Cover Page. The handle holds various files of this Leiden University dissertation.

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "Cover Page. The handle holds various files of this Leiden University dissertation."

Transkripsi

1 Cover Page The handle holds various files of this Leiden University dissertation. Author: Setyawati, Kartika Title: Kidung Surajaya Issue Date:

2 BAB I PENDAHULUAN Konteks Penelitian Khasanah kesastraan Jawa Klasik sangat luas jangkauannya dan ini merupakan rekaman yang masih ada sebagai warisan budaya Nusantara. Bila dibandingkan dengan banyaknya bahan yang tersedia, studi teks sastra Jawa Klasik sangatlah kecil, termasuk diterbitkannya edisi teks dan terjemahan. Jangankan membicarakan studi lanjut, studi teks yang mendasar pun terbilang sedikit dan sayangnya banyak yang tidak memadai untuk dijadikan kajian lanjut. Hal ini terjadi biasanya karena peneliti mengabaikan studi teks, kritik teks, dan terjemahan yang memadai. Bagian yang baru disebut di atas itu biasanya dilewati dan peneliti ingin tergesa-gesa menganalisis sebuah teks. Kiranya penelitian atas teks adalah mendasar dan harus dilakukan oleh siapa pun yang mengadakan penelitian dengan bahan manuskrip. Bila bahan sudah tersedia dengan baik, terjemahan juga demikian, bahan ini siap untuk dijadikan studi lanjut, baik dalam bidang sendiri maupun secara interdisipliner. Banyak terbitan alihaksara dari aksara Jawa tersebut yang tidak mencantumkan sumber naskahnya. Hal ini menyulitkan bagi peneliti untuk melacak kembali ke naskahnya bila terjadi salah cetak, misalnya. Salah satu karya kesastraan Jawa Klasik yang tidak populer yaitu koleksi naskah Merapi-Merbabu. Karya ini terselip di antara karya sastra Jawa Klasik lain yang lebih gemerlap, misalnya karya-karya skriptorium kraton dan kadipaten yang dari segi tampilan naskah jelas lebih cemerlang. Dari suatu koleksi yang terabaikan ini, yaitu koleksi naskah Merapi-Merbabu, teks Kidung Surajaya diambil sebagai bahan penelitian. Terbatasnya pengetahuan atas latar belakang budaya, bahasa, filosofi terhadap karya-karya kidung, khususnya kidung dalam khasanah koleksi naskah Merapi-Merbabu, menyulitkan peneliti untuk mengkaji sebuah karya sastra kidung (dalam hal ini Kidung Surajaya) secara lengkap. Karena itu jangkauan studi ini terbatas pada satu bagian saja, dari beberapa aspek yang dapat diteliti lebih lanjut, yaitu suntingan teks, terjemahan, analisis makna isi teks, dan catatan teks. Kisah ini menceritakan perjalanan Ki Singamada yang bersedih hati sepeninggal orang tuanya yaitu penguasa di Majapahit, pergi dari kota raja menuju gunung berhutan. Di dalam perjalanan itu Ki Singamada berjumpa dengan beberapa orang ajar yang memberi nasihat tentang laku tapa. Di dalam perjumpaannya dengan salah seorang ajar, Singamada diabiseka dan mendapat nama Surajaya atau sebutan yang lainnya Surawani. Perjalanan Surajaya diwarnai perjumpaannya dengan Ni Tejasari, seorang bidadari kahyangan yang turun ke dunia, yang kemudian menjadi saudara misannya. Mereka berdua saling jatuh cinta. Surajaya juga mendapat banyak

3 2 pengagum dari para perempuan yang ditemui di tempat para ajar. Pada suatu perjalanan Surajaya bertemu dengan Ragasamaya, mereka saling mengangkat saudara. Ragasamaya terus menyertai Surajaya sampai akhir perjalanan dengan memberi nasihat dan penghiburan. Pada suatu saat mereka berpisah, Surajaya bertapa seorang diri, sementara Ragasamaya hidup bertani di tempat lain. Di dalam tapanya Surajaya didatangi Sang Hyang Suksma yang kemudian menganugerahi nama Hantakarana. Bersama dengan Ragasamaya yang datang berkunjung, Hantakarana mengusahakan moksa. Hantakarana berhasil moksa, Ragasamaya tidak berhasil karena masih memikirkan hal-hal duniawi. Cerita diakhiri dengan pulangnya Ni Tejasari ke Kahyangan, kembali menjadi bidadari Tunjungputih, disambut temantemannya sesama bidadari. Pada bagian tengah (pupuh 5) Kidung Surajaya, terdapat lukisan cerita perang antara lima bersaudara yaitu Panjiwisaya, Banyakputeran, Lalana Huwah-hawih, Mahisabo o dan Lalanasambu melawan tiga bersaudara yaitu Ki Sora, Ki Samun, dan Gajahpaningset. Lukisan perang itu disaksikan oleh Surajaya dan Ragasamaya dengan diam-diam dari tempat persembunyian. Kidung Surajaya merupakan genre siswa lelana brata. Pada dasarnya genre ini sejenis dengan genre santri lelana. Behrend (1995: ) membuat kriteria santri lelana sebagai berikut. (1) Tokoh utamanya seorang santri, seorang yang memuja Allah, ahli dalam ilmu agama, dan pelaksana syariat Islam yang mengabdi pada ngelmi dalam segala bentuknya. (2) Si santri tokoh harus anglalana ngideri bumi, maksudnya mengembara di alam pedesaan. Alasan langsung mengembara biasanya karena hilangnya saudara. (3) Episode-episode mungkin beragam, penggunaan alur tempelan dengan merangkai episode bergaya Jatiswara merupakan ciri inti ragam ini (santri lelana). (4) Si santri biasanya (tidak selalu) membela aliran mistik radikal yang menyeleweng. Hal ini menyebabkan perbenturan dengan penguasa yang lebih ortodoks dan mungkin terancam hukuman mati, kecuali bertobat. Ketika hukuman mati dilaksanakan, ia menghilang atau luput karena kesaktiannya. Dengan demikian, hal itu membuktikan kebenaran dirinya serta pandangan agama si santri. Karena Kidung Surajaya tidak persis memenuhi kriteria santri lelana seperti yang dikatakan Behrend tersebut, maka penulis memakai istilah siswa lelana brata, menceritakan seorang siswa pergi berkelana mencari pencerahan jiwa. Dengan mengacu butir-butir di atas yang disebut Behrend tentang santri lelana, maka Kidung Surajaya sebagai genre siswa lelana brata kriterianya seperti berikut. (1) tokoh utamanya seorang bodoh yang mencari pencerahan jiwa dan raga, tidak ahli dalam bidang ilmu agama ataupun hal pengetahuan tentang keagamaan. (2) Si siswa tokoh cerita berkelana mengelilingi dunia anglelana angideri bumi, dengan alasan pengembaraannya untuk bertapa, agar dapat mengubah tingkah laku segala nafsu yang bernoda (dasamala) yang menyebabkan dukacita, menyebabkan raga sengsara. (3) Alur cerita Kidung Surajaya lurus. Di pupuh 5 ada cerita lain yang bisa dikatakan

4 3 berdiri sendiri yaitu perang di Jebugwangi dengan tokohnya 5 bersaudara, yaitu Panjiwisaya dan empat saudaranya berperang melawan tiga bersaudara, yaitu Ki Sora dan dua saudaranya. (4) Setelah berguru kepada beberapa ajar, si siswa bertambah pengetahuannya dan terbuka pikirannya. Ajaran dari para ajar tersebut mendorong si siswa lebih maju lagi untuk mendekat pada tujuannya, yaitu tapa. Setelah tapa dilakukan, jiwa si siswa melesat pergi meninggalkan badan dan tidak kembali lagi. Kidung Surajaya digubah dalam tujuh pupuh dengan pola macapat, berbahasa Jawa Pertengahan dengan nuansa Jawa Baru yang kental, beraksara Buda. Yang menjadi kekhasan Kidung Surajaya adalah bahwa kidung ini merupakan salah satu koleksi naskah Merapi-Merbabu; sementara koleksi naskah Merapi-Merbabu belum banyak diteliti. Sepanjang pemeriksaan atas katalog-katalog yang tersedia dan terjangkau, Kidung Surajaya tidak ditemukan di tempat lain selain di PNRI. Dipandang dari sudut naskahnya, Kidung Surajaya cukup tua umurnya, yaitu abad 17 M. Alasan pemilihan kidung ini sebagai bahan penulisan tesis karena dilihat dari sudut karya sastranya karya sastra Kidung Surajaya cukup menarik untuk disimak. Kidung Surajaya setidak-tidaknya mewakili karya sastra yang dihasilkan pada abad 17 M, khususnya karya sastra hasil skriptorium Merapi-Merbabu; dan karya sastra Jawa Klasik pada umumnya yang ditulis di Jawa. Hal lain yang menjadi alasan dibuatnya penelitian ini bahwa diperkirakan Kidung Surajaya adalah khas karya para ajar yang berdiam disekitar daerah lereng gunung Merapi-Merbabu. Kidung Surajaya tidak sendirian dalam kekhasan ini, kidung lain yang sejenis adalah Kidung Ragadarma dan Kidung Subrata. Kidung-kidung yang sudah diterbitkan selama ini adalah kidung dengan latar belakang historis legendaris yaitu Kidung Sunda (Berg 1927), Sundayana (Berg 1928), Harsawijaya (Berg 1939), Ranggalawe (Berg 1930), Sorandaka ( van den Berg 1939). Kidung lain dengan cerita Panji yaitu Wangbang Wideya (Robson 1971), kidung dengan tema ruwat Sri Tanjung (Prijono 1938), Sudamala (van Stein Callenfels 1932). Kidung dengan sumber cerita Tantri yaitu Tantri Pisacarana (Suarka 2007) dan Tantri Kediri (Revo Arka Giri Soekatno 2009). Zoetmulder mengatakan bahwa kebanyakan kidung ditulis di Bali (Zoetmulder 1983:33), tidak mungkin menetapkan satu kidung pun ditulis di Jawa (Zoetmulder 1983:170). Sri Tanjung dan Sudamala kemungkinan ditulis di Jawa Timur (Zoetmulder 1983:510). Dalam penelitiannya terhadap sastra kidung, Zoetmulder tidak menemukan satu karya pun yang tanggal penulisannya dapat ditentukan. Selanjutnya, Zoetmulder menyatakan di dalam kidung dalam hal mendeskripsikan busana tokohnya dibahas sampai detail dan diulang-ulang, warna pakaian, pola pakaian, jenis manikam atau bunga yang dipakai dengan perhiasan tradisional. Dalam lukisan keindahan alam jarang ditemukan bukti bahwa penyair

5 4 langsung mengandalkan observasi pribadi seperti yang ada dalam kakawin. Kebanyakan cerita ditempatkan dalam atau sekitar salah satu kraton di Jawa dan kraton Balilah sebagai modelnya (Zoetmulder 1983: ). Kecuali Sri Tanjung dan Sudamala, kidung-kidung yang disebut di atas bercerita dengan fokus istana sentris, tokohnya raja, pangeran, kerabat kerajaan. Di dalam Kidung Surajaya deskripsi yang paling menonjol adalah nasihat para ajar dan kisah perjalanan tokohnya. Lukisan lain berupa lukisan pemandangan alam terutama sawah-sawah, tumbuh-tumbuhan, bunga-bungan yang ada di sepanjang jalan atau di tempat para ajar, pemandangan di pertapaan, suasana pertapaan, upacara pentahbisan Surajaya, jenis flora dan fauna di sekitar pegunungan yang dilalui tokohnya, sirih sebagai penyambut tamu dan sebagai hidangan setelah makan, alat penanda waktu yang dibunyikan. Menurut peneliti, lukisan-lukisan di atas itulah yang dilihat oleh penyair Kidung Surajaya, kalau pun si penyair tidak mengadakan perjalanan langsung untuk mengadakan observasi tentang keindahan alam semuanya yang dia tulis. Persamaan kidung-kidung historis legendaris, Panji (dalam hal ini diwakili oleh Wangbang Wideya) dan dua kidung ruwat seperti yang disebut di atas dengan Kidung Surajaya adalah sebagai berikut. (1) Dari segi bentuk sastra, semua kidung yang dimaksud di atas berpola metrum macapat (kecuali Harsawijaya, Wangbang Wideya) ada yang dengan variasi pola bait berpasangan, ada yang menambah dengan metrum kawitan (Sri Tanjung). (2) Tokoh dan ceritanya bersifat lokal (tidak mengadopsi dari tokoh India). (3) Penyairnya bukan pujangga dari kalangan istana. Perbedaan kidung-kidung historis legendaris, Panji, dan dua kidung ruwat di atas dengan Kidung Surajaya adalah sebagai berikut. (1) Hanya dalam Kidung Surajaya saja ada bait-bait dengan metrum lain yang tersebar secara acak dalam pupuh induknya. (2) Dari segi cerita, isi Kidung Surajaya menitikberatkan pada perjalanan dan nasihat yang diberikan para ajar kepada tokoh cerita yang mengembara dengan tujuan tertentu. (3) Tujuan pengembaraan si tokoh adalah untuk bertapa, menghilangkan nafsu yang bernoda yang menyebabkan raga sengsara. Kidung-kidung yang dibicarakan Zoetmulder tersebut di atas dan Kidung Surajaya sama-sama ditulis oleh penyair yang bukan dari penyair istana, tetapi kiranya masing-masing penyair mempunyai tradisi dan latar belakang pengetahuan yang berbeda. Zoetmulder dalam membicarakan para kawi penyair menyatakan bahwa ada kawi negara penyair yang tinggal dan bekerja di karaton, kawi wiku penyair yang menjalani kehidupan religius, dan kawi sunya penyair yang hidup bagai seorang pertapa (Zoetmulder 1983:187). Penyair Kidung Surajaya kiranya berasal dari penyair yang mempunyai tradisi menekuni olah batin yang bertujuan pada laku tapa.

6 5 Pada kidung-kidung historis yang sudah diterbitkan masih sedikit dilakukan pembicaraan secara lebih mendalam, misalnya terjemahan dan pembicaraan teksnya. Pembicaraan yang lebih maju yaitu dengan terbitnya kidung Wangbang Wideya dengan genre cerita Panji (Robson 1971), yang berisi teks, terjemahan disertai catatan dan penjelasan. Tahun 2007 telah dilakukan penelitian atas Kidung Tantri yaitu Tantri Pi acaraøa (Suarka 2007), disajikan teks, terjemahan, dan analisis sastra sehubungan penciptaan kidung tersebut. Revo Arka Giri Soekatno (2009) meneliti Tantri Kƒ iri. Dari skriptorium naskah sejenis dengan Kidung Surajaya yaitu dari lingkungan penyair di luar istana, dalam khasanah sastra Sunda dapat disebut di sini karya yang dikerjakan oleh Noorduyn dan Teeuw (2006, dan edisi bahasa Indonesia 2009) yaitu Three Old Sundanese poems (Tiga Pesona Sunda Kuna). Tiga Pesona Sunda Kuna memuat tiga puisi Sunda Kuna yaitu Para Putra Rama dan Rawana, Pendakian Sang Ajnyana dan Bujangga Manik melintasi Jawa. Dalam hubungannya dengan Kidung Surajaya, cerita Para Putra Rama dan Rawana diabaikan. Dari segi isi cerita Kidung Surajaya merupakan perpaduan antara Pendakian Sri Ajnyana dan Perjalanan Bujangga Manik melintasi Jawa. Cerita Sri Ajnyana diawali dengan kisah tokohnya yaitu Sri Ajnyana berkasih-kasihan dengan Puah Aci Kembang yang dikeluarkan dari kahyangan turun ke dunia (SA Sri Ajnyanaselanjutnya disebut SA, angka dalam SA maupun BM yaitu Bujangga Manik berasal dari baris-baris teks dalam Tiga Pesona Sunda Kuna). Sri Ajnyana turun ke dunia sebagai manusia di Gunung Damalung (SA 50). Ratapan penyesalan kedua tokoh tersebut (SA ). Sri Ajnyana memutuskan untuk ke gunung mencari penolong supaya dapat keluar dari penderitaan (SA ). Sri Ajnyana bertemu dengan Sang Mahapandita yang memberinya nasihat untuk menghapus dosa harus pergi bertapa ( ). Permenungan nasihat Sri Mahapandita oleh Sri Ajnyana (SA ). Datang utusan dari kahyangan memanggil Sri Ajnyana ke kahyangan (SA ). Perjalanan Sri Ajnyana ke kahyangan (SA ). Di kahyangan. Penggambaran masing-masing kahyangan para dewa (SA ). Pasamuhan para dewa kemudian bubar ( ). Sri Ajnyana melihat-lihat keadaan kahyangan di sana-sini, pengarang mendeskripsikan secara detail: meru, tiang, lantai, ukiran, hiasan dengan permatanya, tanaman dengan bunga, taman, wangi-wangian (SA ). Sri Ajnyana ingat pernah tinggal di situ, dia bersedih dan teringat ketika dikeluarkan dari kahyangan untuk turun ke dunia ( ). Sri Ajnyana bertemu dengan Puah Aci Kuning. Deskripsi rinci pakaian Puah Aci Kuning (SA ). Sri Ajnyana bertanya kepada Puah Aci Kuning tentang keberadaan Puah Aci Kembang (SA ). Rayuan Puah Aci Kuning kepada Sri Ajnyana, gambaran kamar tidur Puah Aci Kuning tentang tirainya, selimutnya, kelambunya, tikarnya, bantalnya, baju-baju di rak (SA ). Puah Aci Kuning menggoda untuk mencobai Sri Ajnyana. Puah Aci Kuning memberi nasihat agar dapat melepaskan diri dari dosa (SA ). Sri

7 6 Ajnyana minta diri untuk melanjutkan perjalanan (SA 907). Sri Ajnyana melihat-lihat kahyangan sampai di tempat Puah Lakawati (SA ). Sri Ajnyana bertanya tentang keberadaan Puah Aci Kembang kepada Puah Lakawati (SA ). Nasihat Puah Lakawati pada Atma Wisesa (Sri Ajnyana) (SA ). Nasihat Puah Lakawati kepada Atma Wisesa bagaimana caranya jika ingin bebas dari rasa sakit dan lepas dari marabahaya (SA ). Atma Wisesa mohon diri untuk turun ke bumi lagi, menetap di bumi menyatu dengan manusia (SA ). Kisah Bujangga Manik melintasi Jawa berisi daftar panjang nama tempat, sungai, gunung yang dilewati oleh Bujangga Manik. Bagian cerita lain yang ditulis secara rinci dalam perjalanan Bujangga Manik adalah gambaran tentang kapal yang ditumpanginya untuk kembali ke tempatnya semula, gambaran tentang kebiasaan menyajikan sirih dan segala perlengkapannya, adat melamar, informasi tentang menenun dalam kegiatan para perempuan di tanah Sunda zaman dahulu. Cerita Bujangga Manik secara ringkas seperti berikut ini. Seorang bangsawan Sunda yaitu Pangeran Jaya Pakuan yang kemudian disebut Bujangga Manik meninggalkan istana untuk pergi ke arah timur. Bujangga Manik tidak menjawab ketika ditanya ke mana arah tujuannya (BM 41). Perjalangan dilanjutkan dengan menyebut sederet nama tempat, sungai, dan gunung. Sampai di Pamalang Bujangga Manik dengan menumpang kapal kembali ke tempat asalnya lewat Sunda Kelapa, Ancol kemudian sampai di rumahnya kembali (BM 145). Lukisan keadaan rumahnya, lukisan ibunya yang sedang menenun, lukisan tirai-tirai dalam rumah, lukisan sirih dan perlengkapannya yang dihidangkan ibunya untuk menyambut kedatangan anaknya (Bujangga Manik). Uraian panjang tentang Putri Ajung Larang yang meracik sirih sebagai lamaran kepada Bujangga Manik (BM ). Bujangga Manik menolak lamaran sang putri dan berkata akan pergi mengembara lagi ke timur (BM 659). Penyebutan nama tempat, sungai, gunung yang dilalui Bujangga Manik. Bujangga Manik bertapa di Balungbungan (BM 840), ke Bali (886), gambaran perahu yang ditumpanginya (BM 897). Dari Bali Bujangga Manik menumpang perahu ke Palembang. Gambaran perahu dengan segala perlengkapannya (BM 994). Di hulu Sungai Citarum Bujangga Manik bertapa (BM 1283). Bujangga Manik mencari tempat tinggal untuk penyucian diri (BM ), pergi ke Gunung Patuha (BM 1400), membangun pertapaan, bertapa (BM 1430) 9 tahun lamanya kemudian meninggal, rohnya bertemu Dorakala. Hal yang utama dalam Kidung Surajaya adalah nasihat para ajar yang didatangi Surajaya selama perjalanan pengembaraannya. Nasihat-nasihat para ajar tersebut mendorong Surajaya maju untuk melakukan tapa. Gambaran upacara pentahbisan Surajaya, gambaran tempat, pertapaan yang disinggahinya, lukisan pertapaan, tempat sepanjang jalan, penyebutan flora dan fauna yang dilihat Surajaya sepanjang perjalanan tersebut.

8 7 Persamaan cerita Sri Ajnyana, Bujangga Manik, dan Surajaya adalah petualangan religius tokohnya dengan porsinya dan kekhasannya masing-masing. Sri Ajnyana menitikberatkan pada pencarian Sri Ajnyana ke kahyangan untuk menemukan Puah Aci Kembang, perjalanan tokohnya di kahyangan dari kahyangan yang satu ke kahyangan yang lain, rincian nasihat Puah Aci Kuning dan Puah Lakawati kepada Sri Ajnyana. Puah Lakawati menyebut Sri Ajnyana dengan sebutan Atma Wisesa. Kisah Bujangga Manik bagian terbesarnya berisi rincian seluruh tempat yang dikunjungi, yang dilihat dari jauh, yang dilewati. Dari teksnya diketahui Bujangga Manik belajar di Damalung, bertapa di beberapa tempat. Bujangga Manik tidak pernah menyebut nama gurunya atau pembimbing spiritualnya, tidak menyebut laku tapa seperti apa yang dijalaninya, tidak ada wejangan maupun ajaran spiritual. Bujangga Manik menyebut dirinya Ameng Layaran (BM 123). Singamada dalam perjalanan hidupnya berganti nama dua kali yaitu menjadi Surawani atau sebutan lainnya Surajaya dan menjadi Hantakarana. Surajaya mempunyai beberapa guru spiritual yang menasihatinya dengan panjang lebar tentang menghapus noda badan, laku tapa, menghilangkan godaan badan. Seperti halnya Bujangga Manik, Surajaya di akhir hidupnya bertapa kemudian meninggal. Sri Ajnyana, Bujangga Manik dan Surajaya mempunyai nama atau sebutan lain selain namanya sendiri. Gunung Damalung tampaknya penting dalam cerita Sri Ajnyana, Bujangga Manik, dan Surajaya. Sri Ajnyana turun ke dunia sebagai manusia di Gunung Damalung (SA 50), Bujangga Manik dikatakan baru saja pulang dari tempat perguruan, tempatnya belajar di Gunung Damalung atau sebutan lainnya Pamrihan (BM ), Surajaya atau dalam nama Hantakarana meninggal di Pamrihan lereng sebelah barat. Kiranya skriptorium Sri Ajnyana, Bujangga Manik dan Kidung Surajaya sama-sama berasal dari lingkungan di luar istana, biasanya disebut mandala atau pertapaan. Dari isi masing-masing teks, peneliti menduga bahwa ketiga penyair cerita ini mempunyai latar belakang pengetahuan dan fokus dalam menulis yang berbeda. Menurut Noorduyn (1982:414) Bujangga Manik ditulis abad 15 atau lebih kemudian, atau awal abad 16 sebagai batas akhir. Kidung Surajaya ditulis 1607 MM (tahun Merapi-Merbabu). Teeuw dalam membicarakan Tiga Puisi Sunda Kuna dalam hal ini Sri Ajnyana dan Bujangga Manik sangat rinci membicarakan sistem keagamaan, struktur kesastraan, sistem metrikal, sifat formula, teknik penceritaan. Pembicaraan Kidung Surajaya dalam hal ini tidak secermat analisis Teeuw. Pembicaraan Kidung Surajaya lebih sederhana dalam membicarakan metrum, dan lebih fokus dalam membicarakan apa yang tersirat di balik yang tersurat seperti yang dianjurkan oleh pengarang Kidung Surajaya.

9 8 Karya sastra yang dekat dengan genre siswa lelana brata adalah genre santri lelana yang sudah banyak dibicarakan, misalnya Centhini, Cebolek, Jatiswara yang merupakan karya sastra dari abad Teks dari koleksi naskah Merapi-Merbabu yang pernah diteliti adalah Kuñjarakarna berupa teks prosa Jawa Kuna (Molen 1983, versi terjemahan dalam bahasa Indonesia 2011), Arjunawiwåha berupa kakawin, puisi berbahasa Jawa Kuna (Kuntara 1990), Lilis Restinaningsih (2009) meneliti Kakawin Sena, sebuah puisi Jawa Kuna yang tidak lagi mengindahkan aturan metrum Jawa Kuna. Landasan pemilihan Kidung Surajaya sebagai bahan penulisan tesis ini berpangkal dari penelitian yang sudah dimulai sebelumnya dan belum selesai karena kendala dana, yaitu Kidung Subrata yang juga merupakan koleksi naskah Merapi- Merbabu. Peneliti memutuskan mengambil teks yang dekat dengan Subrata, salah satunya yaitu Kidung Surajaya. Dekat di sini dimaksudkan dalam skriptorium yang sama, pokok cerita juga tidak terlalu jauh berbeda, yaitu tentang moksa. Meskipun demikian, dari segi isi cerita tampak jelas sangat berbeda. Alasan lainnya yaitu: penerbitan teks-teks kidung yang sudah ada sebagian besar berasal dari skriptorium Bali. Dengan diterbitkannya teks Kidung Surajaya yang berasal dari Jawa, peneliti ingin melihat seperti apa teks-teks kuna yang ditulis di Jawa. Barangkali sudah saatnya teks-teks kuna dari Jawa diberi perhatian, untuk didudukkan dan disejajarkan teks-teks Jawa yang ditulis di Bali. Dengan demikian, akan menambah bahan diskusi dalam khasanah sastra Jawa. Zoetmulder (1983) mengatakan bahwa kidung menyediakan bahan yang luas untuk penelitian Sejarah Kebudayaan Jawa-Bali, tetapi bahan belum cukup tersedia. Peneliti dalam hal ini setuju dengan pendapat Zoetmulder. Penelitian ini diharapkan dapat menyumbangkan satu lagi bahan untuk penelitian Sejarah Kebudayaan Jawa- Bali yang sedikit lebih maju. Dengan makin banyaknya teks kidung diterbitkan akan memberikan sumbangan informasi pada sastra Nusantara, karena isi kidung sebagian besar cerita dari Nusantara. Hal menarik dari Kidung Surajaya, disamping faktor aksaranya, yaitu aksara Buda, isi ceritanya belum diketahui sehingga merupakan sesuatu yang baru. Hal ini mendorong untuk mengetahui bagaimana kidung yang ditulis di Jawa. Alihaksara dari aksara Buda merupakan tantangan tersendiri bagi peneliti. Setelah diketahui jalan ceritanya pun, penyair Kidung Surajaya mengharapkan untuk mencari tahu makna dibalik yang tersurat. Dari pernyataan tersebut pembaca dibuat ingin mencari tahu maknanya. Adanya pola metrum lain dalam pupuh yang dipakai dalam Kidung Surajaya itu menarik karena agak tidak lazim hal demikian dalam sastra Jawa Klasik (lihat Bab II dalam membicarakan metrum). Dari segi kekunaan naskah, Kidung Surajaya, khususnya, dan naskah Merapi-Merbabu pada umumnya, mewakili naskah yang cukup kuna. Adanya teks sejenis dengan Kidung Surajaya yaitu Ragadarma dan

10 9 Subrata yang cukup banyak salinanannya kiranya menunjukkan adanya minat dan popularitas teks dengan isi siswa lelana brata dengan tujuan moksa di dalam masyarakat pendukungnya. Barangkali ini berkaitan dengan pernyataan Bujangga Manik dalam laporan perjalanan melintasi Pulau Jawa menyatakan bahwa wilayah Damalung (Merbabu) sekitar abad 15 merupakan pusat studi keagamaan (Noorduyn 1982:416). Hal ini kiranya perlu dibuktikan dengan meneliti teks-teks seperti tersebut di atas; dan Kidung Surajaya mengawalinya. Kesulitan dalam menangani Kidung Surajaya mula-mula ada pada aksaranya yang belum dikenal oleh peneliti, cerita belum diketahui sebelumnya. Dalam proses menerjemahkan suatu teks tampaknya agak lebih mudah bila telah diketahui ceritanya secara garis besar lebih dahulu. Lebih-lebih bila teks itu berupa puisi seringkali tidak seleluasa dan sejelas prosa ketika menguraikan ceritanya, mengungkap maksudnya. Hal ini sama-sama kita maklumi bahwa dalam puisi terbatas ruang nya karena terikat dengan aturan-aturan pembentukan puisi tradisional, dalam hal ini macapat. Kata-kata dalam Kidung Surajaya banyak kehilangan ataupun kelebihan aksara yang standar menurut pemahaman peneliti sehingga mengganggu kelancaran dalam pemahaman menerjemahkan. Ketidakajegan kata yang digunakan, pemakaian kata yang kadang-kadang memakai kata Jawa Kuna, kadang-kadang memakai kata Jawa Baru, ini juga menyulitkan dalam pemahaman peneliti. Penentuan arti kata dalam terjemahan harus tepat apakah konteks kalimat itu sedang memakai bahasa Jawa Kuna ataukah bahasa Jawa Baru. Kesulitan lain dalam menerjemahkan adalah pemutusan kalimat langsung dialog antara tokoh-tokohnya: sampai di mana sang tokoh berbicara kemudian digantikan pembicaraan tokoh lain. Kesulitan lainnya adalah keterbatasan pengetahuan peneliti tentang materi yang sedang dibicarakan tokoh-tokohnya. Poerbatjaraka (1964:76) ketika membicarakan Kidung Subrata berkomentar bahwa Kidung Subrata memuat filosofi tinggi: Filosofienipun Kidung Subrata kenging dipun wastani inggil. Pantjén tijang Djawi jén prakawis filosofie, rumijin mila, nama sampun inggil. Nanging tjƒ anipun ingkang kapratelakakƒn ing Kidung Subrata, angél sangƒt. Filosofi Kidung Subrata bisa disebut tinggi. Memang orang Jawa dalam hal filosofi, sejak dahulu sudah tinggi. Jelasnya yang dibeberkan dalam Kidung Subrata sangat sulit. Dalam meneliti Kidung Surajaya ditemukan kendala-kendala yaitu belum banyaknya penelitian atas naskah-naskah Merapi-Merbabu pada umumnya, apalagi karya sastra kidung. Dengan tidak adanya penelitian terdahulu terhadap kidung dari koleksi naskah Merapi-Merbabu dan sedikitnya penelitian atas naskah Merapi- Merbabu pada umumnya menyebabkan tidak tersedianya bahan referensi. Hal ini menyebabkan hingga saat ini belum diketahui dengan jelas bagaimana bahasa, tata bahasa, filsafat, agama penulis teks-teks naskah Merapi-Merbabu yang menjadi latar

11 10 belakang penulisan Kidung Surajaya pada khususnya dan naskah Merapi-Merbabu pada umumnya. Hal ini menimbulkan hambatan bagi peneliti dalam meneliti Kidung Surajaya. Dengan segala keterbatasan kemampuan, pengetahuan, dan sarana referensi, peneliti memberanikan diri mencoba untuk memasuki wilayah belantara itu dengan meraba-raba sehingga hasil penelitian ini sangat sederhana dan dangkal. Diharapkan penelitian ini dapat menjadi batu pijakan bagi peneliti lain yang berminat terhadap penelitian naskah Merapi-Merbabu. Dengan demikian, sedikit demi sedikit akan tersedia bahan dari koleksi naskah Merapi-Merbabu yang kelak dapat digunakan untuk tujuan penelitian yang lebih mendalam. Dengan tidak tersedianya bahan, penelitian tentang sejarah sastra, agama, filsafat, bahasa teks naskah Merapi-Merbabu pada khususnya kemajuan pengetahuan dalam bidang ini terhambat. Penelitian Hal yang akan dilakukan dalam tesis ini adalah: 1. Menyajikan suntingan teks Kidung Surajaya dengan cara diplomatik. Mengiringi suntingan diplomatik disajikan pula terjemahan dan catatan atas teks. Alasan dipilihnya cara suntingan diplomatik agar pembaca dapat sedekat mungkin dengan teks asalnya dan teks asli dapat diteliti dalam bentuk yang dipermudah aksesnya. 2. Mendahului suntingan teks akan dibicarakan seluk beluk Kidung Surajaya. Pembicaraan ini meliputi naskahnya, metrumnya, bahasanya, waktu penyalinan, dan penulis. 3. Analisis makna Kidung Surajaya. Analisis didasarkan pada apa yang dikatakan di dalam teksnya. Tesis ini berfokus pada teks. Latar belakang, kondisi sosial, agama penulis teks tidak dibicarakan dalam tesis ini. Sesuai dengan pokok masalah di atas maka tujuan penelitian dalam rangka penulisan tesis ini dengan sendirinya akan memberi gambaran: 1. Kidung yang merupakan salah satu koleksi naskah Merapi-Merbabu, salah satu karya sastra dari skriptorium Jawa. 2. Ragam sastra siswa lelana brata macam apa yang ada di kalangan para ajar di Merapi-Merbabu, dalam hal ini diwakili Kidung Surajaya. 3. Pemahaman makna penulisan Kidung Surajaya. Kidung Surajaya sejauh pengamatan peneliti belum pernah dikerjakan sebelumnya; demikian pula karya sejenis (di lingkungan Merapi-Merbabu) yaitu Subrata dan Ragadarma. Mula-mula membicarakan deskripsi naskah dari semua naskah Kidung Surajaya (bentuk cerita panjang, bentuk cerita pendek, fragment, ringkasan). Setelah itu

12 11 menangani teks. Teks dialihaksarakan, lalu diterjemahkan. Dalam proses terjemahan itu diperlukan koreksi ataupun usul pembacaan agar teks bisa dibaca. Usul pembacaan ini bisa dari peneliti sendiri (konjektur) ataupun karena adanya bacaan dari teks lain yang senama (emendasi). Dalam filologi tradisional seperti yang dikemukakan Maas (1967:1) bahwa kritik teks dibuat untuk menghasilkan sebuah teks sedekat mungkin dengan aslinya (archaetypus. Wolf (1993:339), Teeuw (1984: )). Demikian pula yang dikemukakan oleh Reynolds dan Wilson (1978: ) bahwa kritik teks mempunyai tujuan dan tugas untuk mencapai teks yang sedekat mungkin dengan aslinya dan membuat rekonstruksi teks. Kratz menekankan bahwa penyuntingan sejumlah naskah kecil dengan deskripsi lengkap, catatan kritis yang layak dan bahan pelengkapnya misalnya konkordansi harus diutamakan daripada konstruksi teks yang menjadi campur aduk dari beberapa naskah (Kratz 1978:239 via Teeuw 1984: ). West berpendapat bahwa kritik teks tidak bisa diringkas menjadi sejumlah aturan-aturan. Setiap problem baru mengundang pemikiran baru, tetapi ada prinsipprinsip umum yang sangat berguna tetapi tidak dengan sendirinya jelas (West 1973:9). Dalam penulisan tesis ini kiranya peneliti mengikuti pendapat yang dikatakan Kratz tersebut. Kritik teks merupakan salah satu dari disiplin dalam bidang ilmu Filologi. Pada dasarnya kritik teks salah satunya mempunyai tujuan menjembatani kesenjangan komunikasi antara penulis teks dan pembaca modern. Dengan demikian, secara pendek kata tugas filolog (salah satunya) adalah membuat teks terbaca dan dimengerti (Robson 1994:12). Agar teks terbaca dan dimengerti pada dasarnya ada dua hal yang harus dilakukan, yaitu menyajikan dan menafsirkan (Robson 1994:12, Wolf 1993:343). Pendekataan penelitian ini menempuh jalur filologi dan sastra. Bidang filologi untuk membedah teksnya, bidang sastra untuk membedah metrum, isi, maknanya. Kritik teks dan kritik sastra keduanya tidak bisa dipisahkan. Keduanya adalah dua sisi dari sebuah mata uang. Hal yang tidak mungkin untuk melakukan kritik teks tanpa melakukan analisis sastra dan penafsirannya; studi sastra tidak mungkin dilakukan tanpa dengan kritis meninjau sumber-sumber teksnya (Teeuw 1991: , Robson 1978:4). Menurut Robson (1978:4) studi filologi mencakup lebih banyak dari pada sekedar kritik teks, juga berbeda dari teori sastra dan linguistik, meskipun keduanya berkaitan (Robson 1994:12-13) sehingga dalam hal ini tidak selayaknya memisahkan kritik teks dengan kritik sastra. Dalam pendekatan filologi tradisional segala sesuatu dalam sebuah naskah yang menyimpang dari teks yang dianggap asli dipandang sebagai korupsi yang oleh filolog harus disingkirkan (Teeuw 1984:270). Dalam filologi modern variasi naskah justru dianggap sebagai kreasi (Teeuw 1984:270).

13 12 Kritik teks adalah ilmu sekaligus seni. Ini adalah ilmu untuk menemukan kesalahan dalam teks dan seninya untuk menghilangkan kesalahan tersebut. Kritik teks memerlukan penanganan individu (pada setiap materinya), setiap problem yang ada seharusnya dianggap sebagai kemungkinan yang unik. Problemnya tidak sederhana, tetapi rumit. Ilmu dan seni ini menuntut lebih pada seorang pembelajar daripada daya pikir yang menerima saja; dan sungguh benar bahwa ilmu ini tidak bisa diajarkan sama sekali (Housman 1988: ). Kritik teks, seperti kebanyakan ilmu pengetahuan lain, hanya dimiliki oleh sekelompok orang tertentu saja, tidak dapat dikomunikasikan kepada semua orang, juga tidak pada kebanyakan orang (Housman 1988:339). Dalam menerbitkan teks dua cara dapat ditempuh, yaitu diplomatik dan kritis. Teks terbitan diplomatik identik dengan teks dalam manuskrip. Editor menyajikan teks seperti yang ditemukannya kepada pembaca. Bacaan-bacaan yang berbeda pada teks, berdasarkan konjektur atau berasal dari manuskrip lain, tidak dimasukkan dalam teks tetapi ditempatkan pada catatan kaki atau dibedakan secara jelas dari teks yang disajikan dengan cara lain (Molen 1981:5). Akhir-akhir ini dihimbau kembali pentingnya terbitan diplomatik, dimaksudkan untuk menyajikan teks bagi pembaca masa kini agar dapat lebih dekat dengan sumbernya (Molen 2011:84). Dalam penelitian ini hal ini dilakukan, namun demikian tidaklah sesempurna yang diharapkan. Sebuah teks hanya akan mempunyai signifikansi penuh jika kita bisa memandang dalam konteks yang tepat atau sebagai bagian dari sebuah keseluruhan, yang muncul bersama dengan karya lain yang sejenis (Robson 1994:13). Dalam hal pembicaraan Kidung Surajaya keberadaan karya sastra lain penting karena dari karya sastra lain itu bisa didapat informasi penting yang di dalam Kidung Surajaya sendiri masih gelap. Teori yang terakhir ini dipakai dalam rangka pemahaman salah satu pola metrum Kidung Surajaya yang harus dilihat melalui teks lain dalam koleksi naskah Merapi-Merbabu yaitu Subrata. Penyajian suntingan teks dengan cara diplomatik adalah menghadirkan teks sedekat mungkin dengan bacaan aslinya sehingga pembaca lain mempunyai kebebasan jika mempunyai penafsiran baca yang berbeda. Disamping itu, dengan suntingan diplomatik, tradisi penulisan teks suatu skriptorium masih dapat dilihat. Penyuntingan diplomatik ini juga kiranya bermanfaat bagi peneliti dari bidang disiplin ilmu yang lain, misalnya dari bidang ilmu bahasa, yang memang langka dalam menekuni bahasa Jawa masa lampau dan bahasa di dalam teks-teks kuna. Jones menyatakan bahwa edisi teks yang ideal sebaiknya menonjolkan prestasi penulis asli daripada pengetahuan penyunting. Edisi diplomatik memperlihatkan secara tepat cara mengeja kata-kata dari naskah dan teks itu merupakan gambaran nyata mengenai konvensi pada waktu dan tempat tertentu (Jones 1980:125). Kekurangan dari edisi ini adalah bahwa pembaca tidak sunggguh-sungguh terbantu, padahal pembaca tidak

14 13 kenal dengan gaya atau isi teks sehingga harus berjuang sendiri dengan aneka kesulitan atau perubahan yang ada dalam teks (Robson 1994:25). Selanjutnya, Robson mengatakan bahwa masyarakat terpelajarlah yang akan lebih menyukai metode terbitan diplomatik. Alasan Robson tentang pernyataan ini didasarkan pada pendapat: siapa yang dapat menyatakan bahwa koreksi teks dari penyunting itu betulbetul sebuah koreksi. Bukankah dapat terjadi bahwa penyunting tidak mengenali bentuk yang sebetulnya sangat tepat dalam konteks tertentu ini? (Robson 1994:25). Tentu saja baik terbitan diplomatik maupun terbitan dengan bacaan yang diperbaiki ada kekurangan dan kelebihan masing-masing. Dengan tersedianya bahan-bahan - dalam hal ini suntingan teks - yang dekat dengan teks aslinya memungkinkan peneliti lain masuk dalam teks koleksi naskah Merapi-Merbabu dengan cara yang dipermudah. Penyuntingan teks menjadi perlu karena Kidung Surajaya adalah teks masa lalu yang mempunyai latar belakang bahasa dan aksara yang berbeda dengan masa kini. Selain itu, karena berasal dari bahasa waktu lampau, teksnya banyak terdapat kesalahan penyalinan. Kesalahan penyalinan ini biasa terjadi karena tulisan pada naskah induknya tidak jelas atau karena kesalahan-kesalahan yang dilakukan penyalin karena penyalin sudah tidak lagi mengenal dengan baik aksaranya. Manakala teks disalin, kesalahan-kesalahan selalu muncul (West 1973:12, Teeuw 1991:212). Adanya kesalahan-kesalahan itu teks bisa menjadi tidak terbaca secara semestinya sehingga sulit untuk diterjemahkan. Adanya kendala aksara dan bahasa itu menjadikan Kidung Surajaya tidak terjangkau oleh publik masa kini. Itulah sebabnya diperlukan suntingan teks, terjemahan, catatan, dan komentar agar informasi yang ada pada teks dapat diakses oleh publik masa kini. Teori sastra yang kiranya dekat untuk membicarakan hal yang tersirat dari yang tersurat seperti yang dikatakan oleh penulis Kidung Surajaya sendiri, yaitu teori sastra dari Riffaterre (1978). Riffaterre antara lain menyatakan bahwa dalam membaca puisi sastra ada dua tahapan. Tahapan pertama yaitu pembacaan pertama disebut heuristic reading. Tahapan kedua yaitu pembacaan level kedua disebut hermeunitic reading. Pendek kata, pembacaan pertama dimaksudkan untuk mengerti jalan cerita dalam teks, pembacaan kedua untuk mencari makna dari teks tersebut. Selanjutnya, Riffaterre (1978:1) berpendapat, puisi menyatakan satu hal dan berarti yang lain a poem says one thing and means another. Buku Riffaterre ini relevan dalam konteks sastra Jawa karena pembedaan antara yang tersurat dan tersirat adalah lazim dalam puitika Jawa. Bab I berisi pendahuluan yang mencakup pembicaraan mengenai alasan penulisan, hambatan-hambatan, latar belakang naskah Merapi-Merbabu, permasalahan, tujuan penelitian, landasan teori dan sistematika penyajian. Bab II berisi deskripsi naskah, metrum, bahasa, kolofon, dan penulis Kidung Surajaya. Bab

15 14 III berisi teks, terjemahan, dan cacatan. Bab IV berisi analisis makna isi teks Kidung Surajaya, menguraikan beberapa hal yang dianggap penting dan terjangkau tentang makna yang tersirat maupun tersurat. Daftar Pustaka dan Lampiran 1 berisi ikhtisar, lampiran 2 berisi daftar aksara.

BAB I PENDAHULUAN. terbesar di dunia. Perkembangan Islam di Indonesia khususnya pulau Jawa sangat

BAB I PENDAHULUAN. terbesar di dunia. Perkembangan Islam di Indonesia khususnya pulau Jawa sangat BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan Negara dengan penduduk pemeluk agama Islam terbesar di dunia. Perkembangan Islam di Indonesia khususnya pulau Jawa sangat pesat, hal ini tak luput

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. rakyat, sejarah, budi pekerti, piwulang, dll. (Nindya 2010:1). Manfaat dalam

BAB I PENDAHULUAN. rakyat, sejarah, budi pekerti, piwulang, dll. (Nindya 2010:1). Manfaat dalam BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Naskah kuna mempunyai peran penting dalam peradaban umat manusia, karena naskah kuna berisi berbagai macam tulisan tentang: adat istiadat, cerita rakyat, sejarah, budi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang tidak hanya berupa arca atau prasasti, tetapi juga dapat berasal dari naskahnaskah

BAB I PENDAHULUAN. yang tidak hanya berupa arca atau prasasti, tetapi juga dapat berasal dari naskahnaskah BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Berbagai ilmu pengetahuan yang ada pada jaman sekarang dapat dikatakan merupakan buah pikir dari warisan leluhur. Warisan leluhur dapat berupa artefak yang tidak hanya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. memikat perhatian para peneliti, salah satunya adalah kakawin yang merupakan

BAB I PENDAHULUAN. memikat perhatian para peneliti, salah satunya adalah kakawin yang merupakan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Dalam khazanah sastra Jawa Kuna (kawi) memang telah sejak lama memikat perhatian para peneliti, salah satunya adalah kakawin yang merupakan sastra Jawa Kuna yang berbentuk

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pikir manusia demi menunjang keberlangsungan hidupnya. Dalam Kamus Besar

BAB I PENDAHULUAN. pikir manusia demi menunjang keberlangsungan hidupnya. Dalam Kamus Besar BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kebudayaan merupakan salah satu unsur penting dalam kehidupan manusia. Hal itu disebabkan karena budaya merupakan hasil olah rasa dan olah pikir manusia demi menunjang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dipandang sebagai cipta sastra karena teks yang terdapat dalam teks mengungkapkan

BAB I PENDAHULUAN. dipandang sebagai cipta sastra karena teks yang terdapat dalam teks mengungkapkan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Naskah-naskah Nusantara sangat beraneka ragam, yang isinya mengemukakan tentang kehidupan manusia misalnya, masalah politik, sosial, ekonomi, agama, kebudayaan, bahasa,

Lebih terperinci

METODE EDISI: STEMMA

METODE EDISI: STEMMA METODE EDISI: STEMMA Oleh: Tedi Permadi Program Studi Bahasa dan Sastra Indonesia Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia Fakultas Pendidikan Bahasa dan Seni - Universitas Pendidikan Indonesia Objek

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Tradisi tulis yang berkembang di masyarakat Jawa dapat diketahui melalui

BAB I PENDAHULUAN. Tradisi tulis yang berkembang di masyarakat Jawa dapat diketahui melalui BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Tradisi tulis yang berkembang di masyarakat Jawa dapat diketahui melalui naskah kuna. Jenis isi dari naskah kuna sangat beragam. Jenis teks tersebut antara lain berisi

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. 1 Universitas Indonesia

BAB 1 PENDAHULUAN. 1 Universitas Indonesia BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Naskah kuno merupakan salah satu warisan nenek moyang yang masih tersimpan dengan baik di beberapa perpustakaan daerah, seperti Perpustakaan Pura Pakualaman dan Museum

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1 Kata tembang nyanyian sama fungsi dan kegunaannya dengan kidung, kakawin dan gita. Kata kakawin berasal

BAB I PENDAHULUAN. 1 Kata tembang nyanyian sama fungsi dan kegunaannya dengan kidung, kakawin dan gita. Kata kakawin berasal BAB I PENDAHULUAN A. Pendahuluan a. Latar Belakang Masalah Dalam menjalani kehidupannya di dunia manusia mengalami banyak peristiwa baik itu yang menyenangkan maupun yang menyedihkan. Terkadang beberapa

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Universitas Indonesia 1

BAB 1 PENDAHULUAN. Universitas Indonesia 1 1 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG Masyarakat Jawa merupakan salah satu masyarakat di Indonesia yang memiliki berbagai macam budaya. Salah satu budaya yang terdapat dalam masyarakat Jawa adalah budaya

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Masyarakat Jawa telah mengenal budaya bersusastra melalui tulisan yang

BAB 1 PENDAHULUAN. Masyarakat Jawa telah mengenal budaya bersusastra melalui tulisan yang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG Masyarakat Jawa telah mengenal budaya bersusastra melalui tulisan yang tertuang dalam bentuk naskah sejak abad IX 1. Berkaitan dengan tulisan dalam bentuk naskah, Saputra

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. sistem konvensi sastra tertentu yang cukup ketat. Geguritan dibentuk oleh pupuh

BAB I PENDAHULUAN. sistem konvensi sastra tertentu yang cukup ketat. Geguritan dibentuk oleh pupuh BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Geguritan adalah suatu karya sastra tradisional yang mempunyai sistem konvensi sastra tertentu yang cukup ketat. Geguritan dibentuk oleh pupuh atau pupuh pupuh, dan

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Naskah naskah..., Andriyati Rahayu, FIB UI., Universitas Indonesia

BAB 1 PENDAHULUAN. Naskah naskah..., Andriyati Rahayu, FIB UI., Universitas Indonesia 1 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pengetahuan tentang kebudayaan kita di masa lampau tergali dari peninggalan masa lalu, termasuk di antaranya adalah naskah. Isi naskah-naskah dapat memberikan gambaran

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. nenek moyang yang memiliki nilai-nilai luhur budaya. Bali bukan hanya sebagai

BAB I PENDAHULUAN. nenek moyang yang memiliki nilai-nilai luhur budaya. Bali bukan hanya sebagai BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Bali dikenal sebagai salah satu penyimpanan naskah-naskah kuna warisan nenek moyang yang memiliki nilai-nilai luhur budaya. Bali bukan hanya sebagai penyimpanan naskah-naskah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Sastra adalah karya lisan atau tertulis yang memiliki berbagai ciri keunggulan seperti keorisinilan, keartistikan, keindahan dalam isi dan ungkapannya (Sudjiman,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang luas yang mencakup bidang kebahasaan, kesastraan, dan kebudayaan

BAB I PENDAHULUAN. yang luas yang mencakup bidang kebahasaan, kesastraan, dan kebudayaan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Filologi merupakan suatu pengetahuan tentang sastra-sastra dalam arti yang luas yang mencakup bidang kebahasaan, kesastraan, dan kebudayaan (Baroroh-Baried,

Lebih terperinci

BAB V PENUTUP. A. Simpulan. hubungan intertekstual antara novel Tantri Perempuan yang Bercerita karya Cok

BAB V PENUTUP. A. Simpulan. hubungan intertekstual antara novel Tantri Perempuan yang Bercerita karya Cok digilib.uns.ac.id BAB V PENUTUP A. Simpulan Fokus kajian dalam penelitian ini adalah menemukan benang merah hubungan intertekstual antara novel Tantri Perempuan yang Bercerita karya Cok Sawitri terhadap

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Tutur merupakan salah satu jenis teks sastra tradisional yang mengandung

BAB I PENDAHULUAN. Tutur merupakan salah satu jenis teks sastra tradisional yang mengandung BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Tutur merupakan salah satu jenis teks sastra tradisional yang mengandung nilai filsafat, agama, dan nilai kehidupan. Tutur adalah 'nasehat' atau 'bicara'. Kata perulangan

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, DAN LANDASAN TEORI

BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, DAN LANDASAN TEORI BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, DAN LANDASAN TEORI 2.1 Kajian Pustaka Kakawin pada umumnya mengandung cerita dalam epos Ramayana dan Mahabharata yang menceritakan perjalanan tokoh dalam cerita tersebut.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. sastra sebagai milik bersama yang mencerminkan kedekatan antara karya sastra

BAB I PENDAHULUAN. sastra sebagai milik bersama yang mencerminkan kedekatan antara karya sastra BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Babad merupakan salah satu karya sastra sejarah. Adanya tradisi karya sastra sebagai milik bersama yang mencerminkan kedekatan antara karya sastra dengan penyambutnya

Lebih terperinci

Kawruh warnining udheng-udhengan (suatu tinjauan filologis) Budi Kristiono C UNIVERSITAS SEBELAS MARET BAB I PENDAHULUAN

Kawruh warnining udheng-udhengan (suatu tinjauan filologis) Budi Kristiono C UNIVERSITAS SEBELAS MARET BAB I PENDAHULUAN Kawruh warnining udheng-udhengan (suatu tinjauan filologis) Budi Kristiono C0199012 UNIVERSITAS SEBELAS MARET BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Bangsa Indonesia merupakan bangsa yang memiliki

Lebih terperinci

MANFAAT STUDI FILOLOGI

MANFAAT STUDI FILOLOGI MANFAAT STUDI FILOLOGI Manfaat Studi Filologi Manfaat studi filologi dibagi menjadi dua, yaitu manfaat umum dan manfaat khusus. Mengetahui unsur-unsur kebudayaan masyarakat dalam suatu kurun waktu tertentu,

Lebih terperinci

SEJARAH KOLEKSI NASKAH MERAPI-MERBABU DI PERPUSTAKAAN NASIONAL RI

SEJARAH KOLEKSI NASKAH MERAPI-MERBABU DI PERPUSTAKAAN NASIONAL RI SEJARAH KOLEKSI NASKAH MERAPI-MERBABU DI PERPUSTAKAAN NASIONAL RI Oleh: Agung Kriswanto Bidang Layanan Koleksi Khusus Pusat Jasa Perpustakaan dan Informasi Pendahuluan Kelompok koleksi naskah Merapi-Merbabu

Lebih terperinci

AGUS SANTOSO PERNIKAHAN ARJUNA. Sebuah Epik Arjunawiwaha Karya Mpu Kanwa

AGUS SANTOSO PERNIKAHAN ARJUNA. Sebuah Epik Arjunawiwaha Karya Mpu Kanwa AGUS SANTOSO PERNIKAHAN ARJUNA Sebuah Epik Arjunawiwaha Karya Mpu Kanwa CIPANAS PRESS 2014 Diterbitkan oleh Cipanas Press (STT Cipanas) Jl. Gadog I/36 Cipanas Cianjur 43253 Jawa Barat Indonesia Cetakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. tentang kehidupan, berbagai buah pikiran, gagasan, ajaran, cerita, paham dan

BAB I PENDAHULUAN. tentang kehidupan, berbagai buah pikiran, gagasan, ajaran, cerita, paham dan BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Sebagai peninggalan tulisan, naskah menyimpan berbagai informasi tentang kehidupan, berbagai buah pikiran, gagasan, ajaran, cerita, paham dan pandangan hidup yang

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Objek Penelitian Objek penelitian ini adalah naskah Wawacan Pandita Sawang yang beraksara Arab (Pegon) dan berbahasa Sunda, teks di dalamnya berbentuk puisi/wawacan. Naskah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Geguritan merupakan salah satu karya sastra Bali tradisional yang masih

BAB I PENDAHULUAN. Geguritan merupakan salah satu karya sastra Bali tradisional yang masih BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Geguritan merupakan salah satu karya sastra Bali tradisional yang masih hidup dan berkembang cukup baik. Hal ini ditandai dengan banyaknya bermunculan para pengarang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Kekayaan sastra nusantara sungguh tidak dapat diragukan lagi keberadaannya.

BAB I PENDAHULUAN. Kekayaan sastra nusantara sungguh tidak dapat diragukan lagi keberadaannya. 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kekayaan sastra nusantara sungguh tidak dapat diragukan lagi keberadaannya. Akan tetapi, masyarakat umum cenderung terjebak pada istilah sastra pada bentuk sastra

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dipegang yang menyimpan berbagai ungkapan pikiran dan perasaan sebagai hasil

BAB I PENDAHULUAN. dipegang yang menyimpan berbagai ungkapan pikiran dan perasaan sebagai hasil BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Naskah merupakan tulisan tangan berupa benda konkret yang dapat dilihat dan dipegang yang menyimpan berbagai ungkapan pikiran dan perasaan sebagai hasil budaya masa

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. dulu sampai saat ini. Warisan budaya berupa naskah tersebut bermacam-macam

BAB 1 PENDAHULUAN. dulu sampai saat ini. Warisan budaya berupa naskah tersebut bermacam-macam BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Naskah kuno adalah benda budaya yang merekam informasi dan pengetahuan masyarakat lampau yang diturunkan secara turun temurun semenjak dulu sampai saat ini. Warisan

Lebih terperinci

ANALISIS SEMIOTIK TEKSKIDUNG RUMEKSA ING WENGI

ANALISIS SEMIOTIK TEKSKIDUNG RUMEKSA ING WENGI ANALISIS SEMIOTIK TEKSKIDUNG RUMEKSA ING WENGI A. PENDAHULUAN Indonesia mempunyai khasanah sastra klasik yang beraneka ragam, yang terdiri dari sastra-sastra daerah. Sastra klasik adalah sastra dalam bahasa

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN TEORI. Filologi berasal dari dua kata dalam bahasa Yunani, yaitu philos yang

BAB II KAJIAN TEORI. Filologi berasal dari dua kata dalam bahasa Yunani, yaitu philos yang 7 BAB II KAJIAN TEORI A. Filologi 1. Pengertian Filologi berasal dari dua kata dalam bahasa Yunani, yaitu philos yang berarti cinta dan logos yang berarti kata. Dengan demikian, kata filologi membentuk

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Suatu negara atau kerajaan tentu mempunyai sistem hirarki dalam

BAB I PENDAHULUAN. Suatu negara atau kerajaan tentu mempunyai sistem hirarki dalam BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Suatu negara atau kerajaan tentu mempunyai sistem hirarki dalam pemerintahan. Seperti yang terdapat pada kerajaan-kerajaan di Indonesia yang hingga saat ini

Lebih terperinci

AGUS SANTOSO PERNIKAHAN ARJUNA. Sebuah Epik Arjunawiwaha Karya Mpu Kanwa

AGUS SANTOSO PERNIKAHAN ARJUNA. Sebuah Epik Arjunawiwaha Karya Mpu Kanwa AGUS SANTOSO PERNIKAHAN ARJUNA Sebuah Epik Arjunawiwaha Karya Mpu Kanwa STT CIPANAS 2014 Diterbitkan oleh STT Cipanas Jl. Gadog I/36 Cipanas Cianjur 43253 Jawa Barat Indonesia Cetakan pertama: April 2014

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Negara Indonesia merupakan gugusan pulau dan kepulauan yang memiliki beragam warisan budaya dari masa lampau. Kekayaan-kekayaan yang merupakan wujud dari aktivitas-aktivitas

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan bangsa yang sangat kaya. Salah satu kekayaan yang

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan bangsa yang sangat kaya. Salah satu kekayaan yang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan bangsa yang sangat kaya. Salah satu kekayaan yang dimiliki yaitu kebudayaan.koentjaraningrat (1985) menyebutkan bahwa kebudayaan terdiri dari tujuh

Lebih terperinci

KAJIAN SEMIOTIK SYAIR SINDHEN BEDHAYA KETAWANG PADA NASKAH SERAT SINDHEN BEDHAYA

KAJIAN SEMIOTIK SYAIR SINDHEN BEDHAYA KETAWANG PADA NASKAH SERAT SINDHEN BEDHAYA KAJIAN SEMIOTIK SYAIR SINDHEN BEDHAYA KETAWANG PADA NASKAH SERAT SINDHEN BEDHAYA Skripsi Diajukan untuk Menempuh Ujian Sarjana Humaniora Program Strata 1 dalam Ilmu Sastra Indonesia Oleh: Fitrianna Arfiyanti

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. menyampaikan gagasan-gagasan ataupun merefleksikan pandangannya terhadap

BAB I PENDAHULUAN. menyampaikan gagasan-gagasan ataupun merefleksikan pandangannya terhadap 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Karya sastra merupakan wadah yang digunakan oleh pengarang dalam menyampaikan gagasan-gagasan ataupun merefleksikan pandangannya terhadap berbagai masalah yang diamati

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Parwa merupakan prosa yang diadaptasi dari bagian epos-epos dalam

BAB I PENDAHULUAN. Parwa merupakan prosa yang diadaptasi dari bagian epos-epos dalam BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Parwa merupakan prosa yang diadaptasi dari bagian epos-epos dalam bahasa Sanskerta dan menunjukkan ketergantungannya dengan kutipan-kutipan dari karya asli dalam bahasa

Lebih terperinci

PATHISARI. Wosing těmbung: Sěrat Pangracutan, suntingan lan jarwanipun teks, kalěpasan.

PATHISARI. Wosing těmbung: Sěrat Pangracutan, suntingan lan jarwanipun teks, kalěpasan. PATHISARI Skripsi punika asil saking panaliten filologi tumrap Sěrat Pangracutan ingkang kasimpěn ing Perpustakaan Pura Pakualaman Ngayogyakarta mawi kode koleksi 0125/PP/73. Skripsi punika awujud suntingan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. manusia (Trisman, 2003:12). Karya sastra terdiri atas puisi, prosa, dan drama.

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. manusia (Trisman, 2003:12). Karya sastra terdiri atas puisi, prosa, dan drama. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Sastra merupakan hasil imajinasi yang memiliki unsur estetis dan dituangkan ke dalam bentuk tulisan dengan media bahasa. Karya sastra sendiri dapat diartikan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. bangunan besar, benda-benda budaya, dan karya-karya sastra. Karya sastra tulis

BAB I PENDAHULUAN. bangunan besar, benda-benda budaya, dan karya-karya sastra. Karya sastra tulis BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Bangsa Indonesia memiliki banyak warisan kebudayaan yang berupa bangunan besar, benda-benda budaya, dan karya-karya sastra. Karya sastra tulis berupa naskah

Lebih terperinci

Naskah-Naskah Koleksi Merapi-Merbabu Mata Rantai Sejarah Kesusastraan Jawa

Naskah-Naskah Koleksi Merapi-Merbabu Mata Rantai Sejarah Kesusastraan Jawa Naskah-Naskah Koleksi Merapi-Merbabu Mata Rantai Sejarah Kesusastraan Jawa Oleh: Titik Pudjiastuti Makalah disajikan dalam Seminar Naskah-Naskah Merapi-Merbabu Perpustakaan Nasional Republik Indonesia

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Keberadaan karya sastra Bali khususnya kidung masih mendapat tempat di hati

BAB I PENDAHULUAN. Keberadaan karya sastra Bali khususnya kidung masih mendapat tempat di hati BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Keberadaan karya sastra Bali khususnya kidung masih mendapat tempat di hati masyarakat pencinta kesusastraan Bali, sehingga keberadaannya masih tetap hidup seiring

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Koentjaraningrat mengatakan bahwa kata budaya berasal dari bahasa Sanksekerta budhayah yang berasal dari bentuk jamak kata budhi yang berarti budi dan akal. Kebudayaan

Lebih terperinci

BAB 2 RESENSI DAN RESEPSI SASTRA

BAB 2 RESENSI DAN RESEPSI SASTRA 8 BAB 2 RESENSI DAN RESEPSI SASTRA Resensi atas karya sastra berkaitan erat dengan resepsi sastra. Resensi-resensi karya sastra di surat kabar dapat dijadikan sasaran penelitian resepsi sastra. Dalam bab

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Karya sastra sebagai ungkapan pribadi manusia berupa pengalaman,

BAB I PENDAHULUAN. Karya sastra sebagai ungkapan pribadi manusia berupa pengalaman, BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Karya sastra sebagai ungkapan pribadi manusia berupa pengalaman, pemikiran, perasaan, ide, semangat, keyakinan dalam suatu bentuk gambaran kehidupan, yang dapat membangkitkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia adalah negara yang kaya kebudayaan. Kebudayaan tersebut

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia adalah negara yang kaya kebudayaan. Kebudayaan tersebut 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Indonesia adalah negara yang kaya kebudayaan. Kebudayaan tersebut tersebar di daerah-daerah sehingga setiap daerah memiliki kebudayaan yang berbeda-beda.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Butir-butir mutiara kebudayaan Indonesia pada masa lampau sebagai

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Butir-butir mutiara kebudayaan Indonesia pada masa lampau sebagai 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Butir-butir mutiara kebudayaan Indonesia pada masa lampau sebagai warisan kebudayaan para leluhur antara lain terdapat di dalam berbagai cerita lisan, benda-benda,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Secara umum sastra Bali dibedakan atas dua kelompok, yaitu Sastra Bali

BAB I PENDAHULUAN. Secara umum sastra Bali dibedakan atas dua kelompok, yaitu Sastra Bali BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Secara umum sastra Bali dibedakan atas dua kelompok, yaitu Sastra Bali Purwa (klasik) dan Sastra Bali Anyar (modern). Kesusastraan Bali Purwa adalah warisan sastra

Lebih terperinci

Cover Page. The handle holds various files of this Leiden University dissertation.

Cover Page. The handle  holds various files of this Leiden University dissertation. Cover Page The handle http://hdl.handle.net/1887/20262 holds various files of this Leiden University dissertation. Author: Tulius, Juniator Title: Family stories : oral tradition, memories of the past,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Kebudayaan merupakan suatu ritus kehidupan yang dilalui baik oleh individu

BAB I PENDAHULUAN. Kebudayaan merupakan suatu ritus kehidupan yang dilalui baik oleh individu BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kebudayaan merupakan suatu ritus kehidupan yang dilalui baik oleh individu maupun oleh kelompok masyarakat, sehingga melalui ritus kehidupan, kebudayaan dapat dialami

Lebih terperinci

2015 KRITIK TEKS DAN TINJAUAN KANDUNGAN ISI NASKAH WAWACAN PANDITA SAWANG

2015 KRITIK TEKS DAN TINJAUAN KANDUNGAN ISI NASKAH WAWACAN PANDITA SAWANG BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Kondisi pernasakahan di Indonesia bisa dikatakan sangat kurang peminat, dalam hal ini penelitian yang dilakukan terhadap naskah. Sedikitnya penelitian terhadap

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kesusastraan Bali adalah salah satu bagian dari karya sastra yang terdapat di

BAB I PENDAHULUAN. kesusastraan Bali adalah salah satu bagian dari karya sastra yang terdapat di BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sastra merupakan karya tulis yang jika dibandingkan dengan tulisan lain, memiliki berbagai ciri keunggulan, seperti keaslian, keindahan dalam isi dan ungkapannya. Karya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. sastra memiliki kekhasan dari pengarangnya masing-masing. Hal inilah yang

BAB I PENDAHULUAN. sastra memiliki kekhasan dari pengarangnya masing-masing. Hal inilah yang 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Karya sastra merupakan suatu karya yang sifatnya estetik. Karya sastra merupakan suatu karya atau ciptaan yang disampaikan secara komunikatif oleh penulis

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. Dari masa ke masa banyak pujangga yang menghasilkan karya sastra. dengan berbagai bentuk dan gaya penulisan sebagai pengukuh segi

PENDAHULUAN. Dari masa ke masa banyak pujangga yang menghasilkan karya sastra. dengan berbagai bentuk dan gaya penulisan sebagai pengukuh segi BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Dari masa ke masa banyak pujangga yang menghasilkan karya sastra dengan berbagai bentuk dan gaya penulisan sebagai pengukuh segi estetika. Apapun bentuk

Lebih terperinci

SILABUS. : Bahasa dan Seni (FBS) : Pendidikan Bahasa Jawa. Jumlah SKS % Kode : 2 SKS PBJ 230

SILABUS. : Bahasa dan Seni (FBS) : Pendidikan Bahasa Jawa. Jumlah SKS % Kode : 2 SKS PBJ 230 SILABUS Fakultas : Bahasa Seni (FBS) Prodi : Pendidikan Bahasa Mata Kuliah : Prosa Modern Jumlah SKS % Kode : 2 SKS PBJ 230 Semester : III (tiga) Mata Kuliah Prasarat & Kode : - Dosen : Drs. Afendy Widayat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kebudayaan masa lampau, karena naskah-naskah tersebut merupakan satu dari berbagai

BAB I PENDAHULUAN. kebudayaan masa lampau, karena naskah-naskah tersebut merupakan satu dari berbagai BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang dan Masalah Khasanah budaya bangsa Indonesia yang berupa naskah klasik, merupakan peninggalan nenek moyang yang masih dapat dijumpai hingga sekarang. Naskah-naskah

Lebih terperinci

SERAT MUMULEN (SUNTINGAN TEKS DAN KAJIAN SEMIOTIK)

SERAT MUMULEN (SUNTINGAN TEKS DAN KAJIAN SEMIOTIK) SERAT MUMULEN (SUNTINGAN TEKS DAN KAJIAN SEMIOTIK) SKRIPSI Diajukan untuk Menempuh Ujian Sarjana Program Strata 1 dalam Ilmu Sastra Indonesia Oleh: Ika Cahyaningrum A2A 008 057 FAKULTAS ILMU BUDAYA UNIVERSITAS

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah digilib.uns.ac.id BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Sastra merupakan suatu bentuk dan hasil pekerjaan seni kreatif yang objeknya adalah manusia dan kehidupannya, dengan medium bahasa. Sebagai

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. antara sastra Bali dengan kebudayaan Bali, di antaranya: Sastra Bali sebagai

BAB I PENDAHULUAN. antara sastra Bali dengan kebudayaan Bali, di antaranya: Sastra Bali sebagai BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Telah banyak ungkapan yang dilontarkan bertalian dengan hubungan antara sastra Bali dengan kebudayaan Bali, di antaranya: Sastra Bali sebagai aspek kebudayaan Bali,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. penemuan penelitian. Penelitian ini mengambil cerita rakyat Onggoloco sebagai

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. penemuan penelitian. Penelitian ini mengambil cerita rakyat Onggoloco sebagai digilib.uns.ac.id BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Penelitian sastra lisan sangat penting untuk dilakukan sebagai perlindungan dan pemeliharaan tradisi, pengembangan dan revitalisasi, melestarikan

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, DAN LANDASAN TEORI

BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, DAN LANDASAN TEORI BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, DAN LANDASAN TEORI 2.1 Kajian Pustaka Putra (1986), dalam penelitian beliau yang berjudul "Aspek Sastra Dalam Babad Dalem Suatu Tinjauan Intertekstualitas", menyatakan bahwa

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. teks yang ditulis dengan huruf bahasa daerah atau huruf Arab-Melayu. Naskah

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. teks yang ditulis dengan huruf bahasa daerah atau huruf Arab-Melayu. Naskah BAB II TINJAUAN PUSTAKA 1.1 Kepustakaan yang relevan 1.1.1 Transliterasi Transliterasi merupakan salah satu tahap/langkah dalam penyuntingan teks yang ditulis dengan huruf bahasa daerah atau huruf Arab-Melayu.

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Pradopo (1988:45-58) memberi batasan, bahwa karya sastra yang bermutu

BAB 1 PENDAHULUAN. Pradopo (1988:45-58) memberi batasan, bahwa karya sastra yang bermutu BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Pembicaraan karya sastra tidak lepas dari penilaian-penilaian. Pradopo (1988:45-58) memberi batasan, bahwa karya sastra yang bermutu seni adalah yang imajinatif,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. transformasi dari teks-teks yang lain (Kristeva dalam Culler, 1975: 139). Dengan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. transformasi dari teks-teks yang lain (Kristeva dalam Culler, 1975: 139). Dengan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Setiap teks sastra itu merupakan mosaik kutipan-kutipan, penyerapan dan transformasi dari teks-teks yang lain (Kristeva dalam Culler, 1975: 139). Dengan kata

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Parwa merupakan kesusastraan Jawa Kuna yang berbentuk prosa liris.

BAB I PENDAHULUAN. Parwa merupakan kesusastraan Jawa Kuna yang berbentuk prosa liris. BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Parwa merupakan kesusastraan Jawa Kuna yang berbentuk prosa liris. Parwa berarti bagian buku/cerita (Mardiwarsito, 1986:410). Parwa juga dikatakan sebagai bagian dari

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. rangkaian dari kebudayaan-kebudayaan masa lalu. Tidak ada salahnya bila ingin

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. rangkaian dari kebudayaan-kebudayaan masa lalu. Tidak ada salahnya bila ingin BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kebudayaan suatu bangsa pada masa sekarang ini merupakan suatu rangkaian dari kebudayaan-kebudayaan masa lalu. Tidak ada salahnya bila ingin memahami lebih dalam mengenai

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Karya sastra diciptakan berdasarkan imajinasi dan berlandaskan pada bahasa yang digunakan untuk memperoleh efek makna tertentu guna mencapai efek estetik. Sebuah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Dalam perkembangan karya sastra di Bali, masyarakat tidak segan-segan dan

BAB I PENDAHULUAN. Dalam perkembangan karya sastra di Bali, masyarakat tidak segan-segan dan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Dalam perkembangan karya sastra di Bali, masyarakat tidak segan-segan dan tidak bosan-bosannya membaca, menerjemahkan, mengkaji, menghayati, menyalin dan menciptaklan

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN digilib.uns.ac.id BAB III METODE PENELITIAN Metodologi penelitian adalah cara-cara yang mengatur prosedur penelitian ilmiah pada umumnya, sekaligus pelaksanaannya terhadap masingmasing ilmu secara khusus

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Karya-karya peninggalan masa lampau merupakan peninggalan yang menginformasikan buah pikiran, buah perasaan, dan informasi mengenai berbagai segi kehidupan yang

Lebih terperinci

CARA MEMPELAJARI,ALKITAB

CARA MEMPELAJARI,ALKITAB CARA MEMPELAJARI,ALKITAB CATATAN SISWA No. Tanggal Kirim Tulislah dengan huruf cetak yang jelas! Nama Saudara.,.......................... Alamat. Kota,. Propinsi. Umur." Laki-laki/perempuan. Pekerjaan.

Lebih terperinci

BAB II PEMBAHASAN. Kamajaya,Karkono,Kebudayaan jawa:perpaduannya dengan islam,ikapi,yogja,1995 2

BAB II PEMBAHASAN. Kamajaya,Karkono,Kebudayaan jawa:perpaduannya dengan islam,ikapi,yogja,1995 2 BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Secara umum pendidikan adalah upaya menggali dan mengembangkan potensi yang dimiliki oleh setiap insan. Potensi itu berupa kemampuan berbahasa, berfikir, mengingat menciptakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang terdapat pada kertas, lontar, kulit kayu atau rotan (Djamaris, 1977:20). Naskah

BAB I PENDAHULUAN. yang terdapat pada kertas, lontar, kulit kayu atau rotan (Djamaris, 1977:20). Naskah BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Naskah merupakan obyek material filologi yang menyimpan berbagai ungkapan pikiran dan perasaan hasil budaya bangsa pada masa lalu (Baried, 1985:54). Naskah yang dimaksud

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Karya sastra adalah salah satu bentuk karya seni yang pada dasarnya merupakan sarana menuangkan ide atau gagasan seorang pengarang. Kehidupan manusia dan pelbagai

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN Latar Belakang 1 1. 1 Latar Belakang BAB 1 PENDAHULUAN Sebagaimana yang dikutip Sudjiman dalam Memahami Cerita Rekaan (1991: 12) menurut Horatius karya sastra memang bersifat dulce et utile (menyenangkan dan bermanfaat).

Lebih terperinci

2014 SAJARAH CIJULANG

2014 SAJARAH CIJULANG BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Naskah kuno merupakan salah satu warisan budaya Indonesia dalam bidang keberaksaraan yang telah dilindungi oleh UU RI No. 11 tahun 2010. Ungkapan warisan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Sastra Indonesia telah bermula sejak abad 20 dan menjadi salah satu bagian dari kekayaan kebudayaan Indonesia. Sastra Indonesia telah mengalami perjalanan

Lebih terperinci

KAKAWIN BALI DWIPA ANALISIS KONVENSI DAN INOVASI. I Gusti Bagus Budastra. Program Studi Sastra Jawa Kuno Fakultas Sastra Universitas Udayana.

KAKAWIN BALI DWIPA ANALISIS KONVENSI DAN INOVASI. I Gusti Bagus Budastra. Program Studi Sastra Jawa Kuno Fakultas Sastra Universitas Udayana. 1 KAKAWIN BALI DWIPA ANALISIS KONVENSI DAN INOVASI I Gusti Bagus Budastra Program Studi Sastra Jawa Kuno Fakultas Sastra Universitas Udayana Abstract Kakawin is a literary work that is formed by wirama

Lebih terperinci

BAB 3 OBJEK DAN METODE PENELITIAN. (Ratna, 2004:34). Metode berfungsi untuk menyederhanakan masalah, sehingga

BAB 3 OBJEK DAN METODE PENELITIAN. (Ratna, 2004:34). Metode berfungsi untuk menyederhanakan masalah, sehingga BAB 3 OBJEK DAN METODE PENELITIAN Metode dapat diartikan sebagai cara, strategi untuk memahami realitas, langkah-langkah sistematis untuk memecahkan rangkaian sebab akibat berikutnya (Ratna, 2004:34).

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. rahmat Allah SWT karena leluhur kita telah mewariskan khazanah kebudayaan

BAB I PENDAHULUAN. rahmat Allah SWT karena leluhur kita telah mewariskan khazanah kebudayaan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Bangsa Indonesia adalah bangsa yang besar, yang wajib kita mensyukuri rahmat Allah SWT karena leluhur kita telah mewariskan khazanah kebudayaan yang tidak ternilai

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. cipta yang menggambarkan kejadian-kejadian yang berkembang di masyarakat.

BAB I PENDAHULUAN. cipta yang menggambarkan kejadian-kejadian yang berkembang di masyarakat. BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Perkembangan karya sastra tidak dapat dilepaskan dari gejolak dan perubahan yang terjadi di masyarakat. Karena itu, sastra merupakan gambaran kehidupan yang terjadi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Busana tidak hanya terbatas pada pakaian yang dipakai sehari-hari seperti

BAB I PENDAHULUAN. Busana tidak hanya terbatas pada pakaian yang dipakai sehari-hari seperti BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Busana tidak hanya terbatas pada pakaian yang dipakai sehari-hari seperti rok, dress, atau pun celana saja, tetapi sebagai suatu kesatuan dari keseluruhan yang

Lebih terperinci

BAB 4 PENUTUP. Mao Zedong( 毛泽东 ) lahir di Shaoshan pada 26 Desember Sejak kecil

BAB 4 PENUTUP. Mao Zedong( 毛泽东 ) lahir di Shaoshan pada 26 Desember Sejak kecil BAB 4 PENUTUP Mao Zedong( 毛泽东 ) lahir di Shaoshan pada 26 Desember 1893. Sejak kecil ia telah mempelajari kitab klasik Cina, seperti Kitab-kitab Klasik Konfusius dan memiliki ketertarikan besar terhadap

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. serta menyalin dan menciptakan karya-karya sastra baru. Lebih-lebih pada zaman

BAB I PENDAHULUAN. serta menyalin dan menciptakan karya-karya sastra baru. Lebih-lebih pada zaman BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Dalam perkembangan karya sastra di Bali, masyarakat tidak segan-segan dan dan tidak bosan-bosannya membaca, menerjemahkan, menghayati, mengkaji, serta menyalin dan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. bahasa, dan sastra (Baried, 1983: 4). Cipta sastra yang termuat dalam naskah,

BAB I PENDAHULUAN. bahasa, dan sastra (Baried, 1983: 4). Cipta sastra yang termuat dalam naskah, BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Naskah-naskah yang terdapat di Nusantara memiliki isi yang sangat kaya. Kekayaan itu dapat ditunjukkan oleh aneka ragam aspek kehidupan yang dikemukakan, misalnya masalah

Lebih terperinci

SASTRA MELAYU HALAMAN SAMPUL SOAL MID SEMESTER JURUSAN SASTRA DAERAH/ MELAYU SEMESTER 2

SASTRA MELAYU HALAMAN SAMPUL SOAL MID SEMESTER JURUSAN SASTRA DAERAH/ MELAYU SEMESTER 2 SASTRA MELAYU HALAMAN SAMPUL SOAL MID SEMESTER JURUSAN SASTRA DAERAH/ MELAYU SEMESTER 2 FAKULTAS ILMU BUDAYA UNIVERSITAS LANCANG KUNING 2014 DAFTAR ISI HALAMAN SAMPUL... i DAFTAR ISI... ii DAFTAR TABEL...

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. mengetahui bagaimana persoalan-persoalan kebudayaan yang ada. Kebiasaan

BAB I PENDAHULUAN. mengetahui bagaimana persoalan-persoalan kebudayaan yang ada. Kebiasaan 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN Kebudayaan pada hakikatnya merupakan wujud dari upaya manusia dalam menanggapi lingkungan secara aktif. Aktif yang dimaksud adalah aktif mengetahui bagaimana persoalan-persoalan

Lebih terperinci

Menguak Nilai Seni Tradisi Sebagai Inspirasi Penciptaan Seni Pertunjukan Pada Era Global

Menguak Nilai Seni Tradisi Sebagai Inspirasi Penciptaan Seni Pertunjukan Pada Era Global Menguak Nilai Seni Tradisi Sebagai Inspirasi Penciptaan Seni Pertunjukan Pada Era Global Oleh: Dyah Kustiyanti Tradisi biasanya didefinisikan sebagai cara mewariskan pemikiran, pandangan hidup, kebiasaan,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pendidikan merupakan bagian yang tidak dapat dipisahkan dari hidup dan

BAB I PENDAHULUAN. Pendidikan merupakan bagian yang tidak dapat dipisahkan dari hidup dan 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pendidikan merupakan bagian yang tidak dapat dipisahkan dari hidup dan kehidupan manusia. Pendidikan sebagai salah satu kebutuhan, fungsi sosial, pencerahan,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Sastra sebagai cabang dari seni, yang keduanya unsur integral dari

BAB I PENDAHULUAN. Sastra sebagai cabang dari seni, yang keduanya unsur integral dari BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sastra sebagai cabang dari seni, yang keduanya unsur integral dari kebudayaan. Usianya sudah cukup tua. Kehadiran hampir bersamaan dengan adanya manusia. Karena ia diciptakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pendidikan pada dasarnya adalah usaha sadar untuk menumbuh kembangkan

BAB I PENDAHULUAN. Pendidikan pada dasarnya adalah usaha sadar untuk menumbuh kembangkan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pendidikan pada dasarnya adalah usaha sadar untuk menumbuh kembangkan potensi sumber daya manusia peserta didik, dengan cara mendorong dan memfasilitasi kegiatan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. keberagaman suku, agama, ras, budaya dan bahasa daerah. Indonesia memiliki

BAB I PENDAHULUAN. keberagaman suku, agama, ras, budaya dan bahasa daerah. Indonesia memiliki BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Budaya merupakan simbol peradaban. Apabila sebuah budaya luntur dan tidak lagi dipedulikan oleh sebuah bangsa, peradaban bangsa tersebut tinggal menunggu waktu

Lebih terperinci

2016 TEKS NASKAH SAWER PANGANTEN: KRITIK, EDISI, DAN TINJAUAN FUNGSI

2016 TEKS NASKAH SAWER PANGANTEN: KRITIK, EDISI, DAN TINJAUAN FUNGSI 1 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Naskah merupakan hasil medium tulis yang digunakan pada sastra klasik. Isi naskah tersebut dapat meliputi semua aspek kehidupan budaya bangsa yang bersangkutan

Lebih terperinci

1 1 Dari Paul, Silwanus, dan Timotius.

1 1 Dari Paul, Silwanus, dan Timotius. 1 Tesalonika Salam 1:1 1 1 Dari Paul, Silwanus, dan Timotius. Kepada jemaah Tesalonika yang ada dalam Allah, Sang Bapa kita, dan dalam Isa Al Masih, Junjungan kita Yang Ilahi. Anugerah dan sejahtera menyertai

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. di Indonesia disatupadukan dari kebudayaan nasional dan kebudayaan. daerah. Kebudayaan nasional Indonesia merupakan puncak puncak

BAB I PENDAHULUAN. di Indonesia disatupadukan dari kebudayaan nasional dan kebudayaan. daerah. Kebudayaan nasional Indonesia merupakan puncak puncak BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kepulauan Nusantara terdiri atas aneka warna kebudayaan dan bahasa. Keaneka ragaman kebudayaan dari berbagai suku bangsa yang ada di Indonesia disatupadukan dari kebudayaan

Lebih terperinci

Hidup ini singkat bagiku! Kebahagian saat ini hanyalah sementara, tak mudah bagiku untuk menjalani hidup normal layaknya sebagai manusia biasa.

Hidup ini singkat bagiku! Kebahagian saat ini hanyalah sementara, tak mudah bagiku untuk menjalani hidup normal layaknya sebagai manusia biasa. Hidup ini singkat bagiku! Kebahagian saat ini hanyalah sementara, tak mudah bagiku untuk menjalani hidup normal layaknya sebagai manusia biasa. Jadi aku hidup tidak normal? Ya itu menurutku! Kehidupan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. Sastra adalah gejala budaya yang secara universal dapat dijumpai pada

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. Sastra adalah gejala budaya yang secara universal dapat dijumpai pada BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Sastra adalah gejala budaya yang secara universal dapat dijumpai pada semua masyarakat (Chamamah-Soeratno dalam Jabrohim, 2003:9). Karya sastra merupakan

Lebih terperinci