Aplikasi Sistem Informasi Geografis Untuk Zonasi Kawasan Pertambangan Majenang-Bantarkawung

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "Aplikasi Sistem Informasi Geografis Untuk Zonasi Kawasan Pertambangan Majenang-Bantarkawung"

Transkripsi

1 Aplikasi Sistem Informasi Geografis Untuk Zonasi Kawasan Pertambangan Majenang-Bantarkawung (GIS Application For Majenang-Bantarkawung Mining Zonation) Yazid Fanani 1 1 Jurusan Teknik Pertambangan, Institut Teknologi Adhi Tama Suarabaya Abstract The position of Majenang-Bantarkawung region become important and strategic because has a lot of mineral and coal resources. However, there is no effort in mining area regulation to optimalization management of mining resources who can useful for people prosperity. Mining zonation of Majenang- Bantarkawung make with weighting and scoring in determination of mining parameters than processing the parameters with overlay method. The parameters are : Land height, Land elevation, Disaster-prone areas, Overburden thickness, Ground water, River area, Water infiltration areas, Forest areas and Agricultural area. According to overlay of 10 mining parameters, Majenang- Bantarkawung mining zonation can be divided into can be permitted to mined, can be permitted to mined with certain condition, and can t be permitted to mined. Banyumas regency has 61 distribution of mining resources location. Cilacap regency has 75 distribution of mining resources location. Brebes regency has 53 distribution of mining resources location. Keywords: Mining zonation, weighting, scoring 1. Pendahuluan Kawasan Majenang-Bantarkawung di daerah perbatasan Jawa Tengah dan Jawa Barat mempunyai potensi bahan tambang yang cukup besar khususnya bahan galian mineral dan batubara. Namun upaya penataan kawasan pertambangan belum optimal terutama pengelolaan bahan galian yang dapat dimanfaatkan terutama untuk peningkatan pendapatan daerah. Sistem pengelolaan potensi tambang yang ada selama ini terdapat ketimpangan karena ada beberapa pihak yang diuntungkan secara berlebih dan ada pula yang dimarjinalkan, sehingga pemanfaatan kekayaan sumberdaya mineral dan batubara tersebut memerlukan pengawasan. Kurangnya pengawasan tidak hanya berakibat pada pemborosan sumberdaya mineral dan batubara tapi juga dikhawatirkan terjadinya tumpang tindih lahan sehingga tidak terkelolanya kesejahteraan rakyat secara berimbang. Era komputerisasi telah membuka wawasan dan paradigma baru dalam proses pengambilan keputusan berikut penyebaran informasinya. Sistem informasi geografi (SIG) merupakan tools * Korespodensi Penulis: ( Yazid Fanani) Jurusan Teknik Pertambangan, Institut Teknologi Adhi Tama Suarabaya, Jalan Arief Rachman Hakim 100 Surabaya 60117, Jawa Timur fanani.yazid@gmail.com HP : yang praktis karena dapat menyimpan data yang mempresentasikan dunia nyata dan kemudian diproses sedemikian rupa sehingga akhirnya dapat disajikan dalam bentuk-bentuk yang sederhana. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengidentifikasi sebaran potensi bahan tambang yang kemudian dibuat zonasi penambangan yang dapat diberi izin ditambang, dapat diberi izin ditambang dengan bersyarat, dan tidak dapat diberi izin ditambang. Hasil dari zonasi penambangan bermanfaat sebagai masukan bagi instansi terkait dalam rangka pengambilan kebijakan yang akurat, tersedianya informasi yang pasti bagi investor untuk pengembangan usaha atau penanaman modal dalam bidang pertambangan, dan teridentifikasinya potensi bahan galian yang ada di kawasan yang mempunyai prospek dan siap dikembangkan. Lokasi Penelitian Secara umum lokasi kawasan pertambangan Majenang-Bantarkawung terletak di Kabupaten Cilacap, Banyumas, dan Brebes (Gambar 1). Secara detil (Gambar 2) merupakan peta lokasi penelitian kajian zonasi mineral dan batubara kawasan pertambangan Majenang- Bantarkawung. 52

2 (a.) Gambar 1. (a.) Kawasan Pertambangan Majenang-Bantarkawung, dan (b.) Peta Administrasi Kawasan Pertambangan Majenang-Bantarkawung Tinjauan Pustaka Geologi Regional Menurut Van Bemmellen (1949), secara umum fisiografi Jawa Tengah mulai dari utara ke selatan dapat dibagi ke dalam lima zona fisiografi, yaitu: Dataran pantai utara, Pegunungan Serayu Utara, Zona Deperesi Sentral. Berdasarkan kondisi fisiografi Jawa Tengah tersebut maka daerah penelitian termasuk dalam wilayah Gunungapi Kuarter dan Zona Depresi. Peta geologi daerah penelitian (Gambar 3). Gambar 3. Peta Geologi Kawasan Majenang- Bantarkawung Parameter Penentuan Zonasi Pertambangan Parameter penentuan zonasi pertambangan merupakan faktor pembatas kedapatan tambang yang harus ditentukan terlebih dahulu dan merupakan langkah awal kearah analisis. Parameter tersebut akan dapat memprioritaskan penataan kawasan yang dapat diberi izin untuk ditambang dengan bersyarat, tidak dapat diberi izin untuk ditambang dan dapat diberi izin untuk ditambang (Masberry, 2008). Faktor pembatas (b.) dapat dibagi menjadi dua yaitu faktor pembatas internal dan faktor pembatas eksternal. a. Faktor Pembatas Internal Faktor pembatas internal adalah faktor pembatas yang terkait antara lokasi potensi bahan galian dan sektor strategis yang terdapat di loksi tersebut (Prabawasari, 2003). Faktor pembatas internal ini meliputi : (1) Geologi - Batuan dan formasi - Penyebaran bahan galian - Ketinggian lahan - Kemiringan lahan - Ketebalan tanah penutup (2) Hidrogeologi - Air tanah - Sungai - Mata Air - Peresapan Air (3) Ekologi (Lingkungan) - Hutan/Perkebunan - Pariwisata - Cagar, Suaka dan Situs Budaya - Pemukiman - Penggunaan lahan Pertanian (4) Ekonomi - Jenis Bahan galian - Cadangan - Nilai Ekonomi/Harga Jual Setempat b. Faktor Pembatas Eksternal Faktor pembatas eksternal adalah faktor pembatas yang terkait dengan potensi pengembangan usaha pertambangan yang terdapat di lokasi tersebut (Prahasta, 2009). Faktor pembatas eksternal ini meliputi : (1) Fasilitas Umum - Jaringan Jalan - Jaringan Listrik - Jaringan Telpon - Jaringan Air minum Mining Engineering, Univ. of Bangka Belitung 53

3 - Akses Jalan (Infrastruktur) (2) Kebijakan - Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) - Satuan Wilayah Pengembangan (SWP) (3) Kependudukan - Pendidikan - Ketenagakerjaan - Dukungan Masyarakat Analisis Spasial Analisis spasial di arahkan untuk mengetahui aspek apa saja yang berpengaruh terhadap penentuan kedapatan penambangan di lokasi sebaran potensi bahan galian untuk dijadikan lahan usaha pertambangan. Metode yang diterapkan untuk penentuan kedapatan penambangan adalah menggunakan pembobotan (weighting) dan penilaian (scoring) serta dikerjakan dengan metode penampalan (overlay) terhadap semua sektor yang terkait sebagai penentu penambangan (Edy, 2007). Adapun sektor-sektor terkait yang dapat di lakukan dengan metode pertampalan (overlay) ini berjumlah 10 parameter yaitu sebagai berikut: (1) Ketinggian lahan (2) Sungai dan Bangunan (3) Kemiringan lahan (4) Mata air dan Peresapan air (5) Rawan bencana longsor (6) Hutan dan Perkebunan (7) Ketebalan tanah penutup (8) Pemukiman (9) Air tanah (10) Penggunaan lahan pertanian 2. Metode Penelitian Metode yang akan diterapkan dalam penelitian ini adalah pengumpulan data, pengolahan data spasial dan penyusunan zonasi kawasan pertambangan. Data penelitian diolah dengan metode pertampalan (overlay) untuk penentuan zonasi penambangan yang dapat ditambang, dapat ditambang dengan bersyarat dan tidak dapat ditambang. Pengolahan data menggunakan software pengolah data spasial diantaranya MapInfo Professional 11.0, Arc Gis 9.3, dan software lain yang menunjang penelitian ini. Penelitian ini dilakukan dalam beberapa tahap, yaitu : a) Pengumpulan data, tentang : 1. Data geologi dan geografis kawasan Majenang-Bantarkawung meliputi : geologi, sebaran bahan galian, ketinggian lahan, kemiringan lahan, kedalaman muka air tanah, ketebalan tanah penutup. 2. Peta RTRW Kabupaten Banyumas, Brebes dan Cilacap meliputi : kawasan pemukiman, kawasan hutan, sungai, kawasan rawan bencana, penggunaan lahan pertanian, mata air dan peresapan air. b) Pengolahan Data Spasial Proses penggambaran peta dan digitasi peta menggunakan software pengolah data spasial MapInfo Professional 11.0 dan Arc Gis 9.3. Hasil dari penggambaran dan digitasi peta adalah peta parameter zonasi kawasan pertambangan kemudian dilakukan pertampalan (overlay) pada masing-masing peta untuk proses pembobotan (weighting) dan penilaian (scoring). c) Penyusunan Zonasi Kawasan Pertambangan Zonasi Pertambangan ditentukan berdasarkan pembobotan (weighting) dan nilai (scoring). Penyusunan Zonasi Kawasan Pertambangan didasarkan pada 10 parameter yang dipakai dalam metode pertampalan. Jumlah total pembobotan (weighting) adalah 1, sehingga nilai masing-masing bobot adalah 0,1. Berdasarkan 10 parameter yang dipakai dalam metode pertampalan, terdapat 4 (empat) parameter yang mempunyai peringkat maksimum 210. Keempat parameter tersebut masingmasing mempunyai faktor dominan yang bersifat mutlak. Apabila nilai berada pada peringkat maksimum, maka secara otomatis diarahkan secara mutlak untuk masuk kategori tidak dapat ditambang. Adapun keempat parameter dengan penilaian maksimum 210 adalah sebagai berikut: 1. Apabila lokasi bahan galian berada di tubuh sungai. 2. Apabila lokasi bahan galian berada di wilayah hutan lindung atau kawasan lindung yang di arahkan untuk Tidak dapat ditambang. 3. Apabila lokasi bahan galian berada pada radius kurang dari 100 m untuk berbagai jenis wisata. 4. Apabila lokasi bahan galian berada pada wilayah persawahan teknis dan setengah teknis lahan pertanian yang terganggu dengan perpindahn lapangan kerja penduduk ke bidang pertambangan dapat menimbulkan dampak sosial dan ekonomi. Mining Engineering, Univ. of Bangka Belitung 54

4 Tabel 1. Parameter penentuan Zonasi Pertambangan Berdasarkan Tabel 1 di atas diperoleh aspek penting yaitu: Jumlah parameter adalah 10. Peringkat (rank) besar ke peringkat kecil adalah 210, 30, 20 dan 10. Bobot (weight) yaitu 0,1. Nilai (score) adalah hasil perkalian antara Peringkat dan Bobot. Penentuan interval kelas adalah sebagai berikut: Nilai terendah apabila semua parameter dengan peringkat 10, sehingga nilai terendah yang merupakan batas Dapat ditambang = 10. Nilai tinggi apabila semua parameter dengan peringkat 30, sehingga nilai tinggi yang merupakan batas Tidak Dapat ditambang = 30 Jarak nilai terendah dan nilai tertinggi = 20 Jumlah kelas adalah 3, dengan interval klas adalah: Nilai antara 10 - <16 adalah Dapat ditambang Nilai antara adalah Dapat ditambang Bersyarat Nilai yang > 24 adalah Tidak Dapat ditambang Nilai tertinggi apabila keenam parameter mempunyai peringkat 30 sehingga nilainya = 15, dan 5 parameter lainnya mempunyai peringkat 210 sehingga nilainya = 104 maka total nilai yang merupakan nilai tertinggi adalah 119. Untuk menguji peranan peringkat mutlak yaitu pada peringkat 210 maka apabila kesepuluh parameter mempunyai peringkat 10 sehingga nilai = 9, dan 1 parameter lainnya mempunyai peringkat 210 sehingga nilai = 21 maka total nilainya = 30 yaitu sama dengan batas nilai kategori Tidak Dapat ditambang. Batas interval 16 apabila setengah atau 5 parameter mempunyai peringkat rendah yaitu 10, sehingga nilai = 4, dan 6 parameter lainnya mempunyai peringkat 20 sehingga nilai = 12 maka total nilainya = 16. Batas interval 24 apabila setengah atau 5 parameter mempunyai peringkat tinggi yaitu 30, sehingga nilai = 12 dan 6 parameter lainnya mempunyai peringkat 20, sehingga nilai = 12 maka total nilainya = 24. Setelah penentuan sepuluh parameter dan faktor pertimbangan bersyarat, maka dapat ditentukan bahwa Zonasi Pertambangan sebagai berikut: a. Zona Dapat Diberi Izin Ditambang Adalah suatu luasan di permukaan bumi yang telah memenuhi atau tidak bertentangan dengan 10 parameter yang ditetapkan, dan merupakan suatu zona yang potensial pengembangan pertambangan dan tidak berdampak negatif terhadap sektor strategis serta didukung seluruh faktor pertimbangan persyaratan, dengan rentang Nilai (score) antara Walaupun demikian, pada Zona Dapat diberi izin ditambang juga perlu memperhatikan pertimbangan dinamika kebijakan pemerintah. Oleh sebab itu status Zona Dapat diberi izin ditambang tersebut tidak bersifat mutlak, melainkan harus pula mempertimbangkan faktor pertimbangan bersyarat. b. Zona Dapat Diberi Izin Ditambang Bersyarat Adalah suatu luasan di permukaan bumi yang sebagian sudah memenuhi atau sebagian tidak bertentangan dengan 10 parameter yang ditetapkan, dan merupakan suatu zona yang potensial untuk pengembangan pertambangan dengan memperhatikan faktor pertimbangan persyaratan. Zona Dapat diberi izin ditambang Bersyarat ini dengan rentang nilai (score) antara Zona Dapat diberi izin ditambang Bersyarat juga mengandung arti masih diizinkan melakukan kegiatan pertambangan dengan memberikan perhatian yang lebih baik terhadap dampak negatif yang mungkin terjadi dan melakukan monitoring, antisipasi atau pencegahan. Monitoring, antisipasi atau pencegahan harus Mining Engineering, Univ. of Bangka Belitung 55

5 lebih difokuskan beberapa parameter yang mempunyai nilai (score) 24 karena nilai tersebut akan memberikan efek negatif yang paling besar. Sebagai contoh: Bila tebal tanah penutup lebih besar 3 m akan diberikan peringkat 30. Oleh karena itu pengusahaan kegiatan penambangan harus menjamin bahwa tanah pucuk yang subur tidak hilang dengan melakukan teknik penambangan back filling digging method. Bila kemiringan lereng >45 0 akan diberikan peringkat 30, maka pengusahaan kegiatan pertambangan harus menjamin bahwa tidak akan terjadi kelongsoran lereng dengan melakukan teknik penambangan benching method dengan ketinggian jenjang maksimal 6m. Ketinggian jenjang dizinkan lebih tinggi dari 6m, apabila telah melakukan kajian terhadap kestabilan lereng yang memadai. Selain itu, sebagaimana Zona Dapat diberi izin ditambang, maka pada Zona Dapat diberi izin ditambang Bersyarat juga tetap memperhatikan faktor pertimbangan persyaratan. c. Zona Tidak Dapat Ditambang Adalah suatu luasan di permukaan bumi yang tidak dizinkan dilakukan kegiatan pertambangan dengan alasan apapun, dengan rentang nilai (score) >24. Hal tersebut mempunyai arti bahwa zona tersebut pada dasarnya tidak dapat dilakukan kegiatan penambangan, tetapi dengan pertimbangan khusus untuk tujuan strategis dan vital maka zona ini dapat dilakukan penambangan. Strategis menyangkut hajat hidup masyarakat banyak, dan vital untuk kestabilan dan keamanan negara. 3. Hasil dan Pembahasan Berdasarkan penentuan zonasi pertambangan (Tabel 1), peta sebaran potensi bahan tambang (Lampiran 1) dan tata guna lahan di Kawasan Majenang-Bantarkawung maka dapat ditentukan zonasi pengembangan kawasan pertambangan di tiap kabupaten. Berdasarkan peta Zonasi Potensi Bahan Galian (Lampiran 2) maka ditetapkan Zonasi Pertambangan di masing-masing kawasan sebagai berikut : a. Kawasan Majenang-Bantarkawung dalam wilayah Kabupaten Banyumas Kabupaten Banyumas memiliki sebaran zonasi pengembangan pertambangan di 61 lokasi dengan 22 lokasi Dapat Diberi Izin Ditambang, 19 lokasi Dapat Diberi Izin Ditambang bersyarat, dan 20 lokasi tidak Dapat Ditambang, yaitu sebagai berikut : - Zona Dapat Diberi Izin Ditambang : 1. Sumberdaya Batugamping, terdapat di Kecamatan Ajibarang sebanyak 2 lokasi (Desa Darmakradenan dan Tipar Kidul) dan Kecamatan Gumelar sebanyak 4 lokasi (Desa Cihonje, Gancang, Karangkemojing dan Desa Paningkaban). Kecamatan Gumelar sebanyak 6 lokasi (Desa Cihonje, Cilangkap, Gancang, Kedungurang, Paningkaban dan Desa Tlaga), Kecamatan Lumbir yaitu di Desa Dermaji dan Kecamatan Pekuncen sebanyak 3 lokasi (Desa Cibangkong, Petahunan dan Semedo). 3. Sumberdaya Kaolin, terdapat di Cihonje. Kedungurang. Gumelar yaitu di Cilangkap dan Kecamatan Lumbir Desa Dermaji. - Zona Dapat Diberi Izin Ditambang Bersyarat: 1. Sumberdaya Batugamping, terdapat di Kecamatan Ajibarang sebanyak 2 lokasi (Desa Darmakradenan dan Tipar Kidul) dan Kecamatan Gumelar sebanyak 4 lokasi (Desa Cihonje, Gancang, Karangkemojing dan Desa Paningkaban). Kecamatan Gumelar sebanyak 6 lokasi (Desa Cihonje, Cilangkap, Gancang, Kedungurang, Paningkaban dan Desa Tlaga), Kecamatan Lumbir yaitu di Desa Dermaji dan Kecamatan Pekuncen sebanyak 2 lokasi (Desa Cibangkong dan Petahunan). 3. Sumberdaya Kaolin, terdapat di Cihonje. Kedungurang dan Desa Gumelar. Gumelar yaitu di Cilangkap dan Kecamatan Lumbir Desa Dermaji. - Zona Tidak Dapat Ditambang : 1. Sumberdaya Batugamping, terdapat di Kecamatan Ajibarang sebanyak 2 lokasi (Desa Darmakradenan dan Tipar Kidul) dan Kecamatan Gumelar sebanyak 4 lokasi (Desa Cihonje, Gancang, Karangkemojing dan Desa Paningkaban). Kecamatan Gumelar sebanyak 6 lokasi (Desa Cihonje, Cilangkap, Gancang, Mining Engineering, Univ. of Bangka Belitung 56

6 Kedungurang, Paningkaban dan Desa Tlaga), Kecamatan Lumbir yaitu di Desa Dermaji dan Kecamatan Pekuncen sebanyak 3 lokasi (Desa Cibangkong, Petahunan dan Semedo). 3. Sumberdaya Kaolin, terdapat di Cihonje. Kedungurang dan Desa Gumelar. Gumelar yaitu di Cilangkap dan Kecamatan Lumbir Desa Dermaji. b. Kawasan Majenang-Bantarkawung dalam wilayah Kabupaten Cilacap Kabupaten Cilacap memiliki sebaran zonasi pengembangan pertambangan di 74 lokasi dengan 36 lokasi Dapat Diberi Izin Ditambang, 9 lokasi Dapat Diberi Izin Ditambang bersyarat, dan 30 lokasi tidak Dapat Ditambang, yaitu : - Zona Dapat Diberi Izin Ditambang : 1. Sumberdaya Bentonit, terdapat di Kecamatan Karangpucung sebanyak 2 lokasi (Desa Surian dan Desa Tayem). Kecamatan Karangpucung sebanyak 7 lokasi (Desa Bengbulang, Ciruyung, Pamulihan, Sidamulya, Tayem, Tayem Timur dan Desa Surusunda), Kecamatan Majenang sebanyak 4 lokasi (Desa Sadabumi, Sadahayu, Salebu dan Desa Sepatnunggal) dan Kecamatan Wanareja (Desa Limbangan). 3. Sumberdaya Lempung, terdapat di Kecamatan Cimanggu sebanyak 6 lokasi (Desa Cibalung, Cijati, Cilempuyang, Negarajati, Pesahangan dan Desa Rejodadi), Kecamatan Majenang sebanyak 9 lokasi (Desa Cibeuying, Cilopadang, Jenang, Padangjaya, Pangadegan, Salebu, Ujungbarang, Bener dan Desa Boja) dan Kecamatan Wanareja (Desa Limbangan). 4. Sumberdaya Lignit, terdapat di Kecamatan Dayeuhluhur sebanyak 4 lokasi (Desa Bingkeng, Datar, Dayeuhluhur dan Desa Hanum) dan Kecamatan Wanareja (Desa Jambu). Karangpucung (Desa Tayem). - Zona Dapat Diberi Izin Ditambang Bersyarat : Sumberdaya Bijih Emas, terdapat di Kecamatan Karangpucung sebanyak 3 lokasi (Desa Bengbulang, Ciruyung dan Desa Sidamulya), Kecamatan Majenang sebanyak 4 lokasi (Desa Sadabumi, Sadahayu, Salebu, Sepatnunggal) dan Kecamatan Wanareja sebanyak 2 lokasi (Desa Cigintung dan Desa Jambu). - Zona Tidak Dapat Ditambang : 1. Sumberdaya Bentonit, terdapat di Kecamatan Karangpucung (Desa Tayem). Kecamatan Karangpucung sebanyak 4 lokasi (Desa Bengbulang, Ciruyung, Sidamulya, Surusunda), Kecamatan Majenang sebanyak 4 lokasi (Desa Sadabumi, Sadahayu, Salebu, Sepatnunggal) dan Kecamatan Wanareja sebanyak 3 lokasi (Desa Cigintung, Jambu, Limbangan). 3. Sumberdaya Lempung, terdapat di Kecamatan Cimanggu sebanyak 3 lokasi (Desa Cijati, Negarajati, Pesahangan) dan Kecamatan Majenang sebanyak 8 lokasi (Desa Cibeuying, Cilopadang, Jenang, Padangjaya, Salebu, Sindangsari, Bener dan Desa Boja). 4. Sumberdaya Lignit, terdapat di Kecamatan Dayeuhluhur sebanyak 4 lokasi (Desa Bingkeng, Datar, Dayeuhluhur dan Desa Hanum) dan Kecamatan Wanareja (Desa Palugon). Karangpucung (Desa Tayem). c. Kawasan Majenang-Bantarkawung dalam wilayah Kabupaten Brebes Kabupaten Brebes memiliki sebaran zonasi pengembangan pertambangan di 53 lokasi dengan 22 lokasi Dapat Diberi Izin Ditambang dan 12 lokasi Dapat Diberi Izin Ditambang bersyarat dan 19 lokasi tidak Dapat Ditambang, yaitu : - Zona Dapat Diberi Izin Ditambang : 1. Sumberdaya Bijih Emas, terdapat di Kecamatan Salem sebanyak 3 lokasi (Desa Gunungtajem, Gunungjaya dan Desa Windusakti). 2. Sumberdaya Lempung, terdapat di Kecamatan Salem sebanyak 8 lokasi (Desa Tembongraja, Salem, Pabuaran, Bentar, Bentarsari, Gununglarang, Ganggawang, Gunungsugih). 3. Sumberdaya Lignit, terdapat di Kecamatan Salem sebanyak 8 lokasi (Desa Bentar, Bentarsari, Citimbang, Gandoang, Gunungjaya, Gunungsugih, Tembongraja, Wanoja). Kecamatan Bantarkawung sebanyak 3 lokasi (Desa Bentarsari, Cibentang, Pangebatan). Mining Engineering, Univ. of Bangka Belitung 57

7 - Zona Dapat Diberi Izin Ditambang Bersyarat : 1. Sumberdaya Bijih Emas, terdapat di Kecamatan Salem sebanyak (Desa Gunungtajem, Gunungjaya dan Desa Windusakti). 2. Sumberdaya Lempung, terdapat di Kecamatan Salem sebanyak 6 lokasi (Desa Tembongraja, Salem, Bentarsari, Gununglarang, Ganggawang, Gunungsugih). 3. Sumberdaya Lignit, terdapat di Kecamatan Salem (Desa Citimbang, Gunungjaya, Gunungtajem). - Zona Tidak Dapat Ditambang : 1. Sumberdaya Bijih Emas, terdapat di Kecamatan Salem (Desa Gunungjaya). 2. Sumberdaya Lempung, terdapat di Kecamatan Salem sebanyak 9 lokasi (Desa Tembongraja, Salem, Pabuaran, Bentar, Bentarsari, Gununglarang, Ganggawang, Gunungsugih, Pasirpanjang). 3. Sumberdaya Lignit, terdapat di Kecamatan Salem sebanyak 6 lokasi (Desa Bentar, Bentarsari, Citimbang, Gunungsugih, Tembongraja, Wanoja). Kecamatan Bantarkawung sebanyak 3 lokasi (Desa Bentarsari, Cibentang, Pangebatan). 4. Kesimpulan 1. Zonasi kawasan pertambangan Majenang- Bantarkawung dapat dibagi menjadi : - Zona Tidak Dapat Diberi Izin Ditambang Terdapat 69 lokasi yang termasuk dalam zona tidak dapat diberi izin pertambangan. 20 lokasi pada kabupaten Banyumas, 30 lokasi pada kabupaten Cilacap dan 19 lokasi pada kabupaten Brebes. - Zona Dapat Diberi Izin Ditambang Terdapat 80 lokasi yang termasuk dalam zona dapat diberi izin pertambangan. 22 lokasi pada kabupaten Banyumas, 36 lokasi pada kabupaten Cilacap dan 22 lokasi pada kabupaten Brebes. - Zona Dapat Diberi Izin Ditambang Bersyarat Terdapat 40 lokasi yang termasuk dalam zona dapat diberi izin pertambangan bersyarat. 19 lokasi pada kabupaten Banyumas, 9 lokasi pada kabupaten Cilacap dan 12 lokasi pada kabupaten Brebes. 2. Penilaian Zona Dapat Diberi Izin Ditambang, Zona Dapat Diberi Izin Ditambang Bersyarat, maupun Zona Tidak Dapat Diberi Izin Ditambang melibatkan dimensi geologi yang tidak terkait dengan batas administrasi, dan memperhatikan sifat peraturan yang dinamis sesuai dengan dimensi ruang dan waktu saat itu. Oleh sebab itu kebijakan di sektor pertambangan seyogyanya bersifat integratif melibatkan instansi dan stake holder. 3. Zona Dapat Diberi Izin Ditambang pada dasarnya masih bersifat gambaran makro, sehingga perlu mendapat kajian yang lebih detil untuk setiap wilayah administrasi dan setiap bahan galian. Daftar Pustaka Anonim (2003), Mengatasi Tumpang Tindih antara Lahan Pertambangan dan Kehutanan, Direktorat Sumber Daya Mineral Dan Pertambangan Edy Harseno dan Vickey Igor R Tampubolon (2007), Aplikasi Sistem Informasi Geografis Dalam Pemetaan Batas Administrasi, Tanah, Geologi, Penggunaan Lahan, Lereng, Daerah Istimewa Yogyakarta Dan Daerah Aliran Sungai Di Jawa Tengah Menggunakan Software Arcview Gis, Majalah Ilmiah UKRIM Edisi 1/th XII/2007 Masberry (2008), Inventarisasi Potensi Bahan Galian Tambang Dengan Menggunakan Penginderaan Jauh & GIS, Jurnal Sains dan Teknologi 7. Prabawasari (2003), Aplikasi Teknologi Sistem Informasi Geografis dalam Manajemen Tanah Perkotaan, Jurnal Desain dan Konstruksi Vol. 2 No. 2 Prahasta, Eddy (2009), Sistem Informasi Geografis : Konsep-konsep Dasar (Perspektif Geodesi dan Geomatika), Informatika, Bandung. Peraturan Daerah Kabupaten Banyumas No. 10 Tahun 2011 Tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Banyumas. Peraturan Daerah Kabupaten Brebes No. 2 Tahun 2011 Tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Brebes. Peraturan Daerah Kabupaten Cilacap No. 9 Tahun 2011 Tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Cilacap Peraturan Menteri Kehutanan No.18 Tahun 2011 Tentang Pedoman Pinjam Pakai Kawasan Hutan. Peraturan Pemerintah No.22 Tahun 2010 Tentang Wilayah Pertambangan. Peraturan Pemerintah No.38 Tahun 2011 Tentang Sungai. Undang-undang No.1 Tahun 2011 Tentang Perumahan dan Kawasan Permukiman. Undang-undang No.24 Tahun 2007 Tentang Penanggulangan Bencana. Undang-undang No.41 Tahun 2009 Perlindungan Lahan Pertanian Pangan. Mining Engineering, Univ. of Bangka Belitung 58

8 Lampiran 1 Peta Sebaran Bahan Galian Mining Engineering, Univ. of Bangka Belitung 59

9 Lampiran 2 Peta Peta Zonasi Potensi Bahan Galian Mining Engineering, Univ. of Bangka Belitung 60

MODEL ZONASI UNTUK KAWASAN PERTAMBANGAN MINERAL LOGAM DAN BATUBARA (STUDI KASUS KABUPATEN WAROPEN PROVINSI PAPUA)

MODEL ZONASI UNTUK KAWASAN PERTAMBANGAN MINERAL LOGAM DAN BATUBARA (STUDI KASUS KABUPATEN WAROPEN PROVINSI PAPUA) MODEL ZONASI UNTUK KAWASAN PERTAMBANGAN MINERAL LOGAM DAN BATUBARA (STUDI KASUS KABUPATEN WAROPEN PROVINSI PAPUA) Waterman Sulistyana Bargawa *, Victor Isak Semuel Ajatanoi 2 Magister Teknik Pertambangan

Lebih terperinci

PEMETAAN DAERAH RAWAN LONGSOR DENGAN MENGGUNAKAN SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS STUDI KASUS KABUPATEN BONDOWOSO

PEMETAAN DAERAH RAWAN LONGSOR DENGAN MENGGUNAKAN SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS STUDI KASUS KABUPATEN BONDOWOSO Pemetaan Daerah Rawan PEMETAAN DAERAH RAWAN LONGSOR DENGAN MENGGUNAKAN SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS STUDI KASUS KABUPATEN BONDOWOSO Moch. Fauzan Dwi Harto, Adhitama Rachman, Putri Rida L, Maulidah Aisyah,

Lebih terperinci

Bab II Bab III Bab IV Tujuan, Kebijakan, dan Strategi Penataan Ruang Kabupaten Sijunjung Perumusan Tujuan Dasar Perumusan Tujuan....

Bab II Bab III Bab IV Tujuan, Kebijakan, dan Strategi Penataan Ruang Kabupaten Sijunjung Perumusan Tujuan Dasar Perumusan Tujuan.... DAFTAR ISI Kata Pengantar Daftar Isi Daftar Tabel Daftar Gambar Gambar Daftar Grafik i ii vii viii Bab I Pendahuluan. 1.1. Dasar Hukum..... 1.2. Profil Wilayah Kabupaten Sijunjung... 1.2.1 Kondisi Fisik

Lebih terperinci

Jurnal Teknologi Pertambangan Volume. 1 Nomor. 1 Periode: Maret-Agustus 2015

Jurnal Teknologi Pertambangan Volume. 1 Nomor. 1 Periode: Maret-Agustus 2015 PENENTUAN ZONASI PERIZINAN PERTAMBANGAN MINERAL NON LOGAM DAN BATUAN DI KABUPATEN BLORA BAGIAN SELATAN PROVINSI JAWA TENGAH Dody Bagus Widodo, Budiarto, Abdul Rauf Prodi Teknik Pertambangan, Fakultas Teknologi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Secara umum kondisi geologi menyimpan potensi kebencanaan yang dapat

BAB I PENDAHULUAN. Secara umum kondisi geologi menyimpan potensi kebencanaan yang dapat BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Secara umum kondisi geologi menyimpan potensi kebencanaan yang dapat merugikan manusia. Kebencanaan geologi mengakibatkan kerusakan infrastruktur maupun korban manusia,

Lebih terperinci

ANALISIS DAN PEMETAAN DAERAH KRITIS RAWAN BENCANA WILAYAH UPTD SDA TUREN KABUPATEN MALANG

ANALISIS DAN PEMETAAN DAERAH KRITIS RAWAN BENCANA WILAYAH UPTD SDA TUREN KABUPATEN MALANG Jurnal Reka Buana Volume 1 No 2, Maret-Agustus 2015 9 ANALISIS DAN PEMETAAN DAERAH KRITIS RAWAN BENCANA WILAYAH UPTD SDA TUREN KABUPATEN MALANG Galih Damar Pandulu PS. Teknik Sipil, Fak. Teknik, Universitas

Lebih terperinci

TOMI YOGO WASISSO E

TOMI YOGO WASISSO E ANALISIS PENGARUH PERUBAHAN PENGGUNAAN LAHAN TERHADAP PERUBAHAN TINGKAT POTENSI GERAKAN TANAH MENGGUNAKANSISTEM INFORMASI GEOGRAFIS DI KECAMATAN MOJOSONGO KABUPATEN BOYOLALI Disusun Sebagai Salah Satu

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pembangunan daerah memiliki peranan penting dalam menunjang pembangunan nasional. Pada masa Orde baru pembangunan nasional dikendalikan oleh pemerintah pusat, sedangkan

Lebih terperinci

Analisis dan Pemetaan Lokasi Tempat Pembuangan Akhir (TPA) dengan Sistem Informasi Geografis dan Metode Simple Additive Weighting

Analisis dan Pemetaan Lokasi Tempat Pembuangan Akhir (TPA) dengan Sistem Informasi Geografis dan Metode Simple Additive Weighting Analisis dan Pemetaan Lokasi Tempat Pembuangan Akhir (TPA) dengan Sistem Informasi Geografis dan Metode Simple Additive Weighting Artikel Ilmiah Diajukan kepada Program Studi Sistem Informasi guna memenuhi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Undang-undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 1974 tentang Pengairan menegaskan bahwa air beserta sumber-sumbernya, termasuk kekayaan alam yang terkandung didalamnya

Lebih terperinci

3/30/2012 PENDAHULUAN PENDAHULUAN METODE PENELITIAN

3/30/2012 PENDAHULUAN PENDAHULUAN METODE PENELITIAN APLIKASI PENGINDERAAN JAUH DAN SISTEM INFORMASI GEOGRAFI DALAM EVALUASI DAERAH RAWAN LONGSOR DI KABUPATEN BANJARNEGARA (Studi Kasus di Gunung Pawinihan dan Sekitarnya Sijeruk Kecamatan Banjarmangu Kabupaten

Lebih terperinci

KATA PENGANTAR. RTRW Kabupaten Bondowoso

KATA PENGANTAR. RTRW Kabupaten Bondowoso KATA PENGANTAR Sebagai upaya mewujudkan perencanaan, pemanfaatan dan pengendalian pemanfaatan ruang yang efektif, efisien dan sistematis guna menunjang pembangunan daerah dan mendorong perkembangan wilayah

Lebih terperinci

ANALISIS DAN PEMETAAN DAERAH KRITIS RAWAN BENCANA WILAYAH UPTD SDA TUREN KABUPATEN MALANG

ANALISIS DAN PEMETAAN DAERAH KRITIS RAWAN BENCANA WILAYAH UPTD SDA TUREN KABUPATEN MALANG Jurnal Reka Buana Volume 1 No 2, Maret 2016 - Agustus 2016 73 ANALISIS DAN PEMETAAN DAERAH KRITIS RAWAN BENCANA WILAYAH UPTD SDA TUREN KABUPATEN MALANG Galih Damar Pandulu PS. Teknik Sipil, Fak. Teknik,

Lebih terperinci

LAMPIRAN I CONTOH PETA RENCANA STRUKTUR RUANG WILAYAH KABUPATEN L - 1

LAMPIRAN I CONTOH PETA RENCANA STRUKTUR RUANG WILAYAH KABUPATEN L - 1 LAMPIRAN I CONTOH PETA RENCANA STRUKTUR RUANG WILAYAH KABUPATEN L - 1 LAMPIRAN II CONTOH PETA RENCANA POLA RUANG WILAYAH KABUPATEN L - 2 LAMPIRAN III CONTOH PETA PENETAPAN KAWASAN STRATEGIS KABUPATEN L

Lebih terperinci

Pemanfaatan Peta Geologi dalam Penataan Ruang dan Pengelolaan Lingkungan

Pemanfaatan Peta Geologi dalam Penataan Ruang dan Pengelolaan Lingkungan Pemanfaatan Peta Geologi dalam Penataan Ruang dan Pengelolaan Lingkungan Yogyakarta, 21 September 2012 BAPPEDA DIY Latar Belakang UU No.25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional; Seluruh

Lebih terperinci

Pemetaan Potensi Lahan di Kabupaten Tapin Kalimantan Selatan Menggunakan Sistem Informasi Geografis (SIG)

Pemetaan Potensi Lahan di Kabupaten Tapin Kalimantan Selatan Menggunakan Sistem Informasi Geografis (SIG) Pemetaan Potensi Lahan di Kabupaten Tapin Kalimantan Selatan Menggunakan Sistem Informasi Geografis (SIG) Daratun Nurrahmah 1), Nurlina 2) dan Simon Sadok Siregar 2) Abstract: In this research, SIG is

Lebih terperinci

BAB IV METODE PENELITIAN

BAB IV METODE PENELITIAN BAB IV METODE PENELITIAN A. Konsep Penelitian Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif yaitu untuk mengetahui potensi terjadinya banjir di suatu wilayah dengan memanfaatkan sistem informasi geografi

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 22 TAHUN 2010 TENTANG WILAYAH PERTAMBANGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 22 TAHUN 2010 TENTANG WILAYAH PERTAMBANGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 22 TAHUN 2010 TENTANG WILAYAH PERTAMBANGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Menimbang: bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal

Lebih terperinci

12. Tarigan, Robinson Perencanaan Pembangunan Wilayah. Bumi Aksara : Jakarta. 13. Virtriana, Riantini. 2007, Analisis Korelasi Jumlah Penduduk

12. Tarigan, Robinson Perencanaan Pembangunan Wilayah. Bumi Aksara : Jakarta. 13. Virtriana, Riantini. 2007, Analisis Korelasi Jumlah Penduduk DAFTAR PUSTAKA 1. Andries, Benjamin. 2007. Pengembangan Metode Penilaina Tanah dengan Mempertimbangkan Aspek Ekonomi, Sosial dan Lingkungan untuk Dasar Pengenaan Pajak Bumi dan Bangunan sebagai Fungsi

Lebih terperinci

PEMANFAATAN LAHAN BERBASIS MITIGASI BENCANA LONGSOR DI KOTA MANADO

PEMANFAATAN LAHAN BERBASIS MITIGASI BENCANA LONGSOR DI KOTA MANADO PEMANFAATAN LAHAN BERBASIS MITIGASI BENCANA LONGSOR DI KOTA MANADO Iqbal L. Sungkar 1, Rieneke L.E Sela ST.MT 2 & Dr.Ir. Linda Tondobala, DEA 3 1 Mahasiswa S1 Program Studi Perencanaan Wilayah & Kota Universitas

Lebih terperinci

lainnya Lahan yang sebagian besar ditutupi oleh tumbuhan atau bentuk alami lainnya

lainnya Lahan yang sebagian besar ditutupi oleh tumbuhan atau bentuk alami lainnya KEAN PERWUJUDAN POLA RUANG (DENGAN KRITERIANYA) DIBANDINGKAN DENGAN HASIL ANALISIS TUTUPAN LAHAN (CITRA SATELIT) Klasifikasi Tutupan Lahan disesuaikan dengan SNI 7645:2010 Klasifikasi penutup lahan. 1.

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 22 TAHUN 2010 TENTANG WILAYAH PERTAMBANGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 22 TAHUN 2010 TENTANG WILAYAH PERTAMBANGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA www.bpkp.go.id PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 22 TAHUN 2010 TENTANG WILAYAH PERTAMBANGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : bahwa untuk melaksanakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Desa Pendoworejo berada pada ketinggian 100 hingga 475 mdpl. Pada peta

BAB I PENDAHULUAN. Desa Pendoworejo berada pada ketinggian 100 hingga 475 mdpl. Pada peta BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Desa Pendoworejo berada pada ketinggian 100 hingga 475 mdpl. Pada peta yang disusun oleh Novianto dkk. (1997), desa ini berada pada Satuan Geomorfologi Perbukitan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. konstruksi yang baik dan tahan lama. Bandara merupakan salah satu prasarana

BAB I PENDAHULUAN. konstruksi yang baik dan tahan lama. Bandara merupakan salah satu prasarana I.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN Dewasa ini, transportasi memiliki peranan yang penting dalam perkembangan suatu negara, sehingga kegiatan perencanaan dalam pembangunan sarana dan prasarana perlu

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. wisata Pantai Parangtritis yang merupakan pantai selatan Pulau Jawa masih menjadi

BAB I PENDAHULUAN. wisata Pantai Parangtritis yang merupakan pantai selatan Pulau Jawa masih menjadi BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang Peningkatan jumlah wisatawan di Desa Parangtritis selama tahun 2011 hingga 2015 mengalami peningkatan yang cukup signifikan. Hal ini disebabkan objek wisata Pantai

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 22 TAHUN 2010

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 22 TAHUN 2010 PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 22 TAHUN 2010 TENTANG WILAYAH PERTAMBANGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. sehingga masyarakat yang terkena harus menanggapinya dengan tindakan. aktivitas bila meningkat menjadi bencana.

BAB I PENDAHULUAN. sehingga masyarakat yang terkena harus menanggapinya dengan tindakan. aktivitas bila meningkat menjadi bencana. BAB I BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG PENDAHULUAN Indonesia merupakan negara yang sangat rawan bencana. Hal ini dibuktikan dengan terjadinya berbagai bencana yang melanda berbagai wilayah secara

Lebih terperinci

Sistem Informasi Geografis (SIG) Geographic Information System (SIG)

Sistem Informasi Geografis (SIG) Geographic Information System (SIG) Sistem Informasi Geografis (SIG) Geographic Information System (SIG) 24/09/2012 10:58 Sistem (komputer) yang mampu mengelola informasi spasial (keruangan), memiliki kemampuan memasukan (entry), menyimpan

Lebih terperinci

RENCANA TATA RUANG WILAYAH KABUPATEN LAMONGAN

RENCANA TATA RUANG WILAYAH KABUPATEN LAMONGAN Puji dan syukur kami panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Kuasa sehingga Naskah Akademis untuk kegiatan Peraturan Daerah tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Lamongan dapat terselesaikan dengan baik

Lebih terperinci

KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 32 TAHUN 1990 TENTANG PENGELOLAAN KAWASAN LINDUNG PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 32 TAHUN 1990 TENTANG PENGELOLAAN KAWASAN LINDUNG PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 32 TAHUN 1990 TENTANG PENGELOLAAN KAWASAN LINDUNG PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa ruang selain merupakan sumber alam yang penting artinya bagi

Lebih terperinci

JURNAL APLIKASI FISIKA VOLUME 8 NOMOR 1 FEBRUARI Pemetaan Ancaman Bencana Tanah Longsor di Kabupaten Konawe

JURNAL APLIKASI FISIKA VOLUME 8 NOMOR 1 FEBRUARI Pemetaan Ancaman Bencana Tanah Longsor di Kabupaten Konawe JURNAL APLIKASI FISIKA VOLUME 8 NOMOR 1 FEBRUARI 2012 Pemetaan Ancaman Bencana Tanah Longsor di Kabupaten Konawe Taufik Q, Firdaus, Deniyatno Jurusan Fisika FMIPA Universtas Haluoleo e-mail : firdaus66@ymail.com,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Menurut Permen ESDM No.2 tahun 2017, tentang Cekungan Airtanah di Indonesia, daerah aliran airtanah disebut cekungan airtanah (CAT), didefinisikan sebagai suatu wilayah

Lebih terperinci

III. METODOLOGI PENELITIAN

III. METODOLOGI PENELITIAN III. METODOLOGI PENELITIAN 3.1. Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di kota Provinsi Sumatera Barat (Gambar 5), dengan pertimbangan sebagai berikut: 1. Kota merupakan salah satu dari

Lebih terperinci

III. METODOLOGI. 3.1 Waktu dan Lokasi Penelitian

III. METODOLOGI. 3.1 Waktu dan Lokasi Penelitian III. METODOLOGI 3.1 Waktu dan Lokasi Penelitian Penelitian ini dilaksanakan sejak Juli 2010 sampai dengan Mei 2011. Lokasi penelitian terletak di wilayah Kabupaten Indramayu, Provinsi Jawa Barat. Pengolahan

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. menggunakan Analisis Tidak Langsung berdasarkan SNI Kecamatan Karangkobar, Kabupaten Banjarnegara, Provinsi Jawa Tengah

PENDAHULUAN. menggunakan Analisis Tidak Langsung berdasarkan SNI Kecamatan Karangkobar, Kabupaten Banjarnegara, Provinsi Jawa Tengah PENDAHULUAN 1.1 Judul Penelitian Penelitian ini berjudul Pemetaan Zona Kerentanan Gerakan Tanah menggunakan Analisis Tidak Langsung berdasarkan SNI 13-7124-2005 Kecamatan Karangkobar, Kabupaten Banjarnegara,

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN 13 BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Waktu dan Lokasi Penelitian Penelitian dilaksanakan pada bulan Juli-September 2011, dengan lokasi penelitian untuk pengamatan dan pengambilan data di Kabupaten Bogor, Jawa

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. I.1. Latar Belakang Air merupakan sumberdaya alam yang terbarukan dan memiliki peranan

BAB I PENDAHULUAN. I.1. Latar Belakang Air merupakan sumberdaya alam yang terbarukan dan memiliki peranan 1 BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Air merupakan sumberdaya alam yang terbarukan dan memiliki peranan penting pada pemenuhan kebutuhan makhluk hidup untuk berbagai keperluan. Suplai air tersebut dapat

Lebih terperinci

PENGEMBANGAN POTENSI WISATA ALAM KABUPATEN TULUNGAGUNG DENGAN SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS

PENGEMBANGAN POTENSI WISATA ALAM KABUPATEN TULUNGAGUNG DENGAN SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS PENGEMBANGAN POTENSI WISATA ALAM KABUPATEN TULUNGAGUNG DENGAN SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS Oleh : Misbakhul Munir Zain 3506100055 Program Studi Teknik Geomatika ITS, Kampus ITS Sukolilo, Surabaya 60111 Email

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Septi Sri Rahmawati, 2015

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Septi Sri Rahmawati, 2015 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Lahan merupakan salah satu faktor penunjang kehidupan di muka bumi baik bagi hewan, tumbuhan hingga manusia. Lahan berperan penting sebagai ruang kehidupan,

Lebih terperinci

DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL... DAFTAR ISI... DAFTAR TABEL... DAFTAR GAMBAR...

DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL... DAFTAR ISI... DAFTAR TABEL... DAFTAR GAMBAR... DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL... DAFTAR ISI... DAFTAR TABEL... DAFTAR GAMBAR... Halaman BAB I. PENDAHULUAN... I-1 1.1 Latar Belakang... I-1 1.2 Dasar Hukum Penyusunan... I-3 1.3 Hubungan Antar Dokumen... I-4

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Tabel 1.1. Jumlah Penduduk Kabupaten Bantul

BAB I PENDAHULUAN. Tabel 1.1. Jumlah Penduduk Kabupaten Bantul BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kebutuhan lahan saat ini semakin meningkat akibat bertambahnya jumlah penduduk. Bertambahnya jumlah penduduk tidak hanya dari dalam daerah, namun juga luar daerah

Lebih terperinci

METODE PENELITIAN Kerangka Pemikiran Ruang Lingkup Penelitian

METODE PENELITIAN Kerangka Pemikiran Ruang Lingkup Penelitian METODE PENELITIAN Kerangka Pemikiran Dalam rangka perumusan kebijakan, pembangunan wilayah sudah seharusnya mempertimbangkan pelaksanaan pembangunan yang berkelanjutan. Penelitian ini dilakukan atas dasar

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Longsorlahan merupakan perpindahan material pembentuk lereng berupa batuan, bahan rombakan, tanah atau mineral campuran tersebut, bergerak ke bawah atau keluar lereng

Lebih terperinci

Keputusan Presiden No. 32 Tahun 1990 Tentang : Pengelolaan Kawasan Lindung

Keputusan Presiden No. 32 Tahun 1990 Tentang : Pengelolaan Kawasan Lindung Keputusan Presiden No. 32 Tahun 1990 Tentang : Pengelolaan Kawasan Lindung Oleh : PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Nomor : 32 TAHUN 1990 (32/1990) Tanggal : 25 JULI 1990 (JAKARTA) DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA

Lebih terperinci

KAJIAN PEMANFAATAN LAHAN PADA DAERAH RAWAN LONGSOR DI KECAMATAN TIKALA KOTA MANADO

KAJIAN PEMANFAATAN LAHAN PADA DAERAH RAWAN LONGSOR DI KECAMATAN TIKALA KOTA MANADO Sabua Vol.6, No.2: 215-222, Agustus 2014 ISSN 2085-7020 HASIL PENELITIAN KAJIAN PEMANFAATAN LAHAN PADA DAERAH RAWAN LONGSOR DI KECAMATAN TIKALA KOTA MANADO Arifin Kamil 1, Hanny Poli, 2 & Hendriek H. Karongkong

Lebih terperinci

JURNAL TEKNIK ITS Vol. 5, No. 2, (2016) ISSN: ( Print)

JURNAL TEKNIK ITS Vol. 5, No. 2, (2016) ISSN: ( Print) A714 Pembuatan Peta Daerah Rawan Bencana Tanah Longsor dengan Menggunakan Metode Fuzzy logic (Studi Kasus: Kabupaten Probolinggo) Arief Yusuf Effendi, dan Teguh Hariyanto Jurusan Teknik Geomatika, Fakultas

Lebih terperinci

penyediaan prasarana dan sarana pengelolaan sampah (pasal 6 huruf d).

penyediaan prasarana dan sarana pengelolaan sampah (pasal 6 huruf d). TPL 106 GEOLOGI PEMUKIMAN PERTEMUAN 14 Informasi Geologi Untuk Penentuan Lokasi TPA UU No.18 Tahun 2008 Tentang Pengelolaan Sampah 1. Melaksanakan k pengelolaan l sampah dan memfasilitasi i penyediaan

Lebih terperinci

ANALISIS PERUBAHAN TUTUPAN LAHAN KABUPATEN TOBA SAMOSIR SKRIPSI. Oleh : PUTRI SINAMBELA /MANAJEMEN HUTAN

ANALISIS PERUBAHAN TUTUPAN LAHAN KABUPATEN TOBA SAMOSIR SKRIPSI. Oleh : PUTRI SINAMBELA /MANAJEMEN HUTAN ANALISIS PERUBAHAN TUTUPAN LAHAN KABUPATEN TOBA SAMOSIR SKRIPSI Oleh : PUTRI SINAMBELA 071201035/MANAJEMEN HUTAN DEPARTEMEN KEHUTANAN FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA 2011 LEMBAR PENGESAHAN

Lebih terperinci

KETENTUAN UMUM PERATURAN ZONASI. dengan fasilitas dan infrastruktur perkotaan yang sesuai dengan kegiatan ekonomi yang dilayaninya;

KETENTUAN UMUM PERATURAN ZONASI. dengan fasilitas dan infrastruktur perkotaan yang sesuai dengan kegiatan ekonomi yang dilayaninya; Lampiran III : Peraturan Daerah Kabupaten Bulukumba Nomor : 21 Tahun 2012 Tanggal : 20 Desember 2012 Tentang : RENCANA TATA RUANG WILAYAH KABUPATEN BULUKUMBA TAHUN 2012 2032 KETENTUAN UMUM PERATURAN ZONASI

Lebih terperinci

Pemanfaatan Lahan pada Lokasi Bekas Tambang Tanah Urug di Kecamatan Ngoro, Mojokerto

Pemanfaatan Lahan pada Lokasi Bekas Tambang Tanah Urug di Kecamatan Ngoro, Mojokerto JURNAL TEKNIK ITS Vol. 4, No. 1, (2015) ISSN: 2337-3539 (2301-9271 Print) C-36 Pemanfaatan Lahan pada Lokasi Bekas Tambang Tanah Urug di Kecamatan Ngoro, Mojokerto Linda Purba Ningrum, Ardy Maulidy Navastara

Lebih terperinci

EXECUTIVE SUMMARY ZONASI DAN ALIH FUNGSI LAHAN IRIGASI DESEMBER, 2012

EXECUTIVE SUMMARY ZONASI DAN ALIH FUNGSI LAHAN IRIGASI DESEMBER, 2012 EXECUTIVE SUMMARY ZONASI DAN ALIH FUNGSI LAHAN IRIGASI DESEMBER, 2012 K E M E N T E R I A N P E K E R J A A N U M U M B A D A N P E N E L I T I A N D A N P E N G E M B A N G A N P U S A T P E N E L I T

Lebih terperinci

PENYUSUNAN RENCANA INDUK PENANGANAN KAWASAN RAWAN BENCANA DI KABUPATEN SINTANG, KALIMANTAN BARAT. Najib, Wahju Krisna Hidayat *)

PENYUSUNAN RENCANA INDUK PENANGANAN KAWASAN RAWAN BENCANA DI KABUPATEN SINTANG, KALIMANTAN BARAT. Najib, Wahju Krisna Hidayat *) PENYUSUNAN RENCANA INDUK PENANGANAN KAWASAN RAWAN BENCANA DI KABUPATEN SINTANG, KALIMANTAN BARAT Najib, Wahju Krisna Hidayat *) Abstract Sintang Residence is a region which has susceptible region of natural

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia merupakan negara kepulauan yang terletak pada pertemuan 3 (tiga) lempeng tektonik besar yaitu lempeng Indo-Australia, Eurasia dan Pasifik. Pada daerah pertemuan

Lebih terperinci

KAJIAN KAWASAN RAWAN BANJIR DENGAN MENGGUNAKAN SISTEM INFORMASI GEOGRAFI DI DAS TAMALATE

KAJIAN KAWASAN RAWAN BANJIR DENGAN MENGGUNAKAN SISTEM INFORMASI GEOGRAFI DI DAS TAMALATE KAJIAN KAWASAN RAWAN BANJIR DENGAN MENGGUNAKAN SISTEM INFORMASI GEOGRAFI DI DAS TAMALATE 1 Cindy Tsasil Lasulika, Nawir Sune, Nurfaika Jurusan Pendidikan Fisika F.MIPA Universitas Negeri Gorontalo e-mail:

Lebih terperinci

PENDUDUK USIA SEKOLAH 7-18 TAHUN YANG BEKERJA. Kehutanan & Pertanian Lain. Transportasi & Pergudangan Informasi & Komunikasi Keuangan & Asuransi

PENDUDUK USIA SEKOLAH 7-18 TAHUN YANG BEKERJA. Kehutanan & Pertanian Lain. Transportasi & Pergudangan Informasi & Komunikasi Keuangan & Asuransi ANAK 1 Dayeuhluhur Desa PANULISAN BARAT 3 2 11 - - - - - - - 5 - - - - - - - - 45 61 35 38 4 - - 233 170 403 437 18 176 555 2 Dayeuhluhur Desa PANULISAN 3 3 11 - - - - - - - 7-1 1 - - - - 1 26 47 41 38

Lebih terperinci

Pemetaan Daerah Risiko Banjir Lahar Berbasis SIG Untuk Menunjang Kegiatan Mitigasi Bencana (Studi Kasus: Gunung Semeru, Kab.

Pemetaan Daerah Risiko Banjir Lahar Berbasis SIG Untuk Menunjang Kegiatan Mitigasi Bencana (Studi Kasus: Gunung Semeru, Kab. C6 Pemetaan Daerah Risiko Banjir Lahar Berbasis SIG Untuk Menunjang Kegiatan Mitigasi Bencana (Studi Kasus: Gunung Semeru, Kab. Lumajang) Zahra Rahma Larasati, Teguh Hariyanto, Akbar Kurniawan Departemen

Lebih terperinci

MINAPOLITAN DAN DESA LIMBANGAN, KETIKA KONSEP sdpembangunan DAN POTENSI KAWASAN DISATUKANcd ( oleh : Adi Wibowo)

MINAPOLITAN DAN DESA LIMBANGAN, KETIKA KONSEP sdpembangunan DAN POTENSI KAWASAN DISATUKANcd ( oleh : Adi Wibowo) MINAPOLITAN DAN DESA LIMBANGAN, KETIKA KONSEP sdpembangunan DAN POTENSI KAWASAN DISATUKANcd ( oleh : Adi Wibowo) Minapolitan mungkin merupakan istilah yang asing bagi masyarakat umum, namun bagi pelaku

Lebih terperinci

Gambar 4.15 Kenampakan Satuan Dataran Aluvial. Foto menghadap selatan.

Gambar 4.15 Kenampakan Satuan Dataran Aluvial. Foto menghadap selatan. Gambar 4.15 Kenampakan Satuan Dataran Aluvial. Foto menghadap selatan. Gambar 4.16 Teras sungai pada daerah penelitian. Foto menghadap timur. 4.2 Tata Guna Lahan Tata guna lahan pada daerah penelitian

Lebih terperinci

PEMERINTAH KABUPATEN CILACAP PERATURAN DAERAH KABUPATEN CILACAP NOMOR 9 TAHUN 2011

PEMERINTAH KABUPATEN CILACAP PERATURAN DAERAH KABUPATEN CILACAP NOMOR 9 TAHUN 2011 PEMERINTAH KABUPATEN CILACAP PERATURAN DAERAH KABUPATEN CILACAP NOMOR 9 TAHUN 2011 TENTANG RENCANA TATA RUANG WILAYAH KABUPATEN CILACAP TAHUN 2011-2031 DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI CILACAP,

Lebih terperinci

KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : 32 TAHUN 1990 TENTANG PENGELOLAAN KAWASAN LINDUNG

KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : 32 TAHUN 1990 TENTANG PENGELOLAAN KAWASAN LINDUNG KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : 32 TAHUN 1990 TENTANG PENGELOLAAN KAWASAN LINDUNG KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : 32 TAHUN 1990 TENTANG PENGELOLAAN KAWASAN LINDUNG PRESIDEN

Lebih terperinci

ANALISIS PEMANFAATAN RUANG PADA KAWASAN RESAPAN AIR DI KELURAHAN RANOMUUT KECAMATAN PAAL DUA KOTA MANADO

ANALISIS PEMANFAATAN RUANG PADA KAWASAN RESAPAN AIR DI KELURAHAN RANOMUUT KECAMATAN PAAL DUA KOTA MANADO ANALISIS PEMANFAATAN RUANG PADA KAWASAN RESAPAN AIR DI KELURAHAN RANOMUUT KECAMATAN PAAL DUA KOTA MANADO Erlando Everard Roland Resubun 1, Raymond Ch. Tarore 2, Esli D. Takumansang 3 1 Mahasiswa S1 Program

Lebih terperinci

BAB 11: GEOGRAFI SISTEM INFORMASI GEOGRAFI

BAB 11: GEOGRAFI SISTEM INFORMASI GEOGRAFI 1. Sistem Informasi Geografi merupakan Sistem informasi yang memberikan gambaran tentang berbagai gejala di atas muka bumi dari segi (1) Persebaran (2) Luas (3) Arah (4) Bentuk 2. Sarana yang paling baik

Lebih terperinci

BAHAN DAN METODE. Gambar 1 Peta Lokasi Penelitian

BAHAN DAN METODE. Gambar 1 Peta Lokasi Penelitian III. BAHAN DAN METODE 3.1 Waktu dan Lokasi Penelitian Lokasi yang dipilih untuk penelitian ini adalah Kabupaten Indramayu, Jawa Barat (Gambar 1). Penelitian dimulai dari bulan Juli 2010 sampai Januari

Lebih terperinci

Jurnal Geodesi Undip Januari 2014

Jurnal Geodesi Undip Januari 2014 Analisis Geospasial Persebaran TPS dan TPA di Kabupaten Batang Menggunakan Sistem Informasi Geografis Mufti Yudiya Marantika, Sawitri Subiyanto, Hani ah *) Program Studi Teknik Geodesi, Fakultas Teknik,

Lebih terperinci

PEDOMAN TEKNIS PEMETAAN ZONA KERENTANAN GERAKAN TANAH

PEDOMAN TEKNIS PEMETAAN ZONA KERENTANAN GERAKAN TANAH LAMPIRAN III KEPUTUSAN MENTERI ENERGI DAN SUMBER DAYA MINERAL NOMOR : 1452 K/10/MEM/2000 TANGGAL : 3 November 2000 PEDOMAN TEKNIS PEMETAAN ZONA KERENTANAN GERAKAN TANAH I. PENDAHULUAN Keperluan informasi

Lebih terperinci

BAB 1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang dan Permasalahan

BAB 1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang dan Permasalahan BAB 1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang dan Permasalahan Sumberdaya alam yang berlimpah baik hayati maupun non hayati yang terdapat di Provinsi Papua akan memberikan manfaat yang lebih besar jika pemanfaatannya

Lebih terperinci

APLIKASI SIG DALAM MENENTUKAN LOKASI TPA DI KECAMATAN BALEENDAH KABUPATEN BANDUNG

APLIKASI SIG DALAM MENENTUKAN LOKASI TPA DI KECAMATAN BALEENDAH KABUPATEN BANDUNG APLIKASI SIG DALAM MENENTUKAN LOKASI TPA DI KECAMATAN BALEENDAH KABUPATEN BANDUNG Latar Belakang Masalah sampah akan berdampak besar jika tidak dikelola dengan baik, oleh karena itu diperlukan adanya tempat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Banjir merupakan aliran air di permukaan tanah ( surface run-off) yang

BAB I PENDAHULUAN. Banjir merupakan aliran air di permukaan tanah ( surface run-off) yang 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Banjir merupakan aliran air di permukaan tanah ( surface run-off) yang relatif tinggi dan tidak dapat ditampung oleh saluran drainase atau sungai, sehingga melimpah

Lebih terperinci

ARAHAN PEMANFAATAN LOKASI PERUMAHAN BERDASARKAN FAKTOR KEBENCANAAN (Wilayah Studi Kelurahan Balai Gadang, Kecamatan Koto Tangah)

ARAHAN PEMANFAATAN LOKASI PERUMAHAN BERDASARKAN FAKTOR KEBENCANAAN (Wilayah Studi Kelurahan Balai Gadang, Kecamatan Koto Tangah) ARAHAN PEMANFAATAN LOKASI PERUMAHAN BERDASARKAN FAKTOR KEBENCANAAN (Wilayah Studi Kelurahan Balai Gadang, Kecamatan Koto Tangah) Agisti Amelia Putri 1), Haryani 2), Tomi Eriawan 3) Jurusan Perencanaan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. memperoleh bahan dari alam yang kemudian dapat digunakan untuk kepentingan

BAB I PENDAHULUAN. memperoleh bahan dari alam yang kemudian dapat digunakan untuk kepentingan BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang Penambangan adalah salah satu aktivitas yang dilakukan manusia guna memperoleh bahan dari alam yang kemudian dapat digunakan untuk kepentingan manusia, seperti menjadi

Lebih terperinci

KATA PENGANTAR. Meureudu, 28 Mei 2013 Bupati Pidie Jaya AIYUB ABBAS

KATA PENGANTAR. Meureudu, 28 Mei 2013 Bupati Pidie Jaya AIYUB ABBAS KATA PENGANTAR Sesuai Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang, Pasal 11 ayat (2), mengamanatkan pemerintah daerah kabupaten berwenang dalam melaksanakan penataan ruang wilayah kabupaten

Lebih terperinci

BUPATI CILACAP PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN BUPATI CILACAP NOMOR 94 TAHUN 2017 TENTANG

BUPATI CILACAP PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN BUPATI CILACAP NOMOR 94 TAHUN 2017 TENTANG BUPATI CILACAP PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN BUPATI CILACAP NOMOR 94 TAHUN 2017 TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN BUPATI CILACAP NOMOR 34 TAHUN 2017 TENTANG TATA CARA PENGHITUNGAN, PEMBAGIAN, PENETAPAN

Lebih terperinci

METODE PENELITIAN Kerangka Pendekatan

METODE PENELITIAN Kerangka Pendekatan 27 METODE PENELITIAN Kerangka Pendekatan Pertumbuhan penduduk dan peningkatan aktivitas ekonomi yang terjadi pada tiap waktu membutuhkan peningkatan kebutuhan akan ruang. Di sisi lain luas ruang sifatnya

Lebih terperinci

Kajian Penggunaan Lahan Pada Kawasan Cagar Alam Geologi Karangsambung Dengan Menggunakan Sistem Informasi Geografis

Kajian Penggunaan Lahan Pada Kawasan Cagar Alam Geologi Karangsambung Dengan Menggunakan Sistem Informasi Geografis Kajian Penggunaan Lahan Pada Kawasan Cagar Alam Geologi Karangsambung Dengan Menggunakan Sistem Informasi Geografis Puguh Dwi Raharjo puguh.draharjo@yahoo.co.id Karangsambung is the geological preserve

Lebih terperinci

PROGRAM PERENCANAAN PENDAYAGUNAAN AIRTANAH

PROGRAM PERENCANAAN PENDAYAGUNAAN AIRTANAH PROGRAM PERENCANAAN PENDAYAGUNAAN AIRTANAH DR. Heru Hendrayana Geological Engineering, Faculty of Engineering Gadjah Mada University Perrnasalahan utama sumberdaya air di Indonesia Bank data (kelengkapan(

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

BAB III METODOLOGI PENELITIAN BAB III METODOLOGI PENELITIAN A. Metode Penelitian Metode penelitian adalah cara utama yang digunakan untuk mencapai tujuan, misalnya untuk menguji hipotesis dengan menggunakan teknik serta alatalat tertentu(surakhmad

Lebih terperinci

Dasar Legalitas : UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2007 TENTANG PENATAAN RUANG

Dasar Legalitas : UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2007 TENTANG PENATAAN RUANG Dasar Legalitas : UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2007 TENTANG PENATAAN RUANG Menggantikan UU No. 24 Tahun 1992 gg Tentang Penataan Ruang 1 Struktur ruang adalah susunan pusat-pusat permukiman

Lebih terperinci

1.1. Geologi dan manfaat pemetaan 1.2. Pengetahuan geologi yang diperlukan 1.3. Pemetaan geologi 1.4. Pemetaan geologi permukaan 1.5.

1.1. Geologi dan manfaat pemetaan 1.2. Pengetahuan geologi yang diperlukan 1.3. Pemetaan geologi 1.4. Pemetaan geologi permukaan 1.5. MANAJEMEN PEMETAAN GEOLOGI 2010) 1.1. Geologi dan manfaat pemetaan 1.2. Pengetahuan geologi yang diperlukan 1.3. Pemetaan geologi 1.4. Pemetaan geologi permukaan 1.5. Beberapa petunjuk dalam pemetaan geologi

Lebih terperinci

KAJIAN POTENSI WILAYAH UNTUK PERENCANAAN LOKASI PUSAT INDUSTRI KECIL-MENENGAH DI KABUPATEN PURBALINGGA. Oleh: Siti Hadiyati Nur Hafida 1 dan Nurhadi 2

KAJIAN POTENSI WILAYAH UNTUK PERENCANAAN LOKASI PUSAT INDUSTRI KECIL-MENENGAH DI KABUPATEN PURBALINGGA. Oleh: Siti Hadiyati Nur Hafida 1 dan Nurhadi 2 Geomedia Volume 14 Nomor 2 November 2016 KAJIAN POTENSI WILAYAH UNTUK PERENCANAAN LOKASI PUSAT INDUSTRI KECIL-MENENGAH DI KABUPATEN PURBALINGGA Oleh: Siti Hadiyati Nur Hafida 1 dan Nurhadi 2 1 Mahasiswa

Lebih terperinci

KATA PENGANTAR RENCANA TATA RUANG WILAYAH KABUPATEN PACITAN

KATA PENGANTAR RENCANA TATA RUANG WILAYAH KABUPATEN PACITAN KATA PENGANTAR Undang-undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang, mengamanatkan bahwa RTRW Kabupaten harus menyesuaikan dengan Undang-undang tersebut paling lambat 3 tahun setelah diberlakukan.

Lebih terperinci

2.1 Gambaran Umum Provinsi Kalimantan Timur A. Letak Geografis dan Administrasi Wilayah

2.1 Gambaran Umum Provinsi Kalimantan Timur A. Letak Geografis dan Administrasi Wilayah 2.1 Gambaran Umum Provinsi Kalimantan Timur A. Letak Geografis dan Administrasi Wilayah Provinsi Kalimantan Timur dengan ibukota Samarinda berdiri pada tanggal 7 Desember 1956, dengan dasar hukum Undang-Undang

Lebih terperinci

Faktor penyebab banjir oleh Sutopo (1999) dalam Ramdan (2004) dibedakan menjadi persoalan banjir yang ditimbulkan oleh kondisi dan peristiwa alam

Faktor penyebab banjir oleh Sutopo (1999) dalam Ramdan (2004) dibedakan menjadi persoalan banjir yang ditimbulkan oleh kondisi dan peristiwa alam BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Bencana alam tampak semakin meningkat dari tahun ke tahun yang disebabkan oleh proses alam maupun manusia itu sendiri. Kerugian langsung berupa korban jiwa, harta

Lebih terperinci

besar dan daerahnya rutin terkena banjir setiap masuk hujan. Padahal kecamatan ini memiliki luas yang sempit.hal tersebut menjadikan kecamatan ini men

besar dan daerahnya rutin terkena banjir setiap masuk hujan. Padahal kecamatan ini memiliki luas yang sempit.hal tersebut menjadikan kecamatan ini men PEMETAAN BANJIR KABUPATEN HULU SUNGAI TENGAH PROVINSI KALIMANTAN SELATAN Farida Angriani 1), Rosalina Kumalawati 1) 1)Program Studi Pendidikan Geografi, Jurusan Pendidikan IPS FKIP, UNLAM e-mail: rosalinaunlam@gmail.com

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI NEGARA PERUMAHAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA NOMOR 15/PERMEN/M/2006 TENTANG

PERATURAN MENTERI NEGARA PERUMAHAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA NOMOR 15/PERMEN/M/2006 TENTANG PERATURAN MENTERI NEGARA PERUMAHAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA NOMOR 15/PERMEN/M/2006 TENTANG PETUNJUK PELAKSANAAN PENYELENGGARAAN PENGEMBANGAN KAWASAN NELAYAN MENTERI NEGARA PERUMAHAN RAKYAT, Menimbang

Lebih terperinci

IPB International Convention Center, Bogor, September 2011

IPB International Convention Center, Bogor, September 2011 IPB International Convention Center, Bogor, 12 13 September 2011 Kerangka Latar Belakang Masalah PERTUMBUHAN EKONOMI PERKEMBANGAN KOTA PENINGKATAN KEBUTUHAN LAHAN KOTA LUAS LAHAN KOTA TERBATAS PERTUMBUHAN

Lebih terperinci

BAB VII KAWASAN LINDUNG DAN KAWASAN BUDIDAYA

BAB VII KAWASAN LINDUNG DAN KAWASAN BUDIDAYA PERENCANAAN WILAYAH 1 TPL 314-3 SKS DR. Ir. Ken Martina Kasikoen, MT. Kuliah 10 BAB VII KAWASAN LINDUNG DAN KAWASAN BUDIDAYA Dalam KEPPRES NO. 57 TAHUN 1989 dan Keppres No. 32 Tahun 1990 tentang PEDOMAN

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. ditentukan sesuai dengan SNI nomor :1994 yang dianalisis dengan

BAB III METODE PENELITIAN. ditentukan sesuai dengan SNI nomor :1994 yang dianalisis dengan BAB III METODE PENELITIAN A. Desain Penelitian Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif kuantitatif, yakni penentuan lokasi untuk TPA sampah. Penentuan lokasi TPA sampah ditentukan sesuai dengan

Lebih terperinci

Penataan Ruang. Kawasan Budidaya, Kawasan Lindung dan Kawasan Budidaya Pertanian

Penataan Ruang. Kawasan Budidaya, Kawasan Lindung dan Kawasan Budidaya Pertanian Penataan Ruang Kawasan Budidaya, Kawasan Lindung dan Kawasan Budidaya Pertanian Kawasan peruntukan hutan produksi kawasan yang diperuntukan untuk kawasan hutan yang mempunyai fungsi pokok memproduksi hasil

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. alam yang bersifat timbal balik (Dwiputra, 2011). Timbal balik atau saling

BAB I PENDAHULUAN. alam yang bersifat timbal balik (Dwiputra, 2011). Timbal balik atau saling BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Penelitian Geologi lingkungan merupakan suatu interaksi antara manusia dengan alam yang bersifat timbal balik (Dwiputra, 2011). Timbal balik atau saling mempengaruhi

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 16 TAHUN 2004 TENTANG PENATAGUNAAN TANAH PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 16 TAHUN 2004 TENTANG PENATAGUNAAN TANAH PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 16 TAHUN 2004 TENTANG PENATAGUNAAN TANAH PRESIDEN, Menimbang : bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 16 ayat (2) Undangundang Nomor 24 Tahun 1992 tentang Penataan Ruang perlu

Lebih terperinci

Abstract. Keywords : Agriculture, GIS, spatial data and non-spatial data, digital map. Abstrak

Abstract. Keywords : Agriculture, GIS, spatial data and non-spatial data, digital map. Abstrak TELEMATIKA, Vol. 13, No. 02, JULI, 2016, Pp. 69 79 ISSN 1829-667X ANALISIS HASIL PERTANIAN DI KOTA DENPASAR DENGAN MENGGUNAKAN SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS Ni Nyoman Supuwiningsih Program Studi Sistem Komputer

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN I-1

BAB 1 PENDAHULUAN I-1 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Jawa Barat memiliki potensi tinggi dalam bahaya-bahaya alam atau geologis, terutama tanah longsor, letusan gunung berapi, dan gempa bumi. Direktorat Geologi Tata Lingkungan

Lebih terperinci

REKLAMASI LAHAN BEKAS PENAMBANGAN

REKLAMASI LAHAN BEKAS PENAMBANGAN REKLAMASI LAHAN BEKAS PENAMBANGAN PENDAHULUAN Masalah utama yang timbul pada wilayah bekas tambang adalah perubahan lingkungan. Perubahan kimiawi berdampak terhadap air tanah dan air permukaan. Perubahan

Lebih terperinci

Dasar Legalitas : UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2007 TENTANG PENATAAN RUANG

Dasar Legalitas : UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2007 TENTANG PENATAAN RUANG Dasar Legalitas : UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2007 TENTANG PENATAAN RUANG Menggantikan UU No. 24 Tahun 1992 Tentang Penataan Ruang Struktur ruang adalah susunan pusat-pusat permukiman

Lebih terperinci

Sistem Informasi Geografis Potensi Wilayah Kabupaten Banyuasin Berbasis Web

Sistem Informasi Geografis Potensi Wilayah Kabupaten Banyuasin Berbasis Web Sistem Informasi Geografis Potensi Wilayah Kabupaten Banyuasin Berbasis Web Rastuti 1, Leon Andretti Abdillah 2, Eka Puji Agustini 3 1,2,3 Program Studi Sistem Informasi, Fakultas Ilmu Komputer, Universitas

Lebih terperinci

TPL 106 GEOLOGI PEMUKIMAN

TPL 106 GEOLOGI PEMUKIMAN TPL 106 GEOLOGI PEMUKIMAN PERTEMUAN 10 SUMBERDAYA LAHAN Sumberdaya Lahan Lahan dapat didefinisikan sebagai suatu ruang di permukaan bumi yang secara alamiah dibatasi oleh sifat-sifat fisik serta bentuk

Lebih terperinci

Gambar 3. Peta Orientasi Lokasi Studi

Gambar 3. Peta Orientasi Lokasi Studi BAB III METODOLOGI. Lokasi dan Waktu Kegiatan studi dilakukan di Dukuh Karangkulon yang terletak di Desa Wukirsari, Kecamatan Imogiri, Kabupaten Bantul, Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta dengan luas

Lebih terperinci

ARAHAN PEMANFAATAN LAHAN PERMUKIMAN BERDASARKAN KELAS KEMAMPUAN LAHAN DAN KAWASAN RAWAN BENCANA DI KABUPATEN BOGOR

ARAHAN PEMANFAATAN LAHAN PERMUKIMAN BERDASARKAN KELAS KEMAMPUAN LAHAN DAN KAWASAN RAWAN BENCANA DI KABUPATEN BOGOR Arahan Pemanfaatan Lahan Permukiman berdasarkan Kelas Kemampuan Lahan...(Saragih) ARAHAN PEMANFAATAN LAHAN PERMUKIMAN BERDASARKAN KELAS KEMAMPUAN LAHAN DAN KAWASAN RAWAN BENCANA DI KABUPATEN BOGOR (The

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. merupakan kawasan konservasi tanah dan air bagi kawasan Bopunjur (Bogor,

BAB I PENDAHULUAN. merupakan kawasan konservasi tanah dan air bagi kawasan Bopunjur (Bogor, 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kecamatan Cipanas berdasarkan Rencana Umum Tata Ruang merupakan kawasan konservasi tanah dan air bagi kawasan Bopunjur (Bogor, Puncak, Cianjur). Berdasarkan

Lebih terperinci

TINGKAT KERAWANAN BENCANA TSUNAMI KAWASAN PANTAI SELATAN KABUPATEN CILACAP

TINGKAT KERAWANAN BENCANA TSUNAMI KAWASAN PANTAI SELATAN KABUPATEN CILACAP TINGKAT KERAWANAN BENCANA TSUNAMI KAWASAN PANTAI SELATAN KABUPATEN CILACAP Lailla Uswatun Khasanah 1), Suwarsito 2), Esti Sarjanti 2) 1) Alumni Program Studi Pendidikan Geografi, Fakultas Keguruan dan

Lebih terperinci