Semnas Sipendikum FH UNIKAMA 2017

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "Semnas Sipendikum FH UNIKAMA 2017"

Transkripsi

1 KEWENANGAN INTERNATIONAL CRIMINAL COURTTERHADAP KEPALA NEGARA (STUDI KASUS PRESIDEN SUDAN-OMAR AL-BASHIR) Ikaningtyas 1 ninktyas@yahoo.com Abstrak ICC sebagai lembaga peradilan internasional memiliki yursidiksi untuk mengadili individu yang melakukan kejahatan internasional. Kasus Omar Al-Bashir padassatitu Presiden Sudan merupakan orang yang harus bertanggungjawab atas perang Darfur Sudan dengan segalaakibatnya. ICC telah melakukan upaya dengan mengirimkan surat pemanggilan kepada Presiden Omar Al-bashir untuk diadilil, tetapi sebelum diadili di ICC, akan diberikan kesempatan kepada negara Sudan sendiri untuk mengadili presidennya karena terkait pada kedaulatan. Pada kenyatannya yang terjadi di Sudan adalah penolakan terhadap yuridiksi ICC untuk mengadili Omar Al-bashir. Berkenaan dengan ini ICC sebagai Mahkamah Pidana Internasional terbentur beberapa kendala salah satunya yaitu terhadap status Al-bashir sebagai kepala Negara yang memiliki hak imunitas Kata kunci:kewenangan, ICC, Kepala Negara Pendahuluan Statuta Roma merupakan dasar hukum dari pembentukan ICC yang dibentuk pada tanggal 17 Juli 1998 di Roma, Italia melalui suatu konferensi PBB. Sebanyak 120 negara menyatakan pendiriannya untuk mengadopsi Statuta Roma, hanyak 7 negara yang menolak untuk mengadopsi Statuta Roma yaitu, Cina, Israel, Iraq, Yaman, Qatar, Libya, dan Amerika Serikat, serta sebanyak 21 negara menyatakan abstain dalam pemungutan suara. Pada tanggal 31 Desember tahun 2000 sebanyak 139 negara berikutnya menandatangani Statuta Roma yang selanjutnya pada tanggal 11 April 2002 sebanyak 66 negara meratifikasi Statuta Roma dan pada tanggal 1 Juli 2002 ICC sebagai lembaga peradilan pidana mulai melakukan tugasnya 2. Kejahatan-kejahatan yang berada di dalam yuridiksi dari Mahkamah Pidana Internasional ini meliputi kejahatan-kejahatan sebagai berikut : (a) Tindak pidana Genocide (pembunuhan 1 PenulisadalahDosenFakultasHukumUniversitasBrawijaya Malang 2 diakses pada tanggal 25 Februari

2 massal); (b) Kejahatan terhadap kemanusiaan (Crime Against Humanity); (c) Kejahatan Perang (War Crime) (d).kejahatan Agresi (Aggression). Pada tahun 2003 yang berpusat di Darfur yang merupakan bagian dari wilayah Sudan. Terjadi konflik berdarah antara Sudan Liberation Movement (SLM) dan Justice Equality Movement (JEM) menuduh pihak pemerintah telah melakukan penindasan terhadap bangsa Afrika kulit hitam dan mendukung bangsa Arab. Di pihak lain terdiri dari polisi dan pihak militer Sudan dengan dibantu oleh pasukan Janjaweed sebuah milisi Sudan yang direkrut dari kaum Arab 3.Pihak SLM dan JEM melakukan tuduhan kepada pihak pemerintah dikarenakan oleh ketidakadilan perlakuan terhadap bangsa Afrika kulit hitam yang berdiam di Sudan Selatan yang menyebabkan tuntutan untuk perluasan daerah otonom dan pemerataan pembagian hasil minyak bumi yang terdapat di wilayah Sudan Selatan, karena tuntutan ini maka pihak pemerintah mengira bahwa terjadi pemberontakan yang dilakukan bangsa Afrika kulit hitam dan melakukan penindasan terhadap bangsa ras tersebut. Di bawah pimpinan dari presiden Sudan yaitu Omar Al-bashir, pihak polisi, militer dan juga pasukan Janjaweed melakukan pembunuhan, penyiksaan, penculikan dan juga pemerkosaan terhadap masyarakat kaum Afrika kulit hitam sehingga mengakibatkan korban jiwa sebanyak jiwa meninggal dan sebanyak 2,2 juta orang mengungsi dan memporak porandakan Sudan Selatan, hal ini yang membuat pihak SLM dan JEM merasa tertindas dan melakukan perlawanan kepada pihak pemerintah. Setelah terjadi perang selama beberapa tahun, maka pada tahun 2005 terjadi kesepakatan perdamaian antara kedua belah pihak yang ditandatangani pada tahun 2006 antara pemerintah Sudan dengan salah satu kelompok bersenjata yaitu SLM. 4 Jika dilihat dari jumlah korban jiwa yang meninggal dan banyaknya rakyat yang harus mengungsi serta akibat-akibat lain hasil dari peperangan ini, maka dapat dikatakan bahwa presiden Omar Al-bashir telah melakukan perbuatan genosida yang diatur di dalam pasal 6 Statuta Roma. 3 dari halaman BBC NEWS pada hari Selasa, 23 Februari 2010, diakses pada tanggal 25 Februari id&u= /darfur/darfurhistory/page.do%3fid%3d &rurl=translate.google.co.id&twu=1&usg=alkjrhita4564rudks9 BaBHM7wysLlSQHw dikutip dari halaman Amnesti Internasional USA (Action For Human Rights Hope For Humanity), diakses pada tanggal 25 Februari

3 Dalam konteks kasus Sudan, ICC memiliki tugas untuk memiliki wewenang untuk membantu menyelesaikan permasalah di negara tersebut, maka dari itu ICC mengirimkan surat pemanggilan kepada Presiden Omar Al-bashir untuk diadili di hadapan pengadilan internasional, tetapi sebelum diadili di hadapan pengadilan internasional, ICC akan memberikan kesempatan kepada negara Sudan sendiri untuk mengadili presidennya karena terkait pada kedaulatan yang dimiliki Sudan atas wilayahnya, tetapi Sudan sendiri menolak untuk mengadili karena mereka tidak ingin dan tidak mampu untuk mengadili presidennya dan cenderung mendukung Omar Albashir, maka ICC secara tegas memanggil Omar Al-bashir melalui surat panggilan tetapi surat panggilan ICC yang sudah dikirim sebanyak 3 (tiga) kali tidak dihiraukan oleh Omar Al-bashir dan masyarakat yang pro serta negara-negara yang pro kepada presiden ini balik mengecamicc atas surat panggilan tersebut. Pada kenyatannya yang terjadi di Sudan adalah penolakan terhadap yuridiksi ICC untuk mengadili Omar Al-bashir karena perlindungan dari warga negaranya sendiri dan dari hukum nasionalnya dan hal ini telah bertentangan dengan hukum internasional karena presiden Omar Al-bashir telah melakukan kejahatan genoside, dalam menyelesaikan sengketa Darfur ini, ICC sebagai Mahkamah Pidana Internasional terbentur beberapa kendala salah satunya yaitu terhadap status Al-bashir sebagai kepala Negara yang memiliki hak imunitas. hak imunitas inilah yang menyebabkan ICC menjadi serba salah, disatu pihak presiden Omar Al-bashir memiliki hak imunitas serta dilindungi oleh warga negaranya dan disisi lain ICC sebagai Mahkamah Pidana Internasional memiliki kewajiban untuk mengadili presiden Omar Al-bashir atas perbuatan genosida yang telah dilakukannya Metode Penelitian Rancanganinimenggunakanpenelitianyuridisnormatif yang menggunakanpendekatanrelevansi Studi Kasus (Case Study),pendekatanperundangundangan (statuta approach)danpendekatankonseptual (conceptual approach) yaitu mengetahui dan mengkaji produk hukum yang berupa perundang-undangan, konvensi internasional dan deklarasi internasional serta buku-buku yang terkait tentang kewenangan Mahkamah Pidana Internasional. 314

4 Jenis bahan hukum yang digunakan dalam penelitian berupa bahan-bahan hukum yang meliputi Bahan Hukum Primer, yaitu : Statuta Roma tentang International Criminal Court tahun 1998, Konvensi Wina tentang Hubungan Diplomatik tahun 1961, Resolusi PBB. Hasil dan Pembahasan Sudan adalah sebuah negara yang berada di benua Afrika dengan letak astronomis 4-23 o LU dan o LS dan dengan letak geografis di timur laut Afrika. Negara Sudan merupakan negara terluas di Afrika dan di daerah Arab. Sudan merupakan negara terluas kesepuluh di dunia dengan Khortum sebagai ibu kotanya. Negara ini berbatasan dengan Mesir di sebelah utara, Laut Merah disebelah timur laut, Negara Kongo dan Negara Afrika tengah di sebelah barat daya, Negara Chad di sebelah barat serta Libya di sebelah timur laut,dan negara ini dipisahkan menjadi bagian utara dan selatan oleh Sungai Nil yang merupakan sungai terpanjang di dunia. 5 Penduduk Sudan terdiri dari berbagai kelompok etnis, yaitu etnis Afrika Kulit Hitam (52 persen), Arab (39 persen), Beja (6 persen), Asing (2 persen), dan etnis lainnya sebanyak 1 persen. Mayoritas penduduk terutama di Sudan utara menganut agama Islam aliran Sunni, selain itu 10 persen menganut Animisme dan 5 persen memeluk Kristen, terutama di wilayah Sudan Selatan 6 yang mengalami perang saudara selama 17 tahun, dari zaman sebelum Sudan merdeka sampai pada saat ini. 7 Perang saudara ini bermula antara pemerintah pusat Sudan yang berpusat di Sudan Utara yang berpenduduk mayoritas muslim dengan Sudan Selatan yang berpenduduk mayoritas Kristen dan Animisme. Hal ini terjadi karena Inggris memisahkan hubungan kedua wilayah tersebut untuk melancarkan aktivitas kristenisasi di selatan. Setelah Inggris meninggalkan Sudan, pemerintah pusat mulai menerapkan aturan-aturan di daerah selatan dan penduduk daerah utara merasa takut didominasi, sehingga mereka membentuk kekuatan untuk melakukan perlawanan kepada pemerintah 5 oleh Wikipedia Indonesia, diakses pada tanggal 3 Oktober dikutip dari halaman PKS yang ditulis pada hari Senin, 15 Juni 2009, diakses pada tanggal 3 Oktober diakses pada tanggal 8 Februari

5 pusat dengan diberi dukungan oleh Inggris 8. Konflik yang terjadi antara gerakan pembebasan Sudan yaitu SLM dan JEM dengan milisi pemerintahan dan pasukan Janjaweed. SLM dan JEM telah menuduh pemerintahan Sudan telah melakukan penindasan terhadap bangsa Afrika kulit hitam di Sudan bagian utara karena pasukan Janjaweed yang didukung oleh milisi pemerintahan telah memborbardir daerah Sudan dengan menggunakan bahan peledak serta paku barel, memperkosa anak perempuan dan perempuan dewasa, membunuh pria dan anak laki-laki serta menghentikan pasokan makanan dan air untuk para penduduk, sejak tahun 2003, setidaknya orang telah tewas dan lebih dari orang terpaksa meningalkan rumah mereka untuk mengungsi dan tinggal di kamp-kamp pengungsian, dan lebih dari juta orang benar-benar bergantung pada bantuan internasional untuk bertahan hidup 9. Perbuatan yang dilakukan oleh milisi pemerintahan dibawah pimpinan presiden Sudan sendiri yaitu Omar Al-bashir. Perbuatan yang dilakukan oleh Omar Al-bashir merupakan kejahatan kemanusiaan yang masuk ke dalam ruang lingkup serta yuridiksi dari International Criminal Court (ICC). Pada kenyataannya ICC telah melayangkan surat pemanggilan kepada Presiden Sudan Omar Al-bashir sebanyak 3 kali, tetapi surat pemanggilan tersebut tidak diindahkan oleh Omar Al-bashir serta negara Sudan karena negara Sudan cenderung melindungi dan tidak mau menyerahkan presidennya untuk diadili dihadapan International Criminal Court (ICC). Pada kenyataannya, seharusnya yang dilakukan oleh negara Sudan adalah memenuhi surat pemanggilan tersebut untuk menyerahkan Omar Al-bashir dan memperbolehkan yuridiksi dari International Criminal Court (ICC) untuk masuk ke wilayah Sudan dan menyelesaikan kasus kejahatan Kemanusiaan yang dilakukan oleh Presiden Omar Al-bashir tersebut. A.Kejahatan Internasional Di Dalam Hukum Internasional Tindak pidana pada dasarnya memiliki pengertian yaitu perbuatan yang dilakukan dengan melanggar hukum yang berlaku. Pada hakekatnya tidak ada perbedaan pengertian antara tindak pidana nasional dan tindak pidana internasional 8 diakses pada tanggal 18 februari id&u= d/get-the-facts-history-of- Darfur&rurl=translate.google.co.id&twu=1&usg=ALkJrhinLQbPMV8CQcL_lXlBoS8WLpe59g diakses pada tanggal 18 Februari

6 yang membedakan adalah tempat kejadian dan jenis perbuatan yang dilakukan. Tindak pidana nasional adalah perbuatan melanggar hukum yang dilakukan di dalam yurisdiksi suatu negara, sedangkan tindak pidana internasional adalah perbuatan melanggar hukum yang dilakukan di dalam yurisdiksi suatu negara dan perbuatan tersebut juga termasuk ke dalam yurisdiksi pengadilan internasional. Rancangan ketiga Undang-Undang Pidana Internasional atau The International Criminal Code tahun 1954, telah ditetapkan sebanyak 13 tipe kejahatan yang dapat dijatuhi pidana berdasarkan hukum internasional, yaitu 10 : a) Tindakan persiapan untuk agresi dan tindakan agresi b) Persiapan penggunaan kekuatan bersenjata terhadap negara lain c) Mengorganisasi atau member dukungan persenjataan yang ditujukan untuk memenuhi wilayah suatu negara d) Memberikan dukungan di negara asing e) Setiap terorisme di negara asing f) Setiap pelanggaran atas perjanjian pembatasan senjata yang telah disetujui g) Aneksasi wilayah asing h) Genocide i) Pelanggaran atas kebiasaan dan hukum perang j) Setiang permufakatan, pembujuan dan percobaan untuk melakukan tindakan pidana tersebut pada butir 8 di atas k) Piracy l) Slavery m) Apartheid n) Threat and use of force against internationally protected persons Pengaturan lebih lanjut mengenai jenis-jenis tindak pidana internasional juga tertuang secara eksplisit di dalam Statuta Roma yang meliputi Genosida, Kejahatan Kemanusiaan, Kejahatan Perang dan Agresi. Di dalam pasal 13 Statuta Roma 10 R. Abdussalam, (2001), Hukum Pidana Internasional, Restu Agung, Jakarta hlm

7 menjelaskan bahwa yurisdiksi Mahkamah dapat berlaku jika berkaitan dengan kejahatan yang tertera di pasal 5 Statuta Roma 11, yaitu : 1. Genosida (Genocide) adalah kejahatan yang dilakukan dengan niat untuk merusak sebagian atau keseluruhan etnis, ras, suku bangsa, agama ataupun negara dengan cara membunuh kelompok tersebut agar tidak ada yang melanjutkan kelompok tersebut, menyebabkan luka badan atau bahaya bagi mental kelompok tersebut, serta mencegah agar terjadinya kelahiran di kelompok tersebut. Di dalam Pasal 6 Statuta Roma menyebutkan contoh kejahatan genosida yaitu membunuh peserta kelompok, menyebabkan luka badan maupun mental peserta kelompok, dengan sengaja melukai kondisi kehidupan suatu kelompok yang diperhitungkan, untuk merusak secara fisik baik keseluruhan maupaun sebagian, melakukan upaya-upaya pemaksaan yang diniatkan untuk mencegah kelahiran anak dalam kelompok serta memindahkan secara paksa anak-anak dari suatu kelompok ke kelompok lainnya Kejahatan terhadap Kemanusiaan (Crime Against Humanity) Kejahatan kemanusiaan adalah beberapa pebuatan yang dilakukan sebagai bagian dari penyerangan langsung yang ditujukan terhadap penduduk sipil secara sistematis, dengan pengetahuan penyerangan. Kejahatan kemanusiaan ini meliputi deportasi atau pemindahan penduduk secara paksa, pengurungan atau penghalangan kemerdekaan fisik secara bengis yang melanggar aturanaturan dasar hukum internasional, pembudakan, penyiksaan, pemerkosaan, pembudakan seksual, kehamilan secara paksa, penindasan terhadap suatu kelompok yang dikenal, penghilangan orang secara paksa, kejahata rasial The Jurisdiction of the Court shall be limited to the most serious crimes of concern to the international community as a whole. The Court has jurisdiction in accordance with this Statute with respect to the following crimes : a. The crime of genocide; b. Crimes against humanity; c. War crimes; d. The crime of aggression. 2. The Court shall exercise jurisdiction over the crime of aggression once a provision is adopted in accordance with articles 121 and 123defining the crime and setting out the conditions under which the Court shall exercise jurisdiction with respect to this crime. Such a provision shall be consistent with the relevant provisions of the Charter of the United Nations. 12 Pasal 6 Statuta Roma tahun

8 (apartheid), serta perbuatan manusiawi lainnya penderitaan terhadap fisik seseorang Kejahatan Perang (War Crime) yang mengakibatkan Kejahatan perang merupakan salah satu kejahatan tertua diantara keempat tipe kejahatan yang termasuk ke dalam yuridiksi ICC dan kejahatan akan menjadi kejahatan yang paling pertama dalam proses penghukumannya menurut hukum internasional 14. Kejahatan perang yang dimaksud disini hampir sama dengan kejahatan kemanusiaan yang pada dasarnya perbuatan membunuh dan menghilangkan nyawa orang lain dan melanggar konvensi hukum perang yaitu konvensi Jenewa Kejahatan Agresi (Crime against aggression) Kejahatan agresi yang termasuk ke dalam yuridiksi Mahkamah Pidana Internasional yang dapat dikaitkan dengan ketentuan yang tertuang di dalam piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa, khususnya dalam ketentuan pasal 121 dan pasal 122 yang menyangkut mengenai intervensi dari negara lain dan penyerangan terhadap negara lain. Sedangkan yuridiksi personal meliputi warga negara pihak maupun warga negara bukan pihak yang mengakui yuridiksi Mahkamah serta warga negara bukan pihak namun kasusnya diajukan ke Mahkamah berdasarkan resolusi Dewan Keamanan PBB. Hal ini berlaku bagi setiap individu baik pejabat diplomatik maupun pejabat pemerintahan 15 dan berlaku untuk para komandan atau para pejabat sipil 16 kecuali bagi anak yang berumur dibawah 18 tahun 17. Sebagaimana tertuang secara spesifik di dalam pasal 27 Statuta Roma yang berbunyi : (1) This Statute shall apply equally to all persons without any distinction based on official capacity. In particular, official capacity as a Head od State or Government, a member of a Government of parliament, an elected representative or a government official shall in no case exempt a person from criminal responsibility under this 13 Pasal 7 Statuta Roma tahun William A. Schabas, (2004), An Introduction to the International Criminal Court, Cambridge University Press, hlm Statute roma pasal Statute roma pasal Statute roma pasal

9 Statute, nor shall it, in and of itself, constitute a ground for reduction of sentence. (2) immunities or special procedural rules wgich may attach to the official capacity of a person, whether undr national of international law, shall not bar the Court from exercising its jurisdiction over such a person. Konflik kekerasan yang terjadi di Darfur yang dilakukan oleh kelompok Janjaweed tergolong ke dalam kejahatan genosida. Menurut penulis kekerasan yang terjadi di Khortum termasuk ke dalam salah satu jenis tindak pidana internasional yang melanggar hukum internasional, seperti yang telah disebutkan diatas bahwa Statuta Roma mengatur secara eksplisit mengenai kejahatan genosida dimana kejahatan tersebut termasuk ke dalam yurisdiksi ICC, maka dari itu sebagai orang yang bertanggung jawab atas konflik berdarah di Sudan sudah seharusnya negara Sudan mau bekerjasama dengan ICC dengan cara menyerahkan presidennya untuk diadili di hadapan Mahakamah Pidana Internasional tersebut. B. Kewenangan ICC dalam mengadili Kejahatan Omar Al-bashir PBB sebagai Organisasi Internasional telah memiliki Mahkamah Internasional (International Court of Justice) yang didirikan untuk menyelesaikan sengketa antar negara, tetapi seiring dengan perkembangan zaman, masyarakat internasional juga memerlukan suatu lembaga yang dapat memberikan keadilan bagi masyarakat. Berkaca dari peristiwa di Rwanda maupun di Yugoslavia yang merenggut ratusan nyawa rakyat sipil serta terjadinya pelanggaran hak asasi manusia dimana dalam kasus Rwanda telah terjadi pembantaian terhadap etnis Tutsi oleh bangsa Hutu yang mengakibatkan banyak korban. Berkaca dari peristiwa diatas di mana berjuta-juta anak, wanita serta laki-laki telah menjadi korban dari kekejaman yang sulit untuk dibayangkan 18, serta dapat mengancam perdamaian, keamanan dan kesejahteraan dunia 19 dan juga untuk mengakhiri impunity bagi individu yang melakukan kejahatan tersebut dan mengupayakan pencegahan kejahatan yang demikian Pembukaan Statura Roma alinea ke-2 tentang Mahkamah Pidana Internasional tahun Ibid, alinea ke-3 20 Ibid, alinea ke-5 320

10 Menurut Jawahir Tantowi di dalam bukunya yang berjudul Hukum Internasional Kontemporer, yang dimaksud dengan subyek hukum internasional adalah pemegang atau pendukung hak dan kewajiban menurut hukum internasional. 21 Sementara menurut Mochtar Kusumaatmadja subyek hukum internasional dibedakan menjadi dua, yaitu dalam arti yang sebenarnya adalah pemegang (segala) hak dan kewajiban menurut hukum internasional, contohnya adalah negara, sedangkan dalam arti yang lebih luas dan karena itu lebih luwes (fleksibel) yakni mencakup pula keadaan di mana yang dimiliki itu hanya hak dan kewajiban yang terbatas, salah satu contohnya yaitu individu. 22 Latar belakang dan dasar pemikiran tersebut akhirnya didirikanlah Mahkamah Pidana Internasional/International Criminal Court (ICC).Mahamah Pidana Internasional atau International Criminal Court (ICC) berkedudukan di The Hague (Den Haag), Belanda yang mempunyai fungsi untuk mengadili kejahatan-kejahatan paling serius dalam masyarakat internasional serta menjadi institusi pelengkap dari pengadilan-pengadilan serta hukum nasional suatu negara dalam hal mengadili keempat tipe kejahatan yang telah dijelaskan sebelumnya. Mahkamah Pidana Internasional bertugas mengadili seseorang yang melakukan kejahatan kemanusiaan seperti yang tertuang di dalam pasal 5 Statuta Roma.. Mahkamah Pidana Internasional dalam mengadili suatu kasus harus berdasarkan tuntutan dari Perserikatan Bangsa-Bangsa maupun dari penuntut 23, penuntut disini dapat diwakili oleh negara peserta. Penuntut dapat berinisiatif melakukan penyidikan proporio motu berdasarkan informasi mengenai tindak pidana di bawah yuridiksi mahkamah dan penuntut harus menganalisa keseriusan dari informasi yang diterima. 24 Dalam masa penyelidikan harus ditemukan bukti-bukti yang menyatakan bahwa suatu negara telah melakukan kejahatan kemanusiaan dan mencari siapa yang berada dibalik pelaksanaan kejahatan kemanusiaan tersebut lalu dibawa dan diadili di Mahkamah Pidana Internasional. Penerapan hukum oleh Mahkamah Pidana Internasional akan menerapkan unsur-unsur tindak pidana dan aturan tentang prosedur serta pembuktiannya, kemudian, jika pantas, perjanjian-perjanjian yang dapat diterapkan, prinsip-prinsip dan peraturan dari hukum internasional, termasuk prinsip yang ada dari 21 Jawahir Tantowi, (2006), Hukum Internasional Kontemporer, Bandung, PT. Refika Aditama, hlm Mochtar Kusumaatmadja (1976), Pengantar Hukum Internasional, Putra Abardin, hlm William A. Schabas, (2004), Op.cit. hlm Pasal 15 Statuta Roma 321

11 hukum internasional tentang konflik bersenjata, mahkamah dapat menerapkan prinsipprinsip dan peraturan seperti yang dijelaskan dalam keputusan-keputusan sebelumnya (yurisprudensi) serta penerapan dan penafsiran dari hukum di dalam pasal ini harus konsisten dengan hak asasi internasional yang diakui dan tidak mengadandung hal-hal menentang yang menunjuk pada jenis kelamin, umur, ras, warna kulit, bahasa, agama atau kepercayaan, pendapat politis atau opini lainnya, etnik atau asal usul, harta kekayaan, kelahiran atau status lainnya. 25 Mahkamah Pidana Internasional memiliki prinsip-prinsip dasar yang digunakan sebagai acuan dalam pelaksanaan peradilan didalam dunia pidana internasional. Prinsip-prinsip yang digunakan oleh Mahkamah Pidana Internasional tertuang di dalam Statuta Roma. Prinsip Nullum Crimen Sine Lege merupakan salah satu prinsip dasar yang tertuang di dalam Statuta Roma, di dalam pasal 22 Statuta Roma yang berbuyi : (1) A person shall not be criminally responsible under this Statute unless the conduct in question constitutes, at the time it takes place, a crime within the jurisdiction of the Court. (2)The definition of a crime shall be strictly construed and shall not be extended by analogy. In case of ambiguity, the definition shall be interpreted in favour of the person being investifated, prosecuted or convicted. Selain asas Nullum Crimen Sine Lege di dalam Statuta Roma juga dijelaskan mengenai asas Nulla Poena Sine Lege 26, yaitu A person convicted by the Court may be punished only in accordance with this Statute. Asas terakhir yang terdapat di dalam Statuta Roma yaitu asas Non-Retroactiviy Ratione Personae 27, yaitu (1) No person chall be criminally responsible under this Statute for conduct prior to the entry into force of the Statute (2) in the event of a change in the law applicable to a given case prior to a final judgement, the law more favourable to the person being investigated, prosecuted or convicted shall apply. Ketiga prinsip diatas merupakan prinsip yang tertuang secara eksplisit di dalam Statuta Roma, Konflik yang telah berlangsung di Darfur, Sudan telah 25 Pasal 21 Statuta Roma 26 Pasal 23 Statuta Roma 27 Pasal 24 statuta roma 322

12 berlangsung sangat lama bahkan sebelum berdirinya Mahkamah Pidana Internasional, tetapi konflik yang dituntut oleh Jaksa Penuntut Luis Moreno Ocampo adalah konflik yang terjadi pada tahun Seperti yang sudah penulis jelaskan pada bab sebelumnya bahwa Mahkamah Pidana Internasional berdiri dengan berlandaskan Statuta Roma tahun 1998 dan mulai bekerja pada tahun 2002, artinya kasus Sudan tidak melanggar asas Non-Retroactivity Ratione Personae karena berdasarkan asas tersebut Mahkamah Pidana Internasional hanya dapat mengadili konflik yang terjadi setelah terbentuknya Mahkamah dan konflik Sudan terjadi setelah terbentuknya Mahkamah. Konflik yang terjadi di Sudan juga memenuhi asas Nullum Crimen Sine Lege karena asas ini mengatur bahwa seseorang dapat diadili di hadapan Mahkamah jika perbuatannya termasuk ke dalam yurisdiksi dari Mahkamah. Konflik yang terjadi di Sudan secara jelas masuk ke dalam yurisdiksi dari Mahkamah Pidana Internasional karena perbuatan yang dilakukan oleh kelompok Janjaweed merupakan perbuatan genosida dan kejahatan kemanusiaan. Omar Al-bashir yang dituduhkan sebagai orang yang bertanggung jawab oleh Jaksa Penuntut Umum dapat diadili di hadapan Mahkamah Pidana Internasional, sebagai seorang presiden pada hakekatnya dia harus melindungi warga negaranya, tetapi pada kenyataannya Omar Al-bashir turut serta dan ia yang menyuruh kaum Janjaweed untuk melakukan pembantaian atas etnis Fur, Masalit dan Zaghawa. Seperti yang kita ketahui suatu statuta dapat berlaku bagi suatu jika suatu negara meratifikasi statute tersebut. Sudan tidak ikut meratifikasi Statuta Roma tetapi ICC tetap dapat masuk dan dapat mengadili Presiden Sudan Omar Al-bahsir karena di dalam pasal 13 ayat (1) Statuta Roma disebutkan bahwa A situation in which one or more of such crimes appears to have ben committed is referred to the prosecutor by a state party in accordance with article 14. Dimana bunyi dari pasal 14 Statuta Roma adalah sebagai berikut : (1) A state party may refer to the prosecutor a situation in which one or more crimes within the jurisdiction of the court appear to have been committed requesting the prosecutorto investigate the situation for the purpose of determining whether one or more specific persongs should be charged with the commission of sich crimes (2) As far as possible, a referral shall specify the relevant circumstances and be accompanied by such supporting documentation as is available to the State referring the situation. 323

13 Menurut pasal 13 diatas yurisdiksi dari ICC dapat masuk ke dalam wilayah Sudan walaupun Sudan tidak meratifikasi Statuta Roma bila dilakukan penuntutan oleh negara peserta dari Statuta Roma. Melalui United Nations General Assembly resolution 3074 tahun 1973 menyatakan bahwa semua negara harus saling bekerja sama secara bilateral atau multilateral untuk mengadili orang-orang yang bertanggung jawab atas kejahatan perang dan kejahatan kemanusiaan. Negara peserta Statuta Roma telah melakukan penuntutan melalui Jaksa Penuntut Umum Luis Moreno Ocampo beserta dokumen-dokumen yang berisikan tentang fakta yang mendukung dakwaan dari ICC digunakan sebagai bukti-bukti untuk memperkuat dakwaan tersebut, maka dari itu Mahkamah Pidana Internasional dapat masuk untuk mengadili Omar Al-bashir sebagai seorang yang bertanggung jawab atas genosida ketiga etnis Fur, Masalit dan Zaghawa serta kejahatan kemanusiaan yang mengakibatkan korban jiwa sebanyak orang meninggal dunia dan sebanyak 2,5 juta orang terpaksa menjadi pengungsi, disamping itu Majelis Umum PBB telah mengeluarkan United Nations General Assembly Resolution 1593 tahun 2005 tentang situasi di Darfur, Sudan. Tidak ada alasan bagi ICC untuk tidak menerima ataupun menolak untuk memeperkarakan kasus Sudan di hadapan Mahkamah Pidana Internasional karena semua persyaratan dalam hal penerimaan perkara telah terpenuhi, Sudan secara nyata tidak mau unwilling dan tidak mampu unable untuk mengadili Omar Al-bashir, sebagian besar rakyat Sudan mendukung dan melindungi pemimpin negaranya tersebut, sebagian besar para pejabat serta penegak hukum di Sudan sudah tentu menjadi pendukung dan pelindung bagi Omar Al-bashir, dapat disimpulkan bahwa para penegak hukum di Sudan tidak akan melakukan atau membuat suatu persidangan serta menyelidiki dan menghukum Omar Al-bashir sebagai orang yang bertanggung jawab atas konflik di Darfur, Sudan. Resolusi tersebut Majelis Umum PBB memutuskan bahwa Pemerintah Sudan dan semua pihak yang terlibat di dalam konflik Sudan harus bekerja sama dengan ICC dan Penuntut Umum dalam penyelesaian kasus Sudan 28. Hal ini berarti jika dilihat dari asas serta yurisdiksi ICC yang dapat masuk ke dalam konflik Sudan, maka sudah 28 UNGA res 1593 tentang situasi di sudan 324

14 seharusnya pemerintah Sudan mau bekerja sama dengan ICC dan menyerahkan presiden Sudan, Omar Al-bashir untuk diadili dihadapan Mahkamah Pidana Internasional. Kesimpulan Berdasarkan hasil uraian dari pembahasanpenelitianini, disimpulkan Bahwa di dalamhukuminternasionaldikenalsuatuhakkhusus yang manasetiap orang yang memilikihaktersebutakanterbebasdarisegalajenishukum, baikituhukumpidanamaupunhukumperdata yang dinamakanhakimunitas. Namun di pihaklainnyainternational Criminal CourtsebagailembagaperadilanberdasarkanStatuta Roma memilikiyurisdiksidalam 4 pidanainternasional (genoside, kejahatankemanusiaan, agresi, kejahatanperang). KonteksPrahara yang terjadi di Darfur- Sudan,sudahdapatdipastikanbahwaICCmemilikikewenangandalammengadiliPresiden Sudan Omar Al-bashir, (seperti yang kitaketahuiseorangpresidententunyamemilikihakimunitasterhadaphukum), perbuatanpidanayang telahdilakukanoleh Omar Al-bashiradalahperbuatan di bawahyurisdiksi ICC yaitukejahatankemanusiaandangenoside, terlebihhalinimerupakanperbuatan yang melanggarjus Cogen. Kejahatankemanusiaan, genosida, sertakejahatanperang yang di tuduhkankepada Omar AlbashirtermasukkedalampelanggaranHakAsasiManusiadan di dalampasal 27 Statuta Roma secarajelasmengatakanbahwakekebalantidakakanmembatasimahkamahdalammelakukan yurisdiksinya, halinijugaberlakukepada Omar Al-bashir yang telahkehilanganhakimunitasnyasebagaikepalanegara, makadariitu ICC sebagailembagaperadilanpidanainternasionaldapatmasukkedalamwilayah territorial darinegara Sudan untukmenangkapdanmembawapresiden Sudan Omar AlbashirkehadapanMahkamah.. Daftar Pustaka Ibrahim,Johnny, (2007), TeoridanMetodologiPenelitianHukumNormatif, Malang: Bayumedia Publishing. 325

15 Tantowi,Jawahir. (2006),Hukum Internasional Kontemporer. Bandung: PT. Refika Aditama Kusumaatmadja,Mochtar, (1976). Pengantar Hukum Internasional. Putra Abardin Abdussalam,R., (2001), Hukum Pidana Internasional, Jakarta: Restu Agung, Schabas.William A. (2004), An Introduction to The International Criminal Court. Cambridge University Press. PeraturanPerundang-undangan Statuta Roma tentang Mahkamah Pidana Internasional tahun 1998 United Nations General Assembly Resolution 1450 tahun 1953 tentang United Nations Conferences on Diplomatic Intercourse and Immunities United Nations General Assembly Resolution 3074 tahun 1973 tentang Principle of International Cooperation In The Detection, Arrest, Extradition And Punishment of Person Guilty of War Crimes And Crimes Against Humanity United Nations Security Council Resolution 1593 tahun 2005 tentang Situation In Darfur, Sudan, To Prosecutor of International Criminal Court Website dikutip dari halaman PKS yang ditulis pada hari Senin, 15 Juni Ditangkap hist trib_s ICC_Fu ll_indo.pdf 326

KEGAGALAN INTERNATIONAL CRIMINAL COURT (ICC) DALAM PENYELESAIAN KONFLIK SUDAN RESUME. Disusun oleh : PETRUS CORNELIS DEPA

KEGAGALAN INTERNATIONAL CRIMINAL COURT (ICC) DALAM PENYELESAIAN KONFLIK SUDAN RESUME. Disusun oleh : PETRUS CORNELIS DEPA KEGAGALAN INTERNATIONAL CRIMINAL COURT (ICC) DALAM PENYELESAIAN KONFLIK SUDAN RESUME Disusun oleh : PETRUS CORNELIS DEPA 151060046 JURUSAN ILMU HUBUNGAN INTERNASIONAL FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN POLITIK UNIVERSITAS

Lebih terperinci

4/8/2013. Mahkamah Pidana Internasional

4/8/2013. Mahkamah Pidana Internasional Mahkamah Pidana Internasional Sekilas tentang Mahkamah Pidana Internasional (ICC) Mahkamah Pidana Internasional (International Criminal Court - ICC) didirikan berdasarkan Statuta Roma tanggal 17 Juli 1998,

Lebih terperinci

BAB V PENUTUP. 1. Yurisdiksi Mahkamah Pidana Internasional dalam Pasal 17 Statuta Roma

BAB V PENUTUP. 1. Yurisdiksi Mahkamah Pidana Internasional dalam Pasal 17 Statuta Roma BAB V PENUTUP A. Kesimpulan 1. Yurisdiksi Mahkamah Pidana Internasional dalam Pasal 17 Statuta Roma merupakan wujud dari Prinsip Komplemeter dari badan yudisial tersebut. Pasal tersebut mengatur terhadap

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Hukum Humaniter Internasional bertujuan untuk memanusiawikan perang agar korban

BAB I PENDAHULUAN. Hukum Humaniter Internasional bertujuan untuk memanusiawikan perang agar korban BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Permasalahan Hukum Humaniter Internasional bertujuan untuk memanusiawikan perang agar korban akibat perang seminimal mungkin dapat dikurangi. Namun implementasinya,

Lebih terperinci

BAB VI PENUTUP. 1. Imunitas Kepala Negara dalam Hukum Internasional. Meski telah diatur dalam hukum internasional dan hukum kebiasaan

BAB VI PENUTUP. 1. Imunitas Kepala Negara dalam Hukum Internasional. Meski telah diatur dalam hukum internasional dan hukum kebiasaan BAB VI PENUTUP A. Kesimpulan 1. Imunitas Kepala Negara dalam Hukum Internasional Meski telah diatur dalam hukum internasional dan hukum kebiasaan internasional, penegakan hukum terhadap imunitas kepala

Lebih terperinci

A. LATAR BELAKANG MASALAH

A. LATAR BELAKANG MASALAH BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH Kasus pelanggaran terhadap hilangnya hak-hak dasar individu merupakan sebuah fenomena yang masih banyak berlangsung di berbagai Negara di dunia. Bentuk pelanggaran

Lebih terperinci

Bab IX MEKANISME PENEGAKAN HUKUM HUMANITER

Bab IX MEKANISME PENEGAKAN HUKUM HUMANITER Bab IX MEKANISME PENEGAKAN HUKUM HUMANITER 9.1. Perkembangan Dalam Hukum Humaniter Salah satu aspek penting dari suatu kaidah hukum yaitu mengenai penegakannya (law enforcement). Suatu perangkat hukum

Lebih terperinci

PENGADILAN PIDANA INTERNASIONAL

PENGADILAN PIDANA INTERNASIONAL PENGADILAN PIDANA INTERNASIONAL PENGADILAN PIDANA INTERNASIONAL AD HOC IMT NUREMBERG IMT TOKYO ICTY ICTR SIERRA LEONE CAMBODIA TIMOR TIMUR / INDONESIA IMT - NUREMBERG NOVEMBER 1945 SEPTEMBER 1946 22 TERDAKWA

Lebih terperinci

MAKALAH. Pengadilan HAM dan Hak Korban Pelanggaran Berat HAM. Oleh: Eko Riyadi, S.H., M.H.

MAKALAH. Pengadilan HAM dan Hak Korban Pelanggaran Berat HAM. Oleh: Eko Riyadi, S.H., M.H. TRAINING RULE OF LAW SEBAGAI BASIS PENEGAKAN HUKUM DAN KEADILAN Hotel Santika Premiere Hayam Wuruk - Jakarta, 2 5 November 2015 MAKALAH Pengadilan HAM dan Hak Korban Pelanggaran Berat HAM Oleh: Eko Riyadi,

Lebih terperinci

RANCANGAN KESIMPULAN/KEPUTUSAN

RANCANGAN KESIMPULAN/KEPUTUSAN RANCANGAN LAPORAN SINGKAT RAPAT PANJA KOMISI III DPR-RI DENGAN KEPALA BADAN PEMBINAAN HUKUM NASIONAL (BPHN) DALAM RANGKA PEMBAHASAN DIM RUU TENTANG KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PIDANA ---------------------------------------------------

Lebih terperinci

Konvensi tentang Pencegahan dan Penghukuman Kejahatan Genosida

Konvensi tentang Pencegahan dan Penghukuman Kejahatan Genosida Konvensi tentang Pencegahan dan Penghukuman Kejahatan Genosida Disetujut dan diusulkan untuk penandatanganan dan ratiftkasi atau aksesi dengan resolusi Majelis Umum 260 A (HI), 9 December 1948 Negara-negara

Lebih terperinci

PELAKSANAAN INTERVENSI HAK ASASI MANUSIA DALAM KONFLIK BERSENJATA NON INTERNASIONAL DI DARFUR

PELAKSANAAN INTERVENSI HAK ASASI MANUSIA DALAM KONFLIK BERSENJATA NON INTERNASIONAL DI DARFUR PELAKSANAAN INTERVENSI HAK ASASI MANUSIA DALAM KONFLIK BERSENJATA NON INTERNASIONAL DI DARFUR Oleh Elinia Reja Purba I Gede Pasek Eka Wisanajaya I Made Budi Arsika Program Kekhususan Hukum Internasional

Lebih terperinci

KEABSAHAN SUDAN SELATAN SEBAGAI NEGARA MERDEKA BARU DALAM PERSPEKTIF HUKUM INTERNASIONAL

KEABSAHAN SUDAN SELATAN SEBAGAI NEGARA MERDEKA BARU DALAM PERSPEKTIF HUKUM INTERNASIONAL KEABSAHAN SUDAN SELATAN SEBAGAI NEGARA MERDEKA BARU DALAM PERSPEKTIF HUKUM INTERNASIONAL Oleh: Sakti Prasetiya Dharmapati I Dewa Gede Palguna I Made Budi Arsika Program Kekhususan Hukum Internasional dan

Lebih terperinci

PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2000 TENTANG PENGADILAN HAK ASASI MANUSIA

PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2000 TENTANG PENGADILAN HAK ASASI MANUSIA PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2000 TENTANG PENGADILAN HAK ASASI MANUSIA I. UMUM Bahwa hak asasi manusia yang tercantum dalam Undang-Undang Dasar 1945, Deklarasi Universal

Lebih terperinci

MAKALAH INDONESIAN HUMAN RIGHTS LEGISLATION. Oleh: Ifdhal Kasim Ketua Komnas HAM RI, Jakarta

MAKALAH INDONESIAN HUMAN RIGHTS LEGISLATION. Oleh: Ifdhal Kasim Ketua Komnas HAM RI, Jakarta PEMERKUATAN PEMAHAMAN HAK ASASI MANUSIA UNTUK HAKIM SELURUH INDONESIA Hotel Santika Makassar, 30 Mei 2 Juni 2011 MAKALAH INDONESIAN HUMAN RIGHTS LEGISLATION Oleh: Ifdhal Kasim Ketua Komnas HAM RI, Jakarta

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Sejarah peradaban manusia telah membuktikan bahwa perang merupakan bagian

I. PENDAHULUAN. Sejarah peradaban manusia telah membuktikan bahwa perang merupakan bagian I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sejarah peradaban manusia telah membuktikan bahwa perang merupakan bagian dari peradaban manusia. Akan tetapi manusia seolah tidak pernah mau belajar dan selalu mengulanginya.

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM MENGENAI KEJAHATAN KEMANUSIAAN SEBAGAI BENTUK PELANGGARAN HAM BERAT MENURUT HUKUM INTERNASIONAL

BAB II TINJAUAN UMUM MENGENAI KEJAHATAN KEMANUSIAAN SEBAGAI BENTUK PELANGGARAN HAM BERAT MENURUT HUKUM INTERNASIONAL BAB II TINJAUAN UMUM MENGENAI KEJAHATAN KEMANUSIAAN SEBAGAI BENTUK PELANGGARAN HAM BERAT MENURUT HUKUM INTERNASIONAL A. Pengertian Kejahatan Kemanusiaan Kejahatan terhadap kemanusiaan pertama kali muncul

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. internasional, negara harus memiliki syarat-syarat yang harus dipenuhi yaitu,

BAB I PENDAHULUAN. internasional, negara harus memiliki syarat-syarat yang harus dipenuhi yaitu, BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Negara merupakan salah satu subjek hukum internasional. Sebagai subjek hukum internasional, negara harus memiliki syarat-syarat yang harus dipenuhi yaitu, salah satunya

Lebih terperinci

KAJIAN TERHADAP PELANGGARAN HAK ASASI MANUSIA YANG BERAT MENURUT UU NO.26 TAHUN 2000 TENTANG PENGADILAN HAM O L E H :

KAJIAN TERHADAP PELANGGARAN HAK ASASI MANUSIA YANG BERAT MENURUT UU NO.26 TAHUN 2000 TENTANG PENGADILAN HAM O L E H : KARYA ILMIAH KAJIAN TERHADAP PELANGGARAN HAK ASASI MANUSIA YANG BERAT MENURUT UU NO.26 TAHUN 2000 TENTANG PENGADILAN HAM O L E H : DR. WEMPIE JH. KUMENDONG, SH, MH NIP. : 19580724 1987031003 KEMENTERIAN

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 2006 TENTANG PENGESAHAN INTERNATIONAL CONVENTION FOR THE SUPPRESSION OF TERRORIST BOMBINGS, 1997 (KONVENSI INTERNASIONAL PEMBERANTASAN PENGEBOMAN OLEH TERORIS,

Lebih terperinci

Konvensi Internasional mengenai Penindasan dan Penghukuman Kejahatan Apartheid

Konvensi Internasional mengenai Penindasan dan Penghukuman Kejahatan Apartheid Konvensi Internasional mengenai Penindasan dan Penghukuman Kejahatan Apartheid disetujui dan terbuka untuk penandatanganan dan ratifikasi oleh Resolusi Majelis Umum 3068 (XXVIII) 30 November 1973 Negara-negara

Lebih terperinci

Eksistensi Konvensi Jenewa di Masa Depan

Eksistensi Konvensi Jenewa di Masa Depan Eksistensi Konvensi Jenewa di Masa Depan Menilai dari jumlah korban sipil dan penyebaran teror terhadap warga sipil terutama rakyat Gaza yang dilakukan oleh Israel selama konflik sejak tahun 2009 lalu

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 2009 TENTANG PENGESAHAN UNITED NATIONS CONVENTION AGAINST TRANSNATIONAL ORGANIZED CRIME (KONVENSI PERSERIKATAN BANGSA-BANGSA MENENTANG TINDAK PIDANA TRANSNASIONAL

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA www.bpkp.go.id UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 2006 TENTANG PENGESAHAN INTERNATIONAL CONVENTION FOR THE SUPPRESSION OF TERRORIST BOMBINGS, 1997 (KONVENSI INTERNASIONAL PEMBERANTASAN PENGEBOMAN

Lebih terperinci

KEDUDUKAN MAHKAMAH INTERNASIONAL DALAM MENGADILI PERKARA KEJAHATAN KEMANUSIAAN. Rubiyanto ABSTRACT

KEDUDUKAN MAHKAMAH INTERNASIONAL DALAM MENGADILI PERKARA KEJAHATAN KEMANUSIAAN. Rubiyanto ABSTRACT ISSN : NO. 0854-2031 KEDUDUKAN MAHKAMAH INTERNASIONAL DALAM MENGADILI PERKARA KEJAHATAN KEMANUSIAAN * Rubiyanto ABSTRACT The main matter, a case can be investigated trial by International court of justice

Lebih terperinci

INTERNATIONAL MILITARY TRIBUNAL NUREMBERG

INTERNATIONAL MILITARY TRIBUNAL NUREMBERG PENGADILAN HAM A. INTERNATIONAL MILITARY TRIBUNAL (IMT) NUREMBERG B. INTERNATIONAL MILITARY TRIBUNAL FOR THE FAR EAST (IMTFE TOKYO C. INTERNATIONAL TRIBUNAL FOR THE PROSECUTION OF PERSONS RESPONSIBLE FOR

Lebih terperinci

I. UMUM. 1. Latar Belakang Pengesahan

I. UMUM. 1. Latar Belakang Pengesahan PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 2006 TENTANG PENGESAHAN INTERNATIONAL CONVENTION FOR THE SUPPRESSION OF TERRORIST BOMBINGS, 1997 (KONVENSI INTERNASIONAL PEMBERANTASAN PENGEBOMAN

Lebih terperinci

PELANGGARAN HAM YANG BERAT. Muchamad Ali Safa at

PELANGGARAN HAM YANG BERAT. Muchamad Ali Safa at PELANGGARAN HAM YANG BERAT Muchamad Ali Safa at PELANGGARAN HAM setiap perbuatan seseorang atau kelompok orang termasuk aparat negara baik disengaja maupun tidak sengaja, atau kelalaian yang secara melawan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) adalah negara hukum ( rechtsstaat) dan bukan

I. PENDAHULUAN. Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) adalah negara hukum ( rechtsstaat) dan bukan I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) adalah negara hukum ( rechtsstaat) dan bukan sebagai negara yang berdasarkan atas kekuasaan ( machtsstaat). Tidak ada institusi

Lebih terperinci

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.324, 2013 KEMENTERIAN PERTAHANAN. Hukum. Humaniter. Hak Asasi Manusia. Penyelenggaraan Pertahanan Negara. Penerapan. PERATURAN MENTERI PERTAHANAN REPUBLIK INDONESIA

Lebih terperinci

Tujuan pendirian Negara Indonesia tertuang dalam Pembukaan UUD 1945:

Tujuan pendirian Negara Indonesia tertuang dalam Pembukaan UUD 1945: Jakarta 14 Mei 2013 Tujuan pendirian Negara Indonesia tertuang dalam Pembukaan UUD 1945: a. Pertama, dimensi internal dimana Negara Indonesia didirikan dengan tujuan untuk melindungi segenap Bangsa Indonesia

Lebih terperinci

UU Pengadilan Hak Asasi Manusia: Sebuah Tinjauan

UU Pengadilan Hak Asasi Manusia: Sebuah Tinjauan UU Pengadilan Hak Asasi Manusia: Sebuah Tinjauan Ifdhal Kasim Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM) A. Pengantar 1. Pengadilan Hak Asasi Manusia Ad Hoc untuk Timor Timur tingkat pertama telah berakhir.

Lebih terperinci

Pengadilan Rakyat Internasional Kasus 1965

Pengadilan Rakyat Internasional Kasus 1965 Sepuluh Hal yang Perlu Anda Ketahui Tentang Pengadilan Rakyat Internasional Kasus 1965 Banyak kesalahpahaman terjadi terhadap Pengadilan Rakyat Internasional. Berikut sepuluh hal yang belum banyak diketahui

Lebih terperinci

MENEGAKKAN TANGGUNG JAWAB MELINDUNGI: PERAN ANGGOTA PARLEMEN DALAM PENGAMANAN HIDUP WARGA SIPIL

MENEGAKKAN TANGGUNG JAWAB MELINDUNGI: PERAN ANGGOTA PARLEMEN DALAM PENGAMANAN HIDUP WARGA SIPIL MENEGAKKAN TANGGUNG JAWAB MELINDUNGI: PERAN ANGGOTA PARLEMEN DALAM PENGAMANAN HIDUP WARGA SIPIL Resolusi disahkan oleh konsensus* dalam Sidang IPU ke-128 (Quito, 27 Maret 2013) Sidang ke-128 Inter-Parliamentary

Lebih terperinci

UMUM. 1. Latar Belakang Pengesahan

UMUM. 1. Latar Belakang Pengesahan PENJELASAN ATAS RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 2006 TENTANG PENGESAHAN INTERNATIONAL CONVENTION FOR THE SUPPRESSION OF THE FINANCING OF TERRORISM, 1999 (KONVENSI INTERNASIONAL

Lebih terperinci

MAHKAMAH PIDANA INTERNASIONAL, KEADILAN BAGI GENERASI MENDATANG

MAHKAMAH PIDANA INTERNASIONAL, KEADILAN BAGI GENERASI MENDATANG Seri Kursus HAM untuk Pengacara XI Tahun 2007 Materi : International Criminal Court (ICC) MAHKAMAH PIDANA INTERNASIONAL, KEADILAN BAGI GENERASI MENDATANG Jerry Flower 1 Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA PENGESAHAN UNITED NATIONS CONVENTION AGAINST CORRUPTION, 2003 DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA Menimbang PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, : a. bahwa dalam rangka mewujudkan

Lebih terperinci

LEGALITAS PENGGUNAAN BOM CURAH (CLUSTER BOMB) PADA AGRESI MILITER ISRAEL KE PALESTINA DALAM PERSPEKTIF HUKUM HUMANITER INTERNASIONAL

LEGALITAS PENGGUNAAN BOM CURAH (CLUSTER BOMB) PADA AGRESI MILITER ISRAEL KE PALESTINA DALAM PERSPEKTIF HUKUM HUMANITER INTERNASIONAL LEGALITAS PENGGUNAAN BOM CURAH (CLUSTER BOMB) PADA AGRESI MILITER ISRAEL KE PALESTINA DALAM PERSPEKTIF HUKUM HUMANITER INTERNASIONAL Oleh: Alan Kusuma Dinakara Pembimbing: Dr. I Gede Dewa Palguna SH.,

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 2006 OF TERRORIST BOMBINGS, 1997 (KONVENSI INTERNASIONAL PEMBERANTASAN PENGEBOMAN OLEH TERORIS, 1997) DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK

Lebih terperinci

Prinsip "Jus Cogens" dalam Hukum Internasional

Prinsip Jus Cogens dalam Hukum Internasional Prinsip "Jus Cogens" dalam Hukum Internasional Mochammad Tanzil Multazam Universitas Muhammadiyah Sidoarjo "Adalah norma yang memaksa dan mengikat pembentuk hukum internasional" Prinsip jus cogens oleh

Lebih terperinci

ATURAN PERILAKU BAGI APARAT PENEGAK HUKUM

ATURAN PERILAKU BAGI APARAT PENEGAK HUKUM ATURAN PERILAKU BAGI APARAT PENEGAK HUKUM Diadopsi oleh Resolusi Sidang Umum PBB No. 34/169 Tanggal 17 Desember 1979 Pasal 1 Aparat penegak hukum di setiap saat memenuhi kewajiban yang ditetapkan oleh

Lebih terperinci

PENDIDIKAN PANCASILA DAN KEWARGANEGARAAN by DANIEL ARNOP HUTAPEA, S.Pd PERTEMUAN KE-3

PENDIDIKAN PANCASILA DAN KEWARGANEGARAAN by DANIEL ARNOP HUTAPEA, S.Pd PERTEMUAN KE-3 PENDIDIKAN PANCASILA DAN KEWARGANEGARAAN by DANIEL ARNOP HUTAPEA, S.Pd PERTEMUAN KE-3 Pelanggaran HAM Menurut Undang-Undang No.39 tahun 1999 pelanggaran hak asasi manusia adalah setiap perbuatan seseorang

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, SALINAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 15 TAHUN 2009 TENTANG PENGESAHAN PROTOCOL AGAINST THE SMUGGLING OF MIGRANTS BY LAND, SEA AND AIR, SUPPLEMENTING THE UNITED NATIONS CONVENTION AGAINST TRANSNATIONAL

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 2006 TENTANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 2006 TENTANG

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 2006 TENTANG UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 2006 TENTANG PENGESAHAN INTERNATIONAL CONVENTION FOR THE SUPPRESSION OF THE FINANCING OF TERRORISM, 1999 (KONVENSI INTERNASIONAL PEMBERANTASAN PENDANAAN TERORISME,

Lebih terperinci

HUKUM HUMANITER INTERNASIONAL KONFLIK BERSENJATA NON-INTERNASIONAL

HUKUM HUMANITER INTERNASIONAL KONFLIK BERSENJATA NON-INTERNASIONAL HUKUM HUMANITER INTERNASIONAL KONFLIK BERSENJATA NON-INTERNASIONAL Malahayati Kapita Selekta Hukum Internasional October 10, 2015 Kata Pengantar Syukur Alhamdulillah, segala puji bagi Allah SWT yang telah

Lebih terperinci

Keywords : Iconoclast, International Law, International Criminal Court

Keywords : Iconoclast, International Law, International Criminal Court PENGHANCURAN BENDA BUDAYA (ICONOCLAST) SEBAGAI KEJAHATAN TERHADAP KEMANUSIAAN Oleh: Made Panji Wilimantara Pembimbing I: Prof. Dr. I Made Pasek Diantha, S.H., M.S Pembimbing II: I Made Budi Arsika, S.H.,

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 2006 TENTANG PENGESAHAN INTERNATIONAL CONVENTION FOR THE SUPPRESSION OF THE FINANCING OF TERRORISM, 1999 (KONVENSI INTERNASIONAL PEMBERANTASAN PENDANAAN TERORISME,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dapat dipakai untuk melakukan penyerangan kepada pihak musuh. Peraturanperaturan

BAB I PENDAHULUAN. dapat dipakai untuk melakukan penyerangan kepada pihak musuh. Peraturanperaturan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Konvensi-konvensi Den Haag tahun 1899 merupakan hasil Konferensi Perdamaian I di Den Haag pada tanggal 18 Mei-29 Juli 1899. Konvensi Den Haag merupakan peraturan

Lebih terperinci

ABSTRAK. Kata kunci : Yurisdiksi, Mahkamah Pidana Internasional, Komplementaris, Negara Bukan Peserta

ABSTRAK. Kata kunci : Yurisdiksi, Mahkamah Pidana Internasional, Komplementaris, Negara Bukan Peserta YURISDIKSI MAHKAMAH PIDANA INTERNASIONAL (INTERNATIONAL CRIMINAL COURT) TERHADAP NEGARA BUKAN PESERTA STATUTA ROMA (Danel Aditia Situngkir, BP. 1121211040, PK Hukum Internasional, Program Pascasarjana

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. enforcement system (sistem penegakan langsung) dan indirect enforcement

BAB I PENDAHULUAN. enforcement system (sistem penegakan langsung) dan indirect enforcement 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Penegakan hukum pidana internasional pada hakekatnya adalah diskusi tentang hukum pidana internasional dalam pengertian formil. Artinya, yang akan di bahas

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah Secara subyektif, ketika menyebut Palestina orang awam bisa

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah Secara subyektif, ketika menyebut Palestina orang awam bisa BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Secara subyektif, ketika menyebut Palestina orang awam bisa mengatakannya sebagai sebuah negara kapanpun mereka inginkan. 1 Namun demikian bagi ilmuwan hukum,

Lebih terperinci

PENGANTAR HUKUM ACARA PENGADILAN HAK ASASI MANUSIA. R. Herlambang Perdana Wiratraman Fakultas Hukum Universitas Airlangga Surabaya, 2 Juni 2008

PENGANTAR HUKUM ACARA PENGADILAN HAK ASASI MANUSIA. R. Herlambang Perdana Wiratraman Fakultas Hukum Universitas Airlangga Surabaya, 2 Juni 2008 PENGANTAR HUKUM ACARA PENGADILAN HAK ASASI MANUSIA R. Herlambang Perdana Wiratraman Fakultas Hukum Universitas Airlangga Surabaya, 2 Juni 2008 Pokok Bahasan Apa prinsip-prinsip dan mekanisme hukum acara

Lebih terperinci

BAB III PROBLEMATIKA KEMANUSIAAN DI PALESTINA

BAB III PROBLEMATIKA KEMANUSIAAN DI PALESTINA BAB III PROBLEMATIKA KEMANUSIAAN DI PALESTINA Pada bab ini penulis akan bercerita tentang bagaimana sejarah konflik antara Palestina dan Israel dan dampak yang terjadi pada warga Palestina akibat dari

Lebih terperinci

ANALISIS PELANGGARAN HUKUM HUMANITER INTERNASIONAL DALAM KONFLIK BERSENJATA ISRAEL-HEZBOLLAH Oleh

ANALISIS PELANGGARAN HUKUM HUMANITER INTERNASIONAL DALAM KONFLIK BERSENJATA ISRAEL-HEZBOLLAH Oleh ANALISIS PELANGGARAN HUKUM HUMANITER INTERNASIONAL DALAM KONFLIK BERSENJATA ISRAEL-HEZBOLLAH Oleh Ayu Krishna Putri Paramita I Made Pasek Diantha I Made Budi Arsika Bagian Hukum Internasional Fakultas

Lebih terperinci

Telah menyetujui sebagai berikut: Pasal 1. Untuk tujuan Konvensi ini:

Telah menyetujui sebagai berikut: Pasal 1. Untuk tujuan Konvensi ini: LAMPIRAN II UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 2006 TENTANG PENGESAHAN INTERNATIONAL CONVENTION FOR THE SUPPRESSION OF TERRORIST BOMBINGS, 1997 (KONVENSI INTERNASIONAL PEMBERANTASAN PENGEBOMAN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dan pelaksanaan HAM lebih banyak dijadikan objek power game diantara blokblok

BAB I PENDAHULUAN. dan pelaksanaan HAM lebih banyak dijadikan objek power game diantara blokblok BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Promosi dan proteksi Hak Asasi Manusia (HAM) boleh dikatakan telah menjadi agenda internasional. Jika sebelumnya, selama lebih dari 40 tahun, ide dan pelaksanaan HAM

Lebih terperinci

PENERAPAN YURISDIKSI UNIVERSAL MELALUI MEKANISME EKSTRADISI ATAS KEJAHATAN TERHADAP KEMANUSIAAN (CRIMES AGAINTS HUMANITY)

PENERAPAN YURISDIKSI UNIVERSAL MELALUI MEKANISME EKSTRADISI ATAS KEJAHATAN TERHADAP KEMANUSIAAN (CRIMES AGAINTS HUMANITY) PENERAPAN YURISDIKSI UNIVERSAL MELALUI MEKANISME EKSTRADISI ATAS KEJAHATAN TERHADAP KEMANUSIAAN (CRIMES AGAINTS HUMANITY) SKRIPSI Diajukan Kepada Fakultas Hukum Untuk Melengkapi Tugas-Tugas dan Syarat-Syarat

Lebih terperinci

HAK VETO DEWAN KEAMANAN PERSERIKATAN BANGSA-BANGSA DALAM KAITAN DENGAN PRINSIP PERSAMAAN KEDAULATAN

HAK VETO DEWAN KEAMANAN PERSERIKATAN BANGSA-BANGSA DALAM KAITAN DENGAN PRINSIP PERSAMAAN KEDAULATAN HAK VETO DEWAN KEAMANAN PERSERIKATAN BANGSA-BANGSA DALAM KAITAN DENGAN PRINSIP PERSAMAAN KEDAULATAN Oleh: Sulbianti Pembimbing I : I Made Pasek Diantha Pembimbing II: Made Mahartayasa Program Kekhususan

Lebih terperinci

BAB II SEJARAH PEMBENTUKAN, STRUKTUR DAN YURIDIKSI INTERNATIONAL CRIMINAL COURT. Dalam bab ini penulis akan mencoba memaparkan mengenai International

BAB II SEJARAH PEMBENTUKAN, STRUKTUR DAN YURIDIKSI INTERNATIONAL CRIMINAL COURT. Dalam bab ini penulis akan mencoba memaparkan mengenai International BAB II SEJARAH PEMBENTUKAN, STRUKTUR DAN YURIDIKSI INTERNATIONAL CRIMINAL COURT Dalam bab ini penulis akan mencoba memaparkan mengenai International Criminal Court yang akan dibagi kedalam beberapa sub

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 10 TAHUN 2014 TENTANG PENGESAHAN INTERNATIONAL CONVENTION FOR THE SUPPRESSION OF ACTS OF NUCLEAR TERRORISM (KONVENSI INTERNASIONAL PENANGGULANGAN TINDAKAN TERORISME

Lebih terperinci

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA UNDANG-UNDANG NOMOR 29 TAHUN 1999 TENTANG PENGESAHAN INTERNATIONAL CONVENTION ON THE ELIMINATION OF ALL FORMS OF RACIAL DISCRIMINATION 1965 (KONVENSI INTERNASIONAL TENTANG PENGHAPUSAN SEGALA BENTUK DISKRIMINASI

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. negara-negara lain yang yang diderita oleh banyak orang di negara-negara lain

BAB I PENDAHULUAN. negara-negara lain yang yang diderita oleh banyak orang di negara-negara lain BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Praktek penyelenggaran negara dewasa ini berkembang ke arah demokrasi dan perlidungan Hak Asasi Manusaia (HAM). Masalah HAM mengemuka pada setiap kehidupan penyelenggaraan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 14 TAHUN 2009 TENTANG

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 14 TAHUN 2009 TENTANG UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa setiap orang sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa memiliki hak-hak asasi sesuai dengan

Lebih terperinci

Pendidikan Kewarganegaraan

Pendidikan Kewarganegaraan Your Page Name Internet Web Broser Pendidikan Kearganegaraan Kelompok 8 Search Your Page Name Internet Web Broser Standar Kompetensi 2. Menampilkan peran serta dalam upaya pemajuan, penghormatan, dan perlindungan

Lebih terperinci

BAB III KESIMPULAN DAN SARAN. tuntutan. Jadi peradilan internasional diselenggarakan untuk mencegah pelaku

BAB III KESIMPULAN DAN SARAN. tuntutan. Jadi peradilan internasional diselenggarakan untuk mencegah pelaku 55 BAB III KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan Setelah diuraikan dalam bab-bab sebelumnya, maka dapat disimpulkan bahwa Peradilan internasional baru akan digunakan jika penyelesaian melalui peradilan nasional

Lebih terperinci

PENGADILAN PIDANA INTERNASIONAL DAN RANCANGAN UNDANG-UNDANG PENGADILAN HAK ASASI MANUSIA

PENGADILAN PIDANA INTERNASIONAL DAN RANCANGAN UNDANG-UNDANG PENGADILAN HAK ASASI MANUSIA PENGADILAN PIDANA INTERNASIONAL DAN RANCANGAN UNDANG-UNDANG PENGADILAN HAK ASASI MANUSIA Prof. DR. Romli Atmasasmita [Direktur Jenderal Administrasi Hukum Umum] Sejarah Singkat Persiapan Pembentukan International

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 29 TAHUN 1999 TENTANG PENGESAHAN INTERNATIONAL CONVENTION ON THE ELIMINATION OF ALL FORMS OF RACIAL DISCRIMINATION 1965 (KONVENSI INTERNASIONAL TENTANG PENGHAPUSAN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. berdasarkan undang-undang atau keputusan pengadilan. Hukum internasional

BAB I PENDAHULUAN. berdasarkan undang-undang atau keputusan pengadilan. Hukum internasional 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Di dalam satu negara, kepentingan hukum dapat diadakan dengan berdasarkan kontrak di antara dua orang atau lebih, kesepakatan resmi, atau menurut sistem pemindahtanganan

Lebih terperinci

PENEGAKAN HUKUM HUMANITER DALAM KONFLIK BERSENJATA INTERNAL SURIAH

PENEGAKAN HUKUM HUMANITER DALAM KONFLIK BERSENJATA INTERNAL SURIAH PENEGAKAN HUKUM HUMANITER DALAM KONFLIK BERSENJATA INTERNAL SURIAH Oleh I Wayan Gede Harry Japmika 0916051015 I Made Pasek Diantha I Made Budi Arsika Program Kekhususan Hukum Internasional Fakultas Hukum

Lebih terperinci

STATUTA ROMA MAHKAMAH PIDANA INTERNASIONAL

STATUTA ROMA MAHKAMAH PIDANA INTERNASIONAL STATUTA ROMA STATUTA ROMA MAHKAMAH PIDANA INTERNASIONAL Disahkan oleh Konferensi Diplomatik Perserikatan Bangsa-Bangsa Duta Besar Berkuasa Penuh tentang Pembentukan Mahkamah Pidana Internasional pada tanggal

Lebih terperinci

ASAS KESALAHAN DALAM STATUTA ROMA

ASAS KESALAHAN DALAM STATUTA ROMA ASAS KESALAHAN DALAM STATUTA ROMA Basri 1 Abstrak Asas kesalahan adalah berkaitan dengan pertanggungjawaban pidana. Pertanggungjawaban pidana (mens rea), adalah menunjuk kepada unsur -unsur pembuat delik,

Lebih terperinci

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA UNDANG-UNDANG NOMOR 5 TAHUN 1998 TENTANG PENGESAHAN CONVENTION AGAINST TORTURE AND OTHER CRUEL, INHUMAN OR DEGRADING TREATMENT OR PUNISHMENT (KONVENSI MENENTANG PENYIKSAAN DAN PERLAKUAN ATAU PENGHUKUMAN

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA. Presiden Republik Indonesia,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA. Presiden Republik Indonesia, Copyright (C) 2000 BPHN UU 5/1998, PENGESAHAN CONVENTION AGAINST TORTURE AND OTHER CRUEL, INHUMAN OR DEGRADING TREATMENT OR PUNISHMENT (KONVENSI MENENTANG PENYIKSAAN DAN PERLAKUAN ATAU PENGHUKUMAN LAIN

Lebih terperinci

INSTRUMEN HUKUM MENGENAI HAM

INSTRUMEN HUKUM MENGENAI HAM INSTRUMEN HUKUM MENGENAI HAM Materi Perkuliahan HUKUM & HAM ke-6 INSTRUMEN HUKUM INTERNASIONAL MENGENAI HAM Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa Universal Declaration of Human Rights, 1948; Convention on

Lebih terperinci

PERLAKUAN DISKRIMINASI TERHADAP ETNIS ROHINGYA OLEH MYANMAR DALAM PERSPEKTIF HUKUM INTERNASIONAL

PERLAKUAN DISKRIMINASI TERHADAP ETNIS ROHINGYA OLEH MYANMAR DALAM PERSPEKTIF HUKUM INTERNASIONAL PERLAKUAN DISKRIMINASI TERHADAP ETNIS ROHINGYA OLEH MYANMAR DALAM PERSPEKTIF HUKUM INTERNASIONAL Oleh: Gita Wanandi I Made Pasek Diantha I Made Budi Arsika Program Kekhususan Hukum Internasional dan Bisnis

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, SALINAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 14 TAHUN 2009 TENTANG PENGESAHAN PROTOCOL TO PREVENT, SUPPRESS AND PUNISH TRAFFICKING IN PERSONS, ESPECIALLY WOMEN AND CHILDREN, SUPPLEMENTING THE UNITED

Lebih terperinci

PENGADILAN HAK ASASI MANUSIA DAN MAHKAMAH PIDANA INTERNASIONAL (ICC)

PENGADILAN HAK ASASI MANUSIA DAN MAHKAMAH PIDANA INTERNASIONAL (ICC) PENGADILAN HAK ASASI MANUSIA DAN MAHKAMAH PIDANA INTERNASIONAL (ICC) Hartanto Dosen Fakultas Hukum Universitas Widya Mataram Yogyakarta Abstract Completion toward the gross violations of human rights basically

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM MENGENAI KEJAHATAN TERHADAP KEMANUSIAAN OLEH MANTAN PRESIDEN LAURENT GBAGBO DAN KONSEP HAM INTERNASIONAL

BAB II TINJAUAN UMUM MENGENAI KEJAHATAN TERHADAP KEMANUSIAAN OLEH MANTAN PRESIDEN LAURENT GBAGBO DAN KONSEP HAM INTERNASIONAL BAB II TINJAUAN UMUM MENGENAI KEJAHATAN TERHADAP KEMANUSIAAN OLEH MANTAN PRESIDEN LAURENT GBAGBO DAN KONSEP HAM INTERNASIONAL 2.1. Kejahatan Terhadap Kemanusiaan yang Dilakukan oleh Mantan Presiden Laurent

Lebih terperinci

Lex Privatum Vol. V/No. 8/Okt/2017

Lex Privatum Vol. V/No. 8/Okt/2017 KEWENANGAN ICC (INTERNATIONAL CRIMINAL COURT) DALAM MELAKUKAN PENEGAKAN HUKUM TERHADAP KEJAHATAN KEMANUSIAAN 1 Oleh : Olivia 2 ABSTRAK Penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui bagaimana

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pada tanggal 17 Februari 2008 yang lalu, parlemen Kosovo telah

BAB I PENDAHULUAN. Pada tanggal 17 Februari 2008 yang lalu, parlemen Kosovo telah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Permasalahan Pada tanggal 17 Februari 2008 yang lalu, parlemen Kosovo telah memproklamasikan Kosovo sebagai Negara merdeka, lepas dari Serbia. Sebelumnya Kosovo adalah

Lebih terperinci

KATA PENGANTAR. Segala puji syukur penulis panjatkan hanya bagi Tuhan Yesus Kristus, oleh karena

KATA PENGANTAR. Segala puji syukur penulis panjatkan hanya bagi Tuhan Yesus Kristus, oleh karena KATA PENGANTAR Segala puji syukur penulis panjatkan hanya bagi Tuhan Yesus Kristus, oleh karena anugerah-nya yang melimpah, kemurahan dan kasih setia yang besar akhirnya penulis dapat menyelesaikan penulisan

Lebih terperinci

PERLINDUNGAN KOMBATAN. Siapa yang boleh dijadikan obyek peperangan dan tidak. Distinction principle. Pasal 1 HR Kombatan..?

PERLINDUNGAN KOMBATAN. Siapa yang boleh dijadikan obyek peperangan dan tidak. Distinction principle. Pasal 1 HR Kombatan..? PERLINDUNGAN KOMBATAN Pasal 1 HR Kombatan..? Distinction principle Siapa yang boleh dijadikan obyek peperangan dan tidak. Dipimpin seorang yang bertanggungjawab atas bawahannya Mempunyai lambang yang dapat

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 29 TAHUN 1999 TENTANG PENGESAHAN INTERNATIONAL CONVENTION ON THE ELIMINATION OF ALL FORMS OF RACIAL DISCRIMINATION 1965 (KONVENSI INTERNASIONAL TENTANG PENGHAPUSAN

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN Y ANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN Y ANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 1998 TENTANG PENGESAHAN CONVENTION AGAINST TORTURE AND OTHER CRUEL, INHUMAN OR DEGRADING TREATMENT OR PUNISHMENT (KONVENSI MENENTANG PENYIKSAAN DAN PERLAKUAN

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM. 1.1 Tinjauan Umum Mengenai Subjek Hukum Internasional Pengertian Subjek Hukum Internasional

BAB II TINJAUAN UMUM. 1.1 Tinjauan Umum Mengenai Subjek Hukum Internasional Pengertian Subjek Hukum Internasional 19 BAB II TINJAUAN UMUM 1.1 Tinjauan Umum Mengenai Subjek Hukum Internasional 1.1.1 Pengertian Subjek Hukum Internasional Secara umum subyek hukum diartikan sebagai pendukung / pemilik hak dan kewajiban.

Lebih terperinci

DAFTAR ISI. Maksud, Tujuan dan Kerangka Penulisan Buku...3 BAGIAN I BAB I EVOLUSI PEMIKIRAN DAN SEJARAH PERKEMBANGAN HAK ASASI MANUSIA...

DAFTAR ISI. Maksud, Tujuan dan Kerangka Penulisan Buku...3 BAGIAN I BAB I EVOLUSI PEMIKIRAN DAN SEJARAH PERKEMBANGAN HAK ASASI MANUSIA... Daftar Isi v DAFTAR ISI DAFTAR ISI...v PENGANTAR PENERBIT...xv KATA PENGANTAR Philip Alston...xvii Franz Magnis-Suseno...xix BAGIAN PENGANTAR Maksud, Tujuan dan Kerangka Penulisan Buku...3 BAGIAN I BAB

Lebih terperinci

Westget Mall diperkirakan merupakan supermarket milik Israel yang sering dikunjungi orang-orang asing.

Westget Mall diperkirakan merupakan supermarket milik Israel yang sering dikunjungi orang-orang asing. Westget Mall diperkirakan merupakan supermarket milik Israel yang sering dikunjungi orang-orang asing. Balas campur tangan militer Kenya di Somalia, kelompok al Shabab menyerang sebuah mal di Nairobi,

Lebih terperinci

KEKUATAN MENGIKAT RESOLUSI DEWAN KEAMANAN PBB DALAM PENYELESAIAN SENGKETA INTERNASIONAL

KEKUATAN MENGIKAT RESOLUSI DEWAN KEAMANAN PBB DALAM PENYELESAIAN SENGKETA INTERNASIONAL KEKUATAN MENGIKAT RESOLUSI DEWAN KEAMANAN PBB DALAM PENYELESAIAN SENGKETA INTERNASIONAL Oleh I Komang Oka Dananjaya Progam Kekhususan Hukum Internasional Fakultas Hukum Universitas Udayana ABSTRACT The

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2000 TENTANG PENGADILAN HAK ASASI MANUSIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2000 TENTANG PENGADILAN HAK ASASI MANUSIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2000 TENTANG PENGADILAN HAK ASASI MANUSIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa hak asasi manusia merupakan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2000 TENTANG PENGADILAN HAK ASASI MANUSIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2000 TENTANG PENGADILAN HAK ASASI MANUSIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2000 TENTANG PENGADILAN HAK ASASI MANUSIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa hak asasi manusia merupakan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2000 TENTANG PENGADILAN HAK ASASI MANUSIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2000 TENTANG PENGADILAN HAK ASASI MANUSIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2000 TENTANG PENGADILAN HAK ASASI MANUSIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa hak asasi manusia merupakan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2000 TENTANG PENGADILAN HAK ASASI MANUSIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2000 TENTANG PENGADILAN HAK ASASI MANUSIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2000 TENTANG PENGADILAN HAK ASASI MANUSIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa hak asasi manusia merupakan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 10 TAHUN 2014 TENTANG

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 10 TAHUN 2014 TENTANG UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 10 TAHUN 2014 TENTANG PENGESAHAN INTERNATIONAL CONVENTION FOR THE SUPPRESSION OF ACTS OF NUCLEAR TERRORISM (KONVENSI INTERNASIONAL PENANGGULANGAN TINDAKAN TERORISME

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA (UU) NOMOR 26 TAHUN 2000 (26/2000) TENTANG PENGADILAN HAK ASASI MANUSIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA (UU) NOMOR 26 TAHUN 2000 (26/2000) TENTANG PENGADILAN HAK ASASI MANUSIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA (UU) NOMOR 26 TAHUN 2000 (26/2000) TENTANG PENGADILAN HAK ASASI MANUSIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa hak asasi manusia

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA (UU) NOMOR 26 TAHUN 2000 (26/2000) TENTANG PENGADILAN HAK ASASI MANUSIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA (UU) NOMOR 26 TAHUN 2000 (26/2000) TENTANG PENGADILAN HAK ASASI MANUSIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA (UU) NOMOR 26 TAHUN 2000 (26/2000) TENTANG PENGADILAN HAK ASASI MANUSIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa hak asasi manusia

Lebih terperinci

PELANGGARAN KEDAULATAN NEGARA TERKAIT TINDAKAN SPIONASE DALAM HUBUNGAN DIPLOMASI INTERNASIONAL

PELANGGARAN KEDAULATAN NEGARA TERKAIT TINDAKAN SPIONASE DALAM HUBUNGAN DIPLOMASI INTERNASIONAL PELANGGARAN KEDAULATAN NEGARA TERKAIT TINDAKAN SPIONASE DALAM HUBUNGAN DIPLOMASI INTERNASIONAL Oleh Ngakan Kompiang Kutha Giri Putra I Ketut Sudiartha Bagian Hukum Internasional Fakultas Hukum Universitas

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2000 TENTANG PENGADILAN HAK ASASI MANUSIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2000 TENTANG PENGADILAN HAK ASASI MANUSIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2000 TENTANG PENGADILAN HAK ASASI MANUSIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa hak asasi manusia merupakan

Lebih terperinci

Tanggung Jawab Komando Dalam Pelanggaran Berat Hak Asasi Manusia Oleh : Abdul Hakim G Nusantara

Tanggung Jawab Komando Dalam Pelanggaran Berat Hak Asasi Manusia Oleh : Abdul Hakim G Nusantara Tanggung Jawab Komando Dalam Pelanggaran Berat Hak Asasi Manusia Oleh : Abdul Hakim G Nusantara Impunitas yaitu membiarkan para pemimpin politik dan militer yang diduga terlibat dalam kasus pelanggaran

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA DISTRIBUSI II UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa salah satu alat

Lebih terperinci