PEMETAAN NILAI SUSEPTIBILITAS MAGNETIK TANAH LAPISAN ATAS DI KODYA SURAKARTA MENGGUNAKAN BARTINGTON MS2 SEBAGAI INDIKATOR PENDEKATAN SEBARAN LOGAM

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "PEMETAAN NILAI SUSEPTIBILITAS MAGNETIK TANAH LAPISAN ATAS DI KODYA SURAKARTA MENGGUNAKAN BARTINGTON MS2 SEBAGAI INDIKATOR PENDEKATAN SEBARAN LOGAM"

Transkripsi

1 PEMETAAN NILAI SUSEPTIBILITAS MAGNETIK TANAH LAPISAN ATAS DI KODYA SURAKARTA MENGGUNAKAN BARTINGTON MS2 SEBAGAI INDIKATOR PENDEKATAN SEBARAN LOGAM Yuli Triyanto M Jurusan Fisika FMIPA Universitas Sebelas Maret Surakarta Abstrak Pertambahan jumlah kendaraan bermotor merupakan salah satu kontributor utama pencemaran tanah karena sangat mungkin gas buang kendaraan bermotor mengandung polutan berupa logam hasil pembakaran. Metode yang digunakan selama ini untuk mengidentifikasi adanya polutan adalah metode kimia, biokimia. dan geokimia. Namun metode-metode ini mahal dan membutuhkan waktu yang lama. Sementara itu metode geofisika yang dikembangkan belum efektif untuk mengidentifikasi adanya suatu sebaran logam. Untuk itu, dikembangkan metode magnetik batuan sebagai metode alternatif. Metode magnetik batuan sering digunakan dalam kajian lingkungan dengan menggunakan perubahan dan variasi sifat mineral magnetik dalam tanah, debu atau sedimen sebagai indikator dari proses yang terjadi di lingkungan. Dalam penelitian ini dikaji sifat-sifat magnetik dari tanah lapisan atas di Kodya Surakarta. Metode magnetik berupa pemetaan nilai suseptibiltas berdasarkan pengukuran secara in- situ dengan menggunakan Bartington MS2 sensor D dan dikombinasikan dengan analisis laboratorium cuplikan tanah daerah survei dengan menggunakan Bartington MS2 sensor W dengan menggunakan variasi temperatur. Hasil penelitian ini memperlihatkan adanya hubungan yang kuat antara suseptibilitas magnetik dengan pola penggunaan lahan yang salah satunya dilihat dari intensitas kepadatan lalu lintas. Pengukuran di dekat jalan raya menunjukkan nilai suseptibilitas magnetik yang lebih tinggi dibanding pengukuran yang jauh dari jalan raya (pemukiman). Korelasi ini memungkinkan digunakannya suseptibilitas magnetik sebagai indikator pendekatan sebaran logam di tanah akibat gas buang kendaraan bermotor. Kata Kunci: magnetik batuan, suseptibilitas, tanah lapisan atas, logam I. Pendahuluan Kesadaran masyarakat akan hadirnya efek gas buang kendaraan bermotor di kota-kota besar saat ini makin tinggi. Dari berbagai sumber bergerak seperti mobil penumpang, truk, bus, lokomotif kereta api, kapal terbang, dan kapal laut, kendaraan bermotor saat ini maupun di kemudian hari akan terus menjadi sumber yang dominan dari paparan logam di perkotaan. Dibandingkan dengan sumber stasioner seperti industri dan pusat tenaga listrik, jenis proses pembakaran yang terjadi pada mesin kendaraan bermotor tidak sesempurna di dalam industri dan menghasilkan bahan pencemar pada kadar yang lebih tinggi, terutama berbagai senyawa organik dan oksida nitrogen, sulfur dan karbon. Selain itu gas buang kendaraan bermotor juga langsung masuk ke dalam lingkungan jalan raya yang lebih dekat dengan masyarakat, dibandingkan dengan gas buang dari cerobong industri yang tinggi. Emisi gas buang kendaraan bermotor juga cenderung membuat kondisi tanah dan air menjadi asam. Pengalaman di negara maju membuktikan bahwa kondisi seperti ini dapat menyebabkan terlepasnya ikatan tanah atau sedimen dengan beberapa mineral/ logam, sehingga logam tersebut dapat mencemari lingkungan. Melonjaknya jumlah pemakai kendaraan bermotor di Solo diidentifikasikan menjadi sumber polutan berupa paparan logam di tanah. Jumlah kendaraan bermotor pada tahun 2004 di Kotamadya Surakarta mencapai kendaraan yang terdiri dari sepeda motor, bus, mobil penumpang, dan mobil barang. Kondisi lalu lintas Kota Surakarta juga bisa digambarkan dengan melihat total arus yang keluar masuk kota pada 18 jam efektif (jam WIB) pada tiga belas koridor adalah 1

2 kendaraan atau rata- rata kendaraan per jam (Anonim, 2006). Logam dalam batuan dan tanah bisa berupa mineral magnetik yang apabila ditinjau dari sifat magnetiknya, pada umumnya dikelompokkan menjadi diamagnetik, paramagnetik dan ferromagnetik (termasuk ferimagnetik dan antiferomagnetik). Namun demikian istilah mineral magnetik biasanya digunakan bagi mineral yang tergolong ferromagnetik. Dalam batuan dan tanah (soils), mineral ferromagnetik umumnya berasal dari keluarga besi-titanium oksida, sulfide-besi dan hidrooksida besi (Satria Bijaksana, 2002). Metode yang digunakan selama ini untuk mengidentifikasi logam adalah metode kimia, biokimia. dan geokimia. Namun metode-metode ini mahal dan membutuhkan waktu yang lama. Sementara itu metode geofisika yang dikembangkan belum efektif untuk mengidentifikasi adanya logam dalam batuan/ tanah. Untuk itu, dikembangkan metode magnetik batuan sebagai metode alternatif. Metode magnetik batuan sering digunakan dalam kajian lingkungan. Dengan menggunakan perubahan dan variasi sifat mineral magnetik dalam tanah, debu atau sedimen sebagai indikator dari proses yang terjadi di lingkungan. Mineral magnetik dapat didentifikasi dengan serangkaian metode yang dikenal dengan metode kemagnetan batuan (rock magnetic methods) dan yang lazim digunakan adalah pengukuran suseptibilitas magnetik dengan cara pemetaan suseptibilitas magnetik pada tanah berdasarkan parameter- parameter magnetik tanah. Pengukuran susuptibilitas magnetik dari suatu sampel di alam terbuka akan memberikan informasi tentang mineral yang terkandung di dalam sampel tersebut. Pemetaan suseptibilitas magnetik tanah dapat dikaitkan dengan pemetaan sebaran logam dengan asumsi tanah yang diteliti mengandung logam yang berasal dari gas buang kendaraan bermotor. Penelitian ini akan memetakan nilai suseptibilitas magnetik dan mengidentifikasikan sebaran logam di Kodya Surakarta dengan cara melakukan survei dan pengukuran secara in-situ (pengukuran lansung) di lapangan dengan Bartington MS2 sensor D sehingga diperoleh data yang dapat mewakili beberapa tempat untuk dianalisis dan dibandingkan dengan hasil pengukuran cuplikan tanah di laboratorium dengan Bartington MS2 sensor W dengan menggunakan variasi temperatur. Hasil dari penelitian ini dapat dikaitkan dengan beberapa kajian masalah lingkungan terutama masalah sebaran logam di tanah dengan hipotesis apabila paparan logam disinyalir ada dalam tanah maka dapat diidentifikasikan juga masyarakat yang tinggal atau melakukan kegiatan lainnya di sekitar jalan yang padat lalu lintas kendaraan bermotor dan mereka yang berada di jalan raya akan terpapar oleh bahan pencemar berupa logam yang kadarnya cukup tinggi pula. II. Metodologi Penelitian Penelitian mengenai nilai suseptibilitas magnetik untuk analisis sebaran logam di Kodya Surakarta ini meliputi beberapa tahapan dan metode penelitian, yaitu: II.1. Pemetaan Nilai suseptibilitas Magnetik Pengambilan data adalah pengukuran nilai suseptibilitas magnetik tanah lapisan atas secara insitu (pengukuran langsung di lapangan) dengan menggunakan Bartington MS2 sensor D. Pada setiap titik dilakukan pengukuran tiga kali dan hasil yang digunakan adalah nilai rata- rata dari ketiga nilai tersebut. Data- data hasil pengukuran kemudian diolah dengan menggunakan program Surfer v8 untuk mengetahui gambaran peta kontur nilai suseptiblitas magnetik di Kodya Surakarta. Gambar 2.1.Pengambilan data secara in- situ di lapangan II.2. Pengujian cuplikan tanah di Laboratorium Pengujian di laboratorium untuk mengetahui nilai temperatur Curie dapat digunakan sebagai pembanding dengan hasil pengukuran secara in- situ dilakukan dengan menggunakan seperangkat Bartington MS2 meter dengan sensor W yang diolah dengan software Geolabsoft v2.2. Gambar 2.2. Bartington Susceptibility Temperature System Prosedur penelitiannya secara sistematis terlihat pada diagram alir di bawah ini 2

3 Permukaan tanah Nilai Magnetik Peta kontur Magnetik Pengukuran Analisis Kesimpulan Sampel tanah pada kedalaman 0,1 m Nilai suseptibilitas magnetik Gambar 2.3. Prosedur penelitian III. Hasil dan Pembahasan Penelitian ini dilakukan untuk memetakan nilai suseptibilitas magnetik tanah lapisan atas sebagai bahan analisis sebaran logam di Kodya Surakarta. Daerah survei dalam penelitian ini meliputi area Kodya Surakarta dengan total luas 44,04 Km 2. Pemetaan dilakukan untuk mengetahui sebaran suseptibilitas pada kedalaman tertentu. Data mapping diolah dengan sofware Surfer ver8 untuk mendapatkan peta kontur isosuseptibilitas. Kontur isosuseptibilitas menampilkan adanya anomali pada titik-titik tertentu. Satria Bijaksana (2002) menyatakan bahwa dalam batuan dan tanah, mineral feromagnetik umumnya berasal dari keluarga besi titanium oksida (magnetite, hematite, maghemite), sulfidabesi (pyrite, pyrrhotite), dan hidro oksida besi (goethite). Nilai suseptibilitas mineral magnetik ini ditunjukkan dalam tabel di bawah ini. Tabel 3.1. Nilai Magnetik Mineral Feromagnetik (Hunt dkk, 1995) Mineral Magnetik Magnetik (10-5 SI) Magnetite Hematite Maghemite Ilmenite Pyrite Pyrrhotite Goethite Pengukuran secara in-situ menunjukkan nilai suseptibilitas magnetik tanah lapisan atas di Kodya Surakarta berada pada rentang (9,6-974,7) x 10-5, yang berarti termasuk dalam rentang nilai mineral feromagnetik. Pada temperatur ruangan, hanya besi (Fe), nikel (Ni), kobalt (Co), dan gadolinum (Gd) sajalah yang merupakan elemen feromagnetik, tetapi beberapa elemen pada temperatur rendah dan logam-logam campuran (alloy) yang komponennya tidak feromagnetik juga memperlihatkan efek- efek feromagnetik (Allonso,1992). Berdasarkan hal ini maka pada peta isosuseptibilitas dapat diinterprestasikan bahwa titik yang mempunyai nilai suseptibilitas magnetik tinggi berarti tanah permukaan di sekitar titik-titik tersebut mempunyai kandungan logam yang lebih tinggi dibandingkan daerah sekitarnya. Klasifikasi tinggi dalam penelitian ini adalah daerah yang mempunyai nilai suseptibilitas magnetik 900 x x Daerah yang mempunyai nilai suseptibilitas magnetik rendah rentangnya adalah 0-50 x Sedangkan daerah dengan nilai suseptibilitas 450 x x 10-5 masuk kategori sedang. Kombinasi dari pengukuran suseptibilitas magnetik dapat membantu dalam mengidentifikasi kondisi tanah di suatu daerah yang mempunyai kandungan logam di dalamnya. Emisi kendaraan bermotor diperkirakan sebagai sumber yang signifikan dari polutan bahan magnetik/ logam (Hoffman dkk, 1999). Berikut hasil pemetaan nilai suseptibilitas magnetik tanah lapisan atas di Kodya Surakarta yang diolah dengan perangkat lunak Surfer v.8 Posisi y (Satuan Panjang) Posisi x ( Satuan Panjang ) Ket: 1 satuan panjang = 500 m Gambar 3.1. Peta Kontur nilai suseptibilitas magnetik dari area survei di Kodya Surakarta Indikasi bahwa sumber utama paparan logam adalah kepadatan lalu lintas terlihat pada pengukuran di daerah sekitar jalan utama dengan kepadatan lalu lintas yang tinggi mempunyai nilai suseptibilitas magnetik lebih besar daripada yang jauh dari jalan utama atau di sekitar daerah pemukiman. Hal ini terlihat pada peta kontur

4 dimana terlihat adanya anomali dengan nilai suseptibiltas magnetik tinggi ( warna merah) di antaranya pada koordinat (3,3), (12,3), dan (13,7). Ini berarti di sekitar titik tersebut banyak terdapat kandungan logam, hal ini ditunjukkan dengan nilai suseptibilitas magnetik sebesar 947x 10-5, 958 x 10-5, 928,1 x Berdasarkan ploting titik pemetaan pada Peta Wilayah Kodya Surakarta, koordinat (3,3) dan (12,3) adalah daerah di sekitar Jalan Slamet Riyadi yang merupakan ruas jalan terbesar di Kota Surakarta dan termasuk kategori jalan utama, sehingga bisa dipastikan intensitas kendaraannya memang sangat tinggi. Begitu pula dengan koordinat (13,7) yang merupakan daerah pertigaan ramai kendaraan bermotor pertemuan dua jalan utama yaitu Jalan Jenderal Ahmad Yani dan Jalan Tentara Pelajar. Secara keseluruhan ada 12 titik pengukuran di sepanjang Jalan Slamet Riyadi dengan nilai suseptibilitas magnetik ditunjukkan pada tabel di bawah ini: Tabel 3.2. Pemetaan Nilai Magnetik di Jalan Slamet Riyadi Koordinat (10-5 ) (2,3) 808,6 (3,3) 947,2 (4,3) 872,3 (5,3) 737,3 (6,3) 333,8 (7,3) 246,3 (8,3) 712,9 (9,3) 744,8 (10,3) 595,0 (11,3) 904,1 (12,3) 958,1 (13,3) 901,1 Terlihat bahwa sebaran nilai suseptibilitas magnetik di sepanjang Jalan Slamet Riyadi dari 12 titik koordinat pengambilan data secara in-situ mempunyai rentang nilai yang relatif tinggi pada 9 titik koordinat yaitu (712,9-958,1) x Nilai yang relatif lebih rendah di temukan di tiga koordinat lain sebesar 246,3 x 10-5 ; 333,8 x 10-5 ; dan 595,0 x Ketika dicocokkan dengan kondisi saat pengambilan data, ternyata lokasi pengukuran di tiga titik ini dilakukan di taman kota yang terletak di sisi jalan, sehingga ada pengaruh vegetasi (rerumputan taman) terhadap nilai suseptibilitas magnetik yang terukur. Pengukuran di tiga titik di Jalan Slamet Riyadi ini terpaksa dilakukan di areal taman karena secara kondisi fisik tidak ada permukaan tanah yang terbuka akibat betonisasi di sebelah kiri dan kanan Jalan Slamet Riyadi. Pengukuran 9 titik lain dilakukan langsung di tanah permukaan di pinggir jalan. Anomali dengan nilai suseptibilitas yang rendah (warna hijau) di koordinat (1,4) dan (14,10) yaitu di daerah Jalan Blewah Raya I dan Jalan Madukoro yang merupakan daerah pemukiman penduduk ataupun daerah dengan intensitas kendaraan bermotor yang relatif lebih sedikit semakin menguatkan bahwa gas buang kendaraan bermotor menjadi salah satu sumber polutan logam. Dari pengukuran di Jalan Slamet Riyadi di atas terlihat faktor vegetasi juga memberikan kontribusi pada terukurnya nilai suseptibilitas pada tanah permukaan. Sehingga pengukuran di tiga titik koordinat di areal yang banyak vegetasinya ternyata berbeda dibandingkan dengan 9 titik pengambilan data yang lain dalam satu jalan yang sama intensitas kendaraannya. Hal ini juga terlihat pada peta kontur isosuseptibilitas pada koordionat (7,2) yang merupakan daerah Jalan Samanhudi ( pertigaan dekat Tugu Lilin) yang termasuk kategori jalan raya yang secara intensitas kendaraan bermotor daerah ini bisa dikategorikan ramai. Namun kondisi di sekitar jalan yang ditumbuhi pepohonan ternyata berpengaruh pada sebaran logam yang ada, hal ini ditunjukkan dengan nilai suseptibilitas yang hanya berkisar pada nilai 37,95 x10-5 yang termasuk kategori rendah. Tumbuhan dapat bertindak sebagai pengeliminasi logam. Peran pada tumbuhan ini dikenal sebagai fitoremidiasi. Tumbuhan dapat mengeliminasi logam berat melalui beberapa cara, seperti (i) fitostabilisasi: tumbuhan menstabilkan limbah di dalam tanah; (ii) fitostimulasi: akar tanaman menstimulasi penghancuran limbah dengan bantuan bakteri rhizosfer; (iii) fitodegradasi: tanaman mendegradasi limbah; (iv) fito ekstrasi: jeringan tanaman, terutama dauan mangakumulasi limbah; (v) fitovolatilisasi: limbah diubah menjadi senyawa yang mudah menguap; serta (vi) rhizofiltrasi: akar menyerap limbah dari air (Kompas, 2004). Namun berbeda dengan bakteri yang dapat mengubah tingkat oksidasi dan ordinasi logam menjadi kurang berbahaya, pada fitoremidiasi sebagian logam yang diserap tetap dalam kondisi membahayakan manusia, sehingga kayu atau panenan lain dari tumbuhan tersebut harus diperlakukan secara khusus karena tetap mengandung zat beracun, meskipun tingkat peracunan ini umumnya terbatas karena logam yang tertahan di lapisan akar umumnya tidak berada dalam kondisi dapat diserap makhluk hidup. Namun yang terpenting dengan adanya tumbuhan ini dapat mencegah paparan langsung logam ke tubuh manusia. 4

5 Penelitian terdahulu yang dilakukan oleh Endang Purwanti (2002) terkait pemetaan nilai suseptibilitas magnetik dan identifikasi bahan magnetik di daerah Ngoresan, Jebres, Surakarta menyarankan adanya penelitian tambahan dengan metode pencuplikan tanah untuk dilakukan penelitian suseptibilitas magnetik tanah di laboratorium dengan menggunakan variasi temperatur. Berpijak dari pemikiran ini, sampel yang diperoleh dari titik-titik yang mempunyai nilai suseptibilitas ekstrim (tinggi, sedang, dan rendah) berdasarkan pengukuran in-situ di lapangan kemudian diuji dengan Bartington Susceptibility Temperatur System yang diolah dengan software Geolabsoft v2.2. sehingga diperoleh grafik hubungan antara suseptibilitas magnetik ( ) dan temperatur (T) seperti yang ditunjukkan pada gambar 3.2 sampai dengan 3.4. Dengan masingmasing kategori diambil tiga titik sampel. Sampel-sampel tersebut kemudian dikelompokkan berdasarkan lokasinya, yaitu kategori jalan utama, jalan raya, dan pemukiman untuk mengetahui korelasi antara kepadatan lalu lintas dengan sebaran logam yang ada berdasarkan identifikasi nilai suseptibilitas magnetiknya. 1.Kategori Jalan Utama a. Sampel 1 (Pertigaan Taman Ganesha, Jln. Tentara Pelajar) b. Sampel V (Jln. Slamet Riyadi; pertigaan depan Pabrik Jamu Air Mancur) Gambar 3.2 (b). Grafik vs T untuk sampel V c. Sampel VI ( Jln. Sutan Syahrir) Gambar 3.2 (c). Grafik vs T untuk sampel VI d. Sampel IX (Jln. Slamet Riyadi; sebelah timur pertigaan Nonongan) Gambar 3.2 (a). Grafik untuk sampel I vs T Gambar 3.2 (d). Grafik untuk sampel IX vs T Gambar 3.2. Grafik vs T untuk sampel kategori jalan utama 5

6 2.Kategori Jalan Raya a.sampel II (Depan AUB, Jln. Martawalanda Maramis) 3. Kategori Pemukiman a. Sampel III (Jln. Madukoro) Gambar 3.3 (a). Grafik untuk sampel II vs T Gambar 3.4 (a). Grafik untuk sampel III b. Sampel IV (Jln. Blewah Raya I) vs T b. Sampel VII (Jln. Samanhudi) Gambar 3.3 (b). Grafik vs T untuk sampel VII c. Sampel VIII ( Jln. Kebangkitan Nasional) Gambar 3.3 (c). Grafik vs T untuk sampel VIII Gambar 3.3. Grafik vs T untuk sampel kategori jalan raya Gambar 3.4 (b). Grafik vs T untuk sampel IV Gambar 3.4. Grafik vs T untuk sampel kategori pemukiman Sampel yang termasuk kategori mempunyai nilai suseptibilitas magnetik tinggi berdasarkan pemetaan dengan proram Surfer ver8 adalah sampel I, V, dan IX. Sampel dengan suseptibilitas rendah adalah sampel III, IV, danvii. Sedangkan sampel yang dimasukkan dalam kategori nilai suseptibilitas magnetik medium (sedang) adalah sampel II, VI, dan VIII. Grafik pada gambar di atas menunjukkan sifat hubungan antara kenaikan suhu sampel ( sumbu x ) terhadap nilai suseptibilitas magnetik sampel (sumbu Y). Setelah mengalami proses pemanasan sehingga suhu perlahan- lahan mulai naik, suseptibilitas magnetik sampel juga mengalami kenaikan. Hubungan antara pengaruh suhu yang diberikan dengan nilai suseptibilitas yang diperoleh adalah linier. Artinya, seiring dengan naiknya variasi suhu yang diberikan maka nilai suseptibilitas magnetik yang didapat juga mengalami kenaikan. Akan tetapi hubungan linier ini tidak bertahan seterusnya, dapat dilihat pada gambar bahwa sampel tanah mengalami perubahan yang 6

7 sangat mencolok setelah suhu sampel mencapai suhu tertentu. Pada suhu tersebut nilai suseptibilitas magnetik mencapai nilai maksimum, kemudian setelah suhu melewati suhu tersebut nilai suseptibilitas magnetik turun. Suhu transisi ini disebut suhu Curie. Pemanasan yang terus dilakukan pada sampel di atas suhu Curie menyebabkan grafik yang diperoleh adalah penurunan nilai suseptibilitas magnetik pada variasi kenaikan suhu yang diberikan. Hal ini sesuai dengan karakteristik bahan paramagnetik, bahwa suseptibilitas magnetik bahan paramanetik akan mengalami penurunan jika suhu dinaikkan. Pada suhu di bawah suhu Curie perilaku magnetik dari bahan ferromagnetik adalah kompleks. Dari penelitian ini diperoleh suseptibilitas magnetik sampel tanah sebelum mencapai suhu Curie berkisar antara 35 sampai 600. Pada penelitian ini sampel tanah menunjukkan kenaikan suseptibilitas magnetik secara perlahan seiring dengan naiknya suhu. Setelah mencapai suhu Curie suseptibilitas magnetik bahan ferromagnetik akan mengalami penurunan seiring dengan naiknya suhu. Hal ini juga terlihat pada gambar 3.2 sampai 3.4, grafik yang diperoleh dalam penelitian ini. Penurunan ini disebabkan karena pada suhu di atas suhu Curie bahan ferromagnetik berubah menjadi paramagnetik. Penelitian Agus Sugianto (2005) terkait penentuan suhu Curie logam berupa sampel nikel juga menghasilkan grafik yang serupa, dengan suhu Curie nikel hasil penelitian antara 300 o C sampai 406 o C. Gambar 3.5. Grafik vs T untuk sampel nikel (Agus Sugianto, 2005) Secara teori, suhu Curie untuk beberapa logam yang bersifat feromagnetik ditunjukkan tabel di bawah ini Tabel 3.3. Suhu Curie Bahan Feromagnetik (Blake More, 1985) Bahan Suhu Curie ( o C) Fe 770 Co 1122 Ni 358 Gd 16 Dy -188 Sedangkan suhu Curie masing-masing sampel tanah hasil penelitian adalah sebagai berikut: Tabel 3.4. Suhu Curie Sampel Tanah Hasil Penelitian Sampel Suhu Curie ( o C) I 300 II 270 III 200 IV 260 V 275 VI 270 VII 250 VIII 265 IX 250 Dari tabel 3.4 dapat dilihat bahwa suhu Curie sampel tanah yang diperoleh dari penelitian antara 200 o C sampai 300 o C. Diperolehnya grafik dari sampel tanah (Gambar ) yang mempunyai karakteristik yang sama dengan grafik pengujian sampel Ni yang dilakukan oleh Agus Sugianto (2005) pada gambar 3.5 menunjukan bahwa dalam sampel tanah lapisan atas yang diambil di area survey Kodya Surakarta mengandung paparan logam di dalamnya. Di samping itu terlihatnya korelasi antara kepadatan lalu lintas dengan nilai suseptibilitas magnetik hasil penelitian pada peta isosuseptibilitas serta terukurnya nilai suhu Curie sampel tanah menjadi indikator bahwa pengukuran suseptibilitas magnetik dengan menggunakan Bartington MS2 meter dapat digunakan sebagai pendekatan dalam mendeteksi adanya paparan logam dalam tanah lapisan atas di Kodya Surakarta. IV. Kesimpulan dan Saran IV.1. Kesimpulan Berdasarkan pembahasan data hasil penelitian dapat diambil beberapa kesimpulan sebagai berikut: 1. Pengukuran suseptibilitas magnetik dapat digunakan sebagai metode dalam mendeteksi sebaran logam; 2. Pengukuran di dekat jalan utama mempunyai nilai suseptibilitas magnetik lebih tinggi dari pada yang jauh dari jalan utama (pemukiman) menunjukkan kandungan logam yang tinggi sebagai 7

8 indikasi bahwa sumber utama polusi tanah adalah efek gas buang kendaraan bermotor; 3. Temperatur Curie logam yang diperoleh dalam penelitian antara 200 o C sampai 300 o C. IV.2. Saran Dari hasil penelitian yang telah dilakukan saran yang dapat diberikan adalah memperbanyak pengambilan sampel tanah dari beberapa area yang berbeda dalam satu titik sampel untuk memperoleh data yang lebih mewakili karakteristik titik yang diteliti tersebut. Hal ini disebabkan adanya kemungkinan intensitas logam berat yang berbedabeda dalam satu titik yang mencakup satu luasan daerah tertentu. V. Daftar Pustaka Alonso, M., Finn, E.J.,1992: Physics, Addison- Wesley Anonim, 2006 : Proposal Peningkatan Pelayanan Angkutan Umum di Kodya Surakarta, Pemkot Surakarta Endang Purwanti, 2002: Analisis Magnetik pada Tanah Menggunakan Bartington MS2 Meter di Ngoresan Jebres Surakarta, Skripsi, Fisika, FMIPA UNS, Surakarta Hoffman, V., Knab, M., Appel, E.,1999: Magnetic Susceptibility Mapping of Roadside Pollution, Journal of Geochemical Exploration, vol 66, Hal Satria Bijaksana, 2002: Analisa Mineral Magnetik dalam Masalah Lingkungan, Jurnal Geofísika, Edisi 2002, No 1, Hal

Identifikasi Polutan Dalam Air Permukaan Di Sekitar Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Air Dingin Padang

Identifikasi Polutan Dalam Air Permukaan Di Sekitar Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Air Dingin Padang Identifikasi Polutan Dalam Air Permukaan Di Sekitar Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Air Dingin Padang Arif Budiman, Jernih Wati Zendrato Laboratorium Fisika Bumi Jurusan Fisika FMIPA Universitas Andalas

Lebih terperinci

PEMETAAN NILAI SUSEPTIBILITAS MAGNETIK PADA TOP SOIL SEBAGAI INDIKATOR PENYEBARAN LOGAM BERAT DI SEKITAR JALAN SOEKARNO-HATTA MALANG

PEMETAAN NILAI SUSEPTIBILITAS MAGNETIK PADA TOP SOIL SEBAGAI INDIKATOR PENYEBARAN LOGAM BERAT DI SEKITAR JALAN SOEKARNO-HATTA MALANG PEMETAAN NILAI SUSEPTIBILITAS MAGNETIK PADA TOP SOIL SEBAGAI INDIKATOR PENYEBARAN LOGAM BERAT DI SEKITAR JALAN SOEKARNO-HATTA MALANG Silvia Candra Wahyuni Universitas Negeri Malang E-mail: silvia.candra@gmail.com

Lebih terperinci

Jurnal Fisika Unand Vol. 3, No. 4, Oktober 2014 ISSN

Jurnal Fisika Unand Vol. 3, No. 4, Oktober 2014 ISSN IDENTIFIKASI SEBARAN LOGAM BERAT PADA TANAH LAPISAN ATAS DAN HUBUNGANNYA DENGAN SUSEPTIBILITAS MAGNETIK DI BEBERAPA RUAS JALAN DI SEKITAR PELABUHAN TELUK BAYUR PADANG Ulfa Yulius, Afdal Laboratorium Fisika

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Udara merupakan komponen yang sangat penting untuk keberlangsungan hidup manusia dan makhluk hidup lainnya. Tingkat pencemaran udara di Kota Padang cukup tinggi. Hal

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Transportasi saat ini menjadi masalah yang sangat penting karena dapat mengindikasikan kemajuan suatu daerah. Transportasi sangat diperlukan untuk mendukung perkembangan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Polusi atau pencemaran lingkungan adalah masuknya atau dimasukkannya makhluk hidup, zat energi, dan atau komponen lain ke dalam lingkungan atau berubahnya tatanan lingkungan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. utama pencemaran udara di daerah perkotaan. Kendaraan bermotor merupakan

BAB I PENDAHULUAN. utama pencemaran udara di daerah perkotaan. Kendaraan bermotor merupakan BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Aktivitas transportasi khususnya kendaraan bermotor merupakan sumber utama pencemaran udara di daerah perkotaan. Kendaraan bermotor merupakan kendaraan yang digerakan

Lebih terperinci

Analisis dan Pemetaan Tingkat Polusi Udara di Zona Pendidikan (Studi Kasus : Wilayah IAIN Sulthan Thaha Saifuddin Jambi dan Universitas Jambi)

Analisis dan Pemetaan Tingkat Polusi Udara di Zona Pendidikan (Studi Kasus : Wilayah IAIN Sulthan Thaha Saifuddin Jambi dan Universitas Jambi) Analisis dan Pemetaan Tingkat Polusi Udara di Zona Pendidikan (Studi Kasus : Wilayah IAIN Sulthan Thaha Saifuddin Jambi dan Universitas Jambi) Vandri Ahmad Isnaini 1, Indrawata Wardhana 2, Rahmi Putri

Lebih terperinci

PENCEMARAN LINGKUNGAN. Purwanti Widhy H, M.Pd

PENCEMARAN LINGKUNGAN. Purwanti Widhy H, M.Pd PENCEMARAN LINGKUNGAN Purwanti Widhy H, M.Pd Pengertian pencemaran lingkungan Proses terjadinya pencemaran lingkungan Jenis-jenis pencemaran lingkungan PENGERTIAN PENCEMARAN LINGKUNGAN Berdasarkan UU Pokok

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Jumlah penduduk di Kota Padang setiap tahun terus meningkat, meningkatnya jumlah penduduk mengakibatkan peningkatan jumlah transportasi di Kota Padang. Jumlah kendaraan

Lebih terperinci

BAB IV STUDI KHUSUS GEOKIMIA TANAH DAERAH KAWAH TIMBANG DAN SEKITARNYA

BAB IV STUDI KHUSUS GEOKIMIA TANAH DAERAH KAWAH TIMBANG DAN SEKITARNYA BAB IV STUDI KHUSUS GEOKIMIA TANAH DAERAH KAWAH TIMBANG DAN SEKITARNYA IV.1 TINJAUAN UMUM Pengambilan sampel air dan gas adalah metode survei eksplorasi yang paling banyak dilakukan di lapangan geotermal.

Lebih terperinci

SUMMARY. ANALISIS KADAR NITROGEN DIOKSIDA (NO₂) dan KARBONMONOKSIDA (CO) DI UDARA AMBIEN KOTA GORONTALO

SUMMARY. ANALISIS KADAR NITROGEN DIOKSIDA (NO₂) dan KARBONMONOKSIDA (CO) DI UDARA AMBIEN KOTA GORONTALO SUMMARY ANALISIS KADAR NITROGEN DIOKSIDA (NO₂) dan KARBONMONOKSIDA (CO) DI UDARA AMBIEN KOTA GORONTALO Oleh : Yuliana Dauhi Jurusan Kesehatan Masyarakat Fakultas Ilmu-Ilmu Kesehatan Dan Keolahragaan Universitas

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pembangunan kota lebih banyak mencerminkan adanya perkembangan

BAB I PENDAHULUAN. Pembangunan kota lebih banyak mencerminkan adanya perkembangan 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pembangunan kota lebih banyak mencerminkan adanya perkembangan fisik kota yang ditentukan oleh pembangunan sarana dan prasarana. Lahan yang seharusnya untuk penghijauan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dan pemukiman. Sebagaimana kota menurut pengertian Bintarto (1977:9)

BAB I PENDAHULUAN. dan pemukiman. Sebagaimana kota menurut pengertian Bintarto (1977:9) BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kota merupakan suatu tempat yang menjadi pusat dari berbagai kegiatan manusia. Saat ini kota menjadi pusat pemerintahan, perdagangan, pendidikan, dan pemukiman.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. makhluk hidup lainnya (Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 41. Tahun 1999 tentang Pengendalian Pencemaran Udara).

BAB I PENDAHULUAN. makhluk hidup lainnya (Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 41. Tahun 1999 tentang Pengendalian Pencemaran Udara). BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Udara sebagai sumber daya alam yang mempengaruhi kehidupan manusia serta makhluk hidup lainnya harus dijaga dan dipelihara kelestarian fungsinya untuk pemeliharaan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. tinggi. Sebagai pusat kota wisata, perindustrian dan perdagangan, kota Bandung

BAB I PENDAHULUAN. tinggi. Sebagai pusat kota wisata, perindustrian dan perdagangan, kota Bandung BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kota Bandung merupakan kota dengan aktivitas masyarakat yang tinggi. Sebagai pusat kota wisata, perindustrian dan perdagangan, kota Bandung dikunjungi banyak masyarakat

Lebih terperinci

IDENTIFIKASI PENCEMARAN AIR PERMUKAAN SUNGAI BY PASS KOTA PADANG DENGAN METODE SUSEPTIBILITAS MAGNET

IDENTIFIKASI PENCEMARAN AIR PERMUKAAN SUNGAI BY PASS KOTA PADANG DENGAN METODE SUSEPTIBILITAS MAGNET IDENTIFIKASI PENCEMARAN AIR PERMUKAAN SUNGAI BY PASS KOTA PADANG DENGAN METODE SUSEPTIBILITAS MAGNET Dwi Puryanti, Rizka Pramita Sari Jurusan Fisika, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas

Lebih terperinci

PENENTUAN TINGKAT POLUSI UDARA AKIBAT KENDARAAN BERMOTOR MENGGUNAKAN METODA SUSEPTIBILITAS MAGNETIK DI KOTA PADANG ABSTRACT

PENENTUAN TINGKAT POLUSI UDARA AKIBAT KENDARAAN BERMOTOR MENGGUNAKAN METODA SUSEPTIBILITAS MAGNETIK DI KOTA PADANG ABSTRACT PILLAR OF PHYSICS, Vol. 1. April 2013, 121-128 PENENTUAN TINGKAT POLUSI UDARA AKIBAT KENDARAAN BERMOTOR MENGGUNAKAN METODA SUSEPTIBILITAS MAGNETIK DI KOTA PADANG Wedara Yuliatri* ), Mahrizal** ), Fatni

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN Data utama yang digunakan dalam penelitian ini adalah tanah yang berasal dari lahan gambut tropis dataran tinggi di Desa Karya Wangi, Lembang, Kab. Bandung Barat dengan koordinat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. yang semakin menurun untuk mendukung kehidupan mahluk hidup. Menurut

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. yang semakin menurun untuk mendukung kehidupan mahluk hidup. Menurut BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Isu mengenai pencemaran lingkungan terutama udara masih hangat diperbincangkan oleh masyrakat dan komunitas pecinta lingkungan di seluruh dunia. Hal ini dikarenakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Perubahan lingkungan udara pada umumnya disebabkan oleh pencemaran,

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Perubahan lingkungan udara pada umumnya disebabkan oleh pencemaran, 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Perubahan lingkungan udara pada umumnya disebabkan oleh pencemaran, yaitu masuknya zat pencemar yang berbentuk gas, partikel kecil atau aerosol ke dalam udara (Soedomo,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Pencemar kendaraan bermotor di kota besar makin terasa. Pembakaran bensin dalam kendaraan bermotor merupakan lebih dari separuh penyebab polusi udara. Disamping

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. suatu alat yang berfungsi untuk merubah energi panas menjadi energi. Namun, tanpa disadari penggunaan mesin yang semakin meningkat

I. PENDAHULUAN. suatu alat yang berfungsi untuk merubah energi panas menjadi energi. Namun, tanpa disadari penggunaan mesin yang semakin meningkat I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kendaraan bermotor merupakan salah satu alat yang memerlukan mesin sebagai penggerak mulanya, mesin ini sendiri pada umumnya merupakan suatu alat yang berfungsi untuk

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dunia. Hal ini disebabkan karena manusia memerlukan daya dukung unsur unsur

BAB I PENDAHULUAN. dunia. Hal ini disebabkan karena manusia memerlukan daya dukung unsur unsur BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Interaksi manusia dengan lingkungan hidupnya merupakan suatu proses yang wajar dan terlaksana sejak manusia itu dilahirkan sampai ia meninggal dunia. Hal ini disebabkan

Lebih terperinci

EVALUASI PERUBAHAN EMISI GAS NOX DAN SO 2 DARI KEGIATAN TRANSPORTASI DI KAMAL BANGKALAN AKIBAT PENGOPERASIAN JEMBATAN SURAMADU

EVALUASI PERUBAHAN EMISI GAS NOX DAN SO 2 DARI KEGIATAN TRANSPORTASI DI KAMAL BANGKALAN AKIBAT PENGOPERASIAN JEMBATAN SURAMADU EVALUASI PERUBAHAN EMISI GAS NOX DAN SO 2 DARI KEGIATAN TRANSPORTASI DI KAMAL BANGKALAN AKIBAT PENGOPERASIAN JEMBATAN SURAMADU Oleh: Imam Yanuar 3308 100 045 Jurusan Teknik Lingkungan Fakultas Teknik Sipil

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Perkembangan sangat pesat terjadi di segala bidang, terutama bidang ilmu pengetahuan dan teknologi yang sangat mempengaruhi berjalannya suatu proses pekerjaan meliputi

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI. didalam udara yang menyebabkan perubahan susunan (komposisi) udara dari

BAB II LANDASAN TEORI. didalam udara yang menyebabkan perubahan susunan (komposisi) udara dari BAB II LANDASAN TEORI 2.1. Polusi udara Polusi udara diartikan sebagai adanya bahan-bahan atau zat-zat asing didalam udara yang menyebabkan perubahan susunan (komposisi) udara dari keadaan normalnya. Udara

Lebih terperinci

SUSEPTIBILITAS MAGNETIK DAN KONTAMINASI LOGAM-BERAT DALAM TANAH LAPISAN ATAS DI SEKITAR PABRIK SEMEN DI KOTA PADANG

SUSEPTIBILITAS MAGNETIK DAN KONTAMINASI LOGAM-BERAT DALAM TANAH LAPISAN ATAS DI SEKITAR PABRIK SEMEN DI KOTA PADANG SUSEPTIBILITAS MAGNETIK DAN KONTAMINASI LOGAM-BERAT DALAM TANAH LAPISAN ATAS DI SEKITAR PABRIK SEMEN DI KOTA PADANG Afdal, Ulfa Yulius Jurusan Fisika FMIPA Universitas Andalas Kampus Unand, Limau Manis,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar belakang 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar belakang Pencemaran udara adalah proses masuknya atau dimasukkannya zat pencemar ke udara oleh aktivitas manusia atau alam yang menyebabkan berubahnya tatanan udara sehingga

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. tanpa disadari pengembangan mesin tersebut berdampak buruk terhadap

I. PENDAHULUAN. tanpa disadari pengembangan mesin tersebut berdampak buruk terhadap I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Mesin pada mulanya diciptakan untuk memberikan kemudahan bagi manusia dalam melakukan kegiatan yang melebihi kemampuannya. Umumnya mesin merupakan suatu alat yang berfungsi

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. manusia seperti mata perih, batuk, sampai gangguan pernafasan. Kualitas udara

I. PENDAHULUAN. manusia seperti mata perih, batuk, sampai gangguan pernafasan. Kualitas udara I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Semakin banyaknya pemakaian kendaraan bermotor sangat memicu semakin banyaknya polusi udara yang menyebabkan berbagai efek bagi lingkungan dan kesehatan manusia. Polusi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. konstan meningkat sebesar 5,64 % (BPS, 2012). Perkembangan pada suatu wilayah

BAB I PENDAHULUAN. konstan meningkat sebesar 5,64 % (BPS, 2012). Perkembangan pada suatu wilayah BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Yogyakarta merupakan salah satu daerah tujuan wisata, budaya, dan pendidikan. Hal ini menjadikan perkembangan kota ini menjadi pesat, salah satunya ditunjukkan dengan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN BAB I PENDAHULUAN

BAB I PENDAHULUAN BAB I PENDAHULUAN BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Dewasa ini, bumi tempat tinggal manusia telah tercemar oleh polutan. Polutan adalah segala sesuatu yang berbahaya bagi kehidupan makhluk hidup dan lingkungan. Udara

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pada bertambahnya jumlah pencemar di udara (Badan Pusat Statistik, 2013).

BAB I PENDAHULUAN. pada bertambahnya jumlah pencemar di udara (Badan Pusat Statistik, 2013). BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Dewasa ini, banyak terjadi perubahan dalam berbagai hal, khususnya dalam hal peningkatan jumlah kendaraan bermotor sebagai sarana transportasi. Seiring dengan kenaikan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Motor bensin dan diesel merupakan sumber utama polusi udara di perkotaan. Gas

I. PENDAHULUAN. Motor bensin dan diesel merupakan sumber utama polusi udara di perkotaan. Gas 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Motor bensin dan diesel merupakan sumber utama polusi udara di perkotaan. Gas buang motor bensin mengandung nitrogen oksida (NO), nitrogen dioksida (NO 2 ) (NO 2 dalam

Lebih terperinci

4.1 Konsentrasi NO 2 Tahun 2011

4.1 Konsentrasi NO 2 Tahun 2011 4.1 Konsentrasi NO 2 Tahun 2011 Pada pengujian periode I nilai NO 2 lebih tinggi dibandingkan dengan periode II dan III (Gambar 4.1). Tinggi atau rendahnya konsentrasi NO 2 sangat dipengaruhi oleh berbagai

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Di dalam kerangka pembangunan nasional, pembangunan daerah merupakan bagian yang terintegrasi. Pembangunan daerah sangat menentukan keberhasilan pembangunan nasional secara

Lebih terperinci

Afdal, Elio Nora Islami. Jurusan Fisika FMIPA Universitas Andalas, Padang

Afdal, Elio Nora Islami. Jurusan Fisika FMIPA Universitas Andalas, Padang KARAKTERISASI MAGNETIK BATUAN BESI DARI BUKIT BARAMPUANG, NAGARI LOLO, KECAMATAN PANTAI CERMIN, KABUPATEN SOLOK, SUMATERA BARAT (MAGNETIC CHARACTERIZATION OF IRON STONE OF BARAMPUANG HILL, NAGARI LOLO,

Lebih terperinci

Pencemaran Lingkungan

Pencemaran Lingkungan Pencemaran Lingkungan Arsitektur Ekologi dan Berkelanjutan Minggu ke 4 By : Dian P.E. Laksmiyanti, St, MT Email : dianpramita@itats.ac.id http://dosen.itats.ac.id/pramitazone Ini yang sering nampak Pencemaan

Lebih terperinci

BAB IV PEMBAHASAN. -X52 sedangkan laju -X52. korosi tertinggi dimiliki oleh jaringan pipa 16 OD-Y 5

BAB IV PEMBAHASAN. -X52 sedangkan laju -X52. korosi tertinggi dimiliki oleh jaringan pipa 16 OD-Y 5 BAB IV PEMBAHASAN Pada bab ini, hasil pengolahan data untuk analisis jaringan pipa bawah laut yang terkena korosi internal akan dibahas lebih lanjut. Pengaruh operasional pipa terhadap laju korosi dari

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Landasan Teori 1. Komposisi dan Perilaku Gas Buang Kendaraan Bermotor Emisi kendaraan bermotor mengandung berbagai senyawa kimia. Komposisi dari kandungan senyawa kimianya tergantung

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Hujan merupakan unsur iklim yang paling penting di Indonesia karena

II. TINJAUAN PUSTAKA. Hujan merupakan unsur iklim yang paling penting di Indonesia karena II. TINJAUAN PUSTAKA A. Defenisi Hujan Asam Hujan merupakan unsur iklim yang paling penting di Indonesia karena keragamannya sangat tinggi baik menurut waktu dan tempat. Hujan adalah salah satu bentuk

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Tingkat polusi udara yang semakin meningkat terutama di kota kota besar sangat membahayakan bagi lingkungan dan kesehatan masyarakat. Salah satu penyumbang polusi udara

Lebih terperinci

DAFTAR ISI. HALAMAN JUDUL... i. LEMBAR PENGESAHAN... ii. KATA PENGANTAR... iii. ABSTRAK... vi. ABSTRACT... vii. DAFTAR ISI... viii. DAFTAR TABEL...

DAFTAR ISI. HALAMAN JUDUL... i. LEMBAR PENGESAHAN... ii. KATA PENGANTAR... iii. ABSTRAK... vi. ABSTRACT... vii. DAFTAR ISI... viii. DAFTAR TABEL... DAFTAR ISI Halaman HALAMAN JUDUL... i LEMBAR PENGESAHAN... ii KATA PENGANTAR... iii ABSTRAK... vi ABSTRACT... vii DAFTAR ISI... viii DAFTAR TABEL... xv DAFTAR GAMBAR... xviii BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. (natural sources) seperti letusan gunung berapi dan yang kedua berasal dari

BAB I PENDAHULUAN. (natural sources) seperti letusan gunung berapi dan yang kedua berasal dari BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pencemaran udara adalah masuknya atau tercampurnya unsur-unsur berbahaya ke dalam atmosfir yang dapat mengakibatkan terjadinya kerusakan lingkungan sehingga

Lebih terperinci

Iklim Perubahan iklim

Iklim Perubahan iklim Perubahan Iklim Pengertian Iklim adalah proses alami yang sangat rumit dan mencakup interaksi antara udara, air, dan permukaan daratan Perubahan iklim adalah perubahan pola cuaca normal di seluruh dunia

Lebih terperinci

TINGKAT POLUSI UDARA DARI EMISI GAS BUANG KENDARAAN BERMOTOR BERDASARKAN VOLUME LALU LINTAS (Studi Kasus : Simpang Empat Bersinyal Kota Lhokseumawe)

TINGKAT POLUSI UDARA DARI EMISI GAS BUANG KENDARAAN BERMOTOR BERDASARKAN VOLUME LALU LINTAS (Studi Kasus : Simpang Empat Bersinyal Kota Lhokseumawe) TINGKAT POLUSI UDARA DARI EMISI GAS BUANG KENDARAAN BERMOTOR BERDASARKAN VOLUME LALU LINTAS (Studi Kasus : Simpang Empat Bersinyal Kota Lhokseumawe) Gustina Fitri *) ABSTRAK Simpang Empat Bersinyal Kota

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal dan mendapatkan

BAB I PENDAHULUAN. orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal dan mendapatkan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 28 ayat (1) menyebutkan bahwa setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal dan mendapatkan lingkungan hidup

Lebih terperinci

MONITORING MAGNETIK TERHADAP POLUSI KENDARAAN BERMOTOR DI KOTA PADANG PANJANG

MONITORING MAGNETIK TERHADAP POLUSI KENDARAAN BERMOTOR DI KOTA PADANG PANJANG PILLAR OF PHYSICS, Vol. 7. April 2016, 09-16 MONITORING MAGNETIK TERHADAP POLUSI KENDARAAN BERMOTOR DI KOTA PADANG PANJANG Delta Perdana* ), Mahrizal** ), Syafriani** ) *) Mahasiswa Fisika, FMIPA Universitas

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Kualitas udara berarti keadaan udara di sekitar kita yang mengacu pada

BAB I PENDAHULUAN. Kualitas udara berarti keadaan udara di sekitar kita yang mengacu pada BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kualitas udara berarti keadaan udara di sekitar kita yang mengacu pada udara yang bersih atau tercemar. Pencemaran udara terjadi ketika komposisi udara dipengaruhi

Lebih terperinci

berbagai cara. Pencemaran udara terutama datang dari kendaraan bermotor, industri,

berbagai cara. Pencemaran udara terutama datang dari kendaraan bermotor, industri, BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Udara adalah campuran gas yang merupakan lapisan tipis yang meliputi bumi dan merupakan gas yang tidak kelihatan, tidak berasa dan tidak berbau. Pencemaran udara datang

Lebih terperinci

OPTIMALISASI DIAMETER KAWAT UNTUK KOMPONEN SENSOR SUHU RENDAH BERBASIS SUSEPTIBILITAS

OPTIMALISASI DIAMETER KAWAT UNTUK KOMPONEN SENSOR SUHU RENDAH BERBASIS SUSEPTIBILITAS OPTIMALISASI DIAMETER KAWAT UNTUK KOMPONEN SENSOR SUHU RENDAH BERBASIS SUSEPTIBILITAS HALLEYNA WIDYASARI halleynawidyasari@gmail.com Program Studi Teknik Informatika Fakultas Teknik, Matematika dan Ilmu

Lebih terperinci

KARAKTERISASI SIFAT MAGNET DAN KANDUNGAN MINERAL PASIR BESI SUNGAI BATANG KURANJI PADANG SUMATERA BARAT

KARAKTERISASI SIFAT MAGNET DAN KANDUNGAN MINERAL PASIR BESI SUNGAI BATANG KURANJI PADANG SUMATERA BARAT KARAKTERISASI SIFAT MAGNET DAN KANDUNGAN MINERAL PASIR BESI SUNGAI BATANG KURANJI PADANG SUMATERA BARAT Afdal & Lusi Niarti Jurusan Fisika FMIPA Universitas Andalas Kampus Unand, Limau Manis, Padang, 25163

Lebih terperinci

STUDI ANOMALI BAWAH PERMUKAAN DAERAH SEKITAR MANIFESTASI AIR PANAS, DESA WAGIR LOR, KEC. NGEBEL, KAB. PONOROGO DENGAN MENGGUNAKAN METODE MAGNETIK

STUDI ANOMALI BAWAH PERMUKAAN DAERAH SEKITAR MANIFESTASI AIR PANAS, DESA WAGIR LOR, KEC. NGEBEL, KAB. PONOROGO DENGAN MENGGUNAKAN METODE MAGNETIK STUDI ANOMALI BAWAH PERMUKAAN DAERAH SEKITAR MANIFESTASI AIR PANAS, DESA WAGIR LOR, KEC. NGEBEL, KAB. PONOROGO DENGAN MENGGUNAKAN METODE MAGNETIK Oleh: Khoiri Zamroni NRP: 1110100022 Dosen Pembimbing:

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN Udara merupakan zat yang penting dalam memberikan kehidupan di permukaan bumi. Selain memberikan oksigen, udara juga berfungsi sebagai alat penghantar suara dan bunyi-bunyian,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Udara adalah campuran beberapa macam gas yang perbandingannya tidak tetap, tergantung pada keadaan suhu udara, tekanan udara dan lingkungan sekitarnya. Udarajuga merupakan

Lebih terperinci

Standart Kompetensi Kompetensi Dasar

Standart Kompetensi Kompetensi Dasar POLUSI Standart Kompetensi : Memahami polusi dan dampaknya pada manusia dan lingkungan Kompetensi Dasar : Mengidentifikasi jenis polusi pada lingkungan kerja 2. Polusi Air Polusi Air Terjadinya polusi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Sarana dan prasarana fisik seperti pusat-pusat industri merupakan salah satu penunjang aktivitas dan simbol kemajuan peradaban kota. Di sisi lain, pembangunan

Lebih terperinci

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. Gorontalo dibagi menjadi 9 kecamatan, terdiri dari 50 kelurahan. Secara

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. Gorontalo dibagi menjadi 9 kecamatan, terdiri dari 50 kelurahan. Secara 37 BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN 1.1 Hasil Penelitian 1.1.1 Gambaran Wilayah Penelitian Kota Gorontalo merupakan Ibukota Provinsi Gorontalo. Secara geografis mempunyai luas 79,03 km 2 atau 0,65

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. campuran beberapa gas yang dilepaskan ke atmospir yang berasal dari

BAB I PENDAHULUAN. campuran beberapa gas yang dilepaskan ke atmospir yang berasal dari BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pencemaran udara dewasa ini semakin menampakkan kondisi yang sangat memprihatinkan. Sumber pencemaran udara dapat berasal dari berbagai kegiatan antara lain industri,

Lebih terperinci

d) Dipol magnet merupakan sebuah magnet dipol, akselerator partikel, magnet yang dibangun untuk menciptakan medan magnet homogen dari jarak tertentu.

d) Dipol magnet merupakan sebuah magnet dipol, akselerator partikel, magnet yang dibangun untuk menciptakan medan magnet homogen dari jarak tertentu. Tugas Perbaikan Mid Sifat Magnetik Batuan Soal : 1. Jelaskan tentang : a) Magnetisasi b) Permeabilitas Magnetic c) Suseptibilitas Magnetik d) Dipol Magnetik e) Suhu Curie f) Histeresis 2. Ceritakanlah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat untuk meningkatkan kualitas hidup. Peningkatan kualitas hidup

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat untuk meningkatkan kualitas hidup. Peningkatan kualitas hidup BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pada zaman yang semakin modern ini pembangunan pesat terjadi pada berbagai bidang yang memberikan kemajuan pada sektor ekonomi, kesehatan, teknologi maupun berbagai

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pencemaran lingkungan baik udara, tanah, ataupun air banyak terjadi akibat dari aktivitas manusia. Menurut UU No.32 tahun 2009, yang dimaksud dengan pencemaran adalah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. udara yang diakibatkan oleh pembakaran bahan bakar tersebut, sehingga

BAB I PENDAHULUAN. udara yang diakibatkan oleh pembakaran bahan bakar tersebut, sehingga BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Tingkat pemakaian bahan bakar terutama bahan bakar fosil di dunia semakin meningkat seiring dengan semakin bertambahnya populasi manusia dan meningkatnya laju

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. sungai maupun pencemaran udara (Sunu, 2001). dan dapat menjadi media penyebaran penyakit (Agusnar, 2007).

BAB I PENDAHULUAN. sungai maupun pencemaran udara (Sunu, 2001). dan dapat menjadi media penyebaran penyakit (Agusnar, 2007). BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Berkembangnya sektor industri dan pemanfaatan teknologinya tercipta produk-produk untuk dapat mencapai sasaran peningkatan kualitas lingkungan hidup. Dengan peralatan

Lebih terperinci

RANCANG BANGUN ALAT UKUR POLLUTANT STANDARD INDEX YANG TERINTEGRASI DENGAN PENGUKURAN FAKTOR-FAKTOR CUACA SECARA REAL TIME

RANCANG BANGUN ALAT UKUR POLLUTANT STANDARD INDEX YANG TERINTEGRASI DENGAN PENGUKURAN FAKTOR-FAKTOR CUACA SECARA REAL TIME RANCANG BANGUN ALAT UKUR POLLUTANT STANDARD INDEX YANG TERINTEGRASI DENGAN PENGUKURAN FAKTOR-FAKTOR CUACA SECARA REAL TIME Vandri Ahmad Isnaini, Indrawata Wardhana, Rahmi Putri Wirman Jurusan Fisika, Fakultas

Lebih terperinci

PROFIL VOLUME LALU LINTAS DAN KUALITAS UDARA AMBIEN PADA RUAS JALAN IR. SOEKARNO SURABAYA

PROFIL VOLUME LALU LINTAS DAN KUALITAS UDARA AMBIEN PADA RUAS JALAN IR. SOEKARNO SURABAYA PROFIL VOLUME LALU LINTAS DAN KUALITAS UDARA AMBIEN PADA RUAS JALAN IR. SOEKARNO SURABAYA Taty Alfiah 1, Evi Yuliawati 2, Yoseph F. Bota 1, Enggar Afriyandi 1 1) Jurusan Teknik Lingkungan, 2) Jurusan Teknik

Lebih terperinci

JURNAL TEKNIK ITS Vol. 5, No. 2, (2016) ISSN: ( Print)

JURNAL TEKNIK ITS Vol. 5, No. 2, (2016) ISSN: ( Print) D216 Analisis Kebutuhan Ruang Terbuka Hijau Untuk Menyerap Emisi CO 2 Kendaraan Bermotor Di Surabaya (Studi Kasus: Koridor Jalan Tandes Hingga Benowo) Afrizal Ma arif dan Rulli Pratiwi Setiawan Perencanaan

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Ekosistem air terdiri atas perairan pedalaman (inland water) yang terdapat

TINJAUAN PUSTAKA. Ekosistem air terdiri atas perairan pedalaman (inland water) yang terdapat TINJAUAN PUSTAKA Ekosistem Air Ekosistem air terdiri atas perairan pedalaman (inland water) yang terdapat di daratan, perairan lepas pantai (off shore water) dan perairan laut. Ekosistem air yang terdapat

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 AREN (Arenga pinnata) Pohon aren (Arenga pinnata) merupakan pohon yang belum banyak dikenal. Banyak bagian yang bisa dimanfaatkan dari pohon ini, misalnya akar untuk obat tradisional

Lebih terperinci

ANALISA KOMPOSIT ARANG KAYU DAN ARANG SEKAM PADI PADA REKAYASA FILTER AIR

ANALISA KOMPOSIT ARANG KAYU DAN ARANG SEKAM PADI PADA REKAYASA FILTER AIR NASKAH PUBLIKASI ANALISA KOMPOSIT ARANG KAYU DAN ARANG SEKAM PADI PADA REKAYASA FILTER AIR Tugas Akhir ini disusun Guna Memenuhi Sebagian Syarat Memperoleh Derajat Sarjana S1 pada Jurusan Teknik Mesin

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Dalam bab ini akan dibahas mengenai analisis Kapasitas jalan, volume

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Dalam bab ini akan dibahas mengenai analisis Kapasitas jalan, volume BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN Dalam bab ini akan dibahas mengenai analisis Kapasitas jalan, volume kendaraan, kecepatan kendaraan dan analisis kualitas udara disekitar kemacetan jalan Balaraja Serang. Hal

Lebih terperinci

PRISMA FISIKA, Vol. II, No. 3 (2014), Hal ISSN :

PRISMA FISIKA, Vol. II, No. 3 (2014), Hal ISSN : PRISMA FISIKA, Vol. II, No. 3 (04), Hal. 74 78 ISSN : 337-804 Pendugaan Potensi Bijih Besi di Dusun Sepoteng Kecamatan Sungai Betung Kabupaten Bengkayang Dengan Metode Geomagnet Apriyanto Ramadhan * ),

Lebih terperinci

Polusi. Suatu zat dapat disebut polutan apabila: 1. jumlahnya melebihi jumlah normal 2. berada pada waktu yang tidak tepat

Polusi. Suatu zat dapat disebut polutan apabila: 1. jumlahnya melebihi jumlah normal 2. berada pada waktu yang tidak tepat Polusi Polusi atau pencemaran lingkungan adalah masuknya atau dimasukkannya makhluk hidup, zat energi, dan atau komponen lain ke dalam lingkungan, atau berubahnya tatanan lingkungan oleh kegiatan manusia

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. meningkat dengan tajam, sementara itu pertambahan jaringan jalan tidak sesuai

BAB I PENDAHULUAN. meningkat dengan tajam, sementara itu pertambahan jaringan jalan tidak sesuai BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kota merupakan ekosistem buatan yang terjadi karena campur tangan manusia dengan merubah struktur di dalam ekosistem alam sesuai dengan yang dikehendaki (Rohaini, 1990).

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Air merupakan sumber daya alam yang menjadi kebutuhan dasar bagi

BAB I PENDAHULUAN. Air merupakan sumber daya alam yang menjadi kebutuhan dasar bagi BAB I PENDAHULUAN A. Latar belakang masalah Air merupakan sumber daya alam yang menjadi kebutuhan dasar bagi kehidupan. Sekitar tiga per empat bagian dari tubuh kita terdiri dari air dan tidak seorangpun

Lebih terperinci

BAB IV ANALISIS DAN SINTESIS

BAB IV ANALISIS DAN SINTESIS BAB IV ANALISIS DAN SINTESIS 4.1 Analisis 4.1.1 Gambaran Umum Kota Bogor Kota Bogor terletak di antara 106 43 30 BT - 106 51 00 BT dan 30 30 LS 6 41 00 LS dengan jarak dari ibu kota 54 km. Dengan ketinggian

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Lalu lintas kendaraan bermotor di suatu kawasan perkotaan dan kawasan lalu lintas padat lainnya seperti di kawasan pelabuhan barang akan memberikan pengaruh dan dampak

Lebih terperinci

IDENTIFIKASI MINERAL MAGNETIK ABU TERBANG (FLY ASH) DAN ABU DASAR (BOTTOM ASH) SISA PEMBAKARAN BATUBARA PLTU ASAM-ASAM

IDENTIFIKASI MINERAL MAGNETIK ABU TERBANG (FLY ASH) DAN ABU DASAR (BOTTOM ASH) SISA PEMBAKARAN BATUBARA PLTU ASAM-ASAM IDENTIFIKASI MINERAL MAGNETIK ABU TERBANG (FLY ASH) DAN ABU DASAR (BOTTOM ASH) SISA PEMBAKARAN BATUBARA PLTU ASAM-ASAM Wardatul Husna 1, Sudarningsih 2, dan Totok Wianto 2 Abstrak: Pembakaran batubara

Lebih terperinci

IV. METODE PENELITIAN

IV. METODE PENELITIAN IV. METODE PENELITIAN 4.1 Waktu dan Tempat Penelitian Pelaksanaan penelitian dilakukan selama 7 (tujuh) bulan, yaitu pada awal bulan Mei 2008 hingga bulan Nopember 2008. Lokasi penelitian ini dilakukan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. I.1. Latar Belakang Masalah. Bagi masyarakat, transportasi merupakan urat nadi kehidupan sehari-hari

BAB I PENDAHULUAN. I.1. Latar Belakang Masalah. Bagi masyarakat, transportasi merupakan urat nadi kehidupan sehari-hari BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Masalah Bagi masyarakat, transportasi merupakan urat nadi kehidupan sehari-hari dan merupakan salah satu kebutuhan pokok yang sangat penting dan strategis. Seiring

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara dengan kebutuhan Bahan Bakar Minyak (BBM)

I. PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara dengan kebutuhan Bahan Bakar Minyak (BBM) I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia merupakan negara dengan kebutuhan Bahan Bakar Minyak (BBM) yang tinggi dan selalu mengalami peningkatan (Husen, 2013). Saat ini Indonesia membutuhkan 30 juta

Lebih terperinci

VI. DAMPAK PENINGKATAN VOLUME LALU LINTAS TERHADAP LINGKUNGAN. Volume lalu lintas pada dasarnya merupakan proses perhitungan yang

VI. DAMPAK PENINGKATAN VOLUME LALU LINTAS TERHADAP LINGKUNGAN. Volume lalu lintas pada dasarnya merupakan proses perhitungan yang VI. DAMPAK PENINGKATAN VOLUME LALU LINTAS TERHADAP LINGKUNGAN 6.1 Peningkatan Volume Lalu Lintas Volume lalu lintas pada dasarnya merupakan proses perhitungan yang berhubungan dengan jumlah gerakan per

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN Latar Belakang. Udara merupakan salah satu faktor penting dalam kehidupan bagi manusia

BAB 1 PENDAHULUAN Latar Belakang. Udara merupakan salah satu faktor penting dalam kehidupan bagi manusia 27 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Udara merupakan salah satu faktor penting dalam kehidupan bagi manusia hewan, dan tumbuhan. Namun dengan meningkatnya jumlah penduduk, meningkatnya laju pembangunan

Lebih terperinci

Bab IV Gambaran Umum Daerah Studi

Bab IV Gambaran Umum Daerah Studi Bab IV Gambaran Umum Daerah Studi IV.1 Umum Kota Bandung yang merupakan ibukota propinsi Jawa Barat terletak pada 107 o 36 Bujur Timur dan 6 o 55 Lintang Selatan. Secara topografis terletak pada ketinggian

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pengaruhnya terhadap ekosistem secara global. Udara yang kita pakai untuk

BAB I PENDAHULUAN. pengaruhnya terhadap ekosistem secara global. Udara yang kita pakai untuk 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Udara merupakan sumber daya alam milik bersama yang besar pengaruhnya terhadap ekosistem secara global. Udara yang kita pakai untuk bernafas umumnya tidak atau kurang

Lebih terperinci

karena corong plastik yang digunakan tidak tahan terhadap benturan pada saat transportasi di lapangan. Model kedua yang digunakan terbuat dari bahan

karena corong plastik yang digunakan tidak tahan terhadap benturan pada saat transportasi di lapangan. Model kedua yang digunakan terbuat dari bahan 33 karena corong plastik yang digunakan tidak tahan terhadap benturan pada saat transportasi di lapangan. Model kedua yang digunakan terbuat dari bahan polimer yang lebih kuat dan tebal. Canister model

Lebih terperinci

STUDI PENYEBARAN Pb, debu dan CO KEBISINGAN DI KOTA JAKARTA

STUDI PENYEBARAN Pb, debu dan CO KEBISINGAN DI KOTA JAKARTA STUDI PENYEBARAN Pb, debu dan CO KEBISINGAN DI KOTA JAKARTA Abstrak Tingkat pencemaran udara di kota-kota besar di Indonesia dari tahun ke tahun semakin meningkat bahkan beberapa kota sudah melampaui ambang

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 41 TAHUN 1999 TENTANG PENGENDALIAN PENCEMARAN UDARA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 41 TAHUN 1999 TENTANG PENGENDALIAN PENCEMARAN UDARA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 41 TAHUN 1999 TENTANG PENGENDALIAN PENCEMARAN UDARA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. b. c. bahwa udara sebagai sumber daya alam yang mempengaruhi

Lebih terperinci

V. KESIMPULAN DAN SARAN. Berdasarkan dari hasil survei, perhitungan dan pembahasan dapat diperoleh

V. KESIMPULAN DAN SARAN. Berdasarkan dari hasil survei, perhitungan dan pembahasan dapat diperoleh V. KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan Berdasarkan dari hasil survei, perhitungan dan pembahasan dapat diperoleh beberapa kesimpulan pada penelitian ini adalah sebagai berikut : 1. Kemacetan lalu lintas

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. mempengaruhi kesehatan manusia. Hal ini disebakan karena gas CO dapat mengikat

BAB I PENDAHULUAN. mempengaruhi kesehatan manusia. Hal ini disebakan karena gas CO dapat mengikat BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Gas-gas pencemar dari gas buang kendaraan bermotor seperti gas CO dapat mempengaruhi kesehatan manusia. Hal ini disebakan karena gas CO dapat mengikat hemoglobin darah

Lebih terperinci

SMP kelas 7 - BIOLOGI BAB 13. PendudukLatihan Soal 13.2

SMP kelas 7 - BIOLOGI BAB 13. PendudukLatihan Soal 13.2 SMP kelas 7 - BIOLOGI BAB 13. PendudukLatihan Soal 13.2 1. Perhatikan tabel berikut! Kota Jumlahpenduduk Luaswilayah (km 2 ) A 2500 50 B 3520 80 C 1250 120 D 4500 75 Berdasarkan tabel tersebut kota manakah

Lebih terperinci

VARIASI PENGGUNAAN IONIZER DAN JENIS BAHAN BAKAR TERHADAP KANDUNGAN GAS BUANG KENDARAAN

VARIASI PENGGUNAAN IONIZER DAN JENIS BAHAN BAKAR TERHADAP KANDUNGAN GAS BUANG KENDARAAN VARIASI PENGGUNAAN IONIZER DAN JENIS BAHAN BAKAR TERHADAP KANDUNGAN GAS BUANG KENDARAAN Wachid Yahya, S.Pd, M.Pd Mesin Otomotif, Politeknik Indonusa Surakarta email : yahya.polinus@gmail.com Abstrak Penelitian

Lebih terperinci

Disusun Oleh: Ir. Erlinda Muslim, MEE Nip : Departemen Teknik Industri-Fakultas Teknik-Universitas Indonesia 2008

Disusun Oleh: Ir. Erlinda Muslim, MEE Nip : Departemen Teknik Industri-Fakultas Teknik-Universitas Indonesia 2008 Disusun Oleh: Ir. Erlinda Muslim, MEE Nip : 131 803 987 Departemen Teknik Industri-Fakultas Teknik-Universitas Indonesia 2008 1 KEBIJAKSANAAN ENERGI 1. Menjamin penyediaan di dalam negeri secara terus-menerus

Lebih terperinci

Pemantauan Limbah Cair, Gas dan Padat

Pemantauan Limbah Cair, Gas dan Padat Pemantauan Limbah Cair, Gas dan Padat Paryanto, Ir.,MS Pusat Penelitian Lingkungan Hidup Lembaga Penelitian dan Pengabdian Masyarakat Universitas Sebelas Maret Bimbingan Teknis Pengendalian B3 Pusat Pelatihan

Lebih terperinci

PENGUJIAN PENGGUNAAN KATALISATOR BROQUET TERHADAP EMISI GAS BUANG MESIN SEPEDA MOTOR 4 LANGKAH

PENGUJIAN PENGGUNAAN KATALISATOR BROQUET TERHADAP EMISI GAS BUANG MESIN SEPEDA MOTOR 4 LANGKAH PENGUJIAN PENGGUNAAN KATALISATOR BROQUET TERHADAP EMISI GAS BUANG MESIN SEPEDA MOTOR 4 LANGKAH Pradana Aditya *), Ir. Arijanto, MT *), Jurusan Teknik Mesin, Fakultas Teknik, Universitas Diponegoro Jl.

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. untuk dapat menyelesaikan permasalahan pencemaran udara yang terjadi.

BAB 1 PENDAHULUAN. untuk dapat menyelesaikan permasalahan pencemaran udara yang terjadi. BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Pencemaran udara adalah suatu kondisi dimana kualitas udara menjadi rusak dan terkontaminasi oleh zat-zat, baik yang tidak berbahaya maupun yang membahayakan

Lebih terperinci

STUDI KONTRIBUSI KEGIATAN TRANSPORTASI TERHADAP EMISI KARBON DI SURABAYA BAGIAN BARAT Oleh : Wima Perdana Kusuma

STUDI KONTRIBUSI KEGIATAN TRANSPORTASI TERHADAP EMISI KARBON DI SURABAYA BAGIAN BARAT Oleh : Wima Perdana Kusuma STUDI KONTRIBUSI KEGIATAN TRANSPORTASI TERHADAP EMISI KARBON DI SURABAYA BAGIAN BARAT Oleh : Wima Perdana Kusuma 3306 100 097 Jurusan Teknik Lingkungan Fakultas Teknik Sipil dan Perencanaan Institut Teknologi

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 41 TAHUN 1999 TENTANG PENGENDALIAN PENCEMARAN UDARA PRESI DEN REPUBLIK INDONESIA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 41 TAHUN 1999 TENTANG PENGENDALIAN PENCEMARAN UDARA PRESI DEN REPUBLIK INDONESIA PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 41 TAHUN 1999 TENTANG PENGENDALIAN PENCEMARAN UDARA PRESI DEN REPUBLIK INDONESIA Menimbang : Bahwa udara sebagai sumber daya alam yang mempengaruhi kehidupan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Polusi atau pencemaran lingkungan adalah suatu peristiwa masuknya atau

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Polusi atau pencemaran lingkungan adalah suatu peristiwa masuknya atau BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Polusi atau pencemaran lingkungan adalah suatu peristiwa masuknya atau dimasukkannya makhluk hidup, zat energi, dan atau komponen lain ke dalam lingkungan, atau berubahnya

Lebih terperinci