BAB V PEMBAHASAN. penelitian yang didapatkan, keterbatasan penelitian yang telah dilakukan dan

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "BAB V PEMBAHASAN. penelitian yang didapatkan, keterbatasan penelitian yang telah dilakukan dan"

Transkripsi

1 126 BAB V PEMBAHASAN Pada bab pembahasan ini akan dijelaskan dan dibahas tentang interpretasi dari hasil penelitian yang didapatkan, keterbatasan penelitian yang telah dilakukan dan implikasi penelitian ini untuk keperawatan, baik implikasinya bagi perkembangan pendidikan keperawatan, pelayanan keperawatan khususnya keperawatan kesehatan Jiwa komunitas, penelitian keperawatan, organisasi profesi, maupun implikasinya bagi pemerintah dan PT Lapindo. A. Interpretasi Hasil Penelitian Interpretasi hasil penelitian akan dilakukan dengan cara membandingkan dan atau mencocokkan temuan penelitian yang didapat dengan tinjauan pustaka, konsep, teori atau hasil penelitian yang sudah ada. Penelitian yang melibatkan anggota masyarakat desa Pajarakan sebagai korban bencana lumpur Lapindo ini menghasilkan dua kategori tema yaitu tema inti dan tema tambahan. Berikut ini penjelasan dan pembahasan dari masing-masing tema berdasarkan tujuan khusus yang telah ditentukan dan tema tambahan yang ditemukan. Tujuan khusus 1: Dampak psikologis akibat bencana lumpur Lapindo di desa Pajarakan kecamatan Jabon kabupaten Sidoarjo Dampak psikologis yang dialami oleh masyarakat korban bencana lumpur Lapindo di gambarkan dengan tiga tema, yaitu tema 1 tentang perubahan emosi, tema 2 mengenai perubahan kognitif, dan tema 3 tentang koping mekanisme. Tema 1 mengenai perubahan emosi tergambar dalam empat sub 126

2 127 tema yaitu depresi, kecemasan, kemarahan, dan harga diri rendah. Berikut ini penjelasan tema dan sub tema yang berkaitan dengan pencapaian tujuan khusus pertama: 1. Perubahan emosi Perubahan emosi merupakan salah satu bentuk dampak psikologis yang dialami oleh masyarakat korban akibat bencana lumpur Lapindo. Perubahan emosi ini ditunjukkan oleh adanya gejala depresi, kecemasan, kemarahan, dan harga diri rendah yang dialami partisipan yang masing-masing dijelaskan dibawah ini: Depresi Gejala depresi yang dialami oleh masyarakat korban ditunjukkan dengan adanya gejala psikologis dan gejala somatis. Yang termasuk gejala psikologis diantaranya perasaan sedih, susah, putus asa dan pasrah terhadap kondisi yang dialami. Sedangkan komponen somatis ditunjukkan dengan adanya keluhan tidak bisa tidur, tidak nafsu makan, dan sakit kepala. Depresi merupakan salah satu bentuk respon psikologis yang lazim terjadi pada individu setelah mengalami proses kehilangan. Proses kehilangan yang terjadi pada masyarakat korban bencana dapat berdampak pada terganggunya sistem tubuh manusia, hilangnya harta benda & lingkungan ( Menurut Maramis (1994), ada dua jenis depresi yaitu depresi dengan 127

3 128 penarikan diri dan dengan kegelisahan atau agitasi. Menurut peneliti, saat ini masyarakat korban dalam keadaan depresi menarik diri sebagaimana ungkapan-ungkapan partisipan bahwa mereka sekarang lebih suka dirumah, tidak ada keinginan untuk bersilaturrahmi ke tetangga seperti dulu lagi. Sedangkan kegelisahan atau agitasi sepertinya sudah dilalui ketika masyarakat menuntut adanya ganti rugi di wilayah area terdampak melalui demonstrasi, membuntu (memblokir) jalan, atau dengan ungkapanungkapan yang menghujat pihak-pihak yang dianggap bertanggung jawab terhadap terjadinya luapan lumpur Lapindo. Depresi yang dialami partisipan merupakan salah satu dampak psikologis yang disebabkan karena adanya kehilangan. Memang sesuai konsep berduka dari Kubbler Ross (1969, dalam Kozier, et.al., 2004) reaksi seseorang terhadap adanya kehilangan ini melalui lima tahap yaitu denial, anger, bargaining, depresi, dan acceptance. Namun respon spikologis yang terungkap dari mayoritas masyarakat korban bencana lumpur Lapindo saat ini adalah marah, depresi dan menerima (acceptance). Hal ini karena penelitian dilakukan setelah tiga tahun masyarakat korban menjalani bencana. Waktu mempengaruhi respon masyarakat korban terhadap bencana yang dialami, sebagaimana temuan penelitian Chou (2007) tentang dampak pasca bencana gempa bumi Chi-Chi di Yu Chi Taiwan kepada korban bencana yang mengalami gangguan psikiatri 6 bulan dan 2 dan 3 tahun setelah gempa bumi. Dari penelitian tersebut ditemukan prevalensi PTSD menurun 128

4 129 dari 8,3% pada 6 bulan sampai 4,2% pada 3 tahun setelah gempa bumi. Bunuh diri meningkat dari 4,2% pada 6 bulan dan 5,6% pada 2 tahun ke 6,0% pada 3 tahun setelah gempa bumi; penyalahgunaan narkoba meningkat dari 2,3% pada 6 bulan sampai 5,1% pada 3 tahun setelah bencana. Memperhatikan temuan penelitian Chou diatas, masyarakat korban yang mengalami depresi memang menurun, namun dampak lain berupa bunuh diri dan penyalahgunaan Narkoba justru meningkat. Dengan demikian harus ada upaya untuk mencegah terjadinya dampak depresi yang lebih parah misalnya dengan membuka layanan konsultasi gratis, penyuluhan atau proaktif dari tenaga kesehatan untuk memberikan bimbingan atau intervensi kesehatan lainya terutama masalah psikologis. Terjadinya depresi disebabkan oleh berbagai faktor. Dalam penelitian ini, faktor utama yang menyebabkan masyarakat korban mengalami depresi saat ini adalah belum adanya kepastian pembayaran sisa ganti rugi tahap II (80%) sebagaimana yang telah dijanjikan pemerintah beradasarkan Kepres no 48 tahun Sedangkan faktor lainnya adalah hilangnya harta benda (property), mata pencaharian, dan terpisah dengan anggota keluarga atau anggota masyarakat lainnya. Kondisi masyarakat yang mengalami depresi ini juga dapat disebabkan karena adanya aggapan dirinya sendiri tidak berguna (dysfunctional assumptions) sebagaimana pendapat Beck, (1967 dalam Stuart & Laraia, 129

5 ). Anggapan tidak berguna tersebut bisa terjadi karena hilangnya peran dan fungsi masyarakat korban sebagai pencari nafkah untuk memenuhi kebutuhan ekonomi keluarga. Hal ini sesuai dengan kondisi masyarakat korban bencana Lumpur Lapindo yaitu menganggur karena tidak ada pekerjaaan atau di PHK akibat pabrik-pabrik yang selama ini menjadi tempat kerja mereka terendam Lumpur. Depresi yang dialami oleh masyarakat korban Lapindo juga diakibatkan karena adanya kehilangan meskipun tidak separah yang dialami oleh masyarakat korban bencana Tsunami. Sebagaimana hasil penelitian Danvers, dkk. (2004) pada saat terjadi bencana Tsunami di Srilanka, menyebutkan bahwa masyarakat korban mengalami kehilangan yang luar biasa sehingga menimbulkan rasa berduka yang mendalam bahkan timbul gagasan untuk bunuh diri. Hal ini berbeda dengan masyarakat korban lumpur Lapindo, meskipun merasakan kehilangan namun masyarakat korban masih mempunyai asa atau harapan yang lebih besar untuk bisa bangkit dan menata hidup baru setelah sisa ganti rugi tahap II dibayarkan. Seperti pernyataan warga dalam penelitian ini bahwa mereka akan memulai hidup dari nol lagi dan menata hidup ditempat baru setelah pembayaran sisa ganti rugi tahap II Perasaan depresi juga dialami masyarakat Aceh pasca konflik. Gejala psikologis pada kelompok penduduk ini luar biasa tinggi, setara dengan penduduk paska-konflik seperti di Bosnia dan Afghanistan. Studi yang mengunakan daftar gejala (symptom checklist) dan di adaptasi khusus untuk 130

6 131 warga Aceh ini menunjukkan hasil 65% dari keseluruhan sampel mengindikasikan mengalami gejala depresi (International Organization for Migration /IOM, 2006) Kecemasan Selain perasaan depresi, masyarakat korban dalam penelitian ini juga mengalami kecemasan. Cemas merupakan peristiwa kejiwaan yang dapat dialami oleh siapa saja. Cemas sangat berkaitan dengan perasaan tidak pasti dan tidak berdaya. Kondisi ini terjadi tanpa objek yang spesifik, sifatnya subjektif namun dapat dikomunikasikan dalam hubungan interpersonal (Wiramihardja, S.A. 2005). Dalam perspektif kesehatan jiwa, cemas merupakan suatu respon yang berada dalam rentang yaitu mulai dari respon antisipasi, ansietas tingkat ringan, sedang, berat hingga panik (Stuart dan Laraia, 2005), sedangkan dalam pandangan psikolog, cemas merupakan suatu keadaan perasaan, dimana individu merasa lemah sehingga tidak berani dan tidak mampu untuk bersikap dan bertindak sesuai dengan yang seharusnya (Wiramihardja, S.A. 2005) Temuan penelitian ini menjelaskan bahwa munculnya perasaan cemas terutama pada malam hari, turun hujan dan jebolnya tanggul untuk penampungan lumpur. Situasi tersebut menimbulkan kecemasan karena masyarakat korban merasa terancam dan trauma terhadap kejadian yang pernah dialami yaitu mengalirnya lumpur ke rumah mereka pada saat 131

7 132 mereka sedang tidur nyenyak. Menurut Green, B.L. (1990 dalam Tomoko, O, 2009) salah satu penyebab timbulnya reaksi trauma adalah adanya ancaman terhadap keselamatan jiwa atau tubuh, dan terjadi secara mendadak. Hal lain dalam temuan penelitian ini yang menyebabkan masyarakat korban mengalami kecemasan adalah situasi dan kondisi ditempat baru yang akan mereka tempati. Beberapa hal yang menyebabkan kecemasan mereka ditempat baru antara lain: 1) lingkungan hidup bertetangga. Mereka umumnya khawatir di lingkungan yang baru nanti tidak bisa kompak dan rukun seperti yang selama ini mereka alami di desa pajarakan, 2) pekerjaan. Mayoritas warga khawatir apabila ditempat baru nanti tidak mempunyai pekerjaan untuk menghidupi keluarganya, dan 3) khawatir akan psikologis anak dalam menghadapi situasi dan kondisi yang baru. Kecemasan terhadap tempat tinggal baru sebagaimana yang dikhawatirkan masyarakat korban diatas juga dialami oleh masyarakat aceh pasca konflik. Berdasarkan hasil penelitian kebutuhan psikososial masyarakat yang terkena dampak konflik di kabupaten Pidie, Biruen, dan Aceh Utara (2006) ditemukan sebanyak 59% melaporkan kekhawatiran mengenai perumahan yang layak, kesulitan dalam memenuhi kebutuhan keluarganya sebanyak 85%, kesulitan mencari pekerjaan mencapai 90%, dan 71% mengaku kesulitan dalam memulai kembali aktifitas mata pencaharian mereka selama masa paska-konflik. Secara umum sebanyak 69% mengalami gejala kecemasan, dan 34% menlami gejala PTSD. 132

8 133 Kemarahan Selain depresi dan kecemasan, respon marah juga terjadi pada masyarakat korban bencana lumpur Lapindo. Temuan penelitian ini menunjukkan pernyataan marah sering dilakukan pada awal terjadinya bencana dan sebelum Keputusan Presiden no 48 tahun 2008 sebagai revisi Keputusan Presden No 14 tahun 2007 tentang dimasukkannya desa Pajarakan sebagai area terdampak yang akan mendapatkan ganti rugi dari pemerintah. Setelah ditetapkan Kepres No 48 tahun 2008, reaksi masyarakat berbeda. Ada yang marah karena pembayaran tahap II belum juga direalisasikan, ada juga marahnya karena tidak dilibatkan menjadi tenaga kerja oleh PT Lapindo padahal kondisi masyarakat saat ini sedang susah dan tidak ada penghasilan. Bentuk marah yang dialami masyarakat korban Lapindo ini berbeda dengan marah yang dilakukan oleh korban bencana Tsunami. Pada korban Tsunami, kehilangan yang dialami tidak ada jaminan ganti rugi dari pemerintah, namun bagi korban luapan lumpur Lapindo yang ada di desa Pajarakan mereka mempunyai harapan untuk memperoleh ganti rugi. Bahkan salah satu partisipan menganggap beruntung (laba) dari apa yang diterima sebagai ganti rugi tanah dan rumahnya. Bentuk dan penyebab kemarahan yang dilakukan masyarakat korban Lapindo diatas berbeda dengan korban Tsunami. Penelitian yang dilakukan Garpaung, A (2006) pasca Tsunami di Pangandaran menunjukan reaksi marah yang dilakukan masyarakat korban antara lain saling mempersalahkan dengan suami, anak dan tetangga yang mengajak korban 133

9 134 bermain saat Tsunami, serta marah kepada laut. Ada lagi yang marah kepada kakek dan paman anaknya (uak) yang dianggap tidak memberikan pertolongan, dan ada juga yang mengatakan marah kepada tempat tempat maksiat yang dianggap mendatangkan bencana. Reaksi marah paska Tsunami diatas sesuai dengan penjelasan Danvers, dkk (2007) yang menyebutkan bahwa kemarahan merupakan reaksi yang umumnya timbul pada masyarakat korban Tsunami. Selain itu juga muncul perasaan rasa bersalah dan bermusuhan karena tingkat kehilangan nyawa yang tinggi. Umumnya juga terjadi reaksi marah pada alam dan Tuhan. Kemarahan juga terjadi pada diri sendiri, saling menyalahi, menyalahkan anggota keluarganya karena kematian. Kemarahan ditujukan kepada pihak lain seperti pemerintah karena lambatnya distribusi bantuan Harga diri rendah Bentuk perubahan emosi lain yang terjadi pada masyarakat korban adalah timbulnya perasaan rendah diri. Perasaan ini berhubungan dengan kondisi yang mereka alami yaitu tidak adanya harta benda maupun suguhan baik berupa snak maupun jenis makanan lain yang mereka miliki. Mereka malu kepada orang lain terutama kalau ada orang yang akan bertamu di rumahnya. Mereka ini merasa tidak bisa menghormati orang lain seperti sebelum adanya bencana lumpur Lapindo. Perubahan inilah yang menyebabkan masyarakat korban ini malu dan enggan bertemu dengan orang lain. Mereka bersedia bertemu tidak dirumahnya tapi ditempat lain misalnya di Mushola atau di Pos Kampling. 134

10 135 Perubahan emosi tersebut diatas, selaras dengan konsep dasar pemeliharaan kesehatan jiwa bagi korban bencana yang dilansir oleh Tomoko, O (2009) dari Hyogo care centre menyebutkan sebagian besar reaksi emosional masyarakat korban bencana berasal dari masalah kehidupan sehari-hari yang ditimbulkan oleh bencana. Disamping itu perasaan stress dan reaksi berduka seperti malu yang terjadi akibat bencana merupakan reaksi yang normal dalam kondisi yang abnormal. Dengan demikian perubahan emosi yang dialami masyarakat korban seperti adanya perasaan depresi, kecemasan, marah, dan rendah diri merupakan hal yang wajar dan normal asalkan tidak berlangsung dalam waktu yang lama. Temuan penelitian lain juga menyebutkan bahwa reaksi psikologis atau emosi ini akan hilang atau pulih secara alami seiring dengan perjalan waktu, sebagaimana tiga temuan penelitian khusus tentang pemulihan bencana lokal di jepang (2006) diantaranya kepada penghuni tempat tinggal sementara dan petugas pemadam kebakaran pasca gempa besar di Hanshin Awaji, masyarakat yang teracuni di Wakayama, dan para pekerja yang selamat dari kebakaran Pabrik A pada tahun Setelah satu tahun berlalu ditemukan sekitar 80% menunjukkan pemulihan secara alami dari sekitar 20% penderita PTSD secara umum. Kalaupun ada ketidakstabilan emosi sesaat, secara umum mereka akan kembali normal (JICA & STKS, 2006) Disamping temuan penelitian diatas, Asosiasi Psikiatrik Amerika (2007) juga mengeluarkan artikel yang menyebutkan bencana alam dapat memiliki dampak psikologis besar pada semua orang yang terkena baik secara 135

11 136 langsung maupun tidak langsung. Berbagai macam reaksi mental atau emosional seperti kesedihan, stres dan kegelisahan atau depresi merupakan sesuatu yang normal selama mengalami bencana alam. Namun demikian berbagai upaya perlu dilakukan untuk menghindari gangguan psikologis yang lebih serius. Salah satu upaya yang dapat dilakukan untuk mengatasi perubahan emosi yang dialami masyarakat korban sebagaimana dijelaskan diatas adalah dengan cara menghambat atau menghindari adanya stimulus. Merujuk teori sistem adaptasi Roy (Tomey, 1994), manusia dalam hal ini masyarakat korban dipandang sebagai suatu sistem yang adaptif melalui proses sebuah sistem yang terdiri dari input, proses, output dan feedback. Input yang oleh Roy dikenali sebagai stimuli adalah suatu stimulus, yaitu kesatuan informasi, bahan atau energi dari lingkungan yang dapat menimbulkan respon. Stimulus ada tiga jenis, antara lain stimulus fokal yaitu stimulus yang langsung dihadapi saat itu, stimulus kontekstual yaitu stimulus lain yang mempengaruhi situasi, dan stimulus residual yaitu ciri tambahan yang relevan terhadap situasi tersebut. Dalam penelitian ini yang dimaksud stimulus fokal adalah adanya luapan lumpur Lapindo yang masih terus aktif, yang menggenangi sekitar tempat tinggalnya dan adanya ancaman lumpur Lapindo masuk ke rumah masyarakat korban. Stimulus kontekstualnya adalah belum adanya pembayaran ganti rugi tahap II (80%), dan stimulus residualnya adalah kekhawatiran tidak bisa membangaun atau membeli rumah di tempat baru. 136

12 137 Menghambat atau menghindari adanya stimulus fokal dalam hal ini ancaman lumpur Lapindo masuk ke rumah masyarakat korban dapat dilakukan dengan cara mempercepat proses untuk pindah ke tempat baru. Namun cara ini sangat tergantung pada stimulus kontekstual yaitu pembayaran sisa ganti rugi tahap II, sementara ketentuan Kepres No 48 tahun 2008 mensyaratkan pelunasan atau pembayaran sisa ganti rugi akan dilakukan apabila PT Lapindo telah melunasi sisa ganti rugi untuk masyarakat korban bencana di area bencana. Dengan demikian langkah utama dan strategis yang harus dilakukan adalah perubahan Kepres No 48 tahun 2008 agar pembayaran sisa ganti rugi pada masyarakat yang masuk dalam peta terdampak tidak tergantung pada PT Lapindo. Upaya ini dapat dilakukan secara terus menerus melalui pemerintah daerah, DPRD dan DPR serta pemerintah pusat dalam hal ini kepada presiden. Apabila upaya ini berhasil maka masalah stimuli residual dapat di atasi. Sedangkan apabila tidak berhasil maka masyarakat korban harus mendapatkan dukungan sosial yang kuat dan diyakinkan bahwa mereka mempunyai kemampuan untuk menghadapi masalah yang saat ini terjadi. 2. Perubahan kognitif Temuan penelitian ini menyatakan adanya perubahan kognitif yang terjadi yaitu penurunan daya pikir. Penurunan daya fikir terjadi karena masalah yang timbul akibat bencana ini cukup kompleks. Salah satu masalah kognitif yang dihadapi sehingga menyebabkan menurunya daya fikir adalah kebingungan setelah pembayaran ganti rugi tahap I sebesar 20%. 137

13 138 Setelah pembayaran tahap I, masyarakat semakin kebingungan terutama bagi masyarakat ekonomi menengah kebawah. Uang ganti rugi yang diperoleh tidak cukup untuk membeli rumah. Kalaupun ada yang mampu membeli tanah, mereka juga ragu untuk bisa membangun rumah baru mengingat saat ini mereka tidak bekerja dan tidak mempunyai penghasilan. Hal ini menyebabkan sisa uang ganti rugi tahap I habis digunakan untuk kebutuhan sehari-hari, sementara uang ganti rugi tahap II belum ada kepastian kapan akan dibayarkan. Adanya perubahan kognitif pada masyarakat korban seperti tidak mampu berfikir jernih, menjadi ragu-ragu karena tidak ada kepastian, dan pikiran mereka terpecah-pecah dengan persoalan-persoalan lain yang mereka hadapi ini sesuai dengan temuan Norris, F.H (2008) bahwa salah satu dampak dari bencana adalah terjadinya perubahan kognisi/kognitif dengan ciri fikiran kacau, salah persepsi, menurunya kemampuan untuk mengambil keputusan, menurunya daya konsentrasi dan daya ingat, mengingat hal-hal yang tidak menyenangkan, dan menyalahkan diri sendiri. Bentuk-bentuk respon tersebut diatas oleh Stuart dan Laraia (2005) disebut dengan istilah respon kognitif maladaptif. Temuan penelitian ini menunjukkan masyarakat korban mengalami penurunan kognitif seperti menurunnya perhatian pada lingkungan dan daya ingat atau konsentrasi. Sedangkan aspek kognitif lain seperti kemampuan mengingat hal-hal yang tidak menyenangkan, memori, orientasi, persepsi dan pengambilan keputusan masih dapat berfungsi dengan baik. Penurunan daya 138

14 139 ingat yang terjadi pada masyarakat korban akibat bencana lumpur ini sesuai dengan temuan penelitian yang dilakukan oleh Atkinson, dkk (2003) bahwa emosi dapat mempengaruhi memori. Menurut Atkinson, dkk., ada lima penjelasan mengenai pengaruh emosi terhadap memori, pertama ada kecenderungan berfikir lebih banyak tentang situasi yang bermuatan emosi negatif atau positif, dibanding memikirkan situasi yang netral. Kedua, flashbulb memory artinya adanya peristiwa yang penting dan bermuatan emosi menimbulkan rekaman yang gamblang dan relatif permanen. Ketiga emosi negatif menghalangi pengingatan kembali. Keempat, emosi mempengaruhi memori dengan efek konteks. Kelima, pengalaman masa lalu anak mempengaruhi memori. Merujuk pada teori system adaptasi Roy, adanya gangguan kognitif dapat mempengaruhi proses pengendalian manusia atau yang dikenal dengan mekanisme koping. Sebagaimana teori Roy, bahwa mekanisme pengendalian atau kontrol ini dibagi atas dua sub sistem yaitu regulator dan kognator yang saling terintegrasi. Pada sub sistem kognator inilah pengaruh kognitif berperan lebih besar, yaitu berperan dalam menentukan persepsi, penilaian, dan emosi atau respon psikososial masyarakat korban terhadap apa yang dialami saat ini, yaitu adanya kenyataan bahwa Pemerintah dan PT Lapindo belum dapat merealisasikan kewajibannya kepada masyakata korban. 3. Mekanisme koping Hasil penelitian menunjukkan bahwa mekanisme koping yang digunakan 139

15 140 masyarakat korban ada yang adaptif ada pula yang maladaptif atau tidak efektif. Mekanisme koping merupakan upaya pertahanan diri yang otomatis dilakukan oleh semua individu yang menerima stressor. Tipe mekanisme koping ada tiga yaitu berfokus pada masalah, berfokus pada kognitif dan berfokus pada emosi (Stuart & Laraia, 2005). Sementara menurut teori Sistem Adaptasi Roy dalam Tomey & Marriner (2005), mekanisme koping atau dalam bahasa Roy disebut dengan mekanisme pengendalian atau kontrol, dibagi atas dua sub sistem yaitu regulator dan kognator. Sub sistem regulator mempunyai komponen yang terdiri dari input, proses dan out put dan sistem penghubungnya, yaitu kimia, neuron dan endokrin. Sub sistem kognator merupakan sistem adaptasi selanjutnya dimana pengendaliannya dihubungkan dengan fungsi yang lebih tinggi dari otak yaitu persepsi, penilaian dan emosi. Regulator dan kognator bekerja sama dalam mempertahankan integritas manusia, meskipun tingkat adaptasi tersebut dipengaruhi oleh pertumbuhan individu dan pemahaman mekanisme koping. Dalam penelitian ini, yang dimaksud dengan subsistem regulator adalah respon masyarakat korban tentang sifat bencana lumpur Lapindo, proses penanganan untuk menghentikan semburan lumpur, ganti rugi bagi masyarakat korban serta kenyataan yang dialami oleh masyarakat korban akan pemenuhan hak-hak yang harus diterima. Sedangkan subsistem kognatornya adalah persepsi, penilaian, dan emosi serta respon respon psikososial masyarakat korban terhadap apa yang dialami saat ini, yaitu 140

16 141 adanya kenyataan bahwa Pemerintah dan PT Lapindo belum dapat merealisasikan kewajibannya kepada masyakata korban. Berbagai upaya telah dilakukan sebagai bentuk mekanisme koping atau mekanisme pengendalian untuk menghadapi atau merespon berbagai stressor yang ada. Temuan dalam penelitian ini, mekanisme koping yang telah digunakan ada yang dapat dikategorikan mekanisme adapatif dan maladaptif atau tidak efektif. Mekanisme koping yang adapatif diantaranya berdo a (pendekatan spiritual), memendam perasaan (represi) dan mengalihkan perhatian agar dapat melupakan masalah yang terjadi, atau dengan meminta bantuan saudara. Sementara yang tidak efektif seperti menghujat, mengancam melakukan demonstrasi terus, membuntu atau memblokir jalan, dan melampiaskan emosi kepada anak-istrinya meskipun cara maladaptif ini hanya bersifat sementara. Penggunaan mekanisme pengendalian berupa pendekatan spiritual dalam bentuk berdo a dan pengalihan dengan melakukan aktifitas bersama yang dilakukan oleh masyarakat korban Lapindo, merupakan bentuk adanya dukungan sosial yang baik. Hal ini sesuai konsep Gilbert (1996; Moos, 1995) bahwa keyakinan spritual dan pelaksanaannya sangat mempengaruhi reaksi seseorang akan bencana yang dihadapi atau kehilangan dan perilaku setelahnya. Selain dukungan sosial dan kepasrahan spiritual, penggunaan koping mekanisme yang adaptif ini juga bisa disebabkan oleh pengalaman 141

17 142 pengalaman kehilangan sebelumnya yang membentuk maturasi diri. Menurut Kozier, dkk. (2004) bahwa dengan adanya pengalaman, biasanya pemahaman dan penerimaan seseorang terhadap kehidupan, kehilangan dan musibah/bencana akan meningkat. Adanya pengalaman mengalami bencana merupakan pengalaman psikodinamik yang memberikan kematangan/maturasi untuk dapat bangkit kembali dari suatu kondisi depresi dan mengembalikan fungsi peran seperti sebelumnya. Adanya pengalaman kehilangan atau bencana, pada akhirnya dapat membuat individu dan keluarga berkembang ke arah stabilitas pertumbuhan yang baru. Dengan demikian bencana lumpur Lapindo yang berlangsung lebih dari tiga tahun ini dapat membuat kekuatan atau kelelahan bagi masyarakat korban. Menjadi kekuatan apabila bencana ini membawa energi positif untuk meningkatkan maturitas individu dalam menghadapi realitas kehidupan yang mereka jalani, namun sisi negatif dari panjangnya atau lamanya bencana ini juga dapat menyebabkan kelelahan dan putus asa, ketidakpercayaan, dan ketidakberdayaan masyarakat korban. Upaya yang dapat dilakukan adalah memperkuat dukungan sosial dan mendesak segera dilakukan pembayaran tahap II serta perhatian kepada masyarakat korban ditempat baru dengan mempertimbangkan berbagai konsekwensi dan dampak yang timbul dari perubahan tersebut. Mekanisme pengendalian lain yang digunakan masyarakat korban adalah represi. Represi berarti memendam atau mengeluarkan tanpa disengaja 142

18 143 terhadap sesuatu yang tidak menyenangkan atau konflik fikiran, perasaan atau memori kesadaran. Represi ini merupakan pertahanan ego yang utama sedangkan mekanisme lain cenderung untuk menguatkan. Represi merupakan mekanisme pertahanan diri yang beroerientasi pada perlindungan diri dan mekanisme ini umumnya dapat digunakan dengan sukses pada individu yang mengalami kecemasan ringan hingga sedang (Stuart & Laria, 2005). Represi merupakan mekanisme pertahanan diri yang umum digunakan oleh sebagian besar individu untuk meminimalkan kecemasan dalam situasi yang tidak dapat mereka tanggulangi secara efektif (Freud, dalam Dwiputri, 2007) Dalam temuan penelitian ini, represi yang dilakukan oleh masyarakat korban sebagai bentuk kepasrahan dan kesabaran terhadap bencana yang dialami. Mereka menganggap bahwa apa yang terjadi merupakan ketentuan dari Allah SWT. Masyarakat korban menganggap apa yang sudah diperjuangkan yaitu menuntut ganti rugi sudah dikabulkan pemerintah, dan sekarang tinggal menunggu waktu pembayaran sebagaimana yang ditentukan pemerintah. Mekanisme koping lain yang juga dilakukan oleh masyarakat korban adalah adanya pemindahan ungkapan perasaan marah kepada anak dan istrinya atau yang disebut dengan displacement. Termasuk tindakan menghujat dan berunjuk rasa yang sudah maupun yang akan dilakukan. Mekanisme koping ini tidak akan berbahaya apabila bersifat sesaat dan tidak merusak atau merugikan dirinya sendiri, orang lain maupun lingkungan 143

19 144 Tujuan khusus 2: Dampak sosial akibat bencana lumpur Lapindo di desa Pajarakan kecamatan Jabon kabupaten Sidoarjo Dampak sosial terjadi sebagai konsekwensi sebagai anggota masyarakat korban. Dampak sosial yang teridentifikasi dalam penelitian ini adalah tiga tema inti yaitu tema 4 tentang perubahan fungsi keluarga, tema 5 mengenai perubahan hubungan sosial kemasyarakatan, dan tema 6 tentang dukungan social. Penjelasan lebih rinci dari masing-masing tema yang ditemukan yang terkait dengan tujuan khusus adalah sebagai berikut: 4. Perubahan Fungsi Keluarga Menurut Friedmen (1998), keluarga memiliki berbagai fungsi, yaitu: fungsi afektif, fungsi sosialisasi dan penempatan sosial, fungsi reproduksi, fungsi ekonomi dan fungsi perawatan kesehatan. Fungsi-fungsi tersebut merupakan konsekuensi dari struktur keluarga dan saling berhubungan erat. Temuan dalam penelitian ini, masyarakat korban mengalami perubahan fungsi keluarga, yaitu perubahan pada fungsi sosial dan fungsi ekonomi. Fungsi sosial keluarga Fungsi ini terkait dengan hubungan kekeluargaan yang terjadi yaitu ikatan kekeluargaan yang merenggang. Kerenggangan hubungan keluarga ini umumnya disebabkan karena tempat tinggalnya terpisah dan terjadinya disharmoni keluarga. Tempat tinggal yang terpisah ini menyebabkan hubungan silaturrahmi berubah, baik kepada keluarga dekat maupun kepada sesama anggota masyarakat. Dengan tempat tinggal terpisah, hubungan emosional mereka juga mengalami perubahan. Ada anggota masyarakat 144

20 145 yang merasa kesepian setelah anggota keluarganya pindah ke tempat lain, ada juga yang merasa ikatan kekeluargaan mereka tidak seperti dulu lagi. Kondisi tersebut diatas tentunya akan berdampak pada peran-peran sosial yang seharusnya dapat dilakukan oleh keluarga sebagaimana yang dikemukakan Friedmen. Sementara untuk disharmoni keluarga umumnya terjadi akibat adanya sesuatu yang menjadi sumber konflik. Sesuatu yang dimaksud adalah uang ganti rugi tahap I sebesar 20% dari aset yang dimiliki keluarga meliputi tanah, tanaman/pohon dan bangunan rumah. Pembagian uang pembayaran tahap I inilah yang banyak menimbulkan konflik antar sesama anggota keluarga. Perubahan hubungan keluarga inilah yang membedakan dampak bencana lumpur Lapindo dengan bencana-bencana lain. Merujuk pada hasil penelitian Garpaung, A (2006) pada individu korban bencana Tsunami di Pangandaran Jawa Barat menyebutkan bahwa setelah terjadi bencana, banyak dukungan yang diperoleh dari keluarga, teman, tetangga, rekan bisnis, masyarakat dan juga pemerintah. Hubungan mereka semakin erat karena merasa mengalami penderitaan yang sama. Perbedaan lain antara korban bencana lumpur Lapindo dengan Bencana alam lainnya adalah adanya jaminan ganti rugi yang diterima masyarakat korban dengan harga diatas rata-rata. Harga tanah permeter sebelum terjadi bencana rata-rata hanya Rp / m² - Rp /m², namun setelah 145

21 146 masuk peta area terdampak harga tanah menjadi Rp / m² dan fasilitas bangunan di hargai Rp / m². Sehingga tidak heran bila salah satu partisipan merasa untung (laba) dalam musibah ini. Selain ada pernyataan bahwa musibah ini membawa untung, ada juga partisipan yang mengungkapkan bahwa setelah menerima ganti rugi banyak saudara-saudara jauh yang datang ke rumah untuk minta bagian uang ganti rugi, atau sekedar mengaku sebagai kerabat agar mendapatkan bagian uang ganti rugi. Padahal sebelum terjadi bencana atau setelah terjadi bencana dan belum ada pembayaran ganti rugi tahap I mereka yang mengaku kerabat tadi tidak pernah berkunjung kerumahnya, namun setelah ada pembayaran tahap I mereka berkunjung dan mengaku sebagai kerabatnya. Inilah fenomena hubungan kekeluargaan yang terjadi di masyarakat korban Lapindo terutama di desa Pajarakan sebagai salah satu area terdampak. Hubungan kekeluargaan yang mereka jalin selama ini mengalami gangguan atau disharmoni gara-gara pembagian uang yang mereka anggap tidak adil. Meskipun hal ini tidak terjadi pada semua anggota masyarakat, namun mayoritas hubungan keluarga mereka mengalami perubahan sebagai akibat dari bencana lumpur Lapindo Fungsi ekonomi Menurut Friedmen, (1998) fungsi ekonomi meliputi penyediaan sumbersumber yang adekuat untuk bertahan hidup dan proses pengambilan keputusan yang berfokus pada pengalokasian yang tepat dari sumber- 146

22 147 sumber tersebut. Pengkajian tentang fungsi ini dapat memberikan gambaran tentang kemampuan keluarga untuk mengalokasikan sumber-sumber ekonomi keluarga untuk memenuhi kebutuhan keluarga seperti sandang, pangan, papan dan perawatan kesehatan secara memadai. Temuan penelitian ini menunjukkan bahwa masyarakat korban belum bisa memenuhi kebutuhan keluarga terutama papan (rumah/tempat tinggal) dan pendidikan. Mereka mengaku belum bisa membeli atau membangun rumah di tempat baru untuk keluarganya karena sisa ganti rugi tahap II belum dibayarkan. Padahal pembayaran sisa ganti rugi tahap II itu yang di tunggu hingga sekarang. Perubahan fungsi ekonomi ini juga berdampak pada kebutuhan pendidikan anak-anak mereka, sebagaimana keluhan salah satu partisipan yang tidak bisa menyekolahkan anaknya karena tidak mampu membayar sekolah. Perubahan ekonomi tersebut terjadi karena orang tua tidak lagi mempunyai penghasilan atau pendapatan setelah bencana lumpur Lapindo. Padahal pendapatan atau penghasilan menentukan status ekonomi keluarga (Pappas, 1994 dalam Stanhope & Lancaster, 1996). Status ekonomi yang rendah merupakan gambaran kemiskinan dan ini sangat terkait dengan status kesehatan (link, 1996 dalam Stone, Mcquire & Eigsti, 2002). Dengan demikian perubahan atau masalah pada fungsi ekonomi merupakan salah satu kemungkinan penyebab terjadinya masalah kesehatan, karena ketidakmampuan dalam berperilaku sehat atau menjangkau pelayanan kesehatan. Hal ini berarti perubahan atau masalah fungsi ekonomi dapat 147

23 148 menyebabkan masalah fungsi keluarga yang lain misalnya fungsi perawatan kesehatan. Merujuk pada teori sistem adaptasi Roy, perubahan fungsi keluarga ini merupakan stimulus kontekstual yang dapat menimbulkan berbagai bentuk respon. Respon terhadap stimulus ini menurut Roy merupakan output sistem yang dapat adaptif atau tidak adaptif. Output sistem ini sangat dipengaruhi oleh dukungan keluarga. Individu atau anggota keluarga akan dapat mengatasi atau merespon stimulus kontekstual ini dengan baik apabila mendapatkan dukungan positif yang kuat dari keluarga maupun masyarakat. Dengan demikian terjadinya perubahan fungsi keluarga ini akan tetap dapat menghasilkan respon adaptif atau positif apabila ada persepsi, penilaian dan emosi yang positif serta dukungan dari keluarga. 5. Perubahan hubungan sosial kemasyarakatan Selain fungsi keluarga mengalami perubahan, hubungan sosial kemasyarakatan juga mengalami perubahan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa solidaritas masyarakat korban melemah dan kepedulian sosial menurun. Hal ini sangat berbeda dengan kondisi sosial masyarakat sebelum ada bencana lumpur Lapindo. Sebelum kejadian bencana masyarakat korban mengaku hubungan sosial mereka sangat kompak, saling membantu dan peduli terhadap masalah-masalah lingkungan. Namun setelah terjadi bencana mereka merasa hubungan sosial kemasyarakatan mengalami banyak perubahan. 148

24 149 Solidaritas merupakan tindakan timbal balik dari anggota kelompok atau masyarakat yang dilakukan secara memuaskan sesuai peran dan hirarki dalam struktur kelompok atau masyarakat. Solidaritas masyarakat tergantung pada tingkat kepercayaan antar anggota masyarakat, sikap, dan norma-norma yang ada di masyarakat (Gerungan, W.A, 2007). Pendapat lain yang berhubungan dengan solidaritas dalam hubungan sosial juga di jelaskan oleh Emile Durkheim ( , dalam Ranjabar, J. 2008) bahwa dalam perkembangan sosial, solidaritas dapat dilakukan dengan dua tipe yaitu solidaritas mekanik dan organik. Solidaritas mekanik adalah bentuk primitif, awal dari organisasai kemasyarakatan yang masih dapat dilihat dalam kehidupan masyarakat saat ini. Ciri khas dari solidaritas mekanik ini adalah adanya kecenderungan ide bersama sehingga dalam tata sosial mempunyai keseragaman dan kesadaran kolektif yang tinggi. Sedangkan solidaritas organik merupakan solidaritas yang berhubungan dengan pembagian peran yang menyertai perkembangan sosial yang terjadi. Solidaritas organik ini umumnya lebih berkembang di dalam perbedaan daripada kesamaan. Memperhatikan teori Durkheim diatas, lemahnya solidaritas masyarakat korban merupakan bentuk solidaritas mekanik yang terganggu sebagai cerminan kondisi masyarakat secara umum. Lemahnya solidaritas warga masyarakat dan menurunnya kepedulian sosial merupakan bentuk kerugian sosial yang terjadi akibat bencana lumpur Lapindo. Solidaritas warga dan kepedulian sosial merupakan modal sosial yang harus dijaga dan dipertahankan meski dalam kondisi bencana. 149

25 150 Menurut Michael Cernea dalam Mirdasy (2007), seorang antropologi dari George Washington University, Amerika Serikat menjelaskan bahwa dampak disintegrasi sosial, tercerai-berainya masyarakat, dan hancurnya budaya sangatlah serius, meskipun tidak kasatmata dan tidak bisa dikuantifikasi. Rusaknya komunitas, hancurnya struktur tatanan masyarakat, tercerai-berainya jaringan formal dan informal, perkumpulanperkumpulan, merupakan kehilangan modal sosial yang sangat mahal. Kehilangan modal sosial itu bisa mengarah pada pemiskinan korban dari segala sisi. Dalam kontek sosial maka modal sosial masyarakat korban Lapindo telah mengalami kerugian yang luar biasa. Kegiatan-kegiatan sosial seperti gotong royong, acara tahlillan satu minggu sekali, dziba an (Sholawatan), adalah contoh dalam kegiatan sosial yang mampu mempererat ikatan mereka namun semua itu sekarang hilang karena masyarakat telah mencari kehidupan sendiri-sendiri ( Untuk menghindari atau paling tidak mengurangi dampak dari hilangnya modal sosial ini dapat dilakukan dengan cara: a) memberikan tempat baru untuk semua masyarakat korban atau merelokasi tempat tinggal, b) mengembangan situasi kelompok sosial baik sebelum pindah maupun setelah menempati tempat tinggal baru, dan c) mengembangkan situasi kebersamaan ditempat baru. Upaya tersebut diatas perlu adanya pihak yang memantau atau mengkawal dalam bentuk pelaksanaan program, baik yang diadakan oleh pemerintah maupun LSM. 150

26 151 Perubahan hubungan sosial kemasyarakatan ini juga dapat menjadi stimulus kontekstual dalam teori sistem adaptasi Roy, dimana perubahan hubungan sosial ini dapat menjadi stimulus yang dapat menimbulkan terjadinya perilaku adapatif maupun tidak adaptif. 6. Dukungan sosial Dalam kondisi stres akibat bencana, pengaruh dukungan sosial sangat penting. Hasil penelitian menunjukkan bahwa masyarakat korban mengakui besarnya pengaruh dukungan yang diberikan oleh istri atau suami mereka dan dukungan dari tokoh agama maupun tokoh masyarakat, dalam hal ini dukungan dari pak Modin dan ketua RW. Menurut Stuart and Laraia (2005) dukungan sosial (sosial support) merupakan faktor penting yang dapat memperkuat dan meningkatkan kemampuan individu, keluarga atau kelompok dalam menghadapi peristiwa yang menimbulkan stres. Dengan adanya dukungan sosial yang kuat diharapkan individu, keluarga atau kelompok dapat mengatasi masalah yang ada sehingga tidak jatuh pada kondisi sakit. Dukungan sosial ini dapat berasal dari keluarga, teman atau masyarakat. Hasil penelitian Williams (1999, dalam Stuart & Laraia 2005) menjelaskan bahwa dengan adanya dukungan sosial, penderita gangguan arteri koronaria mengalami kematian setelah lebih dari 5 tahun sebanyak 50% dibanding yang tidak mempunyai dukungan sosial yang hanya 20%. Dengan demikian faktor pengaruh dukungan sosial tidak hanya dapat mempengaruhi aspek 151

27 152 psikologis saja namun juga aspek biologis yaitu meningkatkan fungsi sistem imun dan proses biologi lain dalam tubuh. Dukungan sosial ini dapat berhasil secara maksimal apabila jumlah dukungan sosial yang dibutuhkan dapat menjadi penentu dan sebanding dengan jumlah dukungan sosial yang tersedia. Kebutuhan dukungan sosial dipengaruhi oleh faktor predisposisi, sifat stressor, dan ketersediaan sumber koping yang lain seperti ekonomi, kemampuan dan ketrampilan individu, serta tehnik pertahanan yang digunakan. Kemampuan dukungan sosial juga dipengaruhi oleh usia, jenis kelamin, status sosial ekonomi, sifat stressor, dan karakteristik lingkungan (Stuart and Laraia, 2005). Merujuk pada pendapat Stuart dan Laraia diatas, kemampuan dukungan sosial yang diterima partisipan bersumber dari keluarga yaitu istri/suami dan bersumber dari masyarakat dalam hal ini adalah tokoh agama dan tokoh masyarakat. Selain itu dukungan sosial ini juga diberikan oleh individu yang mempunyai status ekonomi yang cukup baik dalam hal ini adalah pak Modin dan pak ketua RW dengan status ekonomi diatas rata-rata masyarakat desa Pajarakan. Dukungan pak Modin sebagai tokoh agama adalah menjaga keberlangsungan kegiatan keagamaan, yang diyakini oleh masyarakat sebagai siraman rohani dan mampu mempererat silaturrahmi antar sesama warga. Sementara dukungan ketua RW dilakukan untuk menenangkan emosi masyarakat korban dalam menuntut pembayaran ganti rugi tahap II. 152

28 153 Pentingnya dukungan sosial ini berdasarkan teori model sistem adaptasi Roy termasuk dalam mode interdependensi atau ketergantungan. Ketergantungan ditunjukkan dengan kemampuan untuk afiliasi dengan orang lain. Kemandirian ditunjukkan oleh kemampuan berinisiatif untuk melakukan tindakan bagi dirinya. Mode ini sangat di sadari oleh masyarakat korban, bahwa kebersamaan dan saling membantu dan bekerjasama akan dapat memperkuat keberadaanya sebagai masyarakat korban. Dukungan sosial merupakan sistem pendukung yang kuat yang dapat mempengaruhi individu atau keluarga memberikan umpan balik (feedback) yang positif terhadap stimulus yang menyebabkan stres. Perubahan sosial yang terjadi pada masyarakat korban, baik yang yang terjadi dalam lingkungan keluarga maupun masyarakat merupakan suatu sistem yang saling mempengaruhi, seperti perubahan salah satu fungsi dalam keluarga mempengaruhi fungsi keluarga lain. Hal ini sejalan dengan kerangka konseptual Sistem Interaksi King (dalam Tomey & Alligood, 2006) yang terdiri dari tiga sistem yang saling berinteraksi, yaitu sistem personal (individual), sistem interpersonal (kelompok) dan sistem sosial. Perubahan sosial merupakan muara dari terganggunya sistem interpersonal dan sistem personal. Perubahan fungsi keluarga merupakan bagian sistem interpersonal yang berawal dari terganggunya sistem personal yaitu ketidakmampuan peran kepala keluarga dalam melaksanakan fungsi ekonomi, fungsi pelayanan kesehatan atau fungsi-fungsi yang lain. Individu sebagai bagian dari 153

29 154 anggota keluarga atau sebagai sistem personal ini juga sejalan dengan konsep Neuman (1995, dalam Tomey & Alligood, 2006) yang meyakini bahwa individu atau klien adalah suatu system yang memiliki 5 variabel, yang membentuk dalam suatu sistem yaitu fisik, psikologis, sosiokultural, perkembangan dan spiritual. Individu atau klien merupakan cerminan secara holistic dan multidimensional yang berarti bahwa setiap orang memiliki keunikan masing-masing dalam menanggapi suatu peristiwa yang terjadi dalam kehidupan sehari-hari. Faktor tersebut menjadi salah satu sebab respon anggota masyarakat terhadap bencana lumpur Lapindo juga berbeda. Sistem klien atau dalam konsep King sebagai sistem personal ini mempunyai pengaruh yang besar dalam sistem interpersonal dan sistem sosial. Perubahan pada sistem personal tentu akan berpengaruh pada sistem interpersonal (dalam keluarga maupun kelompok) dan sistem sosial begitu pula sebaliknya. Perubahan ini dapat berupa hubungan antar anggota keluarga tidak harmonis, partisipasi dalam kegiatan sosial menurun dan pada akhirnya dukungan sosial dan modal sosial juga melemah Perubahan sistem sosial yang terjadi masyarakat korban Lumpur Lapindo juga tampak dari struktur dan peran-peran sosial yang sudah rusak atau melemah. Hancurnya infra struktur masyarakat dan sosial budaya akibat bencana lumpur Lapindo menjadikan interaksi antar sistem tidak dapat berlangsung dengan baik. Akses terhadap sarana pelayanan umum terganggu dan sirkulasi perekonomian masyarakat juga menurun. 154

30 155 Tujuan khusus 3: Harapan masyarakat korban untuk penyelasaian masalah bencana lumpur Lapindo di desa Pajarakan kecamatan Jabon kabupaten Sidoarjo Harapan masyarakat korban bencana lumpur Lapindo yang telah mengalami korban selama tiga tahun ini terutama ditujukan kepada pemerintah dan PT Lapindo. Harapan ini dijelaskan dalam satu tema yaitu tema 7 tentang harapan untuk penyelesaian masalah. Berikut ini penjelasan tema dan sub tema yang berkaitan dengan pencapaian tujuan khusus ketiga. 7. Harapan untuk penyelesaian masalah Bencana yang sudah berlangsung selama tiga tahun lebih ini menyebabkan berbagai perubahan baik perubahan fisik, psikis, sosial-budaya, dan spiritual, serta berbagai perubahan yang terkait dengan kepemilikan harta benda dan lingkungan. Masyarakat korban sangat berharap agar masalah yang mereka alami selama ini segera terselesaikan. Harapan besar itu ditujukan kepada pemerintah dan PT Lapindo Masyarakat korban lumpur Lapindo berharap kepada pemerintah agar bersikap tegas terhadap kebijakan yang sudah diputuskan sebagaimana yang tercantum dalam Perpres No 48 tahun Ketegasan pemerintah dalam menyelesaikan masalah yang dialami masyarakat korban Lapindo sangat penting. Masyarakat yakin apabila ada ketegasan dan upaya sungguh-sungguh dari pemerintah sisa ganti rugi tahap II (80%) pasti dapat segera dibayar. Sebaliknya, meskipun pemerintah sudah mengeluarkan Kepres namun bila realisasinya tidak jelas waktunya, maka masyarakat 155

31 156 merasa terombang-ambing dalam ketidakpastian, sementara proses kehidupan terus berlanjut dan membutuhkan biaya sedangkan penghasilan masyarakat tidak ada. Dengan demikian penderitaan masyarakat akan berlanjut lebih lama apabila sisa ganti rugi tahap II tidak segera dibayarkan. Harapan lain dari masyarakat korban kepada pemerintah adalah perlu adanya perhatian kepada anak-anak terutama mengenai perubahan psikologis yang terjadi pada anak. Bentuk perhatian pemerintah dapat berupa penyuluhan atau penanganan masalah psikis atau kejiwaan anak. Bahkan masyarakat menilai kurangnya perhatian pemerintah kepada anakanak korban Lapindo ini dapat dilihat dari tidak adanya kepedulian dari Komnas Anak, padahal kondisi anak-anak korban Lapindo juga mengalami masalah serius dalam bentuk trauma atau masalah psikis lainnya. Selain harapan diatas, masyarakat juga berharap kepada pemerintah tentang perlunya relokasi yang melibatkan semua warga masyarakat untuk tinggal bersama dalam satu lokasi. Harapan ini disampaikan karena umumnya masyarakat korban khawatir akan tempat tinggal yang akan mereka tempati. Kekhawatiran masyarakat ini cukup beralasan karena dengan pindah ditempat baru dapat menyebabkan rusaknya stabilitas kehidupan masyarakat yang cenderung melahirkan kondisi tidak normal, rasa tidak aman, dan rasa kehilangan identitas kultural. Hal lain yang menjadi kekhawatiran di ditempat baru nanti adalah hilangnya akses menuju fasilitas sosial dan fasilitas umum, kehilangan 156

32 157 kelompok dan jaringan sosial, bahkan terkena marjinalisasi sosial dalam lingkungan baru atau lingkungan sementara mereka tinggal. Hal ini berdampak lebih lanjut pada kesulitan akses terhadap pekerjaan, kesulitan pangan, bahkan kerentanan terhadap penyakit. (Mirdasy, 2007) Harapan masyarakat kepada pemerintah berbeda dengan harapan kepada PT Lapindo. Hasil penelitian menunjukkan, masyarakat berharap agar PT Lapindo melibatkan warga dalam proyek pembangunan tanggul sebagai bentuk kepedulian PT Lapindo terhadap nasib masyarakat korban. Harapan ini sangat realitis mengingat sebagian besar warga masyarakat dalam status pengangguran. PT Lapindo semestinya merespon harapan masyarakat tersebut, disamping tenaga mereka bisa dimanfaatkan, kebijakan tersebut juga dapat menolong sekaligus meredam gejolak masyarakat akibat ketidakmampuan memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Harapan masyarakat korban baik kepada pemerintah maupun kepada PT Lapindo merupakan bentuk pengakuan akan kelemahan atau ketidakmampuan pribadi dalam penyelesaian masalah diatas. Merujuk teorinya Roy, harapan masyarakat korban ini merupakan efektor yang dapat mempengaruhi proses internal manusia sebagai sub sistem adaptasi. Proses internal tersebut menurut Roy meliputi empat mode yaitu fungsi fisiologis dasar, konsep diri, peran dan interdependensi. Proses internal akan dapat berjalan dengan baik apabila harapan masyarakat korban untuk penyelesaian masalah ini dapat tercapai dan begitupula sebaliknya. 157

33 158 Tujuan khusus 4: Kebutuhan anggota masyarakat korban lumpur Lapindo terhadap pelayanan kesehatan di desa Pajarakan kecamatan Jabon kabupaten Sidoarjo Kebutuhan anggota masyarakat korban terhadap pelayanan kesehatan dijelaskan dalam dua tema, yaitu tema 8 tentang kebutuhan layanan kesehatan fisik, dan tema 9 tentang kebutuhan layanan kesehatan psikososial Berikut ini penjelasan tema dan sub tema yang berkaitan dengan pencapaian tujuan khusus keempat. 8. Kebutuhan masyarakat terhadap pelayanan kesehatan fisik Temuan penelitian ini menunjukkan kebutuhan masyarakat terhadap pelayanan kesehatan meliputi kebutuhan udara sehat, kebutuhan air sehat, dan kebutuhan tindakan medis. Kebutuhan udara sehat ini disebabkan karena luapan lumpur Lapindo begitu mengganggu warga. Menurut laporan WALHI (Wahana Lingkungan Hidup), lumpur Lapindo mengandung zat beracun yang mengakibatkan gangguan pernapasan, bahkan mengandung polycyclic aromatic hydrocarbons (PAH) kali lipat di atas ambang normal, bahkan ada yang lebih dari itu yang secara tidak langsung dapat menyebabkan penyakit kanker dan tumor. Pada angka di atas ambang normal saja, efek dari kontaminasi senyawa berbahaya tersebut akan terasa dalam waktu 5-10 tahun ( PAH termasuk senyawa organik yang berbahaya dan karsinogenik. Senyawa tersebut memang tidak secara langsung menyebabkan 158

34 159 terbentuknya tumor ataupun kanker. Tetapi, dalam sistem metabolisme tubuh, senyawa ini akan diubah menjadi senyawa alkylating dihydrodiol epoxides yang sangat reaktif dan sangat berpotensi menyebabkan timbulnya tumor dan resiko kanker. PAH juga bisa mengakibatkan kanker paru-paru, kanker kulit dan kanker kandung kemih ( Berhubungan dengan temuan penelitian diatas, dalam sebuah penelitian yang di lansir dalam The Lancet, Devin (1996) menjelaskan bahwa dua belas tahun setelah bencana gas Bhopal di India, sebanyak orang mengalami masalah pernafasan dan neuropsychiatric atau kecacatan yang disebabkan oleh efek jangka panjang gas bencana diatas. Laporan yang dirilis pada 9 Desember oleh Komisi Kedokteran International-Bhopal (IMCB) ini menyatakan bahwa 94% dari individu yang terkena masalah kesehatan umum, sebanyak 52% terpapar gas dan mengalami gejala pernafasan, seperti batuk produktif (81%) dan sesak nafas (38%). Frekuensi gejala pernafasan telah dilaporkan secara positif berkaitan dengan gas bencana. Sementara gejala neurological yaitu sakit kepala, gangguan keseimbangan, dan masalah dengan bau dan rasa. Sedangkan gejala gangguan jiwa seperti sindrom posttraumatic stres, lekas marah, kelelahan, kegelisahan dan depresi dilaporkan lebih sering di masyarakat terpapar gas. Maasalah kesehatan lain yang sering terjadi pada individu yang terpapar antara lain: hasil kehamilan yang tidak normal, masalah mata, dan pyrexia. 159

35 160 Selain masalah udara sehat, masyarakat korban bencana lumpur Lapindo juga mengungkapkan adanya kebutuhan air sehat. Masyarakat korban merasa kondisi air yang ada saat ini sudah tidak layak digunakan. Berdasarkan investigasi yang dilakukan Wahana Lingkungan Hidup (WALHI) Jawa Timur pada tanggal 31 Mei 2006 menemukan bahwa gas warna putih campur air yang terkandung dalam lumpur Lapindo merupakan zat kimia yang mengandung gas Hidrogen Sulfida (H2S), Amonia (NH2), Nitrit Nitrat, Timbal (Tb), dan Fenol (C6H5OH) serta mengandung merkuri yang kadarnya lebih dari 2,465 mg/lt yang semuanya itu beracun dan sangat berbahaya bagi manusia (Azhar, 2006). Udara dan air sehat merupakan kebutuhan dasar manusia yang secara langsung mempengaruhi kualitas dan kelangsungan hidup manusia sebagai mahluk hidup. Dengan demikian pemenuhan kebutuhan udara sehat dan air yang sehat ini merupakan kebutuhan fisiologis yang paling dasar, sehingga pemenuhan kebutuhan ini mestinya tidak dapat ditunda lagi karena akan berpengaruh langsung pada fisiologi tubuh manusia dan kelangsungan hidup manusia sebagai mahluk hidup. Sesuai teori konsep model sistem adaptasi Roy, kondisi tersebut sangat mengganggu masyarakat korban untuk memenuhi fungsi fisiologis dasar. Fungsi ini merupakan mode yang dapat mempengaruhi proses internal manusia dalam melakukan sistem adaptasi terhadap stimuli yang ada yaitu bencana lumpur Lapindo. Roy mengidentifikasi sembilan kebutuhan dasar fisiologis untuk mempertahankan integritas yang dibagi menjadi dua 160

BAB VI SIMPULAN DAN SARAN

BAB VI SIMPULAN DAN SARAN BAB VI SIMPULAN DAN SARAN A. SIMPULAN Dampak psikososial yang dialami oleh masyarakat korban bencana lumpur Lapindo di desa Pajarakan disimpulkan dengan mengacu pada tujuan khusus dan tema-tema yang ditemukan

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. atau rangkaian peristiwa yang mengancam dan mengganggu kehidupan dan

BAB 1 PENDAHULUAN. atau rangkaian peristiwa yang mengancam dan mengganggu kehidupan dan BAB 1 PENDAHULUAN 1. LATAR BELAKANG Bencana menurut Undang-Undang No.24 tahun 2007 adalah peristiwa atau rangkaian peristiwa yang mengancam dan mengganggu kehidupan dan penghidupan masyarakat yang disebabkan

Lebih terperinci

1. Bab II Landasan Teori

1. Bab II Landasan Teori 1. Bab II Landasan Teori 1.1. Teori Terkait 1.1.1. Definisi kecemasan Kecemasan atau dalam Bahasa Inggrisnya anxiety berasal dari Bahasa Latin angustus yang berarti kaku, dan ango, anci yang berarti mencekik.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. merupakan penyebab kematian urutan ke-3 di negara-negara maju setelah

BAB I PENDAHULUAN. merupakan penyebab kematian urutan ke-3 di negara-negara maju setelah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Stroke masih menjadi salah satu masalah kesehatan yang utama dan merupakan penyebab kematian urutan ke-3 di negara-negara maju setelah penyakit kardiovaskuler dan kanker.

Lebih terperinci

ASUHAN KEPERAWATAN PADA KLIEN ANSIETAS

ASUHAN KEPERAWATAN PADA KLIEN ANSIETAS ASUHAN KEPERAWATAN PADA KLIEN ANSIETAS I. PENGKAJIAN PASIEN ANSIETAS 1. DEFINISI Ansietas adalah suatu perasaan tidak santai yang samar-samar karena ketidaknyamanan atau rasa takut yang disertai suatu

Lebih terperinci

TIM CMHN BENCANA DAN INTERVENSI KRISIS

TIM CMHN BENCANA DAN INTERVENSI KRISIS TIM CMHN BENCANA DAN INTERVENSI KRISIS TUJUAN Memahami pengertian bencana dan krisis Memahami penyebab terjadinya bencana Mengidentifikasi proses terjadinya bencana Mengidentifikasi respons individu terhadap

Lebih terperinci

BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI. Dari uraian yang telah disampaikan dari Bab I sampai Bab IV, maka dapat

BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI. Dari uraian yang telah disampaikan dari Bab I sampai Bab IV, maka dapat BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI A. Kesimpulan Dari uraian yang telah disampaikan dari Bab I sampai Bab IV, maka dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut: 1. Begitu banyak anak-anak di Nanggroe Aceh Darussalam

Lebih terperinci

HUBUNGAN ANTARA TINGKAT DEPRESI DENGAN KEMANDIRIAN DALAM ACTIVITY of DAILY LIVING (ADL) PADA PASIEN DIABETES MELLITUS DI RSUD PANDAN ARANG BOYOLALI

HUBUNGAN ANTARA TINGKAT DEPRESI DENGAN KEMANDIRIAN DALAM ACTIVITY of DAILY LIVING (ADL) PADA PASIEN DIABETES MELLITUS DI RSUD PANDAN ARANG BOYOLALI HUBUNGAN ANTARA TINGKAT DEPRESI DENGAN KEMANDIRIAN DALAM ACTIVITY of DAILY LIVING (ADL) PADA PASIEN DIABETES MELLITUS DI RSUD PANDAN ARANG BOYOLALI SKRIPSI Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Persyaratan

Lebih terperinci

SINOPSIS THESIS FENOMENA MASYARAKAT MENGATASI MASALAH DAN DAYA TAHAN DALAM MENGHADAPI STRESS. Oleh: Nia Agustiningsih

SINOPSIS THESIS FENOMENA MASYARAKAT MENGATASI MASALAH DAN DAYA TAHAN DALAM MENGHADAPI STRESS. Oleh: Nia Agustiningsih SINOPSIS THESIS FENOMENA MASYARAKAT MENGATASI MASALAH DAN DAYA TAHAN DALAM MENGHADAPI STRESS Oleh: Nia Agustiningsih BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG Berbagai masalah ekonomi yang terjadi menjadi salah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. menyesuaikan diri yang mengakibatkan orang menjadi tidak memiliki. suatu kesanggupan (Sunaryo, 2007).Menurut data Badan Kesehatan

BAB I PENDAHULUAN. menyesuaikan diri yang mengakibatkan orang menjadi tidak memiliki. suatu kesanggupan (Sunaryo, 2007).Menurut data Badan Kesehatan BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Menurut Chaplin,gangguan jiwa adalah ketidakmampuan menyesuaikan diri yang mengakibatkan orang menjadi tidak memiliki suatu kesanggupan (Sunaryo, 2007).Menurut data

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Remaja merupakan masa transisi dari anak-anak menuju dewasa yang menghadapi

BAB 1 PENDAHULUAN. Remaja merupakan masa transisi dari anak-anak menuju dewasa yang menghadapi BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Remaja merupakan masa transisi dari anak-anak menuju dewasa yang menghadapi perubahan pertumbuhan dan perkembangan. Masa remaja mengalami perubahan meliputi perubahan

Lebih terperinci

A. Pengertian Defisit Perawatan Diri B. Klasifikasi Defisit Perawatan Diri C. Etiologi Defisit Perawatan Diri

A. Pengertian Defisit Perawatan Diri B. Klasifikasi Defisit Perawatan Diri C. Etiologi Defisit Perawatan Diri A. Pengertian Defisit Perawatan Diri Kurang perawatan diri adalah gangguan kemampuan untuk melakukan aktifitas perawatan diri (mandi, berhias, makan, toileting) (Maslim, 2001). Kurang perawatan diri adalah

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN TEORI

BAB II TINJAUAN TEORI BAB II TINJAUAN TEORI A. Pengertian Bunuh diri adalah tindakan agresif yang merusak diri sendiri dan dapat mengakhiri kehidupan. Bunuh diri merupakan keputusan terakhir dari individu untuk memecahkan masalah

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. 1. Latar belakang. Penyakit tidak menular (PTM) seperti penyakit jantung, stroke, kanker,

BAB 1 PENDAHULUAN. 1. Latar belakang. Penyakit tidak menular (PTM) seperti penyakit jantung, stroke, kanker, BAB 1 PENDAHULUAN 1. Latar belakang Penyakit tidak menular (PTM) seperti penyakit jantung, stroke, kanker, diabetes melitus, cedera dan penyakit paru obstruktif kronik serta penyakit kronik lainnya merupakan

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Pada pasien kanker amputasi dilakukan sebagai prosedur menyelamatkan jiwa

BAB 1 PENDAHULUAN. Pada pasien kanker amputasi dilakukan sebagai prosedur menyelamatkan jiwa BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Amputasi adalah menghilangkan satu atau lebih bagian tubuh dan belum pernah terjadi sebelumnya yang bisa sebabkan oleh malapetaka atau bencana alam seperti kecelakaan,

Lebih terperinci

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN BAB V KESIMPULAN DAN SARAN A. KESIMPULAN 1. Dampak skizofrenia bagi keluarga sangatlah besar, ini menyebabkan seluruh keluarga ikut merasakan penderitaan tersebut. Jika keluarga tidak siap dengan hal ini,

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Mengenang kembali peristiwa erupsi Gunung Merapi hampir dua tahun lalu

BAB 1 PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Mengenang kembali peristiwa erupsi Gunung Merapi hampir dua tahun lalu 9 BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Mengenang kembali peristiwa erupsi Gunung Merapi hampir dua tahun lalu masih menyisakan pilu bagi banyak pihak, terutama bagi orang yang terkena dampak langsung

Lebih terperinci

RESILIENSI PADA PENYINTAS PASCA ERUPSI MERAPI. Naskah Publikasi. Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan dalam Mencapai Derajat Sarjana-S1

RESILIENSI PADA PENYINTAS PASCA ERUPSI MERAPI. Naskah Publikasi. Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan dalam Mencapai Derajat Sarjana-S1 RESILIENSI PADA PENYINTAS PASCA ERUPSI MERAPI Naskah Publikasi Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan dalam Mencapai Derajat Sarjana-S1 Diajukan oleh: ARYA GUMILANG PUTRA PRATHAMA F.100090190 FAKULTAS PSIKOLOGI

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Pada era globalisasi seperti sekarang ini, manusia dan pekerjaan merupakan dua sisi yang saling berkaitan dan tidak bisa dilepaskan; keduanya saling mempengaruhi

Lebih terperinci

PERSOALAN DEPRESI PADA REMAJA

PERSOALAN DEPRESI PADA REMAJA Artikel PERSOALAN DEPRESI PADA REMAJA Mardiya Depresi merupakan penyakit yang cukup mengganggu kehidupan. Saat ini diperkirakan ratusan juta jiwa penduduk di dunia menderita depresi. Depresi dapat terjadi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Kasus gangguan jiwa berat mendapatkan perhatian besar di berbagai negara. Beberapa

BAB I PENDAHULUAN. Kasus gangguan jiwa berat mendapatkan perhatian besar di berbagai negara. Beberapa BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kasus gangguan jiwa berat mendapatkan perhatian besar di berbagai negara. Beberapa peneliti melaporkan kasus gangguan jiwa terbesar adalah skizofrenia. Menurut capai

Lebih terperinci

ABSTRAK. Kata Kunci: Manajemen halusinasi, kemampuan mengontrol halusinasi, puskesmas gangguan jiwa

ABSTRAK. Kata Kunci: Manajemen halusinasi, kemampuan mengontrol halusinasi, puskesmas gangguan jiwa ABSTRAK Halusinasi adalah gangguan jiwa pada individu yang dapat ditandai dengan perubahan persepsi sensori, dengan merasakan sensasi yang tidak nyata berupa suara, penglihatan, perabaan, pengecapan dan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. keadaan sempurna baik fisik, mental dan sosial tidak hanya bebas dari. kesehatan dan Keadaan Sejahtera Badan, Jiwa dan Sosial yang

BAB I PENDAHULUAN. keadaan sempurna baik fisik, mental dan sosial tidak hanya bebas dari. kesehatan dan Keadaan Sejahtera Badan, Jiwa dan Sosial yang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Menurut World Health Organization (WHO) kesehatan adalah keadaan sempurna baik fisik, mental dan sosial tidak hanya bebas dari penyakit dan cacat, juga dapat diukur

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. perkembangan motorik, verbal, dan ketrampilan sosial secara. terhadap kebersihan dan kesehatan.

BAB I PENDAHULUAN. perkembangan motorik, verbal, dan ketrampilan sosial secara. terhadap kebersihan dan kesehatan. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Anak adalah individu yang mengalami tumbuh kembang, mempunyai kebutuhan biologis, psikologis dan spiritual yang harus dipenuhi. Anak memiliki suatu ciri yang khas yaitu

Lebih terperinci

ASUHAN KEPERAWATAN KEHILANGAN DAN BERDUKA

ASUHAN KEPERAWATAN KEHILANGAN DAN BERDUKA ASUHAN KEPERAWATAN KEHILANGAN DAN BERDUKA Sepanjang daur kehidupan tidak terlepas dari situasi yang dapat mempengaruhi respon emosi individu. Salah satu situasi yang mempengaruhi emosi individu adalah

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN TEORI. dengan orang lain (Keliat, 2011).Adapun kerusakan interaksi sosial

BAB II TINJAUAN TEORI. dengan orang lain (Keliat, 2011).Adapun kerusakan interaksi sosial BAB II TINJAUAN TEORI A. KONSEP DASAR 1. Pengertian Isolasi sosial adalah keadaan dimana seseorang individu mengalami penurunan atau bahkan sama sekali tidak mampu berinteraksi dengan orang lain disekitarnya.

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pengertian Rasa Takut dan Cemas Rasa takut dapat disebabkan oleh faktor-faktor seperti objek internal dan hal yang tidak disadari. Menurut Darwin kata takut (fear) berarti hal

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. perilaku, komunikasi dan interaksi sosial (Mardiyono, 2010). Autisme adalah

BAB I PENDAHULUAN. perilaku, komunikasi dan interaksi sosial (Mardiyono, 2010). Autisme adalah BAB I PENDAHULUAN Bab ini menggambarkan tentang latar belakang masalah, perumusan penelitian, tujuan umum dan tujuan khusus penelitian serta manfaat yang diperoleh dari penelitian ini. 1.1 Latar Belakang

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN TEORI. (dalam Setiadi, 2008).Menurut Friedman (2010) keluarga adalah. yang mana antara yang satu dengan yang lain

BAB II TINJAUAN TEORI. (dalam Setiadi, 2008).Menurut Friedman (2010) keluarga adalah. yang mana antara yang satu dengan yang lain BAB II TINJAUAN TEORI 2.1 Keluarga 2.1.1 Pengertian Menurut UU No.10 tahun 1992 keluarga adalah unit terkecil dari masyarakat yang terdiri dari suami, istri, atau suami istri dan anaknya atau ayah dan

Lebih terperinci

GRAND THEORY BETTY NEUMAN. KLP II Ayu Lestari Rasdin Suarni Tutik Agustini Mardin Paridah Lairing Andan Firmansyah

GRAND THEORY BETTY NEUMAN. KLP II Ayu Lestari Rasdin Suarni Tutik Agustini Mardin Paridah Lairing Andan Firmansyah GRAND THEORY BETTY NEUMAN KLP II Ayu Lestari Rasdin Suarni Tutik Agustini Mardin Paridah Lairing Andan Firmansyah Grand teori Grand teori adalah struktur konseptual model keperawatan yang hampir abstrak,

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. penurunan kondisi fisik, mereka juga harus menghadapi masalah psikologis.

BAB 1 PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. penurunan kondisi fisik, mereka juga harus menghadapi masalah psikologis. BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Lanjut usia merupakan suatu proses berkelanjutan dalam kehidupan yang ditandai dengan berbagai perubahan ke arah penurunan. Problematika yang harus dihadapi

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN TEORI. Kecemasan adalah respon emosional terhadap penilaian yang

BAB II TINJAUAN TEORI. Kecemasan adalah respon emosional terhadap penilaian yang BAB II TINJAUAN TEORI A. Kecemasan 1. Definisi Kecemasan Kecemasan adalah respon emosional terhadap penilaian yang menggambarkan keadaan khawatir, gelisah, takut, tidak tentram disertai berbagai keluhan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. ketersediaan sumber dukungan yang berperan sebagai penahan gejala dan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. ketersediaan sumber dukungan yang berperan sebagai penahan gejala dan BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Persepsi Dukungan Sosial 2.1.1 Definisi Persepsi dukungan sosial adalah cara individu menafsirkan ketersediaan sumber dukungan yang berperan sebagai penahan gejala dan peristiwa

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pelayanan promotif dan preventif baik sehat maupun sakit.

BAB I PENDAHULUAN. pelayanan promotif dan preventif baik sehat maupun sakit. BAB I PENDAHULUAN Pada bab ini akan diuraikan latar belakang, rumusan masalah, tujuan penelitian, hipotesis penelitian, manfaat penelitian. A. Latar Belakang Pelayanan kesehatan masyarakat merupakan upaya

Lebih terperinci

Adhyatman Prabowo, M.Psi

Adhyatman Prabowo, M.Psi Adhyatman Prabowo, M.Psi SOLO,2011 KOMPAS.com Beberapa korban bom bunuh diri yang terjadi di Gereja Bethel Injil Sepenuh (GBIS) Kepunton, Solo, mengaku masih mengalami trauma. Korban masih merasa takut

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. perpecahan antara pemikiran, emosi dan perilaku. Stuart, (2013) mengatakan

BAB I PENDAHULUAN. perpecahan antara pemikiran, emosi dan perilaku. Stuart, (2013) mengatakan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Skizofrenia merupakan gangguan kesehatan serius yang perlu mendapatkan perhatian dari keluarga. Townsend (2014), mengatakan skizofrenia yaitu terjadi perpecahan antara

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Masa dewasa awal adalah masa peralihan dari masa remaja menuju masa

BAB I PENDAHULUAN. Masa dewasa awal adalah masa peralihan dari masa remaja menuju masa BAB I PENDAHULUAN I. A. Latar Belakang Masalah Masa dewasa awal adalah masa peralihan dari masa remaja menuju masa dewasa. Menurut Hurlock (1999), masa dewasa awal dimulai pada umur 18 40 tahun, saat perubahan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dapat berupaya untuk menghambat kejadiannya. Ada tiga aspek yang perlu

BAB I PENDAHULUAN. dapat berupaya untuk menghambat kejadiannya. Ada tiga aspek yang perlu BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Usia lanjut adalah suatu kejadian yang pasti akan dialami oleh semua orang yang dikaruniai usia panjang, terjadinya tidak bisa dihindari oleh siapapun, namun

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. keadaan tanpa penyakit atau kelemahan (Riyadi & Purwanto, 2009). Hal ini

BAB I PENDAHULUAN. keadaan tanpa penyakit atau kelemahan (Riyadi & Purwanto, 2009). Hal ini 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kesehatan adalah keadaan sehat fisik, mental dan sosial, bukan semata-mata keadaan tanpa penyakit atau kelemahan (Riyadi & Purwanto, 2009). Hal ini berarti seseorang

Lebih terperinci

BAB IV ANALISIS PROBLEM PSIKOLOGIS PASIEN PRA DAN PASCA MELAHIRKAN DAN PELAKSANAAN BIMBINGAN ROHANI ISLAM

BAB IV ANALISIS PROBLEM PSIKOLOGIS PASIEN PRA DAN PASCA MELAHIRKAN DAN PELAKSANAAN BIMBINGAN ROHANI ISLAM BAB IV ANALISIS PROBLEM PSIKOLOGIS PASIEN PRA DAN PASCA MELAHIRKAN DAN PELAKSANAAN BIMBINGAN ROHANI ISLAM BAGI PASIEN PRA DAN PASCA MELAHIRKAN DI RSI SULTAN AGUNG SEMARANG Fisik dan psikis adalah satu

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Departemen Kesehatan (1988, dalam Effendy 1998)

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Departemen Kesehatan (1988, dalam Effendy 1998) BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Konsep Dukungan Keluarga 1. Pengertian Keluarga Menurut Departemen Kesehatan (1988, dalam Effendy 1998) Keluarga adalah unit terkecil dari masyarakat yang terdiri dari kepala

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN KEPUSTAKAAN. respon psikososial (tekanan mental atau beban kehidupan). Sedang kan menurut

BAB 2 TINJAUAN KEPUSTAKAAN. respon psikososial (tekanan mental atau beban kehidupan). Sedang kan menurut BAB 2 TINJAUAN KEPUSTAKAAN 2.1 Konsep Stres 2.1.1 Pengertian Menurut Hawari (2001), stres adalah reaksi atau respon tubuh terhadap respon psikososial (tekanan mental atau beban kehidupan). Sedang kan menurut

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat. Di era sekarang perceraian seolah-olah menjadi. langsung oleh Direktorat Jenderal Badan Peradilan Agama Mahkamah

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat. Di era sekarang perceraian seolah-olah menjadi. langsung oleh Direktorat Jenderal Badan Peradilan Agama Mahkamah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Perceraian merupakan kata yang umum dan tidak asing lagi di telinga masyarakat. Di era sekarang perceraian seolah-olah menjadi trend, karena untuk menemukan informasi

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pada masa sekarang ini depresi menjadi jenis gangguan jiwa yang paling sering dialami oleh masyarakat (Lubis, 2009). Depresi adalah suatu pengalaman yang menyakitkan

Lebih terperinci

KONSEP HOLISTIK DALAM KEPERAWATAN MELALUI PENDEKATAN MODEL ADAPTASI SISTER CALLISTA ROY

KONSEP HOLISTIK DALAM KEPERAWATAN MELALUI PENDEKATAN MODEL ADAPTASI SISTER CALLISTA ROY TINJAUAN PUSTAKA KONSEP HOLISTIK DALAM KEPERAWATAN MELALUI PENDEKATAN MODEL ADAPTASI SISTER CALLISTA ROY Salbiah* ABSTRAK Holistik merupakan salah satu konsep yang mendasari tindakan keperawatan yang meliputi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Sejak tahun 2004, bencana demi bencana menimpa bangsa Indonesia. Mulai

BAB I PENDAHULUAN. Sejak tahun 2004, bencana demi bencana menimpa bangsa Indonesia. Mulai 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Sejak tahun 2004, bencana demi bencana menimpa bangsa Indonesia. Mulai dari gempa bumi berkekuatan 8.9 SR diikuti tsunami pada tanggal 26 Desember 2004 silam

Lebih terperinci

BERDUKA DAN KEHILANGAN. Niken Andalasari

BERDUKA DAN KEHILANGAN. Niken Andalasari BERDUKA DAN KEHILANGAN Niken Andalasari DEFENISI KEHILANGAN adalah kenyataan/situasi yang mungkin terjadi dimana sesuatu yang dihadapi, dinilai terjadi perubahan, tidak lagi memungkinkan ada atau pergi/hilang.

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian Halusinasi adalah gangguan terganggunya persepsi sensori seseorang,dimana tidak terdapat stimulus. Pasien merasakan stimulus yang sebetulnya tidak ada. Pasien merasa

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. bernilai, penting, penerus bangsa. Pada kenyataannya, tatanan dunia dan perilaku

BAB I PENDAHULUAN. bernilai, penting, penerus bangsa. Pada kenyataannya, tatanan dunia dan perilaku BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Realitas keadaan anak di muka peta dunia ini masih belum menggembirakan. Nasib mereka belum seindah ungkapan verbal yang kerap kali memposisikan anak bernilai,

Lebih terperinci

Konsep diri, KDK, Sal

Konsep diri, KDK, Sal KONSEP DIRI S A L B I A H, S K p Program Studi Ilmu Keperawatan Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara PENDAHULUAN Konsep diri sangat erat kaitannya dengan diri individu. Kehidupan yang sehat,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. riskan pada perkembangan kepribadian yang menyangkut moral,

BAB I PENDAHULUAN. riskan pada perkembangan kepribadian yang menyangkut moral, BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Anak usia sekolah mempunyai berbagai resiko yang lebih mengarah pada kecerdasan, moral, kawasan sosial dan emosional, fungsi kebahasaan dan adaptasi sosial.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. mengatasi tantangan hidup, dapat menerima orang lain apa adanya dan

BAB I PENDAHULUAN. mengatasi tantangan hidup, dapat menerima orang lain apa adanya dan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kesehatan jiwa merupakan perasaan sehat dan berbahagia mampu mengatasi tantangan hidup, dapat menerima orang lain apa adanya dan mempunyai sikap positif terhadap diri

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Seseorang mulai memasuki tahap lanjut usia dimulai saat memasuki usia 60

BAB I PENDAHULUAN. Seseorang mulai memasuki tahap lanjut usia dimulai saat memasuki usia 60 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Penuaan merupakan tahap akhir siklus kehidupan dari perkembangan normal yang akan dialami individu dan tidak dapat dihindari (Sutikno, 2011). Seseorang mulai

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Penyakit systemic lupus erythematosus (SLE) atau yang biasa dikenal dengan lupus merupakan penyakit kronis yang kurang populer di masyarakat Indonesia dibandingkan

Lebih terperinci

PENELITIAN PENGARUH TERAPI MUSIK RELIGI TERHADAP TINGKAT KECEMASAN PASIEN PRE OPERASI DI RUANG BEDAH RSUP. DR. M. DJAMIL PADANG TAHUN 2012

PENELITIAN PENGARUH TERAPI MUSIK RELIGI TERHADAP TINGKAT KECEMASAN PASIEN PRE OPERASI DI RUANG BEDAH RSUP. DR. M. DJAMIL PADANG TAHUN 2012 PENELITIAN PENGARUH TERAPI MUSIK RELIGI TERHADAP TINGKAT KECEMASAN PASIEN PRE OPERASI DI RUANG BEDAH RSUP. DR. M. DJAMIL PADANG TAHUN 2012 Penelitian Keperawatan Jiwa SITI FATIMAH ZUCHRA BP. 1010324031

Lebih terperinci

PROSES TERJADINYA MASALAH

PROSES TERJADINYA MASALAH PROSES TERJADINYA MASALAH ` PREDISPOSISI PRESIPITASI BIOLOGIS GABA pada sistem limbik: Neurotransmiter inhibitor Norepineprin pada locus cereleus Serotonin PERILAKU Frustasi yang disebabkan karena kegagalan

Lebih terperinci

OLEH : Letkol Laut ( K/W) Drg. R Bonasari L Tobing, M.Si INTERVENSI PSIKOSOSIAL PADA BENCANA

OLEH : Letkol Laut ( K/W) Drg. R Bonasari L Tobing, M.Si INTERVENSI PSIKOSOSIAL PADA BENCANA OLEH : Letkol Laut ( K/W) Drg. R Bonasari L Tobing, M.Si INTERVENSI PSIKOSOSIAL PADA BENCANA Letkol Laut (K/W) drg. R. Bonasari L.T, M.Si Dikum Terakhir : Magister Sains Psikologi UI Jakarta Dikmil Terakhir

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. diberikan dibutuhkan sikap menerima apapun baik kelebihan maupun kekurangan

BAB I PENDAHULUAN. diberikan dibutuhkan sikap menerima apapun baik kelebihan maupun kekurangan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penerimaan diri dibutuhkan oleh setiap individu untuk mencapai keharmonisan hidup, karena pada dasarnya tidak ada manusia yang diciptakan oleh Allah SWT tanpa kekurangan.

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI

BAB II LANDASAN TEORI BAB II LANDASAN TEORI 2.1 Self Efficacy 2.1.1 Pengertian Self Efficacy Self efficacy berasal dari teori Bandura (1997) yaitu teori kognisi belajar sosial. Teori kognisi belajar sosial mengacu pada kemampuan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Gagal ginjal kronis atau penyakit renal tahap akhir adalah gangguan pada

BAB I PENDAHULUAN. Gagal ginjal kronis atau penyakit renal tahap akhir adalah gangguan pada BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Gagal ginjal kronis atau penyakit renal tahap akhir adalah gangguan pada fungsi ginjal, dimana tubuh tidak mampu untuk mempertahankan metabolisme dan keseimbangan cairan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. akibat adanya kepribadian yang tidak fleksibel menimbulkan perilaku

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. akibat adanya kepribadian yang tidak fleksibel menimbulkan perilaku BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. PENGERTIAN Isolasi sosial merupakan suatu gangguan interpersonal yang terjadi akibat adanya kepribadian yang tidak fleksibel menimbulkan perilaku maladaptif dan mengganggu fungsi

Lebih terperinci

LAPORAN PENDAHULUAN (LP) ISOLASI SOSIAL

LAPORAN PENDAHULUAN (LP) ISOLASI SOSIAL LAPORAN PENDAHULUAN (LP) ISOLASI SOSIAL A. Pengertian Isolasi social adalah keadaan dimana individu atau kelompok mengalami atau merasakan kebutuhan atau keinginan untuk meningkatkan keterlibatan dengan

Lebih terperinci

BAB I 1.1 Latar Belakang

BAB I 1.1 Latar Belakang BAB I 1.1 Latar Belakang Gangguan jiwa yaitu suatu sindrom atau pola perilaku yang secara klinis bermakna yang berhubungan dengan distres atau penderitaan dan menimbulkan gangguan pada satu atau lebih

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dan kapan saja, yang dapat menimbulkan kerugian materiel dan imateriel bagi

BAB I PENDAHULUAN. dan kapan saja, yang dapat menimbulkan kerugian materiel dan imateriel bagi BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia secara geografis terletak di wilayah yang rawan bencana. Bencana alam sebagai peristiwa alam dapat terjadi setiap saat, di mana saja, dan kapan saja,

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Gangguan jiwa merupakan suatu penyakit yang disebabkan karena adanya

BAB 1 PENDAHULUAN. Gangguan jiwa merupakan suatu penyakit yang disebabkan karena adanya BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Gangguan jiwa merupakan suatu penyakit yang disebabkan karena adanya kekacauan pikiran, persepsi dan tingkah laku di mana individu tidak mampu menyesuaikan diri dengan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dan kestabilan emosional. Upaya kesehatan jiwa dapat dilakukan. pekerjaan, & lingkungan masyarakat (Videbeck, 2008).

BAB I PENDAHULUAN. dan kestabilan emosional. Upaya kesehatan jiwa dapat dilakukan. pekerjaan, & lingkungan masyarakat (Videbeck, 2008). BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kesehatan jiwa merupakan suatu kondisi sehat emosional, psikologi, dan sosial, yang terlihat dari hubungan interpersonal yang memuaskan, perilaku dan koping

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. memiliki prioritas tertinggi dalam hirarki Maslow. Dimana seseorang memiliki

BAB I PENDAHULUAN. memiliki prioritas tertinggi dalam hirarki Maslow. Dimana seseorang memiliki 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Tidur merupakan aktivitas yang dilakukan setiap hari dan juga salah stau kebutuhan dasar manusia yang harus dipenuhi. Menurut Teori Hirarki Maslow tentang kebutuhan,

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA Kecemasan Menghadapi Kematian Pada Lansia Pengertian kecemasan Menghadapi Kematian

BAB II TINJAUAN PUSTAKA Kecemasan Menghadapi Kematian Pada Lansia Pengertian kecemasan Menghadapi Kematian BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Kecemasan Menghadapi Kematian Pada Lansia 2.1.1. Pengertian kecemasan Menghadapi Kematian Kecemasan menghadapi kematian (Thanatophobia) mengacu pada rasa takut dan kekhawatiran

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. lansia. Semua individu mengikuti pola perkemban gan dengan pasti. Setiap masa

BAB I PENDAHULUAN. lansia. Semua individu mengikuti pola perkemban gan dengan pasti. Setiap masa BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Setiap individu atau Manusia dalam hidupnya mengalami perkembangan dalam serangkaian periode yang berurutan, mulai dari periode prenatal hingga lansia. Semua

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORITIS. reaksi fisik yang disebabkan karena persepsi seseorang terhadap kehilangan (loss).

BAB II LANDASAN TEORITIS. reaksi fisik yang disebabkan karena persepsi seseorang terhadap kehilangan (loss). BAB II LANDASAN TEORITIS A. GRIEF 1. Definisi Grief Menurut Rando (1984), grief merupakan proses psikologis, sosial, dan reaksi fisik yang disebabkan karena persepsi seseorang terhadap kehilangan (loss).

Lebih terperinci

Suryo Dharmono Bag. Psikiatri FKUI/RSCM

Suryo Dharmono Bag. Psikiatri FKUI/RSCM Suryo Dharmono Bag. Psikiatri FKUI/RSCM Istilah kekerasan dalam rumah tangga ( KDRT ) dalam tulisan ini merujuk pada segala bentuk kekerasan berbasis gender yang terjadi dalam konteks kehidupan berkeluarga.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Sakit merupakan keadaan dimana terjadi suatu proses penyakit dan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Sakit merupakan keadaan dimana terjadi suatu proses penyakit dan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sakit merupakan keadaan dimana terjadi suatu proses penyakit dan keadaan dimana fungsi fisik, emosional, intelektual, sosial dan perkembangan atau spiritual seseorang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang dilakukan di RS Islam Surakarta, pada tahun 2013 pasien kanker

BAB I PENDAHULUAN. yang dilakukan di RS Islam Surakarta, pada tahun 2013 pasien kanker 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penyakit kanker paru merupakan penyakit yang memiliki tingkat morbiditas yang tinggi hampir di seluruh dunia. Kasus kanker paru pada tahun 2010 menurut National Cancer

Lebih terperinci

Kepekaan Reaksi berduka Supresi emosi Penundaan Putus asa

Kepekaan Reaksi berduka Supresi emosi Penundaan Putus asa Keputusasaan (Hopelessness) Pengertian Keputusasaan merupakan keadaan subjektif seorang individu yang melihat keterbatasan atau tidak adanya alternative atau pilihan pribadi yang tersedia dan tidak dapat

Lebih terperinci

TERAPI MODALITAS DALAM KEPERAWATAN JIWA

TERAPI MODALITAS DALAM KEPERAWATAN JIWA TERAPI MODALITAS DALAM KEPERAWATAN JIWA TERAPI MODALITAS DALAM KEPERAWATAN JIWA Pendahuluan Gangguan jiwa atau penyakit jiwa merupakan penyakit dengan multi kausal, suatu penyakit dengan berbagai penyebab

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Struktur penduduk dunia saat ini menuju proses penuaan yang ditandai dengan

BAB I PENDAHULUAN. Struktur penduduk dunia saat ini menuju proses penuaan yang ditandai dengan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Struktur penduduk dunia saat ini menuju proses penuaan yang ditandai dengan meningkatnya jumlah proporsi penduduk lanjut usia (lansia). Proyeksi dan data-data

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. lain dan kelak dapat hidup secara mandiri merupakan keinginan setiap orangtua

BAB I PENDAHULUAN. lain dan kelak dapat hidup secara mandiri merupakan keinginan setiap orangtua 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Anak yang tumbuh dan berkembang sehat sebagaimana anak pada umumnya memiliki kecerdasan, perilaku yang baik, serta dapat bersosialisasi dengan orang lain dan kelak

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Lanjut usia merupakan suatu anugerah. Menjadi tua, dengan segenap

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Lanjut usia merupakan suatu anugerah. Menjadi tua, dengan segenap BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Lanjut usia merupakan suatu anugerah. Menjadi tua, dengan segenap keterbatasannya akan dialami oleh seseorang bila berumur panjang. Di Indonesia istilah untuk

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. terakhir ini diketahui bahwa terdapatnya kecendrungan masyarakat Indonesia

BAB I PENDAHULUAN. terakhir ini diketahui bahwa terdapatnya kecendrungan masyarakat Indonesia BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Seiring dengan semakin pedulinya masyarakat terhadap kesehatannya, semakin tinggi pula tuntutan masyarakat atas mutu pelayanan kesehatan yang diberikan oleh pihak Rumah

Lebih terperinci

Perilaku Koping pada Penyandang Epilepsi

Perilaku Koping pada Penyandang Epilepsi Perilaku Koping pada Penyandang Epilepsi SKRIPSI Untuk memenuhi sebagian persyaratan dalam mencapai derajat sarjana S-1 Oleh Nadiarani Anindita F 100 050 050 FAKULTAS PSIKOLOGI UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH

Lebih terperinci

KESEJAHTERAAN SUBJEKTIF PADA PENYANDANG KANKER PAYUDARA

KESEJAHTERAAN SUBJEKTIF PADA PENYANDANG KANKER PAYUDARA KESEJAHTERAAN SUBJEKTIF PADA PENYANDANG KANKER PAYUDARA SKRIPSI Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan Dalam Mencapai Derajat Sarjana (S-1) Psikologi Diajukan oleh : Yustina Permanawati F 100 050 056 FAKULTAS

Lebih terperinci

BAB II KONSEP DASAR. Harga diri adalah penilaian individu tentang nilai personal yang diperoleh dengan

BAB II KONSEP DASAR. Harga diri adalah penilaian individu tentang nilai personal yang diperoleh dengan BAB II KONSEP DASAR A. Pengertian Harga diri adalah penilaian individu tentang nilai personal yang diperoleh dengan menganalisis seberapa sesuai perilaku dirinya dengan ideal diri. ( Yosep, 2007 ). Harga

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Tesis ini mengkaji tentang perilaku keluarga dalam penanganan penderita

BAB I PENDAHULUAN. Tesis ini mengkaji tentang perilaku keluarga dalam penanganan penderita BAB I PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang Tesis ini mengkaji tentang perilaku keluarga dalam penanganan penderita gangguan jiwa (skizofrenia). Sampai saat ini penanganan penderita gangguan jiwa masih sangat

Lebih terperinci

ASUHAN KEPERAWATAN PADA Nn. L DENGAN GANGGUAN KONSEP DIRI: HARGA DIRI RENDAH DI RUANG SRIKANDI RUMAH SAKIT JIWA DAERAH SURAKARTA

ASUHAN KEPERAWATAN PADA Nn. L DENGAN GANGGUAN KONSEP DIRI: HARGA DIRI RENDAH DI RUANG SRIKANDI RUMAH SAKIT JIWA DAERAH SURAKARTA ASUHAN KEPERAWATAN PADA Nn. L DENGAN GANGGUAN KONSEP DIRI: HARGA DIRI RENDAH DI RUANG SRIKANDI RUMAH SAKIT JIWA DAERAH SURAKARTA KARYA TULIS ILMIAH Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat Mendapatkan Gelar

Lebih terperinci

Implementasi PFA pada Anak dan Remaja di Satuan Pendidikan

Implementasi PFA pada Anak dan Remaja di Satuan Pendidikan Implementasi PFA pada Anak dan Remaja di Satuan Pendidikan Yogyakarta, 11 Februari 2017 Wahyu Cahyono hanyasatukata@yahoo.com Pusat Krisis Fakultas Psikologi UI Diskusi Jika kita mengalami situasi sulit

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. permasalahan, persoalan-persoalan dalam kehidupan ini akan selalu. pula menurut Siswanto (2007; 47), kurangnya kedewasaan dan

BAB I PENDAHULUAN. permasalahan, persoalan-persoalan dalam kehidupan ini akan selalu. pula menurut Siswanto (2007; 47), kurangnya kedewasaan dan 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Manusia hidup selalu dipenuhi oleh kebutuhan dan keinginan. Seringkali kebutuhan dan keinginan tersebut tidak dapat terpenuhi dengan segera. Selain itu

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. gagal bisa juga berakibat buruk. Hal ini sangat tergantung kapan, bagaimana,

BAB I PENDAHULUAN. gagal bisa juga berakibat buruk. Hal ini sangat tergantung kapan, bagaimana, BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Dalam segala proses kehidupan komunikasi merupakan hal paling pokok. HAM (Hubungan Antar Manusia) bisa terjadi tidak lain karena adanya sistem komunikasi. Berbagai

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. sehat jasmani dan rohani. Namun pada kenyataannya tidak semua anak lahir

BAB I PENDAHULUAN. sehat jasmani dan rohani. Namun pada kenyataannya tidak semua anak lahir BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Setiap orang tua mempunyai harapan untuk memiliki anak yang normal, sehat jasmani dan rohani. Namun pada kenyataannya tidak semua anak lahir dengan kondisi fisik dan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. Manusia adalah mahkluk biologis, psikologis, sosial,

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. Manusia adalah mahkluk biologis, psikologis, sosial, BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Manusia adalah mahkluk biologis, psikologis, sosial, kultural, dan spiritual yang utuh dan unik, artinya yang merupakan satu kesatuan yang utuh dari aspek

Lebih terperinci

2015 GAMBARAN KEJADIAN POSTPARTUM BLUES PADA IBU NIFAS BERDASARKAN KARAKTERISTIK DI RUMAH SAKIT UMUM TINGKAT IV SARININGSIH KOTA BANDUNG

2015 GAMBARAN KEJADIAN POSTPARTUM BLUES PADA IBU NIFAS BERDASARKAN KARAKTERISTIK DI RUMAH SAKIT UMUM TINGKAT IV SARININGSIH KOTA BANDUNG BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Melahirkan adalah sebuah karunia terbesar bagi wanita dan momen yang sangat membahagiakan, tapi ada beberapa kasus dapat menjadi momen yang menakutkan hal

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. mengindikasikan bahwa jumlah penduduk lanjut usia (lansia) dari tahun ke. baik dari segi kualitas maupun kuantitas (Stanley, 2006).

BAB I PENDAHULUAN. mengindikasikan bahwa jumlah penduduk lanjut usia (lansia) dari tahun ke. baik dari segi kualitas maupun kuantitas (Stanley, 2006). 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kemajuan dibidang kesehatan, meningkatnya sosial ekonomi dan peningkatan masyarakat yang bermuara pada peningkatan kesejahteraan akan meningkatkan usia harapan hidup.

Lebih terperinci

Laporan Hasil Assessmen Psikologis Penyintas Bencana Tanah Longsor Banjarnegara Tim Psikologi UNS 1. Minggu ke-1 (18 Desember 2014)

Laporan Hasil Assessmen Psikologis Penyintas Bencana Tanah Longsor Banjarnegara Tim Psikologi UNS 1. Minggu ke-1 (18 Desember 2014) Laporan Hasil Assessmen Psikologis Penyintas Bencana Tanah Longsor Banjarnegara Tim Psikologi UNS 1 Minggu ke-1 (18 Desember 2014) 1. Gambaran situasi Situasi gawat darurat bencana tanah longsor di Desa

Lebih terperinci

dan menghasilkan pertumbuhan serta kreativitas.

dan menghasilkan pertumbuhan serta kreativitas. BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tingkat Kecemasan Remaja yang Menjalani Perawatan (Hospitalisasi) Remaja 1. Kecemasan Kecemasan merupakan suatu sinyal yang menyadarkan dan mengingatkan adanya bahaya yang mengancam

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI Hospitalisasi atau Rawat Inap pada Anak Pengertian Hospitalisasi. anak dan lingkungan (Wong, 2008).

BAB II LANDASAN TEORI Hospitalisasi atau Rawat Inap pada Anak Pengertian Hospitalisasi. anak dan lingkungan (Wong, 2008). BAB II LANDASAN TEORI 2.1. Hospitalisasi atau Rawat Inap pada Anak 2.1.1. Pengertian Hospitalisasi Hospitalisasi adalah suatu keadaan dimana seseorang yang sakit yang membutuhkan perawatan secara intensif

Lebih terperinci

PENGARUH RELAKSASI PROGRESIF TERHADAP TINGKAT KECEMASAN PADA PASIEN SKIZOFRENIA DI RUMAH SAKIT JIWA DAERAH SURAKARTA SKRIPSI

PENGARUH RELAKSASI PROGRESIF TERHADAP TINGKAT KECEMASAN PADA PASIEN SKIZOFRENIA DI RUMAH SAKIT JIWA DAERAH SURAKARTA SKRIPSI PENGARUH RELAKSASI PROGRESIF TERHADAP TINGKAT KECEMASAN PADA PASIEN SKIZOFRENIA DI RUMAH SAKIT JIWA DAERAH SURAKARTA SKRIPSI Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Meraih Gelar Sarjana Keperawatan Oleh:

Lebih terperinci

LAPORAN PENDAHULUAN ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN DENGAN RESIKO BUNUH DIRI DI RSJD. AMINO GONDOHUTOMO SEMARANG. Oleh : AGUNG NUGROHO

LAPORAN PENDAHULUAN ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN DENGAN RESIKO BUNUH DIRI DI RSJD. AMINO GONDOHUTOMO SEMARANG. Oleh : AGUNG NUGROHO LAPORAN PENDAHULUAN ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN DENGAN RESIKO BUNUH DIRI DI RSJD. AMINO GONDOHUTOMO SEMARANG Oleh : AGUNG NUGROHO 462008041 PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN FAKULTAS ILMU KESEHATAN UNIVERSITAS

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Kesehatan merupakan sesuatu yang sangat berharga bagi setiap manusia.

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Kesehatan merupakan sesuatu yang sangat berharga bagi setiap manusia. 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kesehatan merupakan sesuatu yang sangat berharga bagi setiap manusia. Manusia dapat menjalankan berbagai macam aktivitas hidup dengan baik bila memiliki kondisi kesehatan

Lebih terperinci

Kecemasan atau dalam Bahasa Inggrisnya anxiety berasal dari Bahasa Latin. angustus yang berarti kaku, dan ango, anci yang berarti mencekik.

Kecemasan atau dalam Bahasa Inggrisnya anxiety berasal dari Bahasa Latin. angustus yang berarti kaku, dan ango, anci yang berarti mencekik. Pengertian Kecemasan Kecemasan atau dalam Bahasa Inggrisnya anxiety berasal dari Bahasa Latin angustus yang berarti kaku, dan ango, anci yang berarti mencekik. Menurut Freud (dalam Alwisol, 2005:28) mengatakan

Lebih terperinci

KONSEP PERAWATAN KESEHATAN JIWA

KONSEP PERAWATAN KESEHATAN JIWA KONSEP PERAWATAN KESEHATAN JIWA Seiring dengan perubahan jaman, peran perawat kesehatan jiwa mulai muncul pada tahun 1950-an. Weiss (1947) menggambarkan beda perawatan kesehatan jiwa dengan perawatan umum

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. usia tua di Indonesia akan mencapai 23,9 juta atau 9,77% dan usia harapan

BAB I PENDAHULUAN. usia tua di Indonesia akan mencapai 23,9 juta atau 9,77% dan usia harapan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penduduk Lanjut usia di Indonesia meningkat dari tahun ke tahun, ini disebabkan karena meningkatnya usia harapan hidup. Pada tahun 1980 usia harapan hidup di Indonesia

Lebih terperinci