BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang
|
|
- Veronika Tan
- 6 tahun lalu
- Tontonan:
Transkripsi
1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Dewasa ini, Tindak Pidana Perdagangan Orang merupakan salah satu perbuatan yang sangat meresahkan masyarakat. Dikatakan meresahkan masyarakat karena akibat dari pada perbuatan tersebut dapat merugikan kepentingan masyarakat itu sendiri. Tindak pidana perdagangan orang juga dapat mengakibatkan terampasnya hak asasi yang dimiliki oleh setiap manusia. Hak Asasi itu sendiri merupakan pemberian dari Tuhan Yang Maha Esa yang harus di lindungi oleh negara hal ini didasarkan kepada Pancasila dan Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun Perdagangan orang bertentangan dengan hak asasi manusia karena perdagangan orang melalui cara ancaman, pemaksaan, penculikan, penipuan, kecurangan, kebohongan dan penyalahgunaan kekuasaan serta bertujuan prostitusi, pornografi, kekerasan atau eksploitasi, kerja paksa, perbudakan atau praktik-praktik serupa. Jika salah satu cara tersebut diatas terpenuhi, maka terjadi perdagangan orang yang termasuk sebagai kejahatan yang melanggar hak asasi manusia. 1 Maraknya issue perdagangan orang ini diawali dengan semakin meningkatnya pencari kerja baik laki-laki maupun perempuan bahkan anak-anak untuk bermigrasi ke luar daerah sampai ke luar negeri guna mencari pekerjaan. Kurangnya pendidikan dan keterbatasan informasi yang dimiliki menyebabkan mereka rentan terjebak dalam perdagangan orang. Berbagai penyebab yang mendorong terjadinya hal tersebut diatas, diantaranya yang dominan adalah faktor kemiskinan, ketidaktersediaan lapangan kerja, perubahan orientasi pembangunan dari pertanian ke industri serta krisis ekonomi yang tidak berkesudahan. 2 Pertumbuhan dan perkembangan kejahatan tidak dapat terlepas dari korban. Korban tidak saja dipahami sebagai objek dari suatu kejahatan, akan tetapi dipahami sebagai subjek yang perlu mendapat perlindungan baik secara sosial maupun hukum. Pada dasarnya korban adalah orang, baik sebagai individu, kelompok ataupun masyarakat yang telah menderita kerugian yang secara langsung telah terganggu akibat pengalamannya sebagai sasaran dari kejahatan. 3 1 Farhana. Aspek Hukum Perdagangan Orang Indonesia. Jakarta : Sinar Grafika, halaman Ibid. halaman Ibid.halaman 18 1
2 2 Korban kejahatan yang pada dasarnya merupakan pihak yang paling menderita dalam suatu tindak pidana, justru tidak memperoleh perlindungan sebanyak yang diberikan oleh undang-undang kepada pelaku kejahatan. Akibatnya, pada saat pelaku kejahatan telah dijatuhi sanksi pidana oleh pengadilan, kondisi korban kejahatan seperti tidak dipedulikan sama sekali. Padahal masalah keadilan dan penghormatan hak asasi manusia tidak hanya berlaku terhadap pelaku kejahatan saja, tetapi juga korban kejahatan. 4 Setiap penanganan perkara pidana aparat penegakan hukum (polisi, jaksa) seringkali dihadapkan pada kewajiban untuk melindungi dua kepentingan yang terkesan saling berlawanan, yaitu kepentingan korban yang harus dilindungi untuk memulihkan penderitaannya karena telah menjadi korban kejahatan (secara mental, fisik maupun material), dan kepentingan tertuduh/tersangka sekalipun dia bersalah, tetapi dia tetap sebagai manusia yang memiliki hak asasi yang tidak boleh dilanggar. Tetapi apabila atas perbuatannya itu belum ada putusan hakim yang menyatakan bahwa pelaku bersalah. Oleh karena itu, pelaku harus dianggap sebagai orang yang tidak bersalah (asas praduga tak bersalah). 5 Menyadari kenyataan bahwa dalam penyelesaian perkara pidana, seringkali hukum terlalu mengedepankan hak-hak tersangka/terdakwa, sementara hak-hak korban diabaikan, sebagaimana yang dikemukakan oleh Andi Hamzah: Dalam membahas hukum acara pidana, khususnya yang berkaitan dengan hak-hak asasi manusia, ada kecenderungan untuk mengupas hal-hal yang berkaitan dengan hak-hak tersangka tanpa memperhatikan pula hakhak para korban. 6 Kedudukan hubungan antara pelaku kejahatan dengan saksi atau korban dalam suatu perstiwa pidana, dalam sejarah kriminalitas di dunia menunjukkan salah satu subjek hukum yang terabaikan oleh para pakar atau ilmuan, maupun masyarakat dalam menanggapi terjadinya suatu peristiwa pidana. Setiap terjadinya pengungkapan kasus pidana, seolah-olah keberhasilan pengungkapan peristiwa pidana ini, merupakan jasa dari para penegak hukum. disadari atau tidak bahwa keberhasilan dalam pengungkapan suatu peristiwa pidana ini, merupakan peran peran serta dan tanggung jawab hukum dari para saksi dan atau korban yang terlibat langsung dalam suatu peristiwa pidana yang terjadi. 7 Pembahasan tentang pemberian perlindungan saksi dan korban, maka harus dipahami terhadap kedudukan saksi dan korban dalam suatu tindak pidana, yang dapat ditelusuri 4 Dikdik M.Arief Mansur Dan Elistaris Gultom. Urgensi Perlindungan Korban Kejahatan Antara Norma dan Realita. Jakarta : Raja Grafindo Persada, halaman Ibid. halaman Andi Hamzah. Perlindungan Hak-hak Asasi Manusia dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana. Bandung : Binacipta, halaman Siswanto Sunarso. Viktimologi dalam Sistem Peradilan Pidana. Jakarta : Sinar Grafika, halaman 31.
3 3 melalui peranan serta hak dan kewajiban para saksi dan korban dalam suatu peristiwa pidana. Peranan saksi dan korban mempunyai peranan dan tanggung jawab fungsional yang melibatkan dirinya sebagai korban. Keterlibatan ini penting untuk bahan mengukur suatu keterlibatan dan peran serta tanggung jawab dalam hal terjadinya peristiwa pidana. Terhadap tindak pidana perdagangan orang, Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang mengatur tentang berbagai ketentuan yang dapat mengantisipasi dan menjaring semua jenis tindak pidana perdagangan orang, mulai dari proses dan cara, sampai kepada tujuan, dalam semua bentuk eksploitasi yang mungkin terjadi dalam perdagangan orang, baik yang dilakukan antar wilayah yang berada di dalam negeri maupun di luar negeri dan baik yang dilakukan oleh perorangan, kelompok maupun yang dilakukan oleh suatu korporasi. Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang juga mengatur tentang perlindungan saksi dan korban sebagai aspek penting dalam penegakan hukum untuk memberikan perlindungan kepada korban dan/atau saksi. Perlindungan hukum terhadap korban tindak pidana perdagangan orang dapat diwujudkan dalam bentuk pemberian hak restitusi yang harus diberikan oleh pelaku tindak pidana perdagangan orang sebagai bentuk ganti kerugian yang telah dialami oleh korban, dan memberikan hak korban atas rehabilitasi medis, psikologis dan sosial, pemulangan serta integrasi yang wajib dilakukan oleh negara, khususnya bagi mereka yang mengalami penderitaan fisik, psikis, dan sosial akibat dari tindak pidana perdagangan orang. Setiap korban tindak pidana perdagangan orang atau ahli warisnya berhak memperoleh restitusi dari pelaku. Restitusi ini merupakan ganti kerugian atas kehilangan kekayaan atau penghasilan, penderitaan, biaya untuk tindakan perawatan medis dan/atau psikologis dan/atau kerugian lain yang diderita oleh korban sebagai akibat dari perdagangan orang. Tujuan diberikannya restitusi kepada korban tindak pidana perdagangan orang adalah untuk meringankan penderitaan yang dialami oleh korban baik penderitaan fisik maupun psikis. Akan tetapi, harus ditentukan pula kerugian apa saja yang layak diberikan ganti kerugian. Ganti kerugian yang akan diberikan kepada pelaku harus tetap dipandang sebagai bentuk pidana dan harus disesuaikan dengan ekonomi pelaku. Dari uraian ringkas di atas dapat diketahui bahwa restitusi merupakan bentuk ganti rugi yang diberikan oleh pelaku tindak pidana kepada korban yang kepentingan psikis maupun fisiknya telah dirugikan akibat perbuatan yang telah dilakukan oleh pelaku. Oleh karena itu, maka penulis merasa tertarik untuk mengangkat skripsi dengan judul HAK RESTITUSI SEBAGAI BENTUK PERLINDUNGAN TERHADAP KORBAN TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG (Studi Kasus Nomor : 1554/Pid.B/2012/PN.MDN)
4 4 B. Perumusan Masalah Rumusan masalah merupakan pedoman untuk penelitian dan penulisan suatu masalah yang akan diteliti, memudahkan penulis dalam membahas permasalahan, serta memandu penulis agar mencapai sasaran sesuai dengan harapan, tidak terlalu luas, dan yang lebih utamanya adalah terarah. Untuk itu berdasarkan latar belakang yang di kemukakan diatas, maka permasalahan pokok yang akan dibahas dalam penulisan skripsi ini adalah sebagai berikut : 1. Bagaimana Pengaturan Hak Restitusi Terhadap Korban Tindak Pidana Perdagangan Orang Di Indonesia? 2. Bagaimana Hak Restitusi Sebagai Bentuk Perlindungan Terhadap Korban Kejahatan? 3. Bagaimana Kebijakan Hukum Pidana Dalam Penerapan Hak Restitusi Terhadap Korban Tindak Pidana Perdagangan Orang (Studi Kasus Nomor 1554/Pid.B/2012/PN.MDN)? C. Tujuan Penulisan Dan Manfaat Penulisan Berdasarkan Perumusan Masalah diatas, adapun yang menjadi tujuan dari penulisan Skripsi ini dapat dirumuskan sebagai berikut : 1. Untuk mengetahui pengaturan hak restitusi terhadap korban tindak pidana perdagangan orang di Indonesia 2. Untuk mengetahui hak restitusi sebagai bentuk perlindungan terhadap korban tindak kejahatan 3. Untuk mengetahui kebijakan hukum pidana dalam penerapan hak restitusi terhadap korban tindak pidana perdagangan orang
5 5 Manfaat Penelitian Manfaat dalam skripsi ini antara lain adalah : 1. Manfaat Secara Teoritis Pembahasan terhadap masalah-masalah dalam skripsi ini tentu akan menambah pemahaman dan pandangan baru kepada semua pihak baik masyarakat pada umumnya maupun pihak yang berhubungan dengan dunia hukum pada khususnya. Skripsi ini juga diharapkan dapat memberikan masukan bagi penyempurnaan perangkat peraturan perundangundangan dan kebajikan terhadap pemberian hak restitusi sebagai bentuk perlindungan terhadap korban tindak pidana 2. Manfaat Secara Praktis Penelitian skripsi ini diharapkan dapat menjadi pedoman dan bahan rujukan bagi rekan mahasiswa, masyarakat, praktisi hukum, dan juga aparat penegak hukum/pemerintah tentang pemberian hak restitusi sebagai bentuk perlindungan terhadap korban tindak pidana khususnya dalam kasus perdagangan orang. D. Keaslian Penulisan Penulis mencoba menyajikan sesuai dengan fakta - fakta yang akurat dan dari sumber yang terpercaya dalam hal penulisan skripsi ini, sehingga skripsi ini tidak jauh dari kebenarannya. Dalam menyusun skripsi ini pada prinsipnya penulis membuatnya dengan melihat dasar-dasar yang telah ada baik dari literatur yang diperoleh penulis dari perpustakaan dan media massa baik cetak maupun media elektronik yang akhirnya penulis tuangkan dalam skripsi ini. Kemudian setelah penulis memeriksa judul-judul skripsi yang ada di perpustakaan Fakultas Hukum (USU), maka judul mengenai Hak Restitusi Sebagai Bentuk Perlindungan Terhadap Korban Tindak Pidana Perdagangan Orang (Studi Kasus Nomor :1554/Pid.B/2012/PN.MDN ) belum ada yang mengangkatnya, atas dasar itu penulis dapat mempertanggungjawabkan keaslian skripsi ini. E. Tinjauan Kepustakaan 1. Pengaturan Hak Restitusi Terhadap Korban Tindak Pidana Perdagangan Orang Di Indonesia
6 6 Masalah korban kejahatan menimbulkan berbagai permasalahan dalam masyarakat pada umumnya dan pada korban/pihak korban kejahatan pada khususnya. Belum adanya perhatian dan pelayanan terhadap para korban kejahatan suatu masyarakat merupakan tanda belum atau kurang adanya keadilan dan pengembangan kesejahteraan dalam masyarakat tersebut. Ini berarti juga bahwa citra mengenai sesama manusia dalam masyarakat tersebut masih juga belum memuaskan dan perlu disempurnakan demi pembangunan manusia seutuhnya. 8 Jika dilihat dalam pengaturan hukum Indonesia, korban selalu menjadi pihak yang paling dirugikan. Selain korban telah menderita kerugian akibat kejahatan yang menimpa dirinya, baik secara materiil, fisik maupun psikologis, korban juga harus menanggung derita berganda karena tanpa disadari sering diperlakukan hanya sebagai sarana demi terwujudnya sebuah kepastian hukum. Perlindungan hukum terhadap korban selama ini didasarkan pada KUHP sebagai sumber hukum materiil, dengan menggunakan KUHAP sebagai hukum acaranya. Didalam KUHP lebih banyak diatur mengenai tersangka daripada mengenai korban. Kedudukan korban dalam KUHP tampaknya belum optimal dibandingkan dengan kedudukan pelaku. Hal ini dapat dijelaskan dalam penjelasan sebagai berikut : 9 Pertama, KUHP belum secara tegas merumuskan ketentuan yang secara konkrit atau langsung memberikan perlindungan hukum terhadap korban misalnya dalam hal penjatuhan pidana wajib dipertimbangkan pengaruh tindak pidana terhadap korban atau keluarga korban. KUHP juga tidak merumuskan jenis pidana restitusi (ganti rugi) yang sebenarnya sangat bermanfaat bagi korban dan/atau keluarga korban. Rumusan pasal-pasal dalam KUHP cenderung berkutat pada rumusan tindak pidana, pertanggungjawaban dan ancaman pidana. Hal ini tidak terlepas pula dari doktrin hukum pidana yang melatarbelakanginya sebagaimana dikatakan oleh Herbert Packer dan Muladi bahwa masalah hukum pidana meliputi perbuatan yang dilarang atau kejahatan (offense), orang yang melakukan perbuatan terlarang dan mempunyai aspek kesalahan (guilt), serta ancaman pidana (punishment). Kedua, KUHP menganut aliran neoklasik yang antara lain menerima berlakunya keadaan-keadaan yang meringankan bagi pelaku tindak pidana yang menyangkut fisik, lingkungan serta mental. Demikian pula dimungkinkannya aspek-aspek yang meringankan pidana bagi pelaku tindak pidana dengan pertanggungjawaban sebagian, di dalam hal-hal yang khusus, misalnya jiwanya cacat (gila), dibawah umur dan sebagainya. Pengaturan KUHP berorientasi terhadap pelaku, bahkan korban cenderung dilupakan. Padahal korban merupakan salah satu aspek yang benar-benar mengalami penderitaan akibat perbuatan pelaku. Perlindungan hukum bagi korban seharusnya diatur 8 Arief Gosita. Masalah Korban Kejahatan. Jakarta : Penerbit Universitas Trisakti, halaman Rena Yulia.Viktimologi Perlindungan Hukum Terhadap Korban Kejahatan. Bandung : Graha Ilmu, 2009.halaman 181.
7 7 secara eksplisit dalam KUHP. Misalnya dalam menjatuhkan pidana terhadap pelaku dipertimbangkan juga kerugian yang diderita oleh korban atau keluarga korban. Sehingga pelaku bisa saja diberikan pidana ganti rugi yang mungkin akan lebih bermanfaat bagi korban. 10 Pengaturan mengenai hak-hak korban didalam KUHP sangat terbatas, oleh karena itu, dibentuklah beberapa peraturan yang mengatur tentang perlindungan terhadap korban khususnya mengenai pemberian restitusi yang diberikan oleh pelaku tindak pidana kepada korban dan/atau keluarga korban. Undang Undang dan Peraturan Pemerintah yang mengatur tentang restitusi antara lain sebagai berikut : A. Undang Undang Republik Indonesia Nomor 21 Tahun 2007 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang Kebijakan hukum pidana dapat diawali dari sistem, peranan dan fungsi hukum atau bekerjanya hukum dalam masyarakat. Dengan kata lain dapat dimulai dari usaha dalam membuat atau merumuskan suatu perundang undangan pidana yang baik, yang tidak dapat terlepas dari tujuan penanggulangan kejahatan. Penegakan hukum (law enforcement) merupakan gejala sosial (kemasyarakatan), yang merupakan bagian dari kebijakan hukum yang dapat dilakukan secara formulasi, aplikasi/yudikasi, dan eksekusi. Pada tataran formulasi dilaksanakan oleh badan pembuat undang undang ; tataran aplikasi dilaksanakan oleh aparat penegak hukum; serta tataran eksekusi yaitu tahap pelaksanaan hukum pidana yang dilaksanakan oleh aparat-aparat pelaksana pidana. 11 Indonesia telah berhasil membuat peraturan yang khusus mengatur tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang, yaitu Undang Undang Nomor 21 Tahun Tindak pidana perdagangan orang memuat aspek-aspek yang bertentangan dengan perlindungan dan juga berlawanan dengan kesejahteraan umum. Lebih-lebih praktik daripada tindak pidana perdagangan orang selalu disertai dengan berbagai tindak ancaman dan kekerasan sehingga menimbulkan ketersiksaan bagi korban pada masa depannya, apalagi korban tindak pidana perdagangan orang pada umumnya adalah pihak dalam kondisi tidak berdaya baik secara fisik maupun ekonomi. Undang Undang ini mengatur perlindungan saksi dan korban sebagai aspek penting dalam penegakan hukum, yang dimaksudkan untuk memberikan perlindungan dasar kepada korban dan saksi. Selain itu, undang undang ini juga memberikan perhatian yang besar terhadap penderitaan korban sebagai akibat tindak pidana perdagangan orang dalam 10 Ibid. 11 Henny Nuraeny. Tindak Pidana Perdagangan Orang Kebijakan Hukum Pidana dan Pencegahannya. Bandung : Sinar Grafika, halaman 85.
8 8 bentuk hak restitusi yang harus diberikan oleh pelaku tindak pidana perdagangan orang sebagai ganti kerugian bagi korban. 12 B. Undang Undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 2014 Tentang Perubahan atas Undang Undang Nomor 13 Tahun 2006 Tentang Perlindungan Saksi Dan Korban Jaminan perlindungan terhadap saksi dan korban memiliki peranan penting dalam proses peradilan pidana sehingga dengan keterangan saksi dan korban yang diberikan secara bebas dari rasa takut dan ancaman dapat mengungkapkan suatu tindak pidana. Keberadaan saksi dan korban merupakan hal yang sangat menentukan dalam pengungkapan tindak pidana pada proses peradilan pidana. Oleh karena itu, terhadap saksi dan korban diberikan perlindungan pada semua tahap proses peradilan pidana. Ketentuan mengenai subjek hukum yang dilindungi dalam Undang Undang ini diperluas selaras dengan perkembangan hukum dimasyarakat. Pada saat proses peradilan pidana, saksi dan korban memegang peranan kunci dalam upaya mengungkap suatu kebenaran materiil. Pasal 184 Ayat (1) KUHAP menyebutkan bahwa keterangan saksi ditempatkan pada urutan pertama diatas alat bukti lain berupa keterangan ahli, surat, petunjuk, dan keterangan terdakwa. Pada saat saksi (korban) akan memberikan keterangan tentunya harus disertai jaminan bahwa yang bersangkutan terbebas dari rasa takut sebelum, pada saat, dan setelah memberikan kesaksian. Jaminan ini penting untuk diberikan guna memastikan bahwa keterangan yang akan diberikan benar-benar murni bukan hasil rekayasa apalagi hasil dari tekanan pihak-pihak tertentu. Kedudukan korban tidak hanya sekedar dapat ikut serta dalam proses memilih dan menentukan bentuk perlindungan dan dukungan keamanan atau dapat memperoleh informasi mengenai putusan pengadilan ataupun korban dapat mengetahui dalam hal terpidana dibebaskan. Namun, sebagai pihak yang dirugikan korban pun berhak untuk memperoleh ganti rugi dari apa-apa yang diderita. Korban tindak pidana berhak mendapat perlindungan seperti mendapat restitusi dari pelaku tindak pidana. Pengaturan mengenai restitusi terdapat dalam Pasal 7 A Undang Undang Nomor 31 Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas Undang Undang Nomor 13 Tahun 2006 Tentang Perlindungan Saksi Dan Korban. 12 Lihat penjelasan Undang Undang Nomor 21 Tahun 2007 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang.
9 9 C. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 2002 Tentang Kompensasi, Restitusi, Dan Rehabilitasi Terhadap Korban Pelanggaran Hak Asasi Manusia Yang Berat Hak Asasi Manusia adalah seperangkat hak yang melekat pada hakikat dan keberadaan manusia sebagai mahluk Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan Anugerah Nya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi dan harus dilindungi oleh negara, hukum, pemerintah dan setiap orang demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia. Terjadinya pelanggaran hak asasi manusia yang berat yang dilakukan oleh perseorangan, kelompok orang baik sipil, militer, maupun polisi, maka pihak korban atau keluarga korban yang merupakan ahli warisnya berhak memperoleh perlindungan salah satunya berupa pemberian restitusi secara cepat, tepat dan layak dalam arti bahwa pihak korban dan/atau ahli warisnya berhak memperoleh ganti kerugian atau pengembalian hak-hak dasarnya yang dilakukan sesuai dengan sasaran yakni korban dan kelurga korban/ahli warisnya, pelaksanaannya segera diwujudkan, dan pengembalian haknya harus patut sesuai dengan rasa keadilan. Peraturan Pemerintah Nomor 3 Tahun 2002 mengatur tentang pemberian restitusi harus yang diberikan oleh pelaku pelanggaran HAM berat kepada korban dan/atau ahli warisnya. Peraturan Pemerintah ini juga mengatur mengenai tata cara pelaksanaan restitusi kepada pihak korban mulai dari proses diterimanya salinan putusan kepada Instansi Pemerintahan Terkait dan korban atau keluarga korban sampai dengan pelaksanaan pengumuman pengadilan dan pelaksanaan laporan. D. Peraturan Pemerintah Nomor 44 Tahun 2008 Tentang Pemberian Kompensasi, Restitusi, Dan Bantuan Kepada Saksi Dan Korban Peraturan Pemerintah ini mengatur tentang pemberian restitusi oleh pelaku tindak pidana kepada korban dan/atau keluarga korban sebagai bentuk perlindungan atas penderitaan yang telah dialaminya. Pemberian restitusi dilakukan dengan cara mengajukan permohonan oleh korban, keluarga korban atau kuasanya kepada pengadilan melalui Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK). Pengadilan yang dimaksud dalam Peraturan Pemerintah ini adalah Pengadilan Negeri yang berwenang untuk memeriksa, mengadili, dan memutus tindak pidana yang bersangkutan. Permohonan restitusi diajukan berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap dan pengadilan tersebut telah menyatakan bahwa pelaku tindak pidana bersalah. Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban menyampaikan
10 10 permohonan tersebut beserta keputusan dan pertimbangannya kepada Pengadilan Negeri untuk mendapat penetapan. Permohonan restitusi diajukan sebelum tuntutan dibacakan, Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) menyampaikan permohonan tersebut beserta keputusan dan pertimbangannya kepada penuntut umum. Kemudian penuntut umum dalam tuntutannya mencantumkan permohonan restitusi beserta keputusan dan pertimbangannya untuk mendapat putusan pengadilan. 2. Hak Restitusi Sebagai Bentuk Perlindungan Terhadap Korban Kejahatan Masalah korban bukanlah masalah yang baru, hanya karena hal-hal tertentu kurang diperhatikan, bahkan diabaikan. Apabila mengamati masalah kejahatan menurut proporsi yang sebenarnya secara dimensional, mau tidak mau harus memperhitungkan pernanan korban dalam timbulnya suatu kejahatan. Peran yang dimaksud adalah sebagai sikap dan keadaan diri seseorang yang akan menjadi calon korban ataupun sikap dan keadaan yang dapat memicu seseorang untuk berbuat kejahatan. Permasalahan kemudian, muncul pertanyaan mengapa korban yang telah nyata-nyata menderita kerugian baik secara fisik, mental maupun sosial, justru harus pula dianggap sebagai pihak yang mempunyai peran dan dapat memicu terjadinya kejahatan, bahkan korban pun dituntut untuk memikul tanggungjawab atas perbuatan yang dilakukan oleh pelaku kejahatan. 13 Korban mempunyai peran yang fungsional dalam terjadinya suatu kejahatan. Pada kenyataannya dapat dikatakan bahwa tidak mungkin timbul suatu kejahatan jika tidak ada korban kejahatan, yang merupakan peserta utama dari penjahat dalam hal terjadinya suatu kejahatan dan hal pemenuhan kepentingan si penjahat yang berakibat penderitaan korban. 14 Apabila ditinjau dari perspektif tanggungjawab korban itu sendiri maka Stephen Schafer mengemukakan tipologi korban itu menjadi tujuh bentuk, yaitu : Unrealated victims, adalah mereka yang tidak ada hubungan dengan si pelaku dan menjadi korban karena memang potensial. Untuk itu, dari aspek tanggungjawab sepenuhnya berada dipihak korban. 2. Provocative victims, merupakan korban yang disebabkan peranan korban untuk memicu terjadinya kejahatan. Karena itu, dari aspek tanggungjawab terletak pada diri korban dan pelaku secara bersama-sama. 13 Rena Yulia. Op.Cit..halaman Ibid. 15 Ibid. halaman 53-54
11 11 3. Participating victims, hakikatnya perbuatan korban tidak disadari dapat mendorong pelaku melakukan kejahatan. Misalnya, mengambil uang di bank dalam jumlah besar tanpa pengawalan, kemudian dibungkus dengan tas plastic sehingga mendorong orang untuk merampasnya. Aspek ini pertanggungjawaban sepenuhnya ada pada pelaku. 4. Biologically weak victim, adalah kejahatan disebabkan adanya keadaan fisik korban seperti wanita, anak-anak, dan manusia lanjut usia (manula) merupakan potensian korban kejahatan. Ditinjau dari aspek pertanggungjawaban terletak pada masayarakat atau pemerintahan setempat karena tidak dapat member perlindungan kepada kroban yang tidak berdaya. 5. Socially weak victims, adalah korban yang tidak diperhatikan oleh masyarakat bersangkutan seperti gelandangan dengan kedudukan sosial yang lemah. Untuk itu, pertanggungjawaban secara penuh terletak pada penjahat atau masyarakat. 6. Self victimizing victim, adalah korban kejahatan yang dilakukan sendiri (korban semu) atau kejahatan tanpa korban. Untuk itu pertanggungjawaban sepenuhnya terletak pada korban karena sekaligus sebagai pelaku kejahatan. 7. Political victims, adalah korban karena lawan politiknya. Secara sosiologis, korban ini tidak dapat dipertanggungjawabkan kecuali adanya perubahan konstelasi politik. Keterlibatan korban dalam hal terjadinya kejahatan, menurut Benjamin Mendelsohn dapat dibedakan menjadi 6 (enam) kategori berdasarkan derajat kesalahannya, yaitu : Korban sama sekali tidak bersalah ; 2. Seseorang menjadi korban karena kelalaiannya sendiri ; 3. Korban sama salahnya dengan pelaku ; 4. Korban lebih bersalah dari pada pelaku ; 16 Adhi Wibowo. Perlindungan Hukum Korban Amuk Massa : Sebuah Tinjauan Viktimologi. Yogyakarta : Thafa Media, halaman 39.
12 12 5. Korban adalah satu-satunya yang bersalah ; 6. Korban pura-pura dan korban imajinasi. Melalui kategori diatas, akan dapat diketahui atau berpengaruh pada tingkat pertanggungjawaban pelaku tindak pidana, sehingga disamping menentukan derajat pelaku juga. Sekaligus dapat dipakai untuk menentukan bentuk perlindungan kepada korban, yaitu dalam pengertian besarnya jumlah restitusi ataupun kompensasi yang akan diberikan kepada korban. Dengan demikian, hukum pidana tidak lagi hanya berorientasi semata-mata pada pelaku tindak pidana, melainkan juga memperhatikan kepentingan korban KEBIJAKAN HUKUM PIDANA DALAM PENERAPAN HAK RESTITUSI TERHADAP PERLINDUNGAN KORBAN TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG Secara gradual dan fundamental, terminologi kebijakan berasal dari istilah policy (inggris) atau politiek (Belanda). Terminologi ini dapat diartikan sebagai prinsip-prinsip umum yang berfungsi untuk mengarahkan pemerintah dalam mengelola, mengatur atau menyelesaikan urusan-urusan publik, masalah-masalah masyarakat atau bidang-bidang penyusunan peraturan perundang-undangan dan mengalokasikan hukum/peraturan dengan suatu tujuan (umum) yang mengarah pada upaya mewujudkan kesejahteraan atau kemakmuran masyarakat (warga negara) 18 Menurut Sudarto, politik kriminal dapat diberikan arti sempit, lebih luas dan paling luas yaitu : 19 a. Dalam arti sempit, politik kriminal digambarkan sebagai keseluruhan asas dan metode yang menjadi dasar dari reaksi terhadap pelanggaran hukum berupa pidana. b. Dalam arti yang lebih luas, ia merupakan keseluruhan fungsi dari aparatur penegak hukum, termasuk didalamnya cara kerja pengadilan dan polisi 17 Ibid. halaman Lilik Mulyadi. Bunga Rampai Hukum Pidana Prespektif, Teoretis Dan Praktik. Bandung : PT.Alumni, 2008.halaman Sudarto. Kapita Selekta Hukum Pidana.Bandung : Alumni, 1986.halaman
13 13 c. Dalam arti yang paling luas, ia merupakan keseluruhan kebijakan yang dilakukan melalui perundang-undangan dan badan-badan resmi yang bertujuan untuk menegakkan norma-norma sentral masyarakat. Penegakan norma-norma sentral itu dapat diartikan sebagai penanggulangan kejahatan. Melaksanakan politik kriminal berarti mengadakan pemilihan dari sekian banyak alternatif, mana yang paling efektif dalam usaha penanggulangan kejahatan. Kebijakan penanggulangan tindak pidana dapat dikelompokkan menjadi 2 (dua) macam yaitu : Kebijakan penanggulangan tindak pidana dengan menggunakan sarana hukum pidana (penal policy) ; dan 2. Kebijakan penanggulangan tindak pidana dengan menggunakan sarana diluar hukum pidana (non-penal policy) Pada dasarnya penal policy lebih menitik beratkan pada tindakan represif setelah terjadinya suatu tindak pidana, sedangkan non-penal policy lebih menekankan pada tindakan preventif sebelum terjadinya suatu tindak pidana. Marc Ancel menyatakan bahwa modern criminal science terdiri dari tiga komponen Criminology, Criminal Law dan Penal Policy. Marc Ancel mengemukakan bahwa Penal Policy adalah suatu ilmu sekaligus seni yang pada akhirnya mempunyai tujuan praktis untuk memungkinkan peraturan hukum positif dirumuskan secara lebih baik dan untuk memberi pedoman tidak hanya kepada pembuat undang-undang, tetapi juga kepada pengadilan yang menerapkan undang-undang, dan juga kepada para penyelenggara atau pelaksana putusan pengadilan 21. Usaha penanggulangan kejahatan dengan hukum pidana pada hakikatnya merupakan bagian dari usaha penegakan hukum (khususnya penegakan hukum pidana). Oleh karena itu sering dikatakan bahwa politik atau kebijakan hukum pidana merupakan bagian dari penegakan hukum (Law enforcement policy). Usaha penanggulangan kejahatan lewat 20 Teguh Prasetyo dan Abdul Halim Barkatullah. Politik Hukum Pidana : Kajian Kebijakan Kriminalisasi Dan Dekriminalisasi. Yogyakarta : Pustaka Pelajar, halaman Barda Nawawi Arief. Kebijakan Hukum Pidana : Perkembangan Penyusunan Konsep KUHP Baru. Jakarta : Kencana Prenada Media Group, halaman.23.
14 14 undang-undang (hukum) pidana pada hakikatnya juga merupakan bagian dari usaha perlindungan masyarakat (social welfare). 22 Kebijakan sosial (social policy) dapat diartikan sebagai segala usaha yang rasional untuk mencapai kesejahteraan masyarakat dan sekaligus mencakup perlindungan masyarakat. Jadi, di dalam pengertian social policy sekaligus tercakup di dalamnya social welfare policy dan social derence policy. Dilihat dalam arti luas, kebijakan hukum pidana dapat mencakup ruang lingkup kebijakan di bidang hukum pidana material, di bidang hukum formal dan di bidang hukum pelaksanaan pidana. 23 F. Metode Penelitian a. Spesifikasi Penelitian Spesifikasi penelitian hukum yang digunakan dalam penelitian yang dilakukan adalah metode penelitian hukum yang Yuridis Normatif dinamakan juga dengan penelitian hukum normatif atau penelitian hukum doktrinal. Pada penelitian normatif data sekunder sebagai sumber/bahan informasi dapat merupakan bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum tirtier. Pelaksanaan penelitian normatif secara garis besar ditujukan kepada : 24 a. Penelitian terhadap asas-asas hukum. b. Penelitian terhadap sistematika hukum. c. Penelitian terhadap sinkronisasi hukum. d. Penelitian terhadap sejarah hukum. e. Penelitian terhadap perbandingan hukum. Dalam hal penelitian hukum normatif, dilakukan penelitian terhadap peraturan perundang-undangan, putusan pengadilan dan berbagai literatur yang berkaitan dengan permasalahan skripsi ini. b. Metode Pendekatan 22 Barda Nawawi Arief. Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana. Bandung : PT. Citra Aditya Bakti, halaman Ibid. halaman Ediwarman. Monograf Metodologi Penelitian Hukum : Panduan Penulisan Skripsi, Tesis dan Disertasi. Medan : PT. Sofmedia, halaman 97.
15 15 Metode Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini menggunakan pendekatan yuridis normatif. c. Lokasi Penelitian, Populasi dan Sampel Negeri Medan. Lokasi penelitian penulis dalam menyusun skripsi ini adalah Pengadilan d. Alat Pengumpulan Data Berdasarkan pendekatan dan data dalam penelitian ini, maka metode pengumpulan data yang dipakai adalah studi kepustakaan, yaitu menelaah bahan hukum primer maupun bahan hukum sekunder yang berkaitan dengan hak restitusi sebagai bentuk perlindungan terhadap korban tindak pidana perdagangan orang. e. Prosedur Pengambilan dan Pengumpulan Data Prosedur pengumpul dan pengambilan data yang digunakan dalam penulisan karya ilmiah ini adalah studi kepustakaan (library research), yaitu dengan melakukan penelitian terhadap berbagai literatur yang relevan dengan permasalahan skripsi ini seperti, buku-buku, makalah, artikel dan berita yang diperoleh penulis dari internet yang bertujuan untuk mencari atau memperoleh konsepsi-konsepsi, teori-teori atau bahan-bahan yang berkenaan dengan hak restitusi sebagai bentuk perlindungan terhadap korban tindak pidana perdagangan orang. f. Analisis Data Analisis data yang dilakukan dalam penulisan skripsi ini adalah dengan cara kualitatif, yaitu dengan menganalisis melalui data lalu diorganisasikan dalam pendapat atau tanggapan dan data-data sekunder yang diperoleh dari pustaka kemudian dianalisis sehingga diperoleh data yang dapat menjawab permasalahan dalam skripsi ini.
BAB I PENDAHULUAN. nasional. Adanya ketidakseimbangan antara perlindungan terhadap. korban kejahatan dengan perlindungan terhadap pelaku, merupakan
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Perlindungan korban kejahatan dalam sistem hukum nasional sepertinya belum mendapatkan perhatian yang serius. Hal ini terlihat dari sedikitnya hak-hak korban
Lebih terperinciInstitute for Criminal Justice Reform
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 21 TAHUN 2007 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa setiap orang
Lebih terperinciBAB II PENGATURAN HAK RESTITUSI TERHADAP KORBAN TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG DI INDONESIA
16 BAB II PENGATURAN HAK RESTITUSI TERHADAP KORBAN TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG DI INDONESIA A. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 21 Tahun 2007 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Hak Asasi merupakan isu pesat berkembang pada akhir abad ke-20 dan pada permulaan
BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Hak Asasi merupakan isu pesat berkembang pada akhir abad ke-20 dan pada permulaan abad ke-21 ini, baik secara nasional maupun internasional. Hak Asasi Manusia telah
Lebih terperinciBAB III PENUTUP A. KESIMPULAN. Hak-hak korban pelanggaran HAM berat memang sudah diatur dalam
BAB III PENUTUP A. KESIMPULAN Hak-hak korban pelanggaran HAM berat memang sudah diatur dalam Undang-undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban khususnya mengenai kompensasi, namun
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Negara Indonesia sebagai negara yang berdasarkan Pancasila dan
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Negara Indonesia sebagai negara yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 berusaha untuk benar-benar menjunjung tinggi hak asasi manusia, negara akan menjamin
Lebih terperinciI. PENDAHULUAN. kebijakan sosial baik oleh lembaga eksekutif, legislatif dan yudikatif maupun
1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Tindak pidana pemerkosaan adalah salah satu bentuk kekerasan terhadap perempuan yang merupakan contoh kerentanan posisi perempuan, utamanya terhadap kepentingan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Setiap tindak pidana kriminal di samping ada pelaku juga akan
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Setiap tindak pidana kriminal di samping ada pelaku juga akan menimbulkan korban. Korban/saksi dapat berupa pelaku tindak pidana yaitu: seorang Korban/saksi
Lebih terperinciBAB II PENGATURAN HUKUM TENTANG PERLINDUNGAN TERHADAP KORBAN TINDAK PIDANA KORUPSI
20 BAB II PENGATURAN HUKUM TENTANG PERLINDUNGAN TERHADAP KORBAN TINDAK PIDANA KORUPSI A. Undang-Undang Dasar 1945 Adapun terkait hal keuangan, diatur di dalam Pasal 23 Undang-Undang Dasar 1945, sebagaimana
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Indonesia merupakan Negara hukum sebagaimana diatur dalam Pasal
1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia merupakan Negara hukum sebagaimana diatur dalam Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945, konsep Negara hukum tersebut memberikan kewajiban bagi
Lebih terperinciTINJAUAN PUSTAKA. Upaya penanggulangan tindak pidana dikenal dengan istilah kebijakan kriminal
II. TINJAUAN PUSTAKA A. Upaya Penanggulangan Tindak Pidana Upaya penanggulangan tindak pidana dikenal dengan istilah kebijakan kriminal yang dalam kepustakaan asing sering dikenal dengan berbagai istilah,
Lebih terperinciPOLITIK HUKUM PIDANA DALAM PERSPEKTIF PENEGAKAN HUKUM TINDAK PIDANA KORUPSI DI INDONESIA
POLITIK HUKUM PIDANA DALAM PERSPEKTIF PENEGAKAN HUKUM TINDAK PIDANA KORUPSI DI INDONESIA Oleh : Wahab Ahmad, S.HI., SH (Hakim PA Tilamuta, Dosen Fakultas Hukum UG serta Mahasiswa Pasca Sarjana Fakultas
Lebih terperinciKekuatan Keterangan Saksi Anak Dibawah Umur dalam Pembuktian Perkara Pidana
1 Kekuatan Keterangan Saksi Anak Dibawah Umur dalam Pembuktian Perkara Pidana Novelina MS Hutapea Staf Pengajar Kopertis Wilayah I Dpk Fakultas Hukum USI Pematangsiantar Abstrak Adakalanya dalam pembuktian
Lebih terperinciUPAYA PENEGAKAN HUKUM NARKOTIKA DI INDONESIA Oleh Putri Maha Dewi, S.H., M.H Dosen Fakultas Hukum Universitas Surakarta
1 UPAYA PENEGAKAN HUKUM NARKOTIKA DI INDONESIA Oleh Putri Maha Dewi, S.H., M.H Dosen Fakultas Hukum Universitas Surakarta A. LATAR BELAKANG Kejahatan narkotika yang sejak lama menjadi musuh bangsa kini
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Ketentuan Pasal 184 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana
1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Ketentuan Pasal 184 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) mengatur bahwa dalam beracara pidana, terdapat alat bukti yang sah yakni: keterangan Saksi,
Lebih terperinciKebijakan Kriminal, Penyalahgunaan BBM Bersubsidi 36
Kebijakan Kriminal, Penyalahgunaan BBM Bersubsidi 36 KEBIJAKAN KRIMINAL PENANGGULANGAN PENYALAHGUNAAN BAHAN BAKAR MINYAK (BBM) BERSUBSIDI Oleh : Aprillani Arsyad, SH,MH 1 Abstrak Penyalahgunaan Bahan Bakar
Lebih terperinciTINJAUAN PUSTAKA. tersebut, khususnya mengenai kepentingan anak tentunya hal ini perlu diatur oleh
16 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Hukum Perlindungan Anak Sebuah Masyarakat yang di dalamnya memiliki individu yang mempunyai kepentingan yang tidak hanya sama tetapi dapat bertentangan, untuk itu diperlukan
Lebih terperinciPERLINDUNGAN HUKUM BAGI KORBAN TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG DALAM PERSPEKTIF UNDANG-UNDANG NOMOR 21 TAHUN Oleh : Yulia Monita 1.
Perlindungan Hukum, Korban, Tindak Pidana Perdagangan Korban. 160 PERLINDUNGAN HUKUM BAGI KORBAN TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG DALAM PERSPEKTIF UNDANG-UNDANG NOMOR 21 TAHUN 2007 Oleh : Yulia Monita 1
Lebih terperinciI. PENDAHULUAN. seluruh masyarakat untuk meningkatkan mutu kehidupannya, sebagaimana yang
1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kondisi ketentraman dan rasa aman merupakan suatu kebutuhan mendasar bagi seluruh masyarakat untuk meningkatkan mutu kehidupannya, sebagaimana yang tertuang dalam
Lebih terperinciBENTUK GANTI KERUGIAN TERHADAP KORBAN TINDAK PIDANA PERKOSAAN DITINJAU DARI PERSPEKTIF VIKTIMOLOGI
BENTUK GANTI KERUGIAN TERHADAP KORBAN TINDAK PIDANA PERKOSAAN DITINJAU DARI PERSPEKTIF VIKTIMOLOGI oleh I Gusti Ayu Christiari A.A. Sri Utari Bagian Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Udayana ABSTRACT
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Perbuatan tersebut selain melanggar dan menyimpang dari hukum juga
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dewasa ini dalam kehidupan bermasyarakat, setiap anggota masyarakat selalu merasakan adanya gejolak dan keresahan di dalam kehidupan sehari-harinya, hal ini
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia merupakan negara yang berdasarkan atas hukum, hal ini telah diatur dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945, yaitu Pasal 1 ayat 3 Undang-Undang
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. tertib, keamanan dan ketentraman dalam masyarakat, baik itu merupakan
1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Penegakan hukum merupakan salah satu usaha untuk menciptakan tata tertib, keamanan dan ketentraman dalam masyarakat, baik itu merupakan usaha pencegahan maupun
Lebih terperinciI. PENDAHULUAN. kemajuan dalam kehidupan masyarakat, selain itu dapat mengakibatkan perubahan kondisi sosial
I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Negara Indonesia adalah salah satu negara berkembang yang sedang mengalami proses pembangunan. Proses pembangunan tersebut dapat menimbulkan dampak sosial positif yaitu
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Acara Pidana (KUHAP) menjunjung tinggi harkat martabat manusia, dimana
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Salah satu aspek pembaharuan dalam Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) menjunjung tinggi harkat martabat manusia, dimana tersangka dari tingkat pendahulu
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Perbuatan yang oleh hukum pidana dilarang dan diancam dengan pidana
1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Permasalahan Perbuatan yang oleh hukum pidana dilarang dan diancam dengan pidana (kepada barangsiapa yang melanggar larangan tersebut), untuk singkatnya dinamakan
Lebih terperinciPERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3 TAHUN 2002 TENTANG
PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3 TAHUN 2002 TENTANG KOMPENSASI, RESTITUSI, DAN REHABILITASI TERHADAP KORBAN PELANGGARAN HAK ASASI MANUSIA YANG BERAT PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. menjadi sorotan masyarakat karena diproses secara hukum dengan menggunakan
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Banyaknya kasus tindak pidana ringan yang terjadi di Indonesia dan sering menjadi sorotan masyarakat karena diproses secara hukum dengan menggunakan ancaman hukuman
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. karena kehidupan manusia akan seimbang dan selaras dengan diterapkannya
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Keberadaan manusia tidak terlepas dengan hukum yang mengaturnya, karena kehidupan manusia akan seimbang dan selaras dengan diterapkannya sebuah hukum. Manusia
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. resmi yang berwajib, pelanggaran mana terhadap peraturan-peraturan
BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH Menurut J.C.T. Simorangkir, S.H dan Woerjono Sastropranoto, S.H, Hukum adalah peraturan-peraturan yang bersifat memaksa, yang menentukan tingkah laku manusia
Lebih terperinciII. TINJAUAN PUSTAKA. Tindak pidana atau delik berasal dari bahasa Latin delicta atau delictum yang di
16 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Tindak Pidana Tindak pidana atau delik berasal dari bahasa Latin delicta atau delictum yang di kenal dengan istilah strafbar feit dan dalam KUHP (Kitab Undang Undang Hukum Pidana)
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Undang Dasar 1945, sebagaimana yang tercantum dalam Pasal 27 ayat (1) UUD 1945, yang
BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG PENELITIAN Negara Republik Indonesia adalah negara hukum berdasarkan Pancasila dan Undang- Undang Dasar 1945, sebagaimana yang tercantum dalam Pasal 27 ayat (1) UUD
Lebih terperinciPERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 43 TAHUN 2017 TENTANG PELAKSANAAN RESTITUSI BAGI ANAK YANG MENJADI KORBAN TINDAK PIDANA
PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 43 TAHUN 2017 TENTANG PELAKSANAAN RESTITUSI BAGI ANAK YANG MENJADI KORBAN TINDAK PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang:
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Tercatat 673 kasus terjadi, naik dari tahun 2011, yakni 480 kasus. 1
1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dewasa ini perdagangan terhadap orang di Indonesia dari tahun ke tahun jumlahnya semakin meningkat dan sudah mencapai taraf memprihatinkan. Bertambah maraknya
Lebih terperinciBAB III PENUTUP. A. Kesimpulan. Berdasarkan pada analisis data sebagaimana dipaparkan dalam
53 BAB III PENUTUP A. Kesimpulan Berdasarkan pada analisis data sebagaimana dipaparkan dalam bab-bab terdahulu, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa restitusi berdasarkan Pasal 7 ayat (1) b Undang-Undang
Lebih terperinciPERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN
RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN Hasil PANJA 12 Juli 2006 Dokumentasi KOALISI PERLINDUNGAN SAKSI Hasil Tim perumus PANJA, santika 12 Juli
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Negara republik Indonesia adalah negara hukum, berdasarkan pancasila
1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Negara republik Indonesia adalah negara hukum, berdasarkan pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 dan menjunjung tinggi hak asasi manusia serta menjamin segala
Lebih terperinciI. PENDAHULUAN. terpuruknya sistem kesejahteraan material yang mengabaikan nilai-nilai
1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Tindak pidana penggelapan di Indonesia saat ini menjadi salah satu penyebab terpuruknya sistem kesejahteraan material yang mengabaikan nilai-nilai kehidupan dalam
Lebih terperinciUNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
DISTRIBUSI II UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa salah satu alat
Lebih terperinciI. PENDAHULUAN. kali di dalam peraturan penguasa militer nomor Prt/PM-06/1957, sehingga korupsi
I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Sejarah kehidupan hukum pidana Indonesia menyebutkan istilah korupsi pertama kali di dalam peraturan penguasa militer nomor Prt/PM-06/1957, sehingga korupsi menjadi
Lebih terperinciPENANGGUHAN PENAHANAN DALAM PROSES PERKARA PIDANA (STUDI KASUS KEJAKSAAN NEGERI PALU) IBRAHIM / D Abstrak
PENANGGUHAN PENAHANAN DALAM PROSES PERKARA PIDANA (STUDI KASUS KEJAKSAAN NEGERI PALU) IBRAHIM / D 101 10 523 Abstrak Negara Indonesia adalah negara yang berdasarkan atas hukum (rechstaat), tidak berdasarkan
Lebih terperinciLEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.293, 2014 POLHUKAM. Saksi. Korban. Perlindungan. Perubahan. (Penjelasan Dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5602) UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
Lebih terperinciDengan Persetujuan Bersama. DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA dan PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA MEMUTUSKAN:
RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa salah satu alat bukti
Lebih terperinciII. TINJAUAN PUSTAKA. A. Dasar Pertimbangan Hakim dalam Menjatuhkan Pidana. Bagaimanapun baiknya segala peraturan perundang-undangan yang siciptakan
18 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Dasar Pertimbangan Hakim dalam Menjatuhkan Pidana Kekuasaan kehakiman merupakan badan yang menentukan dan kekuatan kaidahkaidah hukum positif dalam konkretisasi oleh hakim melalui
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. hukum tidak berdasar kekuasaan belaka. 1 Permasalahan besar dalam. perkembangan psikologi dan masa depan pada anak.
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia adalah negara hukum atau negara yang berdasarkan hukum pernyataan ini merujuk pada pernyataan tertulis didalam penjelasan Undang Undang Dasar 1945. Di dalam
Lebih terperinciUNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa salah satu alat bukti yang
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. lazim disebut norma. Norma adalah istilah yang sering digunakan untuk
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Kehidupan manusia merupakan anugerah Tuhan Yang Maha Esa yang harus dijalani oleh setiap manusia berdasarkan aturan kehidupan yang lazim disebut norma. Norma
Lebih terperinciI.PENDAHULUAN. Pembaharuan dan pembangunan sistem hukum nasional, termasuk dibidang hukum pidana,
I.PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pembaharuan dan pembangunan sistem hukum nasional, termasuk dibidang hukum pidana, merupakan salah satu masalah besar dalam agenda kebijakan /politik hukum Indonesia.Khususnya
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Kekerasan, pelecehan, dan eksploitasi seksual dewasa ini bukan
1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kekerasan, pelecehan, dan eksploitasi seksual dewasa ini bukan hanya menimpa perempuan dewasa, namun juga perempuan yang tergolong anak. Kejahatan seksual
Lebih terperinciPRAPERADILAN SEBAGAI UPAYA KONTROL BAGI PENYIDIK DALAM PERKARA PIDANA
PRAPERADILAN SEBAGAI UPAYA KONTROL BAGI PENYIDIK DALAM PERKARA PIDANA SKRIPSI Disusun dan Diajukan Untuk Melengkapi Tugas-tugas dan Syarat-syarat Guna Mencapai Derajat Sarjana Hukum Dalam Ilmu Hukum Pada
Lebih terperinciUNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa salah satu alat bukti yang
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Dalam penjelasan Undang-Undang Dasar 1945, telah ditegaskan bahwa
1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dalam penjelasan Undang-Undang Dasar 1945, telah ditegaskan bahwa negara Indonesia merupakan negara yang berdasarkan atas hukum dan tidak berdasarkan atas
Lebih terperinciPerbedaan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual dengan Undang Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang
5 Perbedaan dengan Undang Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang Apa perbedaan dengan Undang Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. menyatakan Negara Indonesia adalah Negara hukum. 1 Adapun tujuan
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Perlindungan hukum yang diterapkan di Indonesia saat ini kurang memperhatikan kepentingan korban yang sangat membutuhkan perlindungan hukum. Bisa dilihat dari banyaknya
Lebih terperinciI. TINJAUAN PUSTAKA. suatu pengertian yuridis, lain halnya dengan istilah perbuatan jahat atau kejahatan. Secara yuridis
I. TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian dan Unsur-Unsur Tindak Pidana Tindak pidana merupakan pengertian dasar dalam hukum pidana. Tindak pidana merupakan suatu pengertian yuridis, lain halnya dengan istilah
Lebih terperinci2017, No BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan Pemerintah ini yang dimaksud dengan: 1. Restitusi adalah pembayaran ganti kerugian yang d
No.219, 2017 LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA SOSIAL. Anak. Korban Tindak Pidana. Restitusi. (Penjelasan dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6131) PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. kekerasan. Tindak kekerasan merupakan suatu tindakan kejahatan yang. yang berlaku terutama norma hukum pidana.
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Perkembangan globalisasi dan kemajuan teknologi yang terjadi dewasa ini telah menimbulkan dampak yang luas terhadap berbagai bidang kehidupan, khususnya di bidang
Lebih terperinciII. TINJAUAN PUSTAKA. yaitu kejahatan dan pelanggaran, kejahatan diatur dalam buku ke dua, sedangkan
13 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian dan Unsur-Unsur Tindak Pidana 1. Pengertian Tindak Pidana Kitab Undang-Undang Hukum Pidana membagi dua macam perbuatan pidana yaitu kejahatan dan pelanggaran, kejahatan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Anak merupakan amanat dari Tuhan Yang Maha Esa, yang dalam dirinya
1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Anak merupakan amanat dari Tuhan Yang Maha Esa, yang dalam dirinya melekat harkat dan martabat sebagai manusia seutuhnya. Di tangan mereka peranperan strategis
Lebih terperinciSKRIPSI UPAYA POLRI DALAM MENJAMIN KESELAMATAN SAKSI MENURUT UNDANG-UNDANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN
SKRIPSI UPAYA POLRI DALAM MENJAMIN KESELAMATAN SAKSI MENURUT UNDANG-UNDANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN Disusun dan Diajukan Untuk Melengkapi Syarat Guna Memperoleh Gelar Sarjana Hukum Fakultas Hukum
Lebih terperinciI. PENDAHULUAN. Perdagangan orang (human traficking) terutama terhadap perempuan dan anak
1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Perdagangan orang (human traficking) terutama terhadap perempuan dan anak merupakan pengingkaran terhadap kedudukan setiap orang sebagai makhluk ciptaan Tuhan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Indonesia adalah negara yang berdasarkan atas hukum, tidak
1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia adalah negara yang berdasarkan atas hukum, tidak berdasarkan atas kekuasaan belaka. Penegakan Hukum harus sesuai dengan ketentuan yang berlaku juga berdasarkan
Lebih terperinciUNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang Mengingat : a. bahwa salah satu alat
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. dapat lagi diserahkan kepada peraturan kekuatan-kekuatan bebas dalam
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Suatu realita, bahwa proses sosial, ekonomi, politik dan sebagainya, tidak dapat lagi diserahkan kepada peraturan kekuatan-kekuatan bebas dalam masyarakat. Proses
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Hukum berkembang mengikuti perubahan zaman dan kebutuhan
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Hukum berkembang mengikuti perubahan zaman dan kebutuhan manusia. Salah satu unsur yang menyebabkan adanya perubahan dan perkembangan hukum adalah adanya ilmu pengetahuan,
Lebih terperinciI. PENDAHULUAN. kesehatan penting untuk menunjang program kesehatan lainnya. Pada saat ini
I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pendidikan kesehatan adalah suatu usaha atau kegiatan untuk membantu individu, keluarga dan masyarakat dalam meningkatkan kemampuannya untuk mencapai kesehatan secara optimal.
Lebih terperinciBAB I PENDAHUULUAN. terjadi tindak pidana perkosaan. Jika mempelajari sejarah, sebenarnya jenis tindak
BAB I PENDAHUULUAN A. Latar Belakang Saat ini tindak pidana perkosaan merupakan kejahatan yang cukup mendapat perhatian di kalangan masyarakat. Sering di koran atau majalah diberitakan terjadi tindak pidana
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. pidana yang diancamkan terhadap pelanggaran larangan 1. Masalah pertama
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah negara hukum. Indonesia memiliki banyak keanekaragaman budaya dan kemajemukan masyarakatnya. Melihat dari keberagaman
Lebih terperinciI. PENDAHULUAN. Anak adalah amanat sekaligus karunia Tuhan Yang Maha Esa, yang senantiasa
I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Anak adalah amanat sekaligus karunia Tuhan Yang Maha Esa, yang senantiasa harus kita jaga karena dalam dirinya melekat harkat, martabat, dan hak-hak sebagai manusia yang
Lebih terperinciI. PENDAHULUAN. dari masyarakat yang masih berbudaya primitif sampai dengan masyarakat yang
I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kejahatan merupakan suatu masalah yang ada di dalam kehidupan masyarakat, baik dari masyarakat yang masih berbudaya primitif sampai dengan masyarakat yang berbudaya modern
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Kejahatan sebagai fenomena sosial yang terjadi di muka bumi ini mungkin
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kejahatan sebagai fenomena sosial yang terjadi di muka bumi ini mungkin tidak ada habisnya, mengenai masalah ini dapat dilihat dari pemberitaan media masa seperti
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. sosial, sebagai makhluk individual manusia memiliki kepentingan masing-masing
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Manusia dilahirkan sebagai makhluk yang bersifat individual dan juga bersifat sosial, sebagai makhluk individual manusia memiliki kepentingan masing-masing yang tentu
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. mendukung pelaksanaan dan penerapan ketentuan hukum pidana materiil,
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dalam kedudukannya sebagai instrumen hukum publik yang mendukung pelaksanaan dan penerapan ketentuan hukum pidana materiil, maka Undang-Undang Nomor 8 Tahun
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Republik Indonesia segala sesuatu atau seluruh aspek kehidupan diselenggarakan
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Negara Indonesia adalah Negara Hukum ditegaskan dalam Pasal 1 ayat (3) UUD 1945 setelah perubahan ketiga. Hal ini berarti bahwa di dalam negara Republik
Lebih terperinciBAB III FAKTOR PENYEBAB TERJADI KORBAN DALAM PERKARA TINDAK PIDANA KORUPSI DI KABUPATEN ACEH BARAT
38 BAB III FAKTOR PENYEBAB TERJADI KORBAN DALAM PERKARA TINDAK PIDANA KORUPSI DI KABUPATEN ACEH BARAT A. Faktor Penyebab Terjadi Korban 1. Faktor Internal a. Faktor Aparat Penegak Hukum Penegakan hukum
Lebih terperinciBAB III PENUTUP A. KESIMPULAN. Berdasarkan pada pembahasan penulis paparkan sebelumnya maka. dapat disimpulkan:
55 BAB III PENUTUP A. KESIMPULAN Berdasarkan pada pembahasan penulis paparkan sebelumnya maka dapat disimpulkan: 1. Penanggulangan tindak pidana perdagangan anak ini sangatlah perlu dilakukan, karena perdagangan
Lebih terperinciII. TINJAUAN PUSTAKA. Pengertian Penahanan dapat dilihat dalam Pasal 1 butir 21 KUHAP yang
15 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian Penahanan dan Sekitar Penahanan 1. Pengertian Penahanan Pengertian Penahanan dapat dilihat dalam Pasal 1 butir 21 KUHAP yang menyatakan bahwa penahanan merupakan penempatan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Negara merupakan sebuah kesatuan wilayah dari unsur-unsur negara, 1 yang
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Negara merupakan sebuah kesatuan wilayah dari unsur-unsur negara, 1 yang didalamnya terdapat berbagai hubungan dari sebuah masyarakat tertentu yang berlangsung
Lebih terperinciUNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 31 TAHUN 2014 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 31 TAHUN 2014 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
Lebih terperinciPENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2000 TENTANG PENGADILAN HAK ASASI MANUSIA
PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2000 TENTANG PENGADILAN HAK ASASI MANUSIA I. UMUM Bahwa hak asasi manusia yang tercantum dalam Undang-Undang Dasar 1945, Deklarasi Universal
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. faktor sumber daya manusia yang berpotensi dan sebagai generasi penerus citacita
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Setiap anak adalah bagian dari penerus generasi muda yang merupakan faktor sumber daya manusia yang berpotensi dan sebagai generasi penerus citacita perjuangan bangsa
Lebih terperinciPELAKSANAAN PERLINDUNGAN KHUSUS TERHADAP ANAK SEBAGAI KORBAN PENCABULAN MENURUT UU NO. 23 TAHUN 2002
SKRIPSI PELAKSANAAN PERLINDUNGAN KHUSUS TERHADAP ANAK SEBAGAI KORBAN PENCABULAN MENURUT UU NO. 23 TAHUN 2002 Oleh ALDINO PUTRA 04 140 021 Program Kekhususan: SISTEM PERADILAN PIDANA FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS
Lebih terperinciRANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN
RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN (yang telah disahkan dalam Rapat Paripurna DPR tanggal 18 Juli 2006) RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK
Lebih terperinciI. PENDAHULUAN. karena itu sering timbul adanya perubahan-perubahan yang dialami oleh bangsa
I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pembangunan Indonesia yang pada saat ini sedang memasuki era globalisasi. Oleh karena itu sering timbul adanya perubahan-perubahan yang dialami oleh bangsa Indonesia khususnya
Lebih terperinciI. PENDAHULUAN. dalam Pembukaan UUD 1945 alinea ke-4 yang menyatakan sebagai berikut bahwa : Pemerintah
I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi tidak sedikit membawa kemajuan bagi bangsa Indonesia dalam meningkatkan sumber daya manusia, sebagai modal dasar pembangunan
Lebih terperinciI. PENDAHULUAN. Hukum merupakan seperangkat aturan yang diterapkan dalam rangka menjamin
1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Hukum merupakan seperangkat aturan yang diterapkan dalam rangka menjamin kepastian hukum, ketertiban dan perlindungan masyarakat, sehingga berbagai dimensi hukum
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. tercipta pula aturan-aturan baru dalam bidang hukum pidana tersebut. Aturanaturan
BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah Globalisasi menyebabkan ilmu pengetahuan kian berkembang pesat termasuk bidang ilmu hukum, khususnya dikalangan hukum pidana. Banyak perbuatan-perbuatan baru yang
Lebih terperinciBAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PENEGAKAN HUKUM TERHADAP PERLINDUNGAN KORBAN PERDAGANGAN ANAK DI WILAYAH HUKUM KABUPATEN JEMBRANA
BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PENEGAKAN HUKUM TERHADAP PERLINDUNGAN KORBAN PERDAGANGAN ANAK DI WILAYAH HUKUM KABUPATEN JEMBRANA 2.1 Pengertian Perlindungan Hukum Ruang lingkup perlindungan hukum yang akan
Lebih terperinciBAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. 4.1 Perlindungan Hukum Korban Tindak Pidana Pemerkosaan Dalam
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN 4.1 Perlindungan Hukum Korban Tindak Pidana Pemerkosaan Dalam Proses Peradilan Pidana Secara umum, adanya hukum positif di Indonesia merupakan suatu aturan yang salah
Lebih terperinciKEBIJAKAN HUKUM PIDANA DALAM TINDAK PIDANA KORUPSI PENGADAAN BARANG DAN JASA. Nisa Yulianingsih 1, R.B. Sularto 2. Abstrak
KEBIJAKAN HUKUM PIDANA DALAM TINDAK PIDANA KORUPSI PENGADAAN BARANG DAN JASA Nisa Yulianingsih 1, R.B. Sularto 2 Abstrak Penelitian ini mengkaji mengenai kebijakan hukum pidana terutama kebijakan formulasi
Lebih terperinciKRIMINALISASI TERHADAP PERBUATAN SPAMMING MELALUI MEDIA SOSIAL DALAM UNDANG-UNDANG NOMOR 11 TAHUN 2008 TETANG INFORMASI DAN TRANSAKSI ELEKTRONIK
KRIMINALISASI TERHADAP PERBUATAN SPAMMING MELALUI MEDIA SOSIAL DALAM UNDANG-UNDANG NOMOR 11 TAHUN 2008 TETANG INFORMASI DAN TRANSAKSI ELEKTRONIK Oleh : Shah Rangga Wiraprastya Made Nurmawati Bagian Hukum
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. khusus untuk melaporkan aneka kriminalitas. di berbagai daerah menunjukkan peningkatan.
1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Berbicara tentang kejahatan seakan tidak ada habis-habisnya, setiap hari selalu saja terjadi dan setiap media massa di tanah air bahkan mempunyai ruang khusus untuk
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. yaitu masalah pidana yang diancamkan terhadap pelanggaran tertentu 2. Topik
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 secara tegas menuliskan bahwa negara Indonesia adalah Negara Hukum. Salah satu prinsip penting negara
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. mencari nafkah. Hal ini yang mendorong munculnya paktek perdagangan
1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Krisis Ekonomi yang terjadi pada tahun 1997 berdampak pada kehidupan ekonomi sosial masyarakat teruma negara berkembang termasuk Indonesia. Salah satu dampaknya
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. sebagai negara hukum. Negara hukum yang dimaksud adalah negara yang
1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kejahatan Narkotika dan Psikotrapika, merupakan kejahatan kemanusiaan yang berat, yang mempunyai dampak luar biasa, terutama pada generasi muda suatu bangsa
Lebih terperinciBAB 1 PENDAHULUAN. setiap individu, sehingga setiap orang memiliki hak persamaan dihadapan hukum.
BAB 1 PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH Dalam Negara Hukum, negara mengakui dan melindungi hak asasi manusia setiap individu, sehingga setiap orang memiliki hak persamaan dihadapan hukum. Persamaan
Lebih terperinciI. PENDAHULUAN. peraturan-peraturan yang harus ditaati oleh setiap masyarakat agar keseimbangan
I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Hukum pada dasarnya bersifat mengatur atau membatasi setiap tindakan yang dilakukan oleh setiap masyarakat (individu). Pada garis besarnya hukum merupakan peraturan-peraturan
Lebih terperinciBERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA
No.485,2014 BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA KOMNAS HAM. Surat Keterangan. Korban. Pelanggaran HAM Barat. Pemberian. Tata Cara. PERATURAN KOMISI NASIONAL HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 001A/PER.KOMNAS
Lebih terperinciPERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2018 TENTANG PEMBERIAN KOMPENSASI, RESTITUSI, DAN BANTUAN KEPADA SAKSI DAN KORBAN
PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2018 TENTANG PEMBERIAN KOMPENSASI, RESTITUSI, DAN BANTUAN KEPADA SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang:
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Undang-undang Dasar 1945 menjelaskan dengan tegas, bahwa
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Undang-undang Dasar 1945 menjelaskan dengan tegas, bahwa Negara Indonesia berdasarkan atas hukum (rechstaat), tidak berdasarkan atas kekuasaan belaka (machtsstaat).
Lebih terperinci