ANALISIS DAMPAK KENAIKAN HARGA KEDELAI DI SENTRA INDUSTRI TEMPE KELURAHAN SEMANAN JAKARTA BARAT

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "ANALISIS DAMPAK KENAIKAN HARGA KEDELAI DI SENTRA INDUSTRI TEMPE KELURAHAN SEMANAN JAKARTA BARAT"

Transkripsi

1 ANALISIS DAMPAK KENAIKAN HARGA KEDELAI DI SENTRA INDUSTRI TEMPE KELURAHAN SEMANAN JAKARTA BARAT SKRIPSI EVY KURNIASARI H DEPARTEMEN AGRIBISNIS FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2010

2 RINGKASAN EVY KURNIASARI. Analisis Dampak Kenaikan Harga Kedelai di Sentra Industri Tempe Kelurahan Semanan Jakarta Barat. Skripsi. Departemen Agribisnis, Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor (Di bawah bimbingan Nunung Kusnadi). Penelitian ini dilatarbelakangi adanya kondisi ketergantungan Indonesia terhadap kedelai impor untuk memenuhi konsumsi kedelai dalam negeri. Salah satu konsumsi kedelai dilakukan dalam bentuk tempe. Bagi pengrajin tempe, kedelai menjadi bahan baku utama yang sulit untuk di substitusi. Konsekuensinya adalah kedelai menjadi komponen biaya terbesar pada struktur biaya pengrajin tempe. Adanya fluktuatif harga kedelai dengan kecenderungan meningkat, membuat biaya produksi pengrajin tempe cenderung meningkat pula sehingga membuat keuntungan pengrajin tempe menurun. Pengrajin tempe sebagai produsen tentu selalu akan memaksimumkan keuntungannya, maka apabila terjadi perubahan pada harga input maka pengrajin tempe akan melakukan tindakan penyesuaian (adjustment). Tindakan penyesuaian yang dilakukan pengrajin, diduga akan berbeda-beda karena adanya perbedaan skala produksi. Di sentra Industri Tempe Kelurahan Semanan, Jakarta Barat terdapat tiga macam pengrajin tempe yang dibedakan berdasarkan skala produksinya. Ketiga pengrajin tersebut yakni pengrajin tempe skala kecil, menengah, dan besar. Pengrajin skala kecil adalah pengrajin yang menggunakan kedelai kurang dari 100 kg per proses produksinya, pengrajin skala menengah adalah pengrajin yang menggunakan kedelai mulai dari 100 kg hingga kurang dari 200 kg per produksi, dan pengrajin skala besar adalah pengrajin yang menggunakan kedelai mulai dari 200 kg hingga lebih per proses produksi. Berdasarkan uraian tersebut maka tujuan penelitian ini yaitu menganalisis struktur biaya pengrajin tempe dan menganalisis dampak kenaikan harga kedelai pada industri tempe, khususnya dilihat dari perubahan jumlah penggunaan kedelai, keuntungan, dan jumlah penggunaan jam tenaga kerja luar keluarga. Penentuan sampel dilakukan dengan snowball sampling sebanyak tujuh puluh responden untuk mengetahui gambaran umum industri tempe dan respon pengrajin terhadap kenaikan harga kedelai. Untuk mengetahui struktur biaya secara rinci dilakukan purposive sampling pada enam pengrajin tempe, yang masing-masing skala produksi pengrajin diwakili oleh dua orang pengrajin tempe. Berdasarkan analisis struktur biaya, kedelai menjadi komponen biaya terbesar yang dikeluarkan oleh pengrajin skala kecil, menengah, dan besar. Konsekuensinya struktur biaya produksi pengrajin tempe sangat dipengaruhi oleh perubahan harga kedelai. Selain kedelai, penggunaan tenaga kerja juga menempati komponen biaya yang cukup besar dalam struktur biaya produksi pengrajin tempe. Pengrajin skala kecil seluruhnya menggunakan tenaga kerja dalam keluarga, sedangkan pengrajin tempe skala menengah dan besar selain menggunakan tenaga kerja dalam keluarga juga menggunakan tenaga kerja luar keluarga. ii

3 Berdasarkan biaya total rata-rata per kilogram kedelai yang dikeluarkan pengrajin tempe, memperlihatkan kecenderungan dengan semakin meningkatnya skala produksi pengrajin, dalam hal ini penggunaan jumlah kedelai maka biaya total rata-rata per kilogram kedelai semakin menurun. Adanya kenaikan harga kedelai membuat pengrajin tempe skala kecil dan menengah memperkecil ukuran tempe yang mereka hasilkan, sedangkan pada pengrajin skala besar cenderung untuk mengurangi jumlah jam penggunaan tenaga kerja luar keluarganya. Berdasarkan hasil analisis Linear Programming, pengrajin tempe skala kecil paling sensitif terhadap kenaikan harga kedelai relatif terhadap sumberdaya yang dimiliki pengrajin yaitu tenaga kerja dalam keluarga dan kere (kajang) bambu yang dimiliki pengrajin. Sebaliknya pengrajin skala menengah paling tidak sensitif terhadap kenaikan harga kedelai juga relatif terhadap sumberdaya yang dimiliki pengrajin skala menengah. Pengrajin skala menengah cenderung memiliki kelebihan ketersediaan jumlah jam tenaga kerja dalam keluarga potensial dan jumlah kere yang dimiliki. Agar pengrajin tempe skala kecil dapat memproduksi dengan biaya yang lebih murah untuk setiap satu kilogram kedelai yang digunakan, maka pengrajin skala kecil sebaiknya diberikan bantuan permodalan. Adanya bantuan permodalan membuat pengrajin tempe skala kecil memperoleh kesempatan untuk berproduksi pada skala menengah dan besar. Bantuan permodalan juga dapat meningkatkan penggunaan teknologi bagi pengrajin tempe skala kecil, salah satunya adalah penggunaan mesin pemecah kedelai yang sudah digerakkan secara otomatis. iii

4 ANALISIS DAMPAK KENAIKAN HARGA KEDELAI DI SENTRA INDUSTRI TEMPE KELURAHAN SEMANAN JAKARTA BARAT EVY KURNIASARI H Skripsi ini merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ekonomi pada Departemen Agribisnis DEPARTEMEN AGRIBISNIS FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2010 iv

5 Judul Skripsi Nama NIM : Analisis Dampak Kenaikan Harga Kedelai di Sentra Industri Tempe Kelurahan Semanan Jakarta Barat : Evy Kurniasari : H Disetujui, Pembimbing Dr. Ir. Nunung Kusnadi, MS. NIP Diketahui Ketua Departemen Agribisnis Institut Pertanian Bogor Dr. Ir. Nunung Kusnadi, MS. NIP Tanggal Lulus : v

6 PERNYATAAN Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi saya yang berjudul ANALISIS DAMPAK KENAIKAN HARGA KEDELAI DI SENTRA INDUSTRI TEMPE KELURAHAN SEMANAN JAKARTA BARAT adalah karya sendiri dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam bentuk daftar pustaka di bagian akhir skripsi ini. Bogor, Juni 2010 Evy Kurniasari H vi

7 RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Jakarta pada tanggal 20 Juli Penulis adalah anak ketiga dari tiga bersaudara dari pasangan Bapak H.M. Sri Hardono dan Ibunda Hj. Tien Hartinah. Penulis menyelesaikan pendidikan dasar di SDN 10 Pagi Jakarta pada tahun 2000 dan pendidikan menengah pertama diselesaikan pada tahun 2003 di SLTPN 176 Jakarta. Pendidikan lanjutan menengah atas di SMAN 33 Jakarta pada tahun Penulis diterima di Institut Pertanian Bogor (IPB) melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI) pada tahun Pada tahun 2007, penulis diterima di Departemen Agribisnis, Fakultas Ekonomi dan Manajemen sebagai mayor dengan minor Ekonomi Pertanian di Departemen Ekonomi Sumberdaya Lingkungan. Selama mengikuti pendidikan, penulis tercatat sebagai pengurus Himpunan Profesi Peminat Agribisnis pada Badan Pengurus Harian periode Penulis juga menjadi asisten dosen mata kuliah Ekonomi Umum selama tiga semester. vii

8 KATA PENGANTAR Puji Syukur kepada Allah Subhanahu Wa Ta ala atas segala berkat dan karunianya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul ANALISIS DAMPAK KENAIKAN HARGA KEDELAI DI SENTRA INDUSTRI TEMPE KELURAHAN SEMANAN JAKARTA BARAT. Penulisan ini bertujuan untuk menganalisis struktur biaya pengrajin tempe dan menganalisis respon pengrajin tempe terhadap kenaikan harga kedelai, dilihat dari dampak kenaikan harga kedelai terhadap penggunaan input produksi tempe. Namun demikian, sangat disadari masih terdapat kekurangan karena keterbatasan dan kendala yang dihadapi. Untuk itu, penulis mengharapkan saran dan kritik yang membangun kearah penyempurnaan pada skripsi ini sehingga dapat bermanfaat bagi semua pihak. Bogor, Juni 2010 Evy Kurniasari viii

9 UCAPAN TERIMAKASIH Penyelesaian skripsi ini juga tidak terlepas dari bantuan berbagai pihak. Sebagai bentuk rasa syukur kepada Tuhan, penulis ingin menyampaikan terima kasih dan penghargaan kepada: 1. Dr. Ir. Nunung Kusnadi, MS selaku dosen pembimbing atas bimbingan, arahan, waktu, dan kesabaran yang telah diberikan kepada penulis selama penyusunan skripsi ini. 2. Dr. Ir. Ratna Winandi, MS selaku dosen penguji utama pada ujian skripsi penulis yang telah meluangkan waktunya serta memberikan kritik dan saran demi perbaikan skripsi ini. 3. Eva Yolynda Aviny, SP.MM selaku dosen penguji komisi pendidikan atas saran dan masukan yang diberikan demi perbaikan skripsi ini. 4. Dr. Ir. Rita Nurmalina, MS yang telah menjadi pembimbing akademik dan seluruh dosen serta staf Departemen Agribisnis. 5. Bapak, Mama, Mbak Mita, Mbak Selly, Mas Heri, Kei, Kyan, dan Bayu. untuk setiap dukungan dan doa yang diberikan. Semoga ini bisa menjadi persembahan yang terbaik. 6. Om Hartono dan keluarga di Solo, Klaten, dan Wonogiri yang selalu peduli dan membantu penulis selama menjalani masa kuliah. 7. Pak Harto, Pak Bambang Kamtib, Pak Kus, seluruh pengurus KOPTI, Lurah Semanan, Sekretaris Lurah Semanan dan Ketua RW 011 yang telah banyak membantu selama penelitian. 8. Rani Anggraeni yang bersedia menjadi pembahas dalam seminar, atas saran dan masukan yang diberikan dalam skripsi. 9. Dc, erni, mbak astrid, mbak wiwin, mbak mamah, dewi, dan seluruh penghuni Pondok Ixora, terimakasih atas semangat yang diberikan. 10. Teman-teman AGB 43, teman satu bimbingan Mawar, Firza, dan Sarwanto serta semua pihak yang telah membantu dalam menyelesaikan skripsi ini, yang tidak dapat dituliskan satu persatu. Bogor, Juni 2010 Evy Kurniasari ix

10 DAFTAR ISI DAFTAR TABEL.. DAFTAR GAMBAR.. DAFTAR LAMPIRAN.. Halaman I PENDAHULUAN Latar Belakang Perumusan Masalah Tujuan Manfaat Ruang Lingkup II TINJAUAN PUSTAKA III KERANGKA PEMIKIRAN IV METODE PENELITIAN Lokasi dan Waktu Metode Penentuan Sampel Data dan Instrumentasi Metode Pengumpulan Data Metode Pengolahan dan Analisis Data V GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN Gambaran Umum Kelurahan Semanan Gambaran Umum Sentra Industri Tempe Kelurahan Semanan. 47 VI ANALISIS STRUKTUR BIAYA USAHA TEMPE Biaya Tetap Usaha Tempe Biaya Variabel Usaha Tempe Total Biaya Produksi Usaha Tempe VII ANALISIS MODEL LINEAR PROGRAMMING Penentuan Model Linear Programming Produksi Tempe Fungsi Tujuan Fungsi Kendala Fungsi Kendala Pengrajin Skala Kecil Fungsi Kendala Pengrajin Skala Menengah Fungsi Kendala Pengrajin Skala Besar Hasil Keluaran Model LP Analisis Penggunaan Kedelai Analisis Penggunaan Tenaga Kerja Analisis Dampak Perubahan Harga Kedelai. 89 xii xiv xv x

11 VIII KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Saran DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN 102 xi

12 DAFTAR TABEL Nomor Halaman 1. Perkembangan Luas Panen, Produktivitas, dan Produksi Kedelai Nasional Tahun Konsumsi dan Impor Kedelai di Indonesia Tahun Perkembangan Harga Eceran Tertinggi Kedelai Dalam Negeri dan Dunia Tahun Struktur Biaya Produksi Usaha Tempe Sebaran Penduduk di Kelurahan Semanan berdasarkan Mata Pencaharian Tahun Sebaran Responden Menurut Tingkat Pendidikan di Sentra Industri Tempe Kelurahan Semanan Tahun Sebaran Responden Menurut Usia di Sentra Industri Tempe Kelurahan Semanan Tahun Sebaran Responden Menurut Jumlah Anggota Keluarga di Sentra Industri Tempe Kelurahan Semanan Tahun Sebaran Responden Menurut Lama Pengalaman Usaha di Kelurahan Semanan Tahun Sebaran Responden Menurut Cara Pemasaran Tempe di Sentra Industri Tempe Kelurahan Semanan Tahun Perbedaan Respon Awal Pengrajin pada Skala Produksi Kecil, Menengah, dan Besar Terhadap Kenaikan Harga Kedelai Komponen Biaya Tetap Usaha Tempe Di Sentra Industri Tempe Pada Tiga Skala Pengusahaan Per Bulan Tahun Komponen Biaya Variabel Usaha Tempe Di Sentra Industri Tempe Pada Tiga Skala Pengusahaan Per Bulan Tahun Struktur Biaya Usaha Tempe Di Sentra Industri Tempe Pada Tiga Skala Pengusahaan Per Bulan Tahun Harga Jual Tempe pada Pengrajin Skala Kecil, Menengah, dan Besar Biaya Bahan (Ragi, Plastik, Daun Pisang, dan Kayu Bakar) Per Kilogram Kedelai 72 xii

13 17. Biaya Tunai Faktor Produksi Tempe pada Masing-Masing Skala Pengrajin Perbandingan Jumlah Produksi Tempe Berdasarkan Model LP dengan Kondisi Sebenarnya Perbandingan Keuntungan Dengan dan Tanpa Kontrak Pada Pengrajin Tempe Skala Kecil, Menengah, dan Besar Hasil Analisis Linear Programming (LP) Sumberdaya Kedelai Usaha Tempe pada Pengrajin Skala Kecil, Menengah, dan Besar Hasil Analisis Linear Programming (LP) Sumberdaya TKDK Usaha Tempe pada Pengrajin Skala Kecil, Menengah, dan Besar Nilai Produk Marjinal Tenaga Kerja Dalam Keluarga Pada Pengrajin Tempe Skala Kecil Penggunaan TKLK pada Pengrajin Skala Menengah dan Besar Sensitivitas Harga Kedelai pada Pengrajin Tempe Skala Kecil, Menengah, dan Besar Dampak Perubahan Harga Kedelai terhadap Penggunaan Jumlah Kedelai dan Keuntungan pada Pengrajin Tempe Skala Kecil Dampak Perubahan Harga Kedelai terhadap Penggunaan Jumlah Kedelai, Tenaga Kerja Luar Keluarga, dan Keuntungan pada Pengrajin Tempe Skala Menengah Dampak Perubahan Harga Kedelai terhadap Penggunaan Jumlah Kedelai, Tenaga Kerja Luar Keluarga, dan Keuntungan pada Pengrajin Tempe Skala Besar.. 93 xiii

14 DAFTAR GAMBAR Nomor Halaman 1. Perbandingan Luas Areal Tanam Kedelai, Kacang Tanah, Jagung, dan Padi di Indonesia Tahun Laju Pertumbuhan Produktivitas Kedelai, Jagung, Padi, Ubi Jalar, dan Kacang Tanah di Indonesia Tahun Pengaruh Perubahan Harga Input Terhadap Permintaan Input Kurva Isokuan Pengrajin Tempe Kurva Biaya Total, Biaya Tetap Total, dan Biaya Variabel Total Pengaruh Kenaikan Total Biaya Terhadap Penggunaan Input dan Keuntungan Kurva Biaya Rata-Rata Jangka Panjang Diagram Alur Pemikiran Operasional Mesin Pemecah Kedelai Suasana Dapur Produksi Tempe Pemeraman Bakal Tempe Bentuk Kurva Skala Usaha Tempe di Sentra Industri Tempe Kelurahan Semanan, Jakarta Barat Perubahan Penggunaan Input Kedelai Akibat Kenaikan Harga Kedelai Pada Masing-Masing Skala Pengrajin.. 95 xiv

15 DAFTAR LAMPIRAN Nomor Halaman 1. Panduan Pertanyaan Penelitian Penyusutan Peralatan Produksi Tempe Perhitungan Harga Jual Tempe Perhitungan Biaya Bahan Produksi Tempe Per Kg Kedelai Penggunaan Jumlah Jam Tenaga Kerja Perhitungan Penggunaan Kere Hasil Keluaran LINDO. 116 xv

16 I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kedelai merupakan salah satu komoditas pangan strategis di Indonesia. Arti strategis tersebut salah satunya terlihat dari banyaknya kedelai yang diolah menjadi berbagai macam bahan pangan. Bahan pangan hasil olahan kedelai berfungsi sebagai sumber protein nabati utama dalam menu pangan penduduk Indonesia. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (2007) diacu dalam Roni (2008), kedelai di dalam negeri dikonsumsi menjadi produk non pangan sebanyak 7,7 persen dari total konsumsi. Dari produk non pangan tersebut sebanyak 2,7 persen digunakan sebagai bibit dan 5 persen merupakan kedelai yang tercecer. Adapun kedelai yang dikonsumsi menjadi produk pangan yaitu sebesar 92,3 persen dari total konsumsi kedelai. Kedelai yang dikonsumsi menjadi berbagai bentuk olahan pangan, pada dasarnya dapat dikategorikan menjadi dua kelompok yaitu: (i) pangan yang diolah melalui proses fermentasi seperti tempe, oncom, tauco dan kecap; (ii) pangan yang diolah tanpa melalui proses fermentasi, seperti tahu, tauge, dan kedelai rebus. Kedelai yang diolah menjadi bahan pangan dilakukan dalam bentuk tempe sebanyak 50 persen, 40 persen dalam bentuk tahu, dan 10 persen dalam bentuk produk lain (seperti tauco, kecap, dan produk lainnya). Adapun rata-rata konsumsi kedelai dan hasil olahannya (tempe, tahu, kedelai, oncom, tauco) di Indonesia sebanyak 49,1 g/kapita/hari 1. Berbagai macam bentuk olahan pangan kedelai tersebut, dilakukan oleh industri pengolahan kedelai. Industri pengolahan kedelai antara lain industri tempe, tahu, kecap, tauco, susu, dan lain sebagainya. Berdasarkan data dari Departemen Perdagangan (2008) diacu dalam Amalia (2008), Industri Kecil dan Menengah (IKM) kedelai sebanyak 92,4 ribu unit usaha. Industri Kecil dan Menengah kedelai tersebut terdiri dari: IKM tempe sebanyak 56,76 ribu unit usaha, IKM tahu sebanyak 28,6 ribu unit usaha, IKM kecap sebanyak 1,5 ribu unit usaha, IKM tauco sebanyak 2,1 ribu unit usaha, dan keripik serta unit olahan kedelai lainnya sebanyak 3,43 ribu unit usaha. Data tersebut menunjukkan bahwa 1 Konsumsi Tempe dan Tahu akan Membuat Massa Lebih Sehat dan Kuat. [3 Desember 2009]

17 kedelai menjadi bahan baku yang cukup penting bagi ribuan unit usaha kecil dan menengah di Indonesia. Salah satu industri yang terkait langsung dengan komoditi kedelai seperti telah dijelaskan sebelumnya adalah industri tempe. Tempe sendiri merupakan makanan tradisional yang pada umumnya terbuat dari kedelai kuning yaitu kedelai yang kulit bijinya berwarna kuning, putih atau hijau, yang bila dipotong melintang memperlihatkan warna kuning pada irisan keping bijinya (Santoso 1994). Industri tempe pada umumnya sudah tergabung menjadi anggota Koperasi Produsen Tahu Tempe Indonesia (KOPTI). Saat ini setidaknya ada pengrajin tahu tempe di Indonesia diantaranya anggota KOPTI yang terdiri dari berbagai wilayah Jakarta, Jawa Barat, Banten, Jawa Tengah, Yogyakarta, Jawa Timur, Lampung, Palembang, Sumatra Utara, Kalimantan Timur, dan Bali 2. Industri tempe merupakan salah satu bentuk industri pengolahan pangan yang pada umumnya diusahakan pada skala kecil dan sederhana namun sangat potensial untuk dikembangkan. Hal ini dikarenakan industri tempe dapat dimulai dengan modal awal yang relatif kecil, teknologi yang sederhana serta tidak membutuhkan keahlian tinggi. Selain itu industri tempe juga memiliki peranan yang paling dominan, yaitu sebagai alternatif lapangan pekerjaan serta sebagai sumber kontribusi pendapatan keluarga (Amalia 2008). Industri tempe dalam tiga tahun terakhir mengalami pertumbuhan jumlah usaha sebesar 0,5 persen per tahun yang banyak dilakukan oleh IKM. Pada 2004 jumlah industri tempe mencapai sekitar 84,1 ribu unit usaha dengan produksi sebesar 2,39 juta ton, dan naik menjadi 84,5 ribu unit usaha pada 2005 dengan produksi sekitar 2,56 juta ton. Pertumbuhan masih terjadi pada 2006 dengan jumlah unit usaha mencapai 84,9 ribu unit usaha dan produksi mencapai 2,67 juta ton 3. Uraian di atas menunjukkan bahwa kedelai memegang peranan penting dalam industri pangan di dalam negeri. Namun walaupun demikian, ternyata kedelai bukanlah komoditas tanaman pangan asli Indonesia yang termasuk ke dalam negara tropis, melainkan kedelai merupakan tanaman asli daerah subtropis. 2 3 Omset Rp 43 Miliar per Hari, Perajin Tahu Tempe Terkendala Bahan Baku. [15 Januari 2010] Pemerintah Akui Sulit Turunkan Harga Kedelai. [15 Januari 2010] 2

18 Kedelai selain bukan tanaman asli Indonesia, juga bukan merupakan tanaman pangan utama di dalam negeri. Kedelai merupakan tanaman sampingan atau ditanam secara tumpangsari dengan tanaman utama (seperti padi, jagung, ketela pohon, dan tebu), sehingga pembudidayaan kedelai belum seoptimal tanaman utama (Sayaka 1992, diacu dalam Amang et al. 1996). Menurut Sumarno 1990, diacu dalam Supadi 2009, kedelai merupakan tanaman yang kontradiktif dalam sistem usahatani di Indonesia, karena tidak pernah menjadi tanaman pangan utama namun peranan kedelai sangat penting dalam menu pangan penduduk. Hal ini terlihat dari luas areal tanam kedelai yang cenderung lebih rendah dibandingkan dengan luas areal tanam untuk komoditas pangan lainnya seperti padi, jagung, dan kacang tanah (Gambar 1). Luas areal tanam (Ha) Kedelai Kacang Tanah Jagung Padi Tahun Keterangan: * merupakan angka sementara Gambar 1. Perbandingan luas areal tanam kedelai, kacang tanah, jagung, dan padi di Indonesia Tahun Sumber: diolah [27 Mei 2010] Kedelai yang bukan merupakan tanaman asli negara tropis termasuk Indonesia dan hanya menjadi tanaman sampingan, menyebabkan produktivitas 3

19 kedelai di dalam negeri cukup rendah bila dibandingkan dengan produktivitas kedelai di negara yang memiliki iklim subtropis, seperti Amerika Serikat, Brazil, dan Argentina. Ternyata produktivitas kedelai di Indonesia hanya 1,1 ton per ha. Jauh lebih kecil hampir setengahnya jika dibandingkan dengan Brazil, Amerika Serikat, dan Argentina yang mampu menghasilkan di atas 2 ton kedelai per ha 4. Laju pertumbuhan produktivitas rata-rata kedelai pada tahun 2001 hingga 2009 ternyata paling rendah pertumbuhannya bila dibandingkan dengan laju pertumbuhan produktivitas rata-rata tanaman pangan lainnya seperti padi, jagung, dan ubi jalar. Jagung menempati laju pertumbuhan rata-rata terbesar pertama (4,888 persen), diikuti oleh komoditas ubi jalar (1,876 persen), kacang tanah (1,656 persen), padi (1,420 persen), dan kedelai (1,096 persen). Laju pertumbuhan kelima komoditas tanaman pangan utama ini secara grafik ditunjukkan pada Gambar Ubi Jalar Kacang Tanah Padi Kedelai Jagung Gambar 2. Laju Pertumbuhan Produktivitas Kedelai, Jagung, Padi, Ubi Jalar dan Kacang Tanah di Indonesia Tahun Sumber: diolah [27 Mei 2010] 4 Produksi Kedelai Nasional Belum Mencukupi Mei 2010] 4

20 Kedelai yang produktivitasnya relatif rendah dibandingkan dengan produktivitas kedelai di negara lain dan terhadap komoditas pangan lainnya di dalam negeri, ternyata juga memperlihatkan jumlah produksi yang cenderung menurun dari tahun 1998 hingga Penurunan produksi kedelai di Indonesia secara rinci ditampilkan dalam Tabel 1 berikut. Tabel 1. Perkembangan Luas Panen, Produktivitas, dan Produksi Kedelai Nasional Tahun Luas Panen Produktivitas Produksi Tahun Pertumbuhan (Ton/Ha) buhan (Ton) buhan Pertum- Pertum- (Ha) (%) (%) (%) , ,19 1,20 0, , ,37 1,23 2, , ,66 1,22-0, , ,79 1,24 1, , ,26 1,28 3, , ,28 1, , ,98 1,30 1, , ,60 1,29-0, , ,91 1, , ,72 1,31 1, , * ,36 1,33 1, ,59 Sumber : [ 15 Januari 2010] Keterangan : * adalah Angka Ramalan III Tabel 1 memperlihatkan produksi kedelai yang cenderung mengalami penurunan dari tahun 1998 hingga 2009, dengan laju penurunan rata-rata 2,27 persen. Penurunan juga terlihat pada luas areal tanam kedelai. Besarnya rata-rata laju penurunan luas areal tanam kedelai yaitu sebesar 2,52 persen. Walaupun luas areal tanam kedelai mengalami penurunan, namun produktivitas kedelai menunjukkan angka yang meningkat rata-rata 0,88 persen dari tahun 1998 hingga Hal ini menunjukkan di satu sisi adanya peningkatan teknologi mampu meningkatkan produktivitas, namun di sisi lain tidak adanya insentif mengakibatkan minat petani untuk menanam kedelai menjadi turun. Dengan 5

21 demikian penurunan produksi kedelai lebih banyak disebabkan adanya penurunan luas areal tanam kedelai. Di sisi lain, kebutuhan konsumsi kedelai di dalam negeri tetap harus dipenuhi. Walaupun konsumsi kedelai di dalam negeri dari tahun 1998 sampai 2008 dapat dikatakan stabil pada angka konsumsi 2 juta ton per tahunnya, namun produksi kedelai nasional (Tabel 1) cenderung mengalami penurunan. Kondisi ini mengakibatkan adanya kesenjangan antara produksi kedelai dengan konsumsi kedelai di dalam negeri. Untuk memenuhi kesenjangan antara produksi dan kebutuhan kedelai di dalam negeri, maka pemerintah memenuhinya dengan mengimpor kedelai dari pasar dunia. Impor kedelai meningkat cukup jauh sejak tahun 2000 seiring dengan penurunan produksi pada tahun tersebut. Secara keseluruhan pemenuhan konsumsi kedelai Indonesia dilakukan secara impor sekitar 60 hingga 65 persen dari total konsumsi, sedangkan sisanya sekitar 35 hingga 40 persen dipenuhi melalui produksi dalam negeri. Tabel 2 memperlihatkan adanya kecenderungan semakin meningkatnya angka impor kedelai dari tahun 1999 hingga Tabel 2. Konsumsi dan Impor Kedelai di Indonesia Tahun Tahun Konsumsi (ton) Impor (ton) Tingkat Ketergantungan (%) , , , , , , , , , ,46 Sumber : [15 Januari 2010] 6

22 Kondisi ketergantungan akan kedelai impor semakin besar dengan adanya preferensi pengrajin tempe yang lebih menyukai untuk menggunakan kedelai impor. Harvita (2007) menjelaskan, pada umumnya industri tempe lebih menyukai kedelai impor karena lebih mudah diperoleh di pasaran, ukuran kedelai seragam, ukuran kedelai lebih besar (panjang 71 mm; lebar 6,8 mm; tebal 6,0 mm), kering (kadar air 10-12,5 persen), dan kadar kotoran rendah (kandungan benda-benda asing 0,8-2 persen). Tingkat ketergantungan kedelai impor yang cukup tinggi (Tabel 2), membuat harga kedelai di dalam negeri mengikuti kondisi harga kedelai di pasar internasional. Hal ini sesuai dengan penelitian Handayani et al. (2009) yang menjelaskan bahwa peningkatan harga riil kedelai impor akan meningkatkan harga riil kedelai domestik. Kondisi ini sesuai dengan observasi di tingkat industri bahwa ketentuan harga kedelai lokal berdasarkan mekanisme pasar dengan mengikuti harga kedelai impor. Tabel 3 memperlihatkan harga kedelai di dalam negeri turut meningkat ketika harga kedelai dunia mengalami kenaikan. Tabel 3. Perkembangan Harga Eceran Tertinggi Kedelai Dalam Negeri dan Dunia Tahun Tahun Harga Eceran Tertinggi Kedelai Dalam Negeri (Rp/kg)* Perubahan (%) Harga Eceran Tertinggi Kedelai Dunia (US$/ton)** , , , , ,0 3 Perubahan (%) Sumber: * [17 Januari 2010] ** [17 Januari 2010] Tabel 3 memperlihatkan harga kedelai dalam negeri yang melonjak tajam lebih dari 100 persen, dari tingkat harga Rp pada tahun 2007 menjadi Rp pada tahun Hal ini berhubungan dengan adanya kenaikan harga 7

23 kedelai di pasar dunia yang meningkat lebih dari 80 persen pada tahun Harga kedelai di pasar dunia yang meningkat lebih dari 80 persen disebabkan oleh adanya penurunan luas areal tanam kedelai oleh negara penghasil kedelai terbesar dunia seperti Amerika Serikat, Brazil, dan Argentina untuk dialihkan menjadi areal tanam jagung yang dijadikan sebagai sumber energi alternatif. Hal ini menyebabkan supply kedelai di pasar internasional menjadi berkurang, dan sesuai dengan hukum supply demand, penurunan supply kedelai akan mengakibatkan harga kedelai meningkat. Adanya kecenderungan peningkatan harga kedelai akan mempengaruhi industri pengolahan kedelai, salah satunya adalah industri tempe. Kedelai sebagai bahan baku utama produksi tempe, yang artinya bahwa kedelai yang digunakan tidak dapat disubstitusi bahan baku lain. Saat ini kedelai menjadi salah satu kendala bagi pengrajin, karena pemenuhan kedelai masih tergantung dengan kedelai impor. Dengan demikian ketika ada perubahan harga kedelai dengan kecenderungan meningkat, tentu akan mempengaruhi aktivitas produksi dalam industri tempe. Kenaikan harga kedelai semakin mempengaruhi industri tempe, karena 90 persen pengrajin tempe menggunakan modal sendiri yang berkisar Rp 1 juta hingga Rp 2 juta untuk membeli bahan baku dan peralatan industri dan umumnya pengrajin tempe tidak melakukan pinjaman dengan alasan prosedur peminjaman yang sulit dan adanya ketakutan tidak mampu mengembalikan pinjaman dalam jangka waktu yang ditentukan 5. Berdasarkan uraian sebelumnya, maka perlu dilakukan penelitian mengenai usaha produksi pada industri tempe mengingat sektor ini mewakili sebagian terbesar volume produksi kedelai yang dikonsumsi sebagai pangan dan terkait dengan peran biaya bahan baku kedelai dalam struktur biaya produksi tempe yang merupakan komponen terbesar di dalam biaya total produksi (Suharno P & Mulyana W 1994) sehingga adanya kenaikan harga kedelai akan membawa dampak bagi industri tempe. 5 [15 Januari 2010] 8

24 1.2. Perumusan Masalah Kedelai menjadi bahan baku utama bagi produksi tempe dan merupakan komponen biaya terbesar yang dikeluarkan pengrajin dalam memproduksi tempe. Jumlah penggunaan kedelai bahkan dijadikan ukuran besar skala produksi bagi pengrajin tempe. Berdasarkan penggunaan kedelainya, pengrajin tempe dibedakan menjadi pengrajin skala kecil, menengah, dan besar. Adanya kecenderungan peningkatan harga kedelai, membuat biaya produksi pengrajin tempe cenderung meningkat sehingga membuat keuntungan pengrajin tempe menurun. Dampak peningkatan harga kedelai menyebabkan beberapa pengrajin tempe mulai menghentikan usahanya. Namun demikian hingga saat ini masih ada pengrajin tempe yang mampu untuk bertahan dengan usahanya. Berdasarkan jumlah penggunaan kedelainya, KOPTI membagi pengrajin tempe menjadi tiga skala produksi. Skala produksi tempe meliputi skala produksi kecil, menengah, dan besar. Masing-masing skala tentu memiliki perbedaan dalam berproduksi, baik itu dari biaya produksi yang dikeluarkan maupun dari respon pengrajin terhadap kenaikan harga kedelai. Diduga bahwa adanya kenaikan harga kedelai tentu akan mempengaruhi struktur biaya produksi pengrajin karena kedelai merupakan komponen biaya terbesar bagi pengrajin. Dengan demikian timbul pertanyaan yaitu: (1) Bagaimanakah proporsi biaya pembelian kedelai terhadap total biaya produksi tempe pada pengrajin tempe? (2) Selain biaya pembelian kedelai, biaya input apa sajakah yang harus dikeluarkan pengrajin untuk memproduksi tempe? (3) Pengrajin tempe dengan skala produksi manakah yang mengeluarkan biaya total rata-rata terendah? (4) Mengapa biaya total ratarata produksi pada pengrajin tempe skala tertentu bisa lebih rendah dibandingkan skala produksi lainnya? Adanya perbedaan skala produksi pengrajin tempe, akan menimbulkan respon yang berbeda-beda apabila terjadi kenaikan harga kedelai pada masingmasing skala produksi pengrajin. Diduga bahwa pengrajin tempe dengan skala produksi kecil akan menjadi pengrajin yang paling responsif atau sensitif terhadap kenaikan harga kedelai. Respon yang ditunjukkan pengrajin tempe, diduga akan berhubungan dengan kondisi ketersediaan input produksi yang dimiliki pengrajin. 9

25 Dengan demikian pertanyaan yang timbul adalah: (1) Bagaimanakah kondisi sumberdaya (input) yang dimiliki pengrajin tempe? (2) Bagaimanakan respon pengrajin tempe terhadap kenaikan harga kedelai? 1.3. Tujuan Berdasarkan latar belakang dan perumusan masalah yang telah dipaparkan, penelitian ini memiliki beberapa tujuan, yaitu: 1) Menganalisis struktur biaya produksi usaha tempe. 2) Menganalisis dampak kenaikan harga kedelai pada usaha tempe, dilihat dari respon yang diberikan pengrajin tempe Manfaat Adapun manfaat dari penelitian ini meliputi: 1) Bagi pengrajin tempe di Semanan Jakarta Barat, penelitian ini diharapkan dapat memberikan tambahan informasi dan masukan sebagai bahan pertimbangan dalam menentukan kebijakan terkait dengan kegiatan operasional dan pengembangan usaha. 2) Bagi pemerintah, analisis ini dapat digunakan sebagai masukan penentuan kebijakan dan evaluasi untuk pertimbangan dalam pengembangan unit usaha produksi tempe, khususnya di sentra Industri Tempe Semanan Jakarta Barat. 3) Bagi penulis, sebagai sarana untuk mengaplikasikan pengetahuan yang telah diperoleh selama kegiatan perkuliahan. 4) Bagi pembaca, penelitian ini dapat digunakan sebagai bahan informasi mengenai produksi tempe dan sebagai referensi untuk melakukan penelitian lebih lanjut. 10

26 1.5. Ruang Lingkup Kegiatan penelitian ini terbatas pada subsistem pengolahan kedelai menjadi tempe pada sentra produksi tempe di wilayah Semanan, Jakarta Barat. Penelitian ini difokuskan untuk mengetahui dampak kenaikan harga bahan baku utama yaitu kedelai yang hingga saat ini masih tergantung dengan kedelai impor. Dampak tersebut dianalisis dari respon yang diberikan pengrajin tempe berskala kecil dibandingkan dengan pengrajin tempe berskala menengah, dan besar. 11

27 II TINJAUAN PUSTAKA Tinjauan pustaka dalam penelitian ini meliputi tinjauan komoditas kedelai, khususnya peranan kedelai sebagai sumber protein nabati bagi masyarakat. Tidak hanya itu, kedelai juga ditinjau dari sisi konsumsi dan pemenuhan kebutuhan atau produksi kedelai. Tinjauan lainnya membahas perkembangan salah satu industri berbahan baku kedelai yaitu industri tempe di Indonesia, serta lebih jauh meninjau pula hubungan antara berbagai skala produksi dalam suatu industri atau usaha dengan biaya produksi yang dikeluarkan produsen Peran Kedelai sebagai Sumber Pangan Pangan menjadi kebutuhan mendasar bagi penduduk dalam kehidupan suatu bangsa. Pada tahun 1990 penduduk Indonesia berjumlah lebih dari 179 juta jiwa, dan meningkat menjadi lebih dari 200 juta jiwa tahun 2000 (BPS 2010). Konsekuensinya adalah semakin besarnya kebutuhan bahan pangan yang harus tersedia untuk memenuhi asupan gizi penduduk. Salah satu komponen gizi yang harus dipenuhi bagi tubuh adalah protein, baik itu protein hewani maupun nabati. Kebutuhan protein tersebut akan terus meningkat seiring dengan meningkatnya jumlah penduduk dan pendapatan. Namun demikian kebutuhan protein di Indonesia masih belum mencukupi. Banyaknya kasus anak yang mengalami gizi buruk karena kekurangan protein, baik di desa maupun di kota menjadi bukti bahwa kebutuhan protein memang masih dirasakan belum mencukupi 6. Kasus kekurangan gizi akibat tidak terpenuhinya kebutuhan protein seharusnya tidak perlu terjadi, karena ada sumber protein yang murah dan mudah di dapat yaitu kedelai. Margono et al. (1993), mengungkapkan bahwa kedelai memiliki kandungan protein sebesar persen. Kandungan protein dalam kedelai bahkan lebih tinggi dibandingkan beras, jagung, dan telur ayam. Melihat kandungan protein yang dimiliki, kedelai mempunyai potensi yang amat besar sebagai sumber protein bagi penduduk Indonesia. 6 Masalah Gizi, Pengetahuan Masyarakat Semakin Memprihatinkan. [10 Juni 2010]

28 Kedelai sebagai sumber protein yang relatif murah, telah lama dikenal dan diolah dalam beberapa ragam makanan, seperti tempe, tahu, kecap, tauco, susu, dan oncom. Begitu pentingnya kedelai bagi pangan, terlihat dari banyaknya kedelai (90 persen) yang digunakan sebagai bahan baku makanan olahan, seperti tahu, tempe, dan kecap (Silitonga et al. 1996). Uraian di atas menunjukkan bahwa kedelai sebagai komoditas pangan yang memiliki peran penting. Peran tersebut terkait dengan kedelai yang digunakan sebagai sumber utama protein nabati bagi tubuh dan harganya yang relatif terjangkau bagi masyarakat. Hal tersebut menjadikan kedelai dan produk turunannya sebagai salah satu komoditas pangan yang permintaannya cenderung meningkat. Sudaryanto (1996) menyebutkan bahwa elastisitas pendapatan kedelai adalah positif dan kurang dari satu, yaitu sebesar 0,4 untuk masyarakat desa dan 0,35 untuk masyarakat kota. Angka ini mengindikasikan bahwa kedelai termasuk ke dalam barang normal, sehingga apabila ada kenaikan pendapatan masyarakat akan meningkatkan permintaan atau konsumsi kedelai. Meningkatnya permintaan masyarakat terhadap kedelai, lebih jauh akan menimbulkan peluang semakin terserapnya tenaga kerja, baik dalam usahatani kedelai maupun industri pengolahan kedelai. Dengan demikian kedelai berperan cukup penting dalam memenuhi konsumsi pangan nasional dan lebih jauh lagi sebagai penyerapan tenaga kerja Produksi dan Konsumsi Kedelai Nasional Uraian sebelumnya membahas peran penting kedelai dalam perekonomian nasional. Salah satunya dilihat dari kedelai sumber konsumsi pangan terutama untuk memenuhi kebutuhan protein bagi masyarakat. Panganan yang dibuat dari kedelai seperti tempe dikonsumsi sebagai sumber protein nabati. Tempe merupakan salah satu jenis makanan tradisional yang dibuat dengan proses fermentasi. Bahan baku tempe sangat beragam, mulai dari kedelai, biji benguk, biji lamtoro, bungkil kacang tanah, dan bungkil kelapa. Namun tempe yang terbuat dari kedelai merupakan tempe yang paling dikenal luas dan paling banyak dijadikan lauk pauk bagi masyarakat Indonesia (Sarwono 2002). 13

29 Bagi tempe kedelai, tentu yang menjadi bahan baku utama dalam membuat tempe adalah kedelai. Marliyati et al.(1992) dan Supriyono (2003) menjelaskan salah satu hal yang harus diperhatikan dalam mengolah kedelai menjadi tempe adalah kedelai tidak boleh terlalu lama disimpan atau kedelai yang digunakan adalah kedelai yang baru, agar tempe yang dihasilkan tetap memiliki bau ciri khas kedelai. Hal ini menunjukkan bahwa produsen tempe tidak dapat menyimpan kedelainya terlalu lama. Akibatnya adalah produsen tempe harus membeli kedelai dalam jarak waktu yang relatif singkat. Padahal harga kedelai sangat berfluktuasi mengikuti perkembangan harga kedelai di pasar internasional setiap harinya. Dengan demikian produsen tempe mengalami harga kedelai yang berfluktuasi hampir setiap hari. Dilihat dari lama penyimpanan, tempe juga tidak dapat disimpan dalam waktu yang lama. Hardinsyah et al. (2002) menjelaskan tempe paling lama disimpan dalam lemari pendingin selama dua hingga tujuh hari. Masa simpan tempe yang relatif singkat membuat tempe dibeli hampir setiap hari oleh konsumen agar tetap mendapatkan tempe yang segar. Hal ini membuat konsumen tidak dapat menyimpan tempe sebagai persediaan lauk dalam waktu yang relatif lama. Pembelian tempe yang cenderung dilakukan setiap hari membuat konsumen juga akan terkena dampak dari kenaikan harga kedelai. Namun dampak yang dirasakan konsumen tidak langsung dirasakan dalam bentuk kenaikan harga beli tempe, melainkan dalam ukuran tempe yang dibuat lebih kecil oleh produsen atau pengrajin tempe. Di sisi lain ternyata produksi kedelai nasional belum mampu mencukupi kebutuhan kedelai dalam negeri. Akibatnya adalah pemenuhan kedelai sebagian besar (65 persen) pada tahun 2008 masih dipenuhi dari kedelai impor, dengan kata lain Indonesia mengalami kondisi ketergantungan impor kedelai yang cukup besar. Kondisi ketergantungan impor sebenarnya tidak hanya terjadi pada kedelai, melainkan juga komoditas pangan lainnya yaitu padi dan jagung. Bahkan menurut Deptan (2005) laju pertumbuhan impor bahan pangan tersebut cenderung meningkat dari tahun 1993 hingga

30 Laju pertumbuhan impor yang meningkat dapat disebabkan adanya peningkatan jumlah konsumsi pangan sedangkan produksi tetap, atau jumlah konsumsi tetap namun jumlah produksi cenderung menurun. Alasan kedua tampaknya menjadi sebab mengapa Indonesia masih mengimpor sejumlah bahan pangan utama. Badan Pusat Statistik (BPS 2010), padi mengalami laju pertumbuhan berfluktuasi dengan kisaran antara 0,6-2,4 persen dalam kurun waktu Namun secara keseluruhan jumlah padi yang diimpor masih relatif lebih rendah daripada jumlah padi yang diproduksi. Komoditas pangan lainnya yaitu jagung, mengalami peningkatan laju impor selama kurun waktu sekitar 10,46 persen per tahun. Kondisi ketergantungan impor bahan pangan paling besar terjadi pada komoditas kedelai, padahal kedelai merupakan komoditas pangan terpenting dalam pemenuhan kebutuhan protein nabati. Ketergantungan terhadap impor kedelai terus meningkat dari tahun ke tahun periode sebesar 24,2 persen terus meningkat menjadi 31,14 persen per tahun periode dan meningkat lagi menjadi 57,56 persen pada periode Salah satu sebab mengapa Indonesia sangat tergantung dengan kedelai impor adalah karena kedelai bukan tanaman asli daerah tropis melainkan daerah subtropis, sehingga pemuliaan serta domestikasi belum berhasil sepenuhnya mengubah sifat fotosensitif kedelai putih (Komalasari 2008). Indonesia sebagai daerah tropis, bukannya tidak dapat menanam kedelai sama sekali. Hanya saja jika dibandingkan dengan negara subtropis, produksi kedelai nasional masih di bawah produksi kedelai yang dihasilkan negara subtropis. Amang et al. (1996), produksi kedelai Indonesia amat kecil yaitu tidak lebih dari 2 persen dari pangsa total produksi kedelai dunia. Dilihat dari kondisi produksi kedelai nasional, Nuryanti dan Kustiari (2007) membagi produksi kedelai nasional ke dalam dua kondisi besar yaitu pertumbuhan yang menurun dan cenderung tetap. Kondisi pertumbuhan yang menurun terjadi selama kurun waktu tahun , dengan produksi rata-rata 1,4 juta ton dengan penurunan sebesar 3,6 persen per tahun. Adapun pertumbuhan kedelai nasional yang cenderung tetap, terjadi pada kurun waktu tahun

31 Secara keseluruhan pertumbuhan produksi kedelai relatif rendah hanya 0,4 persen per tahun. Tidak hanya karena rendahnya produktivitas kedelai nasional, kebutuhan kedelai yang cenderung meningkat pun menjadi salah satu faktor ketergantungan Indonesia akan kedelai impor. Sarwono (2002) menyebutkan bahwa jumlah konsumsi kedelai meningkat rata-rata 12 persen per tahun. Hal ini ditunjukkan dengan data konsumsi kedelai pada tahun 1983 tercatat 1,2 juta ton. Tujuh tahun kemudian, sekitar tahun 1990, konsumsi kedelai meningkat menjadi 1,8 juta ton dan sekitar ton dikonsumsi dalam bentuk tempe. Darsono (2005) menjelaskan, kedelai dapat dikonsumsi dalam bentuk biji, olahan (tahu, tempe, tauco, kecap, dan lain-lain), dan industri. Dalam periode rata-rata konsumsi perkapita desa dan kota dalam bentuk biji tumbuh 0,5 persen, dalam bentuk olahan tumbuh sebesar 24,5 persen, dan untuk industri tumbuh sangat cepat sebesar 160 persen pada periode Dilihat dari kebutuhan masyarakat Indonesia terhadap kedelai, diperkirakan akan terus meningkat, sementara produksi kedelai nasional terbatas. Bahkan diperkirakan Indonesia akan mengalami kekurangan atau defisit kedelai sebesar 705 ribu ton untuk tahun 2010 saja (Komalasari 2008). Uraian di atas menunjukkan terdapat kesenjangan antara produksi dengan konsumsi atau kebutuhan kedelai di dalam negeri. Untuk mengatasi kesenjangan tersebut, pemerintah memenuhinya dengan melakukan impor kedelai. Namun jumlah kedelai yang diimpor ternyata melebihi jumlah kedelai yang diproduksi, sehingga dapat dikatakan pemenuhan kebutuhan kedelai dalam negeri sebagian besar berasal dari kedelai impor Perkembangan Harga Kedelai Nasional Kedelai sebagai salah satu komoditas pangan yang berperan dalam perekonomian nasional, membuat pemerintah menetapkan berbagai kebijakan. Salah satu dari kebijakan yang ditetapkan pemerintah adalah mekanisme pengendalian harga kedelai terutama kedelai impor yang dilakukan oleh Badan Urusan Logistik (BULOG). Bentuk mekanisme pengendalian kedelai oleh BULOG meliputi pengadaan, penyimpanan, dan penyaluran kedelai. Adanya 16

32 campur tangan pemerintah melalui BULOG menyebabkan harga kedelai lokal dan impor tidak menunjukkan fluktuasi yang berarti (Zulham & Yumm 1993). Adanya kebijakan tersebut membuat gejolak harga kedelai di pasar domestik dapat diredam, sehingga harga kedelai terjangkau bagi konsumen dan mampu mendorong produsen yang menggunakan kedelai sebagai bahan baku untuk meningkatkan produksinya. Kebijakan pengendalian kedelai oleh BULOG ternyata hanya berlaku sampai sebelum tahun 2000, akibat adanya desakan melakukan perdagangan bebas di pasar dunia. Konsekuensinya harga kedelai mengikuti mekanisme pasar, yang ditentukan oleh penawaran dan permintaan (supply demand). Pasar kedelai tersebut meliputi pasar internasional dan pasar domestik. Kondisi pasar internasional dan domestik kedelai ternyata mempengaruhi perkembangan harga kedelai nasional. Pengaruh ini disebabkan oleh besarnya ketergantungan terhadap kedelai impor dan rendahnya produksi kedelai nasional. Secara statistik, Handayani et al. (2009) mengungkapkan kenaikan harga kedelai tahun 2008 sebesar 80 persen di Amerika Serikat yang mewakili pasar internasional membuat harga kedelai dalam negeri meningkat sebesar 134 persen. Konsekuensi dari dilepaskannya perdagangan kedelai ke pasar bebas, membuat perdagangan kedelai dikuasai pihak tertentu saja. Saat ini terdapat tiga importir besar yang menguasai kedelai impor di dalam negeri. Ketiga importir tersebut yaitu PT. Gerbang Cahaya Utama yang menguasai 64 persen kedelai impor, Cargill Indonesia menguasai 18,18 persen, dan Alam Agri Perkasa yang menguasai 13 persen dari total kedelai impor dalam negeri 7. Perkembangan harga kedelai nasional tampaknya dipengaruhi oleh kebijakan perdagangan kedelai oleh pemerintah. Gejolak harga kedelai khususnya di tingkat produsen pengolah kedelai cenderung dapat diredam ketika perdagangan kedelai masih dikendalikan oleh BULOG. Namun semenjak perdagangan kedelai diserahkan ke pasar bebas, harga kedelai mengikuti fluktuasi harga kedelai di pasar internasional. 7 Tiga Importir Besar. [ 15 Januari 2010] 17

33 2.4. Perkembangan Industri Tempe Industri tempe merupakan salah satu jenis industri pangan. Industri tempe terdiri dari pengrajin tempe yang biasanya tergabung dalam satu kawasan, seperti sentra industri tempe yang berada di Kelurahan Semanan, Jakarta Barat. Industri tempe yang bergabung ke dalam satu kawasan biasanya menerima harga kedelai yang tidak terlampau jauh berbeda, karena para pengrajin cenderung membeli di satu sumber yang sama. Krisdiana (2007) menjelaskan, 36 persen pengrajin tempe yang berada dalam satu kawasan industri tempe cenderung membeli kedelai di satu pasar terdekat yang sama. Tempat pengrajin memperoleh kedelai akan mempengaruhi kualitas kedelai yang dibelinya, dengan satu tempat pembelian yang sama menyebabkan pengrajin dalam satu kawasan industri cenderung memakai kedelai yang sama kualitasnya. Pengrajin tempe, baik yang tergabung dalam satu kawasan industri maupun yang tidak tergabung, diduga jumlahnya semakin meningkat. Pertambahan jumlah pengrajin tempe ini seiring dengan bertambahnya jumlah penduduk yang berarti semakin bertambah pula kebutuhan pangan penduduk, dimana tempe menjadi salah satu panganan utama dalam menu pangan penduduk. Penambahan jumlah industri tempe dapat didekati dengan melihat penambahan jumlah industri pangan atau makanan, karena industri tempe termasuk ke dalam industri makanan. Hal ini terlihat pada tahun 2008 dimana industri makanan dan minuman nasional meningkat sebesar 39 persen dari tahun 2001 (BPS 2010). Perkembangan industri tempe tidak hanya dapat dilihat dari bertambahnya jumlah industri tempe secara keseluruhan, melainkan dapat pula dilihat dari bertambahnya jumlah industri tempe berdasarkan indikator tertentu. Indikator tersebut antara lain dilihat dari penggunaan jumlah tenaga kerja, kapasitas produksi, dan modal serta teknologi. Pada akhirnya perbedaan indikator tersebut merujuk industri tempe menjadi tiga skala produksi. Skala produksi industri tempe meliputi skala produksi kecil, menengah, dan besar. Dilihat dari sisi penggunaan jumlah tenaga kerja, BPS (2010) mengelompokkan industri secara umum, termasuk industri tempe ke dalam skala kecil bila mempekerjakan kurang dari dua puluh orang tenaga kerja, sedangkan 18

34 industri tergolong ke dalam skala menengah dan besar bila memperkerjakan dua puluh orang atau lebih. Di sisi lain berdasarkan kapasitas produksinya, industri tempe juga dapat dikelompokkan menjadi industri skala kecil, menengah, dan besar. Industri skala kecil mengolah kedelai kurang dari 300 kg per hari dan industri skala besar mengolah lebih dari 300 kg kedelai per hari (Triyani 2004, diacu dalam Latifah 2006). Masih berdasarkan kapasitas produksinya, Harvita (2007) memberikan pengelompokkan industri tempe yang berbeda dengan uraian sebelumnya. Industri tempe skala kecil yaitu industri yang mengolah kurang dari 50 kg kedelai per hari, skala menengah mengolah dari 50 hingga 100 kg per hari, dan industri skala besar mengolah lebih dari 100 kg per hari. Berdasarkan penggunaan modal dan teknologinya, Hubeis (2007) mengelompokkan industri besar secara umum, termasuk industri tempe adalah industri yang memiliki ciri-ciri padat modal, teknologi tinggi, dan pengolahan modern. Berbeda halnya dengan industri skala kecil yang dicirikan dengan modal yang kecil dan umumnya menggunakan teknologi yang sederhana. Untuk menentukan besar skala produksi industri tempe memang dapat didekati dari berbagai hal seperti yang telah diuraikan sebelumnya. Namun semua indikator tersebut sama-sama mengerucutkan industri tempe menjadi tiga skala produksi, yaitu skala kecil, menengah, dan besar. Perkembangan industri tempe di dalam negeri pada akhirnya pun akan mengarah pada perkembangan jumlah pengrajin tempe berdasarkan skala produksi tersebut. Tahun 1979, jumlah industri tempe di dalam negeri sebesar 99 persen merupakan industri tempe skala kecil, sisanya adalah industri skala menengah dan besar (BPS 1979, diacu dalam Amang et al. 1996). Tahun 1982, industri tempe yang termasuk ke dalam skala kecil adalah sekitar 94 persen dan sisanya sebesar 6 persen merupakan industri tempe dengan skala menengah dan besar (Simatupang 1990, diacu dalam Suharno & Mulyana 1996). Saat ini diduga jumlah presentase industri tempe yang termasuk ke dalam skala menengah dan besar akan meningkat, mengingat cukup banyak penemuan teknologi baru yang dapat meningkatkan produktivitas pengrajin tempe. Namun peningkatan presentase industri tempe skala menengah dan besar, tidak lebih besar dari industri tempe 19

35 yang termasuk ke dalam skala kecil. Dengan kata lain presentase industri skala kecil tetap lebih besar dibandingkan industri tempe skala menengah dan besar Skala dan Biaya Produksi Adanya perbedaan skala produksi pada industri, khususnya industri tempe diduga akan mempengaruhi struktur biaya dan tingkat keuntungan pengrajin. Suharno dan Mulyana (1996), meneliti bahwa pengrajin tempe skala besar memiliki rasio keuntungan sedikit lebih besar (23,48 persen) dibandingkan rasio keuntungan yang diterima pengrajin tempe skala kecil (21,40 persen). Tingkat keuntungan yang lebih besar pada pengrajin skala besar dapat disebabkan jumlah produksi yang lebih besar atau harga jual produk yang lebih mahal karena adanya perbedaan kualitas produk yang relatif lebih baik. Dilihat dari struktur biaya yang dikeluarkan pun diduga akan terdapat perbedaan antar pengrajin tempe yang berbeda skala produksinya. Perbedaan ini tidak hanya berlaku pada industri tempe, melainkan pada beberapa industri atau usaha seperti ayam petelur, ayam pedaging, sapi perah, dan kambing perah. Hal ini terlihat pada penelitian yang dilakukan oleh Yusdja (1983) meneliti usaha ternak ayam petelur, Sukraeni (1985) meneliti usaha sapi perah, Rusdji (1986) meneliti usaha ayam pedaging, dan Stani (2009) meneliti usaha ternak kambing perah. Hasil penelitian tersebut menunjukkan hasil yang sama yaitu kecenderungan dengan semakin besar skala produksi akan semakin menurunkan biaya produksi yang dikeluarkan. Yusdja (1983), mengungkapkan terdapat kecenderungan dengan semakin besarnya skala usaha akan semakin rendah biaya yang dikeluarkan untuk tenaga kerja dan makanan ternak, yang pada akhirnya menurunkan biaya total per kilogram telur yang dihasilkan. Rusdji (1986), menyatakan bahwa semakin besar skala pengusahaan peternak akan menurunkan biaya pembelian obat-obatan dan tenaga kerja sehingga rata-rata biaya produksi per kilogram berat jual hidup ayam pedaging paling besar adalah pada peternak skala kecil. Sukraeni (1985), menyatakan bahwa semakin besar skala produksi akan menurunkan biaya pembelian pakan, sehingga produksi per kilogram susu semakin menurun dengan semakin meningkatnya skala usaha. Stani (2009) menyimpulkan adanya 20

36 kecenderungan dengan meningkatnya skala usaha maka biaya per satuan ternak dan per liter susu semakin menurun, penurunan ini disebabkan biaya tetap (perawatan kandang) pada peternak skala kecil lebih besar dibandingkan biaya tetap pada peternak skala besar. Adanya kecenderungan biaya produksi yang semakin rendah dengan semakin besarnya produksi, dapat disebabkan karena produsen skala besar memperoleh harga pembelian input yang relatif lebih murah. Pada umumnya pemilik faktor produksi memang akan memberikan harga yang lebih murah pada pembeli yang melakukan pembelian dalam jumlah besar. Produsen skala besar biasanya membeli faktor produksinya dalam jumlah banyak untuk dipakai dalam proses produksi maupun disimpan sebagai persediaan (inventory). Berbeda dengan produsen skala kecil, pada umumnya membeli faktor produksi dalam jumlah kecil karena memang kebutuhan faktor produksi untuk setiap kali proses produksinya masih kecil dan tidak melakukan aktivitas inventory. Perbedaan jumlah pembelian faktor produksi pada produsen yang berbedabeda skala produksinya, lebih jauh akan mempengaruhi daya tahan produsen terhadap gejolak harga faktor produksi (Alim 1996). Harga faktor produksi terbentuk oleh interaksi permintaan dan penawaran di pasar. Apabila jumlah permintaan melebih jumlah penawaran, maka sesuai dengan teori supply demand, harga faktor produksi akan bergerak naik. Konsekuensi lebih jauh adalah adanya pengaruh kenaikan harga faktor produksi tertentu bagi industri dengan skala produksi yang berbeda-beda yang menjadikan faktor produksi tertentu tersebut sebagai bahan baku utamanya. Kedelai sebagai sumber pangan khususnya sebagai sumber protein nabati, membuat kedelai penting dalam menu pangan yang murah dan mudah di dapat, lebih jauh lagi peran kedelai sebagai sumber pangan akan turut berperan dalam perekonomian nasional. Peran kedelai yang penting tersebut membuat industri pengolah kedelai, salah satunya industri tempe semakin meningkat jumlahnya. Di sisi lain Indonesia belum mampu mencukupi kebutuhan kedelai dalam negeri, sehingga pemenuhan kedelai dalam negeri masih sangat tergantung dengan kedelai impor. Konsekuensinya adalah harga kedelai di pasar domestik akan dipengaruhi oleh harga kedelai di pasar internasional. Bagi industri tempe akan 21

37 menjadi masalah ketika harga kedelai mengalami kenaikan. Skala produksi yang berbeda-beda membuat proporsi komponen biaya produksi yang dikeluarkan pengrajin tempe pun berbeda-beda pula, dan dari hasil tinjuan pustaka di dapat bahwa adanya kecenderungan dengan semakin meningkatnya skala produksi akan menurunkan total biaya per produksi yang dikeluarkan. 22

38 III KERANGKA PEMIKIRAN 3.1. Kerangka Teoritis Untuk mengetahui dampak kenaikan harga kedelai sebagai bahan baku (input) dalam industri tempe, akan digunakan beberapa teori yang berkaitan dengan hal tersebut. Teori yang digunakan yaitu teori produksi, teori harga khususnya pengaruh perubahan harga input terhadap penggunaan input, dan dilengkapi juga dengan teori biaya produksi Teori Produksi Perusahaan adalah suatu bentuk kegiatan yang bertujuan untuk menghasilkan produk berupa barang dan atau jasa dengan menggunakan sejumlah sumber daya atau input tertentu, kegiatan menghasilkan produk inilah yang disebut dengan produksi (Syahruddin, 1990). Hubungan antara produk dengan input secara matematis yaitu: Y= f (X).(1) dimana Y adalah produk atau output perusahaan sebagai fungsi dari penggunaan input (X). Dalam berproduksi, perusahaan senantiasa memperhatikan komposisi penggunaan input dalam rangka memperoleh produksi yang maksimal atau biaya produksi yang serendah mungkin, sehingga pada akhirnya mendapatkan keuntungan yang maksimal. Perusahaan besar maupun kecil memiliki tujuan yang sama, yaitu mendapatkan laba atau keuntungan yang maksimum (profit maximization). Pengertian keuntungan sendiri adalah selisih antara total penerimaan dengan total biaya. Total penerimaan adalah perkalian antara harga jual produk dengan jumlah hasil produksi (Y) yang dihasilkan, sedangkan total biaya adalah perkalian antara harga beli input produksi dengan jumlah input produksi yang digunakan. Secara matematis sederhana keuntungan dapat dituliskan sebagai berikut:

39 Keuntungan = π = Total Penerimaan - Total Biaya = TR - TC = P Y.Y - TVC - TFC = P Y. Y - P X. X - TFC.(2) dimana: TR = Total Revenue ( Total penerimaan) TC = Total Cost (Total biaya) PY = Harga jual produk PX = Harga beli input produksi TFC = Total Fixed Cost (Total biaya tetap) Y = Jumlah output ; X = Jumlah input Persamaan (2) menunjukkan bahwa keuntungan dipengaruhi oleh input produksi. Dalam praktiknya, produsen menggunakan lebih dari satu input, namun untuk penyederhanaan maka dalam penjelasan tersebut diasumsikan bahwa input yang digunakan hanya satu. Bila harga input meningkat, sesuai dengan teori permintaan, maka permintaan akan input menjadi menurun. Akibatnya produksi menjadi berkurang dan pada akhirnya keuntungan perusahaan akan menurun pula Pengaruh Perubahan Harga Input Terhadap Penggunaan Input Pengrajin tempe sebagai perusahaan tentu membutuhkan input dalam menjalankan kegiatan produksinya. Dengan demikian permintaan dari pengrajin tempe adalah input-input yang dibutuhkan untuk memproduksi tempe, seperti kedelai, bahan bakar, ragi, daun pisang, dan tenaga kerja. Permintaan akan inputinput tersebut dikenal sebagai derived demand (permintaan turunan). Hal ini disebabkan permintaan akan input timbul dari permintaan tempe sebagai output dari pengrajin tempe yang diminta oleh konsumen. Jumlah input yang diminta oleh pengrajin tempe, tergantung pada jumlah tempe yang akan diproduksinya. Jumlah tempe yang akan diproduksi tergantung pula pada tingkat keuntungan yang diharapkan pengrajin tempe. Sebagai produsen yang rasional, pengrajin tempe tentu akan menerapkan prinsip profit maximization dalam menjalankan usahanya. Berdasarkan persamaan (2), untuk mendapatkan keuntungan yang 24

40 maksimum yaitu turunan pertama dari fungsi keuntungan terhadap biaya variabel harus dibuat sama dengan nol, secara matematis yaitu: dπ = P Y. dy - P X = 0 dx dx = dy dx = PX PY atau P Y. MPP - P X = 0 = MPP = Px Py = NPM = P X...(3) Persamaan (3) menunjukkan bahwa untuk mendapatkan keuntungan yang maksimum atau kondisi yang optimal yaitu rasio harga input dengan output harus sama dengan turunan ouput terhadap input atau harga output dikalikan dengan produksi marginal (NPM) harus sama dengan harga input. Dengan kata lain hasil tambahan dari input yang terakhir harus sama dengan biaya input tambahan. Dapat juga dikatakan rasio harga input (P X ) terhadap harga output (P Y ) harus sama dengan hasil produksi fisik marginal dari input (MPP = dy dx ). Apabila P X meningkat, maka rasio P X dengan P Y menjadi semakin besar sehingga MPP menjadi lebih kecil dari rasio P X dengan P Y. Akibatnya produsen harus melakukan penyesuaian agar tetap mendapatkan keuntungan yang maksimum yaitu dengan mengubah MPP, bukan mengubah P X atau P Y karena diasumsikan produsen berada pada struktur Pasar Persaingan Sempurna (PPS). Adapun asumsi dalam PPS yaitu: (1) Produsen dianggap sebagai pembeli kecil di pasar input, sehingga produsen tidak dapat memengaruhi harga input di pasar; (2) Terdapat banyak produsen sejenis di pasar, sehingga tidak ada kekuatan produsen untuk memengaruhi harga output, dengan demikian produsen sebagai price taker sehingga relatif sulit bagi produsen untuk merubah harga outputnya dan sulit pula produsen memengaruhi perubahan harga input. Dengan demikian ketika P X meningkat, maka produsen melakukan penyesuaian dengan mengurangi jumlah input, dan sebagai akibatnya jumlah output yang dihasilkan menurun pula. Berdasarkan syarat untuk memaksimumkan keuntungan seperti yang ditunjukkan persamaan (3), dapat dilihat bahwa ada tiga faktor yang memengaruhinya yaitu harga hasil produksi atau output (P Y ), harga input (P X ), dan hubungan produksi fisik yang memengaruhi hasil produksi marginal ( dy dx ). 25

41 Penjelasan syarat keuntungan maksimum dapat pula didekati dari kurva produksi dan garis rasio harga input dengan output. Kurva produksi adalah kurva yang menggambarkan hubungan antara penggunaan input dengan output yang diproduksi (persamaan 1). Dengan demikian kurva ini menjelaskan bahwa output yang diproduksi tergantung dari input yang digunakan. Di sisi lain, input yang digunakan dipengaruhi oleh harga input tersebut, hubungan ini dapat dilihat pada Gambar 3. Y (output) dy 0 dx 0 Y= f (X) dy 1 dx 1 PX1 PY > PX0 PY PX0 PY X (input) PX (Harga input) PX 1 PX 0 Demand X 1 X 0 X (input) Gambar 3. Pengaruh Perubahan Harga Input Terhadap Permintaan Input Sumber : Doll dan Orazem (1984) 26

42 Gambar 3 menjelaskan untuk mendapatkan jumlah penggunaan input yang dapat menghasilkan kondisi yang optimal ( dy = PX dx PY ) dicapai ketika garis rasio harga input dengan output bersinggungan dengan kurva produksi, sehingga didapatlah jumlah penggunaan input yang optimum di X 0. Ketika harga input meningkat menjadi PX 1, maka rasio harga input dengan output akan semakin besar, sehingga kemiringan garis rasio harga akan meningkat. Ketika garis rasio harga setelah adanya peningkatan harga input ini disinggungkan kembali dengan kurva produksi, akan menyebabkan penggunaan input menjadi menurun (X 1 ). Titik-titik yang optimal yaitu ketika garis rasio harga bersinggungan dengan kurva produksi diturunkan ke dalam kurva hubungan antara jumlah penggunaan input dengan harga input, maka akan didapat garis permintaan input yang memiliki slope negatif. Dengan demikian, input produksi merupakan fungsi dari harga input dengan harga output. dy = PX dx PY dy = dx f X = PX PY X = f (P X, P Y )..(4) Uraian di atas menunjukkan ada hubungan antara harga input dengan jumlah input yang diminta. Hubungan antara harga dengan input ini termasuk ke dalam fungsi produksi, salah satu cara untuk menggambarkan fungsi produksi adalah dengan melihat kurva isokuan. Kurva isokuan secara umum menggambarkan kombinasi alternatif antara dua input yang saling bersubstitusi untuk menghasilkan sejumlah output tertentu. Namun kurva isokuan pada pengrajin tempe merupakan kurva isokuan khusus yang sifat antara masingmasing inputnya tidak saling bersubstitusi. Dengan kata lain sifat input pada produksi tempe adalah saling berkomplemen. Untuk lebih jelasnya, Gambar 4 menampilkan ilustrasi kurva isokuan pada pengrajin tempe. 27

43 Tenaga Kerja (Jam) Q tempe TK 1 TK 2 Kedelai (Kg) K 2 K 1 Gambar 4. Kurva Isokuan Pengrajin Tempe Gambar 4 menampilkan perubahan jumlah kedelai (K) yang digunakan pada sumbu X, dan perubahan jumlah jam tenaga kerja (TK) pada sumbu Y untuk menghasilkan tempe dengan jumlah tertentu (Q tempe). Adanya kenaikan harga kedelai membuat jumlah penggunaan kedelai menjadi menurun (dari K 1 menjadi K 2 ). Berdasarkan kurva isokuan, penurunan jumlah kedelai akan menurunkan pula penggunaan jumlah jam tenaga kerja. Hal ini disebabkan sifat kedua input dalam kurva isokuan adalah saling melengkapi atau berkomplemen dan sifat jumlah penggunaan inputnya adalah fixed proportion (proporsi yang tetap). Dengan demikian pada input yang sifatnya saling melengkapi, penurunan jumlah penggunaan suatu input tertentu akibat adanya kenaikan harga input tersebut akan menurunkan jumlah penggunaan input lainnya. Sifat penggunaan input yang saling melengkapi pada produksi tempe dengan jumlah proporsi yang tetap, membuat kegiatan produksi tempe kurang cocok jika dimodelkan dengan menggunakan fungsi produksi. Fungsi produksi cenderung menjelaskan hubungan input yang sifatnya saling bersubstitusi. Kondisi ini sangat berbeda dengan kondisi yang dihadapi pengrajin tempe. Salah satu model yang dapat digunakan untuk menerangkan hubungan input yang penggunaannya saling berkomplemen dan jumlah proporsinya tetap yaitu dengan menggunakan model Linear Programming. Secara umum model LP yang memaksimisasi keuntungan adalah sebagai berikut: 28

44 Optimumkan: dengan batasan: n Z = Cjxj j =1 n j =1 aij. xj ; bi, untuk i = 1,2,3,, m xj 0, untuk j = 1,2,3,, n atau dapat dituliskan secara lengkap sebagai berikut: Optimumkan: dengan batasan: Z = c 1 x 1 + c 2 x c n x n a 11 x 1 + a 12 x a 1n x n b 1 a 21 x 1 + a 22 x a 2n x n b 2... a m1 x 1 + a m2 x a mn x n b m dan x 1 0, x 2 0, dan x n 0 Keterangan: Z = fungsi tujuan yang dicari nilai optimalnya (maksimal atau minimal) C j = kenaikan nilai Z apabila ada pertambahan tingkat kegiatan xj dengan satu satuan unit n = macam kegiatan yang menggunakan sumberdaya yang tersedia m = macam batasan sumberdaya yang tersedia x j = tingkat kegiatan ke-j a ij = banyaknya sumberdaya i yang diperlukan untuk menghasilkan setiap unit keluaran kegiatan j b i = kapasitas sumberdaya i yang tersedia untuk dialokasikan ke setiap unit kegiatan 29

45 Dari rumus matematis LP tersebut, dapat dikelompokkan tiga komponen yaitu fungsi tujuan, faktor pembatas atau kendala yang juga dinyatakan dengan fungsi linear, dan ada faktor non-negativity, yaitu nilai koefisien a ij pada x j tidak boleh negatif sebab bila nilainya negatif, maka solusi LP tidak akan tercapai. Hasil dari solusi optimum kemudian dapat diketahui pengaruh perubahan parameter terhadap solusi optimum. Analisa perubahan parameter dan pengaruhnya terhadap solusi LP dinamakan post optimality analysis yang menunjukkan bahwa analisa ini terjadi setelah diperoleh solusi optimum, dengan mengasumsikan seperangkat nilai parameter yang digunakan dalam model (Mulyono 1991) Biaya Produksi Perubahan harga input X yang diterima produsen akan memengaruhi biaya produksi yang dikeluarkan produsen. Biaya dalam bidang produksi adalah beban yang harus ditanggung oleh produsen untuk mengadakan kegiatan produksi yang dinyatakan dalam bentuk uang. Komposisi biaya yang terjadi pada suatu usaha disebut struktur biaya. Struktur biaya berdasarkan perilaku biaya dibedakan menjadi biaya tetap dan biaya variabel. Proses produksi dalam kelangsungannya mengandung dimensi waktu, sehingga proses produksi ditandai dengan pembagian beberapa jenis waktu. Pembagian biaya menurut waktunya tergantung dari kemampuan perusahaan untuk menyesuaikan biaya pada periode waktu tertentu. Produksi jangka pendek adalah jangka produksi di mana dijumpai biaya input variabel dan biaya tetap. Produksi jangka panjang adalah jangka produksi di mana semua biaya bersifat variabel (Sudarsono 1995). Fungsi biaya produksi dalam jangka pendek menggambarkan biaya total produksi, yaitu jumlah keseluruhan biaya tetap dan biaya variabel. Biaya tetap (fixed cost) adalah biaya yang besarnya tidak berubah total dengan berubahnya produk, yang termasuk ke dalam biaya tetap misalnya gaji tenaga administratif; penyusutan mesin, gedung dan alat-alat lain. Biaya variabel (variabel cost) adalah biaya yang totalnya berubah-ubah dengan berubahnya produk. Biaya variabel diperlukan untuk membiayai input yang habis dipakai sekali dalam proses 30

46 produksi, dengan demikian biaya variabel merupakan biaya yang berkaitan langsung dengan output, yang bertambah besar dengan meningkatnya produksi dan sebaliknya bertambah kecil dengan semakin menurunnya produksi. Biaya variabel misalnya biaya bahan baku, biaya tenaga kerja langsung, dan lain-lain. Perilaku kedua jenis biaya ini dapat digambarkan dalam kurva seperti pada Gambar 5. Rp (TC, TFC, TVC) TC b TVC a TFC O Q Keterangan: TC : Total Cost (Biaya Total) TFC : Total Fixed Cost (Biaya Tetap Total) TVC : Total Variabel Cost (Biaya Variabel Total) Gambar 5. Kurva Biaya Total, Biaya Tetap Total, dan Biaya Variabel Total Sumber : Syahruddin (1990) Kurva TFC sejajar dengan garis horizontal. Sedangkan jarak Oa adalah sama dengan ab, dan diasumsikan kurva biaya berbentuk linear. Kurva biaya total memiliki bentuk seperti pada Gambar 5, karena masing-masing unit tambahan input akan menimbulkan biaya, sehingga biaya total akan semakin bertambah pula. Saat biaya variabel total bebas, dalam artian produsen tidak perlu membayar input variabel, maka kurva biaya total akan berbentuk horizontal. Dengan demikian biaya tidak akan tergantung dengan jumlah output. 31

47 Secara matematis biaya produksi yang dikeluarkan produsen adalah sebagai berikut: TC = TVC + TFC..(5) = P X. X + TFC Berdasarkan persamaan (5), harga input variabel X (P X ) akan memengaruhi biaya total yang dikeluarkan produsen. Kenaikan harga input menyebabkan biaya variabel total meningkat. Bila biaya variabel total naik, pada akhirnya akan menyebabkan biaya total semakin meningkat. Pada uraian sebelumnya, salah satu prinsip produsen adalah memaksimumkan keuntungan. Adanya kenaikan biaya total akibat kenaikan harga input tentu akan memengaruhi keputusan produsen dalam menentukan jumlah input yang akan digunakannya. Hubungan ini dapat dilihat dari Gambar 3. Gambar 6 menunjukkan kenaikan harga input dari P X0 menjadi P X1 mengakibatkan TC dan kemiringannya meningkat pula (TC 0 menjadi TC 1 ). Syarat untuk mendapatkan profit yang maksimum berdasarkan kurva yaitu ketika kurva TVP dan TC berada pada posisi yang sejajar atau jarak antara TC dengan TVP maksimum. Perubahan kemiringan TC berarti terjadi penyesuaian baru untuk untuk mendapatkan profit yang maksimum dari penggunaan input berdasarkan syarat yang telah disebutkan sebelumnya. Dengan demikian kenaikan harga input menyebabkan penggunaan input untuk memaksimumkan profit menjadi menurun dari X 0 menjadi X 1. Akibatnya pula terjadi penurunan profit seperti yang tergambar pada Gambar 3 bagian B. Hal ini sesuai dengan persamaan (2) yang menunjukkan secara aljabar bahwa apabila P X naik dengan asumsi faktor lain dianggap tetap akan menyebabkan penurunan keuntungan atau profit. 32

48 TVP (Rp) TVP 1 TVP 0 TC 1 (A) TC 0 X 1 X 0 X (input) (Rp) 1 Profit ( ) 0 (B) X 1 X 0 X (input) VMP (Rp) P X1 P X0 (C) Gambar 6. X 1 X 0 X (input) Pengaruh Kenaikan Total Biaya Terhadap Penggunaan Input dan Keuntungan Sumber : Doll dan Orazem (1984) 33

49 Skala Usaha dan Biaya Produksi Analisis biaya jangka panjang sangat penting untuk mengetahui apakah suatu perusahaan beroperasi pada skala usaha yang ekonomis (economies of scale) atau tidak ekonomis (diseconomies of scale). Hal ini karena skala usaha menunjukkan hubungan antara biaya produksi rata-rata dengan perubahan dalam ukuran (size) usaha. Dengan demikian, bila perluasan usaha bertambah, tetap atau berkurang dapat pula mencerminkan bahwa perluasan usaha tersebut diikuti oleh biaya produksi rata-rata yang menurun, tetap atau bertambah. Di dalam membuat keputusan jangka panjang, pengusaha harus mengetahui biaya produksi yang minimum pada berbagai tingkat produksi. Biaya minimum perusahaan dalam jangka panjang dapat diketahui dengan kurva biaya rata-rata jangka panjang. Kurva yang menunjukkan titik-titik biaya rata-rata minimum pada berbagai tingkat produksi disebut kurva amplop (envelope curve). Kurva ini merupakan kurva biaya rata-rata jangka panjang atau long-run average cost (kurva LRAC), yang melingkupi semua kemungkinan kurva biaya rata-rata jangka pendek. Rp/Q LRAC AC 1 AC n Skala ekonomis AC 2 Skala tidakekonomis Q x Q Gambar 7. Kurva Biaya Rata-Rata Jangka Panjang Sumber : Sukirno (1985) 34

50 Skala kegiatan produksi dikatakan bersifat skala ekonomis apabila pertambahan produksi menyebabkan biaya produksi rata-rata menjadi semakin rendah. Produksi yang semakin tinggi menyebabkan perusahaan menambah kapasitas produksi yang menyebabkan kegiatan produksi bertambah efisien. Pada Gambar 7 ditunjukkan oleh bagian kurva LRAC yang semakin menurun apabila produksi bertambah. Skala kegiatan produksi bersifat tidakekonomis apabila penambahan kapasitas memproduksi menyebabkan biaya rata-rata menjadi semakin tinggi. Ditunjukkan pada bagian kurva LRAC yang semakin bertambah tinggi setelah produksi melebihi Q x. Telah menjadi prinsip dasar bagi seorang pelaku usaha untuk memaksimalkan keuntungan yang mereka terima (profit maximization). Prinsip ini juga berlaku pada pengrajin tempe dalam kegiatan produksinya Kerangka Operasional Kedelai sebagai bahan baku utama pembuatan tempe, sebagian besar masih dipenuhi dari kedelai impor. Ketergantungan pada kedelai impor yang relatif tinggi (lebih dari 60 persen), membuat harga kedelai cenderung tidak stabil, karena mengikuti pergejolakan ekonomi di negara asal kedelai tersebut. Tahun 2008 harga kedelai impor melonjak tajam lebih dari 100 persen. Hal ini tentu saja berdampak pada kegiatan produksi pengrajin tempe. Terlebih lagi kedelai menjadi bahan baku utama dalam produksi tempe, sehingga adanya kenaikan harga kedelai tentu akan sangat memengaruhi kegiatan produksi pengrajin tempe. Pengrajin tempe sebagai produsen yang rasional akan melakukan penyesuaian input akibat kenaikan harga kedelai, agar tetap mendapatkan keuntungan yang maksimum. Sebenarnya pengrajin tempe selain melakukan penyesuaian input, juga dapat melakukan penyesuaian harga. Namun karena pengrajin tempe berada dalam struktur pasar persaingan sempurna, maka sulit bagi pengrajin untuk langsung menaikkan harga jual tempe ketika harga beli kedelai meningkat. Penyesuaian input yang dilakukan pengrajin yaitu dengan cara mengurangi pemakaian input yang memberikan biaya cukup besar bagi pengrajin. Salah satu 35

51 input tersebut bagi pengrajin tempe adalah kedelai. Namun karena kedelai merupakan input utama yang tidak dapat disubstitusi dengan komoditas lain, maka pengurangan input kedelai diduga akan diimbangi dengan pengurangan penggunaan input lainnya seperti tenaga kerja. Di sentra industri tempe Semanan, Jakarta Barat terdapat tiga skala produksi pengrajin tempe. Pengrajin skala kecil, menengah, dan besar. Akibat perbedaan skala tersebut diduga bahwa struktur biaya dan dampak kenaikan harga kedelai pada tiga skala produksi pengrajin tempe akan berbeda-beda. Struktur biaya pengrajin tempe akan dinalisis dengan memperbandingkan biaya total rata-rata produksi tempe pada tiga skala produksi tempe yang berbeda. Adapun dampak kenaikan harga kedelai dapat dianalisis dengan menggunakan program Linear Interactive Discrete Optimizer (LINDO). Dari hasil analisis struktur biaya dan dampak kenaikan harga kedelai, dapat diketahui skala mana yang paling ekonomis dan berpengaruh terhadap perubahan harga kedelai. Kerangka pemikiran operasional ini dapat dilihat pada Gambar 8 berikut. 36

52 Ketergantungan pada kedelai impor yang relatif tinggi (lebih dari 60 persen) Harga kedelai impor cenderung terus meningkat Dampak kenaikan harga kedelai sebagai input bagi pengrajin tempe Pengrajin tempe sebagai produsen yang rasional akan melakukan penyesuaian input akibat kenaikan harga kedelai, agar tetap mendapatkan profit yang maksimum Skala produksi pengrajin tempe yang berbeda-beda, tergantung jumlah penggunaan kedelai setiap harinya Membandingkan tiga skala produksi pengrajin tempe Analisis struktur biaya (kondisi optimal) Analisis Linear Programming Biaya tetap dan biaya variabel Perubahan harga kedelai sebagai kendala bahanbaku Skala produksi yang paling sensitif terhadap perubahan harga kedelai Penyesuaian skala produksi pengrajin tempe Gambar 8. Diagram Alur Pemikiran Operasional 37

53 IV METODE PENELITIAN 4.1. Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilakukan di kawasan industri tempe Semanan, Jakarta Barat, Propinsi DKI Jakarta. Pemilihan lokasi dilakukan secara sengaja (purposive) dengan pertimbangan bahwa industri tempe di Semanan merupakan salah satu sentra produksi tempe di DKI Jakarta. Wilayah Jakarta Barat dipilih karena kebutuhan rata-rata kedelai per harinya di Jakarta Barat cukup tinggi. Setiap hari Jakarta Barat membutuhkan 97,65 kg kedelai per hari, lebih tinggi dibandingkan kebutuhan kedelai di Jakarta Pusat, Selatan, dan Utara yang setiap harinya secara berurutan membutuhkan kedelai sebanyak 48,02 kg; 49,47 kg; dan 52,51 kg 8. Kegiatan pengumpulan data untuk keperluan penelitian dilakukan pada bulan Februari-Maret Waktu tersebut digunakan untuk memperoleh data dan keterangan dari para pengrajin tempe sebagai responden dan semua pihak yang terkait, seperti pengurus Koperasi Produsen Tahu Tempe Indonesia (KOPTI) Jakarta Barat dan Suku Dinas Perindustrian dan Perdagangan Jakarta Barat Metode Penentuan Sampel Pemilihan sampel pengrajin tempe yang digunakan dalam penelitian ini menggunakan teknik nonprobability sampling, yaitu snowball dan purposive sampling. Teknik ini digunakan karena di lapangan tidak tersedia data nama pengrajin dan jumlah penggunaan kedelainya. Pengrajin tempe berdasarkan skala produksi atau size of businessnya oleh Koperasi Produsen Tahu Tempe Indonesia (KOPTI) terbagi menjadi tiga skala yaitu pengrajin tempe skala kecil, menengah, dan besar. Pengrajin tempe yang termasuk ke dalam skala kecil adalah pengrajin yang mengolah kurang dari 100 kg kedelai per hari. Pengrajin skala menengah adalah pengrajin yang mengolah mulai dari 100 hingga kurang dari 200 kg kedelai setiap harinya, sedangkan pengrajin skala besar adalah pengrajin yang mengolah mulai dari 200 kg kedelai setiap harinya. 8 [15 Januari 2010]

54 Pendekatan snowball digunakan untuk mengetahui gambaran umum usaha dengan mewawancarai tujuh puluh pengrajin tempe (10 persen dari total pengrajin) yang mewakili ketiga skala. Pendekatan purposive sampling dilakukan dengan mewawancarai secara mendalam sebanyak enam pengrajin tempe yang menjadi perwakilan dari tiap skala (masing-masing skala diwakili oleh dua pengrajin tempe) Data dan Instrumentasi Jenis data dalam penelitian ini berupa data primer dan data sekunder. Data primer diperoleh secara langsung melalui pengamatan dan wawancara dengan responden pengrajin tempe dengan menggunakan instrument berupa panduan pertanyaan (kuisioner) yang telah disiapkan sebelumnya. Data primer pada penelitian, mencakup keragaan usaha produksi tempe seperti teknis pengolahan kedelai menjadi tempe, jumlah produksi, dan informasi lainnya yang berguna untuk menunjang penelitian ini. Data sekunder merupakan data pelengkap dari data primer yang bersumber dari literatur-literatur yang relevan. Data sekunder diperoleh dari instansi-instansi terkait, seperti Suku Dinas Perindustrian dan Perdagangan Jakarta Barat dan Primkopti Swakerta Jakarta Barat. Selain itu, dilakukan juga penelusuran melalui situs resmi Badan Pusat Statistik (BPS) dan Departemen Pertanian (Deptan), buku serta penelitian-penelitian sebelumnya yang dapat dijadikan sebagai bahan rujukan yang berhubungan dengan topik penelitian. Data sekunder mencakup data produksi, produktivitas, luas areal tanam berbagai komoditas pangan, serta perkembangan harga kedelai di pasar domestik maupun di pasar internasional Metode Pengumpulan Data Data dikumpulkan berdasarkan wawancara dengan panduan pertanyaan yang telah dibuat sebelumnya (Lampiran 1) dan berdasarkan observasi langsung di tempat penelitian. 39

55 4.5. Metode Pengolahan dan Analisis Data Data yang diperoleh dianalisis secara kualitatif dan kuantitatif. Analisis kualitatif digunakan untuk mengetahui gambaran umum usaha produksi tempe yang ditampilkan dalam bentuk deskriptif, sedangkan analisis kuantitatif disajikan dalam bentuk tabulasi dan grafik untuk menyederhanakan data ke dalam bentuk yang mudah dibaca. Dalam penelitian ini analisis kuantitatif meliputi analisis struktur biaya dan optimalisasi yang diolah dengan menggunakan perangkat lunak (software) Microsoft Excel 2007 dan Linear Interactive Discrete Optimizer (LINDO) Analisis Struktur Biaya Analisis struktur biaya dilakukan dengan mengelompokkan biaya-biaya yang dikeluarkan pada usaha produksi tempe. Struktur biaya tersebut terdiri dari biaya tetap dan biaya variabel. Metode perhitungan struktur biaya tiap skala usaha dapat dilihat pada Tabel 4. Tabel 4. Struktur Biaya Produksi Usaha Tempe Uraian Skala Kecil Skala Menengah Skala Besar Biaya tetap: - Penyusutan alat - Listrik penerangan - TKDK Jumlah biaya tetap Rata-rata Biaya variabel: - Kedelai - Ragi - Bahan bakar - Plastik - Daun pisang - TLKL - Listrik untuk penggunaan mesin pemecah kedelai Jumlah biaya variabel Rata-rata 40

56 Untuk mendapatkan total biaya (TC) diperoleh dengan cara menjumlahkan total biaya tetap (TFC) dengan total biaya variabel (TVC) yang dirumuskan sebagai berikut: TC = TFC + TVC Untuk menghitung total biaya rata-rata (ATC) adalah dengan menjumlahkan biaya tetap rata-rata (AFC) dengan biaya variabel rata-rata (AVC). Penentuan skala usaha yang efisien akan mengacu pada struktur biaya dengan melihat ATC yang paling rendah, dirumuskan sebagai: ATC = AFC +AVC Biaya penyusutan peralatan produksi dihitung berdasarkan metode penyusutan garis lurus atau rata-rata, yaitu nilai pembelian dikurangi taksiran nilai sisa dibagi dengan umur ekonomis. Rumus yang digunakan yaitu: Penyusutan = Nilai beli (Rp) - Nilai Sisa (Rp) Umur ekonomis (tahun) Perumusan Model Linear Programming Teknik analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah Linear Programming (LP). Terdapat tiga buah model LP yang mewakili masing-masing skala produksi pengrajin tempe. Masing-masing model LP, memiliki variabel keputusan, fungsi tujuan, dan fungsi kendala yang berbeda-beda. Adapun masingmasing perumusan model LP pada setiap skala produksi adalah sebagai berikut: 1) Model LP Pengrajin Tempe Skala Kecil a) Variabel Keputusan Q K M 1 : Jumlah kedelai yang digunakan (kg) : Jumlah bahan (ragi, plastik, daun pisang, kayu bakar) yang digunakan (setara dengan kg kedelai) untuk menghasilkan tempe jenis 1 M 2 : Jumlah bahan untuk menghasilkan tempe jenis 2 Q T11 : Jumlah tempe jenis 1 yang dihasilkan pengrajin skala kecil (kg/kedelai) 41

57 Q T12 : Jumlah tempe jenis 2 yang dihasilkan pengrajin skala kecil (kg/kedelai) b) Fungsi Tujuan Maks. Z = Keuntungan maksimum = - P M1 M 1 P M2 M 2 P K Q K + P T11 T 11 + P T12 T 12 c) Sistem Kendala (1) Kendala kedelai Q K b1 (2) Kendala tenaga kerja a 11 M 1 + a 12 M 2 b 2 (3) Kendala kere a 21 M 1 + a 22 M 2 b 3 (4) Kendala produksi minimum Q T11 b 4 Q T12 b 5 (5) Kendala transfer kedelai M 1 + Q T M 2 + Q T12 0 (6) Kendala non negativity Qk, a 11, a 12, a 21, a ) Model LP Pengrajin Tempe Skala Menengah a) Variabel Keputusan Q K : Jumlah kedelai yang digunakan (kg) M 1 : Jumlah bahan untuk menghasilkan tempe jenis 1 M 2 : Jumlah bahan untuk menghasilkan tempe jenis 2 M 3 : Jumlah bahan untuk menghasilkan tempe jenis 3 Q T21 Q T22 : Jumlah tempe jenis 1 yang dihasilkan pengrajin skala menengah (kg/kedelai) : Jumlah tempe jenis 2 yang dihasilkan pengrajin skala menengah(kg/kedelai) 42

58 Q T23 TKL : Jumlah tempe jenis 3 yang dihasilkan pengrajin skala menengah (kg/kedelai) : Jumlah jam penggunaan tenaga kerja luar keluarga (jam) d) Fungsi Tujuan Maks. Z = Keuntungan maksimum = - P M1 M 1 P M2 M 2 P M3 M 3 - P K Q K + P T21 T 21 + P T22 T 22 + P T23 T 23 e) Sistem Kendala (1) Kendala kedelai Q K b1 (2) Kendala tenaga kerja a 11 M 1 + a 12 M 2 + a 13 M 3 b 2 (3) Kendala kere a 21 M 1 + a 22 M 2 + a 23 M 3 b 3 (4) Kendala produksi minimum Q T21 b 4 Q T22 b 5 Q T23 b 6 (5) Kendala transfer kedelai M 1 + Q T M 2 + Q T M 3 + Q T23 0 (6) Kendala non negativity Qk, a 11, a 12, a 13, a 21, a 22, a ) Model LP Pengrajin Tempe Skala Besar a) Variabel Keputusan Q K : Jumlah kedelai yang digunakan (kg) M 1 : Jumlah bahan untuk menghasilkan tempe jenis 1 M 2 : Jumlah bahan untuk menghasilkan tempe jenis 2 M 3 : Jumlah bahan untuk menghasilkan tempe jenis 3 M 4 : Jumlah bahan untuk menghasilkan tempe jenis 4 43

59 Q T31 Q T32 Q T33 Q T34 TKL : Jumlah tempe jenis 1 yang dihasilkan pengrajin skala besar (kg/kedelai) : Jumlah tempe jenis 2 yang dihasilkan pengrajin skala besar (kg/kedelai) : Jumlah tempe jenis 3 yang dihasilkan pengrajin skala besar (kg/kedelai) : Jumlah tempe jenis 4 yang dihasilkan pengrajin skala besar (kg/kedelai) : Jumlah jam penggunaan tenaga kerja luar keluarga (jam) f) Fungsi Tujuan Maks. Z = Keuntungan maksimum = - P M1 M 1 P M2 M 2 P M3 M 3 P M4 M 4 - P K Q K + P T31 T 31 + P T32 T 32 + P T33 T 33 + P T34 T 34 g) Sistem Kendala (1) Kendala kedelai Q K b1 (2) Kendala tenaga kerja a 11 M 1 + a 12 M 2 + a 13 M 3 + a 14 M 4 b 2 (3) Kendala kere a 21 M 1 + a 22 M 2 + a 23 M 3 + a 24 M 4 b 3 (4) Kendala produksi minimum Q T31 b 4 Q T32 b 5 Q T33 b 6 Q T34 b 7 (5) Kendala transfer kedelai M 1 + Q T M 2 + Q T M 3 + Q T M 4 + Q T34 0 (6) Kendala non negativity Qk, a 11, a 12, a 13, a 14, a 21, a 22, a 23, a

60 Untuk fungsi tujuan pada ketiga model LP, terdiri dari harga bahan untuk masing-masing jenis tempe (PM) dikalikan banyaknya bahan yang digunakan kemudian dikurangi harga jual masing-masing jenis tempe (PT) yang dikalikan dengan banyaknya tempe yang dihasilkan. 45

61 V KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN 5.1. Gambaran Umum Kelurahan Semanan Kelurahan Semanan yang berada pada wilayah Kecamatan Kalideres, berbatasan langsung dengan Sungai Cisadane di sebelah utara, Kelurahan Petir- Cipondoh di sebelah selatan. Di sebelah barat berbatasan dengan Kelurahan Poris Gaga Tangerang dan sebelah timur berbatasan dengan Kelurahan Duri Kosambi. Luas wilayah Kelurahan Semanan yaitu hektar dengan jarak ke pusat Pemerintahan DKI Jakarta sejauh 17 Km, jarak ke pusat Pemerintahan Kotamadya Jakarta Barat sejauh 9 Km, dan jarak ke Kecamatan Kalideres sejauh 2 Km. Sarana ekonomi yang terdapat di wilayah ini yaitu satu buah bank milik pemerintah, satu buah lembaga keuangan milik pemerintah, koperasi serba usaha sebanyak dua buah, dan warung serba ada atau minimarket sebanyak lima buah. Disamping sarana ekonomi, di Kelurahan Semanan juga terdapat sarana perdagangan dan industri yang terdiri dari pertokoan sebanyak tiga buah, pasar sebanyak enam buah, toko sebanyak 356 buah, kios sebanyak 600 buah, warung sebanyak 540 buah, lokasi kaki lima sebanyak dua buah, industri besar sebanyak enam belas buah, industri menengah sebanyak dua puluh buah, industri kecil sebanyak tiga belas buah, dan industri rumah tangga sebanyak tiga buah. Untuk mendukung sarana perekonomian dan perdagangan, Kelurahan Semanan juga memiliki sarana perhubungan berupa: stasiun kereta api sebanyak satu buah; jalan lingkungan sepanjang 6,7 Km; tempat penyeberangan sungai sebanyak tiga buah; dan jembatan sebanyak tujuh buah. Adapun sarana komunikasi yang terdapat di Kelurahan Semanan meliputi telepon umum sebanyak lima buah, warung telekomunikasi sebanyak lima puluh tiga buah, warung internet sebanyak enam buah, kantor pos sebanyak satu buah, dan tiga buah bus surat. Sarana pendidikan yang dimiliki Kelurahan Semanan yaitu gedung Sekolah Dasar (SD) sebanyak empat belas buah buah, gedung Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama (SLTP) sebanyak dua buah, dan gedung Sekolah Lanjutan Tingkat Atas (SLTA) sebanyak dua buah.

62 Kelurahan Semanan memiliki 12 RW dan 113 RT, dengan jumlah penduduk laki-laki sebanyak orang sedangkan jumlah penduduk perempuan sebanyak orang. Sebaran usia terbanyak berada pada kisaran 31 sampai 40 tahun sebanyak orang (14,76 persen). Penduduk di Kelurahan Semanan pada umumnya memiliki tingkat pendidikan Sekolah Dasar (SD) sebanyak orang atau 22,69 persen dan disusul dengan tingkat pendidikan Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama (SLTP) sebanyak orang atau 13,63 persen. Berdasarkan mata pencahariannya, penduduk di Kelurahan Semanan secara rinci dapat dilihat pada Tabel 5. Tabel 5. Sebaran Penduduk di Kelurahan Semanan berdasarkan Mata Pencaharian Tahun 2009 Mata Pencaharian Jumlah (Orang) Kontribusi (%) Tani 607 2,15 Buruh ,55 Pedagang ,12 Karyawan swasta 613 2,17 PNS 469 1,66 ABRI 45 0,16 Pensiunan 276 0,98 Swasta lainnya 856 3,03 Lainnya ,18 Jumlah ,00 Sumber : Monografi Kelurahan Semanan (2010) 5.2. Gambaran Umum Sentra Industri Tempe Kelurahan Semanan Karakteristik Pengrajin Tempe Karakteristik pengrajin tempe diperoleh melalui hasil wawancara sebanyak 70 pengrajin tempe, yang terdiri dari 45 pengrajin tempe skala kecil, 17 pengrajin tempe skala menengah, dan 8 pengrajin tempe skala besar. Karakteristik 47

63 pengrajin meliputi tingkat pendidikan, usia, jumlah anggota keluarga, lama pengalaman usaha, dan cara pemasaran Tingkat Pendidikan Tingkat pendidikan pada daerah penelitian, sebagian besar didominasi oleh responden lulusan Sekolah Dasar (SD). Keadaan ini terjadi di masing-masing skala produksi pengrajin tempe (Tabel 6). Dapat dikatakan bahwa kemampuan dalam membuat tempe tidak dipengaruhi oleh faktor tingkat pendidikan. Tabel 6. Sebaran Responden Menurut Tingkat Pendidikan di Sentra Industri Tempe Kelurahan Semanan Tahun 2010 Tingkat Pendidikan Skala Produksi Total Kecil (Orang) Menengah (Orang) Besar (Orang) (Orang) Tidak tamat SD SD SMP Total Sumber: Data Primer (2010) Usia Rata-rata usia seluruh responden adalah 43 tahun, dengan usia termuda adalah 23 tahun. Sebaran usia terbanyak pada responden di tiap skala adalah antara usia 41 tahun hingga usia 50 tahun. Sebaran usia yang paling sedikit beragam di setiap skala. Responden skala kecil memiliki sebaran usia yang paling sedikit pada umur 20 hingga 30 tahun. Responden skala menengah dan besar memiliki sebaran usia yang paling sedikit pada umur 31 hingga 40 tahun. Secara rinci diperlihatkan pada Tabel 7. Tabel tersebut menunjukkan bahwa besarnya skala pengrajin tempe di Sentra Industri Tempe Kelurahan Semanan tidak dipengaruhi oleh usia pengrajin. 48

64 Tabel 7. Sebaran Responden Menurut Usia di Sentra Industri Tempe Kelurahan Semanan Tahun 2010 Sebaran Usia Skala Produksi Total (Tahun) Kecil (Orang) Menengah (Orang) Besar (Orang) (Orang) > Total (Orang) Sumber: Data Primer (2010) Anggota Keluarga Jumlah anggota keluarga memiliki pengaruh yang cukup penting dalam menggeluti usaha tempe. Bagi kebanyakan pengrajin, anggota keluarga dapat dijadikan sebagai sumber tenaga kerja untuk memproduksi tempe. Semakin banyak jumlah anggota keluarga yang dimiliki pengrajin tempe, berarti semakin besar pula kebutuhan dan pengeluaran biaya hidup yang harus ditanggung oleh pengrajin, karena pada umumnya para pengrajin ini tidak memiliki pekerjaan lain atau usaha sampingan selain memproduksi tempe. Sebaran responden menurut jumlah anggota keluarga dapat dilihat pada Tabel 8. Tabel 8. Sebaran Responden Menurut Jumlah Anggota Keluarga di Sentra Industri Tempe Kelurahan Semanan Tahun 2010 Jumlah Anggota Skala Produksi Jumlah Keluarga (Orang) Kecil Menengah Besar (Orang) Jumlah (Orang) Sumber: Data Primer (2010) 49

65 Tabel 8 memperlihatkan bahwa pada umumnya pengrajin tempe di daerah penelitian memiliki anggota keluarga antara tiga sampai empat orang. Hal ini terlihat pada ketiga skala pengusahaan pengrajin. Dengan demikian semakin besar jumlah anggota keluarga yang dimiliki, tidak diikuti dengan peningkatan skala pengusahaan pengrajin Lama Pengalaman Usaha Keahlian pengrajin tempe sebagian besar diperoleh dari keluarga, karena pada umumnya usaha tempe ini merupakan usaha turun temurun. Sebaran lama pengalaman usaha terbesar pada setiap skala pengrajin berada pada kisaran 21 tahun hingga 30 tahun. Sebaran lama pengalaman terkecil beragam pada tiap skala. Pengrajin skala kecil memiliki tingkat pengalaman lama usaha terkecil pada kisaran 11 hingga 20 tahun, pengrajin skala menengah 31 hingga 40 tahun, dan pengrajin skala besar 21 hingga 30 tahun. Berdasarkan uraian tersebut, maka lama pengalaman usaha bukanlah jaminan apakah usaha produksi tempe mampu berkembang dengan baik atau tidak, karena masih ada faktor lain seperti keterbatasan modal yang dimiliki maupun motivasi pengrajin untuk mengembangkan usahanya. Sebaran responden menurut lama pengalaman usaha dapat dilihat pada Tabel 9. Tabel 9. Sebaran Responden Menurut Lama Pengalaman Usaha di Kelurahan Semanan Tahun 2010 Lama Pengalaman Skala Produksi Total (Tahun) Kecil Menengah Besar (Orang) Total (Orang) Sumber: Data Primer (2010) 50

66 Cara Pemasaran Pemasaran merupakan aspek yang sangat penting setelah kegiatan produksi, karena melalui pemasaran ini pengrajin dapat memperoleh penghasilan. Pada umumnya pengrajin tempe di daerah penelitian memasarkan tempe yang dihasilkannya dengan berjualan secara keliling. Pengrajin skala menengah dan besar paling banyak berjualan di pasar. Pengrajin skala kecil didominasi cara penjualan secara keliling dengan menggunakan sepeda atau motor yang telah dilengkapi dengan keranjang bambu untuk membawa tempe. Secara rinci dapat dilihat pada Tabel 10. Tabel 10. Sebaran Responden Menurut Cara Pemasaran Tempe di Sentra Industri Tempe Kelurahan Semanan Tahun 2010 Cara Pemasaran Tempe Kecil (Orang) Skala Produksi Menengah (Orang) Besar (Orang) Total (Orang) Pasar Keliling Total (Orang) Sumber: Data Primer (2010) Proses Produksi Pembuatan tempe pada dasarnya adalah mencampur benih kapang agar tumbuh subur sehingga biji kedelai yang telah direbus tertutup lapuk yang berwarna putih seperti kapas. Untuk memproduksi tempe hingga siap untuk dipasarkan, dibutuhkan tiga hari proses produksi. Meskipun demikian proses produksi ini dilakukan setiap hari, sehingga tempe dapat dijual setiap harinya. Tempe segar dalam suhu ruang memiliki umur simpan satu hingga dua hari. Lebih dari dua hari disimpan dalam suhu ruangan, tempe akan berubah baik dari penampakan luar, aroma, maupun rasa. Masing-masing pengrajin pada daerah penelitian, pada umumnya memiliki cara yang sama dalam pembuatan tempe. Kegiatan mengolah kedelai menjadi 51

67 tempe dilakukan dalam beberapa tahap yaitu pencucian, perebusan, perendaman, pengupasan kulit, peragian, pembungkusan atau pencetakan, dan pengeraman. Pada umumnya alat yang diperlukan untuk membuat tempe merupakan peralatan rumah tangga dan relatif sederhana. Meskipun sederhana, namun diperlukan keterampilan dan pengalaman agar mendapatkan hasil tempe yang baik. Berikut ini dijelaskan peralatan yang dibutuhkan dan proses atau cara pembuatan tempe pada masing-masing skala produksi Peralatan Produksi Peralatan yang dibutuhkan untuk membuat tempe pada masing-masing skala kecil, menengah, dan besar hampir serupa. Perbedaan pada masing-masing skala terletak pada jumlah (unit) peralatannya. Begitu pula bahan-bahan yang dibutuhkan dalam memproduksi tempe, setiap skala menggunakan bahan-bahan yang sama. Untuk membuat tempe pada pengrajin skala kecil dibutuhkan peralatan berupa drum plastik untuk merendam kedelai dan menampung air, drum besi untuk merebus kedelai, ayakan bambu yang berguna untuk memisahkan kulit kedelai setelah direbus, gayung untuk mengangkat kedelai dari drum besi ke dalam drum plastik, dan alat pemecah kedelai. Untuk memecahkan kedelai, pengrajin tempe di dareah penelitian sudah menggunakan cara yang lebih modern yaitu dengan menggunakan mesin pemecah kedelai, tidak dengan menginjak-injak kedelai. Mesin ini digunakan setelah kedelai direbus dan berguna untuk memecah kepingan kedelai. Pada daerah penelitian terdapat mesin yang terbuat dari kayu dan besi. Mesin yang terbuat dari kayu ada yang digerakkan secara manual dengan cara memutar tuas yang ada di samping mesin dan ada pula pengrajin yang sudah menggunakan mesin yang digerakkan dengan dinamo listrik. Tampilan kedua jenis mesin tersebut dapat dilihat pada Gambar 9 berikut ini. 52

68 (a) (b) Gambar 9. (a) Mesin Pemecah Kedelai Manual; (b) Mesin Pemecah Kedelai Listrik Peralatan lainnya yang digunakan yaitu kajang atau selanjutnya biasa disebut dengan kere yang berfungsi sebagai tempat untuk meletakkan kedelai yang telah dicetak atau dikemas selama masa pemeraman. Kere terbuat dari anyaman bambu berukuran 200 cm x 40 cm. Kemudian dibutuhkan pula bak-bak cetakan terbuat dari kayu yang berguna untuk mencetak kedelai setelah tercampur dengan ragi atau laru. Cetakan dibutuhkan untuk mendapatkan bentuk dan ukuran tempe yang seragam. Rata-rata pengrajin tempe skala kecil memerlukan dua buah drum plastik untuk menampung air, 1 buah drum plastik sebagai tempat merendam kedelai, serta 1 buah drum besi untuk merebus kedelai. Kere dan cetakan yang dimiliki pengrajin tempe skala kecil rata-rata berjumlah empat hingga dua puluh unit. Dapur yang digunakan untuk mengolah kedelai merupakan dapur yang digunakan pula sebagai dapur rumah, tempat memasak makanan sehari-hari. Dengan kata lain dapur sebagai tempat pembuatan tempe bergabung dengan dapur rumah utama. Tidak ada sekat antara sumur dengan dapur, sehingga dapur menjadi mudah kotor oleh air yang berasal dari sumur. Tempat untuk merebus kedelai juga sangat berdekatan dengan sumur, namun dibuat lebih tinggi. Sehingga di dalam ruang dapur menjadi panas dan penuh asap ketika kedelai sedang direbus. Ditambah lagi tidak adanya jendela atau lubang angin yang memadai, sehingga udara panas sulit untuk keluar ruangan. 53

69 Gambar 10. Suasana Dapur Produksi Tempe Dapur menjadi pusat kegiatan pembuatan tempe, tempe yang telah direbus dan dicampur dengan ragi kemudian dicetak dalam cetakan kayu yang juga dilakukan di dalam dapur. Namun ada beberapa pengrajin tempe skala kecil yang melakukan proses pencetakan di teras depan rumah. Setelah dicetak dan agak padat, tempe yang setengah jadi dipindahkan ke dalam kere dan kemudian disimpan dalam rak penyimpan yang juga diletakkan di dalam dapur. Peralatan yang dimiliki pengrajin skala menengah relatif sama dengan pengrajin skala kecil. Peralatan yang dibutuhkan yaitu drum besi untuk merebus sebanyak satu hingga dua buah, drum plastik sebagai tempat untuk menampung air dan merendam serta mencuci kedelai sebanyak empat buah. Ayakan atau saringan bambu untuk memisahkan kulit kedelai saat direndam sebanyak dua hingga empat buah, ember sebanyak dua buah untuk memindahkan kedelai yang telah direndam dan ditiriskan ke dalam cetakan dan sebelumnya telah dicampur dengan ragi atau laru. Seperti pengrajin tempe skala kecil, pengrajin tempe skala menengah juga menggunakan mesin pemecah kedelai. Namun terdapat perbedaan mesin yang digunakan pengrajin skala kecil dengan skala menengah. Mesin yang digunakan oleh pengrajin skala kecil berupa mesin yang terbuat dari kayu dan digerakkan secara manual dengan memutar rantai. Sedangkan mesin pemecah kedelai yang dimiliki oleh pengrajin skala menengah sudah otomatis 54

70 menggunakan dinamo, namun bak penampung masih menggunakan kayu. Harga beli mesin kayu manual berkisar antara Rp hingga Rp , sedangkan mesin pemecah kedelai yang sudah menggunakan dinamo dengan bak penampung terbuat dari kayu harganya berkisar antara Rp hingga Rp Apabila terjadi kerusakan pada mesin yang dimiliki pengrajin skala kecil, paling sering akibat bak kayu yang sudah lapuk sehingga perlu diganti. Sedangkan kerusakan yang paling sering terjadi pada mesin pemecah kedelai yang dimiliki pengrajin skala menengah yaitu pada komponen dinamo apabila terkena air, sehingga perlu diganti dengan dinamo yang baru. Peralatan lainnya yaitu kajang atau kere anyaman bambu untuk tempat meletakkan kedelai yang telah dicetak hingga menjadi tempe. Tidak ada perbedaan antara kere yang dimiliki pengrajin masing-masing skala. Kere yang dimiliki oleh pengrajin skala menengah berkisar antara dua puluh buah hingga lima puluh buah kere. Rak yang dimiliki pengrajin skala menengah adalah rak dengan sepuluh tingkat, bahkan pada umumnya pengrajin juga membuat semacam rak tambahan yang letaknya berada di atas atau menggantung. Jika masih tidak mencukupi, pengrajin meletakkan kere yang telah terisi dengan calon tempe di bagian depan rumah. Dapur yang digunakan sebagai tempat produksi, pada umumnya masih menempel dengan rumah utama. Biasanya terletak di bagian samping rumah, sehingga tidak mengganggu aktivitas dapur rumah utama. Namun masih ada beberapa pengrajin yang menyatukan antara dapur untuk produksi tempe dan dapur rumahtangga pengrajin. Pengrajin tempe skala besar juga membutuhkan peralatan yang serupa dengan pengrajin di skala lainnya. Untuk mencuci dan membersihkan kedelai dari kotoran seperti batu dan batang kedelai kering digunakan drum plastik seperti yang digunakan pengrajin skala kecil dan menengah. Drum plastik yang dimiliki oleh pengrajin skala besar berjumlah lima hingga sepuluh buah, dengan kapasitas tiap drumnya sebanyak 50 kg kedelai. Tempat penampungan air, selain menggunakan drum plastik, juga dibuat kolam sederhana yang terbuat dari batubata dan semen. Kolam bervariasi ukurannya, ada yang berbentuk persegi dengan ukuran 1,2 m dan ada pula yang berbentuk memanjang dengan ukuran 2,5 x 1 m. 55

71 Dibutuhkan pula drum besi untuk merebus yang dapat memuat 50 kg kedelai untuk tiap drumnya. Pengrajin skala besar memiliki dua hingga empat drum besi untuk merebus. Kemudian digunakan pula mesin pemecah kedelai yang terbuat dari besi dan digerakkan dengan dinamo. Mesin ini sangat tahan lama bila dinamo dijaga agar tidak terkena air. Bila dinamo mengalami kerusakan, biaya perbaikan yang dikeluarkan pengrajin sebesar Rp hingga Rp Untuk memindahkan kedelai yang telah dicampur dengan ragi ke dalam cetakan atau kantong, pengrajin skala besar menggunakan ember yang berjumlah dua hingga lima buah. Seperti pengrajin skala kecil maupun menengah, pengrajin skala besar juga menggunakan kere anyaman sebagai tempat menaruh kedelai yang telah dicetak atau dikemas. Kere anyaman yang dimiliki pengrajin skala besar berjumlah empat puluh hingga lima puluh buah. Berbeda dengan pengrajin tempe skala kecil dan menengah yang menggunakan dapur bersama dengan dapur rumah tangga, maka pengrajin tempe skala besar memiliki dapur yang terpisah dengan rumah utama. Dengan kata lain, pengrajin memiliki dua buah rumah yang letaknya saling berdekatan. Rumah pertama digunakan untuk tempat tinggal, dan rumah kedua dijadikan sebagai tempat mengolah kedelai sekaligus gudang penyimpanan kedelai dan tempat tinggal bagi pekerja sebanyak dua hingga empat orang Cara Pembuatan Tempe Tidak ada perbedaan antara pengrajin skala kecil, menengah, dan besar dalam membuat tempe. Perbedaan hanya ada pada kegiatan pengemasan. Langkah pertama dalam membuat tempe adalah mencuci kedelai dengan air. Kedelai dicuci dalam drum plastik untuk membersihkan benda-benda asing yang tidak diinginkan, seperti kerikil atau batang tanaman kedelai. Kemudian kedelai direbus dalam drum besi hingga air mendidih. Perebusan bertujuan untuk melunakan biji kedelai yang keras sehingga memudahkan ragi untuk menembus kedelai saat pemeraman. Untuk merebus kedelai digunakan kayu sebagai bahan bakar. Kedelai yang telah direbus kemudian direndam dalam air dingin selama jam sampai menghasilkan kedelai yang berlendir dan masam. Tahap selanjutnya yaitu mencuci kedelai dengan membuag air rendaman terlebih dahulu 56

72 hingga bersih. Dilanjutkan dengan kegiatan mengupas kulit dan memecah kedelai dengan menggunakan mesin. Kegiatan ini bertujuan untuk memudahkan penetrasi enzim dan pertumbuhan miselium kapang yang digunakan. Kegiatan selanjutnya setelah proses pengupasan kulit yaitu pencucian kedelai kembali dengan menggunakan air bersih. Kedelai dicuci dengan cara diaduk-aduk sehingga kulit kedelai mengapung dan mudah diambil dengan menggunakan ayakan bambu. Kemudian kedelai ditiriskan dan dibiarkan dingin dalam drum plastik yang telah dilubangi, sehingga air dapat dimaksimalkan untuk keluar dan mencegah terjadinya kelebihan air yang dapat mendorong berkembangnya bakteri. Kedelai yang telah benar-benar tiris kemudian dicampur dengan ragi atau laru tempe dengan mencampur dan mengaduknya bersama kedelai hingga tercampur benar. Proses ini sering dianggap sebagai proses yang paling sulit, karena apabila salah dalam melakukan proses ini, maka kapang akan gagal tumbuh sehingga tempe tidak akan jadi. Menurut pengalaman pengrajin, keadaan suhu lingkungan dan cuaca sangat menentukan banyaknya ragi yang akan diberikan. Apabila cuaca panas maka ragi yang diberikan akan lebih sedikit dibandingan dengan cuaca dingin atau kurang panas. Kedelai yang telah tercampur ragi, kemudian siap untuk dicetak atau dikemas. Kegiatan mencetak dapat menggunakan bak kayu cetakan atau secara manual dengan membentuk sendiri ukuran tempe yang diinginkan, tetapi hasilnya tidak terlalu berbeda jauh dengan ukuran tempe yang menggunakan bak kayu cetakan. Sebelum mencetak, bak kayu maupun kere telah dialasi dengan plastik bening yang telah dilubangi dengan menggunakan pisau. Apabila telah menjadi tempe, kemasan ada yang diganti dengan menggunakan daun pisang dan ada pula yang dibiarkan tetap menggunakan plastik. Disamping membuat tempe yang dicetak, beberapa pengrajin juga ada yang langsung mengemas kedelai yang telah dicampur ragi tersebut dengan plastik bening bermacam-macam ukuran mulai dari plastik ukuran 3 ons hingga 1 kg. Plastik ini sebelumnya juga telah dilubangi menggunakan pisau atau alat pelubang yang terbuat dari paku. Kegiatan terakhir adalah pemeraman, yaitu menyimpan kedelai yang telah dicetak atau dikemas dan diletakkan di kere anyaman selama jam hingga 57

73 tekstur menjadi rapat dan bagian permukaan berwarna putih seperti kapas yang disebut sebagai tempe hingga siap dipasarkan dan dikonsumsi masyarakat. Kere yang telah terisi dengan bakal tempe kemudian diletakkan di atas rak kayu pemeraman. Gambar 11. Pemeraman Bakal Tempe Respon Awal Pengrajin Tempe Terhadap Kenaikan Harga Kedelai Harga kedelai yang sempat melonjak lebih dari 100 persen di tahun 2008 membuat pengrajin harus melakukan berbagai cara agar dapat terus bertahan dalam usahanya. Berdasarkan hasil penelitian dapat ditunjukkan bahwa walaupun harga kedelai meningkat, namun pengrajin tempe tetap membeli kedelai dengan jumlah yang sama dengan ketika harga kedelai belum meningkat. Hal ini disebabkan tetap adanya permintaan tempe oleh konsumen, meskipun harga kedelai relatif mahal. Walaupun tetap ada permintaan tempe, namun pengrajin tidak dapat dengan mudah menaikkan harga jual tempe. Sulitnya bagi pengrajin untuk menaikkan harga jual dikarenakan struktur pasar yang dihadapi pengrajin tempe cenderung mengarah ke pasar persaingan sempurna, dan konsumen akan merasa sangat keberatan jika harga tempe dinaikkan. Biaya produksi yang semakin meningkat akibat kenaikan harga beli kedelai ini, disikapi pengrajin dengan memperkecil ukuran tempe. Sehingga tempe yang dapat dijual semakin banyak dengan harga jual cenderung tetap. Menurut pengalaman pengrajin, konsumen tempe lebih peka terhadap harga, 58

I PENDAHULUAN. [3 Desember 2009] 1 Konsumsi Tempe dan Tahu akan Membuat Massa Lebih Sehat dan Kuat.

I PENDAHULUAN. [3 Desember 2009] 1 Konsumsi Tempe dan Tahu akan Membuat Massa Lebih Sehat dan Kuat. I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kedelai merupakan salah satu komoditas pangan strategis di Indonesia. Arti strategis tersebut salah satunya terlihat dari banyaknya kedelai yang diolah menjadi berbagai

Lebih terperinci

II TINJAUAN PUSTAKA. Juni 2010] 6 Masalah Gizi, Pengetahuan Masyarakat Semakin Memprihatinkan. [10

II TINJAUAN PUSTAKA. Juni 2010] 6 Masalah Gizi, Pengetahuan Masyarakat Semakin Memprihatinkan.  [10 II TINJAUAN PUSTAKA Tinjauan pustaka dalam penelitian ini meliputi tinjauan komoditas kedelai, khususnya peranan kedelai sebagai sumber protein nabati bagi masyarakat. Tidak hanya itu, kedelai juga ditinjau

Lebih terperinci

ANALISIS FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PRODUKSI DAN IMPOR KEDELAI DI INDONESIA. Oleh : RIKA PURNAMASARI A

ANALISIS FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PRODUKSI DAN IMPOR KEDELAI DI INDONESIA. Oleh : RIKA PURNAMASARI A ANALISIS FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PRODUKSI DAN IMPOR KEDELAI DI INDONESIA Oleh : RIKA PURNAMASARI A14302053 PROGRAM STUDI EKONOMI PERTANIAN DAN SUMBERDAYA FAKULTAS PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar belakang Kedelai merupakan komoditas strategis yang unik tetapi kontradiktif dalam sistem usaha tani di Indonesia. Luas pertanaman kedelai kurang dari lima persen dari seluruh

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dalam kebijakan pangan nasional. Pertumbuhan ekonomi di negara negara

BAB I PENDAHULUAN. dalam kebijakan pangan nasional. Pertumbuhan ekonomi di negara negara BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kedelai merupakan komoditas strategis di Indonesia karena kedelai merupakan salah satu tanaman pangan penting di Indonesia setelah beras dan jagung. Komoditas ini mendapatkan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. sangat penting untuk mencapai beberapa tujuan yaitu : menarik dan mendorong

I. PENDAHULUAN. sangat penting untuk mencapai beberapa tujuan yaitu : menarik dan mendorong I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang dan Masalah Strategi pembangunan pertanian yang berwawasan agribisnis dan agroindustri pada dasarnya menunjukkan arah bahwa pengembangan agribisnis merupakan suatu upaya

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pangan merupakan komoditas penting dan strategis bagi bangsa Indonesia karena pangan merupakan salah satu kebutuhan pokok manusia dimana dalam pemenuhannya menjadi tanggung

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. menghasilkan barang dan jasa, usaha kecil mikro, dan menengah adalah usaha

I. PENDAHULUAN. menghasilkan barang dan jasa, usaha kecil mikro, dan menengah adalah usaha I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Transformasi sektor pertanian ke sektor industri bagi negara sedang berkembang seperti Indonesia tidaklah dapat dihindarkan. Indonesia merupakan negara yang sedang

Lebih terperinci

ANALISIS STRATEGI PENGEMBANGAN USAHA INDUSTRI KECIL OLAHAN CARICA

ANALISIS STRATEGI PENGEMBANGAN USAHA INDUSTRI KECIL OLAHAN CARICA ANALISIS STRATEGI PENGEMBANGAN USAHA INDUSTRI KECIL OLAHAN CARICA (Studi Kasus pada Industri Kecil Olahan Carica di Kecamatan Mojotengah, Kabupaten Wonosobo) SKRIPSI SHINTA KARTIKA DEWI H34050442 DEPARTEMEN

Lebih terperinci

1 Universitas Indonesia

1 Universitas Indonesia BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kedelai merupakan komoditas strategis di Indonesia karena kedelai merupakan salah satu tanaman pangan penting di Indonesia setelah beras dan jagung. Komoditas ini mendapatkan

Lebih terperinci

ANALISIS USAHATANI JAMUR TIRAM PUTIH (Kasus : Kelompok Wanita Tani Hanjuang, Kecamatan Tamansari, Kabupaten Bogor, Provinsi Jawa Barat)

ANALISIS USAHATANI JAMUR TIRAM PUTIH (Kasus : Kelompok Wanita Tani Hanjuang, Kecamatan Tamansari, Kabupaten Bogor, Provinsi Jawa Barat) ANALISIS USAHATANI JAMUR TIRAM PUTIH (Kasus : Kelompok Wanita Tani Hanjuang, Kecamatan Tamansari, Kabupaten Bogor, Provinsi Jawa Barat) Skripsi SRI ROSMAYANTI H 34076143 DEPARTEMEN AGRIBISNIS FAKULTAS

Lebih terperinci

V GAMBARAN UMUM PERKEMBANGAN DAN IMPOR KEDELAI INDONESIA

V GAMBARAN UMUM PERKEMBANGAN DAN IMPOR KEDELAI INDONESIA V GAMBARAN UMUM PERKEMBANGAN DAN IMPOR KEDELAI INDONESIA 5.1. Sejarah Perkembangan Kedelai Indonesia Sejarah masuknya kacang kedelai ke Indonesia tidak diketahui dengan pasti namun kemungkinan besar dibawa

Lebih terperinci

IV METODE PENELITIAN. 8 [15 Januari 2010]

IV METODE PENELITIAN. 8  [15 Januari 2010] IV METODE PENELITIAN 4.1. Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilakukan di kawasan industri tempe Semanan, Jakarta Barat, Propinsi DKI Jakarta. Pemilihan lokasi dilakukan secara sengaja (purposive)

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. 1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. 1. Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Pertanian merupakan kegiatan pengelolaan sumber daya untuk menghasilakan bahan pangan, bahan baku untuk industri, obat ataupun menghasilkan sumber energi. Secara sempit

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Dalam kehidupan manusia sangat penting untuk mengonsumsi protein yang berasal dari hewani maupun nabati. Protein dapat diperoleh dari susu, kedelai, ikan, kacang polong

Lebih terperinci

PENDAHULUAN A. Latar Belakang

PENDAHULUAN A. Latar Belakang I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sektor pertanian dan sektor industri merupakan sektor yang penting bagi perekonomian Indonesia. Di Indonesia, sektor industri berkaitan erat dengan sektor pertanian terutama

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. tanaman pangan. Sektor tanaman pangan adalah sebagai penghasil bahan makanan

BAB I PENDAHULUAN. tanaman pangan. Sektor tanaman pangan adalah sebagai penghasil bahan makanan BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Sektor pertanian yang mempunyai peranan yang strategis dan penting adalah sektor tanaman pangan. Sektor tanaman pangan adalah sebagai penghasil bahan makanan pokok

Lebih terperinci

ANALISIS MODEL LINEAR PROGRAMMING

ANALISIS MODEL LINEAR PROGRAMMING VII ANALISIS MODEL LINEAR PROGRAMMING 7.1. Penentuan Model Linear Programming Produksi Tempe Dampak kenaikan harga kedelai pada pengrajin tempe skala kecil, menengah, dan besar dianalisis dengan menggunakan

Lebih terperinci

POLITIK KETAHANAN PANGAN MENUJU KEMANDIRIAN PERTANIAN

POLITIK KETAHANAN PANGAN MENUJU KEMANDIRIAN PERTANIAN POLITIK KETAHANAN PANGAN MENUJU KEMANDIRIAN PERTANIAN Emlan Fauzi Pangan merupakan kebutuhan yang paling mendasar dari suatu bangsa. Mengingat jumlah penduduk Indonesia yang sudah mencapai sekitar 220

Lebih terperinci

PRODUKSI PANGAN INDONESIA

PRODUKSI PANGAN INDONESIA 65 PRODUKSI PANGAN INDONESIA Perkembangan Produksi Pangan Saat ini di dunia timbul kekawatiran mengenai keberlanjutan produksi pangan sejalan dengan semakin beralihnya lahan pertanian ke non pertanian

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Tabel 1.1. Produksi dan Konsumsi Kedelai di Indonesia Tahun

I. PENDAHULUAN. Tabel 1.1. Produksi dan Konsumsi Kedelai di Indonesia Tahun I. PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Indonesia merupakan negara yang kaya akan sumberdaya alam. Letaknya yang secara geografis dilalui oleh garis khatulistiwa menjadikan Indonesia memiliki iklim tropis yang

Lebih terperinci

KAJIAN SISTEM PEMASARAN KEDELAI DI KECAMATAN BERBAK KABUPATEN TANJUNG JABUNG TIMUR HILY SILVIA ED1B012004

KAJIAN SISTEM PEMASARAN KEDELAI DI KECAMATAN BERBAK KABUPATEN TANJUNG JABUNG TIMUR HILY SILVIA ED1B012004 KAJIAN SISTEM PEMASARAN KEDELAI DI KECAMATAN BERBAK KABUPATEN TANJUNG JABUNG TIMUR HILY SILVIA ED1B012004 SKRIPSI Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Pertanian Pada Fakultas Pertanian

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Tinjauan Pustaka Kedelai merupakan komoditas strategis yang unik tapi kontradiktif dalam sistem usahatani di Indonesia. Luas pertanaman kedelai kurang dari lima persen dari

Lebih terperinci

VI ANALISIS STRUKTUR BIAYA USAHA TEMPE

VI ANALISIS STRUKTUR BIAYA USAHA TEMPE VI ANALISIS STRUKTUR BIAYA USAHA TEMPE Setiap kegiatan produksi tidak terlepas dari biaya, begitu pula kegiatan produksi tempe. Biaya-biaya yang dikeluarkan untuk memproduksi tempe meliputi biaya pembelian

Lebih terperinci

SKRIPSI ARDIANSYAH H

SKRIPSI ARDIANSYAH H FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN PRODUKTIVITAS KERJA PETANI KEBUN PLASMA KELAPA SAWIT (Studi Kasus Kebun Plasma PTP. Mitra Ogan, Kecamatan Peninjauan, Sumatra Selatan) SKRIPSI ARDIANSYAH H34066019

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia dikenal sebagai negara agraris karena memiliki kekayaan alam yang berlimpah, terutama di bidang sumber daya pertanian seperti lahan, varietas serta iklim yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Kedelai (Glycine max [L] Merr.) merupakan tanaman komoditas pangan

BAB I PENDAHULUAN. Kedelai (Glycine max [L] Merr.) merupakan tanaman komoditas pangan 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kedelai (Glycine max [L] Merr.) merupakan tanaman komoditas pangan terpenting ketiga di Indonesia setelah padi dan jagung. Kedelai juga merupakan tanaman sebagai

Lebih terperinci

PROSPEK TANAMAN PANGAN

PROSPEK TANAMAN PANGAN PROSPEK TANAMAN PANGAN Krisis Pangan Pangan merupakan kebutuhan dasar manusia yang pemenuhannya menjadi hak asasi setiap rakyat Indonesia dalam mewujudkan sumber daya manusia yang berkualitas untuk melaksanakan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. agraris seharusnya mampu memanfaatkan sumberdaya yang melimpah dengan

I. PENDAHULUAN. agraris seharusnya mampu memanfaatkan sumberdaya yang melimpah dengan I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pertumbuhan ekonomi yang merupakan salah satu indikator keberhasilan suatu negara dapat dicapai melalui suatu sistem yang bersinergi untuk mengembangkan potensi yang dimiliki

Lebih terperinci

DAN PEMASARAN NENAS BOGOR BOGOR SNIS SKRIPSI H

DAN PEMASARAN NENAS BOGOR BOGOR SNIS SKRIPSI H ANALISIS PENDAPATAN USAHATANI DAN PEMASARAN NENAS BOGOR Di Desa Sukaluyu, Kecamatan Taman Sari, Kabupaten Bogor SKRIPSI ERIK LAKSAMANA SIREGAR H 34076059 DEPARTEMEN AGRIBIS SNIS FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN

Lebih terperinci

LAPORAN AKHIR PENELITIAN TA 2009 MODEL PROYEKSI JANGKA PENDEK PERMINTAAN DAN PENAWARAN KOMODITAS PERTANIAN UTAMA

LAPORAN AKHIR PENELITIAN TA 2009 MODEL PROYEKSI JANGKA PENDEK PERMINTAAN DAN PENAWARAN KOMODITAS PERTANIAN UTAMA LAPORAN AKHIR PENELITIAN TA 2009 MODEL PROYEKSI JANGKA PENDEK PERMINTAAN DAN PENAWARAN KOMODITAS PERTANIAN UTAMA Oleh : Reni Kustiari Pantjar Simatupang Dewa Ketut Sadra S. Wahida Adreng Purwoto Helena

Lebih terperinci

PERAMALAN PRODUKSI DAN KONSUMSI UBI JALAR NASIONAL DALAM RANGKA RENCANA PROGRAM DIVERSIFIKASI PANGAN POKOK. Oleh: NOVIE KRISHNA AJI A

PERAMALAN PRODUKSI DAN KONSUMSI UBI JALAR NASIONAL DALAM RANGKA RENCANA PROGRAM DIVERSIFIKASI PANGAN POKOK. Oleh: NOVIE KRISHNA AJI A PERAMALAN PRODUKSI DAN KONSUMSI UBI JALAR NASIONAL DALAM RANGKA RENCANA PROGRAM DIVERSIFIKASI PANGAN POKOK Oleh: NOVIE KRISHNA AJI A14104024 PROGRAM STUDI MANAJEMEN AGRIBISNIS FAKULTAS PERTANIAN INSTITUT

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. dan tidak bisa dipisahkan yaitu pertama, pilar pertanian primer (on-farm

PENDAHULUAN. dan tidak bisa dipisahkan yaitu pertama, pilar pertanian primer (on-farm PENDAHULUAN Latar Belakang Pembangunan pertanian harus dipandang dari dua pilar utama secara terintegrasi dan tidak bisa dipisahkan yaitu pertama, pilar pertanian primer (on-farm agriculture/agribusiness)

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pertanian mempunyai peranan penting pada negara berkembang seperti di Indonesia. Kontribusi sektor pertanian ini sangat berpengaruh untuk pembangunan negara. Hal ini

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. perekonomian nasional. Hal ini dapat dilihat dari kontribusi yang dominan, baik

BAB I PENDAHULUAN. perekonomian nasional. Hal ini dapat dilihat dari kontribusi yang dominan, baik BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sektor pertanian mempunyai peranan yang sangat penting dalam perekonomian nasional. Hal ini dapat dilihat dari kontribusi yang dominan, baik secara langsung maupun

Lebih terperinci

STUDI KASUS PERMASALAHAN KOMODITAS KEDELAI DALAM PEREKONOMIAN INDONESIA

STUDI KASUS PERMASALAHAN KOMODITAS KEDELAI DALAM PEREKONOMIAN INDONESIA STUDI KASUS PERMASALAHAN KOMODITAS KEDELAI DALAM PEREKONOMIAN INDONESIA BAB I PENDAHULUAN Indonesia dikenal sebagai negara agraris karena berkah kekayaan alam yang berlimpah, terutama di bidang sumber

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. adanya keterbukaan ekonomi yang semakin luas dari setiap negara di dunia, baik. financial openness). Keuntungan dari keterbukaan

BAB I PENDAHULUAN. adanya keterbukaan ekonomi yang semakin luas dari setiap negara di dunia, baik. financial openness). Keuntungan dari keterbukaan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Arus globalisasi yang terjadi beberapa dasawarsa terakhir, menuntut adanya keterbukaan ekonomi yang semakin luas dari setiap negara di dunia, baik keterbukaan

Lebih terperinci

ANALISIS PERMINTAAN DAN PENAWARAN INDUSTRI KECAP DI INDONESIA OLEH RINA MARYANI H

ANALISIS PERMINTAAN DAN PENAWARAN INDUSTRI KECAP DI INDONESIA OLEH RINA MARYANI H ANALISIS PERMINTAAN DAN PENAWARAN INDUSTRI KECAP DI INDONESIA OLEH RINA MARYANI H14103070 DEPARTEMEN ILMU EKONOMI FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2007 RINGKASAN RINA MARYANI. Analisis

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sektor pertanian merupakan salah satu tulang punggung perekonomian Indonesia. Peranan sektor pertanian dalam perekonomian nasional dapat dilihat dari kontribusi sektor

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kebijakan pangan nasional. Menurut Irwan (2005), kedelai mengandung protein. dan pakan ternak serta untuk diambil minyaknya.

BAB I PENDAHULUAN. kebijakan pangan nasional. Menurut Irwan (2005), kedelai mengandung protein. dan pakan ternak serta untuk diambil minyaknya. BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Kedelai merupakan komoditas strategis di Indonesia, karena kedelai merupakan salah satu tanaman pangan penting di Indonesia setelah beras dan jagung. Komoditas

Lebih terperinci

KETERANGAN TW I

KETERANGAN TW I 1 2 2 KETERANGAN 2010 2011 2012 2013 2014 2015 2016 - TW I Distribusi/Share Terhadap PDB (%) 3.69 3.46 3.55 3.48 3.25 3.41 4.03 Distribusi/Share Terhadap Kategori Pertanian, Peternakan, Perburuan dan Jasa

Lebih terperinci

ANALISIS STRATEGI PENGEMBANGAN PANTAI LOMBANG DI KABUPATEN SUMENEP

ANALISIS STRATEGI PENGEMBANGAN PANTAI LOMBANG DI KABUPATEN SUMENEP ANALISIS STRATEGI PENGEMBANGAN PANTAI LOMBANG DI KABUPATEN SUMENEP SKRIPSI MOHAMMAD REZA H34051684 DEPARTEMEN AGRIBISNIS FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2009 0 ANALISIS STRATEGI

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN. masyarakat dan kesadaran masyarakat pentingnya mengkonsumsi protein nabati, utamanya adalah bungkil kedelai (Zakaria, 2010).

1. PENDAHULUAN. masyarakat dan kesadaran masyarakat pentingnya mengkonsumsi protein nabati, utamanya adalah bungkil kedelai (Zakaria, 2010). 1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sektor tanaman pangan merupakan penghasil bahan makanan pokok bagi penduduk Indonesia salah satunya adalah komoditi kedelai.kedelai merupakan tanaman pangan yang penting

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Tabel 1.1 Kandungan Zat Gizi Komoditas Kedelai. Serat (g) Kedelai Protein (g) Sumber: Prosea 1996 ( Purwono: 2009)

BAB I PENDAHULUAN. Tabel 1.1 Kandungan Zat Gizi Komoditas Kedelai. Serat (g) Kedelai Protein (g) Sumber: Prosea 1996 ( Purwono: 2009) BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Komoditas kedelai merupakan jenis barang yang termasuk ke dalam kebutuhan penting bagi masyarakat Indonesia yaitu sebagai salah satu makanan pangan selain beras,

Lebih terperinci

DAMPAK KENAIKAN HARGA KEDELAI TERHADAP EFISIENSI TEKNIS DAN PENDAPATAN USAHA TEMPE DENGAN PENDEKATAN STOCHASTIC FRONTIER

DAMPAK KENAIKAN HARGA KEDELAI TERHADAP EFISIENSI TEKNIS DAN PENDAPATAN USAHA TEMPE DENGAN PENDEKATAN STOCHASTIC FRONTIER DAMPAK KENAIKAN HARGA KEDELAI TERHADAP EFISIENSI TEKNIS DAN PENDAPATAN USAHA TEMPE DENGAN PENDEKATAN STOCHASTIC FRONTIER (Studi Kasus di Desa Citeureup, Kecamatan Citeureup, Kabupaten Bogor) SILMY AMALIA

Lebih terperinci

DEPARTEMEN AGRIBISNIS FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN INSTITUT PERTANIAN BOGOR

DEPARTEMEN AGRIBISNIS FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN INSTITUT PERTANIAN BOGOR ANALISIS RENCANA KEMITRAAN ANTARA PETANI KACANG TANAH DENGAN CV MITRA PRIANGAN (Kasus pada Petani Kacang Tanah di Kecamatan Sindangbarang, Kabupaten Cianjur) SKRIPSI TIARA ASRI SATRIA H34052169 DEPARTEMEN

Lebih terperinci

LAPORAN AKHIR PENELITIAN TA 2008 KONSORSIUM PENELITIAN: KARAKTERISTIK SOSIAL EKONOMI PETANI PADA BERBAGAI AGROEKOSISTEM

LAPORAN AKHIR PENELITIAN TA 2008 KONSORSIUM PENELITIAN: KARAKTERISTIK SOSIAL EKONOMI PETANI PADA BERBAGAI AGROEKOSISTEM LAPORAN AKHIR PENELITIAN TA 2008 KONSORSIUM PENELITIAN: KARAKTERISTIK SOSIAL EKONOMI PETANI PADA BERBAGAI AGROEKOSISTEM KARAKTERISTIK DAN ARAH PERUBAHAN KONSUMSI DAN PENGELUARAN RUMAH TANGGA Oleh : Harianto

Lebih terperinci

KINERJA PRODUKSI DAN HARGA KEDELAI SERTA IMPLIKASINYA UNTUK PERUMUSAN KEBIJAKAN PERCEPATAN PENCAPAIAN TARGET SUKSES KEMENTERIAN PERTANIAN

KINERJA PRODUKSI DAN HARGA KEDELAI SERTA IMPLIKASINYA UNTUK PERUMUSAN KEBIJAKAN PERCEPATAN PENCAPAIAN TARGET SUKSES KEMENTERIAN PERTANIAN KINERJA PRODUKSI DAN HARGA KEDELAI SERTA IMPLIKASINYA UNTUK PERUMUSAN KEBIJAKAN PERCEPATAN PENCAPAIAN TARGET SUKSES KEMENTERIAN PERTANIAN I. PENDAHULUAN 1. Salah satu target utama dalam Rencana Strategis

Lebih terperinci

HUBUNGAN PENGUASAAN LAHAN SAWAH DENGAN PENDAPATAN USAHATANI PADI

HUBUNGAN PENGUASAAN LAHAN SAWAH DENGAN PENDAPATAN USAHATANI PADI HUBUNGAN PENGUASAAN LAHAN SAWAH DENGAN PENDAPATAN USAHATANI PADI (Studi Kasus Kelompok Tani Harum IV Kelurahan Situmekar, Kecamatan Lembursitu, Kota Sukabumi) SKRIPSI OCTIASARI H34070084 DEPARTEMEN AGRIBISNIS

Lebih terperinci

ANALISIS USAHATANI JAMUR TIRAM PUTIH (Kasus di Komunitas Petani Jamur Ikhlas, Desa Cibening, Kecamatan Pamijahan, Kabupaten Bogor)

ANALISIS USAHATANI JAMUR TIRAM PUTIH (Kasus di Komunitas Petani Jamur Ikhlas, Desa Cibening, Kecamatan Pamijahan, Kabupaten Bogor) ANALISIS USAHATANI JAMUR TIRAM PUTIH (Kasus di Komunitas Petani Jamur Ikhlas, Desa Cibening, Kecamatan Pamijahan, Kabupaten Bogor) SKRIPSI PUSPA HERAWATI NASUTION H 34076122 DEPARTEMEN AGRIBISNIS FAKULTAS

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Jagung merupakan komoditi yang penting bagi perekonomian Indonesia,

BAB I PENDAHULUAN. Jagung merupakan komoditi yang penting bagi perekonomian Indonesia, BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Jagung merupakan komoditi yang penting bagi perekonomian Indonesia, kebutuhan jagung di Indonesia mengalami peningkatan, yaitu lebih dari 10 juta ton pipilan kering

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Pangan merupakan kebutuhan yang mendasar (basic need) bagi setiap

I. PENDAHULUAN. Pangan merupakan kebutuhan yang mendasar (basic need) bagi setiap I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pangan merupakan kebutuhan yang mendasar (basic need) bagi setiap manusia untuk dapat melakukan aktivitas sehari-hari guna mempertahankan hidup. Pangan juga merupakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. maupun yang sudah modern. Perkembangan jumlah UMKM periode

BAB I PENDAHULUAN. maupun yang sudah modern. Perkembangan jumlah UMKM periode BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pertumbuhan ekonomi Indonesia digerakkan oleh semua komponen usaha, mulai dari usaha besar, usaha kecil dan menengah, maupun koperasi. Salah satu faktor yang mempercepat

Lebih terperinci

T E M P E 1. PENDAHULUAN

T E M P E 1. PENDAHULUAN T E M P E 1. PENDAHULUAN Kacang-kacangan dan biji-bijian seperti kacang kedelai, kacang tanah, biji kecipir, koro, kelapa dan lain-lain merupakan bahan pangan sumber protein dan lemak nabati yang sangat

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. oleh kelompok menengah yang mulai tumbuh, daya beli masyarakat yang

I. PENDAHULUAN. oleh kelompok menengah yang mulai tumbuh, daya beli masyarakat yang I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Jumlah penduduk Indonesia yang mencapai 241 juta dengan ditandai oleh kelompok menengah yang mulai tumbuh, daya beli masyarakat yang meningkat dan stabilitas ekonomi yang

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. nasional. Pembangunan pertanian memberikan sumbangsih yang cukup besar

I. PENDAHULUAN. nasional. Pembangunan pertanian memberikan sumbangsih yang cukup besar 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang dan Masalah Pembangunan pertanian merupakan bagian integral dari pembangunan ekonomi nasional. Pembangunan pertanian memberikan sumbangsih yang cukup besar bagi perekonomian

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pangan merupakan kebutuhan yang paling mendasar bagi sumberdaya manusia suatu bangsa. Untuk mencapai ketahanan pangan diperlukan ketersediaan pangan dalam jumlah dan kualitas

Lebih terperinci

ANALISIS PENDAPATAN USAHATANI JAMBU BIJI DESA CIMANGGIS KECAMATAN BOJONG GEDE KABUPATEN BOGOR

ANALISIS PENDAPATAN USAHATANI JAMBU BIJI DESA CIMANGGIS KECAMATAN BOJONG GEDE KABUPATEN BOGOR ANALISIS PENDAPATAN USAHATANI JAMBU BIJI DESA CIMANGGIS KECAMATAN BOJONG GEDE KABUPATEN BOGOR SKRIPSI FELIX BOB SANFRI SIREGAR H 34076064 DEPARTEMEN AGRIBISNIS FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN INSTITUT PERTANIAN

Lebih terperinci

OPTIMALISASI PRODUKSI OBAT TRADISIONAL PADA TAMAN SYIFA DI KOTA BOGOR, JAWA BARAT

OPTIMALISASI PRODUKSI OBAT TRADISIONAL PADA TAMAN SYIFA DI KOTA BOGOR, JAWA BARAT 1 OPTIMALISASI PRODUKSI OBAT TRADISIONAL PADA TAMAN SYIFA DI KOTA BOGOR, JAWA BARAT Oleh : NUR HAYATI ZAENAL A14104112 PROGRAM STUDI MANAJEMEN AGRIBISNIS FAKULTAS PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2008

Lebih terperinci

Prospek dan Arah Pengembangan AGRIBISNIS KEDELAI. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian Departemen Pertanian 2005

Prospek dan Arah Pengembangan AGRIBISNIS KEDELAI. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian Departemen Pertanian 2005 Prospek dan Arah Pengembangan AGRIBISNIS KEDELAI Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian Departemen Pertanian 2005 MENTERI PERTANIAN REPUBLIK INDONESIA SAMBUTAN MENTERI PERTANIAN Atas perkenan dan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. penduduk Indonesia. Bagi perekonomian Indonesia kacang kedelai memiliki

BAB I PENDAHULUAN. penduduk Indonesia. Bagi perekonomian Indonesia kacang kedelai memiliki BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Kedelai merupakan sumber protein nabati utama bagi sebagian besar penduduk Indonesia. Bagi perekonomian Indonesia kacang kedelai memiliki peranan yang besar

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Sebagai negara berkembang, Indonesia memiliki laju pertumbuhan

BAB I PENDAHULUAN. Sebagai negara berkembang, Indonesia memiliki laju pertumbuhan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sebagai negara berkembang, Indonesia memiliki laju pertumbuhan penduduk yang pesat. Sensus Penduduk tahun 2010 mencatat bahwa laju pertumbuhan penduduk Indonesia adalah

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. Latar Belakang

PENDAHULUAN. Latar Belakang PENDAHULUAN Latar Belakang Pembangunan yang dititikberatkan pada pertumbuhan ekonomi berimplikasi pada pemusatan perhatian pembangunan pada sektor-sektor pembangunan yang dapat memberikan kontribusi pertumbuhan

Lebih terperinci

ANALISIS NILAI TAMBAH DAN DAYA SAING SERTA DAMPAK KEBIJAKAN PEMERINTAH TERHADAP INDUSTRI TEMPE DI KABUPATEN BOGOR

ANALISIS NILAI TAMBAH DAN DAYA SAING SERTA DAMPAK KEBIJAKAN PEMERINTAH TERHADAP INDUSTRI TEMPE DI KABUPATEN BOGOR ANALISIS NILAI TAMBAH DAN DAYA SAING SERTA DAMPAK KEBIJAKAN PEMERINTAH TERHADAP INDUSTRI TEMPE DI KABUPATEN BOGOR (Kasus : Desa Citeureup, Kecamatan Citeureup) Oleh: MERIKA SONDANG SINAGA A14304029 PROGRAM

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. setiap rakyat Indonesia. Salah satu komoditas pangan yang penting di Indonesia

I. PENDAHULUAN. setiap rakyat Indonesia. Salah satu komoditas pangan yang penting di Indonesia 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang dan Masalah Tanaman pangan merupakan komoditas penting dan strategis, karena pangan merupakan kebutuhan pokok manusia yang pemenuhannya menjadi hak asasi setiap rakyat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. sektor pertanian merupakan sektor yang mendasari kehidupan setiap

BAB I PENDAHULUAN. sektor pertanian merupakan sektor yang mendasari kehidupan setiap 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Sektor pertanian masih memegang peranan penting bagi perekonomian nasional. Hal tersebut dikarenakan beberapa alasan, pertama, sektor pertanian merupakan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Pembangunan sektor peternakan merupakan bagian integral dari. pembangunan pertanian dan pembangunan nasional. Sektor peternakan di

I. PENDAHULUAN. Pembangunan sektor peternakan merupakan bagian integral dari. pembangunan pertanian dan pembangunan nasional. Sektor peternakan di I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pembangunan sektor peternakan merupakan bagian integral dari pembangunan pertanian dan pembangunan nasional. Sektor peternakan di beberapa daerah di Indonesia telah memberikan

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Kamus Lengkap Ekonomi Collins (1997) dalam Manaf (2000),

II. TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Kamus Lengkap Ekonomi Collins (1997) dalam Manaf (2000), II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Tinjauan Teori 2.1.1. Subsidi Menurut Kamus Lengkap Ekonomi Collins (1997) dalam Manaf (2000), subsidi adalah cadangan keuangan dan sumber-sumber daya lainnya untuk mendukung

Lebih terperinci

ANALISIS EFISIENSI PRODUKSI DAN PENDAPATAN USAHATANI UBI KAYU (Studi Kasus Desa Pasirlaja, Kecamatan Sukaraja, Kabupaten Bogor) ALFIAN NUR AMRI

ANALISIS EFISIENSI PRODUKSI DAN PENDAPATAN USAHATANI UBI KAYU (Studi Kasus Desa Pasirlaja, Kecamatan Sukaraja, Kabupaten Bogor) ALFIAN NUR AMRI ANALISIS EFISIENSI PRODUKSI DAN PENDAPATAN USAHATANI UBI KAYU (Studi Kasus Desa Pasirlaja, Kecamatan Sukaraja, Kabupaten Bogor) ALFIAN NUR AMRI DEPARTEMEN EKONOMI SUMBERDAYA DAN LINGKUNGAN FAKULTAS EKONOMI

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI, KERANGKA PEMIKIRAN, DAN HIPOTESIS PENELITIAN

II. TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI, KERANGKA PEMIKIRAN, DAN HIPOTESIS PENELITIAN II. TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI, KERANGKA PEMIKIRAN, DAN HIPOTESIS PENELITIAN 2.1 Tinjauan Pustaka Beras merupakan bahan pangan pokok yang sampai saat ini masih dikonsumsi oleh sekitar 90% penduduk

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Pertanian merupakan sektor potensial yang memegang peranan penting

I. PENDAHULUAN. Pertanian merupakan sektor potensial yang memegang peranan penting 1 I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pertanian merupakan sektor potensial yang memegang peranan penting dalam pembangunan Indonesia. Hal ini didasarkan pada kontribusi sektor pertanian yang tidak hanya

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1. Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Kebutuhan akan bahan pangan terus meningkat sejalan dengan bertambahnya jumlah penduduk dan kebutuhan gizi masyarakat. Padi merupakan salah satu tanaman pangan utama bagi

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN Latar Belakang

1 PENDAHULUAN Latar Belakang 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Kemandirian pangan pada tingkat nasional diartikan sebagai kemampuan suatu bangsa untuk menjamin seluruh penduduknya memperoleh pangan yang cukup, mutu yang layak dan aman

Lebih terperinci

ANALISIS TATANIAGA TELUR AYAM KAMPUNG (Studi Kasus: Kabupaten Bogor, Provinsi Jawa Barat) SKRIPSI BETTY SAFITRI H

ANALISIS TATANIAGA TELUR AYAM KAMPUNG (Studi Kasus: Kabupaten Bogor, Provinsi Jawa Barat) SKRIPSI BETTY SAFITRI H ANALISIS TATANIAGA TELUR AYAM KAMPUNG (Studi Kasus: Kabupaten Bogor, Provinsi Jawa Barat) SKRIPSI BETTY SAFITRI H34076035 DEPARTEMEN AGRIBISNIS FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. Indonesia, tercapainya kecukupan produksi beras nasional sangat penting

PENDAHULUAN. Indonesia, tercapainya kecukupan produksi beras nasional sangat penting PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Mengingat perannya sebagai komoditas pangan utama masyarakat Indonesia, tercapainya kecukupan produksi beras nasional sangat penting sebagai salah satu faktor yang

Lebih terperinci

PENDAHULUAN 1. Latar Belakang

PENDAHULUAN 1. Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Ketela pohon atau ubi kayu dengan nama latin Manihot utilissima merupakan salah satu komoditas pangan penting di Indonesia selain tanaman padi, jagung, kedelai, kacang

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Indonesia sebagai negara beriklim tropis mempunyai potensi yang besar

I. PENDAHULUAN. Indonesia sebagai negara beriklim tropis mempunyai potensi yang besar I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia sebagai negara beriklim tropis mempunyai potensi yang besar mengembangkan sektor pertanian. Sektor pertanian tetap menjadi tumpuan harapan tidak hanya dalam

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. melalui perluasan areal menghadapi tantangan besar pada masa akan datang.

I. PENDAHULUAN. melalui perluasan areal menghadapi tantangan besar pada masa akan datang. I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Upaya peningkatan produksi tanaman pangan khususnya pada lahan sawah melalui perluasan areal menghadapi tantangan besar pada masa akan datang. Pertambahan jumlah penduduk

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Komoditas hortikultura merupakan komoditas potensial yang mempunyai nilai ekonomi dan permintaan pasar yang tinggi. Luas wilayah Indonesia dengan keragaman agroklimatnya

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Gambar 1 Proyeksi kebutuhan jagung nasional (Sumber : Deptan 2009, diolah)

I. PENDAHULUAN. Gambar 1 Proyeksi kebutuhan jagung nasional (Sumber : Deptan 2009, diolah) I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Jagung (Zea mays L) merupakan salah satu komoditas pertanian yang memiliki peran penting yaitu sebagai makanan manusia dan ternak. Indonesia merupakan salah satu penghasil

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. produksi beras nasional sangat penting sebagai salah satu faktor yang

BAB I PENDAHULUAN. produksi beras nasional sangat penting sebagai salah satu faktor yang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Sebagai komoditas pangan utama masyarakat Indonesia, kecukupan produksi beras nasional sangat penting sebagai salah satu faktor yang mempengaruhi terwujudnya ketahanan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pertanian merupakan sektor yang sangat penting karena pertanian berhubungan langsung dengan ketersediaan pangan. Pangan yang dikonsumsi oleh individu terdapat komponen-komponen

Lebih terperinci

ANALISIS PENDAPATAN DAN BIAYA PRODUKSI AGROINDUSTRI TAHU DI DESA PANDANSARI KECAMATAN AJIBARANG KABUPATEN BANYUMAS

ANALISIS PENDAPATAN DAN BIAYA PRODUKSI AGROINDUSTRI TAHU DI DESA PANDANSARI KECAMATAN AJIBARANG KABUPATEN BANYUMAS ANALISIS PENDAPATAN DAN BIAYA PRODUKSI AGROINDUSTRI TAHU DI DESA PANDANSARI KECAMATAN AJIBARANG KABUPATEN BANYUMAS Wiji Santoso, Pujiati Utami, dan Dumasari Fakultas Pertanian Universitas Muhammadiyah

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. sapi yang meningkat ini tidak diimbangi oleh peningkatan produksi daging sapi

I. PENDAHULUAN. sapi yang meningkat ini tidak diimbangi oleh peningkatan produksi daging sapi I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kebutuhan konsumsi daging sapi penduduk Indonesia cenderung terus meningkat sejalan dengan meningkatnya jumlah penduduk Indonesia dan kesadaran masyarakat akan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. sektor pertanian yang memiliki nilai strategis antara lain dalam memenuhi

I. PENDAHULUAN. sektor pertanian yang memiliki nilai strategis antara lain dalam memenuhi I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pembangunan subsektor peternakan merupakan bagian dari pembangunan sektor pertanian yang memiliki nilai strategis antara lain dalam memenuhi kebutuhan pangan yang terus

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Kedelai merupakan salah satu tanaman palawija penting di Indonesia.

BAB I PENDAHULUAN. Kedelai merupakan salah satu tanaman palawija penting di Indonesia. BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kedelai merupakan salah satu tanaman palawija penting di Indonesia. Berdasarkan luas panen di Indonesia kedelai menempati urutan ketiga sebagai tanaman palawija setelah

Lebih terperinci

STRATEGI PENGEMBANGAN USAHA RESTORAN LASAGNA GULUNG BOGOR, JAWA BARAT

STRATEGI PENGEMBANGAN USAHA RESTORAN LASAGNA GULUNG BOGOR, JAWA BARAT STRATEGI PENGEMBANGAN USAHA RESTORAN LASAGNA GULUNG BOGOR, JAWA BARAT SKRIPSI DEFIETA H34066031 DEPARTEMEN AGRIBISNIS FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2009 RINGKASAN DEFIETA.

Lebih terperinci

OPTIMALISASI PRODUKSI KAIN TENUN SUTERA PADA CV BATU GEDE DI KECAMATAN TAMANSARI KABUPATEN BOGOR

OPTIMALISASI PRODUKSI KAIN TENUN SUTERA PADA CV BATU GEDE DI KECAMATAN TAMANSARI KABUPATEN BOGOR OPTIMALISASI PRODUKSI KAIN TENUN SUTERA PADA CV BATU GEDE DI KECAMATAN TAMANSARI KABUPATEN BOGOR SKRIPSI MAULANA YUSUP H34066080 DEPARTEMEN AGRIBISNIS FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN INSTITUT PERTANIAN

Lebih terperinci

ANALISIS BIAYA DAN PROFITABILITAS PRODUKSI ROTI PADA BELLA BAKERY DI PONDOK GEDE, BEKASI. Oleh : TANTRI DEWI PUTRIYANA A

ANALISIS BIAYA DAN PROFITABILITAS PRODUKSI ROTI PADA BELLA BAKERY DI PONDOK GEDE, BEKASI. Oleh : TANTRI DEWI PUTRIYANA A ANALISIS BIAYA DAN PROFITABILITAS PRODUKSI ROTI PADA BELLA BAKERY DI PONDOK GEDE, BEKASI Oleh : TANTRI DEWI PUTRIYANA A14104105 PROGRAM STUDI MANAJEMEN AGRIBISNIS FAKULTAS PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1.Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1.Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang Dalam pembangunan pertanian, beras merupakan komoditas yang memegang posisi strategis. Beras dapat disebut komoditas politik karena menguasai hajat hidup rakyat Indonesia.

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang PENDAHULUAN Latar Belakang Perolehan pangan yang cukup baik dalam jumlah maupun mutu merupakan sesuatu yang penting bagi setiap manusia agar dapat hidup secara berkualitas. Oleh karena itu hak atas kecukupan

Lebih terperinci

PROYEKSI PERMINTAAN KEDELAI DI KOTA SURAKARTA

PROYEKSI PERMINTAAN KEDELAI DI KOTA SURAKARTA PROYEKSI PERMINTAAN KEDELAI DI KOTA SURAKARTA Tria Rosana Dewi dan Irma Wardani Staf Pengajar Fakultas Pertanian, Universitas Islam Batik Surakarta Email : triardewi@yahoo.co.id ABSTRAK Penelitian ini

Lebih terperinci

STRATEGI PENGEMBANGAN USAHA KECIL PADA EMPAT PERUSAHAAN NATA DE COCO DI KECAMATAN CIANJUR, KABUPATEN CIANJUR

STRATEGI PENGEMBANGAN USAHA KECIL PADA EMPAT PERUSAHAAN NATA DE COCO DI KECAMATAN CIANJUR, KABUPATEN CIANJUR STRATEGI PENGEMBANGAN USAHA KECIL PADA EMPAT PERUSAHAAN NATA DE COCO DI KECAMATAN CIANJUR, KABUPATEN CIANJUR SKRIPSI ITA FUSFITAWATI H34053987 DEPARTEMEN AGRIBISNIS FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN INSTITUT

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Gula merupakan salah satu komoditas perkebunan strategis Indonesia baik

I. PENDAHULUAN. Gula merupakan salah satu komoditas perkebunan strategis Indonesia baik I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Gula merupakan salah satu komoditas perkebunan strategis Indonesia baik dari dimensi ekonomi, sosial, maupun politik. Indonesia memiliki keunggulan komparatif sebagai

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah Indonesia merupakan negara agraris, yakni salah satu penghasil

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah Indonesia merupakan negara agraris, yakni salah satu penghasil 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Indonesia merupakan negara agraris, yakni salah satu penghasil komoditas pertanian berupa padi. Komoditas padi dikonsumsi dalam bentuk beras menjadi nasi.

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. perekonomian nasional. Peran terpenting sektor agribisnis saat ini adalah

I. PENDAHULUAN. perekonomian nasional. Peran terpenting sektor agribisnis saat ini adalah I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sektor agribisnis merupakan sektor ekonomi terbesar dan terpenting dalam perekonomian nasional. Peran terpenting sektor agribisnis saat ini adalah kemampuannya dalam menyerap

Lebih terperinci

SKRIPSI. STUDI PROFIL INDUSTRI TEMPE BERDASARKAN TINGKAT KESUKSESAN (Studi Kasus Industri Tempe di Kecamatan Parung, Kabupaten Bogor)

SKRIPSI. STUDI PROFIL INDUSTRI TEMPE BERDASARKAN TINGKAT KESUKSESAN (Studi Kasus Industri Tempe di Kecamatan Parung, Kabupaten Bogor) SKRIPSI STUDI PROFIL INDUSTRI TEMPE BERDASARKAN TINGKAT KESUKSESAN (Studi Kasus Industri Tempe di Kecamatan Parung, Kabupaten Bogor) Oleh ENDAR SUTRISNO F24101055 2006 DEPARTEMEN ILMU DAN TEKNOLOGI PANGAN

Lebih terperinci

PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang 18 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pembangunan pertanian merupakan bagian dari pembangunan ekonomi Nasional yang bertumpu pada upaya mewujudkan masyarakat Indonesia yang sejahtera, adil dan makmur seperti

Lebih terperinci

ANALISIS PREFERENSI DAN KEPUASAN KONSUMEN TERHADAP BERAS DI KECAMATAN MULYOREJO SURABAYA JAWA TIMUR. Oleh : Endang Pudji Astuti A

ANALISIS PREFERENSI DAN KEPUASAN KONSUMEN TERHADAP BERAS DI KECAMATAN MULYOREJO SURABAYA JAWA TIMUR. Oleh : Endang Pudji Astuti A ANALISIS PREFERENSI DAN KEPUASAN KONSUMEN TERHADAP BERAS DI KECAMATAN MULYOREJO SURABAYA JAWA TIMUR Oleh : Endang Pudji Astuti A14104065 PROGRAM STUDI MANAJEMEN AGRIBISNIS FAKULTAS PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN

Lebih terperinci

Analisis Penyebab Kenaikan Harga Beras

Analisis Penyebab Kenaikan Harga Beras Analisis Kebijakan 1 Analisis Penyebab Kenaikan Harga Beras Analisis Penyebab Kenaikan Harga Beras Ada dua pendapat mengenai faktor penyebab kenaikan harga beras akhirakhir ini yaitu : (1) stok beras berkurang;

Lebih terperinci