TATA LOKA VOLUME 14; NOMOR 1; FEBRUARI 2012, BIRO PENERBIT PLANOLOGI UNDIP

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "TATA LOKA VOLUME 14; NOMOR 1; FEBRUARI 2012, BIRO PENERBIT PLANOLOGI UNDIP"

Transkripsi

1 TATA LOKA VOLUME 4; NOMOR ; FEBRUARI 202, BIRO PENERBIT PLANOLOGI UNDIP T A T A L O K A Kajian Perubahan Spasial Garis Pantai sebagai Zonasi Tata Ruang Pesisir (Studi Kasus Pesisir Kabupaten Kendal) The Spatial Changes Of Shore Line For Coastal Zoning Plan (Case Study Of Kendal District Coastal) Tjaturahono Budi Sanjoto, Sutrisno Anggoro 2, dan Agus Hartoko 2 Diterima: 7 Desember, 20 Disetujui: 9 Februari, 202 Abstrak: Penelitian ini bertujuan mengkaji pola perubahan spasial pantai kabupaten kendal dari tahun 90 hingga 200 serta merumuskan perencanaan pemintakatan (zoning plan) daerah pantai berbasis pada perubahan spasial. Metode analisis yang digunakan adalah dengan teknik overlay. Hasil penelitian menunjukkan bahwa perubahan spasial pantai kabupaten kendal menghasilkan 5 (lima) pola perubahan garis pantai yaitu () perubahan spasial garis pantai pantai dengan pola dbrasi, (2) perubahan spasial garis pantai dengan pola akresi, (3) perubahan spasial garis pantai dengan pola akresi kemudian mengalami abrasi, (4) perubahan spasial garis pantai dengan pola akresi kemudian stabil, dan (5) perubahan spasial garis pantai dengan pola stagnan. Perubahan spasial ini juga mengubah bentuk pantai yang semula runcing (cuspate) menjadi tumpul (lobate). Perubahan ini mengindikasikan terjadinya perubahan tenaga geomorfik yang semula bersifat destruktif menjadi bersifat konstruktif. Selanjutnya dari overlay peta pola perubahan spasial delta dengan kelas kesesuaian lahan untuk tambak, kawasan wisata, industri, dan konservasi dihasilkan peta turunan berupa peta zonasi pesisir kabupaten kendal. Kata Kunci: delta, perubahan spasial, zonasi, pesisir kendal Abstract:. The purposes of this research are to analyze the pattern of coastal spatial changes in Kendal Regency from 90 to 2009, and to formulate coastal area zoning plan based on spatial changes. The Method of analysed was with overlay technique. Research results show that the coastal spatial changes of produced 5 (five) patterns of coastline changes: () coastline spatial change with abrasion pattern, (2) coastline spatial change with accretion pattern, (3) coastline spatial change with accretion pattern folllowed by abrasion, (4) coastline spatial change with accretion pattern then stable, (5) coastline spatial change with stagnant pattern. These spatial changes also altered the shape of Bodri Delta from Cuspate to Lobate. These changes also indicate the alter of geomorphic energy from being destructive to being constructive. Additionally, the research also produced a new product in the form of a map of Kendal District coastal layout zoning. Key words: delta, spatial changes, zone, kendal coastal Jurusan Geografi FIS Universitas Negeri Semarang Gedung C7 Lt. 2 Kampus Unnes Sekaran Gunungpati Semarang Fakultas Perikanan dan Kelautan, Universitas Diponegoro Jl. Prof H. Soedarto, SH Tembalang Semarang, tjaturahono@yahoo.co.id

2 2 Sanjoto, Anggoro, Hartoko Pendahuluan Wilayah pesisir Kabupaten Kendal merupakan pesisir delta. Pesisir Delta ini didukung oleh empat DAS utama berturut-turut dari Timur ke Barat adalah DAS Blorong, DAS Bodri, DAS Damar, dan DAS Kuto. Dari empat DAS tersebut yang paling besar dan dominan adalah DAS Bodri. Oleh karena itu pesisir Kabupaten Kendal lebih dikenal sebagai pesisir Delta Bodri. Perkembangan morfologi pesisir Delta Bodri berlangsung cukup dinamis hingga saat ini. Ada beberapa lokasi yang mengalami abrasi (seperti di pesisir Kartika Jaya) dan ada yang mengalami akresi. Secara keseluruhan pesisir Delta Bodri Kabupaten Kendal cenderung mengalami pertumbuhan. Perubahan garis pantai (shore line) wilayah pesisir Kabupaten Kendal telah dijelaskan dalam buku tulisan Bird dan Ongkosongo (980), bahwa selama periode waktu (09 tahun), garis pantai wilayah pesisir mengalami pertumbuhan yang bervariasi. Dalam kurun waktu tersebut pesisir Kabupaten Kendal mengalami perkembangan yang cenderung bergerak ke arah Timur. Muara Sungai Bodri juga mengalami perubahan posisinya. Semula pada tahun 864 muara Sungai Bodri melewati wilayah Margorejo (sebelah Barat dari muara Sungai Bodri sekarang), kemudian pada tahun 90 muara sungai telah bergeser ke arah Timur dan mengalami pertumbuhan serta muaranya bercabang. Perkembangan pesisir ini terus berlangsung hingga pada tahun 946 dimana arah muara Sungai Bodri telah bergeser ke arah Utara dan Timur laut. Selanjutnya muara Sungai Bodri terus mengalami perubahan, yaitu pada tahun 973 alur sungainya telah bercabang dua, yang satu bermuara ke arah Utara dan Timur laut, yang lainnya bermuara ke arah Barat laut hingga sekarang. Gambaran tersebut menjadi petunjuk bahwa wilayah pesisir Delta Bodri mengalami proses morfodinamika yang cukup tinggi. Di beberapa tempat semakin meluas ke arah laut (akresi) sebagai akibat proses sedimentasi yang cukup besar, namun di tempat lain ada wilayah pesisir yang mengalami masalah sebaliknya yaitu abrasi, seperti misalnya di wilayah pesisir Kartika Jaya. Penelitian yang berkaitan dengan perubahan pesisir (coastal dynamic) sudah banyak dilakukan oleh beberapa peneliti di berbagai wilayah, termasuk yang berkaitan dengan perkembangan pesisir delta. Metode yang digunakan untuk mengetahui perubahan pesisir juga beragam, mulai dari kajian lapangan, seperti yang dilakukan Bird dan Ongkosongo (980), Suprajaka (989), Sidarto (997) atau dengan metode penginderaan jauh seperti yang dilakukan oleh Saptorini et al. (200), Sutrisno et al. (2005), dan Subagio (2007). Terkait dengan pengelolaan Delta seperti yang dilakukan oleh Simeoni dan Corinne (2008), Gamage et al. (2008) dan Sabatier et al. (2009). Terkait dengan kesesuaian lahan wilayah pesisir seperti yang dilakukan oleh Fauzi et al. (2009) dan Tahir et al. (2002). Penelitian yang terkait dengan wilayah pesisir Kabupaten Kendal juga masih sedikit dilakukan. Penelitian yang dilakukan Poedjoprajitno, et al. (2009) mengkaji Perubahan Lingkungan Pengendapan Hubungannya dengan Tektonik Kuarter (Studi Kasus Geologi Kuarter di Wilayah Dataran Rendah Aluvial hingga Pantai Sepanjang Maron- Sikucingkrajan, Kecamatan Gemuruh, Kabupaten Kendal Jawa Tengah). Dari hasil penelitian ditemukan akumulasi pengendapan berkaitan dengan pensesaran, yang di bagian barat sangat dipengaruhi oleh sesar normal. Selama proses pengendapan, terekam 2 fase kegiatan tektonik. Kedua fase kejadian tersebut adalah () kegiatan sesar naik memanjang dari barat ke timur, dan (2) sesar naik yang juga berarah barat-timur di bagian utara dan diikuti oleh sesar normal berarah hampir utara-selatan. Kegiatan tektonik ditandai oleh mendangkalnya lereng pengendapan. Penelitian yang dilakukan oleh Lumbanbatu (2009) berjudul Perkembangan Dataran Pantai (Coastal Plain) Daerah Kendal Provinsi Jawa Tengah. Berdasarkan hasil analisis tatanan stratigrafi Holosen, di daerah penelitian terlihat adanya proses geologi berupa genang laut, susut laut dan aktivitas tektonik. Peristiwa JURNAL TATA LOKA; VOLUME 4; NOMOR ; FEBRUARI 202

3 Kajian Perubahan Spasial Garis Pantai 3 geologi tersebut diperkirakan dapat mempengaruhi perubahan arah perkembangan dataran Pantai Kendal. Hasil-hasil penelitian tersebut di atas, belum ada satupun yang mengkaitkan fenomena perubahan spasial delta sebagai basis zonasi pemanfaatan lahan wilayah pesisir. Mereka umumnya hanya terpaku pada proses morfodinamika yang ada di tempat kejadian saja (in situ). Oleh karena itu perencanaan zonasi pesisir berbasis perubahan spasial pantai merupakan hal baru yang perlu diterapkan pada kabupaten dengan pesisir yang dinamis. Berdasarkan uraian di atas maka tujuan penelitian ini adalah untuk : () Mengkaji pola perubahan spasial pantai Kabupaten Kendal dari tahun (2) Merumuskan rencana pemintakatan (zoning plan) daerah pesisir berbasis pada perubahan spasial pantai. Metodologi Gambar. Peta Citra Lokasi Penelitian Pelaksanaan penelitian dilakukan selama bulan Januari hingga Desember 200, yang meliputi kegiatan kajian pustaka, penelusuran data sekunder dan pengambilan data lapangan. Bahan penelitian yang digunakan terdiri atas Peta Topografi skala : Blad XXIC tahun 909 yang dimosaik dengan Peta Topografi skala : Blad XVIID tahun 90 cetakan Pemerintah Belanda dan Citra Landsat akuisi Tahun 972, 992, 2002, dan Pengolahan data dimulai dengan melakukan koreksi geometrik pada peta topografi tahun 90 dan seluruh citra landsat yang digunakan. Koreksi geometriknya dipilih tipe polynomial untuk menghasilkan peta dan citra yang mempunyai sistem proyeksi seragam sehingga akan meminimalkan kesalahan pada saat kegiatan overlay. JURNAL TATA LOKA; VOLUME 4; NOMOR 2; FEBRUARI 202

4 4 Sanjoto, Anggoro, Hartoko Tabel. Spesifikasi Citra Landsat yang Digunakan No Scene ID Tgl Akuisisi Resolusi Spasial Jumlah Band Anchor scene ID: Mei dan Juni 30 x 30 m 9 L720065_ Filler scene ID: L720065_ LE720065_ x 30 m 9 3 P20r65_5t TM-EartSat x 30 m 7 Orthocorectified 4 LM AAA x 60 m 4 Sumber : Data LAPAN, Januari 200. Peta Pesisir Kendal Tahun 90, 972, 992, 2002, dan 2009 OVERLAY Peta Kesesuaian lahan Tambak, Wisata Pantai, Kawasan Industri, dan Rehabilitasi Pantai Peta Zonasi Pesisir OVERLAY POTENSI ZONASI Sumber: Hasil Analisis, 20 Gambar 2. Diagram Alir Penelitian Base map yang digunakan adalah peta rupa bumi (RBI) skala : tahun Proyeksi peta yang dipilih Universal Transverse Mercator pada zone SUTM 49, bidang datum pada WGS 984. Hasil koreksi geometrik pada masing-masing peta menghasilkan nilai RMS yang bervariasi mulai dari 0,2 sampai 0,9. Untuk mengetahui perubahan spasial garis pantai Delta Sungai Bodri digunakan metode overlay time series data dengan software Arcview 3.2, dan untuk merumuskan rencana zonasi pesisir digunakan model overlay bertingkat. Alur kerja penelitian dapat dilihat pada diagram alir pada gambar 2. Hasil Kajian Morfodinamika Pantai Kabupaten Kendal Tahun Berdasarkan peta topografi tahun 90 Pantai Kendal merupakan pantai delta yang masih berbentuk Cuspate (delta runcing), arah Sungai Bodri masih menuju ke utara dan JURNAL TATA LOKA; VOLUME 4; NOMOR ; FEBRUARI 202

5 Kajian Perubahan Spasial Garis Pantai 5 mendekati pantai arah alirannya berbelok ke barat laut. Bagian hilir Sungai Bodri ini juga bercabang ke arah utara timur laut. Bagian hilir Sungai Bodri berbentuk meander. Saat itu (tahun 90) Sungai Bodri masih merupakan sungai utama yang muaranya membentuk delta dengan luas 22.05,98 hektar. Kemudian pada tahun 972, berdasarkan hasil interpretasi Citra landsat- tahun 972 diperoleh gambaran bahwa morfologi pantai Kendal sudah berkembang gemuk cenderung membentuk Lobate (delta tumpul). Dengan demikian diperkirakan sudah terjadi pergeseran tenaga pembentuk pesisir Kendal yang semula lebih pada tenaga marin sekarang berganti tenaga fluvial yang menjadi dominan. Alur Sungai Bodri (hilir) juga mengalami pergeserán ke arah Timur kemudian berbelok ke arah Utara sejajar dengan bekas aliran tahun 90. Kalau lebih dicermati, pangkal alur yang bergeser menunjukan adanya pelurusan alur sungai terlebih dahulu ke arah utara Timur laut. Menurut Lumbanbatu (2009) kondisi ini mengindikasikan adanya dorongan tenaga runoff sungai yang besar, dengan volume dan tenaga yang besar sehingga mengubah bentuk pantai yang semula Cuspate menjadi Lobate. Dibandingkan dengan garis pantai saat tahun 90 (pada gambar 30 disimbolkan dengan garis merah), tampak sedimentasi banyak terjadi di sebelah timur dekat muara sungai Bodri sehingga perkembangan wilayah delta bagian timur lebih cepat daripada wilayah bagian barat. Luasan Delta Bodri tahun 972 seluas hektar. Bentuk morfologi pesisir Kendal tahun 992 relatif sama dengan tahun 972, hanya di bagian timur muara Sungai Bodri mengalami abrasi yang cukup parah sehingga secara kuantitas luasan delta berkurang ratarata minus 6 ha/tahun, menjadi seluas hektar. Bentuk morfologi pesisir Kendal tahun 2002 sedikit berbeda sama dengan tahun 992, di bagian timur pesisir Kendal muncul delta baru sebagai pengendapan dari Sungai Blorong. Dari hasil perhitungan dapat luasan pada tahun 2002, Pesisir Kendal menjadi hektar. Bila dibandingkan dengan luas Pesisir Kendal tahun 992 sebesar hektar, maka selama tahun 992 sampai tahun 2002 (0 tahun) Pesisir Kendal mengalami pertambahan luas 07 hektar atau rata-rata hektar per tahun. Pada tahun 2009, berdasarkan hasil interpretasi citra Landsat 7 luas delta Bodri sebesar hektar. Bila dibandingkan dengan luasan Delta Bodri tahun 2002 sebesar hektar maka selama tahun 2002 sampai 2009 delta Bodri mengalami pertambahan luas 290 ha, atau rata-rata 4 ha per tahun. Untuk mengetahui pola perubahan spasial pantai Kendal data spasial Pesisir Kendal tahun dilakukan dengan mengoverlay peta Pesisir Kendal tahun dengan metode overlay time series data. Hasilnya disajikan pada gambar di lampiran. Berdasarkan gambar tersebut di lampiran tampak bahwa dari tahun 90 hingga tahun 2009, proses perubahan pantai Delta Kabupaten Kendal dapat dibedakan menjadi lima pola yaitu () proses perubahan spasial pesisir delta dengan pola abrasi. Bentuk pantainya tidak teratur, di beberapa tempat garis pantai menjorok ke daratan dan banyak dijumpai sisa erosi pantai. (2) Proses perubahan spasial pesisir delta dengan pola akresi. Bentuk garis pantainya menjorok ke arah pantai dengan material didominasi lumpur. (3) Proses perubahan spasial pesisir delta dengan pola akrebrasi yaitu semula akresi kemudian mengalami abrasi. Bentuk pantainya menjorok ke arah laut, namun bekasbekas abrasi banyak dijumpai di kawasan ini. (4) Proses perubahan spasial pesisir delta dengan pola akresi-stabil yaitu semula akresi kemudian stabil, Bentuk pantainya lurus dengan material lumpur berpasir. (5) Proses perubahan spasial pesisir delta dengan pola stagnan, yaitu tidak mengalami perubahan sejak dari tahun 90. Bentuk garis pantai ini lurus dan didominasi material pasir. Rencana Zonasi Tata Ruang Pesisir Kabupaten Kendal Berbasis Pola Perubahan Delta UU Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil mendefinisikan Zonasi sebagai suatu bentuk rekayasa teknik pemanfaatan ruang JURNAL TATA LOKA; VOLUME 4; NOMOR 2; FEBRUARI 202

6 6 Sanjoto, Anggoro, Hartoko melalui penetapan batas-batas fungsional sesuai dengan potensi sumberdaya dan daya dukung serta proses-proses ekologis yang berlangsung sebagai satu kesatuan dalam ekosistem pesisir. Berdasarkan definisi zonasi tersebut maka dari hasil penelitian Pesisir Kendal dapat dibagi menjadi lima wilayah zonasi berdasarkan atas lima pola perubahan garis pantai Kendal. Untuk mengetahui potensi kesesuaian pemanfaatan lahan maka Peta Zonasi tersebut ditumpang-susunkan (overlay) dengan peta kesesuaian pemanfaatan lahan tambak, peta kesesuaian pemanfaatan lahan wisata pantai, peta kesesuaian pemanfaatan lahan kawasan industri, dan peta kesesuaian pemanfaatan lahan rehablitasi pantai. Berdasarkan hasil tumpang susun peta-peta tersebut dapat diketahui kesesuaian pemanfaatan lahan pada setiap zona perubahan garis pantai yang dapat dijelaskan sebagai berikut, sedangkan kriteria kesesuaian lahan untuk tambak, wisata pantai, kawasan industri, dan rehabilitasi pantai tersaji pada lampiran. Zona I, yaitu wilayah pesisir dengan Pola Abrasi. Zona ini berada di bagian timur daerah penelitian dan secara administratif berada di Kecamatan Kaliwungu. Kondisi fisik zona I ini adalah bentuk pantainya agak melengkung dengan material pantainya pasir berwarna abu-abu kehitaman dan proses geomorfik yang dominan berupa abrasi. Dari hasil overlay peta dapat diketahui bahwa wilayah zona I sesuai (S) untuk budidaya tambak. Parameter fisik yang mendukung adalah kondisi adalah kondisi ph tanah yang masuk kategori baik, curah hujannya cukup, dan ketersediaan air tawar yang memadai. Tipe pasang surut campuran yang condong keganda, menguntungkan kegiatan perikanan tambak karena tipe ini akan mempengaruhi pasokan air laut ke tambak (Sanjoto, 202). Budidaya tambak di zona ini sudah berlangsung tahun 90. Namun demikian potensi abrasi yang cenderung meningkat memerlukan penanganan rehabilitasi pantai baik secara vegetatif dengan menanam Mangrove maupun dengan pembuatan bangunan penahan abrasi. Zona I ini juga sesuai (S) untuk kegiatan wisata pantai. Faktor pendukungnya adalah pada wilayah ini terdapat pantai yang berpasir dan aksesibitasnya tinggi, yaitu di pantai Ngebum. Berkaitan dengan peruntukan kawasan Industri, zona I ini termasuk cukup sesuai (S2) dengan faktor pendukungnya adalah aksesibilitasnya tinggi. Jadi zona I merupakan wilayah yang sesuai untuk berbagai kegiatan mulai dari kegiatan pertambakan, wisata pantai, kawasan industri, dan kawasan rehabilitasi pantai. Zona I juga merupakan Zona Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) Kabupaten Kendal, sehingga perkembangan industrialisasi di daaerah ini sangat pesat, sehingga mengancam keberadaan lahan tambak. Eksistensi tambak perlu dipertahankan dari proses industrialisasi dan bencana abrasi pantai. Industrialisasi yang berlangsung di zona I ini hendaknya menempati lahan tambak yang sudah tidak produktif lagi. Kaitannya dengan bencana abrasi, perlu adanya upaya mengurangi bahaya erosi pantai melalui pembangunan sabuk hijau pantai dengan penanaman Mangrove. Fungsi ekosistem mangrove disamping sebagai vegetasi pelindung pantai juga sebagai penangkap sedimen aliran air dari tambak, sehingga perairan pantai akan menjadi lebih jernih. Kondisi ini mendukung keberadaan kawasan wisata Pantai Ngebum yang bersebelahan dengan lokasi tambak. Lokasi Industri yang berada di zona I ini juga wajib mengelola limbahnya agar tidak terjadi pencemaran di wilayah tersebut. Untuk itu pada zona I ini perlu ditata kembali pemanfaatan lahan yang sinergis (compatible) sesuai dengan asas ekologis. Zona II, yaitu wilayah pesisir dengan Pola Akresi. Zona ini berada di dua lokasi yaitu di sekitar muara Sungai Blorong dan muara Sungai Bodri. Secara administratif zona II yang ada di sekitar muara Sungai Blorong berada di Kecamatan Brangsong dan Kecamatan Kota Kendal, sedangkan di sekitar muara Sungai Bodri berada di Kecamatan Patebon. Secara fisik bentuk morfologi zona II ini berupa delta runcing. Materialnya didominasi oleh lumpur berwarna coklat muda dan proses geomorfik yang dominan adalah sedimentasi (akresi). Berdasarkan hasil overlay peta dapat diketahui bahwa sebagian besar wilayah Zona II mempunyai tingkat kesesuaian yang tinggi (S) untuk budidaya tambak. Faktor JURNAL TATA LOKA; VOLUME 4; NOMOR ; FEBRUARI 202

7 Kajian Perubahan Spasial Garis Pantai 7 pendukungnya adalah ketersediaan air tawarnya cukup banyak karena dekat dengan sungai, serta kondisi materialnya berupa lumpur sehingga mampu menahan air lebih lama. Untuk dikembangkan sebagai wisata pantai zona ini tidak sesuai (S3) oleh karena banyak kendalanya diantaranya aksesibilitasnya yang sulit dijangkau, materialnya berupa lumpur dan kualitas perairannya keruh. Kemudian untuk dikembangkan sebagai kawasan industri maka zona ini sebagian besar termasuk kelas S2 dan S3. Oleh karena itu untuk dikembangkan sebagai kawasan Industri maka lokasi ini cukup berat, namun bila dikembangkan sebaiknya merupakan industri pergudangan dan pengolahan produk perikanan (Agromarine) dengan resiko pencemaran yang rendah. Dalam kaitannya dengan pengembangan kawasan rehabilitasi pantai, walaupun masuk dalam kelas kesesuaian cukup sesuai (S2) namun zona II ini sebaiknya dimasukan dalam kawasan pengembangan rehabilitasi pantai dengan alokasi wilayah sepanjang pantai dengan lebar 225 meter (sesuai dengan ketentuan batas sempadan pantai setempat. Zona III, yaitu wilayah pesisir dengan Pola Akrebrasi (Akresi ke Abrasi). Secara administratif zona ini berada di Kecamatan Patebon. Kondisi fisik zona III mempunyai morfologi pantai yang tidak teratur akibat adanya proses abrasi, materialnya berupa lumpur berpasir. Penggunaan lahannya didominasi lahan tegalan dan tambak. Berdasarkan hasil overlay diperoleh data bahwa wilayah zona III mempunyai kesesuaian lahan yang bervariasi kelas S dan kelas S2 baik untuk tambak maupun untuk kawasan Industri. Budidaya tambak menempati lahan bekas akresi. Faktor pendukung lahan ini untuk tambak adalah tektur tanahnya halus, salinitas air sesuai, dan ph tanah sesuai dengan standar baku mutu untuk tambak (Sanjoto, 202 dan Sari, 20). Faktor pembatasnya adalah wilayah ini rentan terhadap abrasi. Hal ini karena morfologi zona III ini menjorok ke arah laut sehingga potensi energi gelombang menjadi tinggi. Dari kunjungan lapangan dapat dijumpai bekasbekas lahan tambak yang terkena abrasi yaitu di lokasi pantai Kartikajaya. Berkaitan dengan kesesuaian lahan untuk wisata pantai, zona III termasuk kelas sesuai marjinal (S3) dan tidak sesuai (N), sedangkan berkaitan dengan kesesuaian lahan untuk kawasan rehabilitasi pantai, sepanjang pantai pada zona III termasuk kelas cukup sesuai (S2). Berdasarkan uraian tersebut maka dapat diketahui bahwa Zona III merupakan wilayah yang sesuai untuk kegiatan perikanan tambak dan kawasan industri, namun untuk pengembangan kawasan industri sebaiknya memperhatikan potensi lokal yaitu perikanan. Dalam kaitannya dengan pengembangan kawasan rehabilitasi pantai, sepanjang pantai zonasi ini masuk dalam kelas kesesuaian cukup sesuai (S2), namun demikian zona III ini sebaiknya tetap dimasukan dalam kawasan pengembangan rehabilitasi pantai dengan alokasi wilayah sepanjang pantai dengan lebar 225 meter (sesuai dengan ketentuan batas sempadan pantai). Zona IV, yaitu wilayah pesisir dengan Pola Akresi menjadi Stabil. Secara administratif zona ini berada di Kecamatan Cepiring dan sebagian Kecamatan Kangkung. Kondisi fisik pantainya mempunyai morfologi yang lurus, dengan material lumpur berpasir, dan proses geomorfik yang dominan adalah transportasi sedimen yang berimbang. Berdasarkan hasil overlay peta dapat diketahui bahwa zona IV ini pada umumnya sesuai (S) untuk dikembangkan sebagai lahan pertambakan. Kegiatan pertambakan sudah berlangsung tahun 972 dengan memanfaatkan lahan hasil akresi. Faktor pendukung budidaya tambak di zona ini adalah ketersediaan air tawarnya sesuai, dan resiko abrasi kecil. Untuk kawasan wisata, zona IV ini cukup sesuai (S2) oleh karena tipe pantainya yang berpasir dan namun kualitas perairannya cukup keruh sebagai akibat pengaruh sedimentasi dari muara Sugai Bodri. Obyek wisata yang sudah ada di daerah ini adalah Pantai Muara Kencan. Kemudian untuk dikembangkan sebagai kawasan Industri maka zona ini termasuk kelas sesuai marjinal (S3), dan tidak sesuai (N). Berkaitan dengan kawasan rehabilitasi pantai maka seluruh garis pantai pada Zona ini termasuk kelas S2 (Cukup ) namun semakin jauh dari garis pantai tidak sesuai untuk rehabilitasi pantai. JURNAL TATA LOKA; VOLUME 4; NOMOR 2; FEBRUARI 202

8 8 Sanjoto, Anggoro, Hartoko ZONASI TATARUANG PESISIR KENDAL BERBASIS POLA PERUBAHAN Gambar 3 Alur Rencana Zonasi Pesisir berbasis Pola Perubahan Pantai JURNAL TATA LOKA; VOLUME 4; NOMOR ; FEBRUARI 202

9 Kajian Perubahan Spasial Garis Pantai 9 Zonasi Tabel 2. Matrik Kesesuaian Penggunaan Lahan yang Diperkenankan dalam Satu Zone Kecamatan Kesesuaian Penggunaan Lahan Tambak Wisata Industri I Kaliwungu O Rehabilitasi Pantai II Brangsong, Kota Kendal, dan sebagian Patebon O O III Patebon X O IV Cepiring dan Kangkung X V Kangkung, dan Rowosari X X Sumber: Hasil Analisis, 20 Keterangan : = Diperkenankan, X = Tidak diperkenankan, O = Ditentukan kasus per kasus Zona V, yaitu wilayah pesisir dengan Pola Stagnan. Secara administratif zona ini berada di sebagian Kecamatan Kangkung dan Kecamatan Rowosari. Berdasarkan hasil overlay peta dapat diketahui bahwa zona V ini pada umumnya cukup sesuai (S2) untuk dikembangkan sebagai lahan pertambakan dengan faktor pembatas pada ketersediaan air tawar yang terbatas dan tekstur tanahnya lempung berpasir. Namun demikian zona V ini sesuai (S) untuk dikembangkan sebagai kawasan wisata, oleh karena pantainya berpasir dan kualitas perairannya cukup jernih. Zona V ini sudah ada kawasan wisata Pantai Sendang Sikucing yang dikelola pemerintah dan Tempat Pelabuhan Ikan (TPI). Keberadaan TPI ini perlu di kelola dengan baik agar limbah yang dihasilkan tidak mencemari perairan di sekitarnya termasuk kawasan wisata Pantai Sendang Sikucing. Namun demikian keberadaan TPI dapat mendukung keberadaandaya tarik wisata setempat yaitu dengan dikembangkannya wisata berlayar dan wisata kuliner. Untuk dikembangkan sebagai Kawasan Industri maka zona ini termasuk kelas sesuai (S) hingga tidak sesuai (N). Berkaitan dengan rehabilitasi pantai maka seluruh garis pantai pada zona ini termasuk kelas marjinal untuk dikembangkan sebagai rehabilitasi pantai. Kesimpulan Perubahan spasial pesisir Kabupaten Kendal yang berlangsung dari tahun 90 hingga 200 menghasilkan lima macam pola proses perubahan garis pantai Kendal yaitu pola abrasi, pola akresi, pola akrebrasi, pola akresi-stabil, dan pola stagnan. Pola perubahan garis pantai pada pesisir Kabupaten Kendal dapat dijadikan dasar sebagai perencanaan zonasi tata ruang pesisir. Setiap zona mempunyai karakteristik fisik tertentu sehingga mempunyai potensi kesesuaian pemanfaatan lahan tertentu juga. Kegiatan pemanfaatan lahan yang berlangsung di setiap zona dan antar zona hendaknya saling bersinergis (compatible). JURNAL TATA LOKA; VOLUME 4; NOMOR 2; FEBRUARI 202

10 0 Sanjoto, Anggoro, Hartoko Tabel 3. Matriks Kesesuaian Lahan Budidaya Perikanan Tambak No Kriteria Bobot Tingkat Kesesuaian (S) Cukup (S2) ph tanah 5 6,5 7,5 4 5,5 <6,5 dan >7.5 8,0 2 Tekstur Tanah 3 Curah hujan (mm/th) 4 Lempu ng liat berpasi r 4 > Lempu ng berpasi r 4 > Margin al (S3) 3 4,0 <5,5 dan >8,0 9,0 3 Liat berdeb u 3 > Lereng 3 0 2% 4 >2 5% 3 >5 5% Tidak (N) 2 < 4,0 dan > 9,0 2 Lumpur, Pasir 2 <000 dan > > 5% 5 Tipe garis pantai 6 Pantai (Jarak dari Pantai) 7 Hidrologi (jarak dari sungai) 8 Penutup lahan 3 Stabil 4 Kurang stabil m m Belukar, Tegala n, Tamba k 9 Aksesibilitas Sangat lancar 4 > m < 300 m 4 > m 4 Sawah, Kebun 3 Tidak stabil 3 > m 3 > m 3 Mangr ove, Rawa 4 Lancar 3 Cukup lancar Sumber: Pantjara et al. (2008) dengan modifikasi pada skor pembobotan 2 Sangat tidak stabil 2 > 4000 m 2 > 2000 m 2 Pemukim an dan Hutan konservas i 2 Tidak lancar No Kriteria Bob ot Kedalaman perairan/batimetr i (m) 2 Tipe/ karakteristik Pantai Tabel 4. Matrik Kesesuaian Lahan Kawasan Wisata Pantai Tingkat Kesesuaian (S) Cukup (S2) Marginal (S3) Tidak (N) > > > 5 5 Pantai berpasir bersih 4 Pantai berpasi r kotor 3 Pantai berpasir dan berlumpur 2 Pantai berlum pur 3 Lebar pantai (m) 4 > 0 4 > 5-< < Kemiringan pantai > >8 5 2 > 5 (%) 5 Kekeruhan 3 < > 20 2 > 20 perairan (TSS) (mg/l) 6 Biota berbahaya 2 Tidak 4 Tidak 3 Bulu babi, 2 Ikan JURNAL TATA LOKA; VOLUME 4; NOMOR ; FEBRUARI 202

11 Kajian Perubahan Spasial Garis Pantai No Kriteria Bob ot 7 Ketersediaan air tawar(jarak/km) 8 Penutupan lahan pantai Tingkat Kesesuaian (S) Cukup (S2) Marginal (S3) Tidak (N) ada ada Lepu pari, Ikan hiu 2 < >2 3 2 > 3 Kelapa, lahan terbuka 4 Semak belukar, 3 Rumput untuk penggembalaan 2 Hutan bakau, Permu kiman, Pelabu han Sumber: Yulius (2009) dengan modifikasi pada pemberian bobot, kriteria TSS berdasarkan Kepmen LH no 5 tahun 2004, dan pembentukan kategori Klas S3 Tabel. Matrik Kesesuaian Lahan Kawasan Industri Daerah Penelitian No Kriteria Bobot Tingkat Kesesuaian (S) Cukup (S2) Marginal (S3) Kemiringa 3 0 8% 4 >8 5% 3 >5 n lereng 25% 2 Penggunaan lahan 3 Sumberdaya air 4 Aksesibilitas 4 Lahan kosong 2 Tersedia besar dengan kualitas tidak asin 4 Pertania n lahan kering, Tegalan 4 Tersedia sedang dengan kualitas agak tidak asin Tidak (N) 2 > 25% 3 Tambak 2 Hutan konservas i, Sawah irigasi teknis, Permuki man 3 Tersedia kecil dengan kualitas payau 2 Langka air atau kualitasny a asin Tinggi 4 Sedang 3 Kurang 2 Rendah Sumber: Sanjoto, 996 dengan modifikasi pada pembobotan. Tabel. Matriks Kesesuaian Lahan Kawasan Lindung/Rehabilitasi Pantai No Kriteria Bobot Tingkat Kesesuaian Sangat Marjinal Jarak 4 00 m dari 3 > dari garis pasang m dari pantai tertinggi 2 Penggun aan lahan 3 Cagar alam 4 >00-50 m dari pasang tertinggi 4 Hutan Pantai, pasang tertinggi 3 Taman wisata alami 3 Vegetasi Mangrove 4 Nipah 3 Pinus pantai Tidak 2 >200 m dari pasang tertingg i 2 Permuk iman, pelabu han 2 Kelapa JURNAL TATA LOKA; VOLUME 4; NOMOR 2; FEBRUARI 202

12 2 Sanjoto, Anggoro, Hartoko No Kriteria Bobot Tingkat Kesesuaian Sangat Tidak Marjinal 4 Proses Geomorf ologi 2 Abrasi kuat 4 Abrasi 3 Akresi 2 Stabil Sumber: Modifikasi dari Fauzi et al., (2009), yaitu pada pembobotan dan digantikannya kriteria RTRW menjadi proses geomorfologi Daftar Pustaka Bird, E.C.F. dan Ongkosongo O. S. R., 980. Environmental changes on the coasts of Indonesia, The United Nations University. Tokyo. Fauzi, Y., Susilo B., dan Mayasari Z. M Analisis Kesesuaian Lahan Wilayah Pesisir Kota Bengkulu Melalui Perancangan Model Spasial dan Sistem Informasi Geografis (SIG). Jurnal Forum Geografi, Vol. 23, No. 2: 0. Gamage, N., dan Smakhtin V Do River Deltas in East India Retreat? A Case of the Krishna Delta. Journal of Geomorphology, Vol 03: Lumbanbatu, U.M Perkembangan Dataran Pantai (Coastal Plain) Daerah Kendal Provinsi Jawa Tengah. Jurnal Sumber Daya Geologi. 9 (4): Pantjara, B., U. Aliman, dan M. Mangampa Kesesuaian Lahan Budidaya Tambak di Kecamatan Watubangga Kabupaten Kolaka, Sulawesi Tenggara. Jurnal Riset Akuakultur 3 (): Poedjoprajitno, S., Moechtar H., dan Hidayat S Perubahan Lingkungan Pengendapan, Hubungannya dengan Tektonik Kuarter. Jurnal Sumber Daya Geologi. 9 (2) : Sabatier, F., Samat O., Ullmann A., dan Suanez S Connecting large-scale coastal behaviour with coastal management of the Rhone delta. Journal of Geomorphology Vol 07: Sanjoto, T.B Perubahan Spasial Delta Sungai Bodri Sebagai Basis Zonasi Tata Ruang Pesisir Kabupaten Kendal. Disertasi Doktor Manajemen Sumberdaya Pantai UNDIP. Semarang. Sanjoto, T.B Penggunaan Foto Udara Dalam Evaluasi Kesesuaian Lahan Untuk Kawasan Industri di Sub Wilayah Pembangunan I Kabupaten Kendal Jawa Tengah. Tesis Program Pascasarjana UGM. Yogyakarta. Saptorini, D., Vincentius P. S, dan Ongkosongo O.S.R Coastline Change Detection Using Remote Sensing Technique: Banten Bay Study Case. Journal of GIS, Remote Sensing & Dynamic Modelling No.:5-32 Sari, R. 20. Strategi Implementasi Biosecurity Pada Tambak Udang Vanname (Litopenaeus vannamei) di Kabupaten Kendal. Ringkasan Disertasi Program Pascasarjana UNDIP. Semarang. Sidarto Perkembangan Pantai Tangerang, Jawa Barat ditafsir dari Potret Udara. Jurnal Geologi dan Sumberdaya Mineral. Vol. VII No.75: 2 0. Simeoni, U., dan Corinne C A Review of the Delta Po evolution (Italy) related to climatic changes and human impacts. Journal of Geomorphology Vol 07 : Subagio, H Aplikasi Penginderaan Jauh Untuk Monitoring Perubahan Garis Pantai Delta Porong dan Delta Rungkut - Jawa Timur Jurnal Ilmiah Geomatika Vol.3 No.2 : - 3 Suprajaka Morfogenesis dan Pedogenesis Bentanglahan Delta Sungai Progo. Skripsi. Fakultas Geografi UGM. Yogkarta. Sutrisno, D. 2005, Dampak kenaikan Muka Laut Pada Pengelolaan Delta: Studi Kasus Penggunaan Lahan Tambak di Pulau Muaraulu Delta Mahakam. Disertasi. IPB. Bogor. Journal of Coastal and Marine Resources. Volume 4, No. 3: -6 UU Nomer 27 Tahun 2007 Tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil. Yulius Aplikasi Sistem Informasi Geografis dalam Penentuan Kawasan Wisata Pantai Kategori Rekreasi di Teluk Bungus, Kota Padang. Laporan Penelitian. Pusat Riset Wilayah Laut dan Sumberdaya Nonhayati, BRKP DKP. Jakarta Tahir, A., Bengen D.G. dan Susilo S.B, Analisis kesesuaian lahan dan kebijakan pemanfaatan ruang kawasan pesisir teluk Balikpapan. Jurnal Pesisir & Lautan. Indonesia JURNAL TATA LOKA; VOLUME 4; NOMOR ; FEBRUARI 202

KAJIAN MORFODINAMIKA PESISIR KABUPATEN KENDAL MENGGUNAKAN TEKNOLOGI PENGINDERAAN JAUH MULTI SPEKTRAL DAN MULTI WAKTU

KAJIAN MORFODINAMIKA PESISIR KABUPATEN KENDAL MENGGUNAKAN TEKNOLOGI PENGINDERAAN JAUH MULTI SPEKTRAL DAN MULTI WAKTU KAJIAN MORFODINAMIKA PESISIR KABUPATEN KENDAL MENGGUNAKAN TEKNOLOGI PENGINDERAAN JAUH MULTI SPEKTRAL DAN MULTI WAKTU Tjaturahono Budi Sanjoto Mahasiswa Program Doktor Manajemen Sumberdaya Pantai UNDIP

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara kepulauan yang memiliki panjang garis pantai

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara kepulauan yang memiliki panjang garis pantai BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia merupakan negara kepulauan yang memiliki panjang garis pantai sekitar 95.191 km dengan luas laut sekitar 5,8 juta km 2 (Kepmen Kelautan dan Perikanan Nomor

Lebih terperinci

PEMANFAATAN SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS UNTUK ARAHAN PENGGUNAAN LAHAN DAERAH ALIRAN SUNGAI (DAS) DI KABUPATEN KENDAL

PEMANFAATAN SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS UNTUK ARAHAN PENGGUNAAN LAHAN DAERAH ALIRAN SUNGAI (DAS) DI KABUPATEN KENDAL PEMANFAATAN SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS UNTUK ARAHAN PENGGUNAAN LAHAN DAERAH ALIRAN SUNGAI (DAS) DI KABUPATEN KENDAL Febriana Yogyasari, Dedy Kurnia Sunaryo, ST.,MT., Ir. Leo Pantimena, MSc. Program Studi

Lebih terperinci

KARAKTERISTIK PANTAI GUGUSAN PULAU PARI. Hadiwijaya L. Salim dan Ahmad *) ABSTRAK

KARAKTERISTIK PANTAI GUGUSAN PULAU PARI. Hadiwijaya L. Salim dan Ahmad *) ABSTRAK KARAKTERISTIK PANTAI GUGUSAN PULAU PARI Hadiwijaya L. Salim dan Ahmad *) ABSTRAK Penelitian tentang karakter morfologi pantai pulau-pulau kecil dalam suatu unit gugusan Pulau Pari telah dilakukan pada

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dengan yang lain, yaitu masing-masing wilayah masih dipengaruhi oleh aktivitas

BAB I PENDAHULUAN. dengan yang lain, yaitu masing-masing wilayah masih dipengaruhi oleh aktivitas BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pesisir (coast) dan pantai (shore) merupakan bagian dari wilayah kepesisiran (Gunawan et al. 2005). Sedangkan menurut Kodoatie (2010) pesisir (coast) dan pantai (shore)

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan Negara kepulauan yang rentan terhadap dampak perubahan iklim. Provinsi Jawa Barat merupakan salah satu provinsi di Indonesia yang termasuk rawan

Lebih terperinci

Pemetaan Pola Hidrologi Pantai Surabaya-Sidoarjo Pasca Pembangunan Jembatan Suramadu dan Peristiwa Lapindo Menggunakan Citra SPOT 4

Pemetaan Pola Hidrologi Pantai Surabaya-Sidoarjo Pasca Pembangunan Jembatan Suramadu dan Peristiwa Lapindo Menggunakan Citra SPOT 4 Pemetaan Pola Hidrologi Pantai Surabaya-Sidoarjo Pasca Pembangunan Jembatan Suramadu dan Peristiwa Lapindo Menggunakan Citra SPOT 4 Oleh : Linda Ardi Oktareni Pembimbing : Prof. DR. Ir Bangun M.S. DEA,

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Menurut Mahi (2001 a), sampai saat ini belum ada definisi wilayah pesisir yang

I. PENDAHULUAN. Menurut Mahi (2001 a), sampai saat ini belum ada definisi wilayah pesisir yang I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Menurut Mahi (2001 a), sampai saat ini belum ada definisi wilayah pesisir yang baku. Namun demikian terdapat kesepakatan umum bahwa wilayah pesisir didefinisikan sebagai

Lebih terperinci

KONDISI UMUM DAERAH PENELITIAN

KONDISI UMUM DAERAH PENELITIAN 21 KONDISI UMUM DAERAH PENELITIAN Kondisi Umum Fisik Wilayah Geomorfologi Wilayah pesisir Kabupaten Karawang sebagian besar daratannya terdiri dari dataran aluvial yang terbentuk karena banyaknya sungai

Lebih terperinci

III. METODOLOGI. 3.1 Waktu dan Lokasi Penelitian

III. METODOLOGI. 3.1 Waktu dan Lokasi Penelitian III. METODOLOGI 3.1 Waktu dan Lokasi Penelitian Penelitian ini dilaksanakan sejak Juli 2010 sampai dengan Mei 2011. Lokasi penelitian terletak di wilayah Kabupaten Indramayu, Provinsi Jawa Barat. Pengolahan

Lebih terperinci

PEMANFAATAN CITRA SATELIT LANDSAT DALAM PENGELOLAAN TATA RUANG DAN ASPEK PERBATASAN DELTA DI LAGUNA SEGARA ANAKAN. Oleh : Dede Sugandi *), Jupri**)

PEMANFAATAN CITRA SATELIT LANDSAT DALAM PENGELOLAAN TATA RUANG DAN ASPEK PERBATASAN DELTA DI LAGUNA SEGARA ANAKAN. Oleh : Dede Sugandi *), Jupri**) PEMANFAATAN CITRA SATELIT LANDSAT DALAM PENGELOLAAN TATA RUANG DAN ASPEK PERBATASAN DELTA DI LAGUNA SEGARA ANAKAN Oleh : Dede Sugandi *), Jupri**) Abtrak Perairan Segara Anakan yang merupakan pertemuan

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI. 3.1 Waktu dan Lokasi penelitian

BAB III METODOLOGI. 3.1 Waktu dan Lokasi penelitian 20 BAB III METODOLOGI 3.1 Waktu dan Lokasi penelitian Penelitian ini dilaksanakan dalam rentang waktu 4 bulan, pada bulan Februari sampai dengan bulan Mei 2012. Persiapan dilakukan sejak bulan Maret 2011

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 45 IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Deskripsi Lokasi Daerah Khusus Ibukota (DKI) Jakarta merupakan dataran rendah dan landai dengan ketinggian rata-rata 7 meter di atas permukaan laut, terletak pada posisi

Lebih terperinci

TINGKAT KERAWANAN BENCANA TSUNAMI KAWASAN PANTAI SELATAN KABUPATEN CILACAP

TINGKAT KERAWANAN BENCANA TSUNAMI KAWASAN PANTAI SELATAN KABUPATEN CILACAP TINGKAT KERAWANAN BENCANA TSUNAMI KAWASAN PANTAI SELATAN KABUPATEN CILACAP Lailla Uswatun Khasanah 1), Suwarsito 2), Esti Sarjanti 2) 1) Alumni Program Studi Pendidikan Geografi, Fakultas Keguruan dan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG

BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG Dengan luas daratan ± 1.900.000 km 2 dan laut 3.270.00 km 2, Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar di dunia, dan ditinjau dari luasnya terdiri atas lima pulau

Lebih terperinci

BAB II DESKRIPSI DAERAH STUDI

BAB II DESKRIPSI DAERAH STUDI BAB II 2.1. Tinjauan Umum Sungai Beringin merupakan salah satu sungai yang mengalir di wilayah Semarang Barat, mulai dari Kecamatan Mijen dan Kecamatan Ngaliyan dan bermuara di Kecamatan Tugu (mengalir

Lebih terperinci

Penataan Ruang. Kawasan Budidaya, Kawasan Lindung dan Kawasan Budidaya Pertanian

Penataan Ruang. Kawasan Budidaya, Kawasan Lindung dan Kawasan Budidaya Pertanian Penataan Ruang Kawasan Budidaya, Kawasan Lindung dan Kawasan Budidaya Pertanian Kawasan peruntukan hutan produksi kawasan yang diperuntukan untuk kawasan hutan yang mempunyai fungsi pokok memproduksi hasil

Lebih terperinci

KERUSAKAN MANGROVE SERTA KORELASINYA TERHADAP TINGKAT INTRUSI AIR LAUT (STUDI KASUS DI DESA PANTAI BAHAGIA KECAMATAN MUARA GEMBONG KABUPATEN BEKASI)

KERUSAKAN MANGROVE SERTA KORELASINYA TERHADAP TINGKAT INTRUSI AIR LAUT (STUDI KASUS DI DESA PANTAI BAHAGIA KECAMATAN MUARA GEMBONG KABUPATEN BEKASI) 1 KERUSAKAN MANGROVE SERTA KORELASINYA TERHADAP TINGKAT INTRUSI AIR LAUT (STUDI KASUS DI DESA PANTAI BAHAGIA KECAMATAN MUARA GEMBONG KABUPATEN BEKASI) Tesis Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan Mencapai

Lebih terperinci

Analisis Kesesuaian Lahan Wilayah Pesisir Kota Makassar Untuk Keperluan Budidaya

Analisis Kesesuaian Lahan Wilayah Pesisir Kota Makassar Untuk Keperluan Budidaya 1 Analisis Kesesuaian Lahan Wilayah Pesisir Kota Makassar Untuk Keperluan Budidaya PENDAHULUAN Wilayah pesisir merupakan ruang pertemuan antara daratan dan lautan, karenanya wilayah ini merupakan suatu

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Geomorfologi Bentuk lahan di pesisir selatan Yogyakarta didominasi oleh dataran aluvial, gisik dan beting gisik. Dataran aluvial dimanfaatkan sebagai kebun atau perkebunan,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara yang memiliki kawasan pesisir sangat luas,

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara yang memiliki kawasan pesisir sangat luas, BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Indonesia merupakan negara yang memiliki kawasan pesisir sangat luas, karena Indonesia merupakan Negara kepulauan dengangaris pantai mencapai sepanjang 81.000 km. Selain

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. maupun terendam air, yang masih dipengaruhi oleh sifat-sifat laut seperti pasang

BAB I PENDAHULUAN. maupun terendam air, yang masih dipengaruhi oleh sifat-sifat laut seperti pasang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pesisir merupakan wilayah peralihan antara ekosistem darat dan laut. Menurut Suprihayono (2007) wilayah pesisir merupakan wilayah pertemuan antara daratan dan laut,

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. Pelaksanaan penelitian dilakukan selama bulan Januari hingga Desember 2010,

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. Pelaksanaan penelitian dilakukan selama bulan Januari hingga Desember 2010, BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3.1. Waktu dan Lokasi Penelitian Pelaksanaan penelitian dilakukan selama bulan Januari hingga Desember 2010, yang meliputi kegiatan kajian pustaka, penelusuran data sekunder

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Indonesia sebagai negara kepulauan mempunyai lebih dari pulau dan

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Indonesia sebagai negara kepulauan mempunyai lebih dari pulau dan BAB I BAB I PENDAHULUAN PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia sebagai negara kepulauan mempunyai lebih dari 17.000 pulau dan wilayah pantai sepanjang 80.000 km atau dua kali keliling bumi melalui khatulistiwa.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Hutan mangrove merupakan komunitas vegetasi pantai tropis yang didominasi oleh beberapa jenis pohon mangrove yang mampu tumbuh dan berkembang pada daerah pasang-surut

Lebih terperinci

DAMPAK POLA PENGGUNAAN LAHAN PADA DAS TERHADAP PRODUKTIVITAS TAMBAK DI PERAIRAN PESISIR LAMPUNG SELATAN

DAMPAK POLA PENGGUNAAN LAHAN PADA DAS TERHADAP PRODUKTIVITAS TAMBAK DI PERAIRAN PESISIR LAMPUNG SELATAN SEMINAR NASIONAL PERIKANAN DAN KELAUTAN 2016 Pembangunan Perikanan dan Kelautan dalam Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional Bandar Lampung, 17 Mei 2016 DAMPAK POLA PENGGUNAAN LAHAN PADA DAS TERHADAP PRODUKTIVITAS

Lebih terperinci

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.113, 2016 LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA PEMERINTAHAN. WILAYAH. NASIONAL. Pantai. Batas Sempadan. PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 51 TAHUN 2016 TENTANG BATAS SEMPADAN PANTAI DENGAN RAHMAT

Lebih terperinci

PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 51 TAHUN 2016 TENTANG BATAS SEMPADAN PANTAI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 51 TAHUN 2016 TENTANG BATAS SEMPADAN PANTAI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 51 TAHUN 2016 TENTANG BATAS SEMPADAN PANTAI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal

Lebih terperinci

PERUBAHAN TUTUPAN LAHAN DI PESISIR BUNGUS TELUK KABUNG, SUMATRA BARAT TAHUN MENGGUNAKAN SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS

PERUBAHAN TUTUPAN LAHAN DI PESISIR BUNGUS TELUK KABUNG, SUMATRA BARAT TAHUN MENGGUNAKAN SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS Jurnal Ilmu dan Teknologi Kelautan Tropis, Vol.6, No. 2, Hlm. 311-318, Desember 2014 PERUBAHAN TUTUPAN LAHAN DI PESISIR BUNGUS TELUK KABUNG, SUMATRA BARAT TAHUN 2003-2013 MENGGUNAKAN SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS

Lebih terperinci

KATA PENGANTAR. Assalamu alaikum wr.wb.

KATA PENGANTAR. Assalamu alaikum wr.wb. KATA PENGANTAR Assalamu alaikum wr.wb. Puji syukur kami panjatkan kepada Allah SWT atas karunia-nya sehingga kami dapat menyelesaikan penyusunan buku Penghitungan Deforestasi Indonesia Periode Tahun 2009-2011

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA Pertumbuhan Penduduk dan Dampaknya terhadap Perkembangan Suatu Wilayah

II. TINJAUAN PUSTAKA Pertumbuhan Penduduk dan Dampaknya terhadap Perkembangan Suatu Wilayah 3 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Pertumbuhan Penduduk dan Dampaknya terhadap Perkembangan Suatu Wilayah Pertumbuhan penduduk adalah perubahan jumlah penduduk di suatu wilayah tertentu pada waktu tertentu dibandingkan

Lebih terperinci

STUDI PERUBAHAN GARIS PANTAI DI TELUK BANTEN MENGGUNAKAN CITRA SATELIT LANDSAT MULTITEMPORAL

STUDI PERUBAHAN GARIS PANTAI DI TELUK BANTEN MENGGUNAKAN CITRA SATELIT LANDSAT MULTITEMPORAL STUDI PERUBAHAN GARIS PANTAI DI TELUK BANTEN MENGGUNAKAN CITRA SATELIT LANDSAT MULTITEMPORAL Erni Kusumawati *), Ibnu Pratikto, Petrus Subardjo Program Studi Ilmu Kelautan, Fakultas Perikanan dan Ilmu

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia sebagai negara kepulauan dengan panjang garis pantai mencapai 95.181 km (Rompas 2009, dalam Mukhtar 2009). Dengan angka tersebut menjadikan Indonesia sebagai

Lebih terperinci

DAMPAK AKTIVITAS ANTROPOGENIK PADA DAERAH ALIRAN SUNGAI TERHADAP PRODUKTIVITAS TAMBAK DI PERAIRAN PESISIR

DAMPAK AKTIVITAS ANTROPOGENIK PADA DAERAH ALIRAN SUNGAI TERHADAP PRODUKTIVITAS TAMBAK DI PERAIRAN PESISIR DAMPAK AKTIVITAS ANTROPOGENIK PADA DAERAH ALIRAN SUNGAI TERHADAP PRODUKTIVITAS TAMBAK DI PERAIRAN PESISIR Oleh: Arif Supendi Departemen Manajemen Sumberdaya Perairan Universitas Muhammadiyah Sukabumi Abstrak

Lebih terperinci

Deteksi Perubahan Garis Pantai Pulau Gili Ketapang Kabupaten Probolinggo

Deteksi Perubahan Garis Pantai Pulau Gili Ketapang Kabupaten Probolinggo Deteksi Perubahan Garis Pantai Pulau Gili Ketapang Kabupaten Probolinggo Nurin Hidayati 1, Hery Setiawan Purnawali 2 1 Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Universitas Brawijaya Malang Email: nurin_hiday@ub.ac.id

Lebih terperinci

ANALISIS TUTUPAN LAHAN TERHADAP KUALITAS AIR SITU BURUNG, DESA CIKARAWANG, KABUPATEN BOGOR

ANALISIS TUTUPAN LAHAN TERHADAP KUALITAS AIR SITU BURUNG, DESA CIKARAWANG, KABUPATEN BOGOR ANALISIS TUTUPAN LAHAN TERHADAP KUALITAS AIR SITU BURUNG, DESA CIKARAWANG, KABUPATEN BOGOR R Rodlyan Ghufrona, Deviyanti, dan Syampadzi Nurroh Fakultas Kehutanan - Institut Pertanian Bogor ABSTRAK Situ

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG

BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG Pantai adalah daerah di tepi perairan yang dipengaruhi oleh air pasang tertinggi dan air surut terendah. Garis pantai adalah garis batas pertemuan antara daratan dan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah ,

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah , I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Bencana banjir dikatagorikan sebagai proses alamiah atau fenomena alam, yang dapat dipicu oleh beberapa faktor penyebab: (a) Fenomena alam, seperti curah hujan,

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Lahan basah memiliki peranan yang sangat penting bagi manusia dan lingkungan. Fungsi lahan basah tidak saja dipahami sebagai pendukung kehidupan secara langsung seperti

Lebih terperinci

STUDI PERUBAHAN GARIS PANTAI DI TELUK BUNGUS KOTA PADANG, PROVINSI SUMATERA BARAT BERDASARKAN ANALISIS CITRA SATELIT

STUDI PERUBAHAN GARIS PANTAI DI TELUK BUNGUS KOTA PADANG, PROVINSI SUMATERA BARAT BERDASARKAN ANALISIS CITRA SATELIT STUDI PERUBAHAN GARIS PANTAI DI TELUK BUNGUS KOTA PADANG, PROVINSI SUMATERA BARAT BERDASARKAN ANALISIS CITRA SATELIT STUDY of COASTLINE CHANGES at BUNGUS BAY PADANG CITY, WEST SUMATERA PROVINCE BASED on

Lebih terperinci

GEOGRAFI. Sesi PENGINDERAAN JAUH : 5. A. IDENTIFIKASI CITRA PENGINDERAAN JAUH a. Identifikasi Fisik

GEOGRAFI. Sesi PENGINDERAAN JAUH : 5. A. IDENTIFIKASI CITRA PENGINDERAAN JAUH a. Identifikasi Fisik GEOGRAFI KELAS XII IPS - KURIKULUM GABUNGAN 12 Sesi NGAN PENGINDERAAN JAUH : 5 A. IDENTIFIKASI CITRA PENGINDERAAN JAUH a. Identifikasi Fisik 1. Hutan Hujan Tropis Rona gelap Pohon bertajuk, terdiri dari

Lebih terperinci

3.1 Metode Identifikasi

3.1 Metode Identifikasi B A B III IDENTIFIKASI UNSUR-UNSUR DAS PENYEBAB KERUSAKAN KONDISI WILAYAH PESISIR BERKAITAN DENGAN PENGEMBANGAN ASPEK EKONOMI DAN SOSIAL MASYARAKAT PESISIR 3.1 Metode Identifikasi Identifikasi adalah meneliti,

Lebih terperinci

BAB V ANALISIS DAN PEMBAHASAN. A. Analisis karakteristik DTA(Daerah Tangkapan Air ) Opak

BAB V ANALISIS DAN PEMBAHASAN. A. Analisis karakteristik DTA(Daerah Tangkapan Air ) Opak BAB V ANALISIS DAN PEMBAHASAN A. Analisis karakteristik DTA(Daerah Tangkapan Air ) Opak 1. Luas DTA (Daerah Tangkapan Air) Opak Dari hasil pengukuran menggunakan aplikasi ArcGis 10.1 menunjukan bahwa luas

Lebih terperinci

3.2 Alat. 3.3 Batasan Studi

3.2 Alat. 3.3 Batasan Studi 3.2 Alat Alat yang digunakan dalam penelitian ini antara lain alat tulis dan kamera digital. Dalam pengolahan data menggunakan software AutoCAD, Adobe Photoshop, dan ArcView 3.2 serta menggunakan hardware

Lebih terperinci

KAJIAN PERMUKIMAN DI KAWASAN HUTAN BAKAU DESA RATATOTOK TIMUR DAN DESA RATATOTOK MUARA KABUPATEN MINAHASA TENGGARA

KAJIAN PERMUKIMAN DI KAWASAN HUTAN BAKAU DESA RATATOTOK TIMUR DAN DESA RATATOTOK MUARA KABUPATEN MINAHASA TENGGARA KAJIAN PERMUKIMAN DI KAWASAN HUTAN BAKAU DESA RATATOTOK TIMUR DAN DESA RATATOTOK MUARA KABUPATEN MINAHASA TENGGARA Marthen A. Tumigolung 1, Cynthia E.V. Wuisang, ST, M.Urb.Mgt, Ph.D 2, & Amanda Sembel,

Lebih terperinci

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN Berdasarkan pengamatan awal, daerah penelitian secara umum dicirikan oleh perbedaan tinggi dan ralief yang tercermin dalam kerapatan dan bentuk penyebaran kontur pada

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. tumbuhannya bertoleransi terhadap garam (Kusman a et al, 2003). Hutan

BAB I PENDAHULUAN. tumbuhannya bertoleransi terhadap garam (Kusman a et al, 2003). Hutan 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Hutan mangrove merupakan suatu tipe hutan yang tumbuh di daerah pasang surut, terutama di pantai yang terlindung, laguna dan muara sungai yang tergenang pada

Lebih terperinci

BAHAN DAN METODE. Gambar 1 Peta Lokasi Penelitian

BAHAN DAN METODE. Gambar 1 Peta Lokasi Penelitian III. BAHAN DAN METODE 3.1 Waktu dan Lokasi Penelitian Lokasi yang dipilih untuk penelitian ini adalah Kabupaten Indramayu, Jawa Barat (Gambar 1). Penelitian dimulai dari bulan Juli 2010 sampai Januari

Lebih terperinci

Pemantauan perubahan profil pantai akibat

Pemantauan perubahan profil pantai akibat Pemanfaatan teknik penginderaan jauh dan sistem informasi geografis untuk... (Mudian Paena) PEMANFAATAN TEKNIK PENGINDERAAN JAUH DAN SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS UNTUK MEMANTAU PERUBAHAN PROFIL PANTAI AKIBAT

Lebih terperinci

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

V. HASIL DAN PEMBAHASAN V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Interpretasi Visual Penggunaan Lahan Melalui Citra Landsat Interpretasi visual penggunaan lahan dengan menggunakan citra Landsat kombinasi band 542 (RGB) pada daerah penelitian

Lebih terperinci

Volume 6, No. 2, Oktober 2013 ISSN:

Volume 6, No. 2, Oktober 2013 ISSN: TINGKAT KEKRITISAN DAN KESESUAIAN LAHAN MANGROVE DI KABUPATEN SAMPANG DENGAN MENGGUNAKAN SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS Firman Farid Muhsoni 1, Mahfud Efendy 1, Haryo Triajei 1, Aries Dwi Siswanto 1, Indah

Lebih terperinci

BAB I. Indonesia yang memiliki garis pantai sangat panjang mencapai lebih dari

BAB I. Indonesia yang memiliki garis pantai sangat panjang mencapai lebih dari BAB I BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia yang memiliki garis pantai sangat panjang mencapai lebih dari 95.181 km. Sehingga merupakan negara dengan pantai terpanjang nomor empat di dunia setelah

Lebih terperinci

Arahan Pemanfaatan Ruang Kawasan Budidaya Perikanan di Kecamatan Pajukukang Kabupaten Bantaeng

Arahan Pemanfaatan Ruang Kawasan Budidaya Perikanan di Kecamatan Pajukukang Kabupaten Bantaeng TEMU ILMIAH IPLBI 2015 Arahan Pemanfaatan Ruang Kawasan Budidaya Perikanan di Kecamatan Pajukukang Kabupaten Bantaeng Fadhil Surur Laboratorium Keahlian Perencanaan Tata Ruang Pesisir dan Kepulauan, Jurusan

Lebih terperinci

KAJIAN FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PERUBAHAN PENGGUNAAN LAHAN KAWASAN LINDUNG MENJADI KAWASAN BUDIDAYA

KAJIAN FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PERUBAHAN PENGGUNAAN LAHAN KAWASAN LINDUNG MENJADI KAWASAN BUDIDAYA KAJIAN FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PERUBAHAN PENGGUNAAN LAHAN KAWASAN LINDUNG MENJADI KAWASAN BUDIDAYA (Studi Kasus: Kawasan sekitar Danau Laut Tawar, Aceh Tengah) TUGAS AKHIR Oleh: AGUS SALIM L2D

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. karena merupakan gabungan dari ciri-ciri tumbuhan yang hidup di darat dan di

BAB I PENDAHULUAN. karena merupakan gabungan dari ciri-ciri tumbuhan yang hidup di darat dan di 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Hutan bakau / mangrove adalah hutan yang tumbuh di muara sungai, daerah pasang surut atau tepi laut (pesisir). Tumbuhan mangrove bersifat unik karena merupakan

Lebih terperinci

BAB I. PENDAHULUAN. pulau-nya dan memiliki garis pantai sepanjang km, yang merupakan

BAB I. PENDAHULUAN. pulau-nya dan memiliki garis pantai sepanjang km, yang merupakan BAB I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia merupakan negara tropis berbentuk kepulauan dengan 17.500 pulau-nya dan memiliki garis pantai sepanjang 81.000 km, yang merupakan kawasan tempat tumbuh hutan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang 1 I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Wilayah pesisir merupakan pertemuan antara wilayah laut dan wilayah darat, dimana daerah ini merupakan daerah interaksi antara ekosistem darat dan ekosistem laut yang

Lebih terperinci

INDIKASI LOKASI REHABILITASI HUTAN & LAHAN BAB I PENDAHULUAN

INDIKASI LOKASI REHABILITASI HUTAN & LAHAN BAB I PENDAHULUAN INDIKASI LOKASI REHABILITASI HUTAN & LAHAN BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Hutan merupakan salah satu sumberdaya alam yang memiliki nilai ekonomi, ekologi dan sosial yang tinggi. Hutan alam tropika

Lebih terperinci

PEMANFAATAN CITRA SATELIT LANDSAT DALAM PENGELOLAAN TATA RUANG DAN ASPEK PERBATASAN DELTA DI LAGUNA SEGARA ANAKAN

PEMANFAATAN CITRA SATELIT LANDSAT DALAM PENGELOLAAN TATA RUANG DAN ASPEK PERBATASAN DELTA DI LAGUNA SEGARA ANAKAN PEMANFAATAN CITRA SATELIT LANDSAT DALAM PENGELOLAAN TATA RUANG DAN ASPEK PERBATASAN DELTA DI LAGUNA SEGARA ANAKAN Drs. Dede Sugandi, M.Si. Drs. Jupri, MT. Nanin Trianawati Sugito, ST., MT. Jurusan Pendidikan

Lebih terperinci

Aninda Nurry M.F., Ira Mutiara Anjasmara Jurusan Teknik Geomatika FTSP-ITS, Kampus ITS Sukolilo, Surabaya,

Aninda Nurry M.F., Ira Mutiara Anjasmara Jurusan Teknik Geomatika FTSP-ITS, Kampus ITS Sukolilo, Surabaya, KAJIAN PERUBAHAN TUTUPAN LAHAN DAERAH ALIRAN SUNGAI BRANTAS BAGIAN HILIR MENGGUNAKAN CITRA SATELIT MULTI TEMPORAL (STUDI KASUS: KALI PORONG, KABUPATEN SIDOARJO) Aninda Nurry M.F., Ira Mutiara Anjasmara

Lebih terperinci

Title : Analisis Polaruang Kalimantan dengan Tutupan Hutan Kalimantan 2009

Title : Analisis Polaruang Kalimantan dengan Tutupan Hutan Kalimantan 2009 Contributor : Doni Prihatna Tanggal : April 2012 Posting : Title : Analisis Polaruang Kalimantan dengan Tutupan Hutan Kalimantan 2009 Pada 19 Januari 2012 lalu, Presiden Republik Indonesia mengeluarkan

Lebih terperinci

KETENTUAN UMUM PERATURAN ZONASI. dengan fasilitas dan infrastruktur perkotaan yang sesuai dengan kegiatan ekonomi yang dilayaninya;

KETENTUAN UMUM PERATURAN ZONASI. dengan fasilitas dan infrastruktur perkotaan yang sesuai dengan kegiatan ekonomi yang dilayaninya; Lampiran III : Peraturan Daerah Kabupaten Bulukumba Nomor : 21 Tahun 2012 Tanggal : 20 Desember 2012 Tentang : RENCANA TATA RUANG WILAYAH KABUPATEN BULUKUMBA TAHUN 2012 2032 KETENTUAN UMUM PERATURAN ZONASI

Lebih terperinci

4. PERUBAHAN PENUTUP LAHAN

4. PERUBAHAN PENUTUP LAHAN 4. PERUBAHAN PENUTUP LAHAN 4.1. Latar Belakang Sebagaimana diuraikan terdahulu (Bab 1), DAS merupakan suatu ekosistem yang salah satu komponen penyusunannya adalah vegetasi terutama berupa hutan dan perkebunan

Lebih terperinci

BAB I. PENDAHULUAN. kegiatan pertanian, pemukiman, penggembalaan serta berbagai usaha lainnya

BAB I. PENDAHULUAN. kegiatan pertanian, pemukiman, penggembalaan serta berbagai usaha lainnya BAB I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kebutuhan akan lahan semakin meningkat seiring meningkatnya jumlah penduduk Indonesia. Peningkatan kebutuhan akan lahan akan digunakan untuk kegiatan pertanian, pemukiman,

Lebih terperinci

IDENTIFIKASI POTENSI DAN PEMETAAN SUMBERDAYA PULAU-PULAU KECIL

IDENTIFIKASI POTENSI DAN PEMETAAN SUMBERDAYA PULAU-PULAU KECIL IDENTIFIKASI POTENSI DAN PEMETAAN SUMBERDAYA PULAU-PULAU KECIL Nam dapibus, nisi sit amet pharetra consequat, enim leo tincidunt nisi, eget sagittis mi tortor quis ipsum. PENYUSUNAN BASELINE PULAU-PULAU

Lebih terperinci

KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 32 TAHUN 1990 TENTANG PENGELOLAAN KAWASAN LINDUNG PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 32 TAHUN 1990 TENTANG PENGELOLAAN KAWASAN LINDUNG PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 32 TAHUN 1990 TENTANG PENGELOLAAN KAWASAN LINDUNG PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa ruang selain merupakan sumber alam yang penting artinya bagi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG

BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG Pantai adalah daerah di tepi perairan yang dipengaruhi oleh air pasang tertinggi dan air surut terendah. Garis pantai adalah garis batas pertemuan antara daratan dan

Lebih terperinci

Faktor penyebab banjir oleh Sutopo (1999) dalam Ramdan (2004) dibedakan menjadi persoalan banjir yang ditimbulkan oleh kondisi dan peristiwa alam

Faktor penyebab banjir oleh Sutopo (1999) dalam Ramdan (2004) dibedakan menjadi persoalan banjir yang ditimbulkan oleh kondisi dan peristiwa alam BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Bencana alam tampak semakin meningkat dari tahun ke tahun yang disebabkan oleh proses alam maupun manusia itu sendiri. Kerugian langsung berupa korban jiwa, harta

Lebih terperinci

BAB II GAMBARAN UMUM WILAYAH STUDI

BAB II GAMBARAN UMUM WILAYAH STUDI BAB II GAMBARAN UMUM WILAYAH STUDI 2.1 Geografis dan Administratif Sebagai salah satu wilayah Kabupaten/Kota yang ada di Provinsi Jawa Tengah, Kabupaten Kendal memiliki karakteristik daerah yang cukup

Lebih terperinci

KERANGKA RAPERMEN TENTANG TATA CARA PENGHITUNGAN BATAS SEMPADAN PANTAI

KERANGKA RAPERMEN TENTANG TATA CARA PENGHITUNGAN BATAS SEMPADAN PANTAI KERANGKA RAPERMEN TENTANG TATA CARA PENGHITUNGAN BATAS SEMPADAN PANTAI BAB I BAB II BAB III BAB IV BAB V : KETENTUAN UMUM : PENGHITUNGAN BATAS SEMPADAN PANTAI Bagian Kesatu Indeks Ancaman dan Indeks Kerentanan

Lebih terperinci

APLIKASI PENGINDERAAN JAUH UNTUK PENGELOLAAN HUTAN MANGROVE SEBAGAI SALAH SATU SUMBERDAYA WILAYAH PESISIR (STUDI KASUS DI DELTA SUNGAI WULAN KABUPATEN DEMAK) Septiana Fathurrohmah 1, Karina Bunga Hati

Lebih terperinci

Morfologi Permukiman Pesisir pada Daerah Aliran Sungai di Kota Dumai. Muhammad Rijal a, Gun Faisal b

Morfologi Permukiman Pesisir pada Daerah Aliran Sungai di Kota Dumai. Muhammad Rijal a, Gun Faisal b Tema 7 Seminar Nasional Pengelolaan Pesisir & Daerah Aliran Sungai ke-1 Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, 9 April 2015 Morfologi Permukiman Pesisir pada Daerah Aliran Sungai di Kota Dumai Muhammad Rijal

Lebih terperinci

Jurnal Perikanan dan Kelautan Vol. 3, No. 4, Desember 2012: ISSN :

Jurnal Perikanan dan Kelautan Vol. 3, No. 4, Desember 2012: ISSN : Jurnal Perikanan dan Kelautan Vol. 3, No. 4, Desember 212: 355-364 ISSN : 288-3137 PERUBAHAN GARIS PANTAI AKIBAT KERUSAKAN HUTAN MANGROVE DI KECAMATAN BLANAKAN DAN KECAMATAN LEGONKULON, KABUPATEN SUBANG

Lebih terperinci

BAB IV METODE PENELITIAN

BAB IV METODE PENELITIAN BAB IV METODE PENELITIAN A. Konsep Penelitian Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif yaitu untuk mengetahui potensi terjadinya banjir di suatu wilayah dengan memanfaatkan sistem informasi geografi

Lebih terperinci

BAB IV GAMBARAN WILAYAH STUDI

BAB IV GAMBARAN WILAYAH STUDI BAB IV GAMBARAN WILAYAH STUDI IV.1 Gambaran Umum Kepulauan Seribu terletak di sebelah utara Jakarta dan secara administrasi Pulau Pramuka termasuk ke dalam Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu, Provinsi

Lebih terperinci

PERILAKU MASYARAKAT TERHADAP PENGGUNAAN DAN PELESTARIAN AIR DI LINGKUNGANNYA (Studi kasus di Daerah Aliran Sungai Garang, Semarang) Purwadi Suhandini

PERILAKU MASYARAKAT TERHADAP PENGGUNAAN DAN PELESTARIAN AIR DI LINGKUNGANNYA (Studi kasus di Daerah Aliran Sungai Garang, Semarang) Purwadi Suhandini PERILAKU MASYARAKAT TERHADAP PENGGUNAAN DAN PELESTARIAN AIR DI LINGKUNGANNYA (Studi kasus di Daerah Aliran Sungai Garang, Semarang) Purwadi Suhandini Abstract Key words PENDAHULUAN Air merupakan sumberdaya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang mempunyai fungsi produksi, perlindungan dan pelestarian alam. Luas hutan

BAB I PENDAHULUAN. yang mempunyai fungsi produksi, perlindungan dan pelestarian alam. Luas hutan 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Hutan mangrove merupakan salah satu sumberdaya alam daerah pantai payau yang mempunyai fungsi produksi, perlindungan dan pelestarian alam. Luas hutan mangrove di

Lebih terperinci

PERUBAHAN GARIS PANTAI DI TELUK BUNGUS KOTA PADANG, PROVINSI SUMATERA BARAT BERDASARKAN ANALISIS CITRA SATELIT

PERUBAHAN GARIS PANTAI DI TELUK BUNGUS KOTA PADANG, PROVINSI SUMATERA BARAT BERDASARKAN ANALISIS CITRA SATELIT Jurnal Ilmu dan Teknologi Kelautan Tropis, Vol. 5, No. 2, Hlm. 417-427, Desember 2013 PERUBAHAN GARIS PANTAI DI TELUK BUNGUS KOTA PADANG, PROVINSI SUMATERA BARAT BERDASARKAN ANALISIS CITRA SATELIT COASTLINE

Lebih terperinci

ANALISA SPASIAL PERUBAHAN PENGGUNAAN TANAH DI SEKITAR LAGUNA SEGARA ANAKAN KABUPATEN CILACAP - PROVINSI JAWA TENGAH

ANALISA SPASIAL PERUBAHAN PENGGUNAAN TANAH DI SEKITAR LAGUNA SEGARA ANAKAN KABUPATEN CILACAP - PROVINSI JAWA TENGAH Analisa Spasial Perubahan di Sekitar Laguna Segara Anakan. (Irwansyah, E.) ANALISA SPASIAL PERUBAHAN PENGGUNAAN TANAH DI SEKITAR LAGUNA SEGARA ANAKAN KABUPATEN CILACAP - PROVINSI JAWA TENGAH (Spatial Analysis

Lebih terperinci

MITIGASI BENCANA ALAM II. Tujuan Pembelajaran

MITIGASI BENCANA ALAM II. Tujuan Pembelajaran K-13 Kelas X Geografi MITIGASI BENCANA ALAM II Tujuan Pembelajaran Setelah mempelajari materi ini, kamu diharapkan mempunyai kemampuan sebagai berikut. 1. Memahami banjir. 2. Memahami gelombang pasang.

Lebih terperinci

Resiko Banjir Kabupaten Gresik Berdasarkan Citra Satelit (Wiweka)

Resiko Banjir Kabupaten Gresik Berdasarkan Citra Satelit (Wiweka) RESIKO BANJIR KABUPATEN GRESIK BERDASARKAN CITRA SATELIT Wiweka Peneliti Bidang Pengembangan Pemanfaatan dan Teknologi Inderaja, LAPAN RINGKASAN Kabupaten Gresik secara lingkungan fisik merupakan wilayah

Lebih terperinci

3 METODOLOGI. 3.1 Waktu dan Lokasi Penelitian

3 METODOLOGI. 3.1 Waktu dan Lokasi Penelitian METODOLOGI. Waktu dan Lokasi Penelitian Penelitian ini terdiri dari tahapan, yakni dilaksanakan pada bulan Agustus 0 untuk survey data awal dan pada bulan FebruariMaret 0 pengambilan data lapangan dan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Wilayah pantai adalah suatu wilayah yang mengalami kontak langsung dengan aktivitas manusia dan kontak dengan fenomena alam terutama yang berasal dari laut. Fenomena

Lebih terperinci

DEPARTEMEN KEHUTANAN DIREKTORAT JENDERAL REHABILITASI LAHAN DAN PERHUTANAN SOSIAL PEDOMAN INVENTARISASI DAN IDENTIFIKASI LAHAN KRITIS MANGROVE

DEPARTEMEN KEHUTANAN DIREKTORAT JENDERAL REHABILITASI LAHAN DAN PERHUTANAN SOSIAL PEDOMAN INVENTARISASI DAN IDENTIFIKASI LAHAN KRITIS MANGROVE DEPARTEMEN KEHUTANAN DIREKTORAT JENDERAL REHABILITASI LAHAN DAN PERHUTANAN SOSIAL PEDOMAN INVENTARISASI DAN IDENTIFIKASI LAHAN KRITIS MANGROVE JAKARTA, MEI 2005 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Hutan mangrove

Lebih terperinci

PENGEMBANGAN EKOWISATA BAHARI DI WILAYAH CIREBON

PENGEMBANGAN EKOWISATA BAHARI DI WILAYAH CIREBON PENGEMBANGAN EKOWISATA BAHARI DI WILAYAH CIREBON Oleh : Darsiharjo Pendahuluan Akhir-akhir ini masyarakat mulai menyadari bahwa dalam kehidupan tidak hanya cukup dengan pemenuhan pangan, papan dan sandang

Lebih terperinci

IV. KONDISI UMUM 4.1 Kondisi Fisik Wilayah Administrasi

IV. KONDISI UMUM 4.1 Kondisi Fisik Wilayah Administrasi IV. KONDISI UMUM 4.1 Kondisi Fisik 4.1.1 Wilayah Administrasi Kota Bandung merupakan Ibukota Propinsi Jawa Barat. Kota Bandung terletak pada 6 o 49 58 hingga 6 o 58 38 Lintang Selatan dan 107 o 32 32 hingga

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Setiap negara mempunyai kewenangan untuk memanfaatkan sumber daya alamnya untuk pembangunan. Pada negara berkembang pembangunan untuk mengejar ketertinggalan dari

Lebih terperinci

APLIKASI PJ UNTUK PENGGUNAAN TANAH. Ratna Saraswati Kuliah Aplikasi SIG 2

APLIKASI PJ UNTUK PENGGUNAAN TANAH. Ratna Saraswati Kuliah Aplikasi SIG 2 APLIKASI PJ UNTUK PENGGUNAAN TANAH Ratna Saraswati Kuliah Aplikasi SIG 2 Prosedur analisis citra untuk penggunaan tanah 1. Pra-pengolahan data atau pengolahan awal yang merupakan restorasi citra 2. Pemotongan

Lebih terperinci

Gambar 9. Peta Batas Administrasi

Gambar 9. Peta Batas Administrasi IV. KONDISI UMUM WILAYAH 4.1 Letak Geografis Wilayah Kabupaten Garut terletak di Provinsi Jawa Barat bagian Selatan pada koordinat 6 56'49'' - 7 45'00'' Lintang Selatan dan 107 25'8'' - 108 7'30'' Bujur

Lebih terperinci

Keputusan Presiden No. 32 Tahun 1990 Tentang : Pengelolaan Kawasan Lindung

Keputusan Presiden No. 32 Tahun 1990 Tentang : Pengelolaan Kawasan Lindung Keputusan Presiden No. 32 Tahun 1990 Tentang : Pengelolaan Kawasan Lindung Oleh : PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Nomor : 32 TAHUN 1990 (32/1990) Tanggal : 25 JULI 1990 (JAKARTA) DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA

Lebih terperinci

KARAKTERISTIK WILAYAH STUDI A. Letak Geografis

KARAKTERISTIK WILAYAH STUDI A. Letak Geografis IV. KARAKTERISTIK WILAYAH STUDI A. Letak Geografis Kabupaten Magelang merupakan salah satu kabupaten yang berada di provinsi Jawa Tengah yang berbatasan dengan beberapa kota dan kabupaten seperti Kabupaten

Lebih terperinci

2013, No BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan Pemerintah ini yang dimaksud dengan: 1. Rawa adalah wadah air beserta air dan daya air yan

2013, No BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan Pemerintah ini yang dimaksud dengan: 1. Rawa adalah wadah air beserta air dan daya air yan LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.180, 2013 SDA. Rawa. Pengelolaan. Pengawasan. Pencabutan. (Penjelasan Dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5460) PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA

Lebih terperinci

Kajian Hidro-Oseanografi untuk Deteksi Proses-Proses Dinamika Pantai (Abrasi dan Sedimentasi)

Kajian Hidro-Oseanografi untuk Deteksi Proses-Proses Dinamika Pantai (Abrasi dan Sedimentasi) Kajian Hidro-Oseanografi untuk Deteksi Proses-Proses Dinamika Pantai (Abrasi dan Sedimentasi) Mario P. Suhana * * Mahasiswa Pascasarjana Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor Email: msdciyoo@gmail.com

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI PEKERJAAN UMUM DAN PERUMAHAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA NOMOR 29/PRT/M/2015 TENTANG RAWA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN MENTERI PEKERJAAN UMUM DAN PERUMAHAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA NOMOR 29/PRT/M/2015 TENTANG RAWA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN MENTERI PEKERJAAN UMUM DAN PERUMAHAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA NOMOR 29/PRT/M/2015 TENTANG RAWA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI PEKERJAAN UMUM DAN PERUMAHAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA,

Lebih terperinci

DESKRIPSI LOKASI PENELITIAN

DESKRIPSI LOKASI PENELITIAN DESKRIPSI LOKASI PENELITIAN Gambaran Umum Lokasi Penelitian Kecamatan Legonkulon berada di sebelah utara kota Subang dengan jarak ± 50 km, secara geografis terletak pada 107 o 44 BT sampai 107 o 51 BT

Lebih terperinci

REKALKUKASI SUMBER DAYA HUTAN INDONESIA TAHUN 2003

REKALKUKASI SUMBER DAYA HUTAN INDONESIA TAHUN 2003 REKALKUKASI SUMBER DAYA HUTAN INDONESIA TAHUN 2003 KATA PENGANTAR Assalaamu alaikum Wr. Wb. Puji syukur kami panjatkan kepada Allah SWT atas karunia-nya sehingga kami dapat menyelesaikan penyusunan Buku

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar di dunia yang memiliki

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar di dunia yang memiliki 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar di dunia yang memiliki 17.508 pulau dengan panjang garis pantai 99.093km, sehingga memiliki potensi sumberdaya pesisir

Lebih terperinci

BAB V. EVALUASI HASIL PENELITIAN Evaluasi Parameter Utama Penelitian Penilaian Daya Dukung dengan Metode Pembobotan 124

BAB V. EVALUASI HASIL PENELITIAN Evaluasi Parameter Utama Penelitian Penilaian Daya Dukung dengan Metode Pembobotan 124 DAFTAR ISI Halaman Judul Halaman Persetujuan Kata Pengantar Pernyataan Keaslian Tulisan Daftar Isi Daftar Tabel Daftar Gambar Daftar Peta Daftar Lampiran Intisari Abstract i ii iii iv v ix xi xii xiii

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kekayaan sumberdaya alam wilayah kepesisiran dan pulau-pulau kecil di Indonesia sangat beragam. Kekayaan sumberdaya alam tersebut meliputi ekosistem hutan mangrove,

Lebih terperinci

POLA SPASIAL SEBARAN MATERIAL DASAR PERAIRAN DI TELUK BUNGUS, KOTA PADANG

POLA SPASIAL SEBARAN MATERIAL DASAR PERAIRAN DI TELUK BUNGUS, KOTA PADANG POLA SPASIAL SEBARAN MATERIAL DASAR PERAIRAN DI TELUK BUNGUS, KOTA PADANG Yulius, G. Kusumah & H.L. Salim Pusat Riset Wilayah Laut dan Sumberdaya Nonhayati BRKP-DKP Jl. Pasir Putih I Ancol Timur-Jakarta

Lebih terperinci