ANALISIS EKONOMI PENGELOLAAN MANGROVE DI KECAMATAN MERAWANG KABUPATEN BANGKA FERAWATI MAEDAR

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "ANALISIS EKONOMI PENGELOLAAN MANGROVE DI KECAMATAN MERAWANG KABUPATEN BANGKA FERAWATI MAEDAR"

Transkripsi

1 ANALISIS EKONOMI PENGELOLAAN MANGROVE DI KECAMATAN MERAWANG KABUPATEN BANGKA FERAWATI MAEDAR SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2008

2 RINGKASAN FERAWATI MAEDAR. Analisis Ekonomi Pengelolaan Mangrove di Kecamatan Merawang, Kabupaten Bangka. Dibimbing oleh ACHMAD FAHRUDIN dan MOCH. PRIHATNA SOBARI. Indonesia merupakan negara tropis yang memiliki keanekaragaman mangrove tinggi, dari 15,9 juta ha luas hutan mangrove dunia, sekitar 3,7 juta ha atau 24%-nya berada di Indonesia. Tujuan penelitian adalah (1) mengidentifikasi potensi dan jenis pemanfaatan ekosistem mangrove oleh masyarakat lokal; (2) menganalisis nilai ekonomi dari ekosistem mangrove;(3) menganalisis alternatif pemanfaatan strategis untuk ekosistem mangrove. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah studi kasus (case study), metode pengambilan sampel digunakan adalah purposive sampling atau sengaja. Jumlah responden sebanyak 100 dari rumah tangga perikanan (RTP) dan non RTP. Data dianalisis dengan consumer surplus, optimal pemanfaatan (household model), total nilai ekonomi (TEV) dan Cost-Benefit Analysis (CBA). Hasil yang diperoleh bahwa utility terbesar adalah dari hasil tambak ikan bandeng dan udang (polikultur) sebesar Rp ,95 dengan konsumen surplus sebesar Rp ,20. Keuntungan optimal tertinggi dari jenis pemanfaatan kepiting sebesar Rp ,00 untuk 11 (sebelas) rumah tangga perikanan. Manfaat bersih optimal terendah diperoleh dari hasil pemanfaatan tambak ikan bandeng sebesar Rp42.121,02. Proporsi terbesar adalah dari manfaat tidak langsung dengan persentase 99,17% dengan nilai sebesar Rp ,00 per tahun. Nilai ekonomi total ekosistem hutan mangrove di Kecamatan Merawang yang seluas 12,50 ha untuk hutan mangrove dan 146,50 ha untuk tambak per tahun sebesar Rp ,24. Alternatif pemanfaatan yang menjadi pilihan prioritas, berdasarkan keseimbangan antara indikator untuk kriteria efisiensi dengan kriteria ekologi, antara kriteria efisiensi dengan equity, baik pada tingkat suku bunga rill 1,74%, 10,00% maupun suku bunga 13,27%, adalah pertama alternatif pemanfaatan VI (hutan mangrove 100% dan tambak 0%), kedua alternatif pemanfaatan V (hutan mangrove 12,50 ha, tambak polikultur 146,50 ha dan tambak monokultur udang dan ikan bandeng 0 ha). Alternatif IV, III, II dan I tidak menjadi pilihan dalam alternatif pengelolaan karena menunjukkan nilai yang sangat tidak efisien. Kata Kunci : Ekosistem Mangrove, konsumen surplus, utility, optimal, Nilai Ekonomi Total, Alternatif Pemanfaatan.

3 ABSTRACT FERAWATI MAEDAR. The Economic Analysis of Mangrove Management in Merawang Sub-District, Bangka District. Under the supervision of ACHMAD FAHRUDIN and MOCH. PRIHATNA SOBARI. The aims of the research are; 1) to identify both the potential and the types of utilization of mangrove ecosystem carried out by the local society; 2) to analyze the economic value of the mangrove ecosystem; and 3) to analyze the alternatives of strategic utilization for mangrove ecosystem. The results show that the biggest utility is the one of poly-culture that reaches Rp985,88, with the surplus consumer of Rp95,235, The highest optimum profit from the crab utilization amounts to Rp49,275, for 11 (eleven) fishery households; while the lowest net benefit is obtained from the utilization of mallet pond with Rp42, The biggest proportion is from the indirect utilization with a percentage of 99.17% with a value of Rp100,655,404, per year. Furthermore, the Total Economic Value of the mangrove forest ecosystem in Merawang Sub-District covering ha of mangrove forest and ha for ponds amounts to Rp101,502,012, The utilization alternatives put as priorities, based on the balance between indicators for both efficiency criteria and ecology criteria, between the efficiency and equity criteria, not only in the level of real interest rate of 1.74%, 10.00% but also at the interest rate of 13.27% are as follows: firstly, utilization alternative VI (100% mangrove forest and 0% ponds); secondly, utilization alternative V (12.50 ha mangrove forest, ha polyculture, 0 ha shrimp monoculture, and 0 ha mallet monoculture). Nevertheless, the utilization alternative IV, III, II, and I cannot be given as choices in this management since their analysis values show that they are not efficient. Key words : mangrove ecosystem, surplus consumer, utility, optimal, total economic value, utilization alternatives.

4 ANALISIS EKONOMI PENGELOLAAN MANGROVE DI KECAMATAN MERAWANG KABUPATEN BANGKA FERAWATI MAEDAR Tesis Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh Gelar Magister Sains pada Program Studi Ekonomi Sumberdaya Kelautan Tropika SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2008

5 PRAKATA Puji syukur dan terima kasih kepada Allah SWT, karena dengan rahmat dan karunia-nya yang telah melimpahkan memberikan kesempatan kepada penulis untuk dapat menyelesaikan Laporan Tesis ini dengan baik. Tesisi ini merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Ekonomi Sumberdaya Kelautan Tropika, Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Judul yang dipilih adalah Analisis Ekonomi Alternatif Pengelolaan Ekosistem Mangrove di Kecamatan Merawang Kabupaten Bangka. Penulis mengucapkan terima kasih kepada Dr. Ir. H. Achmad Fahrudin, M.Si. dan Ir. Moch. Prihatna Sobari, MS. selaku Ketua Komisi Pembimbing dan anggota Komisi Pembimbing atas kesediaan dan curahan waktu yang diberikan dalam membimbing dan memberikan arahan kepada penulis dalam menyelesaikan laporan Tesis ini. Terima kasih juga penulis ucapkan kepada Ir. Hj. Iis Diatin, MM. selaku penguji luar komisi. Dalam kesempatan ini penulis sampaikan ucapan terima kasih dan penghargaan kepada Prof. Dr. Ir. Tridoyo Kusumastanto, MS. selaku Ketua Program Studi Ekonomi Sumberdaya Kelautan Tropika (ESK) dan juga seluruh Staf Pengajar Program Studi ESK atas kesempatan yang diberikan untuk menimba dan memperkaya khasanah keilmuan serta selalu memberikan arahan dan motivasi kepada penulis untuk segera menyelesaikan pendidikan di Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada Drs. Suwahyono, M.Sc. selaku Kepala Pusat Survei Sumberdaya Alam Laut (PSSDAL) dan Dr. Dewayani Sutrisno, M.App.Sc. selaku Kepala Bidang Neraca Sumberdaya Alam Laut, serta seluruh staf dan jajarannya yang telah membantu penulis dalam melaksanakan penelitian di Provinsi Kepulauan Bangka Belitung. Teman-teman seperjuangan di Program Studi ESK, khususnya Angkatan IV terima kasih penulis ucapakan atas kebersamaannya selama ini. Buat Mbak Dwi Sushanty, Mbak Ovia, Mbak Eka, Pak Irmadi, dan Pak Muzakir terima kasih sudah sabar menghadapi penulis dalam keadaan apapun juga. Teman yang selalu siap menerima keluh kesah, Zuraidah (EPN), Diah (FAPET), dan Kak Eva (IPK)

6 semoga tidak bosan diganggu dengan cerita-cerita sedih, terima kasih atas keikhlasannya serta teman-teman di Wisma Monas, Imel dan Devi. Tak lupa ucapan terima kasih yang sangat mendalam kepada seluruh keluarga, ayahanda M. Daud Ahmad dan ibunda Radinah, serta adik-adik Iyan, Ilah, dan Fauzi atas do a, pengorbanan dan dukungan baik moril, spiritual, dan materil yang tidak terhingga dan tak ternilai, semoga Allah SWT selalu memberikan balasan yang lebih baik lagi dari apa yang telah diberikan kepada penulis selama ini. Akhirnya penulis menyadari bahwa laporan Tesis ini masih jauh dari sempurna, sehingga penulis sangat mengharapkan kritik dan saran yang sifatnya membangun dan semoga dapat bermanfaat serta menambah khasanah ilmu pengetahuan dalam pengelolaan sumberdaya alam dan lingkungan. Bogor, Juni 2008 Penulis

7 Hak Cipta milik Institut Pertanian Bogor, tahun 2008 Hak cipta dilindungi Undang-Undang 1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumber. a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah. b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB. 2. Dilarang menggunakan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB.

8 PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini, saya menyatakan bahwa tesis ANALISIS EKONOMI PENGELOLAAN MANGROVE DI KECAMATAN MERAWANG KABUPATEN BANGKA adalah karya saya sendiri dengan arahan komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam daftar pustaka di bagian akhir tesis ini. Bogor, Juni 2008 FERAWATI MAEDAR NRP C

9 RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Kutacane, Kabupaten Aceh Tenggara, Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam pada tanggal 01 Pebruari 1981 dari pasangan ayahanda M. Daud Ahmad dan ibunda Radinah. Penulis merupakan putri pertama dari empat bersaudara. Pendidikan dasar sampai dengan SLTA ditamatkan di tempat kelahiran. Pada tahun 1999 penulis lulus dari Sekolah Menengah Atas Negeri I Kutacane. Pendidikan S1 diselesaikan di Universitas Syiah Kuala Banda Aceh tahun 2005, pada Fakultas Pertanian, Program Studi Sosial Ekonomi Pertanian (SEP). Tahun 2005 penulis mendapat kesempatan melanjutkan pendidikan dan memilih Program Studi Ekonomi Sumberdaya Kelautan Tropika (ESK) di Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor (IPB) dan lulus pada tahun 2008.

10 DAFTAR ISI Halaman DAFTAR TABEL...i DAFTAR GAMBAR.....iii DAFTAR LAMPIRAN...v I. PENDAHULUAN...: Latar Belakang Perumusan Masalah Tujuan Penelitian Kegunaan Penelitian II. TINJAUAN PUSTAKA Hutan Mangrove Alokasi dan Alternatif Pengelolaan Ekosistem Mangrove Valuasi Keanekaragaman Hayati Nilai Ekonomi Ekosistem Mangrove dan Teknik Evaluasinya III. KERANGKA PENDEKATAN STUDI IV. METODE PENELITIAN Tempat dan Waktu Metode Penelitian Metode Pengambilan Sampel Analisis Data Definisi Operasional V. KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN Kondisi Goegrafis Kondisi Fisik Kondisi Sosial Ekonomi VI. HASIL DAN PEMBAHASAN Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan Identifikasi Pemanfaatan Hutan Mangrove Pendugaan Nilai Utility Konsumen dari Sumberdaya Perikanan pada Ekosistem Hutan Mangrove Analisis Pemanfaatan Optimal Sumberdaya Perikanan pada Ekosistem Hutan Mangrove Pendugaan Nilai Ekonomi Hutan Mangrove Pendugaan Total Nilai Ekonomi Hutan Mangrove... 72

11 Halaman 6.7 Estimasi Discount Rate Alternatif Pemanfaatan Ekosistem Hutan Mangrove Penentuan Prioritas Pilihan Alternatif Pemanfaatan VII. KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Saran DAFTAR PUSTAKA...90 LAMPIRAN... 93

12 I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sebagai suatu negara kepulauan terbesar yang memiliki sekitar pulau dengan panjang pantai sekitar km, Indonesia memiliki potensi sumberdaya wilayah pesisir dan laut yang sangat besar (Dahuri et al. 1996). Ekosistem pesisir dan laut menyediakan sumberdaya alam yang produktif baik sebagai sumber pangan, tambang mineral dan energi, media komunikasi mau pun kawasan rekreasi atau pariwisata. Oleh karena itu wilayah pesisir dan laut merupakan tumpuan harapan manusia dalam pemenuhan kebutuhan hidupnya baik di masa sekarang mau pun yang akan datang. Pembangunan yang merupakan suatu proses perubahan untuk meningkatkan taraf hidup manusia tidak terlepas dari aktivitas pemanfaatan sumberdaya alam. Di dalam aktivitas ini sering dilakukan perubahan-perubahan pada ekosistem dan sumberdaya alam. Perubahan-perubahan yang dilakukan tentunya akan memberikan pengaruh pada lingkungan hidup. Makin tinggi laju pembangunan, makin tinggi pula tingkat pemanfaatan sumberdaya alam dan makin besar perubahan-perubahan yang terjadi pada lingkungan hidup. Pengelolaan sumberdaya alam dewasa ini diarahkan sebesar-besar untuk kemakmuran rakyat (ekonomi), adil (equity) dan berkelanjutan (sustainable). Sejak diberlakukannya Undang-Undang No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah kemudian direvisi menjadi Undang-Undang No. 32 Tahun 2004, telah terjadi banyak perubahan pola kebijakan daerah terkait dengan pengelolaan sumberdaya alam. Hal ini dimungkinkan karena sumberdaya alam merupakan modal penting dalam menggerakkan pembangunan di suatu daerah, baik dalam konteks negara, provinsi, kabupaten maupun kota. Oleh karenanya dalam pemanfaatan sumberdaya alam, aspek perencanaan yang strategis merupakan langkah dalam menentukan jumlah penerimaan dan tingkat kontribusinya dalam pembentukan modal pembangunan. Hutan mangrove merupakan sumberdaya alam khas pesisir tropika, yang rnempunyai manfaat ganda dengan pengaruh yang sangat luas apabila ditinjau dari aspek sosial, ekonomi dan ekologi. Besarnya peranan hutan mangrove atau

13 2 ekosistem mangrove bagi kehidupan dapat diketahui dari banyaknya jenis flora fauna yang hidup dalam ekosistem perairan dan daratan yang membentuk ekosistem mangrove. Dalam upaya meningkatkan laju pertumbuhan ekonomi di negara Indonesia, aktivitas ekonomi dipacu sedemikian rupa, sehingga kawasan hutan mangrove juga tidak luput dikonversi untuk aktivitas lain, seperti perumahan, pertambakan atau pertanian. Kawasan yang kaya akan keanekaragaman hayati ini mempunyai segudang harapan bagi masyarakat dalam meningkatkan taraf hidup. Luasan kawasan hutan mangrove di negara Indonesia yaitu ha dan di luar kawasan hutan 5,5 juta ha (Ditjen RPLS 1999). Penyebaran mangrove di Indonesia terutama di wilayah pesisir Sumatera, Kalimantan dan Papua. Luas penyebaran mangrove terus mengalami penurunan dari 4,25 juta ha pada tahun 1982 menjadi sekitar 3,24 juta ha pada tahun 1987, dan tersisa seluas 2,50 juta ha pada tahun Kecenderungan penurunan tersebut mengindikasikan bahwa terjadi degradasi hutan mangrove yang cukup nyata, yaitu sekitar 200 ribu ha per tahun. Hal tersebut disebabkan oleh kegiatan konversi menjadi lahan, penebangan liar dan sebagainya (Dahuri 2002). Sumberdaya mangrove dapat dimanfaatkan secara berkelanjutan asalkan tingkat pemanfaatannya tidak melampaui kapasitas produksinya. Potensi sumberdaya alam wilayah pesisir dan lautan di Indonesia yang sangat besar tersebut membutuhkan pengelolaan yang baik, sehingga pemanfaatannya dapat berlangsung secara berkesinambungan, sesuai dengan konsep pembangunan berkelanjutan yang menjadi dasar konsep pembangunan nasional. Pengelolaan sistem-sistem yang efektif dapat menjamin supaya sumberdaya hayati tidak hanya bertahan hidup, tetapi meningkat ketika dimanfaatkan, sehingga membentuk dasar untuk pembangunan berkelanjutan (McNeely 1992). Kenyataannya dalam pelaksanaan pengelolaan tersebut, faktor keberlanjutan sumberdaya alam sering diabaikan dengan terjadinya degradasi sumberdaya alam yang memprihatinkan di berbagai daerah, juga karena kebijakan pengelolaan sekarang sering memperkuat kecenderungan untuk mengeksploitasi sumberdaya secara berlebihan, sehingga kebijakan baru perlu dikembangkan untuk memperbaiki kegagalan pasar. Salah

14 3 satunya, kegiatan konversi lahan hutan mangrove yang tidak terkendali hampir di seluruh wilayah di Provinsi Kepulauan Bangka Belitung (Babel). Kabupaten Bangka adalah salah satu wilayah di Provinsi Kepulauan Bangka Belitung, memiliki potensi ekosistem mangrove yang masih dikategorikan baik dari segi fisik dan fungsi. Luas ekosistem mangrove di Kabupaten Bangka adalah 40,28 ha yang tersebar di sepanjang pesisirnya termasuk di Kecamatan Merawang. Kecamatan Merawang merupakan salah satu kecamatan dari 8 (delapan) kecamatan yang ada di Kabupaten Bangka dengan kepadatan penduduk nomor 2 (dua) terbesar setelah Kecamatan Sungailiat. Konsentrasi dan aktivitas masyarakat umumnya terpusat di wilayah pesisir, sehingga untuk mengantisipasi terjadinya kerusakan atau degradasi sumberdaya hutan mangrove yang lebih luas, upaya pengelolaan harus terus dilakukan. Pemanfaatan yang efisien, equity (adil) dan berkelanjutan melalui penetapan alternatif pemanfaatan yang strategis, terhadap hutan mangrove yang tersisa, begitupula dengan pengaruh keterkaitan fungsi ekologis ekosistem mangrove terhadap kehidupan sosial ekonomi masyarakat pesisir sangat penting untuk diteliti secara lebih komprehensif. 1.2 Perumusan Masalah Hutan mangrove merupakan salah satu sumber penghasilan yang sangat bermanfaat bagi masyarakat dan negara, hal ini disebabkan hutan mangrove memiliki nilai ekonomis yang tinggi baik secara langsung mau pun tidak langsung serta nilai ekologis yang sangat penting, sehingga keberadaannya perlu dilestarikan. Pemanfaatan sumberdaya pesisir dan lautan untuk memaksimalkan manfaat ekonomi di sebagian besar wilayah pesisir tertentu telah menimbulkan sejumlah dampak negatif terhadap kondisi fisik lingkungan pesisir dan laut. Penurunan luasan mangrove hampir merata terjadi di seluruh kawasan pesisir Indonesia. Penyebab dari penurunan luasan mangrove tersebut adalah karena adanya peningkatan kegiatan yang mengkonversi hutan mangrove menjadi peruntukan perikanan (pembukaan tambak), pengembangan kawasan industri, pertambangan, pemukiman di kawasan pesisir, perluasan areal pertanian serta pengambilan kayu mangrove secara besar-besaran.

15 4 Kesalahan, kekurangcermatan atau ketidakakuratan dalam merencanakan dan melaksanakan sistem pengelolaan sumberdaya alam memberikan dampak negatif yang signifikan terhadap menurunnya kualitas lingkungan dan makhluk hidup di dalamnya (termasuk masyarakat lokal) yang memiliki ketergantungan secara langsung terhadap sumberdaya alam tersebut. Apabila kondisi ini dipertahankan, maka laju degradasi sumberdaya alam akan semakin cepat. Degradasi hutan mangrove akan menimbulkan banjir, intrusi air laut dan hilangnya biota laut. Oleh karena itu pada setiap lokasi hutan mangrove perlu memperhatikan faktor-faktor lingkungan seperti salinitas, pasang surut dan topografi, sejauh mungkin dipertahankan seperti kondisi semula, juga rehabilitasi hutan mangrove perlu dilakukan pada lokasi-lokasi yang mulai rusak mau pun kritis kondisinya. Kerusakan hutan mangrove masih terus terjadi, walau pun ada aturan untuk menjaga kelestariannya. Selain manfaat ekonomis yang nyata (berupa kayu bahan bangunan, kayu bakar dan arang, udang, kepiting, dan lain-lain) hutan mangrove juga memiliki berbagai fungsi ekologis dan perlindungan. Kusmana (1995) menyatakan bahwa fungsi ekologis dan perlindungan tersebut yaitu sebagai (a) pembangun lahan dan pengendapan lumpur, (b) pelindung pantai dari abrasi akibat gempuran ombak, arus, banjir akibat laut pasang, dan terpaan angin, (c) pencegah interusi air laut ke daratan, (d) pengolah limbah organik dan polutan-trap dalam fitomassa, (e) pelindung terhadap budidaya perikanan, (f) pelindung bagi flora dan fauna bernilai ekonomis tinggi (ikan, udang, kepiting dan kerang), (g) perlindungan terhadap keanekaragaman hayati, dan (h) penyerap karbon dan penghasil oksigen yang sangat berguna bagi peningkatan kualitas lingkungan hidup. Dibandingkan dengan manfaat ekonomisnya, sekilas nilai manfaat ekologis dan perlindungan dianggap kurang begitu penting, oleh karena tidak terukur, manfaat tersebut juga tidak dapat dirasakan secara langsung. Naik-turunnya manfaat ekologis dan jasa perlindungan dari hutan mangrove juga tidak dapat dirasakan dengan cepat. Padahal manfaat ekologis dan perlindungan inilah yang menbuat nilai mangrove menjadi sangat penting, karena manfaat ekonomis misalnya ikan, udang, dan kerang akan meningkat nilainya (karena jumlahnya banyak) jika habitatnya baik. Hal tersebut sesuai pendapat Bengen (2002) bahwa masalah pengelolaan hutan

16 5 mangrove secara lestari adalah bagaimana menggabungkan antara kepentingan ekologi (konservasi hutan mangrove) dengan kepentingan sosial ekonomi masyarakat. Mengingat berbagai manfaat itu, sudah selayaknya jika setiap jenis usaha yang dilakukan dengan mengkonversi hutan mangrove hendaknya disertai dengan menghitung terlebih dahulu nilai manfaat dan nilai kerugianya secara keseluruhan bagi masyarakat. Pengalihan fungsi hutan mangrove menjadi pertambakan, pertanian, penambangan timah dan perumahan penduduk dikhawatirkan mungkin akan terus berlangsung di Kecamatan Merawang. Dari uraian di atas, maka pertanyaan yang kemudian timbul dengan mencermati fenomena ekologi dan ekonomi dari kondisi potensi sumberdaya ekosistem mangrove di atas, adalah sebagai berikut: 1) Bagaimana gambaran umum pemanfaatan sumberdaya alam ekosistem mangrove yang dilakukan oleh masyarakat lokal di Kecamatan Merawang? 2) Seberapa besar nilai ekonomi dari ekosistem mangrove di Kecamatan Merawang? 3) Bagaimana perubahan nilai ekonomi total ekosistem mangrove dalam keadaan alami jika dibandingkan dengan nilai ekonomi total setelah dikonversi tambak? 4) Bagaimana alternatif pemanfaatan strategis yang efisien dan berkelanjutan untuk ekosistem mangrove? 1.3 Tujuan Penelitian Berdasarkan rumusan masalah di atas, maka penelitian ini bertujuan untuk: 1) Mengidentifikasi pemanfaatan ekosistem mangrove oleh masyarakat lokal di Kecamatan Merawang. 2) Menganalisis nilai ekonomi dari ekosistem mangrove 3) Menganalisis alternatif pemanfaatan strategis untuk ekosistem mangrove di Kecamatan Merawang.

17 6 1.4 Kegunaan Penelitian Diharapkan penelitian ini disamping merupakan media bagi penulis untuk menerapkan salah satu tehnik penilaian ekonomi (economic valuation) terhadap pemanfaatan ekosistem mangrove, sekaligus juga bermanfaat, terutama : 1) Dengan penelitian ini, diharapkan akan diperoleh data dan informasi mengenai kondisi ekologi dan ekonomi suatu ekosistem mangrove. 2) Sebagai bahan acuan dalam perencanaan alternatif pemanfaatan ekosistem mangrove yang efisien dan berkelanjutan. 3) Bagi peneliti lain yang berminat pada masalah yang sama, hasil penelitian ini diharapkan merupakan sumbangan informasi yang berharga.

18 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Hutan Mangrove Hutan mangrove merupakan suatu formasi hutan yang berperan sebagai penyambung (interface) antara ekosistem daratan dengan ekosistem lautan karena peranannya inilah hutan mangrove dikategorikan sebagai ekosistem yang unik (Hadi et al. 2001). Menurut Nybakken (1992), hutan mangrove adalah sebutan umum yang digunakan untuk menggambarkan suatu varietas komunitas pantai tropik yang didominasi oleh beberapa spesies pohon-pohon yang khas atau semak-semak yang mempunyai kemampuan untuk tumbuh dalam perairan asin, tumbuh pada substrat tanah berlumpur/berpasir dan variasinya, serta salinitas yang bervariasi. Sementara itu, Bengen (2002) mendefinisikan hutan mangrove sebagai komunitas vegetasi pantai tropis yang didominasi oleah beberapa jenis pohon mangrove yang mampu tumbuh dan berkembang pada daerah pasang surut pantai berlumpur. Hutan mangrove merupakan tipe hutan tropika yang khas tumbuh di sepanjang pantai atau muara sungai yang dipengaruh, oleh pasang surut air laut mangrove banyak ditemukan di pantai-pantai teluk yang dangkal, estuaria, delta dan daerah pantai yang terlindung. Mangrove tumbuh optimal di wilayah pesisir yang memiliki muara sungai besar dan bersubstrat lumpur, sedangkan di wilayah pesisir yang tidak terdapat muara sungai, hutan mangrove pertumbuhannya tidak optimal. Hutan mangrove merupakan sumberdaya alam daerah tropis yang rnempunyai manfaat ganda baik dari aspek sosial ekonomi maupun ekologi. Besarnya peranan ekosistem hutan mangrove bagi kehidupan dapat diketahui dari banyaknya jenis hewan baik yang hidup di perairan, di atas lahan maupun di tajuk-tajuk pohon mangrove atau manusia yang bergantung pada hutan mangrove tersebut (Naamin 1991). Kusmana (1995) menyatakan bahwa tipe ekosistem mangrove merupakan tipe ekosistem yang unik, karena di dalam ekosistem terdapat dua tipe karakteristik ekosistem, yaitu ekosistem lautan dan daratan. Kondisi semacam ini mengakibatkan jenis-jenis biota yang hidup di habitat mangrovepun terdiri atas

19 8 biota darat dan biota laut. Dari segi biota, banyak penelitian membuktikan bahwa biota yang mendominasi ekosistem mangrove adalah biota laut. Batasan umum pengertian hutan mangrove adalah hutan terutama tumbuh pada tanah aluvial di daerah pantai dan sekitar muara sungai yang dipengaruhi pasang surut air laut dan dicirikan oleh jenis-jenis pohon, seperti Avicennia, Sonneratia, Rhizophora, Bmguiera, Cerrops, Lumnitzera, Exoecaria, Xylocarpus, Aegiceras, Scyphyphora dan Nypa. Menurut Noer et al. (1999) bahwa sejauh ini di Indonesia tercatat setidaknya 202 jenis tumbuhan mangrove, meliputi 89 jenis pohon, 5 jenis palma, 19 jenis pemanjat, 44 jenis herba tanah, 44 jenis epifit dan 1 jenis paku. Dari 202 jenis tersebut, 43 jenis (diantaranya 33 jenis pohon dan beberapa jenis perdu) ditemukan hanya pada habitat mangrove (true mangrove), sementara jenis lain ditemukan di sekilar mangrove dan dikenal sebagai jenis mangrove ikutan (mangrove associate). Ekosistem hutan mangrove mempunyai peranan dan fungsi penting yang dapat mendukung kehidupan manusia baik langsung mau pun tidak langsung. Dahuri et al.(1996), menyatakan bahwa secara garis besar ekosistem hutan mangrove mempunyai dua fungsi utama, yaitu fungsi ekologis dan fungsi sosial ekonomi. Potensi ekonomi sumberdaya hutan mangrove sebagai penyedia sumberdaya kayu dan udang serta ikan. juga berfungsi ekologis untuk menahan banjir dan bagi nursery ground jenis-jenis udang (Fauzi 1999a). Fungsi ekologis ekosistem mangrove menurut Dahuri et al. (1996) adalah sebagai berikut : a) Dalam ekosistem hutan. mangrove terjadi mekanisme hubungan antara ekosistem mangrove dengan jenis-jenis ekosistem lainnya seperti padang lamun dan terumbu karang. b) Dengan sistem perakaran yang kokoh ekosistem hutan mangrove mempunyai kemampuan meredam gelombang, menahan lumpur dan melindungi pantai dari abrasi, gelombang pasang dan taufan. c) Sebagai pengendalian banjir, hutan mangrove yang banyak tumbuh di daerah estuaria juga dapat berfungsi untuk mengurangi bencana banjir. d) Hutan mangrove dapat berfungsi sebagai penyerap bahan pencemar (environmental service), khususnya bahan-bahan organik.

20 9 e) Sebagai penghasil bahan organik yang merupakan mata rantai utama dalam jaring-jaring makanan di ekosistem pesisir, serasah mangrove yang gugur dan jatuh ke dalam air akan menjadi substrat yang baik bagi bakteri dan sekaligus berfungsi membantu proses daun-daun tersebut menjadi detritus. Selanjutnya detritus menjadi bahan makanan bagi hewan pemakan, seperti cacing, udang-udang kecil dan akhirnya hewan-hewan ini akan menjadi makanan larva ikan, udang, kepiting dan hewan lainnya. f) Merupakan daerah asuhan (nursery ground) hewan-hewan muda (juvenile stage) yang akan bertumbuh kembang menjadi hewan-hewan dewasa dan juga merupakan daerah pemijahan (spawning ground) beberapa perairan seperti udang, ikan dan kerang-kerangan. Mangrove yang tumbuh di sekitar perkotaan atau pusat pemukiman dapat berfungsi pertama sebagai penyerap bahan pencemar, khususnya bahan-bahan organik. Kedua, hutan mangrove sebagai energi bagi lingkungan perairan sekitarnya. Ketersediaan berbagai jenis makanan yang terdapat pada ekosistem yang lebih rendah ke tingkat tropik yang lebih tinggi. Ketiga, hutan mangrove merupakan pensuplai bahan organik bagi lingkungan perairan. Di dalam ekosistem mangrove terjadi mekanisme hubungan yang memberikan sumbangan berupa bahan organik bagi perairan sekitarnya (Supriharyono 2000). 2.2 Alokasi dan Alternatif Pengelolaan Ekosistem Mangrove Kehidupan masyarakat di sekitar hutan, tidak dapat dipisahkan dengan ekosistemnya. Hal ini diwujudkan dalam bentuk hubungan kekerabatan dan hubungan timbal balik antara manusia dengan alam sekitarnya. Hutan mangrove merupakan salah satu sumberdaya alam yang mempunyai peranan penting dalam memelihara keseimbangan antara ekosistem darat dan ekosistem perairan. Hutan mangrove merupakan ekosistem yang sangat produktif dengan berbagai fungsi ekonomi, sosial dan lingkungan. Potensi ekonomi tegakan mangrove berasal dari tiga sumber, yaitu hasil hutan, perikanan muara sepanjang pantai dan ekoturisme. Disamping menghasilkan bahan dasar untuk industri seperti kertas, rayon, kayu bakar dan arang yang dalam konteks ekonomi mengandung nilai komersial tinggi, ditunjukkan dengan kemampuannya dalam menyediakan produknya yang dapat diukur dengan uang. Menurut Dahuri et al. (1996) telah terindentifikasi lebih dari

21 10 70 macam kegunaan pohon mangrove bagi kepentingan hidup manusia, baik produk langsung, seperti bahan bakar, bahan bangunan, alat penangkap ikan, pupuk pertanian, bahan baku kertas, obat-obatan dan makanan, maupun produk tidak langsung seperti tempat dan bahan makanan. Ekosistem hutan mangrove yang memiliki fungsi-fungsi ekologis yang penting antara lain sebagai penyedia nutrien, sebagai tempat pemijahan, tempat pembesaran bagi biota-biota tertentu dan juga mampu menekan terjadinya abrasi dan kerusakan pantai, dapat meredam pengaruh gelombang serta tahan terendam di perairan dengan kadar garam yang beragam dan mampu menahan lumpur, sehingga mempercepat terbentuknya "tanah timbul". Dengan memperhatikan peran dan potensi ekosistem hutan, mangrove yang sangat besar tersebut, maka setiap pemanfaatan hutan tersebut perlu memperhatikan prinsip pemanfaatan yang optimal dan lestari. sehingga tidak mengurangi daya dukung, lingkungan itu sendiri yang selanjutnya akan mendukung pembangunan yang berkelanjutan. Dalam perkembangannya, hutan mangrove ini telah dimanfaatkan untuk berbagai kepentmgan, seperti kehutanan, perikanan (tambak), pertanian, industri, pcmukiman, pertarnbangan dan pariwisata. Adanya berbagai kepentingan dari berbagai pihak dalam memanfaatkan areal hutan mangrove, sering menimbulkan konflik dan mengarah pada pengelolaan dengan pertimbangan yang sempit dan tidak berkelanjutan (Dahuri 2002). Definisi pengelolaan sumberdaya alam menurut Soerianegara (1977) adalah upaya manusia dalam mengubah sumberdaya alam agar diperoleh manfaat yang maksimal dengan mengusahakan kontinuitas produksi. Dahuri et al. (1996) mengatakan bahwa pemanfaatan sumberdaya pesisir sebagai salah satu modal dasar pembangunan nasional, harus dilaksanakan sebaikbaiknya berdasarkan azas kelestarian, keserasian dan azas pemanfaatan yang optimal. Hal ini dimaksudkan untuk menghindari dampak pernbangunan yang negatif, seperti terjadinya penurunan nilai-mlai sumberdaya pesisir dan laut yang pada gilirannya akan menghambat pertumbuhan ekonomi dan pembangunan itu sendiri. Keadaan ini disebabkan antara lain penggunaan lahan yang tidak sesuai dengan peruntukan dan kemampuan daya dukungnya, tidak disertainya dengan

22 11 usaha-usaha konservasi serta rendahnya peran serta masyarakat terhadap aktivitasaktivitas pembangunan yang telah direncanakan penataannya. Menurut Adrianto (2004) bahwa alternatif pengelolaan dapat diterapkan kepada ekosistem mangrove dengan mempertimbangkan karakteristik ekologi, kemungkinan dan prioritas pembangunan, aspek teknis, politis dan sosial masyarakat di kawasan mangrove. Alternatif dapat berupa kawasan preservasi hingga kawasan penggunaan ganda (multiple uses) yang memberikan ruang kepada pemanfaatan ekosistem mangrove untuk tujuan produktif. Contoh alternatif pengelolaan ekosistem mangrove terlihat pada Tabel 1. Tabel 1 Contoh Beberapa Alternatif Pengelolaan Ekosistem Mangrove Pilihan Pengelolaan Deskripsi Kawasan lindung Kawasan kehutanan subsisten Kawasan hutan komersial Akua-silvikultur Budidaya perairan semi-intensif Budidaya perairan intensif Pemanfaatan hutan komersial dan budidaya perairan semi intensif Pemanfaatan ekosistem mangrove subsisten dan budidaya perairan semi intensif Konversi ekosistem mangrove Sumber : Adrianto (2004). Larangan pemanfaatan produktif Pengelolaan kawasan hutan mangrove oleh masyarakat; pemanfaatan hutan mangrove oleh masyarakat Pemanfaatan komersial produk hutan mangrove Konversi sebagian kawasan hutan mangrove untuk kolam ikan Konversi hutan mangrove untuk budidaya perairan dengan teknologi semi intensif Konversi hutan mangrove untuk budidaya perairan dengan teknologi intensif Pemanfaatan ganda dengan tujuan memaksimalkan manfaat dari hutan mangrove dan perikanan Pemanfaatan ganda dengan tujuan memberikan manfaat mangrove kepada masyarakat lokal dan perikanan Konversi kawasan mangrove menjadi peruntukan lain Pengelolaan sumberdaya alam harus dirumuskan dalam kegiatan-kegiatan yang bertujuan untuk optimasi fungsi ekosistem/sistem/habitat dengan kondisi perairan. Secara garis besar, kegiatan tersebut berupa kegiatan pelestarian,

23 12 pengembangan dan rehabilitasi ekosistem. Kegiatan pelestarian ekosistem ditujukan terhadap ekosistem yang fungsinya dalam keadaan optimum agar fungsi tersebut dapat lestari. Pemanfaatan yang baik adalah pendayagunaan sumberdaya sesuai dengan daya dukung sumberdaya yang bersangkutan. Oleh sebab itu guna mencapai pemanfaatan secara berkelanjutan untuk memenuhi kebutuhan manusia terhadap sumberdaya alam dan jasa-jasa lingkungan yang terdapat di wilayah pesisir dan lautan, maka diperlukan pengelolaan sumberdaya pesisir dan lautan yang berpusat pada masyarakat dan dilakukan secara terpadu dengan memperhatikan dua aspek kebijakan, yaitu aspek ekonomi dan ekologi (Supriharyono 2000). Lemahnya manajemen pengelolaan hutan mangrove baik dalam sistem silvikultur, sumberdaya manusia, perencanaan, kelembagaan, pelaksanaan dan pengawasan serta keterbatasan data informasi sumberdaya hutan mangrove serta IPTEK mendorong terjadinya degradasi hutan mangrove (Dahuri et al. 1996). 2.3 Valuasi Keanekaragaman Hayati Keanekaragaman hayati perlu memperhatikan dua pertimbangan penting pertama bahwa keanekaragaman hayati dapat memberikan manfaat yang luas kepada manusia, kedua aktivitas manusia yang berlangsung, belum merugikan keanekaragaman hayati dan mengancam kesinarnbungan dan stabilitas ekosistem, seperti barang dan jasa (Nunes et al. 2001). Keanekaragaman hayati sebagai sumber nilai ekonomi, dapat dilihat pada Gambar 1 yang menunjukkan hubungan antara keanekaragaman hayati, ekosistem, spesies dan kesejahteraan manusia. 1 Ecosytem Biodiversity 2 Species Human welfare Sumber : Nunes et al. (2001) Gambar 1 Nilai Ekonomi Keanekaragaman Hayati.

24 13 Berdasarkan Gambar 1, maka dapat diklasifikasikan nilai ekonomi dari keanekaragaman hayati, yaitu pertama hubungan 1-6 bahwa manfaat atau fungsi dan nilai-nilai dari ekosistem sebagai pendukung kehidupan manusia, misalnya fungsi ekosistem sebagai pengendali banjir dan pengisian air tanah. Kedua hubungan bahwa ekosistem sebagai perlindungan habitat bagi spesiesspesies yang terkait, contohnya dampak dari kerusakan habitat akan menurunkan nilai dan permintaan turis untuk kawasan wisata. Ketiga hubungan 2-5 bahwa manfaat dari semua keanekaragaman spesies untuk kepentingan manusia, karena sebagai input dalam proses produksi, contohnya industri barang yang diperdagangkan dan keempat hubungan 3 bahwa pengetahuan dan moral manusia akan keberlanjutan dan nilai keberadaan dari keanekaragaman hayati untuk generasi mendatang (Nunes et al. 2001). Oleh karena itu, pelestarian keanekaragaman hayati sebaiknya dilihat sebagai suatu bentuk pembangunan perekonomian. Sumberdaya alam hayati memiliki nilai ekonomi, investasi dalam pelestarian sebaiknya dilihat dari segi ekonomi, Yang memerlukan sarana yang dapat dipercaya dan diandalkan dalam mengukur keuntungan pelestarian sumberdaya hayati, mengukur akibat yang menguntungkan atau kondisi yang lebih baik yang dihasilkan oleh tindakan pelestarian. Penentuan nilai ekonomi sumberdaya alam merupakan hal yang sangat penting sebagai bahan pertimbangan dalam mengalokasikan sumberdaya alam yang semakin langka (Kramer et al. 1995). Menurut Munasinghe (1995) penilaian kontribusi fungsi ekosistem bagi kesejahteraan masyarakat merupakan hal yang sangat kompleks, mencakup nilai-nilai sosial dan politik. Ccntohnya, nilai kawasan konservasi sangat ditentukan oleh aturan-aturan manajemen yang berlaku untuk areal tersebut. Dengan kata lain, nilai tersebut tidak hanya ditentukan oleh faktor-faktor fisik, biotik dan ekonomi, tetapi juga oleh kelembagaan yang dibangun untuk mengelola sumberdaya tersebut. Dalam kerangka pemikiran ekonomi, cakupan konsep ekologi hanya membatasi diri dalam menanggulangi dampak negatif, baik langsung maupun tidak langsung, dari kegiatan pembangunan dengan kata lain konsep ekologi lebih mengarah kepada pengelolaan dampak pembangunan atas pihak-pihak yang terkena atau secara potensial terkena pengaruh. Sementara itu, teori ekonomi

25 14 selain menawarkan alternatif bagi pengelola, imbas-pengaruh kegiatan ekonomi (impact and accident) yang mencakup bahkan menekankan peran manusia sebagai sektor atau pelaku kegiatan ekonomi (Ismawan 1999). 2.4 Nilai Ekonomi Ekosistem Mangrove dan Teknik Evaluasinya Nilai-nilai ekonomi yang terkandung dalam sumberdaya alam khususnya ekosistem mangrove sangat berperan dalam penentuan kebijakan pengelolaannya, sehingga alokasi dan alternatif pengelolaannya dapat efisien dan berkelanjutan. Kerangka nilai ekonomi yang sering digunakan dalam evaluasi ekonomi sumberdaya alam termasuk mangrove adalah konsep total economic value (TEV) yang terdiri atas tiga tipe nilai, yaitu nilai pakai langsung (direct use value), nilai pakai tak langsung (indirect use value) dan nilai non-pakai (non use value). Nilai pakai langsung diturunkan dari pemanfaatan langsung (interaksi) antara masyarakat dengan ekosistem mangrove. Nilai ini terdiri atas pemanfaatan konsumtif (seperti kayu bakar, pertanian, pemanfaatan air, kegiatan berburu dan pemanfaatan perikanan) dan pemanfaatan non-konsumtif (seperti rekreasi, manfaat riset dan pendidikan). Nilai pakai tak langsung didefinisikan sebagai nilai fungsi ekosistem mangrove dalam mendukung atau melindungi aktifitas ekonomi atau sering disebut sebagai "jasa lingkungan". Sebagai contoh fungsi ekosistem mangrove sebagai penahan banjir, fungsi perlindungan air tanah. Nilai pilihan (option value) terkait dengan nilai pakai (use values) yang merupakan pilihan pemanfaatan ekosistem mangrove di masa datang. Nilai non pakai merupakan representasi dari individu yang tidak dalam posisi memanfaatkan ekosistem mangrove, tetapi memandang bahwa kelestarian ekosistem mangrove tetap perlu sebagai sebuah intrinsic value (kantian value). Salah satu representasi dari nilai intrinsic ini adalah nilai keberadaan (existence value) (Adrianto 2004). Metode valuasi ekonomi secara umum terdiri atas dua pendekatan, yaitu pertama pendekatan manfaat (benefit) menyangkut langsung dengan nilai pasar (market value), nilai pasar pengganti (substitute atau surrogate) atau barangbarang komplementer (complementary goods). Benefit transfer untuk menilai perkiraan benefit dari tempat lain ditransfer untuk memperoleh perkiraan yang kasar mengenai manfaat dari lingkungan, dimana sumberdaya yang memiliki ekosistem yang relatif sama (Fauzi 1999b). Contoh dari nilai pasar adalah effect of

26 15 production (EOP) untuk melihat bagaimana pengaruh terhadap produksi dari sumberdaya alam, human capital approach (HCA) atau Loss of Earning Approach (LEA) dengan melihat pengaruh kerusakan lingkungan terhadap nilai tenaga kerja (upah), sedangkan contoh dari nilai pengganti adalah travel cost method (TCM) untuk melihat biaya yang dikeluarkan untuk mendatangi tempat rekreasi, wage differential (WD) yang menggunakan tingkat upah sebagai tolak ukur untuk mengukur kualitas lingkungan dan property value (PV) nilai asset pribadi digunakan memperkirakan nilai lingkungan. Kedua pendekatan biaya (cost) contohnya replacement cost, shadow project, preventive expenditure dan Metode valuasi berdasarkan survei yang mengukur keinginan membayar (willingness to pay) dan keinginan untuk menerima (willingness to accept) dengan mengeksplore preferensi dari konsumen melalui pendekatan contingen valuation method (CVM). Pengukuran untuk barang dan jasa yang dihasilkan dari sumberdaya alam yang diperdagangkan (traded goods) dengan harga yang terukur dapat dilihat dari perubahan dalam surplus konsumen. Surplus konsumen berlandaskan pada pemikiran ekonomi neo-klasikal (neo-classical economic theory) yang berdasar pada kepuasan konsumen (Fauzi 2004). Surplus konsumen atau Dupuits's consumer's surplus (karena pertama kali dikenalkan oleh Dupuit Tahun 1952) adalah pengukuran kesejahteraan ditingkat konsumen yang diukur berdasarkan selisih keinginan membayar dari seseorang dengan apa yang sebenarnya di bayar (Fauzi 2000). Kurva permintaan yang digambarkan dengan slope (kemiringan) yang negatif atau disebut juga kurva permintaan Marshall, seperti terlihat pada Gambar 2. P A = Jumlah yang dibayar oleh konsumen B = Surplus konsumen P* B A E Kurva Permintaan 0 Q* Q Sumber : Fauzi (2000) Gambar 2 Kurva Permintaan Konsumen.

27 16 Kurva pada Gambar 2, menggambarkan jumlah barang dan jasa yang dibeli oleh konsumen pada tingkat harga dan waktu tertentu. Tingkat harga barang dan jasa berbanding terbalik dengan jumlah barang dan jasa yang diminta, jika harga naik, maka jumlah yang diminta menurun (Fauzi 2000). Gambar 2, memperlihatkan bahwa seluruh daerah di bawah slope kurva permintaan menunjukkan keinginan membayar (WTP) oleh konsumen pada barang Q. Keseimbangan harga di pasar ditunjukkan oleh P*, maka konsumen akan mengkonsumsi sebesar Q*. Apabila konsumen ingin membayar lebih dari P*, namun sebenarnya yang dibayar hanya pada P*, maka kelebihan keinginan membayar konsumen diposisi P*EP. Kelebihan ini merupakan surplus bagi konsumen atau menjadi tolak ukur untuk menilai tingkat kesejahteraan konsumen. Pendugaan total nilai ekonomi sumberdaya mangrove menurut Adrianto (2005), didekati melalui pengukuran tingkat kepuasan (utility) melalui surplus konsumen yang dapat dinyatakan dalam bentuk fungsi sebagai berikut : β1 Q = β 0 X 1 X β2 βn 2 X n dan U = a 0 f(q)dq sehingga CS = U Pt dimana : CS = Consumer Surplus Q = Jumlah sumberdaya yang diminta Xi = Harga per unit sumberdaya yang dikonsumsi/diminta diturunkan dari fungsi permintaan X 2...X n = Karakteristik sosial ekonomi konsumen/rumah tangga U = Utilitas terhadap sumberdaya a = Batas jumlah sumberdaya rata-rata yang dikonsumsi/diminta f(q) = fungsi permintaan Pt = harga yang dibayarkan Menurut Nunes et al. (2001) diacu dalam Adrianto (2004) menyebutkan ada dua kategori valuasi ekonomi yaitu (1) mengeksplorasi data pasar yang ada dan dikaitkan dengan komoditas lingkungan, teknik valuasi dalam kategori ini adalah travel cost (TC) melalui pendekatan generalisasi biaya kunjungan (generalized travel cost), hedonic price (HP) menggunakan pendekatan hedonik untuk mengestimasi, averting behavior (AB) menggunakan pendekatan generalisasi biaya pengeluaran untuk menilai jasa-jasa lingkungan termasuk biaya pencegahan kerusakan (avoided damage costs), biaya pengganti (replacement

28 17 cost), biaya kompensasi function (PF) yang mengestimasi nilai ekonomi sebuah komoditas lingkimgan melalui hubungan input-output produksi (2) stated preference method yang berdasarkan preferensi melalui teknik Contingent Valuation (CV). Teknik mengukur total nilai ekonomi untuk ekosistem mangrove dalam konteks keanekaragaman hayati terlihat dalam Tabel 2. Tabel 2 Manfaat dan Metode Penilaian Ekonomi Ekosistem Mangrove Interpretasi nilai Manfaat ekonomi Keanekaragaman hayati Input bagi proses Genetic and species produksi (misalnya diversity industri farmasi, pertanian, perikanan) Natural areas and lanscape diversity Ecosystem functions and ecological services Perlindungan habitat (misalnya perlindungan area rekreasi) Nilai-nilai ekologi (misalnya fungsi pengendalian banjir) Non use biodiversity Nilai keberadaan dan moral Sumber : Nunes et al. (2UU1) diacu dalam Adrianto (2004). Metode penilaian ekonomi CV= +, TC = -, HP = +, AB = +, PF = + CV= +, TC = +, HP = -, AB = +, PF = + CV= -, TC = -, HP = +, AB = +, PF = + CV= +, TC = -, HP = -, AB = -, PF = - Keterangan : tanda (+) artinya metode penilaian ekonomi yang terpilih dan (-) artinya metode yang tidak terpilih. CV = Contingent Valuation, TC = Travel Costs, HP = Hedonic Price, AB = Averting Behavior, dan PF = Production Function. Cost Benefit Analysis (CBA) juga salah satu teknik yang sering digunakan dan membantu dalam pengambilan keputusan dalam perencanaan dan pengelolaan ekosistem mangrove. CBA digunakan untuk mengukur semua keuntungan/dampak positif (benefit) dan biaya (cost) sebuah pengelolaan dari awal sampai akhir dalam bentuk nilai uang dan memberikan ukuran efisiensi ekonomi (Kusumastanto 2000). Hal tersebut sesuai dengan pendapat Adrianto (2004) bahwa dalam proses pengambilan keputusan terhadap alternatif pengelolaan digunakan analisis Cost Benefit Analysis (CBA), dimana proses pengambilan keputusan didasarkan pada analisis terhadap besaran (magnitude) dari kerugian pengelolaan yang ditransfer ke dalam komponen biaya (costs) dan keuntungan pengelolaan yang di representasikan ke dalam komponen manfaat (benefits), dimana pengelolaan dikatakan layak apabila manfaat bersih (net benefits) adalah positif. Selanjutnya

29 18 alternatif pengelolaan ekosistem mangrove tidak dilakukan dalam satu waktu melainkan dalam periode waktu tertentu. Arus manfaat dan biaya harus didiskon agar manfaat dan biaya dapat dibandingkan dalam satu dasar waktu yang disebut nilai sekarang (Present Value).

30 III. KERANGKA PENDEKATAN STUDI Pembangunan pesisir fokusnya pada ekosistem mangrove yang dinamis terhadap isu dan konflik kepentingan dalam pemanfaatannya, maka pembangunan pesisir perlu dipikirkan khususnya untuk menyelamatkan potensi sumberdaya pesisirnya. Oleh karena itu segenap stakeholder perlu membuat perencanaan pengelolaan sumberdaya, sehingga pemanfaatannya seefisien mungkin dan berkesinambungan secara ekonomi dan sosial. Untuk mengetahui kondisi sumberdaya mangrove dewasa ini. perlu adanya valuasi lingkungan, ekonomi (manfaat dan sumberdaya mangrove) dan sosial-ekonomi-budaya. Ekosistem mangrove yang berperan penting bagi semua kehidupan tersebut ternyata dalam pengelolaannya sering dilaksanakan dengan kurang bijaksana antara lain disebabkan masih rendahnya kesadaran masyarakat terhadap lingkungan. Perubahan ekosistem mangrove yang tak terkendali menjadi tambak, pemukiman, lahan pertanian dan perkebunan, industri atau pelabuhan, merupakan bukti penyebab penurunan lahan mangrove tersebut. Pengelolaan wilayah pesisir merupakan suatu proses atau upaya untuk mengendalikan kegiatan manusia dalam pemanfaatan sumberdaya alam di wilayah pesisir, sehingga dapat menjamin keuntungan yang sebesar-besarnya bagi masyarakat, sekarang dan di masa mendatang. Oleh karena itu untuk menyelidiki cara pengelolalan yang baik, sifat ekosistem mangrove yang "dinamis" dan kondisi lingkungan yang "unik" perlu dipahami terlebih dahulu. Adanya kesamaan perspektif tentang tujuan, pola pemanfaatan dan pengelolaan ekosistem mangrove merupakan wahana untuk mencapai keuntungan yang sebesar-besarnya bagi masyarakat. Konflik pemanfaatan yang terjadi di kawasan mangrove, terkadang disebabkan belum diketahuinya manfaat dan fangsi dari potensi sumberdaya alam untuk sekarang dan masa datang, menyebabkan nilai tersebut luput dari perhitungan ekonomi, sehingga salah satu yang dapat membantu masalah ini adalah dengan menghitung potensi ekonomi dari sumberdaya tersebut. Tingkat kapasitas produksi lestari setiap tahun ditentukan melalui analisis nilai ekonomi ekosistem mangrove.

31 20 Dalam konteks pemanfaatan langsung digunakan pendekatan pasar (market-based-approach) khususnya yang komersial (Adrianto 2004). Penilaian terhadap sumberdaya alam khususnya pada ekosistem mangrove dihitung melalui penjumlahan satuan uang (benefit) dan cost yang berhubungan dengan pemanfaatan sumberdaya alam tersebut. Perubahan kualitas lingkungan secara kualitatif, sehingga dapat diinterpretasikan berapa banyak yang menjadi lebih baik (better-off) dan berapa banyak yang menjadi lebih buruk (worse- off). Dengan kata lain berapa besar nilai manfaat dan berapa besar nilai yang rusak (cost and benefit). Ruittenbeek (1992) menyarankan bahwa penggunaan beberapa bentuk analisis ekonomi yang terpenting mampu menyatukan hubungan ekologis dari berbagai komponennya. Pendekatan penilaian total ekonomi, yaitu mengestimasi nilai total ekonomi hutan mangrove berdasarkan pada klasifikasi use-value terdiri atas manfaat langsung (optimal use) dan manfaat tidak langsung dan non-usevalue terdiri atas manfaat pilihan (option value) dan manfaat keberadaan (existensi value). Mengestimasi nilai ekonomi hutan mangrove berdasarkan pada pendekatan produktifitas dan preferensi (Revealed preference-bused valuation). Analisis manfaat dan biaya yang dibangun berdasarkan asumsi ekonomi neoklasik (utility konsumen) melalui consumer surplus atau Marshallian consumer's surplus, dimana asumsi tersebut paling sesuai untuk menemukan alternatif pemanfaatan sumberdaya yang alokasinya paling efesien. Pendekatan Net Present value (NPV), Cost Benefit Analysis (CBA) digunakan untuk menentukan alternatif pengelolaan yang strategis dari sumberdaya mangrove sehingga pembentukan sistem sumberdaya mangrove dapat optimal. Menurut Adrianto (2004) bahwa dalam konteks evaluasi pemanfaatan sumberdaya alam seperti ekosistem mangrove, selain mempertimbangkan faktor efisiensi juga perlu memasukkan pertimbangan equity dan sustainability agar diperoleh pertimbangan yang lebih komprehensif. Sistem pengelolaan yang efektif akan menjamin tidak saja bagi kelangsungan sumberdaya alam yang ada, tetapi juga peningkatannya selama digunakan, jadi memberikan dasar untuk pembangunan yang berkelanjutan. Hal ini penting didalam memberikan informasi

32 21 pengambilan kebijakan dalam memilih strategi pengelolaan atau penggunaan seluruh sumberdaya secara optimal. Natural Resource Mangrove Resource System Pemanfaatan Nilai Ekonomi Sumberdaya Mangrove Valuasi Ekonomi Consumers Surplus Actual Use (Direct) Productivity Aproach Manfaat Pilihan (OptionValue) Benefit Transfer Indirect Use Replecement Cost Productivity Aproach Manfaat eksistensi (existensi value) Contingent Valuation Method RTP Tambak Udang + Ikan Nelayan Pengambil Kayu Pengambil Bibit Alam Penangkapan Kepiting Non RTP Wiraswasta Pegawai Negeri Buruh Petani Pelajar Efisiensi, Equity and Ekologi Optimal Use (Household Model) Optimal Use (Household Model) Pengelolaan Ekosistem Mangrove yang Optimal Alternatif Pengelolaan Cost Benefit-Analysis Keterangan : = Ruang Lingkup Penelitian Gambar 3 Alur Kerangka Pendekatan Studi.

33 IV. METODE PENELITIAN 4.1 Tempat dan Waktu Penelitian ini telah dilaksanakan di Kecamatan Merawang, terdiri atas Desa Baturusa, Desa Pagarawan, dan Desa Riding Panjang, Kabupaten Bangka Provinsi Kepulauan Bangka Belitung. Waktu yang dipilih untuk melakukan penelitian ini dimulai pada Bulan Agustus 2007 sampai dengan September Metode Penelitian Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah studi kasus (case study). Tujuan studi kasus untuk memberikan gambaran tentang latar belakang sifat-sifat serta karakter yang khas dari kasus, tipe pendekatan dan penelaahannya terhadap satu kasus dilakukan secara intensif, mendalam, mendetail dan komprehensif (Faisal 2001). Satuan kasusnya adalah areal ekosistem mangrove yang secara administratif terletak di Kecamatan Merawang, terdiri atas Desa Baturusa, Desa Pagarawan, dan Desa Riding Panjang, Kabupaten Bangka dan seluruh masyarakat yang berada di sekitar hutan mangrove baik yang terlibat secara langsung mau pun tidak langsung dengan hutan mangrove. Penentuan lokasi yang menjadi satuan kasus tersebut dilakukan secara sengaja (purposive) dengan pertimbangan bahwa hanya ketiga lokasi tersebut yang mempunyai komunitas mangrove di Kecamatan Merawang. 4.3 Metode Pengambilan Sampel Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh masyarakat yang berada di sekitar ekosistem mangrove, baik yang terkait langsung mau pun tidak dengan keberadaan ekosistem mangrove dan instansi-instansi yang terkait dalam pengelolaan ekosistem mangrove. Ada pun metode pengambilan sampel/responden yang digunakan adalah purposive sampling, yaitu metode pengambilan sampel tidak secara acak melainkan berdasarkan pertimbangan tertentu atau sengaja. Metode ini dipergunakan untuk menilai manfaat langsung, manfaat tidak langsung, dan manfaat keberadaan. Pertimbangannya adalah bahwa sampel/responden tersebut adalah orang yang memanfaatkan sumberdaya hutan mangrove yang sehari-harinya berhubungan dengan hutan mangrove baik secara

34 23 langsung mau pun tidak langsung, untuk manfaat keberadaan responden sengaja dipilih dengan mempertimbangkan tingkat pendidikan, pendapatan, lama menetap, usia, dan jumlah tanggungan), sehingga penentuannya harus dilakukan secara sengaja (purposive)). Jumlah responden yang menjadi sampel sebanyak 217 orang dari populasi sebanyak rumah tangga. Responden manfaat langsung berupa petambak yang berada di sekitar hutan mangrove (50 orang), kegiatan pemanfaatan kayu bakar (12 orang), bibit bakau (14 orang), dan kepiting (11 orang). Manfaat tidak langsung, dimana sampelnya adalah nelayan dipilih berdasarkan lokasi penangkapan (fishing ground) dan jenis alat tangkap, yang dijadikan responden jumlahnya 30 orang dengan pertimbangan karena nelayan di lokasi penelitian menggunakan berbagai jenis alat tangkap diantaranya jarring (6 orang), pancing (21 orang), pancing tonda (2 orang), dan bagan tancap (1 orang), sehingga sampel yang diambil sudah mewakili komunitas nelayan. Responden untuk mengetahui manfaat keberadaan diperoleh dari masyarakat yang berada di sekitar hutan mangrove atau yang dipengaruhi langsung oleh hutan mangrove, mau pun masyarakat yang tidak dipengaruhi hutan mangrove atau yang bukan rumah tangga perikanan, atau yang berprofesi sebagai pegawai negeri sipil, wiraswasta atau pedagang serta mahasiswa, dimana jumlah responden untuk manfaat keberadaan tersebut sebanyak 100 orang. Berdasarkan tujuan penelitian dan metode penelitian yang digunakan, maka data yang dikumpulkan dalam penelitian ini terdiri atas dua sumber data, yaitu : (1). Data primer, yaitu data yang diperoleh dari pengamatan langsung di lapangan, dengan metode wawancara yang mendalam (depth interview) kepada responden berdasarkan daftar pertanyaan (questionnaire) yang telah disusun sesuai dengan keperluan analisis dan tujuan penelitian. (2). Data sekunder, yaitu data penunjang yang dikumpulkan dari pemerintah daerah, Dinas Perikanan dan Kelautan Kabupaten Bangka, Kantor BPS dan lembaga-lembaga yang berhubungan dengan materi penelitian, mau pun yang berasal dari publikasi dan hasil penelitian yang pernah dilakukan. Data yang dikumpulkan berupa data masalah penduduk, produksi perikanan dan

35 24 pemasarannya, sarana prasarana yang ada, kebijakan pemerintah, kegiatan ekonomi di lokasi penelitian. 4.4 Analisis Data Untuk memecahkan permasalahan dan mencapai tujuan penelitian tersebut di atas, maka digunakan beberapa analisis yaitu : 1) Identiflkasi Pemanfaatan Hutan Mangrove Proses identiflkasi dilakukan dengan cara wawancara yang mendalam untuk menganalisis 4 (empat) komponen menurut Kovacs (1999) diantaranya: Identifikasi jenis mangrove yang dimanfaatkan Pemanfaatan yang potensial Pemanfaatan nyata yang sedang dilakukan Pilihan untuk perbedaan lingkungan dan kesesuaian pemanfaatan dari mangrove 2) Pendugaan Fungsi Permintaan terhadap Sumberdaya Mangrove Fungsi permintaan untuk Direct Uses Value (Adrianto 2005) Q = β 0 X 1 β1 X 2 β2 X n βn di mana : Q = Jumlah sumberdaya yang diminta (Ikan, udang, kayu bangunan, kayu bakar, bibit alam, kepiting, kerang/tude, bibit bakau) X 1 = Harga X 2, X 3,...X n = Karakteristik sosial ekonomi konsumen/rumah tangga LnQ = β 0 +β l LnX 1, + β 2 LnX β n LnX n LnQ = ((β 0 + β 2 (LnX 2 ) +.. β n (LnX tt )) +β 1 LnX 1 LnQ = β + β 1 LnX 1 Transformasi fungsi permintaan ke fungsi permintaan asal Q = β X β1 Q X 1 = β ' 1 β1 Menduga Total Kesediaan Membayar (Nilai Ekonomi Sumberdaya) U = a f ( Q) dq 0

36 25 di mana : U = utilitas terhadap sumberdaya a = batas jumlah sumberdaya rata-rata yang dikonsumsi/diminta f(q) = fungsi permintaan Menduga Konsumen Surplus CS = U - P 1 P 1 = X 1 xq NET = a.p.l di mana : CS = Konsumen surplus P 1 = Harga yang dibayarkan Q(a) = Rata-rata jumlah sumberdaya yang dikonsumsi/diminta X 1 = Harga per unit sumberdaya yang dikonsumsi/diminta L = Luas lahan NET = Nilai ekonomi total 3) Optimal Pemanfaatan Sumberdaya Ekosistem Mangrove Optimal pemanfaatan ekosistem mangrove menggunakan pendekatan model rumah tangga (household models) untuk rumah tangga perikanan dengan mengikuti formula: Maxπ = p a i q a q a. x. l s.t : f(q a, x, l; z q ) i p x wl x i i i dimana keuntungan/profit marjinal akibat perubahan output, input, tenaga kerja dan modal. Penggunaan yang optimum apabila first order condition (FOC) sama dengan nol. Perhitungan nilai optimal dari output, input, tenaga kerja dan modal dipecahkan secara numerik dengan perangkat lunak MAPLE 9.5 dimana : π = Keuntungan bersih/profit dari responden (Rp per ha) q a = Output (kg per ha) p a = Harga output (Rp per kg) p x = Harga input ke-i (Rp per kg) x i = Variabel input ke-i (unit) w = Upah tenaga kerja (Rp per HOK) l = Jumlah tenaga kerja (HOK) z q = Modal tetap (unit) i = Jenis output (hasil hutan, hasil perikanan, satwa lain)

37 26 4) Penilaian fungsi ekologi melalui identifikasi manfaat ekonomi dari ekosistem mangrove sebagai berikut : a) Mantaat Langsung (ML) (Actual Use) ML= ML 1 + ML 2 + ML ML 4 dimana : ML 1 = Manfaat langsung dari hasil tambak Polikultur dan Monokultur ML 2 = Manfaat langsung, total hasil hutan seperti kayu bakar. ML 3 = Manfaat langsung, total dari hasil perikanan seperti kepiting. ML 4 = Manfaat langsung, total dari hasil bibit bakau. Pengukuran manfaat langsung ini dilakukan pendekatan nilai pasar untuk mengkuantifikasi harga berbagai komoditas yang langsung dapat dipasarkan. Teknik pengukuran untuk manfaat langsung dari hasil usaha tambak (ML 1 ), hasil hutan (ML 2 ), hasil perikanan (ML 3 ), dan hasil bibit (ML 4 ) dilakukan. Survei rumah tangga (household) membutuhkan data-data berupa, pendapatan, jenis pekerjaan, pendidikan, keterlibatan anggota keluarga dalam pekerjaan, jumlah tanggungan keluarga, tingkat ketergantungan pada ekosistem mangrove dengan melihat jumlah prosentase (%) dari total responden yang bergantung pada ekosistem mangrove. Beberapa asumsi yang digunakan dalam analisis ini yaitu : Harga bayangan untuk sarana produksi untuk setiap usaha rumah tangga didasarkan pada harga aktual, karena subsidinya telah ditiadakan dan telah dapat diproduksi dalam negeri atau karena tidak adanya kebijakan pemerintah yang mengatur langsung sehingga distorsi pasar amat kecil dan mendekati pasar persaingan sempurna. Untuk jenis produk ekspor yang dihasilkan oleh rumah tangga perikanan digunakan harga perbatasan pelabuhan bongkar muat (free on board) Niiai tukar bayangan yang digunakan yaitu nilai kurs Rupiah terhadap Dollar AS (Bank Indonesia) yang diambil pada pertengahan bulan Agustus 2007

38 27 Nilai yang digunakan adalah nilai/harga nominal, karena dalam analisis manfaat-biaya selama jangka waktu 10 tahun tidak menggunakan harga rill setiap tahunnya, sehingga tidak terjadi perubahan nilai baik manfaat (benefit) mau pun biaya (cost) pertahunnya. Output dari pemanfaatan dianggap tetap setiap tahun selama jangka waktu analisis. b) Manfaat Tidak Langsung (MTL) Manfaat tidak langsung melakukan pendekatan harga tidak langsung karena mekanisme pasar gagal memberikan nilai pada komposisi sumberdaya yang diteliti. Estimasi manfaat hutan mangrove sebagai penahan abrasi pantai didekati dengan pembuatan beton pantai yang setara dengan fungsi hutan mangrove sebagai penahan abrasi pantai. Metode yang digunakan untuk mengukur nilai tersebut adalah replacement cost atau biaya pengganti. Biaya dari pembuatan beton tersebut sebagai biaya pengganti akibat dampak lingkungan, dapat digunakan sebagai perkiraan minimum dari manfaat yang diperoleh untuk memelihara maupun memperbaiki lingkungan. Estimasi manfaat hutan mangrove sebagai nursery ground, spawning ground dan feeding ground bagi biota perairan didekati dari hasil tangkapan nelayan untuk ikan di wilayah perairan laut sekitarnya. Menurut Adrianto (2004) teknik pengukuran untuk menilai manfaat tersebut adalah pendekatan produktivitas (productivity approach), karena ekosistem mangrove memiliki fungsi sebagai tempat pembesaran ikan (nursery ground), sehingga luas ekosistem menjadi input bagi produktivitas hasil tangkapan ikan yang menjadi produk akhir bagi masyarakat. c) Manfaat Pilihan Nilai manfaat pilihan (option value) diperoleh dengan menggunakan metode benefit transfer, mengacu pada nilai

39 28 keanekaragaman hayati hutan mangrove Indonesia, yaitu US$ per km 2 per tahun (Ruittenbeek 1992). d) Manfaat Eksistensi. Pengukuran manfaat eksistensi tersebut didekati dengan pengukuran langsung terhadap preferensi individu melalui Contingent Valuation Method (CVM), mengukur seberapa besar keinginan membayar (Willingness to Pay, WTP) dari responden terhadap keberadaan dan perbaikan ekosistem mangrove. Pengukuran nilai keberadaan tersebut dilakukan kepada responden yang dipilih secara sengaja (purposive) dengan memperhatikan karakteristik tingkat pendidikan dan mata pencaharian masyarakat disekitar ekosistem mangrove. Metode yang digunakan untuk mengukur besarnya WTP setiap responden, yaitu model referendum atau discrete choice (dichotomous choice). Menurut Fauzi (2004), pada metode pengukuran dengan teknik ini, responden diberi suatu nilai rupiah, kemudian diberi pertanyaan setuju atau tidak. Dalam operasionalnya untuk melakukan pendekatan CVM dilakukan lima tahapan kegiatan atau proses. Tahapan tersebut yaitu : 1) Membuat hipotesis pasar Pada awal proses kegiatan CVM, terlebih dahulu membuat hipotesis pasar terhadap sumberdaya yang akan dievaluasi. 2) Mendapatkan nilai lelang (bids) Nilai lelang diperoleh melalui survey langsung dengan kuesioner untuk memperoleh nilai maksimum keinginan membayar (WTP) dari responden terhadap perbaikan lingkungan. Nilai biasanya dilakukan dengan teknik yaitu pertanyaan terstruktur, pertanyaan terbuka dimana responden bebas menyatakan nilai moneter (rupiah yang ingin dibayar) dan model referendum (tertutup) dimana responden diberikan suatu nilai rupiah. kemudian diberi pertanyaan setuju atau tidak.

40 29 3) Memperkirakan kurva lelang (bid curve) Kurva lelang diperoleh dengan meregresikan WTP sebagai variabel tidak bebas (dependent variable) dengan variabel bebas. karena W i = f(i,e,a,...) dimana: I = Pendapatan E = Pendidikan A = Umur beberapa Untuk mengetahui hubungan antara WTP dengan karakteristik responden, yang mencerminkan tingkat penghargaan responden terhadap sumberdaya yang selama ini dimanfaatkan, dapat dihitung dengan menggunakan formula (Adrianto 2004) : WTP = β 0 + β i X i dimana: n i= 1 WTP = Kemampuan membayar responden terhadap sumberdaya β o = Intersep atau standar terendah β 1 = Koefisien peubah X i = Parameter pengukuran ke-i (pendapatan, pendidikan, umur, jumlah tanggungan, dan lama menetap). 4) Menghitung rataan WTP Setelah survei dilaksanakan tahap berikutnya adalah menghitung nilai rataan dari WTP untuk setiap responden. Nilai ini dihitung berdasarkan nilai lelang (bids) yang diperoleh pada tahap dua. Perhitungan ini didasarkan pada nilai mean (rataan) dan nilai median (nilai tengah). Apabila ada nilai yang sangat jauh menyimpang dari rata-rata, biasanya tidak dimasukkan ke dalam perhitungan Nilai rataan dapat diperoleh dari hasil perhitungan nilai tengah mengikuti formula sebagai berikut (FAO 2000 diacu dalam Adrianto 2004) : 1 MWTP = n y i n i= 1

41 30 dimana: n=jumlah responden y,=besaran WTP yang diberikan responden ke-i 5) Mengagregatkan data Tahap terakhir dari CVM adalah mengagregatkan rataan lelang yang diperoleh pada tahap tiga. Proses ini melibatkan konversi dari data rataan sampel ke rataan populasi secara keseluruhan dengan mengalikan rataan sampel dengan jumlah rumah tangga di dalam populasi (N). Kelemahan Contingent Valuation Method adalah timbulnya bias, bias karena timbul nilai yang overstate mau pun understate yang biasanya disebabkan karena strategi dalam melakukan wawancara. Kuantifikasi Seluruh Manfaat Nilai Ekonomi Total (Total Economic Value) merupakan penjumlahan dari seluruh manfaat yang telah diidentifikasi, yaitu : NET = ML + MTL + MP + ME dimana : NET = Nilai ekonomi total (TEV) ML = Nilai manfaat langsung (DUV) MTL = Nilai manfaat tidak langsung (IUV) MP = Nilai manfaat pilihan (OV) ME = Nilai manfaat keberadaan (XV) 5) Penilaian Alokasi Pemanfaatan Ekosistem Mangrove Penilaian masing-masing alternatif untuk penentuan alokasi pemanfaatan ekosistem mangrove yang efisien dilakukan dengan menggunakan Cost-Benefit Analysis (CBA), yaitu Net Present Value (NPV) atau nilai manfaat bersih sekarang dan Benefit Cost Ratio (BCR) atau perbandingan antara pendapatan dengan biaya yang didiskon untuk masingmasing alternatif pengelolaan akan mengikuti persamaan berikut : NPV = n t= 1 ( B t C ) (1 + r) t t ) BCR = n t= 1 n t= 1 B C t t (1 + r) C B t t t (1 + r) t

42 31 dimana : B t = Manfaat langsung yang diperoleh pada waktu t (Rp) C t = Biaya langsung yang dikeluarkan pada waktu t (Rp) t = Tahun r = Discount rate NPV = Net Present Value (nilai manfaat bersih sekarang) BCR = Benefit Cost Ratio (ratio manfaat-biaya) Kriteria penilaian masing-masing alternatif alokasi pemanfaatan sumberdaya layak dan efektif dikembangkan dari segi ekonomi jika NPV>0 atau bila BCR>1. Nilai BCR menentukan tingkat efisiensi dalam pemanfaatan sumberdaya alam. Tingkat suku bunga (discount rate) yang dipakai adalah mengikuti tingkat suku bunga nominal yang berlaku pada saat penelitian (Agustus 2007). Jangka waktu analisis adalah sepuluh tahun, dengan asumsi bahwa waktu yang diperlukan oleh ekosistem mangrove untuk dapat dimanfaatkan kembali dan pemeliharaan alam minimal 10 tahun. Nilai discount rate (δ ) yang digunakan adalah adalah suku bunga riil sebesar 1,74% (Agustus 2007) dari suku bunga nominal sebesar 8,25% (Agustus 2007) dikurangi dengan laju inflasi 6,51% (Agustus 2007), serta 10%, sebagai pembanding dengan discount rate dengan pendekatan Ramsey didekati dengan teknik digunakan Anna (2003) yang diadopsi dari teknik yang dikembangkan oleh Kula (1984). Kula (1984) diacu dalam Anna (2003) pada dasarnya menggunakan formula yang sama dengan formula Ramsey, bahwa real discount rate (r) didefinisikan sebagai : r = ρ γg dimana ρ menggambarkan pure time preference, γ adalah elastisitas pendapatan terhadap konsumsi sumberdaya alam dan g adalah pertumbuhan ekonomi (Newel and Pizer 2001). Kula (1984) diacu dalam Anna (2003) mengestimasi laju pertumbuhan dengan meregresikan : ln C t = α 0 α1 ln t dimana t adalah periode waktu dan C t adalah konsumsi per kapita pada periode t. Hasil regresi ini akan menghasilkan formula elastisitas, dimana : ln C α t 1 = ln t

43 32 Persamaan tersebut di atas secara metematis dapat disederhanakan sebagai berikut: ΔC g = C 6) Alternatif Pengelolaan/Skenario t Δt / t Berdasarkan hasil dari Cost Benefits Analysis maka untuk tujuan pengambilan keputusan secara keseluruhan dilakukan penilaian terhadap kriteria lain yang dipertimbangkan dalam perencanaan dan pengelolaan ekosistem mangrove. Kriteria penilaian yang dianalisis yaitu efisiensi, equity dan ekologi (sustainable). Uraian dan penetapan indikator dari masing-masing kriteria tersebut yaitu: 1) Kriteria Efisiensi Keuntungan usaha, berdasarkan kelayakan usaha (CBA) 2) Kriteria Equity (Keadilan) Pemerataan pendapatan, ditunjukkan dengan rata-rata keuntungan dari masing-masing jenis pemanfaatan ekosistem mangrove. Keharmonisan masyarakat, ditunjukkan oleh potensi terjadinya konflik pemanfaatan lahan dari ekosistem mangrove. 3) Kriteria Ekologi (Sustainable) Perubahan luas lahan ekosistem mangrove dari masing-masing alternatif. Berdasarkan kondisi aktual ekosistem mangrove di lokasi penelitian (tambak Udang 13,50 ha, tambak Ikan Bandeng 112,00 ha, tambak polikultur 21,00 ha dan hutan mangrove 12,50 ha), maka dapat ditentukan alternatif pemanfaatan yaitu: (1) Alternatif Pemanfaatan I (kondisi optimum yaitu tambak Udang 13,50 ha, tambak Ikan Bandeng 112,00 ha, tambak polikultur 21,00 ha dan hutan mangrove 12,50 ha) (2) Alternatif Pemanfaatan II (tambak Udang 0 ha, tambak Ikan Bandeng 125,50 ha, tambak polikultur 21,00 ha dan hutan mangrove 12,50 ha) (3) Alternatif Pemanfaatan III (tambak Udang 0 ha, tambak Ikan Bandeng 112,00 ha, tambak polikultur 34,50 ha dan hutan mangrove 12,50 ha)

44 33 (4) Alternatif Pemanfaatan IV (tambak Udang 0 ha, tambak Ikan Bandeng 112,00 ha, tambak polikultur 21,00 ha dan hutan mangrove 26,00 ha) (5) Alternatif Pemanfaatan V (tambak Udang 0 ha, tambak Ikan Bandeng 0 ha, tambak polikultur 146,50 ha dan hutan mangrove 12,50 ha) (6) Alternatif Pemanfaatan VI (tambak Udang 0 ha, tambak Ikan Bandeng 0 ha, tambak polikultur 0 ha dan hutan mangrove 100% atau 184,00 ha) Untuk pengambilan keputusan secara keseluruhan dengan mengikuti langkah-langkah : Menentukan sebuah alternatif yang dapat memenuhi semua kriteria. Membagi/mendefinisikan beberapa kegiatan yang sesuai dengan kriteria. Merangking alternatif strategi dari yang sangat tertinggi hingga yang terendah. Penetapan skala prioritas dari alternatif pengelolaan lersebut. 4.5 Definisi Operasional 1) Hutan mangrove adalah komunitas vegetasi pohon yang khas di pantai tropis, tumbuh dan berkembang di daerah pasang surut dan perairan asin. 2) Sumberdaya alam adalah segala sesuatu di alam yang menyediakan barang dan jasa yang bermanfaat bagi kebutuhan manusia. 3) Nilai ekonomi sumberdaya alam adalah pengukuran dari barang dan jasa ke dalam satuan moneter. 4) Alokasi optimal sumberdaya alam adalah pemanfaatan sumberdaya alam yang mempertimbangkan unsur keberlanjutan (lingkungan). 5) Manfaat sumberdaya alam adalah besarnya hasil yang diperoleh dari sumberdaya dalam satuan moneter 6) Biaya adalah besarnya satuan moneter harus yang dikeluarkan/ dikorbankan. 7) Keuntungan adalah selisih antara total manfaat yang diperoleh dengan biaya.

45 34 8) Rumah Tangga Perikanan (RTP) adalah rumah tangga atau kelompok terkecil dalam masyarakat yang memanfaatkan sumberdaya perikanan. 9) Surplus konsumen adalah pengukuran kesejahteraan ditingkat konsumen yang berdasarkan selisih keinginan membayar dan konsumen dengan apa yang sebenarnya dia bayar. 10) Willingnes to pay adalah keinginan membayar dari konsumen. 11) Tingkat diskon (discount rate) adalah tingkat suku bunga riil yang dihitung berdasarkan market base discount rate dan perhitungan tingkat bunga yang dikembangkan Ramsey diacu dalam Kula (1984) diacu dalam Anna (2003) dan telah dijustifikai dengan menggunakan persamaan δ=ln(1+r), dimana δ adalah real discount rate yang merupakan annual (continuous) discount rate menurut Clark (1985).

46 V. KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN 5.1 Kondisi Geografis Kabupaten Bangka terletak di sebelah pesisir Timur Sumatera Bagian Selatan yaitu Lintang Selatan dan Bujur Timur memanjang dari Barat Laut ke Tenggara sepanjang ± 180 km. Kabupaten ini terdiri atas rawa-rawa, daratan rendah, bukit-bukit dan puncak bukit terdapat hutan lebat, sedangkan pada daerah rawa terdapat hutan bakau. Rawa daratan Kabupaten Bangka tidak begitu berbeda dengan rawa di Pulau Sumatera, sedangkan keistimewaan pantainya dibandingkan dengan daerah lain adalah pantainya yang landai berpasir putih dengan dihiasi hamparan batu granit. Kabupaten Bangka mempunyai luas wilayah sekitar 2.950,68 km 2, dengan jumlah penduduk tahun 2007 sebanyak jiwa. Batas wilayah Kabupaten Bangka adalah sebagai berikut : Sebelah Utara dengan Laut Natuna Sebelah Timur dengan Laut Natuna Sebelah Selatan dengan Kota Pangkalpinang dan Kabupaten Bangka Tengah Sebelah Barat dengan Kabupaten Bangka Barat, Selat Bangka dan Teluk Kelabat. Kabupaten Bangka sebelumnya secara administrasi terdiri atas 22 kecamatan, 212 desa/kelurahan dan 537 kampung dengan luas wilayah ha (11.534,14 km 2 ). Dengan diundangkannya Undang-Undang Republik Indonesia nomor 5 Tahun 2002 tentang pembentukan kabupaten, maka Kabupaten Bangka dimekarkan menjadi 4 wilayah kabupaten yaitu, Kabupaten Bangka, Bangka Barat, Bangka Tengah, dan Bangka Selatan. Secara administratif Kabupaten Bangka terdiri atas 8 (delapan) kecamatan, yaitu, Sungailiat, Belinyu, Merawang, Mendo Barat, Riau Silip, Puding Besar, Pemali, dan Bakam. Lokasi penelitian tepatnya di Desa Pagarawan, Kelurahan Riding Panjang, dan Kelurahan Jade Kecamatan Merawang dengan luas wilayah 164,40 km 2 yang memiliki batas wilayah sebagai berikut : Bagian Utara : Kecamatan Pemali dan Sungailiat Bagian Selatan : Kecamatan Mendo Barat

47 36 Bagian Timur : Laut Cina Selatan Bagian Barat : Kecamatan Puding Besar dan Mendo Barat 5.2 Keadaan Fisik Iklim Kabupaten Bangka adalah tropis Type A dan musin hujan terjadi pada Bulan Juni sampai dengan Desember. Rata-rata curah hujan dalam satu tahun = 220 hari atau 343,7 mm per bulan. Suhu udara rata-rata 26 C 28,1 C dengan kelembaban udara sekitar 76-88%. Menurut data Meteorologi Pangkalpinang pada tahun 1998, iklim di Kabupaten Bangka adalah iklim tropis tipe A dengan curah hujan 107,6 sampai dengan 343,7 mm per bulan. Kemudian menurut Schmidt-Ferguson, pada tahun 1999 variasi curah hujan menjadi antara 70,10 sampai dengan 384,50 mm per bulan. Dengan musim hujan rata-rata terjadi pada Bulan Oktober sampai dengan Bulan April. Musim penghujan dan kemarau di Kabupaten Bangka juga dipengaruhi oleh dua musim angin, yaitu Musim Barat dan Musim Tenggara. Angin Musim Barat yang basah pada Bulan Nopember, Desember dan Januari banyak mempengaruhi bagian Utara Kabupaten Bangka. Angin Musim Tenggara yang datang dari Laut Jawa mempengaruhi cuaca di bagian Selatan Kabupaten Bangka. Jumlah curah hujan, hari hujan, arah angin dan kecepatan angin rata-rata setiap bulannya dapat dilihat pada Tabel 3. Suhu rata-rata di Kabupaten Bangka menunjukkan variasi antara 25,9-27,3 C. Menurut stasiun Meteorologi Pangkalpinang, suhu udara tertinggi terjadi pada Bulan Agustus, dan suhu terendah terjadi pada Bulan Desember dan Januari. Sementara, besarnya intensitas penyinaran rata-rata bervariasi antara 18,5% hingga 70%, dengan kelembaban udara yang cukup tinggi, yaitu antara 77% pada Bulan Agustus hingga 89% pada Bulan Januari. Tekanan udara memiliki pola yang cukup stabil dengan kisaran variasi yang sempit antara 1.006,3 Mbs sampai dengan ,1 Mbs Tekanan udara tertinggi terjadi pada Bulan Agustus dan terendah terjadi pada Bulan Desember. Pada umumnya tanah di Kabupaten Bangka berpasir, sedangkan ph tanahnya rata-rata di bawah 5. Tanah umumnya berat, berwarna abu-abu, berpasir kuarsa, Tanah bagian atas terdiri atas gromula 8,9%, 27,7% hitam dan 64,4% pasir. Dilihat dari segi morfologi dan topografi struktur tanah di Kabupaten

48 37 Bangka beraneka ragam dan dapat dikelompokkan menjadi empat bentuk dan keadaan tanah yaitu : Tanah berbukit sampai bergunung : 5% Tanah berombak dan bergelombang : 51% Tanah lembah / datar : 20% Tanah rawa dan bencah / datar : 25% Tabel 3 Jumlah Curah Hujan, Hari Hujan, Arah Angin dan Kecepatan Angin Rata-rata Bulan Curah Hujan (mm) Hari Hujan (Hari) Arah Angin Kecepatan Angin (knot) Januari 294,0 27 Utara-Barat Laut 6 Februari 161,7 20 Utara 5 Maret 384,5 25 Barat 5 April 194,4 25 Barat 5 Mei 215,8 21 Timur 6 Juni 101,5 11 Selatan 6 Juli 70,1 12 Selatan 7 Agustus 223,8 7 Timur-Tenggara 7 September 190,4 6 Timur-Tenggara 7 Oktober 296,1 21 Timur-Selatan 6 Nopember 248,0 19 Barat 6 Desember 337,2 19 Barat Laut 6 Sumber : Bangka Dalam Angka Prakiraan arah dan kecepatan angin setiap bulannya dapat diketahui dari hasil pengamatan cuaca di Bandara Depati Amir, Pangkalan Baru. Dari hasil pengamatan tersebut diperoleh kecepatan angin berkisar rata-rata antara 1 sampai dengan 16 knot, dengan asal arah angin dominan setiap bulannya sebagai berikut : - Januari : Barat Laut (29%), Utara (25,4%) dan Barat (11,2%) - Februari : Utara (47,8%), Timur Laut (15,1%) dan Barat Laut (10,2%) - Maret : Utara (20,4%) dan Barat (14,1%) - April : Tenggara (16,6%), Selatan (13,8%), Timur (12,4%), Utara (10,9%) dan Timur Laut (10%) - Mei : Selatan (18,5%) dan Tenggara (16,8%) - Juni : Tenggara (19,2%), Selatan (16,6%) dan Timur (13,8%) - Juli : Tenggara (32%), Selatan (21,1%) dan TImur (13,9%)

49 38 - Agustus : Tenggara (28,5%), Selatan (23,4%) dan Timur (14,7%) - September : Tenggara (20,8%), Selatan (17%) dan Barat Laut (14,6%) - Oktober : Tenggara (27,7%), Selatan (19,4%) dan Timur (14,7 %) - Nopember : Utara (14,5%), Barat (12,8%) dan Selatan (10,4%) - Desember : Barat (20,7%), Barat Laut (20,2%) dan Utara (18,1%). Peruntukan ruang wilayah Kabupaten Bangka masih didominasikan kawasan hutan lindung dan hutan produktif yang mencapai 47,26% disusul kemudian kuasa pertambangan 27,26% dan peruntukan lainnya 25,48%. Penggunaan tanah berdasarkan peruntukannya, secara lengkap dapat dilihat pada Tabel 4. Tabel 4 Penggunaan Tanah Berdasarkan Peruntukannya No Uraian Luas Areal Persentase (ha) (%) 1 Kuasa Pertambangan (an.pt Timah dan PT Kobatin) ,56 2 Bahan Tambang Golongan C ,45 3 Kawasan Hutan Lindung dan Hutan Produktif ,97 4 Perkebunan Rakyat ,34 5 Perkebunan Besar Swasta Nasional ,83 6 Tapak Kawasan Wisata ,15 7 Permukiman dan lain-lain ,42 Jumlah ,00 Sumber : Bangka Dalam Angka Berdasarkan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Tahun , alokasi ruang wilayah Kabupaten Bangka dibagi atas 3 kawasan utama, yaitu kawasan lindung, budidaya, dan tumpang tindih. Kawasan lindung meliputi hutan lindung, budidaya, dan tumpang tindih. Kawasan lindung meliputi hutan produksi tetap, hutan rakyat, kawasan perkebunan, tanaman pangan lahan basah dan kering, kawasan perikanan tambak, pertambangan, industri, permukiman, serta kawasan peternakan. Kawasan tumpang tindih adalah antara kawasan pertambangan dengan kawasan hutan bakau, hutan produksi tetap, permukiman, sempadan pantai, dan hutan lindung.

50 Kondisi Sosial Ekonomi a) Aksesibilitas Lokasi penelitian terletak di Kecamatan Merawang yang terdiri atas Kelurahan Jade, berjarak 1,5 (satu koma lima) km sebelah barat dari ibukota Kecamatan Merawang. Kelurahan Riding Panjang berjarak 2 (dua) km sebelah utara ibukota kecamatan dan Desa Pagarawan dengan jarak 3 (tiga) km dari ibukota kecamatan. Untuk mencapai lokasi-lokasi tersebut telah tersedia jalanjalan aspal dan kendaraan yang lancar karena merupakan jalur poros provinsi. Keterangan mengenai Luas Kelurahan atau Desa dan Jaraknya dari Ibukota Kecamatan, secara lebih jelasnya dapat dilihat pada Tabel 5. Tabel 5 Luas Kelurahan atau Desa dan Jarak dari Ibukota Kecamatan No Kelurahan atau Desa Jarak (km) Luas (km 2 ) 1 Kelurahan Jade 1,5 37,83 2 Kelurahan Riding Panjang 2,0 11,70 3 Desa Pagarawan 3,0 13,06 Sumber : Pemerintah Daerah Kabupaten Bangka b) Kependudukan Jumlah penduduk Kecamatan Merawang secara keseluruhan pada tahun 2007 adalah sebanyak jiwa dengan kepadatan penduduk 151,97 jiwa per km 2 dengan jumlah laki-laki jiwa dan perempuan jiwa. Jumlah laki-laki di Kecamatan Merawang terlihat lebih sedikit dibandingkan dengan jumlah perempuan. Terhitung rasio jenis kelamin (RJK) penduduk kecamatan ini sebesar 93 yang berarti bahwa dari sebanyak 100 orang perempuan terdapat 93 orang laki-laki. Seluruh penduduk tersebut mempunyai kewarganegaraan Indonesia (WNI). Mata pencaharian penduduk didominasi sebagai petani baik sebagai pemilik tanah, penggarap mau pun sebagai buruh tani, kemudian nelayan, petambak, pengrajin/industri kecil, wiraswasta, pegawai negeri serta peternak. Ada pun jumlah penduduk, jumlah kepala keluarga (KK) dan jumlah rumah tangga perikanan (RTP) secara khusus untuk lokasi penelitian dapat dirinci pada Tabel 6. Total Jumlah Penduduk untuk ke tiga lokasi penelitian sebanyak jiwa atau 33,08% dari keseluruhan jumlah penduduk yang berada di Kecamatan Merawang. Jumlah penduduk lebih banyak terdapat di Kelurahan Riding Panjang,

51 40 yaitu jiwa. Hal ini disebabkan karena wilayah Kelurahan Riding Panjang lebih luas dibandingkan dengan kelurahan/desa lainnya di Kecamatan Merawang. Tabel 6 Jumlah Penduduk, Jumlah KK (Kepala Keluarga) dan RTP (Rumah Tangga Perikanan) Tahun 2007 KK RTP Total No Kelurahan/Desa Penduduk Jmlh % Jmlh % (jiwa) 1 Kel. Jade , , Kel.Riding Panjang , , Desa Pagarawan , , Total , , Sumber : Profil Kelurahan/Desa Tahun Tabel 6 menunjukkan bahwa total penduduk untuk ke tiga lokasi penelitian sebanyak jiwa atau 33,08% dari keseluruhan jumlah penduduk yang berada di Kecamatan Merawang. Jumlah penduduk lebih banyak terdapat di Kelurahan Riding Panjang, yaitu jiwa. Jumlah KK dan RTP di kelurahan tersebut juga lebih banyak yaitu masing-masing sebanyak jiwa atau 61,83% dan 785 jiwa atau 72,00%. Hal ini disebabkan wilayah Kelurahan Riding Panjang lebih luas dibandingkan dengan kelurahan/desa lainnya di Kecamatan Merawang. Jumlah penduduk paling sedikit adanya di Desa Pagarawan sebanyak jiwa dengan jumlah KK dan RTP masing-masing sebanyak 603 (16,57%) dan 45 (4,00%). Kelurahan Jade memiliki total penduduk sebanyak jiwa jumlah KK sebanyak 786 jiwa atau 21,60% dan jumlah RTP sebanyak 262 jiwa atau 24,00%. Masing-masing kelurahan/desa tersebut di atas jumlah KK kurang dari 65% dari total penduduknya, hal tersebut menunjukkan bahwa masing-masing kepala keluarga tersebut memiliki jumlah tanggungan keluarga atau anak rata-rata di atas 6 orang. Jumlah RTP untuk masing-masing kelurahan/desa juga lebih kecil persentasenya dari total penduduk, karena jenis mata pencaharian dari penduduk, selain dari bidang perikanan sangat beragam, seperti pertanian, peternakan, wiraswasta/pedagang, pegawai negeri dan buruh. c) Karakteristik Responden Masyarakat yang diteliti adalah masyarakat yang berada di sekitar dan di luar ekosistem mangrove, baik yang terkait langsung atau masyarakat pemanfaat

52 41 tidak terkait langsung dengan ekosistem mangrove atau bukan masyarakat pemanfaat. Populasi responden sebanyak rumah tangga, populasi rumah tangga perikanan (RTP) sebanyak 1.092, dimana jumlah tersebut tempat tinggalnya tersebar di beberapa wilayah dalam Kecamatan Merawang, yaitu Kelurahan Jade, Kelurahan Riding Panjang dan Desa Pagarawan. Ada pun responden yang diambil sebagai sampel sebanyak 50 rumah tangga untuk petambak, 30 rumah tangga untuk nelayan, hasil hutan berupa kayu bakar sebanyak 12 RTP, pengambil bibit bakau sebanyak 14 RTP serta kepiting sebanyak 11 RTP. Untuk manfaat keberadaan, jumlah responden sebanyak 100 orang yang merupakan rumah tangga perikanan dan di luar rumah tangga perikanan. 1) Umur Responden Umur responden bervariasi antara 20 sampai dengan lebih dari 50 tahun. Berdasarkan hasil survei, diketahui bahwa responden berusia antara tahun lebih banyak yaitu 43 orang atau 19,82%. Jumlah responden paling sedikit yang berusia antara tahun, sebanyak 23 orang atau hanya 10,60% Jumlah responden yang berusia lanjut atau umur > 50 tahun sebanyak 27 orang atau 19.57%. Responden yang berumur antara tahun, sebanyak 38 orang atau 17,51%, umur tahun sebanyak 27 orang atau 12,44% dan umur tahun sebanyak 28 orang atau 12,90%. Responden yang berumur 31-35, sebanyak 25 orang atau 11,52%. Pengklasifikasian responden berdasarkan umur dapat dilihat pada Tabel 7. Tabel 7 Klasifikasi Umur Responden No Umur (Tahun) Jumlah (Orang) Persentase (%) , , , , , ,82 7 > ,51 Jumlah ,00 Sumber : Hasil Olahan Data Primer 2007.

53 42 2) Jenis Kelamin Responden Tabel 8 menunjukkan bahwa sebagian besar yang bekerja di lahan tambak mau pun sebagai nelayan dan yang memanfaatkan ekosistem mangrove adalah laki-laki, sebagian besar responden berjenis kelamin laki-laki yaitu sebesar 90,78% (197 orang). Walau pun sebagian kecil ada juga perempuan yang bekerja sebesar 9,22% atau 20 orang, yaitu sebagai pengambil bibit alam, pengambil kerang/tude dan pencari kayu bakar, ada juga sebagai pegawai negeri sipil. Tabel 8 Jenis Kelamin Responden No Umur (Tahun) Jumlah (Orang) Persentase (%) 1 Laki-Laki ,78 2 Perempuan 20 9,22 Jumlah ,00 Sumber : Hasil Olahan Data Primer ) Tingkat Pendidikan Responden Tingkat pendidikan responden relatif rendah, ini terlihat dari jumlah responden yang terbanyak pada tingkat pendidikan tamat SD, yaitu sebanyak 58 orang atau 26,73%, kemudian yang tidak pernah sekolah sebanyak 42 orang atau 19,35% dan yang tidak tamat SD sebanyak 18 orang atau 8,30%. Responden yang tingkat pendidikan sedang yaitu yang pernah mengikuti pendidikan sampai SMP sebanyak 38 orang atau 17,51% dan yang tamat SMA sebanyak 28 orang atau 12,90%. Responden dengan tingkat pendidikan tinggi yaitu yang menyelesaikan sampai perguruan tinggi baik Dl - D3 dan Sarjana sebanyak 13 orang (5,99%) dan 20 orang (9,22%), seperti tertera pada Tabel 9. Tabel 9 Klasifikasi Tingkat Pendidikan Responden No Tingkat Pendidikan Jumlah (Orang) Persentase (%) 1 Tidak Pernah Sekolah 42 19,35 2 Tidak Tamat SD 18 8,30 3 Tamat SD 58 26,73 4 Tamat SMP 38 17,51 5 Tamat SMA 28 12,90 6 D1-D3 13 5,99 7 SI 20 9,22 Jumlah ,00 Sumber : Hasil Olahan Data Primer 2007.

54 43 4) Mata Pencaharian Responden Berdasarkan hasil olahan data primer, maka dapat diketahui bahwa di lokasi penelitian jenis mata pencaharian responden berbeda-beda. Jenis mata pencaharian utama dari responden mayoritas sebagai petambak yaitu sebanyak 50 orang atau sekitar 23,04% dari total responden. Responden lainnya ada yang bekerja sebagai nelayan yaitu sebanyak 30 orang (13,82%), pegawai negeri sipil 35 orang (16,13%), mahasiswa 26 orang (11,99%), sebagai wiraswasta/pedagang 27 orang (12,44%), sebagai petani 25 orang (11,52%) dan sebagai penyeser sebanyak 24 orang atau 11,06%. Pengelompokkan responden berdasarkan jenis mata pencaharian dapat dilihat pada Tabel 10. Tabel 10 Jumlah Responden Berdasarkan Jenis Mata Pencaharian Responden No Mata Pencaharian Jumlah (Orang) Persentase (%) 1 Petambak 50 23,04 2 Petani 25 11,52 3 Nelayan 30 13,82 4 Penyeser 24 11,06 5 Wiraswasta/Pedagang 27 12,44 6 Pegawai negeri sipil 35 16,13 7 Mahasiswa 26 11,99 Jumlah ,00 Sumber : Hasil Olahan Data Primer ) Jumlah Tanggungan Keluarga Responden Jumlah anak yang masih menjadi tanggungan keluarga sangat bervariasi, responden mempunyai jumlah anak antara satu sampai tujuh orang. Data selengkapnya mengenai jumlah tanggungan keluarga responden dapat dilihat pada Tabel 11. Tabel 11 Klasifikasi Responden menurut Jumlah Tanggungan Keluarga No Tanggungan Keluarga Jumlah (Orang) Persentase (%) 1 < 3 orang 30 13, orang 38 17, orang 41 18, orang 37 17, orang 26 11,98 6 > 6 orang 45 20,74 Jumlah ,00 Sumber : Hasil Olahan Data Primer 2007.

55 44 Hasil penelitian menunjukkan bahwa jumlah tanggungan keluarga yang terbanyak adalah berjumlah diatas enam orang, yaitu sebanyak 45 responden atau 20,74%, responden dengan jumlah tanggungan sebanyak empat orang per keluarga sebesar 41 orang atau 18,90%, selanjutnya jumlah tanggungan tiga orang dan lima orang per keluarga masing-masing 38 responden atau 17,51% dan 37 responden atau 17,05%. Kelompok responden dengan dengan jumlah tanggungan keluarga dibawah tiga orang sebesar 30 orang atau 13,82%, dan sebesar 26 responden atau 11,98% untuk keluarga dengan jumlah tangungan keluarga 6 orang. 6) Asal dan Lama Domisili Responden Asal responden berdasarkan hasil survei, sebagian besar merupakan penduduk asli yaitu 69,12% atau sebanyak 150 responden, sedangkan pendatang hanya 67 responden atau 30,88%. Hal ini menunjukkan bahwa responden umumnya merupakan penduduk asli pada lokasi penelitian, yaitu Kelurahan Jade, Kelurahan Riding Panjang dan Desa Pagarawan, sedangkan responden lainnya sebagai pendatang yang berasal dari desa tetangga dan bahkan ada yang berasal dari luar daerah kabupaten. Tabel 12 menunjukkan bahwa jumlah responden yang merupakan penduduk asli lebih banyak dibandingkan dengan responden yang pendatang. Hal tersebut ditunjukkan dengan banyaknya responden yang sudah lama hidup dan memenuhi kebutuhan hidupnya di lokasi penelitian. Hasil olahan data primer seperti yang terlihat pada Tabel 13, bahwa responden sebagian besar telah berdomisili selama 10 sampai 30 tahun di lokasi penelitian sebanyak 99 orang atau 45,62% dari total responden dan yang kurang dari 10 tahun hanya 33 orang (15,21%) serta yang lama domisili diatas 30 tahun sebanyak 85 orang atau 39,17%. Tabel 12 Asal Responden No Asal Responden Jumlah (Orang) Persentase (%) 1 Asli ,12 2 Pendatang 67 30,88 Jumlah ,00 Sumber : Hasil Olahan Data Primer 2007.

56 45 Tabel 13 Lama Domisili Responden No Lama Domisili (Tahun) Jumlah (Orang) Persentase (%) 1 < , ,62 3 > ,17 Jumlah ,00 Sumber : Hasil Olahan Data Primer ) Status Lahan yang Dikelola untuk Tambak Pada Tabel 14 dapat dilihat bahwa berdasarkan status lahan yang dikelola untuk tambak oleh rumah tangga perikanan terdapat dua status lahan yang berbeda. Status lahan yang pertama adalah lahan milik sendiri (pemilik langsung/rumah tangga), dimana pada lahan milik ini masyarakat menggunakannya untuk kegiatan budidaya baik monokultur (udang atau bandeng) maupun polikultur (udang dan bandeng). Pada status lahan milik sendiri ini terdapat 44 responden atau sekitar 88,00%. Status lahan kedua adalah lahan yang disewa oleh rumah tangga/responden dari pemilik yang biasanya tidak berdomisili di lokasi tambak, yaitu sebanyak 6 orang atau 12,00%. Tabel 14 Status Lahan Tambak yang Dikelola Responden No Status Lahan Jumlah (Orang) Persentase (%) 1 Milik Sendiri 44 88,00 2 Sewa 6 12,00 Jumlah ,00 Sumber : Hasil Olahan Data Primer 2007.

57 VI. HASIL DAN PEMBAHASAN 6.1 Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan 1) Perikanan Tangkap dan Budidaya Kawasan pantai Kecamatan Merawang yang membentang dari arah selatan menyisir ke bagian barat, menyusuri pesisir pantai hingga ke utara Kabupaten Bangka, diperuntukkan untuk berbagai jenis pemanfaatan. Diantaranya perikanan tangkap, perikanan budidaya dan pemanfaatan ekosistem mangrove. Ada beberapa komoditas unggulan hasil perikanan di Kabupaten Bangka yang terlihat pada Tabel 15. Tabel 15 Volume dan Nilai Komoditas Unggulan di Kabupaten Bangka No Jenis Volume (Ton) Nilai (Rp l.000,00) 1 Tembang 3.468, ,00 2 Lemuru 2.630, ,00 3 Selar 2.063, ,00 4 Tetengkek 1.374, ,00 5 Tongkol 1.899, ,00 Jumlah 5.047, ,00 Sumber : Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Bangka Tahun Gambar 4 Volume Komoditas Unggulan di Kabupaten Bangka Tahun Tabel 15 dan Gambar 4 di atas menunjukkan bahwa komoditas unggulan yang paling tinggi produksinya adalah ikan Tembang sebanyak 3.468,53 ton

58 47 Jumlah produksi untuk komoditas unggulan lainnya, lebih rendah seperti ikan Lemuru sebanyak 2.630,56 ton, ikan Selar 2.063,90 ton, dan ikan Tongkol 1.899,16 ton serta ikan Tetengkek sebanyak 1.374,72 ton. Secara umum perkembangan dan perbandingan antara produksi perikanan tangkap dengan perikanan budidaya untuk Kabupaten Bangka selama tahun terlihat pada Tabel 16. Tabel 16 Produksi Perikanan Tangkap dan Perikanan Budidaya di Kabupaten Bangka Tahun Produksi Perikanan (Ton) Nilai Produksi (Rpl.000,00) Tahun Tangkap Budidaya Tangkap Budidaya , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , ,00 Sumber : Dinas Perikanan dan Kelautan Provinsi Kepulauan Bangka Belitung. Gambar 5 Perbandingan Volume Produksi Perikanan Tangkap dengan Perikanan Budidaya Tahun

59 48 Total produksi untuk perikanan tangkap setiap tahunnya dibandingkan perikanan budidaya sangat berbeda jauh. Tingginya volume produksi perikanan tangkap disebabkan karena populasi nelayan juga besar, dimana perikanan tangkap menjadi sumber penghasilan utama, khususnya di Kecamatan Merawang. Hal tersebut berdasarkan data jumlah armada, jumlah nelayan dan jumlah produksi di Kecamatan Merawang, seperti terlihat pada Tabel 17,18,19 dan 20. Tabel 17 Jumlah Armada Perikanan per Kelurahan/Desa di Kecamatan Merawang Tahun 2007 No Kehirahan/Desa Motor Kapal Motor (unit) Perahu tanpa Tempel motor (unit) (unit) Kel. Jade Kel.Riding Panjang Desa Pagarawan Jumlah Sumber : Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Bangka, Tabel 17 menunjukkan bahwa jumlah armada terbanyak adanya di Kelurahan Riding Panjang untuk perahu tanpa motor, motor tempel maupun untuk kapal motor, karena di kelurahan tersebut pekerjaan utama dari penduduk adalah nelayan atau petambak dan domisilinya sebagian besar di wilayah pesisir. Kemudian di Desa Pagarawan armada yang dominan adalah perahu tanpa motor, sedangkan di Kelurahan Jade armada motor tempel lebih banyak dari perahu tanpa motor. Secara umum jenis armada di atas menggambarkan bahwa umumnya daerah penangkapan oleh nelayan di kelurahan/desa tersebut, dilakukan di bagian dalam wilayah perairan (inner zone) atau perikanan pantai, sedangkan hanya sebagian kecil dari nelayan yang melakukan penangkapan di daerah luar wilayah perairan Kabupaten Bangka (putter zone). Tabel 18 Jumlah Nelayan per Kelurahan/Desa di Kecamatan Bangka Tahun 2007 No Kelurahan/Desa Motor Kapal Motor Perahu tanpa Tempel (orang) motor (orang) (orang) Kel. Jade Kel. Riding Panjang Desa Pagarawan Jumlah Sumber : Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Bangka, 2007.

60 49 Berdasarkan Tabel 18, maka dapat dilihat bahwa jumlah nelayan yang terbanyak juga adanya di Kelurahan Riding Panjang, karena memang jumlah armadanya juga yang terbanyak. Untuk jenis armada motor tempel, jumlah nelayannya lebih banyak tiap unit armada, biasanya dalam satu unit armada memiliki 2 (dua) sampai 3 (tiga) orang nelayan. Selanjutnya Desa Pagarawan, nelayannya dominan menggunakan perahu tanpa motor, sedangkan nelayan di Kelurahan Jade lebih banyak menggunakan motor tempel. Jumlah nelayan yang menggunakan kapal motor untuk tiap unit armada biasanya 4 (empat) sampai 5 (lima) orang. Tabel 19 Jenis Alat Tangkap per Kelurahan/Desa di Kecamatan Merawang Tahun 2007 No Jenis Alat Tangkap Kel. Kel. Riding Desa Jumlah Jade Panjang Pagarawan 1 Jaring Insang Hanyut Bagan Perahu Bagan Tancap Rawai Tetap Pancing Tonda Perangkap Pancing Sumber : Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Bangka, Jenis alat tangkap yang terbanyak pada Tabel 19, adalah jaring insang hanyut di Kelurahan Riding Panjang, kemudian jenis perangkap di Desa Pagarawan. Di Kelurahan Jade jenis rawai tetap lebih dominan. Untuk jenis pancing, digunakan oleh nelayan pada tiap kelurahan/desa. Menurut responden karena pancing tersebut tidak membutuhkan biaya operasional yang tinggi, pengoperasian alatnya tidak sulit. Dengan pancing tersebut nelayan juga menangkap jenis ikan yang bernilai ekonomis tinggi seperti kerapu dan sunu. Tabel 20 Jumlah Produksi dan Nilai Penangkapan Ikan per Kelurahan/Desa di Kecamatan Merawang Tahun 2007 No Kelurahan/Desa Produksi (ton) Nilai (Rpl.000,00) 1. Kel. Jade 375, ,10 2. Kel.Riding Panjang 776, ,10 3. Desa Pagarawan 229, ,40 Jumlah 1381, ,60 Sumber : Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Bangka, 2007.

61 50 Jumlah produksi Tahun 2007 pada Tabel 20, menunjukkan yang terbanyak di Kelurahan Riding Panjang, sebesar 776,40 ton. Hal ini disebabkan karena di kelurahan tersebut, jumlah armada, nelayan dan alat tangkapnya memang paling banyak, penduduknya juga padat, selain itu karena wilayahnya juga paling luas dibandingkan Kelurahan Jade dan Desa Pagarawan. 2) Ekosistem Mangrove Luas ekosistem mangrove di Kabupaten Bangka 40,28 ha. Berdasarkan hasil pemetaan hutan mangrove pada masing-masing kecamatan di Kabupaten Bangka dengan perincian seperti yang disajikan pada Tabel 21. Tabel 21 Rekapitulasi Hasil Pemetaan Ekosistem Mangrove di Kabupaten Bangka No Kecamatan Desa/Kelurahan Luas (ha) Persentase (%) 1 Bakam Bukit Layang Mabat 2 Belinyu Air Jakung Kuto Panji Gunung Muda Air abik Bukit Ketok 3 Sungailiat Sinar Baru Kudai 4 Merawang Pagarawan Riding Panjang Jade 2,35 1,11 5,83 2,76 Total 3,46 8,59 1,21 3,00 2,57 6,38 2,20 5,46 0,14 0,35 1,10 2,73 Total 7,22 17,92 1,85 4,59 15,25 37,86 Total 17,10 42,45 2,08 5,16 8,34 20,71 2,08 5,16 Total 12,50 31,04 Kabupaten Bangka 40,28 100,00 Sumber : Pemerintah Kabupaten Bangka, Jenis vegetasi hutan mangrove yang ada di Kabupaten Bangka terdiri atas jenis bakau (Rhizophora sp), api-api (Avicennia sp), tancang (Brugueria sp) dan gogen (Sonetharia sp), nipa (Nypa fruticans). Penyebaran masing-masing jenis vegetasi tersebut cukup merata pada setiap pantai di kecamatan. Jenis vegetasi yang dominan adalah jenis bakau (Rhizophora sp), api-api (Avicennia sp) dan gogen (Sonetharia sp). Ketiga jenis vegetasi mangrove tersebut pertumbuhannya cukup baik dengan penutupan tajuk rata-rata rapat. Secara khusus, untuk

62 51 Kecamatan Merawang mempunyai data fisik hutan mangrove dapat dilihat pada Tabel 22. Tabel 22 Data Fisik Hutan Mangrove Kecamatan Merawang No Data Fisik Mangrove Desa Kel. Riding Kel. Jade Pagarawan Panjang 1 Lebar (m) Tinggi Tegakan (m) Jenis Vegetasi Api-Api, Bakau Api-Api, Bakau Api-Api dan lainnya dan lainnya dan Bakau 4 Kerapatan Sedang-rapat Sedang-rapat Sedang 5 Kedalaman Lumpur (cm) Derajat keasaman/ph (ppm) 6,5-7 6,5-7 6,5-7 7 Besar Pasang Surut (cm) Besar Gelombang Laut (m) 0,51-1 0,51-1 0,51-1 Sumber : Pemerintah Kabupaten Bangka, Tabel 22 menggambarkan kondisi aktual fisik hutan mangrove di Kecamatan Merawang, dimana lebar mangrove, tinggi tegakan mangrove, jenis vegetasi, kerapatan, kedalaman lumpur, untuk Kelurahan Riding Panjang dan Desa Pagarawan relatif sama. Lebar mangrove untuk dua desa/kelurahan tersebut sebesar 7 sampai 10 meter, tinggi 15 meter sampai 17 meter, jenis vegetasi juga relatif sama yaitu bakau (Rhizophora sp), api-api (Avicennia sp), tancang (Brugueria sp) dan gogen (Sonetharia sp), dan nipa (Nypa fruticans). Selanjutnya kerapatan sedang sampai rapat dan kedalaman lumpur antara cm. Kelurahan Jade, lebar 7-10 meter, tinggi 5-7 meter, jenis vegetasi hanya bakau (Rhizophora sp) dan api-api (Avicennia sp). Kerapatan di Kelurahan Jade tergolong sedang dengan kedalaman lumpur 0-30 cm. ph, pasut dan gelombang laut untuk ketiga desa/kelurahan, juga relatif sama, hal tersebut karena kondisi geografis wilayah tersebut masih dalam satu kesatuan. Derajat kemasaman tergolong normal yaitu antara 6,5-7 ppm, pasang surut berkisar cm. Menurut Saenger et al. (1983) bahwa umumnya mangrove tumbuh pada level pasang surut yang rendah. 6.2 Identifikasi Pemanfaatan Hutan Mangrove Hutan mangrove yang hampir menutupi sepanjang pantai, secara administratif yang masuk ke dalam Kecamatan Merawang adalah seluas 40,28 ha. Pemanfaatan hutan mangrove oleh masyarakat, sejak puluhan tahun terakhir

63 52 dilakukan secara terus menerus, yang menimbulkan tekanan hingga akhirnya luasan mangrove hanya tersisa seperti sekarang ini. Upaya pelestarian hutan mangrove saat ini telah diterapkan dengan membatasi kecenderungan pemanfaatan hutan mangrove yang berlebihan, sehingga hutan tetap lestari dan dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Pemanfaatan hutan mangrove di Kecamatan Merawang oleh masyarakat saat ini cukup beragam, baik sebagai usaha subsisten mau pun yang komersial. Berdasarkan hasil olahan data primer yang diperoleh dari hasil wawancara dan pengisian kuisioner dengan responden, dapat diidentifikasi beberapa manfaat hutan yang bisa secara langsung dirasakan oleh masyarakat adalah seperti terlihat pada Tabel 23. Tabel 23 Pemanfaatan Hutan Mangrove No Manfaat Pemanfaatan Rata-rata per Responden per Tahun 1 Kayu Bakar (ikat) 85 2 Bibit Bakau (batang) Kepiting (ekor) Sumber : Data Primer (Lampiran 4 dan 6), Pada Tabel 23, dapat dilihat beberapa jenis manfaat hutan mangrove yang ada di lokasi penelitian dan secara langsung dapat dirasakan manfaatnya oleh masyarakat yang berada di sekitar lokasi hutan mangrove tersebut. Jenis vegetasi mangrove yang dominan ada di lokasi penelitian dan paling sering dimanfaatkan oleh masyarakat sekitar adalah jenis bakau (Rhizophora sp), api-api (Avicennia sp). 6.3 Pendugaan Nilai Utility Konsumen dari Sumberdaya Perikanan pada Ekosistem Hutan Mangrove Pendugaan nilai ekonomi mangrove yang didekati melalui konsumen surplus Marshallian dengan kurva permintaan yang berslope negatif. Pendugaan fungsi permintaan untuk menilai manfaat langsung dari ekosistem mangrove di Kecamatan Merawang mengikuti persamaan berikut : Q i = β 0 X β1 1 X β2 2 X βn n dan

64 53 X = Q β ' 1 β1 U = a f ( Q) dq 0 Surplus konsumen diduga dari persamaan berikut : CS = U- P t, dimana P t = X 1 xq Dengan menggunakan program Maple 9.5 diperoleh nilai kepuasan (utility) dan surplus konsumen untuk total pemanfaatan Ikan Bandeng dari pola usaha monokultur Ikan Bandeng dan Polikultur Udang dan Ikan Bandeng yang telah distandarisasi menjadi monokultur Ikan Bandeng, kemudian jenis pemanfaatan kayu bakar dan kepiting, bibit bakau dan hasil dari pola usaha monokultur udang. Selengkapnya hasil pendugaan yang diperoleh, terlihat pada Tabel 24. Tabel 24 Pendugaan Surplus Konsumen dari Sumberdaya Ekosistem Mangrove/tahun No Jenis Pemanfaatan Luas Lahan Ratarata Utility (Rp) Surplus Konsumen (Rp) (ha) Q 1 Bibit Bakau 12, , ,95 2 Kayu Bakar 12, , ,09 3 Kepiting 12, , ,91 4 Tambak Ikan 112, , ,58 Bandeng 5 Tambak Ikan 21, , ,20 Bandeng dan Udang 6 Tambak Udang 13, , ,26 Sumber : Data Primer (Lampiran 4 dan 6), Tabel 24 menunjukkan bahwa utility terbesar adalah dari pemanfaatan hasil tambak Ikan Bandeng dan Udang sebesar Rp ,95 dengan konsumen surplus sebesar Rp ,20. Nilai tersebut diperoleh dari luas lahan 21,00 ha dengan rata-rata permintaan konsumen ekor per tahun. Kemudian utility dari hasil Kepiting juga tinggi, sebesar Rp ,97 dengan konsumen surplus sebesar Rp ,91. Nilai tersebut diperoleh dari luas lahan 12,50 ha dengan rata-rata permintaan konsumen sebanyak ekor per tahun.

65 54 Utility untuk hasil pemanfaatan tambak Ikan Bandeng dan Udang adalah sebesar Rp ,95 dengan surplus konsumen sebesar Rp ,50, dimana nilai tersebut diperoleh dari luas lahan hutan mangrove seluas 21,00 ha. Rata-rata permintaan konsumen terhadap hasil tambak ini sebanyak ekor per tahun, sedangkan utility untuk hasil pemanfaatan kepiting sebesar Rp ,97 dan besarnya surplus konsumen yang diperoleh sebesar Rp ,91 dengan jumlah rata-rata permintaan dari konsumen sebesar ekor per tahunnya, nilai ini diperoleh dari luas lahan mangrove seluas 12,50 ha. Plot permintaan berdasarkan utility konsumen terhadap hasil pemanfaatan tambak Ikan Bandeng dan Udang serta pemanfaatan Kepiting, ditunjukkan oleh Gambar 6 dan 7. (Rp/Kg) P (Kg) Gambar 6 Plot Utility Konsumen terhadap Hasil Ikan Bandeng dan Udang.

66 55 (Rp/Kg) P (Kg) Gambar 7 Plot Utility konsumen terhadap Hasil Kepiting. Utility untuk hasil tambak Ikan Bandeng adalah sebesar Rp ,64 dengan surplus konsumen sebesar Rp ,58. Nilai tersebut diperoleh dari lahan yang seluas 112,00 ha dengan rata-rata permintaan konsumen sebanyak ekor per tahun. Plot dari pendugaan permintaan konsumen dapat dilihat pada Gambar 8. (Rp/Kg) P Gambar 8 Plot Utility Konsumen terhadap Hasil Tambak Ikan Bandeng. (Kg)

67 56 Utility konsumen dari jenis hasil tambak Udang adalah sebesar Rp ,77 dengan surplus konsumen sebesar Rp ,26. Nilai tersebut diperoleh dari lahan seluas 13,50 ha dengan rata-rata permintaan konsumen sebanyak 649 ekor per tahun. Plot pendugaan permintaan konsumen dapat dilihat pada Gambar 9. (Rp/Kg) P (Kg) Gambar 9 Plot Utility Konsumen terhadap Hasil Tambak Udang. Surplus konsumen yang dihasilkan dari jenis pemanfaatan mangrove sebagai kayu bakar seperti pada Tabel 24 adalah sebesar Rp ,93 dengan utility sebesar Rp ,09. Nilai tersebut diperoleh dari luas hutan mangrove 12,50 ha dengan rata-rata permintaan konsumen sebanyak 85 batang per tahun. Plot pendugaan permintaan konsumen dapat dilihat pada Gambar 10.

68 57 (Rp/Kg) P (Kg) Gambar 10 Plot Utility Konsumen terhadap Hasil kayu Bakar. Utility konsumen dari jenis hasil Bibit Bakau adalah sebesar Rp ,62 dengan surplus konsumen sebesar Rp ,95. Nilai tersebut diperoleh dari luas hutan mangrove 12,50 ha dengan rata-rata permintaan konsumen sebanyak bibit per tahun. Plot dari pendugaan permintaan konsumen terhadap hasil Bibit Bakau dapat disajikan pada Gambar 11. (Rp/Kg) P (Kg) Gambar 11 Plot Utility Konsumen terhadap Hasil Bibit Bakau.

69 Analisis Pemanfaatan Optimal Sumberdaya Perikanan pada Ekosistem Hutan Mangrove Pemanfaatan sumberdaya alam dan lingkungan, khususnya sumberdaya perikanan oleh rumah tangga perikanan (RTP) sekarang ini memerlukan pengelolaan dan pemanfaatan yang optimal untuk pembangunan berkelanjutan. Dengan menggunakan pendekatan model rumah tangga (household models) untuk jenis-jenis pemanfaatan hutan mangrove, maka nilai optimal dapat diperoleh melalui fungsi tujuan dan kendala berikut : a) Usaha Tambak Polikultur (Udang + Ikan Bandeng) per tahun per ha Max π = q u q b x x x x x x x l Subject..to: q u < ; q b < ; x 1 <80.952; x ; x ; x ; x ; x ; x ; l ; 0.04 q ub x 1 = 0 ; 0.03 q ub x 3 = 0 ; 2.91 qb x4 = 0 ; 0.89 qb x5 = 0 ; 0.03 q ub x 6 = 0 ; q ub x 7 = 0 ; q ub l = 0 ; x x x x x x x l < b) Usaha Tambak Monokultur (Udang) per tahun per ha Max π = 4461 q u -1490x 1,- 2300x x x x x l Subject.. to : 481 q u ; x 1 ;46 x 2 ;46 x 3 ;13463 x 4 ;100 x 5 ;2 x 6 ;185.8 l; q u.- x 1,= 0; q u - x 2 = 0; q u - x 3 = 0; q u - x 4 =0; q u - x 5 = 0; q u - x 6 = 0; q u l =0; x 1,+ 2300x x x x 5, +7500x l c) Usaha Tambak Monokultur (Ikan Bandeng) per tahun per ha Max π = q bg x x x x x x l Subject..to : q bg ; x ; x ; x ; x ; x 5, ; x ; l ; q bg x 1,= 0 ; x q bg x 3 = 0 ; x 4 = 0 ; q bg x 5 = 0 ; q bg x 6 = 0; q bg l =0 ; 1070 x x x x x x l

70 59 d) Penangkapan Kepiting per trip Max π = 2430 q k x k l Subject..to : total / tahun q k 9;.x k. 0.0I460177; l ; q k -x k, = 0; q k - l = 0;15682 x k +1000l e) Kepiting per tahun Max π = 2430 q k x k 1000 l Subject.. to : Total / tahun q k 21250; x k 33; l 2020; q k -x k = 0; q k l = 0; xk l f) Pengambilan Kayu Bakar per trip Max π = 13735q y x y l Subject..to : q y l.00; x y ; l 1.13; q y -x y =0; 1.13 q y l = x y l g) Pengambilan Kayu Bakar per tahun Max π = 13735q y x y l Subject..to : q y 1024; x y 17; l 1158; q y -x y = 0; 1.13q y -1 = 0; x y l h) Pengambilan Bibit Bakau per trip Max π = q bk x bk l Subject..to : q bk ; x bk ; l ; 0.78 q bk - x bk = 0; q bk l = 0; x bk l i) Pengambilan Bibit Bakau per tahun Max π = q bk x bk l Subject..to: q bk 62500; x bk 48750; l 107; q bk - x bk =0; q bk - l = 0; x bk l

71 60 Penyusunan model di atas, memperlihatkan bahwa fungsi tujuan dari optimalisasi tersebut memaksimalkan keuntungan, yang merupakan selisih dari total penerimaan dari produksi output dengan total biaya yang dikeluarkan dari pemakaian input dan upah tenaga kerja. Koefisien untuk masing-masing variabel merupakan harga atau biaya untuk tiap unit output atau input. Unsur kendala adalah keterbatasan sumberdaya yang merupakan variabel produksi (output), keterbatasan biaya operasional dan biaya tetap, keterbatasan upah tenaga kerja dan keterbatasan modal usaha. Keterbatasan tersebut ditandai dengan pertidaksamaan lebih kecil (<=) dan sama dengan (=). Nilai pemanfaatan sumberdaya dibatasi sesuai dengan total pemanfaatan per hektar per tahun dan per hektar per trip, total pemakaian input per hektar per tahun, total hari orang kerja (HOK) per hektar per tahun. Koefisien untuk masing-masing variabel kendala adalah nilai atau besarnya pemakaian input untuk menghasilkan 1 (satu) satuan output (kilogram atau ekor). Keuntungan (π) optimal atau maksimal per tahun yang merupakan fungsi tujuan berdasarkan selisih dari total revenue dengan total cost, upah labor, yang juga diperoleh dengan bantuan Maple 9.5. Hasil perhitungan diperoleh keuntungan optimal tertinggi dihasilkan oleh jenis pemanfaatan kepiting sebesar Rp ,00 untuk 11 (sebelas) rumah tangga perikanan. Keuntungan optimal terendah diperoleh dari hasil pemanfaatan monokultur ikan bandeng sebesar Rp42.121,02. Selengkapnya hasil yang diperoleh dapat disajikan pada Tabel 25. Tabel 25 Nilai Manfaat Optimal Ekosistem Hutan Mangrove Tahun 2007 per ha No Jenis Pemanfaatan Manfaat Biaya Optimal Keuntungan Optimal (Rp) (Rp) Optimal (Rp) 1 Bibit Bakau , , ,36 2 Kayu Bakar , , ,74 3 Kepiting , , ,00 4 Tambak Udang , , ,52 5 Tambak Ikan Bandeng , , ,76 + Udang 6 Tambak Ikan Bandeng , , ,02 Total , , ,04 Sumber: Data Primer (Lampiran 2), 2007.

72 61 Pemecahan nilai optimal dari output dan pemakaian input untuk masingmasing jenis pemanfaatan dari ekosistem hutan mangrove diperoleh dengan menggunakan program Maple 9.5. Hasil selengkapnya dapat dilihat pada Tabel 26. Tabel 26 Nilai Optimal Output dan Input dari Pemanfaatan Ekosistem Hutan Mangrove oleh Petambak per hektar per Tahun Jmlh Petambak q Resp. u q bg X 1 X 2 X 3 X 4 X 5 X 6 L 10 Polikultur Monokultur Udang Monokultur Ikan Bandeng Sumber : Data Primer (Lampiran 5), Tabel 26 menunjukkan output optimal rata-rata per hektar per tahun untuk usaha monokultur udang sebanyak ekor, pemakaian input lebih besar dari pola usaha lain, dimana input berupa bibit benur sebanyak ekor, juga pemakaian input lain seperti kapur sebanyak kg, 743 kg untuk pupuk urea, 749 kg untuk TSP, pestisida kg untuk saponin dan 36 bungkus untuk cap bintang. Hari orang kerja (HOK) untuk pola usaha tersebut sebanyak HOK. Nilai optimal diperoleh dari 10 (sepuluh) rumah tangga perikanan dan musim panen sebanyak 2 (dua) kali dalam setahun. Pola usaha monokultur udang layak untuk diusahakan, karena menghasilkan manfaat optimal sebesar Rp ,32. Selain itu keuntungan optimal yang diperoleh juga lumayan besar yaitu sebesar Rp ,52. Pemakaian input juga lebih besar dari pola usaha lain, sehingga petambak kadang-kadang mengalami kerugian. Pola usaha monokultur Ikan Bandeng pada Tabel 26 diatas, juga memperlihatkan bahwa produksi atau output optimal dalam setahun per hektar untuk ikan sebanyak 104 ekor. Sedangkan pemakaian input optimal untuk pupuk sebanyak 10 kg, urea 84 kg, TSP 0 kg, pestisida saponin dan cap bintang masingmasing sebanyak 6 kg dan 2 bungkus. Penggunaan bibit nener yang optimal untuk menghasilkan output diatas sebanyak 606 ekor. Hari orang kerja (HOK) optimal untuk pola usaha tersebut sebanyak 16 HOK. Total manfaat optimal dari output optimal diperoleh sebesar Rp ,81 per ha, total biaya optimal dari penggunaan input optimal sebesar Rp ,67. Pola usaha tersebut cukup layak

73 62 untuk diusahakan karena keuntungan optimal yang diperoleh sebesar Rp42.121,02 per ha. Pola usaha tambak polikultur udang dan ikan menghasilkan manfaat optimal sebesar Rp ,52 per ha dan biaya optimal sebesar Rp34.064,76 sehingga keuntungan optimal diperoleh sebesar Rp ,76. Output optimal rata-rata per tahun per hektar sebanyak ekor untuk udang dan 237 ekor untuk ikan, dengan pemakaian input optimal berupa benur sebanyak 689 ekor dan nener 211 ekor. Input lain tidak memberikan nilai yang optimal atau nol. Polikultur untuk udang 2 (dua) kali musim panen dalam setahun, sedangkan untuk ikan hanya sekali panen dalam setahun. Nilai optimal tersebut diperoleh dari 10 (sepuluh) rumah tangga perikanan. Hal tersebut menunjukkan bahwa diantara ketiga pola usaha tersebut, yang paling layak dan memberikan nilai optimal terbanyak per hektar per tahun adalah usaha polikultur dan udang. Populasi petambak di Kecamatan Merawang, lebih dominan mengoperasikan tambak dengan pola usaha monokultur Ikan Bandeng, karena menurut hasil wawancara dengan RTP, pola usaha tersebut tidak memerlukan modal besar dan resiko kegagalan panen relatif kurang. Dilokasi penelitian dominan responden dengan pola usaha monokultur Ikan Bandeng, sehingga produksi Ikan Bandeng juga tinggi dibandingkan hasil produksi dari komoditaskomodilas lain yang dibudidayakan. Jumlah responden untuk monokultur Ikan Bandeng sebanyak 30 rumah tangga perikanan (RTP) dan musim panen sekali dalam setahun. Pola usaha monokultur Ikan Bandeng menurut responden, ternyata tetap tidak memberikan keuntungan maksimal dan tidak meningkatkan kesejahteraan rumah tangga perikanan, karena selain pola usaha tersebut hanya sekali dalam setahun musim panen, juga karena ikan bandeng merupakan salah satu komoditas perikanan darat yang tidak memiliki nilai ekonomi yang tinggi, dengan kata lain harga pasar dari ikan tersebut cukup rendah. Hal ini berdasar pada data yang diperoleh, dimana harga konsumen rata-rata per ekor hanya sebesar Rp2.500,00 sampai Rp3.500,00. Berdasar pada kondisi tersebut, sebagian besar rumah tangga perikanan di Kecamatan Merawang mengusahakan mata pencaharian alternatif. yang bisa

74 63 meningkatkan kesejahteraan rumah tangga, seperti sebagai pemanfaat ekosistem hutan mangrove (pencari kepiting, pengambil kayu bakar, serta bibit bakau), buruh nelayan, petani dan berkebun serta sebagai wiraswasta/pedagang. Jenis pemanfaatan ekosistem hutan mangrove selain untuk tambak, juga untuk usaha-usaha lain yang komersial ataupun subsisten. Seperti penangkapan kepiting bakau dan pengambilan kayu bakar serta bibit bakau dari vegetasi mangrove. Usaha tersebut juga menghasilkan output dan input yang optimal bagi rumah tangga perikanan di Kecamatan Merawang. Nilai optimal dari output dan input untuk jenis pemanfaatan dari hasil kepiting, kayu bakar dan bibit bakau, dapat dilihat pada Tabel 27. Tabel 27 Nilai Output dan Input Optimal Pemanfaatan Ekosistem Hutan Mangrove untuk Kepiting, Kayu Bakar dan Bibit Bakau per ha Nilai Optimal/tahun Nilai Optimal/trip No Jenis Pemanfaatan q n Xn L q n X n L 1 Kepiting , Kayu Bakar ,017 1,13 3 Bibit Bakau ,37 0,04 Sumber : Data Primer (Lampiran 5), 2007 Tabel 27 menunjukkan bahwa hasil produksi atau output kepiting yang optimal per tahun sebanyak ekor, sedangkan produksi optimal per trip sebanyak 9 (sembilan) ekor. Usaha penangkapan kepiting menggunakan input optimal sebanyak 33 unit per tahun dan 0,014 per trip. Penggunaan tenaga kerja optimal sebanyak HOK per tahun dan 1 HOK per trip. Total trip per tahun dari keseluruhan responden rumah tangga perikanan dan rata-rata trip per responden per tahun sebanyak 205 trip. Total biaya optimal dari pemakaian input optimal adalah sebesar Rp per ha, seperti pada Tabel 25. Usaha pemanfaatan kepiting dari hutan mangrove di Kecamatan Merawang menghasilkan manfaat optimal dari total output optimal diperoleh sebesar Rp ,12 per ha dan keuntungan optimal Rp ,00 per ha dan Rp per trip untuk 11 (sebelas) rumah tangga. Usaha pemanfaatan kepiting dari ekosistem hutan mangrove menghasilkan keuntungan optimal per tahun yang tertinggi kedua setelah bibit bakau, jika dibandingkan dengan usaha pemanfaatan

75 64 lainnya. Hal tersebut selain disebabkan karena jumlah trip per tahun termasuk tinggi, juga karena harga jual kepiting cukup tinggi. Harga jual kepiting berdasarkan hasil wawancara dengan rumah tangga perikanan, adalah berkisar dari Rp2.300,00 per ekor sampai Rp2.500,00 per ekor. Keuntungan optimal untuk kayu bakar per ha sebesar Rp ,74 dan Rp per trip. Jenis pemanfaatan dari hasil kayu bakar cukup menguntungkan karena manfaat optimal sebesar Rp ,00, namun mengeluarkan biaya hanya sebesar Rp ,26 dan untuk 12 (duabelas) rumah tangga perikanan. Pengambilan kayu bakar dari vegetasi hutan mangrove mempunyai nilai output optimal sebanyak ikat per tahun, sedangkan produksi optimal per trip sebanyak 1 ikat. Input optimal yang digunakan sebanyak 17 unit per tahun dan 0,017 per trip. Tenaga kerja optimal per tahun sebanyak HOK dan 1 per trip. Rata-rata trip dalam setahun untuk tiap responden rumah tangga perikanan yang mengambil kayu bakar adalah 85 trip dan total trip dari keseluruhan responden sebanyak trip. Rumah tangga perikanan juga memanfaatkan hutan mangrove untuk pembibitan bakau. Menurut hasil wawancara, pembibitan dilakukan sejak adanya program rehabilitasi hutan mangrove oleh Dinas Kelautan Perikanan dan Dinas Kehutanan setempat. Keuntungan optimal yang diperoleh dari usaha pembibitan bakau tersebut sebesar Rp ,57 per ha dan Rp4.155,82 per ha per trip untuk 14 (empatbelas) responden rumah tangga perikanan. Manfaat optimal dari output optimal yang diperoleh sebesar Rp ,00 dan biaya optimal dari total pemakaian input optimal diperoleh sebesar Rp ,64. Rata-rata trip setiap responden sebanyak 7 (tujuh) kali dalam setahun. Hal tersebut karena pembibitan hanya akan dilakukan apabila ada pesanan dari LSM atau instansi terkait untuk melakukan rehabilitasi hutan mangrove. Tabel 27 diatas menyajikan bahwa hasil output optimal berupa bibit bakau per tahun sebanyak bibit dan bibit 24 per trip. Penggunaan input optimal berupa plastik atau wadah pembibitan sebanyak unit juga pertahun dan unit 18,37 per trip. Jumlah tenaga kerja optimal yang digunakan sebanyak 83 HOK per tahun dan 0,04 HOK per trip.

76 Pendugaan Nilai Ekonomi Hutan Mangrove Pemanfaatan secara berkelanjutan untuk memenuhi kebutuhan manusia, terhadap sumberdaya alam dan jasa-jasa lingkungan yang terdapat di wilayah pesisir dan lautan, diperlukan pengelolaan sumberdaya pesisir dan lautan yang berpusat pada masyarakat dan dilakukan secara terpadu dengan memperhatikan dua aspek kebijakan, yaitu aspek ekonomi dan ekologi (Supriharyono 2000). Pendugaan nilai ekonomi sumberdaya adalah suatu upaya menilai manfaat dan biaya dari sumberdaya dalam bentuk moneter yang mempertimbangkan lingkungan, atau disebut sebagai valuasi ekonomi. Valuasi ekonomi sumberdaya perikanan tersebut bertujuan untuk menentukan alokasi kebijakan pengelolaan sumberdaya alam, yang efisien dan berkelanjutan melalui pendugaan nilai ekonomi total. Nilai ekonomi total merupakan instrumen yang dianggap tepat untuk menghitung keuntungan dan kerugian bagi kesejahteraan rumah tangga sebagai akibat dari pengalokasian sumberdaya alam. Kramer et al 1994 diacu dalam Ramdan el al mengatakan bahwa penentuan nilai ekonomi sumberdaya alam merupakan hal yang sangat penting sebagai bahan pertimbangan dalam mengalokasikan sumberdaya alam yang semakin langka. Penilaian barang dan jasa diperoleh melalui pendekatan nilai pasar, yaitu berdasarkan kekuatan permintaan dan penawaran. Penilaian sumberdaya hutan secara total khususnya, melalui penilaian semua fungsi dan manfaat hutan baik yang marketable maupun nonmarketable, yang merupakan upaya peningkatan informasi yang dapat memberikan kontribusi terhadap manajemen sumberdaya hutan yang lestari (Ramdan et al. 2003). Hutan mangrove di Kecamatan Merawang baik secara langsung mau pun tidak langsung telah memberikan manfaat kepada masyarakat di sekitarnya. Berdasar hal tersebut maka diperlukan suatu konsep pengelolaan, yang diawali dengan mengetahui seberapa besar total nilai ekonomi dari hutan mangrove, yang menjamin keberlanjutan sumberdaya. Total nilai ekonomi hutan mangrove di Kecamatan Merawang dihitung dari manfaat langsung, manfaat tidak langsung, manfaat pilihan dan manfaat keberadaan.

77 66 a) Manfaat Langsung Manfaat langsung adalah manfaat yang langsung diambil dari sumberdaya. Nilai yang diperoleh dari kegiatan konsumsi atau produksi. Setelah dilakukan wawancara dengan masyarakat sekitar hutan mangrove, maka dapat diidentifikasi jenis pemanfaatan langsung dari hutan mangrove oleh rumah tangga perikanan. Manfaat langsung tersebut berupa (1) manfaat usaha tambak, (2) manfaat dari hasil kayu bakar, (3) manfaat penangkapan hasil kepiting dan (4) manfaat dari bibit bakau. Ada pun hasil identifikasi jenis dan nilai manfaat langsung hutan mangrove berdasarkan surplus konsumen dapat dilihat pada Tabel 28. Tabel 28 Manfaat Ekonomi Ekosistem Hutan Mangrove berdasarkan Surplus Konsumen Tahun 2007 No Jenis Manfaat Ekonomi Keuntungan Biaya (Rp) Pemanfaatan (Rp) (Rp) per tahun 1 Bibit Bakau , , ,26 2 Kayu Bakar , , ,17 3 Kepiting , , ,13 4 Tambak Udang , ,00 ( ,28) 5 Tambak Ikan Bandeng + Udang , , ,85 6 Tambak Ikan Bandeng , , ,50 Total , , ,63 Sumber : Data Primer (Lampiran 6), Tabel 28 menunjukkan bahwa keuntungan tertinggi diperoleh dari hasil tambak Ikan Bandeng dan Udang berdasarkan nilai ekonomi dari utility dan surplus konsumen, adalah sebesar Rp ,85. Hasil dari tambak Udang memperlihatkan jumlah yang mengakibatkan petani tambak merugi yaitu sebesar Rp( ,28). Hasil tambak Ikan Bandeng juga menunjukkan keuntungan yang tinggi, yaitu sebesar Rp ,50. Manfaat langsung ekosistem hutan mangrove yang aktual dapat diidentifikasi berdasarkan hasil olahan data primer yang didapat dari wawancara dan pengisian kuosioner oleh rumah tangga perikanan dengan perhitungan manual. Nilai langsung dari manfaat hasil ekosistem hutan mangrove diperoleh

78 67 setelah mengalikan setiap jenis manfaat dengan harganya. Selengkapnya dapat dilihat pada Tabel 29. Tabel 29 Nilai Ekonomi Ekosistem Hutan Mangrove berdasarkan Pemanfaatan Aktual Tahun 2007 No Jenis Pemanfaatan Manfaat (Rp) Biaya (Rp) Keuntungan (Rp) per tahun 1 Bibit Bakau , , ,00 2 Kayu Bakar , , ,60 3 Kepiting , , ,83 4 Tambak Udang , , ,77 5 Tambak Ikan Bandeng , , ,37 + Udang 6 Tambak Ikan Bandeng , , ,79 Total , , ,35 Sumber : Data Primer (Lampiran 7), Total keuntungan pemanfaatan ekosistem hutan mangrove yang aktual diperoleh nilai tertinggi juga dari hasil tambak Ikan Bandeng, yaitu sebesar Rp ,79 per tahun, dengan total manfaat sebesar Rp ,72 per tahun dan biaya sebesar Rp ,93 untuk 30 rumah tangga perikanan. Selanjutnya total keuntungan dari hasil Bibit bakau juga tinggi, yaitu sebesar Rp ,00 per tahun, total manfaat sebesar Rp ,00 dan biaya Rp ,00 per tahun untuk 14 (empatbelas) RTP. Keuntungan Bibit Bakau besar karena biaya yang dikeluarkan rendah sedangkan harga pasar Bibit Bakau cukup tinggi dan jumlah trip tiap rumah tangga juga tinggi yaitu rata-rata 7 trip. Total keuntungan aktual yang terendah sebesar Rp ,77 per tahun dari hasil tambak udang, dimana total manfaat hanya sebesar Rp ,98 namun biaya yang dikeluarkan cukup besar yaitu sebesar Rp ,21 per tahun, untuk 10 (sepuluh) rumah tangga perikanan. Jenis pemanfaatan tambak polikultur juga menunjukkan total keuntungan sebesar Rp ,37, manfaat sebesar Rp ,03 dengan biaya sebesar Rp ,66 per tahun nilai tersebut untuk 10 (sepuluh) RTP. Penggambaran proporsi nilai total manfaat langsung dari beberapa jenis pemanfaatan hutan mangrove dapat dilihat pada Gambar 12.

79 68 Gambar 12 Proporsi Total Manfaat Langsung Pemanfaatan Ekosistem Hutan Mangrove. b) Manfaat Tidak Langsung Manfaat tidak langsung adalah nilai yang secara tidak langsung dirasakan manfaatnya, dapat berupa hal yang mendukung nilai guna langsung. Ekosistem hutan mangrove mempunyai peranan dan fungsi penting yang dapat mendukung kehidupan manusia baik langsung maupun tidak langsung. Dahuri et al (1996), menyatakan bahwa secara garis besar ekosistem hutan mangrove mempunyai dua fungsi utama, yaitu fungsi ekologis dan fungsi sosiai ekonomi. Manfaat tidak langsung dari hutan mangrove di Kecamatan Merawang adalah manfaat fisik dan manfaat biologi. Manfaat tidak langsung berupa fisik adalah sebagai penahan abrasi pantai yang diestimasi melalui replacement cost dengan pembuatan beton pantai untuk pemecah gelombang (break water). Hasil yang diperoleh berdasarkan biaya pengganti dari nilai pemecah gelombang, yang diacu dari estimasi yang dilakukan Apriliawati (2001), yaitu bahwa biaya pembangunan fasilitas pemecah gelombang (break water) ukuran 1 m x 11 m x 2,5 m (panjang x lebar x tinggi) dengan daya tahan 10 tahun sebesar Rp ,00. Panjang pantai hutan mangrove di Kecamatan Merawang adalah ,98 m, maka biaya pembuatan pemecah gelombang dengan daya tahan 10 (sepuluh) tahun seluruhnya adalah Rp ,00 sedangkan per tahunnya sebesar Rp ,00 dan per ha luas hutan mangrove sebesar Rp ,30.

80 69 Selain manfaat tidak langsung berupa fisik, hutan mangrove juga memberikan manfaat biologi. Manfaat biologi dapat berupa hutan mangrove sebagai nursery ground, spawning ground dan feeding ground. Teknik untuk menilai manfaat biologi tersebut adalah melalui pendekatan produktivitas (productivity approach), karena hutan mangrove memiliki fungsi sebagai tempat pembesaran ikan (nursery ground). Luas hutan mangrove akan menjadi indikator bagi tingkat produktivitas hasil tangkapan ikan oleh rumah tangga perikanan. Produksi perikanan laut oleh nelayan pada tahun 2007 senilai Rp ,00, sedangkan produksi per ha luas mangrove sebesar Rp ,00. Total manfaat tidak langsung hutan mangrove dari manfaat fisik dan biologi adalah sebesar Rp ,00 per ha dan Rp ,00 per tahun. c) Manfaat Pilihan Manfaat pilihan adalah nilai potensial yang dapat dimanfaatkan untuk masa akan datang, memperhitungkan manfaat keanekaragaman hayati (biodiversity) dari ekosistem mangrove, dengan menggunakan metode benefit transfer. Menurut Krupnick (1993) diacu dalam Fauzi (2004) bahwa benefit transfer bisa dilakukan jika sumberdaya alam tersebut memiliki ekosistem yang sama, baik dari segi tempat maupun karakteristik pasar (market characteristic). Mengacu pada nilai keanekaragaman hayati hutan mangrove di Teluk Bintuni Irian Jaya adalah sebesar US$ 15 per ha per tahun oleh Ruitenbeek (1991) diacu dalam Budiyana (2005). Nilai manfaat pilihan diasumsikan sama dengan nilai biodiversity di Teluk Bintuni Irian Jaya. Nilai manfaat pilihan didapatkan dengan mengalikan nilai biodiversity dengan nilai kurs Rupiah terhadap Dollar pada saat penelitian yaitu sebesar Rp9.366,00 (01 Agustus 2007 harga beli Rp9.319,00 dan harga jual Rp9.413,00). Berdasarkan perhitungan, maka diperoleh hasil bahwa nilai manfaat pilihan hutan mangrove di Kecamatan Merawang adalah sebesar Rp ,00 per hektar per tahun (US$ 15 per hektar per tahun dikalikan dengan Rp9.366,00 per US$). Luas hutan mangrove di Kecamatan Merawang sebesar 12,50 ha, sehingga nilai manfaat pilihan (option value) secara keseluruhan adalah nilai manfaat pilihan per ha per tahun Rp ,00 dikalikan dengan luasan mangrove tersebut. Total

81 70 manfaat pilihan hutan mangrove di Kecamatan Merawang sebesar Rp ,00 per tahun. Nilai manfaat pilihan dapat juga dikatakan sebagai nilai dari barang publik sebagai manfaat potensial yang dapat diambil (Yakin 1997). Tabel 30 Manfaat Keberadaan Hutan Mangrove dan Karakteristik Responden No Tingkat Pendidikan Nilai Keberadaan Jumlah Total Nilai Keberadaan (Rp) Responden (Rp) per tahun 1 Rendah (SD) , , , , , , , , , , , , , , , ,00 Sub Total , ,00 2 Sedang (SMP) , , , , , , , , , ,00 Sub Total , ,00 3 Tinggi (SMA dan S1) , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , ,00 Sub Total ,00 Total ,00 Rata-rata ,00 Sumber : Data Primer (Lampiran 7), Tabel 30, menunjukkan bahwa kelompok responden dengan tingkat pendidikan rendah atau SD, kemampuan untuk membayar paling rendah sebesar Rp ,00 sebanyak 1 (satu) responden, nilai keberadaan sebesar Rp ,00 oleh 1 (satu) responden dan Rp ,00 juga sebanyak 5 (lima) responden, nilai yang paling tinggi sebesar Rp ,00 sebanyak 1 (satu) responden. Tingkat pendidikan sedang atau SMP, nilai keberadaan paling

82 71 rendah sebesar Rp ,00 oleh 1 (satu) responden, nilai Rp ,00 ditaksir paling banyak oleh responden sebanyak 3 (tiga) responden, nilai tertinggi sebesar Rp ,00 oleh 1 (satu) responden. Tingkat pendidikan tinggi atau SMA dan S1, kemampuan responden membayar paling rendah adalah sebesar Rp ,00 oleh 1 (satu) responden, nilai Rp ,00 ditaksir responden paling banyak yaitu 19 (sembilanbelas) responden, kemudian nilai sebesar Rp ,00 oleh 16 (enambelas) responden, nilai tertinggi sebesar Rp ,00 oleh 2 (dua) responden. Nilai manfaat keberadaan hutan mangrove didasarkan pada nilai median dari willingness to pay (WTP), untuk mengurangi bias pada data yang ada. Nilai median yang merupakan kemampuan responden untuk menilai hutan mangrove sebesar Rp ,00 per ha per tahun. Dengan demikian median nilai manfaat keberadaan ekosistem hutan mangrove di lokasi penelitian adalah sebesar Rp Rp ,00 per ha per tahun, Apabila hasil tersebut dikalikan dengan luasan hutan mangrove di Kecamatan Merawang yang seluas 12,50 ha, maka akan diperoleh total manfaat keberadaan hutan mangrove sebesar Rp ,00 per tahunnya. Alasan dari responden menilai sumberdaya seperti nilai diatas, karena responden baik yang berhubungan langsung dengan hutan mangrove maupun yang tidak berhubungan langsung, akan bersedia untuk mengeluarkan sejumlah uang untuk melindungi suatu ekosistem, dimana mungkin tanpa memperdulikan apa yang tinggal di ekosistem tersebut. Umumnya responden mempunyai kesadaran bahwa melindungi lingkungan dan sumberdaya alam merupakan tanggungjawab setiap manusia agar tetap dapat mendukung kehidupannya secara berkelanjutan. Memperkirakan kurva lelang (bid curve) yang diperoleh dengan meregresikan WTP sebagai variabel tidak bebas (dependent variable) dengan variabel bebas yang merupakan karakteristik responden diantaranya pendidikan, pendapatan, umur, jumlah tanggungan dan lama menetap. Persamaan regresi untuk mengetahui hubungan antara nilai WTP dengan karakteristik responden ditunjukkan dalam Tabel 31.

83 72 Tabel 31 Hubungan WTP Hutan Mangrove dengan Karakteristik Responden No Variabel Koefisien Regresi P-value 1 Intercept 2 Pendidikan (X1) 3 Pendapatan (X2) 4 Usia (X3) 5 Jumlah Tanggungan (X4) 6 Lama Menetap (X5) Sumber : Data Primer (Lampiran 18), Berdasarkan uji statistik yang dilakukan, maka diperoleh kesimpulan bahwa tidak ada satu variabel pun yang sangat nyata mempengaruhi WTP. Berdasarkan Probabilitas (P-value), maka variabel pendidikan, pendapatan, umur, jumlah tanggungan keluarga, dan lama menetap tidak nyata mempengaruhi WTP, dimana koefisien korelasi sebesar atau sebesar 12,01%, menunjukkan korelasi antara semua variabel dengan WTP tidak erat. Koefisien determinasi (R Square) sebesar 1.44% artinya variabel WTP dapat dijelaskan oleh semua variabel hanya sebesar 1.44%, sedangkan sisanya 98.56% disebabkan atau dipengaruhi oleh variabel lain. Berdasarkan analisis regresi diperoleh nilai WTP dengan persamaan linear sebagai berikut: WTP = a + b 1 X 1 + b 2 X 2 + b 3 X 3 + b 4 X 4 + b 5 X 5 WTP = X X X X X 5 WTP = Rp ,00 per individu, dimana jumlah populasinya sebesar jiwa, sehingga nilai WTP total adalah; WTP Total = Rp ,00 x = Rp , Pendugaan Total Nilai Ekonomi Hutan Mangrove Nilai Ekonomi Total (NET) bermanfaat untuk mengilustrasikan hubungan timbal balik antara ekonomi dan lingkungan yang diperlukan untuk melakukan pengelolaan sumberdaya alam yang baik, dan menggambarkan keuntungan atau kerugian yang berkaitan dengan pilihan kebijakan dan program pengelolaan SDA,

84 73 sekaligus bermanfaat dalam menciptakan keadilan dalam distibusi manfaat SDA tersebut (Ramdan et al. 2003). Berdasarkan hasil identifikasi dan kuantifikasi seluruh manfaat hutan mangrove yang diperoleh di Kecamatan Merawang. maka nilai keseluruhan dapat dilihat pada Tabel 32. Tabel 32 Nilai Total Ekonomi Hutan Mangrove di Kecamatan Merawang Tahun 2007 No Kategori Manfaat Rp per ha per tahun Rp per tahun 1 Manfaat Langsung Aktual , ,24 2 Manfaat Tidak Langsung , ,00 3 Manfaat Pilihan , ,00 4 Manfaat Keberadaan , ,00 Total , ,24 Sumber : Data Primer (Lampiran 7), Nilai ekonomi total hutan mangrove dapat diketahui setelah menjumlahkan hasil dari penilaian manfaat hutan mangrove secara keseluruhan. Pada Tabel 32 disajikan, bahwa nilai manfaat hutan mangrove tertinggi yaitu manfaat tidak langsung dan memiliki persentase paling besar dibandingkan dengan manfaat lainnya. Gambar 13 menyajikan proporsi nilai manfaat ekonomi total dari hutan mangrove. Manfaat tidak langsung dengan persentase 99,17% dengan nilai sebesar Rp ,00 per tahun. Nilai tersebut lebih besar dari pada nilai manfaat lain, karena manfaat fisik berupa penahan abrasi dan manfaat biologi untuk produksi rumah tangga perikanan (nelayan), ternyata memiliki nilai paling yang tinggi. Kuantifikasi manfaat lainnya, diperoleh nilai manfaat langsung yang aktual sebesar Rp ,24 per tahun atau 0,72%, manfaat pilihan sebesar Rp ,00 per tahun atau 0,0017% dan manfaat keberadaan sebesar Rp ,00 atau 0,11%. Nilai ekonomi total ekosistem hutan mangrove di Kecamatan Merawang yang seluas 12,50 ha untuk hutan mangrove dan 146,50 ha untuk tambak per tahun sebesar Rp ,24. Nilai ekonomi total tersebut mengindikasikan bahwa sumberdaya alam dan lingkungan memerlukan penghargaan yang lebih tinggi dan memang menjadi dasar informasi secara kuantitatif untuk menentukan berbagai pilihan kebijakan, baik kebijakan fiskal

85 74 maupun moneter, penyesuaian struktural dan upaya stabilisasi, karena mempunyai dampak terhadap sektor yang bergantung pada sumberdaya alam. Gambar 13 Proporsi Nilai Manfaat Ekonomi Total Hutan Mangrove Tahun Penilaian dampak pembangunan terhadap sumberdaya alam dan lingkungan merupakan suatu langkah menuju pengelolaan sumberdaya alam secara berkelanjutan. Menurut Ramdan et al. (2003) bahwa nilai ekonomi total tersebut belum dapat mencakup keseluruhan nilai sumberdaya tersebut, hal ini disebabkan karena banyak fungsi ekosistem dan prosesnya yang sulit dianalisis secara ilmiah (scientific), tetapi hasil penilaian ekonomi tersebut tetap sangat berguna dalam pengambilan keputusan, pemanfaatan dan penciptaan keadilan dalam pemanfaatan sumberdaya alam. 6.7 Estimasi Discount Rate Discount rate merupakan rate untuk mengukur manfaat masa kini dibandingkan dengan manfaat yang akan datang dari eksploitasi sumberdaya alam. Discount rate dalam penilaian ekonomi-ekologi sumberdaya alam akan sangat berbeda dngan discount rate yang biasa digunakan dalam analisis finansial. Pada analisis ini dipakai dua nilai discount rate yaitu nilai discount rate berbasis pasar (market discount rate) dan nilai discount rate berbasis pendekatan Ramsey. Tingkat pemanfaatan sumberdaya alam oleh masyarakat dalam rangka memenuhi kebutuhan hidupnya menggambarkan persepsi masyarakat terhadap sumberdaya alam itu sendiri, sehingga disebut juga dengan discount ratenya

86 75 sebagai social discount rate. Di negara-negara berkembang seperti Indonesia, biasanya tingkat social discount rate tinggi, karena menganggap nilai masa depan dari sumberdaya alam dan lingkungan itu lebih rendah dari saat ini. Hasil perhitungan real discount rate dengan teknik Kula ini akan diperoleh laju pertumbuhan dari PDRB Kabupaten Bangka, yaitu dengan nilai g=0, atau 14,19% (Lampiran 19). Standar elastisitas pendapatan terhadap konsumsi sumberdaya alam ditentukan berdasar pendekatan Brent (1990) diacu dalam Anna (2003) sebesar 1, ρ diasumsikan sama dengan nilai nominal saat ini (current nominal discount rate) sebesar 8%. Karena nilai g yang diperoleh lebih tinggi dari nilai ρ, maka nilai r langsung diambil dari nilai g tersebut yaitu 0, Nilai r tersebut kemudian dijustifiksi untuk menghasilkan real discount rate dalam bentuk annual continues discount rate melalui δ = ln( 1+ r), yaitu sebesar 0, atau 13,27%. Angka tingkat diskon ini selanjutnya digunakan sebagai discount rate pada perhitungan untuk analisis biaya-manfaat terhadap beberapa alternatif alokasi pemanfaatan ekosistem mangrove dari sumberdaya hutan mangrove di Kecamatan Merawang, Kabupaten Bangka. Tingkat suku bunga (discount rate) lain yang digunakan untuk analisis biaya-manfaat terhadap beberapa alternatif alokasi pemanfaatan ekosistem mangrove, adalah suku bunga riil sebesar 1,74% (Agustus 2007) dari suku bunga nominal sebesar 8,25% (Agustus 2007) dikurangi dengan laju inflasi 6,51% (Agustus 2007),) serta 10%. Menurut (Fauzi 2004) bahwa karena adanya faktor inflasi yang sangat berkorelasi erat dengan discount rate, maka pengukuran nilai discount rate harus diukur dalam nilai riil, dimana nilai ini diukur dari nilai discount rate nominal dikurangi dengan laju inflasi. Nilai optimal dari manfaat langsung kondisi aktual tersebut, perlu diketahui karena sebagai dasar dalam penentuan alternatif dan alokasi pengelolaan yang berkelanjutan. Analisis ekonomi melalui NPV dan BCR untuk masingmasing alternatif pemanfaatan ditentukan dari hasil net incremental benefit, dimana kondisi tanpa proyek adalah kondisi pemanfaatan yang aktual dan kondisi dengan proyek adalah kondisi optimal.

87 Alternatif Pemanfaatan Ekosistem Hutan Mangrove Berdasarkan hasil nilai ekonomi total hutan mangrove tersebut, maka dapat ditentukan model alternatif pengelolaan yang optimal, karena besarnya manfaat dan fungsi ekosistem hutan mangrove baik secara langsung maupun secara tidak langsung membutuhkan pengelolaan yang baik. Pengelolaan ekosistem hutan mangrove perlu dilakukan dengan optimal dan berkelanjutan, tidak hanya memanfaatkannya untuk mendapatkan keuntungan ekonomi semata, tetapi penting pula untuk memperhatikan aspek ekologis dan sumberdaya tersebut. Alternatif pengelolaan juga memerlukan evaluasi yang akan menentukan pilihan kebijakan pengelolaan. Tabel 33 menunjukkan bahwa total nilai keuntungan tertinggi diperoleh pada saat kondisi ekosistem mangrove seperti pada alternatif pemanfaatan VI dan V yaitu sebesar Rp ,17 dan Rp ,42, total nilai keuntungan terendah diperoleh pada alternatif pemanfaatan III sebesar Rp ,67. Evaluasi dari suatu keputusan untuk menentukan pilihan dan pemanfaatan. yaitu melakukan perbandingan antara biaya, manfaat dan nilai ekonomi total yang diperoleh. Pemanfaatan hutan mangrove karena bersifat intertemporal. Menurut Fauzi (2004) bahwa pilihan intertemporal menyangkut membandingkan nilai atau manfaat ekonomi dari sumber daya alam pada periode waktu yang berbeda, dimana pengambilan keputusan yang bersifat intertemporal adalah melalui proses discounting. Evaluasi kelayakan jenis pemanfaatan hutan mangrove dari hasil penelitian diketahui melalui kriteria kelayakan usaha, berupa Net Present Value (NPV), penjumlahan nilai rupiah di masa mendatang dinilai pada waktu kini yang didiskon pada setiap periode. Cost Benefit Analysis (CBA) untuk membandingkan besarnya biaya pemanfaatan termasuk biaya lingkungan dengan besarnya manfaat optimal yang diperoleh.

88 77 Tabel 33 Nilai Manfaat Total dan Manfaat Bersih dari Alternatif Pemanfaatan No Alternatif Nilai Manfaat Total Biaya Manfaat Bersih Pemanfaatan Total (Rp) (Rp) (Rp) 1 Alternatif Pemanfaatan I , , ,92 2 Alternatif Pemanfaatan II , , ,75 3 Alternatif Pemanfaatan III , , ,67 4 Alternatif Pemanfaatan IV , , ,96 5 Alternatif Pemanfaatan V , , ,42 6 Alternatif Pemanfaatan VI , , ,17 Sumber : Data Primer (Lampiran 8 19), a) Hutan Mangrove pada Alternatif Pemanfaatan I (Optimal) Pada saat penelitian berlangsung, total ekosistem hutan mangrove menjadi tambak seluas 146,50 ha dengan pola polikultur (Udang + Ikan Bandeng seluas 21,00 ha), monokultur (Udang dan Ikan Bandeng masing-masing seluas 13,50 ha dan 112,00 ha) dengan sisa hutan mangrove hanya seluas 12,50 ha. Dengan melakukan analisis ekonomi terhadap nilai optimal untuk manfaat langsung, maka diketahui nilai NPV dan BCR untuk total nilai ekonomi dari kondisi awal optimal hutan mangrove di Kecamatan Merawang, seperti yang disajikan pada Tabel 34 dan Gambar 14. Tabel 34 Hasil Analisis Ekonomi pada Berbagai Tingkat Suku Bunga untuk Alternatif Pemanfaatan I No Suku Bunga (%) Net Present Value Benefit Cost Ratio 1 13,27 ( ,77) 0, ,00 ( ,02) 0,04 3 1,74 ( ,40) 0,05 Sumber : Data Primer (Lampiran 9), 2007.

89 78 Gambar 14 Perbandingan Hasil Analisis Ekonomi dengan Berbagai Tingkat Suku Bunga pada Ekosistem Hutan Mangrove Alternatif Pemanfaatan I. Berdasarkan perhitungan analisis ekonomi dengan discount rate (tingkat suku bunga) dalam jangka waktu analisis 10 (sepuluh) tahun, diperoleh nilai Net Present Value (NPV) yang sangat rendah atau tidak layak karena nilai NPV yang diperoleh < 0 yaitu sebesar Rp( ,77) dan Benefit Cost Ratio (BCR) 0,03 pada suku bunga 13,27%. Nilai NPV tertinggi pada suku bunga 1,74% adalah sebesar Rp( ,40) dan BCR 0,05. Suku bunga 10,00% pada kondisi aktual saat penelitian juga menunjukkan nilai ekonomi yang rendah, nilai NPV diperoleh sebesar Rp( ,02) dan BCR 0,04. b) Alternatif Pemanfaatan II Alternatif pemanfaatan kedua menggambarkan kondisi ekosistem hutan mangrove dengan tambak ditentukan berdasarkan kondisi awal yang optimal, hutan mangrove (12,50 ha) dan tambak (polikultur Udang + Ikan Bandeng 21,00 ha, monokultur Udang 0 ha dan monokultur lkan Bandeng 125,50 ha). Hasil analisis ekonomi ekosistem hutan mangrove pada alternatif pemanfaatan II dapat dilihat pada Tabel 35, begitu juga dengan Gambar 15 yang menggambarkan perbandingan hasil analisis ekonomi dengan berbagai tingkat suku bunga. Tabel 35 Hasil Analisis Ekonomi pada Berbagai Tingkat Suku Bunga untuk Alternatif Pemanfaatan II No Suku Bunga (%) Net Present Value Benefit Cost Ratio 1 13,27 ( ,08) 0, ,00 ( ,65) 0,03 3 1,74 ( ,55) 0,04 Sumber : Data Primer (Lampiran 11), 2007.

90 79 Gambar 15 Perbandingan Hasil Analisis Ekonomi dengan Berbagai Tingkat Suku Bunga pada Ekosistem Hutan Mangrove Alternatif Pemanfaatan II. Berdasarkan hasil analisis ekonomi seperti pada Tabel 35 diketahui, bahwa pada alternatif pemanfaatan II diperoleh nilai Net Present Value (NPV) ekosistem hutan mangrove yang juga rendah atau tidak layak, yaitu sebesar Rp( ,08) pada tingkat suku bunga 13,27%, nilai Benefit Cost Ratio juga tidak layak sebesar 0,02. Nilai NPV pada tingkat suku bunga 10,00% sebesar Rp( ,65) dan BCR 0,03. Pada suku bunga 1,74%, nilai NPV sebesar Rp( ,55) dan nilai BCR 0,04. c) Alternatif Pemanfaatan III Pada alternatif pemanfaatan ketiga ini, perbandingan antara luasan hutan mangrove dengan tambak adalah hutan mangrove 12,50 ha dan tambak (monokultur Udang 0 ha, monokultur Ikan Bandeng 112,00 ha dan polikultur Ikan Bandeng + Udang 34,50 ha ), hasil analisis ekonomi terlihat pada Tabel 36 dan Gambar 16 menunjukkan perbandingan hasil analisis ekonomi dengan berbagai tingkat suku bunga pada ekosistem hutan mangrove alternatif pemanfaatan III. Tabel 36 Hasil Analisis Ekonomi pada Berbagai Tingkat Suku Bunga untuk Alternatif Pemanfaatan III No Suku Bunga (%) Net Present Value Benefit Cost Ratio 1 13,27 ( ,27) 0, ,00 ( ,10) 0,03 3 1,74 ( ,69) 0,04 Sumber : Data Primer (Lampiran 13), 2007.

91 80 Gambar 16 Perbandingan Hasil Analisis Ekonomi dengan Berbagai Tingkat Suku Bunga pada Ekosistem Hutan Mangrove Alternatif Pemanfaatan III. Pada alternatif pemanfaatan III, diperoleh hasil analisis ekonomi berupa Net Present Value (NPV) dan Benefit Cost Ratio (BCR). Nilai NPV diperoleh juga sangat rendah dan tidak layak sebesar Rp( ,27), dan nilai BCR juga tidak layak sebesar 0,03 ketika tingkat suku bunga sebesar 13,27%. Begitu juga pada tingkat suku bunga 10,00%, nilai NPV sebesar Rp( ,10) dan nilai BCR 0,03. Pada tingkat suku bunga mencapai 1,74%, nilai NPV masih rendah sebesar Rp( ,69) dan nilai BCR 0,04. d) Alternatif Pemanfaatan IV Alternatif pemanfaatan keempat menggambarkan kondisi ekosistem hutan mangrove, dengan perbandingan bahwa untuk hutan mangrove (26,00 ha) dan untuk tambak (tambak monokultur Udang 0 ha, tambak monokultur Ikan Bandeng 112,00 ha dan tambak polikultur 21,00 ha). Tabel 37 dan Gambar 17 menyajikan hasil analisis ekonomi pada berbagai tingkat suku bunga untuk alternatif pemanfaatan IV. Tabel 37 Hasil Analisis Ekonomi pada Berbagai Tingkat Suku Bunga untuk Alternatif Pemanfaatan IV No Suku Bunga (%) Net Present Value Benefit Cost Ratio 1 13,27 ( ,29) 0, ,00 ( ,15) 0,11 3 1,74 ( ,53) 0,17 Sumber : Data Primer (Lampiran 14), 2007.

92 81 Gambar 17 Perbandingan Hasil Analisis Ekonomi dengan Berbagai Tingkat Suku Bunga pada Ekosistem Hutan Mangrove Alternatif Pemanfaatan IV. Hasil analisis ekonomi seperti terlihat pada Tabel 38, diperoleh nilai Net Present Value (NPV) dan Benefit Cost Ratio yang juga belum layak, nilai terendah pada tingkat suku bunga 13,27%, masing-masing sebesar Rp( ,29) dan 0,10. Nilai NPV terendah lainnya sebesar Rp( ,15) pada suku bunga 10% dan nilai BCR 0,11. Pada tingkat suku bunga 1,74%, nilai NPV sebesar Rp( ,53) dan nilai BCR 0,17. e) Alternatif Pemanfaatan V Alternatif pemanfaatan keenam menggambarkan kondisi ekosistem hutan mangrove dengan perbandingan bahwa untuk hutan mangrove (12,50 ha) dan untuk tambak (tambak monokultur Udang 0 ha, tambak monokultur Ikan Bandeng 0 ha, dan tambak polikultur 146,50 ha). Hasil analisis ekonominya dapat dilihat pada Tabel 38 dan Gambar 18. Tabel 38 Hasil Analisis Ekonomi pada Berbagai Tingkat Suku Bunga untuk Alternatif Pemanfaatan V No Suku Bunga (%) Net Present Value Benefit Cost Ratio 1 13, ,90 2, , ,79 2,65 3 1, ,37 3,92 Data Primer (Lampiran 19), 2007.

93 82 Gambar 18 Perbandingan Hasil Analisis Ekonomi dengan Berbagai Tingkat Suku Bunga pada Ekosistem Hutan Mangrove Alternatif Pemanfaatan V. Pada Alternatif pemanfaatan V, diperoleh hasil analisis ekonomi berupa Net Present Value (NPV) dan Benefit Cost Ratio (BCR). Nilai NPV tertinggi diperoleh pada saat tingkat suku bunga 1,74% sebesar Rp ,37 dengan nilai BCR juga sebesar 3,92. Begitu juga pada tingkat suku bunga 10,00%, masih diperoleh nilai NPV yang cukup besar yaitu Rp ,79 dan nilai BCR sebesar 2,65. Pada tingkat suku bunga 13,27% nilai NPV yang didapat lebih rendah sebesar Rp ,90 dengan nilai BCR 2,31. f) Alternatif Pemanfaatan VI Alternatif pemanfaatan kelima menggambarkan kondisi ekosistem 100% hutan mangrove, apabila tanpa dilakukan konversi untuk lahan budidaya tambak. baik pola usaha monokultur maupun polikultur. Tabel 39 dan Gambar 19 memperlihatkan hasil analisis ekonomi pada berbagai tingkat suku bunga untuk alternatif pemanfaatan VI, sehingga diketahui nilai NPV dan BCR. Tabel 39 Hasil Analisis Ekonomi pada Berbagai Tingkat Suku Bunga untuk Alternatif Pemanfaatan VI No Suku Bunga (%) Net Present Value Benefit Cost Ratio 1 13, ,52 2, , ,18 2,83 3 1, ,84 4,20 Sumber : Data Primer (Lampiran 17), 2007.

94 83 Gambar 19 Perbandingan hasil Analisis Ekonomi dengan Berbagai Tingkat Suku Bunga pada Ekosistem Hutan Mangrove Alternatif Pemanfaatan VI. Berdasarkan hasil analisis ekonomi seperti pada Tabel 39 diketahui, bahwa pada alternatif pemanfaatan VI diperoleh nilai Net Present Value (NPV) dan Benefit Cost ratio (BCR) sangat tinggi sebesar Rp ,84 dan 4,20 pada suku bunga 1,74%. Nilai terendah pada suku bunga 13,27% yaitu NPV sebesar Rp ,52 dan BCR 2,47. Pada suku bunga 10,00% menghasilkan nilai NPV sebesar Rp ,18 dan nilai BCR 2, Penentuan Prioritas Pilihan Alternatif Pemanfaatan Hasil analisis ekonomi pada berbagai tingkat suku bunga untuk alternatif pemanfaatan I sampai dengan alternatif pemanfaatan VI, maka diperoleh bahwa alternatif pemanfaatan VI merupakan alternatif yang paling tinggi nilai ekonomi atau menguntungkan secara analisis biaya-manfaat, dengan menggunakan dua kategori kelayakan investasi, yaitu NPV dan BCR. Alternatif pemanfaatan IV,III, II dan I menunjukkan nilai yang sangat rendah untuk Net Present Value dan nilai Benefit Cost Ratio, yang berasal dari net incremental benefit. Hal ini disebabkan nilai net benefit untuk kondisi aktual sebagai nilai tanpa proyek lebih tinggi. Nilai ekonomi yang paling rendah adalah pada saat kondisi ekosistem hutan mangrove seperti pada alternatif pemanfaatan I dengan luas hutan mangrove hanya 12,50 ha dan tambak (polikultur 21,00 ha, monokultur Udang 13,50 ha dan monokultur Ikan Bandeng 112,00 ha). Perbandingan nilai NPV dengan BCR pada beberapa tingkat suku bunga, terlihat pada Gambar 19 sampai dengan Gambar 24, terlihat bahwa dengan tingkat suku bunga yang semakin tinggi maka nilai NPV dan BCR akan semakin rendah.

95 84 Hal ini merupakan implikasi dari teori yang dikemukakan oleh Harold Hotelling (Hotelling Rule) yang menyebutkan bahwa pilihan untuk mengeksploitasi (mengonsumsi) sumberdaya alam sangat dipengaruhi oleh tingkat suku bunga. Semakin tinggi tingkat suku bunga, orang akan makin terpacu untuk mengeksploitasi lebih banyak dan lebih cepat, karena mengharapkan keuntungan dari hasil eksploitasi sumberdaya alam. Rasional yang mementingkan keuntungan jangka pendek seperti inilah yang membuat alokasi sumberdaya alam menjadi tidak lestari, seperti ditunjukkan dengan nilai NPV dan BCR yang paling rendah dengan tingkat suku bunga yang paling tinggi. Nilai NPV maupun nilai BCR pada setiap alternatif, dengan menggunakan suku 13,27%, menunjukkan posisi yang paling rendah. Nilai NPV dan nilai BCR dengan suku bunga 1,74% pada setiap alternatif pemanfaatan, menggambarkan posisi yang tertinggi, namun tidak berbeda jauh dari nilai NPV dan nilai BCR pada suku bunga 10,00%. Sehingga dapat dikatakan bahwa semakin rendah tingkat suku bunga rill, maka nilai ekonomi semakin tinggi. Menurut Fauzi (2004) diacu dalam Budiyana (2005) bahwa discount rate untuk analisis ekonomi dalam pengelolaan sumberdaya adalah < 10%. Penentuan prioritas pilihan untuk alternatif pemanfaatan yang strategis, perlu mempertimbangkan kriteria efisiensi, kriteria sosial (equity) dan kriteria ekologi (sustainable) dalam menentukan pilihan kebijakan pengelolaan yang berkelanjutan. Hal tersebut penting, menurut Ramdan et al.(2003) bahwa isu konflik sumberdaya alam secara umum banyak menyangkut alokasi dan distribusi SDA yang adil, ekonomis dan ramah lingkungan. Alternatif pemanfaatan strategis diharapkan dapat bermanfaat bagi masyarakat setempat dan tetap memperhatikan fungsi ekonomi (efisiensi), sosial (equity) dan ekologi (sustainable) oleh generasi yang akan datang. Tabel 40 menyajikan manfaat bersih dari manfaat langsung untuk alternatif pemanfaatan. Pilihan alternatif pemanfaatan strategis, akan menyeimbangkan fungsi ekonomi dengan ekologi maupun sosial. Keseimbangan fungsi ekologi dan ekonomi pada pilihan alternatif strategis, diharapkan dapat menjaga kelestarian lingkungan agar sesuai dengan fungsi ekosistem hutan mangrove, yaitu fungsi fisik, biologi ataupun ekonomi Dahuri et al. (1996), menyatakan bahwa secara

96 85 garis besar ekosistem hutan mangrove mempunyai dua fungsi utama, yaitu fungsi ekologis dan fungsi sosial ekonomi. Tabel 40 Nilai Manfaat Langsung dan Manfaat Bersih dari Alternatif Pemanfaatan Total Manfaat Net Present Value No Alternatif Total Biaya Manfaat Bersih Langsung (Suku Bunga Pemanfaatan (Rp)/tahun (Rp)/tahun (Rp)/tahun 1,74%) 1 Kondisi Aktual , , ,35 - Alternatif 2 Pemanfaatan I , , ,36 ( ,40) Alternatif Pemanfaatan II , , ,67 ( ,55) Alternatif Pemanfaatan III , , ,12 ( ,69) Alternatif Pemanfaatan IV , , ,92 ( ,53) Alternatif Pemanfaatan V , , ,403, ,37 Alternatif Pemanfaatan VI , , , ,84 Sumber : Data Primer (Lampiran 7 19), Pada Tabel 40 menunjukkan bahwa manfaat bersih dari kondisi aktual yang terendah sebesar Rp ,35, dimana total biaya yang dikeluarkan sebesar Rp ,34 dan manfaat langsung yang diperoleh Rp ,24. Nilai Net Present Value (NPV) tertinggi diperoleh pada tingkat suku bunga 1,74% dengan nilai sebesar Rp ,84 pada alternatif pemanfaatan VI, disusul dengan alternatif pemanfaatan V dengan jumlah Rp ,37. Kondisi aktual akan dioptimalkan dan menjadi dasar untuk penentuan alternatif pemanfaatan. Manfaat bersih tertinggi pada alternatif pemanfaatan VI sebesar Rp ,26, karena total biaya yang dikeluarkan jauh lebih rendah dari total manfaat langsung yang diperoleh. Alternatif pemanfaatan VI menjadi prioritas utama dalam pengambilan keputusan pengelolaan yang strategis, berdasarkan keseimbangan antara kriteria efisiensi dengan kriteria ekologi baik pada tingkat suku bunga 13,27%, 10,00% maupun pada saat tingkat suku bunga 1,74% (hutan mangrove 100% dan tambak 0%), tetapi kenyataan di lokasi penelitian sangatlah sulit menjadikan kondisi ekosistem mangrove seperti alternatif tersebut, selain karena sekarang ini masyarakat yang berdomisili di sekitar ekosistem hutan mangrove cukup padat,

97 86 juga karena ekosistem telah menjadi lahan untuk mencari nafkah, sehingga kondisi kesejahteraan masyarakat yang ada disekitar ekosistem hutan mangrove masih rendah. Untuk itu diperlukan suatu alternatif pemanfaatan atau model pengelolaan yang nantinya dapat dimanfaatkan oleh masyarakat sekitar dengan tetap memperhatikan fungsi lingkungan. Alternatif pemanfaatan V menjadi prioritas berikutnya (hutan mangrove 12,50 ha dan tambak polikultur 146,50 ha, sedangkan tambak monokultur Ikan Bandeng dan Udang masing-masing seluas 0 ha), dengan pertimbangan kepentingan kesejahteraan masyarakat dan lingkungan. Selain itu, harus ada sebagian kawasan hutan pantai yang dijadikan sebagai kawasan penyangga atau kawasan konservasi, sehingga kondisi lingkungan akan tetap terjaga, untuk dapat dirasakan dan dimanfaatkan baik nilai fisik, biologi dan ekonominya oleh generasi yang akan datang. Sumberdaya sebagai faktor input dalam kegiatan perekonomian, maka tiap pilihan untuk memanfaatkan atau tidak memanfaatkannya menimbulkan konsekuensi atau dampak, baik berupa manfaat (gain) maupun kerugian (loss), yang pada akhirnya berpengaruh terhadap tingkat kesejahteraan masyarakat dan perekonomian wilayah secara keseluruhan. Konsekuensi atau dampak dari pengelolaan sumberdaya tersebut meliputi konsekuensi ekonomi, sosial dan lingkungan. Fauzi (2000) menyatakan bahwa pada pembangunan ekonomi, sumberdaya alam memegang peranan yang sangat penting, selain menyediakan barang dan jasa juga menjadi tulang punggung dari pertumbuhan ekonomi dan sumber penghasilan masyarakat serta merupakan aset negara. Selain itu sumberdaya alam khususnya yang berada pada wilayah pesisir juga memainkan peranan yang penting dilihat dari segi ekologis, diantaranya sebagai penyeimbang ekosistem. Fungsi ekologi berupa fungsi fisik maupun fungsi biologi. Fungsi fisik diantaranya dapat menjaga garis pantai agar tetap stabil, melindungi pantai dan tebing sungai, mencegah erosi laut serta perangkap zat-zat pencemar dan limbah, mencegah intrusi garam (salt intrusion) ke arah darat, dapat memperluas wilayah darat. Fungsi biologi dapat berupa tempat asuhan larva, tempat bertelur, tempat memijah dan mencari makan untuk organisme yang bernilai ekonomis khususnya

98 87 ikan dan udang, sebagai habitat berbagai satwa liar antara lain reptil, mamalia, burung dan sebagainya. Fungsi ekonomi, berupa output dari ekosistem hutan mangrove yang dapat dikomersialkan maupun subsisten, hasil yang berupa kayu (kayu bakar, kayu bangunan, arang, papan, tiang, pagar ataupun sebagai alat yang membantu dalam penangkap ikan), makanan, minuman dan obat-obatan, maupun untuk peralatan rumah tangga. Fungsi sosial, berupa pemerataan pendapatan dari usaha pemanfaatan ekosistem mangrove, sehingga kehidupan bermasyarakat dari rumah tangga perikanan sebagai masyarakat pemanfaat akan cenderung meminimumkan terjadinya konflik pemanfaatan. Pemanfaatan ekosistem hutan mangrove merupakan proses pengambilan keputusan yang memiliki dimensi yang kompleks. Seyogyanya merupakan keputusan yang harus didahului oleh penimbangan terhadap serangkaian pilihan atau alternatif. Setiap alternatif akan menghasilkan output (manfaat maupun kerugian) yang berbeda dan memiliki kontribusi yang berbeda terhadap perekonomian wilayah. Adanya informasi tentang dampak yang berbeda pada tiap alternatif pemanfaatan merupakan bahan pertimbangan yang penting untuk mengambil keputusan, serta menentukan langkah-langkah yang diperlukan dalam pengelolaan ekosistem hutan mangrove, sehingga pemanfaatan ekosistem hutan mangrove akan menghasilkan manfaat yang optimal dalam arti, memaksimalkan manfaat atau meminimalkan kerugian. Aspek kelembagaan merupakan aspek yang juga penting dalam pengelolaan ekosistem hutan mangrove, karena aspek inilah yang dapat menggerakkan aspek ekonomi dari suatu pengelolaan sumberdaya. Pengelolaan sumberdaya memberikan implikasi terhadap kegiatan perekonomian lainnya, terutama perikanan. Hal ini menunjukkan perlunya suatu aturan main yang mengolaborasi kegiatan perikanan dalam pengelolaan ekosistem mangrove, baik dari sisi produktivitas perikanan maupun aspek pemberdayaan masyarakat disekitar ekosistem hutan mangrove, juga upaya pengendalian yang ketat untuk meminimumkan dampak lingkungan, sehingga pelaksanaan alternatif pemanfaatan juga memerlukan koordinasi dan integrasi kebijakan antara pemerintah kabupaten, provinsi dan pusat.

99 VII. KESIMPULAN DAN SARAN 7.1 Kesimpulan 1) Pemanfaatan langsung ekosistem hutan mangrove di Kecamatan Merawang oleh masyarakat, baik sebagai usaha subsisten mau pun yang komersial, adalah berupa pemanfaatan dari hasil tambak, kayu bakar, kepiting dan bibit bakau. 2) Utility terbesar adalah dari hasil tambak ikan bandeng dan udang (polikultur) sebesar Rp ,95 dan surplus konsumen sebesar Rp ,20 per hektar per tahun. 3) Jenis pemanfaatan dengan nilai manfaat langsung optimal per hektar per tahun paling besar adalah penangkapan kepiting sebesar Rp ,12, sehingga keuntungan optimal adalah sebesar Rp ,00 per ha untuk 11 (sebelas) RTP. Keuntungan optimal yang paling rendah adalah sebesar Rp42.121,02 dari pemanfaatan tambak ikan bandeng. 4) Total manfaat langsung aktual yang tertinggi diperoleh dari pemanfaatan hasil tambak ikan bandeng sebesar Rp ,72, sehingga keuntungan diperoleh juga tertinggi sebesar Rp ,79 dari luas lahan 112,00 ha. Keuntungan dari manfaat aktual yang paling rendah dari pemanfaatan tambak udang sebesar Rp ,77. 5) Nilai manfaat hutan mangrove tertinggi yaitu manfaat tidak langsung, dan memiliki persentase paling besar dibandingkan dengan manfaat lainnya. Manfaat tidak langsung 99,17% dengan nilai sebesar Rp ,00 per tahun. 6) Nilai ekonomi total ekosistem hutan mangrove di Kecamatan Merawang yang seluas 12,50 ha untuk hutan mangrove dan 146,50 ha untuk tambak, per tahun sebesar Rp ,24. 7) Analisis ekonomi terhadap alternatif pemanfaatan dilakukan untuk mengetahui pengelolaan ekosistem hutan mangrove yang paling optimal, nilai NPV dan BCR tertinggi pada saat suku bunga mencapai 1,74%. 8) Nilai NPV dan BCR sebagai indikator untuk kriteria efisiensi, pemerataan pendapatan untuk kriteria keadilan (equity) dan perubahan luasan mangrove

100 89 untuk kriteria ekologi, ternyata alternatif pemanfaatan VI memberikan nilai paling tinggi setelah di standarisasi. 9) Prioritas utama alternatif pemanfaatan strategis ekosistem hutan mangrove di Kecamatan Merawang adalah alternatif pemanfaatan VI, yang memenuhi kriteria efisiensi, equity dan ekologi, prioritas selanjutnya adalah alternatif pemanfaatan IV. Alternatif pemanfaatan V, III, II dan I tidak bisa digunakan sebagai alternatif pilihan dalam pemanfaatan strategis dari ekosistem hutan mangrove, dengan nilai NPV < 0 dan BCR < 1 sebagai indikator dari kriteria efisiensi. 7.2 Saran 1) Pemanfaatan ekosistem hutan mangrove selain memperhatikan kepentingan masyarakat dan pemerintah, juga perlu memperhatikan keseimbangan ekologi yang berkelanjutan. 2) Pemanfaatan yang strategis tidak melalui peningkatan konversi lahan, tetapi peningkatan produktifitas, dan perlu adanya program rehabilitasi hutan mangrove. 3) Alternatif pemanfaatan V menjadi prioritas pilihan karena lebih mudah dilaksanakan dan juga memenuhi kriteria efisiensi, equity dan ekologi. 4) Perlu adanya pendidikan pengelolaan ekosistem mangrove secara berkelanjutan dan sosialisasi manfaat ekosistem mangrove bagi masyarakat, baik manfaat ekonomis mau pun ekologis.

101 DAFTAR PUSTAKA Adrianto L Ekonomi dan Pengelolaan Mangrove dan Terumbu Karang. Pada Program Pascasarjana Ekonomi Sumberdaya Kelautan Tropika, Bogor: Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Lautan-IPB. Institut Pertanian Bogor. Adrianto L and Y Matsuda Study on Assessing Economic Vulnerability of Small Island Regions. Development and Sustainability 6 : Apriliawati S, Analisis Ekonomi Pemanfaatan Ekosistem Mangrove di Kawasan Batu Ampar Kabupaten Pontianak. [Tesis]. Bogor; Sekolah Pasca Sarjana, Institut Pertanian Bogor. Anna S Model Embedded Dinamik Ekonomi Interaksi Perikanan- Pencemaran [Disertasi]. Bogor: Program Pascasarjana, IPB Bogor. Bengen DG Sinopsis Ekosistem dan Sumberdaya Alam dan Pesisir dan Laut serta Prinsip Pengelolaannya. Bogor: Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Lautan-IPB. Institut Pertanian Bogor. Dahuri R Integrasi Kebijakan Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Pulau- Pulau Kecil. Jakarta. Makalah disampaikan pada Lokakarya Nasional Pengelolaan Ekosistem Mangrove Keanekaragaman Hayati Laut. Jakarta. PT Gramedia. Dahuri R et al Pengelolaan Sumberdaya Wilayah Pesisir dan Lautan Secara Terpadu. Jakarta. PT Pradnya Paramita. [Ditjen RPLS] Kebijakan Departemen Kehutanan dalam Pengelolaan Ekosistem Hutan Mangrove. Jakarta. Departemen Kehutanan. Faisal S Format-format Penelitian Sosial. Jakarta. PT Raja Grafindo Persada. Fauzi A. 1999a. Makalah Metode Valuasi Ekonomi Dampak Lingkungan. Seminar The Role of Economic Valuation in EIA, PPSMI UI Jakarta 18 November b. Teknik Valuasi Ekosistem Mangrove. Bahan Pelatihan Management for Mangrove Forest (Rehabilitation). Bogor, Oktober Persepsi terhadap Nilai Eknomi Sumberdaya. Bahan Pelatihan untuk Pelatih Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dn Lautan. Universitas Dipenogoro, Semarang: 4-8 Maret.

102 Ekonomi Sumberdaya Alam dan Lingkungan. Jakarta. PT Gramedia. Hadi P, Nurwadjedi, Y Suwarno Pedoman Umum Penyusunan Neraca Sumberdaya Alam Kelautan Spasial. Jawa Barat. Pusat Survei Sumberdaya Badan Alam Koordinasi Survei dan Pemetaan Nasional (BAKOSURTANAL). Ismawan I Resiko Ekologis di Balik Pertumbuhan Ekonomi. Yogyakarta. Medio Pressindo. Kovacs JM Assessing Mangrove Use at The Local Scale. J Lanscape and Urban Planning 43: Kramer RA et al Valuing Tropical Forest. Washington DC. The World Bank. Kula E Derivation of Social Time Preference Rates for the U.S and Canada. Quarterly Journal of Economics, 99: Kusmana C Manajemen Hutan Mangrove di Indonesia. Lab. Ekologi Hutan, Fakulatas Kehutanann IPB. Bogor. Kusumastanto T Ekonomi Sumberdaya Alam dan Lingkungan. [Makalah] Bogor. Program Pascasarjana. Institut Pertanian Bogor. McNeely JA Ekonomi dan Keanekaragaman Hayati. Kusdyantinah Penterjemah. Jakarta : Yayasan Obor Indonesia. Terjemahan dari : Economics and Biological Diversity. Munasinghe M Economic and Policy Issues in Natural Habits and Protected crew. Protected Area Economics and Policy : Lingking Conservation and Sustainable Development. Edited by Mohan Munasinghe and Jeffrey McNeely. Washington DC. The World Bank. Naamin N Penggunaan Hutan Mangrove untuk Budidaya Tambak Keuntungan dan Kerugian. Makalah dalam Prosiding Seminar IV Ekosistem Hutan Mangrove MAB Indonesia LIPI. Bandar Lampung. Newell R. and W Pizer Discounting the Distant Future: How Much Do Uncertain Rate Increase Valuations? Resources for the Future. Washington, DC. Noer et al Panduan Pengenal Mangrove di Indonesia. Bogor. WI-LP/PKA. Nunes et al Economic Valuation of Biodiversity : sense or nonsense. Ecological Economics 39 :

103 92 Nybakkken JW Biologi Laut, Suatu Pendekatan Ekologis. Alih Bahasa : Eidman M, Koesoebiono, D G Bengen, M Hutomo, S Sukardjo. Jakarta. PT Gramedia. Ruitenbeek HI Mangrove Management : An Economic Analysis of Management Option with a Focus an Bintury Bay Irian Jaya. EMDI. Ramdan et al Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Otonomi Daerah, Bandung. Algaprint. Soerianegara I Pengelolaan Sumberdaya Alam Bagian I. Bogor. Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Supriharyono Pelestarian dan Pengelolaan Sumberdaya Alam di Wilayah Pesisir Tropis. Jakarta. Gramedia. Yakin A Ekonomi Sumberdaya dan Lingkungan (Teori dan Kebijaksanaan Pembangunan Berkelanjutan). Jakarta. Akademika Presindo.

104 Lampiran 1 Peta Lokasi Penelitian 93

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Hutan Mangrove

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Hutan Mangrove II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Hutan Mangrove Hutan mangrove merupakan suatu formasi hutan yang berperan sebagai penyambung (interface) antara ekosistem daratan dengan ekosistem lautan karena peranannya inilah

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA

II. TINJAUAN PUSTAKA II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Hutan Mangrove Menurut Nybakken (1986) bahwa hutan mangrove adalah sebutan umum yang digunakan untuk menggambarkan suatu komunitas pantai tropik yang didominasi oleh beberapa species

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. kemampuan untuk tumbuh dalam perairan asin. pada iklim tropis dan sub tropis saja. Menurut Bengen (2002) hutan mangrove

TINJAUAN PUSTAKA. kemampuan untuk tumbuh dalam perairan asin. pada iklim tropis dan sub tropis saja. Menurut Bengen (2002) hutan mangrove II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Hutan Mangrove 1. Pengertian Hutan Mangrove Hutan mangrove merupakan komunitas vegetasi pantai tropis dan sub tropis, yang didominasi oleh beberapa jenis pohon mangrove mampu tumbuh

Lebih terperinci

ANALISIS EKONOMI ALTERNATIF PENGELOLAAN EKOSISTEM MANGROVE KECAMATAN BARRU KABUPATEN BARRU NURDIANA AZIS

ANALISIS EKONOMI ALTERNATIF PENGELOLAAN EKOSISTEM MANGROVE KECAMATAN BARRU KABUPATEN BARRU NURDIANA AZIS ANALISIS EKONOMI ALTERNATIF PENGELOLAAN EKOSISTEM MANGROVE KECAMATAN BARRU KABUPATEN BARRU NURDIANA AZIS SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2006 PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Wilayah pesisir Indonesia memiliki luas dan potensi ekosistem mangrove

BAB I PENDAHULUAN. Wilayah pesisir Indonesia memiliki luas dan potensi ekosistem mangrove BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Wilayah pesisir Indonesia memiliki luas dan potensi ekosistem mangrove yang cukup besar. Dari sekitar 15.900 juta ha hutan mangrove yang terdapat di dunia, sekitar

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. pengelolaan kawasan pesisir dan lautan. Namun semakin hari semakin kritis

PENDAHULUAN. pengelolaan kawasan pesisir dan lautan. Namun semakin hari semakin kritis PENDAHULUAN Latar Belakang Mangrove merupakan ekosistem yang memiliki peranan penting dalam pengelolaan kawasan pesisir dan lautan. Namun semakin hari semakin kritis kondisi dan keberadaannya. Beberapa

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. maupun terendam air, yang masih dipengaruhi oleh sifat-sifat laut seperti pasang

BAB I PENDAHULUAN. maupun terendam air, yang masih dipengaruhi oleh sifat-sifat laut seperti pasang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pesisir merupakan wilayah peralihan antara ekosistem darat dan laut. Menurut Suprihayono (2007) wilayah pesisir merupakan wilayah pertemuan antara daratan dan laut,

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN Latar Belakang

1. PENDAHULUAN Latar Belakang 1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pesisir dan laut Indonesia merupakan wilayah dengan potensi keanekaragaman hayati yang sangat tinggi. Sumberdaya pesisir berperan penting dalam mendukung pembangunan

Lebih terperinci

Analisis Ekonomi Alternatif Pengelolaan Ekosistem Mangrove di Kecamatan Bintan Timur Kabupaten Bintan. Oleh ABSTRACT

Analisis Ekonomi Alternatif Pengelolaan Ekosistem Mangrove di Kecamatan Bintan Timur Kabupaten Bintan. Oleh ABSTRACT Analisis Ekonomi Alternatif Pengelolaan Ekosistem Mangrove di Kecamatan Bintan Timur Kabupaten Bintan Oleh Tince Sofyani Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Universitas Riau ABSTRACT The aims of the research

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang .

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang . 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Hutan mangrove adalah hutan yang terdapat di wilayah pesisir yang selalu atau secara teratur tergenang air laut dan terpengaruh oleh pasang surut air laut tetapi tidak

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. Latar Belakang 1 I. PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Indonesia sebagai negara kepulauan, memiliki 18 306 pulau dengan garis pantai sepanjang 106 000 km (Sulistiyo 2002). Ini merupakan kawasan pesisir terpanjang kedua

Lebih terperinci

DAFTAR ISI. Halaman DAFTAR ISI... DAFTAR TABEL... DAFTAR GAMBAR... DAFTAR LAMPIRAN... I. PENDAHULUAN Latar Belakang...

DAFTAR ISI. Halaman DAFTAR ISI... DAFTAR TABEL... DAFTAR GAMBAR... DAFTAR LAMPIRAN... I. PENDAHULUAN Latar Belakang... DAFTAR ISI Halaman DAFTAR ISI... DAFTAR TABEL... DAFTAR GAMBAR... DAFTAR LAMPIRAN... x xiii xv xvi I. PENDAHULUAN... 1 1.1. Latar Belakang... 1 1.2. Rumusan Masalah... 5 1.3.Tujuan dan Kegunaan Penelitian...

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. memiliki pulau dengan garis pantai sepanjang ± km dan luas

BAB 1 PENDAHULUAN. memiliki pulau dengan garis pantai sepanjang ± km dan luas BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan salah satu negara kepulauan terbesar didunia yang memiliki 17.508 pulau dengan garis pantai sepanjang ± 81.000 km dan luas sekitar 3,1 juta km 2.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Ekosistem pesisir tersebut dapat berupa ekosistem alami seperti hutan mangrove,

BAB I PENDAHULUAN. Ekosistem pesisir tersebut dapat berupa ekosistem alami seperti hutan mangrove, BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Dalam suatu wilayah pesisir terdapat beragam sistem lingkungan (ekosistem). Ekosistem pesisir tersebut dapat berupa ekosistem alami seperti hutan mangrove, terumbu karang,

Lebih terperinci

APLIKASI CONTINGENT CHOICE MODELLING (CCM) DALAM VALUASI EKONOMI TERUMBU KARANG TAMAN NASIONAL KARIMUNJAWA FAZRI PUTRANTOMO

APLIKASI CONTINGENT CHOICE MODELLING (CCM) DALAM VALUASI EKONOMI TERUMBU KARANG TAMAN NASIONAL KARIMUNJAWA FAZRI PUTRANTOMO APLIKASI CONTINGENT CHOICE MODELLING (CCM) DALAM VALUASI EKONOMI TERUMBU KARANG TAMAN NASIONAL KARIMUNJAWA FAZRI PUTRANTOMO SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2010 PERNYATAAN MENGENAI

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia mempunyai perairan laut yang lebih luas dari pada daratan, oleh karena itu Indonesia di kenal sebagai negara maritim. Perairan laut Indonesia kaya akan berbagai

Lebih terperinci

KAJIAN PENGELOLAAN EKOSISTEM MANGROVE DI KELURAHAN KARIANGAU KECAMATAN BALIKPAPAN BARAT MELALUI PENDEKATAN EKONOMI

KAJIAN PENGELOLAAN EKOSISTEM MANGROVE DI KELURAHAN KARIANGAU KECAMATAN BALIKPAPAN BARAT MELALUI PENDEKATAN EKONOMI Jurnal Harpodon Borneo Vol.8. No.2. Oktober. 205 ISSN : 2087-2X KAJIAN PENGELOLAAN EKOSISTEM MANGROVE DI KELURAHAN KARIANGAU KECAMATAN BALIKPAPAN BARAT MELALUI PENDEKATAN EKONOMI ) Nurul Ovia Oktawati,

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. (21%) dari luas total global yang tersebar hampir di seluruh pulau-pulau

I. PENDAHULUAN. (21%) dari luas total global yang tersebar hampir di seluruh pulau-pulau I. PENDAHULUAN 1. 1. Latar Belakang Indonesia memiliki hutan mangrove terluas di dunia yakni 3,2 juta ha (21%) dari luas total global yang tersebar hampir di seluruh pulau-pulau besar mulai dari Sumatera,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dari buah pulau (28 pulau besar dan pulau kecil) dengan

BAB I PENDAHULUAN. dari buah pulau (28 pulau besar dan pulau kecil) dengan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan negara kepulauan di daerah tropika yang terdiri dari 17.504 buah pulau (28 pulau besar dan 17.476 pulau kecil) dengan panjang garis pantai sekitar

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Pembangunan merupakan suatu proses perubahan untuk meningkatkan

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Pembangunan merupakan suatu proses perubahan untuk meningkatkan BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pembangunan merupakan suatu proses perubahan untuk meningkatkan taraf hidup manusia. Dalam pelaksanaan proses pembangunan, manusia tidak terlepas dari aktivitas pemanfaatan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia merupakan negara kepulauan dengan garis pantai lebih dari 8.100 km serta memiliki luas laut sekitar 5,8 juta km2 dan memiliki lebih dari 17.508 pulau, sehingga

Lebih terperinci

BAB I. PENDAHULUAN. pulau-nya dan memiliki garis pantai sepanjang km, yang merupakan

BAB I. PENDAHULUAN. pulau-nya dan memiliki garis pantai sepanjang km, yang merupakan BAB I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia merupakan negara tropis berbentuk kepulauan dengan 17.500 pulau-nya dan memiliki garis pantai sepanjang 81.000 km, yang merupakan kawasan tempat tumbuh hutan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Kerusakan hutan mangrove di Indonesia, kini semakin merata ke berbagai

BAB I PENDAHULUAN. Kerusakan hutan mangrove di Indonesia, kini semakin merata ke berbagai BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kerusakan hutan mangrove di Indonesia, kini semakin merata ke berbagai wilayah di Nusantara. Kerusakan hutan mangrove ini disebabkan oleh konversi lahan menjadi areal

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Mangrove merupakan ekosistem dengan fungsi yang unik dalam lingkungan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Mangrove merupakan ekosistem dengan fungsi yang unik dalam lingkungan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Mangrove merupakan ekosistem dengan fungsi yang unik dalam lingkungan hidup. Oleh karena adanya pengaruh laut dan daratan, dikawasan mangrove terjadi interaksi kompleks

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. tempat dengan tempat lainnya. Sebagian warga setempat. kesejahteraan masyarakat sekitar saja tetapi juga meningkatkan perekonomian

BAB I PENDAHULUAN. tempat dengan tempat lainnya. Sebagian warga setempat. kesejahteraan masyarakat sekitar saja tetapi juga meningkatkan perekonomian BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia adalah negara yang sangat kaya raya akan keberagaman alam hayatinya. Keberagaman fauna dan flora dari dataran tinggi hingga tepi pantai pun tidak jarang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. tumbuhan yang hidup di lingkungan yang khas seperti daerah pesisir.

BAB I PENDAHULUAN. tumbuhan yang hidup di lingkungan yang khas seperti daerah pesisir. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Hutan mangrove adalah tipe hutan yang khas terdapat di sepanjang pantai atau muara sungai yang dipengaruhi oleh pasang surut air laut. Mangrove banyak dijumpai di wilayah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. antara dua samudera yaitu Samudera Hindia dan Samudera Pasifik mempunyai

BAB I PENDAHULUAN. antara dua samudera yaitu Samudera Hindia dan Samudera Pasifik mempunyai BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Indonesia merupakan negara kepulauan yang secara geografis terletak di antara dua samudera yaitu Samudera Hindia dan Samudera Pasifik mempunyai keanekaragaman

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. sumberdaya alam hayati dan non hayati. Salah satu sumberdaya alam hayati

II. TINJAUAN PUSTAKA. sumberdaya alam hayati dan non hayati. Salah satu sumberdaya alam hayati 8 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Hutan Mangrove Wilayah pesisir dan lautan merupakan salah satu wilayah yang kaya akan sumberdaya alam hayati dan non hayati. Salah satu sumberdaya alam hayati tersebut adalah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. membentang dari Sabang sampai Merauke yang kesemuanya itu memiliki potensi

BAB I PENDAHULUAN. membentang dari Sabang sampai Merauke yang kesemuanya itu memiliki potensi 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Indonesia merupakan Negara kepulauan yang memiliki garis pantai yang terpanjang di dunia, lebih dari 81.000 KM garis pantai dan 17.508 pulau yang membentang

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. Indonesia memiliki hutan mangrove yang terluas di dunia. Hutan

PENDAHULUAN. Indonesia memiliki hutan mangrove yang terluas di dunia. Hutan PENDAHULUAN Latar Belakang Indonesia memiliki hutan mangrove yang terluas di dunia. Hutan mangrove merupakan komunitas vegetasi pantai tropis, yang didominasi oleh beberapa jenis pohon bakau yang mampu

Lebih terperinci

ALOKASI OPTIMAL PEMANFAATAN DAN NILAI LAND RENT SUMBERDAYA TAMBAK DI KECAMATAN TANAH MERAH KABUPATEN INDRAGIRI HILIR PROVINSI RIAU DWI SUSHANTY

ALOKASI OPTIMAL PEMANFAATAN DAN NILAI LAND RENT SUMBERDAYA TAMBAK DI KECAMATAN TANAH MERAH KABUPATEN INDRAGIRI HILIR PROVINSI RIAU DWI SUSHANTY ALOKASI OPTIMAL PEMANFAATAN DAN NILAI LAND RENT SUMBERDAYA TAMBAK DI KECAMATAN TANAH MERAH KABUPATEN INDRAGIRI HILIR PROVINSI RIAU DWI SUSHANTY SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2008

Lebih terperinci

TINJUAN PUSTAKA. Hutan mangrove dikenal juga dengan istilah tidal forest, coastal

TINJUAN PUSTAKA. Hutan mangrove dikenal juga dengan istilah tidal forest, coastal TINJUAN PUSTAKA Ekosistem Mangrove Hutan mangrove dikenal juga dengan istilah tidal forest, coastal woodland, vloedbosschen, dan hutan payau (bahasa Indonesia), selain itu, hutan mangrove oleh masyarakat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG

BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG Hutan mangrove merupakan hutan yang tumbuh pada daerah yang berair payau dan dipengaruhi oleh pasang surut air laut. Hutan mangrove memiliki ekosistem khas karena

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. A. Mangrove. kemudian menjadi pelindung daratan dan gelombang laut yang besar. Sungai

TINJAUAN PUSTAKA. A. Mangrove. kemudian menjadi pelindung daratan dan gelombang laut yang besar. Sungai II. TINJAUAN PUSTAKA A. Mangrove Mangrove adalah tanaman pepohonan atau komunitas tanaman yang hidup di antara laut dan daratan yang dipengaruhi oleh pasang surut. Habitat mangrove seringkali ditemukan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. atas pulau, dengan garis pantai sepanjang km. Luas laut Indonesia

BAB I PENDAHULUAN. atas pulau, dengan garis pantai sepanjang km. Luas laut Indonesia BAB I PENDAHULUAN I.I Latar Belakang Indonesia merupakan Negara kepulauan terbesar di dunia yang terdiri dari atas 17.508 pulau, dengan garis pantai sepanjang 81.000 km. Luas laut Indonesia sekitar 3,1

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Hutan mangrove merupakan ekosistem yang penting bagi kehidupan di

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Hutan mangrove merupakan ekosistem yang penting bagi kehidupan di BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Hutan mangrove merupakan ekosistem yang penting bagi kehidupan di wilayah pesisir. Hutan mangrove menyebar luas dibagian yang cukup panas di dunia, terutama

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Potensi wilayah pesisir dan laut Indonesia dipandang dari segi. pembangunan adalah sebagai berikut ; pertama, sumberdaya yang dapat

BAB I PENDAHULUAN. Potensi wilayah pesisir dan laut Indonesia dipandang dari segi. pembangunan adalah sebagai berikut ; pertama, sumberdaya yang dapat 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Potensi wilayah pesisir dan laut Indonesia dipandang dari segi pembangunan adalah sebagai berikut ; pertama, sumberdaya yang dapat diperbaharui seperti perikanan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. fauna yang hidup di habitat darat dan air laut, antara batas air pasang dan surut.

BAB I PENDAHULUAN. fauna yang hidup di habitat darat dan air laut, antara batas air pasang dan surut. BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Mangrove merupakan ekosistem yang kompleks terdiri atas flora dan fauna yang hidup di habitat darat dan air laut, antara batas air pasang dan surut. Ekosistem mangrove

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Hutan mangrove merupakan komunitas vegetasi pantai tropis dan subtropis yang

I. PENDAHULUAN. Hutan mangrove merupakan komunitas vegetasi pantai tropis dan subtropis yang I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Hutan mangrove merupakan komunitas vegetasi pantai tropis dan subtropis yang didominasi oleh beberapa jenis mangrove yang mampu tumbuh dan berkembang pada daerah pasang

Lebih terperinci

Kimparswil Propinsi Bengkulu,1998). Penyebab terjadinya abrasi pantai selain disebabkan faktor alamiah, dikarenakan adanya kegiatan penambangan pasir

Kimparswil Propinsi Bengkulu,1998). Penyebab terjadinya abrasi pantai selain disebabkan faktor alamiah, dikarenakan adanya kegiatan penambangan pasir I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Wilayah pesisir merupakan wilayah yang memberikan kontribusi produksi perikanan yang sangat besar dan tempat aktivitas manusia paling banyak dilakukan; bahkan menurut

Lebih terperinci

6 ASSESMENT NILAI EKONOMI KKL

6 ASSESMENT NILAI EKONOMI KKL 6 ASSESMENT NILAI EKONOMI KKL 6.1 Nilai Ekonomi Sumberdaya Terumbu Karang 6.1.1 Nilai manfaat ikan karang Manfaat langsung dari ekosistem terumbu karang adalah manfaat dari jenis-jenis komoditas yang langsung

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. ekologis yaitu untuk melakukan pemijahan (spawning ground), pengasuhan (nursery

BAB I PENDAHULUAN. ekologis yaitu untuk melakukan pemijahan (spawning ground), pengasuhan (nursery BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Ekosistem mangrove adalah suatu lingkungan yang memiliki ciri khusus yaitu lantai hutannya selalu digenangi air, dimana air tersebut sangat dipengaruhi oleh pasang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pantai sekitar Km, memiliki sumberdaya pesisir yang sangat potensial.

BAB I PENDAHULUAN. pantai sekitar Km, memiliki sumberdaya pesisir yang sangat potensial. 1 BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH Indonesia sebagai suatu negara kepulauan dengan panjang garis pantai sekitar 81.000 Km, memiliki sumberdaya pesisir yang sangat potensial. Salah satu ekosistem

Lebih terperinci

ANALISIS KEBIJAKAN PEMBANGUNAN EKONOMI KELAUTAN DI PROVINSI KEPULAUAN BANGKA BELITUNG KASTANA SAPANLI

ANALISIS KEBIJAKAN PEMBANGUNAN EKONOMI KELAUTAN DI PROVINSI KEPULAUAN BANGKA BELITUNG KASTANA SAPANLI ANALISIS KEBIJAKAN PEMBANGUNAN EKONOMI KELAUTAN DI PROVINSI KEPULAUAN BANGKA BELITUNG KASTANA SAPANLI SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2009 PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI

Lebih terperinci

Mangrove menurut Macnae (1968) merupakan perpaduan

Mangrove menurut Macnae (1968) merupakan perpaduan 1 2 Mangrove menurut Macnae (1968) merupakan perpaduan antara bahasa Portugis mangue dan bahasa Inggris grove. Menurut Mastaller (1997) kata mangrove berasal dari bahasa Melayu kuno mangi-mangi untuk menerangkan

Lebih terperinci

BAB III KERANGKA BERPIKIR DAN KONSEP PENELITIAN. Mangrove merupakan ekosistem peralihan, antara ekosistem darat dengan

BAB III KERANGKA BERPIKIR DAN KONSEP PENELITIAN. Mangrove merupakan ekosistem peralihan, antara ekosistem darat dengan 29 BAB III KERANGKA BERPIKIR DAN KONSEP PENELITIAN 3.1. Kerangka Berpikir Mangrove merupakan ekosistem peralihan, antara ekosistem darat dengan ekosistem laut. Mangrove diketahui mempunyai fungsi ganda

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Hutan mangrove merupakan suatu tipe hutan yang khusus terdapat

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Hutan mangrove merupakan suatu tipe hutan yang khusus terdapat BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Hutan mangrove merupakan suatu tipe hutan yang khusus terdapat di sepanjang pantai atau muara sungai dan dipengaruhi oleh pasang surut air laut (Tjardhana dan Purwanto,

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia merupakan negara kepulauan yang mempunyai kawasan pesisir yang cukup luas, dan sebagian besar kawasan tersebut ditumbuhi mangrove yang lebarnya dari beberapa

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. garis pantai sepanjang kilometer dan pulau. Wilayah pesisir

PENDAHULUAN. garis pantai sepanjang kilometer dan pulau. Wilayah pesisir PENDAHULUAN Latar belakang Wilayah pesisir merupakan peralihan ekosistem perairan tawar dan bahari yang memiliki potensi sumberdaya alam yang cukup kaya. Indonesia mempunyai garis pantai sepanjang 81.000

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Indonesia memiliki mangrove terluas di dunia (Silvus et al, 1987; Primack et al,

BAB 1 PENDAHULUAN. Indonesia memiliki mangrove terluas di dunia (Silvus et al, 1987; Primack et al, BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Ekosistem mangrove di dunia saat ini diperkirakan tersisa 17 juta ha. Indonesia memiliki mangrove terluas di dunia (Silvus et al, 1987; Primack et al, 1998), yaitu

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan salah satu negara di dunia dalam bentuk negara

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan salah satu negara di dunia dalam bentuk negara 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia merupakan salah satu negara di dunia dalam bentuk negara kepulauan yang memiliki sekitar 17.508 pulau dan panjang garis pantai lebih dari 81.000

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

1. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang 1 1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Wilayah teritorial Indonesia yang sebagian besar merupakan wilayah pesisir dan laut kaya akan sumber daya alam. Sumber daya alam ini berpotensi untuk dimanfaatkan bagi

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. didarat masih dipengaruhi oleh proses-proses yang terjadi dilaut seperti

PENDAHULUAN. didarat masih dipengaruhi oleh proses-proses yang terjadi dilaut seperti 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Wilayah pesisir bukan merupakan pemisah antara perairan lautan dengan daratan, melainkan tempat bertemunya daratan dan perairan lautan, dimana didarat masih dipengaruhi oleh

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia sebagai negara kepulauan dengan panjang garis pantai mencapai 95.181 km (Rompas 2009, dalam Mukhtar 2009). Dengan angka tersebut menjadikan Indonesia sebagai

Lebih terperinci

PENDAHULUAN BAB I Latar Belakang

PENDAHULUAN BAB I Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Hutan mangrove merupakan suatu tipe hutan yang tumbuh di daerah pasang surut yang tergenang oleh air laut, komunitasnya dapat bertoleransi terhadap air garam, dan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. dan lautan. Hutan tersebut mempunyai karakteristik unik dibandingkan dengan

I. PENDAHULUAN. dan lautan. Hutan tersebut mempunyai karakteristik unik dibandingkan dengan I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Hutan mangrove adalah salah satu ekosistem hutan yang terletak diantara daratan dan lautan. Hutan tersebut mempunyai karakteristik unik dibandingkan dengan formasi hutan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kerusakan sehingga perlu dijaga kelestariannya. Hutan mangrove adalah

BAB I PENDAHULUAN. kerusakan sehingga perlu dijaga kelestariannya. Hutan mangrove adalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Hutan mangrove (bakau) merupakan suatu bentuk ekosistem yang mempunyai keragamanan potensi serta memberikan manfaat bagi kehidupan manusia baik secara langsung maupun

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Wilayah pesisir dan lautan Indonesia terkenal dengan kekayaan

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Wilayah pesisir dan lautan Indonesia terkenal dengan kekayaan BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Wilayah pesisir dan lautan Indonesia terkenal dengan kekayaan dan keanekaragaman sumber daya alam dan jenis endemiknya sehingga Indonesia dikenal sebagai Negara dengan

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. lahan pertambakan secara besar-besaran, dan areal yang paling banyak dikonversi

PENDAHULUAN. lahan pertambakan secara besar-besaran, dan areal yang paling banyak dikonversi PENDAHULUAN Latar Belakang Meningkatnya harga udang windu di pasaran mendorong pembukaan lahan pertambakan secara besar-besaran, dan areal yang paling banyak dikonversi untuk pertambakan adalah hutan mangrove.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia mempunyai perairan laut yang lebih luas dibandingkan daratan, oleh karena itu Indonesia dikenal sebagai negara maritim. Perairan laut Indonesia kaya akan

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang 1 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Ekosistem terumbu karang merupakan bagian dari ekosistem laut yang penting karena menjadi sumber kehidupan bagi beraneka ragam biota laut. Di dalam ekosistem terumbu

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yaitu mendapatkan makanan, suhu yang tepat untuk hidup, atau mendapatkan

BAB I PENDAHULUAN. yaitu mendapatkan makanan, suhu yang tepat untuk hidup, atau mendapatkan 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Setiap makhluk hidup yang berada di suatu lingkungan akan saling berinteraksi, interaksi terjadi antara makhluk hidup dengan makhluk hidup itu sendiri maupun makhluk

Lebih terperinci

KAJIAN DAMPAK PENGEMBANGAN WILAYAH PESISIR KOTA TEGAL TERHADAP ADANYA KERUSAKAN LINGKUNGAN (Studi Kasus Kecamatan Tegal Barat) T U G A S A K H I R

KAJIAN DAMPAK PENGEMBANGAN WILAYAH PESISIR KOTA TEGAL TERHADAP ADANYA KERUSAKAN LINGKUNGAN (Studi Kasus Kecamatan Tegal Barat) T U G A S A K H I R KAJIAN DAMPAK PENGEMBANGAN WILAYAH PESISIR KOTA TEGAL TERHADAP ADANYA KERUSAKAN LINGKUNGAN (Studi Kasus Kecamatan Tegal Barat) T U G A S A K H I R Oleh : Andreas Untung Diananto L 2D 099 399 JURUSAN PERENCANAAN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dalam penggunaan sumberdaya alam. Salah satu sumberdaya alam yang tidak terlepas

BAB I PENDAHULUAN. dalam penggunaan sumberdaya alam. Salah satu sumberdaya alam yang tidak terlepas BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia adalah negara berkembang yang terus menerus melakukan pembangunan nasional. Dalam mengahadapi era pembangunan global, pelaksanaan pembangunan ekonomi harus

Lebih terperinci

KAJIAN SUMBERDAYA EKOSISTEM MANGROVE UNTUK PENGELOLAAN EKOWISATA DI ESTUARI PERANCAK, JEMBRANA, BALI MURI MUHAERIN

KAJIAN SUMBERDAYA EKOSISTEM MANGROVE UNTUK PENGELOLAAN EKOWISATA DI ESTUARI PERANCAK, JEMBRANA, BALI MURI MUHAERIN KAJIAN SUMBERDAYA EKOSISTEM MANGROVE UNTUK PENGELOLAAN EKOWISATA DI ESTUARI PERANCAK, JEMBRANA, BALI MURI MUHAERIN DEPARTEMEN MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN INSTITUT

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN. Penelitian telah dilaksanakan di Desa Margasari, Kecamatan Labuhan Maringgai,

III. METODE PENELITIAN. Penelitian telah dilaksanakan di Desa Margasari, Kecamatan Labuhan Maringgai, 19 III. METODE PENELITIAN A. Lokasi dan Waktu Pelaksanaan Penelitian telah dilaksanakan di Desa Margasari, Kecamatan Labuhan Maringgai, Kabupaten Lampung Timur pada bulan April Mei 2013. Peta lokasi penelitian

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. Latar Belakang. Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar di dunia yang terdiri dari

PENDAHULUAN. Latar Belakang. Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar di dunia yang terdiri dari PENDAHULUAN Latar Belakang ndonesia merupakan negara kepulauan terbesar di dunia yang terdiri dari 17 508 pulau dan panjang garis pantainya kira-kira 81 000 kin serta wilayah laut pedalaman dan teritorialnya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Hutan mangrove adalah komunitas vegetasi pantai tropis, yang didominasi

BAB I PENDAHULUAN. Hutan mangrove adalah komunitas vegetasi pantai tropis, yang didominasi BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Hutan mangrove adalah komunitas vegetasi pantai tropis, yang didominasi oleh jenis pohon mangrove yang mampu tumbuh dan berkembang pada daerah pasang surut pantai berlumpur.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Berdasarkan fakta fisiknya, Indonesia merupakan Negara kepulauan terbesar di dunia yang terdiri dari 17.508 pulau dengan garis pantai sepanjang 81.000 km (terpanjang

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. dipengaruhi pasang surut air laut. Tumbuhan mangrove memiliki kemampuan

TINJAUAN PUSTAKA. dipengaruhi pasang surut air laut. Tumbuhan mangrove memiliki kemampuan TINJAUAN PUSTAKA Ekosistem Mangrove Mangrove didefinisikan sebagai formasi tumbuhan daerah litoral yang khas di pantai daerah tropis dan sub tropis yang terlindung, hutan yang tumbuh terutama pada tanah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Wilayah pesisir merupakan suatu wilayah peralihan antara daratan dan

BAB I PENDAHULUAN. Wilayah pesisir merupakan suatu wilayah peralihan antara daratan dan BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Wilayah pesisir merupakan suatu wilayah peralihan antara daratan dan lautan. Negara Indonesia mempunyai wilayah pesisir dengan panjang garis pantai sekitar 81.791

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Hutan mangrove yang dikenal sebagai hutan payau merupakan ekosistem hutan

I. PENDAHULUAN. Hutan mangrove yang dikenal sebagai hutan payau merupakan ekosistem hutan 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Hutan mangrove yang dikenal sebagai hutan payau merupakan ekosistem hutan yang memiliki ciri khas didominasi pepohonan yang mampu tumbuh di perairan asin. Komunitas pepohonan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN Latar Belakang. Mangrove merupakan ekosistem unik dengan fungsi yang unik dalam

I. PENDAHULUAN Latar Belakang. Mangrove merupakan ekosistem unik dengan fungsi yang unik dalam 2 I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Mangrove merupakan ekosistem unik dengan fungsi yang unik dalam lingkungan hidup. Oleh karena adanya pengaruh laut dan daratan, di kawasan mangrove terjadi interaksi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Keanekaragaman hayati atau biodiversitas adalah keanekaragaman organisme yang menunjukkan keseluruhan atau totalitas variasi gen, jenis, dan ekosistem pada suatu daerah,

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN Latar Belakang

I PENDAHULUAN Latar Belakang I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Sumberdaya alam pesisir merupakan suatu himpunan integral dari komponen hayati (biotik) dan komponen nir-hayati (abiotik) yang dibutuhkan oleh manusia untuk hidup dan

Lebih terperinci

5.1. Analisis mengenai Komponen-komponen Utama dalam Pembangunan Wilayah Pesisir

5.1. Analisis mengenai Komponen-komponen Utama dalam Pembangunan Wilayah Pesisir BAB V ANALISIS Bab ini berisi analisis terhadap bahasan-bahasan pada bab-bab sebelumnya, yaitu analisis mengenai komponen-komponen utama dalam pembangunan wilayah pesisir, analisis mengenai pemetaan entitas-entitas

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN Latar Belakang

1. PENDAHULUAN Latar Belakang 1. PENDAHULUAN Latar Belakang Ekosistem mangrove tergolong ekosistem yang unik. Ekosistem mangrove merupakan salah satu ekosistem dengan keanekaragaman hayati tertinggi di daerah tropis. Selain itu, mangrove

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN km dan ekosistem terumbu karang seluas kurang lebih km 2 (Moosa et al

BAB I PENDAHULUAN km dan ekosistem terumbu karang seluas kurang lebih km 2 (Moosa et al BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia merupakan Negara kepulauan yang memiliki garis pantai sepanjang 81.000 km dan ekosistem terumbu karang seluas kurang lebih 50.000 km 2 (Moosa et al dalam

Lebih terperinci

KAJIAN EKOPNOMI DAN EKOLOGI PEMANFAATAN EKOSISTEM MANGROVE PESISIR TONGKE-TONGKE KABUPATEN SINJAI PROVINSI SULAWESI SELATAN RUSDIANAH

KAJIAN EKOPNOMI DAN EKOLOGI PEMANFAATAN EKOSISTEM MANGROVE PESISIR TONGKE-TONGKE KABUPATEN SINJAI PROVINSI SULAWESI SELATAN RUSDIANAH KAJIAN EKOPNOMI DAN EKOLOGI PEMANFAATAN EKOSISTEM MANGROVE PESISIR TONGKE-TONGKE KABUPATEN SINJAI PROVINSI SULAWESI SELATAN RUSDIANAH SEKOLAH PASCA SARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2006 PERNYATAAN

Lebih terperinci

KAJIAN EKONOMI SUMBERDAYA PERIKANAN DI PERAIRAN PEMANGKAT KABUPATEN SAMBAS EKA SUPRIANI

KAJIAN EKONOMI SUMBERDAYA PERIKANAN DI PERAIRAN PEMANGKAT KABUPATEN SAMBAS EKA SUPRIANI KAJIAN EKONOMI SUMBERDAYA PERIKANAN DI PERAIRAN PEMANGKAT KABUPATEN SAMBAS EKA SUPRIANI SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2007 ii PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI Dengan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Karena berada di dekat pantai, mangrove sering juga disebut hutan pantai, hutan

BAB I PENDAHULUAN. Karena berada di dekat pantai, mangrove sering juga disebut hutan pantai, hutan BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Mangrove merupakan ekosistem yang terdapat di antara daratan dan lautan. Karena berada di dekat pantai, mangrove sering juga disebut hutan pantai, hutan pasang surut,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. saling berkolerasi secara timbal balik. Di dalam suatu ekosistem pesisir terjadi

BAB I PENDAHULUAN. saling berkolerasi secara timbal balik. Di dalam suatu ekosistem pesisir terjadi 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kawasan pesisir dan laut merupakan sebuah ekosistem yang terpadu dan saling berkolerasi secara timbal balik. Di dalam suatu ekosistem pesisir terjadi pertukaran materi

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang I. PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Konsep pembangunan yang mengintegrasikan aspek ekologi, ekonomi dan sosial disebut sebagai pembangunan berkelanjutan (sustainable development). Konsep pembangunan ini

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. karena Indonesia merupakan negara kepulauan dengan garis pantai mencapai

PENDAHULUAN. karena Indonesia merupakan negara kepulauan dengan garis pantai mencapai PENDAHULUAN Latar Belakang Indonesia merupakan negara yang memiliki kawasan pesisir sangat luas, karena Indonesia merupakan negara kepulauan dengan garis pantai mencapai sepanjang 81.000 km. Selain menempati

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA Pengertian Ekosistem Mangrove

TINJAUAN PUSTAKA Pengertian Ekosistem Mangrove 6 TINJAUAN PUSTAKA Pengertian Ekosistem Mangrove Mangrove adalah tumbuhan yang hidup pada daerah pasang surut yang didominasi oleh beberapa jenis pohon yang mampu tumbuh dan berkembang pada daerah yang

Lebih terperinci

PEMERINTAH DAERAH KABUPATEN CILACAP

PEMERINTAH DAERAH KABUPATEN CILACAP PEMERINTAH DAERAH KABUPATEN CILACAP PERATURAN DAERAH KABUPATEN CILACAP NOMOR : 17 TAHUN 2001 TENTANG PENGELOLAAN HUTAN MANGROVE DI KAWASAN SEGARA ANAKAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHAESA BUPATI CILACAP,

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Hutan mangrove di DKI Jakarta tersebar di kawasan hutan mangrove Tegal Alur-Angke Kapuk di Pantai Utara DKI Jakarta dan di sekitar Kepulauan Seribu. Berdasarkan SK Menteri

Lebih terperinci

TUJUAN, TAHAPAN PELAKSANAAN DAN PENDEKATAN VALUASI

TUJUAN, TAHAPAN PELAKSANAAN DAN PENDEKATAN VALUASI TUJUAN, TAHAPAN PELAKSANAAN DAN PENDEKATAN VALUASI VALUASI EKONOMI SUMBERDAYA ALAM DAN LINGKUNGAN (ESL 434) DEPARTEMEN EKONOMI SUMBERDAYA DAN LINGKUNGAN FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN FONDASI VALUASI EKONOMI

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dan Salomon, dalam Rahayu et al. (2006), untuk mengurangi dampak perubahan

BAB I PENDAHULUAN. dan Salomon, dalam Rahayu et al. (2006), untuk mengurangi dampak perubahan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pemanasan global mengakibatkan terjadinya perubahan iklim. Menurut Sedjo dan Salomon, dalam Rahayu et al. (2006), untuk mengurangi dampak perubahan iklim, upaya yang

Lebih terperinci

SUMBERDAYA ALAM WILAYAH PESISIR

SUMBERDAYA ALAM WILAYAH PESISIR SUMBERDAYA ALAM WILAYAH PESISIR EDI RUDI FMIPA UNIVERSITAS SYIAH KUALA Ekosistem Hutan Mangrove komunitas vegetasi pantai tropis yang didominasi oleh beberapa spesies pohon mangrove yang mampu untuk tumbuh

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. tertentu dan luasan yang terbatas, 2) Peranan ekologis dari ekosistem hutan

BAB I PENDAHULUAN. tertentu dan luasan yang terbatas, 2) Peranan ekologis dari ekosistem hutan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Ekosistem mangrove memiliki sifat khusus yang berbeda dengan ekosistem hutan lain bila dinilai dari keberadaan dan peranannya dalam ekosistem sumberdaya alam, yaitu

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang 1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Desa Dabong merupakan salah satu desa di Kecamatan Kubu, Kabupaten Kubu Raya, Kalimantan Barat yang memiliki hamparan hutan mangrove yang cukup luas. Berdasarkan Surat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. terluas di dunia sekitar ha (Ditjen INTAG, 1993). Luas hutan mangrove

BAB I PENDAHULUAN. terluas di dunia sekitar ha (Ditjen INTAG, 1993). Luas hutan mangrove BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Indonesia merupakan negara kepulauan yang memiliki hutan mangrove terluas di dunia sekitar 3.735.250 ha (Ditjen INTAG, 1993). Luas hutan mangrove Indonesia

Lebih terperinci

KAJIAN EKONOMI MANFAAT HUTAN MANGROVE DI KABUPATEN BARRU

KAJIAN EKONOMI MANFAAT HUTAN MANGROVE DI KABUPATEN BARRU KAJIAN EKONOMI MANFAAT HUTAN MANGROVE DI KABUPATEN BARRU Andi Nur Apung Massiseng Universitas Cokroaminoto Makassar e-mail : andinur_pasca@yahoo.com Abstrak Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menyelidiki

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan Negara kepulauan yang rentan terhadap dampak perubahan iklim. Provinsi Jawa Barat merupakan salah satu provinsi di Indonesia yang termasuk rawan

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sistem perikanan pantai di Indonesia merupakan salah satu bagian dari sistem perikanan secara umum yang berkontribusi cukup besar dalam produksi perikanan selain dari perikanan

Lebih terperinci

BAB III. METODE PENELITIAN

BAB III. METODE PENELITIAN BAB III. METODE PENELITIAN A. Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian dilakukan pada lokasi hutan mangrove yang ada diwilayah Kecamatan Pangkalan Susu Kabupaten Langkat sebagaima tercantum dalam peta lokasi

Lebih terperinci

METODE PENELITIAN. hutan mangrove non-kawasan hutan. Selain itu, adanya rehabilitasi hutan

METODE PENELITIAN. hutan mangrove non-kawasan hutan. Selain itu, adanya rehabilitasi hutan IV. METODE PENELITIAN 4.1 Lokasi dan Waktu Penelitian Lokasi penelitian ini berada di Kawasan Pesisir Pantai Tlanakan, Kecamatan Tlanakan, Kabupaten Pamekasan, Jawa Timur. Pemilihan lokasi dilakukan secara

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. kesempatan untuk tumbuhan mangrove beradaptasi (Noor dkk, 2006). Hutan

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. kesempatan untuk tumbuhan mangrove beradaptasi (Noor dkk, 2006). Hutan BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kondisi lingkungan yang ekstrim seperti tanah yang tergenang akibat pasang surut laut, kadar garam yang tinggi, dan tanah yang kurang stabil memberikan kesempatan

Lebih terperinci

Oleh. Firmansyah Gusasi

Oleh. Firmansyah Gusasi ANALISIS FUNGSI EKOLOGI HUTAN MANGROVE DI KECAMATAN KWANDANG KABUPATEN GORONTALO UTARA JURNAL Diajukan Untuk Memenuhi Persyaratan Guna Menempuh Ujian Sarjana Pendidikan Biologi Pada Fakultas Matematika

Lebih terperinci