PERLINDUNGAN HUKUM BAGI KORBAN DAN

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "PERLINDUNGAN HUKUM BAGI KORBAN DAN"

Transkripsi

1 Law Review Volume XIV, No. 2 November 2014 PERLINDUNGAN HUKUM BAGI KORBAN DAN PELAKU TINDAK PIDANA BERDASARKAN ASAS PERSAMAAN DI MUKA HUKUM (EQUALITY BEFORE THE LAW) DARI PERSPEKTIF SISTEM PERADILAN PIDANA INDONESIA Adhi Wibowo Fakultas Hukum Universitas Ekasakti, Padang wibowo.adhi@rocketmail.com Abstract The reality of the application of legal protection given Indonesia's criminal justice system (criminal justice system), both to the criminal who although in a limited manner specified in the legislation but has not been consistent, resulting in the absence of legal certainty for offenders. Moreover, legal protection for victims who are still very few settings in the legislation is still far from the expected to the fulfillment of the rights of victims even though existing legislation witness and victim protection, but should the principle of equality before the law should be used as an underlying principle law enforcement officers in carrying out the functions, duties and authorities, because everyone is equal before the law so that the law is not permitted to take measures that discriminate against people (discriminatory). Keywords: (criminal justice system), equality before the law, diskriminatif Abstrak Realitas penerapan perlindungan hukum yang diberikan system peradilan pidana Indonesia (criminal justice system), baik kepada pelaku tindak pidana yang sungguhpun sudah ditentukan secara limitatif dalam peraturan perundang-undangan namun belum konsisten, sehingga berakibat tidak adanya kepastian hukum bagi pelaku. Apalagi perlindungan hukum bagi korban yang masih sangat sedikit pengaturannya dalam peraturan perundang-undangan masih jauh dari yang diharapkan untuk terpenuhinya hak-hak korban sungguhpun telah ada undang-undang perlindungan saksi dan korban, padahal semestinya asas equality before the law harus dijadikan sebagai asas yang mendasari aparat penegak hukum dalam menjalankan fungsi, tugas dan wewenangnya, karena semua orang sama di hadapan hukum sehingga hukum tidak boleh melakukan tindakan yang membeda-bedakan orang (diskriminatif). Kata Kunci: (criminal justice system), equality before the law, diskriminatif A. Pendahuluan Manusia sebagai pribadi akan memiliki arti serta dapat mengembangkan hidupnya sendiri apabila ia ada bersama-sama dengan manusia lainnya sehingga tidak berlebihan apabila dikatakan bahwa manusia adalah makhluk sosial. Sebagai makhluk yang sosial, tentu seseorang itu tidak dapat melepaskan dirinya dalam pergaulan kemasyarakatan tersebut. 1 1 Chainur Arrasjid, Sepintas Lintas Tentang Politik Kriminil, (Medan : Kelompok Studi Hukum dan Masyarakat Fakultas Hukum USU, 1999), hal

2 Adhi Wibowo : Perlindungan Hukum Bagi Korban dan Pelaku Tindak Pidana Keberadaan manusia sebagai makhluk sosial tentunya membawa konsekuensi perlunya diciptakan suatu hubungan yang harmonis antara manusia yang satu dengan manusia yang lainnya. Kondisi ini dapat diwujudkan melalui kehidupan saling menghormati dan menghargai bahwa diantara mereka terkandung adanya hak dan kewajiban. 2 Keberadaan manusia yang memiliki hak dan kewajibannya masing-masing tidak dapat dipandang sebagai individu yang berdaulat sehingga dapat mempertahankan hak serta kewajiban secara mutlak, melainkan haruslah dipandang sebagai personal sosial, yaitu suatu oknum pribadi sosial yang dibina oleh masyarakat, serta mengendalikan hak asasi dan hakhak lain dimana hak itu timbul karena hak hidupnya dalam masyarakat dan penggunaannya harus diselaraskan dengan kepentingan masyarakat pula. Manusia dilahirkan kemuka bumi dengan membawa hak-hak dasar yang diberikan oleh Tuhan Yang Maha Esa atau lazim disebut dengan hak asasi manusia. Hak Asasi Manusia diberikan kepada setiap individu didunia tanpa pandang bulu dan tanpa memandang adanya perbedaan diantara manusia itu. Hak ini tidak akan pernah lepas dan akan tetap melekat pada diri pribadi manusia itu sendiri. Demikian pentingnya hak asasi itu bagi manusia sehingga eksistensinya harus senantiasa diakui, dihargai, dilindungi, diantaranya melalui produk perundang- undangan. Adanya pengakuan terhadap eksistensi hak asasi manusia tentu membawa konsekuensi pada perlunya diupayakan perlindungan terhadap hak-hak tersebut dari kemungkinan munculnya tindakan-tindakan yang dapat merugikan manusia itu sendiri, baik dilakukan oleh manusia lainnya atau oleh pemerintah. Atas dasar pemikiran bahwa hak asasi manusia merupakan pemberian ataupun anugerah dari Tuhan Yang Maha Esa, maka tidak seorangpun atau lembaga apapun yang dapat mencabut atau mengurangi hak asasi seseorang kecuali ada alasan yang dapat dibenarkan misalnya undang-undang mengatur atau memerintahkan. Demikian juga masalah keadilan dan hak asasi manusia dalam kaitannya dengan penegakan hukum pidana memang bukan pekerjaan yang sederhana untuk direalisasikan. Meskipun sudah diatur dalam ketentuan undang-undang, selalu saja dari berbagai media ada dibahas ketidakadilan yang muncul dalam proses penegakan hukum, khususnya hukum pidana. Dalam hukum pidana ini sendiri dikenal dengan adanya asas-asas yang berlaku spesifik, seperti asas fair trial atau asas peradilan yang berimbang. Asas peradilan yang 2 Dikdik M. Arief Mansur dan Eliatris Gultom, Urgensi Perlindungan Korban Kejahatan Antara Norma Dan Realita, (Jakarta :Rajawali Pers, 2007), hal

3 Law Review Volume XIV, No. 2 November 2014 berimbang ini tidak dapat dilepaskan dari asas equality before the law yang merupakan asas hukum umum dan dasar dari prinsip keseimbangan antara hak-hak seorang tersangka, terdakwa dan terpidana untuk membela dirinya dengan hak-hak yang dimiliki oleh korban dari suatu kejahatan. 3 Realitas tersebut membawa kesimpulan bahwa ada masalah ketidakseimbangan terhadap tersangka dan korban, baik dalam tataran kebijakan legislatif maupun dalam kebijakan aplikatif dalam perlindungan kepada pelaku dan korban kejahatan. 4 Asumsi ini barangkali hanya berada dalam lingkup kepuasan moril, akan tetapi jika dihubungkan dengan keadaan korban yang menderita luka fisik, terutama bagi korban yang tidak mampu secara finansial, maka dengan pemenuhan aspek kepuasan moril saja belum dapat dikatakan sebagai adanya suatu keseimbangan perlakuan antara pelaku dan korban. 5 Sejak diundangkannya Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP), kedudukan terhadap pelaku kejahatan sebagai individu yang mempunyai hak asasi manusia semakin memperoleh perhatian utama. Ironisnya, dengan banyaknya materi KUHAP yang mengatur tentang perlindungan pelaku kejahatan mengakibatkan porsi perlindungan yang diberikan kepada korban kejahatan terkesan menjadi tidak memadai bahkan terabaikan. Padahal sejatinya perlindungan yang diberikan kepada korban kejahatan dan pelaku kejahatan adalah seimbang dan tidak dapat dibeda-bedakan sebagaimana asas setiap orang bersamaan kedudukannya di dalam hukum. Adanya ketidak seimbangan antara perlindungan korban kejahatan dengan pelaku kejahatan pada dasarnya merupakan salah satu pengingkaran dari asas setiap warga negara bersamaan kedudukannya dalam hukum dan pemerintahan, sebagaimana diamanatkan oleh Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun Selama ini muncul pandangan yang menyebutkan pada saat pelaku kejahatan telah diperiksa, diadili dan dijatuhi hukuman pidana, maka pada saat itulah perlindungan terhadap 3 M. Sofyan Lubis, Prinsip Miranda Rule Hak Tersangka Sebelum Pemeriksaan, (Yogyakarta : Pustaka Yustisia, 2010), hal Berkaitan dengan masalah ketidakseimbangan perlakuan terhadap tersangka dan korban Arif Gosita mengatakan bahwa: pelayanan keadilan terhadap para pencari keadilan di peradilan pidana, khususnya pihak korban tindak pidana hingga saat ini belum memuaskan. Korban kejahatan yang pada dasarnya merupakan pihak yang paling menderita dalam suatu tindak pidana justru tidak memperoleh perlindungan sebanyak yang diberikan oleh Undang- Undang kepada pelaku kejahatan. Selain itu, hukum pidana yang sekarang berlaku, seperti mengasumsikan bahwa pihak korban telah memperoleh kepuasan keadilan dengan dipidananya pelaku kejahatan, karena pelaku kejahatan dalam hal ini telah merasakan juga penderitaan sebagaimana yang dialami/diderita oleh korban (Arif Gosita, Masalah Korban Kejahatan, (Jakarta: Universitas Trisakti, 2009), hal. 216). 5 Perlindungan Hukum Atas Korban dalam Pelanggaran HAM, &Itemid, 28 Mei

4 Adhi Wibowo : Perlindungan Hukum Bagi Korban dan Pelaku Tindak Pidana korban telah diberikan, padahal pendapat demikian tidak sepenuhnya benar. 6 Kurangnya perlindungan yang diberikan kepada saksi dan atau korban mendorong lahirnya Undangundang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban sehingga seorang saksi dan korban mendapat keyakinan akan perlindungan yang diberikan ketika ia dihadapkan di depan persidangan. Seorang korban diberikan jaminan ketika ia memberi kesaksiannya di depan persidangan baik ia sebagai korban dalam suatu peristiwa pidana maupun yang sudah berstatus tersangka akan tetapi ia didudukkan sebagai saksi dalam kasus yang sama tapi berkas terpisah. Sebenarnya perlindungan hukum kepada korban sebelum adanya Undang-undang Nomor 13 Tahun 2006 ini sudah diakomodir melalui Undang-undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme. Menurut Bambang Waluyo, perlindungan korban dalam undang-undang anti terorisme ini bisa dilihat pada ketentuan Pasal 32 ayat (2) Undang-undang Nomor 15 Tahun 2003 yang menyebutkan bahwa: dalam penyidikan dan pemeriksaan di sidang pengadilan saksi dan orang lain yang bersangkutan dengan tindak pidana terorisme dilarang menyebutkan nama atau alamat pelapor atau hal-hal lain yang memberikan kemungkinan diketahuinya identitas pelapor. 7 Perlindungan yang diberikan dalam beberapa undang-undang sebelum disahkannya Undang-undang Nomor 13 Tahun 2006 sudah cukup melegakan pihak korban karena atas diri mereka sudah diberikan perlindungan dan dengan lahirnya Undang-undang Nomor 13 Tahun 2006 semakin mempertegas perlindungan tersebut dengan adanya lembaga khusus yang dibentuk untuk menangani pemberian perlindungan dan bantuan pada korban dan atau saksi yang dinamakan dengan LPSK (Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban). Namun dengan lahirnya undang-undang ini dalam penyelesaian perkara pidana masih banyak ditemukan korban kejahatan kurang memperoleh perlindungan hukum yang memadai, baik perlindungan yang sifatnya materiil maupun immaterial, misalnya korban kekerasan seksual belum sepenuhnya mendapat perlindungan dari kemungkinan publikasi identitas dan hak-hak pribadi (privacy) lainnya, karena masih banyak media yang mencantumkan identitas dan foto korban kejahatan seksual khususnya perempuan. Akibatnya, privasi para korban tak terlindungi meskipun ada payung hukum perlindungan bagi mereka. 6 Ibid 7 Bambang Waluyo, Viktimologi Perlindungan Korban Dan Saksi, (Jakarta :Sinar Grafika, 2011), hal

5 Law Review Volume XIV, No. 2 November 2014 Penderitaan korban kejahatan seksual acapkali bertambah karena peran media yang mengungkap secara jelas identitas korban, bahkan ada media yang memuat foto korban dengan hanya menghitamkan bagian mata. Aliansi Jurnalis Indonesia melihat tanggung jawab besar media dalam upaya perlindungan kejahatan seksual. Jurnalis yang menulis kasus kejahatan seksual juga perlu menyadari publikasi harus diarahkan untuk mengurangi jumlah kasus atau memberikan pencegahan tindakan kejahatan seksual. Jika identitas korban kejahatan seksual diungkap, trauma korban berpotensi semakin besar karena masyarakat mengetahui masalah yang dihadapi korban. 8 Terhadap pelaku kejahatan juga ada kecenderungan hak-hak pelaku (tersangka atau terdakwa) sebagaimana diatur dalam undang-undang sangat jauh dari yang diharapkan. Banyak terjadi pelanggaran-pelanggaran hukum atas diri si pelaku ketika ia dihadapkan pada serentetan prosedur hukum dari berbagai tingkat pemeriksaan. Pelanggaran atas hak-hak dari si pelaku kejahatan ini sendiri dapat ditemukan pada tingkat penyidikan oleh Kepolisian, tingkat penuntutan oleh Kejaksaan dan juga tingkat pemeriksaan di sidang Pengadilan. Sungguhpun hukum pidana Indonesia lebih berorientasi pada perlindungan terhadap pelaku tindak pidana dibandingkan dengan perlindungan terhadap korban tindak pidana, namun dalam praktik masih dijumpai aparat penegak hukum yang tidak profesional dalam menjalankan tugas dan fungsinya sehingga mengabaikan hak-hak tersangka dan terdakwa. Contohnya pada penanganan kasus Prita Mulyasari terkait dengan tulisan yang dibuat oleh Prita atas kekecewaannya terhadap pelayanan kesehatan oleh RS. Omni Tangerang dan masih banyak kasus-kasus lainnya yang menunjukan bahwa masih adanya kesenjangan yang sangat jauh antara perlindungan yang diberikan kepada korban maupun kepada pelaku tindak pidana di Indonesia. Berdasarkan pemikiran di atas, maka permasalahan yang hendak dibahas adalah bagaimanakah perbandingan perlindungan hukum terhadap korban dan pelaku tindak pidana berdasarkan asas persamaan di muka hukum (equality before the law) dalam sistem peradilan pidana Indonesia? Untuk menjawab permasalahan tersebut digunakan metode pendekatan yuridis normatif dengan studi kepustakaan yang disajikan secara deskriptif yaitu hanya akan menggambarkan tentang perlindungan hukum terhadap korban dan pelaku tindak pidana Mei

6 Adhi Wibowo : Perlindungan Hukum Bagi Korban dan Pelaku Tindak Pidana berdasarkan asas persamaan di muka hukum equality before the law dalam sistem peradilan pidana Indonesia. Adapun data yang digunakan adalah data sekunder dengan bahan hukum primer, antara lain: Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), Undang-undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia, Undang-undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat, Undang-undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia, Undangundang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban, Undang-undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, Peraturan Pemerintah Nomor 58 Tahun 2010 tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1983 tentang Pelaksanaan KUHAP, bahan hukum sekunder seperti buku-buku yng membahas masalah korban dan sistem peradilan pidana serta bahan hukum tersier seperti media internet. B. Pembahasan Perlindungan hukum menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah Perbuatan (hal tahu peraturan) untuk menjaga dan melindungi subjek hukum, berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku 9 Pada umumnya perlindungan hukum merupakan bentuk pelayanan kepada seseorang dalam usaha pemulihan secara emosional. Sedangkan menurut Philipus M Hadjon, perlindungan hukum dibedakan menjadi 2 (dua) macam, yaitu perlindungan hukum preventif dan perlindungan hukum represif, dimana pemerintah sebagai titik sentral. Perlindungan hukum preventif adalah saat dimana diberikan kesempatan kepada rakyat untuk mengajukan keberatan atas pendapatnya sebelum suatu keputusan pemerintah mendapat bentuk yang definitif. Dengan demikian, perlindungan hukum yang preventif mempunyai tujuan untuk mencegah terjadinya sengketa, sedangkan sebaliknya perlindungan hukum represif bertujuan untuk menyelesaikan sengketa. Perlindungan hukum preventif sangat besar artinya bagi tindakan pemerintah yang didasarkan kepada kebebasan bertindak karena dengan adanya perlindungan hukum preventif pemerintah terdorong untuk bersikap hati-hati dalam mengambil keputusan yang berdasarkan diskresi. Dengan demikian, penanganan perlindungan hukum bagi rakyat oleh peradilan umum di Indonesia termasuk kategori perlindungan hukum represif. 10 Berdasarkan Deklarasi PBB dalam Declaration of Basic Principles of Justice for 9 W.J.S. Poerwadarminta. Kamus Umum Bahasa Indonesia, (akarta: Balai Pustaka, 1986), hal Philipus M. Hadjon, Perlindungan Hukum Bagi Rakyat di Indonesia, (Surabaya: PT Bina Ilmu, 1987), hal

7 Law Review Volume XIV, No. 2 November 2014 Victim of Crime and Abuse of Power 1985 pada angka 1 disebutkan bahwa Korban adalah orang-orang yang secara individu atau kolektif telah mengalami penderitaan, meliputi penderitaan fisik dan mental, penderitaan emosi, kerugian ekonomis atau pengurangan substansial hak-hak asasi, melalui perbuatan-perbuatan atau pembiaran-pembiaran yang melanggar hukum pidana yang berlaku di Negara- negara anggota yang meliputi juga peraturan hukum yang melarang. 11 Arief Gosita memberikan pengertian korban adalah Mereka yang menderita jasmani dan rohani sebagai akibat tindakan orang lain yang mencari pemenuhan kepentingan diri sendiri atau orang lain yang bertentangan dengan kepentingan dan hak asasi pihak yang dirugikan. 12 Sedangkan Muladi mengatakan bahwa: korban (victims) adalah orang-orang yang baik secara individual maupun kolektif telah menderita kerugian, termasuk kerugian fisik atau mental, emosional, ekonomi, atau gangguan substansial terhaddap hak-haknya yang fundamental, melalui perbuatan atau komisi yang melanggar hokum pidana di masingmasing Negara, termasuk penyalahgunaan kekuasaan. 13 Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun 2002 tentang Tata Cara Perlindungan terhadap Korban dan Saksi dalam Pelanggaran Hak Asasi Manusia yang Berat menyebutkan bahwa Korban adalah orang perorangan atau kelompok orang yang mengalami penderitaan sebagai akibat pelanggaran hak asasi manusia yang berat yang memerlukan perlindungan fisik dan mental dari ancaman, gangguan, terror, dan kekerasan pihak manapun. 14 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban menyebutkan bahwa Korban adalah seseorang yang mengalami penderitaan fisik, mental, dan/atau kerugian ekonomi yang diakibatkan oleh suatu tindak pidana. Istilah sistem peradilan pidana dalam berbagai referensi digunakan sebagai padanan dari criminal justice system, yaitu sistem penegakan hukum, yang terdiri dari polisi, jaksa penuntut umum, hakim, advokat dan lembaga pemasyarakatan. Disamping itu pengertian di atas juga menekankan kepada fungsi komponen untuk menegakkan hukum pidana, yaitu fungsi penyidikan, proses peradilan dan pelaksanaan pidananya. Berbeda dengan pengertian di atas, Muladi mengatakan bahwa: sistem peradilan 11 Arif Gosita, Op. Cit., hal Ibid, hal Dikdik M Arief Mansur dan Elisatris Gultom, Op. Cit., hal Farhana dan Mimin Mintarsih, Upaya Perlindungan Korban Terhadap Perdagangan Perempuan (Trafficking) di Indonesia, Jurnal Mimbar Ilmiah Hukum Universitas Islam Jakarta; Reformasi Hukum, Universitas Islam Jakarta, Vol. XI No. 1 Juni 2008, hal

8 Adhi Wibowo : Perlindungan Hukum Bagi Korban dan Pelaku Tindak Pidana pidana merupakan suatu jaringan (network) peradilan yang menggunakan hukum pidana sebagai sarana utamanya, baik hukum pidana materiil, hukum pidana formil maupun hukum pelaksanaan pidana. 15 Pengertian yang dikemukakan Muladi tersebut, disamping memberi penekanan pada suatu jaringan peradilan, juga menekankan adanya penggunaan hukum pidana oleh jaringan dalam melaksanakan tugasnya secara menyeluruh, baik hukum pidana substantif, hukum acara pidana maupun hukum penitensier untuk mencapai tujuan jaringan tersebut, sedangkan dalam pengertian Black s terlihat lebih menekankan pada kelembagaannya (komponen). Pemahaman pengertian sistem dalam pendapat yang lain menurut Gordon B. Davis sebagaimana dikutip Muladi, dalam hal ini harus dilihat dalam konteks baik sebagai physical system, dalam arti seperangkat elemen yang secara terpadu bekerja untuk mencapai suatu tujuan, maupun sebagai abstract system, dalam arti gagasan-gagasan yang merupakan susunan yang teratur yang satu sama lain berada dalam ketergantungan. 16 Dari pemahaman tersebut, pengertian sistem dalam sistem peradilan pidana meliputi keterpaduan bekerjanya elemen-elemen pendukung peradilan pidana maupun gagasan-gagasan yang tersistimatis. Definisi yang lain seperti dikemukakan Remington dan Ohlin sebagaimana dikutip oleh Romli Atmasasmita dikatakan bahwa: criminal justice system dapat diartikan sebagai pemakaian pendekatan sistem terhadap mekanisme administrasi peradilan pidana, dan peradilan pidana sebagai suatu sistem merupakan hasil interaksi antara peraturan perundang-undangan, praktik administrasi dan sikap atau tingkah laku sosial. 17 Terkait dengan pengertian di atas, oleh Hagan seperti dikutip Romli Atmasasmita, membedakan pengertian antara criminal justice system dan criminal justice process. Menurut Hagan, criminal justice process adalah setiap tahap dari suatu putusan yang dihadapkan seorang tersangka kedalam proses yang membawanya kepada penentuan pidana baginya. Sedangkan criminal justice system adalah interkoneksi antara keputusan dari setiap instansi yang terlibat dalam proses peradilan pidana. 18 Peradilan pidana sebagai proses menurut pengertian Hagan, didalamnya terdapat pentahapan penanganan oleh komponen-komponen terkait yang masing-masing memberikan 15 Muladi, Kapita Selekta Sistem Peradilan Pidana, (Semarang: Badan Penerbit Universitas Diponegoro (Undip), 1995), hal Ibid, hal Romli Atmasasmita, Sistim Peradilan Pidana, Perspektif Eksistensialisme dan Abolisionisme, (Bandung : Binacipta, 1996), hal Ibid, hal

9 Law Review Volume XIV, No. 2 November 2014 suatu keputusan hingga ada penentuan status hukum bagi tersangka/terdakwa. Sedangkan peradilan pidana sebagai sistem didalamnya terdapat keterkaitan hubungan keputusan yang dibuat setiap komponen terkait dalam prosesnya kearah suatu tujuan. 19 Mardjono Reksodipoetro mengemukakan bahwa: Sistem Peradilan Pidana (Criminal Justice System) adalah sistem dalam suatu masyarakat untuk menanggulangi masalah kejahatan. Menanggulangi diartikan sebagai mengendalikan kejahatan agar berada dalam batas-batas toleransi masyarakat. 20 Muladi mengemukakan bahwa sistem peradilan pidana merupakan suatu jaringan (network) peradilan yang menggunakan hukum pidana materiil, hukum pidana formil maupun hukum pelaksanaan pidana. Namun kelembagaan ini harus dilihat dalam konteks sosial. Sifat yang terlalu formal jika dilandasi hanya untuk kepentingan kepastian hukum saja akan membawa bencana berupa ketidakadilan. 21 Adapun tujuan dari sistem peradilan pidana dapat dikategorikan menjadi 3 (tiga), yaitu sebagai berikut: a. Tujuan jangka pendek, apabila yang hendak dicapai resosialisasi dan rehabilitasi pelaku tindak pidana. b. Tujuan jangka menengah, apabila yang hendak dituju lebih luas yakni pengendalian dan pencegahan kejahatan dalam konteks politik criminal (criminal policy). c. Tujuan jangka panjang, apabila yang hendak dicapai adalah kesejahteraan masyarakat (social welfare) dalam konteks politik sosial (social policy). 22 Sedangkan menurut Romli Atmasasmita tujuan sistem peradilan pidana dapat dirumuskan sebagai berikut: Mencegah masyarakat menjadi korban kejahatan. 2. Menyelesaikan kasus yang kejahatan terjadi sehingga masyarakat puas bahwa keadilan telah ditegakkan dan yang bersalah dipidana. 3. Mengusahakan agar mereka yang pernah melakukan kejahatan tidak mengulangi lagi kejahatannya. 19 Ibid., hal Ibid., hal Muladi, Op.Cit., hal Petrus Irawan Panjaitan, Pandapotan Simorangkir, Lembaga Pemasyarakatan dalam Perspektif Sistem Peradilan Pidana (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1995), hal Romli Atmasasmita, Op. Cit., hal

10 Adhi Wibowo : Perlindungan Hukum Bagi Korban dan Pelaku Tindak Pidana B.1. Perlindungan Hukum Kepada Pelaku Tindak Pidana Apabila memperhatikan pada Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), perlindungan hukum kepada pelaku kejahatan pada dasarnya sudah diberikan pada saat pelaku (tersangka) ditangkap atau ditahan, yaitu dalam bentuk pemberian bantuan hukum oleh penasihat hukum (pendampingan selama pemeriksaan) bahkan dengan diperhatikannya surat tugas serta surat perintah penangkapan yang didalamnya mencantumkan identitas tersangka, dan menyebutkan alasan dilakukannya penangkapan, serta uraian singkat kejahatan yang disangkakan kepada pelaku/tersangka, maka pemberian perlindungan hukum kepada tersangka/pelaku sudah mulai diberikan. Pemberian perlindungan hukum kepada pelaku kejahatan tidaklah berhenti setelah selesainya pemeriksaan terhadap pelaku di tingkat penyidikan, tetapi masih terus diberikan sampai dengan diperiksa dan diadilinya pelaku/tersangka untuk mengajukan berbagai upaya hukum (seperti: banding, kasasi, dan peninjauan kembali) atas suatu putusan pengadilan serta proses pembinaan di Lembaga Pemasyarakatan. Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP) menunjukkan bahwa sistem peradilan pidana lebih mengutamakan perlindungan kepentingan dari pelaku tindak pidana saja, kondisi ini merupakan proses peradilan pidana yang berorientasi pada aspek pembalasan kepada pelaku oleh Negara (restibutive justice). 24 B.2. Perlindungan Hukum Terhadap Korban Tindak Pidana Dalam pengaturan Hukum Indonesia, korban selalu menjadi pihak yang paling dirugikan, selain korban telah menderita kerugian akibat kejahatan yang menimpa dirinya, baik secara materill, fisik maupun psikologis, korban juga harus menanggung derita berganda karena tanpa disadari sering diperlakukan hanya sebagai sarana demi tercapainya sebuah kepastian hukum, misalnya harus kembali mengemukakan dan mengingat bahkan mengulangi (merekonstruksi) kejahatan yang pernah menimpanya pada saat menjalani proses pemeriksaan baik ditingkat penyidikan maupun di pengadilan. Keberpihakan hukum terhadap korban yang terkesan timpang jika dibandingkan dengan tersangka (terdakwa), terlihat dari adanya beberapa peraturan perundang-undangan yang lebih banyak memberikan hak istimewa kepada tersangka atau terdakwa dibandingkan kepada korban. 24 Varia Hukum Peradilan, Ikatan Hakim Indonesia (Majalah Hukum Tahun XXVI Nomor 304 Maret 2011), hal

11 Law Review Volume XIV, No. 2 November 2014 Pasal 184 ayat (1) KUHAP mendudukkan saksi atau korban pada posisi kunci sebagai alat bukti utama, hal ini memberikan dampak yang sangat penting dalam penyelesaian suatu perkara pidana. Dengan kata lain keberadaan saksi sangat dibutuhkan dalam penyelesaian suatu perkara pidana. Pentingnya kedudukan saksi dalam proses peradilan pidana telah dimulai sejak dimulainya proses penyidikan. Demikian pula pada tahapan selanjutnya di tingkat penuntutan maupun pemeriksaan di sidang pengadilan, keterangan saksi sebagai alat bukti utama adalah menjadi acuan bagi hakim dalam memeriksa dan mengadili serta memutus suatu perkara, dengan kata lain saksi dalam suatu proses peradilan pidana memiliki kontribusi yang sangat besar dalam penegakan hukum. Namun, pada saat korban dimintai keterangan di pengadilan, terkesan korban hanya sekadar dijadikan sebagai alat untuk menguatkan apa yang didakwakan oleh jaksa penuntut umum. Setelah korban memberikan kesaksiannya tidak ada upaya untuk memberikan perlindungan kepada saksi (korban) dan korban dibiarkan pulang begitu saja tanpa memperoleh perlindungan. Dalam konteks ini menarik apa yang dikatakan Dikdik M. Arief Mansur bahwa: beberapa kasus kejahatan seringkali wujud perlindungan hukum yang diberikan kepada korban hanya terbatas pada aspek materiil saja, misalnya korban diberikan hak menuntut ganti kerugian kepada pelaku. Harapannya setelah ganti rugi diberikan, permasalahan penderitaan yang dialami korban akan selesai. Padahal seharusnya akibat yang diderita oleh seseorang sebagai akibat dari kejahatan yang menimpanya sangat kompleks, tidak hanya kerugian secara materil tapi juga secara fisik dan psikis. 25 Kedudukan saksi atau korban dalam sistem peradilan pidana tampaknya memang jauh dari perhatian para penegak hukum maupun masyarakat. Hal ini adalah konsekuensi dari sistem KUHAP yang menganut akusatif model yakni model sistem peradilan pidana yang melindungi kepentingan pelaku tindak pidana/terdakwa, dan bukan inkusatif model yakni sistem peradilan pidana yang mengutamakan perlindungan terhadap korban tindak pidana. 26 Dalam KUHAP tidak terdapat ketentuan yang secara khusus memberikan perlindungan kepada saksi dan korban berupa pemberian sejumlah hak tertentu seperti halnya yang dimiliki oleh terdakwa. Sebagai ketentuan hukum beracara pidana di Indonesia, KUHAP menentukan pelaku tindak pidana memiliki sejumlah hak yang diatur secara tegas dan rinci dalam suatu bab tersendiri, sedangkan untuk saksi dan saksi korban hanya terdapat 25 Dikdik M Arief Mansur dan Eliatris Gultom, Op.Cit, hal Varia Hukum Peradilan, Op. Cit., hal

12 Adhi Wibowo : Perlindungan Hukum Bagi Korban dan Pelaku Tindak Pidana pada beberapa pasal saja dimana pemberiannya selalu ada keterkaitannya dengan terdakwa. Dengan demikian dapat disebutkan bahwa hak yang dimiliki oleh saksi dimiliki pula oleh terdakwa pelaku tindak pidana, namun sebaliknya banyak hak tersangka/terdakwa yang tidak dimiliki oleh saksi termasuk saksi korban. Bila dibandingkan dengan perlindungan hukum terhadap pelaku kejahatan dengan saksi atau korban, maka akan sampai pada suatu pemikiran apakah hak-hak dari pelaku kejahatan diberikan karena kedudukannya yang lemah sehingga dianggap rawan terhadap abuse of power (penyalahgunaan kekuasaan) sementara bagi saksi termasuk saksi korban sebagai warga masyarakat, sebagai pihak yang secara langsung dirugikan kepentingannya, karena dipandang telah diwakili oleh Negara yang berperan sebagai aparat pelaksana hukum, dianggap tidak perlu lagi untuk memiliki sejumlah hak yang memberikan perlindungan bagi dirinya dalam suatu proses peradilan pidana. 27 Menurut penulis, untuk mengembalikan proses penegakan hukum pidana ke jalur yang benar dan tepat secara proporsional dan profesional, maka sudah saatnya diberikan perhatian dalam porsi yang lebih besar kepada pihak lain yang terlibat dalam proses peradilan pidana, yaitu selain tersangka/terdakwa pelaku tindak pidana dan aparat penegak hukum, adalah pihak saksi termasuk saksi korban dengan mengacu kepada asas kesamaan di muka hukum (equality before the law) yang merupakan salah satu syarat dari suatu Negara hukum. C. Kesimpulan Perbandingan perlindungan hukum terhadap korban dan pelaku kejahatan berdasarkan asas persamaan di muka hukum (equality before the law) dalam sistem peradilan pidana Indonesia adalah dalam KUHAP tidak terdapat ketentuan yang secara khusus memberikan perlindungan kepada saksi dan korban berupa pemberian sejumlah hak tertentu seperti halnya yang dimiliki oleh terdakwa, karena sebagai ketentuan hukum acara di Indonesia, KUHAP menentukan pelaku tindak pidana memiliki sejumlah hak yang diatur secara tegas dan rinci dalam suatu bab tersendiri, sedangkan untuk saksi dan saksi korban hanya terdapat pada beberapa pasal saja dimana pemberiannya selalu ada keterkaitannya dengan terdakwa sehingga belum memenuhi asas persamaan di muka hukum. Mendasarkan pada analisis di atas maka semakin urgen untuk melakukan revisi terhadap undang-undang perlindungan saksi dan korban sebagai bentuk penguatan terhadap saksi dan korban dalam sistem peradilan pidana dengan menempatkan saksi dan korban 27 Ibid, hal

13 Law Review Volume XIV, No. 2 November 2014 sebagai pihak yang sama kedudukannya dengan pelaku dalam hal pemberian hak-haknya serta untuk mengembalikan proses penegakan hukum pidana yang tepat dan adil maka seharusnya penegakan hukum dan perlindungan hukum yang diberikan antara para pihak dalam peristiwa pidana diberikan dengan porsi yang sama sesuai dengan prinsip asas persamaan kedudukan dalam hukum (equlity before the law) sehingga kesan timpang dalam proses penegakan hukum dapat dihapuskan. DAFTAR PUSTAKA Buku Arrasjid, Chainur. Sepintas Lintas Tentang Politik Kriminil. Medan : Kelompok Studi Hukum dan Masyarakat Fakultas Hukum USU, 1999 Atmasasmita, Romli. Sistim Peradilan Pidana, Perspektif Eksistensialisme dan Abolisionisme. Bandung : Binacipta, 1996 Gosita, Arif. Masalah Korban Kejahatan. Jakarta: Universitas Trisakti, 2009 Hadjon, Philipus M. Perlindungan Hukum Bagi Rakyat di Indonesia. Surabaya : PT Bina Ilmu, 1987 Lubis, M. Sofyan. Prinsip Miranda Rule Hak Tersangka Sebelum Pemeriksaan. Yogyakarta : Pustaka Yustisia, 2010 Mansur, Dikdik M. Arief dan Eliatris Gultom. Urgensi Perlindungan Korban Kejahatan Antara Norma Dan Realita. Jakarta: Rajawali Pers, 2007 Muladi. Kapita Selekta Sistem Peradilan Pidana. Semarang: Badan Penerbit Universitas Diponegoro (Undip), 1995 Panjaitan, Petrus Irawan dan Pandapotan Simorangkir. Lembaga Pemasyarakatan dalam Perspektif Sistem Peradilan Pidana. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1995 Poerwadarminta, W.J.S. Kamus Umum Bahasa Indonesia. Jakarta : Balai Pustaka, 1986 Waluyo, Bambang. Viktimologi Perlindungan Korban Dan Saksi. Jakarta: Sinar Grafika, 2011 Artikel dalam Jurnal Farhana dan Mimin Mintarsih. Upaya Perlindungan Korban Terhadap Perdagangan Perempuan (Trafficking) di Indonesia. Jurnal Mimbar Ilmiah Hukum Universitas Islam Jakarta; Reformasi Hukum, Universitas Islam Jakarta, Vol. XI No. 1 Juni

14 Adhi Wibowo : Perlindungan Hukum Bagi Korban dan Pelaku Tindak Pidana Majalah/Koran Varia Hukum Peradilan, Ikatan Hakim Indonesia (Majalah Hukum Tahun XXVI Nomor 304 Maret 2011) Peraturan Perundang-undangan Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) Undang-undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia Undang-undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat Undang-undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia Undang-undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban Undang-undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman Peraturan Pemerintah Nomor 58 Tahun 2010 tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1983 tentang Pelaksanaan KUHAP Internet Perlindungan Hukum Atas Korban dalam Pelanggaran HAM &Itemid 146

BAB I PENDAHULUAN. Hak Asasi merupakan isu pesat berkembang pada akhir abad ke-20 dan pada permulaan

BAB I PENDAHULUAN. Hak Asasi merupakan isu pesat berkembang pada akhir abad ke-20 dan pada permulaan BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Hak Asasi merupakan isu pesat berkembang pada akhir abad ke-20 dan pada permulaan abad ke-21 ini, baik secara nasional maupun internasional. Hak Asasi Manusia telah

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Pengertian Penahanan dapat dilihat dalam Pasal 1 butir 21 KUHAP yang

II. TINJAUAN PUSTAKA. Pengertian Penahanan dapat dilihat dalam Pasal 1 butir 21 KUHAP yang 15 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian Penahanan dan Sekitar Penahanan 1. Pengertian Penahanan Pengertian Penahanan dapat dilihat dalam Pasal 1 butir 21 KUHAP yang menyatakan bahwa penahanan merupakan penempatan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. nasional. Adanya ketidakseimbangan antara perlindungan terhadap. korban kejahatan dengan perlindungan terhadap pelaku, merupakan

BAB I PENDAHULUAN. nasional. Adanya ketidakseimbangan antara perlindungan terhadap. korban kejahatan dengan perlindungan terhadap pelaku, merupakan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Perlindungan korban kejahatan dalam sistem hukum nasional sepertinya belum mendapatkan perhatian yang serius. Hal ini terlihat dari sedikitnya hak-hak korban

Lebih terperinci

Kekuatan Keterangan Saksi Anak Dibawah Umur dalam Pembuktian Perkara Pidana

Kekuatan Keterangan Saksi Anak Dibawah Umur dalam Pembuktian Perkara Pidana 1 Kekuatan Keterangan Saksi Anak Dibawah Umur dalam Pembuktian Perkara Pidana Novelina MS Hutapea Staf Pengajar Kopertis Wilayah I Dpk Fakultas Hukum USI Pematangsiantar Abstrak Adakalanya dalam pembuktian

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Ketentuan Pasal 184 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana

BAB I PENDAHULUAN. Ketentuan Pasal 184 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Ketentuan Pasal 184 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) mengatur bahwa dalam beracara pidana, terdapat alat bukti yang sah yakni: keterangan Saksi,

Lebih terperinci

HAK UNTUK MELAKUKAN UPAYA HUKUM OLEH KORBAN KEJAHATAN DIKAJI DARI KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM ACARA PIDANA INDONESIA

HAK UNTUK MELAKUKAN UPAYA HUKUM OLEH KORBAN KEJAHATAN DIKAJI DARI KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM ACARA PIDANA INDONESIA HAK UNTUK MELAKUKAN UPAYA HUKUM OLEH KORBAN KEJAHATAN DIKAJI DARI KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM ACARA PIDANA INDONESIA Oleh : Ida Bagus Paramaningrat Manuaba Ni Md. Ari Yuliartini Griadhi Bagian Hukum Pidana

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. berlebihan apabila dikatakan bahwa manusia adalah makhluk sosial. Sebagai makhluk

BAB I PENDAHULUAN. berlebihan apabila dikatakan bahwa manusia adalah makhluk sosial. Sebagai makhluk BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Manusia sebagai pribadi akan memiliki arti serta dapat mengembangkan hidupnya sendiri apabila ia ada bersama-sama dengan manusia lainnya sehingga tidak berlebihan apabila

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. menjadi sorotan masyarakat karena diproses secara hukum dengan menggunakan

BAB I PENDAHULUAN. menjadi sorotan masyarakat karena diproses secara hukum dengan menggunakan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Banyaknya kasus tindak pidana ringan yang terjadi di Indonesia dan sering menjadi sorotan masyarakat karena diproses secara hukum dengan menggunakan ancaman hukuman

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Undang Dasar 1945, sebagaimana yang tercantum dalam Pasal 27 ayat (1) UUD 1945, yang

BAB I PENDAHULUAN. Undang Dasar 1945, sebagaimana yang tercantum dalam Pasal 27 ayat (1) UUD 1945, yang BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG PENELITIAN Negara Republik Indonesia adalah negara hukum berdasarkan Pancasila dan Undang- Undang Dasar 1945, sebagaimana yang tercantum dalam Pasal 27 ayat (1) UUD

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. mendukung pelaksanaan dan penerapan ketentuan hukum pidana materiil,

BAB I PENDAHULUAN. mendukung pelaksanaan dan penerapan ketentuan hukum pidana materiil, BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dalam kedudukannya sebagai instrumen hukum publik yang mendukung pelaksanaan dan penerapan ketentuan hukum pidana materiil, maka Undang-Undang Nomor 8 Tahun

Lebih terperinci

Lex et Societatis, Vol. III/No. 7/Ags/2015

Lex et Societatis, Vol. III/No. 7/Ags/2015 PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP SAKSI DAN KORBAN (KAJIAN UNDANG-UNDANG NO. 31 TAHUN 2014) 1 Oleh: Marnex L. Tatawi 2 ABSTRAK Sampai saat ini saksi dan korban belum menjadi bagian yang penting bagi proses penegakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Negara Indonesia adalah negara yang berdasarkan atas hukum (rechtstaat) dan bukan

BAB I PENDAHULUAN. Negara Indonesia adalah negara yang berdasarkan atas hukum (rechtstaat) dan bukan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Negara Indonesia adalah negara yang berdasarkan atas hukum (rechtstaat) dan bukan berdasarkan atas kekuasaan belaka (machtsstaat) 1. Konsekuensi dalam suatu

Lebih terperinci

SANTUNAN OLEH PELAKU TINDAK PIDANA TERHADAP KORBAN KEJAHATAN DIKAJI DARI KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM ACARA PIDANA (KUHAP)

SANTUNAN OLEH PELAKU TINDAK PIDANA TERHADAP KORBAN KEJAHATAN DIKAJI DARI KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM ACARA PIDANA (KUHAP) SANTUNAN OLEH PELAKU TINDAK PIDANA TERHADAP KORBAN KEJAHATAN DIKAJI DARI KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM ACARA PIDANA (KUHAP) Oleh : Ida Bagus Bayu Ardana Made Gede Subha Karma Resen Bagian Hukum Pidana Fakultas

Lebih terperinci

BAB I PENGANTAR. Seiring dengan perkembangan jaman, berkembang pula modus kejahatan yang

BAB I PENGANTAR. Seiring dengan perkembangan jaman, berkembang pula modus kejahatan yang BAB I PENGANTAR A. Latar Belakang Seiring dengan perkembangan jaman, berkembang pula modus kejahatan yang terjadi di Indonesia sebagai dampak negatif dari kemajuan ilmu pengetahuan baik sosial, budaya

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa salah satu alat bukti yang

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN (yang telah disahkan dalam Rapat Paripurna DPR tanggal 18 Juli 2006) RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. kebijakan sosial baik oleh lembaga eksekutif, legislatif dan yudikatif maupun

I. PENDAHULUAN. kebijakan sosial baik oleh lembaga eksekutif, legislatif dan yudikatif maupun 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Tindak pidana pemerkosaan adalah salah satu bentuk kekerasan terhadap perempuan yang merupakan contoh kerentanan posisi perempuan, utamanya terhadap kepentingan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang Mengingat : a. bahwa salah satu alat

Lebih terperinci

PENANGGUHAN PENAHANAN DALAM PROSES PERKARA PIDANA (STUDI KASUS KEJAKSAAN NEGERI PALU) IBRAHIM / D Abstrak

PENANGGUHAN PENAHANAN DALAM PROSES PERKARA PIDANA (STUDI KASUS KEJAKSAAN NEGERI PALU) IBRAHIM / D Abstrak PENANGGUHAN PENAHANAN DALAM PROSES PERKARA PIDANA (STUDI KASUS KEJAKSAAN NEGERI PALU) IBRAHIM / D 101 10 523 Abstrak Negara Indonesia adalah negara yang berdasarkan atas hukum (rechstaat), tidak berdasarkan

Lebih terperinci

SKRIPSI UPAYA POLRI DALAM MENJAMIN KESELAMATAN SAKSI MENURUT UNDANG-UNDANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN

SKRIPSI UPAYA POLRI DALAM MENJAMIN KESELAMATAN SAKSI MENURUT UNDANG-UNDANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN SKRIPSI UPAYA POLRI DALAM MENJAMIN KESELAMATAN SAKSI MENURUT UNDANG-UNDANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN Disusun dan Diajukan Untuk Melengkapi Syarat Guna Memperoleh Gelar Sarjana Hukum Fakultas Hukum

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA DISTRIBUSI II UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa salah satu alat

Lebih terperinci

Institute for Criminal Justice Reform

Institute for Criminal Justice Reform UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 21 TAHUN 2007 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa setiap orang

Lebih terperinci

BAB IV. A. Bantuan Hukum Terhadap Tersangka Penyalahgunaan Narkotika. Dalam Proses Penyidikan Dihubungkan Dengan Undang-Undang

BAB IV. A. Bantuan Hukum Terhadap Tersangka Penyalahgunaan Narkotika. Dalam Proses Penyidikan Dihubungkan Dengan Undang-Undang BAB IV ANALISIS HUKUM TENTANG PERLINDUNGAN HUKUM UNTUK TERSANGKA PENYALAHGUNAAN NARKOTIKA DALAM PROSES PENYIDIKAN DIHUBUNGKAN DENGAN UNDANG-UNDANG NOMOR 8 TAHUN 1981 TENTANG HUKUM ACARA PIDANA JUNCTO UNDANG-UNDANG

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. sosial, sebagai makhluk individual manusia memiliki kepentingan masing-masing

BAB I PENDAHULUAN. sosial, sebagai makhluk individual manusia memiliki kepentingan masing-masing BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Manusia dilahirkan sebagai makhluk yang bersifat individual dan juga bersifat sosial, sebagai makhluk individual manusia memiliki kepentingan masing-masing yang tentu

Lebih terperinci

MASUKAN KOALISI PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN ATAS PERUBAHAN UU NO. 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN.

MASUKAN KOALISI PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN ATAS PERUBAHAN UU NO. 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN. MASUKAN KOALISI PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN ATAS PERUBAHAN UU NO. 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN 26 Juni 2014 No Rumusan RUU Komentar Rekomendasi Perubahan 1 Pasal 1 Dalam Undang-Undang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. tertib, keamanan dan ketentraman dalam masyarakat, baik itu merupakan

BAB I PENDAHULUAN. tertib, keamanan dan ketentraman dalam masyarakat, baik itu merupakan 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Penegakan hukum merupakan salah satu usaha untuk menciptakan tata tertib, keamanan dan ketentraman dalam masyarakat, baik itu merupakan usaha pencegahan maupun

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. negara hukum. Negara hukum merupakan dasar Negara dan pandangan. semua tertib hukum yang berlaku di Negara Indonesia.

BAB I PENDAHULUAN. negara hukum. Negara hukum merupakan dasar Negara dan pandangan. semua tertib hukum yang berlaku di Negara Indonesia. 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Negara Indonesia dikenal sebagai Negara Hukum. Hal ini ditegaskan pula dalam UUD 1945 Pasal 1 ayat (3) yaitu Negara Indonesia adalah negara hukum. Negara hukum

Lebih terperinci

PENDAHULUAN ABSTRAK. Pengadilan Negeri Gorontalo. Hasil penelitian yang diperoleh adalah terhadap penerapan Pasal 56 KUHAP tentang

PENDAHULUAN ABSTRAK. Pengadilan Negeri Gorontalo. Hasil penelitian yang diperoleh adalah terhadap penerapan Pasal 56 KUHAP tentang ABSTRAK Ririn Yunus, Nim : 271409027. Hukum Pidana, Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri Gorontalo. Penerapan Pasal 56 KUHAP Tentang Hak Terdakwa Untuk Mendapatkan Bantuan Hukum Dalam Proses Peradilan

Lebih terperinci

Tinjauan Yuridis terhadap Pelaksanaan Prapenuntutan Dihubungkan dengan Asas Kepastian Hukum dan Asas Peradilan Cepat, Sederhana, dan Biaya Ringan

Tinjauan Yuridis terhadap Pelaksanaan Prapenuntutan Dihubungkan dengan Asas Kepastian Hukum dan Asas Peradilan Cepat, Sederhana, dan Biaya Ringan Prosiding Ilmu Hukum ISSN: 2460-643X Tinjauan Yuridis terhadap Pelaksanaan Prapenuntutan Dihubungkan dengan Asas Kepastian Hukum dan Asas Peradilan Cepat, Sederhana, dan Biaya Ringan 1 Ahmad Bustomi, 2

Lebih terperinci

Presiden, DPR, dan BPK.

Presiden, DPR, dan BPK. BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG KPK adalah lembaga negara yang dibentuk dengan tujuan meningkatkan daya guna dan hasil guna terhadap upaya pemberantasan tindak pidana korupsi. KPK bersifat independen

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Penegakan hukum pidana dapat menjamin kepastian hukum, ketertiban dan

TINJAUAN PUSTAKA. Penegakan hukum pidana dapat menjamin kepastian hukum, ketertiban dan 16 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Penegakan Hukum Pidana Penegakan hukum pidana dapat menjamin kepastian hukum, ketertiban dan perlindungan hukum pada era modernisasi dan globalisasi saat ini dapat terlaksana,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kekerasan. Tindak kekerasan merupakan suatu tindakan kejahatan yang. yang berlaku terutama norma hukum pidana.

BAB I PENDAHULUAN. kekerasan. Tindak kekerasan merupakan suatu tindakan kejahatan yang. yang berlaku terutama norma hukum pidana. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Perkembangan globalisasi dan kemajuan teknologi yang terjadi dewasa ini telah menimbulkan dampak yang luas terhadap berbagai bidang kehidupan, khususnya di bidang

Lebih terperinci

PERLINDUNGAN KORBAN (SAKSI) SEBAGAI SARANA MENUJU PROSES PERADILAN PIDANA YANG JUJUR DAN ADIL. Oleh: Tri Wahyu Widiastuti 2

PERLINDUNGAN KORBAN (SAKSI) SEBAGAI SARANA MENUJU PROSES PERADILAN PIDANA YANG JUJUR DAN ADIL. Oleh: Tri Wahyu Widiastuti 2 PERLINDUNGAN KORBAN (SAKSI) SEBAGAI SARANA MENUJU PROSES PERADILAN PIDANA YANG JUJUR DAN ADIL Oleh: Tri Wahyu Widiastuti 2 Abstract : In the criminal justice system, victim (witness) hold important role

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. tersebut, khususnya mengenai kepentingan anak tentunya hal ini perlu diatur oleh

TINJAUAN PUSTAKA. tersebut, khususnya mengenai kepentingan anak tentunya hal ini perlu diatur oleh 16 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Hukum Perlindungan Anak Sebuah Masyarakat yang di dalamnya memiliki individu yang mempunyai kepentingan yang tidak hanya sama tetapi dapat bertentangan, untuk itu diperlukan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. dan melindungi anak dan hak-haknya agar dapat hidup, tumbuh dan, berkembang, dan

I. PENDAHULUAN. dan melindungi anak dan hak-haknya agar dapat hidup, tumbuh dan, berkembang, dan I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Anak adalah anugerah dari Tuhan Yang Maha Esa, yang harus dijaga untuk menjamin dan melindungi anak dan hak-haknya agar dapat hidup, tumbuh dan, berkembang, dan berpartisipasi

Lebih terperinci

PENERAPAN PRINSIP MIRANDA RULE SEBAGAI PENJAMIN HAK TERSANGKA DALAM PRAKTIK PERADILAN PIDANA DI INDONESIA

PENERAPAN PRINSIP MIRANDA RULE SEBAGAI PENJAMIN HAK TERSANGKA DALAM PRAKTIK PERADILAN PIDANA DI INDONESIA PENERAPAN PRINSIP MIRANDA RULE SEBAGAI PENJAMIN HAK TERSANGKA DALAM PRAKTIK PERADILAN PIDANA DI INDONESIA Oleh : I Dewa Bagus Dhanan Aiswarya Putu Gede Arya Sumerthayasa Bagian Hukum Acara Fakultas Hukum

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Tindak pidana atau delik berasal dari bahasa Latin delicta atau delictum yang di

II. TINJAUAN PUSTAKA. Tindak pidana atau delik berasal dari bahasa Latin delicta atau delictum yang di 16 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Tindak Pidana Tindak pidana atau delik berasal dari bahasa Latin delicta atau delictum yang di kenal dengan istilah strafbar feit dan dalam KUHP (Kitab Undang Undang Hukum Pidana)

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Indonesia merupakan Negara hukum sebagaimana diatur dalam Pasal

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Indonesia merupakan Negara hukum sebagaimana diatur dalam Pasal 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia merupakan Negara hukum sebagaimana diatur dalam Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945, konsep Negara hukum tersebut memberikan kewajiban bagi

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. A. Pengertian dan Batas Usia Pertanggungjawaban Pidana Anak

II. TINJAUAN PUSTAKA. A. Pengertian dan Batas Usia Pertanggungjawaban Pidana Anak 16 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian dan Batas Usia Pertanggungjawaban Pidana Anak Pengertian anak menurut Pasal 1 angka (1) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak, adalah seseorang

Lebih terperinci

Lex Crimen Vol. IV/No. 1/Jan-Mar/2015. PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP HAK KORBAN TERORISME 1 Oleh: Wahyudi Iswanto 2

Lex Crimen Vol. IV/No. 1/Jan-Mar/2015. PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP HAK KORBAN TERORISME 1 Oleh: Wahyudi Iswanto 2 PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP HAK KORBAN TERORISME 1 Oleh: Wahyudi Iswanto 2 ABSTRAK Tujuan dilakukannya penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimana pengaturan terhadap korban tindak pidana terorisme

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Perdagangan orang (human traficking) terutama terhadap perempuan dan anak

I. PENDAHULUAN. Perdagangan orang (human traficking) terutama terhadap perempuan dan anak 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Perdagangan orang (human traficking) terutama terhadap perempuan dan anak merupakan pengingkaran terhadap kedudukan setiap orang sebagai makhluk ciptaan Tuhan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PENEGAKAN HUKUM TERHADAP PERLINDUNGAN KORBAN PERDAGANGAN ANAK DI WILAYAH HUKUM KABUPATEN JEMBRANA

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PENEGAKAN HUKUM TERHADAP PERLINDUNGAN KORBAN PERDAGANGAN ANAK DI WILAYAH HUKUM KABUPATEN JEMBRANA BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PENEGAKAN HUKUM TERHADAP PERLINDUNGAN KORBAN PERDAGANGAN ANAK DI WILAYAH HUKUM KABUPATEN JEMBRANA 2.1 Pengertian Perlindungan Hukum Ruang lingkup perlindungan hukum yang akan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. hidup, tumbuh dan berkembang, berpartisipasi serta berhak atas perlindungan dari

BAB I PENDAHULUAN. hidup, tumbuh dan berkembang, berpartisipasi serta berhak atas perlindungan dari BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Anak sebagai karunia Tuhan Yang Maha Esa, yang senantiasa harus dijaga dan diperhatikan harkat, martabat dan hak-hak anak sebagai manusia seutuhnya. Hak yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. berhak mendapatkan perlindungan fisik, mental dan spiritual maupun sosial

BAB I PENDAHULUAN. berhak mendapatkan perlindungan fisik, mental dan spiritual maupun sosial BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Setiap anak mempunyai permasalahan atau berhadapan dengan hukum berhak mendapatkan perlindungan fisik, mental dan spiritual maupun sosial sesuai dengan apa yang termuat

Lebih terperinci

dengan aparatnya demi tegaknya hukum, keadilan dan perlindungan harkat dan martabat manusia. Sejak berlakunya Undang-undang nomor 8 tahun 1981

dengan aparatnya demi tegaknya hukum, keadilan dan perlindungan harkat dan martabat manusia. Sejak berlakunya Undang-undang nomor 8 tahun 1981 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Negara Indonesia adalah merupakan negara hukum yang demokratis berdasarkan Pancasila dan Undang-undang Dasar 1945 bukan berdasarkan atas kekuasaan semata. Indonesia

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pertama, hal Soerjono Soekanto, 2007, Sosiologi Suatu Pengantar, Jakarta: Raja Grafindo Persada, Cetakan

BAB I PENDAHULUAN. Pertama, hal Soerjono Soekanto, 2007, Sosiologi Suatu Pengantar, Jakarta: Raja Grafindo Persada, Cetakan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Negara Indonesia adalah negara hukum pada dasarnya bertujuan untuk mencapai kedamaian hidup bersama, yang merupakan keserasian antara ketertiban dengan ketentraman.

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. A. Pengertian dan Tujuan Sistem Peradilan Pidana di Indonesia

II. TINJAUAN PUSTAKA. A. Pengertian dan Tujuan Sistem Peradilan Pidana di Indonesia II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian dan Tujuan Sistem Peradilan Pidana di Indonesia Usaha penanggulangan kejahatan, secara operasional dapat dilakukan melalui sarana penal maupun non penal. Menurut Muladi

Lebih terperinci

Program Pascasarjana Ilmu Hukum FAKULTAS HUKUM Universitas Brawijaya

Program Pascasarjana Ilmu Hukum FAKULTAS HUKUM Universitas Brawijaya Implementasi Undang-Undang Negara Republik Indonesia No. 31 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Negara Republik Indonesia No. 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban dalam Sistem

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. lazim disebut norma. Norma adalah istilah yang sering digunakan untuk

BAB I PENDAHULUAN. lazim disebut norma. Norma adalah istilah yang sering digunakan untuk BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Kehidupan manusia merupakan anugerah Tuhan Yang Maha Esa yang harus dijalani oleh setiap manusia berdasarkan aturan kehidupan yang lazim disebut norma. Norma

Lebih terperinci

PEMETAAN LEGISLASI INDONESIA TERKAIT DENGAN PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN. Supriyadi Widodo Eddyono

PEMETAAN LEGISLASI INDONESIA TERKAIT DENGAN PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN. Supriyadi Widodo Eddyono PEMETAAN LEGISLASI INDONESIA TERKAIT DENGAN PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN Jakarta 2005 I. Latar Belakang Masalah perlindungan Korban dan Saksi di dalam proses peradilan pidana merupakan salah satu permasalahan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Negara, yakni: supremasi hukum (supremacy of law), kesetaraan di depan hukum. mempertahankan kedamaian pergaulan hidup.

BAB I PENDAHULUAN. Negara, yakni: supremasi hukum (supremacy of law), kesetaraan di depan hukum. mempertahankan kedamaian pergaulan hidup. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Konsekuensi Indonesia sebagai negara hukum, ada tiga prinsip dasar yang wajib dijunjung tinggi oleh aparat pemerintahan maupun oleh setiap warga Negara, yakni:

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Praperadilan merupakan lembaga baru dalam dunia peradilan di

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Praperadilan merupakan lembaga baru dalam dunia peradilan di 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Praperadilan merupakan lembaga baru dalam dunia peradilan di Indonesia dalam kehidupan penegakan hukum. Praperadilan bukan lembaga pengadilan yang berdiri sendiri.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pengadilan yang dilakukan oleh aparat penegak hukum. pemeriksaan di sidang pengadilan ada pada hakim. Kewenangan-kewenangan

BAB I PENDAHULUAN. pengadilan yang dilakukan oleh aparat penegak hukum. pemeriksaan di sidang pengadilan ada pada hakim. Kewenangan-kewenangan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Peradilan pidana di Indonesia pada hakekatnya merupakan suatu sistem, hal ini dikarenakan dalam proses peradilan pidana di Indonesia terdiri dari tahapan-tahapan yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dengan keadaan dunia yang telah mulai banyak memperhatikan Hak Asasi

BAB I PENDAHULUAN. dengan keadaan dunia yang telah mulai banyak memperhatikan Hak Asasi BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Negara Indonesia sebagai negara hukum juga perlu memahami dengan keadaan dunia yang telah mulai banyak memperhatikan Hak Asasi Manusia, sehingga di era reformasi sebuah

Lebih terperinci

BAB III PERLINDUNGAN HUKUM KORBAN TINDAK PIDANA PERKOSAAN DALAM SISTEM PERADILAN PIDANA

BAB III PERLINDUNGAN HUKUM KORBAN TINDAK PIDANA PERKOSAAN DALAM SISTEM PERADILAN PIDANA 46 BAB III PERLINDUNGAN HUKUM KORBAN TINDAK PIDANA PERKOSAAN DALAM SISTEM PERADILAN PIDANA A. Perlindungan Hukum Perlindungan hukum merupakan salah satu wujud dari kepastian hukum yang mana hal itu merupakan

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Keberadaan institusi Kejaksaan Republik Indonesia saat ini adalah Undang-

TINJAUAN PUSTAKA. Keberadaan institusi Kejaksaan Republik Indonesia saat ini adalah Undang- 15 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian Kejaksaan Keberadaan institusi Kejaksaan Republik Indonesia saat ini adalah Undang- Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan (UU Kejaksaan). Menurut ketentuan

Lebih terperinci

BAB III LEMBAGA PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN MENURUT UNDANG-UNDANG RI NO 13 TAHUN 2006

BAB III LEMBAGA PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN MENURUT UNDANG-UNDANG RI NO 13 TAHUN 2006 BAB III LEMBAGA PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN MENURUT UNDANG-UNDANG RI NO 13 TAHUN 2006 A. Latar Belakang Berdirinya Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) Lembaga Perlindungan Saksi Dan Korban (LPSK)

Lebih terperinci

BAB III PENUTUP A. KESIMPULAN. Hak-hak korban pelanggaran HAM berat memang sudah diatur dalam

BAB III PENUTUP A. KESIMPULAN. Hak-hak korban pelanggaran HAM berat memang sudah diatur dalam BAB III PENUTUP A. KESIMPULAN Hak-hak korban pelanggaran HAM berat memang sudah diatur dalam Undang-undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban khususnya mengenai kompensasi, namun

Lebih terperinci

BAB III PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP KORBAN. dan hak-hak lainnya. Pada dasarnya setiap manusia memiliki hak untuk

BAB III PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP KORBAN. dan hak-hak lainnya. Pada dasarnya setiap manusia memiliki hak untuk BAB III PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP KORBAN A. Pengertian Perlindungan Hukum Manusia merupakan makhluk ciptaan Tuhan yang sejak lahir memiliki hak-hak dasar yaitu hak untuk hidup, hak untuk dilindungi,

Lebih terperinci

LATAR BELAKANG MASALAH

LATAR BELAKANG MASALAH LATAR BELAKANG MASALAH Tindak pidana korupsi di Indonesia saat ini tidak semakin berkurang, walaupun usaha untuk mengurangi sudah dilakukan dengan usaha-usaha pemerintah untuk menekan tindak pidana korupsi

Lebih terperinci

PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN

PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN Hasil PANJA 12 Juli 2006 Dokumentasi KOALISI PERLINDUNGAN SAKSI Hasil Tim perumus PANJA, santika 12 Juli

Lebih terperinci

NOMOR : M.HH-11.HM.03.02.th.2011 NOMOR : PER-045/A/JA/12/2011 NOMOR : 1 Tahun 2011 NOMOR : KEPB-02/01-55/12/2011 NOMOR : 4 Tahun 2011 TENTANG

NOMOR : M.HH-11.HM.03.02.th.2011 NOMOR : PER-045/A/JA/12/2011 NOMOR : 1 Tahun 2011 NOMOR : KEPB-02/01-55/12/2011 NOMOR : 4 Tahun 2011 TENTANG PERATURAN BERSAMA MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA JAKSA AGUNG REPUBLIK INDONESIA KEPALA KEPOLISIAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA KOMISI PEMBERANTASAN KORUPSI REPUBLIK INDONESIA KETUA

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kepentingan dan hak asasi yang menderita. 1 Korban kejahatan yang pada

BAB I PENDAHULUAN. kepentingan dan hak asasi yang menderita. 1 Korban kejahatan yang pada BAB I PENDAHULUAN I. Latar Belakang Masalah Permasalahan keadilan dan hak asasi manusia dalam kaitannya dengan penegakan hukum pidana memang bukan merupakan pekerjaan yang mudah untuk direalisasikan. Salah

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. setiap individu, sehingga setiap orang memiliki hak persamaan dihadapan hukum.

BAB 1 PENDAHULUAN. setiap individu, sehingga setiap orang memiliki hak persamaan dihadapan hukum. BAB 1 PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH Dalam Negara Hukum, negara mengakui dan melindungi hak asasi manusia setiap individu, sehingga setiap orang memiliki hak persamaan dihadapan hukum. Persamaan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Acara Pidana (KUHAP) menjunjung tinggi harkat martabat manusia, dimana

BAB I PENDAHULUAN. Acara Pidana (KUHAP) menjunjung tinggi harkat martabat manusia, dimana BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Salah satu aspek pembaharuan dalam Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) menjunjung tinggi harkat martabat manusia, dimana tersangka dari tingkat pendahulu

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Korban dalam suatu tindak pidana, dalam Sistim Hukum Nasional, posisinya tidak

I. PENDAHULUAN. Korban dalam suatu tindak pidana, dalam Sistim Hukum Nasional, posisinya tidak I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Korban dalam suatu tindak pidana, dalam Sistim Hukum Nasional, posisinya tidak menguntungkan. Karena korban tersebut, dalam Sistim Peradilan (pidana), hanya sebagai figuran,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yaitu masalah pidana yang diancamkan terhadap pelanggaran tertentu 2. Topik

BAB I PENDAHULUAN. yaitu masalah pidana yang diancamkan terhadap pelanggaran tertentu 2. Topik BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 secara tegas menuliskan bahwa negara Indonesia adalah Negara Hukum. Salah satu prinsip penting negara

Lebih terperinci

BAB II PERLINDUNGAN HAK- HAK TERSANGKA DALAM PROSES PEMERIKSAAN DI TINGKAT KEPOLISIAN

BAB II PERLINDUNGAN HAK- HAK TERSANGKA DALAM PROSES PEMERIKSAAN DI TINGKAT KEPOLISIAN BAB II PERLINDUNGAN HAK- HAK TERSANGKA DALAM PROSES PEMERIKSAAN DI TINGKAT KEPOLISIAN A Pemeriksaan Tersangka di tingkat Kepolisian Berdasarkan KUHAP, UU No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian dan Kode Etik

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. hukum dan pemerintahan. Hal ini ditegaskan dalam Undang-Undang Dasar

BAB I PENDAHULUAN. hukum dan pemerintahan. Hal ini ditegaskan dalam Undang-Undang Dasar BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia merupakan negara hukum yang selalu menjunjung tinggi Hak Asasi Manusia (HAM) dan jaminan kedudukan yang sama di dalam hukum dan pemerintahan. Hal ini ditegaskan

Lebih terperinci

BAB II PENGATURAN HAK RESTITUSI TERHADAP KORBAN TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG DI INDONESIA

BAB II PENGATURAN HAK RESTITUSI TERHADAP KORBAN TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG DI INDONESIA 16 BAB II PENGATURAN HAK RESTITUSI TERHADAP KORBAN TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG DI INDONESIA A. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 21 Tahun 2007 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang

Lebih terperinci

BAB III FAKTOR PENYEBAB TERJADI KORBAN DALAM PERKARA TINDAK PIDANA KORUPSI DI KABUPATEN ACEH BARAT

BAB III FAKTOR PENYEBAB TERJADI KORBAN DALAM PERKARA TINDAK PIDANA KORUPSI DI KABUPATEN ACEH BARAT 38 BAB III FAKTOR PENYEBAB TERJADI KORBAN DALAM PERKARA TINDAK PIDANA KORUPSI DI KABUPATEN ACEH BARAT A. Faktor Penyebab Terjadi Korban 1. Faktor Internal a. Faktor Aparat Penegak Hukum Penegakan hukum

Lebih terperinci

TINJAUAN HUKUM TERHADAP TUNTUTAN GANTI KERUGIAN KARENA SALAH TANGKAP DAN MENAHAN ORANG MUHAMMAD CHAHYADI/D Pembimbing:

TINJAUAN HUKUM TERHADAP TUNTUTAN GANTI KERUGIAN KARENA SALAH TANGKAP DAN MENAHAN ORANG MUHAMMAD CHAHYADI/D Pembimbing: TINJAUAN HUKUM TERHADAP TUNTUTAN GANTI KERUGIAN KARENA SALAH TANGKAP DAN MENAHAN ORANG MUHAMMAD CHAHYADI/D 101 10 308 Pembimbing: 1. Dr. Abdul Wahid, SH., MH 2. Kamal., SH.,MH ABSTRAK Karya ilmiah ini

Lebih terperinci

yang tersendiri yang terpisah dari Peradilan umum. 1

yang tersendiri yang terpisah dari Peradilan umum. 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Menurut Undang-undang Dasar 1945 Pasal 25A Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah sebuah negara kepulauan yang berciri Nusantara dengan wilayah yang batas-batas

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa salah satu alat bukti yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Hukum berkembang mengikuti perubahan zaman dan kebutuhan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Hukum berkembang mengikuti perubahan zaman dan kebutuhan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Hukum berkembang mengikuti perubahan zaman dan kebutuhan manusia. Salah satu unsur yang menyebabkan adanya perubahan dan perkembangan hukum adalah adanya ilmu pengetahuan,

Lebih terperinci

KEDUDUKAN KORBAN KEJAHATAN DALAM SISTEM PERADILAN PIDANA DI INDONESIA BERDASARKAN KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM ACARA PIDANA (KUHAP)

KEDUDUKAN KORBAN KEJAHATAN DALAM SISTEM PERADILAN PIDANA DI INDONESIA BERDASARKAN KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM ACARA PIDANA (KUHAP) KEDUDUKAN KORBAN KEJAHATAN DALAM SISTEM PERADILAN PIDANA DI INDONESIA BERDASARKAN KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM ACARA PIDANA (KUHAP) Ni Putu Rai Yuliartini Jurusan Ilmu Hukum Universitas Pendidikan Ganesha

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Perbuatan tersebut selain melanggar dan menyimpang dari hukum juga

BAB I PENDAHULUAN. Perbuatan tersebut selain melanggar dan menyimpang dari hukum juga BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dewasa ini dalam kehidupan bermasyarakat, setiap anggota masyarakat selalu merasakan adanya gejolak dan keresahan di dalam kehidupan sehari-harinya, hal ini

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa setiap warga negara

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. penyelesaian perkara pidana, keterangan yang diberikan oleh seorang saksi. pidana atau tidak yang dilakukan terdakwa.

BAB I PENDAHULUAN. penyelesaian perkara pidana, keterangan yang diberikan oleh seorang saksi. pidana atau tidak yang dilakukan terdakwa. 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Alat bukti berupa keterangan saksi sangatlah lazim digunakan dalam penyelesaian perkara pidana, keterangan yang diberikan oleh seorang saksi dimaksudkan untuk

Lebih terperinci

PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP SAKSI DAN PELAPOR TINDAK PIDANA GRATIFIKASI 1 Oleh : Meiggie P. Barapa/

PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP SAKSI DAN PELAPOR TINDAK PIDANA GRATIFIKASI 1 Oleh : Meiggie P. Barapa/ PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP SAKSI DAN PELAPOR TINDAK PIDANA GRATIFIKASI 1 Oleh : Meiggie P. Barapa/090711116 A B S T R A K Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban, dalam

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Dewasa ini, Tindak Pidana Perdagangan Orang merupakan salah satu perbuatan yang sangat meresahkan masyarakat. Dikatakan meresahkan masyarakat karena akibat dari pada

Lebih terperinci

JAMINAN PERLINDUNGAN HAK TERSANGKA DAN TERDAKWA DALAM KUHAP DAN RUU KUHAP. Oleh : LBH Jakarta

JAMINAN PERLINDUNGAN HAK TERSANGKA DAN TERDAKWA DALAM KUHAP DAN RUU KUHAP. Oleh : LBH Jakarta JAMINAN PERLINDUNGAN HAK TERSANGKA DAN TERDAKWA DALAM KUHAP DAN RUU KUHAP Oleh : LBH Jakarta 1. PENGANTAR Selama lebih dari tigapuluh tahun, Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana atau KUHAP diundangkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak

BAB I PENDAHULUAN. pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Undang-Undang Dasar 1945 (UUD 1945) pasal 27 butir 1 menentukan: segala warga negara bersamaan kedudukan di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN, Menimbang : a. bahwa setiap warga negara berhak mendapatkan rasa aman dan

Lebih terperinci

BAB II PENGATURAN HUKUM TENTANG PERLINDUNGAN TERHADAP KORBAN TINDAK PIDANA KORUPSI

BAB II PENGATURAN HUKUM TENTANG PERLINDUNGAN TERHADAP KORBAN TINDAK PIDANA KORUPSI 20 BAB II PENGATURAN HUKUM TENTANG PERLINDUNGAN TERHADAP KORBAN TINDAK PIDANA KORUPSI A. Undang-Undang Dasar 1945 Adapun terkait hal keuangan, diatur di dalam Pasal 23 Undang-Undang Dasar 1945, sebagaimana

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. (rechtsstaat), tidak berdasarkan atas kekuasaan belaka (machtsstaat). Indonesia

BAB I PENDAHULUAN. (rechtsstaat), tidak berdasarkan atas kekuasaan belaka (machtsstaat). Indonesia BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Negara Indonesia adalah Negara yang berdasarkan atas hukum (rechtsstaat), tidak berdasarkan atas kekuasaan belaka (machtsstaat). Indonesia menerima hukum sebagai

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. atas hukum (Rechtsstaat), tidak berdasar atas kekuasaan semata

BAB I PENDAHULUAN. atas hukum (Rechtsstaat), tidak berdasar atas kekuasaan semata BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Negara Indonesia adalah negara berdasarkan atas hukum, penegasan ini secara konstitusional terdapat dalam penjelasan Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. penetapannya, dalam hal serta menurut cara yang diatur menurut Undang-Undang ini.

II. TINJAUAN PUSTAKA. penetapannya, dalam hal serta menurut cara yang diatur menurut Undang-Undang ini. II. TINJAUAN PUSTAKA A. Penahanan Tersangka Penahanan sebagaimana ditentukan dalam Pasal 1 angka 21 KUHAP adalah penempatan tersangka atau terdakwa di tempat tertentu oleh penyidik atau penuntut umum atau

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pada tahap interogasi / penyidikan sering terjadi tindakan sewenang-wenang

BAB I PENDAHULUAN. pada tahap interogasi / penyidikan sering terjadi tindakan sewenang-wenang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Perlindungan dan penghormatan terhadap hak asasi manusia merupakan pilar utama dalam setiap negara hukum, jika dalam suatu negara hak manusia terabaikan atau

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 44 TAHUN 2008 TENTANG PEMBERIAN KOMPENSASI, RESTITUSI, DAN BANTUAN KEPADA SAKSI DAN KORBAN

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 44 TAHUN 2008 TENTANG PEMBERIAN KOMPENSASI, RESTITUSI, DAN BANTUAN KEPADA SAKSI DAN KORBAN PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 44 TAHUN 2008 TENTANG PEMBERIAN KOMPENSASI, RESTITUSI, DAN BANTUAN KEPADA SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang:

Lebih terperinci

selalu berulang seperti halnya dengan musim yang berganti-ganti dari tahun ke

selalu berulang seperti halnya dengan musim yang berganti-ganti dari tahun ke I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Perkembangan zaman di berbagai bidang kehidupan membawa masyarakat menuju pada suatu tatanan kehidupan dan gaya hidup yang serba mudah dan praktis. Keberhasilan yang dicapai

Lebih terperinci

Lex Privatum, Vol. IV/No. 7/Ags/2016

Lex Privatum, Vol. IV/No. 7/Ags/2016 SISTEM PERADILAN PIDANA ANAK DI INDONESIA MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 11 TAHUN 2012 TENTANG SISTEM PERADILAN PIDANA ANAK 1 Oleh: Karen Tuwo 2 ABSTRAK Penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. manusia untuk mengeluarkan pendapatnya secara bebas. Hal ini tertuang dalam

BAB I PENDAHULUAN. manusia untuk mengeluarkan pendapatnya secara bebas. Hal ini tertuang dalam BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kebebasan pers merupakan salah satu dimensi hak asasi manusia, yaitu hak manusia untuk mengeluarkan pendapatnya secara bebas. Hal ini tertuang dalam undang-undang

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 44 TAHUN 2008 TENTANG PEMBERIAN KOMPENSASI, RESTITUSI, DAN BANTUAN KEPADA SAKSI DAN KORBAN

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 44 TAHUN 2008 TENTANG PEMBERIAN KOMPENSASI, RESTITUSI, DAN BANTUAN KEPADA SAKSI DAN KORBAN PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 44 TAHUN 2008 TENTANG PEMBERIAN KOMPENSASI, RESTITUSI, DAN BANTUAN KEPADA SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN, Menimbang: bahwa untuk melaksanakan ketentuan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. berlakunya Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 Tentang Hukum Acara Pidana

BAB I PENDAHULUAN. berlakunya Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 Tentang Hukum Acara Pidana 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pada tanggal 31 Desember 1981, Bangsa Indonesia telah memiliki Undangundang Hukum Acara Pidana karya bangsa sendiri, yaitu dengan diundangkannya Undang-Undang

Lebih terperinci

KAJIAN TERHADAP TINDAK PIDANA PENIPUAN MELALUI JUAL-BELI ONLINE

KAJIAN TERHADAP TINDAK PIDANA PENIPUAN MELALUI JUAL-BELI ONLINE KAJIAN TERHADAP TINDAK PIDANA PENIPUAN MELALUI JUAL-BELI ONLINE Oleh : Desak Made Prilia Darmayanti Ketut Suardita Bagian Hukum Pidana, Fakultas Hukum,Universitas Udayana ABSTRACT: This journal, entitled

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. perbuatan menyimpang yang ada dalam kehidupan masyarakat. maraknya peredaran narkotika di Indonesia.

BAB I PENDAHULUAN. perbuatan menyimpang yang ada dalam kehidupan masyarakat. maraknya peredaran narkotika di Indonesia. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pertumbuhan dan perkembangan teknologi yang sangat cepat, berpengaruh secara signifikan terhadap kehidupan sosial masyarakat. Dalam hal ini masyarakat dituntut

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang KAJIAN TERHADAP TINDAK PIDANA PENIPUAN MELALUI JUAL-BELI ONLINE Oleh : Desak Made Prilia Darmayanti Ketut Suardita Bagian Hukum Pidana, Fakultas Hukum,Universitas Udayana ABSTRACT: This journal, entitled

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. prinsip hukum acara pidana yang mengatakan peradilan dilakukan secara

I. PENDAHULUAN. prinsip hukum acara pidana yang mengatakan peradilan dilakukan secara I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Penyidik berwenang melakukan penahanan kepada seorang tersangka. Kewenangan tersebut diberikan agar penyidik dapat melakukan pemeriksaan secara efektif dan efisien

Lebih terperinci

PERLINDUNGAN HUKUM ATAS HAK TERHADAP TERSANGKA DI TINGKAT PENYIDIKAN OLEH KEPOLISIAN

PERLINDUNGAN HUKUM ATAS HAK TERHADAP TERSANGKA DI TINGKAT PENYIDIKAN OLEH KEPOLISIAN PERLINDUNGAN HUKUM ATAS HAK TERHADAP TERSANGKA DI TINGKAT PENYIDIKAN OLEH KEPOLISIAN Oleh : I Gusti Ngurah Ketut Triadi Yuliardana I Made Walesa Putra Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Udayana ABSTRAK

Lebih terperinci