Uji Banding Pemeriksaan Mikroskopis Sputum Basil Tahan Asam dengan Xpert MTB/RIF pada Pasien Diabetes Mellitus yang Diduga Tuberkulosis Paru

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "Uji Banding Pemeriksaan Mikroskopis Sputum Basil Tahan Asam dengan Xpert MTB/RIF pada Pasien Diabetes Mellitus yang Diduga Tuberkulosis Paru"

Transkripsi

1 Uji Banding Pemeriksaan Mikroskopis Sputum Basil Tahan Asam dengan Xpert MTB/RIF pada Pasien Diabetes Mellitus yang Diduga Tuberkulosis Paru Sukara Safril Kusuma Jaya 1, Erlina Burhan 1, Rochsismandoko 2, Cahyarini 3 1 Departemen Pulmonologi dan Ilmu Kedokteran Respirasi, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, RS Persahabatan, Jakarta 2 SMF Penyakit Dalam, Divisi Metabolik dan Endokrin, RS Persahabatan, Jakarta 3 SMF Mikrobiologi, RS Persahabatan, Jakarta Abstrak Latar belakang: Hubungan antara tuberkulosis (TB) dan diabetes mellitus (DM) sudah lama diketahui. Sistem imun rendah pada DM sehingga risiko berkembangnya TB laten menjadi TB aktif lebih tinggi. Penderita DM memiliki 2-3 kali risiko untuk menderita TB dibanding tanpa DM. Sekitar 10% kasus TB secara global berhubungan dengan DM. Prevalensi TB DM berdasarkan penelitian di Poli Endokrin RSUP Persahabatan pada pasien DM tipe 2 dari Oktober sampai Nopember 2013 adalah 28,2%. Diabetes mellitus yang kurang terkontrol atau tidak terkontrol dikaitkan dengan peningkatan risiko TB. Tujuan utama dari penelitian ini adalah untuk menentukan sensitivitas dan spesifisitas mikroskop sputum BTA dan Xpert MTB / RIF untuk diagnosis TB pada pasien dengan DM. Metode: Penelitian ini adalah studi analitik deskriptif potong lintang pada pasien kelompok DM yang masih menjalani pengobatan di RS Persahabatan dari bulan Mei 2014 sampai jumlah sampel tercapai. Penelitian dilakukan di poli Paru dan Penyakit Dalam divisi Endokrin dan Metabolik RS Persahabatan. Pasien dengan keluhan tuberklosis baik yang belum pernah minum OAT atau dengan riwayat pengobatan sebelumnya dan didukung dari foto toraks yang menunjukan gambaran kecurigaan TB akan dilakukan pemeriksaan diagnostik mikrobiologis sputum BTA dan Xpert MTB/RIF. Hasil: Tujuh puluh subjek diskrining dan hanya 55 subjek memenuhi kriteria inklusi. Terdapat 32 laki-laki (58,2%) dan 23 perempuan (41,8%). Umur antara tahun. Indeks massa tubuh kurang 11 (20%), normal 31(56,4%) dan lebih 13(23,6%). Gula darah antara mg/dl. Lama menderita DM <5 tahun adalah 40 (72,7%), 5-10 tahun adalah 7(12,7 %), tahun adalah 6(10,9%) dan >15 tahun adalah 2(3,6%). HbA1c terkontrol 11(20%) dan tidak terkontrol 44(80 %). Riwayat tidak pernah TB 41 (74,5%), TB sembuh 9(16,4%) dan gagal atau putus obat 5 (9,1%). Sputum BTA(+) 29 (52,7%) dan Xpert MTB/RIF(+) 36(65,5%). Tingkat HbA1c tidak terkontrol BTA(+)/Xpert MTB/RIF(+) 30 (54,5%). Uji diagnostik kedua alat memiliki sensitivitas 77,8 % dan spesifisitas 94,7%. Kesimpulan: Xpert MTB/RIF memiliki nilai kepositivan yang lebih tinggi daripada sputum BTA dalam mendeteksi M.Tb. Tidak ada perbedaan sensitivitas dan spesifisitas pemeriksaan mikroskopik sputum BTA dan Xpert MTB/RIF dalam upaya penegakan diagnosis TB pada pasien DM. (J Respir Indo. 2015; 35: ) Kata kunci: Diabetes melitus, tuberkulosis, sputum BTA, Xpert MTB/RIF. Comparison Acid Fast Bacilli Smear Microscopy Examination with Xpert MTB/RIF in Diabetes Mellitus Patients Who Suspected Pulmonary Tuberculosis Abstract Background: The relationship between tuberculosis (TB) and Diabetes Mellitus (DM) has long been known. People with DM have 2-3 times the risk of developing TB. The prevalence of TB-DM based in Endocrine clinic in Persahabatan Hospital in DM type 2 patients in 2013 was 28.2%. Diabetes mellitus poorly controlled or uncontrolled associated with an increased risk of TB. The main objective of this study was to determine the sensitivity and specificity of Acid Fast Bacilli (AFB) smear and Xpert MTB/RIF for diagnosis of TB in DM. Methods: This study was a cross-sectional descriptive analytic study in patients with DM group were still underwent treatment at Persahabatan Hospital from May The study was conducted in Pulmonary clinic and Internal Medicine clinic. Patients with DM who have TB complaints that have not been taken either TB drug or with a history of treatment and supported from chest X-ray shows the suspicion of TB will require the microbiological diagnosis of AFB smear and Xpert MTB/RIF. Result: Seventy subject was screening and only 55 subject met the inclusion criteria. There were 32 males (58.2%) and 23 females (41.8%). Age between years old. Body mass index were less 11(20%), normal 31(56.4%) and over 13(23.6%). The blood sugar between g/dl. The length of suffer DM <5 years were 40(72.7%), 5-10 years were 7(12.7%), years were 6(10.9%) and >15 years were 2(3.6%). The controlled HbA1c 11(20%) and uncontrolled 44(80%). By history of TB has never suffered 41(74.5%), treatment cured 9(16.4%) and failure or withdrawal 5(9.1%). Smear of AFB(+)ve 29 (52.7%) and Xpert MTB/RIF(+) 36(65.5%). Uncontrolled HbA1c levels pulmonary TB with AFB smear/xpert (+)ve 30(54.5%). Sensitivity and specificity by using both 77.8% and 94.7% Conclusion: The Xpert MTB/RIF has a higher value of positivity that detect M.Tb than AFB smear.there is no difference in the sensitivity and specificity of AFB smear and Xpert MTB/RIF for TB diagnosis in patients with DM. (J Respir Indo. 2015; 35: ) Keywords: Diabetes mellitus, tuberculosis, AFB smear, Xpert MTB/RIF Korespondensi: Sukara Safril Kusuma Jaya sukara_rancak@yahoo.co.id Hp: J Respir Indo Vol. 35 No. 3 Juli 2015

2 PENDAHULUAN Penderita diabetes melitus (DM) di dunia pada tahun 2030 diperkirakan meningkat 50% menjadi 366 juta dengan peningkatan tercepat pada negara berpendapatan rendah dan menengah. 1 Prevalensi DM di negara dengan pendapatan tinggi dan rendah adalah sama. Kematian karena DM lebih 80% terjadi di negara dengan pendapatan rendah dan menengah dan negara-negara tersebut memiliki beban tinggi tuberkulosis (TB) di dunia. Setiap tahun, lebih dari 9 juta orang menderita TB dengan lebih dari 1,5 juta kematian karena TB. Satu per tiga orang di dunia terinfeksi TB laten dan memiliki kemungkinan jangka panjang menjadi TB aktif. 2 Hubungan antara TB dan DM sudah lama diketahui. Sistem imun rendah pada DM sehingga risiko berkembangnya TB laten menjadi TB aktif lebih tinggi. Penderita DM memiliki 2-3 kali risiko untuk menderita TB dibanding tanpa DM. Sekitar 10% kasus TB secara global berhubungan dengan DM. 3 Penelitian terbaru menunjukkan bahwa sistem kekebalan tubuh bawaan terganggu oleh tingginya tingkat glukosa darah. 4,5 Pablos-Mendez dkk. 6 menemukan bahwa hanya DM yang kurang terkontrol atau tidak terkontrol dikaitkan dengan peningkatan risiko TB. Hasil sputum BTA sering negatif. 6 Penelitian oleh Alisjahbana 7 di Indonesia menyatakan bahwa prevalensi DM pada pasien TB adalah 13,2%. 7 Pasien DM yang didiagnosis TB memiliki risiko kematian lebih tinggi selama pengobatan TB dan kambuh setelah selesai pengobatan. World Health Organization (WHO) merekomendasikan pengobatan harus dilakukan secara bersamaan pada pasien dengan TB dan DM. Pada pasein DM harus dilakukan pene gakan diagnosis TB terutama pada negara dengan prevalensi TB yang tinggi seperti Indonesia. Proporsi DM di Indonesia sebesar 6,9 persen dengan proporsi DM pada perempuan cenderung lebih tinggi, tetapi hampir sama antara proporsi di perkotaan (6,8%) dan perdesaan (7,0%). 8 Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui sensitivitas dan spesifisitas pemeriksaan mikroskopis sputum BTA dan Xpert MTB/RIF dalam upaya penegakan diagnosis TB pada pasien DM. METODE Penelitian ini adalah studi analitik deskriptif potong lintang pada pasien kelompok DM yang masih menjalani pengobatan di poli Paru dan poli Penyakit Dalam divisi Endokrin dan Metabolik RS Persahabatan. Waktu penelitian dimulai dari bulan Mei 2014 sampai jumlah sampel yang diinginkan tercapai. Sebanyak 70 pasien DM dengan kecurigaaan TB paru diskrining dan yang memenuhi kriteria inklusi sebanyak 57 subjek dengan 13 subjek dieksklusi karena 4 subjek dalam pengobatan DM kurang dari 3 bulan dan 9 subjek dalam pengobatan obat anti tuberkulosis (OAT). Selanjutnya dilakukan anamnesis ulang terhadap 57 subjek tersebut dan didapatkan 2 subjek dieksklusi kembali dikarenakan 1 subjek telah terbukti BTA(+) dan 1 subjek lagi tidak melakukan pemeriksaan Xpert MTB/RIF. Total subjek pada penelitiannya menjadi 55 subjek. Data penelitian merupakan data primer yang dilakukan melalui wawancara dengan kuesioner untuk mengenai data pribadi, umur, lama menderita DM, kadar gula darah sewaktu (GDS) terakhir, riwayat TB terdahulu dan keluhan respirasi dan sistemik terkait TB. Data sekunder diambil dari rekam medis yaitu kadar HbA1c, hasil pembacaan foto toraks dan sputum basil tahan asam (BTA) 3x (SPS). Pasien DM dengan keluhan gejala respiratori antara lain batuk 2 minggu, batuk darah, sesak napas, nyeri dada serta gejala sistemik antara lain demam, malaise, keringat malam, anoreksia dan berat badan menurun baik pada suspek TB paru kasus baru maupun dengan riwayat pengobatan dilakukan anamnesis, pemeriksaan fisis, pemeriksaan mikroskopis sputum BTA 3x, Xpert MTB/RIF dan GDS terakhir. Data yang diperoleh dilakukan analisis bivariat dan multivariat antara variabel bebas dan terikat. Kriteria inklusi pada penelitian ini ialah semua pasien DM tipe 2 yang diduga menderita TB dengan gambaran foto toraks yang menunjukkan kecurigaan TB, baik kasus baru maupun dengan riwayat pengobatan yang bersedia mengikuti penelitian ini. Kriteria inkulsi yaitu pasien DM tipe 2 dengan keluhan TB dan gambaran foto toraks normal, pasien DM tipe 2 yang J Respir Indo Vol. 35 No. 3 Juli

3 mendapat pengobatan DM kurang dari 3 bulan, pasien DM tipe 2 yang menderita TB atau TB MDR dalam pengobatan OAT, dan pasien DM tipe 2 yang tidak bisa mengeluarkan dahak atau hanya mampu mengeluarkan air liur saja setelah pemeriksaan diulang 1 kali. HASIL Tujuh puluh subjek diskrining dan hanya 55 subjek memenuhi kriteria inklusi. Terdapat 32 lakilaki (58,2%) dan 23 perempuan (41,8%). Umur antara tahun. Indeks massa tubuh kurang 11 (20%), normal 31(56,4%) dan lebih 13(23,6%). Gula darah antara mg/dl. Lama menderita DM <5 tahun adalah 40 (72,7%), 5-10 tahun adalah 7(12,7 %), tahun adalah 6(10,9%) dan >15 tahun adalah 2(3,6%). HbA1c terkontrol 11(20%) dan tidak terkontrol 44(80 %). Riwayat tidak pernah TB 41 (74,5%), TB sembuh 9(16,4%) dan gagal atau putus obat 5 (9,1%). Sputum BTA(+) 29 (52,7%) dan Xpert MTB/RIF(+) 36(65,5%). Keluhan respirasi TB antara lain batuk berdahak 47 subjek (85,5%), sesak napas 25 subjek (45,5%), nyeri dada 22 subjek (40%) dan batuk darah 18 subjek (32,7%). Sampel penelitian sebanyak 55 subjek diuraikan berdasarkan karakteristik subjek yang selanjutnya dilakukan analisis Chi square yang menilai hubungan antara karkteristik subjek dan diagnosis TB paru. Hasil yang didapatkan bukan TB paru sebanyak 15 subjek, TB paru klinis sebanyak 5 subjek dan TB paru BTA(+)/Xpert MTB/ RIF(+) sebanyak 35 subjek. Karakteristik subjek berdasarkan jenis kelamin terdiri dari laki-laki 32 subjek (58,2%) dan perempuan 23 subjek (41,8%). Berdasarkan analisis Chi square (Tabel 2), diagnosis Bukan TB terbanyak pada perempuan 73,3% (11/15), diagnosis TB paru klinis terbanyak pada laki-laki 80,0% (4/5) dan diagnosis TB paru BTA(+)/ Xpert MTB/RIF(+) terbanyak pada laki-laki 68,6% (24/35). Hasil uji Chi square bermakna secara statistik (p=0,013). Tabel 1. Karakteristik subjek (N=55) Variabel N % Jenis kelamin Laki-laki 32 58,2 Perempuan 23 41,8 Umur < 40 tahun tahun > 60 tahun Indeks massa tubuh (IMT) kurang (<19) 11 20,0 normal (19-24) 31 56,4 BB lebih (>25) 13 23,6 GDS < 200 mg/dl mg/dl HbA1c baik (<6.5%) sedang (6.5%-8%) buruk (>8%) Lama DM < 5 Tahun 40 72, tahun 7 12, tahun 6 10,9 > 15 tahun 2 3,6 Riwayat TB tidak pernah 41 74,5 Sembuh 9 16,4 gagal/putus obat 5 9,1 Batuk Berdahak Ya 47 85,5 Batuk Darah Ya 18 32,7 Sesak Napas Ya 25 45,5 Nyeri dada Ya 22 40,0 Badan lemah Ya 44 80,0 Nafsu makan menurun Ya 39 70,9 Berat badan menurun Ya 45 81,8 Keringat malam Ya 34 61,8 Demam Ya 26 47,3 Foto toraks Normal 0 0,0 Lesi minimal Lesi luas 35 63,6 Sputum BTA Positif 29 52,7 Negatif 26 47,3 Xpert MTB/RIF Positif 36 65,5 Negatif 19 34,5 Pada Tabel 1 menunjukkan umur subjek terbanyak pada usia dengan 32 subjek (58,2%) diikuti umur >60 tahun sebanyak 15 subjek (27,3%) dan paling sedikit umur <40 tahun sebanyak 8 subjek (14,5%). Berdasarkan analisis Chi square (Tabel 2), pada kelompok umur tahun memiliki subjek terbanyak pada semua diagnosis TB paru yakni diagnosis Bukan TB 46,7% (7/15), diagnosis TB paru klinis terbanyak sebanyak 100% (5/5) dan diagnosis TB paru BTA(+)/Xpert MTB/RIF(+) sebanyak 57,1% (20/35). Hasil uji Chi square tidak bermakna secara statistik (p=0,283). Indeks massa tubuh pada Tabel 1 paling banyak adalah normal (19-24) sebanyak 31 subjek (56,4%), diikuti IMT lebih sebanyak 13 subjek (23,6%) dan paling sedikit adalah IMT kurang sebanyak 11 subjek (20%). Berdasarkan uji Chi square, pada kategori IMT normal memiliki subjek terbanyak pada 146 J Respir Indo Vol. 35 No. 3 Juli 2015

4 diagnosis Bukan TB sebanyak 53,3% (8/15) dan TB paru BTA(+)/Xpert MTB/RIF(+) sebanyak 65,7% (23/35). Sedangkan diagnosis TB paru klinis terbanyak pada kategori IMT lebih sebanyak 60,0% (3/5). Hasil uji Chi square tidak bermakna secara statistik (p=0,079). Pada Tabel 1 juga memperlihatkan GDS subjek < 200 mg/dl sebanyak 23 subjek (41,8%) dan GDS 200 mg/dl sebanyak 32 subjek (58,2%). Selanjutnya dilakukan uji Chi square (Tabel 2), pada diagnosis Bukan TB didapatkan subjek terbanyak pada GDS < 200 sebanyak 60,0% (9/15) sedangkan diagnosis TB paru klinis dan diagnosis TB paru BTA(+)/Xpert MTB/ RIF(+) memiliki subjek terbanyak pada GDS 200 mg/dl yaitu diagnosis TB paru klinis sebanyak 60,0% (3/5) dan diagnosis TB paru BTA(+)/Xpert MTB/RIF(+) sebanyak 65,7% (23/35) Uji Chi square menunjukkan hasil tidak bermakna secara statistik (p=0,239). Lama DM paling banyak adalah <5 tahun sebanyak 40 subjek (72,7%) diikuti 5-10 tahun sebanyak 7 subjek (12,7%), tahun sebanyak 6 subjek (10,9%) dan paling sedikit >15 tahun sebanyak 2 subjek (3,6%). Berdasarkan uji Chi square (Tabel 2), pada kategori lama menderita DM terhadap diagnosis TB paru didapatkan pada kelompok lama DM <5 tahun memiliki jumlah subjek terbanyak pada masingmasing diagnosis TB paru yaitu untuk diagnosis bukan TB sebanyak 80,0% (12/15) diagnosis TB paru klinis sebanyak 60,0% (3/5) dan diagnosis TB paru BTA(+)/Xpert MTB/RIF(+)sebanyak 71,4% (25/35). Uji Chi square menunjukkan hasil tidak bermakna secara statistik (p=0,658). Berdasarkan kadar HbA1c, subjek terbanyak terdapat pada kelompok pengendalian DM buruk (HbA1c >8%) sebanyak 35 subjek (63,6%), pengendalian DM sedang (HbA1c 6,5-8%) sebanyak 14 subjek (25,5%) dan pengendalian DM baik (HbA1c <6,5%) sebanyak 6 subjek (10,9%). Hasil uji Chi square (Tabel 2), didapatkan pada diagnosis bukan TB subjek terbanyak pada kelompok pengendalian DM sedang sebanyak 53,3% (8/15), diagnosis TB paru klinis didapatkan jumlah subjek yang sama antara pengendalian DM sedang dan pengendalian DM buruk sebanyak 40% (2/5) dan diagnosis TB paru BTA(+)/Xpert MTB/RIF(+) memiliki subjek terbanyak pada pengendalian DM buruk sebanyak 74,3% (26/35) Uji Chi square menunjukkan hasil bermakna secara statistik (p=0,019). Tabel 2 Karakteristik subjek dengan diagnosis TB paru (N=55) Bukan TB TB Paru Klinis TB Paru BTA(+) /Xpert (+) Nilai p N=15 % N=5 % N=35 % Jenis Kelamin 0,013 Laki-laki 4 26,7 4 80, ,6 Perempuan 11 73,3 1 20, ,4 Umur 0,283 <40 tahun 2 13,3 0 0,0 6 17, tahun 7 46, , ,1 >60 tahun 6 40,0 0 0,0 9 25,7 Status gizi 0,079 (IMT) kurang (<19), 4 26,7 2 40,0 5 14,3 Normal (19-24) 8 53,3 0 0, ,7 lebih ( 25) 3 20,0 3 60,0 7 20,0 GDS 0,239 <200 mg/dl 9 60,0 2 40, ,3 200 mg/dl 6 40,0 3 60, ,7 Lama menderita 0,658 DM <5 tahun 12 80,0 3 60, , tahun 0 0,0 1 20,0 6 17, tahun 2 13,3 1 20,0 3 8,6 >15 tahun 1 6,7 0 0,0 1 2,9 Riwayat TB 0,519 tidak pernah 12 80,0 4 80, ,4 sembuh 3 20,0 1 20,0 5 14,3 gagal/putus obat 0 0,0 0 0,0 5 14,3 Kadar HbA1c 0,019 <6,5 (baik) 0 0,0 1 20,0 5 14,3 6, ,3 2 40,0 4 11,4 (sedang) >8 (buruk) 7 46,7 2 40, ,3 Keluhan Respirasi Batuk dahak 14 93,3 3 60, ,7 0,187 >2-3 minggu batuk darah 3 20,0 2 40, ,1 0,464 sesak napas 7 46,7 3 60, ,9 0,767 nyeri dada, 6 40,0 4 80, ,4 0,149 Keluhan sistemik badan lemah 10 66,7 3 60, ,6 0,149 nafsu makan 9 60,0 4 80, ,3 0,533 menurun penurunan 12 80,0 4 80, ,9 0,966 berat badan, keringat 7 46,7 3 60, ,6 0,343 malam demam 7 46,7 3 60, ,7 0,835 Lesi pada foto 0,001 toraks lesi minimal 11 73,3 0 0,0 9 26,5 lesi luas 4 26, , ,5 Sputum 0,000 BTA (+) 1 6,7 0 0, ,0 BTA (-) 14 93, ,0 7 20,0 Xpert MTB/RIF MTB 0,000 Positif 1 6,7 0 0, Negatif 14 93, ,0 0 0,0 Ripamfisin 0,748 resistensi Positif 0 0,0 0 0,0 1 2,9 Negatif , ,1 J Respir Indo Vol. 35 No. 3 Juli

5 Subjek dengan riwayat TB terdahulu sebanyak 41 subjek (74,5%) tidak pernah mendapat terapi OAT, 9 subjek (16,4%) riwayat sembuh dan 5 subjek (9,1%) dengan riwayat putus obat atau gagal. Pada kategori riwayat TB terdahulu terbanyak pada kelompok tidak pernah menderita TB. Hasil uji bivariat Chi square (Tabel 2), memperlihatkan kelompok tidak pernah mendapatkan OAT memiliki jumlah subjek terbanyak pada masing-masing diagnosis TB paru yaitu diagnosis bukan TB sebanyak 80% (12/15), diagnosis TB paru klinis sebanyak 80% (4/5) dan diagnosis TB paru BTA(+)/Xpert MTB/RIF(+) sebanyak 71,4% (25/35). Uji Chi square menunjukkan hasil tidak bermakna secara statistik (p=0,519). Keluhan respirasi TB antara lain batuk berdahak 47 subjek (85,5%), sesak napas 25 subjek (45,5%), nyeri dada 22 subjek (40%) dan batuk darah 18 subjek (32,7%). Pada diagnosis bukan TB, keluhan respirasi terbanyak adalah batuk dahak >2-3 minggu sebanyak 93,3% (14/15) sedangkan pada diagnosis TB paru klinis didapatkan keluhan berupa nyeri dada 80,0% (4/5), sesak napas dan batuk dahak >2-3 minggu masing-masing 60,0% (3/5). Pada diagnosis TB paru BTA(+)/Xpert MTB/ RIF(+), keluhan respirasi terbanyak adalah batuk dahak >2-3 minggu sebanyak 85,7% (30/35). Keluhan respirasi tersebut di atas berdasarkan uji Chi square (Tabel 2), tidak bermakna secara statistik. Sedangkan untuk keluhan sistemik antara lain penurunan berat badan 45 subjek (81,8%), badan lemah 44 subjek (80%), nafsu makan menurun 39 subjek (70,9%), keringat malam 34 subjek (61,8%) dan demam 26 subjek (47,3%). Hasil uji Chi square memperlihatkan keluhan sistemik memiliki presentase yang merata pada masingmasing diagnosis seperti yang terlihat pada Tabel 2 dan tidak berhubungan bermakna secara statistik. Pada foto toraks lesi luas sebanyak 35 subjek (63,6%) sedangkan lesi minimal sebanyak 20 subjek (36,4%). Berdasarkan uji Chi square (Tabel 2), pada diagnosis Bukan TB subjek terbanyak pada foto toraks lesi minimal sebanyak 73,3% (11/15). Sedangkan untuk foto toraks lesi luas memiliki jumlah subjek terbanyak pada diagnosis TB paru klinis dan diagnosis TB paru BTA(+)/Xpert MTB/ RIF(+) yaitu diagnosis TB paru sebanyak 100% (5/5) dan diagnosis TB paru BTA(+)/Xpert MTB/ RIF(+) 73,5% (25/35). Uji Chi square menunjukkan hasil bermakna secara statistik (p=0,001). Hasil mikroskopis sputum BTA positif sebanyak 29 subjek (52,7%) dan berdasarkan hasil uji Chi square (tabel 4.2), didapatkan pada diagnosis Bukan TB subjek terbanyak pada BTA(-) sebanyak 93,3% (14/15), sedangkan sputum BTA(+) memiliki subjek terbanyak pada diagnosis TB paru klinis dan diagnosis TB paru BTA(+)/Xpert MTB/RIF(+) yaitu diagnosis TB paru klinis sebanyak 100% (5/5) dan diagnosis TB paru sebanyak 80,0% (28/35). Uji Chi square menunjukkan hasil bermakna secara statistik (p=0,000). Hasil pemeriksaan Xpert MTB/RIF menunjukkan hasil positif sebanyak 36 subjek (65,5%). Terdapat selisih 7 subjek (12,8%) antara sputum BTA dan Xpert MTB/RIF yang menunjukkan hasil positif. Hal ini memperlihatkan bahwa Xpert MTB/ RIF memiliki kepositifan TB lebih tinggi dibandingkan dengan sputum BTA. Berdasarkan hasil uji Chi square (Tabel 2), M.Tb(-) terbanyak pada diagnosis bukan TB sebanyak 93,3% (14/15) dan M.Tb(+) memiliki jumlah subjek terbanyak pada pada diagnosis TB paru klinis sebanyak 100% (15/15) dan TB paru BTA(+)/Xpert MTB/RIF(+) sebanyak 100,0% (35/35). Uji Chi square menunjukkan hasil bermakna secara statistik (p=0,000). Tabel 3. Uji bivariat chi square HbA1c terhadap lama DM, foto toraks, sputum BTA dan Xpert MTB/RIF. HbA1c 6,5% >6,5% Nilai p Lama DM 0,983 < 10 tahun tahun 1 7 Foto toraks 0,032 Sputum BTA Xpert MTB/ RIF lesi minimal 0 20 lesi luas 8 27 Positif 4 25 Negatif 4 22 Positif 5 31 Negatif 3 16 *) Uji bivariat chi square signifikan dengan p<0,05 0,802 0, J Respir Indo Vol. 35 No. 3 Juli 2015

6 Hasil uji bivariat chi square seperti terlihat pada Tabel 2 menunjukkan terdapat hubungan bermakna antara TB paru dengan jenis kelamin (p=0,013), kadar HbA1c (p=0,019), lesi pada foto toraks (p=0,001), sputum BTA (p=0,000) dan Xpert MTB/RIF (p=0,000). Selanjutnya berdasarkan hasil uji di atas maka dilakukan kembali pengujian dengan uji bivariat chi square dengan kategori HbA1c sebagai faktor terikat dan sebagai faktor bebasnya adalah jenis kelamin, foto toraks, sputum BTA dan Xpert MTB/RIF. Uji ini dilakukan untuk mencari hubungan antara tingkat pengendalian DM terhadap karakteristik TB dan alat diagnostik TB paru seperti terlihat pada Tabel 3. Untuk keperluan analisis, kategori HbA1c, diagnosis TB paru dan lama DM dilakukan Hasil penggabungan sel. Kadar HbA1c semula terbagi 3 kelompok yaitu <6,5%, 6,5-8% dan >8% menjadi 2 kelompok yaitu kelompok pertama adalah 6,5% dan kelompok kedua adalah >6,5% yang terdiri dari kadar HbA1c 6,5-8% dan >8%. Pada kategori lama DM yang semula dibagi dalam 4 kelompok yakni <5 tahun, 5-10 tahun, tahun dan >15 tahun menjadi 2 kelompok yakni kelompok pertama adalah < 10 tahun yang terdiri dari <5 tahun dan 5-10 tahun. Tabel 4. Analisis ordinal logistic regression Nilai p OR 95% CI untuk OR Bawah Atas Jenis kelamin 0,006 0,156 0,041 0,589 HbA1c 0,422 0,405 0,045 3,677 Lesi pada foto toraks 0,001 9,472 2, Sputum BTA 0,001 0,031 0,004 0,260 Xpert MTB/RIF 0,000 0,010 0,001 0,095 *) signifikan dengan p<0,05 Tabel 5. Uji diagnostik sputum BTA dan Xpert MTB/RIF pada pasien DM tanpa riwayat TB BTA Xpert MTB/RIF Positif Negatif Total Positif Negatif Total Sensitivitas = a/(a+c) x 100% = 20/26 x 100% = 76,9% Spesifisitas = d/(b+d) x 100% =15/15 x 100% = 100,0% Nilai prediksi positif= a/ (a+b) x 100% =20/20 x 100% = 100,0% Nilai prediksi negatif= d/(c+d) x 100%= 15/21 x 100% = 71,4% Kelompok kedua adalah 10 tahun yang terdiri dari tahun dan >15 tahun. Sedangkan untuk diagnosis TB paru semula 3 kelompok yaitu Bukan TB paru, TB paru klinis dan TB paru BTA(+)/ Xpert MTB/RIF(+) menjadi 2 kelompok yaitu kelompok pertama Bukan TB dan kelompok kedua terdiri dari TB paru klinis dan TB paru BTA(+)/Xpert MTB/RIF(+). Selanjutnya dilakukan uji analisis ordinal logistic regression untuk mengukur kembali hubungan antara dua variable dan tingkat probabilitas kejadiannya atau Odds Ratio (OR) pada Tabel 4. Hasil analisis menunjukkan bahwa jenis kelamin (p=0,006 dan OR: 0,156), lesi pada foto toraks (p=0,001 dan OR: 9,472), sputum BTA (p=0,001 dan OR: 0,031) dan Xpert MTB/RIF (p=0,000 dan OR: 0,010) berhubungan bermakna dengan diagnosis TB paru dan hanya HbA1c (p=0,422 dan OR: 0,405) yang tidak terdapat hubungan yang bermakna dengan diagnosis TB paru. Selanjutnya kedua alat diagnostik tersebut dikelompokan dalam tabel 2x2 (Tabel 5 dan 6). Pada Tabel 5 didapatkan nilai sensitivitas dan spesifisitas sputum BTA pada pasien DM tanpa riwayat pengobatan TB terdahulu yang berjumlah 41 subjek. Berdasarkan perhitungan dari tabel tersebut didapatkan nilai sensitivitas sebesar 76,9% dan nilai spesifisitas sebesar 100%. Pada tabel ini juga dapat kita menilai nilai prediksi positif dan nilai prediksi negatif yang menggambarkan kemungkinan seseorang akan menderita atau tidak menderita TB paru pada pasien DM. Hasil yang didapatkan adalah nilai prediksi positif sebesar 100,0% dan nilai prediksi negatif sebesar 71,4%. Tabel 6. Uji diagnostik sputum BTA dan Xpert MTB/RIF BTA Positif Xpert MTB/RIF Negatif Total Positif Negatif Total Sensitivitas = a/(a+c) x 100% = 28/36 x 100% = 77,8% Spesifisitas = d/(b+d) x 100% =18/19 x 100% = 94,7% Nilai prediksi positif= a/ (a+b) x 100% =28/29 x 100% = 96,5% Nilai prediksi negatif= d/(c+d) x 100%= 18/26 x 100% = 69,2% J Respir Indo Vol. 35 No. 3 Juli

7 Pada Tabel 6 didapatkan nilai sensitivitas dan spesifisitas sputum BTA dan Xpert MTB/RIF pada pasien DM berjumlah 55 subjek. Berdasarkan perhitungan dari tabel tersebut didapatkan nilai sensitivitas sebesar 77,8% dan nilai spesifisitas sebesar 94,7%. Pada tabel ini juga dapat kita menilai nilai prediksi positif dan nilai prediksi negatif yang menggambarkan kemungkinan seseorang akan menderita atau tidak menderita TB paru pada pasien DM. Hasil yang didapatkan adalah nilai prediksi positif sebesar 96,5% dan nilai prediksi negatif sebesar 69,2%. PEMBAHASAN Penelitian ini bertujuan untuk menentukan sensitivitas dan spesifisitas mikroskopis sputum BTA dan Xpert MTB/RIF untuk diagnosis TB pada pasien DM. Pasien DM yang diduga menderita TB baik kasus baru maupun dengan riwayat pengobatan di poli Paru dan Penyakit Dalam divisi Endokrin dan Metabolik RSUP Persahabatan berjumlah 55 orang. Hasil uji bivariat Chi-square menunjukkan terdapat hubungan bermakna antara TB paru dengan jenis kelamin (p=0,013), kadar HbA1c (p=0,019), lesi pada foto toraks (p=0,001), sputum BTA (p=0,000) dan Xpert MTB/RIF (p=0,000). Berdasarkan tabel 2x2 pada uji diagnostik mikroskopis sputum BTA dan Xpert MTB/RIF didapatkan nilai sensitivitas 77,8% dan spesifisitas 94,7%. Karakteristik subjek Jumlah subjek penelitian yaitu 55 yang terdiri dari laki-laki 32 subjek (58,2%) dan perempuan 23 subjek (41,8%). Penelitian Jali dkk. 9 juga menyatakan lebih banyak pada jenis kelamin laki-laki 197 subjek (64,2%) dibandingkan perempuan 110 subjek (35,8%). Penelitian Amin dkk. 10 dengan jumlah sampel 100 pasien DM terdapat 54% subjek laki-laki dan 46% perempuan. Berbeda dengan penelitian Wijayanto dkk. 11 dengan jumlah sampel 174 orang terbanyak perempuan 103 (59,2%) dan laki-laki 71 (40,8%). Berdasarkan jenis kelamin, laki-laki terbanyak pada diagnosis TB paru klinis 80,0% (4/5) dan TB paru BTA(+)/Xpert MTB/RIF(+) 68,6% (24/35) sedangkan Bukan TB pada perempuan sebanyak 73,3% (11/15). Hasil analisis menggunakan uji Chisquare menunjukkan terdapat hubungan bermakna antara jenis kelamin dengan TB paru pada pasien DM (p=0,013) dan setelah dilakukan uji regresi logistik ternyata terdapat hubungan bermakna antara jenis kelamin dengan terjadinya TB paru pada penelitian ini p=0,006 dengan OR: 0,156 ;[Interval Kepercayaan (IK) 95% 0,097-0,960]). Laki-laki memiliki frekuensi lebih tinggi menderita TB paru dibandingkan dengan perempuan yang juga dinyatakan pada penelitian Perez-Guzman dkk. 13 yang menyatakan sebagian besar pasien TB adalah laki-laki 105 (70%). Hal ini dikarenakan pajanan yang lebih sering pada laki-laki dan pada perempuan TB lebih sering tidak terdiagnosis. Pada penelitian Perez-Guzman dkk. 13 menyatakan sebagian besar pasien tinggal di desa sekitar 86,7% meskipun banyak penelitian menyatakan bahwa kejadian TB paling sering pada pemukiman padat di perkotaan. Kondisi perbedaan jenis kelamin mempengaruhi penyebaran suatu masalah kesehatan diantaranya terdapatnya perbedaan kebiasaan hidup antara perempuan dan laki-laki. Laki-laki penderita DM umumnya dianggap lebih berisiko TB dibandingkan perempuan karena ada faktor sosial budaya yang ikut untuk menentukan jumlah terbanyak pada laki-laki dalam TB paru. Lakilaki lebih banyak yang merokok daripada perempuan sehingga perilaku ini membuat perubahan dalam saluran napas yang berakibat pertahanan alami saluran napas melemah. Selanjutnya terdapat perbedaan tingkat kesadaran berobat lebih pada perempuan karena memiliki kesadaran yang baik untuk berobat daripada laki-laki. Hal yang tak kalah pentingnya adalah terdapatnya perbedaan jenis pekerjaan karena memang laki-laki yang lebih banyak bekerja. 10 Umur subjek terbanyak pada usia dengan 32 subjek (58,2%), diikuti umur >60 tahun sebanyak 15 subjek (27,3%) dan paling sedikit umur <40 tahun sebanyak 8 subjek (14,5%). Hasil yang sama didapatkan dari penelitian oleh Ullah dkk. 14 memiliki sampel dari umur 17 sampai 80 tahun 150 J Respir Indo Vol. 35 No. 3 Juli 2015

8 dengan jumlah subjek terbanyak umur tahun sebanyak 31 subjek (31%), diikuti usia tahun sebanyak 25 subjek (25%) dan sampel terkecil umur tahun hanya 3 subjek (3%). Sedangkan dari penelitian Wijayanto dkk. 11 menyatakan kategori umur terbanyak >60 tahun 86 subjek (49,4%) diikuti tahun 80 subjek (46,0%) dan umur pasien <40 tahun sebanyak 8 subjek (4,6%). Kelompok umur tahun terbanyak pada Diagnosis bukan TB 46,7% (7/15), TB paru klinis 100% (5/5) dan TB paru BTA(+)/Xpert MTB/RIF(+) 57,1% (20/35). Hasil analisis statistik dengan uji Chi-square menunjukkan tidak terdapat hubungan antara umur dengan TB paru (p=0,283). Penelitian Alisjahbana dkk. 7 menyatakan DM didiagnosis pada 14,8% pasien dengan TB dan berhubungan dengan usia yang lebih tua dan berat badan yang lebih besar. Menurut Ullah dkk. 14 menyatakan kelompok usia 40 tahun ke atas memiliki risiko meningkat untuk mengalami DM dan TB paru. Pada penelitian tersebut dinyatakan bahwa umur tidak memberikan pengaruh pada penderita DM terhadap risiko TB paru. Umur termasuk variabel yang penting dalam mempelajari suatu masalah kesehatan karena ada kaitannya dengan daya tahan tubuh seseorang. Sedangkan daya tahan tubuh terhadap TB paru ditentukan oleh kemampuan sistem imunitas seluler dan setiap ada faktor yang mempengaruhinya secara negatif akan meningkatkan kerentanan terhadap TB paru. Pada penderita DM terdapat kondisi hiperglikemia akan dapat menjadi predisposisi kerusakan pada fungsi monosit-makrofag. Proses penuaan dapat menyebabkan terjadinya perubahan pada sistem pernapasan yang mengakibatkan penurunan fungsi paru berupa: penurunan kekuatan dan kekakuan pada otot pernapasan, menurunnya aktivitas silia, berkurangnya elastisitas paru dan reflek batuk juga akan menurun. Kondisi umur tua dan DM yang keduanya akan bersama-sama memperlemah sistem pertahanan tubuh. 7 Indeks massa tubuh paling banyak adalah IMT normal sebanyak 31 subjek (56,4%) diikuti IMT lebih 13 subjek (23,6%) dan paling sedikit adalah IMT kurang sebanyak 11 subjek (20%). Pada penelitian Wijayanto dkk. 11 IMT subjek didapatkan paling banyak 83 orang berat badan normal (47,7%), berat badan lebih pada 53 orang (30,5 %) diikuti dengan berat badan kurang 38 orang (21,8%). Hasil yang hampir sama didapatkan pada penelitian Amare H dkk 15 mendapatkan hasil IMT rendah sebanyak 30 (13,3%), IMT normal 141(62,7%) dan IMT lebih 54(24%). Kategori IMT normal terbanyak pada Diagnosis bukan TB 53,3% (8/15) dan TB paru BTA(+)/Xpert MTB/RIF(+) 65,7% (23/35) sedangkan TB paru klinis didapatkan pada kategori IMT berat badan lebih sebanyak 60,0% (3/5). Hasil analisis menggunakan uji Chi-square menunjukkan tidak terdapat hubungan antara IMT dengan TB paru pada pasien DM tipe 2 (p<0.079). Hasil ini berbeda dari penelitian Wijayanto dkk 11 yang menyatakan terdapat hubungan antara IMT dengan TB paru pada pasien DM tipe 2 (p<0.001) dengan aor 10,15 ;[95% CI 2,595-39,7]). Penelitian tentang TB dikaitkan dengan malnutrisi dan DM di Indonesia oleh Alisjahbana dkk. 7 menyatakan DM dengan TB berhubungan dengan berat badan yang lebih besar. Malnutrisi juga bisa akibat dari penyakit TB atau mendahului perkembangan TB. Indeks massa tubuh memiliki interaksi erat antara energi metabolisme dan sistem kekebalan tubuh. Keduanya terlibat dalam efek relatif spesifik paru pada kontrol DM dan IMT. Secara khusus, perubahan kejadian TB dengan usia secara langsung (prevalensi infeksi dan risiko perkembangan infeksi TB aktif karena tergantung usia) dan secara tidak langsung melalui dampaknya pada IMT dan DM sebagai faktor risiko. Dampak yang kuat pada kejadian TB per kapita di India adalah penurunan IMT antara laki-laki yang tinggal di daerah pedesaan. Apakah penurunan IMT antara laki-laki pedesaan bertepatan dengan kenaikan DM tidak diketahui karena tidak ada survei telah mengukur tren di IMT dan DM pada populasi pedesaan yang sama. 17 Kadar HbA1c Secara berurutan kadar HbA1c dari terbanyak adalah nilai >8% sebanyak 35 (63,6%), nilai 6,5-8% sebanyak 14 (25,5%) dan nilai <6,5% sebanyak 6 J Respir Indo Vol. 35 No. 3 Juli

9 (10,9%). Diagnosis TB paru BTA(+)/Xpert MTB/RIF(+) terbanyak pada kadar HbA1c >8% (pengendalian DM buruk) sebanyak 74,3% (26/35). Hasil analisis menggunakan uji Chi-square menunjukkan terdapat hubungan bermakna antara kadar HbA1c dengan TB paru pada pasien DM (p=0,019). Namun setelah dilakukan uji regresi logistik ternyata tidak terdapat hubungan yang bermakna antara HbA1c dengan terjadinya TB paru (p=0,309 dengan OR 0,316;[IK 95% 0,034-2,915]). Hasil yang sama juga didapatkan dari penelitian Wijayanto dkk. 11 menunjukkan kadar HbA1c terbanyak adalah >8% sebanyak 68 subjek (39,1%), diikuti 6,5-8% sebanyak 59 subjek (33,9%) dan paling sedikit <6,5% sebanyak 47 subjek (27%). Terdapat hubungan antara kadar HbA1c dengan TB paru pada pasien DM (p<0.001). Pada uji bivariat Chi-square dengan variabel terikat HbA1c dan variabel bebasnya adalah jenis kelamin, lesi pada foto toraks, sputum BTA dan Xpert MTB/RIF didapatkan hanya Xpert MTB/RIF yang memiliki hubungan yang bermakna dengan HbA1c (p=0,049). Hasil ini menunjukkan tingkat kepositivan pemeriksaan Xpert MTB/RIF terkait dengan tingkat kadar HbA1c dan terbukti pada Tabel 3 kadar HbA1c di atas 8% memiliki jumlah subjek terbanyak. Penelitian oleh Park dkk. 18 memiliki HbA1c 7,0 sebanyak 74 subjek (59,7%), HbA1c <7,0 sebanyak 25 subjek (20,2%) dan tidak terdapat data HbA1c pada 25 subjek (20,2%). Pada berbagai penelitian sebagian besar pengelolaan DM tidak mencapai target terapi yakni DM terkontrol. Tujuan utama terapi DM adalah untuk mencapai kontrol metabolik yang baik sehingga dapat mencegah terjadinya komplikasi jangka panjang. Peningkatan risiko TB paru BTA(+) telah dibuktikan pada kadar HbA1c lebih dari 7%. 19 Tamura dkk. 19 menyimpulkan bahwa pada pasien yang menderita DM dengan HbA1c > 9,0% memiliki proporsi kasus BTA positif lebih tinggi dan periode sampai kultur konversi negatif lebih lama dari pada pasien yang menderita DM dengan HbA1c < 9,0%. Uji HbA1c merupakan suatu cara yang paling baik untuk mengetahui tingkat kontrol DM. Kadar HbA1c berubah secara perlahan sehingga dapat dipergunakan untuk mengetahui kualitas dari kontrol gula darah. Kemampuannya adalah mampu mendeteksi kadar gula darah dalam rentang 2-3 bulan, uji ini tidak perlu puasa sehingga cukup nyaman dan tingkat realibilitasnya dapat diandalkan karena hasilnya yang cukup konsisten. Penderita DM yang kurang terkontrol dengan kadar HbA1c tinggi dapat menyebabkan TB menjadi lebih parah dan berhubungan dengan mortalitas yang lebih tinggi. Derajat hiperglikemia juga berperan dalam fungsi mikrobisida makrofag. Pada gula darah > 200 mg/dl secara signifikan menekan fungsi oksidatif makrofag. Glikolisis non enzimatik protein menginduksi terjadinya gangguan mukosilier atau menyebabkan neuropati otonom diabetik sehingga terjadi abnormalitas tonus basal saluran napas. 20 Lama menderita DM Rentang lama menderita DM adalah 1 tahun sampai 26 tahun dengan rata-rata 4,6 tahun. Lama DM paling banyak adalah <5 tahun sebanyak 40 subjek (72,7%) diikuti 5-10 tahun sebanyak 7 subjek (12,7%), tahun sebanyak 6 subjek (10,9%) dan paling sedikit >15 tahun sebanyak 2 subjek (3,6%). Hasil penelitian ini serupa dengan subjek penelitian Amare dkk. 15 dengan kategori lama menderita DM 5 tahun 132 subjek (58,6%), 6-10 tahun 61 subjek (27,1%) dan >10 tahun 32 subjek (14,2%). Subjek penelitian yang menderita DM <5 tahun terbanyak dengan diagnosis bukan TB sebanyak 80,0% (12/15), TB paru klinis 60,0% (3/5) dan TB paru BTA (+)/Xpert MTB/RIF(+) 71,4% (25/35). Tidak terdapat hubungan antara lama menderita DM dengan TB paru (p=0.658). Hasil ini berbeda dengan penelitan Wijayanto dkk. 11 yang menyatakan terdapat hubungan antara lama menderita DM dengan TB paru (p=0.011) dan aor 23,136 pada kategori lama DM kurang dari 1 tahun (p<0,001 [95% CI: 4,654-11]). Zhao dkk. 21 di Cina menyatakan bahwa tidak terdapat hubungan antara lama menderita DM dengan terjadinya TB paru. Diabetes melitus dan TB sering muncul secara bersamaan sehingga ini yang menjelaskan 152 J Respir Indo Vol. 35 No. 3 Juli 2015

10 mengapa hasil penelitian ini menunjukkan pasien yang menderita DM <5 tahun sudah terdiagnosis TB. Durasi menderita DM memainkan peran penting dalam pengembangan komplikasi DM kronik yang dapat mengubah fisiologi sistem pernapasan. Neuropati otonom diabetik dapat menyebabkan suara saluran napas basal abnormal akibat perubahan jalur vagal yang menyebabkan penurunan reaktivitas bronkial dan bronkodilatasi. Hal inilah yang memainkan peran penting dalam meningkatkan risiko lebih tinggi terjadinya infeksi saluran pernapasan termasuk TB pada pasien DM. 22 Terdapat peningkatan penyakit TB paru pada pasien yang telah menderita DM lebih dari 10 tahun. Hal ini tentu merupakan akibat kelainan pada imunitas cell-mediated dan fungsi fagosit berhubungan dengan hiperglikemia, sebagaimana juga berkurangnya vaskularisasi sekunder terhadap DM jangka panjang sehingga individu lebih rentan diserang oleh infeksi TB paru. Semakin lama seseorang menderita DM maka semakin besar peluang untuk mendapatkan TB paru. 16 Keluhan pasien Pada penelitian ini didapatkan keluhan respirasi TB antara lain batuk berdahak 47 subjek (85,5%), sesak napas 25 subjek (45,5%), nyeri dada 22 subjek (40%) dan batuk darah 18 subjek (32,7%). Keluhan sistemik antara lain penurunan berat badan 45 subjek (81,8%), badan lemah 44 subjek (80%), nafsu makan menurun 39 subjek (70,9%), keringat malam 34 subjek (61,8%) dan demam 26 subjek (47,3%). Wijayanto dkk. 11 menyatakan keluhan batuk >2 minggu pada 57 subjek (35,6%), sesak napas pada 42 subjek (24,1%), nyeri dada pada 7 subjek (4%) dan batuk bercampur darah pada 16 subjek (9.2%). Sedangkan penurunan berat badan pada 62 (35,6%) dan demam pada 30 subjek (17.2%). Ullah dkk. 14 menyatakan demam sebagai gejala yang paling utama (93%) diikuti batuk (45%), penurunan berat badan (32%), batuk berdahak (29%) dan keringat malam (15%). Park dkk. 18 menyatakan bahwa tidak terdapat perbedaan gejala antara pasien TB yang menderita DM dan non-dm. Keluhan respirasi terbanyak pada diagnosis Bukan TB adalah batuk dahak >2-3 minggu sebanyak 93,3% (14/15) sedangkan pada TB paru klinis ditemukan keluhan nyeri dada 80,0% (4/5), sesak napas dan batuk dahak >2-3 minggu masing-masing 60,0% (3/5) dan batuk darah 2 subjek (40,0%) serta diagnosis TB paru BTA (+)/Xpert MTB/RIF (+) dengan keluhan batuk dahak 85,7% (30/35). Sedangkan keluhan sistemik memiliki presentase yang merata pada masing-masing diagnosis. Tidak terdapat hubungan yang bermakna antara keluhan TB pada pasien DM. Pada sebagian besar negara berpendapatan rendah, pasien dengan kondisi imunosupresi (termasuk DM) yang mendapat perawatan di layanan kesehatan tersier dengan tenaga kesehatan yang tidak cukup terlatih dalam mendiagnosis dan pengobatan TB. Anamnesis yang baik dan pemeriksaan klinis menyeluruh dapat membantu menegakan diagnosis TB paru terutama pada populasi dengan status sosial ekonomi rendah seperti yang pernah dilaporkan dari berbagai penelitian. Hal ini terkait gejala yang tidak khas pada pasien TB dan DM. Penelitian ini tidak mengkaitkan antara status sosial ekonomi dengan angka kejadian TB paru pada pasien DM. Semua penderita DM memerlukan pemeriksaan medis yang teratur dan pemeriksaan foto toraks tiap dua tahun sekali. Pemeriksaan ini harus dilakukan lebih ketat pada pasien yang berusia lebih dari 40 tahun atau dengan berat badan kurang dari 10% dari berat badan ideal. Setiap pasien DM dengan keluhan batuk tiba-tiba, kehilangan berat badan, kelainan pada foto toraks atau peingkatan dosis insulin untuk mengkontrol glukosa darah, harus dilakukan penapisan untuk penyakit TB. 14 Lesi pada foto toraks Pada foto toraks lesi luas sebanyak 35 subjek (63,6%) sedangkan lesi minimal sebanyak 20 subjek (36,4%). Lesi luas terbanyak pada diagnosis TB paru klinis sebanyak 5 subjek (100,0%) sedangkan lesi minimal terbanyak pada diagnosis bukan TB sebanyak 11 subjek (73,3%) dan setelah dilakukan uji regresi logistik ternyata terdapat hubungan antara lesi pada foto toraks dengan terjadinya TB paru pada penelitian ini (p=0,033 dengan OR 3,531 ;[95% CI: J Respir Indo Vol. 35 No. 3 Juli

11 1,104-11,288]). Hasil ini berbeda dengan berbeda dengan penelitian Wijayanto dkk. 11 yang menemukan foto toraks normal pada 106 subjek (60.9%), lesi minimal sebanyak 21 (12,1%), lesi luas sebanyak 30 subjek (17,2%), kavitas sebanyak 16 subjek (9,2%) dan efusi pleura sebanyak 1 subjek (0,6%). Gambaran foto toraks TB dan DM memiliki pola radiologi khusus yang terdiri dari konfluen, kavitas dan lesi berbentuk baji menyebar dari hilus menuju tepi terutama di zona yang lebih rendah. 20 Peneliti lain juga mencatat bahwa pasien TB-DM memiliki ukuran lesi yang lebih besar, kavitas dan efusi pleura TB. 23 Pada penelitian Tullt k dkk. 24 menemukan bahwa terdapat perbedaan gambaran foto toraks antara pasien DM dan non-dm yang terdiagnosis TB. Pasien DM memiliki kavitas lebih banyak (p=0.008), tetapi tidak terdapat perbedaan pada jumlah lobus dan lokasi yang terlibat. 18 Tanda radiologi TB paru lebih jelas pada penderita DM. Pada pasien TB paru tanpa DM, kavitas kurang umum seiring dengan bertambahnya umur sedangkan pada penderita DM pada semua usia, frekuensi kavitasnya tinggi dengan keterlibatan lapangan paru lobus bawah. 25 Pedoman Perhimpunan Dokter Paru Indonesia (PDPI) menyatakan lesi di foto toraks dibagi menjadi dua kategori yaitu lesi minimal dan lesi luas. Dikatakan lesi minimal bila proses penyakit mengenai sebagian kecil dari satu atau dua paru dari iga kedua dan prosessus spinosus dari vertebra torakalis IV atau korpus vertebra torakalis V dan tidak dijumpai kavitas. Dikatakan lesi luas bila lesi lebih dari lesi minimal atau terdapat kavitas. Pada pasien TB yang dilakukan foto toraks maka didapatkan lesi yang meggambarkan luasnya penyakit. Lesi yang sangat luas akan menimbulkan sekuele berupa fibrotik, kalsifikasi, atelektasis, bronkiektasis, open healed cavity dan bahkan luruh paru atau destroyed lung, meskipun pasien sudah sembuh secara klinis maupun bakteriologis. Luas lesi akan berpengaruh pada akhir terapi. TB paru memiliki dampak yang signifikan dan didominasi pada pasien laki-laki dengan DM. Temuan lesi pada foto toraks adalah penting dalam mendiagnosis TB paru. Selain itu, jangka waktu yang lebih pengobatan TB paru berarti prognosis yang lebih baik di antara pasien tersebut. 26 Sputum BTA Hasil mikroskopis sputum BTA(+) sebanyak 29 subjek (52,7%). Sputum BTA(+) terbanyak pada diagnosis TB paru BTA(+)/Xpert MTB/RIF (+) didapatkan pada 80,0% (28/35) dan sputum BTA(-) terbanyak pada diagnosis TB paru klinis sebanyak 100,0% (5/5). Hasil ini berbeda dengan penelitian Wijayanto dkk. 11 mendapatkan hasil pemeriksaan BTA(+) pada 37 subjek (21.8%) dan BTA(-) pada 59 subjek (33,3%). Hasil uji Chi-square menunjukkan terdapat hubungan bermakna antara sputum BTA dengan TB paru pada pasien DM (p=0,013) dan dilakukan uji regresi logistik menyatakan terdapat hubungan antara sputum BTA dengan terjadinya TB paru pada penelitian ini (p=0,000 dengan OR 0,013 [95% CI: 0,001-0,116]). Hubungan antara TB paru dan DM sudah sangat lama sekali dikarenakan DM adalah predisposisi reaktivasi TB paru atau DM disebabkan oleh TB paru karena resistensi insulin. Pada sejumlah kecil kasus, dahak yang dikeluarkan kurang karena penyakit minimal atau karena ketidakmampuan untuk batuk mengeluarkan dahak. Hal Ini juga menyebabkan DM sangat tidak terkendali, lebih rentan terhadap perkembangan TB paru. 6 Dalam sebuah penelitian di Mumbai, India, TB merupakan penyakit yang paling umum di antara penderita DM komplikasi (5,9%) dalam studi kohort besar lebih dari 8000 pasien dengan DM mellitus. 24 Kim dkk. 24 menunjukkan bahwa proporsi yang lebih tinggi TB paru terbukti secara bakteriologi pada pasien DM dibandingkan pasien non-dm. Mereka menemukan bahwa risiko relatif pembuktian TB paru secara bakteriologis adalah 5.15 jika dibandingkan dengan non DM. Sebaliknya, Bacakogolu dkk. 28 menemukan bahwa pasien DM lebih sedikit hasil BTA positif dibandingkan dengan non DM. 154 J Respir Indo Vol. 35 No. 3 Juli 2015

12 Xpert MTB/RIF Hasil pemeriksaan Xpert MTB/RIF(+) sebanyak 36 subjek (65,5%) dan Xpert MTB/RIF(-) sebanyak 19 subjek (34,5%). Pada pemeriksaan Xpert MTB/RIF diperoleh M.Tb(+) pada diagnosis TB paru BTA(+)/ Xpert MTB/RIF (+) sebanyak 100,0% (35/35) dan M.Tb(-) pada diagnosis bukan TB paru sebanyak 93,3% (14/15). Hasil analisis menggunakan uji Chisquare menunjukkan terdapat hubungan bermakna antara Xpert MTB/RIF dengan TB paru pada pasien DM (p=0,013) dan setelah dilakukan uji regresi logistik ternyata terdapat hubungan antara Xpert MTB/RIF dengan terjadinya TB paru pada penelitian ini (p=0,000 dengan OR 0,050 [IK 95%0,007-0,338]). Nilai kepositifan pada sputum BTA (52,7%) dan Xpert MTB/RIF (65,5%) terdapat selisih sebanyak 7 pasien dengan selisih presentase sebesar 12,8%, yang menunjukkan bahwa pemeriksaan Xpert MTB/ RIF memiliki nilai kepositifan lebih tinggi dalam mendeteksi M.Tb. Pemeriksaan Xpert MTB/RIF adalah suatu alat diagnostik molekuler yang mampu mendeteksi kuman M.Tb dalam jumlah koloni sedikit. Sebuah studi in vitro menunjukkan batas deteksi sedikitnya 131 colony-forming units (CFU) M.Tb dibandingkan dengan CFU sputum konvensional. Pemeriksaan Xpert MTB/RIF ini cepat hanya membutuhkan waktu kurang dari 2 jam. 29 Selisih kepositivan antara sputum BTA dan Xpert MTB/RIF pada penelitian ini dijumpai terbanyak pada perempuan 71% (5/7), usia tahun 57% (4/7), IMT kurus 43% (3/7), lama menderita DM < 10 tahun 57% (4/7), GDS 200 mg/dl 71% (5/7), HbA1c 6,5 sebanyak 86% (6/7) dan lesi minimal foto toraks 71% (5/7). Pada tahun 2010, WHO mendukung Xpert MTB/RIF sebagai uji pengganti mikroskopis pada pasien yang diduga TB terkait HIV atau TB kebal obat. Dukungan ini menandai pergeseran dalam diagnosis TB. Sputum BTA telah menjadi landasan diagnosis TB selama satu abad tetapi tidak memiliki kepekaan terhadap pasien HIV dan tidak memberikan informasi tentang resistensi obat. Kultur sputum lebih sensitif tapi membutuhkan waktu yang lama. Pemeriksaan sputum BTA ini mudah dilakukan dan sangat murah dan dikombinasikan dengan foto toraks telah digunakan untuk waktu yang lama. Namun pengujian memiliki masalah pada pasien dengan penurunan daya tahan seperti pada HIV positif, diabetes dan anak-anak dengan jumlah bakteri rendah dalam sputum. Xpert MTB/RIF memiliki sensitivitas dan spesifisitas tinggi untuk mendeteksi penyakit TB paru. 29 Uji diagnostik sputum BTA dan Xpert MTB/RIF Penelitian ini didesain khusus untuk uji diagnostik maka pemeriksaan mikroskopis sputum BTA dan Xpert MTB/RIF pasien DM tanpa riwayat pengobatan TB yang berjumlah 41 subjek yang selanjutnya dikelompokkan dalam tabel 2x2. Hasil perhitungan dari tabel tersebut didapatkan nilai sensitivitas sebesar 76,9%, nilai spesifisitas sebesar 100%, nilai prediksi positif sebesar 100,0% dan nilai prediksi negatif sebesar 71,4% (Tabel 5). Hasil di atas menunjukkan pemeriksaan mikroskopis sputum BTA dan Xpert MTB/RIF memiliki nilai sensitivitas dan spesifisitas yang tinggi dalam menilai TB pada pasien DM. Nilai prediksi positif di atas menunjukkan probabilitas seseorang menderita TB pada pasien DM apabila hasil uji diagnostiknya positif adalah 100,0% dan nilai prediksi negatif di atas menunjukkan probabilitas seseorang tidak menderita TB paru pada pasien DM apabila hasil uji diagnostiknya negatif adalah 71,4%. Hasil yang didapat pada Tabel 6 yang menilai uji diagnostik pemeriksaan mikroskopis sputum BTA dan Xpert MTB/RIF terhadap pasien DM dengan dan tanpa riwayat TB menunjukkan hasil yang sama. Hasil perhitungan didapatkan sensitivitas 77,8%, spesifisitas 94,7%, nilai prediksi positif 96,5% dan nilai prediksi negatif 69,2%. Nilai sensitivitas dan spesifisitas juga memiliki nilai tinggi. Pemeriksaan antara sputum BTA dan Xpert MTB/RIF terhadap semua pasien DM memiliki kekuatan yang sama. Penelitian Hakeem dkk. 30 melakukan penilaian pemeriksaan sputum BTA dan Xpert MTB/RIF terhadap pasien dengan tanpa riwayat OAT dan dengan riwayat OAT tanpa disebutkan penyakit penyertanya. Hasilnya adalah pada kelompok yang J Respir Indo Vol. 35 No. 3 Juli

13 memiliki riwayat OAT memiliki sensitivitas 96% dan spesifisitasnya 100%. Sedangkan pada kelompok tanpa riwayat OAT didapatkan nilai sensitivitasnya 91% dan spesifisitasnya 100%. Hal ini menunjukkan bahwa pemeriksaan Xpert MTB/RIF lebih sensitif dan spesifik dan juga membantu kita untuk tidak secara gegabah memberikan OAT. Berdasarkan uji diagnostik di atas maka hipotesis awal yang menyatakan tidak ada perbedaan sensitivitas dan spesifisitas pemeriksaan mikroskopis sputum BTA dan Xpert MTB/RIF dalam upaya penegakan diagnosis TB pada pasien DM adalah diterima. KESIMPULAN Pada penelitian ini didapatkan bahwa pemeriksaan Xpert MTB/RIF memiliki nilai kepositivan yang lebih tinggi dalam mendeteksi M.Tb apabila dibandingkan dengan pemeriksaan sputum BTA. Nilai sensitivitas mikroskopis sputum BTA dan Xpert MTB/ RIF pada pasien DM tanpa riwayat pengobatan TB, didapatkan sebesar 76,9% dengan nilai spesifivitas sebesar 100,0%. Uji diagnostik mikroskopis sputum BTA dan Xpert MTB/RIF terhadap semua pasien DM dengan riwayat TB dan tanpa riwayat TB, didapatkan nilai sensitivitas 77,8% dan spesifisitas 94,7%. Tidak ada perbedaan sensitivitas dan spesifisitas pemeriksaan mikroskopis sputum BTA dan Xpert MTB/RIF dalam upaya penegakan diagnosis TB pada pasien DM. DAFTAR PUSTAKA 1. Wild S, Roglic G, Green A, Sicree R, King H. Global pre valence of diabetes: estimates for the year 2000 and projections for Diabetes Care. 2004;27: Creswell J, Raviglione M, Ottmani S. Tuberculosis and non communicable diseases: neglected links and missed opportunities. Eur Respir J. 2011;37: Dooley KE, Chaisson RE. Tuberculosis and diabetes mellitus: convergence of two epidemics. Lancet Infect Dis. 2009;9: Peleg AY, Weerarathna T, McCarthy JS, Davis TME. Common infections in dia be tes: patho genesis, management and relation ship to glycaemic control. Diabetes Metab Res Rev. 2007; 23: Kornum JB, Thomsen RW, Riis A, Lervang HH, Schønheyder HC,Sørensen HT. Diabetes, glycemic control and risk of hospitalization with pneumonia: a population-based case-control study. Diabetes Care.2008;31: Pablos-Méndez A, Blustein J, Knirsch CA. The role of diabetes mellitus in the higher prevalence of tuberculosis among Hispanics. Am J Public Health.1997;87: Alisjahbana B, Sahiratmadja E, Nelwan EJ, Purwa AM, Ahmad Y, Ottenhoff TH, Nelwan RH, Parwati I, van der Meer JW, van Crevel R. The effect of type 2 diabetes mellitus on the presentation and treatment response of pulmonary tuberculosis. Clin Infect Dis. 2007;45: Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Kementerian RI. Riset kesehatan dasar 2013.p Jali MV, Mahishale VK, Hiremath MB. Bidirectional screening of tuberculosis patients for diabetes mellitus and diabetes patients for tuberculosis. Diabetes Metab J. 2013;37: Amin S, Khattak MI, Shabbier G, Wazir MN. Frequency of pulmonary tuberculosis in patient with diabetes mellitus. Gomal Journal of Medical Sciences. 2011;9: Wijayanto A, Burhan E, Nawas A, Rochsismandoko. Faktor yang Berhubungan dengan Terjadinya Tuberkulosis Paru Pada Pasien Diabetes Melitus Tipe 2 di RSUP Persahabatan. Tesis Departemen Pulmonologi dan Ilmu Kedokteran Respirasi FKUI, Jakarta; Leegaard L.E, Riis A, Kornum A, Prahl J.B, Thomsen V.O, Sorensen H.T et.al Diabetes, Glycemic Control, and Risk of Tuberculosis. Diabetes Care. 2011;34: Pe rez-guzma n C, Vargas MH, Torres-Cruz A. Diabetes modifies the male:female ratio in pulmonary tuberculosis. Int J Tuberc Lung Dis. 2003;7: J Respir Indo Vol. 35 No. 3 Juli 2015

BAB I PENDAHULUAN. dunia dan menyebabkan angka kematian yang tinggi. Penyakit ini

BAB I PENDAHULUAN. dunia dan menyebabkan angka kematian yang tinggi. Penyakit ini BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Tuberkulosis (TB) merupakan salah satu penyakit tertua yang menginfeksi manusia. Penyakit ini menjadi masalah kesehatan di seluruh dunia dan menyebabkan angka kematian

Lebih terperinci

TUTIK KUSMIATI, dr. SpP(K)

TUTIK KUSMIATI, dr. SpP(K) TUTIK KUSMIATI, dr. SpP(K) TB paru problem kesehatan global MODALITAS TES CEPAT MENDETEKSI DR-TB & DS-TB TB Resisten Obat meningkat TB HIV +++ METODE DETEKSI KASUS YANG LAMBAT PASIEN TB HIV + PASIEN DIAGNOSIS

Lebih terperinci

Faktor Terjadinya Tuberkulosis Paru pada Pasien Diabetes Mellitus Tipe 2. Pulmonary Tuberculosis in Patients with Diabetes Mellitus Type 2

Faktor Terjadinya Tuberkulosis Paru pada Pasien Diabetes Mellitus Tipe 2. Pulmonary Tuberculosis in Patients with Diabetes Mellitus Type 2 Faktor Terjadinya Tuberkulosis Paru pada Pasien Diabetes Mellitus Tipe 2 Agung Wijayanto 1, Erlina Burhan 1, Arifin Nawas 1, Rochsismandoko 2 1 Departemen Pulmonologi dan Ilmu Kedokteran Respirasi Fakultas

Lebih terperinci

ABSTRAK GAMBARAN PENDERITA TB PARU DI PUSKESMAS PAMARICAN KABUPATEN CIAMIS PERIODE JANUARI 2013 DESEMBER : Triswaty Winata, dr., M.Kes.

ABSTRAK GAMBARAN PENDERITA TB PARU DI PUSKESMAS PAMARICAN KABUPATEN CIAMIS PERIODE JANUARI 2013 DESEMBER : Triswaty Winata, dr., M.Kes. ABSTRAK GAMBARAN PENDERITA TB PARU DI PUSKESMAS PAMARICAN KABUPATEN CIAMIS PERIODE JANUARI 2013 DESEMBER 2015 Annisa Nurhidayati, 2016, Pembimbing 1 Pembimbing 2 : July Ivone, dr.,mkk.,m.pd.ked. : Triswaty

Lebih terperinci

Mulyadi *, Mudatsir ** *** ABSTRACT

Mulyadi *, Mudatsir ** *** ABSTRACT Hubungan Tingkat Kepositivan Pemeriksaan Basil Tahan Asam (BTA) dengan Gambaran Luas Lesi Radiologi Toraks pada Penderita Tuberkulosis Paru yang Dirawat Di SMF Pulmonologi RSUDZA Banda Aceh Mulyadi *,

Lebih terperinci

PREVALENSI TERJADINYA TUBERKULOSIS PADA PASIEN DIABETES MELLITUS (DI RSUP DR.KARIADI SEMARANG) LAPORAN HASIL KARYA TULIS ILMIAH

PREVALENSI TERJADINYA TUBERKULOSIS PADA PASIEN DIABETES MELLITUS (DI RSUP DR.KARIADI SEMARANG) LAPORAN HASIL KARYA TULIS ILMIAH PREVALENSI TERJADINYA TUBERKULOSIS PADA PASIEN DIABETES MELLITUS (DI RSUP DR.KARIADI SEMARANG) LAPORAN HASIL KARYA TULIS ILMIAH Diajukan sebagai persyaratan guna mencapai gelar sarjana strata-1 kedokteran

Lebih terperinci

ABSTRAK PREVALENSI DIABETES MELITUS TIPE 2 DENGAN HIPERTENSI DI RSUP SANGLAH DENPASAR TAHUN 2015

ABSTRAK PREVALENSI DIABETES MELITUS TIPE 2 DENGAN HIPERTENSI DI RSUP SANGLAH DENPASAR TAHUN 2015 ABSTRAK PREVALENSI DIABETES MELITUS TIPE 2 DENGAN HIPERTENSI DI RSUP SANGLAH DENPASAR TAHUN 2015 Diabetes melitus tipe 2 didefinisikan sebagai sekumpulan penyakit metabolik dengan karakteristik hiperglikemik

Lebih terperinci

Peran ISTC dalam Pencegahan MDR. Erlina Burhan Departemen Pulmonologi dan Ilmu Kedokteran Respirasi FKUI RSUP Persahabatan

Peran ISTC dalam Pencegahan MDR. Erlina Burhan Departemen Pulmonologi dan Ilmu Kedokteran Respirasi FKUI RSUP Persahabatan Peran ISTC dalam Pencegahan MDR Erlina Burhan Departemen Pulmonologi dan Ilmu Kedokteran Respirasi FKUI RSUP Persahabatan TB MDR Man-made phenomenon Akibat pengobatan TB tidak adekuat: Penyedia pelayanan

Lebih terperinci

Putri, et al.analisis Kepatuhan Diet Terhadap Kadar Gula Darah dan Perubahan Status BTA pada...

Putri, et al.analisis Kepatuhan Diet Terhadap Kadar Gula Darah dan Perubahan Status BTA pada... Analisis Kepatuhan Diet Terhadap Kadar Gula Darah dan Perubahan Status BTA pada Penderita Tuberkulosis Paru dengan Diabetes Melitus (Analysis of Dietary Compliance to Sugar Blood Level and the Change of

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. sesak nafas, badan lemas, nafsu makan menurun, berat badan menurun, malaise,

BAB I PENDAHULUAN. sesak nafas, badan lemas, nafsu makan menurun, berat badan menurun, malaise, BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Tuberkulosis paru adalah penyakit menular yang disebabkan oleh kuman Mycobacterium tuberculosis. Gejala utama adalah batuk selama 2 minggu atau lebih, batuk disertai

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. oleh bakteri Mycobacterium tuberculosis sebagian besar bakteri ini menyerang

BAB I PENDAHULUAN. oleh bakteri Mycobacterium tuberculosis sebagian besar bakteri ini menyerang BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG Penyakit Tuberkulosis merupakan penyakit menular yang disebabkan oleh bakteri Mycobacterium tuberculosis sebagian besar bakteri ini menyerang bagian paru, namun tak

Lebih terperinci

ABSTRAK EVALUASI HASIL TERAPI OBAT ANTI TUBERKULOSIS FASE INTENSIF PADA PENDERITA TUBERKULOSIS PARU DI PUSKESMAS KOTAMADYA BANDUNG TAHUN

ABSTRAK EVALUASI HASIL TERAPI OBAT ANTI TUBERKULOSIS FASE INTENSIF PADA PENDERITA TUBERKULOSIS PARU DI PUSKESMAS KOTAMADYA BANDUNG TAHUN ABSTRAK EVALUASI HASIL TERAPI OBAT ANTI TUBERKULOSIS FASE INTENSIF PADA PENDERITA TUBERKULOSIS PARU DI PUSKESMAS KOTAMADYA BANDUNG TAHUN 2013-2014 I Nyoman Surya Negara, 1210087 Pembimbing I : Dr. J. Teguh

Lebih terperinci

NILAI DIAGNOSTIK PEMERIKSAAN MIKROSKOPIS SPUTUM BTA PADA PASIEN KLINIS TUBERKULOSIS PARU DI RS PKU MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA

NILAI DIAGNOSTIK PEMERIKSAAN MIKROSKOPIS SPUTUM BTA PADA PASIEN KLINIS TUBERKULOSIS PARU DI RS PKU MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA NILAI DIAGNOSTIK PEMERIKSAAN MIKROSKOPIS SPUTUM BTA PADA PASIEN KLINIS TUBERKULOSIS PARU DI RS PKU MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA Inayati* Bagian Mikrobiologi Fakuktas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas

Lebih terperinci

ABSTRAK. Hubungan Penurunan Pendengaran Sensorineural dengan Pasien Diabetes Melitus Tipe 2 Terkontrol dan Tidak Terkontrol di RSUP Sanglah

ABSTRAK. Hubungan Penurunan Pendengaran Sensorineural dengan Pasien Diabetes Melitus Tipe 2 Terkontrol dan Tidak Terkontrol di RSUP Sanglah ABSTRAK Hubungan Penurunan Pendengaran Sensorineural dengan Pasien Diabetes Melitus Tipe 2 Terkontrol dan Tidak Terkontrol di RSUP Sanglah Dini Nur Muharromah Yuniati Diabetes melitus (DM) merupakan suatu

Lebih terperinci

KARAKTERISTIK PASIEN TUBERKULOSIS PARU DI PUSKESMAS TUMINTING MANADO

KARAKTERISTIK PASIEN TUBERKULOSIS PARU DI PUSKESMAS TUMINTING MANADO KARAKTERISTIK PASIEN TUBERKULOSIS PARU DI PUSKESMAS TUMINTING MANADO Dian Wahyu Laily*, Dina V. Rombot +, Benedictus S. Lampus + Abstrak Tuberkulosis (TB) paru merupakan penyakit infeksi yang terjadi di

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Tuberkulosis (TB) merupakan salah satu penyakit paling mematikan di

BAB I PENDAHULUAN. Tuberkulosis (TB) merupakan salah satu penyakit paling mematikan di BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Tuberkulosis (TB) merupakan salah satu penyakit paling mematikan di dunia. World Health Organization (WHO) memperkirakan sepertiga dari populasi dunia telah terinfeksi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN UKDW. Mycobacterium tuberculosis. Tanggal 24 Maret 1882 Dr. Robert Koch

BAB I PENDAHULUAN UKDW. Mycobacterium tuberculosis. Tanggal 24 Maret 1882 Dr. Robert Koch BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Tuberkulosis (TB) paru adalah infeksi yang disebabkan oleh kuman Mycobacterium tuberculosis. Tanggal 24 Maret 1882 Dr. Robert Koch menemukan penyakit penyebab

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA Pengertian Tuberkulosis Tuberkulosis merupakan salah satu penyakit yang menjadi masalah kesehatan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA Pengertian Tuberkulosis Tuberkulosis merupakan salah satu penyakit yang menjadi masalah kesehatan 8 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Penyakit Tuberkulosis 2.1.1 Pengertian Tuberkulosis Tuberkulosis merupakan salah satu penyakit yang menjadi masalah kesehatan di seluruh dunia dan menyebabkan angka kematian

Lebih terperinci

DAFTAR ISI. Sampul Dalam... i. Lembar Persetujuan... ii. Penetapan Panitia Penguji... iii. Kata Pengantar... iv. Pernyataan Keaslian Penelitian...

DAFTAR ISI. Sampul Dalam... i. Lembar Persetujuan... ii. Penetapan Panitia Penguji... iii. Kata Pengantar... iv. Pernyataan Keaslian Penelitian... DAFTAR ISI Sampul Dalam... i Lembar Persetujuan... ii Penetapan Panitia Penguji... iii Kata Pengantar... iv Pernyataan Keaslian Penelitian... v Abstrak... vi Abstract...... vii Ringkasan.... viii Summary...

Lebih terperinci

Penemuan PasienTB. EPPIT 11 Departemen Mikrobiologi FK USU

Penemuan PasienTB. EPPIT 11 Departemen Mikrobiologi FK USU Penemuan PasienTB EPPIT 11 Departemen Mikrobiologi FK USU 1 Tatalaksana Pasien Tuberkulosis Penatalaksanaan TB meliputi: 1. Penemuan pasien (langkah pertama) 2. pengobatan yang dikelola menggunakan strategi

Lebih terperinci

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. dilakukan secara retrospektif berdasarkan rekam medik dari bulan Januari

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. dilakukan secara retrospektif berdasarkan rekam medik dari bulan Januari 1. Sampel Penelitian BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN Sampel pada penelitian ini sebanyak 126 pasien. Pengambilan data dilakukan secara retrospektif berdasarkan rekam medik dari bulan Januari Juni

Lebih terperinci

Universitas Sumatera Utara

Universitas Sumatera Utara LAMPIRAN 1. LEMBAR PENJELASAN KEPADA CALON SUBJEK PENELITIAN KELOMPOK (INFORMATION FOR CONSENT) Selamat pagi/siang Bapak/ Ibu/ Saudara/i. Nama saya dr. Dian Prastuty. PPDS Departemen Pulmonologi dan Ilmu

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA. pemeriksaan dahak penderita. Menurut WHO dan Centers for Disease Control

BAB II KAJIAN PUSTAKA. pemeriksaan dahak penderita. Menurut WHO dan Centers for Disease Control BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Aspek Epidemiologi Penyakit Tuberkulosis Penularan TB tergantung dari lamanya kuman TB berada dalam suatu ruangan, konsentrasi kuman TB di udara serta lamanya menghirup udara,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. I.1.Latar Belakang. Tuberkulosis (TB) masih menjadi masalah utama. kesehatan global. TB menyebabkan kesakitan pada jutaan

BAB I PENDAHULUAN. I.1.Latar Belakang. Tuberkulosis (TB) masih menjadi masalah utama. kesehatan global. TB menyebabkan kesakitan pada jutaan BAB I PENDAHULUAN I.1.Latar Belakang Tuberkulosis (TB) masih menjadi masalah utama kesehatan global. TB menyebabkan kesakitan pada jutaan manusia tiap tahunnya dan menjadi penyebab kematian kedua dari

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. (laki-laki, perempuan, tua, muda, miskin, kaya, dan sebagainya) (Misnadiarly,

BAB I PENDAHULUAN. (laki-laki, perempuan, tua, muda, miskin, kaya, dan sebagainya) (Misnadiarly, BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Tuberkulosis (TBC) adalah penyakit infeksi menular yang disebabkan oleh Mycobacterium Tuberculosis dan bersifat kronis serta bisa menyerang siapa saja (laki-laki,

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. LANDASAN TEORI Tuberkulosis A.1 Definisi Tuberkulosis adalah penyakit yang disebabkan oleh infeksi Mycobacterium tuberculosis. Bakteri ini ditemukan pertama kali oleh Robert

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. meningkatkan kesejahteraan rakyat secara menyeluruh. Pemberantasan penyakit. berperanan penting dalam menurunkan angka kesakitan

BAB I PENDAHULUAN. meningkatkan kesejahteraan rakyat secara menyeluruh. Pemberantasan penyakit. berperanan penting dalam menurunkan angka kesakitan BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pembangunan kesehatan merupakan bagian dari pembangunan nasional yang dilaksanakan secara bertahap dan berkesinambungan serta ditujukan untuk meningkatkan kesejahteraan

Lebih terperinci

Asosiasi Gambaran Tingkat Lesi Foto Toraks Penderita Klinis Tuberkulosis Paru dengan Diabetes Melitus Dibandingkan Non Diabetes Melitus

Asosiasi Gambaran Tingkat Lesi Foto Toraks Penderita Klinis Tuberkulosis Paru dengan Diabetes Melitus Dibandingkan Non Diabetes Melitus ARTIKEL PENELITIAN Muhammad Fikri Husein, Asosiasi Gambaran Tingkat Lesi Foto Toraks... Mutiara Medika Vol. 14 No. 1: 8-14, Januari 2014 Asosiasi Gambaran Tingkat Lesi Foto Toraks Penderita Klinis Tuberkulosis

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. sebabkan oleh Mycobacterium tuberkulosis yang sampai saat ini menjadi masalah

BAB I PENDAHULUAN. sebabkan oleh Mycobacterium tuberkulosis yang sampai saat ini menjadi masalah BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Tuberkulosis paru (Tb paru) adalah penyakit infeksi menular yang di sebabkan oleh Mycobacterium tuberkulosis yang sampai saat ini menjadi masalah kesehatan penting

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. penting untuk terbentuknya tindakan seseorang. Berdasarkan penelitian

II. TINJAUAN PUSTAKA. penting untuk terbentuknya tindakan seseorang. Berdasarkan penelitian 10 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pengetahuan Pengetahuan merupakan hasil tahu, dan ini terjadi setelah orang melakukan penginderaan terhadap sesuatu. Pengetahuan merupakan domain yang sangat penting untuk terbentuknya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. I.1 Latar Belakang. Tuberkulosis (TBC) adalah penyakit menular. langsung yang disebabkan oleh Mycobacterium

BAB I PENDAHULUAN. I.1 Latar Belakang. Tuberkulosis (TBC) adalah penyakit menular. langsung yang disebabkan oleh Mycobacterium BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang Tuberkulosis (TBC) adalah penyakit menular langsung yang disebabkan oleh Mycobacterium tuberculosis yang sebagian besar menyerang paru-paru tetapi juga dapat mengenai

Lebih terperinci

ANALISIS FAKTOR-FAKTOR RISIKO KEJADIAN TUBERKULOSIS MULTIDRUG RESISTANT

ANALISIS FAKTOR-FAKTOR RISIKO KEJADIAN TUBERKULOSIS MULTIDRUG RESISTANT ANALISIS FAKTOR-FAKTOR RISIKO KEJADIAN TUBERKULOSIS MULTIDRUG RESISTANT DI RSUP PROF. DR. R. D. KANDOU MANADO TAHUN 2015 Ira D. Pawa, Jootje M. L. Umboh, Budi T. Ratag * Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. utama bagi kesehatan manusia pada abad 21. World Health. Organization (WHO) memprediksi adanya kenaikan jumlah pasien

BAB I PENDAHULUAN. utama bagi kesehatan manusia pada abad 21. World Health. Organization (WHO) memprediksi adanya kenaikan jumlah pasien BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Diabetes Mellitus (DM) merupakan salah satu ancaman utama bagi kesehatan manusia pada abad 21. World Health Organization (WHO) memprediksi adanya kenaikan jumlah pasien

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. disebabkan oleh kuman Mycobacterium tuberculosis. Penyakit ini sering

BAB 1 PENDAHULUAN. disebabkan oleh kuman Mycobacterium tuberculosis. Penyakit ini sering BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Tuberkulosis paru (TB) adalah penyakit infeksi menular kronik yang disebabkan oleh kuman Mycobacterium tuberculosis. Penyakit ini sering terjadi di daerah padat penduduk

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Mycobacterium tuberculosis dan menular secara langsung. Mycobacterium

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Mycobacterium tuberculosis dan menular secara langsung. Mycobacterium BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Etiologi dan Patogenesis Tuberkulosis Paru Tuberkulosis paru adalah penyakit infeksi kronis yang disebabkan oleh Mycobacterium tuberculosis dan menular secara langsung. Mycobacterium

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Universitas Sumatera Utara

BAB 1 PENDAHULUAN. Universitas Sumatera Utara 1 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Tuberkulosis (TB) masih menjadi masalah kesehatan utama di dunia terutama negara berkembang. Munculnya epidemik Human Immunodeficiency Virus (HIV) dan Acquired Immunodeficiency

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Tuberkulosis merupakan salah satu penyakit infeksi yang disebabkan oleh

BAB I PENDAHULUAN. Tuberkulosis merupakan salah satu penyakit infeksi yang disebabkan oleh BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Tuberkulosis merupakan salah satu penyakit infeksi yang disebabkan oleh bakteri Mycobacterium tuberculosis. Pada umumnya Tuberkulosis terjadi pada paru, tetapi dapat

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. HIV merupakan penyakit menular yang disebabkan oleh infeksi Human

BAB 1 PENDAHULUAN. HIV merupakan penyakit menular yang disebabkan oleh infeksi Human BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang HIV merupakan penyakit menular yang disebabkan oleh infeksi Human Immunodeficiency Virus yang menyerang sistem kekebalan tubuh. Infeksi HIV dapat menyebabkan penderita

Lebih terperinci

ABSTRAK. Kata kunci: HIV-TB, CD4, Sputum BTA

ABSTRAK. Kata kunci: HIV-TB, CD4, Sputum BTA ABSTRAK Tuberkulosis (TB) merupakan penyakit infeksi oportunistik yang paling sering dijumpai pada pasien HIV. Adanya hubungan yang kompleks antara HIV dan TB dapat meningkatkan mortalitas maupun morbiditas.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penyakit Tuberkulosis (TB) adalah penyakit menular akibat infeksi bakteri Mycobacterium tuberculosis (MTB). TB paling sering menjangkiti paru-paru dan TB paru sering

Lebih terperinci

BAB 2 BAHAN, SUBJEK, DAN METODE PENELITIAN. Pada bab ini akan dibahas mengenai sediaan obat uji, subjek uji dan disain penelitian.

BAB 2 BAHAN, SUBJEK, DAN METODE PENELITIAN. Pada bab ini akan dibahas mengenai sediaan obat uji, subjek uji dan disain penelitian. 21 BAB 2 BAHAN, SUBJEK, DAN METODE PENELITIAN Pada bab ini akan dibahas mengenai sediaan obat uji, subjek uji dan disain penelitian. 2.1 Bahan Sediaan obat uji yang digunakan adalah kapsul yang mengandung

Lebih terperinci

ABSTRAK GAMBARAN PENYAKIT DIABETES MELITUS PADA ORANG DEWASA YANG DIRAWAT INAP DIRUMAH SAKIT IMMANUEL BANDUNG PERIODE JANUARI DESEMBER 2014

ABSTRAK GAMBARAN PENYAKIT DIABETES MELITUS PADA ORANG DEWASA YANG DIRAWAT INAP DIRUMAH SAKIT IMMANUEL BANDUNG PERIODE JANUARI DESEMBER 2014 ABSTRAK GAMBARAN PENYAKIT DIABETES MELITUS PADA ORANG DEWASA YANG DIRAWAT INAP DIRUMAH SAKIT IMMANUEL BANDUNG PERIODE Evan Anggalimanto, 2015 Pembimbing 1 : Dani, dr., M.Kes Pembimbing 2 : dr Rokihyati.Sp.P.D

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Tuberkulosis adalah penyakit menular yang disebabkan oleh bakteri Mycobacterium tuberculosis yang pada umumnya menyerang jaringan paru, tetapi dapat menyerang organ

Lebih terperinci

EVALUASI PENGGUNAAN OBAT ANTITUBERKULOSIS PADA PASIEN TUBERKULOSIS PARU DEWASA DI INSTALASI RAWAT JALAN BALAI BESAR KESEHATAN PARU X TAHUN 2011

EVALUASI PENGGUNAAN OBAT ANTITUBERKULOSIS PADA PASIEN TUBERKULOSIS PARU DEWASA DI INSTALASI RAWAT JALAN BALAI BESAR KESEHATAN PARU X TAHUN 2011 EVALUASI PENGGUNAAN OBAT ANTITUBERKULOSIS PADA PASIEN TUBERKULOSIS PARU DEWASA DI INSTALASI RAWAT JALAN BALAI BESAR KESEHATAN PARU X TAHUN 2011 NASKAH PUBLIKASI Oleh : OCTY JEN CAMILA K 100 080 040 FAKULTAS

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Ukuran dari bakteri ini cukup kecil yaitu 0,5-4 mikron x 0,3-0,6 mikron

II. TINJAUAN PUSTAKA. Ukuran dari bakteri ini cukup kecil yaitu 0,5-4 mikron x 0,3-0,6 mikron 10 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Tuberkulosis Paru 2.1.1 Etiologi Penyebab dari penyakit ini adalah bakteri Mycobacterium tuberculois. Ukuran dari bakteri ini cukup kecil yaitu 0,5-4 mikron x 0,3-0,6 mikron

Lebih terperinci

PATOFISIOLOGI, DIAGNOSIS, DAN KLASIFIKASI TUBERKULOSIS. Retno Asti Werdhani Dept. Ilmu Kedokteran Komunitas, Okupasi, dan Keluarga FKUI

PATOFISIOLOGI, DIAGNOSIS, DAN KLASIFIKASI TUBERKULOSIS. Retno Asti Werdhani Dept. Ilmu Kedokteran Komunitas, Okupasi, dan Keluarga FKUI PATOFISIOLOGI, DIAGNOSIS, DAN KLASIFIKASI TUBERKULOSIS Retno Asti Werdhani Dept. Ilmu Kedokteran Komunitas, Okupasi, dan Keluarga FKUI TUBERKULOSIS DAN KEJADIANNYA Jumlah pasien TB di Indonesia merupakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Tuberkulosis (TB) merupakan penyakit menular yang disebabkan oleh

BAB I PENDAHULUAN. Tuberkulosis (TB) merupakan penyakit menular yang disebabkan oleh BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Tuberkulosis (TB) merupakan penyakit menular yang disebabkan oleh infeksi kuman Mycobacterium tuberculosis. Tuberkulosis masih menjadi masalah kesehatan di seluruh

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Universitas Kristen Maranatha

BAB I PENDAHULUAN. Universitas Kristen Maranatha BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Tuberkulosis (TB) adalah penyakit yang disebabkan oleh infeksi bakteri Mycobacterium tuberculosis yang paling sering mengenai organ paru-paru. Tuberkulosis paru merupakan

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Universitas Sumatera Utara

BAB 1 PENDAHULUAN. Universitas Sumatera Utara 1 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Triple burden disease yang tengah dihadapi Indonesia menimbulkan sejumlah permasalahan. Masalah yang timbul bukan hanya seputar mewabahnya penyakit menular baru,

Lebih terperinci

ABSTRAK GAMBARAN PENDERITA MULTIDRUG-RESISTANT TUBERCULOSIS DI RUMAH SAKIT PARU DR.H.A.ROTINSULU, BANDUNG TAHUN 2014

ABSTRAK GAMBARAN PENDERITA MULTIDRUG-RESISTANT TUBERCULOSIS DI RUMAH SAKIT PARU DR.H.A.ROTINSULU, BANDUNG TAHUN 2014 ABSTRAK GAMBARAN PENDERITA MULTIDRUG-RESISTANT TUBERCULOSIS DI RUMAH SAKIT PARU DR.H.A.ROTINSULU, BANDUNG TAHUN 2014 Ferdinand Dennis Kurniawan, 1210122 Pembimbing I : Dr.Jahja Teguh Widjaja, dr., SpP.,

Lebih terperinci

ABSTRAK HUBUNGAN ANTARA INDEKS MASSA TUBUH DENGAN KADAR GLUKOSA DARAH PUASA DI PUSKESMAS JAGASATRU CIREBON

ABSTRAK HUBUNGAN ANTARA INDEKS MASSA TUBUH DENGAN KADAR GLUKOSA DARAH PUASA DI PUSKESMAS JAGASATRU CIREBON ABSTRAK HUBUNGAN ANTARA INDEKS MASSA TUBUH DENGAN KADAR GLUKOSA DARAH PUASA DI PUSKESMAS JAGASATRU CIREBON Daniel Hadiwinata, 2016 Pembimbing Utama : Hendra Subroto, dr.,sppk. Pembimbing Pendamping: Dani,

Lebih terperinci

SAFII, 2015 GAMBARAN KEPATUHAN PASIEN TUBERKULOSIS PARU TERHADAP REGIMEN TERAPEUTIK DI PUSKESMAS PADASUKA KECAMATAN CIBEUNYING KIDUL KOTA BANDUNG

SAFII, 2015 GAMBARAN KEPATUHAN PASIEN TUBERKULOSIS PARU TERHADAP REGIMEN TERAPEUTIK DI PUSKESMAS PADASUKA KECAMATAN CIBEUNYING KIDUL KOTA BANDUNG BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Tuberkulosis (Tb) merupakan penyakit menular bahkan bisa menyebabkan kematian, penyakit ini menyebar melalui droplet orang yang telah terinfeksi basil tuberkulosis

Lebih terperinci

NASKAH PUBLIKASI Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan Mencapai Derajat Sarjana Kedokteran. Diajukan Oleh : Hasbullah Kasim J

NASKAH PUBLIKASI Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan Mencapai Derajat Sarjana Kedokteran. Diajukan Oleh : Hasbullah Kasim J 1 HUBUNGAN LUAS LESI PADA GAMBARAN RADIOLOGI TORAKS DENGAN KEPOSITIVAN PEMERIKSAAN SPUTUM BTA (BASIL TAHAN ASAM) PADA PASIEN TUBERKULOSIS PARU DEWASA KASUS BARU DI BBKPM SURAKARTA NASKAH PUBLIKASI Untuk

Lebih terperinci

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. SIMTOM ANSIETAS Ansietas dialami oleh setiap orang pada suatu waktu dalam kehidupannya. Ansietas adalah suatu keadaan psikologis dan fisiologis yang dicirikan dengan komponen

Lebih terperinci

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. Jogja yang merupakan rumah sakit milik Kota Yogyakarta. RS Jogja terletak di

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. Jogja yang merupakan rumah sakit milik Kota Yogyakarta. RS Jogja terletak di BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Hasil Penelitian 1. Deskripsi Umum Lokasi Penelitian Penelitian ini dilakukan di RSUD Kota Yogyakarta atau Rumah Sakit Jogja yang merupakan rumah sakit milik Kota

Lebih terperinci

ABSTRAK. Kata Kunci: Tuberkulosis, Mikroskopis Zn, Kultur LJ, Sensitivitas, Spesifisitas

ABSTRAK. Kata Kunci: Tuberkulosis, Mikroskopis Zn, Kultur LJ, Sensitivitas, Spesifisitas ABSTRAK SPESIFISITAS DAN SENSITIVITAS PEMERIKSAAN MIKROSKOPIS TBC DIBANDINGKAN PEMERIKSAAN KULTUR TBC PADA PASIEN TUBERKULOSIS DI RUMAH SAKIT UMUM PUSAT SANGLAH PERIODE JANUARI DESEMBER 2015 Penyakit tuberculosis

Lebih terperinci

Identifikasi Faktor Resiko 1

Identifikasi Faktor Resiko 1 IDENTIFIKASI FAKTOR RESIKO TERJADINYA TB MDR PADA PENDERITA TB PARU DI WILAYAH KERJA KOTA MADIUN Lilla Maria.,S.Kep. Ners, M.Kep (Prodi Keperawatan) Stikes Bhakti Husada Mulia Madiun ABSTRAK Multi Drug

Lebih terperinci

BAB 3 KERANGKA KONSEP DAN HIPOTESIS

BAB 3 KERANGKA KONSEP DAN HIPOTESIS BAB 3 KERANGKA KONSEP DAN HIPOTESIS 3.1 Kerangka Konsep DIABETES MELITUS TIPE 2 KEBUTUHAN PERAWATAN PERIODONTAL Indeks CPITN Kadar Gula Darah Oral Higiene Lama menderita diabetes melitus tipe 2 3.2 Hipotesis

Lebih terperinci

PREVALENSI DAN KARAKTERISTIK PENDERITA TUBERKULOSIS PARU DI BALAI PENGOBATAN PENYAKIT PARU-PARU MEDAN TAHUN Oleh : ANGGIE IMANIAH SITOMPUL

PREVALENSI DAN KARAKTERISTIK PENDERITA TUBERKULOSIS PARU DI BALAI PENGOBATAN PENYAKIT PARU-PARU MEDAN TAHUN Oleh : ANGGIE IMANIAH SITOMPUL PREVALENSI DAN KARAKTERISTIK PENDERITA TUBERKULOSIS PARU DI BALAI PENGOBATAN PENYAKIT PARU-PARU MEDAN TAHUN 2012 Oleh : ANGGIE IMANIAH SITOMPUL 100100021 FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Lebih terperinci

Sri Marisya Setiarni, Adi Heru Sutomo, Widodo Hariyono Fakultas Kesehatan Masyarakat, Universitas Ahmad Dahlan, Yogyakarta

Sri Marisya Setiarni, Adi Heru Sutomo, Widodo Hariyono Fakultas Kesehatan Masyarakat, Universitas Ahmad Dahlan, Yogyakarta KES MAS ISSN : 1978-0575 HUBUNGAN ANTARA TINGKAT PENGETAHUAN, STATUS EKONOMI DAN KEBIASAAN MEROKOK DENGAN KEJADIAN TUBERKULOSIS PARU PADA ORANG DEWASA DI WILAYAH KERJA PUSKESMAS TUAN-TUAN KABUPATEN KETAPANG

Lebih terperinci

FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN KEJADIAN PROLAPSUS UTERI DI RSUP Dr. KARIADI SEMARANG LAPORAN HASIL KARYA TULIS ILMIAH

FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN KEJADIAN PROLAPSUS UTERI DI RSUP Dr. KARIADI SEMARANG LAPORAN HASIL KARYA TULIS ILMIAH FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN KEJADIAN PROLAPSUS UTERI DI RSUP Dr. KARIADI SEMARANG LAPORAN HASIL KARYA TULIS ILMIAH Disusun untuk memenuhi sebagian persyaratan guna mencapai gelar sarjana strata-1

Lebih terperinci

INTISARI GAMBARAN KUALITAS HIDUP DAN KADAR GULA DARAH PASIEN DIABETES MELITUS RAWAT JALAN DI RSUD ULIN BANJARMASIN

INTISARI GAMBARAN KUALITAS HIDUP DAN KADAR GULA DARAH PASIEN DIABETES MELITUS RAWAT JALAN DI RSUD ULIN BANJARMASIN INTISARI GAMBARAN KUALITAS HIDUP DAN KADAR GULA DARAH PASIEN DIABETES MELITUS RAWAT JALAN DI RSUD ULIN BANJARMASIN Herlyanie 1, Riza Alfian 1, Luluk Purwatini 2 Diabetes Mellitus merupakan suatu penyakit

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Organisasi Kesehatan Dunia/World Health Organization (WHO) memperkirakan

BAB 1 PENDAHULUAN. Organisasi Kesehatan Dunia/World Health Organization (WHO) memperkirakan BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Tuberkulosis (TB) merupakan salah satu penyakit paling mematikan di dunia. Organisasi Kesehatan Dunia/World Health Organization (WHO) memperkirakan sepertiga dari

Lebih terperinci

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN 1 GAMBARAN HASIL AKHIR PENGOBATAN PASIEN TB PARU BTA POSITIF YANG MENGGUNAKAN STRATEGI DOTS TIDAK MENGALAMI KONVERSI SPUTUM SETELAH 2 BULAN PENGOBATAN DI RSUP H. ADAM MALIK MEDAN PADA TAHUN 2004-2012 Oleh

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Diagnosis tuberkulosis (TB) paru pada anak masih menjadi masalah serius hingga saat ini. Hal

BAB 1 PENDAHULUAN. Diagnosis tuberkulosis (TB) paru pada anak masih menjadi masalah serius hingga saat ini. Hal BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Diagnosis tuberkulosis (TB) paru pada anak masih menjadi masalah serius hingga saat ini. Hal ini disebabkan karena kesulitan yang dihadapi untuk mendiagnosis TB paru

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. metabolik dengan karakteristik hiperglikemia yang terjadi karena kelainan

BAB I PENDAHULUAN. metabolik dengan karakteristik hiperglikemia yang terjadi karena kelainan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Diabetes mellitus (DM) merupakan suatu kelompok penyakit metabolik dengan karakteristik hiperglikemia yang terjadi karena kelainan sekresi insulin, kerja insulin

Lebih terperinci

ABSTRAK GAMBARAN KADAR ASAM URAT SERUM PADA PASIEN DIABETES MELITUS TIPE 2

ABSTRAK GAMBARAN KADAR ASAM URAT SERUM PADA PASIEN DIABETES MELITUS TIPE 2 ABSTRAK GAMBARAN KADAR ASAM URAT SERUM PADA PASIEN DIABETES MELITUS TIPE 2 Renny Anggraeni, 2011 Pembimbing I : Adrian Suhendra, dr., Sp.PK., M.Kes Pembimbing II : Budi Widyarto,dr.,M.H. Asam urat telah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Tuberkulosis (TB) masuk dalam kategori penyakit infeksi yang bersifat kronik. TB menular langsung melalui udara yang tercemar basil Mycobakterium tuberculosis, sehingga

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Tuberkulosis (TB) merupakan salah satu penyakit menular yang disebabkan

BAB I PENDAHULUAN. Tuberkulosis (TB) merupakan salah satu penyakit menular yang disebabkan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Tuberkulosis (TB) merupakan salah satu penyakit menular yang disebabkan oleh bakteri Mycobacterium tuberculosis (Kemenkes RI, 2014). TB saat ini masih menjadi salah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang yakni

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang yakni BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Tuberkulosis adalah penyakit infeksi yang terutama disebabkan oleh bakteri Mycobacterium tuberculosis, sebagian kecil oleh bakteri Mycobacterium africanum dan Mycobacterium

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Tuberkulosis (TB) adalah suatu penyakit infeksi menular yang disebabkan

I. PENDAHULUAN. Tuberkulosis (TB) adalah suatu penyakit infeksi menular yang disebabkan I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Tuberkulosis (TB) adalah suatu penyakit infeksi menular yang disebabkan oleh kuman Mycobacterium tuberculosis. Penularan langsung terjadi melalui aerosol yang mengandung

Lebih terperinci

Kegiatan Pemberantasan Tuberkulosis Paru di Puskesmas Sakti Kabupaten Pidie Tahun 2010)

Kegiatan Pemberantasan Tuberkulosis Paru di Puskesmas Sakti Kabupaten Pidie Tahun 2010) Kegiatan Pemberantasan Tuberkulosis Paru di Puskesmas Sakti Kabupaten Pidie Tahun 21) Mulyadi * ** ** ABSTRACT Keyword: PENDAHULUAN Tuberkulosis merupakan masalah kesehatan kaitannya dengan kemiskinan,

Lebih terperinci

ABSTRAK GAMBARAN PENDERITA PENYAKIT KANKER PARU PERIODE 1 JANUARI DESEMBER 2012 DI RS. IMMANUEL KOTA BANDUNG

ABSTRAK GAMBARAN PENDERITA PENYAKIT KANKER PARU PERIODE 1 JANUARI DESEMBER 2012 DI RS. IMMANUEL KOTA BANDUNG ABSTRAK GAMBARAN PENDERITA PENYAKIT KANKER PARU PERIODE 1 JANUARI 2011 31 DESEMBER 2012 DI RS. IMMANUEL KOTA BANDUNG Dwirama Ivan Prakoso Rahmadi, 1110062 Pembimbing I : dr. Sri Nadya J Saanin, M.Kes Pembimbing

Lebih terperinci

UKDW BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Penelitian. Diabetes melitus (DM) merupakan suatu penyakit yang banyak dialami oleh

UKDW BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Penelitian. Diabetes melitus (DM) merupakan suatu penyakit yang banyak dialami oleh BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Diabetes melitus (DM) merupakan suatu penyakit yang banyak dialami oleh orang di seluruh dunia. DM didefinisikan sebagai kumpulan penyakit metabolik kronis

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Penyakit Tuberkulosis paru merupakan penyakit infeksi yang masih menjadi

BAB 1 PENDAHULUAN. Penyakit Tuberkulosis paru merupakan penyakit infeksi yang masih menjadi BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penyakit Tuberkulosis paru merupakan penyakit infeksi yang masih menjadi masalah kesehatan Masyarakat. Tuberkulosis (TB) adalah suatu penyakit infeksi yang disebabkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Diabetes Melitus (DM) atau kencing manis, disebut juga penyakit gula merupakan salah satu dari beberapa penyakit kronis yang ada di dunia (Soegondo, 2008). DM ditandai

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. didominasi oleh penyakit menular bergeser ke penyakit tidak menular (noncommunicable

BAB 1 PENDAHULUAN. didominasi oleh penyakit menular bergeser ke penyakit tidak menular (noncommunicable BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Dengan berubahnya tingkat kesejahteraan, pola penyakit saat ini telah mengalami transisi epidemiologi yang ditandai dengan beralihnya penyebab kematian yang semula

Lebih terperinci

BAB IV METODOLOGI PENELITIAN. menitikberatkan pada prevalensi terjadinya DM pada pasien TB di RSUP

BAB IV METODOLOGI PENELITIAN. menitikberatkan pada prevalensi terjadinya DM pada pasien TB di RSUP BAB IV METODOLOGI PENELITIAN 4.1 Ruang lingkup penelitian Penelitian ini mencakup bidang Ilmu Penyakit Dalam menitikberatkan pada prevalensi terjadinya DM pada pasien TB di RSUP Dr. Kariadi Semarang. 4.2

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Mycobacterium tuberculosis, dengan gejala klinis seperti batuk 2

BAB I PENDAHULUAN. Mycobacterium tuberculosis, dengan gejala klinis seperti batuk 2 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia masih menjadi salah satu negara dengan kasus Tuberkulosis (TB) yang tinggi dan masuk dalam ranking 5 negara dengan beban TB tertinggi di dunia 1. Menurut

Lebih terperinci

BAB 3 KERANGKA TEORI, KERANGKA KONSEP, DAN HIPOTESIS PENELITIAN

BAB 3 KERANGKA TEORI, KERANGKA KONSEP, DAN HIPOTESIS PENELITIAN 30 BAB 3 KERANGKA TEORI, KERANGKA KONSEP, DAN HIPOTESIS PENELITIAN 3.1. Kerangka Teori Terinhalasi M.tuberculosis Patogenesis M.tuberculosis di paru DIAGNOSIS Pemeriksaan BTA pada sputum Pemeriksaan BTA

Lebih terperinci

PREVALENSI DAN FAKTOR RISIKO PENYAKIT JANTUNG KORONER PADA PENDERITA DIABETES MELITUS TIPE 2 DI RUMAH SAKIT IMMANUEL BANDUNG PERIODE JANUARI DESEMBER

PREVALENSI DAN FAKTOR RISIKO PENYAKIT JANTUNG KORONER PADA PENDERITA DIABETES MELITUS TIPE 2 DI RUMAH SAKIT IMMANUEL BANDUNG PERIODE JANUARI DESEMBER ABSTRAK PREVALENSI DAN FAKTOR RISIKO PENYAKIT JANTUNG KORONER PADA PENDERITA DIABETES MELITUS TIPE 2 DI RUMAH SAKIT IMMANUEL BANDUNG PERIODE JANUARI DESEMBER 2010 Shiela Stefani, 2011 Pembimbing 1 Pembimbing

Lebih terperinci

BAB 3 KERANGKA TEORI, KERANGKA KONSEP, DAN HIPOTESIS

BAB 3 KERANGKA TEORI, KERANGKA KONSEP, DAN HIPOTESIS 16 BAB 3 KERANGKA TEORI, KERANGKA KONSEP, DAN HIPOTESIS 3.1. Kerangka Teori Patogenesis Definisi Inflamasi KGB yang disebabkan oleh MTB Manifestasi Klinis a. keras, mobile, terpisah b. kenyal dan terfiksasi

Lebih terperinci

PENGARUH KOINSIDENSI DIABETES MELITUS TERHADAP LAMA PENGOBATAN PASIEN TUBERKULOSIS PARU DI BALAI BESAR KESEHATAN PARU MASYARAKAT SURAKARTA TAHUN

PENGARUH KOINSIDENSI DIABETES MELITUS TERHADAP LAMA PENGOBATAN PASIEN TUBERKULOSIS PARU DI BALAI BESAR KESEHATAN PARU MASYARAKAT SURAKARTA TAHUN PENGARUH KOINSIDENSI DIABETES MELITUS TERHADAP LAMA PENGOBATAN PASIEN TUBERKULOSIS PARU DI BALAI BESAR KESEHATAN PARU MASYARAKAT SURAKARTA TAHUN 2008 2009 SKRIPSI Diajukan Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan

Lebih terperinci

Hubungan Albumin Serum Awal Perawatan dengan Perbaikan Klinis Infeksi Ulkus Kaki Diabetik di Rumah Sakit di Jakarta

Hubungan Albumin Serum Awal Perawatan dengan Perbaikan Klinis Infeksi Ulkus Kaki Diabetik di Rumah Sakit di Jakarta LAPORAN PENELITIAN Hubungan Albumin Serum Awal Perawatan dengan Perbaikan Klinis Infeksi Ulkus Kaki Diabetik di Rumah Sakit di Jakarta Hendra Dwi Kurniawan 1, Em Yunir 2, Pringgodigdo Nugroho 3 1 Departemen

Lebih terperinci

BAB III METODELOGI PENELITIAN. Penelitian ini dilakukan di instalasi rekam medis RSUP Dr. Kariadi

BAB III METODELOGI PENELITIAN. Penelitian ini dilakukan di instalasi rekam medis RSUP Dr. Kariadi BAB III METODELOGI PENELITIAN 3.1 Ruang Lingkup Penelitian Penelitian ini meliputi bidang Ilmu Kesehatan Anak khususnya pulmonologi anak. 3.2 Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilakukan di instalasi

Lebih terperinci

Dasar Determinasi Pasien TB

Dasar Determinasi Pasien TB Dasar Determinasi Pasien TB K-12 DEPARTEMEN MIKROBIOLOGI FK USU Klasifikasi penyakit dan tipe pasien Penentuan klasifikasi penyakit dan tipe pasien TB memerlukan defenisi kasus yang meliputi 4 hal, yaitu:

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. TB Paru merupakan penyakit yang disebabkan oleh. Mycobacterium tuberculosis, yaitu kuman aerob yang mudah mati dan

BAB I PENDAHULUAN. TB Paru merupakan penyakit yang disebabkan oleh. Mycobacterium tuberculosis, yaitu kuman aerob yang mudah mati dan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang TB Paru merupakan penyakit yang disebabkan oleh Mycobacterium tuberculosis, yaitu kuman aerob yang mudah mati dan didapat terutama di paru atau berbagai organ tubuh

Lebih terperinci

ABSTRAK GAMBARAN KARAKTERISTIK PASIEN RAWAT INAP DIABETES MELITUS TIPE 2 DI RUMAH SAKIT IMMANUEL BANDUNG PERIODE 1 JANUARI DESEMBER 2012

ABSTRAK GAMBARAN KARAKTERISTIK PASIEN RAWAT INAP DIABETES MELITUS TIPE 2 DI RUMAH SAKIT IMMANUEL BANDUNG PERIODE 1 JANUARI DESEMBER 2012 ABSTRAK GAMBARAN KARAKTERISTIK PASIEN RAWAT INAP DIABETES MELITUS TIPE 2 DI RUMAH SAKIT IMMANUEL BANDUNG PERIODE 1 JANUARI 2012-31 DESEMBER 2012 Erfina Saumiandiani, 2013 : Pembimbing I : dr. Dani,M.Kes.

Lebih terperinci

GAMBARAN PENGETAHUAN PASIEN DIABETES MELITUS TENTANG PENANGANANNYA DI RUMAH SAKIT PAHLAWAN MEDICAL CENTER KANDANGAN, KAB

GAMBARAN PENGETAHUAN PASIEN DIABETES MELITUS TENTANG PENANGANANNYA DI RUMAH SAKIT PAHLAWAN MEDICAL CENTER KANDANGAN, KAB ABSTRAK GAMBARAN PENGETAHUAN PASIEN DIABETES MELITUS TENTANG PENANGANANNYA DI RUMAH SAKIT PAHLAWAN MEDICAL CENTER KANDANGAN, KAB. HULU SUNGAI SELATAN, KALIMANTAN SELATAN Raymond Sebastian Tengguno, 2016

Lebih terperinci

ABSTRAK. Emil E, ; Pembimbing I: Penny Setyawati M., dr, SpPK, M.Kes. PembimbingII :Triswaty Winata, dr., M.Kes.

ABSTRAK. Emil E, ; Pembimbing I: Penny Setyawati M., dr, SpPK, M.Kes. PembimbingII :Triswaty Winata, dr., M.Kes. ABSTRAK VALIDITAS PEMERIKSAAN BASIL TAHAN ASAM SPUTUM PASIEN TERSANGKA TUBERKULOSIS PARU DENGAN PEWARNAAN ZIEHL NEELSEN TERHADAP KULTUR M.tuberculosis PADA MEDIA OGAWA Emil E, 1010115; Pembimbing I: Penny

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang merupakan salah satu masalah kesehatan. anak yang penting di dunia karena tingginya angka

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang merupakan salah satu masalah kesehatan. anak yang penting di dunia karena tingginya angka BAB I PENDAHULUAN Pneumonia 1.1 Latar Belakang merupakan salah satu masalah kesehatan anak yang penting di dunia karena tingginya angka kesakitan dan angka kematiannya, terutama pada anak berumur kurang

Lebih terperinci

ABSTRAK GAMBARAN PENDERITA DIABETES MELITUS TIPE 2 DI RUMAH SAKIT BUDI AGUNG JUWANA PERIODE JANUARI DESEMBER 2015

ABSTRAK GAMBARAN PENDERITA DIABETES MELITUS TIPE 2 DI RUMAH SAKIT BUDI AGUNG JUWANA PERIODE JANUARI DESEMBER 2015 ABSTRAK GAMBARAN PENDERITA DIABETES MELITUS TIPE 2 DI RUMAH SAKIT BUDI AGUNG JUWANA PERIODE JANUARI DESEMBER 2015 Veronica Shinta Setiadi, 2016. Pembimbing I : Budi Widyarto L., dr., MH Pembimbing II :

Lebih terperinci

ABSTRAK PREVALENSI TUBERKULOSIS PARU DI RUMAH SAKIT PARU ROTINSULU BANDUNG PERIODE JANUARI-DESEMBER 2007

ABSTRAK PREVALENSI TUBERKULOSIS PARU DI RUMAH SAKIT PARU ROTINSULU BANDUNG PERIODE JANUARI-DESEMBER 2007 ABSTRAK PREVALENSI TUBERKULOSIS PARU DI RUMAH SAKIT PARU ROTINSULU BANDUNG PERIODE JANUARI-DESEMBER 2007 Yanuarita Dwi Puspasari, 2009. Pembimbing I : July Ivone, dr., MS Pembimbing II : Caroline Tan Sardjono,

Lebih terperinci

AZIMA AMINA BINTI AYOB

AZIMA AMINA BINTI AYOB Kejadian Anemia Pada Pasien Diabetes Melitus Tipe 2 di Ruang Rawat Jalan dan Ruang Rawat Inap Divisi Endokrinologi, Departemen Ilmu Penyakit Dalam, RSUP H. Adam Malik, Medan Pada Tahun 2011-2012 AZIMA

Lebih terperinci

HUBUNGAN DUKUNGAN PASANGAN PENDERITA TB DENGAN KEPATUHAN MINUM OBAT PADA PENDERITA TB PARU DI WILAYAH KERJA PUSKESMAS PEKAUMAN BANJARMASIN TAHUN 2016

HUBUNGAN DUKUNGAN PASANGAN PENDERITA TB DENGAN KEPATUHAN MINUM OBAT PADA PENDERITA TB PARU DI WILAYAH KERJA PUSKESMAS PEKAUMAN BANJARMASIN TAHUN 2016 HUBUNGAN DUKUNGAN PASANGAN PENDERITA TB DENGAN KEPATUHAN MINUM OBAT PADA PENDERITA TB PARU DI WILAYAH KERJA PUSKESMAS PEKAUMAN BANJARMASIN TAHUN 2016 Yurida Olviani Universitas Muhammadiyah Banjarmasin

Lebih terperinci

Nidya A. Rinto; Sunarto; Ika Fidianingsih. Abstrak. Pendahuluan

Nidya A. Rinto; Sunarto; Ika Fidianingsih. Abstrak. Pendahuluan Naskah Publikasi, November 008 Fakultas Kedokteran Universitas Islam Indonesia Hubungan Antara Sikap, Perilaku dan Partisipasi Keluarga Terhadap Kadar Gula Darah Penderita Diabetes Melitus Tipe di RS PKU

Lebih terperinci

ABSTRAK GAMBARAN PENDERITA DIABETES MELITUS TIPE 2 DI UPT PUSKESMAS PASUNDAN KOTA BANDUNG PERIODE

ABSTRAK GAMBARAN PENDERITA DIABETES MELITUS TIPE 2 DI UPT PUSKESMAS PASUNDAN KOTA BANDUNG PERIODE ABSTRAK GAMBARAN PENDERITA DIABETES MELITUS TIPE 2 DI UPT PUSKESMAS PASUNDAN KOTA BANDUNG PERIODE 2016 Jones Vita Galuh Syailendra, 2014 Pembimbing 1 : Dani, dr., M.Kes. Pembimbing 2 : Budi Widyarto, dr.,

Lebih terperinci

BAB I. PENDAHULUAN. Latar Belakang

BAB I. PENDAHULUAN. Latar Belakang BAB I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Tuberkulosis adalah suatu penyakit infeksi menular yang disebabkan oleh basil Mycobacterium tuberculosis (Kumar dan Clark, 2012). Tuberkulosis (TB) merupakan salah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. menempati peringkat kedua dengan jumlah penderita Diabetes terbanyak setelah

BAB I PENDAHULUAN. menempati peringkat kedua dengan jumlah penderita Diabetes terbanyak setelah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Diabetes Melitus (DM) merupakan penyakit tidak menular yang prevalensinya tiap tahun semakin meningkat. Di Asia Pasifik, Indonesia menempati peringkat kedua dengan jumlah

Lebih terperinci

SKRIPSI ANALISIS FAKTOR RISIKO KEJADIAN PENYAKIT TUBERKULOSIS PADA ANAK DI BALAI BESAR KESEHATAN PARU MASYARAKAT SURAKARTA

SKRIPSI ANALISIS FAKTOR RISIKO KEJADIAN PENYAKIT TUBERKULOSIS PADA ANAK DI BALAI BESAR KESEHATAN PARU MASYARAKAT SURAKARTA SKRIPSI ANALISIS FAKTOR RISIKO KEJADIAN PENYAKIT TUBERKULOSIS PADA ANAK DI BALAI BESAR KESEHATAN PARU MASYARAKAT SURAKARTA Skripsi Ini Disusun untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Ijazah S1 Kesehatan

Lebih terperinci