang diberikan Allah kepada manusia, namun tidak berarti bahwa hal tersebut

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. suatu sistem pemerintahan sangat ditentukan oleh baik buruknya penyelenggaraan

I. PENDAHULUAN. suatu sistem pemerintahan sangat ditentukan oleh baik buruknya penyelenggaraan I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penyelenggaraan pelayanan publik merupakan upaya negara untuk memenuhi kebutuhan dasar dan hak-hak sipil setiap warga negara atas barang, jasa, dan pelayanan administrasi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. perkawinan yang ada di negara kita menganut asas monogami. Seorang pria

BAB I PENDAHULUAN. perkawinan yang ada di negara kita menganut asas monogami. Seorang pria 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yang merupakan ketentuan yang mengatur pelaksanaan perkawinan yang ada di Indonesia telah memberikan landasan

Lebih terperinci

PEMERINTAH KABUPATEN KEPULAUAN SELAYAR

PEMERINTAH KABUPATEN KEPULAUAN SELAYAR PEMERINTAH KABUPATEN KEPULAUAN SELAYAR PERATURAN DAERAH KABUPATEN KEPULAUAN SELAYAR NOMOR 1 TAHUN 2011 TENTANG PENYELENGGARAAN ADMINISTRASI KEPENDUDUKAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI KEPULAUAN

Lebih terperinci

PEMERINTAH KABUPATEN PURWOREJO

PEMERINTAH KABUPATEN PURWOREJO PEMERINTAH KABUPATEN PURWOREJO PERATURAN DAERAH KABUPATEN PURWOREJO NOMOR 2 TAHUN 2010 TENTANG PENYELENGGARAAN ADMINISTRASI KEPENDUDUKAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI PURWOREJO, Menimbang :

Lebih terperinci

BAB I. Persada, 1993), hal Soerjono Soekanto, Sosiologi Suatu Pengantar, cet.17, (Jakarta:Raja Grafindo

BAB I. Persada, 1993), hal Soerjono Soekanto, Sosiologi Suatu Pengantar, cet.17, (Jakarta:Raja Grafindo BAB I 1. LATAR BELAKANG Salah satu kebutuhan hidup manusia selaku makhluk sosial adalah melakukan interaksi dengan lingkungannya. Interaksi sosial akan terjadi apabila terpenuhinya dua syarat, yaitu adanya

Lebih terperinci

2 Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1974 Nomor 1, Tambahan Lembaran Negara

2 Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1974 Nomor 1, Tambahan Lembaran Negara No.755, 2015 BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA LEMSANEG. Pegawai. Perkawinan. Perceraian. PERATURAN KEPALA LEMBAGA SANDI NEGARA NOMOR 10 TAHUN 2015 TENTANG PERKAWINAN DAN PERCERAIAN PEGAWAI LEMBAGA SANDI

Lebih terperinci

TINJAUAN YURIDIS ANAK DILUAR NIKAH DALAM MENDAPATKAN WARISAN DITINJAU DARI UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN

TINJAUAN YURIDIS ANAK DILUAR NIKAH DALAM MENDAPATKAN WARISAN DITINJAU DARI UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN 1 2 TINJAUAN YURIDIS ANAK DILUAR NIKAH DALAM MENDAPATKAN WARISAN DITINJAU DARI UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN (Studi Penelitian di Pengadilan Agama Kota Gorontalo) Nurul Afry Djakaria

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 10 TAHUN 1983 TENTANG IZIN PERKAWINAN DAN PERCERAIAN BAGI PEGAWAI NEGERI SIPIL

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 10 TAHUN 1983 TENTANG IZIN PERKAWINAN DAN PERCERAIAN BAGI PEGAWAI NEGERI SIPIL PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 10 TAHUN 1983 TENTANG IZIN PERKAWINAN DAN PERCERAIAN BAGI PEGAWAI NEGERI SIPIL PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa dalam Undang-undang Nomor

Lebih terperinci

LEMBARAN DAERAH KOTA SUNGAI PENUH NOMOR 05 TAHUN 2010

LEMBARAN DAERAH KOTA SUNGAI PENUH NOMOR 05 TAHUN 2010 LEMBARAN DAERAH KOTA SUNGAI PENUH NOMOR 05 TAHUN 2010 PERATURAN DAERAH KOTA SUNGAI PENUH NOMOR 05 TAHUN 2010 TENTANG PENYELENGGARAAN ADMINISTRASI KEPENDUDUKAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERKAWINAN, PERJANJIAN PERKAWINAN DAN PEGAWAI PENCATAT PERKAWINAN

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERKAWINAN, PERJANJIAN PERKAWINAN DAN PEGAWAI PENCATAT PERKAWINAN BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERKAWINAN, PERJANJIAN PERKAWINAN DAN PEGAWAI PENCATAT PERKAWINAN 2.1 Perkawinan 2.1.1 Pengertian perkawinan. Perkawinan merupakan suatu peristiwa sakral dalam kehidupan manusia.

Lebih terperinci

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN TANGERANG. Nomor 07 Tahun 2010 PERATURAN DAERAH KABUPATEN TANGERANG NOMOR 07 TAHUN 2010 TENTANG

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN TANGERANG. Nomor 07 Tahun 2010 PERATURAN DAERAH KABUPATEN TANGERANG NOMOR 07 TAHUN 2010 TENTANG LEMBARAN DAERAH KABUPATEN TANGERANG Nomor 07 Tahun 2010 PERATURAN DAERAH KABUPATEN TANGERANG NOMOR 07 TAHUN 2010 TENTANG PENYELENGGARAAN ADMINISTRASI KEPENDUDUKAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI

Lebih terperinci

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN JOMBANG TAHUN 2011 S A L I N A N

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN JOMBANG TAHUN 2011 S A L I N A N 24 PEBRUARI 2011 LEMBARAN DAERAH KABUPATEN JOMBANG TAHUN 2011 S A L I N A N SERI E NOMOR 10 PERATURAN DAERAH KABUPATEN JOMBANG NOMOR 10 TAHUN 2010 TENTANG PENYELENGGARAAN ADMINISTRASI KEPENDUDUKAN DENGAN

Lebih terperinci

LEMBARAN DAERAH KOTA CILEGON TAHUN : 2009 NOMOR : 14 PERATURAN DAERAH KOTA CILEGON NOMOR 14 TAHUN 2009 TENTANG

LEMBARAN DAERAH KOTA CILEGON TAHUN : 2009 NOMOR : 14 PERATURAN DAERAH KOTA CILEGON NOMOR 14 TAHUN 2009 TENTANG LEMBARAN DAERAH KOTA CILEGON TAHUN : 2009 NOMOR : 14 PERATURAN DAERAH KOTA CILEGON NOMOR 14 TAHUN 2009 TENTANG PENYELENGGARAAN ADMINISTRASI KEPENDUDUKAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA CILEGON,

Lebih terperinci

BAB II PENGESAHAN ANAK LUAR KAWIN DARI PASANGAN SUAMI ISTRI YANG BERBEDA KEWARGANEGARAAN BERDASARKAN PARTICULARS OF MARRIAGE

BAB II PENGESAHAN ANAK LUAR KAWIN DARI PASANGAN SUAMI ISTRI YANG BERBEDA KEWARGANEGARAAN BERDASARKAN PARTICULARS OF MARRIAGE 30 BAB II PENGESAHAN ANAK LUAR KAWIN DARI PASANGAN SUAMI ISTRI YANG BERBEDA KEWARGANEGARAAN BERDASARKAN PARTICULARS OF MARRIAGE NO. 49/08 YANG TERDAFTAR PADA KANTOR DINAS KEPENDUDUKAN DAN PENCATATAN SIPIL

Lebih terperinci

PEMERINTAH KABUPATEN BANGKA SELATAN

PEMERINTAH KABUPATEN BANGKA SELATAN PEMERINTAH KABUPATEN BANGKA SELATAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANGKA SELATAN NOMOR 2 TAHUN 2014 TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANGKA SELATAN NOMOR 8 TAHUN 2007 TENTANG PENYELENGGARAAN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Untuk menjaga kedudukan manusia sebagai makhluk yang terhormat maka diberikan

BAB I PENDAHULUAN. Untuk menjaga kedudukan manusia sebagai makhluk yang terhormat maka diberikan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sesuai kodratnya, manusia mempunyai hasrat untuk tertarik terhadap lawan jenisnya sehingga keduanya mempunyai dorongan untuk bergaul satu sama lain. Untuk menjaga kedudukan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. istri dengan tujuan untuk membentuk keluarga ( Rumah Tangga ) yang bahagia

BAB I PENDAHULUAN. istri dengan tujuan untuk membentuk keluarga ( Rumah Tangga ) yang bahagia BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Di dalam pasal 1 UU.No 1 Tahun 1974, dikatakan bahwa perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan

Lebih terperinci

BAB II PERKAWINAN DAN PUTUSNYA PERKAWINAN MENURUT KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PERDATA DAN UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN

BAB II PERKAWINAN DAN PUTUSNYA PERKAWINAN MENURUT KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PERDATA DAN UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN BAB II PERKAWINAN DAN PUTUSNYA PERKAWINAN MENURUT KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PERDATA DAN UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN 2.1 Pengertian Perkawinan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata)

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. 1960), hal Sayuti Thalib, Hukum Keluarga Indonesia, Cet. 5, (Jakarta: Penerbit Universitas Indonesia, 1986), hal. 48.

BAB 1 PENDAHULUAN. 1960), hal Sayuti Thalib, Hukum Keluarga Indonesia, Cet. 5, (Jakarta: Penerbit Universitas Indonesia, 1986), hal. 48. 1 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Sudah menjadi kodrat alam bahwa manusia dilahirkan ke dunia selalu mempunyai kecenderungan untuk hidup bersama manusia lainnya dalam suatu pergaulan hidup. Dalam

Lebih terperinci

BUPATI MAGELANG PERATURAN DAERAH KABUPATEN MAGELANG NOMOR 5 TAHUN 2010 TENTANG PENYELENGGARAAN ADMINISTRASI KEPENDUDUKAN DI KABUPATEN MAGELANG

BUPATI MAGELANG PERATURAN DAERAH KABUPATEN MAGELANG NOMOR 5 TAHUN 2010 TENTANG PENYELENGGARAAN ADMINISTRASI KEPENDUDUKAN DI KABUPATEN MAGELANG BUPATI MAGELANG PERATURAN DAERAH KABUPATEN MAGELANG NOMOR 5 TAHUN 2010 TENTANG PENYELENGGARAAN ADMINISTRASI KEPENDUDUKAN DI KABUPATEN MAGELANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI MAGELANG, Menimbang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 bahwa negara hukum (rechtsstaat)

BAB I PENDAHULUAN. Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 bahwa negara hukum (rechtsstaat) BAB I PENDAHULUAN A.Latar Belakang Penelitian Negara Indonesia adalah Negara Hukum sebagaimana tertuang di dalam Undang- Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 bahwa negara hukum (rechtsstaat)

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KABUPATEN SRAGEN NOMOR 10 TAHUN 2011 TENTANG PENYELENGGARAAN ADMINISTRASI KEPENDUDUKAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN DAERAH KABUPATEN SRAGEN NOMOR 10 TAHUN 2011 TENTANG PENYELENGGARAAN ADMINISTRASI KEPENDUDUKAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA SALINAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN SRAGEN NOMOR 10 TAHUN 2011 TENTANG PENYELENGGARAAN ADMINISTRASI KEPENDUDUKAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI SRAGEN, Menimbang : a. bahwa untuk memberikan perlindungan,

Lebih terperinci

FH UNIVERSITAS BRAWIJAYA

FH UNIVERSITAS BRAWIJAYA NO PERBEDAAN BW/KUHPerdata Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 1 Arti Hukum Perkawinan suatu persekutuan/perikatan antara seorang wanita dan seorang pria yang diakui sah oleh UU/ peraturan negara yang bertujuan

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KABUPATEN MUARA ENIM NOMOR 5 TAHUN 2012 TENTANG PENYELENGGARAAN ADMINISTRASI KEPENDUDUKAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN DAERAH KABUPATEN MUARA ENIM NOMOR 5 TAHUN 2012 TENTANG PENYELENGGARAAN ADMINISTRASI KEPENDUDUKAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA 1 PERATURAN DAERAH KABUPATEN MUARA ENIM NOMOR 5 TAHUN 2012 TENTANG PENYELENGGARAAN ADMINISTRASI KEPENDUDUKAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI MUARA ENIM, Menimbang : a. bahwa penyelenggaraan kependudukan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. seorang pria dan seorang wanita sebagai suami istri. Ikatan lahir ialah

BAB I PENDAHULUAN. seorang pria dan seorang wanita sebagai suami istri. Ikatan lahir ialah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Perkawinan merupakan hal yang sangat penting bagi setiap individu, dalam perkawinan akan terbentuk suatu keluarga yang diharapkan akan tetap bertahan hingga

Lebih terperinci

b. Salah satu pihak menjadi pemabok, pemadat, atau penjudi yang sukar disembuhkan,

b. Salah satu pihak menjadi pemabok, pemadat, atau penjudi yang sukar disembuhkan, Pernikahan PNS Perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan

Lebih terperinci

Akibat hukum..., Siti Harwati, FH UI, Universitas Indonesia

Akibat hukum..., Siti Harwati, FH UI, Universitas Indonesia 48 BAB III ANALISIS MENGENAI PERKAWINAN BEDA AGAMA YANG DIBERIKAN PENETAPAN OLEH HAKIM DAN DI DAFTARKAN KE KANTOR CATATAN SIPIL BAGI WARGA NEGARA INDONESIA 3.1 Kasus Posisi Pada tanggal 19 November 2007

Lebih terperinci

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN BEKASI

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN BEKASI LEMBARAN DAERAH KABUPATEN BEKASI NO : 11 2001 SERI : D PERATURAN DAERAH KABUPATEN BEKASI NOMOR : 21 TAHUN 2001 TENTANG PENYELENGGARAAN PELAYANAN AKTA CATATAN SIPIL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Hidup bersama di dalam bentuknya yang terkecil itu dimulai dengan adanya

BAB I PENDAHULUAN. Hidup bersama di dalam bentuknya yang terkecil itu dimulai dengan adanya BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Manusia sejak dilahirkan ke dunia selalu mempunyai kecenderungan untuk hidup bersama dengan manusia lainnya dalam suatu pergaulan hidup. Hidup bersama di dalam

Lebih terperinci

BUPATI BADUNG PERATURAN BUPATI BADUNG NOMOR 22 TAHUN 2010 TENTANG

BUPATI BADUNG PERATURAN BUPATI BADUNG NOMOR 22 TAHUN 2010 TENTANG BUPATI BADUNG PERATURAN BUPATI BADUNG NOMOR 22 TAHUN 2010 TENTANG PEDOMAM PENYELENGGARAAN DISPENSASI PENCATATAN KELAHIRAN DAN PERKAWINAN YANG TERLAMBAT DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BADUNG,

Lebih terperinci

The Enactment of Marriage Agreement Post Constitutional Court Verdict

The Enactment of Marriage Agreement Post Constitutional Court Verdict The Enactment of Marriage Agreement Post Constitutional Court Verdict Heniyatun 1 *, Puji Sulistyaningsih 2, Bambang Tjatur Iswanto 3 1,2,3 Hukum/Fakultas Hukum, *Email: heniyatun@ummgl.ac.id Keywords:

Lebih terperinci

BAB III. POLIGAMI MENURUT PP No. 45 TAHUN Ketentuan Poligami Bagi Pegawai Negeri Sipil

BAB III. POLIGAMI MENURUT PP No. 45 TAHUN Ketentuan Poligami Bagi Pegawai Negeri Sipil BAB III POLIGAMI MENURUT PP No. 45 TAHUN 1990 1. Ketentuan Poligami Bagi Pegawai Negeri Sipil Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 45 Tahun 1990 mengatur tentang perubahan atas PP No. 10 Tahun

Lebih terperinci

BUPATI GUNUNGKIDUL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI GUNUNGKIDUL,

BUPATI GUNUNGKIDUL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI GUNUNGKIDUL, BUPATI GUNUNGKIDUL PERATURAN BUPATI GUNUNGKIDUL NOMOR 26 TAHUN 2010 TENTANG PETUNJUK PELAKSANAAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN GUNUNGKIDUL NOMOR 11 TAHUN 2010 TENTANG PENYELENGGARAAN ADMINISTRASI KEPENDUDUKAN

Lebih terperinci

WALIKOTA TANGERANG SELATAN

WALIKOTA TANGERANG SELATAN WALIKOTA TANGERANG SELATAN PERATURAN WALIKOTA TANGERANG SELATAN NOMOR : 2 TAHUN 2011 TENTANG DISPENSASI PELAYANAN PENCATATAN KELAHIRAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA TANGERANG SELATAN, Menimbang

Lebih terperinci

RAHMAD HENDRA FAKULTAS HUKUM UNRI

RAHMAD HENDRA FAKULTAS HUKUM UNRI RAHMAD HENDRA FAKULTAS HUKUM UNRI Hukum Keluarga dimulai dengan adanya perkawinan. Sebelum berlakunya Undang-undang Nomor I Tahun 1974, kondisi hukum perkawinan di Indonesia sangat pluralistis. Hal ini

Lebih terperinci

TENTANG BUPATI MUSI RAWAS,

TENTANG BUPATI MUSI RAWAS, PEMERINTAH KABUPATEN MUSI RAWAS PERATURAN DAERAH KABUPATEN MUSI RAWAS NOMOR: 4 TAHUN 2006 TENTANG RETRIBUSI PELAYANAN DAN PENDAFTARAN PENDUDUK DAN AKTA CATATAN SIPIL DI KABUPATEN MUSI RAWAS DENGAN RAHMAT

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agama

BAB I PENDAHULUAN. perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agama BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga atau rumah tangga yang bahagia

Lebih terperinci

REVISI UNDANG-UNDANG PERKAWINAN

REVISI UNDANG-UNDANG PERKAWINAN REVISI UNDANG-UNDANG PERKAWINAN Oleh: HERU SUSETYO Dosen Fakultas Hukum UIEU heru.susetyo@indonusa.ac.id ABSTRAK Undang Undang Perkawinan No. 1 tahun 1974 lahir antara lain dari perjuangan panjang kaum

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Tahun 1974, TLN No.3019, Pasal.1.

BAB I PENDAHULUAN. Tahun 1974, TLN No.3019, Pasal.1. BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KOTA TANGERANG SELATAN NOMOR 9 TAHUN 2011 TENTANG PENYELENGGARAAN ADMINISTRASI KEPENDUDUKAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN DAERAH KOTA TANGERANG SELATAN NOMOR 9 TAHUN 2011 TENTANG PENYELENGGARAAN ADMINISTRASI KEPENDUDUKAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN DAERAH KOTA TANGERANG SELATAN NOMOR 9 TAHUN 2011 TENTANG PENYELENGGARAAN ADMINISTRASI KEPENDUDUKAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA TANGERANG SELATAN, Menimbang : a. bahwa dalam rangka

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. (hidup berkelompok) yang biasa kita kenal dengan istilah zoon politicon. 1

BAB I PENDAHULUAN. (hidup berkelompok) yang biasa kita kenal dengan istilah zoon politicon. 1 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Seperti yang kita ketahui, manusia merupakan mahluk sosial. Hal ini memiliki arti bahwa manusia dalam menjalani kehidupannya, tentu akan membutuhkan bantuan dari manusia

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KOTA PALU NOMOR 1 TAHUN 2009 TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN DAERAH KOTA PALU NOMOR 8 TAHUN 2004 TENTANG ADMINISTRASI KEPENDUDUKAN

PERATURAN DAERAH KOTA PALU NOMOR 1 TAHUN 2009 TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN DAERAH KOTA PALU NOMOR 8 TAHUN 2004 TENTANG ADMINISTRASI KEPENDUDUKAN PERATURAN DAERAH KOTA PALU NOMOR 1 TAHUN 2009 TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN DAERAH KOTA PALU NOMOR 8 TAHUN 2004 TENTANG ADMINISTRASI KEPENDUDUKAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA PALU, Menimbang

Lebih terperinci

www.pa-wonosari.net admin@pa-wonosari.net UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHAESA Presiden Republik Indonesia, Menimbang : bahwa sesuai dengan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG WARISAN

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG WARISAN BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG WARISAN A. Pengertian Hukum Waris Pengertian secara umum tentang Hukum waris adalah hukum yang mengatur mengenai apa yang harus terjadi dengan harta kekayaan seseorang yang

Lebih terperinci

PENGATURAN PERKAWINAN SEAGAMA DAN HAK KONSTITUSI WNI Oleh: Nita Ariyulinda Naskah diterima : 19 September 2014; disetujui : 3 Oktober 2014

PENGATURAN PERKAWINAN SEAGAMA DAN HAK KONSTITUSI WNI Oleh: Nita Ariyulinda Naskah diterima : 19 September 2014; disetujui : 3 Oktober 2014 PENGATURAN PERKAWINAN SEAGAMA DAN HAK KONSTITUSI WNI Oleh: Nita Ariyulinda Naskah diterima : 19 September 2014; disetujui : 3 Oktober 2014 Membentuk suatu keluarga dan melanjutkan keturunan melalui perkawinan

Lebih terperinci

PEMERINTAH KOTA PASURUAN

PEMERINTAH KOTA PASURUAN PEMERINTAH KOTA PASURUAN PERATURAN DAERAH KOTA PASURUAN NOMOR 04 TAHUN 2010 TENTANG PENYELENGGARAAN ADMINISTRASI KEPENDUDUKAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA PASURUAN, Menimbang : a. bahwa penyelenggaraan

Lebih terperinci

BUPATI BONDOWOSO PERATURAN DAERAH KABUPATEN BONDOWOSO NOMOR 8 TAHUN 2008 TENTANG PENYELENGGARAAN PENDAFTARAN PENDUDUK DAN PENCATATAN SIPIL

BUPATI BONDOWOSO PERATURAN DAERAH KABUPATEN BONDOWOSO NOMOR 8 TAHUN 2008 TENTANG PENYELENGGARAAN PENDAFTARAN PENDUDUK DAN PENCATATAN SIPIL BUPATI BONDOWOSO PERATURAN DAERAH KABUPATEN BONDOWOSO NOMOR 8 TAHUN 2008 TENTANG PENYELENGGARAAN PENDAFTARAN PENDUDUK DAN PENCATATAN SIPIL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BONDOWOSO, Menimbang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. sunnatullah yang umumnya berlaku pada semua mahkluk-nya. Hal ini merupakan

BAB I PENDAHULUAN. sunnatullah yang umumnya berlaku pada semua mahkluk-nya. Hal ini merupakan 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Manusia secara alamiah mempunyai daya tarik antara satu dengan yang lainnya untuk membina suatu hubungan. Sebagai realisasi manusia dalam membina hubungan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku (Pasal 2 Undang-Undang

BAB I PENDAHULUAN. menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku (Pasal 2 Undang-Undang 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Perkawinan merupakan suatu hal yang terpenting di dalam realita kehidupan umat manusia. Perkawinan dikatakan sah apabila dilaksanakan menurut hukum masingmasing agama

Lebih terperinci

PERSPEKTIF YURIDIS DAN SOSIOLOGIS TENTANG PERKAWINAN ANTAR PEMELUK AGAMA DI KABUPATEN WONOGIRI T A R S I

PERSPEKTIF YURIDIS DAN SOSIOLOGIS TENTANG PERKAWINAN ANTAR PEMELUK AGAMA DI KABUPATEN WONOGIRI T A R S I PERSPEKTIF YURIDIS DAN SOSIOLOGIS TENTANG PERKAWINAN ANTAR PEMELUK AGAMA DI KABUPATEN WONOGIRI TESIS Oleh : T A R S I NIM : R 100030064 Program Studi : Magister Ilmu Hukum Konsentrasi : Hukum Administrasi

Lebih terperinci

URGENSI PERSETUJUAN ISTRI DALAM IJIN POLIGAMI SUAMI DI KELURAHAN NGIJO GUNUNGPATI SEMARANG

URGENSI PERSETUJUAN ISTRI DALAM IJIN POLIGAMI SUAMI DI KELURAHAN NGIJO GUNUNGPATI SEMARANG URGENSI PERSETUJUAN ISTRI DALAM IJIN POLIGAMI SUAMI DI KELURAHAN NGIJO GUNUNGPATI SEMARANG Dian Latifiani Jurusan Ilmu Hukum, Fakultas Hukum, Universitas Negeri Semarang Email:dianlatifiani@gmail.com Abstrak.

Lebih terperinci

PENTINGNYA PENCATATAN PERKAWINAN MENURUT UNDANG- UNDANG NO.1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN

PENTINGNYA PENCATATAN PERKAWINAN MENURUT UNDANG- UNDANG NO.1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN PENTINGNYA PENCATATAN PERKAWINAN MENURUT UNDANG- UNDANG NO.1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN Oleh: Wahyu Ernaningsih, S.H.,M.Hum. Dosen Fakultas Hukum Universitas Sriwijaya Abstrak Putusan Mahkamah Konstitusi

Lebih terperinci

PEMERINTAH KABUPATEN KULON PROGO PERATURAN DAERAH KABUPATEN KULON PROGO NOMOR : 11 TAHUN 2002 TENTANG

PEMERINTAH KABUPATEN KULON PROGO PERATURAN DAERAH KABUPATEN KULON PROGO NOMOR : 11 TAHUN 2002 TENTANG PEMERINTAH KABUPATEN KULON PROGO PERATURAN DAERAH KABUPATEN KULON PROGO NOMOR : 11 TAHUN 2002 TENTANG PENYELENGGARAAN PENDAFTARAN PENDUDUK DAN PENCATATAN SIPIL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KABUPATEN KARAWANG NOMOR : 1 TAHUN 2009

PERATURAN DAERAH KABUPATEN KARAWANG NOMOR : 1 TAHUN 2009 PERATURAN DAERAH KABUPATEN KARAWANG NOMOR : 1 TAHUN 2009 TENTANG PENYELENGGARAAN ADMINISTRASI KEPENDUDUKAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA Menimbang Mengingat B U P A T I K A R A W A N G, : bahwa untuk

Lebih terperinci

PEMERINTAH DAERAH KABUPATEN TAPANULI SELATAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN TAPANULI SELATAN NOMOR 6 TAHUN 2010 TENTANG

PEMERINTAH DAERAH KABUPATEN TAPANULI SELATAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN TAPANULI SELATAN NOMOR 6 TAHUN 2010 TENTANG PEMERINTAH DAERAH KABUPATEN TAPANULI SELATAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN TAPANULI SELATAN NOMOR 6 TAHUN 2010 TENTANG PENYELENGGARAAN ADMINISTRASI KEPENDUDUKAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI TAPANULI

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. menarik untuk dibicarakan, karena persoalan ini bukan hanya menyangkut tabiat

BAB I PENDAHULUAN. menarik untuk dibicarakan, karena persoalan ini bukan hanya menyangkut tabiat BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Persoalan perkawinan adalah persoalan yang selalu aktual dan selalu menarik untuk dibicarakan, karena persoalan ini bukan hanya menyangkut tabiat dan hajat hidup

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 10 TAHUN 1983 TENTANG IZIN PERKAWINAN DAN PERCERAIAN BAGI PEGAWAI NEGERI SIPIL

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 10 TAHUN 1983 TENTANG IZIN PERKAWINAN DAN PERCERAIAN BAGI PEGAWAI NEGERI SIPIL PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 10 TAHUN 1983 TENTANG IZIN PERKAWINAN DAN PERCERAIAN BAGI PEGAWAI NEGERI SIPIL PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa dalam Undang-undang Nomor

Lebih terperinci

Nomor Putusan : 089/Pdt.G/2010/PA.GM Para pihak : Pemohon Vs Termohon Tahun : 2010 Tanggal diputus : 26 Mei 2010

Nomor Putusan : 089/Pdt.G/2010/PA.GM Para pihak : Pemohon Vs Termohon Tahun : 2010 Tanggal diputus : 26 Mei 2010 Nomor Putusan : 089/Pdt.G/2010/PA.GM Para pihak : Pemohon Vs Termohon Tahun : 2010 Tanggal diputus : 26 Mei 2010 Tanggal dibacakan putusan : 26 Mei 2010 Amar : Dikabulkan Kata Kunci : Polygami Jenis Lembaga

Lebih terperinci

BAB III AKIBAT HUKUM TERHADAP STATUS ANAK DAN HARTA BENDA PERKAWINAN DALAM PERKAWINAN YANG DIBATALKAN

BAB III AKIBAT HUKUM TERHADAP STATUS ANAK DAN HARTA BENDA PERKAWINAN DALAM PERKAWINAN YANG DIBATALKAN BAB III AKIBAT HUKUM TERHADAP STATUS ANAK DAN HARTA BENDA PERKAWINAN DALAM PERKAWINAN YANG DIBATALKAN 1. Akibat Hukum Terhadap Kedudukan, Hak dan Kewajiban Anak dalam Perkawinan yang Dibatalkan a. Kedudukan,

Lebih terperinci

BAB II KEBIJAKAN HUKUM PEMERINTAH INDONESIA DALAM PENCATATAN KELAHIRAN

BAB II KEBIJAKAN HUKUM PEMERINTAH INDONESIA DALAM PENCATATAN KELAHIRAN 23 BAB II KEBIJAKAN HUKUM PEMERINTAH INDONESIA DALAM PENCATATAN KELAHIRAN A. Pengertian Umum Pencatatan sipil merupakan hak dari setiap Warga Negara Indonesia dalam arti hak memperoleh akta autentik dari

Lebih terperinci

BAB III IMPLIKASI HAK KEWARISAN ATAS PENGAKUAN ANAK LUAR

BAB III IMPLIKASI HAK KEWARISAN ATAS PENGAKUAN ANAK LUAR BAB III IMPLIKASI HAK KEWARISAN ATAS PENGAKUAN ANAK LUAR KAWIN DALAM HUKUM PERDATA (BURGERLIJK WETBOEK) A. Pengertian Anak Luar Kawin Menurut Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek) Anak menurut bahasa adalah

Lebih terperinci

PEMERINTAH KOTA PROBOLINGGO

PEMERINTAH KOTA PROBOLINGGO PEMERINTAH KOTA PROBOLINGGO PERATURAN DAERAH KOTA PROBOLINGGO NOMOR 3 TAHUN 2010 TENTANG PENYELENGGARAAN ADMINISTRASI KEPENDUDUKAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA PROBOLINGGO, Menimbang : a.

Lebih terperinci

LEMBARAN DAERAH KOTA SEMARANG

LEMBARAN DAERAH KOTA SEMARANG LEMBARAN DAERAH KOTA SEMARANG TAHUN 2008 NOMOR 5 PERATURAN DAERAH KOTA SEMARANG NOMOR 2 TAHUN 2008 T E N T A N G PENYELENGGARAAN ADMINISTRASI KEPENDUDUKAN Menimbang : a. DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

Lebih terperinci

POLIGAMI DALAM PERPEKTIF HUKUM ISLAM DALAM KAITANNYA DENGAN UNDANG-UNDANG PERKAWINAN Oleh: Nur Hayati ABSTRAK

POLIGAMI DALAM PERPEKTIF HUKUM ISLAM DALAM KAITANNYA DENGAN UNDANG-UNDANG PERKAWINAN Oleh: Nur Hayati ABSTRAK POLIGAMI DALAM PERPEKTIF HUKUM ISLAM DALAM KAITANNYA DENGAN UNDANG-UNDANG PERKAWINAN Oleh: Nur Hayati Pengajar Fakultas Hukum Universitas Indonusa Esa Unggul ABSTRAK Dalam perkawinan, sudah selayaknya

Lebih terperinci

M E M U T U S K A N. Menetapkan : PERATURAN PEMERINTAH TENTANG IJIN PERKAWINAN DAN PERCERAIAN BAGI PEGAWAI NEGERI SIPIL.

M E M U T U S K A N. Menetapkan : PERATURAN PEMERINTAH TENTANG IJIN PERKAWINAN DAN PERCERAIAN BAGI PEGAWAI NEGERI SIPIL. PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 10 TAHUN 1983 TENTANG IJIN PERKAWINAN DAN PERCERAIAN BAGI PEGAWAI NEGERI SIPIL PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Menimbang : a. bahwa dalam Undang-Undang Nomor 1

Lebih terperinci

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN BONE NOMOR 7 TAHUN 2011 PERATURAN DAERAH KABUPATEN BONE

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN BONE NOMOR 7 TAHUN 2011 PERATURAN DAERAH KABUPATEN BONE 0 SALINAN LEMBARAN DAERAH KABUPATEN BONE NOMOR 7 TAHUN 2011 PERATURAN DAERAH KABUPATEN BONE NOMOR 7 TAHUN 2011 T E N T A N G PENYELENGGARAAN ADMINISTRASI KEPENDUDUKAN DISUSUN OLEH BAGIAN HUKUM SEKRETARIAT

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 9 TAHUN 1975 TENTANG PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 9 TAHUN 1975 TENTANG PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 9 TAHUN 1975 TENTANG PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang

Lebih terperinci

BUPATI SITUBONDO PERATURAN BUPATI SITUBONDO NOMOR 40 TAHUN 2008 TENTANG

BUPATI SITUBONDO PERATURAN BUPATI SITUBONDO NOMOR 40 TAHUN 2008 TENTANG BUPATI SITUBONDO PERATURAN BUPATI SITUBONDO NOMOR 40 TAHUN 2008 TENTANG URAIAN TUGAS DAN FUNGSI DINAS KEPENDUDUKAN DAN CATATAN SIPIL KABUPATEN SITUBONDO DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI SITUBONDO,

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. sejak jaman dahulu hingga saat ini. Karena perkawinan merupakan suatu

BAB 1 PENDAHULUAN. sejak jaman dahulu hingga saat ini. Karena perkawinan merupakan suatu BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Permasalahan Perkawinan merupakan kebutuhan hidup seluruh umat manusia, dari sejak jaman dahulu hingga saat ini. Karena perkawinan merupakan suatu kenyataan atas keinginan

Lebih terperinci

BUPATI DHARMASRAYA PERATURAN DAERAH KABUPATEN DHARMASRAYA NOMOR 4 TAHUN 2010 TENTANG PENYELENGGARAAN ADMINISTRASI KEPENDUDUKAN

BUPATI DHARMASRAYA PERATURAN DAERAH KABUPATEN DHARMASRAYA NOMOR 4 TAHUN 2010 TENTANG PENYELENGGARAAN ADMINISTRASI KEPENDUDUKAN BUPATI DHARMASRAYA PERATURAN DAERAH KABUPATEN DHARMASRAYA NOMOR 4 TAHUN 2010 TENTANG PENYELENGGARAAN ADMINISTRASI KEPENDUDUKAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI DHARMASRAYA, Menimbang : a. bahwa

Lebih terperinci

Undang-undang Republik Indonesia Nomor 1 tahun 1974 Tentang perkawinan BAB I DASAR PERKAWINAN. Pasal 1. Pasal 2

Undang-undang Republik Indonesia Nomor 1 tahun 1974 Tentang perkawinan BAB I DASAR PERKAWINAN. Pasal 1. Pasal 2 Undang-undang Republik Indonesia Nomor 1 tahun 1974 Tentang perkawinan BAB I DASAR PERKAWINAN Pasal 1 Perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KABUPATEN KATINGAN NOMOR : 5 TAHUN 2011 TENTANG ADMINISTRASI KEPENDUDUKAN

PERATURAN DAERAH KABUPATEN KATINGAN NOMOR : 5 TAHUN 2011 TENTANG ADMINISTRASI KEPENDUDUKAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN KATINGAN NOMOR : 5 TAHUN 2011 TENTANG ADMINISTRASI KEPENDUDUKAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI KATINGAN, Menimbang : a. bahwa dalam rangka memberikan perlindungan dan

Lebih terperinci

P E N E T A P A N. Nomor XX/Pdt.P/2012/PA.Ktbm BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA

P E N E T A P A N. Nomor XX/Pdt.P/2012/PA.Ktbm BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA P E N E T A P A N Nomor XX/Pdt.P/2012/PA.Ktbm BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA Pengadilan Agama Kotabumi yang memeriksa dan mengadili perkara tertentu pada tingkat

Lebih terperinci

PEMERINTAH KOTA SINGKAWANG

PEMERINTAH KOTA SINGKAWANG PEMERINTAH KOTA SINGKAWANG PERATURAN DAERAH KOTA SINGKAWANG NOMOR 2 TAHUN 2010 TENTANG PENYELENGGARAAN ADMINISTRASI KEPENDUDUKAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA SINGKAWANG, Menimbang : a. bahwa

Lebih terperinci

PEMERINTAH KABUPATEN MADIUN SALINAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN MADIUN NOMOR 5 TAHUN 2010 TENTANG PENYELENGGARAAN ADMINISTRASI KEPENDUDUKAN

PEMERINTAH KABUPATEN MADIUN SALINAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN MADIUN NOMOR 5 TAHUN 2010 TENTANG PENYELENGGARAAN ADMINISTRASI KEPENDUDUKAN PEMERINTAH KABUPATEN MADIUN SALINAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN MADIUN NOMOR 5 TAHUN 2010 TENTANG PENYELENGGARAAN ADMINISTRASI KEPENDUDUKAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI MADIUN, Menimbang Mengingat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. tangga dan keluarga sejahtera bahagia di mana kedua suami istri memikul

BAB I PENDAHULUAN. tangga dan keluarga sejahtera bahagia di mana kedua suami istri memikul BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Perkawinan merupakan suatu ikatan yang sah untuk membina rumah tangga dan keluarga sejahtera bahagia di mana kedua suami istri memikul amanah dan tanggung jawab.

Lebih terperinci

BAB IV ANALISIS DATA. penelitian kepustakaan seperti buku-buku, dokumen-dokumen, jurnal, dan lainlain

BAB IV ANALISIS DATA. penelitian kepustakaan seperti buku-buku, dokumen-dokumen, jurnal, dan lainlain 59 BAB IV ANALISIS DATA Setelah penulis menguraikan setiap bab yang memiliki hubungan dengan judul skripsi penulis, maka penulis akan menganalisa data yang diperoleh dari penelitian kepustakaan seperti

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHAESA. Presiden Republik Indonesia

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHAESA. Presiden Republik Indonesia UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHAESA Presiden Republik Indonesia Menimbang : bahwa sesuai dengan falsafah Pancasila serta cita-cita untuk

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Menurut Aristoteles manusia adalah zoon politicon atau makhluk sosial.

BAB I PENDAHULUAN. Menurut Aristoteles manusia adalah zoon politicon atau makhluk sosial. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Menurut Aristoteles manusia adalah zoon politicon atau makhluk sosial. Manusia tidak dapat terlepas dari interaksi dengan lingkungan dan manusia disekitarnya

Lebih terperinci

PEMERINTAH KABUPATEN GUNUNGKIDUL

PEMERINTAH KABUPATEN GUNUNGKIDUL PEMERINTAH KABUPATEN GUNUNGKIDUL PERATURAN DAERAH KABUPATEN GUNUNGKIDUL NOMOR 5 TAHUN 2003 TENTANG PENYELENGGARAAN PENDAFTARAN PENDUDUK DAN CATATAN SIPIL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI GUNUNGKIDUL,

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 10 TAHUN 1983 TENTANG IZIN PERKAWINAN DAN PERCERAIAN BAGI PEGAWAI NEGERI SIPIL

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 10 TAHUN 1983 TENTANG IZIN PERKAWINAN DAN PERCERAIAN BAGI PEGAWAI NEGERI SIPIL PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 10 TAHUN 1983 TENTANG IZIN PERKAWINAN DAN PERCERAIAN BAGI PEGAWAI NEGERI SIPIL PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa dalam Undang-Undang Nomor

Lebih terperinci

BUPATI TANJUNG JABUNG BARAT

BUPATI TANJUNG JABUNG BARAT BUPATI TANJUNG JABUNG BARAT PERATURAN BUPATI KABUPATEN TANJUNG JABUNG BARAT NOMOR 5 TAHUN 2012 TENTANG MEKANISME PELAYANAN DAN STANDAR OPERASIONAL PROSEDUR ( SOP ) PENDAFTARAN PENDUDUK DAN PENCATATAN SIPIL

Lebih terperinci

BAB IV. Putusan Pengadilan Agama Malang No.0758/Pdt.G/2013 Tentang Perkara. HIR, Rbg, dan KUH Perdata atau BW. Pasal 54 Undang-undang Nomor 7

BAB IV. Putusan Pengadilan Agama Malang No.0758/Pdt.G/2013 Tentang Perkara. HIR, Rbg, dan KUH Perdata atau BW. Pasal 54 Undang-undang Nomor 7 BAB IV ANALISIS YURIDIS TERHADAP PENGAKUAN SEBAGAI UPAYA PEMBUKTIAN DALAM PUTUSAN PENGADILAN AGAMA MALANG NO. 0758/PDT.G/2013 TENTANG PERKARA CERAI TALAK A. Analisis Yuridis Terhadap Pengakuan Sebagai

Lebih terperinci

Himpunan Peraturan Daerah Kabupaten Purbalingga Tahun

Himpunan Peraturan Daerah Kabupaten Purbalingga Tahun LEMBARAN DAERAH KABUPATEN PURBALINGGA NOMOR 08 TAHUN 2010 PERATURAN DAERAH KABUPATEN PURBALINGGA NOMOR 08 TAHUN 2010 TENTANG KEPENDUDUKAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI PURBALINGGA, Menimbang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Manusia diciptakan Tuhan Yang Maha Esa secara berpasangpasangan. yaitu laki-laki dan perempuan. Sebagai makhluk sosial, manusia

BAB I PENDAHULUAN. Manusia diciptakan Tuhan Yang Maha Esa secara berpasangpasangan. yaitu laki-laki dan perempuan. Sebagai makhluk sosial, manusia 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Permasalahan Manusia diciptakan Tuhan Yang Maha Esa secara berpasangpasangan yaitu laki-laki dan perempuan. Sebagai makhluk sosial, manusia memerlukan orang lain untuk

Lebih terperinci