TUGAS AKHIR - TE Dita Novali Putri Rahayu NRP

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "TUGAS AKHIR - TE Dita Novali Putri Rahayu NRP"

Transkripsi

1 TUGAS AKHIR - TE PERHITUNGAN DELAY PROPAGASI BERDASARKAN DATA TOTAL ELECTRON CONTENT (TEC) SEBAGAI VERIFIKASI HASIL PENGUKURAN SISTEM KOMUNIKASI HIGH FREQUENCY (HF) DI DAERAH EKUATOR Dita Novali Putri Rahayu NRP Dosen Pembimbing Prof. Ir. Gamantyo Hendrantoro, M.Eng., Ph.D. Dr. Buldan Muslim, M.Si JURUSAN TEKNIK ELEKTRO Fakultas Teknologi Industri Institut Teknologi Sepuluh Nopember Surabaya 2015

2 FINAL PROJECT - TE DELAY PROPAGATION CALCULATION BASED ON TOTAL ELECTRON CONTENT (TEC) DATA AS VERIFICATION RESULT FOR HIGH FREQUENCY (HF) COMMUNICATION SYSTEM MEASUREMENT IN EQUATORIAL AREA Dita Novali Putri Rahayu NRP Supervisors Prof. Ir. Gamantyo Hendrantoro, M.Eng., Ph.D. Dr. Buldan Muslim, M.Si DEPARTMENT OF ELECTRICAL ENGINEERING Faculty of Industrial Technology Sepuluh Nopember Institute of Technology Surabaya 2016

3

4 Perhitungan Delay Propagasi Berdasarkan Data Total Electron Content (TEC) Sebagai Verifikasi Hasil Pengukuran Sistem Komunikasi High Frequency (HF) di Daerah Ekuator Nama Pembimbing : Dita Novali Putri Rahayu : Prof. Ir. Gamantyo Hendrantoro, M.Eng., Ph.D. Dr. Buldan Muslim, M.Si ABSTRAK Sistem komunikasi radio High Frequency (HF) memiliki kelebihan yakni dapat memberikan transmisi jarak jauh, biaya relatif murah serta fleksibel. Sistem komunikasi HF menggunakan ionosfer sebagai media transmisi gelombang. Sinyal dari antena akan berpropagasi di media ionosfer dan kemudian akan dipantulkan menuju ke penerima. Media ionosfer berubah-ubah ketinggiannya sesuai dengan kerapatan elektron yang terkandung di dalamnya. Lapisan ionosfer terdiri dari lapisan D,E, F1 dan F2. Lapisan ionosfer F2 merupkan lapisan trepenting dalam sistem komunikasi HF. Hal tersebut disebabkan karena lapisan F2 selalu ada ketika lapisan di bawahnya menghilang. Kerapatan elektron suatu lapisan ionosfer tergantung pada cahaya matahari, iklim, dan lokasi. Perbedaan ketinggian ionosfer mempengaruhi frekuensi HF yang dapat dipantulkan. Makin tinggi kerapatan elektron ionosfer maka frekuensi yang dapat dipantulkan adalah frekuensi yang makin tinggi. Sistem komunikasi radio HF digunakan untuk sistem komunikasi jarak jauh. Semakin jauh jarak dari pemancar ke penerima maka delay propagasi akan semakin besar. Apalagi ditambah dengan media propagasi yang berubah-ubah tergantung lapisan yang memantulkan frekuensi. Maka jarak tempuh lintasan akan berbeda dan berpengaruh terhadap delay propagasinya. Kata Kunci : Komunikasi HF, ionosfer, delay v

5 Delay Propagation Calculation Based On Total Electron Content (TEC) As Verification Result For High Frequency (HF) Communication System Measurement In Equatorial Area Name Advisors : Dita Novali Putri Rahayu : Prof. Ir. Gamantyo Hendrantoro, M.Eng., Ph.D. Dr. Ir. Buldan Muslim, M.Si ABSTRACT Radio communication systems High Frequency (HF) has the advantage that can provide long-distance transmission, relatively low cost and flexible. HF communication system using the ionosphere as a medium wave transmission. The signal from the antenna will propagates in the ionosphere and the media will then be reflected towards the receiver. Media ionosphere change its height according to the density of electrons contained therein. Ionosphere layer consists of layers D, E, F1 and F2. Ionosphere F2 layer merupkan trepenting in HF communications systems. This is because there is always the F2 layer when the layer bawhanya disappeared. A layer ionospheric electron density depends on sunlight, climate, and location. The difference in height of the ionosphere affects the HF frequency that can be reflected. The higher the electron density of the ionosphere, the frequency can be reflected is that the higher the frequency. HF radio communication system is used for long-distance communication systems. The farther the distance from the transmitter to the receiver, the propagation delay will be even greater. Moreover, coupled with the propagation medium changes depending on the frequency reflective layer. Then track mileage will vary and affect the propagation delay. Keywords:HF Communication,ionosphere, delay v

6 KATA PENGANTAR Dengan mengucap puji syukur kepada Tuhan, atas limpahan rahmat dan hidayah-nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan buku tugas akhir ini dengan judul: PERHITUNGAN DELAY PROPAGASI BERDASARKAN DATA TOTAL ELECTRON CONTENT (TEC) SEBAGAI VERIFIKASI HASIL PENGUKURAN SISTEM KOMUNIKASI HIGH FREQUENCY (HF) DI DAERAH EKUATOR Tugas akhir ini disusun sebagai salah satu persyaratan dalam menyelesaikan studi pada bidang studi Telekomunikasi Multimedia di jurusan Teknik Elektro, Institut Teknologi Sepuluh Nopember Surabaya. Dalam kesempatan ini, penulis ingin menyampaikan rasa terima kasih kepada pihak-pihak yang telah mendukung penulis selama proses menyelesaikan tugas akhir ini, khususnya kepada: 1. Kedua orangtua penulis yaitu Bapak Giyanto, B.A dan Sumarmi, S.Sos. 2. Bapak Prof. Ir. Gamantyo Hendrantoro, M.Eng., Ph.D. dan Bapak Dr. Ir. Buldan Muslim, M.Si selaku Dosen Pembimbing atas segala bimbingan selama mengerjakan Tugas Akhir ini. 3. Bapak dan Ibu dosen jurusan teknik elektro ITS 4. Semua rekan-rekan di lab antena dan propagasi. 5. Teman-teman LJ Elektro ITS 2013 Dalam penyusunan laporan tugas akhir ini penulis menyadari banyaknya keterbatasan. Oleh karena itu penulis sangat terbuka terhadap kritik dan saran untuk perbaikan karya tugas akhir ini. Semoga buku Tugas Akhir ini dapat memberikan informasi dan manfaat bagi pembaca pada umumnya dan mahasiswa Jurusan Teknik Elektro bidang Studi Telekomunikasi Multimedia pada khususnya. Surabaya, Januari 2016 Penulis ix

7 DAFTAR ISI PERNYATAAN KEASLIAN TUGAS AKHIR... i LEMBAR PENGESAHAN... iii ABSTRAK... v ABSTRACT... vii KATA PENGANTAR... ix DAFTAR ISI... xi DAFTAR GAMBAR... xiii DAFTAR TABEL... xv BAB 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Permasalahan Tujuan Metodologi Penelitian Sistematika Pembahasan Relevansi... 4 BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA Ionosfer Lapisan D Lapisan E Lapisan F Karakteristik Propagasi Gelombang Radio HF Komunikasi Radio High Frequency (HF) Total Electron Content Global Positioning System Frekuensi Kritis Lapisan F2 (fof2) Maximum Usable Frequency International Reference Ionosphere (IRI) Model Kendala pada Sistem Komunikasi HF Delay Propagasi Proses Korelasi untuk mendapatkan Respon Impuls Threshold Decision Power Delay Profile (PDP) BAB 3 PROSES PENGOLAHAN DATA Skenario Pengambilan Data Pengukuran Link Komunikasi Sistem Komunikasi HF xi

8 3.3 Mendapatkan Data TEC dari GPS Mendapatkan TEC dan Kerapatan Elektron dari IRI Model Pendekatan Data Real Dari GPS dengan Data IRI Perhitungan Kerapatan Elektron Maksimum Pada B Perhitungan Frekuensi Kritis Perhitungan Ketinggian Lapisan Pemantul Perhitungan Delay Propagasi Perhitungan Data Pengukuran BAB 4 PENGUJIAN DAN ANALISIS Nilai TEC dari titik B2 dan B Perhitungan Kerapatan Elektron Perhitungan Frekuensi Kritis Perhitungan Ketinggian Lapisan Pemantul Perhitungan Delay Propagasi Delay Mode Propagasi 1F dan 2F Pengukuran Sintesis BAB 5 KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Saran DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN A LAMPIRAN B RIWAYAT PENULIS xii

9 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan negara kepulauan dengan banyak pulau kecil tersebar dari Sabang hingga Merauke. Negara dengan banyak kepulauan akan terkendala dalam pembangunan yang merata karena kondisi geografisnya. Sebagai contoh, Indonesia bagian timur masih jauh tertinggal dengan Pulau Jawa yang memiliki kepadatan penduduk terbesar di Indonesia. Hal tersebut juga berlaku pada perkembangan telekomunikasi di Indonesia Timur yang masih terkendala biaya infrastruktur yang mahal dengan populasi penduduk yang kecil. Salah satu solusi yang dapat digunakan adalah komunikasi dengan menggunakan sistem komunikasi High Frequency (HF) dengan media ionosfer sebagai pemantul gelombang. Dengan sistem komunikasi HF tidak diperlukan infrastruktur yang mahal, mudah dalam pengoperasian dan dapat menjangkau jarak yang jauh (hingga 3000 km). Jarak lintasan dari Surabaya-Merauke yang jauh dapat menyebabkan waktu propagasi dari pengirim yang cukup besar untuk sampai di penerima. Di sisi lain, delay merupakan salah satu parameter Quality of Service dalam telekomunikasi. Oleh sebab itu penting untuk memperhitungkan delay propagasi dalam sistem komunikasi HF. Lapisan ionosfer yang terpenting dalam sistem komunikasi HF adalah lapisan F2. Lapisan F2 merupakan lapisan yang selalu ada saat lapisan yang lain menghilang. Oleh sebab itu, agar sistem komunikasi HF dapat digunakan setiap waktu maka yang menjadi perhatian adalah pemantulan sinyal pada lapisan F2. Frekuensi maksimum yang dapat dipantulkan oleh lapisan F2 bergantung kepada kerapatan elektron ionosfer. Makin tinggi kerapatan elektronnya maka frekuensi yang dipantulkan semakin tinggi. TEC dapat diperoleh dari model IRI (International Reference Ionosphere) maupun dari data Global Positioning System (GPS). Dikarenakan jumlah GPS di Indonesia bagian timur yang terbatas maka data TEC dapat diperoleh dari pendekatan TEC real dibandingkan dengan data IRI. Di daerah equatorial seperti Indonesia terjadi fenomena Equatorial Spread-F (ESF). Fenomena ini berpotensi menyebabkan delay spread yang lebih besar dibandingkan daerah subtropis atau kutub. 1

10 Dengan kondisi jarak yang jauh maka akan berpengaruh terhadap delay di penerima. Hal tersebut juga dipengaruhi dengan ketinggian ionosfer yang berubah-ubah sehingga lintasan propagasi sinyal HF juga berubah. Pada malam hari, saat radiasi matahari tidak ada, banyak ion-ion yang bergabung kembali menjadi molekul-molekul. Kondisi ini menentukan banyaknya lapisan dalam ionosfer. Semakin rapat kerapatan elektron di suatu lapisan ionosfer maka kecepatan sinyal untuk merambat semakin kecil sehingga memperbesar delay propagasi. Karena kondisi yang bervariasi itulah maka diperlukan pengamatan ionosfer sebagai kanal HF. Banyaknya lapisan juga mempengaruhi waktu sinyal sampai ke penerima. Oleh sebab itu, diperlukan verifikasi delay propagasi untuk sistem komunikasi HF. Mode lintasan propagasi sistem komunikasi HF ada beberapa macam, sebagai contoh 1F, 2F, 3F, 1E, 2E dan 3E. Dikarenakan lapisan F yang selalu ada maka fokus pengamatan adalah untuk mode propagasi 1F dan 2F. Dengan mengetahui delay propagasi antara 1F dan 2F maka dapat digunakan sebagai analisa karakteristik kanal sistem komunikasi HF. Apabila delay propagasi besar, maka kondisi kanal sedang jelek dan ada kemungkinan terjadi gangguan pada kanal. 1.2 Permasalahan Penelitian pada tugas akhir ini dilakukan melalui perumusan masalah sebagai berikut. 1. Model ionosfer untuk lintasan sistem komunikasi HF Surabaya-Merauke. 2. Frekuensi yang dapat dipantulkan untuk mode propagasi 1F dan 2F link komunikasi Surabaya-Merauke. Ketinggian lapisan ionosfer saat sinyal HF dipantulkan 3. Efek mode lintasan propagasi sistem komunikasi HF terhadap delay di penerima. 1.3 Tujuan Adapun tujuan dari tugas akhir ini adalah sebagai berikut, 1. Mengetahui karakteristik ionosfer sepanjang lintasan propagasi Surabaya-Merauke pada tanggal Mei Mengetahui delay propagasi dari Surabaya ke Merauke akibat perubahan ionosfer tehadap proses penerimaan sinyal HF. 2

11 3. Membandingkan perbedaan delay 1F dan 2F antara perhitungan dengan data pengukuran. 1.4 Metodologi Penelitian Metodologi yang dilakukan pada penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Studi Literatur Untuk dapat memahami permasalahn yang dihadapi dalam penelitian ini, maka dilakukan studi literatur tentang sistem komunikasi HF dan lapisan ionosfer. 2. Pengumpulan Data Data yang dibutuhkan merupakan data real dari LAPAN (Lembaga Penerbangan dan Antariksa) yang ada di Bandung. Data real diperlukan untuk mengetahui kondisi real pengukuran TEC dan mendapatkan data yang akurat. 3. Pengolahan Data Data TEC kemudian diolah untuk mendapatkan kerapatan elektron untuk selanjutnya digunakan untuk perhitungan delay sistem komunikasi HF. Namun karena data TEC dari LAPAN terbatas disebabkan karena jumlah GPS (Global Positionong System) yang tersebar di wilayah Indonesia Timur yang masih terbatas maka dilakukan dengan membandingkan dengan data model. 4. Kesimpulan Penarikan kesimpulan tentang delay komunikasi HF di daerah ekuatorial. 1.5 Sistematika Pembahasan Pembahasan tugas akhir ini dibagi menjadi lima bab dengan sistematika pembahasan sebagai berikut: BAB 1 Pendahuluan Bab ini meliputi latar belakang, permasalahan, tujuan penelitian, metodologi penelitian, sistematika laporan, serta relevansinya. BAB 2 Tinjauan Pustaka Bab ini berisi tentang tinjauan pustaka mengenai karakteristik propagasi gelombang radio HF, komunikasi High-Frequency (HF), karakteristik lapisan ionosfer, TEC 3

12 BAB 3 Proses Pengolahan Data Bab ini membahas skenario pengumpulan data TEC berdasarkan dari 2 sumber yaitu dari model IRI dan data real GPS. BAB 4 Pengujian Sistem dan Analisis Bab ini berisi hasil berupa grafik dan data disertai analisis dari simulasi kinerja yang telah dilakukan. BAB 5 Penutup Bab ini berisi kesimpulan dan saran dari hasil analisis pada bab Relevansi Hasil yang diperoleh dari tugas akhir ini diharapkan dapat memberi manfaat antara lain: 1. Untuk penelitian sistem komunikasi HF Surabaya-Merauke selanjutnya, agar dapat diketahui delay akibat ionosfer. 2. Sistem komunikasi HF dapat digunakan sebagai sistem komunikasi alternatif bagi masyarakat di daerah terpencil. 4

13 BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Ionosfer Ionosfer adalah lapisan pada atmosfir yang terletak pada ketinggian km dari permukaan bumi. Pada kenyataannya, tidak ada batas atas ketinggian ionosfer yang jelas. Disebut lapisan ionosfer karena mengalami proses ionisasi yang disebabkan oleh radiasi matahari. Lapisan ionosfer ini memiliki peranan penting dalam sistem komunikasi HF skywave sebagai media pemantul sinyal komunikasi kembali ke bumi. Perbedaan derajat ionisasi membagi ionosfer ini menjadi beberapa lapisan Lapisan D Merupakan lapisan paling bawah dalam lapisan ionosfer. Lapisan ini memiliki sifat menyerap gelombang radio pada frekuensi HF. Lapisan D hanya muncul pada siang hari dan akan menghilang pada malam hari[1]. Tingkat ionisasinya adalah sesuai dengan kondisi radiasi matahari, yang mencapai puncaknya pada siang hari. Dan itu berbanding lurus dengan tingkat penyerapannya yang juga mencapai maksimum di siang hari. Selain itu tingkat penyerapan oleh lapisan D lebih besar saat musim panas dibandingkan pada musim dingin. Serta terdapat juga variasi terhadap derajat garis lintang bumi, dimana penyerapan akan lebih besar di daerah ekuator, dan makin mengecil mendekati daerah kutub. Frekuensi yang lebih rendah akan terserap lebih besar, sehingga sebaiknya menggunakan frekuensi terbesar yang dimungkinkan Lapisan E Sejarahnya, lapisan ini adalah lapisan ionosfer pertama yang ditemukan, dimana E berarti electric field. Tergantung dari level daya pancar dan frekuensi yang digunakan, suatu sinyal dapat direfraksikan kembali ke bumi ataupun diteruskan ke lapisan F. Sehingga dia bukan merupakan lapisan utama yang dimanfaatkan dalam komunikasi High Frequency. Komunikasi HF yang memanfaatkan lapisan E hanya dapat digunakan pada siang hari, karena pada malam hari lapisan ini akan menghilang atau melakukan rekombinasi dengan lapisan lain.[1] 5

14 2.1.3 Lapisan F Pada siang hari, lapisan ini terbagi menjadi 2 yakni lapisan F1 dan F2. Lapisan F1 berada pada ketinggian km, sedangkan lapisan F2 berada di ketinggian lebih dari 300 km. Lapisan F2 merupakan lapisan yang paling penting dalam propagasi gelombang HF, karena muncul sepanjang hari selama 24 jam, ketinggian lapisan ini juga memungkinkan lajur komunikasi yang paling jauh, serta mampu memantulkan gelombang radio pada range frekuensi tertinggi HF. Sedangkan lapisan F1 tidak selalu muncul, khususnya pada malam hari dimana lapisan ini menghilang atau bergabung dengan lapisan lain. [1] Sehingga secara umum tidak diperhitungkan dalam perkiraan mode propagasi gelombang HF. Seringkali komunikasi HF skywave dengan menggunakan pantulan lapisan F, adalah merujuk kepada penggunaan lapisan F Karakteristik Propagasi Gelombang Radio HF Propagasi gelombang radio HF bekerja pada rentang frekuensi 3-30 MHz. Sifat gelombang HF yang memanfaatkan pemantulan pada lapisan ionosfer, walapun pada kenyataannya proses yang terjadi adalah refraksi[1], untuk melakukan propagasi menyebabkan dia mampu mencapai jarak yang jauh. Serta tidak terpengaruh akan adanya objek penghalang diantara pemancar dan penerima[2]. Sehingga lapisan ionosfer menjadi hal penting dalam propagasi radio HF. Lapisan ionofer itu sendiri terdiri dari beberapa lapisan, yakni lapisan D, lapisan E, serta lapisan F yang terbagi menjadi F1 dan F2. Hanya lapisan E, F1, dan F2 yang mampu merefraksikan gelombang HF. Sedangkan lapisan D penting juga untuk diperhatikan karena selama dia tidak merefraksikan gelombang radio HF, dia justru menyerap dan mengatenuasinya[3]. Kualitas propagasi HF itu sendiri sangat ditentukan oleh kondisi lapisan ionosfer. Sehingga dengan kata lain juga terpengaruh oleh kondisi radiasi matahari, dimana saat siang hari dimana radiasi matahari sedang tinggi-tingginya akan mencapai kualitas propagasi yang terbaik. Sedangkan pada malam hari, saat tidak ada radiasi matahari, kualitas propagasi akan buruk, dan akan mencapai kondisi terburuknya pada dini hari sebelum matahari pagi muncul. 6

15 Gambar 2.1 Kerapatan Elektron [4] Ada 3 komponen yang menentukan keberhasilan komunikasi dengan menggunakan gelombang ionosfer pada frekuensi HF yakni pemilihan frekuensi, sudut elevasi, dan daya pancar. Sedangkan untuk antena, yang biasa digunakan untuk komunikasi HF adalah antena dipole setengah panjang gelombang (1/2 λ)[2]. Pemilihan frekuensi bergantung kepada kondisi kerapatan elektron di ionosfer, sedangkan sudut elevasi ditentukan oleh jarak antara pemancar dan penerima, serta ketinggian lapisan ionosfer. Sedangkan besarnya daya pancar dipengaruhi oleh redaman sepanjang lintasan propagasi, sehingga harus ditentukan daya pancar yang cukup untuk mencapai penerima dengan daya yang melebihi sensitifitas penerima. 2.3 Komunikasi Radio High Frequency (HF) Komunikasi radio High Frequency merupakan komunikasi radio yang bekerja pada rentang frekuensi 3 30 MHz, sebagaimana didefinisikan pada pembagian band frekuensi dari ITU-T berikut ini: 7

16 Tabel 2.1 Pembagian pita frekuensi[5] Pita Frekuensi Rentang Frekuensi Extremely low frequency (ELF) < 3 khz Very low frequency (VLF) 3 30 khz Low frequency (LF) khz Medium frequency (MF) 300 khz 3 MHz High frequency (HF) 3 30 MHz Very high frequency (VHF) MHz Ultra high frequency (UHF) 300 MHz 3 GHz Super high frequency (SHF) 3 30 GHz Extra high frequency (EHF) GHz Komunikasi radio HF memiliki sifat khusus yakni dipantulkan oleh lapisan ionosfer di langit, yakni lapisan di atmosfer bumi setinggi Km yang terionisasi dikarenakan radiasi matahari [3]. Secara umum ada 3 mode dari propagasi HF yakni propagasi gelombang tanah (ground wave), propagasi NVIS (Near-Vertical Incidence Skywave), serta yang paling umum adalah propagasi gelombang langit atau skywave [6]. Mode propagasi HF skywave yang paling sering dipakai dalam komunikasi HF. Dalam propagasinya memanfaatkan lapisan ionosfer untuk memantulkan kembali sinyal ke bumi. Dengan begitu dia bisa mencapai jarak propagasi yang jauh. Lapisan ionosfer yang mampu memantulkan propagasi sinyal HF adalah lapisan E dan F. Dalam proses pemantulan oleh ionosfer, bisa terjadi lebih dari satu pantulan, atau dikenal dengan nama hop. Untuk jarak dekat digunakan mode single hop, sedangkan untuk jarak yang relatif jauh digunakan banyak pantulan atau multihop. 8

17 Gambar 2.2Beberapa mode perambatan gelombang HF Sky-wave [3] 2.4 Total Electron Content Ionosfer mempengaruhi gelombang ektromagnetik yang menjalar melalui lapisan tersebut berupa tambahan waktu tunda propagasi. Besar pengaruh tunda tersebut ditentukan oleh kandungan elektron total (Total Electron Content/TEC) dan frekuensi gelombang elektromagnetik yang digunakan. TEC adalah kandungan elektron total dalam suatu silinder berpenampang 1 meter persegi yang panjangnya sama dengan jarak dari satelit ke penerima GPS. TEC dapat diperoleh dengan rumus berikut: ( ) (2.1) dimana, n(h) adalah kerapatan elektron sebagai fungsi ketinggian lapisan ionosfer h, dan nilai h mulai dari ketinggian 60 km hingga 2000 km [7]. Untuk wilayah Indonesia, penerima sinyal GPS frekuensi ganda berisi pengamatan kode dan fasa pada frekuensi L1 ( MHz) dan L2 ( MHz). Dalam pemodelan VTEC regional di atas wilayah Indonesia menggunakan persamaan ( ) (2.2) Dengan keterangan sebagai berikut: Φ dan λ adalah lintang dan bujur geografi, N adalah orde fungsi polinom dengan variabel lintang, M adalah orde fungsi polinom dengan variabel bujur, 9

18 N dan M dapat ditentukan berdasarkan kriteria rata-rata kesalahan mutlak yang terkecil antara model dengan data pengamatan. A,B,C dihitung berdasarkan jam tertentu.[8] Kerapatan elektron dapat dihitung dari nilai TEC. Untuk mendapatkan nilai kerapatan elektron dapat dicari dengan pendekatan: (2.3) Dengan nilai merupakan kerapatan elektron dari Model IRI, merupakan TEC yang diperoleh dari model IRI dan diperoleh dari data TEC GPS. 2.5 Global Positioning System Global Positioning System (GPS) adalah sistem radio navigasi navigasi berbasis satelit yang terdiri dari 24 jaringan satelit yang ditempatkan di orbit. Sistem dapat digunakan dalam segala cuaca apapun didesain untuk memberikan posisi dan kecepatan tiga dimensi yang teliti dan informasi wktu secara kontinyu. Satelit dapat bekerja dengan maksimal tergantung terhadap kondisi langit yang cerah dan juga tidak adanya halangan sehingga akurasinya akan semakin tinggi. Satelit GPS memancarkan sinyal-sinyal gelombang elektromagnetik yang diterima oleh antena receiver GPS. Sinyal akan melewati medium lapisan-lapisan atmosfer yaitu ionosfer dan troposfer. Dalam kedua lapisan ini, sinyal GPS akan mengalami gangguan (bias). GPS receiver mengambil informasi dengan menggunakan perhitungan triangulation menghitung lokasi user dengan tepat. Bias yang disebabkan oleh adanya lapisan troposfer dan ionosfer ini ditambah dengan kesalahan orbit dan waktu akan menyebabkan kesalahan pada ukuran jarak dari satelit GPS ke antena receiver, yang akan menyebabkan kurang teliti pada penentuan posisi pengamat. Oleh karena itu estimasi besaran bias troposfer dan ionosfer perlu dilakukan untuk memperoleh hasil posisi yang lebih teliti. Orbit satelit berada di sekitar km di atas bumi. Satelit mengirimkan sinyal ke bumi di mana GPS menerima informasi dan menerapkan triangulation. Satelit GPS secara kontinyu menyebarkan posisi satelit dan data waktu melalui sinyal radio degan dua frekuensi (L1 dan L2). 10

19 Penentuan TEC dengan GPS pada dasarnya adalah suatu inverse problem dari penentuan posisi dengan GPS, dalam hal ini dengan menggunakan receiver GPS tipe geodetic dual frekuensi pada titik yang telah diketahui koordinatnya kita akan dapat menghitung besarnya TEC dalam arah pengamatan-pengamatan satelit GPS. Model matematika untuk penentuan TEC dapat diturunkan dari persamaan pengamatan pseudorange dua frekuensi atau dari persamaan carrier phase dua frekuensi. Dalam hal ini TEC yang dihitung adalah TEC vertikal. GPS merupakan tools yang potensial dalam melakukan studi ionosfer dibandingkan dengan teknologi lain yang telah digunakan, misalnya radiosonde. Teknologi GPS memiliki potensi besar untuk menentukan nilai TEC terutama untuk wilayah yang cukup luas dan tertutup air seperti Indonesia.[9] Data yang telah digunakan dalam penentuan dan pemodelan TEC regional pada buku ini, bersumber dari data pengamatan GPS stasiun tetap yang diioperasikan oleh beberapa stasiun tetap yang diberikan pada tabel 2.2. Tabel 2.2 Lokasi GPS receiver yang digunakan dalam pemodelan ionosfer [7] No Kode Lokasi GPS Pengelola 1 SAMP Sampali Bakosurtanal 2 NTUS Singapura IGS Singapura 3 COCO Cocos IGS Australia Island 4 BAKO Cibinong Bakosurtanal 5 KOEP Kupang Bakosurtanal 6 PARE Parepare LAPAN- Bakosurtanal 7 TOLI Toli-toli Bakosurtanal 8 PIMO Filipina IGS-Filipina 9 DARW Darwin IGS-Australia 10 BIKL Biak LAPAN- Bakosurtanal 11 LAEI Lae, Vanimo IGS 11

20 2.6 Frekuensi Kritis Lapisan F2 (fof2) Ionosfer memungkinkan penyebaran sinyal radio ke tempat yang jauh di bumi. Hal ini mencerminkan gelombang radio kembali ke bumi, sehingga memudahkan komunikasi radio. Elektron bebas dalam propagasi ionosfer bantuan gelombang elektromagnetik. Frekuensi kritis lapisan F2 ionosfer (fof2) adalah frekuensi tertinggi dari gelombang radio HF yang masih dapat dipantulkan oleh ionosfer dalam arah propagasi vertikal. Sistem komunikasi radio HF terjadi karena gelombang yang dipancarkan ke angkasa dan dipantulkan kembali oleh lapisan ionosfer. Sedangkan untuk VHF dan UHF tidak dapat dipantulkan oleh ionosfer tetapi diteruskan ke angkasa luar, sehingga dapat digunakan untuk komunikasi dengan satelit.gelombang radio HF dapat dipantulkan oleh lapisan E maupun F ionosfer tergantung pada frekuensi dan sudut elevasinya. [10] Pada komunikasi gelombang radio dengan menggukan lapisan ionosfer terdapat tiga besaran yang penting, yakni frekuensi kritis (f c ), Maximum Usable Frequency (MUF) dan sudut elevasi antena. Frekuensi kritis adalah frekuensi ketika indeks refraksi bernilai 0, atau dengan kata lain merupakan frekuensi tertinggi dimana gelombang masih bisa dipantulkan ke bumi bila ditransmisikan secara vertikal pada kondisi atmosfer yang ada. Besaran kedua adalah Maximum Usable Frequency (MUF). Frekuensi maksimum tergantung pada dua hal yakni frekuensi kritis pada titik pantul di lapisan ionosfer dan geometri dari sirkit komunikasinya. Sudut elevasi mencakup dua hal sekaligus yakni sudut pancar dan sudut datang. Sudut pancar merupakan sudut yang dibentuk oleh berkas gelombang radio yang dipancarkan oleh garis horisontal di stasiun pemancar (T x ). Sedangkan sudut datang diartikan sebagai sudut yang dibentuk oleh berkas gelombang datang dengan garis horisontal di stasiun penerima (R x ). 12

21 Gambar 2.3Frekuensi kritis dimana sudut elevasi bernilai 0 [4] Kerapatan elektron nilainya bervariasi sesuai dengan ketinggian ionosfer. Frekuensi kritis (f c ) dari sebuah lapisan ionosfer terkait dengan kerapatan elektron maksimum lapisan tersebut, dapat dituliskan dengan persamaan berikut: 13 (2.4) dengan nilai dalam MHz, dan adalah jumlah elektron per m 3. Ada frekuensi kritis untuk setiap layernya dan biasanya dinotasikan dengan foe, fof1 dan fof2.[1] 2.7 Maximum Usable Frequency Dalam komunikasi HF, salah satu kuantitas yang paling penting adalah Maximum Usable Frequency atau MUF, yaitu frekuensi maksimal yang bisa dipantulkan oleh ionosfer pada sirkuit yang seharusnya[1]. MUF bergantung pada nilai frekuensi kritis (fc) pada titik refleksi ionosfer, serta geometri dari sirkuit itu sendiri yang didefinisikan sebagai faktor obliq. Apabila frekuensi yang digunakan melebihi nilai MUF, maka sinyal akan menembus lapisan ionosfer dan tidak memantul kembali ke bumi. Karena nilai frekuensi kritis pada siang hari lebih besar daripada malam hari, MUF pada siang hari juga nilainya lebih besar daripada saat malam hari[4]. Frekuensi maksimum perlu diprediksi untuk dijadikan pedoman dalam komunikasi HF. Bentuk prediksi MUF dapat dalam jangka panjang (bulanan) maupun jangka pendek (harian).prediksi MUF jangka panjang dibuat menggunakan model ionosfer bulanan dari parameter-parameter ionosfer seperti fof2 dan M(3000)F2. Persamaan MUF adalah sebagai berikut:

22 (2.5) dimana M adalah faktor pengali untuk mendapatkan MUF dari fof2 di titik pantul yang tergantung jarak antara stasiun pemancar dengan penerima. Faktor M dapat dihitung dari M(3000)F2 menggunakan rumus: ( ( ) ) (2.6) dengan D adalah jarak antara stasiun pemancar dengan penerima dalam kilometer. M(3000)F2 adalah perbandingan dari MUF pada jarak 3000km dibandingkan dengan frekuensi kritis layer F2.[11] 2.8 International Reference Ionosphere (IRI) Model Model IRI adalah proyek permanen internasional yang disponsori oleh Committee on Space Research (COSPAR) dan Union of Radio Science (URSI). IRI merupakan standar model internasional berdasarkan data empiris untuk ionosfer daerah teresterial sejak tahun Untuk data lokasi, waktu dan hari yang spesifik, IRI menyediakan data rata-rata bulanan untuk kerapatan elektron, suhu elektron, suhu ion, komposisis ion mulai dari jarak 50 sampai dengan 2000 km. Standar terbaru adalah IRI Kendala pada Sistem Komunikasi HF Adapun propagasi gelombang radio HF memiliki beberapa permasalahan dalam proses transmisi yang diakibatkan oleh lapisan ionosfer yang mengganggu, dimana lapisan ionosfer difungsikan sebagai kanal dalam sistem komunikasi ini. Fenomena-fenomena yang terjadi pada lapisan ionsofer lebih banyak di sebabkan karena aktifitas dari matahari. Beberapa permasalahan pada sistem komunikasi HF antara lain: a) Fading Fading merupakan fenomena yang terjadi dan nyata pada sistem komunikasi gelombang radio HF dimana besarnya sinyal yang naik dan turun secara berulang yang merepresentasikan semakin kuat atau melemahnya sinyal. Fading terdiri dari dua yaitu fast fading dan slow fading dan 14

23 itu digambarkan dengan dangkal atau dalamnya fading yang terjadi. Kecepatan fading dipengaruhi oleh perubahan frekuensi. Pada umumnya, fast fading sangat mengganggu pada sistem komunikasi HF dibandingkan dengan slow fading di karenakan besarnya noise yang terjadi melebihi dari level sinyal yang diterima dan menyebabkan sinyal tersebut hilang, sedangkan untuk slow fading masih bisa ditolelir pada sistem komuniasi ini. Pada dasarnya agar tidak terjadi fast fading, dengan membuat besaranya level sinyal berbeda di atas ratarata level noise, sehingga pada lintasan budget harus mempertimbangkan hal ini dengan menambahkan fading margin. Jika syarat dari fading margin terpenuhi maka secara langsung perubahan amplitudo akan dihilangan dengan menggunakan rangkaian Automatic Gain Control (AGC) [1]. Fenomena Fading ini dapat terjadi dan dimungkinkan karena keempat penyebab dibawah ini, yaitu: 1. Pergerakan dari lapisan ionosfer dan perubahan dari panjang lintasan propagasi. 2. Perputaran dari polarisasi gelombang. 3. Variasi absorbsi dari lapisan ionosfer. 4. Menghilangnya sinyal dan ketidak fokusan lintasan yang sampai pada penerima disebabkan karena besarnya penurunan MUF dibawah frekuensi operasinya. Gambar 2.4 Ketidakfokusan lintasan disebabkan oleh fading [4] 15

24 b) Sporadic- E Salah satu ketidakteraturan pada lapisan ionosfer yang dapat mengganggu sistem komunikasi HF adalah munculnya sporadic-e yang disebabkan karena meningkatnya kerapatan elektron di lapisan E. Gangguan yang disebabkan karena sporaic-e ini menyebabkan pengiriman sinyal dari pemancar ke penerima yang seharusnya di pantulkan pada lapisan F, namun karena munculnya sporadic-e sangat besar maka sinyal di pantulkan oleh sporadic-e sehingga jarak jangkaunya berubah sehingga tidak dapat sampai pada penerima. Ilustrasi tersebut dapat digambarkan pada gambar 2.9 di bawah [4]. Gambar 2.5 Ilustrasi gangguan akibat sporadic-e [4] c) Equatorial Spread F (ESF) Pada saat terbenam matahari di ionosfer daerah ekuator dan lintang rendah, terjadi peningkatan medan listrik dari arah timur sebelum bergerak ke barat. Peningkatan ini menyebabkan terjadinya ketidakteraturan pada plasma. Ketidakteraturan ini diamati lewat penyebaran jejak di ionogram, yang disebut spread F. Hal ini menyebabkan anomali ionisasi pada ekuator, atau disebut ESF. Spread F di ekuator yang terjadi pada malam hari menimbulkan sintilasi dan fading yang mengganggu komunikasi radio HF dan satelit. Peningkatan aktivitas matahari meningkatkan pula kejadian ESF, dimana ESF akan terjadi maksimal pada saat equinox, sedangkan minimal pada saat matahari jauh dari ekuator. Pulsa yang diterima yang 16

25 direfleksikan pada lapisan ionosfer F 2 (ketinggian diatas 200 km) memiliki durasi waktu yang sepuluh kali lebih lama daripada pulsa yang dikirimkan, fenomena ini diakibatkan Spread F. Spread F disebabkan oleh ketidakteraturan ionosfer, baik kedalaman maupun jarak dari zenith. Ketidakteraturan ini sangat penting dalam propagasi gelombang radio HF dan VHF karena akan memperpanjang waktu, mengurangi laju informasi dan menghasilkan fading yang tinggi [4] Delay Propagasi Delay propagasi adalah waktu yang dibutuhkan sinyal untuk sampai dari pengirim ke penerima. Delay propagasi sistem komunikasi HF dapat dilihat berdasarkan geometri gambar 2.6. Gambar 2.6 Geometri propagasi sistem komunikasi HF.[13] Jika lintasan penjalaran gelombang radio dari pemancar ke penerima dianggap berupa garis lurus (tidak menglami pembiasan di lapisan ionosfer) yaitu T-A-R, maka berlaku teorema Breit-Tuve yang menyatakan bahwa lintasan sinyal gelombang menjalar dengan kecepatan sebanding dengan kecepatan cahaya dalam ruang hampa dan tidak menglami perlambatan oleh lapisan ionosfer. Ketinggian lapisan pemantul didapatkan dari hasil data IRI yang merupakan ketinggian 17

26 ionosfer ketika kerapatan elektron sesuai dengan frekuensi yang digunakan (persamaan 2.4). Jika sudah didapatkan ketinggian lapisan pemantul maka dengan rumus geometri dapat didapatkan ketinggian sisi miring yaitu dengan rumus: ( ) ( ) (2.7) Apabila ketinggian sisi miring didapatkan maka delay geometri dapat dicari dengan memperhitungkan kecepatan dan jarak sisi miring. Nilai kecepatan yang digunakan adalah kecepatan cahaya yaitu 3x10 8 m/s, maka delay geometri dapat dicari dengan rumus: ( ) ( ) (2.8) Selain dipengaruhi oleh delay geometri, delay propagasi juga dipengaruhi oleh delay ionosfer. Delay ionosfer dapat dicari dengan persamaan berikut ini: ( ) (2.9) dimana, TEC dalam satuan m -2 dan frekuensi dalam satuan Hz. Delay dalam waktu dengan membagi delay ionosfer dengan kecepatan cahaya seperti dalam persamaan berikut: ( ) ( ) (2.10) ( ) 2.11 Proses Korelasi untuk mendapatkan Respon Impuls Untuk mendapatkan respon impuls kanal, tahap pertama digunakan metode fungsi auto-korelasi dari sinyal yang dikirimkan. Sinyal yang dikirimkan memiliki sifat khusus berbentuk Pseudo Random Binary Sequence disebut x(n) dan sinyal yang diterima dapat disebut y(n). Menghitung fungsi auto-korelasi sinyal x(n)dilakukan dengan menggunakan proses konvolusi. Konvolusi didefinisikan sebagai operasi penjumlahan dua fungsi setelah fungsi satu dicerminkan dan digeser. Konvolusi antara dua sinyal x(n) dan h(n) dapat dinyatakan sebagai: [ ] [ ] [ ] Langkah langkah konvolusi: 1. Menentukan pencerminan sinyal kedua h[-k] 2. Untuk n=0, h[-k] digeser sejauh 0 (2.11) 18

27 3. Untuk n=1,h[-k] digeser sejauh 1, dst sebanyak ukuran sinyal x(n) dan h(n) -1. Proses konvolusi dapat diselesaikan menggunakan metode matriks seperti ditunjukkan pada tabel 2.3. Tabel 2.3 Konvolusi menggunakan metode matriks x[0] x[1] x[2] h[0] h[0].x[0] h[0].x[1] h[0].x[2] h[1] h[1].x[0] h[1].x[1] h[1].x[2] h[2] h[2].x[0] h[2].x[1] h[2].x[2] Pembacaan nilai y[t] dari tabel 2.3 dilakukan secara silang y[0]=h[0].x[0] y[1]=h[1].x[0]+h[0].x[1] y[2]=h[2].x[0]+h[1].x[1]+h[0].x[2] y[3]=h[2].x[1]+h[1].x[2] Dengan demikian, dapat diketahui bahwa auto-korelasi didapatkan dengan persamaan berikut: ( ) [ ] [ ] (2.12) x [n]= sinyal input x [n-1] = sinyal input yang telah digeser sejauh (τ) Dimana xx ( ) adalah auto-korelasi dimana ( ) menunjukan nilai ratarata terhadap waktu. Pemodelan sistem kanal HF ditunjukan pada persamaan Sinyal x[n] yang dipropagasikan melalui kanal HF memiliki respon impuls yang belum diketahui. Pada pengolahan sinyal, respon impuls atau disebut juga h[t] yang mempunyai nilai input x[t] dan memiliki nilai output y[t]. Dimana h(t) adalah konvolusi dari x(t) dan y(t) ditunjukan pada persamaan berikut: ( ) ( ) ( ) (2.13) h(t)= respon impuls x(t)= input sinyal y(t)= output sinyal 19

28 KANAL HF Gambar 2.7Pemodelan sistem kanal HF Selanjutnya, dalam upaya mencari h(t) dilakukan perhitungan fungsi korelasi silang antara sinyal x(t) dan y (t). Sinyal yang diterima atau disebut y (t) merupakan korelasi silang antara y(t) dan x(t) pada rata-rata waktu seperti yang ditunjukan pada persamaan: x (t) x ( t ) h ( t ) ( ) yx ( ) yx t t t t x( t). y( t ) x( t). x( t ). h( t ) = input sinyal = sinyal input yang telah digeser sejauh (τ) (2.14) = respon impuls yang telah digeser sejauh (τ) Dari persamaan (2.14) menunjukkan bahwa untuk mendapatkan respon impuls kanal dapat dilakukan dengan proses korelasi silang antara sinyal y (t) berupa IQ dan sinyal input x(t) berupa PN sequence apabila input merupakan auto-korelasi.fungsi korelasi silang merupakan dua operasi linier sehingga dapat dilakukan tukar posisi dimana autokorelasi sinyal dilakukan terlebih dahulu kemudian dilakukan konvolusi dengan h (t). Dengan mengatur sinyal input x(t) sedemikian rupa didapatkan xx (t) dimana xx (t) merupakan hasil proses autokorelasi sehingga diperoleh respon impuls dari kanal HF dari persamaan (2.15): t xx t ( ) ( t ). h( t ) (2.15) yx ) = fungsi autokorelasi dari x (t) xx (t h ( t ) = respon impuls yang telah digeser sejauh (τ) 2.12 Threshold Decision Pengolahan data untuk menghilangkan efek noise dan mendapatkan sinyal asli yang diterima dengan menentukan nilai 20

29 threshold. Langkah awal menentukan threshold dengan cara mengestimasikan level nilai dari background thermal noise. Noise diasumsikan sebagai gaussian noise dimana amplitudo noise diasumsikan berdistribusi Rayleigh. Dalam upaya melakukan mitigasi pada sampel dari sinyal terima keseluruhan, pada algoritma ini probability daya noise secara khusus 2 ditentukan sebesar 5%. N merupakan median dari sampel dan merupakan nilai probabilitas amplitudo dari noise yang melebihi tingkat tertentu didapat dengan meggunakan persamaan berikut [15]: 2 P exp (2.16) 2 2 N = probabilitas amplitudo dari noise yang melebihi tingkat tertentu 2 = median sampel data N Level median yang telah ditentukan m dapat ditemukan dengan mengatur m dan memasukkan nilai P=0.5 pada persamaan (2.13) sehingga didapatkan [15]: N m / ln (2.17) m Berbeda dengan algoritma pada umumnya yaitu menetapkan nilai threshold, namun pada tugas akhir ini threshold ditentukan terlebih dahulu untuk mendapatkan sebuah nilai constant false alarm rate (CFAR). Metode ini sering digunakan untuk mengetahui nilai multipath dengan syarat kebutuhan threshold harus ditetapkan sebagai. dan N bernilai konstan. Dari persamaan (2.16) diketahui bahwa probabilitas dari noise yang melebihi batas threshold pada sampel yang bukan merupakan sinyal (atau sama dengan nilai probabilitas false alarm per sampel) didapatkan dengan dengan persamaan sebagai berikut [15]: 2 P exp( / 2) (2.18) f P = probability false alarm ditentukan 5 % f Setelah mendapatkan nilai threshold, diambil sampel respon impuls yang lebih besar atau sama dengan 5% dari nilai threshold. 21

30 2.13 Power Delay Profile (PDP) Power delay profile (PDP) merupakan visualisasi dari intensitas sinyal terima yang telah melewati kanal multipath sebagai fungsi dari time delay. Sementara itu, time delay adalah perbedaan waktu kedatangan sinyal yang diterima. Total daya yang diterima pada pengukuran sinyal merupakan penjumlahan setiap komponen lintasan jamak dimana setiap komponen memiliki amplitudo dan fase yang acak pada setiap waktu (t), sehingga PDP rata-rata untuk suatu daerah tertentu dinyatakan pada persamaan berikut: N 1 i 0 2 N 1 2 P A 2 exp( j A (2.19) pulse i i i 0 Dimana: A = daya yang diterima setiap komponen lintasan jamak 2 i Grafik sumbu x pada PDP menunjukan nilai delay dalam dan sumbu y merupakan nilai daya rata-rata yang diterima. PDP dapat digunakan untuk mendapatkan parameter kanal seperti delay spread. i 22

31 BAB 3 PROSES PENGOLAHAN DATA 3.1 Skenario Pengambilan Data Pengukuran Untuk melakukan karakterisasi kanal HF, telah diimplementasikan sistem pengukuran respon impuls kanal HF secara langsung pada lintasan Surabaya Merauke dengan jarak lintasan sepanjang 3036 km. Gambar 3.1 Blok diagram pengukuran 3.2 Link Komunikasi Sistem Komunikasi HF Link sistem komunikasi HF dimulai dari pemancar yang berada di Surabaya dan penerima di Merauke. Berdasarkan pengukuran yang telah dilakukan dan data GPS yang ada maka spesifikasi data yang dicari adalah: Tanggal : 11 s/d 14 Mei 2015 Jam (WIB) : ; ; ; ; ; Mode Propagasi : 1F dan 2F Link : Surabaya Merauke Point Pengamatan : B1 ( , ) B2 ( , ) B3 ( , ) 23

32 Gambar 3.2 Peta link Surabaya Merauke Setelah didapatkan parameter-parameter yang ingin dicari maka langkah-langkah pengerjaan dalam tugas akhir ini seperti pada flowchart 3.2. Data TEC yang real didapatkan dari data GPS di Darwin, namun data GPS ini masih terbatas hanya sampai pada data TEC, padahal untuk mendapatkan delay propagasi juga dibutuhkan data kerapatan elektron. Oleh sebab itu, dilakukan normalisasi dari data kerapatan elektron IRI ke data GPS darwin. Data IRI digunakan karena merupakan model internasional untuk model ionosfer. Namun apabila integral dari pembagian kerapatan elektron IRI dengan TEC IRI (dari ketinggian 60 km hingga 2000 km) tidak sama dengan 1 maka data model tersebut tidak dapat digunakan untuk perhitungan. Oleh sebab itu, pada flowchart 3.2 apabila tidak sama dengan 1 maka proses dihentikan. Setelah didapatkan kerapatan elektron, maka dapat diketahui frekuensi kritis pada titik B1, B2 dan B3. Apabila frekuensi saat pengukuran lebih tinggi dari frekuensi yang dapat dipantulkan di titik B1, B2 dan B3 maka frekuensi tersebut tidak dilakukan proses selanjutnya. Namun apabila, frekuensi saat pengukuran lebih kecil dibandingkan frekuensi kritis di B1, B2 dan B3 maka 24

33 Mulai Mencari data TEC dari kondisi real (GPS) Mencari data TEC dan kerapatan elektron dari model IRI Normalisasi data IRI dengan membagi data kerapatan elektron IRI dengan TEC IRI Integral dari pembagian kerapatan elektron dengan TEC mendekati 1? Tidak Ya Selesai Hail bagi dikalikan TEC GPS sehingga didapat Ne Menghitung nilai Fc dari Nm Apakah Frekuensi Kerja < Fc? Tidak Ya Hitung ketinggian lapisan pemantul Selesai Hitung delay berdasarkan geometri ketinggian dan jarak Membandingkan dengan delay pengukuran Selesai Gambar 3.3 Gambar diagram alir proses pengerjaan tugas akhir 25

34 3.3 Mendapatkan Data TEC dari GPS Pengolahan data Total Electron Content (TEC) diperoleh dari stasiun-stasiun yang tergabung dalam proyek penelitian Scripps Orbit and Permanent Array Center (SOPAC). Data TEC pada daerah ekuatorial terbatas karena jumlah GPS terbatas terutama di daerah Indonesia bagian timur. TEC didapatkan dari pengolahan data Internasional GNSS Service (IGS) yang datanya dapat diakses melalui sopac.ucsd.edu. Data dari GPS masih berupa RINEX (Receiver Independent Exchange Format). RINEX merupakan data mentah dari pengukuran GPS secara statik. Pengolahan data RINEX ke TEC menggunakan perangkat lunak yang dibuat dan dikembangkan oleh LAPAN. Perangkat lunak yang dipakai untuk pengolahan TEC adalah dengan gpstecd. Langkah-langkah yang dilakukan adalah: 1. PC/ Laptop harus terhubung dengan koneksi internet yang cepat dan stabil. 2. Buka program dengan Matlab. 3. Run program dari LAPAN yaitu gpstecd. 4. Pilih data yang akan dihitung TEC nya Data terbaru atau data lama: terbaru pilih 1 data lama pilih 0:> 0 5. Data GPS online (1) atau off line (0): 1 6. Isikan tahun pengamatan : Isikan tanggal pada doys. Tanggal dihitung berdasarkan hari pertama awal tahun. Sebagai contoh tanggal 1 Januari 2015 maka doys diisikan 1. Untuk bulan Mei tanggal 10 maka diisikan doys dengan 130. Karena waktu pengukuran adalah tanggal 11,12,13 dan 14 Mei 2015 maka doys dimulai dari 130 s.d Pilih stasiun GPS yang akan dihitung TEC-nya. Pada perhitungan kali ini dipilih stasiun GPS Darwin karena GPS Darwin yang terdekat dengan lintasan Surabaya- Merauke. Ketikkan kode: darw untuk pilihan stasiun. 9. Tunggu hingga kalkulasi selesai. 10. Bila terjadi error maka extract file pada KOMGPS\IPP kemudian hapus folder lain yang sudah terbentuk setelah menjalankan program. Kemudian jalankan lagi seperti pada langkah 1. 26

35 11. Bila sukses, data yang sudah ada tidak mengganggu data yang akan didownload lagi maka pindahkan data yang sudah ada ke folder lain. 12. Hapus folder yang terbentuk setelah program dijalankan agar tidak menyebabkan kegagalan saat melakukan kalkulasi data lainnya. 13. Kemudian mulai download data dari stasiun GPS lain atau doys yang lain. Hasilnya sudah ada folder-folder terpisah. Untuk melihat hasil perhitungan TEC yang dihasilkan maka buka folder PETATEC. Untuk melihat data pengolahan TEC yang berisi parameter A, A 1,A 2 dan B dapat dilihat pada folder PETATEC\nama stasiun doys jam. Dengan mengetahui 4 nilai di atas, lintang dan bujur maka dapat dicari nilai TEC di titik yang diinginkan. Gambar 3.4Tampilan perangkat lunak gpstecd 3.4 Mendapatkan data TEC dan Kerapatan Elektron dari IRI Model Data IRI Model dapat diperoleh dengan mengakses Langkah 27

36 selanjutnya, masukkan data tahun, bulan, tanggal, lintang, bujur, ketinggian dan interval ketinggian. Sedangkan outputnya memilih sesuai keperluan. Dikarenakan data yang dibutuhkan adalah ketinggian, TEC dan kerapatan elektron, maka checklist pada ketiga parameter output tersebut. Berdasarkan hasil peta pada sub bab 3.2 maka data TEC yang tersedia adalah pada titik pengamatan B2 dan B3. Namun data TEC dan kerapatan elektron IRI dapat dicari di titik B1, B2 dan B3 dengan memasukkan koordinatnya. Untuk input dapat dilhat pada gambar 3.2. Gambar 3.5 Tampilan jendela masukkan IRI-2012 Data output berupa ketinggian, TEC dan kerapatan elektron dengan nilai dari ketinggian m (=60 km) hingga m (=2000 km) dengan interval ketinggian 2 km. Data ketinggian, kerapatan elektron dan TEC dicari sesuai dengan tanggal dan jam pengukuran dan secara berulang dicari di 3 titik pengamatan yaitu B1, B2 dan B Pendekatan Data Real Dari GPS dengan Data IRI Perangkat lunak dari LAPAN mengolah data real GPS RINEX menjadi data TEC, sedangkan untuk perhitungan delay yang dibutuhkan adalah kerapatan elektron. Kerapatan elektron diperoleh dengan pendekatan dengan data IRI. Langkah selanjutnya, membagi kerapatan 28

37 elektron IRI dengan TEC IRI. Hasil bagi tersebut kemudian diintegralkan mulai dari ketinggian meter hingga meter. Dikarenakan hasil bagi merupakan bilangan numerik maka pada matlab digunakan perintah trapz. Hasil dari integral tersebut seharusnya bernilai 1. Dari hasil matlab didapatkan hasil 1.00xx dan 0.99xx dengan nilai xx yang bervariasi. Kemudian hasil bagi kerapatan elektron IRI dengan TEC IRI dikalikan dengan TEC real dari GPS. Hasil perkaliannya menghasilkan pendekatan kerapatan elektron real. 3.6 Perhitungan Kerapatan Elektron Maksimum Pada B1 Dari hasil perangkat lunak gpstecd nilai yang dapat dicakup oleh GPS Darwin hanya sampai pada titik B2 dan B3. Kerapatan elektron di titik B1 pada jarak lintasan Surabaya-Merauke merupakan parameter penting tetapi tidak tercakup dari GPS maka untuk mendapatkan nilai kerapatan elektronnya dapat menggunakan ekstrapolasi. Ekstrapolasi didapatkan dengan rumus: (3.1) dengan nilai X adalah jarak yang akan dicari yaitu 750 km(jarak B1), X 1 adalah jarak pada 1500 km (jarak B2), X 2 adalah jarak pada 2250 km (jarak B3), Y adalah kerapatan elektron maksimum yang akan dicari(nmb1), Y 1 adalah kerapatan elektron maksimum pada jarak 1500 km (NmB2), Y 2 adalah kerapatan elektron maksimum pada jarak 2250 km (NmB3). Dari perhitungan kerapatan elektron maksimum di atas dapat dicari frekuensi kritis di titik B1 sesuai dengan persamaan (2.3). 3.7 Perhitungan Frekuensi Kritis Dari sub bab 3.4 didapatkan nilai kerapatan elektron. Frekuensi kritis dapat didapatkan dari kerapatan elektron maksimum sesuai dengan persamaan (2.3). Kerapatan elektron maksimum (Nm) didapatkan dari nilai kerapatan elektron (Ne) tertinggi hasil perbandingan data IRI dengan data TEC real. Frekuensi kritis diperlukan untuk pengecekan apakah frekuensi yang dipakai pada pengukuran dipantulkan atau tidak. Pemantulan dapat terjadi di lapisan E maupun di lapisan F, namun lapisan yang selalu ada adalah lapisan F2 maka mode propagasi yang menjadi fokus penelitian ini adalah mode propagasi pada lapisan F2. Apabila frekuensi yang digunakan lebih tinggi dari frekuensi kritis maka frekuensi yang digunakan tidak dipantulkan pada lapisan F2. Lintasan untuk sinyal HF yang dipantulkan di lapisan F dapat dilihat pada gambar 29

38 di bawah ini, ada 2 lintasan yaitu 1F dan 2F. Untuk mode propagasi 1F maka jarak yang digunakan dalam perhitungan adalah jarak 3000 km. Sedangkan untuk mode lintasan 2F mengunakan setengah jarak dari lintasan 1F yaitu 1500km. Gambar 3.6 Propagasi Gelombang HF 3.8 Perhitungan Ketinggian Lapisan Pemantul Dari pengecekan frekuensi kritis kemudian dicari frekuensi kerja yang digunakan saat pengukuran dipantulkan pada ketinggian berapa di atas permukaan bumi. Caranya adalah dengan memasukkan persamaan frekuensi kerja yang dipakai ke dalam persamaan (2.3). maka diperoleh kerapatan elektronnya. Dari hasil model IRI telah diperoleh ketinggian, maka pada kerapatan elektron dengan frekuensi tersebut dapat diketahui ketingiaanya. 3.9 Perhitungan Delay Propagasi Setelah didapatkan profil ketinggian di titik pemantul maka dengan perhitungan geometri propagasi didapatkan delay propagasi sistem komunikasi HF. Ketinggian yang didapatkan pada sub-bab 3.7 merupakan ketinggian vertikal. Berdasarkan gambar 2.6 geometri ketinggian miring dari lapisan ionosfer dapat dicari dengan menggunakan rumus pythagoras. Dengan demikian, ketinggian miring yang merupakan lintasan sinyal HF dapat digunakan untuk menghitung delay dengan nilai kecepatan sinyal adalah sebesar kecepatan cahaya di ruang hampa. Delay propagasi total didapatkan dengan menambahkan delay geometri dengan delay ionosfer. 30

39 3.10 Perhitungan Data Pengukuran Pada saat pengukuran terdapat beberapa parameter seperti pada tabel berikut ini: Tabel 3.1 Parameter pengukuran sistem komunikasi HF Parameter Value PN Sequence orde (m) = 12 Symbol rate (Symbols/sec) 500 K Sampling rate 1 MHz Modulasi QPSK Sinyal dibangkitkan menggunakan sinyal Pseudo Random Binary Sequence (PRBS).Pseudorandom Binary Sequence (PRBS) adalah sinyal biner yang memiliki pengulangan bentuk yang sama pada periode waktu tertentu dan periodik tetapi mempunyai sifat sebagai sinyal acak. Jumlah sequence yang dibangkitkan dengan orde (2 m -1=2 12-1) atau 1 periode ekuivalen dengan jumlah 4095bit sampel. Deretan bit dikirim dengan laju bit rate 500 kb/s. Sistem pengukuran diintegrasikan dengan perangkat Universal Software Radio Peripherals (USRP) N210 dan perangkat lunak LabVIEW. Kemudian sinyal tersebut dimodulasi dengan menggunakan modulator BPSK. Sebelum sinyal dipancarkan, sinyal dikuatkan dengan menggunakan power amplifier. Data hasil pengukuran diolah melalui tahap seperti berikut ini: Gambar 3.7 Tahap pengolahan data pengukuran Fungsi korelasi silang merupakan konvolusi antara magnitudo sinyal Rx dengan conjugate dari sinyal Tx berupa PN sequence. Korelasi silang antara sinyal IQ dan conjugate PN sequence dilakukan pada domain frekuensi dengan menggunakan sebuah implementasi diskrit dari analisa Fourier, yang kemudian lebih disempurnakan dengan suatu algoritma yang kita kenal sebagai Fast Fourier Transform (FFT). 31

40 BAB 4 PENGUJIAN DAN ANALISIS Pada bab ini, dilakukan pembahasan mengenai analisa hasil perhitungan untuk delay propagasi sesuai dengan langkah yang telah dijelaskan pada bab Nilai TEC dari titik B2 dan B3 Nilai TEC bervariasi sesuai dengan perbedaan jam, lintang dan bujur. Dari hasil running program gpstecd dapat diperoleh nilai A 0, A 1, A 2 dan B 1. Dengan demikian, nilai TEC di suatu titik dapat dicari. Sebagai contoh dengan memperhitungkan nilai A 0, A 1, A 2 dan B 1 pada jam 4 Local Time tanggal 11 Mei 2015 pada titik B2 ( , ) maka didapatkan hasil: ( ) ( ( ) Jam pada saat pengukuran adalah seperti pada bab 3 yang menggunakan referensi WIB. Namun titik B2 berada pada daerah Waktu Indonesia bagian Tengah (WITA) dan B3 berada pada daerah Waktu Indonesia Timur (WIT) maka memiliki selisih waktu 1 jam dan 2 jam dari WIB. Sehingga pada pengukuran pukul WIB, menggunakan data TEC pada pukul untuk WITA dan untuk WIT. Nilai TEC dihitung berulang untuk jam dan hari pengukuran sehingga didapatkan hasil sebagai berikut 33

41 Gambar 4.1 Grafik TEC di Titik B2 terhadap waktu Dari hasil perhitungan TEC real dapat dibuat grafik seperti pada gambar 4.1. Di titik B2 selisih waktu dengan WIB adalah 1 jam sehingga pada pengukuran pukul WIB sama dengan pukul WITA. Pengukuran dilakukan pada tanggal 11 hingga 14 Mei Dari data di atas nilai TEC bervariasi namun memiliki kecenderungan bernilai paling rendah pada pukul WITA. Sedangkan nilai TEC tertinggi selama 4 hari adalah pada pukul WITA. Nilai TEC berbeda hari memiliki nilai yang berbeda juga dengan nilai yang fluktuatif. 34

42 Gambar 4.2 Grafik TEC di Titik B3 terhadap waktu Dari hasil perhitungan TEC real dapat dibuat grafik seperti pada gambar 4.2. Di titik B3 selisih waktu dengan WIB adalah 2 jam sehingga pada pengukuran pukul 03.00WIB sama dengan pukul WIT. Pengukuran dilakukan pada tanggal 11 hingga 14 Mei Dari data di atas nilai TEC bervariasi namun memiliki kecenderungan bernilai paling rendah pada pukul WIT. Sedangkan nilai TEC tertinggi dapat terjadi pada pukul WIT dan WIT. Nilai TEC berbeda hari memiliki nilai yang berbeda juga dengan nilai yang fluktuatif. 35

43 Gambar 4.3 Grafik Perbandingan TEC di Titik B2 dan B3 terhadap waktu lokal Nilai TEC di dua titik yaitu B2 dan B3 tidak selalu lebih besar B2 atau lebih besar B3. Akan tetapi dari grafik dapat diketahui bahwa B2 dan B3 memiliki kecenderungan yang sama yaitu TEC bernilai paling rendah pada jam 5 local time. Sedangkan, untuk nilai TEC yang tinggi bisa terjadi pada siang hari maupun malam hari. Kondisi tersebut tidak ada yang pasti jam berapa nilai TEC akan maksimum. Nilai TEC bervariasi untuk di titik B2 dan B3 yaitu berkisar pada 2,84E+17 hingga kurang lebih 6,28E+17. Nilai TEC paling rendah di B2 lebih rendah dibandingkan di B3 namun nilai TEC yang paling tinggi juga lebih tinggi di B Perhitungan Kerapatan Elektron Dari data TEC real dari GPS, dapat dibandingkan dengan data model IRI sehingga didapatkan kerapatan elektron. Dengan perhitungan kerapatan elektron IRI dibagi dengan TEC IRI kemudian dikalikan dengan TEC real, maka didapatkan hasil pendekatan kerapatan elektron real. Data TEC dari software gpstecd hanya mencakup titik B2 dan B3, oleh sebab itu mengunakan teknik ekstrapolasi agar didapatkan nilai kerapatan elektron B1. Sehingga didapatkan hasil seperti pada gambargambar di bawah ini. 36

44 Gambar 4.4 Kerapatan elektron titik B1,B2 dan B3 pagi hari Pada gambar 4.4 kerapatan elektron di titik B1 paling tinggi yaitu pada pukul WIB. Sedangkan kerapatan elektron di titik B2 pada pukul WIB lebih tinggi dibandingkan dengan titik B3. Sedangkan pada pukul WIB nilai kerapatan elektron di B1 paling rendah. Gambar 4.5 Kerapatan elektron di B1, B2 dan B3 saat siang hari Pada gambar 4.5, kerapatan elektron pada pukul WIB lebih rendah bila dibandingkan pada pukul WIB. Pada grafik dapat dilihat pada pukul WIB dan WIB, kerapatan elektron di B3 paling tinggi dibandingkan titik yang lain. Nilai kerapatan elektron 37

45 pukul WIB dan 12.00WIB di tiap masing-masing titiknya tidak jauh berbeda. Gambar 4.6 Kerapatan elektron titik B1,B2 dan B3 malam hari Pada gambar 4.6 nilai kerapatan elektron tertinggi pada titik B1 pukul WIB. Nilai kerapatan elektron di B2 lebih tinggi dibandingkan dengan kerapatan elektron di B3. Kerapatan elektron titik B2 dan B3 tidak jauh berbeda. Dari ketiga grafik di atas, pada tanggal 11 Mei 2015 nilai kerapatan elektron yang paling maksimum terjadi pada pukul WIB di titik B1. Sedangkan, nilai puncak tertinggi kerapatan elektron yang paling minimum terjadi pada siang hari. 38

46 Gambar 4.7 Kerapatan elektron B1,B2,B3 pagi hari 12 Mei 2015 Pada gambar 4.7 kerapatan elektron di titik B1 paling tinggi yaitu pada pukul WIB. Sedangkan kerapatan elektron di titik B2 pada pukul WIB lebih tinggi dibandingkan dengan titik B3. Sedangkan pada pukul WIB nilai kerapatan elektron di B1 paling rendah. Gambar 4.8 Kerapatan elektron B1,B2,B3 siang hari 12 Mei 2015 Pada gambar 4.8, kerapatan elektron di titik B1 merupakan yang paling tinggi pada siang hari. Namun, pada titik B1 tidak terdapat perubahan yang signifikan antara pukul WIB dan WIB. Nilai kerapatan elektron paling rendah pada siang hari adalah di titik B3 pada pukul WIB. 39

47 Gambar 4.9 Kerapatan elektron B1,B2,B3 malam hari 12 Mei 2015 Kerapatan elektron pada tanggal 12 Mei 2015 tertinggi terjadi pada pukul WIB. Pada gambar 4.8 nilai kerapatan elektron tertinggi pada titik B3. Dari ketiga grafik pada tanggal 12 Mei 2015, nilai kerapatan elektron berbeda dengan kerapatan elektron pada tanggal 11 Mei Nilai puncak kerapatan elektron yang maksimum terjadi pada siang hari yaitu WIB di titik B1. Sedangkan untuk malam hari, nilai kerapatan elektron maksimum terjadi pada pukul WIB di titik B3. Gambar 4.10 Kerapatan elektron B1,B2,B3 pagi hari 13 Mei

48 Pada gambar 4.10 kerapatan elektron di titik B1 paling tinggi yaitu pada pukul WIB. Sedangkan kerapatan elektron di titik B2 pada pukul WIB lebih tinggi dibandingkan dengan titik B3. Sedangkan pada pukul WIB nilai kerapatan elektron di B1 paling rendah. Gambar 4.11 Kerapatan elektron B1,B2,B3 siang hari 13 Mei 2015 Pada gambar 4.11, kerapatan elektron di titik B3 merupakan yang paling tinggi pada siang hari. Namun, pada titik B3 tidak terdapat perubahan yang signifikan antara pukul WIB dan WIB. Nilai kerapatan elektron paling rendah pada siang hari adalah di titik B1 pada pukul WIB. Pada siang hari, kerapatan elektron B1, B2 dan B3 tidak jauh berbeda. Gambar 4.12 Kerapatan elektron B1,B2,B3 malam hari 13 Mei

49 Kerapatan elektron pada tanggal 13 Mei 2015 tertinggi terjadi pada pukul WIB. Namun kerapatan elektron di titik B1 pada pukul WIB tidak jauh berbeda dengan kerapatan elektron B1 pukul WIB. Pada gambar 4.11 nilai kerapatan elektron tertinggi pada titik B1. Gambar 4.13 Kerapatan elektron B1,B2,B3 pagi hari 14 Mei 2015 Pada gambar 4.13 kerapatan elektron di titik B1 paling tinggi yaitu pada pukul WIB. Sedangkan kerapatan elektron di titik B2 pada pukul WIB lebih tinggi dibandingkan dengan titik B3. Pada tanggal 14 Mei 2015 terjadi perbedaan yang cukup signifikan pada pukul WIB antara titik B1, B2 dan B3. Titik dengan nilai kerapatan elektron terendah pada pukul 03.00WIB adalah pada titik B3. 42

50 Gambar 4.14 Kerapatan elektron B1,B2,B3 siang hari 14 Mei 2015 Pada gambar 4.14, kerapatan elektron di titik B3 merupakan yang paling tinggi pada siang hari. Namun, pada titik B3 tidak terdapat perubahan yang signifikan antara pukul WIB dan WIB. Nilai kerapatan elektron paling rendah pada siang hari adalah di titik B1 pada pukul WIB. Pada siang hari, kerapatan elektron B1, B2 dan B3 tidak jauh berbeda. Gambar 4.15 Kerapatan elektron B1,B2,B3 malam hari 14 Mei 2015 Kerapatan elektron pada tanggal 14 Mei 2015 tertinggi terjadi pada pukul WIB. Kerapatan elektron tertinggi di titik B1. Kerapatan elektron di masing-masing titiknya tidak menunjukkan perubahan yang signifikan antara pukul WIB dan WIB. 43

51 4.3 Perhitungan Frekuensi Kritis Pada sub bab 4.2 sudah didapatkan kerapatan elektron di titik B1, B2 dan B3 di jam dan hari pengukuran. Dari data kerapatan elektron dari ketinggian 60 km hingga 2000 km dapat dilihat kerapatan elektron maksimumnya. Dengan nilai kerapatan elektron maksimum maka dapat dicari frekuensi kritis lapisan F2. Frekuensi kritis diperlukan untuk mengetahui apakah frekuensi yang digunakan saat pengukuran dipantulkan secara vertikal oleh lapisan F2 atau tidak. Tabel 4.1 Frekuensi Kritis Titik B1 Tanggal (Mei 2015) Jam (WIB) Nm (m 3 ) fc(mhz) ,99E+12 12, ,3E+11 8, ,19E+11 8, ,16E+11 8, ,61E+12 11, ,44E+12 10, ,03E+12 12, ,26E+12 10, ,24E+12 13, ,36E+12 13, ,67E+12 11, ,59E+12 11, ,2E+12 16, ,25E+12 10, ,37E+12 10, ,37E+12 10, ,38E+12 13, ,48E+12 14, ,74E+12 14,

52 Tanggal (Mei 2015) Jam (WIB) Nm (m 3 ) fc(mhz) ,15E+12 9, ,14E+12 9, ,2E+12 9, ,04E+12 12, ,88E+12 12,34988 Pada tabel 4.1 nilai frekuensi maksimum yang dapat dipantulkan bervariasi dengan nilai minimum pada tanggal 11 Mei 2015 pukul WIB yaitu 8,614 MHz. Sedangkan frekuensi tertinggi adalah 16, 099 MHz pada tanggal 13 Mei 2015 pukul WIB. Saat pengukuran frekuensi yang digunakan adalah 7 MHz, 14 MHz, 21 MHz dan 24,94 MHz. Frekuensi yang dapat dipantulkan pada saat pengukuran adalah 7 MHz di semua jam pengukuran. Sedangkan untuk frekuensi 14 MHz dipantulkan pada tanggal 12 Mei 2015 pukul WIB dan WIB, tanggal 13 Mei 2015 pukul WIB dan WIB, tanggal 14 Mei 2015 pukul WIB. Tabel 4.2 Frekuensi kritis di Titik B2 Tanggal (Mei 2015) Jam (WIB) Nm (m 3 ) fc(mhz) ,57E+12 11, ,06E+12 9, ,02E+12 9, ,03E+12 9, ,5E+12 11, ,39E+12 10, ,67E+12 11, ,53E+12 11, ,03E+12 12, ,06E+12 12, ,74E+12 11, ,66E+12 11,

53 Tanggal (Mei 2015) Jam (WIB) Nm (m 3 ) fc(mhz) ,34E+12 13, ,38E+12 10, ,45E+12 10, ,48E+12 10, ,22E+12 13, ,22E+12 13, ,98E+12 12, ,21E+12 9, ,24E+12 10, ,29E+12 10, ,9E+12 12, ,87E+12 12,30176 Pada tabel 4.2 nilai frekuensi maksimum yang dapat dipantulkan bervariasi dengan nilai minimum pada tanggal 11 Mei 2015 pukul WIB yaitu 9,076 MHz. Sedangkan frekuensi tertinggi adalah 13, 753 MHz pada tanggal 13 Mei 2015 pukul WIB. Saat pengukuran frekuensi yang digunakan adalah 7 MHz, 14 MHz, 21 MHz dan 24,94 MHz. Frekuensi yang dapat dipantulkan pada saat pengukuran adalah 7 MHz di semua jam pengukuran. Sedangkan frekuensi lainnya tidak dipantulkan pada lapisan F2 di titik B2. Tabel 4.3 Frekuensi kritis di titik B3 Tanggal (Mei 2015) Jam (WIB) Nm (m 3 ) fc(mhz) ,15E+12 9, ,2E+12 9, ,12E+12 9, ,16E+12 9, ,38E+12 10, ,34E+12 10, ,32E+12 10,

54 Tanggal (Mei 2015) Jam (WIB) Nm (m 3 ) fc(mhz) ,82E+12 12, ,83E+12 12, ,78E+12 12, ,82E+12 12, ,73E+12 11, ,47E+12 10, ,54E+12 11, ,53E+12 11, ,62E+12 11, ,05E+12 12, ,97E+12 12, ,23E+12 9, ,28E+12 10, ,36E+12 10, ,41E+12 10, ,76E+12 11, ,85E+12 12,25345 Pada tabel 4.3 nilai frekuensi maksimum yang dapat dipantulkan bervariasi dengan nilai minimum pada tanggal 11 Mei 2015 pukul WIB yaitu 9,544 MHz. Sedangkan frekuensi tertinggi adalah 12, 893 MHz pada tanggal 13 Mei 2015 pukul WIB. Saat pengukuran frekuensi yang digunakan adalah 7 MHz, 14 MHz, 21 MHz dan 24,94 MHz. Frekuensi yang dapat dipantulkan pada saat pengukuran adalah 7 MHz di semua jam pengukuran. Sedangkan frekuensi lainnya tidak dipantulkan pada lapisan F2 di titik B3. 47

55 Gambar 4.16 Grafik perbandingan frekuensi kritis pada titik B1, B2 dan B3 Pada gambar 4.16 dapat diketahui bahwa frekuensi yang dipantulkan pada lapisan F2 selama jam pengukuran maksimum pada frekuensi 16 MHz. Frekuensi pengukuran yang dipantulkan pada lapisan F2 di titik B1 adalah pada frekuensi 7 MHz dan 14 MHz. Namun di titik B3 frekuensi 14 MHz tidak dipantulkan kembali. 4.4 Perhitungan Ketinggian Lapisan Pemantul Pada perhitungan frekuensi kritis di titik B1, B2 dan B3 lintasan antara Surabaya-Merauke diperoleh dua frekuensi yang dapat dipantulkan pada lapisan F2. Sesuai dengan persamaan (2.3) maka pada frekuensi 7 MHz, kerapatan elektron lapisan pemantul adalah sebesar 6,05 X10 11 / m 3. Pada frekuensi 14 MHz, kerapatan elektron lapisan pemantul adalah sebesar 2,42 X /m 3. Dengan mencari data pada data ketinggian dan kerapatan elektron maka didapatkan ketinggian lapisan pemantul. Data kerapatan elektron yang tidak tepat 6,05 X10 11 / m 3 dan 2,42 X /m 3 dapat dicari ketinggiannya dengan cara mencari nilai kerapatan elektron yang kerapatan elektron di 7 MHz dan 14 MHz. Ketinggian yang dipakai adalah ketinggian yang paling dekat dengan bumi. 48

56 Tabel 4.4 Ketinggian Lapisan Pemantul di titik B1 Frekuensi pengukuran Ketinggian Lapisan yang dipantulkan Pemantul 7 MHz (Mhz) (m) , , Ketinggian Lapisan Pemantul 14 MHz (m) 7, , ,

57 Pada tabel 4.4 ada 2 frekuensi yang dapat dipantulkan di lapisan F2. Untuk frekuensi yang lebih tinggi, ketinggian lapisan pemantulnya juga lebih tinggi. Tabel 4.5 Ketinggian Lapisan Pemantul di titik B2 Frekuensi pengukuran yang dipantulkan (MHz) Ketinggian (m)

58 Pada tabel 4.5, frekuensi yang dipantulkan di titik B2 hanya frekuensi 7 MHz. Perbedaan waktu pengukuran, berbeda juga ketinggian lapisan pemantulnya. Tabel 4.6 Ketinggian Lapisan Pemantul di titik B3 Frekuensi pengukuran yang dipantulkan Ketinggian (m)

59 Pada tabel 4.6 frekuensi yang dipantulkan pada lapisan F2 hanyalah frekuensi 7 MHz. Lapisan ionosfer F2 yang memantulkan frekuensi 7 MHz lebih rendah di titik B3 dibandingkan di titik B2. Gambar 4.17 Perbandingan Ketinggian Pemantul Sinyal HF di Lapisan F2 pada titik B1, B2, dan B3 Pada gambar 4.16 dapat diketahui bahwa ketingian lapisan pemantul selama 4 hari yang paling rendah terjadi pada tanggal 12 Mei 2015 pukul WIB dan WIB. 4.5 Perhitungan Delay Propagasi Ketinggian lapisan pemantul yang telah diketahui dapat digunakan untuk mencari delay propagasi sistem komunikasi HF Surabaya- Merauke. Dengan memperhitungkan geometrinya maka didapatkan hasil ketinggian sisi miring lintasan komunikasi HF. Dengan asumsi kecepatan yang digunakan adalah 3 X 10 8 m/s kemudian dapat diketahui delay propagasinya. Tabel 4.7 Delay Geometri Propagasi di titik B1 Frekuensi 7 MHz Ketinggian 7 MHz(m) Ketinggian Miring(m) Delay Geometri (s) ,7 0, ,1 0, ,1 0,

60 Ketinggian 7 MHz(m) Ketinggian Miring(m) Delay Geometri (s) ,2 0, ,3 0, , ,7 0, ,9 0, ,9 0, ,5 0, ,3 0, ,4 0, ,8 0, ,3 0, ,3 0, ,9 0, ,3 0, ,2 0, ,9 0, ,9 0, ,9 0, ,2 0, ,1 0, ,3 0,00523 Delay propagasi sistem komunikasi HF di titik B1 antara frekuensi 7 MHz dengan 14 Mhz tidak mengalami perbedaan yang signifikan. Hasil perhitungan delay berada di kisaran nilai 5 ms. Delay propagasi paling minimum terjadi pada pukul WIB. 53

61 Tabel 4.8 Delay Geometri Propagasi di titik B2 Ketinggian (m) Ketinggian Miring (m) Delay Geometri (s) , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , Delay propagasi di titik B2 lebih tinggi dibandingkan di titik B1 karena jarak yang lebih besar di titik B2. B2 merupakan titik dengan mode propagasi 1F, sehingga jarak yang digunakan adalah 1500km. 54

62 Sedangkan untuk B1 dan B3 digunakan untuk mode propagasi 2F yang memiliki jarak 750 km. Oleh sebab itu, delay di titik B2 lebih besar yaitu di kisaran nilai 10 ms. Di titik B2 delay yang paling kecil terjadi pada pukul WIB pada tanggal 12 Mei Tabel 4.9 Delay Geometri Propagasi di titik B3 Ketinggian (m) Ketinggian Miring (m) Delay geometri (s) ,3 0, ,4 0, ,4 0, ,4 0, ,4 0, ,3 0, ,9 0, ,5 0, ,9 0, ,3 0, ,9 0, ,9 0, ,4 0, ,8 0, ,8 0, ,9 0, ,2 0, ,3 0, ,3 0, , ,4 0, , ,9 0, ,5 0,

63 Delay propagasi sistem komunikasi HF di titik B3 dengan frekuensi 7 MHz berada di kisaran nilai 5 ms. Delay propagasi paling minimum terjadi pada tanggal 12 Mei 2015 pukul WIB. Sedangkan untuk perhitungan delay yang dikarenakan pengaruh ionosfer diperoleh hasil untuk 1F dan 2F sebagai berikut: Tabel 4.10 Perbandingan delay ionosfer 1F dan 2F Jam Delay ionosfer 1F (WIB) (ms) Tanggal (Mei 2015) Delay ionosfer 2F (ms) , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , ,

64 Tanggal (Mei 2015) Jam (WIB) Delay ionosfer 1F (ms) Delay ionosfer 2F (ms) , , , , , , Sehingga, dengan menjumlahkan delay geometri dengan delay akibat ionosfer pada mode 1F dan 2F diperoleh hasil pada gambar Gambar 4.18 Perbandingan delay propagasi mode 1F dan 2F Dari gambar 4.17 dapat diketahui bahwa delay propagasi untuk mode propagasi 1F dan 2F, delay mode 1F lebih kecil dibandingkan delay mode 2F. Pada mode 2F, di titik B1 dipantulkan frekuensi 7 MHz dan 14 MHz tetapi di titik B3 yang dipantulkan hanya pada frekuensi 7 MHz. Oleh sebab itu, untuk sistem komunikasi 2F antara Surabaya- Merauke yang dapat digunakan pada jam dan pengukuran 11 s.d 14 Mei 2015 adalah frekuensi 7 MHz. Rata-rata dari selisih antara delay total pada mode 1F dan 2F di frekuensi 7 MHz adalah 0,35557 ms. 4.6 Delay Mode Propagasi 1F dan 2F Pengukuran Dari hasil pengolahan data pengukuran I dan Q pada matlab maka diperoleh hasil seperti pada gambar di bawah ini. 57

65 Gambar 4.19 PDP Sinyal di frekuensi 7 MHz pukul WIB Perhitungan delay didapatkan dari selisih waktu pada sampling sinyal periode pertama dengan sinyal selanjutnya tetapi masih 1 periode. Pada sinyal pertama diasumsikan sebagai sinyal 1F dan sinyal ke 2 adalah sinyal hasil propagasi dengan mode 2F. Untuk hasil lebih detailnya ditampilkan dalam tabel berikut ini. Tabel 4.11 Perbandingan selisih sinyal pertama dan kedua yang diterima. Pengukuran hari ke jam(wib) 1F (ms) 2F (ms) Selisih (ms) , ,89 0, ,379 0,46 0, ,159 2,089 0, ,531 3,786 0, ,27 0,622 0, ,468 1,387 0, ,876 6,917 4,10E ,467 3,476 3, ,241 2,397 0, ,435 3,269 1, ,482 4,375 3,893 58

66 Pengukuran hari ke jam(wib) 1F (ms) 2F (ms) Selisih (ms) ,2 2,28 8,00E ,878 7,239 4, ,493 4,189 2, ,047 4,937 3, ,707 5,809 3, ,703 3,731 2, ,815 4,115 0, ,432 1,329 0, ,507 2,365 0, ,622 1,877 1, ,636 2,969 1,333 Dari tabel di atas, rata-rata delay pada 1F dan 2F pada 4 hari pengukuran adalah sebesar 1, ms. 4.7 Sintesis Berdasarkan hasil pengolahan data pada sub bab sebelumnya, didapat hasil yang menunjukkan karakteristik ionosfer Surabaya- Merauke yang diamati pada waktu pengukuran. Dari karakteristik ionosfer berupa kerapatan elektron dapat diketahui hubungannya dengan frekuensi yang dapat dipantulkan. Makin tinggi kerapatan elektron maka frekuensi yang dapat dipantulkan juga tinggi. Pada tanggal 12 Mei 2015 kerapatan elektron yang tinggi terjadi pada siang hari, sedangkan pada malam dan pagi hari lebih rendah. Hal tersebut sesuai dengan teori bahwa kerapatan elektron pada siang hari lebih tinggi pada malam hari. Adapun kerapatan elektron pada tanggal 11,13 dan 14 Mei mengalami anomali dimana nilai kerapatan elektron tinggi terjadi pada pagi hari ataupun malam hari dan rendah pada siang hari. Hal tersebut dapat disebabkan karena pengaruh kondisi ionosfer yang mungkin sedang terjadi badai ionosfer yang ditunjukkan dengan anomali TEC yang tinggi pada malam hari. Selisih delay pada mode 1F dan 2F pada pengukuran yaitu 1, ms,dan delay dari hasil perhitungan adalah 0,35557 ms. Dari hasil perbandingan perhitungan delay pengukuran dan delay perhitungan 59

67 didapatkan hasil yang berbeda yaitu selisih 1, ms. Selisih delay hasil perhitungan lebih kecil jika dibandingkan dengan selisih delay pengukuran. Hal tersebut dapat disebabkan karena pengaruh perbedaan kerapatan elektron di setiap ketinggian sehingga sinyal dapat saja terjadi pembelokan (bukan berupa garis lurus) yang menyebabkan delay menjadi semakin besar. Untuk hasil perhitungan dan pengukuran tidak memiliki nilai yang sama, namun hanya memiliki selisih yang relatif kecil untuk sistem komunikasi yaitu 1,1157 ms. 60

68 BAB 5 KESIMPULAN DAN SARAN 5.1 Kesimpulan Setelah dilakukan serangkaian tinjauan pustaka, perencanaan, perhitungan dan analisis sistem, maka dapat ditarik kesimpulan: 1. Total Electron Content (TEC) antara lintasan Surabaya- Merauke tidak ada kecenderungan makin ke arah Indonesia Timur makin besar nilainya ataupun sebaliknya. Namun TEC cenderung memiliki mode fluktuasi yang sama berdasarkan jam nya. Pada pukul waktu setempat nilai TEC merupakan paling rendah, sedangkan nilai TEC yang tinggi dapat terjadi pada malam maupun siang hari. 2. Untuk sistem komunikasi HF Surabaya-Merauke frekuensi saat pengukuran yang dapat dipantulkan di titik B1 adalah 7 MHz dan 14 MHz, sedangkan di titik B2 dan B3 adalah 7 MHz. 3. Delay propagasi hasil perhitungan antara mode propagasi 1F dan 2F berkisar pada 10 ms. Delay pada dengan mode 1F lebih kecil bila dibandingkan dengan delay mode propagasi 2F. Ketinggian lapisan pemantul yang memantulkan frekuensi berbeda-beda sesuai dengan jam dan hari pengukuran. 4. Selisih rata-rata delay antara pengukuran dan perhitungan untuk mode 1F dan 2F link komunikasi HF Surabaya-Merauke adalah 1,1157 ms. 5.2 Saran Dalam melakukan pengembangan sistem komunikasi HF kedepannya, dapat diperhatikan beberapa hal sebagai berikut: 1. Dapat digunakan pemodelan lain untuk penghitungan delay ghpropagasi HF. 2. Perlu dirancang sistem komunikasi HF dengan delay kecil. 3. Mengatur ulang pointing antena dan mengatur ketinggian aapemasangan antena pada implementasi sistem pengukuran aaselanjutnya karena arah dan ketinggian pemasangan antena aaberpengaruh terhadap rambatan gelombang pada lintasan kanal aahf. 61

69 4. Untuk penelitian selanjutnya, perlu dilakukan mitigasi aainterferensi yang mungkin timbul pada frekuensi kerja yang aadigunakan pada sistem pengukuran kanal HF. 5. Implementasi sistem pengukuran dilakukan dengan periode aayang lebih lama sehingga didapatkan data yang lebih banyak aaagar analisis karakteristik lebih akurat. 62

70 DAFTAR PUSTAKA [1] McNamara, Leo F., Prediction for HF Communications, Krieger Publishing Company, [2] Suhartini, Sri, Sudut Elevasi dan Ketinggian Antena Untuk Komunikasi Radio HF, LAPAN, Indonesia, September, [3] Australian Goverment, IPS Radio and Space Services, Introduction to HF Radio Propagation.pdf Sidney, Australia, [4] Davies, kenneth, Ionospheric Radio, Peter Peregrinus Ltd, United Kingdom, [5] ITU-R Rec. V.413-7, Wireless Communication Principles and Practice, ITU-R, [6] Foose, B., High Frequency Communication - an Introductary Overview,, HIARC Meeting, [7] K. Bhuyan, S.B. Singh and P.K. Bhuyan, tomographic reconstruction of the ionosphere using generalized singular value decomposition, Current Science.,Vol.83,No.9, 10 November [8] Buldan Muslim, Hazanuddin Z. Abidin, The Houw Liong, Wedyanto Kuncoro, Cecep Subarya, Heri Andreas dan M. Gamal, Pemodelan TEC Regional dari Data GPS Stasiun Tetap di Indonesia dan Sekitarnya, Proc.ITB Sains & Tek., Vol.38 A,No.2, [9] Rizal, Muhammad, Analisa Nilai TEC Pada Lapisan Ionosfer Menggunakan Data Pengamatan GPS Dua Frekuensi,ITS,2008. [10] Buldan,M., Komputasi TEC Ionosfer Mendekati Real Time Dari Data GPS, Prosiding Seminar Nasional Penelitian, Pendidikan dan Penerapan MIPA, Universitas Negeri Yogyakarta, [11] Buldan,Muslim, Penentuan MUF Menggunakan Model Sederhana Ionosfer, Kontribusi Fisika indonesia Vol. 13 No.2, April [12] McNamara, Leo F., Accuracy of models of hmf2 used for longterm trend analyses, Radio Science, Vol.43,2008. [13] R, Dyah, Pemanfaatan Data Ionosfer Untuk Identifikasi Lokasi Pemancar HF, LAPAN, [14] Blaunstein, Nathan, Plohotniuc, Euginiu (2008), Ionosphere and Applied Aspect of Radio Communication and Radar,CRC Press, Boca Raton, FL. 63

71 [15] Sousa, E.S., Jovanoic, V.M., Daigneault, C. Delay Spread Measurement for The Digital Cellular Channel in Toronto. IEEE trans. On Vehicular Technology Vol.43, no. 4: ,1994. [16] Goldsmith, Andrea, Wireless Communication, Cambridge University Press, [17] Rappaport, Theodore S, Wireless Communication Principles and Practice, Prential Hall, USA,

72 LAMPIRAN A PROPOSAL TUGAS AKHIR A. JUDUL TUGAS AKHIR Perhitungan Delay Propagasi Berdasarkan Data Total Electron Content (TEC) Sebagai Verifikasi Hasil Pengukuran Sistem Komunikasi High Frequency (HF) di Daerah Ekuator B. RUANG LINGKUP Tugas akhir ini mengambil bidang-bidang penelitian yang berkaitan dengan mata kuliah atau tema-tema sebagai berikut: Sistem Komunikasi High Frequency Propagasi Gelombang Radio IonosphericRadio C. LATAR BELAKANG Sistem komunikasi High Frequency (HF) adalah sistem komunikasi pada rentang frekuensi 3-30 Mhz yang memanfaatkan ionosfer sebagai media pemantul gelombang. Kelebihan dari sistem komunikasi HF adalah dapat menjangkau jarak yang jauh. Oleh sebab itu sistem komunikasi HF bermanfaat untuk digunakan di daerah-daerah terpencil yang terkendala infrastruktur jaringan, relay, dan banyaknya obstacle. Gelombang radio HF dipantulkan oleh ionosfer sehingga untuk komunikasi jarak jauh tidak memerlukan repeater ataupun satelit sehingga infrastruktur yang digunakan lebih ekonomis. Dengan kondisi geografis Indonesia dan belum meratanya pembangunan sistem komunikasi, maka pengembangan sistem komunikasi HF akan bermanfaat dalam membantu perkembangan pembangunan komunikasi di daerah yang masih terpencil. Oleh sebab itu, diadakan penelitian sistem komunikasi HF untuk komunikasi antara pemancar di Surabaya dan penerima di Ternate dan juga antara Surabaya dengan Merauke yang dilakukan oleh mahasiswa Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) Surabaya. Penelitian tersebut berlangsung pada bulan Mei Pengukuran sistem komunikasi HF yang telah dilakukan mahasiswa ITS untuk komunikasi antara Surabaya-Ternate dan 65

73 Surabaya-Merauke memerlukan verifikasi delay propagasi. Delay propagasi tersebut dapat diperoleh dari pemodelan fof2. fof2 merupakan fungsi dari data Total Electron Content (TEC). TEC diperoleh dari data pengukuran stasiun Global Positioning System (GPS) yang tersebar di antara Surabaya dan Ternate ataupun Surabaya-Merauke. fof2 merupakan parameter yang penting dalam sistem komunikasi HF. Hal tersebut disebabkan karena layer F2 ada ketika siang dan malam sedangkan layer lainnya menghilang ketika malam. Hal tersebut mengakibatkan frekuensi kritis pada layer F2 yang tertinggi sehingga layer F2 menjadi layer paling penting dalam komunikai HF. Pemodelan fof2 akan dapat membantu verifikasi delay propagasi. Selanjutnya dapat dibandingkan delay pengukuran hasil pengamatan dengan delay pengukuran hasil pengolahan TEC dari GPS. Data GPS berupa slant TEC diubah ke Vertical TEC (VTEC) untuk mendapatkan fof2. D. PERUMUSAN MASALAH Masalah yang diharapkan untuk ditemukan solusinya melalui tugas akhir ini adalah sebagai berikut: 1. Mengetahui kecenderungan densitas elektron pada saat peelitian sistem komunikasi HF pada link Surabaya-Ternate atau Surabaya- Merauke. 2. Mendapatkan delay propagasi sistem komunikasi HF link Surabaya-Ternate atau Surabaya- Merauke. 3. Membandingkan hasil perhitungan delay propagasi dengan delay hasil pengukuran. E. BATASAN MASALAH Untuk menyelesaikan masalah dalam tugas akhir ini, maka perlu diberi batasan sebagai berikut: 1. Data pengukuran yang digunakan adalah data stasiun GPS di satu titik lokasi untuk suatu link tertentu. 2. Waktu yang dilakukan pemodelan fof2 adalah pada saat pengukuran sistem komunikasi HF Surabaya-Ternate dan Surabaya-Merauke pada bulan Mei F. TUJUAN TUGAS AKHIR DAN MANFAAT Tujuan dan capaian yang diharapkan tercapai setelah selesainya tugas akhir ini adalah sebagai berikut: 66

74 1. Mengetahui model fof2 untuk data TEC pada saat pengukuran HF Surabaya-Ternate dan Surabaya-Merauke. 2. Pemodelan fof2 selanjutnya dapat dimanfaatkan sebagai verifikasi delay hasil pengukuran HF Surabaya-Ternate dan Surabaya-Merauke. G. TINJAUAN PUSTAKA DAN DASAR TEORI Beberapa bahan penelitian yang dijadikan rujukan dalam pengerjaan tugas akhir ini adalah sebagai berikut: G.1 Sistem Komunikasi High Frequency Sistem komunikasi High Frequency (HF) telah dikembangkan sejak sebagai tulang punggung sistem komunikasi jarak jauh. Sistem komunikasi HF memiliki kemampuan mengakses daerah terpencil atau yang sulit diakses oleh sistem komunikasi dengan kabel. Sistem komunikasi HF bekerja pada rentang frekuensi 3-30 MHz sangat dipengaruhi oleh kondisi ionosfer karena ionosfer berfungsi sebagai reflektor gelombang radio HF. G.2 Ionosfer Ionosfer adalah bagian dari atmosfer, yang terionisasi oleh radiasi matahari. Seperti beberapa ilmuwan menyebutkan bahwa ionosfer adalah perpanjangan dari termosfer, ionosfer tidak dapat dianggap sebagai lapisan atmosfer yang terpisah. Suhu meningkat seiring dengan meningkatnya ketinggian. Ionosfer menyumbang sekitar 0,1% dari massa atmosfer. Membentuk lapisan dalam magnetosfer, atau ruang lingkup di pengaruh oleh magnet/gaya gravitasi bumi. Media penting untuk komunikasi HF adalah ionosfer yang memiliki karakteristik propagasi berbeda berdasarkan tempat dan waktu. Layer pada Ionosfer terdiri dari layer D (50-90 km), layer E pada ketinggian km dan layer F pada ketinggian km. Selama musim panas, layer F terbagi menjadi dua layer yang biasa disebut dengan F 1 dan F 2. Namun pada saat malam hari, layer D,E, dan F 1 hampir seluruhnya hilang dan hanya menyisakan layer F 2. Oleh sebab itu, layer yang paling penting untuk komunikasi HF adalah layer F 2. Kepadatan elektron pada lapisan ini lebih tinggi dibandingkan di F1. Lapisan D dan E melemah dan bahkan hilang pada malam hari. Lapisan tersebut mencerminkan gelombang radio dari panjang gelombang yang lebih panjang sementara wilayah F mencerminkan gelombang radio dari 67

75 panjang gelombang yang lebih pendek. Artinya, lapisan D dan E mencerminkan frekuensi rendah gelombang radio dan lapisan F mencerminkan frekuensi tinggi gelombang radio. [1] Gambar 1. Lapisan Ionosfer[2] G.3 Total Electron Content Informasi tentang karakteristik ionosfer dalam suatu wilayah biasanya diwakili oleh karakteristik Total Electron Content (TEC). TEC atau disebut dengan densitas elektron adalah jumlah elektron dalam kolom vertikal berpenampang seluas 1 m 2 sepanjang lintasan sinyal ionosonde ataupun perangkat GPS dalam lapisan ionosfer. [3] TEC merupakan fungsi dari variabel-variabel seperti lokasi geografis, waktu lokal, musim, radiasi sinar UV dan aktivitas medan magnet. TEC akan berpengaruh terhadap propagasi sinyal baik kecepatan, arah, polarisasi dan daya sinyal. Masalah yang kerap muncul adalah perbedaan waktu pengiriman dan penerimaan data akibat lintasan yang jamak atau biasa disebut delay time. [3] Vertikal TEC diperoleh dari slant TEC dengan 68

76 rumus: vtec=stec cos(χ), dengan cos(χ) merupakan fungsi dari. Dengan χ = zenith angle pada pierce point, R e adalah radius bumi, E adalah sudut elevasi satelit dan h pp adalah ketinggian pierce point. Gambar 2. Geometri untuk konversi STEC ke VTEC[4] G.4 Frekuensi Kritis Layer F2 (fof2) Ionosfer memungkinkan penyebaran sinyal radio ke tempat yang jauh di bumi. Hal ini mencerminkan gelombang radio kembali ke bumi, sehingga memudahkan komunikasi radio. Elektron bebas dalam propagasi ionosfer bantuan gelombang elektromagnetik. Frekuensi kritis lapisan F2 ionosfer (fof2) adalah frekuensi tertinggi dari gelombang radio HF yang masih dapat dipantulkan oleh ionosfer dalam arah propagasi vertikal. Peta fof2 regional Indonesia secara langsung dapat digunakan sebagai pedoman operasional komunikasi NVIS yaitu komunikasi HF jarak dekat (kurang dari 500 km) dengan arah propagasi mendekati vertikal. 69

77 Propagasi gelombang radio untuk VLF, LF dan MF dapat berpropagasi mengikuti kelengkungan bumi sehingga disebut juga dengan gelombang tanah. Untuk radio HF, komunikasi terjadi karena gelombang yang dipancarkan ke angkasa dan dipantulkan kembali oleh lapisan ionosfer. Sedangkan untuk VHF dan UHF tidak dapat dipantulkan oleh ionosfertetapi diteruskan ke angkasa luar, sehingga dapat digunakan untuk komunikasi dengan satelit.gelombang radio HF dapat dipantulkan oleh lapisan E maupun F ionosfer tergantung pada frekuensi dan sudut elevasinya. [5] Pada komunikasi gelombang radio dengan menggukan lapisan ionosfer terdapat tiga besaran yang penting, yakni frekuensi kritis (f c ), Maximum Usable Frequency (MUF) dan sudut elevasi antena. Frekuensi kritis adalah frekuensi ketika indeks refraksi bernilai 0, atau dengan kata lain merupakan frekuensi tertinggi dimana gelombang masih bisa dipantulkan ke bumi bila ditransmisikan secara vertikal pada kondisi atmosfer yang ada. Besaran kedua adalah Maximum Usable Frequency (MUF). Frekuensi maksimum tergantung pada dua hal yakni frekuensi kritis pada titik pantul di lapisan ionosfer dan geometri dari sirkit komunikasinya. Sudut elevasi mencakup dua hal sekaligus yakni sudut pancar dan sudut datang. Sudut pancar merupakan sudut yang dibentuk oleh berkas gelombang radio yang dipancarkan oleh garis horisontal di stasiun pemancar (T x ). Sedangkan sudut datang diartikan sebagai sudut yang dibentuk oleh berkas gelombang datang dengan garis horisontal di stasiun penerima (R x ). Kerapatan elektron nilainya bervariasi sesuai dengan ketinggian ionosfer. Frekuensi angular (ω) memiliki persamaan ω 2 = N e 2 /(Є o m). Dengan N adalah kerapatan elektron, m adalah massa elektron dan Є o permitivtas di ruang hampa. Frekuensi angular ω disebut frekuensi plasma angular f N, denganf N =2Π / ω. Sehingga didapatkan persamaan f N 2 = 80.5N dan frekuensi kritis f C 9x 10-6 N m 1/2. G.5. Global Positioning System Global Positioning System (GPS) adalah sistem radio navigasi dan penentuan posisi menggunakan satelit yang dimiliki dan dikelola Amerika Serikat. Sistem dapat digunkan dalam segala cuaca ini didesain untuk memberikan posisi dan kecepatan tiga dimensi yang teliti dan informasi wktu secara kontinyu. [6] 70

78 Satelit GPS memancarkan sinyal-sinyal gelombang elektromagnetik yang sebelum diterima oleh antena receiver GPS akan melewati medium lapisan-lapisan atmosfer yaitu ionosfer dan troposfer. Dalam kedua lapisan ini, sinyal GPS akan mengalami gangguan (bias). Bias yang disebabkan oleh adanya lapisan troposfer dan ionosfer ini ditambah dengan kesalahan orbit dan waktu akan menyebabkan kesalahan pada ukuran jarak dari satelit GPS ke antena receiver, yang akan menyebabkan kurang teliti pada penentuan posisi pengamat. Oleh karena itu estimasi besaran bias troposfer dan ionosfer perlu dilakukan untuk memperoleh hasil posisi yang lebih teliti. Penentuan TEC dengan GPS pada dasarnya adalah suatu inverse problem dari penentuan posisi dengan GPS, dalam hal ini dengan menggunakan receiver GPS tipe geodetic dual frekuensi pada titik yang telah diketahui koordinatnya kita akan dapat menghitung besarnya TEC dalam arah pengamatan-pengamatan satelit GPS. Model matematika untuk penentuan TEC dapat diturunkan dari persamaan pengamatan pseudorange dua frekuensi atau dari persamaan carrier phase dua frekuensi. Dalam hal ini TEC yang dihitung adalah TEC vertikal. GPS merupakan tools yang potensial dalam melakukan studi ionosfer dibandingkan dengan teknologi lain yang telah digunakan, misalnya radiosonde. Teknologi GPS memiliki potensi besar untuk menentukan nilai TEC terutama untuk wilayah yang cukup luas dan banyak tertutup air seperti Indonesia. [7] H. METODOLOGI Metodologi yang digunakan pada pengerjaan tugas akhir ini dijabarkan dengan diagram alir sebagai berikut: 71

79 Mulai Studi Pustaka tentang tema- Merumuskan parameter- Pencarian Data Hasil Pengukuran Mengolah data pengukuran GPS Mengubah data VTEC ke fof2 Mencari delay Kesimpulan Dokumentasi Selesa i 72

80 I. JADWAL KEGIATAN Rencana pengerjaan tugas akhir ini adalah sebagai berikut: Mulai : 9 September 2015 Selesai : 28 Desember 2015 Dengan total waktu sebanyak 16 minggu. Detail penjadwalan adalah sebagai berikut: N o Kegiat an Studi Pustak a Pencari an Data Hasil Penguk uran GPS Mengu bah Hasil Penguk uran GPS Menja di TEC Analis a Hasil TEC sebagai fungsi VTEC Mende rived VTEC ke dalam Septem ber Oktober November Desember

81 6 7 8 fof2 Pengol ahan data fof2 ke delay time Analis a hasil delay time dan Kesim pulan Dokum entasi dan Pembu atan Buku J. DAFTAR PUSTAKA [1] Mc. Namara, L.F., The Ionosphere: Communications, Surveillance, and Direction Finding, Krieger Publ. Comp., Malabar, FL., [2] Budi, Pengertian Lapisan Ionosfer, Desember [Diakses 14 September 2015] [3] Astra,Made Kris Adi, Analisa Vertical Total Electron Content di Ionosfer Daerah Jawa dan Sekitarnya yang Berasosiasi dengan Gempabumi Yogyakarta 26 Mei 2006 UTC, Jurnal Meteorologi dan Geofisika Volume 10 74

82 LAMPIRAN B Listing Program Matlab close all; clear all; clc; %% Membca Data TDMS %Lokasi file.dtms yg akan dibaca folder_loc = 'D:\Documents and Settings\DELL.WINDOWS-97E225A\My Documents\Pengolahan data statistik\pengukuran MERAUKE\'; file_name = 'IQ_07_09'; %nama file.tdms %Membaca file.dtmf dat = TDMS_readTDMSFile(strcat(folder_loc,file_name,'.tdms')); I = dat.data{1,4}; %In-phase simbol Q = dat.data{1,5}; %Quadrature simbol % In = [I(1,10001:91900).',I(1,91901:173800).',... I(1,173801:255700).',I(1,255701:337600).',... I(1,337601:419500).']; %In-phase simbol untuk 5 cuplik Qu = [Q(1,10001:91900).',Q(1,91901:173800).',... Q(1,173801:255700).',Q(1,255701:337600).',... Q(1,337601:419500).']; %Quadrature simbol untuk 5 cuplik % % % % %Parameter pengambilan sampel data I&Q dengan step tetap % start = 10001; %lokasi awal pengambilan sampel pertama % range = 81900; %panjang data sampel yg akan diambil % step = 30000; %step antar pencuplikan sampel % ns = 0; %step awal % ncuplik = 5; %banyaknya pencuplikan data % for hh = 1:ncuplik % str = start+(ns*20000); % In(:,hh) = I(str:str+range).'; % Qu(:,hh) = Q(str:str+range).'; % ns = ns+1; % end % %

83 %% Mencari Nilai Magnitudo dari Simbol Terima I/Q dan load PN simbol IQmag = sqrt(((in).^2+(qu).^2)); %Mencari magnitudo sinyal I/Q %Parameter fs = 1e6; % sampling rate 1 MHz ts = 1/fs; %waktu sampling %Load PN Sequence di data TX pn_dat = TDMS_readTDMSFile('D:\Documents and Settings\DELL.WINDOWS-97E225A\My Documents\Pengolahan data statistik\orde12sample2x.tdms'); pn = pn_dat.data{1,4}.'; %simbol PN sequence di TX %% Korelasi silang antara simbol PN dengan magnitodo simbol I/Q %Parameter Pfa = 0.05; %Probability of false alarm, only used with SOUSA period = 4; %Pencuplikan 4 periode untuk simbol I/Q len_pn = length(pn); %Panjang simbol PN %Korelasi silang pn_5 = kron(pn,ones(1,5)); %PN sequence yg sama untuk 5 kolom cuplik simbol for ii = 1:period row1 = ii*len_pn-(len_pn-1); %lokasi baris start setiap periode simbol row2 = ii*len_pn; %lokasi baris akhir setiap periode simbol % pn_all(row1:row2,:) = pn_5; %simbol PN untuk (len_pn*period,:) IQmag_each = IQmag(row1:row2,:); cir_fft = conj(fft(pn_5)).* fft(iqmag_each); cir = ifft(cir_fft); cir_abs = abs(cir); %Absolut hasil korelasi silang med = median(cir_abs); stdvar = med/sqrt(log(4)); zeta = sqrt(-2*log(pfa)); threshold = zeta * stdvar; % Filtering CIR dengan nilai treshold [r,c] = size(cir); for jj = 1:c; cirfilt(:,jj) = cir(:,jj).* ge(cir_abs(:,jj), threshold(:,jj)); end 76

84 end cirfilt_all(:,:,ii) = cirfilt; %nilai CIR untuk semua periode (x,y,z) %dimana nilai CIR untuk masing2 periode %adalah untuk masing2 matrix dimensi z %x -> nilai cir untuk 8190 sample %y -> nilai CIR untuk masing2 cuplik cir_exist = abs(prod(cirfilt_all,3))>0; pdp_avg = mean(abs(cirfilt_all).^2,3).* cir_exist; %menghitung power delay [r1,c2] = size(pdp_avg); %ukuran matrix power delay profile avg %r1 -> ukuran baris %r2 -> ukuran kolom pdp_nor = pdp_avg./kron(max(pdp_avg),ones(r1,1)); %profile rata2 %% Plot Power Delay Profile Rata2 close all; figure; plot(ts*(0:length(pdp_nor)-1),pdp_nor); ylabel('relative power'); xlabel('delay (sec)'); legend('1','2','3','4','5'); figure; subplot(321) plot(ts*(0:length(pdp_nor)-1),pdp_nor(:,1)); ylabel('relative power'); xlabel('delay (sec)'); title('periode sampel ke-1'); subplot(322) plot(ts*(0:length(pdp_nor)-1),pdp_nor(:,2)); ylabel('relative power'); xlabel('delay (sec)'); title('periode sampel ke-2'); subplot(323) plot(ts*(0:length(pdp_nor)-1),pdp_nor(:,3)); ylabel('relative power'); xlabel('delay (sec)'); title('periode sampel ke-3'); subplot(324) plot(ts*(0:length(pdp_nor)-1),pdp_nor(:,4)); ylabel('relative power'); xlabel('delay (sec)'); title('periode sampel ke-4'); 77

85 subplot(325) plot(ts*(0:length(pdp_nor)-1),pdp_nor(:,5)); ylabel('relative power'); xlabel('delay (sec)'); title('periode sampel ke-5'); %% Menghitung Data Statistik % [mean excess delay, rms delay spread, max excess delay] for kk=1:c2; loc = find(pdp_nor(:,kk) ~=0); %lokasi data ~= 0 untuk masing2 cuplik y = pdp_nor(loc,kk); %relative pwr norm u/ masing2 cuplik yy = y.^2 x = ts.* loc mean = sum(yy.*x)/sum(yy) %mean excess delay / cuplik tau2 = (sum(yy.*(x.^2)))/(sum(yy)) rms = sqrt(tau2-(mean^2)) %rms delay spread / cuplik xmax = max(x) xmin = min(x) MaxDelay = (xmax-xmin) %maksimum excess delay / cuplik mean_excess_delay(:,kk) = mean; %mean excess delay (5 cuplik) rms_delay_spread(:,kk) = rms; %rms delay spread (5 cuplik) max_excess_delay(:,kk) = MaxDelay; %maksimum excess delay (5 cuplik) end 78

86 RIWAYAT PENULIS Dita Novali Putri Rahayu, anak ketiga dari tiga bersaudara dari pasangan Giyanto dan Sumarmi. Lahir di Yogyakarta pada tanggal 17 Mei Memulai pendidikan formal di SD 1Wonosari, lulus pada tahun Melanjutkan di SMP 1 Wonosari, lulus pada tahun Kemudian melanjutkan ke SMAN 1 Wonosari dan lulus pada tahun Setelah lulus SMA, penulis melanjutkan ke jenjang diploma (D3) pada tahun 2009 di Institut Teknologi Telkom (ITT) Bandung, jurusan Teknik Telekomunikasi, dengan mengambil penjurusan bidang transmisi. Setelah diploma, kemudian penulis melanjutkan studi S1 di Institut Teknologi 10 Nopember (ITS), Surabaya pada Januari Dengan bidang studi peminatan Teknik Multimedia Jaringan. Pada bulan Januari 2016 penulis mengikuti seminar dan ujian Tugas Akhir di Bidang Studi Telekomunikasi Multimedia Jurusan Teknik Elektro FTI-ITS Surabaya sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Teknik Elektro. ditno.putri@gmail.com 79

BAB II GELOMBANG ELEKTROMAGNETIK. walaupun tidak ada medium dan terdiri dari medan listrik dan medan magnetik

BAB II GELOMBANG ELEKTROMAGNETIK. walaupun tidak ada medium dan terdiri dari medan listrik dan medan magnetik BAB II GELOMBANG ELEKTROMAGNETIK 2.1 Umum elektromagnetik adalah gelombang yang dapat merambat walaupun tidak ada medium dan terdiri dari medan listrik dan medan magnetik seperti yang diilustrasikan pada

Lebih terperinci

BAB IV KOMUNIKASI RADIO DALAM SISTEM TRANSMISI DATA DENGAN MENGGUNAKAN KABEL PILOT

BAB IV KOMUNIKASI RADIO DALAM SISTEM TRANSMISI DATA DENGAN MENGGUNAKAN KABEL PILOT BAB IV KOMUNIKASI RADIO DALAM SISTEM TRANSMISI DATA DENGAN MENGGUNAKAN KABEL PILOT 4.1 Komunikasi Radio Komunikasi radio merupakan hubungan komunikasi yang mempergunakan media udara dan menggunakan gelombang

Lebih terperinci

BAB II TEORI DASAR. Propagasi gelombang adalah suatu proses perambatan gelombang. elektromagnetik dengan media ruang hampa. Antenna pemancar memang

BAB II TEORI DASAR. Propagasi gelombang adalah suatu proses perambatan gelombang. elektromagnetik dengan media ruang hampa. Antenna pemancar memang BAB II TEORI DASAR 2.1. PROPAGASI GELOMBANG Propagasi gelombang adalah suatu proses perambatan gelombang elektromagnetik dengan media ruang hampa. Antenna pemancar memang didesain untuk memancarkan sinyal

Lebih terperinci

Radio dan Medan Elektromagnetik

Radio dan Medan Elektromagnetik Radio dan Medan Elektromagnetik Gelombang Elektromagnetik Gelombang Elektromagnetik adalah gelombang yang dapat merambat, Energi elektromagnetik merambat dalam gelombang dengan beberapa karakter yang bisa

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Penelitian Terdahulu. Menurut Sri Suhartini Peneliti Bidang Ionosfer dan Telekomunikasi LAPAN tentang Komunikasi Radio HF untuk Dinas Bergerak disampaikan bahwa: komunikasi

Lebih terperinci

B A B I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. bab 1 pendahuluan

B A B I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. bab 1 pendahuluan B A B I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Satelit-satelit GPS beredar mengelilingi bumi jauh di atas permukaan bumi yaitu pada ketinggian sekitar 20.200 km dimana satelit tersebut berputar mengelilingi bumi

Lebih terperinci

Propagasi gelombang radio atau gelombang elektromagnetik dipengaruhi oleh banyak faktor dalam bentuk yang sangat kompleks kondisi yang sangat

Propagasi gelombang radio atau gelombang elektromagnetik dipengaruhi oleh banyak faktor dalam bentuk yang sangat kompleks kondisi yang sangat Propagasi gelombang radio atau gelombang elektromagnetik dipengaruhi oleh banyak faktor dalam bentuk yang sangat kompleks kondisi yang sangat bergantung pada keadaan cuaca dan fenomena luar angkasa yang

Lebih terperinci

Sub Sistem Pemancar Pada Sistem Pengukuran Kanal HF Pada Lintasan Merauke-Surabaya

Sub Sistem Pemancar Pada Sistem Pengukuran Kanal HF Pada Lintasan Merauke-Surabaya Presentasi Tugas Akhir Sub Sistem Pemancar Pada Sistem Pengukuran Kanal HF Pada Lintasan Merauke-Surabaya Nisa Rachmadina 2211106073 Dosen Pembimbing: Prof. Ir. Gamantyo Hendrantoro, M.Eng, Ph.D. Prasetiyono

Lebih terperinci

Analisis Pengaruh Lapisan Ionosfer Terhadap Komunikasi Radio Hf

Analisis Pengaruh Lapisan Ionosfer Terhadap Komunikasi Radio Hf Analisis Pengaruh Lapisan Ionosfer Terhadap Komunikasi Radio Hf Sutoyo 1, Andi Putra 2 1 Dosen Jurusan Teknik Elektro UIN SUSKA RIAU 2 Mahasiswa Jurusan Teknik Elektro UIN SUSKA RIAU Jl HR Soebrantas KM

Lebih terperinci

PROPAGASI UMUM PEMBAGIAN BAND FREKUENSI RADIO

PROPAGASI UMUM PEMBAGIAN BAND FREKUENSI RADIO PROPAGASI UMUM Apabila kita berbicara tentang propagasi maka kita menyentuh pengetahuan yang berhubungan dengan pancaran gelombang radio. Seperti kita ketahui bahwa apabila kita transmit, pesawat kita

Lebih terperinci

B A B IV HASIL DAN ANALISIS

B A B IV HASIL DAN ANALISIS B A B IV HASIL DAN ANALISIS 4.1 Output Sistem Setelah sistem ini dinyalakan, maka sistem ini akan terus menerus bekerja secara otomatis untuk mendapatkan hasil berupa karakteristik dari lapisan troposfer

Lebih terperinci

KEMUNCULAN LAPISAN E SEBAGAI SUMBER GANGGUAN TERHADAP KOMUNIKASI RADIO HF

KEMUNCULAN LAPISAN E SEBAGAI SUMBER GANGGUAN TERHADAP KOMUNIKASI RADIO HF Majalah Sains dan Teknologi Dirgantara Vol. No. 3 September 2009 : 11-122 KEMUNCULAN LAPISAN E SEBAGAI SUMBER GANGGUAN TERHADAP KOMUNIKASI RADIO HF Varuliantor Dear Peneliti Bidang Ionosfer dan Telekomunikasi,

Lebih terperinci

BAB II PROPAGASI GELOMBANG MENENGAH

BAB II PROPAGASI GELOMBANG MENENGAH BAB II PROPAGASI GELOMBANG MENENGAH. GELOMBANG MENENGAH Berdasarkan spektrum frekuensi radio, pita frekuensi menengah adalah gelombang dengan rentang frekuensi yang terletak antara 300 khz sampai 3 MHz

Lebih terperinci

Sub-Sistem Penerima Pada Sistem Pengukuran Kanal HF Pada Lintasan Merauke-Surabaya

Sub-Sistem Penerima Pada Sistem Pengukuran Kanal HF Pada Lintasan Merauke-Surabaya JURNAL TEKNIK POMITS Vol. 3, No. 1, (2014) ISSN: 2337-3539 (2301-9271 Print) A-116 Sub-Sistem Penerima Pada Sistem Pengukuran Kanal HF Pada Lintasan Merauke-Surabaya Aryo Darma Adhitya, Gamantyo Hendrantoro,

Lebih terperinci

RESPON IONOSFER TERHADAP GERHANA MATAHARI 26 JANUARI 2009 DARI PENGAMATAN IONOSONDA

RESPON IONOSFER TERHADAP GERHANA MATAHARI 26 JANUARI 2009 DARI PENGAMATAN IONOSONDA Prosiding Seminar Nasional Penelitian, Pendidikan, dan Penerapan MIPA Fakultas MIPA, Universitas Negeri Yogyakarta, 16 Mei 2009 RESPON IONOSFER TERHADAP GERHANA MATAHARI 26 JANUARI 2009 DARI PENGAMATAN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Halaman Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Halaman Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Satelit GPS beredar mengelilingi bumi pada ketinggian sekitar 20.200 km. Satelit GPS tersebut berada di atas atmosfer bumi yang terdiri dari beberapa lapisan dan ditandai

Lebih terperinci

Telekomunikasi Radio. Syah Alam, M.T Teknik Elektro STTI Jakarta

Telekomunikasi Radio. Syah Alam, M.T Teknik Elektro STTI Jakarta Telekomunikasi Radio Syah Alam, M.T Teknik Elektro STTI Jakarta Telekomunikasi Radio Merupakan suatu bentuk komunikasi modern yang memanfaatkan gelombang radio sebagai sarana untuk membawa suatu pesan

Lebih terperinci

VARIASI KETINGGIAN LAPISAN F IONOSFER PADA SAAT KEJADIAN SPREAD F

VARIASI KETINGGIAN LAPISAN F IONOSFER PADA SAAT KEJADIAN SPREAD F Prosiding Seminar Nasional Penelitian, Pendidikan, dan Penerapan MIPA Fakultas MIPA, Universitas Negeri Yogyakarta, 16 Mei 2009 VARIASI KETINGGIAN LAPISAN F IONOSFER PADA SAAT KEJADIAN SPREAD F Mumen Tarigan

Lebih terperinci

PROPAGASI. Oleh : Sunarto YB0USJ

PROPAGASI. Oleh : Sunarto YB0USJ PROPAGASI Oleh : Sunarto YB0USJ UMUM Apabila kita berbicara tentang propagasi maka kita menyentuh pengetahuan yang berhubungan dengan pancaran gelombang radio. Seperti kita ketahui bahwa apabila kita transmit,

Lebih terperinci

Dasar- dasar Penyiaran

Dasar- dasar Penyiaran Modul ke: Fakultas FIKOM Dasar- dasar Penyiaran AMPLITUDO MODULATON FREQUENCY MODULATON SHORT WAVE (SW) CARA KERJA PEMANCAR RADIO Drs.H.Syafei Sikumbang,M.IKom Program Studi BROAD CASTING Judul Sub Bahasan

Lebih terperinci

PERBANDINGAN ANTARA MODEL TEC REGIONAL INDONESIA NEAR-REAL TIME DAN MODEL TEC GIM (GLOBAL IONOSPHERIC MAP) BERDASARKAN VARIASI HARIAN (DIURNAL)

PERBANDINGAN ANTARA MODEL TEC REGIONAL INDONESIA NEAR-REAL TIME DAN MODEL TEC GIM (GLOBAL IONOSPHERIC MAP) BERDASARKAN VARIASI HARIAN (DIURNAL) Majalah Sains dan Teknologi Dirgantara Vol. 5 No. 1 Maret 2010 : 40-53 PERBANDINGAN ANTARA MODEL TEC REGIONAL INDONESIA NEAR-REAL TIME DAN MODEL TEC GIM (GLOBAL IONOSPHERIC MAP) BERDASARKAN VARIASI HARIAN

Lebih terperinci

PREDIKSI SUDUT ELEVASI DAN ALOKASI FREKUENSI UNTUK PERANCANGAN SISTEM KOMUNIKASI RADIO HF PADA DAERAH LINTANG RENDAH

PREDIKSI SUDUT ELEVASI DAN ALOKASI FREKUENSI UNTUK PERANCANGAN SISTEM KOMUNIKASI RADIO HF PADA DAERAH LINTANG RENDAH PREDIKSI SUDUT ELEVASI DAN ALOKASI FREKUENSI UNTUK PERANCANGAN SISTEM KOMUNIKASI RADIO HF PADA DAERAH LINTANG RENDAH Indah Kurniawati 1*, Irwan Syahrir 2 1 Jurusan Teknik Elektro, Fakultas Teknik, Universitas

Lebih terperinci

PERAN LAPISAN E IONOSFER DALAM KOMUNIKASI RADIO HF

PERAN LAPISAN E IONOSFER DALAM KOMUNIKASI RADIO HF PERAN LAPISAN E IONOSFER DALAM KOMUNIKASI RADIO HF I Sri Suhartini Peneliti Bidang lonosfer dan Telekomunikasi, LAPAN t i RINGKASAN Komunikasi radio HF (3-30 MHz) dapat mencapai jarak jauh dengan bantuan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Penelitian Terkait Varuliantor Dear (2012) dengan judul Jaringan Stasiun ALE LAPAN Untuk Mendukung Komunikasi Darurat Di Indonesia dengan perangkat komunikasi data digital menggunakan

Lebih terperinci

DASAR TEKNIK TELEKOMUNIKASI

DASAR TEKNIK TELEKOMUNIKASI DTG1E3 DASAR TEKNIK TELEKOMUNIKASI Klasifikasi Sistem Telekomunikasi By : Dwi Andi Nurmantris Dimana Kita? Dimana Kita? BLOK SISTEM TELEKOMUNIKASI Message Input Sinyal Input Sinyal Kirim Message Output

Lebih terperinci

Telekomunikasi: penyampaian informasi atau hubungan antara satu titik dengan titik yang lainnya yang berjarak jauh. Pengantar Telekomunikasi

Telekomunikasi: penyampaian informasi atau hubungan antara satu titik dengan titik yang lainnya yang berjarak jauh. Pengantar Telekomunikasi PENGANTAR TELEKOMUNIKASI PENGANTAR TELEKOMUNIKASI 3 Pengertian Telekomunikasi Tele : Jauh Komunikasi: Penyampaian informasi atau hubungan Transmisi antara satu titik dengan titik yang lainnya. Telekomunikasi:

Lebih terperinci

PEMBAGIAN BAND FREKUENSI RADIO

PEMBAGIAN BAND FREKUENSI RADIO PROPAGASI DAN KELAS EMISI PROPAGASI UMUM Apabila kita berbicara tentang propagasi maka kita menyentuh pengetahuan yang berhubungan dengan pancaran gelombang radio. Seperti kita ketahui bahwa apabila kita

Lebih terperinci

PROPAGASI GELOMBANG RADIO HF PADA SIRKIT KOMUNIKASI STASIUN TETAP DENGAN STASIUN BERGERAK

PROPAGASI GELOMBANG RADIO HF PADA SIRKIT KOMUNIKASI STASIUN TETAP DENGAN STASIUN BERGERAK Berita Dirgantara Vol. 10 No. 3 September 2009:64-71 PROPAGASI GELOMBANG RADIO HF PADA SIRKIT KOMUNIKASI STASIUN TETAP DENGAN STASIUN BERGERAK Jiyo Peneliti Bidang Ionosfer dan Telekomunikasi, LAPAN RINGKASAN

Lebih terperinci

BAB II KANAL WIRELESS DAN DIVERSITAS

BAB II KANAL WIRELESS DAN DIVERSITAS BAB II KANAL WIRELESS DAN DIVERSITAS.1 Karakteristik Kanal Nirkabel Perambatan sinyal pada kanal yang dipakai dalam komunikasi terjadi di atmosfer dan dekat dengan permukaan tanah, sehingga model perambatan

Lebih terperinci

VARIASI KUAT SIGNAL HF AKIBAT PENGARUH IONOSFER

VARIASI KUAT SIGNAL HF AKIBAT PENGARUH IONOSFER Prosiding SNaPP1 : Sains, Teknologi, dan Kesehatan ISSN 9-35 VARIASI KUAT SIGNAL HF AKIBAT PENGARUH IONOSFER 1 Mumen Tarigan 1 Peneliti Bidang Teknologi Pengamatan, Pussainsa LAPAN Jl. DR. Junjunan No.

Lebih terperinci

DAMPAK PERUBAHAN INDEKS IONOSFER TERHADAP PERUBAHAN MAXIMUM USABLE FREQUENCY (IMPACT OF IONOSPHERIC INDEX CHANGES ON MAXIMUM USABLE FREQUENCY)

DAMPAK PERUBAHAN INDEKS IONOSFER TERHADAP PERUBAHAN MAXIMUM USABLE FREQUENCY (IMPACT OF IONOSPHERIC INDEX CHANGES ON MAXIMUM USABLE FREQUENCY) Majalah Sains dan Teknologi Dirgantara Vol. 8 No. Juni :-9 DAMPAK PERUBAHAN INDEKS IONOSFER TERHADAP PERUBAHAN MAXIMUM USABLE FREQUENCY (IMPACT OF IONOSPHERIC INDEX CHANGES ON MAXIMUM USABLE FREQUENCY)

Lebih terperinci

ALOKASI FREKUENSI RADIO (RADIO FREQUENCY) DAN MEKANISME PERAMBATAN GELOMBANGNYA. Sinyal RF ( + informasi)

ALOKASI FREKUENSI RADIO (RADIO FREQUENCY) DAN MEKANISME PERAMBATAN GELOMBANGNYA. Sinyal RF ( + informasi) IV. LOKSI FREKUENSI RDIO (RDIO FREQUENCY) DN MEKNISME PERMTN GELOMNGNY Sinyal RF ( + informasi) Rx Gbr.IV.1: Sinyal RF sebagai pembawa informasi dari ke Rx Frekuensi radio (radio frequency : RF) adalah

Lebih terperinci

PENGARUH PERUBAHAN fmin TERHADAP BESARNYA FREKUENSI KERJA TERENDAH SIRKIT KOMUNIKASI RADIO HF

PENGARUH PERUBAHAN fmin TERHADAP BESARNYA FREKUENSI KERJA TERENDAH SIRKIT KOMUNIKASI RADIO HF PENGARUH PERUBAHAN fmin TERHADAP BESARNYA FREKUENSI KERJA TERENDAH SIRKIT KOMUNIKASI RADIO HF Varuliantor Dear Peneliti Bidang Ionosfer dan Telekomunikasi, LAPAN e-mail : Varuliant@bdg.lapan.go.id RINGKASAN

Lebih terperinci

ANALISA NILAI TEC (TOTAL ELECTRON CONTENT) PADA LAPISAN IONOSFER DENGAN MENGGUNAKAN DATA PENGAMATAN GPS DUA FREKUENSI

ANALISA NILAI TEC (TOTAL ELECTRON CONTENT) PADA LAPISAN IONOSFER DENGAN MENGGUNAKAN DATA PENGAMATAN GPS DUA FREKUENSI ANALISA NILAI TEC (TOTAL ELECTRON CONTENT) PADA LAPISAN IONOSFER DENGAN MENGGUNAKAN DATA PENGAMATAN GPS DUA FREKUENSI Mochammad Rizal 1, Eko Yuli Handoko 1, Buldan Muslim 2 1 Program Studi Teknik Geomatika,

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. PENELITIAN TERDAHULU Sebelumnya penelitian ini di kembangkan oleh mustofa, dkk. (2010). Penelitian terdahulu dilakukan untuk mencoba membuat alat komunikasi bawah air dengan

Lebih terperinci

Varuliantor Dear Peneliti Bidang Ionosfer dan Telekomunikasi, Pusat Sains Antariksa, LAPAN RINGKASAN

Varuliantor Dear Peneliti Bidang Ionosfer dan Telekomunikasi, Pusat Sains Antariksa, LAPAN   RINGKASAN Berita Dirgantara Vol. 13 No. 1 Maret 2012:28-37 TELAAH PERBANDINGAN HASIL UJI KOMUNIKASI MENGGUNAKAN SISTEM AUTOMATIC LINK ESTABLISHMENT (ALE) DENGAN DATA IONOSONDA TANJUNGSARI UNTUK SIRKUIT KOMUNIKASI

Lebih terperinci

KOMUNIKASI RADIO HIGH FREQUENCY JARAK DEKAT

KOMUNIKASI RADIO HIGH FREQUENCY JARAK DEKAT Majalah Sains dan Teknologi Dirgantara Vol. 6 No. 1 Maret 2011 : 12-17 KOMUNIKASI RADIO HIGH FREQUENCY JARAK DEKAT Sri Suhartini Peneliti Bidang Ionosfer dan telekomunikasi, LAPAN email : sri_s@bdg.lapan.go.id

Lebih terperinci

KARAKTERISASI KANAL PROPAGASI VHF BERGERAK DI ATAS PERMUKAAN LAUT

KARAKTERISASI KANAL PROPAGASI VHF BERGERAK DI ATAS PERMUKAAN LAUT KARAKTERISASI KANAL PROPAGASI VHF BERGERAK DI ATAS PERMUKAAN LAUT Putri Kusuma Ningtyas 2206100144 1) 1) Jurusan Teknik Elektro-FTI, Institut Teknologi Sepuluh Nopember Kampus ITS, Keputih-Sukolilo, Surabaya-6011

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG

BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG Perkembangan teknologi yang sangat pesat telah memberikan kemudahan dan kemajuan dalam berbagai bidang khususnya dalam bidang telekomunikasi. Ini dapat dibuktikan dengan

Lebih terperinci

Jiyo Peneliti Bidang Ionosfer dan Telekomunikasi, Pusat Sains Antariksa, Lapan ABSTRACT

Jiyo Peneliti Bidang Ionosfer dan Telekomunikasi, Pusat Sains Antariksa, Lapan   ABSTRACT Analisis Propagasi Gelombang Radio pada Sirkit Komunikasi...(Jiyo) ANALISIS PROPAGASI GELOMBANG RADIO PADA SIRKIT KOMUNIKASI DISTRIK PAMEUNGPEUK-BANDUNG DAN HUBUNGANNYA DENGAN KONDISI LAPISAN IONOSFER

Lebih terperinci

TEKNIK TELEKOMUNIKASI DASAR. Kuliah 9 Komunikasi Radio

TEKNIK TELEKOMUNIKASI DASAR. Kuliah 9 Komunikasi Radio TKE 2102 TEKNIK TELEKOMUNIKASI DASAR Kuliah 9 Komunikasi Radio Indah Susilawati, S.T., M.Eng. Program Studi Teknik Elektro Fakultas Teknik dan Ilmu Komputer Universitas Mercu Buana Yogyakarta 2009 B A

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI

BAB II LANDASAN TEORI BAB II LANDASAN TEORI 2.1 Sistem Komunikasi Point to Point Komunikasi point to point (titik ke titik ) adalah suatu sistem komunikasi antara dua perangkat untuk membentuk sebuah jaringan. Sehingga dalam

Lebih terperinci

BAB II TEORI DASAR ANTENA DAN PROPAGASI GELOMBANG RADIO

BAB II TEORI DASAR ANTENA DAN PROPAGASI GELOMBANG RADIO BAB II TEORI DASAR ANTENA DAN PROPAGASI GELOMBANG RADIO 2.1 Umum Salah satu teknologi pengamatan vertikal atmosfer dari permukaan adalah peluncuran balon sonde atau radiosonde. Radiosonde adalah sebuah

Lebih terperinci

Pemodelan Markov untuk kanal HF Availability pada Link Malang-Surabaya

Pemodelan Markov untuk kanal HF Availability pada Link Malang-Surabaya Pemodelan Markov untuk kanal HF Availability pada Link Malang-Surabaya Arif Fathoni #1, Wismanu Susetyo #2, Gamantyo Hendrantoro #3 Jurusan Teknik Elektro Institut Teknologi Sepuluh Nopember Surabaya Kampus

Lebih terperinci

Dosen Pembimbing: Dr. Ir Achmad Affandi, DEA

Dosen Pembimbing: Dr. Ir Achmad Affandi, DEA LUCKY FATHMA TRISNANTI 2206100062 TELEKOMUNIKASI MULTIMEDIA TEKNIK ELEKTRO INSTITUT TEKNOLOGI SEPULUH NOPEMBER Dosen Pembimbing: Dr. Ir Achmad Affandi, DEA Pemanfaatan kanal radio HF dengan range frekuensi

Lebih terperinci

Pertemuan 6 PROPAGASI GELOMBANG RADIO. DAHLAN ABDULLAH

Pertemuan 6 PROPAGASI GELOMBANG RADIO. DAHLAN ABDULLAH Pertemuan 6 PROPAGASI GELOMBANG RADIO DAHLAN ABDULLAH dahlan@unimal.ac.id APA DIPELAJARI?? Prinsip Umum Propagasi Ruang Bebas Propagasi Antar Dua Titik di Bumi Gelombang Permukaan Efek Ketinggian Antena

Lebih terperinci

BAB 11 MICROWAVE ANTENNA. Gelombang mikro (microwave) adalah gelombang elektromagnetik dengan frekuensi super

BAB 11 MICROWAVE ANTENNA. Gelombang mikro (microwave) adalah gelombang elektromagnetik dengan frekuensi super BAB 11 MICROWAVE ANTENNA Kompetensi: Mahasiswa mampu menjelaskan secara lisan/tertulis mengenai antenna microwave desain, aplikasi dan cara kerjanya. Gelombang mikro (microwave) adalah gelombang elektromagnetik

Lebih terperinci

Prosiding Seminar Nasional Sains Antariksa Homepage: http//www.lapan.go.id

Prosiding Seminar Nasional Sains Antariksa Homepage: http//www.lapan.go.id Prosiding Seminar Nasional Sains Antariksa Homepage: http//www.lapan.go.id ANALISIS EFEK FENOMENA EQUINOKS TERHADAP KOMUNIKASI ALE PADA DAERAH EQUATOR (THE ANALYSIS EFFECTS EQUINOX PHENOMENON WITH COMMUNICATION

Lebih terperinci

ELECTROMAGNETIC WAVE AND ITS CHARACTERISTICS

ELECTROMAGNETIC WAVE AND ITS CHARACTERISTICS WIRELESS COMMUNICATION Oleh: Eko Marpanaji INTRODUCTION Seperti dijelaskan pada Chapter 1, bahwa komunikasi tanpa kabel menjadi pilihan utama dalam membangun sistem komunikasi dimasa datang. Ada beberapa

Lebih terperinci

PEMANCAR&PENERIMA RADIO

PEMANCAR&PENERIMA RADIO PEMANCAR&PENERIMA RADIO Gelombang elektromagnetik gelombang yang dapat membawa pesan berupa sinyal gambar dan suara yang memiliki sifat, dapat mengarungi udara dengan kecepatan sangat tinggi sehingga gelombang

Lebih terperinci

ANALISIS PROPAGASI GELOMBANG RADIO HF DAN RADIUS DAERAH BISU

ANALISIS PROPAGASI GELOMBANG RADIO HF DAN RADIUS DAERAH BISU Analisis Propagasi Gelombang Radio HF dan Radius Daerah Bisu (Jiyo) ANALISIS PROPAGASI GELOMBANG RADIO HF DAN RADIUS DAERAH BISU Jiyo Peneliti Bidang Ionosfer dan Telekomunikasi, LAPAN ABSTRACT In this

Lebih terperinci

ANALISA PERUBAHAN KARAKTERISTIK TEC AKIBAT LETUSAN GUNUNG MERAPI TAHUN 2010

ANALISA PERUBAHAN KARAKTERISTIK TEC AKIBAT LETUSAN GUNUNG MERAPI TAHUN 2010 ANALISA PERUBAHAN KARAKTERISTIK TEC AKIBAT LETUSAN GUNUNG MERAPI TAHUN Oleh : Widi Hastono dan Mokhamad Nur Cahyadi Program Studi Teknik Geomatika ITS, Kampus ITS Sukolilo, Surabaya 6111 Email : gm729@geodesy.its.ac.id

Lebih terperinci

KOMUNIKASI DATA MENGGUNAKAN RADIO HF MODA OLIVIA PADA SAAT TERJADI SPREAD-F

KOMUNIKASI DATA MENGGUNAKAN RADIO HF MODA OLIVIA PADA SAAT TERJADI SPREAD-F KOMUNIKASI DATA MENGGUNAKAN RADIO HF MODA OLIVIA PADA SAAT TERJADI SPREAD-F Varuliantor Dear Peneliti Bidang Ionosfer dan Telekomunikasi Radio, LAPAN e-mail : varuliant@yahoo.com RINGKASAN Pada makalah

Lebih terperinci

METODE PEMBACAAN DATA IONOSFER HASIL PENGAMATAN MENGGUNAKAN IONOSONDA FMCW

METODE PEMBACAAN DATA IONOSFER HASIL PENGAMATAN MENGGUNAKAN IONOSONDA FMCW Metode Pembacaan Data Ionosfer Hasil Pengamatan Menggunakan... (Jiyo) METODE PEMBACAAN DATA IONOSFER HASIL PENGAMATAN MENGGUNAKAN IONOSONDA FMCW Jiyo Peneliti Bidang Ionosfer dan Telekomunikasi, LAPAN

Lebih terperinci

BAB II PEMODELAN PROPAGASI. Kondisi komunikasi seluler sulit diprediksi, karena bergerak dari satu sel

BAB II PEMODELAN PROPAGASI. Kondisi komunikasi seluler sulit diprediksi, karena bergerak dari satu sel BAB II PEMODELAN PROPAGASI 2.1 Umum Kondisi komunikasi seluler sulit diprediksi, karena bergerak dari satu sel ke sel yang lain. Secara umum terdapat 3 komponen propagasi yang menggambarkan kondisi dari

Lebih terperinci

PENENTUAN RENTANG FREKUENSI KERJA SIRKUIT KOMUNIKASI RADIO HF BERDASARKAN DATA JARINGAN AUTOMATIC LINK ESTBALISHMENT (ALE) NASIONAL

PENENTUAN RENTANG FREKUENSI KERJA SIRKUIT KOMUNIKASI RADIO HF BERDASARKAN DATA JARINGAN AUTOMATIC LINK ESTBALISHMENT (ALE) NASIONAL Penentuan Rentang Frekuensi Kerja Sirkuit...(Varuliantor Dear) PENENTUAN RENTANG FREKUENSI KERJA SIRKUIT KOMUNIKASI RADIO HF BERDASARKAN DATA JARINGAN AUTOMATIC LINK ESTBALISHMENT (ALE) NASIONAL Varuliantor

Lebih terperinci

BAB IV ANALISIS KUAT MEDAN PADA PENERIMAAN RADIO AM

BAB IV ANALISIS KUAT MEDAN PADA PENERIMAAN RADIO AM BAB IV ANALISIS KUAT MEDAN PADA PENERIMAAN RADIO AM 4.1 ANALISIS PERHITUNGAN KUAT MEDAN PADA PROPAGASI GROUND WAVE Langkah yang pertama kali dilakukan dalam analisis ini ialah mencari nilai s 1 dan s 2

Lebih terperinci

KAJIAN AWAL EFISIENSI WAKTU SISTEM AUTOMATIC LINK ESTABLISHMENT (ALE) BERBASIS MANAJEMEN FREKUENSI

KAJIAN AWAL EFISIENSI WAKTU SISTEM AUTOMATIC LINK ESTABLISHMENT (ALE) BERBASIS MANAJEMEN FREKUENSI Berita Dirgantara Vol. 12 No. 2 Juni 2011: 60-67 KAJIAN AWAL EFISIENSI WAKTU SISTEM AUTOMATIC LINK ESTABLISHMENT (ALE) BERBASIS MANAJEMEN FREKUENSI Varuliantor Dear Peneliti Bidang Ionosfer dan Telekomunikasi,

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Sistem Komunikasi Radio HF Sistem komunikasi radio adalah suatu teknologi komunikasi yang mentransmisikan gelombang elektromagnetik sebagai sinyal pembawa yang dilewatkan melalui

Lebih terperinci

KINERJA ADAPTIVE CODED MODULATION PADA SISTEM OFDM MENGGUNAKAN HYBRID SELECTION/EQUAL GAIN COMBINING DIVERSITY DI BAWAH PENGARUH REDAMAN HUJAN TROPIS

KINERJA ADAPTIVE CODED MODULATION PADA SISTEM OFDM MENGGUNAKAN HYBRID SELECTION/EQUAL GAIN COMBINING DIVERSITY DI BAWAH PENGARUH REDAMAN HUJAN TROPIS TUGAS AKHIR - RE 1599 KINERJA ADAPTIVE CODED MODULATION PADA SISTEM OFDM MENGGUNAKAN HYBRID SELECTION/EQUAL GAIN COMBINING DIVERSITY DI BAWAH PENGARUH REDAMAN HUJAN TROPIS Achmad Charis Fahrudin NRP 2204

Lebih terperinci

Materi II TEORI DASAR ANTENNA

Materi II TEORI DASAR ANTENNA Materi II TEORI DASAR ANTENNA 2.1 Radiasi Gelombang Elektromagnetik Antena (antenna atau areal) adalah perangkat yang berfungsi untuk memindahkan energi gelombang elektromagnetik dari media kabel ke udara

Lebih terperinci

PENENTUAN INDEKS IONOSFER T REGIONAL (DETERMINATION OF REGIONAL IONOSPHERE INDEX T )

PENENTUAN INDEKS IONOSFER T REGIONAL (DETERMINATION OF REGIONAL IONOSPHERE INDEX T ) Majalah Sains dan Teknologi Dirgantara Vol. 7 No. 1 Maret 2012 :38-46 38 PENENTUAN INDEKS IONOSFER T REGIONAL (DETERMINATION OF REGIONAL IONOSPHERE INDEX T ) Sri Suhartini, Septi Perwitasari, Dadang Nurmali

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Pada sistem CDMA pengendalian daya baik pada Mobile Station (MS) maupun Base Station (BS) harus dilakukan dengan baik mengingat semua user pada CDMA mengggunakan

Lebih terperinci

EFEK SINTILASI IONOSFER TERHADAP GANGGUAN KOMUNIKASI SATELIT

EFEK SINTILASI IONOSFER TERHADAP GANGGUAN KOMUNIKASI SATELIT EFEK SINTILASI IONOSFER TERHADAP GANGGUAN KOMUNIKASI SATELIT Sri Ekawati Peneliti Bidang Ionosfer dan Telekomunikasi, Pusfatsainsa, LAPAN e-mail: ekawa_srie@bdg.lapan.go.id, cie_demes@yahoo.com RINGKASAN

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN

III. METODE PENELITIAN III. METODE PENELITIAN A. Alat dan Bahan Perangkat keras dan perangkat lunak yang digunakan dalam penelitian ini antara lain: 1. Dua unit komputer 2. Path Profile 3. Kalkulator 4. GPS 5. Software D-ITG

Lebih terperinci

LAPORAN PRAKTIKUM TEKNIK FREKUENSI TINGGI DAN GELOMBANG MIKRO

LAPORAN PRAKTIKUM TEKNIK FREKUENSI TINGGI DAN GELOMBANG MIKRO LAPORAN PRAKTIKUM TEKNIK FREKUENSI TINGGI DAN GELOMBANG MIKRO No Percobaan : 01 Judul Percobaan Nama Praktikan : Perambatan Gelombang Mikro : Arien Maharani NIM : TEKNIK TELEKOMUNIKASI D3 JURUSAN TEKNIK

Lebih terperinci

BAB III PERANCANGAN MODEL KANAL DAN SIMULASI POWER CONTROL DENGAN MENGGUNAKAN DIVERSITAS ANTENA

BAB III PERANCANGAN MODEL KANAL DAN SIMULASI POWER CONTROL DENGAN MENGGUNAKAN DIVERSITAS ANTENA BAB III PERANCANGAN MODEL KANAL DAN SIMULASI POWER CONTROL DENGAN MENGGUNAKAN DIVERSITAS ANTENA 3.1 Simulasi Kanal Fading Rayleigh Proses simulasi yang digunakan untuk memodelkan kanal fading diambil dari

Lebih terperinci

TELAAH PROPAGASI GELOMBANG RADIO DENGAN FREKUENSI 10,2 MHz DAN 15,8 MHz PADA SIRKIT KOMUNIKASI RADIO BANDUNG WATUKOSEK DAN BANDUNG PONTIANAK

TELAAH PROPAGASI GELOMBANG RADIO DENGAN FREKUENSI 10,2 MHz DAN 15,8 MHz PADA SIRKIT KOMUNIKASI RADIO BANDUNG WATUKOSEK DAN BANDUNG PONTIANAK Majalah Sains dan Teknologi Dirgantara Vol. No. Juni 009 : 0- TELAAH PROPAGASI GELOMBANG RADIO DENGAN REKUENSI, DAN 15, PADA SIRKIT KOMUNIKASI RADIO BANDUNG WATUKOSEK DAN BANDUNG PONTIANAK J i y o Peneliti

Lebih terperinci

KEGIATAN BELAJAR 2. FREKUENSI GELOMBANG RADIO PADA APLIKASI SISTEM TELEKOMUNIKASI

KEGIATAN BELAJAR 2. FREKUENSI GELOMBANG RADIO PADA APLIKASI SISTEM TELEKOMUNIKASI KEGIATAN BELAJAR. FREKUENSI GELOMBANG RADIO PADA APLIKASI SISTEM TELEKOMUNIKASI A. Pendahuluan Kegiatan belajar ini akan mengajak peserta untuk menganalisis frekuensi gelombang radio pada aplikasi sistem

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Penelitian Terkait Penelitian oleh Suyanto dengan judul Analisa Frekuensi kerja Pada Komunikasi Radio HF Model Propagasi Near Vertical Incidence Skywave (Nvis) Sirkuit Pekanbaru-Kototabang

Lebih terperinci

Sistem Transmisi Telekomunikasi. Kuliah 6 Jalur Gelombang Mikro

Sistem Transmisi Telekomunikasi. Kuliah 6 Jalur Gelombang Mikro TKE 8329W Sistem Transmisi Telekomunikasi Kuliah 6 Jalur Gelombang Mikro Indah Susilawati, S.T., M.Eng. Program Studi Teknik Elektro Program Studi Teknik Informatika Fakultas Teknik dan Ilmu Komputer Universitas

Lebih terperinci

STUDI BIT ERROR RATE UNTUK SISTEM MC-CDMA PADA KANAL FADING NAKAGAMI-m MENGGUNAKAN EGC

STUDI BIT ERROR RATE UNTUK SISTEM MC-CDMA PADA KANAL FADING NAKAGAMI-m MENGGUNAKAN EGC S TUGAS AKHIR RE 1599 STUDI BIT ERROR RATE UNTUK SISTEM MC-CDMA PADA KANAL FADING NAKAGAMI-m MENGGUNAKAN EGC IFTITAH ANGGRAINI NRP 2202 100 009 Dosen Pembimbing Ir.Titiek Suryani, MT JURUSAN TEKNIK ELEKTRO

Lebih terperinci

BAB III PERANCANGAN SFN

BAB III PERANCANGAN SFN BAB III PERANCANGAN SFN 3.1 KARAKTERISTIK DASAR SFN Kemampuan dari COFDM untuk mengatasi interferensi multipath, memungkinkan teknologi DVB-T untuk mendistribusikan program ke seluruh transmitter dalam

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA Bab ini berisi tentang referensi untuk penelitian yang Penulis kerjakan dalam tugas akhir ini. Dengan membaca sejumlah referensi, Penulis akan lebih memahami secara mendalam tentang

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Penelitian Terdahulu Pada penelitian terdahulu, rangkaian receiver dan transmitter dibuat dengan prinsip kerjanya menggunakan pantulan gelombang. Penggunaannya, rangkaian transmitter

Lebih terperinci

Spektrum Frekuensi Extremely Low Frequency (ELF) Super Low Frequency (SLF) Very Low Frequency (VLF)

Spektrum Frekuensi Extremely Low Frequency (ELF) Super Low Frequency (SLF) Very Low Frequency (VLF) Spektrum Frekuensi Spektrum frekuensi dari sinyal waktu-domain merupakan representasi dari sinyal dalam domain frekuensi. Spektrum frekuensi yang dapat dihasilkan melalui transformasi Fourier dari sinyal,

Lebih terperinci

ANALISA NILAI TEC PADA LAPISAN IONOSFER DENGAN MENGGUNAKAN DATA PENGAMATAN GPS DUA FREKUENSI PEMBIMBING EKO YULI HANDOKO, ST, MT

ANALISA NILAI TEC PADA LAPISAN IONOSFER DENGAN MENGGUNAKAN DATA PENGAMATAN GPS DUA FREKUENSI PEMBIMBING EKO YULI HANDOKO, ST, MT ANALISA NILAI TEC PADA LAPISAN IONOSFER DENGAN MENGGUNAKAN DATA PENGAMATAN GPS DUA FREKUENSI MOCHAMMAD RIZAL 3504 100 045 PEMBIMBING EKO YULI HANDOKO, ST, MT PENDAHULUAN Ionosfer adalah bagian dari lapisan

Lebih terperinci

BAB III PRINSIP DASAR MODEL PROPAGASI

BAB III PRINSIP DASAR MODEL PROPAGASI BAB III PRINSIP DASAR MODEL PROPAGASI 3.1 Pengertian Propagasi Seperti kita ketahui, bahwa dalam pentransmisian sinyal informasi dari satu tempat ke tempat lain dapat dilakukan melalui beberapa media,

Lebih terperinci

BAB 8 HIGH FREQUENCY ANTENNA. Mahasiswa mampu menjelaskan secara lisan/tertulis mengenai jenis-jenis frekuensi untuk

BAB 8 HIGH FREQUENCY ANTENNA. Mahasiswa mampu menjelaskan secara lisan/tertulis mengenai jenis-jenis frekuensi untuk BAB 8 HIGH FREQUENCY ANTENNA Kompetensi: Mahasiswa mampu menjelaskan secara lisan/tertulis mengenai jenis-jenis frekuensi untuk komunikasi, salah satunya pada rentang band High Frequency (HF). Mahasiswa

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

BAB III METODOLOGI PENELITIAN BAB III METODOLOGI PENELITIAN Pada bab ini akan menjelaskan langkah-langkah ataupun tahapan yang dilakukan dalam penelitian. Selain itu pada bab ini juga dijelaskan kegiatan dan prosedur yang digunakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Power control pada sistem CDMA adalah mekanisme yang dilakukan untuk mengatur daya pancar mobile station (MS) pada kanal uplink, maupun daya pancar base station

Lebih terperinci

MANAJEMEN FREKUENSI DAN EVALUASI KANAL HF SEBAGAI LANGKAH ADAPTASI TERHADAP PERUBAHAN KONDISI LAPISAN IONOSFER

MANAJEMEN FREKUENSI DAN EVALUASI KANAL HF SEBAGAI LANGKAH ADAPTASI TERHADAP PERUBAHAN KONDISI LAPISAN IONOSFER Berita Dirgantara Vol. 12 No. 3 September 2011:110-117 MANAJEMEN FREKUENSI DAN EVALUASI KANAL HF SEBAGAI LANGKAH ADAPTASI TERHADAP PERUBAHAN KONDISI LAPISAN IONOSFER Jiyo, Sri Suhartini, Varuliantor Dear

Lebih terperinci

BAB III GLOBAL POSITIONING SYSTEM (GPS)

BAB III GLOBAL POSITIONING SYSTEM (GPS) BAB III GLOBAL POSITIONING SYSTEM (GPS) III. 1 GLOBAL POSITIONING SYSTEM (GPS) Global Positioning System atau GPS adalah sistem radio navigasi dan penentuan posisi menggunakan satelit [Abidin, 2007]. Nama

Lebih terperinci

FREKUENSI KOMUNIKASI RADIO HF DI LINGKUNGAN KANTOR PEMERINTAH PROVINSI KALIMANTAN TIMUR

FREKUENSI KOMUNIKASI RADIO HF DI LINGKUNGAN KANTOR PEMERINTAH PROVINSI KALIMANTAN TIMUR FREKUENSI KOMUNIKASI RADIO HF DI LINGKUNGAN KANTOR PEMERINTAH PROVINSI KALIMANTAN TIMUR Sri Suhartini, Jiyo, Nina Kristin Peneliti Bidang lonosfer dan Telekomunikasi, LAPAN srilpnbdg@yahoo.com ABSTRACT

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN ANALISIS

BAB IV HASIL DAN ANALISIS BAB IV HASIL DAN ANALISIS 4.1 Pendahuluan Pada bab ini akan diuraikan hasil simulasi pengaruh K - factor pada kondisi kanal yang terpengaruh Delay spread maupun kondisi kanal yang dipengaruhi oleh frekuensi

Lebih terperinci

KAJIAN STUDI KASUS PERISTIWA PENINGKATAN ABSORPSI LAPISAN D PADA TANGGAL 7 MARET 2012 TERHADAP FREKUENSI KERJA JARINGAN KOMUNIKASI ALE

KAJIAN STUDI KASUS PERISTIWA PENINGKATAN ABSORPSI LAPISAN D PADA TANGGAL 7 MARET 2012 TERHADAP FREKUENSI KERJA JARINGAN KOMUNIKASI ALE KAJIAN STUDI KASUS PERISTIWA PENINGKATAN ABSORPSI LAPISAN D PADA TANGGAL 7 MARET 2012 TERHADAP FREKUENSI KERJA JARINGAN KOMUNIKASI ALE Varuliantor Dear Peneliti Ionosfer dan Telekomunikasi e-mail : varuliant@yahoo.com

Lebih terperinci

STUDI PUSTAKA PERUBAHAN KERAPATAN ELEKTRON LAPISAN D IONOSFER MENGGUNAKAN PENGAMATAN AMPLITUDO SINYAL VLF

STUDI PUSTAKA PERUBAHAN KERAPATAN ELEKTRON LAPISAN D IONOSFER MENGGUNAKAN PENGAMATAN AMPLITUDO SINYAL VLF Berita Dirgantara Vol. 11 No. 3 September 2010:80-86 STUDI PUSTAKA PERUBAHAN KERAPATAN ELEKTRON LAPISAN D IONOSFER MENGGUNAKAN PENGAMATAN AMPLITUDO SINYAL VLF Prayitno Abadi Peneliti Bidang Ionosfer dan

Lebih terperinci

BAB 3 PERANCANGAN DAN REALISASI

BAB 3 PERANCANGAN DAN REALISASI ABSTRAK Transceiver (transmitter receiver) tidak hanya digunakan untuk komunikasi suara saja tetapi dapat digunakan untuk komunikasi data dengan menggunakan sebuah modem. Untuk komunikasi jarak jauh biasa

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN. Tabel 5. Hasil Perhitungan Link Budget

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN. Tabel 5. Hasil Perhitungan Link Budget IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Hasil Perancangan dan Analisa 1. Perancangan Ideal Tabel 5. Hasil Perhitungan Link Budget FSL (db) 101,687 Absorption Loss (db) 0,006 Total Loss 101,693 Tx Power (dbm) 28 Received

Lebih terperinci

ANALISIS PENGARUH SINTILASI IONOSFER TERHADAP AKURASI PENENTUAN POSISI ABSOLUT PADA GLOBAL POSITIONING SYSTEM

ANALISIS PENGARUH SINTILASI IONOSFER TERHADAP AKURASI PENENTUAN POSISI ABSOLUT PADA GLOBAL POSITIONING SYSTEM Abstrak - Penelitian ini membahas tentang analisis pengaruh dari fenomena sintilasi di lapisan ionosfer terhadap akurasi pengukuran posisi pada Global Positioning System (GPS). Sebelum sinyal satelit GPS

Lebih terperinci

Konsep Propagasi Gelombang EM dan Link Budget

Konsep Propagasi Gelombang EM dan Link Budget TTG3D3 Antena Modul#7 Antena dan Propagasi Konsep Propagasi Gelombang EM dan Link Budget Oleh : driansyah, ST, MT 1 Outline Pendahuluan Model Sistem Komunikasi & Channel Modeling Karakteristik Dan Fenomena

Lebih terperinci

Dasar Sistem Transmisi

Dasar Sistem Transmisi Dasar Sistem Transmisi Dasar Sistem Transmisi Sistem transmisi merupakan usaha untuk mengirimkan suatu bentuk informasi dari suatu tempat yang merupakan sumber ke tempat lain yang menjadi tujuan. Pada

Lebih terperinci

ANALISIS PERHITUNGAN FRESNEL ZONE WIRELESS LOCAL AREA NETWORK (WLAN) DENGAN MENGGUNAKAN SIMULATOR RADIO MOBILE

ANALISIS PERHITUNGAN FRESNEL ZONE WIRELESS LOCAL AREA NETWORK (WLAN) DENGAN MENGGUNAKAN SIMULATOR RADIO MOBILE ANALISIS PERHITUNGAN FRESNEL ZONE WIRELESS LOCAL AREA NETWORK (WLAN) DENGAN MENGGUNAKAN SIMULATOR RADIO MOBILE Agita Korinta Tarigan, Naemah Mubarakah Konsentrasi Teknik Telekomunikasi, Departemen Teknik

Lebih terperinci

ANALISIS AKURASI PEMETAAN FREKUENSI KRITIS LAPISAN IONOSFER REGIONAL MENGGUNAKAN METODE MULTIQUADRIC

ANALISIS AKURASI PEMETAAN FREKUENSI KRITIS LAPISAN IONOSFER REGIONAL MENGGUNAKAN METODE MULTIQUADRIC ANALISIS AKURASI PEMETAAN FREKUENSI KRITIS LAPISAN IONOSFER REGIONAL MENGGUNAKAN METODE MULTIQUADRIC Jiyo Peneliti Fisika Magnetosferik dan Ionosferik Pusat Sains Antariksa, LAPAN jiyolpnbdg@yahoo.com

Lebih terperinci

KAJIAN AWAL ABSORPSI IONOSFER DENGAN MENGGUNAKAN DATA FMIN (FREKUENSI MINIMUM) DI TANJUNGSARI

KAJIAN AWAL ABSORPSI IONOSFER DENGAN MENGGUNAKAN DATA FMIN (FREKUENSI MINIMUM) DI TANJUNGSARI Berita Dirgantara Vol. 10 No. 3 September 2009:86-91 KAJIAN AWAL ABSORPSI IONOSFER DENGAN MENGGUNAKAN DATA FMIN (FREKUENSI MINIMUM) DI TANJUNGSARI Prayitno Abadi Peneliti Bidang Ionosfer dan Telekomunikasi,

Lebih terperinci

Analisis Komputasi Penyerapan Gelombang Elektromagnetik Oleh Titik Hujan Dengan Menggunakan Methods Of Moment

Analisis Komputasi Penyerapan Gelombang Elektromagnetik Oleh Titik Hujan Dengan Menggunakan Methods Of Moment Proceeding Seminar Tugas Akhir Jurusan Teknik Elektro FTI-ITS 1 Analisis Komputasi Penyerapan Gelombang Elektromagnetik Oleh Titik Hujan Dengan Menggunakan Methods Of Moment Dika Oktavian P, Eko Setijadi,

Lebih terperinci

STUD! PENGARUH SPREAD F TERHADAP GANGGUAN KOMUNIKASI RADIO

STUD! PENGARUH SPREAD F TERHADAP GANGGUAN KOMUNIKASI RADIO STUD! PENGARUH SPREAD F TERHADAP GANGGUAN KOMUNIKASI RADIO AnwAr Santoso Peneliti Bidang Aplihasi Geomagnet dan Magnet Antariksa, LAPAN ABSTRACT Phenomena of ionospherics irregularities such as process

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1. 1 LATAR BELAKANG

BAB I PENDAHULUAN 1. 1 LATAR BELAKANG BAB I PENDAHULUAN 1. 1 LATAR BELAKANG Perkembangan teknologi komunikasi digital saat ini dituntut untuk dapat mentransmisikan suara maupun data berkecepatan tinggi. Berbagai penelitian sedang dikembangkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Semakin berkembangnya sistem komunikasi bergerak seluler, yang terwujud seiring dengan munculnya berbagai metode akses jamak (FDMA, TDMA, serta CDMA dan turunan-turunannya)

Lebih terperinci

OPTIMASI RERATA DALAM PROSES KORELASI SILANG UNTUK MENENTUKAN LOKASI RADIO TRANSMITTER

OPTIMASI RERATA DALAM PROSES KORELASI SILANG UNTUK MENENTUKAN LOKASI RADIO TRANSMITTER 164... Prosiding Seminar Matematika, Sains dan I, FMIPA UNSRA, 14 Juni 2013 OPIMASI RERAA DALAM PROSES KORELASI SILANG UNUK MENENUKAN LOKASI RADIO RANSMIER Isnan Nur Rifai 1), Wahyu Widada 2) 1) Program

Lebih terperinci