BAB I PENDAHULUAN. bangsa di dunia termasuk Indonesia, mau tidak mau terlibat dalam suatu tatanan global

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "BAB I PENDAHULUAN. bangsa di dunia termasuk Indonesia, mau tidak mau terlibat dalam suatu tatanan global"

Transkripsi

1 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Pesatnya perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, telah menciptakan suatu struktur baru, yaitu struktur global. Struktur tersebut mengakibatkan semua bangsa di dunia termasuk Indonesia, mau tidak mau terlibat dalam suatu tatanan global yang bersaing, pola hubungan dan pergaulan yang bersaing dalam berbagai aspek. Aspek tersebut dapat dikaji dari tatanan politik, ekonomi, sosial budaya maupun pertahanan keamanan. Struktur perubahan tersebut biasa juga dikenal dengan nama globalisasi. Globalisasi yang ditunjang dengan perkembangan pesat dari ilmu pengetahuan dan teknologi telah menjadikan dunia seakan-akan menjadi transparan tanpa mengenal batas-batas negara. Perkembangan tersebut menciptakan suatu hubungan yang saling membutuhkan di antara Negara-Negara, dan perkembangan tersebut juga turut memicu laju investasi di setiap Negara menjadi menjadi semakin meningkat dan berkembang. Laju investasi yang semakin hari semakin meningkat ini mau tidak mau telah menciptakan suatu iklim persaingan secara global antara tiap-tiap individu dalam menjalankan usahanya. Meruncingnya persaingan global ini telah mengakibatkan kebutuhan akan dana menjadi meningkat. Dana merupakan salah satu kebutuhan utama dalam suatu usaha/bisnis. Tanpa ada dana maka seorang tidak mampu untuk memulai suatu usaha atau mengembangkan usaha yang sudah ada. Untuk dapat menjalankan usahanya dalam menghadapi persaingan usaha ini secara lebih kompetitif,

2 2 peranan lembaga penyimpan dan juga penyedia dana bagi masyarakat, yaitu bank menjadi sangat vital. Menurut Pasal 1 angka 2 Undang-Undang Nomor 10 tahun 1998 tentang perubahan atas UU Nomor 7 tahun 1992 tentang Perbankan ( Lembaran Negara Tahun 1998 Nomor 182, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3790, selanjutnya disebut UU Perbankan) yang dimaksud dengan bank adalah badan usaha yang menghimpun dana dan masyarakat dalam bentuk simpanan dan menyalurkannya kepada masyarakat dalam bentuk kredit dan atau bentuk-bentuk lainnya dalam rangka meningkatkan taraf hidup rakyat banyak. Tingginya arus peredaran uang dalam arus globalisasi dan perdagangan bebas menjadikan sektor perbankan sebagai salah satu sektor yang paling strategis dalam globalisasi karena fungsi bank sebagai perantara antar investor, menunjukkan peranan yang penting dalam perdagangan, perekonomian dan pembangunan. Bank sangat terkait dengan penyediaan modal bagi usaha atau perdagangan, sehingga perekonomian dapat berputar. Bank dalam menjalankan kegiatan usahanya di dalam memberikan kredit/ modal wajib mempunyai keyakinan berdasarkan analisis yang mendalam atas itikad dan kemampuan serta kesanggupan nasabah debitur untuk melunasi utangnya atau mengembalikan pembiayaan dimaksud sesuai dengan yang diperjanjikan. Hal ini dimaksudkan supaya setiap kredit yang diberikan harus memuat prinsip kehati-hatian (Prudential Principle) karena sumber dana kredit berasal dari simpanan masyarakat baik dalam bentuk tabungan maupun deposito. Keyakinan berdasarkan pada analisis tersebut di dapat berdasarkan penilaian dengan seksama oleh bank mengenai watak, kemampuan, modal, agunan dan prospek usaha dari nasabah debitur. Pada umumnya

3 3 dalam praktek perbankan cara memperoleh keyakinan ini dikenal dengan sebutan The Five s of Credit atau 5 C yaitu Character (watak), Capital (modal), Capacity (kemampuan), Collateral (jaminan), dan Condition of Economy (kondisi ekonomi). 1 Dana dari masyarakat yang dihimpun melalui jasa perbankan, dan kemudian disalurkan juga dalam bentuk kredit sudah semestinya mendapatkan perlindungan jaminan atau apabila dikaitkan dengan prinsip 5 C disebut dengan Collateral, yang kuat dan dapat memberikan kepastian hukum bagi pihak-pihak yang berkepentingan. Diungkapkan oleh Annelise Riles, Collateral security is a separate obligation, as the negotiable bill of exchange or promissory note of a third person, or document or title, or other representative of value, endorsed when necessary, and delivered by a debitor to his creditor, to secure the payment of his own obligation 2, yang berarti bahwa jaminan merupakan suatu kewajiban yang terpisah, berupa hak tagih yang berupa janji dari pihak ketiga, ataupun sesuatu yang bernilai lainnya yang diberikan oleh debitur kepada kreditur, untuk menjamin pembayaran kewajibannya sendiri. Pentingnya suatu jaminan bagi kreditur atas suatu pemberian kredit tidak lain adalah untuk mengantisipasi resiko yang mungkin timbul dalam tenggang waktu antara pelepasan dan pelunasan kredit tersebut. Jesus Huerta de Soto mengatakan whereas loan contracts (commodatum and mutuum) entail the transfer of the availability of the good, which shifts from the lender to the borrower for the duration of the term, another type of contract, the deposit 1. Sutarno, 2003, Aspek-aspek Hukum Perkreditan Pada Bank, Alfabeta, Bandung, hal Annelise Riles, 2011, Collateral Knowledge : Legal reasoning in the Global Financial Markets, The University of Chicago Press, USA, hal. 2

4 4 contract requires... 3, yang apabila diartikan maka ketika sebuah kontrak pinjam meminjam memasuki tahapan perpindahan barang dari yang meminjamkan kepada yang dipinjamkan untuk jangka waktu tertentu, memerlukan suatu type kontrak lainnya, yaitu suatu deposit sebagai jaminan. Dalam perkembangannya, kemudian muncul istilah lain, yaitu agunan. Jadi saat ini terdapat 2 (dua) komponen yang dimiliki oleh bank selaku kreditur untuk memastikan dana dalam bentuk kredit yang disalurkannya akan dikembalikan beserta bunganya. Banyak pihak yang tidak memiliki pemahaman mengenai perbedaan diantara keduanya, banyak juga pihak yang menyebut apa yang seharusnya sebagai jaminan sebagai suatu agunan, dan disisi lain apa yang merupakan suatu agunan merupakan jaminan. Pengertian jaminan terdapat dalam SK Direksi Bank Indonesia No. 23/69/KEP/DIR tanggal 28 februari 1991, yaitu : "suatu keyakinan kreditur bank atas kesanggupan debitur untuk melunasi kredit sesuai dengan yang diperjanjikan". Sedangkan pengertian agunan diatur dalam Pasal 1 angka 23 UU Perbankan, yaitu: "jaminan pokok yang diserahkan debitur dalam rangka pemberian fasilitas kredit atau pembiayaan berdasarkan Prinsip Syari'ah, sesuai dengan ketentuan yang ditetapkan oleh Bank Indonesia". Menyimak penjelasan dari kedua ketentuan tersebut, tentunya tidaklah mengherankan apabila banyak terdapat suatu kebingungan antara penggunaan istilah agunan dan juga jaminan, hal ini dikarenakan menurut ketentuan undang-undang agunan dikategorikan sebagai suatu jaminan, namun yang berkaitan dengan kebendaan kreditur (secara pokok). Jaminan pokok atau agunan tersebut apabila dilihat dari 3. Jesus Huerta de Soto, 2006, Money, Bank Credit, and Economic Cycles, Ludwig von Mises Institute, Alabama, hal. 4.

5 5 sifatnya dapat berupa jaminan yang tergolong sebagai benda bergerak, seperti kendaraan bermotor (Buku Pemilik Kendaraan Bermotor (BPKB) nya yang dijadikan jaminan), maupun jaminan yang tergolong sebagai benda tidak bergerak seperti hak atas tanah, rumah, bangunan, dan unit rumah susun. Dalam hukum mengenai pengikatan jaminan pokok, penggolongan atas benda bergerak dan tidak bergerak mempunyai arti yang penting sekali. Adanya perbedaan penggolongan tersebut juga akan menentukan jenis lembaga jaminan/pengikatan jaminan mana yang dapat dibebankan atas benda jaminan yang diberikan untuk menjamin pelunasan. Proses utang-piutang antara kreditur dan debitur membutuhkan suatu perjanjian guna memastikan hak dan kewajiban para pihak. 4 Sifat perjanjian jaminan adalah accessoir, yaitu tergantung dan mengikuti pada perjanjian pokoknya (perjanjian kredit). Secara umum, ketentuan mengenai adanya jaminan dalam pemberian utang ini diatur oleh Kitab Undang-undang Hukum Perdata (KUHPerdata). Pasal 1131 KUHPerdata menyatakan bahwa : Segala kebendaan si berutang, baik yang bergerak maupun yang tak bergerak, baik yang sudah ada maupun yang baru akan ada di kemudian hari, menjadi tanggungan untuk segala perikatan perseorangan. Dari redaksional ketentuan Pasal 1131 tentunya dapat dilihat bahwa ketentuan tersebut jelas memberikan suatu bentuk perlindungan kepada kreditur dalam perjanjian kredit. Pasal selanjutnya, yaitu 1132 KUHPerdata memberikan penjelasan lebih lanjut 4. Iming M. Tesalonika, 2001, Indonesian Security Interests, Pusat Studi Hukum Bisnis Fakultas Hukum Universitas Pelita Harapan, Tangerang. hal. 7.

6 6 terkait dengan bentuk perlindungan tersebut, di dalam ketentuan pasal tersebut dinyatakan bahwa : Kebendaan tersebut menjadi jaminan bersama-sama bagi semua orang yang mengutangkan kepadanya ; pendapatan penjualan benda-benda itu dibagibagi menurut keseimbangan, yaitu menurut besar kecilnya piutang masing-masing, kecuali apabila diantara para berpiutang itu ada alasan-alasan sah untuk didahulukan. Ketentuan Pasal 1131 KUHPerdata tersebut merupakan ketentuan mengenai jaminan secara umum dari undang-undang yang berlaku secara umum bagi semua kreditur, disini para kreditur mempunyai kedudukan yang sama (paritas creditorium) dan nantinya berkedudukan sebagai kreditur konkuren. Dengan demikian apabila debitur wanprestasi, maka hasil penjualan harta kekayaan debitur dibagikan secara seimbang menurut besarnya utang kepada masing-masing kreditur, kecuali di antara kreditur memiliki alasan-alasan yang sah untuk didahulukan. Jaminan umum tersebut sering dirasakan tidak cukup untuk mengakomodiir kebutuhan debitur, karena sifatnya yang berlaku bagi semua kreditur, sehingga apabila krediturnya lebih dari satu pihak bisa jadi kekayaan debitur habis dan tidak mencukupi utang-utangnya kepada kreditur lain. Oleh karena itu diperlukan suatu bentuk lain yang dapat memberikan rasa aman kepada kreditur, bentuk tersebut adalah bentuk jaminan secara khusus yang ada dalam Pasal 1132 KUHPerdata sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya. Jaminan khusus adalah jaminan yang timbul dari perjanjian yang khusus diadakan antara kreditur dan debitur yang dapat berupa jaminan yang bersifat

7 7 kebendaan ataupun juga jaminan yang bersifat perorangan. 5 Jaminan yang bersifat kebendaan ialah adanya benda tertentu yang dipakai sebagai jaminan, sedangkan jaminan yang bersifat perorangan ialah adanya orang tertentu yang sanggup membayar atau memenuhi prestasi manakala debitur wanprestasi. Pada jaminan perorangan kreditur merasa terjamin karena mempunyai lebih dari seorang debitur yang dapat ditagih untuk memenuhi hutangnya, maka pada jaminan kebendaan kreditur merasa terjamin karena mempunyai hak didahulukan atau preferensi dalam pemenuhan piutangnya atas hasil eksekusi terhadap benda-benda debitur. Dalam praktek perjanjian kredit saat ini bentuk-bentuk jaminan yang diberikan oleh debitur kepada kreditur menjadi semakin bervariasi. Salah satu bentuk jaminan pokok yang saat ini seringkali diberikan adalah jaminan yang berkaitan dengan sebuah kebendaan di atas suatu tanah hak sewa. Hal ini dalam praktek hukum kenotariatan juga sangat lazim terjadi, sudah banyak bentuk akta pengalihan hak sewa yang dibuat sebagai suatu penunjang dari penjaminan pokok suatu objek kebendaan yang ada di atas tanah tersebut. Namun di sisi lain banyak juga terdapat kebingungan mengenai hal tersebut dikarenakan banyak pihak yang kemudian mempunyai suatu anggapan bahwa hak sewa yang dialihkan tersebut merupakan salah satu bentuk dari salah satu jaminan yang diberikan debitur terhadap kreditur. Kebingungan itu kemudian mengakibatkan banyak pihak yang berasumsi bahwa hak sewa merupakan suatu hak kebendaan, sehingga dapat dialihkan dan sekaligus digolongkan sebagai suatu jaminan. 5. Sri Soedewi Masjchoen Sofwan, 1986, Hukum Jaminan di Indonesia Pokok- Pokok Hukum Jaminan dan Jaminan Perorangan, Liberty, Yogyakarta, hal. 46.

8 8 Kebingungan juga terjadi karena apabila dibandingkan dengan praktek yang terjadi di Negara lain, seperti misalnya Belanda, banyak Negara asing yang telah mengkategorikan hak sewa sebagai suatu hak kebendaan sehingga dapat secara langsung dijaminkan. Praktek penjaminan kebendaan di atas hak sewa ini di Indonesia juga belum memiliki suatu dasar hukum berupa undang-undang yang secara khusus dan tegas mengaturnya. Dalam prakteknya, banyak bank yang menolak menerima bentuk jaminan tersebut, tetapi tidak sedikit juga yang menerima bentuk jaminan tersebut. Tentunya penolakan tersebut dilakukan untuk menghindari suatu resiko, karena bangunan yang dijaminkan tersebut berdiri di atas suatu kebendaan (tanah) milik orang lain, yang nantinya bukan tidak mungkin apabila bangunan milik penyewa di atasnya dijaminkan akan menimbulkan suatu benturan hak dan kepentingan, apalagi jika pemilik dari tanah dimana bangunan tersebut didirikan tidak memberikan persetujuan. Praktek tersebut, tentunya berlaku untuk suatu hak sewa tanah kosong yang kemudian di atasnya didirikan bangunan yang dibuat oleh si penyewa sendiri. Sedangkan untuk hak sewa atas suatu bangunan yang memang sudah disediakan oleh pemilik, hal tersebut tidak dapat dilakukan. Ada ahli yang memiliki suatu pendapat bahwa hak sewa (atas bangunan) merupakan benda bergerak tak bertubuh yang dapat dialihkan, tetapi tidak dapat dijaminkan oleh penyewa bangunan karena hak sewa timbul berdasarkan perjanjian sewa-menyewa (diatur di dalam Buku III KUHPerdata Tentang Perikatan ) jo. Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1992 tentang Perumahan dan Pemukiman dan Peraturan Pemerintah Nomor 44 Tahun 1994 tentang Penghunian Rumah oleh Bukan

9 9 Pemilik (Lembaran Negara Tahun 1993 Nomor 73, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3576) dan dengan demikian merupakan suatu hak perorangan serta tidak pula dapat disita (MA 29 September 1998 No K/Pdt/1987). 6 Dalam praktek kenotariatan dibuatnya suatu akta pengalihan hak sewa sebagai suatu jaminan utang/ kredit sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya merupakan sesuatu yang biasa terjadi. Dijadikannya pengalihan hak sewa sebagai suatu objek pendukung terjadinya pejaminan kebendaan yang dimiliki penyewa di atasnya merupakan suatu hal yang debatable. Hal ini dikarenakan banyak pihak yang menilai dengan adanya pengalihan tersebut hak sewa merupakan suatu objek yang juga turut menjadi jaminan dalam perjanjian kredit, padahal sifat dari hak sewa itu sendiri dan juga dasar hukum yang mengaturnya di dalam KUHPerdata tidak menggolongkan hak sewa sebagai suatu kebendaan yang dapat dijaminkan. Hak sewa merupakan suatu hak yang timbul dari suatu perjanjian sewa menyewa sebagaimana diatur di dalam buku III KUHPerdata tentang perikatan dan merupakan suatu perjanjian yang bersifat obligatoir dan konsensuil yang menimbulkan hak perseorangan (persoonlijk recht) bukan suatu hak kebendaan, sementara kebendaan yang menjadi jaminan dalam perjanjian kredit merupakan benda benda yang diatur di dalam buku II KUHPerdata. Dalam perjanjian kredit, piutang yang kemudian timbul berdasarkan kegiatan pemberian kredit yang dilakukan oleh Bank merupakan suatu tagihan atas nama. Tagihan itu melibatkan dua pihak yaitu kreditur dan debitur. Tagihan tersebut apabila nantinya dinilai dapat memberikan keuntungan dapat dialihkan ke kreditur lain oleh 6. Herlien Budiono, 2013, Kumpulan Tulisan Hukum Perdata di Bidang Kenotariatan, Citra Aditya Bakti, Bandung, hal.38

10 10 kreditur aslinya. Adanya suatu tagihan yang dialihkan disebabkan karena debitur tertentu berhutang kepada kreditur tertentu, yang kemudian dialihkan oleh kreditur tersebut kepada kreditur lainnya. Seperti yang tercantum dalam Pasal 613 ayat (1) KUHPerdata mengenai penyerahan yaitu penyerahan berdasarkan atas suatu peristiwa perdata untuk memindahkan hak milik, dilakukan oleh seorang yang berhak berbuat bebas (mengambil tindakan pemilikan) terhadap kebendaan tersebut. 7 Cara untuk melakukan penyerahan piutang atas nama dan kebendaan tak bertubuh lainnya kepada pihak ketiga tersebut kemudian dikenal dalam doktrin dengan nama Cessie. Piutang yang dapat diserahkan dan/atau dialihkan dengan cara Cessie pada prinsipnya hanyalah piutang atas nama kreditur. Dengan adanya penyerahan piutang atas nama secara Cessie maka pihak ketiga menjadi kreditur yang baru yang menggantikan kreditur yang lama yang diikuti pula dengan beralihnya seluruh hak dan kewajiban kreditur lama terhadap debitur kepada pihak ketiga selaku kreditur baru. Hal ini dikarenakan pengalihan piutang secara Cessie tidak mengakibatkan berakhirnya perikatan yang telah ada yang dibuat antara kreditur dengan debitur sebelumnya. Hubungan hukum antara debitur dan kreditur berdasarkan perjanjian kredit yang telah ada sebelumnya tidaklah putus sehingga tidak terjadi hubungan hukum yang baru yang menggantikan hubungan hukum yang lama. Perikatan yang lama tetap ada dan berlaku serta mengikat debitur maupun kreditur yang menerima pengalihan piutang yang dimaksud. Pandangan mengenai Cessie juga dikemukakan oleh C.Asser. Meskipun Asser tidak secara tegas memberikan definisi mengenai Cessie, 7. Rachmad Setiawan dan J.Satrio, 2010, Penjelasan Hukum Tentang Cessie, PT Gramedia, Jakarta, hal.1.

11 11 namun dari pendapat yang dikemukakannya dapat disimpulkan bahwa Cessie adalah pemindahan piutang. Pemindahan piutang tersebut tidaklah menghilangkan identitas dari utang itu dan pada umumnya tidak berpengaruh terhadap hubungan antara si berutang dengan si berpiutang. 8 Dalam praktek yang berkaitan dengan Cessie terdapat pihak yang terlibat di dalamnya,yaitu, orang yang menyerahkan tagihan atas nama (kreditur-asal) disebut Cedent, yang menerima penyerahan (kreditur baru) adalah Cessionaris, sedangkan Cessus adalah debitur yang memiliki hutang. Dalam praktek pada umumnya yang sering terjadi Cessie diposisikan sebagai accessoir dari suatu titel hukum seperti peristiwa hukum jual beli piutang yang dilakukan antara Bank selaku kreditur dengan pihak ketiga yang kemudian menjadi kreditur yang baru. Jual beli piutang yang dimaksud adalah jual beli piutang di mana yang menjadi objeknya adalah piutang atas nama kreditur. Dalam hal ini, perjanjian jual beli piutang dilakukan oleh Bank selaku kreditur dengan pihak ketiga selaku pembeli yang kemudian menjadi kreditur yang baru tersebut dengan perjanjian jual beli piutang yang terpisah dari perjanjian Cessie. Namun yang juga terjadi di dalam praktek, Cessie, selain digunakan sebagai cara pengalihan piutang ke kreditur lain juga dianggap menjadi suatu cara pengalihan hak sewa, yang nantinya akan mengalihkan hak sewa dari satu pihak ke pihak lainnya (bank) sebagai suatu unsur jaminan yang meningkatkan rasa kepercayaaan bank terhadap pelunasan hutang dalam perjanjian kredit yang melibatkan suatu jaminan 8. Carel Asser,1991,Pengajian Hukum Perdata Belanda (Hendleiding Tot de Beofening van het Nederlands Bergerlijk Recht), diterjemahkan oleh Sulaiman Binol, Dian Rakyat, Jakarta, hal

12 12 pokok kebendaan bangunan milik penyewa yang berdiri di atas tanah pemilik. Apakah perbuatan hukum tersebut memang tergolong sebagai perbuatan yang sesuai dengan prinsip Cessie yang ada di dalam ketentuan Pasal 613 ayat (1) KUHPerdata, tentunya hal ini menarik untuk dikaji lebih lanjut. Cessie adalah cara pengalihan dan/atau penyerahan piutang atas nama sebagaimana yang dimaksud di dalam Pasal 613 ayat (1) KUHPerdata. 9 Istilah Cessie tidak terdapat di dalam undang-undang yang berlaku di Indonesia. Di Indonesia dan Belanda, Cessie hanya dikenal dari doktrin-doktrin hukum dan juga yurisprudensi. Salah satu definisi Cessie yang dikenal di dalam ilmu hukum adalah definisi yang dikemukakan oleh Vollmar. Definisi Cessie tersebut diterjemahkan oleh Tan Thong Kie sebagai suatu istilah yang lazim dipakai untuk penyerahan suatu piutang. 10 Sekilas, Cessie tampak hanya sebatas suatu pengalihan atas piutang atas nama, namun hendaknya definisi Cessie dapat dicermati lebih lanjut sesuai dengan ketentuan yang mengaturnya, yaitu Pasal 613 ayat (1) KUHPerdata terlebih dahulu : Penyerahan akan piutang-piutang atas nama dan kebendaan tak bertubuh lainnya, dilakukan dengan jalan membuat sebuah akta otentik atau di bawah tangan, dengan mana hak-hak atas kebendaan itu dilimpahkan kepada orang lain. Terdapat syarat formil di dalam ketentuan tersebut, yaitu harus adanya suatu akta, baik secara notariil maupun dibawah tangan. 9. Soeharnoko dan Endah Hartati, 2008, Doktrin Subrogasi, Novasi dan Cessie, Kencana, Jakarta, hal Tan Thong Kie, 2007, Studi Notariat dan Serba-Serbi Praktek Notaris, cet.i, Ichtiar Baru Van Hoeve, Jakarta, hal.688

13 13 Ketentuan Pasal 613 ayat (1) KUHPerdata mengatur mengenai cara penyerahan (levering) suatu piutang atas nama dan juga suatu kebendaan tak bertubuh lainnya. Banyak orang yang melihat Cessie hanyalah sebagai cara untuk mengalihkan suatu hak tagih atas suatu utang atas nama, hanya sedikit yang mencermati bahwa Cessie juga dapat terjadi apabila adanya suatu kebendaan tak bertubuh yang dialihkan sebagaimana redaksional Pasal 613 ayat (1) KUHPerdata. Istilah kebendaan tak bertubuh inilah yang dalam praktek, karena tidak adanya penjelasan lebih lanjut oleh undang-undang sehingga mengakibatkan adanya situasi kabur norma (vage norm), diasumsikan sebagai hak sewa. Implikasinya, dalam praktek Notaris, banyak Notaris yang mengkategorikan pengalihan hak sewa sebagai jaminan utang-piutang tersebut tergolong sebagai suatu bentuk Cessie. Bangunan yang berdiri di atas tanah hak sewa dipandang dapat dijadikan sebagai suatu objek jaminan karena seringkali kebendaan tersebut bernilai ekonomis yang sangat tinggi meskipun ada batasan jangka waktunya. Terkait dengan istilah kebendaan tak berwujud, Herlien Budiono berpendapat bahwa, apa yang dimaksud kebendaan tak berwujud adalah hak, termasuk di dalamnya yang diatur di dalam ketentuan Pasal 511 KUHPerdata (kebendaan tidak berwujud yang termasuk ke dalam benda tidak bergerak). 11 Namun apakah memang ketentuan Pasal 613 ayat (1) KUHPerdata yang merujuk pada suatu kebendaan tak berwujud tersebut juga memang mencakup di dalamnya suatu hak sewa? Tentunya hal tersebut memerlukan suatu penafsiran yang lebih lanjut. Penafsiran terhadap ketentuan tersebut 11. Herlien Budiono, Op Cit, hal. 36

14 14 juga diperlukan untuk dapat mengetahui alas hak perbuatan hukum pengalihan hak sewa yang sering ada di dalam praktek kenotariatan tersebut benar termasuk sebagai tindakan Cessie atau tidak. Mengenai anggapan tersebut, Emiritus Notaris, J. Satrio juga mempertanyakan, apakah pengalihan hak sewa dan juga hak pakai tersebut dapat dilakukan dengan Cessie?. J. Satrio kemudian sekilas menjawab, kalau mengingat bahwa hak pakai dan hak sewa adalah benda tak bertubuh, maka memang ada kemungkinan bahwa pengoperan hak-hak tersebut dilakukan dengan mencedeernya 12 (mengalihkan melalui Cessie). Namun melalui jawaban tersebut dapat dilihat bahwa memang masih ada suatu kebingungan, karena adanya penggunaan kata kemungkinan mengenai alas perbuatan hukum pengalihan hak tersebut. J. Satrio juga tidak menjelaskan mengenai dasar asumsinya menggolongkan hak sewa ataupun hak pakai sebagai suatu kebendaan tak bertubuh seperti yang dimaksud di dalam ketentuan Pasal 613 ayat (1) KUHPerdata. Penyerahan piutang atas nama yang diatur dalam Pasal 613 ayat (1) KUHPerdata, adalah suatu yurisdische levering atau perbuatan hukum pengalihan hak milik. Hal ini diperlukan karena dalam sistem KUHPerdata, perjanjian jual-beli, termasuk jual-beli hanya bersifat konsensual obligatoir. Artinya baru meletakkan hak dan kewajiban bagi penjual dan pembeli, namun belum mengalihkan kepemilikan J.Satrio, 1991, Cessie, Subrogatie, Novatie, Kompensatie & Pencampuran Utang, Penerbit Alumni, Bandung (selanjutnya ditulis J. Satrio I), hal Ibid, hal. 103

15 15 Ketentuan Pasal 613 ayat (1) KUHPerdata ini juga merupakan suatu ketentuan yang berkaitan dengan ketentuan Pasal 584 KUHPerdata. Adapun Pasal 584 KUHPerdata berbunyi : Hak milik atas sesuatu kebendaan tak dapat diperoleh dengan cara lain, melainkan dengan pemilikan, karena perlekatan, karena daluwarsa,karena perwarisan, baik menurut undang-undang, maupun menurut surat wasiat, dan karena penunjukan atau penyerahan berdasar atas suatu peristiwa perdata untuk memindahkan hak milik, dilakukan oleh seorang yang berhak berbuat bebas terhadap kebendaan itu. Jadi ketentuan Pasal 613 ayat (1) KUHPerdata merupakan suatu bentuk dari suatu penyerahan (levering) atas benda tak berwujud sebagai salah satu cara memperoleh hak milik atas suatu kebendaan sebagaimana yang diatur di dalam ketentuan Pasal 584 KUHPerdata. Penyerahan (levering) atas benda tak berwujud yang diatur di dalam Pasal 613 KUHPerdata untuk suatu piutang atas unjuk (aan toonder) dengan penyerahan nyata, suatu piutang atas nama (op naam) dengan cessie, dan juga suatu piutang tidak kepada pengganti (aan order) penyerahan surat disertai dengan endosemen sesuai dengan ketentuan Pasal 613 ayat (3) KUH Perdata. 14 Pengalihan hak sewa terkait dengan penjaminan kebendaan diatasnya dalam praktek Notaris dilakukan melalui pembuatan dengan judul akta perjanjian pengalihan hak sewa Cessie sebagai jaminan hutang. Hal ini dilakukan juga dengan mengacu pada Cessie hak tagih yang dimiliki oleh debitur kepada bank pemberi kredit yang banyak dilakukan dalam dunia perbankan. Praktek yang dilakukan dengan berdasarkan pada ketentuan norma yang tidak jelas atau bahkan mungkin dapat dikatakan kosong apabila 14. Elsi Kartika Sari dan Advendi Simangunsong, 2007, Hukum dalam Ekonomi, Grasindo, Jakarta, hal.14

16 16 dikaitkan dengan penjaminan kebendaan tersebut tentunya juga berimplikasi pada kebiasaan praktek kenotariatan dan efektifitas dari perbuatan hukum pembuatan akta yang dilakukan oleh Notaris tersebut. Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, banyak Bank yang dalam prakteknya tidak ingin menggunakan akta pengalihan hak sewa atas suatu bangunan (property) atau juga tanah tersebut dikarenakan konsep dari perbuatan hukum itu sendiri yang belum jelas dan menimbulkan banyak kebingungan (multi tafsir). Keadaan tersebut tentunya dapat menimbulkan kerugian, karena nantinya akta yang dibuat tersebut tidak memiliki suatu utility (kegunaan) bagi pihak-pihak yang membuatnya. Bank memiliki suatu kekhawatiran jika nantinya terjadi suatu wanprestasi Pengadilan Negeri tidak dapat melakukan proses eksekusi karena belum terdapatnya ketentuan aturan hukum yang jelas untuk mendukung dan juga apabila tidak adanya suatu persetujuan dari pihak pemilik. Anggapan suatu pengalihan hak sewa untuk menjadikan hak sewa tersebut sebagai suatu jaminan dalam suatu hutang piutang juga merupakan hal yang perlu dipertanyakan dari kajian teori hukum perdata. Pengalihan tersebut tentunya membuat pemilik hak sewa akan bertindak seolah sebagai pemilik, apalagi pemindahan tersebut berkaitan dengan agunan berupa kebendaan bangunan yang ada di atasnya, yang belum tentu pemilik tanah memberikan persetujuannya. Dalam sistem KUHPerdata dibedakan antara perjanjian obligatoir dengan perjanjian penyerahan objek perjanjiannya. 15 Perjanjian sewa menyewa merupakan suatu perjanjian obligatoir, yang menimbulkan kewajiban bagi satu pihak untuk menyerahkan benda miliknya untuk dinikmati oleh 15. J.Satrio I, Op Cit, hal. 8

17 17 pihak lain dalam jangka waktu dan bayaran yang disepakati. Perjanjian obligatoir baru melahirkan hak dan kewajiban, atau dengan kata lain baru melahirkan perikatanperikatan saja, dan perjanjian seperti itu tidak mengalihkan objek perjanjian. 16 Dengan ditutupnya suatu perjanjian, maka baru lahir hak dan kewajiban saja antara para pihak, yaitu hak dari kreditur untuk menuntut prestasi dan kewajiban dari debitur untuk memberikan kontra-prestasinya. Perjanjian sewa-menyewa pada umumnya dianggap merupakan suatu bentuk perjanjian obligatoir yang nantinya akan melahirkan suatu hak perorangan (persoonlijk recht), bukan hak kebendaan. Sifat dari hak perseorangan itu sendiri adalah hak subjektif relatif atau ditujukkan kepada orang-orang tertentu, yang berarti bahwa hak tersebut timbul karena adanya suatu hubungan hukum antara si penyewa dan yang menyewakan dan di dalam hak tersebut juga timbul suatu hak untuk seseorang untuk menagih/menuntut. Hak subjektif relatif adalah hak-hak yang hanya bisa ditujukan kepada orang-orang tertentu saja. Karena kepada suatu hak, selalu ada kewajiban pada pihak lain, maka pada hak subjektif relatif, pihak lain yang mempunyai kewajiban untuk menghormati hak tersebut sudah tertentu. 17 Sifat dari hak ini tentunya sangat berbeda dari sifat hak kebendaan. Hak kebendaan merupakan suatu hak subjektif absolut yang artinya hubungan hukum antara subjek hukum dengan benda dilindungi hukum atau mewajibkan semua orang untuk menghormatinya. Hak yang bersifat absolut adalah hak yang pada asasnya bisa ditujukan kepada semua orang ; dikatakan hak itu mengikuti bendanya ke dalam tangan siapapun benda 16. J.Satrio, 2012, Cessie Tagihan Atas Nama, Yayasan DNC, Jakarta, (selanjutnya ditulis J. Satrio II),hal Ibid, hal. 4

18 18 itu berpindah (droit de suit) dan salah satu cirinya adalah yang lahir lebih dulu mempunyai kekuatan yang lebih tinggi 18 (rank orde). Hak absolut berupa berbuat atau tidak berbuat terhadap suatu benda yang dapat dilaksanakan dan dipertahankan terhadap siapapun. Suatu hak kebendaan memberikan kekuasaan langsung terhadap suatu benda dan dapat dipertahankan terhadap siapapun juga yang bermaksud menganggu hak itu. Siapa saja wajib menghormati pelaksanaan hak kebendaan itu. Sebaliknya, hak perseorangan hanya dapat dipertahankan untuk sementara terhadap orang-orang tertentu saja. Karena itu, hak kebendaan bersifat mutlak (absolut) dan hak perseorangan bersifat relatif (nisbi). 19 Sedangkan menurut Subekti, perjanjian sewa-menyewa juga tidak memberikan suatu hak kebendaan, ia hanya memberikan suatu hak perseorangan terhadap orang yang menyewakan barang. 20 Jadi sifat yang timbul dari perjanjian sewa menyewa tersebut pada prinsipnya hanyalah mengikat antara pihak penyewa dan juga pihak yang menyewakan sehingga apabila nantinya hak tersebut dialihkan ke pihak lain dan dijadikan sebagai suatu jaminan maka perbuatan hukum tersebut akan bertentangan dengan sifat dari perjanjian sewa menyewa yang melahirkan suatu hak perseorangan yang bersifat subjektif relatif sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya. Namun, apabila dikaji menurut ketentuan yang ada di dalam KUHPerdata, sebenarnya juga belumlah secara tegas mengatur mengenai apakah hak sewa itu termasuk hak kebendaan atau hak perseorangan. 18. Ibid, hal. 3 Rachmadi Usman, 2003, Hukum Hak Atas Kekayaan Intelektual (Perlindungan dan Dimensi Hukumnya di Indonesia), Alumni, Bandung, hal R.Subekti, 1995, Aneka Perjanjian, Citra Aditya Bakti, Bandung,(selanjutnya ditulis Subekti I), hal. 164

19 19 Ketentuan itu seperti ketentuan Pasal 1576 ayat (1) KUHPerdata menyatakan bahwa dengan dijualnya barang yang disewa, suatu persewaan yang dibuat sebelumnya tidak dapat diputuskan kecuali apabila hal ini telah diperjanjikan. Ketentuan tersebut di atas mencerminkan suatu asas umum tentang sewa menyewa yaitu, Jual beli tidak mengakibatkan putusnya sewa menyewa (Koop breekt geen huur). Dengan demikian sewa-menyewa mengandung suatu ciri hak kebendaan karena hak sewa itu terus mengikuti bendanya (droit de suite). Alasannya ialah dengan dijualnya benda yang disewakan, si penyewa tetap dapat mempertahankan hak sewanya karena sifatnya yang mutlak. Dalam sewa-menyewa juga ada satu aturan yaitu jika penyewa pertama berhadapan dengan penyewa kedua, maka lazimnya penyewa pertama akan didahulukan (rank orde). Hal ini menunjukkan bahwa sewa-menyewa sebagai hak perorangan juga memiliki sifat prioritas 21 dalam suatu rank orde atau tingkatan. Dari beberapa ketentuan tersebut dapat dilihat bahwa sebenarnya KUHPerdata sendiri memberikan suatu ketentuan yang mencirikan suatu sifat hak kebendaan mengenai sifat hak yang lahir dari perjanjian sewa-menyewa. Saat ini suatu hak sewa atas suatu objek bisa saja memiliki suatu nilai ekonomis yang sangat tinggi. Oleh karena itu merupakan suatu hal yang sangat disayangkan karena sampai saat ini banyak yang beranggapan hak sewa masih sebagai hak perorangan yang hanya merupakan suatu bentuk hubungan antara pemilik objek dan penyewa sebagaimana dijelaskan sebelumnya. 21. R.Subekti, 2001, Pokok-Pokok Hukum Perikatan, Intermasa, Jakarta, (selanjutnya ditulis Subekti III), hal. 48

20 20 Bahkan di dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 Tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (Lembaran Negara Tahun 1960 Nomor 104, Tambahan Lembaran Negara Nomor 2043 selanjutnya disebut UUPA) untuk hak sewa atas tanah pertanian dikatakan sebagai hak-hak yang bersifat sementara, tetapi tidak dijelaskan dan diatur lebih lanjut mengenai ketentuan tersebut, sebagaimana disebutkan di dalam ketentuan Pasal 53 ayat (1) UUPA. Masih ada beberapa norma yang bersifat kabur, sehingga perlu dikaji secara lanjut. Sewa menyewa merupakan perjanjian timbal balik yang bagi masing-masing pihak menimbulkan perikatan terhadap yang lain. Perjanjian timbal balik seringkali juga disebut perjanjian bilateral atau perjanjian dua pihak. Perjanjian timbal balik adalah perjanjian yang menimbulkan kewajiban-kewajiban dan hak-hak kepada kedua belah pihak, dan hak serta kewajiban itu mempunyai hubungan antara satu dengan lainnya. Makna dari mempunyai hubungan antara yang satu dengan yang lain adalah bahwa bilamana dalam perikatan yang muncul dalam perjanjian tersebut, yang satu mempunyai hak, maka pihak yang lain di sana berkedudukan sebagai pihak yang memikul kewajiban. 22 Kedudukan pihak penyewa dan yang menyewakan diperkuat dengan adanya dasar hukum yang terdapat di dalam Pasal 1548 KUHPerdata. Pasal 1548 KUHPerdata yang berbunyi : Sewa menyewa adalah suatu persetujuan dengan mana pihak yang satu mengikat dirinya untuk memberikan kepada pihak yang lain 22. J.Satrio, 1995, Hukum Perikatan, Perikatan Yang Lahir Dari Perjanjian, Citra Aditya Bakti, Bandung (selanjutnya ditulis J. Satrio III), hal. 43

21 21 kenikmatan dari suatu barang selama suatu waktu tertentu dan dengan pembayaran sesuatu harga yang oleh pihak yang tersebut terakhir itu disanggupi pembayarannya. Hak sewa yang timbul dalam perjanjian sewa menyewa menurut ketentuan KUHPerdata ini pada dasarnya merupakan hak untuk menyewa bangunan/ruangan kios agar dapat dimanfaatkan/dinikmati kegunaannya oleh si penyewa selama masa sewa, bukan dengan tujuan untuk menguasainya sebagai hak milik. Hal ini agak berbeda dengan hak sewa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 44 UUPA. Hak sewa untuk bangunan yang dimaksud dalam UUPA adalah pemilik tanah menyerahkan tanahnya dalam keadaan kosong kepada penyewa, dengan maksud bahwa penyewa akan membangun bangunan di atas tanah itu. Bangunan itu menurut hukum yang berlaku sekarang menjadi milik penyewa tanah tersebut, kecuali ada perjanjian lain. 23 Terdapat sedikit perbedaan konsep antara perjanjian sewa menyewa yang diatur di dalam ketentuan KUH Perdata dan konsep sewa yang ada di dalam UUPA. Perbuatan pengalihan hak sewa sebagai terkait dengan penjaminan kebendaan diatasnya yang dianggap sebagai suatu bentuk Cessie berdasarkan uraian sebelumnya merupakan suatu perbuatan hukum yang berlawanan dengan konsep Cessie itu sendiri. Akta-akta yang terkait dengan pengalihan hak sewa terkait dengan penjaminan kebendaan yang selama ini dibuat oleh para pihak dibuat dengan berlandaskan pada asas, yaitu asas kebebasan berkontrak. Asas kebebasan berkontrak adalah adanya suatu kebebasan seluas-luasnya yang oleh undang-undang di berikan kepada masyarakat untuk mengadakan perjanjian tentang apa saja, asalkan tidak bertentangan dengan Boedi Harsono, 1994, Hukum Agraria Indonesia, Djambatan, Yogyakarta, hal.

22 22 peraturan perundang-undangan (terutama syarat sahnya perjanjian yang ada di dalam ketentuan Pasal 1320 KUHPerdata), kepatutan, dan ketertiban umum sebagaimana diatur di dalam ketentuan Pasal 1337 KUHPerdata yang memberikan pembatasan dalam kebebasan berkontrak. Hal tersebut diatur di dalam ketentuan Pasal 1338 yang menjelaskan bahwa perjanjian mengikat dan berlaku sebagai undang-undang bagi para pihak yang membuatnya. Kebebasan berkontrak adalah asas yang essensial, baik bagi individu dalam mengembangkan diri baik di dalam kehidupan pribadi maupun kehidupan sosial kemasyarakatan, sehingga beberapa pakar menegaskan kebebasan berkontrak merupakan bagian dari hak asasi manusia yang harus dihormati. 24 Kebebasan berkontrak, merupakan suatu asas yang lahir pada zaman merebaknya aliran laisseiz faire yang dalam bidang ekonomi dipelopori oleh Adam Smith, guna mencegah campur tangan pemerintah yang berlebihan, merupakan wujud pemujaan terhadap faham individualism. 25 Kebebasan berkontrak memberikan kesempatan bagi para pihak untuk bagaimana, kapan, dan untuk apa mereka mengikatkan dirinya terhadap suatu contract, sebagaimana diungkapkan oleh Mindy Chen-Wishart yang mengungkapkan bahwa Freedom of contract demands that parties be free to choose whether, when, and to what they bind themselves via contracts. 26 Dalam perkembanganya asas ini muncul 24. Johanes Ibrahim, 2003, Pengimpasan Pinjaman (Kompensasi) dan Asas Kebebasan Bekontrak Dalam Perjanjian Kredit Bank, CV.Utomo, Bandung, hal Ridwan Khairandy, 2003, Itikad baik dalam Kebebasan Berkontrak, Pasca Sarjana Fakultas Hukum Universitas Indonesia,Jakarta, hal Mindy Chen Wishart, 2010, Contract Law, Oxford University Press, United Kingdom, hal. 11

23 23 menjadi paradigma baru dalam hukum kontrak yang menjurus pada kebebasan tanpa batas (unretristicted freedom of contract). Asas kebebasan berkontrak bisa saja dijadikan pedoman dalam penyusunan suatu perjanjian. Namun yang tentunya tidak kalah penting tentu adalah mengenai dasar hukum yang dijadikan pijakan mengenai perbuatan hukum yang diatur di dalam perjanjian hukum tersebut. Perbuatan hukum pengalihan hak sewa terkait dengan penjaminan kebendaan bangunan diatasnya bagi banyak pihak atau dalam praktek Notaris memang dianggap tergolong sebagai tindakan Cessie sebagaimana diatur di dalam Pasal 613 ayat (1) KUHPerdata. Namun tentunya hal tersebut baru sebatas berdasarkan kepada hasil dari penafsiran/interpretasi dari para pihak yang menjalankan perbuatan hukum tersebut terhadap ketentuan Pasal 613 ayat (1) KUHPerdata. Belum ada suatu ketentuan yang konkrit dalam menyatakan apakah perbuatan hukum pengalihan hak atas hak sewa sebagai jaminan utang tersebut merupakan hal yang sama dengan Cessie yang diatur dalam Pasal 613 ayat (1) KUHPerdata atau tidak. Hal tersebut juga dikarenakan belum adanya pembatasan yang jelas mengenai sifat hak yang lahir dari Perjanjian sewa menyewa, apakah ia termasuk sebagai suatu hak kebendaan atau hak perorangan. Belum adanya ketentuan yang mengatur mengenai hal tersebut namun pada praktek hal tersebut tetap dilakukan menunjukkan bahwa hukum mengakomondasi kehidupan dan kebiasaan di dalam masyarakat, seperti yang dikatakan

24 24 oleh Anthony G. Amsterdam, if law is to work for the people in a society, it must be (and must be seen to be) an extension or reflection of their culture. 27 Permasalahan mengenai bentuk hak sewa yang dijadikan jaminan, jaminan Cessie ataupun pengalihan hak sewa sebelumnya telah dibahas dalam beberapa penelitian, namun yang penelitian yang berjudul Pengalihan dan Penjaminan Atas Hak Sewa Sebagai Cessie Dalam Suatu Perjanjian Kredit ini belum pernah dilakukan oleh peneliti lainnya, sebagaimana dapat disimak dari hasil penelusuran penelitian terkait sebagai berikut : a). Pertama adalah tesis milik Rahmad Setiadi (NIM /MK.n), disusun pada tahun 2011, mahasiswa Universitas Sumatera Utara yang berjudul :Resiko Hukum Atas Cessie Tagihan Piutang Sebagai Jaminan Kredit Pada Perusahaan Pembiayaan (Studi Kasus PT. Permodalan Nasional Madani (Persero) Cabang Medan). Tesis tersebut mengkaji secara khusus mengenai resiko Cessie sebagai suatu jaminan dalam perjanjian kredit dan secara spesifik mencantumkan lembaga yang dijadikan objek penelitian untuk penulisan tesis tersebut. Permasalahan yang diangkat dalam karya tesis tersebut adalah mengenai kedudukan serta resiko hukum Cessie tagihan piutang sebagai objek jaminan kredit, dan juga mengenai bagaimanakah prosedur pemberian kredit dengan Cessie tagihan piutang sebagai jaminan pada PT. Permodalan Nasional Madani Persero Cabang Medan. 27. Anthony G. Amsterdam & Jerome Bruner, 2002, Minding the Law, Harvard University Press, USA, hal. 2

25 25 b). Kedua, ada juga tesis yang berkaitan dengan penjaminan kebendaan diatas hak sewa pada bank sebagai jaminan kredit, yaitu tesis yang berjudul, Kios Pasar Sebagai Jaminan Kredit Perbankan di PT Bank UOB Buana Cabang Semarang, ditulis oleh Delima Boru Manalu (NIM B4B005100), mahasiswi Universitas Diponegoro Semarang, pada tahun Tesis tersebut mengkaji secara spesifik mengenai pelaksanaan penjaminan kebendaan diatas hak sewa yang berupa kios pasar dan juga mekanisme yang harus dilakukan apabila debitor wanprestasi, serta disebutkan pula secara jelas lembaga perbankan yang memberikan kredit dan menjadi objek penelitiannya. Permasalahan yang diangkat dalam tesis ini berkaitan dengan bagaimanakah pelaksanaan pengikatan kredit dengan jaminan berupa kios pasar dan juga bagaimanakah cara penyelesaian apabila terjadi wanprestasi dari debitor atas perjanjian kredit dengan jaminan berupa kios pasar. c). Ketiga, terdapat juga penelitian tesis yang mengkaji mengenai jaminan bangunan di atas tanah hak sewa yang berjudul Penjaminan Fidusia Terhadap Bangunan Yang Berdiri Di atas Tanah Hak Sewa Pada Bank BNI Cabang Semarang, yang ditulis pada tahun 2005 oleh Agus Wahyu Nugroho (NIM B4B ), mahasiswa Universitas Diponegoro Semarang. Penelitian tersebut menjelaskan mengenai kontruksi hukum penjaminan bangunan di atas tanah hak sewa yang menjadi objek jaminan fidusia, dan juga perlindungan hukum terhadap kreditur yang menerima penjaminan kebendaan diatas hak sewa, serta mencatumkan lembaga perbankan yang menjadi pemberi kredit secara jelas. Permasalahan yang dibahas dalam tesis ini berkaitan dengan bagaimana

26 26 konstruksi hukum penjaminan fidusia terhadap bangunan di atas tanah hak sewa dan juga mengenai perlindungan hukum kepada kreditur terhadap penjaminan fidusia bangunan di atas tanah hak sewa. Penelitian tesis yang akan dikaji oleh penulis merupakan sesuatu yang berbeda apabila dibandingkan ketiga penelitian tersebut. Hal ini dikarenakan oleh beberapa alasan, antara lain, Pertama tesis ini akan mengkaji praktek penjaminan kebendaan diatas hak sewa yang diikuti dengan bentuk pengalihan hak sewa dari segi teori dan juga konsep-konsep yang ada di dalam hukum perdata terutamanya dikaitkan dengan doktrin Cessie agar nantinya dapat diperoleh suatu kesimpulan apakah perbuatan hukum pengalihan hak sewa untuk menunjang penjaminan hak kebendaan yang ada di atasnya tersebut memang sesuai atau tidak dengan konsep Cessie. Hal ini menjadi sangat penting karena di dalam praktek kenotariatan banyak pihak yang menggolongkan perbuatan hukum tersebut sebagai suatu Cessie, bahkan dalam aktanya pun kata Cessie diselipkan sebagai judul akta untuk perbuatan hukum tersebut, padahal secara umum Cessie merupakan suatu pemindahan hak tagih dan juga pemindahan kebendaan tak bertubuh lainnya. Tidak ada pembahasan secara khusus yang memberikan pandangan apakah hak sewa memang terkait dengan hal tersebut. Kedua, penelitian ini juga akan mengkaji mengenai apakah memang suatu hak kebendaan yang ada di atas hak sewa dan juga hak sewa itu sendiri secara teori dan konsep hukum perdata dapat dijadikan suatu jaminan kebendaan seperti yang lazimnya terjadi di dalam praktek. Ketiga, contoh tesis lain tersebut mencatumkan secara spesifik lembaga yang menjadi objek penelitiannya, sementara tesis ini, karena merupakan suatu

27 27 kajian normatif akan melihat perbuatan hukum penjaminan kebendaan diatas hak sewa yang diikuti dengan suatu pengalihan hak sewa sebagai bentuk Cessie yang dijadikan suatu jaminan dalam perjanjian kredit melalui ketentuan perundang-undangan, teori, dan juga konsep-konsep di dalam hukum perdata yang terkait dengan topik pembahasan tesis ini. 1.2 Rumusan Masalah Berdasarkan pemaparan di atas maka penulis tertarik untuk mengangkat permasalahan tersebut dan menyusunnya ke dalam bentuk penelitian yang berjudul Penjaminan Bangunan Di Atas Tanah Hak Sewa Yang Diikuti Dengan Pengalihan Hak Sewa Atas Tanah Sebagai Bentuk Cessie Dalam Suatu Perjanjian Kredit, dan penulis dapat menarik 2 (dua) rumusan masalah berdasarkan pemaparan tersebut, antara lain : 1. Dapatkah suatu kebendaan berupa bangunan di atas suatu hak sewa yang kemudian diikuti dengan pengalihan hak sewa dijadikan suatu agunan dan juga jaminan dalam proses utang-piutang (kredit) yang dilakukan antara pihak kreditur (bank) dan debitur apabila dikaitkan dengan sifat dari suatu hak yang timbul dalam suatu perjanjian sewa menyewa? 2. Apakah perbuatan hukum pengalihan hak sewa untuk kemudian dijadikan jaminan dalam suatu perjanjian kredit dapat dikategorikan sebagai bentuk lain dari Cessie sebagaimana diatur di dalam ketentuan Pasal 613 ayat (1) KUHPerdata?

28 Tujuan Penelitian Tujuan Umum Secara umum penelitian ini bertujuan untuk mengembangkan ilmu hukum, terutama dalam bidang Hukum Kenotariatan terkait dengan teori serta konsep hukum perdata yang ada terhadap praktek penjaminan kebendaan berupa bangunan di atas hak sewa yang diikuti dengan pengalihan atas hak sewa yang dipandang sebagai salah satu bentuk Cessie dalam praktek kenotariatan Tujuan Khusus Dalam penelitian ini, selain untuk mencapai tujuan umum di atas, terdapat juga tujuan khusus. Adapun tujuan khusus yang ingin dicapai sesuai dengan permasalahan yang dibahas dalam penelitian ini, yaitu : 1. Untuk mengetahui dan menganalisis konsep penjaminan hak kebendaan berupa bangunan di atas tanah hak sewa yang diikuti dengan pengalihan atas hak sewa sebagai salah satu bentuk dari konsep Cessie sesuai dengan ketentuan KUHPerdata. 2. Untuk mengetahui dan menganalisis penjaminan kebendaan berupa bangunan di atas tanah hak sewa yang diikuti dengan suatu pengalihan hak sewa sebagai suatu perbuatan hukum yang dapat dijadikan suatu agunan dan jaminan dalam perbuatan hukum utang-piutang (kredit) antara debitur dan kreditur (bank).

29 Manfaat Penelitian Manfaat teoritis Hasil penelitian tesis ini diharapkan dapat memberikan kontribusi atau manfaat dalam usaha mengembangkan pengetahuan hukum yang bersifat kritis, khususnya pada bidang Hukum Kenotariatan. Hasil penelitian dapat bermanfaat bagi pengembangan pengetahuan mengenai proses pengalihan dan penjaminan kebendaan berupa bangunan di atas hak sewa yang diikuti dengan pengalihan atas hak sewa dalam suatu perjanjian kredit dan mengaitkannya pada konsep Cessie sebagaimana yang diatur di dalam KUHPerdata Manfaat Praktis Selain manfaat teoritis, penelitian ini juga memiliki manfaat praktis. Adapun penelitian ini dapat memberikan kontribusi kepada : a). Kalangan akademis : diharapkan dengan hasil analisis penelitian ini dapat memberikan ide baru untuk membuat dan meneliti lebih lanjut sehingga suatu saat dapat menghasilkan suatu konsep dan pandangan lain terkait dengan penjaminan kebendaan berupa bangunan di atas tanah hak sewa yang diikuti dengan pengalihan atas hak sewa sebagai bentuk Cessie dalam suatu perjanjian kredit. b). Notaris dan PPAT : diharapkan dengan adanya analisis dari penelitian ini dapat memberikan suatu pandangan baru dan suatu pemahaman mengenai konsep penjaminan kebendaan berupa bangunan di atas tanah hak sewa yang diikuti

30 30 dengan pengalihan atas hak sewa sebagai bentuk Cessie dalam suatu perjanjian kredit. Nantinya substansi akta yang akan dibuat oleh Notaris akan sesuai dengan konsep hukum yang terkait. c). Peneliti sendiri : dalam rangka membekali peneliti dengan pengetahuan dan pemahaman mengenai penjaminan kebendaan berupa bangunan di atas tanah hak sewa yang diikuti dengan pengalihan atas hak sewa sebagai bentuk Cessie dalam suatu perjanjian kredit. 1.5 Landasan Teoritis Dalam suatu penelitian, landasan teoritis memiliki fungsi untuk memberikan pedoman atau petunjuk serta memprediksi hal-hal yang dihadapinya. 28 Landasan teoritis dapat terdiri dari suatu asas yang berlaku ataupun pendapat (teori) dari para ahli yang memang diakui oleh banyak pihak memiliki kemampuan dibidangnya. Adapun asas dan teori yang digunakan untuk melakukan penelitian dalam kajian tesis ini antara lain : Asas Kebebasan Berkontrak Asas ini merupakan suatu asas yang terkadung di dalam ketentuan Pasal 1338 ayat (1) KUHPerdata. Dikatakan di dalam ketentuan pasal tersebut bahwa : semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi pihak-pihak yang membuatnya. Dengan demikian setiap orang dapat membuat semua jenis perjanjian dan perjanjian tersebut akan dinyatakan tetap berlaku bagi para pihak meskipun belum terdapat ketentuan yang secara detail mengatur mengenai perjanjian tersebut. Namun, 28. Lexi J. Moelong, 2002, Metode Penelitian Kumulatif, Remaja Rosdakarya, Bandung, hal. 35

31 31 hal tersebut dapat berlaku asalkan perjanjian tersebut dibuat mengikuti syarat sahnya perjanjian dalam ketentuan Pasal 1320 KUHPerdata. Asas ini ada untuk mengakomodasi kedinamisan dalam kehidupan masyarakat. Masyarakat akan terus berkembang demikian juga perbuatan-perbuatan dan peristiwaperistiwa yang ada di dalamnya. Dengan adanya asas ini maka pihak yang berkeinginan membuat suatu perjanjian tidak perlu menunggu adanya aturan terkait dengan perjanjian yang akan dibuatnya tersebut, apabila memang belum terdapat aturan yang terkait dengan perjanjian tersebut. Mereka cukup berpegangan terhadap ketentuan Pasal 1320 KUHPerdata yang mengatur mengenai syarat sahnya suatu perjanjian Asas Publisitas Adanya publisitas (openbaarheid) adalah adanya suatu pengumuman kepada masyarakat mengenai status pemilikan atas suatu benda. Pengumuman kepemilikan hak atas benda tetap dan juga benda tidak bergerak dapat terjadi melalui pendaftaran dalam buku tanah atau suatu sistem register (pendaftaran) umum terkait dengan kebendaan tersebut yang disediakan untuk itu. Sedangkan pengumuman benda bergerak terjadi melalui penguasaan nyata terhadap benda itu Asas Pemisahan Horizontal Asas ini merupakan salah satu asas yang diambil dari hukum adat dalam pengaturan hukum tanah nasional. Penerapan asas pemisahan horizontal dapat dilihat dalam ketentuan Pasal 4 ayat (2) UUPA yang menentukan wewenang pemegang hak atas tanah untuk menggunakan tanahnya, demikian pula tubuh bumi dan air serta ruang yang ada di atasnya sekedar diperlukan untuk kepentingan yang langsung berhubungan

ASPEK HUKUM PENGALIHAN PIUTANG ATAS NAMA (CESSIE) KARENA WANPRESTASI PT. BANK SRI PARTHA KEPADA PT. SRI PARTHA PUSAKA DENPASAR

ASPEK HUKUM PENGALIHAN PIUTANG ATAS NAMA (CESSIE) KARENA WANPRESTASI PT. BANK SRI PARTHA KEPADA PT. SRI PARTHA PUSAKA DENPASAR ASPEK HUKUM PENGALIHAN PIUTANG ATAS NAMA (CESSIE) KARENA WANPRESTASI PT. BANK SRI PARTHA KEPADA PT. SRI PARTHA PUSAKA DENPASAR Oleh Ida Bagus Gede Partha Suwirya I Gst. Ayu Puspawati Dewa Gde Rudy Hukum

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. bertahap, pada hakikatnya merupakan salah satu usaha untuk meningkatkan

BAB I PENDAHULUAN. bertahap, pada hakikatnya merupakan salah satu usaha untuk meningkatkan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pembangunan yang sedang giat dilaksanakan melalui rencana bertahap, pada hakikatnya merupakan salah satu usaha untuk meningkatkan taraf hidup masyarakat, baik materiil

Lebih terperinci

UNIVERSITAS INDONESIA JUDUL PENGALIHAN PIUTANG SECARA CESSIE DAN AKIBATNYA TERHADAP JAMINAN HAK TANGGUNGAN DAN JAMINAN FIDUSIA TESIS

UNIVERSITAS INDONESIA JUDUL PENGALIHAN PIUTANG SECARA CESSIE DAN AKIBATNYA TERHADAP JAMINAN HAK TANGGUNGAN DAN JAMINAN FIDUSIA TESIS UNIVERSITAS INDONESIA JUDUL PENGALIHAN PIUTANG SECARA CESSIE DAN AKIBATNYA TERHADAP JAMINAN HAK TANGGUNGAN DAN JAMINAN FIDUSIA TESIS PUTERI NATALIASARI NPM : 0806427631 FAKULTAS HUKUM PROGRAM MAGISTER

Lebih terperinci

Journal Of Judicial Review

Journal Of Judicial Review Tinjaun Yuridis Terhadap Pengalihan Piutang Melalui Cessie Menurut KUHPerdata Siti Nur Janah Abstract Account receivable from the events of the legal form of a treaty on behalf of the bill. In the bill

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. hukum membutuhkan modal untuk memulai usahanya. Modal yang diperlukan

BAB I PENDAHULUAN. hukum membutuhkan modal untuk memulai usahanya. Modal yang diperlukan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dunia modern seperti sekarang ini, banyak orang atau badan hukum yang memerlukan dana untuk mengembangkan usaha, bisnis, atau memenuhi kebutuhan keluarga (sandang,pangan,dan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. satu perolehan dana yang dapat digunakan masyarakat adalah mengajukan

BAB I PENDAHULUAN. satu perolehan dana yang dapat digunakan masyarakat adalah mengajukan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Dalam rangka pembangunan ekonomi diperlukan tersedianya dana, salah satu perolehan dana yang dapat digunakan masyarakat adalah mengajukan permohonan kredit yang diberikan

Lebih terperinci

Berdasarkan Pasal 1 ayat (2) Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998 tersebut, maka salah satu cara dari pihak bank untuk menyalurkan dana adalah dengan mem

Berdasarkan Pasal 1 ayat (2) Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998 tersebut, maka salah satu cara dari pihak bank untuk menyalurkan dana adalah dengan mem BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pembangunan di bidang ekonomi yang semakin meningkat mengakibatkan keterkaitan yang erat antara sektor riil dan sektor moneter, di mana kebijakan-kebijakan khususnya

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. kewajiban untuk memenuhi tuntutan tersebut. Pendapat lain menyatakan bahwa

II. TINJAUAN PUSTAKA. kewajiban untuk memenuhi tuntutan tersebut. Pendapat lain menyatakan bahwa II. TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Tentang Perjanjian 1. Pengertian Perjanjian Perjanjian adalah suatu hubungan hukum antara dua pihak, yang isinya adalah hak dan kewajiban, suatu hak untuk menuntut sesuatu

Lebih terperinci

BAB II KEDUDUKAN CORPORATE GUARANTOR YANG TELAH MELEPASKAN HAK ISTIMEWA. A. Aspek Hukum Jaminan Perorangan Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata

BAB II KEDUDUKAN CORPORATE GUARANTOR YANG TELAH MELEPASKAN HAK ISTIMEWA. A. Aspek Hukum Jaminan Perorangan Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata 29 BAB II KEDUDUKAN CORPORATE GUARANTOR YANG TELAH MELEPASKAN HAK ISTIMEWA A. Aspek Hukum Jaminan Perorangan Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Istilah jaminan merupakan terjemahan dari bahasa Belanda,

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM MENGENAI HUKUM JAMINAN KREDIT. Istilah hukum jaminan berasal dari terjemahan zakerheidesstelling,

BAB II TINJAUAN UMUM MENGENAI HUKUM JAMINAN KREDIT. Istilah hukum jaminan berasal dari terjemahan zakerheidesstelling, BAB II TINJAUAN UMUM MENGENAI HUKUM JAMINAN KREDIT A. Pengertian Hukum Jaminan Kredit Istilah hukum jaminan berasal dari terjemahan zakerheidesstelling, zekerheidsrechten atau security of law. Dalam Keputusan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dalam rangka menyejahterakan hidupnya. Keinginan manusia akan benda

BAB I PENDAHULUAN. dalam rangka menyejahterakan hidupnya. Keinginan manusia akan benda BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kebutuhan merupakan keinginan manusia terhadap barang atau jasa yang dapat memberikan kepuasan jasmani maupun kebutuhan rohani dalam rangka menyejahterakan hidupnya.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. nasional yang merupakan salah satu upaya untuk mencapai masyarakat yang

BAB I PENDAHULUAN. nasional yang merupakan salah satu upaya untuk mencapai masyarakat yang 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pembangunan ekonomi adalah sebagai bagian dari pembangunan nasional yang merupakan salah satu upaya untuk mencapai masyarakat yang adil dan makmur berdasarkan

Lebih terperinci

07/11/2016 SYARAT DALAM CESSIE. Pengalihan Hak dalam Kontrak (cessie) & Pengalihan Kewajiban (delegasi) CESSIE

07/11/2016 SYARAT DALAM CESSIE. Pengalihan Hak dalam Kontrak (cessie) & Pengalihan Kewajiban (delegasi) CESSIE Pengalihan Hak dalam Kontrak (cessie) & Pengalihan Kewajiban (delegasi) Disusun oleh : 1. Bambang Arif Dermawan Katili 156010200111087 (35) 2. Cesari Harnindya Mukti 156010200111021 (07) 3. Hamzah Ibnu

Lebih terperinci

BAB II PENGATURAN HAK ISTIMEWA DALAM PERJANJIAN PEMBERIAN GARANSI. Setiap ada perjanjian pemberian garansi/ jaminan pasti ada perjanjian yang

BAB II PENGATURAN HAK ISTIMEWA DALAM PERJANJIAN PEMBERIAN GARANSI. Setiap ada perjanjian pemberian garansi/ jaminan pasti ada perjanjian yang BAB II PENGATURAN HAK ISTIMEWA DALAM PERJANJIAN PEMBERIAN GARANSI A. Perjanjian Pemberian Garansi/Jaminan Setiap ada perjanjian pemberian garansi/ jaminan pasti ada perjanjian yang mendahuluinya, yaitu

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara berkembang yang saat ini tengah. melakukan pembangunan di segala bidang. Salah satu bidang pembangunan

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara berkembang yang saat ini tengah. melakukan pembangunan di segala bidang. Salah satu bidang pembangunan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia merupakan negara berkembang yang saat ini tengah melakukan pembangunan di segala bidang. Salah satu bidang pembangunan yang sangat penting dan mendesak

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dengan adanya jaminan dalam pemberian kredit merupakan keharusan yang tidak

BAB I PENDAHULUAN. dengan adanya jaminan dalam pemberian kredit merupakan keharusan yang tidak BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pembangunan ekonomi yang dilaksanakan pada masa sekarang diarahkan untuk meningkatkan pendapatan masyarakat dan mengatasi ketimpangan ekonomi guna mencapai kesejahteraan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. menyalurkan dana dari masyarakat secara efektif dan efisien. Salah satu

BAB I PENDAHULUAN. menyalurkan dana dari masyarakat secara efektif dan efisien. Salah satu 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Penelitian Kebutuhan masyarakat baik perorangan maupun badan usaha akan penyediaan dana yang cukup besar dapat terpenuhi dengan adanya lembaga perbankan yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun

BAB I PENDAHULUAN. berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dalam rangka pembangunan nasional suatu negara khususnya pembangunan ekonomi guna mewujudkan masyarakat Indonesia yang adil dan makmur berdasarkan Pancasila

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. piutang ini dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata (yang selanjutnya disebut

BAB I PENDAHULUAN. piutang ini dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata (yang selanjutnya disebut BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dalam kehidupan di masyarakat sering kita mendapati perbuatan hukum peminjaman uang antara dua orang atau lebih. Perjanjian yang terjalin antara dua orang atau

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pada kehidupan sehari-hari manusia tidak terlepas dari manusia lain

BAB I PENDAHULUAN. Pada kehidupan sehari-hari manusia tidak terlepas dari manusia lain BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pada kehidupan sehari-hari manusia tidak terlepas dari manusia lain sebagai makhluk sosial dimana manusia saling membutuhkan satu dengan yang lainnya, sebuah dimensi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pembangunan secara terus menerus dan berkesinambungan, yaitu pembangunan di

BAB I PENDAHULUAN. pembangunan secara terus menerus dan berkesinambungan, yaitu pembangunan di BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Republik Indonesia adalah negara berkembang yang senantiasa melakukan pembangunan secara terus menerus dan berkesinambungan, yaitu pembangunan di segala bidang,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Masyarakat perlu melakukan suatu usaha untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Tetapi tidak semua masyarakat mempunyai modal yang cukup untuk membuka atau mengembangkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Penggunaan lembaga jaminan sudah sangat populer dan sudah tidak asing

BAB I PENDAHULUAN. Penggunaan lembaga jaminan sudah sangat populer dan sudah tidak asing BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penggunaan lembaga jaminan sudah sangat populer dan sudah tidak asing lagi di masyarakat dan lembaga jaminan memiliki peran penting dalam rangka pembangunan perekonomian

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN YURIDIS TERHADAP HIPOTIK DAN HAK TANGGUNGAN. Hipotik berasal dari kata hypotheek dari Hukum Romawi yaitu hypotheca yaitu suatu jaminan

BAB II TINJAUAN YURIDIS TERHADAP HIPOTIK DAN HAK TANGGUNGAN. Hipotik berasal dari kata hypotheek dari Hukum Romawi yaitu hypotheca yaitu suatu jaminan BAB II TINJAUAN YURIDIS TERHADAP HIPOTIK DAN HAK TANGGUNGAN A. Tinjauan Terhadap Hipotik 1. Jaminan Hipotik pada Umumnya Hipotik berasal dari kata hypotheek dari Hukum Romawi yaitu hypotheca yaitu suatu

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG SURAT KUASA MEMBEBANKAN HAK TANGGUNGAN, DAN JAMINAN KREDIT. 2.1 Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG SURAT KUASA MEMBEBANKAN HAK TANGGUNGAN, DAN JAMINAN KREDIT. 2.1 Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan 21 BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG SURAT KUASA MEMBEBANKAN HAK TANGGUNGAN, DAN JAMINAN KREDIT 2.1 Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan a. Pengertian Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan P engertian mengenai

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Pertumbuhan ekonomi saat ini memiliki dampak yang positif, yaitu

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Pertumbuhan ekonomi saat ini memiliki dampak yang positif, yaitu BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pertumbuhan ekonomi saat ini memiliki dampak yang positif, yaitu menunjukkan arah untuk menyatukan ekonomi global, regional ataupun lokal, 1 serta dampak terhadap

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun Dalam. rangka upaya peningkatan pembangunan nasional yang bertitik berat

BAB I PENDAHULUAN. Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun Dalam. rangka upaya peningkatan pembangunan nasional yang bertitik berat BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Perekonomian sebagai bagian dari pembangunan nasional, merupakan salah satu upaya untuk mewujudkan kesejahteraan rakyat yang adil dan makmur berdasarkan Pancasila

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG HAK TANGGUNGAN SEBAGAI HAK JAMINAN. A. Dasar Hukum Pengertian Hak Tanggungan

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG HAK TANGGUNGAN SEBAGAI HAK JAMINAN. A. Dasar Hukum Pengertian Hak Tanggungan BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG HAK TANGGUNGAN SEBAGAI HAK JAMINAN A. Dasar Hukum Pengertian Hak Tanggungan Adanya unifikasi hukum barat yang tadinya tertulis, dan hukum tanah adat yang tadinya tidak tertulis

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Perjanjian merupakan sesuatu yang sangat dibutuhkan dalam kehidupan

BAB I PENDAHULUAN. Perjanjian merupakan sesuatu yang sangat dibutuhkan dalam kehidupan 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Perjanjian merupakan sesuatu yang sangat dibutuhkan dalam kehidupan masyarakat dewasa ini karena masyarakat sekarang sering membuat perikatan yang berasal

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kelebihan dana kepada pihak-pihak yang membutuhkan dana, dalam hal ini bank

BAB I PENDAHULUAN. kelebihan dana kepada pihak-pihak yang membutuhkan dana, dalam hal ini bank 9 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Perbankan memegang peranan sangat penting dalam bidang perekonomian seiring dengan fungsinya sebagai penyalur dana dari pihak yang mempunyai kelebihan dana kepada

Lebih terperinci

BAB I. Pendahuluan. dan makmur dalam wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia. pembangunan di bidang ekonomi. Berbagai usaha dilakukan dalam kegiatan

BAB I. Pendahuluan. dan makmur dalam wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia. pembangunan di bidang ekonomi. Berbagai usaha dilakukan dalam kegiatan 1 BAB I Pendahuluan A. Latar Belakang Pembangunan adalah proses yang dilakukan secara sadar dan berkelanjutan mencakup berbagai aspek kehidupan dalam masyarakat. Pembangunan Nasional merupakan usaha peningkatan

Lebih terperinci

PERAN NOTARIS DAN PPAT DALAM PELAKSANAAN PERALIHAN JAMINAN HAK TANGGUNGAN DARI KREDITUR LAMAA KEPADA KREDITUR BARU PADA PERBANKAN KOTA PADANG

PERAN NOTARIS DAN PPAT DALAM PELAKSANAAN PERALIHAN JAMINAN HAK TANGGUNGAN DARI KREDITUR LAMAA KEPADA KREDITUR BARU PADA PERBANKAN KOTA PADANG PERAN NOTARIS DAN PPAT DALAM PELAKSANAAN PERALIHAN JAMINAN HAK TANGGUNGAN DARI KREDITUR LAMAA KEPADA KREDITUR BARU PADA PERBANKAN KOTA PADANG (Studi pada Kantor Notaris dan PPAT Harti Virgo Putri, S.H.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pembiayaan/leasing) selaku penyedia dana. Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perbankan disebutkan bahwa :

BAB I PENDAHULUAN. pembiayaan/leasing) selaku penyedia dana. Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perbankan disebutkan bahwa : BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Seiring dengan pesatnya pembangunan berkelanjutan dewasa ini, meningkat pula kebutuhan akan pendanaan oleh masyarakat. Salah satu cara untuk mendapatkan dana

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN TENTANG PERJANJIAN KREDIT PADA UMUMNYA. A. Pengertian Bank, Kredit dan Perjanjian Kredit

BAB II TINJAUAN TENTANG PERJANJIAN KREDIT PADA UMUMNYA. A. Pengertian Bank, Kredit dan Perjanjian Kredit BAB II TINJAUAN TENTANG PERJANJIAN KREDIT PADA UMUMNYA A. Pengertian Bank, Kredit dan Perjanjian Kredit 1. Pengertian Bank Membicarakan bank, maka yang terbayang dalam benak kita adalah suatu tempat di

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Peran bank sangat besar dalam mendorong pertumbuhan ekonomi suatu

BAB I PENDAHULUAN. Peran bank sangat besar dalam mendorong pertumbuhan ekonomi suatu BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG Peran bank sangat besar dalam mendorong pertumbuhan ekonomi suatu negara. Hampir semua sektor usaha sangat membutuhkan bank sebagai mitra dalam melakukan transaksi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. di Indonesia, baik secara langsung maupun tidak langsung. Peran koperasi

BAB I PENDAHULUAN. di Indonesia, baik secara langsung maupun tidak langsung. Peran koperasi BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Koperasi berperan positif dalam pelaksanaan pembangunan nasional di Indonesia, baik secara langsung maupun tidak langsung. Peran koperasi diantaranya dalam peningkatan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Pembangunan nasional yang dilaksanakan selama ini merupakan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Pembangunan nasional yang dilaksanakan selama ini merupakan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pembangunan nasional yang dilaksanakan selama ini merupakan upaya pembangunan yang berkesinambungan dalam rangka mewujudkan masyarakat yang adil dan makmur berdasarkan

Lebih terperinci

PENGIKATAN PERJANJIAN DAN AGUNAN KREDIT

PENGIKATAN PERJANJIAN DAN AGUNAN KREDIT PENGIKATAN PERJANJIAN DAN AGUNAN KREDIT Rochadi Santoso rochadi.santoso@yahoo.com STIE Ekuitas Bandung Abstrak Perjanjian dan agunan kredit merupakan suatu hal yang lumrah dan sudah biasa dilakukan dalam

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN TENTANG PERJANJIAN KREDIT BANK. kelemahan, kelamahan-kelemahan tersebut adalah : 7. a. Hanya menyangkut perjanjian sepihak saja

BAB II TINJAUAN TENTANG PERJANJIAN KREDIT BANK. kelemahan, kelamahan-kelemahan tersebut adalah : 7. a. Hanya menyangkut perjanjian sepihak saja BAB II TINJAUAN TENTANG PERJANJIAN KREDIT BANK 1. Pengaturan Perjanjian Kredit Pengertian perjanjian secara umum dapat dilihat dalam Pasal 1313 Kitab Undang-undang Hukum Perdata, yaitu suatu perbuatan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Didalam kehidupan bermasyarakat kegiatan pinjam meminjam uang telah

BAB I PENDAHULUAN. Didalam kehidupan bermasyarakat kegiatan pinjam meminjam uang telah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Didalam kehidupan bermasyarakat kegiatan pinjam meminjam uang telah dilakukan sejak lama, masyarakat mengenal uang sebagai alat pembiayaan yang sah. Dapat kita ketahui

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. penduduk menjadikan Indonesia harus dapat meningkatkan berbagai

BAB I PENDAHULUAN. penduduk menjadikan Indonesia harus dapat meningkatkan berbagai BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia sebagai Negara kepulauan memiliki beberapa wilayah yang penduduknya tersebar dari Sabang sampai Merauke. Banyaknya penduduk menjadikan Indonesia harus

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. suatu usaha/bisnis. Tanpa dana maka seseorang tidak mampu untuk. memulai suatu usaha atau mengembangkan usaha yang sudah ada.

BAB I PENDAHULUAN. suatu usaha/bisnis. Tanpa dana maka seseorang tidak mampu untuk. memulai suatu usaha atau mengembangkan usaha yang sudah ada. 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Perbankan dalam kehidupan dewasa ini bukanlah merupakan sesuatu yang asing lagi. Bank tidak hanya menjadi sahabat masyarakat perkotaan, tetapi juga masyarakat perdesaan.

Lebih terperinci

BAB II PENGATURAN GADAI DEPOSITO DALAM KERANGKA HUKUM JAMINAN. mungkin akan terhindar dari itikad tidak baik debitur pemberi jaminan kebendaan

BAB II PENGATURAN GADAI DEPOSITO DALAM KERANGKA HUKUM JAMINAN. mungkin akan terhindar dari itikad tidak baik debitur pemberi jaminan kebendaan BAB II PENGATURAN GADAI DEPOSITO DALAM KERANGKA HUKUM JAMINAN A. Kerangka Hukum Jaminan Lembaga jaminan mempunyai tugas melancarkan dan mengamankan pemberian kredit, hal ini sesuai dengan tugas pokok bank

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Lembaga tersebut dimaksudkan sebagai perantara pihak-pihak yang. pembayaran bagi semua sektor perekonomian. 1

BAB I PENDAHULUAN. Lembaga tersebut dimaksudkan sebagai perantara pihak-pihak yang. pembayaran bagi semua sektor perekonomian. 1 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Lembaga perbankan sebagai salah satu lembaga keuangan mempunyai nilai strategis dalam kehidupan perekonomian suatu negara. Lembaga tersebut dimaksudkan sebagai perantara

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. adalah dengan menghimpun dana dari masyarakat dan menyalurkannya kembali

BAB I PENDAHULUAN. adalah dengan menghimpun dana dari masyarakat dan menyalurkannya kembali 11 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Bank sebagai lembaga keuangan memiliki banyak kegiatan, salah satunya adalah dengan menghimpun dana dari masyarakat dan menyalurkannya kembali kepada masyarakat dengan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat, kegiatan ini memegang peranan penting bagi kehidupan bank. umum di Indonesia khususnya dan di negara lain pada umumnya.

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat, kegiatan ini memegang peranan penting bagi kehidupan bank. umum di Indonesia khususnya dan di negara lain pada umumnya. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Perkembangan perekonomian Indonesia, khususnya dunia perbankan saat ini mengalami pertumbuhan dan perkembangan yang sangat baik, walaupun kegiatan bisnis bank umum sempat

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. yang sangat mendukung pertumbuhan ekonomi. Pengertian kredit menurutundang-undang

BAB 1 PENDAHULUAN. yang sangat mendukung pertumbuhan ekonomi. Pengertian kredit menurutundang-undang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Peranan perbankan dalam lalu lintas bisnis, dapat dianggap sebagai kebutuhan yang mutlak diperlukan oleh hampir semua pelaku bisnis, baik pengusaha besar maupun

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. tidak mungkin untuk dapat hidup sendiri tanpa membutuhkan bantuan dari manusia

BAB I PENDAHULUAN. tidak mungkin untuk dapat hidup sendiri tanpa membutuhkan bantuan dari manusia BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pada dasarnya manusia diciptakan oleh Tuhan sebagai makhluk sosial yang tidak mungkin untuk dapat hidup sendiri tanpa membutuhkan bantuan dari manusia lain. Hanya saja

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1. Latar Belakang dan Rumusan Masalah. Tujuan dari Pembangunan Nasional adalah untuk mewujudkan

BAB I PENDAHULUAN. 1. Latar Belakang dan Rumusan Masalah. Tujuan dari Pembangunan Nasional adalah untuk mewujudkan BAB I PENDAHULUAN 1. Latar Belakang dan Rumusan Masalah Pembangunan Nasional merupakan usaha peningkatan kualitas hidup masyarakat Indonesia yang kemudian dilakukan secara berkesinambungan yang meliputi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat. Jadi dalam pembangunan, masing-masing masyarakat diharap dapat. Indonesia yaitu pembangunan di bidang ekonomi

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat. Jadi dalam pembangunan, masing-masing masyarakat diharap dapat. Indonesia yaitu pembangunan di bidang ekonomi BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dalam suatu Negara tentu memerlukan suatu pembangunan untuk menjadi suatu Negara yang maju. Pembangunan yang dilaksanakan Bangsa Indonesia mengacu pada salah

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Perjanjian pengalihan..., Agnes Kusuma Putri, FH UI, Universitas Indonesia

BAB 1 PENDAHULUAN. Perjanjian pengalihan..., Agnes Kusuma Putri, FH UI, Universitas Indonesia 1 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Berdasarkan Undang-undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945, dinyatakan bahwa Indonesia merupakan negara hukum (rechtsstaat) yang bersumber pada Pancasila dan bukan

Lebih terperinci

Bab 1 PENDAHULUAN. merupakan suatu usaha untuk meningkatkan taraf hidup masyarakat, salah satu

Bab 1 PENDAHULUAN. merupakan suatu usaha untuk meningkatkan taraf hidup masyarakat, salah satu Bab 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Dalam kehidupan ekonomi dan perdagangan dewasa ini, sulit dibayangkan bahwa pelaku usaha, baik perorangan maupun badan hukum mempunyai modal usaha yang cukup untuk

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. tahunnya, maka berbagai macam upaya perlu dilakukan oleh pemerintah. lembaga keuangan yang diharapkan dapat membantu meningkatkan

BAB I PENDAHULUAN. tahunnya, maka berbagai macam upaya perlu dilakukan oleh pemerintah. lembaga keuangan yang diharapkan dapat membantu meningkatkan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dalam rangka mengatasi berbagai permasalahan ekonomi di Indonesia terkait dengan meningkatnya jumlah pengangguran di Indonesia di setiap tahunnya, maka berbagai

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN DAN PENGATURAN MENURUT KUH PERDATA. A. Pengertian Perjanjian dan Asas Asas dalam Perjanjian

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN DAN PENGATURAN MENURUT KUH PERDATA. A. Pengertian Perjanjian dan Asas Asas dalam Perjanjian BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN DAN PENGATURAN MENURUT KUH PERDATA A. Pengertian Perjanjian dan Asas Asas dalam Perjanjian 1. Pengertian Perjanjian Pasal 1313 KUH Perdata menyatakan Suatu perjanjian

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. segala kebutuhannya tersebut, bank mempunyai fungsi yang beragam dalam

BAB I PENDAHULUAN. segala kebutuhannya tersebut, bank mempunyai fungsi yang beragam dalam BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Seiring dengan perkembangan teknologi dan informasi yang terjadi, juga terjadi dalam dunia perekonomian, bahkan perkembangan kebutuhan masyarakat semakin tidak

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. roda perekonomian dirasakan semakin meningkat. Di satu sisi ada masyarakat

BAB I PENDAHULUAN. roda perekonomian dirasakan semakin meningkat. Di satu sisi ada masyarakat 9 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Dalam kehidupan sehari-hari keperluan akan dana guna menggerakkan roda perekonomian dirasakan semakin meningkat. Di satu sisi ada masyarakat yang kelebihan dana, tetapi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. nasional. Menurut Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik

BAB I PENDAHULUAN. nasional. Menurut Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Seiring berkembangnya zaman negara Indonesia telah banyak perkembangan yang begitu pesat, salah satunya adalah dalam bidang pembangunan ekonomi yang dimana sebagai

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Dalam kehidupan sehari-hari manusia tak lepas dari kebutuhan yang

BAB I PENDAHULUAN. Dalam kehidupan sehari-hari manusia tak lepas dari kebutuhan yang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dalam kehidupan sehari-hari manusia tak lepas dari kebutuhan yang bermacam-macam. Untuk memenuhi kebutuhan tersebut manusia harus berusaha dengan cara bekerja.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. adil dan makmur berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945,

BAB I PENDAHULUAN. adil dan makmur berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945, BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pembangunan ekonomi sebagai bagian dari pembangunan nasional merupakan salah satu upaya untuk mewujudkan kesejahteraan rakyat yang adil dan makmur berdasarkan Pancasila

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. harga-harga produksi guna menjalankan sebuah perusahaan bertambah tinggi

BAB I PENDAHULUAN. harga-harga produksi guna menjalankan sebuah perusahaan bertambah tinggi BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Seiring dengan pembangunan ekonomi yang dilakukan pemerintah sekarang ini, tidak hanya harga kebutuhan sehari-hari yang semakin tinggi harganya, namun harga-harga produksi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Melihat dari hal tersebut dapat dikatakan bahwa kegiatan pinjam-meminjam

BAB I PENDAHULUAN. Melihat dari hal tersebut dapat dikatakan bahwa kegiatan pinjam-meminjam 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kegiatan pinjam-meminjam uang telah dilakukan sejak lama dalam kehidupan masyarakat yang telah mengenal uang sebagai alat pembayaran. Hampir semua masyarakat

Lebih terperinci

BAB II PERJANJIAN DAN WANPRESTASI SECARA UMUM

BAB II PERJANJIAN DAN WANPRESTASI SECARA UMUM BAB II PERJANJIAN DAN WANPRESTASI SECARA UMUM A. Segi-segi Hukum Perjanjian Mengenai ketentuan-ketentuan yang mengatur perjanjian pada umumnya terdapat dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata pada Buku

Lebih terperinci

PENYELESAIAN KREDIT MACET DENGAN JAMINAN FIDUSIA

PENYELESAIAN KREDIT MACET DENGAN JAMINAN FIDUSIA PENYELESAIAN KREDIT MACET DENGAN JAMINAN FIDUSIA http://www.thepresidentpostindonesia.com I. PENDAHULUAN Perbankan adalah segala sesuatu yang menyangkut tentang bank, mencakup kelembagaan, kegiatan usaha

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG JAMINAN. Istilah jaminan merupakan terjemahan dari bahasa Belanda, yaitu zekerheid atau cautie.

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG JAMINAN. Istilah jaminan merupakan terjemahan dari bahasa Belanda, yaitu zekerheid atau cautie. BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG JAMINAN 1.1 Pengertian Jaminan Istilah jaminan merupakan terjemahan dari bahasa Belanda, yaitu zekerheid atau cautie. Zekerheid atau cautie mencakup secara umum cara-cara kreditur

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dimaksud dalam Undang-undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan

BAB I PENDAHULUAN. dimaksud dalam Undang-undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan BAB I PENDAHULUAN Pasal 1 angka 2 Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia menyebutkan bahwa, Jaminan Fidusia adalah hak jaminan atas benda bergerak baik yang berwujud maupun tidak berwujud

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. meningkat sesuai dengan usia dan status sosialnya namun seringkali

BAB I PENDAHULUAN. meningkat sesuai dengan usia dan status sosialnya namun seringkali BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Di jaman seperti sekarang ini kebutuhan seseorang akan sesuatu terus meningkat sesuai dengan usia dan status sosialnya namun seringkali kebutuhan ini tidak dapat terpenuhi

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM MENGENAI HUKUM JAMINAN

BAB II TINJAUAN UMUM MENGENAI HUKUM JAMINAN BAB II TINJAUAN UMUM MENGENAI HUKUM JAMINAN A. Pengertian Hukum Jaminan Hukum jaminan adalah peraturan hukum yang mengatur tentang jaminan - jaminan piutang seorang kreditur terhadap debitur. Menurut J.Satrio

Lebih terperinci

istilah perjanjian dalam hukum perjanjian merupakan kesepadanan Overeenkomst dari bahasa belanda atau Agreement dari bahasa inggris.

istilah perjanjian dalam hukum perjanjian merupakan kesepadanan Overeenkomst dari bahasa belanda atau Agreement dari bahasa inggris. BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG HUKUM PERJANJIAN A.Pengertian perjanjian pada umumnya a.1 Pengertian pada umumnya istilah perjanjian dalam hukum perjanjian merupakan kesepadanan dari istilah Overeenkomst

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Bank sebagai lembaga keuangan memiliki banyak kegiatan, salah satunya

BAB I PENDAHULUAN. Bank sebagai lembaga keuangan memiliki banyak kegiatan, salah satunya BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Bank sebagai lembaga keuangan memiliki banyak kegiatan, salah satunya adalah dengan menghimpun dana dari masyarakat dan menyalurkannya kembali kepada masyarakat dalam

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. khususnya dalam bidang harta kekayaan menjadi pendorong tumbuh dan

BAB 1 PENDAHULUAN. khususnya dalam bidang harta kekayaan menjadi pendorong tumbuh dan BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Perkembangan kehidupan manusia untuk mencapai suatu tujuan ekonomi khususnya dalam bidang harta kekayaan menjadi pendorong tumbuh dan berkembangnya badan hukum.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. perumahan mengakibatkan persaingan, sehingga membangun rumah. memerlukan banyak dana. Padahal tidak semua orang mempunyai dana yang

BAB I PENDAHULUAN. perumahan mengakibatkan persaingan, sehingga membangun rumah. memerlukan banyak dana. Padahal tidak semua orang mempunyai dana yang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Rumah merupakan salah satu kebutuhan paling pokok dalam kehidupan manusia. Rumah sebagai tempat berlindung dari segala cuaca sekaligus sebagai tempat tumbuh kembang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Seiring dengan meningkatnya pembangunan aspek ekonomi tentunya tidak

BAB I PENDAHULUAN. Seiring dengan meningkatnya pembangunan aspek ekonomi tentunya tidak BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Seiring dengan meningkatnya pembangunan aspek ekonomi tentunya tidak lepas dari faktor pendanaan untuk membiayai suatu aktivitas ekonomi dalam suatu usaha. Dana merupakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pinjaman yang mempunyai kelebihan uang bersedia meminjamkan uang kepada

BAB I PENDAHULUAN. pinjaman yang mempunyai kelebihan uang bersedia meminjamkan uang kepada 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kegiatan pinjam meminjam telah dilakukan sejak lama oleh masyarakat yang telah mengenal uang sebagai alat pembayaran yang sah. Pihak pemberi pinjaman yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. provisi, ataupun pendapatan lainnya. Besarnya kredit yang disalurkan akan

BAB I PENDAHULUAN. provisi, ataupun pendapatan lainnya. Besarnya kredit yang disalurkan akan 9 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pemberian kredit bagi bank merupakan kegiatan yang utama, karena pendapatan terbesar dari bank berasal dari sektor kredit baik dalam bentuk bunga, provisi, ataupun

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG DEPOSITO SEBAGAI JAMINAN KREDIT. pengertian hukum jaminan. Menurut J. Satrio, hukum jaminan itu diartikan peraturan hukum

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG DEPOSITO SEBAGAI JAMINAN KREDIT. pengertian hukum jaminan. Menurut J. Satrio, hukum jaminan itu diartikan peraturan hukum BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG DEPOSITO SEBAGAI JAMINAN KREDIT A. Pengertian dan Dasar Hukum Tentang Jaminan Kredit Sehubungan dengan pengertian hukum jaminan, tidak banyak literatur yang merumuskan pengertian

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Di dalam perkembangan dunia perbankan hingga beberapa tahun

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Di dalam perkembangan dunia perbankan hingga beberapa tahun BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Di dalam perkembangan dunia perbankan hingga beberapa tahun belakangan ini, nampak adanya kemajuan yang sangat berarti bagi pembangunan di bidang ekonomi, akan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Seiring dengan gencar-gencarnya Pemerintah meningkatkan kegiatan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Seiring dengan gencar-gencarnya Pemerintah meningkatkan kegiatan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Seiring dengan gencar-gencarnya Pemerintah meningkatkan kegiatan Pembangunan Nasional, peranan pihak swasta dalam kegiatan pembangunan semakin ditingkatkan juga. Sebab

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. - Uang berfungsi sebagai alat tukar atau medium of exchange yang dapat. cara barter dapat diatasi dengan pertukaran uang.

BAB I PENDAHULUAN. - Uang berfungsi sebagai alat tukar atau medium of exchange yang dapat. cara barter dapat diatasi dengan pertukaran uang. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Di zaman sekarang semua kegiatan manusia tidak lepas dari yang namanya uang. Mulai dari hal yang sederhana, sampai yang kompleks sekalipun kita tidak dapat lepas dari

Lebih terperinci

Hak Tanggungan. Oleh: Agus S. Primasta 2

Hak Tanggungan. Oleh: Agus S. Primasta 2 1 Oleh: Agus S. Primasta 2 Pengantar Secara awam, permasalahan perkreditan dalam kehidupan bermasyarakat yang adalah bentuk dari pembelian secara angsuran atau peminjaman uang pada lembaga keuangan atau

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dan sejahtera berdasarkan Pancasila dan Undang Undang Dasar Negara

BAB I PENDAHULUAN. dan sejahtera berdasarkan Pancasila dan Undang Undang Dasar Negara 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pembangunan nasional merupakan pembangunan yang berkelanjutan dalam mewujudkan kehidupan masyarakat yang makmur dan sejahtera berdasarkan Pancasila dan Undang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat yang adil dan makmur berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat yang adil dan makmur berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pembangunan Nasional yang dilaksanakan selama ini merupakan upaya pembangunan yang berkesinambungan dalam rangka mewujudkan masyarakat yang adil dan makmur berdasarkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Bank selaku lembaga penyedia jasa keuangan memiliki peran penting

BAB I PENDAHULUAN. Bank selaku lembaga penyedia jasa keuangan memiliki peran penting BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah. Bank selaku lembaga penyedia jasa keuangan memiliki peran penting bagi masyarakat, terutama dalam aktivitas di dunia bisnis. Bank juga merupakan lembaga yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pembangunan ekonomi bangsa Indonesia. Undang-undang Nomor 7 Tahun 1992

BAB I PENDAHULUAN. pembangunan ekonomi bangsa Indonesia. Undang-undang Nomor 7 Tahun 1992 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Peran bank sebagai salah satu lembaga keuangan sangat penting bagi pembangunan ekonomi bangsa Indonesia. Undang-undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan jo

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Kehadiran bank sebagai penyedia jasa keuangan berkaitan dengan kepentingan

I. PENDAHULUAN. Kehadiran bank sebagai penyedia jasa keuangan berkaitan dengan kepentingan 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kehadiran bank sebagai penyedia jasa keuangan berkaitan dengan kepentingan masyarakat yang akan mengajukan pinjaman atau kredit kepada bank. Kredit merupakan suatu istilah

Lebih terperinci

KEKUATAN EKSEKUTORIAL SERTIFIKAT JAMINAN FIDUSIA BERDASAR UNDANG UNDANG NOMOR 42 TAHUN 1999 TENTANG JAMINAN FIDUSIA

KEKUATAN EKSEKUTORIAL SERTIFIKAT JAMINAN FIDUSIA BERDASAR UNDANG UNDANG NOMOR 42 TAHUN 1999 TENTANG JAMINAN FIDUSIA KEKUATAN EKSEKUTORIAL SERTIFIKAT JAMINAN FIDUSIA BERDASAR UNDANG UNDANG NOMOR 42 TAHUN 1999 TENTANG JAMINAN FIDUSIA Retno Puspo Dewi Mahasiswa Program Studi Magister Kenotariatan Universitas Sebelas Maret

Lebih terperinci

PELAKSANAAN PENANGGUNGAN ( BORGTOCHT ) DALAM PERJANJIAN KREDIT. ( Studi Kasus di PD. BPR BANK PASAR Kabupaten Boyolali )

PELAKSANAAN PENANGGUNGAN ( BORGTOCHT ) DALAM PERJANJIAN KREDIT. ( Studi Kasus di PD. BPR BANK PASAR Kabupaten Boyolali ) SKRIPSI PELAKSANAAN PENANGGUNGAN ( BORGTOCHT ) DALAM PERJANJIAN KREDIT ( Studi Kasus di PD. BPR BANK PASAR Kabupaten Boyolali ) Disusun dan Diajukan Untuk Melengkapi Tugas Serta Syarat Guna Mencapai Derajat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. permodalan bagi suatu perusahaan dapat dilakukan dengan menarik dana dari

BAB I PENDAHULUAN. permodalan bagi suatu perusahaan dapat dilakukan dengan menarik dana dari BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sudah menjadi rahasia umum bahwa setiap perusahaan membutuhkan dana investasi sebagai modal untuk membangun dan mengembangkan bisnis perusahaan itu sendiri. Hal tersebut

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. hukum publik menurut Pasal 1 angka 2 Undang-Undang Nomor 10 Tahun tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992

BAB I PENDAHULUAN. hukum publik menurut Pasal 1 angka 2 Undang-Undang Nomor 10 Tahun tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Hukum Perdata mengenal dua subjek hukum, yaitu individu atau perorangan dan badan hukum. Badan hukum dibagi menjadi 2 (dua) macam yaitu badan hukum prifat seperti

Lebih terperinci

BAB III AKIBAT HUKUM DILAKUKAN ADDENDUM TERHADAP AKAD PEMBIAYAAN AL-MUSYARAKAH. 1. Keberadaan Addendum Terhadap Akad Pembiayaan Al-Musyarakah

BAB III AKIBAT HUKUM DILAKUKAN ADDENDUM TERHADAP AKAD PEMBIAYAAN AL-MUSYARAKAH. 1. Keberadaan Addendum Terhadap Akad Pembiayaan Al-Musyarakah BAB III AKIBAT HUKUM DILAKUKAN ADDENDUM TERHADAP AKAD PEMBIAYAAN AL-MUSYARAKAH 1. Keberadaan Addendum Terhadap Akad Pembiayaan Al-Musyarakah Bank syariah dalam memberikan fasilitas pembiayaan Al-Musyarakah

Lebih terperinci

ASPEK HUKUM PENGALIHAN HAK TAGIHAN MELALUI CESSIE 1 Oleh: Muhamad Rizky Djangkarang 2

ASPEK HUKUM PENGALIHAN HAK TAGIHAN MELALUI CESSIE 1 Oleh: Muhamad Rizky Djangkarang 2 ASPEK HUKUM PENGALIHAN HAK TAGIHAN MELALUI CESSIE 1 Oleh: Muhamad Rizky Djangkarang 2 ABSTRAK Tujuan dilakukannya penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimanakah jaminan hukum terhadap pengalihan hak

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Perbankan mempunyai peranan penting dalam menjalankan. Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perbankan diatur bahwa:

BAB I PENDAHULUAN. Perbankan mempunyai peranan penting dalam menjalankan. Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perbankan diatur bahwa: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dalam menghadapi perkembangan perekonomian nasional yang bergerak cepat, kompetitif, dan terintegrasi dengan tantangan yang semakin kompleks serta sistem keuangan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Undang-Undang Perbankan) Pasal 1 angka 11, menyebutkan : uang agar pengembalian kredit kepada debitur dapat dilunasi salah satunya

BAB I PENDAHULUAN. Undang-Undang Perbankan) Pasal 1 angka 11, menyebutkan : uang agar pengembalian kredit kepada debitur dapat dilunasi salah satunya 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Perkembangan ekonomi menyebabkan meningkatnya usaha dalam sektor Perbankan. Fungsi perbankan yang paling utama adalah sebagai lembaga intermediary, yakni menghimpun

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. menjadi suatu alat bukti, maka tulisan tersebut dinamakan akta (acte) 1.

BAB 1 PENDAHULUAN. menjadi suatu alat bukti, maka tulisan tersebut dinamakan akta (acte) 1. BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kebutuhan akan adanya alat bukti tertulis dalam suatu pembuktian di Pengadilan mengakibatkan semua perbuatan hukum yang dilakukan oleh masyarakat yang menyangkut

Lebih terperinci

ASPEK HUKUM PERSONAL GUARANTY. Atik Indriyani*) Abstrak

ASPEK HUKUM PERSONAL GUARANTY. Atik Indriyani*) Abstrak ASPEK HUKUM PERSONAL GUARANTY Atik Indriyani*) Abstrak Personal Guaranty (Jaminan Perorangan) diatur dalam buku III, bab XVII mulai pasal 1820 sampai dengan pasal 1850 KUHPerdata tentang penanggungan utang.

Lebih terperinci

EKSEKUSI BARANG JAMINAN FIDUSIA DAN HAMBATANNYA DALAM PRAKTEK

EKSEKUSI BARANG JAMINAN FIDUSIA DAN HAMBATANNYA DALAM PRAKTEK EKSEKUSI BARANG JAMINAN FIDUSIA DAN HAMBATANNYA DALAM PRAKTEK Oleh : Masyhuri Fakultas Hukum Universitas Wahid Hasyim Semarang Email : ABSTRAK Jaminan fidusia merupakan bentuk jaminan yang sangat disukai

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. tugas yang diemban perbankan nasional tidaklah ringan. 1. perbankan menyatakan bahwa bank adalah : badan usaha yang menghimpun

BAB I PENDAHULUAN. tugas yang diemban perbankan nasional tidaklah ringan. 1. perbankan menyatakan bahwa bank adalah : badan usaha yang menghimpun BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Industri perbankan memegang peranan penting untuk menyukseskan program pembangunan nasional dalam rangka mencapai pemerataan pendapatan, menciptakan pertumbuhan ekonomi,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. berbuat semaksimal mungkin dan mengerahkan semua kemampuannya untuk

BAB I PENDAHULUAN. berbuat semaksimal mungkin dan mengerahkan semua kemampuannya untuk 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia adalah negara yang populasi manusianya berkembang sangat pesat. Pertumbuhan jumlah penduduk yang meningkat tajam pada setiap tahun akan menimbulkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pembangunan berkesinambungan dalam rangka mewujudkan masyarakat

BAB I PENDAHULUAN. pembangunan berkesinambungan dalam rangka mewujudkan masyarakat BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sebagaimana diketahui bahwa pembangunan nasional merupakan upaya pembangunan berkesinambungan dalam rangka mewujudkan masyarakat Indonesia yang adil dan makmur berdasarkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan dan. strategis dalam kehidupan perekonomian suatu negara.

BAB I PENDAHULUAN. menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan dan. strategis dalam kehidupan perekonomian suatu negara. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pengertian bank sesuai dengan Pasal 1 butir 2 Undang-undang no.10 tahun 1998 yang merupakan perubahan atas Undang-undang No.7 tahun 1992 tentang perbankan yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. macam kegiatan untuk memenuhi kebutuhan tersebut. Untuk dapat memenuhi

BAB I PENDAHULUAN. macam kegiatan untuk memenuhi kebutuhan tersebut. Untuk dapat memenuhi 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Manusia selalu berusaha untuk mencapai kesejahteraan dalam hidupnya. Hal ini menyebabkan setiap manusia di dalam kehidupannya senantiasa melakukan berbagai

Lebih terperinci