PERANAN ASSOCIATION OF SOUTHEAST ASIAN NATIONS (ASEAN) DALAM PEMBERANTASAN PERDAGANGAN PEREMPUAN DI KAWASAN ASIA TENGGARA

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "PERANAN ASSOCIATION OF SOUTHEAST ASIAN NATIONS (ASEAN) DALAM PEMBERANTASAN PERDAGANGAN PEREMPUAN DI KAWASAN ASIA TENGGARA"

Transkripsi

1 PERANAN ASSOCIATION OF SOUTHEAST ASIAN NATIONS (ASEAN) DALAM PEMBERANTASAN PERDAGANGAN PEREMPUAN DI KAWASAN ASIA TENGGARA Valeska Liviani Priadi ABSTRAKSI Adanya dominasi ideologi patriarki telah melahirkan diskriminasi, eksploitasi, dan kekerasan terhadap perempuan. Salah satu bentuk kekerasan terhadap perempuan yang meluas dan tengah menjadi isu global adalah perdagangan perempuan. Perdagangan perempuan merupakan isu yang sangat kompleks, karena aspek di dalamnya mencakup ketenagakerjaan, migrasi, kemiskinan, serta kejahatan. Kawasan Asia Tenggara, yang mayoritas negaranya merupakan negara berkembang, merupakan kawasan dengan perdagangan perempuan paling marak di dunia. PBB, melalui UNODC dan UNIAP, telah melakukan upaya-upaya untuk memberantas perdagangan perempuan di kawasan Asia Tenggara. Namun, upaya pemberantasan perdagangan perempuan di kawasan Asia Tenggara tidak cukup hanya diselesaikan oleh PBB, selaku organisasi internasional global, saja. ASEAN, selaku organisasi internasional regional di kawasan Asia Tenggara, juga melakukan upaya-upaya untuk memberantas perdagangan perempuan di kawasan Asia Tenggara. Dalam mengkaji peranan ASEAN tersebut, penting untuk mengetahui ketentuan hukum internasional mengenai pelarangan perdagangan perempuan, bentuk-bentuk usaha ASEAN dalam memberantas perdagangan perempuan, serta penerapan ketentuan hukum internasional mengenai pelarangan perdagangan perempuan, yang mengacu pada Protocol to Prevent, Suppress, and Punish Trafficking in Persons, Especially Women and Children, dalam peraturan perundang-undangan nasional masingmasing negara anggota ASEAN. Permasalahan-permasalahan tersebut akan dijawab melalui penelitian yuridis-normatif sehingga diperoleh kesimpulan bahwa ASEAN harus mendorong penerapan standar prinsip hak asasi manusia internasional di kawasan Asia Tenggara guna memberantas perdagangan perempuan. Kata kunci: ASEAN, organisasi internasional, perdagangan manusia, perdagangan perempuan, hak asasi manusia

2 PENDAHULUAN Kedudukan perempuan sering kali dianggap lebih inferior daripada laki-laki. Stigma yang menyebar luas ini merupakan akibat dari dominasi ideologi patriarki 1 yang secara turun-temurun membentuk perbedaan perilaku, status, dan otoritas antara laki-laki dengan perempuan. Dalam masyarakat yang menganut ideologi patriarki, laki-laki dianggap powerful, sedangkan perempuan dianggap powerless. Dengan demikian, ideologi patriarki menempatkan laki-laki pada posisi dan kekuasaan yang lebih tinggi daripada perempuan. Ideologi patriarki tumbuh di negara-negara Barat maupun negara-negara Timur. Namun, seiring perkembangan teknologi dan nilai-nilai kesetaraan jender, ideologi patriarki memudar dengan perlahan di negara-negara Barat. Lain halnya dengan negara-negara Timur, khususnya negara-negara dunia ketiga, yang masih berpegang teguh pada ideologi patriarki. Di negara-negara tersebut, ideologi patriarki masih sangat kental dan mewarnai berbagai aspek kehidupan juga struktur masyarakat, serta menciptakan ketimpangan-ketimpangan jender 2. Mayoritas dari negara-negara di kawasan Asia Tenggara merupakan contoh negara-negara dunia ketiga yang masih berpegang teguh pada ideologi patriarki. Subordinasi perempuan yang lahir dari dominasi ideologi patriarki tersebut mengakibatkan adanya diskriminasi, eksploitasi, dan kekerasan terhadap perempuan. Bentuk kekerasan terhadap perempuan dalam ranah publik yang tengah menjadi isu global adalah perdagangan perempuan. Perdagangan perempuan merupakan permasalahan yang sangat kompleks, karena aspek di dalamnya mencakup ketenagakerjaan, imigrasi, kemiskinan, serta kejahatan. Perdagangan perempuan juga terkait erat dengan pelanggaran hak asasi manusia (HAM) sebab perdagangan perempuan tidak mengapresiasi nilai-nilai kemanusiaan yang bermartabat. 1 Dalam Oxford Advanced Learner s Dictionary, patriarki didefinisikan sebagai a society, a system, or a country that is ruled or controlled by men. 2 Isbodroini Suyanto, Ideologi Patriarki yang Tercermin dalam Berbagai Struktur Masyarakat dalam Benih Bertumbuh, (Yogyakarta: Yayasan Galang, 2000), hal. 434.

3 Kawasan Asia Tenggara merupakan kawasan dengan perdagangan perempuan paling marak di dunia 3. Pola-pola perdagangan perempuan yang dikenal sejak zaman perbudakan, kini dapat dijumpai dalam bentuk prostitusi dan tenaga kerja murah 4. Terdapat dua faktor utama yang mengakibatkan maraknya perdagangan perempuan di kawasan Asia Tenggara 5 : 1. Kemiskinan Mayoritas dari negara-negara di kawasan Asia Tenggara merupakan negaranegara berkembang yang masih bergelut dengan kemiskinan. Kondisi finansial keluarga yang carut-marut dan lapangan pekerjaan di negaranya yang begitu sedikit merupakan motivasi banyak perempuan untuk mencari pekerjaan di luar negeri. Mereka tergiur oleh tawaran pekerjaan dengan gaji tinggi di luar negeri, tanpa tahu detil dan resiko pekerjaan itu. Mereka didorong oleh motivasi untuk memperbaiki kondisi finansial keluarga semata, tanpa menyadari tipu muslihat yang menuntun pada perdagangan perempuan. 2. Subordinasi perempuan Ideologi patriarki, yang menempatkan kedudukan perempuan di bawah kedudukan laki-laki, menumbuhkan persepsi bahwa eksploitasi seksual terhadap perempuan dalam bentuk prostitusi adalah suatu hal yang dapat diterima. Para perempuan yang diperdagangkan dan kemudian dilacurkan juga sering kali dianggap dan diperlakukan sebagai pelaku tindak pidana, bukan korban. Semua negara di kawasan Asia Tenggara telah menyatakan bahwa perdagangan perempuan adalah ilegal dengan adanya peraturan perundang-undangan dalam sistem hukum nasional masing-masing yang melarang adanya perdagangan perempuan 6. Namun, usaha untuk memberantas perdagangan perempuan tentunya tidak cukup dilakukan hanya dalam skala nasional. Pemberantasan perdagangan 3 Jenna Maack, Sex Trafficking in Southeast Asia: the Need for a Victim-Centered Perspective, diunduh 24 Oktober Sulistyowati Irianto et.al., Perdagangan Perempuan dalam Jaringan Pengedaran Narkotika, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2005), hal Jenna Maack, Sex Trafficking, hal Sebagai contoh: Indonesia memiliki Undang-undang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang, dan Filipina serta Malaysia memiliki Anti-Trafficking in Persons Act.

4 perempuan dalam skala nasional memiliki beberapa hambatan, antara lain: persepsi tentang subordinasi perempuan yang sulit diubah; rendahnya tingkat keamanan batas negara; pelaku perdagangan perempuan yang sulit dicari; dan fakta bahwa perdagangan perempuan merupakan bisnis yang menguntungkan dan kerap kali melibatkan pejabat negara 7. Dengan demikian, diperlukan juga suatu bentuk kerja sama regional untuk mengatasi hambatan-hambatan tersebut. Pada hakikatnya, kerja sama regional adalah penting, mengingat perdagangan perempuan yang terjadi pun melintasi batas negara. Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) telah melakukan berbagai macam usaha untuk memberantas perdagangan perempuan di kawasan Asia Tenggara dengan menjadi sponsor berbagai macam proyek dan program. Proyek-proyek dan programprogram yang disponsori oleh PBB telah mendapatkan pencapaian yang signifikan, seperti lahirnya perjanjian-perjanjian bilateral untuk memberantas perdagangan perempuan 8. Namun, dukungan dari PBB saja tidak cukup. Association of Southeast Asian Nations (ASEAN), selaku organisasi internasional regional di kawasan Asia Tenggara, sudah sepatutnya mewadahi dan memfasilitasi negara-negara anggotanya dalam memberantas perdagangan perempuan. Memang pada awalnya fokus ASEAN hanya terletak pada bidang ekonomi dan kebudayaan saja, namun guna mencapai stabilitas regional sebagai salah satu tujuan ASEAN 9, dalam perkembangannya, ASEAN pun turut meletakkan fokus pada bidang politik dan keamanan. Lahirnya Declaration Against Trafficking in Persons, Particularly Women and Children merupakan sebuah bentuk komitmen awal dari ASEAN untuk memfokuskan diri dalam pemberantasan perdagangan perempuan. Namun, maraknya perdagangan perempuan di kawasan Asia Tenggara yang sangat memprihatinkan memerlukan tindakan yang lebih tegas. Eksistensi badan-badan seperti ASEAN Intergovernmental Commission on Human Rights (AICHR) dan ASEAN Commission on the Promotion and Protection of the Rights of Women and Children (ACWC) juga perlu dikaji dalam kaitannya dengan pemberantasan perdagangan perempuan. Mengingat kompleksitas 7 Jenna Maack, Sex Trafficking. hal Sebagai contoh: United Nations Inter-Agency Project on Human Trafficking (UNIAP) telah menginisiasi perjanjian-perjanjian bilateral antar negara anggota ASEAN, salah satunya adalah MOU on Cooperation in Preventing and Combating Trafficking in Persons and Protection of Victims of Trafficking antara Laos dengan Vietnam. 9 Pasal 1 butir 1 Piagam ASEAN menyatakan, The Purposes of ASEAN are: to maintain and enhance peace, security and stability and further strengthen peace-oriented values in the region.

5 perdagangan perempuan yang mengandung isu ketenagakerjaan, migrasi, ekonomi, juga kemanusiaan, maka peranan ASEAN dalam pemberantasan perdagangan perempuan di kawasan Asia Tenggara menjadi hal yang penting untuk dibahas. Penelitian ini akan mengkaji ketentuan hukum internasional mengenai pelarangan perdagangan perempuan, usaha ASEAN dalam pemberantasan perdagangan perempuan di kawasan Asia Tenggara, serta penerapan ketentuan Protocol to Prevent, Suppress, and Punish Trafficking in Persons, Especially Women and Children dalam peraturan perundang-undangan masing-masing negara anggota ASEAN. PEMBAHASAN Persoalan mendasar perdagangan perempuan adalah tidak memadainya definisi yang ada 10, sebab perdagangan perempuan adalah permasalahan yang sangat dinamis. Konsep perdagangan perempuan terus berkembang seiring dengan kompleksitas perdagangan perempuan itu sendiri. Bagian dari kompleksitasnya adalah tumpang-tindih yang membingungkan antara migrasi dan perdagangan perempuan serta debat yang tidak jelas mengenai definisinya 11. Masyarakat internasional mulai menyadari perdagangan perempuan sebagai suatu isu global sejak tahun 1900-an dan sejak saat itu pula konferensi-konferensi internasional diadakan guna membicarakan pelarangan perdagangan perempuan 12. Dari konferensi-konferensi internasional tersebut, lahirlah perjanjian-perjanjian internasional yang mengatur mengenai pelarangan perdagangan perempuan: 1. International Agreement for the Suppression of the White Slave Traffic, yang dibentuk pada tahun 1904 dan mengatur mengenai pelarangan perdagangan perempuan kulit putih; 10 Sulistyowati Irianto et.al., Perdagangan Perempuan, hal Louise Brown, Sex Slaves: Sindikat Perdagangan Perempuan di Asia [Sex Slaves: The Trafficking in Asia], diterjemahkan oleh Ursula G. Budianta, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2005), hal Freedom From Fear Magazine, A Short History of Trafficking in Persons, diakses pada tanggal 19 Desember 2012 pukul 12:50.

6 2. International Convention for the Suppression of the White Slave Traffic, yang dibentuk pada tahun 1910 dan melengkapi International Agreement for the Suppression of the White Slave Traffic; 3. International Convention for the Suppression of the Traffic in Women and Children, yang dibentuk pada tahun 1921 dan tidak hanya mengatur pelarangan perdagangan perempuan tetapi juga pelarangan perdagangan anak; 4. International Convention for the Suppression of the Traffic of Women of Full Age, yang dibentuk pada tahun 1933 dan hanya mengatur pelarangan perdagangan perempuan dewasa. Keempat perjanjian tersebut kemudian dikonsolidasi oleh Convention for the Suppression of the Traffic in Persons and of the Exploitation of the Prostitution of Others yang dibentuk pada tahun Dengan berlakunya konvensi tersebut, maka keempat perjanjian yang telah ada sebelumnya dianggap tidak berlaku lagi, dalam hal negara peserta perjanjian-perjanjian internasional terdahulu telah menandatangani dan menjadi negara peserta konvensi tersebut 13. Sayangnya, Convention for the Suppression of the Traffic in Persons and of the Exploitation of the Prostitution of Others tidak mencakup semua aspek dalam perdagangan perempuan. Konvensi ini hanya mencakup prostitusi, sebagai bentuk perdagangan perempuan, dan tidak mencakup bentuk-bentuk perdagangan perempuan lainnya. Berdasarkan Convention Against Transnational Organized Crime yang dibentuk pada tahun 2000, perdagangan perempuan masuk dalam ruang lingkup kejahatan terorganisir yang bersifat transnasional. Perdagangan perempuan diatur dalam Protocol to Prevent, Suppress, and Punish Trafficking in Persons, Especially Women and Children yang merupakan salah satu instrumen pelengkap Convention Against Transnational Organized Crime. Protokol ini mengatur semua aspek perdagangan perempuan secara komprehensif, misalnya saja kerja paksa dan penjeratan utang, tidak seperti Convention for the Suppression of the Traffic in Persons and of the Exploitation of the Prostitution of Others yang hanya mencakup prostitusi. Protokol ini memiliki tiga ketentuan inti: kriminalisasi terhadap perdagangan perempuan dan bentuk-bentuk tindak pidana lainnya terkait perdagangan 13 United Nations, Convention for the Suppression of the Traffic in Persons and of the Exploitation of the Prostitution of Others 1950, Pasal 28.

7 perempuan 14 ; adanya perlindungan terhadap korban perdagangan perempuan yang setidaknya mencakup bantuan hukum, medis, dan psikis 15 ; serta adanya pencegahan terhadap perdagangan perempuan 16. Negara peserta yang telah meratifikasi protokol ini wajib membentuk peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai pelarangan perdagangan perempuan dengan memuat ketentuan-ketentuan inti tersebut 17. Dengan adanya instrumen-instrumen hukum internasional yang mengatur mengenai pelarangan perdagangan perempuan, khususnya Protokol Perdagangan Perempuan, negara-negara diharapkan dapat mengaplikasikan ketentuan-ketentuan di dalamnya baik secara individual maupun kolektif guna memberantas perdagangan perempuan. Untuk memberantas perdagangan perempuan secara kolektif, tentunya tidak cukup jika hanya dikoordinasi oleh organisasi internasional global saja 18, tetapi juga organisasi internasional regional. Kawasan Asia Tenggara memiliki ASEAN sebagai organisasi internasional regional, dengan demikian ASEAN pun turut memiliki peranan dalam memberantas perdagangan perempuan di kawasan Asia Tenggara. ASEAN merupakan wadah kerja sama bagi negara-negara di kawasan Asia Tenggara yang awalnya bertujuan untuk menciptakan stabilitas regional guna membangun perekonomian nasional negara-negara di kawasan Asia Tenggara 19. Dalam Deklarasi Bangkok, disebutkan tujuh tujuan ASEAN, yaitu 20 : 1. Mempercepat pertumbuhan ekonomi, kemajuan sosial serta pengembangan kebudayaan di kawasan Asia Tenggara melalui usaha bersama dalam semangat kesamaan dan persahabatan untuk memperkokoh landasan sebuah masyarakat bangsa-bangsa Asia Tenggara yang sejahtera dan damai; 14 United Nations, Protocol to Prevent, Suppress, and Punish Trafficking in Persons, Especially Women and Children 2000, Pasal Ibid., Pasal Ibid., Pasal Ibid., Pasal Syahmin A.K., Pokok-pokok Hukum Organisasi Internasional, (Bandung: Binacipta, 1985), hal Direktorat Jenderal Kerja Sama ASEAN dan Departemen Luar Negeri Republik Indonesia, ASEAN Selayang Pandang, (Jakarta: Departemen Luar Negeri Republik Indonesia, 2005), hal Ibid., hal. 3.

8 2. Meningkatkan perdamaian dan stabilitas regional dengan jalan menghormati keadilan dan tertib hukum di dalam hubungan antara negara-negara di kawasan Asia Tenggara serta mematuhi prinsip-prinsip Piagam PBB; 3. Meningkatkan kerja sama yang aktif dan saling membantu dalam masalahmasalah yang menjadi kepentingan bersama di bidang-bidang ekonomi, sosial, teknik, ilmu pengetahuan dan administrasi; 4. Saling memberikan bantuan dalam bentuk sarana-sarana pelatihan dan penelitian dalam bidang-bidang pendidikan, profesi, teknik, dan administrasi; 5. Bekerja sama secara lebih efektif guna meningkatkan pemanfaatan pertanian, memperluas perdagangan dan pengkajian masalah-masalah komoditi internasional, memperbaiki sarana-sarana pengangkutan dan komunikasi, serta meningkatkan taraf hidup rakyat; 6. Memajukan pengkajian mengenai Asia Tenggara; 7. Memelihara kerja sama yang erat dan berguna dengan berbagai organisasi internasional dan regional yang mempunyai tujuan serupa, dan untuk menjajaki segala kemungkinan untuk saling bekerja sama secara erat. Tidak dapat dipungkiri bahwa dalam mencapai tujuannya, ASEAN mengalami berbagai masalah internal dan eksternal. Maraknya perdagangan perempuan di kawasan Asia Tenggara merupakan salah satu masalah internal yang menjadi tantangan bagi ASEAN selaku organisasi internasional regional yang mewadahi negara-negara di kawasan Asia Tenggara. Dalam menjawab tantangan tersebut, ASEAN telah melakukan sejumlah tindakan untuk memberantas perdagangan perempuan yaitu dengan membentuk deklarasi-deklarasi terkait pelarangan perdagangan perempuan dan membentuk badan-badan HAM ASEAN. Perdagangan perempuan mulai dianggap sebagai salah satu bentuk kejahatan transnasional di kawasan Asia Tenggara pada pertengahan tahun 1990-an 21. Pada tahun 1997, ASEAN membentuk Declaration on Transnational Crime guna memberantas kejahatan transnasional yang mencakup terorisme, perdagangan 21 Ralf Emmers, The Securitization of Transnational Crime in ASEAN dalam Institute of Defence and Strategic Studies Working Paper Series (November 2002), hal. 8.

9 narkoba, penyelundupan senjata, pencucian uang, serta perdagangan perempuan 22. Walaupun tidak mengatur pemberantasan perdagangan perempuan secara spesifik, deklarasi ini telah menetapkan garis besar pedoman pemberantasan perdagangan perempuan, yang merupakan bentuk kejahatan transnasional, dan melandasi lahirnya Declaration Against Trafficking in Persons, Particularly Women and Children pada tahun Deklarasi ini merupakan instrumen utama ASEAN dalam pemberantasan perdagangan perempuan, karena deklarasi ini memuat ketentuan-ketentuan umum bagi negara-negara anggota ASEAN untuk mencegah dan memberantas perdagangan perempuan. Titik berat dalam deklarasi ini adalah peningkatan kerja sama antar negara-negara anggota ASEAN dalam pencegahan dan pemberantasan perdagangan perempuan yang mencakup bidang keamanan, ketenagakerjaan, dan imigrasi. Dalam meningkatkan kerja sama tersebut, negara-negara anggota ASEAN tetap wajib memperhatikan prinsip-prinsip terkait penegakan hak asasi manusia. Mengingat perdagangan perempuan sering kali bersinggungan dengan ketenagakerjaan, pengaturan mengenai pelarangan perdagangan perempuan juga terdapat dalam Declaration on the Protection and Promotion on the Rights of Migrant Workers yang dibentuk pada tahun Deklarasi ini menetapkan ketentuanketentuan bagi negara-negara anggota ASEAN dalam mewujudkan komitmen untuk melindungi hak-hak tenaga kerja asing. Untuk mencegah perdagangan perempuan, negara-negara anggota ASEAN diharapkan dapat mengambil langkah dengan melakukan data-sharing dan info-sharing 23. Dengan demikian, baik negara pengirim tenaga kerja maupun tenaga penerima tenaga kerja sama-sama bertanggung jawab atas perlindungan para tenaga kerja asing tersebut. ASEAN juga memiliki Declaration on Human Rights yang terbentuk pada tahun Dalam deklarasi ini, disebutkan bahwa negara-negara anggota ASEAN harus menjamin penegakan hak-hak masyarakat ASEAN, misalnya hak-hak sipil dan politik yang mencakup: hak atas kebebasan pribadi 24 ; hak terbebas dari segala bentuk perhambaan dan perbudakan, termasuk penyelundupan dan perdagangan manusia 25 ; 22 Association of Southeast Asian Nations, Declaration on Transnational Crime 1997, bagian pembukaan paragraf Association of Southeast Asian Nations, Declaration on the Protection and Promotion on the Rights of Migrant Workers 2007, Paragraf 18 dan Association of Southeast Asian Nations, Declaration on Human Rights 2012, Paragraf Ibid., Paragraf 13.

10 serta hak terbebas dari segala bentuk penyiksaan 26 serta hak-hak ekonomi, sosial, dan budaya yang mencakup: hak untuk mendapatkan pekerjaan 27 ; hak untuk mendapatkan kehidupan yang layak 28 ; juga hak untuk mendapatkan pelayanan kesehatan 29. Dengan berlandaskan Piagam ASEAN, ASEAN membentuk dua badan HAM: ASEAN Intergovernmental Commission on Human Rights (AICHR) dan ASEAN Commission on the Promotion and Protection of the Rights of Women and Children (ACWC). Layaknya suatu organisasi internasional yang memerlukan alat perlengkapan atau badan yang akan mengurus masalah-masalah yang telah diserahkan oleh anggota organisasi internasional untuk diselesaikan 30, maka ASEAN pun membentuk AICHR dan ACWC untuk menggalakkan penegakan HAM di kawasan Asia Tenggara. Pada dasarnya, kedua badan ini memiliki fungsi untuk membangun kesadaran masyarakat ASEAN mengenai pentingnya penegakan HAM, mendorong negara-negara anggota ASEAN untuk meratifikasi instrumen-instrumen HAM internasional, serta mendorong implementasi dari ratifikasi instrumen itu sendiri sehingga standar HAM internasional dapat ditegakkan di kawasan Asia Tenggara. Dengan adanya deklarasi-deklarasi dan badan-badan HAM sebagaimana telah dijabarkan di atas, maka ASEAN telah menjalankan fungsinya sebagai wadah dari negara-negara di kawasan Asia Tenggara dalam mengadakan kerja sama guna memberantas perdagangan perempuan demi mencapai tujuannya yaitu memelihara dan meningkatkan stabilitas kawasan Asia Tenggara. Namun, usaha pemberantasan perdagangan perempuan, yang juga memerlukan tindakan nyata pada tingkat nasional, perlu dilihat dari sistem hukum nasional masing-masing negara anggota ASEAN. Organisasi internasional dapat menjadi alat untuk memaksakan agar hukum internasional dapat ditaati 31, sehingga ASEAN perlu mendorong penerapan ketentuan hukum internasional terkait pelarangan perdagangan perempuan di negara-negara anggotanya. 26 Ibid., Paragraf Ibid., Paragraf 27(1). 28 Ibid., Paragraf Ibid., Paragraf 29(1). 30 Sri Setianingsih Suwardi, Pengantar Hukum Organisasi Internasional, (Jakarta: Penerbit Universitas Indonesia, 2004), hal Ibid.

11 Dari sepuluh negara anggota ASEAN, hanya Thailand yang belum meratifikasi Konvensi Palermo. Thailand juga belum meratifikasi Protokol Perdagangan Perempuan. Sedangkan Brunei Darussalam dan Singapura belum memberikan persetujuan terhadap protokol tersebut. Meskipun demikian, sebagai anggota masyarakat internasional, negara-negara anggota ASEAN tidak mungkin mengabaikan ketentuan-ketentuan hukum internasional. Dalam membentuk sistem hukum nasionalnya, suatu negara harus memperhatikan keserasian antara falsafah hidup dan kebutuhan bangsa, negara, serta masyarakat dengan ketentuan-ketentuan hukum internasional 32 sehingga negara-negara anggota ASEAN tetap mengikuti ketentuan-ketentuan hukum internasional dan telah mengkriminalisasi perdagangan perempuan dalam sistem hukum nasionalnya. Berikut adalah tabel yang menggambarkan mengenai ratifikasi negara-negara anggota ASEAN terhadap Konvensi Palermo dan Protokol Perdagangan Perempuan: Negara Konvensi Palermo Protokol Perdagangan Perempuan Brunei Darussalam Sudah Belum Ada Filipina Sudah Sudah Ada Indonesia Sudah Sudah Ada Kamboja Sudah Sudah Ada Peraturan Perundangundangan* Laos Sudah Sudah Belum ada Malaysia Sudah Sudah Ada Myanmar Sudah Sudah Ada Singapura Sudah Sudah Ada Thailand Belum Belum Belum ada Vietnam Sudah Sudah Ada Sumber: diolah dari berbagai data *: Peraturan perundang-undangan yang dimaksud adalah peraturan perundangundangan terkait pelarangan perdagangan perempuan 32 L. M. Gandhi Lapian, Aspek Hukum Penghapusan Trafiking (Perdagangan Manusia) Khususnya Wanita dan Anak, dalam Trafiking Perempuan dan Anak (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2006), hal. 72.

12 Dari 10 negara anggota ASEAN, hanya Thailand yang belum meratifikasi Konvensi Palermo. Status Thailand terhadap Konvensi Palermo hanyalah sebatas negara yang telah menandatangani. Thailand juga belum meratifikasi Protokol Perdagangan Perempuan, melainkan hanya menandatanganinya. Berbeda dengan Thailand yang sudah menandatangani namun belum meratifikasi, Brunei Darussalam dan Singapura belum memberikan persetujuan apapun terhadap Protokol Perdagangan Perempuan. Dengan absennya persetujuan Singapura terhadap Protokol Perdagangan Perempuan, Singapura pun tidak memiliki peraturan perundang-undangan yang mengatur pelarangan perdagangan perempuan secara khusus. Sayangnya, Laos juga sama saja dengan Singapura, tidak memiliki peraturan perundang-undangan yang mengatur pelarangan perdagangan perempuan secara khusus padahal Laos telah meratifikasi Protokol Perdagangan Perempuan. Di Laos, pelarangan perdagangan perempuan hanya diatur dalam Penal Code dan Law on the Development and Protection of Women. Singapura juga hanya memiliki Penal Code Act dan Women Charter yang mengatur pelarangan perdagangan perempuan. Peraturan perundang-undangan masing-masing negara anggota ASEAN mengenai pelarangan perdagangan perempuan tidak seragam. Jika dianalisis berdasarkan ketentuan-ketentuan inti Protokol Perdagangan Perempuan yang mencakup criminalization (kriminalisasi terhadap perdagangan perempuan dan bentuk-bentuk tindak pidana lainnya terkait perdagangan perempuan), protection (perlindungan terhadap korban perdagangan perempuan), dan prevention (pencegahan terhadap perdagangan perempuan), maka dapat digambarkan sebagai berikut: Negara Criminalization Protection Prevention Brunei Darussalam Ada Tidak ada Tidak ada Filipina Ada Ada Ada Indonesia Ada Ada Ada Kamboja Ada Tidak ada Tidak ada Laos Ada Ada Tidak ada Malaysia Ada Ada Ada Myanmar Ada Ada Ada Singapura Ada Ada Tidak ada Thailand Ada Ada Ada

13 Vietnam Ada Ada Ada Sumber: diolah dari berbagai data Dapat dilihat bahwa negara-negara anggota ASEAN hanya berfokus pada kriminalisasi terhadap perdagangan perempuan dan bentuk-bentuk tindak pidana lainnya yang terkait dengan perdagangan perempuan. Pentingnya perlindungan terhadap korban serta pencegahan terhadap perdagangan perempuan luput dari fokus negara-negara anggota ASEAN, padahal kedua hal tersebut sama pentingnya dengan kriminalisasi terhadap perdagangan perempuan dan bentuk-bentuk tindak pidana terkait perdagangan perempuan. Ketidakseragaman peraturan perundang-undangan negara-negara anggota ASEAN terkait pemberantasan perdagangan perempuan ini dikarenakan ketidakseragaman status negara-negara anggota ASEAN terhadap Konvensi Palermo dan Protokol Perdagangan Perempuan. Jika seluruh negara anggota ASEAN telah meratifikasi Konvensi Palermo dan Protokol Perdagangan Perempuan, maka peraturan perundang-undangan di negara-negara anggota ASEAN tentu akan seragam karena negara-negara anggota ASEAN terikat secara hukum pada instrumen yang sama. PENUTUP Dari pembahasan di atas, maka dapat disimpulkan bahwa: 1. Kesadaran masyarakat internasional mengenai bahaya perdagangan perempuan telah ada sejak awal abad ke-19. Berbagai konferensi yang membahas mengenai pelarangan perdagangan perempuan pun bermunculan dan menghasilkan perjanjian-perjanjian internasional yang mengatur mengenai pelarangan perdagangan perempuan. Hingga saat ini, perjanjian internasional terkait pelarangan perdagangan perempuan yang masih berlaku adalah Convention for the Suppression of the Traffic in Persons and of the Exploitation of the Prostitution of Others dan Protocol to Prevent, Suppress, and Punish Trafficking in Persons, Especially Women and Children (Protokol Perdagangan Perempuan) yang merupakan bagian dari Convention on Transnational Organized Crime (Konvensi Palermo). Convention for the Suppression of the Traffic in Persons and of the Exploitation of the Prostitution of Others memuat beberapa ketentuan, yaitu: kriminalisasi atas bentuk-bentuk prostitusi; melakukan pencegahan atas

14 terjadinya prostitusi; serta memberikan perlindungan terhadap korban prostitusi. Adapun Protokol Perdagangan Perempuan memiliki ruang lingkup perdagangan perempuan yang lebih luas daripada Convention for the Suppression of the Traffic in Persons and of the Exploitation of the Prostitution of Others, karena bentuk perdagangan perempuan yang terdapat dalam Protocol to Prevent, Suppress, and Punish Trafficking in Persons, Especially Women and Children tidak hanya sebatas prostitusi saja, namun juga mencakup kerja paksa, perbudakan, serta eksploitasi seksual lainnya. Protokol ini memuat ketentuan inti yang mencakup kriminalisasi atas segala tindakan terkait perdagangan perempuan, kewajiban untuk melakukan pencegahan terjadinya perdagangan perempuan, serta kewajiban untuk memberikan perlindungan terhadap korban perdagangan perempuan dengan memperhatikan usia, jender, serta kebutuhan khusus korban. 2. Dalam memberantas perdagangan perempuan di kawasan Asia Tenggara, ASEAN telah melakukan beberapa usaha antara lain membentuk deklarasi-deklarasi terkait pemberantasan perdagangan perempuan, yaitu: Declaration on Transnational Crime; Declaration Against Trafficking in Persons, Particularly Women and Children; Declaration on the Protection and Promotion of the Rights of Migrant Workers; dan Declaration on Human Rights. Dari keempat instrumen ASEAN tersebut, Declaration Against Trafficking in Persons, Particularly Women and Children merupakan instrumen utama dalam pemberantasan perdagangan perempuan di kawasan Asia Tenggara. Deklarasi ini ditindaklanjuti dengan adanya Work Plan to Implement the ASEAN Declaration Against Trafficking in Persons, Particularly Women and Children yang memuat ketentuan mengenai bentukbentuk kerja sama di tingkat regional yang dapat dilakukan untuk memberantas perdagangan perempuan, kerja sama antar aparat penegak hukum masing-masing negara anggota ASEAN dalam menyelidiki perdagangan perempuan, penuntutan terhadap pelaku perdagangan perempuan, serta bentuk perlindungan dan bantuan bagi korban perdagangan perempuan.

15 Selain membentuk instrumen-instrumen terkait pemberantasan perdagangan perempuan, ASEAN juga mendirikan ASEAN Intergovernmental Commission on Human Rights (AICHR) dan ASEAN Commission on the Promotion and Protection of the Rights of Women and Children (ACWC) dengan berlandaskan Piagam ASEAN. Eksistensi kedua badan HAM tersebut diharapkan dapat mendorong dan menggalakkan penerapan standar hak asasi manusia internasional ke dalam sistem hukum nasional tiap-tiap negara anggota ASEAN, termasuk yang terkait dengan pemberantasan perdagangan perempuan. 3. Tidak semua negara anggota ASEAN telah meratifikasi Konvensi Palermo dan Protokol Perdagangan Perempuan. Thailand, misalnya, hingga saat ini belum meratifikasi kedua instrumen tersebut. Brunei Darussalam dan Singapura juga belum memberikan persetujuan apapun terhadap Protokol Perdagangan Perempuan. Beberapa negara anggota ASEAN bahkan belum memiliki peraturan perundang-undangan yang secara khusus mengatur mengenai pelarangan perdagangan perempuan, misalnya Singapura, yang hingga saat ini belum memberikan persetujuan apapun terhadap Protokol Perdagangan Perempuan, dan Laos, yang telah meratifikasi Protokol Perdagangan Perempuan. Ketentuan-ketentuan Protokol Perdagangan Perempuan juga belum diterapkan secara penuh oleh negara-negara anggota ASEAN. Dalam peraturan perundang-undangan masing-masing negara anggota, ketentuan mengenai kriminalisasi perdagangan perempuan dan tindak-tindak pidana lainnya terkait perdagangan perempuan telah diterapkan. Namun, tidak semua negara anggota ASEAN telah menerapkan ketentuan mengenai pemberian perlindungan terhadap korban perdagangan perempuan dan pengambilan tindakan preventif terhadap perdagangan perempuan. Brunei Darussalam dan Kamboja merupakan contoh negara anggota ASEAN yang tidak menerapkan kedua ketentuan tersebut dalam peraturan perundang-undangannya. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa yang menjadi fokus negara-negara anggota ASEAN dalam membentuk peraturan perundang-undangan mengenai pelarangan perdagangan perempuan di negaranya masing-masing hanyalah kriminalisasi perdagangan perempuan tindak-tindak pidana terkait

16 perdagangan perempuan. Negara-negara anggota ASEAN kurang memperhatikan kepentingan korban serta kepentingan pengambilan tindakan preventif terhadap perdagangan perempuan. Adapun saran yang melengkapi simpulan di atas adalah bahwa ASEAN harus memaksimalkan fungsinya sebagai organisasi internasional regional lewat AICHR dan ACWC, selaku badan HAM ASEAN, untuk mendorong negaranegara anggota ASEAN agar segera mengimplementasikan penuh ketentuanketentuan Protokol Perdagangan Perempuan dalam peraturan perundangundangan nasionalnya sehingga agar pemberantasan perdagangan perempuan di kawasan Asia Tenggara dapat berjalan lebih efektif pula, karena peraturan perundang-undangan nasional terkait pelarangan perdagangan perempuan suatu negara merupakan kerangka kerja bagi negara tersebut dalam memberantas perdagangan perempuan. Langkah-langkah awal yang dapat dilakukan ASEAN adalah mendorong negara-negara anggota ASEAN yang belum meratifikasi Protokol Perdagangan Perempuan agar segera meratifikasi protokol tersebut serta mendorong negara-negara anggota ASEAN untuk membentuk peraturan perundang-undangan di negaranya masing-masing yang secara spesifik bertujuan untuk memberantas perdagangan perempuan. ASEAN harus mendorong penerapan standar hak asasi manusia internasional di negaranegara anggotanya. Jika standar hak asasi manusia internasional telah diterapkan di negara-negara anggota ASEAN, maka isu-isu HAM di tingkat regional, termasuk perdagangan perempuan, dapat teratasi. Mengingat karakter ASEAN yang tidak memungkinkan adanya legal enforcement terhadap negara-negara anggota, maka dorongan yang diberikan kepada negara-negara anggota dapat berupa political pressure yang bersifat persuasif.

17 DAFTAR PUSTAKA Buku A.K., Syahmin. Pokok-pokok Hukum Organisasi Internasional. Bandung: Binacipta, Brown, Louise. Sex Slaves: Sindikat Perdagangan Perempuan di Asia [Sex Slaves: The Trafficking in Asia]. Diterjemahkan oleh Ursula G. Budianta. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, Direktorat Jendral Kerjasama ASEAN. ASEAN Selayang Pandang. Jakarta: Departemen Luar Negeri Republik Indonesia, Irianto, Sulistyowati. et.al., Perdagangan Perempuan dalam Jaringan Pengedaran Narkotika. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, Suwardi, Sri Setianingsih. Pengantar Hukum Organisasi Internasional. Jakarta: Penerbit Universitas Indonesia, Artikel Emmers, Ralf. The Securitization of Transnational Crime in ASEAN. Institute of Defence and Strategic Studies Working Paper Series (November 2002). hal Freedom From Fear Magazine, A Short History of Trafficking in Persons, iew=article&id=99:a-short-history-of-trafficking-in-persons&catid=37:issue- 1&Itemid=159, diakses pada tanggal 19 Desember Jenna Maack, Sex Trafficking in Southeast Asia: the Need for a Victim-Centered Perspective, Trafficking-in-Southeast-Asia.pdf, diunduh pada tanggal 24 Oktober Lapian, L.M. Gandhi. Aspek Hukum Penghapusan Trafiking (Perdagangan Manusia) Khususnya Wanita dan Anak dalam Trafiking Perempuan dan Anak. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, Suyanto, Isbodroini. Ideologi Patriarki yang Tercermin dalam Berbagai Struktur Masyarakat dalam Benih Bertumbuh. Yogyakarta: Yayasan Galang, Peraturan Association of Southeast Asian Nations. The Bangkok Declaration

18 .The ASEAN Declaration Against Trafficking in Persons Particularly Women and Children The ASEAN Charter The ASEAN Declaration on the Protection and Promotion of the Rights of Migrant Workers The ASEAN Declaration on Human Rights United Nations. Convention for the Suppression of the Traffic in Persons and of the Exploitation of the Prostitution of Others Convention on Transnational Organized Crime Protocol to Prevent, Suppress, and Punish Trafficking in Persons, Especially Women and Children

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Perdagangan orang merupakan bentuk modern dari perbudakan manusia.

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Perdagangan orang merupakan bentuk modern dari perbudakan manusia. 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Perdagangan orang merupakan bentuk modern dari perbudakan manusia. Perbudakan adalah kondisi seseorang di bawah kepemilikan orang lain. Praktek serupa perbudakan

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 14 TAHUN 2009 TENTANG PENGESAHAN PROTOCOL TO PREVENT, SUPPRESS AND PUNISH TRAFFICKING IN PERSONS, ESPECIALLY WOMEN AND CHILDREN, SUPPLEMENTING THE UNITED NATIONS

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. asasi perempuan dan anak diantaranya dengan meratifikasi Konferensi CEDAW (Convention

BAB I PENDAHULUAN. asasi perempuan dan anak diantaranya dengan meratifikasi Konferensi CEDAW (Convention BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latarbelakang masalah Negara mempunyai tugas untuk melindungi segenap warga negaranya, hal itu tercantum pada pembukaan Undang-Undang Dasar 1945, ditambah dengan isi Pancasila pasal

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 15 TAHUN 2009 TENTANG PENGESAHAN PROTOCOL AGAINST THE SMUGGLING OF MIGRANTS BY LAND, SEA AND AIR, SUPPLEMENTING THE UNITED NATIONS CONVENTION AGAINST TRANSNATIONAL

Lebih terperinci

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.984, 2012 BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA KEMENTERIAN NEGARA PEMBERDAYAAN PEREMPUAN DAN PERLINDUNGAN ANAK. Pencegahan. Penanganan. Perdagangan Orang. Panduan. PERATURAN MENTERI NEGARA PEMBERDAYAAN

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 14 TAHUN 2009 TENTANG PENGESAHAN PROTOCOL TO PREVENT, SUPPRESS AND PUNISH TRAFFICKING IN PERSONS, ESPECIALLY WOMEN AND CHILDREN, SUPPLEMENTING THE UNITED NATIONS

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR TAHUN TENTANG PENGESAHAN ASEAN CONVENTION AGAINST TRAFFICKING IN PERSONS, ESPECIALLY WOMEN AND CHILDREN (KONVENSI ASEAN MENENTANG PERDAGANGAN ORANG, TERUTAMA

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Masalah Perkembangan globalisasi sekarang ini mengakibatkan kemajuan di segala bidang, bukan saja masalah kehidupan ekonomi, tetapi telah melanda dalam kehidupan politik,

Lebih terperinci

BAB III DESKRIPSI ASPEK PIDANA DALAM UNDANG-UNDANG NOMOR 21 TAHUN 2007 TENTANG TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG

BAB III DESKRIPSI ASPEK PIDANA DALAM UNDANG-UNDANG NOMOR 21 TAHUN 2007 TENTANG TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG BAB III DESKRIPSI ASPEK PIDANA DALAM UNDANG-UNDANG NOMOR 21 TAHUN 2007 TENTANG TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG A. Deskripsi UU Nomor 21 Tahun 2007 tentang Tindak Pidana Perdagangan Orang 1. Sejarah Singkat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Dewasa ini dalam pembaharuan hukum, indonesia telah melahirkan

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Dewasa ini dalam pembaharuan hukum, indonesia telah melahirkan BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Dewasa ini dalam pembaharuan hukum, indonesia telah melahirkan beberapa peraturan, khususnya tentang hukum hak asasi manusia dan meratifikasi beberapa konvensi internasional

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pemahaman di dalam masyarakat terhadap trafficking masih sangat. atau terendah di dalam merespon isu ini. 2

BAB I PENDAHULUAN. Pemahaman di dalam masyarakat terhadap trafficking masih sangat. atau terendah di dalam merespon isu ini. 2 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Trafficking atau perdagangan manusia terutama terhadap perempuan dan anak telah lama menjadi masalah nasional dan internasional bagi berbagai bangsa di dunia, termasuk

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang melimpah membuat beberapa Negara di Eropa mempunyai niat untuk

BAB I PENDAHULUAN. yang melimpah membuat beberapa Negara di Eropa mempunyai niat untuk BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Letak Asia Tenggara yang sangat strategis serta memiliki kekayaan alam yang melimpah membuat beberapa Negara di Eropa mempunyai niat untuk menguasai wilayah di Asia

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Perdagangan perempuan dan anak (trafficking) telah lama terjadi di muka

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Perdagangan perempuan dan anak (trafficking) telah lama terjadi di muka BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Perdagangan perempuan dan anak (trafficking) telah lama terjadi di muka bumi ini dan merupakan tindakan yang bertentangan dengan harkat dan martabat manusia, dan telah

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 14 TAHUN 2009 TENTANG

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 14 TAHUN 2009 TENTANG UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa setiap orang sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa memiliki hak-hak asasi sesuai dengan

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 2009 TENTANG PENGESAHAN UNITED NATIONS CONVENTION AGAINST TRANSNATIONAL ORGANIZED CRIME (KONVENSI PERSERIKATAN BANGSA-BANGSA MENENTANG TINDAK PIDANA TRANSNASIONAL

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, SALINAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 15 TAHUN 2009 TENTANG PENGESAHAN PROTOCOL AGAINST THE SMUGGLING OF MIGRANTS BY LAND, SEA AND AIR, SUPPLEMENTING THE UNITED NATIONS CONVENTION AGAINST TRANSNATIONAL

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, SALINAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 14 TAHUN 2009 TENTANG PENGESAHAN PROTOCOL TO PREVENT, SUPPRESS AND PUNISH TRAFFICKING IN PERSONS, ESPECIALLY WOMEN AND CHILDREN, SUPPLEMENTING THE UNITED

Lebih terperinci

BAB I PERLINDUNGAN HUKUM BAGI ANAK TERHADAP PRAKTIK PERDAGANGAN ANAK (TRAFFICKING) DI PROVINSI KEPULAUAN RIAU

BAB I PERLINDUNGAN HUKUM BAGI ANAK TERHADAP PRAKTIK PERDAGANGAN ANAK (TRAFFICKING) DI PROVINSI KEPULAUAN RIAU 1 BAB I PERLINDUNGAN HUKUM BAGI ANAK TERHADAP PRAKTIK PERDAGANGAN ANAK (TRAFFICKING) DI PROVINSI KEPULAUAN RIAU A. Latar Belakang Masalah Pelanggaran dan kejahatan kemanusiaan terjadi dalam berbagai bentuk,

Lebih terperinci

PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP TENAGA KERJA ASAL INDONESIA TERKAIT TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG BERDASARKAN HUKUM NASIONAL DAN HUKUM INTERNASIONAL *

PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP TENAGA KERJA ASAL INDONESIA TERKAIT TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG BERDASARKAN HUKUM NASIONAL DAN HUKUM INTERNASIONAL * PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP TENAGA KERJA ASAL INDONESIA TERKAIT TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG BERDASARKAN HUKUM NASIONAL DAN HUKUM INTERNASIONAL * Oleh Adi Suhendra Purba T. ** Putu Tuni Cakabawa Landra

Lebih terperinci

SALINAN. c.bahwa... melaksanakan hubungan dan kerja sama internasional untuk mencegah dan memberantas tindak pidana

SALINAN. c.bahwa... melaksanakan hubungan dan kerja sama internasional untuk mencegah dan memberantas tindak pidana SALINAN PRES I DEN UNDANG-UNDANG NOMOR 12 TAHUN 2017 TENTANG PENGESAHAN ASEAN CONVENTION AGAINST TRAFFICKING IN PERSOJV$ ESPECIALLY WOMEN AND CHILDREN (KONVENSI ASEAN MENENTANG PERDAGANGAN ORANG, TERUTAMA

Lebih terperinci

EFEKTIVITAS KERJA SAMA PEMERINTAH LAOS DAN VIETNAM DALAM MENCEGAH DAN MEMBERANTAS HUMAN TRAFFICKING DI LAOS PERIODE Sari Widia Setyawati

EFEKTIVITAS KERJA SAMA PEMERINTAH LAOS DAN VIETNAM DALAM MENCEGAH DAN MEMBERANTAS HUMAN TRAFFICKING DI LAOS PERIODE Sari Widia Setyawati Journal of International Relations, Volume 2, Nomor 2, Tahun 2016, hal. 109-115 Online di http://ejournal-s1.undip.ac.id/index.php/jihi EFEKTIVITAS KERJA SAMA PEMERINTAH LAOS DAN VIETNAM DALAM MENCEGAH

Lebih terperinci

PROTOKOL OPSIONAL KONVENSI HAK-HAK ANAK MENGENAI PENJUALAN ANAK, PROSTITUSI ANAK, DAN PORNOGRAFI ANAK

PROTOKOL OPSIONAL KONVENSI HAK-HAK ANAK MENGENAI PENJUALAN ANAK, PROSTITUSI ANAK, DAN PORNOGRAFI ANAK PROTOKOL OPSIONAL KONVENSI HAK-HAK ANAK MENGENAI PENJUALAN ANAK, PROSTITUSI ANAK, DAN PORNOGRAFI ANAK Negara-Negara Pihak pada Protokol ini, Mempertimbangkan bahwa, untuk lebih lanjut mencapai tujuan Konvensi

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA. Presiden Republik Indonesia,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA. Presiden Republik Indonesia, UNDANG-UNDANG NOMOR 4 TAHUN 1988 TENTANG PENGESAHAN "PROTOCOL AMENDING THE TREATY OF AMITY AND COOPERATION IN SOUTHEAST ASIA" DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA Presiden Republik Indonesia, Menimbang :

Lebih terperinci

Jalan Diponegoro No. 22 Telepon : (022) Faks. (022) Bandung

Jalan Diponegoro No. 22 Telepon : (022) Faks. (022) Bandung PERATURAN GUBERNUR JAWA BARAT NOMOR 27 TAHUN 2010 TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN GUBERNUR JAWA BARAT NOMOR 15 TAHUN 2010 TENTANG PUSAT PELAYANAN TERPADU PEMBERDAYAAN PEREMPUAN DAN ANAK PROVINSI JAWA

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 10 TAHUN 2012 TENTANG PENGESAHAN OPTIONAL PROTOCOL TO THE CONVENTION ON THE RIGHTS OF THE CHILD ON THE SALE OF CHILDREN, CHILD PROSTITUTION AND CHILD PORNOGRAPHY

Lebih terperinci

Institute for Criminal Justice Reform

Institute for Criminal Justice Reform UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 21 TAHUN 2007 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa setiap orang

Lebih terperinci

BAB III KETENTUAN RESTITUSI TERHADAP PELAKU TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG DALAM PASAL 48 AYAT 2 UU RI NO. 21 TAHUN 2007 TENTANG

BAB III KETENTUAN RESTITUSI TERHADAP PELAKU TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG DALAM PASAL 48 AYAT 2 UU RI NO. 21 TAHUN 2007 TENTANG BAB III KETENTUAN RESTITUSI TERHADAP PELAKU TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG DALAM PASAL 48 AYAT 2 UU RI NO. 21 TAHUN 2007 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA ORANG A. Latar Belakang UU RI No. 21 Tahun

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 10 TAHUN 2012 TENTANG

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 10 TAHUN 2012 TENTANG UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 10 TAHUN 2012 TENTANG PENGESAHAN OPTIONAL PROTOCOL TO THE CONVENTION ON THE RIGHTS OF THE CHILD ON THE SALE OF CHILDREN, CHILD PROSTITUTION AND CHILD PORNOGRAPHY

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 2012 TENTANG PENGESAHAN ASEAN CONVENTION ON COUNTER TERRORISM (KONVENSI ASEAN MENGENAI PEMBERANTASAN TERORISME) DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN

Lebih terperinci

BAB V PENUTUP. kriminalitas namun perdagangan anak juga menyangkut tentang pelanggaran terhadap

BAB V PENUTUP. kriminalitas namun perdagangan anak juga menyangkut tentang pelanggaran terhadap BAB V PENUTUP 5.1 Kesimpulan Eksploitasi seksual komersial anak merupakan sebuah bentuk pelanggaran HAM yang terjadi pada anak. Salah satu contoh eksploitasi seksual komersial anak tersebut adalah perdagangan

Lebih terperinci

BAB III PERANAN ASEAN INTERGOVERMENTAL COMMISSION ON HUMAN RIGHT (AICHR) TERHADAP PENANGANAN KEJAHATAN PERDAGANGAN MANUSIA DI INDONESIA

BAB III PERANAN ASEAN INTERGOVERMENTAL COMMISSION ON HUMAN RIGHT (AICHR) TERHADAP PENANGANAN KEJAHATAN PERDAGANGAN MANUSIA DI INDONESIA BAB III PERANAN ASEAN INTERGOVERMENTAL COMMISSION ON HUMAN RIGHT (AICHR) TERHADAP PENANGANAN KEJAHATAN PERDAGANGAN MANUSIA DI INDONESIA A. Dasar Pembentukan ASEAN Intergovermental Commission on Human Right

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI KOORDINATOR BIDANG KESEJAHTERAAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA NOMOR : 25/KEP/MENKO/KESRA/IX/2009 TENTANG

PERATURAN MENTERI KOORDINATOR BIDANG KESEJAHTERAAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA NOMOR : 25/KEP/MENKO/KESRA/IX/2009 TENTANG PERATURAN MENTERI KOORDINATOR BIDANG KESEJAHTERAAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA NOMOR : 25/KEP/MENKO/KESRA/IX/2009 TENTANG RENCANA AKSI NASIONAL PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG (PTPPO) DAN EKSPLOITASI

Lebih terperinci

PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP SAKSI DAN/ ATAU SAKSI KORBAN TRANSNATIONAL CRIME DALAM PROSES PENEGAKAN HUKUM PIDANA

PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP SAKSI DAN/ ATAU SAKSI KORBAN TRANSNATIONAL CRIME DALAM PROSES PENEGAKAN HUKUM PIDANA PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP SAKSI DAN/ ATAU SAKSI KORBAN TRANSNATIONAL CRIME DALAM PROSES PENEGAKAN HUKUM PIDANA Oleh: Ni Made Dwita Setyana Warapsari I Wayan Parsa Bagian Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas

Lebih terperinci

PELANGGARAN HAK ASASI MANUSIA DI INDONESIA SEHUBUNGAN DENGAN PERDAGANGAN MANUSIA (ANAK)

PELANGGARAN HAK ASASI MANUSIA DI INDONESIA SEHUBUNGAN DENGAN PERDAGANGAN MANUSIA (ANAK) PELANGGARAN HAK ASASI MANUSIA DI INDONESIA SEHUBUNGAN DENGAN PERDAGANGAN MANUSIA (ANAK) Disusun oleh : NAMA : ELI JOY AMANDOW NRS : 084 MATA KULIAH : HAM PENDIDIKAN KHUSUS KEIMIGRASIAN ANGKATAN II 2013

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Dengan persetujuan DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Dengan persetujuan DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA UNDANG-UNDANG NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 9 TAHUN 1997 TENTANG PENGESAHAN TREATY ON THE SOUTHEAST ASIA NUCLEAR WEAPON FREE ZONE (TRAKTAT KAWASAN BEBAS SENJATA NUKLIR DI ASIA TENGGARA) DENGAN RAHMAT

Lebih terperinci

Proposal LRCT tentang Rancangan Perjanjian ASEAN untuk Promosi dan Perlindungan Hak-Hak Pekerja. Law Reform Commission of Thailand (LRCT)

Proposal LRCT tentang Rancangan Perjanjian ASEAN untuk Promosi dan Perlindungan Hak-Hak Pekerja. Law Reform Commission of Thailand (LRCT) Proposal LRCT tentang Rancangan Perjanjian ASEAN untuk Promosi dan Perlindungan Hak-Hak Pekerja Law Reform Commission of Thailand (LRCT) Proposal LRCT tentang Rancangan Perjanjian ASEAN untuk Promosi dan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. merupakan bagian integral dari penghormatan Hak Asasi Manusia (HAM) sesungguhnya sudah diamanatkan oleh Undang-Undang DasarNegara

BAB I PENDAHULUAN. merupakan bagian integral dari penghormatan Hak Asasi Manusia (HAM) sesungguhnya sudah diamanatkan oleh Undang-Undang DasarNegara BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Harkat dan martabat manusia merupakan sesuatu yang harus dijunjung tinggi dan dilindungi oleh negara. Kewajiban negara untuk menghormati, menjunjung tinggi dan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 2006 TENTANG

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 2006 TENTANG UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 2006 TENTANG PENGESAHAN INTERNATIONAL CONVENTION FOR THE SUPPRESSION OF THE FINANCING OF TERRORISM, 1999 (KONVENSI INTERNASIONAL PEMBERANTASAN PENDANAAN TERORISME,

Lebih terperinci

UU 9/1997, PENGESAHAN TREATY ON THE SOUTHEAST ASIA NUCLEAR WEAPON FREE ZONE (TRAKTAT KAWASAN BEBAS SENJATA NUKLIR DI ASIA TENGGARA)

UU 9/1997, PENGESAHAN TREATY ON THE SOUTHEAST ASIA NUCLEAR WEAPON FREE ZONE (TRAKTAT KAWASAN BEBAS SENJATA NUKLIR DI ASIA TENGGARA) Copyright 2002 BPHN UU 9/1997, PENGESAHAN TREATY ON THE SOUTHEAST ASIA NUCLEAR WEAPON FREE ZONE (TRAKTAT KAWASAN BEBAS SENJATA NUKLIR DI ASIA TENGGARA) *9571 UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA (UU) NOMOR

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. makhluk sosial, sejak dalam kandungan sampai dilahirkan anak. mempunyai hak atas hidup dan merdeka serta mendapat perlindungan baik

BAB I PENDAHULUAN. makhluk sosial, sejak dalam kandungan sampai dilahirkan anak. mempunyai hak atas hidup dan merdeka serta mendapat perlindungan baik BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kehidupan anak-anak merupakan cerminan kehidupan bangsa dan negara, oleh karena itu kehidupan anak-anak yang diwarnai dengan keceriaan merupakan cermin suatu

Lebih terperinci

PANDUAN PENDAMPINGAN DAN WAWANCARA TERHADAP KORBAN PERDAGANGAN ANAK:

PANDUAN PENDAMPINGAN DAN WAWANCARA TERHADAP KORBAN PERDAGANGAN ANAK: PANDUAN PENDAMPINGAN DAN WAWANCARA TERHADAP KORBAN PERDAGANGAN ANAK: 1 The Regional Support Office of the Bali Process (RSO) dibentuk untuk mendukung dan memperkuat kerja sama regional penanganan migrasi

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 2006 TENTANG PENGESAHAN INTERNATIONAL CONVENTION FOR THE SUPPRESSION OF TERRORIST BOMBINGS, 1997 (KONVENSI INTERNASIONAL PEMBERANTASAN PENGEBOMAN OLEH TERORIS,

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 2006 TENTANG PENGESAHAN INTERNATIONAL CONVENTION FOR THE SUPPRESSION OF THE FINANCING OF TERRORISM, 1999 (KONVENSI INTERNASIONAL PEMBERANTASAN PENDANAAN TERORISME,

Lebih terperinci

BAB IV KEBIJAKAN SEKURITISASI PEMERINTAH INDONESIA DALAM MENANGANI PERMASALAHAN IMIGRAN ILEGAL

BAB IV KEBIJAKAN SEKURITISASI PEMERINTAH INDONESIA DALAM MENANGANI PERMASALAHAN IMIGRAN ILEGAL BAB IV KEBIJAKAN SEKURITISASI PEMERINTAH INDONESIA DALAM MENANGANI PERMASALAHAN IMIGRAN ILEGAL Isu imigran ilegal yang terus mengalami kenaikan jumlah di Indonesia yang juga turut menimbulkan dampak tersendiri

Lebih terperinci

BAB II ATURAN HUKUM TERKAIT LARANGAN TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG. E. Perkembangan Aturan Hukum Tindak Pidana Perdagangan Orang

BAB II ATURAN HUKUM TERKAIT LARANGAN TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG. E. Perkembangan Aturan Hukum Tindak Pidana Perdagangan Orang BAB II ATURAN HUKUM TERKAIT LARANGAN TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG E. Perkembangan Aturan Hukum Tindak Pidana Perdagangan Orang Sejalan dengan perkembangan zaman aturan hukum mengenai Tindak Pidana Perdagangan

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 47 TAHUN 2007 TENTANG PENGESAHAN PERJANJIAN ANTARA REPUBLIK INDONESIA DAN AUSTRALIA TENTANG KERANGKA KERJA SAMA KEAMANAN (AGREEMENT BETWEEN THE REPUBLIC OF INDONESIA

Lebih terperinci

PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP PERDAGANGAN PEREMPUAN DAN ANAK (TRAFFICKING) DI INDONESIA

PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP PERDAGANGAN PEREMPUAN DAN ANAK (TRAFFICKING) DI INDONESIA PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP PERDAGANGAN PEREMPUAN DAN ANAK (TRAFFICKING) DI INDONESIA Oleh : ANI PURWANTI 1 I Pendahuluan Kejadian yang berkaitan dengan perdagangan perempuan dan anak perempuan yang dikenal

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Perdagangan orang (human trafficking) merupakan fenomena yang. berkembang secara global dan merupakan dampak negatif dari semakin

BAB I PENDAHULUAN. Perdagangan orang (human trafficking) merupakan fenomena yang. berkembang secara global dan merupakan dampak negatif dari semakin BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Perdagangan orang (human trafficking) merupakan fenomena yang berkembang secara global dan merupakan dampak negatif dari semakin berkembangnya peradaban masyarakat.

Lebih terperinci

Evaluasi Pelaksanaan Penyusunan RUU Prioritas Tahun 2005

Evaluasi Pelaksanaan Penyusunan RUU Prioritas Tahun 2005 Evaluasi Pelaksanaan Penyusunan RUU Prioritas Tahun 2005 No. Prioritas RUU Tahun 2005 1. RUU tentang Perubahan Atas Undang-Undang No. 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara 2. RUU tentang Lembaga Kepresidenan

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 2009 TENTANG PENGESAHAN UNITED NATIONS CONVENTION AGAINST TRANSNATIONAL ORGANIZED CRIME (KONVENSI PERSERIKATAN BANGSA-BANGSA MENENTANG TINDAK PIDANA TRANSNASIONAL

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. internasional yang bersifat global yang terpenting masa kini. 1 Di dalam

BAB I PENDAHULUAN. internasional yang bersifat global yang terpenting masa kini. 1 Di dalam 1 BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Perserikatan Bangsa-Bangsa adalah salah satu organisasi internasional yang bersifat global yang terpenting masa kini. 1 Di dalam piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa

Lebih terperinci

2 b. bahwa Persetujuan dimaksudkan untuk menetapkan prosedur penyelesaian sengketa dan mekanisme formal untuk Persetujuan Kerangka Kerja dan Perjanjia

2 b. bahwa Persetujuan dimaksudkan untuk menetapkan prosedur penyelesaian sengketa dan mekanisme formal untuk Persetujuan Kerangka Kerja dan Perjanjia LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.93, 2015 PENGESAHAN. Agreement. Asosiasi Bangsa- Bangsa Asia Tenggara. Republik India. Penyelesaian Sengketa. Kerja Sama Ekonomi. PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

Lebih terperinci

ATURAN PERILAKU BAGI APARAT PENEGAK HUKUM

ATURAN PERILAKU BAGI APARAT PENEGAK HUKUM ATURAN PERILAKU BAGI APARAT PENEGAK HUKUM Diadopsi oleh Resolusi Sidang Umum PBB No. 34/169 Tanggal 17 Desember 1979 Pasal 1 Aparat penegak hukum di setiap saat memenuhi kewajiban yang ditetapkan oleh

Lebih terperinci

2016, No , Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3277); 2. Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (Lembaran

2016, No , Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3277); 2. Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (Lembaran BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.935, 2016 KEMENKO-PMK. RAN PTPDO. Tahun 2015-2019. PERATURAN MENTERI KOORDINATOR BIDANG PEMBANGUNAN MANUSIA DAN KEBUDAYAAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 2 TAHUN 2016 TENTANG

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA www.bpkp.go.id UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 2006 TENTANG PENGESAHAN INTERNATIONAL CONVENTION FOR THE SUPPRESSION OF TERRORIST BOMBINGS, 1997 (KONVENSI INTERNASIONAL PEMBERANTASAN PENGEBOMAN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. manusia. Ini merupakan pelanggaran terhadap hak asasi manusia. Di masa lalu,

BAB I PENDAHULUAN. manusia. Ini merupakan pelanggaran terhadap hak asasi manusia. Di masa lalu, BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Perdagangan perempuan dan anak (trafiking) telah lama terjadi di muka bumi ini dan merupakan tindakan yang bertentangan dengan harkat dan martabat manusia. Ini merupakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. adanya pengaturan mengenai perjanjian (treaties), hak dan kewajiban raja, hukum

BAB I PENDAHULUAN. adanya pengaturan mengenai perjanjian (treaties), hak dan kewajiban raja, hukum 12 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Keberadaan hukum internasional sebagai bagian dari hukum yang sudah tua, yang mengatur hubungan antar negara tak dapat dipisahkan dari keberadaannya yang saat ini

Lebih terperinci

PROTOKOL OPSIONAL KONVENSI HAK-HAK ANAK MENGENAI KETERLIBATAN ANAK DALAM KONFLIK BERSENJATA

PROTOKOL OPSIONAL KONVENSI HAK-HAK ANAK MENGENAI KETERLIBATAN ANAK DALAM KONFLIK BERSENJATA PROTOKOL OPSIONAL KONVENSI HAK-HAK ANAK MENGENAI KETERLIBATAN ANAK DALAM KONFLIK BERSENJATA Negara-Negara Pihak pada Protokol ini, Didorong oleh dukungan penuh terhadap Konvensi tentang Hak-Hak Anak, yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. orang/manusia bukan kejahatan biasa (extra ordinary), terorganisir

BAB I PENDAHULUAN. orang/manusia bukan kejahatan biasa (extra ordinary), terorganisir BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Perdagangan orang (human trafficking) merupakan bentuk perbudakan secara modern, terjadi baik dalam tingkat nasional dan internasional. Dengan berkembangnya

Lebih terperinci

I. UMUM. 1. Latar Belakang Pengesahan

I. UMUM. 1. Latar Belakang Pengesahan PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 2006 TENTANG PENGESAHAN INTERNATIONAL CONVENTION FOR THE SUPPRESSION OF TERRORIST BOMBINGS, 1997 (KONVENSI INTERNASIONAL PEMBERANTASAN PENGEBOMAN

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 38 TAHUN 2008 TENTANG PENGESAHAN CHARTER OF THE ASSOCIATION OF SOUTHEAST ASIAN NATIONS (PIAGAM PERHIMPUNAN BANGSA-BANGSA ASIA TENGGARA) DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA

Lebih terperinci

PELANGGARAN HAK ASASI MANUSIA DI INDONESIA SEHUBUNGAN DENGAN PERDAGANGAN MANUSIA (ANAK)

PELANGGARAN HAK ASASI MANUSIA DI INDONESIA SEHUBUNGAN DENGAN PERDAGANGAN MANUSIA (ANAK) NAMA : HARLO PONGMERRANTE BIANTONG NRS : 094 PELANGGARAN HAK ASASI MANUSIA DI INDONESIA SEHUBUNGAN DENGAN PERDAGANGAN MANUSIA (ANAK) Dalam pasal 1 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM disebutkan

Lebih terperinci

PENGATURAN HUKUM INTERNASIONAL TENTANG LARANGAN PERDAGANGAN PEREMPUAN SERTA IMPLEMENTASINYA DI INDONESIA MOHAMMAD FADIL / D

PENGATURAN HUKUM INTERNASIONAL TENTANG LARANGAN PERDAGANGAN PEREMPUAN SERTA IMPLEMENTASINYA DI INDONESIA MOHAMMAD FADIL / D PENGATURAN HUKUM INTERNASIONAL TENTANG LARANGAN PERDAGANGAN PEREMPUAN SERTA IMPLEMENTASINYA DI INDONESIA MOHAMMAD FADIL / D 101 08 308 ABSTRAK Perdagangan manusia umumnya terjadi pada kelompok rentan,

Lebih terperinci

Masih banyaknya masalah yang telah disebutkan sebelumnya dapat dilih at bahwa India membutuhkan waktu yang cukup lama dalam menerapkan prinsip

Masih banyaknya masalah yang telah disebutkan sebelumnya dapat dilih at bahwa India membutuhkan waktu yang cukup lama dalam menerapkan prinsip BAB IV KESIMPULAN Perdagangan manusia atau yang dikenal dengan sebutan human trafficking merupakan bentuk kejahatan transnasional baru yang semakin marak terja di namun sulit untuk dideteksi. Kejahatan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA (UU) NOMOR 4 TAHUN 1988 (4/1988) TENTANG

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA (UU) NOMOR 4 TAHUN 1988 (4/1988) TENTANG UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA (UU) NOMOR 4 TAHUN 1988 (4/1988) TENTANG PENGESAHAN "PROTOCOL AMENDING THE TREATY OF AMITY AND COOPERATION IN SOUTHEAST ASIA" DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA Presiden

Lebih terperinci

KONVENSI ASEAN TENTANG PEMBERANTASAN TERORISME

KONVENSI ASEAN TENTANG PEMBERANTASAN TERORISME KONVENSI ASEAN TENTANG PEMBERANTASAN TERORISME Negara-Negara Anggota Perhimpunan Bangsa-Bangsa Asia Tenggara (ASEAN)--Brunei Darussalam, Kerajaan Kamboja, Republik Indonesia, Republik Rakyat Demokratik

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Perdagangan Manusia untuk tenaga kerja (Trafficking in persons for labor) merupakan masalah yang sangat besar. Data Perdagangan Manusia di Indonesia sejak 1993-2003

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 2012 TENTANG PENGESAHAN INTERNATIONAL CONVENTION ON THE PROTECTION OF THE RIGHTS OF ALL MIGRANT WORKERS AND MEMBERS OF THEIR FAMILIES (KONVENSI INTERNASIONAL

Lebih terperinci

UMUM. 1. Latar Belakang Pengesahan

UMUM. 1. Latar Belakang Pengesahan PENJELASAN ATAS RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 2006 TENTANG PENGESAHAN INTERNATIONAL CONVENTION FOR THE SUPPRESSION OF THE FINANCING OF TERRORISM, 1999 (KONVENSI INTERNASIONAL

Lebih terperinci

BAB III HASIL PENELITIAN DAN ANALISIS

BAB III HASIL PENELITIAN DAN ANALISIS BAB III HASIL PENELITIAN DAN ANALISIS A. HASIL PENELITIAN 1. Defenisi Human Trafficking Protokol Palermo Tahun 2000 : Perdagangan orang haruslah berarti perekrutan, pengiriman, pemindahan, menyembunyikan

Lebih terperinci

GUBERNUR JAWA BARAT,

GUBERNUR JAWA BARAT, PERATURAN GUBERNUR JAWA BARAT NOMOR 15 TAHUN 2010 TENTANG PUSAT PELAYANAN TERPADU PEMBERDAYAAN PEREMPUAN DAN ANAK PROVINSI JAWA BARAT GUBERNUR JAWA BARAT, Menimbang a. bahwa dalam rangka mewujudkan kesetaraan

Lebih terperinci

INSTRUMEN HUKUM MENGENAI HAM

INSTRUMEN HUKUM MENGENAI HAM INSTRUMEN HUKUM MENGENAI HAM Materi Perkuliahan HUKUM & HAM ke-6 INSTRUMEN HUKUM INTERNASIONAL MENGENAI HAM Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa Universal Declaration of Human Rights, 1948; Convention on

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Perdagangan orang merupakan salah satu bentuk perlakuan terburuk dari

BAB I PENDAHULUAN. Perdagangan orang merupakan salah satu bentuk perlakuan terburuk dari BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Perdagangan orang merupakan salah satu bentuk perlakuan terburuk dari pelanggaran harkat dan martabat manusia. Tindak pidana perdagangan orang, khususnya perempuan dan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. oleh United Nations Security Council yang menyebabkan berkembangnya

BAB I PENDAHULUAN. oleh United Nations Security Council yang menyebabkan berkembangnya BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Perkembangan organisasi internasional sebagai subjek hukum internasional, tidak terlepas dari munculnya berbagai organisasi internasional pasca Perang Dunia ke II. Terjadinya

Lebih terperinci

TINJAUAN YURIDIS TENTANG PENGATURAN-PENGATURAN TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG DI INDONESIA. Oleh: Nurul Hidayati, SH. 1.

TINJAUAN YURIDIS TENTANG PENGATURAN-PENGATURAN TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG DI INDONESIA. Oleh: Nurul Hidayati, SH. 1. TINJAUAN YURIDIS TENTANG PENGATURAN-PENGATURAN TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG DI INDONESIA Oleh: Nurul Hidayati, SH. 1 Abstraksi Perdagangan manusia di Indonesia merupakan suatu fenomena yang luar biasa

Lebih terperinci

WAKIL INDONESIA UNTUK ASEAN Intergovermental Commission on Human Rights (AICHR- Komisi HAM Antar Pemerintah ASEAN) Mengundang Anda mengikuti:

WAKIL INDONESIA UNTUK ASEAN Intergovermental Commission on Human Rights (AICHR- Komisi HAM Antar Pemerintah ASEAN) Mengundang Anda mengikuti: 1 WAKIL INDONESIA UNTUK ASEAN Intergovermental Commission on Human Rights (AICHR- Komisi HAM Antar Pemerintah ASEAN) Mengundang Anda mengikuti: KOMPETISI VIDEO PEMUDA-PEMUDI ASEAN ASEAN against Trafficking

Lebih terperinci

PERAN INDONESIA DALAM ORGANISASI REGIONAL

PERAN INDONESIA DALAM ORGANISASI REGIONAL PERAN INDONESIA DALAM ORGANISASI REGIONAL Association of Southeast Asian Nations (ASEAN) ASEP GINANJAR PPG DALAM JABATAN Kementerian Riset, Teknologi dan Pendidikan Tinggi 2018 1. Peran Indonesia dalam

Lebih terperinci

PENGUATAN KERJA SAMA PENEGAKAN HUKUM GLOBAL DAN REGIONAL Oleh: Viona Wijaya * Naskah diterima: 23 Agustus 2017; disetujui: 31 Agustus 2017

PENGUATAN KERJA SAMA PENEGAKAN HUKUM GLOBAL DAN REGIONAL Oleh: Viona Wijaya * Naskah diterima: 23 Agustus 2017; disetujui: 31 Agustus 2017 PENGUATAN KERJA SAMA PENEGAKAN HUKUM GLOBAL DAN REGIONAL Oleh: Viona Wijaya * Naskah diterima: 23 Agustus 2017; disetujui: 31 Agustus 2017 Dalam perkembangan pergaulan internasional saat ini, tidak mungkin

Lebih terperinci

1. Asal muasal dan standar

1. Asal muasal dan standar Diskriminasi dan kesetaraan: 1. Asal muasal dan standar Kesetaraan dan non-diskriminasi di tempat kerja di Asia Timur dan Tenggara: Panduan 1 Tujuan belajar 1. Mengakui hubungan antara bias dengan diskriminasi

Lebih terperinci

KERJASAMA ASEAN DALAM BERBAGAI BIDANG

KERJASAMA ASEAN DALAM BERBAGAI BIDANG KERJASAMA ASEAN DALAM BERBAGAI BIDANG Negara-negara ASEAN juga bekerja sama dalam bidang ekonomi dan sosial budaya. Dalam bidang ekonomi meliputi : 1. Membuka Pusat Promosi ASEAN untuk perdagangan, investasi

Lebih terperinci

Transnational Organized Crime

Transnational Organized Crime WILDLIFE CRIME Sebagai Salah Satu Bentuk Kejahatan Transnasional Ani Mardiastuti aniipb@indo.net.id Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor Transnational Organized Crime Terorisme Penyelundupan senjata

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Nazala, RM, Transnational Actors Organized Crime,dalam ceramah kelas Tranasionalisme Dalam Politik Dunia, Pada 01 Oktober

BAB I PENDAHULUAN. Nazala, RM, Transnational Actors Organized Crime,dalam ceramah kelas Tranasionalisme Dalam Politik Dunia, Pada 01 Oktober BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Perdagangan manusia atau yang dikenal dengan sebutan human trafficking merupakan bentuk kejahatan transnasional baru yang semakin marak terjadi namun sulit untuk dideteksi.

Lebih terperinci

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.149, 2012 PENGESAHAN. Protokol. Hak-Hak. Anak. Penjualan. Prostitusi. Pornografi. (Penjelasan Dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5330) UNDANG-UNDANG

Lebih terperinci

Lex Crimen Vol. VI/No. 8/Okt/2017. Kata kunci: Tindak Pidana, Pendanaan, Terorisme.

Lex Crimen Vol. VI/No. 8/Okt/2017. Kata kunci: Tindak Pidana, Pendanaan, Terorisme. TINDAK PIDANA PENDANAAN TERORISME DALAM UNDANG-UNDANG NOMOR 9 TAHUN 2013 SEBAGAI TINDAK PIDANA TRANSNASIONAL YANG TERORGANISASI (TRANSNATIONAL ORGANIZED CRIME) 1 Oleh: Edwin Fernando Rantung 2 ABSTRAK

Lebih terperinci

KEJAHATAN TRANSNASIONAL DI INDONESIA DAN UPAYA PENANGANANNYA. Penyunting Humphrey Wangke

KEJAHATAN TRANSNASIONAL DI INDONESIA DAN UPAYA PENANGANANNYA. Penyunting Humphrey Wangke KEJAHATAN TRANSNASIONAL DI INDONESIA DAN UPAYA PENANGANANNYA Penyunting Humphrey Wangke Pusat Pengkajian Pengolahan Data dan Informasi Sekretariat Jenderal Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia 2011

Lebih terperinci

TINJAUAN YURIDIS KEJAHATAN PERDAGANGAN MANUSIA (HUMAN TRAFFIKKING) SEBAGAI KEJAHATAN LINTAS BATAS NEGARA. Oleh: Novianti 1

TINJAUAN YURIDIS KEJAHATAN PERDAGANGAN MANUSIA (HUMAN TRAFFIKKING) SEBAGAI KEJAHATAN LINTAS BATAS NEGARA. Oleh: Novianti 1 TINJAUAN YURIDIS KEJAHATAN PERDAGANGAN MANUSIA (HUMAN TRAFFIKKING) SEBAGAI KEJAHATAN LINTAS BATAS NEGARA Oleh: Novianti 1 ABSTRAK Pengaturan terhadap kasus Tindakan perdagangan manusia (human trafikking)

Lebih terperinci

Upaya Pemberantasan dan Pencegahan Perdagangan Orang Melalui Hukum Internasional dan Hukum Positif Indonesia

Upaya Pemberantasan dan Pencegahan Perdagangan Orang Melalui Hukum Internasional dan Hukum Positif Indonesia Jurnal AL-AZHAR INDONESIA SERI PRANATA SOSIAL, Vol. 1, No. 3, Maret 2012 163 Upaya Pemberantasan dan Pencegahan Perdagangan Orang Melalui Hukum Internasional dan Hukum Positif Indonesia Maslihati Nur Hidayati

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pekerjaan. Hal ini telah diatur di dalam Pasal 23 ayat (1) Deklarasi Universal Hak

BAB I PENDAHULUAN. pekerjaan. Hal ini telah diatur di dalam Pasal 23 ayat (1) Deklarasi Universal Hak BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Setiap orang berhak atas pekerjaan dan berhak dengan bebas memilih pekerjaan. Hal ini telah diatur di dalam Pasal 23 ayat (1) Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (Universal

Lebih terperinci

PENCEGAHAN DAN PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA PERDAGANGAN PEREMPUAN DAN ANAK DI INDONESIA. Oleh: Maria Silvya E. Wangga'

PENCEGAHAN DAN PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA PERDAGANGAN PEREMPUAN DAN ANAK DI INDONESIA. Oleh: Maria Silvya E. Wangga' PENCEGAHAN DAN PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA PERDAGANGAN PEREMPUAN DAN ANAK DI INDONESIA Oleh: Maria Silvya E. Wangga' Abtrak Perdagangan manusia terutama perdagangan perempuan dan anak merupakan suatu bentuk

Lebih terperinci

Lex et Societatis, Vol. II/No. 9/Desember/2014

Lex et Societatis, Vol. II/No. 9/Desember/2014 KEWENANGAN PEMERINTAH DAERAH DALAM PEMBERANTASAN PERDAGANGAN ORANG (TRAFFICKING) REGIONAL AUTHORITY IN COMBATING TRAFFICKING IN PERSONS 1 Oleh : Jurista C. I. Oroh 2 ABSTRAK Penelitian ini merupakan jenis

Lebih terperinci

BAB V KESIMPULAN. Tenggara, yakni Association South East Asian Nations atau yang dikenal

BAB V KESIMPULAN. Tenggara, yakni Association South East Asian Nations atau yang dikenal BAB V KESIMPULAN Malaysia merupakan negara yang berada di kawasan Asia Tenggara, sebagai negara yang berada di kawasan Asia Tenggara, Malaysia merupakan salah satu pendiri organisasi di kawasan Asia Tenggara,

Lebih terperinci

Organisasi Negara-negara Asia Tenggara (ASEAN)

Organisasi Negara-negara Asia Tenggara (ASEAN) A. Organisasi Negara-negara Asia Tenggara (ASEAN) 1. Lahirnya ASEAN (Association of South East Asian Nations) Kerja sama antarbangsa dalam satu kawasan perlu dijalin. Hal itu sangat membantu kelancaran

Lebih terperinci

MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBUK INDONESIA

MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBUK INDONESIA MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBUK INDONESIA RAPAT KOORDINASI BADAN LEGISLASI DPR-RI DAN PEMERINTAH TENTANG EVALUASI PRIORITAS RUU TAHUN 2005 Jakarta, 21 September 2005 Pimpinan dan Anggota Badan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. sangat mengkhawatirkan. Pada era globalisasi sekarang ini, modern slavery marak

BAB I PENDAHULUAN. sangat mengkhawatirkan. Pada era globalisasi sekarang ini, modern slavery marak BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Permasalahan human trafficking yang terjadi di Indonesia kini kondisinya sangat mengkhawatirkan. Pada era globalisasi sekarang ini, modern slavery marak dalam wujudnya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Di masa lalu

BAB I PENDAHULUAN. berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Di masa lalu BAB I PENDAHULUAN A. Konteks Penelitian Perdagangan orang (trafficking) telah lama terjadi dimuka bumi ini. Perdagangan orang merupakan tindakan yang bertentangan dengan harkat dan martabat manusia. Hal

Lebih terperinci

sebagai seratus persen aman, tetapi dalam beberapa dekade ini Asia Tenggara merupakan salah satu kawasan yang cenderung bebas perang.

sebagai seratus persen aman, tetapi dalam beberapa dekade ini Asia Tenggara merupakan salah satu kawasan yang cenderung bebas perang. BAB V KESIMPULAN Asia Tenggara merupakan kawasan yang memiliki potensi konflik di masa kini maupun akan datang. Konflik perbatasan seringkali mewarnai dinamika hubungan antarnegara di kawasan ini. Konflik

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN. meningkat pula frekuensi lalu lintas transportasi laut yang mengangkut manusia

1. PENDAHULUAN. meningkat pula frekuensi lalu lintas transportasi laut yang mengangkut manusia 1 1. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Seiring dengan meningkatnya hubungan perdagangan antar negara, maka semakin meningkat pula frekuensi lalu lintas transportasi laut yang mengangkut manusia dan barang-barang/kargo.

Lebih terperinci

DAFTAR ISI. I.6.1 Kelemahan Organisasi Internasional secara Internal I.6.2 Kelemahan Organisasi Internasional dari Pengaruh Aktor Eksternal...

DAFTAR ISI. I.6.1 Kelemahan Organisasi Internasional secara Internal I.6.2 Kelemahan Organisasi Internasional dari Pengaruh Aktor Eksternal... DAFTAR ISI DAFTAR ISI... i DAFTAR TABEL... iii DAFTAR GAMBAR... iii DAFTAR GRAFIK... iii DAFTAR SINGKATAN... iii ABSTRAK... iii ABSTRACT... iv BAB I PENDAHULUAN... 1 I.1 Latar Belakang... 1 I.2 Rumusan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. menyejajarkan atau menyetarakan tingkat hidup dan masyarakat tiap-tiap bangsa

BAB I PENDAHULUAN. menyejajarkan atau menyetarakan tingkat hidup dan masyarakat tiap-tiap bangsa BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Globalisasi adalah suatu rangkaian proses penyadaran dari semua bangsa yang sama-sama hidup dalam satu ruang, yaitu globus atau dunia. Pendapat ini mencoba menyampaikan

Lebih terperinci

K182 PELANGGARAN DAN TINDAKAN SEGERA PENGHAPUSAN BENTUK-BENTUK PEKERJAAN TERBURUK UNTUK ANAK

K182 PELANGGARAN DAN TINDAKAN SEGERA PENGHAPUSAN BENTUK-BENTUK PEKERJAAN TERBURUK UNTUK ANAK K182 PELANGGARAN DAN TINDAKAN SEGERA PENGHAPUSAN BENTUK-BENTUK PEKERJAAN TERBURUK UNTUK ANAK 1 K 182 - Pelanggaran dan Tindakan Segera Penghapusan Bentuk-bentuk Pekerjaan Terburuk untuk Anak 2 Pengantar

Lebih terperinci