MODEL PERUBAHAN GARIS PANTAI DI SEKITAR DELTA SUNGAI JENEBERANG, MAKASSAR, SULAWESI SELATAN S A K K A

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "MODEL PERUBAHAN GARIS PANTAI DI SEKITAR DELTA SUNGAI JENEBERANG, MAKASSAR, SULAWESI SELATAN S A K K A"

Transkripsi

1 MODEL PERUBAHAN GARIS PANTAI DI SEKITAR DELTA SUNGAI JENEBERANG, MAKASSAR, SULAWESI SELATAN S A K K A SEKOLAH PASCA SARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2012

2 PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi Model Perubahan Garis Pantai di Sekitar Delta Sungai Jeneberang, Makassar, Sulawesi Selatan adalah karya saya sendiri dengan arahan pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada Perguruan Tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun yang tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir disertasi ini. Bogor, Januari 2012 S a k k a NIM: C

3 ABSTRACT SAKKA, Shoreline Changes Model at Jeneberang Around River Delta, Makassar, South Sulawesi. Under direction of MULIA PURBA, I WAYAN NURJAYA. HIDAYAT PAWITAN AND VINCENTIUS P. SIREGAR. The study of shoreline changes during around the delta of the River Jeneberang, Makassar was conducted by evaluating sediment transport into and out of a cell. The wave heights and periods at deep water offshore of the coast ware predicted using wind data recorded at Potere Stasiun, Makassar in Wave transformation as these deep water waves propagated toward the coast ware analized by considereing the effect of shoaling and refraction to determine changes of wave patterns (wave directions and heights) and the breaking of the waves near the coast. Longshore sediment transport was computed by considering the influence of heights and angles of the breaking waves. Generally the height of breaking wave that coming from southwest and west ware higher than those from northwest. Results of calculation of sediment transport show that the dominant of sediment transport was to the north during the arrival of the southwest and west waves, and to the south when the wave coming from the northwest. Comparison between shore profiles resulting from model and coastline satellite imagery showed similarity. The difference between the two tended to be occurred at the head land part of the shoreline. This was due to complexity of coastal dynamic at the area. The results of the 19 years shoreline simulation showed that there was a tendency of abrasion at the upsteam head land part as the wave energy tend to converge and accretion at the bay part as the wave energy tend to diverge. Abrasion mainly occurred at Tanjung Bunga (head land) where the coast retreat m. This was caused by the closure of the Jeneberang River and Bilibili Dam development. Therefore, the sediment supply to the coast of Tanjung Bunga was decreased while the wave heights were very large. Accretion occur in the bay area (Tanjung Merdeka) where the coast advance to the sea for about 59.8 m. The shoreline tend to be stable when the profile is straight such as Barombong Coast. Result of simulation model showed that about 24.5 ha faced abration (with abration rate about m 3 /year) while about 6.2 ha faced accretion (with sedimentation rate about m 3 /year) during Keywords: abrasion, accretion, sediment transport, shoreline changes.

4 RINGKASAN SAKKA. Model Perubahan Garis Pantai di Sekitar Delta Sungai Jeneberang, Makassar, Sulawesi Selatan. Dibimbing oleh MULIA PURBA sebagai ketua komisi pembimbing, I WAYAN NURJAYA, HIDAYAT PAWITAN dan VINCENTIUS P. SIREGAR sebagai anggota komisi pembimbing. Wilayah pantai merupakan zona persinggungan dan interaksi antara atmosfer, daratan dan lautan sehingga sangat dinamik. Zona pantai senantiasa mengalami dampak dari pengaruh eksternal dan internal baik yang bersifat alami maupun campur tangan manusia untuk menuju ke suatu kondisi keseimbangan alami. Faktor alami yang mempengaruhi wilayah pantai diantaranya adalah gelombang, arus, pasang surut, aksi angin, iklim, dan aktivitas tektonik maupun vulkanik. Sedangkan kegiatan campur tangan manusia dalam hal ini adalah pemanfaatan suatu kawasan pantai seperti kegiatan industri, perikanan, pelabuhan, pertambangan, pemukiman dan penutupan sungai. Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji karakteristik gelombang laut lepas, transformasi gelombang, besar angkutan sedimen dan memprediksi laju perubahan garis pantai delta Sungai Jeneberang dengan menggunakan model dan dibandingkan dengan hasil citra satelit. Kebaruan penelitian ini adalah model yang dibuat terdiri dari model perhitungan gelombang laut lepas yang menggunakan data angin harian selama 19 tahun, model transformasi gelombang dari laut lepas ke garis pantai, model angkutan sedimen sejajar pantai dan model perubahan garis pantai, dimana keempat model tersebut menyatu dalam satu program utama dan saling mempengaruhi. Selain itu pada model perhitungan angkutan sedimen dilakukan penyesuaian pada grid dimana garis pantai hasil model terlalu jauh menyimpang dari garis pantai hasil citra. Profil lereng pantai dari selatan ke utara (dari pantai Barombong sampai Tanjung bunga) cenderung semakin membesar. Lereng pantai di perairan Barombong berkisar antara %, di perairan Tanjung merdeka berkisar antara % dan di perairan Tanjung bunga berkisar antara %, Hasil perhitungan tinggi gelombang menunjukkan bahwa tinggi gelombang dominan berada pada kisaran m (47.98 %) dan m (30.53 %). Sedangkan arah gelombang dominan dari arah barat (32.25 %), barat laut (21.46 %) dan barat daya (20.46 %). Tinggi gelombang rata-rata bulanan yang terjadi umumnya lebih besar pada bulan Desember Februari (musim barat) dibandingkan pada bulan Juni Agustus (musim timur), kecuali pada tahun 2007 tinggi gelombang rata-rata bulanan terbesar pada bulan Juni. Tinggi gelombang yang terjadi di lokasi penelitian sangat dipengaruhi oleh kondisi angin musiman di Selat Makassar. Gelombang yang merambat dari laut lepas menuju pantai akan mengalami perubahan tinggi dan arah gelombang. Pada saat gelombang mendekati pantai maka terjadi perubahan garis ortogonal gelombang yaitu menunjukkan arah perambatan gelombang yang membelok dan cenderung untuk tegak lurus dengan garis pantai. Tinggi gelombang mula-mula mengalami penurunan di perairan transisi dan di perairan yang sangat dangkal tinggi gelombang membesar secara

5 perlahan hingga mencapai tinggi maksimum saat gelombang pecah. Penurunan tinggi gelombang mulai terjadi pada kedalaman 10 m kemudian pada kedalaman 5 m tinggi gelombang mulai membesar sampai pecah, dan tinggi gelombang berkurang secara drastis hingga bernilai nol pada garis pantai. Perubahan tinggi dan arah gelombang yang terjadi selama menjalar dari laut lepas ke pantai di sebabkan oleh pengaruh shoaling dan refraksi karena adanya perubahan kedalaman laut. Pada saat gelombang datang dari arah barat daya besar angkutan sedimen berkisar antara 0.9 sampai m 3 /hari dengan rata-rata 20.6 m 3 /hari ke arah utara dan 0.8 sampai 11.2 m 3 /hari dengan rata-rata 2.7 m 3 /hari ke arah selatan. Pada saat gelombang datang dari arah barat besar angkutan sedimen berkisar antara 0.1 sampai 265 m 3 /hari dengan rata-rata 19.9 m 3 /hari ke arah utara dan 7.8 sampai 49.7 m 3 /hari dengan rata-rata 11.9 m 3 /hari ke arah selatan. Pada saat gelombang datang dari arah barat laut angkutan sedimen di sepanjang pantai berkisar antara 0.5 sampai 10.1 m 3 /hari dengan rata-rata 2.6 m 3 /hari ke arah utara dan 0.1 sampai m 3 /hari dengan rata-rata 19.7 m 3 /hari ke arah selatan. Hal ini menunjukkan bahwa netto angkutan sedimen di lokasi penelitian dominan ke arah utara. Hasil prediksi model pada tahun memperlihatkan adanya perbedaan perkembangan daratan yang tidak simetris di sekitar muara sungai pada pantai Barombong bagian utara dan pantai Tanjung Merdeka bagian selatan. Hal ini diduga karena perkembangan daratan di sekitar muara sungai sangat dipengaruhi oleh arah angkutan sedimen yang dibangangkitkan oleh gelombang. Pantai Tanjung Bunga mempunyai bentuk garis pantai yang melekuk ke darat sehingga secara teori seharusnya mengalami akresi, tetapi orientasi pantai Tanjung Bunga cenderung menghadap barat laut sehingga pada saat gelombang datang dari arah barat daya dan barat sudut gelombang pecah di pantai Tanjung Bunga lebih besar dibandingkan dengan pantai Barombong dan Tanjung Merdeka. Hal ini menyebabkan angkutan sedimen di pantai Tanjung Bunga lebih besar dibandingkan dengan pantai Barombong dan Tanjung Merdeka sehingga pantai Tanjung Bunga mengalami abrasi lebih besar dibandingkan dengan pantai Barombong dan Tanjung Merdeka. Selain itu pada tahun 1993 muara Sungai Jeneberang bagian utara ditutup sehingga sedimen yang berasal dari Sungai Jeneberang semuanya mengalir ke muara bagian selatan. Hal ini menyebabkan pantai Tanjung Bunga tidak mendapat lagi suplai sedimen dari muara Sungai Jeneberang bagian utara, sedangkan hempasan gelombang yang terjadi setiap saat cukup besar sehingga pantai Tanjung Bunga telah mengalami abrasi sekitar m pada tahun Laju abrasi di pantai Tanjung Bunga selama tahun 1990 sampai 2008 sebesar 9.5 m/tahun. Hasil prediksi model menunjukan bahwa luas lahan yang mengalami abrasi di sepanjang pantai pada tahun sekitar 24.5 ha, sedangkan yang mengalami akresi sekitar 6.2 ha. Berdasarkan luas lahan yang mengalami abrasi, maka diperkirakan jumlah sedimen yang terangkut selama tahun sekitar m 3 atau m 3 /tahun, sedangkan yang tersedimentasi sekitar m 3 atau m 3 /tahun.

6 Hak Cipta milik IPB, tahun 2012 Hak Cipta dilindungi Undang-undang 1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumber. a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB. 2. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apapun tanpa izin IPB.

7 MODEL PERUBAHAN GARIS PANTAI DI SEKITAR DELTA SUNGAI JENEBERANG, MAKASSAR, SULAWESI SELATAN S A K K A Disertasi Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor pada Program Studi Ilmu Kelautan SEKOLAH PASCA SARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2012

8 Penguji pada Ujian Tertutup: Dr. Ir. John I. Pariwono, M.Sc. Staf Pengajar Departemen Ilmu dan Teknologi Kelautan, FPIK, IPB Dr. Ir. Bisman Nababan, M.Sc. Staf Pengajar Departemen Ilmu dan Teknologi Kelautan, FPIK, IPB Penguji pada Ujian Terbuka: Prof. Dr. Dadang Ahmad Suriamiharja, M.Sc. Guru Besar Jurusan Fisika, FMIPA, UNHAS Prof. Dr. Ir. Indra Jaya, M.Sc. Guru Besar Departemen Ilmu dan Teknologi Kelautan, FPIK, IPB

9 Judul : Model Perubahan Garis Pantai di Sekitar Delta Sungai Jeneberang, Makassar, Sulawesi Selatan Nama : Sakka NIM : C Disetujui Komisi Pembimbing Prof. Dr. Ir. Mulia Purba, M.Sc Ketua Dr. Ir. I Wayan Nurjaya, M.Sc Anggota Prof. Dr. Ir. Hidayat Pawitan, M.Sc. Anggota Dr. Ir. Vincentius P. Siregar, DEA Anggota Diketahui Ketua Program Studi Ilmu Kelautan Dekan Sekolah Pascasarjana Dr. Ir. Neviaty Putri Zamani, M.Sc Dr. Ir. Dahrul Syah, M.Sc. Agr Tanggal Ujian : Tanggal Lulus :

10 PRAKATA Puji syukur Penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Kuasa atas kebesaran nikmat dan karunia-nya sehingga karya ilmiah ini dapat diselesaikan. Judul penelitian ini adalah Model Perubahan Garis Pantai di Sekitar Delta Sungai Jeneberang, Makassar, Sulawesi Selatan. Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor pada Program Studi Ilmu Kelautan, Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Penulis mendapatkan bantuan dan kemudahan dari berbagai pihak, karenanya penulis mengucapkan terima kasih kepada : 1. Prof. Dr. Ir. Mulia Purba, M.Sc selaku ketua komisi pembimbing, Dr. Ir. I Wayan Nurjaya, M.Sc, Prof. Dr. Ir. Hidayat Pawitan, M.Sc. dan Dr. Ir. Vincentius P. Siregar, DEA masing-masing selaku anggota komisi pembimbing atas segala masukan dan saran-saran yang diberikan. 2. Dr. Ir. Neviaty Putri Zamani, M.Sc selaku ketua program studi Ilmu Kelautan, Program Pascasarjana IPB. 3. Dr. Ir. John I. Pariwono, M.Sc. dan Dr. Ir. Bisman Nababan, M.Sc. atas kesediaannya menjadi penguji luar komisi pada ujian sidang tertutup. 4. Prof. Dr. Dadang Ahmad Suriamiharja, M.Sc. dan Prof. Dr. Ir. Indra Jaya, M.Sc. atas kesediaannya menjadi penguji luar komisi pada ujian sidang terbuka. 5. Rektor dan Dekan Fakultas MIPA Universitas Hasanudin yang telah memberikan kesempatan untuk melanjutkan Pendidikan Program Doktor (S3) pada Program Studi Ilmu Kelautan IPB. 6. Pemerintah RI, melalui Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Biaya Pendidikan Pascasarjana (BPPS) atas bantuan beasiswa yang diberikan. 7. PEMDA Provinsi Sulawesi Selatan dan Mitra Bahari-Coremap II yang telah memberikan bantuan biaya penulisan disertasi. 8. Dr. M. A. Hamzah, M.Sc. yang telah membantu penulis selama melakukan penelitian di Makassar. 9. Berbagai pihak yang telah banyak membantu terhadap keberhasilan penulis dalam menyelesaikan program doktor di Program Studi Ilmu Kelautan Sekolah Pascasarjana IPB, Bogor. Semoga karya ilmiah ini bermanfaat. Bogor, Januari 2012 S a k k a

11 RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Salongge Kabupaten Enrekang, Sulawesi Selatan pada tanggal 25 Oktober Penulis masuk sekolah dasar (SD) tahun 1971 pada SD Negeri Bara-baraya, Makassar dan tamat tahun Kemudian melanjutkan studi tahun 1977 pada Sekolah Menengah Pertama (SMP) Negeri IV Makassar dan tamat tahun Setelah menamatkan SMP, penulis melanjutkan studi pada Sekolah Menengah Umum (SMU) LPPM UMI Makassar dan tamat tahun Pada tahun 1984 melanjutkan studi pada Universitas Hasanuddin pada Fakultas MIPA Jurusan Fisika dan memperoleh gelar sarjana Fisika pada tahun Sejak tahun 1991 sampai sekarang, penulis bekerja sebagai staf pengajar pada Program Studi Geofisika Fakultas MIPA Universitas Hasanudi. Pada tahun 1993 penulis melanjutkan studi Program Magister (S2) di Program Studi Geografi Fisik Fakultas Geografi UGM dan menyelesaikan studi pada tahun Kesempatan untuk melanjutkan studi ke Program Doktor diperoleh pada tahun 2004 pada Program Studi Ilmu Kelautan Institut Pertanian Bogor.

12 DAFTAR ISI DAFTAR TABEL... DAFTAR GAMBAR... DAFTAR LAMPIRAN... Halaman xix xxi xxiii 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Rumusan Masalah Tujuan dan Kegunaan Penelitian Hipotesis Kerangka Pemikiran Kebaruan TINJAUAN PUSTAKA Gelombang Kecepatan Arus Menyusur Pantai Angkutan Sedimen di Pantai Perubahan Garis Pantai METODOLOGI Waktu dan Lokasi Penelitian Alat dan Bahan Pengumpulan Data Data kecepatan dan arah angin Pengukuran kedalaman dasar laut Pengukuran pasang surut Pengambilan sampel sedimen Citra landsat Analisis Data Analisis data angin Analisis data sedimen Analisis data pasang surut Analisis data citra Desain Model Struktur model perubahan garis pantai Perhitungan tinggi dan periode gelombang Transformasi gelombang Perhitungan angkutan sedimen Perubahan garis pantai HASIL DAN PEMBAHASAN Kecepatan dan Arah Angin Bentuk Profil Pantai Gelombang Karakteristik gelombang laut lepas Transformasi gelombang Pasang surut... 64

13 xviii 4.5 Sedimen Pantai Karakteristik sedimen pantai Angkutan sedimen sejajar pantai Perubahan Garis Pantai SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Saran DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN... 93

14 DAFTAR TABEL No. halaman 1. Kriteria gelombang pecah Klasifikasi ukuran partikel sedimen Distribusi nilai parameter statistik sedimen Persentase kecepatan dan arah angin harian selama tahun Data Kemiringan pantai pada jarak 0 sampai 1 km ke lepas pantai Presentase tinggi dan arah gelombang laut pada kedalaman 20 m selama tahun Hasil perhitungan konstanta harmonik pasang surut Kota Makassar Hasil perhitungan tunggang air pasang surut pada referensi MSL Hasil perhitungan persentase diameter butiran sedimen Massa jenis dan statistik butiran sedimen di sepanjang patai lokasi penelitian Jarak maksimum perubahan garis pantai hasil citra tahun Selisih perubahan garis pantai antara hasil citra pada tahun yang sama dengan hasil model relatif terhadap garis pantai awal tahun Jarak maksimum perubahan garis pantai hasil model tahun Luas lahan yang mengalami abrasi dan akreasi serta jumlah sedimen yang terangkut dan terendapkan dari hasil model dan hasil citra 82 83

15 DAFTAR GAMBAR No. halaman 1. Diagram alir rumusan masalah dan pencapaian tujuan penelitian Peta lokasi penelitian Peta lokasi pengukuran batimetri, pasang surut dan sedimen Penentuan kelerengan pantai.. 5. Penentuan posisi muka air pada saat perekaman citra Diagram alir program utama perubahan garis pantai Hubungan antara RL dengan kecepatan angin di darat (UL) Diagram alir koreksi kecepatan angin dan perhitungan tinggi serta perioda gelombang laut lepas Defenisi sudut gelombang pecah terhadap garis pantai Bentuk grid yang digunakan dalam perhitungan transformasi Gelombang Diagram alir transpormasi gelombang Pembagian garis pantai menjadi sederetan sel Angkutan sedimen yang masuk dan keluar sel Perubahan garis pantai akibat angkutan sedimen Diagram alir perhitungan angkutan sedimen dan perubahan garis pantai Mawar angin (wind rose) pada tahun Diagram batang distribusi kecepatan angin tahun Mawar angin (wind rose) (a) musim baratan, (b) musim timuran Hasil pengukuran kedalaman dasar laut Hasil pengukuran kelerengan pantai (a) Tanjung Bunga (b) Tanjung Merdeka, (c) Barombong Tinggi gelombang harian selama tahun Periode gelombang harian selama tahun Tinggi dan perioda gelombang maksimum bulanan (a) tahun , (b) tahun Proses refraksi gelombang yang menuju pantai (a) arah gelomabng dari barat laut, (b) dari barat dan (c) dari barat daya, (d) refraksi gelombangpada pantai yang melengkung ke darat dan ke laut... 60

16 xxii 25. Perubahan tinggi gelombang dari laut lepas sampai pada saat gelombang pecah, (a) i = 250, (c) i = 630 dan (c) i = Tinggi gelombang pecah sepanjang pantai dengan tinggi gelombang laut lepas (H 0 ) yang berbeda Jarak gelombang pecah dari garis pantai dengan tinggi gelombang laut lepas (H 0 ) yang berbeda Grafik data pasang surut di lokasi penelitian Persentase jenis sedimen di sepanjang patai Barombong Persentase jenis sedimen di sepanjang patai Tanjung Merdeka Persentase jenis sedimen di sepanjang patai Tanjung Bunga Besar angkutan sedimen di sepanjang pantai dengan arah datang gelombang dari barat daya, barat dan barat laut Besar angkutan sedimen pada setiap lokasi daerah penelitian Perubahan garis pantai hasil citra tahun (atas) dan diperbesar pada lokasi A, B, C,D, E, F dan G (bawah) Jarak perubahan garis pantai hasil citra (a) tahun 1999, (b) 2003 dan (c) Perubahan garis pantai hasil citra dan hasil model tahun 1999 (atas) dan diperbesar pada lokasi A, B, C,D, E, F dan G (bawah) Perubahan garis pantai hasil citra dan hasil model tahun 2003 (atas) dan diperbesar padalokasi A, B, C, D, E, F dan G(bawah) Perubahan garis pantai hasil citra dan hasil model tahun 2008 (atas) dan diperbesar pada lokasi A, B, C,D, E, F dan G (bawah) Perubahan garis pantai hasil model tahun , atas dan dan diperbesar pada lokasi A, B, C,D, E, F dan G (bawah) Lokasi pantai yang mengalami abrasi dan akresi... Jarak perubahan garis pantai hasil model (a) tahun 1999, (b) 2003 dan (c)

17 DAFTAR LAMPIRAN No. halaman 1. Data kecepatan angin harian tahun Data arah angin harian tahun Grafik distribusi sedimen Data hasil pengukuran pasang surut Data pengukuran posisi untuk koreksi citra Program Perubahan garis pantai Mawar angin (wind rose) setiap tahun ( ) Wind rose data angin reanalisis yang diunduh dari Hasil perhitungan tinggi gelombang laut lepas Hasil perhitungan perioda gelombang laut lepas

18 I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Wilayah pantai merupakan suatu zona yang sangat dinamik karena merupakan zona persinggungan dan interaksi antara udara, daratan dan lautan. Zona pantai senantiasa memiliki proses penyesuaian yang terus menerus menuju ke suatu keseimbangan alami terhadap dampak dari pengaruh eksternal dan internal baik yang bersifat alami maupun campur tangan manusia. Faktor alami diantaranya adalah gelombang, arus, pasang surut, aksi angin, iklim, dan aktivitas tektonik maupun vulkanik. Sedangkan kegiatan campur tangan manusia adalah pemanfaatan suatu kawasan pantai seperti kegiatan parawisata, industri, perikanan, pelabuhan, pertambangan, pemukiman dan penutupan sungai (Suriamihardja 2005). Perubahan yang terjadi di sepanjang pantai berlangsung dari waktu ke waktu. Pola perubahan dalam waktu yang lama berlangsung pada kurun waktu ratusan atau ribuan tahun, pola perubahan sedang berlangsung pada kurun waktu puluhan tahun, sedangkan pola perubahan dalam waktu yang singkat merupakan perubahan yang terjadi dalam kurun waktu harian atau bulanan (Horikawa 1988 dan Thomas et al. 2002). Suatu pantai mengalami abrasi, akresi atau tetap stabil tergantung pada sedimen yang masuk dan yang meninggalkan pantai. Abrasi pantai terjadi apabila di suatu pantai yang ditinjau mengalami pengurangan sedimen yaitu sedimen yang terangkut lebih besar dari yang terdeposit (Triatmodjo 1999). Pantai di sekitar delta Sungai Jeneberang berhadapan langsung dengan Selat Makassar sehingga mudah diterjang oleh gelombang yang berasal dari Selat Makassar. Akibat hembusan angin musiman yang berganti setiap enam bulan, maka pantai di di sekitar delta Sungai Jeneberang menerima hempasan gelombang yang berubah-ubah sesuai dengan arah hembusan angin dan akan menyebabkan arah dan besar angkutan sedimen berubah sesuai dengan dinamika hempasan gelombang (Suriamihardja 2005).

19 2 Upaya manusia dalam memanfaatkan kawasan pantai sering tidak dilandasi dengan pemahaman yang baik tentang perilaku pantai sehingga menimbulkan dampak yang merugikan lingkungan pantai seperti abrasi atau sedimentasi. Dalam pemanfaatan wilayah pantai, diperlukan pengetahuan dan pemikiran ilmiah tentang fenomena pantai sebagai bahan masukan dalam pengembangan perencanaan dan pelestarian daerah pantai. Pengetahuan tentang karakteristik gelombang yang dibangkitkan oleh angin merupakan suatu kebutuhan yang sangat penting dalam perencanaan bangunan pantai, dimana data gelombang dalam waktu yang panjang sangat diperlukan (Shahidi et al. 2009). Namun demikian pada beberapa tempat data gelombang hasil pengukuran di lapangan dalam waktu panjang biasanya tidak tersedia sehingga perlu untuk melakukan prediksi gelombang dengan menggunakan data angin. Sampai saat ini telah dikembangkan beberapa metode prediksi gelombang di laut lepas, seperti metode Sverdrup Munk Bretschneider (SMB), Wilson, JONSWAP, Donelan dan Coastal Engineering Manual (CEM) (Shahidi et al. 2009). Metode tersebut telah digunakan dan diuji ketelitiannya di berbagai tempat seperti metode SMB telah digunakan di U.S. Army dan British Standard, metode Wilson telah digunakan di pelabuhan Jepang. Metode Donelan, SMB dan JONSWAP telah digunakan dan dievaluasi di Ontario, metode CEM juga digunakan dan dievaluasi di Ontario untuk kondisi fetch terbatas (Kazeminezhad et al. 2005). Beberapa model telah dikembangkan untuk memprediksi karakter gelombang. Model yang menyelesaikan persamaan kekekalan energi telah dilakukan oleh Booij et al. (1999), Kazeminezhad et al. (2007), Moeini dan Shahidi (2009). Model tersebut memerlukan data batimetri, meteorologi dan oseanografi dalam waktu yang panjang (Browne et al. 2007). Dalam perancanaan teknik pantai sangat perlu untuk mengetahui karakteristik penjalaran gelombang dari laut lepas ke garis pantai. Hal ini disebabkan karena gelombang yang menjalar di atas batimetri yang tidak seragam akan mengalami sejumlah perubahan bentuk (Balas & Inan 2002). Terjadinya perubahan bentuk gelombang pada saat merambat dari laut lepas ke pantai dapat

20 3 disebabkan karena pengaruh dari beberapa proses seperti shoaling, refraksi, difraksi, refleksi, interaksi nonlinier, gesekan dasar, perkolasi, input energi angin, irregularitas gelombang, penyebaran arah gelombang, gelombang pecah dan interaksi gelombang arus (Maa & Wang 1995, USACE 2003a). Analisis transformasi gelombang sangat sulit dilakukan jika semua faktor tersebut dimasukkan dalam perhitungan dengan hanya menggunakan program komputer sederhana. Namun demikian, pada saat gelombang merambat dari laut lepas ke garis pantai faktor-faktor tersebut tidak mempunyai pengaruh yang sama pentingnya pada semua kasus. Umumnya, faktor yang sangat penting dalam transformasi gelombang adalah proses refraksi dan shoaling, tetapi jika terdapat struktur maka faktor-faktor yang berpengaruh adalah refraksi, shoaling dan difraksi (Maa & Wang 1995). Model yang mensimulasikan transformasi gelombang dengan hanya memperhitungkan pengaruh shoaling telah dilakukan oleh Thornton dan Guza (1983) yang didasarkan pada persamaan kekekalan flux energi untuk menjelaskan transformasi distribusi tinggi gelombang di pantai Torrey Pines. Model ini memberikan hasil simulasi transformasi gelombang yang baik dengan memasukkan pengaruh dissipasi akibat gesekan dasar pantai. Model yang memperhitungkan tiga proses utama (refraksi gelombang, shoaling dan difraksi gelombang) pada transformasi gelombang telah dilakukan oleh Maa dan Wang (1995) dengan menggunakan model RCPWAVE yang dikembangkan oleh U.S. Army Corps of Engineers. Model ini telah digunakan di teluk Chesapeake, pantai Virginia. Hasil simulasi model menunjukkan bahwa gesekan dasar merupakan faktor yang sangat penting dalam transpormasi gelombang. Jika efek gesekan dasar dikeluarkan, maka hasil perhitungan tinggi gelombang di dekat pantai akan menjadi lebih besar dari pada hasil pengukuran. Balas dan Inan (2002) membuat model transformasi gelombang yang memperhitungkan pengaruh shoaling, difraksi, refraksi dan gelombang pecah dengan menggunakan persamaan mild slopes. Untuk menjelaskan transformasi gelombang, persamaan mild slope diselesaikan menggunakan tiga parameter yaitu tinggi gelombang, sudut gelombang dan fase gelombang. Hasil simulasi model menunjukkan adanya kesesuaian dengan hasil eksperimen.

21 4 Abdallah et al. (2006) memprediksi parameter gelombang (tinggi, periode dan arah gelombang) laut lepas dan transformasi gelombang di Tanjung Rosetta, Teluk Abu-Qir dengan menggunakan program ACES. Tinggi gelombang rata-rata tahunan sekitar 0.94 m dan periode sekitar 6.5 detik dengan arah gelombang dominan datang dari arah barat daya sepanjang tahun. Hasil simulasi transformasi gelombang menunjukkan bahwa karakteristik gelombang pada kedua sisi Tanjung Rosetta hampir sama. Untuk keperluan perencanaan pengelolaan kawasan pantai, maka selain penelitian tentang transformasi gelombang juga dibutuhkan penelitian tentang perubahan garis pantai sehingga pembangunan yang dilakukan tidak berdampak terhadap lingkungan. Salah satu cara yang dapat digunakan untuk mengetahui perubahan garis pantai di suatu lokasi adalah dengan menggunakan model matematik atau numerik (Larson et al. 1987; Koutitas 1988; Dabees & Kamphuis 2000). Beberapa model numerik telah dibuat untuk mensimulasikan perubahan garis pantai, model ini meliputi model dua dimensi dan tiga dimensi. Model dua dimensi menghitung perubahan garis pantai dengan cara mengamati pergerakan posisi garis pantai dengan asumsi bahwa profil pantai tidak berubah yang biasa disebut metode one-line, sedangkan model tiga dimensi mengamati variasi topografi. Model numerik dua dimensi dibuat oleh Leont yev (1997) untuk mengamati perubahan garis pantai dalam waktu singkat di sekitar struktur tegak lurus pantai dengan menggunakan metode one-line. Diperoleh bahwa jumlah total material sedimen yang terangkut adalah 25 x 103 m 3 untuk daerah sebelah utara groin dan 12 x 103 m 3 untuk daerah sebelah selatan groin dengan perubahan garis pantai tertinggi adalah melebihi 4 m. Purba dan Jaya (2004) meneliti perubahan garis pantai dan penutupan lahan di pesisir Lampung timur yang menggunakan citra Landsat-TM tahun 1991, 1999, 2001 dan 2003 dan menemukan erosi di sisi hilir tonjolan garis pantai dan akresi di daerah lekukan. Ashton dan Murray (2006) meneliti pengaruh sudut datang gelombang terhadap perubahan garis pantai yang berbentuk spit dan tanjung dan memperoleh bahwa interaksi antara input sedimen, pembentukan kembali gelombang dan hempasan gelombang mengakibatkan sifat yang komplek, dengan

22 5 garis pantai menyerupai bentuk delta Nile dan bentuk yang lebih komplek seperti Delta Ebro atau Danube. Shibutani et al. (2007) membuat model transpormasi gelombang dan perubahan garis pantai dengan menggunakan metode one-line, dan memperoleh bahwa ukuran butiran sedimen yang terdapat di pantai mempunyai pengaruh terhadap perubahan garis pantai yaitu semakin kecil ukuran butiran, maka semakin besar jarak perubahan garis pantai yang terjadi. Hung et al. (2008) membuat model transpormasi gelombang dan perubahan garis pantai akibat pengaruh pemecah gelombang dengan menggunakan metode one-line dan memperoleh bahwa terjadi bentuk garis pantai menonjol yang terbentuk di belakang pemecah gelombang serta perubahan garis pantai menunjukkan kecenderungan yang sesuai dengan hasil eksperimen. Shibutani et al. (2008) membuat model evolusi pantai menggunakan metode N-line dengan memasukkan pengaruh difusi dan adveksi sedimen. Model ini memberikan hasil yang baik pada pemulihan garis pantai mundur. Kim dan Lee (2009) mengembangkan model perubahan garis pantai dengan menggunakan persamaan logarithmic spiral bay untuk memprediksi konfigurasi garis pantai yang berbentuk teluk. Triwahyuni et al. (2010) membuat model perubahan garis pantai Timur Tarakan dengan menggunakan metode one-line. Tinggi, kedalaman dan sudut gelombang pecah dihitung dengan menggunakan persamaan matematik, kemudian digunakan sebagai input dalam model. Secara umum profil garis pantai hasil akhir model menunjukkan kemiripan dengan garis pantai hasil citra. 1.2 Rumusan Masalah Perairan delta muara Sungai Jeneberang yang terletak di wilayah Kota Makassar, Propinsi Sulawesi Selatan merupakan perairan yang sangat strategis, karena fungsi ekonomis dan ekologisnya memberikan manfaat bagi Kota Makassar. Manfaat ekonomi yang diperoleh Kota Makassar tidak luput diiringi pula oleh sejumlah permasalahan terhadap lingkungan perairan pantai Kota Makassar. Perubahan garis pantai di sekitar delta Sungai Jeneberang sangat tergantung pada gelombang yang datang dari laut lepas dan suplai sedimen yang berasal dari

23 6 Sungai Jeneberang. Selain itu, sejumlah aktivitas pembangunan yang dilakukan sangat berpengaruh terhadap perubahan garis pantai di sekitar delta Sungai Jeneberang seperti: Penutupan muara Sungai Jeneberang bagian utara (1993), menyebabkan pasokan sedimen dari Sungai Jeneberang ke pantai Tanjung Bunga berkurang. Pembangunan Bendungan Karet pada aliran Sungai Jeneberang (1995), menyebabkan suplai sedimen dari Sungai Jeneberang ke pantai sekitar delta Sungai Jeneberang berkurang Pembangunan Bendungan Serbaguna Bilibili (efektif digunakan pada tahun 1997), menyebabkan suplai sedimen dari Sungai Jeneberang ke pantai sekitar delta Sungai Jeneberang berkurang Sebagai dampak dari serangkaian kegiatan di atas, maka garis pantai di sekitar delta Sungai Jeneberang selalu mengalami perubahan. Sampai tahun 1993 Sungai Jeneberang mempunyai dua buah muara yang dikenal dengan Muara Utara dan Selatan. Kedua muara tersebut mensuplai material sedimen yang sangat besar yang berasal dari hulu Sungai Jeneberang. Besarnya pasokan sedimen ini menyebabkan terbentuknya daratan Tanjung Bunga ke arah utara (Suriamihardja 2005). Penurunan suplai sedimen dari Sungai Jeneberang dan penutupan muara Utara mengakibatkan sedimen dari Sungai Jeneberang ke pantai Tanjung Bunga berkurang dengan drastis. Dilain pihak hempasan gelombang dan arus terusmenerus mengangkut sedimen yang ada di pantai sehingga garis pantai di sekitar delta Sungai Jeneberang dapat mengalami abrasi. Permasalahannya adalah adanya interfensi manusia pada Sungai Jeneberang mengakibatkan terjadinya pola dinamika pantai di sekitar delta Sungai Jeneberang sehingga dinamika garis pantai mencari bentuk keseimbangan baru. Sehubungan dengan hal tersebut di atas maka diperlukan suatu kemampuan untuk memprediksi perubahan garis pantai yang disebabkan oleh angkutan sedimen. Dalam penelitian ini, prediksi perubahan garis pantai dilakukan melalui model numerik yang dibuat dengan memperhitungkan jumlah sedimen yang masuk dan keluar sel, serta model prediksi gelombang laut lepas dan transformasi gelombang dengan menggunakan data angin harian selama tahun

24 7 1.3 Tujuan dan Kegunaan Penelitian Menganalisis karakteristik gelombang laut lepas yang dibangkitkan oleh angin. Menganalisis transformasi gelombang yang merambat dari laut lepas menuju ke garis pantai. Menganalisis angkutan sedimen sejajar pantai yang terjadi di sekitar delta Sungai Jeneberang. Menganalisis perubahan garis pantai di sekitar delta Sungai Jeneberang selama tahun Hasil penelitian ini diharapkan dapat dimanfaatkan dalam pengembangan penelitian dalam bidang perubahan garis pantai. Selain itu, penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan yang penting bagi pemerintah Kota Makassar dalam menentukan kebijakan untuk memanfaatkan dan melestarikan delta Sungai Jeneberang dalam pengembangan kawasan wisata dan pemukiman. 1.4 Hipotesis 1. Pantai yang berbentuk tonjolan akan mengalami konsentrasi energi gelombang (konvergen) sedangkan pantai yang berbentuk lekukan terjadi penyebaran energi gelombang (divergen). 2. Penutupan muara sungai menyebabkan pasokan sedimen ke pantai berkurang yang berpengaruh pada sistem angkutan sedimen sehingga dinamika garis pantai mencari bentuk keseimbangan baru. 1.5 Kerangka Pemikiran Kemampuan untuk memprediksi perubahan garis pantai yang disebabkan oleh angkutan sedimen menjadi kebutuhan yang sangat penting dalam upaya perencanaan kawasan pantai. Kemampuan ini dapat dilakukan melalui beberapa alternatif seperti kajian langsung di lapangan, pemodelan secara fisik dan pemodelan secara numerik. Kajian perubahan garis pantai secara langsung di lapangan sangat sulit dilakukan karena kompleksnya proses-proses yang terlibat di dalamnya serta membutuhkan waktu yang relatif lama. Sedangkan pemodelan secara fisik seperti eksperimen di laboratorium membutuhkan biaya yang tinggi dan kesulitan

25 8 kesulitan dalam pengambilan skala yang tepat. Dengan semakin berkembangnya kemampuan komputer, menjadikan model numerik sebagai alternatif yang cukup ekonomis dalam penyelesaian masalah ini (Dean & Zheng 1997). Kerangka pemikiran dalam penelitian ini dijabarkan secara umum pada Gambar 1. Diagram tersebut menjelaskan bahwa berdasarkan latar belakang, rumusan masalah dan tujuan penelitian dengan mengacu pada tinjauan pustaka, maka dalam penelitian ini dibuat model perubahan garis pantai yang aplikasikan pada pantai di sekitar Delta Sungai Jeneberang. Uji hasil model dilakukan dengan membandingkan perubahan garis pantai yang diperoleh dari hasil interpretasi citra sampai diperoleh bahwa hasil model sudah sesuai dengan hasil citra. 1.6 Kebaruan Kebaruan (novelty) yang di peroleh dalam penelitian ini antara lain: Dalam penelitian ini dibuat model perhitungan gelombang laut lepas dengan menggunakan data angin harian selama 19 tahun, model transformasi gelombang, model angkutan sedimen sejajar pantai dan model perubahan garis pantai, keempat model tersebut menyatu dalam satu program utama yang menerapkan prinsip cascades (output dari hasil proses terakhir menjadi input pada proses berikutnya). Model perhitungan angkutan sedimen dilakukan penyesuaian pada titik grid dimana garis pantai hasil model masih terlalu jauh menyimpang dari garis pantai hasil citra.

26 9 Latar Belakang Pustaka Rumusan Masalah Tujuan Penelitian Hipotesis Metode Penelitian Pengumpulan Data Model Citra Perubahan garis pantai hasil model Perubahan garis pantai hasil citra Perbandingan hasil model denga Citra Tidak Garis Pantai Akhir Ya Selesai Gambar 1 Diagram alir rumusan masalah dan pencapaian tujuan penelitian.

27 II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Gelombang Dinamika yang terjadi di pantai dipengaruhi oleh beberapa faktor diantaranya adalah gelombang, suplai sedimen dan aktifitas manusia (Sorensen 1993). Mula-mula angin membangkitkan gelombang di laut lepas, kemudian gelombang merambat menuju ke pantai. Selama penjalaran gelombang menuju pantai terjadi transformasi gelombang dan membangkitkan arus menyusuri pantai (longshore current) atau arus tegak lurus pantai (rip current) yang dapat mengubah bentuk garis pantai. Gelombang yang dominan terjadi di laut adalah gelombang yang dibangkitkan oleh angin. Angin yang berhembus di atas permukaan laut mentransfer energi ke permukaan air sehingga dapat membangkitkan gelombang yang merambat menjauhi daerah asal terbentuknya. Tinggi dan periode gelombang yang terbentuk tergatung pada kecepatan angin, lama hembusan angin dan jarak hembusan angin tanpa rintangan (Komar 1976 dan Massel 1989). Jika suatu muka barisan gelombang datang dengan membentuk sudut terhadap garis pantai yang mempunyai kedalaman dasar pantai dangkal, maka gelombang tersebut akan mengalami refraksi. Dalam hal ini arah perambatan gelombang berangsur-angsur berubah dengan berkurangnya kedalaman, sehingga muka gelombang cenderung sejajar dengan kontur kedalaman laut. Proses pembiasan gelombang ini disebabkan oleh perubahan kedalaman yang mengakibatkan perubahan kecepatan dan amplitudo gelombang (Carter 1988 dan Dean & Dalrymple 1984). Beberapa model transformasi gelombang telah dibuat untuk melihat perubahan tinggi dan arah gelombang yang merambat dari laut lepas ke garis pantai. Misalnya, model yang dibuat oleh Thornton dan Guza (1983) untuk mengamati transformasi gelombang dengan menggunakan persamaan distribusi Rayleigh dalam menjelaskan distribusi tinggi gelombang yaitu: (1)

28 12 dimana: p(h) = distribusi tinggi gelombang H 0 = Tinggi gelombang laut lepas K s = koefisien soaling H h = tinggi gelombang pada kedalaman h Hasil ini menunjukkan bahwa metode distribusi Rayleigh memprediksi gelombang secara detail sedikit lebih tinggi dari hasil pengukuran lapangan, walaupun demikian metode ini mampu memprediksi H 1/3 dan H 1/10 dengan baik. Selain itu, metode distribusi Rayleigh mampu meramalkan peningkatan tinggi gelombang rata-rata akibat shoaling dan penurunan tinggi gelombang akibat gelombang pecah. Perhitungan tinggi gelombang pada surf zone dilakukan dengan menggunakan koefisien gesekan dasar C f = 0.01 dan menghasilkan penurunan tinggi gelombang maksimum sebesar 3%. Maa dan Wang (1995) mengamati transformasi gelombang di pantai Virginia dengan menggunakan model RCPWAVE. Dalam model ini perhitungan transformasi gelombang dilakukan dengan memasukkan pengaruh shoaling, refraksi dan difraksi menggunakan persamaan mild slope. Hasil perhitungan metode ini menunjukkan bahwa gesekan dasar merupakan suatu faktor penting yang mempengaruhi transpormasi gelombang. Jika efek gesekan dasar dikeluarkan dalam perhitungan, hasil perhitungan spectra gelombang di dekat pantai akan menjadi sangat lebih besar dari pada hasil pengukuran. Dengan menggunakan konstanta faktor gesekan dasar yang kecil (f w = 0,01 untuk frekuensi 0,07 Hz, f w = 0,02 untuk 0,07 < frekuensi < 0,08 Hz, dan f w = 0,03 untuk frekuensi 0,08 Hz), maka diperoleh spectra gelombang yang baik pada stasiun dekat pantai. Hung et al. (2008) membuat model transformasi gelombang dengan menggunakan persamaan mild slope bergantung waktu yang dinyatakan sebagai berikut: (2) (3)

29 13 dimana: adalah operator gradien horizontal η = elevasi permukaan air laut (m) C = kecepatan gelombang (m/s) = percepatan gravitasi (m/det 2 ) h = kedalaman air laut (m) d b = ketebalan medium pemecah gelombang (m) k = bilangan gelombang ε b = Porositas medium pemecah gelombang C r = Koefisien energi aliran f = Faktor gesekan Untuk keperluan penentuan tinggi gelombang pecah, maka model ini menggunakan kriteria gelombang pecah dari Goda (1975) yaitu: (4) dimana: H b = Tinggi gelombang pecah (m) L 0 = Panjang gelombang di laut lepas (m) tan β = Kelerengan pantai h = kedalaman laut (m) Perubahan tinggi dan panjang gelombang berhubungan dengan berkurangnya kedalaman air. Hubungan antara tinggi gelombang dan kedalaman air pada saat gelombang pecah telah banyak diteliti. Dari beberapa hasil eksperimen memberikan perbandingan antara tinggi gelombang pecah (H b ) dan

30 14 kedalaman air di mana gelombang pecah (h b ) berkisar antara 0.7 sampai 1.2 (Messel 1988). Beberapa hasil penelitian telah dibuat untuk memformulasikan hubungan antara tinggi gelombang pecah dengan tinggi gelombang laut lepas (H b /H o ) yaitu Komar dan Gaughan (1972) dalam Sunamura (1992) menggunakan hubungan fluks energi dalam teori gelombang linier untuk mendapatkan persamaan semiempiris. Le Mehaute dan Koh (1967) dalam Sunamura (1992) menurunkan hubungan H b /H o dengan memasukkan efek kemiringan dasar pantai. Kriteria gelombang pecah telah diformulasikan oleh beberapa penulis seperti diperlihatkan pada Tabel 1. Tabel 1 Kriteria gelombang pecah (Thornton & Guza 1983) Penulis Collins (1970) Sifat Shoaling Linier Kriteria Gelombang Pecah Battjes (1972) Kuo & Kuo (1974) Goda (1975) Linier Linier Nonlinier 2.2 Kecepatan Arus Menyusur Pantai Salah satu aspek penting dari gelombang yang berambat menuju pantai adalah terbentuknya arus menyusur pantai dan arus tegak lurus pantai yang akan mempengaruhi pergerakan material sedimen sepanjang pantai (Ippen 1966). Apabila garis puncak gelombang sejajar dengan garis pantai, maka akan terjadi arus tegak lurus pantai yang menuju ke laut. Selain itu, apabila gelombang yang datang membentuk sudut terhadap garis pantai akan membangkitkan arus menyusur pantai (Horikawa 1988). Longuet-Higgins (1970) dalam Horikawa (1988) menganalisis proses pembangkitan arus menyusur pantai dengan menggunakan konsep tekanan radiasi (radiation stress). Jika garis puncak gelombang datang miring terhadap garis

31 15 pantai, maka tekanan radiasi akan timbul di sepanjang pantai. Setelah gelombang pecah, maka komponen geser tekanan radiasi semakin berkurang dan akan menghasilkan suatu tenaga pembangkit (driving force) untuk membangkitkan arus menyusur pantai. Kecepatan arus menyusur pantai (V) dapat ditentukan dengan menggunakan persamaan : (5) dimana: tan β * = 1+ tan β 2 ( 3 / 8) γ b tan β = kelerengan pantai = percepatan gravitasi (m/det 2 ) = sudut gelombang pecah (derajat) C f = koefisien gesekan dasar pantai γ b = indeks gelombang pecah Suriamihardja (2005) meneliti kecepatan arus menyusur pantai di delta Sungai Jeneberang untuk mengestimasi angkutan sedimen menyusur pantai dan kecenderungan perubahan garis pantai sepanjang delta Sungai Jeneberang. Gelombang yang datang miring terhadap garis normal pantai setelah pecah akan membangkitkan arus menyusuri pantai. Berdasarkan arah dan tinggi gelombang pecah serta kedalaman air, maka kecepatan arus menyusuri pantai di sepanjang pantai delta Sungai Jeneberang sebagian besar berada pada interval sampai 0.10 m/det (76.79%), kemudian pada interval 0.11 m/det sampai 0.15 m/det (22.32%) dan sebagian kecil terjadi pada kecepatan lebih besar dari 0.2 m/det (15.6%). Di sepanjang pantai delta Sungai Jeneberang kecepatan arus menyusuri pantai ke arah utara lebih besar dari pada ke arah selatan. Arah arus menyusuri pantai di sepanjang delta Sungai Jeneberang tergantung dari arah gelombang yang dibangkitkan oleh angin. Berdasarkan pola arah gelombang, mengindikasikan bahwa gelombang yang datang dari arah barat dan barat daya akan membangkitkan arus menyusuri pantai di sepanjang pantai delta Sungai

32 16 Jeneberang kearah utara, sedangkan gelombang yang datang dari arah barat laut membangkitkan arus menyusuri pantai ke arah selatan. 2.3 Angkutan Sedimen di Pantai Laju angkutan sedimen sejajar pantai merupakan faktor utama dalam mengevaluasi perubahan garis pantai (Hung et al dan Elfrink & Baldock 2002). Untuk mempelajari angkutan sedimen akibat gelombang, maka daerah dekat pantai dapat dibagi dalam tiga wilayah yaitu daerah offshore zone, surf zone dan wash zone (Horikawa 1988). Offshore zone adalah daerah yang terbentang dari garis dimana gelombang pecah sampai laut lepas. Surf zone adalah daerah yang terbentang antara bagian dalam dari gelombang pecah dan batas naikturunnya gelombang di pantai. Dalam daerah ini angkutan sedimen terutama disebabkan oleh gelombang pecah dan arus yang diinduksi oleh gelombang. Wash zone adalah daerah yang dibatasi oleh garis batas tertinggi naiknya gelombang dan batas terendah turunnya gelombang di pantai. Arah angkutan sedimen di sepanjang pantai dapat berupa angkutan sedimen dari pantai ke laut atau dari laut ke pantai yang dapat terjadi oleh gerakan gelombang dan arus balik dasar serta arus tegak lurus pantai. Angkutan sedimen sejajar pantai (Long shore transport) yaitu angkutan sedimen sepanjang pantai atau biasa disebut angkutan sedimen sejajar pantai yang berkaitan erat dengan arus menyusuri pantai. Dalam mengestimasi perubahan garis pantai, maka diperlukan suatu evaluasi kuantitatif laju angkutan sedimen pada setiap titik di grid horizontal dua dimensi. Untuk tujuan ini, angkutan sedimen yang terjadi di daerah pantai dibagi menjadi angkutan sedimen lintas pantai (cross-shore transport) dan angkutan sedimen sejajar pantai (longshore transport). Mekanisme angkutan sedimen dibagi dalam dua tipe yaitu (Horikawa 1988): Angkutan sedimen dasar (bed load transport) adalah gerakan material sedimen pada dasar perairan yang terseret oleh arus secara menggelinding, bergeser dan saltasi. Angkutan sedimen suspensi (suspended load transport) adalah gerak material sedimen melayang yang terhanyut oleh aliran.

33 17 Madsen dan Grant (1976) dalam Horikawa (1988) membuat hubungan antara besar angkutan sedimen lintas pantai yang tak berdimensi dengan parameter shields dengan mengembangkan hasil yang diperoleh oleh Brown (1950) dalam kasus aliran searah. Pendekatan ini menghasilkan laju transpor sedimen rata-rata terhadap setengah periode gelombang, tanpa arah transpor sedimen ke pantai atau ke lepas pantai dan nilai laju transpor pada setiap fase satu periode gelombang, yaitu : (6) dimana: Q l = angkutan sedimen menyusur pantai (m 3 /det) = Amplitudo dari = Parameter shield u m = kecepatan maksimum orbital gelombang (m/det) u = kecepatan orbital gelombang (m/det) C f = koefisien gesekan dasar pantai ρ s = Massa jenis sedimen (kg/m 3 ) = percepatan gravitasi (m/det 2 ) d 50 = diameter sedimen rata-rata (mm) Ozasa dan Brampton (1980) merumuskan angkutan sedimen menyusuri pantai untuk digunakan dalam mengamati perubahan garis pantai dengan menggunakan metode one-line. Metode one-line adalah model dua dimensi yang menghitung perubahan garis pantai dengan cara mengamati pergerakan posisi garis pantai dengan asumsi bahwa profil pantai tidak berubah. Laju angkutan sedimen menyusuri pantai didasarkan pada komponen fluks energi gelombang pada daerah gelombang pecah. Persamaan angkutan sedimen menyusur pantai dinyatakan sebagai: (7) dimana: H bs = tinggi gelombang signifikan pada saat pecah (m) C gb = kecepatan group gelombang pada saat pecah (m/s)

34 18 A d = koefisien kalibrasi = Koefisien empiris = kelerengan pantai Shibutani et al. (2007) menghitung laju angkutan sedimen sejajar pantai untuk mengamati perubahan garis pantai dengan menggunakan persamaan Ozasa dan Brampton (1980). Hung et al. (2008) menggunakan persamaan angkutan sedimen sejajar pantai yang dibuat oleh Komar dan Inman (1970) untuk mengamati perubahan garis pantai di sekitar pemecah gelombang. Persamaan angkutan sedimen ini didasarkan pada flux energi gelombang yang dinyatakan sebagai berikut: (8) dimana: Q l = angkutan sedimen menyusur pantai (m 3 /det) = flux energi gelombang pada saat gelombang pecah = Koefisien empiris n = porositas sedimen = percepatan gravitasi (m/det 2 ) θ b ρ s = sudut gelombang pecah (derajat) = Massa jenis sedimen (kg/m3) ρ = Massa jenis air (kg/m 3 ) 2.4 Perubahan Garis Pantai Perubahan garis pantai dapat diprediksi dengan membuat model matematik atau numerik yang didasarkan pada imbangan sedimen pantai pada daerah pantai yang ditinjau (Ebersole et al. 1986; Hanson & Kraus 1989). Perubahan garis

35 19 pantai dipengaruhi oleh angkutan sedimen sejajar pantai dan angkutan sedimen tegak lurus pantai. Gelombang badai yang terjadi dalam waktu singkat dapat menyebabkan terjadinya erosi pantai. Selanjutnya gelombang biasa yang terjadi sehari-hari akan membentuk kembali pantai yang tererosi sebelumnya. Dengan demikian dalam satu siklus yang tidak terlalu lama profil pantai kembali pada bentuk semula, atau dalam satu siklus pantai dalam kondisi stabil. Sebaliknya, akibat pengaruh transpor sedimen sejajar pantai, sedimen dapat terangkut sampai jauh dan menyebabkan perubahan garis pantai. Untuk mengembalikan perubahan garis pantai pada kondisi semula diperlukan waktu cukup lama. Dengan demikian, maka transpor sedimen sejajar pantai merupakan penyebab utama terjadinya perubahan garis pantai (USACE 2003b). Dinamika lautan atau proses-proses yang berasal dari laut dapat mengakibatkan perubahan pada pantai, baik karena proses abrasi maupun sedimentasi. Kemudian karena adanya perubahan garis pantai tersebut, maka dinamika laut, seperti arah datang gelombang, atau pembiasan gelombang akan mengalami perubahan. Jika arah arus mengalami perubahan, maka arah transpor sedimen juga berubah, sehingga bentuk pantai juga berubah. Jadi perubahan bentuk pantai dan arah gelombang saling mempengaruhi. Berbagai penelitian tentang perubahan garis pantai telah dilakukan baik secara analitik maupun secara numerik, seperti: Komar (1973), membuat model numerik perubahan garis pantai dengan menggunakan metode one-line yang mengamati evolusi delta yang didominasi gelombang. Model ini menggunakan sumber sedimen yang berlokasi tetap dan gelombang yang merambat ke pantai hanya dari satu arah dengan puncak gelombang sejajar garis pantai. Model Komar menghasilkan delta yang tumbuh dengan bentuk melengkung berhubungan dengan delta tipe Nile. Gelombang dengan sudut miring, menunjukkan sedikit asimetri di samping arah angkutan sedimen. Leont yev (1997) membuat model numerik perubahan garis pantai untuk waktu singkat di sekitar struktur tegak lurus pantai dengan menggunakan metode one-line. Dalam studi ini ditinjau dampak groin atau struktur tipe dermaga dan pipa dibawah air yang berorientasi tegak lurus terhadap pantai. Pendekatan ini

36 20 telah dipakai untuk mengestimasi perubahan garis pantai selama musim panas di pantai Yamal, Teluk Baidara (Laut Kara). Dampak gabungan dari pipa dan dermaga terlihat jelas setelah 70 hari. Durasi total kondisi gelombang ketika tinggi gelombang rms melebihi 0.7 adalah sekitar 500 jam, periode gelombang adalah 4-7 detik dan sudut gelombang dari -40 sampai +45. Material dasar pantai adalah pasir halus dengan ukuran rata-rata mm dan kemiringan dasar pantai landai dengan kontur kedalaman paralel terhadap garis pantai. Fluks sedimen sejajar pantai bergerak ke arah utara atau selatan tergantung pada situasi gelombang. Pengaruh nyata groin ditinjau pada jarak sekitar 10 km. Hasil simulasi diperoleh bahwa perubahan garis pantai yang tertinggi melebihi 4 m. Jumlah total material sedimen yang terangkut adalah 25 x 10 3 m 3 untuk daerah sebelah utara groin dan 12 x 10 3 m 3 untuk daerah sebelah selatan groin. Dabees dan Kamphuis (2000) membuat model perubahan kontur kedalaman pantai dalam skala spasial dan temporal dengan metode NLine. Model ini mensimulasikan transformasi gelombang pada kondisi batimetri yang tidak teratur dan menghitung hubungan antara transformasi sedimen dengan perubahan morfologi pantai serta pengaruh pemecah gelombang terhadap perubahan morfologi pantai. Hasil simulasi model ini memperlihatkan perubahan profil pantai berdasarkan perubahan musim, yaitu pada musim panas terjadi sedimentasi pada pantai depan sedangkan pada musim dingin terjadi abrasi pada pantai depan dan terjadi bar (gundukan pasir) bagian bawah. Model ini dicoba diterapkan di pantai Pulau Gasparilla di sebelah barat daya pantai Florida di Teluk Meksiko. Panjang pantai yang digunakan dalam model adalah m dengan jumlah grid tegak lurus pantai 100 dan sejajar pantai 11 (dari kedalaman 1.5 sampai -9 m). model disimulasikan selama 20 tahun ( ) dengan menggunakan data gelombang interval 3 jam dari U.S Army Corps of Engineers Wave Information Study. Hasil simulasi memperlihatkan adanya lokasi yang mengalami abrasi dan akresi. Daerah yang mengalami erosi menunjukkan adanya peningkatan angkutan sedimen sedangkan yang mengalami akresi menunjukkan adanya penurunan angkutan sedimen. Makota et al. (2004) meneliti perubahan garis pantai di pantai utara dan selatan Kunduchi, Tanzania dengan menggunakan photo udara, tahun 1981, 1992

37 21 dan Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa pada tahun pantai utara telah mengalami abrasi seluas 2.02 ha dan akresi seluas 0.11 ha dan pada tahun telah mengalami abrasi seluas 0.68 ha. Perubahan garis pantai pada tahun dipengaruhi oleh adanya konstruksi bagunan pengaman pantai sehingga abrasinya lebih kecil. Pada pantai selatan telah mengalami abrasi seluas 1.13 ha dan akresi seluas 0.04 ha pada tahun , sedangkan pada tahun mengalami abrasi seluas 0.12 ha dan akresi seluas 2.81 ha. Purba dan Jaya (2004) melakukan penelitian tentang perubahan garis pantai dan penutupan lahan di pesisir Lampung timur dengan menggunakan citra Landsat-TM tahun 1991, 1999, 2001 dan Hasil yang diperoleh menunjukkan bahwa perubahan garis pantai dan karakteristik gelombang tergantung pada kekuatan angin yang terjadi. Bagian pantai yang berbentuk tonjolan, disisi hilir dari arah arus menyusuri pantai umumnya angkutan sedimen dominan ke utara menyebabkan terjadinya erosi. Hasil gerusan sedimen tersebut diangkut ke sisi utara dalam proses littoral drift kemudian diendapkan pada bagian tertentu sehingga terjadi proses sedimentasi. Ashton dan Murray (2006) membuat model perubahan garis pantai dengan menggunakan metode one-line. Penggunaan model ini memasukkan suatu penghalang hempasan gelombang sederhana, untuk menyelidiki implikasi sudut gelombang yang dapat mengakibatkan perubahan garis pantai. Dalam model ini diasumsikan bahwa delta didominasi oleh gelombang, ada sumber sedimen dari sungai yang berlokasi tetap. Perhitungan angkutan sedimen dilakukan dengan menggunakan persamaan CERC (USACE 1984) dan mengasumsikan bahwa kontur kedalaman parallel dengan garis pantai, bentuk profil lintas pantai konstan dan evolusi garis pantai terjadi akibat gradien angkutan sedimen sejajar pantai. Dalam model ini satu sumber sedimen dimasukkan ke dalam model: setiap step waktu 0.1 hari dengan jumlah sedimen yang sama ditambahkan ke pantai pada lokasi yang tetap. Hasil simulasi menunjukkan bahwa interaksi antara input sedimen, pembentukan kembali gelombang dan hempasan gelombang mengakibatkan sifat yang komplek, dengan garis pantai menyerupai bentuk delta Nile dan bentuk yang lebih komplek seperti Delta Ebro atau Danube.

38 22 Shibutani et al. (2007) menggunakan persamaan kontinuitas sedimen untuk membuat model perubahan garis pantai dengan metode one-line. Model ini diaplikasikan di pantai Yumigahama Jepang sepanjang 4 km sejajar pantai. Hasil simulasi model setelah 2 tahun menunjukkan terjadinya abrasi pada pantai bagian atas dan pada sisi lain yaitu pantai bagian bawah mengalami sedimentasi. Model ini juga melihat pengaruh ukuran butiran sedimen terhadap perubahan garis pantai. Hasil simulasi menunjukkan bahwa ukuran butiran sedimen yang terdapat di pantai mempunyai pengaruh terhadap besarnya perubahan garis pantai. Semakin kecil ukuran butiran, maka semakin besar jarak perubahan garis pantai yang terjadi. Hung et al. (2008) membuat model perubahan garis pantai akibat adanya pemecah gelombang di sekitar pantai. Model perubahan garis pantai dibuat berdasarkan perhitungan dari persamaan kontinuitas sedimen yang menggunakan metode one-line yaitu: (9) dimana: Q = laju angkutan sedimen h s = Kedalaman kritis Persamaan (8) dapat ditulis dalam bentuk beda hingga (finite-difference) yaitu: (10) Hasil simulasi model ini menunjukkan adanya perubahan garis pantai yaitu terjadi bentuk garis pantai menonjol yang terbentuk di belakang pemecah gelombang. Hasil simulasi model perubahan garis pantai menunjukkan kecenderungan yang sesuai dengan hasil eksperimen. Triwahyuni et al. (2010) membuat pemodelan perubahan garis pantai di sepanjang pantai Timur Tarakan, Kalimantan Timur. Model perubahan garis pantai ini menggunakan metode one-line, dan perhitungan angkutan sedimen dilakukan dengan menggunakan persamaan yang dibagun oleh Komar (1983). Model ini tidak mengamati transformasi gelombang, sehingga proses transformasi

39 23 gelombang harus dihitung di luar model yang kemudian digunakan sebagai input dalam model. Hasil simulasi model ini menunjukkan bahwa selama 10 tahun ( ) telah terjadi kemajuan garis pantai (sedimentasi) yang lebih intensif di bagian utara dibandingkan pada pantai bagian selatan. Secara umum profil garis pantai hasil akhir model menunjukkan kemiripan dengan garis pantai hasil citra. Sejumlah penelitian dalam aspek oseanografi telah dilakukan pada kawasan perairan Kota Makassar. Lokasi penelitian dipusatkan di sekitar muara Sungai Jeneberang, karena wilayah ini merupakan wilayah yang sangat dinamik dan mempunyai arti strategis. Seperti, Departemen PU (1989) memfokuskan penelitian tentang hidrologi, perubahan garis pantai dan batimetri di Sekitar muara Sungai Jeneberang. Suriamiharja (2005) telah melakukan telaah pasang surut, gelombang, arus dan angkutan sedimen dalam kaitannya dengan sedimentasi dan abrasi pantai Tanjung Bunga.

40 III METODOLOGI 3.1 Waktu dan Lokasi Penelitian Pengambilan data lapangan seperti pengukuran batimetri, pasang surut dan sedimen dilakukan pada bulan Maret 2008 di pesisir sekitar muara Sungai Jeneberang, Kota Makassar. Panjang garis pantai yang ditelaah adalah sekitar 10 km yang terbentang mulai dari pantai Barombong sebelah selatan hingga ujung spit Tanjung Bunga di sebelah utara. Secara geografis lokasi penelitian terletak antara 5 o sampai 5 o LS dan 119 o sampai 119 o BT. Lokasi pengukuran data angin (Stasiun Potere) terletak pada 5 o LS dan 119 o BT. Lokasi penelitian dapat dilihat pada Gambar Alat dan Bahan Alat dan Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah : Echosounder digunakan untuk mengukur kedalaman laut Bottom grab sampler digunakan untuk pengambilan sampel sedimen dasar GPS (Global Positioning System) digunakan untuk penentuan posisi pengukuran. Tiang skala digunakan untuk pengukuran pasang surut. Perahu digunakan untuk transportasi selama pengukuran. Peta Lingkungan Pantai Indonesia (LPI) skala 1 : 50000, digunakan sebagai peta dasar. Peta citra Landsat tahun 1990, 1999, 2003 dan 2008 digunakan untuk mengetahui perubahan garis pantai. Sieve Net digunakan untuk menentukan ukuran butiran sedimen. Timbangan digital digunakan untuk mengukur massa jenis sedimen. Hardware dan Software Komputer (Excel, Surfer 9, Visual Fortran, ErMapper6.4, Map Info dan Arc View 3.3) digunakan untuk analisis data.

41 26 Gambar 2 Peta lokasi penelitian.

42 Pengumpulan Data Data kecepatan dan arah angin Dalam penelitian ini data kecepatan dan arah angin diperoleh dari Badan Meteorologi dan Gefisika Wilayah IV Kota Makassar yang direkam pada stasiun Potere (Gambar 3). Data kecepatan dan arah angin diukur di pantai pada ketinggian 12 m di atas permukaan laut dengan menggunakan alat anemometer. Data yang dikumpulkan adalah data kecepatan angin harian mulai tahun Pengukuran kedalaman dasar laut Pengukuran kedalaman dasar laut (batimetri) dilakukan dengan menggunakan echosounder, sedangkan posisi pengukuran menggunakan GPS. Pengukuran kedalaman dilakukan di sepanjang pantai delta Sungai Jeneberang dengan membentuk lintasan, seperti diperlihatkan pada Gambar 3. Untuk memperoleh kedalaman laut dengan referensi MSL (muka laut rata-rata), maka hasil pengukuran ini dikoreksi dengan hasil pengukuran pasang surut. Hasil pengkuran batimetri diplotkan ke dalam gambar guna mendapatkan kontur kedalaman laut daerah penelitian Pengukuran pasang surut Pengukuran pasang surut dilakukan dengan pengamatan langsung tinggi muka laut dengan menggunakan rambu ukur (palm staff) yang dipasang di pantai. Rambu ukur ini dipasang di lokasi yang aman dan tidak akan bergerak akibat terpaan gelombang dan arus. Pengamatan pasang surut dilakukan pada tanggal 4-18 Maret 2008 dengan cara membaca skala pada rambu ukur yang terkena atau berimpit dengan permukaan air laut pada setiap interval waktu satu jam mulai pukul sampai pukul selama 15 hari pengamatan. Lokasi pengukuran pasang surut diperlihatkan pada Gambar 3.

43 28 Gambar 3 Peta lokasi pengukuran batimetri, pasang surut dan sedimen.

44 Pengambilan sampel sedimen Pengambilan sampel sedimen dasar pantai dilakukan untuk analisis distribusi ukuran butir dan massa jenissedimen di lokasi penelitian. Pengambilan sampel sedimen dasar dilakukan dengan menggunakan alat Bottom grab sampler, sedangkan posisi pengambilan sampel ditentukan dengan menggunakan GPS. Sampel sedimen diambil sebanyak 7 lokasi, seperti diperlihatkan pada Gambar 3. Sampel sedimen yang diambil, kemudian dianalisis di laboratorium untuk memperoleh besar ukuran butir dan massa jenis sedimen Citra Landsat Citra satelit landsatdiperoleh melalui internet yang diunduh di situs earthexplorer.usg.gov.html. Citra satelit landsat yang digunakan adalah citra tanggal 4 April 1990, 20 September 1999, 22 Agustus 2003 dan 3 Agustus 2008 dengan resolusi spasial 30 x 30 m. Garis pantai yang diperoleh dari citra satelit landsat tahun 1990 digunakan sebagai garis pantai awal, sedangkan garis pantai citra tahun 1999, 2003 dan 2008 digunakan untuk membandingkan garis pantai hasil model. 3.4 Analisis Data Analisis data angin Data angin yang diperoleh (Lampiran 1 dan 2) kemudian dianalisis secara statistik dengan menggunakan Software WRPlot untuk mendapatkan persentase kejadian kecepatan dan arah angin. Dalam melakukan analisis data angin, maka data angin dikelompokkan dalam beberapa kelas dengan interval m/det, m/det, m/det, m/det, m/det dan > 11.1 m/det dalam 8 arah angin. Data angin yang telah dikelompokkan digunakan untuk menggambarkan wind rose tahunan dan musiman di pantai Makassar selama tahun 1990 sampai 2008.

45 30 Tabel 2 Klasifikasi ukuran partikel sedimen (USACE 2003b)

46 Analisisdata sedimen Data sedimen yang diperoleh dari lapangan dianalisis dengan cara ayakan dan menggunakan metode sieve net yang mengikuti prosedur ASTM (American Society for Testing and Material). Kemudian data ukuran butir sedimen dihitung dengan memplot persentase berat kumulatif terhadap diameter sedimen pada kertas semilog (Lampiran 3). Berdasarkan plot ini, maka dapat ditentukan nilai diameter sedimen. Selanjutnya pengelompokan klasifikasi sedimen dilakukan menurut Skala Wenworth seperti diperlihatkan pada Tabel 2. Analisis parameter statistik sedimen (mean, skewness, sorting dan kurtosis) dilakukan dengan menggunakan persamaan (Allen 1985 dan Lindholm 1987): Mean : (11) Skewness (12) Sorting: (13) Kurtosis (14) Berdasarkan hasil perhitungan nilai skewness, sorting dan kurtosis maka parameter statistik sedimen ditentukan dengan menggunakan Tabel 3. Tabel 3 Distribusi nilai parameter statistik sedimen (Allen 1985) Sorting (σ I ) Skewness (Sk I ) Kurtosis (K G ) Very well sorted < 0.35 Very fine skewed Very platykurtic < 0.67 Well sorted Fine skewed Platykurtic Moderately well sorted Symmetrical Mesokurtic Moderately sorted Coarse skewed Leptokurtic Poorly sorted Very coarse skewed Very leptokurtic Very poorly sorted Extremely leptokurtic > 3.00 Extremely poorly sorted > 4.00

47 Analisis data pasang surut Data pasang surut yang diperoleh dari hasil pengukuran (Lampiran 4) dianalisis dengan menggunakan metode Admiralty (Beer 1997). Analisis ini bertujuan untuk mendapatkan nilai konstanta harmonis pasang surut yaitu : S 0, K 1, S 2, M 2, O 1, P 1, N 2, M 4, MS 4. Nilai konstanta pasang surut tersebut selanjutnya digunakan untuk memperoleh tipe pasang surut dan tunggang pasang surut untuk penentuan kedalaman dan pembuatan peta batimetri. Tipe pasang surut ditentukkan berdasarkan bilangan Formzal (F) yang dihitung dengan menggunakan persamaan (Beer 1997): (15) dimana: F = bilangan Formzahl O 1 = amplitudo komponen pasang surut tunggal utama yang disebabkan gaya tarik bulan, K 1 = amplitudo komponen pasang surut tunggal utama yang disebabkan gaya tarik bulan dan matahari, M 2 = amplitudo komponen pasang surut ganda utama yang disebabkan gaya tarik bulan S 2 = amplitudo komponen pasang surut ganda utama yang disebabkan gaya tarik matahari Berdasarkan nilai F, maka tipe pasang surut kemudian dikelompokkan sebagai berikut; F 0,25 = pasang surut tipe ganda 0,25 < F 1,5 = pasang surut campuran condong tipe ganda 1,5 < F 3,0 = pasang surut campuran condong bertipe tunggal F > 3.0 = pasang surut tipe tunggal Analisiscitra Pengolahan awal pada citra dilakukan untukkoreksi terhadap kesalahan geometrik. Kesalahan geomterik merupakan kesalahan distribusi spasial dari nilainilai piksel yang terekam oleh sensor yang terjadi akibat berbagai faktor. Koreksi

48 33 geometrik dimaksudkan untuk mengoreksi distorsi spasial obyek pada citra sehingga posisi obyek yang terekam sesuai dengan koordinat di lapangan (real world coordinate). Data raster umumnya ditampilkan dalam bentuk raw data yang memiliki kesalahan geometrik sehingga perlu dikoreksi secara geometrik ke dalam sistem koordinat bumi. Koreksi geometri dilakukan dengan cara pengambilan Ground control point (GCP) yang disebut titik kontrol di bumi yang dilakukan dengan proyeksi Universal Tranverse Mercator (UTM) sebanyak 32 titik kontrol (Lampiran 5) dengan menggunakan Global Positioning System (GPS). Pengukuran titik kontrol dilakukan pada lokasi-lokasi yang kodisinya dianggap tidak berubah dari tahun , seperti simpangan jalan dan jembatan pada lokasi penelitian. Titik kontrol tersebut menjadi titik ikat pada semua citra Landsat yang akan dianalisis sehingga didapatkan citra yang sesuai dengan kondisi yang sebenarnya di lapangan (di muka bumi). Penentuan garis pantai dilakukan dengan menggunakan citra tahun 1990, 1999, 2003 dan Citra satelit yang telah dikoreksi secara geometrik digunakan untuk menentukan garis pantai yang dilakukan dengan komposit RGB 542. Dari hasil komposit warna ini, selanjutnya dilakukan deliniasi garis pantai pada setiap citra. Hasil deliniasi garis pantai dari citra akan menghasilkan garis pantai pada tahun 1990, 1999, 2003 dan Garis pantai tersebut kemudian dikoreksi terhadap pasang surut. Koreksi garis pantai terhadap pasang surut dilakukan dengan cara : (1) Mula-mula ditentukan kelerengan pantai (tan β) dengan menggunakan persamaan (Gambar 4): (16) Gambar 4 Penentuan kelerengan pantai.

49 34 (2) Menentukan selisih tinggi muka air pada saat perekaman citra dengan MSL ( η), seperti pada Gambar 5. Gambar 5 Penentuan posisi muka air pada saat perekaman citra. (3) Menentukan jarak pergeseran garis pantai hasil koreksi pasang surut (x) dengan menggunakan persamaan : (17) (4) Jika perekaman citra dilakukan pada saat tinggi muka air laut lebih besar dari pada MSL (keadaan pasang), maka garis pantai digeser sejauh x meter ke arah laut. Sebaliknya jika keadaan surut maka garis pantai digeser sejauh x meter ke arah darat. 3.5 Desain Model Struktur model perubahan garis pantai Tujuan model ini adalah untuk memprediksi perubahan garis pantai akibat pengaruh angkutan sedimen sejajar pantai yang dibangkitkan oleh gelombang pecah. Pada model ini dilakukan berbagai penyederhanaan terhadap fenomena kompleks dengan tujuan untuk mendapakan model yang sederhana dengan tetap mempertimbangkan akurasi perhitungan. Model ini lebih ditujukan untuk pantai berpasir yang didominasi oleh pengaruh gelombang dan angkutan sedimen sejajar pantai, sedangkan pengaruh pasang surut dan angkutan sedimen tegak lurus pantai tidak diperhitungkan. Model ini terdiri atas empat submodel yaitu (Lampiran 6): (1) Submodel prediksi gelombang laut lepas yang dibangkitkan oleh angin. (2) Submodel transformasi gelombang dari laut lepas ke garis pantai

50 35 (3) Submodel angkutan sedimen sejajar pantai (4) Submodel perubahan garis pantai Keempat submodel ini dikendalikan oleh satu program utama yang mengatur proses secara keseluruhan termasuk input data dan pencetakan output. Struktur model utama diperlihatkan pada Gambar 4. Model utama ini dimulai dengan pembacaan data seperti : data angin, batimetri, sedimen yang tersimpan dalam bentuk file. Proses pertama yang dilakukan adalah menghitung gelombang yang terbangkit oleh angin pada laut lepas sehingga diperoleh rekaman tinggi, periode dan sudut datang gelombang di laut lepas. Informasi ini digunakan sebagai kondisi batas di grid terluar (lepas pantai). Proses kedua adalah penentuan posisi garis pantai awal berdasarkan data batimetri. Diasumsikan bahwa batimetri dengan kedalaman lebih besar dari nol (h i,j > 0) dianggap sebagai sel laut, sebaliknya kedalaman lebih kecil dari nol (h i,j < 0) dianggap sebagai sel darat. Model akan mendeteksi garis pantai dengan menghitung panjang lintasan dari titik referensi (j = 1) sampai dengan sel laut yang terdekat. Kelerengan pantai dihitung pada setiap grid ke i berdasarkan data bentangan dari tepi pantai sampai grid ke 100 dan kedalaman pada sel tersebut. Proses ketiga adalah menghitung penjalaran gelombang dari laut lepas ke garis pantai. Dalam perhitungan diasumsikan bahwa proses yang dominan adalah proses refraksi dan shoaling. Proses difraksi, refleksi, interaksi nonlinier, gesekan dasar, perkolasi, energy angin, irregularitas gelombang tidak ditinjau dalam model karena dianggap tidak dominan (Balas & Inan 2002). Berdasarkan informasi tinggi, periode dan sudut datang gelombang di laut lepas, maka model kemudian menghitung transformasi gelombang dari laut lepas menuju pantai. Selain itu dideteksi pula posisi gelombang pecah dengan menggunakan kriteria indeks gelombang pecah (γ). Setelah diperoleh data posisi garis pantai awal, gelombang yang berisikan informasi berupa tinggi, periode, sudut gelombang dan posisi gelombang pecah maka dimulai loop perhitungan perubahan garis pantai. Sebelum dilakukan perhitungan perubahan garis pantai, maka terlebih dahulu dihitung angkutan sedimen menyusuri pantai serta kontribusi sedimen dari sungai.

51 36 Mula Data Gelombang Laut Lepas Penentuan Posisi Garis Pantai Transformasi Gelombang hrke =1 Perhitungan Angkutan Sedimen Perhitungan Perubahan Garis t = t+ t Jika t > 1 hari ya Update Batimetri tidak hrke = hrke+1 Transformasi Gelombang Jika hrke > hrke-n ya Cetak Hasil tidak Selesai Gambar 6 Diagram alir program utama perubahan garis pantai. Garis menunjukkan proses cascades yaitu output proses terakhir menjadi input pada proses berikutnya.

52 37 Proses looping pertama dilakukan untuk menghitung angkutan sedimen dan perubahan garis pantai yang dilakukan setiap interval t = hari selama sehari. Setelah t > 1 hari maka proses looping pertama telah selesai kemudian data batimetri diperbaharui berdasarkan posisi garis pantai terakhir dan dilakukan lagi perhitungan transformasi gelombang. Proses looping kedua dilakukan setiap interval 1 hari sampai hari ke 6840 (19 tahun). Looping kedua merupakan proses cascades yaitu output proses terakhir menjadi input pada proses berikutnya. Jika perhitungan perubahan garis pantai belum cukup 6840 hari, maka perhitungan dilakukan terus sampai hari ke 6840 (19 tahun) Perhitungan tinggi dan periode gelombang Untuk menghitung angkutan sedimen dan prediksi perubahan garis pantai, maka perlu diketahui karakteristik gelombang laut lepas dan transformasi gelombang serta gelombang pecah. Karakteristik gelombang pecah dihitung berdassarkan tinggi gelombang laut lepas yang mengalami proses transformasi pada saat bergerak menuju ke pantai. Tinggi gelombang di laut lepas dihitung melalui parameter angin dengan menggunakan metode CEM. a) Koreksi data angin Data angin yang digunakan untukmemprediksi tinggi dan periode gelombang laut lepas adalah data angin yang diukur di darat pada ketinggian 12 m dari permukaan laut, sehingga sebelum digunakan dalam perhitungan tinggi dan perioe gelombangdata angin tersebut perlu dikoreksi. Adapun koreksi yang dilakukan adalah (USACE 2003a): Koreksi ketinggian Koreksi kecepatan angin rata-rata untuk durasi 1 jam Koreksi pengukuran kecepatan angin di darat ke laut Koreksi stabilitas (1) Koreksi ketinggian, koreksi ketinggian dilakukan dengan menggunakan persamaan (USACE 2003a): 10 U10 = U z z 1/7 (18)

53 38 dimana : U 10 = kecepatan angin yang diukur pada ketinggian 10 meter (m) U z = kecepatan angin pada ketinggian z (m). (2) Koreksi durasi, koreksi ini dilakukan untuk memperoleh kecepatan angin dengan durasi satu jam. Koreksi durasi dilakukan dengan menggunakan persamaan (USACE 2003a): (19) untuk t < 3600 (20) untuk 3600 < t < (21) dimana : t = waktu (detik) U t = kecepatan angin dengan durasi waktu t U t=3600 = kecepatan angin dengan durasi 1 jam (3) Koreksi pengukuran angin dari darat ke laut. Koreksi ini dilakukan untuk data angin yang diukur di darat. Koreksi pengukuran angin dari darat ke laut dilakukan dengan menggunakan Gambar 7untuk fetch yang lebih besar dari 10 mile. Berasarkan grafik hubungan antara R L dan U L pada Gambar 5, maka diperoleh persamaan (USACE 2003a): (22) Sehingga U W dihitung dengan menggunakan persamaan : (23) dimana R L = perbandingan kecepatan angin di laut dan di darat U L = kecepatan angin di laut (m/detik) (4) Koreksi stabilitas. Untuk fetch yang lebih besar dari 10 mile, maka diperlukan koreksi stabilitas. Koreksi stabilitas dilakukan dengan menggunakan nilai R T = 1.1 (USACE 2003a), yang dihitung dengan menggunakan persamaan : (24) dimana U C = kecepatan angin terkoreksi (m/detik)

54 39 Gambar 7 Hubungan antara R L dengan kecepatan angin di darat (U L ) (USACE 2003a). b) Panjang fetch Panjang fetch efektif (F ef ) pada penelitian ini ditentukan mulai dari kedalaman 20 m kemudian ditarik garis lurus ke arah laut hingga membentur daratan. Apabila panjang fetchyang diperoleh lebih dari 200 km, maka panjang fetchmaksimum yang digunakan adalah 200 km. Panjang fetch yang digunakan selama penelitian diasumsikan tidak berubah. Panjang fetchditentukan dengan menggunakan peta Lingkungan Pantai Indonesia (LPI) melalui langkah-langkah sebagai berikut: Mula-mula ditentukan arah angin Menghitung panjang jari-jari di titik peramalan sampai titik dimana jari-jari tersebut memotong daratan (X i ) Panjang fecth dihitung melalui persamaan : F = X i S p (25) S p = Skala peta

55 40 Data Angin Koreksi Koreksi Durasi Koreksi pengkuran di darat ke Laut U W = R L U t=3600 Koreksi Stabilitas R T = 1.1 U C = R T U W C D = 0.001( U C ) U * = (C D U C 2 ) 0.5 Fetch Gambar 8 Diagram alir koreksi kecepatan angin dan perhitungan tinggi serta periode gelombang laut lepas. c) Prediksi gelombang Prediksi tinggi (H 0 ) dan periode gelombang (T p ) di laut lepas berdasarkan data kecepatan angin dan fetchdilakukan dengan menggunakan persamaan (USACE 2003a): (26)

56 41 (27) (28) (29) dimana : H o = Tinggi gelombang di laut lepas (m) Tp = Periode gelombang (detik) g = Percepatan gravitasi (m/det 2 ) F = Fetch (m) U C = Kecepatan angin yang telah dikoreksi (m/det). Perhitungan koreksi data angin dan tinggi serta periode gelombang dilakukan dengan menggunakan bahasa program FORTRAN dengan langkahlangkah perhitungan diperlihatkan pada Gambar Transformasi Gelombang Setelah gelombang di laut lepas terbentuk oleh angin, maka gelombang akan merambat menuju ke pantai. Gelombang yang merambat dari laut lepas menuju ke garis pantai akan mengalami perubahan bentuk seperti perubahan tinggi dan arah gelombang (Balas & Inan 2002). Pada penelitian ini transformasi gelombang menuju pantai hanya mempertimbangkan pengaruh shoaling dan refraksi. Daerah studi dibagi menjadi beberapa titik grid yang berbentuk persegi empat. Tinggi gelombang pada kedalaman h dihitung dengan menggunakan persamaan (USACE 2003a): (30) dimana: K s = koefisien shoaling (31) (32) (33) (34)

57 42 (35) K r = koefisien refraksi (36) Sudut gelombang ditentukan dengan menggunakan persamaan (USACE 2003a): yaitu: (37) Saat gelombang merambat dari laut lepas menuju pantai maka kelancipan gelombang semakin meningkat karena pengaruh perubahan kedalaman laut. Bila kelancipan gelombang telah mencapai nilai maksimum maka gelombang akan pecah. Tinggi, sudut dan kedalaman diman gelombang pecah dihitung dengan menggunakan asumsi (Horikawa 1988): bila maka (38) (39) dan (40) dimana :H h = Tinggi gelombang pada kedalaman h (m) H b = Tinggi gelombang pecah (m) h b = Kedalaman dimana gelombang pecah (m) α b = Sudut gelombang pecah (derajat) α h = sudut gelombang pada kedalaman h (derajat) Apabila gelombang pecah membentuk sudut α b terhadap sumbu x seperti diperlihatkan pada Gambar 9, maka sudut datang gelombang pecah terhadap garis pantai α bs dihitung dengan menggunakan persamaan (Horikawa 1988): (41) dimana : = sudut garis pantai terhadap sumbu x Dengan manipulasi matematika, maka sudut gelombang pecah terhadap garis pantai dapat dihitung dengan menggunakan persamaan:

58 43 (42) Y Arah Gelombang α bs Garis Pantai α b α g X Gambar 9 Defenisi sudut gelombang pecah terhadap garis pantai (USACE 2003a). Perhitungan tinggi dan sudut gelombang dilakukan pada setiap titik grid dengan menggunakan grid yang berbentuk persegi empat seperti diperlihatkan pada Gambar 10. Jumlah grid dalam arah sejajar pantai (arah x) adalah 978 titik dengan jarak antara titik grid 10 meter, sedangkan dalam arah tegak lurus pantai (arah y) adalah 2028 titik dengan jarak antara titik grid 5 meter. Perhitungan tinggi dan periode gelombang di laut lepas dilakukan dengan menggunakan persamaan 26 dan 27. Perhitungan tinggi dan sudut gelombang pada setiap titik grid dilakukan dengan menggunakan persamaan 30 dan 37. Pada perhitungan ini tinggi dan sudut gelombang pada semua titik grid j = 2028 menggunakan tinggi dan sudut gelombang di laut lepas. Perhitungan tinggi gelombang pecah, kedalaman dan sudut gelombang pecah sepanjang pantai menggunakan persamaan 38, 39 dan 40. Perhitungan transformasi gelombangdilakukan dengan menggunakan bahasa program FORTRAN dengan kondisi awal dan kondisi batas sebagai berikut: a. Kondisi awal Pada saat awal siasumsikan bahwa tinggi gelombang pada setiap titik grid sama dengan nol (H ij = 0). b. Kondisi Batas Kondisi batas di perairan dalam diasumsikan bahwa tinggi gelombang pada seluruh grid terluar sama dengan tinggi gelombang laut lepas.

59 44 j (1,j max ) (1,j max -1) (i max,j max) Laut = 5 m Garis Pantai (1,2) Darat (1,1) (2,1) = 10 m (i max -1,1) (i max,1) i Gambar 10 Bentuk grid yang digunakan dalam perhitungan transformasi gelombang. Secara skematis bagan alir langkah-langkah perhitungan transformasi gelombang dapat dilihat pada Gambar 11. Sudut glb laut lepas Periode glb laut Kedalaman laut L t gt 2 2πh C 0 = L 0 = 1, 56 T L = L0 tanh 2π L C 1 4πh / L n = sinh L ( 4πh / ) Tinggi Glb Laut Lepas Posisi grs Pantai Gambar 11 Diagram alir transformasi gelombang.

60 Perhitungan Angkutan Sedimen Menurut Grant (1943) dalam USACE (2003b) angkutan sedimen di pantai merupakan hasil kombinasi dari angkutan sedimen akibat gelombang dan angkutan sedimen akibat arus. Dalam penelitian ini, angkutan sedimen tegak lurus pantai tidak diperhitungkan, tetapi hanya memperhitungkan angkutan sedimen sejajar pantaiyangdiakibatkan oleh gelombang pecah. Besar angkutan sedimen sejajar pantai akibat gelombang pecah dihitung dengan menggunakan persamaan : (43) Dimana: ρ s = Massa jenis sedimen (kg/m 3 ) ρ = Massa jenis air laut (kg/m 3 ) γ b = Indeks gelombang pecah n = Porositas sedimen α bx = Sudut gelombang pecah (derajat) Dalam perhitungan angkutan sedimen menggunakan persamaan (43), terlebih dahulu dilakukan konversi tinggi gelombang pecah signifikan (H bs ) menjadi tinggi gelombang pecah root mean square (H brms ), dengan menggunakan persamaan : (44) Perubahan Garis Pantai Model perubahan garis pantai dapat dibuat berdasarkan pada persamaan Budget sedimen (Perlin 1983, Van Rijn 1997 dan Horikawa 1988) yaitu sepanjang pantai dibagi menjadi sejumlah sel dengan panjang yang sama ( x), seperti pada Gambar 12. Pada setiap sel ditinjau angkutan sedimen yang masuk dan keluar dari sel. Sesuai dengan hukum kekekalan massa, maka laju aliran massa sedimen netto di dalam sel adalah sama dengan laju perubahan massa sedimen di dalam sel setiap

61 46 satuan waktu. Gambar 13 menunjukkan angkutan sedimen yang masuk dan keluar sel dan perubahan volume yang terjadi di dalamnya. y Q i = Angkutan sedimenpantai Garis pantai Sel i i - 1 y i i + 1 x x Gambar 12 Pembagiangaris pantai menjadi sederetan sel (Horikawa 1988). y Y Q t Q Q + X t X Tegak pantai Sejajar pantai X x Gambar 13 Angkutan sedimen yang masuk dan keluar sel (Horikawa 1988). Perubahan garis pantai akibat angkutan sedimen yang masuk dan keluar sel diperlihatkan pada Gambar 14. Laju perubahan volume sedimen yang terjadi di dalam sel adalah : (45)

62 47 dengan asumsi bahwa kedalaman dasar pantai homogen (kedalaman air sama dengan tinggi sel), makadari geometri sel yang diperlihatkan pada Gambar 14 diperoleh: (46) Q out Garis Pantai Baru Garis Pantai Lama y x h Q in Gambar 14 Perubahan garis pantai akibat angkutan sedimen (Horikawa 1988). Jika persamaan (46) disubsitusi ke (45), maka diperoleh: (47) Atau (48) Pada lokasi penelitian terdapat sumber sedimen yang berasal dari dua muara Sungai Jeneberang, sehingga persamaan (48) dapat ditulis menjadi: (49) Dengan menggunakan metode beda hingga(finite difference), maka diperoleh hasil diskretisasi persamaan (49) sebagai berikut : (50) dimana: = Jarak antara geris pantai dan garis referensi di titik i pada waktu t (m) = Angkutan sedimen sejajar pantai di titik i pada waktu t(m 3 /det) = Angkutan sedimen sejajar pantai di titik i-1 pada waktu t(m 3 /det)

63 48 = Angkutan sedimen dari sungai-1 per satuan lebar pada waktu t(m 3 /det/m) = Angkutan sedimen dari sungai-2 per satuan lebar pada waktu t(m 3 /det/m) t = Step waktu (detik) x = Jarak antara titik grid sejajar pantai (m) h = Kedalaman air (m) Dalam persamaan (50), nilai t dan x adalah tetap sehingga y hanya tergantung pada nilai Q dan Q s. Apabila jumlah Q dan Q s negatip (transpor sedimen yang masuk lebih kecil dari yang keluar sel) maka y akan negatip, yang berarti pantai mengalami abrasi. Sebaliknya, jika jumlah Q dan Q s positif (transpor sedimen yang masuk lebih besar dari yang keluar sel) maka y akan positif atau pantai mengalami akresi. Apabila Q + Q s = 0 maka y = 0 yang berarti pantai tetap. Pada lokasi penelitian terdapat dua muara Sungai Jeneberang yaitu muara bagian selatan dan bagian utara. Kedua muara tersebut mensuplai sedimen (Q s ) ke daerah pantai lokasi panelitian. Muara bagian selatan terletak pada titik grid i = 492 sedangkan bagian utara terletak pada titik grid i = 801 yang mensuplai sedimen ke pantai pada setiap perhitungan. Program model ini diselesaikan dengan menggunakan bahasa program FORTRAN dengan kondisi awal dan kondisi batas sebagai berikut: a. Kondisi awal Pada kondisi awal siasumsikan bahwa angkutan sedimen di sepanjang pantai serta dari sungai sama dengan nol (Q = 0 dan Q s = 0). b. Kondisi Batas Kondisi batas disebelah utara dan selatan daerah penelitian diasumsikan bahwa posisi garis pantai pada grid pertam sama dengan posisi garis pantai pada grid kedua (Y i=1 = Y i=2 ) dan posisi garis pantai pada grid terakhir sama dengan posisi garis pantai pada grid sebelumnya (Y imax = Y imax-1 ). Secara umum input data yang digunakan dalam simulasi model terdiri dari : Massa jenis sedimen = 2593 kg/m 3 Massa jenis air laut = 1025 kg/m 3 Porositas material dasar = 0.4 Diameter sedimen rata-rata = 0.57 mm

64 49 Persentase kejadian gelombang = 0.01 Percepatan gravitasi = 9.81 m/detik Jumlah titik grid dalam arah x (sejajar pantai) = 798 Jarak titik grid dalam arah x = 10 m Jumlah titik grid dalam arah y (tegak lurus pantai) = Jarak titik grid dalam arah y = 5 m Bila garis pantai hasil model tidak mendekati hasil citra sebagai validasi, maka dilakukan proses coba ulang (trial and error) terhadap model. Proses coba ulang dilakukan dengan cara mengubah-ubah nilai Cn (persentase kejadian gelombang) sampai didapat garis pantai yang mendekati hasil citra. Secara skematis diagram alir langkah-langkah perhitungan angkutan sedimen dan perubahan garis pantai dapat dilihat pada Gambar 15. Diameter Sedimen Tinggi Glb Pecah (H b ) Sudut Glb Pecah (α b ) γ b Massa jenis Sedimen Massa jenis air lau Sedimen Sungai Batimetri Gambar 15 Diagram alir perhitungan angkutan sedimen dan perubahan garis pantai.

65 IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Kecepatan Dan Arah Angin Untuk mengetahui perubahan garis pantai diperlukan data gelombang dan angkutan sedimen dalam periode yang panjang. Data pengukuran lapangan tinggi gelombang dan angkutan sedimen dalam jangka waktu panjang sangat sulit diperoleh sehingga dalam penelitian ini data tinggi dan periode gelombang di laut lepas (20 m) diperoleh dari hasil perhitungan dengan menggunakan data kecepatan angin. Data kecepatan dan arah angin harian selama 19 tahun (tahun ) diperoleh dari Stasiun Badan Meteorologi Maritim Makassar. Data tersebut kemudian ditabulasi dalam bentuk frekuensi dan presentase angin, seperti pada Tabel 4, dibuat dalam bentuk diagram mawar angin (windrose) seperti pada Gambar 16 dan Lampiran 7. Tabel 4 Persentase kecepatan dan arah angin harian selama tahun Arah Angin Kecepatan Angin harian (m/det) >=11.1 Total (Utara) (Timur Laut) (Timur) (Tenggara) (Selatan) (Barat Daya) (Barat) (Barat Laut) Sub Total Berdasarkan data angin di atas, maka diperoleh bahwa selama 19 tahun arah angin dominan dari arah barat (32.25%), barat laut (21.46%) dan barat daya (20.46%) seperti diperlihatkan pada Gambar 14. Kecepatan angin harian sebagian besar berkisar antara m/s (52.74%), dan antara m/detik (30.22%) seperti pada Gambar 17. Hasil ini sesuai dengan data angin reanalisis yang diunduh dari seperti diperlihatkan pada Lampiran 8.

66 52 Gambar 16 Mawar angin (wind rose) pada tahun % ,5-2, >= 11.1 Kelas Kecepatan Angin (m/s) Gambar 17 Diagram batang distribusi kecepatan angin tahun

67 53 Pada bulan Desember sampai Februari (musim barat) arah angin harian dominan berasal dari arah barat laut (39.48%) dan dari arah barat (28.05%), sedangkan kecepatan angin harian dominan berkisar antara m/s (32.65%) dan antara m/detik (31.49%). Pada bulan Juni sampai Agustus (musim timur) arah angin harian dominan berasal dari arah barat (39.30%) dan dari arah barat (22.42%), sedangkan kecepatan angin harian dominan berkisar antara m/s (68.76%) dan antara m/detik (23.68%) seperti diperlihatkan pada Gambar 18. Secara umum baik pada musim barat maupun musim timur arah angin harian dominan berasal dari arah Barat, Barat Laut dan Barat Daya. Kec. Angin (m/s) (a) (b) Gambar 18 Mawar angin (wind rose) (a) musim barat, (b) musim timur. 4.2 Bentuk Profil Pantai Dari data kedalaman dasar laut diperoleh bahwa pada pantai Barombong (lokasi A, B dan C) lebih dangkal dibandingkan dengan pantai Tanjung Merdeka (lokasi D dan E) dan pantai Tanjung Bunga (lokasi F dan G). Gambar 19 memperlihatkan bahwa pada pantai Barombong kedalaman laut 20 m berada pada jarak sekitar 3.5 km dari garis pantai, sedangkan pada pantai Tanjung Merdeka dan Tanjung bunga kedalaman laut 20 m berada pada jarak sekitar sekitar 2.5 km dari garis pantai.

68 54 Gambar 19 Hasil pengukuran kedalaman dasar laut. Untuk keperluan dalam melakukan koreksi terhadap garis pantai yang diperoleh dari citra maka dibuat 7 (tujuh) profil lereng pantai pada jarak 0 sampai 1 km ke lepas pantai, seperti ditunjukkan pada Gambar 20. Pada gambar tersebut diperoleh bahwa dari selatan ke utara (dari pantai Barombong sampai Tanjung bunga) lereng pantai cenderung semakin membesar. Lereng pantai di perairan Barombong berkisar antara %, di perairan Tanjung merdeka berkisar antara % dan di perairan Tanjung bunga berkisar antara %, seperti diperlihatkan pada Tabel 5. Tabel 5 Data kemiringan pantai pada pada jarak 0 sampai 1 km ke lepas pantai Barombong Tanjung Merdeka Tanjung Bunga Lokasi A B C D E F G Kelerengan (%)

69 55 Kedalaman (m) Jarak tegak lurus pantai (m) Lokasi A Lokasi B Lokasi C (a) (b) (c) Gambar 20 Hasil pengukuran kelerengan pantai (a) Tanjung Bunga, (b) Tanjung Merdeka, dan (c) Barombong.

70 Gelombang Karakteristikgelombanglaut lepas Perhitungan tinggi dan periode gelombang di laut lepas (Lampiran 9 dan 10) dilakukan dengan menggunakan data panjang fetch dan kecepatan angin. Karena pantai lokasi penelitian merupakan pantai barat, maka dalam perhitungan tinggi gelombang digunakan panjang fetch dari arah barat laut ( m), barat ( m) dan barat daya ( m). Tinggi dan periode gelombang pada kedalaman 20 m selama tahun diperlihatkan pada Gambar 21 dan 22. Hasil perhitungan tersebut diringkaskan seperti diperlihatkan pada Tabel 6 dan Gambar 23. Dari hasil perhitungan diperoleh bahwa tinggi gelombang yang terjadi selama tahun berkisar antara m, sedangkan periode gelombang berkisar antara detik. Tinggi dan periode gelombang yang terjadi di lokasi penelitian selama 19 tahun sangat bervariasi. Tinggi gelombang dominan berada pada kisaran m (46.05%) dan kemudian pada kisaran m (32.37%). Sedangkan arah gelombang dominan dari arah barat (43.48%), barat laut (28.93%) dan barat daya (27.59%), seperti diperlihatkan pada Tabel 6. Tinggi gelombang rata-rata bulanan yang terjadi umumnya lebih besar pada bulan Desember sampai Februari (musim barat) dibandingkan pada bulan Juni sampai Agustus (musim timur), kecuali pada tahun 2007 tinggi gelombang rata-rata bulanan terbesar pada bulan Juni separti diperlihatkan pada Gambar 23. Tinggi gelombang yang terjadi sangat dipengaruhi oleh kondisi angin musiman di Selat Makassar. Kecepatan dan arah angin di Selat Makassar dipengaruhi oleh sistim angin muson yang selalu berubah tergantung pada musim. Perubahan sistim angin muson di sebabkan oleh posisi matahari yang melintasi equator dua kali setiap tahun (Wrytki 1961). Berdasarkan letak geografis daerah penelitian yang menghadap ke barat, pantai di daerah tersebut dapat diterjang oleh hempasan gelombang yang dibangkitkan oleh angin yang berhembus dari Selat Makassar, terutama pada saat angin dari arah barat daya, barat dan barat laut. Di sekitar daerah penelitain terdapat beberapa pulau yang umumnya terletak di sebelah barat laut lokasi penelitian. Keberadaan pulau tersebut dapat berfungsi sebagai penghalang

71 57 gelombang sehingga gelombang yang dibangkitkan oleh angin dan bergerak menuju ke pantai dapat tertahan oleh pulau-pulau tersebut. Karena letak pulaupulau tersebut berada di sebelah barat laut, gelombang yang dibangkitkan oleh angin yang bersal dari arah barat laut umumnya lebih kecil dari pada gelombang yang berasal dari barat dan barat daya. Gambar 21 Tinggi gelombang harian selama tahun Gambar 22 Periode gelombang harian selama tahun

72 58 Tabel 6 Presentase tinggi dan arah gelombang laut pada kedalaman 20 m selama tahun Arah Gelombang Tinggi Gelombang (m) (dari) 0-0, >= 1.00 Total Barat Laut Barat Barat Daya Total (a) (b) Gambar 23 Tinggi dan periode gelombang bulanan (a) tahun , (b) tahun

73 Transformasigelombang Berdasarkan bentuk pantai dan arah angin yang dapat membangkitkan gelombang pada lokasi penelitian, maka perhitungan transformasi gelombang dilakukan dalam tiga arah yaitu arah barat daya, barat dan barat laut. Pada saat gelombang merambat dari arah barat daya, terlihat adanya perubahan garis ortogonal gelombang yaitu arah perambatan gelombang yang membelok ke kiri dan cenderung untuk tegak lurus dengan garis pantai (Gambar 24a), pada saat gelombang berasal dari arah barat, arah perambatan gelombang pada umumnya lurus menuju ke pantai (Gambar 24b) kecuali pada pantai Tanjung Bunga (lokasi F dan G), dan di sekitar muara bagian selatan (lokasi C dan D) arah gelombang cenderung mengumpul (Gambar 24d). Pada saat gelombang berasal dari arah barat daya arah perambatan gelombang membelok ke kanan dan cenderung untuk tegak lurus dengan garis pantai (Gambar 24c). Perubahan arah gelombang terutama terjadi pada saat gelombang sudah dekat dengan pantai. Perubahan arah gelombang disebabkan oleh pengaruh refraksi karena adanya perbedaan kecepatan rambat gelombang. Perbedaan kecepatan gelombang terjadi di sepanjang garis muka gelombang yang bergerak membentuk sudut terhadap garis pantai. Gelombang yang berada pada laut yang lebih dalam bergerak lebih cepat dari pada gelombang yang berada pada laut yang lebih dangkal (USACE 2003a). Perubahan arah gelombang menyebabkan terjadinya pengumpulan garis arah gelombang (konvergensi) pada garis pantai yang menjorok ke laut dan terjadi penyebaran (divergensi) pada garis pantai yang menjorok ke darat. Konvergensi gelombang terjadi pada lokasi C, D, E dan F. Pantai yang mempunyai kelerengan lebih curam (pantai Tanjung Merdeka dan Tanjung Bunga) tinggi gelombang yang terjadi lebih besar dari pada pantai yang mempunyai kelerengan landai (pantai Barombong).

74 G F E D C B A (a) G F E G F E D C B A (b) D D C B C A (c) (d) Gambar 24 Proses refraksi gelombang yang menuju pantai (a) arah gelomabng dari barat laut, (b) dari barat, (c) dari barat daya dan (d) dari barat yang diperbesar pada lokasi C dan D. Pada saat gelombang merambat dari laut lepas menuju ke pantai, tinggi gelombang tersebut mula-mula mengalami penurunan di perairan transisi dan di perairan yang sangat dangkal tinggi gelombang membesar secara perlahan hingga mencapai tinggi maksimum saat gelombang pecah. Penurunan tinggi gelombang mulai terjadi pada kedalaman 10 m kemudian pada kedalaman 5 m tinggi gelombang mulai membesar sampai pecah, dan tinggi gelombang berkurang secara drastis hingga bernilai nol pada garis pantai seperti diperlihatkan pada Gambar 25. Perubahan tinggi gelombang yang terjadi selama menjalar dari laut lepas ke pantai disebabkan oleh pengaruh shoaling dan refraksi karena adanya perubahan kedalaman laut (USACE 2003a). Hasil ini menunjukkan adanya kemiripan dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Balas dan Inan (2002) di pantai Turki

75 61 yaitu pada saat gelombang tiba di pantai, tinggi gelombang mengalami peningkatan sampai gelombang pecah. Perbedaan model ini dengan model yang dibuat oleh Balas dan Inan (2002) adalah model ini menggunakan persamaan CEM yang dibangun oleh US Army Corps of Engineers sedangkan dalam model Balas dan Inan (2002) menggunakan persamaan Mild Slopes. (a) (b) (c) Gambar 25 Perubahan tinggi gelombang dari laut lepas sampai pada saat gelombang pecah, (a) i = 250, (c) i = 630 dan (c) i = 940.

76 62 Gelombang yang bergerak dari laut lepas menuju ke pantai akan mengalami perubahan tinggi dan arah karena adanya pengaruh perubahan kedalaman laut. Di laut lepas bentuk gelombang adalah sinusoidal, pada saat gelombang memasuki perairan dangkal puncak gelombang menjadi semakin tajam sementara lembah gelombang menjadi semakin landai. Pada suatu kedalaman tertentu puncak gelombang semakin tajam sehingga tidak stabil dan pecah. Setelah pecah gelombang terus menjalar ke pantai, dan semakin dekat dengan pantai tinggi gelombang semakin berkurang. Pada saat gelombang mengalami proses transformasi, selain terjadi perubahan tinggi gelombang juga terjadi perubahan arah gelombang. Tinggi dan arah gelombang di daerah pantai sangat penting dalam menentukan laju angkutan sedimen di daerah pantai dan perubahan garis pantai (Ashton & Murray 2006 ). Hasil perhitungan tinggi gelombang pecah yang diperlihatkan pada Gambar 26 dilakukan dengan menggunakan tinggi gelombang laut lepas: H 0 = 0.69, H 0 = 0.98 dan H 0 = 1.56 m. Hasil perhitungan diperoleh bahwa untuk input H 0 = 0.69 m, tinggi gelombang pecah yang diperoleh berkisar antara m, untuk input H 0 = 0.98 m tinggi gelombang pecah yang terjadi berkisar antara m, untuk input H 0 = 1.56 m tinggi gelombang pecah yang terjadi berkisar antara m. Gambar 26 Tinggi gelombang pecah sepanjang pantai dengan tinggi gelombang laut lepas (H 0 ) yang berbeda.

77 63 Hasil perhitungan tinggi gelombang pecah, secara umum menunjukkan kecenderungan yang sama dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Abdallah et al. (2006) yang mengamati transformasi gelombang di Tanjung Rosetta, Teluk Abu-Qir. Tinggi gelombang pecah pada kedua sisi Tanjung Rosetta hampir sama. Untuk tiggi gelombang laut lepas 1 m, gelombang pecah terjadi pada kedalaman air sekitar 1.7 m dengan tinggi gelombang pecah 1.5 m. Dalam penelitian ini model transformasi gelombang menggunakan persamaan CEM (USACE 2003a) dan kriteria gelombang pecah menggunakan persamaan Horikawa (1988), sedangkan pada model Abdallah et al. (2006) menggunakan program ACES. Jarak gelombang pecah ke garis pantai (surf zone) tergantung pada tinggi gelombang yang datang dan kelerengan pantai. Semakin tinggi gelombang yang datang, semakin lebar surf zone dan semakin kecil kelerengan pantai, semakin lebar surf zone. Jarak gelombang pecah ke garis pantai diperlihatkan pada Gambar 27. Lokasi gelombang pecah terhadap garis pantai bervariasi sebagai fungsi dari posisi. Gelombang yang lebih besar bergerak menuju pantai cenderung pecah lebih jauh dari garis pantai dibandingkan dengan gelombang yang kecil (Thornton & Guza 1983). Hal ini mungkin disebabkan karena semakin besar gelombang laut lepas yang bergerak menuju pantai semakin besar pula gelombang pecah dan semakin besar kedalaman laut dimana gelombang tersebut pecah. Lebar surf zone untuk tinggi gelombang H 0 = 1.56 m lebih besar dari pada H 0 = 0.69 dan H 0 = 0.98 m. Untuk tinggi gelombang laut lepas H 0 = 0.69 m, lebar surf zone berkisar antara m, untuk tinggi gelombang laut lepas Ho = 0.98 m, lebar surf zone berkisar antara m dan untuk H 0 = 1.56 m, berkisar antara m. Pada Gambar 25 terlihat bahwa lebar surf zone pada lokasi C, D dan E lebih besar dari pada lokasi A, B, F dan G. Hal ini disebabkan karena kelerengan pantai pada lokasi C, D dan E lebih landai dibandingkan pada lokasi A, B, F dan G.

78 64 Lokasi gelombang pecah A B C D E F G Gambar 27 Jarak gelombang pecah dari garis pantai dengan tinggi gelombang laut lepas (H 0 ) yang berbeda. 4.4 Pasang surut Data pasang surut (Gambar 28) yang diperoleh dari hasil pengukuran di lapangan diolah untuk memperoleh konstanta harmonik pasang surut dengan metode Admiralty Hasil perhitungan konstanta harmonik pasang surut di diperlihatkan pada Tabel 7. Dari nilai konstanta harmonik pasang surut, diperoleh bilangan Formzahl (F) sebesar 2.4. Berdasarkan kriteria courtier range, nilai tersebut termasuk dalam tipe pasang surut campuran condong ke harian tunggal (mixed tide prevailing diurnal). Hal ini menunjukkan bahwa dalam satu hari terjadi satu kali air pasang dan satu kali air surut. Posisi muka air (cm) Jam Gambar 28 Grafik data pasang surut di lokasi penelitian.

79 65 Tabel 7 Hasil perhitungan konstanta harmonik pasang surut Kota Makassar So M2 S2 N2 K2 K1 O1 P1 M4 MS4 Amplitudo (cm) Fase (der) Perhitungan tunggang pasang surut untuk pasang surut harian tunggal dilakukan dengan menggunakan persamaan yang dikemukakan oleh Beer (1997) seperti diperlihatkan pada Tabel 8. Tunggang pasang surut didasarkan pada tinggi muka air laut rata-rata (MSL) artinya ketinggian MSL adalah nol. Dari hasil perhitungan diperoleh bahwa tunggang pasang surut pada saat pasang purnama (spring tide)sebesar 81 cm, sedangkan pada saat pasang perbani (neap tide) tunggang pasang surut sebesar 61 cm. Tabel 8 Hasil perhitungan tunggang air pasang surut pada referensi MSL (Beer 1997) Karakteristik Pasang Surut Persamaan Posisi (cm) Tunggang Pasang (cm) MHWS S 0 + (M 2 + K 1 + O 1 )/ MHWN S 0 + (K 1 + O 1 -M 2 )/ MSL 0 MLWN S 0 -(K 1 + O 1 -M 2 )/ MLWS S 0 -(M 2 + K 1 + O 1 )/ Neap tide Spring tide 4.5 Sedimen Pantai Karakteristi sedimen pantai Penentuan karakteristik sedimen pantai dilakukan pada 7 lokasi yang bertujuan mengetahui massa jenis dan tekstur sedimen di sepanjang pantai lokasi penelitian. Hasil perhitungan massa jenis dan persentase butiran sedimen diperlihatkan pada Tabel 9. Nilai persentase sedimen digunakan untuk menentukan nilai statistik (mean, skewness, sorting dan kurtosis) butiran sedimen, seperti diperlihatkan pada Tabel 10.

80 66 Tabel 9 Hasil perhitungan persentase diameter butiran sedimen Lokasi Nilai Ø A B C D E F G Berdasarkan hasil analisis data sedimen diperoleh bahwa secara umum nilai rata-rata massa jenis sediman berkisar antara kg/m 3, sedangkan diameter dari 50% butiran sedimen (d 50 ) berkisar antara mm. Nilai pemilahan sedimen (sorting) berkisar antara phi unit yang didominasi oleh Moderately Sorted, nilai kepencongan (skewness) berkisar phi unit yang didominasi oleh Very Fine Skewed, sedangkan nilai kurtosis lebih bervariasi yaitu berkisar phi unit yang didominasi oleh Platykurtic, seperti diperlihatkan pada Tabel 10. Tabel 10 Massa jenis dan statistik butiran sedimen di sepanjang patai lokasi penelitian Massa jenis d 50 Lokasi (kg/m 3 ) (mm) Mean Skewness Sorting Kurtosis A Medium sand Fine Skewed Poorly Sorted Platykurtic B Medium sand Very Fine Skewed Moderately Sorted Platykurtic C Coarse sand Very Fine Skewed Poorly Sorted Platykurtic D Coarse sand Very Fine Skewed Moderately Sorted Very leptokurtic E Coarse sand Very Fine Skewed Moderately Sorted Leptokurtic F Coarse sand Very Fine Skewed Moderately Sorted Leptokurtic G Coarse sand Very Fine Skewed Moderately Sorted Mesokurtic

81 67 Pada pantai bagian selatan (Pantai Barombong; lokasi A, B dan C) memiliki karakterisitik sedimen dasar dalam bentuk pasir sangat halus sampai pasir sangat kasar yang didominasi oleh pasir kasar (43-48%), pasir sedang (22-24%) dan pasir halus (20-28%) seperti diperlihatkan pada Gambar 29. Nilai diameter sedimen rata-rata di pantai Barombong lebih kecil dari pada lokasi lainnya yaitu berkisar mm. Pantai Barombong memiliki nilai kondisi pemilahan sedimen berkisar antara phi unit, yang termasuk dalam kelompok moderately sorted dan Poorly Sorted, nilai kepencongan berkisar phi unit, yang termasuk dalam kelompok fine skewed dan very fine skewed, sedangkan nilai kurtosis berkisar phi unit, yang termasuk dalam kelompok Platykurtic. Gambar 29 Persentase jenis sedimen di sepanjang patai Barombong. Pantai Tanjung Merdeka (lokasi D dan E) juga memiliki karakterisitik sedimen dasar dalam bentuk pasir sangat halus sampai pasir sangat kasar yang didominasi oleh pasir kasar (54-60%) dan pasir sedang (16-18%) seperti diperlihatkan pada Gambar 30. Nilai diameter sedimen rata-rata di pantai Tanjung Merdeka berkisar antara mm. Nilai kondisi pemilahan sedimen berkisar antara phi unit, yang termasuk dalam kelompok moderately sorted dan Poorly Sorted, nilai kepencongan berkisar phi unit, yang termasuk dalam kelompok very fine skewed, sedangkan nilai kurtosis berkisar phi unit, yang termasuk dalam kelompok Platykurtic, Leptokurtic dan Very leptokurtic.

82 68 Gambar 30 Persentase jenis sedimen di sepanjang patai Tanjung Merdeka. Pada pantai Tanjung bunga terdapat dua lokasi pengamatan karakteristik sedimen, yaitu pada lokasi F dan G. Kedua lokasi pengamatan tersebut memiliki karakterisitik sedimen dasar dalam bentuk pasir sangat halus sampai pasir sangat kasar, yang didominasi oleh pasir kasar (57-63%) dan pasir sedang (17-19%) seperti diperlihatkan pada Gambar 31. Nilai diameter sedimen rata-rata di pantai Tanjung Bunga berkisar mm. Nilai ini lebih besar dibandingkan dengan pantai Tanjung Merdeka dan Barombong. Hal ini dapat terjadi karena di pantai Tanjung Bunga memiliki tinggi gelombang pecah lebih besar dari pada pantai Barombong dan Tanjung Merdeka. Gelombang yang tinggi mempunyai energi gelombang yang besar sehingga dapat menggerakkan partikel sedimen di pantai dan butiran pasir yang lebih halus terangkut ke tempat lain. Nilai kondisi pemilahan sedimen di pantai Tanjung Bunga berkisar phi unit, yang termasuk dalam kelompok moderately sorted, nilai kepencongan berkisar phi unit, yang termasuk dalam kelompok very fine skewed, sedangkan nilai kurtosis berkisar phi unit, yang termasuk dalam kelompok mesokurtic dan Leptokurtic.

83 69 Gambar 31 Persentase jenis sedimen di sepanjang patai Tanjung Bunga Angkutan sedimen sejajar pantai Hasil perhitungan angkutan sedimen di sepanjang pantai menunjukkan bahwa pada saat gelombang datang dari arah barat daya dan barat, laju angkutan sedimen sejajar pantai dominan ke arah utara, sedangkan pada saat gelombang datang dari arah barat laut angkutan sedimen sejajar pantai dominan ke arah selatan seperti diperlihatkan pada Gambar 32. Pada saat gelombang datang dari arah barat daya (terutama terjadi pada bulan Desember-Maret) besar angkutan sedimen berkisar antara m 3 /hari dengan rata-rata 20.6 m 3 /hari ke arah utara dan m 3 /hari dengan rata-rata 2.7 m 3 /hari ke arah selatan. Netto angkutan sedimen pada saat gelombang dari arah barat daya adalah 17.9 m 3 /hari ke arah utara. Pada saat gelombang datang dari arah barat besar angkutan sedimen berkisar antara m 3 /hari dengan rata-rata 19.9 m 3 /hari ke arah utara dan m 3 /hari dengan rata-rata 11.9 m 3 /hari ke arah selatan. Netto angkutan sedimen pada saat gelombang dari arah barat adalah 8.0 m 3 /hari ke arah utara. Ketika gelombang dari barat, arah angkutan sedimen pada beberapa lokasi bergerak ke utara dan sebagian lokasi ke selatan, hal ini disebabkan karena orientasi pantai yang tidak lurus (berkelok). Pada saat gelombang datang dari arah barat laut besar angkutan sedimen di sepanjang pantai berkisar antara m 3 /hari dengan rata-rata 2.6 m 3 /hari ke

84 70 arah utara dan m 3 /hari dengan rata-rata 19.7 m 3 /hari ke arah selatan. Netto angkutan sedimen pada saat gelombang dari arah barat laut adalah 17.1 m 3 /hari ke arah selatan. Hasil perhitungan netto angkutan sedimen sejajar pantai ke utara dan ke selatan menunjukan bahwa angkutan sedimen di lokasi penelitian dominan ke arah utara. Angkutan sedimen sejajar pantai (m 3 /hari) Gelombang dari Barat Daya Gelombang dari Barat Ke Utara Ke Selatan Netto Gelombang dari Barat Laut Ke utara Ke selatan Gambar 32 Besar angkutan sedimen di sepanjang pantai dengan arah datang gelombang dari barat daya, barat dan barat laut Hasil perhitungan angkutan sedimen di setiap lokasi diperlihatkan pada Gambar 33. Ketika gelombang datang dari arah barat daya angkutan sedimen semuanya menuju ke arah utara di lokasi A yaitu sekitar 37.4 m 3 /hari, sedangkan pada saat gelombang datang dari arah barat laut angkutan sedimen semuanya ke arah selatan sekitar 19.4 m 3 /hari. Pada saat gelombang datang dari arah barat angkutan sedimen ke arah utara sekitar 23.0 m 3 /hari. Besar angkutan sedimen rata-rata di lokasi ketika gelombang datang dari arah barat daya adalah 25.1 m 3 /hari ke arah utara. Pada saat gelombang datang dari arah barat laut sekitar 24.4 m 3 /hari ke arah utara, dan 21.6 m 3 /hari ke arah selatan, sedangkan pada saat gelombang datang dari arah barat sekitar 9.2 m 3 /hari ke arah utara, dan 2.6 m 3 /hari ke arah selatan. Ketika gelombang datang dari arah barat daya besar angkutan sedimen ratarata di lokasi C sekitar 8.0 m 3 /hari ke arah utara, dan 11.1 m 3 /hari ke arah selatan. Pada saat gelombang datang dari arah barat laut sekitar 38 m 3 /hari ke arah utara,

85 71 dan pada saat gelombang datang dari arah barat sekitar 23.6 m 3 /hari ke arah selatan. Pada lokasi D ketika gelombang datang dari arah barat daya angkutan sedimen semuanya menuju ke arah utara dengan rata-rata 35.2 m 3 /hari, sedangkan pada saat gelombang datang dari arah barat laut angkutan sedimen ke arah utara sekitar 29.2 m 3 /hari dan sekitar 31.2 ke selatan. Pada saat gelombang datang dari arah barat besar angkutan sedimen ke arah utara adalah 38.4 m 3 /hari, sedangkan ke arah selatan sebesar 33.7 m 3 /hari. Angkutan sedimen pada lokasi E semua menuju ke arah utara ketika gelombang datang dari arah barat daya sebesar 23.2 m 3 /hari, sedangkan pada saat gelombang datang dari arah barat laut sekitar 26.1 m 3 /hari utara dan sekitar 19.8 m 3 /hari ke arah selatan. Pada saat gelombang datang dari arah barat angkutan sedimen ke arah utara sebesar 16.5 m 3 /hari dan sekitar 5.5 m 3 /hari ke selatan. Lokasi F, ketika gelombang datang dari arah barat daya semua angkutan sedimen menuju ke arah utara sebesar 94.6 m 3 /hari. Pada saat gelombang datang dari arah barat laut angkutan sedimen ke arah utara sekitar 26.6 m 3 /hari dan 36.3 m 3 /hari ke selatan. Pada saat gelombang datang dari arah barat sekitar 35.6 m 3 /hari ke arah utara dan sekitar 7.4 m 3 /hari ke arah selatan. Pada saat gelombang datang dari arah barat daya, angkutan sedimen yang terjadi pada lokasi G semua menuju ke arah utara yaitu m 3 /hari, sedangkan pada saat gelombang datang dari arah barat laut semua angkutan sedimen ke arah selatan sebesar m 3 /hari. Pada saat gelombang datang dari arah barat angkutan sedimen ke arah utara sebesar m 3 /hari. Dari hasil perhitungan menunjukkan bahwa angkutan sedimen di pantai Tanjung Bunga lebih besar dari pada pantai lainnya. Terjadinya variasi angkutan sedimen antar lokasi terutama disebabkan karena adanya perbedaan sudut gelombang pecah. Angkutan sedimen pada pantai Tanjung Bunga disebabkan karena pantai Tanjung Bunga mempunyai orientasi garis pantai yang cenderung menghadap ke barat laut sehingga pada saat gelombang berasal dari barat dan barat daya sudut gelombang pecah lebih besardari pada pantai barombong dan Tanjung Merdeka angkutan sedimen pada pantai Tanjung Bunga lebih besar dari pada pantai lainnya.

86 72 Angkutan sedimen (m 3 /hari) Gelombang dari barat daya Gelombang dari barat Gelombang dari barat laut A B C D E F G Utara Lokasi Selatan Gambar 33 Besar angkutan sedimen pada setiap lokasi daerah penelitian. 4.6 Perubahan Garis Pantai a. Hasil citra satelit Perubahan garis pantai diteliti dengan menggunakan citra landsat tahun 1990, 1999, 2003 dan Garis pantai tahun 1990 digunakan sebagai garis pantai awal untuk melihat besar perubahan garis pantai yang terjadi selama tahun Hasil digitasi garis pantai diperlihatkan pada Gambar 34, yang merupakan hasil tumpang tindih (overlay) citra tahun 1990, 1999, 2003 dan Secara umum terlihat bahwa selama tahun telah terjadi abrasi di satu sisi dan mengalami sedimentasi di sisi yang lain (Tabel 11). Hasil yang diperoleh menunjukkan kemiripan dengan penelitian yang telah dilakukan sebelumnya seperti Purba dan Jaya (2004) yang melakukan penelitian tentang perubahan garis pantai dan penutupan lahan di pesisir lampung timur dengan menggunakan citra landsat-tm tahun 1991, 1999, 2001 dan Pantai Barombong, pada tahun 1999 mengalami proses abrasi terutama terjadi di lokasi C yaitu garis pantai mundur sampai 47.8 m (lokasi C bagian selatan) dan pada lokasi C bagian utara telah terjadi sedimentasi yaitu garis pantai telah maju sejauh 67.5 m ke arah laut, pada tahun 2008 proses abrasi menurun menjadi 20.8 m, sedangkan proses sedimentasi menjadi 13.6 m.

87 73 G B D Tanjung Merdeka F Tanjung Bunga Tanjung Bunga Barombong S. Jeneberang # A C Barombong E Tanjung Merdeka Gambar 34 Perubahan garis pantai hasil citra tahun (atas) dan diperbesar pada lokasi A, B, C,D, E, F dan G (bawah).

88 74 Tabel 11 Jarak maksimum perubahan garis pantai hasil citra tahun , citra tahun 1990 digunakan sebagai titik awal perubahan Jarak Maksimum Perubahan Garis Pantai (m) Lokasi Tahun Abrasi Sedimentasi Abrasi Sedimentasi Abrasi Sedimentasi A B C D E F G Pantai Tanjung Merdeka, pada tahun 1999 mengalami proses abrasi terutama di lokasi E sebesar 38.5 m, sedangkan proses sedimentasi terutama terjadi pada lokasi D yaitu garis pantai telah maju sejauh m dengan laju akresi sekitar 13.4 m/tahun. Pada tahun 2003 pantai Tanjung Merdeka telah mulai mengalami abrasi dan pada tahun 2008 proses abrasi semakin meningkat menjadi 64.2 m di lokai E dengan laju abrasi sekitar 7.1 m/tahun, sedangkan proses sedimentasi pada lokasi Dturun menjadi 59.4 m (Gambar 35). Pantai Tanjung Bunga, telah terjadi proses abrasi sepanjang tahun yaitu pada tahun 2008 lokasi F mengalami abrasi sejauh 66.9 m, dan pada lokasi G mengalami abrasi terbesar yaitu sejauh m. Selama tahun laju abrasi di pantai Tanjung Bunga berkisar 3.5 m/tahun di lokasi G, sedangkan di lokasi F berkisar 10.0 m/tahun. Proses abrasi dan akresi yang terjadi terutama disebabkan oleh orientasi pantai lokasi penelitian yang berkelok-kelok. Pada pantai yang menjorok ke laut mengalami abrasi, sedangkan pantai yang menjorok ke darat mengalami akresi. Selain itu juga dipengaruhi oleh penutupan muara Sungai Jeneberang dan pembangunan bendungan karet dan Bendungan Serbaguna Bilibilisehingga suplai sedimen ke pantai semakin berkurang sedangkan hempasan gelombang mengangkut sedimen yang berada di pantai.

89 75 Jarak Tegak Lurus Pantai (m) Laut Darat Laut Tahun 1999 A B C D E F G Jarak Sejajar Pantai (m) (a) Tahun 2003 Jarak Tegak Lurus Pantai (m) A B C D E F G Jarak Tegak Lurus Pantai (m) Darat Laut Darat (c) Gambar 35 Jarak perubahan garis pantai hasil citra (a) tahun 1999, (b) 2003 dan (c) 2008 terhadap hasil citra tahun (b) Jarak Sejajar Pantai (m) 4000 Tahun 2008 A B C D E Jarak Sejajar Pantai (m) F G

90 76 b. Hasil model Untuk mengetahui berapa besar perbedaan perubahan garis pantai antara hasil prediksi model dan hasil citra, dilakukan tumpang tindih garis pantai awal (tahun 1990), garis pantai citra pada tahun 1999 dan garis pantai hasil prediksi model tahun 1999 seperti diperlihatkan pada Gambar 36. Tumpang tindih garis pantai citra pada tahun 2003 dan garis pantai hasil prediksi model tahun 2003 diperlihatkan pada Gambar 37 dan untuk tahun 2008 diperlihatkan pada Gambar 38. Berdasarkan hasil tumpang tindih garis pantai hasil citra dan model menunjukkan adanya kemiripan pola garis pantai. Perubahan garis pantai hasil model dan citra keduanya menunjukkan lokasi yang sama dimana proses abrasi dan akresi terjadi relatif terhadap garis pantai awal. Dari hasil tumpang tindih garis pantai 1999, diperoleh selisih anatara garis pantai hasil model dengan garis pantai hasil citra seperti diperlihatkan pada Tabel 12. Pada tahun 1999 secara keseluruhan selisih antara hasil model dengan hasil citra pada semua lokasi berkisar m, perbedaan ini terutama terjadi pada lokasi D. Pada tahun 2003 selisih antara garis pantai hasil model dan citra terbesar terjadi pada lokasi E berkisara m. Pada tahun 2008 selisih antara garis pantai hasil model dan hasil citra terbesar terjadi pada lokasi C berkisar m yang terjadi pada lokasi C. Garis pantai hasil model ini diperoleh setelah dilakukan proses coba ulang (trial and error) yaitu dengan cara mengubah-ubah nilai Cn (persentase kejadian gelombang). Nilai Cn yang digunakan dalam model ini adalah 0.01, sedangkan Komar (1983) menggunakan niali Cn = Selain itu pada model perhitungan angkutan sedimen dilakukan penyesuaian terhadap persamaan yang digunakan pada titik grid Perhitungan besar angkutan sedimen pada lokasi tersebut dikalikan dengan suatu besaran yang ditentukan melalui persamaan : Q i = Q t * (1, , *x *x 2-0, *x 3 + 0, *x 4 )

91 77 G B D Tanjung Merdeka F Tanjung Bunga Barombong S. Jeneberang A C Barombong E Tanjung Merdeka Gambar 36 Perubahan garis pantai hasil citra dan hasil model tahun 1999 (atas) dan diperbesar pada lokasi A, B, C,D, E, F dan G (bawah).

92 78 G B Barombong D Tanjung Merdeka S. Jeneberang F Tanjung Bunga A C Barombong E Tanjung Merdeka Gambar 37 Perubahan garis pantai hasil citra dan hasil model tahun 2003 (atas) dan diperbesar pada lokasi A, B, C,D, E, F dan G (bawah).

93 79 G B D Tanjung Merdeka F Tanjung Bunga Barombong S. Jeneberang A C Barombong E Tanjung Merdeka Gambar 38 Perubahan garis pantai hasil citra dan hasil model tahun 2008 (atas) dan diperbesar pada lokasi A, B, C,D, E, F dan G (bawah). Dari hasil tumpang tindih garis pantai hasil model dan hasil citra diperoleh bahwa persentase kesalahan hasil model terhadap citra berkisar antara % (Tabel 12). Pada penelitian ini perubahan garis pantai dari citra satelit diperoleh dari citralandsat yang mempunyai resolusi spasial 30 x 30 meter, dimana 50%

94 80 dari resolusi satelit yang digunakan adalah kemungkinan penyebab error terhadap perhitungan garis pantai. Tabel 12 Selisih perubahan garis pantai antara hasil citra pada tahun yang samadan hasil model relatif terhadap garis pantai awaltahun 1990 Selisih Perubahan Garis Pantai Tahun Lokasi Jarak Jarak Error Jarak Jarak Error Jarak Jarak Error Rata-rata Rata-rata Rata-rata Rata-rata Rata-rata Rata-rata (m) (m) (%) (m) (m) (%) (m) (m) (%) A B C D E F G Morfologi garis pantai di sepanjang lokasi penelitian berkelok-kelok, seperti pantai Barombong bagian selatan (lokasi A) dan pantai Barombong bagian tengah (lokasi B) mempunyai bentuk garis pantai yang menjorok ke darat, sedangkan pantai Barombong bagian utara (lokasi C) menjorok ke laut. Garis pantai Tanjung Merdeka bagian selatan berbentuk tonjolan sedangkan barombong bagian utara berbentuk lurus. Garis pantai Tanjung Bunga (lokasi F dan G) menjorok ke laut. Hasil prediksi model (Gambar 39) juga memperlihatkan bahwa selama tahun sepanjang garis pantai telah terjadi proses abrasi di satu sisi dan mengalami sedimentasi di sisi yang lain. Proses abrasi terutama terjadi di pantai Tanjung Bunga (lokasi F dan G) dan pantai Tanjung Merdeka bagian utara (lokasi E). Proses abrasi pada pantai Tanjung Bunga terjadi karena sudut gelombang pecah yang terjadi cukup besar sehingga anggkutan sedimen juga besar sedangkan suplai sedimen dari Sungai Jeneberang berkurang. Proses akresi terutama terjadi di pantai Tanjung Merdeka bagian selatan (lokasi D) dan pantai Barombong bagian tengah. Proses akresi terjadi karena perubahan garis pantai di sekitar muara sungai sangat dipengaruhi oleh suplai

95 81 sedimen dari sungai (Ashton & Murray 2006) dimana pantai Tanjung Merdeka bagian selatan dan Barombong tetap mendapat suplai sedimen dari Sungai Jeneberang yang lebih besar dari pada angkutan sedimen akibat gelombang G B D Tanjung Merdeka F Tanjung Bunga Barombong S. Jeneberang A C Barombong E Tanjung Merdeka Gambar 39 Perubahan garis pantai hasil model tahun (atas) dan diperbesar pada lokasi A, B, C,D, E, F dan G (bawah).

96 82 Selama tahun gelombang yang berasal dari arah barat dan barat daya lebih dominan pengaruhnya dari pada barat laut. Gelombang yang berasal dari arah barat dan barat daya menyebabkan angkutan sedimen ke utara, sedangkan yang berasal dari arah barat laut akan menyebabkan angkutan sedimen ke arah selatan. Karena angkutan sedimen dominan ke arah utara, maka pertumbuhan daratan cenderung ke arah utara. Hasil penelitian yang sama juga didapatkan oleh Departemen PU. (1989) dan Suriamihardja (2005) bahwa angkutan sedimen di sepanjang pantai delta Sungai Jeneberang dominan ke utara. Hasil prediksi model memperlihatkan bahwa pada tahun pantai Tanjung Merdeka mengalami akresi sejauh m dengan laju akresi sekitar 14.0 m/tahun. Pada tahun 2003 pantai Tanjung Bunga telah mengalami abrasi sejauh 91.9 m dan semakin meningkat pada tahun 2008 menjadi m. Laju abrasi di pantai Tanjung Bunga selama tahun sebesar 9.5 m/tahun (Tabel 13). Tabel 13 Jarak maksimumperubahan garis pantai hasil model tahun Jarak Maksimum Perubahan Garis Pantai (m) Lokasi Tahun Abrasi Sedimentasi Abrasi Sedimentasi Abrasi Sedimentasi A B C D E F G Berdasarkan pada Gambar 39, maka teridentifikasi pantai yang mengalami abrasi dan akresi seperti diperlihatkan pada Gambar 40. Hasil prediksi model menunjukan bahwa luas lahan yang mengalami abrasi di sepanjang pantai pada tahun sekitar 24.5ha, sedangkan yang mengalami akresi sekitar 6.2 ha. Berdasarkan luas lahan yang mengalami abrasi, maka diperkirakan jumlah sedimen yang terangkut selama tahun sekitar m 3 atau m 3 /tahun, sedangkan yang tersedimentasi sekitar m 3 atau m 3 /tahun.

97 83 Hasil digitasi citra menunjukan bahwa luas lahan yang mengalami abrasi di sepanjang pantai pada tahun sekitar 26.2 ha, sedangkan yang mengalami akresi sekitar 6.4 ha. Berdasarkan luas lahan yang mengalami abrasi, maka diperkirakan bahwa jumlah sedimen yang terangkut sekitar m3 atau m3/tahun, sedangkan jumlah sedimen yang terendapkan sekitar m3 atau m3/tahun (Tabel 14). Gambar 40 Lokasi pantai yang mengalami abrasi dan akresi. Tabel 14 Luas lahan yang mengalami abrasi dan akreasi serta jumlah sedimen yang terangkut dan terendapkan dari hasil model dan hasil citra Hasil Model Hasil Citra Luas (ha2) Q (m3/19 th) Q (m3/ th) Luas (ha2) Q (m3/19 th) Q (m3/ th) Abrasi Akresi

I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Wilayah pantai merupakan suatu zona yang sangat dinamik karena merupakan zona persinggungan dan interaksi antara udara, daratan dan lautan. Zona pantai senantiasa memiliki

Lebih terperinci

II TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 Gelombang

II TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 Gelombang II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Gelombang Dinamika yang terjadi di pantai dipengaruhi oleh beberapa faktor diantaranya adalah gelombang, suplai sedimen dan aktifitas manusia (Sorensen 1993). Mula-mula angin membangkitkan

Lebih terperinci

IV HASIL DAN PEMBAHASAN

IV HASIL DAN PEMBAHASAN IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Kecepatan Dan Arah Angin Untuk mengetahui perubahan garis pantai diperlukan data gelombang dan angkutan sedimen dalam periode yang panjang. Data pengukuran lapangan tinggi gelombang

Lebih terperinci

II TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 Pembangkitan Gelombang oleh Angin

II TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 Pembangkitan Gelombang oleh Angin II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pembangkitan Gelombang oleh Angin Proses pembentukan gelombang oleh angin Menurut Komar (1976) bahwa angin mentransfer energi ke partikel air sesuai dengan arah hembusan angin.

Lebih terperinci

Gambar 15 Mawar angin (a) dan histogram distribusi frekuensi (b) kecepatan angin dari angin bulanan rata-rata tahun

Gambar 15 Mawar angin (a) dan histogram distribusi frekuensi (b) kecepatan angin dari angin bulanan rata-rata tahun IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Karakter Angin Angin merupakan salah satu faktor penting dalam membangkitkan gelombang di laut lepas. Mawar angin dari data angin bulanan rata-rata selama tahun 2000-2007 diperlihatkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Gambar 1.1 : Definisi visual dari penampang pantai (Sumber : SPM volume 1, 1984) I-1

BAB I PENDAHULUAN. Gambar 1.1 : Definisi visual dari penampang pantai (Sumber : SPM volume 1, 1984) I-1 BAB I PENDAHULUAN Pantai merupakan suatu sistem yang sangat dinamis dimana morfologi pantai berubah-ubah dalam skala ruang dan waktu baik secara lateral maupun vertikal yang dapat dilihat dari proses akresi

Lebih terperinci

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR TRANSFORMASI GELOMBANG DAN PENGARUHNYA TERHADAP DINAMIKA PANTAI MUARA AJKWA TAHUN 1993-2007 MUKTI TRENGGONO SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2009 PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER

Lebih terperinci

BAB V Analisa Peramalan Garis Pantai

BAB V Analisa Peramalan Garis Pantai 155 BAB V ANALISA PERAMALAN GARIS PANTAI. 5.1 Bentuk Pantai. Pantai selalu menyesuaikan bentuk profilnya sedemikian sehingga mampu menghancurkan energi gelombang yang datang. Penyesuaian bentuk tersebut

Lebih terperinci

ANALISIS TRANSPOR SEDIMEN MENYUSUR PANTAI DENGAN MENGGUNAKAN METODE GRAFIS PADA PELABUHAN PERIKANAN TANJUNG ADIKARTA

ANALISIS TRANSPOR SEDIMEN MENYUSUR PANTAI DENGAN MENGGUNAKAN METODE GRAFIS PADA PELABUHAN PERIKANAN TANJUNG ADIKARTA ANALISIS TRANSPOR SEDIMEN MENYUSUR PANTAI DENGAN MENGGUNAKAN METODE GRAFIS PADA PELABUHAN PERIKANAN TANJUNG ADIKARTA Irnovia Berliana Pakpahan 1) 1) Staff Pengajar Jurusan Teknik Sipil, Fakultas Teknik

Lebih terperinci

BAB V ANALISIS PERAMALAN GARIS PANTAI

BAB V ANALISIS PERAMALAN GARIS PANTAI 79 BAB V ANALISIS PERAMALAN GARIS PANTAI 5.1 Penggunaan Program GENESIS Model yang digunakan untuk mengevaluasi perubahan morfologi pantai adalah program GENESIS (Generalized Model for Simulating Shoreline

Lebih terperinci

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil simulasi model penjalaran gelombang ST-Wave berupa gradien stress radiasi yang timbul sebagai akibat dari adanya perubahan parameter gelombang yang menjalar memasuki perairan

Lebih terperinci

SEDIMENTASI AKIBAT PEMBANGUNAN SHEET PILE BREAKWATER TELUK BINTUNI, PAPUA BARAT

SEDIMENTASI AKIBAT PEMBANGUNAN SHEET PILE BREAKWATER TELUK BINTUNI, PAPUA BARAT SEDIMENTASI AKIBAT PEMBANGUNAN SHEET PILE BREAKWATER TELUK BINTUNI, PAPUA BARAT Jundana Akhyar 1 dan Muslim Muin 2 Program Studi Teknik Kelautan Fakultas Teknik Sipil dan Lingkungan, Institut Teknologi

Lebih terperinci

III METODE PENELITIAN

III METODE PENELITIAN III METODE PENELITIAN 3.1 Waktu dan Lokasi Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di perairan Pantai Teritip hingga Pantai Ambarawang kurang lebih 9.5 km dengan koordinat x = 116 o 59 56.4 117 o 8 31.2

Lebih terperinci

DAFTAR ISI Hasil Uji Model Hidraulik UWS di Pelabuhan PT. Pertamina RU VI

DAFTAR ISI Hasil Uji Model Hidraulik UWS di Pelabuhan PT. Pertamina RU VI DAFTAR ISI ALAMAN JUDUL... i ALAMAN PENGESAAN... ii PERSEMBAAN... iii ALAMAN PERNYATAAN... iv KATA PENGANTAR... v DAFTAR ISI... vi DAFTAR TABEL... x DAFTAR GAMBAR... xi DAFTAR LAMBANG... xiii INTISARI...

Lebih terperinci

BAB II TEORI TERKAIT

BAB II TEORI TERKAIT II. TEORI TERKAIT BAB II TEORI TERKAIT 2.1 Pemodelan Penjalaran dan Transformasi Gelombang 2.1.1 Persamaan Pengatur Berkenaan dengan persamaan dasar yang digunakan model MIKE, baik deskripsi dari suku-suku

Lebih terperinci

DINAMIKA PANTAI (Abrasi dan Sedimentasi) Makalah Gelombang Yudha Arie Wibowo

DINAMIKA PANTAI (Abrasi dan Sedimentasi) Makalah Gelombang Yudha Arie Wibowo DINAMIKA PANTAI (Abrasi dan Sedimentasi) Makalah Gelombang Yudha Arie Wibowo 09.02.4.0011 PROGRAM STUDI / JURUSAN OSEANOGRAFI FAKULTAS TEKNIK DAN ILMU KELAUTAN UNIVERSITAS HANG TUAH SURABAYA 2012 0 BAB

Lebih terperinci

PREDIKSI PERUBAHAN GARIS PANTAI PULAU GILI KETAPANG PROBOLINGGO DENGAN MENGGUNAKAN ONE-LINE MODEL

PREDIKSI PERUBAHAN GARIS PANTAI PULAU GILI KETAPANG PROBOLINGGO DENGAN MENGGUNAKAN ONE-LINE MODEL PREDIKSI PERUBAHAN GARIS PANTAI PULAU GILI KETAPANG PROBOLINGGO DENGAN MENGGUNAKAN ONE-LINE MODEL Nurin Hidayati 1,2*, Hery Setiawan Purnawali 3, dan Desiana W. Kusumawati 1 1 Fakultas Perikanan dan Ilmu

Lebih terperinci

Kajian Hidro-Oseanografi untuk Deteksi Proses-Proses Dinamika Pantai (Abrasi dan Sedimentasi)

Kajian Hidro-Oseanografi untuk Deteksi Proses-Proses Dinamika Pantai (Abrasi dan Sedimentasi) Kajian Hidro-Oseanografi untuk Deteksi Proses-Proses Dinamika Pantai (Abrasi dan Sedimentasi) Mario P. Suhana * * Mahasiswa Pascasarjana Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor Email: msdciyoo@gmail.com

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. I.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. I.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang Dalam perkembangan teknologi perangkat keras yang semakin maju, saat ini sudah mampu mensimulasikan fenomena alam dan membuat prediksinya. Beberapa tahun terakhir sudah

Lebih terperinci

Oleh: Darius Arkwright. Abstrak

Oleh: Darius Arkwright. Abstrak STUDI KOMPARATIF METODE ANALISIS LONG-SHORE SEDIMENT TRANSPORT DAN MODEL PERUBAHAN GARIS PANTAI Oleh: Darius Arkwright Abstrak Perubahan garis pantai merupakan implikasi dari proses-proses hidro-oseanografi

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. rancu pemakaiannya, yaitu pesisir (coast) dan pantai (shore). Penjelasan mengenai

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. rancu pemakaiannya, yaitu pesisir (coast) dan pantai (shore). Penjelasan mengenai BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Definisi Pantai Ada dua istilah tentang kepantaian dalam bahasa indonesia yang sering rancu pemakaiannya, yaitu pesisir (coast) dan pantai (shore). Penjelasan mengenai kepantaian

Lebih terperinci

III METODOLOGI. 3.1 Waktu dan Lokasi Penelitian

III METODOLOGI. 3.1 Waktu dan Lokasi Penelitian III METODOLOGI 3.1 Waktu dan Lokasi Penelitian Pengambilan data lapangan seperti pengukuran batimetri, pasang surut dan sedimen dilakukan pada bulan Maret 2008 di pesisir sekitar muara Sungai Jeneberang,

Lebih terperinci

PEMODELAN ARUS SEJAJAR PANTAI STUDI KASUS PANTAI ERETAN, KABUPATEN INDRAMAYU, JAWA BARAT

PEMODELAN ARUS SEJAJAR PANTAI STUDI KASUS PANTAI ERETAN, KABUPATEN INDRAMAYU, JAWA BARAT PEMODELAN ARUS SEJAJAR PANTAI STUDI KASUS PANTAI ERETAN, KABUPATEN INDRAMAYU, JAWA BARAT TUGAS AKHIR Disusun untuk memenuhi salah satu syarat kurikuler Program Sarjana Oseanografi Oleh : FRANSISKO A. K.

Lebih terperinci

KETIDAKSTABILAN PANTAI SEBAGAI KENDALA PENGEMBANGAN DAERAH PERUNTUKAN DI PERAIRAN LASEM JAWA TENGAH

KETIDAKSTABILAN PANTAI SEBAGAI KENDALA PENGEMBANGAN DAERAH PERUNTUKAN DI PERAIRAN LASEM JAWA TENGAH KETIDAKSTABILAN PANTAI SEBAGAI KENDALA PENGEMBANGAN DAERAH PERUNTUKAN DI PERAIRAN LASEM JAWA TENGAH Oleh : D. Ilahude 1) dan E. Usman 1) 1) Puslitbang Geologi Kelautan, Jl. Dr. Junjunan No.236, Bandung

Lebih terperinci

2.6. Pengaruh Pemecah Gelombang Sejajar Pantai / Krib (Offshore Breakwater) terhadap Perubahan Bentuk Garis Pantai Pada Pantai Pasir Buatan...

2.6. Pengaruh Pemecah Gelombang Sejajar Pantai / Krib (Offshore Breakwater) terhadap Perubahan Bentuk Garis Pantai Pada Pantai Pasir Buatan... DAFTAR ISI Halaman HALAMAN JUDUL... i HALAMAN PENGESAHAN... ii HALAMAN PERSEMBAHAN... ii PERNYATAAN... iv PRAKATA... v DAFTAR ISI...viii DAFTAR TABEL... xi DAFTAR GAMBAR... xii DAFTAR LAMPIRAN... xiv DAFTAR

Lebih terperinci

POLA TRANFORMASI GELOMBANG DENGAN MENGGUNAKAN MODEL RCPWave PADA PANTAI BAU-BAU, PROVINSI SULAWESI TENGGARA

POLA TRANFORMASI GELOMBANG DENGAN MENGGUNAKAN MODEL RCPWave PADA PANTAI BAU-BAU, PROVINSI SULAWESI TENGGARA E-Jurnal Ilmu dan Teknologi Kelautan Tropis, Vol. 1, No. 2, Hal. 60-71, Desember 2009 POLA TRANFORMASI GELOMBANG DENGAN MENGGUNAKAN MODEL RCPWave PADA PANTAI BAU-BAU, PROVINSI SULAWESI TENGGARA THE PATTERN

Lebih terperinci

TRANSPORT SEDIMEN YANG DISEBABKAN OLEH LONGSHORE CURRENT DI PANTAI KECAMATAN TELUK SEGARA KOTA BENGKULU

TRANSPORT SEDIMEN YANG DISEBABKAN OLEH LONGSHORE CURRENT DI PANTAI KECAMATAN TELUK SEGARA KOTA BENGKULU DOI: doi.org/10.21009/0305020403 TRANSPORT SEDIMEN YANG DISEBABKAN OLEH LONGSHORE CURRENT DI PANTAI KECAMATAN TELUK SEGARA KOTA BENGKULU Supiyati 1,a), Deddy Bakhtiar 2,b, Siti Fatimah 3,c 1,3 Jurusan

Lebih terperinci

STUDI JUMLAH ANGKUTAN SEDIMEN SEPANJANG GARIS PANTAI PADA LOKASI PANTAI BERLUMPUR ( Studi Kasus Di Pantai Bunga Batubara, Sumatera Utara) TUGAS AKHIR

STUDI JUMLAH ANGKUTAN SEDIMEN SEPANJANG GARIS PANTAI PADA LOKASI PANTAI BERLUMPUR ( Studi Kasus Di Pantai Bunga Batubara, Sumatera Utara) TUGAS AKHIR STUDI JUMLAH ANGKUTAN SEDIMEN SEPANJANG GARIS PANTAI PADA LOKASI PANTAI BERLUMPUR ( Studi Kasus Di Pantai Bunga Batubara, Sumatera Utara) TUGAS AKHIR Diajukan untuk melengkapi syarat penyelesaian Pendidikan

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA

II. TINJAUAN PUSTAKA 4 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Garis Pantai Garis pantai merupakan batas pertemuan antara daratan dengan bagian laut saat terjadi air laut pasang tertinggi. Garis ini bisa berubah karena beberapa hal seperti

Lebih terperinci

torani Jurnal llmu Kelautan dan Perikanan

torani Jurnal llmu Kelautan dan Perikanan Iji A li III.A.l.b.3/5 torani Jurnal llmu Kelautan dan Perikanan Nomor 1 Volume 22 April 12 Andi Assir, Ari Purbayanto, IndraJqya & Daniel It Moninija Studi Performa Disain dan Pengoperasian Fyke Net untuk

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Secara umum pantai didefenisikan sebagai daerah di tepi perairan (laut) sebatas antara surut terendah dengan pasang tertinggi, sedangkan daerah pesisir adalah daratan

Lebih terperinci

STUDI ANGKUTAN SEDIMEN SEJAJAR PANTAI DI PANTAI PONDOK PERMAI SERDANG BEDAGAI SUMATERA UTARA

STUDI ANGKUTAN SEDIMEN SEJAJAR PANTAI DI PANTAI PONDOK PERMAI SERDANG BEDAGAI SUMATERA UTARA STUDI ANGKUTAN SEDIMEN SEJAJAR PANTAI DI PANTAI PONDOK PERMAI SERDANG BEDAGAI SUMATERA UTARA TUGAS AKHIR Diajukan untuk melengkapi tugas-tugas dan memenuhi Syarat untuk menempuh Colloqium Doqtum/Ujian

Lebih terperinci

PERUBAHAN GARIS PANTAI DARI PANTAI TERITIP BALIKPAPAN SAMPAI PANTAI AMBARAWANG KUTAI KERTANEGARA KALIMANTAN TIMUR IRA PUSPITA DEWI

PERUBAHAN GARIS PANTAI DARI PANTAI TERITIP BALIKPAPAN SAMPAI PANTAI AMBARAWANG KUTAI KERTANEGARA KALIMANTAN TIMUR IRA PUSPITA DEWI PERUBAHAN GARIS PANTAI DARI PANTAI TERITIP BALIKPAPAN SAMPAI PANTAI AMBARAWANG KUTAI KERTANEGARA KALIMANTAN TIMUR IRA PUSPITA DEWI SEKOLAH PASCA SARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2011 PERNYATAAN MENGENAI

Lebih terperinci

BAB II STUDI PUSTAKA

BAB II STUDI PUSTAKA 5 BAB II 2.1 TINJAUAN UMUM Dalam suatu perencanaan dibutuhkan pustaka yang dijadikan sebagai dasar perencanaan agar terwujud spesifikasi yang menjadi acuan dalam perhitungan dan pelaksanaan pekerjaan di

Lebih terperinci

KONDISI GELOMBANG DI WILAYAH PERAIRAN PANTAI LABUHAN HAJI The Wave Conditions in Labuhan Haji Beach Coastal Territory

KONDISI GELOMBANG DI WILAYAH PERAIRAN PANTAI LABUHAN HAJI The Wave Conditions in Labuhan Haji Beach Coastal Territory Spektrum Sipil, ISSN 1858-4896 55 Vol. 1, No. 1 : 55-72, Maret 2014 KONDISI GELOMBANG DI WILAYAH PERAIRAN PANTAI LABUHAN HAJI The Wave Conditions in Labuhan Haji Beach Coastal Territory Baiq Septiarini

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG

BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG Pantai adalah daerah di tepi perairan yang dipengaruhi oleh air pasang tertinggi dan air surut terendah. Garis pantai adalah garis batas pertemuan antara daratan dan

Lebih terperinci

BAB III LANDASAN TEORI

BAB III LANDASAN TEORI BAB III LANDASAN TEORI 3.1 Erosi Erosi adalah lepasnya material dasar dari tebing sungai, erosi yang dilakukan oleh air dapat dilakukan dengan berbagai cara, yaitu : a. Quarrying, yaitu pendongkelan batuan

Lebih terperinci

REFRAKSI GELOMBANG DI PERAIRAN PANTAI MARUNDA, JAKARTA (Puteri Kesuma Dewi. Agus Anugroho D.S. Warsito Atmodjo)

REFRAKSI GELOMBANG DI PERAIRAN PANTAI MARUNDA, JAKARTA (Puteri Kesuma Dewi. Agus Anugroho D.S. Warsito Atmodjo) JURNAL OSEANOGRAFI. Volume 4, Nomor 1, Tahun 2015, Halaman 215-222 Online di : http://ejournal-s1.undip.ac.id/index.php/jose REFRAKSI GELOMBANG DI PERAIRAN PANTAI MARUNDA, JAKARTA (Puteri Kesuma Dewi.

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN Permasalahan

I. PENDAHULUAN Permasalahan I. PENDAHULUAN 1.1. Permasalahan Sedimentasi di pelabuhan merupakan permasalahan yang perlu mendapatkan perhatian. Hal tersebut menjadi penting karena pelabuhan adalah unsur terpenting dari jaringan moda

Lebih terperinci

ANALISIS TRANSPORT SEDIMEN DI MUARA SUNGAI SERUT KOTA BENGKULU ANALYSIS OF SEDIMENT TRANSPORT AT SERUT ESTUARY IN BENGKULU CITY

ANALISIS TRANSPORT SEDIMEN DI MUARA SUNGAI SERUT KOTA BENGKULU ANALYSIS OF SEDIMENT TRANSPORT AT SERUT ESTUARY IN BENGKULU CITY ANALISIS TRANSPORT SEDIMEN DI MUARA SUNGAI SERUT KOTA BENGKULU ANALYSIS OF SEDIMENT TRANSPORT AT SERUT ESTUARY IN BENGKULU CITY Oleh Supiyati 1, Suwarsono 2, dan Mica Asteriqa 3 (1,2,3) Jurusan Fisika,

Lebih terperinci

Pengaruh Perubahan Layout Breakwater Terhadap Kondisi Tinggi Gelombang di Pelabuhan Perikanan Nusantara Brondong

Pengaruh Perubahan Layout Breakwater Terhadap Kondisi Tinggi Gelombang di Pelabuhan Perikanan Nusantara Brondong Pengaruh Perubahan Layout Breakwater Terhadap Kondisi Tinggi Gelombang di Pelabuhan Perikanan Nusantara Brondong Faddillah Prahmadana R. (NRP. 4308 100 050) Dosen Pembimbing: Haryo Dwito Armono, S.T.,

Lebih terperinci

GAMBARAN UMUM LOKASI STUDI. KL 4099 Tugas Akhir. Bab 2

GAMBARAN UMUM LOKASI STUDI. KL 4099 Tugas Akhir. Bab 2 Desain Pengamananan Pantai Pulau Karakelang, Kabupaten Kepulauan Talaud, Provinsi Sulawesi Utara Bab 2 GAMBARAN UMUM LOKASI STUDI Bab 2 GAMBARAN UMUM LOKASI STUDI Desain Pengamanan Pantai Pulau Karakelang

Lebih terperinci

ANALISIS KARAKTERISTIK OMBAK PERAIRAN PANTAI DELTA MUARA SUNGAI SADDANG PERIODE Alexander Kondo, 1) Sakka, 2) dan D.A.

ANALISIS KARAKTERISTIK OMBAK PERAIRAN PANTAI DELTA MUARA SUNGAI SADDANG PERIODE Alexander Kondo, 1) Sakka, 2) dan D.A. ANALISIS KARAKTERISTIK OMBAK PERAIRAN PANTAI DELTA MUARA SUNGAI SADDANG PERIODE 98- Alexander Kondo, ) Sakka, ) dan D.A. Suriamihardja ) ) Mahasiswa Prodi Geofisika, Jurusan Fisika, FMIPA, Universitas

Lebih terperinci

FORMULASI HAMILTONIAN UNTUK MENGGAMBARKAN GERAK GELOMBANG INTERNAL PADA LAUT DALAM RINA PRASTIWI

FORMULASI HAMILTONIAN UNTUK MENGGAMBARKAN GERAK GELOMBANG INTERNAL PADA LAUT DALAM RINA PRASTIWI FORMULASI HAMILTONIAN UNTUK MENGGAMBARKAN GERAK GELOMBANG INTERNAL PADA LAUT DALAM RINA PRASTIWI SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2009 PERYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI Dengan

Lebih terperinci

Perbandingan Peramalan Gelombang dengan Metode Groen Dorrestein dan Shore Protection Manual di Merak-Banten yang di Validasi dengan Data Altimetri

Perbandingan Peramalan Gelombang dengan Metode Groen Dorrestein dan Shore Protection Manual di Merak-Banten yang di Validasi dengan Data Altimetri Reka Racana Teknik Sipil Itenas No. x Vol. xx Jurnal Online Institut Teknologi Nasional Juni 2015 Perbandingan Peramalan Gelombang dengan Metode Groen Dorrestein dan Shore Protection Manual di Merak-Banten

Lebih terperinci

PERUBAHAN GARIS PANTAI MENGGUNAKAN CITRA LANDSAT MULTI TEMPORAL DI DAERAH PESISIR SUNGAI BUNGIN MUARA SUNGAI BANYUASIN, SUMATERA SELATAN

PERUBAHAN GARIS PANTAI MENGGUNAKAN CITRA LANDSAT MULTI TEMPORAL DI DAERAH PESISIR SUNGAI BUNGIN MUARA SUNGAI BANYUASIN, SUMATERA SELATAN MASPARI JOURNAL Januari 2017, 9(1):25-32 PERUBAHAN GARIS PANTAI MENGGUNAKAN CITRA LANDSAT MULTI TEMPORAL DI DAERAH PESISIR SUNGAI BUNGIN MUARA SUNGAI BANYUASIN, SUMATERA SELATAN SHORELINE CHANGES USING

Lebih terperinci

Simulasi Pola Arus Dua Dimensi Di Perairan Teluk Pelabuhan Ratu Pada Bulan September 2004

Simulasi Pola Arus Dua Dimensi Di Perairan Teluk Pelabuhan Ratu Pada Bulan September 2004 Simulasi Pola Arus Dua Dimensi Di Perairan Teluk Pelabuhan Ratu Pada Bulan September 2004 R. Bambang Adhitya Nugraha 1, Heron Surbakti 2 1 Pusat Riset Teknologi Kelautan-Badan (PRTK), Badan Riset Kelautan

Lebih terperinci

KERANGKA RAPERMEN TENTANG TATA CARA PENGHITUNGAN BATAS SEMPADAN PANTAI

KERANGKA RAPERMEN TENTANG TATA CARA PENGHITUNGAN BATAS SEMPADAN PANTAI KERANGKA RAPERMEN TENTANG TATA CARA PENGHITUNGAN BATAS SEMPADAN PANTAI BAB I BAB II BAB III BAB IV BAB V : KETENTUAN UMUM : PENGHITUNGAN BATAS SEMPADAN PANTAI Bagian Kesatu Indeks Ancaman dan Indeks Kerentanan

Lebih terperinci

KAJIAN MORFODINAMIKA PESISIR KABUPATEN KENDAL MENGGUNAKAN TEKNOLOGI PENGINDERAAN JAUH MULTI SPEKTRAL DAN MULTI WAKTU

KAJIAN MORFODINAMIKA PESISIR KABUPATEN KENDAL MENGGUNAKAN TEKNOLOGI PENGINDERAAN JAUH MULTI SPEKTRAL DAN MULTI WAKTU KAJIAN MORFODINAMIKA PESISIR KABUPATEN KENDAL MENGGUNAKAN TEKNOLOGI PENGINDERAAN JAUH MULTI SPEKTRAL DAN MULTI WAKTU Tjaturahono Budi Sanjoto Mahasiswa Program Doktor Manajemen Sumberdaya Pantai UNDIP

Lebih terperinci

PENGARUH BESAR GELOMBANG TERHADAP KERUSAKAN GARIS PANTAI

PENGARUH BESAR GELOMBANG TERHADAP KERUSAKAN GARIS PANTAI PENGARUH BESAR GELOMBANG TERHADAP KERUSAKAN GARIS PANTAI Hansje J. Tawas, Pingkan A.K. Pratasis Jurusan Teknik Sipil Fakultas Teknik Universitas Sam Ratulangi ABSTRAK Pantai selalu menyesuaikan bentuk

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA Gelombang

TINJAUAN PUSTAKA Gelombang TINJAUAN PUSTAKA Gelombang Gelombang merupakan salah satu fenomena laut yang paling nyata karena langsung bisa dilihat dan dirasakan. Gelombang adalah gerakan dari setiap partikel air laut yang berupa

Lebih terperinci

KAJIAN PENGARUH GELOMBANG TERHADAP KERUSAKAN PANTAI MATANG DANAU KABUPATEN SAMBAS

KAJIAN PENGARUH GELOMBANG TERHADAP KERUSAKAN PANTAI MATANG DANAU KABUPATEN SAMBAS Abstrak KAJIAN PENGARUH GELOMBANG TERHADAP KERUSAKAN PANTAI MATANG DANAU KABUPATEN SAMBAS Umar 1) Pantai Desa Matang Danau adalah pantai yang berhadapan langsung dengan Laut Natuna. Laut Natuna memang

Lebih terperinci

Gambar 2.1 Peta batimetri Labuan

Gambar 2.1 Peta batimetri Labuan BAB 2 DATA LINGKUNGAN 2.1 Batimetri Data batimetri adalah representasi dari kedalaman suatu perairan. Data ini diperoleh melalui pengukuran langsung di lapangan dengan menggunakan suatu proses yang disebut

Lebih terperinci

STUDI KECEPATAN JATUH SEDIMEN DI PANTAI BERLUMPUR (STUDI KASUS LOKASI PANTAI BUNGA BATUBARA SUMATERA UTARA)

STUDI KECEPATAN JATUH SEDIMEN DI PANTAI BERLUMPUR (STUDI KASUS LOKASI PANTAI BUNGA BATUBARA SUMATERA UTARA) STUDI KECEPATAN JATUH SEDIMEN DI PANTAI BERLUMPUR (STUDI KASUS LOKASI PANTAI BUNGA BATUBARA SUMATERA UTARA) TUGAS AKHIR Diajukan untuk Melengkapi Tugas-tugas Dan Memenuhi Syarat Menempuh Ujian Sarjana

Lebih terperinci

Simulasi Arus dan Distribusi Sedimen secara 3 Dimensi di Pantai Selatan Jawa

Simulasi Arus dan Distribusi Sedimen secara 3 Dimensi di Pantai Selatan Jawa G174 Simulasi Arus dan Distribusi Sedimen secara 3 Dimensi di Pantai Selatan Jawa Muhammad Ghilman Minarrohman, dan Danar Guruh Pratomo Departemen Teknik Geomatika, Fakultas Teknik Sipil dan Perencanaan,

Lebih terperinci

PERENCANAAN SEAWALL ( TEMBOK LAUT ) DAN BREAK WATER ( PEMECAH GELOMBANG ) UNTUK PENGAMAN PANTAI TUBAN. Suyatno

PERENCANAAN SEAWALL ( TEMBOK LAUT ) DAN BREAK WATER ( PEMECAH GELOMBANG ) UNTUK PENGAMAN PANTAI TUBAN. Suyatno PERENCANAAN SEAWALL ( TEMBOK LAUT ) DAN BREAK WATER ( PEMECAH GELOMBANG ) UNTUK PENGAMAN PANTAI TUBAN. Suyatno Dosen Pembimbing : Ir.Adi Prawito,MM,MT. ABSTRAK Kabupaten Tuban,tepatnya di desa Jenu merupakan

Lebih terperinci

MODEL PERUBAHAN GARIS PANTAI DENGAN METODE ONE-LINE MODEL (STUDI KASUS : PANTAI MANGARABOMBANG GALESONG SELATAN, KABUPATEN TAKALAR)

MODEL PERUBAHAN GARIS PANTAI DENGAN METODE ONE-LINE MODEL (STUDI KASUS : PANTAI MANGARABOMBANG GALESONG SELATAN, KABUPATEN TAKALAR) MODEL PERUBAHAN GARIS PANTAI DENGAN METODE ONE-LINE MODEL (STUDI KASUS : PANTAI MANGARABOMBANG GALESONG SELATAN, KABUPATEN TAKALAR) 1. 2. 3. Wa Ode Awaliah 1, Sakka 2 dan M. Alimuddin Hamzah 3 Mahasiswa

Lebih terperinci

Jurnal Fusi ISSN: Vol.7 No.2 STUDI KARAKTERISTIK PANTAI TANJUNG ALAM KOTA MAKASSAR

Jurnal Fusi ISSN: Vol.7 No.2 STUDI KARAKTERISTIK PANTAI TANJUNG ALAM KOTA MAKASSAR STUDI KARAKTERISTIK PANTAI TANJUNG ALAM KOTA MAKASSAR Muh. Altin Massinai Abstract : Tanjung Alam seashore are direct face with Makassar strait and front of island zone constrain, such as: Lae-lae island,

Lebih terperinci

BAB V ANALISIS PERAMALAN GARIS PANTAI

BAB V ANALISIS PERAMALAN GARIS PANTAI 80 BAB V ANALISIS PERAMALAN GARIS PANTAI 5.1 Tinjauan Umum Bagian hilir muara Kali Silandak mengalami relokasi dan menjadi satu dengan Kali Jumbleng yang menyebabkan debit hilirnya menjadi lebih besar

Lebih terperinci

JURNAL OSEANOGRAFI. Volume 3, Nomor 1, Tahun 2014, Halaman Online di :

JURNAL OSEANOGRAFI. Volume 3, Nomor 1, Tahun 2014, Halaman Online di : JURNAL OSEANOGRAFI. Volume 3, Nomor 1, Tahun 2014, Halaman 52-56 Online di : http://ejournal-s1.undip.ac.id/index.php/jose PERUBAHAN GARIS PANTAI LARANGAN, KABUPATEN TEGAL MELALUI PENDEKATAN MODEL GENESIS

Lebih terperinci

DESAIN STRUKTUR PELINDUNG PANTAI TIPE GROIN DI PANTAI CIWADAS KABUPATEN KARAWANG

DESAIN STRUKTUR PELINDUNG PANTAI TIPE GROIN DI PANTAI CIWADAS KABUPATEN KARAWANG DESAIN STRUKTUR PELINDUNG PANTAI TIPE GROIN DI PANTAI CIWADAS KABUPATEN KARAWANG Fathu Rofi 1 dan Dr.Ir. Syawaluddin Hutahaean, MT. 2 Program Studi Teknik Kelautan Fakultas Teknik Sipil dan Lingkungan,

Lebih terperinci

BAB 6 MODEL TRANSPOR SEDIMEN DUA DIMENSI

BAB 6 MODEL TRANSPOR SEDIMEN DUA DIMENSI BAB 6 MODEL TRANSPOR SEDIMEN DUA DIMENSI Transpor sedimen pada bagian ini dipelajari dengan menggunakan model transpor sedimen tersuspensi dua dimensi horizontal. Dimana sedimen yang dimodelkan pada penelitian

Lebih terperinci

KAJIAN LAJU TRANSPOR SEDIMEN DI PANTAI AKKARENA

KAJIAN LAJU TRANSPOR SEDIMEN DI PANTAI AKKARENA Paper Riset Singkat Edisi 1 No. 1, Jan Mar 2014, p.10-18 KAJIAN LAJU TRANSPOR SEDIMEN DI PANTAI AKKARENA Fikri Aris Munandar dan Achmad Yasir Baeda Lab. Teknik Pantai dan Lingkungan, Prodi Teknik Kelautan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Wilayah pantai adalah suatu wilayah yang mengalami kontak langsung dengan aktivitas manusia dan kontak dengan fenomena alam terutama yang berasal dari laut. Fenomena

Lebih terperinci

Karakteristik Kecepatan Dan Arah Dominan Arus Sejajar Pantai (Longshore Current) Di Pantai Larangan Kabupaten Tegal Jawa Tengah

Karakteristik Kecepatan Dan Arah Dominan Arus Sejajar Pantai (Longshore Current) Di Pantai Larangan Kabupaten Tegal Jawa Tengah JURNAL OSEANOGRAFI. Volume 5, Nomor 3, Tahun 2016, Halaman 390 397 Online di : http://ejournal-s1.undip.ac.id/index.php/jose Karakteristik Kecepatan Dan Arah Dominan Arus Sejajar Pantai (Longshore Current)

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Negara Republik Indonesia merupakan suatu negara kepulauan terbesar di

BAB I PENDAHULUAN. Negara Republik Indonesia merupakan suatu negara kepulauan terbesar di BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Negara Republik Indonesia merupakan suatu negara kepulauan terbesar di dunia dengan jumlah pulau mencapai 17.508 pulau besar dan kecil dengan garis pantai sangat panjang

Lebih terperinci

PEMODELAN PENJALARAN DAN TRANSFORMASI GELOMBANG LAUT DI PERAIRAN DENGAN KEMIRINGAN DASAR KONSTAN TUGAS AKHIR SUPREMLEHAQ TAQWIM

PEMODELAN PENJALARAN DAN TRANSFORMASI GELOMBANG LAUT DI PERAIRAN DENGAN KEMIRINGAN DASAR KONSTAN TUGAS AKHIR SUPREMLEHAQ TAQWIM PEMODELAN PENJALARAN DAN TRANSFORMASI GELOMBANG LAUT DI PERAIRAN DENGAN KEMIRINGAN DASAR KONSTAN TUGAS AKHIR Disusun untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Kulikuler Program Sarjana (S-1) Program Studi Oseanografi

Lebih terperinci

Transformasi Gelombang pada Batimetri Ekstrim dengan Model Numerik SWASH Studi Kasus: Teluk Pelabuhan Ratu, Sukabumi

Transformasi Gelombang pada Batimetri Ekstrim dengan Model Numerik SWASH Studi Kasus: Teluk Pelabuhan Ratu, Sukabumi Reka Racana Jurusan Teknik Sipil Vol. 3 No.1 Jurnal Online Institut Teknologi Nasional Maret 2017 Transformasi Gelombang pada Batimetri Ekstrim dengan Model Numerik SWASH Studi Kasus: Teluk Pelabuhan Ratu,

Lebih terperinci

STUDI KARAKTERISTIK GELOMBANG PADA DAERAH PANTAI DESA KALINAUNG KAB. MINAHASA UTARA

STUDI KARAKTERISTIK GELOMBANG PADA DAERAH PANTAI DESA KALINAUNG KAB. MINAHASA UTARA STUDI KARAKTERISTIK GELOMBANG PADA DAERAH PANTAI DESA KALINAUNG KAB. MINAHASA UTARA Anggi Cindy Wakkary M. Ihsan Jasin, A.K.T. Dundu Fakultas Teknik Jurusan Sipil Universitas Sam Ratulangi Manado Email:

Lebih terperinci

ANALISA PERUBAHAN GARIS PANTAI TUBAN, JAWA TIMUR DENGAN MENGGUNAKAN EMPIRICAL ORTHOGONAL FUNCTION (EOF)

ANALISA PERUBAHAN GARIS PANTAI TUBAN, JAWA TIMUR DENGAN MENGGUNAKAN EMPIRICAL ORTHOGONAL FUNCTION (EOF) ANALISA PERUBAHAN GARIS PANTAI TUBAN, JAWA TIMUR DENGAN MENGGUNAKAN EMPIRICAL ORTHOGONAL FUNCTION (EOF) Moch. Rizal Azhar 4306 100 105 Institut Teknologi Sepuluh Nopember Surabaya 2012 DOSEN PEMBIMBING

Lebih terperinci

2. TINJAUAN PUSTAKA. Letak geografis Perairan Teluk Bone berbatasan dengan Provinsi Sulawesi

2. TINJAUAN PUSTAKA. Letak geografis Perairan Teluk Bone berbatasan dengan Provinsi Sulawesi 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Kondisi Oseanografi Perairan Teluk Bone Letak geografis Perairan Teluk Bone berbatasan dengan Provinsi Sulawesi Selatan di sebelah Barat dan Utara, Provinsi Sulawesi Tenggara di

Lebih terperinci

Seminar Nasional : Menggagas Kebangkitan Komoditas Unggulan Lokal Pertanian dan Kelautan Fakultas Pertanian Universitas Trunojoyo Madura

Seminar Nasional : Menggagas Kebangkitan Komoditas Unggulan Lokal Pertanian dan Kelautan Fakultas Pertanian Universitas Trunojoyo Madura Seminar Nasional : Menggagas Kebangkitan Juni, 2013 PENGARUH GELOMBANG TERHADAP TRANSPOR SEDIMEN DI SEPANJANG PANTAI UTARA PERAIRAN BANGKALAN Dina Faradinka, Aries Dwi Siswanto, dan Zainul Hidayah Jurusan

Lebih terperinci

POLA ARUS DAN TRANSPOR SEDIMEN PADA KASUS PEMBENTUKAN TANAH TIMBUL PULAU PUTERI KABUPATEN KARAWANG

POLA ARUS DAN TRANSPOR SEDIMEN PADA KASUS PEMBENTUKAN TANAH TIMBUL PULAU PUTERI KABUPATEN KARAWANG POLA ARUS DAN TRANSPOR SEDIMEN PADA KASUS PEMBENTUKAN TANAH TIMBUL PULAU PUTERI KABUPATEN KARAWANG Andi W. Dwinanto, Noir P. Purba, Syawaludin A. Harahap, dan Mega L. Syamsudin Universitas Padjadjaran

Lebih terperinci

BAB 4 HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB 4 HASIL DAN PEMBAHASAN BAB 4 HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Hasil Pengukuran Beda Tinggi Antara Bench Mark Dengan Palem Dari hasil pengukuran beda tinggi dengan metode sipat datar didapatkan beda tinggi antara palem dan benchmark

Lebih terperinci

Perencanaan Bangunan Pemecah Gelombang di Teluk Sumbreng, Kabupaten Trenggalek

Perencanaan Bangunan Pemecah Gelombang di Teluk Sumbreng, Kabupaten Trenggalek JURNAL TEKNIK ITS Vol. 6, No. 2, (2017) ISSN: 2337-3539 (2301-9271 Print) D-280 Perencanaan Bangunan Pemecah Gelombang di Teluk Sumbreng, Kabupaten Trenggalek Dzakia Amalia Karima dan Bambang Sarwono Jurusan

Lebih terperinci

PRISMA FISIKA, Vol. V, No. 3 (2014), Hal ISSN :

PRISMA FISIKA, Vol. V, No. 3 (2014), Hal ISSN : Studi Faktor Penentu Akresi dan Abrasi Pantai Akibat Gelombang Laut di Perairan Pesisir Sungai Duri Ghesta Nuari Wiratama a, Muh. Ishak Jumarang a *, Muliadi a a Prodi Fisika, FMIPA Universitas Tanjungpura,

Lebih terperinci

ANALISIS STATISTIK GELOMBANG YANG DIBANGKITKAN OLEH ANGIN UNTUK PELABUHAN BELAWAN DIO MEGA PUTRI

ANALISIS STATISTIK GELOMBANG YANG DIBANGKITKAN OLEH ANGIN UNTUK PELABUHAN BELAWAN DIO MEGA PUTRI ANALISIS STATISTIK GELOMBANG YANG DIBANGKITKAN OLEH ANGIN UNTUK PELABUHAN BELAWAN TUGAS AKHIR Diajukan untuk melengkapi tugas-tugas dan memenuhi syarat penyelesaian pendidikan sarjana teknik sipil Disusun

Lebih terperinci

PERUBAHAN LUAS PESISIR DESA PERANCAK, BALI DITINJAU BERDASARKAN POLA REFRAKSI GELOMBANG

PERUBAHAN LUAS PESISIR DESA PERANCAK, BALI DITINJAU BERDASARKAN POLA REFRAKSI GELOMBANG Seminar Nasional Kelautan XII PERUBAHAN LUAS PESISIR DESA PERANCAK, BALI DITINJAU BERDASARKAN POLA REFRAKSI GELOMBANG Rizky Amaliya 1, Supriyatno Widagdo 2, Viv Djanat Prasita 3 Jurusan Oseanografi, Universitas

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Daerah Studi Daerah yang menjadi objek dalam penulisan Tugas Akhir ini adalah pesisir Kecamatan Muara Gembong yang terletak di kawasan pantai utara Jawa Barat. Posisi geografisnya

Lebih terperinci

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.113, 2016 LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA PEMERINTAHAN. WILAYAH. NASIONAL. Pantai. Batas Sempadan. PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 51 TAHUN 2016 TENTANG BATAS SEMPADAN PANTAI DENGAN RAHMAT

Lebih terperinci

PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 51 TAHUN 2016 TENTANG BATAS SEMPADAN PANTAI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 51 TAHUN 2016 TENTANG BATAS SEMPADAN PANTAI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 51 TAHUN 2016 TENTANG BATAS SEMPADAN PANTAI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal

Lebih terperinci

PENGARUH FASILITAS PELABUHAN TERHADAP PANTAI LABUHAN HAJI The Effect of Port Structure on Labuhan Haji Beach

PENGARUH FASILITAS PELABUHAN TERHADAP PANTAI LABUHAN HAJI The Effect of Port Structure on Labuhan Haji Beach 68 Spektrum Sipil, ISSN 1858-4896 Vol. 2, No. 1 : 68-78, Maret 2015 PENGARUH FASILITAS PELABUHAN TERHADAP PANTAI LABUHAN HAJI The Effect of Port Structure on Labuhan Haji Beach Eko Pradjoko*, Haris Prayoga*,

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN HASIL DAN PEMBAHASAN ANGIN Berdasarkan analisis data angin stasiun meteorologi Amamapare selama 15 tahun, dalam satu tahun terdapat pengertian dua musim, yaitu musim timur dan musim barat diselingi dengan

Lebih terperinci

PEMODELAN POLA ARUS DI SEPANJANG PANTAI DELTA MUARA SUNGAI SADDANG

PEMODELAN POLA ARUS DI SEPANJANG PANTAI DELTA MUARA SUNGAI SADDANG PEMODELAN POLA ARUS DI SEPANJANG PANTAI DELTA MUARA SUNGAI SADDANG Chaeril Anwar* Amiruddin, Sakka Program Studi Geofisika, Jurusan Fisika, FMIPA, Universitas Hasanuddin *E-Mail : chaerilanwar881@gmail.com

Lebih terperinci

MODEL PREDIKSI GELOMBANG TERBANGKIT ANGIN DI PERAIRAN SEBELAH BARAT KOTA TARAKAN BERDASARKAN DATA VEKTOR ANGIN. Muhamad Roem, Ibrahim, Nur Alamsyah

MODEL PREDIKSI GELOMBANG TERBANGKIT ANGIN DI PERAIRAN SEBELAH BARAT KOTA TARAKAN BERDASARKAN DATA VEKTOR ANGIN. Muhamad Roem, Ibrahim, Nur Alamsyah Jurnal Harpodon Borneo Vol.8. No.1. April. 015 ISSN : 087-11X MODEL PREDIKSI GELOMBANG TERBANGKIT ANGIN DI PERAIRAN SEBELAH BARAT KOTA TARAKAN BERDASARKAN DATA VEKTOR ANGIN 1) Muhamad Roem, Ibrahim, Nur

Lebih terperinci

ANALISIS SEDIMENTASI DI MUARA SUNGAI PANASEN

ANALISIS SEDIMENTASI DI MUARA SUNGAI PANASEN ANALISIS SEDIMENTASI DI MUARA SUNGAI PANASEN Amelia Ester Sembiring T. Mananoma, F. Halim, E. M. Wuisan Fakultas Teknik Jurusan Sipil Universitas Sam Ratulangi Manado Email: ame910@gmail.com ABSTRAK Danau

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN ANALISIS

BAB IV HASIL DAN ANALISIS BAB IV HASIL DAN ANALISIS 4.1 Uji Sensitifitas Sensitifitas parameter diuji dengan melakukan pemodelan pada domain C selama rentang waktu 3 hari dan menggunakan 3 titik sampel di pesisir. (Tabel 4.1 dan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Wilayah pesisir merupakan transisi ekosistem terestrial dan laut yang ditandai oleh gradien perubahan ekosistem yang tajam (Pariwono, 1992). Kawasan pantai merupakan

Lebih terperinci

ANALISA PENGINDERAAN JARAK JAUH UNTUK MENGINDENTIFIKASI PERUBAHAN GARIS PANTAI DI PANTAI TIMUR SURABAYA. Di susun Oleh : Oktovianus Y.S.

ANALISA PENGINDERAAN JARAK JAUH UNTUK MENGINDENTIFIKASI PERUBAHAN GARIS PANTAI DI PANTAI TIMUR SURABAYA. Di susun Oleh : Oktovianus Y.S. ANALISA PENGINDERAAN JARAK JAUH UNTUK MENGINDENTIFIKASI PERUBAHAN GARIS PANTAI DI PANTAI TIMUR SURABAYA Di susun Oleh : Oktovianus Y.S.Gainau 4108205002 PROGRAM MAGISTER BIDANG KEAHLIAN TEKNIK DAN MANAJEMEN

Lebih terperinci

ANALISIS PERUBAHAN GARIS PANTAI DENGAN ADANYA BANGUNAN PEMECAH GELOMBANG AMBANG RENDAH DI PANTAI PISANGAN KABUPATEN KARAWANG PROVINSI JAWA BARAT

ANALISIS PERUBAHAN GARIS PANTAI DENGAN ADANYA BANGUNAN PEMECAH GELOMBANG AMBANG RENDAH DI PANTAI PISANGAN KABUPATEN KARAWANG PROVINSI JAWA BARAT ANALISIS PERUBAHAN GARIS PANTAI DENGAN ADANYA BANGUNAN PEMECAH GELOMBANG AMBANG RENDAH DI PANTAI PISANGAN KABUPATEN KARAWANG PROVINSI JAWA BARAT Anugrah Ananta W. Putra NRP: 0921004 Pembimbing: Olga Catherina

Lebih terperinci

SIMULASI SEBARAN SEDIMEN TERHADAP KETINGGIAN GELOMBANG DAN SUDUT DATANG GELOMBANG PECAH DI PESISIR PANTAI. Dian Savitri *)

SIMULASI SEBARAN SEDIMEN TERHADAP KETINGGIAN GELOMBANG DAN SUDUT DATANG GELOMBANG PECAH DI PESISIR PANTAI. Dian Savitri *) SIMULASI SEBARAN SEDIMEN TERHADAP KETINGGIAN GELOMBANG DAN SUDUT DATANG GELOMBANG PECAH DI PESISIR PANTAI Dian Savitri *) Abstrak Gerakan air di daerah pesisir pantai merupakan kombinasi dari gelombang

Lebih terperinci

ANALISIS SURUT ASTRONOMIS TERENDAH DI PERAIRAN SABANG, SIBOLGA, PADANG, CILACAP, DAN BENOA MENGGUNAKAN SUPERPOSISI KOMPONEN HARMONIK PASANG SURUT

ANALISIS SURUT ASTRONOMIS TERENDAH DI PERAIRAN SABANG, SIBOLGA, PADANG, CILACAP, DAN BENOA MENGGUNAKAN SUPERPOSISI KOMPONEN HARMONIK PASANG SURUT ANALISIS SURUT ASTRONOMIS TERENDAH DI PERAIRAN SABANG, SIBOLGA, PADANG, CILACAP, DAN BENOA MENGGUNAKAN SUPERPOSISI KOMPONEN HARMONIK PASANG SURUT Oleh: Gading Putra Hasibuan C64104081 PROGRAM STUDI ILMU

Lebih terperinci

SEBARAN TOTAL SUSPENDED SOLID (TSS) PADA PROFIL VERTIKAL DI PERAIRAN SELAT MADURA KABUPATEN BANGKALAN

SEBARAN TOTAL SUSPENDED SOLID (TSS) PADA PROFIL VERTIKAL DI PERAIRAN SELAT MADURA KABUPATEN BANGKALAN SEBARAN TOTAL SUSPENDED SOLID (TSS) PADA PROFIL VERTIKAL DI PERAIRAN SELAT MADURA KABUPATEN BANGKALAN Aries Dwi Siswanto 1 1 Program Studi Ilmu Kelautan, Universitas Trunojoyo Madura Abstrak: Sebaran sedimen

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI 3.1 Diagram Alir Penyusunan Laporan Tugas Akhir

BAB III METODOLOGI 3.1 Diagram Alir Penyusunan Laporan Tugas Akhir BAB III METODOLOGI 3.1 Diagram Alir Penyusunan Laporan Tugas Akhir Langkah-langkah yang dilakukan dalam penyusunan Tugas Akhir dapat dilihat pada diagram alir berikut: 74 dengan SMS Gambar 3.1 Diagram

Lebih terperinci

PEMODELAN GENESIS. KL 4099 Tugas Akhir. Bab 5. Desain Pengamananan Pantai Pulau Karakelang, Kabupaten Kepulauan Talaud, Provinsi Sulawesi Utara

PEMODELAN GENESIS. KL 4099 Tugas Akhir. Bab 5. Desain Pengamananan Pantai Pulau Karakelang, Kabupaten Kepulauan Talaud, Provinsi Sulawesi Utara Desain Pengamananan Pantai Pulau Karakelang, Kabupaten Kepulauan Talaud, Provinsi Sulawesi Utara Bab 5 PEMODELAN GENESIS Bab 5 PEMODELAN GENESIS Desain Pengamanan Pantai Pulau Karakelang Kabupaten Kepulauan

Lebih terperinci

LINTASAN GELOMBANG LAUT MENUJU PELABUHAN PULAU BAAI BENGKULU. Birhami Akhir 1, Mas Mera 2 ABSTRAK

LINTASAN GELOMBANG LAUT MENUJU PELABUHAN PULAU BAAI BENGKULU. Birhami Akhir 1, Mas Mera 2 ABSTRAK VOLUME 7 NO. 2, OKTOBER 2011 LINTASAN GELOMBANG LAUT MENUJU PELABUHAN PULAU BAAI BENGKULU Birhami Akhir 1, Mas Mera 2 ABSTRAK Penelitian ini adalah tentang prediksi lintasan gelombang laut di pelabuhan

Lebih terperinci

Studi Laju Sedimentasi Akibat Dampak Reklamasi Di Teluk Lamong Gresik

Studi Laju Sedimentasi Akibat Dampak Reklamasi Di Teluk Lamong Gresik JURNAL TEKNIK POMITS Vol. 2, No. 1, (2013) ISSN: 2337-3539 (2301-9271 Print) 1 Studi Laju Sedimentasi Akibat Dampak Reklamasi Di Teluk Lamong Gresik Fiqyh Trisnawan W 1), Widi A. Pratikto 2), dan Suntoyo

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA II.1 Kondisi Fisik Daerah Penelitian II.1.1 Kondisi Geografi Gambar 2.1. Daerah Penelitian Kabupaten Indramayu secara geografis berada pada 107 52-108 36 BT dan 6 15-6 40 LS. Berdasarkan

Lebih terperinci

ANALISA PERUBAHAN GARIS PANTAI MANGGAR BARU

ANALISA PERUBAHAN GARIS PANTAI MANGGAR BARU ejournal Teknik Sipil, 2016, 1 (1): 1-15 ISSN 0000-0000, ejournal.untag-smd.ac.id Copyright 2016 ANALISA PERUBAHAN GARIS PANTAI MANGGAR BARU Dennis Eta Cendekia Abstrak Dennis Eta Cendekia, Analisa Perubahan

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Angin adalah massa udara yang bergerak. Angin dapat bergerak secara horizontal

II. TINJAUAN PUSTAKA. Angin adalah massa udara yang bergerak. Angin dapat bergerak secara horizontal II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Angin Angin adalah massa udara yang bergerak. Angin dapat bergerak secara horizontal maupun secara vertikal dengan kecepatan bervariasi dan berfluktuasi secara dinamis. Faktor

Lebih terperinci