PERKEMBANGAN GAMET KARANG LUNAK Sinularia dura HASIL TRANSPLANTASI DI PULAU PRAMUKA, KEPULAUAN SERIBU, DKI JAKARTA

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "PERKEMBANGAN GAMET KARANG LUNAK Sinularia dura HASIL TRANSPLANTASI DI PULAU PRAMUKA, KEPULAUAN SERIBU, DKI JAKARTA"

Transkripsi

1 PERKEMBANGAN GAMET KARANG LUNAK Sinularia dura HASIL TRANSPLANTASI DI PULAU PRAMUKA, KEPULAUAN SERIBU, DKI JAKARTA Oleh: Edy Setyawan C PROGRAM STUDI ILMU DAN TEKNOLOGI KELAUTAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2008

2 PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa Skripsi yang berjudul: PERKEMBANGAN GAMET KARANG LUNAK Sinularia dura HASIL TRANSPLANTASI DI PULAU PRAMUKA, KEPULAUAN SERIBU, DKI JAKARTA adalah benar merupakan hasil karya sendiri dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Semua sumber data dan informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka dibagian akhir Skripsi ini. Bogor, Oktober 2008 Edy Setyawan C

3 RINGKASAN EDY SETYAWAN. Perkembangan Gamet Karang Lunak Sinularia dura Hasil Transplantasi di Pulau Pramuka, Kepulauan Seribu, DKI Jakarta. Dibimbing oleh MUJIZAT KAWAROE dan ADI WINARTO. Pemanfaatan karang lunak untuk memperoleh senyawa bioaktif saat ini dilakukan dengan mengambil langsung dari alam dikhawatirkan akan menimbulkan penurunan populasi karang lunak dan kerusakan di ekosistem terumbu karang. Salah satu pendekatan yang dilakukan untuk budidaya karang lunak adalah metode transplantasi dengan fragmentasi buatan. Namun, pengaruh transplantasi ini terhadap reproduksi seksual karang lunak belum diketahui sehingga penelitian mengenai pengaruh transplantasi terhadap reproduksi seksualnya perlu dilakukan. Tujuan penelitian ini adalah mengkaji seksualitas karang lunak Sinularia dura, mengkaji kemampuan dan perkembangan reproduksi karang lunak Sinularia dura hasil transplantasi, mengkaji perkembangan oosit terhadap fase bulan Qomariyah pada karang lunak Sinularia dura hasil transplantasi dan non transplantasi, mengkaji densitas dan ukuran gamet karang lunak Sinularia dura hasil transplantasi dan non transplantasi, serta mengkaji pengaruh transplantasi dan kedalaman lokasi transplantasi terhadap reproduksi karang lunak Sinularia dura. Pengambilan sampel dilakukan secara acak dengan memotong cabang pada koloni karang lunak. Total populasi cabang koloni yang diambil sebanyak 79 cabang terdiri dari cabang koloni karang lunak hasil transplantasi sebanyak 24 cabang untuk kedalaman 3 m, 31 cabang untuk kedalaman 10 m, dan 24 cabang dari satu koloni karang lunak non transplantasi. Sampel digunakan untuk mengevaluasi gamet pada karang lunak non transplantasi dan hasil transplantasi kedalaman 3 dan 10 m. Pengambilan sampel dilakukan saat umur transplantasi mencapai 2 dan 6 bulan berdasarkan fase bulan Qomariah. Pembuatan preparat histologis dilakukan dengan metode parafin dengan cara memotong jaringan karang lunak setebal ±5µm dan mewarnainya dengan pewarna ganda Hematoksilin Eosin (Kiernan, 1990 dan Gunarso, 1989). Hasil pengamatan terhadap 79 cabang koloni karang lunak yang diambil menunjukkan 70 cabang koloni teridentifikasi mengandung gamet betina, 1 cabang koloni mengandung gamet jantan, dan 8 cabang koloni tidak ditemukan gamet jantan maupun betina. Terpisahnya gamet betina dan jantan pada cabang koloni yang berbeda menunjukkan bahwa tipe seksualitas karang lunak Sinularia dura adalah gonokhorik. Pengamatan pada setiap fase bulan Qomariyah menunjukkan fluktuasi tahap perkembangan oosit yang mengindikasikan bahwa oosit tersebut berkembang pada setiap fase bulan Qomariyah. Karang lunak Sinularia dura hasil transplantasi sudah mampu melakukan reproduksi pada umur 2 bulan setelah transplantasi dengan menghasilkan oosit yang mampu berkembang dan dengan densitas yang lebih tinggi dari karang lunak non transplantasi. Penggunaan metode transplantasi pada kedalaman 3 dan 10 m menunjukkan pola perkembangan yang tidak berbeda nyata sehingga metode ini dapat dijadikan sebagai salah satu alternatif yang prospektif untuk pengembangan budidaya karang lunak dan secara ekonomis penggunaan metode ini bisa dilakukan pada kedalaman 3 m.

4 PERKEMBANGAN GAMET KARANG LUNAK Sinularia dura HASIL TRANSPLANTASI DI PULAU PRAMUKA, KEPULAUAN SERIBU, DKI JAKARTA Skripsi Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Perikanan pada Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Institut Pertanian Bogor Oleh: Edy Setyawan C PROGRAM STUDI ILMU DAN TEKNOLOGI KELAUTAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2008

5 Hak cipta milik Edy Setyawan, tahun 2008 Hak cipta dilindungi Dilarang mengutip dan memperbanyak tanpa izin tertulis dari Institut Pertanian Bogor, sebagian atau seluruhnya dalam bentuk apapun, baik cetak, fotokopi, microfilm, dan sebagainya

6 Judul Nama NRP : PERKEMBANGAN GAMET KARANG LUNAK Sinularia dura HASIL TRANSPLANTASI DI PULAU PRAMUKA, KEPULAUAN SERIBU, DKI JAKARTA : Edy Setyawan : C Menyetujui, Pembimbing I Pembimbing II Ir. Mujizat Kawaroe, M.Si NIP Drh. Adi Winarto, Ph.D NIP Mengetahui, Dekan Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Prof. Dr. Ir. Indra Jaya, M.Sc NIP Tanggal lulus: 17 Oktober 2008

7 KATA PENGANTAR Penulis mengucapkan puji syukur pada Allah SWT atas segala rahmat dan hidayah-nya sehingga skripsi berjudul Perkembangan Gamet Karang Lunak Sinularia dura Hasil Transplantasi di Pulau Pramuka, Kepulauan Seribu, DKI Jakarta dapat terselesaikan dengan baik. Pada kesempatan ini, penulis ingin menyampaikan ucapan terima kasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya kepada: 1. Ir. Mujizat Kawaroe, M.Si dan Drh. Adi Winarto, Ph.D selaku Dosen Pembimbing yang telah memberikan banyak pengetahuan, bimbingan, dan arahan selama proses penelitian dan penulisan skripsi. 2. Tim Hibah Bersaing yang telah memberikan kesempatan untuk turut serta dalam kegiatan penelitian. 3. Orang tua dan kakak tercinta, Yayuk Sri Rahayu, Aryanto Giri Saputro serta keponakan (Fadhillah) atas doa dan semangat yang diberikan. 4. Pak Maman, Dahlia Wulansari, dan Wini Wardani yang telah memberikan banyak bantuan dalam proses penelitian selama di Laboratorium Histologi. 5. Prof. Dr. Ir. Dedi Soedharma, DEA dan Dr. Ir. Sri Pujiyati, M.Si atas kesediaan untuk menguji dalam Ujian Skripsi dan memberikan masukan untuk penulisan skripsi. 6. Yean Paramita Nitajohan, S.Pi atas bantuan, dukungan, semangat, dan doa selama proses penelitian hingga penulisan skripsi. 7. Teman-teman ITK 41 dan Suciadi Catur Nugroho yang telah banyak membantu dalam penelitian di lapangan. 8. Fisheries Diving Club (FDC) dan rekan-rekan di FDC. 9. Semua pihak yang telah membantu terselesaikannya penelitian dan penulisan skripsi ini. Semoga tulisan ini dapat memberikan manfaat bagi semua pihak. Bogor, Oktober 2008 Edy Setyawan

8 DAFTAR ISI Halaman DAFTAR TABEL... x DAFTAR GAMBAR... xi DAFTAR LAMPIRAN... xiii I. PENDAHULUAN Latar belakang Tujuan Manfaat Hipotesis... 3 II. TINJAUAN PUSTAKA Sistematika karang lunak Morfologi karang lunak Reproduksi karang lunak Reproduksi aseksual Reproduksi seksual Gametogenesis Oogenesis Spermatogenesis Pemijahan dan fertilisasi Faktor yang mempengaruhi reproduksi karang lunak (Octocorallia) Faktor internal Ukuran dan umur koloni Faktor eksternal Ketersediaan makanan Fase bulan Suhu perairan Intensitas cahaya Habitat III. BAHAN DAN METODE Waktu dan lokasi penelitian Alat dan bahan Metode kerja Pengambilan bibit karang lunak Transplantasi karang lunak dengan fragmentasi Pengambilan sampel karang lunak Pembuatan preparat histologis Pengamatan mikroskopis Pengukuran parameter lingkungan Analisis data Analisis deskriptif... 23

9 Analisis ragam IV. HASIL DAN PEMBAHASAN Kondisi lingkungan stasiun penelitian Pengamatan mikroskopis terhadap karang lunak Sinularia dura Gametogenesis dan ukuran gamet karang lunak Sinularia dura Oogenesis dan ukuran gamet betina Spermatogenesis Cabang koloni subur karang lunak Sinularia dura Pola reproduksi karang lunak Sinularia dura Komposisi tahap perkembangan oosit pada setiap fase bulan Qomariyah Pengaruh fase bulan pada reproduksi karang lunak Sinularia dura Pengaruh transplantasi karang lunak terhadap reproduksi seksualnya Pengaruh kedalaman lokasi transplantasi pada reproduksi karang Lunak Sinularia dura V. KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Saran DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN DAFTAR RIWAYAT HIDUP... 63

10 DAFTAR TABEL Halaman 1. Alat dan bahan yang digunakan pada saat penelitian Parameter fisika-kimia perairan yang diukur Hasil pengukuran parameter fisika dan kimia di stasiun penelitian Ukuran diameter oosit pada setiap tahap perkembangan Jumlah cabang koloni betina yang memiliki oosit di dalamnya pada setiap fase bulan Qomariyah... 36

11 DAFTAR GAMBAR Halaman 1. Penampang vertikal polip karang lunak (Bayer, 1956) Penampang vertikal autozooid (Fabricius dan Alderslade, 2001) Hasil potongan histologis polip karang lunak Heteroxenia fuscescens (Achituv dan Benayahu, 1990) Peta perairan Pulau Pramuka sebagai lokasi penelitian Bibit karang lunak (Sinularia dura) yang akan ditransplantasi Rak transplantasi dengan jaring Ilustrasi penempelan karang lunak pada substrat Oogenesis karang lunak Sinularia dura (O1) Oogenesis karang lunak Sinularia dura (O2) Oogenesis karang lunak Sinularia dura (O3) Oogenesis karang lunak Sinularia dura (O4) Oogenesis karang lunak Sinularia dura (O5) Gamet jantan karang lunak Sinularia dura Komposisi tingkat perkembangan oosit pada karang lunak non transplantasi Komposisi tingkat perkembangan oosit pada karang lunak hasil transplantasi Rata-rata densitas oosit pada setiap fase bulan Qomariyah pada umur 2 bulan setelah transplantasi Rata-rata densitas oosit pada setiap fase bulan Qomariyah pada umur 6 bulan setelah transplantasi Rata-rata densitas oosit pada karang lunak non transplantasi dan hasil transplantasi umur 2 bulan setelah transplantasi... 43

12 19. Rata-rata densitas oosit pada karang lunak non transplantasi dan hasil transplantasi umur 6 bulan setelah transplantasi Rata-rata densitas oosit pada kedalaman 3 dan 10 m umur 2 bulan setelah transplantasi Rata-rata densitas oosit pada kedalaman 3 dan 10 m umur 6 bulan setelah transplantasi... 46

13 DAFTAR LAMPIRAN Halaman 1. Metode pembuatan preparat histologis Baku mutu kualitas air laut untuk biota laut Ukuran diameter oosit berdasarkan setiap tahap perkembangannya Rata-rata densitas oosit pada setiap fase bulan Qomariyah Tabel hasil analisis ragam (two factor without replication)... 62

14 I. PENDAHULUAN 1.1. Latar belakang Karang lunak (soft coral) sebagai salah satu penyusun ekosistem terumbu karang merupakan salah satu jenis dari coelenterata yang biasa disebut dengan istilah alcyonaria. Berbeda dengan karang batu, tubuh karang lunak disokong oleh sejumlah duri-duri yang kokoh yang disebut dengan spikula. Duri-duri tersebut mengandung kalsium karbonat, berukuran kecil dan tersusun sedemikian rupa sehingga tubuh alcyonaria lentur dan tidak mudah putus (Manuputty, 2002). Kajian mengenai karang lunak telah banyak dilakukan termasuk kandungan kimia yang terkandung di dalam tubuhnya. Karang lunak mengandung senyawa terpen yang dapat dimanfaatkan untuk bidang farmasi sebagai antibiotika, anti jamur dan senyawa anti tumor. Menurut Rachmaniar (1999) Konsep Program Nasional Bioteknologi Kelautan disebutkan bahwa kebijakan penelitian bahan alam laut di Indonesia dibagi atas dua bagian utama. Bidang tersebut meliputi: (1) pencarian sumber-sumber metabolit untuk dimanfaatkan sebagai bahan makanan, dan (2) pencarian substansi bioaktif yang berkhasiat sebagai makanan kesehatan dan obat-obatan. Pemanfaatan karang lunak untuk memperoleh senyawa bioaktif saat ini dilakukan dengan mengambil langsung dari alam dan dikhawatirkan akan menimbulkan penurunan populasi karang lunak dan kerusakan ekosistem. Saat ini, upaya untuk pengembangan budidaya karang lunak masih belum banyak dilakukan. Salah satu pendekatan yang dilakukan untuk budidaya karang lunak adalah metode transplantasi dengan fragmentasi buatan. Untuk itu dilakukan budidaya karang lunak Sinularia dura dengan metode transplantasi. Namun,

15 pengaruh transplantasi ini terhadap reproduksi seksual karang lunak Sinularia dura belum diketahui sehingga penelitian mengenai pengaruh transplantasi terhadap reproduksi seksualnya perlu dilakukan Tujuan Tujuan penelitian ini adalah: a. Mengkaji pola reproduksi (seksualitas) karang lunak Sinularia dura b. Mengkaji kemampuan dan perkembangan reproduksi karang lunak Sinularia dura hasil transplantasi c. Mengkaji perkembangan oosit terhadap fase bulan Qomariyah pada karang lunak hasil transplantasi dan non transplantasi d. Mengkaji densitas dan ukuran gamet karang lunak Sinularia dura hasil transplantasi dan non transplantasi e. Mengkaji pengaruh transplantasi dan kedalaman lokasi transplantasi terhadap reproduksi karang lunak Sinularia dura 1.3. Manfaat Manfaat yang bisa diberikan dari penelitian ini, antara lain: a. Menyediakan bibit untuk transplantasi karang lunak b. Menyediakan data reproduksi seksual karang lunak Sinularia dura non transplantasi dan hasil transplantasi c. Menyediakan bahan dasar untuk memperoleh senyawa bioaktif d. Menjaga kelangsungan proses pelestarian populasi karang lunak dalam ekosistem terumbu karang

16 1.4. Hipotesis Hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini adalah fase bulan Qomariyah dan kedalaman lokasi transplantasi mempengaruhi perkembangan reproduksi karang lunak Sinularia dura hasil transplantasi.

17 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Sistematika karang lunak Seperti halnya karang batu, karang lunak termasuk filum Coelenterata, kelas Anthozoa yaitu hewan yang bentuknya memiliki polip. Kelas Anthozoa dibagi dalam dua sub-kelas yaitu subkelas Hexacorallia atau Scleractinia dan sub-kelas Octocorallia atau Alcyonaria. Karang lunak termasuk dalam sub-kelas Alcyonaria. Sub-kelas Alcyonaria dibagi dalam enam ordo dan salah satu diantaranya ordo Alcyonacea yang merupakan karang lunak yang sebenarnya (Manuputty, 2002). Filum : Coelenterata/Cnidaria Kelas : Anthozoa Sub-Kelas : Octocorallia (Alcyonaria) Ordo : Alcyonacea Sub ordo : Alcyoniina Famili : Alcyoniidae Genus : Sinularia Spesies : Sinularia dura (Pratt, 1903 in Manuputty, 2002) 2.2. Morfologi karang lunak Tubuh koloni koloni karang lunak memiliki struktur yang lunak tapi lentur, mempunyai tangkai yang melekat pada substrat yang keras terutama karang mati. Bagian atas tangkai disebut kapitulum, bentuknya bervariasi antara lain seperti jamur, bentuk lobus atau bercabang-cabang. Kapitulum mengandung polip

18 sehingga disebut bagian fertil sedangkan tangkainya lebih banyak mengandung spikula yaitu duri-duri kecil dari karbonat kalsium sehingga disebut bagian steril. Spikula yang terdiri dari kandungan karbonat kalsium yang padat dan keras berfungsi sebagai penyokong seluruh bagian tubuh karang lunak mulai dari bagian basal tempat melekat sampai ke ujung tentakel (Manuputty, 2002). Polip pada karang lunak dapat dibagi menjadi dua berdasarkan kesuburannya, yaitu polip autozooid (polip fertil/subur) dan siphonozooid (polip steril). Polip autozooid sendiri terdiri dari tiga bagian besar yaitu antokodia, kaliks dan antostela (Gambar 1). Gambar 1. Penampang vertikal polip karang lunak (Bayer, 1956)

19 Antokodia merupakan bagian yang terdapat di permukaan polip dan bersifat retraktil, yaitu dapat ditarik masuk ke dalam jaringan tubuh. Apabila antokodia ditarik ke dalam, maka yang nampak dari atas adalah pori-pori kecil seperti bintang. Bangunan luar dari pori-pori inilah yang disebut kaliks. Keterangan : 1. Farinks 2. Sifonoglifa 3. Septa 4. Otot penggerak septa 5. Serat mesenteri transversal 6. Epidermis 7. Mesoglea 8. Solenia 9. Mesenteri asulkal 10. Gastrodermis 11. Gonad 12. Filamen mesenteri Gambar 2. Penampang vertikal autozooid (Fabricius dan Alderslade, 2001) Walaupun penyusun tubuh karang lunak dan karang keras sama berupa kerangka kapur, tubuh karang lunak lebih lunak dan kenyal. Hal ini disebabkan karang lunak tidak memiliki kerangka kapur luar yang keras seperti halnya karang batu. Sebagai gantinya, karang lunak ditunjang oleh tangkai berupa jaringan berdaging yang diperkuat oleh suatu matriks dari suatu partikel kapur yang disebut dengan sklerit (Allen dan Steene, 1994 in Sandy, 2000). Kerangka kapur yang seperti itu disebut dengan endoskeleton yang membuat karang lunak akan membusuk jika mati. Untuk memastikan bahwa spesimen tersebut adalah karang

20 lunak adalah dengan melihat tentakelnya yang selalu berjumlah delapan dan berduri. Oleh karena itu, karang lunak dikenal dengan sebutan octocoral. Kerangka kapur yang menyusun tubuh karang lunak terdiri dari kandungan kalsium karbonat yang padat dan keras. Kerangka tersebut disebut dengan spikula yang berfungsi sebagai penyokong seluruh bagian tubuh karang lunak mulai dari bagian basal tempat melekat sampai ke ujung tentakel. Umumnya spikula pada bagian basal tentakel dan pada dinding tubuh di antara septa tersebar kurang merata. Di bagian bawah antokodia, sebaran spikula merata dan tersusun dalam jumlah besar sehingga memberi kesan lebih kokoh dan tidak lentur. Susunan, bentuk dan ukuran, bahkan warna spikula sangat penting untuk mengidentifikasi jenis (Manuputty, 2002). Bentuk dasar spikula bagi bangsa Octocorallia ialah kumparan sederhana (spindle), ujungnya tumpul atau runcing, dengan permukaan mempunyai tonjolantonjolan, tetapi kadang-kadang permukaan ini licin. Pada beberapa bangsa (ordo) permukaan kumparan mengandung duri-duri. Bila kumparan agak memanjang, pipih dan tajam, disebut bentuk jarum. Bila pendek, licin dan kedua ujungnya tumpul, disebut bentuk kumparan. Beberapa modifikasi dari bentuk dasar tadi dapat menjadi bentuk seperti sisik (club), atau seperti tongkat dengan salah satu ujungnya menebal, bentuk tanduk, balon, cakram dan sebagainya. Spikula tidak saling berlekatan satu dengan lainnya tetapi terpisah-pisah. Bentuk spikula dari suku Xeniidae kecil-kecil seperti cakram, tipis dan lonjong sedangkan pada suku lain pada umumnya juga berbentuk kumparan. Lebih khusus, spikula yang bentuknya seperti kumparan atau jarum tebal yang berukuran besar, dengan kedua ujung yang runcing atau agak runcing biasa

21 disebut sklerit. Sklerit berasal dari kata skleros yang berarti keras. Umumnya dijumpai pada bagian basal atau tangkai terutama di jaringan koenensim sebelah dalam (internal). Sklerit yang berbentuk kumparan memiliki tonjolan-tonjolan (tuberculum) yang tersusun rapi dan mencirikan masing-masing jenis. Manuputty (1996) menjelaskan bahwa koloni Octocoralia memiliki warna yang indah yang dihasilkan oleh alga zooxanthellae yang hidup di dalam jaringan tubuh karang lunak. Alga ini menghasilkan pigmen berwarna coklat, kuning, hijau, dan sebagainya Reproduksi karang lunak Reproduksi aseksual Pada habitat alami, reproduksi aseksual merupakan mekanisme penting dalam meningkatkan jumlah individu dalam suatu koloni. Reproduksi ini dilakukan dengan cara pertumbuhan koloni, fragmentasi, tunas, pembelahan melintang, dan pencabikan pedal (Sprung dan Delbeek, 1997 in Sandy, 2000). a. Fragmentasi, penempelan fragmen buatan akan berhasil dengan baik bila kondisi lingkungan pun optimal dan substrat dasarnya pun baik. Karang lunak yang paling mudah diperbanyak adalah genus dari Sarcophyton, Sinularia, Xenia, dan Anthelia. Fragmentasi dapat juga terjadi karena adanya predator dan gangguan alam seperti badai. Serangan dari cacing, siput, dan ikan pada Sarcophyton dapat merusak koloni. Namun, penggunaan fragmentasi mampu menghasilkan sejumlah keturunan dari sisa jaringan. b. Pembentukan tunas, biasa terjadi pada karang lunak masif seperti Sarcophyton di bagian dekat dasar tangkai atau pada bagian pinggir kapitulum. Jika pertunasan terjadi pada koloni yang masih kecil, maka anak

22 dan induk akan tumbuh bersama-sama untuk membentuk koloni bertangkai banyak. Bila koloni induk yang bertunas sudah berukuran besar maka tunas yang tumbuh akan tetap kerdil karena terhalang oleh koloni induk. c. Pembelahan melintang, terjadi pada Xenia spp, dimana pembelahan diawali dengan terpisahnya tangkai mulai dari dasar terus memanjang ke arah vertikal diantara dua cabang terbesar, hingga akhirnya dapat menghasilkan dua koloni berukuran sama. Proses ini memakan waktu beberapa bulan untuk sampai benar-benar terpisah. Namun untuk Xenia spp hanya membutuhkan waktu satu minggu saja. d. Pencabikan pedal (pedal laceration), koloni benar-benar bergerak melintasi substrat mengikuti jaringan bagian basalnya. Selanjutnya, jaringan ini dapat terus menempel atau menjadi terlepas dan menjadi individu baru Reproduksi seksual Seksualitas karang lunak (alcyonacea) dapat dikelompokkan menjadi dua yaitu hermaprodit dan gonokhorik (Hwang dan Song, 2007; Simpson, 2008). a. Hermaprodit, yaitu koloni atau polip karang lunak yang mampu menghasilkan gamet jantan dan betina selama hidupnya. Tipe hermaprodit ditemukan pada Alcyonium dan Xenia. b. Gonokhorik, merupakan tipe paling umum pada karang lunak. Polip atau koloni karang lunak gonokhorik hanya menghasilkan gamet jantan atau betina saja selama hidupnya. Tipe hermaprodit dapat ditemukan pada Anthelia, Sinularia, Sarcophyton, Lobophytum, Cladiella, Dendronephthya, dan sebagainya.

23 Gametogenesis Gametogenesis pada umumnya terjadi pada polip autozooid yang memiliki alat kelamin atau gonad. Simpson (2008) menjelaskan bahwa secara umum, baik pada polip betina atau jantan, gamet berkembang di sepanjang non asulkal mesenteri dan seringkali ditemukan pada bagian dasar polip karang lunak. Gambar 3 memperlihatkan gamet yang berada di dalam rongga polip. Gambar 3. Hasil potongan histologis polip karang lunak Heteroxenia fuscescens (Achituv dan Benayahu, 1990). Keterangan: (rg) Rongga gastrovaskular, (ms) Mesenteri, (m) Mesoglea, (o) Gamet betina (oosit), (s) Gamet jantan. Gamet berasal dari gastrodermis dan akan melekat pada mesenteri dengan bantuan tangkai pedikel pada awal masa perkembangannya. Selama proses perkembangan, gamet seringkali dibungkus oleh lapisan folikel yang berasal dari sel-sel yang terspesialisasi pada gastrodermis. Dengan ukuran yang semakin

24 meningkat, gamet akan terlepas menuju rongga gastrovaskular atau tetap bertahan pada mesenteri hingga proses pematangan gamet selesai Oogenesis Proses oogenesis ditandai dengan adanya proses vitellogenik (Simpson, 2008) yang melibatkan pembentukan lemak heterosintetik. Gelembung bermembran pada ooplasma bersatu membentuk butiran lemak yang akan mengisi ooplasma. Menurut Hwang dan Song (2007), perkembangan oosit (oogenesis) dapat dibedakan menjadi 5 tahap. Oosit tahap I ditandai dengan nukleus yang berukuran besar. Oosit primordial ini melekat pada mesoglea pada mesenteri. Oosit tahap II terlihat pada rongga gastrovaskular dengan posisi masih melekat pada mesenteri dengan bantuan pedikel. Proses vitellogenik dimulai pada oosit tahap III dengan ukuran oosit yang makin membesar. Pembesaran ini disebabkan oleh pembentukan butiran lemak di dalam oosit. Pada tahap ini, oosit biasanya sudah mulai terlepas dari mesenteri menuju rongga gastrovaskular. Oosit tahap IV ditandai dengan semakin membesarnya ukuran oosit karena butiran lemak sudah menyebar ke seluruh bagian oosit sehingga warnanya mulai menjadi terang. Pada oosit tahap V, oosit atau telur telah matang dan mencapai ukuran maksimum dengan warna yang telah menjadi terang. Telur yang matang ditandai dengan banyak butiran-butiran lemak di dalamnya Spermatogenesis Hwang dan Song (2007) membedakan perkembangan spermatogenesis menjadi 4 tahap. Tahap I biasanya ditandai dengan berkumpulnya spermatogonia

25 di mesoglea pada mesenteri. Pada tahap II (spermatosit) sudah memiliki batas dan bentuk yang jelas dan melekat pada mesenteri dengan bantuan pedikel. Tahap III, ukuran kista sperma menjadi semakin besar. Spermatosit berkembang menjadi spermatid yang jumlahnya sangat banyak dan tersusun di bagian tepi dari kista. Pada tahap IV, spermatosit telah matang dengan berkembang menjadi spermatozoa yang telah memiliki ekor Pemijahan dan fertilisasi Karang lunak alcyonacea memiliki tiga cara reproduksi untuk menjamin kesuksesan reproduksinya yaitu pemijahan gamet ke kolom perairan (broadcast spawning), internal brooding, dan external brooding (Hwang dan Song, 2008). a. Pemijahan gamet ke kolom perairan, merupakan cara reproduksi yang paling umum terjadi pada karang lunak alcyonacea. Cara ini akan disertai dengan proses fertilisasi dan perkembangan embryo di kolom perairan. Proses pemijahan pada karang lunak biasanya mengikuti pemijahan massal secara serempak dengan organisme lain di ekosistem terumbu karang sebagai suatu bentuk strategi untuk mengurangi tekanan predasi pada gamet yang baru saja dikeluarkan (Simpson, 2008). b. Internal brooding biasa terjadi pada genus Xenia, Heteroxenia, dan Anthelia. Telur biasanya tetap berada di dalam polip hingga akhirnya terjadi proses pembuahan dan larva akan dikeluarkan ke kolom perairan. c. External brooding, terjadi pada genus Alcyonium dan Capnella. Telur akan dikeluarkan di permukaan koloni karang lunak dan menunggu hingga terjadi proses fertilisasi. Cara ini merupakan strategi terhadap rendahnya kesuburan gamet sebagai upaya untuk meningkatkan kelangsungan hidup larva dari bahaya predasi.

26 2.4. Faktor yang mempengaruhi reproduksi karang lunak (Octocorallia) Pola reproduksi karang lunak yang di dalamnya termasuk gametogenesis dan strategi atau cara dalam melakukan reproduksi dipengaruhi oleh beberapa faktor. Faktor-faktor yang berpengaruh bisa berupa faktor eksternal dan faktor internal Faktor internal Ukuran dan umur koloni Karang lunak memiliki ukuran dan umur yang bervariasi dalam proses kematangannya untuk melakukan reproduksi. Di dalam satu spesies, ukuran koloni merupakan salah satu indikator penting dalam menentukan kematangan reproduksi. Lobophytum crassum dengan diameter kurang dari 18 cm belum bisa menghasilkan gamet untuk bereproduksi sementara Heteroxenia fuscescens tidak akan mencapai kematangan reproduksi hingga ukuran koloninya mencapai volume 10 cm 3. Hal ini merupakan strategi dalam melakukan reproduksi dimana energi/sumber daya dalam koloni dialokasikan terlebih dahulu untuk pertumbuhan koloni hingga mencapai ukuran minimum untuk melakukan reproduksi (Gutiérrez dan Lasker, 2004) Faktor eksternal Ketersediaan makanan Ketersediaan sumber makanan yang terdapat di perairan mempengaruhi waktu terjadinya gametogenesis dan proses spawning pada beberapa karang lunak. Hartnoll (1975) menjelaskan bahwa perkembangan gamet pada Alcyonium digitatum terjadi pada awal musim semi dan panas dimana sumber makanan planktonik sangat melimpah di perairan. Proses spawning pada spesies ini terjadi

27 pada pertengahan musim dingin dimana pada saat awal musim semi, larva dari hasil proses pembuahan di kolom perairan akan memiliki banyak persediaan makanan untuk berkembang. Dahan dan Benayahu (1997) menjelaskan bahwa proses pembentukan larva planula pada Acabaria biserialis di Laut Merah terjadi setelah terjadinya blooming musiman pada fitoplankton Fase bulan Pada karang lunak yang tumbuh di perairan dangkal, tingkah laku pengeluaran telur ke perairan (spawning) memiliki hubungan dengan fase bulan. Gamet dilepas ke perairan pada saat atau menjelang bulan purnama dan pada sekitar atau menjelang fase bulan baru/mati. Bahkan proses spawning juga terjadi pada fase bulan tiga perempat (Simpson, 2008). Namun, hasil yang berkebalikan ditemukan oleh Benayahu (1991) yang menunjukkan tidak adanya kaitan antara fase bulan dengan pelepasan larva planula pada karang lunak Heteroxenia fuscescens Suhu perairan Suhu merupakan salah satu faktor yang berpengaruh dalam reproduksi gamet pada karang lunak. Choi dan Song (2007) menjelaskan bahwa jumlah oosit pada setiap polip meningkat setiap bulan hingga suhu perairan mencapai nilai tertinggi dan menurun seiring dengan turunnya suhu perairan. Begitu juga dengan jumlah gamet jantan yang meningkat pada bulan Agustus dan Desember dimana suhu perairan meningkat. Pada bulan oktober, jumlah gamet jantan mulai menurun karena suhu perairan menurun secara cepat.

28 Intensitas cahaya Intensitas cahaya berpengaruh terhadap reproduksi karang lunak dihubungkan dengan tingkat kejernihan perairan dan sedimentasi. Kojis dan Quinn (1984) menjelaskan bahwa kedua faktor tersebut bisa menurunkan tingkat kesuburan polip. Hal ini disebabkan energi yang digunakan untuk melakukan reproduksi menjadi berkurang karena menurunnya intensitas cahaya untuk proses fotosintesis oleh alga zooxanthellae di dalamnya dan pengalokasian energi/sumber daya untuk membersihkan diri dari sedimen Habitat Secara umum, karang lunak di daerah tropis melakukan reproduksi dengan cara melepaskan gametnya ke kolom perairan secara serempak dengan organisme lain di ekosistem terumbu karang sedangkan pada karang lunak di daerah subtropis menunjukkan proses gametogenesis yang lama dan melakukan reproduksi secara brooding (Cordes et al., 2001). Pengaruh habitat pada reproduksi karang lunak juga terlihat pada tipe seksualitas yang terjadi pada spesies Heteroxenia elizabethae. Di Great Barrier Reef, spesies ini menunjukkan tipe seksualitas gonokhorik sedangkan di Laut Merah, spesies ini menujukkan tipe seksualitas hermaprodit.

29 III. BAHAN DAN METODE 3.1. Waktu dan lokasi penelitian Sampel karang lunak yang digunakan untuk penelitian di laboratorium diperoleh dari stasiun pengamatan yang berada di Area Perlindungan Laut, Pulau Pramuka, Kepulauan Seribu. Pengambilan dilakukan dalam dua tahap, yaitu tahap I (umur 2 bulan setelah transplantasi) dilakukan pada tanggal 4, 11, 18, dan 25 Agustus 2007 serta tahap II (umur 6 bulan setelah transplantasi) dilakukan pada tanggal 22 dan 29 Desember 2007, 5 Januari dan 9 Februari Pengolahan sampel, pembuatan, dan pengamatan preparat histologis dilakukan di Laboratorium Histologi, Fakultas Kedokteran Hewan, Institut Pertanian Bogor. Sumber: Citra Formosat 2006, BPPT. Gambar 4. Peta perairan Pulau Pramuka sebagai lokasi penelitian

30 3.2. Alat dan bahan Alat dan bahan yang digunakan dalam penelitian ini dibagi 2 kelompok, yaitu pertama, alat dan bahan yang digunakan untuk melakukan transplantasi dan pengambilan sampel di lapangan. Kedua, alat dan bahan untuk pengolahan sampel di laboratorium. Adapun alat dan bahan tersebut akan disajikan dalam Tabel 1. Tabel 1. Alat dan bahan yang digunakan pada saat penelitian Alat Bahan Transplantasi dan Pengambilan Sampel - Peralatan SCUBA - Formalin 10% - Kapal motor - Karang lunak Sinularia dura - Global Positioning System - Gunting - Pisau Selam - Keranjang - Palu - Termometer - Botol sampel - Kamera Under Water - Pahat - Kerangka besi (1m x 1m) - Tali plastik - Kertas Newtop - Jaring Pengolahan Sampel - Alat pemanas air Eyela Water Bath SB Formalin 10% - Basket jaringan - Karang lunak Sinularia dura - Blok kayu - Air destilasi dan air kran - Botol film dan plastik sampel - Enthellan - Pisau cutter - Etanol (70%, 80%, 90%, dan 100%) - Embedding Console Tissue-Tek TEC - Asam Formik - Gelas objek dan cover glass - Asam Klorida - Inkubator Eyela Soft Incubator SLI-450N - Parafin - Inkubator Memmert - Pewarna Hematoxylin dan Eosin - Jarum - Xylol - Mikrometer objektif dan okuler - Mikroskop cahaya dan stereo Olympus CH20 - Mikrotom Spencer Tutup Pagoda

31 3.3. Metode kerja Pengambilan bibit karang lunak Penelitian ini dilakukan pada karang lunak (Octocorallia: Alcyonacea) jenis Sinularia dura. Pengambilan koloni karang lunak digunakan sebagai bibit transplantasi dilakukan di perairan sekitar Pulau Pramuka, Kepulauan Seribu. Gambar 5. Koloni karang lunak Sinularia dura yang akan ditransplantasi. Keterangan: (C) Cabang koloni karang lunak. Pengamatan di lapangan menunjukkan bahwa distribusi koloni karang lunak Sinularia dura sangat jarang. Koloni karang lunak sebagai bibit transplantasi diambil pada kedalaman 3 meter sampai 10 meter Transplantasi karang lunak dengan fragmentasi buatan Metode transplantasi dilakukan dengan menggunakan teknik fragmentasi buatan pada bibit karang lunak. Alat yang digunakan dalam proses fragmentasi ini adalah rak transplantasi (Gambar 6) dan subtrat semen sebagai tempat melekatnya fragmen karang lunak.

32 Langkah-langkah yang dilakukan dalam transplantasi karang lunak adalah sebagai berikut : Persiapan peralatan dan bahan penelitian yang dibutuhkan untuk transplantasi, serta penentuan stasiun penelitian (lokasi transplantasi). Peletakan rak transplantasi yang telah dipasangi substrat semen di lokasi yang telah ditentukan pada kedalaman 3 dan 10 meter. Kedalaman ini disesuaikan dengan sebaran populasi karang lunak yang ditemukan di alam dan kemudahan dalam menjangkau lokasi pada saat pengamatan di lapangan. Pemasangan fragmen karang lunak dengan cara mengikatkan pada substrat semen sebagai media tumbuh karang lunak pada rak transplantasi. 75 cm 75 cm 25 cm Kerangka Besi Jaring Gambar 6. Rak transplantasi dengan jaring Fragmen diperoleh dari koloni karang lunak yang dipotong-potong dengan ukuran ±3x5 cm 2. Sebelumnya, koloni karang lunak yang akan dipotong, dipindahkan menuju lokasi transplantasi dengan memasukkan ke dalam kotak

33 steroform. Proses pemotongan fragmen karang lunak dilakukan di atas kapal dengan pisau stainlees. Fragmen karang lunak dilekatkan pada sebuah substrat semen dengan menggunaka an tali plastik. Substrat ini berfungsi sebagai penyangga agar karang lunak dapat berdiri dengan kokoh dan tidak mudah lepas oleh arus gelombang dan predator. Ilustrasi penempelan fragmen karang lunak dapat ditunjukkann pada Gambar 7. D C B A Gambar 7. Ilustrasi penempelan karang lunak pada substrat. Keterangan: (A) Substratt semen, (B) Tali plastik, (C) Fragmen karang lunak, (D) Bekas potongan pada fragmen Pengambilan sampel karang lunak Total cabang koloni karang lunak yang diambil adalah sebanyak 79 cabang terdiri dari cabang koloni karang lunak hasil transplantasi sebanyak 24 cabang dari kedalaman 3 m, 31 cabang dari kedalaman 10 m, dan 24 cabang dari satu koloni karang lunak nonn transplantasi. Sampel tersebut digunakan untuk

34 mengevaluasi gamet pada karang lunak non transplantasi dan hasil transplantasi di kedalaman 3 dan 10 m. Pengambilan sampel karang lunak untuk pengamatan tahap perkembangan gamet dilakukan berdasarkan siklus bulan Qomariah yang dibagi dalam empat fase, yaitu : a. Fase bulan baru sampai bulan ¼ pertama (hari 1-7) b. Fase bulan ¼ pertama sampai bulan purnama (hari 8-14) c. Fase bulan purnama sampai bulan ¼ ketiga (hari 15-21) d. Fase bulan ¼ ketiga sampai bulan gelap (hari 22-28) Pengambilan sampel karang lunak untuk pembuatan preparat histologis dilakukan pada sampel alami dan hasil transplantasi di kedalaman 3 dan 10 m pada usia 2 dan 6 bulan setelah transplantasi. Pengambilan sampel dilakukan secara acak dengan memotong cabang koloni karang lunak menggunakan pisau cutter kemudian memasukkannya ke dalam botol sampel untuk difiksasi menggunakan formalin 10% Pembuatan preparat histologis Pembuatan preparat histologis dilakukan dengan metode parafin (Gunarso, 1989 dan Kiernan, 1990) dengan tahapan mencakup: (1) Pengambilan tisu (trimming) menggunakan silet; (2) Fiksasi (fixation); (3) Dekalsifikasi (decalcification); (4) Dehidrasi (dehydration) menggunakan alkohol bertingkat (70 100% ); (5) Penjernihan (clearing) menggunakan xylol; (6) Infiltrasi parafin (infiltration) menggunakan parafin cair dalam inkubator bersuhu 65 o C; (7) Penanaman (embedding) menggunakan parafin; (8) Penyayatan (sectioning) menggunakan mikrotom (±5μm); (9) Afiksing (afixing); (10) Deparafinasi

35 (deparaffination) menggunakan xylol; (11) Rehidrasi (rehydration) menggunakan alkohol bertingkat (100-70%) dan air (12) Pewarnaan (staining) menggunakan pewarnaan Hematoksilin-Eosin (HE), tahap akhir adalah mounting dengan menggunakan entelan. Pembuatan preparat histologi dilakukan sebanyak 6 sayatan untuk setiap cabang koloni karang lunak yang diolah. Selanjutnya, pengamatan struktur histologis dilakukan terhadap kehadiran dan perkembangan gonad (telur dan sperma). Tahap terakhir dilakukan pemotretan atau mikrofotografi menggunakan mikroskop yang dilengkapi kamera dengan perbesaran 40x,100x, 200x dan 400x Pengamatan mikroskopis Pengamatan preparat histologis dilakukan di Laboratorium Histologi, Fakultas Kedokteran Hewan, Institut Pertanian Bogor. Pengamatan pada mikroskop dilakukan dengan perbesaran lensa sebesar 40x, 100x, 200x, dan 400x. Objek yang diamati pada pengamatan ini, antara lain: a. Tahap perkembangan oosit Perkembangan oosit diamati berdasarkan ciri morfologi dan ukuran dalam setiap tahap perkembangannya. b. Densitas oosit Densitas oosit ditentukan berdasarkan jumlah gamet yang ditemukan dalam setiap cabang koloni (jumlah oosit per cabang koloni) c. Diameter oosit Oosit yang diukur adalah oosit yang tampak nukleus atau nukleolusnya kecuali pada oosit tahap V. Panjang oosit diukur pada bagian oosit yang

36 paling panjang sedangkan lebarnya diukur secara tegak lurus terhadap garis panjangnya Pengukuran parameter lingkungan Parameter lingkungan yang diukur adalah parameter fisika dan kimia yang dilakukan secara in situ dan pengamatan melalui analisis laboratorium. Parameter yang akan diukur, satuan, dan alat/metode yang digunakan dalam pengukuran parameter lingkungan dapat dilihat pada Tabel 2. Tabel 2. Parameter fisika-kimia perairan yang diukur No Parameter Satuan Alat/metode 1 Suhu o C Termometer Hg 2 Kecerahan meter (m) Secchi disk 3 Kecepatan arus cm/s Floating Droadge 4 Kedalaman meter (m) Depth gauge 5 Derajat keasaman ph Kertas ph 6 Fosfat mg/l APHA, 20th, P-E-Ascorbic Acid/Spektrofotometer 7 Nitrat mg/l APHA, 20th, Si-O2-E/Spektofotometer 8 Oksigen terlarut mg/l Titrasi Winkler 3.4. Analisis data Analisis deskriptif Pengamatan pada mikroskop terhadap perkembangan gamet dilakukan dengan perbesaran lensa sebesar 400x. Tahap perkembangan gamet dan pengaruh fase bulan Qomariyah dianalisis secara deskriptif berdasarkan keberadaan gamet pada setiap fase bulan Qomariah dengan mengamati karakter gamet pada preparat histologis dan gambar hasil mikrofotografi kemudian membandingkannya dengan pustaka terbaru atau jurnal.

37 Analisis ragam Densitas gamet dinyatakan dengan jumlah gamet yang ditemukan per cabang koloni. Data yang diperoleh kemudian dianalisis menggunakan Analisis Ragam (ANOVA) klasifikasi dua arah dengan Rancangan Acak Kelompok menggunakan selang kepercayaan 95% yang dioperasikan dengan bantuan software Microsoft Excel Analisis ini dilakukan untuk melihat pengaruh penggunaan metode transplantasi dan kedalaman lokasi transplantasi terhadap perkembangan reproduksi karang lunak Sinularia dura dalam setiap fase bulan Qomariyah. Analisis ragam akan menunjukkan beda nyata atau tidak pada perkembangan reproduksi karang lunak Sinularia dura berdasarkan kedalaman dan penggunaan metode transplantasi. Jika nilai F hit < F tab maka terima H o yang berarti tidak ada perbedaan yang nyata pada perkembangan reproduksi karang lunak terhadap kedalaman ataupun penggunaan metode transplantasi. Jika nilai F hit > F tab maka tolak H o yang berarti ada perbedaan yang nyata pada perkembangan reproduksi karang lunak terhadap kedalaman ataupun penggunaan metode transplantasi.

38 IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Kondisi lingkungan stasiun penelitian Parameter fisika dan kimia yang diukur untuk mengetahui kondisi stasiun penelitian meliputi; suhu, kecerahan, kecepatan arus, ph, oksigen terlarut, nitrat, dan fosfat. Hasil pengukuran dapat dilihat pada Tabel 3. Tabel 3. Hasil pengukuran parameter fisika dan kimia di stasiun penelitian Parameter Satuan Nilai Baku Mutu Tahap I Tahap II Kualitas Air* Suhu o C meter 28,5 28,9-10 meter 27,5 27,3 Kecerahan m 4,30 1,50 >5 Kecepatan Arus cm/s 19,5 35,5 - Derajat ph ,5 Oksigen Terlarut mg/l >5-3 meter 5,44 5,64-10 meter 5,24 5,24 Fosfat mg/l 0,015-3 meter 0,978 0, meter 0,843 0,04 Nitrat mg/l 0,008-3 meter <0,005 0, meter 0,007 0,011 *Sumber: Keputusan Menteri Lingkungan Hidup no. 179 tahun 2004 Suhu yang terukur di stasiun penelitian pada kedalaman 3 m menunjukkan nilai yang masih dalam kisaran baku mutu kualitas air yaitu 28,5 o C pada tahap I dan 28,9 o C pada tahap II. Pada kedalaman 10 m, suhu yang terukur menunjukkan nilai yang lebih rendah dari baku mutu kualitas air yaitu 27,5 o C pada tahap I dan 27,3 o C pada tahap II. Kedua nilai suhu pada kedalaman 10 m ini lebih rendah dari baku mutu kualitas air untuk biota laut secara umum. Namun, suhu ini masih dalam kisaran toleransi untuk karang lunak.

39 Kecepatan arus yang terukur pada saat tahap I senilai 19,5 m/s dan tahap II senilai 35,5 m/s. Kecepatan arus ini dipengaruhi oleh kecepatan angin yang bertiup di permukaan perairan. Angin yang bertiup ini juga akan berpengaruh terhadap kondisi di bawah air yakni proses pengadukan atau pengendapan sedimen. Hal ini terlihat pada nilai kecerahan perairan yang terukur. Pada tahap I, kecerahan perairan mencapai 4,30 m dan pada tahap II hanya 1,50 m. Kecerahan perairan yang kurang baik pada tahap II menyebabkan perairan cenderung lebih keruh daripada kecerahan peraian pada tahap I. Tingkat kecerahan perairan ini akan berpengaruh terhadap intensitas cahaya yang diterima oleh karang lunak Sinularia dura ataupun organisme lain yang ada di stasiun tersebut. Dengan perairan yang keruh tersebut, intensitas cahaya yang diterima akan sangat kurang dan berpengaruh terhadap proses fotosintesis pada alga zooxanthellae yang bersimbiosis dengan karang lunak Sinularia dura. Namun walaupun perairannya keruh, karang lunak Sinularia dura masih mampu mentoleransi kondisi ini dan masih mampu tumbuh dengan baik. Derajat keasaman (ph) yang terukur masih menunjukkan nilai yang berada dalam baku mutu kualitas air. Oksigen terlarut yang terukur pada kedua kedalaman dan kedua tahap pengambilan sampel pun menunjukkan nilai yang lebih besar dari 5 mg/l sehingga masih termasuk sesuai dengan baku mutu kualitas air laut. Pada fosfat dan nitrat, nilai yang terukur cenderung berada di luar dari baku mutu kualitas air. Konsentrasi fosfat yang berlebih di perairan bisa disebabkan oleh sampah domestik dari pulau-pulau di sekitar lokasi penelitian. Effendi (2003) menjelaskan bahwa keberadaan nitrat dan fosfat dengan konsentrasi

40 berlebih di perairan bisa memicu kesuburan pertumbuhan alga sehingga di perairan tersebut terjadi eutrofikasi. Pada saat pengamatan di lapangan, rak transplantasi dan daerah di sekitarnya pun terlihat ditumbuhi oleh alga dalam jumlah yang cukup banyak. Berdasarkan nilai baku mutu kualitas air untuk biota laut yang tercantum pada Keputusan Menteri Lingkungan Hidup no. 179 tahun 2004 terhadap parameter fisika dan kimia yang terukur, perairan di lokasi penelitian menunjukkan kondisi cukup baik dan mampu mendukung kehidupan organisme yang tumbuh dan berkembang ada di dalamnya Pengamatan mikroskopis terhadap karang lunak Sinularia dura Pengamatan secara mikroskopis terhadap karang lunak untuk menentukan seksualitasnya cenderung sulit dilakukan karena karang lunak tidak memiliki ciriciri sekunder yang bisa digunakan sebagai penanda seksualitas karang lunak. Penentuan seksualitas karang lunak Sinularia dura dilakukan dengan pengamatan histologis terhadap keberadaan gamet jantan (spermatosit) dan betina (oosit) pada setiap cabang koloninya. Pengamatan terhadap sayatan menegak pada cabang koloni karang lunak menunjukkan bahwa gamet ditemukan merata di seluruh bagian sayatan yang diamati. Gamet ditemukan dalam kondisi sendirian atau berkumpul dengan gamet lain pada rongga gastrovaskular yang menyebar di dalam cabang koloni karang lunak. Posisi gamet pada rongga gatrovaskular cenderung di dekat atau menempel pada mesenteri. Gamet yang masih berada pada tahap awal perkembangan cenderung menempel pada mesenteri sedangkan gamet yang sudah mulai matang cenderung untuk lepas dari mesenteri menuju rongga gastrovaskular.

41 4.3. Gametogenesis dan ukuran gamet karang lunak Sinularia dura Dalam perkembangannya, gamet tumbuh dari gastrodermis dan dalam proses perkembangannya, gamet tersebut bergerak ke rongga gastrovaskular. Perkembangan gamet ditentukan berdasarkan diameter gamet dan ciri morfologi dari gamet yang diamati melalui preparat histologis. Dasar yang digunakan dalam proses pengamatan mengacu pada penelitian yang telah dilakukan Hwang dan Song (2007) terhadap karang lunak Dendronephthya gigantea dan Choi dan Song (2007) yang melakukan penelitian terhadap karang lunak Dendronephthya suensoni Oogenesis dan ukuran gamet betina Penentuan tahapan oogenesis dalam penelitian ini dilakukan dengan identifikasi terhadap oosit berdasarkan kriteria perkembangan oosit pada Dendronephthya gigantea (Hwang dan Song, 2007) yang mengklasifikasikan tahap perkembangan oosit menjadi 5 tahap berdasarkan ukuran oosit dan ciri morfologi isi telur. Pada saat pengamatan, oosit yang terbungkus oleh lapisan folikel pada umumnya ditemukan di dalam rongga gastrovaskular dengan kondisi masih melekat pada mesenteri ataupun sudah terlepas. Oogenesis dibagi menjadi 5 tahap yaitu oosit tahap I, oosit tahap II, oosit tahap III, oosit tahap IV, dan oosit matang atau telur (tahap V). Pada saat mencapai tahap I, oosit biasanya melekat pada mesoglea di mesenteri bersama dengan oosit tahap I yang lain. Batas antara nukleus, nukleolus, dan sitoplasma masih belum jelas (Gambar 8). Oosit pada tahap I memiliki diameter 24,54±5,32 µm (n=36) seperti disajikan pada Tabel 4.

42 Tabel 4. Ukuran diameter oosit pada setiap tahap perkembangan Tahap Diameter (µm) Rata-rata±SD n I 24,54±5,32 36 II 39,68±8, III 57,39±12, IV 79,70±18,32 76 V 86,61±17,90 22 Sumber: Diolah dari Lampiran 3. Gambar 8. Oogenesis karang lunak Sinularia dura (O1). Keterangan: (O1) Oosit tahap I dengan nukleus, nukleolus, dan sitoplasma yang masih sulit dibedakan. Pada saat perkembangan oosit mencapai tahap II, oosit ditemukan pada rongga gastrovaskular atau melekat pada mesenteri yang terhubung melalui pedikel. Nukleus dan nukleolus terlihat jelas mulai membesar serta batas antara nukleus dan sitoplasma juga dapat dibedakan (Gambar 9). Oosit pada tahap II

43 memiliki ukuran diameter 39,68±8,99 µm (n=238). Oosit pada tahap II berwarna merah gelap sebagai hasil pewarnaaan dengan menggunakan hematoksilin-eosin. rg n O2 nu 20 µm Gambar 9. Oogenesis karang lunak Sinularia dura (O2). Keterangan: (O2) Oosit tahap II dengan nukleus dan nukleolus yang mulai terlihat jelas, (n) Nukleus, (nu) Nukleolus, (rg) Rongga gastrovaskular. Tahap III ditandai dengan semakin membesarnya ukuran diameter oosit yang mencapai 57,39±12,71 µm (n=162). Pembesaran ukuran oosit ini disebabkan oleh pembentukan butiran-butiran sitoplasma pada sekeliling nukleus. Oosit pada tahap ini dapat ditemukan pada rongga gastrovaskular karena sudah terlepas dari pedikel (Gambar 10). Warna oosit pada tahap ini juga berwarna merah gelap seperti halnya dengan oosit tahap II.

44 Gambar 10. Oogenesis karang lunak Sinularia dura (O3). Keterangan: (O3) Oosit tahap III dengan sitoplasma yang berada di sekeliling nukleus, (n) Nukleus, (nu) Nukleolus, (rg) Rongga gastrovaskular. Pada tahap IV, ukuran oosit semakin membesar karena butiran-butiran sitoplasma mulai berkembang menyebar ke seluruh bagian oosit sehingga warna oosit mulai agak terang (Gambar 11). Rata-rata diameter oosit mencapai 79,70±18,32 µm (n=76). Ukuran butiran-butiran sitoplasma mulai bertambah besar. Pada Gambar 11, oosit ditemukan dalam keadaan terbungkus oleh lapisan folikel.

45 Gambar 11. Oogenesis karang lunak Sinularia dura (O4). Keterangan: (O4) Oosit tahap IV dengan ukuran butiran sitoplasma sudah mulai membesar, (n) Nukleus, (nu) Nukleolus, (lf) Lapisan folikel, (rg) Rongga gastrovaskular. Di tahap V, oosit telah matang dan mencapai ukuran maksimum. Pengukuran pada diameter oosit tahap V merupakan diameter terkecil dengan 86,61±17,90 µm (n=22) karena semua oosit tahap V yang ditemukan tidak terdapat nukleus dan nukleolus. Warna telur menjadi semakin terang menjadi merah muda dengan butiran-butiran sitoplasma yang telah berubah menjadi butiran-butiran lemak dan menyebar di seluruh bagian telur (Gambar 12A). Dalam perkembangannya, butiran-butiran lemak akan semakin membesar hingga akhirnya lisis sehingga menyisakan ruang-ruang kosong di dalam telur (Gambar 12B).

46 A B O5 O5 20 µm 20 µm Gambar 12. Oogenesis karang lunak Sinularia dura (O5). Keterangan: (A) Oosit tahap V dengan butiran lemak yang memenuhi seluruh bagian oosit, (B) Oosit tahap V dengan ukuran butiran lemak yang semakin membesar, (O5) Oosit tahap V Spermatogenesis Sama oogenesis, penentuan tahapan spermatogenesis dalam penelitian ini dilakukan dengan identifikasi terhadap spermatosit berdasarkan kriteria perkembangan gamet jantan pada Dendronephthya gigantea (Hwang dan Song, 2007) yang mengklasifikasikan tahap perkembangan gamet jantan menjadi 4 tahap berdasarkan ukuran gamet jantan dan ciri morfologi isi telur. Empat tahapan perkembangan gamet jantan tersebut yaitu spermatogonia (tahap I), spermatosit (tahap II), spermatid (tahap III), dan spermatozoa (tahap IV). Hwang dan Song (2007) menjelaskan bahwa pada tahap I, perkembangan gamet jantan masih dalam bentuk spermatogonia yang masih belum jelas bentuknya. Spermatogonia tersebut membentuk suatu kumpulan dan berkembang di dalam mesenteri. Choi dan Song (2007) juga menjelaskan bahwa pada gamet jantan pada tahap II (spermatosit), spermatosit cenderung berada di bagian pinggir dari kista gamet jantan. Keadaan ini kadang-kadang menimbulkan rongga-

47 rongga di dalam kista gamet jantan. Pada tahap ini, gamet jantan melekat pada mesenteri dengan bantuan pedikel. Gambar 13. Gamet jantan karang lunak Sinularia dura.. Keterangan: (dk) Dinding kista, (ks) Kumpulan sperma, (p) Pedikel, (m) Mesenteri, (rg) Rongga gastrovaskular. Tahap III perkembangan gamet jantan ditandai dengan dengan spermatid yang cenderung bergerak menuju bagian tepi dari kista gamet jantan sehingga menyisakan ruang kosong di bagian tengah kista tersebut. Pada tahap IV, gamet jantan sudah memiliki ekor dan disebut sebagai spermatozoa. Pada proses pengamatan, gamet jantan ditemukan pada karang lunak non transplantasi fase bulan Purnama saat pengambilan sampel tahap I yakni tanggal 4 Agustus Gamet tersebut ditemukan dalam bentuk kumpulan di dalam sebuah kista yang masih menempel pada mesenteri dengan bantuan pedikel (tangkai) dan memiliki dinding yang sangat jelas dan tebal. Mengacu pada kriteria perkembangan gamet jantan oleh Hwang dan Song (2007) maupun Choi

48 dan Song (2007), gamet jantan yang ditemukan pada pengamatan masih sulit ditentukan tahap perkembangannya Cabang koloni subur karang lunak Sinularia dura Pengamatan dilakukan terhadap 79 cabang koloni karang lunak yang diambil pada 2 tahap pengambilan sampel yang dibedakan oleh perlakuan dengan metode transplantasi dan kedalaman penanaman sampel pada rak transplantasi. Berdasarkan keberadaan gamet betina dan jantan di dalam cabang koloni karang lunak, hasil pengamatan menunjukkan 70 cabang koloni teridentifikasi mengandung oosit, satu cabang koloni mengandung spermatosit, dan 8 cabang koloni tidak ditemukan gamet jantan maupun betina. Tidak adanya gamet jantan maupun gamet betina yang ditemukan pada suatu cabang koloni ditunjukkan dengan kosongnya rongga gastrovaskular yang digunakan sebagai tempat perkembangan gamet. Terpisahnya gamet jantan dan betina pada cabang koloni yang berbeda menunjukkan bahwa karang lunak Sinularia dura memiliki tipe seksualitas gonokhorik. Karang lunak pada umumnya memiliki tipe seksualitas gonokhorik. Benayahu et al. (1990) menyatakan karang lunak Sinularia memiliki tipe seksualitas gonokhorik yang hanya menghasilkan gamet jantan atau gamet betina saja selama hidupnya. Beberapa genus karang lunak yang lain yang memiliki tipe seksualitas gonokhorik yaitu Sarcophyton, Lobophytum, dan Cladiella. Perbandingan antara jumlah cabang koloni betina dan cabang koloni jantan menunjukkan cabang koloni betina mendominasi terhadap cabang koloni jantan. Faktor yang diduga mempengaruhi hal tersebut adalah pada saat pengambilan sampel, cabang-cabang yang diamati tidak sedang dalam masa reproduksi untuk

49 menghasilkan gamet jantan. Dalam hal ini, waktu terjadinya spermatogenesis dan oogenesis terjadi secara tidak bersamaan. Kapela and Lasker (1999) menjelaskan bahwa spermatogenesis terjadi lebih cepat daripada oogenesis terkait dengan besarnya energi yang digunakan dalam oogenesis untuk menghasilkan telur. Sehingga, permulaan spermatogenesis biasanya terjadi beberapa bulan setelah oogenesis (Harrison dan Wallace, 1990) Pola reproduksi karang lunak Sinularia dura Kemampuan reproduksi cabang pada koloni karang lunak dapat diketahui dari keberadaan gamet di dalam cabang koloni tersebut. Dalam setiap fase bulan Qomariyah pada karang lunak non transplantasi saat pengambilan sampel tahap I, hampir semua cabang koloni yang diamati menunjukkan keberadaan oosit di dalamnya (Tabel 5). Tabel 5. Jumlah cabang koloni betina yang memiliki oosit di dalamnya pada setiap fase bulan Qomariyah. Fase bulan Qomariyah Transplantasi (3 m) Transplantasi (10 m) Non transplantasi I II I II I II Purnama 1(2) 5(5) 5(6) 4(5) 2(3) 2(2) Tiga perempat 4(4) 3(3) 6(6) 2(3) 3(3) 2(3) Mati/baru 3(3) 3(3) 3(3) 3(3) 3(4) 2(2) Seperempat 2(2) 2(2) 2(2) 2(3) 3(4) 3(3) Keterangan: Angka di dalam ( ) adalah jumlah cabang koloni yang diamati sedangkan angka di luar ( ) adalah jumlah cabang koloni yang teramati mengandung oosit. Hal yang sama ditunjukkan pada cabang koloni karang lunak non transplantasi pada pengambilan sampel tahap II dimana pada setiap fase bulan Qomariyah juga ditemukan oosit pada hampir semua cabang koloni yang diamati. Jumlah total sampel yang diambil pada karang lunak non transplantasi adalah sebanyak 24

50 cabang dengan 20 cabang teridentifikasi mengandung oosit dan sebanyak 55 cabang diambil pada karang lunak hasil transplantasi dengan 50 cabang teridentifikasi mengandung oosit. Karang lunak Sinularia dura hasil transplantasi dibedakan menjadi 2 berdasarkan kedalaman yakni pada kedalaman 3 m dan 10 m. Pada umur 2 bulan setelah transplantasi, koloni karang lunak hasil transplantasi pada kedalaman 3 m dan 10 m menunjukkan cabang-cabang yang mengandung oosit. Cabang-cabang yang mengandung oosit juga teridentifikasi pada sampel di kedalaman 3 m dan 10 m pada umur 6 bulan setelah transplantasi. Berdasarkan keberadaan cabang koloni yang mengandung oosit pada rentang waktu umur 2 dan 6 bulan setelah transplantasi, karang lunak Sinularia dura hasil transplantasi sudah mampu melakukan reproduksi dengan menghasilkan gamet dalam rentang waktu 2 bulan dari transplantasi. Karang lunak Sinularia dura membutuhkan waktu untuk memulihkan diri dan mengembalikan jaringan yang telah rusak akibat transplantasi dengan mengalokasikan energi atau sumber daya yang dimilikinya untuk pemulihan jaringan tubuh terlebih dahulu sebelum mengalokasikannya untuk melakukan reproduksi Komposisi tahap perkembangan oosit pada setiap fase bulan Qomariyah Hasil pengamatan terhadap tahap perkembangan oosit menunjukkan bahwa kumpulan telur yang ditemukan dalam suatu cabang koloni memiliki tahap perkembangan yang berbeda-beda. Gambar 14 memperlihatkan komposisi oosit dengan tahap perkembangan oosit yang berbeda pada karang lunak non transplantasi dalam fase bulan Qomariyah.

51 Gambar 14. Komposisi tingkat perkembangan oosit pada karang lunak non transplantasi. Keterangan: (O1) Oosit I, (O2) Oosit II, (O3) Oosit III, (O4) Oosit IV, (O5) Oosit V, (S) Fase bulan Seperempat, (P) Fase bulan Purnama, (T) Fase bulan Tiga per empat, (M) Fase bulan Mati/baru. Angka di atas grafik adalah jumlah oosit yang teramati dalam setiap fase bulan Qomariyah Kemunculan tahap perkembangan oosit yang berbeda menjelaskan bahwa dalam suatu cabang koloni pada setiap fase bulan terjadi perkembangan oosit menuju ke tahap yang lebih tinggi yang diiringi dengan pembentukan oosit baru (tahap I) lainnya seperti terlihat pada fase bulan purnama karang lunak non transplantasi saat pengambilan sampel tahap II. Fenomena perkembangan oosit ditunjukkan dengan fluktuasi komposisi pada masing-masing tahap perkembangan oosit dalam setiap fase bulan Qomariyah. Fluktuasi jumlah oosit pada setiap fase bulan Qomariyah diduga disebabkan oleh pengeluaran telur matang (eggs spawning) dari cabang koloni karang lunak. Karang lunak Sinularia sebagai broadcast spawner yang memiliki cara reproduksi dengan mengeluarkan gametnya ke kolom perairan sehingga gamet-gamet tersebut mengalami pembuahan di kolom perairan (Hwang dan Song, 2007).

52 Gambar 15. Komposisi tingkat perkembangan oosit pada karang lunak hasil transplantasi. Keterangan: (O1) Oosit I, (O2) Oosit II, (O3) Oosit III, (O4) Oosit IV, (O5) Oosit V, (S) Fase bulan Seperempat, (P) Fase bulan Purnama, (T) Fase bulan Tiga per empat, (M) Fase bulan Mati/baru. Angka di atas grafik adalah jumlah oosit yang teramati dalam setiap fase bulan Qomariyah Walaupun proses pengeluaran telur tidak diamati secara langsung di lapangan, Komposisi tahap perkembangan oosit dapat menunjukkan waktu terjadinya proses pengeluaran telur ke kolom perairan oleh cabang koloni karang lunak. Dengan melihat komposisi telur matang yang selalu berubah pada setiap fase bulan Qomariyah, proses pengeluaran telur dapat terjadi setiap saat pada semua fase bulan walaupun dengan jumlah telur yang sedikit. Pada karang lunak non transplantasi (Gambar 14), cabang koloni dengan jumlah telur yang sedikit atau tidak ada sama sekali ditemukan pada fase bulan Tiga per empat pengambilan sampel tahap I dan fase bulan Mati pengambilan sampel tahap II. Kondisi ini diduga merupakan fase puncak dari proses pengeluaran telur ke kolom perairan

53 oleh cabang koloni karang lunak yaitu pada fase bulan Tiga per empat dan Mati/baru. Pada karang lunak hasil transplantasi umur 2 bulan setelah transplantasi, tidak adanya telur matang ditemukan pada fase bulan Purnama, Mati/baru, dan Seperempat di kedalaman 3 m. Di kedalaman 10 m, proses pengeluaran telur ditemukan pada fase bulan Purnama menuju Tiga per empat dan fase bulan Mati/baru menuju Seperempat. Pada umur 6 bulan setelah transpantasi, baik pada kedalaman 3 maupun 10 m, fase puncak pengeluaran telur terjadi pada fase bulan Mati dengan jumlah telur matang yang semakin berkurang menuju fase bulan tersebut. Hasil pengamatan terhadap semua fase puncak pengeluaran telur menunjukkan hasil yang sama dengan penelitian yang dilakukan oleh Choi dan Song (2007) terhadap Dendronephthya suensoni dimana proses pengeluaran telur terjadi pada sekitar fase bulan Mati dan Purnama. Simpson (2008) juga menyebutkan bahwa proses pengeluaran telur bisa terjadi pada fase bulan Tiga per empat. Tidak ditemukannya telur pada fase bulan purnama pada karang lunak hasil transplantasi kedalaman 3 m ditunjukkan oleh kosongnya rongga gastrovaskular pada semua cabang koloni yang diambil dan diamati pada fase bulan tersebut. Berdasarkan fluktuasi jumlah oosit dengan tahap perkembangan yang berbeda, karang lunak hasil transplantasi mampu kembali melakukan reproduksi dengan menghasilkan telur yang mampu berkembang. Perkembangan ini ditunjukkan dengan ditemukannya oosit pada semua tahap perkembangan dalam suatu fase bulan Qomariyah.

54 4.7. Pengaruh fase bulan pada reproduksi karang lunak Sinularia dura Perkembangan reproduksi karang lunak dalam fase bulan Qomariyah dapat diamati dari densitas oosit yang terdapat dalam cabang-cabang penyusun koloni karang lunak. Pengamatan densitas oosit dilakukan dengan menghitungg seluruh oosit yang ditemukan pada sayatan jaringan dari cabang koloni karang lunak dimana jumlah sayatan untuk setiap cabang koloni adalah 6 sayatan. Densitass oosit dinyatakan dengan jumlah oosit per cabang koloni dengan asumsi bahwa 6 sayatan yang diambil pada setiap cabang koloni sudah mewakili jumlah oosit pada cabang koloni tersebut. Densitas oosit pada setiap cabang koloni kemudian dihitung rata-ratanya dalam setiap fase bulan Qomariyah. Gambar 16 dan 17 memperlihatkan rata-rata densitas yang fluktuatif dalam setiap fase bulan Qomariyah pada kedua karang lunak baik hasil transplantasi maupun non transplantasi. Sumber: Diolah dari Lampiran 4.I Gambar 16. Rata-rata densitas oosit pada setiap fase bulan Qomariyah pada umur 2 bulan setelah transplantasi

55 Kenaikan jumlah rata-rata densitas oosit diduga disebabkan oleh oosit-oosit baru yang diproduksi oleh cabang koloni dalam koloni. Menurunnya jumlah rata- pada karang lunak umur 2 bulan setelah transplantasi diduga berhubungan dengan rata densitass oosit di dalam suatu fase bulan seperti pada fase bulan mati/baru proses spawning telur ke kolom perairan seperti umum terjadi pada karang lunak. Sumber: Diolah dari Lampiran 4.II Gambar 17. Rata-rata densitas oosit pada setiap fase bulan Qomariyah pada umur 6 bulan setelah transplantasi Tingkah laku spawning biasa dilakukan oleh octocorallia dalam upaya untuk memaksima alkan tingkat pembuahan oleh sperma dengan segala keterbatasannya dan mengurangi tingkat predasi oleh predator terhadap gamet yang baru dikeluarkan. Octocorallia di daerah perairan dangkal melakukan spawning bertepatan dengan fase bulan tertentu. Pelepasan gamet biasanya terjadi pada saat atau menjelang fase bulan purnama, pada sekitar fase bulan mati, dan bahkan sebelum fase bulan tiga perempat (Simpson, 2008).

56 4.8. Pengaruh transplantasi padaa reproduksi seksual Sinularia dura Transplantasi karang lunak merupakan cara reproduksi aseksual buatan yang dilakukan dengan melakukan fragmentasi pada koloni karang lunak sebagai induk untuk kemudian ditanam pada media buatan pada lokasi tertentu. Sari (2007) menjelaskan n bahwa fragmentasi dapat menyebabkan penurunan fungsi reproduksi yang merupakan respon umum yang terjadi akibat luka yang dialami. Energi yang tersisa setelah masa transplantasi digunakan secara bertahap untuk melakukan fungsi pemeliharaan, perbaikan, pertumbuhan, dan reproduksi. Pada penelitian ini, pengaruh penggunaan metode transplantasi diamati dengan membandingkann karang lunak hasil transplantasi kedalaman 10 m dan karang lunak non transplantasi yang diletakkan di kedalaman yang sama. Gambar 18 memperlihatkan bahwa rata-rata densitas oosit pada karang lunak hasil transplantasi memiliki nilai yang lebih tinggi daripada karang lunak nonn transplantasi dengan mencapai hampir 45 oosit per cabang koloni. Sumber: Diolah dari Lampiran 4.I Gambar 18. Rata-rata densitas oosit pada karang lunak non transplantasi dan hasil transplantasi umur 2 bulan setelah transplantasi

57 Fenomena ini diduga disebabkan karang lunak hasil transplantasi tersebut masih merasakan tekanan akibat proses transplantasi yang merusak jaringan tubuh karang lunak. Reaksi yang muncul adalah cabang-cabang dalam koloni karang lunak yang secara morfologi telah pulih tersebutt menghasilkan gamet yang lebih banyak sebagai pola adaptasi untuk memperbesar keberhasilan reproduksi. Sumber: Diolah dari Lampiran 4.II Gambar 19. Rata-rata densitas oosit pada karang lunak non transplantasi dan hasil transplantasi umur 6 bulan setelah transplantasi Jika nilai rata-rata densitas oosit, baik pada karang lunak non transplantasi maupun hasil transplantasi pada umur 6 bulan setelah transplantasi (Gambar 19), dibandingka an dengan nilai rata-rata densitas oosit karang lunak pada umur 2 bulan setelah transplantasi (Gambar 18), maka nilai rata-rata densitas oosit pada karang lunak umur 6 bulan setelah transplantasi cenderung tidak jauh berbeda dengan karang lunak non transplantasi padaa pengambilan sampel tahap I. Hal ini bisa menjelaskan n bahwa kemampuan reproduksi karang lunak hasil transplantasi sudah pulih dengann hilangnya pengaruh proses transplantasi seperti ditunjukkan pada

58 umur 6 bulan setelah transplantasi dimana rata-rata densitas karang lunak hasil transplantasi dan non transplantasi memiliki nilai yang hampir sama. Analisis ragam terhadap perlakuan penggunaan metode transplantasi pada rata-rata densitas oosit menunjukkan bahwa nilai F hit < F tab (Lampiran 5.II). Diterimanya H o menjelaskan bahwa rata-rata densitas oosit karang lunak hasil transplantasi dan non transplantasi tidak berbeda nyata pada selang kepercayaan 95%. Hasil ini terjadi pada kedua sampel yang diambil pada umur 2 maupun 6 bulan setelah transplantasi. Metode transplantasi bisa digunakan dalam memperbanyak koloni karang lunak untuk tujuan tertentu tanpa mengganggu reproduksi seksualnya. Gangguan terhadap reproduksi seksual karang lunak Sinularia dura hanya terjadi pada awal setelah masa transplantasi dan akan kembali normal/stabil setelah mencapai waktu tertentu dimana pengaruh transplantasi pada koloni karang lunak telah pulih sepenuhnya. Hingga masa 6 bulan setelah transplantasi, karang lunak hasil transplantasi masih memperlihatkan hasil yang positif terhadap perkembangan reproduksi seksualnya Pengaruh kedalaman lokasi transplantasi pada reproduksi karang lunak Sinularia dura Karang lunak hasil transplantasi dibedakan oleh perlakuan kedalaman dengan penanaman rak transplantasi pada kedalaman 3 dan 10 m. Perlakuan ini dilakukan untuk melihat pengaruh kedalaman terhadap reproduksi seksual karang lunak sehingga memperoleh karang lunak hasil transplantasi yang lebih baik pada perkembangan reproduksi seksualnya. Gambar 20 memperlihatkan fluktuasi ratarata densitas oosit pada karang lunak hasil transplantasi 3 dan 10 m pada umur 2

59 bulan setelah transplantasi yang cenderung naik pada fase bulan purnama menuju tiga perempat dan fase bulan mati menuju bulan seperempat. Fluktuasi rata-rata densitas oosit pada umur 6 bulan setelah transplantasi (Gambar 21) juga memperlihat tkan pola yang sama dengan rata-rata densitas pada umur 2 bulan setelah transplantasi. Sumber: Diolah dari Lampiran 4I Gambar 20. Rata-rata densitas oosit pada kedalaman 3 dan 10 m umur 2 bulan setelah transplantasi Sumber: Diolah dari Lampiran 4II Gambar 21. Rata-rata densitas oosit pada kedalaman 3 dan 10 m umur 6 bulan setelah transplantasi

60 Analisis ragam terhadap perlakuan antara kedalaman 3 dan 10 m dengan selang kepercayaan 95% memperlihatkan hasil yang tidak berbeda nyata pada rata-rata densitas oosit. Hal ini ditunjukkan dengan nilai F hit < F tab (Lampiran 5.I) yang berarti terima H o. Hal ini bisa menjelaskan bahwa perkembangan reproduksi karang lunak pada kedalaman 3 maupun 10 m menunjukkan hasil yang sama baik. Dalam penelitian ini, dengan tidak adanya perbedaan yang nyata pada perkembangan oosit terhadap kedalaman yang berbeda yaitu 3 dan 10 m maka hipotesis bahwa kedalaman lokasi transplantasi berpengaruh terhadap perkembangan reproduksi karang lunak Sinularia dura tidak terbukti.

61 5. KESIMPULAN DAN SARAN 5.1. Kesimpulan Tipe seksualitas karang lunak Sinularia dura adalah gonokhorik dengan ditemukannya gamet betina dan jantan pada cabang koloni yang berbeda. Pengamatan pada setiap fase bulan Qomariyah menunjukkan fluktuasi tahap perkembangan oosit yang mengindikasikan bahwa oosit tersebut berkembang pada setiap fase bulan Qomariyah. Karang lunak Sinularia dura hasil transplantasi sudah mampu kembali melakukan reproduksi pada umur 2 bulan setelah transplantasi dengan menghasilkan oosit yang mampu berkembang seperti pada karang lunak non transplantasi. Densitas oosit pada karang lunak hasil transplantasi lebih tinggi dibandingkan dengan karang lunak non transplantasi. Selain itu, penggunaan metode transplantasi pada kedalaman 3 dan 10 m menunjukkan pola perkembangan yang tidak berbeda sehingga metode ini dapat dijadikan sebagai salah satu alternatif yang prospektif untuk pengembangan budidaya karang lunak. Secara ekonomis, penggunaan metode transplantasi pada karang lunak Sinularia dura bisa dilakukan pada kedalaman 3 m Saran Saran yang ingin disampaikan penulis terkait dengan penelitian ini antara lain: 1. Perlu adanya penelitian yang dilakukan secara kontinyu minimal selama satu tahun untuk bisa mengetahui siklus gametogenesis secara lengkap.

62 2. Penggunaan Transmission Electron Microscopy (TEM) pada pengamatan untuk mengetahui siklus gametogenesis. 3. Perlu adanya pengamatan secara langsung di lapangan untuk mengetahui proses pengeluaran gamet (spawning) ke kolom perairan oleh koloni karang lunak.

63 DAFTAR PUSTAKA Achituv, Y. dan Benayahu, Y Polyp dimorphism and functional, sequential hermaphroditism in the soft coral Heteroxenia fuscescens (Octocorallia). Mar. Ecol. Prog. Ser. 64: Bayer, F.M., Octocorallia. in: Treatise on Invertebrata Paleontology, Part F Coelenterata. (R.C. Moore ed.). Geological Society of America and Univ. Kansas Press. Benayahu, Y Reproduction and developmental pathways of Red Sea Xeniidae (Octocorallia, Alcyonacea). Hydrobiologia 216/217: Benayahu, Y., Weil, D., dan Kleinman, M Radiation of broad-casting and brooding patterns in coral reef alcyonaceans. Adv Invertebrate Reprod 5: Choi, E.J. dan Song, J.I Reproductive Biology of the Temperate Soft Coral Dendronephthya suensoni (Alcyonacea: Nephtheidae). Integrative Biosciences 11: Cordes, E.E., Nybakken, dan Van D. G Reproduction and growth of Anthomastus ritteri (Octocorallia: Alcyonacea) from Monterey Bay, California, USA. Mar Biol 138: Dahan, M. dan Benayahu, Y Reproduction of Dendronephthya hemprichi (Cnidaria: Octocorallia): yearround spawning in an azooxanthellate soft coral. Mar Biol Effendi, H Telaah kualitas air bagi pengelolaan sumber daya dan lingkungan perairan. Kanisisus. Jakarta. Fabricius, K. dan Alderslade, P Soft Coral and Sea Fans : A Comprehensive guide to the tropical shallow-water genera of the Central- West Pasific, the Ocean and the Red Sea. Gunarso, W Bahan Pengajaran Mikroteknik. Pusat Antar Universitas Ilmu Hayat. Institut Pertanian Bogor. Bogor. Gutiérrez, C. dan Lasker, H.R Reproductive biology, development, and planula behavior in the Caribbean gorgonian Pseudopterogorgia elisabethae. Invertebr Biol 123(1): Harrison, P.L. dan Wallace, C.C Reproduction, dispersal and recruitment of scleractinian corals. In: Dubinsky Z (ed). Ecosystems of the world, vol 25. Elsevier, Amsterdam, pp

64 Hartnoll, R.G The annual cycle of Alcyonium digitatum. Estuarine and Coastal Marine Science 3: Hwang, S.J. dan Song, J.I Reproductive biology and larval development of the temperate soft coral Dendronephthya gigantea (Alcyonacea: Nephtheidae). Mar Biol 152: Kapela, W. dan Lasker, H.R Size-dependent reproduction in the Caribbean gorgonian Pseudoplexaura porosa. Mar Biol 135: Kiernan, J.A Histological and Histochemical Methods: Theory and Practice. 2 nd Edition. Pergamon Press. Kojis, B.L. dan Quinn, N.J Seasonal and Depth Variation in Fecundity of Acropora palifera at Two Reefs in Papua New Guinea. Coral reef 3: Manuputty, A.E.W Pengenalan Beberapa Karang Lunak (Octocorallia, Alcyonecea) di Lapangan. Oseana. Vol. XXI 4:1-11. Puslitbang Oseanologi-LIPI, Jakarta. Manuputty, A.E.W Karang Lunak (Soft Coral) Perairan Indonesia. Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia. Pusat Penelitian Oseanografi. Jakarta. Rachmaniar, R Penelitian Produk Alam Laut di Indonesia: Status dan Keterkaitan dengan Aplikasi Bioteknologi. Prosiding Seminar Bioteknologi Kelautan Indonesia I 98. Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia. Jakarta. hlm Sandy, R.E Penempelan Fragmen Buatan Sinularia sp. Pada Subtrat Pecahan Karang. Tesis. Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Sari, D.W Densitas dan Ukuran Gamet Spons Aaptos aaptos alami dan hasil transplantasi di gugusan Pulau Pari, Kepulauan Seribu, DKI Jakarta. Skripsi. Program Sarjana. Institut Pertanian Bogor. Bogor. Simpson, A. Reproduction in Octocorals (Subclass Octocorallia): A Review of Published Literature. Darling Marine Center, University of Maine. &ie=utf-8&oe=utf-8&aq=t&rls=org.mozilla:en- US:official&client=firefox-a [20 Agustus 2008]

65 L A M P I R A N

66 Lampiran 1. Metode pembuatan preparat histologis Prosedur pembuatan preparat histologi dengan metode parafin adalah sebagai berikut: 1. Pengambilan jaringan atau sampel karang lunak untuk difiksasi. 2. Fiksasi sampel karang lunak yang telah diambil menggunakan larutan formalin 5-10%. 3. Sampel yang telah difiksasi kemudian didekalsifikasi dengan menggunakan larutan campuran antara HCl, Formalin 37%, Asam Formik, dan Akuades dengan komposisi penyusun larutan 1: 1: 0,5: 7,5. Proses dekalsifikasi berlangsung ±6 jam. 4. Proses dehidrasi yang dilakukan dengan merendam sampel karang lunak pada larutan alkohol bertingkat; alkohol 70% (24 jam), alkohol 80% (24 jam), alkohol 90% (24 jam), alkohol 95% (24 jam), dan alkohol 100% (1,5 jam) sebanyak tiga kali ulangan. 5. Sampel karang lunak kemudian dijernihkan (clearing) dengan menggunakan larutan Xylol selama 60 menit sebanyak tiga kali ulangan. Perendaman ketiga dilakukan selama 30 menit di luar inkubator dan 30 menit di dalam inkubator. 6. Infiltrasi parafin (infiltration) ke dalam jaringan atau sampel karang lunak menggunakan parafin cair dalam inkubator bersuhu 65 o C. Proses infiltrasi dilakukan selama 60 menit sebanyak tiga kali ulangan. 7. Penanaman sampel karang lunak (embedding) menggunakan parafin cair pada cetakan dan kemudian didinginkan hingga membentuk blok parafin. Selanjutnya, blok sampel karang lunak pada parafin dipotong dan dipasang pada blok kayu dan diberi label. 8. Pemotongan jaringan (sectioning) dengan menggunakan mikrotom putar dengan ketebalan ±5 µm. 9. Penempelan sayatan jaringan karang lunak (afiksasi) pada kaca preparat dan pemberian label. 10. Preparat dideparafinasi dengan merendam preparat secara bertahap pada larutan xylol selama 3 menit sebanyak tiga kali ulangan. 11. Preparat direhidrasi dengan merendam preparat pada larutan alkohol secara bertahap selama masing-masing 3 menit (alkohol 100% sebanyak tiga kali ulangan, alkohol 95%, alkohol 90%, alkohol 80%, dan alkohol 70%), air keran (5-10 menit), dan akuades (5-10 menit).

67 Lampiran 1. (Lanjutan) 12. Pewarnaan jaringan menggunakan pewarna ganda Hematoksilin-Eosin. Pewarnaan menggunakan hematoksilin dilakukan selama 20 detik dan kemudian direndam pada air keran selama 5 menit. Pewarnaan dengan eosin dilakukan selama 4-5 menit. 13. Proses dehidrasi dengan merendam preparat pada alkohol bertingkat; alkohol 70%, alkohol 80%, alkohol 90%, alkohol 95%, dan alkohol 100% sebanyak tiga kali ulangan. 14. Proses dilanjutkan dengan penjernihan menggunakan Xylol selama 3 menit sebanyak tiga kali ulangan. 15. Proses mounting yang dilakukan dengan melekatkan kaca penutup di atas jaringan karang lunak menggunakan perekat khusus.

68 Lampiran 2. Baku mutu kualitas air laut untuk biota laut No. Parameter Satuan Baku mutu FISIKA 1 Kecerahan M coral: >5, mangrove: -, lamun: >3 2 Kebauan - alami 3 3 Kekeruhan a NTU <5 4 Padatan tersuspensi total b mg/l coral: 20, mangrove: 80, lamun: 20 5 Sampah - nihil 1 (4) 6 Suhu c o C alami 3(c), coral: (c), mangrove: (c), lamun: (c) 7 Lapisan minyak 5 - nihil 1(5) KIMIA 1 ph d - 7-8,5 (d) 2 Salinitas e alami3 (e), coral: (e), mangrove: s/d 34 (e), lamun: (e) 3 Oksigen terlarut (DO) mg/l >5 4 BOD 5 mg/l 20 5 Ammonia total (NH3-N) mg/l 0,3 6 Fosfat (PO4-P) mg/l 0,015 7 Nitrat (NO3-N) mg/l 0,008 8 Sianida (CN-) mg/l 0,5 9 Sulfida (H2S) mg/l 0,01 10 PAH (Poliaromatik hidrokarbon) mg/l 0,003 Sumber: Keputusan Menteri Lingkungan Hidup no 179 tahun 2004 Catatan: 1. Nihil adalah tidak terdeteksi dengan batas deteksi alat yang digunakan (sesuai dengan metode yang digunakan) 2. Metode analisa mengacu pada metode analisa untuk air laut yang telah ada, baik internasional maupun nasional. 3. Alami adalah kondisi normal suatu lingkungan, bervariasi setiap saat (siang, malam dan musim). 4. Pengamatan oleh manusia (visual). 5. Pengamatan oleh manusia (visual). Lapisan minyak yang diacu adalah lapisan tipis (thin layer) dengan ketebalan 0,01 mm 6. Tidak bloom adalah tidak terjadi pertumbuhan yang berlebihan yang dapat menyebabkan eutrofikasi. Pertumbuhan plankton yang berlebihan dipengaruhi oleh nutrien, cahaya, suhu, kecepatan arus, dan kestabilan plankton itu sendiri. 7. TBT adalah zat antifouling yang biasanya terdapat pada cat kapal a. Diperbolehkan terjadi perubahan sampai dengan <10% kedalaman euphotic b. Diperbolehkan terjadi perubahan sampai dengan <10% konsentrasi rata-rata musiman c. Diperbolehkan terjadi perubahan sampai dengan <2 o C dari suhu alami d. Diperbolehkan terjadi perubahan sampai dengan <0,2 satuan ph e. Diperbolehkan terjadi perubahan sampai dengan <5% dari rata-rata musiman

69 Lampiran 3. Ukuran diameter oosit berdasarkan setiap tahap perkembangannya Oosit tahap I No Panjang (µm) Lebar (µm) 1 15,53 11, ,10 15, ,85 18, ,75 18, ,03 19, ,65 20, ,75 20, ,45 21, ,40 22, ,53 22, ,15 23, ,68 23, ,40 23, ,03 24, ,90 25, ,00 26, ,58 27, ,43 37,58

70 Lampiran 3. (Lanjutan) Oosit tahap II No Panjang (µm) Lebar (µm) No Panjang (µm) Lebar (µm) 1 20,48 18, ,28 31, ,05 22, ,35 31, ,50 23, ,20 32, ,68 23, ,05 32, ,68 24, ,23 32, ,48 24, ,63 32, ,58 25, ,50 32, ,18 25, ,43 33, ,30 25, ,60 33, ,90 26, ,30 33, ,85 27, ,23 33, ,70 27, ,60 33, ,33 27, ,30 33, ,38 27, ,35 34, ,60 28, ,93 34, ,38 28, ,53 34, ,63 28, ,88 34, ,55 29, ,90 34, ,45 29, ,70 35, ,25 29, ,33 35, ,55 29, ,93 35, ,75 29, ,90 36, ,58 30, ,68 37, ,20 30, ,03 37, ,85 30, ,93 37, ,40 30, ,60 37, ,90 30, ,18 37, ,50 30, ,43 37, ,75 30, ,38 37, ,75 31, ,73 37, ,85 31, ,80 37, ,48 31, ,88 38, ,65 31, ,28 38, ,45 31, ,73 38, ,80 31, ,93 39, ,20 31, ,60 39, ,60 31, ,63 39,15

71 Lampiran 3. (Lanjutan) Oosit tahap II No Panjang (µm) Lebar (µm) No Panjang (µm) Lebar (µm) 75 45,23 39, ,55 44, ,40 39, ,48 44, ,00 39, ,40 44, ,95 40, ,33 45, ,55 40, ,93 45, ,73 40, ,18 47, ,75 40, ,18 47, ,20 40, ,85 49, ,68 40, ,73 49, ,85 41, ,70 49, ,68 42, ,30 49, ,35 42, ,40 49, ,58 42, ,60 49, ,30 42, ,13 50, ,48 43, ,85 50, ,88 43, ,23 51, ,93 43, ,35 51, ,00 43, ,40 51, ,33 43, ,83 52, ,55 43, ,05 54, ,93 43, ,98 58, ,10 44, ,60 65, ,45 44,33

72 Lampiran 3. (Lanjutan) Oosit tahap III No Panjang (µm) Lebar (µm) No Panjang (µm) Lebar (µm)

73 Lampiran 3. (Lanjutan) Oosit tahap IV dan V Tahap IV Tahap V No Panjang (µm) Lebar (µm) No Panjang (µm) Lebar (µm) ,35 59, ,13 72, ,35 73, ,13 75, ,43 76, ,55 78, ,33 81, ,40 82, ,05 84, ,95 110, ,28 128,

74 Lampiran 4, Rata-rata densitas oosit pada setiap fase bulan Qomariyah Tahap I II Densitas (oosit/cabang koloni±sd) Fase bulan Qomariyah Transplantasi Transplantasi Non (3 m) (10 m) transplantasi Purnama 1,00±0,00 4,80±1,48 3,50±0,71 Tiga per 39,25±38,22 18,67±16,60 12,00±4,36 Mati/baru 16,67±6,43 18,67±12,70 4,33±3,06 Seperempat 40,50±12,02 42,50±7,78 4,00±3,46 Purnama 2,00±0,71 5,00±2,94 4,00±1,41 Tiga per 4,33±0,58 6,00±5,66 3,00±0,00 Mati/baru 4,00±3,00 3,00±1,73 4,00±2,83 Seperempat 6,00±5,66 4,50±3,54 3,00±3,46

75 Lampiran 5. Tabel hasil analisis ragam (two factor without replication) I. Pengaruh kedalaman lokasi transplantasi pada reproduksi seksual karang lunak Sinularia dura Densitas oosit antara karang lunak hasil transplantasi 3 dan 10 m umur 2 bulan setelah transplantasi Source of Variation SS df MS F hit F tab Rows 1619, ,979 7, , Columns 20, ,4267 0, ,12796 Error 202, ,54337 Total 1842,994 7 Densitas oosit antara karang lunak hasil transplantasi 3 dan 10 m umur 6 bulan setelah transplantasi Source of Variation SS df MS F hit F tab Rows 5, , , , Columns 0, , , ,12796 Error 6, , Total 13, II. Pengaruh transplantasi pada reproduksi seksual karang lunak Sinularia dura Densitas oosit antara karang lunak non transplantasi dan hasil transplantasi 10 m umur 2 bulan setelah transplantasi Source of Variation SS df MS F hit F tab Rows 379, ,555 0, , Columns 462, ,08 3, ,12796 Error 404, ,9448 Total 1246,579 7 Densitas oosit antara karang lunak non transplantasi dan hasil transplantasi 10 m umur 6 bulan setelah transplantasi Source of Variation SS df MS F hit F tab Rows 1, , , , Columns 2, , , ,12796 Error 4, , Total 8,

76 DAFTAR RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Boyolali pada tanggal 14 Oktober 1985 dari pasangan Bapak Sadiyo dan Ibu Suparmi. Lulus dari SMU Negeri 1 Boyolali pada tahun 2004, penulis langsung melanjutkan studi di Institut Pertanian Bogor pada Program Studi Ilmu Kelautan, Departemen Ilmu dan Teknologi Kelautan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan melalui jalur USMI. Selama menjalani kuliah di IPB, penulis aktif dalam Himpunan Mahasiswa Ilmu dan Teknologi Kelautan (HIMITEKA) sebagai pengurus Divisi Pengembangan Sumber Daya Manusia tahun 2005/2006. Penulis juga aktif dalam organisasi Fisheries Diving Club (FDC-IPB) dan menjabat sebagai Ketua FDC pada tahun 2007/2008. Selain itu, penulis juga aktif menjadi Asisten Praktikum pada mata kuliah Widya Selam 2006/2007, Biologi Laut 2006/2007, dan Oseanografi Umum 2007/2008. Penulis juga turut dalam kegiatan monitoring potensi ekosistem terumbu karang di Pulau Belitung tahun 2005 dan kegiatan penelitian bersama FDC-IPB dalam Ekspedisi Zooxanthellae IX di Kabupaten Wakatobi, Sulawesi Tenggara pada tahun 2007 sebagai tim ikan karang. Untuk menyelesaikan studi dan memperoleh gelar Sarjana Perikanan di Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, penulis menyusun skripsi dengan judul Perkembangan Gamet Karang Lunak Sinularia dura Hasil Transplantasi di Pulau Pramuka, Kepulauan Seribu, DKI Jakarta.

PERKEMBANGAN GAMET KARANG LUNAK Sinularia dura HASIL TRANSPLANTASI DI PULAU PRAMUKA, KEPULAUAN SERIBU, DKI JAKARTA

PERKEMBANGAN GAMET KARANG LUNAK Sinularia dura HASIL TRANSPLANTASI DI PULAU PRAMUKA, KEPULAUAN SERIBU, DKI JAKARTA PERKEMBANGAN GAMET KARANG LUNAK Sinularia dura HASIL TRANSPLANTASI DI PULAU PRAMUKA, KEPULAUAN SERIBU, DKI JAKARTA Oleh: Edy Setyawan C64104005 PROGRAM STUDI ILMU DAN TEKNOLOGI KELAUTAN FAKULTAS PERIKANAN

Lebih terperinci

3. METODOLOGI PENELITIAN

3. METODOLOGI PENELITIAN 3. METODOLOGI PENELITIAN 3.1. Lokasi dan Waktu Penelitian Sampel spons Petrosia (petrosia) nigricans yang digunakan untuk penelitian di laboratorium di peroleh di bagian barat daya Pulau Pramuka Gugusan

Lebih terperinci

PERKEMBANGAN OOSIT KARANG LUNAK Sarcophyton crassocaule HASIL FRAGMENTASI DI GOSONG PRAMUKA, KEPULAUAN SERIBU, JAKARTA VIDIA CHAIRUN NISA

PERKEMBANGAN OOSIT KARANG LUNAK Sarcophyton crassocaule HASIL FRAGMENTASI DI GOSONG PRAMUKA, KEPULAUAN SERIBU, JAKARTA VIDIA CHAIRUN NISA i PERKEMBANGAN OOSIT KARANG LUNAK Sarcophyton crassocaule HASIL FRAGMENTASI DI GOSONG PRAMUKA, KEPULAUAN SERIBU, JAKARTA VIDIA CHAIRUN NISA DEPARTEMEN ILMU DAN TEKNOLOGI KELAUTAN FAKULTAS PERIKANAN DAN

Lebih terperinci

KAJIAN PERKEMBANGAN OOSIT KARANG LUNAK Lobophytum strictum NON FRAGMENTASI DAN FRAGMENTASI BUATAN DI PULAU PRAMUKA, KEPULAUAN SERIBU

KAJIAN PERKEMBANGAN OOSIT KARANG LUNAK Lobophytum strictum NON FRAGMENTASI DAN FRAGMENTASI BUATAN DI PULAU PRAMUKA, KEPULAUAN SERIBU KAJIAN PERKEMBANGAN OOSIT KARANG LUNAK Lobophytum strictum NON FRAGMENTASI DAN FRAGMENTASI BUATAN DI PULAU PRAMUKA, KEPULAUAN SERIBU MARSHEILLA TJAHJADI SKRIPSI DEPARTEMEN ILMU DAN TEKNOLOGI KELAUTAN FAKULTAS

Lebih terperinci

DENSITAS DAN UKURAN GAMET SPONS Aaptos aaptos (Schmidt 1864) HASIL TRANSPLANTASI DI HABITAT BUATAN ANCOL, DKI JAKARTA

DENSITAS DAN UKURAN GAMET SPONS Aaptos aaptos (Schmidt 1864) HASIL TRANSPLANTASI DI HABITAT BUATAN ANCOL, DKI JAKARTA DENSITAS DAN UKURAN GAMET SPONS Aaptos aaptos (Schmidt 1864) HASIL TRANSPLANTASI DI HABITAT BUATAN ANCOL, DKI JAKARTA Oleh: Wini Wardani Hidayat C64103013 PROGRAM STUDI ILMU DAN TEKNOLOGI KELAUTAN FAKULTAS

Lebih terperinci

PERTUMBUHAN KARANG LUNAK

PERTUMBUHAN KARANG LUNAK PERTUMBUHAN KARANG LUNAK (Octocorallia:Alcyonacea) Lobophytum strictum, Sinularia dura DAN PERKEMBANGAN GONAD Sinularia dura HASIL FRAGMENTASI BUATAN DI PULAU PRAMUKA, KEPULAUAN SERIBU, JAKARTA DONDY ARAFAT

Lebih terperinci

2. TINJAUAN PUSTAKA. biota-biota penyusunnya, dengan keanekaragaman jenis yang tinggi. Salah satu

2. TINJAUAN PUSTAKA. biota-biota penyusunnya, dengan keanekaragaman jenis yang tinggi. Salah satu 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Karang Lunak Lobophytum strictum Terumbu karang merupakan ekosistem di perairan tropis yang kaya akan biota-biota penyusunnya, dengan keanekaragaman jenis yang tinggi. Salah satu

Lebih terperinci

Gambar 11. Pemilihan dan pemotongan bibit karang lunak (Alcyonacea).

Gambar 11. Pemilihan dan pemotongan bibit karang lunak (Alcyonacea). HASIL DAN PEMBAHASAN Adaptasi Karang Lunak Hasil Fragmentasi (Pemotongan) Awal persiapan penelitian dimulai dari cara pengambilan sampel bibit, pengumpulan bibit, pemotongan hingga pemeliharaan dan pengukuran.

Lebih terperinci

2. TINJAUAN PUSTAKA. Sistem klasifikasi bagi karang lunak Sinularia dura adalah sebagai berikut

2. TINJAUAN PUSTAKA. Sistem klasifikasi bagi karang lunak Sinularia dura adalah sebagai berikut 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Karang Lunak Sinularia dura Sistem klasifikasi bagi karang lunak Sinularia dura adalah sebagai berikut : (Hyman, 1940; Bayer 1956 in Ellis and Sharron, 2005): Filum : Cnidaria Kelas

Lebih terperinci

METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Zoologi Biologi FMIPA. Universitas Lampung untuk pemeliharaan, pemberian perlakuan, dan

METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Zoologi Biologi FMIPA. Universitas Lampung untuk pemeliharaan, pemberian perlakuan, dan 16 III. METODE PENELITIAN A. Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Zoologi Biologi FMIPA Universitas Lampung untuk pemeliharaan, pemberian perlakuan, dan pengamatan. Proses

Lebih terperinci

Suciadi Catur Nugroho C

Suciadi Catur Nugroho C Tingkat Kelangsungan Hidup dan Laju Pertumbuhan Transplantasi Karang Lunak Sinularia dura dan Lobophytum strictum di Pulau Pramuka, Kepulauan Seribu, Jakarta. Suciadi Catur Nugroho C64104043 PROGRAM STUDI

Lebih terperinci

MODUL TRANSPLANTASI KARANG SECARA SEDERHANA PELATIHAN EKOLOGI TERUMBU KARANG ( COREMAP FASE II KABUPATEN SELAYAR YAYASAN LANRA LINK MAKASSAR)

MODUL TRANSPLANTASI KARANG SECARA SEDERHANA PELATIHAN EKOLOGI TERUMBU KARANG ( COREMAP FASE II KABUPATEN SELAYAR YAYASAN LANRA LINK MAKASSAR) MODUL TRANSPLANTASI KARANG SECARA SEDERHANA PELATIHAN EKOLOGI TERUMBU KARANG ( COREMAP FASE II KABUPATEN SELAYAR YAYASAN LANRA LINK MAKASSAR) Benteng, Selayar 22-24 Agustus 2006 TRANSPLANTASI KARANG Terumbu

Lebih terperinci

GAMBARAN HISTOLOGIS TESTIS MUDA DAN DEWASA PADA IKAN MAS Cyprinus carpio.l RAHMAT HIDAYAT SKRIPSI

GAMBARAN HISTOLOGIS TESTIS MUDA DAN DEWASA PADA IKAN MAS Cyprinus carpio.l RAHMAT HIDAYAT SKRIPSI GAMBARAN HISTOLOGIS TESTIS MUDA DAN DEWASA PADA IKAN MAS Cyprinus carpio.l RAHMAT HIDAYAT SKRIPSI PROGRAM STUDI TEKNOLOGI DAN MANAJEMEN AKUAKULTUR DEPARTEMEN BUDIDAYA PERAIRAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU

Lebih terperinci

3. METODE PENELITIAN

3. METODE PENELITIAN 22 3. METODE PENELITIAN 3.1. Waktu dan Lokasi Penelitian Penelitian ini dilakukan di perairan Pulau Karya, Kelurahan Pulau Panggang, Kecamatan Pulau Seribu Utara, Kepulauan Seribu, DKI Jakarta. Stasiun

Lebih terperinci

DISTRIBUSI DAN PREFERENSI HABITAT SPONS KELAS DEMOSPONGIAE DI KEPULAUAN SERIBU PROVINSI DKI JAKARTA KARJO KARDONO HANDOJO

DISTRIBUSI DAN PREFERENSI HABITAT SPONS KELAS DEMOSPONGIAE DI KEPULAUAN SERIBU PROVINSI DKI JAKARTA KARJO KARDONO HANDOJO DISTRIBUSI DAN PREFERENSI HABITAT SPONS KELAS DEMOSPONGIAE DI KEPULAUAN SERIBU PROVINSI DKI JAKARTA KARJO KARDONO HANDOJO SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2006 PERNYATAAN MENGENAI TESIS

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA Deskripsi Umum Karang Lunak ( Soft Coral

TINJAUAN PUSTAKA Deskripsi Umum Karang Lunak ( Soft Coral TINJAUAN PUSTAKA Deskripsi Umum Karang Lunak (Soft Coral) Ekosistem terumbu karang pada umumnya biota yang dominan ialah karang batu. Dalam susunan ekosistem terumbu karang karang Alcyonacea atau yang

Lebih terperinci

2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Terumbu Karang

2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Terumbu Karang 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Terumbu Karang Terumbu karang (coral reef) merupakan ekosistem laut dangkal yang terbentuk dari endapan-endapan masif terutama kalsium karbonat (CaCO 3 ) yang dihasilkan terutama

Lebih terperinci

PERTUMBUHAN KARANG LUNAK

PERTUMBUHAN KARANG LUNAK PERTUMBUHAN KARANG LUNAK (Octocorallia:Alcyonacea) Lobophytum strictum, Sinularia dura DAN PERKEMBANGAN GONAD Sinularia dura HASIL FRAGMENTASI BUATAN DI PULAU PRAMUKA, KEPULAUAN SERIBU, JAKARTA DONDY ARAFAT

Lebih terperinci

METODOLOGI PENELITIAN. Lampung untuk pemeliharaan dan pemberian perlakuan pada mencit dan

METODOLOGI PENELITIAN. Lampung untuk pemeliharaan dan pemberian perlakuan pada mencit dan III. METODOLOGI PENELITIAN A. Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Zoologi Biologi FMIPA Universitas Lampung untuk pemeliharaan dan pemberian perlakuan pada mencit dan

Lebih terperinci

FITOPLANKTON : DISTRIBUSI HORIZONTAL DAN HUBUNGANNYA DENGAN PARAMETER FISIKA KIMIA DI PERAIRAN DONGGALA SULAWESI TENGAH

FITOPLANKTON : DISTRIBUSI HORIZONTAL DAN HUBUNGANNYA DENGAN PARAMETER FISIKA KIMIA DI PERAIRAN DONGGALA SULAWESI TENGAH FITOPLANKTON : DISTRIBUSI HORIZONTAL DAN HUBUNGANNYA DENGAN PARAMETER FISIKA KIMIA DI PERAIRAN DONGGALA SULAWESI TENGAH Oleh : Helmy Hakim C64102077 PROGRAM STUDI ILMU DAN TEKNOLOGI KELAUTAN FAKULTAS PERIKANAN

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Kondisi dan Variasi Temporal Parameter Fisika-Kimiawi Perairan Kondisi perairan merupakan faktor utama dalam keberhasilan hidup karang. Perubahan kondisi perairan dapat mempengaruhi

Lebih terperinci

Klasifikasi Sarcophyton dalam sistem taksonomi adalah sebagai berikut. Sub-kelas : Octocorallia (Alcyonaria) Ordo : Alcyonaceae

Klasifikasi Sarcophyton dalam sistem taksonomi adalah sebagai berikut. Sub-kelas : Octocorallia (Alcyonaria) Ordo : Alcyonaceae 4 2.1.1 Taksonomi Klasifikasi Sarcophyton dalam sistem taksonomi adalah sebagai berikut (Fabricius dan Alderslade, 2001): Kingdom : Animalia Filum : Coelenterata (Cnidaria) Kelas : Anthozoa Sub-kelas :

Lebih terperinci

SEBARAN DAN ASOSIASI PERIFITON PADA EKOSISTEM PADANG LAMUN (Enhalus acoroides) DI PERAIRAN PULAU TIDUNG BESAR, KEPULAUAN SERIBU, JAKARTA UTARA

SEBARAN DAN ASOSIASI PERIFITON PADA EKOSISTEM PADANG LAMUN (Enhalus acoroides) DI PERAIRAN PULAU TIDUNG BESAR, KEPULAUAN SERIBU, JAKARTA UTARA SEBARAN DAN ASOSIASI PERIFITON PADA EKOSISTEM PADANG LAMUN (Enhalus acoroides) DI PERAIRAN PULAU TIDUNG BESAR, KEPULAUAN SERIBU, JAKARTA UTARA Oleh: Yuri Hertanto C64101046 PROGRAM STUDI ILMU DAN TEKNOLOGI

Lebih terperinci

3. METODE PENELITIAN

3. METODE PENELITIAN 3. METODE PENELITIAN 3.1. Waktu dan Lokasi Penelitian Penelitian ini dilaksanakan dari bulan September 2011 hingga Desember 2011 bertempat di Gosong Pramuka, Kepulauan Seribu, DKI Jakarta dengan koordinat

Lebih terperinci

METODOLOGI PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Zoologi Jurusan Biologi FMIPA

METODOLOGI PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Zoologi Jurusan Biologi FMIPA 19 III. METODOLOGI PENELITIAN A. Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Zoologi Jurusan Biologi FMIPA Universitas Lampung untuk pemeliharaan dan pemberian perlakuan pada

Lebih terperinci

BAB III BAHAN DAN METODE

BAB III BAHAN DAN METODE BAB III BAHAN DAN METODE 3.1 Tempat dan Waktu Penelitian ini dilaksanakan selama 3 bulan pada bulan Maret-Mei 2013. Pengambilan sampel ikan mas berasal dari ikan hasil budidaya dalam keramba jaring apung

Lebih terperinci

3. METODE PENELITIAN

3. METODE PENELITIAN 14 3. METODE PENELITIAN 3.1. Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian dilakukan di Perairan Pulau Karya, Kepulauan Seribu yang dilaksanakan pada bulan September 2010 sampai dengan Juli 2011. Lokasi pengamatan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. disebut arus dan merupakan ciri khas ekosistem sungai (Odum, 1996). dua cara yang berbeda dasar pembagiannya, yaitu :

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. disebut arus dan merupakan ciri khas ekosistem sungai (Odum, 1996). dua cara yang berbeda dasar pembagiannya, yaitu : 5 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Perairan Sungai Sungai adalah suatu perairan yang airnya berasal dari mata air, air hujan, air permukaan dan mengalir secara terus menerus pada arah tertentu. Aliran air

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN 3.1. Tempat dan Waktu Penelitian 3.1.1. Tempat dan waktu pengambilan sampel Sampel diambil di Pantai Timur Surabaya, tepatnya di sebelah Timur Jembatan Suramadu (Gambar 3.1).

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Kondisi Fisika dan Kimia Perairan Kondisi alami sampel karang berdasarkan data (Lampiran 1) dengan kondisi tempat fragmentasi memiliki perbedaan yang tidak terlalu signifikan

Lebih terperinci

Lampiran 1 Prosedur Pembuatan Preparat Histologi

Lampiran 1 Prosedur Pembuatan Preparat Histologi LAMPIRAN 38 Lampiran 1 Prosedur Pembuatan Preparat Histologi Pembuatan preparat histologi terdiri dari beberapa proses yaitu dehidrasi (penarikan air dalam jaringan) dengan alkohol konsentrasi bertingkat,

Lebih terperinci

LAPORAN PRAKTIKUM HISTOTEKNIK DASAR

LAPORAN PRAKTIKUM HISTOTEKNIK DASAR LAPORAN PRAKTIKUM HISTOTEKNIK DASAR Disusun Oleh: Nama : Juwita NIM : 127008003 Tanggal Praktikum: 22 September 2012 Tujuan praktikum: 1. Agar praktikan memahami dan mampu melaksanakan Tissue Processing.

Lebih terperinci

5. PARAMETER-PARAMETER REPRODUKSI

5. PARAMETER-PARAMETER REPRODUKSI 5. PARAMETER-PARAMETER REPRODUKSI Pengukuran parameter reproduksi akan menjadi usaha yang sangat berguna untuk mengetahui keadaan kelamin, kematangan alat kelamin dan beberapa besar potensi produksi dari

Lebih terperinci

PEMBAHASAN UMUM. faktor lingkungan dimana fragmen spons diletakkan pada saat fragmentasi.

PEMBAHASAN UMUM. faktor lingkungan dimana fragmen spons diletakkan pada saat fragmentasi. PEMBAHASAN UMUM Kelangsungan hidup (sintasan) dan pertumbuhan spons dipengaruhi oleh faktor lingkungan dimana fragmen spons diletakkan pada saat fragmentasi. Kondisi lingkungan yang optimal dibutuhkan

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN. Desain penelitian adalah eksperimen dengan metode desain paralel.

III. METODE PENELITIAN. Desain penelitian adalah eksperimen dengan metode desain paralel. III. METODE PENELITIAN A. Desain Penelitian Desain penelitian adalah eksperimen dengan metode desain paralel. Menggunakan 20 ekor mencit (Mus musculus L.) jantan galur Balb/c yang dibagi menjadi 4 kelompok

Lebih terperinci

3. METODE PENELITIAN. Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Pusat Studi Ilmu Kelautan IPB,

3. METODE PENELITIAN. Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Pusat Studi Ilmu Kelautan IPB, 3. METODE PENELITIAN 3.1. Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Pusat Studi Ilmu Kelautan IPB, Ancol, Jakarta yang meliputi dua tahap yaitu persiapan dan fragmentasi Lobophytum

Lebih terperinci

KAJIAN FAKTOR LINGKUNGAN HABITAT KERANG MUTIARA (STADIA SPAT ) DI PULAU LOMBOK, NUSA TENGGARA BARAT

KAJIAN FAKTOR LINGKUNGAN HABITAT KERANG MUTIARA (STADIA SPAT ) DI PULAU LOMBOK, NUSA TENGGARA BARAT KAJIAN FAKTOR LINGKUNGAN HABITAT KERANG MUTIARA (STADIA SPAT ) DI PULAU LOMBOK, NUSA TENGGARA BARAT Oleh : H. M. Eric Harramain Y C64102053 PROGRAM STUDI ILMU DAN TEKNOLOGI KELAUTAN FAKULTAS PERIKANAN

Lebih terperinci

Waktu dan Tempat Penelitian. Penelitian ini dilaksanakan dari bulan Desember Juni 2002.

Waktu dan Tempat Penelitian. Penelitian ini dilaksanakan dari bulan Desember Juni 2002. MATERI DAN METODE Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini dilaksanakan dari bulan Desember 2001 - Juni 2002. Pemeliharaan dan pengamatan pertumbuhan ternak dilakukan di kandang Unggas Fakultas Petemakan

Lebih terperinci

PENGARUH WAKTU FRAGMENTASI KOLONI SPONS Petrosia sp. TERHADAP KANDUNGAN SENYAWA BIOAKTIF

PENGARUH WAKTU FRAGMENTASI KOLONI SPONS Petrosia sp. TERHADAP KANDUNGAN SENYAWA BIOAKTIF PENGARUH WAKTU FRAGMENTASI KOLONI SPONS Petrosia sp. TERHADAP KANDUNGAN SENYAWA BIOAKTIF Oleh : Siti Aisyah Cinthia Indah Anggraini C64103025 PROGRAM STUDI ILMU DAN TEKNOLOGI KELAUTAN FAKULTAS PERIKANAN

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Kondisi Fisika dan Kimia Perairan Pulau Karya Tabel 2. Data parameter fisika dan kimia lokasi transplantasi di perairan Pulau Karya bulan September 2010 sampai dengan Juli

Lebih terperinci

METODOLOGI PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Zoologi Jurusan Biologi FMIPA

METODOLOGI PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Zoologi Jurusan Biologi FMIPA 15 III. METODOLOGI PENELITIAN A. Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Zoologi Jurusan Biologi FMIPA Universitas Lampung untuk pemeliharaan dan pemberian perlakuan pada

Lebih terperinci

REPRODUKSI DAN PROPAGASI PADA OCTOCORALLIA

REPRODUKSI DAN PROPAGASI PADA OCTOCORALLIA Oseana, Volume XXX, Nomor 1, 2005: 21-27 ISSN 0216-1877 REPRODUKSI DAN PROPAGASI PADA OCTOCORALLIA Oleh Anna E.W. Manuputty 1) ABSTRACT OCTOCORALS REPRODUCTION AND PROPAGATION. Octocorals occur in virtually

Lebih terperinci

3 METODE PENELITIAN. Pulau Barrang Lompo. Pulau Laelae. Sumber :Landsat ETM+Satellite Image Aquisition tahun 2002

3 METODE PENELITIAN. Pulau Barrang Lompo. Pulau Laelae. Sumber :Landsat ETM+Satellite Image Aquisition tahun 2002 17 3 METODE PENELITIAN 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian dilaksanakan di Kepulauan Spermonde yaitu; Pulau Laelae, Pulau Barrang Lompo dan Pulau Lanyukang di Kota Makassar yang berlangsung dari

Lebih terperinci

STRUKTUR DAN POLA ZONASI (SEBARAN) MANGROVE SERTA MAKROZOOBENTHOS YANG BERKOEKSISTENSI, DI DESA TANAH MERAH DAN OEBELO KECIL KABUPATEN KUPANG

STRUKTUR DAN POLA ZONASI (SEBARAN) MANGROVE SERTA MAKROZOOBENTHOS YANG BERKOEKSISTENSI, DI DESA TANAH MERAH DAN OEBELO KECIL KABUPATEN KUPANG STRUKTUR DAN POLA ZONASI (SEBARAN) MANGROVE SERTA MAKROZOOBENTHOS YANG BERKOEKSISTENSI, DI DESA TANAH MERAH DAN OEBELO KECIL KABUPATEN KUPANG Oleh: Muhammad Firly Talib C64104065 PROGRAM STUDI ILMU DAN

Lebih terperinci

3 METODOLOGI PENELITIAN

3 METODOLOGI PENELITIAN 3 METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian Lokasi penelitian mengambil tempat di pulau Pramuka Kepulauan Seribu, Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu Propinsi DKI Jakarta (Peta Lokasi Lampiran

Lebih terperinci

b. Hasil tangkapan berdasarkan komposisi Lokasi

b. Hasil tangkapan berdasarkan komposisi Lokasi LAMPIRAN 56 57 Lampiran 1. Sebaran hasil tangkap berdasarkan selang ukuran panjang cangkang Nilai maksimum = 46,60 Nilai minimum = 21,30 Kisaran = 25,30 Jumlah kelas = 1+3,32 log (N) = 1+ 3,32 log(246)

Lebih terperinci

bio.unsoed.ac.id MATERI DAN METODE PENELITIAN

bio.unsoed.ac.id MATERI DAN METODE PENELITIAN III. MATERI DAN METODE PENELITIAN A. Materi, Lokasi, dan Waktu Penelitian 1. Materi Penelitian 1.1 Bahan Bahan yang digunakan antara lain daun salak [Salacca zalacca (Gaertn.) Voss] kultivar Kedung Paruk,

Lebih terperinci

STUDI EKOLOGI KISTA DINOFLAGELLATA SPESIES PENYEBAB HAB (Harmful Algal Bloom) DI SEDIMEN PADA PERAIRAN TELUK JAKARTA. Oleh; Galih Kurniawan C

STUDI EKOLOGI KISTA DINOFLAGELLATA SPESIES PENYEBAB HAB (Harmful Algal Bloom) DI SEDIMEN PADA PERAIRAN TELUK JAKARTA. Oleh; Galih Kurniawan C STUDI EKOLOGI KISTA DINOFLAGELLATA SPESIES PENYEBAB HAB (Harmful Algal Bloom) DI SEDIMEN PADA PERAIRAN TELUK JAKARTA Oleh; Galih Kurniawan C64104033 PROGRAM STUDI ILMU DAN TEKNOLOGI KELAUTAN FAKULTAS PERIKANAN

Lebih terperinci

2. TINJAUAN PUSTAKA. Anemon laut merupakan hewan invertebrata atau hewan yang tidak

2. TINJAUAN PUSTAKA. Anemon laut merupakan hewan invertebrata atau hewan yang tidak 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Anemon Laut Anemon laut merupakan hewan invertebrata atau hewan yang tidak memiliki tulang belakang. Anemon laut ditemukan hidup secara soliter (individual) dengan bentuk tubuh

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN. Penelitian dilakukan di laboratorium Biologi dan Fisika FMIPA Universitas

III. METODE PENELITIAN. Penelitian dilakukan di laboratorium Biologi dan Fisika FMIPA Universitas 17 III. METODE PENELITIAN A. Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian dilakukan di laboratorium Biologi dan Fisika FMIPA Universitas Lampung dan pembuatan preparat histologi hati dilaksanakan di Balai Penyidikan

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI. untuk Microsoft Windows.

BAB III METODOLOGI. untuk Microsoft Windows. 18 BAB III METODOLOGI 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Juni 2010 sampai Agustus 2011. Kegiatan pemeliharaan dan perlakuan hewan coba bertempat di Fasilitas Kandang

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. kegiatan pengumpulan dan analisis data yang bertujuan untuk menggambarkan

BAB III METODE PENELITIAN. kegiatan pengumpulan dan analisis data yang bertujuan untuk menggambarkan 39 BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Jenis Penelitian Penelitian ini merupakan jenis penelitian deskriptif yaitu mengadakan kegiatan pengumpulan dan analisis data yang bertujuan untuk menggambarkan keadaan

Lebih terperinci

3 METODE PENELITIAN. Waktu dan Lokasi Penelitian

3 METODE PENELITIAN. Waktu dan Lokasi Penelitian 3 METODE PENELITIAN Waktu dan Lokasi Penelitian Penelitian dilaksanakan selama empat bulan dari Oktober 2011 hingga Januari 2012 di Waduk Ir. H. Djuanda, Jatiluhur, Purwakarta, Jawa Barat (Gambar 3). Pengambilan

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Tempat dan Waktu Penelitian BAB III METODE PENELITIAN Penelitian ini dilaksanakan di Perairan Pulau Panggang Kepulauan Seribu DKI Jakarta pada bulan Maret 2013. Identifikasi makrozoobentos dan pengukuran

Lebih terperinci

KAITAN KONDISI OSEANOGRAFI DENGAN KEPADATAN DAN KEANEKARAGAMAN KARANG LUNAK DI PULAU LAELAE, PULAU BONEBATANG DAN PULAU BADI SKRIPSI

KAITAN KONDISI OSEANOGRAFI DENGAN KEPADATAN DAN KEANEKARAGAMAN KARANG LUNAK DI PULAU LAELAE, PULAU BONEBATANG DAN PULAU BADI SKRIPSI KAITAN KONDISI OSEANOGRAFI DENGAN KEPADATAN DAN KEANEKARAGAMAN KARANG LUNAK DI PULAU LAELAE, PULAU BONEBATANG DAN PULAU BADI SKRIPSI MUFTI AKBAR L111 08 300 JURUSAN ILMU KELAUTAN FAKULTAS ILMU KELAUTAN

Lebih terperinci

BAB III BAHAN DAN METODE

BAB III BAHAN DAN METODE BAB III BAHAN DAN METODE 3.1 Tempat dan Waktu Penelitian dilaksanakan di lapangan dan di laboratoirum. Pengambilan sampel ikan bertempat di DAS Citarum bagian hulu dengan 4 stasiun yang telah ditentukan.

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Pulau Pramuka I II III

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Pulau Pramuka I II III BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Parameter Fisika dan Kimiawi Perairan Berdasarkan hasil penelitian di perairan Kepulauan Seribu yaitu Pulau Pramuka dan Pulau Semak Daun, diperoleh nilai-nilai parameter

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN 25 BAB III METODE PENELITIAN A. Jenis Penelitian Jenis penelitian ini merupakan penelitian eksperimen. Penelitian eksperimen adalah penelitian yang dilakukan dengan mengadakan manipulasi terhadap objek

Lebih terperinci

III. METODOLOGI PENELITIAN

III. METODOLOGI PENELITIAN 28 III. METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Tempat dan Waktu Penelitian Metode pengambilan sampel air, sedimen dan ikan dilakukan secara purposive sampling (secara sengaja) atau judgement sampling. Penelitian dilakukan

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian ini merupakan penelitian eksperimental menggunakan Rancangan

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian ini merupakan penelitian eksperimental menggunakan Rancangan BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Rancangan Penelitian Penelitian ini merupakan penelitian eksperimental menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL). Perlakuan di kelompokkan menjadi 4 kelompok dengan ulangan

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA

II. TINJAUAN PUSTAKA II. TINJAUAN PUSTAKA A. Klasifikasi dan Morfologi Clownfish Klasifikasi Clownfish menurut Burges (1990) adalah sebagai berikut: Kingdom Filum Ordo Famili Genus Spesies : Animalia : Chordata : Perciformes

Lebih terperinci

V. PENGARUH FRAGMENTASI BUATAN TERHADAP PERKEMBANGAN OOSIT SPONS Aptos aaptos PENDAHULUAN

V. PENGARUH FRAGMENTASI BUATAN TERHADAP PERKEMBANGAN OOSIT SPONS Aptos aaptos PENDAHULUAN V. PENGARUH FRAGMENTASI BUATAN TERHADAP PERKEMBANGAN OOSIT SPONS Aptos aaptos PENDAHULUAN Latar Belakang Fragmentasi spons merupakan cara yang digunakan untuk mempercepat perbanyakan koloni spons di alam.

Lebih terperinci

METODE PENELITIAN Waktu dan Tempat Penelitian Bahan dan Peralatan Persiapan Kandang Penelitian

METODE PENELITIAN Waktu dan Tempat Penelitian Bahan dan Peralatan Persiapan Kandang Penelitian 14 METODE PENELITIAN Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian dilaksanakan pada bulan Februari sampai November 2011. Kegiatan pemeliharaan dan perlakuan hewan coba bertempat di fasilitas kandang hewan percobaan

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Keadaan Umum Perairan Teluk Jakarta Perairan Teluk Jakarta merupakan sebuah teluk di perairan Laut Jawa yang terletak di sebelah utara provinsi DKI Jakarta, Indonesia. Terletak

Lebih terperinci

Waktu dan Tempat Penelitian Materi Penelitian Metode Penelitian Pembuatan Tikus Diabetes Mellitus Persiapan Hewan Coba

Waktu dan Tempat Penelitian Materi Penelitian Metode Penelitian Pembuatan Tikus Diabetes Mellitus Persiapan Hewan Coba Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian dilaksanakan pada bulan Juli 2007 sampai dengan bulan Juli 2008 di Laboratorium Bersama Hewan Percobaan Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan, Fakultas Teknologi Pertanian

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN. kondisi kualitas perairan dalam system resirkulasi untuk pertumbuhan dan

4. HASIL DAN PEMBAHASAN. kondisi kualitas perairan dalam system resirkulasi untuk pertumbuhan dan 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Parameter Fisika Kimia Perairan Pengukuran parameter fisika dan kimia bertujuan untuk mengetahui kondisi kualitas perairan dalam system resirkulasi untuk pertumbuhan dan kelangsungan

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. tercemar adalah plankton. Plankton adalah organisme. mikroskopik yang hidup mengapung atau melayang di dalam air dan

II. TINJAUAN PUSTAKA. tercemar adalah plankton. Plankton adalah organisme. mikroskopik yang hidup mengapung atau melayang di dalam air dan 6 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Plankton Salah satu organisme yang dapat berperan sebagai bioindikator perairan tercemar adalah plankton. Plankton adalah organisme mikroskopik yang hidup mengapung atau melayang

Lebih terperinci

KLASIFIKASI CNIDARIA. By Luisa Diana Handoyo, M.Si.

KLASIFIKASI CNIDARIA. By Luisa Diana Handoyo, M.Si. KLASIFIKASI CNIDARIA By Luisa Diana Handoyo, M.Si. Tujuan pembelajaran Setelah mengikuti perkuliahan ini mahasiswa diharapkan mampu : Menjelaskan klasifikasi Cnidaria Menjelaskan daur hidup hewan yang

Lebih terperinci

PENGENALAN BEBERAPA KARANG LUNAK (OCTOCORALLIA, ALCYONACEA), DI LAPANGAN. oleh : Anna E.W. Manuputty 1} ABSTRACT

PENGENALAN BEBERAPA KARANG LUNAK (OCTOCORALLIA, ALCYONACEA), DI LAPANGAN. oleh : Anna E.W. Manuputty 1} ABSTRACT Oseana, Volume XXI, Nomor 4, 1996 : 1-11 ISSN 0216-1877 PENGENALAN BEBERAPA KARANG LUNAK (OCTOCORALLIA, ALCYONACEA), DI LAPANGAN oleh : Anna E.W. Manuputty 1} ABSTRACT THE SOFT CORALS (OCTOCORALLIA, ALCYONACEA),

Lebih terperinci

3. METODE. Tabel 1 Posisi geografis stasiun penelitian.

3. METODE. Tabel 1 Posisi geografis stasiun penelitian. 31 3. METODE 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di perairan Pulau Pramuka, Kelurahan Pulau Panggang, Kecamatan Kepulauan Seribu Utara, Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu,

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Hasil Penelitian Pengambilan sampel dilakukan sebulan sekali selama 3 bulan berturutturut, yakni pada tanggal 10-11 Februari 2012, 7 Maret 2012 dan 7 April 2012. Pengambilan

Lebih terperinci

Rekayasa Teknologi Transplantasi Lamun pada Jenis Enhalus acoroides dan Thallassia hemprichii di Kepulauan Seribu, DKI Jakarta

Rekayasa Teknologi Transplantasi Lamun pada Jenis Enhalus acoroides dan Thallassia hemprichii di Kepulauan Seribu, DKI Jakarta Rekayasa Teknologi Transplantasi Lamun pada Jenis Enhalus acoroides dan Thallassia hemprichii di Kepulauan Seribu, DKI Jakarta Oleh : Ir. Mujizat Kawaroe, M.Si Prof. Dr. Indra Jaya, M.Sc Ir. Indarto H.

Lebih terperinci

METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Agustus - Oktober 2013 di Balai Besar

METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Agustus - Oktober 2013 di Balai Besar III. METODE PENELITIAN 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Agustus - Oktober 2013 di Balai Besar Pengembangan Budidaya Laut (BBPBL) Lampung tepatnya di Laboratorium Pembenihan Kuda

Lebih terperinci

II. METODELOGI 2.1 Waktu dan Tempat 2.2 Alat dan Bahan 2.3 Tahap Penelitian

II. METODELOGI 2.1 Waktu dan Tempat 2.2 Alat dan Bahan 2.3 Tahap Penelitian II. METODELOGI 2.1 Waktu dan Tempat Penelitian ini dilaksanakan pada bulan November sampai dengan Desember 2011 di Laboratorium Lingkungan dan Laboratorium Kesehatan Ikan, Budidaya Perairan, Fakultas Perikanan

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN

III. METODE PENELITIAN III. METODE PENELITIAN.1 Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian dilakukan di Teluk Palabuhan Ratu Kecamatan Palabuhan Ratu, Jawa Barat. Studi pendahuluan dilaksanakan pada Bulan September 007 untuk survey

Lebih terperinci

B. Ekosistem Hutan Mangrove

B. Ekosistem Hutan Mangrove B. Ekosistem Hutan Mangrove 1. Deskripsi merupakan komunitas vegetasi pantai tropis, didominasi oleh beberapa spesies pohon mangrove yang mampu tumbuh di daerah pasang surut pantai berlumpur. umumnya tumbuh

Lebih terperinci

Lampiran 1. Rumus konversi dalam pembuatan media

Lampiran 1. Rumus konversi dalam pembuatan media LAMPIRAN 27 Lampiran 1. Rumus konversi dalam pembuatan media Keterangan : V 1 = Volume air media ke-1 V 2 = Volume air media ke-2 M 1 = Konsentrasi ph media ke-1 = Konsentrasi ph media ke-2 M 2 HCl yang

Lebih terperinci

3. METODE PENELITIAN

3. METODE PENELITIAN 13 3. METODE PENELITIAN 3.1. Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian dilakukan di perairan Cirebon yang merupakan wilayah penangkapan kerang darah. Lokasi pengambilan contoh dilakukan pada dua lokasi yang

Lebih terperinci

STUDI MENGENAI MORFOLOGI DAN KOMPOSISI SEL TESTIKULAR IKAN GURAME Osphronemus gouramy Lac. MAULUDDIN SKRIPSI

STUDI MENGENAI MORFOLOGI DAN KOMPOSISI SEL TESTIKULAR IKAN GURAME Osphronemus gouramy Lac. MAULUDDIN SKRIPSI STUDI MENGENAI MORFOLOGI DAN KOMPOSISI SEL TESTIKULAR IKAN GURAME Osphronemus gouramy Lac. MAULUDDIN SKRIPSI PROGRAM STUDI TEKNOLOGI DAN MANAJEMEN AKUAKULTUR FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN INSTITUT

Lebih terperinci

3. METODE PENELITIAN

3. METODE PENELITIAN 3. METODE PENELITIAN 3.1. Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilakukan pada kawasan perikanan keramba jaring apung (KJA) di Waduk Ir. H. Juanda Kabupaten Purwakarta, Jawa Barat (Gambar 4). Kegiatan

Lebih terperinci

STUDI BIOLOGI REPRODUKSI IKAN LAYUR (Superfamili Trichiuroidea) DI PERAIRAN PALABUHANRATU, KABUPATEN SUKABUMI, JAWA BARAT DEVI VIANIKA SRI AMBARWATI

STUDI BIOLOGI REPRODUKSI IKAN LAYUR (Superfamili Trichiuroidea) DI PERAIRAN PALABUHANRATU, KABUPATEN SUKABUMI, JAWA BARAT DEVI VIANIKA SRI AMBARWATI STUDI BIOLOGI REPRODUKSI IKAN LAYUR (Superfamili Trichiuroidea) DI PERAIRAN PALABUHANRATU, KABUPATEN SUKABUMI, JAWA BARAT DEVI VIANIKA SRI AMBARWATI SKRIPSI DEPARTEMEN MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN FAKULTAS

Lebih terperinci

III. HASIL DAN PEMBAHASAN

III. HASIL DAN PEMBAHASAN III. HASIL DAN PEMBAHASAN 3.1 Hasil 3.1.1 Jenis Kelamin Belut Belut sawah merupakan hermaprodit protogini, berdasarkan Tabel 3 menunjukkan bahwa pada ukuran panjang kurang dari 40 cm belut berada pada

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN 3.1.Waktu dan Lokasi Penelitian Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Riset Kimia Universitas Pendidikan Indonesia dan Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor pada

Lebih terperinci

bio.unsoed.ac.id III. METODE PENELITIAN A. Materi 1. Materi Penelitian

bio.unsoed.ac.id III. METODE PENELITIAN A. Materi 1. Materi Penelitian III. METODE PENELITIAN A. Materi 1. Materi Penelitian Materi penelitian berupa benih ikan nilem (Osteochilus hasselti C.V.) berumur 1, 2, 3, dan 4 bulan hasil kejut panas pada menit ke 25, 27 atau 29 setelah

Lebih terperinci

bio.unsoed.ac.id III. METODE PENELITIAN A. Materi, Lokasi, dan Waktu Penelitian 1. Materi Penelitian

bio.unsoed.ac.id III. METODE PENELITIAN A. Materi, Lokasi, dan Waktu Penelitian 1. Materi Penelitian III. METODE PENELITIAN A. Materi, Lokasi, dan Waktu Penelitian 1. Materi Penelitian Materi yang diteliti adalah ikan nilem ( Osteochilus hasselti C. V.), pada tahap perkembangan juvenil berumur 13 minggu

Lebih terperinci

3. METODE PENELITIAN

3. METODE PENELITIAN 17 3. METODE PENELITIAN 3.1 Waktu dan Lokasi Penelitian Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Desember 2008-Mei 2009 di Lokasi Rehabilitasi Lamun PKSPL-IPB Pulau Pramuka dan Pulau Kelapa Dua, Kepulauan

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. Jenis penelitian yang dilakukan adalah eksperimen karena pada penelitian

BAB III METODE PENELITIAN. Jenis penelitian yang dilakukan adalah eksperimen karena pada penelitian BAB III METODE PENELITIAN A. Jenis Penelitian Jenis penelitian yang dilakukan adalah eksperimen karena pada penelitian ini objek yang diteliti diberi perlakuan dan adanya kontrol sebagai pembanding. B.

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Produktivitas Primer Fitoplankton Berdasarkan hasil penelitian di Situ Cileunca didapatkan nilai rata-rata produktivitas primer (PP) fitoplankton pada Tabel 6. Nilai PP

Lebih terperinci

3. METODE PENELITIAN

3. METODE PENELITIAN 16 3. METODE PENELITIAN 3.1. Rancangan Penelitian Pola reproduksi ikan swanggi (Priacanthus tayenus) pada penelitian ini adalah tinjauan mengenai sebagian aspek reproduksi yaitu pendugaan ukuran pertama

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN. Lokasi dan objek penelitian analisis kesesuaian perairan untuk budidaya

III. METODE PENELITIAN. Lokasi dan objek penelitian analisis kesesuaian perairan untuk budidaya III. METODE PENELITIAN A. Lokasi dan Waktu Penelitian Lokasi dan objek penelitian analisis kesesuaian perairan untuk budidaya rumput laut ini berada di Teluk Cikunyinyi, Kabupaten Pesawaran, Provinsi Lampung.

Lebih terperinci

PRODUKSI DAN LAJU DEKOMPOSISI SERASAH DAUN MANGROVE API-API

PRODUKSI DAN LAJU DEKOMPOSISI SERASAH DAUN MANGROVE API-API PRODUKSI DAN LAJU DEKOMPOSISI SERASAH DAUN MANGROVE API-API (Avicennia marina Forssk. Vierh) DI DESA LONTAR, KECAMATAN KEMIRI, KABUPATEN TANGERANG, PROVINSI BANTEN Oleh: Yulian Indriani C64103034 PROGRAM

Lebih terperinci

BAB III. METODE PENELITIAN

BAB III. METODE PENELITIAN BAB III. METODE PENELITIAN 3.1 Jenis dan Rancangan Penelitian Penelitian ini menggunakan metode penelitian eksperimental laboratorium posttest-only equivalent-group design dengan kelompok perlakuan dan

Lebih terperinci

MATERI DAN METODE PENELITIAN

MATERI DAN METODE PENELITIAN MATERI DAN METODE PENELITIAN Waktu dan tempat penelitian Penelitian ini dilaksakan di Bagian Patologi, Departemen Klinik, Reproduksi dan Patologi, Fakultas Kedokteran Hewan, Institut Pertanian Bogor. Perlakuan

Lebih terperinci

BIOLOGI REPRODUKSI IKAN JUARO (Pangasius polyuranodon) DI DAERAH ALIRAN SUNGAI MUSI, SUMATERA SELATAN ABDUL MA SUF

BIOLOGI REPRODUKSI IKAN JUARO (Pangasius polyuranodon) DI DAERAH ALIRAN SUNGAI MUSI, SUMATERA SELATAN ABDUL MA SUF BIOLOGI REPRODUKSI IKAN JUARO (Pangasius polyuranodon) DI DAERAH ALIRAN SUNGAI MUSI, SUMATERA SELATAN ABDUL MA SUF DEPARTEMEN MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN INSTITUT

Lebih terperinci

Laporan Praktikum Histotehnik. Oleh: Lucia Aktalina. Jum at, 14 September WIB

Laporan Praktikum Histotehnik. Oleh: Lucia Aktalina. Jum at, 14 September WIB Laporan Praktikum Histotehnik Oleh: Lucia Aktalina Jum at, 14 September 2012 14.00 17.00 WIB Tujuan Praktikum: Melihat demo tehnik-tehnik Histotehnik,mulai dari pemotongan jaringan organ tikus sampai bloking,

Lebih terperinci

JAKARTA (22/5/2015)

JAKARTA (22/5/2015) 2015/05/22 14:36 WIB - Kategori : Artikel Penyuluhan SELAMATKAN TERUMBU KARANG JAKARTA (22/5/2015) www.pusluh.kkp.go.id Istilah terumbu karang sangat sering kita dengar, namun belum banyak yang memahami

Lebih terperinci

II. BAHAN DAN METODE 2. 1 Rancangan penelitian 2.2 Persiapan wadah 2.3 Penyediaan larva ikan patin

II. BAHAN DAN METODE 2. 1 Rancangan penelitian 2.2 Persiapan wadah 2.3 Penyediaan larva ikan patin II. BAHAN DAN METODE 2. 1 Rancangan penelitian Rancangan penelitian yang digunakan adalah rancangan acak lengkap dengan 4 perlakuan dan 5 kali ulangan. Rancangan perlakuan yang diberikan pada larva ikan

Lebih terperinci

METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Agustus - Oktober 2013 di Balai Besar

METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Agustus - Oktober 2013 di Balai Besar 19 III. METODE PENELITIAN 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Agustus - Oktober 2013 di Balai Besar Pengembangan Budidaya Laut (BBPBL) Lampung, di Laboratorium Kesehatan Ikan dan

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Zoologi Fakultas Matematika dan

III. METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Zoologi Fakultas Matematika dan 22 III. METODE PENELITIAN A. Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Zoologi Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Jurusan Biologi Universitas Lampung untuk pemeliharaan

Lebih terperinci

ANALISIS SINAR MERAH, HIJAU, DAN BIRU (RGB) UNTUK MENGUKUR KELIMPAHAN FITOPLANKON (Chlorella sp.) Oleh: Merizawati C

ANALISIS SINAR MERAH, HIJAU, DAN BIRU (RGB) UNTUK MENGUKUR KELIMPAHAN FITOPLANKON (Chlorella sp.) Oleh: Merizawati C ANALISIS SINAR MERAH, HIJAU, DAN BIRU (RGB) UNTUK MENGUKUR KELIMPAHAN FITOPLANKON (Chlorella sp.) Oleh: Merizawati C64104004 PROGRAM STUDI ILMU DAN TEKNOLOGI KELAUTAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN

Lebih terperinci