KEANEKARAGAMAN, STRUKTUR POPULASI DAN POLA SEBARAN SYZYGIUM DI GUNUNG BAUNG, JAWA TIMUR DEDEN MUDIANA

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "KEANEKARAGAMAN, STRUKTUR POPULASI DAN POLA SEBARAN SYZYGIUM DI GUNUNG BAUNG, JAWA TIMUR DEDEN MUDIANA"

Transkripsi

1 KEANEKARAGAMAN, STRUKTUR POPULASI DAN POLA SEBARAN SYZYGIUM DI GUNUNG BAUNG, JAWA TIMUR DEDEN MUDIANA SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2012

2 PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Keanekaragaman, Struktur Populasi dan Pola Sebaran Syzygium Di Gunung Baung Jawa Timur adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini. Bogor, September 2012 Deden Mudiana NRP E

3 ABSTRACT DEDEN MUDIANA. Diversity, Population Structure and Distribution Paterrn of Syzygium in Gunung Baung, East Java. Under the supervision of AGUS HIKMAT and DIDIK WIDYATMOKO The research of Syzygium diversity, its population structure and the distribution patterns were conducted in Gunung Baung Nature Park, East Java. A total of five block locations, each comprising five transect sections, were purposively selected to obtain data of the taxon diversity, population stucture and distribution patterns. The importance value index, the individual number of each stratum (stage class) (i.e. seedlings, saplings, poles and trees) and variance-to-mean ratio were calculated. The principal component analysis, cluster analysis, multiple linear regressions and canonical correspondence analysis were performed to determine the relationships between abiotic and biotic factors in regard with the presence of Syzygium. There were six species of Syzygium in Gunung Baung, Pasuruan, namely S. cumini, S. polyanthum, S. littorale, S. pycnanthum, S. racemosum, and S. samarangense. The population structure of Syzygium varied considerably, only S. pycnanthum and S. racemosum had an ideal structure. This was presumably due to some problems faced by the genus in the process of regeneration, especially during the seedling phase. The distribution patterns of the Syzygium members were generally grouped prefering fertile sites on the slopes. Altitude and the number of bamboo clumps became the determinant (influencing) variables affecting significantly the existence of Syzygium in this mount. Key words: Syzygium, species diversity, population structure, distribution patterns, Gunung Baung

4 RINGKASAN DEDEN MUDIANA. Keanekaragaman, Struktur Populasi dan Pola Sebaran Syzygium di Gunung Baung Jawa Timur. Dibimbing oleh AGUS HIKMAT dan DIDIK WIDYATMOKO. Syzygium merupakan marga dari suku Myrtaceae (jambu-jambuan) yang memiliki jumlah spesies sangat banyak. Tercatat kurang lebih spesies Syzygium tumbuh di wilayah tropis Asia dan Afrika hingga sebagian Australia. Indonesia menjadi bagian penting dari pusat penyebaran Syzygium, tetapi sedikit sekali spesies dari marga ini yang telah dikenal oleh masyarakat. Kondisi hutan alam di Jawa yang menjadi habitat alami Syzygium semakin berkurang luasannya. Salah satu kawasan hutan tersebut adalah Taman Wisata Alam (TWA) Gunung Baung yang terletak di Kabupaten Pasuruan, Jawa Timur. Marga Syzygium adalah salah satu kelompok tumbuhan yang terdapat di kawasan tersebut, akan tetapi data dan informasi mengenai keanekaragaman spesies dan kondisi populasinya belum banyak diketahui. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengidentifikasi dan menganalisis keanekaragaman spesies Syzygium, struktur populasi serta pola sebarannya di TWA Gunung Baung, Pasuruan, Jawa Timur. Kegiatan penelitian dilakukan dari bulan November 2011 sampai dengan Februari Survey pendahuluan dilakukan untuk mendapatkan informasi mengenai keberadaan Syzygium di lokasi penelitian. Sebanyak 5 lokasi dipilih untuk menempatkan plot-plot pengamatan. Pembuatan plot pengamatan untuk analisis vegetasi dilakukan dengan mengikuti metode kombinasi jalur dan petak yang penempatannya dilakukan secara purposive. Data lapangan yang dicatat meliputi nama spesies, jumlah individu, diameter dan tinggi pohon, jumlah semai, pancang, tiang dan pohon serta data lingkungan. Data lingkungan yang dicatat meliputi ketinggian tempat, kelerengan, suhu udara, kelembapan udara, intensitas penyinaran, ph tanah dan kelembaban tanah. Pengambilan sampel tanah dilakukan sebanyak 2 kali pada titik berbeda pada masing-masing lokasi plot pengamatan, pada kedalaman 0-30 cm dan cm. Analisis tanah dilakukan di Laboratorium Kimia Tanah, Jurusan Tanah, Fakultas Pertanian, Universitas Brawijaya. Komposisi vegetasi dan struktur populasi Syzygium dianalisis dengan menggunakan Indeks Nilai Penting (INP). Struktur populasi Syzygium dianalisis secara deskriptif dengan menghitung kerapatan individu pada setiap stara pertumbuhannya (semai, pancang, tiang dan pohon). Analisis pola sebaran dilakukan dengan menggunakan metode rasio ragam, dan metode nilai indeks. Analisis asosiasi interspesies dilakukan antara spesies Syzygium dengan spesies lainnya dengan menggunakan Indeks Jaccard. Hubungan antara Syzygium dengan kondisi lingkungan tempat tumbuhnya dijelaskan dengan pendekatan analisis klaster, analisis komponen utama, regresi linear berganda, dan analisis canonical koresponden (CCA) dengan menggunakan perangkat lunak Minitab 14, PAST 2.4, dan Canoco 4.5. Terdapat enam spesies Syzygium yang tumbuh secara alami di lokasi penelitian, yaitu: Syzygium cumini, S. littorale, S. polyanthum, S. pycnanthum, S. racemosum, dan S. samarangense. S. pycnanthum merupakan spesies yang paling banyak dijumpai, sedangkan S. samarangense adalah spesies yang paling sedikit jumlah individunya. Struktur populasi Syzygium di TWA Gunung Baung sangat

5 beragam. S. pycnanthum dan S. racemosum yang memiliki individu pada semua strata pertumbuhannya dengan kurva struktur populasi berbentuk J terbalik. Bentuk kurva ini mengindikasikan terjadinya proses regenerasi yang berlangsung secara baik. Hasil analisis pola sebaran yang dilakukan menunjukkan bahwa keseluruhan spesies Syzygium menyebar secara berkelompok. S. samarangense yang hanya dijumpai satu individu dalam satu petak pengamatan tidak dapat dianalisis pola sebarannya karena tidak dapat menggambarkan kondisi penyebarannya. Analisis asosiasi interspesies yang dilakukan menunjukan ada sebanyak 23 pasang spesies yang berasosiasi. Empat pasang berasosiasi negatif dan 19 pasang berasosiasi positif. Namun demikian nilai indeks asosiasinya sangat kecil yaitu < 0,2 sehingga dapat disimpulkan bahwa hampir tidak terdapat asosiasi yang spesifik antara spesies Syzygium dengan suatu spesies tumbuhan lainnya di TWA Gunung Baung. Analisis klaster yang dilakukan terhadap tempat tumbuh Syzygium menunjukan adanya kemiripan antar beberapa spesies. Secara garis besar terdapat tiga karakter habitat Syzygium yang tumbuh di TWA Gunung Baung berdasarkan kondisi vegetasi (biotik) dan fisik lingkungannya (abiotik), yaitu: 1. Kondisi habitat yang didominasi oleh Bambusa blumeana, sedikit pohon pada daerah lereng bukit, dengan ketinggian tempat antara m dpl. Spesies Syzygium yang tumbuh di sini adalah S. pycnanthum dan S. racemosum; 2. Kondisi habitat dengan dominasi Bambusa blumeana yang tidak rapat, banyak dijumpai tempat terbuka dengan vegetasi semak dan pohon, pada lereng dan punggung bukit, dengan ketinggian tempat berkisar antara m dpl. Spesies Syzygium yang tumbuh di sini lebih banyak yaitu: S. cumini, S. polyanthum, S. littorale, S. pycnanthum, S racemosum dan S. samarangense; 3. Kondisi habitat dengan dominasi Schizostachyum zollingeri, sedikit pohon, pada daerah lereng berbukit, dengan ketinggian tempat berkisar antara m dpl, dan kemungkinan kecil untuk dapat menjumpai Syzygium di lokasi ini. Hasil analisis tanah yang diambil dari lokasi penelitian mengindikasikan bahwa kemampuan tanah untuk menyediakan unsur hara bagi pertumbuhan tanaman cukup baik. Hal ini dapat tergambar dari sifat tekstur tanah, nilai KTK, kejenuhan basa, dan kandungan hara makro lainnya. Berdasarkan jenis tanahnya, keberadaan Syzygium di TWA Gunung Baung lebih banyak dijumpai pada lokasi dengan jenis tanah latosol daripada lokasi yang memiliki jenis tanah mediteran. Hasil analisis komponen utama yang dilakukan terhadap faktor-faktor abiotik tempat tumbuh Syzygium menunjukkan bahwa kelembapan udara merupakan variabel lingkungan fisik yang cukup berpengaruh pada faktor komponen pertama diikuti suhu udara dan ketinggian tempat. Variabel ph tanah dan ketinggian tempat adalah variabel lingkungan fisik yang berpengaruh pada faktor komponen kedua. Terdapat korelasi yang cukup besar antara variabel kelerengan dan ketinggian tempat. Variabel luas rumpun bambu dan jumlah rumpun bambu adalah variabel lingkungan biotik yang cukup berpengaruh pada faktor komponen pertama. Variabel jumlah individu pancang dan variabel jumlah individu semai adalah variabel lingkungan biotik yang cukup berpengaruh pada faktor komponen kedua. Terdapat korelasi yang cukup besar antara variabel luas rumpun bambu dan jumlah rumpun bambu.

6 Analisis regresi linear berganda dengan metode stepwise dilakukan untuk mengetahui faktor-faktor lingkungan yang berpengaruh terhadap keberadaan Syzygium di Gunung Baung. Dari 13 variabel bebas yang digunakan, hanya dua variabel yang berpengaruh terhadap keberadaan Syzygium, yaitu jumlah rumpun bambu dan ketinggian tempat (altitude). Persamaan regresinya adalah ln Jumlah individu Syzygium = -6, ,28 ln ketinggian tempat - 0,153 ln jumlah rumpun bambu. Kata kunci : spesies Syzygium, keanekaragaman spesies, struktur populasi, pola sebaran, Gunung Baung

7 Hak Cipta miliki IPB, tahun 2012 Hak Cipta dilindungi Undang-undang Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya.pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apapun tanpa ijin IPB.

8 KEANEKARAGAMAN, STRUKTUR POPULASI DAN POLA SEBARAN SYZYGIUM DI GUNUNG BAUNG, JAWA TIMUR DEDEN MUDIANA Tesis sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Mayor Konservasi Biodiversitas Tropika SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2012

9 Penguji luar komisi pada ujian tesis: Dr. Ir. Istomo, MS.

10

11 PRAKATA Puji syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT atas segala rahmat dan hidayah-nya sehingga penyusunan tesis dengan judul Keanekaragaman, Struktur Populasi dan Pola Sebaran Syzygium di Gunung Baung, Jawa Timur dapat diselesaikan. Penulis mengucapkan terima kasih sebesar-besarnya kepada Dr. Ir. Agus Hikmat, M.Sc.F.Trop dan Dr. Didik Widyatmoko, M.Sc selaku komisi pembimbing yang telah memberikan banyak arahan, bimbingan, masukan, dan pemikiran sehingga penulis dapat menyelesaikan tesis ini. Penulis mengucapkan banyak terima kasih kepada Kementrian Negara Riset dan Teknologi Republik Indonesia, yang telah memberikan kesempatan bagi penulis untuk dapat melanjutkan studi melalui beasiswa Karya Siswa Ristek tahun Penulis mengucapkan terima kasih pula kepada: 1. Prof. Dr. Ir. Ervizal A.M. Zuhud, MS, selaku Ketua Mayor Konservasi Biodiversitas Tropika atas segala perhatian, saran, dan masukannya selama perkuliahan dan penyusunan tesis, 2. Dr. Ir. Istomo, MS. selaku dosen penguji pada ujian tesis penulis atas segala masukannya, 3. Ir. Mustaid Siregar, MP. Selaku Kepala Pusat Konservasi Tumbuhan Kebun Raya Bogor, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, yang telah memberikan kesempatan dan dorongan kepada penulis untuk dapat melanjutkan studi, 4. Dr. R. Hendrian, selaku Kepala UPT Balai Konservasi Tumbuhan Kebun Raya Purwodadi, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia yang telah memberikan dukungan kesempatan dan dorongan kepada penulis untuk dapat melanjutkan studi, 5. Ir. Solikin, MP. yang telah memberikan kesempatan bagi penulis untuk dapat melanjutkan studi, 6. Kepala Balai Besar Konservasi Sumberdaya Alam Jawa Timur yang telah memberikan kesempatan untuk dapat melakukan kegiatan penelitian di Kawasan Taman Wisata Alam Gunung Baung. 7. Penulis mengucapkan terimakasih kepada semua pihak yang telah membantu pelaksanaan penelitian hingga penyusunan tesis ini. Terima kasih bagi teman-teman Program Studi KVT 2010 atas kebersamaan, kerjasama, dukungan dan perahabatan yang telah terjalin erat selama ini. Terima kasih kepada Bapak Pramujito, Bapak Matrani dan Bapak Chaerul Fatah yang selalu membantu mendampingi penulis selama pengambilan data di lapangan. Secara khusus, ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada Ibunda Suchaenah beserta adik-adik tercinta: Wawan Munawar dan Ligar Muninggar, yang senantiasa memberikan motivasi, dorongan dan doa kepada penulis. Penghargaan dan ucapan terima kasih penulis sampaikan bagi Esti Endah Ariyanti, istri tercinta, yang senantiasa memberikan dorongan dan doa serta mendampingi penulis selama ini. Semoga karya tulis ini dapat bermanfaat, amin. Bogor, September 2012 Deden Mudiana

12 RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Indramayu pada tanggal 28 Maret 1975, putra dari Bapak Mas Effendi (almarhum) dan Ibu Suchaenah. Penulis merupakan anak pertama dari tiga bersaudara. Tahun 1993 penulis lulus dari SMA Negeri 1 Indramayu dan pada tahun yang sama diterima di Jurusan Konservasi Sumberdaya Hutan, Fakultas Kehutanan IPB melalui jalur Ujian Seleksi Masuk IPB (USMI). Pada tahun 2010, penulis mendapat kesempatan untuk melanjutkan studi program Magister Sains pada Mayor Konservasi Biodiversitas Tropika, Sekolah Pascasarjana IPB melalui Beasiswa Karya Siswa Ristek dari Kementrian Negara Riset dan Teknologi Republik Indonesia. Pada tahun 1999 penulis diterima sebagai staf peneliti di Balai Konservasi Tumbuhan Kebun Raya Eka Karya Bali, LIPI. Pada tahun 2005, penulis pindah tugas ke UPT Balai Konservasi Tumbuhan Kebun Raya Purwodadi hingga saat ini.

13 DAFTAR ISI DAFTAR TABEL... DAFTAR GAMBAR... DAFTAR LAMPIRAN... Halaman xiii xiv xvi I. PENDAHULUAN Latar Belakang Perumusan Masalah Tujuan Penelitian Manfaat Penelitian Kerangka Pemikiran... 6 II. TINJAUAN PUSTAKA Bioekologi Syzygium Klasifikasi Morfologi Syzygium Ekologi dan Penyebaran Syzygium Pemanfaatan Syzygium Status dan Kepentingan Konservasi Syzygium Studi Populasi Tumbuhan Pola Sebaran Taman Wisata Alam III. KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN Letak dan Luas Kawasan Kondisi Fisik Kawasan Topografi dan Tanah Iklim Kondisi Biologi Kawasan Kondisi Sosial Ekonomi Sekitar Kawasan IV. METODE PENELITIAN Waktu dan Lokasi Penelitian Alat dan Bahan Metode Pengumpulan Data Keanekaragaman Spesies Syzygium Data Ekologi Syzygium Data Vegetasi dan Struktur Populasi Pola Sebaran Syzygium Metode Analisis Data Analisis Keanekaragaman Spesies Analisis Vegetasi dan Struktur Populasi Analisis Pola Sebaran Asosiasi Syzygium dengan Spesies Lainnya xi

14 Analisis Faktor Ekologis Diagram Alir Penelitian V. HASIL DAN PEMBAHASAN Komposisi dan Struktur Vegetasi TWA Gunung Baung Spesies Syzygium Di TWA Gunung Baung Syzygium cumini (L.) Skeels Syzygium litorale (Blume) Amshoff Syzygium polyanthum (Wigth.) Walp Syzygium pycnanthum Merr. & L.M.Perry Syzygium racemosum (Bl.)DC Syzygium samarangense (Bl.) Merr. & L.M. Perry Struktur Populasi Syzygium Pola Sebaran Syzygium Asosiasi Tumbuhan dan Syzygium Kondisi Lingkungan Fisik Tempat Tumbuh Syzygium Kondisi Lingkungan Biotik Tempat Tumbuh Syzygium Karakter Lingkungan Tempat Tumbuh Syzygium Kondisi Tanah Kondisi Syzygium dan Bambu di TWA Gunung Baung Syzygium dan Faktor Lingkungan Analisis Komponen Utama Regresi Linear Berganda Potensi dan Pemanfaatan Syzygium Status dan Upaya Konservasi Syzygium VI. KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Saran DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN xii

15 DAFTAR TABEL Halaman 1 Kondisi vegetasi dominan pada tiap-tiap lokasi blok 24 pengamatan... 2 Tabel kontingensi 2 x 2 untuk asosiasi spesies Indeks Nilai Penting (INP) >10% dari spesies tumbuhan pada setiap strata/habitus di Gunung Baung, Jawa Timur Nilai indeks keanekaragaman spesies Shannon-Wiener pada setiap strata pertumbuhan vegetasi di TWA Gunung Baung, Jawa Timur Jumlah individu Syzygium berdasarkan kelas diameter batang di Gunung Baung, Jawa Timur Jumlah individu Syzygium berdasarkan kelas tinggi pohon Nilai varian dan rata-rata jumlah individu Syzygium untuk penentuan pola sebaran dengan metode rasio ragam Nilai indeks pola sebaran untuk tiap spesies Syzygium di TWA Gunung Baung, Jawa Timur Nilai Indeks asosiasi seluruh spesies (VR) untuk tiap strata pertumbuhan Nilai Indeks Jacard pasangan spesies yang berasosiasi Kondisi parameter lingkungan fisik perjumpaan tiap spesies Syzygium (nilai rata-rata) Kondisi parameter lingkungan biotik perjumpaan tiap spesies Syzygium (nilai rata-rata) Jumlah petak perjumpaan Syzygium berdasarkan lokasi blok pengamatan Jumlah individu Syzygium berdasarkan lokasi blok pengamatan Kesesuaian tempat tumbuh spesies Syzygium berdasarkan pada lokasi blok pengamatannya Kondisi jumlah petak, jumlah rumpun dan luas rumpun bambu pada tiap blok lokasi pengamatan Jumlah spesies, individu dan petak Syzygium pada tiap lokasi blok pengamatan di TWA Gunung Baung, Jawa Timur Nilai eigenvalue dan nilai faktor masing-masing variabel lingkungan fisik tempat tumbuh Syzygium Nilai eigenvalue dan nilai faktor masing-masing variabel lingkungan biotik tempat tumbuh Syzygium. 76 xiii

16 DAFTAR GAMBAR Halaman 1 Alur kerangka pemikiran penelitian Hubungan antara tumbuhan, flora dan vegetasi beserta variabel analisisnya ( Modifikasi dari Fachrul 2008) Kawasan Taman Wisata Alam Gunung Baung, Pasuruan, Jawa Timur 18 4 Grafik jumlah penduduk di empat desa sekitar Gunung Baung 20 5 Komposisi prosentase mata pencaharian penduduk di empat desa sekitar TWA Gunung Baung Lokasi blok penelitian dimana petak-petak pengamatan 24 dibuat di Gunung Baung, Jawa Timur... 7 Kombinasi jalur berpetak untuk kegiatan analisis vegetasi Diagram alir tahapan penelitian Bunga (a), buah (b), dan perawakan pohon Syzygium cumini (c) Bunga (a), kuncup bunga (b), dan perawakan pohon Syzygium litorale (c) Bunga (a), daun (b), dan perawakan pohon Syzygium polyanthum (c) Buah muda varian buah berwarna merah keunguan (a), varian buah berwarna hijau (b), dan perawakan pohon Syzygium pycnanthum (c) Bunga (a), daun (b), dan perawakan pohon Syzygium racemosum (c) Kuncup bunga (a), daun (b), dan perawakan pohon Syzygium samarangense (c) Histogram struktur populasi berbagai spesies Syzygium berdasarkan tingkat strata pertumbuhannya di Gunung Baung, Jawa Timur Histogram jumlah petak dan proporsi perjumpaan spesies Syzygium di Gunung Baung, Jawa Timur Dendogram kesamaan karakter fisik lingkungan tempat tumbuh Syzygium Dendogram kesamaan karakter fisik lingkungan tempat tumbuh Syzygium dengan memasukkan karakter Syzygium secara keseluruhan Dendogram kesamaan karakter lingkungan biotik tempat tumbuh Syzygium Dendogram kesamaan karakter lingkungan biotik tempat tumbuh Syzygium dengan memasukkan karakter Syzygium secara keseluruhan Kondisi lingkungan fisik pada blok pengamatan Syzygium di TWA Gunung Baung Dendogram klaster kondisi lingkungan blok pengamatan Syzygium Dendogram klaster kondisi lingkungan habitat Syzygium xiv

17 berdasarkan pada petak pengamatan perjumpaan Syzygium Kondisi kimia tanah pada tiap blok pengamatan di TWA Gunung Baung Dendogram lokasi blok pengamatan berdasarkan pada kondisi vegetasi bambu di TWA Gunung Baung Grafik regresi linear sederhana antara jumlah individu Syzygium dengan jumlah rumpun bambu Grafik regresi linear sederhana antara jumlah individu Syzygium dengan luas rumpun rumpun bambu Hasil analisis komponen utama terhadap variabel lingkungan fisik tempat tumbuh Syzygium di Gunung Baung Hasil analisis komponen utama terhadap variabel lingkungan biotik tempat tumbuh Syzygium di Gunung Baung Distribusi 6 spesies Syzygium terhadap variabel lingkungan fisik dan biotik di TWA Gunung Baung Distribusi strata pertumbuhan Syzygium terhadap variabel lingkungan fisik dan biotik di TWA Gunung baung 81 xv

18 DAFTAR LAMPIRAN Halaman 1 Daftar spesies tumbuhan di lokasi penelitian 99 2 Indeks Nilai Penting (INP) tingkat semai dan tumbuhan bawah Indeks Nilai Penting (INP) tingkat pancang Indeks Nilai Penting (INP) tingkat tiang Indeks Nilai Penting (INP) tingkat pohon Indeks Nilai Penting (INP) bambu Rata-rata nilai faktor lingkungan petak pengamatan pada masing-masing lokasi blok pengamatan Data kimia tanah Tabel kontingensi berpasangan nilai asosiasi antar spesies pada strata tingkat semai dan tumbuhan bawah Tabel kontingensi berpasangan nilai asosiasi antar spesies pada strata tingkat pancang Tabel kontingensi berpasangan nilai asosiasi antar spesies pada strata tingkat tiang Tabel kontingensi berpasangan nilai asosiasi antar spesies pada strata tingkat pohon Tabel kontingensi berpasangan nilai asosiasi antara spesies bambu dengan Syzygium pada strata pertumbuhan tingkat semai Tabel kontingensi berpasangan nilai asosiasi antara spesies bambu dengan Syzygium pada strata pertumbuhan tingkat pancang Tabel kontingensi berpasangan nilai asosiasi antara spesies bambu dengan Syzygium pada strata pertumbuhan tingkat tiang Tabel kontingensi berpasangan nilai asosiasi antara spesies bambu dengan Syzygium pada strata pertumbuhan tingkat pohon Hasil analisis komponen utama untuk faktor lingkungan fisik tempat tumbuh Syzygium Hasil analisi komponen utama untuk faktor biotik tempat tumbuh Syzygium Hasil analisis regresi linear bergana jumlah Syzygium dan variabel lingkungannya Korelasi antar variabel Peta penyebaran Syzygium di TWA Gunung Baung Daftar spesies Syzygium yang tercantum dalam Redlist IUCN xvi

19 I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Syzygium merupakan marga dari suku Myrtaceae (jambu-jambuan) yang memiliki jumlah spesies yang sangat banyak. Tercatat kurang lebih 1200 spesies Syzygium yang tumbuh di wilayah tropis Asia dan Afrika hingga sebagian Australia. Di Wilayah Asia spesiesnya tersebar pada beberapa wilayah sebagai berikut: 70 spesies di kawasan Indo-China, 80 spesies di Thailand, 190 spesies di Semenanjung Malaya, 50 spesies di Jawa, 165 spesies di Borneo, 180 spesies di Filipina, dan 140 spesies di New Guinea. Filipina dan New Guinea serta Semenanjung Malaya dan Borneo adalah dua wilayah utama pusat penyebaran dan endemisitas kelompok marga ini (Haron et al. 1995). Meskipun Indonesia menjadi bagian dari dari pusat penyebaran Syzygium, akan tetapi sedikit sekali spesies dari marga ini yang telah dikenal oleh masyarakat. Beberapa spesies yang telah dikenal antara lain adalah Syzygium aromaticum (cengkeh), S. samarangense (jambu semarang), S. aqueum (jambu air), S. malaccense (jambu bol atau jambu darsono), dan S. polyanthum (salam). Umumnya spesies tersebut telah dikenal oleh masyarakat karena telah banyak dibudidayakan. Spesies tersebut biasanya dikenal karena dikonsumsi buahnya, ataupun sebagai bahan baku obat dan industri. Jumlah spesies yang dibudidayakan sangat sedikit jika dibandingkan dengan jumlah spesies yang belum dibudidayakan. Dalam perdagangan kayu beberapa spesies Syzygium merupakan pohon yang menghasilkan kayu industri. Syzygium hanya dikenal sebagai pohon penghasil kayu minor, yang artinya tidak diperhitungkan sebagai spesies penghasil kayu perdagangan utama. Secara umum dikelompokan sebagai kelompok kayu dengan sebutan kelat. Beberapa spesies penghasil kayu tersebut antara lain: S. buettnerianum, S. claviflorum, S. grande, S. longiflorum, S. nervosum, S. polyanthum, dan S. syzygoides (Haron et al. 1995). Terdapat 50 spesies Syzygium yang dijumpai tumbuh di Pulau Jawa. Sebagian besar merupakan spesies yang tumbuh secara alami di hutan (Backer dan van den Brink 1963). Habitat alami bagi spesies dari marga ini adalah hutan hujan pada berbagai tipe vegetasi. Kondisi hutan alam di Jawa yang semakin

20 2 berkurang luasannya. Tekanan yang besar dialami oleh kawasan hutan di Jawa. Hal ini diakibatkan oleh kebutuhan lahan yang meningkat bagi kegiatan pembangunan. Akibatnya konversi lahan terus terjadi. Kawasan hutan konservasi di Jawa yang dikelola oleh pihak Kementrian Kehutanan relatif lebih terjaga karena memiliki status yang jelas mengenai fungsi pengelolaannya. Meskipun hal ini tidak menjadi jaminan bahwa kawasan tersebut tidak dapat dijangkau/dirambah oleh masyarakat. Setidaknya, secara legal kawasan-kawasan tersebut telah memiliki status hukum yang jelas sebagai kawasan konservasi. Tekanan terhadap kawasan konservasi dapat menimbulkan bencana bagi kelestarian spesies tumbuhan yang hidup di dalamnya. Beberapa spesies Syzygium telah mengalami bahaya kepunahan. International Union for the Conservation of Nature and Natural Resources (IUCN) menetapkan dua spesies di antaranya termasuk ke dalam spesies yang langka. Keduanya adalah spesies Syzygium dari Jawa. Kedua spesies tersebut adalah S. ampliflorum dan S. discophorum (Whitten at al. 1999). Kondisi ini memerlukan perhatian untuk mengupayakan konservasi terhadapan keberadaan spesies- spesies tersebut. Hal ini dimaksudkan agar keberadan spesies Syzygium, terutama yang belum banyak dikenal, dapat terhindar dari ancaman bahaya kepunahan serta dikenal dan dapat dimanfaatkan potensinya oleh masyarakat. Konservasi atas keanekaragaman hayati tidak semata hanya berdasarkan pada argumentasi yang bersifat materiil dan bersifat ekonomis, dimana keanekaragaman spesis (tumbuhan) hanya dilihat dari manfaatnya baik langsung ataupun tidak langsung berupa: sumber pangan, kayu, keindahan, bahan obat, manfaat ekologis, ekowisata, dan lainnya. Argumentasi ini bisa diterapkan bagi spesies yang telah diketahui manfaatnya. Alasan konservasi spesies-spesies sebagai bagian dari keanekaragaman hayati dapat pula berdasarkan pada argumentasi yang bersifat etis. Argumentasi etis lebih berdasarkan pada nilai-nilai filosofi keagamaan, dimana konservasi atas keanekaragaman hayati spesies berlaku untuk semua spesies penyusunnya, termasuk spesies yang belum diketahui nilai manfaatnya tanpa melihat nilai ekonominya. Argumentasi ini lebih tepat menjadi alasan untuk melakukan

21 3 konservasi atas spesies Syzygium yang belum banyak diketahui nilai ekonomi dan manfaatnya. Argumentasi etis lebih menekankan pada nilai intrinsik yang melekat pada suatu spesies bagi upaya konservasi keanekaragaman hayati secara keseluruhan. Beberapa hal yang melekat dengan konsep ini adalah bahwa setiap spesies memiliki hak untuk hidup dan terdapat saling ketergantungan antara satu spesies dengan spesies lainnya. Manusia menjadi bagian dari sistem kehidupan dan bertanggungjawab sebagai penjaga dan pelindung bumi. Penghargaan atas kehidupan manusia berarti juga menghargai keanekaragaman hayati. Alam memiliki nilai spiritual dan estetis yang melebihi nilai ekonominya (Primack et al. 1998). Kondisi populasi spesies Syzygium di Indonesia belum banyak tersedia informasinya. Data dan informasi tersebut sangat diperlukan bagi upaya pengelolaan dan konservasi spesies yang ada. Melalui kegiatan penelitian semacam ini diharapkan dapat diketahui kondisi kergaman spesies dan populasi Syzygium yang tumbuh secara alami di berbagai wilayah hutan, terutama di kawasan-kawasan konservasi yang masih ada. Salah satu kawasan tersebut adalah Taman Wisata Alam (TWA) Gunung Baung yang terletak di Kabupaten Pasuruan, Jawa Timur. Kawasan TWA Gunung Baung dikenal karena keunikan ekosistemnya yang memiliki air tejun yang diberi nama Coban Baung (dalam bahasa Jawa, coban berarti air terjun). Keberadaan air terjun tersebut menjadi daya tarik utama kawasan ini. Sebagai suatu kesatuan ekosistem keberadaan air terjun tersebut tentu dipengaruhi oleh kondisi komponen lainnya termasuk tumbuhan di dalamnya. Salah satu kelompok tumbuhan tersebut adalah marga Syzygium. Informasi mengenai Syzygium yang terdapat di kawasan ini masih sangat terbatas. Penelitian Yuliani et al. (2006) mencatat keberadaan S. javanicum di Kawasan TWA Gunung Baung. Mudiana (2009) mengemukakan bahwa terdapat empat spesies Syzygium yang dijumpai tumbuh di sepanjang Sungai Welang di TWA Gunung Baung, yaitu: S. samarangense, S. javanicum, S. pycnanthum, dan S. cf. aqueum. Informasi mengenai keanekaragaman spesies, kondisi populasi, dan pola penyebarannya di dalam kawasan TWA Gunung Baung dapat menjadi dasar bagi

22 4 tindakan pengelolaan kawasan tersebut. Hal ini dikarenakan keberadaannya akan berkaitan dengan proses-proses ekologi di dalam kawasan tersebut. Sebagai contoh, keberadaan kera ekor panjang (Macaca fascicularis) dan kelelawar besar pemakan buah atau kalong (Pteropus vampyrus) di kawasan ini kemungkinan berkaitan dengan kondisi tumbuhan yang mendukung kehidupannya. Keberadaan keduanya kemungkinan juga menjadi agen pemencar biji Syzygium (Baung Camp 2008; Mudiana 2009). Untuk mendapatkan informasi tersebut, maka diperlukan suatu penelitian dan pengkajian mengenai keanekaragaman spesies, struktur populasi dan pola penyebaran Syzygium di kawasan ini Perumusan Masalah Dari 50 spesies Syzygium yang terdapat di Pulau Jawa, sebagian besar merupakan spesies alami yang belum dibudidayakan. Habitat alami spesiesspesies ini terutama di kawasan-kawasan hutan hujan tropis. Meskipun demikian keberadaannya dijumpai pada berbagai tipe vegetasi hutan, dari hutan pantai hingga hutan pegunungan, pada daerah savana, munson hingga ultrabasa (Parnell et al. 2007). Mengingat kondisi dan tingkat kerusakan hutan di Jawa, maka dikhawatirkan akan mengancam spesies-spesies Syzygium alami yang belum dikenal dan dibudidayakan. Salah satu kawasan hutan dataran rendah yang masih tersisa di Jawa adalah TWA Gunung Baung yang terdapat di Kabupaten Pasuruan, Jawa Timur. Keberadaan kawasan ini sangat menarik, karena merupakan kawasan konservasi yang tidak terlalu luas dan dikelilingi oleh kawasan budidaya berupa lahan pertanian, perkebunan dan pemukiman. Kondisi ini menyerupai suatu kawasan yang terisolasi dari kondisi sekitarnya. Hal ini akan berpengaruh terhadap keanekaragaman hayati dalam kawasan tersebut, termasuk spesies tumbuhan yang terdapat di dalamnya. Marga Syzygium diduga tumbuh di dalam kawasan tersebut dan menjadi salah satu komponen penting penyusun ekosistem di dalamnya. Informasi mengenai keanekaragaman spesies, penyebaran serta kondisi populasi Syzygium di kawasan ini dapat digunakan sebagai dasar pengambilan kebijakan pengelolaan kawasan ini. Untuk itu perlu dilakukan penelitian dan pengkajian mengenai kondisi marga ini di kawasan TWA Gunung Baung. Berdasarkan pada studi

23 5 literatur diketahui bahwa belum ada data dan informasi yang berkaitan dengan keanekaragaman spesies Syzygium serta struktur populasinya di kawasan TWA Gunung Baung. Hal ini dikarenakan belum pernah dilakukan penelitian tentang hal ini. Beberapa spesies Syzygium memiliki potensi yang cukup besar untuk dikembangkan sebagai tanaman penghasil buah, bahan baku obat, ataupun sebagai tanaman hias. Potensi tersebut belum banyak diungkap, terutama yang berkaitan dengan kondisi populasi alaminya. Penelitian yang pernah dilakukan di lokasi tersebut kebanyakan berupa kegiatan inventarisasi spesies (Yuliani et al. 2006, 2006a). Penelitian di berbagai lokasi mengenai struktur populasi spesies dari marga Syzygium belum pernah dilakukan. Kebanyakan penelitian yang dilakukan berupa kegiatan inventarisasi spesies tumbuhan di berbagai wilayah (Mustian 2009; Sunarti et al. 2008; Partomihardjo dan Ismail 2008). Mudiana (2009) menginventarisasi spesies Syzygium di sepanjang aliran Sungai Welang yang merupakan bagian dari TWA Gunung Baung. Pa i dan Yulistiarini (2006) melakukan penelitian terhadap populasi spesies Parameria laevigata di wilayah sebelah timur Gunung Baung. Hingga saat ini belum ada informasi mengenai kondisi dan keanekaragaman Syzygium di TWA Gunung Baung. Pertanyaan yang menjadi dasar penelitian ini adalah: (1) Berapa spesies Syzygium yang terdapat di TWA Gunung Baung dan bagaimana karakter habitat untuk setiap spesiesnya? (2) Bagaimana struktur populasinya? (3) Bagaimana pola sebarannya di dalam kawasan? Berdasarkan kondisi ini maka perlu dilakukan penelitian untuk mengetahui keanekaragaman spesies Syzygium, struktur populasi serta pola penyebarannya di kawasan TWA Gunung Baung Tujuan Penelitian Tujuan penelitian ini adalah untuk mengidentifikasi dan menganalisis keanekaragaman spesies Syzygium, struktur populasi serta pola sebarannya di TWA Gunung Baung, Pasuruan, Jawa Timur. Studi dan analisis yang dilakukan terhadap struktur populasi taksa ini terutama berkaitan dengan kondisi populasi

24 6 pada tahapan-tahapan pertumbuhan dari tingkat semai hingga pohon untuk setiap spesies Syzygium Manfaat Penelitian Informasi ilmiah mengenai keanekaragaman, struktur populasi, dan pola sebaran Syzygium dapat menjadi basis pengelolaan spesies Syzygium dan strategi konservasinya di kawasan TWA Gunung Baung. Informasi yang berkaitan dengan potensi ekonomi dan pemanfaatannya diharapkan dapat mendorong upaya pengenalan dan pengembangan spesies Syzygium yang belum banyak dikenal masyarakat Kerangka Pemikiran Berdasarkan pada latar belakang kondisi permasalahan yang berkaitan dengan taksa ini serta upaya konservasi yang dilakukan maka disusunlah suatu kerangka pemikiran yang melatarbelakangi dilakukannya kegiatan penelitin ini (Gambar 1).

25 7 Pengelolaan dan konservasi spesies tumbuhan di TWA Gunung Baung, salah satunya: Syzygium Berapa spesies Syzygium? Bagaimana struktur populasinya? Bagaimana pola sebarannya? Asumsi: Terdapat spesies Syzygium di TWA Gunung Baung yang tumbuh alami Hipotesis: 1. Terdapat beberapa spesies Syzygium yang tumbuh di dalam kawasan TWA Gunung Baung 2. Struktur populasi yang beragam antar spesies 3. Pola sebaran spesies berkelompok Variabel yang diamati: 1. Jumlah spesies Syzygium 2. Jumlah individu Syzygium (dbh, tinggi total, tinggi bebas cabang) 3. Penyebarannya dalam kawasan 4. Strata pertumbuhannya (jumlah anakan, pancang, tiang, pohon) 5. Faktor ekologi Sumber data: Data primer Analisis vegetasi, data lingkungan habitat, peta kawasan Data sekunder Spesimen koleksi kebun raya dan herbarium PENELITIAN Metode penelitian: Studi pendahuluan survey lokasi, studi spesimen dan koleksi Pengumpulan data: Eksplorasi Keanekaragaman spesies Analisis vegetasi Kondisi vegetasi dan populasi Syzygium Data lingkungan biotik dan abiotik ANALISIS DATA Analisis data identifikasi spesies, komposisi dan struktur vegetasi, pola sebaran, perbandingan struktur populasi antar spesies Hasil: 1. Spesies Syzygium di TWA Gunung Baung 2. Struktur populasi Syzygium 3. Pola sebaran Syzygium Gambar 1 Alur kerangka pemikiran penelitian

26 8

27 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Bioekologi Syzygium Klasifikasi Syzygium adalah salah satu marga dari suku Myrtaceae. Marga ini memiliki jumlah spesies yang sangat banyak. Tercatat sebanyak kurang lebih 1200 spesies Syzygium yang telah diketahui. Secara taksonomi, marga Syzygium juga merupakan kelompok marga yang sangat kompleks, sehingga studi taksonominya telah berlangsung cukup lama dan panjang. Berbagai penelitian taksonomi telah banyak dilakukan untuk untuk mengklasifikasikan secara sistematik kedudukan spesies dari marga ini. Pada awalnya pendekatan yang dilakukan berdasarkan pada studi morfologi dengan pendekatan taksonomi dan bersifat parsial berdasarkan wilayah. Seiring berjalannya waktu, maka studi berikutnya dilakukan dengan pendekatan filogenetik (Lucas et al. 2005; Craven et al. 2006; Craven dan Biffin 2010). Sistematika marga Syzygium secara sederhana (Bailey 1953; Cahyono 2010) adalah sebagai berikut: Kerajaan : Tumbuhan Divisi : Spermatophyta Sub Divisi : Angiospermae Kelas : Dikotil Ordo : Myrtales Suku : Myrtaceae Marga : Syzygium Mengingat jumlah spesiesnya yang sangat banyak, maka Craven dan Biffin (2010) mengusulkan pengelompokan marga ini menjadi beberapa sub marga. Pengelompokan tersebut berdasarkan pada studi filogenetik yang diambil dari data sequence molecular analysis. Sebanyak enam sub marga Syzygium berhasil dikelompokkan, yaitu: sub marga Syzygium, Acmena, Sequestratum, Perikion, Anetholea, dan Wesa. Sebanyak % spesies termasuk ke dalam anggota sub marga Syzygium.

28 Morfologi Syzygium Ciri-ciri umum yang dapat dikenali dari marga ini antara lain habitusnya berupa pohon ataupun semak. Susunan daun berhadapan (oposite), kadang-kadang tersusun berkarang sebanyak 3 daun, atau sub oposite. Pertulangan daun menyirip (pinnate). Bunga keluar dari ujung ranting (terminal), ketiak daun (axilaris), atau pada ketiak daun yang telah gugur, jarang sekali muncul di batang. Perbungaan berbentuk cymes atau panicles. Kelopak bunga sering kali berbentuk turbinate, campanulate, atau obconical terdiri atas 4-5 helai, berkembang ataupun tidak dan biasanya tersisa pada bagian ujung buah. Mahkota bunga tersusun sebanyak 4-5 helai, jarang sekali yang lebih, patent atau coherent dalam small hood, dan umumnya akan luruh. Benang sarinya banyak tersusun dalam satu lingkaran di dasar bunga, tangkai sari filiform, kepala sari dorsifixed. Sel telur berada di bagian bawah dasar bunga (inferior), terdiri atas 2-4 ruang dengan jumlah yang banyak dalam tiap ruang. Buahnya berbentuk buah berry, mengandung 1 sampai beberapa biji dalam tiap buah (Backer dan van den Brink 1963) Ekologi dan Penyebaran Syzygium Syzygium banyak tersebar di kawasan Asia Selatan, Asia Tenggara, Australia, Cina Selatan, Malesia dan New Caledonia. Beberapa spesies juga tersebar di Afrika, Malagasy dan wilayah barat daya Kepulauan Pasifik, Hawai dan New Zealand. Syzygium umumnya tumbuh di hutan hujan, namun tumbuh pula pada hampir semua tipe vegetasi, seperti hutan pantai, hutan rawa, hutan munson, hutan bambu, rawa gambut, dataran rendah, hutan kerangas, savana, hutan pegunungan hingga vegetasi semak di wilayah sub alpin (Parnell et al. 2007). Beberapa spesies mampu tumbuh di kondisi habitat yang ekstrim seperti tanah kapur dan ultramafik (Partomihardjo dan Ismail 2008; Mustain 2009). Di Wilayah Asia spesies dari marga ini tersebar pada beberapa wilayah sebagai berikut: 70 spesies di kawasan Indo-China, 80 spesies di Thailand, 190 spesies di Semenanjung Malaya, 50 spesies di Jawa, 165 spesies di Borneo, 180 spesies di Filipina, dan 140 spesies di New Guinea. Filipina dan New Guinea serta Semenanjung Malaya dan Borneo adalah dua wilayah utama pusat penyebaran dan endemisitas kelompok marga ini (Haron et al. 1995).

29 11 Wilayah Indonesia sebagai bagian dari Kawasan Malesia merupakan salah satu pusat distribusi marga Syzygium (keluarga jambu-jambuan). Khusus untuk di Jawa, tercatat sebanyak 50 spesies Syzygium tersebar pada berbagai tipe habitat (Backer dan van den Brink 1963) Pemanfaatan Syzygium Spesies dari marga Syzygium mempunyai beberapa potensi pemanfaatan, seperti sebagai tanaman hias, buah, tanaman obat atau kayu-kayuan. Beberapa spesies memiliki nilai ekonomis yang cukup tinggi, seperti cengkeh (S. aromaticum), salam (S. polyanthum), jambu air (S. samarangense), jambu darsono (S. malaccense), juwet (S. cumini), jambu mawar (S. jambos) dan spesies lainnya (Coronel 1992; Panggabean 1992; van Lingen 1992; Haron et al. 1995; Sardjono 1999; Verheij dan Snijders 1999). S. cumini yang dikenal dengan nama lokal juwet, jamblang, duwet, atau dalam bahasa Inggris dikenal dengan nama Java plum, adalah salah satu anggota marga ini yang memiliki potensi sebagai bahan baku obat diabetes melitus dan berpotensi sebagai anti bakteria (Nascimento et al. 2000; Kumar et al. 2009). Beberapa spesies Syzygium yang dijumpai tumbuh di bantaran sungai, seperti: S. aqueum, S. aromaticum, S. malaccense, S. polycephalum, dan S. pycnanthum memiliki peran ekologis bagi ekosistem di sepanjang bantaran aliran sungai, terutama sebagai penahan erosi tebing sungai (Waryono 2001; Riswan et al. 2004). Bahkan keberadannya dapat menjadi habitat dan sumber pakan bagi berbagai satwa liar (Alikodra 1997) Status dan Kepentingan Konservasi Syzygium Hingga September 2011, International Union for the Conservation of Nature and Natural Resources (IUCN) telah menilai dan mendaftar sebanyak 48 spesies Syzygium ke dalam Redlist of species (Daftar lengkap disajikan dalam Lampiran 16). Dari jumlah tersebut terdapat dua spesies yang berasal dari Indonesia (Jawa), yaitu: S. ampliflorum dan S. dischoporum. S. ampliflorum adalah spesies Syzygium yang secara alami tumbuh di kawasan Gunung Galunggung, Jawa Barat pada ketinggian m dpl. S. dischoporum tumbuh secara alami di kawasan Gunung Wilis pada ketinggian m dpl (Backer dan van den Brink 1963; Whitten at al. 1999).

30 12 Penilaian status konservasi terhadap kedua spesies tersebut sudah cukup lama, sehingga informasinya sudah harus diperbaharui. Jika dilakukan penetapan status konservasi untuk marga Syzygium di Indonesia, dikhawatirkan akan semakin banyak spesies Syzygium yang berstatus terancam punah sehingga memerlukan upaya konservasi. Hal ini diakibatkan tekanan yang kuat terhadap habitat alami spesies-spesies tersebut karena konversi lahan dan kerusakan hutan. Tidak tersedianya data dan informasi yang berkaitan dengan keberadaan, populasi, sebaran, dan pemanfaatan spesies ini mengakibatkan tidak mudah untuk mengetahui dan menentukan status konservasinya. Upaya untuk mengetahui status konservasi Syzygium dilakukan terhadap spesies S. zollingerianum. Widodo et al. (2011) menetapkan status konservasi spesies ini ke dalam kategori hampir terancam (Near Threatened). Dengan kondisi laju kerusakan hutan di Indonesia, dikhawatirkan statusnya menjadi terancam punah di masa yang akan datang. Umumnya spesies yang berstatus langka tersebut adalah spesies yang belum banyak dikenal oleh masyarakat sehingga keberadaannya terabaikan. Konversi lahan hutan yang terus terjadi mengakibatkan habitat beberapa spesies tumbuhan menjadi terancam. Dengan demikian, informasi mengenai keanekaragaman spesies, struktur populasi, dan pola penyebaran marga ini di alam sangat penting untuk diketahui. Argumentasi etis menjadi alasan konservasi atas spesies yang belum diketahui nilai ekonomi dan manfaatnya secara langsung ataupun tidak bagi manusia. Dimana upaya konservasi yang dilakukan lebih berdasarkan atas nilai intrinsik yang melekat pada setiap spesies makhluk hidup (tumbuhan) yang ada. Nilai ini menjamin bahwa setiap spesies memiliki hak untuk hidup tanpa melihat adanya keterkaitan dengan pemenuhan kebutuhan manusia. Manusia tidak berhak merusak spesies dan harus melakukan upaya untuk menghindari kepunahan spesies (Primack et al. 1998) Studi Populasi Tumbuhan Studi yang berkaitan dengan persebaran dan populasi suatu spesies tumbuhan merupakan salah satu aspek yang dikaji dalam studi ekologi spesies. Studi populasi adalah suatu penelitian yan mengkaji kondisi populasi suatu spesies yang di dalamnya mencakup aspek kelimpahan, pola penyebaran, struktur populasi, serta demografi populasinya (Widyatmoko dan Irawati 2007). Melalui

31 13 kajian ini akan diperoleh informasi mengenai kondisi populasi, regenerasi, preferensi habitat, persebaran, status konservasi dan bahkan strategi konservasi bagi spesies tumbuhan yang dipelajari (Wihermanto 2004; Partomihardjo dan Naiola 2009). Penelitian mengenai ekologi tumbuhan selalu diawali dengan kegiatan pengumpulan data dan informasi spesies di suatu lokasi/kawasan. Data dan informasi spesies merupakan data dasar yang diperlukan untuk melakukan suatu studi ekologi tumbuhan. Data-data tersebut selanjutnya akan bermanfaat bagi studi lebih lanjut mengenai kondisi vegetasi, komunitas atau spesies penyusun suatu kawasan beserta fungsi dan interaksinya (Partomihardjo dan Rahajoe 2005). Silvertown (1982) mengemukakan bahwa kajian ekologi populasi tumbuhan mencakup dua hal utama, yaitu: jumlah atau ukuran dari populasi serta proses yang mengakibatkan terjadinya perubahan tehadap ukuran populasi. Sekumpulan spesies tumbuhan yang sama yang hidup dalam suatu komunitas, tempat dan waktu yang sama disebut sebagai populasi. Kumpulan beberapa populasi selanjutnya akan membentuk suatu komunitas. Komunitas tersebut melakukan interaksi dengan komponen biotik ataupun abiotik lingkungannya membentuk suatu ekosistem atau sistem ekologi. Dengan demikian ekologi populasi membahas hal-hal yang berkaitan dengan sistem ekologi dari suatu populasi, yang mencakup interaksi di dalam dan antar populasi, serta interaksi dengan lingkungannya. Tarumingkeng (1994) menyatakan bahwa populasi tidak hanya sebagai kumpulan spesies yang sama dalam waktu dan tempat tertentu, akan tetapi juga harus mampu berinteraksi secara genetik diantara mereka. Berbagai kelompok tumbuhan yang hidup dalam suatu habitat dan saling berinteraksi juga dengan lingkungannya membentuk suatu komunitas. Komunitas tumbuhan berinteraksi dengan kondisi lingkungannya baik biotik ataupun abiotik membentuk suatu sistem ekologi yang disebut ekosistem. Populasi tumbuhan tersusun atas suatu struktur, yang dapat dikelompokan menurut kelas umur ataupun fase/tingkat pertumbuhannya. Untuk populasi pohon dalam suatu hutan tanaman struktur populasinya dapat diketahui dari umur tegakan yang terbentuk. Hal ini akan sulit diterapkan pada kondisi populasi

32 14 tumbuhan yang hidup secara alami. Oleh karena itu struktur populasinya dapat didekati dengan fase/tingkat pertumbuhannya, yaitu: anakan, pancang, tiang dan pohon. Definisi untuk masing-masing strata pertumbuhan pohon adalah sebagai berikut: (1) anakan atau semai (seedling) adalah regenerasi awal pohon dengan ukuran hingga tinggi kurang dari 1,5 meter, (2) pancang adalah regenerasi pohon dengan ukuran lebih tinggi dari 1,5 meter serta dengan diameter batang kurang dari 10 cm, (3) tiang adalah regenerasi pohon dengan diameter cm, dan (4) pohon adalah tumbuhan berkayu dengan diameter batang lebih dari 20 cm (Soerianegara dan Indrawan 1988). Kondisi struktur populasi tumbuhan dapat menggambarkan status regenerasi dari suatu spesies (Tripathi et al. 2010; Uma 2001). Dalam kajian ekologi tumbuhan, analisis vegetasi adalah cara yang digunakan untuk mempelajari struktur vegetasi dan komposisi spesies tumbuhan di suatu tempat (Soerianegara dan Indrawan 1988). Data yang dapat diperoleh dari kegiatan ini antara lain adalah: komposisi spesies, kerapatan, potensi dominansi, indeks keanekaragamn spesies dan pola sebaran. Data dari suatu analisis vegetasi dapat juga digunakan untuk mengetahui kondisi populasi suatu spesies tumbuhan. Hal ini dikarenakan pada dasarnya analisis vegetasi dilakukan terhadap keseluruhan spesies yang terdapat di lokasi yang dianalisis (Gambar 2) Pola Sebaran Komunitas makhluk hidup (tumbuhan dan satwa) memiliki tiga pola dasar penyebarannya, yaitu: acak, berkelompok dan seragam/teratur. Pola sebaran acak mengindikasikan suatu kondisi lingkungan yang homogen dan atau menunjukan pola perilaku makhluk hidup yang tidak selektif atas kondisi lingkungannya. Pola sebaran berkelompok dapat mengindikasikan adanya heterogenitas habitat atau adanya pola perilaku selektif makhluk hidup terhadap kondisi lingkungannya. Pola sebaran seragam/teratur menunjukan interaksi yang negatif antara individu, seperti persaingan pakan dan ruang (Ludwig dan Reynolds 1988). Tumbuhan pada umumnya menyukai hidup berkelompok (Fachrul 2008; Risna 2009; Partomihardjo dan Naiola 2009; Lubis 2009). Hal ini dikarenakan adanya interaksi antara tumbuhan dengan habitat dan lingkungannya. Hutchinson (1953) dalam Ludwig dan Reynolds (1988) mengemukakan beberapa faktor yang

33 15 dapat mempengaruhi pola sebaran spasial makhluk hidup, yaitu: (a). Faktor vektoral, yaitu faktor yang diakibatkan oleh aksi lingkungan (misal: angin, intensitas cahaya, dan air), (b). Faktor reproduksi, yaitu faktor yang berkaitan dengan cara organisme bereproduksi (misal: cloning dan progeny), (c). Faktor sosial, yaitu faktor yang berkaitan dengan perilaku organisme seperti teritorial, (d). Faktor co-active, yaitu faktor yang berkaitan dengan interaksi intraspesifik (misal: kompetisi), (e). Faktor stokastik, yaitu faktor yang dihasilkan dari variasi acak pada beberapa faktor tersebut. Faktor-faktor tersebut secara sederhana dikelompokan menjadi faktor intrinsik (reproduksi, perilaku, sosial, dan co-active) dan fakor ekstrinsik (vektoral). Tumbuhan Individu Kelompok individu Kelompok individu satu spesies Kelompok individu berbagai spesies Populasi Komunitas Konsosiasi Asosiasi Data floristik Data vegetasi Keragaman spesies Komposisi spesies Kerapatan Potensi Dominansi Pola penyebaran Indeks keanekaragaman spesies Struktur populasi Gambar 2 Hubungan antara tumbuhan, flora dan vegetasi beserta variabel analisisnya (modifikasi dari Fachrul 2008)

34 Taman Wisata Alam Menurut definisi dalam Peraturan Pemerintah nomor 68 tahun 1988 tentang Kawasan Suaka Alam dan Kawasan Pelestarian Alam, Taman Wisata Alam didefinisikan sebagai Kawasan Pelestarian Alam dengan tujuan utama untuk dimanfaatkan bagi kepentingan pariwisata dan rekreasi alam. Pengelolaan yang dilakukan pada Kawasan Suaka Alam dan Kawasan Pelestarian Alam harus sesuai dengan fungsi kawasan, yaitu: a. sebagai wilayah perlindungan sistem penyangga kehidupan, b. sebagai kawasan pengawetan keanekaragaman spesies tumbuhan dan atau satwa beserta ekosistemnya, dan c. untuk pemanfaatan secara lestari sumber daya alam hayati dan ekosistemnya. Suatu kawasan ditetapkan sebagai Kawasan Taman Wisata Alam, apabila telah memenuhi kriteria sebagai berikut: a. mempunyai daya tarik alam berupa tumbuhan, satwa atau ekosistem gejala alam serta formasi geologi yang menarik; b. mempunyai luas yang cukup untuk menjamin kelestarian potensi dan daya tarik untuk dimanfaatkan bagi pariwisata dan rekreasi alam; dan c. kondisi lingkungan di sekitarnya mendukung upaya pengembangan pariwisata alam. Upaya pengawetan Kawasan Taman Wisata Alam dilaksanakan dalam bentuk kegiatan perlindungan dan pengamanan, inventarisasi potensi kawasan, penelitian dan pengembangan yang menunjang pelestarian potensi, pembinaan habitat dan populasi satwa. Sesuai dengan fungsinya, taman wisata alam dapat dimanfaatkan untuk keperluan pariwisata alam dan rekreasi, penelitian dan pengembangan, pendidikan, kegiatan penunjang budidaya.

35 III. KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN 3.1. Letak dan Luas Kawasan Gunung Baung merupakan bagian dari Kawasan TWA Gunung Baung. Ditetapkan sebagai TWA Gunung Baung berdasarkan SK. Menteri Pertanian No. 657/Kpts/Um/12/1981, tanggal 1 Januari 1981, seluas 195,50 Ha. Secara administratif pemerintahan kawasan TWA Gunung Baung terletak di Desa Cowek, Kecamatan Purwosari, Kabupaten Pasuruan, Jawa Timur. Lokasi TWA Gunung Baung berada di jalur jalan Surabaya-Malang, dari arah Surabaya berjarak sekitar 68 Km, sedangkan dari arah Malang sekitar 30 Km. Lokasi kawasan terletak berdekatan dengan Kebun Raya Purwodadi. Secara geografis, TWA Gunung Baung terletak pada Lintang Selatan dan Bujur Timur. Batas-batas wilayahnya adalah sebagai berikut: sebelah Utara berbatasan dengan Desa Kertosari Kecamatan Purwosari, sebelah Timur berbatasan dengan Desa Lebakrejo Kecamatan Purwodadi, sebelah Selatan berbatasan dengan Desa Cowek, Kecamatan Purwosari, dan sebelah Barat berbatasan dengan Kebun Raya Purwodadi (Gambar 3) (BKSDA Jatim 2008; Baung Camp 2008) Kondisi Fisik Kawasan Topografi dan Tanah Kawasan TWA Gunung Baung memiliki topografi bergelombang dengan kemiringan yang curam. Hanya sedikit bahkan hampir tidak ada kondisi lahan yang datar. Puncak tertingginya adalah puncak Gunung Baung (501 mdpl.), dan posisi terendahnya adalah 250 mdpl. Tanahnya tersusun atas komponen mediteran merah kuning dan latosol yang terbentuk dari batuan kwartier tua dengan batuan induk berupa endapan metamorf Iklim Berdasarkan klasifikasi Schmidt dan Ferguson, Kondisi iklim kawasan TWA Gunung Baung termasuk ke dalam tipe D, dengan nilai Q = 76,47%. Curah hujan rata-rata tahunan sebesar 2.571,5 mm dengan jumlah hari hujan ratarata per tahun selama 144,20 hari. Suhu udara harian berkisar antara 20 o C sampai 23 o C. Musim hujan dengan curah hujan 100 mm/bulan, umumnya terjadi antara

36 18 bulan November sampai dengan April, sedangkan musim kemarau (dengan curah hujan 60 mm/bulan) terjadi antara bulan Mei sampai dengan Oktober (Baung Camp 2008). Gambar 3 Kawasan Taman Wisata Alam Gunung Baung, Pasuruan, Jawa Timur 3.3. Kondisi Biologi Kawasan Secara umum kawasan ini memiliki ciri-ciri tipe ekosistem hutan musim dataran rendah. Di samping kekayaan floranya, keunikan kawasan ini adalah keberadaan dan keindahan air terjun Coban Baung. Spesies flora yang cukup banyak dijumpai di kawasan ini antara lain: Beringin (Ficus benyamina), Kepuh (Sterculia foetida), Bendo (Artocarpus elastica) dan Gondang (Ficus variegata), serta Bambu (Bambussa sp). Pada beberapa bagian kawasan didominasi oleh hutan bambu. Catur (2008) menyebutkan sebanyak 9 spesies bambu berasal dari 4 marga yang tumbuh di kawasan Taman Wisata Gunung Baung. Kesembilan spesies itu adalah: Bambusa arundinacea, Bambusa blumeana, Bambusa spinosa, Bambusa vulgaris, Dendrocalamus asper, Dendrocalamus blumei, Gigantochloa apus, Gigantochloa atter, dan Schizostachyum blumei. Yuliani et al. (2006a) menyatakan bahwa keanekaragaman spesies tumbuhan di kawasan Gunung Baung cukup tinggi. Setidaknya tercatat sebanyak 127 spesies tumbuhan berbunga dan 4 spesies paku yang tumbuh di kawasan tersebut. Mudiana (2009) mengemukakan

37 19 bahwa terdapat empat spesies Syzygium yang dijumpai tumbuh di sepanjang sungai Welang, yaitu: S. samarangense (buah putih dan kehijauan), S. javanicum, S. pycnanthum, dan Syzygium sp. Letaknya yang dikelilingi oleh pemukiman penduduk, meyebabkan kawasan ini rentan terhadap perambahan dan konversi lahan. Yuliani et al. (2006) mengemukakan bahwa 87% warga di sekitar TWA Gunung Baung pernah memasuki kawasan tersebut untuk berbagai keperluan. Umumnya mereka memasuki kawasan dengan maksud mencari kayu bakar, bambu, buah-buahan dan tumbuhan obat untuk keperluan keseharian. Salah satu spesies tumbuhan obat langka yang tumbuh di kawasan ini adalah kayu rapet (Parameria laevigata (Juss.) Moldenke. Spesies tumbuhan bawah yang tumbuh di sekitarnya antara lain: Piper betle, Hypoestes polythyrsa, Sericocalyx crispus, Oplismenus compositus, dan Bidens pilosa (Pa i dan Yulistiarini 2006). Setidaknya tercatat sebanyak 30 spesies satwa yang terdapat di kawasan ini, yang terdiri atas 8 spesies mamalia, 13 spesies aves, 8 spesies reptil dan 1 spesies amphibia. Beberapa satwa liar yang hidup di dalam kawasan antara lain: kera ekor panjang (Macaca fascicularis), kelelawar besar (Pteropus vampyrus), kijang (Muntiacus muntjak), ayam hutan (Gallus sp), lutung (Trachypithecus auratus), kucing hutan (Felis bengalensis), bajing terbang, landak (Hystrix brachyura), dan trenggiling (Manis javanica). Beberapa spesies burung yang dijumpai di kawasan ini diantaranya adalah raja udang (Alcedo sp.), kutilang (Pycnonotus aurigaster), kacer (Chopsycus saularis), dan prenjak (Prinia familiaris) (Baung Camp 2008; Anonim 2011; BKSDA 1998) Kondisi Sosial Ekonomi Sekitar Kawasan Kondisi masyarakat yang hidup di sekitar kawasan TWA Gunung Baung sedikit banyak akan berpengaruh terhadap keberadaan dan keberlangsungan proses di dalam kawasan. Terdapat empat wilayah desa yang bersinggungan secara langsung dengan kawasan, yaitu Desa Kertosasri (sebelah Utara), Desa Cowek (sebelah Selatan), Desa Purwodadi (sebelah Barat), dan Desa Lebakrejo (sebelah Timur). Desa Lebakrejo adalah desa dengan jumlah penduduk terbanyak (5.575 jiwa) dan yang paling sedikit adalah Desa Kertosari (4.202 jiwa) (Gambar 4). Jika

38 20 dilihat dari kepadatan penduduknya, maka Desa Purwodadi yang memiliki kepadatan penduduk tertinggi (1.801 jiwa/km 2 ). Sumber: Diolah dari BPS Kabupaten Pasuruan Dalam Angka 2011 Gambar 4 Grafik jumlah penduduk di empat desa sekitar Gunung Baung Sebagian besar masyarakat di keempat desa tersebut bekerja di sektor pertanian. Sektor pekerjaan lainnya yang cukup banyak dilakukan oleh masyarakat adalah konstruksi bangunan dan industri olahan rumah tangga (Gambar 5). Sumber: Diolah dari BPS Kabupaten Pasuruan Dalam Angka 2011 Gambar 5 Komposisi prosentase mata pencaharian penduduk di empat desa sekitar TWA Gunung Baung

39 IV. METODE PENELITIAN 4.1. Waktu dan Lokasi Penelitian Kegiatan penelitian dilakukan pada bulan November 2011 sampai dengan Februari Lokasi penelitian adalah TWA Gunung Baung, yang terletak di wilayah Kabupaten Pasuruan, Jawa Timur Alat dan Bahan Peralatan yang digunakan berupa peralatan lapangan untuk kegiatan analisis vegetasi, pengoleksian spesimen herbarium dan pengukuran nilai variabel lingkungan fisik. Peralatan tersebut adalah: Global Positioning System (GPS), pita ukur diameter, hagameter, digital lightmeter, ph tester, thermohigrometer, kompas, clinometer, kamera digital, gunting setek, dan peta tematik lokasi penelitian. Bahan yang digunakan berupa spesimen herbarium dan tegakan vegetasi di lokasi penelitian Metode Pengumpulan Data Keanekaragaman Spesies Syzygium Studi pendahuluan berupa survey awal dilakukan untuk mengetahui gambaran lokasi penelitian, penyebaran spesies dan kondisi vegetasinya. Untuk mengetahui spesies-spesies Syzygium, khususnya yang terdapat di Jawa (Jawa Timur) dilakukan melalui studi awal spesimen herbarium baik yang terdapat di Herbarium Bogoriense (BO), Herbarium Purwodadiensis, dan studi koleksi Syzygium di kebun raya. Hal ini dilakukan untuk memperoleh data awal tentang keanekaragaman spesies Syzygium di Jawa Timur, terutama daerah yang berada di sekitar TWA Gunung Baung. Kegiatan survey dan pengamatan di lapangan dilakukan dengan metoda eksploratif. Metode eksploratif dilakukan untuk mengetahui keanekaragaman spesies Syzygium serta lokasi tempat tumbuhnya di dalam kawasan. Jalur yang digunakan adalah jalan setapak atau rintisan jalur patroli yang sudah terdapat di dalam kawasan serta jalur rintisan baru yang dibuat. Pada setiap perjumpaan dengan Syzygium di tandai posisi geografinya dengan menggunakan GPS, kemudian dibuatkan dokumentasi fotonya serta spesimen herbarium ataupun

40 22 vauchernya (terutama bagi spesies-spesies yang berbeda). Hal ini dilakukan untuk keperluan identifikasi dan validasi nama spesies Data Ekologi Syzygium Pencatatan dan pendokumentasian data dilakukan terhadap kondisi ekologi Syzygium. Data ekologi tersebut meliputi faktor fisik dan faktor biotik. Faktor fisik yang diukur meliputi: intensitas penyinaran, data topografi (ketinggian tempat, kelerengan dan arah lereng), ph tanah, kelembapan tanah, suhu udara, dan kelembapan udara serta sifat edafis tanah (fisik dan kimia tanah). Faktor biotik yang diukur adalah jumlah rumpun bambu, diameter rumpun bambu serta jumlah spesies dan kelimpahan tumbuhan di sekitar Syzygium. Pengukuran data ekologi dilakukan pada tiap petak pengamatan. Pengukuran intensitas penyinaran dilakukan dengan menggunakan digital lightmeter. Pengukuran ketinggian tempat tumbuh Syzygium dilakukan dengan menggunakan altimeter dan GPS. Pengukuran kelerengan dilakukan dengan menggunakan clinometer dalam satuan %. Selanjutnya nilai kelerengan dikelompokan ke dalam kelas-kelas kelerengan berdasarkan nilai rata-rata pada dari tiap petak pengamatan, sesuai dengan klasifikasi yang dibuat oleh Departemen Kehutanan dan Perkebunan (1999) dalam Kissinger (2002). Klasifikasinya adalah: tipe I, 0-3%, tipe II 3-8%, tipe III, 8-15%, tipe IV 15-30%, dan tipe V > 30%. Arah kelerengan diukur dengan menggunakan kompas. Pengukuran kelembapan dan ph tanah dilakukan dengan menggunakan ph tester tanah. Suhu dan kelembapan udara diukur dengan menggunakan termohigrometer digital. Pengukuran jumlah dan diameter rumpun bambu dilakukan pada setiap petak pengamatan. Data edafis berupa sifat fisik dan kimia tanah diperoleh dari hasil analisis laboratorium atas contoh tanah yang diambil di lokasi penelitian. Contoh tanah diambil pada setiap lokasi blok penempatan petak pengamatan yang mencirikan perbedaan kondisi lingkungannya, misalkan lokasi tempat terbuka dan lokasi rumpun bambu. Contoh tanah diambil sebanyak 2 titik di masing-masing blok pengamatan pada kedalaman 0-30 cm dan cm. Faktor fisika tanah yang dianalisis adalah tekstur tanah (pasir, debu dan liat). Faktor kimia tanah yang dianalisis adalah kandungan bahan organik (rasio C/N), kandungan unsur N,P,K,

41 23 Ca dan Mg, serta Kapasitas Tukar Kation (KTK). Faktor-faktor tersebut dapat menjadi indikator kesuburan tanah (Partomihardjo dan Rahajoe 2005). Analisis tanah dilakukan di Laboratorium Kimia Tanah, Jurusan Tanah, Fakultas Pertanian, Universitas Brawijaya Data Vegetasi dan Struktur Populasi Data dan informasi yang diperoleh dari survey pendahuluan mengenai kondisi lokasi peneltian, lokasi persebaran spesies dan kondisi vegetasinya menjadi dasar untuk melakukan studi pola sebaran dan struktur populasi Syzygium. Populasi di sini diartikan sebagai kumpulan dari individu spesies Syzygium yang berada pada suatu lokasi dan waktu yang sama serta mampu melakukan reproduksi secara aseksual atupun seksual. Hal ini akan berkaitan dengan teknik penempatan petak pengamatan. Penempatan petak-petak contoh dilakukan secara terarah (purposive sampling) pada lokasi-lokasi yang diketahui banyak terdapat keberadaan Syzygium. Berdasarkan hasil survey pendahuluan tentang keberadaan Syzygium di Kawasan TWA Gunung Baung, maka dibuat petak pengamatan masing-masing sebanyak 50 petak pada 5 lokasi yang berbeda. Di samping menggambarkan keberadaan Syzygium, kelima lokasi tersebut juga mewakili lokasi serta kondisi vegetasi yang berbeda dari Blok Inti Kawasan TWA Gunung Baung (Gambar 6). Kondisi vegetasi pada setiap blok pengamatan ditampilkan dalam Tabel 1. Lokasi-lokasi blok penempatan petak-petak pangamatan tersebut adalah sebagai berikut: 1) Blok 1, lokasi lereng, berbukit, dengan dominasi bambu duri (Bambusa blumeana); 2) Blok 2, lokasi lereng, berbukit, dengan sedikit bambu; 3) Blok 3, lokasi lereng, berbukit, dan punggung bukit dengan sedikit bambu; 4) Blok 4, lokasi lereng, berbukit, dengan dominasi bambu Schizostachyum zollingeri; 5) Blok 5, lokasi lereng, berbukit, dengan dominasi semak.

42 Blok pengamatan Gambar 6 Lokasi blok penelitian dimana petak-petak pengamatan dibuat di Gunung Baung, Jawa Timur Tabel 1 Kondisi vegetasi dominan pada tiap-tiap lokasi blok pengamatan Lokasi Blok Pengamatan Blok 1 Blok 2 Blok 3 Blok 4 Blok 5 Kondisi vegetasi dominan pada masing-masing blok pengamatan Tingkat pohon didominasi oleh Syzygium pycnanthum, Ficus racemosa, Streblus asper, Ficus retusa, dan Tabernaemontana sphaerocarpha. Tumbuhan bawah didominasi oleh Cyathula prostata, Parameria laevigata, Rauvolfia verticilata, dan Piper cubeba. Permudaan pohon didominasi oleh Syzygium pycnanthum, Syzygium racemosum dan Tabernemontana sphaerocarpha. Bambu didominasi oleh Bambusa blumeana. Topografi lereng berbukit. Tingkat pohon didominasi oleh Schoutenia ovta, S. pycnathum, Emblica officinalis, dan Streblus asper. Tumbuhan bawah didominasi oleh Pennisetum purpureum dan Voacanga grandifolia. Permudaan pohon didominasi oleh Voacanga grandifolia, Schoutenia ovata dan Streblus asper. Bambu didominasi Bambusa blumeana. Topografi lereng berbukit. Dysoxylum gaudichaudianum, Ficus hispida dan Garuga floribunda mendominasi tingkat pohon. Tumbuhan bawah didominasi oleh Tithonia diversifolia dan Cyathula prostata. Permudaan pohon didominasi oleh Syzygium pycnanthum, Streblus asper, Voacanga grandifolia, dan Lepisanthes rubiginosa. Bambusa blumeana adalah spesies bambu yang mendominasi. Topografi lereng berbukit dan sebagian punggung bukit. Tingkat pohon didominasi oleh Ficus hispida, Sphatodea campanulata dan Streblus asper. Tumbuhan bawah didominasi oleh Mikania cordata dan Tithonia diversifolia. Permudaan didominasi oleh Streblus asper. Bambu didominasi oleh Schizostachyum zollingeri. Topografi lereng berbukit. Tingkat pohon didominasi oleh Schoutenia ovata, Microcos tomentosa. Tumbuhan bawah didominasi oleh Tithonia diversifolia, dan Mikania cordata. Permudaan pohon didominasi oleh Streblus asper, Schoutenia ovata, Syzygium pycnanthum dan Voacanga grandifolia. Bambu didominasi Bambusa blumeana. Topografi lereng berbukit.

43 25 Pembuatan petak contoh dilakukan untuk keperluan analisis vegetasi pada masing-masing lokasi blok pengmatan yang menjadi tempat tumbuh Syzygium. Metode yang digunakan adalah metode kombinasi jalur dan petak (Soerianegara dan Indrawan 1988). Adapun model metode kombinasi jalur berpetak yang dipakai ditampilkan dalam Gambar m 100 m Gambar 7 Kombinasi jalur berpetak untuk kegiatan analisis vegetasi Petak ukuran 2 x 2 meter 2 digunakan untuk tumbuhan dengan strata anakan pohon (seedling) dan tumbuhan bawah, petak ukuran 5 x 5 meter 2 untuk tingkat pancang, petak ukuran 10 x 10 meter 2 untuk tingkat tiang, dan petak ukuran 20 x 20 meter 2 untuk tingkat pohon. Jumlah jalur yang dibuat sebanyak 5 jalur untuk setiap blok pengamatan dengan panjang setiap jalur 200 meter. Luas petak contoh yang dibuat adalah seluas 200 m x 20 m x 5 = 2 hektar untuk satu lokasi blok pengamatan. Jumlah blok pengamatan yang dibuat sebanyak 5 blok, sehingga luas total petak pengamatan adalah 10 hektar, yang mewakili perbedaan kondisi lingkungan (vegetasi) serta keberdaan Syzygium. Difinisi untuk masing-masing strata pertumbuhan pohon adalah sebagai berikut: (1) anakan atau semai (seedling) adalah regenerasi awal pohon dengan ukuran hingga tinggi kurang dari 1,5 meter, (2) pancang adalah regenerasi pohon dengan ukuran lebih tinggi dari 1,5 meter serta dengan diameter batang kurang dari 10 cm, (3) tiang adalah regenerasi pohon dengan diameter cm, dan (4)

44 26 pohon adalah tumbuhan berkayu dengan diameter batang lebih dari 20 cm (Soerianegara dan Indrawan 1988). Analisis vegetasi dilakukan untuk mengetahui komposisi dan struktur komunitas vegetasi pohon pada setiap strata pertumbuhannya. Data yang dikumpulkan berupa kerapatan, frekuensi dan dominansi serta indeks nilai penting (INP) dari setiap spesies yang teramati. Data hasil analisis vegetasi juga digunakan untuk menganalisis kelimpahan, komposisi dan struktur populasi Syzygium di lokasi penelitian pada setiap fase pertumbuhannya (semai, tiang, pancang dan pohon). Data struktur populasi dapat digunakan untuk menganalisis status regenerasi spesies (Tripathi et al. 2010; Uma 2001). Data lain yang dicatat meliputi nama spesies, jumlah individu, diameter dan tinggi pohon, jumlah semai, pancang dan tiang, serta data kondisi lingkungannya. Posisi geografis perjumpaan dengan Syzygium dicatat dan didokumentasikan, untuk selanjutnya digunakan untuk membuat peta persebarannya di dalam kawasan. Peta persebarannya diperoleh dengan mentransfer data dari GPS dengan menggunakan softwere map source dan GoogleEarth Pola Sebaran Syzygium Data untuk pola sebaran Syzygium diperoleh dari data frekuensi perjumpan Syzygium pada setiap petak pengamatan. Dengan demikian pengumpulan datanya dilakukan bersamaan dengan kegiatan analisis vegetasi yang diambil pada saat pembuatan petak contoh. Data tersebut selanjutnya dianalisis untuk mengetahui pola sebaran Syzygium di lokasi penelitian Metode Analisis Data Analisis Keanekaragaman Spesies Analisis keanekaragaman spesies dilakukan dengan menggunakan nilai indeks keanekaragaman spesies. Indeks Keanekaragaman yang digunakan dalam penelitian ini adalah Indeks Keanekaragaman Shannon-Weiner (Ludwig dan Reynolds 1988; Krebs 1989). Persamaannya adalah sebagai berikut:

45 27 H = - pi log pi, di mana pi = ni / N Keterangan: H adalah Indeks Keanekaragaman, pi adalah proporsi spesies i terhadap keseluruhan jumlah spesies yang dijumpai dalam petak contoh di lokasi penelitian, ni adalah jumlah individu spesies i, dan N adalah jumlah individu seluruh spesies yang dijumpai dalam petak pengamatan Analisis Vegetasi dan Struktur Populasi Data dari hasil analisis vegetasi yang dilakukan digunakan untuk mengetahui komposisi dan struktur populasi Syzygium. Penghitungan data dilakukan untuk mengetahui nilai Kerapatan, Kerapatan Relatif, Frekuensi, Frekuensi Relatif, Dominansi, Dominansi relatif serta Indeks Nilai Pentingnya. Kerapatan (K) adalah jumlah individu suatu spesies dalam suatu luasan tertentu. Persamaannya adalah sebagai berikut: Ki = ni / A Keterangan: Ki = kerapatan suatu spesies, ni = jumlah individu suatu spesies, A = luas total petak contoh. Kerapatan Relatif (KR) adalah nilai proporsi jumlah individu suatu speses terhadap jumlah total individu seluruh spesies yang dijumpai dalam petak contoh. Persamaannya adalah sebagai berikut: KR = (ni / n) x 100% Keterangan: KR = kerapatan relatif suatu spesies, ni = jumlah individu suatu spesies, n = jumlah total individu seluruh spesies yang dijumpai dalam petak pengamatan. Frekuensi (F) adalah parameter yang menunjukan kesempatan suatu spesies ditemukan pada suatu petak contoh. Nilai ini digambarkan dengan persamaan : F = jumlah petak contoh ditemukan suatu spesies jumlah total keseluruhan petak contoh yang dibuat Frekuensi Relatif (FR) adalah nilai proporsi frekuensi suatu spesies terhadap jumlah total nilai frekuensi seluruh spesies. Persamaan untuk FR adalah sebagai berikut: FR = (Fi / Fi) x 100% Keterangan: Fi = frekuensi ditemukannya suatu spesies, Fi = jumlah frekuensi seluruh spesies

46 28 Dominansi (D) adalah nilai yang menggambarkan penutupan permukaan tanah oleh keberadaan suatu spesies. Nilai ini diperoleh dari luas bidang dasar (lbds) yang diperoleh dari perhitungan lbds dari ukuran batang pohon atau luas bidang penutupan oleh tumbuhan bawah. Nilai dominansi dihitung dengan persamaan: D = ai / A; Keterangan: ai = luas bidang dasar (lbds) suatu spesies, A = luas total petak contoh Dominansi Relatif adalah nilai proporsi dominansi suatu spesies terhadap jumlah total nilai dominansi seluruh spesies. DR = ( Di / D) x 100% Keterangan: Di = Dominansi suatu spesies, Fi = Jumlah dominansi seluruh spesies Indeks Nilai Penting (INP) adalah suatu nilai yang menggambarkan pentingnya peran suatu spesien tumbuhan dalam suatu ekosistem. Nilai indeks ini merupakan penjumlahan dari nilai kerapatan relatif, frekuensi relatif, dan dominansi relatif suatu spesies. Untuk anakan pohon, semak ataupun herba nilai INPnya dapat hanya dihitung dari nilai kerapatan relatif dan frekuensi relatifnya (Fachrul 2008). Persamaan untuk INP adalah sebagai berikut: INP = KRi + FRi + DRi Keterangan: KRi = kerapatan relatif suatu spesies, FRi = frekuensi relatif suatu spesies, DRi = dominansi relatif suatu spesies, INP = Indeks Nilai Penting Analisis data struktur populasi Syzygium dilakukan secara deskriptif berdasarkan data struktur yang diperoleh dari hasil analisis vegetasi. Data kerapatan individu Syzygium pada tiap fase pertumbuhannya menjadi dasar untuk mengetahui sruktur populasinya. Analisis ini terutama berkaitan dengan struktur fase pertumbuhan Syzygium pada tingkat semai, pancang, tiang hingga tingkat pohon Analisis Pola Sebaran Untuk mengetahui pola sebaran Syzygium dilakukan bersamaan dengan kegiatan analisis vegetasi. Data yang diambil adalah data frekuensi perjumpaan pada tiap petak contoh. Analisis pola sebaran dilakukan dengan menggunakan metode rasio ragam, dan metode nilai indeks yang terdiri atas: Index of Dispersion (ID), Clumping Index (IC), dan Green s Index (IG) (Ludwig dan Reynolds 1988).

47 29 Metode rasio ragam digunakan dengan cara membandingkan nilai rata-rata dengan nilai koefisien ragamnya. Adapun acuan nilai yang dipakai adalah: jika S 2 = x, maka pola sebarannya acak, jika S 2 < x, maka pola sebarannya homogen, dan jika S 2 > x, maka pola sebarnnya berkelompok. Formula yang digunakan untuk penghitungan nilai indeksnya adalah sebagai berikut: s 2 Index of Dispersion (ID) =, di mana: x = n = x Fx, N Fx Index of Clumping (IC) = ID -1 Green s Index (IG) = IC / n-1 S 2 = (x.fx) 2 x.n, N-1 Keterangan: N = jumlah petak pengamatan, n= jumlah individu total Acuan nilai indeks yang digunakan untuk mengetahui karakter pola sebaran adalah nilai standar yang dapat menggambarkan karakter pola sebaran secara umum. Adapun acuan tersebut adalah : jika nilai ID<1, maka pola sebarannya adalah homogen, nilai ID = 1, maka pola sebarannya adalah acak, dan jika nila ID>1, maka pola sebarannya adalah berkelompok. Peta sebaran distribusi Syzygium yang dihasilkan dugunakan untuk mendukung analisis sebaran Syzygium di lokasi penelitan Asosiasi Syzygium dengan spesies lainnya Asosiasi antara Syzygium dengan spesies tumbuhan lain dilakukan secara berpasangan yaitu dengan spesies tumbuhan yang memiliki INP 10% (Botanri 2010). Diawali dengan membuat tabel kontingensi untuk setiap pasangan spesies (Tabel 2). Tabel 2 Tabel kontingensi berpasangan 2 x 2 untuk asosiasi spesies x Spesies B ada Tidak ada Syzygium ada a b m=a+b tidak ada c d n=c+d r=a+c s=b+d Keterangan: a = Jumlah petak pengamatan ditemukannya Syzygium dan spesies B b = Jumlah petak pengamatan ditemukannya Syzygium, namun tidak spesies B c = Jumlah petak pengamatan ditemukannya spesies B, namun tidak Syzygium d = Jumlah petak pengamatan tidak ditemukan kedua spesies

48 30 Hipotesis uji yang digunakan untuk menguji asosiasi antara Syzygium dengan spesies B adalah: H 0 = keberadan Syzygium dengan spesies a adalah saling bebas H 1 = terdapat asosiasi antara Syzygium dengan spesies a Persamaan uji Chi-Square yang digunakan adalah: (F(x) E(x)) 2 E(x) Tahap selanjutnya adalah membandingkan nilai X 2 hitung dan X 2 tabel pada selang kepercayan 95%. Jika X 2 hitung lebih kecil atau sama dengan X 2 tabel pada selang kepercayan 95%, maka kesimpulannya terima H 0, artinya tidak terdapat asosiasi antara Syzygium dengan spesies a. Jika Jika X 2 hitung lebih besar dari pada X 2 tabel pada selang kepercayan 95%, maka kesimpulannya terima H 1, artinya terdapat asosiasi antara Syzygium dengan spesies a. Sifat asosiasi diketahui dengan membandingkan antara nilai pengamatan untuk a, F(a) dengan nilai harapan E(a). Jika F(a) > E(a), maka asosiasi bersifat positif. Sedangkan jika F(a) < E(a), maka asosiasi bersifat negatif (Ludwig dan Reynolds 1998). X 2 hitung = Asosiasi antara Syzygium dengan spesies tumbuhan lainnya dilakukan dengan pendekatan Indeks Jaccard (IJ) (Ludwig and Reynolds 1988). Formulasi untuk indeks tersebut adalah sebagai berikut: a JI = a + b + c Keterangan: JI = Indeks Jaccard a = Jumlah petak pengamatan ditemukannya Syzygium dan spesies B b = Jumlah petak pengamatan ditemukannya Syzygium, namun tidak spesies B c = Jumlah petak pengamatan ditemukannya spesies B, namun tidak Syzygium Nilai indeks berkisar antara 0 1. Semakin mendekati 1, maka tingkat asosiasinya semakin kuat. Untuk mempermudah penghitungan maka dibuatkan tabel kontingensi berpasangan antara dua spesies yang dibandingkan Analisis Faktor Ekologis Analisis ini dilakukan untuk mengetahui pengaruh faktor ekologis terhadap keberadaan Syzygium. Faktor ekologis yang dimaksudkan dalam

49 31 penelitian ini adalah: jumlah individu tingkat semai, jumlah individu tingkat pancang, jumlah individu tingkat tiang, jumlah individu tingkat pohon, jumlah rumpun bambu, luas rumpun bambu, intensitas penyinaran, ketinggian tempat, kemiringan lereng, ph tanah, kelembaban tanah, suhu udara dan kelembaban udara. Data dianalisis dengan analisis klaster, principle component analysis (PCA) atau analisis komponen utama, analisis canonical, dan model regresi linear berganda dengan menggunakan softwere Minitab 14, PAST 2.14 (PAlaeontological Statistics), dan CANOCO 4.5. Analisis klaster dilakukan untuk mengetahui kemiripan kondisi lingkungan tempat tumbuh antar spesies Syzygium dan antar lokasi blok pengamatan. Analisis Komponen Utama dilakukan untuk melihat secara serentak keseluruhan hubungan antar variabel yang diamati untuk keperluan intepretasi dan analisis hubungan. Hal ini dilakukan dengan cara menyederhanakan variabel yang diamati menjadi variabel baru dengan jumlah yang lebih sedikit, yang disebut sebagai principle componen atau komponen utama. Hubungan antara spesies Syzygium dengan variabel faktor lingkungan secara lebih lanjut dilakukan dengan menggunakan metode Canonical Correspondence Analysis (CCA) dengan menggunakan CANOCO 4.5. Metode ini merupakan metode analisis multivariate yang bertujuan untuk menggabungkan dan menganalisis data kelimpahan spesies dengan data variabel lingkungan dari lokasi yang sama (ter Braak 1986). Metode CCA akan membentuk suatu kombinasi hubungan linear yang maksimal antara distribusi spesies terhadap variabel lingkungannya. Diagram ordinasi yang dihasilkan dapat menggambarkan pola variasi suatu komunitas dan juga distribusi spesies sepanjang variabel-variabel lingkungannya. Hal tersebut dapat terlihat dari eigenvalues yang dihasilkan dari analisis ini (ter Braak 1987). Analisis regresi linear berganda dilakukan dengan menggunakan prosedur regresi Stepwise. Hal ini dilakukan untuk mengetahui variabel bebas yang memiliki pengaruh paling determinan terhadap variabel tidak bebasnya. Model persaman regresi linear yang digunakan, terdiri atas variabel tak bebas yang akan diprediksi oleh beberapa variabel bebas (Walpole 1993; Iriawan dan Astuti 2006). Pada model ini jumlah individu Syzygium berlaku sebagai variabel tak bebas (Y) yang akan diramalkan berdasarkan hasil pengukuran beberapa variabel bebas (X).

50 32 Variabel bebas yang digunakanan adalah beberapa parameter ekologis bagi keberadaan Syzygium. Persamaan regresi linear yang digunakan adalah sebagai berikut: Y 1...n = a 0 + a 1 x 1 + a 2 x 2 + a 3 x 3 + a 4 x a 11 x 11 + a 12 x 12 + a 13 x 13 + έ Keterangan: Y = jumlah individu Syzygium (individu / petak pengamatan) 1...n = Spesies Syzygium ke-1,...,ke-n. a 0 = koefisien regresi a 1,..,8 = koefisien variabel regresi x 1 = luas rumpun bambu pada tiap petak pengamatan (m 2 ) x 2 = jumlah individu semai dan tumbuhan bawah pada tiap petak pengamatan (individu) x 3 = jumlah individu pancang pada tiap petak pengamatan (individu) x 4 = jumlah individu tiang pada tiap petak pengamatan (individu) x 5 = jumlah individu pohon pada tiap petak pengamatan (individu) x 6 = jumlah rumpun bambu pada tiap petak pengamatan (rumpun) x 7 = intensitas penyinaran (lux) x 8 = suhu udara ( o C) x 9 = kelembapan udara (%) x 10 = ph tanah x 11 = kelembaban tanah (%) x 12 = kemiringan lereng (%) x 13 = ketinggian tempat ( m dpl) έ = residual 4.5. Diagram Alir Penelitian Tahapan kegiatan penelitian sebagai acuan dalam melakukan kegiatan penelitian ini ditampilkan dalam bentuk diagram alir penelitian (Gambar 8).

51 33 MULAI SURVEY AWAL KOLEKSI DATA KEANEKARAGAMAN SPESIES SYZYGIUM ANALISIS VEGETASI DAN FAKTOR EKOLOGIS DOKUMENTASI POSISI GEOGRAFIS SYZYGIUM OVERLAY DENGAN PETA LOKASI PENELITIAN SPESIES SYZYGIUM ANALISIS STRUKTUR POPULASI DAN POLA SEBARAN SYZYGIUM PETA SEBARAN SYZYGIUM KOMPOSISI, STRUKTOR POPULASI, POLA SEBARAN SELESAI Gambar 8 Diagram alir tahapan penelitian

52 34

53 V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1. Komposisi dan Struktur Vegetasi TWA Gunung Baung Dari analisis vegetasi yang dilakukan berhasil dicatat sebanyak 240 spesies tumbuhan yang berasal dari 72 suku (Lampiran 1). Hasil analisis vegetasi memberi gambaran mengenai komposisi vegetasi yang ada di lokasi penelitian. Keberadan bambu dari spesies Bambusa blumeana cukup berpengaruh terhadap komunitas tumbuhan yang terdapat di Gunung Baung. Nilai INP yang tinggi untuk spesies ini dibandingkan spesies lainnya dapat menjadi indikasi tersebut. Terdapat enam spesies bambu yang dijumpai tumbuh di dalam kawasan : Bambusa blumeana, Bambusa vulgaris, Dendrocalamus asper, Gigantochloa apus, Schizostachyum iraten dan Schizostachyum zollingeri. Widjaja (2010) mengemukakan bahwa semua spesies tersebut termasuk spesies bambu yang umum terdapat di Jawa. Bambusa vulgaris, Dendrocalamus asper dan Giganthochloa apus adalah spesies yang telah banyak dikenal dan dimanfaatkan masyarakat. B. blumeana, S. iraten dan S. zollingeri merupakan spesies bambu asli di Jawa yang tumbuh secara liar dan belum dibudidayakan. Dua spesies yang cukup banyak dijumpai adalah Bambusa blumeana dan Schizostachyum zollingeri. Keberadaan B. blumeana sangat mendominasi di dalam kawasan (INP = 225,13). Widjaja (2001) mengemukakan bahwa spesies ini tumbuh secara liar dan tersebar di Jawa. Kemungkinan kawasan TWA Gunung Baung adalah habitat alami bagi spesies ini. Bambu ini hampir dijumpai di semua lokasi pengamatan dan dikenal dengan sebutan pring ori oleh masyarakat lokal. Pring ori memiliki ukuran rumpun yang luas dan rapat. Hal ini dikarenakan batangnya berduri, sehingga rumpunnya menjadi terlihat lebih rapat. Spesies bambu lainnya yang juga banyak dijumpai adalah S. zollingeri. Spesies ini memiliki rumpun-rumpun yang kecil dan ukuran buluh yang lebih ramping. Pada tingkai semai dan tumbuhan bawah vegetasi yang mendominasi adalah spesies perdu yaitu Tithonia diversifolia. Spesies ini dikenal dengan sebutan paitan oleh masyarakat sekitar. Spesies ini mudah berkembang biak, baik dengan biji, stolon atau setek batangnya. Keberadaanya di lokasi penelitian cukup melimpah terutama pada tempat-tempat yang terbuka. Tingginya dapat mencapai

54 36 2,5 meter dan keberadannya yang melimpah dapat menghambat pertumbuhan spesies lainnya. Spesies ini merupakan spesies introduksi dari Mexico dan kini telah tersebar luas dan beradaptasi di Indonesia. Kehadirannya sering menjadi gulma di lahan pertanian (Hanum dan van der Maesen 1997). Streblus asper yang oleh masyarakat setempat disebut kayu serut, keberadaannya cukup melimpah pada tingkat pancang dan tiang. Perawakannya berupa semak dan pohon kecil dengan tinggi dapat mencapai 15 meter. Spesies ini banyak dijumpai tumbuh di daerah hutan dengan iklim munson, terutama di tempat-tempat terbuka hutan sekunder, hingga ketinggian 1000 m dpl. Schoutenia ovata adalah salah satu spesies pohon yang keberadaannya sudah mulai langka. Dikenal dengan nama lokal walikukun, spesies ini hidup di daerah-daerah dataran rendah yang beriklim munson kering. Perawakannya berupa pohon dengan tinggi dapat mencapai 10 meter. Siregar et al. (2005), memasukan spesies ini sebagai salah satu spesies yang berpotensi untuk dikembangkan sebagai tanaman penghasil kayu komersial di Bali. Ficus hispida merupakan spesies pohon yang memiliki nilai INP tinggi. Perawakan umumnya berupa pohon kecil dengan tinggi dapat mencapai 10 meter. Pada umumnya spesies dari marga Ficus merupakan pakan bagi satwa yang hidup di hutan. Hasanbahri et al. (1996) menyatakan setidaknya terdapat 33 spesies tumbuhan yang menjadi pakan bagi Macaca fascicularis di kawasan Hutan Jati. Jenis pakan yang paling banyak umumnya adalah dari marga Ficus dan Syzygium. Terdapat dua spesies Syzygium yang cukup berpengaruh dalam komposisi vegetasi di lokasi penelitian, yaitu Syzygium pycnanthum dan Syzygium racemosum. Hal ini dapat dilihat dari Indeks Nilai Penting (INP) kedua spesies tersebut. Dilihat dari kelimpahan dan frekuensi perjumpaan, kedua spesies ini mempunyai nilai yang cukup tinggi terutama pada tingkat pancang, tiang dan pohon. Perawakan pada umunya hanya berupa pohon kecil. Meskipun demikian beberapa individu dijumpai telah berbunga walaupun secara ukuran masih dikategorikan dalam strata pancang (dengan diameter batang setinggi dada cm). Kondisi ini dapat mengindikasikan bahwa kedua spesies Syzygium ini memiliki rentang kriteria strata pertumbuhan yang lebih kecil dibandingkan dengan ketentuan strata pertumbuhan pohon pada umumnya. Syzygium cumini, S.

55 37 littorale, S. polyanthum, dan S. samarangenae sangat jarang dijumpai di lokasi penelitian. Bahkan untuk S. samarangense hanya dijumpai satu individu dalam strata pohon. Indeks Nilai Penting yang > 10% bagi spesies tumbuhan pada setiap strata dan habitus ditampilkan dalam Tabel 3. Tabel 3 Indeks Nilai Penting (INP) >10% dari spesies tumbuhan pada setiap strata/habitus di Gunung Baung, Jawa Timur No Spesies Suku INP (%) Semai dan Tumbuhan Bawah 1 Tithonia diversifolia Asteraceae 45,26 2 Mikania cordata Asteraceae 21,86 3 Cyathula prostata Amaranthaceae 20,55 4 Piper cubeba Piperaceae 15,50 5 Pennisetum purpureum Poaceae 13,72 6 Voacanga grandifolia Apocynaceae 10,78 Pancang 1 Tithonia diversifolia Asteraceae 80,13 2 Streblus asper Moraceae 35,32 3 Voacanga grandifolia Apocynaceae 21,39 4 Lepisanthes rubiginosum Sapindaceae 16,11 5 Syzygium pycnanthum Myrtaceae 11,80 Tiang 1 Streblus asper Moraceae 57,20 2 Syzygium pycnanthum Myrtaceae 27,66 3 Voacanga grandifolia Apocynaceae 21,29 4 Microcos tomentosa Tilliaceae 18,60 5 Schoutenia ovata Sterculiaceae 16,74 6 Syzygium racemosum Myrtaceae 10,38 Pohon 1 Ficus hispida Moraceae 22,27 2 Schoutenia ovata Sterculiaceae 20,59 3 Syzygium pycnanthum Myrtaceae 17,27 4 Streblus asper Moraceae 14,98 5 Microcos tomentosa Tilliaceae 13,95 6 Garuga floribunda Burseraceae 12,72 7 Ficus racemosa Moraceae 10,68 8 Emblica officinalis Euphorbiaceae 10,54 9 Litsea glutinosa Lauraceae 10,16 Bambu 1 Bambusa blumeana Poaceae 225,13 2 Schizostachyum zollingeri Poaceae 46,09 3 Schizostachyum iraten Poaceae 18,15

56 38 Beberapa literatur hasil penelitian telah mengungkapkan sebagian kondisi vegetasi di TWA Gunung Baung (Yuliani et al. 2006, 2006a; Pa i dan Yulistiarini 2006; Catur 2008). Spesies flora yang cukup banyak dijumpai di kawasan ini antara lain beringin (Ficus benjamina), kepuh (Sterculia foetida), bendo (Artocarpus elastica) dan gondang (Ficus variegata), serta berbagai spesies bambu dari berbagai spesies (Bambussa blumeana, B. vulgaris, Schizostachyum zollingeri, S. iraten, Dendrocalmus asper dan Giganthocloa apus). Keberadan bambu cukup banyak dijumpai di dalam kawasan, terutama spesies B. blumeana. Setidaknya terdapat empat marga bambu tumbuh di kawasan Taman Wisata Gunung Baung, yaitu: Bambusa, Dendrocalamus, Gigantochloa, dan Schizostachyum. alami bagi beberapa spesies bambu. Kawasan TWA Gunung Baung memang merupakan habitat Tingkat keanekaragaman spesies di suatu kawasan dapat didekati dengan menggunakan perhitungan nilai indeks keanekaragaman spesies (heterogenitas) Shannon-Wiener (H ) (Ludwig dan Reynolds 1988; Krebs 1989). Nilainya ditetapkan berdasarkan struktur kerapatan atau kelimpahan individu dari setiap spesies yang teramati. Rosalia (2008) menggunakan kriteria nilai indeks ini menurut Tim Studi IPB (1997). Kriteria nilainya adalah: kelimpahan spesies tinggi bila nilainya 3, sedang jika nilainya 2 3, dan rendah jika nilainya 2. Hasil penghitungan nilai Indeks keanekaragaman spesies Shannon-Wiener di lokasi penelitian ditampilkan pada Tabel 4. Tabel 4 Nilai indeks keanekaragaman spesies Shannon-Wiener pada setiap strata/habitus pertumbuhan vegetasi di TWA Gunung Baung, Jawa Timur Semai dan tumbuhan pancang tiang pohon bambu bawah Indeks Shanon- 3,52 2,81 3,35 3,79 0,98 Wiener (H') Jml spesies Kriteria tinggi sedang tinggi tinggi rendah Nilai Indeks Shannon-Wiener (H ) mengindikasikan bahwa keanekaragaman spesies tumbuhan di TWA Gunung Baung termasuk tinggi.

57 Spesies Syzygium Di TWA Gunung Baung Dari penelitian ini diketahui terdapat enam spesies Syzygium tumbuh di lokasi penelitian. Keenam spesies tersebut adalah Syzygium cumini, S. littorale, S. polyanthum, S. pycnanthum, S. racemosum, dan S. samarangense. S. pycnanthum merupakan spesies yang paling banyak dijumpai, sedangkan S. samarangense paling sedikit ditemui. Pertelaan karakter morfologis untuk setiap jenis adalah sebagai berikut: Syzygium cumini (L.) Skeels. Habitus S. cumini berupa pohon berbatang pendek dengan tinggi dapat mencapai 20 meter dan tidak berbanir. Percabangan berwarna abu-abu atau coklat kekuningan. Daun tunggal tersusun berhadapan, berbentuk bulat telur hingga oval, berwarna hijau-hijau tua, tepi daun rata. Ukuran daun sekitar 7-15 cm x 5-9 cm dan memiliki tangkai daun sepanjang 1-3,5 cm. Bunga berukuran kecil (diameter 4-7 mm) yang tersusun dalam satu perbungaan. Perhiasan bunga berwarna putih hingga kekuningan, bunga tersusun dalam perbungaan yang muncul di ketiak daun pada bagian ujung ranting dan percabangan. Buah buni berbiji satu, berbentuk lonjong, saat masak berwarna merah tua keunguan,dengan rasa maniskelat hingga manis (Gambar 9). Musim berbunga dan berbuah terjadi pada bulan April-Oktober. Sinonim untuk spesies ini adalah S. jambolanum Miq., Eugenia cumini (L.) Druce, dan Eugenia jambolana Lamk. (Dalimartha 2003). Syzygium cumini adalah spesies asli dari India, Burma, Ceylon dan Pulau Andaman yang telah ternaturalisasi di kawasan Malesia termasuk di Jawa. Keberadaan spesies ini di banyak wilayah di Asia Selatan sangat berkaitan dengan budaya dan agama Hindu yang berkembang di sana, sehingga banyak ditanam di sekitar candi dan bangunan ibadah lainnya (Morton 1963). Keberadaannya di Indonesia kemungkinan juga berkaitan dengan penyebaran agama Hindu di Jawa yang dilakukan oleh para pendatang dari wilayah India. Menurut Backer dan van den Brink (1963), di Jawa spesies ini tumbuh pada ketinggian di bawah 500 mdpl di hutan jati, dan banyak ditanam untuk dimanfaatkan buahnya. Di samping berguna sebagai buah segar, bahan jus, bahan pembuatan minuman berfermentasi serta obat, spesies ini juga memiliki fungsi dan kegunaan ekologis. Beberapa jenis satwa, seperti burung, mamalia berkaki empat, kelelawar

58 40 serta kalong, memanfaatkan buahnya sebagai sumber pakan mereka (Maiden 1889 dalam Morton 1963). Bunga S. cumini mengandung banyak nektar yang dimanfaatkan oleh lebah sebagai sumber pakannya (Ordetx Ros 1952 dalam Morton 1963). Dalam kawasan spesies ini dijumpai tumbuh pada tempat yang terbuka, tidak terdapat bambu di lokasi dengan topografi yang relatif datar. Sebanyak 6 individu tercatat dalam petak pengamatan yang terdiri atas 1 individu tingkat tiang dan 5 individu tingkat pohon. a b c Gambar 9 Bunga (a), buah (b), dan perawakan pohon Syzygium cumini (c) Syzygium littorale (Blume) Amshoff Perawakan S. littorale berupa pohon dengan tinggi dapat mencapai meter. Daun tunggal tersusun berhadapan berbentuk lanset-oblong dengan ujung meruncing. Ukuran panjang daun tiga kali dari ukuran lebarnya. Perbungaan terminal atau muncul pada bagian ranting di bekas tangkai daun yang gugur. Beberapa kuntum bunga tersusun dalam satu perbungaan. Perhiasan bunga berwarna putih dengan ukuran sekitar 1,5 2 cm (Gambar 10). Buah berbentuk bulat campanulate (berbentuk seperti lonceng) berwarna hijau kekuningan dengan ukuran diameter sekitar 2,5-3,5 cm. Nama sinonimnya adalah Eugenia subglauca K.&V., Jambosa litoralis Bl.

59 41 Backer dan van den Brink (1963) menyatakan bahwa spesies ini adalah spesies asli di Jawa. Tempat tumbuhnya di hutan-hutan, terutama di sepanjang tepi sungai. Dalam kawasan TWA Gunung Baung dijumpai tumbuh pada tempat tempat yang tidak dijumpai bambu, daerah bersemak dengan pohon-pohon yang tidak terlalu rapat. Sebanyak 18 individu tercatat dalam petak pengamatan, terdiri atas 8 individu tiang dan 10 individu pohon. a b c Gambar 10 Bunga (a), kuncup bunga dan daun (b), dan perawakan pohon Syzygium littorale (c) Syzygium polyanthum (Wight.) Walp. Habitus S. Polyanthum berupa pohon dengan batang yang jelas, bentuk tajuk yang rapat, dan tinggi dapat mencapai 25 meter. Kulit batang beralur kasar berwarna coklat gelap. Daun tunggal tersusun berhadapan berbentuk elip-bulat ataupun obovate (bulat telur terbalik) dengan ujung meruncing. Ukuran daun sekitar 5-15 x 3,5-6,5 cm dengan panjang tangkai daun antara 5-12 mm. Perbungaan rapat di ujung atau ketiak ranting. Bunga tersusun rapat berwarna putih kemerahan berbau harum. Buahnya manis berbentuk bulat dengan diameter 8-9 mm berwarna merah hingga merah tua (Gambar 11). Sinonim untuk spesies ini adalah Eugenia polyantha Wight. Habitat alaminya adalah kawasan hutan

60 42 pada ketinggian m dpl. Spesies ini sering ditanam di pekarangan untuk dimanfaatkan daun dan buahnya (Backer dan van den Brink 1963). Dijumpai sebanyak 7 individu yang tercatat dalam petak pengamatan yang terdiri atas: 3 individu tingkat semai, 1 individu tingkat pancang dan 3 individu tingkat tiang. Tumbuh di tempat-tempat yang tidak didominasi bambu, belukar dengan pohon-pohon tidak terlalu rapat, pada daerah lereng bukit. a b c Gambar 11 Bunga (a), daun (b), dan perawakan pohon Syzygium polyanthum (c) Syzygium pycnanthum Merr. & L.M. Perry Habitus S. pycnanthum berupa pohon kecil, tinggi hingga 15 m, diameter batang dapat mencapai 30 cm dan tidak berbanir. Daun tunggal tersusun berhadapan, berwarna hijau tua pada permukaan atas dan hijau pucat pada permukaan bawahnya. Bentuk daun ovate-oblong-lanceolate (bulat telurmemanjang-lanset), tepi daun rata, ujung daun acute-acuminate (runcingmeruncing). Ukuran daun antara 12,5-37 cm x 3-10 cm, memiliki intramarginal vein dengan jarak 8-10 mm dari tepi daun. Perbungaan muncul di ujung ranting. Bunga tersusun rapat dengan tangkai bunga pendek 3-4 mm, mahkota bunga berwarna putih-keunguan, kelopak bunga berwarna putih-kehijauan-ungu,

61 43 memiliki benang sari yang banyak berwarna putih dan berwarna kemerahan pada bagian pangkalmya. Buahnya berupa buah buni, berbentuk bulat, buah muda berwarna hijau, buah tua berwarna merah keunguan atau hijau kemerahan dengan diameter buah 2,5-3,5 cm (Gambar 12). Sinonim untuk spesies ini adalah Eugenia densiflora (Bl.) Duthie, E. Axillaris Auct. Non Willd. Dijumpai dua varian S. pycnanthum di TWA Gunung Baung, yaitu yang berbuah merah keunguan dan hijau. Perawakan dan karakter lainnya relatif sama, yang membedakan hanya pada warna buahnya saja. Perbandingan jumlah antara keduanya tidak diketahui. Hal ini dikarenakan tidak banyak individu yang berbunga atau berbuah pada saat dilakukan penelitian. Spesies ini memiliki rentang habitat yang lebar. Dapat tumbuh dari dataran rendah hingga dataran tinggi dengan berbagai tipe kondisi lingkungan. Menurut Backer dan van den Brink (1963), di Jawa spesies ini tumbuh secara alami di areal semak belukar, hutan terbuka atau tepi-tepi sungai, pada ketinggian mdpl. Mustian (2009) menjumpai S. pycnanthum beserta beberapa jenis Syzygium lainnya di kawasan pertambangan nikel di Soroako, pada kondisi tanah ultrabasa. Jenis ini dijumpai tumbuh secara alami di tepi aliran sungai (Mudiana 2009; 2011). Sunarti et al. (2008) mencatat habitat spesies ini pada ketinggian m dpl di kawasan Hutan Polara, Pegunungan Waworete, Pulau Wawonii, Sulawesi Tenggara. Spesies ini merupakan spesies Syzygium yang paling banyak dijumpai di TWA Gunung Baung. Sebanyak 235 individu tercatat dalam petak pengamatan, terdiri atas 42 individu tingkat semai, 75 individu tingkat pancang, 49 individu tingkat tiang dan 69 idividu tingkat pohon. Tumbuh pada berbagai kondisi tempat, seperti pada lokasi dengan dominasi rumpun bambu B. blumeana, tempat terbuka, tempat dengan dominasi semak dan pohon, di daerah lereng-lereng bukit.

62 44 a b Gambar 12 c Varian buah muda berwarna merah keunguan (a), varian buah berwarna hijau (b), dan perawakan pohon Syzygium pycnanthum (c) Syzygium racemosum (Bl.) DC. Habitus S. racemosum berupa pohon dengan tinggi dapat mencapai 3 20 meter, umumnya berupa pohon kecil dengan percabangan yang lebat. Kulit batangnya berwarna coklat terang keabuan. Daun berhadapan berbentuk elip bulat dengan ujung meruncing, ukuran daun sekitar 8-15 x 3,5-5 cm, tangkai daun berukuran 0,5-1,5 cm. Daun muda berwarna kemerahan-tembaga. Pertulangan daun menyirip rapat. Perbungaan terminal atau muncul pada ketiak daun yang telah gugur pada bagian ujung ranting. Bunga berwarna putih kekuningan, dengan bentuk mahkota seperti kaliptra kecil. Buah berwarna hijau kekuningan, berbentuk lonceng membulat dengan diameter 2-3 cm. (Gambar 13). Sinonim spesies ini adalah Eugenia jamboloides K. & V. Backer dan van den Brink (1963) mengemukakan bahwa spesies ini dijumpai tumbuh di Jawa pada hutan campuran dan hutan jati pada ketinggian m dpl. Di TWA Gunung Baung banyak dijumpai tumbuh terutama pada tempat-tempat dengan dominasi bambu B. Blumeana, pada daerah lereng-lereng bukit. Sebanyak 77 individu tercatat dalam penelitian ini, terdiri atas 20 individu

63 45 tingkat semai, 35 individu tingkat pancang, 14 individu tingkat tiang dan 8 individu tingkat pohon. a b c Gambar 13 Bunga (a), daun (b), dan perawakan pohon Syzygium racemosum (c) Syzygium samarangense (Bl.) Merr. & L.M. Perry Perawakan S. samarangense berupa pohon kecil dengan banyak percabangan yang rapat, tingginya dapat mencapai 10 meter. Daun tersusun berhadapan berbentuk bulat telur ataupun oblong, daun muda berwarna hijau cerah dengan ukuran daun cm x 6-11,5 cm dan panjang tangkai daun antara 3-5 mm. Perbungaan muncul di bekas ranting daun yang telah gugur. Bunga berwarna putih kekuningan dengan ukuran diameter 3-4 cm (Gambar 14). Buahnya berbentuk lonceng berwarna hijau kekuningan. Sinonim untuk spesies ini adalah Eugenia javanica Lmk, non Syzygium javanicum Miq., Myrtus samarangensis Bl. Keberadaannya telah umum dan ditanam oleh penduduk di kebun dan pekarangan untuk dimanfaatkan buahnya. Hanya dijumpai sebanyak 1 individu tingkat pohon yang tercatat dalam petak pengamatan. Tumbuh pada tempat terbuka, pada daerah bersemak dan tidak ada bambu.

64 46 a b c Gambar 14 Kuncup bunga (a), daun (b), dan perawakan pohon Syzygium samarangense (c) 5.3. Struktur Populasi Syzygium Struktur populasi Syzygium di lokasi penelitian menunjukkan kondisi yang berbeda untuk tiap-tiap spesies. Hal ini berimplikasi pada kemampuan spesies untuk melangsungkan kehidupannya. Dari keenam spesies Syzygium, hanya S. pycnanthum dan S. racemosum yang secara lengkap memiliki jumlah individu untuk setiap strata pertumbuhannya. Struktur populasi S. pycnanthum dan S. racemosum menggambarkan bentuk kurva ideal berbentuk J terbalik, dimana secara berurut jumlah individu permudaannya lebih banyak dari pada strata dewasanya. Struktur populasi kedua spesies ini menggambarkan suatu struktur populasi tumbuhan yang ideal. Struktur populasi kedua spesies ini diperkirakan akan mampu untuk mempertahankan keberadaan populasinya karena memiliki individu-individu pada semua strata pertumbuhannya. Keempat spesies Syzygium lainnya memiliki struktur populasi yang tidak ideal. Syzygium cumini dan S. littorale tidak memiliki individu pada strata semai dan pancang. Suatu populasi tumbuhan tanpa kehadiran strata permudaannya dapat mengindikasikan bahwa terdapat hambatan dalam proses pembentukan strata permudaannya. S. samarangense bahkan hanya dijumpai sebanyak satu

65 47 individu untuk strata pohon. Kondisi populasi S. polyanthum menunjukan jumlah individu yang banyak pada tingkat semai, tetapi sangat sedikit pada fase pertumbuhan selanjutnya. Jika kondisi ini berlangsung lama, maka dapat menyebabkan spesies-spesies tersebut tidak mampu untuk mengembangkan populasinya. Kondisi populasi Syzygium secara keseluruhan menggambarkan suatu kondisi yang ideal dimana kurva jumlah individu per ha untuk setiap strata pertumbuhannya berbentuk J terbalik. Kondisi struktur populasi untuk setiap spesies Syzygium ditampilkan dalam Gambar 15. Silvertown (1982) mengemukakan bahwa pada umumnya biji-biji dari tumbuhan tropis akan segera berkecambah setelah terpencar dan jatuh pada habitat yang sesuai. Proses tersebut merupakan salah satu bentuk adaptasi untuk mempertahankan keberlangsungan populasinya. Tahapan pemencaraan dan perkecambahan biji merupakan fase yang menentukan bagi keberhasilan rekrutmen individu baru. Hal ini dikarenakan adanya faktor luar yang mempengaruhi proses tersebut yaitu berupa pemangsaan buah atau biji sebagai pakan satwa, baik burung, mamalia atau serangga, dan juga faktor kesesuaian tempat tumbuh untuk berkecambah. Kondisi struktur populasi tumbuhan dapat memberikan gambaran mengenai kemampuan suatu spesies untuk melangsungkan kehidupannya. Struktur populasi tumbuhan dapat digambarkan dengan melihat jumlah individu pada tiap-tiap strata pertumbuhannya. Strata pertumbuhan tersebut meliputi tingkat semai, pancang, tiang, dan pohon. Kondisi struktur populasi yang ideal digambarkan dengan bentuk kurva J terbalik. Hal ini menggambarkan strata permudaan yang lebih banyak dari pada strata dewasanya. Struktur populasi dapat ditampilkan dalam bentuk piramid yang disusun secara berurut dari bawah berdasarkan strata pertumbuhannya. Struktur populasi yang ideal digambarkan dengan bentuk piramid kerucut utuh, dimana jumlah individu secara berurut semakin sedikit dari strata permudaan hingga dewasa. Semakin menuju tahap dewasa akan semakin ketat proses persaingan untuk dapat bertahan hidup. Tumbuhan pada umumnya berupaya untuk menghasilkan jumlah individu baru yang banyak pada tahap awal pertumbuhannya.

66 48 S. cumini S. polyanthum Individu / ha Individu / ha semai pancang tiang pohon semai pancang tiang pohon S. pycnanthum S. samarangense Individu / ha Individu / ha semai pancang tiang pohon semai pancang tiang pohon S. racemosum S. littorale Individu / ha Individu / ha semai pancang tiang pohon semai pancang tiang pohon Syzygium Individu /ha semai pancang tiang pohon Gambar 15 Histogram struktur populasi berbagai spesies Syzygium berdasarkan tingkat strata pertumbuhannya di Gunung Baung, Jawa Timur

67 49 Model kurva dengan bentuk J terbalik dapat pula mengindikasikan bahwa spesies tumbuhan merupakan spesies yang bersifat toleran terhadap cahaya matahari. Pada umumnya spesies ini tumbuh pada lapisan bawah tajuk. Sebaliknya spesies tumbuhan dengan model struktur populasinya berbentuk J biasanya merupakan spesies yang intoleran terhadap cahaya matahari, sehingga permudaannya sangat jarang dijumpai pada tempat-tempat yang ternaungi (Silvertown 1982). Larpkern et al. (2011) mengemukakan bahwa dominasi bambu pada suatu kawasan dapat mengurangi kelimpahan dan kekayaan spesies tumbuhan berkayu. Faktor naungan kanopi serta serasah bambu yang dihasilkan oleh keberadaan bambu adalah faktor yang berpengaruh terhadap perkecambahan dan pertumbuhan anakan tumbuhan berkayu di sekitarnya. Intensitas cahaya yang masuk hingga lantai hutan akan terhalang oleh rimbunnya rumpun bambu yang rapat. Pada sisi yang lain, serasah bambu yang bersifat lambat terdekomposisi (Sihotang 1989) dapat menghambat perkecambahan dan pertumbuhan semai pohon di sekitarnya. Kondisi ini yang kemungkinan terjadi terhadap permudaan beberapa spesies Syzygium yang terdapat di Gunung Baung. Faktor naungan menjadi salah satu faktor penghambat perkecambahan anakan pohon. Kemungkinan hanya spesies yang bersifat toleran saja yang mampu untuk berkecambah dan tumbuh sebagai tanaman baru. Serasah bambu yang terkumpul di atas permukaan lantai hutan berpengaruh terhadap perkecambahan biji tumbuhan. Sifat serasah bambu yang lama terdekomposisi dapat menghambat perkecambahan biji. Namun demikian, kehadiran serasah bambu juga kemungkinan dapat mengurangi intensitas kompetisi dengan tumbuhan bawah lainnya sehingga meningkatkan keberhasilan perkecambahan biji (Larpkern et al. 2011). Keberadaan serasah bambu juga dapat mengurangi evaporasi sehingga membentuk iklim mikro yang mampu mendukung perkecambahan biji serta melindungi biji dari pemangsanya (Facelli and Pickett 1991; Becerra et al. 2004; Cintra 1997; dalam Larpkern et al. 2011). S. pycnanthum dan S. racemosum kemungkinan adalah spesies yang mampu beradaptasi dengan kondisi naungan dan serasah bambu yang tebal. Dibandingkan dengan spesies Syzygium lainnya, keberadaan permudaan kedua

68 50 spesies ini cukup banyak dijumpai di antara rumpun-rumpun bambu yang terdapat di TWA Gunung Baung. Sistem perakaran bambu yang halus dan tersebar merata mampu memperbaiki sistem drainase pada tanah, terutama pada lapisan atas. Lapisan serasah bambu yang lambat terdekomposisi akan memperlambat pergerakan air hujan sehingga proses pencucian hara menjadi lambat. Kondisi drainase tanah yang baik akan mampu meningkatkan penyerapan hara ke dalam tanah, sehingga ketersediaannya di dalam tanah dapat dimanfaatkan oleh tumbuhan (Sihotang 1989). Ukuran dimensi Syzygium dalam strata tiang dan pohon mengindikasikan bahwa umumnya spesies Syzygium memiliki ukuran perawakan yang kecil. Data kelas diameter batang (dbh) dan kelas tinggi pohon dapat menunjukkan hal tersebut (Tabel 5 dan Tabel 6). Tabel 5 Jumlah individu Syzygium berdasarkan kelas diameter batang di Gunung Baung, Jawa Timur Kelas diameter batang < 10 cm cm cm cm cm >50 cm S. cumini S. littorale S. polyanthum S. pycnanthum S. racemosum S. samarangense Syzygium (jumlah) Tabel 6 Jumlah individu Syzygium berdasarkan kelas tinggi pohon Kelas tinggi pohon < 2 m 2-5 m 6-10 m m >20 m cm S. cumini S. littorale S. polyanthum S. pycnanthum S. racemosum S. samarangense Syzygium (jumlah)

69 51 Istomo (1994) mengemukakan bahwa informasi mengenai struktur tegakan hutan dapat memberikan gambaran mengenai dinamika suatu spesies atau kelompok spesies mulai dari tingkat semai, pancang, tiang, hingga pohon Pola Sebaran Syzygium Hasil analisis pola sebaran yang dilakukan menunjukkan bahwa Keseluruhan spesies Syzygium menyebar secara berkelompok. Syzygium samarangense yang hanya dijumpai satu individu dalam satu petak pengamatan tidak dapat dianalisis pola sebarannya dikarenakan tidak dapat menggambarkan kondisi penyebarannya. Kondisi ini akan mengakibatkan pola sebaran yang ditunjukan akan acak (Tabel 7). Tabel 7 Nilai varian dan rata-rata jumlah individu Syzygium untuk penentuan pola sebaran dengan metode rasio ragam Spesies S 2 rata-rata (x) Nilai rasio(s 2 /x) Pola sebaran S. cumini 0,06 0,02 2,32 Berkelompok S. littorale 0,50 0,07 6,90 Berkelompok S. polyanthum 0,10 0,03 3,56 Berkelompok S. pycnanthum 25,57 0,94 27,20 Berkelompok S. racemosum 15,81 0,32 49,40 Berkelompok S. samarangense* 0,00 0,00 1,00 -- Keterangan: S 2 adalah nilai varian dari data jumlah individu per petak pengamatan, x adalah nilai rata-rata jumlah individu per petak pengamatan. Jika S 2 = x, maka pola sebarannya acak, jika S 2 < x, maka pola sebarannya homogen, dan jika S 2 > x, maka pola sebarnnya berkelompok.* Hanya dijumpai satu individu dalam 1 petak pengamatan. Ludwig dan Reynolds (1988), Odum (1994), Krebs (1989) mengemukakan mengenai tiga pola distribusi individu dalam suatu populasi makhluk hidup, yaitu distribusi acak (random), distribusi seragam (uniform), dan distribusi berkelompok (clumped). Pola sebaran makhluk hidup di alam secara garis besar dipengaruhi oleh faktor intrinsik spesies, seperti reproduksi, perilaku sosial, dan koaktif serta faktor ekstrinsik yang mencakup faktor lingkungan di luar makhluk hidup. Kondisi di alam menunjukan bahwa banyak populasi tumbuhan (maupun hewan) memiliki pola penyebarannya yang bersifat mengelompok dan sangat jarang yang menyebar dalam pola yang teratur (Krebs 1989). Pola sebaran berkelompok dapat mengindikasikan adanya faktor-faktor pembatas terhadap populasi. Makhluk hidup cenderung memilih tempat yang sesuai untuk keberlangsungan hidupnya.

70 52 Hasil penghitungan nilai indeks pola sebaran yang meliputi: Index of Dispersion (ID), Index of Clumping (IC), dan Index Green (IG) untuk tiap spesies Syzygium ditampilkan dalam Tabel 8. Pola sebarannya menujukkan hasil yang serupa dengan perhitungan rasio ragam. Tabel 8 Nilai indeks pola sebaran untuk tiap spesies Syzygium di TWA Gunung Baung, Jawa Timur Spesies ID IC IG Pola sebaran S. cumini 2,32 1,32 0,26 Berkelompok S. littorale 6,90 5,91 0,35 Berkelompok S. polyanthum 3,56 2,56 0,43 Berkelompok S. pycnanthum 27,20 26,20 0,11 Berkelompok S. racemosum 49,40 48,40 0,61 Berkelompok S. samarangense* 1,00 0, Keterangan: Jika nilai ID<1, maka pola sebarannya adalah homogen, nilai ID = 1, maka pola sebarannya adalah acak, dan jika nila ID>1, maka pola sebarannya adalah berkelompok. Nilai indeks maksimum berkelompok untuk setiap pengukuran indeks: ID (Index of Dispersion) pada n, IC (Index of Clump) pada n-1, dan GI (Green Indexs) nilai maksimum berkelompoknya = 1. n = jumlah total individu..* Hanya dijumpai satu individu dalam 1 petak pengamatan. Berdasarkan pada jumlah petak perjumpaan Syzygium serta proporsinya bagi masing-masing spesies terlihat bahwa S. pycnanthum mempunyai frekuensi perjumpaan yang paling sering dibandingkan spesies lainnya. Banyaknya petak dijumpainya suatu spesies tidaklah dapat secara langsung memberikan gambaran mengenai pola sebarannya. Akan tetapi berdasarkan data tersebut, ditambah dengan data jumlah individunya, maka dapat diketahui pola penyebarannya, seperti yang telah diuraikan. Perbandingan jumlah petak dan jumlah individu untuk masing-masing spesies Syzygium secara lengkap ditampilkan dalam Gambar 16. Pola sebaran yang berkelompok pada keseluruhan spesies Syzygium yang dijumpai di Gunung Baung, dapat mengindikasikan adanya faktor lingkungan yang berpengaruh terhadap populasinya (kecuali S. samarangense yang hanya dijumpai sebanyak 1 individu). Spesies-spesies tersebut memilih tempat-tempat yang sesuai bagi pertumbuhan dan perkembangannya. Dalam kajian ini faktor lingkungan yang akan dikaji berupa faktor lingkungan fisik tempat tumbuh serta faktor biotik berupa kondisi vegetasi yang terdapat di TWA Gunung Baung.

71 53 Gambar 16 Histogram jumlah petak dan proporsi perjumpaan spesies Syzygium di Gunung Baung, Jawa Timur Setidaknya terdapat dua alasan yang berkaitan dengan pola sebaran berkelompok bagi berbagai spesies tumbuhan, yaitu: pertama berkaitan dengan penyebaran buah dan biji tanaman yang cenderung jatuh pada lokasi di sekitar pohon induk, serta kesesuaian kondisi lingkungan habitat tempat tumbuhnya. Kondisi iklim mikro suatu tempat akan berpengaruh terhadap pertumbuhan suatu spesies tumbuhan (Barbour et al. 1987) Asosiasi Tumbuhan dan Syzygium Perhitungan dan analisis asosiasi interspesies menunjukkan bahwa terdapat asosiasi positif antar spesies secara keseluruhan. Hal ini dapat dilihat dari nilai indeks asosiasi seluruh spesies (VR; variance ratio test) yang lebih besar dari satu. Hasil uji chi square terhadap W yang merupakan nilai statistik untuk menguji adanya penyimpangan nilai 1 dalam perhitungan VR, menunjukkan hasil penghitungan nilai W berada diluar batas nilai kritis bagi uji W pada tiap strata pertumbuhan (Tabel 9). Hal ini mengindikasikan bahwa hasil uji statistik menunjukkan bahwa secara signifikan terdapat asosiasi antara seluruh spesies (Tabel 9).

72 54 Tabel 9 Nilai indeks asosiasi seluruh spesies (VR) untuk tiap strata pertumbuhan Nilai kritis bagi uji W Strata pertumbuhan VR W=N.VR (α=0.005, N=250) (α=0.95, N=250) semai 1,05 263,68 18,49 43,77 pancang 1,32 330,95 18,43 43,77 tiang 1,47 367,26 18,49 43,77 pohon 1,87 467,67 18,49 43,77 Keterangan: W=(N)(VR), N= jumlah petak pengamatan, VR= variance ratio untuk indeks asosiasi seluruh spesies. Hasil pengujian χ2 untuk asosiasi berpasangan antara spesies yang memiliki INP 10% pada setiap strata pertumbuhan termasuk dengan spesies bambu menunjukkan hasil yang beragam. Namun kebanyakan tidak menunjukkan adanya asosiasi. Hanya terdapat 23 pasang spesies yang menunjukkan adanya asosiasi. Empat pasang berasosiasi negatif dan 19 pasang berasosiasi positif (Tabel 10). Data lengkap tabel kontingensi asosiasi secara keseluruhan ditampilkan dalam lampiran. Nilai asosiasi yang ditunjukkan dengan menggunakan nilai Indeks Jacard (IJ) secara berpasangan antara spesies Syzygium dengan spesies lainnya menunjukkan hasil yang beragam. Spesies yang dihitung tingkat asosiasinya dengan Syzygium hanya spesies dengan nilai INP 10%. Hal ini seperti yang dilakukan oleh Botanri (2010). Secara umum nilai asosiasi yang terbentuk sangat rendah (nilainya < 0,20 sedangkan nilai maksimum asosiasi adalah 1,00). Kurniawan et al. (2008) mengelompokkan tingkatan asosiasi ke dalam empat kelompok, yaitu: sangat tinggi (0,75-1,00), tinggi (0,49-0,74), rendah (0,48-0,23), dan sangat rendah (<0,22). Nilai indeks asosiasi menggambarkan tingkat keeratan hubungan antara kedua spesies. Sifat asosiasi menggambarkan sifat hubungan antara spesies yang berasosiasi. Secara umum, tingkat asosiasi spesies dengan Syzygium sangat rendah. Hal ini dapat diartikan bahwa secara berpasangan, sangat kecil kemungkinan dijumpai Syzygium tumbuh pada lokasi yang bersamaan dengan spesies yang dianalisis. Syzygium tidak secara spesifik memiliki asosiasi dengan spesies tumbuhan lainnya.

73 55 Tabel 10 Nilai Indeks Jacard pasangan spesies yang berasosiasi Pasangan spesies Tingkat Pohon Nilai Indeks Jacard Sifat asosiasi S. pycnanthum G. floribunda 0,14 positif S. littorale S. samarangense 0,12 positif S. pycnanthum S. racemosum 0,10 positif S. littorale S. pycnanthum 0,10 positif S. pycnanthum L. glutinosa 0,09 positif S. rasemosum M. tomentosa 0,05 positif S. pycnanthum S. samarangense 0,04 positif Tingkat Tiang S. pycnanthum S. racemosum 0,14 positif S. littorale V. grandifolia 0,10 positif S. littorale S. asper 0,08 positif S. pycnanthum V. grandifolia 0,08 positif S. racemosum S. asper 0,00 negatif Tingkat Pancang S. pycnanthum S. racemosum 0,12 positif S. pycnanthum V. grandiflora 0,05 negatif S. racemosum V. grandiflora 0,01 negatif Tingkat Semai S. pycnanthum S. racemosum 0,12 positif S. pycnanthum M. cordata 0,02 negatif Bambu dan Semai B. blumeana S. pycnanthum 0,17 positif Bambu dan Pancang B. blumeana S. pycnanthum 0,17 positif B. blumeana S. racemosum 0,16 positif Bambu dan Tiang B. blumeana S. racemosum 0,08 positif Bambu dan Pohon B. vulgaris S. littorale 0,08 positif S. iraten S. cumini 0,08 positif Asosiasi positif mengindikasikan bahwa terdapat kondisi yang saling menguntungkan bagi salah satu atau kedua spesies yang hidup pada lokasi yang sama. Bentuk asosiasi yang bersifat negatif mengindikasikan adanya kondisi yang merugikan bagi salah satu atau kedua spesies yang hidup secara bersaman. Pasangan spesies S. pycnanthum dan S. racemosum selalu berasosiasi positif pada semua strata pertumbuhannya dari tingkat semai hingga tingkat pohon. Nilai indeks asosiasi keduanya memiliki nilai tertinggi pada tingkat tiang, yaitu sebesar 0,14. Walaupun nilainya sangat kecil, namun hal ini memperkuat dugaan adanya asosiasi positif antara keduanya. Kondisi di lapangan menunjukkan bahwa keberadaan kedua spesies ini sering dijumpai secara

74 56 bersamaan pada lokasi yang sama. Bahkan keduanya dapat dijumpai tumbuh berdekatan dengan rumpun bambu. Hal ini juga diperkuat dari hasil analisis asosiasinya yang menunjukkan kedua spesies ini berasosiasi positif dengan Bambusa blumeana yang merupakan bambu dominan di TWA Gunung Baung Kondisi Lingkungan Fisik Tempat Tumbuh Syzygium Karakter kondisi lingkungan fisik tempat tumbuh tiap-tiap Syzygium dicoba didekati dengan mendeskripsikan ciri-ciri terukur dari kondisi lingkungan fisiknya. Karakter kondisi lingkungan fisik meliputi intensitas cahaya, suhu udara, kelembaban udara, ph tanah, kelembaban tanah, kelerengan dan ketinggian tempat. Kondisi faktor lingkungan tersebut secara lengkap ditampilkan dalam Tabel 11. Tabel 11 Kondisi parameter lingkungan fisik perjumpaan tiap spesies Syzygium (nilai rata-rata) Parameter kondisi lingkungan Syzygium cumini Syzygium littorale Syzygium polyanthum Syzygium pycnanthum Syzygium racemosum Syzygium samarangense Intensitas cahaya (lux) 3259, , , , , ,00 Suhu udara ( o C) 30,43 29,73 29,02 29,60 29,93 31,80 Kelembaban udara (% ) 82,67 84,33 82,60 79,50 79,19 60,00 ph tanah 6,20 5,73 6,12 5,82 5,80 5,30 Kelembahan tanah (% ) 96,67 91,67 98,00 95,73 96,48 100,00 Kelerengan (%) 19,00 15,00 28,00 34,91 40,50 14,00 Ketinggian tempat 333,00 323,42 396,20 383,49 386,37 326,00 (m dpl) Secara umum nilai rata-rata dari parameter kondisi lingkungan fisik untuk setiap spesies Syzygium relatif sama. Namun demikian terdapat beberapa nilai parameter yang terlihat berbeda, yaitu intensitas cahaya, suhu udara dan kelerengan. Nilai rata-rata intensitas cahaya untuk S. polyanthum dan S. samarangense lebih kecil dibandingkan dengan spesies lainnya (< 2000 lux). Spesies-spesies lainnya memiliki nilai rata-rata mendekati 3000 lux. Hal ini menunjukkan bahwa kedua spesies ini tumbuh pada tempat-tempat yang ternaungi atau pada kondisi yang lebih sedikit mendapatkan cahaya matahari. Sementara spesies lainnya tumbuh pada tempat-tempat yang lebih terbuka.

75 57 Suhu udara lingkungan S. samarangense memiliki nilai yang paling tinggi (31,80 o C) dibandingkan spesies lainnya. Dengan nilai kelembaban udara yang hanya sebesar 60%, mengindikasikan bahwa kondisi tempat tumbuh untuk spesies ini lebih kering dibandingkan dengan spesies Syzygium lainya. Namun demikian, perlu diketahui bahwa nilai ini berasal dari hanya satu petak pengamatan dimana S. samarangense dijumpai. Berdasarkan kriteria pengelompokan kelerengan tempat (Hardjowigeno 2010), kondisi tempat tumbuh Syzygium terbagi menjadi tiga kategori. S. samarangense memiliki karakter tempat tumbuh dengan tipe kelerengan agak miring/bergelombang dengan nilai berkisar 8-15%. Kondisi tempat tumbuh S. cumini, S. littorale, dan S. polyanthum termasuk ke dalam kriteria kelerengan miring atau berbukit dengan nilai 15-30%. S. pycnanthum dan S. racemosum tumbuh pada tempat-tempat dengan kelerengan agak curam, dimana nilainya berkisar antara 30-45%. Dengan menggunakan analisis pengelompokan (analisis klaster) diketahui bahwa terdapat kemiripan antara beberapa kondisi lingkungan fisik tempat tumbuh Syzygium. Terdapat dua kelompok kondisi lingkungan yang hampir serupa, yaitu kelompok S. littorale - S. racemosum - S. pycnanthum S. cumini, dan kelompok S. polyanthum - S. samarangense (Gambar 17). Sebagai pembanding, dilakukan pula analisis klaster dengan memasukkan nilai rata-rata dari seluruh data kondisi lingkungan fisik Syzygium. Data ini berisi seluruh data lingkungan fisik Syzygium yang dijumpai di lokasi penelitian (Gambar 18). Dendogram pada Gambar 18 membentuk dua klaster yaitu: klaster Syzygium- S. pycnanthum- S. racemosum- S. polyanthum- S. cumini- S. littorale dan klaster S. samarangense. Dalam klaster pertama terlihat bahwa bahwa S. pycnanthum dan S. racemosum memiliki karakter lingkungan fisik tempat tumbuh yang lebih mirip dengan kondisi lingkungan Syzygium secara umum. S. samarangense terlihat membentuk klaster yang terpisah dengan spesies lainnya. Hal ini dapat diartikan bahwa karakter lingkungan fisik S. pycnanthum dan S. racemosum lebih lebar dibandingkan dengan spesies lainnya, sedangkan S. samarangense memiliki karakter lingkungan yang lebih sempit dan spesifik. Hal

76 58 ini terlihat dari kondisi tingkat nilai kesamaan lingkungan fisiknya (85,43% untuk S. pycnanthum dan S. racemosum dan 19,87% untuk S. samarangense) Similarity Spesies Syzygium 3 6 Gambar 17 Dendogram kesamaan karakter fisik lingkungan tempat tumbuh Syzygium (Keterangan: 1. S. cumini; 2. S. littorale; 3. S. polyanthum; 4. S. pycnanthum; 5. S. racemosum; 6. S. samarangense) Similarity Spesies Syzygium 3 7 Gambar 18 Dendogram kesamaan karakter fisik lingkungan tempat tumbuh Syzygium dengan memasukkan karakter Syzygium secara keseluruhan (Keterangan: 1. Syzygium; 2. S. cumini; 3. S. littorale; 4. S. polyanthum; 5. S. pycnanthum; 6. S. racemosum; 7. S. samarangense) 5.7. Kondisi Lingkungan Biotik Tempat Tumbuh Syzygium Karakter kondisi lingkungan biotik tempat tumbuh tiap-tiap Syzygium dicoba didekati dengan mendeskripsikan ciri-ciri terukur dari kondisi lingkungan biotiknya. Dalam hal ini kondisi lingkungan biotik Syzygium didekati dengan kondisi vegetasi yang tumbuh pada lokasi perjumpaan tiap-tiap spesies Syzygium. Kondisi lingkungan biotik yang diamati meliputi: jumlah spesies semai, jumlah individu semai, jumlah spesies pancang, jumlah individu pancang, jumlah spesies tiang, jumlah individu tiang, jumlah spesies pohon, jumlah individu pohon,

77 59 jumlah spesies bambu, jumlah rumpun bambu, dan luas rumpun bambu. Kondisi faktor lingkungan tersebut secara lengkap ditampilkan dalam tabel 12. Nilai rata-rata parameter lingkungan biotik pada tiap petak pengamatan untuk setiap spesies Syzygium relatif seragam. Berdasarkan data pada Tabel 12, terdapat beberapa parameter biotik yang memiliki nilai yang cukup berbeda antara spesies. Parameter tersebut adalah: jumlah individu semai, jumlah individu pancang dan luas rumpun bambu. Tabel 12 Kondisi parameter lingkungan biotik perjumpaan tiap spesies Syzygium (nilai rata-rata pada tiap petak pengamatan) Parameter kondisi lingkungan Syzygium cumini Syzygium littorale Syzygium polyanthum Syzygium pycnanthum Syzygium racemosum Syzygium samarangense Jumlah spesies semai 7,00 6,67 6,00 6,03 5,59 3,00 Jumlah individu semai 48,67 51,25 14,20 25,45 17,87 33,00 Jumlah spesies pancang 4,00 3,42 4,40 3,40 3,39 2,00 Jumlah individu pancang 33,00 4,75 7,40 7,21 4,85 2,00 Jumlah spesies tiang 2,00 3,25 1,40 1,71 1,48 1,00 Jumlah individu tiang 2,00 3,92 1,40 2,30 1,74 5,00 Jumlah spesies pohon 2,33 4,58 3,40 3,28 2,30 6,00 Jumlah individu pohon 3,00 5,83 5,40 4,23 3,17 9,00 Jumlah spesies bambu 1,00 0,58 1,00 0,75 0,89 0,00 Jumlah rumpun bambu 4,33 1,00 3,20 2,40 3,26 0,00 Luas rumpun bambu (m 2 ) 8,61 3,00 13,03 9,95 13,73 0,00 Hasil analisis klaster yang dilakukan terhadap parameter lingkungan biotik bagi setiap spesies Syzygium menghasilkan tiga klaster, yaitu: klaster pertama terdiri atas S. polyanthum - S.racemosum - S.pycnanthum - S. samarangense; klaster kedua S.littorale; dan klaster ketiga S. cumini (Gambar 19). Jika memasukkan nilai rata-rata parameter lingkungan biotik untuk keseluruhan Syzygium dalam analisis klaster, maka terlihat bahwa kondisi lingkungan biotik yang paling mirip adalah antara S. polyanthum dan S. racemosum. Bersama dengan S. pycnanthum, kedua spesies tersebut memiliki nilai kemiripan yang paling tinggi terhadap kondisi lingkungan biotik Syzygium secara keseluruhan dibandingkan spesies lainnya (Gambar 20). Hasil analisis per

78 60 spesies menunjukkan bahwa ketiga spesies tersebut berada dalam satu klaster yang sama Similarity Spesies Syzygium 4 6 Gambar 19 Dendogram kesamaan karakter lingkungan biotik tempat tumbuh Syzygium (Keterangan: 1. S. cumini; 2. S. littorale; 3. S. polyanthum; 4. S. pycnanthum; 5. S. racemosum; 6. S. samarangense) Similarity Spesies Syzygium 3 2 Gambar 20 Dendogram kesamaan karakter lingkungan biotik tempat tumbuh Syzygium dengan memasukkan karakter Syzygium secara keseluruhan. (Keterangan: 1. Syzygium; 2. S. cumini; 3. S. littorale; 4. S. polyanthum; 5. S. pycnanthum; 6. S. racemosum; 7. S. samarangense) 5.8. Karakter Lingkungan Tempat Tumbuh Syzygium Jika dikelompokkan berdasar jumlah petak perjumpaan pada tiap blok lokasi pengamatan, maka secara umum spesies Syzygium dijumpai paling banyak di lokasi blok 1 (Tabel 13 dan Tabel 14).

79 61 Tabel 13 Jumlah petak perjumpaan spesies Syzygium berdasarkan lokasi blok pengamatan Spesies Blok 1 Blok 2 Blok 3 Blok 4 Blok 5 S. cumini S. littorale S. polyanthum S. pycnanthum S. racemosum S. samarangense Jumlah petak Syzygium Jumlah spesies Syzygium Tabel 14 Jumlah individu Syzygium berdasarkan lokasi blok pengamatan Spesies Blok 1 Blok 2 Blok 3 Blok 4 Blok 5 Total S. cumini S. littorale S. polyanthum S. pycnanthum S. racemosum S. samarangense Jumlah individu Syzygium Jumlah spesies Syzygium Terlihat bahwa pada lokasi blok 3 dijumpai 5 spesies Syzygium dari 6 spesies yang tercatat di seluruh lokasi penelitian. Hal ini dapat menunjukkan bahwa lokasi ini kemungkinan memang sesuai sebagai habitat alami dari Syzygium di TWA Gunung Baung. Kondisi lingkungan fisik pada kelima lokasi blok pengamatan memiliki nilai yang relatif sama dan hanya faktor ketinggian tempat yang terlihat berbeda pada setiap lokasi (Gambar 21).

80 62 Gambar 21 Kondisi lingkungan fisik pada blok pengamatan Syzygium di TWA Gunung Baung Hasil analisis klaster yang dilakukan terhadap kondisi lingkungan kelima blok pengamatan tersebut menunjukkan bahwa setidaknya terdapat tiga pengelompokan kondisi habitat (Gambar 22). Klaster pertama terdiri atas blok 2, 3 dan 5, klaster kedua adalah blok 1 dan klaster ketiga adalah blok 4. Karakter kondisi lingkungan yang dibandingkan meliputi nilai rata-rata dari kondisi lingkungan fisik dan biotiknya yang berupa komponen vegetasinya. Karakterkarakter tersebut meliputi: (1) luas bidang dasar rumpun bambu, (2) jumlah spesies bambu, (3) jumlah rumpun bambu, (4) jumlah individu semai, (5) jumlah spesies semai, (6) jumlah individu pancang, (7) jumlah spesies pancang, (8) jumlah individu tiang, (9) jumlah spesies tiang, (10) jumlah individu pohon, (11) jumlah spesies pohon, (12) intensitas cahaya, (13) suhu udara, (14) kelembaban udara, (15) ph tanah, (16) kelembaban tanah, (17) kelerengan lahan, dan (18) ketinggian tempat (altitude). Kondisi lingkungan blok 3 dan 5 memiliki kondisi yang paling mirip. Keduanya membentuk satu kondisi yang serupa dengan lingkungan blok 2. Pada ketiga lokasi ini dijumpai kondisi lingkungan yang berupa tegakan-tegakan pohon dengan lebih sedikit kehadiran bambu dibandingkan dua blok lainnya. Keberadaan bambu tidak sebanyak yang dijumpai pada blok 1 (dominasi Bambusa blumeana) dan blok 4 (dominasi Schizostachyum zollingeri). Kondisi lingkungan blok 1 sangat rapat dan didominasi oleh Bambusa blumeana, sedangkan blok 4 memiliki kondisi lingkungan yang didominasi oleh Schizostahyum zollingeri. Jika dikaitkan dengan banyaknya spesies Syzygium

81 63 yang dijumpai, maka dapat diduga bahwa kondisi lingkungan blok 3, 5 dan blok 2 merupakan kondisi yang paling sesuai sebagai tempat tumbuh alami Syzygium di TWA Gunung Baung. Hal ini diketahui dengan banyaknya spesies Syzygium yang dijumpai di ketiga lokasi tersebut. Meskipun demikian kondisi lingkungan pada blok 1 yang didominasi oleh kehadiran B. blumeana tetap dapat dijumpai keberadaan Syzygium. Dengan demikian kondisi lingkungan keempat blok pengamatan tersebut sesuai bagi kehadiran Syzygium di TWA Gunung Baung Similarity Lokasi Blok Pengamatan 5 4 Gambar 22 Dendogram klaster kondisi lingkungan blok pengamatan Syzygium Kondisi lingkungan yang banyak dijumpai Syzygium tersebut dicirikan dengan ketinggian tempat berkisar antara mdpl dengan kondisi kelerengan miring berbukit hingga agak curam (21-39%) serta penutupan tajuk yang rapat hingga terbuka. Kondisi vegetasinya dicirikan dengan sedikit dijumpai rumpun bambu hingga yang didominasi oleh kehadiran B. blumeana. Hasil analisis klaster yang dilakukan terhadap kondisi petak pengamatan yang di dalamnya dijumpai Syzygium menunjukkan pula pola pengelompokan tertentu. Dengan menggunakan karakter kondisi lingkungan yang sama (fisik dan biotik) seperti pada analisis klaster terhadap lokasi blok pengamatan, hasilnya ditampilkan dalam gambar 23. Terdapat dua kelompok besar karakter kondisi lingkungan tempat tumbuh Syzygium, yaitu kelompok pertama yang terdiri atas S. littorale, S. racemosum, S. pycnanthum, dan S. cumini, serta kelompok kedua yang terdiri atas S. polyanthum dan S. samarangense. Kondisi lingkungan tempat tumbuh S. littorale dan S.

82 64 racemosum memiliki tingkat kemiripan yang paling tinggi dibandingkan dengan yang lainnya Similarity Spesies Syzygium 3 6 Gambar 23 Dendogram klaster kondisi lingkungan habitat Syzygium berdasarkan pada petak pengamatan perjumpaan Syzygium (Keterangan: 1. S. cumini; 2. S. littorale; 3. S. polyanthum; 4. S. pycnanthum; 5. S.racemosum; 6. S. samarangense) Kondisi ini sesuai dengan klaster kondisi lingkungan berdasarkan pada lokasi Blok pengamatan. Keempat spesies Syzygium yang membentuk klaster pertama (S. littorale, S. racemosum, S. pycnanthum, dan S. cumini) memang banyak terdapat di lokasi blok pengamatan 2, 3 dan 5. Dengan demikian dapatlah diduga bahwa memang karakter kondisi lingkungan tempat tumbuh spesiesspesies tersebut memang mirip. Kondisinya digambarkan dengan karakter lingkungan yang dimiliki oleh petak-petak pengamatan pada blok 2, 3 dan 5. Tempat tumbuh bagi S. polyanthum digambarkan dengan kondisi lingkungan yang terdapat pada lokasi pengamatan blok 1 dan blok 2. Sedangkan bagi S. samarangense kondisi tempat tumbuhnya adalah seperti yang tergambar pada lokasi pengamatan blok 3. Lokasi pengamatan di blok 4, meskipun terdapat sebanyak 1 petak pengamatan yang menjumpai S. racemosum, akan tetapi kondisinya tidak sesuai bagi spesies ini. Kondisi lingkungan bagi S. racemosum banyak terwakili oleh kondisi lingkungan petak-petak pengamatan yang terdapat di blok 1, 2, 3 dan 5 (Tabel 15).

83 65 Tabel 15 Kesesuaian tempat tumbuh spesies Syzygium berdasarkan pada lokasi blok pengamatannya Spesies Blok 1 Blok 2 Blok 3 Blok 4 Blok 5 S. cumini - * * - - S. littorale - * * - * S. polyanthum * * S. pycnanthum * * * - * S. racemosum * * * - * S. samarangense - - * - - Keterangan: * kesesuaian tempat tumbuh (Nilai rata-rata kondisi lingkungan untuk setiap lokasi blok pengamatan secara lengkap disajikan dalam lampiran) Berdasarkan pada hasil analisis klaster yang dilakukan terhadap kondisi lingkungan tempat tumbuh Syzygium, dapat diketahui bahwa kehadiran Syzygium di TWA Gunung Baung terdapat pada lokasi yang memiliki kondisi lingkungan yang relatif serupa baik kondisi fisik maupun vegetasinya, yaitu pada tempattempat dengan ketinggian antara mdpl, dengan topografi berbukit pada kelerengan miring hingga agak curam, tempat yang ternaungi hingga terbuka, serta didominasi oleh bambu dari spesies B. blumeana. Syzygium tidak banyak ditemukan pada lokasi yang didominasi oleh bambu S. zollingeri. Secara garis besar terdapat tiga karakter habitat Syzygium yang tumbuh di TWA Gunung Baung berdasarkan kondisi vegetasi dan fisik lingkungannya berkaitan dengan kesesuaian tempat tumbuhnya, yaitu: 1. Kondisi habitat yang didominasi oleh keberadan bambu Bambusa blumeana, sedikit pohon pada daerah lereng bukit. Ketinggian tempat antara m dpl (rata-rata 403 m dpl). Spesies Syzygium yang tumbuh adalah S. pycnanthum dan S. racemosum. Vegetasi pada tingkat pohon didominasi oleh Syzygium pycnanthum, Ficus racemosa, Streblus asper, Ficus retusa, dan Tabernaemontana sphaerocarpha. Tumbuhan bawah didominasi oleh Cyathula prostata, Parameria laevigata, Rauvolfia verticilata, dan Piper cubeba. Permudaan pohon didominasi oleh Syzygium pycnanthum, Syzygium racemosum dan Tabernemontana sphaerocarpha. Kondisi ini merupakan gambaran kondisi lingkungan blok1. 2. Kondisi habitat dengan dominansi Bambusa blumeana yang tidak rapat, banyak dijumpai tempat terbuka dengan vegetasi semak dan pohon, pada lereng dan punggung bukit. Ketinggian tempat berkisar antara m dpl

84 66 (rata-rata 374,33 m dpl). Pada tempat ini dijumpai lebih banyak Syzygium, yaitu: S. cumini, S. polyanthum, S. littorale, S. pycnanthum, S. recemosum, dan S. samarangense. Vegetasi pada tingkat pohon didominasi oleh Schoutenia ovta, S. pycnathum, Emblica officinalis, Dysoxylum gaudichaudianum, Ficus hispida dan Garuga floribunda, Microcos tomentosa dan Streblus asper. Tumbuhan bawah didominasi oleh Pennisetum purpureum, Tithonia diversifolia, Cyathula prostata, dan Mikania cordata. Permudaan pohon didominasi oleh Syzygium pycnanthum, Streblus asper, Schoutenia ovata, Lepisanthes rubiginosa dan Voacanga grandifolia. Kondisi ini merupakan gambaran kondisi lingkungan blok 2,3 dan Kondisi habitat dengan dominasi bambu Schizostachyum zollingeri, sedikit pohon, pada daerah lereng berbukit. Ketinggian tempat berkisar antara m dpl (rata-rata 257,92 m dpl). Kemungkinan kecil untuk dapat menjumpai Syzygium di lokasi ini. Vegetasi pada tingkat pohon didominasi oleh Ficus hispida, Sphatodea campanulata dan Streblus asper. Tumbuhan bawah didominasi oleh Mikania cordata dan Tithonia diversifolia. Permudaan pohon yang mendominasi adalah Streblus asper. Kondisi ini merupakan gambaran kondisi lingkungan blok Kondisi Tanah Berdasarkan pada peta jenis tanah yang ada, diketahui bahwa kawasan Gunung Baung tersusun atas dua jenis tanah yang berbeda. Bagian timur kawasan termasuk ke dalam jenis tanah Latosol coklat kemerahan, dan bagian Barat termasuk ke dalam jenis tanah Mediteran kemerahan dengan kedalaman tanah berkisar antara cm. (BKSDA Jawa Timur 2011). Tanah latosol termasuk ke dalam kelompok tanah vulkanik yang terbentuk dari pelapukan dari abu vulkanik. Tanah latosol memiliki ciri antara lain mengandung kadar liat > 60%, remah sampai gumpal, gembur dengan warna yang seragam, memiliki solum yang dalam namun dengan batas horizon tanah yang tidak jelas, serta memiliki nilai kejenuhan basa < 50%. Umumnya tanah latosol adalah tanah subur sehingga cocok untuk kegiatan pertanian intensif. Tanah mediteran termasuk ke dalam kelompok tanah kapur yang terbentuk dari pelapukan batu kapur dan batuan sedimen. Umumnya tanah ini bersifat tidak

85 67 subur. Tanah mediteran memiliki karakter yang serupa dengan tanah podsolik, yaitu memiliki horizon penimbunan liat (horizon argilik) dengan nilai kejenuhan basa > 50% (Hardjowigeno 2010). Keberadaan Syzygium di TWA Gunung Baung ternyata tidak dipengaruhi oleh jenis tanah yang ada. Syzygium dijumpai tumbuh pada lokasi dengan kedua jenis tanah baik latosol maupun mediteran. Meskipun demikian, dari 5 lokasi blok pengamatan ternyata Syzygium lebih banyak dijumpai pada blok yang terdapat di lokasi dengan jenis tanah latosol (blok 1 dan blok 2). Total individu Syzygium yang tercatat di kedua blok tersebut sebanyak 223 individu. Sedangkan pada 3 blok lainnya (Blok 3, 4 dan 5) yang terletak pada lokasi dengan jenis tanah mediteran jumlah total individu Syzygium yang tercatat sebanyak 111 individu. Dengan hasil ini dapat diduga bahwa Syzygium lebih banyak dijumpai pada lokasi-lokasi yang memiliki kesuburan tanah yang baik. Berdasarkan jenis tanahnya, maka keberadaan Syzygium di TWA Gunung Baung lebih banyak dijumpai pada lokasi dengan jenis tanah latosol dari pada lokasi yang memiliki jenis tanah mediteran. Sifat kimia tanah pada setiap lokasi blok pengamatan umumnya relatif sama (Gambar 24). Nilai kandungan bahan organik serta kandungan liat yang terlihat berbeda di antara keduanya. Kandungan bahan organik lapisan tanah atas lebih tinggi (1,49%) dibandingkan lapisan tanah bawah (0,69%). Kandungan liat pada lapisan tanah bawah lebih tinggi (50,00%) dibandingkan lapisan tanah atas (36,40%). Tekstur tanah bervariasi dari lempung berpasir, lempung, lempung berdebu, lempung berliat, lempung liat berdebu, liat berdebu, dan liat (berurut dari tekstur kasar ke tekstur halus). Tekstur tanah menunjukkan tingkat kasar atau halusnya tanah dari fraksi tanah halus (< 2 mm). Dari sampel yang diambil yang paling banyak dijumpai adalah tanah dengan tekstur liat (7 sampel dari 19 sampel yang dianalisis).

86 68 Gambar 24 Kondisi kimia tanah pada tiap blok pengamatan di TWA Gunung Baung Tanah dengan tekstur liat memiliki luas penampang permukaan yang lebih besar sehingga memiliki kemampuan untuk menahan air dan menyediakan unsur hara yang lebih baik dibandingkan dengan tanah yang bertekstur pasir. Kemampuan ini dikarenakan sifatnya yang lebih aktif dalam reaksi kimia. Hal ini berkaitan dengan kemampuan tukar kationnya. Tanah bertekstur liat umumnya memiliki nilai KTK (kapasitas tukar kation) yang tinggi. Kemampuan KTK dari sampel tanah yang diambil juga menunjukkan kategori yang sedang sangat tinggi dengan nilai KTK 18,59 51,13 (Hardjowigeno 2010). Berdasarkan sifat ini maka tanah di lokasi penelitian memiliki kemampuan yang baik dalam pengikatan air serta penyediaan unsur hara bagi pertumbuhan vegetasi yang ada. Nilai ph tanah hasil pengukuran di lapangan berkisar antara 4,2 sampai dengan 7,1. Nilai rata-ratanya berkisar antara 5,3 6,2. Sifat ph tanah secara umum masuk dalam kategori masam-agak masam. Hardjowigeno (2010) mengemukakan bahwa umumnya tanah di Indonesia bereaksi masam dengan ph 4,0-5,5 untuk itu tanah dengan ph 6,0-6,5 sudah dikatakan cukup netral. Beberapa nilai kandungan kimia tanah yang dianalisis dibandingkan dengan kriteria penilaian sifat kimia tanah berdasarkan Pusat Penelitian Tanah (1983) dalam Hardjowigeno (2010). Persentase kandungan C dan N termasuk ke dalam kategori rendah sampai dengan sedang. Nilai C/N termasuk ke dalam kategori rendah (rata-rata 7,47). Hal ini mengindikasikan bahwa tanah mengandung bahan organik halus. Bahan organik halus tersusun atas hancuran

87 69 bahan organik kasar serta senyawa lainnya yang terbentuk akibat kegiatan mikroorganisme tanah. Bahan organik halus sering pula disebut dengan humus. Humus merupakan senyawa yang tidak mudah hancur serta memiliki kemampuan untuk menahan air dan unsur hara. Humus termasuk ke dalam koloid organik tanah. Koloid tanah adalah bahan mineral dan bahan organik tanah yang sangat halus sehingga mempunyai luas permukaan yang sangat tinggi per satuan beratnya. Sifat koloid tanah akan berkaitan dengan kemampuan tukar kationnya. Humus memiliki KTK yang tinggi jika dibandingkan dengan mineral liat. Hasil analisis tanah yang dilakukan menujukan bahwa nilai KTK umumnya tinggi (ratarata 32,14 me/100g). Tanah dengan KTK yang tinggi dapat mengindikasikan kesuburan tanah yang baik apabila didominasi oleh kation basa berupa Ca, Mg, K, dan Na, atau dengan kata lain memiliki sifat kejenuhan basa yang tinggi. Nilai rata-rata tingkat kejenuhan basa (KB) di lokasi penelitian sebesar 42,26% (termasuk ke dalam kategori sedang). Kandungan K termasuk dalam kategori tinggi, dengan nilai rata-rata sebesar 0,88. Rata-rata kandungan P sebesar 0,81, tergolong ke dalam kriteria sangat rendah. Kategori kandungan Na, Ca dan Mg rata-rata masuk dalam kategori sedang sampai sangat tinggi. Kandungan K,Ca, Na dan Mg menunjukkan nilai yang tinggi. Berdasarkan pada kondisi tanah di lokasi penelitian, maka dapat dikatakan bahwa kemampuan tanah untuk menyediakan unsur hara bagi pertumbuhan tanaman cukup baik. Hal ini dapat tergambar dari sifat tekstur tanah, nilai KTK, kejenuhan basa, dan kandungan hara makro lainnya. Lokasi Blok 2, 3 dan 5 sebagai lokasi yang paling banyak dijumpai spesies Syzygium menunjukan nilai sifat kimia dan fisik tanah yang serupa dengan blok 1 dan 4. Data lengkap mengenai hasil analisis sifat kimia tanah ditampilkan dalam lampiran. Nilai C/N rasio dan KTK dapat menjadi indikasi kesuburan tanah. Nilai C/N rasio pada semua lokasi blok pengamatan menunjukkan nilai yang rendah. Sedangkan nilai KTK-nya menunjukan hasil yang tinggi pada semua lokasi blok pengamatan. Kedua nilai ini mengindikasikan bahwa kemampuan tanah untuk menyediakan hara bagi tanaman cukup baik di semua lokasi. Jika dikaitkan

88 70 dengan populasi Syzygium pada setiap lokasi blok pengamatan, maka kedua parameter kondisi tanah ini tidak berpengaruh. Blok 1, dimana dijumpai individu Syzygium terbanyak (125 individu) memiliki nilai rata-rata C/N sebesar 5,25 (kategori rendah) dan nilai KTK sebesar 27,74 (kategori tinggi). Blok 4, sebagai lokasi yang paling sedikit dijumpai Syzygium memiliki nilai rata-rata C/N sebesar 7,33 (kategori rendah) dan nilai KTK sebesar 31,03 (kategori tinggi). Keberadaan spesies Syzygium dapat pula tumbuh pada lokasi dengan ketersediaan unsur hara yang miskin. Salah satunya adalah hutan kerangas. Kissinger (2002) mengemukakan bahwa salah satu spesies yang kehadirannya cukup penting dalam ekosisten kawasan hutan kerangas di Kabupaten Barito Urata, Kalimantan Tengah adalah spesies Eugenia inophylla. Spesies ini memiliki sinonim Syzygium inophyllum. Hal ini berdasarkan pada nilai Indeks Nilai Pentingnya yang termasuk ke dalam lima tertinggi pada tingkatan semai, tiang dan pohon. Hasil analisis tanah menunjukkan secara umum kandungan Fe dalam tanah di lokasi penelitian termasuk dalam kondisi yang normal pada kisaran mg kg -1 (Purwadi 2011). Rata-rata kandungan Fe tertinggi (90,60 mg kg -1 ) dijumpai pada lokasi blok 4, dimana pada lokasi tersebut paling sedikit dijumpai Syzygium. Sedangkan pada blok 1, dimana dijumpai Syzygium terbanyak, nilai rata-ratanya sebesar 75,81 mg kg -1. Kandungan Fe yang tinggi dalam tanah dapat menjadi racun bagi beberapa spesies tumbuhan (Hardjowigeno 2010). Hanya spesies yang mampu beradaptasi saja yang dapat tumbuh pada kondisi tanah semacam ini. Kandungan Fe berkaitan dengan ph tanah. Dibandingkan dengan lokasi lainnya, Blok 4 memiliki nilai rata-rata ph yang paling rendah (ph 5,07) dan bersifat masam. Tanah dengan sifat masam umumnya mengandung unsur Fe yang tinggi. Kemungkinan sifat tanah yang masam serta kandungan Fe yang tinggi yang mengakibatkan Syzygium secara umum tidak dijumpai di lokasi pengamatan blok Kondisi Syzygium dan Bambu di TWA Gunung Baung Terdapat enam spesies bambu yang dijumpai di lokasi penelitian, yaitu Bambusa blumeana, Schizostachyum zollingeri, Schizostachyum iraten, Dendrocalamus asper, Bambusa vulgaris, dan Giganthocloa apus. B. blumeana

89 71 adalah spesies bambu yang sangat mendominasi di kawasan Gunung Baung (INP = 225,13). Bambu ini dikenal oleh masyarakat setempat dengan sebutan pring ori atau bambu duri. Spesies ini memiliki ciri berupa percabangan yang rapat dan dipenuhi dengan duri-duri. Spesies ini banyak tersebar di seluruh wilayah Jawa. Secara tradisional umumnya digunakan sebagai bahan pembuat keranjang. Digunakan juga sebagai bahan baku pembuatan pulp kertas, seperti yang dilakukan di wilayah Jawa Timur (Widjaya 2001). Dalam tipe pertumbuhan rumpunnya, bambu dikelompokan ke dalam 2 tipe pertumbuhan yaitu simpodial (clumped type) dan monopodial (running type). Pada tipe simpodial, pertumbuhan tunas baru terjadi di ujung rimpang dan percabangan rizomnya berkelompok membentuk rumpun yang jelas. Pada tipe monopodial, tunas baru dapat muncul pada setiap buku rimpang dan tidak membentuk rumpun. Pertumbuhannya seperti individu-individu yang terpisah pada jarak yang berjauhan. Bambu yang tumbuh di kawasan tropis seperti Malaysia dan Indonesia umumnya memiliki tipe pertumbuhan yang simpodial, sedangkan di daerah subtropik, seperti Jepang, Cina dan Korea umumnya bertipe monopodial (Berlin dan Estu 1995). Widjaja (2010), mengelompokkan bambu berdasarkan bentuk percabangan akar rimpangnya ke dalam 2 tipe, yaitu pakimorf dengan percabangan akar rimpang yang beruas pendek dan bersifat simpodial, serta leptomorf dengan percabangan akar rimpang beruas panjang dan bersifat monopodial. Spesies bambu asli di Indonesia umumnya memiliki system percabangan akar rimpang yang bersifat pakimorf, sehingga buluh bambu yang muncul pada buku akar terlihat rapat dan membentuk rumpun. Spesies bambu yang dijumpai di TWA Gunung Baung semuanya memiliki tipe pertumbuhan yang simpodial, sehingga dengan mudah dapat dibedakan antar rumpun yang satu dengan lainnya. Jumlah petak pengamatan perjumpaan bambu, jumlah rumpun bambu dan luas rumpun bambu pada tiap-tiap blok pengamatan ditampilkan dalam Tabel 16.

90 72 Tabel 16 Kondisi jumlah petak, jumlah rumpun dan luas rumpun bambu pada tiap blok lokasi pengamatan Spesies Jumlah pada masing-masing blok Blok 1 Blok 2 Blok 3 Blok 4 Blok 5 Jumlah Petak Bambu Bambusa blumeana Schizostachyum zollingeri Schizostachyum iraten Gigantochloa apus Dendrocalamus asper Bambusa vulgaris Jumlah Jumlah rumpun bambu Bambusa blumeana Schizostachyum zollingeri Schizostachyum iraten Gigantochloa apus Dendrocalamus asper Bambusa vulgaris Jumlah Luas rumpun bambu (m 2 ) Bambusa blumeana 751,17 347,05 321,69 96,01 244,61 Schizostachyum zollingeri ,38 0 Schizostachyum iraten 5, ,38 21,82 6,67 Gigantochloa apus Dendrocalamus asper Bambusa vulgaris Jumlah 757,13 351,44 356,08 346,73 251,28 Dengan cara rekapitulasi yang sama dihitung pula jumlah Syzygium yang tercatat di seluruh petak pengamatan pada setiap blok pengamatan. Hasilnya ditampilkan dalam Tabel 17. Tabel 17 Jumlah spesies, individu dan petak Syzygium pada tiap lokasi blok pengamatan di TWA Gunung Baung, Jawa Timur Blok 1 Blok 2 Blok 3 Blok 4 Blok 5 Spesies Syzygium Individu Syzygium Petak Syzygium Berdasarkan data tersebut terlihat bahwa pada lokasi pengamatan di mana dijumpai jumlah rumpun bambu yang cukup banyak (blok 4) justru hanya

91 73 dijumpai sebanyak 1 individu Syzygium. Sebanyak 35 petak pengamatan yang ditumbuhi rumpun bambu terdapat di blok 4 ini. Jumlah spesies bambu yang dijumpai pada blok ini juga paling banyak dibandingkan dengan blok lainnya (5 spesies bambu). Spesies bambu yang mendominasi adalah Schizostachyum zollingeri. Secara alami, spesies ini hanya dijumpai di Jawa Timur. Hidup pada daerah dataran rendah tropis pada daerah yang lembab hingga kering (Widjaja 2001). Analisis klaster yang dilakukan terhadap blok pengamatan berdasarkan pada karakter vegetasi bambunya menghasilkan tiga kelompok klaster, yaitu: kelompok pertama adalah klaster blok pengamatan 2,3 dan 5; kelompok kedua blok pengamatan 4 dan kelompok ketiga blok pengamatan 1 (Gambar 25). Karakter vegetasi bambu yang dimasukan berupa: jumlah petak pengamatan dijumpai bambu, jumlah rumpun bambu, luas rumpun bambu, dan jumlah spesies bambu. Kesemuanya dihitung untuk setiap spesies bambu dan juga total keseluruhan bambu pada setiap lokasi blok pengamatan. Kondisi blok pengamatan 1 berbeda dibandingkan dengan kondisi blok lainnya karena pada lokasi ini sangat didominasi oleh keberadaan Bambusa blumeana. Kondisi pada blok pengamatan 4 dicirikan oleh keberadaan Schizostachyum zollingeri yang cukup mendominasi dibandingan dengan blok lainnya Similarity Blok Pengamatan 5 4 Gambar 25 Dendogram lokasi blok pengamatan berdasarkan pada kondisi vegetasi bambu di TWA Gunung Baung

92 74 Apabila dikaitkan dengan kondisi bambu pada tiap blok pengamatan, keberadaan Syzygium tidak dipengaruhi oleh keberadaan bambu. Keadaan ini dapat dilihat dari hasil regresi linear sederhana antara jumlah individu Syzygium dengan jumlah rumpun bambu, dan jumlah individu Syzygium dengan luas rumpun bambu (Gambar 26 dan 27) S R-Sq 0.5% R-Sq(adj) 0.1% Jumlah individu Syzygium Jml ind Syzygium = Jml rmpn bmb Jumlah rumpun bambu Gambar 26 Grafik regresi linear sederhana antara jumlah individu Syzygium dengan jumlah rumpun bambu S R-Sq 1.0% R-Sq(adj) 0.6% Jumlah individu Syzygium Jml ind Syzygium = luas rmpn bmb Luas rumpun bambu (meter persegi) 50 Gambar 27 Grafik regresi linear sederhana antara jumlah individu Syzygium dengan luas rumpun rumpun bambu Secara linear keberadaan bambu tidak berpengaruh terhadap kehadiran Syzygium. Syzygium dapat dijumpai pada berbagai lokasi dengan beragam kerapatan bambu. Meskipun demikian dari data yang diperoleh menunjukkan bahwa Syzygium tetap dapat dijumpai pada petak-petak pengamatan yang didominasi oleh spesies bambu B. blumeana. Sebaliknya pada petak yang didominasi oleh spesies bambu Schizostachyum zollingeri ternyata hanya

93 75 ditumbuhi oleh satu individu Syzygium racemosum. Hal ini dapat mengindikasikan bahwa keberadaan B. blumena tidak membatasi tempat tumbuh dan keberadaan Syzygium. Sebaliknya, keberadaan bambu S. zollingeri membatasi tempat tumbuh dan keberadaan Syzygium. Hasil analisis asosiasi interspesies yang dilakukan mengindikasikan bahwa terdapat asosiasi positif antara bambu dengan beberapa spesies Syzygium, meskipun tingkat asosiasinya sangat kecil. Bambusa blumeana berasosiasi positif dengan S. pycnanthum dan S. racemosum terutama pada tingkat semai sampai tiang. Bambusa vulgaris dan Schyzostachium iraten secara berurut berasosiasi positif dengan S. littorale dan S. cumini pada tingkat pohon (Tabel 10) Syzygium dan Faktor Lingkungan Analisis Komponen Utama Hasil analisis komponen utama yang dilakukan terhadap faktor kondisi lingkungan fisik tempat tumbuh Syzygium menunjukkan bahwa dari 7 faktor lingkungan fisik yang diamati dapat dikelompokkan menjadi 2 faktor komponen utama. Hal ini diindikasikan dengan eigenvaluenya > 1. Kedua komponen baru dapat menjelaskan sebesar 54,10% (komponen pertama sebesar 30,00%, komponen kedua sebesar 24,10%) dari variabilitas keseluruhan variabel faktor yang diamati. Meskipun komponen pertama relatif lebih besar daripada komponen kedua, perbedaannya tidaklah terlalu besar. Hal ini dapat mengindikasikan bahwa antara kedua faktor komponen memberikan informasi yang relatif sama besar untuk dapat menggambarkan kondisi habitat Syzygium. Komponen variabel kelembapan udara adalah variabel lingkungan fisik yang cukup berpengaruh pada faktor komponen pertama (PC1), diikuti suhu udara dan elevasi. Komponen variabel ph tanah dan ketinggian tempat adalah variabel lingkungan fisik yang berpengaruh pada faktor komponen kedua (PC2), diikuti oleh kelerengan tempat. Output komponen utama yang dihasilkan adalah PC1= 0,15 intensitas cahaya + 0,54 suhu udara 0,61 kelembapan udara 0,03 ph tanah 0,08 kelembapan tanah + 0,33 kelerengan + 0,44 ketinggian tempat; PC2 = 0,16 intensitas cahaya 0,30 suhu udara + 0,17 kelembapan udara + 0,58 ph tanah 0,53 kelembapan tanah + 0,28 kelerengan + 0,40 ketinggian tempat (Tabel 18 dan Gambar 28).

94 76 Tabel 18 Nilai eigenvalue dan nilai faktor masing-masing variabel lingkungan fisik tempat tumbuh Syzygium PC1 (Faktor Komponen 1) PC2 (Faktor Komponen 2) Eigenvalue 2,10 1,68 Proporsi 0,30 0,24 Kumulatif 0,30 0,54 Variabel : Intensitas cahaya 0,14-0,16 Suhu udara 0,54-0,30 Kelembapan udara -0,61 0,17 ph tanah -0,03 0,58 Kelembapan tanah -0,08-0,53 Kelerengan 0,33 0,28 Ketinggian tempat 0,44 0,40 Gambar 28 Hasil analisis komponen utama terhadap variabel lingkungan fisik tempat tumbuh Syzygium di Gunung Baung. Titik menunjukan lokasi keberadan Syzygium; Faktor-faktor lingkungan abiotik: kelembapan udara (%udara); ph tanah; ketinggian tempat (altitude); kelerengan; suhu udara; intensitas cahaya (lux); kelembapan tanah (%tanah). Terlihat bahwa keberadaan Syzygium tidak secara spesifik berkorelasi dengan satu faktor fisik tempat tumbuhnya, akan tetapi tersebar pada berbagai kondisi lingkungan tempat tumbuhnya. Meskipun demikian terdapat beberapa lokasi keberadaan Syzygium yang berkorelasi sangat erat dengan faktor kelerengan dan ketinggian tempat (altitude). Kedua faktor lingkungan tersebut

95 77 menunjukan korelasi yang erat antara keduanya yang tergambar dari sudut lancip yang terbentuk (Gambar 28). Hasil Analisis Komponen Utama yang dilakukan terhadap enam faktor lingkungan biotik tempat tumbuh Syzygium dapat menyederhanakannya menjadi 2 komponen utama baru yang ditandai dengan eigenvalue >1. Kedua faktor komponen tersebut dapat menjelaskan sebanyak 62,40% variabilitas dari keseluruhan variabel yang diamati (faktor komponen pertama sebesar 39,50%, faktor komponen kedua sebesar 22,90%). Hal ini mengindikasikan bahwa faktor komponen pertama memberikan informasi yang relatif lebih besar daripada faktor komponen kedua mengenai kondisi lingkugan biotik habitat Syzygium. Variabel luas rumpun bambu dan jumlah rumpun bambu adalah variabel lingkungan biotik yang cukup berpengaruh pada faktor komponen pertama. Variabel jumlah individu pancang dan variabel jumlah individu semai adalah variabel lingkungan biotik yang cukup berpengaruh pada faktor komponen kedua. Persamaan output yang dihasilkan adalah PC1 = 0,57 luas rumpun bambu + 0,26 jumlah individu semai + 0,10 jumlah individu pancang + 0,34 jumlah individu tiang + 0,42 jumlah individu pohon 0,55 jumlah rumpun bambu; PC2 = 0,01 luas rumpun bambu + 0,62 jumlah individu semai + 0,71 jumlah individu pancang 0,08 jumlah individu tiang 0,28 jumlah individu pohon + 0,15 jumlah rumpun bambu. (Tabel 19 dan Gambar 29). Tabel 19 Nilai eigenvalue dan nilai faktor masing-masing variabel lingkungan biotik tempat tumbuh Syzygium PC1 (Faktor Komponen 1) PC2 (Faktor Komponen 2) Eigenvalue 2,37 1,38 Proporsi 0,39 0,23 Kumulatif 0,39 0,62 Variabel : Luas rumpun bambu -0,57-0,01 Jumlah individu semai 0,27 0,62 Jumlah individu pancang 0,10 0,71 Jumlah individu tiang 0,34-0,08 Jumlah individu pohon 0,42-0,28 Jumlah rumpun bambu -0,55 0,15

96 78 Gambar 29 Hasil analisis komponen utama terhadap variabel lingkungan biotik tempat tumbuh Syzygium di Gunung Baung. Titik menunjukan lokasi keberadan Syzygium. Faktor-faktor lingkungan biotik: luas rumpun bambu (luas_bmb); lumlah rumpun bambu (Jml_ind bmb); jumlah individu tingkat semai (Jml_ind_sm); jumlah individu tingkat pancang (Jml_ind_pnc); jumlah individu tingkat tiang (Jml_ind_tg); jumlah individu tingkat pohon (Jml_ind_ph) Berdasarkan pada faktor-faktor biotik tempat tumbuhnya, keberadaan Syzygium ternyata sangat berhubungan dengan jumlah dan luas rumpun bambu serta jumlah individu tiang dan pohon. Hal ini dapat dilihat dari banyaknya titik keberadaan Syzygium yang berdekatan dengan faktor-faktor lingkungan biotik tersebut. Namun demikian keberadaan berdasarkan pada hasil analisis komponen utama yang dilakukan menunjukan bahwa keberadan Syzygium lebih berhubungan dengan faktor jumlah rumpun dan luas rumpun bambu dibandingkan dengan faktor jumlah individu tiang dan pohon. Hal ini terlihat dari sebaran titik-titik keberadaan Syzygium yang berdekatan dengan garis faktor faktor lingkungan tersebut (Gambar 29). Hasil analisis CCA (Canonical Correspondence Analysis) yang dilakukan terhadap spesies Syzygium dan variabel-variabel faktor lingkungannya menunjukan hasil seperti datampilkan dalam Gambar 30. Variabel jumlah rumpun bambu (Nbmb) merupakan variabel lingkungan yang berpengaruh cukup besar terhadap keberadaan Syzygium pada sumbu ordinasi 1, sedangkan ketinggian tempat (altd) berpengaruh cukup besar pada sumbu ordinasi 2. Hal ini terlihat dari nilai intraset correlation untuk kedua variabel tersebut. Nilai intraset correlation

97 79 untuk jumlah rumpun bambu sebesar -0,45 dan untuk ketinggian tempat sebesar 0,23. Intraset correlation menunjukkan hubungan antara faktor-faktor lingkungan dengan sumbu orninansi (ter Braak 1986). Sebaran spesies Syzygium terhadap gradien faktor-faktor lingkungan tempat tumbuhnya cukup merata. Hal ini dapat dilihat dari eigenvalue cannonicalnya yang bernilai 0,53. Sebaran dan kemeratan yang dimaksudkan disini berkaitan dengan kondisi faktor lingkungannya, dan bukan bersifat spasial. Nilai eigenvalue berkisar antara 0-1. Nilai tersebut mengambarkan tingkat persebaran spesies maupun petak pengamatan terhadap variabel lingkungan yang digambarkan dalam diagram ordinansi. Semakin mendekati 1, maka persebaran spesies merata. Kent dan Coker (1992) dan Jongman et al. (1987) dalam Kurniwan dan Parikesit (2008), mengemukakan bahwa persebaran spesies dikatakan merata terhadap gradien variabel lingkungannya apabila memiliki eigenvalue > 0,5. Kondisi ini dapat diartikan bahwa secara bersamaan faktorfaktor lingkungan tempat tumbuh Syzygium memberikan pengaruh dan peran yang sama terhadap tiap-tiap spesies Syzygium di Gunung Baung. Namun demikian, jika dilihat ordinasi hasil analisis dalam Gambar 30 terlihat bahwa keberadaan S. pycnanthum lebih banyak dipengaruhi oleh faktor jumlah individu pohon, sedangkan S. racemosum dan S. polyanthum dipengaruhi oleh keberadaan bambu, baik jumlah rumpun maupun luas rumpunnya. Keberadaan S. littorale dan S. samarangense lebih banyak dipengaruhi oleh keberadaan semai dan tumbuhan bawah. Keberadaan S. cumini di Gunung Baung sangat berbeda dengan spesies Syzygium lainnya. Kehadirannya dipengaruhi oleh faktor jumlah individu pancang. Keberadaan S. racemosum di Gunung Baung lebih banyak dijumpai berdekatan dengan bambu dibandingkan dengan spesies Syzygium lainnya. S. pycnanthum sebagai spesies Syzygium yang paling banyak dijumpai terdapat lebih banyak pada lokasi-lokasi dengan dominasi pepohonan, meskipun masih dapat pula dijumpai pada lokasi-lokasi dengan kehadiran bambu.

98 Nbmb S pol to S rac to luas bmb lereng altd S cum to Npc S sam to ph tanah. udara. tanah Nsm lux suhu S lit to S pyc to Ntg Nph Gambar 30 Distribusi 6 spesies Syzygium terhadap variabel lingkungan fisik dan biotik di TWA Gunung Baung. Canonical Correspondence Analisys (CCA) diagram ordinasi spesies Syzygium ( ), variabel lingkungan (anak panah). Spesies Syzygium: S. cum to = S. cumini, S. lit to = S. littorale, S. pol to = S. polyanthum, S. pyc to = S. pycnanthum, S. rac to = S. racemosum, dan S sam to = S. samarangense. Variabel lingkungan fisik dan biotik: lux = intensitas penyinaran, suhu = suhu udara, lereng = kelerengan tempat, altd = ketinggian tempat,.tanah = kelembapan tanah,.udara = kelembapan udara, ph tanah, Nsm = jumlah individu semai dan tumbuhan bawah, Npc = jumlah individu pancang, Ntg = jumlah individu tiang, Nph = jumlah individu pohon, Nbmb = jumlah rumpun bambu, luas bmb = luas rumpun bambu Berdasarkan pada hasil analisis CCA terhadap strata pertumbuhan Syzygium mulai dari tingkat semai hingga pohon dengan faktor-faktor lingkungannya diperoleh hasil bahwa keberadaan Syzygium tersebar secara merata pada gradien faktor-faktor lingkungan tempat tumbuhnya. Hal ini diketahui dari eigenvalue canonicalnya yang mendekati 0,5 (0,496). Dengan demikian dapat dikatakan bahwa faktor-faktor lingkungan tempat tumbuh memberikan pengaruh yang relatif sama terhadap keberadaan Syzygium berdasarkan strata pertumbuhannya. Tidak ada faktor lingkungan yang memberikan pengaruh yang lebih besar dibandingkan lainnya terhadap keberadaan Syzygium. Ordinasi yang

99 81 dihasilkan menunjukkan bahwa semai dan pancang Syzygium lebih banyak dijumpai pada tempat-tempat yang banyak bambu pada daerah-daerah lereng bukit (Gambar 31). Syzygium pada strata tiang dan pohon banyak dijumpai bersaman dengan keberadan tiang dan pohon lainnya di dalam kawasan. Jumlah individu tiang dan pohon mempengaruhi kehadiran Syzygium di kedua strata tersebut Nph Jml phn Jml tng Ntg Nsm. udara suhu lux ph tanah Npc. tanah Jml pnc luas bmb Nbmb Jml sm lereng altd Gambar 31 Distribusi strata pertumbuhan Syzygium terhadap variabel lingkungan fisik dan biotik di TWA Gunung Baung. Canonical Correspondence Analisys (CCA) diagram ordinasi strata pertumbuhan Syzygium ( ), variabel lingkungan (anak panah). Strata pertumbuhan Syzygium: Jml sm = strata semai, Jml pnc = strata pancang, Jml tng = strata tiang, Jml phn = strata pohon. Variabel lingkungan fisik dan biotik: lux = intensitas penyinaran, suhu = suhu udara, lereng = kelerengan tempat, altd = ketinggian tempat,.tanah = kelembapan tanah,.udara = kelembapan udara, ph tanah, Nsm = jumlah individu semai dan tumbuhan bawah, Npc = jumlah individu pancang, Ntg = jumlah individu tiang, Nph = jumlah individu pohon, Nbmb = jumlah rumpun bambu, luas bmb = luas rumpun bambu

100 Regresi Linear Berganda Pertumbuhan vegetasi sangat dipengaruhi oleh kondisi lingkungan tempat hidupnya. Kondisi lingkungan tersebut meliputi kondisi lingkungan fisik dan biotik. Seberapa besar dan faktor apa saja yang mempengaruhi keberadaan suatu spesies tumbuhan dapat dilakukan dengan menggunakan pendekatan hubungan antara keduanya. Hasil analisis korelasi dan regresi linear berganda dilakukan untuk mengetahui hubungan antara kehadiran Syzygium, yang ditandai dengan jumlah individu Syzygium (sebagai variable tak bebas-y) dengan faktor lingkungannya. Faktor lingkungan yang digunakan meliputi berjumlah 13 variabel (sebagai variable bebas-x), yaitu: luas rumpun bambu, jumlah individu semai, jumlah individu pancang, jumlah individu tiang, jumlah individu pohon, jumlah rumpun bamboo, intensitas cahaya, suhu udara, kelembaban udara, ph tanah, kelembaban tanah, kelerengan, dan ketinggian tempat (altitude). Kesemua data variabel ditransformasi dalam bentuk ln (1+n). Hal ini dilakukan untuk memastikan sifat kenormalan data yang digunakan. Hasil analisi korelasi Pearson pada α=5% yang dilakukan antara variable jumlah individu Syzygium dengan variabel faktor-faktor lingkungannya menunjukkan hasil korelasi yang signifikan hanya hubungan antara jumlah individu Syzygium dengan variabel kelembapan tanah dan ketinggian tempat. Nilai korelasi Pearson untuk tiap variabel tersebut adalah: kelembapan tanah (%tanah) sebesar 0,19, dan ketinggian tempat sebesar 0,27 (semua nilai P- value < 5%). Hubungan korelasi antar variabel-variabel lainnya terjadi secara tidak signifikan, yang ditandai dengan P-value yang lebih besar dari 5%. Data lengkap hasil analisis korelasi ditampilkan pada lampiran. Analisi regresi linear berganda selanjutnya dilakukan untuk menganalisis hubungan antara jumlah individu Syzygium (sebagai variabel Y) dan ketiga belas variabel-variabel lingkungan lainnya (sebagai variabel x). Hal ini dilakukan untuk mengetahui hubungan antara jumlah individu Syzygium dengan beberapa variabel lingkungannya. Hasil regresi yang dilakukan memperoleh persamaan regresi sebagai berikut:

101 83 ln Y = - 9,02 + 0,06 ln x 1 + 0,08 ln x 2 + 0,07 ln x 3 + 0,11 ln x 4 0,03 ln x 5 0,20 ln x 6 0,01 ln x 7 + 0,62 ln x 8 + 0,12 ln x 9 0,13 ln x 10 0,62 ln x 11 0,09 ln x ,79 ln x 13 Keterangan : Y = jumlah individu Syzygium (individu / petak pengamatan) x 1 = luas rumpun bambu pada tiap petak pengamatan (m 2 ) x 2 = jumlah individu semai dan tumbuhan bawah pada tiap petak pengamatan (individu) x 3 = jumlah individu pancang pada tiap petak pengamatan (individu) x 4 = jumlah individu tiang pada tiap petak pengamatan (individu) x 5 = jumlah individu pohon pada tiap petak pengamatan (individu) x 6 = jumlah rumpun bambu pada tiap petak pengamatan (rumpun) x 7 = intensitas penyinaran (lux) x 8 = suhu udara ( o C) x 9 = kelembapan udara (%) x 10 = ph tanah x 11 = kelembaban tanah (%) x 12 = kemiringan lereng (%) x 13 = ketinggian tempat ( m dpl) Persamaan regresi ini menujukkan hasil yang tidak ideal, karena terjadi multikolinearitas di antara variabel-variabel bebasnya. Hal ini diketahui dari nilai VIF (Variance Inflation Factor) yang lebih besar dari satu (VIF> 1) untuk semua variabel bebasnya (Iriawan dan Astuti 2006). Untuk itu perlu dilakukan penyederhanaan model persamaan dengan menggunakan metode Regresi Stepwise. Hasil persamaan regresinya adalah sebagai berikut: ln Y = - 6,34 + 1,28 ln x 13 0,15 ln x 6 Hasil ini menunjukkan bahwa variabel ketinggian tempat (x 13 ) dan jumlah rumpun bambu (x 6 ) memiliki pengaruh terhadap jumlah individu Syzygium. Kedua variable tersebut menyederhanakan dan mewakili variabel-variabel lainnya. Hasil analisis menunjukkan bahwa pengujian parameter model berdasarkan pada nilai P-value yang dihasilkan mengindikasikan bahwa variabel ketinggian tempat dan jumlah rumpun bambu memiliki makna dalam model persamaan tersebut. Kedua nilai P-value untuk variabel tersebut < 0.05 yang berarti bahwa keduanya berpengaruh terhadap jumlah individu Syzygium. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa secara linear, variabel ketinggian tempat dan jumlah rumpun bambu adalah variabel lingkungan yang mempengaruhi jumlah individu Syzygium di TWA Gunung Baung. Kenaikan sebesar 1 meter ketinggian tempat dari atas permukaan laut, tanpa terjadi penambahan jumlah rumpun bambu akan mengurangi kehadiran Syzygium sebanyak 5,06 individu. Semakin tinggi tempat,

102 84 maka kemungkinan untuk menjumpai Syzygium semakin berkurang. Hubungan ini hanya dapat diterangkan sebesar 11,71% dari data yang diperoleh, selebihnya dipengaruhi oleh faktor-faktor lingkungan lainnya. Spesies Syzygium banyak dijumpai pada kisaran ketinggian tempat antara m dpl (156 individu). Pada ketinggian > 450 mdpl hanya dijumpai sebanyak 18 individu. Spesies pohon yang banyak dijumpai pada daerah-daerah puncak bukit adalah Schoetonia ovata (walikukun), Streblus asper (kayu serut), dan Emblica officinalis Potensi dan Pemanfaatan Syzygium Syzygium cumini, S. polyanthum, dan S. samarangense adalah spesies Syzygium yang telah umum dikenal dan dimanfaatkan oleh masyarakat. Pemanfaatannya secara tradisional terutama digunakan untuk dikonsumsi buahnya, sebagai bahan bumbu masak, sebagai bahan baku obat tradisional atau kayunya digunakan sebagai bahan perabot rumah tangga dan bangunan. Sebagai penghasil buah, S. samarangense adalah salah satu spesies Syzygium yang mengalami proses teknik budidaya paling maju dibandingkan spesies lainnya. Hingga saat ini telah dihasilkan banyak kultivar dari spesies ini. Bahkan tidak jarang hal tersebut menyebabkan terjadinya spesies baru akibat campur tangan manusia. Widodo (2007) menyebutkan bahwa kegiatan hibridisasi untuk menghasilkan varietas unggul baru merupakan salah satu proses spesiasi yang terjadi pada kelompok marga Syzygium. Setidaknya terdapat 9 kultivar Syzygium samarangense yang telah dikenal dan dikembangkan oleh masyarakat (Cahyono 2010). Pemanfaatan S. cumini secara tradisional antara lain adalah buahnya untuk bahan pembuatan selai atau sebagai buah konsumsi, kayunya digunakan sebagai bahan baku perkakas rumah tangga dan bahan bangunan, serta daun dan bijinya untuk obat tradisional. Penelitian-penelitian yang intensif tentang potensi kandungan zat aktif dalam spesies ini menunjukkan bahwa banyak manfaat medis yang diberikan oleh spesies ini. Salah satunya adalah sebagai penghasil bahan baku obat diabetes militus. Kandungan asam oleanolic pada tanaman ini (pada kulit batang, daun, dan terutama dibagian biji) berkhasiat untuk menurunkan kadar glukosa darah (hipoglikemik) dan bersifat sebagai zat anti diabetikum

103 85 (Tjirosoepomo 1994; Mas udah et al. 2010). Istilah simplisia yang digunakan untuk jenis ini antara lain: S.cumini cortex (untuk kulit batang) dan S. cumini semen (untuk biji), Dalimartha (2003). Lestario (2003) mengemukakan bahwa buah duwet merupakan sumber antioksidan yang berguna bagi kesehatan. Zat ini dibutuhkan oleh tubuh untuk mencegah penyakit degeneratif. Pemanfaatan S. polyanthum secara tradisional adalah daunnya digunakan sebagai bahan bumbu dan obat serta kayunya digunakan sebagai bahan bangunan. Spesies ini sering digunakan sebagai bahan obat diare, asam urat, dibetes dan menurunkan kadar kolesterol dalam darah. Potensi yang lebih besar sesungguhnya dimiliki oleh spesies ini yang tidak hanya terbatas pada pemanfaatan secara tradisional. Beberapa penelitian tentang kandungan kimia yang dimiliki oleh spesies ini mengemukakan bahwa spesies ini berpotensi sebagai penghasil tannin, flavanoid dan esensial oils (0,05%). Asam citric dan eugenol juga termasuk di dalamnya (Sumarno dan Agustin 2008). Daun salam (S. polyanthum) mengandung zat kimia yang berpotensi digunakan sebagai obat anti diare. Wiryawan et al. (2007), mengemukakan bahwa pemberian tepung daun salam sampai 3% pada ransum pakan ayam, mampu meningkatkan bobot badan ayam, serta menekan kematian ayam dan menurunkan populasi bakteri Escherichia coli penyebab penyakit diare pada ayam. Kandungan zat kimia yang terdapat dalam daun salam antara lain: minyak atsiri, triterpenoid, saponin, flavaniod dan tannin. Ketiga spesies lainnya, S. littorale, S. pycnanthum dan S. racemosum belum banyak diketahui pemanfaatan dan potensi kegunaan lainnya. Ketiga spesies ini masih liar dan belum dibudidayakan. Secara tradisional masyarakat memanfaatkan kayunya sebagai kayu bakar. Belum banyak penelitian yang menggali potensi dari spesies-spesies ini. Heyne (1987), mengemukakan bahwa S. pycnanthum, yang disebutkan dengan nama Eugenia densiflora Duthie, memiliki beberapa kegunaan antara lain sebagai bahan kayu bakar, pemberi warna coklat untuk kain yang diperoleh dari pengolahan kulitnya, serta bunganya dapat dimakan sebagai lalapan dan sayur. Buahnya dapat dimakan namun tidak lazim karena rasanya yang tidak enak. Penelitian yang dilakukan Wahidi (2001) menunjukkan bahwa daun S.

104 86 pycnanthum mengandung 15 komponen minyak atsiri. Dari hasil tersebut dapat disimpulkan bahwa spesies ini dapat menjadi sumber penghasil α-farnesen dan eugenol. Menurut Mudiana (2008), spesies ini sebenarnya memiliki potensi untuk dikembangkan sebagai tanaman hias out door karena memiliki karakter yang menunjang untuk fungsi tersebut yaitu berperawakan pohon kecil hingga sedang, bentuk tajuk rindang, warna dan bentuk bunga serta buahnya menarik. Kayu Syzygium littorale dimanfaatkan sebagai kayu bakar, sedangkan buahnya jarang sekali dimakan, karena rasanya yang manis sepat. Hal yang sama juga terjadi pada S. racemosum. Spesies ini hanya dimanfaatkan kayunya, terutama yang berukuran besar untuk keperluan bahan bangunan. Kelemahan sifat kayunya adalah sifat mudah membelah. Kulit batangnya dapat digunakan sebagai penghasil bahan pewarna alami (Heyne 1987) Status dan Upaya Konservasi Syzygium Dari keenam spesies Syzygium yang terdapat di Gunung Baung, tidak ada satu spesies pun yang terdaftar dalam IUCN Red List. Terdapat dua kemungkinan kondisi yang menyebabkannya. Pertama karena spesies-spesies tersebut memang tidak masuk dalam ke dalam kategori-kategori kelangkaan menurut IUCN. Kedua, keberadaan spesies-spesies tersebut mungkin belum pernah diketahui kondisi populasinya sehingga tidak ada data dan informasi mengenai status konservasinya. Kemungkinan kedua ini cukup besar peluang terjadinya. Hal ini dikarenakan belum ada kajian yang menyeluruh dan lengkap mengenai status konservasi spesies-spesies Syzygium yang ada di Indonesia. Keadaan ini terjadi karena begitu banyaknya anggota marga ini sehingga keberadaannya di alam dianggap masih sangat melimpah di semua lokasi. Dari sekian banyaknya spesies Syzygium yang tercatat terdapat di Indonesia, sebagian kecil saja yang telah dikenal dan dimanfaatkan untuk kebutuhan manusia. Backer dan van den Brink (1963) mencatat sebanyak 52 spesies Syzygium yang tumbuh di Jawa. Heyne (1987) mencatat sebanyak 35 Spesies Syzygium (masih menggunakan naman narga Eugenia) dalam deskripsi tumbuhan berguna Indonesia. Dari jumlah tersebut baru sebagian kecil saja yang telah dikenal dan dan dimanfaatkan serta dibudidayakan oleh masyarakat. Sementara banyak spesies lainnya yang masih bersifat alami yang tumbuh secara

105 87 alami pula di berbagai kawasan hutan di Indonesia. Ironisnya, dari waktu ke waktu, laju kerusakan hutan sebagai habitat alami spesies-spesies tersebut terus bertambah. Dikhawatirkan, akan banyak spesies Syzygium yang statusnya menjadi langka bahkan punah sebelum diketahui manfaat dan perannya bagi kehidupan manusia. Dari penelitian ini diperoleh informasi mengenai keberadaan spesiesspesies Syzygium di Gunung Baung. Informasi ini setidaknya dapat memberikan manfaat bagi ilmu pengetahuan mengenai keberadaan dan kondisi populasi spesies-spesies tersebut di kawasan ini. Syzygium pycnanthum dan S. racemosum adalah spesies Syzygium yang keberadaannya cukup melimpah di TWA Gunung Baung. Keberadaan spesies lainnya, S. cumini, S. littorale, dan S. polyanthum meskipun dalam jumlah yang lebih sedikit, namun masih cukup dijumpai di dalam kawasan. S. samarangense hanya tercatat sebanyak satu individu dalam petak pengamatan yang dibuat, akan tetapi kemungkinan keberadaannya cukup banyak pula di lokasi lainnya. Hal ini dikarenakan S. samarangense adalah spesies Syzygium yang telah umum ditanam dan dibudidayakan masyarakat. Informasi mengenai kondisi populasi suatu spesies tumbuhan dapat digunakan sebagai dasar dalam penetapan status konservasinya. Widodo et al. (2011) menetapkan status konservasi dari S. zollingerianum yang terdapat di Indonesia. Di samping melakukan studi spesimen herbarium, dia juga menggunakan data dan informasi lapangan yang berupa kondisi populasi spesies ini dalam menentukan statusnya. Dari hasil studi tersebut, diketahui bahwa S. zollingerianum memiliki status konservasi hampir terancam (Near Threatened). Hasil penelitian di Gunung Baung ini dapat menjadi salah satu dasar pertimbangan untuk menentapkan status konservasi spesies-spesies Syzygium yang dijumpai di sana. Pendokumentasian data yang berkaitan dengan keanekaragaman, kondisi polulasi, serta pemanfaatan spesies Syzygium merupakan upaya-upaya konservasi yang harus terus dilakukan. Upaya tersebut harus pula diikuti dengan upaya konservasi terhadap keberadaan dan eksistensi spesies tersebut, baik dilakukan di habitat alaminya (secara in-situ), maupun di luar habitat alaminya (secara ex-situ). Kegiatan pengenalan keanekaragaman spesies Syzygium perlu dilakukan pula

106 88 untuk meningkatkan pengetahuan dan pemahaman masyarakat terhadap eksistensi, potensi, dan manfaat dan fungsi taksa ini bagi kehidupan.

107 VI. KESIMPULAN DAN SARAN 5.1. Kesimpulan Terdapat enam spesies Syzygium yang dijumpai tumbuh di kawasan TWA Gunung Baung. Keenam spesies tersebut adalah: S. cumini, S. littorale, S. polyanhtum, S. pycnanthum, S. racemosum, dan S. samarangense. Jumlah individu yang paling banyak dijumpai adalah S. pycnanthum (235 individu) dan yang paling sedikit adalah S. samarangense (1 individu). S. pycnanthum dan S. racemosum memiliki kondisi struktur populasi ideal sehingga kedua spesies ini akan mampu untuk tumbuh dan berkembang di Gunung Baung. S. cumini, S. littorale, S. polyanthum dan S. samarangense memiliki kondisi struktur populasi yang tidak ideal. Hambatan yang terjadi terutama adalah proses regenerasi pada strata permudaannya (tingkat semai, pancang dan tiang). Lima dari enam spesies Syzygium (S. cumini, S. littorale, S. polyanhtum, S. pycnanthum, S.racemosum) memiliki pola sebaran berkelompok. Kondisi habitat yang banyak ditumbuhi Syzygium di Gunung Baung adalah tempat-tempat yang subur, di lereng bukit, dengan atau tanpa dominansi bambu Bambusa blumeana, serta tidak didominansi oleh bambu Schizostachyum zollingeri. Kondisi habitat Syzygium pycnanthum dan S. racemosum relatif sama, hal ini ditunjukan dengan sifat asosiasi interspesies yang positif pada semua tingkat pertumbuhannya, meskipun nilai asosiasinya sangat kecil. Berdasarkan kemiripan kondisi lingkungan tempat tumbuhnya terdapat dua kelompok, yaitu: kelompok S. littorale, S. racemosum, S. pycnanthum, dan S.cumini serta kelompok S. polyanthum dan S.samarangense. Faktor ketinggian tempat (altitude) dan jumlah rumpun bambu adalah faktor lingkungan yang paling berpengaruh terhadap keberadaan spesies Syzygium di TWA Gunung Baung Saran Hasil penelitian ini menginformasikan bahwa TWA Gunung Baung merupakan habitat bagi beberapa spesies Syzygium. Untuk mempertahankan dan melestarikan keberadaannya maka perlu dilakukan upaya pengelolaan populasi di habitat alaminya tersebut, terutama bagi S. cumini, S. littorale, S. polyanthum dan

108 90 S. samarangense yang memiliki struktur populasi yang tidak ideal karena hambatan dalam rangka pembentukan permudaannya. Pengelolaan tersebut perlu dilakukan mengingat Syzygium adalah salah satu taksa yang menjadi sumber pakan alami bagi hidupan liar di Gunung Baung. Penelitian dan pengkajian lebih lanjut perlu dilakukan untuk mengetahui faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya hambatan tersebut. Pengenalan spesies-spesies Syzygium kepada masyarakat dapat berguna bagi peningkatan apresiasi masyarakat atas keanekaragaman spesies dan manfaatnya. Setidaknya hal tersebut dapat dilakukan bagi para pengunjung TWA Gunung Baung. Informasi tentang keanekaragaman, lokasi penyebarannya di dalam kawasan, kondisi habitat, serta potensi pemanfaatan yang dihalsilkan dari penelitian ini dapat menjadi bahan sosialisasi spesies Syzygium tersebut secara luas.

109 91 DAFTAR PUSTAKA Alikodra HS Populasi dan perilaku bekantan (Nasalis larvatus) di Samboja Koala, Kalimantan Timur. Media Konservasi 5(2): Anonim Taman Wisata Gunung Baung. Diakses tanggal 26 Juli Arosoesilangingsih E, Soejono, Widyati A, Palupi I, dan Kiswojo Aktivitas reproduktif tiga spesies pohon langka tahan kering di Kebun Raya Purwodadi. Di dalam: Konservasi dan Pendayagunaan Keanekaragaman Tumbuhan Lahan Kering. Prosiding Seminar Nasional. Pasuruan: Kebun Raya Purwodadi LIPI. Backer dan van den Brink BRC Flora of Java Vol.I. N.V.P. Noordhoff Groningen The Netherlands. Bailey L.H The Standard Cyclopedia of Horticulture Vol. I. New York: The Macmillan Company. Barbour MG, Bark JH, Pitts WD Terestrial Plant Ecology. Second Edition. California: The Benjamin Cumming Publishing Company Inc. [Baung Camp] Taman Wisata Gunung Baung. Diakses tanggal 18 November [BKSDA] Balai Konservasi Sumber Daya Alam Laporan Penilaian Potensi Taman Wisata Gunung Baung. Surabaya: Balai Konservasi Sumber Daya Alam IV. Departemen Kehutanan. [BBKSDA Jatim] Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam Jawa Timur Taman Wisata Alam Gunung Baung. /TWA.%20Gunung%20Baunga.pdf Diakses tanggal 22 September Peta Jenis Tanah TWA Gunung Baung Peta Kedalaman Tanah TWA Gunung Baung. [BPS Kabupaten Pasuruan] Badan Pusat Statistik Kabupaten Pasuruan Kabupaten Pasuruan dalam Angka Statistik Daerah Kecamatan Purwodadi E-book. Diakses tanggal 30 Juni Kabupaten Pasuruan dalam Angka Statistik Daerah Kecamatan Purwosari E-book. Diakses tanggal 30 Juni Berlin NVA dan Estu R Jenis dan Prospek Bisnis Bambu. Jakarta: Penebar Swadaya.

110 92 Botanri S Distribusi Spasial, Autekologi, dan Biodiversitas Tumbuhan Sagu (Metroxylon spp.) di Pulau Seram, Maluku. [Disertasi]. Bogor. Sekolah Pascasarjana IPB. Cahyono B Sukses Budidaya Jambu Air di Pekarangan dan Perkebunan. Yogyakarta: Lily Publisher. Catur IRW Keanekaragaman bambu serta pemanfaatannya di Taman Wisata Alam Gunung Baung, Purwodadi, Kabupaten Pasuruan. (Abstrak). Laporan Tugas Akhir. Intertide Ecological Community- Laboratoriom of Ecology. Department of Biology Institute of Technolgy Sepuluh Nopember. Surabaya. Chevallier A Encyclopedia of herbal medicine. DK. Publishing Inc. New York. Craven LA, Biffin E An infrageneric classification of Syzygium (Myrtaceae). Blumea 55: Craven LA, Biffin E, Ashton PE Acmena, Acmenosperma, Cleistocalyx, Piliocalyx and Waterhouse formally transferred to Syzygium (Myrtaceae). Blumea 51: Coronel RE Syzygium cumini (L.) Skeels. Di dalam: Verheij EWM dan Coronel RE, editor. PROSEA (Plant Resources of South-East Asia) 2: Edible fruits and nuts. Bogor : Prosea hlm Dalimartha S Atlas tumbuhan obat Indonesia, Jilid 3. Jakarta: Puspa Swara. Fachrul MF Metode Sampling Bioekologi. Jakarta: Bumi Aksara. Hanum IF dan van der Maesen LJG. (editors) Prosea 11: Auxiliary Plants. p Leiden: Backhuys Publishers. Hardjowigeno S Ilmu Tanah. Jakarta: CV. Akademika Pressindo. Haron NW, Laming PB, Fundter JM, Lemmens RHMJ Syzygium Gaertner. Di dalam: Lemmens RHMJ, Soerianegara I, Wong WC, editor. PROSEA (Plant Resources of South-East Asia) 5(2): Timber trees: Minor commercial timbers. Bogor : Prosea hlm Hasanbahri S, Djuwantoko, Ngariana IN Komposisi Jenis Tumbuhan Pakan Kera Ekor Panjang (Macaca fascicularis) Di Habitat Hutan Jati. Biota 1(2):1-8. Heyne K Tumbuhan berguna Indonesia Volume III. Jakarta: Yayasan Sarana Wana Jaya. Iriawan N dan Astuti SP Mengolah Data Statistik dengan Mudah Menggunakan Minitab 14. Yogyakarta: CV Andi Offset. Istomo Hubungan Antara Komposisi, Struktur dan Penyebaran Ramin (Gonystylus bancanus) dengan Sifat-sifat Tanah Gambut (Studi Kasus di HPH PT Inhutani III Kalteng). [Thesis]. Bogor. Sekolah Pascasarjana IPB.

111 93 [IUCN] International Union for Conservation of Nature and Natural Resources IUCN Red List of Threatened Species. Version < Downloaded on 22 September Kissinger Keanekaragaman Jenis Tumbuhan, Struktur Tegakan, dan Pola Sebaran Spasial Beberapa Spesies Pohon Tertentu Di Hutan Kerangas. [Thesis]. Bogor: Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Kumar A, Ilavarasan R, Jayachandran T, Decaraman M, Aravindhan P, Padmanabhan N, and Krishnan MRV Phytochemicals Investigation on a Tropical Plant, Syzygium cumini from Kattuppalayam, Erode District, Tamil Nadu, South India. Pakistan Journal of Nutrition 8 (1): Kurniawan A dan Parikesit Persebaran Jenis Pohon di Sepanjang Faktor Lingkungan di Cagar Alam Pananjung Pangandaran, Jawa Barat. Biodiversitas 9(4): Kurniawan A, Unduharta NKE, Pendit IMR Asosiasi Jenis-Jenis Pohon Dominan di Hutan Dataran Rendah Cagar Alam Tangkoko, Bitung, Sulawesi Utara. Biodiversitas 9(3): Krebs CJ Ecological Methodology. New York: Harper & Row Publisher. Larpkern P, Moe SR, Totlan O Bamboo dominance reduces tree regeneration in disturb tropical forest. Oecologia 165: Lestario LN Buah duwet sumber antioksidan. Harian Kompas, tanggal 23 Oktober Diakses tanggal 13 Agustus Lubis SR Keanekaragaman dan Pola Distribusi Tumbuhan Paku Di Hutan Wisata Alam Taman Eden Kabupaten Toba Samosir Provinsi Sumatera Utara. [Thesis]. Medan: Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara. Lucas EJ, Belsham SR, NicLughadha EM, Orlovich DA, Sakuragui CM, Chase MW and Wilson PG Phylogenetic patterns in the fleshy-fruited Myrtaceae preliminary molecular evidence. Plant Syst. Evol. 251: Ludwig JA, Reynolds JF Statistical Ecology, a primer on Methods and Computing. Canada: A Wiley-Interscience Publication. Mas udah KW, Istiqomah, Jannah F Biji juwet (Syzygium cumini (Linn.) Skeels.) sebagai alternatif obat diabetes militus (Program Kreativitas mahasiswa- Tidak dipublikasikan). Universitas Negeri Malang. Merrill ED, Perry LM The Myrtaceous genus Syzygium Gaertner in Borneo. Memories of American Academy of Arts and Sciences Vol. XVIII (3): Morton JF The Jambolan (Syzygium cumini Skeels.)-Its Food, Medicinal, Ornamental and Other Uses. Florida Horticulture Sociaty:

112 94 Mudiana D Potensi Syzygium pycnanthum Merr. & L.M. Perry sebagai tanaman hias: Koleksi Kebun Raya Purwodadi. Warta Kebun Raya Vol.8(1): Syzygium (Myrtacea) di sepanjang Sungai Welang Taman Wisata Alam Gunung Baung Purwodadi. Biosfera Vol. 26 (1) 2009 : Beberapa jenis Syzygium yang tumbuh di tepi sungai atau aliran air di wilayah Kabupaten Malang. Makalah poster dalam Seminar di KR Cibodas, LIPI. 7 April Mustian Keanekaragaman Jenis Tumbuhan Pada Tanah Ultrabasa di Areal Konsesi PT. INCO Tbk. Sebelum Penambangan Propinsi Sulawesi Selatan. [Skripsi]. Bogor: Fakultas Kehutanan. IPB. Nascimento GGF, Locatelli J, Freitas FC, Silva GL Antibacterial activity of plant extracts and phytocemicals on antibioticresistant bacteria. Brazilian Journal of Microbiology 31: Pa i, Yulistiarini T Populasi Parameria laevigata (Juss.) Moldenke di sebagian wilayah timur Gunung Baung, Desa Purwodadi, Kecamatan Purwodadi, Kabupaten Pasuruan. Prosiding Seminar Nasional Biodiversitas. Jurusan Biologi, FMIPA, Universitas Airlangga, Surabaya. Halaman: Panggabean G Syzygium aqueum (Burm.f) Alston, Syzygium malaccense (L.) Merr.& Perry, Syzygium samarangense (Blume) Merr.& Perry. Di dalam: Verheij EWM dan Coronel RE, editor. PROSEA (Plant Resources of South-East Asia) 2: Edible fruits and nuts. Bogor : Prosea hlm Parnell JAN, Craven LA, Biffin E Matters of Scale : Dealing with One of the Largest Genera of Angiosperms. Di dalam: Hodkinson TR, JAN Parnell, editor. Recontructing the Tree of Life, Taxonomy and Syzstematics of Species Rich Taxa. Boca Raton: CRC Press. Hlm Partomihardo T, Ismail Keanekaragaman flora Cagar Alam Nusa Barong, Jember, Jawa Timur. Berita Biologi 9(1): Partomihardjo T, Naiola BP Ekologi dan persebaran gewang (Corypha utan Lamk.) di Savana Timor, Nusa Tenggara Timur. Berita Biologi 9(5) : Partomihardjo T, Rahajoe JS Pengumpulan data ekologi tumbuhan. Di dalam: Rugayah, Widjaja EA, Praptiwi, editor. Pedoman pengumpulan data keanekaragaman flora. Bogor: Pusat Penelitian Biologi-LIPI. [Pemerintah Republik Indonesia]. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 68 Tahun 1998, tentang: Kawasan Suaka Alam dan Kawasan Pelestarian Alam. Tanggal : 19 Agustus Primack RB, Suprijatna J, Indrawan M, Kramadibrata P Biologi Konservasi. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.

113 95 Purwadi E Identifikasi Gejala Defisiensi dan Kelebihan Unsur Hara Mikro Pada Tanaman. Diakses tanggal 6 Juni Risna RA Autekologi dan Studi Populasi Myristica teijsmanii Miq. (Myristicaceae) Di Cagar Alam Pulau Sempu. [Thesis]. Bogor: Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Riswan S, Rachman I, Waluyo EB Jenis-jenis tumbuhan pada sempadan dan bantaran sungai, DAS Ciliwung dan Cisadane. Di dalam: Manajemen Bioregional Jabodetabek : profil strategi pengelolaan sungai dan aliran air. Halaman: Rosalia N Penyebaran dan Karakteristik Pohon Tembesu (Fagraea fragrans Roxb.) (Studi Kasus Di Kawasan Taman Nasional Danau Sentarum Kapuas Hulu Kalimantan Barat). [Thesis]. Bogor: Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Sardjono S Syzygium polyanthum (Wight) Walpers. Di dalam: de Guzman CC dan Siemonsma JS, editor. PROSEA (Plant Resources of South- East Asia) 13: Spices. Bogor : Prosea hlm Sihotang A Penilaian Tingkat Pelapukan Dan Perkembangan Tanah Dengan Vegetasi Bambu (Gigantochloa sp) Dan Karet (Hevea sp) Serta Klasifikasinya Menurut Sistem Taksonomi Tanah. ). [Skripsi]. Bogor: Jurusan Tanah Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor. Silvertown JW Introduction to Plant Population Ecology. New York: Longman Inc. Siregar M, Unduharta NKE, Hartutiningsih-M.Siregar Tinjauan Jenis-Jenis Flora Lokal Bali yang Berpotensi Dikembangkan Sebagai Kayu Komersial. Laporan Teknik Program Perlindungan dan Konservasi Sumber Daya Alam. UPT Balai Pengembangan Kebun Raya Bali- LIPI. Soerianegara I dan Indrawan A Ekologi Hutan Indonesia. Bogor: Departemen Manajemen Hutan Fakultas Kehutanan. IPB. Sumarno A, Agustin WSD The use of bay leaf (Eugenia polyantha Wight) in dentistry. Dentistry Journal (Majalah Kedokteran Gigi) 44(3): Sunarti S. Hidayat A, Rugayah Keanekaragaman tumbuhan di Hutan Pegunungan Waworete, Kecamatan Wawonii Timur, Pulau Wawonii, Sulawesi Tenggara. Biodiversitas 9(3): Tarumingkeng RC Dinamika Populasi, Kajian Ekologi Kuantitatif. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan dan Universitas Kristen Krida Wacana. ter Braak CJF Canonical Corespondence Alanysis: A New Eigenvector Technique for Multivariate Direct Gradient Analysis. Ecology 67(5):

114 The Analysis of Vegetation-Environment Relationship by Canonical Correspondence Analysis. Vegetaio 69: Tjitrosoepomo G Taksonomi tumbuhan obat-obatan. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. Tripathi OP, Upadhaya K, Tripathi RS, Pandey HN Diversity, Dominace and Population Structure of Tree Species along Fragment-Size Gradient of a Subtropical Humid Forest of Northeast India. Research Journal of Environmental and Earth Sciences 2(2): Uma S A Case of high tree diversity in a sal (Shorea robusta)-dominated lowland forest of Eastern Himalaya: Floristic composition, regeneration and conservation. Curr. Sci. 81: van Lingen TG Syzygium jambos (L.) Alston. Di dalam: Verheij EWM dan Coronel RE, editor. PROSEA (Plant Resources of South-East Asia) 2: Edible fruits and nuts. Bogor : Prosea hlm Verheij EWM dan Snijders CHA Syzygium aromaticum (L.) Merrill & Perry. Di dalam: de Guzman CC dan Siemonsma JS, editor. PROSEA (Plant Resources of South-East Asia) 13: Spices. Bogor : Prosea hlm Wahidi Minyak Atsiri Daun Salam (Syzygium polyanthum (Wight.) Walp., Jambu Klampok (Syzygium pycnanthum), dan Cengkeh (Syzygium aromaticum. Tidak dipublikasikan. Skripsi Jurusan Kimia, FMIPA. Institut Sepuluh Nopember, Surabaya. Walpole RE Pengantar Statistika. Ed ke-3. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama. Waryono T Peranan dan fungsi jasa bio-eko-hidrologis komunitas bantaran sungai. Makalah disampaikan dalam: Seminar Nasional Pengelolaan DAS Terpadu Se Jawa Bali. Departemen Kehutanan. Jakarta Juni, Whitten T, Soeriaatmadja RE, Afiff SA Ekologi Jawa dan Bali. Jakarta: Prenhallindo. Widjaja EA Identikit Jenis-jenis Bambu di Jawa. Bogor: Puslitbang Biologi-LIPI. Widyatmoko D, Irawati Kamus Istilah Konservasi. Bogor.: Pusat Konservasi Tumbuhan, Kebun Raya Bogor, LIPI. Widodo P Review: Spesiasi pada Jambu-Jambuan (Myrtaceae): Model Cepat dan Lambat. Biodiversitas 8(1): Widodo P, Chikmawati T, Wibowo DN Distribusi dan Status Konservasi Syzygium zollingerianum (Miq.) Amsh. (Myrtaceae). Makalah dalam Seminar Nasional Konservasi Tumbuhan Tropika: Kondisi Terkini dan Tantangan ke Depan. Kebun Raya Cibodas-LIPI, 7 April 2011.

115 97 Wihermanto Dispersi asosiasi dan status populasi tumbuhan terancam punah di Zona Submontana dan Montana Taman Nasional Gunung Gede-Pangrango. Biodiversitas Vol. 9(3): Wiryawan KG, Luvianti S, Hermana B, Suharti S Peningkatan Performa Ayam Broiler dengan Suplementasi Daun Salam (Syzygium polyanthum (Wight) Walp) Sebagai Antibakteri Escherichia coli. Media Peternakan 30(1): Yuliani, Wisanti, Indah NK Potensi tradisional masyarakat desa sekitar hutan dalam menunjang konservasi in-situ Gunung Baung. Prosiding Seminar Nasional Biodiversitas. Jurusan Biologi, FMIPA, Universitas Airlangga, Surabaya. Halaman: a. Komposisi dan potensi flora di Gunung Baung Kabupaten Pasuruan. Prosiding Seminar Nasional Biologi 6. Program studi Biologi, FMIPA, Institut Teknologi Sepuluh Nopember, Surabaya. Hal:

116 98

117 99 Lampiran 1 Daftar spesies tumbuhan di lokasi penelitian No Nama Suku 1 Abelmoschus moschatus Medik. Malvaceae 2 Abrus precatorius L Papilionaceae 3 Acacia auriculiformis A. Cunn. ex Benth. Mimosaceae 4 Acalypha amantaceae Roxb. Euphorbiaceae 5 Achyranthes aspera L. Amaranthaceae 6 Adenanthera pavonina L. Mimosaceae 7 Adenanthera sp Mimosaceae 8 Adianthum sp Adianthaceae 9 Aglaia sp Meliaceae 10 Aglaia lowii (Wight.) Saldanha ex Ramamorrthy Meliaceae 11 Alangium chinense (Lour.) Rehder Alangiaceae 12 Alangium javanicum (Blume) Wangerin Alangiaceae 13 Albizia lebbekoides (DC.) Benth. Mimosaceae 14 Albizia procera (Roxb.) Benth. Mimosaceae 15 Albizia saman (Jacq.) Merr. Mimosaceae 16 Alectryon serratus Radlk. Sapindaceae 17 Allophylus cobbe (L.) Racusch. Sapindaceae 18 Allophylus glaber Radlk. Sapindaceae 19 Alstonia scholaris (L.) R.Br. Apocynaneae 20 Alstonia spectabilis R.Br. Apocynaceae 21 Amorphophallus blumei (Schott.) Engl. Araceae 22 Amorphophallus variabilis Blume Araceae 23 Anadenanthera peregrina (L.) Spreng. Mimosaceae 24 Anamirta cocculus Wight & Arn. Menispermiaceae 25 Annona muricata L Annonaceae 26 Annona reticulata L. Annonaceae 27 Antiaris toxicaria (Pers.) Lesch. Moraceae 28 Antidesma bunius (L.) Spreng. Euphorbiaceae 29 Aphanamixis grandifolia (Blume.) Walp. Meliaceae 30 Arcangelesia flava (L.) Merr. Menispermiaceae 31 Ardisia fuliginosa Blume Myrsinaceae 32 Ardisia humilis Vahl. Myrsinaceae 33 Artabotris uncinatus (Lam.) Merr. Annonaceae 34 Artocarpus elasticus Reinw ex Blume Moraceae 35 Artocarpus heterophyllus Lmk. Moraceae 36 Arytera sp Sapindaceae 37 Aspidopterys elliptica (Blume) A.Juss. Malphigiaceae 38 Bambusa blumeana Blume ex Schult. Poaceae 39 Bambusa vulgaris Schrad ex Wendl. Poaceae 40 Barringtonia acutangula (L.) Gaertn. Lecythidaceae 41 Bauhinia binata Blanco Caesalpiniaceae 42 Bidens pilosa L. Asteraceae 43 Blumeodendron kurzii (Hook.f.) JJS. Euphorbiaceae

118 100 No Nama Suku 44 Bombax ceiba L. Bombacaceae 45 Breynia sp Euphorbiaceae 46 Bridelia glauca Blume Euphorbiaceae 47 Bridelia stipularis (L.) Blume Euphorbiaceae 48 Brucea javanica (L.) Merr. Simarobaceae 49 Buchanania arborescens (Blume) Blume Anacardiaceae 50 Butea monosperma (Lam.) Taub. Papilionacea 51 Calamus sp Arecaceae 52 Callicarpa hexandra Teigs & Bian. Verbenaceae 53 Canthium dicocum (Gaertn.) Teijsm & Binn. Rubiaceae 54 Canthium glabrum L. Rubiaceae 55 Capparis micrantha DC. Capparidaceae 56 Capsicum frutescens L. Solanaceae 57 Carallia brachiata (Lour.) Merr. Rhizoporaceae 58 Cardiospermum halicacabum L. Sapindaceae 59 Caryota mitis Lour. Arecaceae 60 Casearia sp Fagaceae 61 Cassia fistula L. Caesalpiniaceae 62 Cayratia trifolia (L.) Domin. Vittaceae 63 Celtis philippensis Blanco Ulmaceae 64 Centrosema pubescens Bth. Papilionaceae 65 Christella arida (D.Don) Holtt. Thelypteridaceae 66 Chromolaena odorata (L.) King & H.E. Robins Asteraceae 67 Chrysophyllum cainito L. Sapotaceae 68 Cinnamomum sintoc Blume Lauraceae 69 Clausena hermandiana (Pierre) Pierre ex Guil. Rutaceae 70 Clerodendrum buchanani (Roxb.) Walp. Verbenaceae 71 Clerodendrum serratum (L.) Moon. Verbenaceae 72 Combretum sp Combretaceae 73 Cordia bantamensis Blume Boraginaceae 74 Cordyline sp Agavaceae 75 Croton argyratus Blume Euphorbiaceae 76 Croton caudatus Geisel. Euphorbiaceae 77 Croton sp Euphorbiaceae 78 Cyathula prostata (L.) Bl. Amaranthaceae 79 Cyperus sp Cyperaceae 80 Daemonorops sp Arecaceae 81 Deeringia amaranthoides (Lam.) Merr. Amaranthaceae 82 Dehaasia caesia Blume Lauraceae 83 Dendrocalamus asper (Roem. & Schult.f.) Backer ex Poaceae Heyne 84 Derris elliptica (Wall.) Benth. Papilionaceae 85 Derris ensiformis Papilionaceae 86 Dillenia pentagyna Roxb. Dilleniaceae 87 Diopsyros macrophylla Blume Ebenaceae

119 101 No Nama Suku 88 Dioscorea hispida Dennst. Dioscoreaceae 89 Diospyros cauliflora Blume Ebenaceae 90 Donax cannaeformis (G.Forst) K. Schumann Maranthaceae 91 Dovyalis caffra (Hook.f. & Harvey) Hook.f. Flacourtiaceae 92 Dracontomelon dao (Blanco) Merril & Rolfe Anacardiaceae 93 Drypetes longifolia (Blume) Pax. & K. Hoffm. Euphorbiaceae 94 Drypetes macrophylla (Blume) Pax. & K. Hoffm. Euphorbiaceae 95 Dysoxylum gaudichaudianum (A.Juss) Miq. Meliaceae 96 Elaeocarpus sp Elaeocarpaceae 97 Emblica officinalis Gaertn. Euphorbiaceae 98 Erythrina fusca Lour. Papilionaceae 99 Erythrina orientalis (L.) Merr. Papilionaceae 100 Eupatorium inulifolium H.B.K. Asteraceae 101 Eupatorium riparium Reg Asteraceae 102 Ficus benjamina L. Moraceae 103 Ficus callosa Willd. Moraceae 104 Ficus drupacea Thunb. Moraceae 105 Ficus elastica Mois ex Blume Moraceae 106 Ficus hispida L.f. Moraceae 107 Ficus montana Burm.f. Moraceae 108 Ficus racemosa L. Moraceae 109 Ficus retusa L. Moraceae 110 Ficus septica Burm.f. Moraceae 111 Ficus variegata Blume Moraceae 112 Ficus virens W. Aiton Moraceae 113 Flacourtia rukam Zoll. & Moritzi Flacourtiaceae 114 Flagellaria indica L. Flagellariaceae 115 Garcinia sp Clusiaceae 116 Garuga floribunda Decne Burseraceae 117 Giganthocloa apus Kurz. Poaceae 118 Glochidion molle Blume Euphorbiaceae 119 Glochidion obscurum (Willd.) Blume Euphorbiaceae 120 Glochidion sp Euphorbiaceae 121 Gluta renghas L. Anacardiaceae 122 Gymnema reticulatum (Moon) Alston Asclepiadaceae 123 Gynandropsis pentapylla (L.) DC. Cleomaceae 124 Harpullia arborea (Blanco) Radlk. Sapindaceae 125 Harrisonia perforate (Blanco) Merr. Simarobaceae 126 Helictretes hirsuta Lour. Sterculiaceae 127 Heritiera javanica (Blume) Kosterm. Sterculiaceae 128 Hiptage benghalensis (L.) Kurz. Malphigiaceae 129 Homalomena cordata Schott. Araceae 130 Hypoestes polythyrsa Miq. Acanthaceae 131 Hyptis rhombiodea Martelli & Gal. Lamiaceae 132 Ixora javanica (Blume) DC. Rubiaceae

120 102 No Nama Suku 133 Ixora nigricans R.Br. ex Waght & Arm. Rubiaceae 134 Jasminum multiflorum (Burm.f.) Andrews Oleaceae 135 Jatropha curcas L. Euphorbiaceae 136 Kleinhovia hospita L. Sterculiaceae 137 Lagerstroemia speciosa (L.) Pers. Lytheraceae 138 Lannea coromandelica (Houtt.) Merr. Anacardiaceae 139 Lantana camara L. Verbenaceae 140 Leea angulata Korth. ex Miq. Leeaceae 141 Lepisanthes rubiginosum (Roxb.) Leenh. Sapindaceae 142 Licuala sp Arecaceae 143 Litsea glutinosa (Lour.) C.B. Robinson Lauraceae 144 Litsea sp Lauraceae 145 Lophopetalum javanicum (Zoll.) Turez. Verbenaceae 146 Lygodium circinnatum (Burm.f.) Sw. Schizaeaceae 147 Lygodium flexuosum (L.) Sw. Schizaeaceae 148 Magnolia candolii (Blume) H. Keng. Magnoliaceae 149 Mangifera sp Anacardiaceae 150 Melanolephis multiglandulosa (Blume) Reichenb.f. & Euphorbiaceae Zoll. 151 Melicope latifolia (DC) TG Hartley Rutaceae 152 Memexylon floribundum Blume Melastomataceae 153 Memexylon myrsinoides Bl. Melastomataceae 154 Microcos tomentosa Sm. Tilliaceae 155 Microlepia spelunce (L.) Moore Dennstaedtiaceae 156 Mikania cordata (Burm.f.) C.B. Robinson Asteraceae 157 Mischocarpus sundaicus Blume Sapindaceae 158 Mitrephora polypyrena (Blume) Miq. Annonaceae 159 Momordica charantia L. Cucurbitaceae 160 Murraya koenighii (L.) Spreng Rutaceae 161 Murraya paniculata (L.) Jack. Rutaceae 162 Olax scandens Roxb. Olacaceae 163 Orophea enneandra Blume Annonaceae 164 Oroxylum indicum (L.) Vent. Bignoniaceae 165 Parameria laevigata (Juss.) Moldenke Apocynaceae 166 Parkia timoriana (DC) Merr. Mimosaceae 167 Pavetta indica L. Rubiaceae 168 Pennisetum purpureum Schumach Poaceae 169 Pharleria octandra (L.) Baill. Thymelaeaceae 170 Phyllanthus reticulatus Poir. Euphorbiaceae 171 Phyllanthus sp Euphorbiaceae 172 Piper cubeba L.f. Piperaceae 173 Pipturus argenteus (G.Forst.) Wedd. Urticaceae 174 Pittosporum moluccanum (Lam.) Miq. Pittosporaceae 175 Pittosporum sp Pittosporaceae 176 Polyalthia lateriflora (Blume) King Annonaceae

121 103 No Nama Suku 177 Polyalthia sp Annonaceae 178 Polyaulax cylindrocarpa (Burck) Back. Annonaceae 179 Polyscias nudosa (Blume) Seem Araliaceae 180 Pouteria obovata (R.Br.) Baehai Sapotaceae 181 Protium javanicum Burm.f. Burseraceae 182 Psichotria sp Rubiaceae 183 Pteris biaurita L. Pteridaceae 184 Pteris mertensioides Willd. Pteridaceae 185 Pterocymbium javanicum R.Br. Sterculiaceae 186 Pterospermum javanicum Jungh Sterculiaceae 187 Rouvolfia verticillata (Lour.) Bailey Apocynaceae 188 Salvia riparia H.B.K. Lamiaceae 189 Sapindus rarak DC Sapindaceae 190 Sauropus androgynus (L.) Merr. Euphorbiaceae 191 Scheichera oleosa (Lour.) Olam. Sapindaceae 192 Schizostachyum iraten Steud Poaceae 193 Schizostachyum zollingeri Steud Poaceae 194 Schoutenia ovata Korth. Sterculiaceae 195 Scolopia spinosa (Roxb.) Warb. Flacourtiaceae 196 Senna multijuga (Rich.) Irwin & Barneby Caesalpiniaceae 197 Senna spectabilis (DC.) Irwin & Barneby Caesalpiniaceae 198 Sericocalyx crispus (L.) Bremek. Acanthaceae 199 Solanum scaforthianum Andrews Solanaceae 200 Solanum verbascifolium L. Solanaceae 201 Sphatodea campanulata Beaw. Bignoniaceae 202 Spondias cytherea Wight & Arn. Anacardiaceae 203 Stephania japonica (Thunb.) Miers Menispermiaceae 204 Sterculia coccinea Jack Sterculiaceae 205 Sterculia cordata Blume Sterculiaceae 206 Sterculia foetida L. Sterculiaceae 207 Sterculia macrophylla Vent. Sterculiaceae 208 Sterculia sp Sterculiaceae 209 Streblus asper Lour. Moraceae 210 Streblus spinosus (Blume) Corner. Moraceae 211 Sumbaviopsis albicans (Blume) J.J. Smith Euphorbiaceae 212 Swietenia mahagoni (L.) Jacq. Meliaceae 213 Syzygium cumini (L.) Skeels. Myrtaceae 214 Syzygium littorale (Blume) Amshoff. Myrtaceae 215 Syzygium polyanthum (Wight.) Walp. Myrtaceae 216 Syzygium pycnanthum Merr. & L.M. Perry Myrtaceae 217 Syzygium racemosum (Bl.) DC. Myrtaceae 218 Syzygium samarangense (Bl.) Merr. & L.M. Perry Myrtaceae 219 Tabernaemontana sphaerocarpa Bl. Apocynaceae 220 Terminalia microcarpa Decne Combretaceae 221 Tetracera scandens (L.) Merr. Dilleniaceae

122 104 No Nama Suku 222 Tetrameles nudiflora R.Br. ex Bean. Datiscaceae 223 Thespesia lampas (Cav.) Dalz. Malvaceae 224 Thunbergia alata Boj. Ex. Sims Acanthaceae 225 Thunbergia erecta (Bth.) Th. Anders Acanthaceae 226 Tinospora crispa (L.) Diels. Menispermiaceae 227 Tithonia diversifolia (Hemsley) A Gray Asteraceae 228 Trivalvaria macrophylla (Bl.) Miq. Annonaceae 229 Typhonium trilobatum (L.) Schott. Araceae 230 Urena lobata L. Malvaceae 231 Urtica sp Urticaceae 232 Vitex trifolia L. Verbenaceae 233 Voacanga grandifolia (Miq.) Rolfe Apocynaceae 234 Widelia trilobata (L.) A. Hitchc. Asteraceae 235 Wrightia tomentosa Roem. & Schult Apocynaceae 236 Xanthosoma gigantea (Blume) Hook. Araceae 237 Zanthoxylum scandens Blume Rutaceae 238 Zingiber amaricans Blume Zingiberaceae 239 Zingiber aromaticum Valeton Zingiberaceae 240 Ziziphus oeniphlia (L.) Mill. Rhamnaceae

123 105 Lampiran 2 Indeks Nilai Penting (INP) tingkat semai dan tumbuhan bawah No Jenis Suku KR(%) FR(%) DR(%) INP(%) 1 Tithonia diversifolia Asteraceae 21,51 2,24 21,51 45,26 2 Mikania cordata Asteraceae 8,55 4,76 8,55 21,86 3 Cyathula prostata Amaranthaceae 9,05 2,45 9,05 20,55 4 Piper cubeba Piperaceae 5,99 3,53 5,98 15,50 5 Pennisetum purpureum Poaceae 6,62 0,48 6,62 13,72 6 Voacanga grandifolia Apocynaceae 2,81 5,16 2,81 10,78 7 Parameria laevigata Apocynaceae 3,21 2,85 3,21 9,26 8 Pterocymbium javanicum Sterculiaceae 3,25 0,75 3,25 7,25 9 Streblus asper Moraceae 1,49 4,01 1,49 6,99 10 Lepisanthes rubiginosum Sapindaceae 1,17 3,53 1,17 5,87 11 Tetracera scandens Dilleniaceae 1,46 1,90 1,46 4,82 12 Anamirta cocculus Menispermiaceae 1,14 2,04 1,14 4,32 13 Wrightia tomentosa Apocynaceae 1,22 1,83 1,22 4,26 14 Litsea glutinosa Lauraceae 0,93 2,11 0,93 3,96 15 Chromolaena odorata Asteraceae 1,29 1,29 1,29 3,87 16 Lantana camara Verbenaceae 1,18 1,49 1,18 3,86 17 Sericocalyx crispus Acanthaceae 1,35 0,88 1,35 3,59 18 Derris eliptica Papilionaceae 0,82 1,63 0,82 3,27 19 Daemonorops sp Arecaceae 0,88 1,49 0,88 3,26 20 Pteris biaurita Pteridaceae 0,90 1,43 0,90 3,22 21 Derris ensiformis Papilionaceae 0,81 1,56 0,81 3,17 22 Hiptage benghalensis Malphigiaceae 0,55 2,04 0,55 3,13 23 Leea angulata Leeaceae 0,55 1,83 0,55 2,93 24 Syzygium pycnanthum Myrtaceae 0,61 1,70 0,61 2,91 25 Flagellaria indica Flagellariaceae 0,46 1,70 0,46 2,61 26 Amorphophallus blumei Araceae 0,50 1,49 0,50 2,50 27 Clausena hermandiana Rutaceae 0,67 1,15 0,67 2,49 28 Pharleria octandra Thymelaceae 0,59 1,22 0,59 2,41 29 Salvia riparia Lamiaceae 0,93 0,54 0,93 2,40 30 Bidens pilosa Asteraceae 1,17 0,14 1,17 2,48 31 Adianthum sp Adianthaceae 1,05 0,20 1,05 2,30 32 Microcos tomentosa Tilliaceae 0,44 1,29 0,44 2,17 33 Christella arida Thelypteridaceae 0,46 1,09 0,46 2,00 34 Achyranthes aspera Amaranthaceae 0,64 0,68 0,64 1,96 35 Allophylus cobbe Sapindaceae 0,39 1,15 0,39 1,94 36 Ficus montana Moraceae 0,70 0,48 0,70 1,87 37 Anadenanthera peregrina Mimosaceae 0,73 0,41 0,73 1,87 38 Schoutenia ovata Sterculiaceae 0,62 0,61 0,62 1,86 39 Gymnema reticulatum Asclepiadaceae 0,32 1,09 0,32 1,72 40 Alectryon serratus Sapindaceae 0,35 1,02 0,35 1,72 41 Cordilyne sp Agavaceae 0,35 1,02 0,35 1,72 42 Ficus hispida Moraceae 0,29 0,95 0,29 1,53

124 106 No Jenis Suku KR(%) FR(%) DR(%) INP(%) 43 Mischocarpus sundaicus Sapindaceae 0,38 0,68 0,38 1,44 44 Dovyalis caffra Flacourtiaceae 0,27 0,88 0,27 1,43 45 Dysoxylum gaudichaudianum Meliaceae 0,24 0,88 0,24 1,37 46 Centrosema pubescens Papilionaceae 0,44 0,48 0,44 1,36 47 Combretum sp Combretaceae 0,35 0,61 0,35 1,31 48 Flacourtia rukam Flacourticeae 0,23 0,82 0,23 1,27 49 Syzygium racemosum Myrtaceae 0,26 0,75 0,26 1,26 50 Deeringia amaranthoides Amaranthaceae 0,29 0,68 0,29 1,26 51 Rauvolfia verticillata Apocynaceae 0,29 0,68 0,29 1,26 52 Ardisia humilis Myrsinaceae 0,21 0,82 0,21 1,24 53 Ixora nigricans Rubiaceae 0,21 0,82 0,21 1,24 54 Cayratia trifolia Vittaceae 0,23 0,75 0,23 1,20 55 Xanthosoma gigantea Araceae 0,29 0,61 0,29 1,19 56 Eupatorium inulifolium Asteraceae 0,52 0,14 0,52 1,17 57 Protium javanicum Burseraceae 0,20 0,75 0,20 1,14 58 Microlepia spelunce Dennstaedtiaceae 0,26 0,61 0,26 1,13 59 Amorphophallus variabilis Araceae 0,18 0,61 0,18 0,98 60 Stephania japonica Menispermiaceae 0,15 0,61 0,15 0,92 61 Emblica officinalis Euphorbiaceae 0,23 0,41 0,23 0,86 62 Orophea enneandra Annonaceae 0,26 0,34 0,26 0,86 63 Trivalvaria macrophylla Annonaceae 0,18 0,48 0,18 0,84 64 Jasminum multiflorum Oleaceae 0,14 0,54 0,14 0,82 65 Blumeodendron kurzii Euphorbiaceae 0,17 0,48 0,17 0,81 66 Ixora javanica Rubiaceae 0,12 0,54 0,12 0,79 67 Canthium glabrum Rubiaceae 0,15 0,48 0,15 0,78 68 Tinospora crispa Menispermiaceae 0,18 0,34 0,18 0,70 69 Urtica sp Urticaceae 0,21 0,27 0,21 0,70 70 Mitrephora polypyrena Annonaceae 0,14 0,41 0,14 0,68 71 Urena lobata Malvaceae 0,18 0,27 0,18 0,64 72 Psichotria sp Rubiaceae 0,20 0,20 0,20 0,60 73 Donax cannaeformis Maranthaceae 0,23 0,14 0,23 0,59 74 Capparis micrantha Capparidaceae 0,09 0,41 0,09 0,59 75 Pittosporum moluccanum Pittosporaceae 0,09 0,41 0,09 0,59 76 Clerodendrum buchanani Verbenaceae 0,12 0,34 0,12 0,58 77 Sena multijuga Caesalpiniaceae 0,12 0,34 0,12 0,58 78 Momordica charantia Cucurbitaceae 0,15 0,27 0,15 0,58 79 Croton argyratus Euphorbiaceae 0,11 0,34 0,11 0,55 80 Calamus sp Arecaceae 0,14 0,27 0,14 0,55 81 Abrus precatorius Papilionaceae 0,17 0,20 0,17 0,54 82 Pavetta indica Rubiaceae 0,09 0,34 0,09 0,52 83 Ziziphus oeniphlia Rhamnaceae 0,09 0,34 0,09 0,52 84 Aglaia lowii Meliaceae 0,08 0,34 0,08 0,49 85 Kleinhovia hospita Sterculiaceae 0,08 0,34 0,08 0,49

125 107 No Jenis Suku KR(%) FR(%) DR(%) INP(%) 86 Solanum verbascifolium Solanaceae 0,08 0,34 0,08 0,49 87 Ardisia fuliginosa Myrsinaceae 0,11 0,27 0,11 0,48 88 Hyptis rhombiodea Lamiaceae 0,11 0,27 0,11 0,48 89 Pteris mertensioides Pteridaceae 0,18 0,07 0,18 0,43 90 Arcangelesia flava Menispermiaceae 0,08 0,27 0,08 0,42 91 Cassia fistula Caesalpiniaceae 0,08 0,27 0,08 0,42 92 Acalypha amantaceae Euphorbiaceae 0,11 0,20 0,11 0,42 93 Dioscorea hispida Dioscoreaceae 0,11 0,20 0,11 0,42 94 Thunbergia alata Acanthaceae 0,11 0,20 0,11 0,42 95 Phyllanthus reticulatus Euphorbiaceae 0,09 0,20 0,09 0,39 96 Drypetes longifolia Euphorbiaceae 0,08 0,20 0,08 0,36 97 Lygodium circinnatum Schizaeaceae 0,08 0,20 0,08 0,36 98 Sauropus androgynus Euphorbiaceae 0,08 0,20 0,08 0,36 99 Arytera sp Sapindaceae 0,05 0,20 0,05 0, Croton caudatus Euphorbiaceae 0,05 0,20 0,05 0, Gynandropsis pentapylla Cleomaceae 0,05 0,20 0,05 0, Harrisonia perforate Simarobaceae 0,05 0,20 0,05 0, Melicope latifolia Rutaceae 0,05 0,20 0,05 0, Murraya paniculata Rutaceae 0,05 0,20 0,05 0, Syzygium polyanthum Myrtaceae 0,05 0,20 0,05 0, Polyalthia sp Annonaceae 0,08 0,14 0,08 0, Jatropha curcas Euphorbiaceae 0,06 0,14 0,06 0, Oroxylum indicum Bignoniaceae 0,06 0,14 0,06 0, Tabernaemontana sphaerocarpa Apocynaceae 0,06 0,14 0,06 0, Tetrameles nudiflora Datiscaceae 0,06 0,14 0,06 0, Thespesia lampas Malvaceae 0,06 0,14 0,06 0, Clerodendrum serratum Verbenaceae 0,05 0,14 0,05 0, Glochidion molle Euphorbiaceae 0,05 0,14 0,05 0, Scheichera oleosa Sapindaceae 0,05 0,14 0,05 0, Thunbergia erecta Acanthaceae 0,05 0,14 0,05 0, Typhonium trilobatum Araceae 0,05 0,14 0,05 0, Zingiber amaricans Zingiberaceae 0,05 0,14 0,05 0, Alangium chinense Alangiaceae 0,03 0,14 0,03 0, Annona muricata Annonaceae 0,03 0,14 0,03 0, Aphanamixis grandifolia Meliaceae 0,03 0,14 0,03 0, Aspidopterys elliptica Malphigiaceae 0,03 0,14 0,03 0, Brucea javanica Simarobaceae 0,03 0,14 0,03 0, Buchanania arborescens Anacardiaceae 0,03 0,14 0,03 0, Capsicum frutescens Solanaceae 0,03 0,14 0,03 0, Celtis philippensis Ulmaceae 0,03 0,14 0,03 0, Helictretes hirsuta Sterculiaceae 0,03 0,14 0,03 0, Heritiera javanica Sterculiaceae 0,03 0,14 0,03 0, Hypoestes polythyrsa Acanthaceae 0,03 0,14 0,03 0,20

126 108 No Jenis Suku KR(%) FR(%) DR(%) INP(%) 129 Murraya koenighii Rutaceae 0,03 0,14 0,03 0, Olax scandens Olacaceae 0,03 0,14 0,03 0, Eupatorium riparium Asteraceae 0,05 0,07 0,05 0, Litsea sp Lauraceae 0,05 0,07 0,05 0, Pipturus argenteus Urticaceae 0,05 0,07 0,05 0, Antiaris toxicaria Moraceae 0,03 0,07 0,03 0, Carallia brachiata Rhizophoraceae 0,03 0,07 0,03 0, Cyperus sp Cyperaceae 0,03 0,07 0,03 0, Homalomena cordata Araceae 0,03 0,07 0,03 0, Lygodium flexuosum Schizaeaceae 0,03 0,07 0,03 0, Aglaia sp Meliaceae 0,02 0,07 0,02 0, Alangium javanicum Alangiaceae 0,02 0,07 0,02 0, Bauhinia binata Caesalpiniaceae 0,02 0,07 0,02 0, Breynia sp Euphorbiaceae 0,02 0,07 0,02 0, Bridelia stipularis Euphorbiaceae 0,02 0,07 0,02 0, Canthium dicocum Rubiaceae 0,02 0,07 0,02 0, Caryota mitis Arecaceae 0,02 0,07 0,02 0, Chrysophyllum cainito Sapotaceae 0,02 0,07 0,02 0, Cordia bantamensis Boraginaceae 0,02 0,07 0,02 0, Diospyros cauliflora Ebenaceae 0,02 0,07 0,02 0, Drypetes macrophylla Euphorbiaceae 0,02 0,07 0,02 0, Licuala sp Arecaceae 0,02 0,07 0,02 0, Melanolephis multiglandulosa Euphorbiaceae 0,02 0,07 0,02 0, Memexylon floribundum Melastomataceae 0,02 0,07 0,02 0, Memexylon myrsinoides Melastomataceae 0,02 0,07 0,02 0, Phyllanthus sp Euphorbiaceae 0,02 0,07 0,02 0, Pittosporum sp Pittosporaceae 0,02 0,07 0,02 0, Polyscias nudosa Araliaceae 0,02 0,07 0,02 0, Solanum scaforthianum Solanaceae 0,02 0,07 0,02 0, Sterculia foetida Sterculiaceae 0,02 0,07 0,02 0, Streblus spinosus Moraceae 0,02 0,07 0,02 0, Swietenia mahagoni Meliaceae 0,02 0,07 0,02 0, Widelia trilobata Asteraceae 0,02 0,07 0,02 0, Zingiber aromaticum Zingiberaceae 0,02 0,07 0,02 0, Cardiospermum halicacabum Sapindaceae 0,05 0,14 0,05 0,23 100,00 100,00 100,00 300,00 Keterangan: KR=Kerapatan Relatif (%), FR=Frekuensi Relatif (%), DR=Dominansi Relatif (%), INP=Indeks Nilai Penting (%)

127 109 Lampiran 3 Indeks Nilai Penting (INP) tingkat pancang No Jenis Suku KR(%) FR(%) DR(%) INP(%) 1 Tithonia diversifolia Asteraceae 39,22 1,70 39,21 80,13 2 Streblus asper Moraceae 11,25 12,83 11,25 35,32 3 Voacanga grandifolia Apocynaceae 5,99 9,42 5,98 21,39 4 Lepisanthes rubiginosum Sapindaceae 4,13 7,85 4,13 16,11 5 Syzygium pycnanthum Myrtaceae 3,61 4,58 3,61 11,80 6 Capparis micrantha Capparidaceae 1,91 4,58 1,91 8,40 7 Microcos tomentosa Tilliaceae 2,32 3,40 2,32 8,05 8 Schoutenia ovata Sterculiaceae 3,04 1,83 3,04 7,92 9 Alectryon serratus Sapindaceae 1,70 3,01 1,70 6,42 10 Syzygium racemosum Myrtaceae 1,81 2,75 1,81 6,36 11 Ficus hispida Moraceae 1,19 2,49 1,19 4,86 12 Canthium glabrum Rubiaceae 1,29 1,70 1,29 4,28 13 Protium javanicum Burseraceae 0,77 1,96 0,77 3,51 14 Litsea glutinosa Lauraceae 0,88 1,70 0,88 3,46 15 Tabernaemontana Apocynaceae 0,83 1,70 0,83 3,35 sphaerocarpa 16 Jatropha curcas Euphorbiaceae 1,34 0,65 1,34 3,34 17 Dovyalis caffra Flacourtiaceae 1,08 1,05 1,08 3,21 18 Aglaia lowii Meliaceae 0,62 1,44 0,62 2,68 19 Allophylus cobbe Sapindaceae 0,77 1,05 0,77 2,59 20 Solanum verbascifolium Solanaceae 0,77 1,05 0,77 2,59 21 Daemonorops sp Arecaceae 0,67 1,18 0,67 2,52 22 Leea angulata Leeaceae 0,67 1,18 0,67 2,52 23 Wrightia tomentosa Apocynaceae 0,57 1,31 0,57 2,44 24 Diospyros cauliflora Ebenaceae 0,57 1,05 0,57 2,18 25 Cordyline sp Agavaceae 0,46 1,05 0,46 1,98 26 Melicope latifolia Rutaceae 0,46 1,05 0,46 1,98 27 Aphanamixis grandifolia Meliaceae 0,41 1,05 0,41 1,87 28 Flacourtia rukam Flacourtiaceae 0,41 1,05 0,41 1,87 29 Alangium chinense Alangiaceae 0,46 0,92 0,46 1,84 30 Orophea enneandra Annonaceae 0,52 0,79 0,52 1,82 31 Murraya paniculata Rutaceae 0,36 0,92 0,36 1,64 32 Ardisia fuliginosa Myrsinaceae 0,46 0,65 0,46 1,58 33 Alstonia scholaris Apocynaceae 0,31 0,79 0,31 1,40 34 Dysoxylum Meliaceae 0,31 0,79 0,31 1,40 gaudichaudianum 35 Hiptage benghalensis Malphigiaceae 0,31 0,79 0,31 1,40 36 Ixora nigricans Rubiaceae 0,31 0,79 0,31 1,40 37 Melanolephis Euphorbiaceae 0,36 0,65 0,36 1,38 multiglandulosa 38 Ardisia humilis Myrsinaceae 0,26 0,65 0,26 1,17 39 Buchanania arborescens Anacardiaceae 0,26 0,65 0,26 1,17 40 Memexylon myrsinoides Melastomataceae 0,26 0,65 0,26 1,17 41 Mitrephora polypyrena Annonaceae 0,26 0,65 0,26 1,17

128 110 No Jenis Suku KR(%) FR(%) DR(%) INP(%) 42 Senna multijuga Caesalpiniaceae 0,31 0,52 0,31 1,14 43 Kleinhovia hospita Sterculiaceae 0,26 0,52 0,26 1,04 44 Emblica officinalis Euphorbiaceae 0,21 0,52 0,21 0,94 45 Oroxylum indicum Bignoniaceae 0,21 0,52 0,21 0,94 46 Pharleria octandra Thymelaeaceae 0,31 0,26 0,31 0,88 47 Blumeodendron kurzii Euphorbiaceae 0,21 0,39 0,21 0,81 48 Albizia lebbekoides Mimosaceae 0,15 0,39 0,15 0,70 49 Anadenanthera peregrine Mimosaceae 0,15 0,39 0,15 0,70 50 Clerodendrum serratum Verbenaceae 0,15 0,39 0,15 0,70 51 Glochidion molle Euphorbiaceae 0,15 0,39 0,15 0,70 52 Pipturus argenteus Urticaceae 0,15 0,39 0,15 0,70 53 Polyalthia sp Annonaceae 0,15 0,39 0,15 0,70 54 Tetrameles nudiflora Ditiscaceae 0,15 0,39 0,15 0,70 55 Vitex trifolia Verbenaceae 0,15 0,39 0,15 0,70 56 Olax scandens Olacaceae 0,21 0,26 0,21 0,67 57 Uropea eniandra Annonaceae 0,21 0,26 0,21 0,67 58 Glochidion sp Euphorbiaceae 0,26 0,13 0,26 0,65 59 Casearia sp Fagaceae 0,15 0,26 0,15 0,57 60 Cassia fistula Caesalpiniaceae 0,15 0,26 0,15 0,57 61 Mischocarpus sundaicus Sapindaceae 0,15 0,26 0,15 0,57 62 Abelmoschus moschatus Malvaceae 0,10 0,26 0,10 0,47 63 Adenanthera pavonina Mimosaceae 0,10 0,26 0,10 0,47 64 Celtis philippensis Ulmaceae 0,10 0,26 0,10 0,47 65 Clausena hermandiana Rutaceae 0,10 0,26 0,10 0,47 66 Croton caudatus Euphorbiaceae 0,10 0,26 0,10 0,47 67 Drypetes longifolia Euphorbiaceae 0,10 0,26 0,10 0,47 68 Garcinia sp Clusiaceae 0,10 0,26 0,10 0,47 69 Lagerstroemia speciosa Lytheraceae 0,10 0,26 0,10 0,47 70 Magnolia candolii Magnoliaceae 0,10 0,26 0,10 0,47 71 Pittosporum moluccanum Pittosporaceae 0,10 0,26 0,10 0,47 72 Raouvolfia verticillata Apocynaceae 0,10 0,26 0,10 0,47 73 Sumbaviopsis albicans Euphorbiaceae 0,10 0,26 0,10 0,47 74 Swietenia mahagoni Meliaceae 0,10 0,26 0,10 0,47 75 Trivalvaria macrophylla Annonaceae 0,10 0,26 0,10 0,47 76 Sapindus rarak Sapindaceae 0,10 0,13 0,10 0,34 77 Adenanthera sp Mimosaceae 0,05 0,13 0,05 0,23 78 Allophylus glaber Sapindaceae 0,05 0,13 0,05 0,23 79 Antidesma bunius Euphorbiaceae 0,05 0,13 0,05 0,23 80 Artabotris uncinatus Annonaceae 0,05 0,13 0,05 0,23 81 Artocarpus elasticus Moraceae 0,05 0,13 0,05 0,23 82 Arytera sp Sapindaceae 0,05 0,13 0,05 0,23 83 Brucea javanica Simarobaceae 0,05 0,13 0,05 0,23 84 Caryota mitis Arecaceae 0,05 0,13 0,05 0,23 85 Chrysophyllum cainito Sapotaceae 0,05 0,13 0,05 0,23 86 Diopsyros macrophylla Ebenaceae 0,05 0,13 0,05 0,23

129 111 No Jenis Suku KR(%) FR(%) DR(%) INP(%) 87 Dracontomelon dao Anacardiacee 0,05 0,13 0,05 0,23 88 Eupatorium inulifolium Asteraceae 0,05 0,13 0,05 0,23 89 Ficus callosa Moraceae 0,05 0,13 0,05 0,23 90 Garuga floribunda Burseraceae 0,05 0,13 0,05 0,23 91 Glochidion obscurum Euphorbiaceae 0,05 0,13 0,05 0,23 92 Harrisonia perforate Simarubaceae 0,05 0,13 0,05 0,23 93 Helictretes hirsuta Sterculiaceae 0,05 0,13 0,05 0,23 94 Ixora javanica Rubiaceae 0,05 0,13 0,05 0,23 95 Lantana camara Verbenaceae 0,05 0,13 0,05 0,23 96 Microlepia spelunce Dennstaedtiaceae 0,05 0,13 0,05 0,23 97 Pterocymbium javanicum Sterculiaceae 0,05 0,13 0,05 0,23 98 Scheichera oleosa Sapindaceae 0,05 0,13 0,05 0,23 99 Streblus spinosus Moraceae 0,05 0,13 0,05 0, Syzygium polyanthum Myrtaceae 0,05 0,13 0,05 0, Terminalia microcarpa Combretaceae 0,05 0,13 0,05 0, Thespesia lampas Malvaceae 0,05 0,13 0,05 0, Ziziphus oeniphlia Rhamnaceae 0,05 0,13 0,05 0,23 100,00 100,00 100,00 300,00 Keterangan: KR=Kerapatan Relatif (%), FR=Frekuensi Relatif (%), DR=Dominansi Relatif (%), INP=Indeks Nilai Penting (%)

130 112 Lampiran 4 Indeks Nilai Penting (INP) tingkat tiang No Jenis Suku KR(%) FR(%) DR(%) INP(%) 1 Streblus asper Moraceae 20,47 17,22 19,51 57,20 2 Syzygium pycnanthum Myrtaceae 9,77 8,46 9,43 27,66 3 Voacanga grandifolia Apocynaceae 7,21 7,55 6,53 21,29 4 Microcos tomentosa Tilliaceae 6,05 6,65 5,91 18,60 5 Schoutenia ovata Sterculiaceae 6,28 3,32 7,14 16,74 6 Syzygium racemosum Myrtaceae 3,26 3,93 3,20 10,38 7 Ficus hispida Moraceae 3,02 2,72 3,40 9,14 8 Litsea glutinosa Lauraceae 2,09 2,42 2,10 6,61 9 Pittosporum moluccanum Pittosporaceae 2,09 1,81 2,44 6,35 10 Protium javanicum Burseraceae 1,86 2,42 1,92 6,20 11 Tabernaemontana Apocynaceae 2,33 2,42 1,40 6,14 sphaerocarpa 12 Wrightia tomentosa Apocynaceae 1,63 2,11 2,09 5,83 13 Syzygium litorale Myrtaceae 1,63 2,11 1,89 5,63 14 Canthium glabrum Rubiaceae 2,09 1,21 1,94 5,24 15 Emblica officinalis Euphorbiaceae 1,40 1,81 1,55 4,76 16 Alectryon serratus Sapindaceae 1,40 1,51 1,50 4,40 17 Flacourtia rukam Flacourtiaceae 1,40 1,51 1,50 4,40 18 Jatropha curcas Euphorbiaceae 1,40 1,21 1,41 4,02 19 Buchanania arborescens Anacardiaceae 1,16 1,51 0,99 3,67 20 Albizia lebbekoides Mimosaceae 1,16 1,21 1,20 3,57 21 Oroxylum indicum Bignoniaceae 0,93 1,21 1,13 3,27 22 Dysoxylum Meliaceae 0,93 1,21 1,03 3,17 gaudichaudianum 23 Pterocymbium javanicum Sterculiaceae 0,93 1,21 1,01 3,15 24 Scheichera oleosa Sapindaceae 0,93 1,21 0,99 3,13 25 Aphanamixis grandifolia Meliaceae 0,93 1,21 0,84 2,98 26 Casearia sp Fagaceae 0,93 0,91 1,04 2,88 27 Cassia fistula Caesalpiniaeae 0,93 0,91 0,89 2,73 28 Melicope latifolia Rutaceae 0,70 0,91 0,82 2,43 29 Glochidion molle Euphorbiaceae 0,70 0,91 0,77 2,38 30 Garuga floribunda Burseraceae 0,70 0,91 0,76 2,36 31 Cinnamomum sintoc Lauraceae 0,70 0,91 0,69 2,29 32 Annona reticulata Annonaceae 0,70 0,91 0,67 2,28 33 Syzygium polyanthum Myrtaceae 0,70 0,91 0,66 2,26 34 Daemonorops sp Arecaceae 0,93 0,60 0,71 2,24 35 Capparis micrantha Capparidaceae 0,70 0,91 0,59 2,19 36 Diospyros cauliflora Ebenaceae 0,70 0,30 0,79 1,79 37 Canthium dicocum Rubiaceae 0,47 0,60 0,52 1,59 38 Arytera sp Sapindaceae 0,47 0,60 0,49 1,56 39 Senna multijuga Caesalpiniaceae 0,47 0,60 0,47 1,54 40 Melanolephis Euphorbiaceae 0,47 0,60 0,44 1,51 multiglandulosa 41 Murraya paniculata Rutaceae 0,47 0,60 0,44 1,51

131 113 No Jenis Suku KR(%) FR(%) DR(%) INP(%) 42 Sterculia cordata Sterculiaceae 0,47 0,60 0,44 1,51 43 Memexylon myrsinoides Melastomataceae 0,47 0,60 0,37 1,44 44 Polyaulax cylindrocarpa Annonaceae 0,47 0,30 0,40 1,17 45 Polyscias nudosa Araliaceae 0,23 0,30 0,32 0,85 46 Sapindus rarak Sapindaceae 0,23 0,30 0,32 0,85 47 Acalypha amantaceae Euphrbiaceae 0,23 0,30 0,30 0,84 48 Croton sp Euphorbiaceae 0,23 0,30 0,30 0,84 49 Scolophia spinosa Flacourtiaceae 0,23 0,30 0,30 0,84 50 Syzygium cumini Myrtaceae 0,23 0,30 0,30 0,84 51 Celtis philippensis Ulmaceae 0,23 0,30 0,29 0,82 52 Diopsyros macrophylla Ebenaceae 0,23 0,30 0,29 0,82 53 Pittosporum sp Pittosporaceae 0,23 0,30 0,29 0,82 54 Artocarpus heterophyllus Moraceae 0,23 0,30 0,27 0,80 55 Terminalia microcarpa Combretaceae 0,23 0,30 0,27 0,80 56 Barringtonia acutangula Lecythidaceae 0,23 0,30 0,25 0,79 57 Parkia timoriana Mimosaceae 0,23 0,30 0,25 0,79 58 Adenanthera pavonina Mimosaceae 0,23 0,30 0,24 0,77 59 Alstonia scholaris Apocynaceae 0,23 0,30 0,24 0,77 60 Alstonia spectabilis Apocynaceae 0,23 0,30 0,24 0,77 61 Aglaia sp Meliaceae 0,23 0,30 0,20 0,74 62 Ardisia fuliginosa Myrsinaceae 0,23 0,30 0,20 0,74 63 Kleinhovia hospita Sterculiaceae 0,23 0,30 0,20 0,74 64 Sterculia coccinea Sterculiaceae 0,23 0,30 0,20 0,74 65 Antidesma bunius Euphorbiaceae 0,23 0,30 0,19 0,72 66 Drypetes macrophylla Euphorbiaceae 0,23 0,30 0,19 0,72 67 Vitex trifolia Verbenaceae 0,23 0,30 0,19 0,72 68 Lepisanthes rubiginosum Sapindaceae 0,23 0,30 0,17 0,70 100,00 100,00 100,00 300,00 Keterangan: KR=Kerapatan Relatif (%), FR=Frekuensi Relatif (%), DR=Dominansi Relatif (%), INP=Indeks Nilai Penting (%)

132 114 Lampiran 5 Indeks Nilai Penting (INP) tingkat pohon N0 Jenis Suku KR(%) FR(%) DR(%) INP(%) 1 Ficus hispida Moraceae 8,37 8,11 5,79 22,27 2 Schoutenia ovata Sterculiaceae 9,67 3,66 7,26 20,59 3 Syzygium pycnanthum Myrtaceae 7,55 3,97 5,75 17,27 4 Streblus asper Moraceae 5,31 5,88 3,79 14,98 5 Microcos tomentosa Tilliaceae 4,83 5,25 3,87 13,95 6 Garuga floribunda Burseraceae 3,77 4,61 4,34 12,72 7 Ficus racemosa Moraceae 1,65 1,91 7,12 10,68 8 Emblica officinalis Euphorbiaceae 4,01 3,34 3,20 10,54 9 Litsea glutinosa Lauraceae 3,77 3,66 2,73 10,16 10 Albizia lebbekoides Mimosaceae 2,95 3,34 2,50 8,78 11 Artocarpus elasticus Moraceae 2,24 2,23 3,83 8,30 12 Dysoxylum Meliaceae 2,24 2,23 2,00 6,46 gaudichaudianum 13 Pittosporum moluccanum Pittosporaceae 2,00 2,23 1,41 5,64 14 Alstonia scholaris Apocynaceae 1,42 1,91 2,12 5,45 15 Wrightia tomentosa Apocynaceae 1,89 1,91 1,58 5,38 16 Protium javanicum Burseraceae 1,89 1,91 1,51 5,30 17 Cassia fistula Caesalpiniaceae 1,65 2,07 1,52 5,24 18 Pterocymbium javanicum Sterculiaceae 1,53 1,75 1,76 5,05 19 Sphatodea campanulata Bignoniaceae 1,30 1,59 2,00 4,89 20 Ficus retusa Moraceae 0,71 0,95 2,92 4,58 21 Oroxylum indicum Bignoniaceae 1,65 1,59 1,19 4,44 22 Tabernaemontana Apocynaceae 1,65 1,59 1,09 4,33 sphaerocarpa 23 Antidesma bunius Myrsinaceae 1,18 1,43 1,30 3,91 24 Vitex trifolia Verbenaceae 1,18 1,27 1,06 3,51 25 Tetrameles nudiflora Datiscaceae 0,71 0,95 1,68 3,34 26 Syzygium litorale Myrtaceae 1,18 1,27 0,84 3,29 27 Erythrina orientalis Papilionaceae 0,94 1,11 1,11 3,17 28 Alectryon serratus Sapindaceae 1,06 1,43 0,65 3,14 29 Scheichera oleosa Sapindaceae 0,94 1,27 0,79 3,00 30 Buchanania arborescens Anacardiaceae 0,94 1,27 0,71 2,92 31 Anadenanthera peregrina Mimosaceae 0,71 0,95 1,25 2,91 32 Syzygium racemosum Myrtaceae 0,94 1,11 0,73 2,78 33 Casearia sp Fagaceae 1,06 0,79 0,63 2,49 34 Erythrina fusca Papilionaceae 0,71 0,64 1,05 2,39 35 Parkia timoriana Mimosaceae 0,47 0,64 1,21 2,32 36 Sterculia coccinea Sterculiaceae 0,71 0,79 0,66 2,16 37 Ficus virens Moraceae 0,47 0,64 0,79 1,90 38 Senna multijuga Caesalpiniaceae 0,59 0,79 0,34 1,72 39 Kleinhovia hospita Sterculiaceae 0,59 0,64 0,44 1,66 40 Bombax ceiba Bombacaceae 0,35 0,48 0,78 1,61 41 Diopsyros macrophylla Ebenaceae 0,47 0,64 0,44 1,55 42 Melicope latifolia Rutaceae 0,47 0,64 0,40 1,51

133 115 N0 Jenis Suku KR(%) FR(%) DR(%) INP(%) 43 Ficus variegata Moraceae 0,35 0,48 0, Sterculia macrophylla Sterculiaceae 0,35 0,48 0,63 1,46 45 Syzygium cumini Myrtaceae 0,59 0,48 0,39 1,46 46 Adenanthera pavonina Mimosaceae 0,47 0,48 0,50 1,45 47 Antiaris toxicaria Moraceae 0,47 0,48 0,48 1,43 48 Sterculia foetida Sterculiaceae 0,24 0,32 0,86 1,42 49 Melanolephis Euphorbiaceae 0,47 0,64 0,28 1,39 multiglandulosa 50 Ficus benjamina Moraceae 0,24 0,32 0,79 1,34 51 Celtis philippensis Ulmaceae 0,35 0,48 0,46 1,29 52 Ficus callosa Moraceae 0,24 0,32 0,71 1,27 53 Callicarpa hexandra Verbenaceae 0,35 0,48 0,35 1,18 54 Lagerstroemia speciosa Lytheraceae 0,35 0,48 0,32 1,15 55 Aphanamixis grandifolia Meliaceae 0,35 0,48 0,24 1,07 56 Dillenia pentagyna Dilleniaceae 0,12 0,16 0,77 1,04 57 Voacanga grandifolia Apocynaceae 0,35 0,48 0,18 1,01 58 Lannea coromandelica Anacardiaceae 0,35 0,32 0,31 0,98 59 Gluta renghas Anacardiaceae 0,24 0,32 0,38 0,93 60 Pittosporum sp Pittosporaceae 0,24 0,32 0,25 0,81 61 Alstonia spectabilis Apocynaceae 0,24 0,32 0,23 0,79 62 Ficus drupacea Moraceae 0,12 0,16 0,50 0,77 63 Cinnamomum sintoc Lauraceae 0,24 0,32 0,20 0,76 64 Glochidion molle Euphorbiaceae 0,24 0,32 0,15 0,71 65 Sapindus rarak Sapindaceae 0,24 0,32 0,14 0,69 66 Canthium glabrum Rubiaceae 0,24 0,32 0,13 0,69 67 Mitrephora polypyrena Annonaceae 0,24 0,32 0,13 0,69 68 Alangium chinense Alangiaceae 0,24 0,32 0,12 0,68 69 Memexylon myrsinoides Melastomataceae 0,24 0,32 0,12 0,68 70 Murraya paniculata Rutaceae 0,24 0,32 0,12 0,67 71 Flacourtia rukam Flacourtiaceae 0,24 0,32 0,11 0,66 72 Ficus elastica Moraceae 0,12 0,16 0,30 0,57 73 Ficus septica Moraceae 0,24 0,16 0,12 0,52 74 Elaeocarpus sp Elaeocarpaceae 0,12 0,16 0,19 0,47 75 Sterculia sp Sterculiaceae 0,12 0,16 0,16 0,44 76 Mangifera sp Anacardiaceae 0,12 0,16 0,16 0,44 77 Albizia saman Mimosaceae 0,12 0,16 0,15 0,42 78 Pouteria obovata Sapotaceae 0,12 0,16 0,15 0,42 79 Acacia auriculiformis Mimosaceae 0,12 0,16 0,14 0,41 80 Albizia procera Mimosaceae 0,12 0,16 0,13 0,41 81 Canthium dicocum Rubiaceae 0,12 0,16 0,12 0,40 82 Syzygium samarangense Myrtaceae 0,12 0,16 0,12 0,40 83 Annona reticulata Annonaceae 0,12 0,16 0,12 0,39 84 Harpullia arborea Sapindaceae 0,12 0,16 0,12 0,39 85 Butea monosperma Papilionaceae 0,12 0,16 0,11 0,38 86 Dehaasia caesia Lauraceae 0,12 0,16 0,11 0,38

134 116 N0 Jenis Suku KR(%) FR(%) DR(%) INP(%) 87 Acalypha amantaceae Euphorbiaceae 0,12 0,16 0,10 0,38 88 Mischocarpus sundaicus Sapindaceae 0,12 0,16 0,10 0,38 89 Senna spectabilis Caesalpiniaceae 0,12 0,16 0,10 0,38 90 Spondias cytherea Anacardiaceae 0,12 0,16 0,10 0,38 91 Cordia bantamensis Boraginaceae 0,12 0,16 0,08 0,36 92 Polyalthia lateriflora Annonaceae 0,12 0,16 0,08 0,36 93 Carallia brachiata Rhizoporaceae 0,12 0,16 0,08 0,35 94 Zanthoxylum scandens Rutaceae 0,12 0,16 0,07 0,35 95 Bridelia glauca Euphorbiaceae 0,12 0,16 0,07 0,34 96 Diospyros cauliflora Ebenaceae 0,12 0,16 0,06 0,34 97 Lepisanthes rubiginosum Sapindaceae 0,12 0,16 0,06 0,34 98 Jatropha curcas Euphorbiaceae 0,12 0,16 0,06 0,34 99 Leea angulata Leeaceae 0,12 0,16 0,06 0, Lophopetalum javanicum Verbenaceae 0,12 0,16 0,06 0, Pipturus argenteus Urticaceae 0,12 0,16 0,06 0,34 100,00 100,00 100,00 300,00 Keterangan: KR=Kerapatan Relatif (%), FR=Frekuensi Relatif (%), DR=Dominansi Relatif (%), INP=Indeks Nilai Penting (%)

135 117 Lampiran 6 Indeks Nilai Penting (INP) bambu No Jenis Suku KR(%) FR(%) DR(%) INP(%) 1 Bambusa blumeana Poaceae 63,74 76,05 85,34 225,13 2 Schizostachyum zollingeri Poaceae 24,32 11,38 10,39 46,09 3 Schizostachyum iraten Poaceae 9,21 5,99 2,95 18,15 4 Dendrocalamus asper Poaceae 1,29 2,99 0,61 4,89 5 Bambusa vulgaris Poaceae 1,01 2,99 0,42 4,42 6 Giganthocloa apus Poaceae 0,43 0,60 0,28 1,31 100,00 100,00 100,00 300,00 Keterangan: KR=Kerapatan Relatif (%), FR=Frekuensi Relatif (%), DR=Dominansi Relatif (%), INP=Indeks Nilai Penting (%)

136 118 Lampiran 7 Rata-rata nilai faktor lingkungan petak pengamatan pada masing-masing lokasi blok pengamatan Blok Luas bmb Jml jns sm Jml ind sm Jml jns pnc Jml ind pnc Jml jns tg Jml ind tg Jml jns phn Jml ind phn 1 17,74 5,46 16,12 2,98 4,12 0,94 1,22 1,48 1,86 1,04 3, ,32 29,79 78,08 5,97 97,00 39,16 403,20 2 7,03 6,68 22,22 3,56 4,94 1,72 2,12 3,86 5,50 0,54 1, ,22 29,92 76,28 6,06 92,28 31,73 424,28 3 7,12 6,24 45,08 2,82 13,64 1,74 2,18 2,66 3,14 0,68 2, ,00 29,55 82,88 5,55 99,96 21,14 341,04 4 6,93 4,92 22,42 2,18 7,34 1,04 1,50 1,76 2,14 0,70 4, ,73 29,76 89,12 5,41 99,60 31,94 257,92 5 5,03 6,20 25,56 3,70 8,68 1,20 1,76 2,90 4,30 0,38 1, ,98 28,33 89,94 5,66 91,90 39,06 357,68 Jml jns bmb Jml ind bmb Lux Suhu udara % udara ph tanah % tanah Lereng (%) Altd (mdpl) Keterangan: Luas bmb=luas rumpun bambu, Jml jns sm=jumlah spesies semai, Jml jns pnc=jumlah spesies pancang, Jml ind pnc=jumlah individu pancang, Jml jns tg=jumlah spesies tiang, Jml ind tg=jumlah individu tiang, Jml jns phn=jumlah individu pohon, Jml ind phn=jumlah individu pohon, Jml jns bmb=jumlah spesies bambu, Jml ind bmb=jumlah rumpun bambu, lux=intensitas cahaya, %udara=kelembaban udara, %tanah=kelembaban tanah, lereng=kelerengan, Altd=ketinggian tempat/altitude.

137 119 Lampiran 8 Data kimia tanah No Blok Titik kedalam (cm) C organik (%) N total (%) C/N Bhn organik (%) P Bray1 mg kg-1 K me/100g Na me/100g Ca me/100g Mg me/100g KTK me/100g Jml basa me/100g KB (%) Fe mg kg-1 Al.dd me/100g ph lembab tnh (%) ,13 0,16 7,00 1,96 0,61 0,87 0,26 5,31 2,12 24,51 8,57 35,00 48,51 tu 6, ,28 0,09 3,00 0,49 tu 0,84 0,29 4,98 3,20 28,12 9,31 33,00 60,45 tu 6, ,12 0,20 6,00 1,93 tu 0,89 0,34 6,98 1,92 27,63 10,14 37,00 90,44 tu 5, ,57 0,11 5,00 0,99 tu 0,92 0,35 6,63 1,25 30,72 9,15 30,00 103,85 tu 5, ,36 0,19 7,00 2,35 0,58 0,48 0,28 9,01 2,72 35,88 12,49 35,00 84,53 tu 6, ,06 0,14 8,00 1,83 0,58 0,84 0,36 12,96 2,05 36,00 16,22 45,00 113,95 tu 6, ,42 0,19 8,00 2,46 u 0,18 2,83 8,19 0,17 27,57 11,37 41,00 43,41 tu 6, ,95 0,11 8,00 1,65 tu 0,05 2,68 7,88 0,70 25,42 11,31 44,00, 65,01 tu 6, ,82 0,19 10,00 3,15 tu 1,77 3,01 8,12 0,72 33,32 13,62 41,00 66,21 tu 6, ,10 0,13 9,00 1,91 tu 2,41 3,08 7,90 0,09 29,27 13,48 46,00 97,61 tu 6, ,48 0,19 8,00 2,56 tu 1,22 2,94 8,50 1,04 30,88 13,70 44,00 61,12 tu 6, ,64 0,08 8,00 1,10 tu 1,68 3,15 7,64 2,73 37,17 15,20 41,00 81,19 tu 6, ,85 0,21 9,00 3,20 tu 0,38 2,78 8,81 4,23 18,59 16,20 87,00 63,95 tu 5, ,17 0,15 8,00 2,02 1,51 0,72 2,91 9,92 1,77 23,37 15,32 66,00 96,92 tu 5, ,48 0,09 5,00 0,83 tu 0,71 2,98 6,52 3,17 51,13 13,39 26,00 110,92 tu 5, ,06 0,22 9,00 3,56 2,26 0,78 0,43 12,08 1,82 43,66 15,11 35,00 76,94 tu 6, ,39 0,05 9,00 0,67 5,68 0,04 0,38 12,96 0,33 39,45 13,72 35,00 63,82 tu 6, ,48 0,19 8,00 2,57 4,15 0,75 2,96 9,37 1,74 33,20 14,82 45,00 97,49 tu 5, ,75 0,11 7,00 1,30 tu 1,14 3,03 7,91 0,70 34,79 12,79 37,00 97,92 tu 5, Jumlah 21,11 2, ,53 15,37 16,67 35,04 161,67 32,47 610,68 245,91 803, ,24 tu 110, rata- 1,11 0, ,92 0,81 0,88 1,84 8,51 1,71 32,14 12,94 42,26 84,04 tu 5,81 89,.58 rata kriteria R R R SR T ST S S T S tu Keterangan: R=rendah, SR=sangat rendah, T=tinggi, ST=sangat tinggi, S=sedang, tu=tidak terukur

138 120 Lampiran 9 Tabel kontingensi berpasangan nilai asosiasi antar spesies pada strata tingkat semai dan tumbuhan bawah (untuk INP > 10%) C. prostata M. cordata P. purpureum P. cubeba T. diversifolia V. grandifolia S. cumini S. litorale S. polyanthum S. pycnanthum S. racemosum S. samarangense C. prostata M. cordata , P. purpureum P. cubeba T. diversifolia , V. grandifolia , S. cumini S. litorale S. polyanthum S. pycnanthum 0-0, ,118 0 S. racemosum ,118 0 S. samarangense

139 121 Lampiran 10 Tabel kontingensi berpasangan nilai asosiasi antar spesies pada strata tingkat pancang (untuk INP > 10%) V. grandifolia L. rubiginosa S. asper T. diversifolia S. pycnantum S. cumini S. litorale S. polyanthum S. racemosum S. samarangense V. grandifolia 0 0 0,091-0, ,011 0 L. rubiginosa 0 0, S. asper 0 0, T. diversifolia 0, S. pycnantum -0, ,120 0 S. cumini S. litorale S. polyanthum S. racemosum -0, , S. samarangense

140 122 Lampiran 11 Tabel kontingensi berpasangan nilai asosiasi antar spesies pada strata tingkat tiang (untuk INP > 10%) S. asper V. grandifolia M. tomentosa S. pycnanthum S. racemosum S. ovata S. cumini S. litorale S. polyanthum S. samarangense S. asper 0,242 0, , V. grandifolia 0, , M. tomentosa 0, , S. pycnanthum 0 0-0,020 0, S. racemosum , S. ovata S. cumini S. litorale 0,085 0, S. polyanthum S. samarangense

141 123 Lampiran 12 Tabel kontingensi berpasangan nilai asosiasi antar spesies pada strata tingkat pohon (untuk INP > 10%) E. oficinalis F. hispida F. racemosa G. floribunda L. glutinosa M. tomentosa E. oficinalis , , F. hispida F. racemosa G. floribunda , L. glutinosa 0, , M. tomentosa , S. ovata 0, ,243 0, S. asper S. cumini S. litorale , ,125 S. polyanthum ,125 0 S. pycnanthum , , ,103 0,040 S. racemosum ,125 0,103 0 S. samarangense , ,040 0 S. ovata S. asper S. cumini S. litorale S. polyanthum S. pycnanthum S. racemosum S. samarangense

142 124 Lampiran 13 Tabel kontingensi berpasangan nilai asosiasi antar spesies bambu dengan Syzygium pada strata pertumbuhan tingkat semai (untuk INP > 10%) B. blumeana S. zollingeri S. iraten D. asper B. vulgaris G. apus S. cumini S. litorale S. polyanthum S. pycnanthum S. racemosum S. samarangense B. blumeana -0, , S. zollingeri -0, , , S. iraten D. asper 0 0, B. vulgaris G. apus 0 0, S. cumini S. litorale S. polyanthum S. pycnanthum 0, ,118 0 S. racemosum ,118 S. samarangense

143 125 Lampiran 14 Tabel kontingensi berpasangan nilai asosiasi antar spesies bambu dengan Syzygium pada strata pertumbuhan tingkat pancang (untuk INP > 10%) B. blumeana S. zollingeri S. iraten D. asper B. vulgaris G. apus S. cumini S. litorale S. polyanthum S. pycnanthum S. racemosum S. samarangense B. blumeana -0, ,175 0,156 0 S. zollingeri -0, , , S. iraten D. asper 0 0, B. vulgaris G. apus 0 0, S. cumini S. litorale S. polyanthum S. pycnanthum 0, ,120 0 S. racemosum 0, ,120 S. samarangense

144 126 Lampiran 15 Tabel kontingensi berpasangan nilai asosiasi antar spesies bambu dengan Syzygium pada strata pertumbuhan tingkat tiang (untuk INP > 10%) B. blumeana S. zollingeri S. iraten D. asper B. vulgaris G. apus S. cumini S. litorale S. polyanthum S. pycnanthum S. racemosum S. samarangense B. blumeana -0, ,085 0 S. zollingeri -0, , , S. iraten D. asper 0 0, B. vulgaris G. apus 0 0, S. cumini S. litorale S. polyanthum S. pycnanthum ,143 0 S. racemosum 0, ,143 S. samarangense

145 127 Lampiran 16 Tabel kontingensi berpasangan nilai asosiasi antar spesies bambu dengan Syzygium pada strata pertumbuhan tingkat pohon (untuk INP > 10%) B. blumeana S. zollingeri S. iraten D. asper B. vulgaris G. apus S. cumini S. litorale S. polyanthum S. pycnanthum S. racemosum S. samarangense B. blumeana -0, S. zollingeri -0, , , S. iraten , D. asper 0 0, B. vulgaris , G. apus 0 0, S. cumini 0 0 0, S. litorale , S. polyanthum S. pycnanthum S. racemosum S. samarangense

146 128 Lampiran 17 Hasil Analisis Komponen Utama untuk faktor lingkungan fisik tempat tumbuh Syzygium Principal Component Analysis: intensitas cahaya (lux), suhu udara ( o C), kelembaban udara (% udara), ph tanah, kelembapan tanah (% tanah), kelerengan (%), altitude (m dpl). PC Eigenvalue % variance Variable Axis 1 Axis 2 Axis 3 Axis 4 Axis 5 Axis 6 Axis 7 Lux suhu_udara %_udara ph_tanah %_tanah Kelerengan Altitude

147 129 Lampiran 18 Hasil Analisis Komponen Utama untuk komponen biotik tempat tumbuh Syzygium Principal Component Analysis: luas rumpun bambu, jumlah individu semai, jumlah individu pancang, jumlah individu tiang, jumlah individu pohon, jumlah rumpun bambu. PC Eigenvalue % variance Variable Axis 1 Axis 2 Axis 3 Axis 4 Axis 5 Axis 6 luas_bmb Jml_ind_sm Jml_ind_pnc Jml_ind_tg Jml_ind_phn Jml_ind_bmb

148 130 Lampiran 19 Hasil analisis regresi linear berganda jumlah Syzygium dan variabel lingkungannya Regression Analysis: Jml Syzygium versus luas rumpun bambu, jumlah individu semai, jumlah individu pancang, jumlah individu tiang, jumlah individu pohon, jumlah rumpun bambu, intensitas cahaya (lux), suhu udara, kelembapan udara, ph tanah, kelembapan tanah, kelerengan, altitude. The regression equation is Jml Syzygium = luas bmb Jml ind sm Jml ind pnc Jml ind tg Jml ind phn Jml ind bmb lux suhu udara % udara ph tanah % tanah Kelerengan Altitude Predictor Coef SE Coef T P VIF Constant luas bmb Jml ind sm Jml ind pnc Jml ind tg Jml ind phn Jml ind bmb lux suhu udara % udara ph tanah % tanah Kelerengan Altitude S = R-Sq = 19.4% R-Sq(adj) = 11.4% Analysis of Variance Source DF SS MS F P Regression Residual Error Total Source DF Seq SS luas bmb Jml ind sm Jml ind pnc Jml ind tg Jml ind phn Jml ind bmb lux suhu udara % udara ph tanah % tanah Kelerengan Altitude Unusual Observations Jml Obs luas bmb Syzygium Fit SE Fit Residual St Resid R R R R R R

149 R R R R R denotes an observation with a large standardized residual. Stepwise Regression: Jumal Syzygium versus luas rumpun bambu, jumlah individu semai, jumlah individu pancang, jumlah individu tiang, jumlah individu pohon, jumlah rumpun bambu, intensitas cahaya (lux), suhu udara, kelembapan udara, ph tanah, kelembapan tanah, kelerengan, altitude. Alpha-to-Enter: 0.05 Alpha-to-Remove: 0.05 Response is Jml Syzygium on 13 predictors, with N = 146 Step 1 2 Constant Altitude T-Value P-Value Jml ind bmb T-Value P-Value S R-Sq R-Sq(adj) Mallows C-p

150 132 Lampiran 20 Korelasi antar variabel Correlations: luas rumpun bambu, jumlah individu semai, jumlah individu pancang, jumlah individu tiang, jumlah individu pohon, jumlah rumpun bambu, intensitas cahaya (lux), suhu udara, kelembapan udara, ph tanah, kelembapan tanah, kelerengan, altitude, jumlah Syzygium. luas bmb Jml ind sm Jml ind pnc Jml ind tg Jml ind sm Jml ind pnc Jml ind tg Jml ind phn Jml ind bmb lux suhu udara % udara ph tanah % tanah Kelerengan Altitude Jml Syzygium Jml ind phn Jml ind bmb lux suhu udara Jml ind bmb lux suhu udara % udara ph tanah

151 133 % tanah Kelerengan Altitude Jml Syzygium % udara ph tanah % tanah Kelerengan ph tanah % tanah Kelerengan Altitude Jml Syzygium Altitude Jml Syzygium Cell Contents: Pearson correlation P-Value

152 134 Lampiran 21 Peta penyebaran Syzygium di TWA Gunung Baung (a) Tampilan Mapsource (b) Tampilan Googleearth a

153 b 135

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Syzygium merupakan marga dari suku Myrtaceae (jambu-jambuan) yang memiliki jumlah spesies yang sangat banyak. Tercatat kurang lebih 1200 spesies Syzygium yang tumbuh

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA

II. TINJAUAN PUSTAKA II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Bioekologi Syzygium 2.1.1. Klasifikasi Syzygium adalah salah satu marga dari suku Myrtaceae. Marga ini memiliki jumlah spesies yang sangat banyak. Tercatat sebanyak kurang lebih

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Bambu merupakan salah satu taksa yang sangat beragam dan mempunyai potensi ekonomi yang tinggi. Bambu termasuk ke dalam anak suku Bambusoideae dalam suku Poaceae. Terdapat

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Pada tahun 1924 kawasan hutan Way Kambas ditetapkan sebagai daerah hutan

II. TINJAUAN PUSTAKA. Pada tahun 1924 kawasan hutan Way Kambas ditetapkan sebagai daerah hutan II. TINJAUAN PUSTAKA A. Taman Nasional Way Kambas Pada tahun 1924 kawasan hutan Way Kambas ditetapkan sebagai daerah hutan lindung. Pendirian kawasan pelestarian alam Way Kambas dimulai sejak tahun 1936

Lebih terperinci

Asrianny, Arghatama Djuan. Laboratorium Konservasi Biologi dan Ekowisata Unhas. Abstrak

Asrianny, Arghatama Djuan. Laboratorium Konservasi Biologi dan Ekowisata Unhas. Abstrak Pola Penyebaran dan Struktur Populasi Eboni (Diospyros celebica Bakh.) di Hutan Pendidikan Universitas Hasanuddin, Kabupaten Maros Propinsi Sulawesi Selatan Asrianny, Arghatama Djuan Laboratorium Konservasi

Lebih terperinci

4 METODE PENELITIAN. Lokasi dan Waktu Penelitian

4 METODE PENELITIAN. Lokasi dan Waktu Penelitian 4 METODE PENELITIAN Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilakukan di hutan Desa Aur Kuning, Kecamatan Kampar Kiri Hulu, Provinsi Riau. Penelitian dilaksanakan pada bulan Februari hingga Mei 2012.

Lebih terperinci

BAB I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang BAB I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia merupakan salah satu negara tropis yang memiliki tingkat keanekaragaman hayati yang tinggi, baik flora maupun fauna yang penyebarannya sangat luas. Hutan

Lebih terperinci

KEANEKARAGAMAN JENIS BURUNG DI BERBAGAI TIPE DAERAH TEPI (EDGES) TAMAN HUTAN RAYA SULTAN SYARIF HASYIM PROPINSI RIAU DEFRI YOZA

KEANEKARAGAMAN JENIS BURUNG DI BERBAGAI TIPE DAERAH TEPI (EDGES) TAMAN HUTAN RAYA SULTAN SYARIF HASYIM PROPINSI RIAU DEFRI YOZA KEANEKARAGAMAN JENIS BURUNG DI BERBAGAI TIPE DAERAH TEPI (EDGES) TAMAN HUTAN RAYA SULTAN SYARIF HASYIM PROPINSI RIAU DEFRI YOZA SEKOLAH PASCA SARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2006 PERNYATAAN MENGENAI

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. terletak di sekitar garis khatulistiwa antara 23 ½ 0 LU sampai dengan 23 ½ 0 LS.

BAB I PENDAHULUAN. terletak di sekitar garis khatulistiwa antara 23 ½ 0 LU sampai dengan 23 ½ 0 LS. BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Hutan hujan tropis merupakan salah satu tipe ekosistem hutan yang sangat produktif dan memiliki tingkat keanekaragaman hayati yang tinggi. Kawasan ini terletak di

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dari pemanfaatan yang tidak banyak mempengaruhi kondisi ekosistem hutan sampai kepada

BAB I PENDAHULUAN. dari pemanfaatan yang tidak banyak mempengaruhi kondisi ekosistem hutan sampai kepada BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Hutan semakin banyak dimanfaatkan untuk memenuhi kebutuhan hidup manusia seiring dengan perkembangan zaman. Pemanfaatan hutan biasanya sangat bervariasi, mulai dari

Lebih terperinci

PENYEBARAN, REGENERASI DAN KARAKTERISTIK HABITAT JAMUJU (Dacrycarpus imbricatus Blume) DI TAMAN NASIONAL GEDE PANGARANGO

PENYEBARAN, REGENERASI DAN KARAKTERISTIK HABITAT JAMUJU (Dacrycarpus imbricatus Blume) DI TAMAN NASIONAL GEDE PANGARANGO 1 PENYEBARAN, REGENERASI DAN KARAKTERISTIK HABITAT JAMUJU (Dacrycarpus imbricatus Blume) DI TAMAN NASIONAL GEDE PANGARANGO RESTU GUSTI ATMANDHINI B E 14203057 DEPARTEMEN SILVIKULTUR FAKULTAS KEHUTANAN

Lebih terperinci

INVENTARISASI DAN ANALISIS HABITAT TUMBUHAN LANGKA SALO

INVENTARISASI DAN ANALISIS HABITAT TUMBUHAN LANGKA SALO 1 INVENTARISASI DAN ANALISIS HABITAT TUMBUHAN LANGKA SALO (Johannes teijsmania altifrons) DI DUSUN METAH, RESORT LAHAI, TAMAN NASIONAL BUKIT TIGAPULUH PROVINSI RIAU- JAMBI Yusi Indriani, Cory Wulan, Panji

Lebih terperinci

IV. METODE PENELITIAN

IV. METODE PENELITIAN IV. METODE PENELITIAN 4.1. Waktu dan Lokasi Penelitian Kegiatan penelitian dilakukan pada bulan November 2011 sampai dengan Februari 2012. Lokasi penelitian adalah TWA Gunung Baung, yang terletak di wilayah

Lebih terperinci

Keanekaragaman Jenis dan Pola Distribusi Nepenthes spp di Gunung Semahung Kecamatan Sengah Temila Kabupaten Landak

Keanekaragaman Jenis dan Pola Distribusi Nepenthes spp di Gunung Semahung Kecamatan Sengah Temila Kabupaten Landak Vol. 2 (1): 1 6 Keanekaragaman Jenis dan Pola Distribusi Nepenthes spp di Gunung Semahung Kecamatan Sengah Temila Kabupaten Landak Gustap Baloari 1, Riza Linda 1, Mukarlina 1 1 Program Studi Biologi, Fakultas

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Taman nasional adalah kawasan pelestarian alam yang mempunyai ekosistem asli

I. PENDAHULUAN. Taman nasional adalah kawasan pelestarian alam yang mempunyai ekosistem asli ` I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Taman nasional adalah kawasan pelestarian alam yang mempunyai ekosistem asli dan dikelola dengan sistem zonasi. Kawasan ini dimanfaatkan untuk tujuan penelitian, ilmu

Lebih terperinci

HUTAN PENDIDIKAN GUNUNG WALAT, SUKABUMI, DENGAN METODA STRATIFIED SYSTEMATIC SAMPLING WITH RANDOM

HUTAN PENDIDIKAN GUNUNG WALAT, SUKABUMI, DENGAN METODA STRATIFIED SYSTEMATIC SAMPLING WITH RANDOM PENDUGAAN POTENSI TEGAKAN HUTAN PINUS (Pinus merkusii) DI HUTAN PENDIDIKAN GUNUNG WALAT, SUKABUMI, DENGAN METODA STRATIFIED SYSTEMATIC SAMPLING WITH RANDOM START MENGGUNAKAN UNIT CONTOH LINGKARAN KONVENSIONAL

Lebih terperinci

KEANEKARAGAMAN JENIS KANTONG SEMAR (Nepenthes SPP) DALAM KAWASAN HUTAN LINDUNG GUNUNG SEMAHUNG DESA SAHAM KECAMATAN SENGAH TEMILA KABUPATEN LANDAK

KEANEKARAGAMAN JENIS KANTONG SEMAR (Nepenthes SPP) DALAM KAWASAN HUTAN LINDUNG GUNUNG SEMAHUNG DESA SAHAM KECAMATAN SENGAH TEMILA KABUPATEN LANDAK KEANEKARAGAMAN JENIS KANTONG SEMAR (Nepenthes SPP) DALAM KAWASAN HUTAN LINDUNG GUNUNG SEMAHUNG DESA SAHAM KECAMATAN SENGAH TEMILA KABUPATEN LANDAK (Diversity Of Pitcher Plants ( Nepenthes Spp ) Forest

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

BAB III METODOLOGI PENELITIAN 12 BAB III METODOLOGI PENELIT TIAN 31 Waktu dan Tempat Penelitian inii dilaksanakan pada bulan Mei sampai Juli 2010 yang berlokasi di TAHURA Inten Dewata dimana terdapat dua lokasi yaitu Gunung Kunci dan

Lebih terperinci

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

V. HASIL DAN PEMBAHASAN V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1. Komposisi dan Struktur Vegetasi TWA Gunung Baung Dari analisis vegetasi yang dilakukan berhasil dicatat sebanyak 240 spesies tumbuhan yang berasal dari 72 suku (Lampiran 1).

Lebih terperinci

IV. METODE PENELITIAN

IV. METODE PENELITIAN IV. METODE PENELITIAN 4.1 Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian tentang karakteristik habitat Macaca nigra dilakukan di CA Tangkoko yang terletak di Kecamatan Bitung Utara, Kotamadya Bitung, Sulawesi

Lebih terperinci

3 METODE PENELITIAN. Waktu dan Lokasi

3 METODE PENELITIAN. Waktu dan Lokasi 12 Gymnospermae lebih efisien pada intensitas cahaya tinggi (Kramer & Kozlowski 1979). Sudomo (2007) menyatakan bahwa intensitas cahaya yang berlebihan akan menyebabkan laju transpirasi tinggi, sedangkan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. tinggi adalah Taman Hutan Raya Wan Abdurahman. (Tahura WAR), merupakan

I. PENDAHULUAN. tinggi adalah Taman Hutan Raya Wan Abdurahman. (Tahura WAR), merupakan I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Salah satu kawasan hutan hujan tropis dengan tingkat keanekaragaman yang tinggi adalah Taman Hutan Raya Wan Abdurahman. (Tahura WAR), merupakan kawasan pelestarian alam

Lebih terperinci

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR PENENTUAN BENTUK DAN LUAS PLOT CONTOH OPTIMAL PENGUKURAN KEANEKARAGAMAN SPESIES TUMBUHAN PADA EKOSISTEM HUTAN HUJAN DATARAN RENDAH : STUDI KASUS DI TAMAN NASIONAL KUTAI SANDI KUSUMA SEKOLAH PASCASARJANA

Lebih terperinci

BAHAN DAN METODE. Gambar 3 Lokasi penelitian ( ) Alat dan Bahan

BAHAN DAN METODE. Gambar 3 Lokasi penelitian ( ) Alat dan Bahan 10 BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian dilaksanakan pada bulan Juli - Agustus 2010 di Hutan Tanaman Pelawan Desa Trubus, Hutan Kawasan Lindung Kalung Desa Namang, dan Hutan Dusun Air

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang 1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pulau Timor memiliki avifauna yang unik (Noske & Saleh 1996), dan tingkat endemisme burung tertinggi dibandingkan dengan beberapa pulau besar lain di Nusa Tenggara (Pulau

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN 3.1. Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilakukan di dua tempat yaitu pengambilan data di lapangan dilakukan di sempadan muara Kali Lamong dan Pulau Galang, serta pengolahan

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan pada tanggal 15 s.d 20 September 2011 di Taman hutan raya R. Soerjo yang terletak di Kota Batu, Provinsi Jawa Timur

Lebih terperinci

STUDI KEANEKARAGAMAN JENIS KANTONG SEMAR

STUDI KEANEKARAGAMAN JENIS KANTONG SEMAR STUDI KEANEKARAGAMAN JENIS KANTONG SEMAR (Nepenthes spp) DI KAWASAN KONSERVASI RUMAH PELANGI DUSUN GUNUNG BENUAH KECAMATAN SUNGAI AMBAWANG KABUPATEN KUBU RAYA Diversity Study of Kantong Semar Plants (Nepenthes

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Hutan Sekipan merupakan hutan pinus yang memiliki ciri tertentu yang membedakannya dengan hutan yang lainnya.

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Hutan Sekipan merupakan hutan pinus yang memiliki ciri tertentu yang membedakannya dengan hutan yang lainnya. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Hutan Sekipan merupakan hutan pinus yang memiliki ciri tertentu yang membedakannya dengan hutan yang lainnya. Adapun yang membedakannya dengan hutan yang lainnya yaitu

Lebih terperinci

METODOLOGI PENELITIAN

METODOLOGI PENELITIAN METODOLOGI PENELITIAN Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan tanggal 22 April sampai 9 Mei 2007 di hutan rawa habitat tembesu Danau Sumbu dan Danau Bekuan kawasan Taman Nasional Danau

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. berbagai kegiatan yang mengancam eksistensi kawasan konservasi (khususnya

BAB I PENDAHULUAN. berbagai kegiatan yang mengancam eksistensi kawasan konservasi (khususnya BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Manusia dan kawasan konservasi memiliki korelasi yang kuat. Suatu kawasan konservasi memiliki fungsi ekologi, ekonomi, dan sosial sedangkan manusia memiliki peran

Lebih terperinci

METODOLOGI. Lokasi dan Waktu

METODOLOGI. Lokasi dan Waktu METODOLOGI Lokasi dan Waktu Penelitian dilakukan di Kabupaten Kepulauan Meranti Provinsi Riau, pada 3 tipe penggunaan lahan gambut yaitu; Hutan Alam, Kebun Rakyat dan Areal HTI Sagu, yang secara geografis

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dikenal sebagai negara megabiodiversity. Sekitar 10 % jenis-jenis tumbuhan

BAB I PENDAHULUAN. dikenal sebagai negara megabiodiversity. Sekitar 10 % jenis-jenis tumbuhan BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia mempunyai keanekaragaman hayati yang sangat tinggi sehingga dikenal sebagai negara megabiodiversity. Sekitar 10 % jenis-jenis tumbuhan berbunga yang ada

Lebih terperinci

BAB IV METODE PENELITIAN

BAB IV METODE PENELITIAN 4.1. Waktu dan Tempat BAB IV METODE PENELITIAN Penelitian ini dilaksanakan di Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung yang terfokus di Desa Tompobulu dan kawasan hutan sekitarnya. Penelitian dilaksanakan

Lebih terperinci

KERAGAMAN JENIS ANAKAN TINGKAT SEMAI DAN PANCANG DI HUTAN ALAM

KERAGAMAN JENIS ANAKAN TINGKAT SEMAI DAN PANCANG DI HUTAN ALAM KARYA TULIS KERAGAMAN JENIS ANAKAN TINGKAT SEMAI DAN PANCANG DI HUTAN ALAM OLEH : DIANA SOFIA H, SP, MP NIP 132231813 FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA 2007 KATA PENGANTAR Syukur Alhamdulillah,

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. fungsi pokok sebagai hutan konservasi yaitu kawasan pelestarian alam untuk

II. TINJAUAN PUSTAKA. fungsi pokok sebagai hutan konservasi yaitu kawasan pelestarian alam untuk 5 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Taman Hutan Raya Wan Abdul Rachman Taman Hutan Raya (Tahura) adalah hutan yang ditetapkan pemerintah dengan fungsi pokok sebagai hutan konservasi yaitu kawasan pelestarian alam

Lebih terperinci

METODE PENELITIAN. Lokasi dan Waktu Penelitian

METODE PENELITIAN. Lokasi dan Waktu Penelitian METODE PENELITIAN Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian dilakukan di dalam areal Hak Pengusahaan Hutan (HPH) PT. Sari Bumi Kusuma, Unit S. Seruyan, Kalimantan Tengah. Areal hutan yang dipilih untuk penelitian

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI. Gambar 1 Lokasi Taman Nasional Ujung Kulon.

BAB III METODOLOGI. Gambar 1 Lokasi Taman Nasional Ujung Kulon. BAB III METODOLOGI 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian ini dilaksanakan dari bulan Juli 2009 hingga Agustus 2009. Lokasi penelitian terletak di daerah Semenanjung Ujung Kulon yaitu Cigenter, Cimayang, Citerjun,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. hutan hujan tropis yang tersebar di berbagai penjuru wilayah. Luasan hutan

BAB I PENDAHULUAN. hutan hujan tropis yang tersebar di berbagai penjuru wilayah. Luasan hutan I. 1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN Indonesia adalah salah satu negara yang dikenal memiliki banyak hutan hujan tropis yang tersebar di berbagai penjuru wilayah. Luasan hutan tropis Indonesia adalah

Lebih terperinci

Suhartini Jurusan Pendidikan Biologi FMIPA UNY

Suhartini Jurusan Pendidikan Biologi FMIPA UNY Suhartini Jurusan Pendidikan Biologi FMIPA UNY Sumberdaya Alam Hayati : Unsur-unsur hayati di alam yang terdiri dari sumberdaya alam nabati (tumbuhan) dan sumberdaya alam hewani (satwa) yang bersama dengan

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Taman Hutan Raya Sultan Syarif Hasim wilayah bagian Kelurahan Muara Fajar Kecamatan Minas Kabupaten Siak pada bulan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Dalam pandangan al-qur an, mempelajari dan mengamati fenomena

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Dalam pandangan al-qur an, mempelajari dan mengamati fenomena BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Dalam pandangan al-qur an, mempelajari dan mengamati fenomena makhluk hidup sangat dianjurkan. Kita semua dianjurkan untuk menjaga kelestarian yang telah diciptakan

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. pada tumbuhan lain yang lebih besar dan tinggi untuk mendapatkan cahaya

II. TINJAUAN PUSTAKA. pada tumbuhan lain yang lebih besar dan tinggi untuk mendapatkan cahaya 5 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian Liana Liana merupakan tumbuhan yang berakar pada tanah, tetapi batangnya membutuhkan penopang dari tumbuhan lain agar dapat menjulang dan daunnya memperoleh cahaya

Lebih terperinci

BAB III. METODE PENELITIAN

BAB III. METODE PENELITIAN BAB III. METODE PENELITIAN A. Tempat Penelitian Lokasi Penelitian ini dilaksanakan di Taman Nasional Gunung Merbabu (TNGMb) Jawa Tengah, difokuskan di lereng sebelah selatan Gunung Merbabu, yaitu di sekitar

Lebih terperinci

PERAN MODEL ARSITEKTUR RAUH DAN NOZERAN TERHADAP PARAMETER KONSERVASI TANAH DAN AIR DI HUTAN PAGERWOJO, TULUNGAGUNG NURHIDAYAH

PERAN MODEL ARSITEKTUR RAUH DAN NOZERAN TERHADAP PARAMETER KONSERVASI TANAH DAN AIR DI HUTAN PAGERWOJO, TULUNGAGUNG NURHIDAYAH PERAN MODEL ARSITEKTUR RAUH DAN NOZERAN TERHADAP PARAMETER KONSERVASI TANAH DAN AIR DI HUTAN PAGERWOJO, TULUNGAGUNG NURHIDAYAH SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2009 PERNYATAAN MENGENAI

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Habitat merupakan lingkungan tempat tumbuhan atau satwa dapat hidup dan berkembang biak secara alami. Kondisi kualitas dan kuantitas habitat akan menentukan komposisi,

Lebih terperinci

PERENCANAAN BEBERAPA JALUR INTERPRETASI ALAM DI TAMAN NASIONAL GUNUNG MERBABU JAWA TENGAH DENGAN MENGGUNAKAN SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS TRI SATYATAMA

PERENCANAAN BEBERAPA JALUR INTERPRETASI ALAM DI TAMAN NASIONAL GUNUNG MERBABU JAWA TENGAH DENGAN MENGGUNAKAN SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS TRI SATYATAMA PERENCANAAN BEBERAPA JALUR INTERPRETASI ALAM DI TAMAN NASIONAL GUNUNG MERBABU JAWA TENGAH DENGAN MENGGUNAKAN SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS TRI SATYATAMA SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kota Bogor merupakan kota yang terus berkembang serta mengalami peningkatan jumlah penduduk dan luas lahan terbangun sehingga menyebabkan terjadinya penurunan luas

Lebih terperinci

KOMPOSISI TEGAKAN SEBELUM DAN SESUDAH PEMANENAN KAYU DI HUTAN ALAM

KOMPOSISI TEGAKAN SEBELUM DAN SESUDAH PEMANENAN KAYU DI HUTAN ALAM KOMPOSISI TEGAKAN SEBELUM DAN SESUDAH PEMANENAN KAYU DI HUTAN ALAM Muhdi Staf Pengajar Program Studi Teknologi Hasil Hutan Departemen Kehutanan USU Medan Abstract A research was done at natural tropical

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Hutan Hutan dapat diberi batasan sesuai dengan sudut pandang masing-masing pakar. Misalnya dari sisi ekologi dan biologi, bahwa hutan adalah komunitas hidup yang terdiri dari

Lebih terperinci

KEANEKARAGAMAN JENIS MERANTI (SHORE SPP) PADA KAWASAN HUTAN LINDUNG GUNUNG AMBAWANG KABUPATEN KUBU RAYA PROPINSI KALIMANTAN BARAT

KEANEKARAGAMAN JENIS MERANTI (SHORE SPP) PADA KAWASAN HUTAN LINDUNG GUNUNG AMBAWANG KABUPATEN KUBU RAYA PROPINSI KALIMANTAN BARAT KEANEKARAGAMAN JENIS MERANTI (SHORE SPP) PADA KAWASAN HUTAN LINDUNG GUNUNG AMBAWANG KABUPATEN KUBU RAYA PROPINSI KALIMANTAN BARAT Diversity of Species Meranti (Shore spp) In Protected Forest Area Ambawang

Lebih terperinci

IV. METODE PENELITIAN

IV. METODE PENELITIAN 21 IV. METODE PENELITIAN 4.1 Lokasi dan Waktu Penelitian dilaksanakan secara langsung di Hutan Pendidikan Gunung Walat. Penelitian dilaksanakan selama 3 bulan yaitu pada bulan Maret sampai dengan bulan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Alam Hayati dan Ekosistemnya dijelaskan bahwa suaka margasatwa, adalah

I. PENDAHULUAN. Alam Hayati dan Ekosistemnya dijelaskan bahwa suaka margasatwa, adalah I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Undang-undang Nomor 5 tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya dijelaskan bahwa suaka margasatwa, adalah kawasan suaka alam yang mempunyai

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA

BAB II KAJIAN PUSTAKA BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1. Tinjauan Tentang Struktur Vegetasi Struktur vegetasi merupakan komponen penyusun vegetasi itu sendiri. Struktur vegetasi disusun oleh tumbuh-tumbuhan baik berupa pohon, pancang,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. atas pulau, dengan garis pantai sepanjang km. Luas laut Indonesia

BAB I PENDAHULUAN. atas pulau, dengan garis pantai sepanjang km. Luas laut Indonesia BAB I PENDAHULUAN I.I Latar Belakang Indonesia merupakan Negara kepulauan terbesar di dunia yang terdiri dari atas 17.508 pulau, dengan garis pantai sepanjang 81.000 km. Luas laut Indonesia sekitar 3,1

Lebih terperinci

METODE PENELITIAN. Lokasi dan Waktu Penelitian. dalam kawasan wisata alam Trinsing yang secara administratif termasuk ke dalam

METODE PENELITIAN. Lokasi dan Waktu Penelitian. dalam kawasan wisata alam Trinsing yang secara administratif termasuk ke dalam METODE PENELITIAN Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di areal hutan kerangas yang berada dalam kawasan Hak Pengusahaan Hutan PT. Wana Inti Kahuripan Intiga, PT. Austral Byna, dan dalam

Lebih terperinci

KAJIAN SUMBERDAYA EKOSISTEM MANGROVE UNTUK PENGELOLAAN EKOWISATA DI ESTUARI PERANCAK, JEMBRANA, BALI MURI MUHAERIN

KAJIAN SUMBERDAYA EKOSISTEM MANGROVE UNTUK PENGELOLAAN EKOWISATA DI ESTUARI PERANCAK, JEMBRANA, BALI MURI MUHAERIN KAJIAN SUMBERDAYA EKOSISTEM MANGROVE UNTUK PENGELOLAAN EKOWISATA DI ESTUARI PERANCAK, JEMBRANA, BALI MURI MUHAERIN DEPARTEMEN MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN INSTITUT

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dari buah pulau (28 pulau besar dan pulau kecil) dengan

BAB I PENDAHULUAN. dari buah pulau (28 pulau besar dan pulau kecil) dengan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan negara kepulauan di daerah tropika yang terdiri dari 17.504 buah pulau (28 pulau besar dan 17.476 pulau kecil) dengan panjang garis pantai sekitar

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. migran. World Conservation Monitoring Centre (1994) menyebutkan

BAB I PENDAHULUAN. migran. World Conservation Monitoring Centre (1994) menyebutkan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Burung adalah salah satu kekayaan hayati yang dimiliki oleh Indonesia. Sukmantoro dkk. (2007) mencatat 1.598 spesies burung yang dapat ditemukan di wilayah Indonesia.

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. liar di alam, termasuk jenis primata. Antara tahun 1995 sampai dengan tahun

I. PENDAHULUAN. liar di alam, termasuk jenis primata. Antara tahun 1995 sampai dengan tahun 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Konversi hutan di Pulau Sumatera merupakan ancaman terbesar bagi satwa liar di alam, termasuk jenis primata. Antara tahun 1995 sampai dengan tahun 2000, tidak kurang

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN. Penelitian dilakukan juni sampai dengan Juli 2013 di zona pemanfaatan terbatas,

III. METODE PENELITIAN. Penelitian dilakukan juni sampai dengan Juli 2013 di zona pemanfaatan terbatas, 16 III. METODE PENELITIAN A. Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian dilakukan juni sampai dengan Juli 2013 di zona pemanfaatan terbatas, Resort Way Kanan, Satuan Pengelolaan Taman Nasional 1 Way Kanan,

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. yang dimanfaatkan bagi kepentingan penelitian, ilmu pengetahuan, pendidikan,

I. PENDAHULUAN. yang dimanfaatkan bagi kepentingan penelitian, ilmu pengetahuan, pendidikan, I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Taman hutan raya merupakan kawasan pelestarian alam untuk tujuan koleksi tumbuhan dan atau satwa yang alami atau buatan, jenis asli dan atau bukan asli, yang dimanfaatkan

Lebih terperinci

DISTRIBUSI DAN PREFERENSI HABITAT SPONS KELAS DEMOSPONGIAE DI KEPULAUAN SERIBU PROVINSI DKI JAKARTA KARJO KARDONO HANDOJO

DISTRIBUSI DAN PREFERENSI HABITAT SPONS KELAS DEMOSPONGIAE DI KEPULAUAN SERIBU PROVINSI DKI JAKARTA KARJO KARDONO HANDOJO DISTRIBUSI DAN PREFERENSI HABITAT SPONS KELAS DEMOSPONGIAE DI KEPULAUAN SERIBU PROVINSI DKI JAKARTA KARJO KARDONO HANDOJO SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2006 PERNYATAAN MENGENAI TESIS

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN

III. METODE PENELITIAN III. METODE PENELITIAN A. Pembatasan Masalah Penelitian Keanekaragaman Jenis Burung di Berbagai Tipe Daerah Tepi (Edges) Taman Hutan Raya Sultan Syarif Hasyim Propinsi Riau selama 6 bulan adalah untuk

Lebih terperinci

Lokasi Kajian Metode Penelitian Lanjutan Metode Penelitian

Lokasi Kajian Metode Penelitian Lanjutan Metode Penelitian Pinus merkusii strain Kerinci: Satu-satunya jenis pinus yang menyebar melewati khatulistiwa ke bagian bumi lintang selatan hingga sekitar o L.S. Belum dikembangkan atau dibudidayakan secara luas di Indonesia.

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 68 TAHUN 1998 TENTANG KAWASAN SUAKA ALAM DAN KAWASAN PELESTARIAN ALAM PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 68 TAHUN 1998 TENTANG KAWASAN SUAKA ALAM DAN KAWASAN PELESTARIAN ALAM PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 68 TAHUN 1998 TENTANG KAWASAN SUAKA ALAM DAN KAWASAN PELESTARIAN ALAM PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa kawasan suaka alam dan kawasan pelestarian

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia merupakan negara yang menyandang predikat mega biodiversity didukung oleh kondisi fisik wilayah yang beragam mulai dari pegunungan hingga dataran rendah serta

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. menggunakan metode transek belt yaitu dengan menarik garis lurus memanjang

BAB III METODE PENELITIAN. menggunakan metode transek belt yaitu dengan menarik garis lurus memanjang BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Rancangan Penelitian Penelitian ini bersifat deskriptif kuantitatif. Penelitian ini dengan menggunakan metode transek belt yaitu dengan menarik garis lurus memanjang kearah

Lebih terperinci

KONDISI HABITAT Rafflesia sp DI IUPHHK PT. TOBA PULP LESTARI, Tbk SEKTOR TELE, KABUPATEN SAMOSIR, SUMATERA UTARA

KONDISI HABITAT Rafflesia sp DI IUPHHK PT. TOBA PULP LESTARI, Tbk SEKTOR TELE, KABUPATEN SAMOSIR, SUMATERA UTARA KONDISI HABITAT Rafflesia sp DI IUPHHK PT. TOBA PULP LESTARI, Tbk SEKTOR TELE, KABUPATEN SAMOSIR, SUMATERA UTARA SKRIPSI OLEH: HANA FERONIKA SIREGAR 071201022/ MANAJEMEN HUTAN JURUSAN MANAJEMEN HUTAN PROGRAM

Lebih terperinci

BAB I. PENDAHULUAN. bagi makhluk hidup. Keanekaragaman hayati dengan pengertian seperti itu

BAB I. PENDAHULUAN. bagi makhluk hidup. Keanekaragaman hayati dengan pengertian seperti itu BAB I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Salah satu lingkup pengelolaan lingkungan hidup adalah keanekaragaman hayati. Keanekaragaman hayati merupakan suatu fenomena alam mengenai keberagaman makhluk hidup,

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia memiliki hutan dengan kekayaan sumber plasma nutfah yang tinggi dengan keanekaragaman species yang beragam. Khusus untuk keanekaragaman tumbuhan, di

Lebih terperinci

ANALISIS DAN STRATEGI PEMANFAATAN RUANG DI KABUPATEN CIAMIS, JAWA BARAT SANUDIN

ANALISIS DAN STRATEGI PEMANFAATAN RUANG DI KABUPATEN CIAMIS, JAWA BARAT SANUDIN ANALISIS DAN STRATEGI PEMANFAATAN RUANG DI KABUPATEN CIAMIS, JAWA BARAT SANUDIN SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2006 SURAT PERNYATAAN Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis dengan judul Analisis

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN 12 BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Cagar Alam Kamojang, Kabupaten Garut dan Kabupaten Bandung, Provinsi Jawa Barat. Kegiatan pengambilan data di

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilakukan di Bukit Gunung Sulah Kelurahan Gunung Sulah

III. METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilakukan di Bukit Gunung Sulah Kelurahan Gunung Sulah III. METODE PENELITIAN A. Waktu dan Lokasi Penelitian Penelitian ini dilakukan di Bukit Gunung Sulah Kelurahan Gunung Sulah Kecamatan Sukarame Kota Bandar Lampung (Gambar 2) pada bulan Juli sampai dengan

Lebih terperinci

METODE PENELITIAN. Penelitian tentang analisis habitat monyet ekor panjang dilakukan di hutan Desa

METODE PENELITIAN. Penelitian tentang analisis habitat monyet ekor panjang dilakukan di hutan Desa 19 III. METODE PENELITIAN 3.1. Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian tentang analisis habitat monyet ekor panjang dilakukan di hutan Desa Cugung, KPHL Gunung Rajabasa, Kecamatan Rajabasa, Kabupaten Lampung

Lebih terperinci

IV. METODE PENELITIAN

IV. METODE PENELITIAN 12 IV. METODE PENELITIAN 4.1. Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Kawasan Cagar Alam Sukawayana, Desa Cikakak, Kecamatan Cikakak, Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat. Waktu penelitian

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Hutan mangrove adalah kelompok jenis tumbuhan yang tumbuh di

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Hutan mangrove adalah kelompok jenis tumbuhan yang tumbuh di BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Hutan mangrove adalah kelompok jenis tumbuhan yang tumbuh di sepanjang garis pantai tropis sampai sub-tropis yang memiliki fungsi istimewa di suatu lingkungan yang mengandung

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Gunung Salak merupakan salah satu ekosistem pegunungan tropis di Jawa Barat dengan kisaran ketinggian antara 400 m dpl sampai 2210 m dpl. Menurut (Van Steenis, 1972) kisaran

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Kawasan lahan basah Bujung Raman yang terletak di Kampung Bujung Dewa

I. PENDAHULUAN. Kawasan lahan basah Bujung Raman yang terletak di Kampung Bujung Dewa I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kawasan lahan basah Bujung Raman yang terletak di Kampung Bujung Dewa Kecamatan Pagar Dewa Kabupaten Tulang Bawang Barat Provinsi Lampung, merupakan suatu kawasan ekosistem

Lebih terperinci

III. METODOLOGI PENELITIAN. Penelitian dilaksanakan pada Mei - Juli Lokasi penelitian adalah di kawasan

III. METODOLOGI PENELITIAN. Penelitian dilaksanakan pada Mei - Juli Lokasi penelitian adalah di kawasan III. METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Waktu dan Lokasi Penelitian Penelitian dilaksanakan pada Mei - Juli 2014. Lokasi penelitian adalah di kawasan hutan mangrove pada lahan seluas 97 ha, di Pantai Sari Ringgung

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Muhamad Adnan Rivaldi, 2013

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Muhamad Adnan Rivaldi, 2013 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Hutan Sancang, Kecamatan Cibalong,, Jawa Barat, merupakan kawasan yang terletak di Selatan Pulau Jawa, yang menghadap langsung ke Samudera Hindia. Hutan Sancang memiliki

Lebih terperinci

KEANEKARAGAMAN JENIS BAMBU (Bambusodae) DALAM KAWASAN HUTAN AIR TERJUN RIAM ODONG DUSUN ENGKOLAI KECAMATAN JANGKANG KABUPATEN SANGGAU

KEANEKARAGAMAN JENIS BAMBU (Bambusodae) DALAM KAWASAN HUTAN AIR TERJUN RIAM ODONG DUSUN ENGKOLAI KECAMATAN JANGKANG KABUPATEN SANGGAU KEANEKARAGAMAN JENIS BAMBU (Bambusodae) DALAM KAWASAN HUTAN AIR TERJUN RIAM ODONG DUSUN ENGKOLAI KECAMATAN JANGKANG KABUPATEN SANGGAU (The Diversity of Bamboo (Bambusodae) In Riam Odong Waterfall Forest

Lebih terperinci

HABITAT POHON PUTAT (Barringtonia acutangula) PADA KAWASAN BERHUTAN SUNGAI JEMELAK KABUPATEN SINTANG

HABITAT POHON PUTAT (Barringtonia acutangula) PADA KAWASAN BERHUTAN SUNGAI JEMELAK KABUPATEN SINTANG HABITAT POHON PUTAT (Barringtonia acutangula) PADA KAWASAN BERHUTAN SUNGAI JEMELAK KABUPATEN SINTANG Muhammad Syukur Fakultas Pertanian Universitas Kapuas Sintang Email : msyukur1973@yahoo.co.id ABSTRAKS:

Lebih terperinci

IV. KONDISI DAN GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN. administratif berada di wilayah Kelurahan Kedaung Kecamatan Kemiling Kota

IV. KONDISI DAN GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN. administratif berada di wilayah Kelurahan Kedaung Kecamatan Kemiling Kota IV. KONDISI DAN GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN A. Pembentukan Taman Kupu-Kupu Gita Persada Taman Kupu-Kupu Gita Persada berlokasi di kaki Gunung Betung yang secara administratif berada di wilayah Kelurahan

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Januari 2017 s/d bulan Februari 2017

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Januari 2017 s/d bulan Februari 2017 BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Januari 2017 s/d bulan Februari 2017 yang berada di Resort Bandealit Taman Nasional Meru Betiri. Gambar 3.1. Peta Kerja

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN 3.1. Waktu dan Lokasi Penelitian dilaksanakan di kawasan Tambling Wildlife Nature Conservation, Taman Nasional Bukit Barisan Selatan untuk kegiatan pengamatan dan pengambilan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kepulauan Wakatobi merupakan salah satu ekosistem pulau-pulau kecil di Indonesia, yang terdiri atas 48 pulau, 3 gosong, dan 5 atol. Terletak antara 5 o 12 Lintang Selatan

Lebih terperinci

KEANEKARAGAMAN JENlS TUMBUHAN, STRUKTUR TEGAKAN, DAN POLA SEBARAN SPASIAL BEBERAPA SPESIES POHON TERTENTU Dl HUTAN KERANGAS

KEANEKARAGAMAN JENlS TUMBUHAN, STRUKTUR TEGAKAN, DAN POLA SEBARAN SPASIAL BEBERAPA SPESIES POHON TERTENTU Dl HUTAN KERANGAS KEANEKARAGAMAN JENlS TUMBUHAN, STRUKTUR TEGAKAN, DAN POLA SEBARAN SPASIAL BEBERAPA SPESIES POHON TERTENTU Dl HUTAN KERANGAS OLEH : KlSSlNGER PROGRAM PASCASARJAVA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2002 ABSTRAK KISSINGER.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. daya tarik tinggi baik untuk koleksi maupun objek penelitian adalah serangga

BAB I PENDAHULUAN. daya tarik tinggi baik untuk koleksi maupun objek penelitian adalah serangga 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia merupakan negara dengan kekayaan keanekaragaman jenis flora dan fauna yang tinggi. Salah satu kekayaan fauna di Indonesia yang memiliki daya tarik tinggi

Lebih terperinci

:!,1G():5kr'W:5. JURnAl EKOlOGI DAn SAlns ISSN : ISSN : VOLUME 01, No: 01. Agustus 2012

:!,1G():5kr'W:5. JURnAl EKOlOGI DAn SAlns ISSN : ISSN : VOLUME 01, No: 01. Agustus 2012 ISSN : 2337-5329 :!,1G():5kr'W:5 JURnAl EKOlOGI DAn SAlns PUSAT PENELITIAN LlNGKUNGAN HIDUP a SUMBERDAYA ALAM (PPLH SDA) UNIVERSITAS PATTIMURA VOLUME 01, No: 01. Agustus 2012 ISSN : 2337-5329 POTENSI FLORA

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Meksiko, merupakan salah satu negara yang memiliki keanekaragaman hayati terkaya

I. PENDAHULUAN. Meksiko, merupakan salah satu negara yang memiliki keanekaragaman hayati terkaya I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia bersama sejumlah negara tropis lain seperti Brazil, Zaire dan Meksiko, merupakan salah satu negara yang memiliki keanekaragaman hayati terkaya (mega biodiversity).

Lebih terperinci

BAB IV METODOLOGI 4.1 Waktu dan Tempat Penelitian 4.2 Bahan dan Alat 4.3 Metode Pengambilan Data Analisis Vegetasi

BAB IV METODOLOGI 4.1 Waktu dan Tempat Penelitian 4.2 Bahan dan Alat 4.3 Metode Pengambilan Data Analisis Vegetasi BAB IV METODOLOGI 4.1 Waktu dan Tempat Penelitian Kegiatan penelitian ini dilaksanakan mulai bulan April sampai bulan Juni tahun 2009, pada areal hutan produksi perusahaan pemegang Izin Usaha Pemanfaatan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. memiliki keanekaragaman spesies tertinggi di dunia, jumlahnya lebih dari

I. PENDAHULUAN. memiliki keanekaragaman spesies tertinggi di dunia, jumlahnya lebih dari 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Serangga (Kelas Insekta) merupakan kelompok makhluk hidup yang memiliki keanekaragaman spesies tertinggi di dunia, jumlahnya lebih dari separuh jumlah spesies makhluk

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilakukan di blok Hutan Pendidikan Konservasi Terpadu Tahura

III. METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilakukan di blok Hutan Pendidikan Konservasi Terpadu Tahura 12 III. METODE PENELITIAN A. Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilakukan di blok Hutan Pendidikan Konservasi Terpadu Tahura Wan Abdul Rachman yang memiliki luasan 1.143 ha. Secara geografis terletak

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. lainnnya yang tersebar luas dari Sabang sampai Merauke. Menurut Ummi (2007)

BAB I PENDAHULUAN. lainnnya yang tersebar luas dari Sabang sampai Merauke. Menurut Ummi (2007) 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan negara dengan keanekaragaman hayati nomor dua di dunia yang memiliki keanekaragaman flora, fauna, dan berbagai kekayaan alam lainnnya yang tersebar

Lebih terperinci

KEANEKARAGAMAN JENIS KANTONG SEMAR (Nepenthes spp) KAWASAN HUTAN LINDUNG GUNUNG AMBAWANG DESA KAMPUNG BARU KECAMATAN KUBU KABUPATEN KUBU RAYA

KEANEKARAGAMAN JENIS KANTONG SEMAR (Nepenthes spp) KAWASAN HUTAN LINDUNG GUNUNG AMBAWANG DESA KAMPUNG BARU KECAMATAN KUBU KABUPATEN KUBU RAYA KEANEKARAGAMAN JENIS KANTONG SEMAR (Nepenthes spp) KAWASAN HUTAN LINDUNG GUNUNG AMBAWANG DESA KAMPUNG BARU KECAMATAN KUBU KABUPATEN KUBU RAYA The Diversity Of Kantong Semar (Nepenthes spp) Protected Forest

Lebih terperinci

KEANEKARAGAMAN TEGAKAN HUTAN DAN POTENSI KANDUNGAN KARBON DI TAMAN WISATA ALAM DELENG LANCUK KABUPATEN KARO PROPINSI SUMATERA UTARA TESIS OLEH

KEANEKARAGAMAN TEGAKAN HUTAN DAN POTENSI KANDUNGAN KARBON DI TAMAN WISATA ALAM DELENG LANCUK KABUPATEN KARO PROPINSI SUMATERA UTARA TESIS OLEH KEANEKARAGAMAN TEGAKAN HUTAN DAN POTENSI KANDUNGAN KARBON DI TAMAN WISATA ALAM DELENG LANCUK KABUPATEN KARO PROPINSI SUMATERA UTARA TESIS OLEH ABEDNEGO SILITONGA 087030001 PROGRAM STUDI MAGISTER BIOLOGI

Lebih terperinci

ANALISIS KOMPOSISI JENIS DAN STRUKTUR TEGAKAN DI HUTAN BEKAS TEBANGAN DAN HUTAN PRIMER DI AREAL IUPHHK PT

ANALISIS KOMPOSISI JENIS DAN STRUKTUR TEGAKAN DI HUTAN BEKAS TEBANGAN DAN HUTAN PRIMER DI AREAL IUPHHK PT ANALISIS KOMPOSISI JENIS DAN STRUKTUR TEGAKAN DI HUTAN BEKAS TEBANGAN DAN HUTAN PRIMER DI AREAL IUPHHK PT. SARMIENTO PARAKANTJA TIMBER KALIMANTAN TENGAH Oleh : SUTJIE DWI UTAMI E 14102057 DEPARTEMEN MANAJEMEN

Lebih terperinci

PEMANFAATAN TUMBUHAN OLEH MASYARAKAT DI SEKITAR HUTAN PENDIDIKAN GUNUNG WALAT SUKABUMI MUHAMMAD IRKHAM NAZMURAKHMAN

PEMANFAATAN TUMBUHAN OLEH MASYARAKAT DI SEKITAR HUTAN PENDIDIKAN GUNUNG WALAT SUKABUMI MUHAMMAD IRKHAM NAZMURAKHMAN 1 PEMANFAATAN TUMBUHAN OLEH MASYARAKAT DI SEKITAR HUTAN PENDIDIKAN GUNUNG WALAT SUKABUMI MUHAMMAD IRKHAM NAZMURAKHMAN DEPARTEMEN KONSERVASI SUMBERDAYA HUTAN DAN EKOWISATA FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN

Lebih terperinci

Pemetaan Pandan (Pandanus Parkins.) di Kabupaten dan Kota Malang

Pemetaan Pandan (Pandanus Parkins.) di Kabupaten dan Kota Malang Pemetaan Pandan (Pandanus Parkins.) di Kabupaten dan Kota Malang Apriyono Rahadiantoro, Rodliyati Azrianingsih, Brian Rahardi Jurusan Biologi, Fakultas MIPA, Universitas Brawijaya, Malang the_reddishsky@yahoo.co.id

Lebih terperinci