BIODIVERSITAS, KARAKTER MORFOLOGIS DAN ASPEK REPRODUKSI JENIS IKAN KHAS PERAIRAN MANGROVE DI SUAKA MARGASATWA MUARA ANGKE, PENJARINGAN JAKARTA UTARA

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "BIODIVERSITAS, KARAKTER MORFOLOGIS DAN ASPEK REPRODUKSI JENIS IKAN KHAS PERAIRAN MANGROVE DI SUAKA MARGASATWA MUARA ANGKE, PENJARINGAN JAKARTA UTARA"

Transkripsi

1 BIODIVERSITAS, KARAKTER MORFOLOGIS DAN ASPEK REPRODUKSI JENIS IKAN KHAS PERAIRAN MANGROVE DI SUAKA MARGASATWA MUARA ANGKE, PENJARINGAN JAKARTA UTARA GEMA WAHYUDEWANTORO SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2013

2

3 PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Biodiversitas, Karakter Morfologis dan Aspek Reproduksi Jenis Ikan Khas Perairan Mangrove Di Suaka Margasatwa Muara Angke, Penjaringan Jakarta Utara adalah karya saya sendiri dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini. Bogor, Maret 2013 Gema Wahyudewantoro NRP C

4

5 ABSTRACT GEMA WAHYUDEWANTORO.Biodiversity, Morphological Character and Reproduction Aspect of Mangrove Fish at Muara Angke Conservation Wildlife, Penjaringan North Jakarta. Under Direction of M.Mukhlis Kamal, Ridwan Affandi and Mulyadi. The research was conducted in Muara Angke Wildlife Conservation, Penjaringan, North Jakarta. The aim of this study was to determine fish diversity in mangrove ecosystem, morphological character, and reproduction aspect (P. schlosseri, A. Gymnocephalus, and L. subviridis). Furthermore, those were compared with the same fish species in Ujung Kulon National Park. The result showed that there were 32 spesies belongs to 29 genera and 24 families were found in Muara Angke Wildlife Conservation. Based on PCA analysis, P. schlosseri has variance that can be explained 45.5%, L. subviridis 59.8%, and A. gymnocephalus 64.5%. The highest fluctuating asymmetry character is located in gill rakers. P. schlosseri supposedly better able to adapt to the pattern in the SMMA positive allometric growth (b> 3). Fecundity of this three species is vary and depend on environmental factors. Key words: Muara Angke Conservation Wildlife, fish, morphological character, fluctuating asymmetry, reproduction aspect

6

7 RINGKASAN GEMA WAHYUDEWANTORO. Biodiversitas, Karakter Morfologis dan Aspek Reproduksi Jenis Ikan Khas Perairan Mangrove di Suaka Margasatwa Muara Angke, Penjaringan Jakarta Utara. Dibimbing M.Mukhlis Kamal, Ridwan Affandi dan Mulyadi.. Ekosistem mangrove merupakan sistem peralihan terjadinya pertukaran material dan energi dari wilayah sekitar laut, perairan tawar dan ekosistem terestrial. Berdasarkan hal tersebut kawasan mangrove dapat memberi dukungan terhadap keragaman jenis flora dan fauna laut, perairan tawar dan juga ekosistem darat. Mangrove merupakan sumberdaya laut yang memiliki fungsi dan peran sangat penting, baik secara ekologis, sosial maupun ekonomis yang mendukung kehidupan masyarakat di wilayah pesisir. Peran dan fungsi ekologis dari hutan mangrove antara lain sebagai tempat tinggal sementara atau tetap, mencari makan, bereproduksi, memijah dan membesarkan anak bagi berbagai biota yang berasosiasi dengan habitat di sekitarnya. Penelitian ini bertujuan untuk mengungkap dan menginformasikan biodiversitas ikan perairan mangrove di Suaka Margasatwa Muara Angke (SMMA). Selanjutnya akan menganalisis karakter morfologis (morfometrik, meristik dan fluktuasi asimetri) dan aspek reproduksi ikan khas (belodok Periophthalmodon schlosseri, serinding Ambassis gymnocephalus dan belanak Liza subviridis) penghuni SMMA, kemudian membandingkannya dengan ketiga jenis ikan yang sama di Taman Nasional Ujung Kulon (TNUK). Penelitian dilaksanakan di Suaka Margasatwa Muara Angke, Penjaringan Jakarta Utara, pada bulan Februari 2012 sampai April Stasiun pengambilan contoh ikan merupakan muara sungai dan sekitarnya yang merupakan kawasan mangrove, sebagai data sekunder dibandingkan dengan penelitian pada tahun 2008 di TNUK. Pengkoleksian ikan dilakukan dengan beberapa alat tangkap, yang kemudian dilakukan pengamatan untuk data populasi, karakter morfologis, pola pertumbuhan, faktor kondisi dan aspek reproduksi. Data dianalisis dengan mempergunakan program SPSS versi 16. Hasil yang diperoleh dari SMMA yaitu 1535 individu ikan dari 32 jenis, 29 marga dan 26 suku. Stasiun Danau Angke mempunyai indeks tertinggi (H=2.673; E=0.83 dan d=3.391) diduga terkait dengan variasi substrat lumpur dan pasir. Berdasarkan nilai PCA pada dua lokasi (SMMA dan TNUK), untuk P.schlosseri total ragam yang dijelaskan sebesar 89,72%, A.gmnocephalus 94,56% dan L.subviridis 85,63%, yang kemudian dilanjutkan dengan analisis diskriminan. Hasil analisis diskriminan menunjukkan variasi yang dapat dijelaskan terhadap P.schlosseri yaitu 45,5%, A.gymnocephalus 59,8% dan L.subviridis 64,5%, hasil ini disebabkan oleh kondisi lingkungan sekitarnya. Karakter pembeda dari dua lokasi pada P. schlosseri terlihat di sirip anal (P=0,001<0,05), pada A.gymnocephalus terdapat perbedaan sirip pektoral

8 (P=0,001<0,05), sirip anal (P=5,08E-06<0,05) dan sisik pangkal sirip ekor (P=8,10E-10<0,05). Pada L.subviridis, variasi meristik yang terlihat jelas adalah jari-jari sirip dorsal (P=0,02<0,05), sirip anal (P=0,01<0,05) dan sisik pada pangkal sirip ekor (P=1,02E-06<0,05), yang kesemuanya tersebut disebabkan akibat jumlah spesimen yang tidak sama dan pengaruh lingkungan. Berdasarkan hasil analisis hubungan panjang berat P.schlosseri (jantan dan betina) di SMMA dan TNUK memperlihatkan pola pertumbuhan alometrik positif (b>3) yang berarti pertambahan berat ikan tidak sebanding dengan pertambahan panjangnya. Untuk A.gymnocephalus (jantan dan betina) di SMMA memperlihatkan pola pertumbuhan alometrik negatif (b<3) yaitu pertambahan panjang lebih cepat dibandingkan berat, namun di TNUK (jantan dan betina) pola pertumbuhan alometrik positif (b>3). Selanjutnya L.subviridis di SMMA dan TNUK, baik betina maupun jantan menunjukkan pola pertumbuhan alometrik negatif (b<3). Berdasarkan nilai Indeks Kematangan Gonad (IKG) pada Tingkat Kematangan Gonad IV, P.schlosseri jantan di SMMA adalah 1,95±0,02 dan betina 4,87±0,07. Sedangkan di TNUK untuk jantan 1,68±0,05 dan betina 3,74±0,31. Pada jantan dan betina A.gymnocephalus di SMMA berkisar 0,85±0,07 dan 2,53±0,17, di TNUK jantan dan betina berkisar 2,53±0,17 dan 1,64 ±0,59. L.subviridis di SMMA berkisar 3,34±0,18 dan betina 10,50±1,62, untuk jantan di TNUK adalah 3,46±0,15 dan betina 14,64±2,33. Fekunditas ketiga jenis ikan di SMMA lebih rendah dibandingkan di TNUK, hal tersebut merupakan strategi reproduksi akibat dari buruknya kualitas perairan di habitatnya. Parameter fisika kimia perairan sebagian menunjukkan telah berada tepat bahkan di atas baku mutu yang telah ditetapkan oleh Kementrian Lingkungan Hidup, antara lain N-NO 2 (mg/l) 0,008-0,013, N-NO 3 (mg/l) 0,010 0,031, Turbiditas (ntu) 9,44-4,5, TSS (mg/l) 12,4-17,0, serta terdeteksinya Pb (ppm) 0,009-0,014 dan Cd (ppm) <0,001 akibat dari masuknya bahan pencemar ke dalam perairan Suaka Margasatwa Muara Angke.

9 Hak Cipta milik IPB, tahun 2013 Hak Cipta dilindungi Undang-undang 1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tujuan suatu masalah b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB 2. Dilarang Mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini dalam bentuk apapun tanpa izin IPB

10

11 BIODIVERSITAS, KARAKTER MORFOLOGIS DAN ASPEK REPRODUKSI JENIS IKAN KHAS PERAIRAN MANGROVE DI SUAKA MARGASATWA MUARA ANGKE, PENJARINGAN JAKARTA UTARA GEMA WAHYUDEWANTORO Tesis Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Perairan SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2013

12 Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis : Dr. Ir. Isdradjad Setyobudiandi, M.Sc

13 Judul Penelitian Nama NIM Program Studi : Biodiversitas, Karakter Morfologis dan Aspek Reproduksi Jenis Ikan Khas Perairan Mangrove di Suaka Margasatwa Muara Angke, Penjaringan Jakarta Utara : Gema Wahyudewantoro : C : Pengelolaan Sumberdaya Perairan Disetujui Komisi Pembimbing Dr. Ir. Mohammad Mukhlis Kamal, MSc Ketua Dr. Ir. Ridwan Affandi, DEA Anggota Prof. Dr. Mulyadi, MSc Anggota Diketahui Ketua Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Perairan Dekan Sekolah Pascasarjana IPB Dr. Ir. Enan M. Adiwilaga Tanggal Ujian: Dr. Ir. Dahrul Syah, M.Sc.Agr. Tanggal Lulus:

14

15 PRAKATA Puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah Tabarokta wata ala yang telah memberikan rahmat dan hidayahnya, serta shalawat dan salam tetap tercurah pada junjungan kita Nabi Muhammad Sallalahu Alaihi Wasallam beserta para sahabatnya, sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan tesis ini yang berjudul Biodiversitas Karakter Morfologis dan Aspek Reproduksi Jenis Ikan Khas Perairan Mangrove di Suaka Margasatwa Muara Angke, Penjaringan Jakarta Utara. Dalam penyelesaian tesis ini, berbagai pihak telah membantu dari awal penelitian hingga penulisan. Oleh karena itu, perkenankan pada kesempatan ini penulis mengaturkan terima kasih yang sebanyak-banyaknya kepada: Dr. Ir. Mohammad Mukhlis Kamal, MSc selaku ketua komisi pembimbing, Dr. Ir. Ridwan Affandi, DEA dan Prof. Dr. Mulyadi, MSc selaku anggota komisi pembimbing yang telah mencurahkan banyak waktu dan tenaganya untuk membimbing penulis dalam menyelesaikan tesis ini. Dr. Ir. Enan M. Adiwilaga selaku ketua Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Perairan yang selalu memberikan nasehat dan perhatiannya serta kemudahan selama menempuh perkuliahan. Dr. Ir. Isdradjad Setyobudiandi, M.Sc selaku penguji luar komisi atas semua saran dan masukannya demi penyempurnaan penulisan tesis ini. Kementrian Riset dan teknologi yang telah mensponsori beasiswa sehingga penulis berkesempatan melanjutkan pendidikan pascasarjana di IPB. BKSDA Jakarta dalam hal ini petugas (karyawan dan Polhut Suaka Margasatwa Muara Angke atas kerjasama dan bantuannnya di lapangan. Rekan-rekan mahasiswa SDP angkatan 2010 (Aliati Iswantari, Anti Landu, Darwin Syah Putra, Munirah Tuli, Haiatus Shohihah, Robin, Sri Wahyuni dan Dyah Muji Rahayu) atas dukungan semangat dan rasa kekeluargaannya. Drs. Haryono, MSi, Rahmi Dina, MSi dan Dewi Citra Murniati, MSi atas bantuan dalam mengolah data, dan Rudi Hermawan atas bantuan di lapangan. Terkhusus Kedua orang tua, istri dan adik yang selalu memberikan semangat dan doa kepada penulis untuk tetap berjuang menempuh pendidikan tinggi sehingga dapat berbakti pada agama dan tanah airnya. Penulis menyadari bahwa tulisan ini masih jauh dari kesempurnaan. Oleh karena itu, penulis mengharapkan kritik dan saran yang konstruktif demi perbaikan tulisan ini. Bogor, Maret 2013 Gema Wahyudewantoro

16

17 RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Jakarta tanggal 13 Desember 1977 dari ayah Dody Hermanto dan ibu Siti Djoebaidah. Penulis merupakan putra pertama dari dua bersaudara. Pada tahun 1996 penulis lulus dari SMAN 98 Kalisari dan pada tahun yang sama memasuki Universitas Nasional Jakarta, pada Fakultas Biologi dan lulus pada tahun Pada tahun 2006 penulis bekerja di Pusat Penelitian Biologi LIPI. Penulis berkesempatan melanjutkan pendidikan magister pada Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Perairan Sekolah Pasca Sarjana IPB tahun 2010 dengan sponsor beasiswa Ristek tahun Penulis menikah dengan Gita Gustirini.

18 xii DAFTAR ISI Halaman DAFTAR ISI... xii DAFTAR TABEL... xv DAFTAR GAMBAR.. xvi PENDAHULUAN.. 1 Latar Belakang Perumusan Masalah.. 3 Tujuan Penelitian.. 4 Manfaat Penelitian... 4 Hipotesis.. 4 TINJAUAN PUSTAKA.. 7 Suaka Margasatwa Muara Angke Keanekaragaman Jenis Ikan 8 Jenis Ikan Perairan Mangrove. 9 Ikan Belodok Periophthalmodon schlosseri (Pallas, 1770). 9 Serinding Ambassis gymnocephalus (Lacepede, 1802) 10 Belanak Liza subviridis (Valenciennes, 1836). 11 Interaksi Ikan Dengan Ekosistem Mangrove.. 12 Pertumbuhan 13 Hubungan Panjang dan Berat Faktor Kondisi.. 14 Karakter Morfologis (Morfometrik dan Meristik) Fluktuasi Asimetri Reproduksi Indeks Hepatosomatik Fisika Kimia Air

19 xiii METODE Waktu dan Tempat Penelitian.. 17 Alat dan Bahan Pengkoleksian Ikan Pengukuran Kualitas air insitu.. 20 Analisis Laboratorium Pengukuran panjang dan berat ikan 20 Pengukuran karakter morfometrik dan fluktuasi asimetrik 20 Penentuan jenis kelamin jantan dan betina. 21 Penimbangan dan Pengamatan Gonad 22 Menghitung jumlah dan mengukur diameter telur ikan.. 22 Penimbangan hati Analisis Data Analisis data morfometrik dan meristik.. 24 Analisis komponen utama (PCA). 24 Analisis Diskriminan.. 24 Fluktuasi Asimetri.. 25 HASIL DAN PEMBAHASAN.. 27 Keanekaragaman Jenis.. 27 Perbandingan Antar stasiun Sebaran Populasi dan Karakter Analisis Komponen Utama (PCA) Truss Morfometrik 30 Analisis Diskriminan Analisis diskriminan Periophthalmodon schlosseri.. 32 Analisis diskriminan Ambassis gymnocephalus 34 Analisis diskriminan Liza subviridis.. 35 Meristik Fluktuasi Asimetri Hubungan Panjang dan Berat 41 Faktor Kondisi Nisbah Kelamin.. 45

20 xiv Tingkat Kematangan Gonad 46 Indeks Kematangan Gonad. 49 Fekunditas dan Diameter Telur 51 Indeks Hepatosomatik.. 55 Fisika Kimia Air 57 Alternatif Pengelolaan Tiga Jenis Ikan di Suaka Margasatwa Muara Angke SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Saran. 61 DAFTAR PUSTAKA. 63 LAMPIRAN 71

21 xv DAFTAR TABEL Halaman 1. Lokasi dan karakteristik stasiun penelitian Alat dan Bahan Untuk Koleksi Ikan Tingkat kematangan gonad(modifikasi Cassie pada Effendie,1997) Keanekaragaman Jenis Ikan Di SM.Muara Angke Analisis indeks keragaman jenis (H), indeks kemerataan (E) dan indeks kekayaaan jenis (d) di lokasi penelitia SMMA Standar dan (bukan standar) nilai koefisien kanonikal diskriminan karakter pembeda utama pada P.schlosseri Standar dan (bukan standar) nilai koefisien kanonikal diskriminan karakter pembeda utama pada A.gymnocephalus Standar dan (bukan standar) nilai koefisien kanonikal diskriminan karakter pembeda utama pada L.subviridis Karakter Meristik 3 Jenis Ikan Yang Diujikan Nilai FAM dan FAN pada 3 jenis ikan SMMA dan TNUK Hubungan Panjang-Berat P.schlosseri Hubungan Panjang-Berat A.gymnocephalus Hubungan Panjang Berat L.subviridis Indeks Kematangan Gonad Jenis Ikan di SMMA dan TNUK Fekunditas Ketiga Jenis Ikan di SMMA dan TNUK Hubungan Panjang Standar dengan Fekunditas Indeks Hepatosomatik P.schlosseri di SMMA dan TNUK Indeks Hepatosomatik A.gymnocephalus di SMMA dan TNUK Indeks Hepatosomatik L.subviridis di SMMA dan TNUK Hubungan IKG dengan HSI P.schlosseri Hubungan IKG dengan HSI A.gymnocephalus Hubungan IKG dengan HSI L.subviridis Fisika Kimia Air di SM.Muara Angke.. 58

22 xvi DAFTAR GAMBAR Halaman 1. Skema Perumusan Masalah 5 2. Ikan Belodok Periophthalmodon schlosseri Ikan Serinding Ambassis gymnocephalus Ikan Belanak Liza subviridis Lokasi Penelitian di SMMA Lokasi Penelitian di TNUK (pengamatan tahun 2008) Pengukuran dengan truss morfometrik Kelimpahan Jenis dan Jumlah Individu Ikan yang diperoleh dari SM. Muara Angke Sebaran Karakter Truss Morfometrik P.schlosseri berdasarkan Hasil analisis diskriminan Sebaran Karakter Truss Morfometrik A.gymnocephalus berdasarkan hasil analisis diskriminan Sebaran Karakter Truss Morfometrik L.subviridis berdasarkan hasil analisis diskriminan Insang L.subviridis dari TNUK (a) dan SMMA (b) Hati A.gymnocephalus dari SMMA (a) dan TNUK (b) TKG P.schlosseri di dua lokasi penelitian TKG A. gymnocephalus di dua lokasi penelitian TKG L. subviridis di dua lokasi penelitian.. 49

23 xvii DAFTAR LAMPIRAN Halaman 1. Karakter masing-masing stasiun di TNUK Lokasi Penelitian SMMA dan TNUK Hasil Analisis Indeks Keanekaragaman Jenis (H), Indeks Kemerataan (E) dan Indeks Kekayaaan Spesies (d) di TNUK Hasil PCA Karakter Truss Morfometrik P.schlosseri Hasil PCA Karakter Truss Morfometrik A.gymnocephalus Hasil PCA Karakter Truss Morfometrik L.subviridis Gambar Ketiga Jenis Ikan yang Diujikan Grafik Hubungan Panjang-Berat P.schlosseri; a dan b (jantan, betina SMMA); c dan d (jantan, betina TNUK) ANOVA P.schlosseri Grafik Hubungan Panjang-Berat A.gymnocephalus; a dan b (jantan,betina SMMA); c dan d (jantan, betina TNUK) ANOVA A. gymnocephalus Grafik Hubungan Panjang-Berat L.subviridis; a dan b (jantan,betina SMMA); c dan d (jantan, betina TNUK) ANOVA Liza subviridis Rasio Kelamin P.schlosseri, A.gymnocephalus dan L.subviridis Grafik Hubungan Panjang Standar dengan Fekunditas P.schlosseri di SMMA dan TNUK (a dan b) Grafik Hubungan Panjang Standar dengan Fekunditas A.gymnocephalus di SMMA dan TNUK (a dan b) Grafik Hubungan Panjang Standar dengan Fekunditas L.subviridis di SMMA dan TNUK (a dan b) Grafik Hubungan IKG dengan HSI P.schlosseri jantan SMMA (a) dan TNUK (b);betina SMMA (c) dan TNUK (d) Grafik Hubungan IKG dengan HSI A.gymnocephalus jantan SMMA (a) dan TNUK (b); betina SMMA (c) dan TNUK (d) 101

24 xviii 20. Grafik Hubungan IKG dengan HSI L.subviridis jantan SMMA (a) dan TNUK (b); betina SMMA (c) dan TNUK (d) Tumpukan sampah yang masuk dari S. Angke kearah muara dan pesisir.. 103

25 PENDAHULUAN Latar Belakang Ekosistem mangrove terhampar di sekitar 117 negara yang terbentang seluas km 2 atau sekitar mencakup seperempat panjang garis pantai di bumi. Sekitar 30% diantaranya terdapat di Indonesia. Meskipun demikian hutan mangrove di Indonesia telah mengalami penyusutan yang cepat. Pada tahun 1980 luas mangrove ha, namun pada tahun 2005 tersisa hanya sekitar ha (Upadhyay et al., 2002; FAO, 2007). Setiap tahunnya terjadi penyusutan sebesar 1,6 %. Bahkan di Jawa laju penyusutan hutan mangrove dari tahun mencapai 8,8 % pertahunnya. Penyusutan hutan mangrove dikhawatirkan akan mengakibatkan punahnya beragam jenis fauna di dalamnya dan menurunkan kesejahteraan masyarakat pesisir (tahun 2002 mencapai 75 juta jiwa) yang menggantungkan hidupnya pada sektor perikanan. Daerah pantai termasuk mangrove mendapat tekanan yang tinggi akibat perkembangan penduduk yang bermukim di daerah pantai. Menurut Inoue et al. (1999) setiap tahunnya sekitar ha mangrove di Indonesia mengalami kerusakan. Bahkan Pramudji (2008a) memperkirakan bahwa ekosistem mangrove di Indonesia diperkirakan akan terkikis dan habis dalam waktu 10 tahun, apabila pemerintah tidak cepat tanggap dalam kelestarian dan pengelolaan mangrove. Mangrove merupakan ekosistem yang unik, kompleks dan khas karena adanya asosiasi antara flora dan fauna yang erat kaitannya dengan berbagai faktor lingkungan setempat. Sheridan dan Hays (2003) berpendapat bahwa kawasan mangrove memiliki produktivitas yang tinggi, karena memperoleh energi yang berupa zat-zat makanan yang terbawa pasang surutnya air laut. Oleh karena itu kawasan mangrove dapat memberi dukungan terhadap keragaman jenis flora dan fauna laut, perairan tawar dan juga ekosistem darat. Mangrove sendiri adalah suatu varietas komunitas pantai yang didominasi oleh beberapa jenis pohon yang khas, maupun semak yang mempunyai kemampuan untuk tumbuh dan berkembang di perairan asin. Ekosistem mangrove dihuni berbagai jenis fauna yang hidup menetap maupun sementara yaitu sebagai tempat memijah, asuhan dan mencari makan berbagai jenis ikan, udang, burung, mamalia dan reptil.

26 2 Kawasan Suaka Margasatwa Muara Angke (SMMA) merupakan satusatunya ekosistem mangrove di Teluk Jakarta. Secara administratif termasuk dalam wilayah kelurahan Kapuk, kecamatan Penjaringan, kotamadya Jakarta Utara. Kawasan tersebut sangat penting bagi kelangsungan hidup beragam fauna dan masyarakat sekitarnya, yang menggantungkan hidupnya di perairan tersebut hingga Kepulauan Seribu. Suaka ini juga menjadi tempat perlindungan terakhir bagi fauna mangrove yang ada akibat terdesak oleh alih fungsi kawasan pantai. Keadaan tersebut lebih diperparah oleh proses abrasi yang terjadi di hutan mangrove yang mengakibatkan semakin susutnya wilayah tersebut. Kerusakan yang terjadi di SMMA sudah sangat kronis akibat banyaknya sampah domestik dan limbah industri maupun buangan dari mesin kapal-kapal bermotor yang menambah semakin kompleksnya permasalahan. Keadaan ini berdampak negatif terhadap populasi jenis fauna akuatik secara langsung, khususnya ikan. Padahal sumbangan dari kawasan perairan mangrove bagi perikanan dapat dikatakan besar. Sukardjo (2004) menginformasikan bahwa ton hasil tangkapan laut, 3% diantaranya merupakan sumbangan dari jenis-jenis ikan yang hidupnya tergantung pada kawasan mangrove. Isolasi geografi dapat mengakibatkan pengembangan karakter morfologi yang berbeda pada populasi ikan, akibat efek interaksi dengan lingkungan, seleksi, dan genetika pada ontogenies masing-masing individu sehingga menghasilkan perbedaan morfometrik di dalam jenis. Konsep struktur geografis dalam populasi ikan merupakan dasar dalam mempelajari dinamika populasi dan pengelolaan perikanan. Dalam waktu dekat, sistem analisis citra memainkan peran utama dalam pengembangan teknik morfometrik, yang bermanfaat dalam meningkatkan penelitian morfometrik untuk identifikasi pada populasi ikan (Polar et al., 2007). Stress lingkungan dapat memicu perubahan morfologi dari individu pada populasi ikan, yang dapat menyebabkan adanya perbedaan karakter antara sisi kiri dan kanan. Hal ini terjadi sebagai akibat dari ketidakmampuan individu untuk berkembang secara tepat dan normal yang disebut fluktuasi asimetri (Van Valen, 1962). Utayopas (2001) menginformasikan jenis Esomus metallicus, Trichopsis vittatus dan Trichogaster trichopterus pada perairan tercemar di

27 3 Thailand memiliki morfologi yang menyimpang dari normal yaitu jumlah tulang rusuk perut dan panjang dari rahang atas depan. Karakter asimetri yang kuat pada jarak di depan mata dan panjang kepalan ditunjukkan Leiognathus equulus di pantai Laut Oman yang tercemar (Al-Mamry et al., 2011). Perumusan Masalah Di beberapa lokasi seperti pantai timur Sumatera, pantai utara Jawa, Sulawesi, Bali, Nusa Tenggara dan pulau lainnya, lahan mangrove telah beralih fungsi menjadi tambak, lahan pertanian dan tempat pariwisata (Pramudji, 2008b). Dirjen Perikanan pada tahun (1999) dalam Inoue et al. (1999) melaporkan bahwa luas hutan mangrove yang telah dikonversi menjadi areal pertambakan mencapai ha. Mudahnya akses jalan menuju kawasan seringkali malah mendukung kerusakan yang terjadi. Salah satu masalah yang terjadi adalah menurunnya kualitas dan kuantitas kelompok biota termasuk jenis-jenis yang dilindungi, endemik dan terancam punah. SMMA telah mengalami degradasi habitat yang cukup parah. Tidak adanya barrier dengan kawasan perumahan Pantai Indah Kapuk (PIK) menambah jumlah masukkan limbah rumah tangga yang masuk ke perairan mangrove tersebut. Permasalahan yang terkait dengan rusaknya hutan mangrove di SMMA adalah perusakan hutan, pencemaran air (laut dan sungai), kurangnya dukungan dari berbagai pihak dan pemberdayaan masyarakat pesisir. Padahal sumber daya hayati yang hidup dan bergantung di dalam suaka tersebut sangat rapuh dan terbatas, hal ini jelas sangat mengkhawatirkan. Perairan mangrove yang berada di Taman Nasional Ujung Kulon (TNUK) relatif lebih terjaga, walaupun beberapa muara juga merupakan aliran sungai yang berbatasan langsung dengan perkampungan nelayan, namun yang membedakan di sekitar kawasan tersebut tidak ada pabrik atau industri yang menghasilkan bahanbahan pencemar. Tingginya jumlah jenis pada muara sungai TNUK dikarenakan kondisi mangrovenya relatif lebih baik, kemungkinan tingkat pengawasan dari pemerintah setempat sangat mendukung. Sejalan dengan itu Genisa (2006) berpendapat bahwa tinggi rendahnya keanekaragaman jenis dipengaruhi oleh banyak faktor, salah satunya adalah kualitas lingkungan. Keberadaan mangrove

28 4 mampu menopang fauna akuatik yang hidup dan berasosiasi di dalamnya (Dorenbosch dalam Genisa 2006). Ikan yang mendiami perairan mangrove merupakan jenis-jenis yang mempunyai keunikan tersendiri, yang tahan terhadap tekanan fluktuasi lingkungan yang sangat tinggi terutama salinitas, mampu berdaptasi dan berkembang di kawasan tersebut. Melihat kondisi perairan SMMA saat ini, dapat diduga bahwa jumlah jenis maupun kelimpahan ikan yang mendiaminya telah mengalami penurunan. Tipe habitat dapat mempengaruhi karakter morfologis (morfometrik, meristik dan fluktuasi asimetri) yang dapat diukur dengan metode truss morfometrik. Karakter morfologis jenis ikan di SMMA perlu diteliti, yang akan dibandingkan dengan di TNUK Pandeglang Jawa Barat. Tujuan Penelitian 1. Mengungkap dan menginformasikan biodiversitas ikan perairan mangrove di SMMA. 2. Menganalisis karakter morfologis (morfometrik, meristik dan fluktuasi asimetri) dan aspek reproduksi ikan khas (belodok Periophthalmodon schlosseri, serinding Ambassis gymnocephalus dan belanak Liza subviridis) penghuni SMMA, sebagai akibat beberapa tekanan dari habitatnya dan kemudian membandingkannya dengan jenis ikan yang mendiami perairan mangrove TNUK. Manfaat Penelitian Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi atau data dasar sebagai acuan untuk pengelolaan perikanan yang berkelanjutan di perairan mangrove Suaka Margasatwa Muara Angke Penjaringan Jakarta. Hipotesis Perairan mangrove Suaka Margasatwa Muara Angke memiliki kondisi perairannya tergolong tercemar, maka keanekaragaman jenis ikannya diduga memiliki tipe karakter morfologis yang khas.

29 5 Pencemaran Laut Limbah darat Kawasan SM. Muara Angke Limbah Industri Degradasi Habitat (kondisi perairan) Penurunan Keragaman Ikan perairan mangrove dan faktor fisik-kimia Data Populasi: o Keanekeragaman Jenis o Kekayaan Jenis o Kemerataan Jenis Karakter morfologis Pola Pertumbuhan dan Faktor Kondisi Aspek Reproduksi Kondisi Perairan mangrove SM.Muara Angke Perairan mangrove Taman Nasional Ujung Kulon Strategi Pengelolaan Gambar 1. Skema Perumusan Masalah

30 6

31 7 TINJAUAN PUSTAKA Suaka Margasatwa Muara Angke Kawasan konservasi dapat berupa suaka alam, kawasan pelestarian alam, taman buru dan hutan lindung. IUCN (1994) mendefinisikan kawasan yang dilindungi sebagai suatu areal daratan dan atau lautan yang secara khusus dimaksudkan untuk melindungi dan memelihara keanekaragaman hayati dan sumberdaya alam lainnya, serta kebudayaan setempat. Suaka Margasatwa Muara Angke merupakan satu-satunya ekosistem mangrove yang tersisa di pantai Jakarta. Kawasan seluas 170,60 ha ini terletak pada koordinat 06º06-06º10 LS dan 106º43-106º48 BT terdiri atas S.M Muara Angke, Hutan Lindung dan Taman Wisata Alam Angke Kapuk. Pada tahun 1998 status kawasan dirubah dari Cagar Alam menjadi Suaka Margasatwa berdasarkan Surat Keputusan Menteri Kehutanan dan Perkebunan No 097/Kpts-II/1998. Kawasan ini berbatasan dengan Laut Jawa di sebelah utara, Kali Angke dan perkampungan nelayan Muara Angke di Timur, perumahan Pantai Indah Kapuk (PIK) di Selatan, dan Hutan Lindung Angke-Kapuk, yang dikelola oleh Dinas Kehutanan DKI Jakarta di sebelah Barat (PPLH, 2000). Jenis vegetasi mangrove yang mendominasi adalah bakau (Rhizophora apiculata dan R.mucronata), api-api (Avicennia spp.), pidada (Sonneratia caseolaris), buta-buta (Exoecaria agallocha), dan gulma Acrostichum aureum (Karminarsih, 2007). Jenis fauna penghuni SMMA meliputi 63 jenis burung hutan dan 28 jenis burung air, dimana 17 jenis diantaranya merupakan jenis yang dilindungi. Jenis reptil yang sering dijumpai adalah Biawak (Varanus salvator). Jenis primata yang masih banyak ditemukan adalah Monyet kera (Macaca fascicularis). Namun data tentang jenis ikan yang mendiami perairan mangrove belum tercatat dengan baik. TNUK merupakan salah satu kawasan pelestarian alam di Indonesia yang berperan penting dalam menjaga kelestarian sumberdaya alam hayati dan keseimbangan ekosistem dan mendukung peningkatan kesejahteraan masyarakat sekitar. Jenis vegetasi mangrove yang mendominasi di TNUK adalah Aegiceras corniculatum, Bruguiera parvifolia, dan Rhizophora apiculata. Namun pada tanah yang hitam atau sedikit berlumpur dijumpai Lumnitzera racemosa. Pada area yang

32 8 jarang tergenangi, dapat ditemukan Heritiera litoralis dan Acanthus ilicifolius yang cukup banyak Di kawasan ini ditemukan berbagai jenis fauna yang unik dan endemik, misalnya Badak Jawa (Rhinoceros sondaicus), banteng (Bos javanicus), rusa (Cervus timorensis), Harimau Tutul (Panthera pardus), Anjing Ajag (Cuon alpinus javanicus), Kucing Kuwuk (Prionailurus bengalensis), Owa Jawa (Hylobates moloch), Lutung Surili (Presbytis comata), Lutung Budeng (Trachypithecus auratus), dan Kima Raksasa (Tridacna gigas). Laporan sebelumnya menunjukkan bahwa kawasan ini memiliki keanekaragaman hayati yang cukup tinggi yang meliputi 35 jenis mamalia, 5 jenis primata, 59 jenis reptil, 22 jenis amfibia, 240 jenis burung, 33 jenis terumbu karang dan 142 jenis ikan. Bila dibandingkan dengan kekayaan spesies vertebrata yang terdapat di Jawa, maka kekayaan vertebrata TNUK, diwakili mamalia 26,32%, burung 66,3%, dan reptil 34,10% (Suyanto et al., 2008). Selanjutnya tekanan lingkungan yang terjadi di SMMA sudah sangat mengkhawatirkan, sehingga penelitian mengenai biodiversitas ikan perlu segera dilakukan. Data yang diperoleh nantinya dapat dipergunakan sebagai dasar dalam menentukan kebijakan dalam pelaksanaan pembangunan yang berkelanjutan. Keanekaragaman Jenis Keanekaragaman dan kelimpahan jenis ikan ditentukan oleh karakteristik habitat dan faktor lingkungan perairan. Secara ekologis, keanekaragaman jenis ikan yang tinggi menunjukkan keseimbangan ekosistem yang lebih baik. Selain itu mempunyai elastisitas yang baik terhadap kondisi lingkungan yang ekstrim, yang terkadang secara tiba-tiba berubah, misalnya serangan penyakit, predator dan lain sebagainya, begitu pula sebaliknya. Ludwig dan Reynolds (1988) berpendapat bahwa keanekaragaman jenis suatu komunitas ditentukan oleh jumlah atau kekayaan jenis dan nilai kemerataaan jenis. Pada beberapa perairan mangrove yang masih terjaga dengan cukup baik memiliki keanekaragaman ikan yang relatif tinggi, misalnya di perairan mangrove Teluk Tudor Kenya diperoleh 83 jenis ikan dan 115 jenis ikan di Teluk Dongzhaigang China (Sesakumar et al. 1992; Wang et al, 2009). Sebaliknya di perairan Tongke-Tongke Sulawesi Selatan hanya dapat diperoleh 27 jenis (Pirzan

33 9 et al, 2001). Hal tersebut dikarenakan telah terjadi kerusakan yang cukup serius akibat pembukaan kawasan hutan mangrove (Munisa et al., 2003). Jenis Ikan di Perairan Mangrove Ikan merupakan kelompok dari organisme bertulang belakang (vertebrata) paling besar. Menurut Nelson (2006) terdapat jenis ikan yang terdiri atas 62 bangsa, 515 suku dan 4494 marga. Sebagian besar 58% hidup di laut, 41% di air tawar dan 1% hidup diantara kedua habitat tersebut, atau mempergunakan habitat ini diantara siklus hidupnya (Cohen, 1970). Jumlah jenis ikan penetap yang hidup dan berkembang di kawasan tersebut memang lebih sedikit. Hanya jenis ikan yang memiliki kemampuan adaptasi terhadap salinitas cukup tinggi yang mampu berkembang. Dengan demikian komunitas ikan di perairan mangrove hanya didominasi oleh beberapa jenis saja, meskipun jumlah ikan yang tertangkap relatif banyak dan umumnya berukuran juvenile. Hal ini dapat dilihat di perairan mangrove Selangor Malaysia dimana dari individu yang tertangkap, hanya terdapat 119 jenis, dan 70% diantaranya didominansi oleh 6 jenis ikan (Gunarto, 2004). Jenis-jenis ikan penghuni mangrove umumnya mempunyai karakter morfologi yang unik, seperti ikan belodok yaitu Periophthalmodon sp. dan Boleophthalmus sp., serta ikan sumpit Toxotes jaculatrix, yang memiliki kemampuan menyumpit mangsanya di atas permukaan air menjadi sifat khas tersendiri. Ikan Belodok Periophthalmodon schlosseri (Pallas, 1770) Ikan belodok atau gelodok merupakan jenis ikan penetap yang berasosiasi dengan baik di dalam ekosistem mangrove. Jenis ini termasuk dalam bangsa Perciformes, suku Gobiidae dan marga Periophtalmodon. P.schlosseri merupakan salah satu jenis Gobiidae yang berukuran besar (Giant Mudskipper) dengan panjang maksimum mencapai 27 cm (Kottelat et al, 1993). Tubuh berbentuk bulat panjang menyerupai torpedo, dengan kedua mata menonjol di atas kepala seperti kodok. Bagian dorsal dan lateral tubuh berwarna cokat keabu-abuan, sedangkan bagian ventral berwarna keputih-putihan, dihiasi dengan garis lateral hitam pada setiap sisi memanjang dari mata ke pangkal ekor

34 10 (meskipun pada beberapa spesimen garis hitam mungkin kurang jelas). Sirip ekor berwarna coklat gelap sampai abu-abu. Jumlah duri sirip punggung pertama adalah 6-9, dan satu pada sirip punggung kedua dengan jari-jari lunak. Jarijari dada Sirip dubur mempunyai 1 duri dengan jari-jari lunak. Kedua sirip perut bersatu dan membentuk suatu cakram. Sirip dada berfungsi seperti kaki, dapat dipergunakan untuk berlari dan memanjat (Gambar 2). Marga ini ditandai dengan adanya dua baris gigi pada rahang atas, pada baris kedua gigi di rahang atas gigi jumlahnya sedikit dan lebih kecil. Larson dan Lim (2005) menambahkan bahwa gigi baris terluar membesar dan melengkung. (Gambar 2. Periophthalmodon schlosseri, foto oleh: Wahyudewantoro, 2012) Belodok dapat bertahan lama hidup di luar air/ daratan, karena mampu bernafas melalui kulit dan memiliki lapisan selaput lendir di mulut dan kerongkongannya, yang hanya bisa terlaksana dalam keadaan lembab. Belodok berasosiasi sangat erat dengan ekosistem mangrove. Ikan ini seringkali terlihat berkelompok di antara akar nafas Sonneratia alba dan memanfaatkannya sebagai tempat perlindungan bila dalam keadaan terancam. Makanannya berupa ketam, udang, ikan, cumi-cumi, kerang, bahkan semut dan lalat. Ikan belodok memiliki nilai komersial tinggi di beberapa negara Asia (Cina, Korea dan Vietnam) antara lain ikan konsumsi obat di Tiongkok dan Jepang, dan sudah mulai dibudidayakan (Mukhtar et al, 2012). Serinding Ambassis gymnocephalus (Lacepede, 1802) Serinding juga termasuk ikan penghuni mangrove, termasuk dalam bangsa Perciformes, suku Chandidae dan marga Ambassis (Gambar 3). Tubuh berwarna kuning keperakan dan ada yang tembus pandang/ transparan, kecil, dengan mata

35 11 besar dan mulut tipis. Sirip punggung pertama dengan 7 duri, sedangkan sirip punggung kedua 1 duri dan 9 jari-jari lunak. Sirip dubur mempunyai 3 duri dan 9-10 jari-jari lunak. Sisik pada gurat sisi berjumlah (Weber and Beaufort, 1929 dalam Kottelat et al., 1993). (Gambar 3. Ambassis gymnocephalus, foto oleh Wahyudewantoro, 2012) Serinding dapat dijumpai di perairan yang tidak terlalu dalam, umumnya di sekitar muara. Makanannya berupa krustasea, ikan yang berukuran lebih kecil, telur dan larva ikan di sekitar mangrove. A.gymnocephalus merupakan jenis pemakan zooplankton yang paling dominan di perairan mangrove (Sukardjo, 2004). Pemanfaatan ikan ini lebih banyak diasinkan dan dikeringkan (Kottelat et al., 1993). Belanak Liza subviridis (Valenciennes, 1836) Belanak merupakan salah satu ikan yang cukup dikenal di perairan mangrove. Jenis ini masuk ke dalam bangsa Mugiliformes, suku Mugilidae dan marga Liza (Gambar 4). Belanak mempunyai kepala gepeng, moncong tumpul, mulut kecil dan bibir berbentuk V apabila dilihat dari depan. Sisik-sisiknya besar dan terdapat sisik di sepanjang sisi tubuhnya. Tubuhnya berwarna biru sampai hijau kecoklatan (Kottelat et al., 1993; Peristiwady, 2006).

36 12 (Gambar 4. Liza subviridis, foto oleh Wahyudewantoro, 2012) Ikan ini dapat dijumpai di perairan mangrove di seluruh perairan tropis dan subtropis. Berenang secara berkelompok, walaupun terkadang terlihat soliter. Pada fase juvenil ikan bersifat omnivore, memakan zooplankton dan phytoplankton, namun setelah dewasa lebih bersifat herbivore, memakan diatom dan alga (McDonough, 2011). Sukardjo (2004) menyatakan L.subviridis adalah jenis yang sangat dominan di perairan mangrove. Interaksi Ikan dengan Ekosistem Mangrove Interaksi merupakan hubungan timbal balik antara habitat abiotik dengan biotik, begitupun sebaliknya. Interaksi ini menciptakan kesatuan ekologi yang disebut ekosistem. Hal tersebut dapat dilihat diantara jenis-jenis ikan yang masuk maupun yang memang menetap di perairan mangrove. Serasah mangrove (daun, ranting dan buah) yang jatuh ke air atau mati, akan dimanfaatkan oleh kepiting sesarmid, lalu akan mengalami proses dekomposisi oleh mikroba. Pada akhirnya akan menjadi bahan makanan bagi bivalvia, gastropoda dan pemakan detritus lainnya yang menjadi makanan bagi juvenil ikan, udang dan kepiting (Sheridan dan Hays, 2003; Gunarto, 2004). Substrat di ekosistem mangrove merupakan tempat yang sangat disukai oleh biota yang hidup di dasar perairan atau bentos. Nagelkerken et al. (2000) telah membandingkan kepadatan ikan di tiga wilayah perairan (mangrove, lamun dan terumbu karang) di Bonaire Belanda, diperoleh 9 dari 14 juvenil ikan yang terkoleksi di daerah mangrove. Jenis ikan yang berinteraksi di perairan mangrove dapat dikelompokkan menjadi 3 kelompok. Kelompok pertama adalah ikan penetap sejati, yaitu ikan yang seluruh siklus hidupnya dijalankan di daerah hutan mangrove seperti ikan belodok (Periophthalmodon sp. dan Boleopthalmus sp.). Kedua penetap

37 13 sementara, yaitu ikan yang berasosiasi dengan hutan mangrove selama periode anakan, tetapi pada saat dewasa cenderung menggerombol di sepanjang pantai yang berdekatan dengan hutan mangrove, seperti ikan belanak (Mugilidae), ikan kuweh (Carangidae), dan ikan kapasan, kontong (Gerreidae). Selanjutnya adalah kelompok pengunjung, yaitu ikan yang berkunjung ke hutan mangrove pada saat air pasang untuk mencari makan, contohnya ikan kekemek, gelama, krot (Scianidae), barakuda, alu-alu, tancak (Sphyraenidae), dan ikan-ikan dari suku Exocietidae serta Carangidae. Vance et al. (1996) dalam Sheridan dan Hays (2003) mencatat bahwa akar bakau dapat mencegah predator sehingga dapat meningkatkan kemampuan bertahan hidup dari ikan-ikan kecil. Selain itu komunitas ikan memiliki ketergantungan terhadap ekosistem mangrove dalam penyediaan sumber makanan bagi fase larva dan juvenilnya (Tse et al., 2008). Juvenile dari marga Haemulon dan Lutjanus di perairan mangrove Caribia sangat tergantung dari keberadaan mangrove (Nagelkerken et al., 2000). Banyak jenis ikan laut yang masuk atau naik ke perairan tawar untuk bertelur tetapi pada masa larva dan post larva menggunakan daerah estuaria sebagai tempat asuhannya (Dando, 1984). Chong et al. (1990) melaporkan bahwa perairan mangrove merupakan tempat mencari makan pada waktu terjadi pasang tinggi bagi ikan-ikan ekonomis maupun non ekonomis. Ikan ekonomis yaitu suatu jenis ikan yang mempunyai kualitas daging yang bagus, baik dari segi tekstur, rasa, warna dan ketebalan daging tinggi, sehingga harga jualnya relatif tinggi. Beberapa jenis ikan ekonomis penting di perairan Cilacap adalah Anguilla bicolor, A.mauritiana, Chanoschanos, Lutjanus argentimaculatus, L.sanguineus, L.johni, Muraenesox talabon, Epinephelus tauvina dan Labotes surinamensis (Bhagawati et al., 2001). Pertumbuhan Pertumbuhan dalam perikanan adalah pertumbuhan ukuran baik panjang maupun berat dalam ukuran waktu tertentu, sedangkan pertumbuhan suatu populasi adalah pertambahan jumlah individu. Setiap hewan mengalami pertumbuhan dalam panjang dan berat, hubungan diantara keduanya sangatlah penting (Effendie, 1997).

38 14 Hubungan Panjang dan Berat Untuk menghitung pertumbuhan diperlukan data panjang dan berat ikan Perbandingan antara panjang-berat dapat menunjukan perubahan yang terjadi pada bentuk morfologi atau kondisi dari hewan tersebut. Hubungan panjang-berat menggambarkan karakteristik struktur individu diantara populasi (Omar, 2005). Faktor Kondisi Faktor kondisi merupakan salah satu bagian yang penting dalam masalah pertumbuhan ikan. Faktor kondisi atau ponderal index diperuntukkan untuk melihat keadaan yang menyatakan kemontokan tubuh ikan, baik dilihat dari segi kapasitas fisik maupun segi survival dan reproduksinya (Effendie, 1997). Nilai ini dipengaruhi oleh umur, jenis kelamin, makanan, dan tingkat kematangan gonad Karakter Morfologi (Morfometrik dan Meristik) Karakter morfologi meliputi studi morfometrik dan meristik dari ikan. Dengan mempergunakan karakter morfologi dapat mengidentifikasi bagianbagian spesifik dari suatu jenis ikan yang memungkinkan untuk pengelolaan yang lebih baik dan menjamin pelestarian sumberdaya (Turan, 1999). Morfometrik adalah ciri yang berkaitan dengan ukuran tubuh atau bagian tubuh ikan, misalnya panjang total, panjang standar, dan panjang sirip-siripnya. Studi morfometrik menyediakan bukti ciri-ciri tersendiri dari stok ikan (Turan, 1999). Ukuran tubuh merupakan salah satu hal yang dapat digunakan sebagai ciri taksonomik dalam mengidentifikasi ikan. Hasil pengukuran dinyatakan dalam satuan milimeter atau centimeter, ukuran yang dihasilkan disebut ukuran mutlak. Adapun meristik adalah ciri yang berkaitan dengan jumlah bagian tubuh dari ikan, misalnya jumlah sisik pada garis rusuk, jumlah jari-jari keras dan lunak pada sirip punggung, sirip perut, sirip dada dan batang ekor (Affandi, et al.,1992). Perbedaan ciri-ciri yang berkaitan dengan jumlah bagian tertentu pada tubuh ikan secara umum disebabkan oleh faktor lingkungan, atau faktor genetik yang relatif tidak seimbang. Walaupun umur ikan dari suatu jenis sama, namun ukuran mutlaknya dapat berbeda. Pengukuran ciri morfometrik untuk menstandarisasi dengan metode truss morfometrik, dimana metode ini dapat menggambarkan secara lebih tepat bentuk ikan dengan memilih titik-titik

39 15 homogulus tertentu di sepanjang tubuh, kemudian mengukur jarak antara titik-titik tersebut. Brojo (1999) menegaskan bahwa pengukuran dengan metode truss morfometrik dapat memberikan hasil dan informasi lebih terperinci dengan menggambarkan bentuk ikan dan memperkecil kesalahan dalam pengukuran. Ketika seluruh sampel ikan yang terkumpul mempunyai umur yang sama, itu tidak menjadi masalah, namun di alam umur dan ukuran tubuh ikan sangat beragam. Turan (1999) menyatakan seluruh karakter ikan yang telah diukur harus dikonversi dengan cara membagi nilai karakter dengan panjang standar. Fluktuasi Asimetri Fluktuasi asimetri merupakan konsep perbedaan yang bersifat bilateral antara karakter bagian sisi kiri dan kanan yang menyebar secara normal sebagai akibat dari ketidakmampuan individu untuk berkembang secara tepat dan normal (Van Valen, 1962). Menurut Utayopas (2001) fluktuasi asimetri adalah penyimpangan dari bentuk morfologi yang normal (simetris), yang dapat dengan cepat terdeteksi dimana dapat menyebabkan ketidaksehatan yang tersebar meluas atau perubahan di dalam struktur komunitas. Fluktuasi asimetri juga dipergunakan sebagai ukuran ketidaksamaan perkembangan, dapat pula dikatakan perbedaan acak antara karakter morfometrik pada setiap bidang simetri. Fluktuasi asimetri dianggap mencerminkan kemampuan organisme untuk mengatasi tekanan lingkungan, dan sebagai indikator dari kualitas jenis dalam studi seleksi alam, dan bioindikator untuk pemantauan lingkungan dan biologi konservasi (Tomkins dan Kotiaho, 2001). Peningkatan fluktuasi asimetri pada ikan dapat diamati melalui diameter mata, jumlah rigi pada tapis insang, jari-jari sirip dada (pectoral) dan jari-jari sirip perut (ventral). Perbedaan ciri-ciri tersebut yang berkaitan dengan jumlah bagian tertentu pada tubuh ikan dapat disebabkan oleh faktor lingkungan seperti suhu air dan salinitas. Faktor lingkungan berperan besar terhadap perkembangan ikan, diduga dapat menyebabkan perubahan morfologi dan reproduksi, bahkan kemampuan adaptasinya.

40 16 Reproduksi Seluruh mahluk hidup untuk mempertahankan populasinya di alam harus melakukan suatu tahap yang dinamakan reproduksi atau seringkali disebut proses pemijahan. Reproduksi adalah suatu proses pertemuan atau penggabungan antara ikan jantan dan betina yang bertujuan untuk pembuahan telur oleh spermatozoa. Ikan jantan dan betina umumnya mengeluarkan spermatozoa ke dalam air di sekitar sel-sel telur. Beberapa aspek penting dalam mempelajari reproduksi adalah nisbah kelamin, tingkat/indeks kematangan gonad (TKG/IKG) dan fekunditas atau jumlah telur. Pertambahan bobot gonad akan diikuti oleh pertambahan bobot ikan. Bobot gonad akan mencapai keadaan maksimum pada saat ikan akan melakukan reproduksi, kemudian akan menurun drastis selama reproduksi sedang berlangsung sampai selesai (Effendie, 1997). Fekunditas adalah banyaknya telur yang terdapat di dalam ovarium sebelum terjadi proses reproduksi. Indeks hepatosomatik (HIS) Indeks hepatosomatik adalah perbandingan antara bobot hati dengan bobot tubuh ikan. Pada lingkungan yang ekstrim, umumnya ikan mempunyai ukuran hati yang kecil. Hati berfungsi sebagai cadangan energi. Faktor yang mempengaruhi nilai HSI adalah suhu, makanan, TKG, dan polusi setempat. El Sayed dan Moharram (2007) menyatakan bahwa akumulasi dan penyimpanan lemak dan protein di dalam hati terjadi sebelum pemijahan ikan. Fisika Kimia Air Dalam mempelajari fauna akuatik, khususnya ikan tidak terlepas dari kualitas air sebagai tempat hidupnya, serta melakukan berbagai interaksi antara keduanya. Air yang jernih bukan berarti habitat yang baik untuk ikan, karena kejernihan bukan satu-satunya persyaratan air yang berkualitas bagi ikan. Beberapa jenis ikan bahkan seringkali dijumpai hidup dan berkembang di dalam perairan yang relatif keruh. Secara umum beberapa faktor yang mempengaruhi fisika kimia air di suatu perairan mangrove yaitu suhu, ph, salinitas, kandungan oksigen terlarut, karbondioksida bebas, nitrit, nitrat, padatan tersuspensi total, arus, kedalaman dan kecerahan.

41 17 METODE Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian dilaksanakan di Suaka Margasatwa Muara Angke, Penjaringan Jakarta Utara, pada bulan Februari 2012 sampai April Stasiun pengambilan contoh ikan merupakan muara sungai dan sekitarnya yang merupakan kawasan mangrove (Gambar 5). Karakteristik setiap stasiun sampling terlihat pada Tabel 1. Tabel 1. Lokasi dan karakteristik stasiun penelitian Stasiun Lokasi Karakteristik I. Danau Angke - Pasang surut dominan. - Vegetasi mangrove relatif tertutup. - Substrat berlumpur dan berpasir. - Warna air sungai hitam kecoklatan. - Sampah relatif sedikit, banyak serasah. - Tidak dilewati perahu nelayan. II. Pesisir Muara Angke - Daerah pasang surut. - Vegetasi Mangrove terbuka. - Substrat berpasir dan sedikit berlumpur. - Warna air sungai hitam kecoklatan. - Banyak sampah. - Perahu nelayan relatif sering terlihat disekitar pesisir. III. Muara Angke - Daerah pasang surut. - Vegetasi Mangrove terbuka. - Substrat berpasir dan sedikit berlumpur. - Warna Air hitam kecoklatan dan keruh. - Banyak Sampah. - Lalu lintas perahu nelayan. IV. SM.Muara Angke (POS 1) - Pasang surut relatif kurang dominan. - Vegetasi mangrove relatif tertutup. Banyak mangrove muda (hasil penanaman kembali) - Substrat lumpur. - Air keruh hitam kecoklatan. - Banyak sampah dan serasah. - Lalu lintas perahu nelayan.

42 18 Gambar 5. Lokasi Penelitian di SMMA Data ragam jenis ikan di TNUK merupakan data sekunder (data indeks keragaman, data pertumbuhan dan data aspek reproduksi jenis ikan) yang dilakukan pada tahun 2008 dengan metode yang sama. Empat muara sungai yang dicuplik jenis ikannya, yaitu S. Cilintang (stasiun I), S. Prepet (stasiun II), S.Cikawung (stasiun III) dan S. Citamanjaya (stasiun IV), sedangkan karakter masing-masing stasiun dapat terlihat di lampiran 1. Jarak yang sangat jauh antara SMMA dan TNUK memungkinkan jenis ikan yang mendiami kedua kawasan tersebut mempunyai variasi morfologi yang unik (Lampiran 2).

43 19 Alat dan Bahan Gambar 6. Lokasi Penelitian di TNUK (Pengamatan tahun 2008) Alat dan bahan yang dipergunakan selama penelitian tertera di Tabel 2. Tabel 2. Alat dan Bahan Untuk Koleksi Ikan No Alat dan Bahan Keterangan 1. Jala dengan mata jaring 1,5 dan 2,0 Koleksi ikan tempat yang dalam cm 2. Gill net dengan mata jaring ¾ inch, 1 inch, 1.5 inch dan 2 inch cm Koleksi ikan di arus yang tidak deras 3. Plastik berbagai ukuran Penyimpanan sementara sampel ikan 4. Cool box Penyimpanan dan pengangkutan ikan 5. Termometer Mengukur suhu air 6. ph meter Mengukur ph 7. refraktometer Mengukur Salinitas 8. Secchi disk Kecerahan air 9. DO meter Mengukur DO air 10. Alat ukur dan timbang Panjang dan bobot 11. Botol Mengambil sampel air 12. Formalin 10 % dan alkohol 70 % Mengawetkan ikan

44 20 Pengkoleksian ikan Ikan uji yang dipergunakan adalah P.schlosseri, L. subviridis dan A.gymnocephalus, ketiga jenis ikan tersebut dianggap mewakili jenis ikan khas yang mendiami ekosistem mangrove. Pengambilan contoh ikan di setiap stasiun/lokasi menggunakan beberapa alat tangkap seperti, jala tebar dengan mata jaring 1,5 dan 2,0 cm dan jaring insang (gillnet) dengan mata jaring ¾, 1, 1,5 dan 2 inch. Metode pengkoleksian ikan mengacu pada Suhardjono (1999). Spesimen ikan yang diperoleh selanjutnya dihitung jumlah jenis dan jumlah individu setiap jenisnya. Pengawetan (fiksasi) spesimen dengan menggunakan formalin 5% pada botol kaca berlabel yang berisi data lapangan. Identifikasi spesimen ikan yang terkoleksi mengacu pada beberapa buku kunci identifikasi yaitu Allen dan Swainston (1988), Kottelat et al. (1993) dan Peristiwady (2006). Pengukuran fisika kimia air insitu Pengukuran kualitas air yang dilakukan di lokasi penelitian meliputi suhu air, ph, DO, salinitas, arus dan kecerahan. Sedangkan untuk CO 2 bebas, nitrit, nitrat, turbiditas, TSS, serta Pb dan Cd untuk logam berat dilakukan di laboratorium. Pengukuran dilakukan sebelum dan setelah penelitian. Analisis Laboratorium Ragam jenis ikan khas perairan mangrove yang diujikan yaitu P.schlosseri, L. subviridis dan A.gymnocephalus. Ketiga jenis ikan tersebut selanjutnya diukur untuk mengetahui karakter morfologis, pertumbuhan dan aspek reproduksinya. Pengukuran panjang ikan dan berat Panjang ikan yang yang tertangkap diukur dengan digital caliper Mituyo dengan ketelitian 1 milimeter. Panjang total ikan diukur dari ujung mulut sampai ujung sirip ekor (Total Length=TL). Berat total ikan diukur dengan timbangan digital Mettler toledo ketelitian 1 gram. Selanjutnya data panjang dan berat ikan tersebut dicatat dan dipergunakan untuk keperluan pola pertumbuhan. Pengukuran Morfometrik dan fluktuasi asimetrik Pengukuran morfometrik ikan dilakukan dengan metode truss morfometrik, Strauss dan Bookstein (1982) dalam Kusmini et al. (2010). Metode

45 21 ini berupa pengukuran jarak titik-titik yang dibuat pada kerangka tubuh ikan, masing-masing garis truss diperoleh 21 karakter (Gambar 7). Gambar 7. Pengukuran dengan truss morfometrik Keterangan : a : Jarak antara titik di ujung mulut dengan titik di ujung bagian atas insang. b : Jarak antara titik di ujung mulut dengan titik di ujung bagian bawah insang. c : Jarak antara titik di ujung bagian atas insang dengan bagian bawah insang. d : Jarak antara titik di ujung bagian atas insang dengan titik di awal sirip punggung. e : Jarak antara titik di ujung bagian atas insang dengan titik di awal sirip perut. f : Jarak antara titik di ujung bagian bawah insang dengan titik di awal sirip punggung. g : Jarak antara titik di ujung bagian bawah insang dengan titik di awal sirip perut. h : Jarak antara titik di awal sirip punggung dengan titik di awal sirip perut. i : Jarak antara titik di awal sirip punggung dengan akhir sirip punggung. j : Jarak antara titik di awal sirip punggung dengan akhir sirip perut. k : Jarak antara titik di akhir sirip punggung dengan awal sirip perut. l : Jarak antara titik di awal sirip perut dengan akhir sirip perut. m : Jarak antara titik di akhir sirip punggung dengan titik di akhir sirip perut. n : Jarak antara titik di akhir sirip perut dengan titik di awal sirip anal. o : Jarak antara titik di akhir sirip punggung dengan titik di awal sirip anal. p : Jarak antara titik di awal sirip anal dengan akhir sirip anal. q : Jarak antara titik di akhir sirip punggung dengan titik di akhir sirip anal. r : Jarak antara titik di awal sirip anal dengan titik di awal sirip ekor bagian atas. s : Jarak antara titik di awal sirip ekor bagian atas dengan titik di akhir sirip anal. t : Jarak antara titik di akhir sirip anal dengan titik di sirip ekor bagian bawah. u : Jarak antara titik di awal sirip ekor bagian atas dengan sirip ekor bagian bawah. Penghitungan karakter meristik meliputi jumlah dari jari-jari sirip punggung, jari-jari sirip dada, jari-jari sirip perut, jari-jari sirip anal dan sisik pada gurat sisi. Sedangkan fluktuasi asimetri diamati melalui diameter mata, tapis insang, jari-jari sirip dada (pectoral) dan jari-jari sirip perut (ventral). Penentuan jantan dan betina Dalam menentukan perbedaan jenis kelamin ikan, dilakukan dengan pembedahan dan pengamatan gonad. Pembedahan dimulai dari bagian anus sampai kepala tanpa merusak organ yang akan dianalisis. Agar tidak rusak gonad

46 22 dimasukkan ke dalam larutan alkohol 70%. Di alam diperkirakan jumlah ikan jantan dan betina yang tertangkap diperkirakan sama yaitu 1 : 1 (Omar, 2005). Nisbah kelamin penting diketahui karena berpengaruh terhadap kestabilan populasi ikan. Penimbangan dan Pengamatan Gonad Gonad dipisahkan berdasarkan jenis kelamin, kemudian ditimbang untuk mengetahui bobot totalnya. Hasilnya dibagi dengan bobot total ikan, sehingga diperoleh selisih nilai, yang disebut indeks kematangan gonadnya. Selanjutnya gonad diamati sesuai dengan morfologinya. Penentuan tingkat kematangan gonad didasarkan kepada bentuk, ukuran dan warna, serta perkembangan isi gonad yang terlihat (Effendie, 1997). Tabel 3 memperlihatkan ciri-ciri morfologi dari gonad yang teramati dilihat berdasarkan modifikasi Cassie pada Effendie (1997). Tabel 3. Tingkat kematangan gonad (TKG) (Modifikasi Cassie pada Effendie, 1997) TKG Struktur Morfologis Gonad Jantan I Testes seperti benang, lebih pendek dan terlihat ujungnya di rongga tubuh, warna jernih. II Ukuran testes lebih besar, warna putih seperti susu, bentuk lebih jelas daripada TKG I. III Permukaan testes bergerigi, warna makin putih dan makin besar. Dalam keadaan diawetkan mudah putus IV Seperti TKG III tampak lebih jelas, testes makin pejal. Struktur Morfologis Gonad Ovari seperti benang, panjang sampai ke depan rongga tubuh, warna jernih, permukaan licin. Ukuran ovari lebih besar, warna lebih gelap kekuning-kuningan, telur belum terlihat jelas tanpa kaca pembesar. Butir-butir telur mulai kelihatan dengan mata. Butir-butir minyak makin kelihatan. Ovari bertambah besar, telur berwarna kuning, mudah dipisahpisahkan, butir minyak tidak tampak. Ovary mengisi ½- 2/3 rongga perut dan rongga perut terdesak. Menghitung Jumlah dan Mengukur Diameter Telur Ikan Penentuan jumlah telur ikan dilakukan dengan cara menghitung secara langsung, cara ini merupakan cara paling baik dan tepat hasilnya untuk ikan dengan jumlah telur sedikit (Effendie, 1997). Prosedur penentuan jumlah telur ikan juga dapat dilakukan dengan metode gabungan antara gravimetrik dan volumetrik. Gonad ikan yang telah diawetkan, dikeringkan lalu ditimbang berat

47 23 totalnya. Selanjutnya secara acak ambil 3 bagian dari satu gonad yang diamati, lalu ditimbang beratnya. Gonad contoh tersebut diencerkan ke dalam 10 ml air. Setelah itu, dengan mempergunakan pipet tetes diambil 1 ml volume pengenceran. Penentuan diameter telur dilakukan secara acak dari bagian posterior, tengah dan anterior. Telur-telur diambil dan disusun pada gelas objek dan diamati di bawah mikroskop yang dilengkapi dengan micrometer okuler dengan metode sensus. Penimbangan hati. Organ hati sangat diperlukan untuk mengetahui kondisi perairan, dimana warna hati dapat dijadikan indikator perairan yang tercemar. Bobot hati yang telah diawetkan ditimbang, kemudian hasilnya dibagi dengan bobot total dari ikan tersebut. Analisis Data Data yang dianalisis meliputi: Indeks keanekaragaman jenis (Shannon dan Weaver dalam Odum, 1971) dengan rumus: H = - pi ln pi Dimana: H = Indeks keanekaragaman jenis Pi = ni/n ni = Jumlah individu jenis ke i N = Jumlah individu keseluruhan Indeks kemerataan (Pielou dalam Southwood, 1971) dengan rumus: E = H/ln S Dimana: E = Indeks kemerataan H = Indeks keanekaragaman jenis S = Jumlah jenis Indeks kekayaan jenis (Margalef dalam Odum 1971) dengan rumus: d = S-1/ln N Dimana: d = Indeks kekayaan jenis S = Jumlah jenis Hubungan panjang (L) dan berat (W) dengan rumus (Effendie, 1997): W = al b Dimana: W = berat ikan (gram) L = panjang ikan (mm) a, b = konstanta

48 24 Faktor kondisi dengan mempergunakan persamaan (Effendie, 1997): K= 10 5 W L 3 Dimana: K = Faktor kondisi W = berat rata-rata ikan (gram) L = panjang rata-rata ikan Analisis data morfometrik dan meristik Analisis komponen utama (PCA) Metode untuk menghitung perbedaan karakter morfometrik dari tiga populasi menggunakan analisis data yang dinamakan Analisis Komponen Utama (PCA). Berdasarkan analisis dari Program PCA diperoleh suatu komponen utama yang mampu mempertahankan sebagian besar informasi yang diukur dengan menggunakan keragaman total dengan menggunakan sedikit komponen utama saja. Pada prinsipnya analisis ini mempergunakan pengukuran jarak Euclidean.Hasil analisis yang diperoleh yaitu dalam bentuk matrik data yang nilai-nilainya menunjukkan kedekatan suatu karakter berkaitan dengan karakter lainnya. Apabila total ragam yang dapat dijelaskan besar maka komponen utama tersebut mampu mempertahankan informasi yang diukur, dan dilanjutkan dengan mempergunakan analisis diskriminan. Analisis Diskriminan Analisis diskriminan merupakan teknik analisis untuk mendeskripsikan, mengelompokkan dan membandingkan grup individu yang dikarakterisasikan oleh sejumlah variabel kuantitatif (Bengen, 2000). Analisis ini bertujuan diantaranya untuk menguji apakah terdapat perbedaan nyata antar beberapa grup yang ditentukan oleh sejumlah variable kuantitatif dan mendeterminasikan variable yang paling mengkarakterisasikan perbedaan.

49 25 Fluktuasi Asimetri Penghitungan untuk mengetahui fluktuasi asimetri dipergunakan rumus yang dikemukakan oleh Leary et al. (1985), yaitu: FA m = (L-R) n keterangan : FA m = Fluktuasi asimetri besaran FA n = Fluktuasi asimetri bilangan L = Jumlah karakter sisi kiri R = Jumlah karakter sisi kanan Z = Jumlah individu asimetri untuk ciri meristik tertentu n = Jumlah seluruh sampel yang diamati FA n = (Z) n Indeks kematangan gonad (IKG), dihitung dengan membagi bobot gonad dengan bobot badan menurut metoda yang dikemukakan oleh Effendie (1997): IKG = BG x 100 BT Dimana : BG adalah bobot gonad (gram), BT adalah bobot tubuh (gram) Fekunditas, mempergunakan rumus sebagai berikut (Effendie, 1997): Dimana : F = G x V x X Q F = Fekunditas (butir) G = Bobot gonad total (gram) V = Isi pengenceran X = Jumlah telur tiap cc Q = Bobot gonad contoh (gram) Indeks hepatosomatik (HIS) merupakan rasio antara bobot hati dengan bobot tubuh ikan dengan rumus sebagai sebagai berikut: HIS = BH x 100 BT Dimana : BH adalah bobot hati dan BT adalah bobot tubuh.

50 26

51 27 HASIL DAN PEMBAHASAN Keanekaragaman Jenis Sebanyak 1535 individu ikan dari 32 jenis, 29 marga dan 26 suku diperoleh dari kawasan Suaka Margasatwa Muara Angke (SMMA) (Tabel 4). Hasil tersebut menunjukkan bahwa keanekaragaman jenis ikan di SMMA termasuk rendah (sesuai dengan indeks keanekaragaman jenis yang terlihat di Tabel 5) dibanding ikan di kawasan Taman Nasional Ujung Kulon (TNUK), Jawa Barat, yang mencapai 59 jenis, 34 suku, 48 marga dari 1151 individu (sesuai dengan indeks keanekaragaman jenis di lampiran 3). Bahkan masih lebih rendah dibanding keanekaragaman ikan di perairan mangrove sungai Mahakam, Kalimantan Timur terkoleksi 80 jenis ikan yang mewakili 44 suku (Genisa, 2006). Rendahnya jumlah jenis ikan di SMMA disebabkan oleh kondisi perairannya yang relatif tercemar dan vegetasi mangrove relatif terbuka. Kondisi serupa terjadi di Segara Anakan Cilacap, akibat eksploitasi besar-besaran hutan mangrove yang dikonversi menjadi tambak perikanan dan pemukiman, serta pendangkalan akibat lumpur dari erosi beberapa sungai di sekitarnya (BDISDA, 2010). Secara tidak langsung kondisi tersebut mempengaruhi keanekaragaman fauna akuatik, khususnya ikan yang menggunakan perairan mangrove sebagai habitat. Menurut Genisa (2006) tinggi rendahnya keanekaragaman jenis ikan dipengaruhi oleh banyak faktor, diantaranya kualitas lingkungan. Keberadaan mangrove mampu menopang fauna akuatik yang hidup dan berasosiasi di dalamnya (Dorenbosch dalam Genisa 2006). Pada Tabel 4 menunjukkan bahwa dari 26 suku ikan yang diperoleh, suku Gobiidae memiliki anggota jenis tertinggi yaitu 3 jenis (9,37%), diikuti oleh Hemiramphidae, Chandidae dan Cichlidae yang masing-masing diwakili 2 jenis (6,25%). Sedangkan suku lainnya hanya diwakili 1 jenis (3,13%). Kondisi hampir sama terjadi di TNUK, Gobiidae menyumbang anggota jenis tertinggi yaitu 14 jenis (23,73%), kemudian Mugillidae, Leiognathidae, Lutjanidae dan Eleotrididae masing-masing diwakili 3 jenis (5,08%). Dominansi jenis gobi juga terjadi di perairan mangrove Rio Palmar dan Rio Javita Ekuador, yang mencapai 7 jenis dari 36 jenis ikan yang terkoleksi (Shervette et al., 2007). Hal ini terjadi karena

52 28 Gobiidae merupakan jenis penetap dengan kemampuan adaptasi yang baik pada ekosistem mangrove. Tabel 4. Keanekaragaman Jenis Ikan Di SM.Muara Angke No Suku Jenis Sta.1 Sta.2 Sta.3 Sta.4 1 Megalopidae Megalops cyprinoides Clupeidae Sardinella fimbriata Engraulididae Stolephorus commersonii Chanidae Chanos chanos Bagridae Mystus gulio Clariidae Clarias batrachus Loricariidae Liposarcus pardalis Hemiramphidae Dermogenys pussila Zenarchopterus dispar Aplocheilidae Aplocheilus panchax Poeciliidae Xiphophorus hellerii Synbranchidae Monopterus albus Chandidae Ambassis gymnocephalus A. interrupta Carangidae Caranx sexfasciatus Leiognathidae Leiognathus equulus Lutjanidae Lutjanus argentimaculatus Gerreidae Gerres kapas Sciaenidae Johnius belengerii Scatophagidae Scatophagus argus Cichlidae Oreochromis mossambicus Oreochromis niloticus Mugillidae Liza subviridis Liza sp Eleotrididae Ophiocara porocephala Gobiidae Drombus kranjiensis Boleopthalmus boddarti Periophtalmodon schlosseri Anabantiidae Anabas testudineus Belontiidae Trichogaster trichopterus Channidae Channa striata Triacanthidae Triacanthus biaculeatus Jumlah Jenis Keterangan: 1.Danau;2.Pesisir;3.Muara;4.Suaka Ciri khusus ikan suku Gobiidae adalah sirip perutnya yang bersatu, berbentuk seperti piringan pencengkeram yang berfungsi untuk melekatkan

53 29 dirinya pada substrat (Kottelat et al., 1993). Pramudji (2005) melaporkan bahwa di kawasan pesisir Delta Mahakam ditemukan Gobiidae dalam stadium larva dan juvenile. Ikan belodok (mudskipper) dapat hidup di air dan permukaan lumpur di sekitar mangrove dan memiliki kemampuan berjalan dan memanjat dengan menggunakan sirip dadanya. Dalam keadaan bahaya, ikan belodok akan bersembunyi di sekitar tanaman mangrove. Dewantoro et al. (2005) melaporkan bahwa di Cagar Alam Leuweung Sancang Garut jenis belodok P.schlosseri terlihat mendominasi dari berbagai ukuran. Ditinjau dari kelimpahannya, Leiognathus equulus mendominasi dengan 376 individu, Xiphophorus hellerii 318 individu, dan Aplocheilus panchax 273 individu (Gambar 8). Ketiga jenis ikan tersebut terlihat sering berenang secara berkelompok di setiap stasiun penelitian. Di perairan mangrove TNUK Liza subviridis merupakan jenis yang mendominasi dengan 110 individu (Wahyudewantoro, belum dipublikasikan). Gambar 8. Kelimpahan Jenis dan Jumlah Individu Ikan yang diperoleh dari SM. Muara Angke Leiognathus equulus banyak terkoleksi di pesisir dan di sekitar mulut muara SMMA. Hal tersebut sesuai dengan Kottelat et al. (1993) dan Peristiwady

54 ) yang menyatakan bahwa L.equulus merupakan jenis ikan yang mendiami perairan dangkal dan muara-muara sungai. Sedangkan Xiphophorus hellerii dan Aplocheilus panchax ditemukan melimpah di danau dan kawasan perairan Suaka. Kedua jenis ini merupakan predator larva nyamuk yang efisien. Keberadaan X. hellerii sebagai ikan introduksi terkadang berdampak negatif bagi ikan asli (Kottelat et al., 1993). Menurut Rachmatika dan Wahyudewantoro (2006) ikan introduksi memiliki preferensi hidup di lingkungan yang kualitas habitatnya umumnya sudah menurun. Chong et al. (1990) menambahkan bahwa komunitas ikan di perairan mangrove umumnya didominasi oleh beberapa jenis ikan, meskipun jenis ikan yang tertangkap relatif banyak. Seluruh jenis ikan yang tertangkap di stasiun penelitian SMMA relatif berukuran juvenile. Hal tersebut sejalan dengan pendapat Odum (1971) bahwa ekosistem mangrove adalah daerah asuhan nursery dan feeding ground. Di perairan mangrove Bahama sampel ikan tertangkap sebagian besar berukuran juvenile (Wilcox et al., 1975). Perbandingan Antar stasiun Danau Angke memiliki indeks keanekaragaman jenis (H) tertinggi yaitu 2.673, kemerataan jenis (E), dan kekayaan jenis (d) dibandingkan stasiun lainnya (Tabel 5). Sedangkan jumlah jenis ikan yang terkoleksi di Danau Angke lebih rendah dibandingkan pesisir, namun dilihat dari indeks kemerataan, danau angke lebih tinggi dibandingkan dengan pesisir. Sejalan dengan itu Ludwig dan Reynolds (1988) menyatakan bahwa keanekaragaman jenis suatu komunitas ditentukan oleh kekayaan jenis dan kemerataan jenis. Indeks kemerataan menjadi tinggi, apabila tidak terjadi pemusatan individu pada suatu jenis tertentu (Odum 1971). Tabel 5. Analisis indeks keragaman jenis (H), indeks kemerataan (E) dan indeks kekayaaan jenis (d) di lokasi penelitian SMMA Indeks Danau Pesisir Muara Suaka Keanekaragaman Jenis (H) Kemerataan Jenis (E) Kekayaan Jenis (d) Tingginya nilai indeks kekayaan jenis di Danau Angke dikarenakan kondisi lingkungannya masih dapat dikatakan cukup baik dibanding pesisir,

55 31 muara dan suaka. Substrat dasar dari Danau tersebut yaitu lumpur dan berpasir. Menurut Gunarto (2004) daerah atau substrat lumpur merupakan habitat berbagai jenis nekton, yang menandakan bahwa daerah tersebut kaya akan sumber pakan. Adanya variasi habitat (substrat) seperti kondisi fisik dan lingkungan sekitar mempengaruhi keragaman jenis-jenis ikan (Yustina dan Arnentis, 2002). Sebaran Populasi dan Karakter Analisis Komponen Utama (PCA) Truss Morfometrik Analisis komponen utama atau Principal Component Analysis (PCA) dipergunakan untuk mereduksi banyaknya peubah (variabel) yang digunakan dalam sejumlah data, sehingga akan diperoleh komponen utama yang dapat menggambarkan informasi yang diukur menggunakan keragaman total yang terkandung di dalam sejumlah variabel. Konsep dasar PCA adalah analisis kelompok, karakter yang sama akan dikelompokkan pada satu kelompok dan kelompok yang berbeda dipisahkan menjadi kelompok yang berbeda (Ubaidillah dan Sutrisno, 2009). Penelitian kali ini membandingkan 3 jenis ikan yang sama (Periophthalmodon schlosseri, Ambassis gymnocephalus dan Liza subviridis) di lokasi yang berbeda yaitu SMMA dan TNUK. Pada P.schlosseri hasil PCA terhadap matrik korelasi data karakter morfometrik dari 178 spesimen (94 spesimen dari SMMA dan 84 spesimen TNUK), dan 21 karakter menghasilkan ragam pada komponen utama 1, 2 dan 3 masing-masing 60,90%, 17,57% dan 11,25 % dengan total ragam yang dapat dijelaskan dari kedua komponen tersebut sebesar 89,72% (Lampiran 4). Untuk ikan A.gymnocephalus Hasil PCA terhadap matrik korelasi data karakter morfometrik dari 219 spesimen (123 spesimen dari SMMA dan 96 spesimen TNUK), dan 21 karakter menghasilkan ragam pada komponen utama 1, 2 dan 3 masing-masing 69,81%, 17,91% dan 6,84% dengan total ragam yang dapat dijelaskan dari kedua komponen tersebut sebesar 94,56% (Lampiran 5). Hasil PCA L.subviridis terhadap matrik korelasi data karakter morfometrik dari 211 spesimen (101 spesimen dari SMMA dan 110 spesimen TNUK), dan 21 karakter menghasilkan ragam pada komponen utama 1, 2 dan 3 masing-masing 70.44%, 9.28% dan 5,91% dengan total ragam yang dapat dijelaskan dari kedua komponen tersebut sebesar 85.63% (Lampiran 6).

56 32 Total ragam dari ketiga jenis ikan yang diujikan menunjukkan hasil yang dapat dijelaskan kedua komponen utama dari hasil PCA, maka kedua komponen utama tersebut mampu memberikan atau mempertahankan informasi yang diukur. Selanjutnya data diolah dengan menggunakan analisis diskriminan untuk menentukan karakter truss morfometrik yang paling berpengaruh dalam persebaran ketiga jenis ikan tersebut. Analisis Diskriminan Secara umum analisa diskriminan dipergunakan untuk mengetahui peubahpeubah penciri yang membedakan kelompok populasi yang ada, selain itu juga sebagai kriteria pengelompokan yang dilakukan berdasarkan perhitungan statistik terhadap kelompok yang terlebih dahulu diketahui secara jelas pengelompokannya (Rosy, 2010). Analisis diskriminan Periophthalmodon schlosseri Berdasarkan analisis diskriminan dari P.schlosseri secara statistik terpilih 4 karakter utama yang membedakan yaitu jarak antara titik di akhir sirip punggung dengan titik di awal sirip anal, jarak antara titik di akhir sirip perut dengan titik di awal sirip anal, jarak antara titik di akhir sirip punggung dengan titik di akhir sirip anal dan jarak antara titik di ujung mulut dengan titik di ujung bagian bawah insang dengan koefisien kanonikal seperti pada Tabel 6. Selanjutnya hasil plotting berdasarkan karakter yang diamati, menunjukkan bahwa P.schlosseri di SMMA terpisah dengan di TNUK (Gambar 9).

57 33 Tabel 6. Standar dan (bukan standar) nilai koefisien kanonikal diskriminan karakter pembeda utama pada P.schlosseri. Karakter Fungsi 1 Fungsi 2 Fungsi 3 Jarak antara titik di akhir sirip punggung dengan titik di awal sirip anal (8.642) ( ) (-4.984) Jarak antara titik di akhir sirip perut dengan titik di awal sirip anal (6.583) (0.651) ( ) Jarak antara titik di akhir sirip punggung dengan titik di akhir sirip anal (8.553) (6.397) (1.769) Jarak antara titik di ujung mulut dengan titik di ujung bagian bawah insang (3.644) (-8.690) (0.528) Variasi yang dijelaskan 99,6 0,2 0,1 Konstanta Berdasarkan hasil analisis tersebut, variasi yang dapat dijelaskan sebesar 45,5%. Pada garis fungsi 1, 2 dan 3 yang bisa diterangkan (eigenvalue) sangat tinggi yaitu 99,6% (tabel 5). Melihat rendahnya nilai yang bisa dijelaskan, walaupun terdapat 2 populasi P.schlosseri yang berbeda (SMMA dan TNUK) namun dapat dikatakan pembedanya sangat kecil yaitu hanya 45,5%, hal tersebut diduga jenis ini merupakan jenis penetap dan kosmopolit sehingga secara umum tersebar luas hampir di seluruh P. Jawa. Selain itu kemampuan adaptasi dari jenis belodok sudah tidak diragukan lagi, jadi diduga tidak terjadi variasi yang cukup jelas sebagai pembeda untuk P.schlosseri. Karakter kuat yang menjadi pembeda yaitu jarak antara titik di akhir sirip punggung dengan titik di awal sirip anal, di SMMA terlihat garis yang ditarik dari titik akhir sirip punggung dengan titik di awal sirip anal cenderung lebih panjang dibandingkan di TNUK (Lampiran 7a). Karakter pembeda tersebut muncul diduga akibat adanya pengaruh lingkungan, sehingga belodok di SMMA mampu bergerak bebas didalam lingkungan yang penuh limbah.

58 34 Gambar 9. Sebaran Karakter Truss Morfometrik P.schlosseri berdasarkan hasil analisis diskriminan. Analisis diskriminan Ambassis gymnocephalus Hasil analisis diskriminan dari A.gymnocephalus terdapat 4 karakter utama yang membedakan. Karakter yang dimaksud adalah jarak antara titik di awal sirip ekor bagian atas dengan sirip ekor bagian bawah, jarak antara titik di akhir sirip punggung dengan titik di awal sirip anal, jarak antara titik di awal sirip punggung dengan akhir sirip perut dan jarak antara titik di akhir sirip perut dengan titik di awal sirip anal dengan koefisien kanonikal seperti pada Tabel 7. Hasil ploting berdasarkan karakter yang diamati tersebut, terlihat bahwa A.gymnocephalus di SMMA terpisah dengan di TNUK (Gambar 10).

59 35 Tabel 7. Standar dan (bukan standar) nilai koefisien kanonikal diskriminan karakter pembeda utama pada A.gymnocephalus. Karakter Fungsi 1 Fungsi 2 Fungsi 3 Jarak antara titik di awal sirip ekor bagian atas dengan sirip ekor bagian bawah (3.254) (0.758) (5.123) Jarak antara titik di akhir sirip punggung dengan titik di awal sirip anal ( ) (17.306) ( ) Jarak antara titik di awal sirip punggung dengan akhir sirip perut (26.739) (5.325) (5.650) Jarak antara titik di akhir sirip perut dengan titik di awal sirip anal (-1.199) (-1.654) (1.554) Variasi yang dijelaskan 98,8 0,5 0,5 Konstanta 1,126-29,096-31,472 Gambar 10. Sebaran Karakter Truss Morfometrik A.gymnocephalus berdasarkan hasil analisis diskriminan Berdasarkan hasil analisis tersebut, variasi yang dapat dijelaskan sebesar 59,8%. Pada garis fungsi 1, 2 dan 3 yang bisa diterangkan (eigenvalue) sangat tinggi yaitu 98,8% (Tabel 7). Karakter pembeda yang tertinggi adalah jarak antara titik di awal sirip ekor bagian atas dengan sirip ekor bagian bawah, terlihat bahwa di SMMA cenderung lebih rendah atau tipis dibandingkan TNUK (Lampiran 7b). Hal tersebut diduga kuat terkait dengan kondisi habitat yang didiaminya. Menurut Nuryanto (2001) faktor lingkungan yang paling berpengaruh terhadap variasi

60 36 morfologi suatu jenis ikan adalah faktor fisik perairan terutama arus. Arus yang terukur di TNUK (pengukuran di S.Cikawung) relatif lebih deras dibandingkan di SMMA, sejalan dengan hal itu Lowe-Mc Connel (1987) dan Nuryanto (2001) menyatakan bahwa arus merupakan faktor fisik yang penting dalam membentuk variasi bentuk dan ukuran tubuh. Oleh karena itu diduga terjadi sedikit adaptasi terhadap tinggi batang ekor (agak sedikit memipih) di SMMA, sedangkan di TNUK batang ekor relatif lebih tebal. Analisis diskriminan Liza subviridis Berdasarkan hasil analisis diskriminan dari L.subviridis secara statistik terpilih 4 karakter utama yang membedakan, yaitu jarak antara titik di awal sirip ekor bagian atas dengan sirip ekor bagian bawah, jarak antara titik di ujung bagian bawah insang dengan titik di awal sirip perut, jarak antara titik di awal sirip punggung dengan akhir sirip punggung dan jarak antara titik di akhir sirip perut dengan titik di awal sirip anal, dan dapat dilihat dengan koefisien kanonikal pada tabel 8. Sama halnya dengan 2 jenis sebelumnya bahwa berdasarkan keempat karakter-karakter yang ada, terlihat bahwa A.gymnocephalus di SMMA terpisah dengan di TNUK (Gambar 11). Tabel 8. Standar dan (bukan standar) nilai koefisien kanonikal diskriminan karakter pembeda utama pada L.subviridis. Karakter Fungsi 1 Fungsi 2 Fungsi 3 Jarak antara titik di awal sirip ekor bagian atas dengan sirip ekor bagian bawah (5.460) (-1.109) (0.443) Jarak antara titik di ujung bagian bawah insang dengan titik di awal sirip perut (7.063) (-2.986) (-1.734) Jarak antara titik di awal sirip punggung dengan akhir sirip punggung (7.948) (3.954) (4.041) Jarak antara titik di akhir sirip perut dengan titik di awal sirip anal (2.683) (1.726) (0.987) Variasi yang dijelaskan 98,0 0,9 0,6 Konstanta Berdasarkan hasil analisis tersebut, variasi yang dapat dijelaskan sebesar 64,5%. Pada garis fungsi 1, 2 dan 3 yang bisa diterangkan (eigenvalue) sangat tinggi yaitu 98,0% (Tabel 8). Karakter utama yang membedakan yang tertinggi adalah jarak antara titik di awal sirip ekor bagian atas dengan sirip ekor bagian bawah. Di SMMA jaraknya lebih pendek dibandingkan TNUK (Lampiran 7c), hal

61 37 tersebut juga diduga sebagai akibat pengaruh lingkungan sehingga ikan beradaptasi untuk dapat mengimbangi kondisi sekitarnya. Di TNUK, rata-rata aliran sungainya relatif deras (tercatat di muara sungai Cikawung 30,41 m/det) diduga disebabkan oleh kemiringan dari arah hulu sungainya. Lowe-Mc Connel (1987) berpendapat bahwa peningkatan keragaman ukuran tubuh ikan ditentukan kenaikan aliran air. Pada jenis ikan tertentu perbedaan geografis juga dapat mempengaruhi variasi morfometrik (Yamazaki dan Goto, 1997). Gambar 11. Sebaran Karakter Truss Morfometrik L.subviridis berdasarkan hasil analisis diskriminan Adanya beberapa variasi morfologi pada ketiga jenis ikan yang diujikan menunjukkan bahwa SMMA diduga membentuk karakter morfologi yang berbeda dengan di TNUK. Menurut Tzeng et al. (2001) bahwa variasi morfologi suatu populasi pada kondisi geografi yang berbeda dapat disebabkan oleh perbedaan struktur genetik dan kondisi lingkungan. Sedangkan Affandi et al. (1992) berpendapat bahwa perbedaan ukuran perbandingan dapat disebabkan oleh umur, jenis kelamin dan lingkungan hidupnya seperti makanan, suhu, ph dan salinitas. Perbedaan kondisi lingkungan perairan dapat berdampak terhadap pola adaptasi.

62 38 Diantaranya adaptasi dalam bentuk tubuh dan ukuran atau jumlah beberapa bagian tubuh. Variasi morfologi ini dapat terjadi pada individu individu dalam satu jenis yang hidup dalam kondisi lingkungan yang berbeda (Defira, 2004). Oleh karena itu sebaran dan variasi yang muncul merupakan respon terhadap lingkungan fisik tempat hidup jenis tersebut. Kajian secara molukuler (DNA) sangat perlu untuk dilakukan dalam hal melengkapi hasil-hasil di atas. Meristik Hasil pengamatan secara meristik yang mengacu kepada Smith (1945) dan Haryono (2001), yaitu terhadap jari-jari pada sirip dorsal, sirip anal, sirip ventral, dan sirip dada pectoral, maupun jumlah sisik pada linea lateralis dan batang sirip ekor (caudal peduncle), sedikit menunjukkan variasi karakter meristik antara masing-masing jenis ikan (P.schlosseri, A.gymnocephalus dan L.subviridis) yang diujikan (Tabel 10). Karakter pembeda dari dua lokasi pada P. schlosseri terlihat di sirip anal (P=0,001<0,05). Hadie et al, (2002) berpendapat bahwa pada ukuran bagian tubuh tertentu perkembangannya tidak dipengaruhi oleh lingkungan, sedangkan beberapa ukuran tubuh lainnya berkembang sesuai dengan tekanan lingkungan di tempat hidupnya. Pola warna abu-abu gelap lebih ditunjukkan oleh P.schlosseri dari SMMA, sedangkan di TNUK pola warnanya lebih cerah (lampiran 7a). Tabel 9. Karakter Meristik 3 Jenis Ikan Yang Diujikan Jenis P. schlosseri A.gymnocephalus L.subviridis Karakter SMMA TNUK SMMA TNUK SMMA TNUK Sirip Dorsal D VIII-IX; I, 12 D IX; I, VII;I,10-11 VII;I, IV,9-10 IV,8-9 Sirip Pektoral Sirip Ventral I, 5-6 I, 4-6 I, 4-5 I,4-5 Sirip Anal I, I, III,10-11 III,9-10 III, 9-10 III, 9-10 Linea Lateralis Sisik pangkal S. Ekor Sedangkan A.gymnocephalus terdapat perbedaan pada sirip pektoral (P=0,001<0,05), sirip anal (P=5,08E-06<0,05) dan sisik pangkal sirip ekor (P=8,10E-10<0,05) (Tabel 9), serta pola warna terlihat lebih kuning kehitam-

63 39 hitaman (agak gelap) di SMMA dibanding dari TNUK (Lampiran 7b). Pada L.subviridis, variasi meristik yang terlihat jelas adalah jari-jari sirip dorsal (P=0,02<0,05), sirip anal (P=0,01<0,05) dan sisik pada pangkal sirip ekor (P=1,02E-06<0,05) (Tabel 10). Pola warna L.subviridis di SMMA berwarna keperakan dan pada bagian dorsal dan ventra lebih terlihat gelap, sedangkan di TNUK bagian dorsal dan ventral lebih cerah dan sedikit kehijauan (Lampiran 7c). Secara umum bagian dorsal L.subviridis berwarna kehijauan dan keperakan, serta bagian ventral putih keperakan. Pada L.subviridis terdapat perbedaaan pada sirip dorsal Beberapa penelitian juga telah mengindikasikan bahwa perbedaan karakter meristik antara lain karena pengaruh lingkungan seperti cahaya, suhu dan kandungan oksigen terlarut (Tanning, 1955 dalam Wibowo et al, 2007), ada dugaan umur dan ukuran specimen yang bervariasi. Bailey dan Gosline (1995) berpendapat bahwa perbedaan karakter meristik diantara populasi jenis ikan mungkin saja dipengaruhi oleh faktor genetik atau lingkungan, mungkin keduanya. Yamazaki dan Goto (1997) menginformasikan bahwa pada jenis ikan tertentu perbedaan geografis juga dapat mempengaruhi variasi meristik. Hal tersebut didukung oleh pernyataan Haryono (2001) bahwa pada umumnya semakin jauh jarak suatu daerah akan semakin ekstrim perbedaannya. Namun demikian, adanya variasi antara populasi jenis ikan P. shclosseri, A. gymnocephalus dan L. subviridis bukan berarti bahwa jenis-jenis tersebut merupakan ikan yang berbeda. Fluktuasi Asimetri Pada Tabel 10 menunjukkan karakter tapis insang (gill rakers) P.schlosseri mempunyai nilai fluktuasi besaran lebih tinggi (-0,440 hingga -1,074) dibandingkan karakter lainnya. Demikian pula nilai fluktuasi bilangan P.schlosseri, karakter tapis insang juga lebih tinggi (0,119 sampai dengan 0,234) dibandingkan karakter lainnya. Pada A.gymnocephalus, karakter tapis insang juga mempunyai nilai fluktuasi besaran tertinggi (-0,083 sampai dengan -0,285) dibandingkan karakter lainnya, semahalnya untuk nilai fluktuasi bilangan juga mempunyai nilai tertinggi (0,073 sampai dengan 0,187). Begitu pula L.subviridis, baik fluktuasi besaran (-1,261 sampai dengan 1,278) maupun fluktuasi bilangan

64 40 (0,173 sampai dengan 0,228) menunjukkan nilai tertinggi untuk karakter tapis insang. Penelitian Nurhidayat et al (2003) pada ikan lele dumbo (Clarias sp.) juga menunjukkan bahwa karakter tapis insang mengalami fluktuasi asimetri besaran dan bilangan (6,97 dan 0,96) yang paling tinggi dibandingkan karakter lainnya. Tabel 10. Nilai Fluktuasi asimetri besaran (FAM) dan bilangan (FAN) pada 3 jenis ikan yang sama di lokasi penelitian (SMMA dan TNUK). Jenis P. schlosseri A.gymnocephalus L.subviridis FAM FAN FAM FAN FAM FAN Lokasi I II I II I II I II I II I II P LL GR ED V Keterangan: I. SMMA;II. TNUK;P. Pectoral; LL. Linea Lateralis; GR. Gill Rakers; ED. Eye Diameter;V. Ventral. Tingginya nilai fluktuasi baik besaran dan bilangan pada karakter tapis insang diduga akibat lebih banyaknya fungsi tapis insang, antara lain osmoregulasi, respirasi, metabolisme dan ekresi bahan-bahan yang kurang berguna. Berbeda dengan sirip dada dan sirip perut yang hanya berfungsi untuk bergerak atau berenang. Beragamnya fungsi insang mengakibatkan tapis insang lebih peka terhadap berbagai perubahan dalam proses perkembangannya (Nurhidayat et al, 2003). Heath (1987) menginformasikan bahwa insang menjadi titik lemah dalam menghadapi ancaman lingkungan luar karena tidak memiliki mekanisme perlindungan seperti halnya kulit yang memiliki lendir (mucus). Fungsinya yang menyerap toksikan air menyebabkan insang mudah terkena dampak toksikan dengan konsekuansinya. Akibatnya fungsi penting insang menjadi terganggu dan dapat membahayakan kondisi ikan (Wood, 2001). Insang (bagian filament) di SMMA mempunyai warna cenderung lebih hitam dibanding TNUK, kondisi tersebut diduga akibat adanya pengaruh lingkungan (salah satunya nilai turbiditas 12,59±2,42) dan terdeteksinya logam berat timbal (Pb) dan cadmium (Cd) di perairan tersebut (Gambar 12)

65 41 a b Gambar 12. Insang L.subviridis dari TNUK (a) dan SMMA (b) Hasil yang diperoleh juga menunjukkan bahwa nilai fluktuasi asimetri di SMMA lebih tinggi dibandingkan dengan TNUK. Hal tersebut diduga terkait dengan tekanan di dalam kondisi lingkungan di SMMA mempunyai tingkat stress yang tinggi, antara lain kondisi perairan yang relatif tercemar, sehingga jenis-jenis ikan yang mendiami kawasan tidak mampu berkembang secara normal. a Gambar 13. Hati A.gymnocephalus dari SMMA (a) dan TNUK (b) b Almeida et al. (2008) menyatakan bahwa lingkungan dengan stress yang tinggi dapat mengurangi kesehatan ikan tersebut. Hati ikan dari SMMA terlihat berwarna kehitaman dibanding TNUK yang berwarna kecoklatan, hal ini diduga terkait dengan kondisi perairan di SMMA yang tercemar (Gambar 13). Fluktuasi asimetri semakin meningkat dengan meningkatnya inbreeding, mutasi, kondisi fisik yang ekstrim, pencemaran atau kerusakan habitat (Almeida et al, 2008). Hubungan Panjang dan Berat Analisis hubungan panjang-berat ikan bertujuan untuk mengetahui pola pertumbuhan dengan menggunakan parameter panjang dan berat. Berat dianggap

66 42 sebagai suatu fungsi dari panjang. Nilai yang didapat dari perhitungan panjang dengan berat dapat digunakan sebagai pendugaan berat dari panjang. Selain itu, keterangan mengenai pertumbuhan, kemontokan, dan perubahan lingkungan terhadap ikan dapat diketahui (Effendie, 1997). Hasil hubungan panjang berat ikan jantan P.schlosseri di SMMA menunjukkan koefisien korelasi (r) 0,948, hal ini menjelaskan bahwa model dugaan mampu menjelaskan model sebenarnya sebesar 94,8% dan terdapat hubungan yang erat antara panjang dengan berat pada P.schlosseri jantan. Pada ikan betina koefisien korelasi (r) 0,969, hal ini menunjukkan bahwa model dugaan mampu menjelaskan model sebenarnya sebesar 96,9% dan terdapat hubungan yang erat antara panjang dengan berat pada P.schlosseri betina. Hal yang sama terjadi pada P. schlosseri di TNUK, baik jantan maupun betina mempunyai keeratan antara panjang dengan berat yaitu (r) 0,956 atau 95,6% dan (r) 0,976 atau 97,6% (Tabel 11, Lampiran 8). Nilai (r) yang besarnya hampir mendekati satu, menunjukkan bahwa keragaman yang dipengaruhi oleh faktor lain di dua lokasi tersebut kemungkinannya cukup kecil (Walpole, 1995). Tabel 11. Hubungan Panjang-Berat P.schlosseri Lokasi Ikan Jantan Ikan Betina N W=aL b r Pola Pertumbuhan N W=aL b r Pola Pertumbuhan SMMA TNUK L 3, L 3,429 0,948 alometrik positif 0,956 alometrik positif L 3, L 3,199 0,969 0,976 alometrik positif alometrik positif Berdasarkan analisis hubungan panjang berat P.schlosseri di SMMA dan TNUK memperlihatkan pola pertumbuhan alometrik positif, hal tersebut dikarenakan mempunyai nilai b lebih besar dari tiga (b>3). Hal tersebut mengandung makna bahwa pertambahan berat ikan tidak sebanding dengan pertambahan panjangnya. P.schlosseri jantan dan betina di SMMA mempunyai nilai b masing-masing 3,403 dan 3,523, sedangkan di TNUK nilai b 3,429 untuk jantan dan b 3,199 untuk betina. Keadaan ini diduga karena jumlah makanan yang relatif cukup, dan kemampuan adaptasi P.schlosseri yang tinggi di kedua lokasi tersebut. Hasil ini diperkuat juga dengan hasil uji-t yang mendapatkan nilai thitung > ttabel yang berarti tolak Ho (Lampiran 9).

67 43 Pada A.gymnocephalus nilai koefisien korelasi (r) untuk jantan maupun betina di SMMA adalah 0,875 atau 87,5% dan 0,882 atau 88,2%, yang berarti terdapat keeratan hubungan antara panjang dengan beratnya. Di TNUK, hubungan panjang berat antara ikan jantan dan betina juga terlihat dari nilai (r) 0,978 atau 97,8% dan 0,990 atau 99,0% (Tabel 12, Lampiran 10). Nilai (r) yang relatif hampir mendekati satu, menunjukkan faktor lain di SMMA maupun TNUK yang mempengaruhi keragaman kemungkinannya cukup kecil. Tabel 12. Hubungan Panjang-Berat A.gymnocephalus Lokasi Ikan Jantan Ikan Betina N W=aL b r Pola Pertumbuhan N W=aL b r Pola Pertumbuhan SMMA TNUK 38 0,000L 2, L 3,588 0,875 alometrik negatif 0,978 alometrik positif ,001L 1, L 3,352 0,882 0,990 alometriknegatif alometrik positif Selanjutnya analisis hubungan panjang berat ikan A.gymnocephalus jantan dan betina di SMMA memperlihatkan pola pertumbuhan alometrik negatif, hal tersebut dikarenakan mempunyai nilai b lebih kecil dari tiga (b<3), yaitu 1,785 dan 2,423. Kondisi tersebut menggambarkan bahwa pertambahan panjang ikan lebih cepat dibanding dengan pertambahan berat ikan. Namun berbeda di TNUK, baik ikan betina maupun jantan memperlihatkan pola pertumbuhan alometrik positif, dengan nilai b lebih besar dari tiga (b>3), yaitu 3,352 dan 3,588, yang berarti pertambahan berat lebih cepat dibandingkan panjang ikan (Tabel 12, Lampiran 11). Hasil-hasil dari nilai b di dua lokasi tersebut diperkuat dengan uji-t yang menunjukkan nilai thitung > ttabel yang berarti tolak Ho (Lampiran 10). Jadi melihat hasil yang diperoleh bahwa nilai pola pertumbuhan ikan A.gymnocephalus di TNUK masih lebih tinggi dibandingkan di SMMA, hal ini terkait dengan ketersediaan makanan di kedua perairan tersebut. Effendie (1997) menyatakan bahwa hubungan panjang berat menunjukkan pertumbuhan yang bersifat relatif yang berarti dapat dimungkinkan berubah menurut waktu. Apabila terjadi perubahan terhadap lingkungan dan ketersediaan makanan diperkirakan nilai ini juga akan berubah. Mulzifar et al. (2012) menginformasikan bahwa Ambassis koopsi di Perairan Kuala Gigeng Aceh Besar memiliki pola pertumbuhan yang bersifat allometrik negatif.

68 44 Untuk ikan L.subviridis di SMMA nilai koefisien korelasi (r) untuk jantan 0,988 (98,8%) dan betina 0,985 (98,5%), hal ini berarti baik jantan maupun betina mempunyai hubungan yang erat antara panjang dan berat. Di TNUK nilai (r) juga memperlihatkan keeratan hubungan antara panjang dan berat untuk ikan jantan maupun betina yaitu 0,985 (98,5%) dan 0,977 (97,7%) (Tabel 13, Lampiran 12). Tabel 13. Hubungan Panjang Berat L.subviridis Lokasi Ikan Jantan Ikan Betina N W=aL b r Pola Pertumbuhan N W=aL b r Pola Pertumbuhan SMMA TNUK L 2, L 2,662 0,988 alometrik negatif 0,985 alometrik negatif L 2, L 2,626 0,985 0,977 alometriknegatif alometriknegatif Selanjutnya dari analisa pola pertumbuhan diperoleh bahwa L.subviridis di SMMA dan TNUK, baik betina maupun jantan menunjukkan pola pertumbuhan alometrik negatif. Hasil tersebut didapatkan setelah diketahui nilai b lebih kecil dari 3 (b<3), yaitu di SMMA untuk jantan 2,842 dan betina 2,777, sedangkan di TNUK untuk ikan jantan 2,662 dan betina 2,626 (Tabel 13, Lampiran 13). Ramli (2012) melaporkan bahwa ikan L.subviridis di Muara Landipo dan Tanjung Tiram Sulawesi Tenggara juga mempunyai pola pertumbuhan alometrik negatif. Berdasarkan hasil-hasil hubungan panjang dan berat dari 3 jenis ikan yang diujikan, dapat diindikasikan bahwa lingkungan perairan SMMA lebih menguntungkan bagi P.schlosseri dan L.subviridis, sedangkan A.gymnocephalus menunjukkan adanya tekanan lingkungan yang mengakibatkan pertumbuhan terganggu. Faktor Kondisi Faktor kondisi diperlukan untuk mengetahui kemontokan ikan sehingga bisa diduga bahwa jenis-jenis ikan tersebut masih memperoleh supplai makanan yang cukup dari lingkungannya. Richter (2007) menyatakan bahwa faktor kondisi dihitung untuk menilai kesehatan ikan, produktivitas dan kondisi fisiologi dari populasi ikan. Nilai faktor kondisi rata rata untuk P.schlosseri jantan adalah 1,0018 ± 0,0631 dan betina 1,0058 ± 0,1135 di SMMA, sedangkan di TNUK untuk ikan jantan 1,0129 ± 0,16845 dan betina 1,0128 ± 0,1679. Pada ikan A.gymnocephalus

69 45 jantan 1,0014 ± 0,0537 dan betina 1,0026 ± di SMMA, untuk di TNUK nilai FK ikan jantan 1,0054 ± 0,1123 dan betina 1,0063 ± 0,1227. Selanjutnya di SMMA nilai FK Liza subviridis jantan 1,0027 ± 0,0725 dan betina 1,0041 ± 0,0901, sedangkan di TNUK ikan jantan mempunyai nilai FK 1,0053 ± 0,1032 dan betina 1,0072 ± 0,1201. Secara umum nilai faktor kondisi ketiga jenis ikan yang diteliti tidak jauh berbeda, walaupun P.schlosseri mempunyai nilai sedikit lebih tinggi. Kondisi ini diduga karena kemampuan adaptasi atau faktor makanan yang mendukung. Penelitian ikan L.subviridis yang telah dilakukan oleh Ramli (2012) di Muara Landipo dan Tanjung Tiram Sulawesi Tenggara, memperlihatkan nilai faktor kondisi rata-rata masing-masing 4,15 ± 1,08 dan 1,69 ± 0,35. Besarnya nilai faktor kondisi mengindikasikan bahwa detritus yang mengandung protein, lemak dan karbohidrat cukup tinggi sebagai makanan L.subviridis tersedia melimpah. Sedangkan Mulfizar et al. (2012) melaporkan bahwa nilai faktor kondisi rata-rata Ambassis koopsii yang hidup di perairan Kuala Gigeng Aceh Besar adalah 2.26 ± Nilai faktor kondisi tersebut menunjukkan bahwa perairan Kuala Gigeng menyediakan cukup makanan atau kepadatan predator yang rendah. Effendie (1997) menyatakan bahwa besarnya faktor kondisi tergantung pada banyak hal antara lain jumlah organisme yang ada, kondisi organisme, ketersediaan makanan dan kondisi lingkungan perairan. Semakin tinggi nilai faktor kondisi menunjukkan adanya kecocokan antara ikan dengan lingkungannya. Nisbah Kelamin Nisbah kelamin atau perbandingan jenis kelamin merupakan perbandingan antara kelamin ikan jantan dan ikan betina. Menurut Bal dan Rao (1984), nisbah kelamin merupakan perbandingan ikan jantan dan betina dalam suatu populasi, yang mana nisbah 1:1 merupakan kondisi yang ideal. Berdasarkan hasil pengamatan jenis kelamin 93 individu P.schlosseri yang berasal dari SMMA, didapat 25 ekor jantan dan 68 betina. Hasil uji Chi-square pada selang kepercayaan 95% (α = 0.05) terhadap nisbah kelamin ikan secara keseluruhan menunjukkan hasil berbeda nyata sehingga dapat dinyatakan bahwa nisbah kelamin P. schlosseri dalam penelitian ini adalah 1 : 2,72 (1 jantan berbanding 2,72 betina). Sedangkan hasil uji Chi-square pada selang kepercayaan

70 46 95% (α = 0.05) nisbah kelamin P.schlosseri dari TNUK, menunjukkan perbandingan jantan dan betina 1 : 2,65 (Lampiran 14). Pengamatan jenis kelamin pada 123 individu A.gymnocephalus dari SMMA diperoleh 38 ekor jantan dan 85 betina. Hasil uji Chi-square pada selang kepercayaan 95% (α = 0.05) terhadap nisbah kelamin A.gymnocephalus menunjukkan hasil berbeda nyata dengan nisbah kelaminnya 1 : 2,24 (1 jantan berbanding 2,24 betina). Nisbah kelamin A.gymnocephalus di TNUK setelah diuji Chi-square pada selang kepercayaan 95% (α = 0.05) menunjukkan hasil 1 : 2,56 (Lampiran 14). Selanjutnya pengamatan jenis kelamin dari 101 individu L.subviridis yang berasal dari SMMA didapat 29 ekor jantan dan 72 betina. Uji Chi-square pada selang kepercayaan 95% (α = 0.05) terhadap nisbah kelamin ikan menunjukkan hasil berbeda nyata sehingga dapat dinyatakan nisbah kelaminnya adalah 1 : 2,48 (1 jantan berbanding 2,48 betina). Nisbah kelamin L.subviridis di TNUK setelah diuji Chi-square pada selang kepercayaan 95% (α = 0.05) menunjukkan hasil berbeda nyata dengan rasio 1 : 3,58 (Lampiran 14). Setyobudi et al. (2006) melaporkan bahwa perbandingan jantan dan betina L.subviridis di Kali Pantai Kab. Kulon Progo dan Purworejo diperoleh perbandingan 1 : 0,7. Sedangkan pada Liza abu di Propinsi Khozestan Iran menunjukkan nisbah kelamin 1 : 2,7 (Chelemal et al., 2009). Hasil uji nisbah kelamin dari jantan dan betina pada ketiga jenis ikan di dua lokasi yang berbeda, tidak diperoleh perbandingan 1:1. Penyimpangan dari pola 1:1, antara lain disebabkan oleh perbedaan pola tingkah laku bergerombol antara jantan dan betina, perbedaan laju mortalitas, pertumbuhan, penyebaran jantan dan betina yang tidak merata, kondisi lingkungan, serta faktor penangkapan (Arslan and Aras, 2007). Tingkat Kematangan Gonad Tingkat kematangan gonad (TKG) adalah tahapan tertentu perkembangan gonad sebelum dan sesudah ikan memijah. Penentuan tingkat kematangan gonad antara lain dengan mengamati perkembangan gonad (Effendie, 1997). Hasil pengamatan TKG terhadap P.schlosseri jantan di SMMA didominasi TKG III sebesar 48%, TKG II 28%, TKG I 16,0 % dan TKG IV 8,0%. Hal yang sama terjadi pada betina bahwa TKG III mendominasi sebesar 76,81%, kemudian

71 47 TKG I dan II masing-masing 8,7%, TKG IV hanya 5,8 %. Sebaliknya di TNUK, TKG I mendominasi untuk jantan yaitu 34,78%, kemudian TKG II dan III masing-masing 26,09%, dan TKG IV 13,04%. Untuk betina didominasi oleh TKG II 32,79%, TKG I 31,15%, TKG III 29,51% dan TKG IV 6,56% (Gambar 14). Ukuran pertama kali matang gonad (TKG IV) jantan di SMMA adalah 71,42 mm dan betina 78,78 mm. Sedangkan di TNUK ukuran jantan 54,97 mm dan betina 77,37 mm. Boleopthalmus boddarti di perairan Ujung Pangkah, Jawa Timur pertama kali matang gonad untuk jantan-betina yaitu 140 mm dan 130 mm (Hawa, 2001). Kematangan gonad pada belodok B.dussumieri di Korangi creek (25 o N dari India) terjadi pada ikan berukuran 70 mm, sedangkan di Bombay terjadi pada ukuran ikan mm (Ansel et al., 1993). Hasil pengamatan menunjukkan adanya perbedaan matang gonad pada setiap jenis belodok, baik dalam jenis kelamin maupun lokasi. Marga Boleopthalmus relatif lebih cepat matang gonad dibanding Periophthalmodon. Gambar 14. Tingkat Kematangan Gonad P.schlosseri di dua lokasi penelitian Matang gonad pada jantan A. gymnocephalus di SMMA didominasi oleh TKG II 39,37%, TKG I 26,32%, TKG III 18,42% dan TKG IV 15,79%. Pada ikan betina juga didominasi oleh TKG II 43,53%, kemudian TKG III 31,76%, TKG IV 14,12%, dan TKG I 10,59%. Sedangkan ikan jantan A.gymnocephalus di TNUK, TKG IV mendominasi dengan 40,74%, kemudian TKG III 29,63%, TKG II 18,52% dan TKG I 11,11%. Demikian pula pada betina, TKG IV juga mendominasi dengan 63,77%, kemudian TKG III 17,39%, TKG I 11,59% dan TKG II 7,25% (Gambar 15). Pada pengamatan selanjutnya terlihat bahwa jantan matang gonad pertama kali (TKG IV) di SMMA yaitu 48,28 mm, pada betina 49,55 mm, sedangkan di TNUK ukuran jantan 53,84 mm dan betina 53,10 mm.

72 48 Gambar 15. Tingkat Kematangan Gonad A. gymnocephalus di dua lokasi penelitian Berdasarkan hasil pengamatan baik jantan maupun betina menunjukkan bahwa A.gymnocephalus dari lokasi yang berbeda mempunyai kematangan gonad yang berbeda pula. Selanjutnya dari ukurannya A.gymnocephalus di SMMA lebih cepat matang dibandingkan TNUK. Adanya pengaruh lingkungan yang ekstrim diduga menuntut pematangan gonad yang lebih cepat agar kelestarian jenis dapat dijaga. Pengamatan L.subviridis jantan di SMMA terlihat TKG IV mendominasi dengan 65,52%, kemudian TKG III 13,79%, TKG II dan I masing-masing 10,34%. Pada betina juga didominasi oleh TKG IV yaitu 47,22%, lalu TKG III 31,94%, TKG II 11,11% dan TKG I 9,72%. Di TNUK, jantan didominasi oleh TKG IV dengan 33,33%, kemudian TKG III 29,17%, TKG II 20,83% dan TKG I 16,67%, sedangkan betina didominasi TKG III dengan 31,40%, lalu TKG IV 27,91%, TKG II 27,91% dan TKG I 12,79%. (Gambar 16). L.subviridis yang terkoleksi di Kali Pantai Kab. Kulon Progo dan Purworejo didominasi TKG I dengan 35,4% (Setyobudi et al., 2006). Pada pengamatan matang gonad pertama kali (TKG IV) pada jantan di SMMA yaitu 91,02 mm dan betina 99,21 mm. Sedangkan di TNUK ukuran jantan 95,4 mm dan betina 96,58 mm. Belanak Mugil dussumieri di perairan Ujung Pangkah, Jawa Timur mulai menunjukkan kematangan gonad pada jantan dan betina pada ukuran 120 mm dan 140 mm (Sulistiono et al., 2001).

73 49 Gambar 16. Tingkat Kematangan Gonad L. subviridis di dua lokasi penelitian. Berdasarkan hasil yang diperoleh, terlihat bahwa L.subviridis di SMMA dan TNUK relatif beragam. Hal ini diduga L.subviridis dapat melakukan pemijahan lebih dari 1 kali, terlihat dari proses pematangan telurnya. Dalam hal ukuran pertama kali matang gonad, ikan jantan lebih cepat matang dibandingkan betina. Sulistiono et al. (2001) menginformasikan bahwa M.dussumieri jantan cenderung lebih cepat matang dibandingkan betinanya. Hasil-hasil TKG dan ukuran pertama kali matang berbeda disetiap lokasi. Effendie (1997) menegaskan bahwa ukuran pertama kali matang gonad berbeda untuk setiap jenis ikan. Bahkan pada jenis yang sama dengan habitat yang berbeda (posisi Lintang dan Bujurnya) dapat matang gonad pada ukuran berbeda. Faktor utama yang berpengaruh dalam kematangan gonad ikan selain keberadaan hormon adalah suhu dan makanan. Sulistiono et al. (2001) menambahkan bahwa perbedaan ukuran tersebut diduga disebabkan oleh parameter pertumbuhan, sehingga dapat saja terjadi perbedaan saat pertama kali matang gonad. Dalam proses reproduksi, perkembangan gonad yang semakin matang merupakan bagian dari proses produksi ikan sebelum terjadi pemijahan. Selama itu sebagian besar hasil metabolisme tertuju pada perkembangan gonad. Berat gonad akan maksimal pada waktu ikan akan memijah, kemudian akan menurun secara cepat dengan berlangsungnya musim pemijahan hingga selesai (Effendie, 1997). Indeks Kematangan Gonad Berdasarkan data jenis P.schlosseri dengan kriteria TKG IV, maka ratarata persentase IKG jantan di SMMA 1,95±0,02 dan betina 4,87±0,07. Sedangkan

74 50 untuk jantan di TNUK adalah 1,68±0,05 dan betina 3,74±0,31 (Tabel 15). Pada jantan dan betina A.gymnocephalus persentase IKG (TKG IV) di SMMA berkisar 0,85±0,07 dan 2,53±0,17. Sedangkan untuk ikan jantan dan betina di TNUK berkisar 2,53±0,17 dan 1,64 ±0,59 (Tabel 14). Selanjutnya persentase IKG (TKG IV) pada ikan jantan L.subviridis di SMMA berkisar 3,34±0,18 dan betina 10,50±1,62. Sedangkan untuk jantan di TNUK adalah 3,46±0,15 dan betina 14,64±2,33 (Tabel 14). Tabel 14. Indeks Kematangan Gonad Jenis Ikan di SMMA dan TNUK Jenis P. schlosseri A. gymnocephalus L. subviridis Jantan (SMMA) Jantan (TNUK) Betina (SMMA) Betina (TNUK) IV IV IV IV 1,93-1,96; 1,62-1,72; 4,81-4,98; 3,53-4,19; 1,95±0,02 1,68±0,05 4,87±0,07 3,74±0,31 0,80-0,94; 0,20-0,24; 2,34-2,82; 2,05-2,58; 0,85±0,07 0,22±0,02 2,53±0,17 1,64 ±0,59 3,07-3,69; 3,36-3,71; 8,18-13,33; 9,00-17,73; 3,34±0,18 3,46±0,15 10,50±1,62 14,64±2,33 Hasil perhitungan dari IKG ikan diduga banyak disebabkan oleh habitat dan pergerakan ikan, yang terkait dengan jumlah spesimen. Ditinjau dari jenis kelamin, menunjukkan bahwa IKG betina relatif lebih besar dibandingkan IKG jantan. Hal ini sesuai dengan pendapat Effendie (1997) bahwa pada tingkat kematangan gonad yang sama, nilai IKG betina pada umumnya lebih besar dibanding jantan. Hal ini disebabkan karena ikan betina lebih memacu pertumbuhan pada perkembangan gonad. Pada umumnya pertambahan berat tubuh akan mempengaruhi pertambahan berat gonad, namun beberapa jenis ikan mempunyai berat yang sama tetapi berat gonadnya berbeda sehingga IKG yang diperoleh tidak sama. Nilai indeks ini akan meningkat dan mencapai batas maksimum menjelang pemijahan. Menurut Lagler et al. (1977) ada dua faktor yang memengaruhi kematangan gonad yaitu faktor dalam dan luar. Faktor dalam meliputi perbedaan jenis, umur, ukuran serta sifat fisiologi ikan. Sedangkan faktor luar adalah makanan, suhu dan arus air. Andriani (2000) menginformasikan bahwa kematangan gonad ikan pelangi sulawesi (Telmatherina ladigesi) di Sulawesi Selatan dipengaruhi oleh arus, suhu dan tesedianya makanan. Sedangkan ikan pelangi Melanotaenia eachamensis, M. splendida splendida dan Cairnsichthys rhombosomoides di bagian utara

75 51 Queensland, Australia lebih banyak mencapai TKG IV dan V pada saat musim kemarau yang ditandai dengan meningkatnya suhu, arus relatif stabil dan tersedianya makanan yang cukup. Nilai IKG ikan pelangi tergolong bervariasi bergantung pada lokasi dan musim dan strategi pemijahan (Pusey et al., 2001). Fekunditas dan Diameter Telur Fekunditas merupakan ukuran yang paling umum dipakai untuk mengukur potensi produksi pada ikan dengan menghitung jumlah telur didalam ovari ikan betina Menurut Effendie (1997) fekunditas adalah telur yang masak sebelum dikeluarkan pada waktu ikan memijah. Fekunditas lebih sering dikaitkan dengan ukuran panjang daripada berat karena penyusutannya relatif kecil, tidak seperti berat yang dapat berkurang dangan mudah. Hasil yang diperoleh menunjukkan bahwa fekunditas yang telah matang gonad (TKG IV) di SMMA lebih sedikit dibanding di TNUK (Tabel 16). Beberapa penelitian terkait dengan fekunditas ikan belodok dilakukan pada Boleophtalmus boddarti di Ujung Pangkah fekunditasnya berkisar butir. B. dussumieri di Krangi Creek berkisar butir dan di Bombay berkisar butir (Ansel et al., 1993; Sulistiono et al, 2001). Pada L.subviridis di Kali Pantai Kab.Kulon Progo dan Purwerejo dilaporkan oleh Setyobudi et al. (2006) bahwa fekunditasnya berkisar antara butir dengan rata-rata butir. Fekunditas Mugil dussumieri di S. Cimanuk berkisar , dan berkisar butir di Ujung Pangkah (Daulay dan Pratiwi, 2000; Sulistiono et al., 2001). Individu ikan dari jenis yang sama tetapi hidup di habitat atau perairan yang berbeda kemungkinan akan mempunyai fekunditas yang berbeda (Effendie, 1997).

76 52 Tabel 15. Fekunditas Ketiga Jenis Ikan di SMMA dan TNUK Jenis SMMA P.schlosseri ,75±2442,88 A.gymnocephalus ±384,75 L.subviridis ±115314,9 Fekunditas (butir) Kisaran dan rata rata TNUK ,75±4134, ±888, ± Menurut Murua et al. (2003) fekunditas dapat beragam diantara jenis sebagai hasil adaptasi terhadap lingkungan habitat. Selain itu juga dipengaruhi umur ikan, ukuran telur, makanan, dan musim (Nikolsky, 1963; Yustina dan Arnentis, 2002). Fekunditas pada ikan Brycinus nurse di Waduk Asa, Nigeria lebih rendah dibanding di Ivory Coast. Variasi ini disebabkan oleh perbedaan lokasi geografis dari populasi yang mempengaruhi perbedaan habitat hidup (Saliu dan Fagade, 2003). Berdasarkan hasil regresi linear P.schlosseri di 2 lokasi diperoleh koefisien determinasi (R 2 ) hubungan (kemampuan variabel independen (X) menjelaskan variabel dependen (Y)) fekunditas dengan panjang standar menunjukkan nilai yang relatif sama besar, yaitu R 2 = 0,851 (SMMA) dan R 2 = 0,872 (TNUK) (Tabel 17, Lampiran 15). Nilai R 2 A.gymnocephalus di SMMA menunjukkan nilai 0,766, lebih rendah dibanding nilai R 2 di TNUK yang mencapai 0,964 (Tabel 16, Lampiran 16). Tetapi nilai R 2 0,956 pada L.subviridis di SMMA sedikit lebih tinggi dibanding di TNUK yaitu 0,841 (Tabel 16, Lampiran 17). Hasil yang sama juga terjadi pada L.subviridis di Kali Pantai Kab. Kulon Progo dan Purworejo yang menunjukkan hubungan erat dengan nilai R 2 mencapai 0,734 (Setyobudi et al., 2006). Pada belanak Mugil dussumieri di Ujung Pangkah diperoleh nilai R 2 tinggi yaitu 0,83, yang menunjukkan keeratan hubungan antara panjang dengan fekunditas (Sulistiono et al., 2001).

77 53 Tabel 16. Hubungan Panjang Standar dengan Fekunditas Lokasi P.schlosseri A. gymnocephalus L.subviridis Y=a+bx R 2 Y=a+bx R 2 Y=a+bx R 2 SMMA 419,2 X , ,1 X , X ,956 TNUK 685,4 X ,872 88,85 X , X ,841 Dilihat secara keseluruhan terdapat keeratan hubungan antara fekunditas dengan panjang standar, sehingga dapat dijadikan penduga fekunditas ketiga jenis ikan tersebut di atas. Perbedaan fekunditas ikan antar lokasi diduga karena ketersediaan makanan dan kondisi habitat. Secara umum lingkungan perairan SMMA tercemar beberapa logam berat, sehingga diduga berpengaruh terhadap mikroorganisme atau plankton sebagai makanan ikan, serta karakter dan daya adaptasi ketiga jenis ikan tersebut berbeda. P.schlosseri diketahui mempunyai adaptasi yang tertinggi, walaupun dalam lingkungan yang tercemar. Di Cagar Alam Leuweung Sancang Garut yang rusak akibat banyaknya perambahan dan pencemaran perairan (limbah rumah tangga, masih banyak dijumpai P.schlosseri dari ukuran kecil sampai dewasa (Dewantoro et al., 2005). Pelumpuran yang terjadi juga menunjang A.gymnocephalus dalam memperoleh makanannya, sedangkan L.subviridis memanfaatkan detritus yang dihasilkan guguran daun mangrove. Ramly (2012) menduga bahwa jumlah dan mutu detritus yang dihasilkan berkonstribusi terhadap pertumbuhan L.subviridis, sehingga memengaruhi reproduksi dan fekunditas yang dihasilkan. Adanya logam berat salah satunya Timbal (Pb) diduga juga berpengaruh terhadap kematangan gonad dan fekunditas. Ikan yang berada di dalam perairan yang mengandung Pb, pada hatinya akan ditemukan akumulasi logam berat, akibatnya supplai cadangan makanan untuk matang gonad terganggu. Diameter telur merupakan ukuran garis tengah atau panjang dari suatu telur yang diukur dengan mikrometer berskala. Ukuran diameter telur dipakai untuk menentukan kualitas kuning telur (Effendie, 1997). Kisaran diameter telur TKG IV ikan betina P.schlosseri di SMMA adalah 0,165-0,593 mm (0,36±0,14), dan 0,160-0,580 mm (0.30±0.13) di TNUK. Kisaran diameter telur A. gymnocephalus di SMMA adalah 0,124-0,322 mm (0,25±0.06), dan 0,112-0,264 mm (0,15±0,06) di TNUK. Sedangkan kisaran diameter telur L.subviridis di SMMA adalah 0,237-0,538 mm (0,41±0,08), dan 0,257-0,637 mm (0,46±0,1) di

78 54 TNUK. Ukuran diameter telur ikan betina di SMMA dibanding hampir sama pada P.schlosseri, lebih tinggi pada A.gymnocephalus dan lebih rendah pada L.subviridis. Pada tingkat eksploitasi yang tinggi dan potensi reproduksi kecil maka diameter telur kecil, sehingga reproduksinya lebih terjaga. Namun kondisi di SMMA berbanding terbalik, sejalan dengan hal tersebut Sitepu (2007) menyatakan bahwa kondisi lingkungan hidup ekstrim menyebabkan ikan melakukan strategi reproduksi dengan memperbesar ukuran diameter telur dan memperkecil fekunditas. Telur yang berukuran besar akan menghasilkan larva yang berukuran lebih besar dari pada telur yang berukuran kecil. Perkembangan diameter telur semakin meningkat dengan meningkatnya tingkat kematangan gonad (Effendie, 1997). Pola sebaran ukuran diameter telur TKG IV P.schlosseri terlihat bervariasi di SMMA puncaknya pada kisaran 0,160-0,199 mm dan 0,360-0,399, di TNUK 0,280-0,319 mm dan 0,560-0,599 mm. Boleophthalmus boddarti di Ujung Pangkah mempunyai pola pemijahan sebagian-sebagian (parsial spawner), hal ini disebabkan sebaran diameter telur pada TKG IV mempunyai dua puncak kematangan gonad (Hawa et al., 2001). Ansel et al. (1993) menginfomasikan bahwa B.dussumieri di Bombay mengalami satu kali pemijahan setiap musimnya. Pada A.gymnocephalus menunjukkan pola sebaran diameter telur yang beragam di SMMA sebaran yang tertinggi berkisar 0,260-0,280 mm dan 0,134-0,154 mm. Sebaran diameter telur L.subviridis di SMMA dan TNUK berkisar 0,440-0,468 dan 0,411-0,439 mm. Berdasarkan penyebaran diameter telurnya (satu puncak), L.subviridis di S.Cimanuk termasuk pemijah total (total spawner) (Effendie, 1997). Sebaran diameter telur pada ketiga jenis ikan di dua lokasi berbeda menunjukkan hasil yang bervariasi, diduga dipengaruhi umur, tersedianya makanan, lingkungan dan jumlah spesimen yang matang gonad. Pada L.subviridis, walaupun jumlah ikan TKG IV tidak banyak namun secara individual menunjukkan bahwa ikan tersebut telah melakukan pemijahan. Jadi pemijahan tidak dilakukan secara serentak dalam suatu saat oleh kelompok besar melainkan oleh kelompok kecil, dengan frekuensi lebih besar dilakukan secara

79 55 bergantian oleh kelompok kecil lainnya (Effendie, 1997). Frekuensi pemijahan dapat diduga dari penyebaran diameter telur pada gonad ikan yang telah matang, yaitu dengan melihat modus penyebarannya (Lumbanbatu, 1979 dalam Hawa et al., 2001). Indeks Hepatosomatik Indeks hepatosomatik merupakan suatu indeks yang menggambarkan cadangan energi yang ada pada tubuh ikan ketika ikan mengalami perkembangan kematangan gonad. Semakin tinggi tingkat kematangan gonad maka semakin tinggi nilai HIS. Hal ini terjadi karena adanya proses vitelogenesis pada hati ikan (Cerda et al dalam Affandi dan Tang, 2000). Berdasarkan hasil pengamatan secara menyeluruh terlihat nilai indeks hepatosomatik P.schlosseri di SMMA lebih tinggi dibanding di TNUK (Tabel17). Nilai indeks terlihat semakin tinggi seiring dengan kematangan gonad. Berdasarkan jenis kelamin, menunjukkan nilai indeks ikan betina lebih tinggi dibanding jantan. Hal yang sama juga terjadi pada A.gymnocephalus di SMMA yang mempunyai nilai indeks yang lebih tinggi dibanding TNUK. Untuk jenis kelamin, nilai indeks betina lebih tinggi dibanding jantan (Tabel 18). Kondisi tersebut juga terjadi pada L.subviridis, yang mempunyai nilai indeks hepatosomatik tinggi di SMMA (Tabel 19), dan nilai indeks HSI jantan lebih rendah dibanding betina. Hasil ini menunjukkan bahwa lokasi penelitian berpengaruh terhadap peningkatan nilai hepatosomatik. Brusle and Anadon (1996) berpendapat bahwa nilai HSI ikan betina umumnya lebih besar daripada ikan jantan. Tabel 17. Indeks Hepatosomatik P.schlosseri di SMMA dan TNUK Lokasi TKG I II III IV SMMA TNUK Jantan 2,91-2,93 2,96-3,07 3, ,39-3,46 2,92±0,01 3,03±0,04 3,19±0,09 3,43±0,05 Betina 1,97-2,82 2,83-2,89 2,90-3,36 3,38-3,45 2,62±0,33 2,87±0,028 3,09±0,11 3,42±0,03 Jantan 1,50-2,39 2,40-2,51 2,53-2,61 2,72-2,74 2,05±0,29 2,45±0,04 2,59±0.06 2,73±0,01 Betina 1,49-2,19 2,21-2,47 2,48-2,60 2,60-2,79 1,97±0,20 2,34±0,09 2,54±0,037 2,66±0,085

80 56 Tabel 18. Indeks Hepatosomatik A.gymnocephalus di SMMA dan TNUK Lokasi TKG I II III IV SMMA TNUK Jantan 2,32-2,68 2,74-3,07 3,08-3,26 3,27-3,50 2,54±0,13 2,95±0,10 3,19±0,07 3,38±0,09 Betina 1,39-2,68 2,73-3,44 3,44-3,68 3,69-3,89 2,26±0,42 3,14±0,20 3,54±0,07 3,74±0,06 Jantan 0,96-1,41 1,46-1,55 1,56-2,05 2,08-2,41 1,15±0,23 1,52±0,05 1,79±0.19 2,24±0,11 Betina 0,65-1,14 1,21-1,37 1,38-1,85 1,85-2,53 0,92±0,17 1,29±0,06 1,68±0,17 2,22±0,20 Tabel 19. Indeks Hepatosomatik L.subviridis di SMMA dan TNUK Lokasi TKG I II III IV SMMA TNUK Jantan 1,24-1,36 1,54-1,61 1,65-2,11 2,28-3,10 1,32±0,07 1,58±0,03 1,81±0,22 2,76±0,20 Betina 0,95-1,05 1,88-2,32 2,35-2,53 2,55-3,64 1,13±0,16 2,12±0,16 2,44±0,06 2,80±0,30 Jantan 0,77-1,14 1,21-1,45 1,48-1,62 1,66-1,89 0,93±0,16 1,35±0,10 1,55± ,77±0,09 Betina 0,96-1,19 1,30-1,49 1,49-1,75 1,76-2,53 1,03±0,11 1,43±0,05 1,63±0,08 2,00±0,26 Selanjutnya dilihat dari hubungan antara nilai IKG dengan HSI menunjukkan nilai koefisien determinasi (R 2 ) yang cukup tinggi untuk jenis P.schlosseri jantan di SMMA yaitu 0,948 (94,80 %) dan di TNUK 0,737 (73,70%), sedangkan untuk betina 0,779 (77,90%) di SMMA dan 0,847 (84,70%) di TNUK (Tabel 20, Lampiran 18). Pada A.gymnocephalus jantan nilai R 2 yaitu 0,850 (85,0%) di SMMA dan 0,829 (82,90%) di TNUK, untuk betina SMMA nilai R 2 yaitu 0,912 (91,20%) dan 0,725 (72,50%) di TNUK (Tabel 21, Lampiran 19). Untuk L.subviridis jantan di SMMA nilai R 2 0,708 (70,8%) dan 0,897 (89,70%) di TNUK, sedangkan ikan betina 0,880 (88,0%) di SMMA dan 0,891 (89,1%) di TNUK (Tabel 22, Lampiran 20). Nilai tertinggi IKG sejalan dengan pertambahan nilai HSI artinya perkembangan gonad diikuti oleh perkembangan hati sebagai subsidi internalnya. Nilai HSI berkaitan erat dengan IKG dan TKG,

81 57 serta nilai tersebut menunjukkan kondisi pakan dan tingkat kematangan gonad ikan (Brusle and Anadon, 1996). Tabel 20. Hubungan IKG dengan HSI P.schlosseri Lokasi Jantan Betina Y=a+bx R 2 Y=a+bx R 2 SMMA 0,369X+1,410 0,847 0,228 X+2,195 0,779 TNUK 1,133 X+0,861 0,737 0,063 X+1,502 0,746 Tabel 21. Hubungan IKG dengan HSI A.gymnocephalus Lokasi Jantan Betina Y=a+bx R 2 Y=a+bx R 2 SMMA 2,385 X+1,383 0,850 1,460 X+0,161 0,912 TNUK 5,857 X+0,957 0,829 0,615 X+1,130 0,725 Tabel 22. Hubungan IKG dengan HSI L.subviridis Lokasi Jantan Betina Y=a+bx R 2 Y=a+bx R 2 SMMA 0,763 X+0,064 0,708 0,152 X+1,254 0,880 TNUK 0,383 X+0,364 0,897 0,06 X+1,170 0,851 Berdasarkan nilai HSI dari ketiga jenis ikan, dapat diketahui bahwa hati selain berfungsi sebagai organ penimbun cadangan energi juga sebagai organ vital yang berfungsi sebagai detoksifikasi. Sheikh-Eldin et al. (1996) berpendapat bahwa cadangan energi di dalam hati akan dipergunakan untuk mendukung kegiatan pemijahan. Jadi dapat diduga dengan nilai HSI yang tinggi, maka ikan lebih siap dalam melakukan proses pemijahan. Namun hal tersebut juga harus dikaitkan dengan kondisi perairan sekitarnya. Menurut Setyowati et al. (2010) masuknya bahan pencemar ke dalam tubuh ikan menyebabkan terakumulasinya bahan pencemar dalam jaringan terutama di dalam hati. Fisika Kimia Air Hasil pengamatan fisika kimia air di SMMA dapat dilihat pada tabel 23. Suhu rata-rata di lokasi penelitian yang diamati berkisar 29 o C 30 o C. Suhu yang baik untuk ikan dan fauna akuatik lainnya adalah kurang dari 32 o C (Effendie, 2003). Suhu juga berpengaruh terhadap nafsu makan ikan. Perubahan suhu akan berpengaruh langsung terhadap semua aspek metabolisme, yang berakibat pada aktivitas makan, pertumbuhan dan aktivitas reproduksi (Wotton, 1992). Derajad

82 58 keasaman (ph) perairan dapat digunakan sebagai petunjuk untuk menyatakan baik buruknya kualitas suatu perairan sebagai lingkungan hidup. Hasil pengukuran ph di seluruh lokasi penelitian adalah 7,0. Berdasarkan Kep.Men LH No.51 (2004) nilai suhu dan ph masih dalam kisaran baku mutu air laut untuk biota laut di daerah mangrove. Pengukuran oksigen terlarut secara umum nilainya tidak terlalu tinggi. Hal ini dimungkinkan karena tekanan ekologis lingkungan yang tinggi. Menurut Kep.Men Lingkungan Hidup (2004), standar baku mutu air laut untuk biota laut yang diperbolehkan adalah > 4,0 mg/l. Rata-rata karbondioksida di keempat stasiun berkisar 8,895 dan 9,554 mg/l. Menurut Effendie (2003) organisme akuatik masih dapat mentolerir kadar karbondioksida bebas sebesar 10 mg/l. Tabel 23. Fisika Kimia Air di SM.Muara Angke Parameter Stasiun Danau Pesisir Muara Suaka Suhu air ( o C) 31,0 31,0 31,0 30,0 ph 7,0 7,0 7,0 7,0 DO (mg/l) 4,36 4,36 4,36 4,40 CO 2 (mg/l) 9,554 8,895 8,991 9,354 Salinitas (o/oo) 29,50 30,0 30,0 5,0 N-NO 2 (mg/l) 0,008 0,012 0,013 0,008 N-NO 3 (mg/l) 0,015 0,022 0,031 0,010 Arus (m/det) ,81 10,81 Kecerahan (m) 0,52 0,35 0,35 0,54 Turbiditas (ntu) 11,95 14,5 14,5 9,44 TSS (mg/l) 17,0 21,0 21,6 12,4 Pb (ppm) * 0,014 0,016 0,009 Cd (ppm) < 0,001 < 0,001 < 0,001 * Keterangan: * = tidak terdeteksi Hasil pengukuran salinitas diperoleh nilai salinitas paling rendah di Suaka, dan tertinggi di pesisir dan muara. Kondisi salinitas yang rendah diduga bahwa perairan Suaka mendapat masukkan air tawar dari Sungai Angke. Sedangkan tingginya salinitas di pesisir dan muara diduga disebabkan masuknya air laut secara langsung dan penguapan yang tinggi. Pada hasil pengukuran nitrit dan nitrat, diperoleh nilai rata-rata tertinggi di Muara yaitu 0,013 dan 0,031. Nitrit di perairan alami umumnya ditemukan dalam jumlah yang sedikit, dan sebaiknya tidak melebihi 0,06 mg/l (Kep.Men LH No

83 59 51, 2004). Kandungan nitrat yang terukur telah melewati standar baku mutu biota laut yaitu 0,008 mg/l (Kep.Men LH No 51, 2004). Hal tersebut diduga merupakan dampak dari sisa-sisa buangan kapal bermotor di perairan tersebut. Kecepatan arus rata-rata tertinggi terdapat di sekitar pesisir yaitu 15,25 m/det, sedangkan terendah 10,81 m/det di Suaka. Tingginya arus di pesisir diduga sangat dipengaruhi oleh faktor angin, pengaruh musim, dan kedalaman air. Kecepatan arus rata-rata di Muara S. Cikawung (TNUK) adalah 30,41 m/det, dan 31,72 m/det di bagian tengah sungai. Menurut Effendie (2003) kecepatan arus sangat dipengaruhi oleh bentang alam, jenis batuan dasar dan curah hujan. Dilihat dari tingkat kecerahan, kawasan danau dan perairan suaka mempunyai tingkat kecerahan yang lebih baik dibanding pesisir dan muara. Hal ini terkait dengan partikel tersuspensi yang akan mempengaruhi kedalaman penetrasi cahaya matahari ke dalam perairan. Selain itu kerapatan vegetasi mangrove berpengaruh terhadap masuknya cahaya matahari. Hasil pengukuran terhadap turbiditas, memperlihatkan bahwa di pesisir dan muara mempunyai nilai turbiditas yang lebih tinggi dikarenakan banyaknya bahan-bahan tersuspensi seperti lapisan tanah, lumpur dan sampah yang terbawa masuk ke dalam kawasan tersebut. Padatan tersuspensi total (TSS) juga sangat terkait dengan kecerahan dan kekeruhan. Hasil yang diperoleh menunjukkan perairan pesisir dan muara mempunyai nilai TSS lebih tinggi dibandingkan lokasi lainnya. Hal tersebut dikarenakan kawasan pesisir dan muara banyak dipenuhi oleh serasah daun mangrove, sampah dan bahan pencemar lain, sehingga diduga menyebabkan nilai TSS menjadi lebih tinggi. Menurut Alabaster dan Loyd (1982) bahwa suatu perairan dengan nilai TSS < 25 mg/l sangat baik untuk kegiatan perikanan, sedangkan kisaran 2 80 mg/ L masih dianggap cukup baik. Logam berat timbal (Pb) terlihat cukup tinggi di pesisir dan muara. Hal ini dimungkinkan karena lokasi tersebut merupakan jalur transportasi kapal bermotor nelayan. Nilai standar baku mutu Pb air laut untuk biota laut adalah 0,008 ppm (Kep.Menteri Lingkungan Hidup, 2004). Kadar logam berat dalam air laut yang cukup rendah adalah cadmium (Cd) ditemukan di semua lokasi, bila mengacu pada Kep.Men LH Nomer 51, Tahun 2004 kadar Cd masih dalam batas normal

84 60 (Cd = <0,001 ppm). Meningkatnya kadar Pb dan Cd di perairan ini disebabkan karena banyaknya industri (baik besar maupun rumah tangga), pemukiman dan pertambahan penduduk, yang membuang sejumlah bahan polutan dan bahanbahan kimia lainya yang mengandung logam berat ke perairan. Hal ini akan mempercepat dan memperburuk lingkungan perairan. Sebagai informasi tambahan bahwa di lokasi penelitian teramati hampir setiap hari (± jam 16.00) sampah dari Sungai Angke masuk kearah muara dan pesisir (Lampiran 21). Alternatif Pengelolaan Tiga Jenis Ikan di Suaka Margasatwa Muara Angke Secara kelembagaan SMMA berada di bawah pengelolaan Balai Konservasi Sumberdaya Alam (BKSDA) DKI Jakarta. Sejauh ini upaya kegiatan pengelolaan telah dilakukan dengan cara rehabilitasi mangrove, penelitian (mangrove, burung dan mamalia), sedangkan untuk jenis ikan belum terdata dengan baik. Melihat rendahnya komposisi jenis ikan yang terkoleksi di SMMA dengan lingkungan perairan yang relatif tercemar, maka perlu segera dilakukan berbagai upaya penyelamatannya agar jenis-jenis yang mendiami kawasan ini tetap terjaga. Pada L.subviridis (ikan ekonomis) perlu dilakukan pengawasan ukuran mata jaring yang dipergunakan, hal ini terkait dengan banyaknya ikan TKG III dan TKG IV yang diduga akan melakukan pemijahan. Dalam hal kelestarian kawasan mangrove SMMA terkait dengan nilai ambang baku mutu air yang tinggi akibat dari banyaknya sampah dan tumpahan sisa bahan bakar perahu motor nelayan, maka diperlukan dukungan dari semua pihak, baik dari pemerintah, masyarakat dan lembaga-lembaga terkait lainnya terkait dalam hal pengawasan, penegakan hukum, dan pengelolaan.

85 61 SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Komposisi jenis ikan di Suaka Margasatwa Muara Angke (SMMA) relatif rendah dibandingkan dengan di Taman Nasional Ujung Kulon (TNUK), walaupun spesimen yang diperoleh cenderung banyak yakni 1535 individu dari 32 jenis, 29 marga dan 26 suku. Terjadi 2 pengelompokkan pada ketiga jenis ikan yang dikaji (P.schlosseri, A.gymnocephalus dan L.subviridis) yakni kelompok SMMA dan kelompok TNUK. Pertumbuhan A.gymnocephalus lebih tertekan (alometrik negatif b<3) dibandingkan P.schlosseri dan L.subviridis di SMMA. Ketiga jenis ikan yang dikaji mempunyai strategi reproduksi yang sama yakni dengan memperkecil fekunditas dan memperbesar diameter telur. Kualitas air di sekitar Muara Angke sebagian besar telah berada di atas ambang batas baku mutu yang telah ditetapkan oleh Kementrian Lingkungan Hidup. Saran Penelitian lebih lanjut diharapkan mengenai jenis makanan ikan dan aspek genetik dari ketiga jenis ikan khas yang diujikan. Perlu dilakukan rehabilitasi habitat di Muara dan sekitarnya terkait dengan pencemaran air yang tinggi.

86 62

87 63 DAFTAR PUSTAKA Andriani, I Bioekologi, morfologi, kariotip dan reproduksi ikan hias rainbow Sulawesi (Telmatherina ladigesi) di Sungai Maros, Sulawesi Selatan. Tesis. Bogor. Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Ansel, A.D., Gibson, R.N and Barnes, M Mudskippers Biologi Department. Sultan Qaboos University, Muscat. Sultanate of Oman p. Affandi, R, Syafei, D.S., Rahardjo, M.F dan Sulistiono Iktiologi, Suatu Pedoman Kerja Laboratorium. IPB. 344 hlm. Allen, G.R and Swainston, R The Marine Fishes of North Western Australia. Western Australian Museum. Australia. Al-Mamry, J., Jawad, L., Al-Bimani, S., Al-Ghafari, F., Al-Mamry, D and Al- Marzouqi, J Asymmetry in some morphological characters of Leiognathus equulus (Forsskal) (Leiognathidae) collected from the Sea of Oman. Arch. Pol. Fish. (2011) 19: Almeida, D., Almodovar, A., Nicola, G.G and Elvira, B Fluctuating asymmetry, abnormalities and parasitism as indicators of environmental stress in cultured stocks of goldfish and carp. Aquaculture 279 (2008) Arslan, M and Aras, M.N Structure and reproductive characteristics of two Brown Trout (Salmo trutta) populations in the Coruh River Basin, North Eastern Anatolia Turkey. Turk. J. Zool. 31 : Bailey, R.M and Gosline, W Variation and Systematic Significance of Vertebral Counts in The American Fishes of The Family Percidae. Misc. Publ. Mus. Zool. Univ. Michigan. 93 p. Bal, D.V and Rao, K.V Marine Fisheries. Tata Mc Graw-Hill Publishing Company Limited. New Delhi. 470 hal. Balai Data dan Informasi Sumber Daya Alam Konservasi dan Pengendalian Daya Rusak Laguna Segara Anakan. Dinas PSDA Provinsi Jawa Barat. Bandung. 15 hal. Bengen, D.G Teknik Pengambilan Contoh dan Analisis Data Biofisik Sumberdaya Pesisir. FPIK-IPB. 88 hal. Bhagawati, D., Suryaningsih, S dan Tjahya, P.H Kematangan Gonad Ikan Ekonomis Yang Tertangkap Di Segara Anakan Cilacap. Biosfera 18 (3):

88 64 Brojo, M Ciri-Ciri Morfometrik Ikan Nila (Oreochromis niloticus) Strain Chitralada dan Strain Gift. Jurnal Ilmu-Ilmu Perairan dan Perikanan Indonesia, VI (2): Brusle, J and Anadon, G. G The Structure and Function of Fish Liver. In: Fish Morphology. Science Publishers. pp Chelemal, M., Jamili, S and Sharifpour, I Reproductive Biology and Histological Studies in Abu Mullet, Liza abu in The Water of The Khozestan Province. Journal of Fisheries and Aquatic Science 4 (1): Chong V.C., Sesakumar, A., Leh, M.U.C and Cruz, R.D The fish and prawn communities of a Malaysian coastal mangrove system, with comparisons to adjacent mud flats and inshore waters. Estuarine, Coastal and Shelf Science (31), Cohen, D.M How Many Recent Fishes Are There? Proc. Calif. Acad. Sci. 4 th ser. 38: Dando, P. R Reproduction in estuarine fish. In Fish Reproduction (Potts, G. W. & Wotton, R. J., eds). American Press, London, pp Daulay dan Pratiwi, E Prospek Budidaya Ikan Belanak (Mugil sp.) di Indonesia. Warta Penelitian Perikanan Indonesia 6 (2): Defira, C.N Variasi Morfologi, Kariotip dan Pola Isozim Ikan Lalawak (Barbodes balleroides) dan Lalawak Jengkol (Barbodes sp.) dari Sungai Cikandung dan Kolam Budidaya Desa Buah Dua Kabupaten Sumedang [tesis]. Program Pasca Sarjana. Institut Pertanian Bogor. Bogor. Dewantoro, G.W., Santoso, E., Zulham dan Mulyana, A.R Studi Perbandingan Komunitas Ikan dan Udang Daerah Hilir ke Arah Hulu pada Dua Sungai di Kawasan Cagar Alam Leuweung Sancang Garut. Jawa Barat. Biosfera 22(1): Effendie, H Telaah Kualitas Air Bagi Pengelolaan Sumber Daya dan Lingkungan Perairan. Penerbit Kanisius. Yogyakarta. 258 h. Effendie, M.I Metode Biologi Perikanan. Yayasan Dewi Sri. 111 hal El Sayed, H dan Moharram, S.G Re[roductive Biology of Tilapia zillii (Gerv, 1848) From Abu Qir Bay, Egypt. Egyptian Journal of Aquatic Research. Vol. 33 (1): Genisa, A.S Keanekaragaman Fauna Ikan di Perairan Mangrove Sungai Mahakam. Jurnal Oseanologi dan Limnologi di Indonesia (46): Gunarto Konservasi Mangrove Sebagai Pendukung Sumber Hayati Perikanan Pantai. Jurnal Litbang Pertanian 23 (1):

89 65 FAO The world s mangroves A thematic study prepared in the framework on the global Forest Resources Assesment Rome. FAO Forestry Paper 153, 77 p. Hadie, W., Komar, S., Odang, C dan Lies, E.H Pendugaan Jarak Genetic Populasi Udang Galah (Macrobrachium rosenbergii) dari Sungai Musi, Sungai Kapuas dan Sungai Citanduy dengan Truss Morphometric untuk Mendukung Program Pemuliaan. Jurnal Penelitian Perikanan Indonesia. 8 (2): 1-7. Haryono Variasi Morfologi dan Morfometri Ikan Dokun (Puntius lateristriga) di Sumatra. Biota Vol 6 (3): Hawa, S., Sulistiono dan Sjafei, D.S Studi Kematangan Gonad Ikan Blodok (Boleopthalmus boddarti) di Perairan Ujung Pangkah, Jawa Timur. Prossiding Seminar Nasional Keanekaragaman Hayati Ikan 6 Juni h Inoue, Y., Hadiyati, O., H.M. Afwan, H.M, Affendi, Sudarma, K.R and Budiana, I.N Sustainable Management Models for Mangrove Forest. Japan International Cooperation Agency, hlm. 46. IUCN Guidelines for Protected Area Management Catagories.IUCN- CNPPA with The Assistance of WCMC. IUCN. Gland. Karminarsih, E Pemanfaatan Ekosistem Mangrove bagi Minimasi Dampak Bencana di Wilayah Pesisir. JMHT Vol. XIII (3): Kathiresan, K. and Bingham, B.L Biology of Mangroves and Mangrove Ecosystems. Advances in Marine Biology 40: Keputusan Menteri Negara Kependudukan Dan Lingkungan Hidup Keputusan Menteri Negara Kependudukan dan Lingkungan Hidup No Kep-5l/MNKLH/I/2004 Tentang Pedoman Penetapan Baku Mutu Air Laut. Menteri Negara Kependudukan dan Lingkungan Hidup, Jakarta: Kottelat M, Whitten, A.J., Kartikasari, S.N and Wirjoatmodjo, S Freshwater Fishes of Western Indonesia and Sulawesi. Periplus Editions Limited. Jakarta.p 229. Kusmini, I. I., Gustiano, R. dan Mulyasari Karakterisasi Truss Morfometrik Ikan Tengadak (Barbonymus schwanenfeldii) Asal Kalimantan Barat Dengan Ikan Tengadak Albino Dan Ikan Tawes Asal Jawa Barat. Prosiding Forum Inovasi Teknologi Akuakultur Lagler, K.F.H., Bardach, J.E., Miller, R.H and Passino, D.R.M Icthcyology. John willey and Sons, Inc. Toronto. Canada. 556 p.

90 66 Larson, H. K. and Lim, K. K. P. (2005) (eds)- A guide to Gobies of Singapore- Omni-Theatre, Singapore Science Centre, Singapore:164pp. Leary, R. F., Allendorf, F. W and Knudsen, K. L Developmental Instability as an Indicator of Reduced Genetic Variation in Hatchery Trout. Transaction of The American Fisheries Society. 14 : Lowe-Mc Connel, R.H Ecological Studies in Tropical Fish Communities. Cambridge. UK. 382 p Ludwig, J.A and Reynolds, J.F Statistical Ecology: a Primer on Methods and Computing. John Wiley and Sons, Inc. New York. McDonough, C.J Striped Mullet Mugil cephalus. www. dnr.sc.gov/cwcs/pdf/stripedmullet.pdf. Diakses tanggal 12 Desember Mukhtar, H., Rahim, F dan Mufas, M.A.F Pengaruh Pemberian Minyak Ikan Gelodok Raksasa (Periophthalmodon schlosseri) Terhadap Aktivitas Seksual Mencit Putih Jantan. Scientia Vol. 2 (1): Mulfizar, Zainal, A., Muchlisin dan Dewiyanti, I Hubungan Panjang Berat dan Faktor Kondisi Tiga Jenis Ikan yang Tertangkap Di Perairan Kuala Gigieng, Aceh Besar, Provinsi Aceh. Depik I (1): 1-9. Munisa A,. Olii, A.H.,.Palaloang, A.K., Erniwati, Golar, Dirawan, G.D., Hamidun, M.S dan Panjaitan, R.G.P Pembangunan hutan mangrove berbasis masyarakat dan tantangannya: Studi kasus Desa Tongke-Tongke Kabupaten Sinjai. IPB. Diakses tanggal Nagelkerken, I., Van der Velde, G., Gorissen, M.W., Meijer, G.J., van t Hof, T., and den Hartog, C Importance of mangroves, seagrass beds and the shallow coral reef as a nursery for important coral reef fishes, using a visual census technique. Estuarine Coastal and Shelf Science 51: Napitu, W.T Analisis Kandungan Logam Berat Pb, Cd, dan Cu pada Bandeng, Belanak, dan Udang di Kawasan Silvofishery Blanakan Subang. [Tesis] Program Pascasarjana.Institut Pertanian Bogor Nelson, J.S Fishes of The World. John Wiley and Sons, Inc. 601p. Nikolsky, G.V The Ecology of Fishes. Academy Press. New York. Nurhidayat, M.A., Carman, O., Harris, E dan Sumandinata, K Fluktuasi Asimetri dan Abnormalitas pada Ikan Lele Dumbo (Clarias sp.) yang Dibudidayakan di Kolam. Jurnal Penelitian Perikanan Indonesia. Vol 9 (1):

91 67 Nuryanto Morfologi, Kariotif dan Pola Protein Ikan Nilem (Osteochilus sp.) dari Sungai Cikawung dan Kolam Budidaya Kabupaten Cilacap.[Tesis] Program Pascasarjana.Institut Pertanian Bogor Odum, E.P Fundamentals of Ecology. 3 rd Edition. WB Saunders. Philladelphia. Omar, S.A Modul Praktikum Biologi Perikanan. Jurusan Perikanan. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Universitas Hasanudin. Makasar. Peristiwady, P Ikan-Ikan Laut ekonomis Penting di Indonesia. LIPI Press. Jakarta. Pirzan A.M, Rohama, D., Utojo, Burhanuddin, Suharyanto, Gunarto dan Padda, H Telaah Biodiversitas di Kawasan Tambak dan Mangrove. Balai Penelitian Perikanan Pantai Maros. Polar M, Jaroensutasinee, M and Jaroensutasinee, K Morphometric Analysis of Tor tambroides by Stepwise Discriminant and Neural Network Analysis. World Academy of Science, Engineering and Technology 33: PPLH Penyusunan Rencana Pengelolaan Suaka Margasatwa Muara Angke DKI Jakarta. PPLH IPB. Bogor. Pramudji. 2008a. 10 Tahun Lagi Mangrove Diperkirakan Habis. Surat Kabar Kompas Sabtu 14 Juni Pramudji. 2008b. Mangrove di Indonesia dan Upaya Pengelolaannya. Orasi Pengukuhan Profesor Riset Bidang Laut. LIPI. Pusey, B.J., Arthington, A.H., Bird, Jr. J.R dan Close, P.G Reproduction in Three species of Rainbowfish (Melanotaeniidae) from Rainforest Streams in Northern Quenssland, Australia. Ecol. Freshwater Fish. 10: Rachmatika, I., dan Wahyudewantoro, G Jenis-Jenis Ikan Introduksi di Perairan Tawar Jawa Barat dan Banten: Catatan tentang Taksonomi dan Distribusinya. Jurnal Ichtiologi Indonesia 6 (2) : Ramly, M Konstribusi Ekosistem Mangrove sebagai Pemasok Makanan Ikan Belanak (Liza subviridis) di Perairan Pantai Utara Konawe Selatan Sulawesi Tenggara.[Disertasi] Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor.107 h. Richter, T.J Development and evaluation of standard weight equations for bridgelip sucker and largescale sucker. North American Journal of Fisheries Management, 27:

92 68 Sesakumar, A., Chong, V.C., Leh, M.U and Cruz, R.D Mangrove as Habitat for Fish and Prawns. Hydrobiologia 247: Setyobudi, E., Soeparno dan Safitri Aspek Reproduksi Belanak (Liza subviridis) Hasil Tangkapan di Kali PAntai Kabupaten Kulon Progo dan Purworejo. Prossiding Seminar Nasional Tahunan III Hasil Penelitian Perikanan Kelautan, 27 Juli Universitas Gadjah Mada. H Sheridan, P And Hays, C Are Mangroves Nursery Habitat For Transient Fishes And Decapods? Wetlands, Vol. 23, (2): Sheikh-Eldin, M., S.S. De Silva, T.A. Anderson and G. Gooley, Comparison of fatty acid composition of muscle, liver, mature oocytes and diets of wild and captive Macquarie perch, Macquaria australasica, brood fish. Aquaculture, 144: Sitepu, F.G The Fecundity, Gonad and Sex Reversal of Coral Troud Pleopardus from Marine Water of Spermonde Archipelago. Smith, H.M The Freshwater Fishes of Siam, or Thailand. Bull. Smithsonian Institution United States National Museum No. 188: 622. Southwood TRE Ecological Methods. Chapman and Hall. London. Suhardjono, Y.R ed. Buku Pegangan Pengelolaan Koleksi Spesimen Zoologi. Balai Penelitian dan Pengembangan, Puslit Biologi-LIPI. Sukardjo, S Fisheries Associated with Mangrove Ecosystem in Indonesia: A View from a Mangrove Ecologist. Biotropia (23): Sulistiono, Jannah, M.R dan Ernawati, Y Reproduksi Ikan Belanak (Mugil dusumieri) di Perairan Ujung Pangkah, Jawa Timur. Jurnal Iktiologi Indonesia, Vol. 1 (2): Suyanto, A., Mulyadi., Subasli, D.R., Murniati, D.C dan. Wahyudewantoro, G Laporan Perjalanan Taman Nasional Ujung kulon-pandeglang. P2Biologi-Lipi. Tidak dipublikasikan Tomkins, J.L and Kotiaho, J.S Fluctuating Asymmetry. Encyclopedia Of Life Sciences.Macmillan Publishers Ltd, Nature Publishing Group Tse, P., Nip T.H.M and Wong, C.K Nursery function of mangrove: A comparison with mudflat in terms of fish species composition and fish diet. Estuariane, Coastal and Shelf Science 80 :

93 69 Tzeng, T-D., Chiu, C-S., Yeh, S-Y Morphometric Variation in Red-spot Prawn (Metapenaeopsis barbata) in Different Geographic Waters of Taiwan. Institute of Oceanography, National Taiwan University, Taipei 106, Taiwan ROC. Journal Fisheries Research 53 (2001) Turan, C A Note on The Examination of Morphometric Differentiation Among Fish Population: the Truss System. Journal of Zoology Vol. 23. hlm Ubaidillah, R dan Sutrisno, H Pengantar Biosistematik: Teori dan Praktek. Museum Zoologicum Bogoriense. Pusat Penelitian Biologi LIPI. Bogor. Upadhyay, V.P, Ranjan, R and Singh, J.S Human-Mangrove Conflicts: The Way Out. Current Science, Vol. 83, No. (11): Utayopas, P Fluctuating Asymmetry in Fishes Inhabiting Potluted and Unpolluted Bodies of Water in Thailand. Thammasat Int. J. Sc. Tech.Vol.6 (2): Van Valen L A Study of Fluctuating Asymmetry. Evolution 16: Walpole, R. E Pengantar Statistika edisi Ke-3 alih Bahasa oleh Sumantri, B. PT Gramedia Pustaka Utama. Jakarta. 515 hal. Wang M., Huang Z., Shi F and Wang W Are vegetated areas of mangroves attractive to juvenile and small fish? The case of Dongzhaigang Bay, Hainan Island, China. Estuarine, Coastal and Shelf Science 85 (2009) Wibowo, A., Sunarno, M.T.D dan Subagja Analisis Morfometrik Populasi Ikan Belida (Chitala lopis) dari Pangkalan Buluh DAS Musi. Jurnal Staf Peneliti Balai Riset Perikanan Perairan Umum (BRPPU) Palembang. 14 hal. Wilcox, L.V, T.G Yocom, R.C Goodrich and A.M Forbers Ecology of Mangrove in Jew Fish Chain. Exuma. Bahamas. Proceeding of the International Symposium on Biology and Management of Mangroves 1: Wooton, R.J Energy Cost of Eggs Production and Eviromental Fecundity in Teleost Fishes. In:P.J Miller (ed.) Fish Phenology Anabolic Adaptiveness in Teleost. The Zoological Society of London. Academic Press, London. Yamazaki, Y and Goto, A Morfometric and Meristic Characteristic of Two Groups of Lathenteron reissneri. Ichthyological Research, 44(1):

94 70 Yustina dan Arnentis Aspek Reproduksi Ikan Kapiek (Puntius schwanefeldi Bleeker) di Sungai Rangau-Riau Sumatera. Jurnal Matematika dan Sains. Vol. 7 (1): 5-14.

95 71 LAMPIRAN Lampiran 1. Karakter Masing-Masing Stasiun di TNUK. Stasiun Lokasi Karakteristik I. S.Cilintang - Pasang surut dominan. - Vegetasi mangrove tertutup. - Substrat berlumpur dan berpasir. - Air sungai jernih. - Tidak ada sampah, banyak serasah. - Tidak dilewati perahu nelayan. II. S.Prepet - Daerah pasang surut. - Vegetasi mangrove tertutup. - Substrat berpasir dan sedikit berlumpur. - Air sungai jernih. - Tidak ada sampah, banyak serasah. - Tidak dilewati perahu nelayan. III. S.Cikawung - Daerah pasang surut. - Vegetasi Mangrove terbuka. - Substrat berpasir dan sedikit berlumpur. - Warna Air hitam kecoklatan dan keruh. - Tidak ada sampah, sedikit serasah. - Jarang dilintasi perahu nelayan. IV. S.Citamanjaya - Daerah pasang surut. - Vegetasi mangrove terbuka. - Substrat berpasir dan sedikit berlumpur. - Warna Air hitam kecoklatan dan keruh. - Banyak sampah dan serasah. - Lalu lintas perahu nelayan.

96 72 Lampiran 2. Lokasi Penelitian SMMA (1) dan TNUK (2).

97 73 Lampiran 3. Hasil Analisis Indeks Keanekaragaman Jenis (H), Indeks Kemerataan (E) dan Indeks Kekayaaan Spesies (d) di TNUK. Cilintang Prepet Cikawung Citamanjaya Keanekaragaman Jenis (H) Kemerataan Jenis (E) Kekayaan Jenis (d)

98 74 Lampiran 4. Hasil PCA Karakter Truss Morfometrik P.schlosseri Total Variance Explained Compo nent Initial Eigenvalues Extraction Sums of Squared Loadings Total % of Variance Cumulative % Total % of Variance Cumulative % Extraction Method: Principal Component Analysis.

99 Lampiran 4. (Lanjutan) 75

100 76 Lampiran 5. Hasil PCA Karakter Truss Morfometrik A.gymnocephalus. Total Variance Explained Compo nent Initial Eigenvalues Extraction Sums of Squared Loadings Total % of Variance Cumulative % Total % of Variance Cumulative % Extraction Method: Principal Component Analysis.

101 Lampiran 5. (Lanjutan) 77

102 78 Lampiran 6. Hasil PCA Karakter Truss Morfometrik L.subviridis. Total Variance Explained Compo nent Initial Eigenvalues Extraction Sums of Squared Loadings Total % of Variance Cumulative % Total % of Variance Cumulative % Extraction Method: Principal Component Analysis.

103 Lampiran 6. (Lanjutan) 79

104 80 Lampiran 7. Gambar ketiga jenis ikan yang diujikan a. P.schlosseri di SMMA dan TNUK b. A.gymnocephalus di SMMA dan TNUK c. L.subviridis di SMMA dan TNUK

105 81 Lampiran 8. Grafik Hubungan Panjang-Berat P.schlosseri; a dan b (jantan,betina SMMA); c dan d (jantan, betina TNUK) a b c d

106 82 Lampiran 9. ANOVA P.schlosseri a. P.schlosseri jantan di SMMA SUMMARY OUTPUT Regression Statistics Multiple R R Square Adjusted R Square Standard Error Observations 25 ANOVA Df SS MS F Significance F Regression E-16 Residual Total Coefficients Standard Error t Stat P-value Lower 95% Upper 95% Lower 95.0% Upper 95.0% Intercept E Elog L Thit = -2,481 Ttabel = 2,3979

107 83 Lampiran 9. (Lanjutan) b. P.schlosseri betina di SMMA SUMMARY OUTPUT Regression Statistics Multiple R R Square Adjusted R Square Standard Error Observations 69 ANOVA Df SS MS F Significance F Regression E-52 Residual Total Coefficients Standard Error t Stat P-value Lower 95% Upper 95% Lower 95.0% Upper 95.0% Intercept E log L E Thit = -6,9075 Ttabel = 2,2929

108 84 Lampiran 9. (Lanjutan) c. P.schlosseri jantan di TNUK SUMMARY OUTPUT Regression Statistics Multiple R R Square Adjusted R Square Standard Error Observations 23 ANOVA Df SS MS F Significance F Regression E-16 Residual Total Coefficients Standard Error t Stat P-value Lower 95% Upper 95% Lower 95.0% Upper 95.0% Intercept E Log L E Thit = -2,7627 Ttabel = 2,4138

109 85 Lampiran 9. (Lanjutan) d. P.schlosseri betina di TNUK SUMMARY OUTPUT Regression Statistics Multiple R R Square Adjusted R Square Standard Error Observations 61 ANOVA Df SS MS F Significance F Regression E-50 Residual Total Coefficients Standard Error t Stat P-value Lower 95% Upper 95% Lower 95.0% Upper 95.0% Intercept E Log L E Thit = -3,1221 Ttabel = 2,3000

110 86 Lampiran 10. Grafik Hubungan Panjang-Berat A.gymnocephalus; a dan b (jantan,betina SMMA); c dan d (jantan, betina TNUK). a b c d

111 87 Lampiran 11. ANOVA A. gymnocephalus a. A. gymnocephalus jantan di SMMA SUMMARY OUTPUT Regression Statistics Multiple R R Square Adjusted R Square Standard Error Observations 38 ANOVA df SS MS F Significance F Regression E-18 Residual Total Coefficients Standard Error t Stat P-value Lower 95% Upper 95% Lower 95.0% Upper 95.0% Intercept E log L E Thit = 3,8444 Ttabel = 2,3391

112 88 Lampiran 11. (Lanjutan) b. A. gymnocephalus betina di SMMA SUMMARY OUTPUT Regression Statistics Multiple R R Square Adjusted R Square Standard Error Observations 85 ANOVA Df SS MS F Significance F Regression E-40 Residual Total Coefficients Standard Error t Stat P-value Lower 95% Upper 95% Lower 95.0% Upper 95.0% Intercept E log L E Thit = 17,13585 Ttabel = 2,2829

113 89 Lampiran 11. (Lanjutan) c. A. gymnocephalus jantan di TNUK SUMMARY OUTPUT Regression Statistics Multiple R R Square Adjusted R Square Standard Error Observations 27 ANOVA Df SS MS F Significance F Regression E-22 Residual Total Coefficients Standard Error t Stat P-value Lower 95% Upper 95% Lower 95.0% Upp 95.0 Intercept E log L E Thit = -5,6098 Ttabel = 2,3846

114 90 Lampiran 11. (Lanjutan) d. A. gymnocephalus betina di TNUK SUMMARY OUTPUT Regression Statistics Multiple R R Square Adjusted R Square Standard Error Observations 69 ANOVA Df SS MS F Significance F Regression E-69 Residual Total Coefficients Standard Error t Stat P-value Lower 95% Upper 95% Lower 95.0% Upper 95.0% Intercept E log L E Thit = -8,7742 Ttabel = 2,2929

115 91 Lampiran 12. Grafik Hubungan Panjang-Berat L.subviridis; a dan b (jantan,betina SMMA); c dan d (jantan, betina TNUK). a b c d

116 92 Lampiran 13. ANOVA Liza subviridis a.liza subviridis jantan di SMMA SUMMARY OUTPUT Regression Statistics Multiple R R Square Adjusted R Square Standard Error Observations 29 ANOVA df SS MS F Significance F Regression E-28 Residual Total Coefficients Standard Error t Stat P-value Lower 95% Upper 95% Lower 95.0% Upper 95.0% Intercept E Log L E Thit = 2,6981 Ttabel = 2,3734

117 93 Lampiran 13. (Lanjutan) b. Liza subviridis betina di SMMA SUMMARY OUTPUT Regression Statistics Multiple R R Square Adjusted R Square Standard Error Observations 72 ANOVA Df SS MS F Significance F Regression E-67 Residual Total Coefficients Standard Error t Stat P-value Lower 95% Upper 95% Lower 95.0% Upper 95.0% Intercept E Log L E Thit = 5,6557 Ttabel = 2,2906

118 94 Lampiran 13. (Lanjutan) c.liza subviridis jantan di TNUK SUMMARY OUTPUT Regression Statistics Multiple R R Square Adjusted R Square Standard Error Observations 24 ANOVA Df SS MS F Significance F Regression E-22 Residual Total Coefficients Standard Error t Stat P-value Lower 95% Upper 95% Lower 95.0% Upper 95.0% Intercept E Log L E Thit = 4,9528 Ttabel = 2,4055

119 95 Lampiran 13. (Lanjutan) d.liza subviridis betina di TNUK SUMMARY OUTPUT Regression Statistics Multiple R R Square Adjusted R Square Standard Error Observations 86 ANOVA Df SS MS F Significance F Regression E-71 Residual Total Coefficients Standard Error t Stat P-value Lower 95% Upper 95% Lower 95.0% Upper 95.0% Intercept E Log L E Thit = 8,7156 Ttabel = 2,2823

120 96 Lampiran 14. Rasio Kelamin P.schlosseri, A.gymnocephalus dan L.subviridis Stasiun Oi (B) Oi (J) Jumlah ei chi hitung chiinv keputusan J B TNUK tolak H SMMA tolak H a. P.schlosseri Stasiun Oi (B) Oi (J) Jumlah ei chi hitung chiinv keputusan J B TNUK tolak H SMMA tolak H b. A.gymnocephalus Stasiun Oi (B) Oi (J) Jumlah ei chi hitung chiinv keputusan J B TNUK tolak H SMMA tolak H c. L.subviridis

121 97 Lampiran 15. Grafik Hubungan Panjang Standar dengan Fekunditas P.schlosseri di SMMA dan TNUK (a dan b) a b

122 98 Lampiran 16. Grafik Hubungan Panjang Standar dengan Fekunditas A.gymnocephalus di SMMA dan TNUK (a dan b) a b

123 99 Lampiran 17. Grafik Hubungan Panjang Standar dengan Fekunditas L.subviridis di SMMA dan TNUK (a dan b) a b

124 HIS (%) HIS (%) 100 Lampiran 18. Grafik Hubungan IKG dengan HSI P.schlosseri jantan SMMA (a) dan TNUK (b); betina SMMA (c) dan TNUK (d) y = x R 2 = IKG (%) a y = x R 2 = IKG (%) b c d

125 101 Lampiran 19. Grafik Hubungan IKG dengan HSI A.gymnocephalus jantan SMMA (a) dan TNUK (b); betina SMMA (c) dan TNUK (d) a b c d

126 102 Lampiran 20. Grafik Hubungan IKG dengan HSI L.subviridis jantan SMMA (a) dan TNUK (b); betina SMMA (c) dan TNUK (d) a b c d

127 Lampiran 21. Tumpukan sampah yang masuk dari S. Angke kearah muara dan pesisir 103

TINJAUAN PUSTAKA Suaka Margasatwa Muara Angke

TINJAUAN PUSTAKA Suaka Margasatwa Muara Angke 7 TINJAUAN PUSTAKA Suaka Margasatwa Muara Angke Kawasan konservasi dapat berupa suaka alam, kawasan pelestarian alam, taman buru dan hutan lindung. IUCN (1994) mendefinisikan kawasan yang dilindungi sebagai

Lebih terperinci

METODE. Waktu dan Tempat Penelitian

METODE. Waktu dan Tempat Penelitian 17 METODE Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian dilaksanakan di Suaka Margasatwa Muara Angke, Penjaringan Jakarta Utara, pada bulan Februari 2012 sampai April 2012. Stasiun pengambilan contoh ikan merupakan

Lebih terperinci

LAMPIRAN. Lampiran 1. Karakter Masing-Masing Stasiun di TNUK.

LAMPIRAN. Lampiran 1. Karakter Masing-Masing Stasiun di TNUK. 71 LAMPIRAN Lampiran 1. Karakter Masing-Masing Stasiun di TNUK. Stasiun Lokasi Karakteristik I. S.Cilintang - Pasang surut dominan. - Vegetasi mangrove tertutup. - Substrat berlumpur dan berpasir. - Air

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. sehingga laut dan pesisir pantai (coastal zone) merupakan lingkungan fisik yang

BAB I PENDAHULUAN. sehingga laut dan pesisir pantai (coastal zone) merupakan lingkungan fisik yang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan wilayah perairan yang memiliki luas sekitar 78%, sehingga laut dan pesisir pantai (coastal zone) merupakan lingkungan fisik yang mendominasi. Menurut

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. atas pulau, dengan garis pantai sepanjang km. Luas laut Indonesia

BAB I PENDAHULUAN. atas pulau, dengan garis pantai sepanjang km. Luas laut Indonesia BAB I PENDAHULUAN I.I Latar Belakang Indonesia merupakan Negara kepulauan terbesar di dunia yang terdiri dari atas 17.508 pulau, dengan garis pantai sepanjang 81.000 km. Luas laut Indonesia sekitar 3,1

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. terluas di dunia. Hutan mangrove umumnya terdapat di seluruh pantai Indonesia

PENDAHULUAN. terluas di dunia. Hutan mangrove umumnya terdapat di seluruh pantai Indonesia PENDAHULUAN Latar Belakang Indonesia merupakan negara kepulauan yang memiliki hutan mangrove terluas di dunia. Hutan mangrove umumnya terdapat di seluruh pantai Indonesia dan hidup serta tumbuh berkembang

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Keadaan Umum Perairan Teluk Jakarta Perairan Teluk Jakarta merupakan sebuah teluk di perairan Laut Jawa yang terletak di sebelah utara provinsi DKI Jakarta, Indonesia. Terletak

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dari buah pulau (28 pulau besar dan pulau kecil) dengan

BAB I PENDAHULUAN. dari buah pulau (28 pulau besar dan pulau kecil) dengan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan negara kepulauan di daerah tropika yang terdiri dari 17.504 buah pulau (28 pulau besar dan 17.476 pulau kecil) dengan panjang garis pantai sekitar

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG

BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG Hutan mangrove merupakan hutan yang tumbuh pada daerah yang berair payau dan dipengaruhi oleh pasang surut air laut. Hutan mangrove memiliki ekosistem khas karena

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yaitu mendapatkan makanan, suhu yang tepat untuk hidup, atau mendapatkan

BAB I PENDAHULUAN. yaitu mendapatkan makanan, suhu yang tepat untuk hidup, atau mendapatkan 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Setiap makhluk hidup yang berada di suatu lingkungan akan saling berinteraksi, interaksi terjadi antara makhluk hidup dengan makhluk hidup itu sendiri maupun makhluk

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN Latar Belakang

1. PENDAHULUAN Latar Belakang 1. PENDAHULUAN Latar Belakang Ekosistem mangrove tergolong ekosistem yang unik. Ekosistem mangrove merupakan salah satu ekosistem dengan keanekaragaman hayati tertinggi di daerah tropis. Selain itu, mangrove

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Ekosistem mangrove merupakan ekosistem pesisir yang terdapat di sepanjang pantai tropis dan sub tropis atau muara sungai. Ekosistem ini didominasi oleh berbagai jenis

Lebih terperinci

IV HASIL DAN PEMBAHASAN

IV HASIL DAN PEMBAHASAN DAFTAR ISI Halaman HALAMAN JUDUL... i LEMBAR PENGESAHAN... ii BERITA ACARA... PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ILMIAH... iv PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI SKRIPSI... v ABSTRAK... vi ABSTRACT... vii RINGKASAN...

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. daerah yang berlumpur dan pada ekosistem mangrove. Ikan gelodok hanya

TINJAUAN PUSTAKA. daerah yang berlumpur dan pada ekosistem mangrove. Ikan gelodok hanya 21 TINJAUAN PUSTAKA Klasifikasi dan Deskripsi Ikan Ikan gelodok adalah ikan yang hidup di habitat intertidal ditemukan di daerah yang berlumpur dan pada ekosistem mangrove. Ikan gelodok hanya ditemukan

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 17 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Keadaan Umum Perairan Teluk Jakarta Pesisir Teluk Jakarta terletak di Pantai Utara Jakarta dibatasi oleh garis bujur 106⁰33 00 BT hingga 107⁰03 00 BT dan garis lintang 5⁰48

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. antara dua samudera yaitu Samudera Hindia dan Samudera Pasifik mempunyai

BAB I PENDAHULUAN. antara dua samudera yaitu Samudera Hindia dan Samudera Pasifik mempunyai BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Indonesia merupakan negara kepulauan yang secara geografis terletak di antara dua samudera yaitu Samudera Hindia dan Samudera Pasifik mempunyai keanekaragaman

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. maupun terendam air, yang masih dipengaruhi oleh sifat-sifat laut seperti pasang

BAB I PENDAHULUAN. maupun terendam air, yang masih dipengaruhi oleh sifat-sifat laut seperti pasang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pesisir merupakan wilayah peralihan antara ekosistem darat dan laut. Menurut Suprihayono (2007) wilayah pesisir merupakan wilayah pertemuan antara daratan dan laut,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Mangrove merupakan ekosistem dengan fungsi yang unik dalam lingkungan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Mangrove merupakan ekosistem dengan fungsi yang unik dalam lingkungan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Mangrove merupakan ekosistem dengan fungsi yang unik dalam lingkungan hidup. Oleh karena adanya pengaruh laut dan daratan, dikawasan mangrove terjadi interaksi kompleks

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. disebut arus dan merupakan ciri khas ekosistem sungai (Odum, 1996). dua cara yang berbeda dasar pembagiannya, yaitu :

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. disebut arus dan merupakan ciri khas ekosistem sungai (Odum, 1996). dua cara yang berbeda dasar pembagiannya, yaitu : 5 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Perairan Sungai Sungai adalah suatu perairan yang airnya berasal dari mata air, air hujan, air permukaan dan mengalir secara terus menerus pada arah tertentu. Aliran air

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Cuvier (1829), Ikan tembakang atau lebih dikenal kissing gouramy,

TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Cuvier (1829), Ikan tembakang atau lebih dikenal kissing gouramy, II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Tembakang Menurut Cuvier (1829), Ikan tembakang atau lebih dikenal kissing gouramy, hidup pada habitat danau atau sungai dan lebih menyukai air yang bergerak lambat dengan vegetasi

Lebih terperinci

BAB III KERANGKA BERPIKIR DAN KONSEP PENELITIAN. Mangrove merupakan ekosistem peralihan, antara ekosistem darat dengan

BAB III KERANGKA BERPIKIR DAN KONSEP PENELITIAN. Mangrove merupakan ekosistem peralihan, antara ekosistem darat dengan 29 BAB III KERANGKA BERPIKIR DAN KONSEP PENELITIAN 3.1. Kerangka Berpikir Mangrove merupakan ekosistem peralihan, antara ekosistem darat dengan ekosistem laut. Mangrove diketahui mempunyai fungsi ganda

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. ekologis yaitu untuk melakukan pemijahan (spawning ground), pengasuhan (nursery

BAB I PENDAHULUAN. ekologis yaitu untuk melakukan pemijahan (spawning ground), pengasuhan (nursery BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Ekosistem mangrove adalah suatu lingkungan yang memiliki ciri khusus yaitu lantai hutannya selalu digenangi air, dimana air tersebut sangat dipengaruhi oleh pasang

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang .

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang . 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Hutan mangrove adalah hutan yang terdapat di wilayah pesisir yang selalu atau secara teratur tergenang air laut dan terpengaruh oleh pasang surut air laut tetapi tidak

Lebih terperinci

DISTRIBUSI DAN PREFERENSI HABITAT SPONS KELAS DEMOSPONGIAE DI KEPULAUAN SERIBU PROVINSI DKI JAKARTA KARJO KARDONO HANDOJO

DISTRIBUSI DAN PREFERENSI HABITAT SPONS KELAS DEMOSPONGIAE DI KEPULAUAN SERIBU PROVINSI DKI JAKARTA KARJO KARDONO HANDOJO DISTRIBUSI DAN PREFERENSI HABITAT SPONS KELAS DEMOSPONGIAE DI KEPULAUAN SERIBU PROVINSI DKI JAKARTA KARJO KARDONO HANDOJO SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2006 PERNYATAAN MENGENAI TESIS

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Klasifikasi dan Struktur Morfologis Klasifikasi

TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Klasifikasi dan Struktur Morfologis Klasifikasi 3 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Klasifikasi dan Struktur Morfologis 2.1.1. Klasifikasi Menurut klasifikasi Bleeker, sistematika ikan selanget (Gambar 1) adalah sebagai berikut (www.aseanbiodiversity.org) :

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Hutan mangrove adalah komunitas vegetasi pantai tropis, yang didominasi

BAB I PENDAHULUAN. Hutan mangrove adalah komunitas vegetasi pantai tropis, yang didominasi BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Hutan mangrove adalah komunitas vegetasi pantai tropis, yang didominasi oleh jenis pohon mangrove yang mampu tumbuh dan berkembang pada daerah pasang surut pantai berlumpur.

Lebih terperinci

KAJIAN SUMBERDAYA EKOSISTEM MANGROVE UNTUK PENGELOLAAN EKOWISATA DI ESTUARI PERANCAK, JEMBRANA, BALI MURI MUHAERIN

KAJIAN SUMBERDAYA EKOSISTEM MANGROVE UNTUK PENGELOLAAN EKOWISATA DI ESTUARI PERANCAK, JEMBRANA, BALI MURI MUHAERIN KAJIAN SUMBERDAYA EKOSISTEM MANGROVE UNTUK PENGELOLAAN EKOWISATA DI ESTUARI PERANCAK, JEMBRANA, BALI MURI MUHAERIN DEPARTEMEN MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN INSTITUT

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 22 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Kelompok Umur Pertumbuhan populasi tiram dapat dilihat berdasarkan sebaran kelompok umur. Analisis sebaran kelompok umur dilakukan dengan menggunakan FISAT II metode NORMSEP.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. fauna yang hidup di habitat darat dan air laut, antara batas air pasang dan surut.

BAB I PENDAHULUAN. fauna yang hidup di habitat darat dan air laut, antara batas air pasang dan surut. BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Mangrove merupakan ekosistem yang kompleks terdiri atas flora dan fauna yang hidup di habitat darat dan air laut, antara batas air pasang dan surut. Ekosistem mangrove

Lebih terperinci

Mangrove menurut Macnae (1968) merupakan perpaduan

Mangrove menurut Macnae (1968) merupakan perpaduan 1 2 Mangrove menurut Macnae (1968) merupakan perpaduan antara bahasa Portugis mangue dan bahasa Inggris grove. Menurut Mastaller (1997) kata mangrove berasal dari bahasa Melayu kuno mangi-mangi untuk menerangkan

Lebih terperinci

SEBARAN DAN ASOSIASI PERIFITON PADA EKOSISTEM PADANG LAMUN (Enhalus acoroides) DI PERAIRAN PULAU TIDUNG BESAR, KEPULAUAN SERIBU, JAKARTA UTARA

SEBARAN DAN ASOSIASI PERIFITON PADA EKOSISTEM PADANG LAMUN (Enhalus acoroides) DI PERAIRAN PULAU TIDUNG BESAR, KEPULAUAN SERIBU, JAKARTA UTARA SEBARAN DAN ASOSIASI PERIFITON PADA EKOSISTEM PADANG LAMUN (Enhalus acoroides) DI PERAIRAN PULAU TIDUNG BESAR, KEPULAUAN SERIBU, JAKARTA UTARA Oleh: Yuri Hertanto C64101046 PROGRAM STUDI ILMU DAN TEKNOLOGI

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pantai sekitar Km, memiliki sumberdaya pesisir yang sangat potensial.

BAB I PENDAHULUAN. pantai sekitar Km, memiliki sumberdaya pesisir yang sangat potensial. 1 BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH Indonesia sebagai suatu negara kepulauan dengan panjang garis pantai sekitar 81.000 Km, memiliki sumberdaya pesisir yang sangat potensial. Salah satu ekosistem

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Sungai Tabir merupakan sungai yang berada di Kecamatan Tabir Kabupaten

BAB I PENDAHULUAN. Sungai Tabir merupakan sungai yang berada di Kecamatan Tabir Kabupaten BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Sungai Tabir merupakan sungai yang berada di Kecamatan Tabir Kabupaten Merangin Provinsi Jambi. Sungai yang berhulu di Danau Kerinci dan bermuara di Sungai Batanghari

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. batas pasang surut air disebut tumbuhan mangrove.

BAB I PENDAHULUAN. batas pasang surut air disebut tumbuhan mangrove. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kata mangrove dipakai sebagai pengganti istilah kata bakau untuk menghindari salah pengertian dengan hutan yang melulu terdiri atas Rhizophora spp., (Soeroyo.1992:

Lebih terperinci

3. METODE PENELITIAN

3. METODE PENELITIAN 9 3. METODE PENELITIAN 3.1. Waktu dan Lokasi Penelitian Ikan contoh diambil dari TPI Kali Baru mulai dari bulan Agustus 2010 sampai dengan bulan November 2010 yang merupakan hasil tangkapan nelayan di

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. pengelolaan kawasan pesisir dan lautan. Namun semakin hari semakin kritis

PENDAHULUAN. pengelolaan kawasan pesisir dan lautan. Namun semakin hari semakin kritis PENDAHULUAN Latar Belakang Mangrove merupakan ekosistem yang memiliki peranan penting dalam pengelolaan kawasan pesisir dan lautan. Namun semakin hari semakin kritis kondisi dan keberadaannya. Beberapa

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. saling berkolerasi secara timbal balik. Di dalam suatu ekosistem pesisir terjadi

BAB I PENDAHULUAN. saling berkolerasi secara timbal balik. Di dalam suatu ekosistem pesisir terjadi 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kawasan pesisir dan laut merupakan sebuah ekosistem yang terpadu dan saling berkolerasi secara timbal balik. Di dalam suatu ekosistem pesisir terjadi pertukaran materi

Lebih terperinci

EKOSISTEM LAUT DANGKAL EKOSISTEM LAUT DANGKAL

EKOSISTEM LAUT DANGKAL EKOSISTEM LAUT DANGKAL EKOSISTEM LAUT DANGKAL Oleh : Nurul Dhewani dan Suharsono Lokakarya Muatan Lokal, Seaworld, Jakarta, 30 Juni 2002 EKOSISTEM LAUT DANGKAL Hutan Bakau Padang Lamun Terumbu Karang 1 Hutan Mangrove/Bakau Kata

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Salah satu hutan mangrove yang berada di perairan pesisir Jawa Barat terletak

BAB I PENDAHULUAN. Salah satu hutan mangrove yang berada di perairan pesisir Jawa Barat terletak 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Salah satu hutan mangrove yang berada di perairan pesisir Jawa Barat terletak di Cagar Alam Leuweung Sancang. Cagar Alam Leuweung Sancang, menjadi satu-satunya cagar

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. pantai yang mempunyai arti strategis karena merupakan wilayah terjadinya

I. PENDAHULUAN. pantai yang mempunyai arti strategis karena merupakan wilayah terjadinya I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia secara geografis memiliki sebagian besar wilayahnya berupa pesisir dan pantai yang mempunyai arti strategis karena merupakan wilayah terjadinya interaksi/peralihan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia mempunyai perairan laut yang lebih luas dibandingkan daratan, oleh karena itu Indonesia dikenal sebagai negara maritim. Perairan laut Indonesia kaya akan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Wilayah pesisir Indonesia memiliki luas dan potensi ekosistem mangrove

BAB I PENDAHULUAN. Wilayah pesisir Indonesia memiliki luas dan potensi ekosistem mangrove BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Wilayah pesisir Indonesia memiliki luas dan potensi ekosistem mangrove yang cukup besar. Dari sekitar 15.900 juta ha hutan mangrove yang terdapat di dunia, sekitar

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan Negara kepulauan dengan garis pantai sepanjang

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan Negara kepulauan dengan garis pantai sepanjang BAB I PENDAHULUAN 1.1.LatarBelakang Indonesia merupakan Negara kepulauan dengan garis pantai sepanjang 95.181 km terdiri dari sumber daya alam laut dan pantai yang beragam. Dengan kondisi iklim dan substrat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kepulauan Seribu merupakan kabupaten administratif yang terletak di sebelah utara Provinsi DKI Jakarta, memiliki luas daratan mencapai 897,71 Ha dan luas perairan mencapai

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. luar biasa ini memberikan tanggung jawab yang besar bagi warga Indonesia untuk

BAB I PENDAHULUAN. luar biasa ini memberikan tanggung jawab yang besar bagi warga Indonesia untuk BAB I PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Indonesia memiliki hutan mangrove yang terluas di dunia dan juga memiliki keragaman hayati yang terbesar serta strukturnya yang paling bervariasi. Mangrove dapat tumbuh

Lebih terperinci

KEPUTUSAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR KEP.66/MEN/2011 TENTANG

KEPUTUSAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR KEP.66/MEN/2011 TENTANG Menimbang KEPUTUSAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR KEP.66/MEN/2011 TENTANG PELEPASAN IKAN TORSORO MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA, : a. bahwa guna lebih memperkaya

Lebih terperinci

2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Klasifikasi dan Ciri Morfologis Klasifikasi

2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Klasifikasi dan Ciri Morfologis Klasifikasi 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Klasifikasi dan Ciri Morfologis 2.1.1. Klasifikasi Klasifikasi ikan tembang (Sardinella maderensis Lowe, 1838 in www.fishbase.com) adalah sebagai berikut : Filum : Chordata Subfilum

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. tahapan dalam stadia hidupnya (larva, juwana, dewasa). Estuari merupakan

TINJAUAN PUSTAKA. tahapan dalam stadia hidupnya (larva, juwana, dewasa). Estuari merupakan 5 TINJAUAN PUSTAKA Estuari Estuari merupakan suatu komponen ekosistem pesisir yang dikenal sangat produktif dan paling mudah terganggu oleh tekanan lingkungan yang diakibatkan kegiatan manusia maupun oleh

Lebih terperinci

IKAN HARUAN DI PERAIRAN RAWA KALIMANTAN SELATAN. Untung Bijaksana C / AIR

IKAN HARUAN DI PERAIRAN RAWA KALIMANTAN SELATAN. Untung Bijaksana C / AIR @ 2004 Untung Bijaksana Makalah Pengantar Falsafah Sains (PPS 702) Sekolah Pasca Sarjana / S3 Institut Pertanian Bogor September 2004 Dosen : Prof. Dr. Ir. Rudy C Tarumingkeng IKAN HARUAN DI PERAIRAN KALIMANTAN

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Secara ekologis ekosistem padang lamun di perairan pesisir dapat berperan sebagai daerah perlindungan ikan-ikan ekonomis penting seperti ikan baronang dan penyu, menyediakan

Lebih terperinci

PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Terumbu karang dan asosiasi biota penghuninya secara biologi, sosial ekonomi, keilmuan dan keindahan, nilainya telah diakui secara luas (Smith 1978; Salm & Kenchington

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Indonesia memiliki mangrove terluas di dunia (Silvus et al, 1987; Primack et al,

BAB 1 PENDAHULUAN. Indonesia memiliki mangrove terluas di dunia (Silvus et al, 1987; Primack et al, BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Ekosistem mangrove di dunia saat ini diperkirakan tersisa 17 juta ha. Indonesia memiliki mangrove terluas di dunia (Silvus et al, 1987; Primack et al, 1998), yaitu

Lebih terperinci

3 METODE PENELITIAN. Gambar 2. Peta Lokasi Penelitian

3 METODE PENELITIAN. Gambar 2. Peta Lokasi Penelitian 3 METODE PENELITIAN 3.1 Waktu dan Lokasi Penelitian Penelitian ini dilakukan selama enam bulan dari bulan Mei - Oktober 2011. Pengambilan ikan contoh dilakukan di perairan mangrove pantai Mayangan, Kabupaten

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

1. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang 1 1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Wilayah teritorial Indonesia yang sebagian besar merupakan wilayah pesisir dan laut kaya akan sumber daya alam. Sumber daya alam ini berpotensi untuk dimanfaatkan bagi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. terluas di dunia sekitar ha (Ditjen INTAG, 1993). Luas hutan mangrove

BAB I PENDAHULUAN. terluas di dunia sekitar ha (Ditjen INTAG, 1993). Luas hutan mangrove BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Indonesia merupakan negara kepulauan yang memiliki hutan mangrove terluas di dunia sekitar 3.735.250 ha (Ditjen INTAG, 1993). Luas hutan mangrove Indonesia

Lebih terperinci

genus Barbodes, sedangkan ikan lalawak sungai dan kolam termasuk ke dalam species Barbodes ballaroides. Susunan kromosom ikan lalawak jengkol berbeda

genus Barbodes, sedangkan ikan lalawak sungai dan kolam termasuk ke dalam species Barbodes ballaroides. Susunan kromosom ikan lalawak jengkol berbeda 116 PEMBAHASAN UMUM Domestikasi adalah merupakan suatu upaya menjinakan hewan (ikan) yang biasa hidup liar menjadi jinak sehingga dapat bermanfaat bagi manusia. Domestikasi ikan perairan umum merupakan

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 45 IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Deskripsi Lokasi Daerah Khusus Ibukota (DKI) Jakarta merupakan dataran rendah dan landai dengan ketinggian rata-rata 7 meter di atas permukaan laut, terletak pada posisi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. wilayah perbatasan antara daratan dan laut, oleh karena itu wilayah ini

BAB I PENDAHULUAN. wilayah perbatasan antara daratan dan laut, oleh karena itu wilayah ini BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan negara kepulauan dengan jumlah pulau sekitar 17.508 pulau dan panjang pantai kurang lebih 81.000 km, memiliki sumberdaya pesisir yang sangat besar,

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. dan juga nursery ground. Mangrove juga berfungsi sebagai tempat penampung

PENDAHULUAN. dan juga nursery ground. Mangrove juga berfungsi sebagai tempat penampung PENDAHULUAN Latar Belakang Wilayah pesisir Indonesia kaya dan beranekaragam sumberdaya alam. Satu diantara sumberdaya alam di wilayah pesisir adalah ekosistem mangrove. Ekosistem mangrove merupakan ekosistem

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. berkaitan erat. Selain keunikannya, terdapat beragam fungsi yang dapat dihasilkan

BAB I PENDAHULUAN. berkaitan erat. Selain keunikannya, terdapat beragam fungsi yang dapat dihasilkan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Hutan mangrove merupakan ekosistem yang unik karena terdapat pada daerah peralihan (ekoton) antara ekosistem darat dan laut yang keduanya saling berkaitan erat. Selain

Lebih terperinci

BIOLOGI REPRODUKSI IKAN JUARO (Pangasius polyuranodon) DI DAERAH ALIRAN SUNGAI MUSI, SUMATERA SELATAN ABDUL MA SUF

BIOLOGI REPRODUKSI IKAN JUARO (Pangasius polyuranodon) DI DAERAH ALIRAN SUNGAI MUSI, SUMATERA SELATAN ABDUL MA SUF BIOLOGI REPRODUKSI IKAN JUARO (Pangasius polyuranodon) DI DAERAH ALIRAN SUNGAI MUSI, SUMATERA SELATAN ABDUL MA SUF DEPARTEMEN MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN INSTITUT

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Pulau Pramuka I II III

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Pulau Pramuka I II III BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Parameter Fisika dan Kimiawi Perairan Berdasarkan hasil penelitian di perairan Kepulauan Seribu yaitu Pulau Pramuka dan Pulau Semak Daun, diperoleh nilai-nilai parameter

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia merupakan negara kepulauan yang mempunyai kawasan pesisir yang cukup luas, dan sebagian besar kawasan tersebut ditumbuhi mangrove yang lebarnya dari beberapa

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 17 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Hasil 4.1.1. Organ reproduksi Jenis kelamin ikan ditentukan berdasarkan pengamatan terhadap gonad ikan dan selanjutnya ditentukan tingkat kematangan gonad pada tiap-tiap

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Keanekaragaman hayati atau biodiversitas adalah keanekaragaman organisme yang menunjukkan keseluruhan atau totalitas variasi gen, jenis, dan ekosistem pada suatu daerah,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia sebagai salah satu negara dengan garis pantai terpanjang di

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia sebagai salah satu negara dengan garis pantai terpanjang di BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia sebagai salah satu negara dengan garis pantai terpanjang di dunia dan terletak pada iklim tropis memiliki jenis hutan yang beragam. Salah satu jenis hutan

Lebih terperinci

BAB 2 BAHAN DAN METODA

BAB 2 BAHAN DAN METODA BAB 2 BAHAN DAN METODA 2.1 Metode Penelitian Metode yang digunakan dalam penentuan lokasi sampling untuk pengambilan sampel ikan adalah Purpossive Random Sampling dengan menentukan tiga stasiun pengamatan.

Lebih terperinci

3. METODE PENELITIAN

3. METODE PENELITIAN 3. METODE PENELITIAN 3.1. Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian dilaksanakan di PPI Muara Angke, Jakarta Utara dari bulan Januaribulan Maret 2010. Analisis aspek reproduksi dilakukan di Fakultas Perikanan

Lebih terperinci

2.2. Morfologi Ikan Tambakan ( H. temminckii 2.3. Habitat dan Distribusi

2.2. Morfologi Ikan Tambakan ( H. temminckii 2.3. Habitat dan Distribusi 4 2.2. Morfologi Ikan Tambakan (H. temminckii) Ikan tambakan memiliki tubuh berbentuk pipih vertikal. Sirip punggung dan sirip analnya memiliki bentuk dan ukuran yang hampir serupa. Sirip ekornya sendiri

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. pendugaan stok ikan. Meskipun demikian pembatas utama dari karakter morfologi

I. PENDAHULUAN. pendugaan stok ikan. Meskipun demikian pembatas utama dari karakter morfologi I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Karakter morfologi telah lama digunakan dalam biologi perikanan untuk mengukur jarak dan hubungan kekerabatan dalam pengkategorian variasi dalam taksonomi. Hal ini juga

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Ekosistem pesisir tersebut dapat berupa ekosistem alami seperti hutan mangrove,

BAB I PENDAHULUAN. Ekosistem pesisir tersebut dapat berupa ekosistem alami seperti hutan mangrove, BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Dalam suatu wilayah pesisir terdapat beragam sistem lingkungan (ekosistem). Ekosistem pesisir tersebut dapat berupa ekosistem alami seperti hutan mangrove, terumbu karang,

Lebih terperinci

4 HASIL DAN PEMBAHASAN

4 HASIL DAN PEMBAHASAN 12 4 HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Jumlah dan Sebaran Panjang Ikan Kuro Jumlah ikan kuro yang tertangkap selama penelitian berjumlah 147 ekor. Kisaran panjang dan bobot ikan yang tertangkap adalah 142-254 mm

Lebih terperinci

bio.unsoed.ac.id TELAAH PUSTAKA A. Morfologi dan Klasifikasi Ikan Brek

bio.unsoed.ac.id TELAAH PUSTAKA A. Morfologi dan Klasifikasi Ikan Brek II. TELAAH PUSTAKA A. Morfologi dan Klasifikasi Ikan Brek Puntius Orphoides C.V adalah ikan yang termasuk anggota Familia Cyprinidae, disebut juga dengan ikan mata merah. Ikan brek mempunyai garis rusuk

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar di dunia, terdiri dari lebih 17.000 buah pulau besar dan kecil, dengan panjang garis pantai mencapai hampir

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia sebagai negara kepulauan dengan panjang garis pantai mencapai 95.181 km (Rompas 2009, dalam Mukhtar 2009). Dengan angka tersebut menjadikan Indonesia sebagai

Lebih terperinci

KERUSAKAN MANGROVE SERTA KORELASINYA TERHADAP TINGKAT INTRUSI AIR LAUT (STUDI KASUS DI DESA PANTAI BAHAGIA KECAMATAN MUARA GEMBONG KABUPATEN BEKASI)

KERUSAKAN MANGROVE SERTA KORELASINYA TERHADAP TINGKAT INTRUSI AIR LAUT (STUDI KASUS DI DESA PANTAI BAHAGIA KECAMATAN MUARA GEMBONG KABUPATEN BEKASI) 1 KERUSAKAN MANGROVE SERTA KORELASINYA TERHADAP TINGKAT INTRUSI AIR LAUT (STUDI KASUS DI DESA PANTAI BAHAGIA KECAMATAN MUARA GEMBONG KABUPATEN BEKASI) Tesis Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan Mencapai

Lebih terperinci

SUMBERDAYA ALAM WILAYAH PESISIR

SUMBERDAYA ALAM WILAYAH PESISIR SUMBERDAYA ALAM WILAYAH PESISIR EDI RUDI FMIPA UNIVERSITAS SYIAH KUALA Ekosistem Hutan Mangrove komunitas vegetasi pantai tropis yang didominasi oleh beberapa spesies pohon mangrove yang mampu untuk tumbuh

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. memiliki pulau dengan garis pantai sepanjang ± km dan luas

BAB 1 PENDAHULUAN. memiliki pulau dengan garis pantai sepanjang ± km dan luas BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan salah satu negara kepulauan terbesar didunia yang memiliki 17.508 pulau dengan garis pantai sepanjang ± 81.000 km dan luas sekitar 3,1 juta km 2.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia memiliki peranan penting sebagai wilayah tropik perairan Iaut pesisir, karena kawasan ini memiliki nilai strategis berupa potensi sumberdaya alam dan sumberdaya

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Tempat dan Waktu Penelitian BAB III METODE PENELITIAN Penelitian ini dilaksanakan di Perairan Pulau Panggang Kepulauan Seribu DKI Jakarta pada bulan Maret 2013. Identifikasi makrozoobentos dan pengukuran

Lebih terperinci

sedangkan sisanya berupa massa air daratan ( air payau dan air tawar ). sehingga sinar matahari dapat menembus kedalam air.

sedangkan sisanya berupa massa air daratan ( air payau dan air tawar ). sehingga sinar matahari dapat menembus kedalam air. 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Perairan merupakan ekosistem yang memiliki peran sangat penting bagi kehidupan. Perairan memiliki fungsi baik secara ekologis, ekonomis, estetika, politis,

Lebih terperinci

disinyalir disebabkan oleh aktivitas manusia dalam kegiatan penyiapan lahan untuk pertanian, perkebunan, maupun hutan tanaman dan hutan tanaman

disinyalir disebabkan oleh aktivitas manusia dalam kegiatan penyiapan lahan untuk pertanian, perkebunan, maupun hutan tanaman dan hutan tanaman 1 BAB I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia mempunyai kekayaan alam yang beranekaragam termasuk lahan gambut berkisar antara 16-27 juta hektar, mempresentasikan 70% areal gambut di Asia Tenggara

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Hutan mangrove di DKI Jakarta tersebar di kawasan hutan mangrove Tegal Alur-Angke Kapuk di Pantai Utara DKI Jakarta dan di sekitar Kepulauan Seribu. Berdasarkan SK Menteri

Lebih terperinci

TUGAS: RINGKASAN EKSEKUTIF Nama: Yuniar Ardianti

TUGAS: RINGKASAN EKSEKUTIF Nama: Yuniar Ardianti TUGAS: RINGKASAN EKSEKUTIF Nama: Yuniar Ardianti Sebuah lagu berjudul Nenek moyangku seorang pelaut membuat saya teringat akan kekayaan laut Indonesia. Tapi beberapa waktu lalu, beberapa nelayan Kepulauan

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kepiting bakau (Scylla spp.) tergolong dalam famili Portunidae dari suku Brachyura. Kepiting bakau hidup di hampir seluruh perairan pantai terutama pada pantai yang ditumbuhi

Lebih terperinci

1. Pengantar A. Latar Belakang

1. Pengantar A. Latar Belakang 1. Pengantar A. Latar Belakang Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar yang memiliki sekitar 17.500 pulau dengan panjang sekitar 81.000, sehingga Negara kita memiliki potensi sumber daya wilayah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Lovejoy (1980). Pada awalnya istilah ini digunakan untuk menyebutkan jumlah

BAB I PENDAHULUAN. Lovejoy (1980). Pada awalnya istilah ini digunakan untuk menyebutkan jumlah BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia sebagai salah satu kawasan yang terletak pada daerah tropis adalah habitat bagi kebanyakan hewan dan tumbuhan untuk hidup dan berkembang biak. Indonesia merupakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Sekitar 78 % wilayah Indonesia merupakan perairan sehingga laut dan wilayah pesisir merupakan lingkungan fisik yang mendominasi. Di kawasan pesisir terdapat

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. permukaan dan mengalir secara terus menerus pada arah tertentu. Air sungai. (Sosrodarsono et al., 1994 ; Dhahiyat, 2013).

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. permukaan dan mengalir secara terus menerus pada arah tertentu. Air sungai. (Sosrodarsono et al., 1994 ; Dhahiyat, 2013). 5 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Perairan Sungai Sungai adalah suatu perairan yang airnya berasal dari air hujan, air permukaan dan mengalir secara terus menerus pada arah tertentu. Air sungai dingin dan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kekayaan jenis flora dan fauna yang sangat tinggi (Mega Biodiversity). Hal ini

BAB I PENDAHULUAN. kekayaan jenis flora dan fauna yang sangat tinggi (Mega Biodiversity). Hal ini BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia dikenal sebagai salah satu negara yang memiliki kekayaan jenis flora dan fauna yang sangat tinggi (Mega Biodiversity). Hal ini disebabkan karena Indonesia

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN Latar Belakang

1. PENDAHULUAN Latar Belakang 1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pesisir dan laut Indonesia merupakan wilayah dengan potensi keanekaragaman hayati yang sangat tinggi. Sumberdaya pesisir berperan penting dalam mendukung pembangunan

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilakukan di perairan pesisir Pulau Pramuka dan Pulau Semak Daun, Kepulauan Seribu DKI Jakarta (Lampiran 2 dan Lampiran 3). Penelitian

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA

II. TINJAUAN PUSTAKA II. TINJAUAN PUSTAKA A. Klasifikasi dan Morfologi Clownfish Klasifikasi Clownfish menurut Burges (1990) adalah sebagai berikut: Kingdom Filum Ordo Famili Genus Spesies : Animalia : Chordata : Perciformes

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Ekosistem padang lamun (seagrass) merupakan suatu habitat yang sering dijumpai antara pantai berpasir atau daerah mangrove dan terumbu karang. Padang lamun berada di daerah

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Air merupakan zat yang paling penting dalam kehidupan setelah udara. Oleh

TINJAUAN PUSTAKA. Air merupakan zat yang paling penting dalam kehidupan setelah udara. Oleh TINJAUAN PUSTAKA Ekosistem Sungai Air merupakan zat yang paling penting dalam kehidupan setelah udara. Oleh karena itu, sumber air sangat dibutuhkan untuk dapat menyediakan air yang baik dari segi kuantitas

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. sedangkan secara geografis Indonesia terletak di antara benua Asia dan Benua

BAB I PENDAHULUAN. sedangkan secara geografis Indonesia terletak di antara benua Asia dan Benua BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Secara geografis Indonesia membentang 6 0 LU 11 0 LS dan 95 0-141 0 BT, sedangkan secara geografis Indonesia terletak di antara benua Asia dan Benua Australia

Lebih terperinci

TINJUAN PUSTAKA. Hutan mangrove dikenal juga dengan istilah tidal forest, coastal

TINJUAN PUSTAKA. Hutan mangrove dikenal juga dengan istilah tidal forest, coastal TINJUAN PUSTAKA Ekosistem Mangrove Hutan mangrove dikenal juga dengan istilah tidal forest, coastal woodland, vloedbosschen, dan hutan payau (bahasa Indonesia), selain itu, hutan mangrove oleh masyarakat

Lebih terperinci

Contoh Makalah Penelitian Geografi MAKALAH PENELITIAN GEOGRAFI TENTANG LINGKUNGAN HIDUP DI INDONESIA

Contoh Makalah Penelitian Geografi MAKALAH PENELITIAN GEOGRAFI TENTANG LINGKUNGAN HIDUP DI INDONESIA Contoh Makalah Penelitian Geografi MAKALAH PENELITIAN GEOGRAFI TENTANG LINGKUNGAN HIDUP DI INDONESIA Disusun oleh: Mirza Zalfandy X IPA G SMAN 78 KATA PENGANTAR Puji syukur kehadirat Allah SWT karena atas

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kepulauan Seribu adalah kawasan pelestarian alam bahari di Indonesia yang terletak kurang lebih 150 km dari pantai Jakarta Utara. Kepulauan Seribu terletak pada 106

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. sampai sub tropis. Menurut Spalding et al. (1997) luas ekosistem mangrove di dunia

BAB I PENDAHULUAN. sampai sub tropis. Menurut Spalding et al. (1997) luas ekosistem mangrove di dunia BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kawasan mangrove merupakan salah satu ekosistem yang khas dimana dibentuk dari komunitas pasang surut yang terlindung dan berada di kawasan tropis sampai sub tropis.

Lebih terperinci