ANGKA KEBERHASILAN MIRINGOPLASTI PADA PERFORASI MEMBRANA TIMPANI KECIL, BESAR, DAN SUBTOTAL PADA BULAN JUNI 2003 SAMPAI JUNI 2004

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "ANGKA KEBERHASILAN MIRINGOPLASTI PADA PERFORASI MEMBRANA TIMPANI KECIL, BESAR, DAN SUBTOTAL PADA BULAN JUNI 2003 SAMPAI JUNI 2004"

Transkripsi

1 ANGKA KEBERHASILAN MIRINGOPLASTI PADA PERFORASI MEMBRANA TIMPANI KECIL, BESAR, DAN SUBTOTAL PADA BULAN JUNI 2003 SAMPAI JUNI 2004 Shinta Fitri Boesoirie, Thaufiq S. Boesoirie Bagian Ilmu Kesehatan Telinga, Hidung, Tenggorok Bedah Kepala dan Leher FK Unpad/ Perjan RS Dr. Hasan Sadikin Bandung Abstrak Tujuan : Mengetahui tingkat keberhasilan miringoplasti pada perforasi membran timpani kecil, besar dan subtotal. Metode dan Bahan Penelitian : Deskriptif analitik, Retrospektif. Data didapat dari kartu pasien klinik THT jalan Belitung Bandung,mulai Juni 2003 sampai dengan Juni Dilakukan evaluasi terhadap keberhasilan miringoplasti pada perforasi membran timpani kecil, besar dan subtotal.variabel yang dinilai adalah usia, jarak saat operasi dari saat Otitis Media dinyatakan sembuh, dan tingkat penigkatan pendengaran. Hasil : Didapatkan angka keberhasilan miringoplasti sebesar 92,4%. Tidak ditemukan hubungan yang bermakna pada usia penderita, dan jarak saat operasi dari saat Otitis Media dinyatakan sembuh terhadap keberhasilan miringoplasti Kesimpulan : Didapatkan keberhasilan miringoplasti yang tinggi sebesar 92,4 % dan tidak ditemukan adanya faktor yang mempengaruhi miringoplasti. Kata Kunci : Miringoplasti, membran timpani baru, peningkatan pendengaran. THE SUCCESSFUL RATE OF MYRYNGOPLASTY IN SMALL, LARGE, AND SUBTOTAL PERFORATION OF THE TYMPANIC MEMBRANE FROM PERIOD OF JUNE 2003 UNTIL JUNE 2004 Abstract Objectivities : To know the successful of myringoplasty and the affecting factors. Materials and Methods : Analytic descriptive, Retrospective. Datas were taken from ENT Clinic at jalan Belitung Bandung from June 2003 until June Evaluation was done to see the successful of myringoplasty at small perforation, big perforation and subtotal perforation. The variable observed are ages, duration of operation start from Otitis Media recovered, and increased hearing level. Result : The successful rate of myringoplasty was 92,4%. There were no correlations among ages, and duration of operation start from Otitis Media recovered. Conclusion : The successful of myringoplasty was excellent (92,4%) and there were no factors affecting successful of myringoplasty. Key Words: Myringoplasty, New membrane tympani, Increased hearing level.

2 PENDAHULUAN Pada hakekatnya sumber daya manusia terdiri dari 3 unsur utama, yaitu unsur informasi oleh panca indera, unsur pengambilan keputusan oleh sistem otak dan unsur pelaksana oleh tubuh serta perangkatnya. Salah satu cara untuk mengatasi ketulian yang timbul akibat OMSK adalah pembedahan rekonstruksi telinga tengah yang dikenal dengan istilah timpanoplasti, yaitu suatu prosedur pembedahan untuk menghilangkan proses patologik didalam kavum timpani yang diikuti oleh rekonstruksi mekanisme konduksi suara, disertai atau tidak disertai oleh grafting (penanduran) membran timpani. Apabila prosedur rekonstruksi tersebut dilakukan terbatas untuk memperbaiki perforasi membran timpani saja, maka prosedur rekonstruksi ini menurut Zollner dan Wulstein disebut timpanoplasti tipe I atau miringoplasti (2,3). Kesuksesan miringoplasti di Hospital de Especialides, Mexico periode sebesar 82,1% dari 290 kasus, sisanya sebanyak 17,9% mengalami kegagalan (9). Dengan mengetahui angka keberhasilan miringoplasti dan nilai rata-rata kenaikan hantaran udara pada pasien pasca operasi miringoplasti, diharapkan dapat menjadi landasan teori untuk pelaksanaan operasi miringoplasti. (2,4) Tujuan penelitian adalah mengetahui keberhasilan operasi miringoplasti secara umum dan faktor apa saja yang mempengaruhinya. SUBJEK DAN METODE Subjek Penelitian Semua pasien yang telah dilakukan miringoplasti di Poliklinik THT jl. Belitung selama bulan juni 2003 Juni 2004, yaitu sebanyak 52 orang pasien. Bentuk dan Rancangan Penelitian Jenis penelitian adalah deskriptif analitik dengan cara mengolah data dari semua pasien yang telah dilakukan operasi miringoplasti oleh seorang ahli THT secara retrospektif selama bulan Juni 2003 Juni 2004 (1 tahun). Cara Kerja a. Pertama-tama dilakukan perhitungan berapa jumlah semua operasi miringoplasti yang memenuhi syarat pada penelitian ini. b. Kemudian dihitung jumlah pasien yang berhasil mengalami pertumbuhan membran timpani (intak) selama periode 1 tahun dan dihitung persentasenya terhadap semua pasien yang menjalani miringoplasti.

3 c. Dihitung jumlah pasien yang mengalami peningkatan hantaran udara dari pra operasi sampai 2 bulan pasca operasi miringoplasti untuk setiap telingan yang dioperasi. Pemeriksaan audiometric dilakukan dengan menggunakan alat audiometer yang sama (tipe DA 24 Diagnostic Audiometer / 1992) untuk setiap pemeriksaan. Selanjutnya dihitung persentasenya terhadap jumlah semua pasien yang mengalami pertumbuhan membran timpani. d. Dibuat nilai rata-rata peningkatan intensitas hantaran udara pada frekuensi 500, 1000 dan 2000 Hz untuk masing-masing telinga yang mengalami peningkatan hantaran udara. e. Dihitung nilai rata-rata peningkatan intensitas hantaran udara untuk semua pasien yang mengalami peningkatan selama periode 1 tahun. HASIL PENELITIAN Jumlah Miringoplasti Selama periode bulan Juni 2003 sampai dengan bulan Juni 2004 pada klinik THT jalan Belitung didapatkan sebanyak 52 telinga yang dilakukan miringoplasti. Dari sejumlah miringoplasti tersebut, sebanyak 24 orang dilakukan miringoplasti pada kedua telinga, dan selebihnya 28 orang penderita menjalani miringoplasti pada salah satu telinganya. Usia penderita berkisar antara 12 sampai 64 tahun dengan jumlah kelompok usia terbanyak adalah kelompok usia11-20 tahun (22 kasus). Dari 52 kasus, sebanyak 41 kasus laki-laki, dan 11 kasus perempuan. Peningkatan Pendengaran Pada penelitian ini didapatkan peningkatan hantaran udara yang terendah sebesar 10 db dan peningkatan tertinggi sebesar 50 db, setelah dilakukan miringoplasti. Jumlah kasus yang mengalami peningkatan pendengaran pasca miringoplasti adalah :

4 Tabel 1. Jumlah Kasus Berdasarkan Besarnya Peningkatan Hantaran Udara Peningkatan Hantaran Udara N (%) db 33 (63,3%) db 17 (32,7%) db 4 (0,8%) > 40 db 1 (0,2%) Total 52 Dari tabel diatas, maka tampak bahwa sebanyak 33 kasus (63,3%) mengalami peningkatan pendengaran sebesar db, 17 kasus (32,7%) meningkat sebesar db, 4 kasus (0,8%) db dan 1 kasus (0,2%) lebih dari 40 db. Pada kasus dengan peningkatan antara db, namun pendengaran pra operasi > 60 db, maka peningkatan tadi secara subyektif kurang dirasakan penderita, sehingga pada keadaan ini peningkatan pendengaran cukup berarti bila dibantu dengan penggunaan alat bantu dengar. Pada kasus dengan pendengaran pra operasi > 40 db, meskipun terjadi perbaikan pendengaran, perlu dipikirkan untuk penelitian lebih lanjut, karena pada kasus seperti ini kemungkinan telah terjadi tuli syaraf dan mungkin telah terjadi gangguan pada tulang pendengaran sehingga sebaiknya dilakukan timpanoplasti tipe 2 atau lebih (osikulopasti). Keberhasilan Miringoplasti Keberhasilan miringoplasti dari 52 kasus yang telah diteliti, jumlah kasus yang mengalami keberhasilan, dapat dilihat pada table 4.3. berikut : Tabel 2. Jumlah Kasus yang Mengalami Keberhasilan Miringoplasti Miringoplasti N (%) Berhasil 48 (92,4%) Tidak berhasil 4 (7,6%) Total 52 Dari tabel diatas, tampak bahwa yang mengalami keberhasilan miringoplasti dalam penelitian ini sebanyak 48 kasus (92,4%) sedang sisanya sebanyak 4 kasus (7,6%), merupakan kelompok yang tidak berhasil. Sehingga secara umum dapat dikatakan keberhasilan miringoplasti pada penelitian ini adalah sebesar 92,4%.

5 Usia Berapa banyak jumlah kasus miringoplasti berdasarkan kelompok usia, dapat dilihat pada tabel dibawah ini : Tabel 3. Jumlah kasus Berdasarkan Kelompok Usia Usia N(%) thn 22 (42,3%) thn 16 (30,8%) thn 7 (13,5%) thn 5 (1,0%) thn 1 (0,2%) >60 thn 4 (12,4%) Total 52 Dari tabel tersebut diatas terlihat bahwa kasus terbanyak terjadi pada kelompok usia tahun, yaitu sebanyak 22 kasus (42,3%) dan diikuti kelompok usia tahun sebanyak 16 kasus (30,8%). Sedangkan kasus yang paling sedikit terjadi yaitu pada kelompok usia tahun 1 kasus (0,2%), diikuti >60 tahun 4 kasus (12,4%) dan kelompok usia tahun sebanyak 5 kasus (1,0%). Jenis Kelamin Dari seluruh operasi miringoplasti yang didapatkan pada penelitian ini dengan jumlah 52 kasus, maka berdasarkan pengelompokkan sesuai dengan jenis kelamin didapatkan jumlah distribusi kasus seperti tampak pada tabel 4.5. dibawah ini : Tabel 4.Keberhasilan Miringoplasti Berdasarkan Jenis Kelamin Jenis Kelamin N(%) Laki-laki 41 (78,8%) Perempuan 11 (21,2%) Total 52 Pada penelitian ini, dari 52 kasus, sebanyak 41 kasus (78,8%) dengan jenis kelamin laki-laki, dan 11 kasus (21,2%) perempuan. Jenis Perforasi Menurut jenis perforasi yang terbagi atas kecil, besar, dan subtotal, maka jumlah kasus miringoplasti yang didapatkan pada penelitian ini dapat dilihat seperti pada tabel 4.6. dibawah ini :

6 Tabel 5. Jumlah Kasus Berdasarkan Jenis Perforasi Jenis Perforasi N(%) Kecil 8 (15,4%) Besar 25 (48%) Subtotal 19 (36,5%) Total 52 Dari tabel diatas tampak bahwa dari seluruh kasus miringoplasti pada penelitian ini, maka perforasi besar merupakan jumlah yang terbanyak dilakukan miringoplasti yaitu sebanyak 25 kasus (36,5%), yang diikuti oleh jenis perforasi subtotal sebanyak 19 kasus (36,5%). Sedangkan jenis perforasi kecil merupakan jenis perforasi yang paling sedikit dilakukan miringoplasti, yaitu sebanyak 8 kasus (15,4%). Jarak Waktu Operasi Jarak waktu operasi (jarak antara waktu dinyatakan sembuh secara klinis dari otitis media sampai waktu dilakukannya miringoplasti), pada penelitian ini dibagi atas kelompok <1 bulan (miringoplasti dini), 1-3 bulan, dan > 3 bulan. Dari hasil perhitungan, maka jumlah kasus berdasarkan jarak waktu operasi pada penelitian ini adalah seperti dalam tabel dibawah ini : Tabel 6. Jarak Waktu Operasi Jarak Operasi N(%) < 1 bulan 35 (67,3%) 1-3 bulan 14 (26,9%) >3 bulan 3 (5,8%) Total 52 Dari tabel diatas tampak bahwa miringoplasti paling banyak jumlahnya dilakukan pada jarak operasi < 1 bulan yang lebih sering disebut dengan miringoplasti dini (1), yaitu 35 kasus (67,3%). Sedangkan jarak waktu operasi antara 1-3 bulan menduduki urutan kedua sebanyak 14 kasus (26,9%), dan yang paling sedikit yaitu jarak operasi > 3 bulan sebanyak 3 kasus (5,8%).

7 DISKUSI Telah dilakukan penelitian pada 52 orang pasien di klinik THT Jl. Belitung selama periode Juni 2003 Juni Didapatkan hasil : 1. Keberhasilan miringoplasti pada penelitian ini sebesar 92,4%. 2. Tidak ditemukan hubungan yang bermakna antara usia, jenis kelamin, jenis perforasi, dan jarak waktu operasi. Angka keberhasilan peningkatan pendengaran pada penderita pasca operasi miringoplasti sebesar 92,4%. Hasil ini cukup tinggi apabila dibandingkan dengan penelitian dari Escobar (2001) sebesar 82,1% (9). Peningkatan pendengaran yang terjadi terutama berupa peningkatan hantaran udara sebesar antara db yaitu 33 kasus (63,3%), lalu db 17 kasus (32,7%), db 4 kasus (0,8%) dan terakhir > 40 db 1 kasus (0,2%). Miringoplasti dilakukan terutama pada kelompok usia tahun (42,3%), lalu kelompok usia tahun (30,8%). Sedangkan kelompok usia yang paling sedikit dilakukan miringoplasti adalah kelompok usia tahun (0,2%). Keadaan diatas mungkin disebabkan karena pada usia tahun pendidikan telah memadai, sehingga masyarakat telah mengerti akan kesehatan serta pada kelompok usia tersebut mulai banyak yang ingin mendaftarkan diri ke sekolah, yang memerlukan kesehatan yang baik khususnya telinga. Baik laki-laki mau pun perempuan mempunyai keinginan untuk sembuh total dari penyakitnya. Sedangkan jenis kelamin laki-laki lebih banyak kasusnya, kemungkinan karena faktor pekerjaan yang membutuhkan perbaikan pendengaran yang baik. Miringoplasti terbanyak dilakukan pada perforasi yang besar (48%) diikuti oleh jenis subtotal (36,5%), dan yang paling sedikit dilakukan miringoplasti adalah perforasi jenis kecil (15,4%). Tidak terdapat perbedaan antara angka keberhasilan miringoplasti dini dibandingkan dengan jarak operasi 1 3 bulan dan > 3 bulan. Miringoplasti dilakukan beberapa bulan setelah peradangan Otitis Media diatas, untuk memastikan telah terjadinya penyembuhan jaringan pada kavitas timpani secara histopatologik (jaringan matang) (14,16,20). Perubahan histopatologik pada jaringan mukoperiosteum kavitas timpani penderita Otitis Media yang mendapat terapi akan kembali normal setelah 12 minggu (21). Tidak ada korelasi antara lamanya kering telinga penderita Otitis Media sampai dilakukan miringoplasti terhadap suksesnya hasil operasi (22). Pendapat ini diperjelas dengan hasil penelitian Boesoirie (1996) yang menyimpulkan bahwa keberhasilan miringoplasti dini sama baiknya dengan miringoplasti klasik (1).

8 Pada pasien yang mengalami pertumbuhan tandur, apabila tidak mengalami peningkatan pendengaran, mungkin terjadi karena pada saat operasi tidak terjadi penyatuan antara tandur dengan manubrium malei, atau spongostan dalam kavitas timpani belum terlarut sehingga menutup aerasi tuba auditiva, serta mungkin terjadinya anterior sulcus blunting atau lateralization atau adhesi tandur pada promontorium (1). Pada miringoplasti, tandur yang diambil dari fascia temporalis dapat ditempelkan pada permukaan luar membran timpani (cara onlay), atau pada permukaan dalam membran timpani (cara underlay), yang telah dilukai lebih dahulu dan disiapkan kedudukannya. Tandur ini bertindak sebagai media untuk migrasi epitel skuamosa permukaan luar membran timpani dan mukosa dari permukaan dalam (3).Dalam waktu 6 sampai 8 minggu, fasia telah dilapisi oleh epitel dari kedua permukaan (4), sedangkan lapisan fibrosa dari jaringan ikat yang kaya fobroblast di bagian tengah membran timpani yang baru, terbentuk pada minggu ke 2-5 setelah penembelan perforasi oleh fasia (5). Penyembuhan dimulai 2-4 hari setelah operasi, epitel skuamosa pada pinggiran luka akan mulai berproliferasi dan bermigrasi melintasi pinggiran luka. Melalui aktivitas fibroblast, limfosit dan kapiler terjadi regenerasi jaringan ikat yang juga dimulai dari pinggir luka. Nutrisi yang diperlukan untuk regenerasi ini didapat dari kapiler-kapiler di sekeliling luka (6). Dalam waktu 2 minggu, tandur akan sudah dilapisi epitel skuamosa (7).Dengan demikian vaskularisasi yang tidak adekuat akan mengganggu pertumbuhan tandur, bahkan mungkin tidak tumbuh sama sekali, sesuai dengan pendapat bahwa yang berperan terhadap pertumbuhan tandur serta penyembuhan luka operasi adalah penguasaan terhadap infeksi serta vaskularisasi yang memadai. Berbagai faktor menjadi kendala pada pengobatan OMSK secara tuntas, antara lain adalah ketidakpastian saat yang tepat dan paling cepat dilakukan miringoplasti. Hal ini menyebabkan insidensi ketulian tipe konduktif di negaranegara berkembang pada khususnya, tetap tinggi. Ketidak pastian tentang saat yang optimal untuk melakukan miringoplasti disebabkan tidak terdapat landasan teori yang mantap yang mendasari saat terbaik dilakukan miringoplasti ini. (1) Kegagalan miringoplasti sering dihubungkan dengan saat yang terlalu cepat dilakukan pembedahan tersebut setelah OMSK dinyatakan sembuh secara klinis (miringoplasti dini). Sebaliknya kelambatan pembedahan miringoplasti akan memperbesar kemungkinan OMSK yang berulang-ulang akibat perforasi membran timpani, dengan risiko menimbulkan berbagai komplikasi misalnya pembentukan jaringan fibrosa, rusaknya tulang-tulang pendengaran dan migrasi epitel kanalis akustikus eksternus ke dalam kavum timpani, yang selain akan mempersulit prosedur timpanoplasti, juga dapat membahayakan jiwa penderita apabila telah terjadi komplikasi intra kranial. Keterlambatan miringoplasti juga akan menyebabkan penderita lebih lama dalam keadaan tuli sehingga menimbulkan kerugian baik secara psikologi, perkembangan intelektual, kehidupan bersosial maupun kesempatan mendapat lapangan kerja. Hal ini apabila dinilai secara nasional, akan menimbulkan kerugian yang tidak sedikit. (4,6)

9 Secara medis, kekambuhan OMSK dapat dihinharkan dengan cara menghilangkan fokal infeksi atau penyebab-penyebab lain di luar telinga, terapi antibiotik yang adekuat, serta pembedahan miringoplasti untuk mencegah infeksi berulang melalui perforasi membran timpani.dapat disimpulkan bahwa miringoplasti selain memiliki segi kuratif dan rehabilitatif, juga memiliki segi preventif.makin cepat dilakukan miringoplasti, makin tinggi nilai preventifnya. (3,7) Para penderita OMSK umumnya berasal dari golongan masyarakat berpendidikan menengah kebwah, dan mereka seringkali telah merasa cukup apabila keadaan telinga telah kering. Apabila mereka harus menunggu terlalu lama untuk menjalani miringoplasti sejak merasa telinganya telah kering, hanya sedikit sekali yang kembali untuk menjalani operasi tersebut. Lain halnya bila miringoplasti harus segera dilakukan begitu keadaan tilinga kering (miringoplasti dini), penderita akan merasakan sebagai suatu rangkaian pengobatan yang harus ia jalani.keharusan menjalani miringoplasti yang harus dilakukan segera juga akan menimbulkan suatu ikatan antara pasien dan dokternya, sehingga diharapkan pasien secara teratur memeriksakan diri dan dapat dimotivasi lebih baik. (2,4) Miringoplasti dilakukan pada penderita perforasi membran timpani dengan tulang-tulang pendengaran yang masih utuh dan mobil, dan pada rongga telinga tengah tidak terdapat jaringan patologik. (1) Umumnya miringoplasti dilakukan setelah proses peradangan di dalam telingan tengah dapat diatasi. Meskipun miringoplasti telah dilakukan juga pada anakanak, tetapi para ahli sependapat bahwa angka kegagalan miringoplasti pada anakanak lebih besar dibandingkan pada orang dewasa. Syarat yang harus dipenuhi untuk dapat dilakukan miringoplasti adalah fungsi tuba yang baik. Selain sikatriks yang Terdapat di dalam ismus tuba, maka gangguan fungsi tuba dapat disebabkan oleh pembesaran adenoid, alergi dan proses peradangan lainnya pada hidung, dan malformasi kraniofasial. Anemi dan diabetes mellitus dapat mengganggu proses penyembuhan pasca bedah. (8) Fungsi pendengaran diperiksa dengan menggunakan audiometer nada murni di dalam kamar kedap suara. Fungsi ventilasi tuba Eustachii diukur dengan menggunakan alat impedance-meter, yaotu dengan memberi tekanan kre dalam kavum timpani sebesar 200 mmh2o dan tekanan -200 mmh2o melalui kanalis akustikus eksternus yang dikenal sebagai metoda modifikasi inflasi-deflasi Flisberg. Hasil miringoplasti sebanyak 90% tandur mengalami pertumbuhan (8). Keberhasilan miringoplasti sebesar 92% dari 96 kasus miringoplasti, dan mendapatkan hasil yang sama antara miringoplasti dini (miringoplasti yang dilakukan segera setelah telinga tengah kering / kurang dari 3 bulan) dengan miringoplasti klasik (miringoplasti yang dilakukan sekurang-kurangnya 3 bulan sembuh klinis dari peradangan telinga tengah) (1). Kesuksesan miringoplasti di Hospital de Especialides, Mexico periode sebesar 82,1% dari 290 kasus, sisanya sebanyak 17,9% mengalami kegagalan (9). Keberhasilan peningkatan pendengaran (hantaran udara) sangat bervariasi, hal ini dapat dilihat dari penelitian Djamaludin pada tahun 1991 yang melaporkan setelah 3 bulan pasca operasi pada 32 penderita, maka pendengaran menjadi baik sebanyak 76,5% dengan kenaikan pendengaran berkisar 10 db 30 db, dan angka rata-rata

10 kenaikan sebesar 14,6 db, sedangkan 23,5% penderita tidak mengalami kenaikan fungsi pendengaran. Dari penderita yang mengalami kenaikan pendengaran, Terdapat 41,1% yang mencapai normal. Pada operasi miringoplasti terhadap seorang penderita menghasilkan kenaikan 16,4 db pada hantaran udaranya (10). 81% pendengaran membaik, dengan rata-rata kenaikan sebesar 14 db pada pasien anak-anak yang dilakukan miringoplasti dan diobservasi selama 1 tahun (11). Sebanyak 64% pasien meningkat pendengarannya, 29% menjadi jelek dan menetap pada 460 kasus miringoplasti di RS Aranzazu, San Sebastian selama periode (12). Jika tulang pendengaran masih sangat baik maka keberhasilan miringoplasti adalah 85-90% dan jika tulang pendengaran sudah rusak, maka keberhasilan ini menurun menjadi 60-70% (13). Kegagalan operasi miringoplasti akan tinggi pada penderita OMSK yang sedang aktif (14) dan pada penderita OMSK dengan perforasi membrane timpani yang besar (15), lokasi perforasi di daerah attic (16) serta Terdapat jaringan patologis antara lain miringosklerosis (17,18)

PERBANDINGAN MIRINGOPLASTI MEDIOLATERAL DENGAN MEDIAL DAN LATERAL

PERBANDINGAN MIRINGOPLASTI MEDIOLATERAL DENGAN MEDIAL DAN LATERAL PERBANDINGAN MIRINGOPLASTI MEDIOLATERAL DENGAN MEDIAL DAN LATERAL Oleh: Shinta Fitri Boesoirie, dr., M.Kes., SpTHT-KL Prof. Dr. M. Thaufiq S Boesoirie, dr., M.S., SpTHT-KL(K) Lina Lasminingrum, dr., M.Kes.,

Lebih terperinci

Perbandingan Miringoplasti Mediolateral dengan Medial dan Lateral

Perbandingan Miringoplasti Mediolateral dengan Medial dan Lateral Perbandingan Miringoplasti Mediolateral dengan Medial dan Lateral Shinta Fitri Boesoirie, Thaufiq S. Boesoirie, Lina Lasminingrum Bagian Ilmu Kesehatan Telinga, Hidung, Tenggorokan Bedah Kepala dan Leher

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Otitis media supuratif kronis (OMSK) merupakan peradangan dan infeksi kronis pada telinga tengah dan rongga mastoid yang ditandai dengan adanya sekret yang keluar terus

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. inflamasi kronik telinga tengah yang ditandai dengan perforasi membran timpani

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. inflamasi kronik telinga tengah yang ditandai dengan perforasi membran timpani BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Otitis media supuratif kronik (OMSK) merupakan salah satu penyakit inflamasi kronik telinga tengah yang ditandai dengan perforasi membran timpani dan sekret yang keluar

Lebih terperinci

PERBANDINGAN KEBERHASILAN MIRINGOPLASTI MEDIOLATERAL DENGAN MEDIAL DAN LATERAL PADA PERFORASI ANTERIOR DAN SUBTOTAL DENGAN PENDEKATAN TRANSKANAL

PERBANDINGAN KEBERHASILAN MIRINGOPLASTI MEDIOLATERAL DENGAN MEDIAL DAN LATERAL PADA PERFORASI ANTERIOR DAN SUBTOTAL DENGAN PENDEKATAN TRANSKANAL PERBANDINGAN KEBERHASILAN MIRINGOPLASTI MEDIOLATERAL DENGAN MEDIAL DAN LATERAL PADA PERFORASI ANTERIOR DAN SUBTOTAL DENGAN PENDEKATAN TRANSKANAL Shinta Fitri Boesoirie, Lina Lasminingrum, Thaufiq S Boesoirie

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kemampuan mendengar dan berkomunikasi dengan orang lain. Gangguan

BAB I PENDAHULUAN. kemampuan mendengar dan berkomunikasi dengan orang lain. Gangguan 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Telinga adalah organ penginderaan yang berfungsi ganda untuk pendengaran dan keseimbangan dengan anatomi yang kompleks. Indera pendengaran berperan penting dalam

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. dan sekret yang keluar terus-menerus atau hilang timbul yang terjadi lebih dari 3

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. dan sekret yang keluar terus-menerus atau hilang timbul yang terjadi lebih dari 3 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Otitis media supuratif kronik (OMSK) merupakan salah satu penyakit inflamasi kronik telinga tengah yang ditandai dengan perforasi membran timpani dan sekret yang keluar

Lebih terperinci

HUBUNGAN JENIS OTITIS MEDIA SUPURATIF KRONIS DENGAN GANGGUAN PENDENGARAN DI RUMAH SAKIT UMUM PUSAT HAJI ADAM MALIK MEDAN TAHUN 2012.

HUBUNGAN JENIS OTITIS MEDIA SUPURATIF KRONIS DENGAN GANGGUAN PENDENGARAN DI RUMAH SAKIT UMUM PUSAT HAJI ADAM MALIK MEDAN TAHUN 2012. HUBUNGAN JENIS OTITIS MEDIA SUPURATIF KRONIS DENGAN GANGGUAN PENDENGARAN DI RUMAH SAKIT UMUM PUSAT HAJI ADAM MALIK MEDAN TAHUN 2012 Oleh: DENNY SUWANTO 090100132 FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SUMATERA

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Farmasi dalam kaitannya dengan Pharmaceutical Care harus memastikan bahwa

I. PENDAHULUAN. Farmasi dalam kaitannya dengan Pharmaceutical Care harus memastikan bahwa I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pharmaceutical Care adalah salah satu elemen penting dalam pelayanan kesehatan dan selalu berhubungan dengan elemen lain dalam bidang kesehatan. Farmasi dalam kaitannya

Lebih terperinci

Skrining dan Edukasi Gangguan Pendengaran pada Anak Sekolah

Skrining dan Edukasi Gangguan Pendengaran pada Anak Sekolah Endang Martini* 1 2 3 Sumardiyono 4 1 IJMS Indonesian Journal On Medical Science Volume 4 No 1 - Januari 2017 Skrining dan Edukasi Gangguan Pendengaran pada Anak Sekolah *e-mail: endmartini@gmail.com speech

Lebih terperinci

LAPORAN OPERASI TIMPANOMASTOIDEKTOMI. I. Data data Pasien Nama : Umur : tahun Jenis Kelamin : Alamat : Telepon :

LAPORAN OPERASI TIMPANOMASTOIDEKTOMI. I. Data data Pasien Nama : Umur : tahun Jenis Kelamin : Alamat : Telepon : Lampiran 1 LAPORAN OPERASI TIMPANOMASTOIDEKTOMI I. Data data Pasien Nama : Umur : tahun Jenis Kelamin : Alamat : Telepon :. Agama : No. M R : Tanggal : II. Keluhan Utama : III. Keluhan tambahan : - Sakit

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. di negara maju terlebih lagi bagi negara berkembang. Angka kematian akibat

BAB I PENDAHULUAN. di negara maju terlebih lagi bagi negara berkembang. Angka kematian akibat BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar belakang Karsinoma rongga mulut merupakan ancaman besar bagi kesehatan masyarakat di negara maju terlebih lagi bagi negara berkembang. Angka kematian akibat kanker terus meningkat

Lebih terperinci

BAB 1 : PENDAHULUAN. membungkus jaringan otak (araknoid dan piameter) dan sumsum tulang belakang

BAB 1 : PENDAHULUAN. membungkus jaringan otak (araknoid dan piameter) dan sumsum tulang belakang 1 BAB 1 : PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Meningitis merupakan reaksi peradangan yang terjadi pada lapisan yang membungkus jaringan otak (araknoid dan piameter) dan sumsum tulang belakang yang disebabkan

Lebih terperinci

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN Karakteristik Penderita Otitis Media Akut pada Anak yang Berobat ke Instalasi Rawat Jalan SMF THT Rumah Sakit Umum Pusat (RSUP) Haji Adam Malik Medan pada Tahun 2009 Oleh: TAN HONG SIEW 070100322 FAKULTAS

Lebih terperinci

AUDIOLOGI. dr. Harry A. Asroel, Sp.THT-KL BAGIAN THT KL FK USU MEDAN 2009

AUDIOLOGI. dr. Harry A. Asroel, Sp.THT-KL BAGIAN THT KL FK USU MEDAN 2009 AUDIOLOGI dr. Harry A. Asroel, Sp.THT-KL BAGIAN THT KL FK USU MEDAN 2009 Definisi : Ilmu yang mempelajari pendengaran MENDENGAR diperlukan 1.Rangsang yg Adekuat bunyi 2.Alat penerima rangsang telinga BUNYI

Lebih terperinci

ABSTRAK KARAKTERISTIK PASIEN OTITIS MEDIA SUPURATIF KRONIS DI POLIKLINIK THT RSUP SANGLAH SELAMA PERIODE BULAN JANUARI JUNI 2013

ABSTRAK KARAKTERISTIK PASIEN OTITIS MEDIA SUPURATIF KRONIS DI POLIKLINIK THT RSUP SANGLAH SELAMA PERIODE BULAN JANUARI JUNI 2013 ABSTRAK KARAKTERISTIK PASIEN OTITIS MEDIA SUPURATIF KRONIS DI POLIKLINIK THT RSUP SANGLAH SELAMA PERIODE BULAN JANUARI JUNI 2013 Otitis Media Supuratif Kronis (OMSK) merupakan lanjutan dari episode initial

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. nasional secara utuh yang dimaksudkan untuk meningkatkan derajat kesehatan

BAB 1 PENDAHULUAN. nasional secara utuh yang dimaksudkan untuk meningkatkan derajat kesehatan BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Upaya pembangunan kesehatan merupakan bagian integral dari pembangunan nasional secara utuh yang dimaksudkan untuk meningkatkan derajat kesehatan masyarakat secara

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA Definisi Otitis Media Supuratif Kronis

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA Definisi Otitis Media Supuratif Kronis BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Definisi Otitis Media Supuratif Kronis Suatu radang kronis telinga tengah dengan perforasi membran timpani dan riwayat keluarnya sekret dari telinga (otorea) lebih dari 2 bulan,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. otitis media dibagi menjadi bentuk akut dan kronik. Selain itu terdapat sistem

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. otitis media dibagi menjadi bentuk akut dan kronik. Selain itu terdapat sistem 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Otitis media merupakan peradangan mukosa telinga tengah yang terdiri atas otitis media non supuratif dan supuratif. Berdasarkan durasi waktu otitis media dibagi menjadi

Lebih terperinci

BAB V PEMBAHASAN. Penelitian ini dilakukan pada 60 pasien geriatri di Poliklinik Geriatri dan

BAB V PEMBAHASAN. Penelitian ini dilakukan pada 60 pasien geriatri di Poliklinik Geriatri dan 60 BAB V PEMBAHASAN Penelitian ini dilakukan pada 60 pasien geriatri di Poliklinik Geriatri dan Poliklinik Telinga Hidung Tenggorok dan Bedah Kepala Leher (THT-KL) RSUD dr. Moewardi Surakarta untuk dilakukan

Lebih terperinci

2.3 Patofisiologi. 2.5 Penatalaksanaan

2.3 Patofisiologi. 2.5 Penatalaksanaan 2.3 Patofisiologi Otitis media dengan efusi (OME) dapat terjadi selama resolusi otitis media akut (OMA) sekali peradangan akut telah teratasi. Di antara anak-anak yang telah memiliki sebuah episode dari

Lebih terperinci

4.3.1 Identifikasi Variabel Definisi Operasional Variabel Instrumen Penelitian

4.3.1 Identifikasi Variabel Definisi Operasional Variabel Instrumen Penelitian DAFTAR ISI SAMPUL DALAM... i LEMBAR PENGESAHAN... ii PENETAPAN PANITIA PENGUJI... iii KATA PENGANTAR... iv PERNYATAAN KEASLIAN PENELITIAN... v ABSTRAK... vi ABSTRACT... vii DAFTAR ISI... viii DAFTAR TABEL...

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Rinosinusitis kronis merupakan inflamasi kronis. pada mukosa hidung dan sinus paranasal yang berlangsung

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Rinosinusitis kronis merupakan inflamasi kronis. pada mukosa hidung dan sinus paranasal yang berlangsung BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Rinosinusitis kronis merupakan inflamasi kronis pada mukosa hidung dan sinus paranasal yang berlangsung selama minimal 12 minggu berturut-turut. Rinosinusitis kronis

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. Otitis Media Supuratif Kronik (OMSK) atau yang biasa disebut congek adalah

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. Otitis Media Supuratif Kronik (OMSK) atau yang biasa disebut congek adalah BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Definisi Otitis Media Supuratif Kronik (OMSK) Otitis Media Supuratif Kronik (OMSK) atau yang biasa disebut congek adalah infeksi kronis di telinga tengah dengan adanya lubang

Lebih terperinci

Ketulian : Pemeriksaan dan Penyebabnya Setyo Wahyu Wibowo dr.mkes Jur.PLB-FIP UPI

Ketulian : Pemeriksaan dan Penyebabnya Setyo Wahyu Wibowo dr.mkes Jur.PLB-FIP UPI Ketulian : Pemeriksaan dan Penyebabnya Setyo Wahyu Wibowo dr.mkes Jur.PLB-FIP UPI PENDAHULUAN Yang dimaksud "ketulian" disini adalah sama dengan "kurang pendengaran", yang dalam buku-buku ditulis deafness

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. lansia, menyebabkan gangguan pendengaran. Jenis ketulian yang terjadi pada

BAB I PENDAHULUAN. lansia, menyebabkan gangguan pendengaran. Jenis ketulian yang terjadi pada BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Perubahan patologik pada organ auditorik akibat proses degenerasi pada lansia, menyebabkan gangguan pendengaran. Jenis ketulian yang terjadi pada kelompok

Lebih terperinci

Kesehatan telinga siswa Sekolah Dasar Inpres 1073 Pandu

Kesehatan telinga siswa Sekolah Dasar Inpres 1073 Pandu Kesehatan telinga siswa Sekolah Dasar Inpres 1073 Pandu 1 Sylvester B. Demmassabu 2 Ora I. Palandeng 2 Olivia C Pelealu 1 Kandidat Skripsi Fakultas Kedokteran Universitas Sam Ratulangi Manado 2 Bagian/SMF

Lebih terperinci

BAB V PEMBAHASAN. besar dan dapat menjadi sistem pengumpulan data nasional. tidak hanya puhak medis tetapi juga struktural.

BAB V PEMBAHASAN. besar dan dapat menjadi sistem pengumpulan data nasional. tidak hanya puhak medis tetapi juga struktural. BAB V PEMBAHASAN Penelitian ini merupakan bagian dari penelitian mengenai profil otitis media di Kota Surakarta, yang diharapkan dapat dilakukan di skala yang lebih besar dan dapat menjadi sistem pengumpulan

Lebih terperinci

PENDERITA TONSILITIS DI POLIKLINIK THT-KL BLU RSUP PROF. DR. R. D. KANDOU MANADO JANUARI 2010-DESEMBER 2012

PENDERITA TONSILITIS DI POLIKLINIK THT-KL BLU RSUP PROF. DR. R. D. KANDOU MANADO JANUARI 2010-DESEMBER 2012 PENDERITA TONSILITIS DI POLIKLINIK THT-KL BLU RSUP PROF. DR. R. D. KANDOU MANADO JANUARI 2010-DESEMBER 2012 1 Andre Ch. T. Palandeng 2 R. E. C. Tumbel 2 Julied Dehoop 1 Kandidat Skrispi Fakultas Kedokteran

Lebih terperinci

Personalia Penelitian

Personalia Penelitian 105 Personalia Penelitian I. Peneliti Utama Nama : dr. Rina Hayati Jabatan : PPDS T.H.T.K.L. Fakultas : Kedokteran Perguruan Tinggi : Bidang Keahlian : T.H.T.K.L. Waktu Disediakan : 12 Jam/Minggu II. Komisi

Lebih terperinci

IDENTITAS I.1. IDENTITAS RESPONDEN

IDENTITAS I.1. IDENTITAS RESPONDEN 66 Lampiran 1 STATUS PENELITIAN No. I. IDENTITAS I.1. IDENTITAS RESPONDEN Nama :... Tanggal lahir :... Jenis Kelamin :... Alamat :... Telepon :... No. M R :... Anak ke/dari :... Jumlah orang yang tinggal

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. karakteristik dua atau lebih gejala berupa nasal. nasal drip) disertai facial pain/pressure and reduction or loss of

BAB I PENDAHULUAN. karakteristik dua atau lebih gejala berupa nasal. nasal drip) disertai facial pain/pressure and reduction or loss of BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Menurut European Position Paper on Rhinosinusitis and Nasal Polyps (EP3OS) tahun 2012, rinosinusitis didefinisikan sebagai inflamasi pada hidung dan sinus paranasalis

Lebih terperinci

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. Penelitian eksperimental telah dilakukan pada penderita rinosinusitis

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. Penelitian eksperimental telah dilakukan pada penderita rinosinusitis BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Hasil Penelitian Penelitian eksperimental telah dilakukan pada penderita rinosinusitis kronik yang berobat di Poliklinik Ilmu Kesehatan THT-KL RSUD Dr. Moewardi

Lebih terperinci

PENGARUH PERUBAHAN KETINGGIAN TERHADAP NILAI AMBANG PENDENGARAN PADA PERJALANAN WISATA DARI GIANYAR MENUJU KINTAMANI

PENGARUH PERUBAHAN KETINGGIAN TERHADAP NILAI AMBANG PENDENGARAN PADA PERJALANAN WISATA DARI GIANYAR MENUJU KINTAMANI PENGARUH PERUBAHAN KETINGGIAN TERHADAP NILAI AMBANG PENDENGARAN PADA PERJALANAN WISATA DARI GIANYAR MENUJU KINTAMANI Oleh : I Nyoman Kertanadi Diajukan sebagai Karya Akhir untuk Memperoleh Gelar Spesialis

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN UKDW. penyakit yang sering dijumpai dalam praktek kedokteran. Data epidemiologis

BAB I PENDAHULUAN UKDW. penyakit yang sering dijumpai dalam praktek kedokteran. Data epidemiologis 1 BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Penyakit serebrovaskuler atau yang lebih dikenal dengan stroke merupakan penyakit yang sering dijumpai dalam praktek kedokteran. Data epidemiologis menunjukkan bahwa

Lebih terperinci

KESEHATAN MATA DAN TELINGA

KESEHATAN MATA DAN TELINGA KESEHATAN MATA DAN TELINGA Oleh Erwin Setyo Kriswanto PENDIDIKAN OLAHRAGA FAKULTAS ILMU KEOLAHRAGAAN UNIVERSITAS NEGERI YOGYAKARTA MATA DAN TELINGA INDERA PENGLIHAT ( MATA ) Mata adalah indera penglihatan,

Lebih terperinci

ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga BAB I PENDAHULUAN. dilahirkan (perinatal) dan sesudah lahir (postnatal) (Suhardiyana, 2010).

ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga BAB I PENDAHULUAN. dilahirkan (perinatal) dan sesudah lahir (postnatal) (Suhardiyana, 2010). BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Permasalahan Telinga adalah organ pengindraan dengan fungsi ganda dan kompleks yaitu fungsi pendengaran dan fungsi keseimbangan (Hermanto, 2010). Rentang frekuensi

Lebih terperinci

BAB IV HASIL PENELITIAN. Penelitian eksperimental telah dilakukan pada penderita rinosinusitis

BAB IV HASIL PENELITIAN. Penelitian eksperimental telah dilakukan pada penderita rinosinusitis BAB IV HASIL PENELITIAN Penelitian eksperimental telah dilakukan pada penderita rinosinusitis kronik yang berobat di Poliklinik Ilmu Kesehatan THT-KL. Selama penelitian diambil sampel sebanyak 50 pasien

Lebih terperinci

ABSTRAK KARAKTERISTIK PASIEN SINUSITIS DI RUMAH SAKIT UMUM PUSAT SANGLAH DENPASAR PADA APRIL 2015 SAMPAI APRIL 2016 Sinusitis yang merupakan salah

ABSTRAK KARAKTERISTIK PASIEN SINUSITIS DI RUMAH SAKIT UMUM PUSAT SANGLAH DENPASAR PADA APRIL 2015 SAMPAI APRIL 2016 Sinusitis yang merupakan salah ABSTRAK KARAKTERISTIK PASIEN SINUSITIS DI RUMAH SAKIT UMUM PUSAT SANGLAH DENPASAR PADA APRIL 2015 SAMPAI APRIL 2016 Sinusitis yang merupakan salah satu penyakit THT, Sinusitis adalah peradangan pada membran

Lebih terperinci

Pemeriksaan Pendengaran

Pemeriksaan Pendengaran Komang Shary K., NPM 1206238633 Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia LTM Pemicu 4 Modul Penginderaan Pemeriksaan Pendengaran Pendahuluan Etiologi penurunan pendengaran dapat ditentukan melalui pemeriksaan

Lebih terperinci

ABSTRAK. Kata kunci : karsinoma sel skuamosa, rongga mulut, prevalensi.

ABSTRAK. Kata kunci : karsinoma sel skuamosa, rongga mulut, prevalensi. ABSTRAK Karsinoma sel skuamosa rongga mulut merupakan karsinoma yang berasal dari epitel berlapis gepeng dan menunjukkan gambaran morfologi yang sama dengan karsinoma sel skuamosa di bagian tubuh lain.

Lebih terperinci

SERUMEN PROP. Angga Rizky Permana Dina Nurfadhilah Khairi Maulana Azhari Isnaini Syakira

SERUMEN PROP. Angga Rizky Permana Dina Nurfadhilah Khairi Maulana Azhari Isnaini Syakira SERUMEN PROP Angga Rizky Permana Dina Nurfadhilah Khairi Maulana Azhari Isnaini Syakira Anatomi telinga DEFINISI Serumen adalah hasil produksi kelenjar sebasea, kelenjar seruminosa, epitel kulit yang terlepas

Lebih terperinci

Kanker Paru-Paru. (Terima kasih kepada Dr SH LO, Konsultan, Departemen Onkologi Klinis, Rumah Sakit Tuen Mun, Cluster Barat New Territories) 26/9

Kanker Paru-Paru. (Terima kasih kepada Dr SH LO, Konsultan, Departemen Onkologi Klinis, Rumah Sakit Tuen Mun, Cluster Barat New Territories) 26/9 Kanker Paru-Paru Kanker paru-paru merupakan kanker pembunuh nomor satu di Hong Kong. Ada lebih dari 4.000 kasus baru kanker paru-paru dan sekitar 3.600 kematian yang diakibatkan oleh penyakit ini setiap

Lebih terperinci

SURVEI KESEHATAN TELINGA PADA ANAK PASAR BERSEHATI KOMUNITAS DINDING MANADO

SURVEI KESEHATAN TELINGA PADA ANAK PASAR BERSEHATI KOMUNITAS DINDING MANADO SURVEI KESEHATAN TELINGA PADA ANAK PASAR BERSEHATI KOMUNITAS DINDING MANADO 1 Kurniati Mappadang 2 Julied Dehoop 2 Steward K. Mengko 1 Kandidat Skripsi Fakultas Kedokteran Universitas Sam Ratulangi Manado

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. menimbulkan luka, sehingga pasien tidak nyaman. Luka merupakan rusaknya

BAB I PENDAHULUAN. menimbulkan luka, sehingga pasien tidak nyaman. Luka merupakan rusaknya BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Tindakan perawatan dalam bidang kedokteran gigi dapat berisiko menimbulkan luka, sehingga pasien tidak nyaman. Luka merupakan rusaknya sebagian dari jaringan tubuh.

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. A. Gambaran Umum Rumah Sakit RSUD dr. Moewardi. 1. Rumah Sakit Umum Daerah dr. Moewardi

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. A. Gambaran Umum Rumah Sakit RSUD dr. Moewardi. 1. Rumah Sakit Umum Daerah dr. Moewardi BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN A. Gambaran Umum Rumah Sakit RSUD dr. Moewardi 1. Rumah Sakit Umum Daerah dr. Moewardi RSUD dr. Moewardi adalah rumah sakit umum milik pemerintah Propinsi Jawa Tengah. Berdasarkan

Lebih terperinci

ABSTRAK. Hubungan Penurunan Pendengaran Sensorineural dengan Pasien Diabetes Melitus Tipe 2 Terkontrol dan Tidak Terkontrol di RSUP Sanglah

ABSTRAK. Hubungan Penurunan Pendengaran Sensorineural dengan Pasien Diabetes Melitus Tipe 2 Terkontrol dan Tidak Terkontrol di RSUP Sanglah ABSTRAK Hubungan Penurunan Pendengaran Sensorineural dengan Pasien Diabetes Melitus Tipe 2 Terkontrol dan Tidak Terkontrol di RSUP Sanglah Dini Nur Muharromah Yuniati Diabetes melitus (DM) merupakan suatu

Lebih terperinci

Audiometri. dr. H. Yuswandi Affandi, Sp. THT-KL

Audiometri. dr. H. Yuswandi Affandi, Sp. THT-KL Audiometri dr. H. Yuswandi Affandi, Sp. THT-KL Definisi Audiogram adalah suatu catatan grafis yang diambil dari hasil tes pendengaran dengan menggunakan alat berupa audiometer, yang berisi grafik batas

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. lapisan, yaitu pleura viseral dan pleura parietal. Kedua lapisan ini dipisahkan oleh

BAB 1 PENDAHULUAN. lapisan, yaitu pleura viseral dan pleura parietal. Kedua lapisan ini dipisahkan oleh BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pleura merupakan selapis membran jaringan fibrosa yang halus, basah dan semi transparan yang terdiri dari selapis epitel skuamosa. Pleura terdiri dari 2 lapisan, yaitu

Lebih terperinci

1. Pria 35 tahun, pekerja tekstil mengalami ketulian setelah 5 tahun. Dx a. Noise Induced HL b. Meniere disease c. Labirintis d.

1. Pria 35 tahun, pekerja tekstil mengalami ketulian setelah 5 tahun. Dx a. Noise Induced HL b. Meniere disease c. Labirintis d. THT [TELINGA] Jumlah soal : 30 soal 1. Pria 35 tahun, pekerja tekstil mengalami ketulian setelah 5 tahun. Dx a. Noise Induced HL b. Meniere disease c. Labirintis 2. Tuli Konductive berapa db?? a. > 75

Lebih terperinci

ABSTRAK GAMBARAN PASIEN KANKER PARU DI RUMAH SAKIT IMMANUEL BANDUNG PERIODE JANUARI 2013 DESEMBER 2014

ABSTRAK GAMBARAN PASIEN KANKER PARU DI RUMAH SAKIT IMMANUEL BANDUNG PERIODE JANUARI 2013 DESEMBER 2014 ABSTRAK GAMBARAN PASIEN KANKER PARU DI RUMAH SAKIT IMMANUEL BANDUNG PERIODE JANUARI 2013 DESEMBER 2014 Ida Ayu Komang Trisna Bulan, 2015 Pembimbing I : Dr. Hana Ratnawati, dr., M.Kes., PA (K). Pembimbing

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Epilepsi merupakan salah satu penyakit otak yang sering ditemukan di dunia. Data World Health Organization (WHO) menunjukkan epilepsi menyerang 70 juta dari penduduk

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. I.1 Latar Belakang. Otitis media supuratif kronik (OMSK) adalah suatu. infeksi kronis pada telinga tengah yang diikuti

BAB I PENDAHULUAN. I.1 Latar Belakang. Otitis media supuratif kronik (OMSK) adalah suatu. infeksi kronis pada telinga tengah yang diikuti BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang Otitis media supuratif kronik (OMSK) adalah suatu infeksi kronis pada telinga tengah yang diikuti perforasi pada membran timpani dengan riwayat keluarnya cairan bening

Lebih terperinci

Penyebab tuli konduksi

Penyebab tuli konduksi Penyebab tuli konduksi 1. Pada meatus akustikus eksterna : cairan (sekret, air) dan benda asing, polip telinga). 2. Kerusakan membrana timpani : perforasi, ruptura, sikatriks. 3. Dalam kavum timpani :

Lebih terperinci

Rinitis Alergi sebagai Faktor Risiko Otitis Media Supuratif Kronis

Rinitis Alergi sebagai Faktor Risiko Otitis Media Supuratif Kronis Rinitis Alergi sebagai Faktor Risiko Otitis Media Supuratif Kronis Tutie Ferika Utami, Kartono Sudarman, Bambang Udji Djoko Rianto, Anton Christanto Departemen Telinga Hidung dan Tenggorok, Fakultas Kedokteran

Lebih terperinci

BAB 5 HASIL DAN BAHASAN. adenotonsilitis kronik dengan disfungsi tuba datang ke klinik dan bangsal THT

BAB 5 HASIL DAN BAHASAN. adenotonsilitis kronik dengan disfungsi tuba datang ke klinik dan bangsal THT 32 BAB 5 HASIL DAN BAHASAN 5.1 Gambaran Umum Sejak Agustus 2009 sampai Desember 2009 terdapat 32 anak adenotonsilitis kronik dengan disfungsi tuba datang ke klinik dan bangsal THT RSUP Dr. Kariadi Semarang

Lebih terperinci

Tahun : Sistem Sensoris Pendengaran dan Keseimbangan Pertemuan 23

Tahun : Sistem Sensoris Pendengaran dan Keseimbangan Pertemuan 23 Matakuliah Tahun : 2009 : L0044/Psikologi Faal Sistem Sensoris Pendengaran dan Keseimbangan Pertemuan 23 TELINGA saraf kranial VIII (n. auditorius) terdiri dari 3 bagian : telinga luar, tengah dan dalam

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN Latar Belakang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Otitis Media Akut (OMA) merupakan inflamasi akut telinga tengah yang berlangsung kurang dari tiga minggu (Donaldson, 2010). Yang dimaksud dengan telinga tengah adalah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. ganas hidung dan sinus paranasal (18 %), laring (16%), dan tumor ganas. rongga mulut, tonsil, hipofaring dalam persentase rendah.

BAB I PENDAHULUAN. ganas hidung dan sinus paranasal (18 %), laring (16%), dan tumor ganas. rongga mulut, tonsil, hipofaring dalam persentase rendah. BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Karsinoma merupakan tumor ganas daerah kepala dan leher yang terbanyak ditemukan di Indonesia. Hampir 60 % tumor ganas kepala dan leher merupakan karsinoma nasofaring,

Lebih terperinci

ABSTRAK GAMBARAN PENDERITA KANKER PARU DI RUMAH SAKIT HASAN SADIKIN BANDUNG PERIODE JANUARI DESEMBER 2011

ABSTRAK GAMBARAN PENDERITA KANKER PARU DI RUMAH SAKIT HASAN SADIKIN BANDUNG PERIODE JANUARI DESEMBER 2011 ABSTRAK GAMBARAN PENDERITA KANKER PARU DI RUMAH SAKIT HASAN SADIKIN BANDUNG PERIODE JANUARI 2011- DESEMBER 2011 Christone Yehezkiel P, 2013 Pembimbing I : Sri Utami Sugeng, Dra., M.Kes. Pembimbing II :

Lebih terperinci

asuhan keperawatan Tinnitus

asuhan keperawatan Tinnitus asuhan keperawatan Tinnitus TINNITUS A. KONSEP DASAR PENYAKIT 1. DEFINISI Tinnitus adalah suatu gangguan pendengaran dengan keluhan perasaan mendengar bunyi tanpa rangsangan bunyi dari luar. Keluhannya

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. muka sekitar 40%. Lokasi hidung di tengah dan kedudukan di bagian anterior

BAB 1 PENDAHULUAN. muka sekitar 40%. Lokasi hidung di tengah dan kedudukan di bagian anterior BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Fraktur os nasal merupakan fraktur paling sering ditemui pada trauma muka sekitar 40%. Lokasi hidung di tengah dan kedudukan di bagian anterior wajah merupakan faktor

Lebih terperinci

METODE PENELITIAN III.

METODE PENELITIAN III. III. METODE PENELITIAN 3.1. Tempat dan Waktu Penelitian dilaksanakan di Kawasan Industri Kota Tangerang, khususnya di Kecamatan Jatiuwung (Gambar 4) dan dilaksanakan pada Bulan April sampai dengan Mei

Lebih terperinci

Otitis Media Supuratif Kronik pada Anak

Otitis Media Supuratif Kronik pada Anak ARTIKEL PENELITIAN Otitis Media Supuratif Kronik pada Anak Muhamad Faris Pasyah, Wijana Departemen/SMF Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Kepala Leher Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran/Rumah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. bervariasi. Insidensi stroke hampir mencapai 17 juta kasus per tahun di seluruh dunia. 1 Di

BAB I PENDAHULUAN. bervariasi. Insidensi stroke hampir mencapai 17 juta kasus per tahun di seluruh dunia. 1 Di BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Stroke masih menjadi pusat perhatian dalam bidang kesehatan dan kedokteran oleh karena kejadian stroke yang semakin meningkat dengan berbagai penyebab yang semakin

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. inflamasi akut, demam, otalgia, dan iritabilitas. (WHO, 2010).

BAB 1 PENDAHULUAN. inflamasi akut, demam, otalgia, dan iritabilitas. (WHO, 2010). BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Otitis Media Akut (OMA) adalah peradangan akut pada telinga bagian tengah yang berlangsung dalam 3 minggu atau bahkan bisa lebih. (Donaldson, 2010).Penyakit ini merupakan

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. komprehensif pada self-management, dukungan dari tim perawatan klinis,

BAB 1 PENDAHULUAN. komprehensif pada self-management, dukungan dari tim perawatan klinis, BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Program terapi efektif untuk diabetes mellitus membutuhkan latihan komprehensif pada self-management, dukungan dari tim perawatan klinis, dan regimen farmakologis

Lebih terperinci

BAB 4 METODE PENELITIAN

BAB 4 METODE PENELITIAN 31 BAB 4 METODE PENELITIAN 4.1. Ruang Lingkup Penelitian Ruang lingkup penelitian ini adalah bidang Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Bedah Kepala dan leher 4.2. Rancangan Penelitian Desain penelitian

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian ini merupakan studi bersifat observasional analitik dengan

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian ini merupakan studi bersifat observasional analitik dengan BAB III METODE PENELITIAN A. JENIS DAN DESAIN PENELITIAN Penelitian ini merupakan studi bersifat observasional analitik dengan desain studi kasus kontrol (case control). B. TEMPAT DAN WAKTU Penelitian

Lebih terperinci

ABSTRAK. Kata Kunci: Gangguan Pendengaran, Audiometri

ABSTRAK. Kata Kunci: Gangguan Pendengaran, Audiometri ABSTRAK Gangguan pendengaran merupakan ketidakmampuan secara parsial atau total untuk mendengarkan suara pada salah satu atau kedua telinga. Deteksi dini berupa pemeriksaan audiometri banyak digunakan

Lebih terperinci

ABSTRAK GAMBARAN PROFIL LIPID PADA PENDERITA DIABETES MELITUS TIPE 2 YANG DIRAWAT DI RS IMMANUEL BANDUNG PERIODE JANUARI - DESEMBER 2005

ABSTRAK GAMBARAN PROFIL LIPID PADA PENDERITA DIABETES MELITUS TIPE 2 YANG DIRAWAT DI RS IMMANUEL BANDUNG PERIODE JANUARI - DESEMBER 2005 ABSTRAK GAMBARAN PROFIL LIPID PADA PENDERITA DIABETES MELITUS TIPE 2 YANG DIRAWAT DI RS IMMANUEL BANDUNG PERIODE JANUARI - DESEMBER 2005 Ahmad Taqwin, 2007 Pembimbing I : Agustian L.K, dr., Sp.PD. Pembimbing

Lebih terperinci

HUBUNGAN DIABETES MELITUS DENGAN GANGGUAN PENDENGARAN DI RSUP H. ADAM MALIK MEDAN TAHUN Oleh : ANNISA DWI ANDRIANI

HUBUNGAN DIABETES MELITUS DENGAN GANGGUAN PENDENGARAN DI RSUP H. ADAM MALIK MEDAN TAHUN Oleh : ANNISA DWI ANDRIANI HUBUNGAN DIABETES MELITUS DENGAN GANGGUAN PENDENGARAN DI RSUP H. ADAM MALIK MEDAN TAHUN 2012 Oleh : ANNISA DWI ANDRIANI 090100056 FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN 2012 HUBUNGAN DIABETES

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Tidur didefinisikan sebagai suatu keadaan bawah sadar dimana orang tersebut dapat dibangunkan dengan pemberian rangsang sensorik atau dengan rangsang lainnya. Tidur

Lebih terperinci

Profil Infeksi Luka Operasi di Bagian Bedah RSUP H. Adam Malik Periode Januari Juni Oleh : LANDONG SIHOMBING

Profil Infeksi Luka Operasi di Bagian Bedah RSUP H. Adam Malik Periode Januari Juni Oleh : LANDONG SIHOMBING Profil Infeksi Luka Operasi di Bagian Bedah RSUP H. Adam Malik Periode Januari Juni 2015 Oleh : LANDONG SIHOMBING 120100122 FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN 2015 Profil Infeksi Luka

Lebih terperinci

ABSTRAK GAMBARAN PENDERITA MULTIDRUG-RESISTANT TUBERCULOSIS DI RUMAH SAKIT PARU DR.H.A.ROTINSULU, BANDUNG TAHUN 2014

ABSTRAK GAMBARAN PENDERITA MULTIDRUG-RESISTANT TUBERCULOSIS DI RUMAH SAKIT PARU DR.H.A.ROTINSULU, BANDUNG TAHUN 2014 ABSTRAK GAMBARAN PENDERITA MULTIDRUG-RESISTANT TUBERCULOSIS DI RUMAH SAKIT PARU DR.H.A.ROTINSULU, BANDUNG TAHUN 2014 Ferdinand Dennis Kurniawan, 1210122 Pembimbing I : Dr.Jahja Teguh Widjaja, dr., SpP.,

Lebih terperinci

ABSTRAK KARAKTERISTIK PASIEN OTITIS MEDIA SUPURATIF KRONIS DI RSUP SANGLAH DENPASAR TAHUN 2015

ABSTRAK KARAKTERISTIK PASIEN OTITIS MEDIA SUPURATIF KRONIS DI RSUP SANGLAH DENPASAR TAHUN 2015 ABSTRAK KARAKTERISTIK PASIEN OTITIS MEDIA SUPURATIF KRONIS DI RSUP SANGLAH DENPASAR TAHUN 2015 Otitis Media Supuratif Kronis (OMSK) merupakan radang kronik telinga tengah dengan perforasi membran timpani

Lebih terperinci

Timpanogram pada Anak Usia 1-5 Tahun

Timpanogram pada Anak Usia 1-5 Tahun Timpanogram pada Anak Usia 1-5 Tahun 1 Desti Kusmardiani, 2 Wijana, 2 Shinta Fitri Boesoirie, 2 Sally Mahdiani 1 Program Pendidikan Dokter Spesialis FK UNPAD 2 Departemen Ilmu Kesehatan Telinga Hidung

Lebih terperinci

ABSTRAK ANALISIS KASUS PENDERITA PNEUMONIA DI RUANG INTENSIVE CARE UNIT RUMAH SAKIT IMMANUEL BANDUNG TAHUN 2007

ABSTRAK ANALISIS KASUS PENDERITA PNEUMONIA DI RUANG INTENSIVE CARE UNIT RUMAH SAKIT IMMANUEL BANDUNG TAHUN 2007 ABSTRAK ANALISIS KASUS PENDERITA PNEUMONIA DI RUANG INTENSIVE CARE UNIT RUMAH SAKIT IMMANUEL BANDUNG TAHUN 2007 Fransisca Maya Angela, 2010; Pembimbing I Pembimbing II : J. Teguh Widjaja, dr., Sp P : Evi

Lebih terperinci

ASKEP GANGGUAN PENDENGARAN PADA LANSIA

ASKEP GANGGUAN PENDENGARAN PADA LANSIA ASKEP GANGGUAN PENDENGARAN PADA LANSIA I. PENGERTIAN Berkurangnya Pendengaran adalah penurunan fungsi pendengaran pada salah satu ataupun kedua telinga. Tuli adalah penurunan fungsi pendengaran yang sangat

Lebih terperinci

ABSTRAK GAMBARAN PENDERITA DIABETES MELITUS TIPE 2 DI UPT PUSKESMAS PASUNDAN KOTA BANDUNG PERIODE

ABSTRAK GAMBARAN PENDERITA DIABETES MELITUS TIPE 2 DI UPT PUSKESMAS PASUNDAN KOTA BANDUNG PERIODE ABSTRAK GAMBARAN PENDERITA DIABETES MELITUS TIPE 2 DI UPT PUSKESMAS PASUNDAN KOTA BANDUNG PERIODE 2016 Jones Vita Galuh Syailendra, 2014 Pembimbing 1 : Dani, dr., M.Kes. Pembimbing 2 : Budi Widyarto, dr.,

Lebih terperinci

PROFIL PENDERITA MORBUS HANSEN (MH) DI POLIKLINIK KULIT DAN KELAMIN BLU RSUP PROF. DR. R. D. KANDOU MANADO PERIODE JANUARI DESEMBER 2012

PROFIL PENDERITA MORBUS HANSEN (MH) DI POLIKLINIK KULIT DAN KELAMIN BLU RSUP PROF. DR. R. D. KANDOU MANADO PERIODE JANUARI DESEMBER 2012 PROFIL PENDERITA MORBUS HANSEN (MH) DI POLIKLINIK KULIT DAN KELAMIN BLU RSUP PROF. DR. R. D. KANDOU MANADO PERIODE JANUARI DESEMBER 2012 1 Patricia I. Tiwow 2 Renate T. Kandou 2 Herry E. J. Pandaleke 1

Lebih terperinci

I.! PENDAHULUAN. A.!Latar Belakang Masalah. Kasus kerusakan tulang pada bidang kedokteran gigi dapat disebabkan oleh

I.! PENDAHULUAN. A.!Latar Belakang Masalah. Kasus kerusakan tulang pada bidang kedokteran gigi dapat disebabkan oleh I. PENDAHULUAN A.Latar Belakang Masalah Kasus kerusakan tulang pada bidang kedokteran gigi dapat disebabkan oleh berbagai hal. Nekrosis jaringan pulpa dan penyakit periodontal, misalnya, dapat menyebabkan

Lebih terperinci

12/3/2010 YUSA HERWANTO DEPARTEMEN THT-KL FK USU/ RSUP H. ADAM MALIK MEDAN FISIOLOGI PENDENGARAN

12/3/2010 YUSA HERWANTO DEPARTEMEN THT-KL FK USU/ RSUP H. ADAM MALIK MEDAN FISIOLOGI PENDENGARAN YUSA HERWANTO DEPARTEMEN THT-KL FK USU/ RSUP H. ADAM MALIK MEDAN FISIOLOGI PENDENGARAN 1 Skala vestibuli, berisi perilimf Helikotrema Skala tympani, berisi perilimf Foramen rotundum bergetar Menggerakkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. I.1. Latar Belakang. Paradigma mengenai kanker bagi masyarakat umum. merupakan penyakit yang mengerikan.

BAB I PENDAHULUAN. I.1. Latar Belakang. Paradigma mengenai kanker bagi masyarakat umum. merupakan penyakit yang mengerikan. BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Paradigma mengenai kanker bagi masyarakat umum merupakan penyakit yang mengerikan. Banyak orang yang merasa putus harapan dengan kehidupannya setelah terdiagnosis

Lebih terperinci

3 KUESIONER PENELITIAN

3 KUESIONER PENELITIAN Lampiran 3 KUESIONER PENELITIAN FAKTOR FAKTOR YANG BERKONTRIBUSI TERHADAP KEPATUHAN PASIEN DM TIPE 2 DALAM KONTEKS ASUHAN KEPERAWATAN DIABETES MELITUS DI RS HASAN SADIKIN BANDUNG Petunjuk Pengisian : 1.

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN 3. 1 Rancangan Penelitian Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif dengan rancangan cross sectional. Pengambilan data yang dilakukan secara retrospektif melalui seluruh

Lebih terperinci

BAB 2 EKSTRAKSI GIGI. Ekstraksi gigi adalah proses pencabutan gigi dari dalam soket dari tulang

BAB 2 EKSTRAKSI GIGI. Ekstraksi gigi adalah proses pencabutan gigi dari dalam soket dari tulang BAB 2 EKSTRAKSI GIGI 2.1 Defenisi Ekstraksi gigi adalah proses pencabutan gigi dari dalam soket dari tulang alveolar. Ekstraksi gigi dapat dilakukan dengan dua teknik yaitu teknik sederhana dan teknik

Lebih terperinci

1. TES BATAS ATAS BATAS BAWAH

1. TES BATAS ATAS BATAS BAWAH TES GARPU TALA Tes garpu tala adalah suatu tes untuk mengevaluasi fungsi pendengaran individu secara kualitatif dengan menggunakan alat berupa seperangkat garpu tala frekuensi rendah sampai tinggi 128

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Referat Serumen 1

BAB I PENDAHULUAN. Referat Serumen 1 BAB I PENDAHULUAN Serumen dapat ditemukan pada kanalis akustikus eksternus. Serumen merupakan campuran dari material sebaseus dan hasil sekresi apokrin dari glandula seruminosa yang bercampur dengan epitel

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Karsinoma laring adalah keganasan pada laring yang berasal dari sel epitel laring.

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Karsinoma laring adalah keganasan pada laring yang berasal dari sel epitel laring. BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Karsinoma laring adalah keganasan pada laring yang berasal dari sel epitel laring. Lebih dari 90% penderita karsinoma laring memiliki gambaran histopatologi karsinoma

Lebih terperinci

KRITERIA DIAGNOSIS DAN PENATALAKSANAAN OTITIS MEDIA SUPURATIF KRONIS

KRITERIA DIAGNOSIS DAN PENATALAKSANAAN OTITIS MEDIA SUPURATIF KRONIS KRITERIA DIAGNOSIS DAN PENATALAKSANAAN OTITIS MEDIA SUPURATIF KRONIS Fairuziah Binti Bader Alkatiri Program Studi Pendidikan Dokter, Fakultas Kedokteran Universitas Udayana ziaalkatiri@gmail.com ABSTRAK

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 4 BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Anatomi telinga Telinga merupakan organ penginderaan dengan fungsi pendengaran dan keseimbangan. Telinga dibagi menjadi tiga bagian yaitu telinga luar, telinga tengah dan

Lebih terperinci

ABSTRAK. GAMBARAN KEJADIAN STROKE PADA PASIEN RAWAT INAP RSUP Dr. HASAN SADIKIN BANDUNG PERIODE 1 JANUARI - 31 DESEMBER 2010

ABSTRAK. GAMBARAN KEJADIAN STROKE PADA PASIEN RAWAT INAP RSUP Dr. HASAN SADIKIN BANDUNG PERIODE 1 JANUARI - 31 DESEMBER 2010 ABSTRAK GAMBARAN KEJADIAN STROKE PADA PASIEN RAWAT INAP RSUP Dr. HASAN SADIKIN BANDUNG PERIODE 1 JANUARI - 31 DESEMBER 2010 Ezra Endria Gunadi, 2011 Pembimbing I : Freddy Tumewu Andries, dr., MS Pembimbing

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Rinosinusitis kronis (RSK) adalah penyakit inflamasi mukosa hidung dan sinus paranasal yang berlangsung lebih dari 12 minggu. Pengobatan RSK sering belum bisa optimal

Lebih terperinci

AUDIOMETRI NADA MURNI

AUDIOMETRI NADA MURNI AUDIOMETRI NADA MURNI I. Definisi Audiometri Audiometri berasal dari kata audire dan metrios yang berarti mendengar dan mengukur (uji pendengaran). Audiometri tidak saja dipergunakan untuk mengukur ketajaman

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. siklus sel yang khas yang menimbulkan kemampuan sel untuk tumbuh tidak

BAB I PENDAHULUAN. siklus sel yang khas yang menimbulkan kemampuan sel untuk tumbuh tidak BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kanker merupakan suatu penyakit yang ditandai dengan kelainan siklus sel yang khas yang menimbulkan kemampuan sel untuk tumbuh tidak terkendali (pembelahan sel melebihi

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. mungkin akan terus meningkat prevalensinya. Rinosinusitis menyebabkan beban

BAB 1 PENDAHULUAN. mungkin akan terus meningkat prevalensinya. Rinosinusitis menyebabkan beban BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Rinosinusitis merupakan penyakit inflamasi yang sering ditemukan dan mungkin akan terus meningkat prevalensinya. Rinosinusitis menyebabkan beban ekonomi yang tinggi

Lebih terperinci

PMR WIRA UNIT SMA NEGERI 1 BONDOWOSO Materi 3 Penilaian Penderita

PMR WIRA UNIT SMA NEGERI 1 BONDOWOSO Materi 3 Penilaian Penderita Saat menemukan penderita ada beberapa hal yang harus dilakukan untuk menentukan tindakan selanjutnya, baik itu untuk mengatasi situasi maupun untuk mengatasi korbannya. Langkah langkah penilaian pada penderita

Lebih terperinci

BAB I BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang BAB I BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Obat merupakan komponen penting dalam pelayanan kesehatan. Pengelolaan obat yang efisien diharapkan dapat memberikan dampak positif bagi rumah sakit dan pasien

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Perkembangan disektor industri dengan berbagai proses produksi yang

BAB 1 PENDAHULUAN. Perkembangan disektor industri dengan berbagai proses produksi yang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Perkembangan disektor industri dengan berbagai proses produksi yang dilaksanakan menggunakan teknologi modern dapat menimbulkan dampak yang kurang baik bagi lingkungan,

Lebih terperinci