PEGARUH RUMPON ATRAKTOR CUMI TERHADAP HASIL TANGKAPAN CUMI- CUMI DI PERAIRAN TUING, BANGKA

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "PEGARUH RUMPON ATRAKTOR CUMI TERHADAP HASIL TANGKAPAN CUMI- CUMI DI PERAIRAN TUING, BANGKA"

Transkripsi

1 AKUATIK- Jurnal Sumberdaya Perairan Volume 9. Nomor. 2. Tahun 2015 ISSN PEGARUH RUMPON ATRAKTOR CUMI TERHADAP HASIL TANGKAPAN CUMI- CUMI DI PERAIRAN TUING, BANGKA 1) Wede Mitra, 2) Eva Utami, 3) Umroh 1) Mahasiswa Manajemen Sumberdaya Perairan 2)3) Staf Pengajar Jurusan Mnajemen Sumberdaya Perairan FPPB Universitas Bangka Belitung Abstract Squid agregating device useful as a squid to attach eggs and a squid fishing area. The research objective was to analyze the catch squid in the area and nothing squid agregating device. The method used in the study is experimental squid fishing. The study was conducted in May 2015 in Tuing waters, Bangka. Collecting data 4 times in one month. Results in getting fishing on squid agregating device area and without squid agregating device are not significantly different with 95% confidence interval. Waters tuing in May instead of squid fishing season. Keywords: Squid, Fishing, squid agregating device PENDAHULUAN Kabupaten Bangka memiliki kawasan dengan potensi yang sangat besar untuk pengembangan perikanan tangkap, salah satunya adalah Perairan Tuing. Perairan yang masih alami karena belum tercemar oleh aktivitas penambangan timah ini memiliki terumbu karang tepi, serta vegetasi mangrove yang tumbuh subur di sekitarnya sehingga menjadi daerah tangkapan cumicumi bagi nelayan Kabupaten Bangka. Nelayan Tuing masih dikatakan tradisional karena penangkapannya masih berskala kecil dengan perahu kecil dan penangkapan tak lebih dari sehari (one day fishing). Cumi-cumi ditangkap oleh nelayan sekitar menggunakan pancing cumi (squid jigging) dan bagan tancap. Besarnya potensi cumi di Perairan Tuing namun kebanyakan nelayan dalam penangkapan cumi-cumi masih berdasarkan dugaan menyebabkan hasil tangkapan belum optimal. Salah satu solusi dalam menetapkan daerah tangkapan cumi-cumi adalah dengan menempatkan Rumpon atraktor cumi (RAC). RAC merupakan salah satu jenis rumpon dasar yang nantinya akan berperan sebagai terumbu buatan, sehingga dapat membentuk suatu ekosistem baru yang dapat mengumpulkan cumi-cumi karena kesesuaian habitat untuk cumi-cumi melepaskan telurnya. Penerapan teknologi RAC yang masih baru di Perairan Tuing perlu diteliti pengaruhnya terhadap hasil tangkapan nelayan untuk memaksimalkan pendapatan dari penangkapan. Tujuan Menganalisis pengaruh rumpon atraktor cumi terhadap hasil tangkapan cumi-cumi. Manfaat Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi masukan bagi nelayan terkait penggunaan teknologi RAC untuk meningkatkan hasil tangkapan dan pendapatan. METODE PENELITIAN Waktu dan Lokasi Penelitian Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Mei 2015 di Perairan Tuing Kecamatan Riau Silip Kabupaten Bangka Provinsi Bangka Belitung. Alat dan Bahan Penelitian Alat yang digunakan pada penelitian ini adalah pancing cumi berwarna hijau dan merah sesuai dengan kebiasaan Nelayan Dusun Tuing, RAC berfungsi sebagai alat untuk mengumpulkan cumi-cumi. Bahan yang digunakan antara lain waring yang berfungsi sebagai penutup kerangka RAC dan tali rapia sebagai pengikat kerangka RAC. Kontruksi Rumpon Rumpon atraktor cumi dibuat berbentuk kotak dengan ukuran 70x50x60 cm 3. Kerangka RAC dibuat dari bahan kayu yang ditutupi dengan waring dan menggunakan pemberat pasir pantai yang dimasukan Volume 9. Nomor. 2. Tahun 2015 HALAMAN- 8

2 kedalam karung. Konstruksi RAC dapat dilihat pada Gambar 1. setelah panjang tali pemegang dan layang arus berhenti, stopwatch dimatikan. Kecepatan arus (v) dapat dihitung dengan cara membagi panjang tali (l) dengan lama waktu yang terukur (t) (Hutagalung et al.,1997). Gambar 1. Konstruksi Rumpon Atraktor Cumi Metode Pengambilan Data Penelitian menggunakan metode uji coba penangkapan cumi-cumi atau experimental fishing dengan 2 perlakuan yaitu memancing di area RAC dan tanpa RAC (kontrol) dengan 4 kali pengambilan data selama satu bulan. Jumlah pancing yang digunakan sebanyak 9 pancing di setiap perlakuan. Banyaknya pancing pada setiap perlakuan dinyatakan sebagai banyaknya ulangan. Metode pemancingan menggunakan umpan buatan yaitu pancing cumi-cumi (squid jigging). Pengambilan data dimulai pukul WIB. Pemancingan diawali di area tanpa RAC pada pukul WIB, dilanjutkan di area RAC pada pukul WIB. Pengambilan data di area tanpa RAC dilakukan pada daerah fishing ground sesuai kebiasaan nelayan Tuing. Pengukuran Parameter Lingkugan 1. Suhu Suhu perairan diukur menggunakan termometer batang dengan cara mencelupkannya ke dalam perairan selama 2 menit, kemudian dilakukan pembacaan nilai suhu pada saat termometer dalam air agar nilai suhu tidak dipengaruhi oleh suhu udara. (Hutagalung et al.,1997). 2. Kecepatan Arus Kecepatan arus diukur menggunakan layang-layang arus yang telah diberikan tali dengan panjang tertentu dihanyutkan dan stopwatch dihidupkan secara bersamaan, 3. Potensial Hidrogen (ph) Pengukuran ph perairan menggunakan ph indikator universal dengan cara mencelupkannya ke dalam air selama 1-2 menit kemudian diangkat dan dicocokkan dengan skala indikator warna ph yang ada. 4. Salinitas Salinitas diukur menggunakan alat refraktometer yang dioperasikan dengan cara meneteskan sampel air laut pada alat kemudian dilakukan pembacaan skala pada teropong yang dilengkapi kaca pembesar di dalamnya. Sebelum pengukuran alat ini harus dikalibrasi dahulu dengan akuades (Hutagalung et al.,1997). 5. Total Suspended Solid (TSS) Total Suspended Solid (TSS) atau padatan tersuspensi adalah jumlah partikel-partikel yang melayang dalam air (Hutagalung et al. 1997). Sampel air dimasukkan ke dalam botol sampel 1 liter kemudian dianalisis di laboratorium. Rumus yang digunakan untuk menganalisis TSS adalah: dimana; TSS adalah total suspended solid (mg/l), W1 adalah berat kertas saring sebelum digunakan untuk menyaring (mg), W2 merupakan berat kertas saring setelah digunakan untuk menyaring (mg), V: volume air yang tersaring (liter). Analisis Data Analisis yang digunakan dalam menentukan perbedaan hasil tangkapan cumi-cumi di area RAC dan tanpa RAC adalah Uji Mann Whitney. Uji Mann Whitney merupakan uji yang digunakan untuk menguji dua sempel independen. Pemilihan metode ini dengan pertimbangan banyak faktor yang tidak dapat dikontrol yang mempengaruhi hasil penelitian seperti ombak, arus, kecerahan perairan dan musim Volume 9. Nomor. 2. Tahun 2015 HALAMAN- 9

3 serta parameter-parameter lainnya pada lokasi penelitian. Uji ini termasuk dalam uji non parametrik. Untuk memenuhi persyaratan analisis dalam menarik kesimpulan, maka dirumuskan uji hipotesis sebagai berikut: a) : Tidak terdapat perbedaan atau pengaruh memancing di area RAC dan tanpa RAC. b) : Terdapat perbedaan atau pengaruh memancing di area RAC dan tanpa RAC. Rumus statistik uji U Mann Whitney adalah (Supranto, 2009): Dimana : jumlah sampel 1 jumlah sampel 2 = jumlah jenjang pada sampel 1 = jumlah jenjang pada sampel 2 Kriteria pengambilan keputusan : = diterima bila = ditolak bila Untuk memeriksa apakah nilai U benar maka perlu dilakukan perhitungan sebagai berikut : HASIL DAN PEMBAHASAN Keadaan Umum Perairan Tuing Perairan Tuing terletak di bagian timur laut Pulau Bangka dan berbatasan langsung dengan Perairan Laut Cina Selatan. Perairan Tuing mengalami siklus musim barat dan musim timur. Puncak musim barat dan timur dicirikan dengan kondisi gelombang yang kuat dan besar dengan kondisi air laut yang keruh. Kondisi perairan laut relatif teduh dan jernih pada musim peralihan antara barattimur dan sebaliknya (Terangi 2011 dalam Syari 2013). Perairan Tuing pada musim barat kondisi gelombang langsung mengarah ke daratan sehingga daerah ini diterpa oleh gelombang yang tinggi, besar dan kuat. Nelayan Tuing umumnya pada saat musim barat tidak melakukan aktivitas penangkapan di laut karena khawatir gelombang besar akan mengancam keselamatan mengingat perahu yang digunakan berukuran kecil. Perairan Tuing pada musim timur lebih terlindung karena terdapat tanjung Tuing yang menghalangi arah gelombang. Karakteristik fisika kimia perairan Tuing disajikan pada Tabel 1. Tabel 1. Karakteristik Fisika Kimia Perairan Tuing Parameter Minggu arus Suhu Salinit ke- ph TSS (m/s) ( C) as ( ) (mg/l) area I 0, , RAC II 0, III 0,4 30, area tanpa RAC IV 0, I 0, II 0, III 0, IV 0, Baku 0, <20 Mutu* ,5 * berdasarkan Kepmen LH No 51 Tahun 1988 Hasil Tangkapan Cumi Nelayan Tuing dalam proses penangkapan cumi-cumi biasanya dilakukan pada malam hari dengan bantuan lampu yang berguna untuk menarik dan mengumpul cumi-cumi yang tersebar pada suatu daerah penangkapan. Hasil tangkapan cumi-cumi selama penelitian adalah dari jenis Uretheutis chinensis atau cumi bangka dengan total tangkapan sebanyak 15,08 kg (Tabel 3). Tabel 3. Jumlah Hasil Tangkapan Cumi Tangkapan per Minggu (kg) Perlakuan I II III IV Total RAC Tanpa RAC Hasil tangkapan cumi pada perlakuan RAC berjumlah 9,2 kg, sedangkan memancing di area tanpa RAC berjumlah 6,6 kg. Berdasarkan analisis statistik menggunakan uji Man-Whitney (uji U) Volume 9. Nomor. 2. Tahun 2015 HALAMAN- 10

4 diketahui bahwa perlakuan dalam penelitian ini tidak berbeda nyata terhadap hasil tangkapan cumi dengan selang kepercayaan 95%. Nilai U hitung lebih besar sama dengan U tabel α(4,4) yaitu 7>0 yang berarti hipotesa null (H0) ditolak, bahwa hasil tangkapan pancing cumi di area RAC dan tanpa RAC tidak berbeda nyata. Hal ini dikarenakan data yang didapatkan selama empat kali pengambilan data sedikit dan tidak berpengaruh nyata terhadap hasil statistik yang ada. Hasil tangkapan cumi yang sedikit ini dikarenakan informasi dari nelayan yang menyatakan bahwa pada waktu penelitian memang bukan merupakan musim untuk menangkap cumi-cumi di perairan Tuing. Biasanya dalam satu trip penangkapan cumi pada saat musim cumi-cumi, nelayan bisa mendapatkan hasil kurang lebih 10 kg. Musim penangkapan cumi-cumi terjadi pada saat musim peralihan timur barat. Pada musim peralihan barat timur, cumi-cumi biasanya ditangkap di daerah yang jauh ke arah utara. Itupun dengan hasil yang jauh lebih sedikit dibandingkan pada musim peralihan timur barat. Sebaliknya, pada musim timur barat, hasil tangkapan cumicumi ditangkap di perairan Tuing jumlahnya relatif lebih banyak dibandingkan musim yang lain karena cumi-cumi akan terus bermigrasi dari utara ke selatan pada musim tersebut. Hal ini menunjukan terjadinya migrasi cumi-cumi secara horizontal di perairan timur Pulau Bangka yaitu dari arah utara ke arah selatan selama musim timur sampai ke musim barat. Migrasi horizontal dilakukan dengan tujuan untuk mencari makanan dan untuk mencari daerah bertelur (Tasywiruddin, 1999 dalam Tallo, 2006). Cumi-cumi biasanya bermigrasi secara bergerombol (schooling) dan sangat berasosiasi dengan faktor lingkungan seperti salinitas, suhu dan kedalaman perairan. Selain itu cumi-cumi jenis Uretheutis chinensis yang ditangkap di Perairan Tuing memang tidak melakukan pemijahan sepanjang tahun (perairan timur Pulau Bangka). Penyebaran U. chinensis hampir di seluruh laut di Indonesia seperti laut Jawa, selat Makasar, laut Maluku, laut Seram, laut Flores, perairan Morowali, Sulawesi Tengah dan laut Arafuru (Hamsiah, 1990 dalam Kasmudin, 2011). Kelimpahan cumi-cumi di perairan juga ditunjang oleh keberadaan zat hara yang terbawa arus dari daratan (run off). Zat har tersebut dimanfaatkan oleh fitoplankton yang selanjutnya dimanfaatkan oleh zooplankton, juvenil ikan ataupun ikan-ikan kecil yang menjadi makanan cumi-cumi (Tasywiruddin 1999 dalam Tallo 2006). Adanya ikan di sekitar rumpon menciptakan suatu hubungan makan dan dimakan, dimulai dengan tumbuhnya bakteri dan mikroalga sejak rumpon dipasang di perairan. Selanjutnya hewan-hewan kecil dari golongan zooplankton akan datang untuk mencari makan. Akhirnya ikan- ikan kecil akan berdatangan, begitu pula halnya dengan ikan- ikan besar seperti cumi-cumi akan datang untuk mencari makan dengan memangsa ikan-ikan pelagis kecil (Zulkarnain 2002 dalam Siahaan, 2005). Selain itu kelimpahan cumi-cumi di Perairan Tuing tergantung dengan pergerakan bulan (fase bulan) yang ada, dan sangat dipengaruhi oleh parameter oseanografi (fisika-kimia) perairan. Suhu Perairan Tuing berdasarkan hasil pengukuran bekisar C masih sesuai dengan suhu permukaan laut di Indonesia. Suhu alami air laut berkisar antara suhu di bawah 0-33 C. Perubahan suhu dapat memberi pengaruh besar kepada sifat-sifat air laut lainnya dan kepada biota laut (Rumimohtarto dan Juwana, 2009). Berdasarkan Keputusan Menteri Negara Kependudukan dan Lingkungan Hidup No. Kep-51/MENKLH/1988 suhu ini masih normal untuk kehidupan biota laut. Suhu yang diperkenankan untuk tujuan perikanan (budidaya) dan kehidupan biota laut adalah suhu alami yaitu C (Boyd,1988). Suhu juga dapat mempengaruhi proses kehidupan dan penyebaran organisme perairan (Nybakken 1988). Segawa (1987) menyatakan bahwa suhu air juga sangat berperan dalam pengaturan energi cumicumi seperti feeding rate, pertumbuhan dan pematangan gonad. Parameter oseanografi yang lain seperti salinitas berkisar antara C masih sesuai dengan salinitas pada perairan Indonesia umumnya yaitu antara 30,0- Volume 9. Nomor. 2. Tahun 2015 HALAMAN- 11

5 35,0. Daerah pesisir salinitas berkisar antara 32-34, sedang untuk laut terbuka antara dengan rata-rata 35 (Edward dan Marasabessy 2003 dalam Marwazi, 2013 ). Hasil pengukuran ph perairan berkisar 8. Berdasarkan Keputusan Menteri Negara Kependudukan dan Lingkungan Hidup No. Kep- 51/MENKLH/2004 untuk ph yaitu 7-8,5 maka nilai ph ini masih memenuhi baku mutu air laut yang diperbolehkan untuk biota laut. Hanya nilai padatan tersuspensi (TSS) Perairan Tuing (20-40 mg/l.) yang tergolong tidak baik berdasarkan Kepmen LH No 50 Tahun 2004 tentang baku mutu air laut. Nilai TSS < 20 mg/l masih tergolong sesuai untuk kehidupan biota terumbu karang. Parameter oseanografi Perairan Tuing secara umum sesuai bagi kehidupan cumi-cumi (Nabhibtabhata, 1996). Secara umum total hasil tangkapan cumicumi di area RAC lebih banyak dibandingkan tanpa RAC diduga karena keberadaan RAC yang berperan sebagai tempat menempelkan telurnya sehingga akhirnya menetas. Selain sebagai tempat memijah, RAC juga berperan sebagai daerah pengasuhan dan pembesaran. Berbagai jenis ikan akan mencari makan dan bermain di sekitar RAC tersebut. Hasil tangkapan cumi pada minggu pertama dan kedua lebih banyak di area tanpa RAC (4,00 kg) dibandingkan di area RAC (2,00 kg). Hal ini diduga karena pada awal bulan Mei perairan Tuing terjadi akhir musim barat yang mengakibatkan angin masih berhembus kencang dan gelombang tinggi sehingga cumi-cumi yang berada di area rumpon lebih sedikit, kemudian kecepatan arus mempengaruhi keberadaan cumi-cumi. Pengukuran arus di perairan Tuing bekisar 0,4-0,6 m/s. Arus juga mempengarui hasil tangkapan karena pergerakan arus mempengaruhi cumi-cumi untuk melakukan pemijahan. Kuatnya arus perairan juga mempengaruhi proses penangkapan cumi-cumi dan keberadaan rumpon di dalam perairan untuk tempat cumi-cumi melakukan pemijahan. Perairan Tuing yang berbatasan langsung dengan Laut Cina Selatan merupakan kawasan yang terbuka dan langsung berhadapan dengan hantaman gelombang. Hal ini juga dikarenakan pada awal bulan Mei dimulainya hasil pemijahan cumi-cumi (Marwazi, 2013). Pengambilan data pada minggu ketiga dan keempat didapatkan berbanding terbalik dengan minggu pertama dan minggu kedua, yaitu hasil tangkapan cumi di area RAC lebih banyak (7,20 kg) dibandingkan di area tanpa RAC (2,60 kg). Akhir bulan Mei merupakan awal terjadinya musim pemijahan cumi-cumi, kemudian pada waktu ini juga merupakan musim peralihan barat timur dimana kondisi muka air (level pasang surut) lebih rendah jika dibandingkan pada musim timur barat. kondisi ini menyebabkan rumpon berada pada kondisi yang relatif lebih dangkal jika dibandingkan pada musim peralihan timur barat. Artinya, pada musim barat timur, cumi-cumi lebih menyukai untuk menenggelamkan telurnya pada kedalaman yang lebih dalam 5 meter. Kedalaman perairan berpengaruh terhadap keberadaan cumi-cumi (Brodziak dan Hendrickson 1999 dalam Marwazi 2013). Kesimpulan Hasil tangkapan cumi-cumi di are rumpon dan di area tanpa rumpon tidak berbeda nyata dengan selang kepercayaan 95%. Saran 1. Perlu dilakukan penelitian lanjutan pada bulan dan musim yang berbeda. DAFTAR PUSTAKA Baskoro M dan Mustaruddin Atraktor Cumi-cumi: Teknologi Potensial dan Tepat Guna untuk Perkembangan Kawasan Pantai Terpadu. Fakultas Perikanan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor. Bogor. Boyd CE Water Quality In Warmwater Fish ponds. Fourth Printing Auburn University Hutagalung HP, D Setiapermana, dan Riyono Metode Analisis Air Laut, Sedimen dan Biota. Jakarta: Puslitbang Oseanologi-LIPI. Kasmarudin Perbandingan hasil tangkapan Cumi-cumi (Loligo Sp.) berdasarkan perbedaan kombinasi Volume 9. Nomor. 2. Tahun 2015 HALAMAN- 12

6 warna umpan buatan pada alat tangkap hand line di perairan Morowali Sulawesi Tengah [Skripsi]. Makassar: Fakultas Ilmu Kelautan dan Perikanan. Universitas Hasanudin. Marwazi Penempelan Telur Cumi- Cumi pada Modifikasi Rumpon Atraktor Berdasarkan Kedalaman Perairan. [Skripsi]. Balunijuk: Fakultas Pertanian, Perikanan dan Biologi, Universitas Bangka Belitung. Mulyanto Atraktor Cumi-cumi. Badan Penerbit Universitas Diponegoro. Semarang. Nabhitabhata J Life Cycle of Cultured Big Fin Squid, Sepioteuthis lessoniana LESSON. Phuket Marine Biology Center Special Publication 25 (1): Nybakken JW Biologi Laut Suatu Pendekatan Ekologis. Penerjemah M Eidmen, Koesoebiono, DG Bengen, M Hutomo dan S Sukardjo. PT Gramedia: Pustaka Utama. Jakarta Romimohtarto K dan Juwana S Biologi Laut. Ilmu Pengetahuan Tentang Biota Laut. Djambatan. Jakarta. Syari IA Interaksi fungsional penempelan telur cumi (Loligo Chinensis. Gray, 1849) pada modifikasi rumpon atraktor cumi di perairan Tuing Kabupaten Bangka [Tesis]. Bogor: Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Segawa S Life History of Oval Squid Sepoteuthis lessoniana in Kominato and Adjacent Waters Central Honsu, Japan. Tokyo University of Fisheries. 74 (2) : Siahaan Penambahan rumpon untuk meningkatkan hasil tangkapan kelong tancap di daerah Kawal, Kabupaten Tanjung Pinang, kepulauan Riau [Skripsi]. Bogor: Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Institut Pertanian Bogor. Supranto Statistik Teori dan Aplikasi. Erlangga. Jakarta. Edisi ketujuh. Tallo I Perbedaan Jenis dan Kedalaman Pemasangan Atraktor Terhadap Penempelan Telur Cumi-cumi [Tesis]. Bogor: Sekolah Pascasarjana. Institut Pertanian Bogor. Tasywiruddin M.T Sebaran dan Kelimpahan Cumi-cumi (Loligo edulis Hoyle, 1885) berdasarkan jumlah dan posisi lampu pada operasi penangkapan dengan payang oras di perairan selat Alas Nusa Tenggara Barat. [Tesis]. Sekolah Pascasarjana. Institut Pertanian Bogor. Volume 9. Nomor. 2. Tahun 2015 HALAMAN- 13

Efektifitas Modifikasi Rumpon Cumi sebagai Media Penempelan Telur Cumi Bangka (Loligo chinensis)

Efektifitas Modifikasi Rumpon Cumi sebagai Media Penempelan Telur Cumi Bangka (Loligo chinensis) EFEKTIFITAS MODIFIKASI RUMPON CUMI SEBAGAI MEDIA PENEMPELAN TELUR CUMI BANGKA (Loligo Effectiveness of Squid Modification As a Media of Attachment Squid Eggs Bangka Indra Ambalika Syari 1) 1) Staff Pengajar

Lebih terperinci

KANDUNGAN ZAT PADAT TERSUSPENSI (TOTAL SUSPENDED SOLID) DI PERAIRAN KABUPATEN BANGKA

KANDUNGAN ZAT PADAT TERSUSPENSI (TOTAL SUSPENDED SOLID) DI PERAIRAN KABUPATEN BANGKA KANDUNGAN ZAT PADAT TERSUSPENSI (TOTAL SUSPENDED SOLID) DI PERAIRAN KABUPATEN BANGKA Umroh 1, Aries Dwi Siswanto 2, Ary Giri Dwi Kartika 2 1 Dosen Jurusan Manajemen Sumberdaya Perairan, Fakultas Pertanian,Perikanan

Lebih terperinci

ANALISIS EFEKTIFITAS PRODUKSI CUMI CUMI

ANALISIS EFEKTIFITAS PRODUKSI CUMI CUMI AKUATIK. Jurnal Sumberdaya Perairan Volume 10 Nomor 2 Tahun 2016 56 ANALISIS EFEKTIFITAS PRODUKSI CUMI CUMI (Loligo sp.) PADA ALAT TANGKAP BAGAN TANCAP MENGGUNAKAN LAMPU CELUP DALAM AIR DAN LAMPU DI ATAS

Lebih terperinci

6 PEMBAHASAN 6.1 Daerah Penangkapan Ikan berdasarkan Jalur Jalur Penangkapan Ikan

6 PEMBAHASAN 6.1 Daerah Penangkapan Ikan berdasarkan Jalur Jalur Penangkapan Ikan 6 PEMBAHASAN 6.1 Daerah Penangkapan Ikan berdasarkan Jalur Jalur Penangkapan Ikan Daerah penangkapan ikan kakap (Lutjanus sp.) oleh nelayan di Kabupaten Kupang tersebar diberbagai lokasi jalur penangkapan.

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Keadaan Lokasi Penelitian Cirebon merupakan daerah yang terletak di tepi pantai utara Jawa Barat tepatnya diperbatasan antara Jawa Barat dan Jawa Tengah. Lokasi penelitian

Lebih terperinci

PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Daerah penangkapan ikan merupakan wilayah perairan tempat berkumpulnya ikan, dimana alat tangkap dapat dioperasikan sesuai teknis untuk mengeksploitasi sumberdaya ikan

Lebih terperinci

4 KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN

4 KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN 4 KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN 4.1 Keadaan Umum Lokasi Penelitian Pulau Pramuka secara administratif termasuk ke dalam wilayah Kelurahan Pulau Panggang, Kecamatan Kepulauan Seribu, Kotamadya Jakarta

Lebih terperinci

ES R K I R P I S P I S SI S S I TEM

ES R K I R P I S P I S SI S S I TEM 69 4. DESKRIPSI SISTEM SOSIAL EKOLOGI KAWASAN PENELITIAN 4.1 Kondisi Ekologi Lokasi studi dilakukan pada pesisir Ratatotok terletak di pantai selatan Sulawesi Utara yang termasuk dalam wilayah administrasi

Lebih terperinci

EFEKTIVITAS ATRAKTOR TERHADAP PENEMPELAN TELUR CUMI-CUMI PADA KEDALAMAN YANG BERBEDA

EFEKTIVITAS ATRAKTOR TERHADAP PENEMPELAN TELUR CUMI-CUMI PADA KEDALAMAN YANG BERBEDA EFEKTIVITAS ATRAKTOR TERHADAP PENEMPELAN TELUR CUMI-CUMI PADA KEDALAMAN YANG BERBEDA Hasmawati dan Asti Sugiarti Jurusan Penangkapan Ikan, Politeknik Pertanian Negeri Pangkep Email: hasmawati.politani@gmail.com,

Lebih terperinci

INTERAKSI FUNGSIONAL PENEMPELAN TELUR CUMI (Loligo chinensis. Gray, 1849) PADA MODIFIKASI RUMPON ATRAKTOR CUMI DI PERAIRAN TUING KABUPATEN BANGKA

INTERAKSI FUNGSIONAL PENEMPELAN TELUR CUMI (Loligo chinensis. Gray, 1849) PADA MODIFIKASI RUMPON ATRAKTOR CUMI DI PERAIRAN TUING KABUPATEN BANGKA INTERAKSI FUNGSIONAL PENEMPELAN TELUR CUMI (Loligo chinensis. Gray, 1849) PADA MODIFIKASI RUMPON ATRAKTOR CUMI DI PERAIRAN TUING KABUPATEN BANGKA INDRA AMBALIKA SYARI SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Distribusi Cumi-Cumi Sirip Besar 4.1.1. Distribusi spasial Distribusi spasial cumi-cumi sirip besar di perairan Karang Congkak, Karang Lebar, dan Semak Daun yang tertangkap

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Ekosistem padang lamun (seagrass) merupakan suatu habitat yang sering dijumpai antara pantai berpasir atau daerah mangrove dan terumbu karang. Padang lamun berada di daerah

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. permukaan dan mengalir secara terus menerus pada arah tertentu. Air sungai. (Sosrodarsono et al., 1994 ; Dhahiyat, 2013).

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. permukaan dan mengalir secara terus menerus pada arah tertentu. Air sungai. (Sosrodarsono et al., 1994 ; Dhahiyat, 2013). 5 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Perairan Sungai Sungai adalah suatu perairan yang airnya berasal dari air hujan, air permukaan dan mengalir secara terus menerus pada arah tertentu. Air sungai dingin dan

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN Latar Belakang

1. PENDAHULUAN Latar Belakang 1 1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Ekosistem terumbu karang adalah salah satu ekosistem yang paling kompleks dan khas di daerah tropis yang memiliki produktivitas dan keanekaragaman yang tinggi. Ekosistem

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia merupakan negara kepulauan yang mempunyai kawasan pesisir yang cukup luas, dan sebagian besar kawasan tersebut ditumbuhi mangrove yang lebarnya dari beberapa

Lebih terperinci

Kadar Salinitas, Oksigen Terlarut,..Kepulauan Seribu-Provinsi DKI Jakarta (Dumarno, D & T. Muryanto)

Kadar Salinitas, Oksigen Terlarut,..Kepulauan Seribu-Provinsi DKI Jakarta (Dumarno, D & T. Muryanto) Kadar Salinitas, Oksigen Terlarut,..Kepulauan Seribu-Provinsi DKI Jakarta (Dumarno, D & T. Muryanto) KADAR SALINITAS, OKSIGEN TERLARUT, DAN SUHU AIR DI UNIT TERUMBU KARANG BUATAN (TKB) PULAU KOTOK KECIL

Lebih terperinci

4 HASIL DAN PEMBAHASAN

4 HASIL DAN PEMBAHASAN 4 HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Iluminasi cahaya Cahaya pada pengoperasian bagan berfungsi sebagai pengumpul ikan. Cahaya yang diperlukan memiliki beberapa karakteristik, yaitu iluminasi yang tinggi, arah pancaran

Lebih terperinci

3 METODOLOGI PENELITIAN

3 METODOLOGI PENELITIAN 3 METODOLOGI PENELITIAN 3. Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di perairan Teluk Mutiara Kabupaten Alor Provinsi Nusa Tenggara Timur. Peta lokasi penelitian ditampilkan pada Gambar

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia mempunyai perairan laut yang lebih luas dibandingkan daratan, oleh karena itu Indonesia dikenal sebagai negara maritim. Perairan laut Indonesia kaya akan

Lebih terperinci

4 HASIL PENELITIAN. 4.1 Statistik Produksi Ikan dan Telur Ikan Terbang Produksi tahunan ikan dan telur ikan terbang

4 HASIL PENELITIAN. 4.1 Statistik Produksi Ikan dan Telur Ikan Terbang Produksi tahunan ikan dan telur ikan terbang 4 HASIL PENELITIAN 4.1 Statistik Produksi Ikan dan Telur Ikan Terbang 4.1.1 Produksi tahunan ikan dan telur ikan terbang Produksi ikan terbang (IT) di daerah ini dihasilkan dari beberapa kabupaten yang

Lebih terperinci

2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Aspek Biologi Klasifikasi Morfologi

2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Aspek Biologi Klasifikasi Morfologi 4 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Aspek Biologi 2.1.1. Klasifikasi Tiram merupakan jenis bivalva yang bernilai ekonomis. Tiram mempunyai bentuk, tekstur, ukuran yang berbeda-beda (Gambar 2). Keadaan tersebut

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Rajungan merupakan salah satu komoditas ekspor Indonesia. Berdasarkan data ekspor impor Dinas Kelautan dan Perikanan Indonesia (2007), rajungan menempati urutan ke

Lebih terperinci

ANALISIS HASIL TANGKAPAN RAJUNGAN (PORTUNUS PELAGICUS) MENGGUNAKAN BUBU LIPAT DI MUARA TEBO NELAYAN 1 KECAMATAN SUNGAILIAT KABUPATEN BANGKA

ANALISIS HASIL TANGKAPAN RAJUNGAN (PORTUNUS PELAGICUS) MENGGUNAKAN BUBU LIPAT DI MUARA TEBO NELAYAN 1 KECAMATAN SUNGAILIAT KABUPATEN BANGKA AKUATIK- Analisis Jurnal Efektifitas Sumberdaya Hasil Perairan Tangkapan Bubu Lipat Terhadap Hasil Tangkapan Rajungan (Portunus pelagicus) Di Volume 9. Muara Nomor. Tebo 2. Tahun Nelayan 2015 1 Kecamatan

Lebih terperinci

Akuatik- Jurnal Sumberdaya Perairan Volume 10. Nomor. 1. Tahun 2016

Akuatik- Jurnal Sumberdaya Perairan Volume 10. Nomor. 1. Tahun 2016 Akuatik- Jurnal Sumberdaya Perairan Volume 10. Nomor. 1. Tahun 2016 36 ISSN 1978-1652 KEANEKARAGAMAN IKAN KARANG DI PERAIRAN REBO SUNGAILIAT, BANGKA Reef Fish Diversity In The Waters Rebo Sungailiat, Bangka

Lebih terperinci

EKOSISTEM LAUT DANGKAL EKOSISTEM LAUT DANGKAL

EKOSISTEM LAUT DANGKAL EKOSISTEM LAUT DANGKAL EKOSISTEM LAUT DANGKAL Oleh : Nurul Dhewani dan Suharsono Lokakarya Muatan Lokal, Seaworld, Jakarta, 30 Juni 2002 EKOSISTEM LAUT DANGKAL Hutan Bakau Padang Lamun Terumbu Karang 1 Hutan Mangrove/Bakau Kata

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Salah satu hutan mangrove yang berada di perairan pesisir Jawa Barat terletak

BAB I PENDAHULUAN. Salah satu hutan mangrove yang berada di perairan pesisir Jawa Barat terletak 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Salah satu hutan mangrove yang berada di perairan pesisir Jawa Barat terletak di Cagar Alam Leuweung Sancang. Cagar Alam Leuweung Sancang, menjadi satu-satunya cagar

Lebih terperinci

V. GAMBARAN UMUM PERAIRAN SELAT BALI

V. GAMBARAN UMUM PERAIRAN SELAT BALI V. GAMBARAN UMUM PERAIRAN SELAT BALI Perairan Selat Bali merupakan perairan yang menghubungkan Laut Flores dan Selat Madura di Utara dan Samudera Hindia di Selatan. Mulut selat sebelah Utara sangat sempit

Lebih terperinci

Jurnal LPPM Bidang Sains dan Teknologi Volume 4 Nomor 2 November 2017

Jurnal LPPM Bidang Sains dan Teknologi Volume 4 Nomor 2 November 2017 PENANGKAPAN IKAN UMPAN HIDUP UNTUK PERIKANAN POLE AND LINE DIKELURAHAN MAWALI KECAMATAN BITUNG SELATAN UNTUK MENINGKATKAN PRODUKSI, PEMASARAN DAN KEUANGAN Lefrand Manoppo 1) Meta S. Sompie 2) 1,2 Fakultas

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang merupakan salah satu sumberdaya hayati laut bernilai ekonomis tinggi karena memiliki daging yang gurih dan lezat, hampir 80 % bagian tubuhnya merupakan bagian yang dapat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. ekosistem lamun, ekosistem mangrove, serta ekosistem terumbu karang. Diantara

BAB I PENDAHULUAN. ekosistem lamun, ekosistem mangrove, serta ekosistem terumbu karang. Diantara 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia merupakan salah satu negara kepulauan yang sebagian besar wilayahnya merupakan perairan dan terletak di daerah beriklim tropis. Laut tropis memiliki

Lebih terperinci

ANALISIS JUMLAH TELUR CUMI-CUMI BERDASARKAN MUSIM. Analysis of Amount of Eggs Squid Based on The Season

ANALISIS JUMLAH TELUR CUMI-CUMI BERDASARKAN MUSIM. Analysis of Amount of Eggs Squid Based on The Season Jurnal Galung Tropika, 4 (3) Desember 2015, hlmn. 157-163 ISSN Online 2407-6279 ISSN Cetak 2302-4178 ANALISIS JUMLAH TELUR CUMI-CUMI BERDASARKAN MUSIM Analysis of Amount of Eggs Squid Based on The Season

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN Latar Belakang

I PENDAHULUAN Latar Belakang I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Sumberdaya alam pesisir merupakan suatu himpunan integral dari komponen hayati (biotik) dan komponen nir-hayati (abiotik) yang dibutuhkan oleh manusia untuk hidup dan

Lebih terperinci

3 METODOLOGI. 3.1 Waktu dan Lokasi Penelitian

3 METODOLOGI. 3.1 Waktu dan Lokasi Penelitian METODOLOGI. Waktu dan Lokasi Penelitian Penelitian ini terdiri dari tahapan, yakni dilaksanakan pada bulan Agustus 0 untuk survey data awal dan pada bulan FebruariMaret 0 pengambilan data lapangan dan

Lebih terperinci

KAJIAN SPASIAL FISIKA KIMIA PERAIRAN ULUJAMI KAB. PEMALANG

KAJIAN SPASIAL FISIKA KIMIA PERAIRAN ULUJAMI KAB. PEMALANG KAJIAN SPASIAL FISIKA KIMIA PERAIRAN ULUJAMI KAB. PEMALANG F1 05 1), Sigit Febrianto, Nurul Latifah 1) Muhammad Zainuri 2), Jusup Suprijanto 3) 1) Program Studi Manajemen Sumberdaya Perairan FPIK UNDIP

Lebih terperinci

KEANEKARAGAMAN PLANKTON PADA HUTAN MANGROVE DI KEPULAUAN TOGEAN SULAWESI TENGAH. Halidah

KEANEKARAGAMAN PLANKTON PADA HUTAN MANGROVE DI KEPULAUAN TOGEAN SULAWESI TENGAH. Halidah Keanekaragaman Plankton pada Hutan Mangrove KEANEKARAGAMAN PLANKTON PADA HUTAN MANGROVE DI KEPULAUAN TOGEAN SULAWESI TENGAH Balai Litbang Lingkungan Hidup dan Kehutanan Makassar Jl. Perintis Kemerdekaan

Lebih terperinci

Kondisi perairan keramba jaring apung ikan kerapu di perairan Pulau Semujur Kabupaten Bangka Tengah

Kondisi perairan keramba jaring apung ikan kerapu di perairan Pulau Semujur Kabupaten Bangka Tengah Kondisi perairan keramba jaring apung ikan kerapu di perairan Pulau Semujur Kabupaten Bangka Tengah Imam Soehadi 1, Sulistiono 2, Bambang Widigdo 2 1) Program Studi Pengelolaan Sumber daya Pesisir dan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Perikanan tangkap memiliki peran penting dalam penyediaan pangan, kesempatan kerja, perdagangan dan kesejahteraan serta rekreasi bagi sebagian penduduk Indonesia (Noviyanti

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Perairan Pulau Pramuka terletak di Kepulauan Seribu yang secara administratif termasuk wilayah Jakarta Utara. Di Pulau Pramuka terdapat tiga ekosistem yaitu, ekosistem

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Ekosistem mangrove merupakan ekosistem pesisir yang terdapat di sepanjang pantai tropis dan sub tropis atau muara sungai. Ekosistem ini didominasi oleh berbagai jenis

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Tabel 1. Jumlah Armada Penangkapan Ikan Cirebon Tahun Tahun Jumlah Motor

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Tabel 1. Jumlah Armada Penangkapan Ikan Cirebon Tahun Tahun Jumlah Motor BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Keadaan Umum Perikanan Tangkap di Cirebon Armada penangkapan ikan di kota Cirebon terdiri dari motor tempel dan kapal motor. Jumlah armada penangkapan ikan dikota Cirebon

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 22 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Kelompok Umur Pertumbuhan populasi tiram dapat dilihat berdasarkan sebaran kelompok umur. Analisis sebaran kelompok umur dilakukan dengan menggunakan FISAT II metode NORMSEP.

Lebih terperinci

3. METODE PENELITIAN

3. METODE PENELITIAN 15 3. METODE PENELITIAN 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian dilakukan di muara Sungai Citepus, Kecamatan Palabuhanratu dan muara Sungai Sukawayana, Kecamatan Cikakak, Teluk Palabuhanratu, Kabupaten

Lebih terperinci

KADAR SALINITAS DI BEBERAPA SUNGAI YANG BERMUARA DI TELUK CEMPI, KABUPATEN DOMPU-PROVINSI NUSA TENGGARA BARAT

KADAR SALINITAS DI BEBERAPA SUNGAI YANG BERMUARA DI TELUK CEMPI, KABUPATEN DOMPU-PROVINSI NUSA TENGGARA BARAT Kadar Salinitas di Beberapa... Dompu-Provinsi Nusa Tenggara Barat (Sumarno, D & Aswar R.) KADAR SALINITAS DI BEBERAPA SUNGAI YANG BERMUARA DI TELUK CEMPI, KABUPATEN DOMPU-PROVINSI NUSA TENGGARA BARAT Dedi

Lebih terperinci

PEMANFAATAN PELEPAH SAWIT SEBAGAI RUMPON DI PERAIRAN TUING KABUPATEN BANGKA

PEMANFAATAN PELEPAH SAWIT SEBAGAI RUMPON DI PERAIRAN TUING KABUPATEN BANGKA AKUATIK. Jurnal Sumberdaya Perairan 57 ISSN 1978-1652 PEMANFAATAN PELEPAH SAWIT SEBAGAI RUMPON DI PERAIRAN TUING KABUPATEN BANGKA Kurniawan, S.Pi., M.Si 1) dan Indra Ambalika Syari, S.Pi., M.Si 2) awal.rizka@yahoo.com

Lebih terperinci

3. METODE PENELITIAN

3. METODE PENELITIAN 22 3. METODE PENELITIAN 3.1. Waktu dan Lokasi Penelitian Penelitian ini dilakukan di perairan Pulau Karya, Kelurahan Pulau Panggang, Kecamatan Pulau Seribu Utara, Kepulauan Seribu, DKI Jakarta. Stasiun

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Terumbu karang merupakan sumberdaya terbarukan yang memiliki fungsi ekologis, sosial-ekonomis, dan budaya yang sangat penting terutama bagi masyarakat pesisir dan pulau-pulau

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Secara ekologis ekosistem padang lamun di perairan pesisir dapat berperan sebagai daerah perlindungan ikan-ikan ekonomis penting seperti ikan baronang dan penyu, menyediakan

Lebih terperinci

PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Terumbu karang dan asosiasi biota penghuninya secara biologi, sosial ekonomi, keilmuan dan keindahan, nilainya telah diakui secara luas (Smith 1978; Salm & Kenchington

Lebih terperinci

3. METODE PENELITIAN

3. METODE PENELITIAN 3. METODE PENELITIAN 3.1. Waktu dan Lokasi Penelitian Penelitian ini dilaksanakan dari bulan September 2011 hingga Desember 2011 bertempat di Gosong Pramuka, Kepulauan Seribu, DKI Jakarta dengan koordinat

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia memiliki wilayah perairan laut yang sangat luas, terdiri dari wilayah perairan teritorial dengan luas sekitar 3,1 juta km 2 dan zona ekonomi ekslusif (ZEE)

Lebih terperinci

4 KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN

4 KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN 4 KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN 4.1 Keadaan Umum Lokasi Penelitian Perairan Palabuhanratu terletak di sebelah selatan Jawa Barat, daerah ini merupakan salah satu daerah perikanan yang potensial di Jawa

Lebih terperinci

Potensi Terumbu Karang Luwu Timur

Potensi Terumbu Karang Luwu Timur Potensi Terumbu Karang Luwu Timur Kabupaten Luwu Timur merupakan kabupaten paling timur di Propinsi Sulawesi Selatan dengan Malili sebagai ibukota kabupaten. Secara geografis Kabupaten Luwu Timur terletak

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara yang dua per tiga luasnya ditutupi oleh laut

1. PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara yang dua per tiga luasnya ditutupi oleh laut 1 1. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia merupakan negara yang dua per tiga luasnya ditutupi oleh laut dan hampir sepertiga penduduknya mendiami daerah pesisir pantai yang menggantungkan hidupnya dari

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Kondisi Umum Selat Bali Bagian Selatan

TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Kondisi Umum Selat Bali Bagian Selatan 3 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Kondisi Umum Selat Bali Bagian Selatan Selat merupakan perairan relatif sempit yang menghubungkan dua buah perairan yang lebih besar dan biasanya terletak di antara dua daratan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kepulauan Seribu merupakan kabupaten administratif yang terletak di sebelah utara Provinsi DKI Jakarta, memiliki luas daratan mencapai 897,71 Ha dan luas perairan mencapai

Lebih terperinci

BAB III BAHAN DAN METODE

BAB III BAHAN DAN METODE BAB III BAHAN DAN METODE 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian telah dilakukan di kawasan perairan Pulau Biawak, Kabupaten Indramayu. Penelitian ini dilaksanakan selama 1 bulan, dimulai dari bulan

Lebih terperinci

Parameter Oseanografi pada Calon Daerah Kawasan Konservasi Perairan Laut Kabupaten Luwu Utara

Parameter Oseanografi pada Calon Daerah Kawasan Konservasi Perairan Laut Kabupaten Luwu Utara Parameter Oseanografi pada Calon Daerah Kawasan Konservasi Perairan Laut Kabupaten Luwu Utara Muh. Farid Samawi *, Ahmad Faisal, Chair Rani Jurusan Ilmu Kelautan, FIKP, Universitas Hasanuddin Jl. Perintis

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN tangkapan yang berbeda. Untuk hari pertama tanpa menggunakan lampu, hari ke menggunakan dua lampu dan hari ke menggunakan empat lampu. Dalam satu hari dilakukan dua kali operasi penangkapan. Data yang

Lebih terperinci

Laju Penempelan Teritip pada Media dan Habitat yang Berbeda di Perairan Kalianda Lampung Selatan

Laju Penempelan Teritip pada Media dan Habitat yang Berbeda di Perairan Kalianda Lampung Selatan 59 M. A. Fajri et al. / Maspari Journal 03 (2011) 63-68 Maspari Journal 03 (2011) 63-68 http://masparijournal.blogspot.com Laju Penempelan Teritip pada Media dan Habitat yang Berbeda di Perairan Kalianda

Lebih terperinci

FORMASI SPASIAL PERAIRAN PULAU 3S (SALEMO, SAGARA, SABANGKO) KABUPATEN PANGKEP UNTUK BUDIDAYA LAUT Fathuddin dan Fadly Angriawan ABSTRAK

FORMASI SPASIAL PERAIRAN PULAU 3S (SALEMO, SAGARA, SABANGKO) KABUPATEN PANGKEP UNTUK BUDIDAYA LAUT Fathuddin dan Fadly Angriawan ABSTRAK FORMASI SPASIAL PERAIRAN PULAU 3S (SALEMO, SAGARA, SABANGKO) KABUPATEN PANGKEP UNTUK BUDIDAYA LAUT Fathuddin dan Fadly Angriawan Ilmu Kelautan, Sekolah Tinggi Teknologi Kelautan (STITEK) Balik Diwa Makassar

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN. Lokasi dan objek penelitian analisis kesesuaian perairan untuk budidaya

III. METODE PENELITIAN. Lokasi dan objek penelitian analisis kesesuaian perairan untuk budidaya III. METODE PENELITIAN A. Lokasi dan Waktu Penelitian Lokasi dan objek penelitian analisis kesesuaian perairan untuk budidaya rumput laut ini berada di Teluk Cikunyinyi, Kabupaten Pesawaran, Provinsi Lampung.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Wilayah pesisir Indonesia memiliki luas dan potensi ekosistem mangrove

BAB I PENDAHULUAN. Wilayah pesisir Indonesia memiliki luas dan potensi ekosistem mangrove BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Wilayah pesisir Indonesia memiliki luas dan potensi ekosistem mangrove yang cukup besar. Dari sekitar 15.900 juta ha hutan mangrove yang terdapat di dunia, sekitar

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. fauna yang hidup di habitat darat dan air laut, antara batas air pasang dan surut.

BAB I PENDAHULUAN. fauna yang hidup di habitat darat dan air laut, antara batas air pasang dan surut. BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Mangrove merupakan ekosistem yang kompleks terdiri atas flora dan fauna yang hidup di habitat darat dan air laut, antara batas air pasang dan surut. Ekosistem mangrove

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. dibentuk oleh berbagai komponen biotik dan abiotik, komponen-komponen ini saling

I. PENDAHULUAN. dibentuk oleh berbagai komponen biotik dan abiotik, komponen-komponen ini saling I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Wilayah pesisir merupakan wilayah peralihan antara laut dan daratan yang dibentuk oleh berbagai komponen biotik dan abiotik, komponen-komponen ini saling berkaitan membentuk

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. memiliki pulau dengan garis pantai sepanjang ± km dan luas

BAB 1 PENDAHULUAN. memiliki pulau dengan garis pantai sepanjang ± km dan luas BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan salah satu negara kepulauan terbesar didunia yang memiliki 17.508 pulau dengan garis pantai sepanjang ± 81.000 km dan luas sekitar 3,1 juta km 2.

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. disebut arus dan merupakan ciri khas ekosistem sungai (Odum, 1996). dua cara yang berbeda dasar pembagiannya, yaitu :

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. disebut arus dan merupakan ciri khas ekosistem sungai (Odum, 1996). dua cara yang berbeda dasar pembagiannya, yaitu : 5 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Perairan Sungai Sungai adalah suatu perairan yang airnya berasal dari mata air, air hujan, air permukaan dan mengalir secara terus menerus pada arah tertentu. Aliran air

Lebih terperinci

PRODUKTIVITAS PANCING ULUR UNTUK PENANGKAPAN IKAN TENGGIRI (Scomberomorus commerson) DI PERAIRAN PULAU TAMBELAN KEPULAUAN RIAU

PRODUKTIVITAS PANCING ULUR UNTUK PENANGKAPAN IKAN TENGGIRI (Scomberomorus commerson) DI PERAIRAN PULAU TAMBELAN KEPULAUAN RIAU PRODUKTIVITAS PANCING ULUR UNTUK PENANGKAPAN IKAN TENGGIRI (Scomberomorus commerson) DI PERAIRAN PULAU TAMBELAN KEPULAUAN RIAU Productivity of Hand Line for Fishing of Mackerel (Scomberomorus commerson)

Lebih terperinci

TINGKAT KEMATANGAN GONAD KEPITING BAKAU (Scylla serrata Forskal) DI HUTAN MANGROVE TELUK BUO KECAMATAN BUNGUS TELUK KABUNG KOTA PADANG

TINGKAT KEMATANGAN GONAD KEPITING BAKAU (Scylla serrata Forskal) DI HUTAN MANGROVE TELUK BUO KECAMATAN BUNGUS TELUK KABUNG KOTA PADANG TINGKAT KEMATANGAN GONAD KEPITING BAKAU (Scylla serrata Forskal) DI HUTAN MANGROVE TELUK BUO KECAMATAN BUNGUS TELUK KABUNG KOTA PADANG SS Oleh: Ennike Gusti Rahmi 1), Ramadhan Sumarmin 2), Armein Lusi

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Ekosistem terumbu karang berfungsi sebagai tempat memijah, mencari makan, daerah pengasuhan dan berlindung biota laut, termasuk bagi beragam jenis ikan karang yang berasosiasi

Lebih terperinci

JURNAL OSEANOGRAFI. Oleh : NAMA : BIMA PRASETYO SUPRATMAN NIM : 11/318280/PN/12580 PRODI : MANAJEMEN SUMBERDAYA PERIKANAN

JURNAL OSEANOGRAFI. Oleh : NAMA : BIMA PRASETYO SUPRATMAN NIM : 11/318280/PN/12580 PRODI : MANAJEMEN SUMBERDAYA PERIKANAN JURNAL OSEANOGRAFI Oleh : NAMA : BIMA PRASETYO SUPRATMAN NIM : 11/318280/PN/12580 PRODI : MANAJEMEN SUMBERDAYA PERIKANAN ASISTEN LAPORAN: SITTY AINSYAH HABIBIE LABORATORIUM EKOLOGI PERAIRAN JURUSAN PERIKANAN

Lebih terperinci

DAFTAR PUSTAKA. 1. BAKOSURTANAL, Pusat Survei Sumber Daya Alam Laut Buku Tahunan. Bogor.

DAFTAR PUSTAKA. 1. BAKOSURTANAL, Pusat Survei Sumber Daya Alam Laut Buku Tahunan. Bogor. DAFTAR PUSTAKA 1. BAKOSURTANAL, Pusat Survei Sumber Daya Alam Laut. 2006. Buku Tahunan. Bogor. 2. Dahuri, Rokhmin. 2003. Keanekaragaman Hayati Laut Aset Pembangunan Berkelanjutan Indonesia. PT Gramedia

Lebih terperinci

BAB III KERANGKA TEORI, KERANGKA KONSEP DAN HIPOTESIS

BAB III KERANGKA TEORI, KERANGKA KONSEP DAN HIPOTESIS BAB III KERANGKA TEORI, KERANGKA KONSEP DAN HIPOTESIS A. Kerangka Teori Hutan mangrove merupakan ekosistem wilayah pesisir yang potensial yang memiliki kaitan erat dengan kondisi ekonomi, sosial dan lingkungan

Lebih terperinci

KARAKTERISTIK FISIKA KIMIA PERAIRAN DAN KAITANNYA DENGAN DISTRIBUSI SERTA KELIMPAHAN LARVA IKAN DI TELUK PALABUHAN RATU NURMILA ANWAR

KARAKTERISTIK FISIKA KIMIA PERAIRAN DAN KAITANNYA DENGAN DISTRIBUSI SERTA KELIMPAHAN LARVA IKAN DI TELUK PALABUHAN RATU NURMILA ANWAR KARAKTERISTIK FISIKA KIMIA PERAIRAN DAN KAITANNYA DENGAN DISTRIBUSI SERTA KELIMPAHAN LARVA IKAN DI TELUK PALABUHAN RATU NURMILA ANWAR SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2008 0 I. PENDAHULUAN

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

1. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang 1 1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Wilayah teritorial Indonesia yang sebagian besar merupakan wilayah pesisir dan laut kaya akan sumber daya alam. Sumber daya alam ini berpotensi untuk dimanfaatkan bagi

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN A.

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN A. BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN A. Pencemaran Organik di Muara S. Acai, S. Thomas, S. Anyaan dan Daerah Laut yang Merupakan Perairan Pesisir Pantai dan Laut, Teluk Youtefa. Bahan organik yang masuk ke perairan

Lebih terperinci

BEBERAPA JENIS PANCING (HANDLINE) IKAN PELAGIS BESAR YANG DIGUNAKAN NELAYAN DI PPI HAMADI (JAYAPURA)

BEBERAPA JENIS PANCING (HANDLINE) IKAN PELAGIS BESAR YANG DIGUNAKAN NELAYAN DI PPI HAMADI (JAYAPURA) Tersedia online di: http://ejournal-balitbang.kkp.go.id/index.php/btl e-mail:btl.puslitbangkan@gmail.com BULETINTEKNIKLITKAYASA Volume 15 Nomor 2 Desember 2017 e-issn: 2541-2450 BEBERAPA JENIS PANCING

Lebih terperinci

HUBUNGAN ANTARA KELIMPAHAN FITOPLANKTON DENGAN ZOOPLANKTON DI PERAIRAN SEKITAR JEMBATAN SURAMADU KECAMATAN LABANG KABUPATEN BANGKALAN

HUBUNGAN ANTARA KELIMPAHAN FITOPLANKTON DENGAN ZOOPLANKTON DI PERAIRAN SEKITAR JEMBATAN SURAMADU KECAMATAN LABANG KABUPATEN BANGKALAN HUBUNGAN ANTARA KELIMPAHAN FITOPLANKTON DENGAN ZOOPLANKTON DI PERAIRAN SEKITAR JEMBATAN SURAMADU KECAMATAN LABANG KABUPATEN BANGKALAN Novi Indriyawati, Indah Wahyuni Abida, Haryo Triajie Jurusan Ilmu Kelautan

Lebih terperinci

Nadhilah Nur Shabrina, Sunarto, dan Herman Hamdani Universitas Padjadjaran

Nadhilah Nur Shabrina, Sunarto, dan Herman Hamdani Universitas Padjadjaran PENENTUAN DAERAH PENANGKAPAN IKAN TONGKOL BERDASARKAN PENDEKATAN DISTRIBUSI SUHU PERMUKAAN LAUT DAN HASIL TANGKAPAN IKAN DI PERAIRAN UTARA INDRAMAYU JAWA BARAT Nadhilah Nur Shabrina, Sunarto, dan Herman

Lebih terperinci

PENANGKAPAN IKAN. Fisheries Department UMM

PENANGKAPAN IKAN. Fisheries Department UMM LOKASI DAERAH PENANGKAPAN IKAN Riza Rahman Hakim, SPi S.Pi Fisheries Department UMM MenentukanDaerah Penangkapan Ikan (DPI) Operasi penangkapan ikan akan berhasil dengan baik apabila dilakukan di daerah

Lebih terperinci

Prosiding Seminar Nasional Tahunan Ke-V Hasil-Hasil Penelitian Perikanan dan Kelautan

Prosiding Seminar Nasional Tahunan Ke-V Hasil-Hasil Penelitian Perikanan dan Kelautan KAJIAN KONSENTRASI TOTAL SUSPENDED SOLID (TSS) DAN PENGARUHNYA TERHADAP KUALITAS PERAIRAN DALAM UPAYA PENGELOLAAN LINGKUNGAN PESISIR DI KABUPATEN BANGKALAN Aries Dwi Siswanto dan Wahyu Andy Nugraha Jurusan

Lebih terperinci

V ASPEK EKOLOGIS EKOSISTEM LAMUN

V ASPEK EKOLOGIS EKOSISTEM LAMUN 49 V ASPEK EKOLOGIS EKOSISTEM LAMUN 5.1 Distribusi Parameter Kualitas Perairan Karakteristik suatu perairan dan kualitasnya ditentukan oleh distribusi parameter fisik dan kimia perairan yang berlangsung

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Terumbu karang merupakan sebuah sistem dinamis yang kompleks dimana keberadaannya dibatasi oleh suhu, salinitas, intensitas cahaya matahari dan kecerahan suatu perairan

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Letak dan Kondisi Penelitian Kabupaten Cirebon dengan luas wilayah 990,36 km 2 merupakan bagian dari wilayah Provinsi Jawa Barat yang terletak di bagian timur dan merupakan

Lebih terperinci

KEADAAN UMUM. 4.1 Letak Geografis

KEADAAN UMUM. 4.1 Letak Geografis III. KEADAAN UMUM 4.1 Letak Geografis Kabupaten Bangka Selatan, secara yuridis formal dibentuk berdasarkan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2003 tentang Pembentukan Kabupaten Bangka Selatan, Kabupaten Bangka

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang 1 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Ekosistem terumbu karang merupakan bagian dari ekosistem laut yang penting karena menjadi sumber kehidupan bagi beraneka ragam biota laut. Di dalam ekosistem terumbu

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar di dunia, terdiri dari lebih 17.000 buah pulau besar dan kecil, dengan panjang garis pantai mencapai hampir

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Keadaan Umum Lokasi Penelitian

1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Keadaan Umum Lokasi Penelitian 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1.1.1 Keadaan Umum Lokasi Penelitian Selat Makassar sebagai wilayah perairan laut yang berada di pesisir pantai barat Sulawesi Selatan, merupakan salah satu wilayah perairan

Lebih terperinci

5 PEMBAHASAN 5.1 Proses penangkapan pada bagan rambo

5 PEMBAHASAN 5.1 Proses penangkapan pada bagan rambo 58 5 PEMBAHASAN 5.1 Proses penangkapan pada bagan rambo Dalam pengoperasiannya, bagan rambo menggunakan cahaya untuk menarik dan mengumpulkan ikan pada catchable area. Penggunaan cahaya buatan yang berkapasitas

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Ekosistem terumbu karang mempunyai keanekaragaman biologi yang tinggi dan berfungsi sebagai tempat memijah, mencari makan, daerah pengasuhan dan berlindung bagi berbagai

Lebih terperinci

Produksi rumput laut kotoni (Eucheuma cottonii) Bagian 2: Metode long-line

Produksi rumput laut kotoni (Eucheuma cottonii) Bagian 2: Metode long-line Standar Nasional Indonesia Produksi rumput laut kotoni (Eucheuma cottonii) Bagian 2: Metode long-line ICS 65.150 Badan Standardisasi Nasional Daftar isi Daftar isi...i Prakata...ii 1 Ruang lingkup...

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Gambaran Umum Lokasi Penelitian Pulau Biawak merupakan suatu daerah yang memiliki ciri topografi berupa daerah dataran yang luas yang sekitar perairannya di kelilingi oleh

Lebih terperinci

3 METODOLOGI PENELITIAN

3 METODOLOGI PENELITIAN 3 METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian Lokasi penelitian mengambil tempat di pulau Pramuka Kepulauan Seribu, Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu Propinsi DKI Jakarta (Peta Lokasi Lampiran

Lebih terperinci

Jurnal IPTEKS PSP, Vol. 1 (2) Oktober 2014: ISSN: X

Jurnal IPTEKS PSP, Vol. 1 (2) Oktober 2014: ISSN: X PRODUKTIVITAS PENANGKAPAN IKAN TENGGIRI (Scomberomorus commerson) MENGGUNAKAN PANCING ULUR DI PERAIRAN KABUPATEN BINTAN The Productivity of Fishing Spanish Mackerel (Scomberomorus commerson) using a Hand

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN Latar Belakang

1. PENDAHULUAN Latar Belakang 1. PENDAHULUAN Latar Belakang Ekosistem mangrove tergolong ekosistem yang unik. Ekosistem mangrove merupakan salah satu ekosistem dengan keanekaragaman hayati tertinggi di daerah tropis. Selain itu, mangrove

Lebih terperinci

ABSTRAK. Kata kunci: Jumlah tangkapan; struktur ukuran; jenis umpan; ikan demersal dan rawai dasar

ABSTRAK. Kata kunci: Jumlah tangkapan; struktur ukuran; jenis umpan; ikan demersal dan rawai dasar RESPON IKAN DEMERSAL DENGAN JENIS UMPAN BERBEDA TERHADAP HASIL TANGKAPAN PADA PERIKANAN RAWAI DASAR Wayan Kantun 1), Harianti 1) dan Sahrul Harijo 2) 1) Sekolah Tinggi Teknologi Kelautan (STITEK) Balik

Lebih terperinci

Pengumunan terkait revisi Dosen Pengampu dan Materi DPI

Pengumunan terkait revisi Dosen Pengampu dan Materi DPI Pengumunan terkait revisi Dosen Pengampu dan Materi DPI Dosen Pengampu: RIN, ASEP, DIAN, MUTA Revisi pada pertemuan ke 13-15 Sehubungan dgn MK Indraja yg dihapus. Terkait hal tersebut, silakan disesuaikan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia memiliki peranan penting sebagai wilayah tropik perairan Iaut pesisir, karena kawasan ini memiliki nilai strategis berupa potensi sumberdaya alam dan sumberdaya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. sampai sub tropis. Menurut Spalding et al. (1997) luas ekosistem mangrove di dunia

BAB I PENDAHULUAN. sampai sub tropis. Menurut Spalding et al. (1997) luas ekosistem mangrove di dunia BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kawasan mangrove merupakan salah satu ekosistem yang khas dimana dibentuk dari komunitas pasang surut yang terlindung dan berada di kawasan tropis sampai sub tropis.

Lebih terperinci

PENGARUH PENGGUNAAN MATA PANCING GANDA PADA RAWAI TEGAK TERHADAP HASIL TANGKAPAN LAYUR

PENGARUH PENGGUNAAN MATA PANCING GANDA PADA RAWAI TEGAK TERHADAP HASIL TANGKAPAN LAYUR Pengaruh Penggunaan Mata Pancing.. terhadap Hasil Tangkapan Layur (Anggawangsa, R.F., et al.) PENGARUH PENGGUNAAN MATA PANCNG GANDA PADA RAWA TEGAK TERHADAP HASL TANGKAPAN LAYUR ABSTRAK Regi Fiji Anggawangsa

Lebih terperinci

PENGARUH ATRAKTOR CUMI TERHADAP HASIL TANGKAPAN ALAT TANGKAP BAGAN TANCAP DI PERAIRAN JEPARA

PENGARUH ATRAKTOR CUMI TERHADAP HASIL TANGKAPAN ALAT TANGKAP BAGAN TANCAP DI PERAIRAN JEPARA Available online at Indonesian Journal of Fisheries Science and Technology (IJFST) Website: http://ejournal.undip.ac.id/index.php/saintek Jurnal Saintek Perikanan Vol.11 No.2: 134-139, Februari 2016 PENGARUH

Lebih terperinci