MODEL PENGELOLAAN DAN INVESTASI OPTIMAL SUMBERDAYA RAJUNGAN DENGAN JARING RAJUNGAN DI TELUK BANTEN SEPTI AMINAH

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "MODEL PENGELOLAAN DAN INVESTASI OPTIMAL SUMBERDAYA RAJUNGAN DENGAN JARING RAJUNGAN DI TELUK BANTEN SEPTI AMINAH"

Transkripsi

1 MODEL PENGELOLAAN DAN INVESTASI OPTIMAL SUMBERDAYA RAJUNGAN DENGAN JARING RAJUNGAN DI TELUK BANTEN SEPTI AMINAH MAYOR TEKNOLOGI DAN MANAJEMEN PERIKANAN TANGKAP DEPARTEMEN PEMANFAATAN SUMBERDAYA PERIKANAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2010

2 PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi Model Pengelolaan dan Investasi Optimal Sumberdaya Rajungan dengan Jaring Rajungan di Teluk Banten adalah karya saya sendiri dengan arahan dosen pembimbing dan belum pernah diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutif dari karya ilmiah yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam tubuh tulisan dan tercantum dalam daftar pustaka di bagian akhir skripsi ini. Bogor, Mei 2010 Septi Aminah C

3 ABSTRAK SEPTI AMINAH, C Model Pengelolaan dan Investasi Optimal Sumberdaya Rajungan dengan Jaring Rajungan di Teluk Banten. Dibimbing oleh MOCH. PRIHATNA SOBARI dan ROZA YUSFIANDAYANI. Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan konstruksi alat tangkap jaring rajungan, menentukan pengaruh aktivitas pemanfaatan sumberdaya rajungan terhadap tingkat ketersediaan stok, hasil tangkapan, upaya penangkapan, dan rente ekonomi pada kondisi aktual, OA, MSY, dan MEY di Perairan Teluk Banten, dan investasi optimal pemanfaatan sumberdaya rajungan. Tingkat pemanfaatan optimal, meliputi tingkat produksi (h), upaya (E), dan rente ekonomi (π), dengan pendekatan model bioekonomi melalui tiga model estimasi, yaitu model Schnute, CYP, dan W-H. Penelitian menggunakan data time series Tahun diolah menggunakan Microsoft Office Excel. Konstruksi jaring rajungan terdiri atas badan jaring, tali ris, pelampung, tali pelampung, pemberat timah, tali pemberat, pelampung tanda, tali pelampung tanda, pemberat batu, dan tali pemberat batu. Model estimasi yang cocok di Perairan Teluk Banten adalah model Schnute yang menunjukkan bahwa h rajungan pada kondisi MSY, OA, dan MEY adalah 79,92 ton per tahun, 0.02 ton per tahun, dan 79,92 ton per tahun, E pada kondisi MSY, OA, dan MEY adalah trip per tahun, trip per tahun, dan trip per tahun, π pada kondisi MSY, OA, dan MEY adalah Rp per tahun, Rp0 per tahun, dan Rp per tahun. Pemanfaatan sumberdaya rajungan pada kondisi dinamik menghasilkan h optimal sebesar 78,95 ton per tahun, E optimal sebesar trip per tahun, dan π optimal sebesar Rp , jumlah unit jaring rajungan yang optimal beroperasi di Perairan Teluk Banten sebesar 178 unit. Pemanfaatan sumberdaya rajungan pada kondisi aktual, h sebesar ton per tahun, E sebesar trip per tahun, dan π sebesar Rp per tahun, jumlah unit jaring rajungan sebesar 77 unit, sehingga sumberdaya rajungan di Perairan Teluk Banten belum mengalami overfishing secara biologi maupun ekonomi. Investasi yang dibutuhkan untuk satu unit penangkapan jaring rajungan sebesar Rp ,00. Investasi optimal unit penangkapan jaring rajungan sebesar Rp ,00. Hasil analisis kriteria investasi optimal diperoleh nilai NPV sebesar Rp ,21 dan Net B/C sebesar 2.28, sehingga usaha perikanan jaring rajungan layak untuk dijalankan. Kata kunci : analisis bioekonomi, analisis kriteria investasi, jaring rajungan, perairan Teluk Banten, rajungan.

4 MODEL PENGELOLAAN DAN INVESTASI OPTIMAL SUMBERDAYA RAJUNGAN DENGAN JARING RAJUNGAN DI TELUK BANTEN SEPTI AMINAH Skripsi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Perikanan pada Departemen Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan MAYOR TEKNOLOGI DAN MANAJEMEN PERIKANAN TANGKAP DEPARTEMEN PEMANFAATAN SUMBERDAYA PERIKANAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2010

5 Judul Skripsi Nama Mahasiswa NRP Mayor : Model Pengelolaan dan Investasi Optimal Sumberdaya Rajungan dengan Jaring Rajungan di Teluk Banten : Septi Aminah : C : Teknologi dan Manajemen Perikanan Tangkap Pembimbing I Disetujui : Pembimbing II Ir. Moch. Prihatna Sobari, M.S. Dr. Roza Yusfiandayani, S.Pi. NIP: NIP: Diketahui: Ketua Departemen Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan Dr. Ir. Budy Wiryawan, M.Sc. NIP: Tanggal Lulus : 20 Mei 2010

6 KATA PENGANTAR Skripsi dengan judul Model Pengelolaan dan Investasi Optimal Sumberdaya Rajungan dengan Jaring Rajungan di Teluk Banten ini merupakan hasil penelitian yang dilaksanakan sejak Bulan Januari sampai dengan Bulan Februari Tahun Skripsi ini berisi tentang pengkajian pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya rajungan dengan alat tangkap jaring rajungan dengan menggunakan model bioekonomi. Selain itu skripsi ini juga mengkaji nilai invetasi optimal untuk pengelolaan sumberdaya rajungan melalui analisis biaya manfaat. Pada bagian akhir penulisan, diberikan kesimpulan hasil penelitian dan saran yang dapat dijadikan pertimbangan bagi pihak pemerintahan daerah dalam membuat kebijakan sebagai solusi alternatif untuk pengelolaan sumberdaya rajungan yang tepat agar sumberdaya rajungan di Perairan Teluk Banten, khususnya di perairan sekitar PPP Karangantu, tidak mengalami overfishing. Pembuatan skripsi ini merupakan salah satu syarat dalam memperoleh gelar Sarjana Perikanan pada Mayor Teknologi dan Manajemen Perikanan Tangkap, Departemen Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor dan Minor Manajemen Fungsional, Departemen Manajemen, Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor. Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih memiliki banyak kekurangan, oleh karena itu penulis mengharapkan saran dan kritik yang membangun, sehingga dapat menyempurnakan hasil yang diperoleh. Akhir kata, semoga skripsi ini dapat memberikan manfaat bagi pembaca dan pihak yang memerlukan. Bogor, Mei 2010 Septi Aminah

7 UCAPAN TERIMA KASIH Ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada: 1) Ir. Moch. Prihatna Sobari, M.S. dan Dr. Roza Yusfiandayani, S.Pi., selaku dosen pembimbing atas arahan dan bimbingan yang telah diberikan dalam penyusunan skripsi ini; 2) Ir. Diniah M.Si., selaku dosen penguji tamu atas saran dan masukan yang diberikan kepada penulis; 3) Vita Rumanti Kurniawati, S.Pi. MT., selaku dosen komisi pendidikan atas saran dan masukan yang diberikan kepada penulis; 4) Suprapto, A.Pi, M.M, selaku Kepala Pelabuhan Perikanan Pantai Karangantu dan seluruh staff atas segala informasi dan bantuannya; 5) Maderi dan Uceu Yuniarti, selaku orangtua penulis atas semua doa, nasehat, dan kasih sayang kepada penulis; 6) Puspita Rini, Firman Juanda, dan Yusrizal Fahmi, selaku kakak penulis atas semua doa, semangat, dan dukungannya kepada penulis; 7) Septa Pradipta, Tiara Anggia Rahmi, dan Ari Widiastuti atas doa, dukungan, dan persahabatan yang tulus kepada penulis; 8) Riyanti dan Siska Magnawati atas semua bantuan dan dukungan selama penelitian; 9) Intan, Ratih, Alvi, Mardia, Mia, Ncek, Cesar, Shinta, Iky, Ari, Troy, Riri, Ina, Heru, Seli, Septa, Rusdi, Rezki, Siska M, Bayu, Icha, Siska A, Amnihani, Enur, Maria, Yasa, Gini, Ghea, Rachman, Anggi, Uty, Viona, Fatra, Alfian, Dedi, Firman, Adit, Lala, Pipih, Mertha, Iniz, Nita, Esther, Hanif, Arif, Alin, Ike, Mukhlis, Refi, Nanda, Qbee, Ciwied, Kimul, Rima, Afryan, dan Indah, selaku teman-teman seperjuangan PSP 43 atas segala bantuan, persahabatan dan keceriaan kepada penulis selama perkuliahan di Departemen PSP; 10) Niaw, Ratri, Mey, Frida, Cecil, Anggi, Gilang, Ilmi, Ika, Selly, Ratih dan lainlain, selaku teman-teman seperjuangan di Wisma Asri atas keceriaan, semangat dan dukungan kepada penulis; dan 11) Seluruh pihak terkait yang tidak dapat penulis sebutkan satu per satu.

8 RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Jakarta pada tanggal 10 September 1988 dari Ayah Maderi dan Ibu Uceu Yuniarti. Penulis merupakan anak ketiga dari tiga bersaudara. Penulis lulus dari SMA Negeri 1 Bekasi pada Tahun 2006 dan pada tahun yang sama lulus seleksi masuk IPB melalui jalur Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru (SPMB). Penulis memilih Mayor Teknologi dan Manajemen Perikanan Tangkap, Departemen Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor dan Minor Manajemen Fungsional, Departemen Manajemen, Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor. Selama menjalani perkuliahan, penulis aktif di organisasi kampus IPB sebagai staff Departemen Hubungan Luar dan Komunikasi Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan IPB periode Penulis juga aktif dalam berbagai kepanitiaan kampus IPB, yaitu Masa Perkenalan Kampus Mahasiswa Baru Tahun 2007 sebagai staff divisi Publikasi Dekorasi dan Dokumentasi, dalam kepanitiaan Orientasi Mahasiswa Baru Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Tahun 2008 sebagai staff divisi Hubungan Masyarakat, Pekan Olahraga dan Seni Perikanan dan Ilmu Kelautan Tahun 2008 sebagai staff divisi Acara, dan Blue Expo Tahun 2008 sebagai koordinator divisi Konsumsi. Dalam rangka menyelesaikan tugas akhir, penulis melakukan penelitian dan menyusun skripsi dengan judul Model Pengelolaan dan Investasi Optimal Sumberdaya Rajungan dengan Jaring Rajungan di Teluk Banten. Penulis dinyatakan lulus dalam Ujian Skripsi yang diselenggarakan oleh Mayor Teknologi dan Manajemen Perikanan Tangkap, Departemen Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor pada Tanggal 20 Mei 2010.

9 DAFTAR ISI Halaman DAFTAR TABEL... i DAFTAR GAMBAR... ii DAFTAR LAMPIRAN... iii 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Perumusan Masalah Tujuan Manfaat TINJAUAN PUSTAKA Sumberdaya Rajungan Morfologi dan klasifikasi rajungan Daur hidup Habitat rajungan Reproduksi Tingkah laku Unit Penangkapan Jaring Rajungan Alat penangkap jaring rajungan Kapal jaring rajungan Nelayan Metode Pengoperasian Pengkajian Stok Sumberdaya Ikan Model Surplus Produksi Laju Degradasi dan Depresiasi Model Bioekonomi Statis Pemanfaatan Sumberdaya Ikan Model Optimal Dinamik Kriteria Investasi KERANGKA PENDEKATAN STUDI METODE PENELITIAN Waktu dan Tempat Bahan dan Alat Metode Metode Pengumpulan Data Metode Pengambilan Sampel Analisis Data Analisis teknik Analisis bioteknik Analisis bioekonomi Analisis koefisien degradasi dan depresiasi Analisis Biaya Manfaat (Investasi Optimal) Analisis kriteria investasi... 46

10 Halaman 4.8 Batasan Asumsi KEADAAN UMUM DAERAH PENELITIAN Gambaran Umum Daerah Penelitian Kondisi geografis daerah penelitian Kependudukan dan perekonomian Keadaan Umum Perikanan Tangkap Fasilitas PPP Karangantu Perkembangan volume dan nilai produksi Alat penangkap ikan Kapal penangkap ikan Nelayan Daerah dan musim penangkapan HASIL DAN PEMBAHASAN Analisis Teknik Unit penangkapan ikan Metode pengoperasian jaring rajungan Daerah penangkapan Musim penangkapan Komposisi hasil tangkapan jaring rajungan Produktivitas Analisis Bioteknik Produksi Rajungan Upaya penangkapan jaring rajungan (effort) CPUE (Catch Per Unit Effort) sumberdaya rajungan Hubungan CPUE (Catch Per Unit Effort) dan upaya penangkapan (effort) Estimasi parameter biologi Estimasi produksi lestari Analisis laju degradasi Analisis Bioekonomi Upaya Pemanfaatan Sumberdaya Rajungan Estimasi biaya input Estimasi harga output Estimasi tingkat discount rate Analisis model statik sumberdaya rajungan Analisis laju depresiasi Analisis model dinamik sumberdaya rajungan dengan model Schnute Investasi Optimal Harga dan biaya Investasi Analisis kriteria investasi

11 Halaman 6.5 Implikasi Kebijakan KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Saran DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN

12 DAFTAR TABEL Halaman 1. Produksi rajungan dan effort per alat tangkap di PPP Karangantu Tahun Ciri-ciri tingkat perkembangan zoea Formula perhitungan pengelolaan rajungan model statis Fasilitas PPP Karangantu Perkembangan volume dan nilai produksi perikanan di PPP Karangantu Tahun Perkembangan unit alat tangkap di PPP Karangantu Tahun Perkembangan armada penangkapan di PPP Karangantu Tahun Jumlah nelayan yang melakukan aktivitas di PPP Karangantu Tahun Produksi rajungan per bulan di PPP Karangantu Tahun Ukuran rajungan swimming crab (Portunnus pelagicus) Tanggal 17 Januari Nilai produktivitas alat tangkap jaring rajungan di PPP Karangantu Tahun 2008 dan Tahun Produksi rajungan, Effort jaring rajungan, dan Catch Per Unit Effort (CPUE) sumberdaya rajungan Tahun Hasil estimasi parameter biologi Hasil estimasi parameter x, h, dan E pada kondisi MSY Hasil estimasi produksi lestari Tahun berdasarkan estimasi CYP, W-H, dan Schnute Hasil analisis laju degradasi sumberdaya perikanan rajungan Tahun Data series biaya riil input sumberdaya rajungan Tahun Data series harga riil output sumberdaya rajungan Tahun

13 Halaman 19. Hasil analisis optimasi statik dengan Model CYP, W-H, dan Schnute Hasil analisis laju depresiasi sumberdaya rajungan Tahun Hasil analisis model pengelolaan dinamik dengan model estimasi Schnute Alokasi optimal sumberdaya rajungan di perairan Teluk Banten Komponen harga dan biaya operasional jaring rajungan Komponen dan nilai investasi usaha perikanan jaring rajungan Hasil analisis kriteria investasi dengan model Schnute

14 DAFTAR GAMBAR Halaman 1. Portunus pelagicus Konstruksi jaring insang dasar Konstruksi jaring rajungan Kurva pertumbuhan logistik Kurva pengaruh tangkapan terhadap stok Kurva produksi lestari upaya Model Gordon-Schaefer Kurva keseimbangan bioekonomi Kerangka pendekatan studi model pengelolaan dan investasi optimal sumberdaya rajungan dengan jaring rajungan di Teluk Banten Perkembangan dan garis tren volume produksi perikanan Perkembangan dan garis tren nilai produksi perikanan Perkembangan dan garis tren jumlah unit alat tangkap Persentase jumlah unit alat tangkap Tahun Persentase jumlah armada penangkapan Tahun Perkembangan dan garis tren jumlah nelayan Desain dan konstruksi jaring rajungan Konstruksi jaring rajungan di perairan Konstruksi kapal jaring rajungan Peta daerah penangkapan jaring rajungan di perairan Teluk Banten Perkembangan produksi rajungan di PPP Karangantu Tahun Perkembangan upaya penangkapan sumberdaya rajungan di PPP Karangantu Tahun Perkembangan CPUE sumberdaya rajungan di PPP Karangantu Tahun

15 Halaman 23. Hubungan CPUE dan effort sumberdaya rajungan di PPP Karangantu Tahun Perbandingan produksi aktual dengan produksi lestari sumberdaya rajungan dengan model estimasi Schnute Kurva hubungan produksi aktual, produksi lestari, dan effort sumberdaya rajungan dengan model estimasi Schnute Perbandingan produksi aktual dengan produksi lestari sumberdaya rajungan dengan model estimasi CYP Kurva hubungan produksi aktual, produksi lestari, dan effort sumberdaya rajungan dengan model estimasi CYP Perbandingan produksi aktual dengan produksi lestari sumberdaya rajungan dengan model estimasi W-H Kurva hubungan produksi aktual, produksi lestari, dan effort sumberdaya rajungan dengan model estimasi W-H Laju degradasi sumberdaya rajungan dengan model estimasi Schnute Laju degradasi sumberdaya rajungan dengan model estimasi CYP Laju degradasi sumberdaya rajungan dengan model estimasi W-H Hasil analisis optimasi statik dengan model Schnute Hasil analisis optimasi statik dengan model CYP Hasil analisis optimasi statik dengan model W-H Laju depresiasi sumberdaya rajungan dengan model estimasi Schnute Laju depresiasi sumberdaya rajungan dengan model estimasi CYP Laju depresiasi sumberdaya rajungan dengan model estimasi W-H Hubungan tingkat discount rate dan rente ekonomi

16 DAFTAR LAMPIRAN Halaman 1. Peta lokasi PPP Karangantu Layout PPP Karangantu Biaya operasional jaring rajungan per trip nelayan pemilik dan nelayan penyewa Data produksi dan effort sumberdaya rajungan sebagai bahan regresi dengan model Schnute Hasil analisis regresi sumberdaya rajungan dengan model Schnute Solusi bioekonomi sumberdaya rajungan menggunakan program MS Excel dengan model Schnute Laju degradasi dan laju depresiasi sumberdaya rajungan di Teluk Banten estimasi Schnute Data produksi dan effort sumberdaya rajungan sebagai bahan regresi dengan model CYP Hasil analisis regresi sumberdaya rajungan dengan model CYP Solusi bioekonomi sumberdaya rajungan menggunakan program MS Excel dengan model CYP Laju degradasi dan laju depresiasi sumberdaya rajungan di Teluk Banten estimasi CYP Data produksi dan effort sumberdaya rajungan sebagai bahan regresi dengan model estimasi W-H Hasil analisis regresi sumberdaya rajungan dengan model estimasi W-H Solusi bioekonomi sumberdaya rajungan menggunakan program MS Excel dengan model W-H Laju degradasi dan laju depresiasi sumberdaya rajungan di Teluk Banten estimasi W-H Hasil estimasi biaya riil penangkapan sumberdaya rajungan dengan IHK (2002) Perhitungan discount rate model Kula (1984) Cashflow model Schnute

17 Halaman 19. Cashflow kondisi aktual Foto unit penangkapan jaring rajungan Foto hasil tangkapan utama jaring rajungan

18 1 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sumberdaya merupakan suatu nilai potensi yang dimiliki oleh suatu materi atau unsur tertentu dalam kehidupan, dan tidak hanya selalu bersifat fisik, tetapi juga non fisik. Sumberdaya dalam kehidupan ini ada yang dapat berubah menjadi semakin besar maupun hilang serta ada pula sumberdaya yang tidak dapat berubah/selalu tetap. Sumberdaya perikanan merupakan salah satu sumberdaya yang dapat berubah baik dalam hal ukuran secara biologisnya maupun jumlah spesies ataupun jumlah tiap spesiesnya. Perikanan Indonesia mempunyai potensi sumberdaya ikan laut yang besar. Salah satu potensi perikanan laut tersebut adalah rajungan (Portunus pelagicus). Rajungan merupakan salah satu jenis Crustracea yang populer di masyarakat dan keberadaannya hampir tersebar di seluruh Perairan Indonesia. Rajungan di Indonesia sampai saat ini masih merupakan komoditas perikanan yang memiliki nilai ekonomis tinggi, terbukti dengan nilai jual rajungan yang mencapai Rp per-kg sampai dengan Rp per-kg dibandingkan dengan harga jual ikan pari hanya sekitar Rp3.000 per-kg sampai dengan Rp4.000 per-kg dan ikan cucut hanya sekitar Rp8.000 per-kg sampai dengan Rp9.000 per-kg. Selain itu diungkapkan saat ini permintaan rajungan dari pengusaha restoran sea food luar negeri (terutama Amerika Serikat) setiap bulan mencapai 450 ton, sehingga rajungan diekspor terutama ke negara Amerika, yaitu mencapai 60% dari total hasil tangkapan rajungan. Rajungan juga diekspor ke berbagai negara dalam bentuk segar yaitu ke Singapura dan Jepang, sedangkan yang dalam bentuk olahan (dalam kaleng) diekspor ke Belanda. Nilai gizi yang dikandung dalam tubuh komoditas ini pun sangat tinggi yang meliputi, kandungan protein sebesar 65,72% dan mineral sebesar 7,5%. Keunggulan lain adalah kandungan lemak rajungan yang sangat rendah, sehingga konsumen yang memang membatasi konsumsi pangan berlemak tinggi tetap dapat mengkonsumsi komoditas ini. Kandungan lemak rendah dapat berarti kandungan lemak jenuh dan kolesterol yang rendah pula. Komoditas ini merupakan komoditas ekspor urutan ketiga setelah udang dan ikan. Permintaan rajungan

19 2 untuk tujuan ekspor yang semakin meningkat serta nilai ekonomisnya yang tinggi, memungkinkan diperlukannya suatu metode pengelolaan yang akan berpengaruh terhadap tingkat ketersediaan (stok) sumberdaya perikanan rajungan di suatu perairan. Teluk Banten merupakan bagian dari Laut Jawa dan luas wilayah permukaan totalnya 150 km² dan kedalaman rata-ratanya 7 m. Selain itu Teluk Banten juga termasuk ke dalam perairan semi tertutup yaitu suatu perairan yang menjadi syarat atau asumsi dalam analisis bionomi. Salah satu Pelabuhan yang termasuk dalam wilayah Perairan Teluk Banten adalah Pelabuhan Perikanan Pantai (PPP) Karangantu. PPP Karangantu memiliki nilai sejarah yang sangat tinggi selain digunakan sebagai kegiatan perikanan juga dapat digunakan sebagai tempat pariwisata. Letak PPP Karangantu yang dekat dengan daerah penangkapan (fishing ground) Samudera Hindia, Laut Jawa, Selat Sunda, dan Perairan Lampung akan memudahkan para nelayan untuk melaut. Selain itu, PPP Karangantu juga dekat dengan ibu kota negara, jarak tempuh ke Bandara Soekarno-Hatta sekitar 1 jam, sehingga memudahkan untuk ekspor hasil perikanan. PPP Karangantu memiliki jumlah produksi rajungan tinggi dan berfluktuatif mulai Tahun 2005 sampai dengan Tahun Hal tersebut dapat terlihat pada Tabel 1. Tabel 1 Produksi rajungan dan effort per alat tangkap di PPP Karangantu Tahun No. Tahun Produksi rajungan (ton) Effort (trip) Jaring rajungan Jaring dogol Jaring payang Jaring rajungan Jaring dogol Jaring payang ,126 73,498 0, ,991 0,677 1, ,176 4,942 0, ,309 7,450 0, Sumber: Laporan tahunan statistik PPP Karangantu Berdasarkan Tabel 1, dapat diketahui bahwa pada Tahun 2006 produksi rajungan dari alat tangkap jaring rajungan mengalami penurunan sebesar 9,135 ton atau sebesar 53,34% dari jumlah produksi sebelumnya. Hal serupa terjadi pada alat tangkap dogol yang mengalami penurunan sebesar 66,728 ton atau

20 3 sebesar 90,79% dari jumlah produksi sebelumnya. Sebaliknya, alat tangkap payang mengalami peningkatan sebesar 0,94 ton atau sebesar 51,65% dari jumlah produksi sebelumnya. Pada Tahun 2007 produksi rajungan dari alat tangkap jaring rajungan mengalami peningkatan kembali sebesar 27,185 ton atau sebesar 77,28% dari jumlah produksi sebelumnya. Peningkatan produksi rajungan dari alat tangkap dogol sebesar 4,265 ton atau sebesar 86,30% dari produksi rajungan sebelumnya. Sebaliknya, alat tangkap payang mengalami penurunan sebesar 1,218 ton atau sebesar 66,92% dari jumlah produksi sebelumnya. Pada Tahun 2008 jumlah produksi rajungan terbanyak diperoleh dari alat tangkap jaring rajungan yaitu sebesar 20,309 ton atau 73,16% dari total produksi rajungan, sedangkan dari alat tangkap dogol sebesar 7,450 ton atau 26,84% dari total produksi rajungan, dan dari alat tangkap payang sebesar 0,921 ton atau 0,003% dari total produksi rajungan. Selain itu, produktivitas terbesar juga terjadi pada alat tangkap jaring rajungan, yaitu sebesar 0,011 ton per trip, sedangkan produktivitas alat tangkap dogol sebesar 0,006 ton per trip dan produktivitas alat tangkap payang sebesar 0,0034 ton per trip. Berdasarkan hal tersebut, tampak bahwa jaring rajungan memiliki jumlah produksi dan produktivitas tertinggi. Oleh karena itu, dengan tingginya total produksi rajungan dan tingkat produktivitas dari alat tangkap jaring rajungan tersebut dibutuhkan suatu pengelolaan dan investasi optimal dari alat tangkap jaring rajungan guna mendapatkan kelestarian sumberdaya rajungan khususnya di PPP Karangantu. Sumberdaya perikanan pada umumnya bersifat open access, yang menyebabkan setiap orang dapat berpartisipasi dan tidak ada batasan mengenai besarnya upaya penangkapan yang dikerahkan atau sumberdaya ikan yang boleh ditangkap. Apabila hal tersebut berlangsung secara terus menerus akan menyebabkan terkurasnya sumberdaya hayati laut dan usaha penangkapan ikan menjadi tidak efisien baik secara ekonomi maupun biologi. Secara biologi, produksi rajungan yang diperoleh akan mengalami penurunan kualitas dan kuantitas. Secara ekonomi, penurunan kualitas dan kuantitas rajungan akan mengurangi keuntungan usaha nelayan secara keseluruhan, karena penerimaan yang diperoleh tidak sebanding dengan biaya yang dikeluarkan.

21 4 Kondisi tersebut jika tidak segera dikendalikan dengan baik, cepat atau lambat dikhawatirkan akan mengancam kelestarian sumberdaya rajungan. Oleh karena itu, diperlukan suatu tindakan pengelolaan dan kajian investasi optimal dengan melakukan penataan dan pengontrolan terhadap usaha penangkapan rajungan dengan memperhatikan aspek biologi, teknik, dan ekonomi. Pengelolaan terhadap usaha penangkapan rajungan dapat digunakan suatu model yang disebut dengan model bionomi. Model bionomi atau bioekonomi merupakan perpaduan antara dinamika biologi sumberdaya perikanan dan faktor ekonomi yang mempengaruhi perikanan tangkap, sedangkan untuk aspek tekniknya berupa penyesuaian ukuran alat tangkap dengan ukuran rajungan yang akan ditangkap dan bagaimana metode pengoperasian yang dilakukan. Kajian investasi optimal yang dilakukan berupa analisis tehadap dua kriteria investasi yaitu NPV dan NET B/C. Apabila hal tersebut berhasil dilakukan, maka kerusakan sumberdaya rajungan dapat dicegah dan mendorong terciptanya operasi penangkapan rajungan dengan keberhasilan yang tinggi tanpa merusak kelestarian serta memberikan hasil tangkapan dan rente ekonomi yang maksimum. 1.2 Perumusan Masalah Permasalahan yang biasa terjadi dalam pengelolaan sumberdaya perikanan adalah permasalahan biologi dan ekonomi. Termasuk ke dalam permasalahan biologi adalah terancamnya kelestarian stok sumberdaya ikan dan permasalahan ekonomi adalah usaha penangkapan belum memberikan keuntungan yang maksimum bagi sebagian besar nelayan. Jumlah alat tangkap yang tidak sesuai dengan potensi sumberdaya ikan di suatu perairan dapat menyebabkan penurunan stok sumberdaya ikan dan penurunan penerimaan nelayan. Permasalahan tersebut dapat diatasi dengan salah satu cara yang digunakan oleh para ahli biologi perikanan, yaitu melakukan pengendalian intensitas dalam mengeksploitasi sumberdaya rajungan, sehingga dapat dicapai produksi maksimum lestari. Pengusahaan tersebut harus memberikan manfaat ekonomi yang maksimum bagi nelayan.

22 5 Pada kegiatan usaha penangkapan rajungan di Perairan Teluk Banten, alat tangkap yang lebih dominan digunakan adalah alat tangkap jaring rajungan yang termasuk dalam klasifikasi jaring insang (gillnet). Oleh karena itu, diperlukan suatu pengkajian tentang pengelolaan terhadap usaha penangkapan rajungan dengan jaring rajungan agar diperoleh hasil tangkapan yang maksimum dengan memperhatikan aspek biologi, teknik, dan ekonomi. Berdasarkan uraian tersebut, maka permasalahan yang akan dipecahkan dalam penelitian ini antara lain : 1) Bagaimana deskripsi unit penangkapan jaring rajungan yang meliputi konstruksi, metode pengoperasian, dan produktivitas alat tangkap jaring rajungan? 2) Bagaimana tingkat sustainable yield sumberdaya rajungan yang dimanfaatkan di Perairan Teluk Banten? 3) Berapa jumlah unit penangkapan jaring rajungan yang optimum beroperasi di Teluk Banten dan berapa investasi yang diperlukan serta bagaimana kelayakannya? 1.3 Tujuan Penelitian ini bertujuan untuk : 1) Mendeskripsikan unit penangkapan jaring rajungan yang terdiri atas konstruksi alat tangkap, metode pengoperasian, dan produktivitas alat tangkap jaring rajungan; 2) Menentukan pengaruh aktivitas pemanfaatan sumberdaya rajungan terhadap tingkat biomass, tingkat produksi, tingkat effort dan rente sumberdaya pada kondisi aktual, open access, economic dan sustainable di Perairan Teluk Banten; 3) Menentukan nilai laju degradasi dan depresiasi sumberdaya rajungan di Perairan Teluk Banten; 4) Menghitung jumlah unit penangkapan jaring rajungan yang optimum beroperasi di Perairan Teluk Banten; dan 5) Menentukan nilai investasi optimal dan kelayakan usaha unit penangkapan jaring rajungan.

23 6 1.4 Manfaat Penelitian ini diharapkan dapat memberikan gambaran mengenai pengelolaan dan pemanfaatan yang optimum untuk pengusahaan rajungan, sehingga dapat dijadikan sebagai salah satu sumber informasi penting bagi masyarakat, nelayan, pemerintah daerah, dan pihak-pihak berwenang dalam pengelolaan dan pemanfaatan rajungan secara berkelanjutan di Perairan Teluk Banten. Selain itu juga dapat dimanfaatkan sebagai bahan dan informasi bagi otoritas yang berwenang untuk dikembangkan sebagai dasar kebijakan dalam pengelolaan sumberdaya perikanan lainnya. Bagi penulis, hasil penelitian ini digunakan untuk menulis skripsi sebagai salah satu syarat untuk menyelesaikan studi dalam rangka memperoleh gelar Sarjana Perikanan pada Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Institut Pertanian Bogor.

24 7 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Sumberdaya Rajungan Morfologi dan klasifikasi rajungan Taksonomi rajungan menurut Stephenson dan Campbell (1957) diklasifikasikan sebagai berikut : Kingdom : Animalia Sub Kingdom : Eumetazoa Grade : Bilateria Devisi : Eucoelomata Section : Protostomia Phyllum : Arthropoda Class : Crustacea Sub Class : Malacostraca Sub Ordo : Reptantia Ordo : Decapoda Seksi : Branchyura Sub Seksi : Branchyrhyhcha Famili :Portunidae Sub Famili : Portunninae Genus : Portunus Species : - Portunus pelagicus - Portunus sanguinolentus - Charybdis feriatus - Podopthalmus vigil Secara umum morfologi rajungan berbeda dengan kepiting bakau, dimana rajungan (Portunus pelagicus) memiliki bentuk tubuh yang lebih ramping dengan capit yang lebih panjang dan memiliki berbagai warna yang menarik pada karapasnya. Duri akhir pada kedua sisi karapas relatif lebih panjang dan lebih runcing. Rajungan hanya hidup pada lingkungan air laut dan tidak dapat hidup pada kondisi tanpa air. Dengan melihat warna dari karapas dan jumlah duri pada

25 8 karapasnya, maka dengan mudah dapat dibedakan dengan kepiting bakau (Kasry 1996). Morfologi rajungan (Portunus pelagicus) secara jelas dapat terlihat pada Gambar 1. A Keterangan: A = Rajungan betina B = Rajungan jantan Sumber: Gambar 1 Rajungan (Portunus pelagicus). B Pada umumnya dari beberapa jenis kepiting yang dapat berenang (swimming crab), sebagian besar merupakan jenis rajungan. Hewan ini dapat mencapai ukuran 18 cm, capitnya memanjang kokoh, dan berduri. Pada hewan ini terlihat adanya perbedaan yang menyolok antara jantan dan betina. Rajungan jantan memiliki dasar berwarna kebiru-biruan dengan bercak-bercak putih terang, sedangkan rajungan betina berwarna dasar kehijau-hijauan dengan bercak keputih-putihan agak suram (Nontji 2007). Induk rajungan mempunyai capit yang lebih panjang dari kepiting bakau, dan karapasnya memiliki duri sebanyak 9 buah yang terdapat pada sebelah kanan kiri mata. Perut atau biasa disebut abdomen terlipat ke depan dibawah karapas dengan abdomen jantan sempit dan meruncing ke depan, sedangkan abdomen betina melebar membulat penuh dengan embelan yang berguna untuk menyimpan telur (Juwana dan Romimohtarto 2000). Bobot rajungan dapat mencapai 400 g, dengan ukuran karapas sekitar 300 mm (12 inci). Ukuran rajungan jantan dan betina berbeda pada umur yang sama. Rajungan jantan lebih besar dan berwarna lebih cerah serta berpigmen biru terang, sedangkan yang betina berwarna sedikit lebih coklat (Cowan 1992).

26 9 Rajungan (P. pelagicus) memiliki karapas berbentuk bulat pipih, sebelah kiri-kanan mata terdapat duri sembilan buah, di mana duri yang terakhir berukuran lebih panjang. Rajungan mempunyai 5 pasang kaki, yang terdiri atas 1 pasang kaki (capit) berfungsi sebagai pemegang, 3 pasang kaki sebagai kaki jalan, dan 1 pasang kaki berfungsi sebagai dayung untuk berenang. Induk rajungan dilihat dari arah ventral menjelang telur menetas warna telurnya hitam, sedangkan induk rajungan dilihat dari arah ventral pada saat awal warna telurnya kuning/oranye (Susanto et al. 2005) Daur hidup Daur hidup rajungan dimulai dari telur yang kemudian menetas menjadi larva. Telur yang sudah dibuahi disimpan di dalam lipatan abdomen. Anak rajungan yang menetas tidak langsung seperti induknya, tetapi menjadi larva yang bentuknya sangat lain dari induknya. Larva ini sangat kecil dan berenang lemah dalam air laut sebagai plankton (Juwana dan Romimohtarto 2000). Larva yang baru ditetaskan bentuknya lebih mirip udang daripada rajungan. Pada bagian kepala terdapat semacam bagian tanduk yang memanjang dan memiliki mata yang besar serta terdapat semacam rambut-rambut di bagian ujung kakinya. Larva ini mengalami beberapa perubahan bentuk hingga mencapai bentuk dewasa. Tahap-tahap perubahan larva (tahap Zoea) terdiri dari empat tingkatan hingga mencapai tahap Megalopa (Nontji 2007). Ciri-ciri dari tingkat perkembangan Zoea dapat dilihat pada Tabel 2. Tabel 2 Ciri-ciri tingkat perkembangan zoea No. Ciri-ciri yang diamati Zoea I Zoea II Zoea III Zoea IV 1. Panjang karapas (mm) 0,3 0,5 0,5 0,7 0,7 0,8 0,8 0,9 2. Ruas abdomen Seta pada telson 6s 6s + 2h 6s + 2h 6s + 3h Seta pada masingmasing 4. ujung eksopod 4np 6 8np 10np 12 14np maksiliped I dan II 5. Seta pada antennula 3a 5a 4a + 3a 5a + 5a Sumber: Juwana (2006)

27 10 Keterangan: s = serrate seta (seta serrata); h = simple seta (seta sederhana); np = natatory plumose seta (seta plumose renang); a = aesthetasc seta (seta estetes = seta keindahan). Pada tahap Megalopa, bentuk sudah menyerupai rajungan dimana pada bagian tubuhnya sudah mulai melebar dan mempunyai mata yang sangat besar serta pada kaki dan capitnya juga sudah semakin jelas wujudnya. Pada perkembangan selanjutnya terbentuklah juvenil yang merupakan bentuk rajungan muda hingga akhirnya mencapai bentuk rajungan dewasa (Nontji 2007). Rajungan jenis Portunus pelagicus yang jantan dan betina umumnya mencapai kematangan seksual pada ukuran lebar karapas 7 9 cm. Rajungan pada ukuran tersebut berumur sekitar satu tahun. Rajungan betina dengan telur di luar dilindungi sepenuhnya dan harus dikembalikan ke perairan secepatnya (Kumar et al. 2000). Moosa dan Juwana (1996), menyatakan bahwa di Queensland berdasarkan penelitian Wiliams dan Lee (1980) diacu dalam Suadela (2004), rajungan yang ditangkap dari perairan tersebut telah ditentukan memiliki ukuran tubuh minimum yaitu panjang karapas 3,7 cm Habitat rajungan Rajungan (swimming crab) memiliki tempat hidup yang berbeda dengan jenis kepiting pada umumnya seperti kepiting bakau (Scylla serrata), tetapi memiliki tingkah laku yang hampir sama. Menurut Nontji (2007), rajungan (Portunus pelagicus) merupakan jenis kepiting perenang yang juga mendiami dasar lumpur berpasir sebagai tempat berlindung. Jenis rajungan ini banyak terdapat pada lautan Indo-Pasifik dan India. Rajungan hidup di daerah estuaria kemudian bermigrasi ke perairan yang bersalinitas lebih tinggi untuk menetaskan telurnya, dan setelah mencapai rajungan muda akan kembali ke estuaria. Pada fase larva bersifat planktonik yang melayang-layang berada di lepas pantai dan pada fase megalopa berada di dekat pantai dan sering ditemukan pada objek yang melayang. Rajungan banyak menghabiskan hidupnya dengan membenamkan tubuhnya di permukaan pasir dan hanya menonjolkan matanya untuk menunggu ikan dan jenis invertebrata lainnya

28 11 menghabiskan hidupnya dengan membenamkan tubuhnya di permukaan pasir dan hanya menonjolkan matanya untuk menunggu ikan dan jenis invertebrata lainnya yang mencoba mendekati untuk diserang atau dimangsa (Nybakken 1986). Rajungan dewasa hidup di dasar perairan, sedangkan stadia larva dan megalopa berenang-renang terbawa arus dan hidup sebagai plankton. Distribusi rajungan di dunia berada luas di sepanjang Indo Pasifik Barat dari Afrika Timur sampai Jepang, Tahiti, dan Selandia Baru Utara. Rajungan juga berada di Laut Tengah. Rajungan di Australia, berada di perairan pantai dari Tanjung Naturaliste di Australia Barat sampai wilayah utara dan Queensland ke Pantai Selatan New South Wales (Sumpton 1993). Marga Portunus hidup di beraneka ragam habitat yaitu pantai dengan dasar pasir, pasir lumpur, dan juga di laut terbuka. Dalam keadaan biasa, ia diam di dasar laut sampai kedalaman lebih 65 m, tetapi sesekali ia dapat juga berenang dekat ke permukaan laut (Nontji 2007) Reproduksi Perkawinan rajungan terjadi pada musim panas, dan terlihat yang jantan melekatkan diri pada betina kemudian menghabiskan beberapa waktu perkawinan dengan berenang. Seekor rajungan dapat menetaskan telurnya menjadi larva sampai lebih dari sejuta ekor (Juwana dan Romimohtarto 2000). Rajungan (untuk semua anggota Portunnidae) dalam pertumbuhannya sering berganti kulit dengan kulit kerangka tubuhnya terbuat dari bahan berkapur dan karenanya tak dapat terus tumbuh. Jika rajungan akan tumbuh lebih besar maka kulitnya akan retak pecah dan dari situ akan keluar individu yang lebih besar dengan kulit yang masih lunak, kulit lamanya ditinggalkan. Rajungan yang baru berganti kulit, tubuhnya masih sangat lunak, diperlukan beberapa waktu untuk dapat membentuk lagi kulit pelindung yang keras. Masa selama bertubuh lunak ini merupakan masa yang sangat rawan dalam kehidupannya, karena pertahanannya pun sangat lemah (Nontji 2007).

29 Tingkah laku Pada siang hari umumnya rajungan bersembunyi di bawah batu yang besar atau pada celah berbatu-batu sedangkan yang lainnya membenamkan diri bersembunyi ke dalam lapisan bawah, kemudian pada malam hari bangun dan keluar. Rajungan hidup di dasar untuk mencari makan sebagai karnivora maupun pemakan bangkai (scavengers), aktif mencari makan pada saat matahari terbenam. Makanan lain yaitu tumbuhan laut misalnya jenis Zostera dan ganggang (Sumpton 1993). Rajungan melakukan pergerakan atau migrasi ke perairan yang lebih dalam sesuai umurnya untuk menyesuaikan diri pada suhu dan salinitas perairan. Rajungan merupakan hewan yang aktif, ketika dalam keadaan yang tidak aktif, rajungan akan membenamkan diri di dasar perairan sampai kedalaman 35 m (Nontji 2007). Rajungan perlu berada di permukaan dengan maksud untuk bernapas dan melihat organisme lain atau mangsanya dengan mata pengawasnya yang tajam, dan juga menjulurkan antenanya. Larva betina menghabiskan waktu sepanjang malam terkubur di dalam pasir, sedangkan larva jantan aktif berenang pada malam hari. Rajungan dapat berjalan sangat baik sepanjang dasar perairan dan daerah intertidal berlumpur yang lembab (Thomson 1974). 2.2 Unit Penangkapan Jaring Rajungan Unit penangkapan jaring rajungan terdiri atas alat tangkap jaring rajungan, kapal jaring rajungan, dan nelayan jaring rajungan. Jaring rajungan merupakan alat tangkap yang termasuk dalam klasifikasi jaring insang (gillnet). Berdasarkan kedudukan alat saat dipasang, jaring rajungan termasuk ke dalam klasifikasi jaring insang tetap (set gillnet). Berdasarkan letaknya dalam perairan, jaring rajungan dikelompokkan ke dalam jaring insang dasar (bottom gillnet) (Miskiya 2003) Alat penangkap jaring rajungan Jaring insang dasar adalah salah satu alat penangkap ikan dari bahan jaring yang berbentuk empat persegi panjang, dimana mata jaring dari bagian utama mempunyai ukuran yang sama, jumlah mata jaring ke arah panjang atau ke arah

30 13 horizontal (mesh length) jauh lebih banyak dari jumlah mata jaring ke arah vertikal atau ke arah dalam (mesh depth) dan cara pengoperasiannya dipasang secara menetap di daerah penangkapan (fishing ground) yang terletak di dasar perairan. Konstruksi jaring insang dasar secara rinci dapat dilihat pada Gambar 2. Sumber: Badan Standardisasi Nasional (2006) Gambar 2 Konstruksi jaring insang dasar. Bagian-bagian dari jaring insang dasar terdiri atas (Martasuganda 2008) : a) Pelampung (float) Sesuatu benda yang mempunyai daya apung dan dipasang pada jaring bagian atas berfungsi sebagai pengapung jaring (Badan Standardisasi Nasional 2006). Terbuat dari berbagai bahan seperti: styrofoam, polyvinyl, chloride, kaca, plastik, karet atau benda lainnya yang mempunyai daya apung dengan bentuk yang

31 14 karet atau benda lainnya yang mempunyai daya apung dengan bentuk yang beraneka ragam. Jumlah, berat jenis, dan volume pelampung yang dipakai dalam satu piece akan menentukan besar kecilnya daya apung (buoyancy). b) Tali Pelampung (float line) Tali pelampung adalah tali yang dipergunakan untuk menempatkan dan mengikatkan pelampung (Badan Standardisasi Nasional 2006). Untuk menyambungkan antara piece yang satu dan piece lainnya, bagian tali pelampung dari tiap ujung jaring utama biasanya dilebihkan antara cm. c) Tali ris atas dan bawah Tali ris atas dan bawah berfungsi untuk dipakai memasang atau menggantungkan badan jaring. Pemasangan tali ris atas dipasang di bawah tali pelampung, sedangkan tali ris bawah dipasang di atas tali pemberat. d) Tali penggantung badan jaring atas dan bawah (upper bolch line and under bolch line) Tali penggantung badan jaring terdiri atas tali penggantung badan jaring bagian atas (upper bolch line) dan tali pengantung badan jaring bagian bawah (under bolch line) dari jaring insang. Tali penggantung badan jaring bagian atas berfungsi untuk menggantungkan badan jaring pada tali ris atas, sedangkan tali penggantung badan jaring bagian bawah berfungsi untuk menggantungkan badan jaring pada tali ris bawah. e) Srampad atas dan bawah (upper selvedge and under selvedge) Srampad adalah susunan mata jaring yang ditambahkan dengan cara menjurai mengikuti susunan mata jaring ke arah panjang (ke arah mesh length) pada kedua ujung badan jaring. Pemakaian atau penambahan srampad pada badan jaring bertujuan sebagai penguat badan jaring dan mempermudah pada waktu pengoperasian jaring. f) Badan jaring (main net) Bahan dari jaring utama biasanya memakai jenis bahan sintetis yaitu amilan meskipun ada juga yang memakai bahan sintetis lainnya seperti : amilan, nylon, tengus, dan bahan sintetis lainnya. Ukuran mata jaring dan nomer benang dari badan jaring biasanya disesuaikan dengan tujuan biota perairan yang akan dijadikan target tangkapan.

32 15 g) Tali pemberat (sinker line) Tali pemberat adalah tali yang dipergunakan untuk memasang pemberat. Untuk menyambungkan antara piece satu dan piece lainnya, panjang tali pemberat dari mulai ujung badan jaring biasanya dilebihkan antara cm. h) Pemberat (sinker) Pemberat yang dipakai pada jaring insang biasanya terbuat dari timah atau benda lainnya yang dapat dijadikan sebagai pemberat dengan daya tenggelam dan bentuk yang beraneka ragam. Jaring rajungan adalah salah satu jenis alat tangkap yang digunakan untuk menangkap rajungan di laut. Jaring rajungan terdiri atas badan jaring (webbing), tali ris, pelampung (float) dan tali pelampung (float line), pemberat (sinker) dan tali pemberat (sinker line), pelampung tanda, dan pemberat tambahan (Miskiya 2003). Konstruksi jaring rajungan menurut Miskiya (2003) lebih jelas dapat dilihat pada Gambar 3. Sumber: Miskiya (2003) Gambar 3 Konstruksi jaring rajungan.

33 16 Badan jaring (webbing) terbuat dari bahan PA monofilament berwarna putih transparan dengan nomor benang dan berdiameter 0,3 mm. Besar mata jaring (mesh size) berkisar 3 3,5 inchi atau 7,5 8,75 cm dalam keadaan tegang. Panjang setiap pis jaring adalah 35 m sesudah terpasang pada tali pelampung dan pemberat atau sekitar 467 mata. Lebar jaring adalah 0,45 0,53 m atau 6 7 mata jaring (Miskiya 2003). Tali ris adalah tempat untuk menggantungkan badan jaring (webbing). Dilihat dari penempatannya badan jaring terdapat dua macam, yaitu tali ris atas (head rope) dan tali ris bawah (ground rope). Fungsi tali ris atas adalah agar jaring tidak terbelit sewaktu dioperasikan dan tali ris bawah berfungsi untuk meletakkan pemberat. Tali pelampung befungsi sebagai tempat pengikat pelampung dan dirangkap dengan tali ris atas (Miskiya 2003). Pada pengoperasian jaring rajungan terdapat perlengkapan tambahan, seperti pelampung tanda dan pemberat tambahan. Pelampung tanda berfungsi sebagai tanda tempat dipasangnya jaring rajungan di laut. Pemberat tambahan berfungsi sebagai jangkar agar jaring rajungan yang telah terpasang tidak berpindah tempat atau hanyut terbawa arus (Miskiya 2003) Kapal jaring rajungan Menurut Undang-Undang No.31 Tahun 2004 tentang Perikanan, kapal perikanan adalah kapal, perahu, atau alat apung lainnya yang dipergunakan untuk melakukan penangkapan ikan, mendukung operasi penangkapan ikan, pembudidayaan ikan, pengangkutan ikan, pengolahan ikan, pelatihan perikanan dan penelitian/eksplorasi perikanan. Kapal penangkap ikan adalah kapal yang secara khusus dipergunakan untuk menangkap ikan, termasuk menampung, menyimpan, mendinginkan, dan/atau mengawetkan. Kapal ikan dilihat dari cara metode pengoperasian alat tangkap yang digunakan dibedakan dalam 4 kelompok besar, yaitu towed gear (kapal dengan alat tangkap ikan yang ditarik, encircling - gear (kapal dengan alat tangkap yang dilingkarkan), static gear (kapal dengan alat tangkap yang dioperasikan secara statis), multi purpose (kapal dengan lebih dari satu alat tangkap) (Iskandar 1992).

34 17 Kapal jaring insang merupakan kapal penangkap ikan yang mengoperasikan alat tangkap jaring insang yang dilengkapi dengan perlengkapan penangkapan ikan berupa pangsi penggulung jaring (Badan Standardisasi Nasional, 2006). Kapal jaring insang dapat mengoperasikan berbagai jenis jaring insang seperti jaring insang hanyut, jaring insang tetap, yang pemasangannya dapat berupa jaring insang permukaan, jaring insang mid water, jaring insang dasar dan juga termasuk jaring trammel net atau jaring kantong. Pada perairan Indonesia, tonase kapal gillnet yang dianggap baik beroperasi tidak lebih besar dari 15 GT dan luas geladak kapal harus disesuaikan dengan alat yang dipergunakan (Soekarsono 1995a) Nelayan Menurut Undang-Undang No. 31 Tahun 2004 tentang Perikanan, nelayan adalah orang yang mata pencahariannya melakukan penangkapan ikan. Penangkapan ikan yang dilakukan adalah kegiatan untuk memperoleh ikan di perairan yang tidak dalam keadaan dibudidayakan dengan alat atau cara apapun, termasuk kegiatan yang menggunakan kapal untuk memuat, mengangkut, menyimpan, mendinginkan, menangani, mengolah dan atau mengawetkannya. Berdasarkan waktu yang digunakan untuk melakukan operasi penangkapan ikan, nelayan diklasifikasikan sebagai berikut: 1) Nelayan penuh, yaitu nelayan yang seluruh waktu kerjanya digunakan untuk melakukan pekerjaan operasi penangkapan ikan atau binatang air lainnya atau tanaman air; 2) Nelayan sambilan utama, yaitu nelayan yang sebagian waktu kerjanya digunakan untuk melakukan pekerjaan operasi penangkapan ikan atau binatang air lainnya atau tanaman air. Selain melakukan pekerjaan penangkapan, nelayan kategori ini dapat mempunyai pekerjaan lain; dan 3) Nelayan sambilan tambahan, yaitu nelayan yang sebagian kecil waktunya digunakan untuk melakukan pekerjaan operasi penangkapan ikan.

35 Metode Pengoperasian Pengoperasian jaring rajungan dibagi menjadi empat tahap, yaitu tahap persiapan, tahap penurunan jaring (setting), tahap penarikan jaring (hauling), dan tahap pengambilan hasil tangkapan. Setiap satu trip penangkapan rajungan membutuhkan waktu satu hari (Miskiya 2003). Tahap persiapan dilakukan sebelum operasi penangkapan dilaksanakan, meliputi persiapan alat tangkap, pemeriksaan keadaan perahu dan mesinnya. Alat tangkap yang akan dioperasikan disusun atau disimpan di sisi kiri dari perahu, sedangkan pelampung tanda diletakkan di sebelah kanan perahu. Persiapan perahu dan mesin mencakup pemeriksaan kondisi perahu dan mesinnya, serta pengisian bahan bakar pada mesin (Miskiya 2003). Setelah semua peralatan disiapkan, maka perahu siap diberangkatkan menuju daerah penangkapan ikan (fishing ground). Pada saat di daerah penangkapan juru mudi menugaskan dua orang nelayan untuk mempersiapkan alat tangkap yang akan digunakan, yaitu merangkai jaring dengan cara mengikat sambungan tiap set jaring, sehingga jaring yang akan diturunkan tersusun rapi dan siap dioperasikan (Miskiya 2003). Tahap penurunan jaring (setting) dilakukan oleh empat orang nelayan. Setting dimulai dengan menurunkan pelampung tanda dan talinya, lalu batu pemberat. Selanjutnya perahu dijalankan perlahan dan petaur menurunkan jaring pis per pis hingga terbentang sempurna. Setelah seluruh badan jaring terpasang dalam air, lalu diturunkan batu pemberat dan pelampung tanda (Miskiya 2003). Tahap penarikan jaring (hauling) dilakukan oleh 4 orang nelayan. Penarikan jaring dimulai dengan pengangkatan pelampung tanda dan batu pemberat, kemudian pelampung tersebut dilepas ikatannya dari jaring rajungan. Saat hauling, posisi nelayan berada di sisi kanan haluan perahu dan menarik jaring secara perlahan (Miskiya 2003). 2.4 Pengkajian Stok Sumberdaya Ikan Sumberdaya perikanan merupakan salah satu sumberdaya alam yang dapat diperbaharui tetapi terbatas. Sumberdaya tersebut dapat mengalami penipisan kelimpahan (abundance) bahkan kemusnahan (collapse) jika dibiarkan dalam

36 19 keadaan nirkelola. Pengkajian stok dalam arti yang sebenarnya adalah mencakup segala upaya riset yang dilakukan untuk mengetahui respon sumberdaya ikan terhadap kebijakan pengelolaan (Widodo 2002). Pengkajian stok diartikan sebagai suatu riset yang ditujukan untuk membuat prediksi kuantitatif tentang reaksi dari populasi ikan yang bersifat dinamis terhadap sejumlah alternatif pengelolaan dengan menggunakan sejumlah metode dan penghitungan statistik serta matematik. Prediksi kuantitatif, misalnya terhadap batas produksi yang diperbolehkan, resiko yang dapat ditimbulkan oleh penangkapan yang berlebihan (overfishing) atas sejumlah populasi yang tengah memijah (spawning), dan perlunya memberikan kesempatan ikan untuk tumbuh mencapai ukuran tertentu yang diinginkan sebelum dieksploitasi (Widodo 2002). Sebelum menduga stok ikan di suatu perairan, perlu menetapkan berapakah luasnya populasi ikan dan industri penangkapan yang dapat diperlakukan sebagai satu sistem unit. Tidaklah mudah untuk mendefinisikan satu unit stok, karena menurut Cushing (1967) diacu dalam Aziz satu spesies atau sub spesies sering sekali terdiri dari sejumlah stok. Menurut Gulland diacu dalam Aziz (1989), satu grup ikan dapat diperlakukan sebagai satu unit stok, jika hasil pendugaan dan studi-studi populasi lainnya dalam grup ikan itu, perbedaannya tidak berarti dari keadaan sesungguhnya. Demikian pula, kejadian di luar unit stok tidak mempengaruhi efek yang nyata terhadapnya. Konsep dasar mendeskripsikan dinamika sumberdaya perairan yang dieksploitasi adalah stok. Suatu stok adalah sub gugus dari suatu spesies yang umumnya dianggap sebagai unit taksonomi dasar. Prasyarat untuk identifikasi stok adalah kemampuan untuk memisahkan spesies yang berbeda. Stok diartikan sebagai suatu sub gugus dari satu spesies yang mempunyai parameter pertumbuhan dan mortalitas yang sama, serta menghuni suatu wilayah geografis tertentu (Sparre and Venema 1999). Konsep stok berkaitan erat dengan konsep parameter pertumbuhan dan mortalitas. Parameter pertumbuhan merupakan nilai numerik dalam persamaan dimana dapat diprediksi ukuran badan ikan setelah mencapai umur tertentu. Parameter mortalitas mencerminkan suatu laju kematian hewan, yakni jumlah kematian per unit waktu. Parameter mortalitas yang dimaksud adalah mortalitas

37 20 penangkapan yang mencerminkan kematian karena penangkapan dan mortalitas alami yang merupakan kematian karena sebab-sebab lain (pemangsaan, penyakit, dan lain-lain) (Sparre and Venema 1999). Ketersediaan stok ikan dipengaruhi oleh beberapa faktor, antara lain pertumbuhan dan kematian. Pertumbuhan pada tingkat individu dapat dirumuskan sebagai pertambahan ukuran panjang atau berat dalam suatu periode tertentu, sedangkan pertumbuhan populasi diartikan sebagai pertambahan jumlah. Faktorfaktor yang paling banyak mempengaruhi pertumbuhan adalah jumlah dan ukuran pakan yang tersedia, jumlah individu yang menggunakan pakan yang tersedia, kualitas air terutama suhu, oksigen terlarut, umur, ukuran ikan, serta kematangan gonad (Effendi 1997). 2.5 Model Surplus Produksi Semua tindakan pengelolaan sangat ditentukan oleh ketersediaan informasi biologi. Tidak satupun tindakan pengelolaan rasional dapat dirumuskan tanpa tersedianya informasi yang memadai secara biologi dan atas berbagai konsekuensi yang akan ditimbulkan oleh beberapa alternatif tindakan pengelolaan (Widodo dan Suadi 2006). Konsep dari surplus produksi merupakan konsep dasar dalam ilmu perikanan. Dasar pemikirannya adalah peningkatan (increment) populasi ikan akan diperoleh dari sejumlah ikan-ikan muda yang dihasilkan setiap tahun, sedangkan penurunan dari populasi tersebut (decrement) merupakan akibat dari mortalitas baik karena faktor alam (predasi, penyakit, dan lain-lain) maupun mortalitas disebabkan eksploitasi oleh manusia. Dengan demikian populasi perikanan akan berada dalam keadaan ekuilibrium bila increment sama dengan decrement (Widodo dan Suadi 2006). Metode surplus produksi dapat diartikan sebagai salah satu metode untuk menentukan tingkat upaya penangkapan optimum. Upaya tersebut adalah kegiatan penangkapan yang menghasilkan tangkapan maksimum tanpa mempengaruhi produktivitas populasi ikan dalam waktu panjang dan biasa disebut hasil tangkapan maksimum lestari (maximum sustainable yield). Model Schaefer ini lebih sederhana karena hanya memerlukan data yang sedikit, sehingga sering

38 21 digunakan dalam estimasi stok ikan di perairan tropis. Model Schaefer dapat digunakan apabila tersedia data hasil tangkapan total (berdasarkan spesies) dan CPUE (Catch Per Unit Effort) per spesies serta CPUE berdasarkan spesies dan upaya penangkapannya dalam beberapa tahun (Sparre and Venema 1999). Menurut Schaefer (1954) diacu dalam Fauzi (2006), laju pertumbuhan populasi merupakan fungsi dari pertumbuhan biomassa (stok) yang dipengaruhi oleh ukuran kelimpahan stok (x), daya dukung alam (K) dan laju pertumbuhan intrinsik (r). Laju pertumbuhan alami stok ikan yang tidak dieksploitasi atau disebut sebagai fungsi pertumbuhan density dependent growth dapat dinyatakan dalam persamaan berikut :... (2.1) Keterangan : = laju pertumbuhan biomassa (stok) x r K = fungsi pertumbuhan populasi biomassa (stok) = ukuran kelimpahan biomassa (stok) = laju pertumbuhan alami (intrinsik) = daya dukung alami (carrying capacity) Persamaan (2.1) dalam literatur perikanan dikenal dengan pertumbuhan logistik (logistic growth model) yang pertama kali dikemukakan oleh Verhulst pada Tahun Persamaan tersebut dapat digambarkan melalui kurva pertumbuhan logistik seperti pada Gambar 4. Menurut Schaefer (1954) diacu dalam Fauzi (2006), kurva pertumbuhan logistik tersebut menggambarkan kondisi perikanan yang tidak mengalami eksploitasi. Untuk mengeksploitasi suatu perairan diperlukan berbagai sarana yang merupakan faktor masukan yang disebut sebagai effort dalam perikanan. Effort adalah indeks dari berbagai input seperti tenaga kerja, kapal, jaring, alat tangkap, serta lain-lain yang dibutuhkan pada saat penangkapan ikan.

39 22 f (x) MSY 0 ½ K K x Sumber: Schaefer (1954) diacu dalam Fauzi (2006) Gambar 4 Kurva pertumbuhan logistik. Ukuran kelimpahan stok (x), tingkat upaya penangkapan (E) dan koefisien penangkapan (q) merupakan faktor-faktor untuk menentukan besarnya perolehan hasil tangkapan (h). Hasil tangkapan yang diperoleh nelayan bergantung pada tingkat upaya penangkapannya (effort). Effort dibedakan menjadi dua berdasarkan satuan pengukurnya, yaitu upaya penangkapan nominal dan upaya penangkapan efektif. Upaya penangkapan nominal diukur berdasarkan jumlah nominalnya (satuan jumlah kapal, alat tangkap, atau jumlah trip yang telah distandarisasikan), sedangkan upaya penangkapan ditentukan berdasarkan besarnya dampak yang ditimbulkan oleh kegiatan penangkapan terhadap kelimpahan stok ikan. Hubungan antara kedua upaya tersebut dapat digambarkan melalui persamaan berikut :... (2.2) dimana q merupakan koefisien penangkapan (catchability). Kegiatan penangkapan ikan menyebabkan terjadinya pengurangan stok/biomassa populasi ikan yang pada akhirnya merangsang populasi untuk meningkatkan pertumbuhan, survival atau rekruitmen. Perubahan populasi tersebut merupakan selisih antara laju pertumbuhan biomassa dengan perolehan hasil tangkapan. Hubungan tersebut menurut Schaefer (1954) diacu dalam Fauzi (2006), dapat diuraikan sebagai berikut :

40 23... (2.3) Pengaruh introduksi penangkapan ikan terhadap fungsi pertumbuhan biologi stok ikan dapat dilihat pada Gambar 5. Berdasarkan Gambar 5, terlihat beberapa hal yang menyangkut dampak dari aktivitas penangkapan terhadap stok. Pertama pada saat tingkat upaya sebesar E 1 diberlakukan, maka akan diperoleh jumlah tangkapan sebesar h 1 (garis vertikal). Jika upaya penangkapan dinaikkan sebesar E 2, dimana E 2 > E 1, maka hasil tangkapan akan meningkat sebesar h 2 (h 2 > h 1 ). Apabila upaya terus dinaikkan sebesar E 3 (E 3 > E 2 > E 1 ), maka akan terlihat bahwa untuk tingkat upaya dimana E 3 > E 2 ternyata tidak menghasilkan tangkapan yang lebih besar (h 3 < h 2 ). Dari gambar berikut dapat disimpulkan bahwa tingkat eksploitasi tersebut tidak efisien secara ekonomi karena tingkat produksi yang lebih sedikit harus dilakukan dengan tingkat upaya yang lebih besar. Pada saat populasi berada pada kondisi seimbang jangka panjang maka besarnya perubahan stok (biomassa) sama dengan nol (dx/dt = 0), maka persamaannya :... (2.4) Berdasarkan persamaan (2.1) dan (2.3), maka dapat dinyatakan sebagai berikut :... (2.5)... (2.6)

41 24 f(x) h = q.x.e 3 h = q.x.e 2 h = q.x.e 1 h 2 h 1 h 3 x Sumber: Schaefer (1954) diacu dalam Fauzi (2006) Gambar 5 Kurva pengaruh tangkapan terhadap stok. Apabila persamaan (2.6) disubstitusikan ke persamaan (2.2), maka akan diperoleh persamaan yang menggambarkan fungsi produksi lestari perikanan tangkap :... (2.7) Persamaan (2.7) dapat digambarkan pada Gambar 6. Berdasarkan Gambar 6, dapat terlihat bahwa apabila tidak ada aktivitas penangkapan (E = 0), maka hasil tangkapan juga nol. Effort akan mencapai titik maksimum pada E MSY yang berhubunan dengan tangkapan maksimum lestari (h MSY ). Sifat dari kurva produksi lestari upaya berbentuk kuadratik, maka peningkatan effort yang terus-menerus setelah melewati titik maksimum tidak akan menyebabkan peningkatan produksi lestari. Produk akan turun kembali, bahkan mencapai nol, pada titik effort maksimum (E max ) (Schaefer 1954 diacu dalam Fauzi 2006). Menurut Gulland (1983), asumsi yang digunakan dalam model surplus produksi adalah sebagai berikut : 1) Kelimpahan populasi merupakan faktor yang hanya menyebabkan perbedaan dalam laju pertumbuhan populasi alami; 2) Seluruh parameter populasi yang pokok dapat dikombinasikan untuk

42 25 menghasilkan fungsi sederhana yang ada hubungannya dengan laju pertumbuhan stok; 3) Laju mortalitas panangkapan seketika sama dengan upaya penangkapan; 4) Hasil tangkapan per upaya tangkap (CPUE) sepadan dengan ukuran stok ikan; 5) Lama antara pemijahan dan rekruitmen tidak berpengaruh terhadap populasi; dan 6) Ada hubungan antar hasil tangkapan dengan upaya penangkapan. h(e) h MSY 0 E MSY E max Effort Sumber: Schaefer (1954) diacu dalam Fauzi (2006) Gambar 6 Kurva produksi lestari upaya. Dengan membagi kedua sisi dari fungsi produksi lestari dengan effort (E), maka akan diperoleh persamaan berikut :... (2.8) Keterangan : CPUE = Catch Per Unit Effort a = nilai intersep b = koefisien regresi E = Effort

43 26 sehingga akan diperoleh persamaan berikut :... (2.9)... (2.10) Model fungsi produksi lestari dari Schaefer memiliki kelemahan secara metodologi dan analisis, karena parameter r, q, dan K tersembunyi dalam nilai a dan b. Oleh karena itu, model produksi Schaefer perlu dilakukan modifikasi dengan menggunakan teknik estimasi parameter biologi (r, q, dan K) yang dikembangkan oleh Clark, Yoshimoto, dan Pooley atau sering dikenal dengan sebutan metode CYP, Algoritma Fox, Schnute, Disequilibrium Schaefer, Walter- Hilbon (WH) (Sobari, Diniah, dan Isnaini 2009). 2.6 Laju Degradasi dan Depresiasi Degradasi mengacu pada penurunan kualitas atau kuantitas sumberdaya alam dapat diperbaharukan (renewable resource). Dalam hal ini, kemampuan alami sumberdaya alam dapat diperbarukan untuk beregenerasi sesuai kapasitas produksinya berkurang. Kondisi ini dapat terjadi baik karena kondisi alami maupun karena pengaruh aktivitas manusia. Laju degradasi digunakan untuk menentukan langkah-langkah lebih jauh tentang pengelolaan, dalam bentuk pengurangan laju ekstraksi atau penutupan berbagai kegiatan ekstraksi sumberdaya alam tersebut. Informasi mengenai laju degradasi sumberdaya alam dapat dijadikan titik referensi (reference point) maupun early warning signal untuk mengetahui apakah ekstraksi sumberdaya alam sudah melampaui kemampuan daya dukungnya (Fauzi dan Anna 2005). Terminologi depresiasi sumber daya lebih ditujukan untuk mengukur perubahan nilai moneter dari pemanfaatan sumberdaya alam. Depresiasi juga dapat diartikan sebagai pengukuran degradasi yang dirupiahkan. Monetarisasi dalam depresiasi ini tentu saja harus mengacu kepada pengukuran nilai riil, bukan nilai nominal. Artinya untuk menghitungnya kita harus selalu mengacu pada beberapa indikator perubahan harga seperti inflasi, indeks harga konsumen, dan sebagainya yang berlaku untuk setiap komoditas sumberdaya alam pesisir dan laut (Fauzi dan Anna 2005).

44 27 Baik degradasi maupun depresiasi sumberdaya laut disebabkan oleh beberapa faktor yaitu faktor alam maupun manusia, faktor endogenous maupun eksogenous, dan juga kegiatan yang bersifat produktif maupun nonproduktif. Degradasi diperparah pula oleh adanya berbagai gejala kerusakan lingkungan (termasuk pencemaran, overfishing, abrasi pantai, kerusakan fisik habitat pesisir, konflik penggunaan ruang, dan lain sebagainya) di kawasan-kawasan pesisir yang padat penduduk serta tinggi intensitas pembangunannya (Fauzi dan Anna 2005). 2.7 Model Bioekonomi Statis Pemanfaatan Sumberdaya Ikan Salah satu pertanyaan mendasar dalam pengelolaan sumberdaya ikan adalah bagaimana memanfaatkan sumberdaya tersebut sehingga menghasilkan manfaat ekonomi yang tinggi bagi pengguna, namun kelestariannya tetap terjaga. Secara implisit pertanyaan tersebut mengandung dua makna, yaitu makna ekonomi dan makna biologi. Oleh karena itu, pendekatan bioekonomi dalam pengelolaan sumberdaya ikan merupakan hal yang harus dipahami oleh setiap pelaku yang terlibat dalam pengelolaan sumberdaya ikan (Fauzi dan Anna 2005). Istilah bioekonomi diperkenalkan oleh Scott Gordon, seorang ahli ekonomi dari Kanada yang pertama kali menggunakan pendekatan ekonomi untuk menganalisis pengelolaan sumberdaya ikan yang optimal. Konsep MSY yang pertama kali diperkenalkan oleh Schaefer pada tahun 1954, hanya didasarkan pada pendekatan biologi semata. Dalam perspektif MSY, jika sumberdaya ikan dipanen pada tingkat MSY, sumberdaya ikan akan lestari. Pertanyaan yang muncul kemudian adalah bagaimana dengan biaya pemanenan ikan, bagaimana dengan pertimbangan sosial-ekonomi akibat pengelolaan sumberdaya ikan, serta bagaimana pula dengan nilai ekonomi terhadap sumberdaya yang tidak panen atau intrinsic value (dibiarkan di laut). Dalam pendekatan MSY, pertanyaanpertanyaan tersebut sengaja diabaikan, sebab tujuan pendekatan biologi adalah memperoleh produksi setinggi-tingginya. Akan tetapi, dalam pendekatan biologi sering mengalami ketidakstabilan MSY itu sendiri, MSY juga tidak memiliki basis logis pada saat terjadi interaksi antarspesies ikan. Kekurangan-kekurangan tersebutlah yang kemudian melahirkan konsep pendekatan bioekonomi. Dalam pendekatan biologi, tujuan pengelolaan adalah pertumbuhan biologi. Sedangkan,

45 28 pendekatan biologi, tujuan pengelolaan adalah pertumbuhan biologi. Sedangkan, dalam pendekatan bioekonomi tujuan utamanya adalah aspek ekonomi dengan kendala aspek biologi sumberdaya ikan (Fauzi dan Anna 2005). Model bioekonomi Gordon-Schaefer dibangun dari model surplus produksi yang telah dikembangkan sebelumnya oleh Graham pada Pada pendekatan ini, Gordon menambahkan faktor ekonomi dengan memasukkan faktor harga dan biaya, untuk mengembangkan model Gordon-Schaefer ini beberapa asumsi akan digunakan untuk memudahkan pemahaman, asumsi-asumsi tersebut antara lain (Fauzi 2006): (1) Harga per satuan output (Rp per kg) diasumsikan konstan atau kurva permintaan elastis sempurna; (2) Biaya penangkapan per satuan upaya penangkapan dianggap konstan; (3) Spesies sumberdaya ikan dianggap tunggal (single spesies); (4) Hanya faktor penangkapan langsung yang diperhitungkan (tidak memasukkan faktor pasca panen dan lain sebagainya). Dengan menggunakan asumsi di atas, maka penerimaan total dapat diperoleh sebagai berikut:... (2.11) Keterangan: TR = penerimaan total p = harga rata-rata rajungan h = hasil tangkapan Demikian juga dengan biaya total upaya penangkapan yang dapat dinyatakan dalam persamaan sebagai berikut:... (2.12) Keterangan : TC = total biaya penangkapan rajungan persatuan upaya c = biaya penangkapan rajungan persatuan upaya E = upaya penangkapan

46 29 Maka keuntungan dari pemanfaatan sumberdaya rajungan tersebut adalah :... (2.13) Keterangan : π = keuntungan dari pemanfaatan sumberdaya Dalam kondisi pengelolaan yang bersifat terbuka (open access), keseimbangan pengelolaan akan dicapai pada tingkat upaya, dimana penerimaan total (TR) sama dengan biaya total (TC) sehingga keuntungan yang diperoleh dari usaha penangkapan ikan sama dengan nol (π = 0). Pelaku perikanan hanya menerima biaya opportunitas dan rente ekonomi sumberdaya atau profit tidak ada. Tingkat effort pada posisi ini adalah tingkat effort keseimbangan yang oleh Gordon disebut sebagai bioeconomic equilibrium of open access fishery atau keseimbangan bionomik dalam kondisi akses terbuka (Fauzi 2006). Keseimbangan pengelolaan perikanan dalam dua rezim pengelolaan yang berbeda dapat digambarkan pada model Gordon-Schaefer seperti pada Gambar 7. Berdasarkan Gambar 7, terlihat bahwa keseimbangan bioekonomi merupakan kondisi dimana pada setiap effort dibawah, penerimaan total akan melebihi biaya total, sehingga pelaku perikanan (nelayan) akan lebih banyak tertarik (entry) untuk melakukan penangkapan ikan. Sebaliknya pada kondisi effort diatas, biaya total akan melebihi penerimaan total sehingga banyak pelaku perikanan yang akan keluar (exit) dari usaha penangkapan ikan. Dengan demikian, hanya pada tingkat effort keseimbangan akan tercapai sehingga proses entry dan exit tidak akan terjadi. Dengan kata lain, keseimbangan open access akan terjadi jika seluruh rente ekonomi telah terkuras habis (driven to zero), sehingga tidak ada lagi insentif untuk entry maupun exit, serta tidak ada perubahan pada tingkat upaya yang sudah ada (Fauzi 2006).

47 30 Cost, Revenue B MEY MSY TC = c.e π max C TR = p.h 0 Effort Sumber: Schaefer (1954) diacu dalam Fauzi (2006) Gambar 7 Model Gordon-Schaefer. Cara lain untuk melihat keseimbangan Gordon-Schaefer adalah dari sisi hubungan penerimaan rata-rata, penerimaan marginal dan biaya marginal. Hal ini dapat diturunkan dari persamaan penerimaan total dan biaya total. Dengan menggunakan fungsi permintaan yang linear, dimana harga tidak lagi konstan tetapi linear terhadap hasil tangkapan p(h) maka kurva penerimaan rata-rata dapat diturunkan dari kurva penerimaan total dibagi dengan hasil tangkapan (h).... (2.14) Kurva penerimaan marginal diperoleh dengan menurunkan penerimaan total terhadap hasil tangkapan.... (2.15) Kurva biaya marginal merupakan turunan pertama (kemiringan/slope) dari biaya total yang merupakan konstanta.... (2.16)

48 31 Persamaan 2.16 dapat digambarkan pada kurva keseimbangan bioekonomi dari sisi penerimaan rata-rata seperti pada Gambar 8. Revenue/cost MR AR C = MC =AC E MEY EOA Effort Sumber: Schaefer (1954) diacu dalam Fauzi (2006) Gambar 8 Kurva keseimbangan bioekonomi dari sisi penerimaan rata-rata. Berdasarkan Gambar 8, terlihat bahwa keuntungan lestari yang maksimum (maximum sustainable rent) akan diperoleh secara maksimum (sustainable profit) pada tingkat upaya E MEY karena memiliki jarak vertikal terbesar antara penerimaan dan biaya. Tingkat upaya ini sering disebut sebagai maximum economic yield (MEY) atau produksi yang maksimum secara ekonomi, dan merupakan tingkat upaya yang optimal secara sosial (socially optimum). Jika dibandingkan antara tingkat upaya pada saat keseimbangan open access dengan tingkat upaya optimal secara sosial, maka akan terlihat bahwa pada kondisi open access tingkat upaya yang dibutuhkan jauh lebih banyak daripada yang semestinya untuk mencapai keuntungan optimal yang lestari. Dari sudut pandang ilmu ekonomi, keseimbangan open access menimbulkan terjadinya alokasi sumberdaya alam yang tidak tepat (missallocation) dari sumberdaya, karena kelebihan faktor produksi (modal dan tenaga kerja) tersebut dapat dialokasikan untuk kegiatan ekonomi lainnya yang lebih produkstif. Ini merupakan inti prediksi Gordon bahwa pada kondisi perikanan yang open acess akan menimbulkan kondisi economic overfishing.

49 32 Tingkat upaya yang dibutuhkan untuk mencapai titik optimal secara sosial (E 0 ) jauh lebih kecil dibandingkan dengan yang dibutuhkan untuk mencapai titik MSY (E MSY ). Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa tingkat upaya pada titik keseimbangan (E MEY ) terlihat lebih bersahabat (conservative minded) dibandingkan dengan tingkat upaya E MSY (Hannesson 1993 diacu dalam Fauzi 2006). 2.8 Model Optimal Dinamik Model sumberdaya ikan dalam kerangka statik sangat berguna dalam mempelajari teori dasar pengelolaan ekonomi sumberdaya ikan. Pendekatan ini cukup sederhana dan menarik, serta telah banyak digunakan untuk memahami sumberdaya ikan dalam kurun waktu yang cukup lama. Namun pendekatan ini mempunyai beberapa kelemahan mendasar. Faktor dasar dari kelemahan pendekatan statik adalah karena sifat statik itu sendiri. Pendekatan ini tidak memasukkan faktor waktu dalam analisisnya. Untuk sumberdaya terbarukan seperti ikan, tidak dimasukkannya faktor waktu ini bisa menyebabkan akibat yang serius dalam pengelolaan sumberdaya ikan (Cunningham 1981 diacu dalam Fauzi 2006). Hal ini disebabkan oleh sumberdaya ikan memerlukan waktu untuk bereaksi terhadap setiap perubahan-perubahan eksternal yang terjadi. Sehingga pendekatan dinamis selain diperlukan untuk memahami pengelolaan sumberdaya ikan, juga untuk memahami aspek ekonomi sumberdaya secara menyeluruh dengan memperhitungkan faktor waktu. Menurut Clark dan Munro (1975) diacu dalam Fauzi (2006), dalam pendekatan kapital, sumberdaya ikan dianggap sebagai stok kapital dengan fitur tambahan bahwa stok ikan dapat tumbuh melalui proses reproduksi alamiah. Dalam model dinamik, stok ikan dianggap memiliki dua manfaat yaitu manfaat masa sekarang (current revenue) dan manfaat masa mendatang yang dianggap sebagai investasi. Model pengelolaan optimal dinamik digunakan untuk menentukan cara memanfaatkan ikan sebaik mungkin dengan tetap memperhatikan aspek intertemporal. Aspek ini dijembatani dengan adanya penggunaan discount rate. Pengelolaan sumberdaya ikan yang optimal dalam konteks dinamik diartikan

50 33 sebagai perhitungan tingkat upaya dan panen yang optimal yang menghasilkan discount present value (DPV) surplus sosial yang paling maksimum. Surplus sosial ini diwakili oleh rente ekonomi dari sumberdaya (resource rent). Dalam model dinamik, sumberdaya ikan diasumsikan dikelola secara privat (pemerintah maupun komunal atau individual) yang bertujuan untuk memaksimumkan manfaat ekonomi dari sumberdaya ikan tersebut. Secara matematis, pengelolaan sumberdaya ikan dalam konteks dinamik dapat ditulis dalam bentuk :... (2.17) dengan kendala :... (2.18) Pemecahan untuk model diskrit dapat dilakukan dengan teknik Lagrangian, sementara pemecahan untuk model kontinyu dapat dilakukan dengan teknik Hamilton. Pada prinsipnya, pemecahan kedua versi dinamik di atas akan menghasilkan Golden Rule untuk pengelolaan sumberdaya ikan dalam bentuk :... (2.19) dengan kendala :... (2.20) Solusi persamaan model dinamik adalah sebagai berikut :... (2.21) Berdasarkan persamaan (2.21), maka dapat diketahui nilai optimal dinamik untuk biomassa, produksi, dan rente ekonomi melalui persamaan berikut:... (2.22)... (2.23)... (2.24)... (2.25)

51 Kriteria Investasi Suatu penilaian terhadap proyek atau unit penangkapan ikan, diperlukan analisis finansial dalam memperhitungkan insentif bagi orang-orang yang turut serta dalam menyukseskan pelaksanaan proyek. Analisis proyek ini dilihat dari sudut badan-badan atau orang-orang yang menanam modalnya dalam proyek atau yang berkepentingan langsung dalam proyek (Kadariah dan Gray 1999). Dalam rangka mencari suatu ukuran menyeluruh tentang baik atau tidaknya suatu proyek, telah dikembangkan berbagai macam indeks yang disebut investment criteria. Setiap kriteria mempunyai kebaikan serta kelemahan (Kadariah dan Gray 1999). Kriteria investasi yang digunakan adalah Net Present Value (NPV) dan Net Benefit Cost Ratio (Net B/C). Menurut Kadariah dan Gray (1999), Net Present Value (NPV) merupakan selisih antara nilai sekarang (present value) dari keuntungan (benefit) dan nilai sekarang dari biaya. Purba (1997) menambahkan jika NPV lebih besar dari nol berarti keuntungan lebih besar dari biaya sehingga proyek tersebut layak (favourable) sedangkan jika NPV lebih kecil dari nol berarti keuntungan yang ada tidak dapat menutupi biaya yang ada sehingga proyek tersebut tidak layak (unfavourable). Net Benefit Cost Ratio (Net B/C) merupakan perbandingan antara total nilai sekarang dari keuntungan bersih pada tahun yang berkeuntungan bersih positif dengan tahun yang berkeuntungan bersih negatif. Jika Net B/C lebih besar daripada/sama dengan 1 maka proyek tersebut layak sebaliknya jika Net B/C kurang dari 1 maka proyek tersebut tidak layak (Kadariah et al. 1999).

52 35 3 KERANGKA PENDEKATAN STUDI Kegiatan usaha penangkapan rajungan atau eksploitasi rajungan yang berlebihan setiap tahunnya akan mengakibatkan terjadinya penurunan stok pada sumberdaya rajungan. Unit penangkapan ikan di Perairan Teluk Banten jumlahnya semakin meningkat tiap tahunnya. Peningkatan unit penangkapan tersebut diiringi dengan peningkatan aktivitas atau usaha penangkapan rajungan di Perairan Teluk Banten. Aktivitas atau usaha penangkapan yang semakin meningat terus-menerus akan menyebabkan kerusakan atau bahkan kepunahan pada sumberdaya rajungan. Oleh karena itu, dibutuhkan suatu pengkajian pengelolaan pemanfaatan sumberdaya rajungan dengan memperhatikan aspek teknis, aspek biologi, dan aspek ekonomi. Aspek teknis yang dikaji yaitu berupa konstruksi alat tangkap, metode pengoperasian, dan produktivitas alat tangkap jaring rajungan, aspek biologi berupa potensi sumberdaya rajungan, dan aspek ekonomi berupa tingkat upaya pemanfaatan yang menghasilkan keuntungan maksimum lestari. Aspek teknis, aspek biologi, dan aspek ekonomi digunakan untuk melakukan analisis, yaitu analisis bioteknis dan analisis bioekonomi/bionomi. Analisis bioteknis dilakukan dengan memperhatikan aspek teknis dan aspek biologi, sehingga didapatkan parameter r, q, K, untuk menentukan nilai MSY. Analisis bionomi dilakukan dengan memperhatikan aspek biologi dan aspek ekonomi yang didasarkan pada parameter ekonomi seperti biaya penangkapan (c), harga hasil tangkapan (p), discount rate (δ), untuk menentukan nilai MEY dan OA. Setelah analisis bioteknis dan analisis bionomi dilakukan, maka dapat dilakukan pula suatu analisis ekonomi dari sumberdaya rajungan, yaitu analisis investasi optimal (NPV dan Net B/C). Melalui seluruh analisis yang telah dilakukan, maka akan diperoleh suatu pola atau model pengelolaan dan investasi sumberdaya perikanan rajungan dengan jaring rajungan di Teluk Banten. Tahap penelitian Model Pengelolaan dan Investasi Optimal Sumberdaya Rajungan dengan Jaring Rajungan di Teluk Banten dapat dilihat pada Gambar 9.

53 36 Sumberdaya Rajungan di Perairan Teluk Banten Usaha Perikanan Rajungan dengan Jaring Rajungan di Perairan Teluk Banten Aspek Teknik Aspek Biologi Aspek Ekonomi Analisis Bioteknik (r, q, K) untuk menentukan MSY Analisis Bioekonomi (p, c, δ) untik menentukan MEY dan OA Analisis Investasi Optimal Model Pengelolaan pada Sumberdaya Rajungan Gambar 9 Kerangka pendekatan studi model pengelolaan dan investasi optimal sumberdaya rajungan dengan jaring rajungan di Teluk Banten.

54 37 4 METODE PENELITIAN 4.1 Waktu dan Tempat Penelitian dilaksanakan pada Bulan Januari sampai dengan Bulan Februari Pengambilan data di lapangan dilaksanakan di Pelabuhan Perikanan Pantai Karangantu, Kecamatan Kasemen, Kota Serang, Provinsi Banten. 4.2 Bahan dan Alat Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah rajungan dan unit penangkapan jaring rajungan di Perairan Teluk Banten. Peralatan yang digunakan dalam penelitian ini yaitu : 1) Kuesioner 2) Alat pengukur panjang; dan 3) Kamera digital. 4.3 Metode Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode deskriptif dengan pendekatan metode studi kasus. Studi kasus bertujuan memberikan gambaran tentang latar belakang sifat serta karakter-karakter yang khas dari kasus. Sebagai satuan kasusnya adalah unit usaha penangkapan sumberdaya rajungan menggunakan alat tangkap jaring rajungan di Perairan Teluk Banten. 4.4 Metode Pengumpulan Data Data yang dikumpulkan dalam penelitian ini terdiri atas data primer dan data sekunder. Data primer diperoleh langsung oleh peneliti dengan melakukan wawancara langsung kepada nelayan menggunakan kuesioner yang telah disiapkan sebelumnya dan melakukan pengamatan mengenai unit penangkapan rajungan di Perairan Teluk Banten. Data sekunder diperoleh dari Pelabuhan Perikanan Pantai (PPP) Karangantu dan Dinas Perikanan Provinsi Banten yang berupa data time series dari Tahun

55 38 Data primer yang dikumpulkan dalam penelitian ini antara lain : 1) Aspek Teknik Semua data yang berhubungan dengan konstruksi, produktivitas, dan metode pengoperasian unit penangkapan jaring rajungan, meliputi : (1) Ukuran dan jumlah unit penangkapan jaring rajungan; (2) Konstruksi alat tangkap jaring rajungan; (3) Metode pengoperasian alat tangkap jaring rajungan; (4) Daerah pengoperasian alat tangkap jaring rajungan; (5) Musim penangkapan rajungan; (6) Jumlah trip unit penangkapan jaring rajungan; (7) Jumlah nelayan yang mengoperasikan unit penangkapan jaring rajungan; dan (8) Jumlah produksi unit penangkapan jaring rajungan. 2) Aspek Biologi Aspek biologi yang akan diteliti, meliputi : (1) Komposisi hasil tangkapan; (2) Jumlah hasil tangkapan; (3) Laju pertumbuhan; (4) Koefisien daya tangkap; dan (5) Daya dukung lingkungan. 3) Aspek Ekonomi Aspek ekonomi yang diteliti, meliputi : (1) Harga jual rajungan oleh nelayan; (2) Investasi yang dikeluarkan untuk unit penangkapan rajungan; (3) Daerah pemasaran hasil tangkapan; dan (4) Biaya operasional. Data sekunder yang dikumpulkan dalam penelitian ini antara lain: 1) Jumlah unit penangkapan jaring rajungan, trip dan nelayan yang beroperasi di Perairan Teluk Banten selama sembilan tahun terakhir; 2) Produksi unit penangkapan jaring rajungan di Perairan Teluk Banten selama sembilan tahun terakhir;

56 39 3) Peta lokasi pengoperasian unit penangkapan jaring rajungan di Perairan Teluk Banten selama sembilan tahun terakhir; 4) Keadaan umum daerah penelitian berupa letak geografis, letak astronomis, kependudukan dan keadaan perikanan tangkap secara umum di Perairan Teluk Banten; 5) Produk Domestik Regional Bruto Serang dan Indeks Harga Konsumen yang berlaku untuk Serang selama sembilan tahun terakhir. 4.5 Metode Pengambilan Sampel Informasi mengenai keadaan lokasi penelitian dan beragam informasi lainnya diperoleh dari responden nelayan. Pengambilan sampel responden dilakukan dengan menggunakan teknik non probabilitas dengan jenis pengambilan sampel menggunakan metode purposive sampling yaitu suatu metode pengambilan sampel yang dilakukan dengan mengambil sampel dari populasi berdasarkan suatu kriteria tertentu. Kriteria yang digunakan dapat berdasarkan pertimbangan (judgement) tertentu atau jatah (quota) tertentu (Jogiyanto 2008). Metode ini digunakan untuk menghemat waktu dan tenaga peneliti. Nelayan yang dijadikan responden adalah sebanyak 30 orang. 4.6 Analisis Data Analisis teknik Analisis teknik digunakan untuk mengetahui efektivitas kegiatan operasi penangkapan rajungan dilihat dari aspek-aspek teknik. Aspek teknik yang digunakan sebagai tolok ukur seperti hasil tangkapan per upaya penangkapan (Catch Per Unit Effort), konstruksi alat penangkapan rajungan, metode penangkapan rajungan, produktivitas alat tangkap jaring rajungan, komposisi hasil tangkapan, musim, dan daerah penangkapan rajungan. Produktivitas adalah kemampuan untuk menghasilkan sesuatu. Produktivitas alat tangkap jaring rajungan dapat diukur dengan menggunakan perbandingan antara produksi per trip unit penangkapan jaring rajungan dan produksi per biaya operasional unit penangkapan jaring rajungan.

57 40... (4.1) Data hasil upaya penangkapan rajungan dapat dianalisis dengan menghitung nilai hasil tangkapan per upaya penangkapan (CPUE). Nilai CPUE dapat digunakan untuk mengetahui indeks kelimpahan dan tingkat pemanfaatan sumberdaya rajungan yang diperoleh dari perbandigan total catch terhadap total fishing effort. Rumus yang digunakan untuk menghitung nilai CPUE adalah (Gulland 1983) :...(4.2) keterangan: CPUE i = hasil tangkapan per upaya penangkapan teri pada tahun ke-i (ton per trip) catch i = hasil tangkapan teri pada tahun ke-i (ton) effort i = upaya penangkapan teri pada tahun ke-i (trip) Analisis bioteknik Analisis bioteknik digunakan untuk menganalisis terjadi atau tidaknya suatu gejala tangkap lebih (overfishing). Penentuan gejala tersebut dilakukan dengan menentukan jumlah hasil tangkapan dan upaya maksimum lestari penangkapan rajungan. Aktivitas penangkapan atau produksi dinyatakan dengan fungsi sebagai berikut:... (4.3) Dalam kondisi keseimbangan jangka panjang atau, maka persamaannya menjadi:... (4.4) sehingga jika dipecahkan persamaan di atas untuk x (nilai stok ikan), maka akan diperoleh:... (4.5)

58 41 Kemudian dengan mensubstitusikan persamaan tersebut ke dalam persamaan aktivitas penangkapan maka akan diperoleh tangkapan yang ditulis dalam bentuk:... (4.6) atau... (4.7) Untuk memperoleh nilai r, q, dan K dilakukan dengan menggunakan model-model pendukung dari persamaan Schaefer, yaitu: a) Model Schnute... (4.10) atau maka b) Model Walter-Hilbon (WH) atau... (4.11) maka c) Model Clark, Yoshimoto and Pooley (CYP)... (4.12) Disederhanakan dengan menggunakan Ordinary Least Square (OLS): ( U ) + γ ( E E ) ln( U + t + 1) = α + β ln t t + t 1

59 42 sehingga nilai r, q dan K, sebagai berikut : ( β ) ( + β ) 2 1 r = 1 γ q = 2 ( + r) K e = a ( 2+ r ) ( 2r ) q Analisis bioekonomi Tingkat upaya pemanfaatan tingkat maksimum lestari secara ekonomi dapat ditetapkan dengan menambahkan parameter ekonomi dengan memasukkan parameter biaya, harga, dan discount rate ke dalam analisis bioteknik. Biaya nominal penangkapan rata-rata dapat dihitung dengan rumus:... (4.13) keterangan: c n = biaya nominal rata-rata penangkapan (Rp per tahun ) c i = biaya nominal penangkapan responden ke- i (Rp per tahun) n = jumlah responden (orang) Untuk menentukan biaya riil per unit upaya (unit standardized effort) dalam penelitian ini mengikuti rumus berikut (Sobari, Diniah, dan Isnaini 2009) :... (4.14) keterangan: C e C n E n h ij (h i +h j ) n = biaya per unit standardized pada periode t (Rp per unit) = biaya nominal rata-rata penangkapan (Rp per tahun) = effort alat tangkap gillnet pada waktu t (trip) = produksi alat tangkap gillnet pada waktu t (ton) = total produksi ikan untuk seluruh tangkap (ton) = jumlah responden (orang) Untuk mendapatkan harga ikan riil pada penelitian ini dilakukan dengan cara mengalikan rasio harga ikan saat ini (P t ) dan Indeks Harga Konsumen (IKH t ) tahun ini dengan IHK t+1. Secara matematis ditulis dalam bentuk:

60 43 i = 1..n... (4.15) dimana: i = responden ke-i P t = harga riil ikan pada tahun t (Rp) p n = harga nominal ikan berlaku (Rp) IHK n = Indeks Harga Konsumen ikan pada tahun standar IHK t = Indeks Harga Konsumen ikan pada tahun t n = jumlah responden (Orang) Untuk mendapatkan kondisi optimal pada analisis statik maka dapat dihitung dengan menggunakan formula seperti pada Tabel 3. Tabel 3 Formula perhitungan pengelolaan rajungan model statis Variabel Biomassa (x) Kondisi MEY MSY OPEN ACCESS Catch (h) Effort (E) Rente Ekonomi ( ) Sumber: Sobari, Diniah, Isnaini (2009) Formula perhitungan pengelolaan pada Tabel 3 memiliki kekurangan, kekurangan tersebut diatasi dalam model optimal dinamik yang dijembatani dengan penggunaan discount rate, karena model ini menyangkut aspek pengelolaan yang bersifat intertemporal. Secara matematis, pengelolaan sumberdaya perikanan rajungan dalam konteks dinamik dapat ditulis dalam bentuk :... (4.16) dengan kendala :... (4.17)

61 44 Pemecahan kedua versi di atas akan menghasilkan Golden Rule untuk pengelolaan sumberdaya ikan dalam bentuk :... (4.18) dengan kendala :... (4.19) Berdasarkan persamaan (4.22) dan (4.23), maka dapat diketahui nilai optimal dinamik untuk biomassa, produksi, dan rente ekonomi melalui persamaan berikut:... (4.20)... (4.21)... (4.22)... (4.23) Nilai discount rate ( ) yang digunakan adalah market discount rate sebesar 12%, sebagai pembanding dengan discount rate dengan pendekatan Ramsey didekati dengan teknik digunakan Anna S (2003) yang diadopsi dari teknik yang dikembangkan oleh Kula (1984), sehingga akan diperoleh nilai annual discount rate. Selain itu, nilai discount rate yang juga digunakan dalam penelitian ini adalah nilai discount rate yang digunakan oleh World Bank yaitu 10%, 12%, 15%, dan 18%. Kula (1984) diacu dalam Anna (2003) pada dasarnya menggunakan formula yang sama dengan formula Ramsey, bahwa real discount rate (r) didefinisikan sebagai berikut :... (4.24) dimana : r = real discount rate ρ= pure time preference γ = elastisitas pendapatan terhadap konsumsi sumberdaya alam g = pertumbuhan ekonomi Kula (1984) diacu dalam Anna (2003) mengestimasi laju pertumbuhan dengan meregresikan :... (4.25)

62 45 dimana : periode waktu konsumsi per kapita pada periode t. Hasil regresi ini akan meghasilkan formula elastisitas, dimana :... (4.26) Persamaan (4.26) secara matematis dapat disederhanakan sebagai berikut :... (4.27) Analisis koefisien degradasi dan depresiasi Analisis degradasi merupakan penurunan kualitas atau kuantitas sumberdaya alam dapat diperbarukan (renewable resources). Degradasi sumberdaya perikanan ini secara matematis dapat ditentukan laju dengan rumus berikut : 1 φ =... (4.28) D keterangan: 1+ e hδ h0 Ø D h 0 h δ = koefisien atau laju degradasi = produksi aktual = produksi lestari Adapun untuk menghitung laju depresiasi sumberdaya ikan, pada dasarnya sama dengan formula penghitungan laju degredasi, hanya saja parameter ekonomi menjadi variabel yang menentukan perhitungan laju depresiasi, yang dirumuskan sebagai berikut:... (4.29) keterangan: Ø R π δ π 0 = koefisien atau laju depresiasi = keuntungan lestari (ton) = keuntungan aktual (ton)

63 Analisis Biaya Manfaat (Investasi Optimal) Analisis ekonomi dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui kelayakan pemanfaatan sumberdaya rajungan secara keseluruhan tidak hanya dalam satu unit. Analisis ekonomi dilakukan melalui analisis kriteria investasi. Pada penelitian ini pendekatan yang digunakan adalah analisis kriteria investasi Analisis kriteria investasi 1) Net Present Value (NPV) Analisis Net Present Value bertujuan untuk mengetahui tingkat keuntungan yang diperoleh selama umur ekonomis proyek. Net Present Value (NPV) merupakan selisih antara nilai sekarang (present value) dari keuntungan (benefit) dan nilai sekarang dari biaya, dinyatakan dalam rumus (Kadariah et al. 1999): NPV = n t= 1 B C t (1 + i) t t... (4.30) Keterangan: NPV : Net Present Value B t : benefit sosial kotor dari suatu proyek pada tahun ke-t C t : biaya kotor dari suatu proyek pada tahun ke-t kotor i : tingkat suku bunga n : umur ekonomis proyek 2) Net Benefit Cost Ratio (Net B/C) Analisis Net Benefit Cost Ratio (Net B/C) bertujuan untuk mengetahui berapa besarnya penerimaan dibandingkan dengan pengeluaran selama umur ekonomis proyek. Net B/C merupakan perbandingan sedemikian rupa, sehingga pengambilannya terdiri atas present value total dari benefit bersih dalam tahuntahun dimana benefit bersih itu bersifat positif, sedangkan penyebutnya terdiri atas present value total dari biaya bersih dalam tahun-tahun dimana B t - C t bersifat negatif, yaitu biaya kotor lebih besar daripada benefit kotor, dinyatakan dalam rumus (Kadariah et al. 1999):

64 47 Net B/C = n t= 1 (1 + i) n t= 1 B C t t (1 + i) t t t t C B [ Bt [ B t C C t t > 0] < 0]... (4.31) Kriteria: Jika Net B/C > 1 maka usaha dikatakan untung dan layak untuk dilanjutkan Jika Net B/C = 1 maka usaha dikatakan pulang pokok Jika Net B/C < 1 maka usaha dikatakan rugi dan tidak layak untuk dilanjutkan 4.8 Batasan (1) Analisis bioekonomi merupakan suatu analisis terpadu dari aspek biologi dan ekonomi dalam upaya pemanfaatan sumberdaya perikanan secara lestari. Analisis ini berdasarkan atas dinamika pertumbuhan populasi ikan yang dikaitkan dengan upaya mencapai keuntungan maksimum yang dituangkan dalam bentuk model bioekonomi statik dan model optimal dinamik. (2) Upaya pemanfaatan sumberdaya perikanan rajungan, yaitu upaya penangkapan rajungan yang dilakukan para nelayan yang berbasis di PPP Karangantu, dengan daerah penangkapan di Perairan Teluk Banten dan sekitarnya. (3) Upaya penangkapan (effort) dihitung berdasarkan jumlah hari operasi. (4) Harga nominal rajungan adalah harga rata-rata tahunan dari beberapa jenis rajungan yang jadi target tangkapan jaring rajungan dari tahun , sementara itu harga riil merupakan harga yang telah dijustifikasi dengan menggunakan Indeks Harga Konsumen (IHK) pada tahun yang sama. (5) Biaya penangkapan ikan adalah biaya total yang dipakai untuk melakukan penangkapan ikan per tahun per unit effort dari alat tangkap yang dianalisis. (6) Hasil tangkapan adalah volume rajungan yang didaratkan di PPP Karangantu oleh nelayan yang berbasis di Teluk Banten. (7) Trip adalah kegiatan operasi penangkapan yang dihitung sejak perahu atau kapal tangkap meninggalkan pelabuhan atau tempat pendaratan menuju daerah operasi, mencari daerah tangkap, melakukan penangkapan, kemudian kembali lagi ke pelabuhan atau tempat pendaratan asal.

65 Asumsi (1) Populasi rajungan menyebar secara merata di seluruh daerah penangkapan. (2) Pengaruh upaya penangkapan di luar daerah penangkapan (fishing ground) terhadap kelimpahan populasi di daerah penangkapan, relatif kecil dan bisa diabaikan. (3) Ukuran kapal dan teknologi penangkapan yang digunakan relatif sama. (4) Harga rajungan per satuan hasil tangkap bersifat konstan. (5) Masing-masing unit penangkapan jaring rajungan melakukan jumlah trip relatif sama dalam satu tahun. (6) Biaya penangkapan per unit upaya penangkapan adalah konstan dan proporsional terhadap effort. (7) Seluruh unit upaya penangkapan aktif melakukan kegiatan penangkapan.

66 49 5 KEADAAN UMUM DAERAH PENELITIAN 5.1 Gambaran Umum Daerah Penelitian Pelabuhan Perikanan Pantai (PPP) Karangantu terletak di Kecamatan Kasemen, Kota Serang. Gambaran umum secara terperinci dijelaskan pada sub bab-sub bab berikut Kondisi geografis daerah penelitian Pelabuhan Perikanan Pantai (PPP) Karangantu terletak di Sungai Cibanten, Desa Banten, Kecamatan Kasemen, Kota Serang, Provinsi Banten. Secara geografis, PPP Karangantu terletak pada posisi koordinat 06º 02' LS - 106º 09' BT. Pada awal perkembangannya, PPP Karangantu adalah suatu desa pantai yang secara tradisional berkembang dari suatu kelompok pemukiman yang mendiami areal lahan di muara Sungai Cibanten. Sejalan dengan perkembangan sejarah pemukiman nelayan, Karangantu tumbuh dan berkembang menjadi suatu pelabuhan nelayan yang cukup besar dan berperan penting sebagai pusat kegiatan perikanan yang memasok sebagian besar kebutuhan ikan wilayah Provinsi Banten. Luas lahan PPP Karangantu sebesar 2,5 Ha yang dibangun pada Tahun 1975/1976 dan operasional mulai Tahun Kota Serang secara geografis terletak pada posisi 5º 99' - 6º 22' LS dan 106º 07' - 106º 25' BT. Adapun wilayah administrasi Kota Serang adalah sebelah Utara berbatasan dengan Laut Jawa, sebelah Timur, Selatan, dan Barat berbatasan dengan Kabupaten Serang. Kota Serang pada Tahun 2008 terdiri atas 6 kecamatan dan 66 desa/kelurahan. Batas wilayah PPP Karangantu secara administrasi adalah sebelah Utara berbatasan dengan Laut Jawa, sebelah Selatan berbatasan dengan wilayah Desa Kasunyatan, sebelah Timur berbatasan dengan Desa Padak Gundul dan Barat berbatasan dengan Desa Margasaluyu. PPP Karangantu memiliki nilai sejarah yang sangat tinggi selain untuk kegiatan perikanan juga sebagai tempat pariwisata. PPP Karangantu memiliki keunggulan karena letaknya berdekatan dengan daerah penangkapan (fishing ground) seperti Samudera Hindia, Laut Jawa, Selat Sunda, dan Perairan Lampung. Selain itu PPP Karangantu juga dekat

67 50 Jawa, Selat Sunda, dan Perairan Lampung. Selain itu PPP Karangantu juga dekat dengan ibukota negara, jarak tempuh ke Bandara Soekarno-Hatta sekitar 1 jam, sehingga memudahkan untuk ekspor hasil perikanan. Kecamatan Kasemen yang terdiri atas 10 desa, merupakan salah satu bagian dari 6 kecamatan yang ada di Kota Serang. Luas wilayah Kecamatan Kasemen mencapai 39 km 2 yang diperuntukkan bagi lahan pertanian, tambak, dan pemukiman. Adapun wilayah administrasi Kecamatan Kasemen adalah sebelah Utara berbatasan dengan Laut Jawa, sebelah Timur berbatasan dengan Kecamatan Pontang Kabupaten Serang, sebelah Selatan berbatasan dengan Kecamatan Serang Kota Serang, dan sebelah Barat berbatasan dengan Kecamatan Keramatwatu Kabupaten Serang Kependudukan dan perekonomian Penduduk adalah semua orang yang berdomisili di wilayah geografis Republik Indonesia selama 6 bulan atau lebih dan yang berdomisili kurang dari 6 bulan, tetapi bertujuan menetap. Jumlah penduduk Kota Serang Tahun 2008 adalah jiwa dengan penduduk laki-laki sebanyak jiwa dan perempuan sebanyak jiwa. Jumlah penduduk pada Kecamatan Kasemen sampai akhir Desember Tahun 2008 adalah jiwa, terdiri atas laki-laki jiwa dan perempuan jiwa. Penduduk Kecamatan Kasemen sebagian besar bermatapencaharian sebagai nelayan, petani, pedagang, dan buruh. Jumlah penduduk yang bermatapencaharian sebagai nelayan sebesar 3.012, petani orang, pedagang orang, buruh orang, dan selebihnya bergerak di sektor jasa angkutan, ternak, kerajinan, industri, dan lain-lain. Sesuai dengan jumlah mata pencaharian penduduk Kecamatan Kasemen yang sebagian besar adalah petani, maka potensi unggulan yang dapat diandalkan adalah Agrobisnis. Kecamatan Kasemen memiliki karakteristik pertanian yang beraneka ragam, seperi pertanian lahan kering yang menghasilkan kacang hijau, ketimun, semangka, dan kelapa, sedangkan pertanian lahan basah menghasilkan padi dan ikan (Ikan Bandeng, Ikan Mujair, dan Udang hasil tambak). Wilayah Kecamatan Kasemen memiliki dua desa yang dapat digali potensinya yaitu Desa

68 51 Kecamatan Kasemen memiliki dua desa yang dapat digali potensinya yaitu Desa Banten dan Desa Sawah Luhur, potensi yang dapat digali tersebut berupa potensi hasil laut dan potensi perikanan darat (empang). 5.2 Keadaan Umum Perikanan Tangkap Keadaan perikanan tangkap di PPP Karangantu dapat dijelaskan berdasarkan fasilitas PPP Karangantu, perkembangan volume dan nilai produksi, alat penangkap ikan, kapal penangkapan ikan, nelayan, dan daerah serta musim penangkapan ikan. Hal tersebut dideksripsikan pada sub-subbab sub-subbab berikut Fasilitas PPP Karangantu Fasilitas yang terdapat di PPP Karangantu sampai dengan Tahun 2009 terdiri atas fasilitas pokok, fasilitas fungsional, dan fasilitas penunjang. Pada umumnya kondisi fasilitas pokok di PPP Karangantu dalam keadaan baik, kecuali fasilitas pelindung yaitu breakwater yang telah mengalami kerusakan dan fasilitas perairan, seperti kolam dan alur yang memiliki kedalaman dangkal sebesar m. Kondisi fasilitas fungsional umumnya masih dalam keadaan baik, kecuali fasilitas transportasi yaitu sebuah kendaraan roda dua yang mengalami kerusakan berat dan fasilitas listrik yaitu Genset II yang telah mengalami kerusakan, sedangkan kondisi fasilitas penunjang seluruhnya masih dalam keadaan baik. Secara terperinci mengenai fasilitas PPP Karangantu dapat dilihat pada Tabel 4. Tabel 4 Fasilitas PPP Karangantu No. Fasilitas Volume Satuan Kondisi I Fasilitas pokok a. Fasilitas Pelindung Breakwater Turap m m Rusak Baik b. Fasilitas Tambat 75 4 M Baik c. Fasilitas Perairan (Kolam dan Alur) M Dangkal d. Fasilitas Penghubung Jalan Utama Jalan Komplek m m 2 Baik Baik

69 52 Lanjutan Tabel 4 No. Fasilitas Volume Satuan Kondisi II Fasilitas fungsional a. Tempat Pelelangan Ikan 450 m 2 Baik b. Tempat Pengepakan Ikan 283,92 m 2 Baik c. Fasilitas Navigasi Pelayaran III dan Komunikasi Telepon/internet Radio SSB d. Fasilitas Air Bersih Sumur Bor Water Treatment Bak Air Tawar Menara Air Buah Buah Unit Unit m 3 m 3 Baik Baik Baik Baik Baik Baik e. Fasilitas Es 240 m 2 Baik f. Fasilitas Listrik PLN Genset I Genset II Genset III KVA KVA KVA Baik Rusak Baik g. Fasilitas Pemeliharaan Bengkel 150 m 2 Baik h. Fasilitas Perkantoran Kantor 1 Kantor 2 Kantor Pengawasan i. Fasilitas Transportasi Kendaraan Roda 4 Kendaraan Roda m 2 m 2 m 2 Unit Unit Baik Baik Baik Fasilitas penunjang a. Balai Pertemuan Nelayan 125 m 2 Baik b. Mess Operator 8 Unit Baik c. Pos jaga 12 m 2 Baik d. Mess Nelayan 1 Unit Baik e. Tempat Peribadatan 20 m 2 Baik f. Kamar Mandi Umum 36 m 2 Baik g. Kios/Toko 4 Buah Baik h. Kios Iptek 16 m 2 Baik i. WC Umum 18 m 2 Baik j. Garasi 25 m 2 Baik k. Papan Nama PPP 1 Unit Baik Karangantu l. CCTV 1 Unit Baik Sumber: PPP Karangantu 2008 Baik 1 Rusak Berat

70 Perkembangan volume dan nilai produksi Perkembangan volume dan nilai produksi perikanan yang didaratkan di PPP Karangantu selama periode cenderung berfluktuatif. Pada Tahun 2008 volume produksi perikanan sebesar ton dengan nilai Rp dibandingkan dengan Tahun 2007 yang memiliki volume produksi sebesar ton dengan nilai produksi sebesar Rp , hal ini mengindikasikan bahwa Tahun 2008 mengalami kenaikan volume sebesar 6,08 % dan kenaikan nilai produksi sebesar 28,69 %. Perkembangan volume dan nilai produksi secara terperinci dapat dilihat pada Tabel 5. Tabel 5 Perkembangan volume dan nilai produksi perikanan di PPP Karangantu Tahun Tahun Volume produksi (ton) Nilai produksi (Rp. 1000) Sumber: Laporan tahunan statistik PPP Karangantu Tahun Berdasarkan Tabel 5, tampak bahwa volume produksi cenderung menurun. Hal tersebut, terlihat pada Tahun volume dan nilai produksi mengalami penurunan yang cukup signifikan terlebih pada Tahun Tahun 2002 memiliki volume dan nilai produksi yang lebih rendah dibandingkan dengan Tahun 2001, yaitu sebesar ton dari ton dengan nilai produksi sebesar Rp dari Rp Hal tersebut berarti bahwa Tahun 2002 mengalami penurunan volume produksi sebesar 760 ton atau 21,14% dan nilai produksi sebesar Rp Tahun 2003 memiliki volume dan nilai produksi yang lebih rendah dibandingkan dengan Tahun 2002, yaitu sebesar 948 ton dari ton dengan nilai produksi sebesar Rp dari Rp Hal tersebut berarti bahwa Tahun 2003 mengalami penurunan volume produksi

71 54 sebesar 1887 ton atau 66,56% dengan nilai produksi sebesar Rp Pada Tahun 2004 sampai dengan Tahun 2008 volume produksi mulai mengalami peningkatan kembali namun secara perlahan. Perkembangan volume dan nilai produksi Tahun di PPP Karangantu dapat dilihat pada Gambar 10 dan 11. Gambar 10 Perkembangan dan garis tren volume produksi perikanan. Gambar 11 Perkembangan dan garis tren nilai produksi perikanan. Berdasarkan Gambar 10, selama periode Tahun volume produksi perikanan umumnya mengalami penurunan. Hal tersebut terbukti dengan garis tren yang menurun. Pada Tahun 2001 sampai dengan 2003 volume produksi

72 55 mengalami penurunan yang drastis namun pada Tahun volume produksi mengalami peningkatan kembali dalam jumlah yang sangat kecil. Peningkatan volume produksi pada Tahun 2006 tidak diikuti dengan peningkatan nilai produksi. Hal ini terlihat pada peningkatan volume produksi sebesar 137 ton tetapi nilai produksinya mengalami penurunan sebesar Rp , sehingga mengindikasikan bahwa pada Tahun 2006 jumlah armada yang mendaratkan hasil tangkapan di PPP Karangantu meningkat, tetapi tidak diikuti dengan peningkatan fasilitas pendaratan di PPP Karangantu, sehingga menyebabkan hasil tangkapan mengalami penurunan secara kualitas yang mengakibatkan nilai produksi menurun. Pada analisis regresi linear Gambar 10, didapatkan persamaan regresi y = x , hal ini mengindikasikan bahwa setiap tahunnya volume produksi akan mengalami penurunan sebesar 126,8 ton. Pada Gambar 11 didapatkan garis tren yang meningkat dan persamaan regresi linearnya adalah y = 72360x - 1E+09, hal ini mengindikasikan bahwa setiap tahunnya nilai produksi akan mengalami peningkatan sebesar Rp Alat penangkap ikan Penggunaan suatu jenis alat tangkap sangat berpengaruh terhadap jenis hasil tangkapan. Hal ini sangat berkaitan dengan tingkah laku ikan. Pada umumnya alat tangkap yang digunakan di Pelabuhan Perikanan Pantai Karangantu antara lain: bagan perahu, gillnet, jaring payang, jaring rampus, jaring rajungan, jaring dogol, pancing, dan beberapa alat tangkap lainnya. Secara umum jenis alat tangkap yang digunakan oleh nelayan Karangantu masih berifat tradisional dan usaha penangkapan dengan skala kecil dimana operasi penangkapannya didominasi one day fishing. Jenis dan jumlah alat tangkap yang digunakan di PPP Karangantu Tahun dapat dilihat pada Tabel 6. Berdasarkan Tabel 6, diketahui bahwa perkembangan unit alat tangkap di PPP Karangantu selama Tahun cenderung meningkat kecuali pada Tahun Jumlah unit alat tangkap pada Tahun 2005 lebih rendah dibandingkan dengan tahun sebelumnya, yaitu dari 296 unit menjadi 276 unit. Hal tersebut berarti bahwa Tahun 2005 mengalami penurunan jumlah unit alat tangkap

73 56 sebesar 20 unit. Selanjutnya pada Tahun 2006 sampai dengan Tahun 2009, jumlah unit alat tangkap mengalami peningkatan secara perlahan. Jumlah unit alat tangkap terbesar terjadi pada Tahun 2008 sebesar 354 unit, sedangkan jumlah unit alat tangkap terkecil terjadi pada Tahun Perkembangan dan garis tren jumlah alat tangkap di PPP Karangantu selama Tahun disajikan pada Gambar 12. Tabel 6 Perkembangan unit alat tangkap di PPP Karangantu Tahun No. Alat tangkap Tahun (unit) Jaring Angkat Gill Net Jaring Payang Jaring Rampus Jaring Rajungan Jaring Dogol Pancing Jumlah Sumber: Laporan Tahunan PPP Karangantu Gambar 12 Perkembangan dan garis tren jumlah unit alat tangkap. Berdasarkan Gambar 12, terlihat bahwa tren jumlah unit alat tangkap mengalami tren yang meningkat. Pada analisis regresi linear didapatkan persamaan regresi y = 10.8x , hal ini mengindikasikan bahwa setiap

74 57 tahunnya jumlah unit alat tangkap di PPP Karangantu akan mengalami peningkatan sebesar 11 unit. Persentase jumlah unit alat tangkap Tahun 2009 disajikan pada Gambar 13. Gambar 13 Persentase jumlah unit alat tangkap Tahun Berdasarkan Gambar 13, terlihat bahwa persentase jumlah unit alat tangkap terbesar adalah jaring rajungan sebesar 27%. Persentase alat tangkap lainnya adalah 21% jaring angkat, 20% jaring rampus, 12% gillnet, 10% jaring dogol, 6% pancing, dan 4% payang Kapal penangkap ikan Kapal atau perahu yang digunakan di Pelabuhan Perikanan Pantai (PPP) Karangantu umumnya sudah dilengkapi dengan mesin sebagai tenaga penggeraknya. Berdasarkan posisi mesin, kapal atau perahu di PPP Karangantu terdiri atas tiga jenis, yaitu perahu tanpa motor (PTM), kapal motor tempel (MT) dengan posisi mesin di luar kapal (outboard), dan kapal motor (KM) dengan posisi mesin di dalam kapal (inboard). Perkembangan armada penangkapan di PPP Karangantu selama Tahun secara terperinci dapat dilihat pada Tabel 7.

75 58 Tabel 7 Perkembangan armada penangkapan di PPP Karangantu Tahun Jumlah kapal (unit) Tahun KM (GT) PTM MT < > Sumber: PPP Karangantu Berdasarkan Tabel 7, terlihat bahwa perahu tanpa motor hanya terdapat sampai pada Tahun 2003 sebanyak 25 unit, sedangkan mulai Tahun 2004 hingga Tahun 2007 sudah tidak terdapat adanya perahu tanpa motor. Kapal motor tempel selama Tahun senantiasa mengalami penurunan, mulai Tahun 2002 yang berjumlah 525 unit, dan pada Tahun 2007 menjadi 153 unit. Tahun 2004 jumlah armada penangkapan mengalami penurunan yang paling signifikan dibandingkan dengan tahun lainnya, yaitu sebesar 246 unit. Pada Tahun 2006 jumlah kapal motor tempel mulai stabil yaitu sebanyak 153 unit. Jumlah kapal motor dengan tonase < 10 GT setiap tahunnya cenderung mengalami peningkatan, kecuali Tahun 2006 yang mengalami penurunan sebesar 48 unit. Kemudian Tahun 2007 jumlah kapal motor bertonase < 10 GT secara perlahan mengalami peningkatan kembali sebesar 10 unit. Kapal motor bertonase GT selama Tahun cenderung menurun, kecuali Tahun 2003 yang mengalami peningkatan sebesar 4 unit. Kemudian Tahun 2004 jumlah kapal motor bertonase GT mengalami penurunan kembali sebesar 17 unit, selanjutnya mulai Tahun 2005 jumlah kapal motor mulai stabil yaitu sebesar 15 unit. Kapal motor yang bertonase GT hanya berjumlah 2 unit pada Tahun 2004, sedangkan Tahun 2005 hingga Tahun 2007 jumlah kapal motor GT stabil yaitu sebesar 1 unit. Kapal motor bertonase > 100 GT belum tersedia di PPP Karangantu hingga Tahun Persentase jumlah armada penangkapan di PPP Karangantu Tahun 2007 disajikan pada Gambar 14.

76 59 Gambar 14 Persentase jumlah armada penangkapan Tahun Berdasarkan Gambar 14, terlihat bahwa persentase jumlah armada penangkapan terbesar adalah kapal motor tempel sebesar 54 %. Persentase armada penangkapan lainnya adalah 41 % kapal motor < 10 GT, 5 % kapal motor GT, 0 % kapal motor GT, dan 0 % kapal motor >100 GT Nelayan Masyarakat perikanan yang melakukan usaha perikanan di lingkungan PPP Karangantu diantaranya adalah nelayan, pemilik kapal, penjual ikan, dan lain-lain. Nelayan di wilayah PPP Karangantu merupakan nelayan tradisional dan umumnya dapat dibedakan menjadi dua, yaitu nelayan lokal dan nelayan pendatang. Nelayan lokal adalah nelayan yang sejak lahir berasal dari wilayah Karangantu, sedangkan nelayan pendatang adalah nelayan yang bukan penduduk asli wilayah Karangantu namun telah menetap atau berdomisili di wilayah Karangantu. Nelayan pendatang sebagian besar berasal dari Cirebon, Indramayu, Tegal, dan Bugis. Selain nelayan pendatang yang menetap juga terdapat nelayan pendatang yang tidak menetap atau berdomisili di Karangantu, nelayan tersebut hanya berlabuh untuk mendaratkan hasil tangkapannya dan bongkar muat di PPP Karangantu selanjutnya kembali ke domisili masing-masing. Jumlah nelayan yang

77 60 Karangantu selanjutnya kembali ke domisili masing-masing. Jumlah nelayan yang melakukan aktivitas di PPP Karangantu selama periode disajikan pada Tabel 8. Tabel 8 Jumlah nelayan yang melakukan aktivitas di PPP Karangantu Tahun Tahun Jumlah nelayan (Orang) Sumber: Laporan tahunan PPP Karangantu Pada Tabel 8 menunjukkan jumlah nelayan selama periode Tahun cenderung mengalami peningkatan, kecuali pada Tahun 2002 yang mengalami penurunan jumlah nelayan sebesar 25 orang. Selanjutnya pada Tahun 2003 jumlah nelayan yang melakukan aktivitas di PPP Karangantu mulai mengalami peningkatan kembali secara perlahan hingga Tahun Peningkatan tersebut terjadi karena harga jual ikan di PPP Karangantu tinggi, sehingga banyak nelayan yang tertarik untuk melakukan aktivitas seperti mendaratkan hasil tangkapan di PPP Karangantu. Perkembangan dan garis tren jumlah nelayan yang melakukan aktivitas di PPP Karangantu selama periode Tahun dapat dilihat pada Gambar 15. Berdasarkan Gambar 15, terlihat bahwa tren jumlah nelayan di PPP Karangantu selama periode Tahun mengalami tren yang meningkat. Pada analisis regresi linear didapatkan persamaan regresi y = 75.2x , hal ini mengindikasikan bahwa setiap tahunnya jumlah nelayan di PPP Karangantu akan mengalami peningkatan sebesar 76 orang.

78 61 Gambar 15 Perkembangan dan garis tren jumlah nelayan Daerah dan musim penangkapan Daerah penangkapan ikan bagi para nelayan di Pelabuhan Perikanan Pantai Karangantu adalah Laut Jawa, Selat Sunda, dan perairan di sekitar Teluk Jakarta. Lamanya operasi penangkapan berkisar 1 7 hari di laut, sehingga tidak memerlukan perbekalan yang banyak (Statistik PPP Karangantu 2008). Penentuan daerah penangkapan ikan atau fishing ground biasanya dilakukan berdasarkan pengalaman nelayan yang melakukan trip sebelumnya dan banyak memperoleh hasil tangkapan. Selain itu, penentuan fishing ground juga dilakukan dengan menyesuaikan ukuran kapal dan jenis alat tangkap yang digunakan. Musim ikan di Pelabuhan Perikanan Pantai Karangantu pada Tahun 2008 terjadi pada Bulan April dan November, karena pada bulan-bulan tersebut terjadi kenaikan produksi bila dibandingkan dengan bulan lainnya, tetapi musim ikan terkadang mengalami pergeseran. Produksi ikan akan lebih banyak ketika terdapat banyak nelayan yang datang dari luar daerah untuk mendaratkan hasil tangkapannya di Pelabuhan Perikanan Pantai Karangantu, seperti nelayan dari Lampung, Kronjo, Labuhan, dan lain-lain (Statistik PPP Karangantu 2008).

79 62 6 HASIL DAN PEMBAHASAN 6.1 Analisis Teknik Analisis teknik yang digunakan terdiri atas beberapa aspek, meliputi konstruksi unit penangkapan jaring rajungan, metode pengoperasian, produktivitas, musim dan daerah penangkapan. Aspek-aspek teknik tersebut digunakan untuk mendeskripsikan kegiatan perikanan tangkap rajungan di Perairan Teluk Banten, khususnya yang mendaratkan hasil tangkapan di Pelabuhan Perikanan Pantai (PPP) Karangantu Unit penangkapan ikan Unit penangkapan yang dominan menangkap rajungan di PPP Karangantu adalah jaring rajungan. Unit penangkapan jaring rajungan terdiri atas alat tangkap jaring rajungan, kapal jaring rajungan, dan nelayan yang akan dideskripsikan lebih lanjut Konstruksi jaring rajungan Konstruksi alat tangkap jaring rajungan terdiri atas badan jaring, tali ris, pelampung, tali pelampung, pemberat timah, tali pemberat, pelampung tanda, tali pelampung tanda, pemberat batu, dan tali pemberat batu. Bentuk jaring rajungan saat berada di perairan memiliki perbedaan dengan bentuk jaring rajungan di darat. Bentuk jaring rajungan di darat memiliki bentuk yang tegak lurus. Konstruksi jaring rajungan pada posisi tegak dan rancang bangun jaring rajungan dapat dilihat pada Gambar 16. Bentuk jaring rajungan saat berada di perairan memiliki bentuk yang melengkung, hal ini bertujuan supaya rajungan yang terkejut tidak dapat melarikan diri ke arah atas/permukaan. Konstruksi jaring rajungan di perairan secara lebih jelas dapat dilihat pada Gambar 17 dan Lampiran 20. Badan jaring yang terdapat di PPP Karangantu terbuat dari benang PA Monofilament berwarna putih transparan, berdiameter 0,3 mm dan memiliki bentuk mata jaring (mesh size) segi empat berukuran 4 inci. Dimensi panjang jaring terdiri atas 5 piece dengan panjang per piece memiliki ukuran 200 m,

80 63 jaring terdiri atas 5 piece dengan panjang per piece memiliki ukuran 200 m, sehingga ukuran panjang total jaring rajungan sebesar m. Lebar jaring sebesar 0,75 m. Jaring rajungan di PPP Karangantu tidak menggunakan srampad. Gambar 16 Desain dan konstruksi jaring rajungan.

81 64 Gambar 17 Jaring rajungan saat berada di perairan. Tali ris pada jaring rajungan di PPP Karangantu terdiri atas tali ris atas (head rope) dan tali ris bawah (ground rope). Tali ris atas dan bawah berfungsi untuk memasang badan jaring. Tali ris atas dipasang di bawah tali pelampung, sedangkan tali ris bawah dipasang di atas tali pemberat. Panjang tali ris atas dan tali ris bawah adalah sebesar m, dengan diameter 0,3 cm dan berbahan PE Multifilament. Arah pilinan tali ris atas dan tali ris bawah dari jaring rajungan adalah Z. Pelampung (float) yang digunakan pada jaring rajungan di PPP Karangantu terbuat dari karet sandal yang berbentuk bulat dengan diameter 5 cm. Jumlah pelampung yang digunakan dalam satu piece sebanyak 70 buah, dengan jarak antar pelampungnya sebesar 1,5 m. Tali pelampung (float line) berfungsi sebagai tempat memasang dan mengikat pelampung di bagian atas jaring rajungan. Tali pelampung jaring rajungan di PPP Karangantu terbuat dari bahan PE Multifilament dan memiliki diameter 0,25 cm. Panjang total tali pelampung sebesar m dengan arah pilinan S. Pemberat (sinker) pada jaring rajungan di PPP Karangantu menggunakan bahan dari timah hitam (Pb) yang berdiameter 0,5 cm, panjang 1,5 cm, dan berat satuannya 1,8 gram. Jumlah total pemberat untuk satu piece menggunakan 3 kg, dengan jarak antar pemberat sebesar 20 cm. Tali pemberat (sinker line) berfungsi sebagai tempat memasang pemberat pada bagian bawah jaring rajungan. Tali

82 65 pemberat jaring rajungan di PPP Karangantu terbuat dari PE Multifilament dan memiliki diameter 0,25 cm. Panjang total tali pemberat sebesar m dengan arah pilinan S. Pelampung tanda yang digunakan saat pengoperasian jaring rajungan oleh nelayan PPP Karangantu terdiri atas 2 buah dan terbuat dari bahan styrofoam berbentuk persegi panjang berukuran 20 cm 10 cm 30 cm. Pelampung tanda tersebut dipasang pada sebuah bambu dengan panjang sebesar 2 m dan diameter sebesar 5 cm yang dilengkapi dengan bendera penanda pada ujungnya. Pada bagian bawah bambu diikatkan tali PE Multifilament sepanjang 30 m dengan diameter 0,3 cm yang berfungsi sebagai penghubung antara pelampung tanda dan badan jaring rajungan, tali ini biasa disebut tali pelampung tanda. Pelampung tanda berfungsi sebagai tanda tempat dipasangnya jaring rajungan di laut. Pemberat tambahan yang digunakan saat pengoperasian jaring rajungan oleh nelayan PPP Karangantu terdiri atas 2 buah batu kali dengan berat masingmasing sebesar 3,5 kg. Batu pemberat dililitkan dengan tali yang digunakan sebagai tali pelampung tanda, tali yang diperlukan untuk melilitkan batu pemberat sepanjang 5 m. Batu tersebut dipasang pada pertengahan tali pelampung tanda. Batu pemberat ini berfungsi sebagai pembentuk jaring supaya berbentuk melengkung dan sebagai penahan jaring terhadap arus laut. Konstruksi jaring rajungan di Perairan Teluk Banten khususnya di perairan sekitar PPP Karangantu berdasarkan Miskiya (2003) memiliki perbedaan dengan konstruksi jaring rajungan dalam penelitian ini. Menurut Miskiya (2003), konstruksi jaring rajungan yang terdapat di Perairan Teluk Banten khususnya perairan di sekitar PPP Karangantu memiliki batu pemberat yang terletak di bagian bawah badan jaring. Hal tersebut berbeda dengan konstruksi jaring rajungan yang diperoleh dalam penelitian ini. Pada penelitian ini diperoleh konstruksi jaring rajungan yang memiliki batu pemberat di pertengahan tali pelampung tanda, sehingga dalam pengoperasiannya berbentuk melengkung. Konstruksi jaring rajungan yang dalam pengoperasiannya berbentuk melengkung berfungsi untuk menghadang rajungan yang terkejut ke atas.

83 Kapal Kapal merupakan elemen yang penting dalam mendukung kegiatan pengoperasian jaring rajungan, karena kapal merupakan bagian dari unit penangkapan jaring rajungan. Pada pengoperasian jaring rajungan, kapal digunakan sebagai sarana pengangkut dari fishing base, yaitu PPP Karangantu menuju ke fishing ground dan sebagai sarana dalam mengoperasikan jaring. Kapal jaring rajungan di PPP Karangantu memiliki dimensi panjang total (L OA ) sebesar 9,5 m, lebar (B) 2,2 m, dan draft (d) 0,8 meter. Bahan utama penyusun kapal adalah kayu jati. Tonase kapal jaring rajungan berkisar antara 1 GT. Konstruksi kapal jaring rajungan secara rinci dapat dilihat pada Gambar 18 dan Lampiran 20. Gambar 18 Konstruksi kapal jaring rajungan.

84 67 Pada umumnya kapal jaring rajungan yang digunakan oleh nelayan di PPP Karangantu adalah jenis kapal motor tempel dengan tenaga penggerak 20 PK. Mesin penggerak tersebut bertipe outboard engine. Bahan bakar mesin penggerak yang digunakan dalam operasionalnya adalah solar. Kapal jaring rajungan tidak memiliki palka. Hasil tangkapan yang didapat tidak langsung dilepaskan dari jaring namun tetap dibiarkan menyangkut pada jaring. Hasil tangkapan akan dilepaskan dari jaring setelah sampai di darat. Umur teknis dari kapal jaring rajungan dapat mencapai 10 tahun, namun umur teknis tersebut sangat relatif karena tergantung pada perawatan dan pemeliharaan setiap pemilik kapal. Perawatan kapal yang biasa dilakukan oleh nelayan jaring rajungan adalah pengecatan, penggantian papan, dan lain-lain. Perawatan tersebut dilakukan setiap 6 bulan sekali yang dilakukan di PPP Karangantu Nelayan Nelayan jaring rajungan diklasifikasikan menjadi dua, yaitu nelayan pemilik dan nelayan ABK (nelayan penyewa kapal). Nelayan penyewa kapal yang dimaksud adalah nelayan yang ikut menumpang pada kapal jaring rajungan dengan membayar biaya sewa berupa iuran solar dan komisi hasil tangkapan perkg. Setiap nelayan membawa jaring rajungan yang dimilikinya masing-masing sebanyak tiga jaring rajungan. Pada pengoperasiannya, nelayan jaring rajungan terdiri atas empat orang, dengan pembagian kerja yang terdiri atas satu orang sebagai juru mudi, satu orang petawur, dan dua orang bertugas mempersiapkan jaring, menggulung atau mengatur tali ris, dan pelampung tanda. Pembagian kerja tersebut tidak dilakukan secara monoton atau terus-menerus, akan tetapi disesuaikan dengan kondisi dan situasi saat pengoperasian Metode pengoperasian jaring rajungan Jaring rajungan merupakan alat tangkap yang pengoperasiannya dilakukan secara one day fishing atau dilakukan hanya dalam waktu satu hari, sehingga nelayan jaring rajungan tidak perlu membawa atau mempersiapkan segala

85 68 persiapan dan perbekalan pengoperasian dalam jumlah banyak. Waktu berangkat pengoperasian jaring rajungan dari Pelabuhan Perikanan Pantai Karangantu pukul WIB. Persiapan sebelum menuju daerah penangkapan atau fishing ground dilakukan di fishing base yaitu PPP Karangantu sekitar pukul WIB dan memerlukan waktu sekitar menit. Metode pengoperasian diawali dengan tahap persiapan di fishing base, seperti melakukan persiapan yang meliputi persiapan jaring, perbekalan (makanan, minuman, bahan bakar, dan air tawar), pemeriksaan keadaan kapal, mesin, dan persediaan bahan bakar. Setiap nelayan membawa jaring rajungan yang dimilikinya, rata-rata tiap nelayan memiliki tiga jaring rajungan. Seluruh jaring rajungan yang akan dioperasikan diletakkan di sebelah kanan buritan kapal, sedangkan pelampung tanda dan pemberat batu diletakkan di haluan kapal. Pemberangkatan menuju fishing ground dimulai setelah seluruh persiapan dilakukan dan ABK yang akan menumpang sudah berkumpul. Perjalanan dari fishing base menuju fishing ground seperti daerah sekitar Pulau Tunda menempuh waktu sekitar 1 jam sampai dengan 1 jam 30 menit dan Pulau Pamuyan menempuh waktu sekitar 30 menit. Informasi daerah penangkapan rajungan tersebut umumnya didasarkan pada pengalaman nelayan dan kondisi cuaca, seperti kondisi gelombang, arah arus, substrat dasar perairan dan kecerahan perairan. Selain itu pencarian fishing ground juga dapat didasari oleh informasi nelayan lain yang menyatakan bahwa terdapat banyak rajungan yang tertangkap di daerah penangkapan tersebut. Saat kapal tiba di fishing ground, laju kapal dikurangi dan nelayan jaring rajungan memastikan bahwa di sekitar wilayah tersebut tidak terdapat pelampung tanda milik unit penangkapan lain. Kemudian seluruh nelayan menempati posisi sesuai tugasnya masing-masing dalam kapal. Selanjutnya petawur bersiap menurunkan jaring (setting) yang dilakukan dari sisi kiri buritan kapal. Penurunan satu jaring dilakukan selama sekitar 5 menit. Letak setting ditandai dengan menggunakan pelampung tanda dan posisi menara atau benda lain yang ada di daratan sebagai patokan. Selama proses setting berlangsung, mesin kapal tetap dinyalakan dengan kecepatan rendah yang bertujuan supaya jaring dapat terbentang sempurna. Proses setting diawali dengan menurunkan pelampung

86 69 tanda dan talinya, selanjutnya batu pemberat diikuti dengan badan jaring piece pertama hingga piece terakhir. Setelah badan jaring terbentang sempurna yaitu berbentuk melengkung maka batu pemberat pun diturunkan dan diakhiri dengan pelampung tanda. Setelah selesai melakukan proses setting, maka jaring dibiarkan terbentang namun tidak terbentang secara tegak lurus. Jaring rajungan yang terpasang di perairan akan berbentuk melengkung menyerupai bentuk jaring klitik, hal ini bertujuan untuk mencegah rajungan yang berhambur ke atas saat terkejut, sehingga rajungan pun akan tetap terjerat meskipun berhambur ke atas. Lama drifting untuk tiap jaring adalah sekitar 3 jam. Tahap selanjutnya dari metode pengoperasian jaring rajungan adalah pengangkatan jaring (hauling). Pada tahap ini yang harus dilakukan adalah memeriksa dan mengangkat hasil tangkapan dari jaring rajungan ke atas kapal. Proses hauling diawali dengan mengangkat pelampung tanda dan batu pemberat kemudian pelampung tersebut dilepas ikatannya dari jaring rajungan, diikuti dengan pengangkatan badan jaring piece pertama hingga piece terakhir, setiap mencapai tali sambungan jaring dilepas kemudian jaring digulung/diikat tiap set dan diletakkan di sisi kanan buritan kapal, selanjutnya pengangkatan batu pemberat dan diakhiri dengan pelampung tanda. Pengangkatan satu jaring dilakukan selama sekitar 30 menit. Setelah seluruh jaring rajungan selesai dirapikan maka nelayan kembali menuju fishing base dengan membawa hasil tangkapan yang belum dilepaskan dari jaring rajungan. Pelepasan hasil tangkapan dari jaring rajungan dan penyortirannya dilakukan sesaat langsung setelah sampai di darat, umumnya dilakukan di halaman rumah masing-masing dengan dibantu oleh anggota keluarga. Proses pengambilan hasil tangkapan ini menghabiskan waktu sekitar 45 menit sampai dengan 60 menit. Metode pengoperasian yang dilakukan nelayan jaring rajungan berdasarkan Miskiya (2003), memiliki perbedaan dengan metode pengoperasian dalam penelitian ini. Perbedaan tersebut terdapat pada proses drifting yang dilakukan selama sekitar jam dan selama proses drifting nelayan kembali ke fishing base, sedangkan dalam penelitian ini proses drifting dilakukan selama

87 70 sekitar 3 jam dan selama proses drifting nelayan tidak kembali ke fishing base. Selain itu, metode pengoperasian jaring rajungan menurut Miskiya (2003) dilaksanakan dengan pembagian kerja yang meliputi, satu orang juru mudi, satu orang petawur, dan dua orang bertugas mempersiapkan jaring, menyimpul tali ris, dan pelampung tanda, sedangkan dalam penelitian ini metode pengoperasian dilaksanakan tanpa adanya pembagian kerja, karena setiap nelayan membawa jaring rajungan masing-masing sebanyak tiga jaring dan proses pengoperasiannya dilaksanakan secara tolong-menolong antar nelayan tidak ada pembagian kerja yang monoton Daerah penangkapan Daerah penangkapan atau fishing ground jaring rajungan berada di Pulau Tunda dan Pulau Pamuyan. Umumnya fishing base nelayan jaring rajungan adalah di PPP Karangantu. Peta lokasi Karangantu secara rinci dapat dilihat pada Lampiran 1 dan Lampiran 2. Lama waktu untuk mencapai fishing ground di Pulau Tunda adalah sekitar 1 jam hingga 1 jam 30 menit dengan jarak tempuh sekitar 4 mil, sedangkan waku tempuh untuk mencapai fishing ground di Pulau Pamuyan adalah sekitar 30 menit dengan jarak tempuh sekitar 1,5 mil. Peta daerah penangkapan jaring rajungan di Perairan Teluk Banten dapat dilihat pada Gambar 19. Gambar 19 Peta daerah penangkapan jaring rajungan di perairan Teluk Banten.

88 71 Penentuan fishing ground dilakukan hanya dari pengalaman nelayan dan perkiraan cuaca. Perkiraan cuaca diperoleh dengan pengamatan sendiri berdasarkan berbagai gejala alam, seperti angin besar, gelombang tinggi, dan lainlain Musim penangkapan Musim penangkapan rajungan di Perairan Teluk Banten terdiri atas tiga musim, yaitu musim puncak, musim sedang, dan musim paceklik. Musim puncak Tahun 2008 terjadi pada Bulan Januari - Februari. Musim sedang terjadi pada Bulan November Desember. Musim paceklik terjadi pada bulan Maret Oktober. Hal tersebut dapat dilihat pada Tabel 9. Tabel 9 Produksi rajungan per bulan di PPP Karangantu Tahun 2008 No Bulan Rajungan (ton) Total produksi (ton) Persentase rajungan (%) 1 Januari 19, ,365 4,99 2 Februari 13, ,042 4,93 3 Maret 4, ,927 4,34 4 April 5, ,645 2,04 5 Mei 3,928 95,397 4,12 6 Juni 1,624 98,032 1,66 7 Juli 3,328 72,260 4,61 8 Agustus 4, ,186 3,66 9 September 4, ,319 3,22 10 Oktober 3, ,769 1,65 11 November 15, ,342 4,04 12 Desember 7, ,100 3,79 Sumber: Data diolah dari Laporan Statistik Perikanan PPP Karangantu 2008 Berdasarkan Tabel 9, persentase rajungan terbesar pada Bulan Januari sebesar 4,99 % dari total hasil tangkapan sebesar 396,365 ton dan Bulan Februari sebesar 4,93 % dari total hasil tangkapan sebesar 272,042 ton, sehingga terbukti bahwa rajungan mencapai musim puncaknya yaitu pada Bulan Januari - Februari. Persentase rajungan pada Bulan November Desember memiliki persentase yang sedang yaitu sebesar 4,04 % - 3,79 % dari total hasil tangkapan sebesar 384, ,1 ton, sehingga dapat diketahui pula bahwa rajungan mengalami musim

89 72 sedang pada Bulan November Desember. Persentase rajungan pada Bulan Maret Oktober memiliki persentase yang kecil yaitu sebesar 4,34 % - 1,65 % dari total hasil tangkapan sebesar 108, ,769 ton, sehingga dapat diketahui pula bahwa rajungan mengalami musim paceklik pada Bulan Maret - Oktober Komposisi hasil tangkapan jaring rajungan Hasil tangkapan utama jaring rajungan adalah rajungan. Rajungan yang ditangkap oleh jaring rajungan terdiri atas beberapa jenis, seperti rajungan bintang (Portunnus sanguinolentus), rajungan karang (Carybdis feriatus), rajungan swimming crab (Portunnus pelagicus), dan rajungan angin (Podopthalmus vigil). Rajungan yang dipilih oleh nelayan untuk dijual hanya rajungan jenis swimming crab (Portunnus pelagicus), karena rajungan ini memiliki nilai ekonomis tinggi dan tertangkap dalam jumlah banyak. Rajungan yang tertangkap oleh jaring rajungan Tanggal 17 Januari 2010 disajikan pada Tabel 10 dan Lampiran 21. Berdasarkan Tabel 10 yang menunjukkan bahwa ukuran panjang dan lebar ratarata rajungan tertangkap pada Tanggal 17 Januari 2010 berturut-turut sebesar 6,5 cm dan 13,3 cm. Hal tersebut sesuai dengan penentuan ukuran layak tangkap rajungan menurut Moosa dan Juwana (1996) yaitu panjang karapas minimum sebesar 3,7 cm dan menurut Kumar et al (2000), ukuran lebar layak tangkap minimum sebesar 7 hingga 9 cm. Hasil tangkapan sampingan jaring rajungan adalah ikan pari, ikan sebelah, ikan cucut, dan ikan sembilang, namun seluruh hasil tangkapan sampingan tersebut tidak dijual karena jumlah tertangkapnya hanya sedikit tidak memenuhi jumlah minimal untuk dijual. Umumnya nelayan menjual hasil tangkapan dengan jumlah minimal 4 kg Produktivitas Produktivitas merupakan kemampuan suatu unit penangkapan ikan untuk mendapatkan hasil tangkapan per satuan upaya penangkapan (trip). Produktivitas alat tangkap jaring rajungan di PPP Karangantu yang diukur adalah jumlah produksi rajungan per unit, jumlah produksi rajungan per trip, dan jumlah produksi rajungan per biaya operasional.

90 73 Tabel 10 Ukuran rajungan swimming crab (Portunnus pelagicus) Tanggal 17 Januari 2010 No. Lebar karapas (cm) Panjang karapas (cm) 1. 13,5 6, ,0 7, ,5 7, ,0 5, ,5 7, ,5 8, ,0 7, ,0 5, ,0 4, ,0 5, ,0 5, ,0 6, ,5 7, , ,0 6,0 Rata-rata 13,3 6,5 Sumber: Penelitian Januari 2010 Produktivitas alat tangkap dihitung berdasarkan data sekunder dari PPP Karangantu Tahun Produktivitas per unit penangkapan jaring rajungan diukur dengan menggunakan perbandingan antara jumlah produksi per unit penangkapan jaring rajungan dengan jumlah unit jaring rajungan. Produktivitas per trip jaring rajungan diukur dengan menggunakan perbandingan antara jumlah produksi per unit penangkapan jaring rajungan dengan jumlah trip jaring rajungan. Produktivitas per biaya operasional diukur dengan menggunakan perbandingan antara jumlah produksi per unit penangkapan jaring rajungan dengan rata-rata biaya operasional jaring rajungan. Nilai produktivitas alat tangkap jaring rajungan di PPP Karangantu dapat dilihat pada Tabel 11. Berdasarkan Tabel 11, diketahui bahwa nilai produktivitas per unit data sekunder sebesar 209,37 kg per unit, sedangkan produktivitas per unit data primer sebesar 320 kg per unit. Nilai produktivitas per trip data sekunder sebesar 10,72 kg per trip, sedangkan produktivitas per trip data primer sebesar 5,33 kg per trip. Nilai produktivitas Tahun 2008 dengan nilai produktivitas Tahun 2010 memiliki perbedaan yang cukup besar, hal tersebut disebabkan oleh produktivitas pada data primer Tahun 2010 hanya menggunakan data jumlah unit selama 5 hari masa

91 74 penelitian yang dihitung dalam satu tahun, sedangkan data sekunder telah menggunakan jumlah unit total yang beroperasi selama satu tahun. Produktivitas per biaya operasional pada data primer Tahun 2010 sebesar 0, kg per rupiah, sedangkan produktivitas per biaya operasional pada data sekunder Tahun 2008 tidak dapat diperoleh karena biaya operasional hanya dapat diperoleh dari hasil penelitian selama 5 hari. Tabel 11 Nilai produktivitas alat tangkap jaring rajungan di PPP Karangantu Tahun 2008 dan Tahun 2010 Komponen Data sekunder Data primer Tahun 2008 Tahun 2010 Produktivitas per unit (kg per unit) 209,37 320,00 Produktivitas per trip (kg per trip) 10,72 5,33 Produktivitas per biaya Operasional (kg per rupiah) - 0,00006 Sumber: Data diolah dari Laporan Statistik PPP Karangantu Tahun Analisis Bioteknik Analisis bioteknik merupakan analisis gabungan dari dua aspek yaitu aspek biologi dan aspek teknik. Analisis yang dilakukan di Perairan Teluk Banten, khususnya PPP Karangantu meliputi analisis terhadap unit penangkapan rajungan termasuk produksi dan effort aktual rajungan, analisis CPUE, estimasi parameter biologi, dan analisis hasil tangkapan lestari serta effort lestari dalam kondisi Maximum Sustainable Yield (MSY) Produksi Rajungan Produksi rajungan yang dihasilkan oleh alat tangkap jaring rajungan di PPP Karangantu dari Tahun cenderung fluktuatif. Perkembangan produksi rajungan di PPP Karangantu dari Tahun dapat dilihat pada Gambar 20. Berdasarkan Gambar 20, terbukti bahwa perkembangan produksi rajungan di PPP Karangantu dari Tahun mengalami fluktuasi. Berfluktuasinya hasil tangkapan tersebut, dipengaruhi oleh jumlah unit penangkapan jaring

92 75 rajungan yang beroperasi, musim penangkapan, dan ketersediaan rajungan yang akan ditangkap. Apabila ditarik garis lurus (trendline) akan terlihat tren yang menurun. Hal tersebut berarti hasil tangkapan rajungan cenderung mengalami penurunan mengikuti persamaan linier hasil regresi y= x , sehingga diperoleh nilai intercept ( sebesar 9906 dan nilai slope ( sebesar Berdasarkan persamaan tersebut, dapat diartikan bahwa setiap tahunnya produksi rajungan mengalami penurunan sebesar 4,919 ton. Produksi rajungan yang mengalami tren menurun dapat disebabkan oleh faktor cuaca, seperti saat musim banyaknya rajungan di fishing ground yang dikehendaki, akan tetapi gelombang laut sedang tinggi, sehingga mempengaruhi nelayan untuk tidak melaut dan mengakibatkan jumlah produksi rajungan berkurang. Gambar 20 Perkembangan produksi rajungan di PPP Karangantu Tahun Produksi rata-rata rajungan di PPP Karangantu selama periode Tahun sebesar 47,69 ton. Hasil tangkapan tertinggi terjadi pada Tahun 2004 sebesar 108,91 ton, sedangkan hasil tangkapan terendah terjadi pada Tahun 2006 sebesar 7,99 ton. Secara terperinci mengenai jumlah produksi rajungan dari Tahun di PPP Karangantu disajikan pada Tabel 12 dan Lampiran 4, 8 dan 12.

93 76 Tabel 12 Produksi rajungan, Effort jaring rajungan, dan Catch Per Unit Effort (CPUE) sumberdaya rajungan Tahun Tahun Produksi aktual Effort CPUE (ton) (trip) (ton/trip) , , , , , , , , , , , , , , , , , ,0107 Rata-rata 47, ,0216 Sumber: Diolah dari data statistik PPP Karangantu pada Lampiran 4, 8 dan Upaya penangkapan jaring rajungan (effort) Upaya penangkapan jaring rajungan yang dilakukan oleh nelayan jaring rajungan di PPP Karangantu dari Tahun cenderung fluktuatif. Berdasarkan Tabel 12, upaya penangkapan tertinggi terjadi pada Tahun 2003 sebesar trip, sedangkan upaya penangkapan terendah terjadi pada Tahun 2006 sebesar 601 trip. Tahun upaya penangkapan selalu meningkat, namun pada Tahun 2005 mengalami penurunan upaya penangkapan yang drastis dari trip pada Tahun 2004 menjadi 820 trip pada Tahun Selanjutnya pada Tahun 2007, upaya penangkapan mengalami peningkatan kembali dari 601 trip pada Tahun 2006 menjadi 1,009 trip pada Tahun Perkembangan jumlah upaya penangkapan yang dilakukan oleh nelayan jaring rajungan di PPP Karangantu dari Tahun disajikan pada Gambar 21. Berdasarkan Gambar 21, terlihat bahwa upaya penangkapan dari Tahun mengalami tren yang menurun. Hal tersebut berarti upaya penangkapan cenderung mengalami penurunan mengikuti persamaan linier hasil regresi y= x , sehingga diperoleh nilai intercept ( sebesar dan nilai slope ( sebesar -185,7. Dari persamaan tersebut, dapat diartikan bahwa setiap tahunnya upaya penangkapan mengalami penurunan sebesar 185,7 trip. Tingkat upaya penangkapan sumberdaya rajungan yang mengalami tren menurun dapat disebabkan oleh faktor cuaca, seperti saat musim banyaknya rajungan di

94 77 fishing ground yang dikehendaki, akan tetapi gelombang laut sedang tinggi, sehingga mempengaruhi nelayan untuk tidak melaut yang berarti tingkat upaya penangkapan sumberdaya rajungan pun berkurang. Gambar 21 Perkembangan upaya penangkapan sumberdaya rajungan di PPP Karangantu Tahun CPUE (Catch Per Unit Effort) sumberdaya rajungan CPUE merupakan nilai yang dihasilkan dari perbandingan antara jumlah produksi hasil tangkapan dengan jumlah upaya penangkapan (effort) yang dikerahkan. Nilai CPUE yang dihasilkan akan menggambarkan tingkat produktivitas dari upaya penangkapan. Nilai CPUE yang semakin besar akan menunjukkan produktivitas alat tangkap yang digunakan pun semakin tinggi, dan sebaliknya. Nilai CPUE unit penangkapan jaring rajungan di PPP Karangantu selama periode Tahun disajikan pada Gambar 22 dan Tabel 12. Berdasarkan Gambar 22, terlihat bahwa nilai CPUE sumberdaya rajungan di PPP Karangantu selama periode Tahun mengalami fluktuasi dan tren yang cenderung menurun. Pada periode Tahun , nilai CPUE mengalami penurunan, kemudian Tahun nilai CPUE meningkat, namun pada Tahun nilai CPUE mengalami penurunan kembali, lalu Tahun 2007 nilai CPUE mengalami peningkatan yang cukup drastis, selanjutnya pada Tahun 2008 nilai CPUE kembali menurun dengan drastis, sehingga terlihat bahwa nilai CPUE sangat berfluktuatif namun cenderung menurun sesuai dengan

95 78 persamaan hasil regresi linear y= x , sehingga diperoleh nilai intercept ( sebesar 0,854 dan nilai slope ( sebesar -0,000. Hal ini dapat diartikan bahwa setiap tahunnya CPUE menurun sebesar 0,000 ton per trip. Pada Tabel 11, nilai CPUE tertinggi terjadi pada Tahun 2007 sebesar 0,0349 ton per trip, sedangkan nilai CPUE terendah terjadi pada Tahun 2008 sebesar 0,0107 ton per trip. Dengan demikian, alat tangkap jaring rajungan yang paling produktif selama periode Tahun yaitu terjadi pada Tahun Gambar 22 Perkembangan CPUE sumberdaya rajungan di PPP Karangantu Tahun Berdasarkan Tabel 12, terlihat bahwa nilai CPUE mengalami penurunan setiap tahunnya kecuali Tahun 2003, 2004, dan 2007, pada Tahun 2000 nilai CPUE sebesar 0,0273 ton per trip kemudian pada Tahun 2008 nilai CPUE menurun menjadi 0,0107 ton per trip, sehingga jika ditarik garis lurus, maka akan tampak tren yang menurun. Tren CPUE yang menurun mengindikasikan bahwa penurunan produksi lebih tinggi daripada penurunan effort, sehingga mengakibatkan CPUE pun menurun.

96 Hubungan CPUE (Catch Per Unit Effort) dan upaya penangkapan (effort) Hasil tangkapan pada prinsipnya adalah output dari kegiatan penangkapan, sedangkan effort pada prinsipnya adalah input dari kegiatan penangkapan tersebut. Hubungan antara CPUE dengan effort dapat diketahui dengan menggunakan analisis regresi linear. Secara terperinci mengenai hubungan antara CPUE dengan effort untuk sumberdaya rajungan di PPP Karangantu selama periode Tahun dapat dilihat pada Gambar 23. Gambar 23 Hubungan CPUE dan effort sumberdaya rajungan di PPP Karangantu Tahun Berdasarkan Gambar 23, terlihat bahwa hubungan antara CPUE dan effort digambarkan dalam persamaan y =, sehingga diperoleh nilai intercept ( sebesar 0,019 dan nilai slope ( sebesar atau sama dengan 0, Apabila ditarik garis lurus (trendline) akan terlihat trend yang meningkat. Hal ini dapat diartikan bahwa peningkatan upaya penangkapan (effort) tidak akan menurunkan produktivitas hasil tangkapan (CPUE), dengan kata lain semakin meningkatnya upaya penangkapan, maka produktivitas hasil tangkapan pun akan semakin meningkat. Kondisi ini berarti bahwa sumberdaya rajungan belum terindikasikan keadaan overfishing secara biologi (biological overfishing).

97 80 Biological overfishing adalah stok yang ditangkap rata-rata ukurannya lebih kecil daripada ukuran yang seharusnya berproduksi pada tingkat yield per recruit yang maksimum, selain itu tingkat produksi sumberdaya yang dilakukan melebihi tingkat produksi lestari atau produksi optimal pada kondisi MSY Estimasi parameter biologi Pendugaan parameter biologi yang berupa pertumbuhan intrinsik (r), koefisien alat tangkap (q), dan daya dukung lingkungan perairan (K) masih tersembunyi di dalam nilai dan. Nilai r, q, dan K tersebut diperlukan untuk melihat besarnya pengaruh upaya penangkapan terhadap hasil tangkapan, ketersediaan stok, dan keuntungan yang diperoleh dari kegiatan penangkapan, sehingga dalam penelitian ini estimasi parameter biologi untuk menduga nilai r, q, dan K digunakan beberapa model estimasi yaitu Model Clark, Yoshimoto, and Pooley (CYP) (1992), Model Walter-Hilbon (W-H) (1976), dan Model Schnute (1985,1987). Hasil estimasi dari tiga parameter tersebut berguna untuk menentukan tingkat produksi lestari, seperti Maximum Sustainable Yield (MSY), Maximum Economic Yield (MEY), dan kondisi open access (OA). Hasil estimasi parameter biologi sumberdaya rajungan berdasarkan Model CYP (1992), Model W-H (1976), dan Model Schnute (1985,1987) disajikan pada Tabel 13 dan Lampiran 6, 10 dan 14. Tabel 13 Hasil estimasi parameter biologi Model Parameter biologi estimasi r q K (Ton per tahun) (Ton per trip) (Ton per tahun) Schnute 0,7978 0, ,72 CYP 0,2535 0, ,09 W-H 1,8744 0, ,91 Sumber: Data diolah dari Statitik PPP Karangantu pada Lampiran 6, 10 dan 14 Berdasarkan data yang diperoleh sebagaimana telah disajikan pada Tabel 13, dengan menggunakan model estimasi Schnute diperoleh nilai koefisien r sumberdaya rajungan sebesar 0,7978 ton per tahun, berarti bahwa sumberdaya

98 81 rajungan akan tumbuh secara alami tanpa ada gangguan dari gejala alam maupun kegiatan manusia dengan koefisien sebesar 0,7978 ton per tahun. Nilai koefisien q yang diperoleh sebesar 0, ton per trip, berarti bahwa setiap peningkatan satuan upaya penangkapan akan mempengaruhi peningkatan hasil tangkapan sumberdaya rajungan sebesar 0, ton per trip. Nilai koefisien K yang diperoleh sebesar 400,72 ton per tahun, berarti bahwa lingkungan mendukung produksi sumberdaya rajungan sebesar 400,72 ton per tahun dari aspek biologinya diantaranya kelimpahan makanan, pertumbuhan populasi dan ukuran ikan. Model estimasi CYP sebagaimana telah disajikan pada Tabel 13, menghasilkan nilai koefisien r sumberdaya rajungan sebesar 0,2535 ton per tahun, berarti bahwa sumberdaya rajungan akan tumbuh secara alami tanpa ada gangguan dari gejala alam maupun kegiatan manusia dengan koefisien sebesar 0,2535 ton per tahun. Nilai koefisien q yang diperoleh sebesar 0, ton per trip, berarti bahwa setiap peningkatan satuan upaya penangkapan akan mempengaruhi peningkatan hasil tangkapan sumberdaya rajungan sebesar 0, ton per trip. Nilai koefisien K yang diperoleh sebesar 6.999,09 ton per tahun, berarti bahwa lingkungan mendukung produksi sumberdaya rajungan sebesar 6.999,09 ton per tahun dari aspek biologinya diantaranya kelimpahan makanan, pertumbuhan populasi, dan ukuran ikan. Model estimasi W-H sebagaimana telah disajikan pada Tabel 13, menghasilkan nilai koefisien r sumberdaya rajungan sebesar 1,8744 ton per tahun, berarti bahwa sumberdaya rajungan akan tumbuh secara alami tanpa ada gangguan dari gejala alam maupun kegiatan manusia dengan koefisien sebesar 1,8744 ton per tahun. Nilai koefisien q yang diperoleh sebesar 0, ton per trip, berarti bahwa setiap peningkatan satuan upaya penangkapan akan mempengaruhi peningkatan hasil tangkapan sumberdaya rajungan sebesar 0, ton per trip. Nilai koefisien K yang diperoleh sebesar 6.329,91 ton per tahun, berarti bahwa lingkungan mendukung produksi sumberdaya rajungan sebesar 6.329,91 ton per tahun dari aspek biologinya diantaranya kelimpahan makanan, pertumbuhan populasi dan ukuran ikan.

99 82 Hasil estimasi dari ketiga parameter biologi (r, q, dan K) tersebut digunakan untuk menghitung nilai stok ikan (x), produksi optimal (h), dan effort optimal pada kondisi Maximum Sustainable Yield (MSY). Hasil perhitungan stok ikan (x), produksi optimal (h) dan effort optimal pada kondisi optimal MSY dengan menggunakan model estimasi W-H, CYP, dan Schnute disajikan pada Tabel 14 dan Lampiran 6, 10 dan 14. Tabel 14 Hasil estimasi parameter x, h, dan E pada kondisi MSY Model Kondisi optimal MSY estimasi x h E (ton ) (ton ) (trip) Schnute 200,36 79, CYP 3.499,54 443, W-H 3.164, , Aktual - 47, Sumber: Data diolah dari statistik PPP Karangantu pada Lampiran 6, 10 dan 14 Berdasarkan hasil yang diperoleh sebagaimana telah disajikan pada Tabel 14, dengan menggunakan model estimasi Schnute diperoleh nilai stok (x) sumberdaya rajungan pada kondisi optimal MSY sebesar 200,36 ton, yang berarti bahwa stok lestari sumberdaya rajungan yang berada di perairan adalah sebesar 200,36 ton, sedangkan nilai produksi optimal (h) sumberdaya rajungan pada kondisi optimal MSY sebesar 79,92 ton, berarti bahwa jumlah sumberdaya rajungan yang optimal diproduksi tidak melebihi batas kelestariannya adalah sebesar 79,92 ton dalam satu tahun. Nilai effort optimal yang diperoleh sebesar trip, berarti bahwa batas jumlah upaya yang dapat dilakukan agar kelestarian sumberdaya rajungan tetap terjaga adalah sebesar trip dalam satu tahun. Nilai h yang diperoleh dengan model Schnute yaitu sebesar 79,92 ton, lebih rendah dibandingkan dengan nilai x yaitu 200,36 ton. Hal tersebut mengindikasikan bahwa jumlah rajungan yang ditangkap oleh jaring rajungan tidak melebihi jumlah stok rajungan yang tersedia di perairan. Nilai estimasi parameter h dan E yang diperoleh dari model Schnute adalah 79,92 ton dan trip merupakan nilai yang paling mendekati nilai aktual yaitu h aktual sebesar 47,69 ton dan E aktual sebesar trip.

100 83 Model estimasi CYP sebagaimana telah disajikan pada Tabel 14, menghasilkan nilai stok (x) sumberdaya rajungan pada kondisi optimal MSY sebesar 3.499,54 ton, yang berarti bahwa stok lestari sumberdaya rajungan yang berada di perairan adalah sebesar 3.499,54 ton, sedangkan nilai produksi optimal (h) sumberdaya rajungan pada kondisi optimal MSY sebesar 443,65 ton, berarti bahwa jumlah sumberdaya rajungan yang optimal diproduksi dimana tidak melebihi batas kelestariannya adalah sebesar 443,65 ton dalam satu tahun. Nilai effort optimal yang diperoleh sebesar 887 trip, berarti bahwa batas jumlah upaya yang dapat dilakukan agar kelestarian sumberdaya rajungan tetap terjaga adalah sebesar 887 trip dalam satu tahun. Nilai h yang diperoleh dengan model CYP yaitu sebesar 443,65 ton, lebih rendah dibandingkan dengan nilai x yaitu 3.499,54 ton. Hal tersebut mengindikasikan bahwa jumlah rajungan yang ditangkap oleh jaring rajungan tidak melebihi jumlah stok rajungan yang tersedia di perairan, namun besar nilai h dan E yang diperoleh dari model CYP kurang mendekati nilai aktual yaitu h aktual sebesar 47,69 ton dan E aktual sebesar trip. Model estimasi W-H sebagaimana telah disajikan pada Tabel 14, menghasilkan nilai stok (x) sumberdaya rajungan pada kondisi optimal MSY sebesar 3.164,95 ton, yang berarti bahwa stok lestari sumberdaya rajungan yang berada di perairan adalah sebesar 3.164,95 ton, sedangkan nilai produksi optimal (h) sumberdaya rajungan pada kondisi optimal MSY sebesar 2.966,26 ton, berarti bahwa jumlah sumberdaya rajungan yang optimal diproduksi tidak melebihi batas kelestariannya adalah sebesar 2.966,26 ton dalam satu tahun. Nilai effort optimal yang diperoleh sebesar trip, berarti bahwa batas jumlah upaya yang dapat dilakukan agar kelestarian sumberdaya rajungan tetap terjaga adalah sebesar trip dalam satu tahun. Nilai h yang diperoleh dengan model W-H yaitu sebesar 2.966,26 ton, lebih rendah dibandingkan dengan nilai x yaitu 3.164,95 ton. Hal tersebut mengindikasikan bahwa jumlah rajungan yang ditangkap oleh jaring rajungan tidak melebihi jumlah stok rajungan yang tersedia di perairan, namun besar nilai h dan E yang diperoleh dari model W-H kurang mendekati nilai aktual yaitu h aktual sebesar 47,69 ton dan E aktual sebesar trip. Berdasarkan hasil analisis parameter biologi dari ketiga model yaitu Schnute, CYP, dan W-H, maka dapat diketahui model yang paling mendekati dengan

101 84 Berdasarkan hasil analisis parameter biologi dari ketiga model yaitu Schnute, CYP, dan W-H, maka dapat diketahui model yang paling mendekati dengan keadaan aktual atau keadaan sebenarnya di lapangan yaitu model Schnute Estimasi produksi lestari Produksi lestari dapat diestimasi setelah mendapatkan koefisien parameter biologi dan teknik. Estimasi produksi lestari dapat dilakukan dengan cara mensubstitusikan parameter biologi yang telah didapat ke dalam persamaan (2.8), kemudian dari data ini dapat diperoleh kurva produksi lestari (sustainable yield effort curve). Hasil estimasi produksi lestari sumberdaya rajungan setiap tahunnya selama periode dengan menggunakan model Schnute, CYP, dan W-H disajikan pada Tabel 15, Lampiran 7, 11 dan 15. Tabel 15 Hasil estimasi produksi lestari Tahun berdasarkan estimasi Schnute, CYP, dan W-H Tahun Schnute CYP W-H Produksi Produksi Produksi lestari lestari Lestari (ton) (ton) (ton) Aktual (ton) ,59-125,15 44,67 51, ,42-231,62 46,79 35, , ,99 70,06 50, , ,67 101,26 102, , ,69 88,04 108, ,79 441,10 19,40 17, ,17 397,46 14,23 7, ,19 435,31 23,86 35, ,63-127,41 44,72 20,31 Rata2 52, ,07 50,34 47,69 Sumber: Data diolah dari Statistik PPP Karangantu Tahun pada Lampiran 7, 11 dan Estimasi produksi lestari dengan model estimasi Schnute Berdasarkan hasil estimasi produksi lestari yang diperoleh sebagaimana telah disajikan pada Tabel 15, dengan menggunakan model estimasi Schnute dapat diketahui bahwa produksi aktual sumberdaya rajungan di Perairan Teluk Banten, khususnya di perairan sekitar PPP Karangantu hampir setiap tahunnya

102 85 selama Tahun tidak melebihi batas produksi lestarinya, kecuali pada Tahun 2003, 2004, dan 2007 dengan nilai produksi aktualnya berturut-turut sebesar 102,63 ton, 108,91 ton, dan 35,18 ton, sedangkan nilai produksi lestarinya berturut-turut sebesar 79,85 ton, 77,94 ton, dan 32,19 ton. Nilai rata-rata produksi aktual sumberdaya rajungan di PPP Karangantu adalah sebesar 47,69 ton, sedangkan nilai produksi lestarinya adalah sebesar 52,31 ton, sehingga mengindikasikan produksi aktual tidak melebihi batas produksi lestari. Nilai ratarata produksi aktual sumberdaya rajungan di PPP Karangantu adalah sebesar 47,69 ton, sedangkan nilai produksi pada kondisi optimal MSY adalah sebesar 79,92 ton, sehingga mengindikasikan produksi aktual tidak melebihi produksi optimal MSY. Ditinjau dari kedua hal tersebut, dapat diartikan bahwa sumberdaya rajungan di Perairan Teluk Banten, khususnya di perairan sekitar PPP Karangantu selama periode Tahun terindikasi belum mengalami overfishing secara biologi atau biological overfishing. Hal tersebut sesuai dengan kondisi Gambar 23, yang menunjukkan bahwa hubungan CPUE dan effort sumberdaya rajungan di Pelabuhan Perikanan Pantai Karangantu Tahun memiliki tren meningkat, yang dapat diartikan bahwa peningkatan upaya penangkapan (effort) tidak akan menurunkan produktivitas hasil tangkapan (CPUE), sehingga sumberdaya rajungan belum terindikasi untuk mengalami keadaan overfishing secara biologi. Perbandingan kontras antara produksi aktual dan produksi lestari sumberdaya rajungan yang ditangkap dan didaratkan di PPP Karangantu dapat dilihat pada Gambar 24. Berdasarkan Gambar 24, terlihat bahwa selama periode Tahun grafik produksi aktual dan produksi lestari mengalami fluktuasi. Nilai produksi aktual maksimum terjadi pada Tahun 2004 yaitu sebesar 108,91 ton, sedangkan nilai produksi aktual minimum terjadi pada Tahun 2006 yaitu sebesar 7,99 ton. Nilai produksi lestari maksimum terjadi pada Tahun 2003 yaitu sebesar 79,85 ton, sedangkan nilai produksi lestari minimum terjadi pada Tahun 2006 yaitu sebesar 20,17 ton. Kondisi pada Gambar 24 dapat juga dijelaskan sebagaimana yang terlihat pada Gambar 25.

103 86 Gambar 24 Perbandingan produksi aktual dengan produksi lestari sumberdaya rajungan dengan model estimasi Schnute. Gambar 25 Kurva hubungan produksi aktual, produksi lestari, dan effort sumberdaya rajungan dengan model estimasi Schnute. Berdasarkan Gambar 25, terlihat bahwa sepanjang Tahun sebagian besar nilai produksi aktual sumberdaya rajungan berada di dalam kurva produksi lestari. Hal tersebut menunjukkan bahwa pemanfaatan sumberdaya rajungan di Perairan Teluk Banten, khususnya di perairan sekitar PPP Karangantu terindikasi belum mengalami biological overfishing.

104 Estimasi produksi lestari dengan model estimasi CYP Berdasarkan hasil estimasi produksi lestari yang diperoleh sebagaimana telah disajikan pada Tabel 15, dengan menggunakan model CYP dapat diketahui bahwa produksi aktual sumberdaya rajungan di Perairan Teluk Banten, khususnya di perairan sekitar PPP Karangantu hampir setiap tahunnya selama Tahun melebihi batas produksi lestarinya, kecuali pada Tahun 2005, 2006, dan 2007 dengan nilai produksi aktualnya berturut-turut sebesar 17,13 ton, 7,99 ton, dan 35,18 ton, sedangkan nilai produksi lestarinya berturut-turut sebesar 441,10 ton, 397,46 ton, dan 435,31 ton. Nilai rata-rata produksi aktual sumberdaya rajungan di PPP Karangantu adalah sebesar 47,69 ton, sedangkan nilai produksi pada kondisi optimal MSY adalah sebesar 443,65 ton, sehingga mengindikasikan produksi aktual tidak melebihi produksi optimal MSY, namun nilai rata-rata produksi aktual sumberdaya rajungan di PPP Karangantu adalah sebesar 47,69 ton, sedangkan nilai produksi lestarinya adalah sebesar ,07 ton, sehingga mengindikasikan produksi aktual melebihi batas produksi lestari. Hal ini menunjukkan bahwa sumberdaya rajungan di Perairan Teluk Banten, khususnya di perairan sekitar PPP Karangantu selama periode Tahun terindikasi telah mengalami overfishing secara biologi atau biological overfishing. Perbandingan kontras antara produksi aktual dan produksi lestari sumberdaya rajungan yang ditangkap dan didaratkan di PPP Karangantu dapat dilihat pada Gambar 26. Berdasarkan Gambar 26, terlihat bahwa selama periode Tahun grafik produksi aktual dan produksi lestari mengalami fluktuasi. Nilai produksi aktual maksimum terjadi pada Tahun 2004 yaitu sebesar 108,91 ton, sedangkan nilai produksi aktual minimum terjadi pada Tahun 2006 yaitu sebesar 7,99 ton. Nilai produksi lestari maksimum terjadi pada Tahun 2005 yaitu sebesar 441,10 ton, sedangkan nilai produksi lestari minimum terjadi pada Tahun 2003 yaitu sebesar ,67 ton. Kondisi pada Gambar 26 dapat juga dijelaskan sebagaimana yang terlihat pada Gambar 27. Berdasarkan Gambar 27, terlihat bahwa sepanjang Tahun sebagian besar nilai produksi aktual sumberdaya rajungan berada di luar kurva produksi lestari. Hal tersebut menunjukkan bahwa pemanfaatan sumberdaya

105 88 rajungan di Perairan Teluk Banten, khususnya di perairan sekitar PPP Karangantu terindikasi telah mengalami biological overfishing. Gambar 26 Perbandingan produksi aktual dengan produksi lestari sumberdaya rajungan dengan model estimasi CYP. Gambar 27 Kurva hubungan produksi aktual, produksi lestari, dan effort sumberdaya rajungan dengan model estimasi CYP Estimasi produksi lestari dengan model estimasi W-H Berdasarkan hasil estimasi produksi lestari yang diperoleh sebagaimana telah disajikan pada Tabel 15, dengan menggunakan model W-H dapat diketahui bahwa produksi aktual sumberdaya rajungan di Perairan Teluk Banten, khususnya

106 89 di perairan sekitar PPP Karangantu hampir setiap tahunnya selama Tahun tidak melebihi batas produksi lestarinya, kecuali pada Tahun 2000, 2003, 2004, dan 2007 dengan nilai produksi aktualnya berturut-turut sebesar 51,58 ton, 102,63 ton, 108,91 ton, dan 35,18 ton, sedangkan nilai produksi lestarinya berturut-turut sebesar 44,67 ton, 101,26 ton, 88,04 ton, dan 23,86 ton. Nilai ratarata produksi aktual sumberdaya rajungan di PPP Karangantu adalah sebesar 47,69 ton, sedangkan nilai produksi lestarinya adalah sebesar 50,34 ton, sehingga mengindikasikan produksi aktual tidak melebihi batas produksi lestari. Nilai ratarata produksi aktual sumberdaya rajungan di PPP Karangantu adalah sebesar 47,69 ton, sedangkan nilai produksi optimalnya adalah sebesar 2.966,26 ton, sehingga mengindikasikan produksi aktual tidak melebihi produksi optimal. Hal ini menunjukkan bahwa sumberdaya rajungan di Perairan Teluk Banten, khususnya di perairan sekitar PPP Karangantu selama periode Tahun terindikasi belum mengalami overfishing secara biologi atau biological overfishing. Perbandingan kontras antara produksi aktual dan produksi lestari sumberdaya rajungan yang ditangkap dan didaratkan di PPP Karangantu dapat dilihat pada Gambar 28. Berdasarkan Gambar 28, terlihat bahwa selama periode Tahun grafik produksi aktual dan produksi lestari mengalami fluktuasi. Nilai produksi aktual maksimum terjadi pada Tahun 2004 yaitu sebesar 108,91 ton, sedangkan nilai produksi aktual minimum terjadi pada Tahun 2006 yaitu sebesar 7,99 ton. Nilai produksi lestari maksimum terjadi pada Tahun 2003 yaitu sebesar 101,26 ton, sedangkan nilai produksi lestari minimum terjadi pada Tahun 2006 yaitu sebesar 14,23 ton. Kondisi pada Gambar 28 dapat juga dijelaskan sebagaimana yang terlihat pada Gambar 29. Berdasarkan hasil estimasi produksi lestari dari ketiga model yaitu Schnute, CYP, dan W-H, maka dapat diketahui model yang paling mendekati dengan keadaan aktual atau keadaan sebenarnya di lapangan yaitu Model Schnute. Model yang cocok untuk menganalisis kondisi sumberdaya rajungan di Perairan Teluk Banten, khususnya perairan sekitar PPP Karangantu adalah Model Schnute.

107 90 Gambar 28 Perbandingan produksi aktual dengan produksi lestari sumberdaya rajungan dengan model estimasi W-H. Gambar 29 Kurva hubungan produksi aktual, produksi lestari, dan effort sumberdaya rajungan dengan model estimasi W-H Analisis laju degradasi Degradasi sumberdaya merupakan penurunan nilai kualitas atau kuantitas sumberdaya alam yang dapat diperbaharui (renewable resources) sebagai dampak dari pemanfaatan sumberdaya tersebut, dalam hal ini sumberdaya rajungan. Jika nilai koefisien degradasi suatu sumberdaya perikanan berada pada kisaran nilai toleransi (nilai standar) yaitu 0 0,5, maka sumberdaya tersebut belum

108 91 toleransi (nilai standar) yaitu 0 0,5, maka sumberdaya tersebut belum mengalami degaradasi. Hasil analisis laju degradasi sumberdaya rajungan disajikan pada Tabel 16, Lampiran 7, 11 dan 15. Tabel 16 Hasil analisis laju degradasi sumberdaya perikanan rajungan Tahun Schnute CYP W-H Tahun Laju Laju Laju Standar degradasi degradasi degradasi ,2614 0, ,2961 0, ,1709 0, ,2087 0, ,1958 1, ,1993 0, ,3147 1, ,2716 0, ,3283 1, ,3082 0, ,1730 6,52E-12 0,2436 0, ,0742 2,50E-22 0,1443 0, ,2860 4,22E-06 0,3366 0, ,0666 0, ,0996 0,5 Rata2 0,2079 0, ,2342 0,5 Sumber: Data diolah dari statistik PPP Karangantu pada Lampiran 7, 11 dan Analisis laju degradasi dengan model estimasi Schnute Model Schnute sebagaimana telah disajikan pada Tabel 16, menghasilkan nilai koefisien degradasi tertinggi terjadi pada Tahun 2004 yaitu sebesar 0,3282, sedangkan nilai koefisien degradasi terendah terjadi pada Tahun 2008 yaitu sebesar 0,0665. Nilai rata-rata koefisien laju degradasi sumberdaya rajungan sebesar 0,2079, yang berarti nilai laju degradasi sumberdaya rajungan lebih kecil dari nilai batas toleransi, sehingga sumberdaya rajungan di Perairan Teluk Banten khususnya di perairan sekitar PPP Karangantu belum mengalami degradasi. Hasil analisis laju degradasi sumberdaya rajungan di PPP Karangantu dengan menggunakan model estimasi Schnute dapat dilihat pada Gambar 30. Berdasarkan Gambar 30, terlihat bahwa nilai laju degradasi setiap tahunnya selama periode Tahun sangat berfluktuatif namun tetap berada di bawah nilai standar atau lebih kecil dari nilai batas toleransi yaitu 0,5. Hal ini mengindikasikan bahwa sumberdaya rajungan di Perairan Teluk Banten

109 92 khususnya di perairan sekitar PPP Karangantu belum mengalami degradasi. Hal tersebut sesuai dengan kondisi hubungan produksi aktual, produksi lestari, dan effort sumberdaya rajungan dengan model estimasi Schnute yang dideskripsikan pada Gambar 24 dan Gambar 25, yang menunjukkan bahwa produksi aktual sumberdaya rajungan berada di dalam kurva produksi lestari, sehingga dapat diartikan bahwa pemanfaatan sumberdaya rajungan di Perairan Teluk Banten belum mengalami overfishing secara biologi. Gambar 30 Laju degradasi sumberdaya rajungan dengan model estimasi Schnute Analisis laju degradasi dengan model estimasi CYP Model CYP sebagaimana telah disajikan pada Tabel 16, menghasilkan nilai koefisien degradasi tertinggi terjadi pada Tahun 2002, 2003, dan 2004 yaitu sebesar 1, sedangkan nilai koefisien degradasi terendah terjadi pada Tahun 2006 yaitu sebesar 2,4877E-22. Nilai rata-rata koefisien laju degradasi sumberdaya rajungan sebesar 0,6573, yang berarti nilai laju degradasi sumberdaya rajungan lebih besar dari nilai batas toleransi, sehingga sumberdaya rajungan di Perairan Teluk Banten khususnya di perairan sekitar PPP Karangantu sudah mengalami degradasi. Hasil analisis laju degradasi sumberdaya rajungan di PPP Karangantu dengan menggunakan model estimasi CYP dapat dilihat pada Gambar 31. Berdasarkan Gambar 31, terlihat bahwa nilai laju degradasi secara umum selama periode Tahun berada di atas nilai standar atau lebih besar dari nilai batas toleransi. Hal ini mengindikasikan bahwa sumberdaya rajungan di

110 93 Perairan Teluk Banten khususnya di perairan sekitar PPP Karangantu telah mengalami degradasi. Hal tersebut sesuai dengan kondisi hubungan produksi aktual, produksi lestari, dan effort sumberdaya rajungan dengan model estimasi CYP yang dideskripsikan pada Gambar 26 dan Gambar 27, yang menunjukkan bahwa produksi aktual sumberdaya rajungan berada di luar kurva produksi lestari, sehingga dapat diartikan bahwa pemanfaatan sumberdaya rajungan di Perairan Teluk Banten telah mengalami overfishing secara biologi. Gambar 31 Laju degradasi sumberdaya rajungan dengan model estimasi CYP Analisis laju degradasi dengan model estimasi W-H Model W-H sebagaimana telah disajikan pada Tabel 16, menghasilkan nilai koefisien degradasi tertinggi terjadi pada Tahun 2007 yaitu sebesar 0,3366, sedangkan nilai koefisien degradasi terendah terjadi pada Tahun 2008 yaitu sebesar 0,0996. Nilai rata-rata koefisien laju degradasi sumberdaya rajungan sebesar 0,2342, yang berarti nilai laju degradasi sumberdaya rajungan lebih kecil dari nilai batas toleransi, sehingga sumberdaya rajungan di Perairan Teluk Banten khususnya di perairan sekitar PPP Karangantu belum mengalami degradasi. Hasil analisis laju degradasi sumberdaya rajungan di PPP Karangantu dengan menggunakan model estimasi W-H dapat dilihat pada Gambar 32.

111 94 Berdasarkan Gambar 32, terlihat bahwa nilai laju degradasi setiap tahunnya selama periode tahun berada di bawah nilai standar atau lebih kecil dari nilai batas toleransi. Hal ini mengindikasikan bahwa sumberdaya rajungan di Perairan Teluk Banten khususnya di perairan sekitar PPP Karangantu belum mengalami degradasi. Hal tersebut sesuai dengan kondisi hubungan produksi aktual, produksi lestari, dan effort sumberdaya rajungan dengan model estimasi W-H yang dideskripsikan pada Gambar 28, yang menunjukkan bahwa nilai rata-rata produksi aktual sumberdaya rajungan lebih kecil dibandingkan dengan nilai rata-rata produksi lestari, sehingga dapat diartikan bahwa pemanfaatan sumberdaya rajungan di Perairan Teluk Banten belum mengalami overfishing secara biologi. Gambar 32 Laju degradasi sumberdaya rajungan dengan model estimasi W-H. 6.3 Analisis Bioekonomi Upaya Pemanfaatan Sumberdaya Rajungan Estimasi biaya input Biaya nominal penangkapan rajungan yang diperoleh merupakan rata-rata biaya operasional dari hasil wawancara seperti biaya bahan bakar, biaya perjalanan (ransum). Rincian biaya operasional jaring rajungan per trip nelayan pemilik dapat dilihat pada Lampiran 3. Hasil estimasi biaya input sumberdaya rajungan Tahun pada penelitian ini dapat dilihat pada Tabel 17 dan Lampiran 16. Pada Tabel 17, diketahui bahwa besaran rata-rata biaya riil sumberdaya rajungan adalah sebesar Rp0, juta per trip.

112 95 Berdasarkan Tabel 17, diketahui bahwa nilai biaya riil input tertinggi terjadi pada Tahun 2008 sebesar Rp0, juta per trip, sedangkan nilai biaya riil input terendah terjadi pada Tahun 2000 sebesar Rp0, juta per trip. Selain itu, pada Tabel 17 juga didapatkan nilai biaya riil rata-rata sebesar Rp0, juta per trip. Tabel 17 Data series biaya riil input sumberdaya rajungan Tahun Biaya Biaya riil Tahun IHK riil seluruh sumberdaya sumberdaya rajungan (Rp juta per trip) (Rp juta per trip) ,36 0,06 0, ,69 0,07 0, ,00 0,07 0, ,57 0,07 0, ,40 0,08 0, ,05 0,08 0, ,72 0,10 0, ,00 0,11 0, ,52 0,11 0, Rata-Rata 118,48 0,08 0, Sumber: Data diolah dari statistik PPP Karangantu pada Lampiran Estimasi harga output Hasil estimasi harga output sumberdaya rajungan Tahun pada penelitian ini dapat dilihat pada Tabel 18. Pada Tabel 18, diketahui bahwa besaran rata-rata harga riil output sumberdaya rajungan adalah sebesar Rp15,11 juta per ton. Berdasarkan Tabel 18, diketahui bahwa nilai harga riil output tertinggi terjadi pada Tahun 2008 sebesar Rp19,71 juta per ton, sedangkan nilai harga riil output terendah terjadi pada Tahun 2000 sebesar Rp10,76 juta per ton. Selain itu, pada Tabel 17 juga didapatkan nilai harga riil rata-rata sebesar Rp15,11 juta per ton.

113 96 Tabel 18 Data series harga riil output sumberdaya rajungan Tahun Tahun IHK Harga riil (Rp. Juta per ton) ,36 10, ,69 12, ,00 12, ,57 12, ,40 14, ,05 15, ,72 18, ,00 19, ,52 19,71 Rata-rata 118,48 15,11 Sumber: Data olahan Estimasi tingkat discount rate Discount rate digunakan untuk menjembatani aspek pengelolaan yang bersifat intertemporal yang terdapat pada model dinamik. Nilai real discount rate (r) diperoleh dengan menentukan nilai pure time preference ( ), elastisitas pendapatan terhadap konsumsi sumberdaya alam ( ), dan laju pertumbuhan ekonomi konsumsi sumberdaya alam (g) terlebih dahulu. Pada penelitian ini nilai yang digunakan adalah nilai market discount rate sebesar 12 %. Standar elastisitas pendapatan terhadap konsumsi sumberdaya alam ditentukan berdasar pendekatan Brent (1990) diacu dalam Sobari dan Muzakir (2009) sebesar 1, laju pertumbuhan ekonomi konsumsi sumberdaya alam diperoleh dari hasil perhitungan regresi linear yang diadopsi dari teknik yang dikembangkan oleh Kula (1984), yaitu sebesar 2,80%, sehingga diperoleh nilai real discount rate sebesar 9,2%. Perhitungan discount rate model Kula lebih rinci dapat dilihat pada Lampiran 17. Berdasarkan nilai discount rate tersebut maka dapat diperoleh nilai annual continues discount rate melalui sebesar 8,8%. Selain itu, dalam penelitian ini juga dipakai nilai discount rate yang biasa digunakan oleh World Bank dalam menilai sumberdaya alam di negaranegara berkembang yaitu sebesar 10 %, 12 %, 15 %, dan 18%.

114 Analisis model statik sumberdaya rajungan Model optimasi statik merupakan model yang menggunakan pendekatan statik dalam analisisnya. Pendekatan statik adalah pendekatan yang tidak menggunakan parameter discount rate dalam analisis optimasinya yang meliputi Open Access (OA), Maximum Economic Yield (MEY) dan Maximum Sustainable Yield (MSY). Analisis optimasi dari setiap kondisi pengelolaan sumberdaya rajungan pada penelitian ini menggunakan rumus yang tertera pada Tabel 3. Hasil analisis optimasi statik sumberdaya rajungan pada berbagai model dapat dilihat pada Tabel 19. Tabel 19 Hasil analisis optimasi statik dengan Model Schnute, CYP, dan W-H. Model Model Biomass Produksi Effort Rente ekonomi estimasi pengelolaan ( ) (h) (E) (π) SDI (ton) (ton) (trip) (RpJuta) Schnute OA 0,02 0, ,00 MEY 200,37 79, ,71 MSY 200,36 79, ,71 CYP OA 0,01 0, ,00 MEY 3.499,55 443, ,00 MSY 3.499,54 443, ,00 W-H OA 0,49 0, ,00 MEY 3.165, , ,71 MSY 3.164, , ,71 Aktual - 47, ,68 Sumber: Data olahan Analisis model statik sumberdaya rajungan dengan Model Schnute Berdasarkan hasil analisis optimasi statik yang diperoleh sebagaimana telah disajikan pada Tabel 19, dengan menggunakan Model Schnute dapat diketahui bahwa nilai (x) tertinggi terjadi pada kondisi MEY yaitu sebesar 200,37 ton per tahun. Selanjutnya diikuti dengan nilai (x) pada kondisi MSY sebesar 200,36 ton per tahun dan kondisi open access (OA) sebesar 0,02 ton per tahun. Tingkat produksi (h) tertinggi terjadi pada kondisi MEY dan MSY yaitu sebesar 79,92 ton per tahun, sedangkan tingkat produksi terendah terjadi pada kondisi (OA) sebesar 0,02 ton per tahun. Pada kondisi aktual, tingkat produksi

115 98 yang terjadi adalah sebesar 47,69 ton per tahun. Hal ini mengindikasikan bahwa tingkat produksi aktual belum melebihi tingkat produksi lestari pada kondisi MEY dan MSY yang berarti bahwa sumberdaya rajungan belum mengalami tangkap lebih secara ekonomi (economic overfishing) maupun secara biologi (biological overfishing). Tingkat upaya penangkapan terbesar terjadi pada kondisi (OA) yaitu sebesar trip per tahun, sedangkan tingkat upaya penangkapan terendah terjadi pada kondisi aktual yaitu sebesar trip per tahun. Tingkat upaya penangkapan pada kondisi MEY adalah sebesar trip per tahun, sedangkan pada kondisi MSY sebesar trip per tahun, sehingga dapat diketahui bahwa tingkat upaya penangkapan aktual belum melebihi tingkat upaya penangkapan lestari pada kondisi MEY dan MSY. Hal ini mengindikasikan bahwa sumberdaya rajungan belum mengalami tangkap lebih secara ekonomi (economic overfishing) maupun secara biologi (biological overfishing). Tingkat rente ekonomi terbesar terjadi pada kondisi MEY dan MSY yaitu sebesar Rp1.207,71 juta per tahun diikuti dengan tingkat rente ekonomi pada kondisi aktual yaitu sebesar Rp720,68 juta per tahun. Tingkat rente ekonomi yang dicapai pada kondisi aktual lebih kecil dibandingkan dengan tingkat rente ekonomi pada kondisi MEY dan MSY, hal tersebut disebabkan oleh tingkat produksi dan upaya penangkapan belum dimanfaatkan secara optimal. Tingkat rente ekonomi pada kondisi open access (OA) sebesar Rp0 per tahun. Hal ini disebabkan oleh sumberdaya perikanan yang berada pada kondisi open access (OA), artinya setiap orang dapat berpartisipasi dan tidak ada batasan mengenai besarnya upaya penangkapan yang dikerahkan atau sumberdaya ikan yang boleh ditangkap, sehingga menyebabkan masyarakat akan terus-menerus melakukan upaya penangkapan selama masih tersedianya produksi sampai seluruh rente ekonomi terkuras habis. Perbandingan status pemanfaatan sumberdaya rajungan dalam kondisi aktual dan optimasi statik dapat dilihat pada Gambar 33. Berdasarkan Gambar 33, diketahui bahwa tingkat upaya penangkapan dengan model Schnute memiliki nilai terbesar dibandingkan dengan nilai lainnya seperti biomassa (x), tingkat produksi (h), dan rente ekonomi (π). Tingkat upaya penangkapan terbesar yang diperoleh dari hasil analisis optimasi statik terjadi

116 99 pada kondisi (OA) yaitu sebesar trip. Pada Gambar 33, tampak bahwa dengan model Schnute produksi (h) pada kondisi MEY dan MSY yaitu sebesar 79,92 ton lebih besar dibandingkan dengan kondisi aktual sebesar 47,69. Hal ini sesuai dengan hasil estimasi produksi lestari berdasarkan model Schnute yang menunjukkan bahwa nilai rata-rata produksi lestari sebesar 52,31 ton lebih besar dibandingkan dengan nilai rata-rata produksi aktual sebesar 47,69 ton. Hal tersebut mengindikasikan bahwa sumberdaya rajungan belum mengalami overfishing. Gambar 33 Hasil analisis optimasi statik dengan model Schnute Analisis model statik sumberdaya rajungan dengan Model CYP Berdasarkan hasil analisis optimasi statik yang diperoleh sebagaimana telah disajikan pada Tabel 19, dengan menggunakan model CYP dapat diketahui bahwa nilai (x) tertinggi terjadi pada kondisi MEY yaitu sebesar 3.499,55 ton per tahun. Selanjutnya diikuti dengan nilai (x) pada kondisi MSY sebesar 3.499,54 ton per tahun dan kondisi open access (OA) sebesar 0,01 ton per tahun. Tingkat produksi (h) tertinggi terjadi pada kondisi MEY dan MSY yaitu sebesar 443,65 ton per tahun, sedangkan tingkat produksi terendah terjadi pada kondisi (OA) sebesar 0,00 ton per tahun. Hal ini disebabkan oleh sumberdaya perikanan yang berada pada kondisi open access (OA), artinya setiap orang dapat

117 100 berpartisipasi dan tidak ada batasan mengenai besarnya sumberdaya ikan yang dapat ditangkap, sehingga menyebabkan masyarakat akan terus-menerus melakukan upaya penangkapan hingga ketersediaan produksi akan terus terkuras. Pada kondisi aktual, tingkat produksi yang terjadi adalah sebesar 47,69 ton per tahun. Hal ini mengindikasikan bahwa tingkat produksi aktual belum melebihi tingkat produksi lestari pada kondisi MEY dan MSY yang berarti bahwa sumberdaya rajungan belum mengalami tangkap lebih secara ekonomi (economic overfishing) maupun secara biologi (biological overfishing). Tingkat upaya penangkapan terbesar terjadi pada kondisi aktual yaitu sebesar trip per tahun, diikuti dengan kondisi (OA) sebesar trip per tahun. Tingkat upaya penangkapan terendah terjadi pada kondisi MEY dan MSY yaitu sebesar 887 trip per tahun, sehingga dapat diketahui bahwa tingkat upaya penangkapan aktual telah melebihi tingkat upaya penangkapan lestari pada kondisi MEY dan MSY. Hal ini mengindikasikan bahwa sumberdaya rajungan telah mengalami tangkap lebih secara ekonomi (economic overfishing) maupun secara biologi (biological overfishing). Tingkat rente ekonomi terbesar terjadi pada kondisi MEY dan MSY yaitu sebesar Rp6.705,00 juta per tahun, diikuti dengan tingkat rente ekonomi pada kondisi aktual yaitu sebesar Rp720,68 juta per tahun. Tingkat rente ekonomi yang dicapai pada kondisi aktual lebih kecil dibandingkan dengan tingkat rente ekonomi pada kondisi MEY dan MSY, hal tersebut disebabkan oleh overfishing. Overfishing berdampak pada keuntungan yang diperoleh nelayan sebesar Rp720,68 juta per tahun jauh lebih kecil dibandingkan dengan keuntungan yang seharusnya dapat dicapai pada kondisi MEY dan MSY. Tingkat rente ekonomi pada kondisi open access (OA) sebesar Rp0 per tahun. Hal ini disebabkan oleh sumberdaya perikanan yang berada pada kondisi open access (OA), artinya setiap orang dapat berpartisipasi dan tidak ada batasan mengenai besarnya upaya penangkapan yang dikerahkan atau sumberdaya ikan yang boleh ditangkap, sehingga menyebabkan masyarakat akan terus-menerus melakukan upaya penangkapan selama masih tersedianya produksi sampai seluruh rente ekonomi terkuras habis. Perbandingan status pemanfaatan sumberdaya rajungan dalam kondisi aktual dan optimasi statik dapat dilihat pada Gambar 34.

118 101 Gambar 34 Hasil analisis optimasi statik dengan model CYP. Berdasarkan Gambar 34, diketahui bahwa tingkat rente ekonomi dengan Model CYP memiliki nilai terbesar dibandingkan dengan nilai lainnya seperti biomassa (x), tingkat produksi (h), dan tingkat upaya penangkapan (E). Tingkat rente ekonomi terbesar yang diperoleh dari hasil analisis optimasi statik terjadi pada kondisi MEY dan MSY yaitu sebesar Rp6.705 juta per tahun. Pada Gambar 34, tampak bahwa dengan model CYP produksi (h) pada kondisi MEY dan MSY yaitu sebesar 443,65 ton lebih besar dibandingkan dengan kondisi aktual sebesar 47,69. Hal ini tidak sesuai dengan hasil estimasi produksi lestari berdasarkan model CYP yang menunjukkan bahwa nilai rata-rata produksi lestari sebesar ,07 ton lebih kecil dibandingkan dengan nilai rata-rata produksi aktual sebesar 47,69 ton. Model ini dianggap kurang sesuai karena tidak mungkin nilai produksi mencapai nilai negatif, sehingga hal tersebut mengindikasikan bahwa pengelolaan sumberdaya rajungan dengan model CYP telah mengalami overfishing Analisis model statik sumberdaya rajungan dengan Model W-H Berdasarkan hasil analisis optimasi statik yang diperoleh sebagaimana telah disajikan pada Tabel 19, dengan menggunakan model W-H dapat diketahui bahwa nilai (x) tertinggi terjadi pada kondisi MEY yaitu sebesar 3.165,20 ton per

119 102 tahun. Selanjutnya diikuti dengan nilai (x) pada kondisi MSY sebesar 3.164,95 ton per tahun dan kondisi open access (OA) sebesar 0,49 ton per tahun. Tingkat produksi (h) tertinggi terjadi pada kondisi MEY dan MSY yaitu sebesar 2.966,26 ton per tahun, sedangkan tingkat produksi terendah terjadi pada kondisi (OA) sebesar 0,92 ton per tahun. Pada kondisi aktual, tingkat produksi yang terjadi adalah sebesar 47,69 ton per tahun. Hal ini mengindikasikan bahwa tingkat produksi aktual belum melebihi tingkat produksi lestari pada kondisi MEY dan MSY yang berarti bahwa sumberdaya rajungan belum mengalami tangkap lebih secara ekonomi (economic overfishing) maupun secara biologi (biological overfishing). Tingkat upaya penangkapan terbesar terjadi pada kondisi (OA) yaitu sebesar trip per tahun, sedangkan tingkat upaya penangkapan terendah terjadi pada kondisi aktual yaitu sebesar trip per tahun. Tingkat upaya penangkapan pada kondisi MEY adalah sebesar trip per tahun, sedangkan pada kondisi MSY sebesar trip per tahun, sehingga dapat diketahui bahwa tingkat upaya penangkapan aktual belum melebihi tingkat upaya penangkapan lestari pada kondisi MEY dan MSY. Hal ini mengindikasikan bahwa sumberdaya rajungan belum mengalami tangkap lebih secara ekonomi (economic overfishing) maupun secara biologi (biological overfishing). Tingkat rente ekonomi terbesar terjadi pada kondisi MEY dan MSY yaitu sebesar Rp44.822,71 juta per tahun diikuti dengan tingkat rente ekonomi pada kondisi aktual yaitu sebesar Rp720,68 juta per tahun. Tingkat rente ekonomi yang dicapai pada kondisi aktual lebih kecil dibandingkan dengan tingkat rente ekonomi pada kondisi MEY dan MSY, hal tersebut disebabkan oleh tingkat produksi dan upaya penangkapan belum dimanfaatkan secara optimal. Tingkat rente ekonomi pada kondisi open access (OA) sebesar Rp0 per tahun. Hal ini disebabkan oleh sumberdaya perikanan yang berada pada kondisi open access (OA), artinya masyarakat dapat berpartisipasi dan tidak ada batasan mengenai besarnya upaya penangkapan yang dikerahkan serta sumberdaya ikan yang boleh ditangkap. Hal tersebut menyebabkan masyarakat akan terus-menerus melakukan upaya penangkapan selama masih tersedianya produksi sampai seluruh rente

120 103 upaya penangkapan selama masih tersedianya produksi sampai seluruh rente ekonomi terkuras habis. Perbandingan status pemanfaatan sumberdaya rajungan dalam kondisi aktual dan optimasi statik dapat dilihat pada Gambar 35. Gambar 35 Hasil analisis optimasi statik dengan model W-H. Pada Gambar 35, diketahui bahwa tingkat upaya penangkapan dengan Model W-H memiliki nilai terbesar dibandingkan dengan nilai lainnya seperti biomassa (x), tingkat produksi (h), dan rente ekonomi (π). Tingkat upaya penangkapan terbesar yang diperoleh dari hasil analisis optimasi statik terjadi pada kondisi (OA) yaitu sebesar trip. Pada Gambar 35, tampak bahwa dengan model W-H produksi (h) pada kondisi MEY dan MSY yaitu sebesar 2.966,26 ton lebih besar dibandingkan dengan kondisi aktual sebesar 47,69. Hal ini sesuai dengan hasil estimasi produksi lestari berdasarkan model W-H yang menunjukkan bahwa nilai rata-rata produksi lestari sebesar 50,34 ton lebih besar dibandingkan dengan nilai rata-rata produksi aktual sebesar 47,69 ton. Hal tersebut mengindikasikan bahwa sumberdaya rajungan belum mengalami overfishing, namun produksi pada kondisi MEY dan MSY dengan produksi pada kondisi aktual memiliki nilai yang terpaut amat jauh mencapai 98,39%, sehingga pengelolaan sumberdaya rajungan dengan model W-H dianggap kurang tepat.

121 104 Berdasarkan analisis ketiga model estimasi di atas, maka dapat diketahui bahwa kondisi yang paling mendekati kondisi aktual atau kondisi sebenarnya adalah model Schnute. Sehingga dapat ditarik kesimpulan bahwa model yang cocok untuk menganalisis kondisi sumberdaya rajungan di perairan Teluk Banten, khususnya di perairan sekitar PPP Karangantu adalah dengan model Schnute Analisis laju depresiasi Depresiasi sumberdaya merupakan pengukuran terhadap penurunan nilai kualitas atau kuantitas sumberdaya alam yang dapat diperbaharui (renewable resources) sebagai dampak dari pemanfaatan sumberdaya tersebut, yang ditentukan dengan nilai ekonomi atau dirupiahkan, dalam hal ini sumberdaya perikanan. Jika nilai koefisien depresiasi suatu sumberdaya perikanan berada pada kisaran nilai toleransi (nilai standar) yaitu 0 0,5 maka sumberdaya tersebut belum mengalami depresiasi. Hasil analisis laju depresiasi sumberdaya rajungan disajikan pada Tabel 20. Tabel 20 Hasil analisis laju depresiasi sumberdaya rajungan Tahun Tahun Laju depresiasi Laju depresiasi Laju depresiasi Standar Schnute CYP W-H ,2614 0, ,2961 0, ,1709 0, ,2087 0, ,1958 1, ,1993 0, ,3147 1, ,2716 0, ,3283 1, ,3082 0, ,1730 6,51E-12 0,2436 0, ,0742 2,49E-22 0,1443 0, ,2860 4,22E-06 0,3366 0, ,0665 0, ,0996 0,5 Rata2 0,2079 0, ,2342 0,5 Sumber: Data olahan

122 Analisis laju depresiasi dengan model Schnute Model Schnute sebagaimana telah disajikan pada Tabel 20, menghasilkan nilai koefisien depresiasi tertinggi terjadi pada Tahun 2004 yaitu sebesar 0,3282, sedangkan nilai koefisien depresiasi terendah terjadi pada Tahun 2008 yaitu sebesar 0,0665. Nilai rata-rata koefisien laju depresiasi sumberdaya rajungan sebesar 0,2079, yang berarti nilai laju depresiasi sumberdaya rajungan lebih kecil dari nilai batas toleransi sehingga sumberdaya rajungan di Perairan Teluk Banten khususnya di perairan sekitar PPP Karangantu belum mengalami depresiasi. Hasil analisis sumberdaya rajungan di PPP Karangantu dengan menggunakan model estimasi Schnute dapat dilihat pada Gambar 36. Gambar 36 Laju depresiasi sumberdaya rajungan dengan model estimasi Schnute. Berdasarkan Gambar 36, terlihat bahwa nilai laju depresiasi setiap tahunnya selama periode tahun berada di bawah nilai standar atau lebih kecil dari nilai batas toleransi. Hal ini mengindikasikan bahwa sumberdaya rajungan di Perairan Teluk Banten khususnya di perairan sekitar PPP Karangantu belum mengalami depresiasi Analisis laju depresiasi dengan model estimasi CYP Model CYP sebagaimana telah disajikan pada Tabel 20, menghasilkan nilai koefisien depresiasi tertinggi terjadi pada Tahun 2002, 2003, dan 2004 yaitu sebesar 1, sedangkan nilai koefisien depresiasi terendah terjadi pada Tahun 2006 yaitu sebesar 2,4877E-22. Nilai rata-rata koefisien laju depresiasi sumberdaya rajungan sebesar 0,6573, yang berarti nilai laju depresiasi sumberdaya rajungan

123 106 lebih besar dari nilai batas toleransi sehingga sumberdaya rajungan di Perairan Teluk Banten khususnya di perairan sekitar PPP Karangantu sudah mengalami depresiasi. Hasil analisis sumberdaya rajungan di PPP Karangantu dengan menggunakan model estimasi CYP dapat dilihat pada Gambar 37. Gambar 37 Laju depresiasi sumberdaya rajungan dengan model estimasi CYP. Berdasarkan Gambar 37, terlihat bahwa nilai laju depresiasi secara umum selama periode Tahun berada di atas nilai standar atau lebih besar dari nilai batas toleransi. Hal ini mengindikasikan bahwa sumberdaya rajungan di Perairan Teluk Banten khususnya di perairan sekitar PPP Karangantu telah mengalami depresiasi Analisis laju depresiasi dengan model estimasi W-H Model W-H sebagaimana telah disajikan pada Tabel 20, menghasilkan nilai koefisien depresiasi tertinggi terjadi pada Tahun 2007 yaitu sebesar 0,3366, sedangkan nilai koefisien depresiasi terendah terjadi pada Tahun 2008 yaitu sebesar 0,0996. Nilai rata-rata koefisien laju depresiasi sumberdaya rajungan sebesar 0,2342, yang berarti nilai laju depresiasi sumberdaya rajungan lebih kecil dari nilai batas toleransi sehingga sumberdaya rajungan di Perairan Teluk Banten khususnya di perairan sekitar PPP Karangantu belum mengalami depresiasi. Hasil analisis sumberdaya rajungan di PPP Karangantu dengan menggunakan model estimasi W-H dapat dilihat pada Gambar 38.

124 107 Berdasarkan Gambar 38, terlihat bahwa nilai laju depresiasi setiap tahunnya selama periode tahun berada di bawah nilai standar atau lebih kecil dari nilai batas toleransi. Hal ini mengindikasikan bahwa sumberdaya rajungan di Perairan Teluk Banten khususnya di perairan sekitar PPP Karangantu belum mengalami depresiasi. Gambar 38 Laju depresiasi sumberdaya rajungan dengan model estimasi W-H. Berdasarkan analisis ketiga model estimasi di atas, maka dapat diketahui bahwa nilai depresiasi yang paling kecil atau jauh dari nilai standart terdapat pada Model Schnute. Sehingga dapat ditarik kesimpulan bahwa model yang cocok untuk menganalisis kondisi sumberdaya rajungan di perairan Teluk Banten, khususnya di perairan sekitar PPP Karangantu adalah dengan Model Schnute Analisis model dinamik sumberdaya rajungan dengan model Schnute Faktor dasar dari kelemahan pendekatan statik adalah karena sifat statik itu sendiri. Pendekatan ini tidak memasukkan faktor waktu dalam analisisnya, untuk sumberdaya terbarukan seperti perikanan, tidak dimasukkannya faktor waktu ini dapat menyebabkan akibat yang serius dalam pengelolaan sumberdaya perikanan, sehingga diperlukan pendekatan lainnya untuk menganalisis pengelolaan sumberdaya perikanan yaitu pendekatan dinamis.

125 108 Pendekatan dinamis diperlukan untuk memahami pengelolaan sumberdaya ikan dan aspek ekonomi sumberdaya secara menyeluruh dengan memperhitungkan faktor waktu. Model pengelolaan optimal dinamik digunakan untuk menentukan cara memanfaatkan sumberdaya perikanan sebaik mungkin dengan tetap memperhatikan aspek intertemporal. Aspek ini dijembatani dengan adanya penggunaan discount rate. Nilai discount rate yang digunakan pada analisis ini adalah 8,8%, 10%, 12%, 15%, dan 18%. Hasil analisis dengan tingkat discount rate pada pengelolaan optimal dinamik terhadap sumberdaya rajungan berdasarkan model estimasi Schnute dapat dilihat pada Tabel 21. Tabel 21 Hasil analisis model pengelolaan dinamik dengan model estimasi Schnute Model pengelolaan Aktual Optimal dinamik SDI i=0.088 i=0.10 i=0.12 i=0.15 i=0.18 * (ton) - 178,27 176,43 171,91 165,27 158,8 h* (ton) 47,69 78,95 78,78 78,31 77,47 76,48 E* (trip) π (Juta Rp) 720, , , , , ,67 Sumber: Data olahan Berdasarkan Tabel 21, tampak bahwa tingkat produksi pada kondisi aktual lebih kecil yaitu sebesar 47,69 ton dibandingkan dengan tingkat produksi pada kondisi optimal dinamik dengan tingkat discount rate 8,8%, 10%, 12%, 15%, dan 18% berturut-turut adalah sebesar 78,95 ton, 78,78 ton, 78,31 ton, 77,47 ton, dan 76,48 ton. Hal tersebut berarti tingkat produksi akan diperoleh jauh lebih besar apabila pemanfaatannya menggunakan pendekatan optimal dinamik. Berdasarkan Tabel 21, terlihat bahwa tingkat upaya penangkapan pada kondisi aktual jauh lebih kecil yaitu sebesar trip dibandingkan dengan tingkat upaya penangkapan pada kondisi optimal dinamik dengan tingkat discount rate 8,8%, 10%, 12%, 15%, dan 18% berturut-turut adalah sebesar trip, trip, trip, trip, dan trip. Hal tersebut berarti tingkat upaya penangkapan pada kondisi aktual masih dapat ditingkatkan dengan membatasi koefisien daya tangkapnya.

126 109 Berdasarkan Tabel 21, tampak bahwa tingkat rente ekonomi pada kondisi aktual lebih kecil yaitu sebesar Rp714,60 dibandingkan dengan tingkat rente ekonomi pada kondisi optimal dinamik dengan tingkat discount rate 8,8%, 10%, 12%, 15%, dan 18% berturut-turut adalah sebesar Rp ,29, Rp ,52, Rp10.441,68, Rp8.376,02, dan Rp6.982,67. Hubungan tingkat discount rate dan tingkat rente ekonomi optimal dinamik dapat dilihat pada Gambar 39. Gambar 39 Hubungan tingkat discount rate dan rente ekonomi. Pada Gambar 39, terlihat bahwa semakin tinggi tingkat discount rate, maka rente ekonomi yang diperoleh akan semakin menurun, sehingga menurut Sobari (2010), dapat diketahui bahwa apabila tingkat discount rate semakin mendekati tak hingga maka nilai rente ekonomi akan sama dengan nilai pada kondisi OA, sebaliknya apabila tingkat discount rate semakin mendekati nol, maka nilai rente ekonomi akan sama dengan nilai pada kondisi MEY. Hal tersebut terjadi karena semakin tinggi tingkat discount rate maka tingkat upaya penangkapan akan semakin besar, sehingga akan menguras ketersediaan sumberdaya yang akan berdampak pada penurunan tingkat rente ekonomi. Ditinjau dari ketiga sisi di atas, maka dapat disimpulkan bahwa pemanfaatan sumberdaya perikanan rajungan di Perairan Teluk Banten, khususnya di perairan sekitar PPP Karangantu dengan menggunakan model estimasi Schnute pada kondisi optimal dinamik belum terjadi tangkap lebih

127 110 (overfishing) baik overfishing secara biologi (biological overfishing) maupun ekonomi (economic overfishing). Berdasarkan analisis optimal dinamis maka dapat diketahui bahwa jumlah jaring jarungan yang optimal beroperasi di Perairan Teluk Banten adalah sebesar 178 unit, sehingga apabila dibandingkan dengan kondisi aktual, jumlah alat tangkap jaring rajungan masih dapat ditambah sebanyak 101 unit. Hal tersebut dapat dilihat secara terperinci pada Tabel 22. Tabel 22 Alokasi optimal sumberdaya rajungan di perairan Teluk Banten Variabel Optimal dinamik i=0.088 Optimal dinamik i=0.10 Optimal dinamik i=0.12 Optimal dinamik i=0.15 Optimal dinamik i=0.18 Aktual h* (ton) 78,95 78,78 78,31 77,47 76,48 47,69 E* (trip) alat CPUE 0,02 0,02 0,02 0,01 0,01 0,02 (ton/trip) π(rpjuta) , , , , ,67 720,68 Sumber: Data olahan 6.4 Investasi Optimal Investasi optimal diperoleh dari perhitungan dengan menggunakan pendekatan model estimasi yang cocok untuk perairan Teluk Banten khususnya perairan sekitar PPP Karangantu yaitu model Schnute. Berdasarkan Tabel 22, dapat diketahui bahwa jumlah optimal alat tangkap jaring rajungan adalah sebanyak 178 unit dan rente ekonomi optimal sebesar Rp Harga dan biaya Harga adalah keseluruhan nilai yang ditukarkan konsumen untuk mendapatkan keuntungan dari kepemilikan terhadap sebuah produk atau jasa. Biaya merupakan pengorbanan sumber ekonomi yang dapat diukur dalam satuan uang yang telah terjadi atau secara potensial akan terjadi untuk mencapai tujuan tertentu. Harga jual rajungan tidak berubah pada setiap musim penangkapan (musim puncak dan musim paceklik). Komponen penerimaan dalam analisis kelayakan usaha adalah nilai penjualan hasil produksi, dalam hal ini dijelaskan

128 111 pada Tabel 23 dalam komponen harga. Komponen biaya dalam analisis kelayakan usaha dibedakan menjadi dua, yaitu biaya investasi (meliputi pengadaan kapal, mesin, dan alat tangkap) dan biaya operasional (meliputi biaya BBM, biaya perjalanan, dan komisi hasil tangkapan). Komponen harga dan biaya operasional telah disajikan pada Tabel 23. Tabel 23 Komponen harga dan biaya operasional jaring rajungan Uraian Nilai Harga (Rp juta per ton) 15, Biaya (Rp juta per trip) 0, Sumber: Data diolah dari data penelitian Tanggal Januari 2010 Berdasarkan Tabel 23, tampak bahwa harga jual rajungan untuk satu ton adalah sebesar Rp15,11 juta per ton. Biaya operasional dalam satu kali trip adalah sebesar Rp0, juta per trip. Biaya operasional optimal diperoleh dari nilai rata-rata biaya riil dengan model Schnute yang telah dijelaskan pada Tabel 17 sedangkan harga jual optimal diperoleh dari nilai rata-rata harga riil dengan model Schnute yang telah dijelaskan pada Tabel Investasi Investasi adalah suatu istilah dengan beberapa pengertian yang berhubungan dengan keuangan dan ekonomi. Istilah tersebut berkaitan dengan akumulasi suatu bentuk aktiva dengan suatu harapan mendapatkan keuntungan di masa mendatang. Biaya investasi merupakan biaya yang dikeluarkan pada tahap awal sebelum memulai usaha perikanan jaring rajungan. Besarnya biaya investasi diperoleh berdasarkan nilai investasi rata-rata responden nelayan Karangantu yang ditanamkan pada awal usaha perikanan jaring rajungan dimulai. Investasi dalam usaha penangkapan jaring rajungan terdiri atas investasi per unit alat tangkap dan investasi seluruh unit alat tangkap, yaitu sebesar 178 unit. Investasi optimal dihitung berdasarkan jumlah unit alat tangkap optimal yaitu sebesar 178 unit. Komponen dan biaya investasi usaha perikanan jaring rajungan dapat dilihat pada Tabel 24.

129 112 Tabel 24 Komponen dan nilai investasi usaha perikanan jaring rajungan Investasi Nilai investasi (Rp) Investasi optimal (Rp) Kapal , ,00 Mesin , ,00 Alat tangkap , ,00 Jumlah , ,00 Sumber: Data olahan Berdasarkan Tabel 24, total investasi untuk tiap unit alat yang dibutuhkan oleh nelayan jaring rajungan adalah sebesar Rp ,00, yang meliputi investasi kapal sebesar Rp ,00, mesin sebesar Rp ,00, dan alat tangkap sebesar Rp ,00. Pada Tabel 24, tampak bahwa total investasi sangat tinggi karena setiap komponen biaya investasi telah dikalikan dengan seluruh unit optimal yang diperoleh dari analisis model optimal dinamik dengan model estimasi Schnute yang berjumlah 178 unit. Biaya total investasi optimal adalah sebesar Rp ,00, dengan perincian investasi kapal investasi kapal sebesar Rp ,00, mesin sebesar Rp ,00, dan alat tangkap sebesar Rp , Analisis kriteria investasi Analisis kriteria investasi terdiri atas Net Present Value (NPV), Net Benefit Cost Ratio (Net B/C) dan Internal Rate of Return (IRR), namun dalam penelitian ini tidak dihitung IRR karena pada penelitian mengenai bionomi memang tidak diperkenankan untuk menghitung IRR. Asumsi dasar dalam analisis ini adalah kondisi perekonomian stabil dengan tingkat discount rate sebesar 8,8%, umur proyek 10 tahun, dan tingkat produksi serta effort berada pada kondisi optimal. Hasil analisis kriteria investasi dapat dilihat pada Tabel 25 dan Lampiran 18 dan 19. Tabel 25 Hasil analisis kriteria investasi dengan model Schnute Kriteria investasi Schnute Aktual NPV , ,49 Net B/C 2,28 3,36 Sumber: Data olahan

130 Net Present Value (NPV) Net Present Value (NPV) adalah nilai kini dari keuntungan bersih yang akan diperoleh pada masa mendatang, yang merupakan selisih kini dari benefit dengan nilai kini dari biaya, sehingga NPV suatu proyek adalah selisih present value (PV) arus benefit dengan present value arus biaya. Berdasarkan Tabel 25, terlihat bahwa nilai NPV pada Model Schnute yang berarti pada kondisi optimal dinamik adalah sebesar Rp ,21 dengan discount factor pada tingkat suku bunga 8,8% per tahun, sedangkan pada kondisi aktual sebesar Rp ,49, sehingga dapat diketahui bahwa selama tahun kegiatan usaha perikanan jaring rajungan akan memperoleh keuntungan pada kondisi optimal sebesar Rp ,21, sedangkan pada kondisi aktual sebesar Rp ,49. Nilai NPV pada kedua kondisi tersebut adalah > 0, yang berarti bahwa usaha perikanan jaring rajungan layak untuk dijalankan Net Benefit Cost Ratio (Net B/C) Net Benefit-Cash Ratio (Net B/C) adalah perbandingan antara jumlah nilai kini dari keuntungan bersih pada tahun dimana keuntungan bersih bernilai positif dengan keuntungan bersih yang bernilai negatif. Berdasarkan Tabel 25, terlihat bahwa nilai Net B/C pada Model Schnute yang berarti pada kondisi optimal dinamik adalah sebesar 2,28 dengan tingkat discount rate 8,8% per tahun, sedangkan pada kondisi aktual sebesar 3,36, sehingga dapat diketahui bahwa setiap satu rupiah yang dikeluarkan selama umur proyek akan memberikan nilai manfaat (benefit) sebesar Rp2,28 pada kondisi optimal dan Rp3,36 pada kondisi aktual. Nilai Net B/C pada kedua kondisi tersebut adalah 1, yang berarti bahwa usaha perikanan jaring rajungan layak untuk dijalankan. 6.5 Implikasi Kebijakan Pengelolaan sumberdaya perikanan sebagaimana yang telah dijelaskan dalam Undang-Undang No.31 Tahun 2004 Pasal 6 Ayat 1 tentang perikanan, bahwa pengelolaan perikanan dilakukan untuk tercapainya manfaat yang optimal dan berkelanjutan, serta terjaminnya kelestarian sumberdaya ikan. Mengamati berbagai pola kebijakan yang selama ini diterapkan, terlihat kecenderungan bahwa

131 114 pengelolaan perikanan di negara berkembang, seperti halnya Indonesia, mengarah pada growth oriented, dengan produksi hasil perikanan diharapkan terus meningkat dari waktu ke waktu. Pola pengelolaan seperti ini tidak menutup kemungkinan bahwa produksi perikanan akan menuju atau melebihi titik maximum sustainable yield (MSY). Apabila pola pemanfaatan berlebihan, pada gilirannya akan mengakibatkan terkurasnya sumberdaya perikanan itu sendiri. Pemanfaatan yang berlebihan juga seringkali diperburuk oleh rezim pengelolaan perikanan dengan akses terbuka (open access) yang akan mengakibatkan hilangnya rente sumberdaya. Sifat kompetitif dalam rezim akses terbuka akan menyebabkan eksploitasi yang berlebihan sehingga akan menurunkan perolehan (return) per unit upaya perikanan dalam jangka panjang. Hal tersebut akan menyulitkan terciptanya pola pengelolaan perikanan yang bertanggung jawab sebagaimana yang dijelaskan dalam Code of Conduct for Responsible Fisheries. Sesuai pemaparan sebelumnya mengenai keadaan pemanfaatan di perairan Teluk Banten, khususnya di perairan sekitar PPP Karangantu, seperti yang telah disajikan pada Tabel 22 maka dapat diketahui bahwa sumberdaya rajungan di perairan Teluk Banten, khususnya di perairan sekitar PPP Karangantu membutuhkan solusi pembenahan dan pengelolaan yang tepat. Oleh karena itu, pemerintahan Kota Serang harus segera membuat kebijakan antisipatif dan strategis sebagai solusi dari permasalahan pengelolaan sumberdaya rajungan di perairan Teluk Banten. Berkaitan dengan hal tersebut, berdasarkan hasil penelitian yang telah disajikan pada Tabel 22, akan diajukan beberapa rekomendasi alternatif kebijakan dalam pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya rajungan, antara lain: 1) Membuat dan menetapkan regulasi mengenai batasan jumlah alat tangkap jaring rajungan yang diperbolehkan beroperasi di Perairan Teluk Banten. Pada Tabel 22, diketahui bahwa jumlah alat tangkap yang dapat beroperasi di Perairan Teluk Banten berdasarkan tingkat discount rate 8,8% adalah sebanyak 178 unit. Jumlah tersebut jauh lebih besar dibandingkan dengan jumlah alat pada kondisi aktual yaitu sebanyak 77 unit. Hal ini mengindikasikan bahwa untuk mencapai pemanfaatan dan pengelolaan secara

132 115 mengindikasikan bahwa untuk mencapai pemanfaatan dan pengelolaan secara optimal dinamik perlu dilakukan pengaturan yang tepat dengan menambah unit penangkapan dan memperhatikan batasan koefisien daya tangkap. 2) Membuat dan menetapkan regulasi mengenai pengelolaan pemanfaatan sumberdaya rajungan di perairan Teluk Banten, yang terdiri atas tingkat effort optimal, volume produksi optimal, CPUE optimal dengan mengacu pada pendekatan optimal dinamik pada tingkat discount rate 8,8%. Pengaturan atas tingkat effort atau upaya penangkapan dapat dilakukan dengan pembatasan atas parameter dari sejumlah parameter yang berpengaruh terhadap kegiatan penangkapan yang dapat dilakukan secara langsung maupun tidak langsung. 3) Membuat dan menetapkan regulasi mengenai tingkat discount rate yang rendah. Berdasarkan Tabel 22, tampak bahwa rente ekonomi akan semakin rendah apabila tingkat discount rate yang digunakan tinggi, sebaliknya rente ekonomi akan semakin besar apabila tingkat discount rate yang digunakan rendah. Hal tersebut terlihat pada kondisi optimal dinamik dengan tingkat discount rate 8,8% yang memiliki rente ekonomi sebesar Rp , sedangkan pada tingkat discount rate 10% rente ekonomi yang diperoleh adalah sebesar Rp Rente ekonomi yang diperoleh pada kondisi aktual jauh lebih kecil dibandingkan kondisi optimal dinamik, hal ini disebabkan oleh tingkat produksi dan upaya penangkapan yang belum dimaksimalkan hingga berada pada kondisi optimal. 4) Penetapan regulasi mengenai kuota terhadap produksi. Regulasi ini dianggap mampu menghilangkan eksternalitas negatif yang sering terjadi pada perikanan. Pengendalian atas kuota dapat dilakukan dengan cara memberikan kebebasan menangkap pada siapa saja hingga tercapai jumlah hasil tangkapan yang telah disepakati sebelumnya. 5) Kebijakan human development. Kebijakan ini amat penting untuk diterapkan, karena manusia adalah peran utama dalam pelaksanaan berbagai kebijakan yang ada, apabila kebijakan yang bagus tidak diiringi dengan sikap manusia yang baik dan mendukung, maka kebijakan yang dibuat pun akan percuma. Kebijakan ini ditujukan bagi pemegang kebijakan dan pengelola perikanan agar memperhatikan peningkatan kualitas dan profesionalitas. Selain itu, juga

133 116 Kebijakan ini ditujukan bagi pemegang kebijakan dan pengelola perikanan agar memperhatikan peningkatan kualitas dan profesionalitas. Selain itu, juga ditujukan bagi para nelayan, seperti memberikan penyadaran dan sosialisasi mengenai pentingnya menjaga perairan dan sumberdaya perikanan saat ini dan masa mendatang.

134 117 7 KESIMPULAN DAN SARAN 7.1 Kesimpulan 1) Jaring rajungan termasuk ke dalam klasifikasi jaring insang dasar. Konstruksi alat tangkap jaring rajungan di Perairan Teluk Banten, khususnya di perairan sekitar PPP Karangantu terdiri atas badan jaring, tali ris, pelampung, tali pelampung, pemberat timah, tali pemberat, pelampung tanda, tali pelampung tanda, pemberat batu, dan tali pemberat batu. Kapal jaring rajungan di PPP Karangantu berdimensi panjang total (L OA ) 9,5 m, lebar (B) 2,2 m, dan draft (d) 0,8 meter. Jumlah nelayan yang melakukan pengoperasian jaring rajungan adalah empat orang. Pengoperasian jaring rajungan dilakukan secara one day trip, diawali dengan tahap persiapan, setting sekitar 5 menit, drifting sekitar 3 jam dan hauling sekitar 30 menit. Produktivitas alat tangkap jaring rajungan pada Tahun 2008 sebesar 209,37 kg per unit, sedangkan Tahun 2010 sebesar 320 kg per unit. Produktivitas alat tangkap jaring rajungan pada Tahun 2008 sebesar 10,72 kg per trip dan Tahun 2010 sebesar 5,33 kg per trip. Produktivitas alat tangkap jaring rajungan per biaya operasional Tahun 2010 sebesar 0, kg per rupiah. 2) Model estimasi pengelolaan dan pemanfaatan yang cocok diterapkan di Perairan Teluk Banten, khususnya di perairan sekitar PPP Karangantu adalah model Schnute. Pada kondisi aktual diperoleh produksi rajungan sebesar 47,69 ton per tahun, effort sebesar trip per tahun, dan rente ekonomi sebesar Rp per tahun. Pada kondisi OA diperoleh stok biomass sebesar 0,02 ton per tahun, produksi rajungan sebesar 0,02 ton per tahun, effort sebesar trip per tahun, dan rente ekonomi sebesar Rp0 per tahun. Pada kondisi MEY diperoleh stok biomass sebesar 200,37 ton per tahun, produksi rajungan sebesar 79,92 ton per tahun, effort sebesar trip per tahun, dan rente ekonomi sebesar Rp per tahun. Pada kondisi maximum sustainable yield (MSY) diperoleh stok biomass sebesar 200,36 ton per tahun, produksi rajungan sebesar 79,92 ton per tahun, effort sebesar trip per tahun, dan rente ekonomi sebesar Rp per tahun.

135 118 3) Nilai rata-rata laju degradasi sebesar 0, dan rata-rata laju depresiasi sebesar 0, Kedua nilai tersebut belum melewati batas toleransi atau standar sebesar 0,5, artinya sumberdaya rajungan belum terdegradasi dan terdepresisasi. 4) Jumlah unit penangkapan jaring rajungan yang optimum untuk beroperasi di Perairan Teluk Banten adalah sebanyak 178 unit. 5) Nilai Net Present Value (NPV) dan Net Benefit Cost Ratio (Net B/C) dari usaha perikanan jaring rajungan pada kondisi aktual berturut-turut sebesar Rp ,49 dan Rp3,36, pada kondisi optimal dinamik dengan Model Schnute berturut-turut sebesar Rp ,21 dan Rp2,28. Nilai NPV pada kedua kondisi tersebut > 0 dan nilai Net B/C pada kedua kondisi tersebut 1. Hal tersebut mengindikasikan bahwa usaha perikanan jaring rajungan layak untuk dijalankan. 7.2 Saran Supaya dapat mencapai pemanfaatan sumberdaya rajungan yang optimal, sebaiknya dilakukan berbagai upaya, antara lain: 1) Penambahan jumlah unit jaring rajungan sebesar 101 unit, produksi rajungan sebesar 31,26 ton dan upaya penangkapan sebesar trip hingga diperoleh jumlah unit optimal sebesar 178 unit, produksi optimal 78,95 ton dan upaya penangkapan optimal sebesar trip. 2) Pembuatan kebijakan mengenai pengelolaan pemanfaatan sumberdaya rajungan di perairan Teluk Banten, yang terdiri atas tingkat effort optimal sebesar trip, volume produksi optimal sebesar 78,95 ton, CPUE optimal sebesar 0,02 ton per trip dengan mengacu pada pendekatan optimal dinamik pada tingkat discount rate 8,8%. 3) Pembuatan kebijakan mengenai tingkat discount rate yang rendah. 4) Penetapan regulasi mengenai kuota terhadap produksi. 5) Kebijakan human development.

136 119 DAFTAR PUSTAKA [Anonim] Bottom Set Gillnet. [6 Januari 2009]. [Anonim] Rajungan Hidup. [24 Mei 2010]. Azis KA Pendugaan Stok Populasi Ikan Tropis. (Bahan Pengajaran) (tidak dipublikasikan). Bogor: Pusat Antar Universitas Ilmu Hayati. 251 hal. [BSN] Badan Standardisasi Nasional Bentuk Baku Jaring Insang Dasar Monofilamen. [18 Agustus 2009]. [BSN] Badan Standardisasi Nasional Istilah dan Definisi Bagian 2: Kapal Perikanan. [10 Agustus 2009]. Clark CW Bioeconomic Modelling and Fisheries Management. Canada: Vancouver. John Willey and Sons. Inc. 291 p. Cowan L Crab Farming in Japan, Taiwan and The Phillipines, Queensland. Department of Primary Industries, Brisbone, Queensland. 125 p. Effendi MI Biologi Perikanan. Yogyakarta : Yayasan Pustaka Nusantara. 163 hal. Fauzi A Ekonomi Sumberdaya Alam dan Lingkungan. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama. 259 hal. Fauzi A dan S Anna Pemodelan Sumber Daya Perikanan dan Kelautan untuk Analisis Kebijakan. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama. 343 hal. Fiqrin Para Pecinta Ikan. [12 Januari 2009]. Gulland JA Fish Stok Assesment : A Manual of Basic Methods. Chichester New York Brisbane Toronto Singapore : John Willey and Sons. 233 p. Jogiyanto HM Metodologi Penelitian Sistem Informasi. Yogyakarta: CV ANDI OFFSET. 306 hal. Juwana S dan K Romimohtarto Rajungan: Perikanan, Cara Budidaya dan Menu Masakan. Jakarta : Djambatan. 47 hal.

137 120 Kadariah LK dan C Gray Pengantar Evaluasi Proyek. Jakarta: Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia. 181 hal. Kasri A Budidaya Kepiting Bakau dan Biologi Ringkas. Jakarta: Bhatara. 105 hal. Kula E Derivation of Special Time Preference Rates for the U.S and Canada. Quarterly Journal of Economics. Di dalam Anna S Model Embedded Dinamik Ekonomi Interaksi Perikanan Pencemaran. [Disertasi] (tidak dipublikasikan). Bogor: Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan, Institut Pertanian Bogor. 371 hal. Kumar M., Ferguson G., Xiao Y., Hooper G, dan Venema S Studies on Reproductive Biology and Distribution of The Blue Swimmer Crab (Portunus pelagicus) in South Australian Waters. SARDI Research Report Series No. 47. South Australia. Australia. Hal 10. Martasuganda S Serial Teknologi Penangkapan Ikan Berwawasan Lingkungan Jaring Insang (Gillnet). Bogor: Departemen Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor. 144 hal. Miskiya Aspek Bio-Teknik Jaring Rajungan di Karangantu Kabupaten Serang, Provinsi Banten [Skripsi]. Bogor: Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor. Hal Moosa MK dan S Juwana Kepiting Suku Portunidae dari perairan Indonesia (Decapoda, Branchyura). Jakarta: Pusat Penelitian dan Pengembangan Oseanologi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia. 75 hal. Nontji A Laut Nusantara. Jakarta : Djambatan. 372 hal. Nybakken JW Biologi Laut Suatu Pendekatan Ekologis. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama. 579 hal. [PPP] Pelabuhan Perikanan Pantai Karangantu Laporan Tahunan Statistik PPPK Serang: Pelabuhan Perikanan Pantai Karangantu. 244 hal. Purba R Analisis Biaya dan Manfaat. Jakarta: Rineka Cipta. 140 hal. Sobari MP dan Muzakir Kajian Ekonomi Pemanfaatan Sumberdaya Ikan Teri di Kabupaten Agam, Provinsi Sumatera Barat. Jurnal Ilmiah Teknologi dan Manajemen Perikanan Tangkap. Vol XVIII No.3:

138 121 Sparre P dan SC Venema Introduksi Pengkajian Stok Ikan Tropis. Buku I. Tim Pusat Penelitian dan Pengembangan Perikanan, Penterjemah. Jakarta: Pusat Penelitian dan Pengembangan Perikanan, Badan Penelitian, dan Pengembangan Pertanian. (Berdasarkan Kerjasama dengan Organisasi Pangan dan Pertanian Perserikatan Bangsa-Bangsa). Terjemahan dari: Introduction to Tropical Fish Stok Assesment. Part 1, Manual. 438 hal. Stephenson W and B Campbell The Australian Portunids (Crustacea; Portunidae). II. The Genus Portunus, Australia. P Suadela P Analisis Tingkat Keramahan Lingkungan Unit Penangkapan Jaring Rajungan (Studi Kasus di Teluk Banten) [Skripsi]. Bogor: Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor. Hal Sudirman Teknik Penangkapan Ikan. Jakarta: Rineka Cipta. 168 hal. Sumpton W Australian Fisheries Resources. [20 September 2008]. Supardan A Indonesian Fishing Ports Sumber: [16 Maret 2010]. Susanto et al Pedomen Teknis Teknologi Perbenihan Rajungan (Portunus pelagicus). Jakarta: Pusat Riset Perikanan Budidaya, Badan Riset Kelautan dan Perikanan. Departemen Kelautan dan Perikanan. 19 hal. Thomson JM Fish of The Ocean And Shore. London: Collins Sydney. 208 hal. Undang-Undang Nomor 31 tahun 2004 tentang Perikanan. Jakarta: CV Eko Jaya. 215 hal. Widodo J Pengantar Pengkajian Stok Ikan. Jakarta: Pusat Riset Perikanan Tangkap. 16 hal. Widodo J dan Suadi Pengelolaan Sumberdaya Perikanan Laut. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. 252 hal.

139 LAMPIRAN 122

140 123 Lampiran 1 Peta lokasi PPP Karangantu Sumber:

141 124 Lampiran 2 Layout PPP Karangantu Sumber: KETERANGAN : 1. Pos jaga 12. Bak penampungan air 2. Rumah dinas 13. Kios 3. Mess nelayan 14. Mushola 4. Balai pertemuan nelayan 15. Pabrik es 5. Kantor pelabuhan 16. Cold storage 6. Kantor pengawasan 17. Tempat pelelangan ikan (TPI) 7. Pt. Fan Marine 18. Pasar ikan higieni 8. Slipway Pagar lingkungan 9. Bengkel 10. Kantor syahbandar perikanan 11. Water treatment

142 125 Lampiran 3 Biaya operasional jaring rajungan per trip nelayan pemilik dan nelayan penyewa No Nama pemilik Solar Air tawar Biaya Kebutuhan Harga/lt perjalanan Kebutuhan Harga(Rp) (lt/trip) (Rp) (Rp) 1 Suwanto galon Mboy galon Sarmun galon Kursen galon Sukri galon Mansyur galon Syamsudin galon Jumadi galon Tono galon Maskud galon Romli galon Erwin galon Adi galon Abdullah galon Wardi galon No Nama penyewa Iuran solar (Rp) Komisi Ht per-kg (Rp) Biaya perjalanan (Rp) 1 Yudi Andi Seem Midi Said Toha Puang Hafid Dian Nahari Andir Mutadi Yanto Rasta Ramsis

143 126 Lampiran 4 Data produksi dan effort sumberdaya rajungan sebagai bahan regresi dengan model Schnute Tahun Produksi rajungan (ton) Effort E t+1 CPUE t CPUE t+1 (U t+1 /U t ) ln(u t+1 /U t ) (U t +U t+1 )/2 (E t +E t+1 )/ , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , Y X 1 X 2 126

144 127 Lampiran 5 Hasil analisis regresi sumberdaya rajungan dengan model Schnute SUMMARY OUTPUT Regression Statistics Multiple R 0, R Square 0, Adjusted R Square -0, Standard Error 0, Observations 8 ANOVA df SS MS F Significance F Regression 2 0, , , , Residual 5 2, , Total 7 2, Coefficients Standard Error t Stat P-value Lower 95% Upper 95% Lower 95% Upper 95% Intercept -0, , , , , , , , X Variable 1 22, , , , , , , , X Variable 2 8,98166E-05 0, , , , , , ,

145 128 Lampiran 6 Solusi bioekonomi sumberdaya rajungan menggunakan program MS Excel dengan model Schnute Parameter statik Parameter dinamik i= 0, ,10 0,12 0,15 0,18 δ=ln(1+r) 0, ,10 0,11 0,14 0,17 φ1=cost/price*q*k 0,0001 φ2=δ/r 0,1103 0,1195 0,1421 0,1752 0,2075 a = 0, ß=φ1+1-φ2 0,8897 0,8806 0,8580 0,8249 0,7926 b = 22, MEY OAY MSY Optimal Dinamik (i=8,8) Optimal Dinamik (i=10) Optimal Dinamik (i=12) Optimal Dinamik (i=15) Optimal Dinamik (i=18) c = 0, x (ton) 200,37 0,02 200,36 178,27 176,43 171,91 165,27 158,80 r = a 0, h* (ton) 79,92 0,02 79,92 78,95 78,78 78,31 77,47 76,48 47,69 q = c 0, E* (trip) K =r/bq 400,72 Ton Effort Opt (Emsy) = r/2q 4.441,08 Trip Biomass MSY (xopt) = K/2 200,36 Ton hmsy (h opt) = rk/4 79,92 Ton Rata2 Produksi Aktual = 47,69 Ton Rata2 Effort Aktual = 2.136,11 Trip % Overfishing = -67,58 % Price = 15,11 juta Rp/ton Cost = 0, juta Rp/trip π (juta Rp) Aktual 1.207, , , , , , ,67 720,68 128

146 129 Lampiran 7 Laju degradasi dan laju depresiasi sumberdaya rajungan di Teluk Banten estimasi Schnute Tahun h h TR TR Effort Real Real aktual lestari aktual lestari TC Keuntungan Keuntungan Laju Standar Laju Et (ton) (ton) cost price aktual lestari degradasi depresiasi ,58 53,59 0, ,76 555,09 576,68 0,04 555,05 576,65 0, ,5 0, ,10 55,42 0, ,33 432,90 683,47 0,04 432,86 683,43 0, ,5 0, ,39 71,20 0, ,76 642,74 908,21 0,07 642,67 908,14 0, ,5 0, ,63 79,85 0, , , ,37 0, , ,27 0, ,5 0, ,91 77,94 0, , , ,58 0, , ,49 0, ,5 0, ,13 26,79 0, ,70 268,81 420,47 0,02 268,79 420,44 0, ,5 0, ,99 20,17 0, ,08 144,46 364,57 0,02 144,44 364,55 0, ,5 0, ,18 32,19 0, ,64 691,03 632,36 0,04 690,99 632,32 0, ,5 0, ,31 53,63 0, ,71 400, ,11 0,07 400, ,04 0, ,5 0,

147 130 Lampiran 8 Data produksi dan effort sumberdaya rajungan sebagai bahan regresi dengan model CYP Tahun Produksi rajungan Effort CPUE E t+1 U t+1 lnu t+1 lnu t E t +E t+1 (ton) , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , Y X 1 X 2 130

148 131 Lampiran 9 Hasil analisis regresi sumberdaya rajungan dengan model CYP SUMMARY OUTPUT Regression Statistics Multiple R 0, R Square 0, Adjusted R Square 0, Standard Error 0, Observations 8 ANOVA Df SS MS F Significance F Regression 2 0, , , , Residual 5 0, , Total 7 1,07554 Coefficients Standard Upper t Stat P-value Lower 95% Error 95% Lower 95% Upper 95% Intercept -7, , , , ,9252-3, , , X Variable 1-0, , , , , , , , X Variable 2 6,34003E-05 4,95E-05 1, , ,4E-05 0, ,38E-05 0,

149 132 Lampiran 10 Solusi bioekonomi sumberdaya rajungan menggunakan program MS Excel dengan model CYP Parameter statik Parameter dinamik i= 0, ,10 0,12 0,15 0,18 δ=ln(1+r) 0, ,10 0,11 0,14 0,17 φ1=cost/price*q*k 0,0000 φ2=δ/r 0,3471 0,3759 0,4470 0,5512 0,6528 a = 0, ß=φ1+1-φ2 0,6529 0,6241 0,5530 0,4488 0,3472 b = 0, MEY OAY MSY Optimal Dinamik (i=8,8) Optimal Dinamik (i=10) Optimal Dinamik (i=12) Optimal Dinamik (i=15) Optimal Dinamik (i=18) c = 0, x (ton) 3.499,55 0, , , , , , ,11 r = 2(1-b)/(1+b) 0, h* (ton) 443,65 0,00 443,65 390,20 380,97 355,02 308,86 254,60 47,69 q = c*(2+r) 0, E* (trip) K = 6.999,1 (EXP((a*(2+r))/(2*r)))/q Ton π (juta Rp) 6.705, , , , , , ,71 720,68 Effort Opt (Emsy) = r/2q 887,31 Trip Biomass MSY (xopt) = K/ ,54 Ton hmsy (h opt) = rk/4 443,65 Ton Rata2 Produksi Aktual = 47,69 Ton Rata2 Effort Aktual = 2.136,11 Trip % Overfishing = -830,29 % Price = 15,11 juta Rp/ton Cost = 0, juta Rp/trip Aktual 132

150 133 Lampiran 11 Laju degradasi dan laju depresiasi sumberdaya rajungan di Teluk Banten estimasi CYP Tahun Effort h aktual h lestari Real Real TR TR TC Keuntungan Keuntungan Laju Standar Laju Et (ton) (ton) cost price aktual lestari aktual lestari degradasi depresiasi ,58 (125,15) 0, ,76 555,09 (1.346,71) 0,04 555,05 (1.346,75) 0, ,5 0, ,10 (231,62) 0, ,33 432,90 (2.856,65) 0,04 432,86 (2.856,69) 0, ,5 0, ,39 (2.009,99) 0, ,76 642,74 (25.639,67) 0,07 642,67 (25.639,73) 1 0, ,63 (6.157,67) 0, , ,55 (78.995,13) 0, ,45 (78.995,24) 1 0, ,91 (4.151,69) 0, , ,60 (58.994,99) 0, ,50 (58.995,09) 1 0, ,13 441,10 0, ,70 268, ,56 0,02 268, ,54 6,5194E-12 0,5 6,5052E ,99 397,46 0, ,08 144, ,23 0,02 144, ,21 2,5045E-22 0,5 2,4877E ,18 435,31 0, ,64 691, ,58 0,04 690, ,55 4,222E-06 0,5 4,21952E ,31 (127,41) 0, ,71 400,31 (2.511,42) 0,07 400,24 (2.511,49) 0, ,5 0,

151 134 Lampiran 12 Data produksi dan effort sumberdaya rajungan sebagai bahan regresi dengan model estimasi W-H Tahun Produksi rajungan Effort CPUE t CPUE t+1 (U t+1 /U t )-1 U t E t (ton) , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , Y X 1 X 2 134

152 135 Lampiran 13 Hasil analisis regresi sumberdaya rajungan dengan model estimasi W-H SUMMARY OUTPUT Regression Statistics Multiple R 0, R Square 0, Adjusted R Square 0, Standard Error 0, Observations 8 ANOVA df SS MS F Significance F Regression 2 2, , , , Residual 5 1, , Total 7 3, Coefficients Standard Error t Stat P-value Lower 95% Upper 95% Lower 95% Upper 95% Intercept 1, , , , , , , , X Variable 1-79, , , , ,1147-7, , , X Variable 2 3,74396E-06 0, , , , , , ,

153 136 Lampiran 14 Solusi bioekonomi sumberdaya rajungan menggunakan program MS Excel dengan model W-H Parameter statik Parameter dinamik i= 0, ,10 0,12 0,15 0,18 δ=ln(1+r) 0, ,10 0,11 0,14 0,17 φ1=cost/price*q*k 0,0001 φ2=δ/r 0,0470 0,0508 0,0605 0,0746 0,0883 a = 1, ß=φ1+1-φ2 0,9531 0,9492 0,9396 0,9255 0,9118 b = 79, MEY OAY MSY Optimal Dinamik (i=8,8) Optimal Dinamik (i=10) Optimal Dinamik (i=12) Optimal Dinamik (i=15) Optimal Dinamik (i=18) c = 0, x (ton) 3.165,20 0, , , , , , ,78 r = a 1, h* (ton) 2.966,26 0, , , , , , ,18 47,69 q = c 0, E* (trip) K =r/bq 6.329,91 Ton π (juta Rp) , , , , , , ,34 720,68 Effort Opt (Emsy) = r/2q Trip Biomass MSY (xopt) = K/ ,95 Ton hmsy (h opt) = rk/ ,26 Ton Rata2 Produksi Aktual = 47,69 Ton Rata2 Effort Aktual = 2.136,11 Trip % Overfishing = -6119,93 % Price = 15,11 juta Rp/ton Cost = 0, juta Rp/trip Aktual 136

154 137 Lampiran 15 Laju degradasi dan laju depresiasi sumberdaya rajungan di Teluk Banten estimasi W-H Tahun Effort h aktual h lestari Real Real TR aktual TR lestari TC Keuntungan Keuntungan Laju Standar Laju Et (ton) (ton) cost price aktual lestari degradasi depresiasi ,58 44,67 0, ,76 555,09 480,68 0,04 555,05 480,65 0, ,5 0, ,10 46,79 0, ,33 432,90 577,02 0,04 432,86 576,98 0, ,5 0, ,39 70,06 0, ,76 642,74 893,72 0,07 642,67 893,65 0, ,5 0, ,63 101,26 0, , ,55 1,299,08 0, , ,98 0, ,5 0, ,91 88,04 0, , ,60 1,251,06 0, , ,97 0, ,5 0, ,13 19,40 0, ,70 268,81 304,52 0,02 268,79 304,50 0, ,5 0, ,99 14,23 0, ,08 144,46 257,17 0,02 144,44 257,15 0, ,5 0, ,18 23,86 0, ,64 691,03 468,80 0,04 690,99 468,77 0, ,5 0, ,31 44,72 0, ,71 400,31 881,38 0,07 400,24 881,32 0, ,5 0,

155 138 Lampiran 16 Hasil estimasi biaya riil penangkapan sumberdaya rajungan dengan IHK (2002) Tahun Prod Prod aktual seluruh share IHK 2002 Real cost , , ,36 0, , , ,69 0, , , ,00 0, , , ,57 0, , , ,40 0, , , ,05 0, , , ,72 0, , , ,00 0, , , ,52 0, Rata2 47, , , , Alat tangkap Jml trip Biaya/trip Biaya total alat Effort rata2 Cost/Effort per tahun per unit per tahun Jaring rajungan ,08 284,71 Rata ,08 284, ,1 Total cost of standardized effort adjusted factor 0, adjusted cost 0,

156 139 Lampiran 17 Perhitungan discount rate model Kula (1984) Tahun PDRB per kapita Share Kons per kapita t lnt lnc ,93 0, , , ,00 0, , , , ,07 0, , , , ,36 0, , , , ,39 0, , , , ,55 0, , , , ,75 0, , , , ,50 0, , , , ,32 0, , , , X Y 139

157 140 Lanjutan Lampiran 17 SUMMARY OUTPUT Regression Statistics Multiple R 0, R Square 0, Adjusted R Square -0, Standard Error 0, Observations 9 ANOVA Df SS MS F Significance F Regression 1 0, , , , Residual 7 0, , Total 8 0, Coefficients Standard Error t Stat P-value Lower 95% Upper 95% Lower 95% Upper 95% Intercept 13, , , ,3614E-13 13, , , , X Variable 1 0, , , , , , , ,

158 141 Lampiran 18 Cash flow model Schnute No Uraian A Arus masuk 1 Nilai penerimaan penerimaan dari abk nilai sisa Jumlah Arus masuk B Arus keluar 1 Investasi Biaya operasional Jumlah Arus Keluar Net Benefit DF saat I=8,46% 1, , , , , , , , , , ,44392 PV NPV ,21 Net B/C-8 2,28 141

159 142 Lampiran 19 Cash flow kondisi aktual No Uraian A Arus masuk 1 Nilai penerimaan penerimaan dari abk Nilai sisa Jumlah Arus masuk B Arus keluar 1 Investasi Biaya operasional Jumlah Arus Keluar Net Benefit DF saat I=8,46% 1, , , , , , , , , , ,44392 PV NPV ,49 Net B/C-8 3,36 142

160 143 Lampiran 20 Foto unit penangkapan jaring rajungan Alat tangkap jaring rajungan Kapal jaring rajungan Nelayan jaring rajungan

161 144 Lampiran 21 Foto rajungan Rajungan jantan (Portunus pelagicus) Rajungan betina (Portunus pelagicus)

PENILAIAN UNIT USAHA PENANGKAPAN JARING RAJUNGAN DI TELUK BANTEN RIYANTI

PENILAIAN UNIT USAHA PENANGKAPAN JARING RAJUNGAN DI TELUK BANTEN RIYANTI i PENILAIAN UNIT USAHA PENANGKAPAN JARING RAJUNGAN DI TELUK BANTEN RIYANTI SKRIPSI MAYOR TEKNOLOGI DAN MANAJEMEN PERIKANAN TANGKAP DEPARTEMEN PEMANFAATAN SUMBERDAYA PERIKANAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU

Lebih terperinci

2. TINJAUAN PUSTAKA Rajungan (Portunus pelagicus)

2. TINJAUAN PUSTAKA Rajungan (Portunus pelagicus) 4 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Rajungan (Portunus pelagicus) Menurut www.zipcodezoo.com klasifikasi dari rajungan adalah sebagai berikut: Kingdom : Animalia Filum : Arthropoda Kelas : Malacostrata Ordo : Decapoda

Lebih terperinci

VI. ANALISIS BIOEKONOMI

VI. ANALISIS BIOEKONOMI 111 VI. ANALISIS BIOEKONOMI 6.1 Sumberdaya Perikanan Pelagis 6.1.1 Produksi dan Upaya Penangkapan Data produksi yang digunakan dalam perhitungan analisis bioekonomi adalah seluruh produksi ikan yang ditangkap

Lebih terperinci

BAB III BAHAN DAN METODE

BAB III BAHAN DAN METODE BAB III BAHAN DAN METODE 3.1. Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Perairan Gebang Mekar Kabupaten Cirebon (Lampiran 1). Survey dan persiapan penelitian seperti pencarian jaring,

Lebih terperinci

Gambar 7. Peta kawasan perairan Teluk Banten dan letak fishing ground rajungan oleh nelayan Pelabuhan Perikanan Nusantara Karangantu

Gambar 7. Peta kawasan perairan Teluk Banten dan letak fishing ground rajungan oleh nelayan Pelabuhan Perikanan Nusantara Karangantu 24 3. METODE PENELITIAN 3.1. Waktu dan Lokasi Penelitian Penelitian dilaksanakan pada bulan Mei sampai dengan Juni 2012 yang meliputi: observasi lapang, wawancara, dan pengumpulan data sekuder dari Dinas

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA

BAB II KAJIAN PUSTAKA BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Bioekologi Rajungan Klasifikasi lengkap dari rajungan menurut Stephanuson dan Chambel (1959) adalah sebagai berikut : Kingdom : Animalia Filum : Arthropoda Kelas : Crustacea Ordo

Lebih terperinci

BAB III BAHAN DAN METODE

BAB III BAHAN DAN METODE BAB III BAHAN DAN METODE 3.1 Tempat dan Waktu Penelitian penangkapan rajungan dengan menggunakan jaring kejer dilakukan di perairan Gebang Kabupaten Cirebon, Jawa Barat (Lampiran 1 dan Lampiran 2). Penelitian

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Letak dan Kondisi Penelitian Kabupaten Cirebon dengan luas wilayah 990,36 km 2 merupakan bagian dari wilayah Provinsi Jawa Barat yang terletak di bagian timur dan merupakan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia memiliki keanekaragaman hayati laut yang sangat tinggi dan dapat dimanfaatkan sebagai bahan pangan dan bahan industri. Salah satu sumberdaya tersebut adalah

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. jika dibandingkan dengan panjangnya, dengan perkataan lain jumlah mesh depth

TINJAUAN PUSTAKA. jika dibandingkan dengan panjangnya, dengan perkataan lain jumlah mesh depth TINJAUAN PUSTAKA Alat Tangkap Jaring Insang (Gillnet) Gillnet adalah jaring dengan bentuk empat persegi panjang, mempunyai mata jaring yang sama ukurannya pada seluruh jaring, lebar jaring lebih pendek

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. mata jaring ke arah panjang atau ke arah horizontal (mesh length) jauh lebih

TINJAUAN PUSTAKA. mata jaring ke arah panjang atau ke arah horizontal (mesh length) jauh lebih TINJAUAN PUSTAKA Alat Tangkap Jaring Insang (Gill net) Jaring insang (gill net) yang umum berlaku di Indonesia adalah salah satu jenis alat penangkapan ikan dari bahan jaring yang bentuknya empat persegi

Lebih terperinci

SAMBUTAN. Jakarta, Nopember 2011. Kepala Pusat Penyuluhan Kelautan dan Perikanan

SAMBUTAN. Jakarta, Nopember 2011. Kepala Pusat Penyuluhan Kelautan dan Perikanan SAMBUTAN Puji dan syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena berkat rahmat dan hidayahnya serta kerja keras penyusun telah berhasil menyusun Materi Penyuluhan yang akan digunakan bagi

Lebih terperinci

3. METODE PENELITIAN

3. METODE PENELITIAN 6 0'0"S 6 0'0"S 6 0'0"S 5 55'0"S 5 50'0"S 28 3. METODE PENELITIAN 3.1. Waktu dan Lokasi Penelitian Penelitian dilakukan pada Maret 2011. Penelitian dilakukan di Pelabuhan Perikanan Nusantara Karangantu

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA

II. TINJAUAN PUSTAKA 8 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Klasifikasi Rajungan Sistematika rajungan (Stephenson dan Chambell, 1959) adalah sebagai berikut : Kingdom : Animalia Sub Kingdom : Eumetazoa Grade : Bilateria Divisi : Eucoelomata

Lebih terperinci

1.PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

1.PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang 1.PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Wilayah laut Indonesia terdiri dari perairan teritorial seluas 0,3 juta km 2, perairan laut Nusantara seluas 2,8 juta km 2 dan perairan Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) seluas

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 31 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Hasil 4.1.1. Kondisi Umum Perairan Teluk Banten Letak geografis Teluk Banten berada dalam koordinat 05 o 49 45-06 o 02 00 LS dan 106 o 03 20-106 o 16 00 BT. Teluk Banten

Lebih terperinci

MODEL BIONOMI PEMANFAATAN SUMBERDAYA IKAN BAWAL PUTIH DI PERAIRAN PANGANDARAN JAWA BARAT

MODEL BIONOMI PEMANFAATAN SUMBERDAYA IKAN BAWAL PUTIH DI PERAIRAN PANGANDARAN JAWA BARAT MODEL BIONOMI PEMANFAATAN SUMBERDAYA IKAN BAWAL PUTIH DI PERAIRAN PANGANDARAN JAWA BARAT JEANNY FRANSISCA SIMBOLON SKRIPSI PROGRAM STUDI PEMANFAATAN SUMBERDAYA PERIKANAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Pemetaan Partisipatif Daerah Penangkapan Ikan kurisi dapat ditangkap dengan menggunakan alat tangkap cantrang dan jaring rampus. Kapal dengan alat tangkap cantrang memiliki

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. : Kabupaten Brebes Propinsi Jawa Tengah

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. : Kabupaten Brebes Propinsi Jawa Tengah BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Keadaan Umum Gebang Mekar Kabupaten Cirebon merupakan salah satu kabupaten di Propinsi Jawa Barat yang terletak pada garis lintang 06o30 LS 07o00 LS dan garis bujur 108o40 BT.

Lebih terperinci

ABSTRACT. Key word : bio-economic analysis, lemuru resources, bali strait, purse seine, resource rent tax, user fee

ABSTRACT. Key word : bio-economic analysis, lemuru resources, bali strait, purse seine, resource rent tax, user fee ABSTRACT ANDAN HAMDANI. Analysis of Management and Assessment User Fee on Utilization of Lemuru Resources In Bali Strait. Under direction of MOCH PRIHATNA SOBARI and WAWAN OKTARIZA Lemuru resources in

Lebih terperinci

METODE PENELITIAN STOCK. Analisis Bio-ekonomi Model Gordon Schaefer

METODE PENELITIAN STOCK. Analisis Bio-ekonomi Model Gordon Schaefer METODE PENELITIAN 108 Kerangka Pemikiran Agar pengelolaan sumber daya udang jerbung bisa dikelola secara berkelanjutan, dalam penelitian ini dilakukan beberapa langkah perhitungan untuk mengetahui: 1.

Lebih terperinci

BAB II DESKRIPSI (OBJEK PENELITIAN)

BAB II DESKRIPSI (OBJEK PENELITIAN) BAB II DESKRIPSI (OBJEK PENELITIAN) 2.1 Potensi dan Usaha Perikanan di Indonesia 2.1.1 Perikanan dan Potensi Indonesia Berdasarkan UU. No 31 tahun 2004. Perikanan adalah semua kegiatan yang berhubungan

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. dimana pada daerah ini terjadi pergerakan massa air ke atas

TINJAUAN PUSTAKA. dimana pada daerah ini terjadi pergerakan massa air ke atas TINJAUAN PUSTAKA Tinjauan Pustaka Wilayah laut Indonesia kaya akan ikan, lagi pula sebagian besar merupakan dangkalan. Daerah dangkalan merupakan daerah yang kaya akan ikan sebab di daerah dangkalan sinar

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 25 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Hasil 4.1.1. Kondisi umum perairan Teluk Banten Perairan Karangantu berada di sekitar Teluk Banten yang secara geografis terletak pada 5 0 49 45 LS sampai dengan 6 0 02

Lebih terperinci

2 TINJAUAN PUSTAKA. Gambar 2 Ikan kuniran (Upeneus moluccensis).

2 TINJAUAN PUSTAKA. Gambar 2 Ikan kuniran (Upeneus moluccensis). 5 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Ikan Kuniran 2.1.1 Klasifikasi Ikan Kuniran Upeneus moluccensis, Bleeker 1855 Dalam kaitan dengan keperluan pengkajian stok sumberdaya ikan, kemampuan untuk mengidentifikasi spesies

Lebih terperinci

Gambar 6 Sebaran daerah penangkapan ikan kuniran secara partisipatif.

Gambar 6 Sebaran daerah penangkapan ikan kuniran secara partisipatif. 4 HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Wilayah Sebaran Penangkapan Nelayan Labuan termasuk nelayan kecil yang masih melakukan penangkapan ikan khususnya ikan kuniran dengan cara tradisional dan sangat tergantung pada

Lebih terperinci

spesies yaitu ikan kembung lelaki atau banyar (Rastrelliger kanagurta) dan kembung perempuan (Rastrelliger brachysoma)(sujastani 1974).

spesies yaitu ikan kembung lelaki atau banyar (Rastrelliger kanagurta) dan kembung perempuan (Rastrelliger brachysoma)(sujastani 1974). 7 spesies yaitu ikan kembung lelaki atau banyar (Rastrelliger kanagurta) dan kembung perempuan (Rastrelliger brachysoma)(sujastani 1974). Ikan kembung lelaki terdiri atas ikan-ikan jantan dan betina, dengan

Lebih terperinci

3. METODE PENELITIAN

3. METODE PENELITIAN 3. METODE PENELITIAN 3.1. Lokasi dan Waktu Penelitian mengenai dinamika stok ikan peperek (Leiognathus spp.) dilaksanakan di Pelabuhan Perikanan Nusantara (PPN) Palabuhanratu, Kabupaten Sukabumi, Provinsi

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Indonesia memiliki sumber daya hutan bakau yang membentang luas di

I. PENDAHULUAN. Indonesia memiliki sumber daya hutan bakau yang membentang luas di I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia memiliki sumber daya hutan bakau yang membentang luas di seluruh kawasan Nusantara. Salah satu komoditas perikanan yang hidup di perairan pantai khususnya di

Lebih terperinci

SINERGISITAS PERIKANAN TANGKAP DENGAN PARIWISATA BAHARI DI PALABUHANRATU, KABUPATEN SUKABUMI, JAWA BARAT ADI GUMBARA PUTRA

SINERGISITAS PERIKANAN TANGKAP DENGAN PARIWISATA BAHARI DI PALABUHANRATU, KABUPATEN SUKABUMI, JAWA BARAT ADI GUMBARA PUTRA SINERGISITAS PERIKANAN TANGKAP DENGAN PARIWISATA BAHARI DI PALABUHANRATU, KABUPATEN SUKABUMI, JAWA BARAT ADI GUMBARA PUTRA MAYOR TEKNOLOGI DAN MANAJEMEN PERIKANAN TANGKAP DEPARTEMEN PEMANFAATAN SUMBERDAYA

Lebih terperinci

Jl. Raya Jakarta Serang Km. 04 Pakupatan, Serang, Banten * ) Korespondensi: ABSTRAK

Jl. Raya Jakarta Serang Km. 04 Pakupatan, Serang, Banten * ) Korespondensi: ABSTRAK Jurnal Perikanan dan Kelautan p ISSN 289 3469 Volume 6 Nomor 2. Desember 216 e ISSN 254 9484 Halaman : 95 13 Efektifitas Celah Pelolosan Pada Bubu Lipat Terhadap Hasil Tangkapan Rajungan di Teluk Banten

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Palabuhanratu merupakan salah satu daerah yang memiliki potensi sumberdaya perikanan laut yang cukup tinggi di Jawa Barat (Oktariza et al. 1996). Lokasi Palabuhanratu

Lebih terperinci

5 HASIL DAN PEMBAHASAN

5 HASIL DAN PEMBAHASAN 5 HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Aktivitas Penangkapan Ikan Lemuru 5.1.1 Alat tangkap Purse seine merupakan alat tangkap utama yang digunakan oleh nelayan di sekitar Selat Bali dalam menangkap ikan lemuru. Purse

Lebih terperinci

Lampiran 2. Surat Keterangan Telah Melaksanakan Penelitian

Lampiran 2. Surat Keterangan Telah Melaksanakan Penelitian Lampiran 1. Ilustrasi Peta Lokasi Penelitian 42 Lampiran 2. Surat Keterangan Telah Melaksanakan Penelitian Lampiran 3. Alat yang Digunakan GPS (Global Positioning System) Refraktometer Timbangan Digital

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. Sumberdaya tersebut diolah dan digunakan sepuasnya. Tidak satupun pihak yang

PENDAHULUAN. Sumberdaya tersebut diolah dan digunakan sepuasnya. Tidak satupun pihak yang 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Sumberdaya perikanan laut memiliki sifat spesifik, yakni akses terbuka (open access). Sumberdaya perikanan juga bersifat kepemilikan bersama (common property). Semua individu

Lebih terperinci

MODEL PRODUKSI SURPLUS UNTUK PENGELOLAAN SUMBERDAYA RAJUNGAN (Portunus pelagicus) DI TELUK BANTEN, KABUPATEN SERANG, PROVINSI BANTEN

MODEL PRODUKSI SURPLUS UNTUK PENGELOLAAN SUMBERDAYA RAJUNGAN (Portunus pelagicus) DI TELUK BANTEN, KABUPATEN SERANG, PROVINSI BANTEN i MODEL PRODUKSI SURPLUS UNTUK PENGELOLAAN SUMBERDAYA RAJUNGAN (Portunus pelagicus) DI TELUK BANTEN, KABUPATEN SERANG, PROVINSI BANTEN NURALIM PASISINGI SKRIPSI DEPARTEMEN MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN

Lebih terperinci

PERBANDINGAN HASIL TANGKAPAN RAJUNGAN DENGAN MENGGUNAKAN DUA KONSTRUKSI BUBU LIPAT YANG BERBEDA DI KABUPATEN TANGERANG

PERBANDINGAN HASIL TANGKAPAN RAJUNGAN DENGAN MENGGUNAKAN DUA KONSTRUKSI BUBU LIPAT YANG BERBEDA DI KABUPATEN TANGERANG PERBANDINGAN HASIL TANGKAPAN RAJUNGAN DENGAN MENGGUNAKAN DUA KONSTRUKSI BUBU LIPAT YANG BERBEDA DI KABUPATEN TANGERANG Oleh: DONNA NP BUTARBUTAR C05400027 PROGRAM STUDI PEMANFAATAN SUMBERDAYA PERIKANAN

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Ekosistem terumbu karang mempunyai produktivitas organik yang tinggi. Hal ini menyebabkan terumbu karang memilki spesies yang amat beragam. Terumbu karang menempati areal

Lebih terperinci

6 PEMBAHASAN 6.1 Unit Penangkapan Bagan Perahu 6.2 Analisis Faktor Teknis Produksi

6 PEMBAHASAN 6.1 Unit Penangkapan Bagan Perahu 6.2 Analisis Faktor Teknis Produksi 93 6 PEMBAHASAN 6.1 Unit Penangkapan Bagan Perahu Unit penangkapan bagan yang dioperasikan nelayan di Polewali, Kabupaten Polewali Mandar berukuran panjang lebar tinggi adalah 21 2,10 1,8 m, jika dibandingkan

Lebih terperinci

RIKA PUJIYANI SKRIPSI

RIKA PUJIYANI SKRIPSI KONDISI PERIKANANN TANGKAP DI PELABUHAN PERIKANAN PANTAI LEMPASING, BANDAR LAMPUNG RIKA PUJIYANI SKRIPSI DEPARTEMEN PEMANFAATAN SUMBERDAYA PERIKANAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN INSTITUT PERTANIAN

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN. Tabel 1. Volume dan nilai produksi ikan lemuru Indonesia, tahun Tahun

1. PENDAHULUAN. Tabel 1. Volume dan nilai produksi ikan lemuru Indonesia, tahun Tahun 1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Ikan lemuru merupakan salah satu komoditas perikanan yang cukup penting. Berdasarkan data statistik perikanan Indonesia tercatat bahwa volume tangkapan produksi ikan lemuru

Lebih terperinci

3.2.1 Spesifikasi alat tangkap Bagian-bagian dari alat tangkap yaitu: 1) Tali ris atas, tali pelampung, tali selambar

3.2.1 Spesifikasi alat tangkap Bagian-bagian dari alat tangkap yaitu: 1) Tali ris atas, tali pelampung, tali selambar 21 3METODOLOGI 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian dilakukan pada tanggal 15 September 11 Desember 2010 ini bertempat di TPI Palabuhanratu. Sukabumi Jawa Barat. Kegiatan penelitian meliputi eksperimen langsung

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Keadaan Lokasi Penelitian Cirebon merupakan daerah yang terletak di tepi pantai utara Jawa Barat tepatnya diperbatasan antara Jawa Barat dan Jawa Tengah. Lokasi penelitian

Lebih terperinci

4 KERAGAAN PERIKANAN DAN STOK SUMBER DAYA IKAN

4 KERAGAAN PERIKANAN DAN STOK SUMBER DAYA IKAN 4 KERAGAAN PERIKANAN DAN STOK SUMBER DAYA IKAN 4.1 Kondisi Alat Tangkap dan Armada Penangkapan Ikan merupakan komoditas penting bagi sebagian besar penduduk Asia, termasuk Indonesia karena alasan budaya

Lebih terperinci

VII. POTENSI LESTARI SUMBERDAYA PERIKANAN TANGKAP. Fokus utama estimasi potensi sumberdaya perikanan tangkap di perairan

VII. POTENSI LESTARI SUMBERDAYA PERIKANAN TANGKAP. Fokus utama estimasi potensi sumberdaya perikanan tangkap di perairan VII. POTENSI LESTARI SUMBERDAYA PERIKANAN TANGKAP Fokus utama estimasi potensi sumberdaya perikanan tangkap di perairan Kabupaten Morowali didasarkan atas kelompok ikan Pelagis Kecil, Pelagis Besar, Demersal

Lebih terperinci

(Jaring Insang) Riza Rahman Hakim, S.Pi

(Jaring Insang) Riza Rahman Hakim, S.Pi GILL NET (Jaring Insang) Riza Rahman Hakim, S.Pi Pendahuluan Gill net (jaring insang) adalah jaring yang berbentuk empat persegi panjang yang dilengkapi dengan pemberat pada tali ris bawahnya dan pelampung

Lebih terperinci

2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pelabuhan Perikanan Nusantara 2.2 Kegiatan Operasional di Pelabuhan Perikanan

2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pelabuhan Perikanan Nusantara 2.2 Kegiatan Operasional di Pelabuhan Perikanan 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pelabuhan Perikanan Nusantara Pelabuhan Perikanan Nusantara (PPN) merupakan pelabuhan perikanan tipe B atau kelas II. Pelabuhan ini dirancang untuk melayani kapal perikanan yang

Lebih terperinci

5.5 Status dan Tingkat Keseimbangan Upaya Penangkapan Udang

5.5 Status dan Tingkat Keseimbangan Upaya Penangkapan Udang 5.5 Status dan Tingkat Keseimbangan Upaya Penangkapan Udang Pemanfaatan sumberdaya perikanan secara lestari perlu dilakukan, guna sustainability spesies tertentu, stok yang ada harus lestari walaupun rekrutmen

Lebih terperinci

Bentuk baku konstruksi jaring tiga lapis (trammel net ) induk udang

Bentuk baku konstruksi jaring tiga lapis (trammel net ) induk udang Standar Nasional Indonesia Bentuk baku konstruksi tiga lapis (trammel net ) induk udang ICS 65.150 Badan Standardisasi Nasional Daftar isi Daftar isi... Error! Bookmark not defined. Prakata...ii Pendahuluan...

Lebih terperinci

PENGARUH KECEPATAN ARUS TERHADAP DINAMIKA JARING KEJER PADA PERCOBAAN DI FLUME TANK

PENGARUH KECEPATAN ARUS TERHADAP DINAMIKA JARING KEJER PADA PERCOBAAN DI FLUME TANK PENGARUH KECEPATAN ARUS TERHADAP DINAMIKA JARING KEJER PADA PERCOBAAN DI FLUME TANK SINGGIH PRIHADI AJI SKRIPSI DEPARTEMEN PEMANFAATAN SUMBERDAYA PERIKANAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN INSTITUT

Lebih terperinci

C E =... 8 FPI =... 9 P

C E =... 8 FPI =... 9 P 3 METODE PENELITIAN 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini dilakukan selama 6 (enam) bulan yang meliputi studi literatur, pembuatan proposal, pengumpulan data dan penyusunan laporan. Penelitian

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Potensi perikanan laut meliputi perikanan tangkap, budidaya laut dan

I. PENDAHULUAN. Potensi perikanan laut meliputi perikanan tangkap, budidaya laut dan I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Potensi perikanan laut meliputi perikanan tangkap, budidaya laut dan industri bioteknologi kelautan merupakan asset yang sangat besar bagi pertumbuhan ekonomi Indonesia,

Lebih terperinci

Bentuk baku konstruksi jaring tiga lapis (trammel net)

Bentuk baku konstruksi jaring tiga lapis (trammel net) Standar Nasional Indonesia Bentuk baku konstruksi jaring tiga lapis (trammel net) ICS 65.150 Badan Standardisasi Nasional Daftar isi Daftar isi...i Prakata...ii Pendahuluan... iii 1 Ruang lingkup... 1

Lebih terperinci

4 HASIL PENELITIAN. 4.1 Statistik Produksi Ikan dan Telur Ikan Terbang Produksi tahunan ikan dan telur ikan terbang

4 HASIL PENELITIAN. 4.1 Statistik Produksi Ikan dan Telur Ikan Terbang Produksi tahunan ikan dan telur ikan terbang 4 HASIL PENELITIAN 4.1 Statistik Produksi Ikan dan Telur Ikan Terbang 4.1.1 Produksi tahunan ikan dan telur ikan terbang Produksi ikan terbang (IT) di daerah ini dihasilkan dari beberapa kabupaten yang

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Ekosistem mangrove merupakan ekosistem pesisir yang terdapat di sepanjang pantai tropis dan sub tropis atau muara sungai. Ekosistem ini didominasi oleh berbagai jenis

Lebih terperinci

ANALISIS BIOEKONOMI RAJUNGAN (Portunus pelagicus) MENGGUNAKAN PENDEKATAN SWEPT AREA DAN GORDON-SCHAEFER DI PERAIRAN DEMAK

ANALISIS BIOEKONOMI RAJUNGAN (Portunus pelagicus) MENGGUNAKAN PENDEKATAN SWEPT AREA DAN GORDON-SCHAEFER DI PERAIRAN DEMAK C 07 ANALISIS BIOEKONOMI RAJUNGAN (Portunus pelagicus) MENGGUNAKAN PENDEKATAN SWEPT AREA DAN GORDON-SCHAEFER DI PERAIRAN DEMAK Ika Istikasari, Abdul Kohar Mudzakir*), dan Dian Wijayanto Program Studi Pemanfaatan

Lebih terperinci

BAB III BAHAN DAN METODE

BAB III BAHAN DAN METODE BAB III BAHAN DAN METODE 3.1 Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian penangkapan ikan dengan menggunakan jaring arad yang telah dilakukan di perairan pantai Cirebon, daerah Kecamatan Gebang, Jawa Barat

Lebih terperinci

Jurnal Ilmu Perikanan Tropis Vol. 18. No. 2, April 2013 ISSN

Jurnal Ilmu Perikanan Tropis Vol. 18. No. 2, April 2013 ISSN ANALISIS BIOEKONOMI PEMANFAATAN SUMBERDAYA IKAN KAKAP DI KABUPATEN KUTAI TIMUR (Bio-economic Analysis of Blood Snaper Resources Utilization in Kutai Timur Regency) ERWAN SULISTIANTO Jurusan Sosial Ekonomi

Lebih terperinci

3. METODE PENELITIAN

3. METODE PENELITIAN 14 3. METODE PENELITIAN 3.1. Waktu dan Tempat Penelitian ini dilakukan pada bulan Oktober 2011 sampai bulan Februari 2012 dengan interval waktu pengambilan sampel 1 bulan. Penelitian dilakukan di Pelabuhan

Lebih terperinci

PENGELOLAAN SUMBERDAYA KAKAP MERAH (Lutjanus malabaricus) YANG DIDARATKAN DI PELABUHAN PERIKANAN PANTAI BAJOMULYO KABUPATEN PATI JAWA TENGAH

PENGELOLAAN SUMBERDAYA KAKAP MERAH (Lutjanus malabaricus) YANG DIDARATKAN DI PELABUHAN PERIKANAN PANTAI BAJOMULYO KABUPATEN PATI JAWA TENGAH PENGELOLAAN SUMBERDAYA KAKAP MERAH (Lutjanus malabaricus) YANG DIDARATKAN DI PELABUHAN PERIKANAN PANTAI BAJOMULYO KABUPATEN PATI JAWA TENGAH NUR ISNAINI RAHMAWATI DEPARTEMEN PEMANFAATAN SUMBERDAYA PERIKANAN

Lebih terperinci

3 HASIL DAN PEMBAHASAN

3 HASIL DAN PEMBAHASAN 9 dan MSY adalah: Keterangan : a : Perpotongan (intersept) b : Kemiringan (slope) e : Exponen Ct : Jumlah tangkapan Ft : Upaya tangkap (26) Model yang akan digunakan adalah model yang memiliki nilai korelasi

Lebih terperinci

5 PEMBAHASAN 5.1 Komposisi Hasil Tangkapan

5 PEMBAHASAN 5.1 Komposisi Hasil Tangkapan 5 PEMBAHASAN 5.1 Komposisi Hasil Tangkapan Hasil tangkapan yang diperoleh selama penelitian menunjukan bahwa sumberdaya ikan di perairan Tanjung Kerawang cukup beragam baik jenis maupun ukuran ikan yang

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. Common property & open acces. Ekonomis & Ekologis Penting. Dieksploitasi tanpa batas

PENDAHULUAN. Common property & open acces. Ekonomis & Ekologis Penting. Dieksploitasi tanpa batas 30 mm 60 mm PENDAHULUAN Ekonomis & Ekologis Penting R. kanagurta (kembung lelaki) ~ Genus Rastrelliger spp. produksi tertinggi di Provinsi Banten, 4.856,7 ton pada tahun 2013, menurun 2.5% dari tahun 2010-2013

Lebih terperinci

OPTIMASI PENYEDIAAN BAHAN BAKAR SOLAR UNTUK UNIT PENANGKAPAN IKAN DI PPP SUNGAILIAT, BANGKA

OPTIMASI PENYEDIAAN BAHAN BAKAR SOLAR UNTUK UNIT PENANGKAPAN IKAN DI PPP SUNGAILIAT, BANGKA OPTIMASI PENYEDIAAN BAHAN BAKAR SOLAR UNTUK UNIT PENANGKAPAN IKAN DI PPP SUNGAILIAT, BANGKA DODY SIHONO SKRIPSI DEPARTEMEN PEMANFAATAN SUMBERDAYA PERIKANAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN INSTITUT

Lebih terperinci

5 HASIL PENELITIAN. Tahun. Gambar 8. Perkembangan jumlah alat tangkap purse seine di kota Sibolga tahun

5 HASIL PENELITIAN. Tahun. Gambar 8. Perkembangan jumlah alat tangkap purse seine di kota Sibolga tahun 37 5 HASIL PENELITIAN 5.1 Aspek Teknis Perikanan Purse seine Aspek teknis merupakan aspek yang menjelaskan kegiatan-kegiatan yang berhubungan dengan usaha penangkapan ikan, yaitu upaya penangkapan, alat

Lebih terperinci

Moch. Prihatna Sobari 2, Diniah 2, dan Danang Indro Widiarso 2 PENDAHULUAN

Moch. Prihatna Sobari 2, Diniah 2, dan Danang Indro Widiarso 2 PENDAHULUAN ANALISIS MAXIMUM SUSTAINABLE YIELD DAN MAXIMUM ECONOMIC YIELD MENGGUNAKAN BIO-EKONOMIK MODEL STATIS GORDON-SCHAEFER DARI PENANGKAPAN SPINY LOBSTER DI WONOGIRI 1 (Analysis of Maximum Sustainable Yield and

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Laut dan sumberdaya alam yang dikandungnya dipahami secara luas sebagai suatu sistem yang memberikan nilai guna bagi kehidupan manusia. Sebagai sumber kehidupan, potensi

Lebih terperinci

OPTIMASI UPAYA PENANGKAPAN UDANG DI PERAIRAN DELTA MAHAKAM DAN SEKITARNYA JULIANI

OPTIMASI UPAYA PENANGKAPAN UDANG DI PERAIRAN DELTA MAHAKAM DAN SEKITARNYA JULIANI OPTIMASI UPAYA PENANGKAPAN UDANG DI PERAIRAN DELTA MAHAKAM DAN SEKITARNYA JULIANI SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2005 DAFTAR ISI DAFTAR TABEL... Halaman xii DAFTAR GAMBAR... DAFTAR

Lebih terperinci

Gambar 6 Peta lokasi penelitian.

Gambar 6 Peta lokasi penelitian. 3 METODE PENELITIAN 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian ini dilaksanakan selama enam bulan dimulai dengan penyusunan proposal dan penelusuran literatur mengenai objek penelitian cantrang di Pulau Jawa dari

Lebih terperinci

TUGAS: RINGKASAN EKSEKUTIF Nama: Yuniar Ardianti

TUGAS: RINGKASAN EKSEKUTIF Nama: Yuniar Ardianti TUGAS: RINGKASAN EKSEKUTIF Nama: Yuniar Ardianti Sebuah lagu berjudul Nenek moyangku seorang pelaut membuat saya teringat akan kekayaan laut Indonesia. Tapi beberapa waktu lalu, beberapa nelayan Kepulauan

Lebih terperinci

ORDO DECAPODA. Kelompok Macrura : Bangsa udang & lobster

ORDO DECAPODA. Kelompok Macrura : Bangsa udang & lobster ORDO DECAPODA Kelompok Macrura : Bangsa udang & lobster Kelompok Macrura Bangsa Udang dan Lobster Bentuk tubuh memanjang Terdiri kepala-dada (cephalothorax) dan abdomen (yang disebut ekor) Kaki beruas

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang.

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang. 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang. Kajian tentang konsep kapasitas penangkapan ikan berikut metoda pengukurannya sudah menjadi isu penting pada upaya pengelolaan perikanan yang berkelanjutan. The Code of

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Distribusi Cumi-Cumi Sirip Besar 4.1.1. Distribusi spasial Distribusi spasial cumi-cumi sirip besar di perairan Karang Congkak, Karang Lebar, dan Semak Daun yang tertangkap

Lebih terperinci

3. METODOLOGI 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian 3.2 Peralatan 3.3 Metode Penelitian

3. METODOLOGI 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian 3.2 Peralatan 3.3 Metode Penelitian 21 3. METODOLOGI 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian Pengambilan dan pengumpulan data di lapangan dilakukan pada Bulan Maret sampai dengan April 2009. Penelitian dilakukan di Pulau Pramuka, Kepulauan Seribu,

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Kepiting bakau (Scylla serrata) dapat dijumpai hampir di seluruh perairan pantai. Kepiting

I. PENDAHULUAN. Kepiting bakau (Scylla serrata) dapat dijumpai hampir di seluruh perairan pantai. Kepiting I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kepiting bakau (Scylla serrata) dapat dijumpai hampir di seluruh perairan pantai. Kepiting hidup di daerah muara sungai dan rawa pasang surut yang banyak ditumbuhi vegetasi

Lebih terperinci

3. BAHAN DAN METODE. Gambar 6. Peta Lokasi Penelitian (Dinas Hidro-Oseanografi 2004)

3. BAHAN DAN METODE. Gambar 6. Peta Lokasi Penelitian (Dinas Hidro-Oseanografi 2004) 24 3. BAHAN DAN METODE 3.1. Waktu dan Lokasi Penelitian Penelitian ini mengikuti penelitian bagian Manajemen Sumberdaya Perikanan (MSPi) dan dilaksanakan selama periode bulan Maret 2011 hingga Oktober

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. besar maupun sedikit. Di perairan Indo-Pasifik terdapat 3 spesies ikan Kembung

TINJAUAN PUSTAKA. besar maupun sedikit. Di perairan Indo-Pasifik terdapat 3 spesies ikan Kembung TINJAUAN PUSTAKA Ikan Kembung (Rastrelliger spp.) Ikan Kembung merupakan salah satu ikan pelagis yang sangat potensial di Indonesia dan hampir seluruh perairan Indonesia ikan ini tertangkap dalam jumlah

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Menurut martasuganda (2004), jaring insang (gillnet) adalah satu dari jenis

TINJAUAN PUSTAKA. Menurut martasuganda (2004), jaring insang (gillnet) adalah satu dari jenis TINJAUAN PUSTAKA Unit Penangkapan Ikan Jaring insang Menurut martasuganda (2004), jaring insang (gillnet) adalah satu dari jenis alat penangkap ikan dari bahan jaring yang dibentuk menjadi empat persegi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kepulauan Seribu merupakan kabupaten administratif yang terletak di sebelah utara Provinsi DKI Jakarta, memiliki luas daratan mencapai 897,71 Ha dan luas perairan mencapai

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Udang adalah hewan kecil tak bertulang belakang (invertebrata) yang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Udang adalah hewan kecil tak bertulang belakang (invertebrata) yang BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Ekologi Udang Udang adalah hewan kecil tak bertulang belakang (invertebrata) yang tempat hidupnya adalah di perairan air tawar, air payau dan air asin. Jenis udang sendiri

Lebih terperinci

PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Terumbu karang dan asosiasi biota penghuninya secara biologi, sosial ekonomi, keilmuan dan keindahan, nilainya telah diakui secara luas (Smith 1978; Salm & Kenchington

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 22 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Kondisi Umum PPP Labuan, Banten Wilayah Kabupaten Pandeglang secara geografis terletak antara 6 0 21-7 0 10 Lintang Selatan dan 104 0 48-106 0 11 Bujur Barat dengan luas

Lebih terperinci

PENGARUH JENIS ALAT TANGKAP TERHADAP TINGKAT KESEJAHTERAAN NELAYAN DI KELURAHAN TEGALSARI DAN MUARAREJA, TEGAL, JAWA TENGAH DINA MAHARDIKHA SKRIPSI

PENGARUH JENIS ALAT TANGKAP TERHADAP TINGKAT KESEJAHTERAAN NELAYAN DI KELURAHAN TEGALSARI DAN MUARAREJA, TEGAL, JAWA TENGAH DINA MAHARDIKHA SKRIPSI PENGARUH JENIS ALAT TANGKAP TERHADAP TINGKAT KESEJAHTERAAN NELAYAN DI KELURAHAN TEGALSARI DAN MUARAREJA, TEGAL, JAWA TENGAH DINA MAHARDIKHA SKRIPSI DEPARTEMEN PEMANFAATAN SUMBERDAYA PERIKANAN FAKULTAS

Lebih terperinci

7 PEMBAHASAN 7.1 Pemilihan Teknologi Perikanan Pelagis di Kabupaten Banyuasin Analisis aspek biologi

7 PEMBAHASAN 7.1 Pemilihan Teknologi Perikanan Pelagis di Kabupaten Banyuasin Analisis aspek biologi 7 PEMBAHASAN 7.1 Pemilihan Teknologi Perikanan Pelagis di Kabupaten Banyuasin Teknologi penangkapan ikan pelagis yang digunakan oleh nelayan Sungsang saat ini adalah jaring insang hanyut, rawai hanyut

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kepiting bakau (Scylla spp.) tergolong dalam famili Portunidae dari suku Brachyura. Kepiting bakau hidup di hampir seluruh perairan pantai terutama pada pantai yang ditumbuhi

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Kepiting bakau (Scylla serrata) merupakan salah satu komoditas perikanan

I. PENDAHULUAN. Kepiting bakau (Scylla serrata) merupakan salah satu komoditas perikanan 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kepiting bakau (Scylla serrata) merupakan salah satu komoditas perikanan pada habitat perairan pantai, khususnya di daerah hutan bakau (mangrove). Kawasan hutan mangrove

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kegiatan penangkapan ikan merupakan aktivitas yang dilakukan untuk mendapatkan sejumlah hasil tangkapan, yaitu berbagai jenis ikan untuk memenuhi permintaan sebagai sumber

Lebih terperinci

Lampiran 1. Desain dan spesifikasi alat tangkap gillnet dan trammel net. Gillnet

Lampiran 1. Desain dan spesifikasi alat tangkap gillnet dan trammel net. Gillnet Lampiran 1. Desain dan spesifikasi alat tangkap gillnet dan trammel net Gillnet Keterangan: 1. Tali pelampung 2. Pelampung 3. Tali ris atas 4. Badan jarring 5. Tali ris bawah 6. Tali pemberat 7. Pemberat

Lebih terperinci

Sistem Perikanan Tangkap Ramah Lingkungan sebagai Upaya Menjaga Kelestarian Perikanan di Cilacap

Sistem Perikanan Tangkap Ramah Lingkungan sebagai Upaya Menjaga Kelestarian Perikanan di Cilacap Sistem Perikanan Tangkap Ramah Lingkungan sebagai Upaya Menjaga Kelestarian Perikanan di Cilacap Kabupaten Cilacap sebagai kabupaten terluas di Provinsi Jawa Tengah serta memiliki wilayah geografis berupa

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Hasil 4.1. 1.Kondisi umum Perairan Utara Jawa Perairan Utara Jawa dulu merupakan salah satu wilayah perikanan yang produktif dan memilki populasi penduduk yang padat. Panjang

Lebih terperinci

3 METODE PENELITIAN. Gambar 4 Peta lokasi penelitian.

3 METODE PENELITIAN. Gambar 4 Peta lokasi penelitian. 14 3 METODE PENELITIAN 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian ini dilakukan di PPI Labuan, Provinsi Banten. Ikan contoh yang diperoleh dari PPI Labuan merupakan hasil tangkapan nelayan disekitar perairan Selat

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 31 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Hasil 4.1.1. Kondisi umum PPP Labuan PPP Labuan secara administratif terletak di Desa Teluk, Kecamatan Labuan, Kabupaten Pandeglang. PPP Labuan memiliki batas administratif,

Lebih terperinci

PENGGUNAAN CELAH PELOLOSAN PADA BUBU TAMBUN TERHADAP HASIL TANGKAPAN KERAPU KOKO DI PULAU PANGGANG, KEPULAUAN SERIBU DIDIN KOMARUDIN

PENGGUNAAN CELAH PELOLOSAN PADA BUBU TAMBUN TERHADAP HASIL TANGKAPAN KERAPU KOKO DI PULAU PANGGANG, KEPULAUAN SERIBU DIDIN KOMARUDIN PENGGUNAAN CELAH PELOLOSAN PADA BUBU TAMBUN TERHADAP HASIL TANGKAPAN KERAPU KOKO DI PULAU PANGGANG, KEPULAUAN SERIBU DIDIN KOMARUDIN MAYOR TEKNOLOGI DAN MANAJEMEN PERIKANAN TANGKAP DEPARTEMEN PEMANFAATAN

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. Sumberdaya ikan merupakan salah satu jenis sumberdaya alam yang

PENDAHULUAN. Sumberdaya ikan merupakan salah satu jenis sumberdaya alam yang PENDAHULUAN Latar Belakang Sumberdaya ikan merupakan salah satu jenis sumberdaya alam yang bersifat terbarukan (renewable). Disamping itu sifat open access atau common property yang artinya pemanfaatan

Lebih terperinci

5 POTENSI DAN TINGKAT PEMANFAATAN SUMBER DAYA PERIKANAN DEMERSAL

5 POTENSI DAN TINGKAT PEMANFAATAN SUMBER DAYA PERIKANAN DEMERSAL 5 POTENSI DAN TINGKAT PEMANFAATAN SUMBER DAYA PERIKANAN DEMERSAL 5.1 Pendahuluan Pemanfaatan yang lestari adalah pemanfaatan sumberdaya perikanan pada kondisi yang berimbang, yaitu tingkat pemanfaatannya

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Perikanan sebagai salah satu sektor unggulan dalam pembangunan nasional mempunyai peranan penting dalam mendorong pertumbuhan ekonomi di masa mendatang, serta mempunyai

Lebih terperinci

5 HASIL DAN PEMBAHASAN

5 HASIL DAN PEMBAHASAN 33 5 HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Hasil 5.1.1 Unit penangkapan ikan 1) Kapal Kapal yang digunakan merupakan sarana untuk mengangkut nelayan beserta alat tangkap ke daerah penangkapan ikan. Kapal yang biasa

Lebih terperinci

STATUS PERIKANAN LOBSTER (Panulirus spp.) DI PERAIRAN KABUPATEN CILACAP

STATUS PERIKANAN LOBSTER (Panulirus spp.) DI PERAIRAN KABUPATEN CILACAP 52 STATUS PERIKANAN LOBSTER (Panulirus spp.) DI PERAIRAN KABUPATEN CILACAP Arif Mahdiana dan Laurensia SP. Jurusan Perikanan dan Kelautan, Fakultas Sains dan Teknik Unsoed Email : arifmahdiana@gmail.com

Lebih terperinci

KARYA ILMIAH BISNIS DAN BUDIDAYA KEPITING SOKA. Di susun oleh : NAMA :FANNY PRASTIKA A. NIM : KELAS : S1-SI-09

KARYA ILMIAH BISNIS DAN BUDIDAYA KEPITING SOKA. Di susun oleh : NAMA :FANNY PRASTIKA A. NIM : KELAS : S1-SI-09 KARYA ILMIAH BISNIS DAN BUDIDAYA KEPITING SOKA Di susun oleh : NAMA :FANNY PRASTIKA A. NIM :11.12.5999 KELAS : S1-SI-09 STMIK AMIKOM YOGYAKARTA 2012 ABSTRAK Karya ilmiah ini berjudul BISNIS DAN BUDIDAYA

Lebih terperinci

6 HASIL DAN PEMBAHASAN

6 HASIL DAN PEMBAHASAN 6 HASIL DAN PEMBAHASAN 6.1 Kondisi Riil Fasilitas Kebutuhan Operasional Penangkapan Ikan di PPN Karangantu Fasilitas kebutuhan operasional penangkapan ikan di PPN Karangantu dibagi menjadi dua aspek, yaitu

Lebih terperinci