MEDIA DAN CULTURAL STUDIES
|
|
- Teguh Tanuwidjaja
- 7 tahun lalu
- Tontonan:
Transkripsi
1 MODUL PERKULIAHAN MEDIA DAN CULTURAL STUDIES Feminisme dalam Kajian Budaya dan Media Fakultas Program Studi Tatap Muka Kode MK Disusun Oleh Ilmu Komunikasi Broadcasting Sofia Aunul, MSi Abstract Kompetensi Mata kuliah ini memperkenalkan pemahaman dan kompetensi tentang media and cultural studies sebagai suatu Body Of Knownledge yang bersifat multidisipliner, yang kali ini akan menjelaskan feminisme. Dengan memperoleh materi ini, mahasiswa diharapkan mengerti dan memahami tentang feminisme dalam kajian budaya dan media.
2 Pendahuluan Perempuan telah menjadi bagian industry hiburan yang sulit dipungkiri oleh lembaga manapun yang berjuang tentang penyelamatan gender dari sekedar komoditas. Sosok Perempuan merupakan subjek manusia yang sering dihadirkan sebagai objek oleh media massa, baik itu surat kabar, majalah, televisi, film dan iklan. Perempuan ada dan kemudian dijadikan komoditas oleh media yang berdiri dengan basis ideologi dibalik proses representasi tersebut. Konstruksi sosial dan budaya yang mengkristal sejak lama menjadi ideologi yang bias gender, karena memposisikan perempuan berada dibawah laki-laki. Bias gender tersebut muncul berbarengan dengan ideologi kapitalis dan budaya patriakhi yang kini banyak mewarnai media dan secara sadar atau tidak sadar media kemudian mensosialisasikan pada publiknya. Ini lah kemudian menjadikan media mempunyai andil yang besar dalam mempertegas persoalan ketidakadilan gender. Menurut pendapat para feminis, pelecehan seksual bukanlah perkara semata mata perkara seks, melainkan perkara kekuasaan. Ada yang berkuasa oleh karena itu ia dapat melakukan pelecehan. Dalam kajian budaya feminis seperti ditulis oleh Aquarini Priyatna Prabasmoro dalam bukunya Kajian Budaya Feminis, Tubuh,Sastra dan Budaya Pop, SEKS dan SEKSUALITAS adalah suatu konstruksi, maka SEKS dan SEKSUALITAS bukanlah wacana mengenai tubuh dan keinginan, atau kebutuhan biologis semata, melainkan juga merupakan wacana kekuasaan. Beberapa tahun lalu, lembaga HAM international melaporkan bahwa negaranegara di timur tengah, melarang wanita menonton TV bahkan harus menutup aura wajahnya. Wanita dijadikan korban kepentingan para pria, dengan mengatasnamakan ajaran agama mereka mencabut hak kemerdekaan kaum perempuan. Bahkan disinyalir adanya pelecehan seksual dengan memeriksa keperawanan para perempuan yang mengabdi di rumah raja, dimasa silam. Perbedaan gender adalah hal biasa dan tidak menjadi masalah sepanjang perbedaan itu tidak melahirkan ketidakadilan gender (gender inequalities). Namun kenyataan nya saat ini ketidak adilan gender justru terus berlangsung dan tersosialisasikan dalam keyakinan, ideologi dan visi kaum perempuan sendiri bahkan juga ketika publik terutama laki-laki memandangnya. walaupun laki-laki tidak 2
3 menutup kemungkinan akan menjadi korban ketidakadilan gender, tetapi perempuan masih tetap menduduki posisi tertinggi sebagai korban ketidakadilan gender. Elemen utama budaya patriakhi barat memperlihatkan perempuan sebagai objek tontonan untuk dilihat dan subjek pandangan audiens laki-laki. Pornografi adalah contoh paling nyata bagaimana genre pornografi mempertontonkan tubuh perempuan sebagai objek hasrat, fantasi dan kekerasan. Keseluruhan tubuh perempuan sebagi unsur dekorasi iklan, dan host acara-acara tertentu dipastikan selalu mempresentasikan gaya dan mode baru menjadi soft pornografi. Berbicara mengenai perempuan, perempuan dikonstruksi harus tampil dengan menonjolkan daya tarik seksual, harus bersedia mengalami pelecehan seksual dan harus memaklumi prilaku agresif laki-laki, hal ini jelas tampak pada pemberitaan, sinetron-sinetron dan acara-acara lainnya. Perempuan dan media massa memiliki kaitan yang erat dan saling melengkapi. Perempuan dan media massa ibarat dua sisi mata yang yang tidak dapat dipisahkan. Perempuan banyak yang memanfaatkan jasa media massa untuk meningkatkan popularitasnya, sebaliknya media massa memerlukan sebuah nuansa khas dari seorang perempuan, mulai dari sisi keberhasilan karier dan jabatannya, ketegaran menyikapi sebuah persoalan besar, kenekadannya dalam melakukan sesuatu dan keberaniannya untuk memperlihatkan auratnya. Perempuan memiliki daya pikat tersendiri yang membuatnya menarik. Mungkin itu yang menjadi alasan mengapa segala sesuatu di media mana pun selalu dikaitkan dengan sosok perempuan. Mulai dari sinetron, film, iklan, cover CD (compact disk) atau apa pun itu selalu menempatkan wanita sebagai daya tarik pertama.saat ini perempuan boleh dengan bebas mengekspresikan ide, kreasi, dan kemampuannya. Namun disadari atau tidak, perempuan kembali ditindas dan dieksploitasi oleh budaya. Gender Gender merupakan kategorisasi yang memisahkan laki-laki dan perempuan atas dasar asumsi-asumsi prilaku, nilai, sikap, dan kepercayaan. Yang kemudian dikontraskan dengan seks yang lebih mengacu pada pembedaan biologis. Asumsi gender didasarkan atas ideologi sedangkan pembedaan seksual didasarkan atas 3
4 genitalia (biologis). Peran gender dapat dipahami salah satunya dari media, yang merepresentasikan perempuan dan pembentukan stereotipe mengenai peran berdasarkan jenis kelamin. Menurut Mansour Fakih, gender merupakan atribut yang dilekatkan secara sosial maupun kultural, baik pada laki-laki maupun perempuan.misalnya, bahwa perempuan itu dikenal dengan lemah lembut, cantik, emosional dan keibuan, sementara laki-laki dianggap kuat, rasional, jantan dan perkasa. Ciri dan sifat tersebut merupakan sifat yang dapat dipertukarkan. (Mansour, 2012) Semua hal yang dapat dipertukarkan antara sifat perempuan dan laki-laki yang bisa berubah dari waktu kewaktu serta berbeda tempat, maupun kelas yang berbeda itulah yang dikenal dengan konsep gender. Gender sebagai suatu konstruksi sosial, yang melahirkan suatu perbedaan, lahir melalui proses panjang. Proses-proses penguatan perbedaan gender tersebut, termasuk diadalamnya proses sosialisasi, kebudayaan, keagamaan dan kekuasaan negara. Proses ini terjadi akibat bias gender yang esensial yang bersifat nature. Selanjutnya gender mewariskan konsep pemikiran tentang wacana seharusnya laki-laki dan perempuan berpikir dan bertindak yang diwariskan dari generasi ke generasi untuk pembenaran terhadap perbedaan peran sosial antara laki-laki dan perempuan hanya karena perbedaan jenis kelaminnya (Hariyanto, 20). Dalam kajian cultural studies, seks dan gender dilihat sebagai konstruksi-konstruksi sosial yang secara intrinsik terimplikasi dalam persoalan-persoalan representasi. Seks dan gender lebih merupakan persoalan kultural ketimbang alam. Meski ada juga pemikiran feminis yang menekankan pada perbedaan esensial antara laki-laki dan perempuan, kajian budaya cenderung mengeksplorasi gagasan tentang karakter identitas seksual yang spesifik secara historis, tidak stabil, plastis dan bisa berubah. Tapi bukan berarti kita bisa dengan gampang membuang identitas seksual kita dan menggantinya dengan yang lain, karena meskipun seks adalah suatu konstruksi sosial, ia adalah konstruksi sosial yang mengkonstitusi kita melalui tekanan-tekanan kekuasaan dan identifikasi-identifikasi dalam psikis kita. Dengan kata lain, konstruksi sosial adalah sesuatu yang diregulasi dan memiliki konsekuensi. 4
5 Media dalam Perspektif Gender Membahas media dari segi institusi juga akan menampakkan bahwa media menganut atau bersifat patriakhi. Seringkali terjadi ketimpangan-ketimpangan gender karena terdapatkan nilai-nilai kapitalis dan nilai partiakhi yang saling menguntungkan. Budaya Media (media culture) seperti yang dituturkan oleh Douglas Kellner menunjuk pada suatu keadaan yang menampilkan audio visual atau tontonantontonannya telah membantu merangkai kehidupan sehari-hari, membantu proyekproyek hiburan, membentuk opini publik dan prilaku sosial, bahkan memberikan suplai materi untuk membentuk identitas seseorang (Kellner, 1996). Media cetak, radio, televisi, internet dan bentuk-bentuk akhir teknologi media lainnya telah menyediakan defenisi untuk menjadi laki-laki atau perempuan dan membedakan status-status seseorang berdasarkan kelas, ras, maupun seks (Hartiningsih, 5 Agustus 2003). Piliang (dalam Ibrahim dan Suranto, 1998:xvi) melihat media massa sebagai arena perjuangan tanda. Media adalah arena perebutan posisi, tepatnya antara posisi memandang aktif dan posisi yang diapandang pasif. Yang diperebutkan adalah tanda yang mencerminkan citra tertentu. Satu pandangan yang sangat dekat dengan isu perempuan adalah male gaze, Laura Mulvey (1990). Mulvey juga menjelaskan konsep male gaze dalam industri sinematografi, yang menurutnya terlalu menggunakan pandangan laki-laki. Perempuan sendiri tidak diposisikan sebagai subjek yang punya kuasa atas dirinya sendiri melainkan sebagai obyek male gaze. Mata sebuah kamera pun diibaratkan sebagai mata seorang laki-laki sehingga tampilan perempuan didalam media cenderung tunduk pada kontrol tatapan mata laki-laki. Pesan yang ada pun dipengaruhi oleh laki-laki yang kemudian disampaikan kepada penonton laki-laki juga, sementara perempuan hanya menjadi tontonan. 5
6 Pandangan para ahli terhadap gender Karya Mulvey yang berjudul Visual Pleasure and Narrative Cinema pertama kali diterbitkan pada tahun 1975, Karya ini adalah karya mengenai kritik film feminis yang paling banyak dikutip. Karya Mulvey ini tidak hanya memberikan suatu pemahaman bagaimana citra perempuan dilayar berperan untuk memenuhi kebutuhan laki-laki, namun karya ini juga penting untuk membuat perdepatan mengenai gender dan kepenontonan menjadi inti dalam kritik feminis. Meskipun para kritikus sebelumnya sudah menteorikan bagaimana posisi menonton terjalin dengan teks film tapi Mulvey menggunakan teori film psikoanalisis yang dikembangkan oleh Cristian Metz yang berpendapat bahwa teks-teks sinematik ini diorganisasikan sedemikian rupa untuk menghasilkan posisi menonton yang lakilaki. Pendapat ini menstimulasi perdebatan dalam kritik film feminis tentang apakah ada kemungkinan untuk kepenontonan perempuan dalam sinema mainstream yang bersifat patriakhi dan karenanya diorganisasikan disekitar kebutuhan batin laki-laki. Mulvey berpendapat, perempuan bertindak sebagai penanda untuk laki-laki yang lain, diikat oleh urutan simbolik yang dapat menjadi tempat laki-laki bisa melepaskan fantasi dan obsesinya melalui perintah linguistik dengan menekankannya pada citra diam perempuan yang masih terikat di tempatnya sebagai pembawa makna dan bukan pembuat makna. Mulvey juga tertarik dengan bagaimana citra perempuan dalam sinema narasi juga dikodekan sebagai objek erotis, objek kenikmatan visual bagi penonton laki-laki. (Hollows, 2010). Gagasan bahwa perempuan menandai pengebirian atas perbedaan perempuan dari laki-laki menandai inferioritas atau kekurangan berkaitan dengan laki-laki. Dengan demikian citra perempuan berpotensi mengancam laki-laki karena perempuan menandai ketidakberdayaan, manandai kurangnya kekuasaan dan kemunculannya yang mendefenisi apa itu laki-laki. Singkatnya perempuan menandai ancaman kemungkinan laki-laki menjadi seperti perempuan. Oleh sebab itu ancaman pengebirian yang diperlihatkan perempuan kepada laki-laki adalah ancaman bahwa laki-laki bisa kehilangan atribut positifnya yang diakaitkan dengan maskulinitas lalu makin menjadi mirip dengan feminis yang berbeda tersebut. 6
7 Oleh sebab itu sinema dominan menggunakan mekanisme yang mengalihkan ancaman ini melalui berbagai bentuk cara pandang tertentu yaitu dengan Fetisisme dan Voyerisme. Fetisisme, mengubah perempuan menjadi suatu citra yang aman, dapat dinikmati, dan tidak mengancam dengan menjadikan beberapa tubuhnya menjadi fetis yaitu memusatkan perhatian pada beberapa aspek perempuan yang dapat dibuat menjadi menyenangkan seperti, kaki, rambut. Selanjutnya voyerisme menangani ancaman yang diperlihatkan oleh perempuan dengan mencoba menginvestigasi perempuan, memahami misterinya, kemudian menganggap perempuan sebagai yang dapat diketahui, dikendalikan dan merupakan subjek kekuasaan laki-laki. Sehingga menjadikan perempuan sebagai citra menjadi sumber kenikmatan laki-laki dan bukan sebagai sumber ancaman. Karena identitas seksual dipandang bukan merupakan masalah esensi biologis yang universal melainkan persoalan bagaimana feminitas dan maskulinitas dibicarakan, maka feminisme dan kajian budaya seharusnya memberi perhatian pada masalahmasalah seks dan representasi. Umpamanya, kajian budaya telah mempelajari representasi perempuan dalam program acara Sex O phone, dan mendapatkan bahwa perempuan diseluruh dunia terkonstitusi sebagai bagian yang wajar jika menampakkan auratnya, tersubordinasi sebagai tontonan menarik oleh lelaki. Dengan kata lain, posisi-posisi subjek yang dikonstruksi untuk perempuan yang menempatkan mereka dalam tatanan kerja patriarkis domestifikasi dan beautification atau tatanan kerja yang menjadikan mereka sebagai ibu dan berkarir serta mampu mengeksplorasi individualitasnya dan tampil menarik serta mempesona. Namun ada kemungkinan untuk menggoyang stabilitas representasi-representasi tubuh yang terkelaminkan ini, karena meski teks memang mengkonstruksi posisi subjek, bukan berarti semua lelaki atau perempuan mengambil posisi-posisi yang ditawarkan. Kajian-kajian resepsi menekankan pada negosiasi yang terjadi antara subjek dengan teks, termasuk kemungkinan melakukan resistensi terhadap makna tekstual. Kajiankajian inilah yang sering merayakan nilai-nilai dan budaya menonton perempuan (Giddens, 1992). 7
8 Contoh Acara tengah malam SexOphone di trans TV dengan di pandu Chantal della Concetta dan psikolog Zoya Amirin yang dikemas dalam bentuk sex education diantara tema nya antara lain : Oral Sex, Orgasme, Does Size matter?, Fore play dan lain-lain, Sexophone selain menampilkan dan mengekploitasi tubuh bagian dan dada secara dekat baik dari sisi pemandu dan bintang tamu nya juga memperlihatkan adegan yang menampilkan percakapan tentang rangkaian dan aktifitas seks dan prilaku seks, dan jelas hal ini tidak sesuai dengan kepatutan yang berlaku, Terlihat semua yang ditampilkan dalam acara ini termasuk salah satu ciri khas media massa dalam program acara nya melakukan konstruksi terhadap representasi perempuan, yang ditonjolkan dalam bentuk objek yang erotis, dan mata sebuah kamera diibaratkan sebagai mata lelaki. Wanita di mata lelaki diupayakan mempertahankan budaya patriakhi, tubuh wanita dianggap alat yang sangat efektif memenuhi keinginan seksual lelaki. Wanita pun dijadikan lambang penghias status dan kekuasaan lelaki Pandangan ahli lain dalam melihat sebuah iklan Foucalt dalam History of Sexuality bahkan menunjukkan bahwa wacana seksualitas tidak mungkin dilepaskan dari wacana kekuasaan dan pengetahuan yang didalamnya, termasuk cara kerja budaya dikonstruksi untuk melanggengkan tatanan kekuasaan yang patriarkal. Pertanyaan yang ditujukannya adalah mengapa seksualitas dibicarakan secara luas. Dijawabnya sendiri bahwa secara ringkas,tujuannya adalah untuk mendefinisi rezim kekuasaan pengetahuankenikmatan yang melanggengkan wacana seksualitas manusia, didalam masyarakat kita. Isu utamanya adalah untuk menjelaskan fakta bahwa seksualitas itu diperbincangkan, untuk menemukan siapa yang melakukan pembicaraan, dari posisi dan sudut pandang apa seksualitas itu dibicarakan, institusi apa yang mendorong orang membicarakan seksualitas serta institusi apa yang menyimpan dan menyebarkan hal- hal yang dibicarakan itu. Dengan mengikuti pemikiran itu, dapat dikatakan bahwa laki laki dikonstruksi sebagai institusi normative yang dapat 8
9 mendefinisi apa yang berterima atau tidak. Dengan cara itu kebutuhan dan hasrat laki laki menjadi kebutuhan kolektif perempuan dan laki- laki. Seksualitas laki laki dibicarakan dan diekspresikan sebagai norma normative, alamiah atau natural atau pada saat yang sama dinaturalisasi. Pemusatan seksualitas kepada seksualitas laki laki, menyebabkan seksualitas perempuan dimaknai dan ditandai sebagai sesuatu untuk seksualitas laki laki. Dan bukan dalam perspektif yang melihat seksualitas perempuan dan laki laki merupakan suatu hal particular dan plural, yang mengandung persamaan dan perbedaan baik antara laki laki dan perempuan. Pelembagaan seksualitas laki laki sebagai norma itu dilakukan melalui pelbagai institusi termasuk sastra, media, film dsb. Foucalt menunjukkan bahwa seksualitas merupakan saling keterkaitan antara aspek ras, masyarakat, kelas, budaya, ekonomi, kekuasaan dan pengetahuan, dan hal itu menjadikan wacana seks dan seksualitas tidak pernah sederhana. Dalam ensiklopedia feminism yang buku aslinya berjudul Dictionary of Feminist Theories ditulis oleh Maggie Hum mencantumkan SEX yang secara langsung diterjemahkan sebagai jenis kelamin. Teori feminis mendefinisikan jenis kelamin hanya sebagai kondisi seseorang apakah dia secara anatomi laki laki atau perempuan. Sementara seksualitas diterangkan sebagai proses sosial yang menciptakan, mengorgananisir, dan mengekspresikan serta mengarahkan hasrat Feminism percaya bahwa bentuk bentuk seksualitas bukanlah sesuatu yang inheren dalam diri perempuan melainkan merefleksikan institusi politik dan budaya yang mempengaruhi kondisi kehidupan dan kesadaran individu. (Prabasmoro,2007) Daftar Pustaka Barker, C. (2004). Cultural Studies : Teori & Praktek. Yokyakarta: Kreasi wacana. Hariyanto. (20). Gender dalam Konstruksi Media. Jurnal Dakwah dan Komunikasi, Vol.3 No.2 Juli-Desember 20 pp Hartiningsih, M. (5 Agustus 2003). Gender dan Media Massa. Jakarta. 9
10 Hollows, J. (2010). Feminisme, Femininitas dan Budaya Populer. Yogyakarta: Jalasutra. Ibrahim, I. S., & Suranto, h. (1998). Wanita dan Media: Konstruksi Ideologi Gender dalam ruang publik Orde Baru. Bandung: Remaja Rosdakarya. Kellner, D. (1996). Media Culture : Cultural Studies, Identity and Politics between the modern and Post Modern. USA : Westvie Press. Mansour, F. (2012). Analisis Gender & Transformasi Sosial. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Ritzer, G., & Goodman, D. J. (2011). Teori Sosiologi Modern. Jakarta: Kencana Prenada Media Group. Annastasia, Melliana Menjelajah Tubuh dan Mitos Kecantikan, Jogjakarta : Lkis Prabasmoro, Aquarini Kajian Budaya Feminis, Tubuh, Sastra dan Budaya Pop. Jogjakarta: Jalasutra. Ekawenats. Blogspot.com/2006/03/perempuan dan konstruksi-media-html. 10
MEDIA & CULTURAL STUDIES
MODUL PERKULIAHAN MEDIA & CULTURAL STUDIES FEMINSIME DAN GENDER DALAM PERSPEKTIF MEDIA & CULTURAL STUDIES Fakultas Program Studi Tatap Muka Kode MK Disusun Oleh Ilmu Komunikasi Penyiaran 08 MK A. Sulhardi,
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Isu tentang gender telah menjadi bahasan analisis sosial, menjadi pokok
1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Isu tentang gender telah menjadi bahasan analisis sosial, menjadi pokok bahasan dalam perdebatan mengenai perubahan sosial dan juga menjadi topik utama dalam
Lebih terperinciMedia massa berperon dalam menanamkan false consciousness,
HEGEMONI PATRIARKI DI MEDIA MASSA ABSTRAK Media massa berperon dalam menanamkan false consciousness, atau kesadaran palsu yang oleh Gramsci disebut hegemoni, di mana terjadi pertarungan ideologi. Penelitian
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Ciri khas merupakan tuntutan dalam derasnya persaingan industri media massa yang ditinjau berdasarkan tujuannya sebagai sarana untuk mempersuasi masyarakat. Sebagaimana
Lebih terperinciSeksualitas Tubuh Perempuan dalam Film Biografi Tentang. Bintang Porno Lovelace
Seksualitas Tubuh Perempuan dalam Film Biografi Tentang Bintang Porno Lovelace Oleh: Fatima Meutia Rachma S1 Ilmu Komunikasi FISIP Universitas Diponegoro ABSTRACT The study titled Sexuality of Woman s
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Media seni-budaya merupakan tempat yang paling banyak
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Media seni-budaya merupakan tempat yang paling banyak merepresentasikan perempuan sebagai pihak yang terpinggirkan, tereksploitasi, dan lain sebagainya. Perempuan sebagai
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Seiring dengan berkembangnya zaman ilmu komunikasi dan teknologi dalam
1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Seiring dengan berkembangnya zaman ilmu komunikasi dan teknologi dalam kehidupan manusia saat ini, media komunikasi yang paling banyak digunakan oleh seseorang
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. lurus. Mereka menyanyikan sebuah lagu sambil menari. You are beautiful, beautiful, beautiful
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Pada suatu scene ada 9 orang perempuan dengan penampilan yang hampir sama yaitu putih, bertubuh mungil, rambut panjang, dan sebagian besar berambut lurus.
Lebih terperinciBAB II KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia yang diterbitkan oleh Pusat Bahasa
BAB II KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Konsep Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia yang diterbitkan oleh Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional ( 2005:588), konsep didefenisikan sebagai
Lebih terperinci2016 REPRESENTASI SENSUALITAS PEREMPUAN DALAM IKLAN
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Parfum Casablanca merupakan produk perawatan tubuh yang berupa body spray. Melalui kegiatan promosi pada iklan di televisi, Casablanca ingin menyampaikan pesan bahwa
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. hiburan publik. Kesuksesaan film dikarenakan mewakili kebutuhan imajinatif
BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Film merupakan bagian dari komunikasi massa yang sudah menjadi bagian dari kehidupan saat ini. Di akhir abad ke-19, film muncul sebagai hiburan publik. Kesuksesaan
Lebih terperinciGambar 1.1 : Foto Sampul Majalah Laki-Laki Dewasa Sumber:
BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Menurut Widyokusumo (2012:613) bahwa sampul majalah merupakan ujung tombak dari daya tarik sebuah majalah. Dalam penelitian tersebut dideskripsikan anatomi sampul
Lebih terperinciMedia & Cultural Studies
Modul ke: Media & Cultural Studies Feminisme dalam perspektif Cultural Studies Fakultas ILMU KOMUNIKASI ADI SULHARDI. Program Studi Penyiaran www.mercubuana.ac.id FEMINISME DAN CULTURAL STUDIES Pemikiran
Lebih terperinciBAB 1 PENDAHULUAN. Perselingkuhan sebagai..., Innieke Dwi Putri, FIB UI, Universitas Indonesia
1 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Karya sastra menggambarkan jiwa masyarakat. Karya sastra sebagai interpretasi kehidupan, melukiskan perilaku kehidupan manusia yang terjadi dalam masyarakat. Segala
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. persepsi mengenai bagaimana sosok pria dan wanita. Dengan demikian
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Media massa memiliki peran signifikan yang besar dalam pembentukkan persepsi mengenai bagaimana sosok pria dan wanita. Dengan demikian tercerminkan wacana dominan tentang
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Gender merupakan konstruksi sosial mengenai perbedaan peran dan. kesempatan antara laki-laki dan perempuan. Perbedaan peran dan
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Gender merupakan konstruksi sosial mengenai perbedaan peran dan kesempatan antara laki-laki dan perempuan. Perbedaan peran dan kesempatan tersebut terjadi baik
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. I.1 Latar Belakang Masalah
BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang Masalah Laki-laki dan perempuan memang berbeda, tetapi bukan berarti perbedaan itu diperuntukkan untuk saling menindas, selain dari jenis kelamin, laki-laki dan perempuan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. medium yang lain seperti menyebarkan hiburan, menyajikan cerita, peristiwa, musik, drama,
BAB I PENDAHULUAN 1. LATAR BELAKANG Film pertama kali ditemukan pada abad 19, tetapi memiliki fungsi yang sama dengan medium yang lain seperti menyebarkan hiburan, menyajikan cerita, peristiwa, musik,
Lebih terperinciBAB V PENUTUP. mucul dalam tayangan acara Wisata Malam, yaitu kode Appearance
BAB V PENUTUP 5.1 Kesimpulan Setelah melakukan penelitian dan menganalisis melalui tahapan kajian pustaka dan analisis data mengenai adanya unsur sensualitas lewat para bintang tamu perempuan dalam tayangan
Lebih terperinciSOSIOLOGI KOMUNIKASI
SOSIOLOGI KOMUNIKASI Modul ke: 12 Dr. Fakultas ILMU KOMUNIKASI Masalah Masalah Sosial Dan Media Massa Heri Budianto.M.Si Program Studi Publik Relations http://mercubuana.ac.id Para akademisi dan praktisi
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. manusia kedua setelah laki-laki. Tatanan sosial memberi kedudukan perempuan
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Perempuan oleh masyarakat kadang-kadang masih dianggap sebagai manusia kedua setelah laki-laki. Tatanan sosial memberi kedudukan perempuan tidak lebih penting
Lebih terperinciBAB 1 PENDAHULUAN. masyarakat. Kekuatan audio dan visual yang diberikan televisi mampu
BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Televisi adalah media massa yang sangat diminati dan tetap menjadi favorit masyarakat. Kekuatan audio dan visual yang diberikan televisi mampu merefleksikan kehidupan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. dimungkinkan juga sebagai pengguna terbesar media massa. Kedudukan
1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian ini berdasarkan pada fenomena semakin maraknya perempuan menjadi model iklan di media massa elektronik, khususnya televisi. Dilihat dari sisi sosiologi
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN I.1
BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang Masalah Iklan merupakan bentuk komunikasi persuasif yang menyajikan informasi tentang aneka ragam produk, gagasan, serta layanan yang tujuan akhirnya adalah memenuhi
Lebih terperinciBAB IV KESIMPULAN. Perempuan sebagai subjek yang aktif dalam urusan-urusan publik
68 BAB IV KESIMPULAN Perempuan sebagai subjek yang aktif dalam urusan-urusan publik (ekonomi) merupakan konsep kesetaraan gender. Perempuan tidak selalu berada dalam urusan-urusan domestik yang menyudutkannya
Lebih terperinciBAB III METODE PENELITIAN. The Great queen Seondeok dan kemudian melihat relasi antara teks tersebut
BAB III METODE PENELITIAN 3.1. Tipe Penelitian Tipe Penelitian ini adalah kualitatif eksploratif, yakni penelitian yang menggali makna-makna yang diartikulasikan dalam teks visual berupa film serial drama
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. pekerja dan itu menjadi penanda waktu yang beremansipasi.
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Perempuan dalam televisi senantiasa hanya mempertentangkan antara wanita karir dan menjadi ibu-ibu rumah tangga. Dua posisi ini ada didalam lokasi yang berseberangan.
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. efektif dan efisien untuk berkomunikasi dengan konsumen sasaran.
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Industri periklanan belakangan ini menunjukan perubahan orientasi yang sangat signifikan dari sifatnya yang hanya sekedar menempatkan iklan berbayar di media massa menjadi
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Media televisi merupakan media massa yang sering digunakan sebagai media
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Media televisi merupakan media massa yang sering digunakan sebagai media penyampaian informasi. Kekuatan media massa televisi paling mempunyai kekuatan yang
Lebih terperinciBAB IV KESIMPULAN. Bab keempat memuat kesimpulan dari uraian yang ada pada bab satu
BAB IV KESIMPULAN Bab keempat memuat kesimpulan dari uraian yang ada pada bab satu sampai dengan bab tiga. Dalam bab ini penulis akan menyimpulkan dari ketiga bab sebelumnya. Pada intinya masyarakat Jepang
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Secara umum pers mempunyai beberapa fungsi yang saling berhubungan satu
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Secara umum pers mempunyai beberapa fungsi yang saling berhubungan satu sama lain, yakni sebagai media informasi, media pendidikan, hiburan, dan kontrol sosial. Fungsi
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN Latar Belakang
BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Salah satu media komunikasi massa yaitu televisi memiliki peran yang cukup besar dalam menyebarkan informasi dan memberikan hiburan kepada masyarakat. Sebagai media
Lebih terperinciBAB 2 TINJAUAN PUSTAKA DAN TELAAH KONSEPTUAL. Penelitian tentang perempuan etnis Tionghoa muslim belum
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA DAN TELAAH KONSEPTUAL 2.1. Tinjauan Pustaka Penelitian tentang perempuan etnis Tionghoa muslim belum pernah ditulis di penelitian-penelitian di Kajian Wanita Universitas Indonesia.
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN I.1
BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang Masalah Perempuan selalu menjadi sebuah topik yang menarik untuk dibicarakan terutama di dalam media massa. Pandangan masyarakat mengenai perempuan selama ini seringkali
Lebih terperinciBAB VI KESIMPULAN DAN SARAN. 6.1 Perempuan Berdaya Bukanlah Mitos Belaka
BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN 6.1 Perempuan Berdaya Bukanlah Mitos Belaka Ada sebuah lagu klise yang sudah lama bergema di Indonesia. Wanita dijajah pria sejak dulu kala 1, begitu penggalan liriknya. Saat
Lebih terperinciBAB I. Pendahuluan. 1.1 Latar belakang. Satu tantangan yang muncul dalam usia remaja ialah munculnya
BAB I Pendahuluan 1.1 Latar belakang Satu tantangan yang muncul dalam usia remaja ialah munculnya keinginan untuk hidup mandiri. Ketika anak mulai memasuki usia remaja, tidak jarang orang tua mulai membebaskan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Penelitian. Seperti diketahui bahwa setiap produsen, baik itu yang menyediakan
1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penelitian Seperti diketahui bahwa setiap produsen, baik itu yang menyediakan barang maupun jasa, perlu memperkenalkan produk mereka kepada publik atau konsumen.
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. tidak pantas atau tabu dibicarakan. 1. lainnya secara filosofis, sebenarnya manusia sudah kehilangan hak atas
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Seksualitas adalah sebuah proses sosial-budaya yang mengarahkan hasrat atau berahi manusia. Seksualitas berhubungan erat dengan tatanan nilai, norma, pengetahuan,
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. memperbesar penjualan barang-barang dan jasa. 1 Sedangkan menurut Thomas
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Iklan salah satu bagian dari media massa. Menurut Berkhouver iklan adalah setiap penyataan yang secara sadar ditunjukan kepada publik dalam bentuk apapun,
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah. Sering kita jumpai banyak wanita masa kini yang mengadopsi
BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Sering kita jumpai banyak wanita masa kini yang mengadopsi penuh gaya hidup luar negeri. Pakaian yang terbuka dan minimalis, gaya hidup yang hedonis dan konsumtif,
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. berperan penting atau tokoh pembawa jalannya cerita dalam karya sastra.
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Karya sastra memuat perilaku manusia melalui karakter tokoh-tokoh cerita. Hadirnya tokoh dalam suatu karya dapat menghidupkan cerita dalam karya sastra. Keberadaan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Kemajuan kehidupan sosial masyarakat saat ini tidak lepas dari semakin
1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Kemajuan kehidupan sosial masyarakat saat ini tidak lepas dari semakin pesatnya perkembangan teknologi dan informasi. Arus teknologi dan informasi yang terjadi
Lebih terperinciBAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang
BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Dewasa ini film dan kebudayaan telah menjadi satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan. Film pada dasarnya dapat mewakili kehidupan sosial dan budaya masyarakat tempat
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Perempuan adalah tiang negara, artinya tegak runtuhnya suatu negara berada di tangan kaum perempuan. Penerus peradaban lahir dari rahim seorang perempuan,
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. merupakan mediator utama dalam mengekspresikan pikiran, mengonseptualisasi, menafsirkan
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Bahasa adalah aspek penting interaksi manusia. Dengan bahasa, baik itu bahasa lisan, tulisan maupun isyarat, orang akan melakukan suatu komunikasi dan kontak sosial.
Lebih terperinciSesi 8: Pemberitaan tentang Masalah Gender
Sesi 8: Pemberitaan tentang Masalah Gender 1 Tujuan belajar 1. Memahami arti stereotip dan stereotip gender 2. Mengidentifikasi karakter utama stereotip gender 3. Mengakui stereotip gender dalam media
Lebih terperinciRANCANGAN PEMBELAJARAN
RANCANGAN PEMBELAJARAN 1. Institusi : FISIP Jurusan Ilmu Komunikasi 2. Tahun Akademik : 2013/2014 3. Semester : V 4. Nama dan Kode Mata Kuliah : Komunikasi Gender (SPK 3107) 5. SKS : 3 6. Pengampu : Nuryanti,
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Keadaan modern (modernitas) adalah berkaitan dengan suatu keadaan
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Keadaan modern (modernitas) adalah berkaitan dengan suatu keadaan di mana segala sistem kemasyarakatan yang bersifat tradisional dilepaskan menjadi tatanan yang mengimplikasikan
Lebih terperinciDAFTAR ISI. HALAMAN PENGESAHAN SKRIPSI... ii. KATA PENGANTAR... iii. DAFTAR GAMBAR... viii BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah.
DAFTAR ISI Halaman HALAMAN JUDUL...i HALAMAN PENGESAHAN SKRIPSI... ii KATA PENGANTAR... iii DAFTAR ISI... v DAFTAR GAMBAR... viii ABSTRAKSI... ix BAB I PENDAHULUAN... 1 1.1. Latar Belakang Masalah. 1 1.2.
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Permasalahan. upaya dari anggota organisasi untuk meningkatkan suatu jabatan yang ada.
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Permasalahan Masyarakat hidup secara berkelompok dalam suatu kesatuan sistem sosial atau organisasi. Salah satu bidang dalam organisasi yaitu bidang politik (Wirawan,
Lebih terperincidapat dilihat bahwa media massa memiliki pengaruh yang besar dalam
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Undang- Undang No 33 tahun 2009 dalam pasal 1 ayat 1 menyebutkan bahwa film adalah karya seni budaya yang merupakan pranata sosial dan media komunikasi massa yang dibuat
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Perkembangan informasi pada era globalisasi pada zaman ini sangat begitu
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Perkembangan informasi pada era globalisasi pada zaman ini sangat begitu pesat khususnya dalam media yakni, media cetak, media online ataupun media elektronik.
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. melibatkan khalayak luas yang biasanya menggunakan teknologi media massa. setiap pagi jutaan masyarakat mengakses media massa.
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Komunikasi massa merupakan suatu bentuk komunikasi dengan melibatkan khalayak luas yang biasanya menggunakan teknologi media massa seperti surat kabar, majalah,
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. pikiran atau perasaan oleh seseorang (komunikator) kepada orang lain
BAB I PENDAHULUAN 1.1 latar belakang masalah Proses komunikasi pada hakekatnya adalah suatu proses penyampaian pikiran atau perasaan oleh seseorang (komunikator) kepada orang lain (komunikan). Secara umum,
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. yang tidak bisa apa apa di bawah bayang bayang kekuasaan kaum pria di zaman
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Perempuan. Wacana tentang perempuan ataupun feminis berkembang diseluruh dunia, baik di negara maju maupun negara berkembang. Perempuan mempunyai peran penting pada
Lebih terperinciI. PENDAHULUAN. 2008:8).Sastra sebagai seni kreatif yang menggunakan manusia dan segala macam
I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Sastra adalah suatu bentuk dan hasil pekerjaan seni kreatif yang objeknya adalah manusia dan kehidupannya dengan menggunakan bahasa sebagai mediumnya (Semi, 2008:8).Sastra
Lebih terperinciCITRA DAN PERJUANGAN TOKOH UTAMA WANITA NOVEL DAUN PUTRI MALU KARYA MAGDALENA SITORUS DAN SKENARIO PEMBELAJARANNYA DI KELAS XI SMA
CITRA DAN PERJUANGAN TOKOH UTAMA WANITA NOVEL DAUN PUTRI MALU KARYA MAGDALENA SITORUS DAN SKENARIO PEMBELAJARANNYA DI KELAS XI SMA Oleh: Resma Anggraini Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia Resmaanggraini89@yahoo.co.id
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah
BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Film sebagai gambaran kehidupan sosial masyarakat, merupakan pandangan yang secara umum lebih mudah disepakati termasuk pada bagaimana pemakaian bahasa yang
Lebih terperinciBAB V KESIMPULAN DAN SARAN. Setelah melakukan analisis terhadap film Air Terjun Pengantin
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN 5.1 Kesimpulan Setelah melakukan analisis terhadap film Air Terjun Pengantin yang diproduksi oleh Maxima Pictures dengan menggunakan pendekatan signifikansi dua tahap dari Roland
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG MASALAH
BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG MASALAH Film pada dasarnya digunakan sebagai media yang merefleksikan realitas, atau bahkan membentuk realitas. Dalam keberagaman nilai-nilai yang ada film mempunyai
Lebih terperinciBAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang
BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Sekarang ini media massa sudah menjadi bagian penting dalam kehidupan masyarakat. Dalam masyarakat modern, media massa mempunyai peran yang signifikan sebagai bagian
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Dalam kehidupan ini, kita dituntut untuk menjalani aktifitas hidup yang
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Dalam kehidupan ini, kita dituntut untuk menjalani aktifitas hidup yang normal. Hal ini dilakukan, agar kita dapat diterima dalam masyarakat disekitar. Salah
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. iklan dalam menyampaikan informasi mengenai produknya. Umumnya,
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Iklan televisi pada dasarnya diciptakan untuk memenuhi kebutuhan pemasang iklan dalam menyampaikan informasi mengenai produknya. Umumnya, pengiklan juga ingin
Lebih terperinciBAHASA IKLAN DAN PEMBERDAYAAN PEREMPUAN: SEBUAH KAJIAN KOMUNIKASI DAN BAHASA TERHADAP IKLAN TV PRODUK CITRA
BAHASA IKLAN DAN PEMBERDAYAAN PEREMPUAN: SEBUAH KAJIAN KOMUNIKASI DAN BAHASA TERHADAP IKLAN TV PRODUK CITRA Unika Atma Jaya, Jakarta Memasarkan sebuah produk di media massa bertujuan untuk mencapai target
Lebih terperinciBAB 3 METODOLOGI PENELITIAN
27 BAB 3 METODOLOGI PENELITIAN Dalam bagian metode penelitian, peneliti memaparkan mengenai (1) metode penelitian, (2) sumber data, (3) teknik penelitian, (4) definisi operasional. 3.1 Metode Penelitian
Lebih terperinciMutia Rahmi Pratiwi Pengantar Sosiologi Program Studi Ilmu Komunikasi. Pendekatan Sosiologi terhadap Masalah Sosial di Masyarakat dan Media Massa
Mutia Rahmi Pratiwi Pengantar Sosiologi Program Studi Ilmu Komunikasi Pendekatan Sosiologi terhadap Masalah Sosial di Masyarakat dan Media Massa Definisi masalah sosial 2 macam persoalan, yaitu: 1. Masalah
Lebih terperinciDekonstruksi Maskulinitas dan Feminitas dalam Sinetron ABG Jadi Manten Skripsi Disusun untuk memenuhi persyaratan menyelesaikan Pendidikan Strata 1
Dekonstruksi Maskulinitas dan Feminitas dalam Sinetron ABG Jadi Manten Skripsi Disusun untuk memenuhi persyaratan menyelesaikan Pendidikan Strata 1 Jurusan Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Karya sastra merupakan wujud dari proses imajinatif dan kreatif pengarang.
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Karya sastra merupakan wujud dari proses imajinatif dan kreatif pengarang. Adapun proses kreatif itu berasal dari pengalaman pengarang sebagai manusia yang hidup di
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. ataupun perasaan seseorang dari apa yang dialaminya. Ekspresi kreatif tersebut
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Sastra merupakan ekspresi kreatif untuk menuangkan ide, gagasan, ataupun perasaan seseorang dari apa yang dialaminya. Ekspresi kreatif tersebut akan senantiasa
Lebih terperinciBAB 1 PENDAHULUAN. Gender adalah perbedaan jenis kelamin berdasarkan budaya, di mana lakilaki
BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Gender adalah perbedaan jenis kelamin berdasarkan budaya, di mana lakilaki dan perempuan dibedakan sesuai dengan perannya masing-masing yang dikonstruksikan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. (http://kbbi.web.id/jilbab). Pada zaman orde baru pemerintah melarang
BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar belakang Indonesia merupakan salah satu negara yang memiliki jumlah penduduk muslim terbanyak di dunia sehingga banyak ditemui perempuan muslim Indonesia menggunakan jilbab,
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. menyuguhkan nilai-nilai dan penelitian normativ yang dibaurkan dengan berita dan
1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Perkembangan media informasi seperti media elektronik dan cetak kian mendekatkan kita dengan arus informasi serta globalisasi yang kian deras. Media menyuguhkan
Lebih terperinciBAB VI KESIMPULAN. Pertama, poligami direpresentasikan oleh majalah Sabili, Syir ah dan NooR dengan
BAB VI KESIMPULAN 6.1 Kesimpulan Hasil analisa wacana kritis terhadap poligami pada media cetak Islam yakni majalah Sabili, Syir ah dan NooR ternyata menemukan beberapa kesimpulan. Pertama, poligami direpresentasikan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. berbagai kasus kekerasan seksual, free sex,dan semacamnya. Dengan semakin
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Media saat ini baik elektronik maupun cetak banyak disorot oleh banyak kalangan sebagai salah satu penyebab utama hancurnya moral umat manusia termasuk golongan remaja.
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Seiring dengan perkembangan Indonesia kearah modernisasi maka semakin banyak peluang bagi perempuan untuk berperan dalam pembangunan. Tetapi berhubung masyarakat
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah. Film sebagai salah satu atribut media massa dan menjadi sarana
BAB I PENDAHULUAN 1. 1 Latar Belakang Masalah Film sebagai salah satu atribut media massa dan menjadi sarana komunikasi yang paling efektif, karena film dalam menyampaikan pesannya yang begitu kuat sehingga
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. secara berbeda.usia, jenis kelamin, tingkat pendidikan, status sosio-ekonomi,
1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Media massa adalah sarana yang membawa pesan. Media massa utama adalah buku, majalah, koran, televisi, radio, rekaman, film, dan web. Kebanyakan ahli teori menganggap
Lebih terperinciBAB III METODOLOGI PENELITIAN
BAB III METODOLOGI PENELITIAN Metodologi berasal dari kata Yunani 'methodologia' yang berarti teknik atau prosedur, yang lebih merujuk kepada alur pemikiran umum atau menyeluruh dan juga gagasan teoritis
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Karya sastra diciptakan berdasarkan imajinasi dan berlandaskan pada bahasa yang digunakan untuk memperoleh efek makna tertentu guna mencapai efek estetik. Sebuah
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. pengarang menciptakan karya sastra sebagai ide kreatifnya. Sebagai orang yang
1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Karya sastra tercipta sebagai reaksi dinamika sosial dan kultural yang terjadi dalam masyarakat. Terdapat struktur sosial yang melatarbelakangi seorang pengarang
Lebih terperinciImaji Vol. 4 - No. 2/ Februari 2009 RESENSI BUKU
RESENSI BUKU JUDUL BUKU : Cultural Studies; Teori dan Praktik PENULIS : Chris Barker PENERBIT : Kreasi Wacana, Yogyakarta CETAKAN : Ke-IV, Mei 2008 TEBAL BUKU : xxvi + 470 halaman PENINJAU : Petrus B J
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. Sastra adalah gejala budaya yang secara universal dapat dijumpai pada
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Sastra adalah gejala budaya yang secara universal dapat dijumpai pada semua masyarakat (Chamamah-Soeratno dalam Jabrohim, 2003:9). Karya sastra merupakan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. yang luas. Tanaman tertentu adalah tanaman semusim dan atau tanaman
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Perkebunan merupakan aktivitas budi daya tanaman tertentu pada lahan yang luas. Tanaman tertentu adalah tanaman semusim dan atau tanaman tahunan yang jenis
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. 1.1 Konteks Penelitian. Kota berasal dari kata urban yang mengandung pengertian kekotaan dan
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Konteks Penelitian Kota berasal dari kata urban yang mengandung pengertian kekotaan dan perkotaan. Kekotaan menyangkut sifat-sifat yang melekat pada kota dalam artian fisikal, sosial,
Lebih terperinciBAB V SIMPULAN, IMPLIKASI DAN REKOMENDASI
318 BAB V SIMPULAN, IMPLIKASI DAN REKOMENDASI A. Simpulan Berdasarkan capaian hasil penelitian dan pembahasan seperti yang tertuang pada bab IV, bahwa penelitian ini telah menghasilkan dua analisis, pertama
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. yang lugu, bodoh dan pantas untuk dijadikan guyonan. Padahal belum tentu
1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Etnis Papua beberapa kali telah diangkat dalam media massa, contohnya dalam tayangan televisi maupun film. Hal ini menunjukkan bahwa stasiun televisi ingin menunjukkan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. digambarkan secara luas oleh pengarang melalui pemikiran-pemikiran yang menjadikan
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Karya sastra merupakan sebuah bentuk dari gambaran realita sosial yang digambarkan secara luas oleh pengarang melalui pemikiran-pemikiran yang menjadikan suatu objek
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. tidak adil, dan tidak dapat dibenarkan, yang disertai dengan emosi yang hebat atau
BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penelitian Mendengar kata kekerasan, saat ini telah menjadi sesuatu hal yang diresahkan oleh siapapun. Menurut Black (1951) kekerasan adalah pemakaian kekuatan yang
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. tentunya sangat berkaitan dengan hidup dan kehidupan manusia serta kemanusiaan. Ia
1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Sastra merupakan salah satu cabang kesenian yang selalu berada dalam peradaban manusia semenjak ribuan tahun lalu. Penelitian terhadap karya sastra penting
Lebih terperinciBAB III METODOLOGI PENELITIAN. Penelitian ini bertipe deskriptif dengan menggunakan pendekatan
BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3.1. Tipe Penelitian Penelitian ini bertipe deskriptif dengan menggunakan pendekatan kualitatif. Metode kualitatif memungkinkan peneliti mendekati data sehingga mampu mengembangkan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. khalayak. Karena menurut McLuhan (dalam Rakhmat,2008:224), media
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pada saat ini, media massa sudah menjadi kebutuhan penting bagi khalayak. Karena menurut McLuhan (dalam Rakhmat,2008:224), media massa adalah perpanjangan alat indra.
Lebih terperinciAnalisis Gender dan Transformasi Sosial Pembahas: Luh Anik Mayani
Analisis Gender dan Transformasi Sosial Pembahas: Luh Anik Mayani Pokok bahasan dalam buku Analisis Gender dan Transformasi Sosial karya Mansour Fakih ini dibagi menjadi tiga bagian, yaitu tentang analisis
Lebih terperinciBAB III METODOLOGI PENELITIAN
BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Sifat Penelitian Sifat penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah kualitatif yaitu Pendekatan ini diarahkan pada latar belakang dan individu tersebut secara
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Indonesia saat ini memasuki era globalisasi yang ditandai dengan arus
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia saat ini memasuki era globalisasi yang ditandai dengan arus informasi dan teknologi yang canggih yang menuntut masyarakat untuk lebih berperan aktif
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Pada perkembangan teknologi informasi saat ini manusia dimudahkan dalam mencari
1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pada perkembangan teknologi informasi saat ini manusia dimudahkan dalam mencari dan mendapatkan kebutuhan informasi, baik sekedar untuk pengetahuan maupun memenuhi
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN 1. Latar Belakang
BAB I PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Esai merupakan suatu ekspresi diri berupa gagasan atau pemikiran seseorang tentang suatu hal yang dituangkan dalam bentuk tulisan yang berupa teks. Esai atau tulisan
Lebih terperinciI. A. PERMASALAHAN I. A.
BAB I PENDAHULUAN I. A. PERMASALAHAN I. A. 1. Latar Belakang Masalah Dalam bukunya yang berjudul Menyingkap Seksualitas, Anton Konseng menceritakan satu pengalamannya yang menarik terkait dengan seksualitas.
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Banyak fenomena mengenai perilaku konsumen yang dapat kita lihat
1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Banyak fenomena mengenai perilaku konsumen yang dapat kita lihat sehari-hari, salah satunya adalah perilaku membeli. Untuk mendapatkan pasar konsumen, para
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah. Dewasa ini penyimpangan sosial di Indonesia marak terjadi dengan
BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Dewasa ini penyimpangan sosial di Indonesia marak terjadi dengan munculnya berbagai konflik yang berujung kekerasan karena berbagai aspek seperti politik,
Lebih terperinciInterpretasi Pembaca Terhadap Materi Pornografi dalam. Komik Hentai Virgin Na Kankei
Interpretasi Pembaca Terhadap Materi Pornografi dalam Komik Hentai Virgin Na Kankei SKRIPSI Disusun untuk memenuhi persyaratan menyelesaikan pendidikan Strata I Jurusan Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial
Lebih terperinci