IGA Santi Santosa Suharnoko SH., MLI Henny Marlyna SH., MH., MLI FAKULTAS HUKUM PROGRAM STUDI ILMU HUKUM KEKHUSUSAN HUKUM TENTANG HUBUNGAN SESAMA

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "IGA Santi Santosa Suharnoko SH., MLI Henny Marlyna SH., MH., MLI FAKULTAS HUKUM PROGRAM STUDI ILMU HUKUM KEKHUSUSAN HUKUM TENTANG HUBUNGAN SESAMA"

Transkripsi

1 PERJANJIAN PENGIKATAN JUAL BELI (PPJB) DALAM UU NO.20 TAHUN 2011 TENTANG RUMAH SUSUN (SUATU KAJIAN DARI SEGI HUKUM PERJANJIAN DAN PERLINDUNGAN KONSUMEN): ANALISIS PERJANJIAN PENGIKATAN JUAL BELI (PPJB) TERHADAP UNIT SATUAN CONDOTEL X IGA Santi Santosa Suharnoko SH., MLI Henny Marlyna SH., MH., MLI FAKULTAS HUKUM PROGRAM STUDI ILMU HUKUM KEKHUSUSAN HUKUM TENTANG HUBUNGAN SESAMA ABSTRAK Nama Program Studi Departemen : IGA Santi Santosa : Ilmu Hukum : Hukum Tentang Hubungan Sesama Judul Skripsi : Perjanjian Pengikatan Jual Beli (PPJB) Dalam UU No. 20 Tahun 2011 Tentang Rumah Susun ( Suatu Kajian Dari Segi Hukum Perjanjian Dan Hukum Perlindungan Konsumen ): Analisis Perjanjian Pengikatan Jual Beli (PPJB) Terhadap Unit Satuan Condotel X. Skripsi ini membahas tentang Perjanjian Pengikatan Jual Beli menurut UU No.20 Tahun 2011 tentang Rumah Susun khususnya Pasal 43 ayat (2) huruf c, dimana dalam pasal ini lebih menekankan secara jelas dan tegas akibat hukum yang akan dihadapi oleh pihak pengembang atau developer bila dalam melakukan Perjanjian Pengikatan Jual Beli (PPJB) tidak sesuai dengan ketentuan yang ada dalam pasal tersebut diatas maka dikenakan sanksi pidana dan admistratif bagi pihak yang melanggar ketentuan tersebut. Walaupun dalam PPJB tersebut pihak pengembang (developer) membuat suatu klausula atau pasal pengabaian untuk menghindarkan pasal 43 ayat (2) huruf c maka Perjanjian Pengikatan Jual Beli tersebut melanggar UU Rumah Susun No. 20 Tahun 2011 karena UU ini bersifat Imperatif atau bersifat memaksa sehingga akibat hukum yang timbul adalah perjanjian yang dibuat oleh para pihak dalam hal ini pihak developer dengan pembeli satuan rumah susun batal demi hukum yang memiliki akibat tidak adanya hak dan kewajiban yang timbul dari para pihak yang membuat perjanjian tersebut. Sehingga secara otomatis para pihak yang merasa dirugikan tidak dapat mengajukan tuntutan ke pengadilan. Selain itu dalam Pasal 18 ayat (3) UU No. 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen memberikan akibat hukum yang sama dengan UU No. 20 Tahun 2011 Tentang Rumah Susun apabila klausula baku yang melanggar Pasal 18 ayat (1) dan ayat (2) dinyatakan batal demi hukum.

2 Kata kunci: Perjanjian Pengikatan Jual Beli, Pengembang, Konsumen, Rumah Susun, Batal Demi Hukum. ABSTRACT Name Study Program Judul Skripsi : IGA Santi Santosa : Law : Conditional Sale and Purchase Agreement (PPJB) as defined by Law No.20 of 2011 on Apartment (Study from Perspective of Contractual Law and Consumer Protection Law) : The Anaysis of Conditional Sale and Purchase Agreement (PPJB) Condotel X Unit This paper discusses about Conditional Sale and Purchase Agreement as defined by Law No. 20 of 2011 on Apartment specifically Article 43 paragraph (2) letter c, upon which it focuses clearly and strictly on the legal consequences to the developer which may arise from non-compliance with the provisions of the article which include criminal and administrative penalty against the defaulting party. Although Conditional Sale and Purchase Agreement allows the developer to make a clause or article on waiver of Article 43 paragraph (2) letter c, the Conditional Sale and Purchase Agreement is contrary to the Apartmen Law No. 20 of 2011 as it is imperative or coercive, thus, as a legal consequence, agreement entered into by the parties, the developer and purchaser of apartment unit, will be rendered null and void, thus depriving the rights and obligations of the parties to the agreement. The affected parties may consequently institute claims to the court. In addition, Article 18 paragraph (3) UU No. 8 of 1999 on Consumer Protection provides the same legal consequence as those imposed by Law No. 20 of 2011 on Apartmen Law if the standard clause which is in conflict with Article 18 paragraph (1) and paragraph (2) is rendered null and void. Keywords: Conditional Sale and Purchase Agreement, Consumer, Apartement, Null and Void. Pendahuluan Latar Belakang Masalah Dalam rangka peningkatan daya guna dan hasil guna tanah bagi pembangunan perumahan dan pemukiman, serta mengefektifkan penggunaan tanah terutama di daerahdaerah yang berpenduduk padat, maka perlu dilakukan penataan atas tanah sehingga

3 pemanfaatannya betul-betul dapat dirasakan oleh masyarakat banyak. 1 Oleh karena itu, salah satu cara untuk mengefektifkan penggunaan tanah terutama di daerah-daerah yang jumlah penduduknya padat maka dilakukan pembangunan rumah susun. Pembangunan rumah susun merupakan salah satu alternatif pemecahan masalah kebutuhan perumahan dan pemukiman terutama di daerah perkotaan yang jumlah penduduknya terus meningkat, karena pembangunan rumah susun dapat mengurangi penggunaan tanah, membuat ruang-ruang terbuka kota yang lebih lega dan dapat digunakan sebagai suatu cara untuk peremajaan kota bagi daerah yang kumuh. 2 Dalam rangka mewujudkan pembangunan rumah susun maka dibutuhkan peranan pengembang (developer) untuk mewujudkan pembangunan rumuh susun yang sesuai dengan keinginan pemerintah dan masyarakat. Ternyata keinginan dari pemerintah dan masyarakat dalam mewujudkan pembangunan rumah susun mendapatkan sambutan yang antusias dari pihak pengembang. 3 Oleh karena itu, dengan semakin tingginya permintaan akan rumah susun dalam masyarakat khususnya di pemukiman penduduk yang padat maka dibutuhkan aturan-aturan yang jelas antara pihak penjual dalam hal ini pengembang dengan pihak pembeli yaitu konsumen yang membeli rumah susun yang mana untuk memberikan kepastian hukum diantara mereka. Dengan demikian, Pemerintah mendukung dengan serius pembangunan rumah susun, dengan mengeluarkan Undang-undang No. 16 Tahun 1985 tentang Rumah Susun (UU No. 16/1985). Walaupun demikian, rumah susun yang dibangun oleh pemerintah untuk menyediakan tempat hunian bagi masyarakat ditujukan bagi masyarakat yang berpenghasilan rendah. Hal tersebut dapat dilihat pada ketentuan Pasal 5 Ayat (1) UU No. 16/1985 yang menyebutkan bahwa Rumah Susun dibangun sesuai dengan tingkat keperluan dan kemampuan masyarakat terutama yang berpenghasilan rendah. 4 Namun Kebijakan pemerintah tersebut tidak menutup kemungkinan penggunaan ketentuan ketentuan UU No. 16/1985 untuk pembangunan rumah susun bagi golongan menengah dan golongan atas. Selain itu, UU No. 16/1985 ini mengatur hubungan antara 1 Arie S Hutagalung, Kondominium dan Permasalahan, (Depok: Badan Penerbit Fakultas Hukum Universitas Indonesia), hal.1. 2 Ibid. 3 Ibid. 4 Arie S Hutagalung, op. cit., hal. 7.

4 pihak penjual rumah susun dalam hal ini pengembang (developer) dan pihak pembeli rumah susun. Salah satu bentuk dari hubungan di antara ke dua belah pihak ini diwujudkan dalam perjanjian jual beli. Dalam Perjanjian Jual Beli itu sendiri adalah suatu perjanjian timbal balik yang dalam hal ini pihak yang satu (si penjual) berjanji untuk menyerahkan hak milik atas suatu barang, sedang kan pihak yang lainnya (si pembeli) berjanji untuk membayar harga yang terdiri atas sejumlah uang sebagai imbalan dari perolehan hak milik tersebut. 5 Unsur-unsur pokok perjanjian jual beli adalah barang dan harga. Sesuai dengan asas konsensualisme yang menjiwai hukum perjanjian Kitab Undang Hukum Perdata (KUHPerdata), perjanjian jual beli itu sudah lahir pada detik tercapainya sepakat mengenai barang dan harga. Begitu kedua pihak sudah setuju tentang barang dan harga, maka lahirlah perjanjian jual-beli yang sah. 6 Sifat konsensual dari jual beli tersebut ditegaskan dalam Pasal 1458 KUHPerdata yang berbunyi Jual beli dianggap sudah terjadi antara kedua belah pihak seketika setelah mereka mencapai sepakat tentang barang dan harga, meskipun barang itu belum di serahkan maupun harganya belum dibayar. 7 Asas konsensualisme yang dianut dalam hukum perjanjian KUHPerdata tersebut adalah berasal dari Pasal 1320 KUHPerdata, dimana sahnya suatu perjanjian diperlukan 4 (empat) syarat, antara lain: 1. Sepakat mereka yang mengikat dirinya; 2. Kecakapan untuk membuat suatu perikatan; 3. Suatu hal tertentu 4. Suatu sebab yang halal 8 Selain itu, dengan adanya asas konsensulisme maka Perjanjian Jual beli yang dibuat diantara para pihak dalam hal ini pihak penjual yaitu pihak pengembang (developer) dengan pihak konsumen dalam hal ini pembeli rumah susun adalah bersifat mengikat sebagai undang-undang bagi para pihak. Namun, dengan berjalannya waktu ditemukan kelemahan dalam UU No. 16/1985 yang mana menimbulkan masalah yang sangat besar khususnya bagi pihak konsumen atau pembeli rumah susun. Masalah tersebut adalah tidak adanya kepastian Richard Eddy, Aspek Legal Properti Teori, Contoh, dan Aplikasi, (Yogyakarta: C.V Andi Offset), hal. 6 Subekti (a), Aneka Perjanjian, (Bandung: Penerbit Alumni), hal Ibid., hal Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Pasal 1320 hal. 339.

5 hukum dan perlindungan hukum bagi konsumen atau pembeli rumah susun dari pihak pengembang (developer). Masalah yang timbul dari UU No. 16/1985 adalah tidak adanya pengaturan mengenai sanksi pidana dari tidak dilaksanakannya Perjanjian Pengikatan Jual Beli oleh para pihak serta tidak adanya ketegasan dari pemerintah untuk memberikan batasan yang jelas mengenai besarnya modal yang dimilki oleh pihak penngembang (developer) dalam membuat rumah susun. Oleh Karena itu UU No. 16/1985 tidak memberikan kepastian hukum dan perlindungan hukum kepada pihak konsumen atau pembeli rumah susun khususnya dalam hal besarnya modal yang harus dimilki oleh pihak penjual dalam hal ini pihak pengembang (developer), sehingga memudahkan pihak developer untuk melepaskan diri dari kewajibannya setelah dilakukan Perjanjian Pengikatan Jual Beli (PPJB) dengan pihak pembeli. Oleh karena itu dilakukan perubahan terhadap UU No. 16/1985 yang diganti dengan Undang-Undang No. 20 Tahun 2011 tentang Rumah Susun (UU No. 20/2011) khususnya yang berhubungan dengan syarat untuk memenuhi kepastian atas status kepemilikan tanah Perjanjian Pengikatan Jual Beli (PPJB). Perubahan signifikan yang dapat dilihat dalam Pasal 43 Ayat (2) UU No. 20/2011 yaitu : 1. Kepemilikan IMB; 2. Ketersediaan prasarana, sarana, dan utilitas umum; 3. Keterbangunan paling sedikit 20% (dua puluh persen); dan 4. Hal yang diperjanjikan Dalam Pasal 43 Ayat (2) UU No. 20/2011 adanya penambahan syarat dalam Perjanjian Pengikatan Jual Beli (PPJB) pada huruf c yaitu pihak pengembang (developer) dapat melakukan PPJB dengan pihak konsumen atau pihak pembeli rumah susun apabila pihak pengembang telah melakukan keterbangunan 20% (dua puluh persen). Jelaslah dalam UU No. 20/2011 telah memberikan kepastian hukum dan perlindungan hukum kepada pihak konsumen atau pembeli rumah susun khususnya dalam hal besarnya modal yang harus dimilki oleh pihak penjual dalam hal ini pihak pengembang (developer). Selain itu, adanya sanksi pidana bagi para pihak yang tidak memenuhi isi dari UU No. 20/2011 terssebut, yang mana diatur dalam Pasal UU No. 20/2011. Timbul permasalahan bagi pihak pengembang (developer) khususnya dalam Pasal 43 Ayat (2) huruf c UU No. 20/2011 dimana pihak pengembang (developer) merasa berat dengan syarat keterbangunan 20% (dua puluh persen) untuk terjadinya PPJB dengan pihak konsumen karena dalam hal ini pihak pengembang (developer) harus mempunyai modal yang

6 besar, sehingga akan menyulitkan bagi pihak developer atau pengembang yang tidak mempunyai modal yang terlalu besar. Bila pihak developer atau pengembang mengenyampingkan isi dari Pasal ini khususnya huruf c maka akan dikenakan sanksi pidana karena UU No. 20/2011 ini bersifat imperatif atau memaksa dimana adanya sanksi pidana bagi pihak yang melanggar UU tersebut. Dengan demikian, yang menjadi pokok permasalahan dari penelitian ini adalah apakah Pasal 43 Ayat (2 ) huruf c UU No. 20/2011 dapat dikatakan sah jika para pihak dalam hal ini pihak pengembang (developer) dengan konsumen dalam hal ini pihak pembeli rumah susun melakukan kesepakatan dengan mengenyampingkan dari isi Pasal tersebut dengan membuat suatu klausula diantara mereka. Pokok Permasalahan Berdasarkan latar belakang permasalahan tersebut, maka pokok permasalahan yang akan dibahas dalam penelitian ini, adalah sebagai berikut: 1. Apakah latar belakang pengaturan Pasal 43 Ayat (2) huruf c UU No. 20 Tahun 2011 tentang Rumah Susun dan sanksi pidana pada Pasal 110 UU No. 20 Tahun 2011 tentang Rumah Susun? 2. Apakah Perjanjian Pengikatan Jual Beli (PPJB) Unit Satuan Condotel X bertentangan dengan Pasal 43 Ayat (2) UU No. 20 Tahun 2011 tentang Rumah Susun? 3. Bagaimana akibat hukum apabila perjanjian pengikatan jual beli yang dibuat oleh developer dan konsumen bertentangan dengan Pasal 43 Ayat (2) UU No. 20 Tahun 2011 tentang Rumah Susun? Pembahasan 1. ketentuan Pasal 43 UU No. 20/2011, maka ketentuan tersebut telah menuliskan secara jelas: "Pasal Proses jual beli sarusun sebelum pembangunan rumah susun selesai dapat dilakukan melalui PPJB yang dibuat di hadapan notaris. 2. PPJB sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan setelah memenuhi persyaratan kepastian atas: a. status kepemilikan tanah; b. kepemilikan IMB; c. ketersediaan prasarana, sarana, dan utilitas umum; d. keterbangunan paling sedikit 20% (dua puluh persen); dan

7 e. hal yang diperjanjikan." Ketentuan tersebut secara tegas menyatakan bahwa telah dipersyaratkan 5 (lima) hal yang harus dipenuhi secara formalitas pembuatan PPJB. Dalam hal ini PPJB unit satuan Condotel X harus memenuhi 4 (empat) komponen utama dan 1 (satu) komponen pelengkap. Keempat persyaratan tersebut yang telah diatur adalah sebagai berikut: Status Kepemilikan Tanah; Kepemilikan IMB; Ketersediaan Prasarana, Sarana, Dan Utilitas Umum; dan Keterbangunan Paling Sedikit 20% (Dua Puluh Persen). Perihal status kepemilikan tanah, maka dapat dilihat berdasarkan Pasal 1 huruf i PPJB X maka status tanah Condotel X adalah Sertifikat Hak Guna Bangunan atas nama PT. Y yang nantinya akan dipecah atas nama pemiliknya berdasarkan Pasal 11 Ayat (1) huruf c jo. Pasal 12 Poin 4 PPJB unit satuan Condotel X yang menuliskan status kepemilikan dari pemiliknya adalah Sertipikat Hak Milik Satuan Rumah Susun (Unit Satuan Condotel). Dengan demikian, mengenai status kepemilikannya tidak menjadi masalah antara konsumen dan developer. Perihal kepemilikan IMB maka telah diatur secara tegas dalam Pasal 3 Ayat (2) PPJB dimana IMB merupakan persyaratan yang diperlukan dalam pembangunan proyek Condotel X. Sedangkan perihal ketersediaan prasarana, sarana, dan utilitas umum, maka telah diatur lebih lanjut dalam Pasal 1 Ayat (1) huruf c - f. Penulis tidak menemukan satu hal yang mengatur mengenai Keterbangunan Paling Sedikit 20% (Dua Puluh Persen) dalam PPJB unit satuan Condotel X. Penulis hanya menemukan adanya pengabaian atau pengecualian yang dalam Pasal 21 PPJB unit satuan Condotel X, dimana ketentuan tersebut menyatakan sebagai berikut: "Pasal 21 Pengabaian 1. Para Pihak dengan iktikad baik tanpa bermaksud merugikan satu sama lain, dengan ini menyatakan secara tegas menyetujui mengabaikan ketentuanketentuan sebagai berikut: a. Pasal 1266 dan 1267 Kitab Undang-undang Hukum Perdata; b. Pasal 43 Ayat 2 Undang-Undang Nomor 20 tahun 2011 tentang Rumah Susun; 2. Para Pihak dengan iktikad baik tanpa bermaksud merugikan satu sama lain, dengan ini menyatakan secara tegas menyetujui untuk tidak saling

8 menuntut/menggugat PAILIT diantara Para Pihak, sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 1 tahun 1998 tentang Kepailitan." Ketentuan tersebut telah memberikan pengecualian dalam dibuatnya PPJB unit satuan Condotel X, dimana Pasal 43 Ayat (2) UU No. 20/2011 tidak diikutsertakan dalam kesepakatan para pihak. Hal ini tentunya dapat merugikan salah satu pihak, karena ketentuan dalam PPJB unit satuan Condotel X tersebut tidak menjamin kepastian hukum calon pembeli (konsumen). Selain itu, lebih lanjut dalam Penjelasan Pasal 43 Ayat (2) UU No. 20/2011 secara tegas mengatur bahwa penentuan nilai 20% (dua puluh persen) harus dinilai dari 20% (dua puluh persen) dari volume konstruksi bangunan rumah susun yang sedang dipasarkan. Dalam prakteknya Condotel X hanya memasarkan gambar lokasi (site plan) dan denah maupun desain yang telah dibuat, sehingga dapat dikatakan bahwa developer PT Y melakukan transaksi terhadap barang yang belum ada. Konteks ini menjadi penting karena developer PT Y telah menghimpun dana dari konsumen untuk membangun Condotel X, sedangkan pihak developer PT Y tidak memberikan kepastian dari 20% (dua puluh persen) dari volume konstruksi Condotel X dengan cara mengabaikan ketentuan Pasal 43 Ayat (2) UU No. 20/2011. Hal ini jelas bertentangan dengan semangat dalam Keputusan Menteri Negara Perumahan Rakyat No. 11/KPTS/1994 tentang Pedoman Perikatan Jual Beli Satuan Rumah Susun, dimana Ir. Akbar Tandjung selaku Menteri Negara Perumahan Rakyat membuat kebijakan mengenai PPJB dengan tujuan utama agar mengamankan kepentingan para perusahaan pembangunan perumahan (developer) dan permukiman serta para calon pembeli rumah susun dari kemungkinan terjadinya ingkar janji dari para pihak. Hal inilah yang telah dituangkan dalam ketentuan Pasal 43 Ayat (2) UU No. 20/2011. Oleh karena itu dengan adanya pengecualian ini maka Penulis merasa perlu untuk membahas konsekuensi (akibat) hukum atas pengecualian yang secara tegas dibuat oleh developer dalam PPJB sebagai ketentuan klausula baku yang tidak dapat diubah oleh konsumen. Analisis Akibat Hukum Dari Perjanjian Pengikatan Jual Beli Unit Satuan Condotel X 1. Dari UU No. 20 Tahun 2011 Tentang Rumah Susun Dalam PPJB unit satuan Condotel X terdapat klausula yang mengecualikan Pasal 43 Ayat (2) UU No. 20/2011, oleh karena itu bagi konsumen terdapat beberapa aspek yang perlu dibahas. Aspek yang dapat di analisis dari segi sanksi perdata dan pidana, maupun perlindungan hak konsumen.

9 bahwa: Apabila melihat ketentuan Pasal 105 Ayat (2) UU No. 20/2011 telah jelas menyatakan "(2) Dalam hal penyelesaian sengketa melalui musyawarah untuk mufakat tidak tercapai, pihak yang dirugikan dapat menggugat melalui pengadilan yang berada di lingkungan pengadilan umum atau di luar pengadilan berdasarkan pilihan yang disepakati para pihak yang bersengketa melalui alternatif penyelesaian sengketa." Lebih lanjut dalam Pasal 106 UU No. 20/2011 mengatur ketentuan sebagai berikut: "Pasal 106 Gugatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 105 ayat (2) dapat dilakukan oleh: a. orang perseorangan; b. badan hukum; c. masyarakat; dan/atau d. pemerintah atau instansi terkait." Artinya, dari ketentuan di atas maka pihak yang merasa dirugikan, dalam hal ini konsumen yang telah melakukan PPJB dengan pihak developer PT. Y tidak menutup kemungkinan dapat mengajukan gugatan perdata kepada developer PT. Y. Hal ini disebabkan karena perjanjian mengikat kedua belah pihak berdasarkan pada terpenuhinya semua syarat yang telah diatur dalam peraturan, dalam hal ini telah diatur dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata (KUHPerdata). Selain itu adanya akibat hukum dari PPJB unit satuan Condotel X yang tidak memenuhi ketentuan dalam Pasal 43 Ayat (2) UU No. 20/2011, telah diberikan sanksi secara pidana sebagaimana diatur dalam Pasal 110 UU No. 20/2011, yang menuliskan sebagai berikut: "Pasal 110 Pelaku pembangunan yang membuat PPJB: a. yang tidak sesuai dengan yang dipasarkan; atau b. sebelum memenuhi persyaratan kepastian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 43 ayat (2); sebagaimana dimaksud dalam Pasal 98, dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun atau denda paling banyak Rp ,00 (empat miliar rupiah)." Dari ketentuan di atas telah mengatur konsekuensi hukum secara pidana apabila developer membuat PPJB unit satuan Condotel X yang belum memenuhi Pasal 43 Ayat (2) UU No.

10 20/2011. Hal ini menjadi sangat mutlak bagi kesalahan developer PT Y, dimana dalam PPJB unit satuan Condotel X telah secara tegas mengakui dan membuat ketentuan pada awal konsideran huruf f PPJB unit satuan Condotel X yang berbunyi: "Bahwa mengingat beberapa persyaratan sebagaimana diatur didalam Peraturan Rumah Susun belum dapat dipenuhi dan pembangunan sedang dalam tahap penyelesaian, maka Jual Beli Satuan Unit Condotel Somerset Kencana sebagaimana disyaratkan Peraturan Rumah Susun dengan akta yang dibuat dihadapan Pejabat Pembuat Akta Tanah belum dapat dilakukan." Dikatakan mutlak karena secara jelas bahwa PT. Y selaku developer Condotel X telah mengakui secara tegas bahwa dalam proses pembangunan Condotel X belum dapat memenuhi ketentuan sebagaimana telah diatur dalam Peraturan Rumah Susun, dalam hal ini adalah UU No. 20/2011 tentang Rumah Susun. Akan tetapi, sanksi yang diberikan oleh UU No. 20/2011 sangatlah mengikat dan berlaku secara umum tanpa melihat adanya kesepakatan para pihak. Hal ini disebabkan ketentuan pidana dibuat oleh pemerintah bersama dengan legislatif bertujuan melindungi konsumen dalam melakukan transaksi awal atas pembelian rumah susun. Selain itu, karakteristik ketentuan pidana di Indonesia hanya melihat dari pemenuhan unsur pidana yang dilanggar, maka siapapun dapat dilaporkan pidana. Dengan adanya ketentuan pidana ini, maka diharapkan adanya perlindungan dari konsumen dan juga kepastian dari developer dalam membangun Condotel X. 2. Dari Hukum Perdata Apabila kita berbicara mengenai syarat sahnya perjanjian, maka berdasarkan Pasal 1320 KUHPerdata khususnya untuk syarat dalam suatu sebab yang halal ditemukan adanya pelanggaran mengenai syarat sahnya perjanjian. Namun, perlu dicatat bahwa perjanjian akan mengikat kedua belah pihak berdasarkan kesepakatan yang yang dibuat sesuai dengan undang-undang yang berlaku. "Pasal 1320 KUHPerdata Syarat sahnya perjanjian, perlu dipenuhi empat syarat: 1. Kesepakatan mereka yang mengikatkan dirinya; 2. Kecakapan untuk membuat suatu perikatan; 3. Suatu hal tertentu; 4. Suatu sebab yang halal."

11 Dalam Pasal 1320 KUHPerdata tersebut menyatakan bahwa untuk sahnya suatu perjanjian diperlukan 4 (empat) syarat yaitu: a. Sepakat Mereka yang Mengikatkan Dirinya Kesepakatan antara para pihak yang membuat perjanjian yang mana terjadinya pertemuan atau kesesuaian kehendak diantara para pihak, dan kesepakatan tersebut harus diberikan secara bebas, artinya bebas dari paksaaan dan kekhilafan, dan penipuan sebagaimana yang tercantum dalam Pasal 1321 KUHPerdata. Dalam hal ini para pihak yang terlibat dalam kesepakatan ini adalah Pihak Condotel X yang diwakili oleh pihak developer (PT Y) dengan pihak pembeli Condotel X (konsumen). Dalam Perjanjian Pengikatan Jual Beli yang dilakukan adalah sah karena adanya kesepakatan yang dibuat diantara mereka yaitu Pihak Condotel X yang diwakili oleh Developer dalam hal ini PT Y dengan pihak pembeli Condotel X (konsumen) tanpa ada paksaan, kehilafan dan penipuan. b. Kecakapan untuk Membuat Suatu Perikatan Diatur dalam Pasal 1330 KUHPerdata dimana kecakapan dari sahnya suatu perjanjian yang dibuat oleh para pihak yaitu pihak Condotel X yang diwakili oleh PT Y dengan pihak konsumen adalah sah, tidak melanggar dari syarat kecakapan dalam sahnya suatu perjanjian. c. Suatu Hal Tertentu Hal tertentu maksudnya adalah objek perjanjian atau prestasi yang diperjanjikan harus jelas, dapat dihitung dan dapat ditentukan jenisnya. Dalam hal ini jelas yang menjadi objek perjanjian adalah Condotel X. Ditinjau dari Pasal KUHPerdata objek perjanjian yag dibuat oleh pihak Developer PT Y dengan Pembeli Condotel X yang menjadi barang diperdagangkan, mempunyai pokok berupa suatu barang paling sedikit ditentukan jenisnya dan barang yang baru ada pada waktu yang akan datang adalah Hak Milik Atas Satuan Rumah Susuh (HMSRS) Condotel X dikawasan Kebayoran Lama Jakarta Selatan, DKI Jakarta dengan luas M 2 (dua belas ribu dua ratus empat puluh meter persegi). d. Suatu Sebab yang Halal

12 Dalam pasal 1337 KUHPerdata menyatakan bahwa suatu sebab adalah terlarang, apabila dilarang oleh undang-undang, atau apabila berlawanan dengan kesusilaan baik atau ketertiban umum. Dilihat dari PPJB yang dilakukan pihak Condotel X yang dilakukan oleh Pihak PT Y dengan pihak pembeli Condotel X (konsumen) adalah tidak sah karena isi PPJB yang dibuat adalah tidak memenuhi Pasal 43 Ayat (2) huruf d yang menyatakan bahwa dalam hal melakukan PPJB sebagaimana dimaksud Pasal 1 dilakukan setelah memenuhi persyaratan kepastian atas keterbangunan paling sedikit 20% (dua puluh persen), namun pihak Condotel X dalan hal ini diwakili oleh developer PT Y dalam PPJB yang dibuat diantara mereka memuat suatu pasal pengabaian yang di atur dalam Pasal 21 Ayat (1) huruf b yaitu mengabaikan Pasal 43 ayat (2) UU No. 20 Tahun 2011 tentang Rumah Susun. Padahal secara jelas dan tegas dalam UU No. 20 Tahun 2011 menyatakan bahwa dalam Pasal 98 huruf b dimana Pelaku Pembangunan dalam hal ini PT Y sebagai pihak developer dilarang membuat PPJB sebelum memenuhi persyaratan kepastian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 43 Ayat (2) yaitu adanya kepastian keterbangunan paling sedikit 20% (dua puluh persen). Selain itu, UU No. 20 Tahun 2011 memiliki sifat imperatif dimana dalam Pasal 110 huruf b menyatkan bahwa Pelaku Pembangunan bila tidak memenuhi persyaratan kepastian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 43 ayat (2) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 98, dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun atau denda paling banyak Rp (empat miliar). Maka berdasarkan Pasal 1320 KUHPerdata yang mempunyai 4 (empat) unsur dalam sahnya suatu perjanjian, PPJB unit satuan Condotel X yang mana dalam hal ini diwakili oleh PT Y dengan pihak Pembeli unit satuan Condotel X (konsumen) tidak memenuhi salah satu unsur sahnya suatu perjanjian yaitu unsur sebab yang halal yang mana unsur tersebut sangat memegang peran penting dalam menentukan sahnya suatu perjanjian dari segi hukum perjanjian. Selain itu didukung juga oleh UURS yang baru yaitu UU No. 20 Tahun 2011 dimana dalam UU ini dengan jelas mengatur secara tegas bila terjadi pelanggaran yang dilarang dalam pasal dalam UU ini maka akan dikenakan sanksi pidana dan administratif (UU No. 20 Tahun 2011 bersifat imperatif atau memaksa). Berdasarkan penjelasan tersebut diatas maka PPJB unit satuan Condotel X dengan diwakili oleh PT Y dengan pihak Pembeli unit satuan Condotel X (konsumen) dapat batal demi hukum (null and void). Dengan batalnya demi hukumnya suatu perjanjian para pihak

13 yang tidak dapat mengajukan tuntutan melalui pengadilan untuk melaksanakan perjanjian atau meminta ganti rugi, karena perjanjian tersebut tidak melahirkan hak dan kewajiban yang mempunyai akibat hukum. Selain itu, secara jelas telah diatur juga dalam Pasal 1338 KUHPerdata, yang isi lengkapnya adalah sebagai berikut: "Pasal 1338 KUHPerdata Semua persetujuan yang dibuat sesuai dengan undang-undang berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya. Persetujuan itu tidak dapat ditarik kembali selain dengan kesepakatan kedua belah pihak, atau. karena alasan-alasan yang ditentukan oleh undang-undang. Persetujuan harus dilaksanakan dengan itikad baik." Lebih lanjut bahwa perjanjian tersebut harus dilandaskan oleh itikad baik dari masingmasing pihak. Selain itu, berdasarkan Pasal 1339 KUHPerdata juga menjelaskan lebih lanjut, yaitu "Pasal 1339 KUHPerdata Persetujuan tidak hanya mengikat apa yang dengan tegas ditentukan di dalamnya, melainkan juga segala sesuatu yang menurut sifat persetujuan dituntut berdasarkan keadilan, kebiasaan, atau undang-undang." Ketentuan pasal di atas mengatur bahwa perjanjian harus didasarkan pada nilai keadilan, kebiasaan, dan undang-undang. Jadi sangatlah jelas bahwa tidak cukup dengan kata sepakat saja dapat membuat perjanjian menjadi sah dan mengikat, tetapi harus dibuat sesuai dengan undang-undang yang berlaku, keadilan, dan kebiasaan dalam masyarakat. Dalam hal ini pembangunan Condotel X yang telah dituangkan dalam PPJB tidak dapat mengikat secara hukum antara para pihak, karena melanggar Pasal 1338 dan Pasal 1339 KUHPerdata. Konsekuensi hukum yang terjadi adalah perjanjian tidak dapat mengikat secara hukum (batal demi hukum) karena terdapat pengaturan dalam PPJB unit satuan Condotel X yang mengecualikan ketentuan Pasal 43 Ayat (2) UU No. 20/2011. Oleh karena itu, apabila ada pihak yang merasa dirugikan tidak dapat mengajukan tuntutan hak ke pengadilan negeri atas Pasal 21 PPJB unit satuan Condotel X. Walaupun demikian, berdasarkan ketentuan Pasal 105 Ayat (4) UU UU No. 20/2011 menyatakan bahwa "Penyelesaian sengketa di luar pengadilan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) tidak menghilangkan tanggung jawab pidana." Oleh karena itu, konsekuensi hukum yang dapat dikenakan terhadap PT. Y selaku developer bukan terbatas pada hak keperdataan saja, tetapi dapat dituntut berdasarkan ranah hukum pidana.

14 3. Dari Hukum Perlindungan Konsumen Dari sisi perlindungan konsumen, maka berdasarkan UU No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (UU No. 8/1999), telah diatur dalam Pasal 1 Angka 10 yang menyatakan sebagai berikut: "Klausula Baku adalah setiap aturan atau ketentuan dan syarat-syarat yang telah dipersiapkan dan ditetapkan terlebih dahulu secara sepihak oleh pelaku usaha yang dituangkan dalam suatu dokumen dan/atau perjanjian yang mengikat dan wajib dipenuhi oleh konsumen." Kontrak baku adalah suatu kontrak tertulis yang dibuat hanya oleh salah satu pihak dalam kontrak tersebut, bahkan sering kali kontrak tersebut sudah tercetak (boilerplate) dalam berntuk formulir-formulir tertentu oleh salah satu pihak, yang dalam hal ini ketika kontrak tersebut ditandatangani umumnya para pihak hanya mengisikan data-data informatif tertentu saja dengan sedikit atau tanpa perubahan dalam klausula-klausulanya, dimana pihak lain dalam kontrak tersebut tidak mempunyai kesempatan atau hanya sedikit atau tanpa perubahan dalam klausula-klausula yang sudah dibuat oleh salah satu pihak tersebut, sehingga biasanya kontrak baku sangat berat sebelah. Pihak yang disodorkan kontrak baku tersebut tidak mempunyai kesempatan untuk bernegosiasi dan berada hanya pada posisi take it or leave it. Dengan demikian, oleh hukum diragukan apakah benar-benar ada elemen kata sepakat yang merupakan syarat sahnya kontrak dalam kontrak baku tersebut. Dari ketentuan tersebut jelas bahwa klausula baku ini diterapkan pada pembuatan PPJB unit satuan Condotel X, dimana fokus analisis ini mengacu kepada Pasal 21 PPJB unit satuan Condotel X mengenai pengabaian atau pengecualian Pasal 43 Ayat (2) UU No. 20/2011. Dikatakan klausula baku karena konsumen harus menandatangani PPJB unit stauan Condotel X sebagai bentuk persetujuan atas tindak lanjut pemesanan unit Condotel X. Apabila konsumen memiliki kesempatan untuk mengubah ketentuan dalam PPJB maka konsumen akan dengan leluasa menghilangkan atau menambahkan klausula agar menguntungkan juga pihaknya. Hal ini menjadi mustahil karena konsumen tidak dilibatkan sebagai pihak yang dapat membuat PPJB unit satuan Condotel X sehingga konsumen "wajib" secara terpaksa untuk menyepakati PPJB unit satuan Condotel X. Konsekuensi hukum dengan perlindungan terhadap konsumen ini telah diatur dalam Pasal 18 UU No. 8/1999 yang mengatur hal sebagai berikut:

15 "Pasal 18 UU No. 8/ Pelaku usaha dalam menawarkan barang dan/atau jasa yang ditujukan untuk diperdagangkan dilarang membuat atau mencantumkan klausula baku pada setiap dokumen dan/atau perjanjian apabila: a. menyatakan pengalihan tanggung jawab pelaku usaha; b. menyatakan bahwa pelaku usaha berhak menolak penyerahan kembali barang yang dibeli konsumen; c. menyatakan bahwa pelaku usaha berhak menolak penyerahan kembali uang yang dibayarkan atas barang dan/atau jasa yang dibeli oleh konsumen; d. menyatakan pemberian kuasa dari konsumen kepada pelaku usaha baik secara langsung maupun tidak langsung untuk melakukan segala tindakan sepihak yang berkaitan dengan barang yang dibeli oleh konsumen secara angsuran; e. mengatur perihal pembuktian atas hilangnya kegunaan barang atau pemanfaatan jasa yang dibeli oleh konsumen; f. memberi hak kepada pelaku usaha untuk mengurangi manfaat jasa atau mengurangi harta kekayaan konsumen yang menjadi obyek jual beli jasa; g. menyatakan tunduknya konsumen kepada peraturan yang berupa aturan baru, tambahan, lanjutan dan/atau pengubahan lanjutan yang dibuat sepihak oleh pelaku usaha dalam masa konsumen memanfaatkan jasa yang dibelinya; h. menyatakan bahwa konsumen memberi kuasa kepada pelaku usaha untuk pembebanan hak tanggungan, hak gadai, atau hak jaminan terhadap barang yang dibeli oleh konsumen secara angsuran. 2. Pelaku usaha dilarang mencantumkan klausula baku yang letak atau bentuknya sulit terlihat atau tidak dapat dibaca secara jelas, atau yang pengungkapannya sulit dimengerti. 3. Setiap klausula baku yang telah ditetapkan oleh pelaku usaha pada dokumen atau perjanjian yang memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dinyatakan batal demi hukum. 4. Pelaku usaha wajib menyesuaikan klausula baku yang bertentangan dengan undangundang ini." Ketentuan di atas secara jelas telah mengatur bahwa pelaku usaha dalam hal ini PT. Y selaku developer Condotel X dilarang membuat atau mencantumkan klausula baku pada perjanjian agar konsumen tunduk pada aturan baru, dimana konsumen tidak berhak untuk mengubah ketentuan Pasal 21 PPJB Condotel X yang berisi pengecualian dalam Pasal 43 Ayat (2) UU No. 20/2011. Sedangkan dalam Pasal 18 Ayat (2) UU No. 8/1999 juga melarang bagi PT. Y selaku developer Condotel X untuk membuat klausula baku yang pengungkapannya sulit dimengerti. Pengertian sulit dimengerti ini berarti bahwa konsumen tidak dapat memahami ketentuan yang diatur dalam Pasal 21 PPJB unit satuan Condotel X mengenai pengecualian Pasal 43 (2) UU No. 20/2011. Dikatakan sulit dimengerti karena dalam PPJB unit satuan Condotel X tidak menjelaskan isi Pasal 43 Ayat (2) UU No. 20/2011. Apabila konsumen mengetahui adanya konsep penulisan detail dari Pasal 43 Ayat (2) UU No. 20/2011 sebagaimana diatur dalam Pasal 21 PPJB unit satuan Condotel X, mungkin konsumen akan berpikir lain atau setidak-tidaknya mempertimbangkan aspek kepastian

16 hukum dari transaksi PPJB unit satuan Condotel X tersebut. Dengan tidak disebutkan secara terang hal ini dapat dikategorikan bahwa PT. Y selaku developer Condotel X telah mencantumkan klausula baku dalam PPJB unit satuan Condotel X yang telah dilarang secara tegas dalam UU No. 20/2011. Dari hal di atas, maka dapat disimpulkan bahwa faktor-faktor penyebab klausula baku menjadi sangat berat sebelah dalam pembuatan PPJB Faktor-faktor penyebab sehingga seringkali kontrak baku menjadi sangat berat sebelah adalah sebagai berikut: 1. Kurang adanya atau bahkan tidak adanya kesempatan bagi konsumen untuk melakukan tawar-menawar, sehingga pihak konsumen tidak memiliki banyak kesempatan untuk mengetahui isi kontrak tersebut; 2. Pihak developer memiliki cukup banyak waktu untuk memikirkan mengenai klausula-klausula dalam dokumen tersebut, bahkan mungkin saja sudah berkonsultasi dengan para ahli atau bahkan dibuat oleh para ahli. Sedangkan pihak konsumen tidak banyak kesempatan dan seringkali tidak familiar dengan klausulaklausula hukum dalam PPJB; 3. Pihak konsumen menempati kedudukan yang tidak seimbang, sehingga hanya dapat bersikap take it or leave it. Sebenarnya, kontrak baku itu sendiri tidak begitu menjadi persoalan secara hukum, mengingat kontrak baku sudah merupakan kebutuhan dalam praktek dan sudah merupakan kebiasaan sehari-hari. Hal yang menjadi persoalan adalah manakala kontrak baku tersebut mengandung unsur-unsur yang tidak adil (berat sebelah) bagi para pihak. Dengan demikian, konsekuensi hukum berdasarkan Pasal 18 Ayat (3) UU No. 8/1999 telah memberikan akibat hukum apabila terdapat klausula baku yang melanggar Pasal 18 Ayat (1) dan (2) dinyatakan batal demi hukum. Oleh karena itu, PT. Y selaku developer Condotel X dengan membuat PPJB unit satuan Condotel X yang tidak sesuai dengan UU No. 20/2011 maka PPJB memiliki konsekuensi hukum batal demi hukum. Kesimpulan Dari uraian yang terkait mengenai Perjanjian Pengikatan Jual Beli sebagai hubungan kontraktual antara pengembang dan pembeli satuan rumah susun dalam pembangunan Condotel X, antara lain: 1. Latar belakang pengaturan Pasal 43 Ayat (2) huruf c berasal dari Keputusan Menteri Negara Perumahan Rakyat No. 11/KPTS/1994 tentang Pedoman Perikatan Jual Beli

17 Satuan Rumah Susun untuk melindungi dan memberikan kepastian hukum pada pihak pengembang (developer)/pihak penyelenggara pembangunan perumahan dan pemukiman dengan konsumen agar terhindar dari kemungkinan terjadinya ingkar janji dari para pihak yang terkait. Sedangkan sanksi pidana yang diatur pada Pasal 110 UU No. 20/2011 telah menentukan adanya pelanggaran terhadap Pasal 43 Ayat (2) huruf c UU No. 20/2011 yaitu dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun atau denda paling banyak Rp ,00 (empat miliar rupiah); 2. Perjanjian Pengikatan Jual Beli (PPJB) terhadap unit satuan Condotel X bertentangan dengan isi Pasal 43 Ayat (2) UU No. 20/2011 dimana dalam hal ini pihak Condotel X yang diwakili oleh pihak developer atau PT Y tidak memenuhi keseluruhan komponen yang diatur dalam Pasal 43 Ayat (2). Keseluruhan komponen yang diatur dalam Pasal 43 ayat (2) UU No. 20/2011 adalah 5 (lima) komponen yang terdiri dari 4 (empat) komponen utama dan 1 (satu) komponen lengkap yaitu : - Status kepemilikan IMB - Kepemilikan IMB - Ketersediaan Prasarana, Sarana, dan Utilitas Umum; dan - Keterbangunan Paling Sedikit 20% (dua puluh persen) - Hal yang diperjanjikan Namun dalam kenyataan dalam Perjanjian Pengikatan Jual Beli (PPJB) terhadap unit satuan Condotel X hanya memenuhi 4 (empat) komponen saja sedangkan 1 (satu) komponen yang mengatur mengenai Keterbangunan Paling Sedikit 20% (dua puluh persen) tidak ada atau tidak dipenuhi oleh pihak Condotel X yang dalam hal ini diwakili oleh PT Y sebagai developer. Ini terlihat dari tidak adanya kepastian yang diberikan oleh PT Y mengenai volume konstruksi dari Condotel X sebesar 20% (dua puluh persen) dari keterbangunan. 3. Akibat hukum apabila perjanjian pengikatan jual beli yang dibuat oleh developer PT Y bertentangan dengan Pasal 43 Ayat (2) UU No. 20 Tahun 2011 tentang Rumah Susun, antara lain: - PPJB unit satuan Condotel X dinyatakan batal demi hukum karena ketentuan dalam Pasal 21 PPJB unit satuan Condotel X mengandung cacat hukum karena tidak sesuai dengan syarat sahnya perjanjian dalam Pasal 1320 dalam hal sebab yang halal, Pasal 1338 dan Pasal 1339 KUHPerdata yang didasarkan pada Pasal 110 UU No. 20/2011 jo. Pasal 43 Ayat (2) huruf c UU No. 20/2011;

18 - Selain itu, ketentuan Pasal 21 PPJB unit satuan Condotel X mengandung klausula baku sebagaimana diatur dalam Pasal 18 Ayat (3) UU No. 8/1999 jo. Pasal 18 Ayat (2) dan Ayat (3) UU No. 8/1999; - Terdapat sanksi pidana yang diatur dalam Pasal 110 UU No. 20/2011 atas pelanggaran Pasal 43 Ayat (2) UU No. 20/2011. Saran Berdasarkan pembahasan pada bab-bab terdahulu, maka penulis mencoba mengemukakan beberapa saran yang kiranya akan bermanfaat sebagai upaya mengatasi permasalahan pada Jual Beli Satuan Rumah Susun, adalah sebagai berikut: 1. Perlu adanya sosialisasi kepada masyarakat selaku calon pembeli (konsumen) mengenai ketentuan Pasal 43 Ayat (2) UU No. 20/2011 yang mengatur pengembangan (developer) harus menyelesaikan 20% (dua puluh persen) dari volume total konstruksi bangunan. 2. Perlu ada lembaga independen yang mengawasi dan menilai volume total konstruksi keterbangunan sebesar 20% (dua puluh persen) sebelum melakukan PPJB.

BAB III PERLINDUNGAN HUKUM BAGI PEMBELI UNIT KONDOTEL. Dalam perspektif hukum perjanjian, sebagaimana diketahui perikatan yang

BAB III PERLINDUNGAN HUKUM BAGI PEMBELI UNIT KONDOTEL. Dalam perspektif hukum perjanjian, sebagaimana diketahui perikatan yang BAB III PERLINDUNGAN HUKUM BAGI PEMBELI UNIT KONDOTEL 1. Hak- hak dan kewajiban dari pembeli unit kondotel Dalam perspektif hukum perjanjian, sebagaimana diketahui perikatan yang dilahirkan dari perjanjian

Lebih terperinci

BAB V PENUTUP. 1. Persyaratan Pembangunan Rumah Susun dalam Tindakan. Hukum Pemesanan Rumah Susun

BAB V PENUTUP. 1. Persyaratan Pembangunan Rumah Susun dalam Tindakan. Hukum Pemesanan Rumah Susun BAB V PENUTUP A. KESIMPULAN Berdasarkan pembahasan penulis, jawaban atas identifikasi masalah pada Bab I skripsi ini adalah: 1. Persyaratan Pembangunan Rumah Susun dalam Tindakan Hukum Pemesanan Rumah

Lebih terperinci

BAB III TINJAUAN YURIDIS MENGENAI KLAUSULA BAKU DALAM PERJANJIAN KARTU KREDIT BANK MANDIRI, CITIBANK DAN STANDARD CHARTERED BANK

BAB III TINJAUAN YURIDIS MENGENAI KLAUSULA BAKU DALAM PERJANJIAN KARTU KREDIT BANK MANDIRI, CITIBANK DAN STANDARD CHARTERED BANK 44 BAB III TINJAUAN YURIDIS MENGENAI KLAUSULA BAKU DALAM PERJANJIAN KARTU KREDIT BANK MANDIRI, CITIBANK DAN STANDARD CHARTERED BANK 3.1 Hubungan Hukum Antara Para Pihak Dalam Perjanjian Kartu Kredit 3.1.1

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat adil dan makmur berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat adil dan makmur berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Tujuan pembangunannasional adalah mewujudkan kesejahteraan lahir dan batin seluruh rakyat Indonesia secara adil dan merata, sebagai salah satu usaha untuk mengisi

Lebih terperinci

BAB II PENGERTIAN UMUM PERJANJIAN BAKU. A. Pengertian Perjanjian dan Syarat-Syarat Sah Suatu Perjanjian

BAB II PENGERTIAN UMUM PERJANJIAN BAKU. A. Pengertian Perjanjian dan Syarat-Syarat Sah Suatu Perjanjian BAB II PENGERTIAN UMUM PERJANJIAN BAKU A. Pengertian Perjanjian dan Syarat-Syarat Sah Suatu Perjanjian Menurut pasal 1313 KUHPerdata: Suatu perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau

Lebih terperinci

KLAUSULA BAKU PERJANJIAN KREDIT BANK RAKYAT INDONESIA DALAM HUBUNGANNYA DENGAN UNDANG-UNDANG NOMOR 8 TAHUN 1999 TENTANG PERLINDUNGAN KONSUMEN

KLAUSULA BAKU PERJANJIAN KREDIT BANK RAKYAT INDONESIA DALAM HUBUNGANNYA DENGAN UNDANG-UNDANG NOMOR 8 TAHUN 1999 TENTANG PERLINDUNGAN KONSUMEN 1 KLAUSULA BAKU PERJANJIAN KREDIT BANK RAKYAT INDONESIA DALAM HUBUNGANNYA DENGAN UNDANG-UNDANG NOMOR 8 TAHUN 1999 TENTANG PERLINDUNGAN KONSUMEN Oleh: Ida Bagus Oka Mahendra Putra Ni Made Ari Yuliartini

Lebih terperinci

ASAS NATURALIA DALAM PERJANJIAN BAKU

ASAS NATURALIA DALAM PERJANJIAN BAKU ASAS NATURALIA DALAM PERJANJIAN BAKU Oleh : Putu Prasintia Dewi Anak Agung Sagung Wiratni Darmadi Bagian Hukum Keperdataan Fakultas Hukum Universitas Udayana ABSTRACK Standard contract is typically made

Lebih terperinci

Azas Kebebasan Berkontrak & Perjanjian Baku

Azas Kebebasan Berkontrak & Perjanjian Baku Azas Kebebasan Berkontrak & Perjanjian Baku Azas Hukum Kontrak sebagaimana ditetapkan oleh BPHN tahun 1989 menyatakan beberapa azas yaitu: - konsensualisme - Keseimbangan - Moral - Kepatutan - Kebiasaan

Lebih terperinci

PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP KONSUMEN ATAS PENERAPAN KLAUSULA EKSONERASI DALAM PERJANJIAN BAKU

PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP KONSUMEN ATAS PENERAPAN KLAUSULA EKSONERASI DALAM PERJANJIAN BAKU PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP KONSUMEN ATAS PENERAPAN KLAUSULA EKSONERASI DALAM PERJANJIAN BAKU Oleh : Anak Agung Ketut Junitri Paramitha I Nengah Suharta Bagian Hukum Bisnis Fakultas Hukum Universitas Udayana

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN DAN PENGATURAN MENURUT KUH PERDATA. A. Pengertian Perjanjian dan Asas Asas dalam Perjanjian

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN DAN PENGATURAN MENURUT KUH PERDATA. A. Pengertian Perjanjian dan Asas Asas dalam Perjanjian BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN DAN PENGATURAN MENURUT KUH PERDATA A. Pengertian Perjanjian dan Asas Asas dalam Perjanjian 1. Pengertian Perjanjian Pasal 1313 KUH Perdata menyatakan Suatu perjanjian

Lebih terperinci

PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP KONSUMEN DALAM PERJANJIAN PENGIKATAN JUAL BELI APARTEMEN MELALUI PEMESANAN

PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP KONSUMEN DALAM PERJANJIAN PENGIKATAN JUAL BELI APARTEMEN MELALUI PEMESANAN PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP KONSUMEN DALAM PERJANJIAN PENGIKATAN JUAL BELI APARTEMEN MELALUI PEMESANAN Oleh : I Gusti Ayu Agung Winda Utami Dewi I Made Dedy Priyanto Kadek Sarna Bagian Hukum Bisnis Fakultas

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pembangunan ekonomi sangat memerlukan tersedianya dana. Oleh karena itu, keberadaan

BAB I PENDAHULUAN. pembangunan ekonomi sangat memerlukan tersedianya dana. Oleh karena itu, keberadaan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Penelitian Pembangunan nasional suatu bangsa mencakup di dalamnya pembangunan ekonomi. Dalam pembangunan ekonomi diperlukan peran serta lembaga keuangan untuk

Lebih terperinci

BAB II PENGATURAN ATAS JUAL BELI SAHAM DALAM PERSEROAN TERBATAS DI INDONESIA. dapat dengan mudah memahami jual beli saham dalam perseroan terbatas.

BAB II PENGATURAN ATAS JUAL BELI SAHAM DALAM PERSEROAN TERBATAS DI INDONESIA. dapat dengan mudah memahami jual beli saham dalam perseroan terbatas. BAB II PENGATURAN ATAS JUAL BELI SAHAM DALAM PERSEROAN TERBATAS DI INDONESIA A. Tinjauan Umum tentang Jual Beli 1. Pengertian Jual Beli Sebelum membahas mengenai aturan jual beli saham dalam perseroan

Lebih terperinci

Lex Privatum, Vol. III/No. 4/Okt/2015

Lex Privatum, Vol. III/No. 4/Okt/2015 PEMBERLAKUAN ASAS KEBEBASAN BERKONTRAK MENURUT HUKUM PERDATA TERHADAP PELAKSANAANNYA DALAM PRAKTEK 1 Oleh : Suryono Suwikromo 2 A. Latar Belakang Didalam kehidupan sehari-hari, setiap manusia akan selalu

Lebih terperinci

BAB 4 ANALISIS PENCANTUMAN KLAUSULA BAKU DALAM PERJANJIAN KREDIT YANG DIBAKUKAN OLEH PT. BANK X

BAB 4 ANALISIS PENCANTUMAN KLAUSULA BAKU DALAM PERJANJIAN KREDIT YANG DIBAKUKAN OLEH PT. BANK X 44 BAB 4 ANALISIS PENCANTUMAN KLAUSULA BAKU DALAM PERJANJIAN KREDIT YANG DIBAKUKAN OLEH PT. BANK X 4.1 Kedudukan Para Pihak dalam Perjanjian Kredit Perjanjian yang akan dianalisis di dalam penulisan skripsi

Lebih terperinci

Lex Privatum, Vol. IV/No. 1/Jan/2016

Lex Privatum, Vol. IV/No. 1/Jan/2016 KAJIAN YURIDIS TENTANG PERJANJIAN BAKU ANTARA KREDITUR DAN DEBITUR MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 8 TAHUN 1999 TENTANG PERLINDUNGAN KONSUMEN 1 Oleh : Glen Wowor 2 ABSTRAK Penelitian ini dialkukan bertujuan

Lebih terperinci

AKIBAT HUKUM WANPRESTASI DALAM PERJANJIAN BAKU. Hukum Bisnis Fakultas Hukum Universitas Udayana ABSTRAK

AKIBAT HUKUM WANPRESTASI DALAM PERJANJIAN BAKU. Hukum Bisnis Fakultas Hukum Universitas Udayana ABSTRAK AKIBAT HUKUM WANPRESTASI DALAM PERJANJIAN BAKU Oleh : I Made Aditia Warmadewa I Made Udiana Hukum Bisnis Fakultas Hukum Universitas Udayana ABSTRAK Tulisan ini berjudul akibat hukum wanprestasi dalam perjanjian

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Indonesia, (Jakarta: Kencana, 2006), hal. 51. Grafindo Persada, 2004), hal. 18. Tahun TLN No. 3790, Pasal 1 angka 2.

BAB 1 PENDAHULUAN. Indonesia, (Jakarta: Kencana, 2006), hal. 51. Grafindo Persada, 2004), hal. 18. Tahun TLN No. 3790, Pasal 1 angka 2. 1 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Aktivitas bisnis merupakan fenomena yang sangat kompleks karena mencakup berbagai bidang baik hukum, ekonomi, dan politik. Salah satu kegiatan usaha yang

Lebih terperinci

POKOK-POKOK PENGETAHUAN TENTANG RUMAH SUSUN. Dosen: Dr. Suryanti T. Arief, SH., MKn., MBA

POKOK-POKOK PENGETAHUAN TENTANG RUMAH SUSUN. Dosen: Dr. Suryanti T. Arief, SH., MKn., MBA POKOK-POKOK PENGETAHUAN TENTANG RUMAH SUSUN Dosen: Dr. Suryanti T. Arief, SH., MKn., MBA DASAR HUKUM Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2011 tentang Rumah Susun Undang-Undang Nomor 16 Tahun 1985 tentang Rumah

Lebih terperinci

BAB IV ANALISIS HUKUM MENGENAI PENCANTUMAN KLAUSULA EKSONERASI DALAM PERJANJIAN JUAL BELI DIHUBUNGKAN DENGAN BUKU III BURGERLIJK

BAB IV ANALISIS HUKUM MENGENAI PENCANTUMAN KLAUSULA EKSONERASI DALAM PERJANJIAN JUAL BELI DIHUBUNGKAN DENGAN BUKU III BURGERLIJK 43 BAB IV ANALISIS HUKUM MENGENAI PENCANTUMAN KLAUSULA EKSONERASI DALAM PERJANJIAN JUAL BELI DIHUBUNGKAN DENGAN BUKU III BURGERLIJK WETBOEK JUNCTO UNDANG-UNDANG NOMOR 8 TAHUN 1999 TENTANG PERLINDUNGAN

Lebih terperinci

LEMBAGA JAMINAN FIDUSIA DALAM PERJANJIAN PEMBIAYAAN KONSUMEN

LEMBAGA JAMINAN FIDUSIA DALAM PERJANJIAN PEMBIAYAAN KONSUMEN LEMBAGA JAMINAN FIDUSIA DALAM PERJANJIAN PEMBIAYAAN KONSUMEN ST., S.H.,M.H Universitas Islam Negeri Alauddin (UIN) Makassar Abstract Vehicle financing agreement was made as the embodiment of the financing

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. setelah dikirim barang tersebut mengalami kerusakan. Kalimat yang biasanya

BAB I PENDAHULUAN. setelah dikirim barang tersebut mengalami kerusakan. Kalimat yang biasanya BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Berdasarkan pengamatan penulis selama ini dalam kenyataannya beberapa perusahaan pengiriman barang/paket di Kota Yogyakarta secara sepihak telah mencantumkan

Lebih terperinci

ASAS KEBEBASAN BERKONTRAK DALAM PERJANJIAN BAKU 1 Oleh: Dyas Dwi Pratama Potabuga 2

ASAS KEBEBASAN BERKONTRAK DALAM PERJANJIAN BAKU 1 Oleh: Dyas Dwi Pratama Potabuga 2 ASAS KEBEBASAN BERKONTRAK DALAM PERJANJIAN BAKU 1 Oleh: Dyas Dwi Pratama Potabuga 2 ABSTRAK Tujuan dilakukannya penelitian adalah untuk mengetahui bagaimana ketentuan hukum mengenai pembuatan suatu kontrak

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. hidup untuk masyarakat dan dirinya dalam menampakkan jati diri.

BAB I PENDAHULUAN. hidup untuk masyarakat dan dirinya dalam menampakkan jati diri. 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Perumahan merupakan kebutuhan utama atau primer yang harus dipenuhi oleh manusia. Perumahan tidak hanya dapat dilihat sebagai sarana kebutuhan hidup, tetapi

Lebih terperinci

BAB III KLAUSULA BAKU PADA PERJANJIAN KREDIT BANK. A. Klausula baku yang memberatkan nasabah pada perjanjian kredit

BAB III KLAUSULA BAKU PADA PERJANJIAN KREDIT BANK. A. Klausula baku yang memberatkan nasabah pada perjanjian kredit BAB III KLAUSULA BAKU PADA PERJANJIAN KREDIT BANK A. Klausula baku yang memberatkan nasabah pada perjanjian kredit Kehadiran bank dirasakan semakin penting di tengah masyarakat. Masyarakat selalu membutuhkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. menjadi pilihan memiliki rumah yang terjangkau bagi banyak orang.

BAB I PENDAHULUAN. menjadi pilihan memiliki rumah yang terjangkau bagi banyak orang. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Rumah merupakan salah satu kebutuhan primer yang harus dipenuhi oleh manusia. Kebutuhan akan rumah menempati kedudukan kedua setelah makanan. Tanpa rumah, manusia akan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG NOMOR 8 TAHUN 1999 TENTANG PERLINDUNGAN KONSUMEN [LN 1999/42, TLN 3821]

UNDANG-UNDANG NOMOR 8 TAHUN 1999 TENTANG PERLINDUNGAN KONSUMEN [LN 1999/42, TLN 3821] UNDANG-UNDANG NOMOR 8 TAHUN 1999 TENTANG PERLINDUNGAN KONSUMEN [LN 1999/42, TLN 3821] Bagian Kedua Sanksi Pidana Pasal 61 Penuntutan pidana dapat dilakukan terhadap pelaku usaha dan/atau pengurusnya. Pasal

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Masyarakat dalam kehidupan sehari-hari senantiasa akan melakukan

BAB I PENDAHULUAN. Masyarakat dalam kehidupan sehari-hari senantiasa akan melakukan 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Masyarakat dalam kehidupan sehari-hari senantiasa akan melakukan hubungan satu sama lain dalam berbagai bentuk. Hubungan tersebut dapat dilakukan antara individu

Lebih terperinci

URGENSI PERJANJIAN DALAM HUBUNGAN KEPERDATAAN. Rosdalina Bukido 1. Abstrak

URGENSI PERJANJIAN DALAM HUBUNGAN KEPERDATAAN. Rosdalina Bukido 1. Abstrak URGENSI PERJANJIAN DALAM HUBUNGAN KEPERDATAAN Rosdalina Bukido 1 Abstrak Perjanjian memiliki peran yang sangat penting dalam hubungan keperdataan. Sebab dengan adanya perjanjian tersebut akan menjadi jaminan

Lebih terperinci

TINJAUAN HUKUM PERLINDUNGAN KONSUMEN TERHADAP PERJANJIAN KREDIT BANK DIANA SIMANJUNTAK / D

TINJAUAN HUKUM PERLINDUNGAN KONSUMEN TERHADAP PERJANJIAN KREDIT BANK DIANA SIMANJUNTAK / D TINJAUAN HUKUM PERLINDUNGAN KONSUMEN TERHADAP PERJANJIAN KREDIT BANK DIANA SIMANJUNTAK / D 101 09 185 ABSTRAK Penelitian ini berjudul Tinjauan Hukum Perlindungan Konsumen Terhadap Perjanjian Kredit Bank.

Lebih terperinci

NASKAH PUBLIKASI SKRIPSI

NASKAH PUBLIKASI SKRIPSI NASKAH PUBLIKASI PERLINDUNGAN HUKUM BAGI PARA PIHAK DALAM PERJANJIAN JUAL BELI TANAH YANG SERTIFIKATNYA MASIH DALAM PROSES PEMECAHAN SERTIFIKAT SKRIPSI Disusun dan Diajukan Untuk Melengkapi Tugas-Tugas

Lebih terperinci

Pedoman Klausula Baku Bagi Perlindungan Konsumen

Pedoman Klausula Baku Bagi Perlindungan Konsumen Pedoman Klausula Baku Bagi Perlindungan Konsumen Oleh : M. Said Sutomo Ketua Yayasan Lembaga Perlindungan Konsumen (YLPK) Jawa Timur Disampaikan : Dalam diskusi Review Surat Perjanjian Jual Beli Tenaga

Lebih terperinci

BAB II ASPEK HUKUM TENTANG MEMORANDUM OF UNDERSTANDING DAN PERJANJIAN

BAB II ASPEK HUKUM TENTANG MEMORANDUM OF UNDERSTANDING DAN PERJANJIAN BAB II ASPEK HUKUM TENTANG MEMORANDUM OF UNDERSTANDING DAN PERJANJIAN A. Dasar Hukum Memorandum Of Understanding Berdasarkan Pembukaan Undang-undang Dasar 1945 alinea keempat yang berbunyi : Kemudian daripada

Lebih terperinci

TEKNIK PENYUSUNAN KONTRAK

TEKNIK PENYUSUNAN KONTRAK TEKNIK PENYUSUNAN KONTRAK Sularto MHBK UGM PERISTILAHAN Kontrak sama dengan perjanjian obligatoir Kontrak sama dengan perjanjian tertulis Perjanjian tertulis sama dengan akta Jadi antara istilah kontrak,

Lebih terperinci

Tanggung Jawab Penjual/ Pelaku Usaha Dalam Transaksi Jual Beli Terhadap Kelebihan Pembayaran Menurut Peraturan Perundang Undangan Di Indonesia.

Tanggung Jawab Penjual/ Pelaku Usaha Dalam Transaksi Jual Beli Terhadap Kelebihan Pembayaran Menurut Peraturan Perundang Undangan Di Indonesia. Tanggung Jawab Penjual/ Pelaku Usaha Dalam Transaksi Jual Beli Terhadap Kelebihan Pembayaran Menurut Peraturan Perundang Undangan Di Indonesia Oleh : Lili Naili Hidayah 1 ABSTRAK Setiap perbuatan yang

Lebih terperinci

BAB III PERLINDUNGAN KONSUMEN PADA TRANSAKSI ONLINE DENGAN SISTEM PRE ORDER USAHA CLOTHING

BAB III PERLINDUNGAN KONSUMEN PADA TRANSAKSI ONLINE DENGAN SISTEM PRE ORDER USAHA CLOTHING BAB III PERLINDUNGAN KONSUMEN PADA TRANSAKSI ONLINE DENGAN SISTEM PRE ORDER USAHA CLOTHING A. Pelaksanaan Jual Beli Sistem Jual beli Pre Order dalam Usaha Clothing Pelaksanaan jual beli sistem pre order

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG HUKUM PERJANJIAN. dua istilah yang berasal dari bahasa Belanda, yaitu istilah verbintenis dan

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG HUKUM PERJANJIAN. dua istilah yang berasal dari bahasa Belanda, yaitu istilah verbintenis dan BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG HUKUM PERJANJIAN A. Pengertian Perjanjian Di dalam Buku III KUH Perdata mengenai hukum perjanjian terdapat dua istilah yang berasal dari bahasa Belanda, yaitu istilah verbintenis

Lebih terperinci

BAB V PENUTUP. dapat diambil kesimpulan sebagai berikut: Penggunaan Klausula Baku pada Perjanjian Kredit

BAB V PENUTUP. dapat diambil kesimpulan sebagai berikut: Penggunaan Klausula Baku pada Perjanjian Kredit BAB V PENUTUP A. KESIMPULAN Dari pembahasan mengenai Tinjauan Hukum Peran Otoritas Jasa Keuangan Dalam Mengawasi Penerapan Klausula Baku Dalam Transaksi Kredit Sebagai Upaya Untuk Melindungi Nasabah Dikaitkan

Lebih terperinci

AKIBAT HUKUM DARI PERJANJIAN BAKU (STANDART CONTRACT) BAGI PARA PIHAK PEMBUATNYA (Tinjauan Aspek Ketentuan Kebebasan Berkontrak) Oleh:

AKIBAT HUKUM DARI PERJANJIAN BAKU (STANDART CONTRACT) BAGI PARA PIHAK PEMBUATNYA (Tinjauan Aspek Ketentuan Kebebasan Berkontrak) Oleh: AKIBAT HUKUM DARI PERJANJIAN BAKU (STANDART CONTRACT) BAGI PARA PIHAK PEMBUATNYA (Tinjauan Aspek Ketentuan Kebebasan Berkontrak) Oleh: Abuyazid Bustomi, SH, MH. 1 ABSTRAK Secara umum perjanjian adalah

Lebih terperinci

BAB III HAK ATAS INFORMASI DALAM PERJANJIAN JUAL BELI APARTEMEN DI SIGNATURE PARK APARTMENT JAKARTA SELATAN

BAB III HAK ATAS INFORMASI DALAM PERJANJIAN JUAL BELI APARTEMEN DI SIGNATURE PARK APARTMENT JAKARTA SELATAN 67 BAB III HAK ATAS INFORMASI DALAM PERJANJIAN JUAL BELI APARTEMEN DI SIGNATURE PARK APARTMENT JAKARTA SELATAN A. Bentuk Hak Atas Informasi yang Dimiliki oleh Konsumen dalam Jual Beli Apartemen di Signature

Lebih terperinci

BAB II PENGIKATAN JUAL BELI TANAH SECARA CICILAN DISEBUT JUGA SEBAGAI JUAL BELI YANG DISEBUT DALAM PASAL 1457 KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PERDATA

BAB II PENGIKATAN JUAL BELI TANAH SECARA CICILAN DISEBUT JUGA SEBAGAI JUAL BELI YANG DISEBUT DALAM PASAL 1457 KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PERDATA 25 BAB II PENGIKATAN JUAL BELI TANAH SECARA CICILAN DISEBUT JUGA SEBAGAI JUAL BELI YANG DISEBUT DALAM PASAL 1457 KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PERDATA A. Perjanjian 1. Pengertian Perjanjian Hukum perjanjian

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Dewasa ini perkembangan era globalisasi yang semakin pesat berpengaruh

BAB I PENDAHULUAN. Dewasa ini perkembangan era globalisasi yang semakin pesat berpengaruh BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dewasa ini perkembangan era globalisasi yang semakin pesat berpengaruh terhadap semakin banyaknya kebutuhan masyarakat akan barang/ jasa tertentu yang diikuti

Lebih terperinci

KEKUATAN HUKUM MEMORANDUM

KEKUATAN HUKUM MEMORANDUM 1 KEKUATAN HUKUM MEMORANDUM OF UNDERSTANDING ANTARA KEJAKSAAN TINGGI GORONTALO DENGAN PT. BANK SULAWESI UTARA CABANG GORONTALO DALAM PENANGANAN KREDIT MACET RISNAWATY HUSAIN 1 Pembimbing I. MUTIA CH. THALIB,

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM MENGENAI PERJANJIAN DAN PENGEMBANG PERUMAHAN

BAB II TINJAUAN UMUM MENGENAI PERJANJIAN DAN PENGEMBANG PERUMAHAN BAB II TINJAUAN UMUM MENGENAI PERJANJIAN DAN PENGEMBANG PERUMAHAN 2.1 Pengertian Perjanjian Buku III KUHPerdata Indonesia mengatur tentang Perikatan, terdiri dari dua bagian yaitu peraturan-peraturan umum

Lebih terperinci

A. Perlindungan Hukum yang dapat Diperoleh Konsumen Terhadap Cacat. Tersembunyi yang Terdapat Pada Mobil Bergaransi yang Diketahui Pada

A. Perlindungan Hukum yang dapat Diperoleh Konsumen Terhadap Cacat. Tersembunyi yang Terdapat Pada Mobil Bergaransi yang Diketahui Pada BAB IV ANALISIS HUKUM MENGENAI PERLINDUNGAN KONSUMEN ATAS CACAT TERSEMBUNYI PADA OBJEK PERJANJIAN JUAL BELI MOBIL YANG MEMBERIKAN FASILITAS GARANSI DIHUBUNGKAN DENGAN BUKU III BURGERLIJK WETBOEK JUNCTO

Lebih terperinci

BAB V PENUTUP. terhadap turis asing sebagai konsumen, sehingga perjanjian sewamenyewa. sepeda motor, kepada turis asing sebagai penyewa.

BAB V PENUTUP. terhadap turis asing sebagai konsumen, sehingga perjanjian sewamenyewa. sepeda motor, kepada turis asing sebagai penyewa. BAB V PENUTUP A. Simpulan Berdasarkan uraian pada bab-bab sebelumnya maka dapat penulis simpulkan sebagai berikut : 1. Perjanjian sewa-menyewa sepeda motor antara turis asing dan Rental motor Ana Yogyakarta

Lebih terperinci

HUKUM PERJANJIAN & PERIKATAN HUBUNGAN BISNIS ANDRI HELMI M, SE., MM.

HUKUM PERJANJIAN & PERIKATAN HUBUNGAN BISNIS ANDRI HELMI M, SE., MM. HUKUM PERJANJIAN & PERIKATAN HUBUNGAN BISNIS ANDRI HELMI M, SE., MM. PERIKATAN & PERJANJIAN Perikatan adalah suatu perhubungan hukum antara dua orang berdasarkan mana yang satu berhak menuntut hal dari

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pertumbuhan penduduknya. Peningkatan pertumbuhan penduduk. meningkatkan pula kebutuhan lahan permukiman di kawasan perkotaan.

BAB I PENDAHULUAN. pertumbuhan penduduknya. Peningkatan pertumbuhan penduduk. meningkatkan pula kebutuhan lahan permukiman di kawasan perkotaan. 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Perkembangan kawasan perkotaan sangat dipengaruhi oleh tingkat pertumbuhan penduduknya. Peningkatan pertumbuhan penduduk meningkatkan pula kebutuhan lahan

Lebih terperinci

1 / 25 Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2001 Tentang Y A Y A S A N Diubah Berdasarkan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2004 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2001 Tentang Yayasan DENGAN RAHMAT

Lebih terperinci

PEMBATALAN PERJANJIAN SECARA SEPIHAK OLEH KONSUMEN KEPADA PT. BALI DEWATA MAS SEBAGAI PENGEMBANG PERUMAHAN

PEMBATALAN PERJANJIAN SECARA SEPIHAK OLEH KONSUMEN KEPADA PT. BALI DEWATA MAS SEBAGAI PENGEMBANG PERUMAHAN PEMBATALAN PERJANJIAN SECARA SEPIHAK OLEH KONSUMEN KEPADA PT. BALI DEWATA MAS SEBAGAI PENGEMBANG PERUMAHAN Oleh : Luh De Masdiah Anggreni I Ketut Westra I Wayan Novy Purwanto Bagian Hukum Bisnis Fakultas

Lebih terperinci

TINJAUAN YURIDIS PERLINDUNGAN HUKUM BAGI KONSUMEN DARI KLAUSULA EKSEMSI DALAM KONTRAK STANDAR PERJANJIAN SEWA BELI

TINJAUAN YURIDIS PERLINDUNGAN HUKUM BAGI KONSUMEN DARI KLAUSULA EKSEMSI DALAM KONTRAK STANDAR PERJANJIAN SEWA BELI TINJAUAN YURIDIS PERLINDUNGAN HUKUM BAGI KONSUMEN DARI KLAUSULA EKSEMSI DALAM KONTRAK STANDAR PERJANJIAN SEWA BELI oleh : Putu Ayu Dias Pramiari Putu Tuni Cakabawa L Bagian Hukum Perdata Fakultas Hukum

Lebih terperinci

BAB II PEMBERIAN KUASA DIREKTUR PADA PROYEK PEMBANGUNAN JALAN

BAB II PEMBERIAN KUASA DIREKTUR PADA PROYEK PEMBANGUNAN JALAN 23 BAB II PEMBERIAN KUASA DIREKTUR PADA PROYEK PEMBANGUNAN JALAN A. Bentuk dan Isi Pemberian Kuasa Apabila dilihat dari cara terjadinya, perjanjian pemberian kuasa dibedakan menjadi enam macam yaitu: 28

Lebih terperinci

AKIBAT HUKUM TERHADAP PELAKU USAHA YANG MENJUAL MAKANAN KADALUWARSA

AKIBAT HUKUM TERHADAP PELAKU USAHA YANG MENJUAL MAKANAN KADALUWARSA AKIBAT HUKUM TERHADAP PELAKU USAHA YANG MENJUAL MAKANAN KADALUWARSA Oleh Gek Ega Prabandini I Made Udiana Hukum Bisnis Fakultas Hukum Universitas Udayana ABSTRACT This study, entitled "Effects Against

Lebih terperinci

KONSUMEN DAN KLAUSUL EKSONERASI : (STUDI TENTANG PERJANJIAN DALAM APLIKASI PENYEDIA LAYANAN BERBASIS ONLINE)

KONSUMEN DAN KLAUSUL EKSONERASI : (STUDI TENTANG PERJANJIAN DALAM APLIKASI PENYEDIA LAYANAN BERBASIS ONLINE) KONSUMEN DAN KLAUSUL EKSONERASI : (STUDI TENTANG PERJANJIAN DALAM APLIKASI PENYEDIA LAYANAN BERBASIS ONLINE) Disusun sebagai salah satu syarat menyelesaikan Program Studi Strata I Pada Jurusan Hukum Fakultas

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA (UU) NOMOR 16 TAHUN 2001 (16/2001) TENTANG YAYASAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA (UU) NOMOR 16 TAHUN 2001 (16/2001) TENTANG YAYASAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA (UU) NOMOR 16 TAHUN 2001 (16/2001) TENTANG YAYASAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa pendirian Yayasan di Indonesia selama

Lebih terperinci

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.1280, 2013 KEMENTERIAN PERUMAHAN RAKYAT. Perumahan. Kawasan Permukiman. Hunian Berimbang. PERATURAN MENTERI PERUMAHAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA NOMOR 07 TAHUN 2013 TENTANG

Lebih terperinci

SALINAN PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN NOMOR: 1/POJK.07/2013 TENTANG PERLINDUNGAN KONSUMEN SEKTOR JASA KEUANGAN

SALINAN PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN NOMOR: 1/POJK.07/2013 TENTANG PERLINDUNGAN KONSUMEN SEKTOR JASA KEUANGAN OTORITAS JASA KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA SALINAN PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN NOMOR: 1/POJK.07/2013 TENTANG PERLINDUNGAN KONSUMEN SEKTOR JASA KEUANGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA DEWAN KOMISIONER

Lebih terperinci

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA Teks tidak dalam format asli. Kembali: tekan backspace diubah: UU 28-2004 file PDF: [1] LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No. 112, 2001 Kehakiman. Keuangan. Yayasan. Bantuan. Hibah. Wasiat. (Penjelasan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 1995 TENTANG PERSEROAN TERBATAS PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 1995 TENTANG PERSEROAN TERBATAS PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 1995 TENTANG PERSEROAN TERBATAS PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa peraturan tentang Perseroan Terbatas sebagaimana diatur dalam Kitab Undangundang

Lebih terperinci

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA Teks tidak dalam format asli. Kembali: tekan backspace dicabut: UU 40-2007 LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No. 13, 1995 ( Penjelasan dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3587) UNDANG-UNDANG

Lebih terperinci

BAB III TANGGUNG JAWAB PENYELENGGARAAN JASA MULTIMEDIA TERHADAP KONSUMEN. A. Tinjauan Umum Penyelenggaraan Jasa Multimedia

BAB III TANGGUNG JAWAB PENYELENGGARAAN JASA MULTIMEDIA TERHADAP KONSUMEN. A. Tinjauan Umum Penyelenggaraan Jasa Multimedia BAB III TANGGUNG JAWAB PENYELENGGARAAN JASA MULTIMEDIA TERHADAP KONSUMEN A. Tinjauan Umum Penyelenggaraan Jasa Multimedia Penyelenggaraan jasa multimedia adalah penyelenggaraan jasa telekomunikasi yang

Lebih terperinci

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA UNDANG UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 18 TAHUN 1999 TENTANG JASA KONSTRUKSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA UNDANG UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 18 TAHUN 1999 TENTANG JASA KONSTRUKSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA UNDANG UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 18 TAHUN 1999 TENTANG JASA KONSTRUKSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: bahwa pembangunan nasional

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Dewasa ini banyak berkembang usaha-usaha bisnis, salah satunya

BAB I PENDAHULUAN. Dewasa ini banyak berkembang usaha-usaha bisnis, salah satunya BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dewasa ini banyak berkembang usaha-usaha bisnis, salah satunya adalah usaha jasa pencucian pakaian atau yang lebih dikenal dengan jasa laundry. Usaha ini banyak

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN, WANPRESTASI DAN LEMBAGA PEMBIAYAAN KONSUMEN

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN, WANPRESTASI DAN LEMBAGA PEMBIAYAAN KONSUMEN BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN, WANPRESTASI DAN LEMBAGA PEMBIAYAAN KONSUMEN 2.1 Perjanjian 2.1.1 Pengertian Perjanjian Definisi perjanjian diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Selanjutnya

Lebih terperinci

ABSTRAK. Kata kunci: Perjanjian sewa-menyewa, akibat hukum, upaya hukum.

ABSTRAK. Kata kunci: Perjanjian sewa-menyewa, akibat hukum, upaya hukum. ABSTRAK Dita Kartika Putri, Nim 0810015183, Akibat Hukum Terhadap Perjanjian Tidak Tertulis Sewa-Menyewa Alat Berat di CV. Marissa Tenggarong, Dosen Pembimbing I Bapak Deny Slamet Pribadi, S.H., M.H dan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 16 TAHUN 2001 TENTANG YAYASAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 16 TAHUN 2001 TENTANG YAYASAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 16 TAHUN 2001 TENTANG YAYASAN Menimbang: DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, a. bahwa pendirian Yayasan di Indonesia selama ini dilakukan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 16 TAHUN 2001 TENTANG Y A Y A S A N YANG DIRUBAH DENGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 28 TAHUN 2004

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 16 TAHUN 2001 TENTANG Y A Y A S A N YANG DIRUBAH DENGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 28 TAHUN 2004 UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 16 TAHUN 2001 TENTANG Y A Y A S A N YANG DIRUBAH DENGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 28 TAHUN 2004 DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pihak untuk saling mengikatkan diri. Dalam kehidupan sehari-hari seringkali

BAB I PENDAHULUAN. pihak untuk saling mengikatkan diri. Dalam kehidupan sehari-hari seringkali 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Hubungan bisnis tentunya didasarkan pada suatu perjanjian atau kontrak. Perjanjian atau kontrak merupakan serangkaian kesepakatan yang dibuat oleh para pihak untuk

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dengan pelaku usaha yang bergerak di keuangan. Usaha keuangan dilaksanakan oleh perusahaan yang bergerak di bidang

BAB I PENDAHULUAN. dengan pelaku usaha yang bergerak di keuangan. Usaha keuangan dilaksanakan oleh perusahaan yang bergerak di bidang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pada hakekatnya setiap orang berhak mendapatkan perlindungan dari hukum. Hampir seluruh hubungan hukum harus mendapat perlindungan dari hukum. Oleh karena itu terdapat

Lebih terperinci

POTENSI KEJAHATAN KORPORASI OLEH LEMBAGA PEMBIAYAAN DALAM JUAL BELI KENDARAAN SECARA KREDIT Oleh I Nyoman Gede Remaja 1

POTENSI KEJAHATAN KORPORASI OLEH LEMBAGA PEMBIAYAAN DALAM JUAL BELI KENDARAAN SECARA KREDIT Oleh I Nyoman Gede Remaja 1 POTENSI KEJAHATAN KORPORASI OLEH LEMBAGA PEMBIAYAAN DALAM JUAL BELI KENDARAAN SECARA KREDIT Oleh I Nyoman Gede Remaja 1 Abstrak: Klausula perjanjian dalam pembiayaan yang sudah ditentukan terlebih dahulu

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 16 TAHUN 2001 TENTANG YAYASAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 16 TAHUN 2001 TENTANG YAYASAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, 1 UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 16 TAHUN 2001 TENTANG YAYASAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa pendirian Yayasan di Indonesia selama ini dilakukan

Lebih terperinci

NOMOR 16 TAHUN 2001 TENTANG YAYASAN

NOMOR 16 TAHUN 2001 TENTANG YAYASAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 16 TAHUN 2001 TENTANG YAYASAN Menimbang : DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, a. bahwa pendirian Yayasan di Indonesia selama ini dilakukan

Lebih terperinci

Kompilasi UU No 28 Tahun 2004 dan UU No16 Tahun 2001

Kompilasi UU No 28 Tahun 2004 dan UU No16 Tahun 2001 Kompilasi UU No 28 Tahun 2004 dan UU No16 Tahun 2001 UU Tentang Yayasan BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Undang-undang ini yang dimaksud dengan : 1. Yayasan adalah badan hukum yang terdiri atas kekayaan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 16 TAHUN 2001 TENTANG Y A Y A S A N DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 16 TAHUN 2001 TENTANG Y A Y A S A N DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 16 TAHUN 2001 TENTANG Y A Y A S A N DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa pendirian Yayasan di Indonesia selama ini

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN YURIDIS PERJANJIAN KERJA WAKTU TERTENTU DALAM UNDANG-UNDANG NOMOR 13 TAHUN 2003 TENTANG KETENAGAKERJAAN

BAB 2 TINJAUAN YURIDIS PERJANJIAN KERJA WAKTU TERTENTU DALAM UNDANG-UNDANG NOMOR 13 TAHUN 2003 TENTANG KETENAGAKERJAAN BAB 2 TINJAUAN YURIDIS PERJANJIAN KERJA WAKTU TERTENTU DALAM UNDANG-UNDANG NOMOR 13 TAHUN 2003 TENTANG KETENAGAKERJAAN 2.1 Perjanjian secara Umum Pada umumnya, suatu hubungan hukum terjadi karena suatu

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 1995 TENTANG PERSEROAN TERBATAS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 1995 TENTANG PERSEROAN TERBATAS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 1995 TENTANG PERSEROAN TERBATAS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa peraturan tentang Perseroan Terbatas sebagaimana

Lebih terperinci

BAB IV KEKUATAN HUKUM MEMORANDUM OF UNDERSTANDING DALAM PERJANJIAN BERDASARKAN BUKU III BURGERLIJKE WETBOEK

BAB IV KEKUATAN HUKUM MEMORANDUM OF UNDERSTANDING DALAM PERJANJIAN BERDASARKAN BUKU III BURGERLIJKE WETBOEK BAB IV KEKUATAN HUKUM MEMORANDUM OF UNDERSTANDING DALAM PERJANJIAN BERDASARKAN BUKU III BURGERLIJKE WETBOEK A. Kekuatan Hukum Memorandum Of Understanding dalam Perjanjian Berdasarkan Buku III Burgerlijke

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 16 TAHUN 2001 TENTANG YAYASAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 16 TAHUN 2001 TENTANG YAYASAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG NOMOR 16 TAHUN 2001 TENTANG YAYASAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN, Menimbang : a. bahwa pendirian Yayasan di Indonesia selama ini dilakukan berdasarkan kebiasaan dalam masyarakat,

Lebih terperinci

Memperhatikan: berbagai saran dan pendapat dari unsur dan instansi terkait dalam rapat-rapat koordinasi.

Memperhatikan: berbagai saran dan pendapat dari unsur dan instansi terkait dalam rapat-rapat koordinasi. KEPUTUSAN MENTERI NEGARA PERUMAHAN RAKYAT NOMOR : 09/KPTS/M/1995 TENTANG PEDOMAN PENGIKATAN JUAL BELI RUMAH MENTERI NEGARA PERUMAHAN RAKYAT, Menimbang : a. bahwa jual beli rumah yang belum selesai dibangun

Lebih terperinci

HABIB ADJIE - MAGISTER ILMU HUKUM - UNIV. NAROTAMA SURABAYA

HABIB ADJIE - MAGISTER ILMU HUKUM - UNIV. NAROTAMA SURABAYA BAB II KEABSAHAN KONTRAK A. ISTILAH KONTRAK DAN PERJANJIAN B. PENGATURAN HUKUM KONTRAK. C. SIGNIFIKASI BATAS TIAP KONTRAK D. SISTEM PENGATURAN HUKUM KONTRAK. E. ASAS HUKUM KONTRAK. F. SUMBER HUKUM KONTRAK.

Lebih terperinci

Lex et Societatis, Vol. III/No. 6/Juli/2015

Lex et Societatis, Vol. III/No. 6/Juli/2015 PERLINDUNGAN HUKUM BAGI PARA PIHAK TERHADAP PEMUTUSAN PERJANJIAN WARALABA (FRANCHISE) DALAM PERSPEKTIF HUKUM BISNIS 1 Oleh : Cindi Pratiwi Kondo 2 ABSTRAK Penelitian ini menggunakan penelitian hukum normatif.

Lebih terperinci

TANGGUNG JAWAB HUKUM PELAKU USAHA TERHADAP KONSUMEN Oleh : Sri Murtini Dosen Fakultas Hukum Universitas Slamet Riyadi Surakarta.

TANGGUNG JAWAB HUKUM PELAKU USAHA TERHADAP KONSUMEN Oleh : Sri Murtini Dosen Fakultas Hukum Universitas Slamet Riyadi Surakarta. TANGGUNG JAWAB HUKUM PELAKU USAHA TERHADAP KONSUMEN Oleh : Sri Murtini Dosen Fakultas Hukum Universitas Slamet Riyadi Surakarta. Perdagangan bebas berakibat meluasnya peredaran barang dan/ jasa yang dapat

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 1995 TENTANG PERSEROAN TERBATAS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 1995 TENTANG PERSEROAN TERBATAS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1995 TENTANG PERSEROAN TERBATAS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN, Menimbang : a. bahwa peraturan tentang Perseroan Terbatas sebagaimana diatur dalam Kitab Undang-undang

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA nomor 1 tahun 1995 tentang PERSEROAN TERBATAS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA nomor 1 tahun 1995 tentang PERSEROAN TERBATAS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA nomor 1 tahun 1995 tentang PERSEROAN TERBATAS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa peraturan tentang Perseroan Terbatas sebagaimana

Lebih terperinci

BAB IV PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP INVESTOR ATAS PAILITNYA PERUSAHAAN PIALANG BERJANGKA DALAM PERJANJIAN KERJASAMA

BAB IV PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP INVESTOR ATAS PAILITNYA PERUSAHAAN PIALANG BERJANGKA DALAM PERJANJIAN KERJASAMA BAB IV PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP INVESTOR ATAS PAILITNYA PERUSAHAAN PIALANG BERJANGKA DALAM PERJANJIAN KERJASAMA INVESTASI DIHUBUNGKAN DENGAN UNDANG-UNDANG NOMOR 32 TAHUN 1997 TENTANG PEDAGANGAN BERJANGKA

Lebih terperinci

BAB II KONTRAK PENGADAAN BARANG. A. Pengertian Kontrak Menurut KUHPerdata Didalam perundang-undangan tidak disebutkan secara tegas pengertian

BAB II KONTRAK PENGADAAN BARANG. A. Pengertian Kontrak Menurut KUHPerdata Didalam perundang-undangan tidak disebutkan secara tegas pengertian BAB II KONTRAK PENGADAAN BARANG A. Pengertian Kontrak Menurut KUHPerdata Didalam perundang-undangan tidak disebutkan secara tegas pengertian kontrak, tetapi menurut Para pakar hukum bahwa kontrak adalah

Lebih terperinci

Undang-Undang Merek, dan Undang-Undang Paten. Namun, pada tahun waralaba diatur dengan perangkat hukum tersendiri yaitu Peraturan

Undang-Undang Merek, dan Undang-Undang Paten. Namun, pada tahun waralaba diatur dengan perangkat hukum tersendiri yaitu Peraturan KEDUDUKAN TIDAK SEIMBANG PADA PERJANJIAN WARALABA BERKAITAN DENGAN PEMENUHAN KONDISI WANPRESTASI Etty Septiana R 1, Etty Susilowati 2. ABSTRAK Perjanjian waralaba merupakan perjanjian tertulis antara para

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Sebagian besar masyarakat tidak memahami apa itu klausula baku,

BAB I PENDAHULUAN. Sebagian besar masyarakat tidak memahami apa itu klausula baku, BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sebagian besar masyarakat tidak memahami apa itu klausula baku, meskipun di dalam praktek kehidupan sehari-hari masyarakat tersebut telah membubuhkan tanda tangannya

Lebih terperinci

BAB II PERJANJIAN PENGELOLAAN SEWA BANGUNAN HOTEL CAMBRIDGE CONDOMINIUM & SHOPPING MALL

BAB II PERJANJIAN PENGELOLAAN SEWA BANGUNAN HOTEL CAMBRIDGE CONDOMINIUM & SHOPPING MALL BAB II PERJANJIAN PENGELOLAAN SEWA BANGUNAN HOTEL CAMBRIDGE CONDOMINIUM & SHOPPING MALL A. Ketentuan Umun Perjanjian Sewa Menyewa 1. Pengertian perjanjian sewa menyewa M. Yahya Harahap mengemukakan bahwa,

Lebih terperinci

Asas asas perjanjian

Asas asas perjanjian Hukum Perikatan RH Asas asas perjanjian Asas hukum menurut sudikno mertokusumo Pikiran dasar yang melatar belakangi pembentukan hukum positif. Asas hukum tersebut pada umumnya tertuang di dalam peraturan

Lebih terperinci

TABEL. Substansi Pengaturan Perjanjian Pengikatan Jual

TABEL. Substansi Pengaturan Perjanjian Pengikatan Jual TABEL Halaman Tabel Substansi Pengaturan Perjanjian Pengikatan Jual Beli (PPJB)... 50 xiii DAFTAR LAMPIRAN Lampiran 1. Surat Perjanjian Lampiran 2. Akta Perubahan PT. Ciptagraha Nusalaras Lampiran 3. Berita

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Seiring dengan perkembangan jaman dan meningkatnya tingkat kesejahteraan

BAB I PENDAHULUAN. Seiring dengan perkembangan jaman dan meningkatnya tingkat kesejahteraan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Seiring dengan perkembangan jaman dan meningkatnya tingkat kesejahteraan ekonomi masyarakat, saat ini hampir setiap orang dalam satu ruang lingkup keluarga memiliki

Lebih terperinci

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN ANALISIS. A. Pelaksanaan Pengawasan Pencantuman Klausula Baku oleh BPSK Yogyakarta

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN ANALISIS. A. Pelaksanaan Pengawasan Pencantuman Klausula Baku oleh BPSK Yogyakarta BAB IV HASIL PENELITIAN DAN ANALISIS A. Pelaksanaan Pengawasan Pencantuman Klausula Baku oleh BPSK Yogyakarta Dalam transaksi jual beli, biasanya pelaku usaha telah mempersiapkan perjanjian yang telah

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 16 TAHUN 2001 TENTANG Y A Y A S A N DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 16 TAHUN 2001 TENTANG Y A Y A S A N DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 16 TAHUN 2001 TENTANG Y A Y A S A N DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa pendirian Yayasan di Indonesia selama ini

Lebih terperinci

BAB 4 ANALISIS PERJANJIAN WARALABA. 4.1 Penerapan Syarat Sahnya Perjanjian dalam Perjanjian Waralaba

BAB 4 ANALISIS PERJANJIAN WARALABA. 4.1 Penerapan Syarat Sahnya Perjanjian dalam Perjanjian Waralaba 48 BAB 4 ANALISIS PERJANJIAN WARALABA 4.1 Penerapan Syarat Sahnya Perjanjian dalam Perjanjian Waralaba Perjanjian waralaba yang dilakukan oleh PT.X dan PT.Cahaya Hatindo merupakan perjanjian tidak bernama

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG PERKUMPULAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG PERKUMPULAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR TAHUN TENTANG PERKUMPULAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa pada saat ini perkumpulan orang di Indonesia

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PERKUMPULAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PERKUMPULAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PERKUMPULAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa pada saat ini perkumpulan di Indonesia

Lebih terperinci

ASPEK HUKUM DALAM SISTEM MANAJEMEN MUTU KONSTRUKSI

ASPEK HUKUM DALAM SISTEM MANAJEMEN MUTU KONSTRUKSI ASPEK HUKUM DALAM SISTEM MANAJEMEN MUTU KONSTRUKSI Disampaikan dalam kegiatan Peningkatan Wawasan Sistem Manajemen Mutu Konsruksi (Angkatan 2) Hotel Yasmin - Karawaci Tangerang 25 27 April 2016 PENDAHULUAN

Lebih terperinci

BAB V PENUTUP. 1. Keabsahan dari transaksi perbankan secara elektronik adalah. Mendasarkan pada ketentuan Pasal 1320 Kitab Undang-Undang Hukum

BAB V PENUTUP. 1. Keabsahan dari transaksi perbankan secara elektronik adalah. Mendasarkan pada ketentuan Pasal 1320 Kitab Undang-Undang Hukum BAB V PENUTUP A. Kesimpulan 1. Keabsahan dari transaksi perbankan secara elektronik adalah Mendasarkan pada ketentuan Pasal 1320 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata sebenarnya tidak dipermasalahkan mengenai

Lebih terperinci

PANDANGAN UNDANG-UNDANG NO. 8 TAHUN 1999 TENTANG PERLINDUNGAN KONSUMEN TERHADAP PERJANJIAN BAKU

PANDANGAN UNDANG-UNDANG NO. 8 TAHUN 1999 TENTANG PERLINDUNGAN KONSUMEN TERHADAP PERJANJIAN BAKU PANDANGAN UNDANG-UNDANG NO. 8 TAHUN 1999 TENTANG PERLINDUNGAN KONSUMEN Abdul Latif 1) 1) Staff Pengajar Fakultas Hukum, Universitas Pasir Pengaraian email : abdullatifun@gmail.com Abstract Standard contract

Lebih terperinci