HASIL DAN PEMBAHASAN

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "HASIL DAN PEMBAHASAN"

Transkripsi

1 HASIL DAN PEMBAHASAN Karakteristik Longsor pada Wilayah Penelitian Berdasarkan hasil pengamatan pada 32 titik longsor, terdapat 2 karakteristik longsor yang ditemui, yaitu 1) gelinciran tanah (earth flow) (30 kasus atau 94%), dan 2). penurunan muka tanah/amblesan (subsidence) (2 kasus atau 6%). Rekapitulasi hasil pengamatan ke 32 titik longsor tersebut disajikan pada Lampiran 4. Wilayah pengamatan meliputi tiga Kecamatan di Kabupaten Garut yaitu Kecamatan Banjarwangi, Kecamatan Singajaya dan Kecamatan Peundeuy. Hasil pengamatan terhadap frekuensi kejadian longsor disajikan pada Gambar 8. Jumlah Kejadian Longsor Banjarwangi Singajaya Peundeuy Subsidence Earth Flow Gambar 8. Hasil Pengamatan Longsor di tiga Kecamatan di Kabupaten Garut Berdasarkan seluruh kejadian tanah longsor, 23 titik tanah longsor terjadi di Kecamatan Banjarwangi meliputi 2 titik penurunan muka tanah (subsidence) dan 21 titik gelinciran tanah (earth flow), di Kecamatan Singajaya terjadi 5 titik tanah longsor dan tanah longsor di Kecamatan Peundeuy ditemukan 4 titik. Keseluruhan lokasi tanah longsor dapat dilihat pada Tabel 9. Tipe longsor gelinciran tanah (earth flow) merupakan tipe gerakan tanah aliran bahan rombakan dan tanah yang jenuh air dalam kondisi kental dan

2 plastis. Longsoran tipe ini berkomposisi material yang kaya akan liat dan mengembang bila basah sehingga menyebabkan berkurangnya gaya kohesi antar butir tanah. Disamping itu, kondisi lokasi penelitian yang berbukit-bukit dan memiliki kelerengan terjal menyebabkan tanah longsor tipe ini banyak ditemukan. Disamping faktor tersebut, rusaknya vegetasi dan pemanfaatan lahan yang tidak mengikuti kaidah konservasi tanah dan air menyebabkan resiko terjadinya tanah longsor setiap tahun terus meningkat. Gambar 9 menunjukkan tipe longsor gelinciran tanah yang terjadi di wilayah penelitian, yaitu di Kecamatan Banjarwangi. Tabel 9. Lokasi dan Tipe Tanah Longsor di wilayah Penelitian No Tipe Tanah Longsor 1. Earth Flow 2. Subsidence Kec. Lokasi Banjarwangi : Kp. Wanahayu, Kp. Padahurip, Kp. Genteng (3 titik), Kp. Singkur, Kp. Jabeng (3 titik), Kp. Kadulempeng, Kp. Jajawai, Kp. Cibangkong, Kp. Ciparai, Kp. Pasir Kondang, Kp. Sindang Panon, Kp. Ciwayang, Kp. Mekartani (2 titik), Kp. Sukawangi, dan Kp. Pancasura (2 titik) Kec. Singajaya : Kp. Cibeureum (2 titik), Kp. Cibitung, Kp. Cikadu dan Kp. Cipari Kec. Peundeuy : Kp. Cikupa, Kp. Toblong, Kp. Cinambo dan Kp. Secang Kec. Banjarwangi : Kp. Jabeng dan Kp. Cilangari Sumber : Di olah dari data primer Jumlah Kasus

3 Gambar 9. Longsor Tipe Gelinciran Tanah di Kecamatan Banjarwangi Gelinciran tanah yang terjadi di lokasi penelitian disebabkan oleh peningkatan beban tanah yang terdapat pada lereng perbukitan yang terjal. Proses terjadinya tanah longsor ini dimulai dari aktivitas masyarakat membuka lahan untuk kegiatan bercocok tanam dan membangun infrastruktur (rumah dan jalan). Selanjutnya diikuti oleh berbagai aktivitas lainnya : mengolah tanah, mengalirkan air (untuk sawah) dan memotong lereng. Saat musim penghujan, tanah-tanah yang telah diolah ini tidak mampu lagi menahan beban yang terdapat diatasnya, disamping itu mekanisme dari dalam tanah ikut mendorong terjadinya gelinciran tanah, yaitu adanya lapisan tanah yang kedap air sehingga membuat badan lereng bergerak ke bawah (akibat bertambahnya beban). Keadaan wilayah di sekitar lokasi kejadian longsor (zona longsor) dapat dikategorikan menjadi 3 kondisi, yaitu rawan longsor, potensial dan stabil. Berdasarkan hasil pengamatan, kondisi yang mencirikan/karakteristik keadaan zona tersebut diatas dapat dilihat pada Tabel 10. Kajian karakteristik keadaan zona longsor (Tabel 10), mengindikasikan 57% (18 titik zona longsor) tergolong dalam kondisi rawan terjadinya longsor, kondisi stabil terdapat 34% (11 titik zona longsor) dan potensial mengalami longsor 9% (3 titik zona longsor) (Gambar 10). Wilayah yang termasuk dalam ke 3 kategori zona longsor seperti terdapat dalam Tabel % Kondisi zona longsor : 57% Stabil Potensial 9% Rawan

4 Gambar 10. Kondisi Zona Longsor di Wilayah Penelitian Tabel 10. Karakteristik Zona Longsor di Lokasi Penelitian No Karakteristik /ciri-ciri Zona Longsor Rawan Potensial Stabil 1 Retakan-retakan tanah pada tapak di sekitar lokasi tanah longsor Sangat jelas Terlihat (tidak nyata) Tidak terlihat 2 Keadaan dan panjang lereng di sekitar lokasi tanah longsor Relatif segaram Seragam Relatif bervariasi 3 Jejak erosi sekitar lokasi longsor Intensif Rendah Tidak terlihat 4 Gawir longsor Terlihat Terlihat Tidak terlihat 5 Kedaan vegetasi Pohon tumbuh miring searah lereng Aktivitas masyarakat di bagian atas lereng Intensif intensif rendah 7 Kejadian longsor (baru sekali terjadi/sering) Sering terjadi baru terjadi - 8 Sumber air tanah di lokasi tanah longsor Sumber : diolah dari data primer Banyak muncul terutama di musim hujan Banyak muncul terutama di musim hujan tidak terlihat Keadaan zona longsor yang tergolong rawan dicirikan oleh 1) tingkat kelerengan yang sangat terjal, 2) retakan-retakan pada tubuh lereng terlihat cukup jelas 3) reruntuhan kecil material tanah banyak ditemukan di sekitar titik longsor, 4) pada wilayah ini hampir sebagian besar kondisinya tanpa vegetasi (hanya ditumbuhi semak dan tanaman semusim), 5) aktivitas pertanian di bagian atas lereng cenderung sangat intensif dan 6) ditemukannya jejak erosi pada permukaan tanah yang berupa erosi lembar (sheet erosion ), yang dicirikan dari pengangkutan lapisan tanah yang merata tebalnya.

5 Erosi yang terjadi ini disebabkan kekuatan jatuh butir hujan dan tingginya aliran permukaan. Hal lain yang perlu mendapat perhatian pada zona longsor yang tergolong rawan akan terjadinya longsor, adalah banyaknya sumber air yang muncul dari tebing -tebing perbukitan. Mata air ini secara terus menerus mengeluarkan air. Menurut masyarakat setempat, sumber air ini akan semakin banyak pada saat musim penghujan dan berangsur menurun jumlahnya pada saat musim kemarau. Hal ini salah satu yang membedakan antara kondisi pada zona longsor yang rawan dengan zona yang stabil. Tabel 11. Kondisi Zona Longsor pada Lokasi Penelitian No Karakteristik Zona Longsor 1. Stabil 2. Potensial 3. Rawan Sumber : Diolah dari data primer Lokasi Kp. Genteng, Kp. Jabeng I dan II, Kp. Cikadu, Kp. Cipari, Kp. Mekartani, Kp. Cinambo, Kp. Jajawai, Kp. Cilangari, Kp. Pasirkondang dan Kp. Pancasura Kp. Wanahayu, Kp. Padahurip dan Kp.Kadulempeng Kp. Singkur, Kp. Jabeng III, Kp. Cibeureuem I dan II, Kp. Cibitung, Kp. Cikupa, Kp. Toblong, Kp. Secang, Kp. Cibangkong, Kp. Ciparai, Kp. Sindang Panon, Kp. Pancasura I dan II, Kp. Mekartani II, Kp. Ciudian, dan Kp. Jayamukti. Jumlah Kasus % Keadaan zona longsor yang termasuk stabil pada lokasi penelitian tersebar pada 11 titik (34%). Kondisi stabil dari bahaya tanah longsor ini didukung oleh keadaan lereng yang relatif lebih kompak dan landai, tidak ditemukannya adanya retakan-retakan pada tubuh lereng serta keadaan vegetasi cukup baik (dibeberapa lokasi masih ditemukan tegakan tanaman keras seperti sengon, bambu, dan tanaman hortikultura lainnya).

6 Kondisi zona yang cukup stabil terhadap longsor tersebut dapat berubah menjadi rawan longsor, apabila aktivitas yang mendukung terjadinya tanah longsor bertambah besar. Kondisi yang dapat meningkatkan resiko terjadinya tanah longsor antara lain adalah aktivitas yang dapat membahayakan stabilitas lereng, seperti : aktivitas memotong lereng, membuka lahan untuk kegiatan pertanian dan pembangunan infrastruktur (jalan dan pemukiman). Luasnya areal tanah longsor yang terjadi di lokasi penelitian memiliki korelasi dengan volume material longsor. Material tanah longsor di lokasi penelitian terdiri dari campuran tanah, batuan dan sisa-sisa tumbuhan yang terdapat di permukaan tanah. Besarnya volume material longsor yang terlihat pada lokasi tanah longsor cenderung dipengaruhi oleh luasnya bidang longsor dan tebalnya solum tanah pada titik longsor tersebut. Namun dari hasil analisis terhadap seluruh titik longsor yang diamati, ternyata besarnya volume longsor memiliki hubungan yang rendah dikaitkan dengan berbagai faktor utama penyebab longsor. Memprediksi besar volume longsor yang akan terjadi menjadi sulit jika terkait dengan berbagai faktor penyebab tanah longsor. Dengan kata lain, kejadian tanah longsor atau kondisi zona longsor dapat diprediksikan dari berbagai faktor-faktor utama penyebab tanah longsor, tetapi besar volume material yang akan bergerak menjadi tanah longsor sulit diprediksikan. Secara substansial besarnya volume longsor yang akan terjadi dipengaruhi oleh tebal lapisan tanah yang akan bergerak turun akibat beban yang terdapat dibagian atas lereng dan berkurangnya daya tahan geser tanah. Permasalahannya setiap bagian dari bidang lereng memiliki daya tahan geser tanah yang berbeda sehingga sukar membuat suatu penampang perkiraan volume longsor. Intensitas kejadian tanah longsor setiap tahun terus meningkat. Berdasarkan hasil wawancara dengan masyarakat dan aparat desa di lokasi penelitian kejadian tanah longsor dalam 5 tahun terakhir semakin sering

7 ditemukan, terutama di lahan-lahan yang telah dikelola masyarakat baik untuk pertanian dan infrastruktur. Gambar 11 menunjukkan intensitas kejadian longsor 4 tahun terakhir di wilayah penelitian. Jumlah Kejadian Longsor Jumlah Kejadian Longsor Gambar 11. Kejadian Longsor Sejak Tahun 2001 di Lokasi Penelitian 5 Pada tahun 2001 paling tidak tercatat 5 kejadian longsor yaitu di Kp > 2004 Padahurip, Kp. Genteng, Kp. Toblong, Kp. Kadulempeng dan Kp. Jajawai > 2004 Sedangkan tahun 2002 tercatat tambahan 2 kejadian, yaitu di Kp. Jabeng dan Kp. Sindang Panon. Pada tahun 2003 terjadi 5 kasus, yaitu di Kp. Wanahayu, Kp. Cibeureum, Kp. Cikupa, Kp. Pancasura dan Kp. Jayamukti. Berdasarkan hasil wawancara dengan penduduk di lokasi bencana longsor, kejadian longsor biasanya terjadi pada saat musim hujan. Pada musim hujan longsor hampir setiap saat dapat terjadi, terutama apabila curah hujan semakin tinggi, biasanya kejadian longsor diawali oleh semakin banyaknya limpasan air yang mengalir turun dari atas bukit, selanjutnya material longsor berupa pasir ataupun sisa-sisa tanaman perlahan bergerak turun, terkadang terjadi begitu cepat. Landform dan Karakteristik Fisik Tanah Bentang lahan di lokasi penelitian didominasi oleh perbukitan yang memiliki kelerengan terjal. Kondisi alamiah ini menjadi salah satu faktor

8 pendorong kejadian longsor di wilayah penelitian. Sangat sulit sekali menemukan suatu bentang lahan yang relatif datar dan landai. Keadaan ini membuat masyarakat harus melakukan modifikasi terhadap lahan apabila ingin membangun fasilitas umum seperti : jalan dan pemukiman. Dari hasil analisis, besarnya sudut lereng menjadi salah satu faktor yang berpengaruh dalam setiap kejadian longsor, seperti terlihat pada Gambar 12. Frekuensi Kumulatif Longsor Frekuensi Kumulatif Kemiringan Slope Lereng (.. o ) Gambar 12. Hubungan Kelerengan (slope) dan Frekuensi Tanah Longsor Gambar 12 menunjukkan pengaruh terbesar (titik kritis) sudut kelerengan mulai terlihat pada kemirinagn lereng =31 o. Frekuensi kejadian longsor pada tingkat kelerengan =31 o ditemukan sebanyak 23 kasus, pada kelerengan 21 o 30 o ditemukan 5 kasus dan pada kemiringan lereng = 20 0 ditemukan 4 titik longsor (Tabel 12). Tabel 12. Frekuensi Kejadian Tanah Longsor pada Berbagai Kemiringan Lereng No Kemiringan Lereng ( o ) Lokasi Jumlah % 1. = 20 o Kp. Jabeng II & III, Kp. Cilangari, Kp. Sindang Panon o 30 o Kp. Cipari, Kp. Cikupa, Kp.Jayamukti, Kp. Pancasura dan Kp. Sukawangi 3. = 31 o Kp. Wanahayu, Kp. Padahurip, Kp. Genteng, Kp. Singkur, Kp. Jabeng, Kp. Cibeureum, Kp

9 Cibitung, Kp. Cikadu, Kp. Toblong, Kp. Cinambo, Kp. Secang, Kp. Kadulempeng, Kp. Jajawai, Kp. Cibangkong, Kp. Ciparai, Kp. Pasirkondang, Kp. Ciudian, Kp. Mekartani dan Kp. Pancasura Sumber : Diolah dari data primer Hal yang mendapat perhatian dari suatu kejadian longsor tipe gelinciran (terkait dengan faktor kelerengan) adalah besarnya sudut kemiringan lereng. Dari keseluruhan titik kejadian longsor, 30 kasus titik longsor dengan tipe gelinciran tanah terjadi akibat dari besarnya sudut kelerengan. Walaupun pada beberapa titik kasus, longsor juga terjadi pada lereng yang relatif landai, terutama longsor dengan tipe amblesan (subsidence) (dalam hal ini ditemukan 2 kasus amblesan tanah yaitu di Kp. Jabeng dan Kp. Cilangari) dari 2 kasus tersebut, 1 kasus longsor dengan tipe amblesan terjadi pada lahan persawahan dengan kemiringan lereng 17 o. Berdasarkan pengamatan di lapangan, amblesan tanah disebabkan oleh adanya ruang kosong pada lapisan bawah tanah, sehingga tanah permukaan menjadi turun. Kekosongan bagian bawah permukaan tanah ini besar kemungkinan karena adanya aliran air bawah tanah, sehingga secara perlahan aliran tersebut membawa material tanah yang dilaluinya, sehingga bagian tanah tersebut menjadi hilang daya tahan tanahnya. Aliran bawah tanah ini terlihat dari munculnya mata air pada kaki bukit di lokasi yang mengalami amblesan. Ketebalan tanah berperan juga dalam kejadian tanah longsor. Pada wilayah kajian terlihat semakin tebal tanah maka semakin banyak ditemukan kejadian longsor. Frekuensi kejadian longsor tertinggi ditemukan pada ketebalan tanah antara cm. Gambar 13 menunjukkan hubungan antara ketebalan tanah dengan jumlah kejadian longsor. Di lokasi penelitian ditemukan 23 kasus longsor pada ketebalan tanah antara cm, sedangkan pada lokasi dengan ketebalan tanah lebih dari 100 cm terjadi 9 kasus seperti pada

10 Ketebalan tanah berpengaruh terhadap beban lereng yang menjadikannya berpotensi longsor. Secara teoritis, lapisan tanah tebal pada lereng terjal (>30 o ) sangat berpotensi untuk menjadi tanah longsor terutama di musim hujan. Air hujan yang jatuh akan masuk ke dalam tanah melalui infiltrasi dan apabila pada lapisan bawah tanah terdapat bagian kedap air (lapisan bahan induk) maka akumulasi simpanan air hujan tersebut akan menurunkan daya rekat (kohesi) tanah sehingga dengan kondisi terus berlanjut menyebabkan daya tahan geser tanah akan lebih rendah dari daya geser tanah (µ s < µ k ). Tabel 13. Ketebalan Tanah di Lokasi Tanah Longsor No Ketebalan 29 Tanah (cm) 27 Frekuensi Kumulatif Longsor < Sumber : Diolah dari data primer Lokasi Kp. Kadulempeng, Kp. Jajawai, Kp. Sindang Panon, Kp. Pancasura (2 titik), Kp. Mekartani, Kp. Sukawangi, Kp. Jayamukti dan Kp. Ciudian Kp. Wanahayu, Kp. Padahurip, Kp. Genteng (3 titik), Kp. Singkur, Kp. Jabeng (3 titik), Kp. Cibangkong, Kp. Ciparai, Kp Pasir Kondang, Ketebalan Tanah Kp. (cm) Ciwayang, Kp. Mekartani (2 titik), Kp. Sukawangi, Kp. Cibeureum (2 titik), Kp. Cibitung, Kp. Cikadu, Kp. Cipari, Kp. Jabeng dan Kp. Cilangari Jumlah Kasus % Frekuensi Kumulatif Longsor Ketebalan Tanah (cm)

11 Gambar 13. Hubungan Ketebalan Tanah dan Frekuensi Tanah Longsor Warna tanah di lokasi penelitian merupakan petunjuk untuk beberapa sifat tanah, karena warna tanah dipengaruhi oleh beberapa faktor yang terdapat di dalam tanah tersebut. Pada 3 kecamatan lokasi penelitian terlihat bahwa warna tanah didominasi oleh warna coklat hingga coklat kekuningan. Penyebab perbedaan warna permukaan tanah umumnya oleh perbedaan kandungan bahan organik. Makin tinggi kandungan bahan organik, warna tanah makin gelap. Pada lapisan bawah tanah longsor, dimana kandungan bahan organik umumnya rendah, warna tanah banyak dipengaruhi oleh bentuk dan banyaknya senyawa Fe. Di persawahan kondisi drainasenya buruk (daerah yang selalu tergenang air), maka seluruh tanah cenderung berwarna keabu-abuan hingga coklat kekuningan karena senyawa Fe terdapat dalam keadaan reduksi (Fe++). Pada tanah yang berdrainase baik, yaitu tanah yang tidak terendam air, terdapat pada kebun-kebun campuran masyarakat, dimanan warna tanah cenderung coklat hingga coklat kemerahan. Terkait dengan longsor, warna tanah menjadi salah satu indikator kondisi drainase tanah. Pada tanah yang drainasenya buruk seperti tanah sawah pada lokasi penenlitian terlihat sangat rentan mengalami longsor. Dikaitkan dengan tekstur tanah, maka terlihat bahwa tekstur tanah di 3 kecamatan wilayah studi tergolong kedalam liat berlempung hingga liat berat (heavy clay) atau kandungan liat > 60% (Balai Penelitian Tanah, 2004). Menurut masyarakat di lokasi penelitian, kondisi tanah pada musim kemarau cenderung pecah-pecah dan mengeras, namun pada musim hujan tanah menjadi liat dan plastis (lengket). Menurut Hirnawan (1997), kondisi tanah seperti ini memiliki potensi kembang (ekspansi) tinggi mencapai >25% dan dalam kondisi sangat basah menyebabkan parameter ketahahannya (kohesi tanah) turun hingga 32,20%, demikian pula untuk sudut geser dalamnya turun 17,28%. Secara

12 umum, aneka tanah ekspansif berasal dari pelapukan sedimen tersier dan endapan vulkanik kuarter. Jenis tanah seperti ini banyak mengandung mineral monmorilonit, ilit, halosit dan mineral non-lempung lainnya, yaitu kuarsa dan plagioklas. Dalam hal ini liat jenis monmorilonit memiliki sifat plastis dan mengembang jika basah sehingga mudah terdispersi. Menurut Bouyoucus (1935) dalam Arsyad (2000), liat yang memiliki nisbah silika terhadap sesquioksida (S i O 2 /(Fe 2 O 3 + Al 2 O 3 ) lebih dari 2.0 memiliki sifat plastis dan mengembang jika basah sehingga agregatnya tidak begitu stabil dalam. Tanah yang mengandung liat dalam jumlah tinggi dapat tersuspensi oleh butir-butir hujan yang jatuh menimpanya dan pori-pori lapisan permukaan akan tersumbat oleh buitr-butir liat. Hal ini akan menyebabkan terjadinya aliran permukaan dan erosi yang hebat. Akan tetapi jika tanah demikian ini mempunyai struktur yang mantap, yaitu tidak mudah terdispersi maka infiltrasi masih cukup besar sehingga aliran permukaan dan erosi tidak begitu hebat(arsyad, 2000). Terkait dengan kondisi lapangan, antara kenampakan erosi dan tanah longsor terkadang sulit dilihat hubungannya Di beberapa lokasi kasus tanah longsor, kejadian erosi masih terlihat, namun di lokasi longsor lainnya terkadang erosi tidak terlihat secara nyata Untuk menentukan karakteristik tanah pada wilayah kajian, digunakan klasifikasi tanah berdasarkan metode SCS (Soil Conservation service). Selanjutnya dengan metode ini digunakan untuk menentukan bilangan kurva (curve number). Langkah penentuan bilangan kurva adalah dengan menggabungkan data tipe hidrologi tanah dengan data penggunaan lahan. Berdasarkan metode SCS seluruh wilayah kajian termasuk dalam kategori Hidrologi Tanah Kelompok D, yaitu tanah-tanah yang memiliki sifat mengembang secara nyata jika basah, liat berat dan plastis (Arsyad, 2000). Selanjutnya jika dikaitkan dengan laju infiltrasi minimum, maka kelompok ini

13 memiliki nilai yang paling rendah, yakni hanya 0-1 mm/jam. Artinya sebagian besar air hujan yang jatuh akan menjadi aliran permukaan. Secara teoritis, laju aliran permukaan yang tinggi mengakibatkan meningkatnya resiko terjadinya erosi. Hal ini terlihat jelas pada lokasi penelitian, dimana bekas-bekas kejadian erosi terlihat nyata, baik dari kondisi permukaan tanah, maupun dari hasil sedimentasi yang terkumpul pada bagian bawah lereng (tumit) dan pada air sungai yang menjadi keruh. Terkait dengan fenomena tanah longsor dan erosi sebagai mana yang telah dijelaskan diatas, Gambar 14 menunjukkan intensitas tanah longsor dan erosi permukaan yang dapat teramati dilapangan. Dari keseluruhan kejadian longsor yang diamati, 19 kasus (60%) terjadi pada lahan yang tidak menunjukkan adanya erosi intensif, 9 kasus (28%) memperlihatkan tanah longsor terjadi pada areal yang mengalami erosi intensif dan 4 kasus (12%) tanah longsor terjadi pada areal dengan tingkiat erosi rendah (Tabel 14). 28% 13% Kenampakan erosi : Tidak intensif rendah 59% intensif Gambar 14. Frekuensi Kenampakan Erosi di 3 Kecamatan di Kabupaten Garut Tabel 14. Kenampakan Erosi di Lokasi Tanah Longsor No Kenampakan Erosi Lokasi Jumlah % Kp. Wanahayu, Kp. Padahurip, Kp. 1. Erosi intensif Cibitung, Kp. Cinambo, Kp. Kadulempeng, 9 28 Kp. Ciudian dan Kp. Pancasura 2. Erosi Rendah Kp. Jabeng II, Kp. Sukawangi, Kp. Ciudian III dan Kp. Ciparai 4 12

14 3. Erosi tidak intensif Sumber : Diolah dari data primer Kp. Genteng, Kp. Singkur, Kp. Jabeng (3 titik), Kp. Cibeureum, Kp. Cikadu, Kp. Cipari, Kp. Cikupa, Kp. Toblong, Kp. Jajawai, Kp. Cibangkong, Kp. Cilangari, Kp. Pasir Kondang, Kp. Sindang Panon, Kp. Mekartani dan Kp. Jayamukti Berdasarkan kondisi tersebut diatas, terlihat bahwa pada sebagian besar kasus longsor yang terjadi di lokasi penelitian 19 kasus (60%) terjadi pada lahan yang tidak menunjukkan adanya erosi di permukaan. Terkait dengan metode klasifikasi tanah SCS, (secara teoritis) tanah yang termasuk dalam kelompok hidrologi D akan memiliki resiko longsor yang rendah (jika dikaitkan dengan laju infiltrasi), karena sebagian besar air hujan yang jatuh akan menjadi run off akibat hanya sebagian kecil hujan masuk kedalam tanah (mengisi pori-pori) untuk selanjutnya menjadi cadangan air tanah. Namun kenyataannya kelompok tanah ini memiliki resiko longsor yang paling tinggi karena sebagian besar air hujan menjadi infiltrasi dan selanjutnya meningkatkan volume tanah. Kondisi seperti ini dimungkin terjadi pada waktu musim hujan. Berdasarkan berbagai ciri fisik tanah di lokasi penelitian, berdasarkan metode SCS termasuk dalam kelompok D. Penggunaan lahan (landuse ) dan Aktivitas Manusia Penggunaan lahan (landuse) di lokasi penelitian dibedakan me njadi beberapa tipe, yaitu 1) lahan tanaman semusim, 2) persawahan, 3) kebun talun (agroforestry), dan pemukiman (infrastruktur). Penggunaan lahan untuk budidaya khususnya jenis sayur-sayuran memanfaatkan lahan eks perkebunan teh. Masyarakat memanfaatkan lahan ini secara tidak syah karena desakan kebutuhan ekonomi. Secara topografi, lahan eks perkebunan teh ini tidak layak dijadikan lahan budidaya pertanian karena kelerengan yang terjal sehingga tingkat erosinya berpeluang sangat tinggi.

15 Gambar 15 menunjukkan 3 tipe penggunaan lahan, yaitu 1) kebun teh yang diokupasi masyarakat menjadi kebun sayuran, 2) lahan persawahan terletak pada lembah-lembah perbukitan dengan kondisi topografi relatif lebih landai, terutama setelah sebagian masyarakat memodifikasi tingkat kelerengan dengan membuat teras dan 3) talun/kebun campuran, dimana masyarakat biasa menanam tanaman keras disamping juga tanaman semusim. Pemukiman penduduk disesuaikan dengan kondisi wilayah yang berbukit dan berlereng terjal. Penduduk yang ingin membangun rumah harus memotong lereng untuk memperoleh bidang tanah yang datar. Sehingga posisi sebagian besar bagian belakang rumah penduduk langsung berbatasan dengan tebing/lereng yang telah dipotong. Kebun talun milik penduduk biasanya berada pada bagian puncak bukit dan ditanami dengan berbagai tanaman keras seperti : sengon, kelapa, bambu, pisang, nangka, suren dan tanaman musiman (singkong dan kacang-kacangan). Tipe longsor gelinciran tanah (earth flow) banyak dijumpai pada lahan-lahan persawahan yang dikelola secara intensif seperti yang sering terjadi pada lokasi penelitian (Gambar 16). Kejadian tanah longsor tertinggi terjadi di persawahan sebanyak 25 kasus, kebun campuran sebanyak 4 kasus, tanah longsor yang terjadi di lokasi pemukiman dan infrastruktur (tebing jalan) sebanyak 2 kasus, dan tanah longsor yang ditemukan pada kebun sayuran hanya ditemukan 1 kasus (Tabel 15) Keterangan : 1. Kebun tanaman semusim (sayuran). 2. Persawahan 3. Kebun campuran

16 Gambar 15. Tipe Penggunaan Lahan (landuse) di Lokasi Penelitian Jumlah Kasus Longsor Sawah intensif 1 Kebun Tan. Semusim Penggunaan Lahan 4 Kebun Campuran Pemukiman + Infrastruktur 2 Gambar 16. Jumlah Kejadian Tanah Longsor pada Berbagai Penggunaan Lahan Tabel 15. Kejadian Tanah Longsor pada Berbagai Penggunaan Lahan No Penggunaan Lahan (Landuse ) 1. Persawahan 2. Kebun campuran Kebun tanaman semusim (sayuran) Infrastruktur (jalan dan perumahan Sumber : Diolah dari data primer Lokasi Jumlah % Kp. Genteng (3 titik), Kp. Padahurip, Kp. Singkur, Kp. Jabeng (3 titik), Kp. Cibitung, Kp. Cikadu, Kp. Cipari, Kp. Cikupa (3 titik), Kp. Kadulempeng, Kp. Jajawai, Kp Cibangkong, Kp. Pancasura (2 titik), Kp. Cilangari dan Kp. Ciparai (2 titik). Kp. Cibeureum (2 titik), Kp. Secang, dan Kp. Karangagung 4 12 Kp. Wanahayu 1 60 Kp. Toblong dan Kp. Cinambo 2 Tingginya kasus tanah longsor di lokasi persawahan harus dijadikan pelajaran bahwa pemanfaatan lahan (land use) untuk aktivitas ini perlu

17 memperhatikan berbagai aspek guna mencegah terjadinya tanah longsor. Penyebab utama terjadinya tanah longsor di persawahan, diantaranya karena pemanfaatan air yang melebihi daya tahan geser tanah. Pada awal musim tanam, masyarakat memanfaatkan air secara berlebihan dengan cara memasukkan air ke persawahan. Akibatnya jika lahan sawah yang telah menampung cukup banyak air ditambah oleh air hujan yang ditampung akan terjadi akumulasi air di sebagian besar lahan persawahan sehingga jika kondisi ini terus berlanjut, tidak tertutup kemungkinan akan menyebabkan tanah longsor. Guna mencegah terjadinya longsor di lahan persawahan, salah satu upaya yang dapat dilakuakn adalah meminimalisir jumlah pemakaian air, terutama ketika musim hujan. Hal ini untuk mencegah terjadinya tanah longsor yang diakibatkan daya tahan geser tanah yang semakin lemah akibat akumulasi air yang terdapat di atasnya. Analisis Komponen Utama (Principal Component Analisis) Berdasarkan hasil analisis PCA (Principal Component Analisis) dihasilkan 5 faktor utama dari 16 variabel prediktor longsor. Variabel prediktor longsor yang mencirikan faktor 1 adalah warna tanah (v 2 ), sawah (v 13 ) dan Infrastruktur penutup lahan (v 15 ) dengan nilai keragaman 24,9%. Variabel prediktor longsor yang mencirikan faktor 2 adalah panjang lereng (v 8 ) dan tingkat kelerengan (slope) (v9) dan bentuk lembah sungai (v13) dengan nilai keragaman 20.3 %. Variabel prediktor longsor yang mencirikan faktor 3 adalah kerapatan vegetasi (v 6 ) dan diameter pohon (v 7 ) dengan nilai keragaman 13.9 %. Variabel prediktor longsor yang mencirikan faktor 4 adalah tekstur tanah (v 4 ) dengan nilai keragaman 9.8 %. Variabel prediktor longsor yang mencirikan faktor 5 adalah ketebalan tanah (v 1 ) dengan nilai keragaman 8.2 %. Tabel 10 menunjukkan hasil lengkap analisis komponen utama (PCA).

18 Kemudian untuk melihat pola pengelompokkan berbagai variabel prediktor longsor, maka dilakukan analisis gerombol dengan menggunakan hierarchical classification dengan metode tetangga terdekat (nearest neighbor method), atau sering disebut sebagai single linkage method, sehingga dihasilkan pengelompokkan seperti pada Gambar 17. Analisis yang dilakukan adalah pengelompokan yang mengikuti sebaran datanya sendiri. Berdasarkan metode ini, klasifikasi (pengelompokan data) tidak memerlukan keputusan awal secara a priori baik mengenai jumlahnya maupun keputusan mengenai keserupaannya (kedekatannya). Dalam kaitan analisis gerombol ini, PCA dipergunakan sebagai cara pembakuan data dan mengubah susunan data menjadi tidak saling berkorelasi atau saling tegak lurus (orthogonal). Berdasarkan hasil analisis menggunakan metode hierarchical classification maka terlihat dari 16 variabel prediktor penyebab longsor, menunjukkan kecenderungan bergerombol membentuk 5 kelompok (cluster) dengan derajat similaritas > 40%. Tabel 16. Hasil Analisis Komponen Utama (Principal Component Analisis). No Variabel Prediktor Faktor 1 Faktor 2 Faktor 3 Faktor 4 Faktor 5 1 Ketebalan tanah v 1-0, , , , ,88361* 2 Warna tanah v 2 0,93457* 0, , , , Erosi v 3-0, , , , , Tekstur tanah v 4 0, , , ,9414* 0, Jenis Tanaman v 5-0, , , , , Kerapatan v 6 0, , ,7568* 0, , Diameter batang v 7-0, , ,7022* 0, , Panjang lereng v 8-0, ,74529* 0, , , Slope v 9 0, ,89409* -0, , , Kejadian longsor v 10 0, , , , , Kondisi perbukitan v 11 0, ,90126* -0, , , Bentuk lembah Sungai v 12 0, , , , , Sawah v 13 0,89212* 0, , , , Kebun campuran v 14 0, , , , , Infrastruktur v 15 0,74316* 0, , , , Usaha konservasi v 16-0, , , , ,56154 Akar Ciri 3, , , , ,31562 Proporsi Total 0, , , , ,08223 Sumber : Data primer diolah Keterangan : * = Nyata pada p<0,05 (Factor loading >0,70)

19 Gambar 17 memperlihatkan pengelompokan variabel paling optimal pada tingkat keragaman 47,31%. Penentuan cluster pada metode ini dilakukan dengan mempertimbangkan banyaknya kelompok variabel yang terbentuk terhadap tingkat keragamannya. Artinya, penambahan jumlah cluster yang terbentuk harus diikuti oleh peningkatan keragaman secara nyata. Pada titik ini, seluruh variabel prediktor penyebab tanah longsor bergerombol menjadi 5 kelompok besar. Penetapan jumlah kelas tersebut dengan pertimbangan tingkat keragaman variabel yang dihasilkan dapat menggambarkan sebaran seluruh set variabel (data) hasil pengamatan. Hal lainnya adalah bahwa variabel yang berkorelasi sebenarnya merupakan duplikasi penggunaan data, maka sebenarnya cukup dipakai salah satu (pewakil) saja. Keragaman Variabel Gambar 17. Analisis Gerombol Menggunakan Hierarchical Classification Kelompok 1 merupakan gabungan dari 4 variabel penjelas : kedalaman tanah (v1), panjang lereng (v8), jenis tanaman (vegetasi) (v5) dan Usaha konservasi (v 16 ) dengan variabel pewakilnya adalah kedalaman tanah (v 1 ). Kelompok 2 merupakan gabungan dari 3 variabel penjelas : tekstur tanah (v 4 ),

20 kerapatan vegetasi (v 6 ) dan kejadian longsor (v 10 ) dengan variabel pewakilnya adalah tekstur tanah (v4). Kelompok 3 merupakan gabungan 2 variabel penjelas : kondisi erosi yang terlihat (v 3 ) dan diameter tegakan vegetasi (v 7 ) dengan variabel pewakilnya adalah kondisi erosi yang terlihat (v 3 ). Kelompok 4 merupakan gabungan dari 2 variabel penjelas : tingkat kelerengan (slope) (v 9 ) dan kondisi perbukitan (v 11 ) dengan variabel pewakilnya adalah tingkat kelerengan (slope) (v 9 ). Kelompok 5 merupakan gabungan 5 variabel penjelas : warna tanah (v 2 ), sawah (v 13 ), infrastruktur (v 15 ), bentuk lembah sungai (v 12 ) dan kebun campuran (v 14 ) dengan variabel pewakilnya adalah sawah (v 13 ). Dengan menerapkan metode hierarchical classification maka selanjutnya diperoleh 5 variabel penjelas yang dapat dijadikan sebagai pewakil dari 16 faktor yang diduga sebagai penyebab utama tanah longsor di lokasi penelitian. Variabel penjelas tersebut terdiri dari : kedalaman tanah (v 1 ), tekstur tanah (v 4 ), kondisi erosi yang terlihat (v 3 ), tingkat kelerengan (slope) (v 9 ) dan sawah (v 13 ). Berdasarkan uraian tersebut, terdapat 2 variabel penjelas yang menunjukkan peran sifat fisik tanah sebagai penyebab tanah longsor, yaitu kedalaman tanah (v 1 ), dan tekstur tanah (v 4 ). Hal ini menunjukkan bahwa kondisi fisik tanah di lokasi penelitian menjadi salah satu faktor utama yang memberikan kontribusi dalam kejadian tanah longsor. Kedalaman tanah memiliki kontribusi dalam meningkatkan beban pada lereng, sehingga apabila beban pada lereng melebihi daya tahan gesernya, maka tanah cenderung bergerak turun. Selain dari hal tersebut, faktor lain yang mudah di amati adalah warna tanah. Warna tanah (v 2 ) merupakan faktor fisik tanah yang paling mudah diamati dilapangan. Hal ini terkait dengan kandungan liat dan bahan organik tanah. Terkait dengan kandungan liat, kondisi tanah di lahan persawahan yang berwarna keabuan hingga coklat kekuningan memiliki sifat ekspansif, yaitu memiliki sifat kembang

21 kerut sehingga pada musim hujan akan meningkat jumlah volume air yang dapat di tahan. Faktor utama lain yang memiliki pengaruh dalam fenomena tanah longsor adalah kondisi penggunaan lahan, terutama persawahan. Dari hasil pengamatan hal ini telah terlihat bahwa kejadian longsor di lokasi penelitian tertinggi frekuensinya ditemukan di lahan persawahan. Salah satu yang menjadi penyebabnya adalah besarnya volume air yang ditampung oleh sawah sehingga meningkatkan beban tanah, sehingga apabila gaya dorong pada tanah tersebut lebih besar dari gaya tahan, maka tanah akan bergerak turun. Faktor kondisi vegetasi yang telah rusak turut mempengaruhi kejadian tanah longsor. Secara teoritis, vegetasi memiliki peran besar dalam menjaga kemantapan struktur tanah dan meningkatkan infiltrasi. Pengaruh vegetasi nyata terhadap ketahanan massa tanah melalui peningkatan kandungan fraksi pasir dari massa tanah di zona perakaran. Penurunan ketahanan massa tanah akibat musim hujan menjadi lebih kecil dari pada tanah tak bervegetasi (Hirnawan, 1997). Pada lokasi penelitian terlihat bahwa kondisi vegetasi tidak memiliki peran yang optimal dalam mencegah terjadinya tanah longsor, karena sebagian besar lahan telah beralih fungsi menjadi kebun sayuran/persawahan. Faktor utama lainnya yang berperan besar dalam tanah longsor adalah tingkat kelerengan (v9). Faktor kemiringan lahan (slope) tidak diragukan lagi pengaruhnya dalam proses terjadinya tanah longsor. Sebagai mana telah diuraikan pada bagian awal pembahasan, pada lokasi penelitian >90% kejadian tanah longsor disebabkan tingginya tingkat kelerengan. Selain keseluruhan faktor utama yang telah dijelaskan diatas, faktor lain yang perlu diperhatikan adalah data kejadian tanah longsor yang terjadi dilokasi penelitian. Hal ini penting artinya dalam investigasi tanah longsor karena data ini akan menunjukkan frekuensi kejadian tanah longsor di suatu lokasi. Lokasi yang

22 pernah mengalami kejadian tanah longsor biasanya cenderung akan terus mengalami longsor di masa mendatang. Mengingat sifat dari kejadian tanah longsor itu sendiri yang cenderung terus terjadi apabila tidak dilakukan upaya pencegahan di lokasi yang rawan terjadinya tanah longsor. Uji Statistika Berdasarkan hasil pengamatan dan pengukuran terhadap 32 titik longsor di lokasi penelitian, selanjutnya dilakukan analisis statistik untuk mengetahui pengaruh berbagai variabel terhadap kejadian longsor. Dalam hal ini, dipilih 3 (tiga) variabel tujuan (respon) (Y) yaitu tipe longsor (y1), kondisi zona longsor (y2) dan volume longsor (y 3 ), sedangkan variabel bebasnya (predictor) terdiri dari karakteristik fisik tanah (4 variabel penjelas), vegetasi (3 variabel penjelas), lereng (2 variabel penjelas), landform (3 variabel penjelas), landuse (3 variabel penjelas), dan usaha konservasi (1 variabel penjelas). Hasil analisis multiple regression memberikan gambaran bahwa dari 3 variabel tujuan (y 1, y 2 dan y 3 ) terhadap 16 variabel predictor menunjukkan derajat hubungan (korelasi) yang rendah. Tabel 11 menunjukkan hasil analisis hubungan antara variabel tujuan dengan variabel predictor. Tabel 17. Derajat Hubungan Antara Variabel pada Analisis Multiple Regression Faktor Utama Penyebab Tanah Longsor. Variabel Tujuan (Y) Nilai Keterangan R-Sq R-Sq (adj) Tipe longsor (y 1 ) Zona longsor (y 2 ) Terbaik Volume Longsor (y 3 ) Keterangan : R-Sq : Derajat hubungan antara variabel Dengan menggunakan 5 variabel prediktor (penduga) penyebab longsor yang terpilih dengan menggunakan metode analisis gerombol yaitu ketebalan

23 tanah (v 1 ), keadaan erosi (v 3 ), tekstur tanah (v 4 ), slope (v 9 ) dan landuse/sawah (v13) maka diperoleh model persamaan regresi keadaan zona longsor sebagai berikut : Y = v v v v v 13 di mana : Y : keadaan zona longsor, v 1 : tebal tanah, v 3 v 4 v 9 v 13 : keadaan erosi, : tekstur tanah : slope, : landuse (sawah). Model analisis regresi berganda ini menunjukkan respon yang diberikan oleh variabel tujuan, yaitu Y terhadap berbagai nilai yang diberikan kepada variabel penduga, yaitu v 1, v 3, v 4, v 9 dan v 13. Nilai yang dimasukkan dalam hal ini mengacu pada nilai yang digunakan dalam mengukur suatu variabel bebas seperti yang terdapat pada Tabel 2. Variabel respon (Y) tersebut diatas memiliki 3 nilai, yaitu 1 (zona stabil), 2 (zona potensial longsor) dan 3 (zona rawan longsor). Selanjutnya dari setiap nilai variabel prediktor hasil pengukuran di lapangan akan diperoleh suatu nilai yang apabila dimasukkan ke dalam model di atas akan menghasilkan suatu nilai yang akan menunjukkan kondisi zona longsor di suatu wilayah. Dalam hal ini nilai berbagai variabel prediktor (variabel bebas) yang digunakan juga berpedoman pada kriteria yang telah disusun dalam metodologi penelitian. Tiap variabel prediktor dalam model tersebut memberikan pengaruh yang nyata terhadap tingkat kerentanan zona longsor. Ketebalan tanah (v 1 ) memberikan kontribusi terhadap meningkatnya resiko longsor yang (mungkin) akan terjadi pada zona longsor. Peningkatan beban lereng ini dapat terjadi melalui beberapa cara, antara lain dengan bertambahnya volume air yang dapat

24 ditampung tanah pada musim hujan. Disamping itu, tanah itu sendiri merupakan beban yang dapat menyebabkan material diatas lereng bergerak turun. Pada lokasi penelitian, ketebalan tanah yang mulai rentan longsor terjadi pada ketebalan tanah cm, dimana jumlah kasus longsor yang ditemui 23 kasus. Kondisi zona longsor berpotensi menjadi tanah longsor jika faktor-faktor utama penyebab longsor seperti tingkat kelerengan, penggunaan lahan, vegetasi dan infratsuktur mendukung terjadinya tanah longsor. Faktor besarnya erosi (v 3 ) yang terjadi di lokasi longsor secara signifikan belum dapat dijadikan indikator terhadap kondisi zona longsor. Data hasil pengamatan terhadap erosi yang terjadi di permukaan, hanya menunjukkan 9 kasus (28%) longsor yang terjadi pada tanah yang mengalami erosi. Tekstur tanah (v 4 ) di lokasi penelitian tergolong dalam lempung berliat hingga liat berat. Kondisi zona longsor pada lereng yang mengalami longsor memiliki tekstur tanah yang rentan terhadap longsor dan apabila faktor penyebab longsor lainnya, seperli lereng, tebal tanah, landuse mendukung terjadinya longsor, maka besar peluang zona longsor akan mengalami longsor. Kondisi tekstur tanah dan struktur tanah sangat mempengaruhi kecepatan infiltrasi dan kandungan air permukaan tanah. Air permukaan yang berasal dari curah hujan sebagian akan meresap kedalam tanah atau batuan melalui pori-pori tanah atau rekahan-rekahan yang terdapat pada batuan dan sebagian lagi akan mengalir di atas permukaan tanah. Hal ini akan menyebabkan perubahan pada sifat fisik tanah, yaitu menurunnya gaya kohesi tanah, sehingga kekuatan geser tanah berkurang, sedangkan bobot massa tanahnya bertambah. Akibat lain dari aliran permukaan, yaitu akan menimbulkan penggerusan (erosi) terutama pada daerahdaerah terjal atau tebing aliran sungai, sehingga lereng bagian bawah menjadi

25 lebih terjal dan dapat mempercepat terjadinya gerakan tanah pada lereng bagian atasnya. Faktor kelerengan (v 9 ) adalah unsur topografi yang paling berpengaruh terhadap kerentanan zona longsor. Lereng yang curam dan memiliki arah yang seragam cenderung memiliki resiko bergerak (longsor), terutama apabila faktor tersebut ditunjang oleh tebalnya tanah dan beban yang terdapat diatasnya. Karakter suatu lereng sangat bervariasi terhadap terjadinya longsor dan faktor keterjalan sangat menentukan daya tahan lereng terhadap reaksi perubahan energi (tegangan) pada lereng tersebut. Penambahan beban volume dan melemahnya daya ikat materi penyusun lereng dengan batuan dasar (bedrock) sebagai akibat adanya peresapan/infiltrasi air hujan yang masuk kedalam materi tersebut dapat menyebabkan kelongsoran tanah. Pada kenyataannya tidak semua lahan dengan kondisi yang miring mempunyai potensi untuk longsor. Hal ini tergantung pada karakter lereng (beserta materi penyusunnya) terhadap respon tenaga pemicu terutama respon lereng tersebut terhadap curah hujan. Pola penggunaan lahan (landuse) (v 13 ) untuk persawahan, terutama pada daerah-daerah yang mempunyai kemiringan lereng terjal dapat menyebabkan meningkatnya potensi longsor. Pada lokasi penelitian, terlihat bahwa persawahan intensif memberikan kontribusi besar terhadap kejadian longsor, terutama dengan bertambahnya volume air yang ditampung pada lahan persawahan menyebabkan meningkatnya beban lereng. Lahan persawahan dibuat dengan melakukan modifikasi dan memotong lereng. Aktivitas ini menyebabkan sudut lereng semakin tinggi sehingga memperbesar potensi terjadinya tanah longsor. Selain itu, tanah yang kehilangan vegetasi penutup akan menjadi retak-retak pada musim kemarau dan pada musim penghujan air akan mudah meresap kedalam lapisan tanah melalui retakan tersebut dan dapat menyebabkan lapisan tanah jenuh air sehingga dapat meningkatkan resiko

26 terjadinya tanah longsor. Disamping itu, karakteristik hujan di lokasi penelitian yang tergolong tinggi menyebabkan pada musim hujan persawahan menjadi tempat penampungan air yang apabila terus berlanjut, sangat potensial menjadi tanah longsor. Fungsi yang telah dibangun di atas masih memiliki beberapa kelemahan. Kelemahan tersebut terkait dalam beberapa hal, yaitu 1) jumlah titik pengamatan tanah longsor masih terlalu sedikit, sehingga peluang terjadinya error dalam menetapkan variabel dan pengukuran masih sangat besar dan 2) pemilihan variabel yang diamati belum memberikan keterkaitan secara nyata terhadap fenomena tanah longsor,

METODOLOGI. Tempat dan Waktu Penelitian. Penelitian identifikasi dan penentuan faktor-faktor utama penyebab tanah

METODOLOGI. Tempat dan Waktu Penelitian. Penelitian identifikasi dan penentuan faktor-faktor utama penyebab tanah METODOLOGI Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian identifikasi dan penentuan faktor-faktor utama penyebab tanah longsor merupakan suatu studi kasus terhadap berbagai kasus longsor yang terjadi di Kabupaten

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang B. Rumusan Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang B. Rumusan Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Di Indonesia banyak sekali daerah yang,mengalami longsoran tanah yang tersebar di daerah-daerah pegunngan di Indonesia. Gerakan tanah atau biasa di sebut tanah longsor

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Erosi Erosi adalah hilangnya atau terkikisnya tanah dari suatu tempat ke tempat lain melalui media air atau angin. Erosi melalui media angin disebabkan oleh kekuatan angin sedangkan

Lebih terperinci

BAB II FAKTOR PENENTU KEPEKAAN TANAH TERHADAP LONGSOR DAN EROSI

BAB II FAKTOR PENENTU KEPEKAAN TANAH TERHADAP LONGSOR DAN EROSI BAB II FAKTOR PENENTU KEPEKAAN TANAH TERHADAP LONGSOR DAN EROSI Pengetahuan tentang faktor penentu kepekaan tanah terhadap longsor dan erosi akan memperkaya wawasan dan memperkuat landasan dari pengambil

Lebih terperinci

TANAH LONGSOR; merupakan salah satu bentuk gerakan tanah, suatu produk dari proses gangguan keseimbangan lereng yang menyebabkan bergeraknya massa

TANAH LONGSOR; merupakan salah satu bentuk gerakan tanah, suatu produk dari proses gangguan keseimbangan lereng yang menyebabkan bergeraknya massa AY 12 TANAH LONGSOR; merupakan salah satu bentuk gerakan tanah, suatu produk dari proses gangguan keseimbangan lereng yang menyebabkan bergeraknya massa tanah ke tempat yang relatif lebih rendah. Longsoran

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia terletak pada pertemuan tiga lempeng dunia yaitu lempeng Eurasia, lempeng Pasifik, dan lempeng Australia yang bergerak saling menumbuk. Akibat tumbukan antara

Lebih terperinci

KEMENTERIAN ENERGI DAN SUMBER DAYA MINERAL REPUBLIK INDONESIA BADAN GEOLOGI

KEMENTERIAN ENERGI DAN SUMBER DAYA MINERAL REPUBLIK INDONESIA BADAN GEOLOGI KEMENTERIAN ENERGI DAN SUMBER DAYA MINERAL REPUBLIK INDONESIA BADAN GEOLOGI JALAN DIPONEGORO NO. 57 BANDUNG 40122 JALAN JEND. GATOT SUBROTO KAV. 49 JAKARTA 12950 Telepon: 022-7212834, 5228424, 021-5228371

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Longsor. Gerakan tanah atau lebih dikenal dengan istilah tanah longsor adalah

TINJAUAN PUSTAKA. Longsor. Gerakan tanah atau lebih dikenal dengan istilah tanah longsor adalah TINJAUAN PUSTAKA Longsor Gerakan tanah atau lebih dikenal dengan istilah tanah longsor adalah suatu produk dari proses gangguan keseimbangan lereng yang menyebabkan bergeraknya massa tanah dan batuan ke

Lebih terperinci

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN 35 BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Curah Hujan Data curah hujan yang terjadi di lokasi penelitian selama 5 tahun, yaitu Januari 2006 hingga Desember 2010 disajikan dalam Gambar 5.1. CH (mm) 600 500 400

Lebih terperinci

I. Pendahuluan Tanah longsor merupakan sebuah bencana alam, yaitu bergeraknya sebuah massa tanah dan/atau batuan menuruni lereng akibat adanya gaya

I. Pendahuluan Tanah longsor merupakan sebuah bencana alam, yaitu bergeraknya sebuah massa tanah dan/atau batuan menuruni lereng akibat adanya gaya I. Pendahuluan Tanah longsor merupakan sebuah bencana alam, yaitu bergeraknya sebuah massa tanah dan/atau batuan menuruni lereng akibat adanya gaya gravitasi. Tanah longsor sangat rawan terjadi di kawasan

Lebih terperinci

Longsoran translasi adalah ber-geraknya massa tanah dan batuan pada bidang gelincir berbentuk rata atau menggelombang landai.

Longsoran translasi adalah ber-geraknya massa tanah dan batuan pada bidang gelincir berbentuk rata atau menggelombang landai. Tipe-Tipe Tanah Longsor 1. Longsoran Translasi Longsoran translasi adalah ber-geraknya massa tanah dan batuan pada bidang gelincir berbentuk rata atau menggelombang landai. 2. Longsoran Rotasi Longsoran

Lebih terperinci

GERAKAN TANAH DAN BANJIR BANDANG DI WILAYAH KECAMATAN TAHUNA DAN SEKITARNYA, KABUPATEN SANGIHE, SULAWESI UTARA

GERAKAN TANAH DAN BANJIR BANDANG DI WILAYAH KECAMATAN TAHUNA DAN SEKITARNYA, KABUPATEN SANGIHE, SULAWESI UTARA GERAKAN TANAH DAN BANJIR BANDANG DI WILAYAH KECAMATAN TAHUNA DAN SEKITARNYA, KABUPATEN SANGIHE, SULAWESI UTARA SURANTA Penyelidik Bumi Madya, pada Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi Sari Wilayah

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. air. Melalui periode ulang, dapat ditentukan nilai debit rencana. Debit banjir

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. air. Melalui periode ulang, dapat ditentukan nilai debit rencana. Debit banjir BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Debit Banjir Rencana Debit banjir rencana adalah debit maksimum di sungai atau saluran alamiah dengan periode ulang (rata-rata) yang sudah ditentukan yang dapat dialirkan tanpa

Lebih terperinci

Identifikasi Daerah Rawan Longsor

Identifikasi Daerah Rawan Longsor Identifikasi Daerah Rawan Longsor Oleh : Idung Risdiyanto Longsor dan erosi adalah proses berpindahnya tanah atau batuan dari satu tempat yang lebih tinggi ke tempat yang lebih rendah akibat dorongan air,

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. atau menurunnya kekuatan geser suatu massa tanah. Dengan kata lain, kekuatan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. atau menurunnya kekuatan geser suatu massa tanah. Dengan kata lain, kekuatan BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Kelongsoran Tanah Kelongsoran tanah merupakan salah satu yang paling sering terjadi pada bidang geoteknik akibat meningkatnya tegangan geser suatu massa tanah atau menurunnya

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Penggunaan Lahan

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Penggunaan Lahan 4 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Penggunaan Lahan Menurut Lillesand dan Kiefer (1997) penggunaan lahan berkaitan dengan kegiatan manusia pada bidang lahan tertentu. Penggunaan lahan juga diartikan sebagai setiap

Lebih terperinci

EROSI DAN SEDIMENTASI

EROSI DAN SEDIMENTASI EROSI DAN SEDIMENTASI I. PENDAHULUAN Konservasi tanah dalam arti yang luas adalah penempatan setiap bidang tanah pada cara penggunaan yang sesuai dengan kemampuan tanah tersebut dan memperlakukannya sesuai

Lebih terperinci

GERAKAN TANAH DI KAMPUNG BOJONGSARI, DESA SEDAPAINGAN, KECAMATAN PANAWANGAN, KABUPATEN CIAMIS, JAWA BARAT

GERAKAN TANAH DI KAMPUNG BOJONGSARI, DESA SEDAPAINGAN, KECAMATAN PANAWANGAN, KABUPATEN CIAMIS, JAWA BARAT GERAKAN TANAH DI KAMPUNG BOJONGSARI, DESA SEDAPAINGAN, KECAMATAN PANAWANGAN, KABUPATEN CIAMIS, JAWA BARAT RACHMAN SOBARNA Penyelidik Bumi Madya pada Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi Sari

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN 13 BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Waktu dan Lokasi Penelitian Penelitian dilaksanakan pada bulan Juli-September 2011, dengan lokasi penelitian untuk pengamatan dan pengambilan data di Kabupaten Bogor, Jawa

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Kabupaten Temanggung terletak di tengah-tengah Propinsi Jawa Tengah

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Kabupaten Temanggung terletak di tengah-tengah Propinsi Jawa Tengah 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kabupaten Temanggung terletak di tengah-tengah Propinsi Jawa Tengah dengan bentangan Utara ke Selatan 34,375 Km dan Timur ke Barat 43,437 Km. kabupaten Temanggung secara

Lebih terperinci

IV. KONDISI UMUM 4.1 Kondisi Fisik Wilayah Administrasi

IV. KONDISI UMUM 4.1 Kondisi Fisik Wilayah Administrasi IV. KONDISI UMUM 4.1 Kondisi Fisik 4.1.1 Wilayah Administrasi Kota Bandung merupakan Ibukota Propinsi Jawa Barat. Kota Bandung terletak pada 6 o 49 58 hingga 6 o 58 38 Lintang Selatan dan 107 o 32 32 hingga

Lebih terperinci

Erosi. Rekayasa Hidrologi

Erosi. Rekayasa Hidrologi Erosi Rekayasa Hidrologi Erosi adalah suatu proses atau peristiwa hilangnya lapisan permukaan tanah atas, baik disebabkan oleh pergerakan air maupun angin. Erosi merupakan tiga proses yang berurutan, yaitu

Lebih terperinci

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Letak dan Ciri-ciri Lintasan Sepeda Gunung Letak lintasan sepeda gunung di HPGW disajikan dalam Gambar 5. Ciricirinya disajikan dalam Tabel 9. Tabel 9 Keadaan plot penelitian

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI

BAB II LANDASAN TEORI BAB II LANDASAN TEORI 2.1 Uraian Umum Embung merupakan bangunan air yang selama pelaksanaan perencanaan diperlukan berbagai bidang ilmu guna saling mendukung demi kesempurnaan hasil perencanaan. Bidang

Lebih terperinci

PAPER KARAKTERISTIK HIDROLOGI PADA BENTUK LAHAN VULKANIK

PAPER KARAKTERISTIK HIDROLOGI PADA BENTUK LAHAN VULKANIK PAPER KARAKTERISTIK HIDROLOGI PADA BENTUK LAHAN VULKANIK Nama Kelompok : IN AM AZIZUR ROMADHON (1514031021) MUHAMAD FAISAL (1514031013) I NENGAH SUMANA (1514031017) I PUTU MARTHA UTAMA (1514031014) Jurusan

Lebih terperinci

Tanah dapat diartikan sebagai lapisan kulit bumi bagian luar yang merupakan hasil pelapukan dan pengendapan batuan. Di dala

Tanah dapat diartikan sebagai lapisan kulit bumi bagian luar yang merupakan hasil pelapukan dan pengendapan batuan. Di dala Geografi Tanah dapat diartikan sebagai lapisan kulit bumi bagian luar yang merupakan hasil pelapukan dan pengendapan batuan. Di dala TANAH Tanah dapat diartikan sebagai lapisan kulit bumi bagian luar yang

Lebih terperinci

JIME, Vol. 3. No. 1 ISSN April 2017

JIME, Vol. 3. No. 1 ISSN April 2017 TINGKAT KERAWANAN TANAH LONGSOR DI DUSUN LANDUNGAN DESA GUNTUR MACAN KECAMATAN GUNUNGSARI KABUPATEN LOMBOK BARAT Khosiah & Ana Ariani Dosen Universitas Muhammadiyah Mataram Email: osynasdem01@gmail.com

Lebih terperinci

TANAH / PEDOSFER. OLEH : SOFIA ZAHRO, S.Pd

TANAH / PEDOSFER. OLEH : SOFIA ZAHRO, S.Pd TANAH / PEDOSFER OLEH : SOFIA ZAHRO, S.Pd 1.Definisi Tanah adalah kumpulan dari benda alam di permukaan bumi yang tersusun dalam horizon-horizon, terdiri dari campuran bahan mineral organic, air, udara

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pengertian dan Batasan Longsor 2.2 Jenis Longsor

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pengertian dan Batasan Longsor 2.2 Jenis Longsor II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pengertian dan Batasan Longsor Longsor adalah gerakan tanah atau batuan ke bawah lereng karena pengaruh gravitasi tanpa bantuan langsung dari media lain seperti air, angin atau

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA Infiltrasi

TINJAUAN PUSTAKA Infiltrasi 2 TINJAUAN PUSTAKA Infiltrasi Infiltrasi didefinisikan sebagai proses masuknya air ke dalam tanah melalui permukaan tanah. Umumnya, infiltrasi yang dimaksud adalah infiltrasi vertikal, yaitu gerakan ke

Lebih terperinci

BKM IV. HASIL DAN PEMBAHASAN Parameter dan Kurva Infiltrasi

BKM IV. HASIL DAN PEMBAHASAN Parameter dan Kurva Infiltrasi % liat = [ H,( T 68),] BKM % debu = 1 % liat % pasir 1% Semua analisis sifat fisik tanah dibutuhkan untuk mengetahui karakteristik tanah dalam mempengaruhi infiltrasi. 3. 3... pf pf ialah logaritma dari

Lebih terperinci

MODEL PENANGGULANGAN BANJIR. Oleh: Dede Sugandi*)

MODEL PENANGGULANGAN BANJIR. Oleh: Dede Sugandi*) MODEL PENANGGULANGAN BANJIR Oleh: Dede Sugandi*) ABSTRAK Banjir dan genangan merupakan masalah tahunan dan memberikan pengaruh besar terhadap kondisi masyarakat baik secara social, ekonomi maupun lingkungan.

Lebih terperinci

Teknik Konservasi Waduk

Teknik Konservasi Waduk Teknik Konservasi Waduk Pendugaan Erosi Untuk memperkirakan besarnya laju erosi dalam studi ini menggunakan metode USLE (Universal Soil Loss Equation) atau PUKT (Persamaan umum Kehilangan Tanah). USLE

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pangan saat ini sedang dialami oleh masyarakat di beberapa bagian belahan dunia.

BAB I PENDAHULUAN. pangan saat ini sedang dialami oleh masyarakat di beberapa bagian belahan dunia. BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kehidupan manusia senantiasa berkembang dari masa ke masa, konsekuensinya kebutuhan primer semakin bertambah terutama pangan. Krisis pangan saat ini sedang dialami

Lebih terperinci

KEADAAN UMUM DAERAH PENELITIAN. Letak Geografis. Daerah penelitian terletak pada BT dan

KEADAAN UMUM DAERAH PENELITIAN. Letak Geografis. Daerah penelitian terletak pada BT dan KEADAAN UMUM DAERAH PENELITIAN Letak Geografis Daerah penelitian terletak pada 15 7 55.5 BT - 15 8 2.4 dan 5 17 1.6 LS - 5 17 27.6 LS. Secara administratif lokasi penelitian termasuk ke dalam wilayah Desa

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PIKIR. Menurut seorang ilmuwan kuno yang bernama Eratosthenes Geografi berasal

II. TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PIKIR. Menurut seorang ilmuwan kuno yang bernama Eratosthenes Geografi berasal 8 II. TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PIKIR A. Tinjauan Pustaka 1. Longsor dalam kajian Geografi Menurut seorang ilmuwan kuno yang bernama Eratosthenes Geografi berasal dari bahasa Yunani Geographia yang

Lebih terperinci

BAB III PENGENDALIAN LONGSOR Identifikasi dan Delineasi Daerah Rawan Longsor

BAB III PENGENDALIAN LONGSOR Identifikasi dan Delineasi Daerah Rawan Longsor BAB III PENGENDALIAN LONGSOR Daerah rawan longsor harus dijadikan areal konservasi, sehingga bebas dari kegiatan pertanian, pembangunan perumahan dan infrastruktur. Apabila lahan digunakan untuk perumahan

Lebih terperinci

TUGAS TEKNOLOGI KONSERVASI SUMBER DAYA LAHAN

TUGAS TEKNOLOGI KONSERVASI SUMBER DAYA LAHAN TUGAS TEKNOLOGI KONSERVASI SUMBER DAYA LAHAN Penanggulangan Kerusakan Lahan Akibat Erosi Tanah OLEH: RESTI AMELIA SUSANTI 0810480202 PROGRAM STUDI AGROEKOTEKNOLOGI FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS BRAWIJAYA

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. jenuh air atau bidang luncur. (Paimin, dkk. 2009) Sutikno, dkk. (2002) dalam Rudiyanto (2010) mengatakan bahwa

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. jenuh air atau bidang luncur. (Paimin, dkk. 2009) Sutikno, dkk. (2002) dalam Rudiyanto (2010) mengatakan bahwa BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Longsorlahan Longsorlahan adalah salah satu bentuk dari gerak masa tanah, batuan dan runtuhan batu/tanah yang terjadi seketika bergerak menuju lereng bawah yang dikendalikan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Kebutuhan akan lahan untuk berbagai kepentingan manusia semakin lama

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Kebutuhan akan lahan untuk berbagai kepentingan manusia semakin lama BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kebutuhan akan lahan untuk berbagai kepentingan manusia semakin lama semakin meningkat. Seiring dengan semakin meningkatnya populasi manusia. Dengan kata lain

Lebih terperinci

PENGEMBANGAN KONSERVASI LAHAN TERHADAP EROSI PARIT/JURANG (GULLY EROSION) PADA SUB DAS LESTI DI KABUPATEN MALANG

PENGEMBANGAN KONSERVASI LAHAN TERHADAP EROSI PARIT/JURANG (GULLY EROSION) PADA SUB DAS LESTI DI KABUPATEN MALANG Konservasi Lahan Sub DAS Lesti Erni Yulianti PENGEMBANGAN KONSERVASI LAHAN TERHADAP EROSI PARIT/JURANG (GULLY EROSION) PADA SUB DAS LESTI DI KABUPATEN MALANG Erni Yulianti Dosen Teknik Pengairan FTSP ITN

Lebih terperinci

BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI. Berdasarkan hasil analisis mengenai dampak perubahan penggunaan lahan

BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI. Berdasarkan hasil analisis mengenai dampak perubahan penggunaan lahan BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI 5.1 Kesimpulan Berdasarkan hasil analisis mengenai dampak perubahan penggunaan lahan terhadap kondisi hidrologis di Sub Daerah Aliran Ci Karo, maka penulis dapat menarik

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. memiliki kerentanan longsor yang cukup besar. Meningkatnya intensitas hujan

BAB I PENDAHULUAN. memiliki kerentanan longsor yang cukup besar. Meningkatnya intensitas hujan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia yang berada pada iklim tropis dengan curah hujan yang tinggi memiliki kerentanan longsor yang cukup besar. Meningkatnya intensitas hujan mengakibatkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. utama dunia yaitu lempeng Eurasia, lempeng Indo-Australia dan lempeng. Indonesia juga merupakan negara yang kaya akan hasil alam.

BAB I PENDAHULUAN. utama dunia yaitu lempeng Eurasia, lempeng Indo-Australia dan lempeng. Indonesia juga merupakan negara yang kaya akan hasil alam. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia merupakan negara yang berada pada pertemuan tiga lempeng utama dunia yaitu lempeng Eurasia, lempeng Indo-Australia dan lempeng pasifik. Pertemuan tiga

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Lahan merupakan sumberdaya yang sangat penting untuk memenuhi

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Lahan merupakan sumberdaya yang sangat penting untuk memenuhi 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Lahan merupakan sumberdaya yang sangat penting untuk memenuhi segala kebutuhan hidup, sehingga dalam pengelolaannya harus sesuai dengan kemampuannya agar tidak menurunkan

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. Latar Belakang

PENDAHULUAN. Latar Belakang 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Hutan tropis di Indonesia meliputi areal seluas 143 juta hektar dengan berbagai tipe dan peruntukan (Murdiyarso dan Satjaprapdja, 1997). Kerusakan hutan (deforestasi) masih

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA II.1 Pengertian Gerakan tanah adalah suatu proses perpindahan massa tanah/batuan dengan arah tegak, mendatar atau miring dari kedudukan semula dikarenakan pengaruh gravitasi, arus

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. adalah perbandingan relatif pasir, debu dan tanah lempung. Laju dan berapa jauh

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. adalah perbandingan relatif pasir, debu dan tanah lempung. Laju dan berapa jauh BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Sifat Fisik Tanah Perbandingan relatif antar partikel tanah dinyatakan dalam istilah tekstur, yang mengacu pada kehalusan atau kekasaran tanah. Lebih khasnya, tekstur adalah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Lahan merupakan salah satu sumberdaya alam yang dibutuhkan umat

BAB I PENDAHULUAN. Lahan merupakan salah satu sumberdaya alam yang dibutuhkan umat BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Lahan merupakan salah satu sumberdaya alam yang dibutuhkan umat manusia. Pengertian lahan dari FAO (1976) yang dikutip oleh Sitorus (1998), yaitu : Lahan merupakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG

BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG Berdasarkan UU No 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang, pasal 6 ayat (1), disebutkan bahwa Penataan Ruang di selenggarakan dengan memperhatikan kondisi fisik wilayah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Air merupakan sumber daya yang sangat penting untuk kehidupan

BAB I PENDAHULUAN. Air merupakan sumber daya yang sangat penting untuk kehidupan 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Air merupakan sumber daya yang sangat penting untuk kehidupan makhluk hidup khususnya manusia, antara lain untuk kebutuhan rumah tangga, pertanian, industri dan tenaga

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN. Neraca Kebutuhan dan Ketersediaan Air. dilakukan dengan pendekatan supply-demand, dimana supply merupakan

HASIL DAN PEMBAHASAN. Neraca Kebutuhan dan Ketersediaan Air. dilakukan dengan pendekatan supply-demand, dimana supply merupakan 31 HASIL DAN PEMBAHASAN Neraca Kebutuhan dan Ketersediaan Air Kondisi Saat ini Perhitungan neraca kebutuhan dan ketersediaan air di DAS Waeruhu dilakukan dengan pendekatan supply-demand, dimana supply

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. peningkatan kebutuhan manusia akibat dari pertambahan jumlah penduduk maka

BAB I PENDAHULUAN. peningkatan kebutuhan manusia akibat dari pertambahan jumlah penduduk maka 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Sumberdaya lahan merupakan komponen sumberdaya alam yang ketersediaannya sangat terbatas dan secara relatif memiliki luas yang tetap serta sangat bermanfaat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN LATAR BELAKANG

BAB I PENDAHULUAN LATAR BELAKANG 1 BAB I PENDAHULUAN 1. 1. LATAR BELAKANG Gunungpati merupakan daerah berbukit di sisi utara Gunung Ungaran dengan kemiringan dan panjang yang bervariasi. Sungai utama yang melintas dan mengalir melalui

Lebih terperinci

LAPORAN EVALUASI AWAL BENCANA TANAH LONGSOR DESA BANARAN, KECAMATAN PULUNG, KABUPATEN PONOROGO

LAPORAN EVALUASI AWAL BENCANA TANAH LONGSOR DESA BANARAN, KECAMATAN PULUNG, KABUPATEN PONOROGO LAPORAN EVALUASI AWAL BENCANA TANAH LONGSOR DESA BANARAN, KECAMATAN PULUNG, KABUPATEN PONOROGO 1. Gambaran Umum a) Secara geografi Desa Banaran, Kecamatan Pulung terletak di lereng Gunung Wilis sebelah

Lebih terperinci

125 permukaan dan perhitungan erosi berasal dari data pengukuran hujan sebanyak 9 kejadian hujan. Perbandingan pada data hasil tersebut dilakukan deng

125 permukaan dan perhitungan erosi berasal dari data pengukuran hujan sebanyak 9 kejadian hujan. Perbandingan pada data hasil tersebut dilakukan deng 124 Bab VI Kesimpulan Lokasi penelitian, berupa lahan pertanian dengan kondisi baru diolah, tanah memiliki struktur tanah yang remah lepas dan jenis tanah lempung berlanau dengan persentase partikel tanah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Bencana alam sebagai salah satu fenomena alam dapat terjadi setiap saat,

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Bencana alam sebagai salah satu fenomena alam dapat terjadi setiap saat, A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN Bencana alam sebagai salah satu fenomena alam dapat terjadi setiap saat, dimanapun dan kapanpun, sehingga dapat menimbulkan kerugian material dan imaterial bagi

Lebih terperinci

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

V. HASIL DAN PEMBAHASAN 34 V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1. Pemetaan Titik-Titik Longsor di Kabupaten Garut Pemetaan titik-titk longsor di daerah penelitian dilakukan melalui observasi langsung di lapangan. Titik-titik longsor yang

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. Berdasarkan data Bappenas 2007, kota Jakarta dilanda banjir sejak tahun

PENDAHULUAN. Berdasarkan data Bappenas 2007, kota Jakarta dilanda banjir sejak tahun PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Berdasarkan data Bappenas 2007, kota Jakarta dilanda banjir sejak tahun 1621, 1654 dan 1918, kemudian pada tahun 1976, 1997, 2002 dan 2007. Banjir di Jakarta yang terjadi

Lebih terperinci

EROSI DAN FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI OLEH: MUH. ANSAR SARTIKA LABAN

EROSI DAN FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI OLEH: MUH. ANSAR SARTIKA LABAN EROSI DAN FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI OLEH: MUH. ANSAR SARTIKA LABAN Quis 1. Jelaskan pengertian erosi. 2. Jelaskan faktor-faktor yang mempengaruhi erosi. 3. Apakah erosi perlu dicegah/dikendalikan?

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Uraian Umum Sedimentasi dapat didefinisikan sebagai pengangkutan, melayangnya (suspensi) atau mengendapnya material fragmental oleh air.sedimentasi merupakan akibat dari adanya

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN Kandungan nitrogen tanah bervariasi dari satu tempat ke tempat lainnya. Variasi kandungan nitrogen dalam tanah terjadi akibat perubahan topografi, di samping pengaruh iklim, jumlah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. manusia. Proses erosi karena kegiatan manusia kebanyakan disebabkan oleh

BAB I PENDAHULUAN. manusia. Proses erosi karena kegiatan manusia kebanyakan disebabkan oleh BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Erosi merupakan proses penghancuran dan pengangkutan partikel-partikel tanah oleh tenaga erosi (presipitasi, angin) (Kusumandari, 2011). Erosi secara umum dapat disebabkan

Lebih terperinci

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

V. HASIL DAN PEMBAHASAN V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1. Kadar Air Tanah Air merupakan salah satu komponen penting yang dibutuhkan oleh tanaman baik pohon maupun tanaman semusim untuk tumbuh, berkembang dan berproduksi. Air yang

Lebih terperinci

BAB IV STUDI LONGSORAN

BAB IV STUDI LONGSORAN BAB IV STUDI LONGSORAN A. Teori Dasar Fell drr. (2008) mendefinisikan longsoran sebagai pergerakan massa batuan, debris, atau tanah ke bawah lereng. Pergerakan tersebut dapat dipengaruhi oleh beberapa

Lebih terperinci

DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL... HALAMAN PERSETUJUAN... KATA PENGANTAR... PERNYATAAN KEASLIAN PENELITIAN... DAFTAR ISI... DAFTAR GAMBAR... DAFTAR TABEL...

DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL... HALAMAN PERSETUJUAN... KATA PENGANTAR... PERNYATAAN KEASLIAN PENELITIAN... DAFTAR ISI... DAFTAR GAMBAR... DAFTAR TABEL... DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL... HALAMAN PERSETUJUAN... KATA PENGANTAR... PERNYATAAN KEASLIAN PENELITIAN... DAFTAR ISI... DAFTAR GAMBAR... DAFTAR TABEL... DAFTAR PETA... INTISARI... ABSTRACT... i ii iii iv

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Geomorfologi merupakan ilmu yang mempelajari tentang bentuklahan, meliputi proses-proses yang bekerja terhadap batuan induk dan perubahanperubahan yang terjadi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. hidrologi di suatu Daerah Aliran sungai. Menurut peraturan pemerintah No. 37

BAB I PENDAHULUAN. hidrologi di suatu Daerah Aliran sungai. Menurut peraturan pemerintah No. 37 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Hujan adalah jatuhnya air hujan dari atmosfer ke permukaan bumi dalam wujud cair maupun es. Hujan merupakan faktor utama dalam pengendalian daur hidrologi di suatu

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Gambir (Uncaria gambir Roxb.) merupakan salah satu komoditas perkebunan yang memiliki nilai ekonomi cukup tinggi serta memiliki prospek yang baik bagi petani maupun

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Degradasi lahan atau kerusakan lahan merupakan faktor utama penyebab

I. PENDAHULUAN. Degradasi lahan atau kerusakan lahan merupakan faktor utama penyebab I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Degradasi lahan atau kerusakan lahan merupakan faktor utama penyebab menurunnya produktivitas suatu lahan. Degradasi lahan adalah kondisi lahan yang tidak mampu menjadi

Lebih terperinci

Bab I Pendahuluan. I.1 Latar Belakang

Bab I Pendahuluan. I.1 Latar Belakang 1 Bab I Pendahuluan I.1 Latar Belakang Erosi adalah proses terkikis dan terangkutnya tanah atau bagian bagian tanah oleh media alami yang berupa air. Tanah dan bagian bagian tanah yang terangkut dari suatu

Lebih terperinci

BAB III LANDASAN TEORI

BAB III LANDASAN TEORI BAB III LANDASAN TEORI 3.1 Erosi Erosi adalah lepasnya material dasar dari tebing sungai, erosi yang dilakukan oleh air dapat dilakukan dengan berbagai cara, yaitu : a. Quarrying, yaitu pendongkelan batuan

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Karakteristik Hujan

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Karakteristik Hujan II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Karakteristik Hujan Curah hujan adalah volume air yang jatuh pada suatu areal tertentu (Arsyad, 2010). Menurut Tjasyono (2004), curah hujan yaitu jumlah air hujan yang turun pada

Lebih terperinci

Evaluasi Lahan. Evaluasi Kemampuan Lahan

Evaluasi Lahan. Evaluasi Kemampuan Lahan Evaluasi Lahan Evaluasi Kemampuan Lahan Evaluasi Lahan Penilaian kinerja lahan (land performance) untuk penggunaan tertentu Kegiatan Evaluasi Lahan meliputi survai lahan interpretasi data hasil survai

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Infiltrasi Menurut Munaljid dkk. (2015) infiltrasi adalah proses masuknya air dari atas (surface) kedalam tanah. Gerak air di dalam tanah melalui pori pori tanah dipengaruhi

Lebih terperinci

BAB III LANDASAN TEORI. A. Metode USLE

BAB III LANDASAN TEORI. A. Metode USLE BAB III LANDASAN TEORI A. Metode USLE Metode Universal Soil Loss Equation (USLE) merupakan model empiris yang dikembangkan di Pusat Data Aliran Permukaan dan Erosi Nasional, Dinas Penelitian Pertanian,

Lebih terperinci

BAB III LANDASAN TEORI. A. Metode MUSLE

BAB III LANDASAN TEORI. A. Metode MUSLE BAB III LANDASAN TEORI A. Metode MUSLE Metode MUSLE (Modify Universal Soil Loss Equation) adalah modifikasi dari metode USLE (Soil Loss Equation), yaitu dengan mengganti faktor erosivitas hujan (R) dengan

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif. Penelitian deskriptif

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif. Penelitian deskriptif BAB III METODE PENELITIAN A. Desain Penelitian Desain penelitian adalah semua proses yang diperlukan dalam perencanaan dan pelaksanaan penelitian. Dalam pengertian yang lebih sempit, desain penelitian

Lebih terperinci

KONSERVASI LAHAN: Pemilihan Teknik Konservasi, Fungsi Seresah dan Cacing Tanah, dan mulsa organik

KONSERVASI LAHAN: Pemilihan Teknik Konservasi, Fungsi Seresah dan Cacing Tanah, dan mulsa organik KONSERVASI LAHAN: Pemilihan Teknik Konservasi, Fungsi Seresah dan Cacing Tanah, dan mulsa organik Latar Belakang: Penghutan kembali atau reboisasi telah banyak dilakukan oleh multipihak untuk menyukseskan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penelitian BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penelitian Indonesia terletak pada pertemuan tiga lempeng dunia yaitu lempeng Eurasia, lempeng Pasifik, dan lempeng Australia yang selalu bergerak dan saling menumbuk.

Lebih terperinci

Geologi Daerah Perbukitan Rumu, Buton Selatan 19 Tugas Akhir A - Yashinto Sindhu P /

Geologi Daerah Perbukitan Rumu, Buton Selatan 19 Tugas Akhir A - Yashinto Sindhu P / BAB III GEOLOGI DAERAH PERBUKITAN RUMU 3.1 Geomorfologi Perbukitan Rumu Bentang alam yang terbentuk pada saat ini merupakan hasil dari pengaruh struktur, proses dan tahapan yang terjadi pada suatu daerah

Lebih terperinci

mampu menurunkan kemampuan fungsi lingkungan, baik sebagai media pula terhadap makhluk hidup yang memanfaatkannya. Namun dengan

mampu menurunkan kemampuan fungsi lingkungan, baik sebagai media pula terhadap makhluk hidup yang memanfaatkannya. Namun dengan Latar Belakang Tanah merupakan salah satu sumber daya alam yang utama memegang posisi penting dalam kelestarian lingkungan. Kemerosotan kemampuan tanah yang ditunjukkan dengan meningkatnya laju erosi dari

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Hubungan Curah Hujan dengan Koefisien Regim Sungai (KRS) DAS Ciliwung Hulu Penggunaan indikator koefisien regim sungai pada penelitian ini hanya digunakan untuk DAS Ciliwung

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA Pertumbuhan Penduduk dan Dampaknya terhadap Perkembangan Suatu Wilayah

II. TINJAUAN PUSTAKA Pertumbuhan Penduduk dan Dampaknya terhadap Perkembangan Suatu Wilayah 3 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Pertumbuhan Penduduk dan Dampaknya terhadap Perkembangan Suatu Wilayah Pertumbuhan penduduk adalah perubahan jumlah penduduk di suatu wilayah tertentu pada waktu tertentu dibandingkan

Lebih terperinci

BAB II DESKRIPSI KONDISI LOKASI

BAB II DESKRIPSI KONDISI LOKASI BAB II DESKRIPSI KONDISI LOKASI 2.1. Tinjauan Umum Untuk dapat merencanakan penanganan kelongsoran tebing pada suatu lokasi, terlebih dahulu harus diketahui kondisi existing dari lokasi tersebut. Beberapa

Lebih terperinci

KEJADIAN GERAKAN TANAH DAN BANJIR BANDANG PADA TANGGAL 20 APRIL 2008 DI KECAMATAN REMBON, KABUPATEN TANA TORAJA, PROVINSI SULAWESI SELATAN

KEJADIAN GERAKAN TANAH DAN BANJIR BANDANG PADA TANGGAL 20 APRIL 2008 DI KECAMATAN REMBON, KABUPATEN TANA TORAJA, PROVINSI SULAWESI SELATAN Kejadian gerakan tanah dan banjir bandang pada tanggal 20 April 2008 di Kecamatan Rembon, Kabupaten Tanatoraja, Provinsi Sulawesi Selatan (Suranta) KEJADIAN GERAKAN TANAH DAN BANJIR BANDANG PADA TANGGAL

Lebih terperinci

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA BAB II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Definisi Daerah Aliran Sungai (DAS) Definisi daerah aliran sungai dapat berbeda-beda menurut pandangan dari berbagai aspek, diantaranya menurut kamus penataan ruang dan wilayah,

Lebih terperinci

Bencana Longsor yang Berulang dan Mitigasi yang Belum Berhasil di Jabodetabek

Bencana Longsor yang Berulang dan Mitigasi yang Belum Berhasil di Jabodetabek Bencana Longsor yang Berulang dan Mitigasi yang Belum Berhasil di Jabodetabek Oleh : Baba Barus Ketua PS Mitigasi Bencana Kerusakan Lahan Sekolah Pasca Sarjana, IPB Diskusi Pakar "Bencana Berulang di Jabodetabek:

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. lempeng tektonik besar yaitu lempeng Indo-Australia, Eurasia dan Pasifik. Daerah

BAB I PENDAHULUAN. lempeng tektonik besar yaitu lempeng Indo-Australia, Eurasia dan Pasifik. Daerah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia merupakan negara kepulauan yang terletak pada pertemuan tiga lempeng tektonik besar yaitu lempeng Indo-Australia, Eurasia dan Pasifik. Daerah pertemuan antar

Lebih terperinci

1/3/2017 PROSES EROSI

1/3/2017 PROSES EROSI PROSES EROSI 1 Mengapa Erosi terjadi? Ini sangat tergantung pada daya kesetimbangan antara air hujan (atau limpasan) dengan tanah. Air hujan dan runoff befungsi sebagai transport. Jika tenaga yang berlaku

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Tanah lempung adalah tanah yang memiliki partikel-partikel mineral tertentu

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Tanah lempung adalah tanah yang memiliki partikel-partikel mineral tertentu 7 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Tanah Lempung Tanah lempung adalah tanah yang memiliki partikel-partikel mineral tertentu yang menghasilkan sifat-sifat plastis pada tanah bila dicampur dengan air (Grim,

Lebih terperinci

VIII. KONSERVASI TANAH DAN AIR

VIII. KONSERVASI TANAH DAN AIR VIII. KONSERVASI TANAH DAN AIR KONSERVASI TANAH : Penggunaan tanah sesuai dengan kelas kemampuan tanah dan memperlakukan tanah tersebut agar tidak mengalami kerusakkan. Berarti : 1. menjaga tanah agar

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Daerah Aliran Sungai (DAS) Biru terletak di Kabupaten Wonogiri, tepatnya di Kecamatan Purwantoro dan Kecamatan Bulukerto. Lokasinya terletak di bagian lereng

Lebih terperinci

BAB 2 FENOMENA LONGSOR DAN METODE PENENTUAN WILAYAH RAWAN LONGSOR

BAB 2 FENOMENA LONGSOR DAN METODE PENENTUAN WILAYAH RAWAN LONGSOR BAB 2 FENOMENA LONGSOR DAN METODE PENENTUAN WILAYAH RAWAN LONGSOR 2.1 Fenomena Longsor Longsor atau gerakan tanah merupakan salah satu bencana geologis yang disebabkan oleh faktor-faktor alamiah maupun

Lebih terperinci

Tabel 1. Deskripsi Profil di Lokasi Penelitian Horison Kedalaman Uraian

Tabel 1. Deskripsi Profil di Lokasi Penelitian Horison Kedalaman Uraian 14 BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1. Karakteristik Tanah Deskripsi profil dan hasil analisis tekstur tiap kedalaman horison disajikan pada Tabel 1 dan Tabel 2. Tabel 1. Deskripsi Profil di Lokasi Penelitian

Lebih terperinci

Manfaat Penelitian. Ruang Lingkup Penelitian

Manfaat Penelitian. Ruang Lingkup Penelitian 2 Manfaat Penelitian Manfaat penelitian adalah sebagai berikut : 1. Menjadi panduan untuk petani dalam pengelolaan air hujan dan aliran permukaan di kebun pala untuk menekan penurunan hasil akibat kekurangan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Gabungan antara karakteristik hujan dan karakteristik daerah aliran sungai

BAB I PENDAHULUAN. Gabungan antara karakteristik hujan dan karakteristik daerah aliran sungai BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Curah hujan tidak bekerja sendiri dalam membentuk limpasan (runoff). Gabungan antara karakteristik hujan dan karakteristik daerah aliran sungai (DAS) sangat mempengaruhi

Lebih terperinci

BAB IV ANALISIS HASIL PENGOLAHAN DATA INFILTRASI

BAB IV ANALISIS HASIL PENGOLAHAN DATA INFILTRASI BAB IV ANALISIS HASIL PENGOLAHAN DATA INFILTRASI 4. 1 Pengambilan dan Pengolahan Data Pengukuran laju infiltrasi di daerah penelitian menggunakan alat berupa infiltrometer single ring. Hasil pengujian

Lebih terperinci

L O N G S O R BUDHI KUSWAN SUSILO

L O N G S O R BUDHI KUSWAN SUSILO L O N G S O R BUDHI KUSWAN SUSILO Peristilahan & Pengertian Longsor = digunakan untuk ketiga istilah berikut : Landslide = tanah longsor Mass movement = gerakan massa Mass wasting = susut massa Pengertian

Lebih terperinci

BENCANA GERAKAN TANAH AKIBAT GEMPABUMI JAWA BARAT, 2 SEPTEMBER 2009 DI DESA CIKANGKARENG, KECAMATAN CIBINONG, KABUPATEN CIANJUR, PROVINSI JAWA BARAT

BENCANA GERAKAN TANAH AKIBAT GEMPABUMI JAWA BARAT, 2 SEPTEMBER 2009 DI DESA CIKANGKARENG, KECAMATAN CIBINONG, KABUPATEN CIANJUR, PROVINSI JAWA BARAT BENCANA GERAKAN TANAH AKIBAT GEMPABUMI JAWA BARAT, 2 SEPTEMBER 2009 DI DESA CIKANGKARENG, KECAMATAN CIBINONG, KABUPATEN CIANJUR, PROVINSI JAWA BARAT Suranta Sari Bencana gerakan tanah terjadi beberapa

Lebih terperinci