ASPEK PEMBUKTIAN DALAM MALPRAKTEK MEDIK. Oleh : Echwan Iriyanto, S.H., M.H. Dosen Fakultas Hukum Universitas Jember. Abstraksi
|
|
- Hartanti Lesmono
- 7 tahun lalu
- Tontonan:
Transkripsi
1 ASPEK PEMBUKTIAN DALAM MALPRAKTEK MEDIK Oleh : Echwan Iriyanto, S.H., M.H. Dosen Fakultas Hukum Universitas Jember Abstraksi Dalam menjalankan fungsinya ditengah-tengah masyarakat, dokter mempunyai kedudukan yang unik. Adanya kedudukan yang unik tersebut, tentu saja memberikan beban baru bagi setiap orang yang memilih profesi dokter sebagai pilihan dalam kehidupannya. Beban tersebut antara lain menjaga integritas, agar martabat profesinya tidak runtuh dan harus dipertahankan. Namun kenyataan menunjukkan bahwa kini banyak kritik pedas masyarakat terhadap pelayanan medik sebagai akibat banyaknya terjadi malpraktek medik. Perdebatan dikalangan profesi hukum dan kedokteran dalam penegakan hukum terhadap kasus-kasus malapraktek sangat penting untuk diselesaikan, yaitu dengan mengoptimalkan peranan ahli dalam aspek pembuktiannya. Kata kunci : malpraktek medik, ahli dan pembuktian I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Dalam menjalankan fungsinya ditengah-tengah masyarakat, dokter mempunyai kedudukan yang unik. Ada beberapa ciri yang perlu diperhatikan dalam kaitannya dengan etik, yaitu : 1 1. rasa takut sering merupakan latar belakang utama kedatangan pasien kepada dokter. Betapapun adakalanya keluhan itu sendiri tidak riil, tetapi rasa takut itu benar-benar riil; 2. pasien sepenuhnya berserah diri kepada dokter. Bahkan dalam keinginannya bebas dari rasa sakit, ia bersedia disakiti oleh dokternya, misalnya melalui berbagai prosedur dianostik ataupun operasi; 1 Kartono Muhammad, Penanganan Pelanggaran Etik Kedokteran,, Makalah dalam Simposdium Kedokteran- Diselengarakan oleh BPHN Depkeh kerjasama dengan IDI, Jakarta, 6-7 Juni 1983, h. 1. 1
2 3. hubungan antara dokter dengan pasien bersifat sangat pribadi. Seluruh rahasia yang dimilikinya akan dibukakan kepada dokter, jika dikehendaki; 4. dokter bekerja dalam suasana yang tidak pasti ( uncertainty ). Selain sifatsifat tubuh manusia yang sangat bervariasi, dokter tidak membuat seperti halnya seorang montir yang boleh membongkar seluruh isi obyek yang akan diperbaiki, hanya untuk memastikan letak dan macam kelainan yang menimbulkan keluhan; 5. masyarakat menaruh harapan dan kepercayaan kepada dokter, tetapi sekaligus juga mencurigai atau bahkan cemburu terhadapnya; 6. tuntutan fungsi sosial terhadap profesi kedokteran sangat besar, bahkan mungkin terbesar di antara profesi-profesi lainnya. Ini merupakan beban mental yang berat bagi para dokter yang dalam hidup sehari- hari justru diperlukan sebagai obyek ekonomi; 7. hubungan fungsional antara dokter dan masyarakat memberikan status yang unik, tetapi juga tinggi bagi dokter. Mereka yang bermental lemah akan mudah terbuai oleh status ini dan lupa diri. Adanya kedudukan yang unik sifatnya itu, tentu saja memberikan beban yang baru bagi setiap orang yang memilih profesi kedokteran sebagai pilihan dalam kehidupannya. Beban yang antara lain agar tetap dapat menjaga integritas, agar martabat profesinya tidak runtuh dan harus dipertahankan. Dengan demikian, apa yang menjadi harapan dan kepercayaan masyarakat kepadanya harus diimbangi dengan bukti-bukti dalam bentuk perbuatan yang nyata. Himbauan demikian inilah tidak lain sebenarnya merupakan manifestasi dari dalil-dalil yang yang dikemukakan oleh Hippocrates sebagai Bapak Profesi Kedokteran Modern. Beliau telah mengingatkan hal demikian itu lewat dalil-dalil, yang antara lain mengatakan : 2 setelah memiliki semua persyaratan untuk menjadi dokter dan kemudian menguasai Ilmu Kedokteran, dalam berkelana di berbagai kota kita harus menjadi dokter yang dihormati bukan karena nama, tetapi karena benar-benar pantas untuk dihormati. Demikian tepatnya dalil-dalil yang dikemukakan oleh Hippocrates ini untuk diterapkan oleh para dokter agar 2 Ibid. 2
3 kepercayaan masyarakat dan integritas dalam profesi kedokteran itu sendiri tidak mudah luntur. Dan atas dasar dalil-dalil tersebut itulah antara lain Kode Etik Kedokteran Modern dikembangkan dan bertahan sampai sekarang. Penilaian-penilaian yang serba positif terhadap profesi kedokteran pada kenyataannya sekarang ini rupanya sudah mulai agak luntur, terbukti bahwa akhir-akhir ini banyak terjadi kasus yang diajukan ke Pengadilan yang berhubungan dengan profesi kedokteran baik kasus perdata ataupun pidana. Sebagai manusia biasa, yang mempunyai kelebihan dan kekurangan, seorang dokterpun niscaya tidak akan luput dari kesalahan, baik itu kesalahan yang dilakukannya dalam kehidupan sosialnya sebagai anggota masyarakat, maupun kesalahannya yang dilakukan dalam melaksanakan tugasnya sehari-hari sebagai insan yang berbudi. Namun kenyataan menunjukkan bahwa kini hampir secara berkala bisa dibaca dalam media massa adanya berbagai berita tentang malpraktek, yang sekaligus merupakan suatu kritik pedas terhadap pelayanan medis. Banyak bermunculan adanya berita dokter digugat pasien ( ahli warisnya ), tidak hanya sampai di Pengadilan, tetapi kasus-kasus demikian malahan ada yang sampai ke DPR. Oleh sebab itu, penegakan hukum terhadap kasus-kasus malapraktek hingga saat ini masih menjadi perdebatan dikalangan profesi hukum dan kedokteran. Persoalan apakah tindakan dokter dapat dikualifikasikan sebagai malapraktek atau bukan ketika ada pasiennya yang mati ataupun cacat masih multi tafsir khususnya bila menyangkut masalah pembuktiannya. 1.2 Rumusan Masalah Berdasarkan uraian dalam latar belakang diatas, maka permasalahan yang akan dibahas adalah kendala yuridis dalam pembuktian suatu perbuatan malpraktek medik, dan upaya apa saja yang dapat dilakukan? II. PEMBAHASAN 2.1. Beberapa Konsep Tentang Malpraktek Istilah malpractice menurut Peter Salim dalam The Contemporary English Indonesia Dictionary, berarti perbuatan atau tindakan yang salah. 3
4 Malpractice juga berarti praktek buruk 3 (badpractice) yang menunjukkan pada setiap sikap tindak yang keliru. Sedangkan menurut John M. Echols dan Hassan Shadily dalam Kamus Inggris Indonesia, malpractice berarti cara pengobatan pasien yang salah. Adapun ruang lingkupnya mencakup kurangnya kemampuan untuk melaksanakan kewajiban profesional atau didasarkan kepada kepercayaan. Dalam bahasa Belanda disebut dengan istilah Kuntsfout atau seni salah, merupakan suatu tindakan medis yang dilakukan tidak dengan sengaja akan tetapi di sini ada unsur lalai yang tidak patut dilakukan oleh seorang ahli dalam dunia medis dan tindakan mana yang mengakibatkan sesuatu hal yang fatal misalnya mati atau cacat karena lalai dan lain sebagainya. 4 Berdasarkan beberapa pengertian tentang malpractice tersebut di atas, kiranya dapat diperjelas dengan pengertian malpractic yang terdapat dalam buku The Dentist and the Law yang ditulis oleh Charles Wendell Carnahan, yang berbunyi : 5 What is Malpractice? In a general sense malpractice is bad practice, a failure to comply with the standarts set by the profession. From the stand point of a patient who has sustained in jurie, it may cover the range on incidents from diagnosis throught operation and after-treatment. Dengan demikian, malpractice itu sebenarnya mempunyai suatu pengertian yang luas, yang dapat dijabarkan sebagai berikut : a) dalam arti umum suatu praktek ( khususnya praktek dokter ) yang buruk yang tidak memenuhi standar yang telah ditentukan oleh profesi; b) dalam arti khusus ( dilihat dari pasien ) malpractice dapat terjadi : 1. menentukan diagnosa, misalnya : diagnosisnya pasien sakit maag, tetapi ternyata pasien sakit liver. 2. menjalankan operasi, misalnya : seharusnya yang dioperasi mata sebelah kanan, tetapi dilakukan pada mata sebelah kiri. 3. selama menjalankan perawatan. 3 J.Guwandi, Perkara Tindak Pidana Medik ( Medical malpractice ), Kompas 5 Mei Fred Amien, Berbagai Kecenderungan Dalam Hukum Kedokteran Di Indonesia, Makalah, Jakarta, tahun Charles Wendell Carnahan, The Dentist and the Law, CV. Mosby Company, second printing, United States of America, 1955, h
5 4. sesudah perawatan, tentu saja dalam batas waktu yang telah ditentukan. Malpraktek dapat terjadi tidak saja selama waktu menjalankan operasi, tetapi dapat terjadi sejak dimulainya pemberian dianogsis sampai dengan sesudah dilakukannya perawatan sampai sembuhnya pasien. Hal ini berarti bahwa harus ada 2 (dua) pihak yaitu di satu pihak subjek yang melaksanakan treatment, dan di lain pihak adalah objek/subjek yang menjadi sasaran treatment. Sehingga persoalan sebenarnya menjadi how to treat the patient. 6 Bagaimana dokter memperlakukan (dalam arti mengupayakan kesembuhan) pasiennya melalui beberapa tahapan/prosedur yang merupakan langkah-langkah yang harus ditempuh oleh dokter. Selanjutnya di dalam buku The Law of Hospital Health Care Administration yang ditulis oleh Arthur F Southwick dikemukakan adanya 3 (tiga) teori sebagai sumber dari suatu perbuatan malpraktek, yaitu : 7 a. teori pelanggaran kontrak ( breach of contract) b. teori perbuatan yang disengaja (intentional tort) c. teori kelalaian (negligence). Teori Pelanggaran Kontrak Secara hukum seorang dokter tidak mempunyai kewajiban merawat seseorang bila mana di antara keduanya tidak terdapat suatu hubungan kontrak antara dokter dan pasien. Hubungan antara dokter dengan pasien baru terjadi apabila telah terjadi kontrak di antara ke dua belah pihak tersebut. Namun demikian hubungan kontrak dokter pasien ini, tidak berarti bahwa hubungan tersebut harus selalu terjadi dengan adanya kesepakatan bersama. Dalam keadaan penderita tidak sadarkan diri ataupun dalam keadaan gawat darurat, maka persetujuan atau kontrak dokter pasien dapat diminta dari pihak ke tiga yaitu keluarga penderita yang bertindak atas nama dan mewakili kepentingan penderita. 6 Hermien Hadiati Koeswadji., Hukum Kedokteran ( Studi Tentang Hubungan Hukum Dalam Mana Dokter Sebagai Salah Satu Pihak ), PT.Citra Aditya Bakti, Bandung, 1998, h Ninik Mariyanti, Malpraktek Kedokteran Dari segi Hukum Pidana dan Perdata,Bina aksara, Jakarta, 1988, h
6 Suatu persetujuan yang telah ada antara dokter dengan pasien akan memberikan perlindungan hukum bagi dokter dalam melaksanakan tugasnya. Selama dia melaksanakan tugasnya dengan cermat, maka tidak ada masalah hukum bagi dirinya. Dalam perkembangannya, perlindungan hukum yang didasarkan atas persetujuan tersebut harus disertai pula dengan suatu penjelasan dari dokter mengenai cara perawatan, risiko yang dihadapi dan lain sebagainya, yang lazim disebut dengan istilah informed consens. Persetujuan yang demikian itu di dasarkan pada prinsip bahwa setiap manusia mempunyai hak untuk berperan serta dalam mengambil keputusan yang menyangkut dirinya sendiri. Kemudian prinsip ini dapat dijabarkan atas : 1. pasien harus mempunyai informasi yang cukup untuk mengambil keputusan mengenai perawatan atas dirinya; 2. pasien harus memberikan persetujuan atas perawatan terhadapnya, baik secara lisan maupun tertulis, secara aksplisit ataupun implisit. Dengan kata lain pasien tidak boleh dipaksa untuk menerima cara perawatan tertentu walaupun hal itu dianggap paling baik oleh dokter. Jadi dapat dikatakan bahwa persetujuan atas dasar penjelasan didasarkan pada kemandirian pribadi manusia. Teori Perbuatan Yang Disengaja Teori ini pada dasarnya dapat dipakai oleh pasien untuk mengajukan gugatan kepada dokter karena perbuatan malpraktek akibat kesalahan yang sengaja dilakukan (intentional tort) yang mengakibatkan seseorang (pasien) secara fisik mengalami cidera ( assult and battery ). Kasus malpraktek menurut teori ini dalam arti yang sebenarnya jarang terjadi dan dapat digolongkan suatu kejahatan. Sebagai contoh untuk memberikan gambaran terhadap prinsip tersebut adalah kasus Mohr vs Williams. Bahwa penderita telah setuju untuk dioperasi membuang polip dari telinga sebelah kanan. Setelah pembiusan anestesi, ahli bedah enemukan pula polip telinga sebelah kiri, yang oleh ahli tersebut justru dianggap lebih perlu untuk dioperasi. Dokter ahli 6
7 bedah akhirnya memutuskan tidak jadi mengoperasi telinga sebelah kanan, tetapi beralih untuk mengoperasi telinga sebelah kiri, tanpa sepengetahuan atau tanpa persetujuan penderita/pasien. Dalam kasus ini, pengadilan menyatakan bahwa tindakan ahli bedah tersebut termasuk assult and bettery. Teori Kelalaian Teori ini pada dasarnya menyatakan bahwa sumber perbuatan malpraktek adalah adanya kelalaian ( negligence ). Sebagai contoh kasus adalah peristiwa yang menimpa seorang anak berumur 12 tahun yang tangannya patah karena mengikuti kegiatan olah raga di sekolahnya. Ia harus menunggu selama 6 jam di ruang gawat darurat sebuah rumah sakit di New York. Meskipun para dokter di Rumah sakit tersebut mengatakan sangat sibuk sekali, tetapi oleh pengadilan kasus ini dianggap sebagai suatu kelalaian (malpraktek medik). 2.2 Sistem Pembuktian Dalam Perkara Pidana Terdapat beberapa ajaran tentang sistem pembuktian dalam perkara pidana, yakni : 8 1) Conviction intime. Menurut sistem ini, untuk menetukan salah tidaknya seorang terdakwa semata-mata didasarkan oleh penilaian keyakinan hakim. Keyakinan hakimlah yang menentukan keterbuktian kesalahan terdakwa. Dari mana hakim menarik dan menyimpulkan keyakinannya, tidak menjadi masalah dalam sistem ini. Keyakinan boleh diambil dan disimpulkan hakim dari alat-alat bukti yang diperiksanya dalam sidang pengadilan. Bisa juga hasil pemeriksaan alat-alat bukti itu diabaikan hakim, dan langsung menarik keyakinan dari keterangan atau pengakuan terdakwa. Sistem ini sudah barang tentu mengandung kelemahan, yaitu bahwa hakim dapat saja menjatuhkan hukuan pada seorang terdakwa semata-mata atas dasar keyakinan belaka tanpa didukung oleh alat bukti 8 M. Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP Jilid II, Pustaka Kartini, 1993, h
8 yang cukup. Sebaliknya hakim leluasa membebaskan terdakwa dari tindak pidana yang dilakukannya, walaupun kesakahan terdakwa telah cukup terbukti dengan alat-alat bukti yang lengkap, selama hakim tidak yakin atas kesalahan terdakwa. Jadi dalam sistem pembuktian conviction intime, sekalipun kesalahan terdakwa sudah cukup terbukti, pembuktian yang cukup itu dapat dikesampingkan oleh keyakinan hakim. 2) Conviction- raisonce. Dalam sistem ini, keyakinan hakim tetap memegang peranan penting dala menentukan salah tidaknya seorang terdakwa. Akan tetapi dalam sistem pembuktian ini, faktor keyakinan hakim dibatasi. Jika dalam sistem pembuktian convivtion intime peran keyakinan hakim leluasa tanpa batas, maka pada sistem ini keyakinan hakim harus didukung dengan alasan-alasan yang jelas. Hakim wajib menguraikan dan menjelaskan alasan-alasan apa yang mendasari keyakinannya atas kesalahan terdakwa. 3) Pembuktian Menurut Undang-Undang Secara Positif. Menurut sistem ini, keyakinan hakim tidak ikut ambil bagian dalam membuktikan kesalahan terdakwa. Keyakinan hakim dalam sistem ini tidak ikut berperan dalam menentukan salah atau tidaknya terdakwa. Sistem ini berpedoman pada prinsip pembuktian dengan alat-alat bukti yang ditentukan Undang- Undang. Untuk membuktikan salah atau tidaknya terdakwa seata-mata digantungkan kepada alat-alat bukti yang sah. Asalkan sudah dipenuhi syarat-syarat dan ketentuan pembuktian menurut undang-undang, sudah cukup menentukan kesalahan terdakwa tanpa mempersoalkan keyakinan hakim. KUHAP tidak semata-mata menganut secara kaku salah satu sistem pembuktian di atas. Pasal 183 KUHAP menyatakan : Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seorang kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar tejadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya. 8
9 Berdasarkan Pasal tersebut diatas, maka untuk menentukan salah atau tidaknya seorang terdakwa dan untuk menjatuhkan pidana kepada seorang terdakwa, harus : a. kesalahannya terbukti dengan sekurang-kurangnya dua lat bukti yang sah. Alat bukti yang sah menurut ketentuan Pasal 184 KUHAP yaitu : keterangan saksi; keterangan ahli; surat; petunjuk; dan keterangan terdakwa. b. dan atas keterbuktian dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah, hakim memperoleh keyakinan bahwa tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya. Berdasarkan penjelasan dari Pasal 183 KUHAP tersebut, maka sistem pembuktian yang dianut oleh KUHAP adalah sistem pembuktian menurut undangundang secara negatif. Tidak dibenarkan menghukum terdakwa yang kesalahannya tidak terbukti secara sah menurut Undang-undang. Keterbuktian tersebut harus pula digabung dan didukung oleh keyakinan hakim. Namun tetap yang menjadi dasar untuk menjatuhkan pidana kepada terdakwa adalah pembuktian yang cukup atas kesalahan terdakwa, bukan semata-mata keyakinan haikim. Sebaliknya, jika kesalahan terdakwa telah terbukti dengan cukup, dan hakim lalai mencantumkan keyakinannya, kealpaan itu tidak mengakibatkan batalnya putusan yang telah dijatuhkan. 2.3 Kendala Yuridis dan Upaya Penyelesaiannya Pembuktian merupakan masalah yang memegang peranan penting dalam proses pemeriksaan di sidang pengadilan. Dengan pembuktian inilah ditentukan nasib terdakwa. Apabila hasil pembuktian dengan alat-alat bukti yang ditentukan undang-undang tidak cukup membuktikan kesalahan yang didakwakan kepada terdakwa, maka terdakwa harus dibebaskan dari hukuman. Sebaliknya kalau kesalahan terdakwa dapat dibuktikan dengan alat-alat bukti yang disebut dalam Pasal 184 KUHAP, terdakwa harus dinyatakan bersalah dan kepadanya akan dijatuhkan hukuman. 9
10 Dari segi hukum, kesalahan akan selalu terkait dengan sifat melawan hukumnya perbuatan yang dilakukan oleh orang yang mampu bertanggung jawab. Oleh karena itu, perbuatan orang yang mampu bertanggung jawab itu dalam hukum dirumuskan sebagai perbuatan yang dapat dipidana atau Strafbaar feit atau diterjemahkan dengan tindak pidana. 9 Strafbaar feit ini merupakan istilah dalam hukum pidana yang menunjuk kepada kelakukan orang yang diruuskan dalam undang-undang dan sifatnya melawan hukum, sehingga oleh karena itu patut dipidana bagi pelakunya dan yang dilakukannya dengan kesalahan. Kesalahan, pertanggungjawaban dan pidana merupakan ungkapan yang digunakan sehari-hari baik dalam moral, agama, maupun hukum. Ketiga unsur tersebut berkait antara yang satu dengan yang lain dan berakar dalam satu keadaan yang sama, yaitu adanya pelanggaran terhadap suatu sistem aturan-aturan. Dengan demikian sistem yang melahirkan konsep kesalahan, pertanggungjawaban dan pemidanaan merupakan sistem normatif. Kesalahan, pertanggungjawaban dan pidana ini tidak akan terjadi bila tidak ada hubungan antara dokter dengan pasien yang berupa transaksi terapeutik. Dalam hubungan transaksi terapeutik antara dokter dan pasien (disingkat D P) merupakan kondisi awal yang melahirkan kemungkinan adanya kesalahan/kelalaian, pertanggungjawaban dan pidana. D dan P dalam transaksi terapeutik itu telah sepakat untuk mengadakan perjanjian/transasksi, dan perikatan itu sah apabila memnuhi syarat seperti yang diatur oleh Pasal 1320 BW. Ketentuan tersebut menyatakan bahwa perikatan yang sudah memenuhi syarat mengikat kedua belah pihak untuk dipenuhi. Apabila salah satu pihak tidak memenuhi isi transaksi pihak yang lain berhak untuk menuntut. Perkembangan selanjutnya, hubungan antara D dengan P tersebut dapat berkembang ke perikatan perawatan kesehatan. Dalam transaksi perawatan kesehatan, para pihak yang terlebat semakin banyak, dan bahkan yang terdiri dari tenaga kesehatan lainnya, yaitu yang terdiri dan tenaga keperawatan, tenaga kefarmasian, tenaga kesehatan masyarakat, tenaga gizi, tenaga keterapian fisik 9 Hermien Hadiati Koeswadji, op.cit, h
11 dan tenaga keteknisan medik. Ini berarti bahwa dengan melibatkan bidang keahlian semakin banyak juga membawa konsekuensi semakin kompleksnya penyelesaian permasalahan yang ada. Berdasarkan uraian tersebut, maka kesalahan/kelalaian dalam melaksanakan profesi (medik) tidak sama dengan kesalahan/kelalaian menurut hukum. Oleh karena itu ketentuan peraturan hukum yang berlaku umum, baik dalam hukum perdata (BW), hukum pidana (KUHP dan KUHAP), maupun hukum administrasi tidak dapat serta merta diterapkan terhadap kasus-kasus yang salah satu pihaknya adalah dokter/dokter gigi sebagai tenaga medis. Dalam kasus-kasus di mana dokter merupakan salah satu pihak (kasuskasus kesalahan/kelalaian dokter dalam melaksanakan profesi), salah satu kendala yang dihadapi dalam proses pembuktian ialah keterangan ahli. Berdasarkan Pasal 186 KUHAP, keterangan ahli yang dimaksudkan di sini dapat juga sudah diberikan pada waktu pemeriksaan oleh penyidik atau penuntut umum yang dituangkan dalam satu bentuk laporan dan dibuat dengan mengingat sumpah pada waktu ia menerima jabatan tersebut. Apabila hal itu tidak diberikan pada waktu pemeriksaan oleh penyidik/penuntut umum, maka pada waktu pemeriksaan di sidang pengadilan diminta untuk memberikan keterangan dan dicatat dalam berita acara pemeriksaan. Keterangan tersebut diberikan setelah ia mengucapkan sumpah atau janji di hadapan sidang mengenai kebenaran keterangannya sebagai saksi ahli. Sumpah atau janji yang diucapkan dimuka sidang mengenai kebenaran keterangannya yang diberikan sebagai saksi ahli ini harus dibedakan dengan sumpah/janji yang diucapkan pada waktu menerima jabatan/pekerjaan. Keterangan ahli yang dimaksudkan oleh Pasal 186 KUHAP tersebut bila dikaitkan dengan hubungan antara dokter dan pasien dapat dituangkan dalam bentuk baik tertulis maupun tidak tertulis. Keterangan ahli yang berwujud tertulis dapat berupa Rekam Medik ( RM ) yang dari segi formal merupakan himpunan catatan mengenai hal-hal yang terkait dengan riwayat perjalanan penyakit dan pengobatan/perawatan pasien. Sedangkan dari segi material, isi RM meliputi identitas pasien, catatan tentang penyakit, hasil pemeriksaan laboratorik, foto rontgen, dan pemeriksaan USG. Hal ini secara jelas diatur dala Pasal 1a Peraturan 11
12 Menteri Kesehatan RI No. 749a/Menkes/PER/XII/1989 tentang Rekam Medis (RM). Selanjutnya dalam Pasal 5 Per.Men.Kes.RI. tersebut juga menyebutkan bahwa setiap pencatatan ke dalam RM harus dibubuhi dengan nama dan tanda tangan petugas yang memberikan pelayanan/tindakan medis tertentu. Oleh karena itu RM berfungsi selain sebagai sarana komunikasi dan informasi antara dokter dan pasien, juga dapat berfungsi sebagai sarana administrasi bila kegiatan itu dilakukan di rumah sakit. Fungsi legal dari RM adalah sebagai alat bukti bila terjadi silang pendapat/tuntutan dari pasien, dan di lain pihak sebagai perlindungan hukum bagi dokter. Yang penting ialah bahwa RM yang merupakan catatan mengenai dilakukannya tindakan medis tertentu itu secara implisit juga mengandung Persetujuan Tindakan Medik (yang didasarkan pada informed consent ), karena tindakan medis tertentu itu tidak ada persetujuan dari pasien. Dengan demikian, apabila RM yang mempunyai multifungsi tersebut dikaitkan dengan Pasal 184 KUHAP, maka RM selain berfungsi sebagai alat bukti surat juga berfungsi sebagai alat bukti keterangan ahli. Mengenai alat bukti surat ini, menurut ketentuan Pasal 187 KUHAP adalah surat-surat yang dibuat oleh pejabat-pejabat resmi yang berbentuk berita acara, akta, surat keterangan atau surat yang lain yang mempunyai kaitan dengan perkara yang disidangkan. Syarat mutlak untuk menentukan dapat tidaknya surat dikategorikan sebagai alat bukti ialah surat tersebut harus dibuat di atas sumpah jabatan atau dikuatkan dengan sumpah. Dalam kaitannya dengan hubungan dokter-pasien dalam hal terjadi kesalahan/kelalaian dokter dala melaksanakan profesinya yang berkibat merugikan pasien, ada 4 (empat) macam surat yang dihasilkan dari hubungan tersebut, yaitu (1) kartu berobat ( medical card ); (2) persertujuan tindakan medik ( PERTINDIK berdasarkan informed consent); (3) Rekam Medik (medical record); dan (4) resep dokter (medical resipe). Dengan demikian maksud dari ketentuan Pasal 187 KUHAP tersebut ialah agar para pejabat yang mempunyai wewenang untuk membuat surat itu tidak perlu menghadap sendiri di persidangan, karena surat-surat yang mereka tandatangani atas/berdasar sumpah jabatan itu 12
13 cukup dibacakan di persidangan. Ini berarti bahwa dari segi formal, surat sebagai alat bukti merupakan alat bukti yang sempurna. Namun demikian, penetapan suatu surat sebagai alat bukti di persidangan sepenuhnya tergantung pada persetujuan Hakim yang memeriksa perkara yang bersangkutan. Selanjutnya dikaitkan dengan alat bukti petunjuk, macam-macam surat yang dihasilkan dari hubungan terapeutik tersebut, kiranya dapat juga dikualifikasikan sebagai alat bukti tersebut. Menurut ketentuan Pasal 188 ayat (1)(2)(3) KUHAP, yang dimaksud dengan petunjuk adalah perbuatan/kejadian/keadaan yang karena persesuaiannya dengan tindak pidana menandakan bahwa telah terjadi tindak pidana. Kata menandakan dalam Pasal 188 ayat (1) KUHAP tersebut menunjukkan adanya kemungkinan untuk diperoleh kepastian mutlak bahwa terdakwa bersalah melakukan perbuatan yang didakwakan kepadanya, sehingga dari kata-kata yang digunakannya dapat dijadikan sebagai petunjuk untuk membuktikan tindak pidana yang telah dilakukan terdakwa. Alat bukti petunjuk mempunyai kekuatan apabila terdapat persesuaian antara perbuatan dengan kejadian/keadaan. Oleh karena itu penilaian terhadap kekuatan pembuktian dari alat bukti petunjuk menurut Pasal 188 ayat (3) KUHAP dilakukan oleh hakim dengan arif dan bijaksana dalam setiap keadaan tertentu, setelah ia mengadakan pemeriksaan dengan cermat dan teliti berdasarkan hati nuraninya serta informasi yang diperoleh dari proses penanganan upaya pelayanan kesehatan. Hakim dengan demikian harus mengetahui dan mencari kebenaran yang sejati, apakah suatu kegagalan dalam pelayanan medis (malpraktek) disebabkan oleh error in persona ataukah error in objectanya. Sifat kekuatan pembuktian dari alat bukti petunjuk sama dengan alat bukti keterangan saksi, keterangan ahli, dan surat yang mempunyai sifat kekuatan pembuktian yang bebas. Di sinilah kekuatan alat bukti petunjuk dala meyakinkan hakim mengenai tindakan yang didakwakan karena hukum pidana modern menyatakan bahwa celaan dari suatu tindakan tidak terletak pada adanya hubungan antara keadaan batin pelaku dengan perbuatan yang dilakukannya, tetapi pada penilaian dari hubungan itu. 13
14 BAB III PENUTUP 3.1 Kesimpulan Pembuktian memegang peranan penting dalam proses pemeriksaan di sidang pengadilan. Dalam kasus-kasus di mana dokter merupakan salah satu pihak (kasus-kasus kesalahan/kelalaian dokter dalam melaksanakan profesi/malpraktek), salah satu kendala yang dihadapi dalam proses pembuktian ialah membuktikan unsur kesalahan. Oleh sebab peranan ahli sangat penting dalam menyelesaikan hal tersebut. 3.2 Saran Untuk mencegah terjadinya kesalahan/kelalaian dalam melaksanakan profesi, dokter seharusnya berpegang teguh pada lafal sumpah dokter, kode etik kedokteran Indonesia dan standar pelayanan kesehatan dan pelayanan medik. DAFTAR BACAAN Amien, Fred, 1986, Berbagai Kecenderungan Dalam Hukum Kedokteran Di Indonesia, Makalah, Jakarta. Carnahan, Charles Wendell, 1955, The Dentist and the Law, CV. Mosby Company, second printing, United States of America. Harahab, M. Yahya, 1993, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP Jilid II, Pustaka Kartini. Guwandi, J, Perkara Tindak Pidana Medik ( Medical Malpractice ), Kompas tanggal 5 Mei Koeswadji, Hermien Hadiati, 1998, Hukum Kedokteran (Studi Tentang Hubungan Hukum Dalam Mana Dokter Sebagai Salah Satu Pihak), PT.Citra Aditya Bakti, Bandung. Muhammad, Kartono, Penanganan Pelanggaran Etik Kedokteran,, Makalah dalam Simposium Kedokteran- Diselengarakan oleh BPHN Depkeh kerjasama dengan IDI, Jakarta, 6-7 Juni
15 Mariyati, Ninik, 1988, Malpraktek Kedokteran Dari segi Hukum Pidana dan Perdata, Bina aksara, Jakarta. Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana ( KUHAP) Undang-undang Nomor 23 Tahun 1992 Tentang Kesehatan Peraturan Pemerintah RI Nomor 32 Tahun 1996 Tentang Tenaga Kesehatan Peraturan Menteri Kesehatan RI No. 749a/Menkes/PER/XII/1989 tentang Rekam Medis (RM). 15
BAB III PENUTUP. mendapatkan hasil dari penelitian pihak Polda DIY dan Rumah Sakit Panti
59 BAB III PENUTUP A. Kesimpulan Data yang saya dapat dilapangan dengan melakukan wawancara dan mendapatkan hasil dari penelitian pihak Polda DIY dan Rumah Sakit Panti Rapih, bahwa penyidik dan MKDKI serta
Lebih terperinciTanggung Jawab Hukum Dokter Terhadap Pasien. 1. Tanggung Jawab Etis
Tanggung Jawab Hukum Dokter Terhadap Pasien 1. Tanggung Jawab Etis Peraturan yang mengatur tanggung jawab etis dari seorang dokter adalah Kode Etik Kedokteran Indonesia dan Lafal Sumpah Dokter. Kode etik
Lebih terperinciLex Privatum, Vol. IV/No. 6/Juli/2016
KESALAHAN DOKTER DAN SANKSINYA 1 Oleh: Fano Franklin Singal 2 ABSTRAK Penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui bagaimana kesalahan dokter dan sanksinya dalam melakukan tugas profesinya dan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. tercipta pula aturan-aturan baru dalam bidang hukum pidana tersebut. Aturanaturan
BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah Globalisasi menyebabkan ilmu pengetahuan kian berkembang pesat termasuk bidang ilmu hukum, khususnya dikalangan hukum pidana. Banyak perbuatan-perbuatan baru yang
Lebih terperinciAndrie Irawan, SH., MH Fakultas Hukum Universitas Cokroaminoto Yogyakarta
* Andrie Irawan, SH., MH Fakultas Hukum Universitas Cokroaminoto Yogyakarta *Kesehatan dlm kosnep duni internasional adalah a state of complete physical, mental and social, well being and not merely the
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. continental dan sistem Anglo Saxon. Perkembangan hukum secara. campuran karena adanya kemajemukan masyarakat dalam menganut tingkat
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Negara maju maupun negara berkembang di dunia ini menganut berbagai sistem hukum, apakah sistem hukum kodifikasi maupun sistem hukum-hukum lainnya. Indonesia
Lebih terperinciANALISIS YURIDIS REKAM MEDIS SEBAGAI ALAT BUKTI SURAT
ANALISIS YURIDIS REKAM MEDIS SEBAGAI ALAT BUKTI SURAT Fransiska Novita Eleanora FH Univ. MPU Tantular Jakarta Jl. Cipinang Besar No. 2 Jakarta Timur vita_eleanor@yahoo.com Abstract Medical record is bundle
Lebih terperinciInform Consent. Purnamandala Arie Pradipta Novita Natasya Calvindra L
Inform Consent Purnamandala Arie Pradipta Novita Natasya Calvindra L 1 PENDAHULUAN Malpraktek pada dasarnya adalah tindakan tenaga profesional (profesi) yang bertentangan dengan Standard Operating Procedure
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. masyarakat terhadap profesi kedokteran di Indonesia akhir-akhir ini makin
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Meningkatnya pengetahuan masyarakat seiring pesatnya perkembangan teknologi dan kemudahan dalam mendapatkan informasi, membuat masyarakat lebih kritis terhadap pelayanan
Lebih terperinciPERLINDUNGAN HUKUM BAGI KONSUMEN KESEHATAN DALAM HAL TERJADI MALPRAKTEK. Oleh: Elyani Staf Pengajar Fakultas Hukum UNPAB Medan ABSTRAK
PERLINDUNGAN HUKUM BAGI KONSUMEN KESEHATAN DALAM HAL TERJADI MALPRAKTEK Oleh: Elyani Staf Pengajar Fakultas Hukum UNPAB Medan ABSTRAK Kesehatan merupakan hal yang harus dijaga oleh setiap manusia, karena
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. bersosialisasi dan sebagainya. Setiap orang dianggap mampu untuk menjaga
1 BAB I PENDAHULUAN 1. LATAR BELAKANG MASALAH Sehat merupakan suatu keadaan yang ideal oleh setiap orang. Orang yang sehat akan hidup dengan teratur, mengkonsumsi makanan bergizi, berolah raga, bersosialisasi
Lebih terperinciRancangan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (RUU-KUHAP) Bagian Keempat Pembuktian dan Putusan
Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (RUU-KUHAP) Bagian Keempat Pembuktian dan Putusan Pasal 176 Hakim dilarang menjatuhkan pidana kepada terdakwa, kecuali apabila hakim memperoleh keyakinan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. kesejahteraan yang harus diwujudkan sesuai dengan cita-cita bangsa. sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Dasar Republik Indonesia
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kesehatan merupakan hak asasi manusia dan salah satu unsur kesejahteraan yang harus diwujudkan sesuai dengan cita-cita bangsa sebagaimana diatur dalam Undang-Undang
Lebih terperinciKEDUDUKAN REKAM MEDIS DALAM
KEDUDUKAN REKAM MEDIS DALAM PEMBUKTIAN PERKARA MALPRAKTEK DI BIDANG KEDOKTERAN 1 Oleh: Agriane Trenny Sumilat 2 ABSTRAK Kesehatan memiliki arti yang sangat penting bagi setiap orang. Kesehatan menjadi
Lebih terperinciBAB 1 PENDAHULUAN. pasien, dikenal dengan istilah transaksi terapeutik. Menurut Veronica
BAB 1 PENDAHULUAN Dalam hal pelayanan kesehatan yang dilakukan oleh seorang dokter terhadap pasien, kedua belah pihak mempunyai hak dan kewajiban, adanya hak dan kewajiban dikarenakan adanya perjanjian.
Lebih terperinciKekuatan Keterangan Saksi Anak Dibawah Umur dalam Pembuktian Perkara Pidana
1 Kekuatan Keterangan Saksi Anak Dibawah Umur dalam Pembuktian Perkara Pidana Novelina MS Hutapea Staf Pengajar Kopertis Wilayah I Dpk Fakultas Hukum USI Pematangsiantar Abstrak Adakalanya dalam pembuktian
Lebih terperinciII. TINJAUAN PUSTAKA. nampaklah bahwa pembuktian itu hanyalah diperlukan dalam berperkara dimuka
II. TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Umum Tentang Pembuktian Pengertian dari membuktikan ialah meyakinkan Hakim tentang kebenaran dalil atau dalil-dalil yang dikemukakan dalam suatu persengketaan. Dengan demikian
Lebih terperinciKEKUATAN PEMBUKTIAN VISUM ET REPERTUM BAGI HAKIM DALAM MEMPERTIMBANGKAN PUTUSANNYA. Oleh : Sumaidi, SH.MH
KEKUATAN PEMBUKTIAN VISUM ET REPERTUM BAGI HAKIM DALAM MEMPERTIMBANGKAN PUTUSANNYA Oleh : Sumaidi, SH.MH Abstrak Aparat penegak hukum mengalami kendala dalam proses pengumpulan alat-alat bukti yang sah
Lebih terperinciPENANGGUHAN PENAHANAN DALAM PROSES PERKARA PIDANA (STUDI KASUS KEJAKSAAN NEGERI PALU) IBRAHIM / D Abstrak
PENANGGUHAN PENAHANAN DALAM PROSES PERKARA PIDANA (STUDI KASUS KEJAKSAAN NEGERI PALU) IBRAHIM / D 101 10 523 Abstrak Negara Indonesia adalah negara yang berdasarkan atas hukum (rechstaat), tidak berdasarkan
Lebih terperinciIV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. dilakukan untuk mencari kebenaran dengan mengkaji dan menelaah beberapa
IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Karakteristik Narasumber Sebagaimana disampaikan sebelumnya bahwa penulisan skripsi ini menggunakan metode penelitian secara yuridis normatif adalah pendekatan penelitian
Lebih terperinciPERTANGGUNGJAWABAN PIDANA TERHADAP DOKTER YANG MELAKUKAN TINDAKAN MALPRAKTEK DIKAJI DARI KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PIDANA INDONESIA
PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA TERHADAP DOKTER YANG MELAKUKAN TINDAKAN MALPRAKTEK DIKAJI DARI KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PIDANA INDONESIA Oleh : I Gede Indra Diputra Ni Md. Ari Yuliartini Griadhi Bagian Hukum
Lebih terperinciBAB IV ANALISIS HUKUM MENGENAI PENGGUNAAN ALAT PENDETEKSI KEBOHONGAN (LIE DETECTOR) PADA PROSES PERADILAN PIDANA
BAB IV ANALISIS HUKUM MENGENAI PENGGUNAAN ALAT PENDETEKSI KEBOHONGAN (LIE DETECTOR) PADA PROSES PERADILAN PIDANA DIHUBUNGKAN DENGAN UNDANG-UNDANG NOMOR 8 TAHUN 1981 TENTANG HUKUM ACARA PIDANA JUNTO UNDANG-UNDANG
Lebih terperinciKESAKSIAN PALSU DI DEPAN PENGADILAN DAN PROSES PENANGANANNYA 1 Oleh: Gerald Majampoh 2
Lex Crimen, Vol.II/No.1/Jan-Mrt/2013 KESAKSIAN PALSU DI DEPAN PENGADILAN DAN PROSES PENANGANANNYA 1 Oleh: Gerald Majampoh 2 ABSTRAK Tujuan dilakukannya penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimana
Lebih terperinciRAHASIA KEDOKTERAN. Dr.H Agus Moch. Algozi, SpF, DFM. Bagian Ilmu Kedokteran Forensik Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga PENDAHULUAN
RAHASIA KEDOKTERAN Dr.H Agus Moch. Algozi, SpF, DFM Bagian Ilmu Kedokteran Forensik Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga PENDAHULUAN Dokter harus sadar bahwa masyarakat kita sekarang ini sudah kritis
Lebih terperinciTANGGUNG JAWAB PERDATA DOKTER KEPADA PASIEN DALAM TRANSAKSI TERAPEUTIK
TANGGUNG JAWAB PERDATA DOKTER KEPADA PASIEN DALAM TRANSAKSI TERAPEUTIK Oleh Made Hadi Setiawan A.A.Gede Agung Dharma Kusuma Bagian Hukum Perdata Fakultas Hukum Universitas Udayana ABSTRACT This paper titled
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. sangat penting dalam menunjang kesehatan dari masyarakat. Maju atau
BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Dalam dunia medis yang semakin berkembang, peranan rumah sakit sangat penting dalam menunjang kesehatan dari masyarakat. Maju atau mundurnya pelayanan kesehatan rumah
Lebih terperinciLex Privatum, Vol. III/No. 2/Apr-Jun/2015
KAJIAN YURIDIS PELANGGARAN NOTARIS DALAM PEMBUATAN AKTA AUTENTIK MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 30 TAHUN 2004 JO. UNDANG-UNDANG NOMOR 2 TAHUN 2014 1 Oleh : Cicilia R. S. L. Tirajoh 2 ABSTRAK Tujuan dilakukannya
Lebih terperinciPEMBUKTIAN MALPRAKTIK
Perhimpunan Dokter Forensik Indonesia The Indonesian Association of Forensic Medicine Prosiding Pertemuan Ilmiah Tahunan 2017 Proceeding Annual Scientific Meeting 2017 PEMBUKTIAN MALPRAKTIK Syarifah Hidayah
Lebih terperinciBAB I PENDAHULAN. dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia dalam Pasal 1 Ayat (3)
BAB I PENDAHULAN A. Latar Belakang Masalah Negara Indonesia adalah negara berdasarkan hukum. Hal ini ditegaskan dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia dalam Pasal 1 Ayat (3) yang berbunyi
Lebih terperinciPROPOSAL TESIS PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP PASIEN SEBAGAI KONSUMEN JASA DI BIDANG PELAYANAN MEDIS (SUATU TINJAUAN DARI SUDUT HUKUM PERDATA)
PROPOSAL TESIS PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP PASIEN SEBAGAI KONSUMEN JASA DI BIDANG PELAYANAN MEDIS (SUATU TINJAUAN DARI SUDUT HUKUM PERDATA) 1.1.Latar Belakang Masalah Dalam dunia medis yang semakin berkembang,
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. dalam menyampaikan keluhan jasmani danrohani kepada dokter yang. merawat, tidak boleh merasa khawatir bahwa segala sesuatu yang
1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Rahasia kedokteran berkaitan erat dengan hak asasi manusia, seperti tertulis dalam United Nation Declaration of Human Right pada tahun 1984 yang intinya menyatakan
Lebih terperinciBAB II PERJANJIAN JUAL BELI MENURUT KUHPERDATA. antara dua orang atau lebih. Perjanjian ini menimbulkan sebuah kewajiban untuk
BAB II PERJANJIAN JUAL BELI MENURUT KUHPERDATA A. Pengertian Perjanjian Jual Beli Menurut Black s Law Dictionary, perjanjian adalah suatu persetujuan antara dua orang atau lebih. Perjanjian ini menimbulkan
Lebih terperinciBAB III IMPLEMENTASI KETERANGAN AHLI DALAM PEMERIKSAAN PERKARA PIDANA DI TINGKAT PENYIDIKAN
BAB III IMPLEMENTASI KETERANGAN AHLI DALAM PEMERIKSAAN PERKARA PIDANA DI TINGKAT PENYIDIKAN A. Hal-Hal Yang Menjadi Dasar Penyidik Memerlukan Keterangan Ahli Di Tingkat Penyidikan Terkait dengan bantuan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. I.1. Latar Belakang. Rahasia medis menjadi salah satu unsur terpenting. dalam hubungannya antara dokter dengan pasien.
BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Rahasia medis menjadi salah satu unsur terpenting dalam hubungannya antara dokter dengan pasien. Hal ini karena hubungan dokter dengan pasien merupakan hubungan berdasar
Lebih terperinciBAB 1 PENDAHULUAN Latar Belakang
1 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pada dasarnya segala sesuatu yang dikerjakan oleh seseorang baik dengan sengaja maupun tidak, harus dapat dimintakan pertanggungjawaban terlebih lagi yang berkaitan
Lebih terperinciI. PENDAHULUAN. adalah bertujuan untuk mencari kebenaran materi terhadap perkara tersebut. Hal
1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pemeriksaan suatu perkara pidana dalam suatu proses peradilan pada hakekatnya adalah bertujuan untuk mencari kebenaran materi terhadap perkara tersebut. Hal ini
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH. Kesehatan merupakan hal yang penting bagi setiap orang. Dalam
12 BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH Kesehatan merupakan hal yang penting bagi setiap orang. Dalam kondisi sehat, orang dapat berpikir dan melakukan segala aktifitasnya secara optimal dan menghasilkan
Lebih terperincidisebut dengan Persetujuan Tindakan Medik. Secara harfiah, Informed Consent terdiri
Informed Consent adalah istilah yang telah diterjemahkan dan lebih sering disebut dengan Persetujuan Tindakan Medik. Secara harfiah, Informed Consent terdiri dari dua kata, yaitu : Informed dan Consent.
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. terkait dalam bidang pemeliharaan kesehatan. 1 Untuk memelihara kesehatan
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kesehatan merupakan kebutuhan pokok manusia karena kesehatan merupakan modal utama manusia dalam menjalankan aktivitas sehari-hari. Melaksanakan upaya kesehatan yang
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. melalui media massa maupun media elektronik seperti televisi dan radio.
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kejahatan pembunuhan mengalami peningkatan yang berarti dari segi kualitas dan kuantitasnya. Hal ini bisa diketahui dari banyaknya pemberitaan melalui media massa maupun
Lebih terperinciPedoman Pelaksanaan Persetujuan Tindakan Kedokteran (Informed Consent)
Pedoman Pelaksanaan Persetujuan Tindakan Kedokteran (Informed Consent) Rumah Sakit xy Pedoman Pelaksanaan Persetujuan Tindakan Kedokteran 1. Umum a. Bahwa masalah kesehatan seseorang (pasien) adalah tanggung
Lebih terperincivii DAFTAR WAWANCARA
vii DAFTAR WAWANCARA 1. Apa upaya hukum yang dapat dilakukan pasien apabila hak-haknya dilanggar? Pasien dapat mengajukan gugatan kepada rumah sakit dan/atau pelaku usaha, baik kepada lembaga peradilan
Lebih terperinciRANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN
RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN (yang telah disahkan dalam Rapat Paripurna DPR tanggal 18 Juli 2006) RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. (rechtsstaat), tidak berdasarkan atas kekuasaan belaka (machtsstaat). Indonesia
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Negara Indonesia adalah Negara yang berdasarkan atas hukum (rechtsstaat), tidak berdasarkan atas kekuasaan belaka (machtsstaat). Indonesia menerima hukum sebagai
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. terdakwa melakukan perbuatan pidana sebagaimana yang didakwakan Penuntut. tahun 1981 tentang Kitab Hukum Acara Pidana.
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pembuktian merupakan tahap paling menentukan dalam proses peradilan pidana mengingat pada tahap pembuktian tersebut akan ditentukan terbukti tidaknya seorang
Lebih terperinciPANDUAN PERSETUJUAN TINDAKAN KEDOKTERAN RUMAH SAKIT RAWAMANGUN
PANDUAN PERSETUJUAN TINDAKAN KEDOKTERAN RUMAH SAKIT RAWAMANGUN RUMAH SAKIT RAWAMANGUN JAKARTA, INDONESIA 2013 Panduan Persetujuan Tindakan Kedokteran (Informed Consent) Rumah Sakit Rawamangun Paduan Pelaksanaan
Lebih terperinciPERANAN DOKTER FORENSIK DALAM PEMBUKTIAN PERKARA PIDANA. Oleh : Yulia Monita dan Dheny Wahyudhi 1 ABSTRAK
Peranan Dokter Forensik, Pembuktian Pidana 127 PERANAN DOKTER FORENSIK DALAM PEMBUKTIAN PERKARA PIDANA Oleh : Yulia Monita dan Dheny Wahyudhi 1 ABSTRAK Di dalam pembuktian perkara tindak pidana yang berkaitan
Lebih terperinciTINJAUAN PUSTAKA. 1. Pertanggungjawaban Pidana Korporasi
13 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pertanggungjawaban Pidana 1. Pertanggungjawaban Pidana Korporasi a. Peranan korporasi menjadi penting dalam tindak pidana karena sebagai akibat dari perubahan yang terjadi dalam
Lebih terperinciIMPLEMENTASI DAN IMPLIKASI HUKUM CLINICAL PRIVILEGE SEBAGAI UPAYA PATIENT SAFETY DI RUMAH SAKIT
IMPLEMENTASI DAN IMPLIKASI HUKUM CLINICAL PRIVILEGE SEBAGAI UPAYA PATIENT SAFETY DI RUMAH SAKIT Nurul Hasna nurulhasna@yahoo.com Magister Hukum Kesehatan Universitas Katolik Soegijapranata Semarang ABSTRAK
Lebih terperinciI. PENDAHULUAN. mendapatkan sorotan dari masyarakat, karena sifat pengabdianya kepada
1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Dewasa ini profesi kesehatan merupakan salah satu profesi yang banyak mendapatkan sorotan dari masyarakat, karena sifat pengabdianya kepada masyarakat yang sangat kompleks.
Lebih terperinciBAB IV PENUTUP. ditarik kesimpulan sebagai berikut bahwa: a. Pertimbangan Hukum Hakim terhadap Tanggung Jawab Notaris/PPAT
1 BAB IV PENUTUP 1. Kesimpulan Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan yang telah diuraikan dengan pokok permasalahan yang telah dirumuskan pada bab terdahulu, maka dapat ditarik kesimpulan sebagai
Lebih terperinciPERTEMUAN 15: PENYELESAIAN HUKUM. B. URAIAN MATERI Tujuan Pembelajaran 15: Menjelaskan upaya hukum untuk penyelesaian investigasi
PERTEMUAN 15: PENYELESAIAN HUKUM A. TUJUAN PEMBELAJARAN Pada bab ini akan dijelaskan mengenai penyelesaian hukum.melalui makalah ini, anda harus mampu: 15.1 Memahami upaya hukum untuk penyelesaian investigasi
Lebih terperinciI. PENDAHULUAN. terpuruknya sistem kesejahteraan material yang mengabaikan nilai-nilai
1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Tindak pidana penggelapan di Indonesia saat ini menjadi salah satu penyebab terpuruknya sistem kesejahteraan material yang mengabaikan nilai-nilai kehidupan dalam
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Kesehatan merupakan hak asasi manusia dan salah satu unsur. kesejahteraan yang harus diwujudkan sesuai dengan cita-cita bangsa
1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kesehatan merupakan hak asasi manusia dan salah satu unsur kesejahteraan yang harus diwujudkan sesuai dengan cita-cita bangsa Indonesia. Sedangkan pembangunan
Lebih terperinciperadilan dengan tugas pokok untuk menerima, memeriksa, mengadili serta menyelesaikan setiap perkara yang diajukan kepadanya. Dalam hal ini, untuk
BAB II JENIS- JENIS PUTUSAN YANG DIJATUHKAN PENGADILAN TERHADAP SUATU PERKARA PIDANA Penyelenggaraan kekuasaan kehakiman diserahkan kepada badan- badan peradilan dengan tugas pokok untuk menerima, memeriksa,
Lebih terperinciLex Crimen Vol. VI/No. 8/Okt/2017
KEWAJIBAN PENYIDIK DALAM MELAKUKAN PEMERIKSAAN TERHADAP TERSANGKA BERDASARKAN UNDANG-UNDANG NOMOR 8 TAHUN 1981 TENTANG HUKUM ACARA PIDANA 1 Oleh: Christian Tambuwun 2 ABSTRAK Tujuan dilakukannya penelitian
Lebih terperinciPANDUAN INFORMED CONSENT
PANDUAN INFORMED CONSENT A. PENGERTIAN Persetujuan tindakan medik atau yang sering di sebut informed consent sangat penting dalam setiap pelaksanaan tindakan medic di rumah sakit baik untuk kepentingan
Lebih terperinciPERANAN KETERANGAN AHLI DALAM PROSES PERKARA PIDANA PENGADILAN NEGERI
PERANAN KETERANGAN AHLI DALAM PROSES PERKARA PIDANA PENGADILAN NEGERI Oleh : Ruslan Abdul Gani ABSTRAK Keterangan saksi Ahli dalam proses perkara pidana di pengadilan negeri sangat diperlukan sekali untuk
Lebih terperinciLex Crimen Vol. VI/No. 2/Mar-Apr/2017. KETERANGAN AHLI DAN PENGARUHNYA TERHADAP PUTUSAN HAKIM 1 Oleh : Nixon Wulur 2
KETERANGAN AHLI DAN PENGARUHNYA TERHADAP PUTUSAN HAKIM 1 Oleh : Nixon Wulur 2 ABSTRAK Penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui bagaimana keterangan ahli sebagai salah satu alat bukti telah
Lebih terperinciI. PENDAHULUAN. Negara Indonesia adalah Negara yang berdasarkan atas hukum (rechtsstaat), tidak
I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Negara Indonesia adalah Negara yang berdasarkan atas hukum (rechtsstaat), tidak berdasarkan atas kekuasaan belaka (machtsstaat). Pernyataan tersebut secara tegas tercantum
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Perbuatan yang oleh hukum pidana dilarang dan diancam dengan pidana
1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Permasalahan Perbuatan yang oleh hukum pidana dilarang dan diancam dengan pidana (kepada barangsiapa yang melanggar larangan tersebut), untuk singkatnya dinamakan
Lebih terperinciII. TINJAUAN PUSTAKA. bentuk kejahatan terhadap nyawa manusia, diatur dalam Pasal 340 yang
II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian Pembunuhan Berencana Pembunuhan dengan rencana terlebih dahulu atau disingkat pembunuhan berencana adalah pembunuhan yang paling berat ancaman pidananya dari seluruh
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Hukum pada umumnya diartikan sebagai keseluruhan kumpulankumpulan
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Hukum pada umumnya diartikan sebagai keseluruhan kumpulankumpulan peraturan-peraturan tertulis atau kaidah-kaidah dalam suatu masyarakat sebagai susunan sosial, keseluruhan
Lebih terperinciII. TINJAUAN PUSTAKA. Peradilan Pidana di Indonesia di selenggarakan oleh lembaga - lembaga peradilan
II. TINJAUAN PUSTAKA A. Sistem Peradilan Pidana Peradilan Pidana di Indonesia di selenggarakan oleh lembaga - lembaga peradilan pidana, yaitu Kepolisian, Kejaksaan, Pengadilan serta Lembaga Pemasyarakatan
Lebih terperinciTINJAUAN YURIDIS PEMBUKTIAN TURUT SERTA DALAM TINDAK PIDANA PEMBUNUHAN (Studi Kasus Putusan No. 51/Pid.B/2009 /PN.PL) MOH. HARYONO / D
TINJAUAN YURIDIS PEMBUKTIAN TURUT SERTA DALAM TINDAK PIDANA PEMBUNUHAN (Studi Kasus Putusan No. 51/Pid.B/2009 /PN.PL) MOH. HARYONO / D 101 08 100 ABSTRAK Tindak pidana pembunuhan yang dilakukan oleh beberapa
Lebih terperinciBAB II PENGATURAN HUKUM TENTANG PERLINDUNGAN TERHADAP KORBAN TINDAK PIDANA KORUPSI
20 BAB II PENGATURAN HUKUM TENTANG PERLINDUNGAN TERHADAP KORBAN TINDAK PIDANA KORUPSI A. Undang-Undang Dasar 1945 Adapun terkait hal keuangan, diatur di dalam Pasal 23 Undang-Undang Dasar 1945, sebagaimana
Lebih terperinciI. PENDAHULUAN. unsur kesejahteraan yang harus diwujudkan sesuai dengan cita-cita bangsa
I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kesehatan adalah salah satu parameter untuk mengukur keberhasilan pembangunan manusia. Tanpa kesehatan manusia tidak akan produktif untuk hidup layak dan baik. Kesehatan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. anggota militer beserta keluarganya secara gratis termasuk masyarakat. oleh kelompok agama yang ingin mendirikan rumah sakit.
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Perkembangan rumah sakit di Indonesia sangat pesat dari waktu ke waktu, di mulai pada tahun 1626 yang didirikan oleh VOC dan dikembangkan pula oleh tentara Inggris
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. dilengkapi dengan kewenangan hukum untuk memberi pelayanan umum. bukti yang sempurna berkenaan dengan perbuatan hukum di bidang
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Notaris sebagai pejabat umum merupakan salah satu organ Negara yang dilengkapi dengan kewenangan hukum untuk memberi pelayanan umum kepada masyarakat, teristimewa dalam
Lebih terperinciMasalah Malpraktek Dan Kelalaian Medik Dalam Pelayanan Kesehatan. Written by Siswoyo Monday, 14 June :21
Di dalam berbagai tulisan bahwa penggunaan istilah malpraktek (malpractice) dan kelalaian medik (medical negligence) di dalam pelayanan kesehatan sering dipakai secara bergantian seolah-olah artinya sama,
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. tetapi hakikat profesinya menuntut agar bukan nafkah hidup itulah yang
1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Profesi hukum termasuk didalamnya profesi Notaris, merupakan suatu profesi khusus yang sama dengan profesi luhur lainnya yakni profesi dalam bidang pelayanan kesehatan,
Lebih terperinciTINJAUAN HUKUM TERHADAP TUNTUTAN GANTI KERUGIAN KARENA SALAH TANGKAP DAN MENAHAN ORANG MUHAMMAD CHAHYADI/D Pembimbing:
TINJAUAN HUKUM TERHADAP TUNTUTAN GANTI KERUGIAN KARENA SALAH TANGKAP DAN MENAHAN ORANG MUHAMMAD CHAHYADI/D 101 10 308 Pembimbing: 1. Dr. Abdul Wahid, SH., MH 2. Kamal., SH.,MH ABSTRAK Karya ilmiah ini
Lebih terperinciAspek Hukum Informed Consent Dalam Pelaksanaan Tindakan Operasi Medik. Oleh : Firman Floranta Adonara S.H.,M.H.
Aspek Hukum Informed Consent Dalam Pelaksanaan Tindakan Operasi Medik Oleh : Firman Floranta Adonara S.H.,M.H. I.Pendahuluan Manusia dalam menjalankan kehidupannya selalu melakukan kegiatan-kegiatan yang
Lebih terperinciABSTRAK. Kata kunci : Informed Consent, kesehatan, medis
ABSTRAK INDRA SETYADI RAHIM, NIM 271409137, Implementasi Informed Consent di Rumah Sakit Prof. Dr. H. Aloei Saboe. Dibawah bimbingan I DR. Fence M. Wantu S.H., M.H dan bimbingan II Dian Ekawaty Ismail
Lebih terperinciRUMAH SAKIT UMUM AULIA Jl. Raya Utara No. 03 Telp. (0342) , Fax. (0342) Kembangarum - Sutojayan - Blitar
RUMAH SAKIT UMUM AULIA Jl. Raya Utara No. 03 Telp. (0342) 444168, Fax. (0342) 444289 Kembangarum - Sutojayan - Blitar PERJANJIAN KERJA ANTARA RUMAH SAKIT UMUM AULIA DAN DOKTER No. Yang bertanda tangan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. mendukung pelaksanaan dan penerapan ketentuan hukum pidana materiil,
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dalam kedudukannya sebagai instrumen hukum publik yang mendukung pelaksanaan dan penerapan ketentuan hukum pidana materiil, maka Undang-Undang Nomor 8 Tahun
Lebih terperinciUNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa salah satu alat bukti yang
Lebih terperinciHeru Guntoro. Perjanjian Sewa Menyewa
Heru Guntoro. Perjanjian Sewa Menyewa... 473 Kewajiban pihak yang satu adalah menyerahkan barangnya untuk dinikmati oleh pihak yang lain, sedangkan kewajiban pihak yang terakhir ini adalah membayar harga
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. menggunakan jasa dari para dokter. Dokter merupakan tenaga medis yang menjadi pusat
1" BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran yang selanjutnya disebut dengan UUPK merupakan dasar hukum bagi profesi dokter dan penyelenggaraan
Lebih terperinciBAB III ANALISIS DAN KAJIAN YURIDIS MENGENAI EUTHANASIA DIPANDANG DARI SEGI HAM
BAB III ANALISIS DAN KAJIAN YURIDIS MENGENAI EUTHANASIA DIPANDANG DARI SEGI HAM 3.1 Kronologi kasus Ayah Ana Widiana Kasus berikut merupakan kasus euthanasia yang terjadi pada ayah dari Ana Widiana salah
Lebih terperinciRANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa negara Republik Indonesia adalah
Lebih terperinciDASAR HUKUM PENYELENGGARAAN REKAM MEDIS
DASAR HUKUM PENYELENGGARAAN REKAM MEDIS Landasan hukum yang mendasari penyelenggaraan rekam medis di Indonesia: a. UU Kesehatan No. 23 tahun 1992 pada pasal 53, disebutkan bahwa setiap tenaga kesehatan
Lebih terperinciUNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang Mengingat : a. bahwa salah satu alat
Lebih terperinciUNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
DISTRIBUSI II UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa salah satu alat
Lebih terperinciUNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa salah satu alat bukti yang
Lebih terperinciUNIVERSITAS MARITIM RAJA ALI HAJI FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK PROGRAM STUDI ILMU HUKUM
RENCANA KEGIATAN PROGRAM PEMBELAJARAN (RKPP) Mata Kuliah Kode SKS Semester Nama Dosen SH PID 1210 2 VI (Enam) Endri, S.H., M.H. Deskripsi Mata Kuliah Standar kesehatan merupakan cabang dari ilmu hukum
Lebih terperinciBAB 1 PENDAHULUAN. setiap individu, sehingga setiap orang memiliki hak persamaan dihadapan hukum.
BAB 1 PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH Dalam Negara Hukum, negara mengakui dan melindungi hak asasi manusia setiap individu, sehingga setiap orang memiliki hak persamaan dihadapan hukum. Persamaan
Lebih terperinciABSTRAK MELIYANTI YUSUF
0 ABSTRAK MELIYANTI YUSUF, NIM 271411202, Kedudukan Visum Et Repertum Dalam Mengungkap Tindak Pidana Penganiayaan Pada Tahap Penyidikan (Studi Kasus di Polres Gorontalo Kota). Di bawah Bimbingan Moh. Rusdiyanto
Lebih terperinciTINJAUAN YURIDIS SOSIOLOGIS TERHADAP MALPRAKTEK YANG BERTENTANGAN DENGAN INFORMED CONSENT
TINJAUAN YURIDIS SOSIOLOGIS TERHADAP MALPRAKTEK YANG BERTENTANGAN DENGAN INFORMED CONSENT YANG DI BUAT OLEH DOKTER DALAM MELAKSANAKAN PROFESI KEDOKTERAN (Studi Di Rumah Sakit Islam Aisyiyah Malang) PENULISAN
Lebih terperinciPengertian Maksud dan Tujuan Pembuatan Visum et Repertum Pembagian Visum et Repertum
VISUM et REPERTUM Pengertian Menurut bahasa: berasal dari kata latin yaitu visum (sesuatu yang dilihat) dan repertum (melaporkan). Menurut istilah: adalah laporan tertulis yang dibuat oleh dokter berdasarkan
Lebih terperinciFAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA 2008
1 PENYANTUNAN BAGI KELUARGA MENINGGAL ATAU LUKA BERAT KECELAKAAN LALU LINTAS DALAM HUBUNGANNYA DENGAN PENGAMBILAN PUTUSAN HAKIM Disusun dan Diajukan Untuk Melengkapi Tugas-Tugas dan Syarat-Syarat Guna
Lebih terperinciPERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN
RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN Hasil PANJA 12 Juli 2006 Dokumentasi KOALISI PERLINDUNGAN SAKSI Hasil Tim perumus PANJA, santika 12 Juli
Lebih terperinciPilihlah satu jawaban yang benar pada pilihan di lembar jawaban.
Pilihlah satu jawaban yang benar pada pilihan di lembar jawaban. 1. Pernyataan mana tentang Rekam Medik (RM) yang tidak benar: a. Pemaparan isi RM hanya boleh dilakukan oleh dokter yang merawat pasien
Lebih terperinciInformed Consent INFORMED CONSENT
Informed Consent INFORMED CONSENT Asal mula istilah consent ini adalah dari bahasa latin: consensio, consentio, consentio, dalam bahasa Inggris consent berarti persetujuan, izin, menyetujui, memberi izin
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. emosi harapan dan kekhawatiran makhluk insani. perjanjian terapeutik adalah Undang undang nomor 36 tahun 2009 tentang
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sejak awal mengenai umat manusia sudah dikenal adanya hubungan kepercayaan antara dua insan, yaitu manusia penyembuh dan penderita yang ingin disembuhkan. Dalam zaman
Lebih terperinciII. TINJAUAN PUSTAKA. Pembuktian merupakan masalah yang memegang peranan penting dalam proses
II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian Pembuktian Pembuktian merupakan masalah yang memegang peranan penting dalam proses pemeriksaan sidang pengadilan serta hal paling utama untuk dapat menentukan dapat atau
Lebih terperinciVolume 15 Nomor 1 Juni 2015 Volume 15 Nomor 1 Juni 2015
MALPRAKTIK DI KALANGAN PROFESIONAL HUKUM SEBAGAI BENTUK PELANGGARAN DARI KODE ETIK PROFESI HUKUM Uswatun Hasanah,SH.MHum Abstract Legal professionals consisting of a judge, the prosecutor, Advocate, Notary
Lebih terperinciRANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa negara Republik Indonesia adalah
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Dalam ilmu pengetahuan hukum dikatakan bahwa tujuan hukum adalah
1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dalam ilmu pengetahuan hukum dikatakan bahwa tujuan hukum adalah untuk menjamin adanya kepastian hukum bersendikan keadilan agar ketertiban, kemakmuran dan
Lebih terperinciTindak pidana adalah kelakuan manusia yang dirumuskan dalam undang-undang, melawan
I. TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian dan Jenis-Jenis Tindak Pidana 1. Pengertian Tindak Pidana Tindak pidana adalah kelakuan manusia yang dirumuskan dalam undang-undang, melawan hukum, yang patut dipidana
Lebih terperinci