BAB II TINJAUAN PUSTAKA. tanggapan, reaksi, maupun jawaban. Menurut The Great Encyclopedia dictionary,

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "BAB II TINJAUAN PUSTAKA. tanggapan, reaksi, maupun jawaban. Menurut The Great Encyclopedia dictionary,"

Transkripsi

1 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Respon Pengertian Respon Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, respon didefinisikan sebagai suatu tanggapan, reaksi, maupun jawaban. Menurut The Great Encyclopedia dictionary, respon adalah menjawab, membalas, menyambut, menanggapi dan mengadakan reaksi. Hal yang menunjang dan melatarbelakangi ukuran sebuah respon adalah persepsi, sikap dan partisipasi. Respon pada prosesnya didahului sikap seseorang, karena sikap merupakan kecendrungan atau kesediaan seseorang untuk bertingkah laku jika ia menghadapi suatu ransangan tertentu. Respon juga diartikan sebagai suatu tingkahlaku atau sikap yang berwujud, baik sebelum pemahaman yang mendetail, penelitian, pengaruh atau penolakan, suka atau tidak suka serta pemanfaatan pada suatu fenomena tertentu (Sobur, 2003: 359). Respon merupakan suatu tingkah laku yang berwujud baik sebelum pemahaman yang mendetail, penilaian, pengaruh atau penolakan, suka atau tidak suka serta pemanfaatan pada suatu fenomena tertentu. Selain itu menurut Daryl Beum, respon diartikan sebagai tingkah laku balas atau sikap yang menjadi tingkah laku atau adu kuat (Adi, 1994:151). Respon juga merupakan istilah yang digunakan dalam psikologi untuk menamakan reaksi terhadap rangsang yang diterima oleh panca indera. Teori behaviorisme menggunakan istilah respon yang dipasangkan dengan ransang dalam menjelaskan proses terbentuknya perilaku. Dengan kata lain, respon merupakan perilaku yang muncul karena adanya ransangan dari lingkungan. 24

2 Proses Terjadinya Respon Dalam hal ini ada beberapa gejala terjadinya respon, mulai dari pengamatan sampai berpikir. Gejala tersebut menurut Suryabrata adalah sebagai berikut: 1. Pengamatan, yakni kesan-kesan yang diterima sewaktu perangsang mengenai indera dan perangsangnya masih ada. Pengamatan ini merupakan bagian dari kesadaran dan pikiran yang merupakan abstraksi yang dikeluarkan dari arus kesadaran. 2. Bayangan pengiring, yaitu bayangan yang timbul setelah kita melihat sesuatu warna. Bayangan pengiring itu terbagi menjadi dua macam, yaitu bayangan pengiring positif yakni bayangan pengiring yang sama dengan warna objeknya, serta bayangan pengiring negatif adalah bayanagn pengiring yang tidak sama dengan warna objeknya. 3. Bayangan eiditik, yaitu bayangan yang sangat jelas dan hidup sehingga menyerupai pengamatan. Respon, yakni bayangan yang menjadi kesan yang dihasilkan dari pengamatan. Respon diperoleh dari penginderaan dan pengamatan. Jadi proses terjadinya respon adalah pertama-tama indera mengamati objek tertentu, setelah itu muncul bayangan pengiring yang berlangsung sangat singkat sesaat sesudah perangsang berlalu. Setelah bayangan perangsang muncul kemudian bayangan editis, bayangan ini sifatnya lebih tahan lama, lebih jelas dari bayangan perangsang. Setelah itu muncul tanggapan dan kemudian pengertian ( diakses pada 18 Januari 2013 pukul WIB). 25

3 Indikator Respon Respon dalam penelitian ini akan diukur dari tiga aspek, yaitu persepsi, sikap dan partisipasi. Persepsi merupakan stimulus yang diindera oleh individu, diorganisasikan, kemudian diinterpretasikan sehingga individu menyadari dan mengerti tentang apa yang diindera. Respon dalam penelitian akan diukur dari tiga aspek, yaitu persepsi, sikap dan partisipasi. Persepsi menurut Mc Mahon adalah proses menginterpretasikan rangsangan (input) dengan menggunakan alat penerima informasi (sensorik information). Sedangkan menurut Morgan, King, dan Robinson menunjukkan bagaimana kita melihat, mendengar, merasakan, mencium dunia sekitar kita dengan kata lain persepsi dapat juga didefenisikan sebagai gejala suatu yang dialami manusia. Berdasarkan uraian diatas, William James mengatakan persepsi terbentuk atas dasar data-data yang kita peroleh dari lingkungan yang diserap oleh indera kita. Diperoleh dari pengelolaan ingatan (memory) kemudian diolah kembali berdasarkan pengalaman yang kita miliki (Adi, 1994 : 105). Fenomena lain yang terpenting dalam kaitannya dengan persepsi adalah atensi (attention). Atensi merupakan suatu proses penyeleksian input yang akan diproses dalam kaitan dengan pengalaman. Oleh karena itu, atensi ini menjadi bagian yang penting dalam proses persepsi. Hal-hal yang mempengaruhi atensi seseorang dapat dilihat dari faktor internal dan eksternal. Faktor internal yang mempengaruhi atensi adalah: 1. Motif dan kebutuhan 2. Preparatory set, yaitu kesiapan seseorang untuk berespon terhadap suatu input sensorik tertentu tetapi tidak pada input yang lain 3. Minat (interest) 26

4 Sedangkan, faktor eksternal yang mempengaruhi atensi adalah : 1. Intensitas dan ukuran 2. Kontras dengan hal-hal yang baru 3. Pengulangan 4. Pergerakan (Adi, 1994 : 107). Menurut Louis Thursone, respon merupakan jumlah kecenderungan dan perasaan, kecurigaan, dan prasangka, pemahaman yang mendetail, rasa takut, ancaman, dan keyakinan tentang suatu hal yang khusus. Pengungkapan sikap dapat diketahui melalui : 1. Pengaruh atau penolakan 2. Penilaian 3. Suka atau tidak suka 4. Kepositifan atau kenegatifan suatu objek psikologi Perubahan sikap dapat menggambarkan bagaimana respon seseorang atau sekelompok orang terhadap objek-objek tertentu, seperti perubahan lingkungan atau situasi lain. Sikap yang muncul dapat positif, yakni cenderung menyenangi, mendekati dan mengharapkan suatu objek, seseorang disebut mempunyai respon positif apabila dilihat melalui tahap kognisi, afeksi, dan psikomotorik. Sebaliknya, seseorang disebut mempunyai respon negatif apabila informasi yang didengar atau perubahan terhadap sesuatu objek tidak mempengaruhi tindakannya atau justru menghindar dan membenci objek tertentu. Mengenai sikap, Thursone mengatakan sikap adalah derajat efek positif atau negatif yang dikaitkan dengan objek psikologis. Objek psikologis yang dimaksud 27

5 adalah lambang-lambang, kalimat, semboyan, intuisi, pekerjaan, atau profesi, dan ide yang dapat dibedakan dalam perasaan positif atau negatif. Sikap adalah tendensi untuk berekasi dalam suka atau tidak suka terhadap suatu objek sikap yang merupakan emosi yang diarahkan oleh seseorang kepada orang lain., benda atau peristiwa sebagai objek sasaran sikap. Sikap merupakan respon evaluatif yang dapat berbentuk positif atau negative (Azwar, 2007:25). Selain persepsi dan sikap, partisipasi juga menjadi hal yang sangat penting dalam mengukur suatu respon. Pendekatan partisipasi bertumpu pada kekuatan masyarakat untuk secara aktif berperan serta dalam proses pembangunan. Pengertian partisipasi merupakan kesediaan untuk membantu berhasilnya suatu program sesuai dengan kemampuan setiap orang tanpa berarti mengorbankan kepentingan diri sendiri. Dengan demikian dapat dikatakan partisipasi tersebut sama dengan peran serta. Peran serta merupakan proses komunikasi dua arah yang dilakukan terus menerus guna meningkatkan pengertian masyarakat atas suatu proses dimana masalah-masalah dan kebutuhan lingkungan sedang dianalisa oleh badan yang bertanggung jawab. Partisipasi warga adalah proses ketika warga, sebagai individu maupun kelompok sosial dan organisasi, mengambil peran serta ikut mempengaruhi proses perencanaan, pelaksanaan dan pemantauan kebijakan-kebijakan yang langsung mempengaruhi kehidupan mereka. Partisipasi aktif masyarakat dalam pelaksanaan pembangunan memerlukan kesadaran warga masyarakat akan minat dan kepentingan yang sama. Untuk berhasilnya suatu program maka warga masyarakat dituntut terlibat tidak hanya dalam aspek kognitif dan praktis, tetapi juga ada keterlibatan emosional pada program tersebut sehingga dapat memberi kekuatan dan perasaan 28

6 untuk ikut serta dalam gerakan perubahan yang diperlukan dalam mengukur respon ( diakses pada 18 Januari 2013 pukul WIB) Pemberdayaan Masyarakat Pemberdayaan Masyarakat merupakan suatu upaya untuk meningkatkan kapasitas masyarakat, baik secara individu maupun kelompok, dalam memecahkan berbagai persoalan yang dihadapi dalam upaya peningkatan kualitas hidup, kemandirian dan kesejahteraan. Pemberdayaan masyarakat memerlukan keterlibatan yang besar dari perangkat pemerintah daerah serta berbagai pihak untuk memberikan kesempatan dan menjamin keberlanjutan berbagai hasil yang dicapai (Siagian, 2012:165). Pemberdayaan sebenarnya mengacu pada upaya untuk mengaktualisasikan potensi yang sudah dimiliki sendiri oleh masyarakat. Jadi, pendekatan pemberdayaan masyarakat titik beratnya adalah penekanan pada pentingnya masyarakat lokal yang mandiri sebagai suatu sistem yang mengorganisir diri mereka sendiri. Pendekatan pemberdayaan masyarakat yang demikian diharapkan dapat memberi peranan kepada individu bukan sebagai obyek tetapi justru sebagai subyek pelaku pembangunan yang ikut menentukan masa depan dan kehidupan masyarakat secara umum (Setiana, 2005: 6). Seperti yang telah dikemukakan pada Bab I bahwasanya Pemberdayaan dalam konteks ini merupakan suatu proses mengembangkan, memandirikan, menswadayakan, memperkuat posisi tawar menawar masyarakat lapisan bawah terhadap kekuatan-kekuatan penekan di segala bidang dan sektor kehidupan. Konsep pemberdayaan (masyarakat desa) dapat dipahami juga dengan dua cara pandang. Pertama, pemberdayaan dimaknai dalam konteks menempatkan posisi berdiri 29

7 masyarakat. Posisi masyarakat bukanlah objek manfaat (beneficiaries) yang tergantung pada pemberian dari pihak luar seperti pemerintah, melainkan dalam posisi sebagai subjek (agen atau partisipan yang bertindak) yang berbuat secara mandiri. Berbuat secara mandiri bukan berarti lepas dari tanggung jawab negara. Pemberian layanan publik (kesehatan, pendidikan, perumahan, transportasi dan seterusnya) kepada masyarakat tentu merupakan tugas (kewajiban) negara secara given. Masyarakat yang mandiri sebagai partisipan berarti terbukanya ruang dan kapasitas mengembangkan potensi-kreasi, mengontrol lingkungan dan sumberdayanya sendiri, menyelesaikan masalah secara mandiri, dan ikut menentukan proses politik di ranah negara. Masyarakat ikut berpartisipasi dalam proses pembangunan dan pemerintahan. Pemberdayaan masyarakat adalah suatu strategi yang digunakan dalam pembangunan masyarakat sebagai upaya untuk mewujudkan kemampuan dan kemandirian dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Inti pengertian pemberdayaan masyarakat merupakan strategi untuk mewujudkan kemampuan dan kemandirian masyarakat. Pemberdayaan masyarakat bisa dilakukan oleh banyak elemen: pemerintah, perguruan tinggi, lembaga swadaya masyarakat, pers, partai politik, lembaga donor, masyarakat sipil, atau oleh organisasi masyarakat lokal sendiri. Birokrasi pemerintah tentu saja sangat strategis karena mempunyai banyak keunggulan dan kekuatan yang luar biasa ketimbang unsur-unsur lainnya: mempunyai dana, aparat yang banyak, kewenangan untuk membuat kerangka legal, kebijakan untuk pemberian layanan publik, dan lain-lain. Proses pemberdayaan bisa berlangsung lebih kuat, komprehensif dan berkelanjutan bila berbagai unsur tersebut 30

8 membangun kemitraan dan jaringan yang didasarkan pada prinsip saling percaya dan menghormati (Sutoro, 2002:8) Kebijakan Publik dan Kebijakan Sosial Kebijakan Publik Kebijakan (policy) adalah sebuah instrument pemerintah bukan saja dalam artian government yang hanya menyangkut aparatur negara, melainkan pula govermance yang menyentuh pengelolaan sumber daya publik. Menurut Bridgman dan Davis (Suharto, 2007:3) mengatakan bahwa kebijakan publik pada umumnya mengandung pengertian mengenai whatever government choose to do or not to do. Artinya kebijakan publik adalah apa saja yang dipilih oleh pemerintah untuk dilakukan atau tidak dilakukan. Kebijakan publik adalah seperangkat tindakan pemerintah yang didisain untuk mencapai hasil-hasil tertentu. Namun tidak berarti bahwa makna kebijakan hanyalah milik atau domain pemerintah saja tetapi juga milik organisasi non pemerintah, organisasi sosial dan lembaga-lembaga sukarela lainnya. Namun, kebijkan mereka tidak dapat diartikan sebagai kebijakan publik karena kebijakan mereka tidak memakai sumber daya publik atau tidak memiliki legalitas hukum sebagaimana kebijakan lembaga pemerintah. Tahap-tahap kebijakan publik menurut William Dunn adalah sebagai berikut: 1. Penyusunan Agenda Agenda setting adalah sebuah fase dan proses yang sangat strategis dalam realitas kebijakan publik. Dalam proses inilah memiliki ruang untuk memaknai apa yang disebut sebagai masalah publik dan prioritas dalam 31

9 agenda publik dipertarungkan. Jika sebuah isu berhasil mendapatkan status sebagai masalah publik, dan mendapatkan prioritas dalam agenda publik, maka isu tersebut berhak mendapatkan alokasi sumber daya publik yang lebih daripada isu lain. Dalam agenda setting juga sangat penting untuk menentukan suatu isu publik yang akan diangkat dalam suatu agenda pemerintah. Issue kebijakan (policy issues) sering disebut juga sebagai masalah kebijakan (policy problem). Policy issues biasanya muncul karena telah terjadi silang pendapat di antara para aktor mengenai arah tindakan yang telah atau akan ditempuh, atau pertentangan pandangan mengenai karakter permasalahan tersebut. Menurut William Dunn, isu kebijakan merupakan produk atau fungsi dari adanya perdebatan baik tentang rumusan, rincian, penjelasan maupun penilaian atas suatu masalah tertentu. Namun tidak semua isu bisa masuk menjadi suatu agenda kebijakan. Penyusunan agenda kebijakan sebaiknya dilakukan berdasarkan tingkat urgensi dan esensi kebijakan, juga keterlibatan stakeholder. Sebuah kebijakan tidak boleh mengaburkan tingkat urgensi, esensi, dan keterlibatan stakeholder. 2. Formulasi kebijakan Masalah yang sudah masuk dalam agenda kebijakan kemudian dibahas oleh para pembuat kebijakan. Masalah-masalah tadi didefinisikan untuk kemudian dicari pemecahan masalah yang terbaik. Pemecahan masalah tersebut berasal dari berbagai alternatif atau pilihan kebijakan yang ada. Sama halnya dengan perjuangan suatu masalah untuk masuk dalam agenda kebijakan, dalam tahap perumusan kebijakan masing-masing slternatif bersaing untuk dapat dipilih sebagai kebijakan yang diambil untuk memecahkan masalah. 32

10 3. Adopsi atau Legitimasi Kebijakan Tujuan legitimasi adalah untuk memberikan otorisasi pada proses dasar pemerintahan. Jika tindakan legitimasi dalam suatu masyarakat diatur oleh kedaulatan rakyat, warga negara akan mengikuti arahan pemerintah. Namun warga negara harus percaya bahwa tindakan pemerintah yang sah.mendukung. Dukungan untuk rezim cenderung berdifusi - cadangan dari sikap baik dan niat baik terhadap tindakan pemerintah yang membantu anggota mentolerir pemerintahan disonansi.legitimasi dapat dikelola melalui manipulasi simbol-simbol tertentu. Di mana melalui proses ini orang belajar untuk mendukung pemerintah. 4. Penilaian/ Evaluasi Kebijakan Secara umum evaluasi kebijakan dapat dikatakan sebagai kegiatan yang menyangkut estimasi atau penilaian kebijakan yang mencakup substansi, implementasi dan dampak. Dalam hal ini, evaluasi dipandang sebagai suatu kegiatan fungsional. Artinya, evaluasi kebijakan tidak hanya dilakukan pada tahap akhir saja, melainkan dilakukan dalam seluruh proses kebijakan. Dengan demikian, evaluasi kebijakan bisa meliputi tahap perumusan masalhmasalah kebijakan, program-program yang diusulkan untuk menyelesaikan masalah kebijakan, implementasi, maupun tahap dampak kebijakan (William, 1998:24). 33

11 Bridgeman dan Davis (2004: 4-7) menerangkan bahwa kebijakan publik sedikitnya memiliki tiga dimensi yang saling bertautan yakni : 1. Kebijakan publik sebagai tujuan Kebijakan adalah a means to an end yaitu alat untuk mencapai sebuah tujuan. Kebijkan publik pada akhirnya menyangkut pencapaian tujuan publik. Artinya, kebijakan publik adalah seperangkat tindakan pemerintah yang didisain untuk mencapai hasil-hasil tertentu yang diharapkan oleh publik sebgai kenstituen pemerintah. 2. Kebijakan publik sebagai pilihan tindakan yang legal Melalui kebijakan-kebijakan, pemerintah membuat ciri khas kewenangannya. Artinya, kompleksitas dunia politik disederhanakan menjadi pilihan-pilihan tindakan yang sah atau legal untuk mencapai tujuan tertentu. Kebijakan kemudian dapat dilihat sebagai respon atau tanggapan resmi terhadap isu atau masalah publik. 3. Kebijakan publik sebagai hipotesis Kebijakan dibuat berdasarkan teori, model atau hipotesis mengenai sebab dan akibat. Kebijakan-kebijakan senantiasa bersandar pada asumsi-asumsi mengenai perilaku. Kebijakan selalu mengandung insentif yang mendorong orang untuk melakukan sesuatu. Kebijakan juga selalu memuat disinsentif yang mendorong orang tidak melakukan sesuatu. 34

12 Kebijakan Sosial Kebijakan Sosial merupakan salah satu kebijakan publik. Kebijakan sosial merupakan ketetapan pemerintah yang dibuat untuk merespon isu-isu yang bersifat publik, yakni mengatasi masalah sosial atau memenuhi kebutuhan masyarakat banyak. Sebagai sebuah kebijakan publik, kebijakan sosial memiliki fungsi preventif (pencegahan), kuratif (penyembuhan), dan pengembangan (developmental). Sebagai wujud kewajiban negara (state obligation) dalam memenuhi hak-hak sosial warganya. Secara garis besar kebijakan sosial diwujudkan dalam tiga kategori, yakni perundang-undangan, program pelayanan sosial dan sistem perpajakan. Berdasarkan kategori ini maka dapat dinyatakan bahwa setiap perundang-undangan, hukum atau peraturan yang menyangkut masalah dan kehidupan sosial adalah wujud dari kebijakan sosial. Namun tidak semua kebijakan sosial berbentuk perundangundangan. Peranan pemerintah atau negara di bidang kesejahteraan sosial melalui kebijakan sosial, sebetulnya dimaksudkan untuk mengusahakan adanya kesetaraan diantara warga masyarakat dalam mewujudkan kesejahteraannya. Perbedaan latar belakang antar warga masyarakat seringkali mengakibatkan posisi dan kesempatan mereka tidak sama. Hal ini dapat mengakibatkan warga masyarakat yang posisinya tidak menguntungkan akan termarginalisasi dan mengalami masalah dalam mewujudkan kesejahteraannya, bahkan untuk sekadar memenuhi kebutuhan dasarnya. Oleh sebab itu, dibutuhkan peranan pemerintah untuk membantu kelompok marginal. Kebijakan sosial adalah salah satu bentuk dari kebijakan publik. Kebijakan sosial merupakan ketetapan pemerintah yang dibuat untuk merespon isu-isu yang 35

13 bersifat publik, yakni mengatasi masalah sosial atau memenuhi kebutuhan masyarakat banyak. Dalam garis besar, kebijakan sosial diwujudkan dalam tiga kategori, yakni perundang-undangan, program pelayanan sosial, dan sistem perpajakan. Berdasarkan kategori ini, maka dapat dinyatakan bahwa setiap perundang-undangan, hukum atau peraturan daerah yang menyangkut masalah dan kehidupan sosial adalah wujud dari kebijakan sosial. Namun, tidak semua kebijakan sosial berbentuk perundang-undangan (Suharto, 2007: 11). Ada dua pendekatan dalam mendefenisikan kebijakan sosial sebagai sebuah kebijakan publik yaitu pendekatan pertama mendefenisikan kebijakan sosial sebagai seperangkat kebijakan negara yang dikembangkan untuk mengatasi masalah sosial melalui pemberian pelayanan sosial dan jaminan sosial. Pendekatan kedua mendefenisikan kebijakan sosial sebagai disiplin studi yang mempelajari kebijakankebijakan kesejahteraan, perumusan dan konsekuensinya. Meskipun kedua pendekatan ini memiliki orientasi berbeda baik sebagai ketetapan pemerintah maupun sebagai bidang studi keduanya menekankan bahwa kebijakan sosial adalah salah satu kebijakan publik yang menyangkut pembangunan kesejahteraan sosial (Spicker, Bergman dan Davis, dalam Suharto, 2007: 5) Program Pemberdayaan Komunitas Adat Terpencil Pengertian Program Program adalah unsur pertama yang harus ada demi terciptanya suatu kegiatan. Program adalah produk yang dihasilkan dari seluruh kegiatan perencanaan, program dapat juga diartikan sebagai pernyataan tertulis mengenai : a. Situasi wilayah 36

14 b. Masalah yang dihadapi c. Tujuan yang ingin dicapai d. Cara mencapai tujuan, yaitu perencanaan kerja yang berisi pertanyaanpertanyaan tentang apa yang dilakukan, siapa saja yang melakukan, kapan dilakukan, bagaimana cara melakukan dan dimana hal tersebut dilakukan. Perencanaan program merupakan upaya perumusan, pengembangan, dan pelaksanaan program-program. Disebutkan pula bahwa perencanaan program merupakan proses yang berkelanjutan melalui semua warga masyarakat, penyuluhan, dan para para ilmuwan untuk memusatkan pengetahuan dan keputusan-keputusan dalam mencapai pembangunan yang lebih terarah dan mantap (martinez, dalam setiana, 2005:70) Komunitas Adat Terpencil Salah satu Penyandang Masalah Kesejahteran Sosial (PMKS) yang memerlukan perhatian khusus oleh negara yaitu Komunitas Adat Terpencil. Berbicara mengenai Komunitas Adat Terpencil, maka terdapat beragam persepsi dan terminologi yang digunakan dalam membahas tentang Komunitas Adat Terpencil di Indonesia. Pada tahun 1973 dikenal dengan sebutan Suku Terasing, kemudian pada tahun 1994 menjadi Masyarakat Terasing hingga pada tahun 1999 menjadi Komunitas Adat Terpencil dengan perubahan pada karakteristiknya. Terdapat perbedaan yang khas antara sosial budaya Komunitas Adat Terpencil dengan kondisi sosial budaya bangsa Indonesia pada umumnya. Perbedaan tersebut menempatkan Komunitas Adat Terpencil sebagai komunitas yang menjalani kehidupan secara tradisional 37

15 dibandingkan dengan kehidupan masyarakat pada umumnya yang menjalani kehidupan secara modern. Komunitas Adat Terpencil merupakan kelompok sosial budaya yang bersifat lokal dan terpencar serta kurang atau belum terlibat dalam jaringan dan pelayanan baik sosial, ekonomi, maupun politik dengan tujuh kriteria, antara lain berbentuk komunitas relatif kecil, tertutup dan homogen. Pada umumnya terpencil secara geografis dan secara sosial budaya tertinggal dengan masyarakat yang lebih luas, dan masih hidup dengan sistem ekonomi subsistem (Departemen Sosial RI, 2003). Sesuai dengan Keppres RI No.111/1999 tentang Pembinaan Sosial Komunitas Adat Terpencil, yang dimaksud dengan KAT adalah kelompok sosial budaya yang bersifat lokal dan terpencar serta serta kurang atau belum terlibat dalam jaringan dan pelayanan baik sosial, ekonomi maupun politik. Komunitas Adat Terpencil (KAT) mempunyai ciri-ciri sebagai berikut: a. Berbentuk komunitas kecil, tertutup dan homogen. Komunitas Adat Terpencil umumnya hidup dalam kelompok kecil dengan tingkat komunikasi yang terbatas dengan pihak luar. Disamping itu kelompok Komunitas Adat Terpencil hidup dalam satu kesatuan suku yang sama dan bersifat tertutup. b. Pranata sosial bertumpu pada hubungan kekerabatan. Pranata sosial yang ada dan perkembangan dalam Komunitas Adat Terpencil pada umumnya bertumpu pada hubungan kekerabatan dimana kegiatan mereka sehari-hari masih didasarkan pada hubungan darah dan ikatan tali perkawinan. Pranata sosial yang ada tersebut meliputi antara lain pranata ekonomi, pranata kesehatan, pranata hukum, pranata agama, pranata kepercayaan, pranata politik, pranata pendidikan, pranata ilmu pengetahuan, pranata ruang waktu, 38

16 pranata hubungan sosial, pranata kekerabatan, pranata sistem organisasi sosial. c. Pada umumnya terpencil secara geografis dan relatif sulit dijangkau. Secara geografis Komunitas Adat Terpencil umumnya berada didaerah pedalaman, hutan, pegunungan, perbukitan, laut, rawa, daerah pantai yang sulit dijangkau. Kesulitan ini diperkuat oleh terbatasnya sarana dan prasarana transportasi, baik ke atau dari kantong Komunitas Adat Terpencil. Kondisi ini mempengaruhi dan menghambat upaya pemerintah dan pihak luar dalam memberikan pelayanan pembangunan secara efektif dan terpadu d. Pada umumnya masih hidup dengan sistem ekonomi subsisten. Aktivitas kegiatan ekonomi warga Komunitas Adat Terpencil sehari-hari hanya sebatas memenuhi kebutuhan hidpnya sendiri. e. Peralatan teknologinya sederhana. Dalam upaya memanfaatkan dan mengolah sumber daya alam untuk memenuhi kebutuhan hidupnya seharihari baik dalam kegiatan pertanian, berburu, maupun kegiatan lainnya, Komunitas Adat Terpencil masih menggunakan peralatan yang sederhana yang diwariskan secara turun-temurun. f. Ketergantungan pada lingkungan hidup dan sumber daya alam setempat relatif tinggi. Kehidupan Komunitas Adat Terpencil sangat menggantungkan kehidupan kesehariannya baik itu fisik, mental dan spiritual pada lingkungan alam seperti umumnya aktivitas keseharian warga berorientasi pada kondisi alam seperti umumnya aktivitas keseharian warga berorientasi pada kondisi alam atau berbagai kejadian dan gejala alam. 39

17 g. Terbatasnya akses pelayanan sosial, ekonomi dan politik. Sebagaimana konsekuensi logis dari keterpencilan, akses berbagai pelayanan sosial ekonomi dan politik yang tersedia dilokasi atau di sekitar lokasi tidak ada atau sangat terbatas sehingga menyebabkan sulitnya warga Komunitas Adat Terpencil untuk memperolehnya dalam rangka meningkatkan kualitas hidupnya. Ditinjau dari segi habitatnya, Komunitas Adat Terpencil bermukim dapat dikelompokkan menjadi: a. Komunitas adat yang tertinggal di dataran tinggi dan/atau daerah pegunungan b. Komunitas adat yang tertinggal di daerah dataran rendah dan/atau daerah rawa c. Komunitas adat yang tertinggal di daerah pedalaman dan/atau daerah perbatasan d. Komunitas adat yang tertinggal di atas perahu dan/atau daerah pinggir pantai Namun demikian, sebagian kecil Komunitas Adat Terpencil juga dapat ditemukan di wilayah-wilayah yang mengalami pemekaran daerah, wilayah industri, wilayah konflik dan kerusuhan serta wilayah perbatasan antar negara. Bahkan masih terdapat warga Komunitas Adat Terpencil yang hidup berpindah-pindah, terpencar, terpencil, terisolir sehingga menjadi hal yang sulit untuk menjangkaunya. Berdasarkan hal tersebut maka warga Komunitas Adat Terpencil juga terbagi ke dalam tiga kategori yakni, kategori I adalah warga Komunitas Adat Terpencil yang masih hidup berkelana, kategori II adalah warga Komunitas Adat Terpencil yang masih hidup menetap sementara, dan kategori III adalah warga Komunitas Adat Terpencil yang telah hidup menetap. 40

18 Pemberdayaan Komunitas Adat Terpencil Pemberdayaan Komunitas Adat Terpencil (PKAT) diawali dari bentuk kepedulian dan komitmen pemerintah dalam mempercepat proses pembangunan pada mereka yang masih belum tersentuh proses pembangunan nasional yang umumnya berada pada daerah-daerah yang sulit dijangkau. Menurut Departemen Sosial, permasalahan Komunitas Adat Terpencil sesungguhnya bermuara pada satu persoalan karena kondisi keterasingan sehingga komunitas mengalami hambatan untuk berkembang dan memenuhi kebutuhan-kebutuhannya. Departemen sosial melalui program Pemberdayaan Komunitas Adat Terpencil mengkhususkan untuk memberdayakan mereka secara bersama-sama dengan masyarakat Indonesia lainnya untuk ikut dalam proses pembangunan ( diakses pada 10 Desember 2012 pukul WIB). Program Pemberdayaan Komunitas Adat Terpencil merupakan program yang diarahkan pada upaya pemberian kewenangan dan kepercayaan kepada masyarakat dengan kategori terpencil. Melalui program ini diharapkan masyarakat dapat menemukan masalah dan kebutuhan beserta upaya pemecahannya berdasarkan kekuatan dan kemampuannya sendiri, sehingga tercipta peningkatan mutu hidup, terlindungi hak dasarnya serta terpeliharanya budaya lokal. Komunitas Adat Terpencil sebagai warga bangsa perlu diberdayakan agar mereka mampu menjalani kehidupan sebagai warga bangsa pada umumnya. Perdayaan tersebut perlu memperhatikan kondisi sosial budaya khas mereka yang pada umumnya masih diliputi oleh nilai dan norma yang berdasarkan adat. Oleh karena itu, dimensi-dimensi dalam pemberdayaan Komunitas Adat Terpencil meliputi: sosial, ekonomi, politik, budaya, spiritual dan lingkungan. Melalui 41

19 pemberdayaan ini Komunitas Adat Terpencil akan mampu mewujudkan kesejahteraan sosial yang ditandai dengan kemampuan mereka dalam menuhi kebutuhan dan melaksanakan peranan sosialnya secara optimal (Suharto, 2009:34). Dalam konteks Pemberdayaan Komunitas Adat Terpencil, yang menjadi fokus perhatian adalah mereka yang berada di daerah terpencil baik secara geografis, sosial budaya, ekonomi maupun politik. Kekhawatiran akibat dari keterpencilan tersebut menjadikan mereka terhambat perkembangannya dalam semua aspek kehidupan sebagai sebuah masyarakat yang berdampak semakin tertinggalnya mereka dari masyarakat lainnya yang telah mendapatkan akses pelayanan sosial dasar. Dalam penyelenggaraan kegiatan Pemberdayaan Komunitas Adat Terpencil, Pemerintah melalui Departemen Sosial telah menerbitkan Pedoman Pelaksanaan Pemberdayaan Komunitas Adat Terpencil melalui Keputusan Direktur Jenderal Pemberdayaan Sosial Nomor 020.A/PS/KPTS/VI/2002 serta Keputusan Menteri Sosial Nomor 06/PEGHUK/2002 tentang Pedoman Pelaksanaan Pemberdayaan Komunitas Adat Terpencil. Keputusan Menteri Sosial tersebut sebagai penjabaran dari Keputusan Presiden No. 111 Tahun 1999 tentang Pembinaan Kesejahteraan Sosial KAT dan peninjauan kembali atas Keputusan Menteri Sosial No. 97/HUK/1999 tentang Pembinaan Kesejahteraan Sosial Komunitas Adat Terpencil. Sesuai Keputusan Menteri Sosial Nomor 06/PEGHUK/2002 tentang Pedoman Pelaksanaan Pemberdayaan Komunitas Adat Terpencil. Dikatakan bahwa visi Pemberdayaan Komunita Adat Terpencil adalah Kesejahteraan Sosial Komunitas Adat Terpencil yang mandiri di dalam berbagai aspek kehidupan dan penghidupan. Sedangkan Misi Pemberdayaan Komunitas Adat Terpencil antara lain : 1. Meningkatkan harkat dan martabat komunitas adat terpencil 42

20 2. Meningkatkan kualitas hidup komunitas adat terpencil 3. Memperkuat pranata dalam jaringan sosial 4. Mengembangkan sistem kehidupan dan penghidupan yang berlaku pada komunitas adat terpencil 5. Meningkatkan peran serta dan tanggungjawab sosial masyarakat dalam proses pemberdayaan komunitas adat terpencil Berdasarkan Keputusan Direktur Jenderal Pemberdayaan Sosial Nomor 020.A/PS/KPTS/VI/2002 tentang Pedoman Pelaksanaan Pemberdayaan Komunitas Adat Terpencil, maka pemberdayaan KAT dilakukan dalam lingkup: 1. Penataan perumahan dan permukiman yang meliputi a. Penataan pembangunan rumah sederhana b. Penataan pembangunan sarana lingkungan sosial yang dilaksanakan dengan memperhatikan kondisi objektif setempat secara cermat. 2. Administrasi kependudukan, meliputi ; a. Pendataan penduduk/registrasi b. Pembuatan KTP c. Pengenalan administrasi pemerintahan 3. Kehidupan beragama, meliputi ; a. Pelayanan kerukunan hidup beragama b. Bantuan paket-paket buku agama dan sarana-sarana ibadah sesuai agama/ kepercayaan masing-masing 43

21 4. Pendidikan, meliputi; a. Pendidikan dasar yang berbasiskan pengetahuan lokal b. Kejar Paket A dan Kejar Paket B c. Beasiswa bagi warga KAT yang berkeinginan melanjutkan/ memasuki pendidikan formal 5. Kesehatan, meliputi ; a. Pelayanan kesehatan dasar b. Pelayanan kesehatan lingkungan (sanitasi) 6. Peningkatan pendapatan, meliputi ; a. Tanaman pangan b. Perkebunan c. Perikanan d. Peternakan 7. Kesejahteraan sosial, meliputi ; a. Penyuluhan dan bimbingan sosial b. Perlindungan hak-hak KAT, meliputi : 1. Hak akan tanah 2. Hak akan adat istiadat 3. Hak akan hukum adat c. Bantuan/ fasilitasi pemberdayaan SDM, usaha dan lingkungan sosial serta jaminan sosial kemasyarakatan. d. Pelayanan sosial yang meliputi penanganan masalah-masalah kesejahteraan sosial yang rentan dalam warga KAT 44

22 e. Pengembangan organisasi lokal, jaringan kerja dan pranata adat, meliputi; 1. Pemahaman tentang organisasi kelompok 2. Pembuatan akses untuk kontak sosial dengan warga diluar KAT f. Penguatan ekonomi KAT, meliputi ; 1. Pelatihan ketrampilan dasar 2. Usaha ekonomis produktif g. Peningkatan peran perempuan KAT, meliputi ; 1. Keterlibatan perempuan KAT dalam proses kegiatan pembangunan di lokasi KAT 2. Penguatan kepada keikutsertaan perempuan KAT dalam menentukan arah kegiatan yang dilaksanakan di lokasi KAT h. Generasi muda, meliputi ; 1. Pelatihan ketrampilan berdasarkan kepada potensi yang ada 2. Pelatihan kader pembangunan KAT 3. Pembentukan organisasi pemuda KAT yang berorientasi kepada peningkatan UKS. Adapun jenis kegiatan dalam Pemberdayaan Komunitas Adat Terpencil meliputi : 1. Penyuluhan; merupakan suatu upaya berkesinambungan untuk membimbing KAT khususnya dengan masyarakat luas baik perorangan atau lembaga ke arah kesadaran terhadap arti penting pemberdayaan sosial KAT. 2. Bimbingan; merupakan suatu proses terencana dan terorganisasi untuk menumbuh-kembangkan pengetahuan, keterampilan dan sikap yang 45

23 diperlukan untuk menindaklanjuti hasil penyuluhan sosial pada KAT, lingkungan sosial dan masyarakat luas. 3. Pelayanan; merupakan usaha untuk memfasilitasi dan atau bantuan kepada warga KAT baik secara perorangan, kelompok, maupun secara keseluruhan guna terlaksananya tujuan program pemberdayaan. 4. Perlindungan; merupakan upaya mempertahankan dan melindungi adatistiadat dan atau lingkungan sosial budaya berdasarkan perspektif sosial budaya yang berlaku secara universal, dan terhindarnya dari berbagai bentuk eksploitasi terhadap warga KAT (Departemen Sosial R.I, 2003) Tujuan Program Pemberdayaan Komunitas Adat Terpencil Pemberdayaan Komunitas Adat Terpencil bertujuan untuk memberdayakan komunitas adat terpencil dalam segala aspek kehidupan dan penghidupan agar mereka dapat hidup secara wajar baik itu jasmani, rohani dan sosial sehingga dapat berperan aktif dalam pembangunan yang pelaksanaannya dilakukan dengan memperhatikan adat istiadat setempat. Tujuan pemberdayaan Komunitas Adat Terpencil adalah untuk meningkatkan taraf hidup dan kesejahteraan sosial komunitas adat terpencil dalam segala aspek jasmani, rohani dan sosial yang meliputi 4 aspek yakni; aspek fisik yang menyangkut kebutuhan fisik jasmani seperti pangan, sandang, papan, dan lingkungan. Aspek mental yang menyangkut pengetahuan, pendidikan, kesehatan dan interaksi dengan masyarakat luas. Aspek sosial yang meliputi pengenalan tentang perlindungan yang optimal terhadap hak-hak yang melekat pada komunitas adat terpencil, meningkatnya interaksi dan komunikasi antar warga komunitas adat terpencil, terciptanya jaringan 46

24 kerja. Terakhir ialah aspek ekonomi yang meliputi penguatan ekonomi komunitas adat terpencil yang disesuaikan dengan potensi dan kebiasaan yang sudah ada untuk dikembangkan sesuai dengan kebutuhan dan perkembangan masyarakat secara umum sera mencegah terjadinya eksploitasi terhadap warga komunitas adat terpencil. Secara umum pemberdayaan komunitas adat terpencil dilaksanakan agar warga komunitas adat terpencil tercegah dari kerentanan disintegrasi sosial, terlindungi dari eksploitasi sosial dan ekonomi, terjaminnya hak dan terlaksananya kewajiban warga komunitas adat terpencil sebagaimana yang seharusnya diberikan dan dilaksanakan oleh warga lainnya di luar komunitas adat terpencil. Program Pemberdayaan Komunitas Adat Terpencil diarahkan untuk mendorong, memfasilitasi dan mengakomodasi proses integrasi sosial mereka ke dalam berbagai aspek kehidupan dan penghidupan masyarakat yang lebih luas. Pemberdayaan Komunitas Adat Terpencil diarahkan pada upaya pengembangan kemandirian untuk memenuhi kebutuhan hidupnya secara layak dan wajar sehingga mampu menanggapi berbagai perubahan dalam hidup bermasyarakat, berbangsa dan bernegara Sasaran Program Kegiatan Pemberdayaan Komunitas Adat Terpencil 1. Komunitas adat terpencil yang belum dan yang sedang diberdayakan 2. masyarakat disekitar lokasi permukiman sosial 3. instansi terkait, lembaga sosial kemasyarakatan, perorangan (pakar, praktisi atau pemerhati) dan dunia usaha. 47

25 Tahapan Pelaksanaan Program Pemberdayaan Komunitas Adat Terpencil Adapun beberapa tahap dalam kegiatan pemberdayaan yang dilakukan antara lain: 1. Tahapan Persiapan Pemberdayaan a. Tujuan Persiapan pemberdayaan ditujukan untuk mempersiapkan kondisi yang kondusif bagi warga komunitas adat terpencil untuk melakukan transformasi sosial yang ditentukan berdasarkan kebutuhan dan kepentingan warga komunitas adat terpencil. b. Kegiatan yang dilaksanakan Kegiatan yang dilakasanakan dalam tahap persiapan meliputi : 1) Pemetaan sosial adalah suatu kegiatan awal untuk menemukenali sekaligus menghimpun data etnografi komunitas adat terpencil secara keseluruhan dalam suatu wilayah untuk mendapatkan data awal tentang suatu komunitas. a. Waktu : Triwulan I b. Pelaksana : Petugas pusat dan daerah c. Sasaran : lebih dari satu lokasi komunitas adat terpencil 2) Penjajagan awal; merupakan tindak lanjut dari pemetaan sosial untuk mengetahui lebih dalam dan lengkap tentang profil Komunitas Adat Terpencil berikut lingkungan sosialnya. Pelaksanaan penjajagan awal ini meliputi komponen sebagai berikut : a. Waktu : Triwulan II b. Pelaksana : Petugas Pusat, Petugas Provinsi, Petugas Kabupaten dan Petugas Kecamatan serta instansi teknis terkait di daerah 48

26 c. Sasaran : Lokasi komunitas adat terpencil pada pelaksanaan pemetaan sosial 3) Studi Kelayakan; adalah tindak lanjut dari kegiatan penjajagan awal untuk merumuskan secara bersama program aksi yang akan dilaksanakan dengan mempertimbangkan skala prioritas yang diperkuat dengan rekomendasi. Pelaksanaan studi kelayakan meliputi komponen sebagai berikut : a. Waktu : Triwulan III b. Pelaksana : Petugas Pusat dan daerah, Perguruan Tinggi, Instansi Teknis Terkait di daerah c. Sasaran : Lokasi komunitas adat terpencil pada pemetaan sosial 4) Penyusunan Rencana Program; adalah kegiatan unutk merumuskan secara tepat dari proses rangkaian kegiatan persiapan pemberdayaan untuk ditindak lanjuti dalam program pelaksanaan pemberdayaan komunitas adat terpencil sehingga sesuai dengan keinginan dan kebutuhan komunitas adat terpencil itu sendiri. Tahapan persiapan ini dilaksanakan selama satu tahun anggaran sebelum tahapan pelaksanaan pemberdayaan. 2. Tahapan Pelaksanaan Pemberdayaan a. Pemberdayaan Sumber Daya Manusia Pemberdayaan sumber daya manusia dimaksudkan sebagai usaha peningkatan kualitas komunitas adat terpencil yang meliputi berbagai aspek kehidupan dan penghidupan. Komponen Pemberdayaan sumber daya manusia terdiri dari : 49

27 1) Aspek kehidupan seperti komunikasi, interaksi, tumbuhnya rasa kebersamaan, rasa aman, pendidikan, kesehatan kehidupan beragama dan lain sebagainya. 2) Aspek penghidupan seperti kemampuan melaksanakan usaha pertanian, perkebunan, perikanan, keterampilan dalam rangka peningkatan perekonomian warga, koperasi, kemitraan dan lain sebagainya. b. Pemberdayaan Lingkungan Sosial Pemberdayaan lingkungan sosial dimaksudkan sebagai usaha peningkatan kualitas lingkungan sosial komunitas adat terpencil. Komponen kegiatan pemberdayaan lingukungan sosial terdiri dari : 1) Penataan pemukiman di tempat asal; a. Membangun permukiman sosial secara lengkap b. Bantuan stimulus pemugaran perumahan dan lingkungan c. Dikembangkan sebagai lokasi transmigrasi dengan menerima pendatang dari luar yang berpihak kepada proses pemberdayaan komunitas adat terpencil. 2) Penataan perumahan dan permukiman di tempat baru a. Membangun permukiman sosial secara lengkap b. Mengikutsertakan sebagai warga dampingan pada lokasi transmigrasi 3) Diversifikasi usaha pertanian tanaman pangan, perkebunan, perikanan dan peternakan 4) Pengembangan irigasi pengairan 5) Peningkatan prasarana perhubungan, pendidikan dan kesehatan 6) Perlindungan Komunitas Adat Terpencil 50

28 Perlindungan komunitas adat terpencil dimaksudkan sebagai upaya melindungi mereka antara lain: 1) Internal; seperti hak ulayat, hukum adat, sistem kepemimpinan lokal. 2) Eksternal melalui advokasi dan legislasi 3. Tahapan Monitoring dan Evaluasi 1. Tingkat Pusat Monitoring dan evaluasi dimaksudkan untuk memantau proses pelaksanaan program pemberdayaan komunitas adat terpencil berdasarkan perencanaan yang telah disusun. Sedangkan evaluasi dimaksudkan untuk mengetahui hasil-hasil yang telah dicapai, kendala yang dihadapi dan usaha pemecahannya. Dengan demikian monitoring dan evaluasi meliputi : a. Monitoring : 1. Membandingkan antara hasil perencanaan dengan pelaksanaannya secara operasional 2. Untuk mengetahui efektivitas dan ketepatan hasil perencanaan dengan pelaksanaanya. b. Evaluasi : 1. Mengadakan evaluasi kebijakan teknis yang telah disusun oleh pemerintah daerah dalam pembangunan kesejahteraan sosial khususnya Pemberdayaan Komunitas Adat Terpencil 2. Mengadakan evaluasi terhadap pelaksanaan program di lapangan, baik rutin maupun pembangunan 51

29 3. Sebagai bahan perencanaan di waktu yang akan datang 2. Tingkat Daerah Pelaksanaan monitoring dan evaluasi oleh jajaran kerja pemerintah daerah disesuaikan dengan kebijakan teknis kondisi daerah masing-masing. (Departemen Sosial R.I, 2003) Dinas Kesejahteraan dan Sosial Provinsi Sumatera Utara Dinas Kesejahteraan dan Sosial Provinsi Sumatera Utara merupakan unsur pelaksana Pemerintah Daerah dipimpin oleh seorang Kepala Dinas yang berada di bawah dan bertanggungjawab langsung kepada Gubernur Sumatera Utara melalui Sekretaris Daerah Provinsi Sumatera Utara yang mempunyai tugas pokok merumuskan kebijakan operasional di bidang Kesejahteraan Sosial dan melaksanakan sebagian kewenangan dekonsentrasi yang dilimpahkan kepada Gubernur serta Tugas Pembantuan. Kantor Dinas Kesejahteraan dan Sosial Provinsi Sumatera Utara beralamat di Jalan Sampul No. 138 Medan. Adapun yang menjadi visi dan misi dari Dinas Kesejahteraan dan Sosial Provinsi Sumatera Utara adalah : a. Meningkatkan pelayanan sosial bagi Penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial (PMKS). b. Meningkatkan sumber daya manusia yang profesional dalam bidang kesejahteraan sosial. c. Meningkatkan keterjangkauan dan mutu pelayanan sosial. d. Meningkatkan peran serta dan kepedulian masyarakat terhadap penyelenggaraan pelayanan sosial dasar. 52

30 e. Meningkatkan fasilitasi dan koordinasi pembangunan kesejahteraan sosial. f. Melestarikan Nilai-nilai Keperintisan, Kepahlawanan dan Kejuangan. g. Meningkatkan upaya pengurangan resiko bencana. ( diakses pada 18 Januari 2013 pukul WIB) Kesejahteraan Sosial Kesejahteraan sosial dalam arti yang sangat luas mencakup berbagai tindakan yang dilakukan manusia untuk mencapai tingkat kehidupan masyarakat yang lebih baik. Kondisi sejahtera biasanya menunjuk pada istilah kesejahteraan sosial sebagai kondisi terpenuhinya kebutuhan material dan spiritual. Kondisi sejahtera terjadi manakala kehidupan manusia aman dan bahagia karena kebutuhan dasar akan gizi, kesehatan, pendidikan, tempat tinggal, dan pendapatan terpenuhi: serta manakala manusia memperoleh perlindungan dari resiko-resiko utama yang mengancam kehidupannya. Kesejahteraan Sosial adalah suatu tata kehidupan dan penghidupan sosial materiil maupun spirituil yang diliputi oleh rasa keselamatan, kesusilaan dan ketentraman lahir batin, yang memungkinkan bagi setiap warga negara untuk mengadakan usaha pemenuhan kebutuhan jasmani, rohani dan sosial yang sebaikbaiknya bagi diri, keluarga serta masyarakat dengan menjunjung tinggi hak-hak azasi serta kewajiban manusia sesuai dengan Pancasila (Departemen Sosial R.I, 2003). Istilah kesejahteraan Sosial di Indonesia telah lama dikenal, konsep kesejahteraan sosial bahkan telah ada dalam sistem ketatanegaraan Indonesia. Kesejahteraan sosial memiliki beberapa makna yang relatif berbeda, meskipun 53

31 substansinya tetap sama. Kesejahteraan sosial pada intinya mencakup tiga konsepsi, yakni: 1. Kondisi kehidupan atau keadaan sejahtera, yakni terpenuhinya kebutuhankebutuhan jasmaniah, rohaniah dan sosial. 2. Institusi, arena atau bidang kegiatan yang melibatkan lembaga kesejahteraan sosial dan berbagai profesi kemanusiaan yang menyelenggarakan usaha kesejahteraan sosial dan pelayanan sosial 3. Aktivitas, yakni suatu kegiatan-kegiatan usaha yang terorganisir untuk mencapai kondisi sejahtera. Namun secara umum Pengertian kesejahteraan sosial adalah suatu Keadaan, Kegiatan dan gerakan yang bertujuan untuk meningkatkan standar dan taraf hidup, memecahkan masalah sosial, memperkuat struktur sosial masyarakat, memenuhi kebutuhan dasar dan menjaga ketentraman masyarakat, serta untuk memungkinkan setiap warganegara mengadakan usaha pemenuhan kebutuhan jasmani, rohani dan sosial yang sebaik-baiknya bagi dirinya, keluarga dan masyarakat ( diakses pada 3 maret 2013 pukul WIB). Pembangunan kesejahteraan sosial sebagaimana diatur dalam UU Nomor 11 Tahun 2009 tentang Kesejahteraan Sosial dimaksudkan untuk mewujudkan kehidupan yang layak dan bermartabat, serta untuk memenuhi hak atas kebutuhan dasar warga negara demi tercapainya kesejahteraan sosial, negara menyelenggarakan pelayanan dan pengembangan kesejahteraan sosial secara terencana, terarah, dan berkelanjutan. 54

32 2.6. Kerangka Pemikiran Keterpencilan membuat sebagian masyarakat Indonesia sampai saat ini masih ada yang menjalani kehidupan sangat memprihatinkan. mereka sangat terbatas dalam mengakses pelayanan sosial dasar, ekonomi dan politik. Pendidikan, kesehatan, serta sarana publik menjadi sesuatu hal yang sangat langka untuk dirasakan oleh komunitas adat terpencil. Berdasarkan kondisi tersebut maka komunitas adat terpencil sebagai warga bangsa perlu diberdayakan agar mereka mampu menjalani kehidupan sebagai warga bangsa pada umumnya. Dinas Kesejahteraan dan Sosial merupakan salah satu instansi pemerintah yang menjadi penyelenggara program pemberdayaan komunitas adat terpencil di provinsi sumatera utara. Lingkup daripada Program Pemberdayaan Komunitas Adat Terpencil yang diselenggarakan oleh Dinas Kesejahteraan dan Sosial yakni penataan perumahan dan permukiman, kehidupan beragama, administrasi kependudukan, pendidikan, kesehatan, peningkatan pendapatan, kesejahteraan sosial. Desa Sionom Hudon Selatan merupakan salah satu lokasi pemberdayaan komunitas adat terpencil di Sumatera Utara yang sudah dilaksanakan sejak tahun Untuk mengetahui respon warga binaan terhadap program pemberdayaan komunitas adat terpencil dapat dilihat dari tingkah laku balasan atau tindakan yang merupakan wujud dari persepsi, sikap dan partisipasi warga binaan, dimana persepsi itu meliputi pengetahuan warga binaan tentang Program Pemberdayaan Komunitas Adat Terpencil serta tujuan dan manfaat program. Sikap meliputi tentang penilaian terhadap program, penolakan atau penerimaan, dan mengharapkan atau menghindari Program Pemberdayaan komunitas Adat Terpencil. Partisipasi meliputi tentang menikmati, melaksanakan, memelihara, menilai, frekwensi dan kualitas. Masyarakat 55

33 yang menerima program atau disebut warga binaan dapat memahami akan nilai positif dan negatif dari Program Pemberdayaan komunitas Adat Terpencil yang telah dilaksanakan oleh Dinas Kesejahteraan dan Sosial Provinsi Sumatera Utara. 56

34 Bagan 2.1 Bagan Alur Pemikiran Dinas Kesejahteraan dan Sosial Provinsi Sumatera Utara Program Pemberdayaan Komunitas Adat terpencil Warga Binaan Respon warga binaan di desa Sionom Hudon Selatan Persepsi, meliputi: 1. Pengetahuan atau tanggapan warga binaan terhadap Program Pemberdayaan Komunitas Adat Terpencil 2. Pengetahuan warga binaan terhadap tujuan dan manfaat Program Pemberdayaan Komunitas Adat Terpencil 3. Atensi Sikap, meliputi: 1. penilaian warga binaan tentang Program Pemberdayaan Komunitas Adat Terpencil 2. penolakan atau penerimaan program Pemberdayaan Komunitas Adat Terpencil 3. mengharapkan atau menghindari Program Partisipasi, meliputi: 1.melaksanakan program 2. memelihara hasil program 3.menikmati manfaat dari hasil pelaksanaan program 4. menilai hasil program 1. Respon positif 2. Respon negatif 57

35 2.7. Defenisi Konsep dan Defenisi Operasional Defenisi konsep Defenisi konsep merupakan sejumlah pengertian atau ciri-ciri yang berkaitan dengan berbagai peristiwa, obyek, kondisi, situasi dan hal-hal lain yang sejenis. Konsep diciptakan dengan mengelompokkan obyek-obyek atau peristiwa-peristiwa yang mempunyai ciri-ciri yang sama. Defenisi konsep bertujuan untuk merumuskan sejumlah pengertian yang digunakan secara mendasar dan meyamakan persepsi tentang apa yang akan diteliti serta menghindari salah pengertian yang dapat mengaburkan tujuan penelitian (Silalahi, 2009: 112). Untuk menghindari salah pengertian atas makna konsep-konsep yang dijadikan obyek penelitian, maka seorang peneliti harus menegaskan dan membatasi makna-makna konsep yang diteliti. Proses dan upaya penegasan dan pembatasan makna konsep dalam suatu penelitian disebut dengan defenisi konsep. Secara sederhana defenisi disini diartikan sebagai batasan arti. Defenisi konsep adalah pengertian yang terbatas dari suatu konsep yang dianut dalam suatu penelitian (Siagian, 2011: 138). Adapun yang menjadi batasan konsep dalam penelitian ini adalah: 1. Respon adalah suatu tanggapan, tingkah laku atau sikap yang berwujud baik, pemahaman yang mendetail, penilaian, pengaruh, penolakan, suka atau tidak suka serta pemanfaatan pada suatu fenomena. 2. Warga Binaan adalah sebutan bagi warga masyarakat yang menerima Program Pemberdayaan Komunitas Adat Terpencil. 3. Program Pemberdayaan Komunitas Adat Terpencil adalah suatu program yang diarahkan pada upaya peningkatan taraf dan kesejahteraan sosial kepada 58

36 masyarakat dengan kategori terpencil. Dalam program ini diharapkan masyarakat dapat menemukan masalah dan kebutuhan beserta upaya pemecahannya berdasarkan kekuatan dan kemampuannya sendiri, sehingga tercipta peningkatan mutu hidup, terlindungi hak dasarnya serta terpeliharanya budaya lokal. 4. Desa Sionom Hudon Selatan Kecamatan Parlilitan Kabupaten Humbang Hasundutan adalah salah satu desa sebagai lokasi Pemberdayaan Komunitas Adat Terpencil di Sumatera Utara Defenisi Operasional Defenisi operasional merupakan seperangkat petunjuk atau kriteria atau operasi yang lengkap tentang apa yang harus diamati dan bagaimana mengamatinya dengan memiliki rujukan-rujukan empiris. Bertujuan untuk memudahkan penelitian dalam melaksanakan penelitian di lapangan. Maka perlu operasionalisasi dari konsep-konsep yang menggambarkan tentang apa yang harus diamati (Silalahi, 2009: 120). Definisi operasional sering disebut sebagai suatu proses operasionalisasi konsep, yang berarti menjadikan konsep yang semula bersifat statis menjadi dinamis. Jika konsep sudah bersifat dinamis, maka akan memungkinkan untuk dioperasikan. Wujud operasionalisasi konsep adalah dalam bentuk sajian yang benar-benar terperinci, sehingga makna dan aspek-aspek yang terangkum dalam konsep tersebut terangkat dan terbuka (Siagian, 2011:141). Adapun yang menjadi definisi operasional dalam respon warga binaan terhadap pelaksanaan program pemberdayaan komunitas adat terpencil di desa 59

BAB I PENDAHULUAN. Keterpencilan membuat sebagian masyarakat Indonesia sampai saat ini masih

BAB I PENDAHULUAN. Keterpencilan membuat sebagian masyarakat Indonesia sampai saat ini masih BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang Masalah Keterpencilan membuat sebagian masyarakat Indonesia sampai saat ini masih ada yang menjalani kehidupan sangat memprihatinkan. Mereka mendiami tempattempat yang

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI SOSIAL REPUBLIK INDONESIA NOMOR 09 TAHUN 2012 TENTANG PEMBERDAYAAN KOMUNITAS ADAT TERPENCIL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN MENTERI SOSIAL REPUBLIK INDONESIA NOMOR 09 TAHUN 2012 TENTANG PEMBERDAYAAN KOMUNITAS ADAT TERPENCIL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN MENTERI SOSIAL REPUBLIK INDONESIA NOMOR 09 TAHUN 2012 TENTANG PEMBERDAYAAN KOMUNITAS ADAT TERPENCIL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA Menimbang : MENTERI SOSIAL REPUBLIK INDONESIA, a. bahwa untuk

Lebih terperinci

GUBERNUR PAPUA PERATURAN DAERAH KHUSUS PROVINSI PAPUA NOMOR 8 TAHUN 2014 TENTANG PENANGANAN KHUSUS TERHADAP KOMUNITAS ADAT TERPENCIL

GUBERNUR PAPUA PERATURAN DAERAH KHUSUS PROVINSI PAPUA NOMOR 8 TAHUN 2014 TENTANG PENANGANAN KHUSUS TERHADAP KOMUNITAS ADAT TERPENCIL GUBERNUR PAPUA PERATURAN DAERAH KHUSUS PROVINSI PAPUA NOMOR 8 TAHUN 2014 TENTANG PENANGANAN KHUSUS TERHADAP KOMUNITAS ADAT TERPENCIL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR PAPUA, Menimbang Mengingat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. bersangkutan dapat hidup secara wajar baik jasmani, rohani, maupun sosial. sehingga dapat berperan aktif dalam pembangunan.

BAB I PENDAHULUAN. bersangkutan dapat hidup secara wajar baik jasmani, rohani, maupun sosial. sehingga dapat berperan aktif dalam pembangunan. BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Lokasi tempat tinggal suku bangsa yang terasing atau terpencil mengakibatkan akses terhadap pelayanan publik menjadi terhambat dan menjadi rendah. komunitas adat terpencil

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG PENANGANAN FAKIR MISKIN

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG PENANGANAN FAKIR MISKIN RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG PENANGANAN FAKIR MISKIN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang:a.bahwa setiap warga negara berhak untuk

Lebih terperinci

BAB II RENCANA PEMBANGUNAN JANGKA MENENGAH DAERAH (RPJMD)

BAB II RENCANA PEMBANGUNAN JANGKA MENENGAH DAERAH (RPJMD) Laporan Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah BAB II RENCANA PEMBANGUNAN JANGKA MENENGAH DAERAH (RPJMD) A. Visi dan Misi 1. Visi Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah Kabupaten Sleman 2010-2015 menetapkan

Lebih terperinci

- 1 - PERATURAN MENTERI SOSIAL REPUBLIK INDONESIA NOMOR 12 TAHUN 2015 TENTANG

- 1 - PERATURAN MENTERI SOSIAL REPUBLIK INDONESIA NOMOR 12 TAHUN 2015 TENTANG - 1 - PERATURAN MENTERI SOSIAL REPUBLIK INDONESIA NOMOR 12 TAHUN 2015 TENTANG PELAKSANAAN PERATURAN PRESIDEN NOMOR 186 TAHUN 2014 TENTANG PEMBERDAYAAN SOSIAL TERHADAP KOMUNITAS ADAT TERPENCIL DENGAN RAHMAT

Lebih terperinci

2015, No Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 244, Tambahan Le

2015, No Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 244, Tambahan Le No.1279, 2015 BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA KEMENSOS. Pemberdayaan. Sosial. Adat. Terpencil. PERATURAN MENTERI SOSIAL REPULIK INDONESIA NOMOR 12 TAHUN 2015 TENTANG PELAKSANAAN PERATURAN PRESIDEN NOMOR

Lebih terperinci

VISI MISI KABUPATEN KUDUS TAHUN

VISI MISI KABUPATEN KUDUS TAHUN VISI MISI KABUPATEN KUDUS TAHUN 2013 2018 Visi Terwujudnya Kudus Yang Semakin Sejahtera Visi tersebut mengandung kata kunci yang dapat diuraikan sebagai berikut: Semakin sejahtera mengandung makna lebih

Lebih terperinci

BUPATI SUMBA BARAT DAYA PROVINSI NUSA TENGGARA TIMUR PERATURAN DAERAH KABUPATEN SUMBA BARAT DAYA NOMOR 2 TAHUN 2015 TENTANG

BUPATI SUMBA BARAT DAYA PROVINSI NUSA TENGGARA TIMUR PERATURAN DAERAH KABUPATEN SUMBA BARAT DAYA NOMOR 2 TAHUN 2015 TENTANG BUPATI SUMBA BARAT DAYA PROVINSI NUSA TENGGARA TIMUR PERATURAN DAERAH KABUPATEN SUMBA BARAT DAYA NOMOR 2 TAHUN 2015 TENTANG RENCANA PEMBANGUNAN JANGKA MENENGAH DAERAH KABUPATEN SUMBA BARAT DAYA TAHUN 2014

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KABUPATEN KUNINGAN NOMOR 16 TAHUN 2013 TENTANG PENGARUSUTAMAAN GENDER DALAM PEMBANGUNAN DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN DAERAH KABUPATEN KUNINGAN NOMOR 16 TAHUN 2013 TENTANG PENGARUSUTAMAAN GENDER DALAM PEMBANGUNAN DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN DAERAH KABUPATEN KUNINGAN NOMOR 16 TAHUN 2013 TENTANG PENGARUSUTAMAAN GENDER DALAM PEMBANGUNAN DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI KUNINGAN, Menimbang : a. bahwa dalam rangka mewujudkan

Lebih terperinci

TERWUJUDNYAMASYARAKAT KABUPATEN PASAMAN YANGMAJU DAN BERKEADILAN

TERWUJUDNYAMASYARAKAT KABUPATEN PASAMAN YANGMAJU DAN BERKEADILAN TERWUJUDNYAMASYARAKAT KABUPATEN PASAMAN YANGMAJU DAN BERKEADILAN Untuk memberikan gambaran yang jelas pada visi tersebut, berikut ada 2 (dua) kalimat kunci yang perlu dijelaskan, sebagai berikut : Masyarakat

Lebih terperinci

BAB V PENYAJIAN VISI, MISI, TUJUAN DAN SASARAN

BAB V PENYAJIAN VISI, MISI, TUJUAN DAN SASARAN BAB V PENYAJIAN VISI, MISI, TUJUAN DAN SASARAN Visi dan misi Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) Kabupaten Tapin tahun 2013-2017 selaras dengan arah Rencana Pembangunan Jangka Panjang Daerah

Lebih terperinci

KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 111 TAHUN 1999 TENTANG PEMBINAAN KESEJAHTERAAN SOSIAL KOMUNITAS ADAT TERPENCIL

KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 111 TAHUN 1999 TENTANG PEMBINAAN KESEJAHTERAAN SOSIAL KOMUNITAS ADAT TERPENCIL KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 111 TAHUN 1999 TENTANG PEMBINAAN KESEJAHTERAAN SOSIAL KOMUNITAS ADAT TERPENCIL PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa komunitas adat terpencil yang

Lebih terperinci

BAB VI STRATEGI DAN ARAH KEBIJAKAN

BAB VI STRATEGI DAN ARAH KEBIJAKAN BAB VI STRATEGI DAN ARAH KEBIJAKAN Strategi pembangunan daerah dirumuskan untuk menjalankan misi guna mendukung terwujudnya visi yang harapkan yaitu Menuju Surabaya Lebih Baik maka strategi dasar pembangunan

Lebih terperinci

PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 186 TAHUN 2014 TENTANG PEMBERDAYAAN SOSIAL TERHADAP KOMUNITAS ADAT TERPENCIL

PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 186 TAHUN 2014 TENTANG PEMBERDAYAAN SOSIAL TERHADAP KOMUNITAS ADAT TERPENCIL PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 186 TAHUN 2014 TENTANG PEMBERDAYAAN SOSIAL TERHADAP KOMUNITAS ADAT TERPENCIL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: bahwa

Lebih terperinci

PEMERINTAH PROVINSI SULAWESI SELATAN PERATURAN DAERAH PROVINSI SULAWESI SELATAN NOMOR 3 TAHUN 2012

PEMERINTAH PROVINSI SULAWESI SELATAN PERATURAN DAERAH PROVINSI SULAWESI SELATAN NOMOR 3 TAHUN 2012 1 PEMERINTAH PROVINSI SULAWESI SELATAN PERATURAN DAERAH PROVINSI SULAWESI SELATAN NOMOR 3 TAHUN 2012 TENTANG PENANGGULANGAN KEMISKINAN DI PROVINSI SULAWESI SELATAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR

Lebih terperinci

BUPATI PATI PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN DAERAH KABUPATEN PATI NOMOR 1 TAHUN 2016 TENTANG PEMBANGUNAN KAWASAN PERDESAAN

BUPATI PATI PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN DAERAH KABUPATEN PATI NOMOR 1 TAHUN 2016 TENTANG PEMBANGUNAN KAWASAN PERDESAAN SALINAN BUPATI PATI PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN DAERAH KABUPATEN PATI NOMOR 1 TAHUN 2016 TENTANG PEMBANGUNAN KAWASAN PERDESAAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI PATI, Menimbang : bahwa untuk

Lebih terperinci

BAB 6 STRATEGI DAN ARAH KEBIJAKAN

BAB 6 STRATEGI DAN ARAH KEBIJAKAN BAB 6 STRATEGI DAN ARAH KEBIJAKAN A. S T R A T E G I Strategi adalah langkah-langkah berisikan program-program indikatif untuk mewujudkan visi dan misi. Strategi juga diberi makna sebagai usaha-usaha untuk

Lebih terperinci

BAB V PENYAJIAN VISI, MISI, TUJUAN DAN SASARAN

BAB V PENYAJIAN VISI, MISI, TUJUAN DAN SASARAN BAB V PENYAJIAN VISI, MISI, TUJUAN DAN SASARAN 5.1. Visi Pada hakekatnya, Visi merupakan cara pandang jauh ke depan tentang cita-cita atau kondisi ideal yang diinginkan di masa depan dengan memperhatikan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2011 TENTANG PENANGANAN FAKIR MISKIN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2011 TENTANG PENANGANAN FAKIR MISKIN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2011 TENTANG PENANGANAN FAKIR MISKIN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa sesuai dengan Pembukaan Undang-Undang

Lebih terperinci

PEMERINTAH DAERAH PROVINSI JAWA TIMUR PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA TIMUR NOMOR 15 TAHUN 2012 TENTANG PENYELENGGARAAN KOORDINASI PENYULUHAN

PEMERINTAH DAERAH PROVINSI JAWA TIMUR PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA TIMUR NOMOR 15 TAHUN 2012 TENTANG PENYELENGGARAAN KOORDINASI PENYULUHAN - 1 - PEMERINTAH DAERAH PROVINSI JAWA TIMUR PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA TIMUR NOMOR 15 TAHUN 2012 TENTANG PENYELENGGARAAN KOORDINASI PENYULUHAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR JAWA TIMUR,

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANTUL NOMOR 01 TAHUN 2010 T E N T A N G PENYELENGGARAAN KESEJAHTERAAN SOSIAL BAGI PENYANDANG MASALAH KESEJAHTERAAN SOSIAL

PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANTUL NOMOR 01 TAHUN 2010 T E N T A N G PENYELENGGARAAN KESEJAHTERAAN SOSIAL BAGI PENYANDANG MASALAH KESEJAHTERAAN SOSIAL PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANTUL NOMOR 01 TAHUN 2010 T E N T A N G PENYELENGGARAAN KESEJAHTERAAN SOSIAL BAGI PENYANDANG MASALAH KESEJAHTERAAN SOSIAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BANTUL, Menimbang

Lebih terperinci

BUPATI CIAMIS PROVINSI JAWA BARAT PERATURAN DAERAH KABUPATEN CIAMIS NOMOR 11 TAHUN 2016 TENTANG PENANGGULANGAN KEMISKINAN

BUPATI CIAMIS PROVINSI JAWA BARAT PERATURAN DAERAH KABUPATEN CIAMIS NOMOR 11 TAHUN 2016 TENTANG PENANGGULANGAN KEMISKINAN BUPATI CIAMIS PROVINSI JAWA BARAT PERATURAN DAERAH KABUPATEN CIAMIS NOMOR 11 TAHUN 2016 TENTANG PENANGGULANGAN KEMISKINAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI CIAMIS, Menimbang : a. bahwa kemiskinan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2011 TENTANG PENANGANAN FAKIR MISKIN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2011 TENTANG PENANGANAN FAKIR MISKIN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2011 TENTANG PENANGANAN FAKIR MISKIN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa sesuai dengan Pembukaan Undang-Undang

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KABUPATEN HULU SUNGAI SELATAN NOMOR 5 TAHUN 2012 TENTANG PENANGGULANGAN KEMISKINAN

PERATURAN DAERAH KABUPATEN HULU SUNGAI SELATAN NOMOR 5 TAHUN 2012 TENTANG PENANGGULANGAN KEMISKINAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN HULU SUNGAI SELATAN NOMOR 5 TAHUN 2012 TENTANG PENANGGULANGAN KEMISKINAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI HULU SUNGAI SELATAN, Menimbang : a. bahwa dalam rangka memenuhi

Lebih terperinci

Jane H Tampubolon

Jane H Tampubolon RESPON WARGA BINAAN TERHADAP PROGRAM PEMBERDAYAAN KOMUNITAS ADAT TERPENCIL OLEH DINAS KESEJAHTERAAN DAN SOSIAL PROVINSI SUMATERA UTARA DI DESA SIONOM HUDON SELATAN KECAMATAN PARLILITAN KABUPATEN HUMBANG

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2011 TENTANG PENANGANAN FAKIR MISKIN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2011 TENTANG PENANGANAN FAKIR MISKIN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2011 TENTANG PENANGANAN FAKIR MISKIN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa sesuai dengan Pembukaan Undang-Undang

Lebih terperinci

6.1. Strategi dan Arah Kebijakan Pembangunan

6.1. Strategi dan Arah Kebijakan Pembangunan BAB - VI STRATEGI DAN ARAH KEBIJAKAN 6.1. Strategi dan Arah Kebijakan Pembangunan Strategi adalah langkah-langkah berisikan program indikatif untuk mewujudkan visi dan misi, yang dirumuskan dengan kriterianya

Lebih terperinci

BAB VI STRATEGI DAN ARAH KEBIJAKAN

BAB VI STRATEGI DAN ARAH KEBIJAKAN BAB VI STRATEGI DAN ARAH KEBIJAKAN Strategi pembangunan daerah dirumuskan untuk menjalankan misi guna mendukung terwujudnya visi yang harapkan yaitu Menuju Surabaya Lebih Baik maka strategi dasar pembangunan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Respon Respon berasal dari kata response yang berarti jawaban, balasan, atau tanggapan. Dalam kamus besar bahasa Indonesia, respon adalah tanggapan, reaksi, dan jawaban (kbbi.we.id).

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH PROVINSI BANTEN NOMOR : 10 TAHUN 2005 TENTANG PENGARUSUTAMAAN GENDER DALAM PEMBANGUNAN DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN DAERAH PROVINSI BANTEN NOMOR : 10 TAHUN 2005 TENTANG PENGARUSUTAMAAN GENDER DALAM PEMBANGUNAN DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN DAERAH PROVINSI BANTEN NOMOR : 10 TAHUN 2005 TENTANG PENGARUSUTAMAAN GENDER DALAM PEMBANGUNAN DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR BANTEN, Menimbang : a. bahwa dalam rangka meningkatkan

Lebih terperinci

- 1 - PEMERINTAH DAERAH PROVINSI JAWA TIMUR PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA TIMUR NOMOR 13 TAHUN 2013 TENTANG

- 1 - PEMERINTAH DAERAH PROVINSI JAWA TIMUR PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA TIMUR NOMOR 13 TAHUN 2013 TENTANG - 1 - PEMERINTAH DAERAH PROVINSI JAWA TIMUR PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA TIMUR NOMOR 13 TAHUN 2013 TENTANG PEMBERDAYAAN MASYARAKAT DESA DAN KELURAHAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR JAWA TIMUR,

Lebih terperinci

PENJELASAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN PESAWARAN NOMOR 26 TAHUN 2011 TENTANG PENYELENGGARAAN ADMINISTRASI KEPENDUDUKAN

PENJELASAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN PESAWARAN NOMOR 26 TAHUN 2011 TENTANG PENYELENGGARAAN ADMINISTRASI KEPENDUDUKAN PENJELASAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN PESAWARAN NOMOR 26 TAHUN 2011 TENTANG PENYELENGGARAAN ADMINISTRASI KEPENDUDUKAN I. UMUM Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Pancasila dan Undang- Undang

Lebih terperinci

BUPATI GORONTALO PROVINSI GORONTALO

BUPATI GORONTALO PROVINSI GORONTALO BUPATI GORONTALO PROVINSI GORONTALO PERATURAN DAERAH KABUPATEN GORONTALO NOMOR 2 TAHUN 2016 TENTANG PERENCANAAN, PELAKSANAAN PEMBANGUNAN, PEMANFAATAN, DAN PENDAYAGUNAAN KAWASAN PERDESAAN DENGAN RAHMAT

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2011 TENTANG PENANGANAN FAKIR MISKIN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2011 TENTANG PENANGANAN FAKIR MISKIN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, www.bpkp.go.id UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2011 TENTANG PENANGANAN FAKIR MISKIN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa sesuai dengan Pembukaan

Lebih terperinci

BAB 4 ANALISIS ISU STRATEGIS DAERAH

BAB 4 ANALISIS ISU STRATEGIS DAERAH BAB 4 ANALISIS ISU STRATEGIS DAERAH Perencanaan dan implementasi pelaksanaan rencana pembangunan kota tahun 2011-2015 akan dipengaruhi oleh lingkungan strategis yang diperkirakan akan terjadi dalam 5 (lima)

Lebih terperinci

BUPATI GUNUNGKIDUL BUPATI GUNUNGKIDUL,

BUPATI GUNUNGKIDUL BUPATI GUNUNGKIDUL, BUPATI GUNUNGKIDUL PERATURAN BUPATI GUNUNGKIDUL NOMOR 18 TAHUN 2009 TENTANG POLA HUBUNGAN KERJA ANTAR PERANGKAT DAERAH DAN ANTARA KECAMATAN DENGAN PEMERINTAHAN DESA BUPATI GUNUNGKIDUL, Menimbang Mengingat

Lebih terperinci

PEMERINTAH KABUPATEN PEMALANG

PEMERINTAH KABUPATEN PEMALANG PEMERINTAH KABUPATEN PEMALANG PERATURAN DAERAH KABUPATEN PEMALANG NOMOR 23 TAHUN 2008 TENTANG PENANGGULANGAN KEMISKINAN DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI PEMALANG, Menimbang : a. bahwa sistem

Lebih terperinci

GUBERNUR KEPULAUAN BANGKA BELITUNG PERATURAN DAERAH PROVINSI KEPULAUAN BANGKA BELITUNG NOMOR 5 TAHUN 2016 TENTANG PELAYANAN BAGI LANJUT USIA

GUBERNUR KEPULAUAN BANGKA BELITUNG PERATURAN DAERAH PROVINSI KEPULAUAN BANGKA BELITUNG NOMOR 5 TAHUN 2016 TENTANG PELAYANAN BAGI LANJUT USIA GUBERNUR KEPULAUAN BANGKA BELITUNG PERATURAN DAERAH PROVINSI KEPULAUAN BANGKA BELITUNG NOMOR 5 TAHUN 2016 TENTANG PELAYANAN BAGI LANJUT USIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR KEPULAUAN BANGKA

Lebih terperinci

Walikota Tasikmalaya Provinsi Jawa Barat

Walikota Tasikmalaya Provinsi Jawa Barat - 1 - Walikota Tasikmalaya Provinsi Jawa Barat PERATURAN DAERAH KOTA TASIKMALAYA NOMOR 8 TAHUN 2015 TENTANG PEMBERDAYAAN PEREMPUAN DAN PELINDUNGAN ANAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA TASIKMALAYA,

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KABUPATEN HUMBANG HASUNDUTAN NOMOR 2 TAHUN 2010 TENTANG TATA CARA PENYUSUNAN RENCANA PEMBANGUNAN DAERAH KABUPATEN HUMBANG HASUNDUTAN

PERATURAN DAERAH KABUPATEN HUMBANG HASUNDUTAN NOMOR 2 TAHUN 2010 TENTANG TATA CARA PENYUSUNAN RENCANA PEMBANGUNAN DAERAH KABUPATEN HUMBANG HASUNDUTAN BUPATI HUMBANG HASUNDUTAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN HUMBANG HASUNDUTAN NOMOR 2 TAHUN 2010 TENTANG TATA CARA PENYUSUNAN RENCANA PEMBANGUNAN DAERAH KABUPATEN HUMBANG HASUNDUTAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG

Lebih terperinci

BUPATI MALANG PROVINSI JAWA TIMUR

BUPATI MALANG PROVINSI JAWA TIMUR BUPATI MALANG PROVINSI JAWA TIMUR PERATURAN BUPATI MALANG NOMOR 4 TAHUN 2016 TENTANG PEDOMAN DAN TATA CARA PENYUSUNAN RENCANA PEMBANGUNAN JANGKA MENENGAH DESA DAN RENCANA KERJA PEMERINTAH DESA DENGAN RAHMAT

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG PENANGANAN FAKIR MISKIN

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG PENANGANAN FAKIR MISKIN RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG PENANGANAN FAKIR MISKIN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa setiap warga negara berhak untuk

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Koentjaraningrat sebagaimana yang dikutip oleh Adon Nasrulloh 2 memberikan

BAB I PENDAHULUAN. Koentjaraningrat sebagaimana yang dikutip oleh Adon Nasrulloh 2 memberikan BAB I PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang Masalah Desa merupakan kesatuan wilayah yang dihuni oleh sejumlah keluarga, yang mempunyai sistem pemerintahan sendiri (dikepalai oleh seorang kepala desa). 1 Koentjaraningrat

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KOTA MATARAM NOMOR 5 TAHUN 2012 TENTANG PENANGGULANGAN ANAK JALANAN, GELANDANGAN DAN PENGEMIS DI KOTA MATARAM

PERATURAN DAERAH KOTA MATARAM NOMOR 5 TAHUN 2012 TENTANG PENANGGULANGAN ANAK JALANAN, GELANDANGAN DAN PENGEMIS DI KOTA MATARAM PERATURAN DAERAH KOTA MATARAM NOMOR 5 TAHUN 2012 TENTANG PENANGGULANGAN ANAK JALANAN, GELANDANGAN DAN PENGEMIS DI KOTA MATARAM DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA MATARAM, Menimbang Mengingat :

Lebih terperinci

BAB VI STRATEGI DAN ARAH KEBIJAKAN

BAB VI STRATEGI DAN ARAH KEBIJAKAN BAB VI STRATEGI DAN ARAH KEBIJAKAN Dalam rangka mencapai tujuan dan sasaran pembangunan untuk mewujudkan visi dan misi yang telah ditetapkan, perlu perubahan secara mendasar, terencana dan terukur. Upaya

Lebih terperinci

PEMBERDAYAAN MASYARAKAT

PEMBERDAYAAN MASYARAKAT PEMBERDAYAAN MASYARAKAT Disampaikan Pada Gladi Manajemen Pemerintahan Desa Bagi Kepala Bagian/Kepala Urusan Hasil Pengisian Tahun 2011 Di Lingkungan Kabupaten Sleman, 19-20 Desember 2011 Cholisin : Staf

Lebih terperinci

BAB V VISI, MISI, TUJUAN DAN SASARAN

BAB V VISI, MISI, TUJUAN DAN SASARAN BAB V VISI, MISI, TUJUAN DAN SASARAN 5.1. Visi Terwujudnya Masyarakat Bengkulu Utara yang Mandiri, Maju, dan Bermartabat Visi pembangunan Kabupaten Bengkulu Utara Tahun 2011-2016 tersebut di atas sebagai

Lebih terperinci

Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) Kota Palembang Tahun BAB V VISI, MISI, TUJUAN DAN SASARAN

Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) Kota Palembang Tahun BAB V VISI, MISI, TUJUAN DAN SASARAN BAB V VISI, MISI, TUJUAN DAN SASARAN Perumusan visi, misi, tujuan dan sasaran pembangunan menegaskan tentang kondisi Kota Palembang yang diinginkan dan akan dicapai dalam lima tahun mendatang (2013-2018).

Lebih terperinci

BAB 29 PENINGKATAN PERLINDUNGAN

BAB 29 PENINGKATAN PERLINDUNGAN BAB 29 PENINGKATAN PERLINDUNGAN DAN KESEJAHTERAAN SOSIAL Perlindungan dan kesejahteraan sosial merupakan hal-hal yang berkaitan dengan keterlantaran baik anak maupun lanjut usia, kecacatan, ketunasosialan,

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 63 TAHUN 2013 TENTANG PELAKSANAAN UPAYA PENANGANAN FAKIR MISKIN MELALUI PENDEKATAN WILAYAH

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 63 TAHUN 2013 TENTANG PELAKSANAAN UPAYA PENANGANAN FAKIR MISKIN MELALUI PENDEKATAN WILAYAH PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 63 TAHUN 2013 TENTANG PELAKSANAAN UPAYA PENANGANAN FAKIR MISKIN MELALUI PENDEKATAN WILAYAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang:

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI SOSIAL REPUBLIK INDONESIA NOMOR 25 TAHUN 2017 TENTANG LEMBAGA KONSULTASI KESEJAHTERAAN KELUARGA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN MENTERI SOSIAL REPUBLIK INDONESIA NOMOR 25 TAHUN 2017 TENTANG LEMBAGA KONSULTASI KESEJAHTERAAN KELUARGA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN MENTERI SOSIAL REPUBLIK INDONESIA NOMOR 25 TAHUN 2017 TENTANG LEMBAGA KONSULTASI KESEJAHTERAAN KELUARGA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI SOSIAL REPUBLIK INDONESIA Menimbang : a. bahwa

Lebih terperinci

BAB V VISI, MISI, TUJUAN DAN SASARAN

BAB V VISI, MISI, TUJUAN DAN SASARAN BAB V VISI, MISI, TUJUAN DAN SASARAN 5.1 Visi Visi dalam RPJMD Kabupaten Cilacap 2012 2017 dirumuskan dengan mengacu kepada visi Bupati terpilih Kabupaten Cilacap periode 2012 2017 yakni Bekerja dan Berkarya

Lebih terperinci

PENJELASAN ATAS PERATURAN MENTERI DESA, PDT DAN TRANSMIGRASI NOMOR 1,2,3,4 dan 5 TAHUN 2015 DALAM RANGKA IMPLEMENTASI UU DESA

PENJELASAN ATAS PERATURAN MENTERI DESA, PDT DAN TRANSMIGRASI NOMOR 1,2,3,4 dan 5 TAHUN 2015 DALAM RANGKA IMPLEMENTASI UU DESA KEMENTERIAN DESA, PEMBANGUNAN DAERAH TERTINGGAL DAN TRANSMIGRASI REPUBLIK INDONESIA PENJELASAN ATAS PERATURAN MENTERI DESA, PDT DAN TRANSMIGRASI NOMOR 1,2,3,4 dan 5 TAHUN 2015 DALAM RANGKA IMPLEMENTASI

Lebih terperinci

2017, No Negara Republik Indonesia Nomor 5539) sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 47 Tahun 2015 tentang Perubahan ata

2017, No Negara Republik Indonesia Nomor 5539) sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 47 Tahun 2015 tentang Perubahan ata No.1359, 2017 BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA KEMEN-DPDTT. Dana Desa. Penetapan. Tahun 2018. Pencabutan. PERATURAN MENTERI DESA, PEMBANGUNAN DAERAH TERTINGGAL, DAN TRANSMIGRASI REPUBLIK INDONESIA NOMOR

Lebih terperinci

BUPATI SUKOHARJO PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN DAERAH KABUPATEN SUKOHARJO NOMOR 7 TAHUN 2016 TENTANG PEMBANGUNAN DESA

BUPATI SUKOHARJO PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN DAERAH KABUPATEN SUKOHARJO NOMOR 7 TAHUN 2016 TENTANG PEMBANGUNAN DESA BUPATI SUKOHARJO PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN DAERAH KABUPATEN SUKOHARJO NOMOR 7 TAHUN 2016 TENTANG PEMBANGUNAN DESA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI SUKOHARJO, Menimbang : a. bahwa pembangunan

Lebih terperinci

WALIKOTA PRABUMULIH PERATURAN WALIKOTA PRABUMULIH NOMOR 6 TAHUN 2016 TENTANG

WALIKOTA PRABUMULIH PERATURAN WALIKOTA PRABUMULIH NOMOR 6 TAHUN 2016 TENTANG SALINAN WALIKOTA PRABUMULIH PERATURAN WALIKOTA PRABUMULIH NOMOR 6 TAHUN 2016 TENTANG DAFTAR KEWENANGAN DESA BERDASARKAN HAK ASAL USUL DAN KEWENANGAN LOKAL BERSKALA DESA DI KOTA PRABUMULIH DENGAN RAHMAT

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 63 TAHUN 2013 TENTANG PELAKSANAAN UPAYA PENANGANAN FAKIR MISKIN MELALUI PENDEKATAN WILAYAH

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 63 TAHUN 2013 TENTANG PELAKSANAAN UPAYA PENANGANAN FAKIR MISKIN MELALUI PENDEKATAN WILAYAH PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 63 TAHUN 2013 TENTANG PELAKSANAAN UPAYA PENANGANAN FAKIR MISKIN MELALUI PENDEKATAN WILAYAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang

Lebih terperinci

BUPATI KARANGANYAR PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN BUPATI KARANGANYAR NOMOR 42 TAHUN 2015 TENTANG PENYELENGGARAAN PEMBANGUNAN KETAHANAN KELUARGA

BUPATI KARANGANYAR PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN BUPATI KARANGANYAR NOMOR 42 TAHUN 2015 TENTANG PENYELENGGARAAN PEMBANGUNAN KETAHANAN KELUARGA BUPATI KARANGANYAR PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN BUPATI KARANGANYAR NOMOR 42 TAHUN 2015 TENTANG PENYELENGGARAAN PEMBANGUNAN KETAHANAN KELUARGA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI KARANGANYAR, Menimbang

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 5 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pola Kemitraan Dalam UU tentang Usaha Kecil Nomor 9 Tahun 1995, konsep kemitraan dirumuskan dalam pasal 26 sebagai berikut: 1. Usaha menengah dan besar melaksanakan hubungan

Lebih terperinci

PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 42 TAHUN 2013 TENTANG GERAKAN NASIONAL PERCEPATAN PERBAIKAN GIZI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 42 TAHUN 2013 TENTANG GERAKAN NASIONAL PERCEPATAN PERBAIKAN GIZI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 42 TAHUN 2013 TENTANG GERAKAN NASIONAL PERCEPATAN PERBAIKAN GIZI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa meningkatnya

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 21 TAHUN 1994 TENTANG PENYELENGGARAAN PEMBANGUNAN KELUARGA SEJAHTERA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 21 TAHUN 1994 TENTANG PENYELENGGARAAN PEMBANGUNAN KELUARGA SEJAHTERA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 21 TAHUN 1994 TENTANG PENYELENGGARAAN PEMBANGUNAN KELUARGA SEJAHTERA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa keluarga sebagai unit terkecil dalam

Lebih terperinci

PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 42 TAHUN 2013 TENTANG GERAKAN NASIONAL PERCEPATAN PERBAIKAN GIZI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 42 TAHUN 2013 TENTANG GERAKAN NASIONAL PERCEPATAN PERBAIKAN GIZI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 42 TAHUN 2013 TENTANG GERAKAN NASIONAL PERCEPATAN PERBAIKAN GIZI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa meningkatnya

Lebih terperinci

BUPATI TRENGGALEK PROVINSI JAWA TIMUR PERATURAN DAERAH KABUPATEN TRENGGALEK NOMOR 6 TAHUN 2017 TENTANG

BUPATI TRENGGALEK PROVINSI JAWA TIMUR PERATURAN DAERAH KABUPATEN TRENGGALEK NOMOR 6 TAHUN 2017 TENTANG BUPATI TRENGGALEK PROVINSI JAWA TIMUR PERATURAN DAERAH KABUPATEN TRENGGALEK NOMOR 6 TAHUN 2017 TENTANG PEMBANGUNAN DESA DAN PEMBANGUNAN KAWASAN PERDESAAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI TRENGGALEK,

Lebih terperinci

BUPATI PURWOREJO PROVINSI JAWA TENGAH

BUPATI PURWOREJO PROVINSI JAWA TENGAH BUPATI PURWOREJO PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN DAERAH KABUPATEN PURWOREJO NOMOR 4 TAHUN 2016 TENTANG PEMBANGUNAN KAWASAN PERDESAAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI PURWOREJO, Menimbang: bahwa

Lebih terperinci

BAB VI STRATEGI DAN ARAH KEBIJAKAN

BAB VI STRATEGI DAN ARAH KEBIJAKAN - 115 - BAB VI STRATEGI DAN ARAH KEBIJAKAN Visi dan Misi, Tujuan dan Sasaran perlu dipertegas dengan upaya atau cara untuk mencapainya melalui strategi pembangunan daerah dan arah kebijakan yang diambil

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KOTA SEMARANG

PERATURAN DAERAH KOTA SEMARANG PERATURAN DAERAH KOTA SEMARANG NOMOR 4 TAHUN 2008 TENTANG PENANGGULANGAN KEMISKINAN DI KOTA SEMARANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA SEMARANG, Menimbang : a. bahwa dalam rangka memenuhi hak

Lebih terperinci

11 LEMBARAN DAERAH Oktober KABUPATEN LAMONGAN 6/E 2006 SERI E

11 LEMBARAN DAERAH Oktober KABUPATEN LAMONGAN 6/E 2006 SERI E 11 LEMBARAN DAERAH Oktober KABUPATEN LAMONGAN 6/E 2006 SERI E PERATURAN DAERAH KABUPATEN LAMONGAN NOMOR 09 TAHUN 2006 TENTANG PEDOMAN PENYUSUNAN ORGANISASI DAN TATA KERJA PEMERINTAHAN DESA DENGAN RAHMAT

Lebih terperinci

BAB VI STRATEGI DAN ARAH KEBIJAKAN PEMBANGUNAN

BAB VI STRATEGI DAN ARAH KEBIJAKAN PEMBANGUNAN Strategi dan Arah Kebijakan Pembangunan BAB VI STRATEGI DAN ARAH KEBIJAKAN PEMBANGUNAN 6.1. STRATEGI Untuk mewujudkan visi dan misi daerah Kabupaten Tojo Una-una lima tahun ke depan, strategi dan arah

Lebih terperinci

LEMBARAN DAERAH KOTA SEMARANG

LEMBARAN DAERAH KOTA SEMARANG LEMBARAN DAERAH KOTA SEMARANG TAHUN 2008 NOMOR 6 PERATURAN DAERAH KOTA SEMARANG NOMOR 4 TAHUN 2008 TENTANG PENANGGULANGAN KEMISKINAN DI KOTA SEMARANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA SEMARANG,

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 39 TAHUN 2012 TENTANG PENYELENGGARAAN KESEJAHTERAAN SOSIAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 39 TAHUN 2012 TENTANG PENYELENGGARAAN KESEJAHTERAAN SOSIAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 39 TAHUN 2012 TENTANG PENYELENGGARAAN KESEJAHTERAAN SOSIAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : bahwa untuk melaksanakan

Lebih terperinci

WALIKOTA PEKALONGAN PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN DAERAH KOTA PEKALONGAN NOMOR 14 TAHUN 2016 TENTANG PENANGGULANGAN KEMISKINAN

WALIKOTA PEKALONGAN PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN DAERAH KOTA PEKALONGAN NOMOR 14 TAHUN 2016 TENTANG PENANGGULANGAN KEMISKINAN WALIKOTA PEKALONGAN PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN DAERAH KOTA PEKALONGAN NOMOR 14 TAHUN 2016 TENTANG PENANGGULANGAN KEMISKINAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA PEKALONGAN, Menimbang : a. bahwa

Lebih terperinci

PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 42 TAHUN 2013 TENTANG GERAKAN NASIONAL PERCEPATAN PERBAIKAN GIZI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 42 TAHUN 2013 TENTANG GERAKAN NASIONAL PERCEPATAN PERBAIKAN GIZI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 42 TAHUN 2013 TENTANG GERAKAN NASIONAL PERCEPATAN PERBAIKAN GIZI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa meningkatnya

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KABUPATEN BENGKAYANG NOMOR 8 TAHUN 2013 TENTANG LEMBAGA KEMASYARAKATAN DESA DAN KELURAHAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN DAERAH KABUPATEN BENGKAYANG NOMOR 8 TAHUN 2013 TENTANG LEMBAGA KEMASYARAKATAN DESA DAN KELURAHAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN DAERAH KABUPATEN BENGKAYANG NOMOR 8 TAHUN 2013 TENTANG LEMBAGA KEMASYARAKATAN DESA DAN KELURAHAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BENGKAYANG, Menimbang : bahwa untuk melaksanakan ketentuan

Lebih terperinci

2016, No Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 244, Tambahan L

2016, No Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 244, Tambahan L No. 1449, 2016 BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA KEMENPORA. Sentra Pemberdayaan Pemuda. PERATURAN MENTERI PEMUDA DAN OLAHRAGA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 32 TAHUN 2016 TENTANG SENTRA PEMBERDAYAAN PEMUDA DENGAN

Lebih terperinci

Rencana Pembangunan Jangka Menengah strategi juga dapat digunakan sebagai sarana untuk melakukan tranformasi,

Rencana Pembangunan Jangka Menengah strategi juga dapat digunakan sebagai sarana untuk melakukan tranformasi, BAB VI. STRATEGI DAN ARAH KEBIJAKAN Strategi dan arah kebijakan merupakan rumusan perencanaan komperhensif tentang bagaimana Pemerintah Daerah mencapai tujuan dan sasaran RPJMD dengan efektif dan efisien.

Lebih terperinci

TABEL 6.1 STRATEGI DAN ARAH KEBIJAKAN

TABEL 6.1 STRATEGI DAN ARAH KEBIJAKAN TABEL 6.1 STRATEGI DAN ARAH KEBIJAKAN Visi : Terwujudnya pemerintahan yang baik dan bersih menuju maju dan sejahtera Misi I : Mewujudkan tata kelola pemerintahan yang profesional, transparan, akuntabel

Lebih terperinci

PEMERINTAH PROVINSI MALUKU

PEMERINTAH PROVINSI MALUKU PEMERINTAH PROVINSI MALUKU PERATURAN GUBERNUR MALUKU NOMOR : 21 TAHUN 2009 TENTANG KOORDINASI PENANGGULANGAN KEMISKINAN DI PROVINSI MALUKU GUBERNUR MALUKU, Menimbang : a. bahwa percepatan penurunan angka

Lebih terperinci

7. Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2002 tentang Pembentukan Kabupaten Banyuasin di Provinsi Sumatera Selatan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun

7. Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2002 tentang Pembentukan Kabupaten Banyuasin di Provinsi Sumatera Selatan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 70 Menimbang : Mengingat : PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANYUASIN NOMOR 3 TAHUN 2012 TENTANG PENYELENGGARAAN KESEJAHTERAAN SOSIAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BANYUASIN, a. bahwa setiap warga

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI, KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS PENELITIAN

TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI, KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS PENELITIAN TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI, KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS PENELITIAN 1. TinjauanPustaka PNPM Mandiri PNPM Mandiri adalah program nasional penanggulangan kemiskinan terutama yang berbasis pemberdayaan

Lebih terperinci

BUPATI SIDOARJO PROVINSI JAWA TIMUR PERATURAN BUPATI SIDOARJO NOMOR 13 TAHUN 2015 TENTANG

BUPATI SIDOARJO PROVINSI JAWA TIMUR PERATURAN BUPATI SIDOARJO NOMOR 13 TAHUN 2015 TENTANG BUPATI SIDOARJO PROVINSI JAWA TIMUR PERATURAN BUPATI SIDOARJO NOMOR 13 TAHUN 2015 TENTANG DAFTAR KEWENANGAN DESA BERDASARKAN HAK ASAL USUL DAN KEWENANGAN LOKAL BERSKALA DESA DI KABUPATEN SIDOARJO DENGAN

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 34 TAHUN 2009 TENTANG PEDOMAN PENGELOLAAN KAWASAN PERKOTAAN

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 34 TAHUN 2009 TENTANG PEDOMAN PENGELOLAAN KAWASAN PERKOTAAN PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 34 TAHUN 2009 TENTANG PEDOMAN PENGELOLAAN KAWASAN PERKOTAAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : bahwa untuk memberikan

Lebih terperinci

BAB V VISI, MISI, TUJUAN DAN SASARAN

BAB V VISI, MISI, TUJUAN DAN SASARAN BAB V VISI, MISI, TUJUAN DAN SASARAN Visi dan misi merupakan gambaran otentik Kabupaten Rejang Labong dalam 5 (lima) tahun mendatang pada kepemimpinan Bupati dan Wakil Bupati terpilih untuk periode RPJMD

Lebih terperinci

Mengingat :.1. Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2003 tentang

Mengingat :.1. Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2003 tentang BUPATI OGAN KOMERING ULU SELATAN PROVINSI SUMATERA SELATAN PERATURAN BUPATI OGAN KOMERING ULU SELATAN NOMOR Y TAHUN 2016 TENTANG KEWENANGAN DESA BERDASARKAN HAK ASAL USUL DAN KEWENANGAN LOKAL BERSKALA

Lebih terperinci

BAB VI STRATEGI DAN ARAH KEBIJAKAN

BAB VI STRATEGI DAN ARAH KEBIJAKAN BAB VI STRATEGI DAN ARAH KEBIJAKAN Strategi dan arah kebijakan pembangunan daerah Kabupaten Bengkulu Utara selama lima tahun, yang dituangkan dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) Tahun

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KABUPATEN KLUNGKUNG NOMOR 3 TAHUN 2010 TENTANG PENYELENGGARAAN PELAYANAN BIDANG PENDIDIKAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN DAERAH KABUPATEN KLUNGKUNG NOMOR 3 TAHUN 2010 TENTANG PENYELENGGARAAN PELAYANAN BIDANG PENDIDIKAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN DAERAH KABUPATEN KLUNGKUNG NOMOR 3 TAHUN 2010 TENTANG PENYELENGGARAAN PELAYANAN BIDANG PENDIDIKAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI KLUNGKUNG, Menimbang : a. bahwa bidang pendidikan merupakan

Lebih terperinci

BAB II KEBIJAKAN PEMERINTAHAN DAERAH

BAB II KEBIJAKAN PEMERINTAHAN DAERAH BAB II KEBIJAKAN PEMERINTAHAN DAERAH Penyelenggaraan otonomi daerah sebagai wujud implementasi Undang Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, memunculkan berbagai konsekuensi berupa peluang,

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KABUPATEN LUWU TIMUR NOMOR 08 TAHUN 2008 TENTANG

PERATURAN DAERAH KABUPATEN LUWU TIMUR NOMOR 08 TAHUN 2008 TENTANG PERATURAN DAERAH KABUPATEN LUWU TIMUR NOMOR 08 TAHUN 2008 TENTANG PERENCANAAN, PELAKSANAAN PEMBANGUNAN, PEMANFAATAN DAN PENDAYAGUNAAN KAWASAN PERDESAAN BERBASIS MASYARAKAT DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA

Lebih terperinci

- 1 - WALIKOTA MADIUN PROVINSI JAWA TIMUR SALINAN PERATURAN DAERAH KOTA MADIUN NOMOR 3 TAHUN 2017 TENTANG PENYELENGGARAAN KESEJAHTERAAN SOSIAL

- 1 - WALIKOTA MADIUN PROVINSI JAWA TIMUR SALINAN PERATURAN DAERAH KOTA MADIUN NOMOR 3 TAHUN 2017 TENTANG PENYELENGGARAAN KESEJAHTERAAN SOSIAL - 1 - WALIKOTA MADIUN PROVINSI JAWA TIMUR SALINAN PERATURAN DAERAH KOTA MADIUN NOMOR 3 TAHUN 2017 TENTANG PENYELENGGARAAN KESEJAHTERAAN SOSIAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA MADIUN, Menimbang

Lebih terperinci

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.174, 2014 PENDIDIKAN. Pelatihan. Penyuluhan. Perikanan. Penyelenggaraan. (Penjelasan Dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5564) PERATURAN PEMERINTAH

Lebih terperinci

PERATURAN WALIKOTA SURAKARTA NOMOR : 20-I TAHUN 2009 TENTANG PEDOMAN URAIAN TUGAS JABATAN STRUKTURAL PADA KELURAHAN WALIKOTA SURAKARTA,

PERATURAN WALIKOTA SURAKARTA NOMOR : 20-I TAHUN 2009 TENTANG PEDOMAN URAIAN TUGAS JABATAN STRUKTURAL PADA KELURAHAN WALIKOTA SURAKARTA, PERATURAN WALIKOTA SURAKARTA NOMOR : 20-I TAHUN 2009 TENTANG PEDOMAN URAIAN TUGAS JABATAN STRUKTURAL PADA KELURAHAN WALIKOTA SURAKARTA, Menimbang : a. bahwa sebagai tindak lanjut ditetapkannya Peraturan

Lebih terperinci

Tabel 6.1 Strategi dan Arah Kebijakan Kabupaten Sumenep

Tabel 6.1 Strategi dan Arah Kebijakan Kabupaten Sumenep Tabel 6.1 Strategi dan Kabupaten Sumenep 2016-2021 Visi : Sumenep Makin Sejahtera dengan Pemerintahan yang Mandiri, Agamis, Nasionalis, Transparan, Adil dan Profesional Tujuan Sasaran Strategi Misi I :

Lebih terperinci

BUPATI TANGERANG PROVINSI BANTEN PERATURAN BUPATI TANGERANG NOMOR 81 TAHUN 2014 TENTANG PEDOMAN PERENCANAAN PEMBANGUNAN DESA

BUPATI TANGERANG PROVINSI BANTEN PERATURAN BUPATI TANGERANG NOMOR 81 TAHUN 2014 TENTANG PEDOMAN PERENCANAAN PEMBANGUNAN DESA BUPATI TANGERANG PROVINSI BANTEN PERATURAN BUPATI TANGERANG NOMOR 81 TAHUN 2014 TENTANG PEDOMAN PERENCANAAN PEMBANGUNAN DESA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI TANGERANG, Menimbang : bahwa berdasarkan

Lebih terperinci

- 1 - MENTERI DESA, PEMBANGUNAN DAERAH TERTINGGAL, DAN TRANSMIGRASI REPUBLIK INDONESIA

- 1 - MENTERI DESA, PEMBANGUNAN DAERAH TERTINGGAL, DAN TRANSMIGRASI REPUBLIK INDONESIA - 1 - SALINAN MENTERI DESA, PEMBANGUNAN DAERAH TERTINGGAL, DAN TRANSMIGRASI REPUBLIK INDONESIA PERATURAN MENTERI DESA, PEMBANGUNAN DAERAH TERTINGGAL, DAN TRANSMIGRASI REPUBLIK INDONESIA NOMOR 9 TAHUN 2016

Lebih terperinci

BUPATI TAPIN PROVINSI KALIMANTAN SELATAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN TAPIN NOMOR 01 TAHUN 2015 TENTANG PENYELENGGARAAN PERLINDUNGAN ANAK

BUPATI TAPIN PROVINSI KALIMANTAN SELATAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN TAPIN NOMOR 01 TAHUN 2015 TENTANG PENYELENGGARAAN PERLINDUNGAN ANAK SALINAN BUPATI TAPIN PROVINSI KALIMANTAN SELATAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN TAPIN NOMOR 01 TAHUN 2015 TENTANG PENYELENGGARAAN PERLINDUNGAN ANAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI TAPIN, Menimbang

Lebih terperinci

BUPATI BELITUNG PERATURAN DAERAH KABUPATEN BELITUNG NOMOR 2 TAHUN 2013 TENTANG

BUPATI BELITUNG PERATURAN DAERAH KABUPATEN BELITUNG NOMOR 2 TAHUN 2013 TENTANG BUPATI BELITUNG PERATURAN DAERAH KABUPATEN BELITUNG NOMOR 2 TAHUN 2013 TENTANG PELESTARIAN ADAT ISTIADAT DAN PEMBERDAYAAN LEMBAGA ADAT MELAYU BELITONG KABUPATEN BELITUNG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

Lebih terperinci

BAB 5 VISI, MISI, TUJUAN DAN SASARAN 5.1. VISI

BAB 5 VISI, MISI, TUJUAN DAN SASARAN 5.1. VISI BAB 5 VISI, MISI, TUJUAN DAN SASARAN 5.1. VISI Mengacu kepada Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional dan Peraturan Pemerintah Nomor 8 Tahun 2008 tentang Tahapan,

Lebih terperinci

BUPATI ASAHAN PROVINSI SUMATERA UTARA PERATURAN BUPATI ASAHAN NOMOR 32 TAHUN 2016 TENTANG

BUPATI ASAHAN PROVINSI SUMATERA UTARA PERATURAN BUPATI ASAHAN NOMOR 32 TAHUN 2016 TENTANG SALINAN BUPATI ASAHAN PROVINSI SUMATERA UTARA PERATURAN BUPATI ASAHAN NOMOR 32 TAHUN 2016 TENTANG KEDUDUKAN, TUGAS DAN FUNGSI, SUSUNAN ORGANISASI, TATA KERJA, URAIAN TUGAS DAN FUNGSI JABATAN PADA SEKRETARIAT

Lebih terperinci

-1- BUPATI ACEH TIMUR PROVINSI ACEH PERATURAN BUPATI ACEH TIMUR NOMOR 38 TAHUN 2015 TENTANG

-1- BUPATI ACEH TIMUR PROVINSI ACEH PERATURAN BUPATI ACEH TIMUR NOMOR 38 TAHUN 2015 TENTANG -1- BUPATI ACEH TIMUR PROVINSI ACEH PERATURAN BUPATI ACEH TIMUR NOMOR 38 TAHUN 2015 TENTANG DAFTAR KEWENANGAN GAMPONG BERDASARKAN HAK ASAL USUL DAN KEWENANGAN LOKAL BERSKALA GAMPONG DI KABUPATEN ACEH TIMUR

Lebih terperinci