PROSIDING PKWG SEMINAR SERIES: Kebijakan Kesehatan dan Pelibatan Komunitas Dalam Menurunkan AKI/AKB di Indonesia

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "PROSIDING PKWG SEMINAR SERIES: Kebijakan Kesehatan dan Pelibatan Komunitas Dalam Menurunkan AKI/AKB di Indonesia"

Transkripsi

1

2 PUSAT KAJIAN WANITA DAN GENDER UNIVERSITAS INDONESIA 2015

3 PROSIDING PKWG SEMINAR SERIES: Kebijakan Kesehatan dan Pelibatan Komunitas Dalam Menurunkan AKI/AKB di Indonesia Editor : Khaerul Umam Noer Desain : Tim PKWG UI Sampul : Mamalia Betina oleh Dewi Candraningrum ISBN Hak cipta seluruh konten Prosiding ini ada di bawah Pusat Kajian Wanita dan Gender Universitas Indonesia. Meskipun demikian, atas nama kepentingan pendidikan publik dan advokasi kebijakan untuk memajukan hak asasi perempuan, silahkan mengunduh di laman resmi kami dan/atau menggandakan konten Prosiding ini dengan tetap menyebutkan sumbernya. Terima kasih. Cetakan pertama, Agustus 2015 Pusat Kajian Wanita dan Gender Universitas Indonesia Ruang Kajian Gender, Gedung Rektorat UI Lt. 4, Kampus UI Salemba, Jakarta. Tlp/Fax pkwg@ui.ac.id/pkwg.ui@gmail.com FB. PKWG UI /

4 KATA PENGANTAR Tujuan Pembangunan Millenium (Millenium Development Goals [MDGs]) yang mulai dilaksanakan sejak tahun 2000 akan berakhir pada tahun ini. Terdapat delapan poin Tujuan Pembangunan Millenium, yaitu (1) memberantas kemiskinan dan kelaparan ekstrim, (2) mewujudkan pendidikan dasar untuk semua, (3) mendorong kesetaraan gender dan pemberdayaan perempuan, (4) menurunkan angka kematian anak, (5) meningkatkan kesehatan ibu hamil, (6) memerangi HIV/AIDS, malaria, dan penyakit lainnya, (7) memastikan kelestarian lingkungan, dan (8) mengembangkan kemitraan global untuk pembangunan. Kedelapan tujuan tersebut masing-masing memiliki target, ada yang bersifat kualitatif dan kuantitatif. Dari segi waktu, perhitungan perbandingan mulai tahun 1990 dan pencapaian diharapkan terjadi pada tahun Di titik inilah penting untuk dilihat, apakah Indonesia sudah mencapai tujuan MDGs, khususnya untuk poin empat dan lima, yakni pada persoalan Angka Kematian Ibu (AKI) dan Angka Kematian Bayi (AKB). Persoalan AKI dan AKB di Indonesia menjadi sangat krusial, sebab AKI/AKB di Indonesia memiliki kecenderungan untuk meningkat di setiap tahunnya. Hingga tahun 2012, AKI/AKB di Indonesia mencapai 359 kasus per kelahiran, meningkat tajam dari 228 kasus per kelahiran pada Banyak faktor yang mendorong laju AKI/AKB di Indonesia antara lain: perkawinan di usia terlalu muda atau terlalu tua, terlalu sering melahirkan, keterlambatan dalam mencapai fasilitas melahirkan, keterlambatan dalam asistensi proses kelahiran, ketidaktahuan atas kelahiran yang berisiko, dan lain-lain. Adalah penting untuk melihat sejauhmana pemerintah, baik pusat maupun daerah memahami betapa krusialnya Prosiding PKWG Seminar Series i

5 persoalan AKI/AKB, bagaimana program-program yang secara khusus dirancang untuk menurunkan AKI/AKB, dan bagaimana pemerintah memberikan jaminan akses kesehatan bagi seluruh penduduk. Pemerintah sendiri sudah mencoba menekan AKI/AKB melalui sejumlah kebijakan strategis, misalnya dengan menambah fasilitas kesehatan dasar maupun penyebaran tenaga kesehatan/tenaga terlatih untuk menolong persalinan hingga ke desa, berbagai program seperti pembentukan Crisis Center Mother and Child Health, hingga membuka akses yang lebih luas bagi ibu hamil atas berbagai fasilitas kesehatan. Persoalannya adalah, bahkan dengan sejumlah program dan kebijakan, ternyata belum mampu menekan laju AKI/AKB di Indonesia. Salah satu akar masalah dari tingginya AKI/AKB di Indonesia adalah upaya untuk menekan AKI/AKB selalu bersifat parsial. Persoalan AKI/AKB hanya dilihat dari sisi pengambil kebijakan, dengan membuat program maupun membangun infrastruktur kesehatan. Untuk menekan laju AKI/AKB, sebagai salah satu prasyarat keberhasilan MDGs dibutuhkan sinergi antara pemerintah dan komunitas. Di sisi lain, untuk menurunkan AKI/AKB, sangat penting untuk melibatkan komunitas termasuk keluarga ibu hamil. Adalah penting pula untuk melihat bagaimana implementasi kebijakan di tingkat lokal, apakah terdapat resistensi dari komunitas, bagaimana merangkul komunitas agar mau terlibat dan bekerja sama, serta bagaimana respon komunitas atas kebijakan pemerintah di bidang kesehatan. Termasuk dalam upaya pelibatan komunitas adalah pemahaman atas konteks kultural masyarakat. Keberadaan dukun beranak misalnya, acapkali disalahkan karena dukun bukan bidan, dan karena ketidakcakapannya dalam membantu persalinan menjadikan tingginya AKI/AKB di desa-desa. Padahal keberadaan para dukun beranak boleh jadi adalah satu-satunya orang yang bisa diminta membantu proses persalinan di desa yang tidak memiliki bidan. ii Prosiding PKWG Seminar Series

6 Penting pula untuk melihat bagaimana pelibatan suami dan keluarga ibu hamil dalam membantu menurunkan AKI/AKB di tingkat lokal. Hal inilah yang paling sering terlupakan, bahwa diujung kebijakan dan upaya komunitas dalam menurunkan AKI/AKB, terdapat ibu hamil yang menjadi sasaran dari kebijakan tersebut. Posisi suami menjadi sangat penting, sebab orang pertama yang mengetahui dan sangat berkepentingan atas keselamatan ibu hamil dan anak yang dilahirkan adalah suami, dengan demikian keberadaan suami yang siaga dan tahu betul mengenai kehamilan dan persalinan adalah salah cara untuk menekan AKI/AKB. Organisasi non pemerintah maupun organisasi masyarakat sipil juga merupakan stakeholder yang perlu dirangkul dalam upaya menurunkan AKI/AKB. Keberadaan mereka menjadi penting sebab NGO dan CSO, yang bergerak langsung di tingkat akar rumput, mengetahui betul bagaimana persoalan AKI/AKB di masyarakat. Hanya saja, seringkali pengetahuan yang dimiliki NGO dan CSO kurang didengar dalam proses pengambilan kebijakan untuk menurunkan AKI/AKB. Berbagai persoalan di atas menjadi sangat krusial ketika kita bicara mengenai pelibatan komunitas dalam menurunkan AKI/AKB di Indonesia, dan untuk menjawab hal itulah Pusat Kajian Wanita dan Gender Universitas Indonesia, bekerja sama dengan Program Studi Kajian Gender (PSKG UI) dan Pusat Riset Gender (PRG-PSKG UI) mengadakan PKWG Seminar Series #1 dengan topik KEBIJAKAN KESEHATAN DAN PELIBATAN KOMUNITAS DALAM MENURUNKAN AKI/AKB DI INDONESIA. Buku yang anda pegang saat ini adalah Prosiding dari kegiatan PKWG Seminar Series #1 yang diselenggarakan di Pascasarjana Multidisiplin Universitas Indonesia pada Juni Prosiding ini dibuat dalam dua versi: versi cetak dan versi digital. Prosiding ini dibagi dalam tiga bagian utama: Bagian Pertama memuat Executive Summary dari PKWG Seminar Series, Bagian Kedua memuat seluruh makalah yang Prosiding PKWG Seminar Series iii

7 dipresentasikan oleh narasumber, sedangkan Bagian Ketiga memuat rangkuman diskusi dalam kegiatan PKWG Seminar Series. Khusus untuk makalah, terdapat tiga narasumber yang tidak membuat makalah khusus, yaitu Prof. Sulistyowati Irianto (UI), Dr. Budi Wahyuni (Komnas Perempuan), dan Rinaldi Ridwan (Rutgers WPF Indonesia). Meskipun demikian, saya memasukkan presentasi ketiganya, bersama dengan narasumber lain dalam Prosiding versi digital. Silahkan mengunduh Prosiding dalam laman resmi saya. Dalam prosesnya, PKWG Seminar Series tidak akan berhasil tanpa bantuan banyak pihak. Saya mengucapkan terima kasih kepada Prof. Sulistyowati Irianto (Dekan Pascasarjana Multidisiplin UI) yang telah berkenan menjadi tuan rumah, M. Alie Berawi, Ph.D. (Direktur Riset dan Pengabdian Masyarakat UI), Mia Siscawati, Ph.D (Ketua Prodi Kajian Gender), Tim PKWG UI, panitia, para narasumber, sahabat dan undangan yang telah meluangkan waktunya. Secara khusus saya mengucapkan terima kasih kepada MAMPU yang telah memungkinkan terlaksananya PKWG Seminar Series. Saya mohon maaf atas seluruh kekurangan dalam penyelenggarakan PKWG Seminar Series. Semoga Prosiding ini memberikan manfaat yang seluas-luasnya. Terima kasih. Salam kesetaraan dan keadilan, Khaerul Umam Noer Ketua Pusat Kajian Wanita dan Gender UI iv Prosiding PKWG Seminar Series

8 DAFTAR ISI Kata Pengantar Daftar Isi i v Catatan Pengantar: Hentikan Kematian Ibu Indonesia Sulistyowati Irianto ix BAGIAN 1: EXECUTIVE SUMMARY Executive Summary PKWG Seminar Series #1 1 BAGIAN 2: PENGALAMAN LAPANGAN Strategi peningkatan kesehatan ibu dan anak keluarga migran miskin melalui perspektif multidimensi Sri Sunarti Purwaningsih, Ade Latifa, Fitranita dan Eniarti Djohan 13 Peran perempuan komunitas lokal dalam peningkatan kualitas kesehatan dan kesejahteraan keluarga di Kota Surabaya (Studi keterlibatan perempuan dalam Institusi Masyarakat Perkotaan di Kota Surabaya) Wahyu Krisnanto 29 Menurunkan AKI dan AKN dengan PERMATA Fitria Sari 47 Prosiding PKWG Seminar Series v

9 Puskesdes dan apotik desa dalam harapan di tengah AKI nol: Desa Teling & Desa Pinasungkulan-Kec Tombariri-Kab Minahasa, Desa Arakan-Kec Tatapaan-Kab Minahasa Selatan Shelly Adelina dan Danielle Johanna Samsoeri 63 Suara dari ladang bawang: kesehatan perempuan, Musrembangdes, dan AKI yang (katanya) menurun. (Pengalaman Brebes) Khaerul Umam Noer dan Iklilah Muzayyanah Dini Fajriyah 93 Desa siaga, perkawinan dini, dan kerentanan AKI: Pengalaman Sukabumi Ruth Eveline dan Gratianus Prikasetya Putra 107 Medikalisasi tubuh perempuan dalam kebijakan kesehatan reproduksi dan upaya penurunan Angka Kematian Ibu Pinky Saptandari 133 Program laki-laki peduli sebagai upaya pelibatan laki-laki dalam peningkatan kesehatan ibu dan anak Sartika Intaning Pradhani dan Haryo Widodo 165 Ambigu posisi suami dalam masa reproduksi perempuan dan strategi tokoh pesantren dalam upaya pelibatan laki-laki Iklilah Muzayyanah Dini Fajriyah 187 Membangun forum komunikasi melalui Badan Permusyawaratan Desa sebagai upaya mendukung pembangunan keluarga mewujudkan kesetaraan gender, pemberdayaan vi Prosiding PKWG Seminar Series

10 perempuan, perlindungan dan tumbuh kembang anak Sri Endah Kinasih dan Pinky Saptandari 205 Mengajukan pengetahuan lokal Toraja untuk menghadapi kematian ibu dan bayi Dina Gasong dan Ikma Citra Ranteallo 237 Sinergitas bidan dan dukun beranak: paradoks kearifan lokal dan kebijakan pemerintah dalam menurunkan Angka Kematian Ibu dan Bayi Varinia Pura Damaiyanti 259 BAGIAN 3: DISKUSI Catatan diskusi PKWG Seminar Series #1 273 NARASUMBER 329 Prosiding PKWG Seminar Series vii

11 CATATAN PENGANTAR Hentikan Kematian Ibu Indonesia Sulistyowati Irianto Bila ada 359 orang meninggal bersama karena kecelakan pesawat, bisa dipastikan kehebohan akan melanda dunia. Namun bila 359 orang itu adalah perempuan yang meninggal karena proses kehamilan dan persalinan, tidak banyak orang mempersoalkannya. Di Indonesia, setiap ada kelahiran, maka 359 di antaranya berakhir dengan kematian ibu. Penjelasan terhadap tingginya Angka Kematian Ibu (AKI) sangat kompleks, harus dilakukan secara multidisiplin dan interdisiplin. Persoalan kesehatan berkelindan dengan persoalan ekonomi, kultural, agama dan politik. Penjelasan dari salah satu perspektif saja tidak akan menjelaskan secara mendasar. Kita harus memeriksanya secara seksama misalnya, siapa perempuan yang mengalami kematian yang tidak perlu itu, utamanya dari kelas sosial yang mana?, terjadi dalam konteks kultural yang seperti apa?, dan bagaimanakah hukum dan kebijakan merespon tingginya angka kematian ibu? Fenomena crash plane ini nampak menunjukkan kurang berhasilnya Indonesia dalam melakukan pembangunan sosial. Sementara, hal itu akan menentukan apakah Indonesia bisa ikut dalam pengalaman menuju kemakmuran bersama Catatan Pengantar ix

12 bangsa-bangsa lain di Asia. Beberapa lembaga dunia menempatkan Indonesia pada urutan 16 di antara an negara, berdasarkan Gross Domestic Product (GDP). Pertumbuhan ekonomi Indonesia sebesar 6,3% tahun 2013 cukup tinggi, berkat konsumsi dalam negeri, pertumbuhan investasi dan kemitraan dagang. Investasi mencapai sepertiga dari seluruh belanja barang dan jasa, dan memberi dorongan hampir 40% terhadap pertumbuhan. Indonesia berpotensi menjadi kekuatan ekonomi dunia baru bersama negara Selatan lain sungguhpun dalam tahun 2015 yang sedang berjalan ini ekonomi Indonesia terkoreksi secara signifikan. Meski Indonesia memiliki segala potensinya, terdapat sejumlah persyaratan yang harus dipenuhi untuk realisasinya. Diantaranya adalah mendekatkan jarak antara pertumbuhan ekonomi dan pembangunan manusia, termasuk akses keadilan. Di balik capaian pembangunan ekonomi Indonesia yang nampak hebat, terdapat agenda pembangunan manusia yang tertinggal. Ini terindikasi dari Human Development Index kita yaitu nomor 121 di antara 186 negara, dan tidak maksimalnya capaian Millenium Development Goals (MDG s), yang menjadi paramater kemajuan bangsa di mata dunia. Kita masih harus berjuang lagi dengan program berikutnya Sustainability Development Goals (SDG s). Dalam kedua program itu prioritas juga diletakkan untuk pemajuan perempuan dan anak perempuan. Negara seharusnya berinvestasi pada pembangunan manusia (perempuan), pemampuan warga negara, pemberdayaan hukum dan sosial, agar orang miskin (terutama di pedesaan) bisa berpartisiapsi dalam pertumbuhan. x Prosiding PKWG Seminar Series

13 Dalam paradigma pembangunan hukum yang baru dinyatakan oleh para ahli bahwa kemiskinan bukanlah persoalan ekonomi semata, tetapi persoalan ketiadaan akses keadilan terutama bagi kelompok yang tidak beruntung dalam masyarakat. Mereka adalah para perempuan, orang miskin dan kelompok minoritas. Pemberantasan kemiskinan adalah juga persoalan bagaimana memberikan akses keadilan. Dalam hal ini menurut saya, akses keadilan adalah persoalan ketiadaan akses bagi kelompok tersebut untuk mendapatkan: (1) hukum dan kebijakan yang memastikan keadilan bagi kelompok rentan dan perempuan; (2) pengetahuan hukum (melek hukum); (3) identitas hukum yang menjadi kunci akses bagi berbagai program kesejahteraan; (4) bantuan dan konsultasi hukum ketika mereka menghadapi kasus hukum yang meminggirkan mereka. Hari ini ketika kita sudah memasuki usia kemerdekaan ke 70 tahun, kita masih berhadapan dengan ketimpangan ekonomi, kerentanan ketahanan pangan dan enerji, kerusakan lingkungan, belum memadainya akses layanan kesehatan, pendidikan, bantuan hukum dan pemberdayaan organisasi sosial. Meskipun kita adalah negara demokrasi nomor tiga di dunia, tetapi kita masih (potensial) menghadapi pertikaian antar kelompok agama dan etnis, dan faksi-faksi di kalangan elite. Penyesatan terhadap rakyat atas nama demokrasi, khususnya melalui Pilkada, sangat bisa terjadi mengingat 70% penduduk Indonesia hanya tamatan Sekolah Dasar. Salah satu pembangunan manusia yang paling kelihatan kegagalannya adalah fenomena tingginya angka kematian ibu. Hal itu berkelindan dengan berbagai persoalan lain, diantaranya adalah perkawinan anak. Oleh karena itu Program Pascasarjana Kajian Gender UI, Pusat Kajian Wanita Catatan Pengantar xi

14 dan Gender (PKWG) UI, dan Pusat Riset Gender (PRG) Pascasarjana UI bekerjasama dengan Van Vollenhoven Institute for Law, Governance, and Law, Faculty of Law Universiteit Leiden dan The Department of Cultural Anthropology and Development Studies Universiteit Leiden menyelenggarakan Gender Studies Forum pada 9-12 Juni 2015 di Pascasarjana Multidisiplin Universitas Indonesia. Acara ini dibagi dalam dua agenda: lokakarya dengan tema Perkawinan Anak, Moralitas Seksual dan Politik Desentralisasi di Indonesia dan PKWG Seminar Series #1 dengan tema Kebijakan kesehatan dan pelibatan komunitas dalam menurunkan AKI/AKB diindonesia yang prosidingnya sedang anda baca saat ini. Banyak hal menarik dalam kegiatan Gender Studies Forum yang dilaksanakan, terutama dengan adanya kaitan yang amat jelas antara perkawinan anak dan tingginya Angka Kematian Ibu. Terdapat fenomena anak-anak perempuan berumur yang dikawinkan karena faktor kemiskinan, dan diperkuat oleh tafsir agama dan budaya filial piety (hormat dan patuh kepada orang tua), ketiadaan pengetahuan soal kesehatan reproduksi. Perkawinan anak potensial menyumbang kepada AKI karena kehamilan usia dini. Selanjutnya perkawinan anak berpotensi menyumbang kepada angka kematian bayi (32/1000 kelahiran); atau melahirkan bayi malnutrisi (4,5 juta/tahun) yang menyebabkan generasi hilang bagi bangsa di masa depan. Selanjutnya bagaimana hukum menempatkan persoalan perempuan dan anak? Sebenarnya terdapat sejumlah peraturan perundang-undangan yang menjamin perlindungan bagi perempuan dan anak. Diantaranya adalah Konvensi Hak Anak (ratifikasi melalui Kepres no 36/1990), UU no 35/2014 xii Prosiding PKWG Seminar Series

15 tentang perubahan atas UU no 23/2002 tentang Perlindungan Anak, Konvensi CEDAW (ratifikasi melalui UU no 7/1984), International Convention on Civil and Political Rights (ratifikasi melalui UU no 12/2005), International Convention on Economic, Social and Cultural Rights (rafikasi melalui UU no 11/2005), UU P KDRT no 23/2004. Namun terdapat inkonsistensi dalam beberapa peraturan perundang-undangan yang lain, seperti UU Perkawinan no 1/1974 dalam beberapa pasalnya terkait soal umur perkawinan, poligami dan status kepala keluarga. Beberapa waktu yang lalu kita dikejutkan oleh lahirnya putusan MK 18/6/2015 yang menolak peninjauan terhadap usia perkawinan anak perempuan 16 tahun untuk dimintakan kenaikan menjadi 18 tahun. Putusan ini tentu saja sangat berimplikasi terhadap adanya legalisasi perkawinan anak; di tengah seruan dunia: end child marriage. Putusan ini juga dapat dibaca sebagai terjadinya pengabaian terhadap hak-hak anak perempuan untuk menikmati hak-hak dasarnya terutama untuk bersekolah, dan berkontribusi maksimal terhadap pembangunan bangsa. Di samping itu, hakim tidak mempertimbangkan realitas bahwa Indonesia adalah negara nomor 37 di dunia dan nomor dua di ASEAN setelah Kamboja (BKKBN, 2012), dengan angka perkawinan anak yang tinggi. Satu dari lima anak perempuan telah kawin di bawah umur, atau 11,13 % anak perempuan menikah umur10-15 tahun (Susesnas 2012); dan 32,10 % menikah umur tahun (BPS, 2013). Membangun kesadaran untuk menghentikan lajunya angka kematian ibu yang tinggi, sekaligus juga perkawinan anak, demi masa depan Indonesia yang lebih baik, membutuhkan kesegeraan dan kerja besar dari semua kalangan. Para Catatan Pengantar xiii

16 akademisi, peneliti, pemerhati dan praktisi hukum, pegiat perempuan dan anak, dan warga masyarakat luas perlu bahu membahu untuk mewujudkannya. Berterimakasih kepada para pendiri bangsa kita yang telah memberi jalan kepada kemerdekaan bangsa, adalah meneruskan perjuangan mereka: membangun kemanusiaan Indonesia. Dirgahayu 70 tahun Indonesia! Jakarta, 17 Agustus 2015 Sulistyowati Irianto xiv Prosiding PKWG Seminar Series

17

18 EXECUTIVE SUMMARY PKWG SEMINAR SERIES #1 Angka Kematian Ibu (AKI) di Indonesia menempati urutan tertinggi di Asia Tenggara yaitu 307 per kelahiran hidup. Penurunan AKI dan Angka Kematian Bayi (AKB) merupakan salah satu target dari Tujuan Pembangunan Millenium atau yang lebih populer dikenal dengan istilah Millenium Development Goals (MDGs). Terdapat delapan tujuan MDGs, dua diantaranya terkait dengan peningkatan kesehatan ibu dan penurunan angka kematian anak. Dalam bidang kesehatan ibu, tujuan lebih dititikberatkan kepada kematian ibu akibat persalinan, dalam hal ini target MDGs untuk angka kematian ibu adalah 120 per per kelahiran hidup. Indonesia belum mampu mencapai target MDGs dalam hal kesehatan ibu. Berdasarkan hasil Survey Demografi dan Kependudukan Indonesia (SDKI) tahun 2012, tercatat kenaikan AKI yang cukup signifikan. Secara nasional, jumlah kematian ibu terus bertambah setiap tahunnya. Pada tahun 2011 tercatat jiwa, tahun 2012 berjumlah jiwa, dan tahun 2013 mencapai jiwa. Angka tersebut masih cukup jauh dari target yang harus dicapai pada tahun Artinya, terdapat kenaikan AKI dari 228 per kelahiran hidup menjadi 359 per kelahiran hidup. Di Indonesia Pelaksanaan Pembangunan Keluarga seperti yang diusung dalam Peraturan Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) No. 06/2013 dilakukan sebagai upaya pengendalian angka kelahiran dan penurunan angka kematian ibu dan anak, meningkatkan gizi Executive Summary 1

19 dan tingkat pendidikan, pengembangan kualitas penduduk pada seluruh dimensinya, peningkatan ketahanan dan kesejahteraan keluarga, penyiapan dan pengaturan perkawinan serta kehamilan sehingga penduduk menjadi sumber daya manusia yang tangguh bagi pembangunan dan ketahanan sosial, serta mampu bersaing dengan bangsa lain, dan dapat menikmati hasil pembangunan secara adil dan merata. Data Kementerian Kesehatan tahun 2010 menyebutkan tiga faktor utama penyebab AKI: pendarahan, tekanan darah tinggi (eklamsia), dan infeksi. Pendarahan menempati persentase tertinggi penyebab kematian ibu (28%), anemia dan kekurangan energi kronis (KEK) pada ibu hamil menjadi penyebab utama terjadinya pendarahan dan infeksi yang merupakan faktor kematian utama ibu. Walaupun seorang perempuan bertahan hidup setelah mengalami pendarahan pasca persalinan, namun ia akan menderita akibat kekurangan darah yang berat (anemia berat) dan akan mengalami masalah kesehatan yang berkepanjangan. Persentase tertinggi kedua penyebab kematian ibu yang adalah eklamsia (24%), kejang bisa terjadi pada pasien dengan tekanan darah tinggi (hipertensi) yang tidak terkontrol saat persalinan. Hipertensi dapat terjadi karena kehamilan dan akan kembali normal bila kehamilan sudah berakhir. Namun ada juga yang tidak kembali normal setelah bayi lahir. Kondisi ini akan menjadi lebih berat bila hipertensi sudah diderita ibu sebelum hamil. Persentase tertinggi ketiga penyebab kematian ibu melahirkan adalah infeksi 11%. Ketiga penyebab tersebut sesungguhnya bisa dicegah jika diketahui sejak dini dengan gejala bengkak, pertambahan berat badan ibu yang berlebihan, hipertensi, dan bercak pendarahan pada trisemester terakhir. Persoalan AKI terletak pada kualitas hidup perempuan yang rendah. Dalam hal ini adalah rata-rata pendidikan yang rendah, derajat kesehatan dan gizi yang rendah, penderita anemia pada penduduk usia tahun masih tinggi 2 Prosiding PKWG Seminar Series

20 mencapai 18,4%, kurang zat besi dan stunting (pertumbuhan anak yang terhambat karena kekurangan gizi sehingga tidak mencapai tinggi badan pada umumnya pada usia tertentu). Tingginya AKI di beberapa daerah di Indonesia juga disebabkan karena keterbatasan fasilitas dan pelayanan kesehatan bagi para ibu dalam proses kehamilan mereka, kurangnya pengetahuan para perempuan terkait kondisi kehamilan, dan kurangnya pengetahuan tentang kesehatan reproduksi. Tingginya AKI di Indonesia disebabkan oleh beberapa hal. Antara lain: komplikasi yang terjadi pada saat persalinan dan setelah persalinan, kehamilan yang tidak diinginkan di kalangan remaja, nilai-nilai kultural pernikahan anak yang menyebabkan perempuan mengandung dalam usia yang masih belia, minimnya pengetahuan ibu hamil tentang sistem dan kesehatan reproduksi dan proses kehamilan, masih kuatnya pantangan maupun pengetahuan lokal mengenai kehamilan yang berdampak pada ibu hamil, aturan kultural yang membolehkan ibu hamil tua maupun ibu yang baru melahirkan untuk mengerjakan tugas domestik maupun ekonomi, keterbatasan fasilitas kesehatan dan tenaga kesehatan, masih kuatnya posisi dukun beranak, serta minimnya pelibatan laki-laki dalam proses kehamilan dan kelahiran. Sementara itu, tingginya Angka Kematian Bayi (AKB) disebabkan oleh asfiksia, berat badan lahir rendah (BBLR), premature, pneumonia, dan kelainan congenital. Tingginya AKB jelas tidak dapat dilepaskan dari kondisi ibu hamil. Remaja perempuan sangat rawan terhadap persoalah Kehamilan Tidak Diinginkan (KTD). Remaja perempuan seringkali menjadi target dari kekerasan berbasis gender ketika berpacaran, dalam hal ini adalah ajakan untuk melakukan seks pra nikah yang seringkali tidak dapat ditolak oleh perempuan. Kondisi ini menggiring remaja menjadi kelompok yang rawan mengalami KTD bahkan rentan Executive Summary 3

21 terjangkit HIV/AIDS. Hal ini diperparah dengan kurangnya pemahaman kesehatan reproduksi di kalangan remaja menjadikan usia awal kehamilan dianggap sebagai keterlambatan siklus haid saja. Akibatnya, mereka biasanya melakukan upaya pengembalian siklus haid dengan mengkonsumsi obat-obatan, jamu tradisional atau upaya lainnya. Jika upaya pengembalian siklus haid gagal, biasanya mereka akan melakukan upaya aborsi yang dapat mengakibatkan kematian. Faktor kultural terkait dengan perkawinan anak yang mendorong usia kehamilan pertama yang sangat muda masih menjadi faktor determinan yang menjadi penyebab tingginya angka kematian ibu. Kawin muda seringkali diawali dengn kehamilan di waktu pacaran, yang menyebabkan banyak orangtua akhirnya dengan segera menikahkan anaknya. Dalam banyak kasus, perkawinan anak dilaksanakan dengan menggunakan pemalsuan, terutama dengan menambah usia anak sehingga dapat dinikahkan. Bahkan dalam banyak kasus, perkawinan anak dilakukan di bawah tangan sehingga mereka tidak memiliki surat nikah yang menutup akses terhadap kesehatan maupun hak sipil lainnya. Di sisi lain, perkawinan anak menjadi faktor pendorong tingginya angka putus sekolah bagi perempuan, sebab anak perempuan yang menikah umumnya akan keluar dari sekolah. Dengan demikian, terjadi persoalan ganda bagi anak perempuan, bahwa perkawinan anak berimplikasi banyak hal, utamanya mendorong terciptanya pemiskinan bagi perempuan. Peran suami dalam ikut serta mengelola aktivitas rumah tangga dan membantu ibu hamil masih amat minim. Suami tidak banyak berperan dalam proses kehamilan, melahirkan, maupun pascamelahirkan. Peran suami hanya sebatas mengantar isteri ke tenaga kesehatan atau fasilitas kesehatan. Suami tidak mengetahui hal-hal terkait dengan kehamilan, suami tidak banyak terlibat dalam aktivitas domestik. Tidak dianggapnya perempuan sebagai partner yang setara dalam 4 Prosiding PKWG Seminar Series

22 hubungan rumah tangga membuat perempuan berada pada posisi subordinat terhadap laki-laki. Laki-laki yang merasa stress dan cemas karena terancam kelelakiannya seringkali melakukan Kekerasan Dalam Rumah Tangga. Perempuan sebagai pihak yang subordinat menjadi rentan menjadi objek pelampiasan perasaan stress dan cemas dari laki-laki, sehingga terjadilah kekerasan terhadap perempuan. Tingginya AKI juga terkait dengan jumlah fasilitas kesehatan yang masih sangat sedikit dan akses terhadap fasilitas kesehatan. Dirjen Gizi Kesehatan ibu dan Anak (KIA) mencatat bahwa permasalahan ibu hamil saat mencapai fasilitas kesehatan saat persalinan disebabkan 22,8% karena tidak mau pergi sendiri ke faskes, 10,5% disebabkan jarak tempuh fasilitas kesehatan yang jauh. Pemberian gizi seimbang untuk ibu dan bayinya masih kurang, ditambah lagi pengetahuan ibu atas bahaya persalinan juga masih minim. Infrastruktur dipastikan sebagai penyebab utama sulitnya ibu mencari pelayanan kesehatan. Dari hasil Riskesdas 2010 mencatat, bahwa 84% ibu meninggal di Rumah dan Rumah Sakit Rujukan pada jam-jam pertama. Persoalan krusial lain terkait dengan faktor kultural adalah masih kuatnya kepercayaan terhadap dukun beranak maupun jamu tradisional. Berdasarkan data Riskesdas 2013, Penolong saat persalinan dengan kualifikasi tertinggi dilakukan oleh bidan (68,6%), kemudian oleh dokter (18,5%), lalu non tenaga kesehatan (11,8%). Namun sebanyak 0,8% kelahiran dilakukan tanpa ada penolong, dan hanya 0,3% kelahiran saja yang ditolong oleh perawat. Hal ini ditunjang pula dengan kondisi sosial ekonomi sebagian masyarakat yang masih berada digaris kemiskinan. Selain itu, tidak meratanya fasilitas kesehatan dan tenaga kesehatan yang tersebar di seluruh wilayah Indonesia turut menjadi salah satu penyebab masalah kesehatan ibu. Untuk menurunkan AKI dan AKB di Indonesia mutlak dibutuhkan sinergi antara pemerintah - melalui berbagai Executive Summary 5

23 kebijakan di bidang kesehatan, dengan komunitas. Selain itu, pemahaman bahwa AKI dan AKB juga terkait erat dengan persoalan kultural juga perlu ditingkatkan lagi. Dari sisi kebijakan kesehatan, peninjauan ulang atas UU Nomor 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan mutlak diperlukan. Walaupun perihal kesehatan reproduksi perempuan sudah diakomodasikan dan bahkan banyak diatur UU tersebut, namun pengaturan dalam UU tersebut belum sepenuhnya mengakomodasikan 12 hak kesehatan reproduksi perempuan secara utuh sebab ditemukan adanya perbedaan yang sangat mendasar antara pengaturan kesehatan repoduksi dengan 12 hak kesehatan reproduksi perempuan yang dimuat dalam RAN Pemenuhan Hak Kesehatan Reproduksi Perempuan. Selain persoalan UU yang belum mengakomodasi hak kesehatan reproduksi perempuan, kebijakan kesehatan juga harus didorong untuk mengakomodir kebutuhan dasar perempuan di bidang kesehatan. Dalam hal ini perlu dilakukan intervensi terhadap pembentukan peraturan dan kebijakan pemerintah daerah dalam kerangka memperkuat upaya mewujudkan peningkatan kesehatan dan akses terhadap kesehatan yang akan bermuara pada menurunan AKI dan AKB. Perlu ada kemauan (political will) penyelenggara pemerintahan, terutama pemerintah daerah dan DPRD untuk membuat kebijakan (bisa dalam bentuk Peraturan Daerah atau Peraturan Bupati dan program/kegiatan SKPD) yang sadar gender. Menjadi sangat penting untuk mempertajam pemahaman atas kompleksitas masalah terkait gender kepada semua instansi Pemerintah Daerah. Perencanaan, pelaksanaan dan pengawasan program serta kebijakan pemerintah hendaknya berjalan secara transparan, akuntabel dan partisipatif sehingga fungsi dan peran masyarakat berjalan secara efektif. Desa memainkan peran signifikan dalam membantu upaya penurunan AKI dan AKB. Semangat UU No.6/2014 adalah menempatkan kepala desa bukan sebagai kepanjangan 6 Prosiding PKWG Seminar Series

24 tangan pemerintah, melainkan sebagai pemimpin masyarakat. Artinya kepala desa harus mengakar dekat dengan masyarakat, sekaligus melindungi, mengayomi dan melayani warga masyarakat. Untuk menjaga akuntabilitas maka dibentuklah Badan Permusyawaratan Desa (BPD) sebagai forum komunikasi dalam membangun dan mengembangkan potensi daerahnya terutama terkait dengan pembangunan keluarga mewujudkan kesetaraan gender, pemberdayaan perempuan, perlindungan & tumbuh kembang anak. Peningkatan peran BPD sebagai forum komunikasi dan mediasi dalam mewujudkan ketahanan keluarga, yang memiliki dua keuntungan, yaitu: Pertama, BPD sebagai tempat komunikasi dan informasi dalam perumusan kebijakan di tingkat desa sehingga melalui BPD lah desa dapat membuat berbagai program yang bertujuan untuk menurunkan AKI dan AKB. Kedua, BPD sebagai wadah untuk pengembangan kapasitas kelembagaan berbasis komunitas untuk mewujudkan ketahanan keluarga di desa.. Pentingnya upaya membangun kesadaran kritis perempuan di desa terkait hak-hak kesehatan reproduksi, hak seksual, dan hak-hak berpolitik. Selain itu, penting pula membentuk dan memperkuat basis kelompok perempuan di berbagai wilayah untuk mendorong peningkatan fungsi dan peran perempuan serta terpenuhinya hak-hak perempuan. Dalam konteks UU desa, penguatan posisi perempuan dalam BPD mutlak diperlukan, terutama karena UU mempersyaratkan adanya partisipasi perempuan dalam BPD. Dalam hal ini, keterlibatan perempuan dalam BPD maupun dalam agenda Musrenbangdes (Musyawarah Rencana Pembangunan Desa) menjadi sangat krusial untuk membawa aspirasi dan kebutuhan perempuan dalam perencanaan pembangunan desa. Selama ini posisi perempuan dalam Musrenbangdes hanya sebagai penggembira sehingga suara perempuan tidak pernah didengarkan. Executive Summary 7

25 Kemitraan menjadi kata kunci penting dalam menurunkan AKI dan AKB. Kemitraan ini dapat berupa upaya kerja sama antara komunitas, lembaga pemerintah, lembaga non pemerintah, maupun organisasi masyarakat sipil untuk mencapai tujuan bersama. Beberapa kerja sama kemitraan antarpihak ini cukup berhasil di berbagai wilayah. Di Pasuruan misalnya, muncul gerakan PERMATA (Penyelamatan maternal dan neonatal) sebagai satu kekuatan dari sinergi antara lembaga pemerintah, organisasi masyarakat sipil, dan komunitas. PERMATA di Kabupaten Pasuruan berusaha menjawab tantangang implementasi kebijakan pemerintah untuk menurunkan AKI dan AKB. PERMATA memahami bahwa tidak perlu menggalang kekuatan lain dengan mencari orang-orang baru untuk terjun dalam isu Kesehatan Ibu dan Anak (KIA). Dengan memaksimalkan basis organisasi agama seperti Nahdatul Ulama dan Muhammadiyah serta organisasi kesehatan lain. Kekuatan basis massa NU dan Muhammadiyahmemiliki pembagian hingga desa bahkan dusun. Selain beranggotakan NU dan Muhammadiyah, ada pula organisasi interfaith seperti Persatuan Wanita Katholik, Persatuan Wanita Kristen dan Wanita Hindu Dharma Indonesia Kab. Pasuruan. PERMATA juga melibatkan institusi lain yang fokus pada isu KIA seperti Ikatan Bidan Indonesia (IBI), TP PKK, BKKBN, PKBI hingga media massa sebagai pusat informasi publik seperti Radio Warna dan Suara Pasuruan. Contoh lain kelembagaan di tingkat komunitas adalah Institusi Masyarakat Perkotaan (IMP) di Surabaya yang diinisiasikan BKKBN dan bertujuan untuk menahan laju pertumbuhan penduduk dan meningkatkan kesejahteraan keluarga. Kader IMP adalah seorang pekerja sosial di tingkat komunitas dan bersifat sukarela dan menjadi pelaksana dan pengelola program KB di lapangan. Kader IMP berperan menggantikan tugas Petugas Lapangan Keluarga Berencana (PLKB), di mana kader IMP menjadi mitra PLKB di tingkat komunitas. Dalam konteks penyelenggaraan KB/KS, kader IMP (PPKBK dan Sub PPKBK) bertugas dan bertanggungjawab 8 Prosiding PKWG Seminar Series

26 dalam : (1) memotivasi peserta KB baru; (2) pembinaan peserta KB aktif; (3) identifikasi sasaran program; (4) melakukan konseling dan (5) melakukan rujukan. Dalam rangka melakukan penurunan AKI dan AKB, maka tugas dan tanggungjawab kader IMP tidak saja memotivasi Pasangan Usia Subur (PUS) untuk mengikuti program KB, namun para kader juga memotivasi para ibu untuk melakukan pemeriksaan kesehatan reproduksi termasuk pula pemeriksaan dini resiko kehamilan. Kader IMP membuktikan bahwa keterlibatan komunitas menjadi sangat penting, sebab komunitas menjadi tulang punggung bagi terlaksananya target penurunan AKI dan AKB. Pelibatan laki-laki adalah hal lain yang juga krusial untuk dilakukan. Persoalan keadilan gender, terutama menghentikan siklus kekerasan berbasis gender tidak cukup hanya dilakukan terhadap kelompok perempuan sebagai pihak korban saja, namun juga tenyata penting untuk menjangkau kelompok lakilaki. Untuk memutus siklus kekerasan tersebut, laki-laki dan perempuan harus secara bersama-sama terlibat dalam gerakan perjuangan kesetaraan dan keadilan gender. Khususnya untuk melibatkan laki-laki dalam gerakan kesetaraan dan keadilan gender. Terkait dengan hal ini, penting untuk melihat kemunculan Aliansi Laki-laki Baru maupun kampanye Laki-laki Peduli yang mendorong bagaimana pelibatan laki-laki dalam mencapai kesetaraan dan keadilan. Dalam konteks AKI dan AKB, keterlibatan para suami menjadi sangat penting, terutama untuk melibatkan suami sebagai partner dalam peningkatan kesehatan ibu dan anak, program Keluarga Berencana (KB), dan penghapusan kekerasan dalam rumah tangga. Tujuan utamanya adalah untuk merekonstruksi nilai-nilai kelelakian dan perilaku negatif yang berdampak pada kesehatan reproduksi perempuan, melibatkan remaja laki-laki dalam penghapusan kekerasan dalam rumah tangga, melibatkan laki-laki dalam pengasuhan sebagai cara efektif dalam meningkatkan kesehatan ibu dan anak, serta melibatkan laki-laki dalam Executive Summary 9

27 program KB. Pelibatan laki-laki membutuhkan strategi yang spesifik, terutama jika dikaitkan dengan sosio-kultural masyarakat. Dibutuhkan intervensi khusus dari organisasi masyarakat sipil maupun elite agama untuk mendorong pelibatan laki-laki. Hal terakhir adalah pemahaman atas konteks-konteks kultural yang ada di masyarakat. Masyarakat Indonesia adalah masyarakat yang multikultural, sehingga tidak aneh jika setiap wilayah di Indonesia memiliki kebudayaannya sendiri, khususnya dalam persoalan AKI dan AKB. Dalam hal ini, persoalan kultural dapat menjadi pisau bermata ganda. Di satu sisi, banyak nilai-nilai kultural yang akomodatif terhadap kebutuhan ibu hamil hingga pascapersalinan. Sesungguhnya ada konteks-konteks kultural yang melarang ibu hamil maupun ibu yang baru melahirkan untuk mengerjakan tugas domestik maupun aktivitas ekonomi. Di Manado misalnya, seorang istri yang akan melahirkan, maka sang suami akan cuti melaut selama tujuh hari, bahkan dapat diperpanjang, dan sepanjang waktu itulah sang suami akan mengerjakan berbagai tugas domestik untuk menjamin keselamatan istri yang akan melahirkan. Dibutuhkan penelitian yang lebih luas yang difokuskan untuk menggali nilai-nilai kultural yang mengakomodasi kebutuhan ibu hamil maupun kesehatan reproduksi secara umum. Di sisi lain, tidak dapat dipungkiri, ada pula konteks kultural yang dapat membahayakan kesehatan ibu hamil hingga tahap persalinan. Jamu misalnya, jika diracik dengan baik dapat membantu meningkatkan kesehatan ibu hamil maupun membantu proses persalinan dan pascapersalinan. Namun banyak ibu hamil yang mengkonsumsi jamu yang tidak diracik dengan baik, atau pengetahuannya mengenai jamu hanya berdasarkan tuturan masyarakat, yang justru meningkatkan potensi risiko kehamilan. Dukun beranak juga menjadi faktor yang perlu diperhatikan dengan seksama. Keberadaan dukun erat 10 Prosiding PKWG Seminar Series

28 kaitannya dengan konteks kutural masyarakat, selain karena minimnya sebaran tenaga kesehatan terlatih di desa-desa. Berbagai penelitian menunjukkan bahwa pilihan untuk menggunakan dukun seringkali terjadi karena ibu hamil merasa lebih aman untuk memilih dukun, atau karena faktor biaya melahirkan di dukun yang lebih murah. Meskipun terdapat peraturan yang melarang ibu hamil untuk melahirkan di rumah, namun karena sebaran fasilitas kesehatan maupun tenaga kesehatan yang tidak merata mendorong masih banyaknya ibu hamil yang melahirkan melalui non tenaga kesehatan, dalam hal ini dukun. Selain itu, kuatnya keberadaan dukun juga disebabkan karena sifat layanan dukun yang bersedia membantu ibu hamil sebelum melahirkan, saat melahirkan, pascamelahirkan (bahkan hingga 40 hari pascamelahirkan). Berbeda dengan bidan ataupun tenaga kesehatan yang umumnya hanya membantu sebelum melahirkan dan saat melahirkan. Di banyak wilayah, bidan umumnya hanya mengecek satu kali pascamelahirkan setelah itu ibu melahirkan tidak lagi mendapatkan pelayanan kesehatan. Untuk mencapai target penurunan AKI dan AKB, maka pendekatan multidisiplin dan multistakeholder harus menjadi fokus perhatian. Kebijakan kesehatan sercara parsial tidak lagi mencukupi, sebab tanpa pelibatan komunitas dan pemahaman atas konteks kultural masyarakat maka target penurunan AKI dan AKB tidak akan tercapai, terlebih Indonesia akan segera menyongsong Sustainable Development Goals (SDGs). Harapannya dengan melibatkan komunitas dan memahami bagaimana konteks kultural bekerja, Indonesia dapat menurunkan AKI dan AKB secara signifikan. Executive Summary 11

29

30 Strategi Peningkatan Kesehatan Ibu dan Anak Keluarga Migran Miskin melalui Perspektif Multidimensi Sri Sunarti Purwaningsih, Ade Latifa, Fitranita dan Eniarti Djohan 1 Abstrak Isu kesehatan ibu dan anak (KIA) merupakan isu penting untuk diangkat kepermukaan karena untuk kasus Indonesia, angka kematian ibu (AKI) masih tinggi. Persoalan KIA ini semakin berat dihadapi oleh keluarga migran miskin di perkotaan karena mereka menghadapi keterbatasan akses pada beragam hal, yang pada gilirannya dapat berpengaruh terhadap kelangsungan hidup. Salah satu permasalahan AKI ditengerai terkait dengan aksesibilitas terhadap pelayanan kesehatan yang belum secara menyeluruh dan adil dapat dinikmati oleh berbagai pihak, meskipun berbagai program pemerintah sudah banyak diimplementasikan untuk mengatasi permasalahan tersebut, antara lain Askeskin, Jamkesmas, Jamkesda, dan Jampersal maupun program jaminan kesehatan atau yang biasa disebut SJSN. Hasil penelitian P2K-LIPI yang dilakukan di Kota Bandung dan Makassar terhadap penduduk migran miskin ( , 2014) menunjukkan bahwa masih banyak penduduk migran miskin di perkotaan terkendala dalam mengakses layanan kesehatan yang pada akhirnya akan berdampak pada status kesehatan ibu dan anak yang relative rendah. Berdasarkan hasil kajian tersebut, tulisan ini mengangkat persoalan KIA dengan memfokuskan pada kelompok marjinal perkotaan, yaitu keluarga migran miskin. 1 Peneliti dari Pusat Penelitian Kependudukan LIPI Sri Sunarti Purwaningsih, Ade Latifa, Fitranita, Eniarti Djohan 13

31 Mengingat kompleksitas dari permasalahan yang ada, tim P2K LIPI menganggap perlunya kebijakan integratif dalam penanganan dan kerjasama lintas sektoral. Oleh karena itu, tulisan ini juga memaparkan model kebijakan komprehensif terkait dengan upaya peningkatan kesehatan ibu dan anak. Kata kunci: kesehatan ibu dan anak, model kebijakan komprehensif, migran, kemiskinan, perkotaan Pendahuluan Tema kesehatan ibu dan anak pada keluarga miskin di perkotaan merupakan isu penting untuk terus diangkat, karena angka kematian ibu (AKI) yang merupakan salah satu indikator kesehatan ibu dan anak masih tetap tinggi meskipun sudah banyak intervensi yang dilakukan oleh pemerintah. Masih tingginya AKI di Indonesia, di satu sisi menunjukkan status kesehatan ibu dan anak yang kurang baik dan di sisi lain menunjukkan modal manusia yang rendah untuk mempersiapkan SDM yang berkualitas. Dengan kondisi tersebut tentunya tidak mudah memenuhi target MDGs terkait dengan tujuan ke 5 tentang penurunan AKI menjadi 102 per kelahiran hidup pada tahun Berbagai program pemerintah pada dasarnya sudah banyak diimplementasikan, antara lain melalui pemberlakuan Askeskin, Jamkesmas, Jamkesda, dan Jampersal. Bahkan payung hukum untuk pelaksanaannya sudah ada, yakni UU No 40 tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) yang di dalamnya termasuk jaminan kesehatan. Namun demikian, program-program tersebut nampaknya belum sepenuhnya menjangkau seluruh segmen penduduk miskin di perkotaan. Hasil penelitian P2K-LIPI ( ) di Kota Bandung dan Makassar menunjukkan bahwa pemanfaatan layanan kesehatan di tingkat Puskesmas dan jaringan nya oleh 14 Prosiding PKWG Seminar Series

32 penduduk miskin di perkotaan, khususnya kelompok migran masih rendah (istilah yang digunakan dalam penelitian ini untuk menyebutkan kelompok penduduk tersebut adalah the unreached ). Ditengarai salah satu faktor penghambat adalah persoalan aksesibilitas pada pelayanan kesehatan. Kemampuan finansial menjadi faktor dominan yang mempengaruhi persoalan aksesibilitas penduduk migran miskin tersebut. Kelompok migran miskin belum mendapatkan manfaat dari program-program tersebut. Adanya persoalan administrasi kependudukan menyebabkan mereka luput menjadi target sasaran program jaminan kesehatan yang ditujukan untuk orang miskin. Padahal, sebagian besar dari migran miskin di perkotaan tersebut harus membiayai pengobatan dari sumber penghasilan mereka sendiri (out-of pocket) yang juga terbatas. Beberapa kasus menunjukkan adanya penghentian pengobatan karena ketidakmampuan dalam membiayai pengobatan mereka. Kemungkinan hal ini juga membawa implikasi pada kondisi kesehatan ibu dan anak dari keluarga migran miskin di perkotaan. Tulisan ini dimaksudkan untuk memaparkan model kebijakan komprehensif terkait dengan upaya peningkatan kesehatan ibu dan anak. Dengan kompleksnya persoalan yang muncul maka perlu ada kebijakan integratif dalam penanganannya dan kerjasama lintas sektoral. Tulisan ini berdasarkan hasil penelitian tim kompetitif kesehatan P2K LIPI, yang melakukan penelitian pada kurun waktu , 2014 di dua wilayah perkotaan, yaitu Kota Makassar (Provinsi Sulawesi Selatan) dan Kota Bandung (Provinsi Jawa Barat). Pendekatan yang digunakan dalam penelitian tersebut adalah kuantitatif dan kualitatif. Sebelum masuk kepemaparan model kebijakan, beberapa isu yang dianggap menonjol akan dikemukakan terlebih dulu untuk memberikan gambaran mengapa kondisi kesehatan ibu dan anak belum menunjukkan gambaran yang menggembirakan. Sri Sunarti Purwaningsih, Ade Latifa, Fitranita, Eniarti Djohan 15

33 Rendahnya pemanfaatan layanan kesehatan dasar (puskesmas & jejaringnya) Relatif rendahnya kondisi kesehatan ibu dan anak dari keluarga miskin terekam dari hasil penelitian P2K LIPI di Kota Bandung dan Makassar tersebut yang diindikasikan dengan rendahnya cakupan pemeriksaan kehamilan di tingkat puskesmas. Kasus kota Bandung memperlihatkan bahwa pada tahun 2010 cakupan pemeriksaan kehamilan di puskesmas hanya mencapai angka % dari target 100 %, merosot dari tahun 2009 yang mencapai angka %; demikian pula dengan rendahnya nilai prosentase kumulatif persalinan yang dilakukan oleh tenaga kesehatan (Linakes) di tingkat dasar. Berdasarkan laporan bulanan puskesmas tahun 2010, Linakes baru mencapai % dari target 100 % (PPK LIPI, 2009). Fenomena yang sama juga ditemukan pada kasus di Makassar dimana pemanfaatan atas layanan kesehatan dasar masih relative rendah di kalangan migran miskin. Hasil kajian di Makassar misalnya menunjukkan bahwa pemanfaatan puskesmas oleh migran baru sekitar 40 %. Kasus kota Bandung dan Makassar juga memperlihatkan masih tingginya penolong persalinan dengan dukun (Dinkes Kota Bandung 2011). Beberapa faktor yang kemungkinan membuat rendah dan menurunnya angka cakupan pemeriksaan ibu hamil di puskesmas tahun 2010 tersebut, antara lain seperti yang ditemukan dari hasil FGD dengan para ibu-ibu di Makassar, ketika ditanyakan pengalaman mereka sewaktu hamil, ternyata tidak semua ibu rajin memeriksakan kehamilannya ke tenaga kesehatan (dokter maupun perawat/bidan). Ada beberapa ibu (tidak banyak) yang bahkan tidak pernah memeriksakan kehamilannya.alasan yang dikemukakan terkait dengan keputusannya tidak memeriksakan kehamilannya, sangat sepele yaitu malas. Alasan lain lagi malu karena merasa sudah tua namun masih mengandung lagi. Kasus yang sama juga ditemukan di Bandung. Meskipun 16 Prosiding PKWG Seminar Series

34 tidak banyak, namun masih ada ibu hamil yang lalai memeriksakan kandungannya dengan petugas kesehatan.padahal menurut beberapa kader posyandu setiap saat sudah diinformasikan tentang waktu pemeriksaan kehamilan di Posyandu. Faktor lain penyebab terjadinya hal tersebut terkait dengan sistem pendeteksian dan pencatatan di puskesmas yang kurang terkoordinasi. Pihak Puskesmas cenderung hanya mencatat pasien-pasien yang datang ke puskesmasnya saja, sementara ada kemungkinan klien/user memanfaatkan puskesmas di luar wilayah sehingga tidak terdeteksi. Adanya jaminan kesehatan ternyata tidak secara langsung meningkatkan pemanfaatan pelayanan kesehatan oleh masyarakat miskin. Data menunjukkan masih rendahnya pemanfaatan pelayanan kesehatan terutama pelayanan kesehatan rawat jalan tingkat pertama (RJTP) di Puskesmas terjadi di Kota Bandung. Berdasarkan data Laporan Tahunan Kegiatan Pelayanan Kesehatan Masyarakat Miskin Kota Bandung tahun 2010 diketahui bahwa rata-rata kunjungan masyarakat miskin terhadap pelayanan kesehatan tahun 2010 masih jauh dari target (utilisasi rate) yang harus dicapai tiap bulannya yaitu 15 persen. Hasil analisa Dinas Kesehatan Kota Bandung terhadap kurangnya tingkat pemanfaatan pelayanan kesehatan tersebut menunjukkan bahwa hal ini disebabkan oleh keterbatasan sumberdaya manusia dan sarana yang ada di Puskesmas terutama dari segi pencatatan dan pelaporan. Selain itu, kegiatan Puskesmas masih terfokus pada pelayanan dalam gedung serta kekurangmampuan petugas kesehatan untuk mengakses langsung masyarakat miskin misalnya dengan melakukan kegiatan perawatan individu, keluarga, dan masyarakat lainnya yang harus dilaksanakan di luar gedung. Beban biaya kesehatan pada pemerintah Pembebasan biaya kesehatan bagi seluruh penduduk di suatu wilayah bukanlah suatu kebijakan yang efektif karena akan membebani negara terutama bagi negara-negara Sri Sunarti Purwaningsih, Ade Latifa, Fitranita, Eniarti Djohan 17

35 berkembang. Hasil penelitian P2K LIPI tahun 2011 menunjukkan telah terjadi peningkatan anggaran kesehatan yang harus disediakan oleh pemerintah Kota Makassar untuk membiayai kesehatan seluruh penduduk. Hasil studi di lapangan menunjukkan bahwa meskipun program kesehatan gratis dari program Makassar Bebas dimaksudkan untuk penduduk tidak/kurang mampu karena hanya membiayai pelayanan kesehatan dasar dan kelas tiga, namun pada kenyataannya masih terdapat penduduk yang berasal dari golongan mampu yang menggunakan program tersebut. Apabila kondisi ini terus berlangsung, kemungkinan besar pemerintah daerah setempat tidak akan mampu menjamin keberlangsungan program kesehatan gratis tersebut. Program pelayanan kesehatan yang serba gratis akan membuat masyarakat kurang peduli terhadap aspek promotif dan preventif karena asumsinya kalau sakit semua biaya pengobatan akan ditanggung pemerintah.terkait dengan pembiayaan kesehatan, sebaiknya pembiayaan kesehatan tidak sepenuhnya dibebankan pada pemerintah. Sesuai dengan Undang-Undang Sistem Jaminan Sosial Naional (SJSN) No 40 tahun 2004, penduduk dapat berkontribusi dalam pembiayaan kesehatan tergantung pada kemampuan masingmasing. Pengikutsertaan penduduk dalam pembiayaan kesehatan dapat membantu pemerintah untuk mengalihkan biaya yang selama ini digunakan untuk pembiayaan kesehatan pada kegiatan pembangunan di bidang lainnya. Selain dari diri pribadi dan pemerintah, pembiayaan kesehatan juga dapat dilakukan oleh lembaga-lembaga atau paguyuban-paguyuban yang telah ada di masyarakat. Hasil studi di Kota Makassar menunjukkan bahwa migran yang berasal dari berbagai daerah mempunyai kelompok-kelompok atau perkumpulanperkumpulan menurut daerah asalnya. Biasanya, setiap perkumpulan tersebut menarik iuran dari anggotanya. Salah satu kegunaan dari iuran tersebut adalah memberikan bantuan biaya pengobatan pada anggotanya apabila menderita sakit. Selain itu, kelembagaan sosial masyarakat lainnya 18 Prosiding PKWG Seminar Series

36 seperti kumpulan pengajian juga dapat digunakan sebagai salah satu wadah untuk membantu anggotanya dalam meringankan biaya pengobatan pada saat sakit. Kelembagaan sosial tersebut dapat menjadi salah satu cikal bakal untuk asuransi kesehatan. Untuk mewujudkan hal ini diperlukan suatu sosial marketing untuk meningkatkan kesadaran masyarakat akan perlunya jaminan pemeliharaan kesehatan bagi diri dan keluarganya. Belum tercakupnya migran miskin dalam kepesertaan program jaminan kesehatan Sebagian rumah tangga miskin tidak dapat terdata ke dalam BPJS Kota Bandung, karena tidak memiliki identitas kependudukan Kota Bandung. hasil penelitian menunjukkan bahwa masih terdapat sedikitnya 200 anggota rumah tangga migran miskin dan hampir miskin di Kota Bandung dan 400 rumah tangga di Kota Makassar yang tidak tercakup dalam jaminan kesehatan yang diberikan oleh kedua kota tersebut. Fenomena ini antara lain juga disebabkan masih banyak warga yang tergolong berada ditengah- tengah yaitu untuk dikatakan mampu mereka tidak termasuk tapi untuk dikatakan miskin juga tidak tepat, tapi mereka sangat butuh bantuan keringanan dalam pembiayaan kesehatan. Namun mereka luput dalam pendataan kemiskinan karena apabila berdasarkan indikator kemiskinan yang 14 indikator, mereka luput dalam pendataan karena factor kepemilikan kendaraan bermotor. Padahal kepemilikan kendaraan bermotor tersebutpun sangat dipaksakan untuk kebutuhan berusaha. Ada juga kasus warga yang tidak terdata sebagai warga miskin karena berdasarkan rumah/tempat tinggal termasuk layak huni, padahal warga tersebut hanya penunggu rumah saja. Sehingga dalam pendataan perlu melibatkan warga setempat/local yang memahami kondisi wilayah. Selain itu, permasalahan yang dapat membuat warga masyarakat tidak antusias dengan skema BPJS ini adalah belum semua orang paham dengan skema BPJS Kesehatan. Sri Sunarti Purwaningsih, Ade Latifa, Fitranita, Eniarti Djohan 19

37 Sosialisasi tentang BPJS Kesehatan pada dasarnya sudah dilaksanakan namun kendalanya adalah tidak semua sosialisasi bisa dilaksanakan karena tidak terjadwal. Kerangka Analisa Kebijakan Dari hasil analisa dapat disimpulkan adanya keterkaitan yang erat antara permasalahan akses terhadap layanan kesehatan, kemiskinan dan migrasi. Urbanisasi yang antara lain memunculkan adanya kelompok marjinal perkotaan tidak hanya menyebabkan yang bersangkutan tidak bisa memperoleh akses terhadap layanan dasar sebagai akibat stateless dan kemiskinan, tetapi juga menambah beban terhadap lingkungan pemukiman mereka yang memang sudah terbatas dengan sarana dan prasarana layanan dasar. Kondisi demikian akan menyulitkan upaya dalam memutus matarantai kemiskinan dan kejadian sakit karena selalu terjerat dengan kondisi kesehatan yang rentan terhadap penularan penyakit. Untuk meningkatkan derajat kesehatan penduduk migran miskin (termasuk ibu dan anak) yang memiliki karakteristik khusus tidak cukup hanya meningkatkan akses mereka terhadap layanan kesehatan saja, tetapi diperlukan pendekatan yang bersifat multi-dimensional dan kerjasama lintas sektoral. Ada 4 domain pokok yang perlu dibenahi dalam kaitannya dengan peningkatan akses kelompok tersebut terhadap layanan kesehatan yang berkualitas, yaitu: (a) perbaikan sistem layanan kesehatan dasar dan rujukan; (b) penataan lingkungan permukiman (c) peningkatan ekonomi keluarga untuk mendapatkan atau menopang layanan kesehatan rujukan/lanjutan dan gizi yang baik; dan (d) identitas kependudukan. 20 Prosiding PKWG Seminar Series

38 Bagan 1. Strategi Peningkatan Derajat Kesehatan Ibu dan Anak melalui Program Lintas Sektor Penyusunan model kebijakan dalam rangka peningkatan kesehatan ibu dan anak digunakan alur berpikir berdasarkan kerangka analisa kebijakan. Dalam hal ini proses pertama yang harus dilakukan adalah dengan melakukan analisa masalah untuk dapat mengetahui secara jelas masalah yang dihadapi, siapa yang terkena atau terkait dengan masalah yang dihadapi, Sri Sunarti Purwaningsih, Ade Latifa, Fitranita, Eniarti Djohan 21

39 seberapa seriusnya masalah, penyebab masalah, serta prioritas masalah dari berbagai masalah yang dihadapi. Pemahaman yang jelas atas permasalahan yang dihadapi sangat berguna dalam menentukan strategi dan prioritas dalam pemecahan atau penuntasan masalah yang dihadapi. Hasil dari analisa masalah ini juga merupakan alat justifikasi dalam penentuan strategi kebijakan dan design proyek untuk mengatasi permasalahan yang dihadapi. Beberapa hal yang dilakukan dalam analisa masalah ini, yaitu: (a) identifikasi semua masalah yang terkait dengan akses ibu dan anak terhadap layanan kesehatan yang memadai. Identifikasi masalah ini dilakukan berdasarkan hasil wawancara dengan responden kunci, FGD, serta workshop dengan para pemangku kepentingan di tingkat kabupaten yang dikoordinor oleh Bappeda setempat; (b) menentukan hierarki hubungan sebab-akibat dari berbagai masalah yang dihadapi; (c) visualisasi hubungan sebab akibat dalam sebuah diagram dalam bentuk pohon masalah (problem tree analysis). Setelah proses analisa masalah selesai maka dilanjutkan dengan analisa tujuan (objective tree analysis) yang merupakan transformasi dari analisa pohon masalah menjadi analisa tujuan, yaitu dengan menjadikan masalah sebagai tujuan dari kebijakan yang akan diambil untuk mengatasi masalah. Analisa tujuan ini menjadikan aspek negatif dari masalah menjadi tujuan yang positip. Misalnya, masalah kurangnya akses terhadap layanan kesehatan ibu dan anak di-transformasi menjadi meningkatnya akses terhadap layanan kesehatan ibu dan anak yang memadai. Sebagaimana halnya dengan analisa masalah, sebuah analisa tujuan dituangkan dalam bentuk diagram pohon tujuan (objective tree), yang berisi tujuan yang dikehendaki dan cara untuk mencapai tujuan (ends and means diagram). Dalam analisa tujuan ini akan terlihat bahwa banyak tujuan yang tidak bisa dicapai sekaligus sehingga perlu 22 Prosiding PKWG Seminar Series

40 prioritas. Bisa juga kelihatan bahwa mungkin ada beberapa tujuan yang tidak realistis, terlalu ambisius dalam konteks sumberdaya yang tersedia serta mekanisme pelaksanaannya. Namun demikian dalam tahapan analisa tujuan ini semua kemungkinan tujuan atau cara untuk mencapai tujuan diidentifikasi saja atau belum ada proses pemilihan tujuan serta cara untuk mencapai tujuan. Setelah proses analisa masalah dan tujuan pemecahan masalah selesai maka dilanjutkan dengan kajian pemecahan masalah termasuk pemilihan dari tindakan yang diperlukan untuk mencapai tujuan. Selanjutnya, tindakan yang terpilih untuk memecahkan masalah guna mencapai tujuan perlu dipantau dan di-evaluasi untuk memastikan bahwa tindakan tersebut dapat dilaksanakan sesuai dengan petunjuk pelaksanaan serta membuahkan hasil sebagaimana yang diharapkan. Hasil dari evaluasi tersebut dipakai sebagai bahan perbaikan guna mencapai tujuan dengan cara yang efisien dan efektif. Bagan berikut menampilkan Kerangka Kerja Analisa Kebijakan. Sri Sunarti Purwaningsih, Ade Latifa, Fitranita, Eniarti Djohan 23

41 Pohon masalah 24 Prosiding PKWG Seminar Series

42 Pohon tujuan Sri Sunarti Purwaningsih, Ade Latifa, Fitranita, Eniarti Djohan 25

43 Penutup Harus diakui bahwa mencari strategi untuk peningkatan kesehatan ibu dan anak khususnya dari rumah tangga migran miskin perkotaan bukan sesuatu yang mudah karena permasalahan yang dihadapi penduduk migran miskin di perkotaan kompleks. Pada umumnya, migran miskin di perkotaan cenderung termarjinalisasikan sehingga menyebabkan kualitas hidup penduduk semakin rendah. Hasil studi ini misalnya, mengidentifikasi adanya keterbatasan akses penduduk migran miskin untuk mendapatkan layanan kesehatan dan jaminan sosial. Pembebasan biaya pelayanan di puskesmas bagi penduduk miskin nampaknya belum memperbesar akses mereka terhadap pelayanan kesehatan. Beberapa kasus yang ditemukan dari studi ini menunjukkan kehidupan penduduk miskin menjadi lebih terpuruk karena tanpa adanya jaminan sosial atau kesehatan mereka harus mengeluarkan biaya pengobatan dari kantong sendiri (out of pocket) yang bisa saja melebihi pendapatan rumah tangga (kondisi katastropik). Penduduk migran miskin sebagai kelompok marjinal perkotaan ini seringkali luput dari perhatian penyelenggara layanan kesehatan karena ketiadaan identitas serta lemahnya voice mereka dalam penyusunan kebijakan kesehatan. Oleh karena itu model kebijakan yang diperlukan adalah kebijakan yang disusun dengan menggunakan pendekatan partisipatif. Dalam hal ini kelompok marjinal perkotaan diikutsertakan dalam proses perencanaan, paling tidak didengar suara mereka terkait dengan kebutuhan layanan kesehatan yang diperlukan, bagaimana sebaiknya model layanan yang sesuai dengan kondisi mereka, bagaimana persepsi mereka tentang kualitas layanan yang diharapkan dan kualitas layanan yang tersedia, dan sebagainya. Kebijakan yang diusulkan adalah kebijakan yang sinergis dengan kebijakan yang sudah ada. 26 Prosiding PKWG Seminar Series

44 Apabila tetap tidak ada intervensi untuk memperbaiki sistem layanan kesehatan dasar maka masalah kesehatan yang akan dihadapi oleh ibu dan anak akan semakin memburuk. Demikian halnya dengan permasalahan yang menyangkut keterlambatan mendapatkan pelayanan kesehatan, apabila dibiarkan tentunya berdampak negatif pada kondisi kesehatan ibu dan anak. Dengan semakin parahnya penyakit yang diderita tentunya akan membutuhkan biaya yang cenderung besar dan apabila tanpa campur tangan pihak lain, maka kemungkinan besar akan terjadi kasus katastropik karena sebagian besar penghasilan akan digunakan untuk biaya pengobatan. Penduduk yang mampu dan sehat dihimbau agar mereka membayar iuran sehingga data yang terkumpul dapat digunakan untuk melayani penduduk yang tidak mampu ketika mereka sakit. Demikian halnya dengan tabungan persalinan, Tabulin yang pernah populer di Indonesia di bawah BKKB dua dekade yang lalu dapat direvitalisasi. Dengan demikian penduduk miskin baik yang mempunyai identitas kependudukan setempat (KTP) maupun pendatang musiman dapat mengunakan tabungan tersebut ketika mereka membutuhkannya misalnya pada saat bersalin, social marketing untuk meningkatkan kesadaran masyarakat akan perlunya jaminan kesehatan bagi diri dan keluarganya sudah tidak dapat ditawar lagi Referensi The Partnership for Maternal, Newborn & Child Health A Global Review of the Key Interventions Related to Reproductive, Maternal, Newborn and Child Health (Rmnch). Geneva, Switzerland: PMNCH. Purwaningsih, Sri Sunarti, Ade Latifa, Zainal Fathoni Akses Penduduk Miskin Terhadap Layanan Kesehatan: Kasus Kota Bandung. Yogyakarta: Penerbit Elmatera Sri Sunarti Purwaningsih, Ade Latifa, Fitranita, Eniarti Djohan 27

45 Purwaningsih, Sri Sunarti, Ade Latifa, Fitranita, Dina Bisara Lolong Penduduk Migran Miskin The Unreach dan Akses Terhadap Layanan Kesehatan: Kasus Kota Makassar. Jakarta: Penerbit LIPI Press (dalam proses penerbitan) Romdiati, Haning, dkk Mobilitas Penduduk Temporer di Permukiman Kumuh Kota Surabaya: Pengelolaan dan konteknya terhadap penataan lingkungan. Jakarta: PPK-LIPI Thabrany, Hasbullah, dkk Sakit, Pemiskinan dan MDGs. Penerbit: Kompas. 28 Prosiding PKWG Seminar Series

46 Peran Perempuan Komunitas Lokal Dalam Peningkatan Kualitas Kesehatan dan Kesejahteraan Keluarga Di Kota Surabaya (Studi Keterlibatan Perempuan Dalam Institusi Masyarakat Perkotaan di Kota Surabaya) Wahyu Krisnanto 1 Abstrak Penurunan angka kematian ibu (AKI) dan angka kematian bayi (AKB) merupakan salah satu target dari Tujuan Pembangunan Millenium atau yang lebih dikenal dengan Millennium Development Goals (MDGs). Seluruh target MDGs ini diharapkan tercapai pada awal tahun 2015, dengan mendasarkan baseline data tahun Ditetapkan target dalam MDGs untuk pengurangan angka kematian ibu di Indonesia adalah terjadinya penurunan rasio hingga tiga perempatnya dari angka di tahun 1990, yaitu 120 per kelahiran hidup. Sedangkan target penurunan angka kematian bayi adalah dua pertiga berdasar data tahun 1990, yaitu sebesar 23 per kelahiran hidup. Untuk mendukung pencapaian target penurunan angka kematian ibu dan angka kematian bayi diperlukan keterlibatan berbagai pihak, dimana salah satunya adalah kelembagaan Institusi Masyarakat Perkotaan (IMP) yang merupakan kelembagaan di tingkat komunitas. Dalam paper ini akan diuraikan bagaimana peran serta kader Institusi Masyarakat Perkotaan (IMP) mendukung akselerasi penurunan angka 1 Fakultas Hukum Universitas Katolik Darma Cendika, Surabaya Wahyu Krisnanto 29

47 kematian ibu dan angka kematian bayi di kota Surabaya dan bagaimana pencapaiannya. Dari hasil penelitian yang dilakukan oleh penulis diketahui bahwa kelompok perempuan adalah kelompok yang dominan berperan sebagai kader IMP. Keberadaan kelembagaan ini cukup signifikan dalam mendukung akselerasi penurunan angka kematian bayi di kota Surabaya, namun belum cukup signifikan menurunkan angka kematian ibu. Kata kunci : Perempuan, Komunitas Lokal, Kesehatan, Keluarga Pendahuluan Pada September 2000 di New York diselenggarakan Konperensi Tingkat Tinggi (KTT) yang dihadiri oleh 189 negara anggota PBB yang sebagian besar diwakili oleh Kepala Negara. Konperensi Tingkat Tinggi (KTT) ini bertujuan untuk membahas permasalahan pembangunan yang dialami oleh para anggota PBB yang kemudian menghasilkan sebuah kesepakatan mengenai arah pembangunan global dengan pendekatan inklusif dan berpihak pada pemenuhan hak-hak dasar manusia. Kesepakatan arah pembangunan global ini kemudian dideklarasikan oleh seluruh negara anggota PBB menjadi Deklarasi Tujuan Pembangunan Millenium atau yang lebih dikenal dengan Millennium Development Goals (MDGs). Arah pembangunan global tersebut memiliki beberapa tujuan pembangunan, dimana tujuan pembangunan global tersebut diwajibkan untuk diadopsi oleh seluruh negara pendeklarasi ke dalam program pembangunannya. Terdapat 8 (delapan) Tujuan Pembangunan Millennium, dimana terdapat 2 (dua) tujuan pembangunan yang terkait dengan Peningkatan Kesehatan Ibu dan Penurunan Angka Kematian Anak. Seluruh Tujuan Pembangunan Millennium tersebut diharapkan tercapai pada awal tahun 2015, dengan baseline data (terkait 30 Prosiding PKWG Seminar Series

48 dengan tujuan pembangunan tersebut) tahun 1990 di setiap negara. Dalam bidang kesehatan ibu, tujuan lebih difokuskan pada pengurangan kematian ibu akibat persalinan. Ditetapkan target dalam MDGs untuk tujuan pengurangan angka kematian ibu (AKI) di Indonesia adalah terjadinya penurunan rasio hingga tiga perempatnya dari angka di tahun Dengan asumsi angka kematian ibu pada tahun 1990 sekitar 450 per kelahiran, maka target MDGs untuk angka kematian ibu pada tengat tahun MDGs adalah 120 per kelahiran hidup 2. Untuk penurunan kematian anak, terdapat 2 (dua) obyek dalam penurunan kematian anak, yaitu Angka Kematian Balita (AKBa), yaitu angka kematian anak Balita (anak usia 1 5 tahun) per kelahiran hidup dan Angka Kematian Bayi (AKB), yaitu angka kematian bayi (anak usia 0 1 tahun) per kelahiran hidup. Mendasarkan pada asumsi angka kematian anak pada tahun 1991, MDGs menetapkan target Indonesia mampu mengurangi angka kematian anak hingga dua pertiga berdasar data tahun Dengan target MDGs tersebut, maka target pencapaian penurunan Angka Kematian Balita (AKBa) sebesar 32 per kelahiran hidup dan Angka Kematian Bayi (AKB) sebesar 23 per kelahiran hidup 3. Pencapaian target Tujuan Pembangunan Millennium bukan merupakan hal yang mudah dilakukan. Karena beberapa tujuan pembangunan tersebut berkait dengan banyak yang bersifat multidimensional. Tidak saja masalah rekayasa teknologi dan medis untuk meningkatkan kualitas kesehatan 2 Millennium Development Goals, Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Badan Perencanaan Pembangunan Nasional, 2008, Hal Laporan Pencapaian Tujuan Pembangunan Millennium di Indonesia 2011, Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Badan Perencanaan Pembangunan Nasional, 2012, Hal. 47. Wahyu Krisnanto 31

49 ibu dan anak, namun juga memiliki dimensi non teknis yang bersifat sosial dan kultural. Dengan kondisi tersebut, maka pencapaian Tujuan Pembangunan Millennium bukan lagi semata menjadi tugas dari Pemerintah, namun juga menjadi tugas dan tanggungjawab bersama seluruh stakeholder termasuk juga masyarakat. Sebagai wujud komitmen nasional dalam mendukung pencapaian Tujuan Pembangunan Millennium, maka Pemerintah Indonesia telah memasukkan tujuan pembangunan global itu ke dalam kebijakan pembangunannya. Terdapat beberapa kebijakan pembangunan di Indonesia yang telah mengarusutamakan pada pencapaian Tujuan Pembangunan Millennium antara lain Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional 2005 = 2025 (RPJPN ); Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional dan (RPJMN dan RPJMN ) 4. Selain beberapa kebijakan pembangunannya, sebagai wujud komitmennya dalam mendukung pembangunan keluarga termasuk juga kesehatan ibu dan anak, Pemerintah Indonesia juga telah menerbitkan Undang-undang No. 52 Tahun 2009 tentang Perkembangan Kependudukan dan Pembangunan Keluarga. Dalam Undang-undang tersebut, juga diamanatkan tentang peran serta masyarakat dalam pengelolaan kependudukan dan pembangunan keluarga, termasuk pula pada aspek kesehatan ibu dan anak. Pelibatan peran serta aktif masyarakat dalam upaya peningkatan kesehatan ibu dan anak tidak saja agar strategi yang diterapkan mampu bersifat kontekstual sesuai dengan kondisi sosial kultural masyarakat, namun pelibatan 4 Laporan Pencapaian Tujuan Pembangunan Millennium di Indonesia 2010,, Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Badan Perencanaan Pembangunan Nasional, 2012, Hal Prosiding PKWG Seminar Series

50 masyarakat dimaksudkan untuk membangun sikap berbela rasa secara kolektif (compasionate collective) di tingkat komunitas. Membangun sikap berbela rasa di tingkat komunitas dapat merupakan sebuah modal sosial yang cukup efektif dalam upayanya untuk meningkatkan kualitas kesehatan ibu dan anak. Hal ini seperti yang dikatakan oleh Bourdieu dalam John Field (2011) yang mengatakan bahwa modal sosial adalah sumberdaya aktual dan maya yang berkumpul pada seorang individu atau kelompok karena memiliki jaringan menerus berupa hubungan timbal balik yang telah terinstitusionalisasikan. Salah satu upaya pelibatan peran serta aktif masyarakat di tingkat komunitas terkait dengan kesehatan dan kesejahteraan keluarga adalah Institusi Masyarakat Perdesaan/Perkotaan yang kemudian disingkat menjadi IMP. Namun dalam konteks paper ini akan dibahas bagaimana peran Institusi Masyarakat Perdesaan/Perkotaan di wilayah Kota Surabaya dalam upayanya mendukung pencapaian penurunan Angka Kematian Ibu (AKI) dan Angka Kematian Bayi (AKB) serta hasil yang telah dicapainya. Mengingat bahwa lokasi penelitian berada di wilayah perkotaan, maka untuk selanjutnya istilah yang dipergunakan untuk institusi ini adalah Institusi Masyarakat Perkotaan (IMP). Paper ini ditulis dengan mendasarkan pada hasil penelitian yang dilakukan oleh penulis pada tahun 2013 lalu. Penelitian dilakukan bersifat deskriptif kualitatif, dimana peneliti akan mengidentifikasi bagaimana peran serta kader Institusi Masyarakat Perkotaan (IMP) dalam mendukung akselerasi penurunan angka kematian ibu dan angka kematian bayi di kota Surabaya dan bagaimana pencapaiannya. Hasil dari penelitian ini dipergunakan untuk memberikan rekomendasi kepada Pemerintah Kota Surabaya terkait dengan strategi revitalisasi peran serta IMP dalam meningkatkan kesehatan keluarga, khususnya terkait dengan penurunan Angka Wahyu Krisnanto 33

51 Kematian Ibu (AKI) dan Angka Kematian Bayi (AKB) di wilayah Kota Surabaya. Tentang Institusi Masyarakat Perkotaan (IMP) Seiring dengan terjadinya perubahan paradigma pembangunan di Indonesia juga berpengaruh terjadinya perubahan pada paradigma dan kebijakan di segala bidang pembangunan termasuk pula pada bidang keluarga berencana. Kebijakan program Keluarga Berencana dilandasi oleh tuntutan masyarakat yang mengarah pada demokratisasi, hak asasi manusia dan good governance. Sebagai konsekuensinya, program Keluarga Berencana Nasional yang merupakan bagian integral dari pembangunan, harus mampu memenuhi tuntutan tersebut. Oleh karena itu, kebijakan dan strategi program Keluarga Berencana Nasional memberikan kesempatan yang lebih luas kepada masyarakat untuk berperan aktif dalam pengelolaan dan pelaksana kegiatan program. Dengan kondisi tersebut, terjadi pula reposisi peran pemerintah dalam pelaksanakan program Keluarga Berencana Nasional, yang semula menjadi manajer dan pelaksana program (yang direpresentasikan dengan peran Petugas Lapangan Keluarga Berencana/PLKB) berubah menjadi petugas lapangan yang hanya berperan sebagai manajer dan penggerak program di lapangan. Dengan terjadinya pergeseran peran tersebut, mengandung maksud untuk lebih memberikan kesempatan kepada masyarakat untuk lebih memiliki tanggungjawab sebagai pengelola dan pelaksana berbagai kegiatan program Keluarga Berencana di Lapangan. Sebagai wujud dari perubahan paradigma tersebut di atas, BKKBN selaku lembaga non kementerian menginiasikan terbentuknya kelembagaan di tingkat komunitas yang bertanggungjawab dalam mengelola dan melaksanakan berbagai kegiatan program keluarga berencana 5 sekaligus 5 Berdasarkan UU No. 52 Tahun 2009 tentang Perkembangan Kependudukan dan Pembangunan Keluarga, yang dimaksud dengan 34 Prosiding PKWG Seminar Series

52 sebagai mitra kerja PLKB. Kelembagaan di tingkat komunitas ini selanjutnya disebut dengan istilah Institusi Masyarakat Perkotaan (IMP). Sebagai sebuah lembaga di tingkat komunitas, IMP memiliki struktur kelembagaan meliputi Pembantu Pembina Keluarga Berencana Kelurahan (PPKBK), Sub Pembantu Pembina Keluarga Berencana (Sub PPKBK); Kelompok Keluarga Berencana dan Sejahtera (KKBS) dan Kelompok Kegiatan (Poktan). Pembantu Pembina Keluarga Berencana Kelurahan (PPKBK) adalah seorang atau beberapa orang kader masyarakat yang secara sukarela berperan aktif melaksanakan dan mengelola program Keluarga Berencana Nasional di tingkat Kelurahan. PPKBK ini bertugas untuk melakukan perencanaan dan evaluasi pelaksanaan Keluarga Berencana dan Keluarga Sejahtera, menyelenggarakan kegiatan KIE dan Konseling, melakukan pencatatan dan monitoring. Sama seperti PPKBK, di tingkat RW dikenal adanya Sub PPBKB. Sub PPKBK ini adalah seorang atau beberapa orang kader masyarakat yang sukarela berperan aktif dalam melaksanakan dan mengelola program Keluaraga Berencana di tingkat RW. Tugas dan tanggunjawab Sub PPKBK ini persis sama dengan PPKBK namun dalam lingkup wilayah yang lebih kecil setingkat RW. Sedangkan KKBS adalah organisasi seluruh keluarga yang berada di lingkungan RT yang secara sukarela mau melaksanakan dan mengelola program Keluarga Berencana Nasional di tingkat RT. Kelompok Kegiatan (Poktan) adalah wadah peran serta keluarga dalam kegiatan tertentu sebagai bagian dari kegiatan program Keluarga Berencana Nasional. Keluarga Berencana (KB) adalah upaya mengatur kelahiran anak, jarak dan usia ideal melahirkan, mengatur kehamilan, melalui promosi, perlindungan, dan bantuan sesuai dengan hak reproduksi untuk mewujudkan keluarga yang berkualitas. Wahyu Krisnanto 35

53 Saat ini di wilayah Kota Surabaya telah memiliki Institusi Masyarakat Perkotaan (IMP) di setiap wilayah Kelurahan hingga di tingkat RT. Keberadaan kelembagaan komunitas ini sudah terintegrasi dengan PLKB sebagai koordinator dan pembina bagi para kader IMP. Terdapat kurang lebih 34 orang PLKB dan orang kader IMP, dengan rincian 160 orang kader PPBKB di tingkat Kelurahan (PPKBK) dan orang kader Sub PPKBK di tingkat RW. Jumlah ini belum termasuk kader KKBS yang berada di tingkat RT. Tidak ada persyaratan untuk menjadi seorang kader IMP harus berjenis kelamin perempuan, namun dalam kenyataan sebagian besar kader IMP ini adalah para perempuan. Hanya terdapat 3 orang kader IMP di Kota Surabaya yang berjenis kelamin laki-laki, yaitu kader 1 orang kader PPKBK dari Kelurahan Ngagel Rejo; 1 orang kader Sub PPKBK yang berasal dari wilayah Kelurahan Semampir dan 1 orang kader Sub PPKBK dari wilayah Kelurahan Krembangan. Para kader PPKBK di tingkat Kelurahan dan Sub PPKBK di tingkat RW ini sebagian besar berlatar pendidikan setingkat SLTA dengan usia berkisar antara 45 tahun 65 tahun. Sebagian besar dari mereka telah bertugas sebagai kader PPKBK dan Sub PPKBK lebih dari 9 tahun. Dalam menjalankan tugasnya sebagai seorang kader IMP bersifat sukarela. Namun sejak sekitar tahun 2010 mereka mendapatkan tunjangan transportasi penugasan dari Pemerintah Kota Surabaya sebesar Rp /bulan. Besarnya nilai tunjangan tersebut dalam kenyataannya tidak mampu menutupi pengorbanan mereka dalam mensukseskan penyelenggaraan program KB/KS serta akselerasi penurunan angka kematian ibu dan angka kematian bayi. Bahkan tidak jarang mereka secara sukarela harus mengeluarkan dana pribadinya untuk memberikan pelayanan bagi masyarakat, khususnya terkait kesehatan reproduksi, kesehatan ibu dan anak. Pada tahun 2015 ada wacana dari Pemerintah Kota Surabaya untuk meningkatkan tunjangan transportasinya menjadi Rp /bln. 36 Prosiding PKWG Seminar Series

54 Keberadaan para kader KB yang tergabung dalam kelembagaan IMP ini memiliki kontribusi yang cukup signifikan dalam menurunkan Angka Kematian Ibu (AKI) dan Angka Kematian Bayi (AKB) di wilayah kota Surabaya. Hal ini karena Pemerintah Kota Surabaya melalui Badan Pemberdayaan Masyarakat dan Keluarga Berencana (Bapemas KB) mensinergikan pelaksanaan program Keluarga Berencana dengan program penurunan angka kematian ibu dan angka kematian bayi (AKI dan AKB). Sebagai hasilnya, berdasar data statistik yang diperoleh dari Dinas Kesehatan Kota Surabaya, diketahui terjadi trend penurunan Angka Kematian Bayi (AKB) di Kota Surabaya sejak tahun 2010 hingga Namun demikian Angka Kematian Ibu (AKI) di Kota Surabaya sejak tahun 2010 hingga 2013 masih terhitung cukup tinggi (lihat tabel 1). Tabel 1 Angka Kematian Bayi (AKB) per kelahiran Hidup Tahun Indikator AKI / AKB AKI per kelahiran hidup AKB per kelahiran hidup Sumber: Dinas Kesehatan Kota Surabaya 7,84 10,28 7,67 6,17 71,07 103,90 144,64 119,14 Tidak dipungkiri rendahnya AKB di wilayah Kota Surabaya tidak dapat dilepaskan dengan kedudukan kota Surabaya sebagai ibukota Provinsi Jawa Timur, dimana tingkat ketersediaan fasilitas kesehatan dan jumlah petugas kesehatan yang cukup memadai dibanding dengan wilayah Kabupaten/Kota di wilayah lainnya. Namun demikian, keberadaan IMP sebagai kelembagaan di tingkat komunitas juga memiliki andil yang cukup signifikan dalam penurunan AKI dan AKB di wilayah Kota Surabaya. Hal ini tidak terlepas Wahyu Krisnanto 37

55 dari peran IMP dalam program Keluarga Berencana Nasional, dimana terdapat 6 (enam) jenis peran dari IMP yaitu: Kepengurusan; Pertemuan; KIE dan Konseling; Pencatatan dan Pendataan; Pelayanan Kegiatan dan Kemandirian. Dari keenam peran tersebut, terdapat beberapa peran IMP yang cukup signifikan berkontribusi dalam penurunan angka kematian ibu dan bayi (AKI dan AKB), antara lain peran KIE dan Konseling; peran Pencatatan dan Pendataan; peran Pelayanan Kegiatan dan peran kemandirian. Peran Kader IMP Dalam KIE dan Konseling Untuk Mendukung Penurunan AKI dan AKB Dalam menjalankan peran KIE dan Konseling, seorang kader IMP (baik PPKBK dan Sub PPKBK) melakukan promosi kesehatan kehamilan, kondisi kesehatan ibu dan anak serta kesehatan reproduksi. Memperhatikan masih cukup tingginya AKI di wilayah Kota Surabaya, maka KIE dan Konseling merupakan peran IMP yang cukup penting. Tingginya AKI tidak saja disebabkan karena keterbatasan fasilitas dan pelayanan kesehatan bagi para ibu, namun juga disebabkan karena kurangnya pengetahuan para perempuan terkait kesehatan kondisi kehamilan dan pengetahuan tentang kesehatan reproduksinya. Dalam upaya penurunan AKI dan AKB, kegiatan KIE yang dilakukan oleh kader IMP biasanya terkait dengan informasi deteksi dini resiko kehamilan. Dari hasil wawancara dengan para kader IMP, diketahui bahwa informasi yang disampaikan ke masyarakat antara lain perencanaan kehamilan (usia ideal hamil, jarak kehamilan dan jumlah anak) serta jadwal pemeriksaan kandungan atau yang sering dikenal dengan 4 Terlalu dan 3 Terlambat 6. Kegiatan promosi tentang kesehatan 6 4 Terlalu (Terlalu Muda Untuk Hamil, Terlalu Tua Untuk Hamil, Terlalu Dekat Jarak Kehamilan dan Terlalu Banyak Anak) dan 3 Terlambat (Terlambat Memutuskan Untuk Merujuk, Terlambat Sampai di Tempat Rujukan, Terlambat Dikelola Di Tempat Rujukan). 38 Prosiding PKWG Seminar Series

56 maternal ini biasanya dilakukan oleh para kader dengan melakukan kunjungan rumah, kegiatan posyandu atau kegiatan-kegiatan sosial lainnya (melalui kegiatan arisan, pengajian dan sebagainya). Selain para ibu, kelompok remaja juga dijadikan jangkauan kegiatan KIE & Konseling yang dilakukan oleh para kader IMP. Materi informasi yang diberikan pada kelompok sasaran remaja ini biasanya seputar kesehatan reproduksi. Promosi dan informasi kesehatan reproduksi di kalangan kelompok remaja, dilakukan oleh para kader IMP dengan pertimbangan bahwa remaja adalah kelompok yang rawan mengalami kasus Kehamilan Tidak Diinginkan (KTD). Seiring dengan makin maraknya nilai materialisme dan hedonisme di kalangan remaja, berdampak pada terjadinya sikap permisif pada nilainilai keperawanan. Kondisi ini menjadikan remaja menjadi kelompok yang rawan mengalami kehamilan yang tidak diinginkan (KTD) bahkan terpaparnya HIV/AIDS. Kurangnya pemahaman kesehatan reproduksi di kalangan remaja menjadikan usia awal kehamilan dianggap sebagai keterlambatan siklus haid saja. Akibatnya, mereka biasanya melakukan upaya pengembalian siklus haid dengan mengkonsumsi obat-obatan, jamu tradisional atau upaya lainnya. Jika upaya pengembalian siklus haid gagal, biasanya mereka akan melakukan upaya aborsi yang dapat mengakibatkan kematian pada ibu. Dugaan awal, masih tingginya angka kematian ibu (AKI) di wilayah kota Surabaya salah satunya disebabkan karena faktor tingginya KTD di kalangan kelompok remaja yang berakhir dengan dilakukannya aborsi dan berakibat pada kematian. Selain daripada itu, faktor budaya (paradigma tentang usia kawin muda, usia kehamilan dan banyak anak), juga masih mendominasi menjadi penyebab tingginya angka kematian ibu. Kegiatan promosi tentang kesehatan reproduksi bagi kelompok remaja ini biasanya dilakukan oleh kader IMP Wahyu Krisnanto 39

57 melalui kunjungan per rumah dan saat dilakukan kegiatan karang taruna. Pada beberapa kasus yang ditemui oleh penulis, terdapat kader IMP yang juga menjadi pembina karang taruna. Dengan keterlibatannya dalam kepengurusan karang taruna, kader tersebut dapat lebih intensif dalam melakukan promosi kesehatan reproduksi. Selain kegiatan KIE, para kader IMP terkadang juga melakukan kegiatan konseling terhadap para perempuan yang mengalami KTD. Terjadinya KTD bukan pasangan suami isteri, hingga saat ini masih dianggap melanggar norma sosial yang berlaku. Dalam kasus KTD bukan pasangan suami isteri, perempuan adalah pihak yang biasanya mendapatkan stigma negatif dari masyarakat. Stigma negatif tersebut tidak jarang juga dilakukan oleh petugas kesehatan. Akibatnya, para perempuan yang mengalami KTD mereka semakin enggan untuk memeriksakan kondisi kehamilannya. Bahkan tidak jarang menjadikan perempuan tersebut mengalami depresi yang akan berakibat pada kondisi kesehatan janin dan ibu. Kader IMP yang juga merupakan anggota komunitas, menjadikan kader IMP berperan cukup efektif dalam melakukan pendampingan dan memberikan konseling bagi perempuan yang mengalami KTD. Pendampingan dan konseling bagi perempuan yang mengalami KTD ini juga dimaksudkan untuk mempersiapkan kondisi psikologis menghadapi proses kelahiran dan pasca kelahiran. Pada beberapa kasus, karena keterbatasan dana yang dimilikinya, perempuan yang mengalami KTD tidak mampu meminta bantuan petugas medis untuk menolong proses kelahirannya 7. Menghadapi kasus ini, biasanya kader IMP memberikan bantuan rujukan ke rumah sakit yang menerima program BPJS. 7 Hasil wawancara dengan Ibu Yuli Astuti seorang kader PPKBK Kecamatan Semampir dan Ibu Retno Suryandari seorang kader Sub PPKBK RW 5 Kel. Karang Poh Kec. Tandes. 40 Prosiding PKWG Seminar Series

58 Dalam hal kader IMP tidak mampu memberikan pendampingan dam konseling dari aspek psikologis, biasanya kader akan merujuk kepada pihak yang memiliki komitmen dalam pendampingan dan advokasi bagi kelompok perempuan. Dalam beberapa kasus yang pernah terjadi, biasanya kader merujuk pada kelompok studi psikologi yang dimiliki oleh sebuah perguruan tinggi negeri di Surabaya. 8 Peran Kader IMP Dalam Pencatatan dan Pendataan Untuk Mendukung Penurunan AKI dan AKB Salah satu permasalahan yang dihadapi oleh Indonesia dalam melakukan intervensi pembangunan adalah kurangnya data yang mampu dipergunakan dalam mempertimbangkan strategi dan program pembangunan yang harus dilakukan. Kondisi ini juga menjadi permasalahan utama dalam bidang penurunan AKI dan AKB di Indonesia. Informasi yang dipergunakan untuk mengukur indikator AKI dan AKB masih sulit tersedia karena keterbatasan pengumpulan data yang masih mengandalkan sensus atau survei terkait masalah demografi seperti Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia (SDKI) 9. Permasalahan yang terjadi SDKI yang dilakukan di Indonesia terakhir diselenggarakan pada tahun 2012 lalu. Keberadaan IMP sebagai kelembagaan komunitas dengan seluruh kadernya merupakan salah satu solusi yang dapat dipergunakan untuk mengatasi permasalahan keterbatasan pasokan data AKI dan AKB yang dipergunakan sebagai bahan kajian penyusunan strategi dan intervensi program. Hal ini tidak terlepas dengan salah satu peran IMP di masyarakat, yaitu peran dalam melakukan pencatatan dan pendataan. Dalam tugasnya tersebut, kader IMP (baik PPKBK dan Sub PPKBK) bertugas melakukan (1) pencatatan data dan 8 Hasil wawancara dengan Ibu Endang Juliati seorang kader Sub PPKBK Kel. Manukan Kulon Kec. Tandes. 9 Evaluasi Pencapaian MDGs Provinsi Jawa Timur Tahun 2013, Hal. 89 Wahyu Krisnanto 41

59 pelaporan hasil kegiatan program di lapangan; (2) pendataan kondisi kesehatan dan sosial ekonomi keluarga setiap satu tahun sekali dan (3) membuat peta pasangan usia subur (PUS) dan kondisi keluarga di bawah bimbingan PLKB. Peran pencatatan dan pendataan ini dapat menjadi peluang untuk mengatasi minimnya pasokan data guna penyusunan strategi dan intervensi program penurunan AKI dan AKB. Namun dari hasil penelitian yang dilakukan oleh penulis, tidak seluruh kader IMP mampu memberikan pasokan data hasil pencatatan dan pelaporan secara rutin kepada PLKB. Dari total kader IMP, hanya terdapat kurang lebih 22 kader IMP yang mampu memberikan pasokan data secara rutin. Hal ini disebabkan oleh beberapa faktor yang mempengaruhinya, yaitu: usia para kader IMP yang sebagian besar di atas usia 50 tahun yang berpengaruh terhadap kemampuan ketrampilan dalam penyusunan pelaporan dan banyaknya formulir pelaporan yang harus dibuat oleh para kader IMP. Mengatasi permasalahan tersebut, Bapemas KB Kota Surabaya telah beberapa kali memberikan pelatihan ketrampilan monitoring dan evaluasi kepada para kader IMP. Namun hasil yang diharapkan dari pelatihan tersebut masih belum cukup memuaskan. Dari hasil penelitian yang dilakukan oleh penulis, jenis data yang seharusnya diperlukan dalam melakukan intervensi penurunan AKI dan AKB lebih bersifat pada data hasil analisis sosial seperti kondisi sosial kultural, aktor dan kelembagaan di lapangan yang berpengaruh dalam mendukung upaya penurunan AKI dan AKB. Pentingnya data hasil pemetaan ini tidak berarti memarginalkan pentingnya data yang bersifat kuantitatif (statistik), namun data hasil pemetaan sosial ini adalah data yang mampu memberikan gambaran tentang faktor pendorong (driver factor) dan faktor sasaran (goals factor) intervensi program. Untuk dapat melakukan analisis sosial ini, maka diperlukan adanya ketrampilan tidak saja kader IMP namun juga ketrampilan dari PLKB untuk mampu 42 Prosiding PKWG Seminar Series

60 memfasilitasi para kader dalam melakukan analisis sosial di wilayahnya. Peran Kader IMP Dalam Pelayanan Kegiatan Untuk Mendukung Penurunan AKI dan AKB Dalam konteks penyelenggaraan KB/KS, kader IMP (PPKBK dan Sub PPKBK) bertugas dan bertanggungjawab dalam : (1) memotivasi peserta KB baru; (2) pembinaan peserta KB aktif; (3) identifikasi sasaran program; (4) melakukan konseling dan (5) melakukan rujukan. Dalam rangka melakukan penurunan AKI dan AKB, maka tugas dan tanggungjawab kader IMP tidak saja memotivasi Pasangan Usia Subur (PUS) untuk mengikuti program KB, namun para kader juga memotivasi para ibu untuk melakukan pemeriksaan kesehatan reproduksi termasuk pula pemeriksaan dini resiko kehamilan. Motivasi biasanya dilakukan di kegiatan sosial yang banyak diikuti oleh para ibu rumah tangga, seperti pertemuan arisan PKK, pengajian dan kegiatan Posyandu yang diselenggarakan secara periodik. Pada kader Sub PPKBK, biasanya kegiatan motivasi pemeriksaan dini resiko kehamilan dilakukan melalui cara kunjungan rumah. Hal ini cukup dimungkinkan karena lingkup wilayah kerja Sub PPKBK yang setingkat RW. Selain melakukan kunjungan rumah, biasanya kader Sub PPKBK memotivasi para ibu rumah tangga untuk melakukan pemeriksaan kesehatan reproduksi dan pemeriksaan dini resiko kehamilan melalui kunjungan saat dilakukannya pertemuan Kelompok Keluarga Berencana dan Sejahtera (KKBS) yang berada di tingkat RT. Di wilayah Kota Surabaya, pemeriksaan dini resiko kehamilan dapat dilakukan di Posyandu, Klinik KB dan Puskesmas yang tersebar di setiap wilayah kecamatan. Selain melakukan motivasi kepada para ibu agar mau melakukan pemeriksaan kesehatan reproduksi dan pemeriksaan dini resiko kehamilan, para kader IMP juga Wahyu Krisnanto 43

61 diberikan tanggungjawab untuk melakukan rujukan bagi para ibu yang mengalami permasalahan baik sebelum proses persalinan (antenatal) maupun saat proses persalinan. Rujukan biasanya dilakukan di kantor Puskesmas, RSUD Dr. Soetomo dan atau RSUD Dr. Soewandi. Dari hasil wawancara mendalam dengan beberapa orang kader IMP, penulis juga mendapatkan informasi bahwa tidak jarang biaya transportasi menuju dan dari tempat rujukan ditanggung oleh kader IMP. Rujukan tidak hanya dilakukan terkait dengan permasalahan antenatal maupun saat proses persalinan, namun rujukan juga dilakukan pada kelompok remaja, ibu rumah tangga atau perempuan yang mengalami kasus KTD. Seperti telah diuraikan di atas, rujukan juga dilakukan terhadap mereka yang mengalami permasalahan psikologis akibat KTD yang dialaminya. Peran Kader IMP Dalam Kemandirian Untuk Mendukung Penurunan AKI dan AKB. Peran kemandirian ini diwujudkan dengan adanya inisiatif kader IMP untuk membuat kemitraan dengan berbagai stakeholder dalam rangka penyelenggaraan program KB/KS. Peran ini dalam penyelenggaraannya telah dikembangkan oleh beberapa kader IMP di wilayah Kota Surabaya tidak lagi hanya terkait dengan program KB/KS namun juga terkait dengan upaya penurunan AKI dan AKB. Dari hasil penelitian, belum seluruh kelembagaan IMP di wilayah kota Surabaya telah mampu menyelenggarakan kemitraan dengan berbagai stakeholder. Hanya terdapat 22 kelembagaan IMP yang masuk dalam kategori Mandiri di wilayah kota Surabaya yang telah melakukan kemitraan dengan stakeholder. Namun dari 22 kelembagaan IMP tersebut hanya sekitar 2 (dua) kelembagaan yang sudah melakukan kemitraan dalam rangka penurunan AKI dan AKB, khususnya terkait dengan rujukan pendampingan psikologis KTD. Kemitraan tersebut tidak bersifat permanen, namun masih bersifat kasus per kasus. Selebihnya kemitraan lebih di fokuskan untuk pelayanan 44 Prosiding PKWG Seminar Series

62 KB/KS seperti kerjasama dengan pabrikan terkait dengan pengadaan alat kontrasepsi dan obat-obatan. Kesimpulan Dari hasil penelitian yang dilakukan oleh penulis, dapat disimpulkan : 1) Keberadaan kelembagaan di tingkat komunitas cukup signifikan dalam mendukung dan mencapai akselerasi penurunan angka kematian ibu dan angka kematian bayi. Hal ini disebabkan kelembagaan di tingkat komunitas dapat secara intensif melakukan promosi dan pendampingan kesehatan ibu serta pelayanan pasca persalinan melalui penyelenggaraan Posyandu. 2) Kelembagaan di tingkat komunitas berpotensi memberikan kontribusi tenaga, dana maupun prasarana dalam upaya penurunan angka kematian ibu dan angka kematian bayi. 3) Dengan memperhatikan pada kontribusinya dalam mendukung akselerasi penurunan angka kematian ibu dan angka kematian bayi serta usia dan masa penugasan para kader, maka diperlukan adanya kaderisasi terhadap para kader. 4) Dalam menunjang pencapaian akselerasi penurunan angka kematian ibu dan angka kematian bayi dibutuhkan ketepatan data yang dapat dipergunakan dalam menyusun rencana strategi dan intervensi dalam bentuk kegiatan program. Kelembagaan IMP sebagai representasi kelembagaan di tingkat komunitas masih belum cukup maksimal dalam berkontribusi memberikan pasokan data hasil pelaksanaan dan atau kondisi sosial ekonomi budaya masyarakat. Diperlukan upaya peningkatan kapasitas komunitas dalam melakukan monitoring dan evaluasi kegiatan program. Wahyu Krisnanto 45

63 5) Masih diperlukan perluasan keterlibatan peran serta para kader IMP sebagai representasi keterlibatan masyarakat dalam proses identifikasi masalah, perencanaan kegiatan dan evaluasi hasil penyelenggaraan program penurunan angka kematian ibu dan angka kematian bayi. 6) Masih diperlukannya fasilitasi perluasan akses kemitraan dengan berbagai stakeholder untuk menunjang akselerasi penurunan angka kematian ibu dan angka kematian bayi. 7) Dalam perspektif gender, masih belum cukup terjadinya kesetaraan gender dalam upaya penurunan angka kematian ibu dan angka kematian bayi, dimana kelompok laki-laki masih belum cukup optimal dalam keterlibatannya mendukung kegiatan program. Diperlukan promosi dan edukasi di kalangan kelompok laki-laki untuk mau secara aktif dalam pelaksanaan kegiatan program. 46 Prosiding PKWG Seminar Series

64 Menurunkan AKI dan AKN dengan PERMATA Fitria Sari 1 Abstrak Kebijakan Pemerintah dalam mengawal penurunan AKI dan AKN cukup membanggakan. Adanya Peraturan Daerah (PERDA) No 2 tahun 2009 tentang KIBBLA, Peraturan Bupati No.6 tahun 2010 tentang KIBBLA, hingga pembentukkan PERDES KIBBLA di Kecamatan tertentu. Komitmennya juga ditunjang dengan menyediakan 10% anggaran untuk KIA dari total APBD. Namun kelengkapan kebijakan tersebut belum sejalan dengan fakta AKI dan AKN. Buktinya, pada 2014, Kab. Pasuruan menempati ranking 4 untuk AKI dan ranking 1 untuk AKN. Oleh sebab itu penulis memilih Kabupaten Pasuruan sebagai lokasi penelitian (purposive). Peneliti mengambil sample di 6 Kecamatan di Kab. Pasuruan yaitu Purwodadi, Lekok, Kraton (Ngempit), Gempol, Gondang Wetan dan Grati karena tingginya AKI dan AKN serta kondisi topografi yang beragam di area tersebut. Tujuan penelitian yaitu memahami proses implementasi, tantangan, dan peran serta Civil Society Organization (CSO) dalam pelaksanaan kebijakan serta mengetahui lesson learned pelaksanaan program. Metode penelitian yang digunakan adalah kualitatif dengan pendekatan studi kasus dan pengelolaan Most Significant Change (MSC). Teknik pengumpulan data yang digunakan yaitu Indepth Interview dan Focus Group Discussion bersama penyusun kebijakan, tenaga kesehatan, OMS dan ibu hamil/keluarga. 1 EMAS Indonesia dan Komunitas Kajian Gender Malang Fitria Sari 47

65 Heterogenitas topografi di Kecamatan terpilih menyebabkan konteks sosial kultur berperan dalam munculnya mitos tentang KIA. Misalnya, wilayah pesisir memiliki mitos larangan untuk mengonsumsi sayur dan buah serta memberikan pisang bagi bayi berusia lebih dari 10 hari merupakan kenyataan di wilayah Lekok. Sementara, di wilayah Pegunungan seperti Purwodadi, mitos larangan mengonsumsi ikan laut juga masih berkembang agar janin tidak berbau anyir saat dilahirkan. Selain mitos, faktor kebiasaan masyarakat seperti pernikahan/kehamilan muda, terlalu tua, terlalu jauh jarak, terlalu dekat kehamilan, patrialkal (pengambilan keputusan oleh garis suami), kepercayaan persalinan di dukun, orang tua yang terlalu dominan juga menjadi penyebab AKI dan AKN. Proses implementasi tersebut bukan hanya dilakukan oleh tenaga kesehatan maupun penyusun kebijakan, melainkan juga kontribusi dari Civil Society Organization atau dikenal dengan Forum PERMATA (Gerakan Penyelamatan Maternal dan Neonatal) yang merupakan gabungan seluruh OMS di Kabupaten Pasuruan. PERMATA terlibat sebagai mitra Dinas Kesehatan yang berkontribusi menekan AKI dan AKN dari sisi kemasyarakatan. PERMATA melakukan empoweing, bridging dan voicing (kampanye pendidikan kesehatan reproduksi yang komprehensif, melalui pengajian, arisan dan perkumpulan di desa, pendampingan ibu hamil, pemberian nutrisi dengan pemanfaatan daun kelor dan katuk, jimpitan sosial besarannya Rp 2000 setiap bulan atau 2 butir telur, 1 genggam beras). PERMATA telah melakukan gerakan yang berujung dengan adanya perubahan perilaku masyarakat sekitar dalam KIA. Hal ini menunjukkan bahwa seberapapun sempurnanya kebijakan pemerintah apabila tidak ditunjang oleh partisipasi dan rasa memiliki warga maka program tidak akan maksimal. Kata Kunci: PERDA KIBBLA, Mitos, PERMATA, Persalinan Aman, Perubahan Perilaku 48 Prosiding PKWG Seminar Series

66 Pendahuluan Penurunan Angka Kematian Ibu (AKI) dan Angka Kematian Neonatus (AKN) menjadi salah satu gagasan MDG s yang seharusnya sudah tercapai pada tahun 2015 di Indonesia. Target MDG s untuk menurunkan AKI menjadi 102/ kelahiran hidup dan AKB menjadi 23/ Pada kenyataannya, tahun 2012 terdapat fakta bahwa AKI dan AKN Indonesia kembali pada masa 15 tahun silam tepatnya Data dari Survey Demografi dan Kesehatan Indonesia (SDKI), tahun 2012 menunjukkan AKI dan sebesar / setara dengan tahun 1997 dengan AKI sebesar 334/ Padahal, jika angka tersebut dibandingkan dengan setiap 5 tahun sebelumnya jumlahnya cenderung menurun, misalnya pada 2003 sebanyak 307/ dan 2007 sebanyak 228/ (SDKI tahun 2012). Kondisi demikian memposisikan Indonesia sebagai negara yang harus berjuang keras untuk dapat menurunkan AKI dan AKN setidaknya pada level negara-negara di Asia. Pada kasus ini, kontestasi penurunan AKI dan AKN terjadi antar negara berkembang di Asia. Apabila dibandingkan antara Indonesia dengan negara lain seperti India, Nepal, Myanmar, Bangladesh dan Cambodia, mereka justru menunjukkan keberhasilannya dalam menurunkan AKI dan AKN. Sebut saja India yang mampu mencapai 150/ dan Myanmar 130/ bahkan Bangladesh mencapai angka sebesar 200/ di tahun 2012 (Journal IPPF India 2013-MMR in South East Asia: A Challenges?). Data AKI dan AKN tersebut jelas menimbulkan pertanyaan bagi kalangan yang concern dalam Kesehatan Ibu dan Anak. Keberadaan pemerintah Indonesia sebagai pemegang kebijakan atas inisiatif program-kesehatan Ibu dan Anak (KIA) juga terus dipertanyakan. Meskipun beragam akselerasi dan kreasi program agar isu KIA dan persalinan aman menjadi fokus bersama sudah dilakukan namun angka AKI dan AKN belum juga turun. Tidak sedikit kebijakan yang telah disusun Fitria Sari 49

67 dan diimplementasikan, misalnya UU 36 tahun 2009 tentang kesehatan, pembentukkan Polindes, Puskesmas PONED dan PONEK, DTPS MPS, Desa Siaga, Bidan Delima, Buku KIA, P4K hingga jaminan pembiayaan persalinan (Jampersal). Ibarat menggelindingkan bola, Pemerintah Pusat telah menginstruksikan Pemerintah Daerah untuk melaksanakan target KIA. Tentunya, dengan desentralisasi kebijakan akan lebih mengembangkan kreatifitas dan menyesuakian dengan kondisi lokal masing-masing wilayah. Salah satu area yang memiliki kontribusi kematian maternal dan neonatal tinggi adalah Jawa Timur (sebanyak kurang lebih 50%). Data Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Timur Tahun 2010 menunjukkan AKI sebesar 108/ , tahun 2011 sebanyak 104/ dan lebih menurun pada 2012 menjadi 97,4/ (Data Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Timur 2012). Meskipun MDG s sebagai acuan dengan indikator angka, namun MDG s juga memandatkan pencapaian KIA secara kualitatif yakni akses menyeluruh kepada kesehatan reproduksi yang komprehensif bagi perempuan. Mengacu kepada target MDGs untuk akses kesehatan reproduksi yang komprehensif, muncul satu nama Kabupaten di Jawa Timur yang patut mendapat perhatian bersama dalam peran sertanya menurunkan AKI dan AKN, yaitu Kabupaten Pasuruan. Kabupaten yang terkenal dengan kebijakan Pemerintah yang Pro terhadap isu KIA dari level Kabupaten hingga Desa tentu menggambarkan kepedulian Pemerintah Daerah yang tinggi. Namun, lagi-lagi fakta justru menunjukkan pada tahun 2015, Kab. Pasuruan menempati ranking 4 untuk kategori AKI tertinggi (28) dan ranking 1 (298 bayi) sebagai penyumbang AKN tertinggi se-jawa Timur (AMP KIA Dinas Kesehatan Kab. Pasuruan; 2014) Kedua peringkat tersebut jelas membingungkan aktor bidang KIA yang pada akhirnya memunculkan pertanyaan seperti Apakah harus melarang kehamilan seorang perempuan untuk menurunkan AKI dan AKN? 50 Prosiding PKWG Seminar Series

68 Makalah hasil penelitian ini akan menjawab pertanyaan dan kebingungan tentang kontradiksi antara kebijakan dan fakta AKI dan AKN di Kabupaten Pasuruan. Oleh karena itu, makalah terlebih dahulu membahas tentang kondisi sosial dan budaya masyarakat, lalu penyebab tertinggi kematian Ibu dan Neonatus, hingga praktik kolaborasi peran serta masyarakat dalam kebijakan KIA yang diwakili oleh PERMATA. Pertanyaan Penelitian 1. Bagaimana proses implementasi, tantangan dan peran serta CSO dalam upaya pelaksanaan Kebijakan Daerah (Peraturan Daerah hingga Peraturan Desa tentang Kesehatan Ibu dan Bayi Baru Lahir) sebagai upaya penurunan AKI dan AKN di Kabupaten Pasuruan? 2. Bagaimana lesson learned dan best practice dari peran serta masayarakat dalam upaya persalinan aman di Kabupaten Pasuruan? Tujuan Penelitian 1. Memahami proses implementasi, tantangan, dan peran serta CSO dalam pelaksanaan Kebijakan Daerah KIBBLA (Peraturan Daerah hingga Peraturan Desa tentang Kesehatan Ibu dan Bayi Baru Lahir) sebagai upaya penurunan AKI dan AKN di Kabupaten Pasuruan. 2. Mengetahui lesson learned dan best practice dari peran serta masyarakat dalam upaya persalinan aman di Kabupaten Pasuruan. Metodologi Penelitian ini menggunakan metode kualitatif dengan pendekatan study kasus. Selain menggunakan study kasus di 6 wilayah Kecamatan terpilih, peneliti juga mengkombinasikan hasil temuan dengan pendekatan Most Siginifacant Change (MSC). Tujuan spesifik peneliti menggunakan MSC terletak pada munculnya informasi tentang perubahan sikap dalam isu Fitria Sari 51

69 KIA yang dilakukan baik oleh pelaksana Perda maupun masyarakat dalam melaksanakan persalinan aman. Pendekatan MSC dilakukan oleh peneliti dengan mengumpulkan cerita-cerita pengalaman dari para aktor KIA yang selama ini melakukan pendampingan kepada ibu hamil. Cerita-cerita yang sudah terkumpul akan dipilih sesuai tingkat perubahan (perbaikan) perilaku/kebiasaan yang paling significant. Hal tersebut akan bermanfaat untuk menemukan gap antara upaya pembuat kebijakan dengan fakta AKI dan AKN serta diketahuinya perubahan perilaku masyarakat menuju persalinan aman melalui pendampingan ibu hamil yang sudah dilakukan. Peneiliti menggunakan observasi, Focus Group Discussion (FGD) dan Wawancara sebagai teknik pengumpulan data. Informan yang terlibat dalam penelitian ini pembuat kebijakan Perartuan Daerah KIBBLA (Sekertaris Daerah, Asissten Sekda I, Kepala Dinas Kesehatan dan 3 staf Kasi Dinas Kesehatan Kab. Pasuruan), kader kesehatan (12 orang) serta anggota OMS yang tergabung dalam PERMATA (12 orang) dan petugas faskes (12 orang). Pembahasan Kabupaten Pasuruan terletak di bagian utara Provinsi Jawa Timur, dan berbatasan dengan Kabupaten Sidoarjo dan Selat Madura di sebelah utara, Kabupaten Probolinggo di sebelah timur, Kabupaten Malang di sebelah selatan dan Kabupaten Mojokerto di sebelah barat. Luas wilayah Kabupaten Pasuruan adalah 1.471,3 km2 dan terbagi menjadi 24 kecamatan dan 365 desa/ kelurahan dan 33 Puskesmas ( Kawasan ini memiliki landscape topografi beragam. Bagian utara sebagian besar didominasi dataran rendah. Bagian Barat Daya merupakan pegunungan, dengan puncak Gunung Arjuno dan Gunung Welirang. Bagian tenggara adalah bagian dari Pegunungan Tengger (Puncak Gunung Bromo) serta area selatan yang didominasi area pesisir. 52 Prosiding PKWG Seminar Series

70 Secara keseluruhan, IPM Kabupaten Pasuruan menempati urutan ke-10 (67, ) dari bawah dari 38 kabupaten/kota di Jawa Timur, sesudah Kabupaten Sampang, Bondowoso, Situbondo, Bangkalan, Pamekasan, Jember, Sumenep dan Bojonegoro, Namun, pada tahun 2011 IPM Kabupaten Pasuruan meningkat menjadi 68,24 (BPS & Kemenneg PP, 2012). Kondisi topografi yang beragam membuat penelitian ini tersebar ke lokasi yang masing-masing mewakili kondisi tersebut. Lokasi penelitian terletak di 6 kecamatan yaitu Purwodadi, Gondang Wetan, Grati, Lekok, Ngempit dan Gempol. Pemilihan topografi yang beragam tentu bukan tanpa sebab, karena perbedaan topografi tersebut dapat menggambarkan karaketristik, kebiasaan, tipologi hingga mitos yang berkembang di masing-masing Kecamatan yang dapat menjadi penyebab besar kecilnya AKI dan AKN. Kecamatan Purwodadi merupakan representasi di wilayah dataran tinggi. Bagi sebagian warga Purwodadi mitos yang berkiatan dengan pantangan bagi ibu hamil cukup banyak, seperti larangan memakan seluruh jenis ikan laut karena dapat berakibat janin lahir dengan bau anyir seperti ikan, larangan konsumsi kepiting karena berakibat membuat bayi lahir berjalan menyamping seperti kepiting saat beranjak balita. Larangan memakan jenis kerang-kerangan juga berlaku bagi ibu hamil karena membuat keracunan. Selain larangan konsumsi sumber protein, larangan juga berlaku pada mata pencaharian seperti dilarang membongkar mesin mobil atau sepeda motor dengan alasan akan membuat ibu hamil susah melahirkan. Larangan irrasional tersebut menjadi lengkap dengan legitimamsi sosial dari warga sekitar yang masih mempercayai dukun dan menyegerakan anaknya yang baru lulus SMP atau SMA untuk menikah. Berbeda dengan Purwodadi, Kec. Lekok di pesisir utara Kabupaten Pasuruan memunculkan mitos yang untuk tidak mengonsumsi sayur dan buah secara berlebih karena manusia bukan diciptakan seperti Sapi atau kambing yang Fitria Sari 53

71 mengonsumsi sayur dan buah. Selain itu, ibu hamil juga dianjurkan untuk minum jamu (rumput fatimah baik yang berbentuk akar atau dalam sachet) untuk membuat kontraksi perut lebih cepat, sehingga persalinan lebih mudah. Proses perawatan bayi baru lahir bagi sebagian warga Lekok bahwa bayi diberi ramuan akar yang diletakkan di tali pusar agar luka lekas kering (re:bobokan). Bahkan beberapa waktu lalu, juga muncul kasus nenek dari bayi yang memberikan makan pisang pada bayi berusia 10 hari disebabkan bayi terus menangis. (AMP Sosial (Perinatal) Dinas Kesehatan Kab. Pasuruan 2014) Dua lokasi dengan topografi berbeda sepintas menunjukkan adanya mitos dan konteks sosial-kultural masyarakat yang berdampak langsung dengan kenaikan AKI dan AKN. Selain gambaran tentang mitos, peneliti juga menemukan penyebab hulu tingginya AKI dan AKN di Kabupaten Pasuruan, antara lain: 1. Pernikahan usia muda yang dilegitimasi secara sosial. Di wilayah Grati dan Gondang Wetan, pernikahan muda merupakan tren bagi gadis berusia antara untuk menikah dan proses reproduksi terjadi. Berkembangnya pendidikan di sistem pondok pesantren sebagian besar di kedua wilayah memungkinkan santriwati (gadis) untuk menurut perkataan pemimpin pondok atau bahkan orang tua. Berikut petikan wawancara peneliti dengan santriwati (AY-14 tahun di PP Gondang Wetan)...kulo badhe sekolah maleh, ngantos kuliah, angsal pendamelan nggeh, tapi nawi tiang sepah nedi kulo rabi nggeh nurut mawon, mboten wantun mbantah (saya ingin sekolah lagi setelah ini, sampai kuliah dan dapat pekerjaa, tapi apabila orang tua meminta saya untuk menikah, saya akan menurutinya karena tidak berani membantah) (22 Januari 2015; WIB) 54 Prosiding PKWG Seminar Series

72 2. Orang tua sebagai sosok yang masih memiliki pengaruh pada penentuan usia pernikahan, kehamilan hingga persalinan putrinya. Akibatnya, anak tidak memiliki posisi bargaining yang cukup kuat ketika melakukan penolakan desakan orang tua untuk segera menikah dan memiliki anak. Akibatnya, anak secara psikis, fisik dan alat kesehatan reproduksi belum benar-benar siap. Sehingga, keputusan yang menyangkut hak manusiawi diri sang anak tergantung atas pilihan dan keputusan dari orang tua. Seandainya sang anak memiliki keyakinan dan pilihan sendiri namun karena kurangnya komunikasi dengan orang tua, maka anak akan menurut dengan perintah orang tua. Kasus yang menimpa bayi yang terkena asfeksia di wilayah Lekok beberapa waktu lalu menunjukkan betapa kuat peran orang tua. (SH- 42 tahun Petugas Puskesmas Lekok) diokremma, lok e ketaohe petugas Puskesmas embanah bayinah a duleng bayinah omor peto belok taon kelaben gedeng kepok alasnah polanah bayinah nanges. Ibuneh bayi oneng tapeh neng eneng polanah takok (Ya bagaimana tanpa sepengetahuan petugas, neneknya memberi makan pisang kepok kepada bayi yang usianya masih sekitar 7-8 hari, alasannya bayi menangis, dia fikir karena lapar. Ibu bayi tahu yang dilakukan neneknya, tapi diam saja karena takut) (17 Oktober 2014; WIB) 3. Kultur konservatif tentang pemahaman nilai-nilai kesetaraan dalam gender dan pengetahuan seksualitas (kesehatan reproduksi) yang bersifat patriarkal. Hal ini merupakan salah satu penyebab munculnya 3 T yakni terlambat mengetahui tanda bahaya kehamilan, terlambat mengambil keputusan (berembug dengan keluarga dan tetangga) serta terlambat merujuk ke fasilitas kesehatan (karena keterbatasan alat transportasi). Kondisi kegawatdaruratan dan keterlambatan di atas masih terjadi di masyarakat Kab. Pasuruan. Meski demikian, kesadaran Fitria Sari 55

73 untuk mempersiapkan persalinan dalam gawat darurat juga masih belum maksimal. Dalam hal ini, suami juga belum menjalankan perannya sebagai pengambil keputusan dalam keluarga. Contohnya saja kasus yang terjadi di Purwodadi. Petikan wawancara dengan Anggota PERMATA (SU-47 tahun) kemarin ada kasus ibu hamil resiko tinggi, usianya sudah 40 tahun, tekanan darah 220/120, tidak memiliki BPJS, kategori miskin namun tidak memiliki SPM. Lho, sudah begitu ibu hamil tidak mau dirujuk sama sekali suaminya diajak berembug juga bingung, tidak ambil keputusan. Akhirnya dengan ibu-ibu dari PERMATA dan ibu bidan, jam 1 malam saya mengunjungi rumah ibu hamil dan membujuknya untuk mau dirujuk. Baru saat itu, ibu hamil dan suaminya baru memikirkan keselamatan bayi (20 Desember 2015; WIB) Hal di atas merupakan permasalahan yang nyata muncul dari masyarakat di Kab. Pasuruan. Untuk meminimalisir penyebab hulu AKI dan AKN, Kabupaten Pasuruan mengesahkan dan mengimplementasikan Peraturan tentang KIA, antara lain Peraturan Daerah (PERDA) No 2 tahun 2009 tentang KIBBLA, Peraturan Bupati No.6 tahun 2010 tentang KIBBLA, SK BUPATI 441.8/26/hk/ /2010 tentang Pembentukan Tim Penyelenggara KIBBLA TERPADU hingga Perdes KIBBLA di Kabupaten Pasuruan. Komitmennya juga ditunjang dengan menyediakan 10% anggaran untuk KIA dari total APBD. Sehingga, Kabupaten Pasuruan mendapatkan Millenium Development Goals (MDGs) Award tahun 2012 dari Kantor Utusan Khusus Presiden RI karena kebijakan tersebut. Para pembuat kebijakan KIBBLA menyadari tidak akan berhasil tanpa adanya peran masyarakat sebagai sukarelawan kemanusiaan yang mampu mengimplementasi dan mentransferkan konsep kebijakan kepada masyarakat. Munculnya gerakan PERMATA (Penyelamatan maternal dan neonatal) sebagai satu kekuatan dari gabungan Organisasi 56 Prosiding PKWG Seminar Series

74 Masyarakat Sipil di Kabupaten Pasuruan berusaha menjawab tantangang implementasi kebijakan pemerintah. PERMATA memahami bahwa tidak perlu menggalang kekuatan lain dengan mencari orang-orang baru untuk terjun dalam isu KIA. Dengan memaksimalkan basis organisasi agama seperti Nahdatul Ulama dan Muhammadiyah serta organisasi kesehatan lain. Kekuatan basis massa NU dan Muhammadiyah memiliki pembagian hingga desa bahkan dusun. Selain beranggotakan NU dan Muhammadiyah, ada pula organisasi interfaith seperti Persatuan Wanita Katholik, Persatuan Wanita Kristen dan Wanita Hindu Dharma Indonesia Kab. Pasuruan. PERMATA juga melibatkan institusi lain yang fokus pada isu KIA seperti Ikatan Bidan Indonesia (IBI), TP PKK, BKKBN, PKBI hingga media massa sebagai pusat informasi publik seperti Radio Warna dan Suara Pasuruan. PERMATA sebagai gabungan dari OMS menyadari bahwa dasar dari gerakan ini adalah organisasi tanpa bentuk (tanpa struktur), lentur dan cair. Sehingga, koordinasi bukan dipimpin oleh ketua melainkan oleh koordinator bersama. Kesadaran akan potensi dan kekuatan massa juga terlihat pada optimalisasi peran serta Kader Asuh, Kader Kesehatan, Motivator Kesehatan Ibu dan Anak, Coordinator Fase Desa KIBBLA. Semua kader tersebut merupakan bentukan dari program-program Dinas Kesehatan serta lembaga donor yang pernah ada di Kab. Pasuruan. Sehingga PERMATA tidak perlu mencari sumber daya baru untuk melakukan kontribusi penurunan AKI dan AKN. Hal tersebut juga bermanfaat dengan kemudahan oleh kader-kader kesehatan untuk intensif mendekati ibu hamil karena berasal dari lingkungan sekitar. Sejak awal tercetus, PERMATA menyadari banyak pekerjaan yang harus diselesaikan dalam penurunan AKI dan AKN. Sehinggam PERMATA fokus dalam menjalankan 3 pendekatan utama sebagai OMS yang mendukung upaya penurunan AKI dan AKN yaitu empowering, bridging dan voicing. Empowering (pemberdayaan) merupakan agenda awal Fitria Sari 57

75 yang disusun oleh PERMATA. Masyarakat sipil sebagai kader kesehatan tidak mungkin menjadi seorang sukarelawan KIA tanpa mengetahui dasar-dasar pengetahuan yang harus disampaikan kepada ibu hamil dan keluarganya. Oleh sebab itu, peningkatan kapasitas terus dilakukan oleh PERMATA dengan bekerja bersama Dinas Kesehatan maupun Instansi lain. Misalnya, pelatihan tentang dasar P4K, Penggunaan buku KIA, Pengetahuan Kesehatan Reproduksi Komprehensif, Deteksi dini Resiko, perawatan nifas, ASI ekslusif hingga strategi pendekatan kepada ibu hamil dan keluarga serta pemanfaatan jimpitan sosial misal dengan bahan pokok yang dapat dijual kembali berapapun jumlahnya. Selanjutnya, bridging merupakan pendekatan yang dilakukan oleh PERMATA dan kader kesehatan untuk menghubungkan atau menjembatani institusi yang satu dengan yang lain. Misalnya, sebelum kemunculan PERMATA sinkronisasi antara kinerja institusi satu dan lainnya masih tumpang tindih. Misalnya saja yang terjadi di Desa Gajah Rejo, Purwodadi. Sebelumnya, aparat desa terutama Ibu Kepala Desa sebagai ketua TP-PKK belum memiliki concern penuh terhadap KIA. Namun, setelah PERMATA melakukan pertemuan di Balai Desa Gajahrejo dengan melibatkan aparat desa, kader kesehatan sekitar, bidan desa dan dukun melahirkan (sekitar 3 kali pertemuan), muncul kepedulian dari aparat desa untuk turut berpartispasi dalam memantau kondisi kehamilan dan pertumbuhan laju penduduk di Gajah Rejo Purwodadi. Hingga voicing merupakan upaya yang dilakuakn PERMATA untuk menyampaikan keluhan, saran dan perbaikan dari masyarakat sebagai pengguna layanan kepada penyedia layanan. Hal tersebut mengacu kepada kolaboratif bersama dan janji pelayanan fasilitas serta tenaga kesehatan. Misalnya saja kegiatan voicing yang sudah dilakukan terdapat di Puskesmas Gempol. PERMATA, beserta kader kesehatan sebagai perwakilan pengguna layanan melakukan diskusi 58 Prosiding PKWG Seminar Series

76 terkait pelayanan KIA yang selama ini diberikan kepada masyarakat. Dari pertemuan tersebut memunculkan perbaikan tentang ruangan, pengobatan hingga tata cara perawatan bagi masyarakat dalam isu KIA. Kegiatan ini bukan upaya melakukan evaluasi kepada penyedia layanan karena fungsi evaluasi merupakan kewenangan dari Dinas Kesehatan Kab. Pasuruan. Aspek empowering, bridging dan voicing secara keseluruhan merupakan bagian dari persiapan bagi keluarga sejak proses pra pernikahan hingga pasca persalinan merupakan persiapan. Salah satu pendekatan yang dapat diljalankan adalah penguatan forum masyarakat sipil, organisasi masyarakat sipil. Namun masih banyak program pemerintah yang belum diketahui oleh masyarakat secara luas. Oleh karena itu penting adanya tokoh sebagai ujung tombak dalam memberikan informasi dan komunikasi langsung dengan ibu hamil dan masyarakat di lingkungannya. Tokoh tersebut memiliki pemahaman baik terhadap budaya sekitarnya, sehingga mampu melakukan pendekatan kepada penerima manfaat (ibu hamil dan keluarga) dengan lebih mudah. Seperti yang telah dijabarkan sebelumnya, tugas dari PERMATA bukan hanya fokus pada titik emergency seorang ibu yang akan melahirkan, melainkan ada hal lain yang lebih besar yaitu menyiapkan generasi Indonesia yang lebih berkualitas. Tujuan utama tersebut sangat membutuhkan persiapan sejak dini. Ibarat treadmill yang selalu berputar isu KIA bukan hanya berdiri sendiri melainkan ada banyak hal yang mengiringinya. Oleh sebab itu, upaya untuk memotong rantai AKI dan AKN di Kab. Pasuruan dilakukan oleh PERMATA yaitu mengimplementasikan CSE (Comprehensif Sexual Education) dalam kebijakan bagi remaja dan pendidikan (Review Policies and strategic to implement and scale up sexuality education in Asia and Pacific. Bangkok: UNESCO; 2012). CSE bukan hanya tentang reproduktif Fitria Sari 59

77 kesehatan serta Continum of care dari sisi dukungan OMS masyarakat sipil. Kesadaran PERMATA untuk mendukung implementasi CSE dan COC merupakan pembelajaran penting bahwa selama ini program yang dicetuskan pemerintah tidak akan maksimal tanpa kepemilikan (belongness) dari masyarakat. Pelaksanaan CSE dan COC yang hanya dilakukan oleh tenaga kesehatan hanya kana membuat mereka terengah dalam menjalankan peran utama. Penyebaran informasi kesehatan reproduksi remaja, persiapan pernikahan, perencanaan kehamilan, proses kehamilan, post partum hingga perkembangan/pertumbuhan anak merupakan satu rantai yang tidak bisa bisa diputus. Oleh sebab itu, dari hasil penelitian ini ditemukan bahwa langkah awal yang perlu diperhatikan ditemukan bahwa rasa memiliki dan empati dalam satu isu (penurunan AKI dan AKN) oleh satu masyarakat lokal perlu menjadi langkah dasar. Akibatnya, keterlibatan PERMATA bersama Pemerintah Daerah dalam upaya penurunan AKI dan AKN mulai menjukkan beberapa perubahan perilaku di masyarakat. Antara lain Keterbukaan sekolah SMP dan SMA hingga Pondok Pesantren tentang isu kesehatan reproduksi bagi remaja mulai dimaknai sebagai kebutuhan bagi siswa dan siswi. Selanjutnya, perubahan perilaku juga terjadi pada keluarga dan ibu hamil yang mulai menyadari pentingnya proses persalinan di fasilitas kesehatan dan tenaga kesehatan. Selama ini, pr,3eoses persalinan lebih banyak dilakukan di dukun, namun karena PERMATA dan Dinas Kesehatan selalu menekankan pelarangan persalinan di rumah atau di dukun. Upaya tersebut juga ditunjang dengan mengadakan kemitraan bersama dukun. Sehingga, dukun yang notabene telah ada sejak beberapa waktu lalu tidak tersingkirkan dengan kehadiran tenaga dan fasilitas kesehatan. Oleh sebab itu, angka rujukan ke fasilitas kesehatan mengalami peningkatan sebanyak 60%, jika pada tahun 2012 angka rujukan masih sekitar 25% dari total kehamilan, pada tahun 2015 telah meningkat tajam (PWS 60 Prosiding PKWG Seminar Series

78 KIA Dinas Kesehatan Kab. Pasuruan 2015). Kondisi demikian merupakan perubahan perilaku yang significant atas upaya penurunan AKI dan AKN yang dilakukan dalam Gerakan PERMATA. Kesimpulan Akhirnya, penelitian ini menunjukkan bahwa sejak tahun 2009 pencetusan Perda KIBBLA telah muncul beragam gerakan kepedulian dari masyarakat untuk menurunkan AKI dan AKN. Pembahasan mengenai AKI dan AKN sebaiknya tidak hanya dimaknai sebagai satu hal yang berkaitan dengan angak dan target MDGS s semata, melainkan lebih kepada perubahan sikap yang telah dilakukan oleh PERMATA (OMS) hingga ibu hamil sebagai penerima manfaat. Hal ini juga sebagai bukti bahwa Isu KIA yang pada tahun 1900 dan 2000 awal masih bersifat ekslusif, artinya pelibatan dan peran dari masyarakat masih terbatas. Akibatnya, program-program yang dicetuskan pemerintah baik level Internasional dan Nasional belum maksimal menyentuh grass root. Selain itu, pengabaian tradisi atau budaya lokal sering dilakukan berulang-ulang misalnya pengabaian mitos di Kab. Pasuruan karena hal itu justru dibantah secara tegas tanpa memberikan penjelasan rasional dan pendekatan kepada orang-orang yang selama ini mempercayai mitos yang berkembang. Tugas demikian bukan hanya merupakan tanggung jawab pemerintah dan tenaga kesehatan melainkan juga peran masyarakat sipil yang sukarela mengabdi dalam isu KIA. DAFTAR PUSTAKA AMP KIA Dinas Kesehatan Kab. Pasuruan AMP Sosial (Perinatal) Dinas Kesehatan Kab. Pasuruan BPS & Kemenneg PP Fitria Sari 61

79 PWS KIA Dinas Kesehatan Kab. Pasuruan tahun 2015 Journal IPPF India 2013-MMR in South East Asia: A Challenges Review Policies and strategic to implement and scale up sexuality education in Asia and Pacific. Bangkok: UNESCO; 2012) 62 Prosiding PKWG Seminar Series

80 Puskesdes dan apotek desa dalam harapan di tengah AKI nol Desa Teling & Desa Pinasungkulan, Kec. Tombariri, Kab. Minahasa dan Desa Arakan, Kec. Tatapaan, Kab Minahasa Selatan Shelly Adelina dan Danielle Johanna Samsoeri 1 Pendahuluan Tiada sehari pun keluarga-keluarga di Manado tanpa menu ikan di saat makan, seperti ucapan seorang ibu muda asli Minahasa di Desa Teling, Nyanda apa-apa nyanda makang daging ayam, yang penting torang bole makang ikang deng sayor papaya deng daong gedi. Maka tidak pernah ada dalam catatan warga desa hidup kekurangan gizi. Begitu pula dengan kondisi ibu mengandung dan pasca melahirkan, dijamin oleh keluarga masing-masing bahwa mereka terpenuhi gizi yang seimbang. Kami memang menemukan Angka Kematian Ibu (AKI) nol di tiga desa, namun kami belum bisa yakin bahwa kebiasaan mengonsumsi ikan laut segar setiap hari adalah satu-satunya faktor yang mendukung AKI nol di sana. Bagaimana dengan relasi suami-istri pada umumnya di keluarga-keluarga mereka, bagaimana budaya atau adat memposisikan dan memperlakukan perempuan hamil atau perempuan yang sedang melaksanakan fungsi reproduksinya? Bagaimana peran serta suami-suami mereka terkait kepedulian pada pembagian peran dan perawatan kesehatan reproduksi termasuk pemilihan alat kontrasespi? Bagaimana pula peran serta masyarakat, dan kondisi infrastruktur berikut 1 Pusat Kajian Wanita dan Gender Universitas Indonesia Shelly Adelina dan Danielle Johanna Samsoeri 63

81 fasilitas kesehatan di desa? Tentu butuh waktu yang tidak singkat dan penerapan metodologi riset yang kuat. Sejujurnya kami mengakui bahwa tulisan di bawah ini baru sampai pada taraf pengumpulan data awal melalui metode observasi, pengumpulan data sekunder, wawancara terfokus, dan focus group discussion (FGD).Namun kami meyakini pula, data-data awal tersebut dapat dianalisis dan bisa menjadi best practice dalam konteks yang serupa di daerah lain. Keseluruhan data yang dipaparkan dalam tulisan ini mencakup infrastruktur bidang kesehatan di desa, kondisi AKI nol pada 3 desa, mitos dan tradisi di desa, peran serta suami, vasektomi (KB laki-laki) yang telah menjadi pilihan favorit di desa, program dan anggaran desa untuk KIA, partisipasi perempuan dan potensi desa, serta kebutuhan perempuan desa. Proses Pengumpulan Data Proses pengumpulan data dilakukan pada November 2014 di Desa Teling dan Desa Pinasungkulan (keduanya merupakan bagian dari Kecamatan Tombariri-Kabupaten Minahasa), serta Desa Arakan (Kecamatan Tatapaan-Kabupaten Minahasa Selatan), Provinsi Sulawesi Utara. Sebelum kami tiba di ibu kota provinsi Sulawesi Utara, Manado dan di lokasi penelitian, hubungan atau kontak secara personal kepada calon-calon informan telah dilakukan oleh aktivis SP. Begitu pula sebagian data sekunder telah disiapkan (meski terbatas adanya). Tidak ada kendala untuk menuju lokasi penelitian karena akses jalan dari kota Manado menuju desa di Kabupaten Minahasa dan Kabupaten Minahasa Selatan sudah tergolong baik. Kami menggunakan mobil menuju desa dan hanya membutuhkan waktu sekitar 1 jam untuk tiba di 3 desa yang saling bertetangga. Adapun 3 desa tersebut semuanya terletak di wilayah pesisir. Kami batal memilih desa di Tomohon karena akses jalan tertutup setelah terjadi gempa pada 13 Desember Prosiding PKWG Seminar Series

82 Teknik Pengambilan Data dilaksanakan sama pada semua desa dan kami mendapatkan data primer dengan cara menggunakan teknik Focus Group Discussion (FGD) atau Diskusi Kelompok Terfokus (topik : isu AKI dan Kesehatan Reproduksi) dan wawancara terfokus. Seluruh proses FGD kami rekam dan kami catat secara langsung, serta kami foto. Begitu pula semua proses wawancara dengan informan. Kami mendapatkan data sekunder dari data yang tertera di kantor/balai desa, kantor Puskesmas, dan searching melalui internet. Kami melakukan FGD pada 2 kelompok di Desa Teling, 1 kelompok di Desa Arakan, 1 kelompok di Desa Pinasungkulan. Dua kelompok FGD di Desa Teling terbagi atas kelompok pertama terdiri dari warga biasa (pasangan suami istri yang memiliki anak), perempuan kepala keluarga, perempuan sedang hamil. Kelompok kedua terdiri dari kader PKK, guru, tokoh masyarakat, tokoh agama, dukun/peraji (bahasa Minahasa : biang), aparat desa/kepala desa (bahasa Minahasa : Hukum Tua). Sedangkan FGD yang dilakukan di Desa Arakan dan Desa Pinasungkulan dilakukan masing-masing pada satu kelompok yang dicampur/kombinasi antara kelompok pertama dan kelompok kedua FGD yang dilakukan di Desa Teling. Seorang aktivis LSM Suara Parangpuang (SP) Manado adalah penghubung kami dengan warga desa selama berada di 3 desa pesisir yaitu Desa Teling dan Desa Pinasungkulan yang termasuk dalam Kabupaten Minahasa, serta Desa Arakan yang posisinya persis di bibir pantai di Kabupaten Minahasa Selatan. Setiap kami makan bersama usai melaksanakan FGD, menu ikan laut dan sayur daun gedi memang mendominasi meja prasmanan. Shelly Adelina dan Danielle Johanna Samsoeri 65

83 Informan FGD Desa Teling, Kecamatan Tombariri No. NAMA UMUR JENIS KELAMIN KETERANGAN 1. Kartini 61 Perempuan Anak 3, perempuan kepala keluarga, suami sakit sejak Norce 48 Perempuan Anak 2 3. Rose 52 Perempuan Anak 3 4. Jorge 55 Laki-laki Suami Rose 5. Olvanda 44 Perempuan Anak 1 6. Salmon 45 Laki-laki Suami Olvanda 7. Jemi 45 Laki-laki Anak 3 8. Adolfina 44 Perempuan Istri Jemi 9. Yuli 20 Perempuan Sedang hamil 9 bulan (usai FGD, jam 2 dini hari melahirkan bayi laki-laki) 10. Siska 22 Perempuan Anak Yulita 26 Perempuan Anak 2 Informan FGD Desa Teling, Kecamatan Tombariri NO. NAMA UMUR JENIS KELAMIN 1. Ruth 45 perempuan Anak 2 2. Vemy 46 perempuan Anak 3 3. Ruth Tamalero KETERANGAN 61 perempuan Anak 4, cucu 7 66 Prosiding PKWG Seminar Series

84 4. Marlince 29 perempuan Anak 1 5. Israel 51 Laki-laki Anak 2, cucu 2 6. Orpa 48 perempuan Istri Israel 7. Veki 49 Laki-laki Anak 2, cucu 1 8. Nelce 45 perempuan Anak 2, cucu 1 9 Wiesye 43 perempuan Anak 3, cucu Dience 37 perempuan Anak Besti 36 perempuan Anak Marthin 59 perempuan Anak 1 Informan FGD Desa Arakan, Kecamatan Tatapaan NO. NAMA UMUR JENIS KELAMIN 1. Ismail 48 Laki-laki Anak 5 KETERANGAN 2. Debi 30 perempuan Belum punya anak 3. Arifin 46 Laki-laki Anak 1 4. Indra 30 Laki-laki Anak 3 5. Ramlan 38 perempuan Istri Indra 6. Surahman 48 Laki-laki Anak 6 7. Hayati 23 perempuan Anak 1 8. Rusni 40 perempuan Anak 4 9. Sarmin 42 perempuan Anak 3 (janda) 10. Resmi 40 perempuan Istri Ramlan 11. Nurpa 39 perempuan Anak 3 Shelly Adelina dan Danielle Johanna Samsoeri 67

85 Informan FGD Desa Pinasungkulan, Kecamatan Tombariri NO. NAMA UMUR JENIS KELAMIN 1. Nelce 37 perempuan Anak 2 KETERANGAN 2. Paulina 62 perempuan Anak 3, cucu 8 3. Mariska 14 perempuan Remaja kelas 3 SMP 4. Dolfi 45 laki-laki Anak 3 5. Yuliana 53 perempuan Anak 2 6. Katrince 42 perempuan Anak 3 7. Matius 46 laki-laki Suami Katrince 8. Mei 51 perempuan Anak 2, cucu 2 9. Yul 48 perempuan Anak 3, cucu Andris 48 laki-laki Suami Yul 11. Viene 42 perempuan Anak Yenni 41 perempuan Anak 3 Adapun informan dari wawancara terfokus terdiri dari (a) Kepala Desa (Hukum Tua) Desa Teling. Hukum Tua biasanya dibantu oleh beberapa Kepala Urusan Pemerintahan Desa atau yang sering disingkat Ka-Ur, serta dibantu oleh beberapa Kepala-Kepala Jaga (setingkat RT), dan Meweteng sebagai pembantu Kepala Jaga. Nama Kepala Desa : Israel Bawalang, 51 tahun,menjabat untuk masa bakti ; (b) Sekretaris Desa Teling Ibu Marthin, 59 tahun, menjabat untuk masa bakti ; (c) Kepala Desa (Hukum Tua) Arakan, Mochtar Otay, menjabat untuk masa bakti ; (d) Kepala Desa (Hukum Tua) Pinasungkulan, Ibu Mieke Wenas. Sebelumnya menjabat sekretaris desa sejak 2009, lalu pada 2 Juli 2014 dilantik oleh Bupati Minahasa menjadi Kepala Desa 68 Prosiding PKWG Seminar Series

86 (Hukum Tua) melanjutkan kepemimpinan kepala desa sebelumnya yang habis masa jabatan, dan belum bisa dilakukan pemilihan baru atau tertunda pemilihan akibat kondisi politik (kesibukan pilkada dan pilpres). Setelah pemilihan gubernur pada 2015, direncanakan pemilihan kepala desa baru ; (e) Bidan desa : Deby Defny, 34 tahun, bertugas di Desa Teling namun hanya datang sebulan sekali setiap tanggal 20. Berdinas di Desa Teling sejak tahun Selebihnya ia berkeliling desa lain dan melakukan tugas-tugas di Puskesmas Tanawangko, di Kecamatan Tombariri. Selama berada di tiga desa, kami dibantu oleh pendamping lapangan atau mitra lokal di lokasi penelitian berasal dari LSM Swara Parangpuang (SP) SulaSwesi Utara yang berkantor di kota Manado. LSM ini didirikan pada 8 Juni 1998, didorong oleh komitmen untuk menumbuhkan kesadaran kritis perempuan Sulut atas hak-haknya sebagai manusia dan warga negara Indonesia. Swara Parangpuan bersama dengan kelompok yang didampinginya berusaha mendapatkan datadata dan kecenderungan ketidakadilan terhadap perempuan dan anak baik politik, ekonomi, sosial dan budaya, juga perempuan yang terpinggirkan ataupun dalam posisi rentan, misalnya perempuan miskin, korban kekerasan dan anak. Selain itu SP juga melakukan pendampingan hukum, psikologis, pemberdayaan dan penguatan perempuan level akar rumput (perempuan korban), hingga perempuan yang berada di level kebijakan, serta usaha-usaha lain yang secara langsung berpengaruh terhadap terpenuhinya hak-hak dasar perempuan. Bersama dengan jaringan maupun masyarakat akar rumput, Swara Parangpuan terus berperan sebagai laboratorium sosial yang digunakan untuk mencari strategi yang tepat dalam mendorong para perempuan untuk bisa tampil di sektor public (sektor yang jarang digeluti) dan berupaya untuk mendapatkan pemberdayaan hak-hak dasar dan keadilan. Dalam ranah publik, aspirasi perempuan belum Shelly Adelina dan Danielle Johanna Samsoeri 69

87 sampai pada pemangku dan pengimplementasi kebijakan. Perempuan hanya sekedar memenuhi kuota jumlah, bukan kualitas dan bukan pada jabatan pemegang keputusan. Fokus kegiatan SP sejak periode tahun pada dasarnya terdiri atas 4 kegiatan besar yaitu pendidikan kritis, advokasi, pemberdayaan ekonomi, survei dan kajian. Tentu saja kami mengalami juga kendala pengambilan data. Kesulitan utama dalam pengambilan data adalah tidak tersedianya data kuantitatif secara lengkap dan komprehensif di desa yang dapat menjadi data eye opener. Desa tidak menyimpan data atau tidak memiliki data base tentang kondisi perempuan dan permasalahannya terkait kesehatan reproduksi dan angka kematian ibu. Hal tersebut terjadi di tiga desa. Ketika kami mencoba mencarinya ke tingkat kecamatan, juga demikian masalahnya. Dengan demikian, data yang dapat kami kumpulkan adalah hasil wawancara mendalam dengan bidan desa yang bertugas di puskesmas kecamatan. Lokasi Penelitian Geografis Desa Teling berada di bawah Kecamatan Tombariri, Kabupaten Minahasa, Provinsi Sulawesi Utara. Kecamatan Tombarisi beribukota di Tanawangko, berbatasan di sebelah utara dengan Laut Sulawesi, di sebelah Timur dengan Kecamatan Pineleng, di sebelah Selatan dengan Kota Tomohon dan Kabupaten Minahasa Selatan, dan di sebelah Barat dengan Laut Sulawesi. Desa Teling merupakan satu desa di antara 14 desa yang ada di Kecamatan Tombariri. Adapun Kabupaten Minahasa beribukota di Tondano. Luas wilayah Desa Teling mencapai 4000 hektar, berbatasan sebelah Utara dengan Laut Sulawesi, sebelah Timut dengan Desa Poopoh, sebelah Selatan dengan hutan lindung, dan sebelah Barat dengan Desa Kumu. Jarak dari Desa Teling ke ibukota kecamatan (ke Tanawangko) lebih kurang 9 km. Sebelum tahun 2009 desa ini masih tergolong desa tertinggal. Jalan aspal di desa baru dibangun 70 Prosiding PKWG Seminar Series

88 pada tahun 2010 (merupakan jalan provinsi), yang juga menjadi jalan alternatif atau lingkar pesisir menuju dan dari kota Manado. Desa Arakan merupakan salah satu desa di pesisir Kabupaten Minahasa Selatan yang terletak berbatasan dengan pesisir Kabupaten Minahasa Induk. Desa Arakan merupakan bagian dari kecamatan Tatapaan, kabupaten Minahasa Selatan. Batas desa sebelah Utara adalah laut Sulawesi, sebelah Timur adalah Desa Rap-Rap, sebelah Selatan berbatasan dengan Desa Sondaken, serta sebalah Barat berbatasan dengan hutan bakau. Jika berkunjung ke desa ini, aroma ikan asin yang sedang dijemur memperkuat citra desa sebagai desa nelayan. Hampir seluruh pantai dan area terbuka di belakang permukiman yang berbatasan dengan hutan bakau dipenuhi dengan tempat penjemuran hasil perikanan laut. Aktifitas perikanan seperti perikanan tangkap dan pengolahan ikan asin serta budidaya rumput laut yang cukup hidup di desa pesisir ini, menjadi alasan mengapa Desa Arakan terpilih sebagai Minapolis pada Kawasan Minapolitan Tatapaan dengan lahan budidaya rumput laut mencapai luas 450 ha. Desa Pinasungkulan terletak di Kecamatan Tombariri, Kabupaten Minahasa merupakan pecahan atau pemekaran dari desa Kumu sejak tahun Pantai yang ada di desa Pinasungkulan merupakan pantai bakau besar yang merupakan habitat kepiting bakau. Secara geografis letak desa Pinasungkulan cukup mudah dijangkau karena jalan telah beraspal, meski berjarak jauh dari letak ibu kota kabupaten Tombariri di Tondano. Demografi Desa Teling berpenduduk 815 jiwa terdiri atas 233 KK (terdiri atas 50 % KK miskin), dengan komposisi jenis kelamin perempuan dan laki-laki berimbang (masing-masing 50 %). Sebagian besar penduduk bermata pencaharian sebagai petani ladang (kelapa, jagung) dan nelayan. Mayoritas penduduk Shelly Adelina dan Danielle Johanna Samsoeri 71

89 beragama kristen protestan dan 99,9 persen merupakan suku Siau. Penduduk berpendidikan sarjana (S1) berjumlah 4 orang, mahasiswa 3 orang, dan banyak berpendidikan akhir SLTA. Hanya ada 1 pendeta, 3 orang guru yang mengajar di SD Teling. Desa Arakan dihuni oleh 350 KK dengan 1200 jiwa yang terdiri dari beberapa suku yaitu suku Bajo yang menjadi mayoritas, suku Minahasa, suku Jawa, suku Bolaanmongondow, Gorontalo, dan Ternate. Penduduk mayoritas memeluk agama Islam dan bermatapencaharian nelayan tradisional yang juga memproduksi ikan asin (teri khususnya) serta rumput laut. Jumlah anak pada kebanyakan rumah tangga rata-rata 3 orang. Desa Arakan merupakan pecahan dari Desa Rap-Rap Arakan. Tingkat pendidikan penduduk rata-rata hanya tamat SD dan penduduk lansia banyak yang buta huruf. Angka Harapan hidup perempuan 80 sampai 100 tahun, sementara yang laki-laki antara 7- sampai 80 tahun. Desa Pinasungkulan terdiri dari 111 KK dengan 410 jiwa. Lebih kurang 60 KK di antaranya tergolong keluarga miskin. Mata pencaharian mayoritas penduduk adalah nelayan tradisional (menggunakan jaring manual), nelayan buruh, dan pencari kepiting bakau yang menjualnya dalam skala kecilkecilan. Angka harapa hidup desa Pinasungkulang untuk perempuan di atas 80 tahun dan laki-laki 70 sampai 80 tahun. Suku mayoritas di desa tersebut adalah Sangir dan Siau, kemudian dilengkapi oleh suku Talaud dan Gorontalo. Klasifikasi Desa Desa Teling termasuk dalam klasifikasi desa nelayan dan agraris dengan mata pencaharian utama penduduk di laut, pertanian dan perkebunan. Berdasarkan tingkat perkembangannya, desa Teling tergolong desa swakarya karena adat istiadat tidak lagi mengikat secara penuh meski masih ada beberapa aktivitas yang dilakukan berdasarkan 72 Prosiding PKWG Seminar Series

90 adat dan tradisi, masyarakatnya tidak lagi asing dengan berbagai peralatan kerja dan teknologi, letak desa tidak terisolasi walau letaknya jauh dari pusat perekonomian. Jalur lalu lintas antara desa dan kota sudah lancar, jalanan beraspal (dapat dilalui kendaraan roda empat). Begitu pula kondisi jalan yang menghubungkan desa Teling dengan desa-desa tetangga. Persoalannya hanyalah tidak tersedia angkutan umum. Masyarakat atau penduduknya mengandalkan sepeda motor dan sepeda kayuh. Pernah sekali waktu ada penduduk yang sakit terpaksa diangkut ke Puskesmas kecamatan hanya menggunakan motor. Desa tetangga terdekat yaitu desa Arakan merupakan desa nelayan karena mata pencaharian utama penduduknya dilakukan di bidang perikanan yang dilakukan secara tradisional. Para nelayan di desa tersebut menangkap ikan di laut masih dengan cara menggunakan jaring yang diarahkan ke sekitar karang-karang laut (ikan baronang dan kepiting), selain menggunakan panah. Mereka menangkap ikan tidak di laut lepas dan tidak di laut dalam. Perahu yang digunakan masih jenis perahu katinting bermotor kecil, sebagian masih menggunakan dayung saja. Jenis tangkapan yang didapat sangat tergantung situasi alam. Saat ini hasil tangkapan sering kali berkurang karena terjadi perubahan iklim. Jika sebelumnya ikan teri bisa ditangkap secara musiman pada sekitar bulan Maret dan April, kini menjadi tidak menentu. Desa Pinasungkulan tergolong ke dalam desa nelayan yang belum tersentuh pemberdayaan ekonomi dan masih sangat membutuhkan campur tangan untuk budidaya kepiting bakau yang banyak hidup di perairan bakau (pantai berlumpur) di kawasan desa Pinasungkulan. Kepiting bakau di daerah tersebut sangat besar dengan daging tebal. Satu kilogram kepiting bakau dihargai Rp ,-. Dan seekor kepiting besar bisa mencapai berat 1,3 kg. Shelly Adelina dan Danielle Johanna Samsoeri 73

91 Tiada Infrastruktur Bidang Kesehatan Pada 3 desa lokasi penelitian ini tidak tersedia fasilitas kesehatan berupa Pusat Kesehatan Desa (Puskesdes). Di desa Teling pernah ada Polindes (sekarang disebut Puskesdes) yang dirangkap juga sebagai rumah bidan, terletak di sebelah SD Inpres Teling. Bidan Desa bernama Debi Delfny, 34 thn, sempat menetap dan bertugas di situ selama tahun 2000 hingga tahun Namun tahun 2006 ketika didirikan bangunan untuk Taman Kanak-Kanak di sampingnya, Puskesdes pun tergusur, dan bidan desa (Debi) pindah ke Puskesmas Tanawangko. Begitu pula di Desa Arakan dan Desa Pinasungkulan tidak kami temukan bangunan Puskesdes dan tidak pula terdapat bidan desa yang menetap. Kunjungan ke desa oleh bidan hanya dilakukan sebulan sekali pada tanggal yang sudah ditentukan (tanggal 20 setiap bulan), dan kegiatan lebih banyak untuk pemeriksaan kesehatan balita, penimbangan bayi, mengontrol kehamilan, dan pelayanan/konsultasi kontrasepsi, pemeriksaan tekanan darah (tensi), pemberian kelambu anti nyamuk, serta pemberian makanan tambahan bergizi seperti susu dan bubur kacang hijau. Aktivitas pelayanan kesehatan dilakukan di Balai Desa. Adapun pelayanan persalinan di ketiga desa tersebut masih sangat mengandalkan tenaga peraji (dukun beranak) yang di Minahasa di sebut Biang. Sulit bagi penduduk desa Pinasungkulan untuk mengandalkan pelayanan Puskesmas karena berjarak 17 km dari desa mereka. Sementara di desa mereka tidak ada Puskesdes. Menurut informasi bidan Debi, para Biang itu telah ditingkatkan kemampuannya secara medis dalam hal strilisasi. Kepada mereka diberikan alat-alat berupa gunting dan perlengkapan lainnya satu set, agar mereka tidak lagi mengunakan bulu untuk memotong ari-ari. Jika ada kasus persalinan yang tidak dapat ditangani Biang/dukun beranak, barulah mereka menyerahkan pasien ke bidan dengan cara memanggil bidan dari Puskesmas (menelepon) atau 74 Prosiding PKWG Seminar Series

92 membawa pasien ke Puskesmas di kota Tanawangko yang berjarak 9 km dari Desa Teling. Namun, karena desa tidak memiliki fasilitas apapun termasuk ambulans, biasanya pasien dibawa menggunakan mobil pickup terbuka yang disewa secara gotong royong. Adapun Rumah Sakit Rujukan adalah RSU Prof. Kandouw di Malalayang, Manado. Hal serupa juga dilakukan di Desa Arakan dan Desa Pinasungkulan yang bersebelahan dengan Desa Teling. Di Desa Pinasungkulan bidan akan datang setiap tanggal 10 setiap bulan. Jarak desa ke Puskemas Tanawangko menjadi lebih jauh yaitu 17 km. Sementara di Desa Arakan, menurut keterangan Kepala Desa, bidan datang setiap 2 bulan sekali, itu pun di Puskesdes desa tetangga terdekat yaitu di Desa Rap Rap. Jadi, bidan datang menyatukan kerjanya di 2 desa yaitu Desa Arakan dan Desa Rap-Rap, sehingga sering terjadi tidak semua dapat diatasi. Jika ada kondisi darurat, pasien akan di bawa langsung ke Puskesmas Tatapaan atau ke RS di kota Manado. Pasien akan dibawa menumpang satu-satunya mobil yang ada di Desa Arakan yaitu mobil milik Kepala Desa. Sebelum akses jalan tersedia seperti sekarang, dulu masyarakat Desa Arakan mengandalkan jalur pantai dan menggunakan perahu menuju ke Puskesamas. Perjalanan membutuhkan waktu tempuh 2 jam. Kondisi ketersediaan fasilitas kesehatan yang minim di desa tidak lepas dari kondisi terbatasnya SDM di level kecamatan dan kabupaten. Persoalan terbatasnya SDM bidan atau tenaga medis untuk satu kecamatan, menjadi kendala dan penyebab tidak tersedianya bidan desa yang menetap di desa, selain ketiadaan infrastruktur bidang kesehatan. Sebagai contoh, Puskesmas Tanawangko hanya memiliki 8 bidan (2 PTT dan 6 PNS : golongan 3 ada 2 orang dan golongan 2 ada 4 orang) yang harus melayani 10 desa, yaitu desa Teling, Pinasungkulan, Mokupa, Serani, Tambala, Poopoh, Kumu, Senduk, Borgo, dan Ranawangko. Shelly Adelina dan Danielle Johanna Samsoeri 75

93 Bidan Debi misalnya harus melayani 2 desa yaitu Desa Teling dan Desa Borgo. Kunjungan ke desa sebulan sekali biasanya dilaksanakan untuk melakukan antenatal care, pengukuran tensi, penimbangan balita, imunisasi, suntik TT, pemberian tablet (KB), dan pengisian buku Kesehatan Ibu dan Anak (KIA). Menurut bidan Debi, untuk pemasangan implan biasanya dilakukan menunggu program dari BKKBN, kemudian dilakukan secara serempak untuk proses pasang dan cabut. Adapun penggunaan implan paling lama 3 tahun, dan diberikan secara gratis. Namun bukannya tidak ada efek samping. Sebagian perempuan pengguna implan mengalami lengan nyeri, lebam, dan lama haid (menstruasi) menjadi panjang. Di ketiga desa, tidak muncul kasus aborsi, namun menurut catatan bidan Debi ada seorang yang mengalami KTD saat usia 14 tahun (sesuai dengan pengakuan Kades Teling). Selain kunjungan ke desa dan bertanggungjawab terhadap kesehatan ibu dan anak di desa, bidan juga harus melaksanakan dinas di Rawat Inap Puskesmas, sambil merangkap bertanggung jawab melaksanakan 2 program yaitu Jamkesmas yang terkait juga Bantuan Operasional Kesehatan (BOK) dan KIA plus kesehatan lansia. Para bidan mengaku sering kewalahan. 76 Prosiding PKWG Seminar Series Saat kami melakukan FGD di desa Teling, ada seorang peserta perempuan bernama Yuli, 24, yang sedang hamil 9 bulan dan mengaku berada dalam kondisi baik. Ketika keesokan pagi kami kembali ke desa tersebut untuk melakukan FGD pada kelompok yang lain, kami mendapat kabar bahwa Yuli telah melahirkan dengan selamat pada pukul 2 dini hari melalui jasa dukun (biang). Ketika kami mengkonfirmasi peristiwa tersebut dengan bidan desa Teling (Deby) di puskesmas Tanawangko, dia mengatakan bahwa dalam catatan medisnya Yuli memiliki hipertensi (tekanan darah 160), suatu kondisi yang tergolong risiko tinggi.

94 Mereka yang sudah berstatus PNS pun belum menerima remunerasi dan hanya memperoleh tambahan dana makanminum Rp350 ribu per blan. PNS golongan 2 menerima gaji pokok sebesar Rp2,3 juta dengan tunjangan anak 2 orang. Mereka mendapat penghasilan total Rp3 juta per bulan. Sementara golongan 4 menerima total Rp4 juta per bulan. Maka dengan beban kerja yang tidak seimbang, Bidan Debi mengaku lebih memilih berdinas di desa asalkan tersedia Puskesdes lengkap berikut Meski pelayanan kesehatan sangat minim di ketiga desa, masyarakat beruntung karena masih dapat menikmati hasil ladang yang tumbuh tanpa pestisida, melakukan pola makan sehat (setiap hari mereka pasti makan ikan segar dan sayur mayur), serta senantiasa menghirup udara bersih. Selain itu lingkungan tempa tinggal mereka tampak relatif bersih tanpa tumpukan sampah dan genangan air kotor. Pembuangan sampah masyarakat desa dikelola dengan cara tiap rumah memiliki lubang untuk pembuangan sampah dan membakarnya sendiri-sendiri. Saluran air kotor hanya sebatas ukuran got. Desa tertata rapi dan bebas polusi. rumah tinggal untuk bidan di desa. Adapun wabah penyakit yang sering terjadi di ketiga desa adalah muntaber/diare, asam urat, asma/paru-paru. Jika penyakit ini mewabah, maka tindakan yang dilakukan adalah menggunakan obat-obatan tradisional yang berasal dari daun bakau dan daun jambu. AKI Nol Namun Tak Ada Puskesmas Sekretaris Desa Teling, Kepala Desa Arakan, dan Kepala Desa Pinasungkulan, serta Bidan Desa sama menyebutkan bahwa dalam 5 tahun terakhir Angka Kematian Ibu (AKI) saat melahirkan adalah nol. Sedangkan Angka Kematian Balita (AKB) di Desa Arakan dalam 5 tahun terakhir tercatat 3 balita meninggal. Di Desa Pinasungkulan AKB nol, hanya ada seorang Shelly Adelina dan Danielle Johanna Samsoeri 77

95 bayi cacat saat dilahirkan yang sekarang sudah berusia 6 tahun. Hal yang sama di Desa Teling yaitu AKI dan AKB dalam 5 tahun terakhir adalah nol. Adapun pemeriksaan ibu hamil hanya dilakukan sebulan sekali saat bidan berkunjung ke desa. Meski AKI nol bukan berarti situasi penanganan kesehatan ibu hamil dan balita berada dalam kondisi pelayanan yang memadai. Menurut bidan desa Teling, kasus-kasus hipertensi saat hamil dan menjelang persalinan, kaki dan tangan membengkak, virus torso, dan bayi lahir prematur masih terjadi. Jika ada kasuskasus seperti di atas maka harus ditangani di Puskesmas Tanawangko yang berjarak lebih kurang 9 km dari desa Teling. Di desa Arakan hanya pernah terjadi bayi meninggal dalam kandungan pada tahun 2011, pasien langsung dibawa ke RSU Manado. Dan pada tahun 2014 hanya ada seorang ibu hamil yang mengalami pendarahan hingga keguguran dan si ibu selamat. Mitos dan Tradisi : Ikat Sangkinan dan Ikan Tulang Biru Ketiga desa yang berjarak tidak terlalu jauh jika ditempuh dengan kendaraan bermotor ini memiliki mitos dan tradisi yang nyaris sama terkait kondisi remaja perempuan, perempuan hamil, perempuan melahirkan dan pascamelahirkan. Pada umumnya mitos yang berlaku adalah tidak boleh melilitkan kain di leher saat hamil, dan pada malam hari saat keluar rumah harus mengenakan penutup kepala. Mereka meyakini, agar tali pusar dari bayi tidak melilit di leher, yaitu pada saat dilahirkan. Di desa Arakan yang banyak dihuni suku asal Bajo, budaya-budaya tersebut harus dilakukan, salah satunya adalah budaya ikat sangkinan (mereka yakini sebagai penangkal pengaruh jahat pada saat masa mengandung/hamil). Ada juga kebiasaan yang terkait dengan menggunakan kain, dimana ada larangan agar pinggir kain tidak boleh diinjak, karena jika sampai terinjak maka diykini akan menyebabkan kematian pada ibu maupun bayi. 78 Prosiding PKWG Seminar Series

96 Pantangan pada makanan saat hamil adalah larangan untuk memakan suntung/cumi. Mereka meyakini, bayi tidak akan lahir secara normal jika si ibu mengkonsumsi makanan itu. Selain itu, pada saat menjelang melahirkan ibu tidak dibolehkan makan ikan bertulang biru (sejenis ikan karang, seperti ikan Kakatua), tidak boleh makan buah-buah dingin (semangka, nenas, melon, dll), karena mereka meyakini bahwa makanan-makanan jenis itu akan menyebabkan sakit perut. Ibu juga dilarang minum susu dan telur karena akan menimbulkan bisul-bisul di kepala bayi. Larangan tersebut dikenakan selama 1 bulan. Masa remaja yaitu pada masa menstruasi, perempuan tidak boleh berkunjung ke kuburan, juga dipantangkan meremas parutan kelapa untuk menghasilkan santan. Untuk makanan bisa makan semuanya (termasuk nanas dan ketimun), termasuk juga makan ikan. Peran Serta Suami : Siapkan Baraho dan Tidak Melaut Pada masyarakat desa Arakan, usai istri melahirkan, suami sangat berperan membantu segala aktivitas di rumah. Untuk itu mereka sengaja tidak melaut selama 3 sampai 7 hari. Selama di rumah, mereka akan membantu mencuci, mengambil air, membuat bubur untuk istri, membersihkan rumah, juga memasak. Sebelum istri melahirkan, pihak suami telah menyimpan biaya untuk mengantisipasi kondisi ekonomi keluarga akibat tidak melaut tersebut. Sementara itu di Desa Pinasungkulan, ayah akan menyiapkan tempat baraho (tradisi di desa ini), yaitu upaya menghangatkan tubuh bayi dan ibu menggunakan kayu bakar. Lalu ayah akan selalu siap membuatkan bubur untuk istrinya, juga mencuci pakaian dan popok bayi. Intinya, ayah tidak akan melaut sebelum tali pusat bayi pupus, karena mereka menyadari istri belum boleh melakukan pekerjaan berat di tengah masa itu. Di desa Teling, pasca ibu melahirkan suami akan menyiapkan tempurung kayu bakar untuk Baraho, karena Shelly Adelina dan Danielle Johanna Samsoeri 79

97 bayi dan ibu harus selalu dihangatkan. Selain itu, ibu yang usai melahirkan, harus meminum rebusan rempah-rempah yang terdiri dari campuran daun turi, daun labu kuning, dan daun lidah kucing. Semua daun tersebut direbus dan airnya diminum oleh ibu yang usai melahirkan. Mereka berkeyakinan upaya meminum rempahrempah atau olahan herbal itu dapat menghangatkan tubuh ibu dan mengembalika kondisi usai melahirkan. Dan cara-cara ini sampai sekarang masih dilakukan perempuan desa Teling. Selain itu, kepada ibu hamil menjelang melahirkan selalu dianjurkan meminum air rebusan daun gedi, sebanyak 2 kali sehari. Rebusan air daun gedi diyakini dapat melancarkan Desa Arakan menjadi satusatunya desa pengguna KB lakilaki dengan jumlah tertinggi di Sulawesi Utara, yaitu 91 orang dari 350 KK. Upaya awal yang digalakkan oleh pemerintah desa atau aparat desa adalah bekerja sama dengan BKKBN memotivasi para ayah/suami yang keluarganya telah memiliki lebih dari 3 anak, dengan cara memberikan 150 ribu rupiah usai proses vasektomi. Peserta pun berbondong-bondong melakukan vasektomi. Urutan kedua setelah pilihan vasektomi di desa Arakan adalah implan karena dianggap praktis dan relatif tidak menimbulkan keluhan berarti. Implan telah dilakukan selama 15 tahun di desa tersebut. Pilihan berikut adalah pil KB, dan pada umumnya menolak jenis suntikan. persalinan karena daun tersebut saat digodok dapat mengeluarkan lendir daun yang jika diminum bisa melicinkan dan melancarkan proses melahirkan. Tahap ini dilakukan pada saat kehamilan telah berumur sembilan bulan. Para suami ikut menyiapkan air rebusan tersebut karena daunnya mudah di dapat, tumbuh di banyak pekarangan rumah. 80 Prosiding PKWG Seminar Series

98 Vasektomi Pilihan Favorit Di desa Arakan, semua pasangan suami istri adalah akseptor KB atau telah menggunakan alat kontrasepsi. Jenisjenis yang menjadi pilihan mereka antara lain vasektomi (KB laki-laki), implan, pil, dan suntik. Telah ada 91 laki-laki penduduk desa Arakan (dari 350 KK) yang memilih kontrasepsi vasektomi. Alasan banyak laki-laki di desa Arakan memilih kontrasepsi vasektomi karena istri-istri mereka mengeluh tidak cocok dengan alat kontrasepsi yang ada selama ini seperti pil (tubuh menjadi kurus), suntik (mengalami mens satu bulan sebanyak 3 kali/berlebihan). Kisah tentang pemilihan vasektomi di desa Arakan berawal dari seorang penduduk desa Arakan yang juga aktivis Suara Parangpuan, bernama Ismail, yang telah menjadi icon/tokoh penggerak KB laki-laki di desanya, bahkan juga ke beberapa desa tetangga. Ismail aktif mempromosikan kontrasepsi vasektomi berdasarkan contoh dirinya. Pelaksanaan pertama kali vasektomi bagi penduduk desa Arakan berlangsung pada tahun Di desa Pinasungkulan, penentuan alat kontrasepsi dilakukan berdasarkan kesepakatan suami-istri. Mayoritas kontrasepsi yang digunakan di desa Pinasungkulan adalah implan dan pil. Urutan terakhir adalah suntik. Semua fasilitas KB mereka dapatkan saat bidan datang ke desa. Sementara pemasangan implan biasanya dilakukan di Puskesmas. Mereka mengakui, informasi tentang semua alat kontrasepsi memang diberikan oleh petugas kesehatan saat berkunjung ke desa namun penjelasan yang diberikan tidak rinci dan tidak menyeluruh. Berbeda dengan desa Arakan yang kesadaran laki-lakinya untuk berkb vasektomi sudah tergolong tinggi, maka di desa Pinasungkulan belum ada satu pun laki-laki yang berani melakukan vasektomi karena sepengetahuan mereka akan ada efek samping yaitu membuat pihak laki-laki menjadi tidak berdaya/impoten. Shelly Adelina dan Danielle Johanna Samsoeri 81

99 Di desa Teling pun keputusan berkb ditentukan oleh pasangan suami istri berdasarkan kesepakatan. Sementara ini hanya ada satu orang yang melakukan vasektomi yaitu Kepala Desa (Hukum Tua). Kepala desa tersebut mendapatkan informasi dari pak Ismail di desa Arakan yang telah menjadi penggerak KB laki-laki. Namun belum seorang pun warganya di desa Teling yang yakin untuk mengikuti langkah pak Kepala Desa untuk bervasektomi. Menurut pak Israel, nama kepala desa tersebut, warganya masih butuh informasi yang tepat dan jelas tentang KB laki-laki untuk menghindari kealahpahaman tentang kontrasepsi tersebut. Menurut kepala desa Teling, selama ini bidan desa tidak terlalu mampu dalam memberikan informasi dan sosialisasi tentang kontrasepsi. Dengan demikian, alat kontrasepsi terbanyak digunakan di desa Teling adalah implan dan suntik. Terkait perkawinan anak (pernikahan dini), menurut sekretaris desa Teling, selama tahun 2014 di desa mereka hanya ada satu pernikahan dini yang disebabkan kehamilan tidak diinginkan (KTD). Anak perempuan tersebut masih berusia 14 tahun. Karena pernikahan tidak bisa dilakukan di catatan sipil, maka pasangan dinikahkan secara gereja. Selebihnya tidak pernah terjadi lagi pernikahan dini. Sementara itu di desa Pinasungkulan juga hanya terjadi satu pernikahan dini, berlangsung pada tahun 2013, pada remaja berusia 16 tahun. Setelah itu tidak pernah terjadi lagi. Hal tersebut disampaikan oleh Kepala Desa (Hukum Tua) desa Pinasungkulan. Program dan Anggaran Desa untuk KIA Desa Teling mendapatkan ADD sebesar 51 juta setiap tahun yang digunakan untuk pembangunan fisik sebesar 70 persen dan dana operasionalisasi perangkat desa, termasuk insentif untuk perangkat desa sebesar 30 persen (untuk rapat desa, ATK, konsumsi, transport, dll). PKK mendapat bagian 2 juta per tahun. Tidak terdapat anggaran khusus untuk kesehatan ibu dan anak (anggaran untuk perempuan) selain Jamkesmas 82 Prosiding PKWG Seminar Series

100 yang terkait layanan umum dan persalinan. Di desa pun tidak tersedia fasilitas Tempat Penitipan Anak (TPA). Pada Program Keluarga Harapan (PKH) yang dicanangkan oleh pemerintahan SBY lalu, hanya 30 KK yang dapat menerimanya. Dengan demikian, di desa Teling tidak ada program dan anggaran desa yang disediakan khusus untuk kesehatan ibu dan anak. Dengan tidak adanya dana-dana atau anggaran dan program khusus untuk perempuan baik untuk kesehatan maupun penguatan ekonomi, para ibu di desa yang tidak tersentuh program pemberdayaan itu sering terjebak pada tengkulak atau rentenir. Desa Pinasungkulan menerima Alokasi Dana Desa (ADD) sebesar 50 juta per tahun dengan pembagian sebesar 70 persen untuk pembangunan fisik (membangun jalan setapak desa yang menghubungkan jalan desa dengan jalan raya). Pada tahun 2014 telah dibangun 6 jalan setapak jenis jalan yang hanya boleh dilewati kendaraan beroda dua (motor). Selebihnya 30 persen anggaran digunakan untuk opersional desa sehari-hari. Selain itu desa mendapatkan Program Pembangunan Infrastruktur Pedesaan (PPIP) dari APBN (dari pemerintah kabupaten ke desa). Ada kelompok Simpan Pinjam Perempuan (SPP) yang dibentuk oleh Tim Pengelola Keuangan (TPK) Tingkat Desa, disediakan bagi 3 kelompok perempuan yang disarankan mengajukan proposal. Simpan pinjam tersebut telah digunakan oleh kelompok perempuan untuk pengembangan usaha kecil seperti makanan ringan (kue) dan berdagang pulsa HP dengan pinjaman sebesar Rp1 juta untuk setiap perempuan. Namun dana pinjaman tersebut tidak bergulir dengan baik, dan berhenti karena mengalami macet dalam pengembaliannya. Dari penjelasan Kepala Desa Pinasungkulan jelas bahwa dari ADD tidak ada anggaran untuk perempuan yang dikhususkan untuk kesehatan ibu dan anak. Hanya tersedia Rp2 juta per tahun untuk PKK yang harus mengalokasikannya untuk sepuluh program pokoknya. Shelly Adelina dan Danielle Johanna Samsoeri 83

101 Sementara itu, Desa Arakan mendapat ADD 49 juta/tahun yang terbagi 70 persen untuk pembangunan fisik dan pemberdayaan serta penguatan kelembagaan. Dana untuk PKK 6 juta/tahun masuk dalam alokasi ini dan biasanya digunakan untuk mengikuti kegiatan di tingkat kecamatan dan kabupaten. Adapun di tingkat desa, biasanya PKK melaksanakan acara lomba pada hari-hari peringatan tertentu setiap tahun. Sementara itu, menurut penjelasan Kepala Desa Arakan, 3 tahun yang lalu pernah masuk dana Simpan Pinjam Perempuan (SPP) namun macet atau tidak bergulir sebagaimana harusnya. Ia menyesalkan, karena yang menerima simpan pinjam pada umumnya adalah keluarga miskin yang secara keuangan keluarga se hari-hari pun mereka berada dalam kondisi morat-marit, sehingga mereka kesulitan mengelola dana simpan pinjam yang diberikan dan gagal mengembalikan. Padahal dana yang dipinjamkan hanya berkisar Rp500 ribu sampai Rp5 juta saja. Sehingga akhirnya terhitung dana tidak bergulir di desa Arakan mencapai Rp27 juta. Adapun permohonan para perempuan desa itu diajukan untuk usaha budidaya rumput laut, produksi ikan asin/teri, menjual tibo-tibo (kelontong ikan basah yang mereka bawa hingga ke pasar Tomohon). Terkadang mereka menjual juga ikan kering/ikan asap. Kepala Desa menyesalkan bahwa upaya pemberian dana simpan pinjam ke pada warga perempuan miskin menjadi tidak bergulir karena tidak disertai dengan pengetahuan mengelola dana secara baik. Sebagaimana kondisi warga desa Arakan yang sebagian besar hanya tamatan SD dan masih banyak yang buta huruf (para lansia), maka pemberdayaan ekonomi harus diberikan bukan sekadar memberikan pinjaman uang pada mereka. Dengan demikian, pada ke 3 desa tidak ditemukan adanya program dan anggaran khusus untuk kesehatan ibu dan anak. 84 Prosiding PKWG Seminar Series

102 Partisipasi Perempuan dan Potensi Desa Di desa Arakan, organisasi perempuan yang ada hanyalah PKK, itu pun diaku sekda berada dalam kondisi mati suri karena tidak ada kegiatan dan tidak ada dana yang memadai. Begitu pula dengan kondisi di desa Pinasungkulan dan desa Arakan. Namun pada dua desa tersebut, PKK masih ada kegiatan meski terbatas pada lomba saja dan undangan menghadiri kegiatan di tingkat kecamatan, atau kabupaten. Di desa Arakan, kepala desa mengaku kesulitan menggerakan perempuan karena SDM perempuan lemah. Yang ada hanyalah Majelis Taklim dan PKK yang setiap minggu melakukan kegiatan sosial (kumpul beras lalu dibagikan ke orang jompo). Karena organisasi perempuan di desa Teling tidak hidup maka yang lebih berperan di desa adalah Arisan Satu Rumpun Keluarga untuk mengatasi saat sulit menghadapi peristiwa kematian, mempersiapkan acara perkawinan, juga membangun rumah. Mereka menyebutnya Arisan Simpan Pinjam. Di desa tersebut tidak ada koperasi. Namun para perempuan aktif dalam budaya mapalus atau bergotong royong ala masyarakat Minahasa. Sebagai contoh, jika ada keluarga yang akan membangun rumah, maka para perempuan ikut aktif membentuk Arisan Seng. Arisan tersebut menyepakati setiap keluarga menyumbangkan 5 lembar seng dan uang konsumsi sebesar Rp5000,-. setiap 3 bulan. Arisan mapalus ini beranggotakan 20 KK. Arisan pun disesuaikan dengan kebutuhan. Bisa juga Arisan Semen yang menyepakati tiap KK menyumbang 2 sak semen setiap 3 bulan. Jenis arisan disesuaikan dengan kebutuhan, bisa pasir, ubin, batako, dan sebagainya. Kegiatan kerja dilakukan 3 hari setiap KK. Arisan dibentuk dengan struktur yang disepakati yaitu ada ketua, sekretaris, dan bendahara. Maka hampir semua rumah yang ada di desa Teling dibangun berdasarkan budaya mapalus (gotong royong) menggunakan mekanisme arisan. Perempuan desa sangat berperan dan kerap menjadi motor dalam kegiatan seperti ini. Keluhan para perempuan Shelly Adelina dan Danielle Johanna Samsoeri 85

103 adalah justru pada sikap laki-laki yang suka mabuk-mabukan dan berkecenderungan melakukan tindak kekerasan terhadap istri saat mabuk. Di desa Pinasungkulan, menurut Kepala Desa Mieke Wenas, ada kecenderungan masyarakat malas bekerja dan tidak kreatif mengembangkan usaha. Namun dia akui, desanya memiliki potensi untuk mengembankan budidaya kepiting sehingga bisa menyumbang pada Penghasilan Asli Daerah (PAD). Pihaknya sudah mencoba mengajukan permohonan dukungan ke Dinas Perikanan dan Kelautan Kabupaten Minahasa. Di Pinasungkulan sampai saat ini belum ada home industry. Sebagian besar perempuan bekerja juga di ladang dan menjual ikan. Sedangkan di desa Arakan, meski sebagian KK di desa digolongkan ke dalam kategori KK miskin namun tidak satu pun penduduk desa Arakan, juga Pinasungkulan yang tergiur bekerja menjadi TKI atau TKW. Para perempuan di ketiga desa mengaku selalu diundang atau dilibatkan dalam rapat-rapat desa, khususnya di desa Arakan karena para bapak lebih banyak melaut. Di desa Teling, kegiatan-kegiatan rapat/musrenbangdes banyak dihadiri justru oleh para ibu. Namun para ibu yang hadir itu jarang menyampaikan pendapat atau gagasan mereka. Jadi kehadiran mereka hanya bersifat fisik, tidak dimanfaatkan untuk terlibat secara substansi. Jadwal rapat/musrembangdes biasanya dilangsungkan pada malam hari (setelah pukul 19.00). Suara dan Kebutuhan Perempuan Desa Pada awalnya, kami kesulitan mendapatkan jawaban akan kebutuhan para perempuan di desa terkait kesehatan reproduksi mereka. Mereka tidak mampu mendeskripsikan hal-hal yang penting untuk dipenuhi di desa. Diperlukan cara khusus dan kesabaran untuk memancing keberanian mereka mengungkapkan keinginan dan ide-ide untuk meningkatkan kesejahteraan kondisi kesehatan reproduksi mereka, hingga 86 Prosiding PKWG Seminar Series

104 akhirnya kami dapat menyimpulkan bahwa kebutuhan perempuan di desa Arakan, juga di desa Pinasungkulan, dan desa Teling yang paling utama saat ini terbagi dua. Pertama, adalah kebutuhan akan keberadaan puskesdes dengan bidan desa yang bertugas menetap di desa dan ada apotik desa. Menurut mereka, penting ada penanganan yang cepat terhadap perempuan-perempuan yang akan melahirkan di desa Arakan. Sekarang ini ada satu kasus, yaitu seorang ibu yang harus dibawa ke RS di Manado karena ada kista di dalam perutnya (di luar rahim). Sehingga harus dilakukan tindakan medis (operasi). Kami menyaksikan siang itu, ibu tersebut diangkut menggunakan mobil pickup terbuka menuju ke rumah sakit di kota Manado. Kedua, bantuan modal untuk membangun usaha-usaha kecil yang mereka pilih untuk memperkuat perekonomian dari masyarakat pesisir. Mereka juga membutuhkan dukungan mengurus perijinan karena produk yang bersaing harus didaftarkan di BPOM, agar bisa mengikuti harga pasar untuk penjualannya. Kesimpulan Ketiga desa yang dijadikan lokasi dalam penelitian awal ini tidak memiliki fasilitas pelayanan kesehatan secara memadai, baik dari segi infrastruktur kesehatan maupun SDM tenaga medis. Tak satupun desa memiliki puskesdes, dan pelayanan kesehatan hanya dilakukan saat kunjungan bidan sebulan sekali. Pelayanan kesehatan dilaksanakan di balai desa saja mencakup penimbangan bayi, konsultasi KB suntik dan pemberian pil-, penambahan bahan makanan bergizi, imunisasi, antenatal care, pengukuran tekanan darah/tensi, pengisian buku KIA. Jika terjadi kondisi darurat, pasien akan dibawa ke puskesmas kecamatan, atau ke RS di tingkat kabupaten bahkan provinsi. Shelly Adelina dan Danielle Johanna Samsoeri 87

105 Pelayanan proses persalinan di ketiga desa (Teling, Pinasungkulan, dan Arakan) dilakukan hampir seratus persen oleh dukun beranak (biang dalam bahasa Minahasa) yang sudah ditingkatkan keterampilannya dalam hal sterilisasi. Dan dukun beranak adalah pilihan utama para perempuan desa yang akan melahirkan. Masih banyak perempuan hamil dan melahirkan di desa yang berada dalam kondisi umur risiko tinggi yaitu diatas 36 tahun hingga 42 tahun, dan di bawah 20 tahun (14, 16, 17, 19 tahun). Meski buruk dalam pelayanan kesehatan (tidak ada puskesdes dan jarak puskemas jauh), AKI dan AKB di ketiga desa dalam 5 tahun terakhir adalah nol. Dan upaya menjaga kesehatan reproduksi perempuan lebih banyak dilakukan secara tradisional dengan cara mengkonsumsi air rebusan daun-daun yang tumbuh di sekitar lingkungan di desa (herbal) dan cara-cara tradisional dalam menghangatkan tubuh bayi yang baru lahir. Masyarakat masih percaya pada mitos tentang ibu hamil dan usai melahirkan. Mitos-mitos itu mereka tetap lakukan sebagai upaya menghindari kejadian yang akan merugikan atau fatal bagi kondisi ibu hamil dan melahirkan. Para perempuan di ketiga desa sama dalam hal pola makan yang mereka yakini dapat menjaga kesehatan dan stamina mereka, yaitu tidak pernah absen mengkonsumsi ikan segar dan sayur mayur yang sering dipetik dari kebun sendiri (bebas pestisida). Ketiadaan tenaga medis atau bidan yang menetap di desa disebabkan karena minimnya SDM di level kecamatan dan kabupaten dan standar penghasilan serta jaminan kesejahteraan yang belum memadai bagi bidan/tenaga medis. Kondisi puskesmas pun tidak memadai. Di Puskesmas Tanawangko, inkubator dalam kondisi rusak (tidak berfungsi), satu buah ambulans tua, satu labolatorium, apotik puskesmas, dan hanya 3 ruangan (kamar bersalin 2, dan kamar inap 3 bed). Selain itu, penghargaan atas PNS belum terpenuhi 88 Prosiding PKWG Seminar Series

106 (belum menerima remunerasi) dan minim peningkatan kapasitas. Di ketiga desa, peran serta suami dalam menyambut kelahiran bayi dan menggantikan peran domestik istri seharihari saat menjelang kelahiran, tergolong baik, seperti berhenti melaut, menyiapkan kebutuhan rumah tangga sehari-hari, mencuci, bahkan menyiapkan bubur/memasak. Pada desa Arakan, kesadaran menggunakan alat KB laki-laki (vasektomi) paling baik di antara 3 desa penelitian. Desa Arakan merupakan desa terbesar jumlah laki-laki pengguna KB vasektomi se provinsi Sulawesi Utara. Isu pernikahan dini, trafiking, TKW tidak muncul di ketiga desa. Namun dalam program dan anggaran desa tidak pernah ada alokasi khusus untuk KIA dan pemberdayaan ekonomi perempuan desa. Dana yang tersedia lebih diarahkan ke PKK sebesar 2 6 juta per tahun yang diambil dari ADD. Namun dana itu lebih banyak dipergunakan untuk aktivitas lomba atau undangan menghadiri kegiatan di tingkat kecamatan dan kabupaten. Partisipasi perempuan di ketiga desa tidak terorganisasi dengan baik. Kehadiran mereka dalam musrembangdes atau rapat-rapat desa umumnya lebih pada kehadiran fisik, belum menampilka kehadiran secara substansial. Padahal mereka memiliki banyak kebutuhan, namun mereka tidak pernah menggunakan kesempatan dalam musrembangdes untuk menyalurkan aspirasi mereka. Kebutuhan-kebutuhan yang mereka punyai namun tidak pernah mereka sampaikan adalah pertama, kebutuhan akan keberadaan puskesdes dengan bidan desa yang bertugas menetap di desa dan ada apotik desa. Menurut mereka, penting ada penanganan yang cepat terhadap perempuanperempuan yang akan melahirkan di desa Arakan. Sekarang ini ada satu kasus, yaitu seorang ibu yang harus dibawa ke RS Shelly Adelina dan Danielle Johanna Samsoeri 89

107 di Manado karena ada kista di dalam perutnya (di luar rahim). Sehingga harus dilakukan tindakan medis (operasi). Kedua, bantuan modal untuk membangun usaha-usaha kecil yang mereka pilih untuk memperkuat perekonomian dari masyarakat pesisir. Mereka juga membutuhkan dukungan mengurus perijinan karena produk yang bersaing harus didaftarkan di BPOM, agar bisa mengikuti harga pasar untuk penjualannya. Saran-Saran Mengingat ada alokasi anggaran untuk desa yang diatur dalam Undang-Undang Desa, maka sosialisasi tentang Undang- Undang Desa (UU No.6 tahun 2014) harus dilakukan secara gencar, tidak saja terhadap para kepala desa dan aparatnya, melainkan juga kepada semua warga desa termasuk perempuan sebagai pemangku kepentingan. Saat ini, aparat desa dapat dikatakan setingkat dengan SKPD (Satuan Kerja Perangkat daerah). Program pemberdayaan perempuan selayaknya menjadi bagian penting dari pemberdayaan masyarakat desa dengan cara menyertakan alokasi dana khusus untuk perempuan di desa, khususnya pada program pelayanan kesehatan reproduksi. Dan sebelum seluruh dana dikucurkan, harus dilakukan pelatihan dan pendampingan terlebih dahulu dalam upaya mengelola program dan anggaran yang akan diterapkan. Pembangunan infrastruktur kesehatan dan SDM/tenaga medis sebaiknya segera dilakukan dan menjadi bagian penting dari penerapan Undang-Undang Desa. Lebih spesifik lagi harus ada pusat kesehatan desa (puskesdes lengkap dengan peralatan dan tenaga medis dalam jumlah memadai) dan apotik desa. 90 Prosiding PKWG Seminar Series

108 Sangat penting membangun kesadaran kritis perempuan desa terkait hak-hak kesehatan reproduksi, hak seksual, dan hak-hak berpolitik. Hal tersebut penting mengingat Angka Kematian Ibu (AKI) akan sulit diatasi selama para perempuan tidak menyadari otoritas yang seharusnya mereka miliki akan tubuh mereka sendiri, yang secara biologis lebih berat menopang fungsi reproduksi. Shelly Adelina dan Danielle Johanna Samsoeri 91

109 Suara dari ladang bawang: kesehatan perempuan, Musrembangdes, dan AKI yang (katanya) menurun. (pengalaman Brebes) Khaerul Umam Noer dan Iklilah Muzayyanah Dini Fajriyah 1 Pendahuluan Apa yang kita ketahui tentang musyawarah rencana pembangunan desa (Musrenbangdes)? Apa hubungan antara Musrenbangdes dengan persoalan kesehatan dan AKI/AKB? UU Desa mempersyaratkan terlaksananya Musrenbangdes sebagai wahana bagi seluruh pemangku kepentingan desa untuk menyusun rencana pembangunan desa yang akan berdampak bagi seluruh masyarakat dalam desa tersebut. Pertanyaannya, apakah Musrenbangdes sudah mencapai apa yang diharapkan oleh UU tersebut? Selain pemahaman bahwa kegiatan Musrenbangdes adalah kegiatan rutin tahunan yang mempertemukan seluruh pemangku kepentingan di masyarakat desa, sesungguhnya Musrenbangdes adalah titik krusial memahami kelindan persoalan kesehatan dan AKI/AKB. Tulisan ini akan memfokuskan pada dua hal utama: Pertama, bagaimana keterlibatan perempuan dalam kegiatan Musrenbangdes? Kedua, bagaimana kepentingan perempuan disuarakan dalam Musrenbangdes dan bagaimana hasilnya? Kedua pertanyaan ini amat krusial terutama ketika kita melihat bahwa potensi Musrenbangdes dalam menyelesaikan persoalan kesehatan dan AKI/AKB di tingkat mikro acapkali tidak tercapai. Tulisan ini merupakan ringkasan dari penelitian tim Pusat Kajian Wanita dan Gender UI di dua desa, 1 Pusat Kajian Wanita dan Gender Universitas Indonesia Khaerul Umam Noer dan Iklilah Muzayyanah Dini Fajriyah 93

110 yakni Desa Larangan dan Desa Karang Bale, Kecamatan Larangan, Kabupaten Brebes, Jawa Tengah. Metodologi Penelitian kualitatif dilakukan di desa Larangan dan Karangbale Kecamatan Larangan Kabupaten Brebes Jawa Tengah. Fokus penelitian ini ingin melihat bagaimana kondisi kesehatan perempuan desa dan fasilitas yang tersedia, serta mempelajari pemahaman dan pandangan masyarakat terhadap konsep dan praktik partisipasi dalam pembangunan desa. Selain itu, penelitian juga melihat bagaimana pemerintah desa melalui program-programnya merespon status kesehatan reproduksi perempuan dan problematikanya sebagai salah satu bentuk tanggung jawab pemerintah dalam upaya menurunkan Angka Kematian Ibu. Pengambilan data dilakukan pada bulan November, yang diawali dengan penelusuran data literatur, termasuk menelusuri data BPS, Riskesdes, monografi, pemberitaan, dan lainnya. Pengumpulan data dilakukan oleh peneliti PKWG UI dengan mengumpulkan berbagai informasi dan data statistik terkait dua desa lokasi penelitian. Di saat bersamaan, peneliti pendamping yang tinggal di lokasi penelitian juga mengumpulkan data-data terkait topik melalui berbagai sumber, termasuk ke kantor desa setempat. Metode pengambilan data yang digunakan adalah observasi, Focus Group Discussion (FGD) dan wawancara. Wawancara dilakukan pada 2 orang, yaitu pada bidan desa Karangbale dan kepala desa Karangbale. Sedangkan FGD dilakukan sebanyak 4 (empat) kali yang dilakukan di 2 desa, dengan komponen peserta FGD sebagaimana berikut: FGD 1, melibatkan para stake holders yang terdiri dari aparat pemerintah desa, tokoh masyarakat laki-laki, tokoh masyarakat perempuan, LSM lokal, Anggota PNPM, PKK. FGD 2, melibatkan perempuan dari berbagai kategori, di antaranya 94 Prosiding PKWG Seminar Series

111 adalah dari kalangan petani, pedagang, penjahit, ibu rumah tangga, wiraswasta, guru, dan remaja perempuan. Informan yang terlibat dalam proses pengambilan data ini berjumlah 41 orang yang terdiri dari 5 laki-laki dan 36 perempuan. Secara detail para informan penelitian ini dapat dilihat dalam tabel berikut: No. Desa Metode Laki2 Prmp Keterangan 1 Karangbale wawancara 1 1 Kepala Desa dan Bidan Desa 2 Karangbale FGD Ketua Penggerak PKK, Kader Posyandu, Kader Pekka, tokoh agama perempuan, Kelompok PNPM, kepala dusun, pamong, Ketua Ranting NU, Pengurus jamiyyah Karangbale, Kaur Kesra/P3N. 3 Karangbale FGD Wiraswasta, tutop PAUD, buruh tani, peternak kelinci, petani, pedagang. 4 Larangan FGD Tokoh masyarakat lakilaki, PL Pekka, Pengurus Provinsi Pekka, Serikat Dagang Brebes, Kade Posyandi, Khaerul Umam Noer dan Iklilah Muzayyanah Dini Fajriyah 95

112 96 Prosiding PKWG Seminar Series Aisyiyah, Muslimat, Ketua RW, BPD, PKK, Perangkat desa, muballigh. 5 Larangan FGD Penjahit, petani, pedagang, buruh tani, ibu rumah tangga, Pendidik PAUD, Muslimat. JUMLAH 5 36 Sumber: Catatan Peneliti Selain wawancara dan FGD, penelitian ini juga memperoleh sejumlah data literatur, di antaranya adalah data statistik desa, catatan usia ibu hamil dari 2 posyandu, peta ibu hamil beresiko, peta bayi dan balita, kantong persalinan, Perhitungan Sasaran menurut CBR Puskesmas Larangan, grafik pelayanan Nifas, Grafik K1 & K4 Ibu Hamil, grafik resti masyarakat, grafik persalinan Nakes, POA desa Karangbale, dan beberapa sumber literatur lainnya. Selayang pandang Kecamatan Larangan Kecamatan Larangan adalah kecamatan kedua terbesar di Kabupaten Brebes setelah Kecamatan Bantarkawung. Terletak di sebelah tenggara Kabupaten Brebes, Kecamatan Larangan berbatasan langsung dengan Bula Kamba dan Wanasari di sebelah utara, Bantarkawung di sebelah selatan, Ketanggungan di sebelah barat, dan Songgom dan Jatibarang di sebelah timur. Kecamatan Larangan terdiri atas sebelas desa, dengan Desa Pamulihan sebagai desa terbesar. Pada tahun 2012, jumlah penduduk di Kecamatan Larangan berjumlah jiwa, dengan sex ratio 103, dalam artian laki-laki lebih banyak 3% ketimbang perempuan. Sebanyak 79.23% penduduk Kecamatan Larangan bekerja di sektor pertanian dan peternakan, dengan bawang merah dan sapi potong sebagai andalan. Kecamatan Larangan memiliki 1

113 rumah sakit, 1 rumah bersalin, 6 puskesmas, dan 14 klinik. Pada tahun 2011, PDRB Kecamatan Larangan sebesar miliar, pada tahun ,27 miliar dengan pertumbuhan ekonomi sebanyak 4,63%, lebih rendah dari laju pertumbuhan ekonomi Kabupaten Brebes sebesar 5,21%. Desa Larangan terletak di pusat Kecamatan Larangan. Jumlah penduduk Desa Larangan pada tahun 2011 berjumlah jiwa ( laki-laki dan perempuan). Jumlah tersebut meningkat pada tahun 2013 menjadi jiwa ( laki-laki dan perempuan). Berdasarkan rentang usia, mayoritas penduduk Desa Larangan berada pada usia produktif (antara tahun). Angka pernikahan pada tahun 2011 berjumlah 272, meningkat pada tahun 2013 menjadi 320. Kami menduga, bahwa angka tersebut belum mencakup pernikahan yang tidak dilaporkan di Kantor Urusan Agama atau menikah di tempat lain. Angka perceraian meningkat dari 19 di tahun 2011 menjadi 34 di tahun Angka kelahiran menurun dari 255 jiwa di tahun 2011, menjadi 162 jiwa di tahun 2013, sedangkan angka kematian bertambah dari 102 jiwa pada 2011 menjadi 109 jiwa pada tahun Pada tahun 2011, sarana kesehatan di Desa Larangan terdiri atas: 1 puskesmas, 3 klinik, 1 orang dokter praktek, 1 oang bidan praktek, dan 8 orang dukun bayi. Pada tahun 2013, jumlah dokter praktek bertambah menjadi 2 orang, dan bidan praktek bertambah menjadi 4 orang. Bertambahnya jumlah tenaga kesehatan berbanding lurus dengan semakin meningkatnya jumlah akseptor KB. Jika dibandingkan dengan Desa Larangan, Desa Karangbale hanya seperempatnya, baik secara ukuran maupun jumlah penduduk. Jumlah penduduk Desa Karangbale pada tahun 2011 berjumlah jiwa (3.004 laki-laki dan perempuan), menurun pada tahun 2013 menjadi jiwa (2.963 laki-laki dan perempuan). Berdasarkan rentang usia, mayoritas penduduk Desa Larangan berada pada usia produktif (antara tahun). Angka pernikahan pada tahun Khaerul Umam Noer dan Iklilah Muzayyanah Dini Fajriyah 97

114 2011 berjumlah 78, meningkat pada tahun 2013 menjadi 84. Sebagaimana Desa Larangan, kuat dugaan bahwa angka tersebut belum mencakup pernikahan yang tidak dilaporkan di Kantor Urusan Agama atau menikah di tempat lain. Angka perceraian meningkat dari 8 di tahun 2011 menjadi 9 di tahun Angka kelahiran menurun dari 112 jiwa di tahun 2011, menjadi 78 jiwa di tahun 2013, sedangkan angka kematian menurun dari 56 jiwa pada 2011 menjadi 43 jiwa pada tahun Pada tahun 2011, sarana kesehatan di Desa Karangbale terdiri atas: 1 klinik, 1 orang dokter praktek, 1 orang bidan praktek, 7 orang dukun bayi, dan 1 jamban umum, jumlah ini tidak bertambah hingga tahun Sedangkan data akseptor KB menunjukkan gejala yang sama dengan Desa Larangan, yakni semakin bertambah Kesehatan Ibu dan Anak Kabupaten Brebes menempati urutan pertama AKI/AKB se Provinsi Jawa Tengah. Menurut data Dinas Kesehatan Kabupaten Brebes, AKI/AKB di Kabupaten Brebes mengalami fluktuasi. Hingga Nopember 2014, tercatat 63 kasus AKI dan 268 kasus AKB di Kabupaten Brebes. Sebagian besar kasus AKI adalah komplikasi yang terjadi saat persalinan dan setelah persalinan. Di Kabupaten Brebes, faktor penyebab AKI antara lain PEB/eklamsia (29,3%), pendarahan (25,86%), dan decomp cordis (18,9%). Ibu hamil menderita anemia sebesar 50% dan kurang gizi kronis (KEK) sebesar 11,6%. Sedangkan untuk kasus AKB, penyebab utamanya adalah asfiksia, berat badan lahir rendah (BBLR), prematur, pnemonia, dan kelainan kongenital. Secara umum, situasi kesehatan ibu dan anak berdasarkan laporan yang diterima dianggap tidak masalah. Data tersebut perlu dibuktikan melalui berbagai data pendukung lainnya. Kondisi kesehatan keluarga yang dinilai tidak masalah menurut perspektif warga ini, salah satu argumentasi yang dibangun adalah karena infrasruktur desa yang digunakan masyarakat kampus dan luar kampus mudah diakses. Kondisi 98 Prosiding PKWG Seminar Series

115 jalan cukup baik, meskipun ternyata angkutan umum masih sangat terbatas (setiap satu jam sekali lewat). Intervensi dan kontrol poskesdes terkait kesehatan ibu (khususnya kesehatan reproduksinya) cukup memberikan hasil. Dampak psikologis atau bentk ketidakadilan lainnya tdak mengemuka. Keberhasilan ini terlihat di poskesdes Desa Karangbale yang menyediakan layanan kesehatan dan beberapa peta kehamilan dan persalinan. Menurut pengalaman bidan, masyarakat yang mengakses poskesdes dalam sehari bisa mencapai 20 orang, baik untuk kepentingan memeriksakan kehamilan, melawak, MC, maupun untuk kepentingan alat kontrasepsi. Berikut Data Perhitungan Sasaran Menurut CBR untuk tahun 2014 di Desa Karangbale, adalah: sasaran bumil 120 dan bulin 114. Sasaran bayi usia 0-12 bulan, Laki-laki 45 bayi, perempuan 58 bayi Sasaran bayi usia bulan: laki-laki 208 anak dan perempuan 204 anak balita Jumlah bayi lahir hidup tahun 2013 : laki-laki 48 bayi, dan perempuan 61 bayi. Namun tidak ada data bayi lahir mati. Pada tahun 2011, sarana kesehatan di Desa Larangan terdiri atas: 1 puskesmas, 3 klinik, 1 orang dokter praktek, 1 oang bidan praktek, dan 8 orang dukun bayi. Pada tahun 2013, jumlah dokter praktek bertambah menjadi 2 orang, dan bidan praktek bertambah menjadi 4 orang. Sedangkan sarana kesehatan di Desa Karangbale tahun 2011 terdiri atas: 1 klinik, 1 orang dokter praktek, 1 orang bidan praktek, 7 orang dukun bayi, dan 1 jamban umum, jumlah ini tidak bertambah hingga tahun Di desa Karangbale, beberapa informasi terkait fasilitas kesehatan tahun 2014 adalah sebagaimana berikut: Khaerul Umam Noer dan Iklilah Muzayyanah Dini Fajriyah 99

116 Puskesmas tidak ada, adanya di kecamatan Larangan yang terletak di desa Larangan Jumlah klinik tidak ada Jarak RSUD dari desa sekitar 1 jam dengan menggunakan mobil pribadi. (informan tidak tahu pasti berapa kilometer jaraknya) Jumlah poskesdes 1 unit Jumlah posyandu di desa ada 5 unit Jumlah bidan desa 1 orang Jumlah layanan pengobatan alternative sekitar 20 unit Jumlah tenaga medis dokter (tidak ada), dukun beranak/paraji (5 orang) Untuk wilayah Desa Larangan dan Desa Karangbale, tidak ada resmi mengenai AKI/AKB. Meski pihak desa membantah ada kasus AKI/AKB, namun dari FGD dengan masyarakat, untuk Desa Larangan terdapat 4 kasus AKI dan 2 kasus AKB, sedangkan untuk Desa Karangbale tidak terdapat laporan. Setidaknya termasalahan 3 pokok yang dihadapi di Desa Larangan dan Karangbale: (1) minimnya tenaga kesehatan dan fasilitas kesehatan, (2) masih adanya kepercayaan terhadap dukun bayi, dan (3) masih banyaknya kasus menikah di usia muda (bahkan banyak kasus kehamilan di luar nikah bagi anak di bawah umur). Untuk poin pertama dan kedua, dapat dilihat bahwa tenaga kesehatan masih jauh lebih sedikit ketimbang dukun bayi. Selain itu, banyak masyarakat yang terlambat ke tenaga kesehatan (bidan) maupun fasilitas kesehatan seperti puskesmas dan klinik, menyebabkan banyak masalah dalam persalinan bagi ibu hamil. Meskipun jarak antara rumah dan fasilitas kesehatan tidak terlalu jauh, ditambah pula sarana jalan yang relatif baik, namun masalahnya ada pada kebiasaan masyarakat dan biaya persalinan di tenaga kesehatan yang 100 Prosiding PKWG Seminar Series

117 dianggap mahal. Dukun bayi menjadi alternatif, selain lebih murah (biaya dukun bayi sekitar Rp , bandingkan dengan bidan atau dokter yang biayanya mencapai satu juta rupiah), juga karena dukun bayi dianggap lebih telaten mengurus, pada saat jelang kelahiran, saat lahiran, dan setelah lahiran. Dukun bayi seringkali memberikan layanan mulai dari 7 hari pasca kelahiran hingga 40 hari pasca kelahiran. Khusus untuk biaya, memang ada Jampersal (jaminan persalinan), namun dalam FGD dengan masyarakat Desa Larangan dan Karangbale, diketahui bahwa proses pelayanan Jampersal seringkali dipersulit. Tidak sedikit warga Larangan dan Karangbale memilih untuk melakukan persalinan di RSUD Kabupaten Tegal, bukan di RSUD Kabupaten Brebes karena berbelitnya urusan Jampersal. Selain itu, masalahnya juga terletak pada kebiasaan masyarakat yang tidak rutin memeriksakan kehamilannya, sehingga banyak kasus ibu hamil yang kurang gizi atau anemia. Untuk poin ketiga, hal ini berkaitan erat dengan kebiasaan masyarakat yang menikahkan anaknya ketika SMP, baik ketika lulus maupun belum lulus SMP. Kawin muda seringkali diawali dengan kehamilan di waktu pacaran, yang menyebabkan banyak orangtua akhirnya dengan segera menikahkan anaknya. Dalam beberapa kasus, perkawinan di bawah usia akhirnya dilaksanakan dengan melakukan pemalsuan, terutama dengan menambah usia anak sehingga dapat dinikahkan. Persoalan lain terkait dengan AKI/AKB adalah posisi suami. Peran suami dalam ikutserta mengelola aktivitas rumah tangga dan membantu ibu hamil masih amat minim. Peran suuami hanya sebatas sekedar mengantarkan istri ke tenaga kesehatan atau fasilitas kesehatan. Ia tidak mengetahui hal-hal terkait dengan kehamilan, sebab biasanya hal-hal tersebut hanya untuk diketahui oleh istri dan tenaga kesehatan. Selain itu, suami juga tidak banyak terlibat dalam aktivitas domestik, sehingga kegiatan domestik menjadi tanggungjawab istri Khaerul Umam Noer dan Iklilah Muzayyanah Dini Fajriyah 101

118 meskipun si istri dalam keadaan hamil tua. Selain itu, kebiasaan masyarakat yang memperbolehkan istri yang baru tujuh hari melahirkan untuk langsung mengerjakan tugastugas rumah tangga maupun bekerja di sawah juga menjadi faktior yang mendorong terjadinya komplikasi bagi ibu yang baru melahirkan. Menyoal peran desa Pemerintah desa, baik Desa Larangan maupun Karangbale tidak proaktif terkait masalah AKI/AKB. Mereka hanya sebatas menjalankan kebijakan Pemerintah Kabupaten Brebes terkait Program Emas, yakni program yang memprioritaskan kesehatan bagi ibu hamil. Program ini hadir melalui Surat Edaran Bupati Brebes Nomor 300.1/01761/VIII/TAHUN 2013 Tentang Upaya Percepatan Penurunan Angka Kematian Ibu dan Angka Kematian Bayi di Kabupaten Brebes. Dalam FGD dengan masyarakat, peran desa dalam mensosialisasikan kebijakan tersebut sangat minim. Seringkali informasi tidak sampai ke masyarakat luas, hanya di tingkat desa. Dalam edaran tersebut misalnya, diwajibkan bagi setiap fasilitas kesehatan untuk memberikan pelayanan dan pemeriksaan kehamilan, namun kebijakan tersebut tidak pernah disosialisasikan dengan baik. Kebijakan yang sering disosialisasikan oleh pemerintah desa adalah larangan bagi ibu hamil untuk melahirkan di rumah, namun larangan tersebut seringkali tidak disertai dengan tindakan nyata dari pihak pemerintah desa, misalnya dengan mengadakan kendaraan khusus untuk membawa ibu hamil ke fasilitas kesehatan terdekat. Di sisi lain, adanya program Jampersal memberikan banyak bantuan bagi ibu hamil, terutama bagi ibu hamil yang tidak mampu membayar biaya persalinan. Meskipun ada pula catatan mengenai sulitnya mengurus Jampersal atau adanya penerima Jampersal yang salah sasaran. 102 Prosiding PKWG Seminar Series

119 Masalah lainnya adalah pada pemeriksaan ibu hamil. Meskipun ada kewajiban bagi pemerintah desa untuk menginformasikan, terutama bagi ibu hamil dengan risiko komplikasi tinggi, namun belum ada upaya untuk mendorong masyarakat agar secara rutin memeriksakan kehamilannya. Buku Kesehatan Ibu dan Anak (KIA) belum dimanfaatkan secara penuh untuk memeriksakan kehamilan. Catatan menarik, bahwa ada program SMS BUNDA, yakni layanan untuk pendataan ibu hamil melaui SMS Center di nomor Hanya saja, layanan SMS BUNDA hanya terbatas pada pendataan ibu hamil, perkiraan kelahiran, dan waktu melahirkan. Persoalannya, tidak jelas apakah program ini berada di bawah Dinas Kesehatan Kabupaten atau Kecamatan, dan belum diketahui dengan pasti apakah program SMS BUNDA ini telah berjalan atau tidak. Satu hal yang dapat dipastikan, bahwa program ini hampir tidak diketahui oleh masyarakat umum yang diundang dalam FGD. Musrenbangdes dan suara perempuan Partisipasi perempuan dalam terlaksanannya program pemerintahan desa amat terbatas, terutama dalam keterwakilan perempuan pada acara musyawarah pembangunan desa (musbangdes) yang dilaksanakan setiap tahunnya. Menurut pemerintah desa, pelaksanaan Musbangdes selalu mengundang setiap stakeholder, termasuk organisasi perempuan, hanya saja tidak setiap organisasi mengirimkan utusannya ke acara tersebut. Bahkan acara tersebut sejatinya terbuka untuk umum karena dilaksanakan di balai desa. Dalam FGD diketahui bahwa acara Musbangdes tidak diumumkan secara terbuka, baik di balai desa maupun di masjid. Undangan Musbangdes seringkali tidak tersampaikan, sehingga banyak organisasi perempuan atau masyarakat umum tidak mengetahui adanya acara tersebut. Di sisi lain, setiap keputusan Musbangdes tidak pernah dibicarakan secara terbuka. Usulan dari organisasi perempuan seringkali tidak diakomodir, karena Musbangdes selalu Khaerul Umam Noer dan Iklilah Muzayyanah Dini Fajriyah 103

120 terfokus pada masalah infrastruktur, sedangkan masalah yang menyangkut perempuan seperti kesehatan sangat jarang diakomodir. Umumnya, setiap keputusan Musbangdes hanya diinformasikan secara umum saja ke berbagai organisasi, dengan harapan agar pimpinan organisasi mau menyampaikan kepada seluruh anggotanya. Dengan demikian, potensi untuk meningkatkan partisipasi perempuan dalam pengambilan keputusan di desa menjadi tantangan tersendiri. Partisipasi masyarakat pada umumnya hanya di tingkat partisipasi pasif. Hadir dan menjadi salah satu peserta dalam suatu pertemuan rencana pembangunan. Namun partisipasi dalam arti keterlibatannya hingga sampai pada pengambilan keputusan tidak terjadi, apalagi secara khusus untuk perempuan. Pada umumnya, pandangan masyarakat terhadap peran publik perempuan tampak bukan dianggap sebagai masalah. Dalam praktik keseharian, adalah hal yang biasa bagi perempuan Desa Larangan dan Karangbale untuk turut serta di sektor pertanian bawang. Peran perempuan dalam pertanian bawang ini sangat signifikan. Ada banyak aktifitas yang dilakukan perempuan, seperti mengambil ulat di daun bawang, menanam, merawat tanah samping agar tidak longsong, dan lainnya. Selain peran perempuan di dalam sektor pertanian, perempuan dari dua desa ini banyak yang mencoba peruntungan menjadi Tenaga Kerja Perempuan di luar negeri (buruh migran). Menurut informasi, ada cukup banyak perempuan yang menjadi buruh migran meskipun data di kantor desa tidak diperoleh angka pasti warganya yang melakukan migrasi. Realitas mengenai buruh migran perempuan di daerah-daerah Timur Tengah ini menunjukkan bagaimana masyarakat secara umum tidak terlalu mempersoalkan peran perempuan di ruang publik, bahkan perannya sebagai tulang punggung keluarga atau sebagai kepala keluarga. 104 Prosiding PKWG Seminar Series

121 Berdasarkan data FGD, diperoleh informasi bahwa alokasi anggaran desa pada dasarnya sudah dirancang pihak desa sebelum mengundang Stake hoklders dalam pertemuan rapat tingkat desa (musrenbangdes). Pertemuan musrenbangdes lebih mengarah pada pertemuan formalitas yang dilakukan pemerintah desa sebagai pemenuhan syarat saja. Oleh karena itu, tidak ada anggaran khusus terkait isu perempuan, kecuali rutinitas untuk makanan sehat di setiap posyandu. Rekomendasi Salah satu rekomendasi untuk meningkatkan partisipasi perempuan maupun untuk memberikan pengetahuan kepada perempuan adalah melewati kegiatan organisasi, baik yang berbasis keagamaan maupun umum. Hampir setiap hari, di Desa Larangan maupun Karangbale selalu dilaksanakan pengajian yang diikuti oleh masyarakat. Mereka yang berafiliasi dengan Muhammadiyah akan ikut pengajian yang dilaksanakan oleh Muhammadiyah, demikian pula mereka yang berafiliasi dengan NU. Memang ada kegiatan pengajian akbar, semisal maulid Nabi, yang diikuti oleh seluruh warga masyarakat tanpa melihat latar belakang afiliasinya. Organisasi lain yang juga dapat dipakai adalah PKK, meski di Desa Larangan, PKK dapat dikatakan mati suri. PKK menjadi penting karena jaringannya di tingkat RT dapat memberikan akses yang lebih luas. Catatan kami, untuk wilayah Desa Larangan, agaknya perlu dipertimbangkan ulang mengingat hubungan antara masyarakat dengan Kepala Desa yang notabene perempuan tidak berjalan harmonis. Tentu saja Pekka juga dapat sangat membantu, terutama karena jaringan Pekka sudah ada di dua kecamatan, yakni Kecamatan Larangan dan Kecamatan Ketanggungan. Khaerul Umam Noer dan Iklilah Muzayyanah Dini Fajriyah 105

122 Desa Siaga, perkawinan dini, dan kerentanan AKI (Pengalaman Sukabumi) Ruth Eveline dan Gratianus Prikasetya Putra 1 Tulisan ini pada mulanya adalah penelitian yang dilaksanakan oleh Tim Pusat Kajian Wanita dan Gender UI di tiga wilayah: Sukabumi, Brebes, dan Manado. Tulisan ini mencoba menggambarkan pengalaman masyarakat desa Pamuruyan dan Warnajati, Sukabumi. Teknik Pengambilan Data dan Gambaran Informan. Teknik pengumpulan data yang digunakan adalah FGD, wawancara mendalam, mapping desa dan observasi lapangan. Peneliti juga mengumpulkan data sekunder yang sebagian besar pengumpulannya dibantu oleh kader PEKKA, sebagai pendamping lapangan dalam penelitian ini. Di setiap desa dilakukan dua FGD yaitu: FGD 1: terdiri dari warga biasa/masyarakat akar rumput (perempuan dan suaminya, serta perempuan kepala keluarga, perempuan yang sedang hamil dan suaminya, orangtua yang sedang memiliki bayi/balita atau cucu berusia balita. Di desa Warnajati, FGD ini dihadiri oleh 10 peserta, dan di desa Pamuruyan dihadiri oleh 10 peserta. FGD 2: terdiri dari berbagai komponen (laki-laki dan perempuan), yaitu: kader PEKKA, PKK, kader Posyandu, tokoh lingkungan (RT/RW), Karang Taruna (remaja/pemuda lakilaki dan perempuan), tokoh masyarakat dan bidan desa. Di 1 Pusat Kajian Wanita dan Gender Universitas Indonesia Ruth Eveline dan Gratianus Prikasetya Putra 107

123 desa Warnajati, FGD ini dihadiri oleh 13 peserta, dan didesa Pamuruyan dihadiri oleh 10 peserta. Wawancara mendalam dilakukan dengan dua Bidan Desa di Warnajati dan satu bidan desa di Pamuruyan. Kepala Desa Warnajati dan Sekretaris Desa Pamuruyan ikut terlibat dalam FGD sehingga tidak dilakukan wawancara mendalam dengan mereka. Kepala Desa Pamuruyan sedang bertugas di luar kantor saat FGD berlangsung, jadi tidak bisa diwawancara. Dalam FGD dengan tokoh masyarakat di desa Warnajati dan Pamuruyan, peneliti memfasilitasi penyusunan peta desa secara sederhana untuk memetakan jumlah, lokasi dan kualitas dari fasilitas desa, seperti posyandu, sekolah, PAUD, Puskesmas, jalanan, dan lain-lain. Setelah itu, dengan berkendara mobil dan berjalan kaki, dilakukan penelusuran wilayah (RW) yang medannya sulit ditempuh karena letak area yang jauh dari pusat desa, dengan kondisi jalan yang buruk (tanah merah dan berbatuan), serta kontur tanah yang terlalu tinggi atau terlalu rendah. Gambaran Umum Geografi dan Demografi Sukabumi Geografi dan Topografi Desa Warnajati dan Desa Pamuruyan terletak bersebelahan. Kedua desa memiliki topografi dataran berbukit, dengan ketinggian tanah dari permukaan laut sekitar 550 meter. Lahan pertanian di kedua desa sangat luas, namun belum sepenuhnya dimanfaatkan oleh pemiliknya. Ketika menyusuri kedua desa, wilayah desa Warnajati terasa jauh lebih kecil daripada desa Pamuruyan. Ini disebabkan kaerna wilayah desa Warnajati terpotong cukup luas dengan kebun sawit yang dimiliki oleh perusahaan swasta. Desa Warnajati dan Desa Pamuruyan memiliki kemiripan yaitu terdiri dari dua situasi fisik: pedesaan dan perkotaan. Wilayah pedesaan memiliki lahan pertanian yang lebih luas 108 Prosiding PKWG Seminar Series

124 dan cukup jauh dari pusat desa, sedangkan wilayah perkotaan lebih dekat dengan jalan raya beraspal, hilir mudik kendaraan dan pusat kota (Kelurahan Cibadak). Beberapa RW dengan situasi pedesaan di Warnajati dan Pamuruyan cukup sulit untuk ditempuh karena lokasinya yang cukup jauh, dengan kontur tanah yang naik turun dan berbelok, jalanan yang terjal dan dengan kondisi buruk (berbatuan, bertanah merah dan licin). Wilayah rentan di desa Warnajati adalah RW 05, 06 dan 07, sedangkan wilayah rentan di desa Pamuruyan adalah RW 05, 10, 9 dan 13. Mata Pencaharian dan Migrasi Kedua desa masuk di dalam wilayah administratif Kecamatan Cibadak dengan jarak dari pusat kecamatan hanya 2 (dua) km. Kecamatan Cibadak dikelilingi oleh banyak perusahaan industri, seperti pabrik garmen dan pabrik pakan ayam. Industri membuka banyak kesempatan kerja bagi lakilaki dan perempuan dengan syarat pendidikan hanya lulus SLTP. Menurut salah satu narasumber FGD, perusahaan industri sekitar mulai mengutamakan perekrutan perempuan daripada laki-laki karena dianggap mudah diatur, dapat dibayar lebih rendah dari upah laki-laki, serta tidak akan ribut atau demo meminta kenaikan gaji. Banyaknya kesempatan kerja di Kelurahan/Kecamatan kemungkinan besar menyebabkan hanya sedikit masyarakat desa yang bermigrasi di dalam atau ke luar negeri. Tidak tersedia cukup data mengenai jumlah penduduk Warnajati dan Pamuruyan yang bekerja di perusahaan swasta yang berlokasi di sekitar, namun hasil diskusi di kedua desa menunjukkan bahwa tingkat migrasi cukup rendah dan kedua desa ini bukanlah kantung TKI. Menurut kader PEKKA, penelitian Kornas PEKKA menunjukkan hanya sekitar 5% warga yang bermigrasi dan bekerja di Jakarta, Bogor dan Bandung. Ruth Eveline dan Gratianus Prikasetya Putra 109

125 Selain menjadi buruh pabrik, penduduk memperoleh pendapatan dari pertanian. Sebagian besar penduduk Pamuruyan bermata pencaharian petani, yaitu berjumlah sekitar 24 % dari penduduk usia dewasa. Di Warnajati, persentasi masyarakat yang menjadi petani tidak dapat dihitung, karena tidak semua mata pencaharian penduduk usia produktif teridentifikasi dalam data yang diperoleh dari Kantor Desa. Tingkat Sosial Ekonomi Dilihat dari tingkat pendidikan, sebagian besar penduduk adalah lulusan Sekolah Dasar, yaitu sebesar 48.49% di desa Warnajati dan % di desa Pamuruyan. Sebagian besar lainnya adalah lulusan SLTP yaitu sebanyak % penduduk di desa Warnajati dan 19.45% di desa Pamuruyan. Hanya sebesar % penduduk di Warnajati dan 11.1 % penduduk di Pamuruyan yang melanjutkan pendidikan hingga SLTA. Hal ini menunjukkan rendahnya tingkat pendidikan penduduk di kedua desa. Di desa Pamuruyan, anak putus sekolah berjumlah 237 orang. Tidak tersedia data anak putus sekolah di desa Warnajati. Namun hasil diskusi FGD menunjukkan bahwa banyak anak yang putus sekolah dan juga banyak anak tidak melanjutkan sekolah setelah lulus SD dan SMP. Kebanyakan anak langsung ingin dan/atau tertuntut bekerja untuk membantu ekonomi keluarga. Putus sekolah berkaitan dengan pernikahan dini yang cukup banyak terjadi di kedua desa. Dari desa Pamuruyan, diperoleh data mengenai kondisi ekonomi rumah tangga. Sebanyak adalah penduduk miskin, yang berasal dari 867 keluarga Pra Sejahtera dan 843 Keluarga Sejahtera 1. Ini berarti bahwa sekitar % KK tergolong dalam tingkat ekonomi rendah. 110 Prosiding PKWG Seminar Series

126 Kepala Keluarga Perempuan Dari pengolahan data dari Kantor Desa dan PEKKA, maka diketahui bahwa di desa Warnajati, ada sebanyak 19 % kepala keluarga adalah perempuan, yaitu berjumlah 347 perempuan. Sedangkan di desa Pamuruyan, sebanyak 16.9 % kepala keluarga adalah perempuan yaitu sebanyak 363 perempuan. Ini berarti bahwa di kedua desa, sekitar 10 % dari total jumlah penduduk perempuan adalah kepala keluarga. Jumlah ini merupakan angka yang signifikan. Kasus Kekerasan Hasil FGD tidak dapat menggambarkan situasi kekerasan dalam rumah tangga yang terjadi di kedua desa. Beberapa peserta FGD menyebutkan bahwa mereka pernah melihat adanya kekerasan psikis dan fisik di rumah tetangga, namun mereka tidak memahami situasi yang terjadi dalam rumahtangga tersebut. PEKKA mencatat kasus kekerasan yang dilakukan oleh suami terhadap istri yaitu sebanyak 6 kasus di desa Warnajati dan 17 kasus di desa Pamuruyan. Ini berarti bahwa presentasi rumah tangga di mana kekerasan tidak signifikan, yaitu hanya sebesar 0.3% dari jumlah KK di desa Warnajati dan sebesar 0.79% dari jumlah KK di desa Pamuruyan. Data mengenai jenis kekerasan dan kasus kekerasan domestik lainnya seperti kekerasan terhadap anak belum dapat diperoleh dalam kesempatan ini. Situasi Kesehatan Ibu dan Anak Kematian Ibu Angka kematian ibu di desa Warnajati dapat dikatakan kecil. Di desa Warnajati, pernah terjadi kasus kematian ibu saat melahirkan pada tahun Penyebab kematian ibu adalah terlambat ditolong dan terlambat mengambil Ruth Eveline dan Gratianus Prikasetya Putra 111

127 keputusan. Ibu hamil ini tinggal di RW 07 dengan kondisi jalan yang buruk dan posisi yang jauh dari fasilitas kesehatan. Setelah kejadian tersebut, tidak ada lagi kasus kematian ibu hingga pengumpulan data oleh tim peneliti dilakukan (November 2014). Desa Warnajati bukan daerah penyumbang angka kematian bayi di Kecamatan Cibadak dan di Kabupaten Sukabumi. Dengan sistem kesiagaannya, desa Warnajati mendapatkan juara Desa Siaga se-kabupaten. Di desa Pamuruyan, angka kematian ibu juga kecil, namun desa ini menyumbang angka kematian ibu di Kecamatan Cibadak setidaknya 1-2 kasus per tahun. Kasus kematian ibu yang terjadi pada tahun 2014 menimpa seorang warga Desa Pamuruyan yang bekerja di sebuah perusahaan. Perempuan ini mendapatkan jaminan kesehatan yang cukup baik dari perusahaan tempat ia bekerja sehingga ia pun rutin memeriksakan kandungannya ke dokter di Rumah Sakit Kecamatan Cibadak. Perempuan ini merasa sudah cukup memeriksakan kandungannya ke Rumah Sakit dan menyebabkan ia tidak pernah memeriksakan kandungannya ke Bidan di Posyandu Desa. Saat tiba waktunya melahirkan, perempuan ini mengalami pendarahan selama 6 (enam) jam setelah melahirkan bayi kembar. Bayi kembar ini selamat, namun sang ibu tidak dapat diselamatkan. Bidan desa yang hadir dalam FGD meyakini bahwa prosedur rumah sakit sudah benar dan penyebab kematian bayi adalah komplikasi persalinan. Kasus Kematian Ibu Kasus Kematian Bayi (Neonatal) dan Balita Tabel 1. Kematian Ibu dan Bayi Desa Warnajati 1 kasus kematian ibu di tahun kasus kematian bayi neonatal prematur pada tahun 2014 Desa Pamuruyan 1 kasus kematian ibu di tahun kematian bayi neonatal pada tahun Prosiding PKWG Seminar Series

128 1 kasus kematian bayi neonatal dan 1 kasus kematian bayi dalam kandungan (IUFD) Sumber: Data primer peneliti (Hasil diskusi FGD dan wawancara mendalam), serta data sekunder yaitu pencatatan oleh Posyandu dan Bidan Kematian Bayi dan Balita Di Warnajati, kasus kematian bayi neonatal terjadi satu kali pada tahun 2013 dan satu kali pada tahun Terjadi pula satu kasus bayi meninggal dalam kandungan (IUFD). Kematian bayi neonatal adalah kematian bayi dalam usia 0 28 hari. Penyebab kematian bayi yang biasa terjadi adalah karena berat badan kurang (BBLR) dan asfiksia (gagal nafas dan lahir biru). 2 Menurut bidan desa dalam diskusi FGD, hal ini bisa disebabkan karena sang ibu kurang higienis (jamur dari keputihan tidak diobati), mengalami ketuban pecah, memiliki kandungan yang terlalu besar, memiliki struktur selaput ketuban yang lemah, serta kurang mengkonsumsi zat besi. Penyebab kematian bayi dari sisi sosial adalah karena sang ibu bekerja dan mengalami keletihan. Selain itu, ibu terlalu muda (berusia 17 tahun) dan pernah mengalami keguguran pada kehamilan pertama. Bidan desa menyampaikan bahwa ibu hamil kadang enggan mengikuti program 30 tablet 1 hari untuk menambah zat besi dalam darah, karena merasa lebih mual. Selain kematian bayi neonatal di desa Warnajati, ada satu kasus kematian anak lima tahun pada tahun 2013 yang disebabkan oleh suhu badan tinggi dan dehidrasi. Kematian 2 Skala asfiksia dilihat dari pernafasan, detak jantung, warna kulit, tonus otot. Skala asfiksia: berat (1-3), sedang (4-7) dan ringan (8-10). Sumber: wawancara dengan Bidan Desy dan Bidan Afri di desa Warnajati, 21 November 2014 Ruth Eveline dan Gratianus Prikasetya Putra 113

129 disebabkan karena kurang penanganan dari keluarga yang broken home dan kurang komunikasi dengan kader. Kader kesehatan yang ikut dalam diskusi FGD menyampaikan bahwa mereka sulit mengetahui kondisi kesehatan anak, jika anggota keluarga tidak bekerjasama dengan kader kesehatan, yaitu membagikan informasi tentang kondisi anak dan melaporkan bila terjadi kondisi darurat dan kebutuhan pertolongan. Di desa Pamuruyan, terhadi satu kasus kematian bayi neonatal dengan kondisi darurat dan komplikasi persalinan yang serius, seperti ditulis dalam kotak khusus berikut ini: Kotak 1. Kasus Kematian Bayi (Neonatal) di Desa Pamuruyan, 2014 Seorang perempuan hamil bernama ibu Ningsih (bukan nama sebenarnya) tinggal di RW 05 Desa Pamuruyan dengan lokasi berada di lembah yang curam dan sulit ditempuh dari jalan raya. Kondisi jalan buruk yaitu curam, tidak beraspal, serta licin karena bertanah merah. Bidan desa sebelumnya telah menyampaikan kepada Bu Ningsih bahwa posisi bayinya sungsang dan berpesan jika bu NIngsih merasakan kontraksi ingin melahirkan, dirinya harus segera memberitahu tetangga sekitar dan kader kesehatan agar dibawa ke rumah sakit. Namun Ibu Ningsih baru memberitahu kader kesehatan (istri kepala RW 05) ketika kaki bayi telah keluar dari lubang vagina. Kader segera memberitahu kepada bidan desa. Kirakira pada pukul dini hari, bidan beserta dengan kepala RW mencari pertolongan. Kondisi tempat tinggal bu Ningsih yang sangat sulit dengan jalanan setapak yang licin dan curam di samping sungai, akhirnya membuat warga harus membawa bu Ningsih dengan tandu hingga mencapai jalanan desa yang cukup lebar dan dapat dilalui mobil. Dalam perjalanan, bidan sudah memberitahu agar bu Ningsih tidak boleh ngeden dan merapatkan kaki agar si bayi tidak keluar. Namun ketika tandu diturunkan di rumah sakit, bu NIngsih tidak kuat lagi menahan ngeden. Bayi segera dibawa ke ruang persalinan. Namun 114 Prosiding PKWG Seminar Series

130 ternyata kondisi sungsang disertai dengan komplikasi lain yaitu bayi terlilit tali pusar di leher dan kepala. Bayi tidak dapat tertolong lagi karena kehabisan oksigen Bidan desa yang hadir dalam FGD menganalisa faktor penyebab dari kematian bayi ini yaitu: a) kurangnya kesadaran perempuan hamil untuk melapor bahwa dirinya dalam kondisi darurat, karena pernah mengalami keberhasilan persalinan dengan kondisi sungsang sebelumnya dan merasa bahwa persoalannya dapat diatasi sendiri, b) ketakutan akan biaya persalinan yang mahal apalagi suami bu Ningsih sedang tidak berada di rumah karena mencari pekerjaan di Jakarta, dan saat itu Ia hanya memiliki uang sebesar seribu rupiah, c) komplikasi persalinan yang secara medis sulit ditangani, meski setiap prosedur medis sudah dijalani dengan benar. Bidan desa menyatakan bahwa sekiranya tidak terjadi komplikasi, dengan kondisi bayi sungsang dan kondisi genting mencapai rumah sakit, mungkin bayi masih dapat diselamatkan. Namun bidan desa mempercayai bahwa prosedur yang dijalankan oleh pihak rumah sakit sudah benar. Sumber: Data primer tim peneliti Peran suami Dalam persepsi masyarakat, suami berperan sebagai kepala keluarga, bekerja di luar rumah dan memenuhi kebutuhan keluarga, berarti termasuk juga memberi makan bagi istri dan anak-anaknya. Para suami yang ikut dalam FGD menyatakan bahwa mereka: a) menemani istrinya ketika melakukan cek kehamilan secara rutin ke bidan, b) menemani istri sepanjang proses persalinan, c) bersama dengan istri ikut berkonsultasi dengan bidan saat menentukan jenis kontrasepsi yang digunakan. Ruth Eveline dan Gratianus Prikasetya Putra 115

131 Namun tidak semua suami dapat menjalankan perannya secara optimal. Dalam pernikahan usia muda, para suami sulit mencari pekerjaan, akhirnya bekerja secara musiman atau menganggur. Ketiadaan dana membuat suami gagal memberikan gizi yang baik bagi istrinya saat hamil dan gagal mempersiapkan persalinan yang aman, seperti yang terjadi pada bu Ningsih di desa Pamuruyan. Selain itu, menurut para kader kesehatan, dalam kondisi gawat darurat terutama menjelang persalinan, kader kesehatan-lah yang lebih berperan daripada suami karena tidak sedang berada di samping istrinya. Mitos & Tradisi tentang Kehamilan dan Kelahiran Bayi Masyarakat di desa Warnajati dan desa Pamuruyan masih mempercayai mitos mengenai kehamilan ibu, yaitu hal-hal yang harus dilakukan oleh ibu hamil dan yang dilarang, misalnya: - Harus banyak minum air - Harus memanjangkan rambut agar ketika mengedan saat melahirkan, ibu bisa bertahan dengan menggigit rambutnya sendiri. - Makan dengan piring kecil, agar plasentanya juga kecil dan memperlancar jalan lahir. - Tidak boleh makan timun, nanas dan pisang, karena nanti becek (keputihan) - Tidak boleh makan salak, karena nanti susah melahirkan - Bawa bawang putih dan/atau gunting di dada untuk menolak bala - Tidak boleh berdiri di depan pintu. Istilah pantang yaitu pamali. Nanti bisa menghalangi jalan lahir bayi - Harus rajin bersih-bersih rumah, supaya anaknya lahir putih bersih - Tidak boleh tidur siang 116 Prosiding PKWG Seminar Series

132 Mitos biasanya disampaikan oleh dukun beranak (paraji) atau orangtua perempuan yang sedang hamil dan masih diikuti hingga sekarang. Contohnya ibu Erni (22 tahun) yang sedang hamil ketika mengikuti FGD. Ia sedang membawa gunting di dadanya, yang dianggapnya akan melindungi dia dan bayinya dari kejahatan. Erni menyampaikan bahwa ia masih menuruti mitos tersebut karena khawatir hal buruk malah benar-benar kejadian padanya. Meski mitos-mitos masih diikuti oleh perempuan hamil sampai sekarang, perlahan-lahan banyak perempuan muda yang meninggalkan tradisi tersebut, dengan menentang dan tidak mengikuti anjuran orangtua/paraji. Diskusi mengenai tradisi penyambutan bayi menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan antara penyambutan untuk bayi laki-laki dan bayi perempuan. Desa Warnajati siaga untuk menyambut kelahiran bayi laki-laki dan perempuan. Kader siap 24 jam, khususnya ketika tanggal melahirkan semakin dekat. Setelah kelahiran bayi, biasanya dilangsungkan tradisi Aqiqah, yaitu penyampaian rasa syukur yang ditandai dengan pencukuran rambut bayi. Aqiqah dilakukan untuk bayi perempuan dan laki-laki. Perbedaan hanya pada jumlah kambing yang dipotong yaitu 2 ekor untuk laki-laki dan 1 ekor untuk perempuan. Ini didasari pada perintah dalam Al-Quran. Namun hal ini bukan kewajiban yang mengikat dan disesuaikan dengan kemampuan ekonomi keluarga. Keluarga Berencana Penyuluhan KB di kedua desa biasanya diberikan oleh Bidan Desa kepada pasutri. Pemasangan alat KB biasanya disertai dengan informed consent dari keduanya. Menurut bidan desa di Warnajati, keputusan menggunakan jenis kontrasepsi tertentu diambil secara bersama antara laki-laki dan perempuan. Tidak terjadi adanya paksaan dari suami Ruth Eveline dan Gratianus Prikasetya Putra 117

133 mengenai pemilihan alat KB. Meski demikian, pemasangan IUD sering tidak terlalu disetujui oleh suami. Sebagian besar pasutri di kedua desa memakai kontrasepsi suntik karena dianggap mudah dan ekonomis. Namun jenis kontrasepsi ini beresiko untuk menciptakan kehamilan lagi jika tidak secara rutin digunakan. Jarak pakai kontrasepsi suntik yang singkat (dengan interval satu bulan) kerap membuat istri kelupaan melanjutkan suntik dan akhirnya hamil lagi. Contoh kasus adalah Ibu Eem di desa Pamuruyan yang menikah di usia 15 tahun dan pada usia saat mengikuti FGD (37 tahun) sedang hamil anaknya yang ke-enam. Ia telah menggunakan alat kontrasepsi suntik, namun sering tidak rutin datang ke Bidan Desa untuk memakai alat suntik dengan alasan lupa dan malas. Saat diskusi terjadi, seorang kader kesehatan memberikan saran agar Ibu Eem melakukan steril rahim, namun ia bersikukuh tidak akan melakukan sterilisasi karena takut ada efek sakit berkepanjangan paska operasi. Banyak istri masih takut akan pemakaian kontrasepsi selain suntik, padahal jenis lainnya sebenarnya paling minim resiko, misalnya spiral atau IUD. Ada kepercayaan dan asumsi mengenai IUD yaitu bahwa pemasangannya menakutkan, memalukan (harus dengan posisi mengangkang) dan dengan alat speculum, serta menimbulkan pendarahan dan kesakitan. Para suami dikatakan mengeluh karena penisnya menyentuh bagian spiral ketika berhubungan seksual, padahal menurut Bidan Desa bagian tersebut hanyalah benang. Masyarakatpun membuat dan menyebarkan gambaran tentang IUD yang menyakitkan, yang membuat mereka sendiri terngiang dengan gambaran tersebut dan sedapat mungkin tidak menggunakan IUD. Saat diskusi, seorang peserta FGD (Ibu Merni) menyampaikan bahwa seharusnya laki-laki perlu berperan dalam memakai kontrasepsi, tidak hanya perempuan. Sebenarnya ada upaya suami menggunakan kondom, seperti diceritakan oleh Pak Jamaludin (38 tahun) dari Desa Warnajati 118 Prosiding PKWG Seminar Series

134 saat diskusi FGD. Ia beberapa kali gagal menggunakan kondom, sampai akhirnya ia dan istrinya memiliki empat anak. Sekarang istri pak Jamaludin (Ibu Ai Suningsih, 37 tahun) nya memakai alat suntik. Ada pula seorang laki-laki di desa Warnajati yang melakukan vasektomi, seperti diceritakan oleh Bu Ain (kader Pekka), namun setelah vasektomi, laki-laki ini mengalami kurang gairah dalam berhubungan seksual. Kasus ini mempengaruhi pilihan warga lain untuk tidak melakukan vasektomi. Semua peserta FGD menyampaikan bahwa penentuan jumlah anak di dalam keluarga disepakati oleh suami-istri. Namun menurut Bidan Desy di desa Warnajati, meski penentuan jumlah anak di dalam keluarga dipengaruhi bersama-sama antara suami dan istri, sesungguhnya laki-laki masih mendominasi keputusan. Laki-laki yang dimaksud adalah termasuk suami, ayah dan paman. Rencana jumlah anak biasanya dibuyarkan dengan pemakaian kontrasepsi yang salah atau tidak cocok seperti yang dijelaskan sebelumnya. Kader kesehatan dalam diskusi FGD menyampaikan bahwa perlu kecocokan dengan jenis kontrasepsi yang digunakan, dan masyarakat perlu juga menyadari mitos yang salah mengenai kontrasepsi. Kotak 2. Pengalaman KB dari Perempuan yang Menikah di Usia Muda Salah seorang warga di desa Pamuruyan yakni Ibu Kokom menceritakan bahwa Ia baru mengenal KB belum lama ini. Melalui kesepakatan dengan suaminya, Ibu Kokom menggunakan kontrasepsi berjenis pil. Bu Kokom menikah di usia muda (17 tahun) dan mengikuti program KB karena telah memiliki 5 orang anak. Memiliki lima anak diakuinya sebagai perwujudan anggapan masyarakat setempat, yang mempercayai konsep banyak anak banyak rejeki. Ibu Kokom mengatakan bahwa dahulu sebelum dikenalnya program KB, jumlah kasus aborsi di wilayahnya setempat Ruth Eveline dan Gratianus Prikasetya Putra 119

135 cukup tinggi. Namun sekarang, setelah program KB berjalan, tindakan aborsi sudah jauh berkurang. Tindakan aborsi disebabkan karena pertimbangan bahwa biaya pendidikan cukup tinggi dan menyulitkan keluarga. Saat ini Ibu Kokom dan suaminya sudah memiliki pemikiran yang cukup baik dengan tidak mengizinkan anak mereka untuk menikah di usia yang masih muda. Sumber: Data primer tim peneliti Kebijakan dan Program Kesehatan Ibu dan Anak Kebijakan dan Program Kesehatan Ibu dan Anak (KIA) yang ada di desa Warnajati dan desa Pamuruyan memiliki kemiripan yaitu terdiri dari: 1) Desa Siaga dan RW Siaga 24 jam, dengan mekanisme yang akan dijelaskan selanjutnya. 2) Kemitraan antara Kader, Paraji dan Bidan, sesuai dengan Perda Kabupaten Sukabumi No.03/2013 tentang Kemitraan Bidan, Paraji dan Kader Kesehatan. Perda ini dikeluarkan untuk meminimalkan AKI. 3) Program kesehatan ibu dan anak yang terintegrasi di Posyandu. Posyandu di setiap RW. Misalnya: desa Warnajati memiliki 12 posyandu aktif dengan total jumlah kader sebanyak 60 orang. Posyandu memperoleh dana operasional dari APBD 1 (Pemerintah Propinsi), yaitu insentif kader sebesar Rp per kader per tahun, serta dana revitalisasi Posyandu dari APBD 2 (Pemerintah Kabupaten) sebesar Rp ,- setahun. 4) Tabulin (Tabungan Ibu Bersalin) yang bertujuan agar keluarga menabung untuk meringankan biaya melahirkan nantinya. Namun tabulin ini kurang berjalan karena kesadaran masyarakat dalam menabung masih rendah, dan karena mengandalkan jaminan kesehatan dari pemerintah. 120 Prosiding PKWG Seminar Series

136 5) Jamkesda dan Jamkesmas, mengikuti aturan pemerintah daerah dan pemerintah pusat. Kader membantu mengurus jamkesda dan jamkesmas selama surat administrasi memadai (KTP, KK, dan lain-lain), jadi warga cukup mendapatkan kemudahan. 6) Jampersal (jaminan persalinan), namun pada tahun 2014 ini tidak ada lagi di desa Warnajati dan desa Pamuruyan 7) Pos kesehatan desa (Poskesdes) yang melakukan tindakan preventif, promotif dan kuratif. Di Warnajati, Poskesdes belum berjalan secara rutin karena kekurangan tenaga kesehatan, khususnya perawat. Namun di desa Pamuruyan, Poskesdes sudah berjalan secara rutin. 8) Program Desa Sehat yang merupakan realisasi program dari pemerintah Kabupaten, yang akan dijelaskan selanjutnya. Mekanisme Desa Siaga dan RW Siaga 24 Jam Kader-kader Posyandu melakukan sweeping ke rumahrumah di Desa Pamuruyan untuk mendata perempuan yang sedang hamil. Mereka juga berusaha untuk menghubungi para ibu hamil melalui telepon untuk memastikan bahwa perempuan-perempuan yang tengah hamil tidak lupa memeriksakan kandungannya ke Posyandu atau bidan desa. Tiap ibu bersalin, termasuk yang beresiko tinggi, didampingi oleh petugas kesehatan. Ada home visit oleh bidan untuk setiap ibu hamil setiap sebulan sekali. Perkiraan tanggal kelahiran bayi biasanya ditetapkan oleh bidan dan diketahui oleh berbagai pihak (ibu hamil, suami, kader, tetangga). Ibu hamil dan suami melaporkan ke kader jika terdapat tanda-tanda kelahiran dan kedaruratan. Kader dan bidan siap 24 jam. Ruth Eveline dan Gratianus Prikasetya Putra 121

137 Desa juga mendata kendaraan-kendaraan milik warga yang dapat dijadikan transportasi untuk membantu para perempuan yang hendak melahirkan pergi ke Rumah Sakit. Ada kerjasama dengan pemilik kendaraan agar kendaraan dapat dipinjam secara darurat dan siaga 24 jam. Di Desa Warnajati, ada kontrak tertulis dengan pemilik kendaraan. Di desa Pamuruyan, masyarakat juga menjalin kerjasama dengan polisi agar pihak Polsek dapat meminjamkan kendaraan ambulance untuk dijadikan kendaraan darurat dalam program desa dan RW siaga ini. Setelah 5 tahun berjalannya program ini, telah terjadi lima perubahan yang cukup baik dalam kaitannya dengan fasilitas kesehatan seperti Posyandu menjadi lebih baik, ada pelatihan bagi kader Posyandu dan para perempuan, sanitasi dasar dan pelayanan kesehatan bayi dan ibu hamil yang terpadu di Posyandu. Jika ada tanda kedaruratan atau komplikasi, ibu hamil dapat langsung dibawa ke rumah sakit, tidak harus mendapat rujukan dulu dari Puskesmas. Pengurusan administrasi rujukan dapat menyusul dalam kurun waktu 1 x 24 jam. Kotak 3. Kesiagaan membantu Kehamilan Perempuan Schizophrenia Di RW 10 desa Pamuruyan, pernah terjadi kehamilan perempuan yang mengidap gangguan Schizophrenia yang prosesnya cukup membekas di memori para kader kesehatan. Perempuan ini (berinisial R) diperkosa oleh pemuda setempat yang sudah memiliki istri. R berasal dari keluarga miskin dengan letak rumah yang terpencil. Ibunda dari R juga mengidap schizophrenia, sehingga masyarakat menyimpulkan gangguan mental ini bersifat genetik. Hal menarik dari kasus ini adalah kesiagaan dan kekompakkan seluruh petugas kesehatan dan masyarakat dalam mempersiapkan kelahiran bayi. Masyarakat menyumbang dana sosial agar R dapat diperiksa secara rutin dengan USG. 122 Prosiding PKWG Seminar Series

138 Bahkan Direktur RSUD saat itu siap siaga menerima R melahirkan kapan saja jika terjadi gawat darurat. Saat malam Jumat Kliwon menjelang kelahiran bayi, hujan lebat datang. R merasakan ingin melahirkan dan dia berlarilarian hingga jatuh. Kader kesehatan telah siap membantu dan mengontak bidan Desa untuk datang. Tidak terjadi komplikasi saat persalinan dan R dapat melahirkan secara lancar di desa. Semua orang saat itu sorak bergembira atas keberhasilan kesiagaan mereka. Anak R lalu diadopsi oleh keluarga yang berasal dari Jakarta. Tidak ada tindakan hukum bagi pelaku perkosaan. R malah dikawinkan dengan pelaku, yang oleh masyarakat dianggap menyelesaikan permasalahan. R lalu diceraikan. Pelaku kemudian diusir oleh istri pertamanya keluar dari desa karena tidak kuat menanggung malu. Sumber: Data primer tim peneliti Program Desa Sehat Program Desa Sehat diprakarsai oleh pemerintah Kabupaten Sukabumi untuk merespon tingginya AKI dan AKB. Di setiap desa, dibentuk Forum Desa Sehat sebagai pelaksana program Desa Sehat. Desa Warnajati dan desa Pamuruyan termasuk desa yang memiliki Forum Desa Sehat, yang perwakilannya hadir dalam diskusi FGD di kedua desa. Program Desa Sehat memiliki tiga unsur program yaitu: 1. Sanitasi Dasar (Sandas). Sanitasi Dasar berjalan di awal program Desa Sehat, yaitu pada tahun anggaran pertama. Cakupan program adalah penyediaan air bersih dan jamban. Sanitasi Dasar di desa Pamuruyan didasari atas temuan pada tahun 2003 yaitu bahwa hanya sekitar 45 % masyarakat memiliki kesadaran mengenai sanitasi dasar. Pada tahun pertama, setelah Ruth Eveline dan Gratianus Prikasetya Putra 123

139 ada akses air bersih dan jamban, terjadi peningkatan kesadaran masyarakat menjadi sekitar 47%. 2. Kontak Ibu. Unsur ini menitikberatkan pada permasalahan kesehatan ibu dan anak, termasuk persoalan kehamilan. 3. Masyarakat Mandiri Kesehatan (MMK), merupakan gabungan dari dua unsur yaitu Sanitasi Dasar dan Kontak Ibu. Di desa Pamuruyan, melalui penggabungan kedua unsur tersebut dan ditopang dengan kerjasama bersama seluruh lapisan masyarakat, maka tingkat kesadaran akan kebersihan dan kesehatan masyarakat naik dari 47% menjadi 60%. Fasilitas Umum Desa Di desa Warnajati, masyarakat dan kader kesehatan merasa bahwa fasilitas (alat, perlengkapan dan pelayanan) posyandu, puskesmas dan rumah sakit selama ini sudah cukup memadai. Hal yang kurang adalah jumlah tenaga kesehatan (perawat) di Pos Kesehatan Desa (Poskesdes) sehingga tidak dapat berjalan dengan rutin. Fasilitas yang kurang lainnya adalah mobil ambulance yang siap membawa pasien. Di desa Warnajati, banyak jalanan berbatuan dan rusak dengan kontur di dataran tinggi (menanjak), khususnya jalanan yang melewati RW 07 dan 09. Jalanan sulit ditempuh dengan motor. Pada kondisi hujan, jalanan menjadi licin dan berbahaya. Karena ketidaksediaan mobil, seorang pasien sakit pernah harus dibawa turun ke kota dengan tandu. Di sisi lain, masyarakat Desa Pamuruyan merasakan bahwa pelayanan kesehatan masih sangat kurang. Desa Pamuruyan hanya memiliki 1 orang Bidan Desa yang harus melayani masyarakat yang berjumlah banyak dengan medan lokasi yang sulit ditempuh saat gawat darurat. Selain itu, bidan desa yang biasa melayani tidak tinggal di dalam desa. Masyarakat 124 Prosiding PKWG Seminar Series

140 berharap agar disediakan tempat tinggal khusus untuk bidan yang melayani di desa tersebut. Fasilitas Desa Posyandu Jumlah bidan Poskesdes (Pos kesehatan desa) Tabel 2. Fasilitas Kesehatan Desa Warnajati 12 posyandu Ket: Ada RW yang memiliki 2 posyandu, ada yang di rumah dan ada yang punya bangunan sendiri. Tidak semua memiliki administrasi yang rapi. 2 bidan, dibagi berdasarkan wilayah kerja 1 poskesdes. Tidak berjalan rutin Desa Pamuruyan 15 Posyandu Ket : Semua RW di Desa Pamuruyan memiliki fasilitas Posyandu 1 bidan dan masih kurang. Sedang menunggu kedatangan 1 (satu) bidan lagi yang akan ditetapkan oleh Dinas Kesehatan setempat. Namun prosesnya cukup lama. Poskesdes (Pos kesehatan desa). Berjalan rutin, setiap hari Sumber: Data primer tim peneliti (hasil diskusi dalam FGD dan wawancara) Anggaran Desa Di desa Warnajati, pemerintah desa mengajukan anggaran desa sebesar Rp.7 milyar untuk tahun 2014, namun dana yang Ruth Eveline dan Gratianus Prikasetya Putra 125

141 diturunkan kurang dari 1 milyar. Menurut Kades Warnajati, anggaran kesehatan biasanya 10% dari total anggaran desa. Pada umumnya, program Kesehatan Ibu dan Anak (KIA) terintegrasi di Posyandu. Karena itu, menurut peserta FGD, anggaran yang perlu dilihat adalah anggaran Posyandu yang biasanya berjumlah hanya sedikit, yaitu terdiri dari: - Anggaran dari APBD 1 (Pemerintah Provinsi): Anggaran untuk Posyandu biasanya berupa insentif atau honor bagi kader Posyandu, sebesar Rp per tahun per kader. - Anggaran dari APBD 2 (Pemerintah Kabupaten): Anggaran revitalisasi posyandu sebesar Rp.750 ribu per tahun. Revitalisasi biasanya digunakan untuk memberbaiki tempat dan membeli alat-alat. Terkadang anggaran revitalisasi juga digunakan untuk pemberian MPASI bayi dan makanan tambahan (PMT) untuk ibu hamil yang kekurangan energi (KEK = LILA di bawah 23.5 cm). Menurut Bidan Desa Warnajati, dana operasional untuk kunjungan ke Posyandu hanya sebesar Rp.12,500.- untuk setiap kali perjalanan. Untuk 12 posyandu di desa, berarti dana yang diperoleh sebesar Rp.165ribu. Sedangkan perjalanan ke posyandu ditempuh dengan ojek dan secara aktual membutuhkan dana sebesar Rp ribu per perjalanan. Jadi menurut bidan, pekerjaan ini merupakan aksi sosial dari para bidan. Di desa Warnajati, tidak ada ada anggaran khusus untuk Desa Siaga. Dana dikumpulkan dari masyarakat (yang disebut sebagai dasolkes = dana sosial kesehatan), dengan iuran sebesar Rp atau atau dengan menyumbang beras. Kades Warnajati sedang berupaya meminta anggaran untuk mobil siaga, sebesar kurang dari Rp.200 juta. Advokasi ini diperkuat oleh Apdesi, yaitu Asosiasi Kepala Desa se- 126 Prosiding PKWG Seminar Series

142 Propinsi yang mendorong Gubernur untuk menurunkan dana ini. Desa Pamuruyan memperoleh dana Program Desa Sehat dari Dinas Kesehatan Kabupaten Sukabumi, yaitu sebesar Rp. 8 juta pada tahun pertama, Rp.8 juta pada tahun kedua, dan Rp.14 juta pada tahun ketiga. Selain itu, ada pula simpanan dana abadi sebesar 25 juta yang hanya dapat dicairkan bunganya untuk operasionalisasi Program Desa Sehat, yang biasanya digunakan untuk membeli keperluan bayi dan kegiatan penyuluhan. Perkawinan Dini (Anak) Tiga dari delapan perempuan yang hadir di FGD masyarakat akar rumput di Desa Warnajati menikah pada usia di bawah usia 18 tahun. Selebihnya menikah pada usia tahun. Empat dari tujuh perempuan yang terlibat dalam FGD masyarakat akar rumput di Desa Pamuruyan menikah di bawah usia 18 tahun, sedangkan selebihnya menikah di usia tahun. Ini berarti, dalam sampel ini, sebanyak 37.5 % dan 57% perempuan menikah pada usia di bawah 18 tahun di desa Warnajati dan desa Pamuruyan. Namun semua perempuan yang yang menikah muda ini menyatakan bahwa mereka tidak mengalami kesulitan dalam persalinan di usia muda. Pernikahan dini menjadi bagian yang wajar dari kebiasaan masyarakat di kedua desa. Pada tahun an, usia pernikahan di desa bagi perempuan adalah tahun. Sedangkan usia pernikahan bagi laki-laki biasanya 20 tahun. Dalam lima tahun belakangan ini, pernikahan dini sudah berkurang, namun masih banyak terjadi. Menurut peserta FGD, pernikahan dini umumnya disebabkan oleh dua hal: Pertama, putus sekolah karena tidak dibiayai oleh orangtua. Kesulitan ekonomi menyebabkan Ruth Eveline dan Gratianus Prikasetya Putra 127

143 orangtua cepat-cepat mendorong anaknya menikah agar mengurangi beban untuk memenuhi kebutuhan makanan dan biaya sekolah. Di sisi lain, pernikahan muda juga memutus kesempatan pendidikan (pendidikan terhenti karena perempuan menikah dan hamil). Jadi keduanya sama-sama menjadi sebab akibat. Karena kesulitan ekonomi, banyak orangtua juga mendorong anaknya (perempuan dan laki-laki) untuk bekerja di pabrik setelah lulus SMP. Kedua, hubungan seksual dini oleh remaja, yang didorong oleh pergaulan di luar rumah, disertai dengan informasi yang minim mengenai kesehatan reproduksi. Pernikahan muda di jaman sekarang (tahun 2000-an dengan makin maraknya informasi teknologi yang canggih), lebih disebabkan oleh hubungan seks bebas sebelum menikah, bukan disebabkan oleh paksaan orangtua. Kades dan kader posyandu mengetahui bahwa Undangundang Perkawinan memperbolehkan anak perempuan menikah di usia 16 tahun, tetapi tidak menyetujui pernikahan dini. Usia pernikahan yang ideal bagi peserta FGD adalah perempuan seharusnya minimal 20 tahun dan usia untuk lakilaki setidaknya 25 tahun. Peserta FGD menyadari bahwa pernikahan terlalu muda beresiko bagi anak perempuan karena: - Mental tidak siap menjadi orangtua - Fungsi alat reproduksi belum sempurna sehingga kehamilan di usia muda beresiko tinggi - Memutus kesempatan pendidikan. Seharusnya perempuan bisa menyelesaikan sekolah dengan tingkat yang lebih tinggi. Dalam kasus kehamilan yang tidak direncanakan pada remaja, biasanya dilakukan sidang KUA agar dapat memperbolehkan pernikahan di usia tersebut. Biasanya kader memberikan penyuluhan bagi pasangan suami istri di usia 128 Prosiding PKWG Seminar Series

144 muda untuk melakukan PAP (penundaan anak pertama). Ini ditujukan untuk mempersiapkan kesehatan reproduksi perempuan. Semua peserta FGD menganggap bahwa peran orangtua yang paling harus banyak berperan dalam mencegah pernikahan usia muda. Orangtua perlu menerapkan program Gubernur Propinsi Jawa Barat yaitu 15 menit bersama anak. Walaupun pandangan masyarakat sudah berubah mengenai usia minimal dalam pernikahan, namun faktor budaya masih sangat berpengaruh dalam mendorong pernikahan dini. Misalnya pernikahan dini diperbolehkan dengan tujuan agar menghindari pergaulan bebas yang menjadi kekhawatiran para orang tua. Selain itu, masyarakat desa masih menganggap bahwa menikahkan anak merupakan salah satu cara untuk menyelesaikan berbagai masalah sosial, ekonomi, bahkan tindakan criminal perkosaan. Keterlibatan Perempuan Perempuan cukup aktif terlibat dalam kegiatan sosial kemasyarakatan, politik dan pembangunan desa. Organisasi perempuan di desa yang menonjol adalah PKK, PEKKA dan Majelis Taqlim. Tokoh perempuan desa dengan demikian berkaitan dengan organisasi yang ada yaitu kader kesehatan (Posyandu), kader PKK, tutor PAUD dan tokoh agama (Ustazah). Di bidang politik, ada satu perempuan menjadi wakil BPD yang masih didominasi oleh laki-laki (perbandingan 9 : 1), yaitu ibu Enti yang hadir dalam FGD ini. Di Desa Warnajati, kader PKK dan Posyandu juga aktif terlibat dalam penyusunan anggaran musrembang, yang biasanya dipimpin oleh Ibu Euis yang merupakan aktivis Pekka dan pendamping utama penelitian ini. Di bidang kesehatan, salah seorang kader kesehatan perempuan di desa Pamuruyan, yang juga bernama Ibu Enti, Ruth Eveline dan Gratianus Prikasetya Putra 129

145 pernah mengikuti Musrembang sampai tingkat Kabupaten. Ibu Enti, yang juga adalah kader PEKKA Sukabumi, bercerita mengenai pengalamannya dalam mempertahankan prioritas pembangunan yang berkaitan dengan isu-isu perempuan, dalam debat Musrenbang di tingkat Kecamatan. Ia menyatakan bahwa jika tidak ada perempuan dalam debat itu, maka isu-isu perempuan tidak akan terpilih menjadi prioritas. Menurut peserta FGD, keterlibatan perempuan dan laki-laki dalam pembangunan desa sudah setara. Mereka mencontohkan keterlibatan perempuan dalam pembangunan desa dalam PNPM, yang memiliki SOP keterlibatan perempuan : laki-laki yaitu 1 : 3. Jadi jika komite pembangunan jalan/gang terdiri dari 9 orang, maka minimal 3 orang adalah perempuan. Menurut Kades Warnajati, ada perempuan yang menjadi Ketua komite. Namun jika dikaji lebih lanjut, ternyata sebagian besar perempuan terlibat dalam urusan konsumsi pertemuan. Menurut peserta FGD di kedua desa, pembangunan desa Warnajati terutama di bidang kesehatan dan pendidikan bertumbuh karena adanya keterlibatan perempuan. Perempuan adalah faktor pendorong adanya anggaran pendidikan dan kesehatan di desa. Anggaran kesehatan disusun oleh Pokja 4 dan anggaran pendidikan disusun oleh Pokja 2. Dengan kata lain, kesuksesan pembangunan desa disebabkan oleh faktor keterlibatan perempuan. Meski demikian, secara umum, pengambilan keputusan dalam penyusunan rencana dan anggaran pembangunan desa masih didominasi oleh laki-laki. Keterlibatan perempuan kepala keluarga di ranah publik juga telah dipandang wajar oleh masyarakat. Awalnya, perempuan kepala keluarga yang aktif di ranah sosial/publik mendapatkan stigma negatif, karena sering bepergian dalam waktu lama (misalnya menghadiri pelatihan). Namun dengan hadirnya jaringan PEKKA dan hasilnya, maka stigma atas janda sudah berkurang. 130 Prosiding PKWG Seminar Series

146 Kesimpulan Kedua desa yang dikunjungi oleh tim peneliti bukan merupakan desa yang AKI dan AKB nya tidak tinggi. Desa Warnajati pernah menjadi juara Desa Siaga pada tingkat Kabupaten. Desa Pamuruyan juga tidak memiliki AKI dan AKB yang tinggi, namun secara konsisten menyumbang angka dengan 1-2 kasus per tahun. Untuk mempertahankan rendahnya AKI dan AKB, desa Warnajati sedang membutuhkan satu tenaga perawat untuk Poskesdes dan satu mobil siaga (ambulance desa), sedangkan desa Pamuruyan membutuhkan tambahan satu bidan desa. Menurut pengamatan peneliti, desa Pamuruyan juga membutuhkan penambahan satu poskesdes di desa yang berada di lembah dan sulit dijangkau. Diperlukan upaya mendekatkan pos kesehatan desa ke rumah tinggal yang terpencil. Kader kesehatan di kedua desa pro-aktif dan rajin, sehingga dibanggakan oleh para bidan di kedua desa. Kader dilengkapi dengan pelatihan dan pengalaman, sehingga memiliki pengetahuan dan ketrampilan yang cukup dalam merespon permasalahan kesehatan (termasuk kehamilan dan persalinan), serta faktor yang menyertainya yaitu sosial, budaya, ekonomi, pendidikan, bahkan politik. Kebijakan dan program kesehatan Ibu dan Anak cukup integratif di setiap level, yaitu Kabupaten, Kecamatan dan Kelurahan/Desa. Anggaran dari pemerintah Propinsi & Kabupaten untuk kesehatan Ibu dan Anak memang relatif kecil dibandingkan anggaran lain yaitu pembangunan fisik/insfrastruktur, namun kedua desa cukup aktif dalam menggalang dana masyarakat secara mandiri melalui iuran sosial. Meski AKI rendah di kedua desa, masih banyak perilaku masyarakat yang beresiko merentankan kehamilan dan persalinan, misalnya: Ruth Eveline dan Gratianus Prikasetya Putra 131

147 - Ibu hamil masih menjalankan mitos yang menghindarkan mereka dari asupan nutrisi yang layak. - Keluarga dan ibu hamil masih mengandalkan Paraji karena biaya yang lebih murah, meski keamanan bagi ibu dan calon bayi tidak terjamin. - Pernikahan usia muda masih banyak terjadi di kedua desa. Kehamilan usia muda merentankan anak perempuan karena ketidaksiapan organ reproduksi. Karena pendidikannya yang rendah, anak perempuan juga kurang menyadari mengenai pentingnya nutrisi yang baik bagi dirinya saat menjalani kehamilan. - Perilaku pasutri lainnya, misalnya peran suami yang kurang aktif secara ekonomi, ketakutan orangtua atas biaya persalinan yang mahal, kurang kerjasama dengan kader dalam mengurus jaminan kesehatan, sehingga membuat orangtua gagal dalam mempersiapkan kelahiran bayi secara tepat dan aman. Persoalan gender yang cukup serius di kedua desa adalah pernikahan di kalangan anak usia tahun. Pernikahan dini merupakan bagian yang wajar di masyarakat, karena adanya budaya untuk menghindari pergaulan bebas atau untuk menyelesaikan persoalan sosial ekonomi. Pernikahan dini di jaman sekarang juga disebabkan oleh hubungan seks di luar pernikahan yang memaksa pasangan muda untuk menikah. Akibat pernikahan di usia muda, banyak anak perempuan harus putus sekolah. Tingkat pendidikan di kedua desa secara umum cukup rendah, yaitu penduduk rata-rata merupakan lulusan SD dan SMP. Namun, kedua desa bukan wilayah pengiriman TKI, karena terdapat banyak kesempatan kerja di industri untuk lulusan SLTP. Tingkat kasus kekerasan di kedua desa juga tidak parah, namun perlu kajian yang lebih mendalam untuk membuka kasus yang mungkin tersembunyi. 132 Prosiding PKWG Seminar Series

148 Medikalisasi Tubuh Perempuan dalam Kebijakan Kesehatan Reproduksi dan Upaya Penurunan Angka Kematian Ibu Pinky Saptandari 1 Abstrak Makalah ini menjelaskan tentang wacana tubuh perempuan dalam kebijakan kesehatan reproduksi dikaitkan dengan fungsi biologis perempuan sebagai akar permasalahan kerentanan kesehatan reproduksi perempuan serta kegagalan penurunan Angka Kematian Ibu (AKI). Makalah dikembangkan dari penelitian yang berjudul Wacana Tubuh Perempuan dalam Kebijakan Kesehatan Reproduksi (2011). Indikasi kegagalan penurunan AKI sebagai salah satu target Pembangunan Milenium (MDGs) sudah ditengarahi sejak lama. Hal ini, antara lain dipicu oleh adanya bias gender pada pembuatan kebijakan. Kebijakan kesehatan reproduksi dalam Undang Undang Nomor 36 tahun 2009 tentang Kesehatan ditemukan adanya tekanan yang berlebihan pada wacana tubuh perempuan sebagai tubuh medis. Perempuan dimaknai sebagai tubuh, itupun hanya sebatas tubuh biologis, dan secara lebih spesifik adalah kandungan. Mengacu pada pemikiran Simone de Beauvoir, hal ini menunjukkan bahwa perempuan diposisikan sebagai liyan (the Other) dalam kebijakan kesehatan reproduksi. Ke-liyan-an perempuan terkait dengan tubuh biologis sebagai produk pemusatan dari pengetahuan dan kebenaran yang dibangun oleh dominasi ideologi medis dan 1 Wakil Ketua Bidang Kerja Sama Asosiasi Antropologi Indonesia, Pengajar di Departemen Antropologi FISIP Universitas Airlangga Pinky Saptandari 133

149 patriarki yang sangat maskulin, tidak memberi ruang dan peluang bagi perempuan untuk melakukan proses transendensi bagi tubuh dan seksualitas mereka. Selama terjadi dominasi ideologi patriarki maka ketidak setaraan dan ketidak adilan gender terus berlangsung dan membuat perempuan tidak memiliki akses dan posisi tawar dalam pengambilan keputusan. Selama kondisi tersebut terjadi, maka hak kesehatan reproduksi perempuan akan sulit terpenuhi untuk mencapai kualitas kesehatan yang prima. Kondisi tersebut dapat diamati dari data-data tentang kerentanan kesehatan perempuan dan masih relatif tingginya Angka Kematian Ibu (AKI) di Indonesia. Perempuan sebagai tubuh medis bagi Ivan Illich merupakan bagian dari medikalisasi tubuh, dalam hal ini adalah medikalisasi tubuh perempuan, di mana perempuan tidak memiliki otonomi, kontrol dan kendali atas tubuh, seksualitas dan kesehatan reproduksinya. Sebaliknya, perempuan dikondisikan untuk tergantung, ditentukan serta dikontrol pihak lain yang dianggap berwenang. Pencantuman ijin suami, atau dengan pasangan yang sah dalam Pasal-Pasal yang mengatur kesehatan reproduksi dalam UU Kesehatan merupakan tacit knowledge yang berlatar belakang kuatnya dominasi ideologi patriarki Pemikiran Simone de Beauvoir dan Ivan Illich serta beberapa pemikir lainnya, digunakan untuk menganalisis secara kritis sekaligus mendekonstruksi pola pikir (mindset), paradigma dan perspektif kebijakan pembangunan kesehatan reproduksi yang mempengaruhi upaya peningkatan kualitas kesehatan reproduksi perempuan serta penurunan Angka Kematian Ibu (AKI). Kata Kunci: tacit knowledge, perempuan sebagai liyan (the other), medikalisasi tubuh 134 Prosiding PKWG Seminar Series

150 Pendahuluan Dari berbagai penelitian ditemukan bahwa penerapan kebijakan kesehatan reproduksi yang bertujuan untuk pemenuhan hak kesehatan reproduksi perempuan belum optimal dan efektif. Banyak faktor yang mempengaruhi, antara lain: relatif rendahnya komitmen politik dalam pemenuhan hak kesehatan reproduksi perempuan; relatif rendahnya implementasi kebijakan pembangunan responsif gender dalam situasi dominasi atau hegemoni ideologis medis dan patriarki; masih relatif rendahnya pengetahuan dan peran masyarakat, khususnya laki-laki dalam penegakan hak reproduksi perempuan. Dominasi ideologi patriarki merupakan salah satu faktor yang menyebabkan belum optimal serta belum efektifnya kebijakan yang bertujuan untuk pemenuhan hak kesehatan reproduksi perempuan. Berbagai penelitian menunjukkan bahwa pandangan, pemahaman serta kepercayaan masyarakat tentang tubuh, seksualitas dan kesehatan perempuan berkontribusi terhadap wacana tubuh perempuan dalam kebijakan kesehatan reproduksi. Cara pandang, pemaknaan, kepercayaan serta perilaku yang berhubungan dengan tubuh, seksualitas dan kesehatan perempuan dipengaruhi oleh faktor-faktor sosial, budaya, ekonomi dan politik yang bekerja dalam kekuatan simbolik. Hasil beberapa penelitian tentang kesehatan reproduksi mengarahkan pada kesimpulan tentang pentingnya memperdalam dan mengevaluasi kebijakan kesehatan reproduksi di Indonesia, untuk mengungkap wacana tubuh perempuan dalam kebijakan kesehatan reproduksi sekaligus menguak dominasi ideologi medis dan patriarki. Dominasi ideologi medis dan patriarki sebagaimana tertuang dalam kebijakan kesehatan reproduksi perempuan merupakan bagian dari konstruksi budaya yang cenderung menempatkan tubuh, seksualitas dan kesehatan reproduksi Pinky Saptandari 135

151 perempuan dalam belenggu mitos dan tabu. Dijelaskan pula tentang posisi dasar perempuan yang lemah telah menjadikan perempuan sebagai objek dalam proses pertukaran sosial dan negosiasi kekuasaan, di mana tubuh serta seksualitas perempuan menjadi ajang perebutan pertempuran dan sarana untuk melegitimasi mitos kejantanan laki-laki. Menguatnya wacana tubuh perempuan dalam kebijakan kesehatan reproduksi akibat ketidaksetaraan dan keadilan gender merupakan suatu hal yang penting dan mendesak untuk diungkapkan, disingkap dan bahkan untuk dibongkar. Sebagaimana dikemukakan dalam RAN Pemenuhan Hak Kesehatan Reproduksi (2007: 13-16), bahwa: ketidak setaraan dan ketidak adilan gender, rendahnya kemampuan dan kesempatan perempuan dalam pengambilan keputusan, pemahaman akan hak reproduksi serta kondisi ekonomi mengakibatkan kurang terpenuhinya hak reproduksi perempuan. Ketika ketidak setaraan dan ketidak adilan gender terus terjadi, selama perempuan tidak memiliki akses dan posisi tawar dalam pengambilan keputusan, maka selama itulah hak kesehatan reproduksi perempuan sulit dapat terpenuhi. Makalah ini dikembangkan dari penelitian yang berjudul Wacana Tubuh Perempuan dalam Kebijakan Kesehatan Reproduksi (2011). Dalam makalah ini diuraikan tentang wacana tubuh perempuan dalam kebijakan kesehatan reproduksi dikaitkan dengan fungsi biologis perempuan sebagai akar permasalahan kerentanan kesehatan reproduksi perempuan serta kegagalan penurunan Angka Kematian Ibu (AKI).. Indikasi kegagalan penurunan AKI sebagai salah satu target Pembangunan Milenium (MDGs) sudah ditengarahi sejak lama, antara lain dipicu oleh bias gender pada pembuatan kebijakan. Pada kebijakan kesehatan reproduksi dalam Undang Undang Nomor 36 tahun 2009 tentang Kesehatan ditemukan adanya tekanan yang berlebihan pada wacana 136 Prosiding PKWG Seminar Series

152 tubuh perempuan sebagai tubuh medis. Perempuan dimaknai sebagai tubuh, itupun hanya sebatas tubuh biologis, dan secara lebih spesifik adalah kandungan. Mengacu pada pemikiran Simone de Beauvoir, hal ini menunjukkan bahwa perempuan diposisikan sebagai liyan (the Other) dalam kebijakan kesehatan reproduksi. Ke-liyan-an perempuan terkait dengan tubuh biologis sebagai produk pemusatan dari pengetahuan dan kebenaran yang dibangun oleh dominasi ideologi medis dan patriarki yang sangat maskulin, tidak memberi ruang dan peluang bagi perempuan untuk melakukan proses transendensi bagi tubuh dan seksualitas mereka. Di mana tubuh dan seksualitas menjadi Melalui etika ambiguitas dan etika sosial Simone de Beauvoir, dapat menjelaskan bahwa keliyanan perempuan berada dalam hubungan dominasi tidak memunculkan peluang hubungan yang bersifat secara timbal balik (resiprositas). Selain pemikiran Simone de Beauvoir tentang perempuan sebagai sang liyan (the Other), digunakan juga pemikiran Ivan Illich tentang medikalisasi, serta konsep tubuh patuh dari pemikiran Foucault untuk menjelaskan menguatnya dominasi ideologi medis dan patriarki. Kebijakan kesehatan reproduksi yang menekankan pada wacana tubuh perempuan sebagai tubuh medis merupakan medikalisasi kehidupan yang memerlukan perubahan secara mendasar dari akar permasalahannya. Dalam hal inilah pemikiran filsafat Simone de Beauvoir dan Ivan Illich dibutuhkan sebagai tempat berpijak untuk membongkar atau membuat perubahan yang mendasar. Upaya untuk mengungkapkan kecenderungan wacana tubuh perempuan sebagai tubuh biologis maupun sebagai tubuh medis dalam kebijakan kesehatan melalui pemikiran Ivan Illich tentang iatrogenesis yang mengarah pada medikalisasi tubuh hingga medikalisasi kehidupan. Terkait dengan adanya kecenderungan yang mengarah pada objektifikasi tubuh perempuan dalam kebijakan dan sistem Pinky Saptandari 137

153 layanan kesehatan dapat dihubungkan dengan pemikiran Ivan Illich yang menyoroti perkembangan dunia kedokteran yang semakin mengalami penurunan sisi kemanusiaan dan mengarah pada paternalistik. Pemikiran filsafat sebagai pembacaan wacana tubuh perempuan sebagai tubuh medis dalam kebijakan kesehatan reproduksi perempuan, memberikan gambaran yang utuh tentang eksistensi, makna dan cara pandang tentang tubuh, seksualitas dan kesehatan reproduksi perempuan. Suatu upaya mengurai dan menyingkap tentang tubuh perempuan yang selama ini dilihat sebagai biologis patologis dan dikonstruksikan dan dikendalikan melalui sudut pandang pemikiran patriarki. Untuk tujuan tersebut, digunakan metode penelitian yang dapat menganalisis dan menyingkap wacana tubuh perempuan dalam kebijakan kesehatan reproduksi perempuan. Disinilah dirasakan pentingnya menggunakan metode dan pendekatan filsafat yang dapat melakukan telaah terhadap pokok-pokok pikiran filosofis arus utama yang banyak dipengaruhi pemikiran patriarki, dengan filsafat yang mampu mengangkat pengalaman dan kebutuhan perempuan. Antara lain melalui filsafat perspektif feminis yang dikembangkan oleh Simone de Beauvoir. Melalui perspektif feminis dapat menjangkau semua disiplin dan menggunakan semua metode, kadang secara tunggal dan kadang dalam kombinasi. Penekanan pada inklusivitas dalam metode dan perspektif penelitian feminis terbukti produktif dan memberikan sumbangan pada apa yang disebut Jessie Bernard sebagai Renaissance Perempuan atau Pencerahan Feminis, sebagaimana dijelaskan Shulamit (2005: ). Telaah terhadap Kebijakan Nasional tentang Kesehatan Reproduksi Untuk mengungkapkan adanya kecenderungan wacana tubuh perempuan dalam kebijakan kesehatan reproduksi, 138 Prosiding PKWG Seminar Series

154 diambil dari data kebijakan kesehatan nasional yang dianggap relevan. Data-data tentang kebijakan kesehatan reproduksi diambil dari: Undang-Undang Nomor 36/2009 tentang Kesehatan melalui Pasal-Pasal yang mengatur kesehatan reproduksi (Pasal 71, 72, 73, 74, 75, 76, 77, 78, dan 136) yang disandingkan dengan Rencana Aksi Nasional (RAN) Pemenuhan Hak Kesehatan Reproduksi (2007). Berikut matriks-matrik Pasal-Pasal yang mengatur kesehatan reproduksi dalam UU Kesehatan disandingkan dan dibandingkan dengan RAN pemenuhan Hak Kesehatan Reproduksi. Pinky Saptandari 139

155 MATRIKS I PERSANDINGAN PASAL 72 UU KSEHATAN DAN 12 HAK KESEHATAN REPRODUKSI PEREMPUAN DALAM RAN PEMENUHAN HAK KESPRO PEREMPUAN Pasal 72 (a,b,c,d) Setiap orang berhak a. Menjalani kehidupan reproduksi dan kehidupan seksual yang sehat, aman, serta bebas dari paksaan dan/atau kekerasan dengan pasangan yang sah. b. Menentukan kehidupan reproduksinya dan bebas dari diskriminasi, paksaan, dan/atau kekerasan yang menghormati nilai-nilai luhur yang tidak merendahkan martabat manusia sesuai dengan norma agama. 12 Hak Kesehatan Reproduksi Perempuan 1. Hak Untuk menentukan kapan ia akan melahirkan, berapa jumlah anak & berapa lama jarak tiap anak yang dilahirkan. 2. Hak untuk mendapatkan pelayanan dengan standar tertinggi & perlindungan yang berkaitan dengan fungsi reproduksinya. 3. Hak Untuk mendapatkan komunikasi, informasi & edukasi yang berkaitan dengan fungsi reproduksinya tersebut. 4. Hak Untuk mendapatkan kebebasan & keamanan dalam melakukan kegiatan seksual tanpa paksaan, diskriminasi dan kekerasan. 5. Hak Untuk mendapatkan kebebasan dari penganiayaan & perlakukan buruk termasuk perlindungan dari perkosaan, kekerasan, penyiksaan & pelecehan seksual. 6. Hak Untuk mendapatkan Telaah Ada perbedaan prinsip antara UU Kesehatan dan RAN Pemenuhan Hak Kesehatan Reproduksi dalam pemenuhan hak kesehatan reproduksi perempuan. Dalam UU Kesehatan tekanan pada norma agama, sedangkan pada RAN Hak Kesehatan Reproduksi Perempuan tekanan pada standar layanan tertinggi & perlindungan yg berkaitan dengan fungsi reproduksinya. Pada UU Kesehatan pemenuhan hak KIE mengenai Kesehatan Reproduksi ada tambahan kalimat 140 Prosiding PKWG Seminar Series

156 c. Menentukan sendiri kapan dan berapa sering ingin bereproduksi sehat secara medis serta tidak bertentangan dengan norma agama. d. Memperoleh informasi, edukasi & konseling mengenai Kesehatan Reproduksi yang benar dan dapat dipertanggungja wabkan. kebebasan dalam berpikir tentang fungsi reproduksinya. 7. Hak Untuk dilindungi dari kematian karena kehamilan. 8. Hak Mendapat manfaat kemajuan ilmu pengetahuan yang berkaitan dengan fungsi reproduksinya. 9. Hak Atas kerahasiaan pribadi berkaitan dengan pilihan atas pelayanan & kehidupan reproduksinya. 10. Hak Untuk membangun & merencanakan keluarga. 11. Hak Untuk bebas dari segala bentuk diskriminasi dalam kehidupan berkeluarga & kehidupan reproduksinya. 12. Hak Atas kebebasan berkumpul & berpartisipasi dalam politik yang berkaitan dengan kehidupan reproduksinya. yang benar & dapat dipertanggungjawa bkan, Sebaliknya dalam 12 hak Kespro perempuan, KIE berhubungan dengan hak mendapat manfaat kemajuan ilmu pengetahuan yang berkaitan dengan fungsi reproduksinya. Hasil pengamatan terhadap Matriks I tersebut menghasilkan beberapa catatan sebagai berikut: 1. Walaupun perihal kesehatan reproduksi perempuan sudah diakomodasikan dan bahkan banyak diatur dalam Undang- Undang Nomor 36/2009 tentang Kesehatan. Namun, pengaturan dalam Undang-Undang Kesehatan belum sepenuhnya mengakomodasikan 12 hak kesehatan reproduksi perempuan secara utuh. Pinky Saptandari 141

157 2. Ditemukan ada perbedaan yang sangat mendasar/prinsip antara pengaturan kesehatan repoduksi pada Undang- Undang Kesehatan dengan 12 hak kesehatan reproduksi perempuan yang dimuat dalam RAN Pemenuhan Hak Kesehatan Reproduksi Perempuan. 3. Beberapa perbedaan prinsip yang ditemukan dalam dua produk kebijakan yang mengatur kesehatan reproduksi yaitu UU Kesehatan dan RAN Pemenuhan Hak Kesehatan Reproduksi: a. Pada Undang-Undang Kesehatan pengaturan kesehatan reproduksi penekanan pada norma agama. Sedangkan pada 12 Hak Kesehatan Reproduksi Perempuan penekanan pada standar layanan tertinggi & perlindungan yang berkaitan dengan fungsi reproduksinya; b. Pada Undang-Undang Kesehatan diatur tentang hak memperoleh komunikasi informasi dan edukasi (KIE) mengenai Kesehatan Reproduksi yang benar & dapat dipertanggungjawabkan. Sedangkan dalam 12 Hak Kesehatan Reproduksi Perempuan, KIE tersebut berhubungan dengan hak untuk mendapat manfaat kemajuan ilmu pengetahuan yang berkaitan dengan fungsi reproduksinya; c. Pengaturan tentang kesehatan reproduksi perempuan dalam Undang-Undang Kesehatan belum memasukkan tiga prinsip dasar dalam pemenuhan Hak Kesehatan Reproduksi Perempuan. Pengaturan kebijakan kesehatan reproduksi belum secara tegas dan jelas memasukkan aturan yang menjamin pemenuhan (to fullfil) hak reproduksi bagi setiap perempuan tanpa melihat umur, asal, etnis, agama, kemampuan fisik dan mental, status warga, status HIV, dan status sosialekonomi; menjamin penghargaan (to respect) atas hak 142 Prosiding PKWG Seminar Series

158 reproduksi perempuan; serta menjamin perlindungan (to protect) atas hak reproduksi perempuan; d. Pengaturan kesehatan reproduksi pada Undang-Undang Kesehatan terfokus pada upaya melakukan kontrol dan pembatasan terhadap tubuh perempuan. Bentuk kontrol dan pembatasan antara lain dapat dilihat dari pencantuman kata-kata pasangan yang sah, serta ijin dari suami, serta perumusan kalimat sesuai dengan norma agama dan rumusan kalimat yang benar dan dapat dipertanggungjawabkan. e. Pada bagian Penjelasan UU Kesehatan, dicantumkan: asas norma agama berarti pembangunan kesehatan harus memperhatikan dan menghormati serta tidak membedakan agama yang dianut masyarakat. Terdapat kesan yang kuat bahwa penggunaan asas norma agama tersebut merupakan asas yang melakukan kontrol dan pembatasan atas nama agama, dan tidak ditujukan untuk mencapai standar layanan tertinggi dan perlindungan yg berkaitan dengan fungsi reproduksinya sebagaimana tertuang dalam 12 Hak Kesehatan Reproduksi Perempuan; Terdapat perkecualian-perkecualian serta ketidak jelasan peraturan yang dapat dimaknai secara beragam. Sebagaimana dapat dilihat pada: 1. Pasal 72 (a) UU Kesehatan disebutkan bahwa setiap orang berhak menjalani kehidupan reproduksi dan kehidupan seksual yang sehat, aman, serta bebas dari paksaan dan/atau kekerasan dengan pasangan yang sah. Dikatakan setiap orang berhak, namun ada perkecualian berupa pembatasan yaitu harus dengan pasangan yang sah. Rumusan tersebut juga menimbulkan pertanyaan tentang hak perempuan lajang atau yang tak bersuami untuk menjalani kehidupan reproduksi dan kehidupan seksual Pinky Saptandari 143

159 yang sehat, aman serta bebas dari paksaan dan/atau kekerasan, kalau aturan tersebut dibatasi dengan pasangan yang sah. Apakah hak kesehatan reproduksi dan hak kesehatan seksual tidak akan dipenuhi bila yang bersangkutan tidak memiliki status suami sah?; 2. Tidak jelas apa yang dimaksud dengan pengertian: menjalani kehidupan reproduksi dan kehidupan seksual yang sehat, aman, serta bebas dari paksaan dan/atau kekerasan dengan pasangan yang sah? Aturan tersebut mengasumsikan bahwa masalahan kesehatan reproduksi adalah permasalahan bagi perempuan yang memiliki suami, bukan permasalahan bagi perempuan lajang atau yang tidak berstatus memiliki suami. Bila asumsi tersebut yang dibangun dan dikonstruksikan dalam sebuah aturan, maka akan terjadi diskriminasi di mana hak mendapat layanan menjadi tidak terbuka bagi siapa saja tanpa kecuali. Karena hanya mereka yang memiliki pasangan sah saja yang mempunyai akses untuk menerima layanan kesehatan reproduksi. Terdapat kecenderungan pendekatan normatif pada Undang-Undang Kesehatan khusus ditujukan pada pengaturan kesehatan reproduksi: 1. Rambu-rambu norma agama ditemukan pada hampir semua pengaturan kesehatan reproduksi. Menarik untuk ditelaah mengapa rumusan kalimat tidak bertentangan dengan norma agama tidak dijumpai pada Pasal-Pasal lain, misalnya pada Pasal 152 yang mengatur Penyakit Menular. Asas norma agama lebih banyak diterapkan pada pengaturan kebijakan kesehatan reproduksi dan tidak pada Pasal-pasal yang lain. 2. Dirasakan kurang relevan dan akan menyulitkan bila urusan tubuh dan kesehatan yang tertuang pada suatu kebijakan kesehatan selalu dihubung-hubungkan dan diberi rambu-rambu norma agama. Patut diduga akan 144 Prosiding PKWG Seminar Series

160 terjadi kesulitan untuk melaksanakan secara konsisten upaya pemenuhan hak kesehatan reproduksi perempuan apabila selalu dibungkus dengan terminologi sesuai dengan norma agama. Terlebih-lebih bila karena tekanan pada norma agama tersebut cenderung mengabaikan pada asas-asas lain yang tidak kalah pentingnya dan lebih komprehensif seperti asas perikemanusiaan, asas perlindungan, ataupun asas gender dan non-diskriminasi. MATRIKS II PERSANDINGAN PASAL 75 (1), (2), (3) UU KESEHATAN & 3 PRINSIP PEMENUHAN HAK KESEHATAN REPROODUKSI PEREMPUAN DALAM RAN PEMENUHAN HAK KESEHATAN REPRODUKSI PEREMPUAN Pasal 75 Tentang Aborsi (1) Setiap orang dilarang melakukan aborsi (2) Larangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dikecualikan berdasarkan: a. Indikasi kedaruratan medis yang dideteksi sejak usia dini kehamilan, baik yang mengancam nyawa ibu dan/atau janin, yang menderita penyakit genetik berat dan/atau cacat bawaan, maupun yang tidak dapat diperbaiki sehingga 3 Prinsip Dasar Pemenuhan Hak Kespro Perempuan (1) Menjamin pemenuhan (to fullfil) hak reproduksi bagi setiap perempuan tanpa melihat umur, asal, etnis, agama, kemampuan fisik dan mental, status warga, status HIV, dan status sosialekonomi. (2) Menjamin penghargaan (to respect) atas hak reproduksi Telaah Perihal aborsi dilarang dengan perkecualian, diatur dalam Pasal 75.. Pinky Saptandari 145

161 menyulitkan bayi tersebut hidup di luar kandungan; atau b. Kehamilan akibat perkosaan yang dapat menyebabkan trauma psikologis bagi korban perkosaan. (3) Tindakan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) hanya dapat dilakukan setelah melakukan konseling dan/atau penasehatan pratindakan dan diakhiri dengan konseling pasca tindakan yang dilakukan oleh konselor yang kompeten dan berwenang. perempuan. (3) Menjamin perlindungan (to protect) atas hak reproduksi perempuan MATRIKS III PERSANDINGAN TIGA PRINSIP PEMENUHAN HAK KESEHATAN REPRODUKSI PEREMPUAN DALAM RAN KESPRO & PASAL 76 (a,b,c,d) UNDANG-UNDANG KESEHATAN 3 Prinsip Dasar Pemenuhan Hak Kespro Perempuan 1. Menjamin pemenuhan (to fullfil) hak reproduksi bagi setiap perempuan Pasal 76 Aborsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 75 hanya dapat dilakukan : a. sebelum kehamilan berumur 6 minggu dihitung dari hari Telaah Perihal aborsi dilarang dengan perkecualian, diatur dalam Pasal Prosiding PKWG Seminar Series

162 tanpa melihat umur, asal, etnis, agama, kemampuan fisik dan mental, status warga, status HIV, dan status sosialekonomi. 2. Menjamin penghargaan (to respect) atas hak reproduksi perempuan. 3. Menjamin perlindungan (to protect) atas hak reproduksi perempuan. pertama haid terakhir, kecuali dlm hal kedaruratan medis; b. oleh tenaga kesehatan yang memiliki ketrampilan dan kewenangan yang memiliki sertifikat yang ditetapkan oleh menteri; c. dengan persetujuan ibu hamil yang bersangkutan; d. dengan izin suami, kecuali korban perkosaan; dan penyedia layanan kesehatan yang memenuhi syarat yang ditetapkan oleh Menteri.. Berdasarkan pengamatan pada Matriks II dan III, beberapa catatan yang dapat dikumpulkan, adalah sebagai berikut: 1. Adanya rumusan kalimat Kehamilan akibat perkosaan yang dapat menyebabkan trauma psikologis bagi korban perkosaan. Rumusan kalimat tersebut merupakan cermin ketidak-pekaan serta sikap tidak ber-empati pada kondisi korban perkosaan. Apakah ada korban perkosaan yang tidak mengalami trauma psikologis?; 2. Seseorang boleh menjalani aborsi apabila merupakan korban perkosaan. Bagaimana mekanisme untuk menentukan seseorang korban perkosaan atau bukan? Siapa yang berwenang menentukan atau memutuskan Pinky Saptandari 147

163 bahwa seseorang dinyatakan sebagai korban perkosaan? Pasal ini mengandung kerancuan tentang pengertian siapa yang dimaksud dengan korban perkosaan, yang dapat menimbulkan peluang multi-tafsir tentang pengertian korban perkosaan antara korban dan masyarakat, termasuk petugas kesehatan dan hukum yang menangani; 3. Walaupun pengaturan yang dicantumkan sebagai perkecualian dimaksudkan sebagai peluang/celah bagi upaya untuk menjalankan aborsi secara aman. Namun, kalimat perkecualian harus disikapi secara hati-hati karena dapat menimbulkan multi-tafsir, terutama pada pengaturan tentang keharusan koseling pada konselor. Disebutkan bahwa yang dapat menjadi konselor adalah: dokter, psikolog, tokoh masyarakat, tokoh agama, dan setiap orang yang mempunyai minat dan memiliki ketrampilan untuk itu. Kalau pengertian konselor yang digunakan adalah seperti yang tertuang dalam bagian penjelasan Undang-Undang tersebut, dalam praktiknya akan berpeluang menimbulkan permasalahan baru. Kecuali, ada aturan yang jelas dalam bentuk Peraturan Pemerintah (PP) yang dan tegas dan jelas lembaga dan profesi apa saja yang dapat melaksanakan pendidikan dan pelatihan serta boleh mengeluarkan sertifikat; 4. Memasukkan tokoh masyarakat, tokoh agama dan setiap orang yang berminat dan memiliki ketrampilan untuk itu sebagai konselor sebagaimana halnya dokter atau psikolog, membutuhkan suatu studi kelayakan yang mendalam disertai pertimbangan yang bijak. Dalam hal ini dapat dilihat bahwa memasukkan tokoh masyarakat dan tokoh agama (yang sebagian besar adalah laki-laki) sebagai konselor juga merupakan suatu indikasi bahwa kewenangan untuk mengatur tubuh dan kesehatan perempuan diberikan kepada pihak lain, dalam hal ini 148 Prosiding PKWG Seminar Series

164 adalah tokoh laki-laki yang memiliki atau bahkan diberi kewenangan untuk bertindak sebagai konselor; 5. Adanya pencantuman perihal ijin suami dalam aborsi. Tidak jelas apa relevansi ijin suami dalam aborsi. Selain dinilai tidak relevan dan tidak jelas tujuannya, dalam praktiknya tidak mudah bagi mereka yang mau melakukan aborsi untuk mendapatkan ijin suami karena berbagai alasan; 6. Apakah pengaturan tentang aborsi pada Undang-Undang Kesehatan yang diatur melalui Pasal 75 dan Pasal 76 tersebut dapat memenuhi tiga prinsip dasar pemenuhan hak kesehatan reproduksi perempuan, yakni menjamin pemenuhan, menjamin penghargaan serta menjamin perlindungan terhadap pemenuhan hak kesehatan reproduksi perempuan?; 7. Pengaturan aborsi patut dipikirkan secara bijak, agar tidak sekedar melarang yang dapat menimbulkan permasalahan baru dengan maraknya aborsi yang tidak aman. Diperkirakan aborsi tidak aman berkontribusi sebanyak 11-30% terhadap angka kematian ibu. Berdasarkan telaah pada data-data kebijakan kesehatan reproduksi termasuk catatan pada tiga matriks, terdapat 9 temuan yang menunjukkan adanya ketidak-konsistenan dalam kebijakan kesehatan reproduksi, sebagaimana dapat dibaca dalam uraian-uraian berikut: Pertama, pada Pasal 2 UU Kesehatan telah memuat asasasas dalam pembangunan kesehatan, yakni: asas perikemanusiaan, manfaat, perlindungan, penghormatan terhadap hak-hak dan kewajiban, keadilan, gender dan nondiskriminatif, serta norma-norma agama. Namun, terdapat ketidak-konsistenan pada penjabaran Asas-Asas tersebut dalam Pasal demi Pasal Undang-Undang Kesehatan, di mana asas yang digunakan hanya asas norma agama sebagaimana dapat dilihat pada Pasal-Pasal dalam UU Pinky Saptandari 149

165 Kesehatan. Sedangkan asas-asas lain seperti: perikemanusiaan, manfaat, perlindungan, penghormatan terhadap hak-hak dan kewajiban, keadilan, gender dan nondiskriminatif, tidak digunakan dalam penjabaran pada Pasal- Pasal, khususnya pada Pasal yang mengatur Kesehatan Reproduksi. Kedua, pada UU Kesehatan masih terdapat beberapa pengaturan yang tumpang-tindih. Ada masalah kontrasepsi diatur dalam Pasal Kesehatan Reproduksi, tetapi juga ada pengaturan perihal Upaya Kehamilan Diluar Cara yang Alamiah yang diatur dalam Pasal Kesehatan Ibu. Ketiga, pada UU Kesehatan dapat dilihat beberapa kerancuan pengertian tentang: kesehatan reproduksi perempuan, keluarga berencana, kesehatan ibu, dan kesehatan seksual. Dapat dilihat dari ketidakjelasan apa yang dimaksud dengan pengertian-pengertian tentang kesehatan reproduksi, keluarga berencana dan kesehatan ibu. Selain itu juga dalam kebijakan kesehatan reproduksi diwarnai ketidak-konsistenan karena tidak diaturnya kesehatan seksual. Keempat, pada Undang-Undang Kesehatan, terdapat permasalahan tentang kewajiban Pemerintah dalam memberikan informasi dan sarana pelayanan kesehatan reproduksi yang aman, bermutu dan terjangkau, terkait dengan tidak ada penjelasan yang cukup sebagaimana prasyarat untuk memberikan informasi dan sarana pelayanan kesehatan yang aman, bermutu dan terjangkau. Dapat disebutkan bahwa dalam UU Kesehatan terdapat suatu pengaturan yang bersifat kontradiktif dengan realitas yang ada pada masyarakat yang menunjukkan keterbatasan akses perempuan terhadap informasi dan pelayanan kesehatan karena kendala sosial, budaya, ekonomi dan politik. Kelima, walaupun pengaturan kesehatan reproduksi pada UU Kesehatan tidak secara eksplisit menyatakan bahwa yang 150 Prosiding PKWG Seminar Series

166 diatur adalah kesehatan reproduksi perempuan, namun fokus pengaturan kesehatan reproduksi cenderung pada kesehatan reproduksi perempuan. Dalam UU Kesehatan pengaturan kesehatan reproduksi dimaknai hanya sebagai urusan perempuan di mana pengaturan hanya dibatasi pada seputar kehamilan dan aborsi, sedangkan perihal haid dan menopause tidak diatur. Keenam, pengaturan kesehatan reproduksi perempuan hanya dibatasi pada kesehatan fisik yang berkaitan dengan fungsi biologis reproduksi semata. Dalam UU Kesehatan tidak ditemukan pengaturan kesehatan reproduksi perempuan secara utuh (holistik) yang meliputi kesehatan secara fisik, psikis, mental dan sosial. Pada Bagian Penjelasan UU Kesehatan: hanya tertulis meliputi upaya promotif, preventif, kuratif dan rehabilitatif. Ketujuh, pengaturan kesehatan reproduksi dalam UU Kesehatan tidak diatur secara eksplisit perihal kesehatan reproduksi laki-laki. Tidak diaturnya kesehatan reproduksi laki-laki dapat dilihat sebagai: ketidak-konsistenan, pengingkaran serta diskriminasi dalam pengaturan kesehatan reproduksi pada Undang-Undang Kesehatan. Padahal pada Pasal 71 ayat (1) Undang-Undang Kesehatan dijelaskan pengertian kesehatan reproduksi yang merupakan keadaan sehat secara fisik, mental, dan sosial secara utuh, tidak semata-mata bebas dari penyakit atau kecacatan yang berkaitan dengan sistem, fungsi, dan proses reproduksi pada laki-laki dan perempuan. Selain tidak mengatur kesehatan reproduksi laki-laki, dalam UU Kesehatan tersebut juga tidak mengatur peranserta laki-laki dalam menegakkan pemenuhan hak kesehatan reproduksi perempuan. Kedelapan, tidak diaturnya kesehatan reproduksi maupun peranserta laki-laki juga merupakan petunjuk tentang ketidak-konsistenan dan pengabaian terhadap kebijakan serta dokumen-dokumen yang sudah ada sebelumnya, antara lain: (i) UU No.7 /1984 tentang ratifikasi CEDAW; (ii) Pinky Saptandari 151

167 Inpres No.9 Tahun 2000 tentang Pengarusutamaan Gender dalam semua bidang pembangunan; (iii) Buku Pintar Gender Panduan Pelayanan Sensitif Gender Bagi Petugas Kesehatan, yang dihasilkan oleh Departemen Kesehatan RI tahun 2006; (iv) Pedoman Umum Pelaksanaan Revitalisasi Gerakan Sayang Ibu (GSI) yang dikeluarkan Kementerian Pemberdayaan Perempuan pada tahun Kesembilan, dalam UU Kesehatan, perihal kesehatan reproduksi maupun kesehatan seksual remaja belum mendapat perhatian serius sebagaimana dapat dilihat pada Pasal 136 dan Pasal 137. Padahal dalam Kebijaksanaan Program Pencegahan & Pemberantasan IMS Termasuk AIDS di Indonesia, yang dikeluarkan oleh Subdirektorat Pencegahan & Pemberantasan IMS/AIDS dan Frambusia Direktorat Jenderal PPM&PLP, Departemen Kesehatan RI (2007), disebutkan bahwa sasaran kebijaksanaan tentang IMS dan AIDS adalah kelompok masyarakat dalam usia seksual aktif, yaitu mereka yang berusia 14 sampai 45 tahun, yang dibagi menjadi kelompok resiko tinggi dan rendah tertular IMS termasuk AIDS. Remaja usia 14 tahun yang umumnya duduk dibangku sekolah tingkat SMP merupakan kelompok usia yang sudah waktunya untuk mendapat pelayanan KIE dan sarana pelayanan kesehatan reproduksi yang memuat juga materi tentang kesehatan seksual. Kebijakan Kesehatan Reproduksi dalam Wacana Tubuh Perempuan: Perspektif Filsafat Ketika terjadi monopoli medis dengan dominasi kekuasaan politik patriarki pada kebijakan kesehatan reproduksi di mana diproduksi oleh sebentuk transformasi sosio-politik oleh lembaga-lembaga yang berwenang, maka dapat dipergunakan terminologi iatrogenesis sosial. Suatu terminologi yang menunjuk pada desain menyeluruh yang mengarah pada pergeseran paradigma kesehatan, yang sepenuhnya 152 Prosiding PKWG Seminar Series

168 disebabkan oleh transformasi sosio-ekonomi oleh lembagalembaga yang berwenang. Social iatrogenesis terlihat bekerja pada saat kebijakan dan pelayanan kesehatan berganti menjadi item-item yang terstandardisasikan, diseragamkan secara kaku, dengan tekanan kuat pada paternalisasi medis. Ditengarahi menguatnya paternalisasi dalam dunia kedokteran dan kebijakan kesehatan yang memiliki kecenderungan menempatkan tubuh dan kesehatan perempuan sebagai objek, diperkuat oleh model mekanistik dan pendekatan biomedis non-holistik yang selama ini dianut dalam ilmu kedokteran. Kecenderungan iatrogenesis klinis hingga iatrogenesis budaya yang merupakan pertanda menguatnya ideologi medis dan budaya patriarki yang mendorong medikalisasi tubuh perempuan patut dicermati, khususnya pada kebijakan kesehatan reproduksi yang ada pada Undang-Undang Kesehatan. Melalui pemikiran Ivan Illich dan Winkelman tentang hubungan iatrogenesis, medikalisasi dan kesehatan reproduksi semakin menyakinkan adanya kecenderungan tubuh dan kesehatan reproduksi perempuan ditempatkan sebagai objek yang diperkuat oleh model mekanis dan pendekatan biomedis. Hal tersebut semakin diperkuat oleh masuknya prasangka sosial budaya dalam teks-teks rumusan kebijakan kesehatan reproduksi, yang menunjukkan bahwa: (a) Tubuh perempuan dianggap tidak normal karena kekhususan yang dimiliki karena fungsi biologis reproduksi sehingga membutuhkan treatment medis; (b) Perempuan bukan makhluk bebas, bukan makhluk otonom, ia tergantung dan ditentukan oleh pihak lain; (c) Tubuh dan seksualitas perempuan dianggap sebagai ancaman moral, karenanya harus dikontrol dan dibatasi secara ketat. Hal ini terutama nampak pada pengaturan tentang aborsi. Eksistensi perempuan dalam kebijakan kesehatan reproduksi dimaknai sebatas kandungan. Pengaturan kesehatan reproduksi pada Undang-Undang Kesehatan Pinky Saptandari 153

169 membakukan anggapan bahwa perempuan adalah kandungan; suatu konsep atau kerangka berpikir yang menempatkan perempuan sebatas tubuh biologis, itupun hanya dalam kaitan dengan rahim atau kandungan, yang semakin menegaskan keliyanan perempuan. Perempuan adalah liyan dalam kebijakan kesehatan reproduksi, di mana penekanan pada tubuh biologis yang dipersempit pada rahim. Prinsip resiprositas timbal balik dalam etika Simone de Beauvoir tidak dapat terwujud khususnya berhubungan objektifikasi tubuh dan seksualitas perempuan. Melalui pemikiran Simone de Beauvoir dan Ivan Illich dapat disimpulkan bahwa dominasi penggunaan asas norma agama dan moralitas dalam pengaturan kesehatan reproduksi mengindikasikan bahwa tubuh dan kesehatan reproduksi perempuan menjadi ajang perebutan kekuasaan, di mana asas norma agama menjadi sarana legitimasi kontrol terhadap tubuh dan kesehatan reproduksi perempuan. Suatu bentuk kontrol yang berangkat dari pandangan bahwa tubuh dan seksualitas perempuan adalah ancaman moral yang dapat membahayakan masyarakat. Bahwa tubuh dan seksualitas menjadi hambatan bagi perempuan untuk dapat bertransedensi untuk diakui eksistensinya. Dominasi ideologi medis dan patriarki membuat over medikalisasi terhadap tubuh perempuan terus berlangsung. Etika sosial dan etika ambiguitas Simone de Beauvoir menjadi pemikiran penting untuk mengkritisi dominasi patriarki pada tubuh dan seksualitas perempuan. Dominasi patriarki tidak memberi ruang pada relasi yang bersifat timbal-balik, yang digambarkan Simone de Beauvoir sebagai etika resiprositas dalam intensionalitas sosial. Digunakan pemikiran Ivan Illich tentang kecenderungan kontrol bio-medis dan pengembangan industri yang mengarah pada medikalisasi kehidupan. Bahwa kontrol bio-medis dalam tradisi medis berlangsung secara sistemik dan hegemonik, dan dominasi kekuasaan patriarki telah menjadi bagian dari 154 Prosiding PKWG Seminar Series

170 tradisi medis, yang masuk ke dalam kebijakan, aturan-aturan maupun pada praktik-praktik layanan kesehatan reproduksi. Kebijakan dan praktik Keluarga Berencana merupakan contoh nyata betapa kuatnya kontrol biomedis terhadap tubuh, seksualitas dan kesehatan reproduksi perempuan. Dominasi ideologi medis dan patriarki dalam kebijakan kesehatan reproduksi perempuan tersebut menjadi ruang persemaian subur bagi medikalisasi tubuh perempuan yang mengarah pada medikalisasi kehidupan. Melalui perspektif filsafat dapat ditelaah secara kritis perihal wacana dominan, yakni wacana yang terbentuk dari ideologi medis dan ideologi patriarki yang mengakibatkan tidak terpenuhinya hak kesehatan reproduksi perempuan serta timbulnya berbagai permasalahan kesehatan reproduksi perempuan, termasuk terjadinya berbagai bentuk kontrol yang ketat serta pemaksaan yang mengarah pada kekerasan pada tubuh perempuan. Pengaturan bagi kesehatan reproduksi perempuan yang ditujukan sebagai bentuk kontrol, pembatasan dan bahkan pemaksaan tersebut, berjalan sedemikian rupa sehingga medikalisasi pada tubuh perempuan seolah hal yang wajar, seolah menjadi kesepakatan antara yang mengatur dan diatur. Dalam hal ini konsep tubuh patuh dari pemikiran Foucault dapat menjelaskan menguatnya dominasi ideologi medis dan patriarki. Asas gender dan non-diskriminasi yang merupakan komitmen Pemerintah hasil perjuangan dan telah diratifikasi dalam berbagai bentuk kebijakan, dan dicantumkan dalam UU Kesehatan, belum diterapkan secara sungguh-sungguh. Padahal Indonesia telah memiliki Undang-Undang No.7/1984 tentang Penghapusan Segala Bentuk Disrikriminasi Terhadap Perempuan. Apabila hal yang sangat mendasar dan prinsip tersebut tidak dilaksanakan secara sungguh-sungguh pada pembuatan kebijakan kesehatan reproduksi, maka akan sulit tercapai pemenuhan hak kesehatan reproduksi perempuan. Pinky Saptandari 155

171 Kesimpulan Kebijakan Kesehatan Reproduksi yang tertuang pada Undang-Undang Kesehatan Republik Indonesia menunjukkan adanya tekanan yang sangat kuat pada wacana tubuh perempuan sebagai tubuh medis yang mengarah pada medikalisasi tubuh perempuan. Melalui 9 temuan tentang ketidak-konsistenan kebijakan kesehatan reproduksi, dapat dilihat bahwa komitmen Pemerintah dalam pemenuhan hak kesehatan reproduksi perempuan masih sangat kuat diwarnai ambiguitas atau kemenduaan, ketidak-konsistenan dan juga pertentangan antar Pasal-Pasal yang mengatur kesehatan reproduksi perempuan. Ditemukan adanya bentuk-bentuk pengingkaran, pengabaian, penolakan, serta diskriminasi terhadap perempuan dalam penyusunan kebijakan. Dapat disimpulkan bahwa kebijakan kesehatan reproduksi dalam wacana tubuh perempuan dengan penjelasan bahwa: (i) dalam kebijakan kesehatan reproduksi terdapat kecenderungan monopoli medis yang menyebabkan terjadinya proses medikalisasi tubuh yang mengarah pada iatrogenisis sosial dan budaya yang akan mempengaruhi upaya pemenuhan hak kesehatan reproduksi perempuan; (ii) adanya kecenderungan pengabaian sisi personal perempuan, di mana perempuan ditempatkan sebagai sang Liyan; (iii) adanya kecenderungan untuk penyeragaman dengan menguatnya asas norma agama, patut menjadi catatan penting yang dapat menjadi efek samping yang tidak diharapkan yang melalui konsep iatrogenesis. Rekomendasi Telaah kritis melalui perspektif filsafat pada kebijakan kesehatan reproduksi dalam wacana tubuh perempuan yang mengarah pada over medikalisasi, diharapkan dapat mendorong suatu perubahan yang mendasar pada kebijakan kesehatan reproduksi, untuk: (i) membangun alternatif 156 Prosiding PKWG Seminar Series

172 wacana dalam kebijakan kesehatan reproduksi, yakni wacana yang memberi ruang bagi pemberdayaan holistik dalam pemenuhan hak kesehatan reproduksi perempuan; (ii) mendorong perubahan mendasar dalam kebijakan, sikap dan perilaku pembuat kebijakan dan provider kesehatan; (iii) mendorong terwujudnya perbaikan dalam etika sosial dan profesi dalam sistem layanan kesehatan, khususnya dalam layanan kesehatan reproduksi. Berikut ini adalah beberapa rekomendasi: 1. Pentingnya melakukan perubahan mendasar pada pola pikir & kebijakan, yang membuat perempuan memiliki akses dan terlibat dalam proses penciptaan realitas kultural dan politik yang menjadi dasar pembuatan kebijakan kesehatan reproduksi. Perubahan mendasar perlu dilakukan agar: perempuan lebih paham serta memiliki hak untuk memaknai tubuh, seksualitas dan kesehatan reproduksinya sendiri tanpa harus dikontrol, didikte oleh kekuasaan yang didominasi patriarki; mendesak untuk membongkar dominasi ideologi medis dan budaya patriarki; menggugah kesadaran laki-laki bahwa wacana kekuasaan atas tubuh perempuan sebagai tubuh medis merupakan peliyanan dan medikalisasi tubuh perempuan. Disinilah pemikiran filsafat diperlukan sebagai tempat berpijak dalam mengkritis serta menelaah perihal eksistensi perempuan dalam kebijakan kesehatan, khususnya dalam kesehatan reproduksi terkait dengan upaya menekan angka kematian ibu (AKI). 2. Dekonstruksi terhadap paradigma biomedis nonholistik yang dianut dunia kedokteran yang merasa bahwa mereka hanya berurusan dengan tubuh dan penyakit dianggap sebagai ketidakberfungsian mekanisme biologis yang dipelajari dari sudut pandang biologi sel dan molekul. Perlu perubahan mendasar dalam Ilmu Kedokteran, khususnya dengan lebih memberi perhatian pada materi pendidikan tentang etika dan filsafat kedokteran. Pinky Saptandari 157

173 3. Pendekatan holistik yang melibatkan lintas disiplin ilmu, di mana diharapkan agar ilmu pengetahuan, termasuk ilmu filsafat, tidak tersekat-sekat namun saling menyapa dan mengisi ruang-ruang kebenaran ilmu pengetahuan dan kebijakan kesehatan dan berorientasi pada pemenuhan hak asasi manusia. Melalui pendekatan holistik, paradigma Ilmu Kedokteran dan kebijakan kesehatan yang cenderung menggunakan pendekatan political-economy, dengan kontrol biomedisin dan pengembangan industri, didorong untuk kembali ke jalan yang benar, dengan memperhatikan aspek nilai-nilai kemanusiaan. Pendekatan holistik merupakan sumbangan ilmu antropologi, yang tidak hanya melihat penyakit sebagai disease, sebagaimana pandangan medis tetapi juga melihatnya sebagai keadaan sakit (illness) sebagaimana dianut oleh masyarakat. 4. Membuat perubahan melalui pendekatan holistik dengan mendorong Wawasan Kesehatan Baru pada Sistem Kesehatan Nasional, yang menurut Farid Afansa Moeloek (2004) dapat dilaksanakan dengan pendekatan multi disiplin ilmu dan multi sektor, di mana perlu ada revisi pada mindset dan paradigma lama. Bahwa kesehatan adalah hak asasi manusia dan investasi masa depan bangsa dan negara. Dengan permasalahan baru, kesehatan tidak dapat diselesaikan dengan Mindset dan Paradigma Lama, namun hanya dapat diselesaikan dengan Mindset dan Paradigma Baru dengan pendekatan holistik. Melalui pendekatan holistik diharapkan dapat mendorong perubahan mendasar pada paternalisme dalam ilmu kedokteran dan kebijakan kesehatan yang didukung ideologi medis dan politik patriarki. 5. Mengkaji secara mendalam kontribusi Ilmu Pengetahuan seperti Ilmu Kedokteran terhadap perumusan kebijakan kesehatan reproduksi yang memiliki kecenderungan menempatkan wacana tubuh 158 Prosiding PKWG Seminar Series

174 perempuan sebagai tubuh medis. Hal ini dapat diperdalam melalui pemikiran Thomas Kuhn tentang pengetahuan diam-diam (tacit knowledge) yang terdapat dalam teksteks ilmu kedokteran. Pengetahuan diam-diam berupa dominasi politik patriarki dalam tradisi medis yang ditengarahi ikut mendorong kecenderungan wacana tubuh perempuan sebagai tubuh medis dalam kebijakan kesehatan reproduksi yang sangat kuat menekankan pada pendekatan biomedis. Perlu penelitian lanjutan, untuk memahami bagaimana politik patriarki dalam tradisi medis berlaku sebagai tacit knowledge yang mempengaruhi paradigma Ilmu Kedokteran dan produk-produk kebijakan kesehatan. DAFTAR PUSTAKA Abdullah Irwan (2006), Konstruksi dan Reproduksi Kebudayaan, Jogjakarta: Pustaka Pelajar. Anonim (2006), Panduan Pelayanan Sensitif Gender bagi Petugas Kesehatan, Jakarta: Departemen Kesehatan RI. Anonim, (2007) Rencana Aksi Nasional Pemenuhan Hak Kesehatan Reproduksi Perempuan, diterbitkan oleh Kementerian Negara Pemberdayaan Perempuan RI Arif Mudayat Aris, Edriana Noerdin dkk (2010), Target MDGs Menurunkan Angka Kematian Ibu Tahun 2015 Sulit Dicapai, Jakarta: Penerbit WRI. Arivia, Gadis (2003), Filsafat Berperspektif Feminis, Jakarta: Penerbit Yayasan Jurnal Perempuan (YJP). Burns A. August, Ronnie Lovich, Jane Maxwell & Khatarine Shapiro (1997), Where Women Have No Doctor. Pinky Saptandari 159

175 Courtenay, W.H. (2000), Construction of masculinity and their influence on men`s well-being: a theory of gender and health, Journal Social Science & Medicine 50 (2000), de Beauvoir, Simone (1988), The Second Sex, London: Pan books Ltd. Fashri Fauzi (2007), Penyingkapan Kuasa Simbol: Apropnasi Reflektif Pemikiran Pierre Bourdieu, Yogyakarta: Penerbit Juxtapose. Fullbrook Edward dan Kate Fullbrook (1988), Simone de Beauvoir A Critical Introduction, Cambridge UK: Polity Press in assosiation with Blackwell Publishers LTD. Gerung Rocky, (2008), Feminisme Versus Kearifan Lokal, Jurnal Perempuan Edisi ke-57. Ghozali Abdul Moqsit, Badriyah Fayumi, Marzuki Wahid, Syafiq Hasyim (2002), Tubuh, Seksualitas, dan Kedaulatan Perempuan, Bunga Rampai Pemikiran Ulama Muda, Jakarta: Penerbit Rahima. Haryatmoko (2010), Dominasi Penuh Muslimat, Akar Kekerasan dan Diskriminasi, Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama. Humm, Maggie (2007), Ensiklopedia Feminisme, Penterjemah Mundi Rahayu, Cetakan ke-2, Yogyakarta: Penerbit Fajar Pustaka Baru. Hungu, Frederika Tadu, Sifon, Pedang Bermata Dua Bagi Perempuan (2005), Editor: M. Syahbudin Latif; Wenty Marina Minza, Yogyakarta: Kerjasama Ford Foundation dengan Pusat Studi Kependudukan & Kebijakan UGM. Illich Ivan (1977), Limit to Medicine, Medical Nemesis: The Expropriation of Health, London: The Marion Boyars Book. 160 Prosiding PKWG Seminar Series

176 Indriyati Dewi, Alexandra (2008), Etika dan Hukum Kesehatan, Jogjakarta: Pustaka Book Publisher Kelompok Penerbit Pinus. Kessler Suzane J. & Wendy Mc. Kenna (1978), Gender An Ethnomethodological Approach, Chicago & London: the University of Chicago Press. Lubis, Akhyar Yusuf (2006), Dekonstruksi Epistemologi Modern, Jakarta: Pustaka Indonesa Satu (PIS). Martin, Emily (1989), The Women in The Body: A Cultural Analysis of Reproduction, Stony Stratford: Open University Press. Mills, Sara (2007), Diskursus: Sebuah Piranti Analisis dalam Kajian Ilmu Sosial, terjemahan dari Discourse, Jakarta: Penerbit Qalam. Mitra Inti Peneliti (2005), Fundamentalisme Agama dan Dampaknya Terhadap Kesehatan Reproduksi dan Seksualitas, Jakarta: Penerbit Yayasan Mitra Inti. Moeloek, Farid Afansa (2004), Wawasan Kesehatan, Kumpulan Makalah dan Tanggapan Fraksi -Fraksi DPR RI Mengenai Perubahan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1992, Jakarta: Yayasan Kesehatan Perempuan, DPR RI, & Forum Parlemen Indonesia dan Kependudukan Pembangunan. Moore, Henrietta L (1991), Feminisme and Anthropology, UK: Polity Press in association with basil Blackwell. Noerhadi, Toety Heraty (2000), Kekerasan Negara Terhadap Perempuan, dalam Nur Iman, Subono (ed), Negara dan Kekerasan Tehadap Perempuan, Jakarta: Penerbit Yayasan Jurnal Perempuan. Northrup, Christiane (2002), Women`s Bodies, Women`s Wisdom: Creating Physical and Emotional Health and Healing, New York: Bantam Book, New Edition. Pinky Saptandari 161

177 Payer Lynn (1988), Medicine and Culture, New York USA: Penguin Books. Reinharz Shulamit (2005), Metode-metode Feminis dalam Penelitian Sosial, terjemahan, diterbitkan di Jakarta oleh Women Research Insititute. Sadli Saparinah, Ninuk Widyantoro & Rita Serena Kolibonso (2008), Ringkasan Studi Pemantauaan Status Kesehatan Seksual dan Kesehatan Reproduksi di 6 Daerah di Indonesia, Jakarta: Yayasan Kesehatan Perempuan. Simone de Beauvoir (1996), The Ethics of Ambiguity, translated from the French by Bernard Frechtman, New York USA: Carol Publishing Group. Snijders, Adelbert (2004), Antropologi Filsafat, Manusia Paradoks dan Seruan, Yogyakarta: Penerbit Kanisius. Sukri, Sri Suhandjati & Ridin Sofjan (2001), Perempuan dan Seksualitas dalam Tradisi Jawa, Yogyakarta: Penerbit Gama Media. Suryakusuma, Julia (2011), Ibuisme Negara, Konstruksi Keperempuanan Orde Baru, Depok: Penerbit Komunitas Bambu. Suzie Handayani (2006), Female Sexuality in Indonesian Girls` Magazines: Modern Appearance, Traditional Attitude, Antropologi Indonesia, Indonesian Jurnal of Social and Cultural Anthropology, Vol. 30 No.1. Syarifah (2006), Kebertubuhan Perempuan dalam Pornografi, Jakarta: Penerbit Yayasan Kota Kita. Synnott, Anthony (1993), The Body Social: Symbolism, Self and Society, London & New York: Routledge. 162 Prosiding PKWG Seminar Series

178 Tong, Putnam Rosemarie (1998), Feminist Thought, Pengantar Arus Utama Pemikiran Feminis, Yogyakarta: Penerbit Jalasutra. Turner, Bryan (1987), Medical Power and Social Knowledge, London: Sage Publications. Undang-Undang RI Nomor 36 tahun 2009 tentang Kesehatan Wieringa Saskia E, Nursyahbani Katjasungkana, Irwan M. Hidayana (2007), Membongkar Seksualitas Perempuan Yang Terbungkam, Editor: Endah Sulistyowati, Jakarta: Kartini Network. Winkelman (2009), Michael, Culture and Health: Applying Medical Anthropology, San Fransisco, USA: Jossey Bass. Wulf, Henrik R., Stig Andur Pedersen, Raben Rosenberg (2007), Filsafat Kedokteran, Suatu Pengantar, Penerjemah Saut Pasaribu, Yogyakarta: Pallmal. Pinky Saptandari 163

179 Program Laki-Laki Peduli sebagai Upaya Pelibatan Laki-Laki dalam Peningkatan Kesehatan Ibu dan Anak Sartika Intaning Pradhani dan Haryo Widodo 1 Abstrak Pelibatan laki-laki yang khususnya dilakukan di komunitas dituangkan dalam sebuah program supaya dapat diketahui apakah target program tercapai dan apakah program tersebut berdampak signifikan terhadap perubahan perilaku laki-laki. Kabupaten Gunungkidul dipilih sebagai daerah untuk Pilot Project Program Laki-Laki Peduli karena Kabupaten Gunungkidul memiliki Peraturan Daerah Kabupaten Gunungkidul No. 16 Tahun 2012 tentang Perlindungan Perempuan dan Anak Korban Kekerasan. Di Kabupaten Gunungkidul, Kecamatan Gedangsari adalah kecamatan dengan AKB paling tinggi. Khususnya di Desa Ngalang yang terletak di Kecamatan Gedangsari, ditemukan permasalahan pernikahan usia anak dan kekerasan dalam rumah tangga yang masih cukup tabu untuk diperbincangkan dalam masyarakat. Pasca pelaksanaan Program Laki-Laki Peduli, ada perubahan perilaku yang ditunjukkan oleh para peserta Program Laki-Laki Peduli. Pasca program tersebut, laki-laki lebih peduli pada istri dan anaknya. Laki-laki akhirnya dapat mengajak perempuan berdiskusi untuk mengambil suatu keputusan dan ikut serta dalam pengasuhan anak, sehingga muncul kedekatan antara ayah-anak dan ayah-istri. Hal tersebut tentunya berdampak positif terhadap peningkatan kesehatan ibu dan anak. Ibu dan 1 Konselor Rifka Annisa Women Crisis Center, Yogyakarta Sartika Intaning Pradhani dan Haryo Widodo 165

180 anak dapat hidup dengan nyaman dalam lingkungan rumah tangga tanpa adanya kekhawatiran kekerasan yang dilakukan oleh suami, dibandingkan dengan ibu dan anak yang hidup dalam lingkungan rumah tangga yang penuh dengan kekerasan karena laki-laki/ suami tidak paham tentang peran dan tanggung jawabnya. Kata Kunci: Program Laki-Laki Peduli, Kesehatan Ibu dan Anak Latar belakang Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Muhammad Hakimi, et.al, salah satu alasan tingginya kematian ibu adalah kepercayaan tradisional mengenai status perempuan (Mohammad Hakimi, et.al., Cetakan Ke-II 2011). Salah satu kepercayaan tradisional berkenaan dengan status perempuan adalah bahwa begitu menikah, perempuan diharapkan untuk mengikuti aturan sosial yang ada, yaitu mengurus suami dan anak (Djohan E., 1994). Di sisi lain, norma sosial juga memberikan hak-hak istimewa kepada para laki-laki dan menempatkan mereka di atas perempuan. Hal ini membuat laki-laki merasa berhak mengatur dan meminta apa saja dari perempuan, khususnya dalam konteks rumah tangga. Dalam rumah tangga, perempuan menjadi satu-satunya figur yang bertanggung jawab terhadap pekerjaan domestik sehingga banyak dari mereka mengalami keletihan fisik dan psikis. Keletihan fisik dan psikis perempuan berpengaruh terhadap kualitas kesehatan reproduksi mereka. Situasi tersebut diperparah dengan tuntutan suami terhadap istri untuk senantiasa siap berhubungan seksual. Meskipun tidak berkeinginan untuk berhubungan seksual, Mohammad Hakimi dalam penelitiannya menemukan bahwa perempuan/istri enggan menolak keinginan seksual suaminya karena mereka percaya bahwa sesuai dengan firman Tuhan, melayani 166 Prosiding PKWG Seminar Series

181 kehendak seksual suami adalah kewajiban perempuan (Muhammad Hakimi, et.al., 2011) Sementara itu, Nur Hasyim dkk. menemukan bahwa norma sosial yang menempatkan laki-laki diatas perempuan tidak selalu menguntungkan laki-laki sendiri karena laki-laki dituntut untuk menjadi tulang punggung keluarga yang harus bertanggung jawab seutuhnya terhadap kehidupan anggota keluarga yang lain. (Nur Hasyim, et. al., 2011). Kondisi tersebut membuat laki-laki seolah-olah berjuang sendirian dalam menopang kehidupan rumah tangga dan menganggap istri hanyalah sebagai pelengkap dan bukan partner yang dapat diajak bekerja sama dalam suatu relasi yang setara dan seimbang (Nur Hasyim, et. al., 2011). Tidak dianggapnya perempuan sebagai partner yang setara dalam hubungan rumah tangga, membuat perempuan berada pada posisi subordinat terhadap laki-laki. Laki-laki yang merasa stress dan cemas karena terancam kelelakiannya terkadang bertindak di luar akal sehat, seperti melakukan kekerasan untuk menyelamatkan dirinya sendiri. Perempuan sebagai pihak yang subordinat, rentan menjadi objek pelampiasan perasaan stress dan cemas dari laki-laki, sehingga terjadilah kekerasan terhadap perempuan. Kabupaten Gunungkidul adalah salah satu kabupaten di Daerah Istimewa Yogyakarta dengan Angka Kematian Ibu (AKI) dan Angka Kematian Bayi (AKB) tertinggi. Pada tahun 2012, tercatat ada 11 (sebelas) AKI dan 95 (sembilan puluh lima) AKB. Dari seluruh perempuan di Kabupaten Gunungkidul yang hamil pada tahun 2012, 11% (sebelas persen) diantaranya, 828 (delapan ratus dua puluh delapan) perempuan, berusia di bawah 20 (dua puluh) tahun. Tingginya AKI dan AKB di Kabupaten Gunungkidul disebabkan oleh beberapa hal, antara lain kehamilan yang terlalu muda (di bawah 16 (enam belas) tahun), terlalu tua (di atas 35 (tiga puluh lima) tahun), terlalu sering atau terlalu banyak. Sartika Intaning Pradhani dan Haryo Widodo 167

182 Berdasarkan pengalaman lapangan yang telah disebutkan di atas, Rifka Annisa Women s Crisis Centre (Rifka Annisa WCC), Lembaga Swadaya Masyarakat yang fokus pada isu penghapusan kekerasan terhadap perempuan dan anak yang berbasis gender, berpendapat bahwa penguatan/ pendampingan pada sisi perempuan saja tidak mampu untuk menghentikan siklus kekerasan yang dilakukan oleh laki-laki terhadap perempuan. Itulah mengapa penting untuk melibatkan laki-laki dalam upaya penghapusan kekerasan terhadap perempuan untuk mewujudkan keadilan dan kesetaraan gender secara umum, dan untuk meningkatkan kesehatan ibu dan anak secara khusus. Meskipun demikian, Rifka Annisa WCC sadar bahwa tidak mudah untuk melibatkan laki-laki dalam upaya penghapusan kekerasan terhadap perempuan dan anak karena upaya tersebut akan mendekonstruksi hak-hak istimewa laki-laki yang telah terbentuk di dalam masyarakat dan dilanggengkan melalui pola asuh sejak kecil hingga dewasa. Untuk menjangkau kelompok laki-laki tersebut, Rifka Annisa WCC memperkenalkan Program Laki-Laki Peduli pada masyarakat luas, dan secara khusus telah diimplementasikan di beberapa desa di Kabupaten Gunungkidul. Sebagai program baru di masyarakat yang salah satu tujuannya untuk meningkatkan kesehatan ibu dan anak, tentunya menarik untuk mengetahui bagaimana Program Laki-Laki Peduli sebagai upaya pelibatan laki-laki dapat meningkatkan kesehatan ibu dan anak, khususnya di Desa Ngalang, Kecamatan Gedangsari, Kabupaten Gunungkidul sebagai salah satu komunitas yang dipilih untuk melaksanakan program ini. Pembahasan Pembahasan tentang Program Laki-Laki Peduli sebagai upaya pelibatan laki-laki yang dapat meningkatkan kesehatan ibu dan anak, khususnya di Desa Ngalang, Kecamatan Gedangsari, Kabupaten Gunungkidul sebagai salah satu komunitas yang dipilih untuk melaksanakan Program Laki- 168 Prosiding PKWG Seminar Series

183 Laki Peduli dibagi dalam 3 (tiga) sub-pembahasan, yaitu tentang pentingnya mewadahi keterlibatan laki-laki dalam sebuah program, proses pemilihan komunitas sebagai pilot project Program Laki-Laki Peduli, dan pelaksanaan Program Laki-Laki Peduli di Komunitas. Pentingnya Mewadahi Keterlibatan Laki-Laki dalam Sebuah Program Berangkat dari pengalaman Rifka Annisa WCC dalam mendampingi perempuan dan anak selama hampir 22 (dua puluh dua) tahun ini, penyadaran terhadap keadilan gender untuk menghentikan siklus kekerasan perempuan dan anak ternyata tidak hanya cukup dilakukan terhadap kelompok perempuan sebagai pihak korban saja, namun juga tenyata penting untuk menjangkau kelompok laki-laki. Laki-laki penting untuk dilibatkan dalam perjuangan penghentian kekerasan terhadap perempuan karena Rifka Annisa WCC menemukan bahwa kekerasan terhadap istri (KTI) adalah jenis kekerasan yang pengaduannya paling tinggi. Akan tetapi, solusi yang dipilih oleh 80% (delapan puluh persen) perempuan korban adalah kembali pada pasangan. Padahal, pilihan untuk kembali pada pasangan (suami), meskipun mereka menyadari bahwa kekersan tetap akan terjadi lagi pada mereka di kemudian hari. Pilihan untuk kembali pada pasangan, tidak membebaskan perempuan tersebut dari siklus kekerasan yang ia alami, malah semakin membuat perempuan tersebut tenggelam dalam relasi yang tidak sehat. Untuk memutus siklus kekerasan tersebut, laki-laki dan perempuan harus secara bersama-sama terlibat dalam gerakan perjuangan kesetaraan gender. Khususnya untuk melibatkan laki-laki dalam gerakan kesetaraan gender, Rifka Annisa WCC sejak tahun 2005 telah menginisiasi antara lain: program konseling re-edukasi untuk laki-laki pelaku kekerasan, penelitian tentang maskulinitas, peluncuran Mens s Program pada tahun 2007, dan memperkenalkan program Men Care (Laki-Laki Peduli) pada tahun Selain itu, Rifka Sartika Intaning Pradhani dan Haryo Widodo 169

184 Annisa WCC juga berjejaring dengan jaringan nasional Aliansi Laki-Laki Baru untuk mempromosikan nilai-nilai maskulinitas yang positif, supaya tercipta kondisi yang setara antara lakilaki dan perempuan dimana tidak ada kekerasan di dalamnya. Salah satu strategi jaringan nasional Aliansi Laki-Laki Baru adalah melakukan kampanye tentang pelibatan laki-laki dan maskulinitas positif melalui web dan media sosial, pengorganisasian komunitas/kelompok laki-laki untuk keadilan dan kesetaraan gender serta penghapusan kekerasan. Pengorganisasian komunitas/kelompok laki-laki tersebut perlu untuk diwadahi dalam suatu program supaya pembahasan isu-isu gender yang melibatkan laki-laki dapat disampaikan secara sistematis, komprehensif, dan evaluatif. Berdasarkan pengalaman, pelibatan laki-laki yang telah dilakukan oleh Rifka Annisa WCC dipromosikan baik melalui media cetak maupun elektronik. Rifka Annisa WCC mengalami kesulitan untuk menggali dan menemukan fakta di lapangan tentang efektivitas promosi pelibatan laki-laki terhadap perubahan perilaku laki-laki. Kesulitan tersebut muncul karena promosi pelibatan laki-laki dilakukan secara umum pada masyarakat luas, sehingga sangat sulit untuk memfollowup ada atau tidak adanya perubahan perilaku laki-laki pasca dilakukan promosi tersebut. Berbeda halnya dengan pelibatan laki-laki melalui program. Pelibatan laki-laki yang dikemas dalam suatu program memilki subjek yang terbatas dan spsesifik, timeline yang telah ditentukan, dan materi yang berkesinambungan satu sama lain, sehingga hasilnya dapat terukur dan dapat dievaluasi apakah dengan pokok bahasan tertentu, tujuan telah dapat dicapai. Itulah mengapa pelibatan laki-laki yang khususnya dilakukan di komunitas harus dituangkan dalam sebuah program, sehingga dapat diketahui apakah target program tercapai dan apakah program tersebut berdampak signifikan terhadap perubahan perilaku laki-laki. 170 Prosiding PKWG Seminar Series

185 Proses Pemilihan Komunitas sebagai Pilot Project Program Laki-Laki Peduli Tujuan umum dari program laki-laki peduli adalah untuk melibatkan laki-laki sebagai partner dalam peningkatan kesehatan ibu dan anak, program Keluarga Berencana (KB), dan penghapusan kekerasan dalam rumah tangga. Tujuan khusus dari program ini adalah untuk merekonstruksi nilainilai kelelakian dan perilaku negatif yang berdampak pada kesehatan reproduksi perempuan, melibatkan remaja laki-laki dalam penghapusan kekerasan dalam rumah tangga, melibatkan laki-laki dalam pengasuhan sebagai cara efektif dalam meningkatkan kesehatan ibu dan anak, serta melibatkan laki-laki dalam program KB. Kelompok sasaran Program Laki-Laki Peduli adalah remaja laki-laki yang belum menikah atau menjelang menikah [usia 15 (lima belas) tahun sampai 21 (dua puluh satu) tahun] dan laki-laki yang sudah menikah dan memiliki anak [maksimal usia 35 (tiga puluh lima) tahun]. Dalam tulisan ini, fokus pengorganisasian komunitas/ kelompok laki-laki adalah pada kelompok laki-laki yang sudah menikah dan sudah memiliki anak (Kelas Ayah). Kriteria wilayah untuk menentukan pengorganisasian Program Laki-Laki Peduli di komunitas adalah, antara lain, berdasarkan AKI dan AKB, angka kekerasan dalam rumah tangga, angka perceraian, dan angka pernikahan usia anak. Untuk mendapatkan data tersebut, Rifka Annisa WCC melakukan advokasi dengan Pemerintah Daerah Kabupaten Gunungkidul. Advokasi Program Laki-Laki Peduli pada pemerintah daerah tempat dimana pengorganisasian akan dilakukan sangat penting supaya program ini dapat sinergis dalam pelaksanaannya dengan kebijakan dan regulasi yang telah dibuat oleh pemerintah daerah setempat. Selain itu, adanya koordinasi dengan pemerintah daerah, membuat pelaksanaan Sartika Intaning Pradhani dan Haryo Widodo 171

186 Program Laki-Laki Peduli di masyarakat mendapatkan legitimasi yang sah dan dukungan dari pemerintah daerah sebagai pihak yang memiliki kewenangan di daerah. Kabupaten Gunungkidul dipilih sebagai daerah untuk Pilot Project Program Laki-Laki Peduli karena Kabupaten Gunungkidul memiliki Peraturan Daerah Kabupaten Gunungkidul No. 16 Tahun 2012 tentang Perlindungan Perempuan dan Anak Korban Kekerasan. Pasal 1 ayat (14) Peraturan Daerah Kabupaten Gunungkidul No. 16 Tahun 2012 tentang Perlindungan Perempuan dan Anak Korban Kekerasan menyebut tentang Konseling Perubahan Perilaku sebagai konseling psikologis yang diberikan kepada laki-laki pelaku kekerasan dalam rumah tangga untuk membantu menghentikan kekerasan dan menjadi orang yang dapat menghargai pasangan, sehingga dapat menjadi hubungan yang lebih baik dengan pasangan dan anak. Pelaksanaan konseling tersebut dalam dilakukan oleh P2TP2A Berjejaring. P2TP2A Berjejaring adalah Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak Berjejaring yang menjadi Pusat Pelayanan Terpadu di Kabupaten Gunungkidul yang menyelenggarakan pelayanan terpadu perempuan dan anak korban kekerasan serta berjejaring yang dibentuk dengan Keputusan Bupati Gunungkidul. Rifka Annisa WCC sebagai bagian dari P2TP2A Berjejaring setelah melakukan advokasi dengan Bupati Kabupaten Gunungkidul dan mendapatkan data gambaran secara umum tentang wilayah Kabupaten Gunungkidul, menyelenggarakan konsultasi meeting (audiensi) dengan para stakeholder di Kabupaten Gunungkidul. Audiensi tersebut bertujuan untuk memperkenalkan Program Laki-Laki Peduli pada para stakeholder di Kabupaten Gunungkidul, untuk mendengar masukan dari para stakeholder tentang program tersebut dan untuk mendapatkan rekomendasi desa manakah yang sebaiknya dijadikan pilot project Program Laki-Laki Peduli. Sekaligus 172 Prosiding PKWG Seminar Series

187 sebagai upaya penjajakan kondisi masayarakat di daerah dan kemungkinan respon masyarakat apabila program ini dilaksanakan di komunitas mereka. Stakeholder yang hadir dalam audiensi Program Laki-Laki Peduli tersebut adalah perwakilan dari kecamatan-kecamatan di Kabupaten Gunungkidul, antara lain Kecamatan Saptosari, Kecamatan Panggang, Kecamatan Semin, Kecamatan Gedangsari, Kecamatan Ngawen, dan Kecamatan Semanu. Dari instansi pemerintah daerah, hadir perwakilan dari Kementerian Agama Gunungkidul, Dinas Kesehatan Gunung Kidul, Badan Perencanaan dan Pembangunan Daerah, dan Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Gunung Kidul. Beberapa perwakilan dari Kantor Urusan Agama (KUA) di berbagai kecamatan di Kabupaten Gunungkidul juga hadir, antara lain KUA Semin, KUA Purwosari, KUA Ngawen, KUA Saptosari, dan KUA Semanu. Selain itu, hadir juga perwakilan dari Kelompok Pembinaan Kesejahteraan Keluarga (PKK) dan KB. Audiensi tersebut diawali dengan penjelasan dari Direktur Rifka Annisa tentang latar belakang program pelibatan lakilaki, penyediaan layanan konseling perubahan perilaku bagi laki-laki, tujuan konseling perubahan perilaku bagi laki-laki, kelompok sasaran program, intervensi yang dilakukan dengan program tersebut, kriteria wilayah untuk menentukan pelaksanaan pilot project, dan strategi implementasi. Para peserta audiensi menyambut baik program yang diperkenalkan oleh Rifka Annisa WCC dan memberikan banyak masukan tentang informasi-informasi yang ada di daerah mereka masing-masing. Profil Singkat Desa Ngalang, Kecamatan Gedangsari, Kabupaten Gunungkidul Untuk pilot project Program Laki-Laki Peduli di Kabupaten Gunungkidul, Rifka Annisa WCC memilih 2 (dua) kecamatan di Kabupaten Gunungkidul dan dari masing-masing kecamatan tersebut dipilih 2 (dua) desa. Dari audiensi yang dilakukan Sartika Intaning Pradhani dan Haryo Widodo 173

188 oleh Rifka Annisa WCC, Kecamatan Gedangsari adalah kecamatan yang telah menyampaikan kesiapannya untuk menjadikan desa di wilayah kecamatan tersebut sebagai pilot project Program Laki-Laki Peduli. Dari seluruh kecamatan di Kabupaten Gunungkidul, Kecamatan Gedangsari adalah kecamatan dengan AKB paling tinggi. Selain AKB yang tinggi, di Kecamatan Gedangsari juga ditemukan permasalahan pernikahan usia anak dan kekerasan dalam rumah tangga. Dalam sebulan (sekitar bulan Maret 2013), ada 11 (sebelas) pasangan di Kecamatan Gedangsari yang dinikahkan. Dari kesebelas pasangan tersebut, 5 (lima) orang masih di bawah usia 16 (enam belas) tahun dan 6 (enam) orang masih di bawah usia 18 (delapan belas tahun), sehingga membutuhkan dispensasi nikah. Pernikahan usia anak ini dilatarbelakangi oleh kehamilan yang tidak diinginkan dimana mempelai perempuan sedang hamil kurang lebih 3 (tiga) bulan saat dilangsungkan pernikahan. Latar belakang permasalahan kehamilan yang tidak diinginkan yang kemudian berujung pada pernikahan anak adalah hubungan pacaran yang tidak sehat diantara para remaja dan tidak pahamnya remaja tentang kesehatan reproduksi. Selain itu, permasalahan kehamilan yang tidak diinginkan juga disebabkan oleh persepsi para remaja tentang laki-laki ideal. Remaja laki-laki pada khususnya berpikir bahwa apabila belum pernah berhubungan seksual, maka belum merasa menjadi seorang laki-laki. Kekerasan dalam rumah tangga yang terjadi di Kecamatan Gedangsari beragam latar belakangnya. Ada beberapa faktor yang ditemukan menjadi penyebab terjadinya kekerasan dalam rumah tangga, antara lain tidak lancarnya komunikasi antar pasangan, pembagian peran ketika suami dan istri samasama bekerja, perselingkuhan, dan pernikahan usia anak karena suami dan istri belum saling memahami tanggung jawab dan perannya masing-masing dalam rumah tangga. 174 Prosiding PKWG Seminar Series

189 Desa Ngalang adalah suatu desa di Kecamatan Gedangsari, Kabupaten Gunungkidul yang terdiri dari 14 (empat belas) dusun dan mayoritas penduduknya adalah petani dengan kondisi ekonomi menengah ke bawah. Sebagaimana di Kecamatan Gedangsari pada umumnya, Desa Ngalang juga menghadapi kasus pernikahan usia anak yang disebabkan oleh kehamilan yang tidak diinginkan dan tidak pahamnya remaja terhadap kesehatan reproduksi. Kasus pernikahan usia anak di Desa Ngalang, diikuti dengan kasus perceraian pada pasangan yang menikah pada usia anak karena masing-masing pihak belum paham tentang tugas dan fungsinya sebagai suami-istri. Dalam kasus kehamilan tidak diinginkan, khususnya kehamilan pada usia anak diikuti dengan kasus pendarahan karena belum adanya pemahaman tentang kesehatan reproduksi baik itu perempuan yang hamil, pasangannya, maupun orangtuanya. Bahkan pernah ditemukan kejadian dimana orangtua baru mengetahui anak perempuannya hamil ketika usia kehamilan anak tersebut telah mencapai 6 (enam) bulan. Sekitar usia 7 (tujuh) bulan kehamilan, anak perempuan tersebut mengalami pendarahan karena kehamilannya tidak pernah diperiksakan, sehingga tidak diketahui apakah kehamilan tersebut beresiko. Berkat dukungan dari orangtuanya, pendarahan yang dialami oleh anak perempuan tersebut berhasil ditangai dan akhirnya ia berhasil menjalani kehamilan hingga 9 (sembilan) bulan dan melahirkan dengan selamat. Meskipun masih usia anak, anak perempuan tersebut akhirnya menikah dengan pacarnya karena kehamilan yang tidak diinginkan itu. Kasus kekerasan dalam rumah tangga yang kemudian berakhir dengan perceraian di Desa Ngalang pada dasarnya disebabkan oleh permasalahan kecil, seperti ketika suami pulang ke rumah setelah bekerja istri tidak melayani, faktor kebutuhan ekonomi, dan faktor pengasuhan anak. Beberapa anak di Desa Ngalang juga megeluhkan orangtua mereka yang jarang ada di rumah, sering pulang malam, sering memarahi Sartika Intaning Pradhani dan Haryo Widodo 175

190 mereka tanpa sebab, dan juga sering bertengkar di depan mereka karena permasalahan rumah tangga yang sepele. Meskipun permasalahan pernikahan usia anak dan kekerasan dalam rumah tangga adalah permasalahan yang dianggap umum dalam masyarakat Desa Ngalang, hal-hal tentang kesehatan reproduksi, bahaya pernikahan usia anak, kekerasan dalam rumah tangga, maskulinitas, pembagian peran dalam rumah tangga, dan keadilan gender adalah isu-isu yang tidak pernah diperbincangkan di desa tersebut. Itulah mengapa Desa Ngalang akhirnya dipilih sebagai salah satu Pilot Project Program Laki-Laki Peduli. Pelaksanaan Program Laki-Laki Peduli di Komunitas Pelibatan Laki-Laki dalam peningkatan kesehatan ibu dan anak sangat erat kaitannya dengan tanggung jawab dan peran laki-laki dalam rumah tangga, khususnya dalam penghapusan kekerasan dalam rumah tangga, penggunaan alat kontrasepsi untuk mempromosikan kesehatan reproduksi, dan partisipasi secara lebih setara dalam pengasuhan. Kekerasan selama kehamilan dapat berdampak serius pada kesehatan perempuan dan anaknya (Heise, et. al., 1999). Dampak kekerasan terhadap perempuan hamil antara lain termasuk kunjungan antenatal yang tertunda, pertambahan berat badan selama kehamilan yang tidak mencukupi, penyakit menular seksual, infeksi vagina dan leher rahim, keguguran dan aborsi, kelahiran premature, gawat janin, dan pendarahan dalam kehamilan (Mohammad Hakimi, 2011). Meskipun perempuan yang sedang hamil kondisi kesehatannya sangat rentan, bukan berarti laki-laki berperan aktif dalam menjaga kesehatan ibu dan anak khususnya selama proses kehamilan. Data lapangan yang dicatat oleh kader PKK menunjukkan bahwa tidak ada laki-laki yang terlibat dalam Pos Pelayanan Terpadu (Posyandu). Dinas Kesehatan Kabupaten Gunung Kidul berpendapat bahwa enggannya suami mengantar pasangannya ke layanan 176 Prosiding PKWG Seminar Series

191 kesehatan untuk memeriksakan kesehatan kehamilan atau kesehatan anak karena mereka tidak mempunyai pemahaman terhadap kesehatan atau suami tidak memiliki waktu karena harus berangkat bekerja pagi-pagi sekali. Padahal sangat penting bagi suami untuk mengetahui bagaimana perkembangan kesehatan kehamilan istrinya, supaya beban istri dapat dibagi dengan suami. Selain itu, perhatian suami terhadap istri pada saat hamil dapat mengurangi rasa sakit yang diderita oleh istri. Untuk melibatkan laki-laki dalam peningkatan kesehatan ibu dan anak di Desa Ngalang, Rifka Annisa WCC menggunakan metode diskusi komunitas untuk Kelas Ayah. Untuk mengenal komunitas di Desa Ngalang secara lebih dekat, Rifka Annisa WCC juga melakukan live in di dalam komunitas tersebut. Pendekatan yang digunakan oleh Rifka Annisa WCC untuk melaksanakan Program Laki-Laku Peduli dalam diskusi Kelas Ayah adalah pendekatan reflektif, yaitu pendekatan yang memberi ruang kepada peserta untuk merefleksikan pengalaman-pengalaman kehidupan mereka tanpa merasa dihakimi. Pendekatan reflektif dilakukan dengan cara membagikan pengalaman masing-masing peserta kepada peserta yang lain baik dalam kelompok kecil, maupun kelompok besar; menggunakan beberapa metode kreatif, seperti bermain peran; dan fasilitator banyak melakukan probing (memancing dengan pernyataan yang lebih detail) untuk menggali pengalaman dan pemahaman peserta. Secara teknis, Program Laki-Laki Peduli yang dilaksanakan dalam diskusi komunitas Kelas Ayah dilakukan dalam kelompok dengan jumlah maksimal 20 (dua puluh) laki-laki dewasa yang sudah menikah dengan usia maksimal 35 (tiga puluh lima) tahun. Ada 14 (empat belas) sesi diskusi. Pelaksanaan diskusi tiap sesinya dibedakan antara ruangan bagi Kelas Ayah dan Kelas Ibu, namun pada sesi-sesi tertentu dimungkinkan untung menggabung peserta laki-laki dengan Sartika Intaning Pradhani dan Haryo Widodo 177

192 peserta perempuan di dalam satu kelas. Setting ruangan adalah ruangan dimana obrolan di dalam ruangan tersebut tidak mudah didengar oleh orang, dapat menggunakan kursi maupun lesehan, yang penting peserta merasa nyaman dan diskusi berlangsung kondusif. Fasilitator dalam setiap sesi ada 2 (dua) orang. Tiap sesi diskusi dilakukan (1) satu bulan sekali selama 120 (seratus dua puluh) menit; maka Program Laki-Laki Peduli dalam Komunitas Kelas Ayah belangsung lebih dari 1 (satu) tahun. Di luar 14 (empat belas) sesi diskusi, pada pertengahan tahun diadakan aktivitas outdoor untuk keluarga yang di dalamnya ada kegiatan couple meeting untuk melihat sejauh mana hubungan/relasi diantara suami dan istri setelah beberapa kali (6-7 kali sesi) dilakukan sesi diskusi. Keempat belas sesi diskusi tersebut terdiri dari Pengantar (Perkenalan Program); Menjadi Laki-Laki; Laki-Laki dan Budaya Patriarki; Gender dan Mainan; Komunikasi Sehat; Berbagi Peran; Relasi Sehat Tanpa Kekerasan; Menjadi Ayah dan Pengasuhan; Pengasuhan Anak; Kesehatan Reproduksi; Merencanakan Keluarga & Negosiasi Kondom; Kesehatan Ibu dan Anak; Mengelola Keuangan; dan Penutup. Sebagaimana telah disebutkan di atas bahwa evaluasi adalah salah satu hal yang penting dalam Program Laki-Laki Peduli. Pentingnya evaluasi atas pelaksanaan Program Laki-Laki Peduli disebabkan oleh keterkaitan program ini dengan perubahan perilaku, sehingga sangat penting untuk dilakukan monitoring dan evaluasi di sepanjang program. Tujuan dari dilakukannya monitoring dan evaluasi adalah untuk mengetahui sejauh mana perkembangan program dan strategi, menganalisis berjalannya program dan strategi (mengikuti siklus implementasi, refleksi, analisis, dan proyeksi ke depan), mengubah strategi jika diperlukan, serta mendokumentasikan praktik-praktik terbaik dan pembelajaran. Monitoring dan evaluasi dilakukan dengan metode observasi di setiap sesi, pre-test dan post-test, 178 Prosiding PKWG Seminar Series

193 permainan where do you stand, jurnal fasilitator, dan melalui metode ORID (Objective-Reflective-Interpretative-Decision). Pre-test diberikan pada sesi pertama, yaitu Pengantar (Perkenalan Program) dan post-test diberikan pada sesi terakhir, yaitu Penutup. Pre-test dan post-test diberikan dalam bentuk kuesioner untuk para peserta dengan pertanyaan seputar informasi demografis; sikap setara gender; perilaku (resiko) seksual, penggunaan kondom, dan tes HIV; sikap terhadap kontrasepsi; kepuasan seksual dan kepuasan hubungan; penggunaan layanan SRH; dan tentang alkohol dan narkoba. Tiap-tiap sesi memiliki tujuan, capaian, dan pokok bahasan masing-masing dengan metode, alat bantu, langkah-langkah, tips untuk fasilitator, lembar kerja, dan handout yang telah ditentukan dalam Modul Diskusi Komunitas untuk Kelas Ayah yang disusun oleh Saeroni dan Muhammad Thonthowi, diterbitkan oleh Rifka Annisa WCC pada Oktober Tulisan ini tidak akan membahas secara detail bagaimana masingmasing sesi dilakukan, namun fokus membahas tentang sesi Kesehatan Ibu dan Anak. Sesi Kesehatan Ibu dan Anak dilakukan setelah peserta memiliki kesadaran atas identitasnya sebagai laki-laki, mampu untuk berkomunikasi dengan pasangan secara sehat, ikut bertanggung jawab dalam pekerjaan rumah tangga, berhubungan dengan pasangan tanpa kekerasan, paham tentang kesehatan reproduksi dan hak seksual pasangan, serta sadar untuk terlibat secara aktif dan pengasuhan anak. Kesadaran untuk terlibat secara aktif dalam pengasuhan anak yang telah ditumbuhkan dalam sesi Manjadi Ayah dan Pengasuhan; serta Pengasuhan Anak diimplementasikan dalam sesi Kesehatan Ibu dan Anak. Sesi ini merupakan titik masuk utama untuk melibatkan laki-laki secara langsung dalam pengasuhan anaknya yang dimulai dari pendampingan laki-laki selama masa kehamilan, Sartika Intaning Pradhani dan Haryo Widodo 179

194 persalinan, dan konsultasi pasca kehamilan hingga anak berusia 4 (empat) tahun. Melalui sesi ini, peserta mendapatkan informasi tentang pentingnya keterlibatan suami dalam peningkatan kesehatan ibu dan anak; serta tumbuhnya kesadaran di kalangan peserta akan pentingnya hubungan ayah-anak terbentuk sejak sebelum anak lahir. Dalam sesi Kesehatan Ibu dan Anak, ada 4 (empat) aktivitas; pertama, Pembukaan dimana fasilitastor membuka sesi Kesehatan Ibu dan Anak dengan mereview materi sebelumnya dan menanyakan serta membahas Pekerjaan Rumah dari pertemuan sebelumnya. Kedua, aktivitas Menemani Istriku, fasilitator melemparkan pertanyaan kepada peserta tentang pengalaman peserta dalam menemani/menunggui istri yang melahirkan. Fasilitator meminta beberapa peserta yang memiliki pengalaman untuk menjadi relawan menceritakan pengalamannya menemani/ menunggui istrinya yang melahirkan. Jika tidak ada peserta yang pernah punya pengalaman menemani/ menunggui istrinya melahirkan, minta peserta yang pernah punya pengalaman menemani istrinya sampai rumah sakit. Fasilitator bertanya kepada peserta, siapa di antara peserta yang memiliki pengalaman memeriksakan kehamilan istrinya. Fasilitator meminta beberapa peserta yang memiliki pengalaman untuk menceritakan pengalamannya memeriksakan kehamilan istrinya; apa saja yang dilakukan; informasi apa saja yang didapat; apakah dia sampai masuk ke dalam ruangan atau tidak; dan bagaimana peraasaan peserta ketika melakukan itu. Kemudian dilakukan diskusi refkelsi dengan pertanyaan kunci antara lain tentang perasaan peserta saat menemani/menunggu istri yang melahirkan atau ketika menemani/ menunggui istri memeriksaan kehamilannya; yang dilakukan peserta ketika menemani/menunggui istri saat melahirkan atau saat memeriksakan kehamilannya; dukungan yang bisa diberikan peserta kepada istri ketika melahirkan 180 Prosiding PKWG Seminar Series

195 atau memeriksakan kehamilannya; dan perasaan peserta saat menyaksikan istri melahirkan. Ketiga, aktivitas Proses Kelahiran, yang dilakukan untuk memberikan gambaran yang nyata tentang proses persalinan. Fasilitator membagi peserta menjadi 3-4 kelompok yang masing-masing peran memainkan proses persalinan; ada yang menjadi ibu, ayah, bidan, dan petugas kesehatan lainnya. Fasilitator meminta peserta untuk memainkan peran apa yang terjadi di ruang persalinan ketika seorang perempuan melahirkan bayi dengan skenario sebagai berikut Sekarang pukul 22.00, pasangan Anda berada di ruang persalinan dan sedang kesakitan karena hendak melahirkan. Dokter dann bidan sedang mempersiapkan kelahiran bayi Anda. Sebagai seorang Ayah, Anda juga berada di dalam ruang persalinan. Hitung sampai tiga dan minta peserta untuk memainkan perannya masing-masing. Beri waktu 5 (lima) menit untuk masing-masing grup bermain peran. Diskusi reflektif dilakukan setelah aktivitas ini dengan pertanyaan kunci antara lain: bagaimana perasaan peserta saat memainkan peran masing-masing dan apabila peserta diberikan kesempatan untuk mengulang kejadian tersebut, apakah yang akan peserta lakukan/ tidak lakukan. Keempat, aktivitas Selamat Datang Anakku. Fasilitator membagikan kertas metaplan kepada peserta dan meminta peserta untuk menuliskan pengalamannya ketika pertama kali menggendong/ mengadzani/ melihat/ menyentuh anaknya yang baru lahir. Pastikan peserta menuliskan bagaimana perasaan mereka ketika megalami hal tersebut. Fasilitator menyiapkan tali jemuran dan jepitan gantungan di ruangan. Fasilitator meminta peserta yang bersedia untuk membacakan/menceritakan apa yang ditulisnya di metaplan dan setelah itu menggantungkannya di tali jemuran. Peserta yang lain boleh menanggapi atau menyampaikan pertanyaan kepada peserta yang bercerita. Sartika Intaning Pradhani dan Haryo Widodo 181

196 Kemudian, fasilitator memandu diskusi reflektf dengan pertanyaan kunci antara lain sebagai berikut: perasaan peserta ketika pertama kali menggendong/ mengadzani/ melihat/ menyentuh anak yang baru lahir; reaksi istri peserta ketika peserta pertama kali menggendong/ mengadzani/ melihat/ menyentuh anak yang baru lahir; dan apa saja yang bisa/ tidak bisa dilakukan oleh peserta untuk anak yang baru lahir dan pasangan. Refleksi Perorangan Setelah mengikuti Program Laki-Laki Peduli, salah satu peserta menyampaikan bahwa ada beberapa perubahan perilaku yang ia rasakan. Perubahan perilaku paling mengesankan yang ia alami adalah hubungan antara dia dan anaknya semakin dekat. Selain itu dalam menghadapi permasalahan dalam rumah tangga yang sebelum mengikuti Program Laki-Laki Peduli diselesaikan dengan menendang pintu, saat ini sudah tidak lagi dilakukan. Sebelum mengikuti Program Laki-Laki Peduli, peserta ini merasa bahwa laki-laki adalah segala-galanya dalam rumah tangga. Pasca mengikuti Program Laki-Laki Peduli, ia menyadari bahwa laki-laki yang sejati adalah laki-laki yang peduli pada istri dan anak. Ia akhirnya menyadari bahwa meskipun ia hidup sederhana di kampung, ia merasa bahagia karena kebahagiaan yang ia rasakan berasal dari keluarganya, dari istri dan anaknya. Kelompok Dalam konteks yang lebih luas, dari wawancara dengan salah satu kepala dukuh di Desa Ngalang, kesehatan reproduksi, bahaya pernikahan usia anak, kekerasan dalam rumah tangga, maskulinitas, pembagian peran dalam rumah tangga, dan keadilan gender bukan lagi menjadi isu yang tabu untuk didiskusikan oleh masyarakat Desa Ngalang. Meskipun 182 Prosiding PKWG Seminar Series

197 Program Laki-Laki Peduli telah selesai, sesama peserta masih saling berhubungan untuk berdiskusi jika ada permasalahanpermasalahan di dusun mereka. Permasalahan tersebut kemudian dimusyawarahkan bagaimana solusi yang terbaik, bukan hanya diantara sesama peserta, namun juga melibatkan pasangan dari masing-masing peserta. Misalnya ketika ada permasalahan kekerasan seksual di tempat mereka tinggal, peserta akan bermusyawarah untuk mencari solusi terbaik dan saling berbagi peran siapa yang akan mendekati korban dan keluarganya, siapa yang akan mendekati pelaku dan keluarganya, termasuk di dalamnya memberikan informasi tentang gambaran-gambaran alternatif yang dapat diambil oleh korban maupun pelaku. Ke depan, untuk mempererat alumni Program Laki-Laki Peduli Kelas Ayah dan Kelas Ibu akan diadakan arisan tiap bulan. Selain itu, alumni peserta Program Laki-Laki Peduli di Desa Ngalang juga berencana untuk melakukan sosialisasi sebagaimana yang telah dilakukan oleh Rifka Annisa WCC kepada warga Desa Ngalang melalui kegiatan kesenian, jalan sehat, dan kesehatan positif lainnya. Isu-isu tentang penghapusan kekerasan dalam rumah tangga juga mendapatkan perhatian yang serius dari Pemerintah Desa. Ngalang. Rencananya isu tersebut akan dibahas untuk dianggarkan secara khusus dalam Musyawarah Dusun dan Musyawarah Perencanaan Pembangunan Desa. Apabila permasalahan tiap-tiap rumah tangga di Desa Ngalang berjalan rukun dan tentram, maka warga Desa Ngalang dapat secara fokus membangun desanya. Kesimpulan Program Laki-Laki Peduli sebagai upaya pelibatan laki-laki dapat meningkatkan kesehatan ibu dan anak, khususnya di Desa Ngalang, Kecamatan Gedangsari, Kabupaten Gunungkidul melalui perubahan perilaku yang ditunjukkan oleh para peserta Program Laki-Laki Peduli. Pasca program tersebut, laki-laki lebih peduli pada istri dan anaknya. Laki-laki Sartika Intaning Pradhani dan Haryo Widodo 183

198 akhirnya dapat mengajak perempuan berdiskusi untuk mengambil suatu keputusan dan ikut serta dalam pengasuhan anak, sehingga muncul kedekatan antara ayah-anak dan ayahistri. Hal tersebut tentunya berdampak positif terhadap peningkatan kesehatan ibu dan anak. Ibu dan anak dapat hidup dengan nyaman dalam lingkungan rumah tangga tanpa adanya kekhawatiran kekerasan yang dilakukan oleh suami, dibandingkan dengan ibu dan anak yang hidup dalam lingkungan rumah tangga yang penuh dengan kekerasan karena laki-laki/ suami tidak paham tentang peran dan tanggung jawabnya. Peraturan DAFTAR PUSTAKA Peraturan Daerah Kabupaten Gunungkidul No. 16 Tahun 2012 tentang Perlindungan Perempuan dan Anak Korban Kekerasan (Lembaran Daerah Kabupaten Gunungkidul Tahun 2012 Nomor 16 Seri E) Buku dan Penelitian Djohan E., 1994, Women s Live in Javanese Family (ideology and reality), Indonesian Institute of Sciences, Center for Population and Manpower Studies: Working Paper No. 9. Heise, et. al., 1999, Ending Violence against Women, Population Reports, Baltimore John s Hopkins University. Mohammad Hakimi, et.al., Cetakan Ke-II, 2011, Membisu Demi Harmoni Kekerasan Terhadap Istri dan Kesehatan Perempuan di Jawa Tengah, Indonesia, Rifka Annisa, Yogyakarta. Nur Hasyim, et. al., Cetakan Ke-II, 2011, Menjadi Laki-Laki Pandangan Laki-Laki Jawa terhadap Maskulinitas dan Kekerasan dalam Rumah Tangga, Rifka Annisa, Yogyakarta. 184 Prosiding PKWG Seminar Series

199 Saeroni dan Muhammad Thonthowi, 2014, Modul Diskusi Komunitas untuk Kelas Ayah, Rifka Annisa Women s Crisis Center, Sartika Intaning Pradhani dan Haryo Widodo 185

200 Ambigu Posisi Suami dalam Masa Reproduksi Perempuan dan Strategi Tokoh Pesantren dalam Upaya Pelibatan Laki-laki 1 Iklilah Muzayyanah Dini Fajriyah 2 Abstrak Artikel yang didasarkan pada data penelitian tahun 2013 di Situbondo ini akan mendeskripsikan tentang strategi kultural dalam upaya pelibatan laki-laki dalam proses reproduksi yang dijalani perempuan, khususnya di masa persalinan. Upaya ini secara khusus dilakukan oleh seorang tokoh agama berbasis pesantren di Desa Tegalampel Bondowoso. Peran laki-laki (baca: suami) pada masa reproduksi yang dijalani perempuan pada umumnya berada dalam peran yang ambigu. Di satu sisi, pengambilan keputusan terkait berbagai hal yang mempengaruhi status kesehatan perempuan dalam menjalani peran kodratinya ditempatkan sebagai hal yang utama. Perempuan bukan pengambil keputusan untuk kesehatan reproduksi dan bayinya. Namun di sisi lain, laki-laki kerapkali menganggap/dianggap tidak penting turut serta dalam setiap tahap masa reproduksi yang dijalani pasangannya. Proses reproduksi dianggap sebagai tanggung jawab perempuan, sebagai pemilik atas rahim, dan dianggap berada di luar diri laki-laki. 1 Proses penelitian dan pengambilan data penelitian ini dilakukan bersama dengan Kartini Tilawati, Peneliti dan Pengajar Program Studi Kajian Gender Program Pascasarjana Universitas Indonesia dalam Penelitian tentang Men Care kerjasama PSKG PPs UI dengan RutgersWPF. 2 Pusat Riset Gender Pascasarjana Universitas Indonesia Iklilah Muzayyanah Dini Fajriyah 187

201 Dalam konteks ini, laki-laki yang mengharapkan janin yang berada di kandungan istrinya tumbuh sehat melakukan berbagai hal positif. Namun pada sebagian laki-laki lain yang mengamini posisi di atas, tidak menyadari akan keharusan keterlibatan dirinya dalam proses penting tersebut. Hal ini terefleksi dari sebagian masyarakat Bondowoso yang masih mempertahankan situasi tersebut. Melihat situasi ini, seorang tokoh agama pesantren bekerja sama dengan bidan dalam upaya memastikan laki-laki hadir dan siaga saat istrinya melakukan persalinan. Melalui kekuatan kultural sang kiai, strategi yang dilakukan menjadi proses penting yang dapat direfleksikan dalam upaya memastikan Angka Kematian Ibu menurun, bahkan sampai pada angka nol. Kata kunci : Strategi kultural, tokoh agama, AKI, pelibatan laki-laki Prolog Artikel yang didasarkan pada data penelitian tentang Men Care tahun 2013 di Situbondo ini akan mendeskripsikan strategi kultural yang dibangun oleh seorang tokoh agama berbasis pesantren pada masyarakat Desa Tegalampel Bondowoso dalam upaya pelibatan laki-laki untuk melakukan pendampingan di masa persalinan. Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan pendekatan kualitatif dengan menggunakan metode pengambilan data dalam bentuk observasi dan wawancara. Wawancara dilakukan dalam dua bentuk, yaitu wawancara mendalam pada tiga kategori informan, yaitu tokoh agama, petugas kesehatan, dan media, sedangkan wawancara kelompok (focus group discussion) dilakukan pada dua kategori informan, yaitu kategori laki-laki muda yang belum dan sudah menikah; dan kategori perempuan muda yang belum dan sudah menikah. 188 Prosiding PKWG Seminar Series

202 Meneropong Kondisi Kesehatan Reproduksi dan AKI Kabupaten Bondowoso merupakan daerah dengan capaian kesehatan reproduksi yang masih membutuhkan perhatian khusus. Berdasarkan profil kesehatan provinsi Jawa Timur tahun 2011 yang dipublikasi melalui website resmi provinsi, angka kematian Ibu di kedua kabupaten ini masih terbilang tinggi, yaitu 147,98 per kelahiran hidup di Bondowoso. Angka ini masih jauh diatas target RPJMN tahun 2014 sebesar 118 per kelahiran hidup, dan dari target MDG s sebesar 102 per kelahiran hidup di tahun Dalam perbandingan di tingkat provinsi, jumlah AKI di kabupaten ini juga masih di atas rata-rata jumlah AKI Provinsi Jawa Timur tahun 2011, yaitu 104,30 per kelahiran hidup 1. Tingginya angka kematian ibu ini, menurut Laporan Kematian Ibu (LKI) Kabupaten/Kota se Jawa Timur Tahun 2011, penyebab terbesar karena perdarahan (29,35 %). Sedangkan penyebab AKI yang lain adalah pre/eklamsia (27,27%), jantung (15,47 %) infeksi (6,06%) dan lain-lain (21,85%) 2. Angka lahir mati pada bayi di Bondowoso adalah 16,82 per 1000 kelahiran, atau 185 kasus kematian dari kelahiran 3. Angka kematian bayi lahir ini masih belum menggambarkan jumlah yang sesungguhnya, mengingat masih adanya persalinan di luar tenaga kesehatan terlatih. Dukun bayi masih membantu persalinan, khususnya di daerah pedesaan dimana akses pada tenaga medis masih sulit. Hal ini terlihat juga dalam profil kesehatan Provinsi Jawa Timur, disebutkan bahwa kelahiran dengan bantuan dukun masih terjadi di Jawa timur, yaitu sebesar 2,4 %, sedangkan kelahiran dengan dibantu bidan yang masih belum terlatih APN (Asuhan Persalinan Normal) sebesar 45,04 %, beberapa kabupaten masih tidak memiliki bidan KIT dari alokasi pemerintah (43,05 %), serta persoalan rasio tenaga kesehatan dan penduduk yang masih cukup besar. 4 Iklilah Muzayyanah Dini Fajriyah 189

203 Selain persoalan tenaga medis yang membantu persalinan, persoalan jalan yang mempermudah akses perempuan menuju layanan kesehatan masih belum seluruhnya baik. Di Bondowoso, untuk daerah perkotaan kondisi jalan sudah dapat dibilang bagus, namun di beberapa daerah di pedesaan, akses jalan masih sangat sulit. Bahkan, untuk mencapai rumah bidan harus Karena kita sebagai kaum wanita, kan istilahnya menghargai, masa seorang laki-laki sudah mencari nafkah, sudah mencukupi keluarga saya, masa masih harus masak, nyapu, tidak seperti itu. Istilahnya, perempuan itu hanya melengkapi. Seperti itu, yang ada di lingkungan saya. (FGD, Perempuan, Bndw) Daerah Depak [nama desa di Bondowoso] Depak itu jalannya sulit, nah seharusnya kan disitu karena apa, akses, manfaat di situ. Kalau kota rata-rata jalannya enak mas, apalagi ke Tamanan. Tamanan itu desa tapi jalannya enak, bapak bisa langsung ke Taman Sempol misalkan, di sana juga fasilitasnya minim (FGD, Laki-laki, Bndw) ditempuh selama dua jam perjalanan atau empat jam perjalanan PP dengan kondisi jalan yang tidak baik. Hal ini menjadi salah satu alasan perempuan terpaksa bersalin dengan bantuan dukun terdekat 5. Di Kabupaten yang mayoritas penduduknya beragama Islam dan beretnis Madura dan sebagian Jawa ini masih banyak yang menikahkan anak-anaknya di usia kurang dari 20 tahun. Adalah hal biasa seorang anak yang masih sekolah dijodohkan. Menurut bidan Sri, perkawinan di bawah umur ini banyak dialami anak-anak usia sekolah SMP, bahkan di usia Sekolah Dasar (SD). Banyak diantaranya dijodohkan di kalangan antara keluarga. Salah satu faktornya adalah karena pertimbangan ekonomi (wwcr, Nakes, Sri). Praktik budaya ini perlu ditelisik lebih dalam karena dapat menjadi penyumbang angka kematian ibu di Bondowoso. 190 Prosiding PKWG Seminar Series

204 Peran Gender dan Dilema Keterlibatan Laki-laki Secara umum pembagian peran gender di Bondowoso masih memisahkan peran produksi dan reproduksi secara jenis kelamin. Kerja produksi di ruang public menjadi ranah laki-laki, sedangkan perempuan di ranah domestic. Meskipun demikian, segregasi peran gender sudah tampak dinegosiasikan dengan terlibatnya perempuan di ranah public dan kontribusinya secara ekonomi dalam keluarga. Pencari nafkah tidak lagi didominasi oleh laki-laki. Perempuan telah turut terlibat. Situasi ini berimplikasi pada perubahan peran gender yang terjadi dalam keluarga-keluarga yang ada. Setidaknya, terdapat empat farian pembagian peran gender yang dipraktikkan dalam realitas kehidupan masyarakat, baik di perkotaan maupun di pedesaan, yaitu (1) secara kaku menjalani peran masing-masing jenis kelamin, (2) mulai berbagi peran dalam pengasuhan anak, (3) berbagi peran produksi dan reproduksi, dan (4) perempuan menjalani beban ganda. Di masyarakat itu kerja perempuan itu biasa ya di dapur, mencuci, menyapu sama tugas-tugas rumahlah.. (anakanak) lebih banyak ibunya, mungkin kalau saya presentasikan 70 lawan 30, 70 seorang ibu, 30 bapak. Yang biasanya yang sering saya lakukan seperti itu, bagi tugas dengan ibu, misalnya mengantar ke madrasah, bermain di lingkungan rumah.. PR nya itu. (FGD, Laki-laki, Bndw). Meskipun telah mulai terlihat adanya pola-pola pembagian peran reproduksi, namun pemisahan peran gender tersebut tampak masih dipertahankan. Hal ini bukan hanya karena lakilaki telah memposisikan dirinya bertugas sebagai pencari nafkah utama, namun juga karena perempuan menghargai peran laki-laki tersebut. Perempuan (juga laki-laki) masih menilai pekerjaan publik sebagai pekerjaan yang memiliki beban lebih berat ketimbang pekerjaan domestik, meskipun praktiknya pekerjaan domestik menuntut waktu dan tenaga yang lebih panjang dan terus menerus. Perempuan merasa Iklilah Muzayyanah Dini Fajriyah 191

205 enggan menarik laki-laki untuk terlibat dalam aktifitas terkait peran-peran reproduksi, meskipun pada dasarnya perempuan mengharapkannya. Dalam masyarakat pedesaan, fenomena ini terjadi cukup ketat pada keluarga petani kelas menengah ke atas. Perempuan sama sekali tidak terlibat dalam aktifitas di lahan sawah. Ketika perempuan mencoba keluar dari batas peran gendernya, misalnya ikut bekerja di sawah, memanam bibit, memupuk, atau memanen (sebagaimana kebanyakan buruh tani perempuan lakukan), maka suami akan marah dan menyatakan bahwa itu bukan tugasnya. 6 Itu artinya, keluarnya perempuan dari batas pakem peran gender dapat memicu konflik dalam relasinya dengan suaminya. Dalam pengakuan sebagian laki-laki Bondowoso, sebenarnya mereka tidak keberatan ikut terlibat dalam kerja reproduski di ranah domestik, apalagi jika istri adalah Gini bu ya, di keluarga saya itu ya, saya sama suami kan tinggal satu rumah, beda dari mertua, beda dari orang tua. Kalau pagi tuh sama-sama kerja, ngajar di SMP Tlogosari, nanti kalo sudah pulang dari kerja, ya dibantu. Saya dibantu meskipun saya masak, suami itu kadang ngepel, kadang suami itu nyapu, tapi masalah nyuci itu suami memang ndak pernah, kecuali nyuci selimut, seperti yang tebel-tebel, ya gitu (FGD, Perempuan, Bndw) perempuan yang bekerja di luar rumah. Selain karena laki-laki merasakan beban nafkah yang diembannya menjadi lebih ringan karena ada sharing income dengan istri, juga karena laki-laki melihat tugas dan peran istri yang bertambah. Namun keinginan laki-laki terlibat dalam ranah reproduksi mengalami hambatan. Hambatan tersebut muncul dari dalam diri laki-laki dan dari luar diri laki-laki. Hambatan dari dalam diri laki-laki yang kerap mengurungkan niat lakilaki terlibat dalam kerja reproduksi adalah anggapan tugastugas domestik tidak pantas dilakukan laki-laki. Selain itu, harga diri laki-laki kerap dipertaruhkan dan diusik jika harus 192 Prosiding PKWG Seminar Series

206 mengerjakan pekerjaan perempuan. Terkait harga diri tersebut, pada dasarnya berhubungan dengan respon masyarakat di luar diri laki-laki, diantaranya stigma laki-laki budak istri, merusak nama baik istri, dan menjadi bahan gunjingan tetangga/perendahan harga diri laki-laki. Pertama, persoalan sebenarnya bukan keberatan seorang yang memberatkan suami membantu tugas istri itu, tapi keterlibatan laki-laki dengan tuntutan itu kita akan merusak berkontribusi di ranah nama baik istri, seperti yang domestik adalah disampaikan oleh mas tadi, kalau ada adanya anggapan sebagian...ini Jawa Timur ya...khususnya negatif bagi laki-laki Bondowoso, kalau kita mengerjakan itu pas ada tetangga itu ya pasti (bilang), yang melakukan kerjakerja reproduksi. Di istrinya yo opo.. suaminya disuruh. Nah itu yang kami pikirkan, yang akan jadi Bondowoso dikenal omongan tetangga, bukan kami istilah budak istri keberatan melakukannya, dengan yang biasanya membantu kita kadang-kadang dilekatkan pada lakilaki yang membantu mencemarkan nama baik seorang istri (FGD, Laki-laki, Bndw) istrinya mengerjakan pekerjaan-pekerjaan rumah tangga seperti mencuci, menjemur, memasak, atau menjaga anak 7. Stigma negatif ini menjadi pertimbangan berat laki-laki yang ingin membantu beban istri. Apalagi dalam budaya Madura di Bondowoso, laki-laki memiliki kedudukan yang cukup dimuliakan dalam keluarga, terkait posisinya sebagai kepala rumah tangga, sekaligus sebagai pemimpin bagi keluarga. Karena itulah, bagi sebagian lak-laki yang memiliki kepedulian dalam urusan rumah tangga memilih melakukan hal-hal yang tidak terlihat oleh masyarakat sekitarnya, seperti memasak, menyetrika, atau membersihkan kamar. Sedangkan menjemur pakaian, menyapu, dan mencuci (masih banyak masyarakat yang mencuci di sungai) adalah aktifitas yang dihindari karena mudah dilihat oleh masyarakat sekitarnya. Iklilah Muzayyanah Dini Fajriyah 193

207 Kedua, keterlibatan laki-laki dalam peran domestik menimbulkan kekhawatiran laki-laki dapat merusak nama baik istri sebagai istri yang ideal dimata masyarakat. Dalam konsepsi masyarakat Bondowoso yang kuat tradisi pesantren, istri yang baik adalah istri yang taat dan patuh pada suami. Tidak memerintah suami dan tidak mendominasi suaminya. Keterlibatan suami dalam kerja reproduksi dilihat sebagai sebuah kesalahan dan arogansi istri, bukan dilihat sebaliknya, sebagai bentuk kepedulian laki-laki dalam keluarga. Alasan ketiga yang diungkapkan laki-laki Bondowoso terkait ikut berkontribusinya laki-laki dalam kerja domestik adalah munculnya gosip dan pergunjingan di kalangan masyarakat sekitar tentang keluarganya. Relasi gender yang tidak semestinya menjadi salah satu bahan pergunjingan dan terkadang memicu konflik di antara keluarga itu sendiri. Terkadang pergunjingan semacam ini memicu persoalan ke ranah keluarga yang lebih luas, menghubungkannya dengan hubungan-hubungan kekeluargaan dan status keluarga. Perubahan peran gender ini juga dapat mengakibatkan keperkasaan laki-laki dipersoalkan, laki-laki dianggap tidak mampu atau lemah. Pergunjingan ini akan semakin merendahkan laki-laki ketika laki-laki tidak hanya berkontribusi dalam kerja reproduksi, namun bertukar peran dalam rumah tangga. Sebagai pihak yang diharapkan mampu mencari nafkah dan menghidupi ekonomi keluarga, laki-laki diposisikan harus memiliki akses terhadap sumber-sumber ekonomi. Apabila bertukar peran dan laki-laki tidak bekerja mencari nafkah dan tidak memiliki penghasilan ekonomi, stigma negatif akan dilekatkan kepada dirinya, tidak hanya mempertaruhkan harga dirinya, namun juga keluarganya. Kesehatan Reproduksi Perempuan yang Terpasung Pembagian peran gender semacam ini secara langsung dan tidak langsung berdampak pada status kesehatan reproduksi perempuan. Dalam pemahaman masyarakat secara umum, perempuan merupakan pihak yang bertanggung jawab 194 Prosiding PKWG Seminar Series

208 terhadap tubuh dan rahimnya. Apa yang terjadi dalam rahim perempuan dan konsekuensi dari proses tersebut adalah tanggung jawab perempuan. Kehamilan yang dinanti namun tidak kunjung terjadi menjadi bagian dari kesalahan perempuan. Kehamilan yang bermasalah adalah karena perempuan. Kelahiran dengan bayi yang tidak sehat akan dihubungkan dengan perilaku dan sikap perempuan di masa pra kehamilan atau saat kehamilan, bahkan saat perempuan masih belum menikah. Dalam pemahaman ini, laki-laki seakan-akan menempatkan tubuh perempuan sebagai milik perempuan. Laki-laki cenderung memilih untuk tidak terlibat banyak dalam hal-hal terkait tubuh perempuan, khususnya terkait organ reproduksinya perempuan. Secara umum, tidak banyak laki-laki yang memperhatikan persoalan perencanaan kehamilan dan alat kontrasepsi. Dalam mengambil keputusan untuk pengaturan kehamilan, baik pilihan alat kontrasepsi yang digunakan maupun pilihan kapan kehamilan direncanakan. Setidaknya terdapat tiga cara yang umum terjadi di masyarakat Bondowoso, yaitu pertama, ditentukan suami, alasan yang diungkapkan lebih mengedepankan alasan tentang tanggung jawab laki-laki dalam keluarga. Dari perspektif perempuan, izin penggunaan alat kontrasepsi haruslah di tangan suami, bukan atas kehendak istri. Cara kedua adalah ditentukan istri. Alasan mengapa ditentukan istri, menurut laki-laki karena istrilah yang akan menjalani kehamilan tersebut dan merasakan suka duka (repotnya) memiliki bayi. Keputusan ada di tangan istri ini juga dikarenakan beberapa laki-laki tidak mempedulikannya sementara itu perempuan cukup khawatir jika mengalami kehamilan dengan jarak yang terlalu dekat atau kehamilan yang tidak diharapkan. Dalam praktiknya, meskipun menjadi keputusan perempuan, namun seringkali harus melalui persetujuan suami. Cara ketiga adalah dengan cara diputuskan bersama antara suami dan istri. Dalam praktiknya, cara ini kebanyakan Iklilah Muzayyanah Dini Fajriyah 195

209 berangkat dari inisiatif perempuan, kemudian dibicarakan bersama dengan suami. Suami akan memberikan masukan dan pertimbangan, meskipun pada umumnya, akhir dari proses ini terkadang diserahkan kepada perempuan karena alat kontrasepsi yang dipertimbangkan bukan untuk laki-laki. Dari ketiga cara tersebut, cara kedua adalah cara yang paling banyak terjadi di masyarakat. Akan tetapi keputusan di tangan perempuan kebanyakan bukan karena memposisikan perempuan sebagai subyek atas kontrol tubuhnya, namun pada umumnya lebih didasarkan pada ketidakpedulian lakilaki dalam persoalan ini. Dalam menghadapi masalah menstruasi dan resiko yang timbul dari penggunaan alat kontrasepsi, pada umumnya perempuan menangani sendiri. Dalam masyarakat Bondowoso, para suami melihat alat kontrasepsi adalah urusan perempuan karena terkait dengan apa yang akan terjadi pada rahim perempuan. Terlalu sedikit laki-laki yang menggunakan alat kontrasepsi. Dalam data Perwakilan Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional Jawa Timur, kondom dan vasektomi tidak menjadi pilihan utama, bahkan tidak sebagai pertimbangan 8. Salah satu alasan tidak digunakannya kondom karena sebagian laki-laki mengaku pernah mencobanya namun kemudian menganggapnya dapat mengurangi kualitas dari hubungan seksualnya dengan istrinya 9. Karena itulah dapat dipahami mengapa pilihan alat kontrasepsi perempuanlah yang lebih digunakan. Dari pengalaman yang ada, alat kontrasepsi yang paling diminati adalah suntik dan pil. Informasi ini tampak sejalan dengan data kesehatan yang ada, dimana di tahun 2011, akseptor KB terbanyak adalah perempuan dan pilihan alat kontrasepsi yang paling banyak dipilih adalah suntik (38%), baru kemudian pil (26,28%) sementara akseptor kondom hanya sebanyak 1% dan vasektomi hanya 1,88% saja. 10 Tanggung jawab menjarakkan kehamilan, pada umumnya dianggap sebagai tanggung jawab bersama, namun secara 196 Prosiding PKWG Seminar Series

210 khusus, perempuan sendiri merasa lebih bertanggung jawab atas persoalan penjarakan kehamilan. Alasan utama yang diungkapkan adalah karena perempuan lebih mempertimbangkan dan mengkhawatirkan berbagai permasalahan yang dihadapinya sebagai konsekuensi atas kehamilan yang terjadi, seperti masa kehamilan yang tidak selalu nyaman, persalinan, dan perawatan pada bayi. Pertimbangan-pertimbangan yang ada tersebut lebih mempertimbangkan pada hubungannya dengan peran gender yang menjadi beban perempuan. Tidak ada satupun yang menjelaskan alasan tanggung jawab penjarakan kehamilan dengan persoalan hak perempuan atas tubuhnya dan pertimbangan kesehatan organ reproduksi perempuan. Dalam hal persalinan, pihak yang memutuskan kelahiran akan dibantu pihak tenaga kesehatan atau bukan; atau merujuk tenaga medis yang mana, kerap kali bukan di tangan perempuan sendiri. Keputusannya kadangkala di tangan suami, kadangkala di tangan orang tua, atau bahkan diputuskan keluarga besar. Namun jika diurutkan, maka pengambilan keputusan melahirkan lebih dominan ditentukan oleh orang tua pihak perempuan. Suami seringkali berada di waktu saya masih di desa dulu itu, ya meskipun gak di desa disini juga gitu sih yang lahir 1 yang nganter 2 pic up, nanti satunya bilang gini, satunya bilang gitu, satunya gini dan sebagainya. Saya suruh pulang, yang nunggu sedikit saja saya pusing, gak usah banyak-banyak, sampeyan doain saja dari rumah, pernah ada yang nungguin disini 50, 60 datang semua 1 desa kalau saudaranya banyak (wwcr, nakes, Sri) urutan berikutnya, sedangkan perempuan justru jarang ditanya. Keterlibatan orang tua dan keluarga besar dalam budaya masyarakat Bondowoso ini terlihat dari banyaknya keluarga atau kerabat yang ikut mengantarkan perempuan untuk melahirkan. Terkadang pihak yang mengantar sampai puluhan orang yang beramai-ramai menaiki mobil pick up atau Iklilah Muzayyanah Dini Fajriyah 197

211 bahkan sampai satu desa 11. Situasi ini merefleksikan bagaimana posisi perempuan dan hak perempuan atas tubuhnya. Perempuan bertanggung jawab atas tubuhnya namun ia tidak memiliki hak dalam pengambilan keputusan untuk tubuhnya sendiri. Kondisi ini menjadi salah satu sumber persoalan untuk kesehatan reproduksi perempuan. Tidak hanya karena perempuan tidak dapat memilih atau mengusulkan pilihannya, namun bahaya keselamatan kesehatan reproduksi perempuan dipertaruhkan oleh orang di luar diri perempuan. Orang yang mungkin saja didasarkan pada pengetahuan yang tepat mengenai kesehatan reproduksi perempuan, namun juga sangat mungkin di tangan orang-orang yang mendasarkan keputusannya pada pertimbangan mitos, kepercayaan, ekonomi, atau hal lain di luar pertimbangan kesehatan reproduksi perempuan. Peran laki-laki yang Ambigu 198 Prosiding PKWG Seminar Series ya memperhatikan obat-obatan yang sekiranya membahayakan kepada istri, dan memperhatikan untuk memeriksa ke bidan, mengantar, dan tanya, takut nanti istrinya lupa minum obat. Suami harus selalu mengingatkan, itu yang namanya suami jaga. Bukan tidak peduli, periksa ya iya, ndak periksa ya iya, itu banyak yang gitu, mayoritas kayak gitu. Periksa sendiri, berangkat sendiri, padahal kan harus ada apa itu, dukungan suami, agar si istri punya semangat untuk memperbaiki kandungannya dan semacamnya itu, dan ketika akan melahirkan, suami betul-betul memperhatikan sungguh pada istri, dari apa yang istri ada reaksi, gejala-gejala itu sudah mulai, segera suami merujuk kepada bidan, mengantar ke bidan. (wwcr, toma, Nursalim) Dalam situasi dimana perempuan tidak dilibatkan dan diperhitungkan dalam pengambilan keputusan bagi kesehatan dirinya, posisi laki-laki dalam masyarakat Bondowoso juga berada dalam situasi yang ambigu. Dalam peran gender yang umum terjadi pada masyarakat, laki-laki memiliki posisi yang

212 sangat dominan. Ia menjadi pemimpin bagi keluarganya, bertanggung jawab atas nafkah istri dan anak-anaknya, dan pengambil keputusan dalam banyak hal. Diri laki-lakilah yang memegang kendali atas roda rumah tangga dan keluarga. Sementara itu, dalam beberapa hal terkait kesehatan reproduksi perempuan, laki-laki seringkali dianggap lian. Aggapan laki-laki tidak cakap, tidak memiliki pengetahuan, dan tidak memahami menyelimuti posisi laki-laki di dalamnya. Peran seks perempuan dianggap hanya semata dunia perempuan. Apa yang terjadi pada organ reproduksi perempuan merupakan bagian dari tanggung jawab perempuan. Demikian halnya dengan apa yang terjadi dalam rahim perempuan adalah di luar diri laki-laki. saya kira ndak banyak, kadangkadang istrinya mau lahir saja, masih dicari suaminya ada di mana, kadang malah ndak mau pulang kadang-kadang. (kenapa?) ya sudah biasa itu orang mau melahirkan, dianggap biasa gitu. Ada barusan ya murid kami-kami juga, istrinya sudah mulai mual-mual, pergi mancing itu suaminya. (wwcr, toma, Nursalim) Situasi ini menempatkan laki-laki tidak terlibat banyak atau bahkan tidak terlibat sama sekali dalam proses-proses reproduksi perempuan yang penting dalam kehidupan kemanusiaan. Padahal, keterlibatan laki-laki merupakan hal penting karena perannya dapat mendorong adanya harapan atas keselamatan dan kesehatan perempuan. Pada saat masyarakat masih menempatkan laki-laki sebagai pemimpin tertinggi, keterlibatan laki-laki dalam menjamin kesehatan reproduksi menjadi niscaya. Akan tetapi situasi laki-laki yang ingin turut terlibat menjadi gamang karena posisinya yang disubordinasi. Sementara dalam imaji perempuan, suami yang ideal adalah suami yang memberikan perhatian penuh proses reproduksi itu terjadi, baik saat kehamilan, persalinan, maupun pasca persalinan. Iklilah Muzayyanah Dini Fajriyah 199

213 Dalam persalinan, suami tidak selalu mendampingi istri saat melahirkan. Alasan yang muncul, bisa jadi karena alasan pekerjaan yang tidak dapat ditinggalkan, suami takut darah, suami sedang di luar kota, atau karena ketidak-pedulian suami. Dalam konteks ketidak-pedulian suami, diceritakan bahwa di desa Tegalampel pernah ada suami yang justru pergi memancing ketika diberitahu istrinya akan melahirkan. Lakilaki meninggalkan istrinya ke sungai untuk memancing, karena baginya, adalah hal biasa seorang perempuan melahirkan. Melibatkan Laki-laki, Memperkuat Strategi Kultural Acuh tak acuh yang dilakukan laki-laki dalam proses persalinan pada dasarnya merefleksikan dilema dan ambigu laki-laki masuk dan terlibat dalam dunia reproduksi perempuan. Padahal kalau secara syari ahnya, segala beban itu menjadi kewajiban si suami, namun secara moral itu tidak ada pembedaan antara lakilaki dan perempuan. Namun secara syar i itu kewajiban sepenuhnya adalah ada pada si suami. Itu kalau memang si istri itu juga memakai secara syar iyyah. Kalau si istri tidak memakai secara syar iyah, maka si suami juga tidak berkewajiban sepenuhnya untuk melakukan beban yang menjadi beban oleh si suami. (beban sepenuhnya apa?) seperti nafkah, ya pekerjaan rumah, dapur, seperti masak dan mencuci, momong anak, ngurus anak, itu semuanya kewajiban suami. Istri tidak berkewajiban, menurut ajaran syar i. (wwcr, toma, Nursalim, 7 Mei 2013) 200 Prosiding PKWG Seminar Series keterlibatan laki-laki harus diperhitungkan sebagai salah satu upaya dalam memastikan proses reproduksi berjalan dengan baik dan dalam pengawasan yang menjamin keselamatan dan kesehatannya. Keterlibatan laki-laki ini menjadi salah satu factor penting dalam upaya menurunkan kematian ibu. angka Dalam kesadaran akan pentingnya laki-laki turut berkontribusi dalam bentuk pendampingan, pengawasan dan memastikan keselamatan proses reproduksi pada

214 perempuan, seorang tokoh agama/kiai di Desa Tegalampel, Kiai Nursalim, mencoba melakukan perubahan peran gender yang berlaku di masyarakat. Kesadaran sang kiai ini direfleksikan dari nilai-nilai agama dan budaya masyarakat Bondowoso yang mayoritas Madura. Meskipun tidak mudah pada awalnya, namun upayanya telah memberikan satu hasil nyata yang berdampak pada turut sertanya laki-laki di dalam peran-peran reproduksi. Sang kiai memulainya dari dirinya sendiri. Dengan pemahaman keagamaan yang menempatkan laki-laki dalam keluarga sebagai kepala rumah tangga yang bertanggung jawab penuh atas roda kehidupan rumah tangganya, sang kiai sepenuhnya terlibat dalam peran-peran reproduksi. Sang kiai sadar bahwa apa yang dilakukannya bertentangan dengan kultur budaya yang sedang berlaku, dimana laki-laki tidak terlibat dalam peran-peran reproduksi. Keterlibatan laki-laki dalam peran reproduksi menjadi aib, stigma buruk, dan perendahan harga diri laki-laki di mata masyarakat sekitarnya. Dalam keyakinan yang penuh, sang kiai menegaskan bahwa laki-laki di mata hokum fikih Islam memiliki tanggung jawab yang besar. Bukan hanya dalam memberikan nafkah bagi anak dan istrinya, namun juga menyediakan sandang, papan, dan pangan dalam bentuk siap saji, siap pakai, dan siap huni serta pendidikan dan pengasuhan anak yang sepenuhnya ditangani laki-laki. Dalam konsepsi ini, perempuan tidak memiliki kewajiban dalam kerja-kerja reproduksi. Pun ketika laki-laki tidak mampu mengatur waktu yang ada atau memiliki tenaga yang terbatas melakukan hal tersebut sendiri, maka semestinya ia melibatkan assistant rumah tangga untuk mengerjakannya. Bukan memberikan peran dan beban tersebut di pundak perempuan, sebagaimana kebanyakan yang terjadi dalam realitas yang ada. Sang kiai menerapkan dalam kehidupan nyata. Ia memasak, mencuci, dan menjemur pakaian. Ia menggendong anaknya, mengajaknya berjalan-jalan di sekitar rumah, menyuapinya, Iklilah Muzayyanah Dini Fajriyah 201

215 dan memandikannya. Apa yang dilakukan sang kiai menjadi perhatian masyarakat sekitar dan menjadi legitimasi pada setiap perempuan yang mencoba melibatkan laki-laki dalam peran-peran reproduksi. Kekuatan kultural sang kiai di masyarakat Madura yang dapat melampaui posisi pemerintah menjadikan apa yang dilakukan sang Kiai menjadi kekuatan kultural bagi upaya perubahan peran gender. Dalam konteks kesehatan reproduksi, sang Kiai memanfaatkan kekuatan kultural yang dimilikinya dan bekerjasama dengan bidan yang ada di desa tersebut. Keprihatinan atas ketidakpedulian laki-laki dalam memastikan keselamatan persalinan istrinya mendorong sang Kiai melakukan upaya nyata. Ia bekerjasama dengan bidan. Setiap kali persalinan yang dibantu oleh sang Bidan, selalu saja sang bidan meminta pihak keluarga perempuan untuk menghadap kepada Kiai Nursalim dan meminta doa agar Tuhan Yang Maha Kuasa memberikan kemudahan dan keselamatan bagi perempuan dan calon bayinya dalam persalinan yang akan terjadi. Dan setiap kali seseorang yang menghadap sang Kiai, ia selalu memberikan segelas air putih dan selembar kertas berisi tulisan doa dalam Bahasa Arab. Sang Kiai menyebutnya sebagai satu ijazah yang harus dilakukan oleh suami dari perempuan yang akan melahirkan. Dalam konsep ijazah ini, air putih diminum oleh perempuan yang akan melahirkan dan selama masa persalinan, sang suami harus membaca doa yang tertera dalam selembar kertas tersebut sambil terus menggenggam tangan istrinya 12. Ijazah ini secara tidak langsung mengikat laki-laki untuk tetap ada dan hadir dalam proses persalinan yang akan dijalani perempuan. Dengan demikian, laki-laki yang masih dalam konteks kultural menjadi pengambil keputusan dapat segera melakukan tindakan atau memberikan izin suatu tindakan demi keselamatan perempuan dan bayinya. Persalinan lebih terjamin dari resiko 4T, khususnya dalam hal 202 Prosiding PKWG Seminar Series

216 Terlambat Mengambil Keputusan, dan Terlambat dalam Penanganan Persalinan aman. Dalam pengakuannya, Kiai Nursalim menyatakan bahwa di awal melakukannya dan menerapkan keyakinannya, ia harus melakukan negosiasi dengan dirinya sendiri. Bukan hanya karena ia adalah seorang laki-laki yang nota bene secara kultural mendapat tempat yang istimewa, namun juga karena ia adalah seorang etnis Madura yang juga tokoh terpandang dengan kedudukan social tinggi. Cukup berat konflik batin yang harus dilaluinya, namun tekadnya telah membuahkan hasil. Saat ini, dirinya dijuluki sebagai pembela perempuan dan di desanya kini, laki-laki selalu ada dan hadir dalam proses persalinan yang dijalani perempuan. Laki-laki dan perempuan telah terbiasa mengerjakan pekerjaan-pekerjaan reproduksi secara bersama atau berbagi. Epilog Menekan angka kematian ibu tidak saja menjadi tanggung jawab pemerintah melalui program-programnya, namun merupakan tanggung jawab kemanusiaan bagi seluruh makhluk di muka bumi ini. Peran pemerintah saja tidak akan cukup kuat jika tidak diimbangi dengan peran aktif dari seluruh bangsa, khususnya laki-laki yang memiliki posisi sangat diperhitungkan dalam kultur dan praktik kehidupan masyarakat. Keterlibatan masyarakat dalam proses reproduksi tidak akan mampu memastikan keselamatan persalinan jika tidak difasilitasi dengan layanan kesehatan dan tenaga medis yang memadai, terjangkau, dan mencukupi. Kematian perempuan karena persalinan merupakan bencana kemanusiaan yang sesungguhnya dapat diintervensi melalui berbagai cara. Perubahan peran gender yang lebih berkeadilan menjadi sebuah keniscayaan. Oleh karenanya, Negara, agama, dan budaya harus menjadi sinergi kekuatan yang diperhitungkan dalam upaya pembangunan kemanusiaan dan secara khusus-- penurunan angka Iklilah Muzayyanah Dini Fajriyah 203

217 kematian ibu. Program-program yang berorintasi pada pembangunan kesadaran masyarakat menjadi satu langkah penting yang harus terus dilakukan dan diinternalisasikan pada masyarakat luas. Penyediaan layanan kesehatan dan tenaga medis yang diprioritaskan dan diperhitungkan dengan dukungan anggaran Negara yang memadai harus tetap dipertahankan dan diawasi penggunaannya. Namun memperhitungkan kekuatan kultural dan nilai-nilai lokal merupakan bagian yang tidak dapat diabaikan, karena kekuatan di luar kekuatan Negara seringkali menjadi lebih ampuh dari program-program pembangunan yang terkadang berjarak dengan masyarakat itu sendiri. 1 Profil Kesehatan Provinsi Jawa Timur, tabel 8. diakses 29 Juni Profil Kesehatan Provinsi Jawa Timur Tahun 2011, Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Timur, 2012, hlm Profil Kesehatan Provinsi Jawa Timur, tabel 6, diakses 29 Juni Profil Kesehatan Provinsi Jawa Timur Tahun 2011, Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Timur, 2012, hlm FGD, Kategori Laki-laki, Bondowoso, Mei FGD, Kategori Perempuan, Bondowoso, Mei Wawancara, tokoh agama, Nursalim, Mei Perwakilan Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional Jawa Timur, diakses 29 juni FGD, Kategori Laki-laki, Bondowoso, Mei Persentase Peserta KB Aktif dan Alat Kontrasepsi yang Digunakan tahun 2011, Perwakilan Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional Jawa Timur, diakses 29 juni Wawancara, tenaga kesehatan, Sri, Mei Wawancara, tokoh agama, Nursalim, Mei Prosiding PKWG Seminar Series

218 Membangun Forum Komunikasi Melalui Badan Permusyawaratan Desa Sebagai Upaya Mendukung Pembangunan Keluarga Mewujudkan Kesetaraan Gender, Pemberdayaan Perempuan, Perlindungan dan Tumbuh Kembang Anak Sri Endah Kinasih dan Pinky Saptandari 1 Abstrak Pelaksanaan Pembangunan Keluarga seperti pada Permen PPPA No.06/2013 dilakukan sebagai upaya pengendalian angka kelahiran dan penurunan angka kematian baik ibu dan anak, meningkatkan gizi dan tingkat pendidikan, pengembangan kualitas penduduk pada seluruh dimensinya, peningkatan ketahanan dan kesejahteraan keluarga, penyiapan dan pengaturan perkawinan serta kehamilan sehingga penduduk menjadi sumber daya manusia yang tangguh bagi pembangunan dan ketahanan nasional, serta mampu bersaing dengan bangsa lain, dan dapat menikmati hasil pembangunan secara adil dan merata. Suku Tengger kecamatan Sukapura kabupaten Probolinggo menunjukkan upaya mendukung pembangunan keluarga mewujudkan kesetaraan gender, pemberdayaan perempuan, perlindungan & tumbuh kembang anak dengan membangun forum komunikasi melalui Badan Permusyawaratan Desa (BPD) sesuai amanah UU No. 6 Tahun 2014 tentang Desa. 1 FISIP Universitas Airlangga Sri Endah Kinasih dan Pinky Saptandari 205

219 Kajian ini bertujuan untuk menggali kekuatan sosial, budaya, ekonomi dan politik masyarakat suku Tengger, dari sisi keluarga, kelembagaan desa, serta SDM yang ada untuk bisa berperan aktif dan menjalankan amanah UU Desa. Termasuk menggali peran adat setempat dalam pembangunan masyarakat, keluarga serta kelembagaan di desa. Hasil dalam penelitian ini menunjukkan bahwa BPD sebagai forum komunikasi dalam melaksanakan program pemerintahan, disesuaikan dengan nilai-nilai sosial budaya lokal. Dinas kabupaten Probolinggo memberikan bantuan teknis, administratif, dana stimulan dan lain-lain dalam mewujudkan program pembangunan keluarga. Supaya berjalan sesuai dengan entry point sehingga perlu melakukan komunikasi melalui BPD sebagai faktor pendukung agar kegiatan tersebut lebih berkembang. Di sisi lain BPD juga melakukan kemitraan membangun ketahanan keluarga dengan PT, LSM, organisasi keagamaan dan organisasi kemasyarakatan untuk meningkatkan program berkelanjutan (kontiunitas). Kemitraan sangat efektif dalam membangkitkan kesadaran masyarakat melalui PT, LSM, organisasi keagamaan dan organisasi kemasyarakatan dalam mewujudkan ketahanan keluarga. Kemitraan meningkatkan efektifitasnya melalui keterlibatan mendalam dengan semua pemangku kepentingan baik dinas pemerintahan dengan PT, LSM, organisasi keagamaan dan organisasi kemasyarakatan. Kata Kunci : Forum Komunikasi, Pembangunan Keluarga Latar Belakang Angka kematian ibu di Indonesia paling tinggi di Asia Tenggara 307/ kelahiran. Sementara Indonesia menetapkan target AKI 125/ pada 2015 (target MDGs). Seperti tabel di bawah ini : 206 Prosiding PKWG Seminar Series

220 Indonesia belum mampu mencapai Target MDGs dalam hal Kesehatan Ibu. Berdasarkan hasil Survei Demogafi dan Kependudukan Indonesia (SDKI) 2012, terdapat kenaikan angka kematian ibu (AKI) yang cukup drastis. Jumlah kematian ibu secara nasional setiap tahun terus bertambah, sebelumnya pada 2012 berjumlah sedangkan pada 2011 mencapai Meskipun sudah mengalami penurunan sejumlah 133 jiwa, namun meningkat lagi pada tahun 2013 mencapai jiwa. Angka ini masih cukup jauh dari target yang harus dicapai pada tahun Artinya, terdapat kenaikan angka kematian ibu yang cukup drastis dari 228/ kelahiran menjadi 359/ kelahiran. Mampukah Indonesia mengejar target AKI di Indonesia pada tahun 2015 diwaktu yang tersisa ini? Data Kemenkes tahun 2010 menyebutkan, penyebab AKI antara lain perdarahan, tekanan darah tinggi (eklamsia) dan infeksi. Ketiga penyebab tersebut, sesungguhnya bisa dicegah jika diketahui sejak dini dengan gejala bengkak, pertambahan berat badan ibu yang berlebihan, hipertensi dan bercak Sri Endah Kinasih dan Pinky Saptandari 207

221 perdarahan pada trisemester terakhir. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat grafik di bawah ini : Grafik di atas menunjukkan distribusi persentase penyebab kematian ibu melahirkan, berdasarkan data tersebut bahwa tiga faktor utama penyebab kematian ibu melahirkan yakni, pendarahan, hipertensi saat hamil atau pre eklamasi dan infeksi. Pendarahan menempati persentase tertinggi penyebab kematian ibu (28%), anemia dan kekurangan energi kronis (KEK) pada ibu hamil menjadi penyebab utama terjadinya pendarahan dan infeksi yang merupakan faktor kematian utama ibu. Di berbagai negara paling sedikit seperempat dari seluruh kematian ibu disebabkan oleh pendarahan; proporsinya berkisar antara kurang dari 10% sampai hampir 60%. Walaupun seorang perempuan bertahan hidup setelah mengalami pendarahan pasca persalinan, namun ia akan menderita akibat kekurangan darah yang berat (anemia 208 Prosiding PKWG Seminar Series

CATATAN PENGANTAR Hentikan Kematian Ibu Indonesia

CATATAN PENGANTAR Hentikan Kematian Ibu Indonesia CATATAN PENGANTAR Hentikan Kematian Ibu Indonesia Sulistyowati Irianto Bila ada 359 orang meninggal bersama karena kecelakan pesawat, bisa dipastikan kehebohan akan melanda dunia. Namun bila 359 orang

Lebih terperinci

summary Di Indonesia Pelaksanaan Pembangunan Keluarga seperti yang diusung dalam Executive Summary PKWG Seminar Series #1

summary Di Indonesia Pelaksanaan Pembangunan Keluarga seperti yang diusung dalam Executive Summary PKWG Seminar Series #1 executive PKWG SEMINAR SERIES #1: Kebijakan kesehatan dan pelibatan komunitas dalam menurunkan AKI/AKB di Indonesia Kampus UI Salemba Jakarta, 11-12 Juni 2015 summary Angka Kematian Ibu (AKI) di Indonesia

Lebih terperinci

Strategi Peningkatan Kesehatan Ibu dan Anak Keluarga Migran Miskin melalui Perspektif Multidimensi

Strategi Peningkatan Kesehatan Ibu dan Anak Keluarga Migran Miskin melalui Perspektif Multidimensi Strategi Peningkatan Kesehatan Ibu dan Anak Keluarga Migran Miskin melalui Perspektif Multidimensi Sri Sunarti Purwaningsih, Ade Latifa, Fitranita dan Eniarti Djohan 1 Abstrak Isu kesehatan ibu dan anak

Lebih terperinci

Peran Perempuan Komunitas Lokal Dalam Peningkatan Kualitas Kesehatan dan Kesejahteraan Keluarga Di Kota Surabaya

Peran Perempuan Komunitas Lokal Dalam Peningkatan Kualitas Kesehatan dan Kesejahteraan Keluarga Di Kota Surabaya Peran Perempuan Komunitas Lokal Dalam Peningkatan Kualitas Kesehatan dan Kesejahteraan Keluarga Di Kota Surabaya (Studi Keterlibatan Perempuan Dalam Institusi Masyarakat Perkotaan di Kota Surabaya) Wahyu

Lebih terperinci

Suara dari ladang bawang: kesehatan perempuan, Musrembangdes, dan AKI yang (katanya) menurun. (pengalaman Brebes)

Suara dari ladang bawang: kesehatan perempuan, Musrembangdes, dan AKI yang (katanya) menurun. (pengalaman Brebes) Suara dari ladang bawang: kesehatan perempuan, Musrembangdes, dan AKI yang (katanya) menurun. (pengalaman Brebes) Khaerul Umam Noer dan Iklilah Muzayyanah Dini Fajriyah 1 Pendahuluan Apa yang kita ketahui

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. oleh Konstitusi Organisasi Kesehatan Sedunia (WHO 1948), Undang-Undang Dasar

BAB 1 PENDAHULUAN. oleh Konstitusi Organisasi Kesehatan Sedunia (WHO 1948), Undang-Undang Dasar BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kesehatan adalah Hak Fundamental setiap warga. Hal ini telah ditetapkan oleh Konstitusi Organisasi Kesehatan Sedunia (WHO 1948), Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 28H

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. system kesehatan yang bertujuan untuk menjaga kesehatan ibu selama kehamilan

BAB I PENDAHULUAN. system kesehatan yang bertujuan untuk menjaga kesehatan ibu selama kehamilan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kehamilan merupakan masa yang sangat sensitif dalam kehidupan wanita, yaitu rentan terhadap timbulnya gangguan secara fisik dan mental. Perawatan kesehatan ibu selama

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yaitu menanggulangi kemiskinan dan kelaparan, mencapai pendidikan dasar untuk

BAB I PENDAHULUAN. yaitu menanggulangi kemiskinan dan kelaparan, mencapai pendidikan dasar untuk BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Millenium Development Goals (MDG s) atau tujuan pembangunan millenium adalah upaya untuk memenuhi hak-hak dasar kebutuhan manusia melalui komitmen bersama 189 negara

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Sudah enam puluh sembilan tahun Indonesia merdeka, telah banyak tindakantindakan

I. PENDAHULUAN. Sudah enam puluh sembilan tahun Indonesia merdeka, telah banyak tindakantindakan 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Sudah enam puluh sembilan tahun Indonesia merdeka, telah banyak tindakantindakan yang dilakukan oleh pemerintah dalam usaha menyejahterakan rakyat Indonesia.

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN Latar Belakang. Menurut World Health Organization (WHO) (2008), angka prevalensi anemia

BAB 1 PENDAHULUAN Latar Belakang. Menurut World Health Organization (WHO) (2008), angka prevalensi anemia BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kehamilan selalu berhubungan dengan perubahan fisiologis yang berakibat peningkatan volume cairan dan sel darah merah serta penurunan konsentrasi protein pengikat

Lebih terperinci

KEBIJAKAN DAN PROGRAM PEMERINTAH DALAM MENGATASI PERKAWINAN ANAK. OLEH SRI DANTI ANWAR Kemen PP-PA

KEBIJAKAN DAN PROGRAM PEMERINTAH DALAM MENGATASI PERKAWINAN ANAK. OLEH SRI DANTI ANWAR Kemen PP-PA KEBIJAKAN DAN PROGRAM PEMERINTAH DALAM MENGATASI PERKAWINAN ANAK OLEH SRI DANTI ANWAR Kemen PP-PA DATA & FAKTA DI INDONESIA Hasil Susenas 2012 mencatat 11,13% perempuan menikah di usia 10-15 tahun dan

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. mempunyai dampak yang besar terhadap pembangunan di bidang kesehatan dan

BAB 1 PENDAHULUAN. mempunyai dampak yang besar terhadap pembangunan di bidang kesehatan dan BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pembangunan kesehatan masyarakat merupakan salah satu aspek penting dalam pembangunan nasional secara menyeluruh. Masalah kesehatan ibu dan anak merupakan masalah

Lebih terperinci

MARI BERGABUNG DI PROGRAM MENCARE+ INDONESIA!

MARI BERGABUNG DI PROGRAM MENCARE+ INDONESIA! MARI BERGABUNG DI PROGRAM MENCARE+ INDONESIA! 4 dari 5 laki-laki seluruh dunia pada satu masa di dalam hidupnya akan menjadi seorang ayah. Program MenCare+ Indonesia adalah bagian dari kampanye global

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pembangunan nasional yang sangat penting dalam rangka mewujudkan

BAB I PENDAHULUAN. pembangunan nasional yang sangat penting dalam rangka mewujudkan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Program keluarga berencana merupakan salah satu program pembangunan nasional yang sangat penting dalam rangka mewujudkan keluarga Indonesia yang sejahtera. Sesuai dengan

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. derajat kesehatan negara tersebut buruk. Hal ini disebabkan ibu hamil dan bersalin

BAB 1 PENDAHULUAN. derajat kesehatan negara tersebut buruk. Hal ini disebabkan ibu hamil dan bersalin BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Salah satu indikator derajat kesehatan masyarakat adalah Angka Kematian Ibu (AKI). Makin tinggi angka kematian ibu disuatu negara maka dapat dipastikan bahwa derajat

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. antara delapan tujuan yang dituangkan dalam Millennium Development Goals

BAB 1 PENDAHULUAN. antara delapan tujuan yang dituangkan dalam Millennium Development Goals BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 latar Belakang Negara-negara di dunia memberi perhatian yang cukup besar terhadap Angka Kematian Ibu (AKI) dan Angka Kematian Bayi (AKB), sehingga menempatkannya di antara delapan

Lebih terperinci

Penilaian Pencapaian MDGs di Provinsi DIY Oleh Dyna Herlina Suwarto, SE, SIP

Penilaian Pencapaian MDGs di Provinsi DIY Oleh Dyna Herlina Suwarto, SE, SIP Penilaian Pencapaian MDGs di Provinsi DIY Oleh Dyna Herlina Suwarto, SE, SIP Sejak tahun 2000, Indonesia telah meratifikasi Millenium Development Goals (MDGs) di bawah naungan Persatuan Bangsa- Bangsa.

Lebih terperinci

Filosofi. Mendekatkan Akses pelayanan kesehatan yg bermutu kepada masyarakat. UKM_Maret

Filosofi. Mendekatkan Akses pelayanan kesehatan yg bermutu kepada masyarakat. UKM_Maret Filosofi Mendekatkan Akses pelayanan kesehatan yg bermutu kepada masyarakat UKM_Maret 2006 1 MILLENIUM DEVELOPMENT GOALS Tujuan Pembangunan Millenium (MDG) yg meliputi : 1 Menghapuskan kemiskinan & kelaparan.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang terjadi saat hamil, bersalin atau dalam 42 hari setelah persalinan dengan

BAB I PENDAHULUAN. yang terjadi saat hamil, bersalin atau dalam 42 hari setelah persalinan dengan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Menurut defenisi WHO, kematian ibu adalah kematian seorang wanita yang terjadi saat hamil, bersalin atau dalam 42 hari setelah persalinan dengan penyebab yang berhubungan

Lebih terperinci

Motivator KIA. Buku Saku. Edisi 1, September Motivator KIA 1

Motivator KIA. Buku Saku. Edisi 1, September Motivator KIA 1 Motivator KIA Buku Saku Edisi 1, September 2014 Motivator KIA 1 Motivator KIA DAFTAR ISI PENGANTAR Pendahuluan Persiapan Kehamilan Pendampingan Ibu Hamil Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) Persalinan di

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. dibandingkan negara-negara ASEAN lainnya seperti Thailand hanya 44 per

BAB 1 PENDAHULUAN. dibandingkan negara-negara ASEAN lainnya seperti Thailand hanya 44 per BAB 1 PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang Angka kematian ibu (AKI) merupakan salah satu indikator dalam menentukan derajat kesehatan masyarakat. Di Indonesia Angka Kematian Ibu tertinggi dibandingkan negara-negara

Lebih terperinci

Apa Kabar Kesehatan Ibu dan Anak di Indonesia?

Apa Kabar Kesehatan Ibu dan Anak di Indonesia? Apa Kabar Kesehatan Ibu dan Anak di Indonesia? Di beberapa negara terutama negara berkembang, kesehatan ibu dan anak masih merupakan permasalahan besar. Hal ini terlihat dari masih tingginya angka kematian

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Masalah Kesehatan Ibu dan Anak (KIA) masih merupakan masalah

BAB 1 PENDAHULUAN. Masalah Kesehatan Ibu dan Anak (KIA) masih merupakan masalah BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Kesehatan Ibu dan Anak (KIA) masih merupakan masalah kesehatan di Indonesia. Berbagai upaya telah dilakukan untuk mereduksi AKI (Angka Kematian Ibu) di Indonesia

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Program Keluarga Berencana (KB) menurut Undang-Undang Nomor 10

BAB I PENDAHULUAN. Program Keluarga Berencana (KB) menurut Undang-Undang Nomor 10 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Program Keluarga Berencana (KB) menurut Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1992 merupakan salah satu program pembangunan nasional yang sangat penting dalam rangka mewujudkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia diterjemahkan sebagai Tujuan Pembangunan Milenium yang

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia diterjemahkan sebagai Tujuan Pembangunan Milenium yang 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Millenium Development Goals atau disingkat MDG s dalam bahasa Indonesia diterjemahkan sebagai Tujuan Pembangunan Milenium yang merupakan paradigma pembangunan global

Lebih terperinci

WALIKOTA SINGKAWANG PROVINSI KALIMANTAN BARAT PERATURAN WALIKOTA SINGKAWANG NOMOR 35 TAHUN 2015 TENTANG PERSALINAN AMAN

WALIKOTA SINGKAWANG PROVINSI KALIMANTAN BARAT PERATURAN WALIKOTA SINGKAWANG NOMOR 35 TAHUN 2015 TENTANG PERSALINAN AMAN WALIKOTA SINGKAWANG PROVINSI KALIMANTAN BARAT PERATURAN WALIKOTA SINGKAWANG NOMOR 35 TAHUN 2015 TENTANG PERSALINAN AMAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA SINGKAWANG, Menimbang : a. bahwa kesehatan

Lebih terperinci

Kata kunci : Kebijakan Kesehatan, Jampersal, Angka Kematian Ibu (AKI)

Kata kunci : Kebijakan Kesehatan, Jampersal, Angka Kematian Ibu (AKI) kesehatan ibu dan anak, penyediaan SDM yang berkulitas dan penyediaan sarana dan prasarana dalam upaya percepatan penurunan AKI di Kabupaten Bangka Tengah. Kata kunci : Kebijakan Kesehatan, Jampersal,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pemerintahan. Banyaknya pemahaman yang berbeda mengenai good governance

BAB I PENDAHULUAN. pemerintahan. Banyaknya pemahaman yang berbeda mengenai good governance BAB I PENDAHULUAN A. Alasan Pemilihan Judul Good governance merupakan paradigma baru dalam tatanan pengelolaan pemerintahan. Banyaknya pemahaman yang berbeda mengenai good governance tidak menyurut kemungkinan

Lebih terperinci

! 1! BAB 1 PENDAHULUAN

! 1! BAB 1 PENDAHULUAN ! 1! BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masa kehamilan merupakan masa yang sangat menentukan kualitas sumber daya manusia, karena tumbuh kembang anak ditentukan kondisinya dimasa janin dalam kandungan.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. (GSI), safe motherhood, program Jaminan Persalinan (Jampersal) hingga program

BAB I PENDAHULUAN. (GSI), safe motherhood, program Jaminan Persalinan (Jampersal) hingga program 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Angka kematian ibu (AKI) dan angka kematian bayi (AKB) merupakan tolak ukur dalam menilai kesehatan suatu bangsa, oleh sebab itu pemerintah berupaya keras menurunkan

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. merupakan sasaran Milenium Development Goals (MDGs) telah menunjukkan menjadi 23 per 1000 kelahiran hidup (BAPPENAS, 2010).

BAB 1 PENDAHULUAN. merupakan sasaran Milenium Development Goals (MDGs) telah menunjukkan menjadi 23 per 1000 kelahiran hidup (BAPPENAS, 2010). BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Laporan Pencapaian Tujuan Milenium Indonesia Tahun 2010 ditegaskan, penurunan angka kematian ibu melahirkan (AKI) dan Angka Kematian Bayi (AKB) merupakan sasaran Milenium

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. menurunkan angka kematian anak dan meningkatkan kesehatan ibu. Upaya

BAB I PENDAHULUAN. menurunkan angka kematian anak dan meningkatkan kesehatan ibu. Upaya BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Salah satu tujuan Millennium Development Goals (MDGs) adalah menurunkan angka kematian anak dan meningkatkan kesehatan ibu. Upaya penurunan angka kematian anak salah

Lebih terperinci

BAB III PERNIKAHAN ANAK DI KABUPATEN GUNUNGKIDUL

BAB III PERNIKAHAN ANAK DI KABUPATEN GUNUNGKIDUL BAB III PERNIKAHAN ANAK DI KABUPATEN GUNUNGKIDUL Pernikahan anak menjadi salah satu persoalan sosial di Kabupaten Gunungkidul. Meskipun praktik pernikahan anak di Kabupaten Gunungkidul kian menurun di

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Angka Kematian Ibu (AKI) merupakan salah satu dari 8 tujuan pembangunan millenium atau MDG s (Millenium Development Goals) yang terdapat pada tujuan ke 5 yaitu

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kesehatan, dan aspek-aspek lainnya. Aspek-aspek ini saling berkaitan satu dengan

BAB I PENDAHULUAN. kesehatan, dan aspek-aspek lainnya. Aspek-aspek ini saling berkaitan satu dengan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Berbicara tentang kesejahteraan sosial sudah pasti berkaitan dengan seluruh aspek kehidupan masyarakat, baik dari segi ekonomi, sosial, politik, pendidikan, kesehatan,

Lebih terperinci

Pendekatan Kebijakan di Hulu. Maria Agnes Etty Dedy Disajikan dalam Forum Nasional IV Kebijakan Kesehatan Indonesia Kupang, 4 September 2013

Pendekatan Kebijakan di Hulu. Maria Agnes Etty Dedy Disajikan dalam Forum Nasional IV Kebijakan Kesehatan Indonesia Kupang, 4 September 2013 Pendekatan Kebijakan di Hulu Maria Agnes Etty Dedy Disajikan dalam Forum Nasional IV Kebijakan Kesehatan Indonesia Kupang, 4 September 2013 Permasalahan Masih tingginya Angka Kematian Ibu (AKI), Masih

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. tertinggi di Asia Tenggara. Hal itu menjadi kegiatan prioritas departemen

BAB 1 PENDAHULUAN. tertinggi di Asia Tenggara. Hal itu menjadi kegiatan prioritas departemen BAB 1 PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Angka Kematian Ibu dan Angka Kematian Bayi tahun 2003 di Indonesia tertinggi di Asia Tenggara. Hal itu menjadi kegiatan prioritas departemen kesehatan pada periode 2005-2009.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. perbaikan kesehatan yang bersifat menyeluruh dan lebih bermutu.

BAB I PENDAHULUAN. perbaikan kesehatan yang bersifat menyeluruh dan lebih bermutu. BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pembangunan nasional dilaksanakan pada segala bidang dan salah satu bidang yang tidak kalah pentingnya dari bidang lain adalah bidang kesehatan. Pembangunan kesehatan

Lebih terperinci

SAMBUTAN BUPATI MALINAU PADA ACARA PEMBUKAAN SOSIALISASI DAN ADVOKASI SERIBU HARI PERTAMA KEHIDUPAN (1000 HPK) RABU, 27 JULI 2016

SAMBUTAN BUPATI MALINAU PADA ACARA PEMBUKAAN SOSIALISASI DAN ADVOKASI SERIBU HARI PERTAMA KEHIDUPAN (1000 HPK) RABU, 27 JULI 2016 SAMBUTAN BUPATI MALINAU PADA ACARA PEMBUKAAN SOSIALISASI DAN ADVOKASI SERIBU HARI PERTAMA KEHIDUPAN (1000 HPK) RABU, 27 JULI 2016 YTH. KETUA, WAKIL KETUA, DAN ANGGOTA DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH KABUPATEN

Lebih terperinci

KUALITAS & AKSESIBILITAS PDDKN BLM MERATA ANGKA PENGANGGURAN MASIH TINGGI

KUALITAS & AKSESIBILITAS PDDKN BLM MERATA ANGKA PENGANGGURAN MASIH TINGGI KUALITAS & AKSESIBILITAS PDDKN BLM MERATA ANGKA PENGANGGURAN MASIH TINGGI Budaya PENINGKATAN KESEJAHTERAAN RAKYAT Infrastruktur dan Lingkungan Hidup KESEHATAN PENDIDIKAN KETAHANAN PANGAN, IKLIM INVESTASI

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Tingkat kesejahteraan masyarakat secara rata-rata di suatu daerah

I. PENDAHULUAN. Tingkat kesejahteraan masyarakat secara rata-rata di suatu daerah I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Tingkat kesejahteraan masyarakat secara rata-rata di suatu daerah dicerminkan oleh besar kecilnya angka PDRB (Produk Domestik Regional Bruto) dan PDRB Per Kapita. Kesehatan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Jumlah Angka Kematian Ibu (AKI) sangat tinggi di dunia, tercatat 800 perempuan meninggal setiap hari akibat

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Jumlah Angka Kematian Ibu (AKI) sangat tinggi di dunia, tercatat 800 perempuan meninggal setiap hari akibat BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Jumlah Angka Kematian Ibu (AKI) sangat tinggi di dunia, tercatat 800 perempuan meninggal setiap hari akibat komplikasi kehamilan dan kelahiran anak. Pada tahun 2013

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. merupakan sasaran Milenium Development Goals (MDGs) telah menunjukkan menjadi 23 per 1000 kelahiran hidup (BAPPENAS, 2010).

BAB 1 PENDAHULUAN. merupakan sasaran Milenium Development Goals (MDGs) telah menunjukkan menjadi 23 per 1000 kelahiran hidup (BAPPENAS, 2010). BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Laporan Pencapaian Tujuan Milenium Indonesia Tahun 2010 ditegaskan, penurunan angka kematian ibu melahirkan (AKI) dan Angka Kematian Bayi (AKB) merupakan sasaran Milenium

Lebih terperinci

2 BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan Pemerintah ini yang dimaksud dengan: 1. Pelayanan Kesehatan adalah suatu kegiatan dan/atau serangkaian

2 BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan Pemerintah ini yang dimaksud dengan: 1. Pelayanan Kesehatan adalah suatu kegiatan dan/atau serangkaian No.169, 2014 LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA KESEHATAN. Reproduksi. (Penjelasan Dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5559) PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 61 TAHUN 2014

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Angka Kematian Ibu (AKI) merupakan salah satu indicator untuk melihat derajat kesehatan perempuan. Angka Kematian Ibu juga merupakan salah satu target yang telah ditentukan

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Masalah yang terjadi di dunia saat ini adalah menyangkut kemiskinan,

BAB 1 PENDAHULUAN. Masalah yang terjadi di dunia saat ini adalah menyangkut kemiskinan, BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah yang terjadi di dunia saat ini adalah menyangkut kemiskinan, ekonomi dan kesehatan. Masalah kesehatan sampai saat ini masih belum dapat diselesaikan. Salah

Lebih terperinci

mengenai seksualitas membuat para remaja mencari tahu sendiri dari teman atau

mengenai seksualitas membuat para remaja mencari tahu sendiri dari teman atau BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masa remaja merupakan masa transisi yang ditandai oleh adanya perubahan fisik, emosi dan psikis. Masa remaja, yakni antara usia 10-19 tahun adalah suatu periode masa

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pembangunan kesehatan diarahkan untuk meningkatkan kesadaran, kemauan, dan kemampuan hidup sehat bagi setiap orang agar peningkatan derajat kesehatan masyarakat yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Kehamilan, persalinan, dan menyusukan anak merupakan proses alamiah

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Kehamilan, persalinan, dan menyusukan anak merupakan proses alamiah BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kehamilan, persalinan, dan menyusukan anak merupakan proses alamiah bagi kehidupan seorang ibu dalam usia produktif. Bila terjadi gangguan dalam proses ini, baik itu

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Sampai saat ini Indonesia adalah salah satu negara yang masih belum

BAB I PENDAHULUAN. Sampai saat ini Indonesia adalah salah satu negara yang masih belum BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Sampai saat ini Indonesia adalah salah satu negara yang masih belum bisa lepas dari belitan angka kematian ibu (AKI) yang tinggi. Berdasarkan Survei Demografi

Lebih terperinci

BUPATI MAJENE PROVINSI SULAWESI BARAT

BUPATI MAJENE PROVINSI SULAWESI BARAT BUPATI MAJENE PROVINSI SULAWESI BARAT PERATURAN DAERAH KABUPATEN MAJENE NOMOR 13 TAHUN 2015 TENTANG KESEHATAN IBU, BAYI BARU LAHIR, BAYI DAN ANAK BALITA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI MAJENE,

Lebih terperinci

Menurut Laporan Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah (LAKIP) Dinas Kesehatan Kabupaten Pasuruan jumlah kematian ibu melahirkan di Kabupaten

Menurut Laporan Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah (LAKIP) Dinas Kesehatan Kabupaten Pasuruan jumlah kematian ibu melahirkan di Kabupaten 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Angka kematian ibu, bayi dan anak balita di Indonesia masih cukup tinggi. Tujuan Pembangunan Millenium (Millenuim Development Goals) 2000-2015 dan sekarang dilanjutkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pelayanan umum yang layak. Undang-Undang Nomor 36 tahun 2009 tentang

BAB I PENDAHULUAN. pelayanan umum yang layak. Undang-Undang Nomor 36 tahun 2009 tentang 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Undang-Undang Dasar 1945 pasal 28 H ayat (1) menyebutkan bahwa setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal dan mendapatkan lingkungan hidup

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Immunodeficiency Virus (HIV) semakin mengkhawatirkan secara kuantitatif dan

BAB 1 PENDAHULUAN. Immunodeficiency Virus (HIV) semakin mengkhawatirkan secara kuantitatif dan BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Perkembangan permasalahan penyakit menular seksual termasuk Human Immunodeficiency Virus (HIV) semakin mengkhawatirkan secara kuantitatif dan kualitatif. HIV merupakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Angka Kematian Ibu (AKI) merupakan akibat langsung proses reproduksi

BAB I PENDAHULUAN. Angka Kematian Ibu (AKI) merupakan akibat langsung proses reproduksi BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Angka Kematian Ibu (AKI) merupakan akibat langsung proses reproduksi dalam 10.000 kelahiran hidup (Manuaba, 2010, h 38). Menurut Survey Demografi Kesehatan Nasional

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Dalam mencapai tujuan Nasional Bangsa Indonesia sesuai Pembukaan

BAB 1 PENDAHULUAN. Dalam mencapai tujuan Nasional Bangsa Indonesia sesuai Pembukaan BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Dalam mencapai tujuan Nasional Bangsa Indonesia sesuai Pembukaan Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945, yaitu melindungi segenap Bangsa Indonesia

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. utama dalam pembangunan sektor kesehatan sebagaimana tercantum dalam Program

BAB I PENDAHULUAN. utama dalam pembangunan sektor kesehatan sebagaimana tercantum dalam Program BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Menurunkan kesakitan dan kematian ibu telah menjadi salah satu prioritas utama dalam pembangunan sektor kesehatan sebagaimana tercantum dalam Program Pembangunan Nasional.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Deklarasi millenium menegaskan kepedulian utama masyarakat dunia untuk bersinergi dalam mencapai tujuan pembangunan Millenium Development Goals (MDGs) pada tahun 2015.

Lebih terperinci

Penyebab dan Akar Masalah

Penyebab dan Akar Masalah Membedah Angka Kematian Ibu: Penyebab dan Akar Masalah Tingginya Angka Kematian Ibu Konferensi INFID, 26-27 November 2013 Institut KAPAL Perempuan Jl. Kalibata Timur Raya No.5 Jakarta Selatan Telp/Fax:

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. mencapai komitmen internasional, yang dituangkan dalam Millennium

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. mencapai komitmen internasional, yang dituangkan dalam Millennium digilib.uns.ac.id BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pembangunan kesehatan bertujuan untuk meningkatkan kesadaran, kemauan dan kemampuan hidup sehat bagi setiap orang agar terwujud derajat kesehatan masyarakat

Lebih terperinci

MELINDUNGI SECARA UTUH : Layanan Sinergitas. Gama Triono

MELINDUNGI SECARA UTUH : Layanan Sinergitas. Gama Triono MELINDUNGI SECARA UTUH : Layanan Sinergitas Gama Triono www.pkbi-diy.info Fakta 2015 Prevalensi HIV & AIDS 2015 Melalui hubungan Seksual : Perempuan Rumah Tangga > dr Pekerja Seks Perempuan positif : akseptor

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. mencapai target Tujuan Pembangunan Millenium (Millenium

BAB I PENDAHULUAN. mencapai target Tujuan Pembangunan Millenium (Millenium BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Penurunan angka kematian ibu di Indonesia per 100.000 kelahiran bayi hidup masih terlalu lamban untuk mencapai target Tujuan Pembangunan Millenium (Millenium

Lebih terperinci

Dr.dr. Bondan Agus Suryanto, SE, MA, AAK

Dr.dr. Bondan Agus Suryanto, SE, MA, AAK Dr.dr. Bondan Agus Suryanto, SE, MA, AAK Millennium Development Goals (MDGs) Komitmen Negara terhadap rakyat Indonesia dan global Komitmen Indonesia kepada masyarakat Suatu kesepakatan dan kemitraan global

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dipengaruhi oleh status gizi ibu, keadaan sosial ekonomi, keadaan

BAB I PENDAHULUAN. dipengaruhi oleh status gizi ibu, keadaan sosial ekonomi, keadaan 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Derajat kesehatan ibu selama kehamilan sampai melahirkan dicerminkan dari tingginya Angka Kematian Ibu (AKI) yang dapat dipengaruhi oleh status gizi ibu, keadaan sosial

Lebih terperinci

TUJUAN 5. Meningkatkan Kesehatan Ibu

TUJUAN 5. Meningkatkan Kesehatan Ibu TUJUAN 5 Meningkatkan Kesehatan Ibu 57 Tujuan 5: Meningkatkan Kesehatan Ibu Target 6: Menurunkan angka kematian ibu sebesar tiga perempatnya antara 1990 dan 2015. Indikator: Angka kematian ibu. Proporsi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. unsur penentu status kesehatan (Saifuddin, 2013). Keadaan fisiologis bisa

BAB I PENDAHULUAN. unsur penentu status kesehatan (Saifuddin, 2013). Keadaan fisiologis bisa BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masa depan suatu bangsa dipengaruhi oleh kesejahteraan ibu dan anak, kesejahteraan ibu dan anak dipengaruhi oleh proses kehamilan, persalinan, postpartum (nifas), BBL

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pertumbuhan dan perkembangan anak secara optimal serta melindungi anak dari

BAB I PENDAHULUAN. pertumbuhan dan perkembangan anak secara optimal serta melindungi anak dari BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Air Susu Ibu (ASI) merupakan makanan terbaik untuk bayi yang mengandung sel darah putih, protein dan zat kekebalan yang cocok untuk bayi. ASI membantu pertumbuhan dan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. tersebut perlu dilakukan secara bersama-sama dan berkesinambungan oleh para

BAB I PENDAHULUAN. tersebut perlu dilakukan secara bersama-sama dan berkesinambungan oleh para BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah kesehatan ibu dan perinatal merupakan masalah nasional yang perlu dan mendapat prioritas utama karena sangat menentukan kualitas sumber daya manusia pada generasi

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. masyarakat yang setinggi-tingginya dapat terwujud. Pembangunan kesehatan

BAB 1 PENDAHULUAN. masyarakat yang setinggi-tingginya dapat terwujud. Pembangunan kesehatan 1 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pembangunan kesehatan diarahkan untuk meningkatkan kesadaran, kemauan dan kemampuan hidup sehat bagi setiap orang agar peningkatan derajat kesehatan masyarakat yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Universitas Kristen Maranatha

BAB I PENDAHULUAN. Universitas Kristen Maranatha 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pembangunan kesehatan pada hakekatnya diarahkan guna tercapainya kesadaran, kemauan, dan kemampuan hidup sehat bagi setiap orang yang menyangkut fisik, mental maupun

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kehamilan persalinan dan nifas setiap tahunnya, sebanyak 99% ditentukan dalam tujuan yaitu meningkatkan kesehatan ibu.

BAB I PENDAHULUAN. kehamilan persalinan dan nifas setiap tahunnya, sebanyak 99% ditentukan dalam tujuan yaitu meningkatkan kesehatan ibu. BAB I PENDAHULUAN A. Latar belakang Di dunia ini sekitar 500.000 ibu meninggal karena proses kehamilan persalinan dan nifas setiap tahunnya, sebanyak 99% diantaranya di negara yang sedang berkembang, karena

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Kesehatan adalah kondisi umum dari seseorang dalam semua aspek baik

BAB 1 PENDAHULUAN. Kesehatan adalah kondisi umum dari seseorang dalam semua aspek baik BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kesehatan adalah kondisi umum dari seseorang dalam semua aspek baik secara fisik, mental, spiritual maupun sosial yang memungkinkan setiap orang untuk hidup produktif

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Indonesia merupakan salah satu negara dari 189 negara yang menyepakati

BAB 1 PENDAHULUAN. Indonesia merupakan salah satu negara dari 189 negara yang menyepakati BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia merupakan salah satu negara dari 189 negara yang menyepakati Deklarasi Millenium di New York pada bulan September 2000. Deklarasi Millenium ini dikenal dengan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Kemiskinan seperti masalah yang tanpa ujung pangkal. Barangkali, peribahasa yang tepat untuk menggambarkan masalah kemiskinan adalah mati satu tumbuh seribu. Kemiskinan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dan tempat terjadinya kehamilan, yang disebabkan oleh kehamilan atau

BAB I PENDAHULUAN. dan tempat terjadinya kehamilan, yang disebabkan oleh kehamilan atau BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kematian ibu adalah kematian seorang wanita yang terjadi selama kehamilan sampai dengan 42 hari setelah berakhirnya kehamilan, tanpa melihat lama dan tempat terjadinya

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. bersalin dan nifas. Namun demikian banyak faktor yang membuat teknologi

BAB 1 PENDAHULUAN. bersalin dan nifas. Namun demikian banyak faktor yang membuat teknologi BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG Mortalitas dan morbiditas pada wanita hamil dan bersalin merupakan masalah yang besar dinegara miskin dan berkembang seperti Indonesia. Sebagian besar kematian perempuan

Lebih terperinci

Agenda Besar Memperkuat Keluarga Indonesia

Agenda Besar Memperkuat Keluarga Indonesia Agenda Besar Memperkuat Keluarga Indonesia Tahun 2014 ini merupakan momen bersejarah bagi masyarakat Indonesia dalam memasuki periode demokrasi baru dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Hiruk pikuk

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat. Tingginya AKI di suatu negara menunjukkan bahwa negara tersebut

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat. Tingginya AKI di suatu negara menunjukkan bahwa negara tersebut BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Angka Kematian Ibu (AKI) merupakan salah satu indikator derajat kesehatan masyarakat. Tingginya AKI di suatu negara menunjukkan bahwa negara tersebut dikategorikan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dekade berhasil meningkatkan derajat kesehatan masyarakat cukup signifikan,

BAB I PENDAHULUAN. dekade berhasil meningkatkan derajat kesehatan masyarakat cukup signifikan, BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pembangunan kesehatan adalah program Indonesia sehat dengan sasaran pokok Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) yaitu meningkatkan status kesehatan dan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Menurut Prawirohardjo (2010; h. 55) kehamilan, persalinan, nifas,dan

BAB I PENDAHULUAN. Menurut Prawirohardjo (2010; h. 55) kehamilan, persalinan, nifas,dan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Menurut Prawirohardjo (2010; h. 55) kehamilan, persalinan, nifas,dan bayi baru lahir merupakan keadaan yang fisiologis namun prosesnya bisa menjadi patologis, kemungkinan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. I.1. Latar Belakang. Pada tahun 2008 dilaporkan bahwa jumlah kematian. ibu di 172 negara di seluruh dunia sebesar 358.

BAB I PENDAHULUAN. I.1. Latar Belakang. Pada tahun 2008 dilaporkan bahwa jumlah kematian. ibu di 172 negara di seluruh dunia sebesar 358. BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Pada tahun 2008 dilaporkan bahwa jumlah kematian ibu di 172 negara di seluruh dunia sebesar 358.000 jiwa (Wilmoth et al., 2010). Angka kematian ibu di setiap negara

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. sehingga memunculkan masalah-masalah sosial (sosiopatik) atau yang biasa

BAB I PENDAHULUAN. sehingga memunculkan masalah-masalah sosial (sosiopatik) atau yang biasa 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pada saat ini merupakan era globalisasi dimana sering terjadi perdagangan manusia, budaya luar dengan mudahnya masuk dan diadopsi oleh masyarakat sehingga memunculkan

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. berbeda-beda yang tentu saja sangat berpengaruh terhadap Angka Kematian Bayi

BAB 1 PENDAHULUAN. berbeda-beda yang tentu saja sangat berpengaruh terhadap Angka Kematian Bayi 1 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Setiap negara di dunia memiliki konsep pemeriksaan kehamilan yang berbeda-beda yang tentu saja sangat berpengaruh terhadap Angka Kematian Bayi (AKB) dan Angka Kematian

Lebih terperinci

PERATURAN GUBERNUR NUSA TENGGARA BARAT NOMOR 8 TAHUN 2012 TENTANG PELAYANAN KESEHATAN REPRODUKSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN GUBERNUR NUSA TENGGARA BARAT NOMOR 8 TAHUN 2012 TENTANG PELAYANAN KESEHATAN REPRODUKSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR NUSA TENGGARA BARAT PERATURAN GUBERNUR NUSA TENGGARA BARAT NOMOR 8 TAHUN 2012 TENTANG PELAYANAN KESEHATAN REPRODUKSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR NUSA TENGGARA BARAT, Menimbang :

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANDUNG BARAT NOMOR 2 TAHUN 2013 TENTANG PENYELENGGARAAN PROGRAM KELUARGA BERENCANA DAERAH

PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANDUNG BARAT NOMOR 2 TAHUN 2013 TENTANG PENYELENGGARAAN PROGRAM KELUARGA BERENCANA DAERAH PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANDUNG BARAT NOMOR 2 TAHUN 2013 TENTANG PENYELENGGARAAN PROGRAM KELUARGA BERENCANA DAERAH Menimbang : a. Mengingat : 1. DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BANDUNG BARAT,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kematian. Setiap kehamilan dapat menimbulkan risiko kematian ibu,

BAB I PENDAHULUAN. kematian. Setiap kehamilan dapat menimbulkan risiko kematian ibu, BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kehamilan, persalinan, nifas dan bayi baru lahir merupakan suatu keadaan yang fisiologis namun dalam prosesnya terdapat kemungkinan suatu keadaan yang dapat mengancam

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kehidupan seksual yang memuaskan dan aman bagi dirinya, juga mampu. berapa sering untuk memiliki keturunan (Kusmiran, 2012 : 94).

BAB I PENDAHULUAN. kehidupan seksual yang memuaskan dan aman bagi dirinya, juga mampu. berapa sering untuk memiliki keturunan (Kusmiran, 2012 : 94). BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kesehatan reproduksi adalah kesehatan secara fisik, mental, dan kesejahteraan sosial secara utuh pada semua hal yang berhubungan dengan system dan fungsi, serta proses

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. millenium (MDG s) nomor 5 yaitu mengenai kesehatan ibu. Adapun yang menjadi

BAB I PENDAHULUAN. millenium (MDG s) nomor 5 yaitu mengenai kesehatan ibu. Adapun yang menjadi BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Komitmen Indonesia untuk mencapai MDG s (Millennium Development Goals) mencerminkan komitmen Indonesia untuk meningkatkan kesejahteraan rakyatnya dan memberikan kontribusi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Kesehatan adalah hak asasi manusia dan sekaligus investasi untuk

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Kesehatan adalah hak asasi manusia dan sekaligus investasi untuk 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN Kesehatan adalah hak asasi manusia dan sekaligus investasi untuk keberhasilan pembangunan bangsa. Untuk itu diselenggarakan pembangunan kesehatan secara menyeluruh

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Kesehatan reproduksi merupakan salah satu topik penting di bidang

BAB I PENDAHULUAN. Kesehatan reproduksi merupakan salah satu topik penting di bidang BAB I PENDAHULUAN A. Latar belakang Kesehatan reproduksi merupakan salah satu topik penting di bidang kesehatan yang mendapat perhatian dari berbagai pihak, baik di dalam maupun luar negeri. Meluasnya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Gender adalah perbedaan peran, fungsi, tanggung jawab antara laki-laki

BAB I PENDAHULUAN. Gender adalah perbedaan peran, fungsi, tanggung jawab antara laki-laki BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Gender adalah perbedaan peran, fungsi, tanggung jawab antara laki-laki dan perempuan yang dibentuk, dibuat dan dikonstruksikan oleh masyarakat sesuai dengan

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. kandungan, saat kelahiran dan masa balita (dibawah usia lima tahun).

BAB 1 PENDAHULUAN. kandungan, saat kelahiran dan masa balita (dibawah usia lima tahun). BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pembangunan manusia dalam bidang kesehatan bertujuan agar semua lapisan masyarakat memperoleh pelayanan secara mudah dan terjangkau dalam rangka meningkatkan derajat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. indikator utama dalam menentukan derajat kesehatan masyarakat. Menurut

BAB I PENDAHULUAN. indikator utama dalam menentukan derajat kesehatan masyarakat. Menurut BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Angka Kematian Ibu (AKI) dan Angka Kematian Bayi (AKB) menjadi indikator utama dalam menentukan derajat kesehatan masyarakat. Menurut Survei Demografi dan Kesehatan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dihadapi ibu selama kehamilan, melahirkan yang dipengaruhi oleh status gizi

BAB I PENDAHULUAN. dihadapi ibu selama kehamilan, melahirkan yang dipengaruhi oleh status gizi BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masih tinggi Angka Kematian Ibu (AKI) mencerminkan risiko yang dihadapi ibu selama kehamilan, melahirkan yang dipengaruhi oleh status gizi ibu, keadaan sosial ekonomi,

Lebih terperinci

PERATURAN BUPATI KABUPATEN KARANGANYAR NOMOR 2 TAHUN 2015 TENTANG PENYELENGGARAAN PROGRAM KELUARGA BERENCANA DAERAH

PERATURAN BUPATI KABUPATEN KARANGANYAR NOMOR 2 TAHUN 2015 TENTANG PENYELENGGARAAN PROGRAM KELUARGA BERENCANA DAERAH PERATURAN BUPATI KABUPATEN KARANGANYAR NOMOR 2 TAHUN 2015 TENTANG PENYELENGGARAAN PROGRAM KELUARGA BERENCANA DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI KARANGANYAR, Menimbang : Mengingat : a. bahwa

Lebih terperinci

Konferensi Internasional Kependudukan dan Pembangunan di Kairo Mesir tahun 1994 menekankan bahwa kondisi kesehatan tidak sekedar terbebas dari

Konferensi Internasional Kependudukan dan Pembangunan di Kairo Mesir tahun 1994 menekankan bahwa kondisi kesehatan tidak sekedar terbebas dari Konferensi Internasional Kependudukan dan Pembangunan di Kairo Mesir tahun 1994 menekankan bahwa kondisi kesehatan tidak sekedar terbebas dari penyakit atau kelemahan fisik, tetapi meliputi aspek mental

Lebih terperinci

Volume 3 No. 1 Maret 2012 ISSN :

Volume 3 No. 1 Maret 2012 ISSN : HUBUNGAN TINGKAT PENGETAHUAN IBU HAMIL TM III TENTANG PERSIAPAN PERSALINAN DENGAN PROGRAM JAMPERSAL DI BPM SRI HANDAYANI WELAHAN JEPARA Ummi Haniek 1 INTISARI Salah satu di antara beberapa penyebab terlambatnya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dan kreatif sesuai dengan tahap perkembangannya. (Depkes, 2010)

BAB I PENDAHULUAN. dan kreatif sesuai dengan tahap perkembangannya. (Depkes, 2010) BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Remaja adalah harapan bangsa, sehingga tak berlebihan jika dikatakan bahwa masa depan bangsa yang akan datang akan ditentukan pada keadaan remaja saat ini. Remaja

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. terjadinya pubertas, yaitu seseorang yang dulunya masih anak-anak menjadi mampu

BAB 1 PENDAHULUAN. terjadinya pubertas, yaitu seseorang yang dulunya masih anak-anak menjadi mampu BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masa remaja adalah periode perubahan fisik yang sangat monumental dimana terjadinya pubertas, yaitu seseorang yang dulunya masih anak-anak menjadi mampu secara seksual

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dan Kesehatan Indonesia (SDKI) tahun 2012 Menunjukkan AKI yang sangat signifikan

BAB I PENDAHULUAN. dan Kesehatan Indonesia (SDKI) tahun 2012 Menunjukkan AKI yang sangat signifikan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang AKI (Angka Kematian Ibu) merupakan salah satu indikator yang peka terhadap kualitas dan aksesibilitas fasilitas pelayanan kesehatan. Berdasarkan Survei Demografi dan

Lebih terperinci