VIII. KEBIJAKAN PENGELOLAAN

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "VIII. KEBIJAKAN PENGELOLAAN"

Transkripsi

1 VIII. KEBIJAKAN PENGELOLAAN Pemanfaatan jasa lingkungan untuk kegiatan ekowisata ditujukan untuk menciptakan hubungan timbal balik dan saling mengisi antara pelestarian lingkungan, peningkatan kesejahteraan dan mutu hidup masyarakat lokal serta kelayakan ekonomi dan usaha. Oleh karena itu, dalam implementasinya konsep ekowisata dituntut untuk: (1) menjamin tidak terjadi pemanfaatan yang berlebihan dan mempaduserasikan semua kepentingan secara berimbang, (2) memastikan masyarakat secara aktif, kehidupan sosialnya terangkat serta nilai-nilai budaya tetap terjaga, (3) memastikan pemanfaatan tersebut memberikan sumbangan secara nyata pada peningkatan ekonomi lokal, regional dan nasional, serta (4) memastikan penyelenggara usaha memiliki kelayakan finansial. Hasil pengamatan peneliti, pengembangan wisata bahari di Kepulauan Seribu, baik di P. Untung Jawa maupun di P. Pramuka telah melibatkan masyarakat lokal. Demikian pula hasil analisis ekonomi, pengelolaan wisata alam ini telah memberikan manfaat bagi masyarakat lokal. Kesempatan untuk meningkatkan manfaat dari kegiatan ekowisata ini juga masih dapat ditingkatkan melalui penetapan tarif masuk yang lebih tinggi. Dalam pemanfaatan sumberdaya alam tidak dapat dipungkiri adanya dampak lingkungan berupa kerusakan lingkungan yang semakin tampak, baik yang disebabkan oleh kegiatan wisata maupun aktivitas penduduk. Agar tujuan dari konsep ekowisata sebagaimana disebutkan di atas dapat tercapai, maka diperlukan kebijakan pengelolaan ekowisata berbasis kawasan. Kebijakan yang dibuat harus melibatkan berbagai pemangku kepentingan sehingga terjamin adanya sinergi dan koordinasi diantara berbagai pemangku kepentingan tersebut. Koordinasi dan sinergi dengan setiap

2 stakeholder diyakini dapat berperan nyata dalam mensukseskan pengelolaan ekowisata di suatu kawasan. 8.1 Peran Strategis Pemangku Kepentingan Kebijakan pengelolaan diperlukan karena terkait dengan interaksi negatif antara kegiatan wisata dengan kondisi fisik lingkungan. Hal ini telah menjadi perhatian dari stakeholder wisata, seperti pemerintah, LSM, masyarakat setempat dan sektor swasta, dimana masing-masing pihak memiliki kepentingan dalam pembangunan wisata dan turut mempengaruhi interaksi kegiatan ini dengan kondisi fisik lingkungan. Berikut ini dijabarkan beberapa peran strategis para stakeholder wisata di Kepulauan Seribu Sektor Publik Perhatian utama pemerintah pada kegiatan wisata dikarenakan kegiatan ini mampu menghasilkan manfaat ekonomi dan kesadaran bahwa manfaat konomi tersebut juga berkurang jika sumberdaya alam yang menghasilkan jasa lingkungan tersebut mengalami kerusakan. Walaupun demikian, prioritas pemerintah terhadap perlindungan lingkungan selama dua dekade terakhir menunjukkan bahwa pelestarian lingkungan masih belum menjadi prioritas pembangunan, bahkan terkesan sebagai suatu kemewahan. Hal ini sejalan dengan hirarki O Riordans s (1981) mengenai prioritas pembangunan, sebagaimana terlihat pada Gambar 13. Tidak dapat dipungkiri peran sektor publik (pemerintah) sangat mendasar dalam pengembangan ekowisata. Pemerintah memiliki otoritas untuk menyusun kebijakan dan pengendalian tentang pemanfaatan kawasan dan sumberdaya alam yang terdapat di dalamnya. Selain itu pemerintah yang tergabung dalam sektor

3 publik memiliki mekanisme kerjasama dan struktur vertikal dan horizontal yang relatif kuat. Berkaitan dengan penyediaan modal, pemerintah memiliki alokasi dana (meskipun seringkali terbatas) yang dapat diperuntukkan bagi pengadaan infrastruktur pariwisata. Prioritas 1: keamanan nasional, kesehatan masyarakat, pertumbuhan ekonomi dan kesempatan kerja Prioritas 2: redistribusi kesejahteraan, pembangunan wilayah, redistribusi pendapatan dan pemerataan kesempatan sosial Prioritas 3: perhatian lingkungan, pembangunan sistem kontrol dan pengawasan, keselarasan ekologi Sumber: O Riordan (1981). Gambar 14. Hirarki Tujuan Nasional Pembangunan pariwisata di Indonesia merupakan urusan pemerintah yang bersifat concurrent (urusan bersama antara pemerintah pusat dan daerah) dan optional. Hal ini dikarenakan semua daerah memiliki potensi pariwisata namun tidak semua bernilai unggul. Bagi daerah yang memiliki potensi wisata dan dapat menjadikannya sektor unggulan dalam pembangunannya maka dapat menetapkan sektor tersebut menjadi urusannya (optional). Hal tersebut diwujudkan melalui upaya Pemda membentuk suatu unit kerja dalam mengurusnya. Sejauh ini, dukungan pemerintah pusat terhadap pariwisata alam ditunjukkan dengan sejumlah produk hukum yang mendukung keberadaan pariwisata alam dan ekowisata, sebagaimana disajikan pada Tabel 19, dimana concern pemerintah terhadap wisata alam dimulai ketika menerbitkan UU No.9 Tahun 1990 tentang kepariwisatawaan.

4 Tabel 19. Produk Hukum Terkait Ekowisata di Indonesia Produk Hukum UU No.9/1990 UU No.5/1990 PP No. 18 /1994 SK Menhut No. 446/Kpts-II/1996 SK Menhut No. 447/Kpts-II/1996 SK Menhut No. 448/Kpts-II/1996 SK Menhut No. 167/Kpts-II/1996 Surat Edaran Mendagri No.660.1/836/V/ Bangda/2000 PP No.6/2007 Perihal Kepariwisataan Konservasi Sumberdaya Alam Hayati dan Ekosistemnya Pengusahaan Pariwisata Alam di Zona Pemanfaatan Taman Nasional, Taman Hutan Raya dan Taman wisata Alam Tata Cara Permohonan, Pemberian dan Pencabutan Izin Pengusahaan Pariwisata Alam Pembinaan dan Pengawasan Pengusahaan Pariwisata Alam Pengalihan Kepemilikan Sarana dan Prasarana Kepariwisataan Kepada Negara Sarana dan Prasarana Pengusahaan Pariwisata Alam di Kawasan Pelestarian Alam Pedoman Umum Pengembangan Ekowisata Daerah Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan Hakikat pengembangan pariwisata di daerah tidak dapat lepas dari tiga aspek, yaitu sosial budaya, ekonomi dan ekologi. Seperti yang ditunjukkan pada Gambar 15. Destinasi wisata diharapkan tidak merusak kondisi sosial budaya masyarakat, menciptkan manfaat ekonomi bagi masyarakat setempat serta tidak merusak lingkungan. ekologi Destinasi yang mencerminkan keseimbangan ekologi sosial budaya dan ekonomi sosial budaya ekonomi Gambar 15. Keterkaitan Aspek Pengembangan Pariwisata Daerah

5 Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu merupakan salah satu wilayah yang menjadikan sektor wisata khususnya wisata bahari sebagai sektor unggulan. Hal ini tercermin dalam misi kabupaten yaitu mewujudkan wilayah Kepulauan Seribu sebagai kawasan wisata bahari yang lestari dan menegakkan hukum yang terkait dengan pelestarian lingkungan kebaharian dan segala aspek kehidupan. Pemda sejauh ini telah melakukan beberapa langkah strategis terkait pengembangan wisata bahari di wilayah ini. Upaya yang telah dilakukan antara lain adalah: 1. Menetapkan kawasan pariwisata taman laut di Kecamatan Kepulauan Seribu Utara sebagai "The International Marine Tourism Destination Area sebagai kawasan pariwisata eksklusif dan kawasan pariwisata teluk (Kecamatan Kepulauan Seribu Selatan) sebagai kawasan pariwisata massal. 2. Peningkatan sarana dan prasarana dan perbaikan kualitas lingkungan. Hal ini ditunjukkan dengan pembangunan jaringan listrik bawah laut yang hingga saat ini sudah sampai pada tahap II (Tahap I berlokasi di Kecamatan Kepulauan Seribu Utara dan Tahap II berlokasi Kecamatan Kepulauan Seribu Selatan), perbaikan Dermaga Muara Angke sebagai pintu gerbang masuk ke kawasan Kepulauan Seribu dan peningkatan landasan lapangan terbang (air strip) di P.Panjang dengan fasilitas penunjangnya. 3. Merevisi Tata Ruang Kabupaten. Saat ini 47 pulau diperuntukan sebagai kawasan rekreasi dan pariwisata dimana pemanfaatannya harus berbadan hukum dan harus memperoleh SIPPT, dimana 60 persen areal pemanfaatan untuk komersial dan 40 persen untuk penyediaan fasilitas umum.

6 4. Sejumlah program pada tahun 2008, diantaranya rehabilitasi ekosistem laut (mangrove, terumbu karang, padang lamun), pembangunan restoran apung di P. Pramuka dan di P. Untung Jawa, menjadikan P. Lancang sebagai destinasi baru setelah P. Untung Jawa. 5. Menetapkan areal perlindungan laut berbasis masyarakat, melalui SK Bupati No.307 Tahun 2004, dimana pengelolaan areal perlindungan laut dilakukan secara kolaboratif antara pemerintah, masyarakat dan stakeholder lainnya. Namun sejauh ini manfaat ekonomi dari keberadaan pulau-pulau wisata belum dirasakan secara luas oleh masyarakat lokal. Artinya masih banyak hal yang belum dilakukan oleh Pemda untuk meningkatkan manfaat ekonomi dari keberadaan wisata bahari tersebut. Banyak hal strategis yang dapat dilakukan dalam pengembangan wisata, diantaranya adalah: 1. Melakukan konsultasi kebijakan pengembangan daerah tujuan wisata. Sudin Pariwisata dan Bappekab dapat menyusun arahan pengembangan (masterplan) pariwisata melalui kerjasama dengan dinas yang lebih tinggi atau industri wisata dalam melakukan pemasaran produk ekowisata. 2. Melakukan terobosan penting untuk memperbaiki kerangka dasar pengembangan pariwisata secara umum, seperti perbaikan iklim investasi, peningkatan keamanan wisatawan, peningkatan kebersihan. 3. Melakukan pengawasan dan arahan dalam perkembangan kegiatan wisata agar tidak mengingkari prinsip keberlanjutan (sustainability). Dalam hal ini pemerintah dapat bekerja sama untuk menciptakan tata kelola Taman Nasional, termasuk dalam hal penyediaan infrastruktur wisata.

7 4. Bertanggungjawab dalam perencanaan, pengadaan dan pemeliharaan infrastruktur kawasan ekowisata, terutama yang terkait dengan urusan logistik, seperti fasilitas listrik, komunikasi, air bersih dan kebersihan. 5. Memiliki otoritas yang kuat untuk memfasilitasi kerjasama antar kelompok masyarakat yang melakukan berbagai kegiatan di sekitar kawasan wisata, misalnya dengan membentuk serikat pedagang kerajinan dan pengelola kawasan wisata. Akan tetapi dalam pelaksanaannya sektor publik seringkali berhadapan dengan keterbatasan pemahaman tentang prinsip ekowisata dan pembangunan berkelanjutan. Kerjasama inter sektoral dan lintas sektoral masih seringkali sebatas wacana dan sulit dalam praktiknya. Arogansi sektoral dan daerah yang semakin kuat di kalangan pemerintah, terutama setelah otonomi daerah seringkali menghambat kelancaran pengembangan ekowisata (Kusworo dan Damanik, 2003). Terkait dengan upaya perlindungan sumberdaya alam dan lingkungan, sektor publik terkesan kurang fleksibel untuk mengubah peraturan agar dapat lebih konsisten dengan prinsip pembangunan berkelanjutan Sektor Swasta Sektor swasta mempunyai modal yang sangat berharga baik dalam bentuk uang maupun dalam bentuk pengetahuan, terutama di bidang manajemen usaha dan pemasaran. Sektor swasta mempunyai pengalaman dan kemampuan yang relatif baik untuk melatih tenaga kerja lokal tentang cara kerja di sektor pariwisata, cara mengelola usaha kecil ataupun menjalin kemitraan (joint venture). Bahkan selain menjadi investor dalam penyediaan akomodasi, terbuka peluang

8 bagi pihak swasta untuk ikut mendanai penyediaan infrastruktur pendukung wisata atau memperbaiki fasilitas wisata, seperti jalan setapak, toilet umum dan lainnya. Walaupun demikian sektor swasta umumnya mempunyai pemahaman yang terbatas pada prinsip ekowisata dan pembangunan berkelanjutan. Orientasi keuntungan jangka pendek seringkali menjadi pertimbangan utama. Selain itu pengalaman yang terbatas dalam kerjasama dengan masyarakat lokal yang pengetahuan tentang bisnisnya sangat minim dan dengan pemerintahan yang cara kerjanya terlalu birokratis atau dengan lembaga donor internasional yang menuntut efisien tinggi, sering menjadi penghalang bagi sektor ini Lembaga Swadaya Masyarakat Lembaga ini dapat berperan paling tidak dalam tiga hal, yaitu: (1) memberikan pengetahuan praktis tentang pengelolaan kawasan ekowisata dan konservasi, (2) melakukan kontak langsung dan kerjasama dengan kelompok sasaran, dan (3) membuka akses ke pihak-pihak yang berkepentingan. Kerjasama yang dapat dilakukan oleh dan dengan pihak LSM, diantaranya adalah: 1. Sharing informasi mengenai pengetahuan dan pengalaman mengenai kondisi ekologi dan sosial budaya masyarakat setempat yang dapat digunakan untuk mengembangkan produk wisata. 2. Sebagai titik tolak kemitraan antara masyarakat lokal dengan pihak investor. 3. Melakukan kerja sama dengan donor internasional dalam pengembangan wisata. 4. Bersama masyarakat lokal menginisiasi pembentukan unit usaha yang mengkhususkan pada perjalanan minat khusus.

9 Hingga saat ini di Kepulauan Seribu sudah terdapat peran LSM terkait dengan pengembangan ekowisata bahari. Sudah banyak program yang telah dilakukan oleh LSM diantaranya adalah membangun suatu kerangka ekowisata berbasis masyarakat lokal, melakukan capacity building di masyarakat lokal terkait pengetahuan akan ekologi terumbu karang, memberikan pelatihan kepada masyarakat lokal terkait keahlian menyelam, melakukan pendampingan dalam tranplantasi karang, menjembatani antara masyarakat lokal dengan pemerintahan daerah dan lain sebagainya Masyarakat Lokal Kebijakan yang dipilih dalam pengelolaan kawasan wisata seharusnya mampu menghasilkan model partisipasi masyarakat yang sejelas mungkin. Partisipasi masyarakat sejak awal penyusunan rencana, pelaksanaan proyek, pengelolaan dan pembagian hasilnya merupakan hal yang mutlak dan harus ditegaskan sejak awal. Guna menumbuhkan partisipasi masyarakat maka perlu diciptakan suasana kondusif yaitu suasana yang menggerakkan masyarakat untuk menaruh perhatian dan kepedulian pada kegiatan pariwisata dan kesediaan untuk bekerjasama secara aktif dan berlanjut. Beberapa hal yang dapat dilakukan untuk memfasilitasi peran masyarakat, adalah: 1. Memberikan pemahaman tentang urgensi peran masyarakat dalam pengelolaan pariwisata. Hal ini memerlukan waktu, biaya dan tenaga berpengalaman untuk mendampingi mereka. Harus diupayakan agar mereka tidak hanya menjadi penerima program semata.

10 2. Mendorong partisipasi masyarakat dengan mengajak pemimpin lokal, asosiasi lokal, gagasan dan harapan masyarakat lokal menjadi sentral dalam penyusunan pariwisata. 3. Membentuk kelompok pemangku kepentingan lokal yang akan terlibat intensif dalam pariwisata. Hal ini dapat melibatkan individu ataupun institusi. Jika pada masyarakat terdapat tokoh kunci maka dapat diajak sebagai pelaku usaha wisata atau terlibat dalam perencanaan pariwisata. 4. Memadukan manfaat yang diperoleh dengan kegiatan konservasi secara langsung dan pastikan bahwa manfaat yang dirasakan dinikmati oleh masyarakat setempat. 5. Mendorong organisasi-organisasi lokal dalam meningkatkan kesejahteraan masyarakat, melalui aktivitas ekonomi, misal koperasi, asosiasi pengrajin dan lainnya. 6. Memberikan pemahaman bahwa setiap kawasan memiliki situasi yang khusus sehingga kesepakatan bersama selalu tidak mudah dicapai, jika kesepakatan tercapai, maka akan ada kepentingan beberapa kelompok masyarakat yang tidak terakomodir. Peran masyarakat dalam pengelolaan pariwisata di P. Untung Jawa dan P. Pramuka sangat terlihat. Masyarakat berperan sebagai penyedia jasa wisata, sebagian pemilik modal lokal bertindak sebagai pemilik unit usaha, sebagian lainnya yang tidak memiliki akses terhadap modal berperan sebagai tenaga kerja lokal. Perbedaan peran masyarakat di kedua pulau, terlihat dalam pengelolaan objek wisata. Objek wisata P. Untung Jawa dikelola oleh masyarakat setempat dengan bantuan Sudin Pariwisata dan keberadaan organisasi pengelola ini telah

11 berlangsung selama lebih kurang lima tahun. Sedangkan di P. Pramuka walaupun jumlah pengunjung semakin meningkat, hingga saat ini belum terbentuk suatu organisasi pengelola kawasan wisata, selain itu peran pemerintah dalam mendukung kegiatan wisata di pulau ini kurang terlihat. Hingga saat ini ekowisata di P. Pramuka dilakukan masyarakat lokal dengan didampingi oleh sebuah LSM. 8.2 Preferensi Stakeholder terhadap Pengelolaan Wisata Bahari Berdasarkan penjelasan sebelumnya telah diketahui peran dari masingmasing stakeholder dalam pengelolaan pariwisata. Jika dianalisis lebih lanjut, setiap stakeholder memiliki preferensi yang berbeda terhadap kebutuhan utama suatu kawasan wisata. Hal ini terkait dengan keadaan spesifik lokasi objek wisata dan kepentingan masing-masing stakeholder. Suatu bentuk wisata diskenariokan terdiri dari atribut upaya konservasi alam, pelibatan masyarakat lokal, kelengkapan sarana dan prasarana serta ketersediaan transportasi. Setiap atribut memiliki level (tingkat kepentingan) yang berbeda, mulai dari tinggi, sedang dan rendah. Hasil conjoint analysis menunjukkan, di kedua pulau setiap stakeholder memiliki preferensi yang berbeda, seperti yang ditunjukkan pada Gambar 16 dan 17. Wisatawan di P. Untung Jawa menginginkan upaya konservasi adalah hal yang utama sedangkan pemilik unit usaha, tenaga kerja lokal dan masyarakat mengharapkan penyediaan sarana dan prasarana wisata yang lebih lengkap. Mereka berharap dengan semakin lengkapnya sarana dan prasarana maka wisatawan pun akan semakin banyak yang datang sehingga dampak ekonomi yang mereka rasakan akan semakin meningkat.

12 Persentase Kepentingan Persentase Kepentingan Wisatawan dan tenaga kerja lokal di P. Pramuka menunjukkan harapan yang berbeda. Wisatawan menginginkan pemenuhan sarana dan prasarana, sedangkan pemilik unit usaha dan masyarakat menginginkan upaya konservasi yang paling utama, karena mereka yakin kedatangan wisatawan ke lokasi tersebut disebabkan oleh kondisi alam yang masih baik. Sehingga bila alam semakin rusak maka wisatawan yang datang akan semakin sedikit sehingga akan merugikan Wisatawan Pemilik Unit Usaha Stakeholder TK Lokal Masyarakat Konservasi Pelibatan Masyarakat Sarana Prasarana Transportasi Gambar 16. Preferensi Stakeholder Pariwisata pada Atribut Wisata di Pulau Untung Jawa Wisatawan Pemilik Unit Usaha Stakeholder TK Lokal Masyarakat Konservasi Pelibatan Masyarakat Sarana Prasarana Transportasi Gambar 17. Preferensi Stakeholder Pariwisata pada Atribut Wisata di Pulau Pramuka

13 Sedangkan aparat pemerintah (yang diwakili oleh beberapa wakil dari instansi Pemda) dan lembaga non pemerintah juga memiliki preferensi yang berbeda. Bagi pemerintah yang terpenting bagi suatu kawasan wisata adalah pemenuhan sarana dan prasarana sedangkan bagi LSM yang terpenting adalah transportasi. Pihak LSM menganggap transportasi paling penting, karena atribut ini dianggap faktor yang paling utama guna mendatangkan wisatawan. Tabel 20 berikut ini menunjukkan ringkasan preferensi utama dari masing-masing stakeholder. Tabel 20. Ringkasan Preferensi Stakeholder terhadap Atribut Wisata Alam di Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu Tahun 2008 Stakeholder Lokasi P. Untung Jawa P. Pramuka Wisatawan Konservasi Sarana Prasarana Pemilik Unit Usaha Sarana Prasarana Konservasi Tenaga Kerja Lokal Sarana Prasarana Sarana Prasarana Masyarakat Sarana Prasarana Konservasi Pemerintah Sarana Prasarana LSM Transportasi 8.3 Pengelolaan Wisata yang Diharapkan Pemilik dan tenaga kerja lokal memandang dan mengharapkan pengelolaan pariwisata dilakukan oleh masyarakat lokal. Kedua pihak beranggapan pengelolaan oleh masyarakat akan memberikan peluang lebih besar bagi mereka untuk mencari nafkah dan menikmati dampak positif dari kegiatan pariwisata tersebut. Prospek wisata yang ada saat ini menurut mereka bagus dan kondisi lingkungan semakin baik dengan adanya kegiatan wisata (ditandai dengan semakin lengkapnya sarana dan prasarana). Selain itu, mereka juga berpandangan tiket diperlukan sebagai salah satu dana untuk membangun sarana dan pengontrol wisatawan yang masuk ke pulau, besarnya tiket yang memadai adalah Rp 3 000

14 per orang. Menurut para tenaga kerja lokal, selama ini peran pemerintah telah dirasakan walaupun pemerintah jauh lebih berperan dalam pembangunan di P. Untung Jawa. Peran yang paling terasa adalah pembangunan sarana infrastruktur. Demikian halnya dengan persepsi wisatawan akan bentuk suatu objek wisata pada umumnya sama di kedua lokasi. Wisatawan lebih menyukai bentuk wisata yang dikelola oleh masyarakat lokal, dengan alasan biayanya jauh lebih murah dan masyarakat mendapat manfaat dari keberadaan kegiatan wisata. Penilaian wisatawan terhadap kondisi lingkungan setelah adanya kegiatan wisata, berbeda di dua lokasi. Wisatawan di P. Untung Jawa menyatakan bahwa kondisi lingkungan semakin baik, hal tersebut ditunjukkan dengan semakin lengkapnya sarana dan prasarana, taman bermain dan lokasi rumah makan yang tertata lebih rapih. Sementara wisatawan di P. Pramuka memberikan penilaian semakin buruk terhadap lingkungan, hal tersebut didasari pada kondisi terumbu karang yang semakin banyak yang rusak dan banyaknya sampah di pinggir pantai. Keberadaan tiket masuk sebesar Rp per orang di P. Untung Jawa, tidak dirasakan memberatkan oleh wisatawan. Menurut wisatawan tiket tersebut dirasa cukup sesuai dan diperlukan untuk melengkapi sarana wisata. Akan tetapi di P. Pramuka yang hingga saat ini belum diterapkan tiket masuk, umumnya (49 persen responden) wisatawan keberatan jika harus membayar tiket masuk. Hal ini didasarkan pada belum lengkapnya sarana wisata di lokasi tersebut. Sebagian lain yang menyatakan bersedia membayar, bahkan menyatakan nilai tiket yang layak adalah Rp per orang. Terkait dengan skenario dana konservasi lingkungan yang telah dijelaskan sebelumnya, wisatawan yang bersedia membayar jumlahnya jauh lebih tinggi di

15 P. Untung Jawa dibandingkan di P. Pramuka, namun dengan nilai yang lebih kecil. Wisatawan di P. Untung Jawa bersedia membayar biaya ini maksimal Rp per orang karena menurut mereka biaya yang dibebankan sudah cukup besar terlebih di Tanjung Pasir mereka juga diminta biaya Rp per orang di luar biaya parkir (Rp per motor atau Rp per mobil). Sedangkan wisatawan di P. Pramuka bersedia membayar hingga Rp per orang. Sebaliknya di P. Pramuka yang belum diterapkan tiket masuk, kesediaan membayar dana konservasi di P. Pramuka jauh lebih tinggi dibandingkan kesediaan biaya membayar tiket. Hal ini dikarenakan menurut mereka biaya konservasi lebih bermanfaat dibandingkan tiket masuk, disamping alasan lain seperti kekhawatiran mereka terhadap kejelasan pengelolaan tiket masuk. Hasil penelitian menunjukkan tingkat pendapatan dan pendidikan wisatawan di P. Pramuka turut mempengaruhi kesediaan membayar dana konservasi tersebut. 8.4 Identifikasi Strengthness, Weakness, Opportunities and Threats Identifikasi Strengthness, Weakness, Opportunities and Threats (SWOT) digunakan untuk mengidentifikasi kekuatan dan kelemahan serta peluang dan ancaman pengembangan potensi objek wisata. Hasil analisis ini dapat dijadikan sebagai salah satu dasar dalam merumuskan rekomendasi dan alternatif strategi dalam pengembangan obyek wisata wisata bagi Pemda Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu, sebagai stakeholder yang merencanakan pengembangan sektor pariwisata di kawasan ini. Oleh sebab itu, sebagai stakeholder, Pemda perlu mengetahui kekuatan dan kelemahan yang dimiliki oleh kawasan. Identifikasi SWOT yang dilakukan berikut ini bersifat spesifik pulau.

16 8.4.1 Identifikasi SWOT Pengembangan Wisata Bahari di Pulau Untung Jawa Kekuatan 1. Memiliki keragaman atraksi dan objek wisata berupa wisata alam (cagar alam P. Rambut) dan sejarah (kepindahan masyarakat ke P. Untung Jawa). 2. Pemda melalui Sudin Pariwisata telah menjadikan pulau ini sebagai desa wisata bahari. 3. Terdapat peran nyata dari pemerintah daerah, diantaranya: (1) Sudin pariwisata menata kawasan objek wisata dan telah rutin memberikan pelatihan kepada para pelaku usaha wisata, Sudin Koperasi dan UKM menyediaan kredit bagi pemilik unit usaha wisata, Sudin Kebersihan rutin membersihkan areal wisata dan Sudin Pekerjaan Umum membangun berbagai fasilitas untuk masyarakat lokal dan wisatawan. 4. Sudah terdapat mekanisme pendanaan objek wisata, melalui penetapan tarif masuk bagi wisatawan dan mekanisme penggunaannya sehingga jumlah turis dan penerimaan wisata dapat lebih terkontrol. 5. Secara geografis, letaknya strategis karena dekat dengan daratan Tangerang sehingga relatif mudah untuk pemenuhan kebutuhan sehari-hari. 6. Telah tersedia sarana penunjang kegiatan pariwisata seperti transportasi laut, homestay, rumah makan, panggung hiburan, telekomunikasi, jalan lingkar pulau dan kebersihan yang cukup baik. 7. Memiliki keterikatan sejarah dengan Perang RI Belanda, namun saat ini situs-situs sejarah tersebut belum dikelola dengan baik. 8. Jumlah kunjungan tinggi terutama pada libur tertentu seperti hari raya lebaran.

17 9. Sudah mengembangkan unit usaha makanan khas daerah (kripik sukun dan manisan ciremai). Kelemahan 1. Beberapa objek wisata penting dan potensial belum dikelola dengan baik, misalnya beberapa objek wisata nampak kotor dan tidak terawat. 2. Budaya lokal belum dikemas menjadi objek wisata yang atraktif. 3. Minimnya upaya promosi, pemasaran dan membangun aliansi dengan pihak swasta (travel agent). 4. Keadaan alam atau cuaca yang tidak menentu sangat bepengaruh terhadap kelancaran transportasi air. Ini merupakan ancaman bagi perkembangan pariwisata di P. Untung Jawa pada musim-musim tertentu. 5. Hutan mangrove dan beberapa pantai di bagian belakang pulau belum dikelola dengan maksimal sebagai tujuan wisata. 6. Ketergantungan dalam kebutuhan bahan baku pangan dari daratan Jakarta dan Tangerang. Peluang 1. Skenario Rencana Strategis Kabupaten Tahun , yaitu menjadikan Kepulauan Seribu sebagai destinasi wisata bahari yang berskala nasional dan internasional 2. Pulau Untung Jawa merupakan pulau wisata baik bagi masyarakat dari Tangerang dan sekitarnya maupun pulau-pulau di wilayah Kepulauan Seribu di bagian Selatan, sehingga sangat berpeluang dikembangkan menjadi tujuan

18 wisata karena sebagai tujuan wisata yang murah dan memiliki peluang pasar yang baik. 3. Letaknya dekat dengan beberapa resort (P.Bidadari), sehingga dimungkinkan untuk menjalin kerjasama untuk menarik wisatawan resort berkunjung sejenak ke Desa Wisata Bahari. 4. Adanya situs sejarah perang RI-Belanda dan situs sejarah kepindahan warga ke P. Untung Jawa yang menarik khususnya bagi wisatawan manca negara untuk melihatnya. Ancaman 1. Kondisi jalan yang rusak dan antrian penyebrangan di Tanjung Pasir dapat mengurangi minat wisatawan untuk berekreasi. 2. Berkembangnya objek wisata di lokasi sekitar Tangerang jika tidak dibarengi dengan pengembangan wisata di P. Untung Jawa akan menjadi ancaman tersendiri Identifikasi SWOT Pengembangan Wisata Bahari di Pulau Pramuka Kekuatan 1. Memiliki potensi objek wisata alam bawah laut (terumbu karang) yang indah sehingga menjadi daya tarik utama bagi wisatawan baik lokal maupun mancanegara, selain terumbu karang di lokasi ini pun terdapat pengembakbiakan penyu sisik dan wisata pendidikan menanam mangrove. 2. Sebagai salah satu tujuan wisata bawah laut yang letaknya relatif dekat dengan ibukota.

19 3. Sebagai pusat administrasi kabupaten sehingga sarana dan prasarana memadai, seperti dramaga, sekolah dan fasilitas olah raga. 4. Sudah ada upaya promosi, upaya pemasaran dan membangun aliansi dengan pihak swasta (travel agent). 5. Tersedia pilihan sarana transportasi menuju daratan Jakarta baik dengan kapal nelayan maupun kapal pesiar yang rutin setiap hari (saat cuaca baik). 6. Telah tersedia sarana penunjang kegiatan pariwisata seperti transportasi laut, homestay, tempat penyewaan alat, pemandu (guide), rumah sakit dan telekomunikasi, yang cukup baik. 7. Sudah ada pendampingan dari salah satu LSM yang memberikan pelatihan dan advokasi kepada masyarakat dan tenaga kerja lokal. 8. Sudah dirintis program festival P.Panggang, baik budaya maupun bahari. 9. Merupakan salah satu lokasi lomba menyelam yang dekat dengan Jakarta, baik tingkat provinsi maupun nasional. 10. Sudah mengembangkan unit usaha makanan khas daerah (kripik sukun dan manisan ciremai). 11. Tersedia beberapa unit usaha penyewaan alat (diving dan snorkling) yang lengkap dengan jasa pemandu (guide) milik investor lokal dan luar. 12. Keberadaan Balai TNLKS yang memiliki wilayah kerja di wilayah Utara turut mendukung kegiatan pariwisata serta memudahkan dalam koordinasi dan pertukaran informasi. 13. Terdapat Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) yang lokasinya strategis dan memiliki fasilitas chamber untuk para penyelam.

20 Kelemahan 1. Pemda melalui sudin pariwisata belum memiliki program yang jelas untuk mengembangkan pulau ini menjadi destinasi wisata bahari. Pulau ini hanya diperuntukkan sebagai ibukota kabupaten. 2. Belum ada aturan zonasi yang jelas antara kawasan wisata dan kawasan non wisata, hal ini penting untuk menjaga kualitas lingkungan dan kenyamanan wisatawan. 3. Kondisi sarana penerangan yang tidak stabil dimana listrik harus bergilir membuat wisatawan tidak nyaman. 4. Budaya lokal seperti marawis dan pencak silat belum dikemas menjadi objek wisata yang atraktif. 5. Keadaan alam atau cuaca yang tidak menentu. Hal ini sangat bepengaruh terhadap kelancaran transportasi air dan menjadi ancaman bagi perkembangan pariwisata di P. Untung Jawa pada musim-musim tertentu. 6. Keberadaan hutan mangrove belum dikembangkan secara maksimal sebagai tujuan wisata. 7. Belum memiliki mekanisme pengelolaan wisata yang baik di antara masyarakat, yang diakibatkan oleh tingginya rasa kecurigaan di antara masyarakat. Sehingga belum tersedia suatu mekanisme pembayaran tiket yang dirasakan penting sebagai salah satu upaya untuk pendanaan objek wisata serta pengkontrolan jumlah pengunjung. 8. Sampah baik kiriman dari Jakarta maupun sekitar pulau belum mendapat upaya lebih lanjut. 9. Ketergantungan dalam kebutuhan bahan baku pangan dari daratan Jakarta.

21 Peluang 1. Skenario Rencana Strategis Kabupaten Tahun , yaitu menjadikan kepulauan Seribu sebagai destinasi wisata bahari yang berskala nasional dan internasional. 2. Tren jumlah kunjungan yang semakin meningkat. Wisatawan awalnya merupakan wisatawan resort namun saat ini mulai jenuh dengan atraksi di resort dan merasa harga per kunjungan di resort sudah terlalu tinggi. 3. Sebagai salah satu tujuan klub-klub penyelam untuk melakukan latihan sebelum mereka melakukan penyelaman di luar Jakarta. 4. Rencana pembuatan jalan lingkar pulau sebagai salah satu upaya untuk menarik wisatawan. 5. Sudah ada investor dari luar pulau (Jakarta) yang menanamkan modalnya di pulau, berupa pembangunan homestay skala besar dan rencana beberapa investor untuk membuka usaha outbond (masih dalam penjajagan). Ancaman 1. Aksi pencurian karang atau memancing dengan strum yang dilakukan para wisatawan yang tidak bertanggung jawab dapat membahayakan ekosistem terumbu karang. 2. Keberadaan pengumpul ikan hias di P.Panggang harus mendapat pengawasan khusus jika tidak maka keberadaannya dapat mengancam keberadaan ekosistem terumbu karang. 3. Rencana penghapusan subsidi Bahan Bakar Minyak (BBM) berdampak pada peningkatan harga tiket kapal Sepa dari Marina Ancol ke P. Pramuka menjadi

22 dua kali lipat (dari Rp menjadi Rp untuk satu kali perjalanan) hal ini akan berdampak pada pengurangan minat wisatawan untuk berekreasi. 8.5 Analisis Stakeholder Guna merumuskan suatu kebijakan terkait dengan pengelolaan wisata bahari di kawasan Kepulauan Seribu, maka diperlukan suatu kerjasama dari berbagai pihak untuk merumuskannya. Berbagai stakeholder dianggap berperan penting dalam merumuskan suatu kebijakan. Adapun stakeholder tersebut adalah Pemda, pelaku kegiatan wisata, masyarakat lokal serta LSM. Tentunya masingmasing pihak memiliki tingkat kepentingan dan pengaruh yang berbeda dalam merumuskan suatu kebijakan. Analisis stakeholder perlu dilakukan suatu untuk menentukan pihak-pihak yang berkompeten dalam merumuskan kebijakan tersebut. Schmeer (2007) menyatakan analisis ini merupakan proses sistematis untuk mengumpulkan dan menganalisis informasi secara kualitatif untuk menentukan kepentingan siapa yang harus diperhitungkan ketika mengembangkan atau menerapkan suatu kebijakan. Stakeholder dapat diartikan sebagai individu, kelompok atau lembaga yang kepentingannya dipengaruhi oleh kebijakan atau pihak yang tindakannya secara kuat mempengaruhi kebijakan. Setiap stakeholder memiliki pengaruh dan kepentingan dalam kebijakan pengelolaan wisata. Stakeholder yang memiliki kepentingan tinggi merupakan stakeholder primer dimana kepentingannya dipengaruhi secara langsung oleh kebijakan. Sedangkan stakeholder sekunder, kepentingannya dipengaruhi secara tidak langsung. Adapun daftar sejumlah stakeholder di masing-masing lokasi

23 wisata serta pengaruh dan kekuatannya dapat dilihat pada Tabel 22 dan 23. Kepentingan stakeholder dalam kebijakan pengelolaan wisata dipengaruhi oleh faktor sosial, ekonomi dan budaya. Pengaruh stakeholder yang berbeda-beda dalam kebijakan ini dipengaruhi oleh politik, birokrasi dan struktural. Hasil dari kajian pada Tabel 21 dan 22 digunakan sebagai dasar dalam penyusunan matriks kepentingan dan pengaruh stakeholder dalam kebijakan pengelolaan wisata di Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu seperti yang ditunjukkan pada Gambar 18 dan 19. Hasil analisis stakeholder menetapkan beberapa stakeholder primer yang akan diikutsertakan dalam merumuskan kebijakan pengelolaan wisata bahari di wilayah Kepulauan Seribu. Pihak yang terlibat di kedua pulau tidak seluruhnya sama. Stakeholder primer di P. Untung Jawa adalah Bappekab, Sudin Pariwisata dan Sudin UKM dan Koperasi. Tinggi Tingkat Pengaruh *5 *3*4 *8*9 *10 *7 *6 *1 *2 Keterangan: 1. Bappekab 2. Sudin Pariwisata 3. Sudin Perikanan dan Kelautan 4. Sudin PU 5. Sudin Kebersihan 6. Sudin UKM dan Koperasi 7. Masyarakat Pengelola 8. Investor Luar Pulau 9. Pemilik Unit Usaha Lokal 10. Masyarakat Lokal Rendah Tingkat Kepentingan Tinggi Gambar 18. Matriks Kepentingan dan Pengaruh Stakeholder dalam Pengelolaan Wisata di Pulau Untung Jawa Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu

24 Tabel 21. Analisis Stakeholder Wisata Bahari di Pulau Untung Jawa Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu Tahun 2008 Stakeholder Kriteria Evaluasi Keputusan Kepentingan Sikap Kekuatan Pengaruh Total S F P Keterlibatan Tingkat Keterlibatan Suku Dinas Pariwisata Badan Perencana Pembangunan Kabupaten (Bappekab) Suku Dinas Perikanan dan Kelautan Suku Dinas Pekerjaan Umum Suku Dinas Kebersihan Suku Dinas UKM dan Koperasi Mengembangkan pariwisata Melakukan promosi dan peningkatan atraksi wisata Memberikan pelatihan kepada unit usaha dan tenaga kerja lokal Membuat masterplan dan rencana strategis pengembangan wisata Melakukan koordinasi dengan instansi lain dalam mengembangkan wisata Membina masyarakat nelayan Rehabilitasi ekosistem laut Koordinasi dengan sudin pariwisata mengembangkan wisata Membangun sarana dan prasarana wisata Meningkatkan fasilitas wisata Mengelola kebersihan lingkungan dan sarana prasarana wisata Pendampingan UKM Pengembangan produk Terlibat Pengambil keputusan Terlibat Pengambil keputusan Terlibat Pemberi pertimbangan Terlibat Pengambil keputusan Terlibat Pengambil keputusan Terlibat Pemberi pertimbangan 140

25 Tabel 21. Lanjutan Masyarakat pengelola wisata Mengelola kegiatan wisata Meningkatkan pendapatan masyarakat Investor luar pulau Membuka lapangan pekerjaan Meningkatkan keuntungan Pemilik Unit Usaha Lokal Meningkatkan kesejahteraan Meningkatkan aktivitas ekonomi Masyarakat lokal Memperoleh pekerjaan Meningkatkan kesejahteraan Keterangan: S: Sumberdaya Manusia, F: Finansial, P: Politik Tidak Terlibat Pemberi pertimbangan Terlibat Penerima informasi Tidak Terlibat Penerima informasi Tidak Terlibat Penerima informasi Tabel 22. Analisis Stakeholder Wisata Bahari di Pulau Pramuka Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu Tahun 2008 Stakeholder Kriteria Evaluasi Keputusan Kepentingan Sikap Kekuatan Pengaruh Total S F P Keterlibatan Tingkat Keterlibatan Suku Dinas Pariwisata Sudin Dinas Pekerjaan Umum Mengembangkan wisata Melakukan promosi dan peningkatan atraksi wisata Memberikan pelatihan kepada unit usaha dan tenaga kerja lokal Membangun sarana dan prasarana wisata Meningkatkan fasilitas wisata Terlibat Pengambil keputusan Terlibat Pemberi pertimbangan 141

26 Tabel 22. Lanjutan Badan Perencana Pembangunan Kabupaten (Bappekab) Suku Dinas Perikanan dan Kelautan Suku Dinas Kebersihan Suku Dinas UKM dan Koperasi Taman Nasional Laut Kepulauan Seribu (TNLKS) Investor luar pulau Pemilik Unit Usaha Lokal Masyarakat lokal Lembaga Non Pemerintah (LSM) Membuat masterplan dan rencana strategis pengembangan wisata Melakukan koordinasi dengan instansi lain dalam mengembangkan wisata Membina masyarakat nelayan Rehabilitasi ekosistem laut Koordinasi dengan sudin pariwisata mengembangkan wisata Mengelola kebersihan lingkungan dan sarana prasarana wisata Pendampingan UKM Pengembangan produk unggulan Mengelola TNLKS Menetapkan kebijakan strategis terkait pengelolaan TNLKS Membuka lapangan pekerjaan Meningkatkan keuntungan Meningkatkan kesejahteraan Meningkatkan aktivitas ekonomi Memperoleh pekerjaan Meningkatkan kesejahteraan memberikan pengetahuan dan pendampingan khusus tentang kawasan wisata dan konservasi, melakukan kontak langsung dan kerjasama dengan masyarakat sasaran Keterangan: S: Sumberdaya Manusia, F: Finansial, P: Politik Terlibat Pengambil keputusan Terlibat Pemberi pertimbangan Tidak Terlibat Penerima Informasi Terlibat Pemberi pertimbangan Terlibat Pengambil keputusan Terlibat Pemberi pertimbangan Tidak Terlibat Pemberi pertimbangan Tidak Terlibat Penerima Informasi Terlibat Pemberi pertimbangan 142

27 Sedangkan stakeholder primer di P. Pramuka adalah Bappekab, Sudin Pariwisata, Sudin UKM dan Koperasi, TNLKS serta LSM. Perbedaan mengenai keberadaan TNLKS dan LSM di kedua pulau dikarenakan kedua pihak ini hanya terdapat (memiliki wilayah kerja) di kawasan Kepulauan Seribu Utara dimana P. Pramuka berada. Pihak-pihak inilah yang selanjutnya dianggap berkompeten dalam merumuskan kebijakan pengelolaan wisata berbasis masyarakat lokal yang ada di kawasan Kepulauan Seribu. Tinggi Tingkat Pengaruh Rendah *3 *4 *5 *9 *8 *10 Tingkat Kepentingan *1 *2 *7 *6 *11 Tinggi Keterangan: 1. Bappekab 2. Sudin Pariwisata 3. Sudin Perikanan dan Kelautan 4. Sudin PU 5. Sudin Kebersihan 6. Sudin UKM dan Koperasi 7. TNKL 8. Investor Luar Pulau 9. Pemilik Unit Usaha Lokal 10. Masyarakat Lokal 11. LSM Gambar 19. Matriks Kepentingan dan Pengaruh Stakeholder dalam Pengelolaan Wisata di Pulau Pramuka Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu 8.6 Alternatif Rekomendasi Kebijakan Pengelolaan Wisata Bahari Tahapan akhir penelitian ini adalah merumuskan alternatif rekomendasi kebijakan pengelolaan wisata alam berbasis masyarakat lokal. Seluruh analisis yang telah dilakukan sebelumnya, yang meliputi analisis dampak ekonomi,

28 penilaian jasa lingkungan, analisis persepsi dan prefrensi serta SWOT, dipetakan dan dijadikan bahan diskusi lebih lanjut. Peserta diskusi mendalam ini adalah para stakeholder yang telah ditentukan sebelumnya. Konsep dari diskusi ini adalah bagaimana menerapkan pariwisata berkelanjutan (sustainable tourism) pada wisata alam berbasis masyarakat lokal, dimana kegiatan ini harus menjaga keseimbangan antara keuntungan yang dihasilkan tanpa mengorbankan sumberdaya alam, kebudayaan, atau ekologi. IFTO (1994) menyatakan terdapat empat kebutuhan utama untuk pemeliharaan jangka panjang dari daerah tujuan pariwisata, yaitu: (1) populasi harus tetap sejahtera dan mempertahankan identitas kebudayaan mereka, (2) daerah wisata harus tetap menarik bagi turis, (3) tidak ada yang dilakukan untuk merusak ekologi, dan (4) terdapat kerangka politik yang efektif. Adapun beberapa alternatif rekomendasi yang dihasilkan untuk pengelolaan wisata alam berbasis masyarakat lokal adalah sebagai berikut: Kebijakan 1. Mempertegas Kebijakan dan Penguatan Kelembagaan 1. Mempertegas dan memperjelas kebijakan pengembangan wisata dan sektor pendukungnya. Sejauh ini belum tersedia payung hukum dalam pengelolaan maupun pengembangan wisata alam di kawasan ini. Kebijakan yang jelas dan tegas diwujudkan dengan adanya Rencana Tata Ruang / masterplan pengembangan wisata yang mengacu pada Rencana Tata Ruang Wilayah. Selain masterplan, Pemda juga harus memiliki Rencana Strategi (RENSTRA) pengembangan sektor pariwisata untuk periode tertentu lengkap dengan roadmap mencapai target pengembangan tersebut. Sebagai acuan pengembangan objek wisata, Pemda juga harus memiliki Rencana Induk Pengembangan Objek Wisata (RIPOW). Agar memiliki kekuatan hukum,

29 sebaiknya dokumen kebijakan tadi diperkuat dengan Peraturan Daerah (PERDA). 2. Memperkuat organisasi pengelola pariwisata, baik lembaga pemerintah maupun swasta. Berkaitan dengan lembaga pemerintah, Pemda harus memperjelas tupoksi dinas pariwisata, pengembangan SDM pariwisata, alokasi anggran yang memadai, pengembangan fasilitas lembaga pengelola dan lain-lain. Selain itu, Pemda harus menciptakan iklim yang kondusif agar pihak swasta mau investasi di sektor pariwisata, melakukan pembinaan dan kerjasama dengan pihak swasta dalam pengembangan pariwisata. Kebijakan 2. Pengembangan Sarana Transportasi dan Fasilitas Pendukung 1. Pemda harus membuat kebijakan yang terpadu untuk menyediakan sarana transportasi air yang layak, aman dan nyaman. 2. Mempercepat pembangunan bandara udara di P. Panjang, sebagai salah satu upaya untuk meningkatkan aktivitas ekonomi dan jumlah wisatawan. Selanjutnya dalam pengoperasiannya, pemerintah harus memberikan insentif atau subsidi kepada pihak swasta agar mau berinvestasi di jasa layanan penerbangan, misal melalui pemberian keringanan pajak 3. Peningkatan atau pembangunan fasilitas pendukung kegiatan pariwisata seperti akomodasi, telekomunikasi, restoran, keuangan dan lain-lain. Pemerintah diminta untuk memberikan insentif kepada pihak swasta agar mau berinvestasi di sektor ini. Kebijakan 3. Membangun Sinergi Kebijakan di Bidang Pariwisata 1. Mengembangkan kebijakan yang komprehensif dan partisipatif.

30 2. Membangun sinergi kebijakan antara instansi terkait (contohnya antara Sudin Pariwisata, Bappekab, Sudin Pekerjaan Umum, Sudin Perikanan dan Kelautan dan TNLKS). 3. Membangun sinergi dan koordinasi antara sektor publik (Pemda dan TNLKS) dan sektor swasta. 4. Membangun sinergi antara sektor publik, swasta, LSM dan masyarakat lokal. Kebijakan 4. Peningkatan Kualitas Sumberdaya Manusia 1. Bagi internal staf di Pemda, melalui: (1) peningkatan kapasitas staf di instansi terkait dengan pengembangan wisata melalui kursus, pendidikan lanjutan, studi banding ke berbagai daerah yang telah berhasil mengembangkan wisata dan (2) rekruitmen staf baru dengan latar belakang pendidikan yang mendukung pengembangan pariwisata khususnya ekowisata. 2. Bagi pelaku usaha, melalui: (1) pelatihan enterpreneurship (Small Medium Enterpreneurship Training) untuk meningkatkan kemampuan manajemen usaha, (2) meningkatkan keterampilan atau kreatifitas masyarakat untuk menghasilkan produk handicraft yang artistik dan bernilai jual, dan (3) pengembangan lembaga-lembaga keuangan mikro: koperasi, simpan pinjam dan BPR. 3. Bagi masyarakat umum, melalui: (1) peningkatan kesadaran untuk memelihara potensi wisata yang dimiliki, sehingga pada akhirnya diharapkan masyarakat sebagai pengelola dari kegiatan wisata tersebut dan pemerintah sebagai fasilitator dan (2) meningkatkan sikap masyarakat dalam memberikan pelayanan pada wisatawan sehingga tercipta suatu good service.

31 4. Bagi institusi pendidikan, melalui: (1) membuka lembaga pendidikan kepariwisataan (dapat dilakukan oleh Pemda atau swasta) dan (2) menjalin kerjasama dengan pihak asosiasi pariwisata guna menyalurkan lulusan. Kebijakan 5. Pengembangan dan Pemeliharaan Objek Wisata 1. Membangun zonasi secara partisipatif seperti yang telah dilakukan oleh TNLKS. 2. Membangun organisasi dan kelembagaan pengelola objek wisata di tingkat lokal. Hal penting yang harus diwujudkan, adalah: (1) organisasi pengelola di tingkat lokal, (2) aturan main (rule of the game) organisasi, (3) job description dari organisasi pengelola tersebut, dan (4) monitoring jalannya organisasi tersebut. 3. Mengembangkan sistem pendanaan lingkungan untuk menjaga kelestarian lingkungan, misalnya: (1) mengidentifikasi sumber dana potensial (donor) yang peduli terhadap objek wisata tersebut, (2) mengidentifikasi sumber dana di luar donor (retribusi, tiket masuk, ecological fee yang dibebankan pada wisatawan), (3) mengembangkan mekanisme pengelolaan dana lingkungan yang terkumpul, dan (4) kejelasan alokasi penggunaan dana retribusi. Kebijakan 6. Promosi dan Pemasaran Pariwisata 1. Identifikasi pangsa pasar wisata, baik pasar domestik maupun asing, untuk wisata minat khusus, wisata budaya, sejarah dan lain-lain. 2. Melakukan promosi melalui leaflet, poster, pemasangan iklan media cetak, internet, penayangan iklan di media elektronik.

32 3. Melakukan promosi bersama (kerjasama regional) antara Pemda Provinsi DKI Jakarta. 4. Menjalin kerjasama dengan biro perjalanan baik di Jabotabek maupun di beberapa kota besar selain Jabodetabek. 5. Mendirikan Tourism Information Centre (TIC) di lokasi strategis.

BAB II DISKIRPSI PERUSAHAAN

BAB II DISKIRPSI PERUSAHAAN BAB II DISKIRPSI PERUSAHAAN 2.1 Sejarah Objek Wisata Pulau Pari merupakan salah satu kelurahan di kecamatan Kepulauan Seribu Selatan, Kabupaten Kepulauan Seribu, Jakarta. Pulau ini berada di tengah gugusan

Lebih terperinci

RANCANGAN STRATEGI DAN PROGRAM

RANCANGAN STRATEGI DAN PROGRAM 111 VI. RANCANGAN STRATEGI DAN PROGRAM Rancangan strategi pengembangan pariwisata bahari di Kabupaten Natuna merupakan langkah terakhir setelah dilakukan beberapa langkah analisis, seperti analisis internal

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia memiliki banyak potensi wisata baik dari segi sumber daya

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia memiliki banyak potensi wisata baik dari segi sumber daya BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia memiliki banyak potensi wisata baik dari segi sumber daya alam maupun kebudayaan unik dan tidak dimiliki oleh Negara lain. Oleh karena itu, Indonesia menjadi

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pulau-pulau kecil memiliki potensi pembangunan yang besar karena didukung oleh letaknya yang strategis dari aspek ekonomi, pertahanan dan keamanan serta adanya ekosistem

Lebih terperinci

VII PRIORITAS STRATEGI PENGEMBANGAN EKOWISATA TN KARIMUNJAWA

VII PRIORITAS STRATEGI PENGEMBANGAN EKOWISATA TN KARIMUNJAWA VII PRIORITAS STRATEGI PENGEMBANGAN EKOWISATA TN KARIMUNJAWA 7.1 Kerangka Umum Analytical Network Process (ANP) Prioritas strategi pengembangan TN Karimunjawa ditetapkan berdasarkan pilihan atas variabel-variabel

Lebih terperinci

BAB V. KEBIJAKAN PENGELOLAAN KAWASAN KONSERVASI PERAIRAN DAERAH KABUPATEN ALOR

BAB V. KEBIJAKAN PENGELOLAAN KAWASAN KONSERVASI PERAIRAN DAERAH KABUPATEN ALOR BAB V. KEBIJAKAN PENGELOLAAN KAWASAN KONSERVASI PERAIRAN DAERAH KABUPATEN ALOR 5.1. Visi dan Misi Pengelolaan Kawasan Konservasi Mengacu pada kecenderungan perubahan global dan kebijakan pembangunan daerah

Lebih terperinci

BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI. di Kabupaten Bangka melalui pendekatan sustainable placemaking, maka

BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI. di Kabupaten Bangka melalui pendekatan sustainable placemaking, maka BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI V. 1. KESIMPULAN Berdasarkan analisis yang dilakukan untuk mengetahui faktor-faktor yang mempegaruhi pengembangan produk wisata bahari dan konservasi penyu di Kabupaten

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. segala potensi yang dimiliki. Pembangunan pariwisata telah diyakini sebagai

BAB I PENDAHULUAN. segala potensi yang dimiliki. Pembangunan pariwisata telah diyakini sebagai 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Dewasa ini pariwisata telah menjadi salah satu industri andalan dalam menghasilkan devisa suatu negara. Berbagai negara terus berupaya mengembangkan pembangunan sektor

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. keterbelakangan ekonomi, yang lebih dikenal dengan istilah kemiskinan, maka

I. PENDAHULUAN. keterbelakangan ekonomi, yang lebih dikenal dengan istilah kemiskinan, maka 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pembangunan nasional di banyak negara berkembang pada umumnya ditekankan pada pembangunan ekonomi. Hal ini disebabkan karena yang paling terasa adalah keterbelakangan

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Tata Ruang dan Konflik Pemanfaatan Ruang di Wilayah Pesisir dan Laut

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Tata Ruang dan Konflik Pemanfaatan Ruang di Wilayah Pesisir dan Laut 6 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Tata Ruang dan Konflik Pemanfaatan Ruang di Wilayah Pesisir dan Laut Menurut UU No. 26 tahun 2007, ruang adalah wadah yang meliputi ruang darat, ruang laut, dan ruang udara,

Lebih terperinci

BAB V ARAHAN PENGEMBANGAN WISATA KAMPUNG NELAYAN KELURAHAN PASAR BENGKULU

BAB V ARAHAN PENGEMBANGAN WISATA KAMPUNG NELAYAN KELURAHAN PASAR BENGKULU BAB V ARAHAN PENGEMBANGAN WISATA KAMPUNG NELAYAN KELURAHAN PASAR BENGKULU Berdasarkan analisis serta pembahasan sebelumnya, pada dasarnya kawasan studi ini sangat potensial untuk di kembangkan dan masih

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Tourism Center adalah 10,1%. Jumlah tersebut setara dengan US$ 67 miliar,

I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Tourism Center adalah 10,1%. Jumlah tersebut setara dengan US$ 67 miliar, 34 I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar di dunia, yang memiliki sekitar 17.504 pulau, dengan panjang garis pantai kurang lebih 91.524 km, dan luas perairan laut

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pengembangan pulau pulau kecil merupakan arah kebijakan baru nasional dibidang kelautan. Berawal dari munculnya Peraturan Presiden No. 78 tahun 2005 tentang Pengelolaan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. diantaranya banyak yang dihuni oleh manusia, salah satunya adalah Pulau Maratua

BAB I PENDAHULUAN. diantaranya banyak yang dihuni oleh manusia, salah satunya adalah Pulau Maratua BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Indonesia merupakan negara maritim yang terdiri dari beberapa gugusan pulau mulai dari yang besar hingga pulau yang kecil. Diantara pulau kecil tersebut beberapa

Lebih terperinci

POTENSI DAN USAHA PENGEMBANGAN EKOWISATA TELUK PENYU CILACAP

POTENSI DAN USAHA PENGEMBANGAN EKOWISATA TELUK PENYU CILACAP POTENSI DAN USAHA PENGEMBANGAN EKOWISATA TELUK PENYU CILACAP Ekowisata pertama diperkenalkan oleh organisasi The Ecotourism Society (1990) adalah suatu bentuk perjalanan wisata ke area alami yang dilakukan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Pariwisata merupakan sektor penunjang pertumbuhan ekonomi sebagai

I. PENDAHULUAN. Pariwisata merupakan sektor penunjang pertumbuhan ekonomi sebagai I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pariwisata merupakan sektor penunjang pertumbuhan ekonomi sebagai sumber penerimaan devisa, membuka lapangan kerja sekaligus kesempatan berusaha. Hal ini didukung dengan

Lebih terperinci

BAB II TUJUAN, KEBIJAKAN, DAN STRATEGI PENATAAN RUANG WILAYAH PROVINSI BANTEN

BAB II TUJUAN, KEBIJAKAN, DAN STRATEGI PENATAAN RUANG WILAYAH PROVINSI BANTEN BAB II TUJUAN, KEBIJAKAN, DAN STRATEGI PENATAAN RUANG WILAYAH PROVINSI BANTEN 2.1 Tujuan Penataan Ruang Dengan mengacu kepada Undang-Undang Nomor 26 tahun 2007 tentang Penataan Ruang, khususnya Pasal 3,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. dimanfaatkan untuk tujuan penelitian, ilmu pengetahuan, pendidikan, menunjang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. dimanfaatkan untuk tujuan penelitian, ilmu pengetahuan, pendidikan, menunjang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Taman Nasional menurut Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya adalah kawasan pelestarian alam yang mempunyai ekosistem

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Banyak pakar dan praktisi yang berpendapat bahwa di milenium ketiga, industri jasa akan menjadi tumpuan banyak bangsa. John Naisbitt seorang futurist terkenal memprediksikan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pariwisata dalam beberapa dekade terakhir merupakan suatu sektor yang sangat penting dalam pembangunan ekonomi bangsa-bangsa di dunia. Sektor pariwisata diharapkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pergeseran konsep kepariwisataan dunia kepada pariwisata minat khusus atau yang salah satunya dikenal dengan bila diterapkan di alam, merupakan sebuah peluang besar

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI DALAM NEGERI NOMOR 33 TAHUN 2009 TENTANG PEDOMAN PENGEMBANGAN EKOWISATA DI DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN MENTERI DALAM NEGERI NOMOR 33 TAHUN 2009 TENTANG PEDOMAN PENGEMBANGAN EKOWISATA DI DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN MENTERI DALAM NEGERI NOMOR 33 TAHUN 2009 TENTANG PEDOMAN PENGEMBANGAN EKOWISATA DI DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI DALAM NEGERI, Menimbang : a. bahwa ekowisata merupakan potensi

Lebih terperinci

DATA PERENCANAAN DESA KELURAHAN PINTU KOTA KECAMATAN LEMBEH SELATAN KOTA BITUNG

DATA PERENCANAAN DESA KELURAHAN PINTU KOTA KECAMATAN LEMBEH SELATAN KOTA BITUNG DATA PERENCANAAN DESA KELURAHAN PINTU KOTA KECAMATAN LEMBEH SELATAN KOTA BITUNG . PENGELOLAAN DAERAH PERLINDUNGAN LAUT. Menjaga dan memperbaiki kualitas ekosistem terumbu karang dan habitat yang berhubungan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. besar sumberdaya pesisir dan pulau-pulau kecil, disisi lain masyarakat yang sebagian

BAB I PENDAHULUAN. besar sumberdaya pesisir dan pulau-pulau kecil, disisi lain masyarakat yang sebagian BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan salah satu Negara kepulauan, yang memiliki potensi besar sumberdaya pesisir dan pulau-pulau kecil, disisi lain masyarakat yang sebagian besar bertempat

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar yang diperkirakan memiliki kurang lebih 17 504 pulau (DKP 2007), dan sebagian besar diantaranya adalah pulau-pulau kecil

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. tempat obyek wisata berada mendapat pemasukan dari pendapatan setiap obyek

BAB I PENDAHULUAN. tempat obyek wisata berada mendapat pemasukan dari pendapatan setiap obyek 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Pariwisata merupakan salah satu hal yang penting bagi suatu negara, dengan adanya pariwisata suatu negara atau lebih khusus lagi pemerintah daerah tempat

Lebih terperinci

PEMERINTAH DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA RANCANGAN PERATURAN DAERAH DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA NOMOR. TAHUN. TENTANG PENGELOLAAN TAMAN HUTAN RAYA BUNDER

PEMERINTAH DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA RANCANGAN PERATURAN DAERAH DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA NOMOR. TAHUN. TENTANG PENGELOLAAN TAMAN HUTAN RAYA BUNDER PEMERINTAH DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA RANCANGAN PERATURAN DAERAH DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA NOMOR. TAHUN. TENTANG PENGELOLAAN TAMAN HUTAN RAYA BUNDER DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR DAERAH ISTIMEWA

Lebih terperinci

PEMERINTAH KABUPATEN KEPULAUAN SELAYAR PERATURAN DAERAH KABUPATEN KEPULAUAN SELAYAR NOMOR 7 TAHUN 2011 TENTANG

PEMERINTAH KABUPATEN KEPULAUAN SELAYAR PERATURAN DAERAH KABUPATEN KEPULAUAN SELAYAR NOMOR 7 TAHUN 2011 TENTANG PEMERINTAH KABUPATEN KEPULAUAN SELAYAR PERATURAN DAERAH KABUPATEN KEPULAUAN SELAYAR NOMOR 7 TAHUN 2011 TENTANG RENCANA INDUK PENGEMBANGAN PARIWISATA KABUPATEN KEPULAUAN SELAYAR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Wilayah pesisir merupakan wilayah peralihan antara ekosistem darat dan laut yang dipengaruhi oleh perubahan di darat dan di laut yang saling berinteraksi sehingga

Lebih terperinci

BAB III TUJUAN, SASARAN, PROGRAM DAN KEGIATAN

BAB III TUJUAN, SASARAN, PROGRAM DAN KEGIATAN BAB III TUJUAN, SASARAN, PROGRAM DAN KEGIATAN 3.1 Telaahan terhadap Kebijakan Nasional Rencana program dan kegiatan pada Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Pemalang mendasarkan pada pencapaian Prioritas

Lebih terperinci

BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI

BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI Pariwisata merupakan industri perdagangan jasa yang memiliki mekanisme pengaturan yang kompleks karena mencakup pengaturan pergerakan wisatawan dari negara asalnya, di

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. positif yang cukup tinggi terhadap pendapatan negara dan daerah (Taslim. 2013).

BAB I PENDAHULUAN. positif yang cukup tinggi terhadap pendapatan negara dan daerah (Taslim. 2013). BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pariwisata memiliki peran yang semakin penting dan memiliki dampak positif yang cukup tinggi terhadap pendapatan negara dan daerah (Taslim. 2013). Dengan adanya misi

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang PENDAHULUAN Latar Belakang Wilayah pesisir pulau kecil pada umumnya memiliki panorama yang indah untuk dapat dijadikan sebagai obyek wisata yang menarik dan menguntungkan, seperti pantai pasir putih, ekosistem

Lebih terperinci

Ekowisata Di Kawasan Hutan Mangrove Tritih Cilacap

Ekowisata Di Kawasan Hutan Mangrove Tritih Cilacap BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Potensi sumber daya alam hutan serta perairannya berupa flora, fauna dan ekosistem termasuk di dalamnya gejala alam dengan keindahan alam yang dimiliki oleh bangsa

Lebih terperinci

BAB X PEDOMAN TRANSISI DAN KAIDAH PELAKSANAAN. roses pembangunan pada dasarnya merupakan proses yang berkesinambungan,

BAB X PEDOMAN TRANSISI DAN KAIDAH PELAKSANAAN. roses pembangunan pada dasarnya merupakan proses yang berkesinambungan, BAB X PEDOMAN TRANSISI DAN KAIDAH PELAKSANAAN 10.1. Program Transisii P roses pembangunan pada dasarnya merupakan proses yang berkesinambungan, berlangsung secara terus menerus. RPJMD Kabupaten Kotabaru

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang 1 1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kota Sibolga terletak di kawasan pantai Barat Sumatera Utara, yaitu di Teluk Tapian Nauli. Secara geografis, Kota Sibolga terletak di antara 01 0 42 01 0 46 LU dan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. manusia terutama menyangkut kegiatan sosial dan ekonomi. Peranan sektor

I. PENDAHULUAN. manusia terutama menyangkut kegiatan sosial dan ekonomi. Peranan sektor I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pariwisata merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari kehidupan manusia terutama menyangkut kegiatan sosial dan ekonomi. Peranan sektor pariwisata bagi suatu negara

Lebih terperinci

LEMBARAN DAERAH KOTA BEKASI

LEMBARAN DAERAH KOTA BEKASI LEMBARAN DAERAH KOTA BEKASI NOMOR : 12 2013 SERI : E PERATURAN DAERAH KOTA BEKASI NOMOR 12 TAHUN 2013 TENTANG RENCANA INDUK PEMBANGUNAN KEPARIWISATAAN DAERAH KOTA BEKASI TAHUN 2013 2028 Menimbang : a.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia Timur. Salah satu obyek wisata yang terkenal sampai mancanegara di

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia Timur. Salah satu obyek wisata yang terkenal sampai mancanegara di BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Nusa Tenggara Timur (NTT) adalah salah satu provinsi yang terletak di Indonesia Timur. Salah satu obyek wisata yang terkenal sampai mancanegara di provinsi ini adalah

Lebih terperinci

cenderung akan mencari suasana baru yang lepas dari hiruk pikuk kegiatan sehari hari dengan suasana alam seperti pedesaan atau suasana alam asri yang

cenderung akan mencari suasana baru yang lepas dari hiruk pikuk kegiatan sehari hari dengan suasana alam seperti pedesaan atau suasana alam asri yang I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan negara beriklim tropis yang kaya akan sumberdaya alam baik hayati maupun non hayati dan dikenal sebagai salah satu negara megabiodiversitas terbesar

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 36 TAHUN 2010 TENTANG PENGUSAHAAN PARIWISATA ALAM DI SUAKA MARGASATWA, TAMAN NASIONAL, TAMAN HUTAN RAYA, DAN TAMAN WISATA ALAM DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN. Tabel 1. Statistik Kunjungan Wisatawan ke Indonesia Tahun Tahun

I PENDAHULUAN. Tabel 1. Statistik Kunjungan Wisatawan ke Indonesia Tahun Tahun I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pariwisata merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari kehidupan manusia terutama menyangkut kegiatan sosial dan ekonomi. Hal ini berdasarkan pada pengakuan berbagai organisasi

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang 1 I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia yang dikenal dengan negara kepulauan memiliki lebih dari 18.000 pulau, memiliki luasan hutan lebih dari 100 juta hektar dan memiliki lebih dari 500 etnik

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN Latar Belakang

1. PENDAHULUAN Latar Belakang 1 1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Provinsi Nusa Tenggara Barat dengan luas 49 307,19 km 2 memiliki potensi sumberdaya hayati laut yang tinggi. Luas laut 29 159,04 Km 2, sedangkan luas daratan meliputi

Lebih terperinci

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN LOMBOK BARAT. Nomor 4 Tahun 2007 Seri E Nomor 4 Tahun 2007 NOMOR 4 TAHUN 2007 TENTANG PENGELOLAAN JASA LINGKUNGAN

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN LOMBOK BARAT. Nomor 4 Tahun 2007 Seri E Nomor 4 Tahun 2007 NOMOR 4 TAHUN 2007 TENTANG PENGELOLAAN JASA LINGKUNGAN LEMBARAN DAERAH KABUPATEN LOMBOK BARAT Nomor 4 Tahun 2007 Seri E Nomor 4 Tahun 2007 PERATURAN DAERAH KABUPATEN LOMBOK BARAT NOMOR 4 TAHUN 2007 TENTANG PENGELOLAAN JASA LINGKUNGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG

Lebih terperinci

KEPUTUSAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24/KEPMEN-KP/2014 TENTANG

KEPUTUSAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24/KEPMEN-KP/2014 TENTANG KEPUTUSAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24/KEPMEN-KP/2014 TENTANG KAWASAN KONSERVASI PERAIRAN NUSA PENIDA KABUPATEN KLUNGKUNG DI PROVINSI BALI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 36 TAHUN 2010 TENTANG PENGUSAHAAN PARIWISATA ALAM DI SUAKA MARGASATWA, TAMAN NASIONAL, TAMAN HUTAN RAYA, DAN TAMAN WISATA ALAM DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA

Lebih terperinci

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN. Kesimpulan dari penelitian ini adalah sebagai berikut: masyarakat, keamanan yang baik, pertumbuhan ekonomi yang stabil,

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN. Kesimpulan dari penelitian ini adalah sebagai berikut: masyarakat, keamanan yang baik, pertumbuhan ekonomi yang stabil, BAB V KESIMPULAN DAN SARAN 5.1. Kesimpulan Kesimpulan dari penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Faktor ekternal yang berupa peluang dan ancaman yang dapat digunakan berdasarkan penelitian ini yaitu:

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pulau-Pulau Kecil 2.1.1 Karakteristik Pulau-Pulau Kecil Definisi pulau menurut UNCLOS (1982) dalam Jaelani dkk (2012) adalah daratan yang terbentuk secara alami, dikelilingi

Lebih terperinci

PENGELOLAAN DAYA DUKUNG DAN PEMASARAN PARIWISATA BERKELANJUTAN. Oleh : M. Liga Suryadana

PENGELOLAAN DAYA DUKUNG DAN PEMASARAN PARIWISATA BERKELANJUTAN. Oleh : M. Liga Suryadana PENGELOLAAN DAYA DUKUNG DAN PEMASARAN PARIWISATA BERKELANJUTAN Oleh : M. Liga Suryadana KLASIFIKASI WISATA Wisata alam (nature tourism), merupakan aktifitas wisata yang ditujukan pada pemanfaatan terhadap

Lebih terperinci

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN BANJARNEGARA TAHUN 2015 NOMOR 17

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN BANJARNEGARA TAHUN 2015 NOMOR 17 LEMBARAN DAERAH KABUPATEN BANJARNEGARA TAHUN 2015 NOMOR 17 PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANJARNEGARA NOMOR 14 TAHUN 2015 TENTANG RENCANA INDUK PEMBANGUNAN KEPARIWISATAAN DAERAH KABUPATEN BANJARNEGARA TAHUN

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 3 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pariwisata Pariwisata merupakan semua gejala-gejala yang ditimbulkan dari adanya aktivitas perjalanan yang dilakukan oleh seseorang dari tempat tinggalnya dalam waktu sementara,

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia sebagai negara kepulauan terbesar di dunia dengan jumlah pulau sebanyak 13.466 dan garis pantai sepanjang 95.18 km, memiliki potensi sumberdaya alam dan jasa

Lebih terperinci

Mengembangkan Ekowisata Hutan Mangrove Tritih Kulon Cilacap

Mengembangkan Ekowisata Hutan Mangrove Tritih Kulon Cilacap TEMA : Pengembangan Pariwisata (Ekowisata maupun Wisata Bahari) di Kabupaten Cilacap Mengembangkan Ekowisata Hutan Mangrove Tritih Kulon Cilacap Oleh Kartika Pemilia Lestari Ekowisata menjadi salah satu

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Pembangunan merupakan serangkaian kegiatan untuk meningkatkan kesejahteraan dan

I. PENDAHULUAN. Pembangunan merupakan serangkaian kegiatan untuk meningkatkan kesejahteraan dan I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang dan Masalah Pembangunan merupakan serangkaian kegiatan untuk meningkatkan kesejahteraan dan kemakmuran masyarakat melalui beberapa proses dan salah satunya adalah dengan

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Salah satu bentuk pemanfaatan sumberdaya pesisir dan lautan adalah melalui pengembangan kegiatan wisata bahari. Berbicara wisata bahari, berarti kita berbicara tentang

Lebih terperinci

PEMERINTAH KABUPATEN SINTANG

PEMERINTAH KABUPATEN SINTANG 1 PEMERINTAH KABUPATEN SINTANG PERATURAN DAERAH KABUPATEN SINTANG NOMOR 7 TAHUN 2010 TENTANG RENCANA INDUK PEMBANGUNAN KEPARIWISATAAN DAERAH KABUPATEN SINTANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI SINTANG,

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 50 TAHUN 2011 TENTANG RENCANA INDUK PEMBANGUNAN KEPARIWISATAAN NASIONAL TAHUN

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 50 TAHUN 2011 TENTANG RENCANA INDUK PEMBANGUNAN KEPARIWISATAAN NASIONAL TAHUN PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 50 TAHUN 2011 TENTANG RENCANA INDUK PEMBANGUNAN KEPARIWISATAAN NASIONAL TAHUN 2010-2025 DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang:

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. bermacam macam ras, suku, dan etnis yang berbeda-beda. Masing-masing daerah

BAB I PENDAHULUAN. bermacam macam ras, suku, dan etnis yang berbeda-beda. Masing-masing daerah BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Indonesia adalah negara kepulauan yang sangat besar, yang dihuni oleh bermacam macam ras, suku, dan etnis yang berbeda-beda. Masing-masing daerah tersebut

Lebih terperinci

DATA PERENCANAAN DESA KELURAHAN MOTTO KECAMATAN LEMBEH UTARA KOTA BITUNG

DATA PERENCANAAN DESA KELURAHAN MOTTO KECAMATAN LEMBEH UTARA KOTA BITUNG DATA PERENCANAAN DESA KELURAHAN MOTTO KECAMATAN LEMBEH UTARA KOTA BITUNG . PENGELOLAAN DAERAH PERLINDUNGAN LAUT. Menjaga dan memperbaiki kualitas ekosistem terumbu karang dan habitat yang berhubungan dengan

Lebih terperinci

BAB VII KESIMPULAN DAN SARAN. penelitian yang telah dibahas oleh peneliti pada bab-bab sebelumnya mengenai

BAB VII KESIMPULAN DAN SARAN. penelitian yang telah dibahas oleh peneliti pada bab-bab sebelumnya mengenai BAB VII KESIMPULAN DAN SARAN Pada bab ini penulis akan memberikan kesimpulan dan saran dari hasil penelitian yang telah dibahas oleh peneliti pada bab-bab sebelumnya mengenai pengembangan pariwisata berbasis

Lebih terperinci

GUBERNUR DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA

GUBERNUR DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA GUBERNUR DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA PERATURAN DAERAH DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA NOMOR 4 TAHUN 2013 TENTANG PEMBERIAN INSENTIF DAN KEMUDAHAN PENANAMAN MODAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR DAERAH

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dan kesempatan berusaha, serta meningkatkan pengenalan dan pemasaran produk

BAB I PENDAHULUAN. dan kesempatan berusaha, serta meningkatkan pengenalan dan pemasaran produk BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pembangunan kepariwisataan pada umumnya diarahkan sebagai sektor potensial untuk mendorong pertumbuhan ekonomi, peningkatan pendapatan daerah, memberdayakan perekonomian

Lebih terperinci

BAB IV GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN

BAB IV GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN 8 BAB IV GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN 4. Keadaan Wilayah Kepulauan Seribu merupakan sebuah gugusan pulaupulau kecil yang terbentang dari teluk Jakarta sampai dengan Pulau Sibera. Luas total Kabupaten

Lebih terperinci

BUPATI KLATEN PERATURAN DAERAH KABUPATEN KLATEN NOMOR 3 TAHUN 2014 TENTANG RENCANA INDUK PEMBANGUNAN KEPARIWISATAAN KABUPATEN KLATEN TAHUN

BUPATI KLATEN PERATURAN DAERAH KABUPATEN KLATEN NOMOR 3 TAHUN 2014 TENTANG RENCANA INDUK PEMBANGUNAN KEPARIWISATAAN KABUPATEN KLATEN TAHUN BUPATI KLATEN PERATURAN DAERAH KABUPATEN KLATEN NOMOR 3 TAHUN 2014 TENTANG RENCANA INDUK PEMBANGUNAN KEPARIWISATAAN KABUPATEN KLATEN TAHUN 2014-2029 DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI KLATEN, Menimbang

Lebih terperinci

Rencana Pembangunan Jangka Menengah strategi juga dapat digunakan sebagai sarana untuk melakukan tranformasi,

Rencana Pembangunan Jangka Menengah strategi juga dapat digunakan sebagai sarana untuk melakukan tranformasi, BAB VI. STRATEGI DAN ARAH KEBIJAKAN Strategi dan arah kebijakan merupakan rumusan perencanaan komperhensif tentang bagaimana Pemerintah Daerah mencapai tujuan dan sasaran RPJMD dengan efektif dan efisien.

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 36 TAHUN 2010 TENTANG PENGUSAHAAN PARIWISATA ALAM DI SUAKA MARGASATWA, TAMAN NASIONAL, TAMAN HUTAN RAYA, DAN TAMAN WISATA ALAM DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. daerah, maka program pengembangan dan pendayagunaan sumber daya dan potensi

BAB I PENDAHULUAN. daerah, maka program pengembangan dan pendayagunaan sumber daya dan potensi BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Sektor pariwisata merupakan sektor yang potensial untuk dikembangkan sebagai salah satu sumber pendapatan daerah. Usaha memperbesar pendapatan asli daerah,

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN Latar Belakang

1 PENDAHULUAN Latar Belakang 1 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Indonesia merupakan negara kepulauan dan terletak di garis khatulistiwa dengan luas daratan 1.910.931,32 km 2 dan memiliki 17.504 pulau (Badan Pusat Statistik 2012). Hal

Lebih terperinci

BAB 5 KESIMPULAN DAN SARAN

BAB 5 KESIMPULAN DAN SARAN BAB 5 KESIMPULAN DAN SARAN 1.1. Kesimpulan Berdasarkan hasil observasi dilapangan serta analisis yang dilaksanakan pada bab terdahulu, penelitian ini dilaksanakan dengan tujuan untuk merumuskan konsep

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Taman Nasional Teluk Cenderawasih (TNTC) merupakan salah satu kawasan pelestarian alam memiliki potensi untuk pengembangan ekowisata. Pengembangan ekowisata di TNTC tidak

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. perekonomiannya melalui industri pariwisata. Sebagai negara kepulauan,

BAB I PENDAHULUAN. perekonomiannya melalui industri pariwisata. Sebagai negara kepulauan, BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Indonesia merupakan salah satu negara yang turut mengembangkan perekonomiannya melalui industri pariwisata. Sebagai negara kepulauan, Indonesia memiliki kekayaan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 2007). Indonesia merupakan salah satu Negara kepulauan terbesar yang memiliki

BAB I PENDAHULUAN. 2007). Indonesia merupakan salah satu Negara kepulauan terbesar yang memiliki BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan Negara Kepulauan yang mempunyai pesisir dan lautan yang sangat luas, dengan garis pantai sepanjang 95.181 km dan 17.480 pulau (Idris, 2007). Indonesia

Lebih terperinci

BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI

BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI 5.1 Simpulan Desa Tanjung Binga merupakan salah satu kawasan yang berada di zona pusat pengembangan pariwisata di Belitung yaitu terletak di Kecamatan Sijuk kawasan pesisir

Lebih terperinci

Sistematika presentasi

Sistematika presentasi Perencanaan Pariwisata Berkelanjutan Wiwik D Pratiwi Sistematika presentasi Mengapa? Apa prinsipnya? Apa pertimbangannya? Apa elemen-elemen strategisnya? Apa hal-hal yang diperlukan bila berdasar pada

Lebih terperinci

KAJIAN PROSPEK DAN ARAHAN PENGEMBANGAN ATRAKSI WISATA KEPULAUAN KARIMUNJAWA DALAM PERSPEKTIF KONSERVASI TUGAS AKHIR (TKP 481)

KAJIAN PROSPEK DAN ARAHAN PENGEMBANGAN ATRAKSI WISATA KEPULAUAN KARIMUNJAWA DALAM PERSPEKTIF KONSERVASI TUGAS AKHIR (TKP 481) KAJIAN PROSPEK DAN ARAHAN PENGEMBANGAN ATRAKSI WISATA KEPULAUAN KARIMUNJAWA DALAM PERSPEKTIF KONSERVASI TUGAS AKHIR (TKP 481) Oleh : GITA ALFA ARSYADHA L2D 097 444 JURUSAN PERENCANAAN WILAYAH DAN KOTA

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KABUPATEN TABALONG NOMOR 01 TAHUN 2015 TENTANG RENCANA INDUK PENGEMBANGAN PARIWISATA DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN DAERAH KABUPATEN TABALONG NOMOR 01 TAHUN 2015 TENTANG RENCANA INDUK PENGEMBANGAN PARIWISATA DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN DAERAH KABUPATEN TABALONG NOMOR 01 TAHUN 2015 TENTANG RENCANA INDUK PENGEMBANGAN PARIWISATA DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI TABALONG, Menimbang : a. bahwa kondisi wilayah Kabupaten

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH PEMERINTAH KABUPATEN MAROS. NOMOR : 05 Tahun 2009 TENTANG KEHUTANAN MASYARAKAT DI KABUPATEN MAROS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN DAERAH PEMERINTAH KABUPATEN MAROS. NOMOR : 05 Tahun 2009 TENTANG KEHUTANAN MASYARAKAT DI KABUPATEN MAROS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA SALINAN PERATURAN DAERAH PEMERINTAH KABUPATEN MAROS NOMOR : 05 Tahun 2009 TENTANG KEHUTANAN MASYARAKAT DI KABUPATEN MAROS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI MAROS Menimbang : a. bahwa guna meningkatkan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Kemajuan dan perkembangan ekonomi Kota Bandar Lampung menunjukkan

I. PENDAHULUAN. Kemajuan dan perkembangan ekonomi Kota Bandar Lampung menunjukkan I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang dan Masalah Kemajuan dan perkembangan ekonomi Kota Bandar Lampung menunjukkan trend ke arah zona ekonomi sebagai kota metropolitan, kondisi ini adalah sebagai wujud dari

Lebih terperinci

BAB V ARAH KEBIJAKAN PEMBANGUNAN JANGKA PANJANG DAERAH

BAB V ARAH KEBIJAKAN PEMBANGUNAN JANGKA PANJANG DAERAH RANCANGAN RPJP KABUPATEN BINTAN TAHUN 2005-2025 V-1 BAB V ARAH KEBIJAKAN PEMBANGUNAN JANGKA PANJANG DAERAH Permasalahan dan tantangan yang dihadapi, serta isu strategis serta visi dan misi pembangunan

Lebih terperinci

WALIKOTA BATAM PERATURAN DAERAH KOTA BATAM NOMOR 3 TAHUN 2003 TENTANG

WALIKOTA BATAM PERATURAN DAERAH KOTA BATAM NOMOR 3 TAHUN 2003 TENTANG WALIKOTA BATAM PERATURAN DAERAH KOTA BATAM NOMOR 3 TAHUN 2003 TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN DAERAH KOTA BATAM NOMOR 17 TAHUN 2001 TENTANG KEPARIWISATAAN DI KOTA BATAM DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

Lebih terperinci

PENGEMBANGAN KEPARIWISATAAN PROVINSI LAMPUNG

PENGEMBANGAN KEPARIWISATAAN PROVINSI LAMPUNG TAHUN 2017 PENGEMBANGAN KEPARIWISATAAN PROVINSI LAMPUNG Presentation by : Drs. BUDIHARTO HN. DASAR HUKUM KEPARIWISATAAN Berbagai macam kegiatan yang didukung oleh berbagai fasilitas serta layanan yang

Lebih terperinci

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN. pendekatan biaya perjalanan (Travel Cost Method) sebesar

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN. pendekatan biaya perjalanan (Travel Cost Method) sebesar BAB V KESIMPULAN DAN SARAN 5.1 Kesimpulan Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan, dapat disimpulkan bahwa: 1. nilai ekonomi Objek Wisata Budaya Dusun Sasak Sade dengan menggunakan pendekatan

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Eksploitasi sumberdaya pesisir dan laut dalam dekade terakhir ini menunjukkan kecenderungan yang semakin meningkat, bahkan telah mendekati kondisi yang membahayakan kelestarian

Lebih terperinci

6. ANALISIS DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN Kebijakan di dalam pengembangan UKM

6. ANALISIS DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN Kebijakan di dalam pengembangan UKM 48 6. ANALISIS DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN 6.1. Kebijakan di dalam pengembangan UKM Hasil analisis SWOT dan AHP di dalam penelitian ini menunjukan bahwa Pemerintah Daerah mempunyai peranan yang paling utama

Lebih terperinci

PROVINSI KEPULAUAN BANGKA BELITUNG PERATURAN DAERAH KABUPATEN BELITUNG TIMUR NOMOR 1 TAHUN 2016 TENTANG DESA WISATA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PROVINSI KEPULAUAN BANGKA BELITUNG PERATURAN DAERAH KABUPATEN BELITUNG TIMUR NOMOR 1 TAHUN 2016 TENTANG DESA WISATA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA SALINAN PROVINSI KEPULAUAN BANGKA BELITUNG PERATURAN DAERAH KABUPATEN BELITUNG TIMUR NOMOR 1 TAHUN 2016 TENTANG DESA WISATA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BELITUNG TIMUR, Menimbang : a. bahwa

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 50 TAHUN 2011 TENTANG RENCANA INDUK PEMBANGUNAN KEPARIWISATAAN NASIONAL TAHUN

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 50 TAHUN 2011 TENTANG RENCANA INDUK PEMBANGUNAN KEPARIWISATAAN NASIONAL TAHUN PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 50 TAHUN 2011 TENTANG RENCANA INDUK PEMBANGUNAN KEPARIWISATAAN NASIONAL TAHUN 2010-2025 DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang

Lebih terperinci

PENGEMBANGAN KAWASAN HUTAN WISATA PENGGARON KABUPATEN SEMARANG SEBAGAI KAWASAN EKOWISATA TUGAS AKHIR

PENGEMBANGAN KAWASAN HUTAN WISATA PENGGARON KABUPATEN SEMARANG SEBAGAI KAWASAN EKOWISATA TUGAS AKHIR PENGEMBANGAN KAWASAN HUTAN WISATA PENGGARON KABUPATEN SEMARANG SEBAGAI KAWASAN EKOWISATA TUGAS AKHIR Oleh : TEMMY FATIMASARI L2D 306 024 JURUSAN PERENCANAAN WILAYAH DAN KOTA FAKULTAS TEKNIK UNIVERSITAS

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. pariwisata, seperti melaksanakan pembinaan kepariwisataan dalam bentuk

II. TINJAUAN PUSTAKA. pariwisata, seperti melaksanakan pembinaan kepariwisataan dalam bentuk II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pengelolaan Pariwisata Pengelolaan merupakan suatu proses yang membantu merumuskan kebijakankebijakan dan pencapaian tujuan. Peran pemerintah dalam pengelolaan pariwisata, seperti

Lebih terperinci

GUBERNUR JAWA TENGAH PERATURAN GUBERNUR JAWA TENGAH NOMOR 64 TAHUN 2014 TENTANG

GUBERNUR JAWA TENGAH PERATURAN GUBERNUR JAWA TENGAH NOMOR 64 TAHUN 2014 TENTANG GUBERNUR JAWA TENGAH PERATURAN GUBERNUR JAWA TENGAH NOMOR 64 TAHUN 2014 TENTANG TATA CARA DAN MEKANISME PEMBERIAN INSENTIF DAN DISINSENTIF PENATAAN RUANG PROVINSI JAWA TENGAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA

Lebih terperinci

Pembangunan Pariwisata di PPK yang didalamnya berisi beberapa strategi, meliputi:

Pembangunan Pariwisata di PPK yang didalamnya berisi beberapa strategi, meliputi: RINGKASAN Alasan untuk memilih kajian pembangunan pariwisata di pulau-pulau kecil (PPK) karena nilai strategis PPK antara lain: 80-90 persen output perikanan nasional berasal dari perairan dangkal/pesisir

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KABUPATEN KOTAWARINGIN BARAT NOMOR 13 TAHUN 2002 TENTANG IZIN USAHA SARANA PARIWISATA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN DAERAH KABUPATEN KOTAWARINGIN BARAT NOMOR 13 TAHUN 2002 TENTANG IZIN USAHA SARANA PARIWISATA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN DAERAH KABUPATEN KOTAWARINGIN BARAT NOMOR 13 TAHUN 2002 TENTANG IZIN USAHA SARANA PARIWISATA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI KOTAWARINGIN BARAT Menimbang : a. bahwa, untuk meningkatkan

Lebih terperinci

BAB VIII RANCANGAN PROGRAM STRATEGIS

BAB VIII RANCANGAN PROGRAM STRATEGIS BAB VIII RANCANGAN PROGRAM STRATEGIS 8.1. Rancangan Program Peningkatan Peran LSM dalam Program PHBM Peran LSM dalam pelaksanaan program PHBM belum sepenuhnya diikuti dengan terciptanya suatu sistem penilaian

Lebih terperinci

Studi Kelayakan Pengembangan Wisata Kolong Eks Tambang Kabupaten Belitung TA LATAR BELAKANG

Studi Kelayakan Pengembangan Wisata Kolong Eks Tambang Kabupaten Belitung TA LATAR BELAKANG 1.1 LATAR BELAKANG Provinsi Kepulauan Bangka Belitung (Babel) merupakan salah satu daerah penghasil sumber daya alam khususnya tambang. Kegiatan penambangan hampir seluruhnya meninggalkan lahan-lahan terbuka

Lebih terperinci

PEMERINTAH KOTA TANGERANG

PEMERINTAH KOTA TANGERANG RINGKASAN RENJA DINAS KEBUDAYAAN DAN PARIWISATA KOTA TANGERANG TAHUN 2017 Rencana Kerja Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kota Tangerang Tahun 2017 yang selanjutnya disebut Renja Disbudpar adalah dokumen

Lebih terperinci

BAB VII KESIMPULAN DAN REKOMENDASI. Kabupaten Tulungagung, didapatkan beberapa kesimpulan sebagai berikut.

BAB VII KESIMPULAN DAN REKOMENDASI. Kabupaten Tulungagung, didapatkan beberapa kesimpulan sebagai berikut. BAB VII KESIMPULAN DAN REKOMENDASI 7.1. Kesimpulan Hasil analisis dari penelitian tentang pengembangan objek wisata pantai di Kabupaten Tulungagung, didapatkan beberapa kesimpulan sebagai berikut. 1. Unsur

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Pariwisata secara luas adalah kegiatan rekreasi di luar domisili untuk

I. PENDAHULUAN. Pariwisata secara luas adalah kegiatan rekreasi di luar domisili untuk I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pariwisata secara luas adalah kegiatan rekreasi di luar domisili untuk melepaskan diri dari pekerjaan rutin atau mencari suasana lain. Pariwisata telah menjadi bagian

Lebih terperinci

BAB IV KESIMPULAN DAN SARAN. 4.1 Kesimpulan. 1. Sektor yang memiliki keterkaitan ke belakang (backward linkage) tertinggi

BAB IV KESIMPULAN DAN SARAN. 4.1 Kesimpulan. 1. Sektor yang memiliki keterkaitan ke belakang (backward linkage) tertinggi BAB IV KESIMPULAN DAN SARAN 4.1 Kesimpulan Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan yang telah diuraikan pada bab sebelumnya, sehingga dapat disimpulkan. 1. Sektor yang memiliki keterkaitan ke belakang

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PENATAAN RUANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PENATAAN RUANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PENATAAN RUANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa ruang wilayah Negara Kesatuan Republik

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN ,05 Juta ,23 Juta ,75 Juta ,31 Juta ,23 Juta

BAB I PENDAHULUAN ,05 Juta ,23 Juta ,75 Juta ,31 Juta ,23 Juta JUTA BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penelitian Fenomena yang terjadi saat ini yaitu masyarakat Indonesia menunjukkan minat yang semakin besar dalam menjelajah sektor pariwisata global. Berdasarkan

Lebih terperinci