III. KELIMPAHAN DAN SEBARAN SARANG Macrotermes gilvus Hagen

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "III. KELIMPAHAN DAN SEBARAN SARANG Macrotermes gilvus Hagen"

Transkripsi

1 III. KELIMPAHAN DAN SEBARAN SARANG Macrotermes gilvus Hagen Abstrak Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kelimpahan dan sebaran sarang rayap M. gilvus di Cagar Alam Yanlappa, Jawa Barat. Untuk mengetahui keberadaan sarang rayap M. gilvus di lokasi penelitian dibuat transek dengan arah Barat Laut ke Tenggara dari batas patok cagar alam. Jarak antar transek 50 meter dan total panjang transek meter. Setiap sarang M. gilvus yang ditemukan ditentukan koordinatnya dengan Geophisical Position System (GPS). Sarang rayap diklasifikasikan kedalam tiga tipe berdasarkan ukurannya, yaitu sarang kecil (tinggi sarang 0,49 m), sarang sedang (tinggi sarang 0,5-0,99 m), dan sarang besar (tinggi sarang 1 m). Kemiringan lereng dan indeks tutupan tajuk (Leaf Area Index, LAI) di sekitar rayap M. gilvus juga dicatat. Disamping itu, dilakukan analisis vegetasi dengan membuat plot pengamatan berukuran 20 x 20 m untuk tingkat pohon, 10 x 10 m untuk tingkat tiang, 5 x 5 m untuk tingkat semai dengan intensitas pengambilan contoh sebesar 0,38%. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pola sebaran dan kelimpahan sarang rayap adalah berkelompok (cluster) dengan mengikuti kemiringan lereng (3-8%) dan penutupan tajuk terbuka (LAI 0-1) hingga terbuka ringan (LAI 1-2). Sementara itu tapak sarang tidak terkait dengan tipe vegetasi di permukaan tanah. Kata Kunci : Pemetaan, GPS, habitat, Macrotermes gilvus Hagen. Abstract A study was conducted to find out the distribution pattern and number of subterranean termite M. gilvus based on the spatial, combined with physical factors (height, slope, soil type) and biotic factors (vegetation and Leaf Area Index) which significantly influence on M. gilvus. The data collected included the geographic position mound of M. gilvus by using the GPS, mound distribution patterns, slope, Leaf Area Index (LAI) which is determined with hemipot method by taking photographs with fisheye camera for the ground cover from above. The mound of subterranean termite are classified into the types based on size namely, small mounds ( 0,49 m tall), medium mounds (0,5-0,99 m tall), and large moundss ( 1 m tall). In addition, a vegetation was also analys ed with a plot method of 20 x 20 m for trees, 10 x 10 m for small trees, and 5 x 5 m for seedling. The results of this study showed that the mounds distribution pattern is grouped following the slopes of 3-8% and open canopy coverage of LAI 0-2. Key words : Mapping, GPS, habitat, Macrotermes gilvus Hagen

2 13 Pendahuluan Berdasarkan proses evolusi dan penyebarannya sebagian besar spesies rayap hidup di daerah tropika dan hanya beberapa saja yang dapat bertahan di daerah beriklim dingin. Di daerah beriklim dingin rayap hanya tersebar di daerah temperate (sedang) dengan latitud 50 o LU dan 50 o LS. Namun demikian di daerah yang dingin dengan altitud tinggi seperti di puncak pegunungan Himalaya dengan ketinggian 3000 m dpl masih dapat ditemukan rayap walaupun jenis dan ragam terbatas, contohnya Archotermopsis. Menurut Emerson (1955), penyebaran rayap berhubungan dengan suhu dan curah hujan sehingga sebagian besar jenis rayap terdapat di dataran rendah tropika dan hanya sebagian kecil ditemukan di dataran tinggi. Peta sebaran sarang rayap Macrotermes spp di dunia dapat dilihat secara lengkap pada Gambar 2. Gambar 2. Peta sebaran rayap tanah Macrotermes spp di dunia (Eggleton 2000) Pola sebaran dapat terjadi secara acak, seragam atau berkelompok dalam ruang yang luas (Odum 1971). Sebaran sarang rayap tanah Coptotermes di Indonesia khususnya di Pulau Jawa telah dipetakan oleh Tarumingkeng et al. (2003). Namun demikian peta sebaran sarang rayap Macrotermes secara khusus belum pernah dilakukan di Indonesia maupun di habitat alaminya di Asia Tenggara. Rayap jenis ini memiliki habitat alami di kawasan hutan alam dimana pengaruh suhu, kelembaban dan curah hujan relatif stabil. Namun dengan perubahan iklim global dan perubahan kondisi habitat hutan alami, dewasa ini

3 14 memungkinkan telah terjadi perubahan sebaran sarangnya. Informasi ini belum dieksplorasi secara rinci dan dalam. Pada hutan tropik, rayap memiliki keragaman yang tinggi. Hal ini disebabkan pada kawasan hutan alam memiliki ekosistem yang beragam (Indrawan et al. 2007). Ada beberapa alasan tingginya keragaman ekosistem mempengaruhi keragaman rayap. Pertama, spesies tropik dapat lebih tenggang terhadap relung ekologi yang tumpang tindih, dengan menganggap relung itu sebagai corak ragam lingkungan mikro pada habitat tropik yang majemuk, terutama di dalam hutan. Hal ini berdampak pada daerah tropik banyak memberikan kesempatan pembentukan spesies dibandingkan pada iklim sub tropik. Kedua, tersedianya sumberdaya yang melimpah, terutama dalam hal pakan. Ketiga, banyaknya pemangsaan dan parasitisme dalam lingkungan tropik cenderung membatasi berlimpahnya spesies tertentu dan mempersulit spesies tertentu untuk menambah besaran populasinya. Dengan demikian lebih banyak jumlah spesies yang menghuni habitat itu dibandingkan dengan kelimpahannya (Odum 1971). Di luar hutan hujan tropik rayap kurang begitu banyak jenisnya. Hal ini diduga karena ekosistem yang kurang beragam namun dari sisi jumlah individu dalam satu koloni lebih banyak (Meyer et al. 2003). Secara vertikal banyak dugaan bahwa di daerah dataran rendah tropik basah keragaman jenis rayap lebih banyak dibandingkan di daerah dataran tinggi (Ewusie 1990). Pada daerah dataran rendah dengan suhu yang hangat banyak memberi kesempatan rayap untuk berkembang biak dibandingkan dengan daerah yang bersuhu agak dingin. Rayap Macrotermes umumnya banyak bermukim pada suhu yang hangat (Nandika et al. 2003). Namun sampai saat ini data rinci mengenai hal tersebut belum dieksplorasi dengan baik yaitu dalam hal pola penyebaran spasial berdasarkan ketinggian tempat belum banyak diketahui. Adanya perbedaan relung ekologi berpengaruh juga pada perkembangan rayap. Di negara lain seperti Afrika Selatan yang memiliki tipe ekosistem savanna dengan vegetasi dominan Fabaceae ditemukan rayap tanah jenis Macrotermes natalensis Haviland yang mendominasi daerah ini (Meyer et al. 2001). Di daerah Eropa pada hutan sub tropis terutama pada tipe ekosistem savannanya dihuni oleh jenis lain, yaitu jenis: Macrotermes bellicosus (Korb & Linsenmair 2000). Perbedaan tipe ekosistem antara negara tropis Indonesia dan negara sub tropis di Eropa dan Afrika selain iklim yang berbeda, juga pada tipe vegetasinya. Di

4 15 hutan hujan tropis seperti Indonesia dengan vegetasi hutan yang heterogen jumlah sarangnya adalah > 4 sarang/ha (Vongkaluang et al. 2006), sementara di Afrika terutama pada tipe ekosistem savanna dengan vegetasi yang homogen memiliki jumlah sarang < 4 sarang/ha (Schuurman 2000; Gromadzki 2003). Faktor lingkungan yang utama mempengaruhi sebaran sarang rayap antara lain temperatur dan kelembaban, sementara itu faktor lain yang mendukung adalah curah hujan, struktur tanah dan vegetasi (Cookson & Trajstman 2002). Hal ini dapat dimengerti, karena rayap adalah serangga yang memiliki kulit tipis yang rentan terhadap proses dehidrasi oleh angin/udara kering sehingga rayap membutuhkan kelembaban yang stabil. Sebagai contoh keberadaan rayap Reticulitermes sp (Rhinotermitidae) di Florida sangat dipengaruhi oleh faktor suhu, kelembaban dan sifat tanah. Suhu berperan dalam sebaran dan aktivitas rayap saat mencari makan. Bilamana suhu permukaan tanah terlalu panas atau terlalu dingin rayap tidak melakukan foraging. Suhu ideal bagi Reticulitermes sp adalah o C. Adapun kelembaban mendekati RH 100%, terutama pada daerah kering, memberikan kondisi yang baik pada rayap jenis ini. Tanah liat merupakan tipe tanah yang baik bagi kehidupannya karena pada tanah jenis ini saat hujan cenderung menahan kelembaban (Suiter et al. 2000). Pada rayap yang hidup di daerah subtropis, jenis-jenis kayu yang lebih disukai adalah kayu lunak (seperti : redwood, cypress, juniper) sedangkan kayu keras dan kayu-kayu yang mengandung banyak senyawa protektan kurang disukai karena bersifat toksik bagi rayap. Menurut Yoshimura et al. (2003) rayap subtropik lebih menyukai bahan berselulosa yang telah terdegradasi dengan urutan kesukaan sebagai berikut : serat selululose > kertas > kayu lapis > balok kayu lunak > balok kayu keras. Rayap Macrotermes merupakan rayap yang banyak tersebar di Asia Tenggara terutama banyak ditemukan di Indonesia, Malaysia, Singapura, Philiphina dan Thailand (Tho 1992), namun sebaran sarang berdasarkan garis lintang (latitude) dan ketinggian (altitude) tempat belum pernah dilakukan. Oleh karena itu informasi mengenai sebaran spasial dari rayap Macrotermes ini di habitat alaminya penting untuk diketahui karena belakangan rayap jenis ini telah tersebar diluar habitat alaminya. Dalam usaha mendapatkan sebaran spatial rayap tanah, umumnya dilakukan melalui pemetaan biasa/konvensional yaitu peta yang merupakan bentuk penyederhanaan kondisi permukaan bumi berbentuk hardprint/data

5 16 analog. Belakangan ini dengan perkembangan teknologi digital dan tata ruang maka telah berkembang sistem pemetaan menggunakan Sistem Informasi Geografis (SIG). SIG merupakan seperangkat fungsi dengan kemampuan canggih, yang dapat digunakan oleh para profesional untuk : menyimpan, menampilkan, dan memanipulasi/mengoreksi data geografis/spasial. Sistem ini memiliki beberapa keunggulan antara lain : (1) Dapat dilakukan pada seluruh kemampuan pemetaan konvensional; (2) Dapat menentukan jarak tertentu dari titik atau garis; (3) Dengan analisis overlay, dapat digunakan lebih dari satu peta tematik dan menghasilkan coverage/peta baru; dan (4) Adanya visualisasi 3 dimensi yang dapat dikombinasikan dengan citra satelit. Dari keunggulan yang telah dijelaskan, peta spasial sebaran sarang rayap tanah Macrotermes gilvus pada penelitian ini akan menggunakan metode SIG karena akan lebih bermanfaat dibandingkan dengan pemetaan secara konvensional. Selain itu, hasilnya secara cepat dapat memvisualisasikan data sebaran sarang spasial organisme target. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pola sebaran sarang rayap M. gilvus Hagen dan faktor-faktor yang mempengaruhinya yaitu kemiringan lereng, tutupan tajuk, dan tipe tanah di Cagar Alam Yanlappa, Jawa Barat. Bahan dan Metode Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian dilakukan bulan April Oktober 2009 di Cagar Alam Yanlappa, Jawa Barat dengan ketinggian ( mdpl) dan luas kawasan 32 Ha. Analisis sebaran spatial dilakukan di Laboratorium PPLH IPB, analisis LAI (Leaf Area Index) dilakukan di Laboratorium Konservasi Hutan-IPB, identifikasi rayap dilakukan di Laboratorium Biologi Hasil Hutan PPSHB IPB, sementara itu sebagai pembanding dilakukan identifikasi rayap Macrotermes di Natural History Museum, London. Prosedur Penelitian Survey sebaran sarang rayap dilakukan dengan metode transek jalur (Turner 2000; Lee et al. 2003a). Metode ini merupakan salah satu metode yang sering digunakan dalam pengumpulan data jenis dan jumlah sarang rayap. Jalur pengamatan ditentukan secara sistematis untuk seluruh area cagar

6 17 alam dengan interval lebar 50 meter dan panjang sampai batas patok wilayah cagar alam. Setiap titik awal jalur pengamatan diberi tanda patok dengan arah lintasan pengamatan menggunakan kompas. Data yang dikumpulkan meliputi posisi sarang rayap Macrotermes menurut GPS, pola sebaran sarang, data kemiringan lereng yang diperoleh dengan menggunakan Abneylevel, data Leaf Area Index (LAI) yang diperoleh dengan metode hemipot yaitu dengan cara mengambil foto menggunakan kamera fisheye dibawah lantai hutan tepat diatas sarang rayap. Sarang rayap yang ditemukan diklasifikasikan kedalam tiga tipe berdasarkan ukurannya yaitu sarang kecil (tinggi sarang 0,49 m), sarang sedang (tinggi sarang 0,5-0,99 m), dan sarang besar (tinggi sarang 1 m). Disamping itu, dilakukan analisis vegetasi pada 3 area yaitu area dengan kelimpahan sarang padat (5 sarang/ha), area dengan kelimpahan sarang sedang (3 sarang/ha), dan area dengan kelimpahan sarang rendah (tidak ada sarang) dengan membuat transek 20 x 20 m untuk tingkat pohon, 10 x 10 m untuk tingkat tiang, 5 x 5 m untuk tingkat semai pada masing-masing wilayah kelimpahan sarang (Surasana 1990). Posisi sarang rayap yang ditemukan dibuat overlay nya (metode tumpang tindih) dengan menggunakan software ArcView GIS 3.3 dan ERDAS Imagine 8.5, Sementara itu pengolahan LAI dilakukan dengan software Hemiview 2.1. Variabel vegetasi yang diamati meliputi jumlah famili, spesies, individu, nilai kerapatan mutlak (KM), frekuensi mutlak (FM) dan dominasi mutlak (DM). Index Nilai Penting (INP) setiap spesies dihitung menurut Cox (1978). Pola sebaran sarang spasial dari sarang rayap Macrotermes ditentukan dengan mengukur indeks penyebaran (dispersion index). Penentuan indeks dispersi (ID), dengan formula sebagai berikut: ID = S x 2 dimana : S 2 = keragaman contoh x = rata-rata contoh. Pola penyebaran spasial dari data sarang yang dikumpulkan diuji menggunakan uji Chi-Square untuk menentukan tipe penyebaran. Uji Chi- Square yang digunakan untuk N<30, adalah persamaan λ 2 = ID (N-1), dimana N adalah keberadaan sarang. Kriteria uji yang digunakan adalah:

7 18 1. Jika λhit 2 < λ , maka pola sebaran sarang yang terjadi adalah seragam Jika λ λhit 2 λ , maka pola sebaran sarang yang terjadi adalah acak. 3. Jika λhit > λ , maka pola sebaran sarang yang terjadi adalah kelompok.

8 19 Hasil Penelitian Sebaran Sarang Rayap Tanah M. gilvus Hasil penelitian menunjukkan bahwa di Cagar Alam Yanlappa, Jawa Barat dengan luas 32 Ha ditemukan 155 tapak sarang dengan rincian 56 sarang tipe besar (tinggi 1 m), 94 sarang tipe sedang (tinggi 0,5 0,99 m), dan 5 sarang tipe kecil (tinggi 0,49 m). Sarang -sarang tersebut menyebar secara berkelompok karena λ 2 hitung > λ (Lampiran 4). Posisi keberadaan sarang memanjang dari arah Barat Laut ke Tenggara (Gambar 4). Pola sebaran sarang tersebut mengikuti wilayah kemiringan lereng 3% - 8% dan tutupan tajuk terbuka sampai tertutup ringan dengan nilai LAI 0-2 (Lampiran 3). Sarang rayap tanah M. gilvus juga cenderung berkelompok pada topografi bergelombang (undulating) dengan kelas ketinggian m dpl. Sarang M. gilvus juga berada pada radiasi matahari relatif besar dan kelembaban cukup tinggi (80-90%). Lingkungan tersebut diyakini sesuai bagi kehidupan M. gilvus yang menyukai suhu hangat (29-30 o C) dengan kelembaban lingkungan 80% (Lee et al. 2003b). Beberapa faktor telah berhasil diidentifikasi untuk rayap tanah M. gilvus Hagen (Wood 1988; Lee et al. 2007a; Vongkaluang et al. 2006), seperti : a) memerlukan kelembaban yang tinggi dengan rentang perkembangan optimum RH : 75-90%; b) kisaran suhu o C, serta c) curah hujan yang tinggi ( mm/thn). Ketiga faktor tersebut berpengaruh terutama pada perkembangan kasta reproduksi (laron) saat keluar dari sarang. Schuurman (2006) mengatakan bahwa faktor edafik yang mempengaruhi keberadaan Macrotermes sp di Florida USA, adalah sifat tanah dan kandungan tanah terutama tanah tipe liat 20%. Sementara itu, Meyer et al. (2001) menyatakan bahwa rayap Macrotermes natalensis cenderung menyebar secara berkelompok mengikuti topografi, tipe tanah, dan elevasi. Rayap jenis tersebut cenderung memilih topografi bergelombang (undulating), dengan ketinggian wilayah m dpl, curah hujan mm/tahun, dan tipe tanah kuning-merah. Secara lengkap pola sebaran sarang M. gilvus di Cagar Alam Yanlappa dapat dilihat pada Gambar 3. Cagar alam ini memiliki kelembaban 80-90% dengan curah hujan rata-rata 2000 mm/th, tipe tanah Podsolid Merah Kuning dengan ketinggian m dpl. Suhu ambien disekitar hutan cagar alam adalah o C.

9 20 Gambar 3. Peta sebaran sarang rayap M. gilvus di Cagar Alam Jawa Barat Yanlappa, Ketinggian merupakan salah satu faktor habitat yang penting dalam penyebaran rayap M. gilvus (Tho 1992), sehingga dalam penelitian ini ketinggian termasuk ke dalam variabel yang diuji untuk memprediksi pengaruh ketinggian terhadap keberadaan rayap M. gilvus. Berdasarkan hasil pengolahan peta kontur dapat diketahui bahwa lokasi penelitian memiliki ketinggian m dpl. Peta ketinggian diperoleh dari peta kontur dan diklasifikasikan menjadi 2

10 21 kelas. Penentuan kelas ketinggian menjadi 2 kelas berdasarkan rentang penyebaran sarang rayap tanah M. gilvus ( m dpl dan m dpl). Jumlah sarang rayap M. gilvus pada masing-masing kelas ketinggian, nilai LAI dan kemiringan lereng disajikan pada Tabel 1. Tabel 1. Kelimpahan sarang rayap tanah M. gilvus pada kelas ketinggian, nilai LAI, dan kemiringan lahan di Cagar Alam Yanlappa 2 Jumlah sarang Kelas ketinggian Luas area (m ) Kelimpahan (sarang/ha) m dpl m dpl Leaf Area Index (LAI) > Kemiringan lereng (%) > Data pada Tabel 1 di atas mengungkapkan bahwa jumlah dan densitas sarang rayap tanah M. gilvus berada paling banyak pada kelas ketinggian m dpl dibandingkan dengan ketinggian m dpl. Hal ini dapat dikatakan bahwa sarang M. gilvus menyukai ketinggian antara m dpl. Selain itu pada ketinggian m dpl kondisinya bergelombang, sehingga rayap M. gilvus lebih menyukai tipe topografi tersebut. Densitas sarang per hektar adalah 3 sarang untuk kelas m dpl dan 10 sarang untuk kelas m dpl.foto penutupan tajuk hasil pengambilan gambar hemipot disajikan pada Gambar 4. (A) (B) Gambar 4. Kondisi tutupan tajuk areal Cagar Alam Yanlappa: tertutup ringan (A) dan terbuka (B).

11 22 Nilai LAI semakin besar menunjukkan bahwa penutupan tajuk semakin tertutup, sehingga radiasi matahari ke bawah tajuk semakin kecil dan kelembaban dibawah tajuk semakin meningkat. Nilai dari Leaf Area Index (LAI) merupakan presentasi dari penutupan kanopi pada areal dibawah tajuk yang diproyeksikan secara vertikal. Nilai ini digunakan untuk memprediksi besarnya cahaya dan kelembaban dengan asumsi jika kanopi semakin tertutup maka cahaya yang masuk ke lantai hutan semakin kecil dan kelembabannya akan semakin tinggi. Nilai LAI di Cagar Alam Yanlappa dapat diklasifikasikan dalam 2 kelas yaitu kelas terbuka dan kelas tertutup ringan (Tabel 1). Berdasarkan hasil pengambilan data dan pengolahan data maka dapat diketahui bahwa sarang rayap tanah M. gilvus Hagen di Cagar Alam Yanlappa terletak pada tempat yang memiliki nilai LAI 0,211-1,722. Jumlah sarang M. gilvus lebih banyak pada kelas dengan nilai LAI 0-1 yakni 128 sarang sedangkan jumlah lebih kecil yaitu 27 sarang pada nilai 1-2, sedangkan pada nilai (LAI > 2) tidak ditemukan sarang. Densitas sarang per hektar adalah 2 sarang untuk kelas LAI 0-1 dan 8 sarang untuk kelas LAI 1-2. Sama halnya dengan ketinggian, kemiringan lereng pun merupakan salah satu faktor habitat yang berpengaruh terhadap keberadaan rayap (Traniello & Leuthold 2000), sehingga kelerengan merupakan salah satu variabel yang diuji dalam penelitian ini. Berdasarkan hasil pengolahan kontur, kemiringan lereng di Cagar Alam Yanlappa dibagi menjadi 2 kelas yaitu 3-8 % dan >8 %. Berdasarkan hasil pengolahan data dapat diketahui bahwa penyebaran rayap tanah M. gilvus di Cagar Alam Yanlappa adalah sebagai berikut: pada kelas dengan kemiringan lereng 3-8% terdapat 155 jumlah sarang, kelas kemiringan lereng >8% tidak dijumpai sarang. Semua sarang rayap M. gilvus terdapat pada kelas 3-8% dengan luasan m 2. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa jumlah sarang M. gilvus semakin menurun jika nilai kemiringan lerengnya semakin besar. M. gilvus tidak ditemukan ditempat dengan kemiringan lereng > 8%. Densitas sarang per hektar adalah 5 sarang/ha untuk kelas dengan kemiringan lereng 3-8%. Sebaran sarang sarang M. gilvus berdasarkan kemiringan lereng dapat dilihat pada Tabel 1. Tanah merupakan tubuh alam yang terbentuk pada permukaan bumi yang dapat menunjang pertumbuhan tanaman dengan sifat yang dihasilkan dari interaksi antara bahan induk, iklim, organisme dan waktu (Purwowidodo 1998).

12 23 Berdasarkan peta satuan lahan daerah kawasan hutan alam provinsi Jawa Barat dan Banten yang dibuat oleh pusat penelitian tanah dan agroklimat Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian tahun 1991, dan peta digital Bakorsurtanal 2006 diketahui bahwa seluruh kawasan Cagar Alam Yanlappa memiliki tipe tanah podsolik merah kekuningan, sehingga sarang rayap M. gilvus menyebar pada tanah tipe tersebut. Hasil analisis vegetasi menunjukkan bahwa dari areal pengamatan 1200 m 2 terdapat area sarang rayap dengan kelimpahan padat (8 sarang/ha), spesies pohon yang dominan adalah Artocarpus elastica (INP = 34,33%), tiang (Syzygium zollingerianum = 109,64%), pancang (Glycosmis pentaphylla = 26,06%), dan semai (Selaginela 32,13%). Mallotus oblongifolius (INP = 24,65%), Diospyros frutescens (INP = 49,59%); Schismatoglottis calyptrata (INP = 60,08%); merupakan spesies tumbuhan tingkat pohon, tiang, pancang dan semai yang dominan pada area kelimpahan sarang sedang (2 sarang/ha). Pada area yang tidak ada kelimpahan sarang rayap M. gilvus spesies pohon yang dominan adalah Uncaria gambir (INP = 37,21%), sedangkan spesies tiang, pancang dan semai masing-masing didominasi oleh Diospyros frutescens (INP = 62,58%); Arenga obtusifolia (INP = 25,97%); Anadendrum microstachyum (INP = 60,86%). Hasil analisis komposisi jenis (susunan) tumbuhan dan bentuk (struktur) vegetasi yang ada di wilayah Cagar Alam Yanlappa secara ringkas dapat disajikan pada (Lampiran 9-24). Berdasarkan komposisi famili, maka pada daerah dimana kelimpahan sarang rayapnya padat pada tingkat pohon dan tiang didominasi oleh famili Myrtaceae, pada tingkat pancang Arecaceae (INP = 50%), dan pada tingkat semai Lycopodiaceae (INP = 32,13%). Pada area dengan kelimpahan sarang sedang, pada tingkat pohon didominasi oleh famili Moraceae (INP = 57,41%), sedangkan untuk tiang, pancang dan semai masing-masing didominasi oleh famili Ebenaceae (INP = 49,59%), Euphobiaceae (INP = 28,69%), Araceae (INP = 82,22%). Secara lengkap, indeks nilai penting tertinggi dari famili pohon, tiang, pancang dan semai dapat dilihat pada Lampiran 10.

13 24 Pembahasan Pola sebaran sarang rayap tanah M. gilvus di Cagar Alam Yanlappa, cenderung membentuk pola sebaran sarang berkelompok (cluster), dengan pembentukan 3 cluster yaitu cluster dengan kelimpahan sarang padat, kelimpahan sedang dan tidak ada sarang (Gambar 4). Hal ini menunjukkan bahwa sebaran sarang rayap tanah M. gilvus sangat unik. Posisi keberadaan sarang rayap M. gilvus di Cagar Alam Yanlappa memanjang dari arah Barat Laut ke Tenggara. Posisi tersebut diduga berkaitan dengan sifat cryptobiotik (tidak menyukai sinar) pada rayap. Dalam membangun sarang, terlihat bahwa posisi sebaran sarang M. gilvus dari Barat Laut ke Tenggara adalah wilayah yang terhindar dari sinar matahari secara langsung dari Timur dan Barat. Sistem bangunan seperti ini sangat cocok didirikan pada daerah tropis yang memiliki suhu panas dan kelembaban yang tinggi. Posisi bangunan seperti ini memiliki fungsi antara lain dapat mengurangi pemanasan matahari serta memanfaatkan angin agar terjadi pendinginan karena penguapan. Parameter abiotik yang diamati dalam penelitian antara lain ketinggian tempat, jenis tanah, elevasi kelerengan, dan penutupan tajuk. Dari empat parameter tersebut terlihat bahwa elevasi kelerengan dan penutupan tajuk sangat berpengaruh pada pola sebaran sarang. Rayap M. gilvus sangat menyukai tutupan tajuk yang terbuka dengan kelas Leaf Area Index 0-1 dan elevasi kelerengan kelas 3-8%. Hasil yang sama juga dilaporkan oleh Meyer et al. (2000) yang mengatakan bahwa sebaran sebaran sarang rayap M. natalensis di Kruger National Park, Afrika Selatan sangat dipengaruhi oleh topografi tipe bergelombang dengan ketinggian kawasan m dpl dan warna tanah merah dan kuning (Meyer et al. 1999). Sebaran sarang rayap M. gilvus berada pada tutupan tajuk terbuka sampai tertutup ringan dengan nilai LAI (leaf area index) 0-2 dengan radiasi sinar matahari GSF (global site factor) 0,22-0,91 (Lampiran 6). Lingkungan tersebut berkaitan dengan suhu ambien o C dan kelembaban ambien 80-90% yang sesuai untuk habitat M. gilvus. Pada kondisi tutupan tajuk terbuka yaitu nilai LAI 0 dengan nilai GSF 1, maka suhu ambien bertambah tinggi yaitu 29 o C dengan kelembaban 90%. Aktivitas rayap dipengaruhi oleh suhu didalam dan diluar sarang. Pada suhu di dalam sarang, rayap memerlukan suhu optimum 30 o C, sementara untuk melakukan foraging biasanya membentuk liang kembara dengan suhu sekitar 28 o C dengan kelembaban sekitar 80% (Liu et al. 2007).

14 25 Sinar matahari mutlak diperlukan oleh organisme hidup dalam suatu ekosistem. Namun demikian, suhu, radiasi sinar matahari dan kelembaban merupakan faktor pembatas bagi kehidupan rayap M. gilvus (Donovan et al. 2007). Gangguan terhadap hutan yang berupa penebangan pohon akan mengakibatkan terbukanya tajuk pohon. Terbukanya tajuk pohon akan menyebabkan terjadinya perubahan faktor lingkungan seperti suhu udara, penguapan, kelembaban dan intensitas cahaya matahari pada ekosistem hutan tersebut (Indrawan 2000). Pada hutan sangat terganggu yang didominasi oleh tumbuhan bawah memberikan indikasi bahwa struktur vegetasinya merupakan struktur vegetasi dengan penutupan tajuk terbuka dan jarang (Alcaraz & Avilla 2000). Nilai LAI pada hutan yang sangat terganggu diperkirakan rendah dengan tutupan tajuk terbuka. Pola sebaran sarang M. gilvus cenderung berkelompok dengan mengikuti wilayah kemiringan lereng 3-8%. Sarang M. gilvus juga cenderung berkelompok pada topografi bergelombang (undulating) dengan kelas ketinggian m dpl. Pada topografi bergelombang rayap M. gilvus memilih areal yang cembung dibanding areal datar (flat) dan cekung. Hal ini diduga pada areal cembung sangat baik drainasenya dibanding areal cekung dan datar. Pada area dengan permukaan datar dan cekung apabila curah hujan tinggi maka air tidak dapat mengalir dengan baik (Elkins et al. 1986). Oleh karena itu, maka dapat dipahami bahwa sifat alami topografi dengan kelerengan 3-8% relatif lebih mudah dalam membangun sarang dengan konstruksi bangunan yang kokoh. Konstruksi bangunan yang didirikan dengan kelerengan diatas 8% adalah wilayah yang rentan erosi (Ching & Adams 2008). Selain itu, kondisi dengan kemiringan lereng curam adalah wilayah yang menyulitkan rayap M. gilvus karena memerlukan banyak energi dalam melakukan aktivitas foraging. Pembangunan sarang berkaitan erat dengan daya dukung tanah (bearing capacity). Daya dukung tanah adalah tekanan maksimum suatu fondasi yang dibebankan secara vertikal dan horisontal pada massa tanah (Frick & Purwanto 1998). Tanah dengan daya dukung tinggi tidak akan banyak menimbulkan masalah yang berpengaruh pada bentuk dan tata letak bangunan.

15 26 Simpulan Di Cagar Alam Yanlappa, Jawa Barat ditemukan 155 sarang dengan rincian 56 sarang besar (tinggi 1 m), 94 sarang sedang (tinggi 0,5 0,99 m), dan 5 sarang kecil (tinggi 0,49 m). Sarang -sarang tersebut menyebar secara berkelompok (cluster) dengan lokasi dari arah Barat Laut ke Tenggara. Pola sebaran tersebut mengikuti wilayah kemiringan lereng 3% - 8% dan tutupan tajuk terbuka sampai tertutup ringan (nilai LAI 0-2). Sarang M. gilvus juga cenderung berkelompok pada topografi bergelombang (undulating) dengan kelas ketinggian m dpl. Sarang rayap tersebut seluruhnya berada pada tapak yang berdrainase baik, bebas genangan air dan relatif ternaungi oleh vegetasi yang tumbuh di sekitarnya. Kondisi ini sangat ideal untuk melindungi sarang M. gilvus dari dampak buruk curahan air hujan, aliran permukaan (surface run-off), hempasan angin, dan teriknya cahaya matahari.

Gambar 2 Peta lokasi penelitian.

Gambar 2 Peta lokasi penelitian. 0 IV. METODE PENELITIAN A. Lokasi dan Waktu Penelitian ini dilaksanakan di wilayah Bidang Pengelolaan Wilayah III Bengkulu dan Sumatera Selatan, SPTN V Lubuk Linggau, Sumatera Selatan, Taman Nasional Kerinci

Lebih terperinci

KELIMPAHAN, SEBARAN, DAN ARSITEKTUR SARANG SERTA UKURAN POPULASI RAYAP TANAH

KELIMPAHAN, SEBARAN, DAN ARSITEKTUR SARANG SERTA UKURAN POPULASI RAYAP TANAH KELIMPAHAN, SEBARAN, DAN ARSITEKTUR SARANG SERTA UKURAN POPULASI RAYAP TANAH Macrotermes gilvus Hagen (Blattodea : Termitidae) di CAGAR ALAM YANLAPPA, JAWA BARAT NIKEN SUBEKTI SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT

Lebih terperinci

METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Maret sampai Agustus 2014.

METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Maret sampai Agustus 2014. METODE PENELITIAN Waktu dan Lokasi Penelitian Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Maret sampai Agustus 2014. Penelitian ini dilakukan di kawasan Cagar Alam Dolok Sibual-buali (Studi Kasus: Desa Bulu

Lebih terperinci

3 METODE PENELITIAN. Waktu dan Lokasi

3 METODE PENELITIAN. Waktu dan Lokasi 12 Gymnospermae lebih efisien pada intensitas cahaya tinggi (Kramer & Kozlowski 1979). Sudomo (2007) menyatakan bahwa intensitas cahaya yang berlebihan akan menyebabkan laju transpirasi tinggi, sedangkan

Lebih terperinci

2016 ANALISIS KESESUAIAN LAHAN DI UNIVERSITAS PENDIDIKAN INDONESIA UNTUK TANAMAN ENDEMIK JAWA BARAT MENGGUNAKAN GISARCVIEW

2016 ANALISIS KESESUAIAN LAHAN DI UNIVERSITAS PENDIDIKAN INDONESIA UNTUK TANAMAN ENDEMIK JAWA BARAT MENGGUNAKAN GISARCVIEW 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia merupakan suatu negara yang strategis karena terletak di daerah khatulistiwa yang mempunyai tipe hutan hujan tropis cukup unik dengan keanekaragaman jenis

Lebih terperinci

IV. METODE PENELITIAN

IV. METODE PENELITIAN IV. METODE PENELITIAN 4.1. Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian dilaksanakan di Taman Nasional Kerinci Seblat, tepatnya di Resort Batang Suliti, Seksi Pengelolaan Taman Nasional Wilayah IV, Provinsi

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA

BAB II KAJIAN PUSTAKA BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1. Tinjauan Tentang Struktur Vegetasi Struktur vegetasi merupakan komponen penyusun vegetasi itu sendiri. Struktur vegetasi disusun oleh tumbuh-tumbuhan baik berupa pohon, pancang,

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. Jenis penelitian yang digunakan bersifat deskriptif kuantitatif. Pengamatan

BAB III METODE PENELITIAN. Jenis penelitian yang digunakan bersifat deskriptif kuantitatif. Pengamatan BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Rancangan Penelitian Jenis penelitian yang digunakan bersifat deskriptif kuantitatif. Pengamatan ini mengunakan metode petak. Metode petak merupakan metode yang paling umum

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Keanekaragaman hayati (biological diversity atau biodiversity) adalah istilah yang digunakan untuk menerangkan keragaman ekosistem dan berbagai bentuk serta variabilitas

Lebih terperinci

IV. METODE PENELITIAN

IV. METODE PENELITIAN IV. METODE PENELITIAN 4.1 Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian tentang karakteristik habitat Macaca nigra dilakukan di CA Tangkoko yang terletak di Kecamatan Bitung Utara, Kotamadya Bitung, Sulawesi

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilakukan di Stasiun Penangkaran Semi Alami Pulau Tinjil, Kabupaten Pandeglang, Provinsi Banten. Penelitian ini dilakukan pada bulan

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. fisik lingkungan yang hampir sama dimana keragaman tanaman dan hewan dapat

TINJAUAN PUSTAKA. fisik lingkungan yang hampir sama dimana keragaman tanaman dan hewan dapat 4 TINJAUAN PUSTAKA Pendekatan Agroekologi Agroekologi adalah pengelompokan suatu wilayah berdasarkan keadaan fisik lingkungan yang hampir sama dimana keragaman tanaman dan hewan dapat diharapkan tidak

Lebih terperinci

METODE PENELITIAN. Lokasi dan Waktu Penelitian

METODE PENELITIAN. Lokasi dan Waktu Penelitian METODE PENELITIAN Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian dilakukan di dalam areal Hak Pengusahaan Hutan (HPH) PT. Sari Bumi Kusuma, Unit S. Seruyan, Kalimantan Tengah. Areal hutan yang dipilih untuk penelitian

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. 3.1 Rancangan Penelitian Penelitian ini bersifat deskriptif kuantitatif dengan menggunakan metode

BAB III METODE PENELITIAN. 3.1 Rancangan Penelitian Penelitian ini bersifat deskriptif kuantitatif dengan menggunakan metode BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Rancangan Penelitian Penelitian ini bersifat deskriptif kuantitatif dengan menggunakan metode belt transek. Metode ini sangat cocok digunakan untuk mempelajari suatu kelompok

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Pada tahun 1924 kawasan hutan Way Kambas ditetapkan sebagai daerah hutan

II. TINJAUAN PUSTAKA. Pada tahun 1924 kawasan hutan Way Kambas ditetapkan sebagai daerah hutan II. TINJAUAN PUSTAKA A. Taman Nasional Way Kambas Pada tahun 1924 kawasan hutan Way Kambas ditetapkan sebagai daerah hutan lindung. Pendirian kawasan pelestarian alam Way Kambas dimulai sejak tahun 1936

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN 3.1. Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilakukan di dua tempat yaitu pengambilan data di lapangan dilakukan di sempadan muara Kali Lamong dan Pulau Galang, serta pengolahan

Lebih terperinci

Tabel 7. Luas wilayah tiap-tiap kabupaten di Provinsi Jawa Barat. IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

Tabel 7. Luas wilayah tiap-tiap kabupaten di Provinsi Jawa Barat. IV. HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4. 1. Kondisi Geografis Wilayah Provinsi Jawa Barat Provinsi Jawa Barat secara geografis terletak antara 5 54' - 7 45' LS dan 106 22' - 108 50 BT dengan areal seluas 37.034,95

Lebih terperinci

KOMPOSISI TEGAKAN SEBELUM DAN SESUDAH PEMANENAN KAYU DI HUTAN ALAM

KOMPOSISI TEGAKAN SEBELUM DAN SESUDAH PEMANENAN KAYU DI HUTAN ALAM KOMPOSISI TEGAKAN SEBELUM DAN SESUDAH PEMANENAN KAYU DI HUTAN ALAM Muhdi Staf Pengajar Program Studi Teknologi Hasil Hutan Departemen Kehutanan USU Medan Abstract A research was done at natural tropical

Lebih terperinci

METODE PENELITIAN. Penelitian dilaksanakan pada bulan Januari hingga April 2014 di Kawasan

METODE PENELITIAN. Penelitian dilaksanakan pada bulan Januari hingga April 2014 di Kawasan 23 III. METODE PENELITIAN A. Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian dilaksanakan pada bulan Januari hingga April 2014 di Kawasan Hutan Lindung Batutegi Blok Kali Jernih (Gambar 3), bekerjasama dan di bawah

Lebih terperinci

INVENTARISASI DAN ANALISIS HABITAT TUMBUHAN LANGKA SALO

INVENTARISASI DAN ANALISIS HABITAT TUMBUHAN LANGKA SALO 1 INVENTARISASI DAN ANALISIS HABITAT TUMBUHAN LANGKA SALO (Johannes teijsmania altifrons) DI DUSUN METAH, RESORT LAHAI, TAMAN NASIONAL BUKIT TIGAPULUH PROVINSI RIAU- JAMBI Yusi Indriani, Cory Wulan, Panji

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Sebaran rayap tanah di berbagai vegetasi Hutan Pendidikan Gunung Walat memiliki luas wilayah 359 ha, dari penelitian ini diperoleh dua puluh enam contoh rayap dari lima

Lebih terperinci

BAB III. Penelitian inii dilakukan. dan Danau. bagi. Peta TANPA SKALA

BAB III. Penelitian inii dilakukan. dan Danau. bagi. Peta TANPA SKALA 14 BAB III METODOLOGI 3.1. Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian inii dilakukan di Sentul City yang terletak di Kecamatan Babakan Madang dan Kecamatan Sukaraja, Kabupaten Bogor, Provinsi Jawa Barat (Gambar

Lebih terperinci

Keanekaragaman Jenis dan Pola Distribusi Nepenthes spp di Gunung Semahung Kecamatan Sengah Temila Kabupaten Landak

Keanekaragaman Jenis dan Pola Distribusi Nepenthes spp di Gunung Semahung Kecamatan Sengah Temila Kabupaten Landak Vol. 2 (1): 1 6 Keanekaragaman Jenis dan Pola Distribusi Nepenthes spp di Gunung Semahung Kecamatan Sengah Temila Kabupaten Landak Gustap Baloari 1, Riza Linda 1, Mukarlina 1 1 Program Studi Biologi, Fakultas

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilakukan di blok Hutan Pendidikan Konservasi Terpadu Tahura

III. METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilakukan di blok Hutan Pendidikan Konservasi Terpadu Tahura 12 III. METODE PENELITIAN A. Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilakukan di blok Hutan Pendidikan Konservasi Terpadu Tahura Wan Abdul Rachman yang memiliki luasan 1.143 ha. Secara geografis terletak

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. memiliki sebaran jenis serangga yang unik. Selain jenis-jenis yang sebarannya

BAB I PENDAHULUAN. memiliki sebaran jenis serangga yang unik. Selain jenis-jenis yang sebarannya 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Sebagai negara tropis yang dilalui garis ekuator terpanjang, Indonesia memiliki sebaran jenis serangga yang unik. Selain jenis-jenis yang sebarannya tersebar

Lebih terperinci

IV. KONDISI DAN GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN. administratif berada di wilayah Kelurahan Kedaung Kecamatan Kemiling Kota

IV. KONDISI DAN GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN. administratif berada di wilayah Kelurahan Kedaung Kecamatan Kemiling Kota IV. KONDISI DAN GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN A. Pembentukan Taman Kupu-Kupu Gita Persada Taman Kupu-Kupu Gita Persada berlokasi di kaki Gunung Betung yang secara administratif berada di wilayah Kelurahan

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN. Penelitian dilakukan juni sampai dengan Juli 2013 di zona pemanfaatan terbatas,

III. METODE PENELITIAN. Penelitian dilakukan juni sampai dengan Juli 2013 di zona pemanfaatan terbatas, 16 III. METODE PENELITIAN A. Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian dilakukan juni sampai dengan Juli 2013 di zona pemanfaatan terbatas, Resort Way Kanan, Satuan Pengelolaan Taman Nasional 1 Way Kanan,

Lebih terperinci

METODOLOGI. Lokasi dan Waktu

METODOLOGI. Lokasi dan Waktu METODOLOGI Lokasi dan Waktu Penelitian dilakukan di Kabupaten Kepulauan Meranti Provinsi Riau, pada 3 tipe penggunaan lahan gambut yaitu; Hutan Alam, Kebun Rakyat dan Areal HTI Sagu, yang secara geografis

Lebih terperinci

METODE PENELITIAN. Sumber: Dinas Tata Ruang dan Pemukiman Depok (2010) Gambar 9. Peta Orientasi Wilayah Kecamatan Beji, Kota Depok

METODE PENELITIAN. Sumber: Dinas Tata Ruang dan Pemukiman Depok (2010) Gambar 9. Peta Orientasi Wilayah Kecamatan Beji, Kota Depok III. METODE PENELITIAN 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian dilakukan di Kecamatan Beji sebagai pusat Kota Depok, Jawa Barat yang berbatasan langsung dengan Daerah Khusus Ibukota Jakarta. Penelitian

Lebih terperinci

BAHAN DAN METODE. Gambar 3 Lokasi penelitian ( ) Alat dan Bahan

BAHAN DAN METODE. Gambar 3 Lokasi penelitian ( ) Alat dan Bahan 10 BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian dilaksanakan pada bulan Juli - Agustus 2010 di Hutan Tanaman Pelawan Desa Trubus, Hutan Kawasan Lindung Kalung Desa Namang, dan Hutan Dusun Air

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI. Gambar 1 Lokasi Taman Nasional Ujung Kulon.

BAB III METODOLOGI. Gambar 1 Lokasi Taman Nasional Ujung Kulon. BAB III METODOLOGI 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian ini dilaksanakan dari bulan Juli 2009 hingga Agustus 2009. Lokasi penelitian terletak di daerah Semenanjung Ujung Kulon yaitu Cigenter, Cimayang, Citerjun,

Lebih terperinci

BAB IV METODE PENELITIAN

BAB IV METODE PENELITIAN 4.1. Waktu dan Tempat BAB IV METODE PENELITIAN Penelitian ini dilaksanakan di Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung yang terfokus di Desa Tompobulu dan kawasan hutan sekitarnya. Penelitian dilaksanakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. keanekaragaman hayati yang sangat tinggi. Menurut Suhartini (2009, h.1)

BAB I PENDAHULUAN. keanekaragaman hayati yang sangat tinggi. Menurut Suhartini (2009, h.1) BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia terletak di daerah beriklim tropis sehingga memiliki keanekaragaman hayati yang sangat tinggi. Menurut Suhartini (2009, h.1) Indonesia menjadi salah

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN Kondisi Umum Propinsi Sulawesi Tenggara

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN Kondisi Umum Propinsi Sulawesi Tenggara IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Kondisi Umum Propinsi Sulawesi Tenggara 4.1.1 Kondisi Geografis Propinsi Sulawesi Tenggara (Sultra) terletak di Jazirah Tenggara Pulau Sulawesi, terletak di bagian selatan

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Januari 2017 s/d bulan Februari 2017

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Januari 2017 s/d bulan Februari 2017 BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Januari 2017 s/d bulan Februari 2017 yang berada di Resort Bandealit Taman Nasional Meru Betiri. Gambar 3.1. Peta Kerja

Lebih terperinci

METODE PENELITIAN. Waktu dan Tempat Penelitian

METODE PENELITIAN. Waktu dan Tempat Penelitian METODE PENELITIAN Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian dilaksanakan pada bulan Desember 2004 sampai dengan September 2005 di empat lokasi Taman Nasional (TN) Gunung Halimun-Salak, meliputi tiga lokasi

Lebih terperinci

Sistem Infornasi Geografis, atau dalam bahasa Inggeris lebih dikenal dengan Geographic Information System, adalah suatu sistem berbasis komputer yang

Sistem Infornasi Geografis, atau dalam bahasa Inggeris lebih dikenal dengan Geographic Information System, adalah suatu sistem berbasis komputer yang Sistem Infornasi Geografis, atau dalam bahasa Inggeris lebih dikenal dengan Geographic Information System, adalah suatu sistem berbasis komputer yang digunakan untuk mengolah dan menyimpan data atau informasi

Lebih terperinci

ANALISA DEGRADASI HUTAN MANGROVE PADA KAWASAN WISATA TELUK YOUTEFA KOTA JAYAPURA

ANALISA DEGRADASI HUTAN MANGROVE PADA KAWASAN WISATA TELUK YOUTEFA KOTA JAYAPURA ANALISA DEGRADASI HUTAN MANGROVE PADA KAWASAN WISATA TELUK YOUTEFA KOTA JAYAPURA Oleh YOHAN M G JARISETOUW FAKULTAS KEHUTANAN UNIVERSITAS NEGERI PAPUA MANOKWARI 2005 ii Abstrak Yohan M G Jarisetouw. ANALISA

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Hutan Hutan merupakan salah satu pusat keanekaragaman jenis tumbuhan yang belum banyak diketahui dan perlu terus untuk dikaji. Di kawasan hutan terdapat komunitas tumbuhan yang

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Hutan Hutan dapat diberi batasan sesuai dengan sudut pandang masing-masing pakar. Misalnya dari sisi ekologi dan biologi, bahwa hutan adalah komunitas hidup yang terdiri dari

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Hutan Sekipan merupakan hutan pinus yang memiliki ciri tertentu yang membedakannya dengan hutan yang lainnya.

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Hutan Sekipan merupakan hutan pinus yang memiliki ciri tertentu yang membedakannya dengan hutan yang lainnya. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Hutan Sekipan merupakan hutan pinus yang memiliki ciri tertentu yang membedakannya dengan hutan yang lainnya. Adapun yang membedakannya dengan hutan yang lainnya yaitu

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN. Tabel 1 Rata-rata intensitas cahaya dan persentase penutupan tajuk pada petak ukur contoh mahoni muda dan tua

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN. Tabel 1 Rata-rata intensitas cahaya dan persentase penutupan tajuk pada petak ukur contoh mahoni muda dan tua IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Intensitas cahaya dan penutupan tajuk Cahaya digunakan oleh tanaman untuk proses fotosintesis. Semakin baik proses fotosintesis, semakin baik pula pertumbuhan tanaman (Omon

Lebih terperinci

III. METODOLOGI PENELITIAN

III. METODOLOGI PENELITIAN III. METODOLOGI PENELITIAN 3.1. Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini dilakukan mulai bulan Febuari 2009 sampai Januari 2010, mengambil lokasi di Kabupaten Bogor, Jawa Barat. Pengolahan dan Analisis

Lebih terperinci

KERAGAMAN JENIS ANAKAN TINGKAT SEMAI DAN PANCANG DI HUTAN ALAM

KERAGAMAN JENIS ANAKAN TINGKAT SEMAI DAN PANCANG DI HUTAN ALAM KARYA TULIS KERAGAMAN JENIS ANAKAN TINGKAT SEMAI DAN PANCANG DI HUTAN ALAM OLEH : DIANA SOFIA H, SP, MP NIP 132231813 FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA 2007 KATA PENGANTAR Syukur Alhamdulillah,

Lebih terperinci

III. METODOLOGI PENELITIAN. Penelitian dilaksanakan pada Mei - Juli Lokasi penelitian adalah di kawasan

III. METODOLOGI PENELITIAN. Penelitian dilaksanakan pada Mei - Juli Lokasi penelitian adalah di kawasan III. METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Waktu dan Lokasi Penelitian Penelitian dilaksanakan pada Mei - Juli 2014. Lokasi penelitian adalah di kawasan hutan mangrove pada lahan seluas 97 ha, di Pantai Sari Ringgung

Lebih terperinci

BAHAN DAN METODE. Gambar 1 Peta Lokasi Penelitian

BAHAN DAN METODE. Gambar 1 Peta Lokasi Penelitian III. BAHAN DAN METODE 3.1 Waktu dan Lokasi Penelitian Lokasi yang dipilih untuk penelitian ini adalah Kabupaten Indramayu, Jawa Barat (Gambar 1). Penelitian dimulai dari bulan Juli 2010 sampai Januari

Lebih terperinci

III. RUANG DAN FUNGSI TANAMAN LANSKAP KOTA

III. RUANG DAN FUNGSI TANAMAN LANSKAP KOTA Lanskap Perkotaan (Urban Landscape) III. RUANG DAN FUNGSI TANAMAN LANSKAP KOTA Dr. Ir. Ahmad Sarwadi, MEng. Siti Nurul Rofiqo Irwan, S.P., MAgr, PhD. Tujuan Memahami bentuk-bentuk ruang dengan tanaman

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. terletak di sekitar garis khatulistiwa antara 23 ½ 0 LU sampai dengan 23 ½ 0 LS.

BAB I PENDAHULUAN. terletak di sekitar garis khatulistiwa antara 23 ½ 0 LU sampai dengan 23 ½ 0 LS. BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Hutan hujan tropis merupakan salah satu tipe ekosistem hutan yang sangat produktif dan memiliki tingkat keanekaragaman hayati yang tinggi. Kawasan ini terletak di

Lebih terperinci

SEBARAN POHON PAKAN ORANGUTAN SUMATERA (Pongo abelii. Lesson,1827.) MENGGUNAKAN APLIKASI SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS SKRIPSI

SEBARAN POHON PAKAN ORANGUTAN SUMATERA (Pongo abelii. Lesson,1827.) MENGGUNAKAN APLIKASI SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS SKRIPSI SEBARAN POHON PAKAN ORANGUTAN SUMATERA (Pongo abelii. Lesson,1827.) MENGGUNAKAN APLIKASI SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS SKRIPSI Oleh : MUHAMMAD MARLIANSYAH 061202036 DEPARTEMEN KEHUTANAN FAKULTAS PERTANIAN

Lebih terperinci

BAB III METODELOGI PENELITIAN. Penelitian ini dilakukan pada bulan Januari 2017 hingga bulan Februari

BAB III METODELOGI PENELITIAN. Penelitian ini dilakukan pada bulan Januari 2017 hingga bulan Februari 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian BAB III METODELOGI PENELITIAN Penelitian ini dilakukan pada bulan Januari 2017 hingga bulan Februari 2017 yang berada di Resort Bandealit, SPTN Wilayah II, Taman Nasional

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN 13 BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Waktu dan Lokasi Penelitian Penelitian dilaksanakan pada bulan Juli-September 2011, dengan lokasi penelitian untuk pengamatan dan pengambilan data di Kabupaten Bogor, Jawa

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Analisis Perubahan Rasio Hutan Sebelum membahas hasil simulasi model REMO, dilakukan analisis perubahan rasio hutan pada masing-masing simulasi yang dibuat. Dalam model

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. menggunakan metode transek belt yaitu dengan menarik garis lurus memanjang

BAB III METODE PENELITIAN. menggunakan metode transek belt yaitu dengan menarik garis lurus memanjang BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Rancangan Penelitian Penelitian ini bersifat deskriptif kuantitatif. Penelitian ini dengan menggunakan metode transek belt yaitu dengan menarik garis lurus memanjang kearah

Lebih terperinci

12/29/2010. PEMODELAN SPASIAL KESESUAIAN HABITAT TAPIR (Tapirus indicus Desmarest 1819) DI RESORT BATANG SULITI- TAMAN NASIONAL KERINCI-SEBLAT

12/29/2010. PEMODELAN SPASIAL KESESUAIAN HABITAT TAPIR (Tapirus indicus Desmarest 1819) DI RESORT BATANG SULITI- TAMAN NASIONAL KERINCI-SEBLAT PEMODELAN SPASIAL KESESUAIAN HABITAT TAPIR (us indicus Desmarest 1819) DI RESORT BATANG SULITI- TAMAN NASIONAL KERINCI-SEBLAT Dieta Arbaranny Koeswara / E34050831 1. Latar Belakang Taman Nasional Kerinci

Lebih terperinci

DISTRIBUSI DAN KERAPATAN EDELWEIS (Anaphalis javanica) DIGUNUNG BATOK TAMAN NASIONAL BROMO TENGGER SEMERU DIDIK WAHYUDI

DISTRIBUSI DAN KERAPATAN EDELWEIS (Anaphalis javanica) DIGUNUNG BATOK TAMAN NASIONAL BROMO TENGGER SEMERU DIDIK WAHYUDI DISTRIBUSI DAN KERAPATAN EDELWEIS (Anaphalis javanica) DIGUNUNG BATOK TAMAN NASIONAL BROMO TENGGER SEMERU DIDIK WAHYUDI ABSTRAK Gunung Batok merupakan satu diantara gunung-gunung di Taman Nasional Bromo

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. DAS (Daerah Aliran Sungai) Daerah aliran sungai adalah merupakan sebuah kawasan yang dibatasi oleh pemisah topografis, yang menampung, menyimpan dan mengalirkan curah hujan yang

Lebih terperinci

BAB IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 7 BAB IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Kondisi Geografis Kabupaten Karawang Wilayah Kabupaten Karawang secara geografis terletak antara 107 02-107 40 BT dan 5 56-6 34 LS, termasuk daerah yang relatif rendah

Lebih terperinci

Gambar 2 Peta lokasi studi

Gambar 2 Peta lokasi studi 15 III. METODOLOGI 3.1. Lokasi dan Waktu Studi Studi dilakukan di Kebun Anggrek yang terletak dalam areal Taman Kyai Langgeng (TKL) di Jalan Cempaka No 6, Kelurahan Kemirirejo, Kecamatan Magelang Tengah,

Lebih terperinci

4 METODE PENELITIAN. Lokasi dan Waktu Penelitian

4 METODE PENELITIAN. Lokasi dan Waktu Penelitian 4 METODE PENELITIAN Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilakukan di hutan Desa Aur Kuning, Kecamatan Kampar Kiri Hulu, Provinsi Riau. Penelitian dilaksanakan pada bulan Februari hingga Mei 2012.

Lebih terperinci

FAKTOR-FAKTOR PEMBENTUK IKLIM INDONESIA. PERAIRAN LAUT INDONESIA TOPOGRAFI LETAK ASTRONOMIS LETAK GEOGRAFIS

FAKTOR-FAKTOR PEMBENTUK IKLIM INDONESIA. PERAIRAN LAUT INDONESIA TOPOGRAFI LETAK ASTRONOMIS LETAK GEOGRAFIS FAKTOR-FAKTOR PEMBENTUK IKLIM INDONESIA. PERAIRAN LAUT INDONESIA TOPOGRAFI LETAK ASTRONOMIS LETAK GEOGRAFIS IKLIM INDONESIA Pengertian Iklim Iklim adalah keadaan cuaca rata-rata dalam waktu satu tahun

Lebih terperinci

BAB III TINJAUAN WILAYAH YOGYAKARTA

BAB III TINJAUAN WILAYAH YOGYAKARTA BAB III TINJAUAN WILAYAH YOGYAKARTA 3.1 TINJAUAN UMUM WILAYAH YOGYAKARTA 3.1.1 Kondisi Geografis dan Aministrasi Kota Yogyakarta terletak di bagian tengah-selatan Pulau Jawa dengan luas 32,50 km2. Kota

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sumatera Utara memiliki luas total sebesar 181.860,65 Km² yang terdiri dari luas daratan sebesar 71.680,68 Km² atau 3,73 % dari luas wilayah Republik Indonesia. Secara

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. endangered berdasarkan IUCN 2013, dengan ancaman utama kerusakan habitat

BAB I PENDAHULUAN. endangered berdasarkan IUCN 2013, dengan ancaman utama kerusakan habitat BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Rekrekan (Presbytis comata fredericae Sody, 1930) merupakan salah satu primata endemik Pulau Jawa yang keberadaannya kian terancam. Primata yang terdistribusi di bagian

Lebih terperinci

METODE PENELITIAN. Penelitian tentang analisis habitat monyet ekor panjang dilakukan di hutan Desa

METODE PENELITIAN. Penelitian tentang analisis habitat monyet ekor panjang dilakukan di hutan Desa 19 III. METODE PENELITIAN 3.1. Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian tentang analisis habitat monyet ekor panjang dilakukan di hutan Desa Cugung, KPHL Gunung Rajabasa, Kecamatan Rajabasa, Kabupaten Lampung

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. pada tumbuhan lain yang lebih besar dan tinggi untuk mendapatkan cahaya

II. TINJAUAN PUSTAKA. pada tumbuhan lain yang lebih besar dan tinggi untuk mendapatkan cahaya 5 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian Liana Liana merupakan tumbuhan yang berakar pada tanah, tetapi batangnya membutuhkan penopang dari tumbuhan lain agar dapat menjulang dan daunnya memperoleh cahaya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara yang memiliki keanekaragaman hayati

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara yang memiliki keanekaragaman hayati BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Indonesia merupakan negara yang memiliki keanekaragaman hayati tertinggi di dunia, setelah Brazil (Anonimus, 2009). Brazil merupakan salah satu negara dengan

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN

III. METODE PENELITIAN 8 III. METODE PENELITIAN 3.1. Lokasi dan Waktu Lokasi pelaksanaan penelitian adalah di Taman Nasional Lore Lindu, Resort Mataue dan Resort Lindu, Provinsi Sulawesi Tengah. Penelitian ini dilaksanakan pada

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilakukan di Bukit Gunung Sulah Kelurahan Gunung Sulah

III. METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilakukan di Bukit Gunung Sulah Kelurahan Gunung Sulah III. METODE PENELITIAN A. Waktu dan Lokasi Penelitian Penelitian ini dilakukan di Bukit Gunung Sulah Kelurahan Gunung Sulah Kecamatan Sukarame Kota Bandar Lampung (Gambar 2) pada bulan Juli sampai dengan

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian ini akan dilaksanakan pada bulan Juni Pengambilan

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian ini akan dilaksanakan pada bulan Juni Pengambilan BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Rancangan Penelitian Penelitian ini menggunakan metode deskriptif kuantitatif yang mendiskripsikan tentang keanekaragaman dan pola distribusi jenis tumbuhan paku terestrial.

Lebih terperinci

3.2 Alat. 3.3 Batasan Studi

3.2 Alat. 3.3 Batasan Studi 3.2 Alat Alat yang digunakan dalam penelitian ini antara lain alat tulis dan kamera digital. Dalam pengolahan data menggunakan software AutoCAD, Adobe Photoshop, dan ArcView 3.2 serta menggunakan hardware

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. lainnya yang berbahasa Melayu sering disebut dengan hutan bakau. Menurut

TINJAUAN PUSTAKA. lainnya yang berbahasa Melayu sering disebut dengan hutan bakau. Menurut TINJAUAN PUSTAKA Hutan Manggrove Hutan mangrove oleh masyarakat Indonesia dan negara Asia Tenggara lainnya yang berbahasa Melayu sering disebut dengan hutan bakau. Menurut Kusmana dkk (2003) Hutan mangrove

Lebih terperinci

Asrianny, Arghatama Djuan. Laboratorium Konservasi Biologi dan Ekowisata Unhas. Abstrak

Asrianny, Arghatama Djuan. Laboratorium Konservasi Biologi dan Ekowisata Unhas. Abstrak Pola Penyebaran dan Struktur Populasi Eboni (Diospyros celebica Bakh.) di Hutan Pendidikan Universitas Hasanuddin, Kabupaten Maros Propinsi Sulawesi Selatan Asrianny, Arghatama Djuan Laboratorium Konservasi

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN

III. METODE PENELITIAN III. METODE PENELITIAN A. Pembatasan Masalah Penelitian Keanekaragaman Jenis Burung di Berbagai Tipe Daerah Tepi (Edges) Taman Hutan Raya Sultan Syarif Hasyim Propinsi Riau selama 6 bulan adalah untuk

Lebih terperinci

Faktor-faktor Pembentuk Iklim Indonesia. Perairan laut Indonesia Topografi Letak astronomis Letak geografis

Faktor-faktor Pembentuk Iklim Indonesia. Perairan laut Indonesia Topografi Letak astronomis Letak geografis IKLIM INDONESIA Pengertian Iklim Iklim adalah keadaan cuaca rata-rata dalam waktu satu tahun dan meliputi wilayah yang luas. Secara garis besar Iklim dapat terbentuk karena adanya: a. Rotasi dan revolusi

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang 1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pulau Timor memiliki avifauna yang unik (Noske & Saleh 1996), dan tingkat endemisme burung tertinggi dibandingkan dengan beberapa pulau besar lain di Nusa Tenggara (Pulau

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Lahan merupakan bagian bentang alam (landscape) yang mencakup komponen fisik yang terdiri dari iklim, topografi (relief), hidrologi dan keadaan vegetasi alami (natural

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Sokokembang bagian dari Hutan Lindung Petungkriyono yang relatif masih

BAB I PENDAHULUAN. Sokokembang bagian dari Hutan Lindung Petungkriyono yang relatif masih 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Habitat merupakan kawasan yang terdiri atas komponen biotik maupun abiotik yang dipergunakan sebagai tempat hidup dan berkembangbiak satwa liar. Setiap jenis satwa

Lebih terperinci

III. METODOLOGI PENELITIAN

III. METODOLOGI PENELITIAN III. METODOLOGI PENELITIAN A. Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini dilakukan di hutan hujan tropika yang berlokasi di areal IUPHHK PT. Suka Jaya Makmur, Kalimantan Barat. Penelitian dilaksanakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan salah satu negara yang memiliki mega biodiversity

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan salah satu negara yang memiliki mega biodiversity BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia merupakan salah satu negara yang memiliki mega biodiversity setelah Brazil dan Madagaskar. Keanekaragaman sumber daya hayati Indonesia termasuk dalam golongan

Lebih terperinci

BAB III KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN

BAB III KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN 19 3.1 Luas dan Lokasi BAB III KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN Kabupaten Humbang Hasundutan mempunyai luas wilayah seluas 2.335,33 km 2 (atau 233.533 ha). Terletak pada 2 o l'-2 o 28' Lintang Utara dan

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. Taman Nasional Baluran, Jawa Timur dan dilakasanakan pada 28 September

BAB III METODE PENELITIAN. Taman Nasional Baluran, Jawa Timur dan dilakasanakan pada 28 September BAB III METODE PENELITIAN A. Jenis Penelitian Penelitian ini merupakan penelitian eksploratif, dengan objek penelitian tumbuhan mangrove di Pantai Bama hingga Dermaga Lama, Taman Nasional Baluran, Jawa

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Laporan hasil kajian Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC) tahun 2001 mengenai perubahan iklim, yaitu perubahan nilai dari unsur-unsur iklim dunia sejak tahun

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN 11 BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Tempat dan Waktu Penelitian ekologi perilaku ayam hutan hijau (Gallus varius) dilaksanakan di hutan musim Tanjung Gelap dan savana Semenanjung Prapat Agung kawasan Taman

Lebih terperinci

Diro Eko Pramono I. PENDAHULUAN

Diro Eko Pramono I. PENDAHULUAN APLIKASI SEDERHANA SIG PADA PEMBANGUNAN PLOT KONSERVASI EKS SITU JABON DI GUNUNG KIDUL Simple Aplication SIG at Establihsment of Ex situ Plot of Conservation Jabon at Gunung Kidul Balai Besar Penelitian

Lebih terperinci

IV. METODE PENELITIAN

IV. METODE PENELITIAN 21 IV. METODE PENELITIAN 4.1 Lokasi dan Waktu Penelitian dilaksanakan secara langsung di Hutan Pendidikan Gunung Walat. Penelitian dilaksanakan selama 3 bulan yaitu pada bulan Maret sampai dengan bulan

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA

II. TINJAUAN PUSTAKA II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Lahan Lahan adalah lingkungan fisik yang meliputi tanah, iklim, relief, hidrologi dan vegetasi dimana faktor tersebut mempengaruhi potensi penggunaan lahannya (Hardjowigeno et

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN 3.1. Waktu dan Lokasi Penelitian dilaksanakan di kawasan Tambling Wildlife Nature Conservation, Taman Nasional Bukit Barisan Selatan untuk kegiatan pengamatan dan pengambilan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. berbagai kegiatan yang mengancam eksistensi kawasan konservasi (khususnya

BAB I PENDAHULUAN. berbagai kegiatan yang mengancam eksistensi kawasan konservasi (khususnya BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Manusia dan kawasan konservasi memiliki korelasi yang kuat. Suatu kawasan konservasi memiliki fungsi ekologi, ekonomi, dan sosial sedangkan manusia memiliki peran

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN 22 BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian mengenai analisis data Landsat 7 untuk estimasi umur tanaman kelapa sawit mengambil daerah studi kasus di areal perkebunan PTPN VIII

Lebih terperinci

4. SEBARAN DAERAH RENTAN PENYAKIT DBD MENURUT KEADAAN IKLIM MAUPUN NON IKLIM

4. SEBARAN DAERAH RENTAN PENYAKIT DBD MENURUT KEADAAN IKLIM MAUPUN NON IKLIM 4. SEBARAN DAERAH RENTAN PENYAKIT DBD MENURUT KEADAAN IKLIM MAUPUN NON IKLIM 4.1. PENDAHULUAN 4.1.1. Latar Belakang DBD termasuk salah satu penyakit yang disebabkan oleh infeksi virus sebagai patogen dan

Lebih terperinci

BAB IV METODE PENELITIAN

BAB IV METODE PENELITIAN 28 BAB IV METODE PENELITIAN 4.1 Waktu dan Lokasi Penelitian dilaksanakan selama satu bulan, dimulai dari bulan November- Desember 2011. Lokasi pengamatan disesuaikan dengan tipe habitat yang terdapat di

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian ini menggunakan metode deskriptif kuantitatif yang

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian ini menggunakan metode deskriptif kuantitatif yang BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Rancangan Penelitian Penelitian ini menggunakan metode deskriptif kuantitatif yang mendiskripsikan tentang keanekaragaman dan pola distribusi jenis tumbuhan paku terestrial.

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 6 3.3.5 Persamaan Hubungan RTH dengan Suhu Udara Penjelasan secara ilmiah mengenai laju pemanasan/pendinginan suhu udara akibat pengurangan atau penambahan RTH adalah mengikuti hukum pendinginan Newton,

Lebih terperinci

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN 23 BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Leaf Index Area (LAI) Lokasi Sampel Kerapatan daun atau kerindangan, biasa diukur dengan nilai indeks luas daun atau Leaf Area Index (LAI) (Chen & Black 1992 diacu dalam

Lebih terperinci

IV. GAMBARAN UMUM. Kabupaten Lampung Tengah adalah salah satu Kabupaten di Provinsi Lampung.

IV. GAMBARAN UMUM. Kabupaten Lampung Tengah adalah salah satu Kabupaten di Provinsi Lampung. IV. GAMBARAN UMUM A. Kondisi Umum Kabupaten Lampung Tengah Kabupaten Lampung Tengah adalah salah satu Kabupaten di Provinsi Lampung. Luas wilayah Kabupaten Lampung Tengah sebesar 13,57 % dari Total Luas

Lebih terperinci

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN 35 BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Curah Hujan Data curah hujan yang terjadi di lokasi penelitian selama 5 tahun, yaitu Januari 2006 hingga Desember 2010 disajikan dalam Gambar 5.1. CH (mm) 600 500 400

Lebih terperinci

II. METODOLOGI. A. Metode survei

II. METODOLOGI. A. Metode survei II. METODOLOGI A. Metode survei Pelaksanaan kegiatan inventarisasi hutan di KPHP Maria Donggomassa wilayah Donggomasa menggunakan sistem plot, dengan tahapan pelaksaan sebagai berikut : 1. Stratifikasi

Lebih terperinci

ANALISIS PERUBAHAN TUTUPAN VEGETASI BERDASARKAN NILAI NDVI DAN FAKTOR BIOFISIK LAHAN DI CAGAR ALAM DOLOK SIBUAL-BUALI SKRIPSI

ANALISIS PERUBAHAN TUTUPAN VEGETASI BERDASARKAN NILAI NDVI DAN FAKTOR BIOFISIK LAHAN DI CAGAR ALAM DOLOK SIBUAL-BUALI SKRIPSI ANALISIS PERUBAHAN TUTUPAN VEGETASI BERDASARKAN NILAI NDVI DAN FAKTOR BIOFISIK LAHAN DI CAGAR ALAM DOLOK SIBUAL-BUALI SKRIPSI Oleh : Ardiansyah Putra 101201018 PROGRAM STUDI KEHUTANAN FAKULTAS PERTANIAN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dalam Ilmu Ekologi dikenal dengan istilah habitat. jenis yang membentuk suatu komunitas. Habitat suatu organisme untuk

BAB I PENDAHULUAN. dalam Ilmu Ekologi dikenal dengan istilah habitat. jenis yang membentuk suatu komunitas. Habitat suatu organisme untuk BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Setiap makhluk hidup dalam kehidupannya memiliki lingkungan kehidupan yang asli atau tempat tinggal yang khas untuk dapat hidup, tumbuh dan berkembang dengan baik

Lebih terperinci

METODE Waktu dan Tempat Metode Penelitian Analisis Vegetasi

METODE Waktu dan Tempat Metode Penelitian Analisis Vegetasi METODE Waktu dan Tempat Pengumpulan data dilakukan di ekosistem program PHBM di RPH Gambung petak 27, KPH Bandung Selatan (S 07 0 07 25.1 E 107 0 30 35.2, ketinggian 1246 mdpl), kemiringan lereng 36% pada

Lebih terperinci