5 ANALISIS DAN PEMBAHASAN

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "5 ANALISIS DAN PEMBAHASAN"

Transkripsi

1 118 5 ANALISIS DAN PEMBAHASAN 5.1. Analisis Efektifitas Kebijakan Penerapan Model Vessel Monitoring System (VMS) bagi Kapal Penangkap Ikan Analisis Peraturan Perundang-undangan di Bidang Perikanan Pendukung Kebijakan Penerapan VMS Sampai saat ini cukup banyak peraturan perundangan yang berkaitan dengan pengelolaan perikanan di Indonesia, dan berdasarkan hasil wawancara dengan tim teknis VMS di bidang hukum, diperoleh keterangan bahwa dari sekian banyak peraturan perundangan yang mengatur tentang pengelolaan perikanan di Indonesia, baru ada satu produk hukum yang secara langsung dan rinci mengatur tentanga penyelenggaraan VMS, yaitu Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan No. 29/MEN/2003 tentang penyelenggaraan Sistem Pemantauan Kapal Perikanan, yang ditandatangani dan disahkan pada bulan Agustus Untuk menguatkan pernyataan di atas, berdasarkan hasil wawancara kepada Professor Martin Tsamenyi, Director Centre For Maritime Policy, University of Wollongong pada tanggal 27 Juni 2003 ketika berkunjung ke Indonesia dalam acara konsultasi Legal Framework VMS di Departemen Kelautan dan Perikanan RI, serta komunikasi melalui martin_tsamenyi@uow.edu.au diperoleh kesimpulan bahwa walaupun terdapat banyak sekali peraturan yang mengatur tentang perikanan di Indonesia, tapi tidak satupun dari peraturan tersebut yang secara khusus/spesial mengatur tentang bagaimana operasional VMS. Menurutnya dasar hukum yang paling berhubungan dengan pelaksanaan VMS di Indonesia, antara lain adalah, wawancara cara ini dilakukan ketika produk hukum berupa Kepmen No 29 Tahun 2003 tentang penyelenggaraan Sistem Pemantauan Kapal Perikanan belum diterbitkan. Berdasarkan hasil wawancara tersebut diatas, maka pada bagian awal bab ini dilakukan analisis terhadap beberapa produk peraturan perundangan di bidang pengelolaan perikanan di Indonesia yang berkaitan dengan penerapan kebijakan VMS, sehingga diperoleh informasi peraturan perundangan yang secara langsung

2 119 dan tidak langsung berkaitan erat dengan penerapan VMS. Tabel 22 menyajikan hasil analisis peraturan perundangan yang berhubungan dengan VMS. Tabel 22 Analisis Isi Peraturan Perundangan di Bidang Pengelolaan Perikanan Yang Mendukung Penerapan Kebijakan VMS No Jenis Peraturan Perundangan 1 Peraturan Pemerintah No. 5/ Keputusan Pemerintah No. 15/ Keputusan Menteri 475/ Keputusan Menteri 476/ Peraturan Pemerintah 15/1990 Tentang Pengelolaan Sumberdaya Alam Hayati Zone Ekonomi Eksklusif Indonesia Pengelolaan Sumber Daya Perikanan di ZEE Indonesia. Izin untuk perusahaan swasta dan asing untuk menangkap ikan di ZEE Indonesia Penunjukan tempat (pelabuhan) di mana kapal nelayan asing harus melaporkan sebelum, selama dan setelah penangkapan ikan di ZEE. Tentang Usaha Penangkapan Ikan Hasil Analisa ( Ketentuan Yang Dapat Mendukung Penerapan VMS) Tidak Mengatur VMS Pengaturan tentang Perizinan (Bab IV) dan Ketentuan Pencabutan Izin (Bab V) dapat mendukung Penerapan VMS. Tidak Mengatur VMS Pasal 3, Pasal 5 dan pasal 9 tentang Pengaturan Izin penangkapan ikan oleh kapal asing dapat mendukung penerapan VMS Tidak Mengatur VMS Pasal 1, pasal 2 dan pasal 7 tentang ketentuan izin bagi perusahaan asing/lokal, TAC yang dapat mendukung VMS Pasal lain tentang identifikasi kapal, badan kapal, kewajiban, sanksi dan larangan juga dapat mendukung VMS Tidak Mengatur VMS Pasal 1, ketentuan bagi kapal asing untuk masuk ke salah satu dari 9 pelabuhan yang ditunjuk Pasal 5, kapal asing wajib menerima aparat pengawas jika diperlukan Tidak Mengatur VMS Pasal 1, pasal7, pasal 13 mengatur batasan dan jenis perizinan kapal asing di ZEEI ( IUP, PPKA, SPI) bersambung..

3 No Jenis Peraturan Perundangan 6 Keputusan Menteri 815/ Keputusan Menteri 816/ Keputusan Menteri 144/ Keputusan Menteri 57/ Keputusan Menteri 508/ Keputusan Menteri 770/1996 Tentang Perizinan Usaha Perikanan Di ZEEI Penggunaan Carter Kapal Asing untuk di ZEEI Penetapan suatu pelabuhan sebagai pangkalan penangkap ikan untuk kapal nelayan asing yang dicarter yang menangkap ikan di ZEE Keputusan ini menerangkan keputusan 144/1993 Carter Kapal Asing dan Penghapusan sistem Carter secara bertahap Tentang penggunaan fish-nets ( bottom trawl) di ZEE wilayah Samudra India, perairan Sumatera bagian barat dan perairan di sekitar daerah Aceh. 120 sambungan.. Hasil Analisa ( Ketentuan Yang Dapat Mendukung Penerapan VMS) Tidak Mengatur VMS Pasal 4, 6 dan 12 mengatur Izin bagi kapal asing di ZEEI, termasuk Perusahaan Indonesia yang berminat gunakan kapal asing, IUP untuk Izin dan PPKA untuk persetujuan Tidak Mengatur VMS Pasal 1, 3,4 dan 8 mengatur ketentuan tentang Perizinan (IUP dan PPKA untuk Indonesia dan SIPI untuk asing), Pelabuhan pangkalan, Ekspor melalui pelabuhan, batas jumlah kapal Tidak mengatur VMS Penetapan 23 pelabuhan pangkal bagi kapal asing yang menangkap di ZEEI (pasal 1) Pemeriksaan sebelum dan sesudah penangkapan (pasal 2) Identifikasi badan kapal (pasal 3) Tidak mengatur VMS menambahkan dua pelabuhan sebagai pangkalan untuk kapal nelayan asing yang dicarter oleh perusahaan Indonesia. Tidak mengatur VMS Pasal 1, membatasi kapal penangkap ikan dengan sistem carter Pasal 3, Penghapusan sistem carter secara bertahap Pasal 4, Mengatur izin import kapal Tidak mengatur VMS Mengizinkan alat tangkap Fish Net (Bottom Trawl) oleh kapal Asing di ZEEI (Samudera India) Juga mengizinkan kapal Lokal dari kayu dengan ukuran kurang dari 80GT bersambung..

4 No Jenis Peraturan Perundangan 12 Keputusan Menteri 392/ Keputusan Menteri 995/ Keputusan Menteri 996/1999- Tentang Tentang daerah penangkapan ikan. Potensi Sumber daya ikan dan jumlah tangkapan yang diperbolehkan (JTB) di wilayah perikanan Republik Indonesia. Petunjuk implementasi mengenai pengawasan dalam aktivitas penangkapan ikan. 121 sambungan.. Hasil Analisa ( Ketentuan Yang Dapat Mendukung Penerapan VMS) Tidak mengatur VMS Membagi wilayah penangkapan kedalam tiga daerah atau zona perairan penangkapan Zona pertama, antara nol samapai 6 mil laut 9 pasal 3 Zona kedua, antara 6 sampai 12 mil laut ( pasal 4) Zona ke tiga, antara 12 mil sampai batas ZEE, dan mengatur jenis kapal yang diizinkan di Zona tersebut ( pasal 5) Tidak mengatur VMS Mengatur tentang total tangkapan ikan yang diperbolehkan di Perairan Indonesia ( pasal 2) dan di Perairan ZEEI ( pasal 2) Tidak mengatur VMS Mengatur tugas aparat pengawasan dan pelaksanaan pengawasan terhadap tracking kapal, daerah penangkapan, wilayah yang dilindungi. (pasal 6, 9) Diwajibkan menggunakan tanda identifikasi bagi kapal penangkap, kapal pengangkut dan pengumpul 15 Keputusan Presiden 14/ Keputusan Menteri 45/2000 Pemanfaatan kapal ikan yang ditangkap oleh pemerintah. Tentang perizinan usaha perikanan. Kapal ikan yang melanggar hukum disita oleh Pemerintah beserta semua peralatannya Mengatur mekanisme dan prosedur bagi pengusaha untuk memperoleh berbagai jenis Izin dalam kegiatan penangkapan ikan, baik lokal maupun asing keputusan ini tidak mencakup perizinan SIPI untuk kapal asing karena kapal tersebut tidak diizinkan lagi untuk menangkap ikan di ZEE Indonesia. bersambung..

5 No Jenis Peraturan Perundangan 17 Peraturan Pemerintah No. 142/ Keputusan Menteri 46/2001 No Tentang Menguraikan tentang tarif atas jenis penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) yang berlaku pada Departemen Kelautan dan Perikanan Tentang Pendaftaran ulang perizinan usaha penangkapan ikan. 122 sambungan.. Hasil Analisa ( Ketentuan Yang Dapat Mendukung Penerapan VMS) Tidak mengatur VMS Pasal 2 mengatur kewajiban kapal penangkap ikan membayar PNBP Pasal 4, Tarif dihitung berdasarkan ukuran kapal, jenis, banyaknya armada, dan jenis alat tangkap Pasal 7, kewajiban hanya diberlakukan kepada semua kapal penangkap ikan di atas 30 GT, atau kapal yang berukuran 18 meters dan beroperasi di luar 12 mil Tidak mengatur VMS mewajibkan semua kapal penangkap ikan (asing maupun lokal) untuk melakukan pendaftaran ulang izin mereka, pasal 2 Menguraikan tentang sanksi, terhadap kapal yang melanggar ketentuan tersebut termasuk pencabutan izin, pasal Keputusan Menteri 47/2001 Tentang format izin usaha penangkapan ikan. Sumber : Hasil Analisis menguraikan tentang format izin usaha penangkapan ikan yang baru dan dinyatakan pula secara jelas bahwa semua kapal penangkap ikan perlu dipasang VMS/alat transmitter untuk mendapatkan izin usaha penangkapan. Tabel 22 menunjukkan sejumlah peraturan perundangan yang mengatur pengelolaan bidang perikanan, namun tidak satupun dari peraturan perundangan tersebut yang secara langsung berisi ketentuan tentang pemantauan kapal penangkap ikan dengan sistem VMS. Hasil analisis isi terhadap peraturan perundangan tersebut dapat disimpulkan pula bahwa ketentuan ketentuan yang mengatur pengelolaan perikanan pada berbagai peraturan tersebut sangat mendukung adanya penerapan sistem pemantauan kapal penangkap ikan dengan teknologi VMS. Sistem pemantauan kapal penangkap ikan dengan teknologi VMS dapat memberikan informasi kepada penegak hukum tentang adanya indikasi pelanggaran terhadap ketentuan ketentuan yang telah diatur dalam peraturan tersebut di atas.

6 123 Peraturan perundang-undangan di bidang pengelolaan perikanan yang pertama kali memuat tentang VMS adalah peraturan perundangan yang diterbitkan tahun 2001 berupa Keputusan Menteri No. 47 tentang Format Izin Usaha Penangkapan Ikan, dinyatakan dalam peraturan tersebut bahwa semua kapal perikanan diwajibkan memasang VMS untuk mendapatkan izin. Tabel 23 merupakan hasil identifikasi dan analisis terhadap peraturan perundangan yang berkaitan langsung dengan VMS. Tabel 23 Peraturan Perundangan di Bidang Pengelolaan Perikanan Yang Berkaitan Langsung Dengan Penerapan Kebijakan VMS No Peraturan Perundangan 1 Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan No. 47 tahun Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan No 60 tahun 2001 Tentang Format Izin Usaha Penangkapan Ikan Penataan Penggunaan Kapal Perikanan di Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia Hasil Analisa Memuat tentang VMS Ketentuan VMS tidak diatur secara rinci, hanya mewajibkan bagi semua kapal penangkap ikan untuk memasang VMS dalam memperoleh Izin Penangkapan ikan Memuat tentang VMS Namun tidak diatur secara rinci, Menyebutkan kapal perikanan yang diperoleh dengan cara usaha patungan, beli angsur atau lisensi, wajib memasang transmitter untuk kepentingan system pemantauan kapal Vessel Monitoring System (VMS); Pasal 32, ayat (1) 3 Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor: KEP.10/MEN/ Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor: KEP.29/MEN/2003 Tentang perizinan Usaha Penangkapan Ikan Penyelenggaraan Sistem Pemantauan Kapal Perikanan, yang ditandatangani dan disahkan pada bulan Agustus Memuat tentang VMS menetapkan bahwa setiap kapal perikanan wajib memasang transmitter untuk pemasangan system pemantauan kapal (Vessel Monitoring System); (bab XI pasal 65) Memuat ketentuan-ketentuan yang khusus tentang Penyelenggaraan VMS Seluruh Bab (13 Bab) dan Pasal (29 Pasal) memuat ketentuan tentang penyelenggaraan VMS di Indonesia, mulai dari kelembagaan, mekanisme, kewajiban dan sanksi bersambung

7 124 No Peraturan Perundangan 5 Undang-Undang Republik Indonesia No. 31 Tahun 2004 Sumber : Hasil Analisis Tentang Tentang Perikanan Hasil Analisa sambungan.. Memuat tentang VMS Hanya Pasal 7, ayat (1) huruf j saja yang menyatakan tentang VMS, yaitu :Dalam rangka mendukung kebijakan pengelolaan sumberdaya ikan, Menteri menetapkan Sistem Pemantauan Kapal Perikanan Dalam Penjelasan UU 31 diuraikan, yang dimaksud dengan Sistem Pemantauan Kapal Perikanan adalah salah satu bentuk system pengawasan dibidang penangkapan ikan yang menggunakan peralatan pemantauan kapal perikanan yang telah ditentukan, contoh VMS Lima buah peraturan perundang-undangan yang diuraikan pada Tabel 23 seluruhnya memuat pernyataan yang berkaitan dengan VMS, namun sebagian besar hanya memuat pernyataan tentang diperlukannya setiap kapal penangkap ikan menggunakan VMS, tetapi tidak secara rinci mengatur mekanisme penyelenggaran VMS dilakukan terhadap kapal-kapal penangkap ikan di Indonesia. Hanya satu saja peraturan perundangan yang benar-benar secara rinci mengatur penyelenggaraan VMS di Indonesia, yaitu Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan No. 29/MEN/2003 tentang Penyelenggaraan Sistem Pemantauan Kapal Perikanan, yang ditandatangani dan disahkan pada bulan Agustus Organisasi pengelola VMS sesuai ketentuan yang dimuat dalam Kepmen tersebut adalah PSDKP, akan tetapi dalam implementasi Kepmen tersebut menjumpai beberapa kendala, antara lain: (1) Walaupun pada Bab III, Pasal 4 telah ditetapkan badan pengelola sistem adalah PSDKP dan lembaga pendukung adalah Direktorat Jenderal Perikanan Tangkap/DJPT (dalam memberikan data, menetapkan tahapan dan pemasangan transmitter dan penyiapan ID transmitter) dan Badan Riset Kelautan Perikanan /BRKP (untuk mendukung menetapkan spesifikasi teknis VMS, termasuk sistem integrasinya). Namun kenyataan di lapangan, koordinasi antar lembaga tersebut sulit dilakukan, sehingga banyak ditemukan permasalahan-permasalahan seperti : (a) Tidak ada jadwal

8 125 pendaratan kapal yang pasti di pelabuhan pangkalan (ketidaktaatan dalam mendarat di pelabuhan pangkalan berkaitan dengan), (b) Tidak mampu mendeteksi jumlah pengeluaran izin sesuai prioritas pemasangan, (c) Sulitnya memilih target kapal yang akan dipasang alat transmitter (2) Bab IV telah diatur kewajiban dan pentahapan pemasangan transmitter, dan di pasal 9 disebutkan bahwa setiap kapal perikanan Indonesia dan/atau kapal perikanan asing yang memperoleh Surat Penangkapan Ikan (SPI) dan atau Surat Izin Kapal Pengangkut Ikan (SIKPI) dari Direktorat Jenderal Perikanan Tangkap, wajib dilengkapi transmitter sebagai bagian dari sistem pemantauan kapal perikanan. Kenyataan di lapangan banyak kapal perikanan yang menolak untuk dipasang transmitter, dan terdapat pula kasus kapal perikanan yang mematikan alat transmitter dan bahkan melepas alat transmitter yang sudah dipasang. (3) Direktur Jenderal Perikanan Tangkap menetapkan pelabuhan perikanan dan pelabuhan umum tertentu sebagai lokasi pemasangan transmitter dengan mempertimbangkan aspek teknis dan geografis yang paling menguntungkan bagi penyelenggara dan perusahaan perikanan untuk melakukan pemasangan transmitter (sesuai Bab VI, pasal 13). Pada pelaksanaannya lembaga pengelola sistem (PSDKP) selalu mengalami kesulitan untuk memasang transmitter. (4) Kepmen tersebut juga memuat kewajiban pengguna transmitter, (Bab VII, pasal 15) namun dalam pelaksanaannya PSDKP kesulitan melakukan tindakan atau sanksi terhadap kapal perikanan yang melakukan pelanggaran. (5) Pelaksanaan sistem pemantauan kapal perikanan, pengguna transmitter dikenakan pungutan sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan yang berlaku (Bab IX, pasal 23). Kenyataannya sampai saat ini belum ada ketentuan yang mengatur secara rinci tentang pungutan tersebut. Sehingga membuat ketidakpastian baik bagi penyelenggara maupun para pengusaha. (6) Masih besarnya resistensi dari pengusaha atau pemilik kapal dengan berbagai alasan seperti : kekhawatiran diketahuinya posisi atau tracking kapal yang semula tidak dapat diawasi, kehawatiran akan adanya dana

9 126 tambahan atas penggunaan alat transmitter, tidak mau memahami manfaat VMS bagi manajemen sumberdaya ikan yang terkait dengan efektivitas perizinan dan kelestarian sumberdaya ikan, cukup menimbulkan kesulitan lembaga pengelola dan aparat pengawas PSDKP untuk memberikan sanksi terhadap pengusaha yang tidak mematuhi peraturan tersebut. Keberadaan Peraturan di atas dan Kepmen Nomor 29 tersebut belum seutuhnya mampu mendorong pelaksanaan VMS di Indonesia, banyak terdapat permasalahan dan kendala dalam pelaksanaannya, dan salah satu penyebabnya adalah belum adanya peraturan yang lengkap dan rinci yang mengatur pelaksanaan VMS. Sehingga DKP membutuhkan peraturan yang lebih rinci untuk dapat menerapkan VMS secara efektif, termasuk kebijakan-kebijakan di bidang financial atau pungutan yang menyangkut pembiayaan transmitter dan air time, kebijakan tentang dimungkinkannya lembaga penglola VMS oleh pihak swasta seperti di beberapa negara dalam bentuk operator, karena kelemahan lembaga pengelola dari pihak pemerintah adalah berkaitan dengan pembiayaan VMS. Ke depan keberlangsungan kegiatan VMS sangat tergantung dari biaya operasioanal rutin yang tidak dimungkinkan menggunakan anggaran dari APBN yang tidak fleksibel, sehingga diperlukan peraturan yang memungkinkan pihak ketiga menjadi pengelola VMS, dimana pihak ketiga dapat menciptakan penerimaan pendapatan dari penyelenggaraan VMS. Undang-undang Nomor 31 tahun 2004 tentang perikanan, walaupun tidak secara rinci memuat ketentuan tentang penerapan VMS, namun sebagai peraturan perundangan di bidang pengelolaan perikanan merupakan kebijakan pemerintah yang memiliki kekuatan hukum dan kelengkapan dalam mendukung sistem pengawasan kapal ikan. Berbeda dengan undang-undang tentang perikanan yang lama (UU No. 9 tahun 1985 tentang Perikanan), UU 31 tahun 2004 tentang Perikanan telah meletakkan masalah pengawasan menjadi sangat penting. Dalam UU No. 9 tahun 1985, masalah pengawasan hanya diatur dalam satu pasal saja, yaitu pada pasal 23 yang mengamanatkan pembentukan peraturan pemerintah tentang pengawasan dan pengendalian saja, yang hingga saat ini peraturan pemerintah tersebut belum ada.

10 127 Undang-undang No. 31 tahun 2004 ini, mengatur masalah pengawasan dalam 8 pasal yaitu pasal 43, 44,45, 66, 68 dan 69. Pasal-pasal tersebut tampak jelas bahwa pengawas perikanan diberikan peranan dan tugas yang cukup signifikan untuk mendukung terwujudnya pemanfaatan dan pengelolaan perikanan yang bertanggung-jawab. Hal ini terlihat dalam pasal 66 ayat 2 yang menyatakan pengawas perikanan bertugas untuk mengawasi tertib pelaksanaan peraturan perundang-undangan di bidang perikanan. Artinya yang berhak mengawasi pelaksanaan dari UU No. 31 tahun 2004 dan ketentuan pelaksanaannya adalah pengawas perikanan. Ketentuan lain dari UU. No 31 tahun 2004 yang sangat strategis dan menunjukkan keseriusan pemerintah dalam melaksanaan penegakan hukum terhadap pelanggaran di bidang perikanan adalah dilengkapinya pengawas perikanan dengan senjata api dan/atau alat pengaman lainnya (Pasal 69 ayat 1). Disebutkan pula dalam pasal tersebut bahwa kapal pengawas perikanan mempunyai tugas pengawasan dan penegakan hukum, dan kapal pengawas perikanan dapat dilengkapi dengan senjata api dan mempunyai wewenang untuk menghentikan, memeriksa dan menahan kapal yang diduga melakukan tindakan pidana. Ketentuan tentang kelengkapan senjata api dan kewenangan kapal pengawas perikanan sangat mendukung kebijakan penerapan VMS di Indonesia. Hasil analisis berupa adanya indikasi pelanggaran oleh kapal penangkap ikan yang dilakukan oleh Puskodal VMS DKP dapat segera ditindaklanjuti oleh pengawas perikanan dan kapal pengawas perikanan untuk melakukan tindakan hukum di lapangan sesuai ketentuan UU 31 tahun Dukungan lain yang sangat penting dari UU 31 tahun 2004 terhadap kebijakan penerapan VMS adalah adanya pedoman bagi pengawas perikanan bahwa pengawasan tidak hanya dilakukan di laut tapi juga dilakukan di darat/pelabuhan melalui mekanisme penerapan Log Book Perikanan (LBP) dan Surat Laik Operasional (SLO). Pasal 43 sampai 45 menyatakan bahwa setiap kapal perikanan yang akan melakukan kegiatan wajib memiliki SLO dari pengawas perikanan dan SLO ini diterbitkan apabila kapal perikanan yang bersangkutan memenuhi syarat administrasi dan kelayakan teknis sebagaimana

11 128 ditentukan dalam pasal 44 ayat (2). SLO merupakan dasar bagi syahbandar menerbitkan Surat Izin Berlayar. Konsekuensi dari ketentuan atau amanat UU 31 tahun 2004 khususnya yang berkaitan dengan LBP dan SLO tersebut di atas adalah perlunya dirancang pelabuhan perikanan di beberapa daerah menjadi lembaga integrator di daerah yang berfungsi menangani dan mengintegrasikan fungsi-fungsi pengawasan masing-masing unsur MCS perikanan (VMS, Log Book Perikanan, Surat Laik Opersional) sehingga pelabuhan tidak lagi hanya berfungsi melayani kepentingan Direktorat Perikanan Tangkap (DJPT), tapi juga sebagai ujung tombak pelaksanaan pengawasan aparat pengawas dalam mendukung penerapan VMS. Gambar 34 berikut ini merupakan konfigurasi sistem yang mengintegrasikan Sistem Pemantauan Kapal Perikanan (VMS) dengan Sistem Log Book Perikanan, Sistem Perizinan dan Surat Laik Operasional di pelabuhan. Statistik Data Potensi Data Produksi Catch Report Fishing Power Kapal Illegal Dugaan Pelanggaran Zona / Alat Tangkap TAC / JTB Data Izin Kapal (Zona & Fishing Power) Gambar 34 Sistem Integrasi VMS Dengan Perizinan, Log Book Perikanan dan Surat Laik Opersional di Pelabuhan.

12 129 Apabila seluruh pelabuhan perikanan difungsikan sebagai lembaga integrator di daerah (seperti pada Gambar 34) yang memiliki data-data lengkap VMS seluruh kapal sesuai pelabuhan pangkalannya, maka pelaksanaan pengawasan akan lebih efektif. Pengintegrasian teknologi VMS dengan Sistem Perizinan (dokumen izin), Sistem Log Book dan SLO di pelabuhan merupakan sistem yang sangat efektif dalam melakukan pengendalian dan pengawasan SDI termasuk pengendalian illegal fishing. Efektifitas peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan VMS secara langsung seperti Kepmen Nomor 29 tahun 2003 dan UU Nomor 31 tahun 2004 sangat ditentukan bagaimana implementasi di lapangan. Tantangan yang paling berat adalah dalam hal menyiapkan aspek sumberdaya manusia, khususnya aparat pengawas dan penegak hukum (baik kualitas dan kuantitasnya) dan sarana/prasarana pendukung (infrastruktur) serta mekanisme dan tata hubungan kerja diantara lembaga pengelola, instansi pendukung, pelabuhan perikanan dan aparat penegak hukum Analisis Efektivitas Kebijakan Penerapan VMS Berkaitan dengan impelementasi kebijakan, menurut Samodra (1994 : 15) kebijakan publik selalu mengandung setidak-tidaknya tiga komponen dasar, yakni tujuan yang jelas, sasaran yang spesifik, dan cara mencapai sasaran tersebut. Komponen ketiga ini, biasa disebut sebagai implementasi, merupakan komponen yang berfungsi mewujudkan komponen kesatu dan kedua, yaitu tujuan dan sasaran khusus. Berdasarkan tinjauan pustaka ini, kebijakan pemerintah yang berkaitan dengan sistem pengawasan kapal ikan sudah memiliki isi yang lengkap namun belum didukung oleh cara mencapai sasaran kebijakan tersebut. Sehingga diperlukan keseriusan pemerintah dalam melengkapi kebijakan yang telah ada dengan petunjuk pelaksanaan dari kebijakan yang telah dikeluarkan. Menurut Dunn (1994), kriteria-kriteria evaluasi kebijakan publik dapat dirumuskan indikator pertanyaannya sesuai tipe kriteria kebijakan yang digunakan, dan beberapa kriteria yang digunakan sebagai indikator dalam melakukan evaluasi kebijakan antara lain adalah efektivitas, efisiensi, kecukupan, perataan, responsivitas dan ketepatan. Analisis efektivitas kebijakan penerapan

13 130 VMS akan dilakukan berdasarkan beberapa kriteria evaluasi kebijakan tersebut, dan hasil analisis disajikan dalam Tabel 24. Tabel 24 Analisis Efektivitas Kebijakan Penerapan VMS No Kriteria Ukuran Keberhasilan 1 Efektivitas Apakah hasil yang diinginkan tercapai? 2 Efisiensi Seberapa besar usaha telah dilakukan? 3 Kecukupan Seberapa jauh dapat memecahkan masalah? 4 Perataan Apakah Penerapan dan pemasangan alat VMS merata? 5 Responsivitas Apakah target sasaran menerima dan puas? 1. Target kapal untuk dipasang transmitter tidak tercapai, tercapai 1323 kapal 2. Dari kapal yang berfungsi hanya 528 ( 39,9%) 3. Target yang aktif ikut VMS tidak sesuai rencana skenario yang mengutamakan kapal pukat ikan dan udang 1. Dari segi biaya yang dikeluarkan oleh pemerintah melalui DKP sudah cukup besar baik dari APBN maupun softloan 2. Dan dari segi waktu, kegiatan VMS telah dimulai sejak tahun Hasil yang dicapai belum sesuai dengan yang diharapkan. 1. Teknologi VMS sudah mampu memantau adanya indikasi pelanggaran izin dan penangkapan namun belum secara online, sehingga butuh waktu yang lama melakukan analisis 2. Masalah pelanggaran terhadap izin, alat tangkap dan wilayah penangkapan tetap terjadi. 1. Penerapan VMS belum merata keseluruh kapal perikanan, karena keterbataan transmitter dan biaya 2. Pemasangan alat transmitter tidak memenuhi target prioritas jenis kapal dan alat tangkap yang telah ditetapkan 1. Sebagian besar pengusaha masih belum dapat menerima penerapan VMS dengan berbagai alasan 2. Pengusaha takut dikenakan beban biaya 3. Pengusaha tidak merasakan manfaat, dan merasa dirugikan bersambung.

14 131 No Kriteria Ukuran Keberhasilan 6 Ketepatan Apakah hasil yang diinginkan berguna? Sumber : Hasil Analisis sambungan 1. Bagi pemerintah, kebijakan ini sangat berguna karena sangat mendukung tugas pengawasan dan penegakkan hukum di bidang perikanan, namun sampai saat ini kemampuan teknologi VMS yang ada masih terbatas, perlu dukungan komponen lain dalam pengawasan sumberdaya ikan seperti sistem perizinan, sistem log Book, LLO, kapal patroli dan penegakka hukum. 2. Bagi pengusaha, ada yang merasakan berguna karena dapat ikut memantau armada kapalnya, dan banyak yang merasa dirugikan Melalui beberapa indikator evaluasi terhadap kebijakan penerapan VMS seperti pada Tabel 24 dapat disimpulkan bahwa dari seluruh indikator yang digunakan untuk melakukan evaluasi dan menganalisis efektivitas kebijakan penerapan VMS, semuanya menunjukkan gambaran bahwa penerapan VMS di Indonesia belum dapat dikatakan berhasil atau belum efektif. Hal ini terbukti dengan banyaknya rencana yang tidak tercapai, banyak persoalan-persoalan, keterbatasan dan kelemahan yang dimiliki oleh lembaga pengelola VMS dalam mengimplementasikan kebijakan VMS, yaitu antara lain : (1) Salah satu ukuran keberhasilan penerapan kebijakan teknologi VMS di Indonesia adalah terpenuhinya target sebanyak kapal ikan yang ikut program VMS pada tahun Ternyata hasilnya agak jauh dari harapan, karena pada akhir tahun 2004 baru terdapat 987 kapal ikan (lokal dan asing) yang ikut program VMS, dan dari jumlah itu hanya sekitar 549 atau sekitar 55,6% yang aktif berfungsi dan dapat dipantau. Kemajuan di tahun 2005 juga belum menunjukkan hasil yang optimal, dimana sampai sekarang (per Juni 2005) seluruh kapal yang terlibat dalam program VMS baru berjumlah kapal (kapal lokal sebanyak 714 dan kapal asing 575 kapal). 714 kapal lokal tersebut yang berfungsi alat VMS-nya hanya 41,0% atau sekitar 293 kapal ikan, sedangkan untuk kapal asing yang berfungsi alat VMS-nya hanya sekitar 48,7% atau sekitar 280 kapal ikan asing.

15 132 (2) Jika dilihat dari target atau sasaran program VMS yang mengutamakan jenis kapal ikan dengan alat tangkap Pukat Ikan dan Pukat Udang, maka dari sekitar 465 kapal ikan yang terdaftar dan jenis alat tangkapnya pukat ikan baru sekitar 68 kapal ikan saja yang ikut VMS dan dari sekitat 302 kapal Pukat Udang yang ikut program VMS hanya 109 kapal saja. (3) Segi kelembagaan, lembaga pengelola VMS (PMO VMS) dinilai tidak dapat menjalankan fungsinya dengan optimal. Hal ini disebabkan karena lembaga PMO VMS yang berada di bawah Dirjen PSDKP tidak mampu mengintegrasikan kepentingan masing-masing lembaga terkait, baik internal DKP maupun eksternal dalam pelaksanaan VMS. Dari sisi organisasi Pusdal (Pusat Pengendalian VMS), keterlibatan Dit. PSDI dalam analisis data VMS juga belum ada. Sehingga informasi yang dihasilkan Pusdal baru sebatas pelanggaran transmitter, dan pelanggaran wilayah. (4) Disamping itu personil yang menjabat dan duduk sebagai anggota PMO masih dibebani tugas fungsional sehari-hari dan pimpinan PMO VMS yang berada di Eselon III mengalami kesulitan mengundang pejabat-pejabat Eselon II dan Eselon I dalam rapat koordinasi untuk pengambilan keputusan. Kondisi ini mengakibatkan mekanisme kerjasama antar unit terkait tidak berfungsi, sehingga tindak lanjut informasi yang dihasilkan oleh Pusdal sulit dilaksanakan. (5) Segi kemampuan monitoring, pusat pengendalian (Pusdal) VMS di DKP sudah mampu mendeteksi secara otomatis kapal-kapal yang mematikan transmitter (Tx) tetapi belum mampu secara online melarang kapal-kapal yang mematikan Tx untuk keluar dari pelabuhan. Terhadap kapal-kapal yang melakukan pelanggaran jalur penangkapan DKP juga belum mampu secara langsung mengetahui nomor izin kapal yang bersangkutan untuk dilakukan penindakan secara tegas. Pusdal VMS belum mampu mendeteksi secara langsung dan rinci identitas kapal ikan yang terindikasi melakukan pelanggaran. Sehingga informasi yang dihasilkan Pusdal baru sebatas pelanggaran transmitter. Pusdal VMS DKP hanya mampu mengidentifikasi kapal-kapal yang melanggar wilayah melalui gerak kapal atau jalur lintasan penangkapan ikan (tracking) dan ID transmitter-nya, untuk mengetahui data

16 133 kapal penting lainnya seperti nama jenis alat tangkap, asal perusahaan, nomor izin dan wilayah tangkap, perlu dilakukan integrasi data dengan program lain, sehingga membutuhkan waktu yang agak lama. (6) Kemampuan analisis indikasi pelanggaran wilayah operasi penangkapan belum ada sehingga harus ditingkatkan dengan cara menyempurnakan software sistem pemantauan yang memiliki peta zonasi di 9 daerah penangkapan. Standarisasi wilayah perizinan dibuat dengan koordinat yang jelas. Sehingga jika terjadi pelanggaran wilayah penangkapan (keluar dari koordinat yang telah ditetapkan dalam izin) oleh kapal penangkap ikan maka secara otomatis sistem mengeluarkan peringatan sebagai tanda adanya pelanggaran wilayah penangkapan. Fungsi pengawasan yang dilakukan Puskodal dapat lebih efektif jika zonasi penangkapan diterapkan secara konsisten dan terintegrasi anatara sistem perizinan dengan VMS. (7) Sisi penegakan hukum terhadap kapal-kapal ikan yang melakukan pelanggaran masih dinilai belum dilakukan secara tegas, karena masih banyak kapal yang melanggar peraturan (karena sengaja tidak memasang transmitter) tapi tetap tidak dikenakan sanksi. Sebagai perbandingan, dapat dilihat efektivitas penerapan VMS di beberapa negara lain, khususnya di beberapa negara berkembang berikut ini (Smith, 1999). Penerapan VMS di Afrika telah menghasilkan keuntungan (pendapatan) yang diperoleh dari pemberian izin terhadap kapal asing, denda yang diterapkan terhadap pelanggaran, sehingga dapat membiayai operasional VMS. Kegiatan VMS dipusatkan pada proyek yang disebut MCS of Industrial Fishing dan lembaga donornya adalah Grand Duchy of Luxembourg dan lembaga atau agen pelaksananya adalah FAO dan Lux-Development. Negara-negara lain yang ikut berpartisipasi dalam kegiatan ini antara lain: Cape Verde, The Gambia, Guinea, Guine-Bissau, Mauntania, Senegal and Sierra Leone. Negara-negara tersebut tergabung dalam Sub Regional Fisheries Commission (CRSP). Pelaksanaan VMS di Namibia diterapkan dengan cara yang sangat keras berdasarkan monitoring terhadap semua pendaratan ikan, selain itu mereka menempatkan pengamat (observers) pada kapal-kapal utama dan menyebarkan

17 134 kapal-kapal patroli ikan serta pesawat bersayap dan helikopter untuk melakukan pengamatan lapangan. Efektivitas kegiatan dapat dilihat dari adanya penangkapan kapal ikan yang melanggar dan tindakan hukum dilakukan oleh pengadilan Namibia. Pelaksanaan VMS di Peru juga dapat dijadikan sebagai perbandingan, di negara tersebut penyelenggaraan VMS telah dimulai pada tahun 1992 dan sebagai pilot project pertama adalah untuk kapal ikan asing. Tahun 1998 Peru memilih Argos-CLS sebagai provider VMS untuk kapal perikanan nasional dan pada phase pertama dipasang VMS terhadap 200 kapal, selanjutnya pada phase II, III, IV, dan ke V masing masing sebanyak 200, 200, 180 dan 160. Jumlah keseluruhan kapal yang telah dipasang VMS sampai dengan Agustus 2004 sebanyak 940 kapal. Artinya Peru membutuhkan waktu selama 6 tahun untuk melaksanakan kebijakan VMS, dimulai pada tahun 1992 dan baru tahun 1998 phase pertama kebijakan VMS benar benar diterapkan dan efektifitas pelaksanaan VMS di negara tersebut baru bisa dirasakan setelah 6 tahun berjalan. Kapal ikan yang dipasang transmitter adalah kapal skala industri (ukuran 15 m atau 20 GT keatas). Kegiatan kapal ikan hanya di atas 5 mil, dan perairan 5 mil dari pantai hanya diperuntukkan bagi kapal ikan tradisional (artisanal fisheries). Jenis dan junlah kapal ikan yang telah dipasang VMS adalah : (1) Purse Seine sebanyak kapal, terpasang 800 kapal, (2) Pukat Ikan sebanyak 70, terpasang 70 kapal, (3) Long Line sebanyak 115 kapal, dan terpasang 50 kapal, dan terakhir (4) Multi Propose sebanyak 80 kapal, terpasang 20 kapal.. Kapal ikan nasional dikenakan pungutan sebesar $ 200 per bulan untuk keperluan biaya : lisensi, transmitter, air time dan biaya pemeliharaan. Bagi kapal asing dikenakan beberapa pungutan, antara lain: biaya pelayanan sebesar 4,5 juta/bulan, biaya pemasangan dan pelepasan transmitter sebesar 5,7 juta/bulan dan biaya garansi transmitter sebesar 36 juta, yang akan dikembalikan bila habis masa operasinya. Terdapat beberapa perbedaan pengelolaan perikanan antara Peru dengan Indonesia, dimana perbedaan tersebut sangat mendukung kelancaran proses pelaksanaan VMS di Negara Peru, perbedaan tersebut antara lain :

18 135 (1) Garis pantai di Peru lebih pendek, yaitu km, luas lautnya pun lebih kecil km 2. (2) Jumlah kapal ikan di Peru berkisar hanya 1500 kapal. (3) Dalam surat izin penangkapan tidak ada pembagian wilayah tangkap. Yang ada hanya pelarangan menangkap ikan bagi kapal skala industri di perairan 5mil dari pantai. (4) Pola penangkapan mengunakan pola one day fishing, setiap hari kapal ikan diwajibkan kembali ke pelabuhan. (5) Prosedur pemanfaatan pungutan biaya VMS dapat dilakukan langsung oleh instansi terkait. (6) Pungutan iuranvms melekat pada izin. (7) Kelebihan hasil tangkapan ikan dari yang diizinkan akan dikenakan sanksi (pembayaran). (8) Ada observer on board di beberapa kapal dan di pelabuhan untuk sampling hasil tangkapan dalam membantu badan riset kelautan Peru (IMARPE). (9) Pada waktu tertentu ada penutupan penangkapan ikan (close season) bila dinilai jumlah ikan mulai banyak tertangkap (over fishing). Salah satu aspek yang dapat dilihat sebagai hasil dari efektivitas pelaksanaan kebijakan VMS adalah adanya sejumlah kapal penangkap ikan yang di beri sanksi berupa pencabutan izin operasi penangkapan karena melakukan pelangaran dalam melakukan kegiatan penangakapan ikan. Data yang diperoleh pada bulan Agustus 2005 diketahui bahwa terdapat 39 kapal penangkap ikan atau terdiri dari 15 perusahaan yang direkomendasikan oleh lembaga pengelola VMS untuk dilakukan tindakan pencabutan izin (SIPI/SIKPI). Berdasarkan data tahun 2005 akhir diperoleh informasi bahwa pencabutan izin telah dilakukan terhadap kapal penangkap ikan yang melanggar sejumlah 62 kapal. Berdasarkan berbagai kendala diatas, ada satu alternatif yang perlu dipertimbangkan untuk menindaklanjuti program VMS di Indonesia, VMS hanya diperuntukkan terhadap kapal kapal yang tidak pernah ke pelabuhan pangkalan, sedangkan kapal kapal yang disiplin dan terjadwal kepelabuhan belum diwajibkan program VMS, namun perlu dilakukan pengecekan di pelabuhan melalui System

19 136 Logger (untuk cek tracking) dan LPB untuk cek hasil tangkapan. Informasi ini disampaikan ke Puskodal. Sistem Monitoring dan SDM yang melakukan collecting dan analisa data dipersiapkan oleh setiap pelabuhan. 5.2 Perumusan Penentuan Prioritas Strategi Penerapan Vessel Monitoring System (VMS) Berdasarkan hasil analisa efektivitas penerapan kebijakan VMS di atas, dipaparkan bahwa masih banyak kendala dalam proses pemasangan perangkat transmiter VMS, disamping masih lemahnya peraturan pemerintah yang mendukung operasional pemasangan, kurangnya integrasi antar lembaga serta perilaku para pengusaha yang menolak pemasangan perangkat VMS tersebut. Beragam permasalahan ini mendorong perlu perumusan strategi dalam menerapkan kebijakan penerapan VMS kepada kapal penangkap ikan berukuran 100 GT ke atas. Berdasarkan hasil Focus Group Discussion (FGD) kepada lima orang pakar dan praktisi dalam bidang kelautan dan perikanan, ditetapkan enam aspek yang menjadi pertimbangan dalam implementasi VMS. Keenam aspek tersebut adalah ekonomi, sosial budaya, biologi, teknologi VMS, kelembagaan dan aspek hukum serta kebijakan (baik eksternal dan internal DKP). Keenam aspek tersebut merupakan sebuah dasar yang perlu dikaji sebagai pertimbangan penerapan sistem pemantauan kapal ikan dengan menggunakan model VMS. Keenam aspek tersebut diidentifikasi untuk mendapatkan peluang dan ancaman untuk aspek ekonomi, sosial budaya, biologi dan hukum dan kebijakan eksternal serta identifikasi kekuatan dan kelemahan untuk aspek teknologi VMS, kelembagaan dan aspek hukum dan kebijakan internal Identifikasi Peluang dan Ancaman Aspek Hukum/Kebijakan Eksternal Seperti yang telah dijelaskan pada bagian sebelumnya, beberapa peraturan/kebijakan pemerintah yang berkaitan dengan sistem pemantauan kapal penangkap ikan yang menjadi faktor peluang untuk penerapan sistem VMS, seperti yang disampaikan berikut ini:

20 137 (1) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan. (2) Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 29/MEN/2003 tentang Penyelenggaraan Sistem Pemantauan Kapal Perikanan. (3) Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor: KEP.10/MEN/2003 tentang Perizinan Usaha Penangkapan Ikan. (4) Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah. Beberapa kebijakan di atas merupakan sebuah dukungan yang memberikan peluang dalam merumuskan model penerapan pemantauan kapal penangkap ikan dengan metode VMS Aspek Ekonomi Indonesia merupakan negara yang memiliki wilayah perairan laut sebesar dua per tiga bagian dari wilayah seluruhnya. Pemanfaatan dan pengelolaan sumber daya laut secara optimal akan memberikan tingkat kesejahteraan masyarakat Indonesia. Tinjauan secara ekonomi atas sumber daya laut seperti yang dijelaskan sebagai berikut: (1) Perkembangan Produksi Perikanan Laut Data Departemen Kelautan dan Perikanan yang disampaikan ke Komisi IV DPR (Business News, 26 Februari 2005) disebutkan bahwa ratarata produksi perikanan tangkap tahun 2004 naik 2.79%. Seiring dengan meningkatnya produksi perikanan tersebut, penyediaan ikan untuk konsumsi di dalam negeri pada tahun juga naik 2.78%. Dalam periode yang sama konsumsi per kapita naik 1.5%, kondisi ini mengindikasikan rendahnya konsumsi per kapita, maka pola konsumsi ikan masyarakat Indonesia perlu ditingkatkan. (2) Komoditi Ekspor Perikanan Laut Potensi pasar dunia untuk industri perikanan sangat menjanjikan, seperti yang dituliskan pada Kompas 18 Mei 2005, tentang Mereka yang Berjaya di Industri Perikanan Dunia menyatakan bahwa tidak ada industri pangan di dunia ini yang begitu mengglobal seperti perikanan. Lebih dari 75% hasil tangkapan ikan dunia dewasa ini (sekitar 80 juta ton lebih per tahun) diperdagangkan di pasar internasional. Dengan 38 juta manusia yang

21 138 menggantungkan hidup di sektor itu, sektor perikanan memainkan peran penting dalam upaya pengentasan dari kemiskinan dan kebutuhan protein hewani. Data FAO menunjukan nilai ekspor ikan dunia tahun 2001 mencapai 58,2 milyar dolar AS, angka ini naik 5% dibandingkan tahun Produksi perikanan menyumbang 15-16% dari asupan protein hewani global. Komoditas perikanan merupakan komoditas ekspor yang selalu meningkat, kebutuhan ikan masyarakat internasional sebesar 5% per tahun dan mencapai 140 juta ton pada tahun Namun pemanfaatan potensi perikanan bagi Indonesia masih rendah, ditunjukan pada tahun 2002, dimana potensi lestari sebesar 6,2 juta ton per tahun dan baru termanfaatkan sebesar 64% (Business News, 17 Maret 2005). Ekspor hasil perikanan Indonesia meningkat secara signifikan dari sisi mutu maupun hasilnya, dalam periode volume ekspor perikanan Indonesia naik 7,37%, dan nilainya naik lebih tinggi mencapai 30,33% (Business News, 21 Februari 2005). Tabel 25 Pertumbuhan Produksi Perikanan Tangkap di Dunia Negara Tahun 2000 (ribu ton) Sumber: Kompas, 28 Mei 2005 Tahun 2002 (ribu ton) Rata-rata Pertumbuhan per tahun (%) China , ,3 6,3 India 1.942, ,7 6,2 Indonesia 788,5 915,1 7,7 Jepang 762,8 828,4 4,2 Bila dilihat kapasitas ekspor produksi ikan Indonesia tingkat dunia dapat diperlihatkan pada Tabel 25. Seperti yang diperlihatkan pada tabel tersebut, posisi Indonesia sebagai negara pengekspor ikan masuk ke dalam peringkat ketiga produksi ikan dan memiliki pertumbuhan tertinggi dari empat negara yang memiliki kapasitas produksi ikan tertinggi di dunia. Untuk ekspor pada tahun 2002, Thailand tercatat sebagai eksportir terbesar setelah China dengan nilai sebesar 3,7 milyar dollar AS (Kompas 28 Mei

22 ), sedangkan nilai ekspor Indonesia berada pada peringkat kelima dengan nilai sebesar 2,004 milyar dollar AS dengan volume ekspor sebesar ton pada tahun 2003 (Suara Pembaruan, 5 Januari 2005). (3) Kontribusi Sektor Perikanan dalam PDB Kontribusi sektor perikanan dalam PDB naik 26,04% lebih tinggi dari kenaikan PDB nasional sebesar 12,14 %. Produksi perikanan pada periode juga meningkat dengan rata-rata sebesar 5,21% per tahun, dari 5,107 juta ton pada tahun 2000 menjadi 5,948 juta ton pada tahun Produksi perikanan nasional tersebut masih didominasi oleh usaha penangkapan dengan kontribusi sebesar 79,49% pada tahun (Suara Pembaruan, 5 Januari 2005). (4) Beberapa indikasi lainya yang menyebabkan kerugian negara akibat penangkapan ikan secara ilegal yang menjadikan ancaman bila tidak dilakukannya sistem pengawasan perikanan laut (DKP:2004) adalah : 1) Penangkapan ikan di wilayah ZEEI dan ekspor tidak termonitor (± kapal) dengan jumlah kerugian sekitar US$ 1,2 Milyar; 2) Kapal ilegal yang melanggar daerah penangkapan (± kapal) dengan jumlah kerugian sekitar US$ 573,75 Juta; 3) Kapal eks impor dengan penetapan pengadilan (± 475 kapal) dengan jumlah kerugian sekitar US$ 142,50 Juta; 4) Kapal eks impor dengan ABK asing (± ABK) dengan jumlah kerugian sekitar US$ 7,80 Juta; Total kerugian US$ , dan menurut FAO (2001) ikan yang ditangkap secara ilegal 1,5 juta ton per tahun, sehingga menambah jumlah kerugian menjadi US$ 4 Milyar. Berdasarkan identifikasi di atas, secara ekonomi sumberdaya perikanan Indonesia telah memberikan kontribusi yang cukup besar bagi pendapatan negara sehingga pemanfaatan model VMS sebagai sistem pengawasan pemantauan kapal penangkap ikan diupayakan untuk meningkatkan kontribusi pendapatan negara pada sektor perikanan laut. Namun kondisi tersebut juga masih memprihatinkan karena masih tingginya tingkat pencurian ikan. Sebuah artikel berjudul Fishermen Leery of Federal Fishing Rule Changes (Bauman, 2005)

23 140 menyatakan bahwa negara/pemerintah perlu melakukan evaluasi apakah VMS diperlukan dalam semua aspek perikanan, bila diperlukan maka negara atau pemerintah pusat yang membiayai atas pemakaian VMS. Hal ini menunjukkan bahwa tanggung jawab negara dalam membiyai kegiatan VMS menjadi pertimbangan khusus Aspek Sosial Budaya Sebagai akibat dari krisis ekonomi yang terjadi sejak tahun 1998 yang berlanjut kepada krisis multidimensi dan multikomplek di Indonesia, struktur sosial budaya masyarakat Indonesia mengalami perubahan yang sangat besar. Perubahan-perubahan tersebut dapat dilihat dari sikap kritis masyarakat jika melihat suatu kebijakan pemerintah yang dinilainya bertentangan dengan pandangan atau norma-norma yang ada di masyarakat. Kondisi ini juga terlihat pada penerapan kebijakan pemantauan kapal penangkap ikan dengan model VMS sebagai sistem pengawasan kapal ikan. Beberapa sikap para pengusaha kapal ikan di antara lain adalah (1) Sikap tidak bersedia untuk di awasi; (2) Adanya penolakan pada saat pemasangan alat VMS di kapal; dan (3) Ketidakdisiplinan dalam memakai alat VMS dengan mematikan alat tersebut agar tidak berfungsi. Perilaku pengusaha kapal ikan yang tidak tunduk mematuhi aturan pemerintah dalam pemasangan alat VMS merupakan kendala dan ancaman dalam penerapan kebijakan VMS sebagai sistem pemantauan kapal ikan di Indonesia. Penolakan pengusaha kapal ikan dalam penerapan kebijakan model VMS lebih banyak disebabkan oleh keterbatasan informasi yang mereka dapatkan atas manfaat yang dirasakan dari teknologi ini. Seperti yang dituliskan oleh Kompas 15 Juli 2004, ditinjau dari aspek sosial model VMS akan memberikan manfaat sebagai berikut (1) nelayan tradisional akan mendapatkan jaminan usaha yang pasti; (2) terkikisnya potensi konflik sosial, khususnya antara perusahaan perikanan besar dengan menengah; dan (3) adanya peningkatan kesejahteraan yang disebabkan adanya peningkatan produksi. Dengan demikian, jika ditinjau dari tiga manfaat tersebut penerapan VMS merupakan peluang yang secara sosial

24 141 ekonomi dapat memberikan kesejahteraan bagi masyarakat nelayan. Manfaat lain yang juga merupakan daya tarik dari program VMS adalah tersedianya fasilitas layanan website VMS secara gratis, melalui sistem website VMS ini memungkinkan perusahaan perikanan untuk memantau kapal perikanan yang mereka miliki tanpa memandang letak geografisnya, dan diharapkan melalui penyediaan fasilitas pelayanan ini dapat merupakan insentif atau rangsangan bagi pengusaha perikanan untuk tertarik mengikuti program VMS Aspek Biologi Tinjauan terhadap aspek biologi adalah berkaitan dengan sumber daya ikan, seperti yang dituliskan oleh Kompas 15 Juli 2004 yang mengupas Menekan Kerugian Negara, potensi sumber daya ikan diperkirakan mencapai 6,2 juta ton per tahun dengan tingkat pemanfaatan 3,7 juta ton per tahun. Sumber daya perikanan ini umumnya bersifat common property artinya kepemilikannya bersifat umum serta open access, yang berarti pula akses terhadapnya bersifat terbuka. Sumber daya perikanan juga bersifat renewable (mampu pulih), namun keberadaannya bukan tidak terbatas. Hal tersebut menjadi latar belakang perlunya sumberdaya perikanan dikelola dengan baik guna mencegah upaya penangkapan yang melewati ambang kemampuan regenerasinya (over fishing). Berkaitan dengan kegiatan over fishing, seperti yang diberitakan oleh Kompas, 19 November 2003, dituliskan bahwa Indonesia mengalami kerugian sebesar 1-4 milyar dollar AS per tahun akibat kegiatan pencurian ikan, namun kerugian terbesar adalah kerugian atas hilangnya sumber daya ikan itu sendiri. Kondisi ini memperlihatkan, betapa Indonesia belum mampu dalam mengawasi sumber daya ikan akibat pencurian dan penangkapan yang tidak terkendali. Menurut ketentuan Code of Conduct for Responsible Fisheries (FAO, 1995) menetapkan bahwa negara bertanggung jawab menyusun serta mengimplementasikan sistem MCS terhadap pengelolaan penangkapan ikan. Konvensi hukum laut PBB 1982 (United Nations Convention Law of the Sea) menyebutkan pula bahwa pengelolaan sumber daya ikan mempunyai tiga tujuan utama. Pertama, pemanfaatan sumber daya ikan secara rasional. Kedua, pelestarian sumber daya ikan. Ketiga, keserasian usaha pemanfaatan. Bertitik

25 142 tolak dari kenyataan tersebut, dapat ditarik suatu benang merah, bahwa setiap negara mempunyai kewajiban melakukan pengelolaan sumber daya ikan secara lestari dan bertanggung jawab. Dalam konteks inilah VMS sebagai bagian dari MCS (Monitoring, Control, and Surveillance) menjadi sangat penting dan relevan. Ketentuan FAO tersebut akan menjadi sebuah ancaman yang cukup serius bagi Indonesia yang menuntut Indonesia melakukan pengawasan terhadap pemanfaatan sumberdaya ikan melalui pengembangan sistem pengawasan Identifikasi Kekuatan dan Kelemahan Peraturan Hukum dan Kebijakan Internal Keberadaan peraturan pendukung secara internal seperti Kepmen Nomor 29, belum seutuhnya mampu mendorong pelaksanaan VMS di Indonesia. Sehingga DKP membutuhkan peraturan yang lebih rinci untuk dapat menetapkan VMS secara efektif, termasuk kebijakan-kebijakan di bidang financial yang menyangkut pembiayaan transmitter dan air time. Indikasi masih lemahnya kebijakan pemerintah yang belum sepenuhnya mengatur operasional implementasi VMS adalah masih bermasalahnya operasional pemasangan perangkat transmitter sehingga berakibat tidak tercapainya target pemasangan perangkat tersebut Kelembagaan Lembaga pengelola VMS yang ada saat ini berada di bawah Dirjen PSDKP yang dioperasionalkan oleh PMO VMS di bawah Direktur Sarana dan Prasarana PSDKP. Sumber daya manusia yang ada di lembaga PMO VMS adalah pejabat atau personil yang masih bertugas menjalankan tanggung jawab fungsional di direktorat masing-masing. Kondisi ini mengakibatkan terjadinya tumpang tindih antara tugas fungsional dengan tugas pengembangan penerapan VMS. Pimpinan PMO yang masih merangkap pada jabatan Eselon III seringkali mengalami kesulitan dalam berkordinasi dengan pejabat Eselon II pada internal DKP maupun pada instansi lain. Akibatnya koordinasi dalam pengambilan keputusan sulit dilakukan karena kurang terlibatnya para pejabat yang memiliki

26 143 kewenangan dalam pengambilan keputusan. Untuk itu diperlukan lembaga integrator sebagai pengelola sistem VMS yang berada di bawah menteri dan mampu mengkoordinasikan semua lembaga internal (PSDKP, BRKP dan DJPT) mapun eksternal (TNI AL, POLAIRUT, dan Kejaksaan) yang terkait dengan sistem VMS. Identifikasi lainnya seperti yang diungkapkan di Kompas 13 Juli 2004, Bisnis Industri Perikanan Masih Terapung-apung dituliskan bahwa secara lembaga TNI AL masih memiliki keterbatasan anggaran, peralatan dan personel. Kebutuhan standar dalam mengamankan laut yuridis nasional tidak kurang dari 239 KRI dan 114 pesawat udara patroli maritim, sedangkan kebutuhan minimal adalah 160 KRI dan 64 pesawat udara, namun kemampuan yang ada saat ini hanya 114 KRI dan 53 pesawat yang masih terbatas. Selain itu data yang diperoleh melalui DKP (2004) posisi kapal pengawas yang ada saat ini seperti yang tercantum pada Tabel 26. Daftar penempatan kapal pengawas lengkap dengan informasi pangkalan dan daerah operasi disajikan pada Lampiran 5. Tabel 26 Kemampuan Armada Pengawas No Kapal Pengawas Jumlah Penempatan 1 Baracuda 01 1 Ketapang (Kalbar) 2 Baracuda 02 1 Tanjung Pandan (Babel) 3 Hiu PPS Bungus (Sumbar) 4 Hiu Bitung (Sulut) 5 Hiu PPS Jakarta 6 Hiu Larantuka (NTT) 7 Hiu Merauke (Papua) 8 Hiu 006, 007, 008* 3 Sorong, Belawan, Tarakan 9 Todak 01, 02* 2 Kendari, Gorontalo 10 Marlin 01-06* (Speedboat) 6 Bali, Mataram, Cilacap, Kotabaru, Makasar * Pengadaan tahun 2003 (belum beroperasi) Sumber: Ditjen PSDKP, 2003

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN Perubahan arah kebijakan pembangunan dari yang berbasis pada sumber daya terestrial ke arah sumber daya berbasis kelautan merupakan tuntutan yang tidak dapat dielakkan. Hal ini dipicu

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Selama ini, kegiatan pengawasan kapal perikanan dilakukan di darat dan di laut. Pengawasan langsung di laut terhadap kapal-kapal yang melakukan kegiatan penangkapan ikan

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pendayagunaan sumber daya kelautan menjanjikan potensi pembangunan ekonomi yang luar biasa. Hal ini dapat dilihat dari potensi yang terkandung dalam eksistensi Indonesia

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR PER. 05/MEN/2007 TENTANG PENYELENGGARAAN SISTEM PEMANTAUAN KAPAL PERIKANAN

PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR PER. 05/MEN/2007 TENTANG PENYELENGGARAAN SISTEM PEMANTAUAN KAPAL PERIKANAN PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR PER. 05/MEN/2007 TENTANG PENYELENGGARAAN SISTEM PEMANTAUAN KAPAL PERIKANAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUNLIK INDONESIA NOMOR PER.03/MEN/2007 TENTANG SURAT LAIK OPERASI KAPAL PERIKANAN

PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUNLIK INDONESIA NOMOR PER.03/MEN/2007 TENTANG SURAT LAIK OPERASI KAPAL PERIKANAN PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUNLIK INDONESIA NOMOR PER.03/MEN/2007 TENTANG SURAT LAIK OPERASI KAPAL PERIKANAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa sebagai

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26/PERMEN-KP/2013 TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN NOMOR PER.30/MEN/2012 TENTANG USAHA PERIKANAN TANGKAP

Lebih terperinci

BAB IV. A. Pengaturan Penggunaan Sistem Pemantauan Kapal Perikanan. VMS/(Vessel Monitoring System) dihubungkan dengan Undang-

BAB IV. A. Pengaturan Penggunaan Sistem Pemantauan Kapal Perikanan. VMS/(Vessel Monitoring System) dihubungkan dengan Undang- BAB IV Mengenai Kewenangan Mengadili Atas Kasus Illegal Fishing Berdasarkan Track Record Data VMS (Vessel Monitoring System) Dihubungkan dengan Undang-Undang 45 Tahun 2009 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR PER.03/MEN/2009 TENTANG PENANGKAPAN IKAN DAN/ATAU PENGANGKUTAN IKAN DI LAUT LEPAS

PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR PER.03/MEN/2009 TENTANG PENANGKAPAN IKAN DAN/ATAU PENGANGKUTAN IKAN DI LAUT LEPAS PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR PER.03/MEN/2009 TENTANG PENANGKAPAN IKAN DAN/ATAU PENGANGKUTAN IKAN DI LAUT LEPAS MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang:

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Salah satu tujuan pembangunan perikanan tangkap adalah meningkatkan kesejahteraan masyarakat, khususnya nelayan, dan sekaligus menjaga kelestarian sumberdaya ikan serta

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 57/PERMEN-KP/2014 TENTANG PERUBAHAN KEDUA ATAS PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN NOMOR PER.30/MEN/2012 TENTANG USAHA PERIKANAN TANGKAP

Lebih terperinci

BAB V PENUTUP. 1. Mengenai Perkembangan Penegakan Hukum Terhadap Kapal. Fishing (IUUF) di Wilayah Pengelolaan Perikanan Indonesia.

BAB V PENUTUP. 1. Mengenai Perkembangan Penegakan Hukum Terhadap Kapal. Fishing (IUUF) di Wilayah Pengelolaan Perikanan Indonesia. 161 BAB V PENUTUP A. Kesimpulan Menjawab rumusan masalah dalam Penulisan Hukum ini, Penulis memiliki kesimpulan sebagi berikut : 1. Mengenai Perkembangan Penegakan Hukum Terhadap Kapal Asing yang Melakukan

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR PER.16/MEN/2010 TENTANG PEMBERIAN KEWENANGAN PENERBITAN SURAT IZIN PENANGKAPAN IKAN (SIPI) DAN SURAT IZIN KAPAL PENGANGKUT IKAN (SIKPI)

Lebih terperinci

PROVINSI SUMATERA UTARA

PROVINSI SUMATERA UTARA 2 PROVINSI SUMATERA UTARA VISI Menjadi Provinsi yang Berdaya Saing Menuju Sumatera Utara Sejahtera MISI 1. Membangun sumberdaya manusia yang memiliki integritas dalam berbangsa dan bernegara, religius

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Laut Arafura merupakan salah satu bagian dari perairan laut Indonesia yang terletak di wilayah timur Indonesia yang merupakan bagian dari paparan sahul yang dibatasi oleh

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA, NOMOR PER. 07/MEN/2010 TENTANG SURAT LAIK OPERASI KAPAL PERIKANAN

PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA, NOMOR PER. 07/MEN/2010 TENTANG SURAT LAIK OPERASI KAPAL PERIKANAN PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR PER. 07/MEN/2010 TENTANG SURAT LAIK OPERASI KAPAL PERIKANAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa dalam

Lebih terperinci

BAB III PRASARANA DAN SARANA Pasal 7

BAB III PRASARANA DAN SARANA Pasal 7 PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 10/PERMEN-KP/2013 TENTANG SISTEM PEMANTAUAN KAPAL PERIKANAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA,

Lebih terperinci

GUBERNUR NUSA TENGGARA TIMUR, PERATURAN DAERAH PROVINSI NUSA TENGGARA TIMUR NOMOR 3 TAHUN 2011 TENTANG PENGENDALIAN USAHA PERIKANAN

GUBERNUR NUSA TENGGARA TIMUR, PERATURAN DAERAH PROVINSI NUSA TENGGARA TIMUR NOMOR 3 TAHUN 2011 TENTANG PENGENDALIAN USAHA PERIKANAN GUBERNUR NUSA TENGGARA TIMUR PERATURAN DAERAH PROVINSI NUSA TENGGARA TIMUR NOMOR 3 TAHUN 2011 TENTANG PENGENDALIAN USAHA PERIKANAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR NUSA TENGGARA TIMUR, Menimbang

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR PER.05/MEN/2008 TENTANG USAHA PERIKANAN TANGKAP

PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR PER.05/MEN/2008 TENTANG USAHA PERIKANAN TANGKAP 3333 PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR PER.05/MEN/2008 TENTANG USAHA PERIKANAN TANGKAP Menimbang: MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA, a. bahwa sumber daya

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia memiliki potensi kelautan dan perikanan yang sangat besar. Secara fisik potensi tersebut berupa perairan nasional seluas 3,1 juta km 2, ZEEI (Zona Ekonomi Eksklusif

Lebih terperinci

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.307, 2013 BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA KEMENTERIAN KELAUTAN DAN PERIKANAN. Kapal Penangkap. Pengangkut. Ikan. Pemantau. PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1/PERMEN-KP/2013

Lebih terperinci

KEPUTUSAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN NOMOR: KEP. 30/MEN/2004 TENTANG PEMASANGAN DAN PEMANFAATAN RUMPON

KEPUTUSAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN NOMOR: KEP. 30/MEN/2004 TENTANG PEMASANGAN DAN PEMANFAATAN RUMPON KEPUTUSAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN NOMOR: KEP. 30/MEN/2004 TENTANG PEMASANGAN DAN PEMANFAATAN RUMPON MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN, Menimbang : a. bahwa dengan semakin meningkat dan berkembangnya

Lebih terperinci

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.668,2012 BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR PER.12/MEN/2012 TENTANG USAHA PERIKANAN TANGKAP DI LAUT LEPAS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR PER.12/MEN/2012 TENTANG USAHA PERIKANAN TANGKAP DI LAUT LEPAS

PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR PER.12/MEN/2012 TENTANG USAHA PERIKANAN TANGKAP DI LAUT LEPAS PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR PER.12/MEN/2012 TENTANG USAHA PERIKANAN TANGKAP DI LAUT LEPAS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 32/PERMEN-KP/2016 TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN NOMOR 15/PERMEN-KP/2016 TENTANG KAPAL PENGANGKUT IKAN

Lebih terperinci

RETREAT ISU STRATEGIS DAN KEGIATAN PRIORITAS PENGAWASAN. Kepala Subbagian Perencanaan dan Penganggaran Ditjen PSDKP

RETREAT ISU STRATEGIS DAN KEGIATAN PRIORITAS PENGAWASAN. Kepala Subbagian Perencanaan dan Penganggaran Ditjen PSDKP RETREAT ISU STRATEGIS DAN KEGIATAN PRIORITAS PENGAWASAN PENGELOLAAN DITJEN PSDKP SDKP TAHUN TA. 2018 2017 Kepala Subbagian Perencanaan dan Penganggaran Ditjen PSDKP OUTLINE 1. 2. 3. 4. ISU STRATEGIS IUU

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR PER.12/MEN/2009 TENTANG

PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR PER.12/MEN/2009 TENTANG PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR PER.12/MEN/2009 TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN NOMOR PER.05/MEN/2008 TENTANG USAHA PERIKANAN TANGKAP DENGAN

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR PER.29/MEN/2012 TENTANG

PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR PER.29/MEN/2012 TENTANG PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR PER.29/MEN/2012 TENTANG PEDOMAN PENYUSUNAN RENCANA PENGELOLAAN PERIKANAN DI BIDANG PENANGKAPAN IKAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI

Lebih terperinci

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.81, 2013 BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA KEMENTERIAN KELAUTAN DAN PERIKANAN. Usaha Perikanan Tangkap. Wilayah Pengelolaan Perikanan. PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia adalah negara kepulauan terbesar di dunia. Berdasarkan data PBB pada tahun 2008, Indonesia memiliki 17.508 pulau dengan garis pantai sepanjang 95.181 km, serta

Lebih terperinci

4. Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 118, Tambahan Lembaran Negara Republik

4. Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 118, Tambahan Lembaran Negara Republik PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR PER.30/MEN/2012 TENTANG USAHA PERIKANAN TANGKAP DI WILAYAH PENGELOLAAN PERIKANAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA Menimbang Mengingat DENGAN RAHMAT

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Dunia perikanan tangkap kini dihadang dengan isu praktik penangkapan ikan yang ilegal, tidak dilaporkan, dan tidak diatur atau yang disebut IUU (Illegal, Unreported, and

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia memiliki wilayah perairan yang luas, yaitu sekitar 3,1 juta km 2 wilayah perairan territorial dan 2,7 juta km 2 wilayah perairan zona ekonomi eksklusif (ZEE)

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang 3 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan negara maritim yang kaya akan sumber daya hayati maupun non hayati. Letak Indonesia diapit oleh Samudera Pasifik dan Samudera Hindia yang merupakan

Lebih terperinci

POLICY BRIEF ANALISIS DAN EVALUASI HUKUM DALAM RANGKA PEMBERANTASAN KEGIATAN PERIKANAN LIAR (IUU FISHING)

POLICY BRIEF ANALISIS DAN EVALUASI HUKUM DALAM RANGKA PEMBERANTASAN KEGIATAN PERIKANAN LIAR (IUU FISHING) POLICY BRIEF ANALISIS DAN EVALUASI HUKUM DALAM RANGKA PEMBERANTASAN KEGIATAN PERIKANAN LIAR (IUU FISHING) A. Pendahuluan Wilayah perairan Indonesia yang mencapai 72,5% menjadi tantangan besar bagi TNI

Lebih terperinci

5. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 125, Tambahan Lembaran Negara

5. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 125, Tambahan Lembaran Negara PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR PER.49/MEN/2011 TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN NOMOR PER.14/MEN/2011 TENTANG USAHA PERIKANAN TANGKAP Menimbang

Lebih terperinci

Penetapan kebijakan norma, standar, prosedur, dan kriteria penataan ruang laut sesuai dengan peta potensi laut.

Penetapan kebijakan norma, standar, prosedur, dan kriteria penataan ruang laut sesuai dengan peta potensi laut. - 602 - CC. PEMBAGIAN URUSAN PEMERINTAHAN BIDANG KELAUTAN DAN PERIKANAN 1. Kelautan 1. Penetapan kebijakan norma, standar, prosedur, dan kriteria pengelolaan sumberdaya kelautan dan ikan di wilayah laut

Lebih terperinci

2017, No Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 118, Tambahan

2017, No Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 118, Tambahan No. 152, 2017 BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA KEMEN-KP. SLO. Pencabutan. PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1/PERMEN-KP/2017 TENTANG SURAT LAIK OPERASI KAPAL PERIKANAN DENGAN

Lebih terperinci

KEPUTUSAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN NOMOR : KEP.60/MEN/2001 TENTANG PENATAAN PENGGUNAAN KAPAL PERIKANAN DI ZONA EKONOMI EKSKLUSIF INDONESIA

KEPUTUSAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN NOMOR : KEP.60/MEN/2001 TENTANG PENATAAN PENGGUNAAN KAPAL PERIKANAN DI ZONA EKONOMI EKSKLUSIF INDONESIA KEPUTUSAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN NOMOR : KEP.60/MEN/2001 TENTANG PENATAAN PENGGUNAAN KAPAL PERIKANAN DI ZONA EKONOMI EKSKLUSIF INDONESIA MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN, Menimbang : a. bahwa dengan

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang 1 PENDAHULUAN 20 1.1 Latar Belakang Pembangunan kelautan dan perikanan saat ini menjadi salah satu prioritas pembangunan nasional yang diharapkan menjadi sumber pertumbuhan ekonomi Indonesia. Dengan mempertimbangkan

Lebih terperinci

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.1072, 2013 BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA KEMENTERIAN KELAUTAN PERIKANAN. Kapal Perikanan. Pendaftaran. Pencabutan. PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23/PERMEN-KP/2013

Lebih terperinci

2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Konsep Pelaksanaan Strategi

2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Konsep Pelaksanaan Strategi 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Konsep Pelaksanaan Strategi Strategi adalah istilah yang sering kita dengar untuk berbagai konteks pembicaraan, yang sering diartikan sebagai cara untuk mencapai keinginan tertentu

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN buah pulau dengan luas laut sekitar 5,8 juta km 2 dan bentangan garis

I. PENDAHULUAN buah pulau dengan luas laut sekitar 5,8 juta km 2 dan bentangan garis I. PENDAHULUAN Latar Belakang Indonesia sebagai negara bahari dan kepulauan terbesar di dunia, memiliki 17.508 buah pulau dengan luas laut sekitar 5,8 juta km 2 dan bentangan garis pantai sepanjang 81.000

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN NOMOR : PER.17/MEN/2006 TENTANG USAHA PERIKANAN TANGKAP MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN,

PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN NOMOR : PER.17/MEN/2006 TENTANG USAHA PERIKANAN TANGKAP MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN, PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN NOMOR : PER.17/MEN/2006 TENTANG USAHA PERIKANAN TANGKAP MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN, Menimbang : a. bahwa pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya ikan diarahkan

Lebih terperinci

BAB I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sektor perikanan Indonesia dalam era perdagangan bebas mempunyai peluang yang cukup besar. Indonesia merupakan negara bahari yang sangat kaya dengan potensi perikananan

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 54 TAHUN 2002 TENTANG USAHA PERIKANAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 54 TAHUN 2002 TENTANG USAHA PERIKANAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 54 TAHUN 2002 TENTANG USAHA PERIKANAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa sumber daya ikan sebagai bagian kekayaan bangsa Indonesia perlu dimanfaatkan

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 54 TAHUN 2002 TENTANG USAHA PERIKANAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 54 TAHUN 2002 TENTANG USAHA PERIKANAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 54 TAHUN 2002 TENTANG USAHA PERIKANAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa sumber daya ikan sebagai bagian kekayaan bangsa Indonesia perlu dimanfaatkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Indonesia sebagai sebuah negara kepulauan yang sebagian besar

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Indonesia sebagai sebuah negara kepulauan yang sebagian besar BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia sebagai sebuah negara kepulauan yang sebagian besar wilayahnya terdiri dari laut, memiliki potensi perikanan yang sangat besar dan beragam. Potensi perikanan

Lebih terperinci

BUPATI PACITAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN PACITAN NOMOR 11 TAHUN 2013 TENTANG

BUPATI PACITAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN PACITAN NOMOR 11 TAHUN 2013 TENTANG BUPATI PACITAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN PACITAN NOMOR 11 TAHUN 2013 TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN DAERAH KABUPATEN PACITAN NOMOR 15 TAHUN 2011 TENTANG PENGELOLAAN SUMBER DAYA KELAUTAN DAN PERIKANAN

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR PER.10/MEN/2010 TENTANG TATA CARA DAN PERSYARATAN PERIZINAN PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN PERIKANAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26/PERMEN-KP/2014 TENTANG RUMPON DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26/PERMEN-KP/2014 TENTANG RUMPON DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26/PERMEN-KP/2014 TENTANG RUMPON DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH PROVINSI RIAU NOMOR 5 TAHUN 2017 TENTANG IZIN USAHA PERIKANAN TANGKAP DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR RIAU,

PERATURAN DAERAH PROVINSI RIAU NOMOR 5 TAHUN 2017 TENTANG IZIN USAHA PERIKANAN TANGKAP DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR RIAU, PERATURAN DAERAH PROVINSI RIAU NOMOR 5 TAHUN 2017 TENTANG IZIN USAHA PERIKANAN TANGKAP DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR RIAU, Menimbang: a. bahwa sumber daya ikan di Wilayah Pengelolaan Perikanan

Lebih terperinci

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 141 TAHUN 2000 TENTANG PERUBAHAN KEDUA ATAS PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 15 TAHUN 1990 TENTANG USAHA PERIKANAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR /PERMEN-KP/2016 TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 45/PERMEN-KP/2014 TENTANG SURAT

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR PER.14/MEN/2011 TENTANG USAHA PERIKANAN TANGKAP DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR PER.14/MEN/2011 TENTANG USAHA PERIKANAN TANGKAP DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR PER.14/MEN/2011 TENTANG USAHA PERIKANAN TANGKAP DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang

Lebih terperinci

PEMERINTAH KABUPATEN KEPULAUAN SELAYAR PERATURAN DAERAH KABUPATEN KEPULAUAN SELAYAR NOMOR 6 TAHUN 2009 TENTANG PERIZINAN USAHA PERIKANAN

PEMERINTAH KABUPATEN KEPULAUAN SELAYAR PERATURAN DAERAH KABUPATEN KEPULAUAN SELAYAR NOMOR 6 TAHUN 2009 TENTANG PERIZINAN USAHA PERIKANAN PEMERINTAH KABUPATEN KEPULAUAN SELAYAR PERATURAN DAERAH KABUPATEN KEPULAUAN SELAYAR NOMOR 6 TAHUN 2009 TENTANG PERIZINAN USAHA PERIKANAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI KEPULAUAN SELAYAR, Menimbang

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 43 TAHUN 2008 TENTANG WILAYAH NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 43 TAHUN 2008 TENTANG WILAYAH NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 43 TAHUN 2008 TENTANG WILAYAH NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagai

Lebih terperinci

3 METODOLOGI 3.1 Lokasi dan waktu Penelitian 3.2 Jenis dan Sumber Data

3 METODOLOGI 3.1 Lokasi dan waktu Penelitian 3.2 Jenis dan Sumber Data 3 METODOLOGI 3. Lokasi dan waktu Penelitian Penelitian dilaksanakan di Kota Medan (Belawan) dan Kota Sibolga Provinsi Sumatera Utara. Obyek utama penelitian adalah kapal ikan berukuran 25-30 GT yang perijinannya

Lebih terperinci

11 KEBIJAKAN PENGEMBANGAN PERIKANAN PELAGIS KEBERLANJUTAN KOTA TERNATE

11 KEBIJAKAN PENGEMBANGAN PERIKANAN PELAGIS KEBERLANJUTAN KOTA TERNATE 257 11 KEBIJAKAN PENGEMBANGAN PERIKANAN PELAGIS KEBERLANJUTAN KOTA TERNATE 11.1 Pendahuluan Perikanan tangkap merupakan salah satu aktivitas ekonomi yang sangat kompleks, sehingga tantangan untuk memelihara

Lebih terperinci

2 Tahun 2004 Nomor 118, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4433) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 45 Tahun 2009 (Lem

2 Tahun 2004 Nomor 118, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4433) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 45 Tahun 2009 (Lem No.1619, 2014 BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA KEMEN KP. Pembudidayaan. Ikan. Pembinaan. Perizinan. Pencabutan. PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 49/PERMEN-KP/2014 TENTANG

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 42/PERMEN-KP/2015 TENTANG SISTEM PEMANTAUAN KAPAL PERIKANAN

PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 42/PERMEN-KP/2015 TENTANG SISTEM PEMANTAUAN KAPAL PERIKANAN PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 42/PERMEN-KP/2015 TENTANG SISTEM PEMANTAUAN KAPAL PERIKANAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA,

Lebih terperinci

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.118, 2012 BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA KEMENTERIAN PERHUBUNGAN. Penyelenggaraan. Pengusahaan. Angkutan Multimoda. PERATURAN MENTERI PERHUBUNGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR PM. 8 TAHUN 2012 TENTANG

Lebih terperinci

PUSANEV_BPHN. Prof. Dr. Suhaidi,SH,MH

PUSANEV_BPHN. Prof. Dr. Suhaidi,SH,MH Prof. Dr. Suhaidi,SH,MH Disampaikan pada Diskusi Publik Analisis dan Evaluasi Hukum Dalam Rangka Penguatan Sistem Pertahanan Negara Medan, 12 Mei 2016 PASAL 1 BUTIR 2 UU NO 3 TAHUN 2002 TENTANG PERTAHANAN

Lebih terperinci

PERATURAN KESYAHBANDARAN DI PELABUHAN PERIKANAN

PERATURAN KESYAHBANDARAN DI PELABUHAN PERIKANAN KEMENTERIAN KELAUTAN DAN PERIKANAN DIREKTORAT JENDERAL PERIKANAN TANGKAP DIREKTORAT PELABUHAN PERIKANAN PERATURAN KESYAHBANDARAN DI PELABUHAN PERIKANAN SYAHBANDAR DI PELABUHAN PERIKANAN Memiliki kompetensi

Lebih terperinci

2 Indonesia Tahun 1996 Nomor 73, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3647); 3. Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan (Lemb

2 Indonesia Tahun 1996 Nomor 73, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3647); 3. Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan (Lemb No.1618, 2014 BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA KEMEN KKP. Penangkapan. Ikan. Log Book. Pencabutan. PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 48/PERMEN-KP/2014 TENTANG LOG BOOK PENANGKAPAN

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR PER.06/MEN/2008 TENTANG

PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR PER.06/MEN/2008 TENTANG PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR PER.06/MEN/2008 TENTANG PENGGUNAAN ALAT PENANGKAPAN IKAN PUKAT HELA DI PERAIRAN KALIMANTAN TIMUR BAGIAN UTARA MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN

Lebih terperinci

PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PENGAWASAN SUMBER DAYA KELAUTAN DAN PERIKANAN TENTANG PETUNJUK TEKNIS VERIFIKASI PENDARATAN IKAN

PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PENGAWASAN SUMBER DAYA KELAUTAN DAN PERIKANAN TENTANG PETUNJUK TEKNIS VERIFIKASI PENDARATAN IKAN KEMENTERIAN KELAUTAN DAN PERIKANAN DIREKTORATJENDERAL PENGAWASAN SUMBER DAYA KELAUTAN DAN PERIKANAN Jl. Medan Merdeka Timur No.16 Lt.15 Gd.Mina Bahari II, Jakarta Pusat 10110 Telp (021) 3519070 ext 1524/1526,

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 49/PERMEN-KP/2014 TENTANG USAHA PEMBUDIDAYAAN IKAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 49/PERMEN-KP/2014 TENTANG USAHA PEMBUDIDAYAAN IKAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 49/PERMEN-KP/2014 TENTANG USAHA PEMBUDIDAYAAN IKAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA,

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 43 TAHUN 2008 TENTANG WILAYAH NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 43 TAHUN 2008 TENTANG WILAYAH NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 43 TAHUN 2008 TENTANG WILAYAH NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagai

Lebih terperinci

BAB III TINDAK PIDANA PENCURIAN IKAN (ILLEGAL FISHING) SEBAGAI TINDAK PIDANA INTERNASIONAL DI PERAIRAN ZONA EKONOMI EKSKLUSIF INDONESIA

BAB III TINDAK PIDANA PENCURIAN IKAN (ILLEGAL FISHING) SEBAGAI TINDAK PIDANA INTERNASIONAL DI PERAIRAN ZONA EKONOMI EKSKLUSIF INDONESIA BAB III TINDAK PIDANA PENCURIAN IKAN (ILLEGAL FISHING) SEBAGAI TINDAK PIDANA INTERNASIONAL DI PERAIRAN ZONA EKONOMI EKSKLUSIF INDONESIA A. Kasus Pencurian Ikan Di Perairan Wilayah Zona Ekonomi Eksklusif

Lebih terperinci

PENEGAKAN HUKUM TERHADAP TINDAK PIDANA DI BIDANG PERIKANAN

PENEGAKAN HUKUM TERHADAP TINDAK PIDANA DI BIDANG PERIKANAN LAPORAN PENELITIAN KELOMPOK PENEGAKAN HUKUM TERHADAP TINDAK PIDANA DI BIDANG PERIKANAN O L E H Puteri Hikmawati, SH., MH. Novianti, SH., MH. Dian Cahyaningrum, SH., MH. Prianter Jaya Hairi, S.H., L.LM.

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KABUPATEN KEPULAUAN SELAYAR NOMOR 6 TAHUN 2009 TENTANG PERIZINAN USAHA PERIKANAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN DAERAH KABUPATEN KEPULAUAN SELAYAR NOMOR 6 TAHUN 2009 TENTANG PERIZINAN USAHA PERIKANAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN DAERAH KABUPATEN KEPULAUAN SELAYAR NOMOR 6 TAHUN 2009 TENTANG PERIZINAN USAHA PERIKANAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI KEPULAUAN SELAYAR, Menimbang : a. bahwa Kabupaten Kepulauan Selayar

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 43 TAHUN 2008 TENTANG WILAYAH NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 43 TAHUN 2008 TENTANG WILAYAH NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 43 TAHUN 2008 TENTANG WILAYAH NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagai

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH PROVINSI NUSA TENGGARA TIMUR NOMOR 8 TAHUN 2009 TENTANG RETRIBUSI IZIN USAHA PERIKANAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN DAERAH PROVINSI NUSA TENGGARA TIMUR NOMOR 8 TAHUN 2009 TENTANG RETRIBUSI IZIN USAHA PERIKANAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN DAERAH PROVINSI NUSA TENGGARA TIMUR NOMOR 8 TAHUN 2009 TENTANG RETRIBUSI IZIN USAHA PERIKANAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR NUSA TENGGARA TIMUR, Menimbang : a. bahwa untuk menjaga

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara kepulauan yang sangat luas terdiri dari

I. PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara kepulauan yang sangat luas terdiri dari I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia merupakan negara kepulauan yang sangat luas terdiri dari beberapa pulau besar antara lain Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, Jawa, Nusa Tenggara, Maluku dan Papua.

Lebih terperinci

KERJA SAMA KEAMANAN MARITIM INDONESIA-AUSTRALIA: TANTANGAN DAN UPAYA PENGUATANNYA DALAM MENGHADAPI KEJAHATAN LINTAS NEGARA DI PERAIRAN PERBATASAN

KERJA SAMA KEAMANAN MARITIM INDONESIA-AUSTRALIA: TANTANGAN DAN UPAYA PENGUATANNYA DALAM MENGHADAPI KEJAHATAN LINTAS NEGARA DI PERAIRAN PERBATASAN LAPORAN PENELITIAN KERJA SAMA KEAMANAN MARITIM INDONESIA-AUSTRALIA: TANTANGAN DAN UPAYA PENGUATANNYA DALAM MENGHADAPI KEJAHATAN LINTAS NEGARA DI PERAIRAN PERBATASAN Oleh: Drs. Simela Victor Muhamad, MSi.

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 45 TAHUN 2009 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 31 TAHUN 2004 TENTANG PERIKANAN

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 45 TAHUN 2009 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 31 TAHUN 2004 TENTANG PERIKANAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 45 TAHUN 2009 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 31 TAHUN 2004 TENTANG PERIKANAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang

Lebih terperinci

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA Teks tidak dalam format asli. Kembali: tekan backspace LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No. 73, 1996 WILAYAH. KEPULAUAN. PERAIRAN. Wawasan Nusantara (Penjelasan dalam Tambahan Lembaran Negara Republik

Lebih terperinci

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA Teks tidak dalam format asli. Kembali: tekan backspace LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No. 256, 2000 Perekonomian.Kelautan.Usaha.Izin.Nelayan.Perikanan. (Penjelasan dalam Tambahan Lembaran Negara Republik

Lebih terperinci

IUU FISHING DI WILAYAH PERBATASAN INDONESIA. Oleh Prof. Dr. Hasjim Djalal. 1. Wilayah perbatasan dan/atau kawasan perbatasan atau daerah perbatasan

IUU FISHING DI WILAYAH PERBATASAN INDONESIA. Oleh Prof. Dr. Hasjim Djalal. 1. Wilayah perbatasan dan/atau kawasan perbatasan atau daerah perbatasan IUU FISHING DI WILAYAH PERBATASAN INDONESIA Oleh Prof. Dr. Hasjim Djalal 1. Wilayah perbatasan dan/atau kawasan perbatasan atau daerah perbatasan Wilayah perbatasan: a. Internal waters/perairan pedalaman.

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 45 TAHUN 2009 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 31 TAHUN 2004 TENTANG PERIKANAN

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 45 TAHUN 2009 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 31 TAHUN 2004 TENTANG PERIKANAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 45 TAHUN 2009 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 31 TAHUN 2004 TENTANG PERIKANAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang:

Lebih terperinci

PERLINDUNGAN DAN PELESTARIAN SUMBER-SUMBER IKAN DI ZONA EKONOMI EKSKLUSIF ANTAR NEGARA ASEAN

PERLINDUNGAN DAN PELESTARIAN SUMBER-SUMBER IKAN DI ZONA EKONOMI EKSKLUSIF ANTAR NEGARA ASEAN PERLINDUNGAN DAN PELESTARIAN SUMBER-SUMBER IKAN DI ZONA EKONOMI EKSKLUSIF ANTAR NEGARA ASEAN (The Protection and the Conservation of Fishery Resources in the Economic Exclusive Zone Among the Asean States)

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pukat merupakan semacam jaring yang besar dan panjang untuk. menangkap ikan yang dioperasikan secara vertikal dengan menggunakan

BAB I PENDAHULUAN. Pukat merupakan semacam jaring yang besar dan panjang untuk. menangkap ikan yang dioperasikan secara vertikal dengan menggunakan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pukat merupakan semacam jaring yang besar dan panjang untuk menangkap ikan yang dioperasikan secara vertikal dengan menggunakan pelampung di sisi atasnya dan pemberat

Lebih terperinci

SURAT PENGESAHAN DAFTAR ISIAN PELAKSANAAN ANGGARAN (SP-DIPA) INDUK TAHUN ANGGARAN 2017 NOMOR : SP DIPA /2017

SURAT PENGESAHAN DAFTAR ISIAN PELAKSANAAN ANGGARAN (SP-DIPA) INDUK TAHUN ANGGARAN 2017 NOMOR : SP DIPA /2017 SURAT PENGESAHAN DAFTAR ISIAN PELAKSANAAN ANGGARAN (SP-DIPA) INDUK TAHUN ANGGARAN 217 MOR SP DIPA-32.3-/217 DS4538-239-5974-97 A. DASAR HUKUM 1. 2. 3. UU No. 17 Tahun 23 tentang Keuangan Negara. UU No.

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. kewenangan dalam rangka menetapkan ketentuan yang berkaitan dengan

BAB 1 PENDAHULUAN. kewenangan dalam rangka menetapkan ketentuan yang berkaitan dengan BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia merupakan Negara kepulauan dengan panjang garis pantai yang mencapai 95.181 km 2, yang menempatkan Indonesia berada diurutan keempat setelah Rusia,

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN Latar Belakang

1 PENDAHULUAN Latar Belakang 1 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagai negara kepulauan (Archipelagic State) memiliki lebih kurang 17.500 pulau, dengan total panjang garis pantai mencapai 95.181 km

Lebih terperinci

WARTA. Peng wasan. Edisi IX/ Berita Utama. KKP Pulangkan 228 ABK Asal Vietnam. humas psdkp.

WARTA. Peng wasan. Edisi IX/ Berita Utama. KKP Pulangkan 228 ABK Asal Vietnam. humas psdkp. WARTA Peng wasan Edisi IX/ 2016 Berita Utama KKP Pulangkan 228 ABK Asal Vietnam @humaspsdkp humas psdkp humasdjpsdkp@kkp.go.id 7 LENSA KEGIATAN 1 2 3 4 5 Keterangan: 1 - Penandatanganan berita acara serah

Lebih terperinci

KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 21 TAHUN 2007 TENTANG DEWAN KELAUTAN INDONESIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 21 TAHUN 2007 TENTANG DEWAN KELAUTAN INDONESIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA 1 KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 21 TAHUN 2007 TENTANG DEWAN KELAUTAN INDONESIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa dengan berlakunya Konvensi

Lebih terperinci

KEPUTUSAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA,

KEPUTUSAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA, KEPUTUSAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR KEP.24/MEN/2010 TENTANG PROGRAM LEGISLASI KEMENTERIAN KELAUTAN DAN PERIKANAN TAHUN 2010 Menimbang MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Laut dan sumberdaya alam yang dikandungnya dipahami secara luas sebagai suatu sistem yang memberikan nilai guna bagi kehidupan manusia. Sebagai sumber kehidupan, potensi

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR PER.08/MEN/2008

PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR PER.08/MEN/2008 PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR PER.08/MEN/2008 TENTANG PENGGUNAAN ALAT PENANGKAPAN IKAN JARING INSANG (GILL NET) DI ZONA EKONOMI EKSKLUSIF INDONESIA MENTERI KELAUTAN

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 43 TAHUN 2008 TENTANG WILAYAH NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 43 TAHUN 2008 TENTANG WILAYAH NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 43 TAHUN 2008 TENTANG WILAYAH NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagai

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. dijaga keamanan dan dimanfaatkan untuk kemakmuran Indonesia. Wilayah negara

BAB 1 PENDAHULUAN. dijaga keamanan dan dimanfaatkan untuk kemakmuran Indonesia. Wilayah negara 1 BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia sebagai negara kepulauan yang merupakan satu kesatuan dan harus dijaga keamanan dan dimanfaatkan untuk kemakmuran Indonesia. Wilayah negara Indonesia yang

Lebih terperinci

BUPATI TANJUNG JABUNG TIMUR PROVINSI JAMBI

BUPATI TANJUNG JABUNG TIMUR PROVINSI JAMBI BUPATI TANJUNG JABUNG TIMUR PROVINSI JAMBI PERATURAN DAERAH KABUPATEN TANJUNG JABUNG TIMUR NOMOR 14 TAHUN 2014 TENTANG PENGELOLAAN DAN PENANGKAPAN IKAN DI WILAYAH PERAIRAN KABUPATEN TANJUNG JABUNG TIMUR

Lebih terperinci

PERAN KADASTER LAUT DALAM PEMECAHAN KONFLIK DI PERAIRAN STUDI KASUS: KABUPATEN REMBANG, Arief widiansyah

PERAN KADASTER LAUT DALAM PEMECAHAN KONFLIK DI PERAIRAN STUDI KASUS: KABUPATEN REMBANG, Arief widiansyah PERAN KADASTER LAUT DALAM PEMECAHAN KONFLIK DI PERAIRAN STUDI KASUS: KABUPATEN REMBANG, JAWA TENGAH Arief widiansyah 3506 100 013 LATAR BELAKANG Indonesia merupakan sebuah negara kepulauan (archipelagic

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR PER. 27 /MEN/2009 TENTANG PENDAFTARAN DAN PENANDAAN KAPAL PERIKANAN

PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR PER. 27 /MEN/2009 TENTANG PENDAFTARAN DAN PENANDAAN KAPAL PERIKANAN PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR PER. 27 /MEN/2009 TENTANG PENDAFTARAN DAN PENANDAAN KAPAL PERIKANAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK

Lebih terperinci

Pembagian Kewenangan Dalam Penegakan Hukum Terhadap Pelanggaran Peraturan Perundang-Undangan Di Perairan Indonesia

Pembagian Kewenangan Dalam Penegakan Hukum Terhadap Pelanggaran Peraturan Perundang-Undangan Di Perairan Indonesia Pembagian Kewenangan Dalam Penegakan Hukum Terhadap Pelanggaran Peraturan Perundang-Undangan Di Perairan Indonesia Abdul Muthalib Tahar dan Widya Krulinasari Dosen Bagian Hukum Internasional Fakultas Hukum

Lebih terperinci

SUMBER DAYA KELAUTAN DAN PERIKANAN KEPUTUSAN DIREKTUR JENDERAL PENGAWASAN SUMBER DAYA KELAUTAN DAN PERIKANAN NOMOR 56/KEP-DJPSDKP/2015 TENTANG

SUMBER DAYA KELAUTAN DAN PERIKANAN KEPUTUSAN DIREKTUR JENDERAL PENGAWASAN SUMBER DAYA KELAUTAN DAN PERIKANAN NOMOR 56/KEP-DJPSDKP/2015 TENTANG KEMENTERIAN DIREKTORAT JENDERAL PENGAWASAN SUMBER DAYA Jalan Medan Merdeka Timur Nomor 16 Gedung Mina Bahari III Lantai 15, Jakarta 10110 Telepon (021) 3519070, Facsimile (021) 3520346 Pos Elektronik ditjenpsdkp@kkp.goid

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 31 TAHUN 2004 TENTANG PERIKANAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 45 TAHUN 2009 TENTANG

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 31 TAHUN 2004 TENTANG PERIKANAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 45 TAHUN 2009 TENTANG UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 31 TAHUN 2004 TENTANG PERIKANAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 45 TAHUN 2009 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 31 TAHUN 2004 TENTANG PERIKANAN PEMERINTAH

Lebih terperinci

DIREKTUR JENDERAL PENGAWASAN SUMBER DAYA KELAUTAN DAN PERIKANAN

DIREKTUR JENDERAL PENGAWASAN SUMBER DAYA KELAUTAN DAN PERIKANAN KEPUTUSAN DIREKTUR JENDERAL PENGAWASAN SUMBER DAYA KELAUTAN DAN PERIKANAN NOMOR: KEP.322/DJ-PSDKP/2012 TENTANG PETUNJUK TEKNIS VERIFIKASI PENDARATAN IKAN DIREKTUR JENDERAL PENGAWASAN SUMBER DAYA KELAUTAN

Lebih terperinci

KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 33 TAHUN 2002 TENTANG PENGENDALIAN DAN PENGAWASAN PENGUSAHAAN PASIR LAUT PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 33 TAHUN 2002 TENTANG PENGENDALIAN DAN PENGAWASAN PENGUSAHAAN PASIR LAUT PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, KEPUTUSAN PRESIDEN NOMOR 33 TAHUN 2002 TENTANG PENGENDALIAN DAN PENGAWASAN PENGUSAHAAN PASIR LAUT PRESIDEN, Menimbang : a. bahwa kegiatan penambangan, pengerukan, pengangkutan, dan perdagangan pasir laut,

Lebih terperinci