BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Kerangka Teori

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Kerangka Teori"

Transkripsi

1 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Kerangka Teori 1. Tinjauan tentang Upaya Hukum a. Pengertian Upaya Hukum Upaya hukum merupakan hak terdakwa atau Penuntut Umum yang dapat dipergunakan apabila Terdakwa ataupun Penuntut Umum merasa tidak puas atas putusan yang diberikan oleh Pengadilan. Maksud dari upaya hukum sendiri dijelaskan dalam Pasal 1 butir 12 KUHAP yang menjelaskan bahwa: Upaya hukum adalah hak terdakwa atau penuntut umum untuk tidak menerima putusan pengadilan yang berupa perlawanan atau banding atau kasasi atau hak terpidana untuk mengajukan permohonan peninjauan kembali dalam hal serta menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini. Di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) ada dua macam upaya hukum yaitu upaya hukum biasa dan upaya hukum luar biasa. Upaya hukum biasa diatur di dalam BAB XVII, sedangkan upaya hukum luar biasa diatur dalam BAB XVIII. b. Upaya Hukum biasa Upaya hukum biasa diatur di dalam Bab XVII, Bagian Kesatu dari Pasal 233 sampai dengan Pasal 234 KUHAP tentang pemeriksaan tingkat banding, dan Bagian Kedua dari Pasal 244 sampai dengan Pasal 258 KUHAP tentang pemeriksaan tingkat kasasi. Upaya hukum biasa adalah hak terdakwa dan penuntut umum untuk tidak menerima putusan pengadilan negeri atau tingkat pertama (judex factie), sehingga maksud dari upaya hukum dari terdakwa atau penuntut umum tidak dapat menerima putusan tersebut yaitu untuk memperbaiki kesalahan yang dibuat oleh instansi yang sebelumnya, 13

2 14 untuk kesatuan dalam pengadilan dan sebagai perlindungan terhadap tindak sewenang-wenang hakim atau pengadilan (Andi Sofyan dan Abd. Asis, 2014 : 269). 1) Banding Pemeriksaan tingkat banding dalam hukum pidana diatur dalam Pasal 233 sampai dengan Pasal 234 KUHAP. Pengajuan banding diajukan selambat-lambatnya dalam waktu 7 (tujuh) hari sesudah putusan dijatuhkan, atau setelah putusan diberitahukan kepada terdakwa yang tidak hadir dalam pengucapan putusan. Pengajuan banding yang diajukan melampaui tenggang waktu tersebut harus ditolak dengan membuat surat keterangan. Setiap putuan pengadilan dapat diajukan permohonan banding, tetapi ada perkecualiannya yang sebagaimana yang diatur dalam Pasal 67 KUHAP. Pengecualian untuk mengajukan banding menurut Pasal 67 KUHAP yaitu : Putusan bebas, lepas dari segala tuntutan hukum yang menyangkut masalah kurang tepatnya penerapan hukum dan putusan pengadilan dalam acara cepat. In the essence of Article 67 of the Criminal Procedure Code contains things about the principle of legal efforts associated with acquittal. Like the defendant or the prosecutor is entitled to request an appeal, unless the acquittal can not be appealed. Only the form of rights, there is no form of authority granted by the legislature to the public prosecutor to file an appeal against the acquittal.( Pokok dari Pasal 67 KUHAP berisi hal-hal tentang prinsip upaya hukum terkait dengan vonis bebas. Seperti terdakwa atau jaksa adalah berhak meminta banding, kecuali putusan bebas tidak dapat diajukan banding. Hanya berupa hak, tidak ada bentuk kewenangan yang diberikan oleh legislatif kepada penuntut umum untuk mengajukan banding terhadap putusan bebas) (I Gede Artha, 2013: 4).

3 15 2) Kasasi a) Pengertian Kasasi Menurut Wirjono Prodjodikoro, kasasi adalah pembatalan yaitu suatu tindakan Mahkamah Agung sebagai pengawasan tertinggi atas putusan-putusan pengadilan-pengadilan lain. Pada asasnya kasasi didasarkan atas pertimbangan bahwa terjadi kesalahan penerapan hukum atau hakim telah melampaui kekuasaan kehakimannya (Andy Sofyan, Abd. Asis, 2014: 279). Pasal 244 KUHAP menyatakan bahwa terhadap putusan perkara pidana yang diberikan pada tingkat terakhir oleh pengadilan lain daripada Mahkamah Agung, terdakwa atau penuntut umum dapat mengajukan pemeriksaan kasasi kepada Mahkamah Agung kecuali putusan bebas. The Supreme Court is the apex of the court system in Indonesia and as such one of its primary functions is the supervision of lower courts within its jurisdiction, The Supreme Court is the apex of the court system in Indonesia and as such one of its primary functions is the supervision of lower courts within its jurisdiction ( Mahkamah Agung adalah puncak dari sistem pengadilan di Indonesia dan dengan demikian salah satu fungsi utamanya adalah pengawasan pengadilan yang lebih rendah dalam yurisdiksinya, Mahkamah Agung adalah puncak dari sistem pengadilan di Indonesia dan dengan demikian salah satu fungsi utamanya adalah pengawasan pengadilan yang lebih rendah dalam yurisdiksinya) (Hikmahanto Juwana et al, 2005: 54). Selain pengertian dari KUHAP tersebut, kasasi juga dapat diartikan bahwa: Kasasi merupakan salah satu upaya hukum biasa dan merupakan hak asasi yang diberikan peraturan perundangundangan kepada pencari keadilan. Kasasi berasal dari kata Cassation dengan kata kerta Casser artinya

4 16 b) Tujuan Kasasi membatalkan atau memecahkan. Peradilan kasasi dapat diartikan memecahkan atau membatalkan putusan atau penetapan pengadilan-pengadilan, karena dinilai salah menerapkan hukum. Meskipun secara normatif Mahkamah Agung memiliki kewenangan mengadili perkara kasasi tidak serta merta dan pasti melakukannya, melainkan tergantung pihak pencari keadilan atau penuntut umum, mengajukan kasasi atau tidak dan tergantung syarat lain yang harus dipenuhi. Secara yuridis formal permohoonan kasasi dapat diterima apabila memenuhi syarat formal antara lain: tenggang waktu mengajukan kasasi,surat kuasa khusus sempurna, masih ada upaya hukum yang disediakan oleh hukum acara (verzet, banding), memberikan memori kasasi dalam waktunya (Henry P Pangabean, 2001: 201). Tujuan kasasi adalah untuk menciptakan kesatuan penerapan hukum dengan jalan membatalkan putusan yang bertentangan dengan undang-undang atau keliru dalam penerapan hukumnya (Andi Hamzah, 2009: 297). Adapun tujuan utama upaya hukum kasasi antara lain sebagai berikut : (1) Guna melakukan koreksi terhadap putusan pengadilan dibawahnya yang dikenal sebagi judex juris agar peraturan hukum benar-benar diterapkan sebagaimana mestinya demi terwujudnya keadilan dan kebenaran yang hakiki. Kebanyakan orang melakukan kasasi dikarenakan rasa ketidakpuasannya terhadap putusan hakim. Penyebab utama bukan masalah berat ringannya hukuman yang dijatuhkan melainkan karena para pihak merasa bahwa dalam menjatuhkan putusan, hakim telah salah menerapkan hukum. (2) Menciptakan dan membentuk hukum baru Koreksi yang dilakukan oleh Mahkamah Agung terhadap suatu perkara terkadang membentuk sebuah peraturan hukum baru yang berbentuk yurisprudensi. Meski kadang

5 17 penafsiran hukum baru ini melanggar ketentuan undangundang (contralegem) akan tetapi tetap diperlukan agar hukum dapat berjalan sesuai dengan perkembangan nilainilai dalam masayarakat. Untuk itu para penegak hukum khususnya hakim perlu memiliki pengetahuan yang cukup tentang cara-cara penafsiran karena penafsiran yang tepat akan membuat peraturan dapat diterapkan secara baik dan memberikan kepuasan bagi para pihak yang bersangkutan (P.A.F.Lamintang, 2013: 39). (3) Keseragaman Terciptanya Penerapan Hukum Tujuan lain daripada pemeriksaan kasasi, bermasksud mewujudkan kesadaran keseragaman penerapan hukum atau unified legal frmae work dan unified legal opinion. Dengan adanya putusan kasasi yang mencipta yurisprudensi, akan mengarahkan keseragaman pandangan dan titik tolak penerapan hukum, dengan adanya upaya hukum kasasi, dapat terhindari kesewengangan dan penyalahgunaan jabatan oleh para hakim yang tergoda dalam memanfaatkan kebebasan kedudukan yang dimilikinya (M. Yahya Harahap, 2012 : ). c) Alasan Kasasi Kasasi dapat diajukan melalui jalur kelalaian dalam acara (vormverzuim) berdasarkan asalan-alasan atau pertimbanganpertimbangan yang ditentukan oleh undang-undang yang menjadi dasar putusan yang kurang jelas (Andi Hamzah, 2009: 298). Alasan pengajuan kasasi telah ditentukan dalam Pasal 253 ayat (1) KUHAP yang berbunyi: Pemeriksaan dalam tingkat kasasi dilakukan oleh Mahkamah Agung atas permintaan para pihak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 244 dan Pasal 248 guna menentukan bahwa:

6 18 (1) Apakah benar suatu peraturan hukum tidak diterapkan atau diterapkan tidak sebagaimana mestinya; (2) Apakah benar cara mengadili tidak dilaksanakan menurut ketentuan undang-undang; (3) Apakah benar pengadilan telah melampaui batas wewenangnya. Selain dari KUHAP, diatur pula dalam Pasal 30 Undang- Undang Nomor 14 Tahun 1985 jo Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004 jo Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009 tentang Mahkamah Agung, alasan-alasan hukum yang dipergunakan dalam permohinan kasasi, yaitu: (1) Tidak berwenang atau melampaui batas wewenang; (2) Salah menerapkan atau melanggar hukum yang berlaku; (3) Lalai memenuhi syarat-syarat yang diwajibkan oleh peraturan perundang-undangan yang mengancam kelalaian itu dengan batalnya putusan yang bersangkutan. d) Pihak-Pihak yang dapat Mengajukan Kasasi Upaya hukum kasasi dapat diartikan sebagai hak yang diberikan kepada terdakawa ataupun penuntut umum apabila merka tidak puas atas putusan Pengadilan Tinggi atau apabila mereka tidak puas terhadap Putusan Pengadilan Negeri yang menjatuhkan Putusan Lepas dari Segala Tuntutan. Menurut Pasal 244 KUHAP, menegaskan bahwa yang berhak mengajukan kasasi adalah Terdakwa dan Penuntut Umum. Mereka Inilah yang berhak mengajukan permohonan kasasi baik sendiri-sendiri maupun secara bersamaan. Terdakwa saja secara sendirian dapat mengajukan kasasi, demikian juga penuntut umum. Hal ini tidak mengurangi kemungkinan keduanya sama-sama mengajukan kasasi, baik terdakwa maupun penuntut umum sama-sama mengajukan permohonan kasasi (M. Yahya Harahap, 2012: 548).

7 19 e) Tata Cara Pengajuan Kasasi Terkait tata cara pengajuan Kasasi, di dalam KUHAP sendiri telah diatur mengenai tata cara pengajuan Kasasi yaitu sebagai berikut: (1) Permohonan kasasi disampaikan oleh pemohon kepada Panitera Pengadilan Negeri yang telah memutus perkaranya dalam tingkat pertama, dalam waktu 14 hari (empat belas) hari sesudah putusan pengadilan yang dimintakan kasasi itu diberitahukan (Pasal 245 ayat (1) KUHAP); (2) Permintaan tersebut oleh Panitera ditulis dalam sebuah surat keterangan yang ditandatangani oleh panitera serta pemohon, dan dicatat dalam daftar yang dilampirkan pada berkas perkara (Pasal 245 ayat (2) KUHAP) (3) Dalam hal Pengadilan Negeri menerima permohonan kasasi, baik yang diajukan oleh Penuntut Umum maupun oleh Terdakwa atau oleh Penuntut Umum dan Terdakwa sekaligus, maka panitera wajib memberitahukan permintaan dari pihak yang satu kepada pihak yang lain (Pasal 245 ayat (3) KUHAP); (4) Apabila tenggang waktu 14 (empat belas) hari sebagaiman dimaksud dalam Pasal 245 ayat (1) telah lewat tanpa diajukan permohonan kasasi oleh yang bersangkutan, maka yang bersangkutan dianggap menerima putusan (Pasal 246 ayat (1) KUHAP); (5) Dalam hal tenggang waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 246 ayat (1), pemohon terlambat mengajukan permohonan kasasi maka hak untuk permohonan kasasi itu gugur (Pasal 246 ayat (2) KUHAP); (6) Selama perkara permohonan kasasi belum diputus oleh Mahkamah Agung, permohonan kasasi itu dapat dicabut sewaktu-waktu dan apabila sudah dicabut, permohonan

8 20 kasasi dalam perkara itu tidak dapat diajukan lagi (Pasal 247 ayat (1) KUHAP); (7) Jika pencabutan dilakukan sebelum berkas perkara dikirim ke Mahkamah Agung, berkas tersebut tidak jadi dikirimkan (Pasal 247 ayat (2) KUHAP); (8) Apabila perkara telah mulai diperiksa, akan tetapi belum diputus, sedangkan sementara itu pemohon mencabut permohonan kasasinya, maka pemohon dibebani membayar biaya perkara yang telah dikeluarkan oleh Mahkamah Agung hingga saat pencabutannya (Pasal 247 ayat (3) KUHAP); (9) Permohonan Kasasi hanya dapat dilakukan satu kali (Pasal 247 ayat (4) KUHAP. f) Proses Pemeriksaan pada Tingkat Kasasi Sesuai dengan Pasal 47 Undang-Undang Nomor 14 tahun 1985 jo. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004 tentang Mahkamah Agung, dalam pengajuan permohonan kasasi, pemohon wajib menyampaikan memori kasasi yang memuat alasan-alasannya dalam tenggang waktu 14 (empat belas) setelah permohonan yang dimaksud dicatat dalam buku daftar. Pemeriksaan kasasi sendiri dilakukan oleh Mahkamah Agung, berdasarkan surat-surat dan hanya jika dipandang perlu Mahkamah Agung mendengar sendiri para pihak atau para saksi, atau memerintahkan Pengadilan Tingkat Pertama atau Tingkat Banding yang memutus perkara tersebut mendengar para pihak atau para saksi, dan apabila Mahkamah Agung membatalkan Putusan Pengadilan dan mengadili sendiri perkara tersebut, maka dipakai hukum pembuktian yang berlaku bagi Pengadilan Tingkat Pertama.

9 21 Adapun terkait prosedur pemeriksaan pada tingkat kasasi diatur dalam Pasal 253 ayat (2) dan (3) KUHAP yang diuraikan sebagai berikut: (1) Pemeriksaan dalam tingkat kasasi dilakukan dengan sekurang-kurangnya tiga orang hakim atas dasar berkas perkara yang diterima dari Pengadilan lain dari pada Mahkamah Agung yang terdiri atas: (a). Berita acara pemeriksaan dari penyidik; (b). Berita acara di sidang; (c). Semua surat yang timbul di sidang yang berhubungan dengan perkara itu; (d). Putusan pengadilan tingkat pertama dan atau tingkat banding. (2) Jika dipandang perlu untuk kepentingan pemeriksaan perkara, Mahkamah Agung dapat mendengar sendiri keterangan baik itu dari Terdakwa atau saksi ataupun Penuntut Umum, dengan menjelaskan secara singkat dalam surat panggilan kepada mereka tentang apa yang ingin diketahui atau Mahkamah Agung dapat pula memerintahkan pengadilan tingkat pertama dalam perkara tersebut untuk mendengar keterangan mereka, dengan cara panggilan yang sama. c. Upaya Hukum Luar Biasa KUHAP telah mengatur tentang upayahukum luar biasa yang merupakan pengecualian adari upaya hukum biasa, sebagaimana diatur dalam Bab XVIII Bagian Kesatu dari Pasal 259 sampai dengan Pasal 262 KUHAP tentang kasasi demi kepentingan hukum dan Bagian Kedua dari Pasal 263 sampai dengan Pasal 269 KUHAP tentang peninjauan kembali atas putusan pengadilan yang telah memperolah kekuatan hukum tetap. 1) Kasasi Demi Kepentingan Hukum

10 22 Kasasi demi kepentingan hukum hanya dapat diajukan terhadap putusan pegadilan negeri dan pengadilan tinggi yang telah berkekuatan hukum tetap, hal ini berbeda dengan peninjauan kembali, tidak hanya terbatas pada putusan pengadilan negeri dan atau putusan pengadilan tinggi, tetapi juga terhadap putusan Mahkamah Agung (M. Yahya Harahap, 2012: ). Permintaan kasasi demi kepentingan hukum oleh Jaksa Agung, tidak lain dimaksudkan adalah membuka kemungkinan bagi perubahan atas putusan pengadilan di bawah keputusan Mahkamah Agung, yang dirasakan kurang tepat oleh Jaksa Agung, dengan kata lain putusan yang dijatuhkan oleh pengadilan negeri atau pengadilan tinggi terlalu berat yang tidak sesuai dengan tuntutan penuntut umum (Andi Sofyan dan Abd. Asis, 2014: 288). 2) Peninjauan Kembali Berdasarkan Pasal 263 ayat (1) KUHAP, bahwa terhadap putusan Pengadilan yang telah memperoleh kekuatan, kecuali putusan bebas atau putusan lepas dari segala tuntutan hukum, terpidana atau ahli warisnya dapat mengajukan permintaan peninjauan kembali ke Mahkamah Agung. Berdasarkan Pasal 263 ayat (3) KUHAP adapun dasar diajukannya permohonan Peninjauan Kembali adalah sebagai berikut: a) Adanya keadaan baru (novum); b) Apabila dalam pelbagai putusan terdapat saling pertentangan; c) Apabila terdapat kekhilafan hakim yang nyata dalam putusan. 2. Tinjauan tentang Penuntut Umum a. Pengertian Penuntut Umum Berdasarkan penjelasan bunyi Pasal 6 huruf (b) KUHAP, secara tegas menyatakan bahwa yang dimaksud dengan Penuntut Umum adalah Jaksa yang diberikan wewenang oleh Undang-Undang ini untuk

11 23 melakukan penuntutan dan melaksanakan penetapan hakim. Sedangkan yang dimaksud dengan Jaksa berdasarkan Pasal 6 huruf (a) KUHAP ialah pejabat yang diberi wewenang oleh Undang-undang ini untuk bertindak sebagai penuntut umum serta melaksanakan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap. Mengenai pengertian Jaksa sendiri kembali ditegaskan dalam Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia yang berbunyi: Jaksa adalah pejabat fungsional yang diberi wewenang oleh undangundang untuk bertindak sebagai penuntut umum dan pelaksanaan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap serta wewenang lain berdasarkan undang-undang. Dari pengertian di atas, dapat diketahui terdapat perbedaan antara Jaksa dan Penuntut Umum. Jaksa adalah pejabat fungsional yang wewenangya tidak hanya di bidang penuntutan tetapi juga memiliki wewenang untuk sebagai eksekutor putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, sebagai Jaksa Pengacara Negara atau sebagai penyelidik Tindak Pidana tertentu dan kewenangan lainnya yang diatur dalam Undang-Undang tentang Kejaksaan. Sedangkan yang dimaksud penuntut umum adalah Jaksa yang kewenangannya khusus di bidang penuntutan dan melaksanakan penetapan hakim. b. Kewenangan Penuntut Umum Ketentuan Pasal 14 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana yang menyatakan penuntut umum mempunyai wewenang yaitu: 1) menerima dan memeriksa berkas perkara penyidik dari penyidik atau penyidik pembantu; 2) mengadakan pra penuntutan apabila ada kekurangan penyidik dengan memperhatikan ketentuan Pasal 110 ayat (3) dan (4), dengan memberikan petunjuk dalam rangka penyempurnaan penyidikan dan penyidik;

12 24 3) memberikan perpanjangan penahanan, melaksanakan penambahan atau penahanan lanjutan atau mengubah status tahanan setelah perkara dilimpahkan oleh penyidik; 4) membuat surat dakwaan; 5) melimpahkan perkara ke Pengadilan; 6) menyampaikan pemberitahuan kepada terdakwa tentang ketentuan hari dan waktu perkara yang disidangkan serta dengan surat pemanggilan baik terhadap terdakwa maupun kepada saksi untuk datang pada sidang yang telah ditentukan. 7) melakukan penuntutan; 8) menutup perkara demi kepentingan hukum; 9) mengadakan tindakan lain dalam lingkup tugas dan tanggung jawabnya sebagai penuntut umum menurut ketentuan Undangundang ini; 10) melaksanakan penetapan hakim. Sedangkan menurut Bambang Poernomo (1984: 41) bahwa tugas Jaksa dalam rangka penuntutan perkara pidana mempunyai tanggung jawab untuk membuat surat tuduhan yang terang dan mudah dimengerti oleh terdakwa. Selain itu Jaksa juga mempunyai tugas untuk mengajukan tuntutan pidana (requisitoir) setelah pemeriksaan perkara diangap selesai di persidangan. Peranan kejaksaan dalam proses perkara pidana masih dibebani lagi dengan tugas lainnya di bidang pengawasan serta beberapa kewenangan lain yang menyangkut keperdataan. Sedangkan mengenai tugas dan wewenang Jaksa Agung diatur dalam Pasal 35 Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia. Adapun tugas dan wewenang Jaksa Agung: 1) Menetapkan serta mengendalikan kebijakan penegakan hukum dan keadilan dalam ruang lingkup tugas dan wewenang kejaksaan; 2) Mengefektifkan proses penegakan hukum yang diberikan oleh undang-undang; 3) Mengesampingkan perkara demi kepentingan hukum; 4) Mengajukan kasasi demi kepentingan hukum kepada Mahkamah Agung dalam perkara pidana, perdata, dan tata usaha negara; 5) Dapat mengajukan pertimbangan teknis hukum kepada Mahkamah Agung dalam pemeriksaan kasasi perkara pidana; 6) Mencegah atau menangkal orang tertentu masuk atau keluar wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia karena

13 25 keterlibatannya dalam perkara pidana sesuai dengan peraturan perundang-undangan.. 3. Tinjauan tentang Judex Factie dan Judex Juris a. Judex Factie Judex Factie merupakan istilah yang berasal dari bahasa latin. Judex yang berarti hakim dan Factie yang berarti fakta. Sehingga yang dimaksud dengan Judex Factie adalah Hakim yang memeriksa duduknya perkara berdasarkan fakta-fakta hukum yang ditemukan di persidangan baik di tingkat pegadilan negeri maupun di tingkat pengadilan tinggi. Judex factie merupakan badan peradilan yang memeriksa fakta-fakta tentang terjadinya suatu tindak pidana yang didakwakan kepada terdakwa. Judex Factie dalam memeriksa dan memutus perkara adalah berdasarkan surat dakwaan yang telah disusun sedemikian rupa oleh Penuntut Umum. Dari pemeriksaan perkara tersebut maka akan terungkap fakta-fakta di persidangan yang menjadi penilaian serta pertimbangan hakim untuk memberikan putusan atas tindak pidana yang didakwakan kepada terdakwa. Hal tersebulah yang membedakannya dengan judex juris yang memeriksa penerapan hukumnya atau dengan kata lain penerapan hukum Judex Factie dalam memeriksa dan memutus perkara yang telah menjadi kewenangannya berdasarkan peraturan perundang-undangan (Lioni Aulia Rici Koespermata Dewi, 2013: 16-17). b. Judex Yuris Peran seorang hakim dalam menentukan hukum yang seharusnya diterapkan terhadap fakta-fakta dalam kasus yang dia adili dan dalam menerapkan hukum tersebut terhadap fakta yang ada. Pada umumnya di Indonesia hanya Mahkamah Agung berperan secara eksklusif sebagai judex juris sehingga Mahkamah Agung tidak menentukan fakta-fakta. Tujuan utama dari Mahkamah Agung adalah untuk menilai apakah penerapan hukum dalam suatu kasis sudah tepat dan memiliku dasar

14 26 hukum yang kuat. Di negara yang menganut tradisi common law, pengadilan tertinggi lazimya memiliki bagian yang menangai kedua jenis banding, baik judex juris maupun judex factie (Ratih Perwira Hutami, 2013: 20). Menurut Pasal 20 ayat (2) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman wewenang Mahkamah Agung ialah : 1) Mengadili pada tingkat kasasi terhadap putusan yang diberikan pada tingkat terakhir oleh pengadilan di semua lingkungan peradilan yang berada di bawah Mahkamah Agung, kecuali undang-undang menentukan lain; 2) Menguji peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang terhadap undang-undang; dan 3) Kewenangan lainnya yang diberikan undang-undang. 4. Tinjauan tentang Pembuktian a. Pengertian Pembuktian Pembuktian adalah ketentuan-ketentuan yang berisi penggarisan dan pedoman tentang cara-cara yang dibenarkan undang-undang membuktikan kesalahan yang didakwakan kepada terdakwa. Pembuktian juga merupakan ketentuan yang mengatur alat-alat bukti yang dibenarkan undang-undang dan boleh dipergunakan hakim membuktikan kesalahan yang didakwakan (M. Yahya Harapap, 2012 : 273). Di Indonesia KUHAP tidak memberikan penjelasan mengenai pembuktian, KUHAP hanya memuat jenis-jenis alat bukti yang sah menurut hukum, yang tertuang dalam Pasal 184 ayat (1) KUHAP. Walaupun seperti itu banyak referensi buku dan pendapat beberapa ahli yang memberikan pengertian tentang pembuktian itu sendiri. Pembuktian dalam pengertian hukum acara pidana adalah, ketentuan yang membatasi sidang pengadilan dalam usaha mencari dan mempertahankan kebenaran, baik hakim,jaksa penuntutuum, terdakwa maupun penasehat hukum (Aditya Heri Kristianto, 2014: 7). Dalam sidang pengadilan biasanya

15 27 pembuktian dimulai dengan adanya perbuatan pidana, baru kemudian ditentukan apakah perbuatan pidana yang telah dilakukan dapat atatu tidak dimintai pertanggungjawabannya terhadap terdakwa yang sedang diadili (Eddy O.S. Hiariej, 2013: 93). Sistem pembuktian pembuktian perkara pidana di Indonesia didasarkan pada ketentuan Pasal 183 bahwa Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seorang kecuali apabila dengan sekurangkurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya. b. Sistem Pembuktian 1) Sistem atau Teori Pembuktian Berdasarkan Keyakinan Hakim Melulu (Conviction-in Time) Sistem pembuktian conviction-in time menentukan salah tidaknya seorang terdakwa, semata-mata ditentukan oleh penilaian keyakinan hakim. Keyakinan hakim yang menyimpulkan keterbuktian kesalahan terdakwa. Dari mana hakim menarik dan menyimpulkan keyakinannya, tidak menjadi masalah dalam sistem ini. Keyakinan boleh diambil dan disimpulkan hakim dari alat-alat bukti yang diperiksanya dalam sidang pengadilan. Bisa juga hasil pemeriksaan alat-alat bukti iti diabaikan hakim, dan langsung menarik keyakinan dari keterangan atau pengakuan terdakwa. Sistem permbuktian conviction-in time, sudah barang tentu mengandung kelemahan. Hakim dapat saja menjatuhkan hukuman pada seorang terdakwa semaata-mata atas dasar keyakinan belaka tanpa didukungoleh alat bukti yang cukup. Sebaliknya hakim leluasa membebaskan terdakwa dari tindak pidana yang dilakukan walaupun kesalahan terdakwa telah cukup terbukti dengan alat-alat bukti yang lengkap, selama hakim tidak yakin atas kesalahan terdakwa (M.Yahya Harahap, 2012 : 277).

16 28 2) Sistem atau teori pembuktian berdasarkan keyakinan hakim atas alasan yang logis (Laconviction raisonnee) Sistem atau teori pembuktian ini sangat bertolak belakang dengan teori pembuktian berdasarkan undang-undang secara positif. Dalam teori ini diperlukan adanya keyakinan hakim sendiri untuk memutuskan salah atau tidaknya terdakwa, sebab disadari bahwa alat bukti pengakuan terdakwa tidak harus membuktikan kebenaran atau kesalahan terdakwa. Dalam teori ini sama sekali tidak membutuhkan suatu peraturan tentang pembuktian, dan menyerahkan segala sesuatunya kepada kebijaksanaan dan pendapat hakim yang bersifat subjektif atau perseorangan. Dengan kata lain, dalam teori ini cukuplah bahwa hakim mendasarkan terbuktinya suatu kedadaan atas keyakinan belaka tanpa terikat pada suatu peraturan. Hakim dalam menentukan hanya didasarkan pada perasaannya saja, apakah suatu peristiwa atau keadaan terbukti sebagai kesalahan terdakwa ataukah tidak (Andi Sofyan, Abd Asis, 2014: 234). 3) Sistem atau teori pembuktian berdasarkan undang-undang secara positif (positif wettelijke bewijs theorie) Sistem pembuktian ini adalah sistem pembuktian yang didasarkan melulu kepada alat bukti yang disebutkan dalam undangundang. Dikatakan secara positif kearena hanya didasarkan dalam undang-undang melulu, artinya jika telah terbukti suatu perbuatan sesuai dengan alat bukti yang disebutkan oleh undang-undang, maka keyakinan hakim tidak diperlukan sama sekali. Sistem ini disebut juga dengan teori pembuktian formal (formale ebewijstheorie) (Andi Hamzah, 2009 : 247). 4) Sistem atau teori pembuktian berdasarkan undang-undang secara negatif negatief wettelijk) Sistem pembuktian menurut undang-undang secara negatif merupakan teori antara sistem pembuktian menurut undang-undang

17 29 positif dengan sistem pembuktian conviction-in time. Sistem pembutian menurut undang-undang secara negatif merupakan keseimbangan antara kedua sistem yang saling bertolak belakang secara ekstrim. Rumusannya berbunyi : salah tidaknya seorang terdakwa ditentukan oleh keyakinan haim yang didasarkan kepada cara dan dengan alat-alat bukti yang sah menurut undang-undang (M.Yarahap, 2012 : ). c. Alat Bukti Alat bukti adalah segala sesuatu yang ada hubungannya dengan suatu perbuatan, dimana dengan alat-alat bukti tersebut, dapat dipergunakan sebagai bahan pembuktian guna menimbulkan keyakinan hakim atas kebenarannya suatu tindak pidana yang telah dilakukan oleh terdakwa (Hari Sasangka dan Lily Rosita, 2003: 11). 1) Keterangan Saksi Pengertian dari saksi diatur dalam Pasal 1 angka 26 KUHAP yang menyebutkan bahwa, saksi adalah orang yang dapat memberikan keterangan guna kepentngan penyidikan, penuntutan dan peradilan tentang suatu perkara pidana yang ia dengar sendiri, ia lhat sendiri dan ia alami sendiri. Keterangan saksi adalah salah-satu alat bukti dalam perkara pidana yang berupa keteranagan dari saksi mengenai suatu peritiwa pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri dan ia alami sendiri dengan menyebut alasan dari pengetahuannya ini (Pasal 1 angka 27 KUHAP). Keterangan saksi sebagai alat bukti ialah apa yang saksi nyatakan di muka sidang pengdilan. Dengan perkataan lain hanya keterangan saksi yang diberikan dalam pemeriksaan disidang pengadilan yang berlaku sebagai alat bukti yang sah (Pasal 185 ayat (1) KUHAP). Keterangan seorang saksi saja tidak cukup membuktikan bahwa terdakwa bersalah terhadap perbuatannya yang didakwakan kepada (unus tettisnullus testis) (Pasal 185 ayat (2) KUHAP).

18 30 Syarat sahnya keterangan saksi harus mengucapkan sumpah atau janji. Hal ini diatur dalam Pasal 160 ayat (3), sebelum memberikan keterangan saksi wajib mengucapkan sumpah atau janji menurut agamanya masing-masing. Bahwa ia akan memberikan keterangan yang sebenarnya dan tidak lain dari yang sebenarnya Saksi di dalam memberikan kesaksian atau keterangan dalam suatu perkara pidana undang-undang telah memberikan hak-hak, sebagaimana diatur di dalam KUHAP, sebagaimana berikut : a) Hak untuk diperiksa tanpa hadirnya terdakwa pada saksi diperiksa (Pasal 173 KUHAP); b) Hakuntuk mendapatkan penerjemah atas saksi yang tidak paham bahasa Indonesia (Pasal 177 ayat 1 KUHAP); c) Hak saksi yang bisu atau tuli dan tidak bisa menulis untuk mendapatkan penerjemah (Pasal 178 ayat 1 KUHAP); d) Hak untuk mendapatkan pemberitahuan sebelumnya selambatlambatnya 3 hari sebelum menghadiri sidang (Pasal 227 ayat 1 KUHAP); e) Hak untuk mendapatkan biaya pengganti atas kehadiran di sidang pengadilan (Pasal 229 ayat 1 KUHAP). 2) Keterangan Ahli Di dalam KUHAP telah merumuskan pengertian tentang keterangan ahli, sebagai berikut : a) Menurut Pasal 1 angka 28 KUHAP, bahwa Keterangan ahli adalah keterangan yang diberikan oleh seorang yang memiliki keahlian khusus tentang hal yang diperlukan untuk membuat terang suatu perkara pidana guna kepentingan pemeriksaan. b) Menurut Pasal 186 KUHAP, bahwa Keterangan ahli ialah apa yang seeorang ahli nyatakan di sidang pengadilan. Keterangan seorang ahli disebut sebagai alat bukti pada urutan kedua oleh Pasal 183 KUHAP setelah keterangan saksi.

19 31 Artinya bahwa keterangan ahli juga memegang peranan penting dalam pembuktian (Andi Hamzah, 2009: 272). Seorang ahli yang memberikan keterangan tidak mesti harus menyaksikan atau mengalamu peristiwa secara langsung suatu tindak pidana seperti saksi lainnya, akan tetapi dengan berdasarkan keahlian, ketrampilan, pengalaman maupun pengetahuan yang ia miliki dapat memberikan keteranganketerangan tentang sebab akibat suatu periswtiwa atau fakta tertentu dari alat bukti yang ada, kemudian menyimpulkan pendapatnya untuk membantuk membuat terangnya suatu perkara (Andi Sofyan dan Abd. Asis, 2014 : ). 3) Surat Alat bukti surat adalah segala yang mengandung tanda baca yang dapat dimengerti, dimaksud untuk mengeluarkan isi pikiran (Andi Hamzah,2009:271). Nilai kekuatan pembuktian surat dalam hukum acara pidana dilihat dari : a) Segi Formil ` Dalam segi formil, alat bukti surat yang disebut pada Pasal 187 huruf a, b dan c KUHAP adalah bukti yang sempurna, artinya sudah benar kecuali dilumpuhkan alat bukti lain, dan semua pihak tidak dapat lagi menilai kesempurnaan bentuk dan perbuatannya. b) Segi Materiil Dalam segi materiil alat bukti surat yang disebut dalam Pasal 187 KUHAP adalah alat bukti surat bukan merupakan alat bukti yang mengikat dan bersifat bebas, hal ini didasarkan pada asas tujuan hukum acara pidana, asas keyakinan hakim, asas batas minimum pembuktian. Menurut Pasal 187 KUHAP disebutkan secara luas bentuk-bentuk surat yang bernilai sebagai alat bukti yaitu :

20 32 (1) Berita acara atau surat lain dalam bentuk resmi yang dibuat oleh dihadapan pejabat yang berwenang mengenai suatu kejadian yang didengar/dilihat/didalami sendiri disertai alasan yang jelas mengenai keterangan tersebut; (2) Surat yang dibuat menurunkan ketentuan peraturan perundang-undangan yang dibuat oleh pejabat mengenai hal yang termasuk dalam fakta laksana yang menjadi tanggung jawabnya; (3) Surat keterangan dari seorang ahli yang memuat keterangan berdasarkan keahliannya mengenal suatu hal yang diminta secara resmi kepadanya; (4) Surat lain yang berhubungan dengan alat bukti yang lain (H. Rusli Muhammad, 2007 : 196). 4) Petunjuk Menurut Pasal 188 KUHAP, bahwa yang dimaksud dengan alat bukti petunjuk adalah : a) Petunjuk adalah perbuatan, kejadian atau keadaan, yang karena persesuaiannya, baik antara yang satu dengan yang lain, maupun dengan tindak pidana itu sendiri, menandakan bahwa telah terjadi suatu tindak pidana dan siapa pelakunya; b) Petunjuk sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) hanya dapat diperoleh dari : (1) Keterangan saksi; (2) Surat; (3) Keterangan terdakwa. c) Penilaian atas kekuatan pembuktian dari suatu petunjuk dalam setiap keadaan tertentu dilakukan oleh hakim dengan arif lagi bijaksana setelah ia mengadakan pemeriksaan dengan penuh kecermatan dan kesaksamaan berdasarkan hati nuraninya. 5) Keterangan Terdakwa

21 33 Menurut Pasal 189 KUHAP, bahwa yang dimaksud dengan alat bukti berupa keterangan terdakwa, adalah: a) Keterangan terdakwa ialah apa yang terdakwa nyatakan di sidang tentang perbuatan yang ia lakukan atau yang ia ketahui sendiri atau alami sendiri; b) Keterangan terdakwa yang diberikan di luar sidang dapat digunakan untuk membantu menemukan bukti di sidang, asalkan keterangan itu didukung oleh sebuah alat bukti yang sah sepanjang mengenai hal yang didakwakan kepadanya; c) Keterangan terdakwa hanya bisa digunakan terhadap dirinya seendiri; d) Keterangan terdakwa saja tidak cukup untuk membuktikan bahwa ia bersalah melakukan perbuatan yang didakwakan kepadanya, melainkan harus disertai dengan alat bukti yang lain. Jadi berdasarkan Pasal 189 KUHAP diatas, bahwa keterangan terdakwa harus diberikan di depan sidang saja, sedangkan di luar sidang hanya dapat digunakan untuk menemukan bukti di sidang saja (Andi Sofyan dan Abd. Asis : 2014 : 265). 5. Tinjauan tentang Tindak Pidana Pembunuhan Menurut Pasal 339 KUHP a. Tindak Pidana Pembunuhan Pembunuhan merupakan kesengajaan menghilangkan nyawa orang lain dengan cara yang melanggar hukum, ataupun yang tidak melawan hukum. Pembunuhan biasanya dilatarbelakangi oleh bermacam-macam motif, misalnya politik, kecemburun, dendam, membela diri, dan sebagainya. Pembunuhan dapat dilakukan dengan berbagai cara. Yang paling umum dengan menggunakan senjata api atau senjata tajam. Pembunuhan dapat juga dilakukan dengan menggunakan bahan peledak seperti bom. Pembunuhan diatur dalam Pasal 338 KUHP yang berbunyi

22 34 Barang siapa dengan sengaja merampas nyawa orang lain, diancam karena pembunhan dengan pidana penjara paling lama lima belas tahun Dalam KUHP, tindak pidana pembunuhan dikualifikasikan dalam kejahatan terhadap nyawa manusia. Tindak pidana terhadap nyawa dimuat dalam Bab XIX KUHP, yang diatur dalam Pasal 338 sampai dengan Pasal 350 KUHP. Kejahatan terhadap jiwa manusia merupakan penyerangan terhadap kehidupan manusia. Kepentingan hukum yang dilindungi dan merupakan obyek kejahatan dalam hal ini adalah jiwa manusia. Kejahatan terhadap nyawa yang dimuat dalam KUHP adalah sebagai berikut : 1) Pembunuhan (Pasal 338); 2) Pembunuhan dengan pemberatan (Pasal 339); 3) Pembunuhan berencana (Pasal 340); 4) Pembunuhan bayi oleh ibunya (Pasal 341); 5) Pembunhan bayi berencana (Pasal 342); 6) Pembunhan atas permintaan yang bersangkutan (Pasal 344); 7) Membujuk atau membantu orang agar bunuh diri (Pasal 345); 8) Pengguguran kandungan dengan izin ibunya (Pasal 346); 9) Pengguguran kandungan tanpa izin ibunya (Pasal 347); 10) Matinya kandungan dengan izin perempuan yang mengandungnya (Pasal 348);. 11) Dokter/bidan/tukang obat yang membantu penguguran/matinya kandungan (Pasal 349). b. Unsur-Unsur Pembunuhan Kejahatan terhadap nyawa yang dilakukan dengan senagaja dalam bentuk pokok dimuat dalam Pasal 338 KUHP yang menyatakan bahwa: Barang siapa dengan sengaja merampas nyawa orang lain, diancam karena pembunuhan dengan pidana penjara paling lama lima belas tahun. Apabila Pasal tersebut dirinci, maka unsur-unsurnya terdiri dari : 1) Unsur Objektif

23 35 a) Perbuatan menghilangkan nyawa; b) Objeknya : nyawa orang lain 2) Unsur Subjektif dengan sengaja Dalam perbuatan menghilangkan nyawa orang lain terdapat tiga syarat yang harus dipenuhi, antara lain: a) Adanya wujud perbuatan; b) Adanya suatu kematian; c) Adanya hubungan sebab akibat antara perbuatan dan akibat kematian. c. Tindak Pidana Pembunuhan Menurut Pasal 339 KUHP Pasal 339 KUHP mengatur tentang pembunuhan yang berbunyi Pembunuhan yang diikuti, disertai atau didahului oleh suatu perbutan pidana, yang dilakukan dengan maksud untuk mempersiapkan atau mempermudah pelaksanaannya, atau untuk melepaskan diri sendiri maupun peserta lainnya dari pidana dalam hal tertangkap tangan, ataupun untuk memastikan penguasaan barang yang diperolehnya secara melawan hukum, diancam dengan pidana penjara seumur hidup atau selama waktu tertentu, paling lama dua puluh tahun. Maksud dari pembunuhan dengan pemberatan yaitu diikuti, disertai atau didahului oleh kejahatan atau diikuti (gevold) dimaksudkan diikuti kejahatan lain. Pembunuhan itu dimaksudkan untuk mempersiapkan dilakukannya kejahatan lain. Perlu dicatat bahwa tertangkap basah harus benar-benar terjadi. Tidak cukup apabila hanya si pelaku ada kekhawatiran akan ditangkap basah. Istilah tertangkap basah, ada suatu definisi yang termuat dalam Pasal 57 Herziene Indonesische Reglement atau HIR. Menurut Pasal ini, tertangkap basah (ontdekking of heter daad) terjadi apabila kejahatan atau pelanggaran kedapatan sedang dilakukan atau dengan segera kedapatan setelah dilakukan, atau apabila seseorang sesudah itu dengan segera dilakukan, atau apabila seseorang sesudah itu dengan segera

24 36 diserukan suara orang banyak sebagai pelaku, atau apabila padanya kedapatan barang-barang, senjata-senjata, alat-alat, atau surat-surat yang menunjukan bahwa dialah orang yang berbuat atau membantunya. Tindak pidana yang menyertai pembunuhan ini dapat baru berupa percobaan untuk melakukan tindak pidana tertentu, asal saja percobaan itu juga dapat dikenakan hukuman berdasarkan Pasal 53 KUHP (Wirjono Prodjodikoro, 2013: 72).

25 37 B. Kerangka Pemikiran PERKARA TINDAK PIDANA PEMBUNUHAN Pasal 399 KUHP PUTUSAN PN NOMOR : 210/Pid.B/2012/PN.Msb PUTUSAN PT NOMOR : 113/PID.B/ 2012/PT.MKS ALASAN KASASI Pasal 253 KUHAP Diajukan oleh Penuntut Umum Alasan Kasasi Dikabulkan Pertimbangan Hakim Mahkamah Agung Putusan Mahkamah Agung Nomor 1086 K/PID/2013 Bagan 1. Gambar Kerangka Pemikiran

26 38 Keterangan : Bagan kerangka pemikiran tersebut menjelaskan alur berpikir penulis dalam menyusun penelitian hukum guna menemukan jawaban atas permasalahan hukum ini, yaitu mengenai perkara Tindak Pidana Pembunuhan menurut Pasal 339 KUHP Berdasarkan Pasal 253 ayat (1) huruf a KUHAP bahwa suatu pemeriksaan dalam tingkat kasasi dilakukan oleh Mahkamah Agung atas permintaan para pihak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 244 dan Pasal 249 KUHAP guna menentukan apakah benar suatu peraturan hukum tidak diterapkan atau diterapkan tidak sebagaimana mestinya. Meninjau perkara Tindak Pidana Pembunuhan menurut Pasal 339 sebagaimana terdapat dalam Putusan Mahkamah Agung Nomor : 1086K/Pid/2013 bahwa atas putusan yang telah ditetapkan oleh Pengadilan Negeri Masamba yang amarnya menyatakan Terdakwa bersalah melakukan tindak pidana pembunuhan menurut Pasal 339 yang didakwakan dalam Putusan Pengadilan Negeri Masamba Nomor : 210/ Pid.B/ 2012/PN.Msb. Penuntut Umum mengajukan banding sekedar mengenai lamanya pidana yang dijatuhkan kepada Terdakwa yang akhirnya mengeluarkan putusan Pengadilan Tinggi Makasar Nomor 113/PID.B/ 2012/PT.MKS. Penuntut umum dalam mengajukan kasasi tersebut beralasan Bahwa Majelis Hakim Pengadilan Tinggi Makasar tidak menerapkan hukum sebagaimana mestinya dan telah melaksanakan cara mengadili yang tidak berdasarkan atau tidak menurut ketentuan Undang-Undang yang mana alasan tersebut menjadi pertimbangan hakim Mahkamah Agung dalam mengeluarkan Putusan Mahkamah Agung Nomor 1086 K/PID/2013 yang amarnya pembatalan putusan Pengadilan Tinggi Makasar Nomor 113/PID.B/ 2012/PT.MKS yang memperbaiki putusan Pengadilan Negeri Masamba Nomor 210/Pid.B/2012/PN.Masamba.

BAB II TNJAUAN PUSTAKA. A. Kerangka Teori

BAB II TNJAUAN PUSTAKA. A. Kerangka Teori 14 BAB II TNJAUAN PUSTAKA A. Kerangka Teori 1. Tinjauan Terhadap Upaya Hukum a. Pengertian Upaya Hukum Dalam Pasal 1 angka 12 KUHAP menjelaskan bahwa Upaya hukum adalah hak terdakwa atau penuntut umum

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. tercipta pula aturan-aturan baru dalam bidang hukum pidana tersebut. Aturanaturan

BAB I PENDAHULUAN. tercipta pula aturan-aturan baru dalam bidang hukum pidana tersebut. Aturanaturan BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah Globalisasi menyebabkan ilmu pengetahuan kian berkembang pesat termasuk bidang ilmu hukum, khususnya dikalangan hukum pidana. Banyak perbuatan-perbuatan baru yang

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. nampaklah bahwa pembuktian itu hanyalah diperlukan dalam berperkara dimuka

II. TINJAUAN PUSTAKA. nampaklah bahwa pembuktian itu hanyalah diperlukan dalam berperkara dimuka II. TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Umum Tentang Pembuktian Pengertian dari membuktikan ialah meyakinkan Hakim tentang kebenaran dalil atau dalil-dalil yang dikemukakan dalam suatu persengketaan. Dengan demikian

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Kerangka Teori

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Kerangka Teori BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Kerangka Teori 1. Tinjauan tentang Upaya Hukum Maksud dari upaya hukum dijelaskan dalam Pasal 1 butir 12 KUHAP. Upaya hukum adalah hak terdakwa atau penuntut umum untuk tidak

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah.

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah. Salah satu tindak pidana yang sering terjadi dalam kehidupan masyarakat Indonesia adalah tindak pidana pembunuhan. Tindak pidana pembunuhan merupakan suatu

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Kerangka Teori 1. Tinjauan Tentang Upaya hukum Kasasi a. Pengertian Upaya hukum Kasasi Sebelum penulis kemukakan pengertian kasasi, terlebih dahulu penulis akan mengemukakan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA A.Kerangka Teori 1. Tinjauan Tentang Kasasi a. Pengertian Kasasi Secara terminologi, kasasi berasal dari kata casser yang artinya memecah atau membatalkan. Kasasi dilakukan dengan

Lebih terperinci

Abstrak. Kata kunci: Peninjauan Kembali, Kehkilafan /Kekeliranan Nyata, Penipuan. Abstract. Keywords:

Abstrak. Kata kunci: Peninjauan Kembali, Kehkilafan /Kekeliranan Nyata, Penipuan. Abstract. Keywords: Abstrak Penelitian hukum ini bertujuan untuk mengetahui kesesuaian alasan terpidana pelaku tindak pidana penipuan dalam mengajukan upaya hukum Peninjauan Kembali dengan dasar adanya suatu kehilafaan hakim

Lebih terperinci

ALUR PERADILAN PIDANA

ALUR PERADILAN PIDANA ALUR PERADILAN PIDANA Rangkaian penyelesaian peradilan pidana terdiri atas beberapa tahapan. Suatu proses penyelesaian peradilan dimulai dari adanya suatu peristiwa hukum, misalnya seorang wanita yang

Lebih terperinci

Lex Crimen Vol. II/No. 3/Juli/2013

Lex Crimen Vol. II/No. 3/Juli/2013 HAK TERDAKWA MELAKUKAN UPAYA HUKUM DALAM PROSES PERADILAN PIDANA 1 Oleh : Bilryan Lumempouw 2 Upaya hukum merupakan hak yang penting bagi terdakwa dalam pembuktian bahwa dirinya tidak bersalah, sekaligus

Lebih terperinci

BADAN PEMERIKSA KEUANGAN SEBAGAI PEMBERI KETERANGAN AHLI DAN SAKSI DALAM KASUS TINDAK PIDANA KORUPSI

BADAN PEMERIKSA KEUANGAN SEBAGAI PEMBERI KETERANGAN AHLI DAN SAKSI DALAM KASUS TINDAK PIDANA KORUPSI BADAN PEMERIKSA KEUANGAN SEBAGAI PEMBERI KETERANGAN AHLI DAN SAKSI DALAM KASUS TINDAK PIDANA KORUPSI Sumber gambar http://timbul-lawfirm.com/yang-bisa-jadi-saksi-ahli-di-pengadilan/ I. PENDAHULUAN Kehadiran

Lebih terperinci

Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (RUU-KUHAP) Bagian Keempat Pembuktian dan Putusan

Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (RUU-KUHAP) Bagian Keempat Pembuktian dan Putusan Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (RUU-KUHAP) Bagian Keempat Pembuktian dan Putusan Pasal 176 Hakim dilarang menjatuhkan pidana kepada terdakwa, kecuali apabila hakim memperoleh keyakinan

Lebih terperinci

Lex Crimen Vol. VII/No. 1 /Jan-Mar/2018. H. Rusli Muhammad, Hukum Acara Pidana Kontemporer, PT Citra Aditya Bakti, Bandung, 2007, hlm. 185.

Lex Crimen Vol. VII/No. 1 /Jan-Mar/2018. H. Rusli Muhammad, Hukum Acara Pidana Kontemporer, PT Citra Aditya Bakti, Bandung, 2007, hlm. 185. KEKUATAN ALAT BUKTI KETERANGAN AHLI DALAM PEMBUKTIAN PERKARA PIDANA MENURUT KUHAP 1 Oleh: Sofia Biloro 2 Dosen Pembimbing: Tonny Rompis, SH, MH; Max Sepang, SH, MH ABSTRAK Tujuan dilakukannya penelitian

Lebih terperinci

PEMBUKTIAN DAN PUTUSAN PENGADILAN DALAM ACARA PIDANA 1 Oleh: Susanti Ante 2

PEMBUKTIAN DAN PUTUSAN PENGADILAN DALAM ACARA PIDANA 1 Oleh: Susanti Ante 2 PEMBUKTIAN DAN PUTUSAN PENGADILAN DALAM ACARA PIDANA 1 Oleh: Susanti Ante 2 ABSTRAK Sistem pembuktian adalah pengaturan tentang macam-macam alat bukti yang boleh dipergunakan. Pembuktian tentang benar

Lebih terperinci

BAB II PRAPERADILAN DALAM SISTEM PERADILAN PIDANA INDONESIA. A. Sejarah Praperadilan dalam Sistem Peradilan Pidana di Indonesia

BAB II PRAPERADILAN DALAM SISTEM PERADILAN PIDANA INDONESIA. A. Sejarah Praperadilan dalam Sistem Peradilan Pidana di Indonesia BAB II PRAPERADILAN DALAM SISTEM PERADILAN PIDANA INDONESIA A. Sejarah Praperadilan dalam Sistem Peradilan Pidana di Indonesia Sebelum berlakunya Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana

Lebih terperinci

Kitab Undang- Undang Hukum Acara Pidana tidak memberikan. penjelasan mengenai pengertian pembuktian, KUHAP hanya memuat jenis-jenis

Kitab Undang- Undang Hukum Acara Pidana tidak memberikan. penjelasan mengenai pengertian pembuktian, KUHAP hanya memuat jenis-jenis BAB II KETENTUAN HUKUM TERHADAP PENCABUTAN KETERANGAN TERDAKWA DALAM PERSIDANGAN A. Tinjauan Umum Pembuktian Kitab Undang- Undang Hukum Acara Pidana tidak memberikan penjelasan mengenai pengertian pembuktian,

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. a. Pengertian, Kedudukan, serta Tugas dan Wewenang Kejaksaan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. a. Pengertian, Kedudukan, serta Tugas dan Wewenang Kejaksaan BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Kerangka Teori 1. Tinjauan Umum Tentang Kejaksaan a. Pengertian, Kedudukan, serta Tugas dan Wewenang Kejaksaan Undang-undang No. 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia,

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PERAMPASAN ASET TINDAK PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PERAMPASAN ASET TINDAK PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PERAMPASAN ASET TINDAK PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa sistem dan mekanisme

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Kerangka Teori 1. Tinjauan mengenai Upaya Hukum Menurut ketentuan dalam Pasal 1 angka 12 KUHAP, yang dimaksud dengan upaya hukum adalah Hak terdakwa atau penuntut umum untuk

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 14 TAHUN 1985 TENTANG MAHKAMAH AGUNG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 14 TAHUN 1985 TENTANG MAHKAMAH AGUNG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No. 73, 1985 (ADMINISTRASI. KEHAKIMAN. LEMBAGA NEGARA. Mahkamah Agung. Penjelasan dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3316) UNDANG-UNDANG REPUBLIK

Lebih terperinci

Makalah Rakernas

Makalah Rakernas Makalah Rakernas 2011 1 TENTANG PENINJAUAN KEMBALI Oleh : H. A. Kadir Mappong (Wakil Ketua Mahkamah Agung Bidan Yudisial) Peninjauan kembali merupakan upaya hukum luar biasa yang dimaksudkan untuk memperbaiki

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Pembuktian merupakan masalah yang memegang peranan penting dalam proses

II. TINJAUAN PUSTAKA. Pembuktian merupakan masalah yang memegang peranan penting dalam proses II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian Pembuktian Pembuktian merupakan masalah yang memegang peranan penting dalam proses pemeriksaan sidang pengadilan serta hal paling utama untuk dapat menentukan dapat atau

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa negara Republik Indonesia adalah

Lebih terperinci

Tinjauan Yuridis terhadap Pelaksanaan Prapenuntutan Dihubungkan dengan Asas Kepastian Hukum dan Asas Peradilan Cepat, Sederhana, dan Biaya Ringan

Tinjauan Yuridis terhadap Pelaksanaan Prapenuntutan Dihubungkan dengan Asas Kepastian Hukum dan Asas Peradilan Cepat, Sederhana, dan Biaya Ringan Prosiding Ilmu Hukum ISSN: 2460-643X Tinjauan Yuridis terhadap Pelaksanaan Prapenuntutan Dihubungkan dengan Asas Kepastian Hukum dan Asas Peradilan Cepat, Sederhana, dan Biaya Ringan 1 Ahmad Bustomi, 2

Lebih terperinci

KESAKSIAN PALSU DI DEPAN PENGADILAN DAN PROSES PENANGANANNYA 1 Oleh: Gerald Majampoh 2

KESAKSIAN PALSU DI DEPAN PENGADILAN DAN PROSES PENANGANANNYA 1 Oleh: Gerald Majampoh 2 Lex Crimen, Vol.II/No.1/Jan-Mrt/2013 KESAKSIAN PALSU DI DEPAN PENGADILAN DAN PROSES PENANGANANNYA 1 Oleh: Gerald Majampoh 2 ABSTRAK Tujuan dilakukannya penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimana

Lebih terperinci

FUNGSI MAHKAMAH AGUNG DALAM MENERIMA PENINJAUAN KEMBALI SUATU PERKARA PIDANA 1 Oleh: Eunike Lumi 2

FUNGSI MAHKAMAH AGUNG DALAM MENERIMA PENINJAUAN KEMBALI SUATU PERKARA PIDANA 1 Oleh: Eunike Lumi 2 FUNGSI MAHKAMAH AGUNG DALAM MENERIMA PENINJAUAN KEMBALI SUATU PERKARA PIDANA 1 Oleh: Eunike Lumi 2 ABSTRAK Tujuan dilakukannya penelitian ini adalah utnuk mengetahui bagaimana prosedur pengajuan Peninjauan

Lebih terperinci

PENANGGUHAN PENAHANAN DALAM PROSES PERKARA PIDANA (STUDI KASUS KEJAKSAAN NEGERI PALU) IBRAHIM / D Abstrak

PENANGGUHAN PENAHANAN DALAM PROSES PERKARA PIDANA (STUDI KASUS KEJAKSAAN NEGERI PALU) IBRAHIM / D Abstrak PENANGGUHAN PENAHANAN DALAM PROSES PERKARA PIDANA (STUDI KASUS KEJAKSAAN NEGERI PALU) IBRAHIM / D 101 10 523 Abstrak Negara Indonesia adalah negara yang berdasarkan atas hukum (rechstaat), tidak berdasarkan

Lebih terperinci

KEKUATAN PEMBUKTIAN VISUM ET REPERTUM BAGI HAKIM DALAM MEMPERTIMBANGKAN PUTUSANNYA. Oleh : Sumaidi, SH.MH

KEKUATAN PEMBUKTIAN VISUM ET REPERTUM BAGI HAKIM DALAM MEMPERTIMBANGKAN PUTUSANNYA. Oleh : Sumaidi, SH.MH KEKUATAN PEMBUKTIAN VISUM ET REPERTUM BAGI HAKIM DALAM MEMPERTIMBANGKAN PUTUSANNYA Oleh : Sumaidi, SH.MH Abstrak Aparat penegak hukum mengalami kendala dalam proses pengumpulan alat-alat bukti yang sah

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA

II. TINJAUAN PUSTAKA 13 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Umum Perihal Saksi dan Petunjuk 1. Perihal Saksi Menjadi saksi adalah salah satu kewajiban setiap orang. Orang yang menjadi saksi setelah dipanggil ke suatu sidang pengadilan

Lebih terperinci

BAB II PENGATURAN PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP SAKSI DALAM TINDAK PIDANA PEMBUNUHAN BERENCANA

BAB II PENGATURAN PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP SAKSI DALAM TINDAK PIDANA PEMBUNUHAN BERENCANA BAB II PENGATURAN PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP SAKSI DALAM TINDAK PIDANA PEMBUNUHAN BERENCANA A. Undang Undang Nomor 31 Tahun 2014 Tentang Perlindungan Saksi dan Korban Undang - undang ini memberikan pengaturan

Lebih terperinci

dikualifikasikan sebagai tindak pidana formil.

dikualifikasikan sebagai tindak pidana formil. 12 A. Latar Belakang Masalah Tindak pidana adalah suatu perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana oleh undang-undang 1. Hukum pidana sebagai peraturan-peraturan yang bersifat abstrak merupakan

Lebih terperinci

IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. Penulisan skripsi ini dilakukan dengan menggunakan penelitian lapangan dengan

IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. Penulisan skripsi ini dilakukan dengan menggunakan penelitian lapangan dengan IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Karakteristik Responden Penulisan skripsi ini dilakukan dengan menggunakan penelitian lapangan dengan wawancara terhadap sejumlah responden yang akan memberikan gambaran

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. A. Tinjauan Umum Tentang Tugas, Wewenang Hakim Dalam Peradilan Pidana

TINJAUAN PUSTAKA. A. Tinjauan Umum Tentang Tugas, Wewenang Hakim Dalam Peradilan Pidana II. TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Umum Tentang Tugas, Wewenang Hakim Dalam Peradilan Pidana 1. Hakim dan Kewajibannya Hakim dapat diartikan sebagai orang yang mengadili perkara dalam pengadilan atau mahkamah.

Lebih terperinci

KEJAKSAAN AGUNG REPUBLIK INDONESIA JAKARTA

KEJAKSAAN AGUNG REPUBLIK INDONESIA JAKARTA KEJAKSAAN AGUNG REPUBLIK INDONESIA JAKARTA Nomor : B-69/E/02/1997 Sifat : Biasa Lampiran : - Perihal : Hukum Pembuktian Dalam Perkara Pidana -------------------------------- Jakarta, 19 Pebruari 1997 KEPADA

Lebih terperinci

FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS MEDAN AREA

FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS MEDAN AREA FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS MEDAN AREA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 1981 TENTANG HUKUM ACARA PIDANA Hukum formal atau hukum acara adalah peraturan hukum yang mengatur tentang cara bagaimana

Lebih terperinci

Hukum Acara Pidana Untuk Kasus Kekerasan Seksual

Hukum Acara Pidana Untuk Kasus Kekerasan Seksual Hukum Acara Pidana Untuk Kasus Kekerasan Seksual Hukum Acara Pidana dibuat adalah untuk melaksanakan peradilan bagi pengadilan dalam lingkungan peradilan umum dan Mahkamah Agung dengan mengatur hak serta

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 1981 TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 1981 TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 1981 TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa negara Republik Indonesia adalah negara

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa negara Republik Indonesia adalah

Lebih terperinci

UPAYA HUKUM PUTUSAN PENGADILAN AGAMA

UPAYA HUKUM PUTUSAN PENGADILAN AGAMA UPAYA HUKUM PUTUSAN PENGADILAN AGAMA 1. Upaya Hukum Banding Upaya banding didaerah jawa dan madura semula diatur dalam pasal 188-194 HIR, sedangkan bagi daerah luar jawa dan madura diatur dalam pasal-pasal

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. disuatu negara yang mengadakan dasar-dasar dan aturan-aturan untuk menentukan

I. PENDAHULUAN. disuatu negara yang mengadakan dasar-dasar dan aturan-aturan untuk menentukan I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Hukum acara pidana merupakan bagian dari keseluruhan hukum yang berlaku disuatu negara yang mengadakan dasar-dasar dan aturan-aturan untuk menentukan perbuatan yang tidak

Lebih terperinci

DRAFT 16 SEPT 2009 PERATURAN KOMISI PENGAWAS PERSAINGAN USAHA NOMOR TAHUN 2009 TENTANG TATA CARA PENANGANAN PERKARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

DRAFT 16 SEPT 2009 PERATURAN KOMISI PENGAWAS PERSAINGAN USAHA NOMOR TAHUN 2009 TENTANG TATA CARA PENANGANAN PERKARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA DRAFT 16 SEPT 2009 PERATURAN KOMISI PENGAWAS PERSAINGAN USAHA NOMOR TAHUN 2009 TENTANG TATA CARA PENANGANAN PERKARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA KOMISI PENGAWAS PERSAINGAN USAHA, Menimbang : a. bahwa

Lebih terperinci

peradilan dengan tugas pokok untuk menerima, memeriksa, mengadili serta menyelesaikan setiap perkara yang diajukan kepadanya. Dalam hal ini, untuk

peradilan dengan tugas pokok untuk menerima, memeriksa, mengadili serta menyelesaikan setiap perkara yang diajukan kepadanya. Dalam hal ini, untuk BAB II JENIS- JENIS PUTUSAN YANG DIJATUHKAN PENGADILAN TERHADAP SUATU PERKARA PIDANA Penyelenggaraan kekuasaan kehakiman diserahkan kepada badan- badan peradilan dengan tugas pokok untuk menerima, memeriksa,

Lebih terperinci

TATA CARA PENGAJUAN UPAYA HUKUM BERDASARKAN KUHAP Atoy Yoga Prasetya, Asti Handini, Ita Sulistyawati

TATA CARA PENGAJUAN UPAYA HUKUM BERDASARKAN KUHAP Atoy Yoga Prasetya, Asti Handini, Ita Sulistyawati 1 TATA CARA PENGAJUAN UPAYA HUKUM BERDASARKAN KUHAP Atoy Yoga Prasetya, Asti Handini, Ita Sulistyawati Abstrak Upaya hukum adalah hak terdakwa atau penuntut umum untuk tidak menerima putusan peradilan

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa negara Republik Indonesia adalah

Lebih terperinci

KEDUDUKAN KETERANGAN AHLI SEBAGAI ALAT BUKTI MENURUT KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM ACARA PIDANA 1 Oleh : Hadi Alamri 2

KEDUDUKAN KETERANGAN AHLI SEBAGAI ALAT BUKTI MENURUT KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM ACARA PIDANA 1 Oleh : Hadi Alamri 2 KEDUDUKAN KETERANGAN AHLI SEBAGAI ALAT BUKTI MENURUT KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM ACARA PIDANA 1 Oleh : Hadi Alamri 2 ABSTRAK Penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui apa tujuan pembuktian

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA Kewenangan Pengadilan Tinggi dalam menjatuhkan sebuah putusan akhir ternyata masih ada yang menimbulkan permasalahan. Untuk itu dalam bab tinjauan pustaka ini, penulis hendak menguraikan

Lebih terperinci

SURAT TUNTUTAN (REQUISITOIR) DALAM PROSES PERKARA PIDANA

SURAT TUNTUTAN (REQUISITOIR) DALAM PROSES PERKARA PIDANA SURAT TUNTUTAN (REQUISITOIR) DALAM PROSES PERKARA PIDANA Disusun dan Diajukan Untuk Melengkapi Syarat Guna Memperoleh Gelar Sarjana Hukum Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Surakarta Disusun Oleh

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. berada disekitar kita. Pemerkosaan merupakan suatu perbuatan yang dinilai

BAB I PENDAHULUAN. berada disekitar kita. Pemerkosaan merupakan suatu perbuatan yang dinilai BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Tingkat perkembangan kasus perkosaan yang terjadi di masyarakat pada saat ini dapat dikatakan bahwa kejahatan pemerkosaan telah berkembang dalam kuantitas maupun kualitas

Lebih terperinci

DAFTAR INVENTARISASI MASALAH PEMERINTAH ATAS RANCANGAN UNDANG-UNDANG TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG UNDANG NOMOR 14 TAHUN 1985 TENTANG MAHKAMAH AGUNG

DAFTAR INVENTARISASI MASALAH PEMERINTAH ATAS RANCANGAN UNDANG-UNDANG TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG UNDANG NOMOR 14 TAHUN 1985 TENTANG MAHKAMAH AGUNG DAFTAR INVENTARISASI MASALAH (DIM) PEMERINTAH ATAS RANCANGAN UNDANG-UNDANG TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 14 TAHUN 1985 TENTANG MAHKAMAH AGUNG DAFTAR INVENTARISASI MASALAH PEMERINTAH ATAS RANCANGAN

Lebih terperinci

MANFAAT DAN JANGKA WAKTU PENAHANAN SEMENTARA MENURUT KITAB UNDANG HUKUM ACARA PIDANA ( KUHAP ) Oleh : Risdalina, SH. Dosen Tetap STIH Labuhanbatu

MANFAAT DAN JANGKA WAKTU PENAHANAN SEMENTARA MENURUT KITAB UNDANG HUKUM ACARA PIDANA ( KUHAP ) Oleh : Risdalina, SH. Dosen Tetap STIH Labuhanbatu MANFAAT DAN JANGKA WAKTU PENAHANAN SEMENTARA MENURUT KITAB UNDANG HUKUM ACARA PIDANA ( KUHAP ) Oleh : Risdalina, SH. Dosen Tetap STIH Labuhanbatu ABSTRAK Penahanan sementara merupakan suatu hal yang dipandang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Perbuatan yang oleh hukum pidana dilarang dan diancam dengan pidana

BAB I PENDAHULUAN. Perbuatan yang oleh hukum pidana dilarang dan diancam dengan pidana 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Permasalahan Perbuatan yang oleh hukum pidana dilarang dan diancam dengan pidana (kepada barangsiapa yang melanggar larangan tersebut), untuk singkatnya dinamakan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, 1 of 24 UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG IKATAN KELUARGA MAHASISWA UNIVERSITAS INDONESIA NOMOR 2 TAHUN 2009 TENTANG MAHKAMAH MAHASISWA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG IKATAN KELUARGA MAHASISWA UNIVERSITAS INDONESIA NOMOR 2 TAHUN 2009 TENTANG MAHKAMAH MAHASISWA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG IKATAN KELUARGA MAHASISWA UNIVERSITAS INDONESIA NOMOR 2 TAHUN 2009 TENTANG MAHKAMAH MAHASISWA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA DEWAN PERWAKILAN MAHASISWA UNIVERSITAS INDONESIA Menimbang

Lebih terperinci

MANTAN BOS ADHI KARYA KEMBALI DAPAT POTONGAN HUKUMAN.

MANTAN BOS ADHI KARYA KEMBALI DAPAT POTONGAN HUKUMAN. MANTAN BOS ADHI KARYA KEMBALI DAPAT POTONGAN HUKUMAN www.kompasiana.com Mantan Kepala Divisi Konstruksi VII PT Adhi Karya Wilayah Bali, NTB, NTT, dan Maluku, Imam Wijaya Santosa, kembali mendapat pengurangan

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. tersebut, khususnya mengenai kepentingan anak tentunya hal ini perlu diatur oleh

TINJAUAN PUSTAKA. tersebut, khususnya mengenai kepentingan anak tentunya hal ini perlu diatur oleh 16 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Hukum Perlindungan Anak Sebuah Masyarakat yang di dalamnya memiliki individu yang mempunyai kepentingan yang tidak hanya sama tetapi dapat bertentangan, untuk itu diperlukan

Lebih terperinci

Penerapan Tindak Pidana Ringan (Studi Putusan Pengadilan Negeri Kisaran Nomor 456/Pid.B/2013/PN.Kis)

Penerapan Tindak Pidana Ringan (Studi Putusan Pengadilan Negeri Kisaran Nomor 456/Pid.B/2013/PN.Kis) Penerapan Tindak Pidana Ringan (Studi Putusan Pengadilan Negeri Kisaran Nomor 456/Pid.B/2013/PN.Kis) 1. Dany Try Hutama Hutabarat, S.H.,M.H, 2. Suriani, S.H.,M.H Program Studi Ilmu Hukum, Fakultas Hukum,

Lebih terperinci

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 41/PUU-XIII/2015 Pembatasan Pengertian dan Objek Praperadilan

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 41/PUU-XIII/2015 Pembatasan Pengertian dan Objek Praperadilan RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 41/PUUXIII/2015 Pembatasan Pengertian dan Objek Praperadilan I. PEMOHON Muhamad Zainal Arifin Kuasa Hukum Heru Setiawan, Novi Kristianingsih, dan Rosantika Permatasari

Lebih terperinci

Makalah Daluwarsa Penuntutan (Hukum Pidana) BAB I PENDAHULUAN

Makalah Daluwarsa Penuntutan (Hukum Pidana) BAB I PENDAHULUAN Makalah Daluwarsa Penuntutan (Hukum Pidana) BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sesuai dengan apa yang tertuang dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana bahwa wewenang penghentian penuntutan ditujukan kepada

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 2011 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 2011 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 2011 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang:

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Kerangka Teori 1. Tinjauan tentang Jaksa Penuntut Umum a. Pengertian Kejaksaan Keberadaan institusi Kejaksaan Republik Indonesia saat ini adalah Undang-Undang Nomor 16 Tahun

Lebih terperinci

HUKUM ACARA PERADILAN TATA USAHA NEGARA

HUKUM ACARA PERADILAN TATA USAHA NEGARA 1 HUKUM ACARA PERADILAN TATA USAHA NEGARA I. Pengertian, asas & kompetensi peradilan TUN 1. Pengertian hukum acara TUN Beberapa istilah hukum acara TUN, antara lain: Hukum acara peradilan tata usaha pemerintahan

Lebih terperinci

2 c. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, dan huruf b, perlu menetapkan Peraturan Mahkamah Agung tentang Pedoman Beracar

2 c. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, dan huruf b, perlu menetapkan Peraturan Mahkamah Agung tentang Pedoman Beracar BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.1267, 2015 MA. Penyalahgunaan Wewenang. Penilaian Unsur. Pedoman Beracara. PERATURAN MAHKAMAH AGUNG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2015 TENTANG PEDOMAN BERACARA DALAM

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 2011 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 2011 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 2011 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, www.bpkp.go.id

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA

II. TINJAUAN PUSTAKA II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian Tindak Pidana Korupsi Tindak pidana korupsi diartikan sebagai penyelenggaraan atau penyalahgunaan uang negara untuk kepentingan pribadi atau orang lain atau suatu korporasi.

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Pertanggungjawaban pidana ( criminal liability) atau ( straafbaarheid),

II. TINJAUAN PUSTAKA. Pertanggungjawaban pidana ( criminal liability) atau ( straafbaarheid), II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pertanggungjawaban Pidana Pertanggungjawaban pidana ( criminal liability) atau ( straafbaarheid), sesungguhnya tidak hanya menyangkut soal hukum semata-mata, melainkan juga menyangkut

Lebih terperinci

ALAT BUKTI PETUNJUK DALAM PENYELESAIAN PERKARA PIDANA. (Studi Kasus Di Wilayah Hukum Pengadilan Negeri Surakarta)

ALAT BUKTI PETUNJUK DALAM PENYELESAIAN PERKARA PIDANA. (Studi Kasus Di Wilayah Hukum Pengadilan Negeri Surakarta) ALAT BUKTI PETUNJUK DALAM PENYELESAIAN PERKARA PIDANA (Studi Kasus Di Wilayah Hukum Pengadilan Negeri Surakarta) Disusun dan Diajukan untuk Melengkapi Tugas dan Syarat-syarat Guna Mencapai Derajat Sarjana

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 2004 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 14 TAHUN 1985 TENTANG MAHKAMAH AGUNG

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 2004 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 14 TAHUN 1985 TENTANG MAHKAMAH AGUNG UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 2004 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 14 TAHUN 1985 TENTANG MAHKAMAH AGUNG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang

Lebih terperinci

Undang Undang No. 8 Tahun 1981 Tentang : Kitab Undang Undang Hukum Acara Pidana

Undang Undang No. 8 Tahun 1981 Tentang : Kitab Undang Undang Hukum Acara Pidana Undang Undang No. 8 Tahun 1981 Tentang : Kitab Undang Undang Hukum Acara Pidana Oleh : PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Nomor : 8 TAHUN 1981 (8/1981) Tanggal : 31 DESEMBER 1981 (JAKARTA) Sumber : LN 1981/76;

Lebih terperinci

PERANAN SAKSI YANG MENGUNTUNGKAN TERDAKWA DALAM PROSES PEMERIKSAAN PERKARA PIDANA (STUDI PN PALU NOMOR 10/PID.SUS-TIPIKOR/2013/PN.

PERANAN SAKSI YANG MENGUNTUNGKAN TERDAKWA DALAM PROSES PEMERIKSAAN PERKARA PIDANA (STUDI PN PALU NOMOR 10/PID.SUS-TIPIKOR/2013/PN. PERANAN SAKSI YANG MENGUNTUNGKAN TERDAKWA DALAM PROSES PEMERIKSAAN PERKARA PIDANA (STUDI PN PALU NOMOR 10/PID.SUS-TIPIKOR/2013/PN.PL) JOHAR MOIDADI / D 101 10 532 ABSTRAK Penelitian ini berjudul Peranan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 10 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Kerangka Teori 1. Tinjauan tentang Pembuktian a. Pengertian Pembuktian Pembuktian adalah usaha dari yang berwenang untuk mengemukakan kepada hakim sebanyak mungkin hal-hal

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. jumlah kasus yang terjadi dan jumlah kerugian keuangan negara maupun dari segi

I. PENDAHULUAN. jumlah kasus yang terjadi dan jumlah kerugian keuangan negara maupun dari segi 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Tindak pidana korupsi yang telah menimbulkan kerusakan dalam berbagai sendi kehidupan masyarakat, bangsa, dan negara memerlukan penanganan yang luar biasa. Perkembangannya

Lebih terperinci

ANALISIS PERTIMBANGAN HAKIM MAHKAMAH AGUNG DALAM MENGADILI PERMOHONAN KASASI PENGGELAPAN (Studi Putusan Mahkamah Agung Nomor: 373 K/Pid/2015)

ANALISIS PERTIMBANGAN HAKIM MAHKAMAH AGUNG DALAM MENGADILI PERMOHONAN KASASI PENGGELAPAN (Studi Putusan Mahkamah Agung Nomor: 373 K/Pid/2015) ANALISIS PERTIMBANGAN HAKIM MAHKAMAH AGUNG DALAM MENGADILI PERMOHONAN KASASI PENGGELAPAN (Studi Putusan Mahkamah Agung Nomor: 373 K/Pid/2015) Betty Kusumaningrum, Edy Herdyanto Abstrak Penelitian ini bertujuan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia merupakan

Lebih terperinci

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA Teks tidak dalam format asli. Kembali: tekan backspace LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.98, 2003 (Penjelasan dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4316) UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA

Lebih terperinci

RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN Nomor 41/PUU-XIII/2015 Pembatasan Pengertian dan Objek Praperadilan

RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN Nomor 41/PUU-XIII/2015 Pembatasan Pengertian dan Objek Praperadilan RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN Nomor 41/PUUXIII/2015 Pembatasan Pengertian dan Objek Praperadilan I. PEMOHON Muhamad Zainal Arifin Kuasa Hukum Heru Setiawan, Novi Kristianingsih, dan Rosantika Permatasari

Lebih terperinci

RINGKASAN PERMOHONAN Perkara Nomor 21/PUU-XII/2014 Penyidikan, Proses Penahanan, dan Pemeriksaan Perkara

RINGKASAN PERMOHONAN Perkara Nomor 21/PUU-XII/2014 Penyidikan, Proses Penahanan, dan Pemeriksaan Perkara RINGKASAN PERMOHONAN Perkara Nomor 21/PUU-XII/2014 Penyidikan, Proses Penahanan, dan Pemeriksaan Perkara I. PEMOHON Bachtiar Abdul Fatah. KUASA HUKUM Dr. Maqdir Ismail, S.H., LL.M., dkk berdasarkan surat

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR:...TAHUN... TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 14 TAHUN 1985 TENTANG MAHKAMAH AGUNG

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR:...TAHUN... TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 14 TAHUN 1985 TENTANG MAHKAMAH AGUNG RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR:...TAHUN... TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 14 TAHUN 1985 TENTANG MAHKAMAH AGUNG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Kerangka Teori 1. Tinjauan tentang Pembuktian dan Alat Bukti Pembuktian merupakan masalah yang sangat penting dan utama, sebagaimana menurut Pasal 6 Ayat (2) KUHAP, bahwa Tidak

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG NOMOR 31 TAHUN 1999 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI [LN 1999/140, TLN 3874]

UNDANG-UNDANG NOMOR 31 TAHUN 1999 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI [LN 1999/140, TLN 3874] UNDANG-UNDANG NOMOR 31 TAHUN 1999 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI [LN 1999/140, TLN 3874] BAB II TINDAK PIDANA KORUPSI Pasal 2 (1) Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan

Lebih terperinci

STANDARD OPERATING PROCEDURES (S.O.P) PENANGANAN PERKARA PIDANA ACARA BIASA PADA PENGADILAN NEGERI TENGGARONG

STANDARD OPERATING PROCEDURES (S.O.P) PENANGANAN PERKARA PIDANA ACARA BIASA PADA PENGADILAN NEGERI TENGGARONG PENANGANAN PERKARA PIDANA ACARA BIASA 1. Penerimaan berkas perkara Kepaniteraan Pidana (Petugas Meja I) Pedoman Pelaksanaan Tugas Buku II 1 hari 1. Menerima perkara yang dilimpahkan oleh Penuntut Umum

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR...TAHUN... TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR...TAHUN... TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR...TAHUN... TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Lebih terperinci

BAB I LATAR BELAKANG. yang diajukan oleh warga masyarakat. Penyelesaian perkara melalui

BAB I LATAR BELAKANG. yang diajukan oleh warga masyarakat. Penyelesaian perkara melalui BAB I LATAR BELAKANG Lembaga peradilan merupakan institusi negara yang mempunyai tugas pokok untuk memeriksa, mengadili, memutuskan dan menyelesaikan perkaraperkara yang diajukan oleh warga masyarakat.

Lebih terperinci

BAB IV PENUTUP. A. Simpulan

BAB IV PENUTUP. A. Simpulan BAB IV PENUTUP A. Simpulan Berdasarkan hasil peneletian dan pembahasan yang telah diuraikan oleh penulis terhadap Putusan Mahakamah Agung Nomor: 1818 K/Pid.Sus/2014, maka diperoleh simpulan sebagai berikut:

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 2011 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 2011 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 2011 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang

Lebih terperinci

NOMOR 5 TAHUN 2004 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 14 TAHUN 1985 TENTANG MAHKAMAH AGUNG

NOMOR 5 TAHUN 2004 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 14 TAHUN 1985 TENTANG MAHKAMAH AGUNG UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 2004 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 14 TAHUN 1985 TENTANG MAHKAMAH AGUNG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang:

Lebih terperinci

Makalah Peradilan Tata Usaha Negara BAB I PENDAHULUAN

Makalah Peradilan Tata Usaha Negara BAB I PENDAHULUAN Makalah Peradilan Tata Usaha Negara BAB I PENDAHULUAN Peradilan Tata Usaha Negara merupakan salah satu peradilan di Indonesia yang berwenang untuk menangani sengketa Tata Usaha Negara. Berdasarkan Undang-Undang

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. sebutan Hindia Belanda (Tri Andrisman, 2009: 18). Sejarah masa lalu Indonesia

I. PENDAHULUAN. sebutan Hindia Belanda (Tri Andrisman, 2009: 18). Sejarah masa lalu Indonesia I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Hukum di Indonesia merupakan campuran dari sistem hukum Eropa, hukum Agama dan hukum Adat. Sebagian besar sistem yang dianut, baik perdata maupun pidana, berbasis pada

Lebih terperinci

file://\\ \web\prokum\uu\2004\uu htm

file://\\ \web\prokum\uu\2004\uu htm Page 1 of 12 UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 2004 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 14 TAHUN 1985 TENTANG MAHKAMAH AGUNG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Lebih terperinci

MATRIK PERBANDINGAN UNDANG-UNDANG RI NO. 14 TAHUN 1985 TENTANG MAHKAMAH AGUNG SEBAGAIMANA YANG TELAH DIUBAH DENGAN UNDANG-UNDANG NO

MATRIK PERBANDINGAN UNDANG-UNDANG RI NO. 14 TAHUN 1985 TENTANG MAHKAMAH AGUNG SEBAGAIMANA YANG TELAH DIUBAH DENGAN UNDANG-UNDANG NO MATRIK PERBANDINGAN UNDANG-UNDANG RI NO. 14 TAHUN 1985 TENTANG MAHKAMAH AGUNG SEBAGAIMANA YANG TELAH DIUBAH DENGAN UNDANG-UNDANG NO. 5 TAHUN 2004 DENGAN PERUBAHAN KEDUA ATAS UNDANG-UNDANG NO. 14 TAHUN

Lebih terperinci

V. PENUTUP. 1. Alasan yang menjadi dasar adanya kebijakan formulasi Hakim Komisaris. dalam RUU KUHAP Tahun 2009 atau hal utama digantinya lembaga pra

V. PENUTUP. 1. Alasan yang menjadi dasar adanya kebijakan formulasi Hakim Komisaris. dalam RUU KUHAP Tahun 2009 atau hal utama digantinya lembaga pra 90 V. PENUTUP A. Kesimpulan Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan yang telah diuraikan maka dapat dibuat kesimpulan sebagai berikut : 1. Alasan yang menjadi dasar adanya kebijakan formulasi Hakim

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NO. 31 TAHUN 1999 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI BAB I

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NO. 31 TAHUN 1999 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI BAB I UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NO. 31 TAHUN 1999 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI BAB I Pasal 1 Dalam undang-undang ini yang dimaksud dengan: 1. Korporasi adalah kumpulan orang dan atau kekayaan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 2004 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 14 TAHUN 1985 TENTANG MAHKAMAH AGUNG

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 2004 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 14 TAHUN 1985 TENTANG MAHKAMAH AGUNG UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 2004 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 14 TAHUN 1985 TENTANG MAHKAMAH AGUNG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang:

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Negara Indonesia adalah Negara yang berdasarkan atas hukum (rechtsstaat), tidak

I. PENDAHULUAN. Negara Indonesia adalah Negara yang berdasarkan atas hukum (rechtsstaat), tidak I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Negara Indonesia adalah Negara yang berdasarkan atas hukum (rechtsstaat), tidak berdasarkan atas kekuasaan belaka (machtsstaat). Pernyataan tersebut secara tegas tercantum

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR...TAHUN... TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR...TAHUN... TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR...TAHUN... TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Lebih terperinci

TINJAUAN TENTANG PENGAJUAN KASASI TERHADAP PUTUSAN PRAPERADILAN TENTANG PENGHENTIAN PENYIDIKAN YANG TIDAK SAH (STUDI KASUS DI MAHKAMAH AGUNG)

TINJAUAN TENTANG PENGAJUAN KASASI TERHADAP PUTUSAN PRAPERADILAN TENTANG PENGHENTIAN PENYIDIKAN YANG TIDAK SAH (STUDI KASUS DI MAHKAMAH AGUNG) TINJAUAN TENTANG PENGAJUAN KASASI TERHADAP PUTUSAN PRAPERADILAN TENTANG PENGHENTIAN PENYIDIKAN YANG TIDAK SAH (STUDI KASUS DI MAHKAMAH AGUNG) Penulisan Hukum (Skripsi) Disusun dan diajukan untuk Melengkapi

Lebih terperinci

BAB III. Upaya Hukum dan Pelaksanaan Putusan Pengadilan Tata Usaha Negara. oleh Pejabat Tata Usaha Negara

BAB III. Upaya Hukum dan Pelaksanaan Putusan Pengadilan Tata Usaha Negara. oleh Pejabat Tata Usaha Negara BAB III Upaya Hukum dan Pelaksanaan Putusan Pengadilan Tata Usaha Negara oleh Pejabat Tata Usaha Negara A. Upaya Hukum Ada kalanya dengan keluarnya suatu putusan akhir pengadilan sengketa antara Penggugat

Lebih terperinci

Undang Undang No. 14 Tahun 1985 Tentang : Mahkamah Agung

Undang Undang No. 14 Tahun 1985 Tentang : Mahkamah Agung Undang Undang No. 14 Tahun 1985 Tentang : Mahkamah Agung Oleh : PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Nomor : 14 TAHUN 1985 (14/1985) Tanggal : 30 DESEMBER 1985 (JAKARTA) Sumber : LN 1985/73; TLN NO. 3316 DENGAN

Lebih terperinci

BAB II HUBUNGAN KUHP DENGAN UU NO. 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA

BAB II HUBUNGAN KUHP DENGAN UU NO. 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA 40 BAB II HUBUNGAN KUHP DENGAN UU NO. 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA A. Ketentuan Umum KUHP dalam UU No. 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga Dalam

Lebih terperinci

PERATURAN KOMISI PENGAWAS PERSAINGAN USAHA NOMOR 1 TAHUN 2006 TENTANG TATA CARA PENANGANAN PERKARA DI KPPU KOMISI PENGAWAS PERSAINGAN USAHA

PERATURAN KOMISI PENGAWAS PERSAINGAN USAHA NOMOR 1 TAHUN 2006 TENTANG TATA CARA PENANGANAN PERKARA DI KPPU KOMISI PENGAWAS PERSAINGAN USAHA PERATURAN KOMISI PENGAWAS PERSAINGAN USAHA NOMOR 1 TAHUN 2006 TENTANG TATA CARA PENANGANAN PERKARA DI KPPU KOMISI PENGAWAS PERSAINGAN USAHA Menimbang : a. bahwa dalam rangka meningkatkan transparansi dan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Didalam proses perkara pidana terdakwa atau terpidana

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Didalam proses perkara pidana terdakwa atau terpidana BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Didalam proses perkara pidana terdakwa atau terpidana dimungkinkan untuk melakukan upaya hukum. Ada upaya hukum biasa dan upaya hukum luar biasa. Upaya hukum

Lebih terperinci