V. RESPON PEMERINTAH,PERUSAHAAN DAN KINERJA PENGELOLAAN HUTAN ATAS PERUBAHAN INSTITUSI

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "V. RESPON PEMERINTAH,PERUSAHAAN DAN KINERJA PENGELOLAAN HUTAN ATAS PERUBAHAN INSTITUSI"

Transkripsi

1 V. RESPON PEMERINTAH,PERUSAHAAN DAN KINERJA PENGELOLAAN HUTAN ATAS PERUBAHAN INSTITUSI Pada bab ini akan dibahas hasil kerja pemerintah dalam menyediakan syarat perlu pengelolaan hutan yaitu Kesatuan Pengelolaan Hutan tingkat unit manajemen. Peran pemerintah lainnya adalah penegakan aturan, disini akan diulas kemampuan pemerintah dalam menegakan aturan main pengelolaan hutan, dan pada bagian akhir dibahas tentang penegakan hukum pidana kehutanan Respon Pemerintah Pembentukan Kesatuan Pengelolaan Hutan Produksi (KPHP) Salah satu tugas yang diperintahkan oleh UU.41/1999 kepada pemerintah adalah membentuk wilayah pengelolan hutan tingkat provinsi, kabupaten/kota dan wilayah pengelolaan hutan tingkat unit pengelolaan. Wilayah pengelolaan hutan tingkat unit manajemen yang disebut sebagai Kesatuan Pengelolaan Hutan Produksi (KPHP) merupakan syarat perlu bagi pelaksanaan teknik-teknik pengelolaan hutan lestari. Sebagai syarat perlu, maka KPHP harus dapat dihadirkan oleh pemerintah, jumlah KPHP yang telah ada sampai dengan 2007, seperti terlihat pada Tabel 27. Tahun Tabel 27. Perkembangan Pembentukan KPHP Jumlah KPHP (unit) Luas KPHP (Ha) Rasio terhadap luas hutan Produksi (1) (%) , , , ,07 Sumber : Departemen Kehutanan Statistik Kehutanan (1) Luas Hutan Produksi Tetap Ha, Departemen Kehutanan (2007)

2 144 KPHP yang telah selesai dibentuk mencapai 4,07 %, jumlah ini belum cukup sebagai landasan pengelolaan hutan lestari secara nasional. Pembentukan KPHP adalah syarat perlu untuk menjalankan praktek pengelolaan hutan lestari. Sebagai syarat perlu (necessary condition) maka keberadaanya menjadi sebuah keharusan, tanpa KPHP maka praktek-praktek pengelolaan yang dijalankan tidak menjamin terjadinya pengelolaan hutan lestari. Akibat perubahan orientasi pengusahaan hutan dari kayu ke sumberdaya hutan, maka tingkat kepentingan KPHP semakin tinggi. Sebelum berlaku UU.41/1999, unit kelestarian diletakkan pada satuan HPH, atau bagian HPH dan berorientasi pada kelestarian hasil kayu (sustained yield). Perubahan orientasi pada optimalisasi manfaat dan adanya berbagai jenis usaha dan pelaku usaha di dalam setiap KPHP, tidak dapat disikapi hanya dengan menyetarakan HPH sebagai KPHP, sebagaimana yang diatur dalam Permenhut nomor 10/Kpts- II/2007. Indikasi penyetaraan KPHP dengan HPH atau IUPHHK terdapat pada indikator sasaran program jangka menengah Departemen Kehutanan yaitu : Sebanyak 59 pemegang IUPHHK-HA dan HT memiliki sertifikat PHL mandatory dan mampu menyelenggarakan pengelolaan hutan secara lestari (Departemen Kehutanan. 2009). Hal senada juga diatur di dalam Permenhut No. 208/kpts-II/2003 tentang Tatacara Penilaian Kinerja Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu di Unit Manajemen dalam rangka Pengelolaan Hutan secara lestari yang medefinisikan unit manajemen sebagai kesatuan hutan produksi terkecil yang dibebani IUPHHK pada hutan alam yang ditetapkan batas-batasnya secara jelas dan pemanfaatan hutan untuk mencapai hutan lestari berdasarkan rencana pemanfaatan hutan jangka panjang.

3 145 Penyetaraan KPHP dengan IUPHHK dan memposisikannya sebagai pengelola menimbulkan banyak konflik, antara pengguna (pemanfaat) dan pengelola. KPHP adalah unit pengelolaan hutan yang dimaksudkan untuk memproduksi multiproduk sehingga diperoleh manfaat optimal, sedangkan IUPHHK hanya berorientasi pada produksi kayu saja, sehingga membebaninya dengan tugas-tugas pengelolaan untuk memproduksi selain yang menjadi kepentingannya, hal ini merupakan tindakan yang melembagakan kegagalan pasar. Di dalam setiap KPHP dapat diberikan berbagai macam jenis ijin usaha yang diberikan oleh bupati, gubernur atau menteri, perijinan ini dapat mengganggu kepentingan IUPHHK. Untuk mengoperasionalkan KPHP, perlu diikuti dengan melengkapinya dengan organisasi pengelolanya, yang berupa struktur organisasi, prosedur-prosedur, personel dan sarana-prasarananya. Namun dari sejumlah KPHP yang telah dinyatakan terbentuk tersebut belum ada yang dilengkapi dengan organisasi pelaksananya. Pada peraturan pemerintah no. 6 /2007 telah diuraikan tentang organisasi dan tugas kepala pengelola KPHP namun kewenangan untuk melakukan transaksi atas hasilhasil produksinya tidak diberikan dengan alasan bahwa perijinan adalah wewenang publik. Ijin-ijin usaha yang ada di dalam KPHP sesungguhnya bukan merupakan wilayah kewenangan publik, melainkan bentuk transaksi komoditas yang bersifat individual, yaitu merupakan aktivitas kuadran satu pada Gambar Penegakan Aturan Administratif Berdasarkan peraturan pemerintah no. 34/2002, di luar ketentuan pidana sebagaimana diatur dalam UU. 41/1999, terdapat sejumlah 21 perbuatan yang dapat

4 146 dikenakan sanksi administratif. Sanksi administratif tersebut terdiri dari : (1) penghentian sementara pelayanan administrasi, (2) penghentian sementara kegiatan di lapangan, (3) denda administrasi, (4) pengurangan areal kerja, dan (5) pencabutan ijin. Adapun jenis-jenis perbuatan dan sanksi dapat dilihat pada Table 28. Tabel. 28. Perbuatan dan Sanksi Administratif yang Dapat Dikenakan kepada Pemilik IUPHHK No Jenis Pelanggaran Sanksi a b c d E 1 Tidak membuat laporan * * 2 Tidak melakukan penataan batas * * 3 Menggunakan peralatan kerja yang jumlah dan jenisnya tidak sesuai dengan ijinnya * 4 Tidak memiliki tenaga profesional dibidang kehutanan dan tenaga lain sesuai kebutuhan * 5 Volume tebangan melebihi RKT/ijin * 6 Menebang sebelum RKT disahkan * 7 Menebang Koridor tanpa ijin * 8 Menebang di bawah limit diameter * 9 Menebang di luar blok * 10 Menebang di jalan angkutan diluar RKT * 11 Mengontrakkan atau menyerahkan seluruh kegiatan usahanya kepada pihak lain * 12 Tidak menanam sesuai rencana kerja yang ditetapkan * 13 Tidak melaksanakan Standar Akuntasi Kehutanan * 14 Tidak melaksanakan kerjasama dengan koperasi masyarakat * 15 Tidak melakukan usaha secara nyata selama 180 hari sejak ijin diberikan * 16 Tidak membayar pungutan kehutanan * 17 Meninggalkan areal kerja sebelum ijin berakhir * 18 Dikenakan hukuman pidana pasal 78 UU No. 41/1999 * 19 Tidak melaksanakan sistem silvikultur yang ditetapkan oleh Menteri * 20 Tidak membayar DR * 21 Tidak menyerahkan RKT, RKL, RKU dalam waktu yang telah ditentukan * Keterangan, (a) : penghentian sementara pelayanan administrasi, (b) : Penghentian sementara kegiatan di lapangan, (c) : denda administrasi, (d) : pengurangan areal kerja, dan (e): pencabutan ijin

5 147 Selama periode antara tahun 2004 sampai dengan 2009, pemerintah telah mencabut sebanyak 59 IUPHHK, karena berbagai alasan. Tabel 29 menyajikan data pencabutan IUPHHK yang diklasifikasikan menurut alasan pencabutan dan kelompok umur kepemilikan ijin tersebut oleh peusahaan. Tabel 29. Pencabutan IUPHHK Berdasarkan Klasifikai Alasan dan Umur Ijin Tahun No Alasan Pencabutan Kelas Umur ijin (Tahun) Jumlah 1 Diserahkan Kembali oleh Pemilik 2 Meninggalkan Areal Kerja Tidak Mengajukan Ijin Penggunaan Alat 4 Tidak Mengajukan URKT ( tahun) 5 Tidak Menyusun RKU-PHHK tahun 6 Tidak Membayar PSDH/DR Tidak melaksanakan sistem silvikultur 8 Melakukan Kontrak dengan Pihak lain tidak sesuai ketentuan 9 Tidak melaksanakan pengalihan saham 20% kepada masyarakat 10 Menjual Saham tanpa persetujuan Menteri 11 Alasan lain Jumlah Sumber Departemen Kehutanan (2010). a Pada periode 2004 sampai 2009 jumlah rata-rata ijin usaha yang beroperasi adalah 305 unit, jumlah yang dicabut mencapai 59 unit adalah hampir setara dengan 20 %, merupakan porsi jumlah yang besar. Pencabutan ini sebagian besar (76%) dilakukan terhadap perusahaan yang telah beroperasi selama lebih dari 10 tahun. Sebanyak 20 ijin dicabut karena perusahaan tidak mendapatkan rencana produksi tahunan selama

6 148 tiga tahun berturut-turut, dari jumlah ini sebanyak 17 perusahaan (85 %) adalah perusahaan yang telah bekerja lebih dari 10 tahun. Perusahaan-perusahaan yang telah berpengalaman tentu tidak mengalami kesulitan untuk menyusun RKT, pasti ada alasan lain mengapa tidak mangajukan RKT. Sebanyak 17 ijin dicabut karena diserahkan kembali oleh pemilik ijin kepada pemerintah, penyerahan tersebut dilakukan oleh perusahaan baru maupun perusahaan lama. Terdapat 8 perusahaan yang telah menerima IUPHHK selama lebih dari lima tahun dicabut ijinnya karena meninggalkan areal kerjanya. Sementara itu terdapat perusahaan yang dicabut ijinnya karena tidak mengajukan ijin penggunaan alat, terdapat hal yang menarik disini adalah bahwa terdapat 2 perusahaan yang pencabutannya dilakukan setelah menerima IUPHHK lebih dari 15 tahun. Dua perusahaan dicabut karena tidak membuat RKU- 10 tahun, selebihnya masing-masing satu perusahaan dicabut ijinnya karena alasan tidak melaksanakan sistem silvikultur dan alasan-alasan yang lainnya. Berdasarkan daftar nama IUPHHK yang telah mendapatkan peringatan dari Direktorat Bina Pengembangan Hutan Alam periode , diketahui bahwa terdapat 4 jenis pelanggaran yang dimonitor perkembangannya dan dinamika perkembangan peringatan I, II, III dan eksekusi atas sanksi terkait. Data tentang penerapan sanksi atas pelanggaran tersebut disajikan pada Tabel 30. Yang menarik dari data Tabel 30 adalah bahwa perubahan dari setiap tingkatan proses pemberian sanksi dari peringatan I ke peringatan II, III dan sampai dengan eksekusi, hampir sebanyak 40 % tidak dapat dilanjutkan ke tingkat berikutnya setelah tanggapan dari pihak perusahaan dianggap mempunyai alasan yang dapat diterima oleh pemerintah. Melalui proses pembinaan yang dipraktekkan oleh Departemen

7 149 Kehutanan, pelanggaran yang mendapatkan sanksi hingga tingkat eksekusi adalah 20% dari jumlah yang mendapat peringatan I. Cabut ijin Tabel 30. Penerapan Sanksi Administrasi atas Pelanggaran Kontrak IUPHHK Tahun No Jenis Pelanggaran Sanksi Frek Peringatan Ekse Batal wensi I II III kusi (1) 1 Tidak Menyusun RKU-10 th 2 Ijin Penggunaan Cabut ijin Alat Berat 3 Meninggalkan Cabut ijin Areal Kerja 4 Tidak mempekerjakan Cabut ijin tenaga profesional kehutanan Jumlah Sumber : Departemen Kehutanan (2010). b Catatan : (1), Termasuk yang sedang diajukan penetapannya ke Menteri Kehutanan Jika dibandingkan dengan respon pemilik IUPHHK terhadap verifier yang mempunyai implikasi pada pengenaan sanksi yaitu verifier (142) TEK, yaitu penggunaan silvikultur yang ditentukan dan verifyer (153), SDM yaitu penggunaan tenaga profesional pada Tabel 41, perusahaan yang mempunyai nilai baik tidak lebih dari 5 %, artinya bahwa sekitar 95 % perusahaan tidak menaati aturan tentang silvikultur dan penggunaan tenaga profesional. Tabel 28 menunjukkan kondisi yang sebaliknya yaitu hanya sekitar 5 % perusahaan yang mendapat peringatan karena tidak menggunakan tenaga kerja profesional, sebagian besar perusahaan yang tidak memenuhi persyaratan tidak termonitor dan tidak mendapat sanksi pelanggaran. Tindakan pencabutan terhadap 20 % IUPHHK meskipun merupakan porsi yang besar tidak mencerminkan konsistensi kemampuan pemerintah dalam menegakkan

8 150 aturan. Jika diperhatikan bahasan bab VI, perusahaan yang mempunyai nilai verifier baik hanya berada pada kisaran 10 %, sedangkan sisanya 90 % dapat digolongkan tidak melaksanakan peraturan dengan baik. Sementara itu perusahaan yang terpantau oleh pemerintah sekitar 20 % dari total populasi. Hal ini dapat menjadi salah satu penjelasan tentang terjadinya kondisi yang berbalikan seperti tersebut diatas. Kapasitas pemerintah yang lemah dalam menegakkan aturan selain di jelaskan oleh data tersebut diatas, juga terjadi karena pemerintah pusat terlibat dalam urusan mikro sehingga rentang kendali yang dimiliki tidak mampu menjangkau persoalan tingkat individual, disamping itu keterbatasan penguasaan informasi menyebabkan pemerintah pusat tidak dapat memperoleh gambaran riil atas kondisi di lapangan Penegakan Hukum Pidana Selain sanksi administrasi, undang-undang juga mengatur sanksi-sanksi pidana, meskipun penanganan sanksi pidana ini merupakan wilayah kuadran III menurut Kuadran Kebijakan pada Gambar 17, namun penting untuk diketahui lingkungan makro yang mempengaruhi iklim penegakan aturan di Indonesia. Tabel 31 berikut ini menyajikan data perkembangan penanganan perkara tindak pidana kehutanan yang berupa illegal logging selama tahun Jumlah kasus yang berhasil diselesaikan masih terlalu sedikit jika dibandingkan dengan jumlah kasus yang ada, sementara itu angka-angka pada proses justisi yang terus menurun mengindikasikan bahwa banyak tunggakan perkara yang proses justisinya tidak berlanjut dan tidak termonitor perkembangannya. Kualitas vonis dari perkara yang telah disidang dan diputuskan hukumannya dapat dilihat pada Tabel 32.

9 151 Tabel 31. Perkembangan Penanganan Perkara Pidana Illegal Logging Tahun Proses Penyelesaian Kasus Tahun Jumlah Kasus Lidik Proses Justisi Sidik SP3 P21 Sidang Vonis Sumber : Direktorat Penyidikan dan Perlindungan Hutan (2010) Tabel 32. Hukuman yang Dijatuhkan pada Kasus Illegal Logging Tahun Vonis Hukuman Kasus yang > 3 th 2-3th 1-2th <1th Bebas Tidak ada Tahun divonis keterangan Jumlah Sumber : Direktorat Penyidikan dan Perlindungan Hutan (2010) Hukuman yang dijatuhkan oleh hakim terhadap kasus-kasus illegal loging relatif ringan jika dibandingkan dengan ancaman hukuman yang diberikan oleh undangundang. Sebagian besar hukuman yang diberikan adalah kurang dari satu tahun dan sebagian dibebaskan dari hukuman. Data ini menggambarkan bahwa secara umum pemerintah belum menempatkan penegakan hukum tindak pidana kehutanan sebagai hal yang perlu mendapatkan prioritas perhatian. Banyaknya kasus yang tidak terselesaikan dan vonis-vonis hakim yang tergolong ringan, merupakan signal yang memberikan pesan bahwa penegakan hukum kehutanan tergolong lemah.

10 Respon Perusahaan Salah satu asumsi mendasar yang digunakan dalam analisa ekonomi adalah bahwa orang-orang bertindak secara rasional. Van den Berg (2001) mengemukakan bahwa yang dimaksudkan dengan perilaku rasional oleh para ekonom adalah bahwa orangorang yang rasional berusaha memperkecil kerusakan di dalam situasi yang buruk, dan mengambil keuntungan atas peluang-peluang yang baik. Pada bagian ini akan dibahas respon pelaku usaha atas perubahan sistem pengusahaan hutan yang dikehendaki undang-undang. Dapatkah perusahaan pemilik IUPHHK menjadikan pengelolaan hutan lestari sebagai prioritasnya dan bagaimanakah perusahaan menyikapi peraturan yang diberlakukan Integritas Perusahaan Pada bab sebelumnya telah dapat dipahami bahwa kedudukan pelaku usaha pemilik IUPHHK adalah pengguna sedangkan yang bertindak sebagai pengelola adalah penanggung jawab KPHP atau pemerintah. Rancang bangun institusi yang ada mengarahkan pengguna untuk berperilaku sebagai pengelola hutan. Bagaimana perusahaan merespon rancangan institusi itu, maka dapat dilihat dari hasil penilaian yang berupa nilai akhir kinerja dari 40 perusahaan contoh yang dibandingkan juga nilai pada hasil penelitian terdahulu sebagai Tabel 33. Hasil penilaian tahun 2008 dan 2009, menunjukkan bahwa sebanyak 15% dari perusahaan contoh dapat menempatkan secara baik prioritas kegiatannya untuk mencapai pengelolaan hutan lestari, 45 % ragu-ragu dan 40 % tidak menempatkan pengelolaan hutan lestari sebagai prioritas kegiatan. Mengingat bahwa berbagai

11 153 peraturan yang diberlakukan kepada perusahaan merupakan kewajiban untuk mendukung kepentingan pemerintah menjalankan misi pengelolaan hutan lestari, dan berlakunya rational behaviour maka pada keadaan tertentu, nilai kinerja sedang tersebut cenderung akan mengarah kepada kinerja buruk. Dengan demikian sebanyak 85 % perusahaan tidak menjadikan pengelolaan hutan lestari sebagai prioritas yang perlu mendapat perhatian. Dengan kata lain 85% perusahaan IUPHHK-HA tergolong sebagai perusahaan dengan perilaku tidak baik. Tabel 33. Nilai Akhir Kinerja Perusahaan HPH/ IUPHHK pada Unit Manajemen Tahun , dan Tahun Nilai Akhir (%) Baik Sedang Buruk Jumlah 1989/ / / / / / / Sumber : 1) Data tahun , Kartodihardjo, ) Data tahun , diolah dari Departemen Kehutanan, 2008 dan 2009 Dibandingkan dengan hasil penilaian 10 tahun yang lalu tidak terdapat perbedaan perilaku, perusahaan yang memperoleh nilai baik merupakan kelompok minoritas. Ini mengindikasikan bahwa populasi perusahaan baik tidak berubah meskipun telah dilakukan berbagai perubahan peraturan. Usaha kehutanan lebih banyak dilakukan oleh perusahaan yang tidak masuk dalam kategori baik. Tidak terdapat perbedaan nilai menurut kelas umur, luas konsesi dan dukungan modal perusahaan induknya.

12 154 Tabel 34. Jumlah Perusahaan menurut Klasifikasi Nilai Kinerja, Kelompok Umur, Luas Konsesi dan Dukungan Modal dari Perusahaan Induk No Pengelompokan Nilai Akhir Kinerja Jumlah Baik Sedang Buruk I Kelas Umur 1 Kurang dari 10 tahun Antara 10 tahun-20 tahun Lebih dari 30 tahun Jumlah II Kelas Luas Lahan Konsesi 1 Kurang dari Ha Antara Ha Ha Lebih dari Ha Jumlah III Kelas Dukungan Modal 1 Kuat Sedang Lemah Jumlah Berdasarkan data pada Tabel 34 tersebut diatas kemudian dilakukan pengujian korelasi antara umur, luas dan modal terhadap nilai akhir capaian kinerja dengan menggunakan uji Chi Square, dengan hasil sebagai Tabel 35. Tabel 35. Hasil Uji Korelasi antara Umur, Luas dan Dukungan Modal terhadap Nilai Akhir Kinerja IUPHHK pada Unit Manajemen X 2 X 2 Kesimpulan Hitung Tabel (5%) Umur IUPHHK < 9.49 Tidak ada hubungan HA Luas Konsesi < 9.49 Tidak ada hubungan Dukungan Modal < 9.49 Tidak ada hubungan Umur perusahaan tidak mempengaruhi perolehan nilai akhir kinerja, demikian pula dengan luas konsesi yang dimiliki maupun dukungan modal yang diberikan oleh perusahaan induknya. Tidak adanya hubungan antara nilai kinerja menjelaskan

13 155 bahwa baik dan buruknya nilai yang diperoleh tidak dipengaruhi oleh umur, dengan kata lain bahwa tidak terdapat proses belajar dalam membentuk perilaku perusahaan dalam kaitannya dengan pengelolaan hutan lestari. Data tentang sanksi-sanksi yang diberikan oleh pemerintah kepada perusahaan pada tabel 30, menunjukkan bahwa pencabutan ijin terjadi pada semua kelas umur kepemilikan ijin. Perusahaanperusahaan yang telah berpengalaman dan yang belum berpengalaman dapat mempunyai nilai baik maupun buruk dengan peluang yang tidak dapat dibedakan. Luas konsesi juga tidak mempengaruhi nilai akhir kinerja, berdasarkan data diatas semua perusahaan dengan luas konsesi yang besar maupun yang kecil cenderung memiliki nilai tidak baik, ini mengindikasikan bahwa luas konsesi tidak menjadi dasar timbulnya motivasi untuk mengelola hutan dengan cara-cara yang benar. Mengapa luas konsesi yang seharusnya dapat menjadi jaminan kepastian produksi tidak menjadi insentif bagi pengelolaan hutan lestari? Kembali ke pembahasan pada bagian 4.2 bab IV terdahulu, bahwa IUPHHK adalah izin untuk memanfaatkan hasil produksi pengelolaan hutan, dan kedudukannya sebagai pengguna (pemanfaat) mempunyai kepentingan utama untuk mendapatkan hasil hutan yang diperoleh melalui transaksi dengan pengelola hutan yang memproduksi produk yang diperlukannya. Pihak yang paling berkepentingan terhadap luas hutan adalah pihak pengelola yang mempunyai misi menghasilkan hutan berkualitas tinggi, sedangkan pengguna (pemanfaat) akan merespon jumlah produksi yang ditawarkan oleh pengelola. Pembebanan kewajiban-kewajiban untuk melakukan tindakan-tindakan pengelolaan kepada pengguna (pemanfaat) tidak sesuai dengan motivasi dan misi dari entitas pemanfaat, oleh sebab itu kewajiban-kewajiban tersebut lebih tepat

14 156 diposisikan sebagai beban biaya bukan sebagai investasi. Sebagai entitas yang berorientasi memaksimumkan keuntungan, maka sesuai dengan pendapat Hampton (1989) perusahaan akan melakukan minimisasi biaya dan dalam kondisi kemampuan penegakan aturan yang lemah, sejalan dengan pendapat Van den Berg (2001), pilihan yang rasional bagi perusahaan adalah tidak melaksanakan kewajiban sepenuhnya. Sementara itu dukungan modal yang tidak berkorelasi dengan nilai akhir kinerja, mengkonfirmasi bahwa praktek-praktek pengelolaan hutan bukan merupakan pilihan rasional bagi perusahaan penerima IUPHHK yang berkedudukan sebagai pengguna (pemanfaat). Dukungan modal (capital) adalah dukungan dana yang diperlukan untuk melakukan investasi jangka panjang, apakah usaha pemanfaatan hasil hutan kayu memerlukan investasi? Kembali ke pembahasan bagian 4.3.2, pengeluaranpengeluaran jangka panjang di hutan alam seperti biaya-biaya pembinaan hutan dan biaya-biaya yang berhubungan dengan pengelolaan hutan lestari tidak diakumulasikan sebagai investasi yang dapat dibukukan sebagai asset, melainkan sebagai biaya produksi. Perusahaan tidak sedang membangun asset melalui investasi jangka panjang, melainkan sedang melakukan kegiatan produksi, oleh sebab itu perusahaan IUPHHK hanya memerlukan biaya produksi bukan biaya investasi. Sebagaimana dijelaskan sebelumnya bahwa perusahaan akan meminimumkan biaya, perusahaan induk akan menekankan penggunaan dana internal perusahaan IUPHHK dan hanya akan memberikan dukungan dana untuk hal-hal yang sangat selektif. Dengan demikian dukungan modal perusahaan induk tidak akan diberikan untuk membangun hutan, melainkan hanya diberikan untuk kepentingan produksi. Selain itu perusahaan tidak akan menyimpan modalnya di perusahaan IUPHHK, karena

15 157 mempertahankan modal berada di perusahaan ini berarti membiarkan adanya asset menganggur, setiap kelebihan modal akan dimanfaatkan untuk keperluan lain. Untuk mendapatkan pengetahuan lebih lanjut tentang respon perusahaan maka dapat diperhatikan responnya terhadap 24 indikator penilaian yang dikelompokkan kedalam indikator prasyarat, produksi, ekologi dan indikator sosial. Berdasarkan nilai penting masing-masing, kemudian ditentukan satu atau lebih indikator fokus sebagai penentu klasifikasi baik, sedang dan buruk. Sebagai acuan penilaian ini adalah peraturan Direktur Jenderal Bina Produksi Kehutanan No.42/Kpts/IV-PHP/2003 dan Peraturan Direktur Jenderal Bina Produksi Kehutanan No. P.03/BPHA/2007. Hasil penilaian terhadap kelompok indikator prasyarat disajikan pada Table 36 yang menunjukkan bahwa sebagian besar perusahaan tidak mampu memenuhi aturan atau standar prasyarat yang ditentukan. Di dalam standard prasyarat ini juga terdapat ketentuan-ketentuan yang memiliki sanksi administratif, misalnya pada indikator S.1.5 yang berupa kecukupan tenaga profesional, ketidak sanggupan memenuhi persyaratan ini diancam sanksi administratif berupa penghentian kegiatan di lapangan. Hasil penilaian menunjukkan bahwa hanya terdapat satu perusahaan (2.5%) yang mampu memenuhi persyaratan, lebih dari 90% perusahaan tidak dapat memenuhi indikator persyaratan yang seharusnya dapat dikenakan sanksi. Pada Tabel 36 ditunjukkan bahwa sangat sedikit perusahaan IUPHHK yang memberikan perhatian pada indikator-indikator fokus yang berperan dominan dalam mencapai pengelolaan hutan lestari. Sebagian besar perusahaan bersikap mendua (ragu-ragu). Sikap mendua ini dapat dimaknai sebagai perilaku oportunis, pilihan tindakan yang menguntungkan dirinya disesuaikan dengan situasi yang berkembang.

16 158 Apabila situasi menghendaki perhatian mereka akan memberi prioritas, tetapi bila terjadi situasi sebaliknya seperti penegakan aturan yang lemah, maka cenderung bergeser kepada pengabaian. Prasyarat yang paling kurang mendapat perhatian adalah jumlah tenaga perofesional yang harus dipekerjakan, hanya ada satu perusahaan (2.5%) diantara 40 perusahaan contoh yang mampu memenuhi ketentuan ini. Tabel 36. Hasil Penilaian Indikator Prasyarat pada 40 Perusahaan Contoh No Indikator Baik Sedang Buruk Frek % Frek % Frek % 1 Kepastian kawasan unit manajemen IUPHHK pada hutan alam (S 1.1) 2 Komitmen pemegang IUPHHK pada hutan alam(s.1.2) 3 Kesehatan Perusahaan /holding company (S.1.3) 4 Kesesuaian dengan kerangka hukum, potensi tegakan minimal, kebijakan dan peraturan dalam rangka PHL (S.1.4) 5 Jumlah dan kecukupan tenaga professional (S.1.5) 6 Kapasitas dan mekanisme perencanaan, pelaksanaan, monev dan umpan balik (S.1.6) Jumlah Dengan gambaran perilaku seperti tersebut diatas, dimana prasyarat-prasyarat penting yang diperlukan untuk mencapai PHL tidak mendapat perhatian yang cukup dari sebagian besar perusahaan IUPHHK, maka tidak dapat diharapkan bahwa dalam waktu dekat prasyarat (necessary conditions) tersebut dapat dipenuhi. Apabila syarat perlu tersebut tidak dapat dipenuhi, maka tidak dapat diharapkan bahwa dalam waktu dekat akan terwujud pengelolaan hutan yang menghasilkan hutan berkualitas dan lestari seperti yang diharapkan oleh Undang-undang Kehutanan. Selanjutnya

17 159 bagaimana perilaku perusahaan dalam menyikapi indikator-indikator fokus dalam menjalankan aktivitas produksinya, dapat diperhatikan pada Table 37. No Tabel 37. Hasil Penilaian Indikator Produksi pada 40 Perusahaan Contoh Indikator 1 Presentase hutan produksi yg dicakup dalam rencana pemanfaatan lestari dan blok/petak yang dipanen menurut rencana operasional (P.2.1) 2 Tingkat pemanenan setiap jenis pada setiap tipe ekosistem (P 2.2) 3 Ketersediaan prosedur implementasi penilaian kerusakan tegakan dan ITSP (P 2.3) 4 Ketersediaan teknologi tepat guna untuk PHL dan penerapan RIL (P 2.4) 5 Kesehatan financial pemegang ijin (P.2.5) 6 Volume yang dipanen pertahun pertipe hutan (P.2.6) 7 Tingkat investasi dan reinvestasi untuk memenuhi kebutuhan pemanfaatan, administrasi, litbang dan pengembangan SDM (P 2.7) Baik Sedang Buruk Frek % Frek % Frek % Jumlah Terlalu sedikit perusahaan-perusahaan penerima IUPHHK yang memberi perhatian pada praktek-praktek produksi yang mendukung pengelolaan hutan lestari. Sebagian besar perusahaan tidak melaksanakan sepenuhnya aturan main yang telah ditetapkan. Sejalan dengan penjelasan terdahulu hal-hal yang diatur dalam bentuk kewajiban perusahaan penerima IUPHHK dan peraturan lainnya, berimplikasi pada aktivitas-aktivitas yang tidak melayani kepentingan langsung perusahaan, melalinkan

18 160 kepentingan pengelola hutan. Sebagaimana telah dibahas pada bagian bab IV, bahwa pemerintah telah memindahkan beban pengelolaan hutan kepada IUPHHK yang tidak mempunyai kepentingan langsung dengan hasil akhir atas kegiatan tersebut. Produksi (output) yang dihasilkan oleh aktivitas yang diwajibkan tersebut adalah untuk mendukung misi pengelola hutan. Model pengaturan yang mengandung perversi kekuasaan seperti ini memerlukan kemampuan pengawasan dan pengendalian yang kuat dari pemerintah. Sebagaimana dikemukakan oleh Pindyck dan Rubenfeld (2001), bahwa dalam kondisi pemberi kewajiban tidak mampu mengawasi pelaksanaan kewajiban oleh pihak lain, maka peluang terjadinya moral hazard menjadi besar. Dengan respon perilaku seperti tergambar pada table diatas, tidak berlebihan jika diperkirakan kondisi hutan dalam tahun-tahun kedepan masih akan menurun kualitasnya, tindakan-tindakan yang dilakukan oleh perusahaan tidak cukup memadai sebagai tindakan yang mempraktekkan prinsip-prinsip pengelolaan hutan lestari. Selanjutnya hasil penilaian pada indikator ekologi sebagaimana disajikan pada Tabel 38, menunjukkan respon yang tidak berbeda dari indikator-indikator sebelumnya, dimana populasi perusahaan yang mematuhi aturan ekologi masih sangat kecil. Perusahaan tidak memiliki perhatian terhadap kelestarian keaneka-ragaman hayati, indikator yang berkaitan dengan perlindungan flora dan fauna menjadi penting bila dikaitkan dengan perubahan orientasi dari kayu kepada sumberdaya hutan untuk dapat dilakukan tindakan-tindakan dalam rangka optimasi manfaat hutan. Tingkat kepatuhan rata-rata pada indikator ekologi hanya sebesar 3.75 % saja, suatu kondisi

19 161 yang pantas dipertimbangkan sebagai penanda perlunya kewaspadaan yang lebih tinggi tentang kemungkinan terjadinya tingkat kerusakan hutan yang tinggi. Tabel 38. Hasil Penilaian atas Indikator Ekologi pada 40 Perusahaan Contoh No Indikator Baik Sedang Buruk Frek % Frek % Frek % 1 Data kawasan dilindungi pada setiap tipe hutan (E 3.1) 2 Ketersediaan prosedur dan implementasi perambahan, kebakaran, penggembalaan dan pembalakan liar (E 3.2) 3 Pengelolaan dan pemantauan dampak terhadap tanah dan air (E 3.3) 4 Ketersediaan prosedur dan implementasi untuk mengidentifikasi spesies flora dan fauna langka, dilindungi, endemic (E3.4) 5 Pengelolaan flora langka, dilindungi dan endemic (E 3.5) 6 Pengelolaan Fauna langka, dilindungi, endemic (E3.6) Jumlah Beban yang dikeluarkan untuk membiayai kegiatan yang terkait dengan indikator ekologi akan menghasilkan output berupa barang publik atau manfaat eksternalitas. Melaksanakan peraturan dengan sepenuhnya berarti mengeluarkan biaya yang lebih besar, sementara manfaat yang akan dihasilkan tidak dapat dinikmati sendiri dan tidak mempunyai prestasi terhadap peningkatan keuntungan perusahaan secara langsung. Perilaku bisnis yang rasional akan menekan biaya ekologi serendahrendahnya sampai batas yang masih dapat ditoleransi oleh pengawas atau pemberi kewajiban. Seperti pada indikator lainnya, sistem ini memerlukan pengawasan ketat.

20 162 No Tabel 39. Hasil Penilaian atas Indikator Sosial pada 40 Perusahaan Contoh Indikator 1 Luas dan batas UM dengan kawasan adat dan masyarakat setempat dan telah mendapat persetujuan para pihak (SS 4.1) 2 Kesetaraan hak, tanggung jawab, dan kewajiban dalam pengelolaan hutan secara bersama dan diakui para pihak. (SS 4.2) 3 Ketersediaan mekanisme dan pendistribusian insentif yang efektif serta pembagian biaya dan manfaat yang adil antara para pihak (SS 4.3) 4 Perencanaan dan implementasi pemanfaatan hutan telah mempertimbangkan hak masyarakat hokum adat dan, atau masyarakat setempat (SS 4.4) 5 Peningkatan peran serta dan aktivitas ekonomi masyarakat hukum adat an masyarakat setempat yang aktivitasnya berbasis hutan (SS 4.5) Baik Sedang Buruk Frek % Frek % Frek % Jumlah Terakhir capaian nilai kinerja sosial (Tabel 39) juga tidak menunjukkan prestasi yang menonjol seperti indikator-indikator sebelumnya hanya sebagian kecil perusahaan yang mendapat nilai baik, sebagian besar tergolong tidak baik. Salah satu tujuan perubahan undang-undang kehutanan adalah untuk meningkatkan pemanfaatan hutan yang berkeadilan, untuk mencapai tujuan ini diantaranya dilakukan dengan memberikan kewajiban kepada para pihak yang berusaha di bidang kehutanan untuk bekerjasama dengan koperasi masyarakat sekitar

21 163 hutan. Tabel 39 mengindikasikan bahwa hanya ada satu perusahaan (2.5%) yang dapat dengan baik meningkatkan peran serta dan aktivitas ekonomi masyarakat. Data ini menunjukan bahwa institusi tidak mampu mengarahkan perilaku perusahaan IUPHHK-HA untuk peduli kepada pemberdayaan masyarakat. Hasil penilaian terhadap ke 4 kelompok-kelompok indikator menunjukkan bahwa perusahaan yang mempunyai nilai baik rata-rata untuk setiap kelompok indikator seluruhnya berjumlah kurang dari 10 %, data selengkapnya ada pada Tabel 40. Tabel 40. Nilai Rata-rata untuk Setiap Kelompok Indikator No Kelompok Indikator Baik Sedang Buruk Frek % Frek % Frek % 1 Prasyarat Produksi Ekologi Sosial Apabila setiap indikator diberikan bobot yang sama maka jumlah perusahaan yang mempunyai nilai baik hanya 7.50% saja atau setengah dari jumlah perusahaan yang mencapai nilai akhir baik (lihat Tabel 32). Meskipun sebagian besar mempunyai nilai sedang (66.56 %), tidak dapat diharapkan bahwa sebagian dari perusahaan ini akan meningkatkan nilai kinerjanya seiring dengan berjalannya waktu. Hasil uji korelasi pada Tabel 35, menunjukkan bahwa tidak ada korelasi antara umur dengan nilai kinerja, ini menggambarkan bahwa tidak ada proses belajar untuk memperbaiki kinerja, kecuali terdapat keadaan yang memaksa. Perubahan kinerja tidak mungkin dilakukan dengan mempercayakan perusahaan untuk memperbaiki dirinya sendiri, melainkan harus melalui paksaan dalam bentuk penegakan aturan.

22 164 IUPHHK diberikan melalui proses seleksi untuk mendapatkan mitra / perusahaan yang berkualitas tinggi yang mempunyai kompetensi untuk mendukung pencapaian pengelolaan hutan lestari. Data hasil penilaian kinerja (Tabel 40) menggambarkan kondisi sebaliknya, yaitu sebagian besar (90%) perusahaan mempunyai nilai tidak baik, hal ini berarti mayoritas perusahaan yang dipilih tidak menempatkan kegiatan yang penting bagi pengelolaan hutan lestari sebagai kegiatan prioritas yang dilaksanakan oleh perusahaan. Pembahasan pada bab IV menjelaskan bahwa terdapat situasi informasi yang tidak simetrik dan terdapat distorsi pada mekanisme seleksi calon penerima IUPHHK Kepatuhan Perusahaan Terhadap Peraturan Dalam pembahasan pada Bab IV, diperoleh pengetahuan bahwa tujuan evaluasi dan penilaian kinerja adalah untuk mengetahui tingkat ketaatan perusahaan terhadap peraturan dalam rangka pengelolaan hutan secara lestari. Karena konteks yang ingin dilihat adalah ketaatan, hasil penilaian yang masuk kategori baik dapat dimaknai sebagai taat, sedangkan perolehan nilai sedang dan buruk dimaknai sebagai tidak taat. Seperti halnya pengklasifikasian kompetensi, maka hanya dikenal kategori kompeten dan tidak kompeten, pihak yang tergolong kompeten dapat diberikan hak untuk melaksanakan tugas tertentu, sedangkan pihak yang tidak kompeten tidak berhak dan dapat diberikan kesempatan untuk meningkatkan kompetensinya melalui proses pembelajaran atau pelatihan. Berikut ini akan dibahas hasil penilaian ketaatan yang dikelompokkan kedalam indikator-indikator seperti yang telah dibahas terdahulu.

23 165 Setiap indikator terdiri dari berbagai verifier yang diverifikasikan dengan kondisi actual dilapangan oleh Lembaga Penilai Independen (LPI). Verifier tersebut terbagi dalam beberapa kelompok yaitu verifier prasyarat sebanyak 17, verifier produksi sejumlah 27, verifier ekologi sebanyak 26 dan verifier sosial sebanyak Pelaksanaan Peraturan Prasyarat Untuk mengetahui respon perusahaan atas peraturan yang berlaku digunakan data hasil verifikasi lapangan oleh Lembaga Penilai Independen atas berbagai indikatorindikator. Untuk mengarahkan agar pengelolaan hutan lestari dapat diwujudkan, maka unsur-unsur yang merupakan syarat perlu (necessary conditions) harus dapat dipenuhi. Dalam penelitian ini digunakan 11 verifier prasyarat berdasarkan data hasil penilaian oleh Lembaga Penilai Independen. Adapun hasil penilaian terhadap 40 perusahaan adalah seperti pada Tabel 41. Apabila setiap verifier diperlakukan sama dan diambil nilai rata-ratanya, maka sebanyak 13 % perusahaan yang berdasarkan sistem penilaian yang berlaku dianggap mampu dengan baik memenuhi verifier kinerja prasyarat. Jumlah terbanyak peraturan yang ditaati adalah kesesuaian areal dengan fungsi produksi (AFP) yang mencapai 47.5%. Berdasarkan kriteria pada Lampiran 7, perusahaan mendapat nilai baik apabila 100 % areal kerjanya merupakan kawasan hutan dengan fungsi produksi dan < 10 % digunakan untuk pemanfaatan lain. Sementara itu realisasi pelaksanaan tata-batas (TAT) dianggap baik apabila 100 % terealisasi, dan dinyatakan buruk bila realisasinya kurang dari 70%, jumlah perusahaan yang mencapai nilai baik sebanyak 20%

24 166 Tabel 41. Respon Perusahaan Contoh Terhadap Peraturan Prasyarat PHL No Verifier Baik Sedang Buruk Frek % Frek % Frek % 1 Kesesuaian areal dengan fungsi produksi (AFP) Realisasi Pembuatan Tatabatas (TAT) 3 Kondisi Lapangan Patok-patok Batas (PAL) 4 Pengakuan para pihak atas eksistensi unit manajemen (AKU) 5 Kesesuaian Visi dan Misi dengan implementasi di lapangan (VMI) 6 Peningkatan Modal Perusahaan (MOD) 7 Investasi yang dikembalikan ke hutan (RIV) 8 Realisasi secara fisik pembinaan dan perlindungan hutan (BIN) Kesesuaian implementasi teknis ,5 dengan aturan yang berlaku (TEK) 10 Keberadaan tenaga professional ,5 kehutanan (SDM) 11 Pelaksanaan mekanisme , pengambilan keputusan, evaluasi dan umpan balik (EVA) Jumlah Catatan : Verifier AFP dikeluarkan dari perhitungan rata-rata karena merupakan outlyer. Pada varifier Pemeliharaan batas (PAL) perusahaan memperoleh nilai baik apabila lebih dari 90 % pal batas terpelihara dan ada rintisan yang baik, banyaknya perusahaan yang mencapai nilai baik adalah 20 %. Dari segi pengakuan batas-batas oleh masyarakat (AKU), dianggap baik apabila tidak ada konflik, jika ada konflik tetapi ada mekanisme penyelesaiannya maka diberi nilai sedang, dan bila ada konflik dan tidak ada mekanisme penyelesaiannya maka kondisinya buruk, terdapat 17.5% yang tidak memiliki konflik, dan 50% berkonflik tetapi ada mekanisme penyelesaian

25 167 dan 32.5 % ada konflik dan tidak ada mekanisme penyelesaian konflik. Jika pernyataan visi dan misi sesuai dengan praktek di lapangan maka perusahaan mendapat nilai baik yang dalam hal ini terdapat 10 %, yang sebagian sesuai 47.5% dan yang hanya sebagai dokumen formalitas ada 42.5%. Namun jika diperhatikan secara lebih mendalam, jumlah terendah peraturan yang ditaati adalah penggunaan tenaga professional sebesar 2.5%. Selain itu 90% perusahaan tidak melaksanakan visi dan misinya dengan baik, 87.5% perusahaan tidak melaksanakan reinvestasi ke hutan dengan baik, dan 80 % perusahaan tidak melaksanakan penataan batas areal kerja dan pemeliharaan pal batas dengan baik. Ketiga verifier ini merupakan syarat yang penting bagi pelaksanaan pengelolaan hutan lestari. Apabila batas areal kerja tidak dibuat dengan baik, maka perlakuanperlakuan pengelolaan hutan tidak dapat dilaksanakan secara tepat, termasuk pelaksanaan re-investasi ke hutan. Komitmen yang lemah terhadap visi dan misi merupakan penjelas bagi rendahnya nilai kepatuhan untuk seluruh aspek yang dinilai. Jumlah perusahaan yang mencapai nilai rata-rata baik sebesar 13 % ini tidak dapat dimaknai sebagai nilai capaian perusahaan yang berhasil menaati peraturan, melainkan sebuah gambaran umum tentang kecenderungan perusahaan-perusahaan untuk memenuhi ketentuan prasyarat. Verifier no. 8,9 dan 10 pada table diatas yaitu BIN, TEK dan SDM adalah kewajiban-kewajiban yang berdasarkan aturan yang berlaku mempunyai sanksi apabila tidak dilaksanakan dilapangan. Hanya ada 2 perusahaan (5%) yang melaksanakan pembinaan hutan sesuai aturan, hanya ada 3 perusahaan (7.5%) melaksanakan ketentuan teknis sesuai peraturan dan hanya ada 1 perusahaan (2.5%) yang melaksanakan aturan tentang penggunaan tenaga kerja

26 168 professional. Jika diasumsikan bahwa 1 perusahaan yang dapat memenuhi persyaratan penggunaan tenaga profesional tersebut mampu memenuhi seluruh aturan yang lainnya, maka dari segi ketaatan dalam melaksanakan peraturan maksimal hanya ada 2.5 % perusahaan yang taat, dan 97.5 % melakukan pelanggaran peraturan syarat perlu (necessary conditions) bagi pencapaian pengelolaan hutan lestari. Kondisi ini dapat dijelaskan pula oleh kecilnya perusahan-perusahaan yang mempunyai komitmen baik, yaitu hanya ada 4 perusahaan (10%) yang terindikasi melaksanakan dokumen visi dan misinya, sisanya 90% hanya menjadikan dokumen visi dan misi sebagai alat untuk memenuhi ketentuan administrasi. Pelanggaran terhadap verifier no 9, yaitu tidak melaksanakan silvikultur yang ditentukan oleh Menteri terancam pencabutan ijin, apabila ini dimaknai sebagai tidak melaksanakan dengan baik, maka 92.5 % perusahaan pemilik IUPHHK terancam untuk dibatalkan perijinannya. Sementara itu 97.5 % perusahaan IUPHHK dikenakan sanksi penghentian sementara kegiatan dilapangan karena tidak menggunakan tenaga kerja professional secara memadai dan 92.5 % terkena sanksi denda administratif. Setelah berjalan lebih dari 40 tahun, institusi pemanfaatan hutan belum mampu mengarahkan perilaku para pihak untuk menyediakan syarat perlu (necessary condition) pengelolaan hutan lestari. Disamping itu tidak adanya korelasi antara lamanya perusahaan memegang ijin dengan nilai kinerja yang dihasilkan menunjukkan bahwa tidak ada proses belajar, sehingga memperkuat alasan untuk menyatakan bahwa perusahaan tidak menaruh perhatian pada pengelolaan hutan. Hal ini dapat memberikan tambahan penjelasan atas kegagalan dalam mencapai pengelolaan hutan lestari sebagai komplemen atas penjelasan para peneliti terdahulu.

27 Pelaksanaan Peraturan Produksi Pelaksanaan produksi terikat pada berbagai peraturan mulai dari perencanaan, penataan areal kerja yang harus mempertimbangkan aspek ekologi dan sosial, tingkat pemanenan yang disesuaikan dengan komposisi jenis, pelaksanaan tahapan silvikultur yang harus sesuai dengan standar operasi yang ada, hingga pemanenan yang harus disesuaikan dengan target rencana karya tahunan dan pertumbuhan riap pohon. Respon perusahaan dalam melakukan aktivitas produksi atas peraturan yang berlaku ditinjau dari ketaatanya terhadap 11 verifier yang digunakan dalam penelitian ini, disajikan pada Tabel 42. Respon perusahaan terhadap beberapa verifier penting yang berhubungan erat dengan kelestarian hutan, yaitu pelaksanaan tahapan silvikultur, kesesuaian realisasi tebangan dengan rencana karya tahunan dan kesesuaian realisasi tebangan dengan riap, menunjukkan bahwa hanya ada 1 perusahaan (2.5%) yang termasuk dalam kategori baik, sisanya 97.5% termasuk dalam kategori sedang dan buruk. Dalam konteks ketaatan terhadap peraturan, jika diambil dikotomi taat dan tidak taat, maka kategori sedang dapat dimasukkan kedalam kelompok tidak taat, sehingga terhadap tiga verifier tersebut, jumlah perusahaan pemilik IUPHHK-HA yang mentaati peraturan hanya sebesar 2.5 %, sisanya sebesar 97.5 % tergolong tidak taat. Dengan demikian tingkat kepatuhan terhadap tiga indikator yang penting ini tergolong sangat rendah. Akibat dari perilaku ini, tingkat kerusakan tegakan tinggal sangat tinggi, hanya 12.5 % perusahaan yang mencapai kategori kerusakan tegakan tinggal kecil.

28 170 No Tabel 42. Respon Perusahaan Contoh Terhadap Peraturan Produksi Verifier 1 Rencana Penataan Areal yang mempertimbangkan aspek Ekologi dan social(pak) 2 Tingkat pemanenan lestari setiap jenis kayu dan bukan kayu (PEL) 3 Implementasi SOP seluruh tahapan silvikultur (SIL) Baik Sedang Buruk Frek % Frek % Frek % Kerusakan tegakan tinggal (RUS) Penggunaan teknologi tepat guna (TTG) Likuiditas keuangan perusahaan (LIK) 7 Solvabilitas perusahaan (SOL) Rentabilitas perusahaan (REN) Kesesuaian realisasi tebangan dengan rencana tebangan tahunan (RAS) 10 Kesesuaian realisasi tebangan dengan riap (RIA) 11 Investasi untuk kegiatan pemanfaatan hutan, administrasi,libang dan pengembanngan sumberdaya manusia (INV) Jumlah Catatan :Verifier Potensi tegakan (POT) menjadi outlaier sehingga dikeluarkan dari table sebanyak 22 (55%) perusahaan mendapat nilai baik, 12 perusahaan (30%) sedang dan 6 (15%) perusahaan mendapat niali buruk. Terhadap kecenderungan perusahaan yang mendapat nilai baik atas verifier no. 10 yaitu kesesuaian realisasi tebangan dengan riap tegakan (RIA) yang hanya mencapai 2.5%, maka sebagaimana pembahasan pada bab sebelumnya, bahwa data riap diambilkan dari petak ukur permanen (PUP), sementara blok atau petak yang ditebang adalah berbeda dengan blok atau petak dimana PUP berada. Perbedaan perlakuan dan kondisi lingkungan lainnya dapat menyebabkan deviasi data riap.

29 171 Apabila setiap verifier diperlakukan sama, maka sebanyak 16 % perusahaan masuk dalam kategori baik. Diantara perusahaan yang memiliki nilai verifier baik tersebut, sebanyak 35% melakukan penataan areal kerja dengan mempertimbangkan aspek ekologis dan aspek social, sementara itu 37.5 % perusahan berusaha memenuhi likwiditas dan 27.5% memberi perhatian pada pencapaian solvabilitas. Menarik untuk diperhatikan pada Table 42 adalah nilai verifier rentabilitas dan potensi tegakan, hanya sebanyak 10% perusahaan yang memiliki rentabilitas baik dan sebaliknya 77.5 % mempunyai nilai rentabilitas buruk. Sementara dengan perilaku ketaatan rendah dan rentabilitas rendah justru banyak perusahaan (55%) mempunyai potensi tegakan yang baik. Sangat dimungkinkan bahwa data ini menunjukkan indikasi adanya moral hazard yang terjadi akibat assymmetric information dimana pemerintah tidak menguasai informasi tentang hutan dan kondisi keuangan perusahaan. Perusahaan berkepentingan untuk mendapatkan ijin tebangan dalam jumlah yang besar yang hanya dapat diberikan bila potensi hutannya masih baik Pelaksanaan Peraturan Ekologi dan Sosial Terhadap pelaksanaan peraturan yang menyangkut aspek ekologi dan aspek sosial pada penelitian ini digunakan 4 verifier yaitu implementasi perlindungan hutan, ekskalasi gangguan hutan, ketersediaan mekanisme partisipasi masyarakat dalam kegiatan perekonomian, dan peningkatan aktivitas ekonomi masyarakat yang berbasis kehutanan, hasil penilaian 40 perusahaan contoh adalah seperti Tabel 43. Seperti pada hasil-hasil penilaian sebelumnya, jumlah perusahaan yang mendapat predikat baik sebanyak 15 % saja. Data ini menunjukkan bahwa tingkat gangguan

30 172 terhadap hutan terjadi di sebagian besar perusahaan terindikasi dari sedikitnya jumlah perusahaan yang mampu mengendalikan ekskalasi gangguan. Demikian pula terhadap verifier peningkatan aktivitas ekonomi masyarakat hanya sebagian kecil perusahaan yang dapat meningkatkan aktivitas ekonomi masyarakat dengan baik. Tabel 43. Respon Perusahaan atas Peraturan Ekologi dan Sosial No Verifier Baik Sedang Buruk Frek % Frek % Frek % 1 Implementasi Kegiatan Perlindungan Hutan ( LIN) 2 Ekskalasi Gangguan Hutan (GNG) Ketersediaan Mekanisme Partisipasi & aktivitas ekonomi masyarakat (PAR) 4 Peningkatan Aktivitas masyarakat dalam perekonomian yang berbasis Kehutanan (UKM) Perusahaan berkonsentrasi pada aktivitas produksi, sedangkan perlindungan hutan harus dilaksanakan di seluruh areal usahanya. Dari sisi kepentingan perusahaan, perlindungan hutan dimaksudkan untuk melindungi asset dan kepentingannya, dengan sumberdaya yang terbatas, maka apabila perusahaan harus menyusun prioritas perlindungan hutan, pilihan yang rasional adalah melindungi blok-blok yang akan diproduksi dan melindungi asset miliknya. Sementara tegakan tinggal dan areal bekas tebangan tidak tercatat sebagai asset perusahaan dan bukan kepentingan langsungnya Kinerja Pengelolaan dan Pemanfaatan Sebagaimana dimandatkan oleh undang-undang, tujuan pengelolaan hutan adalah menghasilkan hutan berkualitas tinggi dan lestari. Indikator keberhasilannya adalah

31 173 pembangunan stok potensi kayu hasil dari tindakan-tindakan pengelolaan hutan, sedangkan kelestarian diindikasikan dari minimum kerusakan hutan. Sementara itu dari sisi pengusahaan, tujuannya adalah untuk memaksimumkan keuntungan, dalam penelitian ini tujuan tersebut didekati dari nilai rentabilitas yang dicapai perusahaan. Institusi pengelolaan dan pemanfaatan hutan telah menghasilkan perilaku sebagaimana tersebut pada bagian-bagian terdahulu. Untuk mengetahui hubungan antara perilaku tersebut terhadap kinerja pengelolaan hutan dan kinerja usaha analisa korelasi nilai klasifikasi (baik, sedang dan buruk) verifier-verifier yang disebutkan diatas dengan nilai klasifikasi potensi dan rentabilitas. Kajian ini didasarkan pada asumsi bahwa apabila seluruh ketentuan ditaati dengan baik maka akan berdampak kepada pembentukan stok tegakan yang baik, demikian pula apabila ketentuan tersebut tidak ditaati dan dilaksanakan seadanya maka akan menyebabkan potensi hutan menurun. Dalam hubungannya dengan rentabilitas perusahaan, perilaku perusahaan akan berpengaruh terhadap perolehan rentabilitas baik jangka panjang maupun jangka pendek. Hubungan keeratan tersebut dihitung dengan analisa korelasi Chi Square seperti pada Lampiran 8. Hanya sebagian kecil variabel yang berkorelasi dengan Potensi Tegakan (STOK), Kerusakan Tegakan Tinggal (RUS) dan Rentabilitas (REN), beberapa varibale yang mempunyai korelasi secara nyata pada tingkat kepercayaan 5% dengan nilai X 2 Tabel 9,49 disajikan pada Tabel 44. Untuk memaknai korelasi seperti pada Tabel 44, digunakan kerangka berfikir yang memposisikan kedudukan perusahaan sebagai pengguna yang melaksanakan kewajiban-kewajiban yang dibebankan kepadanya, sehingga akan terjawab pertanyaan tentang apakah institusi dapat menginternalisasikan misi pengelolaan

KEPUTUSAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR 6887/KPTS-II/2002 TENTANG

KEPUTUSAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR 6887/KPTS-II/2002 TENTANG KEPUTUSAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR 6887/KPTS-II/2002 TENTANG TATA CARA PENGENAAN SANKSI ADMINISTRATIF ATAS PELANGGARAN IZIN USAHA PEMANFAATAN HASIL HUTAN, IZIN PEMUNGUTAN HASIL HUTAN DAN IZIN USAHA INDUSTRI

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR : P.10/Menhut-II/2006 TENTANG INVENTARISASI HUTAN PRODUKSI TINGKAT UNIT PENGELOLAAN HUTAN MENTERI KEHUTANAN,

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR : P.10/Menhut-II/2006 TENTANG INVENTARISASI HUTAN PRODUKSI TINGKAT UNIT PENGELOLAAN HUTAN MENTERI KEHUTANAN, MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA PERATURAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR : P.10/Menhut-II/2006 TENTANG INVENTARISASI HUTAN PRODUKSI TINGKAT UNIT PENGELOLAAN HUTAN MENTERI KEHUTANAN, Menimbang: a. bahwa untuk

Lebih terperinci

PUP (Petak Ukur Permanen) sebagai Perangkat Pengelolaan Hutan Produksi di Indonesia

PUP (Petak Ukur Permanen) sebagai Perangkat Pengelolaan Hutan Produksi di Indonesia PUP (Petak Ukur Permanen) sebagai Perangkat Pengelolaan Hutan Produksi di Indonesia Authors : Wahyu Catur Adinugroho*, Haruni Krisnawati*, Rinaldi Imanuddin* * Pusat Penelitian dan Pengembangan Hutan,

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3 TAHUN 2008 TENTANG

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3 TAHUN 2008 TENTANG PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3 TAHUN 2008 TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 6 TAHUN 2007 TENTANG TATA HUTAN DAN PENYUSUNAN RENCANA PENGELOLAAN HUTAN, SERTA PEMANFAATAN

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3 TAHUN 2008 TENTANG

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3 TAHUN 2008 TENTANG PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3 TAHUN 2008 TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 6 TAHUN 2007 TENTANG TATA HUTAN DAN PENYUSUNAN RENCANA PENGELOLAAN HUTAN, SERTA PEMANFAATAN

Lebih terperinci

STANDARD DAN PEDOMAN PENILAIAN KINERJA PENGELOLAAN HUTAN LESTARI PADA HUTAN NEGARA (IUPHHK HA/HT/HTI)

STANDARD DAN PEDOMAN PENILAIAN KINERJA PENGELOLAAN HUTAN LESTARI PADA HUTAN NEGARA (IUPHHK HA/HT/HTI) Lampiran 1 : Peraturan Direktur Jenderal Bina Produksi Kehutanan mor : P.6/VI-Set/2009 Tanggal : 15 Juni 2009 Tentang : Standard Dan Pedoman Penilaian Kinerja Pengelolaan Hutan Produksi Lestari Dan Verifikasi

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, www.bpkp.go.id PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3 TAHUN 2008 TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 6 TAHUN 2007 TENTANG TATA HUTAN DAN PENYUSUNAN RENCANA PENGELOLAAN HUTAN, SERTA

Lebih terperinci

PENJELASAN ATAS PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 1999 TENTANG PENGUSAHAAN HUTAN DAN PEMUNGUTAN HASIL HUTAN PADA HUTAN PRODUKSI

PENJELASAN ATAS PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 1999 TENTANG PENGUSAHAAN HUTAN DAN PEMUNGUTAN HASIL HUTAN PADA HUTAN PRODUKSI PENJELASAN ATAS PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 1999 TENTANG PENGUSAHAAN HUTAN DAN PEMUNGUTAN HASIL HUTAN PADA HUTAN PRODUKSI U M U M Bangsa Indonesia dianugerahi Tuhan Yang Maha

Lebih terperinci

STANDAR PENILAIAN KINERJA PENGELOLAAN HUTAN PRODUKSI LESTARI (PHPL)

STANDAR PENILAIAN KINERJA PENGELOLAAN HUTAN PRODUKSI LESTARI (PHPL) Lampiran 1. Peraturan Direktur Jenderal Bina Usaha Kehutanan Nomor : P.8/VI-BPPHH/2011 Tanggal : 30 Desember 2011 Tentang : Standar dan Pedoman Pelaksanaan Penilaian Kinerja Pengelolaan Hutan Produksi

Lebih terperinci

KESIMPULAN DAN SARAN

KESIMPULAN DAN SARAN VIII. KESIMPULAN DAN SARAN 8.1. Kesimpulan Hasil penelitian dapat diperoleh kesimpulan yang berkaitan dengan arah perubahan struktur, perilaku perusahaan peneriman IUPHHK dan pemerintah, pengaruh struktur

Lebih terperinci

STANDAR PENILAIAN KINERJA PENGELOLAAN HUTAN PRODUKSI LESTARI (PHPL) PADA IUPHHK-HT. Bobot Verifier Alat Penilaian 5 > 5

STANDAR PENILAIAN KINERJA PENGELOLAAN HUTAN PRODUKSI LESTARI (PHPL) PADA IUPHHK-HT. Bobot Verifier Alat Penilaian 5 > 5 Lampiran 1.2. Peraturan Direktur Jenderal Pengelolaan Hutan Produksi Lestari Nomor : P.14/PHPL/SET/4/2016 Tanggal : 29 April 2016 Tentang : Standar dan Pedoman Pelaksanaan Penilaian Kinerja Pengelolaan

Lebih terperinci

STANDAR PENILAIAN KINERJA PENGELOLAAN HUTAN PRODUKSI LESTARI (PHPL) PADA IUPHHK-HTI. Bobot Verifier Alat Penilaian 5 > 5

STANDAR PENILAIAN KINERJA PENGELOLAAN HUTAN PRODUKSI LESTARI (PHPL) PADA IUPHHK-HTI. Bobot Verifier Alat Penilaian 5 > 5 Lampiran 1.2. Peraturan Direktur Jenderal Bina Usaha Kehutanan Nomor : P.5/VI-BPPHH/2014 Tanggal : 14 Juli 2014 Tentang : Standar dan Pedoman Pelaksanaan Penilaian Kinerja Pengelolaan Hutan Produksi Lestari

Lebih terperinci

2 Pemberantasan Korupsi Tahun 2013, perlu perbaikan dan pemisahan dalam Peraturan tersendiri menyangkut Inventarisasi Hutan Berkala dan Rencana Kerja

2 Pemberantasan Korupsi Tahun 2013, perlu perbaikan dan pemisahan dalam Peraturan tersendiri menyangkut Inventarisasi Hutan Berkala dan Rencana Kerja No. 1327, 2014 BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA KEMENHUT. Hutan Berkala. Rencana Kerja. Izin. Hasil Hutan. Restorasi Ekosistem. Inventarisasi. Pencabutan. PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA

Lebih terperinci

Menimbang : Mengingat :

Menimbang : Mengingat : Menimbang : PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 1999 TENTANG PENGUSAHAAN HUTAN DAN PEMUNGUTAN HASIL HUTAN PADA HUTAN PRODUKSI PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, a. bahwa hutan produksi di Indonesia

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : P. 66 /Menhut-II/2014 TENTANG

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : P. 66 /Menhut-II/2014 TENTANG PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : P. 66 /Menhut-II/2014 TENTANG INVENTARISASI HUTAN BERKALA DAN RENCANA KERJA PADA IZIN USAHA PEMANFAATAN HASIL HUTAN KAYU RESTORASI EKOSISTEM DENGAN

Lebih terperinci

STANDAR PENILAIAN KINERJA PENGELOLAAN HUTAN PRODUKSI LESTARI (PHPL) IUPHHK-HA

STANDAR PENILAIAN KINERJA PENGELOLAAN HUTAN PRODUKSI LESTARI (PHPL) IUPHHK-HA Catatan : semua kata-kata yang terkait dengan hak pengelolaan dan hutan tanaman dicoret Lampiran 1. Peraturan Direktur Jenderal Bina Usaha Kehutanan Nomor : P. /VI-BPPHH/2013 Tanggal : 2013 Tentang : Standar

Lebih terperinci

kepemilikan lahan. Status lahan tidak jelas yang ditunjukkan oleh tidak adanya dokumen

kepemilikan lahan. Status lahan tidak jelas yang ditunjukkan oleh tidak adanya dokumen Lampiran 1 Verifikasi Kelayakan Hutan Rakyat Kampung Calobak Berdasarkan Skema II PHBML-LEI Jalur C NO. INDIKATOR FAKTA LAPANGAN NILAI (Skala Intensitas) KELESTARIAN FUNGSI PRODUKSI 1. Kelestarian Sumberdaya

Lebih terperinci

PEDOMAN PELAPORAN PELAKSANAAN PENILAIAN KINERJA PENGELOLAAN HUTAN PRODUKSI LESTARI

PEDOMAN PELAPORAN PELAKSANAAN PENILAIAN KINERJA PENGELOLAAN HUTAN PRODUKSI LESTARI Lampiran 3.9. Peraturan Direktur Jenderal Bina Usaha Kehutanan Nomor : P.8/VI-BPPHH/2012 Tanggal : 17 Desember 2012 Tentang : Standar dan Pedoman Pelaksanaan Penilaian Kinerja Pengelolaan Hutan Produksi

Lebih terperinci

STANDAR PENILAIAN KINERJA PENGELOLAAN HUTAN PRODUKSI LESTARI (PHPL) PADA IUPHHK-HA

STANDAR PENILAIAN KINERJA PENGELOLAAN HUTAN PRODUKSI LESTARI (PHPL) PADA IUPHHK-HA Lampiran 1.1. Peraturan Direktur Jenderal Pengelolaan Hutan Produksi Lestari Nomor : P.14/PHPL/SET/4/2016 Tanggal : 29 April 2016 Tentang : Standar dan Pedoman Pelaksanaan Penilaian Kinerja Pengelolaan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. sebagai pengendali ekosistem, pengaturan tata air dan berfungsi sebagai paru-paru

BAB I PENDAHULUAN. sebagai pengendali ekosistem, pengaturan tata air dan berfungsi sebagai paru-paru BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Sumber daya hutan sebagai sistem penyangga kehidupan memiliki fungsi sebagai pengendali ekosistem, pengaturan tata air dan berfungsi sebagai paru-paru dunia.

Lebih terperinci

2011, No Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya (Lembaran Negara Republik I

2011, No Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya (Lembaran Negara Republik I BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.407, 2011 KEMENTERIAN KEHUTANAN. IUPHHK. Hutan Tanaman Rakyat. PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR P.55/Menhut-II/2011 TENTANG TATA CARA PERMOHONAN

Lebih terperinci

NOMOR 6 TAHUN 1999 TENTANG PENGUSAHAAN HUTAN DAN PEMUNGUTAN HASIL HUTAN PADA HUTAN PRODUKSI

NOMOR 6 TAHUN 1999 TENTANG PENGUSAHAAN HUTAN DAN PEMUNGUTAN HASIL HUTAN PADA HUTAN PRODUKSI PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 1999 TENTANG PENGUSAHAAN HUTAN DAN PEMUNGUTAN HASIL HUTAN PADA HUTAN PRODUKSI Menimbang: PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, a. bahwa hutan produksi di Indonesia

Lebih terperinci

Lampiran : I Keputusan Direktur Jenderal Bina Produksi Kehutanan Nomor : 52/KPTS/VI-PHP/2003 Tanggal : 28 Oktober 2003

Lampiran : I Keputusan Direktur Jenderal Bina Produksi Kehutanan Nomor : 52/KPTS/VI-PHP/2003 Tanggal : 28 Oktober 2003 Lampiran : I Keputusan Direktur Jenderal Bina Produksi Kehutanan Nomor : 52/KPTS/VI-PHP/2003 Tanggal : 28 Oktober 2003 I. LATAR BELAKANG PETUNJUK TEKNIS PENILAIAN PENAWARAN DALAM PELELANGAN IUPHHK PADA

Lebih terperinci

STANDAR PENILAIAN KINERJA PENGELOLAAN HUTAN PRODUKSI LESTARI (PHPL) PADA IUPHHK-HA. Bobot Verifier Alat Penilaian 5 > 5

STANDAR PENILAIAN KINERJA PENGELOLAAN HUTAN PRODUKSI LESTARI (PHPL) PADA IUPHHK-HA. Bobot Verifier Alat Penilaian 5 > 5 Lampiran 1.1. Peraturan Direktur Jenderal Bina Usaha Kehutanan Nomor : P.5/VI-BPPHH/2014 Tanggal : 14 Juli 2014 Tentang : Standar dan Pedoman Pelaksanaan Penilaian Kinerja Pengelolaan Hutan Produksi Lestari

Lebih terperinci

tertuang dalam Rencana Strategis (RENSTRA) Kementerian Kehutanan Tahun , implementasi kebijakan prioritas pembangunan yang

tertuang dalam Rencana Strategis (RENSTRA) Kementerian Kehutanan Tahun , implementasi kebijakan prioritas pembangunan yang PENDAHULUAN BAB A. Latar Belakang Pemerintah telah menetapkan bahwa pembangunan Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH) menjadi salah satu prioritas nasional, hal tersebut tertuang dalam Rencana Strategis (RENSTRA)

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : P.6/Menhut-II/2010 TENTANG

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : P.6/Menhut-II/2010 TENTANG PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : P.6/Menhut-II/2010 TENTANG NORMA, STANDAR, PROSEDUR DAN KRITERIA PENGELOLAAN HUTAN PADA KESATUAN PENGELOLAAN HUTAN LINDUNG (KPHL) DAN KESATUAN PENGELOLAAN

Lebih terperinci

Resume Hasil Penilaian Kinerja PHPL Penilikan II PT. Pemantang Abadi Tama Kabupaten Murung Raya Provinsi Kalimantan Tengah

Resume Hasil Penilaian Kinerja PHPL Penilikan II PT. Pemantang Abadi Tama Kabupaten Murung Raya Provinsi Kalimantan Tengah Resume Hasil Penilaian Kinerja PHPL Penilikan II PT. Pemantang Abadi Tama Kabupaten Murung Raya Provinsi Kalimantan Tengah I. Identitas LP-PHPL : a. Nama LP-PHPL : PT. Global Resource Sertifikasi b. No.

Lebih terperinci

PP 6/1999, PENGUSAHAAN HUTAN DAN PEMUNGUTAN HASIL HUTAN PADA HUTAN PRODUKSI

PP 6/1999, PENGUSAHAAN HUTAN DAN PEMUNGUTAN HASIL HUTAN PADA HUTAN PRODUKSI Copyright (C) 2000 BPHN PP 6/1999, PENGUSAHAAN HUTAN DAN PEMUNGUTAN HASIL HUTAN PADA HUTAN PRODUKSI *36091 PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA (PP) NOMOR 6 TAHUN 1999 (6/1999) TENTANG PENGUSAHAAN HUTAN

Lebih terperinci

PEDOMAN PELAKSANAAN SISTEM SILVIKULTUR TEBANG PILIH TANAM JALUR (TPTJ)

PEDOMAN PELAKSANAAN SISTEM SILVIKULTUR TEBANG PILIH TANAM JALUR (TPTJ) LAMPIRAN 2. PERATURAN DIREKTUR JENDERAL BINA PRODUKSI KEHUTANAN NOMOR : P.9/VI-BPHA/2009 TANGGAL : 21 Agustus 2009 PEDOMAN PELAKSANAAN SISTEM SILVIKULTUR TEBANG PILIH TANAM JALUR (TPTJ) 1 PEDOMAN PELAKSANAAN

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR : P.23/Menhut-II/2007 TENTANG

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR : P.23/Menhut-II/2007 TENTANG MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA PERATURAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR : P.23/Menhut-II/2007 TENTANG TATA CARA PERMOHONAN IZIN USAHA PEMANFAATAN HASIL HUTAN KAYU PADA HUTAN TANAMAN RAKYAT DALAM HUTAN TANAMAN

Lebih terperinci

2 ekonomi biaya tinggi sebagaimana hasil kajian Komisi Pemberantasan Korupsi Tahun 2013, perlu pengaturan kembali mengenai Inventarisasi Hutan Menyelu

2 ekonomi biaya tinggi sebagaimana hasil kajian Komisi Pemberantasan Korupsi Tahun 2013, perlu pengaturan kembali mengenai Inventarisasi Hutan Menyelu No.690, 2014 BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA KEMENHUT. Hutan Alam. Pemanfaatan. Hutan Kayu. Inventarisasi. Pencabutan. PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR P.33/Menhut-II/2014 TENTANG

Lebih terperinci

PEDOMAN PELAKSANAAN SISTEM SILVIKULTUR TEBANG RUMPANG (TR)

PEDOMAN PELAKSANAAN SISTEM SILVIKULTUR TEBANG RUMPANG (TR) LAMPIRAN 3. PERATURAN DIREKTUR JENDERAL BINA PRODUKSI KEHUTANAN NOMOR : P.9/VI-BPHA/2009 TANGGAL : 21 Agustus 2009 PEDOMAN PELAKSANAAN SISTEM SILVIKULTUR TEBANG RUMPANG (TR) 1 PEDOMAN PELAKSANAAN SISTEM

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 1999 TENTANG PENGUSAHAAN HUTAN DAN PEMUNGUTAN HASIL HUTAN PADA HUTAN PRODUKSI

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 1999 TENTANG PENGUSAHAAN HUTAN DAN PEMUNGUTAN HASIL HUTAN PADA HUTAN PRODUKSI PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 1999 TENTANG PENGUSAHAAN HUTAN DAN PEMUNGUTAN HASIL HUTAN PADA HUTAN PRODUKSI PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : Mengingat : a. bahwa hutan produksi

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : P.33/Menhut-II/2014 TENTANG

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : P.33/Menhut-II/2014 TENTANG PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : P.33/Menhut-II/2014 TENTANG INVENTARISASI HUTAN MENYELURUH BERKALA DAN RENCANA KERJA PADA IZIN USAHA PEMANFAATAN HASIL HUTAN KAYU DALAM HUTAN ALAM

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Pada tahun 1999 terjadi reformasi institusi kehutanan yang diformalisasikan dalam

I. PENDAHULUAN. Pada tahun 1999 terjadi reformasi institusi kehutanan yang diformalisasikan dalam I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1.1.1 Perubahan Institusi Kehutanan Pada tahun 1999 terjadi reformasi institusi kehutanan yang diformalisasikan dalam perubahan undang-undang no 5 tahun 1967 tentang Pokok-Pokok

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA Nomor : P.46/Menhut-II/2013 TENTANG

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA Nomor : P.46/Menhut-II/2013 TENTANG PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA Nomor : P.46/Menhut-II/2013 TENTANG TATA CARA PENGESAHAN RENCANA PENGELOLAAN HUTAN JANGKA PANJANG KESATUAN PENGELOLAAN HUTAN LINDUNG DAN KESATUAN PENGELOLAAN

Lebih terperinci

GUBERNUR PAPUA. 4. Undang-Undang.../2

GUBERNUR PAPUA. 4. Undang-Undang.../2 GUBERNUR PAPUA PERATURAN GUBERNUR PAPUA NOMOR 14 TAHUN 2010 TENTANG PETUNJUK PELAKSANAAN PEMANFAATAN KAYU LIMBAH PEMBALAKAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR PAPUA, Menimbang : a. bahwa sebagai

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : P.30/Menhut-II/2014 TENTANG

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : P.30/Menhut-II/2014 TENTANG 1 PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : P.30/Menhut-II/2014 TENTANG INVENTARISASI HUTAN MENYELURUH BERKALA DAN RENCANA KERJA PADA USAHA PEMANFAATAN HASIL HUTAN KAYU HUTAN TANAMAN INDUSTRI

Lebih terperinci

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN HULU SUNGAI UTARA TAHUN 2001 NOMOR 79 SERI C NOMOR 4 PERATURAN DAERAH KABUPATEN HULU SUNGAI UTARA NOMOR 48 TAHUN 2001

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN HULU SUNGAI UTARA TAHUN 2001 NOMOR 79 SERI C NOMOR 4 PERATURAN DAERAH KABUPATEN HULU SUNGAI UTARA NOMOR 48 TAHUN 2001 LEMBARAN DAERAH KABUPATEN HULU SUNGAI UTARA TAHUN 2001 NOMOR 79 SERI C NOMOR 4 PERATURAN DAERAH KABUPATEN HULU SUNGAI UTARA NOMOR 48 TAHUN 2001 TENTANG IZIN PEMUNGUTAN HASIL HUTAN KAYU PADA HUTAN PRODUKSI

Lebih terperinci

MEMBENDUNG meluasnya preseden buruk pengelolaan HPH di Indonesia

MEMBENDUNG meluasnya preseden buruk pengelolaan HPH di Indonesia www.greenomics.org MEMBENDUNG meluasnya preseden buruk pengelolaan HPH di Indonesia 5 Desember 2011 HPH PT Mutiara Sabuk Khatulistiwa -- yang beroperasi di Provinsi Riau -- melakukan land-clearing hutan

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : P.55/Menhut-II/2011 TENTANG TATA CARA PERMOHONAN IZIN USAHA PEMANFAATAN HASIL HUTAN KAYU PADA HUTAN TANAMAN RAKYAT DALAM HUTAN TANAMAN DENGAN RAHMAT

Lebih terperinci

PEMERINTAH KABUPATEN BULUKUMBA

PEMERINTAH KABUPATEN BULUKUMBA PEMERINTAH KABUPATEN BULUKUMBA PERATURAN DAERAH KABUPATEN BULUKUMBA NOMOR 4 TAHUN 2009 TENTANG HUTAN KEMASYARAKATAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BULUKUMBA, Menimbang : a. bahwa hutan disamping

Lebih terperinci

KEPUTUSAN MENTERI KEHUTANAN Nomor : 08.1/Kpts-II/2000 TENTANG KRITERIA DAN STANDAR PEMANFAATAN HASIL HUTAN DALAM HUTAN PRODUKSI SECARA LESTARI

KEPUTUSAN MENTERI KEHUTANAN Nomor : 08.1/Kpts-II/2000 TENTANG KRITERIA DAN STANDAR PEMANFAATAN HASIL HUTAN DALAM HUTAN PRODUKSI SECARA LESTARI KEPUTUSAN MENTERI KEHUTANAN Nomor : 08.1/Kpts-II/2000 TENTANG KRITERIA DAN STANDAR PEMANFAATAN HASIL HUTAN DALAM HUTAN PRODUKSI SECARA LESTARI MENTERI KEHUTANAN, Menimbang: a. bahwa berdasarkan Pasal 2

Lebih terperinci

PEMERINTAH KABUPATEN MUARO JAMBI

PEMERINTAH KABUPATEN MUARO JAMBI PEMERINTAH KABUPATEN MUARO JAMBI PERATURAN DAERAH KABUPATEN MUARO JAMBI NOMOR 19 TAHUN 2002 TENTANG IZIN USAHA PEMANFAATAN HASIL HUTAN KEMASYARAKATAN (IUPHHKM) DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI

Lebih terperinci

Penetapan Lokasi IUPHHK-RE di Tengah Arus Perubahan Kebijakan Perizinan. Hariadi Kartodihardjo 27 Maret 2014

Penetapan Lokasi IUPHHK-RE di Tengah Arus Perubahan Kebijakan Perizinan. Hariadi Kartodihardjo 27 Maret 2014 Penetapan Lokasi IUPHHK-RE di Tengah Arus Perubahan Kebijakan Perizinan Hariadi Kartodihardjo 27 Maret 2014 Kawasan Hutan Kws Htn Negara UU No 41/1999: Kawasan hutan = kawasan hutan tetap/ps1(3) = hutan

Lebih terperinci

KEBIJAKAN PENGELOLAAN HUTAN PRODUKSI OLEH DIREKTUR JENDERAL BUK SEMINAR RESTORASI EKOSISTEM DIPTEROKARPA DL RANGKA PENINGKATAN PRODUKTIFITAS HUTAN

KEBIJAKAN PENGELOLAAN HUTAN PRODUKSI OLEH DIREKTUR JENDERAL BUK SEMINAR RESTORASI EKOSISTEM DIPTEROKARPA DL RANGKA PENINGKATAN PRODUKTIFITAS HUTAN KEBIJAKAN PENGELOLAAN HUTAN PRODUKSI OLEH DIREKTUR JENDERAL BUK SEMINAR RESTORASI EKOSISTEM DIPTEROKARPA DL RANGKA PENINGKATAN PRODUKTIFITAS HUTAN SAMARINDA, 22 OKTOBER 2013 MATERI PRESENTASI I. AZAS DAN

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : P.39/Menhut-II/2013 TENTANG PEMBERDAYAAN MASYARAKAT SETEMPAT MELALUI KEMITRAAN KEHUTANAN

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : P.39/Menhut-II/2013 TENTANG PEMBERDAYAAN MASYARAKAT SETEMPAT MELALUI KEMITRAAN KEHUTANAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : P.39/Menhut-II/2013 TENTANG PEMBERDAYAAN MASYARAKAT SETEMPAT MELALUI KEMITRAAN KEHUTANAN DENGAN RAHMAT TUHAN

Lebih terperinci

RENCANA KERJA USAHA PEMANFAATAN PENYERAPAN DAN/ATAU PENYIMPANAN KARBON PADA HUTAN PRODUKSI

RENCANA KERJA USAHA PEMANFAATAN PENYERAPAN DAN/ATAU PENYIMPANAN KARBON PADA HUTAN PRODUKSI PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : P. 73/Menhut-II/2014 TENTANG RENCANA KERJA USAHA PEMANFAATAN PENYERAPAN DAN/ATAU PENYIMPANAN KARBON PADA HUTAN PRODUKSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA

Lebih terperinci

WALIKOTA KENDARI PERATURAN DAERAH KOTA KENDARI

WALIKOTA KENDARI PERATURAN DAERAH KOTA KENDARI WALIKOTA KENDARI PERATURAN DAERAH KOTA KENDARI NOMOR 9 TAHUN 2011 TENTANG PENYELENGGARAAN PENANAMAN MODAL DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA KENDARI Menimbang : a. bahwa dalam rangka meningkatkan

Lebih terperinci

BAB I. PENDAHULUAN A.

BAB I. PENDAHULUAN A. BAB I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Permasalahan pemanfaatan lahan antara masyarakat adat dan pemerintah merupakan hal yang tidak dapat dihindari. Salah satu kasus yang terjadi yakni penolakan Rancangan

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA Nomor : P. 58/Menhut-II/2009. Tentang

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA Nomor : P. 58/Menhut-II/2009. Tentang PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA Nomor : P. 58/Menhut-II/2009 Tentang PENGGANTIAN NILAI TEGAKAN DARI IZIN PEMANFAATAN KAYU DAN ATAU DARI PENYIAPAN LAHAN DALAM PEMBANGUNAN HUTAN TANAMAN DENGAN

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : P.39/Menhut-II/2013 TENTANG PEMBERDAYAAN MASYARAKAT SETEMPAT MELALUI KEMITRAAN KEHUTANAN

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : P.39/Menhut-II/2013 TENTANG PEMBERDAYAAN MASYARAKAT SETEMPAT MELALUI KEMITRAAN KEHUTANAN 1 PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : P.39/Menhut-II/2013 TENTANG PEMBERDAYAAN MASYARAKAT SETEMPAT MELALUI KEMITRAAN KEHUTANAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR : P. 13/Menhut-II/2009 TENTANG HUTAN TANAMAN HASIL REHABILITASI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR : P. 13/Menhut-II/2009 TENTANG HUTAN TANAMAN HASIL REHABILITASI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA 1 PERATURAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR : P. 13/Menhut-II/2009 TENTANG HUTAN TANAMAN HASIL REHABILITASI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KEHUTANAN, Menimbang : a. bahwa berdasarkan Pasal 42 ayat (8)

Lebih terperinci

MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA. KEPUTUSAN MENTERI KEHUTANAN Nomor : 33/Kpts-II/2003 TENTANG

MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA. KEPUTUSAN MENTERI KEHUTANAN Nomor : 33/Kpts-II/2003 TENTANG 1 MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA KEPUTUSAN MENTERI KEHUTANAN Nomor : 33/Kpts-II/2003 TENTANG TATA CARA PENYELESAIAN HAK PENGUSAHAAN HUTAN ALAM ATAU HAK PENGUSAHAAN HUTAN TANAMAN YANG TELAH MENDAPAT

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Hutan merupakan salah satu sumberdaya alam yang berkaitan

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Hutan merupakan salah satu sumberdaya alam yang berkaitan BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Hutan merupakan salah satu sumberdaya alam yang berkaitan dengan manusia di muka bumi. Hutan menjadi pemenuhan kebutuhan manusia dan memiliki fungsi sebagai penyangga

Lebih terperinci

PEMERINTAH KABUPATEN POSO

PEMERINTAH KABUPATEN POSO PEMERINTAH KABUPATEN POSO PERATURAN DAERAH KABUPATEN POSO NOMOR 35 TAHUN 2008 TENTANG PEMANFAATAN HUTAN DAN PEMUNGUTAN HASIL HUTAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI POSO, Menimbang : a. bahwa sumber

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : P. 46/Menhut-II/2009 TENTANG TATA CARA PEMBERIAN IZIN PEMUNGUTAN HASIL HUTAN KAYU ATAU HASIL HUTAN BUKAN KAYU PADA HUTAN PRODUKSI DENGAN RAHMAT TUHAN

Lebih terperinci

Resume Hasil Penilaian Kinerja PHPL PT. Barumun Raya Padang Langkat

Resume Hasil Penilaian Kinerja PHPL PT. Barumun Raya Padang Langkat Resume Hasil Penilaian Kinerja PHPL PT. Barumun Raya Padang Langkat I. Identitas LP-PHPL : a. Nama LP-PHPL : PT. Global Resource Sertifikasi b. No. Akreditasi KAN : LPPHPL-017-IDN c. Alamat Kantor : Komplek

Lebih terperinci

MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA

MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA KEPUTUSAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR : 365/Kpts-II/2003 TENTANG PEMBERIAN IZIN USAHA PEMANFAATAN HASIL HUTAN KAYU (IUPHHK) PADA HUTAN TANAMAN KEPADA PT. BUKIT BATU HUTANI

Lebih terperinci

PEDOMAN PELAKSANAAN SISTEM SILVIKULTUR TEBANG PILIH TANAM INDONESIA (TPTI)

PEDOMAN PELAKSANAAN SISTEM SILVIKULTUR TEBANG PILIH TANAM INDONESIA (TPTI) LAMPIRAN 1. PERATURAN DIREKTUR JENDERAL BINA PRODUKSI KEHUTANAN NOMOR : P.9/VI-BPHA/2009 TANGGAL : 21 Agustus 2009 PEDOMAN PELAKSANAAN SISTEM SILVIKULTUR TEBANG PILIH TANAM INDONESIA (TPTI) 1 PEDOMAN PELAKSANAAN

Lebih terperinci

Lampiran : Peraturan Direktur Jenderal Bina Produksi Kehutanan. Nomor : P.06/VI-SET/2005 Tanggal : 3 Agustus 2005

Lampiran : Peraturan Direktur Jenderal Bina Produksi Kehutanan. Nomor : P.06/VI-SET/2005 Tanggal : 3 Agustus 2005 Lampiran : Peraturan Direktur Jenderal Bina Produksi Kehutanan. Nomor : P.06/VI-SET/2005 Tanggal : 3 Agustus 2005 PETUNJUK TEKNIS PENILAIAN PENAWARAN DALAM PELELANGAN IZIN USAHA PEMANFAATAN HASIL HUTAN

Lebih terperinci

Pengantar Umum PEDOMAN PELAPORAN KEUANGAN IUPHHK-RE Berdasarkan P.32/Menhut-II/2014

Pengantar Umum PEDOMAN PELAPORAN KEUANGAN IUPHHK-RE Berdasarkan P.32/Menhut-II/2014 Pengantar Umum PEDOMAN PELAPORAN KEUANGAN IUPHHK-RE Berdasarkan P.32/Menhut-II/2014 Taufik Hidayat, SE, MM, CA Universitas Indonesia Agenda Pendahuluan Prinsip Perlakuan Akuntansi Aktivitas dalam IUPHHK-RE

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KABUPATEN TANJUNG JABUNG TIMUR

PERATURAN DAERAH KABUPATEN TANJUNG JABUNG TIMUR PERATURAN DAERAH KABUPATEN TANJUNG JABUNG TIMUR NOMOR 50 TAHUN 2001 T E N T A N G IZIN PEMANFAATAN HUTAN (IPH) DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI TANJUNG JABUNG TIMUR, Menimbang : a. bahwa dalam

Lebih terperinci

KONSEPSI HUTAN, PENGELOLAAN HUTAN DAN PENERAPANNYA DALAM PENGELOLAAN HUTAN ALAM PRODUKSI DI INDONESIA

KONSEPSI HUTAN, PENGELOLAAN HUTAN DAN PENERAPANNYA DALAM PENGELOLAAN HUTAN ALAM PRODUKSI DI INDONESIA Hadirin sekalian, penulis berpendapat, beberapa permasalahan besar di muka sangatlah penting untuk diperhatikan dalam pengelolaan hutan, akan tetapi pembahasan terhadap konsep-konsep dasar ilmu kehutanan

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : P.8/Menhut-II/2014

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : P.8/Menhut-II/2014 PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : P.8/Menhut-II/2014 TENTANG PEMBATASAN LUASAN IZIN USAHA PEMANFAATAN HASIL HUTAN KAYU (IUPHHK) DALAM HUTAN ALAM, IUPHHK HUTAN TANAMAN INDUSTRI ATAU

Lebih terperinci

STANDAR PENILAIAN KINERJA PENGELOLAAN HUTAN PRODUKSI LESTARI (PHPL) PADA PEMEGANG IUPHHK-RE

STANDAR PENILAIAN KINERJA PENGELOLAAN HUTAN PRODUKSI LESTARI (PHPL) PADA PEMEGANG IUPHHK-RE Lampiran 1.3. Peraturan Direktur Jenderal Bina Usaha Kehutanan Nomor : P.5/VI-BPPHH/2014 Tanggal : 14 Juli 2014 Tentang : Standar dan Pedoman Pelaksanaan Penilaian Kinerja Pengelolaan Hutan Produksi Lestari

Lebih terperinci

STANDAR PENILAIAN KINERJA PENGELOLAAN HUTAN PRODUKSI LESTARI (PHPL) PADA PEMEGANG IUPHHK-RE

STANDAR PENILAIAN KINERJA PENGELOLAAN HUTAN PRODUKSI LESTARI (PHPL) PADA PEMEGANG IUPHHK-RE Lampiran 1.3. Peraturan Direktur Jenderal Bina Usaha Kehutanan Nomor : P.5/VI-BPPHH/2014 Tanggal : 14 Juli 2014 Tentang : Standar dan Pedoman Pelaksanaan Penilaian Kinerja Pengelolaan Hutan Produksi Lestari

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KABUPATEN TANJUNG JABUNG TIMUR

PERATURAN DAERAH KABUPATEN TANJUNG JABUNG TIMUR PERATURAN DAERAH KABUPATEN TANJUNG JABUNG TIMUR NOMOR : 53 TAHUN 2001 T E N T A N G IJIN USAHA HUTAN TANAMAN (IHT) DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI TANJUNG JABUNG TIMUR, Menimbang : a. bahwa dalam

Lebih terperinci

Laporan Penelitian Implementasi Undang-Undang No. 18 Tahun 2013 dalam Penanggulangan Pembalakan Liar

Laporan Penelitian Implementasi Undang-Undang No. 18 Tahun 2013 dalam Penanggulangan Pembalakan Liar Laporan Penelitian Implementasi Undang-Undang No. 18 Tahun 2013 dalam Penanggulangan Pembalakan Liar Ketua : Marfuatul Latifah, S.H.I, L.LM Wakil Ketua : Sulasi Rongiyati, S.H., M.H. Sekretaris : Trias

Lebih terperinci

PEMERINTAH KABUPATEN KOTABARU

PEMERINTAH KABUPATEN KOTABARU PEMERINTAH KABUPATEN KOTABARU PERATURAN DAERAH KABUPATEN KOTABARU NOMOR 09 TAHUN 2010 TENTANG IZIN USAHA PERKEBUNAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI KOTABARU, Menimbang : a. bahwa dengan adanya

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR : P. 23/Menhut-II/2007

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR : P. 23/Menhut-II/2007 PERATURAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR : P. 23/Menhut-II/2007 TENTANG TATA CARA PERMOHONAN IZIN USAHA PEMANFAATAN HASIL HUTAN KAYU DALAM HUTAN TANAMAN RAKYAT DALAM HUTAN TANAMAN MENTERI KEHUTANAN MENIMBANG

Lebih terperinci

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.65, 2010 KEMENTERIAN KEHUTANAN. Koridor. Penggunaan. Pembuatan.

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.65, 2010 KEMENTERIAN KEHUTANAN. Koridor. Penggunaan. Pembuatan. BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.65, 2010 KEMENTERIAN KEHUTANAN. Koridor. Penggunaan. Pembuatan. PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR P.9/MENHUT-II/2010 TENTANG IZIN PEMBUATAN DAN PENGGUNAAN

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia memiliki potensi sumberdaya hutan yang tidak hanya memiliki keanekaragaman hayati tinggi namun juga memiliki peranan penting dalam perlindungan dan jasa lingkungan,

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 2007 TENTANG TATA HUTAN DAN PENYUSUNAN RENCANA PENGELOLAAN HUTAN, SERTA PEMANFAATAN HUTAN

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 2007 TENTANG TATA HUTAN DAN PENYUSUNAN RENCANA PENGELOLAAN HUTAN, SERTA PEMANFAATAN HUTAN PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 2007 TENTANG TATA HUTAN DAN PENYUSUNAN RENCANA PENGELOLAAN HUTAN, SERTA PEMANFAATAN HUTAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Lebih terperinci

MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA. KEPUTUSAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR : 397/Kpts-II/2005

MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA. KEPUTUSAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR : 397/Kpts-II/2005 MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA KEPUTUSAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR : 397/Kpts-II/2005 TENTANG PEMBERIAN IZIN USAHA PEMANFAATAN HASIL HUTAN KAYU PADA HUTAN ALAM KEPADA PT. MITRA PERDANA PALANGKA ATAS

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 2007 TENTANG TATA HUTAN DAN PENYUSUNAN RENCANA PENGELOLAAN HUTAN, SERTA PEMANFAATAN HUTAN

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 2007 TENTANG TATA HUTAN DAN PENYUSUNAN RENCANA PENGELOLAAN HUTAN, SERTA PEMANFAATAN HUTAN - 1 - PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 6 TAHUN 2007 TENTANG TATA HUTAN DAN PENYUSUNAN RENCANA PENGELOLAAN HUTAN, SERTA PEMANFAATAN HUTAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN, Menimbang : a. bahwa dalam

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KABUPATEN KARANGANYAR NOMOR 3 TAHUN 2013 TENTANG PENANAMAN MODAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI KARANGANYAR,

PERATURAN DAERAH KABUPATEN KARANGANYAR NOMOR 3 TAHUN 2013 TENTANG PENANAMAN MODAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI KARANGANYAR, PERATURAN DAERAH KABUPATEN KARANGANYAR NOMOR 3 TAHUN 2013 TENTANG PENANAMAN MODAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI KARANGANYAR, Menimbang : a. Bahwa dalam rangka meningkatkan perekonomian daerah

Lebih terperinci

FORMAT PROPOSAL TEKNIS PENAWARAN DALAM PELELANGAN IZIN USAHA PEMANFAATAN HASIL HUTAN KAYU (IUPHHK) PADA HUTAN ALAM

FORMAT PROPOSAL TEKNIS PENAWARAN DALAM PELELANGAN IZIN USAHA PEMANFAATAN HASIL HUTAN KAYU (IUPHHK) PADA HUTAN ALAM Lampiran : I Keputusan Direktur Jenderal Bina Produksi Kehutanan Nomor : 51/KPTS/VI-PHP/2003 Tanggal : 28 Oktober 2003 BENTUK DAN ISI A. Bentuk FORMAT PROPOSAL TEKNIS PENAWARAN DALAM PELELANGAN IZIN USAHA

Lebih terperinci

BAB IV. LANDASAN SPESIFIK SRAP REDD+ PROVINSI PAPUA

BAB IV. LANDASAN SPESIFIK SRAP REDD+ PROVINSI PAPUA BAB IV. LANDASAN SPESIFIK SRAP REDD+ PROVINSI PAPUA 4.1. Landasan Berfikir Pengembangan SRAP REDD+ Provinsi Papua Landasan berpikir untuk pengembangan Strategi dan Rencana Aksi (SRAP) REDD+ di Provinsi

Lebih terperinci

DAMPAK PENCABUTAN PSAK: AKUNTANSI KEHUTANAN PSAK 32

DAMPAK PENCABUTAN PSAK: AKUNTANSI KEHUTANAN PSAK 32 T O P I K U T A M A DAMPAK PENCABUTAN PSAK: AKUNTANSI KEHUTANAN PSAK 32 DWI MARTANI Ketua Departemen Akuntansi FEUI dan Anggota Tim Implementasi IFRS-IAI Abstrak Pencabutan PSAK memberikan dampak pada

Lebih terperinci

Keputusan Direktur Jenderal Bina Produksi Kehutanan Nomor : SK.04/VI-BRPHP/2004 Tanggal : 30 Januari 2004

Keputusan Direktur Jenderal Bina Produksi Kehutanan Nomor : SK.04/VI-BRPHP/2004 Tanggal : 30 Januari 2004 Lampiran 1 Keputusan Direktur Jenderal Bina Produksi Kehutanan mor : SK.04/VI-BRPHP/2004 Tanggal : 30 Januari 2004 KRITERIA PENILAIAN UJI KELAYAKAN PENAWARAN PELELANGAN IZIN USAHA PEMANFAATAN HASIL HUTAN

Lebih terperinci

STANDARD DAN PEDOMAN VERIFIKASI LEGALITAS KAYU DARI HUTAN NEGARA (IUPHHK-HA/HPH, IUPHHK- HTI/HPHTI, IUPHHK RE)

STANDARD DAN PEDOMAN VERIFIKASI LEGALITAS KAYU DARI HUTAN NEGARA (IUPHHK-HA/HPH, IUPHHK- HTI/HPHTI, IUPHHK RE) Lampiran 2 : Peraturan Direktur Jenderal Bina Produksi Kehutanan Nomor : P.6/VI-Set/2009 Tanggal : 15 Juni 2009 Tentang : Standard Dan Pedoman Penilaian Kinerja Pengelolaan Hutan Produksi Lestari Dan Verifikasi

Lebih terperinci

PEMERINTAH PROVINSI KALIMANTAN SELATAN PERATURAN DAERAH PROVINSI KALIMANTAN SELATAN NOMOR 10 TAHUN 2010 TENTANG

PEMERINTAH PROVINSI KALIMANTAN SELATAN PERATURAN DAERAH PROVINSI KALIMANTAN SELATAN NOMOR 10 TAHUN 2010 TENTANG PEMERINTAH PROVINSI KALIMANTAN SELATAN PERATURAN DAERAH PROVINSI KALIMANTAN SELATAN NOMOR 10 TAHUN 2010 TENTANG FASILITASI PENANAMAN MODAL DI PROVINSI KALIMANTAN SELATAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 34 TAHUN 2002 TENTANG

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 34 TAHUN 2002 TENTANG PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 34 TAHUN 2002 TENTANG TATA HUTAN DAN PENYUSUNAN RENCANA PENGELOLAAN HUTAN, PEMANFAATAN HUTAN DAN PENGGUNAAN KAWASAN HUTAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Menimbang

Lebih terperinci

STANDARD DAN PEDOMAN VERIFIKASI LEGALITAS KAYU DARI HUTAN NEGARA YANG DIKELOLA OLEH MASYARAKAT (IUPHHK-HTR, IUPHHK-HKM)

STANDARD DAN PEDOMAN VERIFIKASI LEGALITAS KAYU DARI HUTAN NEGARA YANG DIKELOLA OLEH MASYARAKAT (IUPHHK-HTR, IUPHHK-HKM) Lampiran 3 : Peraturan Direktur Jenderal Bina Produksi Kehutanan Nomor : P.6/VI-Set/2009 Tanggal : 15 Juni 2009 Tentang : Standard Dan Pedoman Penilaian Kinerja Pengelolaan Hutan Produksi Lestari Dan Verifikasi

Lebih terperinci

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

V. HASIL DAN PEMBAHASAN V. HASIL DAN PEMBAHASAN Pengaturan hasil saat ini yang berlaku pada pengelolaan hutan alam produksi di Indonesia menggunakan sistem silvikultur yang diterapkan pada IUPHHK Hutan Produksi dalam P.11/Menhut-II/2009.

Lebih terperinci

REVITALISASI KEHUTANAN

REVITALISASI KEHUTANAN REVITALISASI KEHUTANAN I. PENDAHULUAN 1. Berdasarkan Peraturan Presiden (PERPRES) Nomor 7 Tahun 2005 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) Nasional Tahun 2004-2009 ditegaskan bahwa RPJM merupakan

Lebih terperinci

KEPUTUSAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR : SK.169/MENHUT-II/2005 TENTANG

KEPUTUSAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR : SK.169/MENHUT-II/2005 TENTANG MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA KEPUTUSAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR : SK.169/MENHUT-II/2005 TENTANG PEMBERIAN IZIN USAHA PEMANFAATAN HASIL HUTAN KAYU (IUPHHK) PADA HUTAN TANAMAN KEPADA PT. KELAWIT WANALESTARI

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. tindak pidana. Moeljatno menyatakan bahwa orang tidak mungkin dipertanggungjawabkan

II. TINJAUAN PUSTAKA. tindak pidana. Moeljatno menyatakan bahwa orang tidak mungkin dipertanggungjawabkan II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian Pertanggungjawaban Pidana Pertangggungjawaban pidana hanya dapat terjadi jika sebelumnya seseorang telah melakukan tindak pidana. Moeljatno menyatakan bahwa orang tidak

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA Nomor : P.9/Menhut-II/2010 TENTANG IZIN PEMBUATAN DAN PENGGUNAAN KORIDOR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang:

Lebih terperinci

HUTAN KEMASYARAKATAN (HKm) Oleh Agus Budhi Prasetyo

HUTAN KEMASYARAKATAN (HKm) Oleh Agus Budhi Prasetyo HUTAN KEMASYARAKATAN (HKm) Oleh Agus Budhi Prasetyo Hutan Kemasyarakatan (HKm) menjadi salah satu kebijakan yang dikeluarkan oleh Kementerian Kehutanan untuk menekan laju deforestasi di Indonesia dengan

Lebih terperinci

GUBERNUR KALIMANTAN TENGAH

GUBERNUR KALIMANTAN TENGAH SALINAN GUBERNUR KALIMANTAN TENGAH PERATURAN GUBERNUR KALIMANTAN TENGAH NOMOR 41 TAHUN 2014 T E N T A N G PENGELOLAAN KAWASAN BERNILAI KONSERVASI TINGGI DALAM USAHA PERKEBUNAN DI PROVINSI KALIMANTAN TENGAH

Lebih terperinci

2017, No kelestarian keanekaragaman hayati, pengaturan air, sebagai penyimpan cadangan karbon, penghasil oksigen tetap terjaga; c. bahwa revisi

2017, No kelestarian keanekaragaman hayati, pengaturan air, sebagai penyimpan cadangan karbon, penghasil oksigen tetap terjaga; c. bahwa revisi BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.900, 2017 KEMEN-LHK. Perlindungan dan Pengelolaan Ekosistem Gambut. Fasilitasi Pemerintah. PERATURAN MENTERI LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR

Lebih terperinci

NCA N LEMBARAN DAERAH KABUPATEN SUMEDANG NOMOR 12 TAHUN 2009 PERATURAN DAERAH KABUPATEN SUMEDANG NOMOR 11 TAHUN 2009 TENTANG

NCA N LEMBARAN DAERAH KABUPATEN SUMEDANG NOMOR 12 TAHUN 2009 PERATURAN DAERAH KABUPATEN SUMEDANG NOMOR 11 TAHUN 2009 TENTANG NCA N LEMBARAN DAERAH KABUPATEN SUMEDANG NOMOR 12 TAHUN 2009 PERATURAN DAERAH KABUPATEN SUMEDANG NOMOR 11 TAHUN 2009 TENTANG PENYELENGGARAAN PENANAMAN MODAL DI KABUPATEN SUMEDANG BAGIAN HUKUM SEKRETARIAT

Lebih terperinci

Kenapa Perlu Menggunakan Sistem Tebang Pilih Tanam Jalur (TPTJ) Teknik Silvikultur Intensif (Silin) pada IUPHHK HA /HPH. Oleh : PT.

Kenapa Perlu Menggunakan Sistem Tebang Pilih Tanam Jalur (TPTJ) Teknik Silvikultur Intensif (Silin) pada IUPHHK HA /HPH. Oleh : PT. Kenapa Perlu Menggunakan Sistem Tebang Pilih Tanam Jalur (TPTJ) Teknik Silvikultur Intensif (Silin) pada IUPHHK HA /HPH Oleh : PT. Sari Bumi Kusuma PERKEMBANGAN HPH NASIONAL *) HPH aktif : 69 % 62% 55%

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 2007 TENTANG TATA HUTAN DAN PENYUSUNAN RENCANA PENGELOLAAN HUTAN, SERTA PEMANFAATAN HUTAN

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 2007 TENTANG TATA HUTAN DAN PENYUSUNAN RENCANA PENGELOLAAN HUTAN, SERTA PEMANFAATAN HUTAN PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 2007 TENTANG TATA HUTAN DAN PENYUSUNAN RENCANA PENGELOLAAN HUTAN, SERTA PEMANFAATAN HUTAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR 03 TAHUN 2005 TENTANG

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR 03 TAHUN 2005 TENTANG PERATURAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR 03 TAHUN 2005 TENTANG PEDOMAN VERIFIKASI IZIN USAHA PEMANFAATAN HASIL HUTAN KAYU PADA HUTAN ALAM DAN ATAU PADA HUTAN TANAMAN YANG DITERBITKAN OLEH GUBERNUR ATAU BUPATI/WALIKOTA

Lebih terperinci

SERBA SERBI HUTAN DESA (HD)

SERBA SERBI HUTAN DESA (HD) SERBA SERBI HUTAN DESA (HD) Oleh Agus Budhi Prasetyo, S.Si.,M.Si. Dalam Renstra 2010-2014, Kemenhut merencanakan hutan kemasyarakatan seluas 2 juta ha dan hutan desa seluas 500.000 ha. Dari areal yang

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA Nomor : P. 17/Menhut-II/2010 TENTANG PERMOHONAN, PEMBERIAN, DAN PENCABUTAN IZIN PENGUSAHAAN TAMAN BURU

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA Nomor : P. 17/Menhut-II/2010 TENTANG PERMOHONAN, PEMBERIAN, DAN PENCABUTAN IZIN PENGUSAHAAN TAMAN BURU PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA Nomor : P. 17/Menhut-II/2010 TENTANG PERMOHONAN, PEMBERIAN, DAN PENCABUTAN IZIN PENGUSAHAAN TAMAN BURU DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KEHUTANAN

Lebih terperinci

PENUNJUK UNDANG-UNDANG PENANAMAN MODAL

PENUNJUK UNDANG-UNDANG PENANAMAN MODAL PENUNJUK UNDANG-UNDANG PENANAMAN MODAL 1 tahun ~ pemberian izin masuk kembali bagi pemegang izin tinggal terbatas pemberian izin masuk kembali untuk beberapa kali perjalanan bagi pemegang izin tinggal

Lebih terperinci