VARIASI SOMAKLONAL DAN SELEKSI IN VITRO ABAKA (Musa textilis Nee) UNTUK KETAHANAN TERHADAP LAYU FUSARIUM RULLY DYAH PURWATI

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "VARIASI SOMAKLONAL DAN SELEKSI IN VITRO ABAKA (Musa textilis Nee) UNTUK KETAHANAN TERHADAP LAYU FUSARIUM RULLY DYAH PURWATI"

Transkripsi

1 VARIASI SOMAKLONAL DAN SELEKSI IN VITRO ABAKA (Musa textilis Nee) UNTUK KETAHANAN TERHADAP LAYU FUSARIUM RULLY DYAH PURWATI SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2007

2 SURAT PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI Saya menyatakan dengan sebenar-benarnya bahwa disertasi saya berjudul Variasi Somaklonal dan Seleksi In Vitro Abaka (Musa textilis Nee) untuk Ketahanan terhadap Layu Fusarium adalah benar-benar asli karya saya dengan arahan komisi pembimbing, dan bukan hasil jiplakan atau tiruan dari tulisan siapapun serta belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Bogor, Januari 2007 Rully Dyah Purwati NIM G ii

3 ABSTRAK RULLY DYAH PURWATI. Variasi Somaklonal dan Seleksi In Vitro Abaka (Musa textilis Nee.) untuk Ketahanan terhadap Layu Fusarium. Dibimbing oleh EDI GUHARDJA, SAID HARRAN, SUDARSONO dan SUDJINDRO. Kendala utama yang dihadapi dalam pengembangan abaka di daerah tropis adalah adanya serangan penyakit layu yang disebabkan oleh jamur Fusarium oxysporum Schlecht.f.sp. cubense (E.F. Smith) Snyd & Hans dan dilaporkan telah menimbulkan kerusakan antara 5-65% dari pertanaman abaka di lapangan. Sejauh ini, penggunaan kultivar abaka yang resisten merupakan metode alternatif pengendalian F. oxysporum f.sp. cubense (Foc) yang efektif. Perakitan kultivar abaka resisten terhadap penyakit tersebut melalui hibridisasi atau seleksi sulit dilakukan karena sempitnya keragaman genetika. Pendekatan induksi keragaman genetika dengan menggunakan kombinasi perlakuan mutagenesis dan perbanyakan tanaman secara in vitro yang dilanjutkan dengan seleksi in vitro merupakan metode yang efisien untuk memperoleh kultivar abaka resisten terhadap penyakit layu Fusarium. Penggunaan mutagen EMS yang dikombinasikan dengan kultur in vitro meningkatkan tipe varian somaklonal diantara bibit abaka yang diregenerasikan dari kalus embriogen. Keberadaan sejumlah fenotipe varian diantara bibit abaka hasil perlakuan EMS pada kalus embriogen mengindikasikan meningkatnya keragaman genetika bibit abaka. Dengan demikian, terbuka peluang penggunaan metode tersebut untuk mendapatkan karakter unggul tertentu seperti produktivitas dan kualitas serat tinggi, atau resistensi terhadap layu Fusarium, meskipun kebanyakan varian yang didapat bersifat negatif. Untuk itu perlu didukung dengan teknik seleksi in vitro menggunakan agens penyeleksi filtrat kultur (FK) Foc atau asam fusarat (AF). Dari hasil pengembangan teknik seleksi in vitro terhadap kalus embriogen abaka, dapat dibuktikan bahwa FK dari tiga isolat Foc dan toksin asam fusarat (AF) mampu menghambat proliferasi kalus embriogen dan tunas abaka. Seleksi in vitro dengan mengkulturkan kalus embriogen abaka yang sebelumnya diberi perlakuan 0.6% EMS dalam media selektif dengan penambahan 40% FK Foc isolat Banyuwangi atau 50 mg/l AF, diperoleh klon-klon varian abaka yang insensitif FK Foc sebanyak 326 tunas dari klon Tangongon dan 176 tunas dari klon Sangihe-1. Dari kalus embriogen abaka hasil seleksi in vitro dengan AF diperoleh tunas yang insensitif terhadap AF sebanyak 85 tunas varian abaka klon Tangongon dan 28 tunas varian klon Sangihe-1. Setelah tahapan aklimatisasi, pembibitan, dan evaluasi respon terhadap inokulasi Foc berhasil diperoleh 8 bibit untuk abaka klon Tangongon dan 8 bibit untuk abaka klon Sangihe-1 yang meningkat resistensinya terhadap infeksi Foc isolat Banyuwangi. Kata kunci: Keragaman somaklonal, seleksi in vitro, abaka, Fusarium oxysporum f.sp. cubense. iii

4 ABSTRACT RULLY DYAH PURWATI. Somaclonal Variation and In Vitro Selection of Abaca (Musa textilis Nee) to Resistance against Fusarium Wilt. Supervised by EDI GUHARDJA, SAID HARRAN, SUDARSONO, and SUDJINDRO. Cultivation of abaca (Musa textilis Nee) in Indonesia is hampered by Fusarium wilt (Panama disease) due to infection of Fusarium oxysporum Schlecht f.sp. cubense (E.F. Smith) Snyd & Hans (Foc) and caused reduction of abaca fibre yield by as much as 5-65% in comercial abaca cultivation. The use of resistance Fusarium wilt abaca clones is the most efective method for overcoming the problem. However, development of F. oxysporum f.sp cubense (Foc) resistance abaca genotypes requires the availability of a wide abaca genetic variability. Induction of genetic variability through mutagenesis in combination with in vitro selection may be the most efficient method for developing the Foc resistant abaca clones. The use of EMS mutagen combined with in vitro culture improves type of somaclonal variants in abaca plantlets regenerated from embryogenic calli. The existence of somaclonal variants among regenerated abaca plantlet indicate the increased genetic variability of abaca; therefore, open the possibility of using embryogenic calli treated with EMS to obtain desirable mutant such as fiber productivity and quality, or Fusarium wilt resistance, even though most of variants have negative characters. For this reason, the use of in vitro selection using culture filtrates (CF) of Foc or fusaric acid is required. Culture filtrates of three Foc isolates and toxin fusaric acid (FA) inhibited proliferation of embriogenic calli and shoots of abaca. Following treatment by 0.6% EMS of abaca embriogenic calli, and cultured in selection medium containing 40% CF Foc isolate Banyuwangi or 50 mg/l FA, resulted in 326 shoots of abaca variants insensitive to Foc CF from clone Tangongon and 176 shoots from clone Sangihe-1. Meanwhile 85 shoots insensitive to FA of abaca variants clone Tangongon and 28 shoots of clone Sangihe-1 were resulted from in vitro selection using FA as selective agents. Following acclimatization and evaluation of responses to Foc inoculation resulted in 8 plantlets from clone Tangongon and 8 plantlets from clone Sangihe-1 with increase in resistance to Foc infection isolate Banyuwangi. Keywords : somaclonal variation, in vitro selection, abaca, Fusarium oxysporum f.sp. cubense. iv

5 Hak cipta milik Institut Pertanian Bogor, tahun 2007 Hak cipta dilindungi Dilarang mengutip dan memperbanyak tanpa izin tertulis dari Institut Pertanian Bogor, sebagian atau seluruhnya dalam bentuk apa pun, baik cetak, fotokopi, mikrofilm, dan sebagainya. v

6 VARIASI SOMAKLONAL DAN SELEKSI IN VITRO ABAKA (Musa textilis Nee) UNTUK KETAHANAN TERHADAP LAYU FUSARIUM Rully Dyah Purwati Disertasi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor pada Program Studi Biologi SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2007 vi

7 Judul Disertasi : Variasi Somaklonal dan Seleksi In Vitro Abaka (Musa textilis Nee) untuk Ketahanan terhadap Layu Fusarium Nama : Rully Dyah Purwati NRP : G Disetujui Komisi Pembimbing Prof. Dr. Ir. Edi Guhardja, MSc Ketua Dr. Ir. Said Harran, MSc Anggota Prof. Dr. Ir. Sudarsono, MSc Anggota Dr. Ir. Sudjindro, MS Anggota Diketahui Ketua Program Studi Biologi Dekan Sekolah Pascasarjana Dr. Ir. Dedy Duryadi S, DEA Prof. Dr. Ir. Khairil A. Notodiputro, MS Tanggal Ujian: 20 Desember 2006 Tanggal Lulus: vii

8 PRAKATA Puji syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala karunianya sehingga disertasi ini berhasil diselesaikan. Penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Mei 2003 hingga Agustus 2006 berjudul: Variasi somaklonal dan seleksi in vitro abaka (Musa textilis Nee) untuk ketahanan terhadap layu Fusarium. Pemilihan judul tersebut bertujuan untuk memperoleh klon unggul baru abaka yang memiliki produktivitas dan kualitas serat tinggi, serta tahan terhadap penyakit layu fusarium. Penulisan disertasi ini bertujuan untuk memperoleh gelar doktor pada Program Studi Biologi. Terima kasih penulis sampaikan kepada Bapak Prof. Dr. Ir. Edi Guhardja, M.Sc selaku ketua komisi pembimbing, Bapak Dr. Ir. Said Harran, M.Sc, Bapak Prof. Dr. Ir. Sudarsono, M. Sc dan Bapak Dr. Ir. Sudjindro, MS selaku anggota komisi pembimbing, yang telah banyak memberikan saran dan bimbingan. Penulis juga menyampaikan terima kasih kepada Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian (Jakarta), Kepala Puslit Pengembangan Tanaman Perkebunan (Bogor), dan Kepala Balai Penelitian Tanaman Tembakau dan Serat (Malang) yang telah memberikan kesempatan dan izin studi untuk mengikuti program doktor (S3) pada sekolah Pascasarjana IPB. Berikutnya penulis menyampaikan terima kasih kepada Pemimpin Proyek Pengkajian Teknologi Pertanian Partisipatif (PAATP) yang telah memberikan dana studi S3. Terima kasih juga penulis sampaikan kepada Ibu Dr. Ika Mariska (APU) dari Balai Besar Bioteknologi dan Sumber Daya Genetik (Bogor) atas pemberian saran-saran dan kultur abaka klon Tangongon sebagai bahan penelitian. Tak lupa kepada seluruh rekan-rekan di Balittas, Malang yang telah membantu baik moril maupun materiil, penulis menyampaikan terima kasih. Kepada rekan-rekan di program studi Biologi dan Agronomi yang telah berteman, bersahabat dan berdiskusi selama studi di IPB, penulis menyampaikan terima kasih. Terima kasih yang tak terhingga penulis sampaikan kepada sdri. Aris Farida yang telah setia membantu dalam pelaksanaan penelitian. Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada suami dan anak-anak, serta seluruh keluarga yang telah memberikan do a, semangat dan kasih sayangnya. Kepada semua pihak yang telah memberikan bantuan selama penelitian dan penyusunan disertasi, penulis menyampaikan terima kasih. Semoga disertasi ini bermanfaat bagi yang membutuhkan. Bogor, Januari 2007 Rully Dyah Purwati viii

9 RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Tulungagung pada tanggal 2 Mei 1958 sebagai anak ke empat dari pasangan R.M. Soerjopoetro dan R.Ngt. Soekapti. Pendidikan sarjana ditempuh di Departemen Agronomi, jurusan Pemuliaan Tanaman, Fakultas Pertanian Universitas Gadjah Mada, Jogjakarta, lulus pada tahun Pendidikan S2 jurusan Bioteknologi Pertanian ditempuh pada tahun di Murdoch University, Perth, Australia dengan gelar Master of Philosophy yang diperoleh tahun Beasiswa untuk pendidikan S2 berasal dari pemerintah Australia (Ausaid).Tahun 2001 penulis mendapat kesempatan untuk melanjutkan ke program doktor pada program studi Biologi, sekolah Pascasarjana IPB, dengan beasiswa yang diperoleh dari Proyek PAATP Badan LITBANG Pertanian. Sejak bulan Maret 1984 penulis bekerja sebagai tenaga honorer, terhitung mulai April 1985 diangkat menjadi Pegawai Negeri Sipil di Balai Penelitian Tanaman Tembakau dan Serat (Balittas). Sejumlah tugas yang pernah diembannya antara lain: Ketua Kelompok Peneliti Pemuliaan Balittas ( ); Focal Point Scientist of IJO (International Jute Organisation) Germplasm Project ( ); National Project Coordinator of IJO Project on Application of Biotechnology in the Improvement of Jute, Kenaf and Allied Fibres Phase II ( ). Jenjang fungsional Peneliti Muda bidang Pemuliaan Tanaman diperoleh pada tahun Penulis telah berperan aktif dalam berbagai kegiatan penelitian dan pelepasan varietas unggul kenaf: KR 1, KR 2, KR 3, KR 4, KR 5, KR 6, KR 9, KR 11, KR 12 dan KR 13. Sampai saat ini telah mempublikasikan sejumlah karya ilmiah di berbagai jurnal ilmiah, majalah semi ilmiah, atau prosiding pertemuan ilmiah di tingkat regional, nasional maupun internasional dalam bahasa Indonesia dan Inggris. Beberapa pelatihan yang pernah diikuti untuk meningkatkan keahlian antara lain: Pelatihan di bidang Pemuliaan Radiasi dan Mutasi (BATAN, Jakarta dan BARC, India), Kursus singkat Kultur Jaringan dan Fusi Sel (PAU, UGM, Jogjakarta), serta Pemuliaan Kenaf (IBFC, China). ix

10 DAFTAR ISI Halaman DAFTAR TABEL... DAFTAR GAMBAR... DAFTAR LAMPIRAN... xiv xvii xxi BAB I PENDAHULUAN... 1 LATAR BELAKANG. 1 PENDEKATAN MASALAH.. 4 TUJUAN PENELITIAN.. 6 MANFAAT PENELITIAN... 7 GARIS BESAR DISERTASI.. 7 BAB II TINJAUAN PUSTAKA TANAMAN ABAKA Biologi dan manfaatnya Asal dan penyebarannya Plasma nutfah dan pemuliaannya PENYAKIT LAYU FUSARIUM Gejala yang ditimbulkan Respon tanaman terhadap penyakit layu Fusarium Metabolit yang terdapat dalam ekstrak F. oxysporum Asam Fusarat dan gejala yang ditimbulkannya KULTUR JARINGAN ABAKA. 20 MUTASI DAN KERAGAMAN SOMAKLONAL.. 21 SELEKSI IN VITRO. 23 BAB III METODE INOKULASI DAN KERAPATAN KONIDIUM Fusarium oxysporum f.sp. cubense UNTUK MENGINFEKSI ABAKA ABSTRAK ABSTRACT PENDAHULUAN BAHAN DAN METODE Isolat F. oxysporum f.sp cubense dan Bahan Tanaman Efektivitas Metode Inokulasi Pengaruh Kerapatan Konidia Foc terhadap Intensitas 29 Penyakit... x

11 Respon 10 Klon Abaka terhadap Infeksi Foc Skoring Gejala dan Intensitas Penyakit Pengamatan Anatomis Akar HASIL Efektivitas Metode Inokulasi Pengaruh Kerapatan Konidia Foc Respon 10 klon abaka terhadap infeksi Foc PEMBAHASAN SIMPULAN DAFTAR PUSTAKA BAB IV BAB V INDUKSI MUTAN SOMAKLONAL DENGAN PER- LAKUAN EMS PADA KULTUR KALUS EMBRIOGEN ABAKA (Musa textilis Nee) ABSTRAK ABSTRACT PENDAHULUAN BAHAN DAN METODE Induksi dan proliferasi kalus embriogen abaka Daya hambat EMS terhadap proliferasi kalus embriogen Keragaman fenotipik bibit abaka akibat perlakuan EMS HASIL.. 45 Induksi dan proliferasi kalus embriogen abaka Daya hambat EMS terhadap proliferasi kalus embriogen Keragaman fenotipik bibit abaka akibat perlakuan EMS PEMBAHASAN.. 49 SIMPULAN DAFTAR PUSTAKA KERAGAAN DI LAPANGAN DARI KLON VARIAN ABAKA YANG DIINDUKSI DENGAN ETHYL METHANESULPHONATE (EMS) ABSTRAK ABSTRACT PENDAHULUAN BAHAN DAN METODE Induksi varian dengan EMS dan regenerasi tanaman Penanaman bibit abaka varian di lapangan Karakter kualitatif tanaman di lapangan Karakter kuantitatif tanaman di lapangan HASIL.. 61 Karakter kualitatif tanaman di lapangan.. 61 xi

12 Karakter kuantitatif tanaman di lapangan PEMBAHASAN.. 66 SIMPULAN DAFTAR PUSTAKA BAB VI BAB VII SELEKSI IN VITRO UNTUK RESISTENSI ABAKA TERHADAP F. oxysporum f.sp. cubense MENG- GUNAKAN FILTRAT KULTUR SEBAGAI AGENS PENYELEKSI ABSTRAK ABSTRACT PENDAHULUAN BAHAN DAN METODE Penyiapan FK Foc Daya hambat FK tiga isolat Foc Seleksi in vitro dengan FK Foc Regenerasi dan Evaluasi Tunas Varian Hasil Seleksi in 77 vitro... HASIL.. 78 Daya hambat FK tiga isolat Foc.. 78 Seleksi in vitro dengan FK Foc Evaluasi Tunas Varian Hasil Seleksi in vitro PEMBAHASAN.. 81 SIMPULAN DAFTAR PUSTAKA SELEKSI IN VITRO UNTUK RESISTENSI ABAKA TERHADAP F. oxysporum f.sp. cubense MENG- GUNAKAN ASAM FUSARAT SEBAGAI AGENS PENYELEKSI ABSTRAK ABSTRACT PENDAHULUAN BAHAN DAN METODE Daya hambat AF.. 91 Peningkatan keragaman abaka dengan EMS Seleksi in vitro dengan AF Evaluasi Tunas Varian Hasil Seleksi in vitro HASIL.. 93 Daya hambat AF.. 93 Seleksi in vitro dengan AF Evaluasi Tunas Varian Hasil Seleksi in vitro xii

13 PEMBAHASAN.. 96 SIMPULAN DAFTAR PUSTAKA BAB VIII RESISTENSI KLON ABAKA VARIAN SOMAKLONAL TERHADAP INFEKSI F. oxysporum f.sp cubense ABSTRAK ABSTRACT PENDAHULUAN BAHAN DAN METODE Populasi bibit abaka Inokulasi bibit abaka dengan Foc Bw HASIL Populasi bibit abaka Respon individu bibit terhadap Foc BW Pengaruh panjang akar dan tinggi bibit awal terhadap 112 resistensi... Perbedaan respon klon yang berasal dari satu eksplan PEMBAHASAN SIMPULAN DAFTAR PUSTAKA BAB IX PEMBAHASAN UMUM BAB X SIMPULAN DAN SARAN SIMPULAN SARAN DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN xiii

14 DAFTAR TABEL Nomor J u d u l Halaman 1 Pengaruh metode inokulasi F. oxysporum f.sp. cubense isolat Banyuwangi (Bw), Bojonegoro (Bn) atau Malang (Ml) terhadap persentase tanaman bergejala, rataan skor gejala kelayuan dan intensitas penyakit pada bibit abaka klon Tangongon, pada 30 hari sesudah inokulasi. 2 Pengaruh kerapatan konidia F. oxysporum f.sp. cubense isolat Banyuwangi yang digunakan untuk menginokulasi bibit abaka klon Tangongon (Tg), Sangihe-1 (Sh), atau UB-3 (Ub) terhadap persentase bibit bergejala, rataan skor gejala kelayuan (SGK), dan intensitas penyakit (IP). 3 Pengaruh kerapatan konidia F. oxysporum f.sp. cubense isolat Banyuwangi yang digunakan untuk menginokulasi bibit abaka klon Tangongon (Tg), Sangihe-1 (Sh), atau UB-3 (Ub) abaka klon Tangongon (Tg), Sangihe-1 (Sh), atau UB-3 (Ub) terhadap persentase bibit bergejala, rataan skor gejala nekrosis(sgn) pada bonggol bibit, dan intensitas penyakit (IP), pada 60 hari sesudah inokulasi. 4 Respons 10 klon abaka terhadap infeksi Fusarium oxysporum f.sp. Cubense isolat Banyuwangi. Pengamatan dilakukan pada 60 hari sesudah inokulasi. 5 Pengaruh perlakuan berbagai konsentrasi larutan mutagen EMS pada eksplan kalus embriogen abaka klon Tangongon dan Sangihe-1 terhadap persentase eksplan bertunas, jumlah tunas per eksplan, dan penurunan jumlah total tunas. Pengamatan dilakukan 5 bulan setelah perlakuan EMS. 6 Tipe dan persentase keragaman karakter kualitatif diantara populasi bibit abaka klon Tangongon dan Sangihe-1 varian yang diregenerasikan dari kalus embriogen setelah diberi perlakuan berbagai konsentrasi EMS pada 3 bulan setelah aklimatisasi. 7 Rataan berbagai karakter kuantitatif pada populasi bibit abaka klon Tangongon dan Sangihe-1 varian yang diregenerasikan dari kalus embriogen setelah diberi perlakuan berbagai konsentrasi EMS pada 3 bulan setelah aklimatisasi xiv

15 Nomor J u d u l Halaman 8 Tipe karakter kualitatif varian dan frekuensinya diantara populasi abaka klon Tangongon dan Sangihe-1 yang diregenerasikan dari kalus embriogen dengan perlakuan berbagai konsentrasi EMS. Pengamatan dilakukan di lapangan hingga 16 bulan. 9 Rataan karakter kuantitatif tanaman pada populasi abaka klon Tangongon dan Sangihe-1 yang diregenerasikan dari kalus embriogen dengan perlakuan berbagai konsentrasi EMS. Pengamatan dilakukan di lapangan hingga 16 bulan. 10 Karakter kuantitatif tanaman abaka klon Tangongon dan Sangihe-1 varian dengan hasil serat per tanaman tertinggi untuk masing-masing perlakuan EMS 0.3%, 0.4%, 0.5% dan 0.6% dan perlakuan standar (EMS 0%). 11 Daya hambat filtrat kultur Fusarium oxysporum f.sp. cubense (Foc isolat Banyuwangi [Bw], Malang [Ml], Bojonegoro [Bn]) terhadap pertumbuhan tunas abaka klon Tangongon dan Sangihe-1. Pengamatan dilakukan 3 bulan setelah penanaman tunas abaka dalam media selektif. 12 Hasil seleksi in vitro kalus embriogen abaka yang telah diberi perlakuan EMS dalam filtrat kultur (FK) Fusarium oxysporum f.sp. cubense isolat Banyuwangi dengan konsentrasi 40% v/v (sub-letal), pada 6 bulan setelah tanam. 13 Persentase daun bergejala (DB), rataan skor gejala kerusakan (SGK), intensitas penyakit (IP), dan ketahanan klon varian abaka klon Tangongon (Tg) dan Sangihe-1 (Sh) hasil seleksi in vitro dalam media dengan penambahan filtrat kultur Fusarium oxysporum f. sp. cubense (Foc) isolat Banyuwangi, yang ditentukan berdasarkan hasil uji inokulasi daun dengan Foc isolat Banyuwangi dengan teknik detached leaf dual cultures. 14 Persentase kalus bertunas, jumlah tunas per eksplan, total tunas dan persentase penurunan tunas abaka klon Tangongon (Tg) dan Sangihe-1 (Sh) yang dipanen setelah ditanam dalam media selektif dengan penambahan berbagai konsentrasi asam fusarat. Pengamatan dilakukan 5 bulan setelah tanam xv

16 Nomor J u d u l Halaman 15 Persentase kematian tunas dan rataan skor kerusakan tunas abaka klon Tangongon yang ditanam dalam media selektif dengan penambahan berbagai konsentrasi asam fusarat (AF), pada 30, 60, dan 90 hari sesudah tanam. 16 Penghambatan pertumbuhan kalus embriogen dua klon abaka yang ditanam dalam media proliferasi tunas dengan atau tanpa penambahan asam fusarat (AF). Pengamatan dilakukan 6 bulan setelah tanam. 17 Persentase daun bergejala (PDB), rataan skor gejala kerusakan (SGK), intensitas penyakit (IP), dan ketahanan abaka klon Tangongon (Tg) dari lapang dan klon hasil seleksi in vitro dalam media dengan penambahan asam fusarat. Respons ketahanan ditentukan berdasarkan hasil uji inokulasi daun dengan F. oxysporum f. sp. cubense isolat Banyuwangi. 18 Respons bibit abaka yang diregenerasikan dari kalus embriogen (Populasi KJ), dari kalus embriogen dengan perlakuan EMS (Populasi EMS), dari EMS diikuti seleksi in vitro dalam filtrat kultur F. oxysporum f.sp. cubense (Populasi EMS+FK) atau dalam asam fusarat (Populasi EMS+AF) terhadap infeksi F. oxysporum f.sp. cubense isolat Banyuwangi. Pengamatan dilakukan 60 hari sesudah inokulasi. 19 Hubungan antara panjang akar dan tinggi bibit abaka awal dengan skor kerusakan bibit dan hari bibit mati setelah perlakuan inokulasi bibit abaka klon Tangongon dengan F. oxysporum f.sp. cubense isolat Banyuwangi di rumah kaca. 20 Hubungan antara panjang akar dan tinggi bibit abaka awal dengan skor kerusakan bibit (SKB) yang diamati 60 hari sesudah inokulasi dan hari bibit mati setelah perlakuan inokulasi bibit abaka klon Sangihe-1 dengan F. oxysporum f.sp. cubense isolat Banyuwangi di rumah kaca. 21 Keragaman respons terhadap infeksi F. oxysporum f.sp. cubense diantara bibit abaka klon Tangongon dan Sangihe- 1 yang diregenerasikan dari satu kalus embriogen. Pengamatan skor kerusakan bibit (SKB) dilakukan 60 hari sesudah inokulasi Foc Bw pada bibit yang diuji xvi

17 DAFTAR GAMBAR Nomor J u d u l Halaman 1 Diagram alir strategi penelitian dan keterkaitan antar percobaan. 2 (a) Biakan Fusarium oxysporum f.sp. cubense (Foc) dalam media PDB; (b) Bibit abaka umur 2 bulan yang digunakan dalam penelitian dan siap diinokulasi dengan Foc; (c) Fenotipe bibit dengan gejala layu skor 0, (d) skor 1, (e) skor 2, (f) skor 3, dan (g) skor 4, sesuai dengan kriteria yang dikembangkan oleh Epp (1986); (h) Fotomikrograf penampang melintang akar abaka pada 30 hari sesudah inokulasi dengan Foc (perbesaran 200x) menunjukan adanya kerusakan jaringan penyusun akar yang ditunjukkan oleh warna coklat kehitaman pada jaringan epidermis dan korteks; (i) penampang melintang akar abaka sehat, yang tidak diinokulasi dengan Foc. 3 Eksplan kalus embriogen dan perkembangan embrio somatik abaka dengan atau tanpa perlakuan EMS. (a) Close up eksplan kalus embriogen dengan ukuran 3x3x3 mm3, (b) Embrio somatik abaka klon Tangongon (pembesaran 20x) berbentuk jantung (heart shape), (c) Embrio somatik abaka klon Sangihe-1 berbentuk globular (globular shape) pada fase polarisasi (pembesaran 10x), (d) proliferasi kalus embriogen tanpa perlakuan EMS menjadi tunas, (e) penghambatan proliferasi kalus embriogen yang diberi perlakuan EMS 0.3% dan (f) yang diberi perlakuan EMS 0.5% - setelah 3 bulan dalam media proliferasi tunas. 4 Populasi bibit abaka varian, diregenerasikan dari kalus embriogen yang telah diberi perlakuan larutan mutagen EMS. (a) Representatif bibit abaka yang dievaluasi keragaman somaklonalnya, (b) Bibit varian dengan fenotipe kate (kerdil) dibandingkan dengan bibit normal hasil kultur jaringan (tanpa perlakuan EMS), (c) Bibit varian dengan fenotipe daun variegata (dv), (d) Bibit varian dengan fenotipe batang semu yang ramping (br), dan (e) bibit varian dengan pelepah berwarna ungukehitaman (ph). Pengamatan dilakukan pada saat bibit berumur 2 bulan sesudah aklimatisasi xvii

18 Nomor J u d u l Halaman 5 Jumlah klon bibit varian, diregenerasikan dari kalus embriogen abaka klon Tangongon yang telah diberi perlakuan EMS, berdasarkan nilai panjang, lebar, rasio panjang/lebar daun (rasio P/L), dan tinggi bibit abaka yang ditumbuhkan di rumah kaca. Tanda panah menunjukkan bibit varian untuk masing-masing fenotipe. 6 Jumlah klon bibit varian, diregenerasikan dari kalus embriogen abaka klon Sangihe-1 yang telah diberi perlakuan EMS, berdasarkan nilai panjang, lebar, rasio panjang/lebar daun (rasio P/L), dan tinggi bibit abaka yang ditumbuhkan di rumah kaca. 7 (a) Populasi tanaman abaka yang ditumbuhkan di lapangan, (b) daun variegata pada tanaman induk dan anakannya, (c) Tanaman abaka varian dengan fenotipe kate (kerdil), (d) daun berkerut dan tepi daun menggulung, (e) daun berkerut, (f) duduk daun berhadapan, seperti kipas, (g) Perbedaan warna serat antara klon Sangihe-1 dan Tangongon, (h) sel getah (gt) yang diamati diantara sel-sel dari jaringan kalus embriogen abaka klon Sangihe-1 8 Sebaran nilai dan jumlah klon berdasarkan peubah panjang serat, bobot serat dan bobot pelepah per tanaman serta tinggi batang semu tanaman di lapangan diantara populasi tanaman abaka klon Tangongon varian yang diregenerasikan dari kalus embriogen dengan perlakuan berbagai konsentrasi EMS (0%, 0.3%, 0.4%, 0.5%, dan 0.6%). 9 Sebaran nilai dan jumlah klon berdasarkan peubah bobot dan kekuatan serat, jumlah pelepah per tanaman serta tinggi batang semu tanaman di lapangan diantara populasi tanaman abaka klon Sangihe-1 varian yang diregenerasikan dari kalus embriogen dengan perlakuan berbagai konsentrasi EMS (0%, 0.3%, 0.4%, 0.5%, dan 0.6%) xviii

19 Nomor J u d u l Halaman 10 Representasi tunas abaka dengan skoring gejala kerusakan tunas 0 hingga 4 (berdasarkan kriteria yang dikembangkan oleh Epp 1987) setelah ditanam dalam media selektif dengan penambahan filtrat kultur kultur Fusarium oxysporum f.sp. cubense isolat Banyuwangi. (FK 0%) atau dalam media selektif dengan FK Foc 10%, 20%, 30%,40%, 50%, atau 60%. 11 Daya hambat filtrat kultur (FK) Fusarium oxysporum f.sp. cubense (Foc) isolat Banyuwangi terhadap pertumbuhan dan proliferasi tunas abaka klon Tangongon. Perkembangan tunas dalam media tanpa FK 12 Seleksi in vitro kalus embriogen abaka dalam media yang mengandung FK Foc isolat Banyuwangi. Kalus embriogen abaka klon Tangongon (a) mengalami proliferasi tunas dalam media tanpa FK, (b) sebagian besar membusuk dan dorman, atau membusuk dan memproliferasikan (c) tunas, (d) tunas roset, serta (e) kalus embriogen yang insensitif FK dalam media selektif dengan penambahan 40% FK Foc isolat Bw. 13 Representasi tunas abaka dengan skoring gejala kerusakan tunas 0 hingga 4 (berdasarkan kriteria yang dikembangkan oleh Epp 1987) setelah ditanam dalam media selektif dengan penambahan AF. 14 Daya hambat berbagai konsentrasi asam fusarat (AF) terhadap pertumbuhan dan proliferasi kalus embriogen abaka klon Tangongon (atas) dan Sangihe-1 (bawah). Foto diambil saat 5 bulan setelah penanaman ke dalam media selektif dengan penambahan AF 15 Daya hambat berbagai konsentrasi asam fusarat (AF) terhadap pertumbuhan dan proliferasi tunas klon Tangongon, pada saat 3 bulan setelah penanaman ke dalam media selektif dengan penambahan AF. 16 Perkembangan eksplan kalus embriogen abaka setelah periode seleksi in vitro dalam media yang mengandung asam fusarat (AF). Kalus embriogen abaka (a) mengalami proliferasi tunas dalam media tanpa AF, (b) membusuk, (c) membusuk dan memproliferasikan kalus embriogen yang insensitif AF, dan (d) memproliferasikan tunas ruset yang insensitif AF, dalam media selektif dengan penambahan AF 50 mg/l xix

20 Nomor J u d u l Halaman 17 Fenotipe bibit abaka dengan skor gejala layu (a) skor 0, (b) skor 1, (c) skor 2, (d) skor 3, dan (e) skor 4, sesuai dengan kriteria yang dikembangkan oleh Epp (1987). (f) Representatif populasi bibit abaka yang dievaluasi responsnya terhadap infeksi F. oxysporum f.sp. cubense isolat Banyuwangi di rumah kaca. (g) bibit abaka yang mati dan yang tetap bertahan hidup setelah diinokulasi dengan Foc. (h) variasi respons bibit abaka yang diregenerasikan dari satu kalus embriogen hasil seleksi in vitro terhadap infeksi Foc: fenotipe tidak mengalami kerusakan, sebagian mengering, hingga bibit mati. 18 Sebaran respons berdasarkan skor kerusakan bibit pada pengamatan 60 hari setelah diinokulasi dengan F. oxysporum f.sp. cubense isolat Banyuwangi. Bibit abaka Populasi KJ (kultur jaringan) diregenerasikan dari kalus embriogen, Populasi EMS kalus embriogen dengan perlakuan EMS, Populasi EMS+FK kalus embriogen dengan perlakuan EMS dan diikuti dengan seleksi in vitro dalam filtrat kultur Foc dan Populasi EMS+AF kalus embriogen dengan perlakuan EMS dan diikuti dengan seleksi in vitro dalam asam fusarat. 19 Pengaruh tinggi bibit awal (TBA) dan panjang akar awal (PAA) terhadap skor kerusakan bibit (SKB) pada pengamatan 30 dan 60 hari sesudah inokulasi (hsi) bibit abaka dengan F. oxysporum f.sp. cubense isolat Banyuwangi. Total bibit yang dievaluasi sebanyak 99 bibit yang terdiri atas gabungan populasi kultur jaringan, EMS, EMS+FK, dan EMS+AF dari abaka klon Tangongon dan Sangihe xx

21 DAFTAR LAMPIRAN Nomor J u d u l Halaman 1 Sebaran nilai dan jumlah klon berdasarkan peubah panjang daun, lebar daun dan rasio panjang/lebar daun tanaman di lapangan diantara populasi abaka klon Tangongon varian yang diregenerasikan dari kalus embriogen dengan perlakuan berbagai konsentrasi EMS (0%, 0.3%, 0.4%, 0.5%, dan 0.6%), pada 16 bulan setelah tanam. 2 Sebaran nilai dan jumlah klon berdasarkan peubah diameter batang, bobot batang dan jumlah anakan tanaman di lapangan diantara populasi abaka klon Tangongon varian yang diregenerasikan dari kalus embriogen dengan perlakuan berbagai konsentrasi EMS (0%, 0.3%, 0.4%, 0.5%, dan 0.6%), pada 16 bulan setelah tanam. 3 Sebaran nilai dan jumlah klon berdasarkan peubah jumlah pelepah, kekuatan serat, rendemen serat dari batang, dan dari pelepah tanaman di lapangan diantara populasi abaka klon Tangongon varian yang diregenerasikan dari kalus embriogen dengan perlakuan berbagai konsentrasi EMS (0%, 0.3%, 0.4%, 0.5%, dan 0.6%), pada 16 bulan setelah tanam. 4 Sebaran nilai dan jumlah klon berdasarkan peubah panjang daun, lebar daun, dan rasio panjang/lebar daun tanaman di lapangan diantara populasi abaka klon Sangihe-1 varian yang diregenerasikan dari kalus embriogen dengan perlakuan berbagai konsentrasi EMS (0%, 0.3%, 0.4%, 0.5%, dan 0.6%), pada 16 bulan setelah tanam 5 Sebaran nilai dan jumlah klon berdasarkan peubah diameter dan bobot batang, serta jumlah anakan tanaman di lapangan diantara populasi abaka klon Sangihe-1 varian yang diregenerasikan dari kalus embriogen dengan perlakuan berbagai konsentrasi EMS (0%, 0.3%, 0.4%, 0.5%, dan 0.6%), pada 16 bulan setelah tanam 6 Sebaran nilai dan jumlah klon berdasarkan peubah bobot pelepah, panjang serat, rendemen serat dari batang dan dari pelepah tanaman di lapangan diantara populasi abaka klon Sangihe-1 varian yang diregenerasikan dari kalus embriogen dengan perlakuan berbagai konsentrasi EMS (0%, 0.3%, 0.4%, 0.5%, dan 0.6%), pada 16 bulan setelah tanam xxi

22 BAB I PENDAHULUAN LATAR BELAKANG Abaka (Musa textilis Nee) merupakan tanaman sejenis pisang penghasil serat. Abaka memiliki daun dan batang yang lebih ramping, dan ujung daunnya lebih runcing dibandingkan pisang. Pangkal daun membulat dan salah satu sisi lamina lebih pendek dibandingkan sisi lainnya (Berger 1969; Tabora dan Carlos 1978).Tepi lamina daun berwarna hitam sehingga mudah dibedakan dengan daun pisang. Tinggi tanaman berkisar antara meter, buahnya berisi biji kecilkecil, buah berwarna hijau saat masak tetapi kemudian berubah menjadi kuning pucat dan akhirnya hitam (Dempsey 1963; Tabora dan Carlos 1978). Serat abaka dihasilkan dari pelepah daun yang membentuk batang semu, serat tersebut memiliki nilai ekonomis, karena dapat digunakan sebagai bahan pembuatan tali-temali dan bahan baku kertas berkualitas tinggi (Hilman dan Toruan-Mathius 2001). Pulp abaka sangat baik digunakan untuk bahan baku kertas tipis seperti kertas saring, kertas dasar stensil, kertas sigaret, kantong teh celup, kertas pembungkus, kertas dinding, kertas dokumen dan kertas uang. Selain itu serat abaka juga digunakan sebagai bahan tekstil, kain jok, pembungkus kabel, popok bayi (pampers) dan bahan peredam suara pada pesawat terbang (Triyanto et al. 1982; Wardiyati 1999). Kebutuhan serat abaka di pasar dunia untuk berbagai industri cukup tinggi, terutama untuk memenuhi permintaan negara-negara maju seperti: Jepang, Amerika Serikat, Inggris, Jerman, dan Italia. Potensi pasar internasional tercatat sebesar ton serat abaka per tahun. Philippina sebagai negara terbesar penghasil serat, baru dapat menghasilkan sekitar ton atau 13% dan diikuti oleh Equador sekitar ton atau 2% dari kebutuhan serat dunia (BI 2003; Aragon 2000). Keadaan ini memberikan peluang untuk mengembangkan abaka di Indonesia, dan secara agronomis penanaman abaka di Indonesia sangat sesuai karena abaka adalah tanaman yang berasal dari daerah tropis. Namun menurut Heliyanto et al. (1995) tersedianya varietas unggul, paket budidaya yang tepat

23 2 guna, dan teknik pasca panen yang efisien diperlukan untuk mendukung pengembangan industri abaka. Kendala utama yang dihadapi dalam pengembangan abaka di daerah tropis adalah adanya serangan penyakit layu yang disebabkan oleh jamur Fusarium oxysporum f.sp. cubense. Penyakit layu Fusarium, yang juga dikenal sebagai Panama disease, merupakan salah satu penyakit yang sangat merugikan pada tanaman pisang, termasuk abaka yang ditanam di daerah tropika. Penyakit yang disebabkan oleh cendawan Fusarium oxysporum Schlecht.f.sp. cubense (E.F. Smith) Snyd & Hans ini telah menginfeksi pertanaman pisang di Asia, Afrika, Australia, dan daerah tropika di Amerika sejak 50 tahun yang lalu (Hwang & Ko 2004). Di Leyte-Filipina F. oxysporum f.sp. cubense (Foc) dilaporkan telah menimbulkan kerusakan antara 5-65% dari pertanaman abaka di lapangan (Bastasa & Baliad 2005). Di Indonesia, Foc diketahui telah menyerang tanaman pisang hingga seluas ha di 3 provinsi di Sumatera (Nasir & Jumjunidang 2003). Hal tersebut menjadi kendala pengembangan abaka, tanaman serat untuk pembuatan kertas berkualitas tinggi, bahan industri, dan kerajinan tangan (Hilario 2006) di Indonesia, mengingat genotipe abaka yang resisten terhadap cendawan Foc belum tersedia. Pengendalian Foc di lapangan diketahui sulit dilakukan karena cendawan ini mampu bertahan dalam waktu yang lama diantara sisa-sisa tanaman yang terinfeksi dalam bentuk miselia atau di tanah dalam bentuk klamidospora (Agrios 1997). Dengan demikian, pengendalian penyakit layu Fusarium sebaiknya dilakukan secara terpadu dengan penggunaan bibit sehat dari genotipe abaka yang resisten, penggunaan mikroba antagonis, penanaman gulma berguna dan penggunaan pestisida nabati (Djatnika et al. 2003; Di Pietro et al. 2003). Meskipun telah diuji, efektivitas mikroba antagonis untuk pengendalian Foc masih terbatas, efektivitasnya di lapang masih belum diketahui, dan belum ada mikroba antagonis yang dapat diandalkan untuk secara tuntas mengendalikan Foc (Bastasa & Baliad 2005). Sejauh ini, penggunaan kultivar abaka yang resisten merupakan metode alternatif pengendalian Foc yang efektif (Ploetz 2000). Berbagai teknik dapat digunakan untuk memperoleh kultivar yang resisten terhadap penyakit yang disebabkan oleh Fusarium oxysporum f.sp. cubense

24 3 antara lain dengan hibridisasi, seleksi, mutasi dan lain-lain. Penggunaan teknik seleksi in vitro merupakan salah satu cara yang efisien untuk memperoleh kultivar abaka resisten terhadap penyakit layu Fusarium tersebut. Namun sebelum dilakukan seleksi in vitro, keragaman genetika abaka perlu ditingkatkan lebih dulu karena abaka termasuk dalam genus Musa spp. yang diperbanyak secara vegetatif sehingga mempunyai keragaman genetika rendah sebagai akibat tidak terjadinya hibridisasi seksual (Roux 2004). Tanaman dengan karakteristik seperti Musa spp. dapat ditingkatkan keragaman genetikanya melalui induksi variasi somaklonal, sebagaimana yang telah dilakukan pada tanaman apel, nanas, kentang, ubi jalar, ubi kayu, bunga mawar, tulip, krisan, dan anyelir (Ahloowalia & Maluszynski 2001). Induksi varian somaklonal dapat menghasilkan karakter varian defisiensi klorofil, peningkatan atau penurunan kuantitas dan kualitas hasil, serta ketahanan penyakit sebagai akibat perubahan gen tunggal atau perubahan (penggandaan dan rearrangement) di tingkat kromosom (Ahloowalia 1986). Pendekatan induksi mutan/varian dengan menggunakan kombinasi perlakuan mutagenesis dan perbanyakan tanaman secara in vitro merupakan metode yang dapat diterapkan untuk tanaman yang keragaman genetiknya rendah dan diperbanyakan secara vegetatif (klonal) seperti abaka. Perlakuan mutagenesis secara fisik (dengan menggunakan sinar UV, sinar X dan sinar γ) atau secara kimiawi (menggunakan senyawa mutagen colchicine, dietil sulfat [DES], etilenimin [EI], nitroso etil- [NEU] atau nitroso metil urea [NMU, serta etil metansulfonat [EMS]) telah digunakan untuk meningkatkan frekuensi terjadinya mutasi. Senyawa EMS paling banyak digunakan sebagai mutagen kimia karena mudah dibeli dan tidak bersifat mutagenik setelah dihidrolisis, serta terbukti merupakan mutagen yang efektif untuk berbagai jenis tanaman (van Harten 1998). Senyawa EMS telah berhasil digunakan untuk menginduksi mutan pada tanaman tembakau (Gichner et al. 2001), kubis-kubisan (Sakamoto et al. 2002, Spasibionek 2006), pisang (Roux 2004), dan kenaf (Arumingtyas & Indriyani 2005). Untuk mengidentifikasi mutan/varian yang resisten terhadap infeksi Foc, kultur in vitro yang telah diberi perlakuan mutagenesis diseleksi secara in vitro dalam media selektif dengan penambahan asam fusarat (AF) dan filtrat kultur

25 4 Foc. Salah satu syarat penggunaan seleksi in vitro untuk menapis varian somaklonal dengan sifat unggul tertentu adalah tersedianya metode kultur jaringan yang dapat menghasilkan banyak plantlet dan mampu menginduksi variasi somaklonal diantara populasi plantlet yang diregenerasikan. Metode baku regenerasi plantlet klonal abaka dalam jumlah besar secara in vitro telah tersedia (Mariska & Sukmadjaja 2003) tetapi kemampuannya untuk menginduksi variasi somaklonal secara kuantitatif belum dievaluasi. Dengan tersedianya metode untuk regenerasi plantlet, agens penyeleksi yang sesuai dan metode yang efektif, kegiatan seleksi in vitro dapat dilakukan untuk menghasilkan kultivar yang memiliki keunggulan sifat kuantitatif atau kualitatif tertentu dan resisten terhadap penyakit layu Fusarium. PENDEKATAN MASALAH Perbaikan klon abaka yang resisten terhadap penyakit layu yang disebabkan oleh Foc dan berdaya hasil tinggi dapat dilakukan dengan melakukan induksi keragaman genetik yang dilanjutkan dengan seleksi in vitro dengan menggunakan agens penyeleksi tertentu. Evaluasi dan identifikasi terhadap hasil seleksi in vitro tersebut berupa karakter resisten terhadap penyakit layu Fusarium perlu dilakukan untuk pengambilan keputusan selanjutnya. Hal penting dalam pemuliaan abaka adalah tersedianya keragaman genetika yang luas, sehingga kegiatan penapisan untuk memperoleh genotipe yang diinginkan seperti resisten terhadap Foc dapat dilakukan dengan mudah. Namun abaka termasuk dalam genus Musa spp. yang diperbanyak secara vegetatif sehingga mempunyai keragaman genetika rendah sebagai akibat tidak terjadinya hibridisasi seksual (Roux 2004). Oleh karena itu, sebelum dilakukan penapisan maupun perakitan klon abaka untuk memperoleh klon unggul yang tahan terhadap infeksi Foc, perlu dilakukan kegiatan peningkatan keragaman genetika. Peningkatan keragaman genetika yang dilakukan dalam penelitian ini adalah induksi keragaman somaklonal karena tanaman dengan karakteristik seperti Musa spp. dapat ditingkatkan keragaman genetikanya melalui induksi variasi somaklonal, sebagaimana yang telah dilakukan pada tanaman apel, nanas, kentang, ubi jalar, ubi kayu, bunga mawar, tulip, krisan, dan anyelir (Ahloowalia

26 5 & Maluszynski 2001). Untuk memperoleh hasil yang maksimal, induksi keragaman somaklonal pada kalus embriogen abaka klon Tangongon dan Sangihe-1 diberi perlakuan mutagen kimia EMS sebelum dikulturkan secara in vitro. Pendekatan induksi mutan/varian dengan menggunakan kombinasi perlakuan mutagenesis dan perbanyakan tanaman secara in vitro merupakan metode yang dapat diterapkan untuk tanaman yang keragaman genetikanya rendah dan diperbanyak secara vegetatif (klonal) seperti abaka. Induksi varian somaklonal dengan EMS mampu menghasilkan berbagai karakter varian sebagai akibat perubahan gen tunggal atau perubahan (penggandaan dan rearrangement) di tingkat kromosom (Ahloowalia 1986). Untuk mengidentifikasi mutan/varian yang resisten terhadap infeksi Foc, kultur in vitro yang telah diberi perlakuan mutagenesis diseleksi secara in vitro dalam media selektif dengan penambahan filtrat kultur Foc atau asam fusarat (AF). Penggunaan filtrat kultur Foc dan asam fusarat untuk seleksi in vitro berdasarkan laporan bahwa Fusarium oxysporum f.sp. cubense merupakan patoge n yang menyerang abaka dan dalam proses infeksi mensekresikan non-hostspecific toxin yang dapat membantu proses infeksi. Dalam penelitian ini digunakan dua macam agens penyeleksi tersebut untuk membandingkan mana yang lebih efisien dan efektif. Kalus embriogen abaka klon Tangongon dan Sangihe-1 dengan perlakuan EMS 0.6% dikulturkan dalam media seleksi dengan penambahan FK Foc atau AF. Tunas abaka yang diproliferasikan dari kalus embriogen yang dikulturkan dalam media selektif tersebut merupakan tunas/varian yang insensitif FK Foc atau AF. Bibit abaka yang diregenerasikan dari tunas insensitif FK Foc atau AF hasil seleksi in vitro diidentifikasi resistensinya terhadap infeksi Foc. Hal ini untuk mengetahui apakah tunas yang insensitif FK Foc atau AF tersebut merupakan tunas varian atau tunas kimera. Tunas kimera yang tersusun dari jaringan varian (resisten) dan jaringan normal (rentan) dapat bertahan dalam media selektif yang mengandung FK Foc atau AF sehingga terjadi salah identifikasi hasil seleksi in vitro. Sel/jaringan kimera yang escaped dari seleksi tidak 100% terdiri atas sel/jaringan varian yang insensitif terhadap FK Foc atau AF tetapi juga terdapat sel/jaringan normal. Pada tahapan proliferasi, sel/jaringan yang escaped dari seleksi juga akan menghasilkan bibit

27 6 yang rentan terhadap infeksi Foc. Pada tahapan proliferasi dalam media tanpa penambahan FK Foc, tunas baru dapat berkembang dari sel/jaringan normal sehingga menghasilkan bibit dengan fenotipe rentan terhadap infeksi Foc (bibit escaped). Untuk memperoleh metode yang akurat pada identifikasi atau penapisan varian yang resisten terhadap infeksi Foc, juga dilakukan serangkaian percobaan pengembangan metode inokulasi dan kerapatan konidia Foc yang sesuai untuk mengevaluasi resistensi klon-klon abaka terhadap infeksi Foc. Dalam percobaan ini dievaluasi metode inokulasi 1 (INO-1): penanaman bibit abaka dalam media tanam yang diinokulasi dengan Foc. Metode INO-2: penanaman bibit abaka yang akarnya telah dipotong ± 1 cm di bagian ujung dan direndam selama dua jam dalam suspensi konidia Foc (10 6 konidia/ml) pada media tanah steril. Metode INO-3: penanaman bibit abaka dalam media tanah steril dan penyiraman dengan 50 ml suspensi konidia Foc (10 6 konidia/ml). Bibit abaka yang tidak diinokulasi Foc digunakan sebagai kontrol. Kerapatan konidia Foc isolat Banyuwangi yang dievaluasi terdiri atas: 10 5 konidia/ml (KON-1) dan 10 6 konidia/ml (KON-2). Bibit abaka yang tidak diinokulasi (KON-0) digunakan sebagai kontrol. Sebelum digunakan untuk identifikasi varian abaka hasil seleksi in vitro, metode inokulasi dan kerapatan konidia yang dapat menimbulkan gejala penyakit paling parah digunakan untuk pengujian respon sepuluh genotipe abaka yaitu klon Banjar, BL Manado, Cilacap, Cirebon, Layahan, MbB, Sangihe-1, Sangihe-2, Tangongon, dan UB 3. Varian hasil seleksi in vitro yang resisten terhadap infeksi Foc berdasarkan evaluasi dengan menggunakan metode ini dikonservasi sebagai materi genetik yang tahan terhadap penyakit layu Fusarium, dan dapat digunakan untuk pengembangan abaka di Indonesia terutama pada daerah-daerah endemis Fusarium. TUJUAN PENELITIAN Penelitian yang dilakukan bertujuan untuk (1) mengevaluasi efektivitas metoda inokulasi Foc dan kerapatan konidia Foc untuk menginduksi timbulnya infeksi Foc pada bibit abaka, serta mengevaluasi respons sepuluh genotipe abaka terhadap infeksi Foc, (2) meningkatkan keragaman genetika sel/jaringan eksplan

28 7 abaka yang diseleksi dengan perlakuan EMS (3) mengevaluasi efektivitas senyawa EMS untuk meningkatkan keragaman somaklonal plantlet abaka yang diregenerasikan dari kalus embriogen yang diberi perlakuan EMS, (4) mengevaluasi tipe dan frekuensi keragaman karakter kualitatif dan kuantitatif yang timbul diantara populasi tanaman mutan abaka yang didapat dari perlakuan EMS, (5) mengevaluasi daya hambat filtrat kultur (FK) Foc isolat Banyuwangi dan asam fusarat (AF) terhadap proliferasi dan pertumbuhan tunas abaka, (6) menentukan konsentrasi sub-letal FK Foc isolat Banyuwangi dan AF, yaitu konsentrasi yang mempunyai daya hambat paling tinggi terhadap pertumbuhan dan proliferasi tunas abaka, (7) meregenerasikan sel/jaringan varian yang toleran terhadap FK Foc isolat Banyuwangi dan AF menjadi plantlet abaka, dan (8) mengevaluasi respons plantlet yang didapat dari hasil seleksi in vitro terhadap infeksi Foc. Target yang dicapai dalam penelitian ini adalah diperolehnya klon unggul abaka baru yang mempunyai sifat kualitatif/kuantitatif tertentu yang diinginkan dan resisten terhadap infeksi Fusarium oxysporum f.sp. cubense (Foc). MANFAAT PENELITIAN Peluang ekspor serat abaka sangat besar, mengingat penghasil serat abaka di dunia hanya negara Philippina dan Equador. Namun pengembangan abaka di Indonesia masih mengalami beberapa kendala antara lain belum tersedianya klon unggul, terutama yang tahan terhadap penyakit layu Fusarium. Dengan diperolehnya klon unggul abaka yang memiliki produktivitas dan kualitas serat tinggi serta tahan terhadap penyakit layu Fusarium, diharapkan dapat meningkatkan luas areal pengembangan abaka di Indonesia sehingga berdampak positif terhadap peningkatan produktivitas serat abaka baik di tingkat petani/pengusaha maupun nasional. GARIS BESAR DISERTASI Disertasi ini disusun berdasarkan pemikiran bahwa keberhasilan pengembangan tanaman abaka resisten terhadap penyakit layu Fusarium yang disebabkan oleh cendawan Foc dan berdaya hasil tinggi melalui mutagenesis dan

29 8 seleksi in vitro akan lebih tinggi apabila: (1) tersedia metode seleksi resistensi terhadap infeksi Foc yang efektif dan akurat untuk tanaman abaka, (2) tersedia metode induksi variasi somaklonal untuk menghasilkan keragaman genetik yang luas pada varian abaka dengan karakter kuantitatif dan kualitatif yang berbeda dengan bibit/tanaman standar, (3) tersedia metode seleksi in vitro yang efektif dan akurat untuk menghasilkan tunas yang insensitif terhadap agens penyeleksi dan resisten terhadap penyakit layu Fusarium. Pengembangan klon abaka tahan penyakit dan unggul dalam sifat kualitatif atau kuantitatif tertentu sulit dilakukan karena keragaman genetika plasma nutfah abaka di Indonesia masih sempit (Hadipoentyanti et al. 2001) dan belum tersedia teknik hibridisasi yang tepat. Oleh karena itu, perlu dilakukan serangkaian percobaan induksi mutan somaklonal yang dilanjutkan dengan seleksi in vitro dengan menggunakan FK Foc dan AF sebagai agens penyeleksi. Namun untuk mengevaluasi bibit/tanaman abaka hasil seleksi in vitro tersebut diperlukan metode penapisan (screening) yang efektif. Percobaan awal dilakukan untuk memperoleh metode inokulasi dan kerapatan konidia Foc yang efektif untuk pengujian resistensi bibit abaka hasil kultur in vitro terhadap infeksi Foc. Percobaan respon abaka terhadap infeksi Foc dilakukan terhadap sepuluh genotipe abaka yang belum diketahui sifat resistensinya. Hal ini untuk membuktikan keefektifan metode inokulasi dan kerapatan konidia yang diperoleh dari percobaan sebelumnya. Induksi mutan somaklonal dilakukan dengan menggunakan mutagen kimia etil metansulfonat (EMS) terhadap kalus embriogen abaka klon Tangongon dan Sangihe-1. Evaluasi keragaman kuantitatif dan kualitatif dilakukan: (1) pada fase pertumbuhan vegetatif yaitu saat bibit abaka umur 3 bulan setelah aklimatisasi (sebelum ditanam di lapangan); (2) pada fase pertumbuhan generatif yaitu saat tanaman abaka berumur 16 bulan setelah ditanam di lapangan. Hasil evaluasi terhadap keragaman kuantitatif dan kualitatif abaka hasil perlakuan EMS digunakan untuk mengembangkan metode induksi varian yang dikombinasikan dengan seleksi in vitro. Seleksi in vitro dengan menggunakan agens penyeleksi FK Foc dan AF dilakukan setelah kalus embriogen diberi perlakuan dengan EMS. Metode seleksi

30 9 in vitro dikembangkan setelah diketahui konsentrasi sub-letal FK Foc dan AF dari percobaan sebelumnya. Pada bagian akhir penelitian ini, tunas insensitif terhadap FK Foc dan AF yang dihasilkan dari seleksi in vitro dievaluasi resistensinya terhadap infeksi Foc. Hasil yang diperoleh selanjutnya dibahas pada BAB III sampai dengan BAB VIII. BAB III membahas Keefektifan Metode Inokulasi dan Kerapatan Konidia Fusarium oxysporum f.sp. cubense untuk Menginfeksi Abaka dan tulisan ini telah disubmit ke jurnal ilmiah nasional terakreditasi dan sedang dalam proses review untuk diterbitkan di jurnal HAYATI Institut Pertanian Bogor. Percobaan-percobaan yang dilakukan pada pembahasan tersebut ditujukan untuk menentukan keefektifan metode inokulasi serta kerapatan konidia Foc untuk menginfeksi bibit abaka hasil kultur in vitro. Hasil percobaan ini digunakan untuk pengujian respon sepuluh genotipe abaka terhadap infeksi Foc dan selanjutnya akan digunakan sebagai metode penapisan klon-klon yang diperoleh dari mutagenesis dan seleksi in vitro pada percobaan berikutnya. Peubah yang diukur dalam percobaan ini adalah persentase tanaman bergejala, rataan skor gejala kelayuan, intensitas penyakit pada bibit abaka, dan resistensi terhadap infeksi Foc. Salah satu upaya untuk meningkatkan keragaman genetika tanaman adalah melakukan mutasi. Mutasi yang dilakukan secara in vitro dengan menggunakan mutagen kimia EMS menghasilkan tunas-tunas mutan somaklonal yang memiliki keragaman sifat kuantitatif dan kualitatif. Dari hasil penelitian diketahui bahwa konsentrasi EMS berkorelasi dengan sifat kuantitatif dan kualitatif bibit abaka varian yang diregenerasikan dari kalus embriogen hasil perlakuan dengan berbagai konsentrasi EMS. Peubah yang diamati pada percobaan ini meliputi persentase eksplan bertunas, jumlah tunas per eksplan, dan penurunan jumlah total tunas pada 5 bulan setelah perlakuan EMS; tipe dan persentase keragaman karakter kualitatif, serta berbagai karakter kualitatif diantara populasi bibit abaka klon Tangongon dan Sangihe-1 varian yang diregenerasikan dari kalus embriogen setelah diberi perlakuan berbagai konsentrasi EMS pada umur 3 bulan setelah aklimatisasi. Hasil percobaan tentang hubungan antara perlakuan EMS dengan proliferasi kalus embriogen, sifat kuantitatif dan kualitatif pada fase pertumbuhan vegetatif bibit abaka yang diregenerasikan dari kalus embriogen yang diberi

31 10 perlakuan dengan EMS ditulis pada BAB IV, dengan judul Induksi Mutan Somaklonal dengan Perlakuan EMS pada Kultur Kalus Embriogen Abaka (Musa textilis Nee). Bagian dari disertasi ini telah disubmit ke jurnal ilmiah nasional terakreditasi dan sedang dalam proses review untuk diterbitkan di jurnal HAYATI, Institut Pertanian Bogor. Meskipun pada fase pertumbuhan vegetatif telah dilaporkan ada sejumlah varian pada karakter kualitatif dan kuantitatif yang dapat digunakan sebagai indikator terjadinya mutasi somaklonal, namun evaluasi dilanjutkan hingga fase pertumbuhan generatif untuk mengetahui konsentrasi EMS yang dapat menghasilkan keragaman somaklonal pada tanaman abaka, dan mengevaluasi keragaman karakter kualitatif dan kuantitatif yang muncul pada tanaman yang diregenerasikan dari kalus embriogen yang diberi perlakuan dengan EMS pada fase generatif, terutama karakter produktivitas dan kualitas serat. Pengujian dilakukan dengan mengamati tipe dan persentase keragaman kualitatif, karakter kuantitatif yang diamati antara lain: panjang daun, lebar daun, ratio p:l, tinggi tanaman, lingkar batang, berat batang, jumlah pelepah, berat pelepah, berat serat kering, panjang serat kering, kekuatan serat, rendemen serat dari batang, rendemen serat dari pelepah, jumlah anakan, jumlah tanaman produktif. Hasil percobaan tersebut ditulis pada BAB V dengan judul Keragaan di Lapangan dari Klon Varian Abaka yang Diinduksi dengan Ethyl Methanesulphonate (EMS) Bagian dari disertasi ini telah disubmit ke jurnal ilmiah nasional terakreditasi HAYATI, Institut Pertanian Bogor. Berdasarkan evaluasi terhadap percobaan induksi mutan somaklonal kalus embriogen abaka dengan perlakuan EMS terhadap varian karakter kualitatif dan kuantitatif telah diperoleh individu-individu yang unggul, namun belum diperoleh klon yang resisten terhadap penyakit layu Fusarium. Sedangkan penyakit layu Fusarium merupakan salah satu kendala dalam pengembangan abaka yang sulit dikendalikan. Untuk mengatasi hal tersebut dilakukan penelitian seleksi in vitro dengan menggunakan filtrat kultur (FK) Foc isolat Banyuwangi sebagai agens penyeleksi. Penggunaan FK Foc sebagai agens penyeleksi diharapkan mampu menghasilkan varian abaka dari klon Tangongon dan Sangihe-1 yang insensitif terhadap Foc dan resisten terhadap infeksi Foc berdasarkan hasil uji inokulasi

32 11 daun dengan Foc isolat Banyuwangi menggunakan teknik detached leaf dual cultures. Pengamatan pada seleksi in vitro dilakukan terhadap berbagai peubah yaitu daya hambat filtrat kultur terhadap pertumbuhan tunas abaka, eksplan yang bertunas dan dorman, rataan jumlah tunas/eksplan, jumlah tunas, penurunan jumlah tunas akibat FK. Pengamatan pada pengujian resistensi varian abaka klon Tangongon dan Sangihe-1 hasil seleksi in vitro dalam media dengan penambahan filtrat kultur Foc isolat Banyuwangi meliputi: persentase daun bergejala, rataan skor gejala kerusakan, intensitas penyakit, dan ketahanan klon-klon tersebut. Hasil percobaan penggunaan FK Foc untuk seleksi in vitro abaka ditulis pada BAB VI dengan judul Seleksi In Vitro untuk Resistensi Abaka terhadap F. oxysporum f.sp. cubense Menggunakan Filtrat Kultur sebagai Agens Penyeleksi. Bagian dari disertasi ini telah disubmit ke jurnal ilmiah nasional terakreditasi dan sedang dalam proses review untuk diterbitkan di jurnal HAYATI, Institut Pertanian Bogor. Dari percobaan sebelumnya diketahui bahwa penggunaan FK Foc sebagai agens penyeleksi dalam seleksi in vitro untuk memperoleh klon varian abaka tahan terhadap Foc cukup efektif. Dari hasil uji inokulasi daun dengan Foc isolat Banyuwangi menggunakan teknik detached leaf dual cultures diperoleh empat bibit varian yang diduga imun, empat resisten, dan tiga agak resisten. Namun demikian, untuk membandingkan metode seleksi in vitro mana yang lebih efektif dilakukan percobaan seleksi in vitro dengan menggunakan asam fusarat sebagai agens penyeleksi. Asam fusarat (AF) merupakan toksin murni yang diproduksi oleh cendawan Fusarium spp. yang mempunyai peranan besar dalam infeksi patogen pada tanaman. Seperti halnya pada penggunaan FK Foc, penggunaan AF sebagai agens penyeleksi diharapkan mampu menghasilkan varian abaka dari klon Tangongon dan Sangihe-1 yang insensitif terhadap AF dan resisten terhadap infeksi Foc berdasarkan hasil uji inokulasi daun dengan Foc isolat Banyuwangi menggunakan teknik detached leaf dual cultures. Peubah-peubah yang diamati juga sama dengan pada percobaan sebelumnya yaitu: daya hambat AF terhadap pertumbuhan tunas abaka, eksplan yang bertunas dan dorman, rataan jumlah tunas/eksplan, jumlah tunas, penurunan jumlah tunas akibat AF. Pengamatan pada pengujian resistensi varian abaka klon Tangongon dan Sangihe-1 hasil seleksi in

33 12 vitro dalam media dengan penambahan AF meliputi: persentase daun bergejala, rataan skor gejala kerusakan, intensitas penyakit, dan ketahanan klon-klon tersebut. Hasil percobaan ini ditulis pada BAB VII dengan judul Seleksi In Vitro untuk Resistensi Abaka terhadap F. oxysporum f.sp. cubense Menggunakan Asam Fusarat sebagai Agens Penyeleksi. Bagian dari disertasi ini akan disubmit ke jurnal ilmiah nasional terakreditasi AGROTROPIKA, Universitas Lampung. Pada bagian akhir dari penelitian ini dilakukan serangkaian percobaan untuk mengetahui resistensi bibit varian abaka hasil kultur in vitro, mutagenesis dengan EMS, dan mutagenesis dengan EMS yang dilanjutkan dengan seleksi in vitro dengan menggunakan FK Foc dan AF, terhadap infeksi Foc. Metode inokulasi yang digunakan untuk pengujian resistensi ini merupakan hasil percobaan pada BAB III. Pengamatan terhadap beberapa peubah yaitu: panjang akar bibit sebelum inokulasi, tinggi bibit sebelum dan sesudah inokulasi, skor gejala kelayuan, dan pada hari ke berapa bibit mati. Dari hasil analisis tersebut diperoleh 21 dan 2 klon masing-masing hasil seleksi in vitro dengan agens penyeleksi FK Foc dan AF, 20 klon hasil induksi mutasi dengan EMS, dan 2 klon hasil kultur jaringan (in vitro) yang resisten terhadap infeksi Foc. Dengan demikian strategi pemuliaan untuk resistensi terhadap penyakit layu yang disebabkan oleh F. oxysporum f.sp cubense dapat dilakukan secara in vitro. Hasil percobaan dan pengujian resistensi untuk klon-klon tersebut ditulis pada BAB VIII dengan judul Resistensi Klon Abaka Varian Somaklonal terhadap Infeksi Fusarium oxysporum f.sp cubense. Bagian dari disertasi ini akan disubmit ke jurnal ilmiah nasional terakreditasi HAYATI, Institut Pertanian Bogor. Diagram alir strategi penelitian untuk menghasilkan klon abaka unggul baru yang mempunyai sifat kualitatif atau kuantitatif diinginkan dan resisten terhadap infeksi Fusarium oxysporum f.sp. cubense disajikan pada Gambar 1.

34 13 Plasma Nutfah Abaka Regenerasi dan aklimatisasi plantlet dari kultur in vitro Seleksi in vitro pada media dengan FK Foc atau AF? konsentrasi sub-letal Mutagenesis in vitro dengan EMS induksi keragaman genetika PENGUJIAN: Metode Inokulasi Kerapatan Konidia? metode screening Seleksi in vitro pada media dengan FK Foc atau AF? ES insensitif Regenerasi dan aklimatisasi plantlet hasil mutagenesis Regenerasi dan aklimatisasi plantlet hasil seleksi in vitro Evaluasi keragaman fenotipe bibit di rumah kaca Pengujian resistensi dengan inokulasi Foc di rumah kaca Evaluasi keragaman fenotipe tanaman di lapangan Resistensi 10 Genotipe Abaka Klon abaka resisten terhadap Foc Klon abaka dengan sifat unggul (kualitatif & kuantitatif) tertentu Klon Abaka Unggul Baru Gambar 1. Diagram alir strategi penelitian dan keterkaitan antar percobaan

35 14 BAB II TINJAUAN PUSTAKA TANAMAN ABAKA 1. Biologi dan manfaatnya Abaka (Musa textilis Nee) merupakan tanaman sejenis pisang penghasil serat termasuk dalam genus: Musa, famili: Musaceae, ordo: Zingiberales. Abaka memiliki daun dan batang yang lebih ramping, dan ujung daunnya lebih runcing dibandingkan pisang. Pangkal daun membulat dan salah satu sisi lamina lebih pendek dibandingkan sisi lainnya (Berger 1969; Tabora dan Carlos 1978).Tepi lamina daun berwarna hitam sehingga mudah dibedakan dengan daun pisang. Tinggi tanaman berkisar antara meter, buahnya berisi biji kecil-kecil, buah berwarna hijau saat masak tetapi kemudian berubah menjadi kuning pucat dan akhirnya hitam (Dempsey 1963; Tabora dan Carlos 1978). Awalnya serat abaka yang dihasilkan dari pelepah daun yang membentuk batang semu, banyak digunakan sebagai tali-temali, terutama kapal dan bahan untuk industri pancing karena tahan terhadap kelembaban, air laut dan air tawar (Purseglove 1983). Selain itu serat abaka dapat ditenun dan digunakan sebagai bahan pakaian yang sejuk dipakai, untuk kain jok, popok bayi (pampers), pembungkus kabel listrik dan peredam suara kapal terbang (Heyne 1987; Duryatmo dan Dasoeki 1999). Pulp abaka sangat baik digunakan untuk bahan baku kertas tipis seperti kertas dokumen, surat berharga, kertas uang, kertas kemasan (Triyanto et al. 1982), kertas saring, kertas dasar stensil, kertas sigaret, kertas teh celup, kertas pembungkus daging/sosis, dan kertas lensa (Aragon 2000). Penggunaan serat abaka untuk kertas uang peso di Filipina dimulai tahun 2000, sedangkan di Jepang sudah sejak lama dilakukan (Hilario 2006). 2. Asal dan penyebarannya Abaka berasal dari Filipina (Nur 1957, Villordon 2003), daerah penanaman terbesar adalah semenanjung Bicol yang terletak di bagian selatan pulau Luzon; Leyte dan Samar pada kepulauan Visayas; dan propinsi Davao pada kepulauan

36 15 Mindanao. Karena abaka merupakan tanaman asli Filipina, maka disebut juga sebagai Manila Hemp dan pada tahun 1690 disebut sebagai Musa mindanensis (Montgomery 1954). Usaha penyebaran abaka sudah dimulai sejak 1811 tetapi selalu mengalami kegagalan karena introduksi menggunakan biji, kondisi pertumbuhan tidak sesuai, dan kurangnya pengetahuan tentang budidaya (Purseglove 1983). Tahun bibit abaka berhasil diintroduksi ke Panama, Costa Rica, Guatemala, dan Honduras, kemudian menyebar dan dapat tumbuh baik di India, Ceylon, Kepulauan Andaman, Bengal, Hawai, Kepulauan Salomon, Jamaica, Tinidad, Sabah, Sumatra, Malaya dan New Guinea (Hilman dan Toruan-Mathius 2001). Pengembangan abaka di Indonesia dimulai pada tahun 1853 di Minahasa, tetapi pada saat itu keuntungan yang diperoleh dari budidaya abaka sangat rendah. Tahun 1905 mulai dikembangkan di Jawa dan Sumatera Selatan dan tumbuhnya tidak mengecewakan. Pada tahun 1912 dilaporkan bahwa terdapat tiga perkebunan besar di Besuki, Jawa Timur dan pada tahun tersebut dapat mengekspor 200 ton serat, kemudian produktivitas menurun dan keuntungannya terlampau kecil, sehingga perkebunan tersebut tidak berkembang (Heyne 1987; Hilman dan Toruan-Mathius 2001). Salah satu perkebunan abaka di Indonesia yang masih tersisa antara lain di Bayulor, Banyuwangi seluas ± 400 ha. 3. Plasma nutfah dan pemuliaannya Plasma nutfah abaka di Philippina mencapai sekitar 192 aksesi (Villareal 1988), tetapi hanya 20 diantaranya yang memiliki nilai komersial tinggi. Tiga varietas utama yang banyak ditanam adalah: Tangongon, Bungulanon, dan Maguindanao (Dempsey 1963; Purseglove 1983; Hilman dan Toruan-Mathius 2001). Di Indonesia, koleksi plasma nutfah yang terdapat di Balittas, hanya 37 aksesi, sepuluh diantaranya telah dianalisis keragaman genetiknya oleh Hadipoentyanti et al. (2001), hasil analisis menunjukkan bahwa 10 aksesi tersebut memiliki hubungan kekerabatan dekat. Pemuliaan abaka terutama ditujukan untuk memperoleh varietas tahan terhadap penyakit atau hama. Penyakit yang banyak ditemukan pada pertanaman abaka adalah penyakit yang disebabkan oleh virus bunchy top, mosaik, jamur Fusarium oxysporum Schlecht. f.sp cubensis (E.F.Sm) Synder & Hansen, bakteri

37 16 Pseudomonas solanacearum, serta nematoda Radopholus simulus dan Pratylenchus coffeae. Hama utama yang banyak dijumpai adalah: aphids, ulat Cosmopolites sordidus (Germ), hama pemakan daun Thosea sinensis (Purseglove, 1983; Hilman dan Toruan-Mathius 2001). Persilangan antara abaka (M. textilis, 2n=20, kualitas serat baik) dengan pacol (M. balbisiana, 2n=22, tahan bunchy top dan mosaik), telah menghasilkan hibrid yang memiliki sifat tahan terhadap penyakit tersebut dan kualitas pulp paling tinggi. Hibrid tersebut telah dikembangkan secara besar-besaran di Filipina sebagai agro-industri (Villareal 1988). Varietas unggul abaka diharapkan mempunyai ciri-ciri: batang tinggi besar (minimal tinggi 6 m dan diameter batang bawah 20 cm), perakaran dalam dengan jumlah akar >150 pada setiap tanaman dewasa, memiliki >20 pelepah daun per batang, kandungan serat minimum 2.5 persen, dapat beradaptasi pada kondisi tanah dan lingkungan yang berbeda, resisten terhadap kekeringan dan banjir, masa produktif lama, resisten terhadap hama dan penyakit, memiliki kualitas serat baik (Purseglove 1983). PENYAKIT LAYU FUSARIUM Penyakit layu Fusarium, yang juga dikenal sebagai Panama disease, merupakan salah satu penyakit yang sangat merugikan pada tanaman pisang, termasuk abaka (Musa textilis Nee) yang ditanam di daerah tropika. Penyakit yang disebabkan oleh cendawan Fusarium oxysporum Schlecht.f.sp. cubense (E.F. Smith) Snyd & Hans ini telah menginfeksi pertanaman pisang di Asia, Afrika, Australia, dan daerah tropika di Amerika sejak 50 tahun yang lalu (Hwang & Ko 2004). Cendawan tersebut dapat bertahan lama di dalam tanah dalam sruktur klamidospora pada sisa-sisa tanaman dan merupakan sumber inokulum yang dapat menyerang abaka dan tanaman lainnya. Penyakit ini dapat menular karena perakaran tanaman sehat berhubungan dengan spora yang dilepaskan oleh tanaman sakit yang ada di sekitarnya, dapat juga melalui bibit dan tanah yang terinfeksi (Agrios 1997). Cendawan ini menyebar cepat pada daerah yang kelengasan tanahnya tinggi, drainasenya buruk, tanah remah dan masam. Penyebaran patogen terutama melalui bibit, tanah yang terinfeksi, sisa tanaman sakit, air yang mengalir, alat-alat pertanian, dan alat transportasi (Hutagalung

38 ). Sampai saat ini telah dikenal 4 ras F. oxysporum f.sp. cubense, tiga diantaranya merupakan patogen utama pada pisang (Wibowo et al. 2001). 1. Gejala yang ditimbulkan Fusarium menghasilkan sejumlah senyawa toksik yang dapat berpengaruh terhadap kesehatan manusia dan produktivitas hewan (Ahmed et al. 1991). Tanaman yang terinfeksi menunjukkan gejala awal berupa bercak kekuningan atau garis-garis pada bagian bawah daun pertama atau kedua. Warna kekuningan akan berkembang di sepanjang tepi daun dan menyebar ke arah tulang daun kemudian coklat dan mengering. Apabila terjadi serangan berat tangkai daun disekeliling batang semu patah, kadang-kadang lapisan luar batang semu juga membelah dimulai dari permukaan tanah (Ploetz et al. 1994; Damayanti 2002). Gejala yang paling khas dari penyakit ini adalah gejala dalam yaitu apabila pangkal batang dibelah membujur akan terlihat garis-garis coklat atau hitam menuju ke semua arah, dari bonggol ke pangkal dan tangkai daun melalui jaringan pembuluh. Gejala infeksi lanjut akan terlihat pada bonggol, dimana bonggol menjadi berwarna merah gelap atau merah kecoklatan. Tunas yang tumbuh pada bagian bonggol yang terserang akan berwarna kuning atau merah (Hutagalung 2002). Patogen yang ada di tanah akan masuk ke akar melalui lenti sel akar, kemudian berkembang sangat cepat disepanjang akar dan menghasilkan miselium. Miselium kemudian masuk ke dalam pembuluh xilem melalui noktah dan menghasilkan mikrokonidium. Spora ini terbawa oleh aliran zat cair ke atas, terhenti dan tersangkut pada dinding sel jaringan pembuluh xilem dan berkecambah membentuk miselium sehingga menyumbat aliran zat cair. Polisakarida dan enzim yang dihasilkan patogen ini dapat menyebabkan kerusakan pada sel-sel jaringan xilem membentuk gel dan gum (massa koloidal) dan menyebabkan penyumbatan pembuluh. Adanya sekresi berupa massa koloidal serta mengkerutnya sel-sel pembuluh menyebabkan aliran zat cair menjadi terhambat sehingga terjadi proses penurunan laju aliran air dalam pembuluh dan akhirnya menimbulkan kelayuan (Agrios 1997).

39 18 2. Respon tanaman terhadap penyakit layu Fusarium Respon tanaman terhadap penyakit pada tahap infeksi awal adalah dengan membentuk jaringan yang memblokir dan membatasi invasi seperti: lignin, suberin dan endodermis, serta mensintesis senyawa anti mikroba yang disebut phytoalexin (Scala et al., 1985). Adanya auksin menginduksi pembentukan gel, mempercepat pertumbuhan dan meningkatkan respirasi sehingga terbentuk tilosis pada xilem dan memblokir patogen untuk tidak menyebar lebih jauh. Selain itu, pada varietas yang resisten terhadap Fusarium terdapat konjugasi antara asam fusarat dengan glycine hingga 25%. Konjugasi ini menyebabkan toksin asam fusarat menjadi tidak aktif sehingga efisien untuk menghindari layu (Harborne, 1988). Hasil penelitian pada tanaman pisang menunjukkan bahwa aktivitas peroksidase meningkat secara cepat saat diinfeksi dengan Fusarium, hal ini merupakan bukti bahwa enzim peroksidase berperan dalam respon pertahanan. Peran enzim peroksidase dalam pertahanan tanaman adalah mengoksidasi senyawa fenolik dan meningkatkan laju proliferasi senyawa mirip lignin yang berfungsi sebagai barier. Kecepatan dan besarnya aktivitas mekanisme pertahanan mengekspresikan adanya resistensi. Pada tanaman yang resisten terdapat korelasi positif antara aktivitas enzim peroksidase yang tinggi dengan ketahanan terhadap F. oxysporum f.sp cubense (Morpurgo et al. 1994). Dengan demikian aktivitas enzim peroksidase dapat digunakan sebagai parameter untuk membedakan klon pisang yang rentan dan toleran terhadap F. oxysporum f.sp cubense. 3. Metabolit yang terdapat dalam ekstrak F. oxysporum Metabolit yang disintesis F. oxysporum antara lain zat pengatur tumbuh dari golongan auksin, toksin, dan enzim pektolitik. Produksi metabolit sekunder selama kultur Fusarium spp. tergantung pada bentuk spesiesialis dan kondisi kultur (misal: temperatur), konsentrasi inokulum dan umur kultur (Durbin 1983). Auksin yang disintesis oleh F. oxysporum adalah asam indol-3-asetat (IAA). Kandungan IAA yang meningkat menyebabkan peningkatan plastisitas dinding sel sehingga pektin, selulosa, dan protein penyusun dinding sel lebih mudah dilewati dan terjadi perombakan oleh enzim-enzim yang disekresi patogen (Agrios

40 ). IAA yang meningkat juga dapat menghambat lignifikasi pada jaringan sehingga mudah dihancurkan oleh enzim yang dikeluarkan patogen. Selain itu kandungan IAA yang tinggi menyebabkan peningkatan laju respirasi pada jaringan yang terinfeksi dan mempengaruhi permeabilitas sel sehingga terjadi peningkatan transpirasi. Beberapa toksin yang dapat diisolasi dari kultur Fusarium spp. antara lain: asam fusarat (5-n-butil asam pikolinat) dari beberapa spesies Fusarium spp. yang menyebabkan layu pada pisang, kapas, tomat; lycomarasmin dari F. oxysporum f.sp. lycopersici; dan eniatins dari beberapa spesies Fusarium spp. (Jin et al. 1996). Enzim-enzim pektolitik yang dihasilkan oleh F. oxysporum memecah bahan pektin pada dinding sel pembuluh kayu dan masuk ke dalam dinding parenkhim xilem (Toyoda et al. 1984a). Sebagai contoh enzim pektinmetilesterase dapat memotong metil pada rantai pektin dan menghasilkan asam pektat. Enzim depolimerase memecah rantai asam pektat menjadi poligalakturonida. Fragmenfragmen asam pektat masuk ke dalam pembuluh kayu dan membentuk massa koloidal yang dapat menyumbat pembuluh. Berkas pembuluh menjadi coklat karena fenol yang dilepaskan dan mengalami polimerisasi menjadi melanin yang berwarna coklat oleh sistem fenol oksidase tumbuhan inang. Warna coklat ini merupakan ciri khas pada penyakit layu yang disebabkan oleh F. oxysporum (Agrios 1997). 4. Asam Fusarat dan gejala yang ditimbulkannya Secara kimia asam fusarat disebut asam piridine karboksilat (5-n-butil asam pikolinat) dengan formulasi C 10 H 13 O 2 N dan mempunyai berat molekul 179. Asam fusarat murni mepunyai titik lebur o C, tetapi bila mengandung asam dehidrofusarat mempunyai titik lebur di atas 109 o C (Damayanti 2002). Umumnya asam fusarat terdapat bersama senyawa lain yaitu asam dehidrofusarat dan asam 10-hidroksi fusarat. Menurut Torssell (1983) asam fusarat merupakan campuran biogenesis dari asam amino dan poliketida. Asam fusarat dihasilkan oleh banyak spesies dari genus Fusarium dan merupakan toksin yang tidak spesifik pada inang tertentu, dapat menimbulkan gejala layu pada beberapa spesies tanaman yang berbeda (Matsumoto et al 1995).

41 20 Asam fusarat juga merupakan chelator logam, produksi asam fusarat secara in vitro dipengaruhi oleh ketersediaan ion logam, terutama zinc (Harborne 1988) dan rasio C dan N dalam media (Remotti 1996). Asam fusarat dapat mempengaruhi fungsi organel, protein atau enzim tertentu dari sel tanaman seperti: menghambat oksidasi sitokrom dan respirasi pada mitokondria sehingga menurunkan ATP yang akhirnya menyebabkan layu; menghambat enzim kristalin katalase dalam pembentukan dinding sel sehingga mengganggu permeabilitas membran sel yang dapat mengakibatkan kebocoran sel; menurunkan aktivitas oksidasi fenol dan polifenol yang memegang peran dalam pertahanan tanaman terhadap patogen (Jin et al. 1996; Remotti 1996). Asam fusarat telah banyak digunakan dalam seleksi in vitro untuk memperoleh tanaman tahan penyakit layu antara lain pada tomat, asparagus, gandum, bunga lily, gladiol, pisang, nanas dan sebagainya. (Toyoda et al. 1984b; Morpurgo et al. 1994; Matsumoto et al. 1995; Remotti et al. 1997; Borras et al. 2001). KULTUR JARINGAN ABAKA Kultur jaringan abaka telah berkembang baik di Filipina dan terbukti dapat mempercepat propagasi hingga kali dibandingkan dengan cara konvensional. Eksplan yang digunakan adalah tunas pucuk (shoot tip), dan media untuk induksi tunas adalah MS dengan penambahan hormon BA dan air kelapa. Dengan teknik kultur jaringan diperoleh plantlet/tunas pucuk/tahun, sementara dari tanaman di lapang hanya diperoleh 20 bibit/anakan/tahun. Plantlet yang diperoleh sangat mudah berakar pada media yang mengandung karbon aktif dan IBA. Hasil pengujian 30 varietas abaka menunjukkan bahwa produksi tunas melalui kultur jaringan tergantung pada varietas (Del-Rosario dan Zamora 1988). Di Indonesia, pengadaan bibit abaka melalui kultur jaringan juga telah banyak dilakukan. Sumber eksplan yang umum digunakan adalah mata tunas atau tunas pucuk yang berasal dari tanaman di lapang. Setelah disterilisasi kemudian ditanam pada media MS yang diberi tambahan BAP (5 mg/l) untuk penggandaan tunas, sedang untuk media perakaran digunakan MS dengan penambahan IBA atau IAA (0.5 mg/l). Produksi plantlet mencapai planlet/mata tunas atau

42 21 tunas pucuk/tahun (Hilman dan Toruan-Mathius 2001). Hasil penelitian Mante dan Tepper (1983) menunjukkan bahwa penambahan BAP pada media inisiasi tunas lebih efektif dibandingkan zat pengatur tumbuh lain, misal: kinetin dan 2iP. Selain itu, pembentukan tunas pada eksplan yang berasal dari tanaman muda (umur 2-6 bulan) lebih cepat dan konsisten dibandingkan tanaman tua (umur 12 bulan), dan yang paling menentukan keberhasilan kultur jaringan abaka adalah intensitas cahaya yang cukup ( lux). Penambahan asam askorbat (100 mg/l) pada media MS yang mengandung BAP (5 mg/l) dapat mengurangi proses pencoklatan (browning) akibat adanya phenol pada jaringan (Damayanti 2002). MUTASI DAN KERAGAMAN SOMAKLONAL Mutasi secara umum dibedakan dalam dua kelompok, yaitu mutasi alami dan mutasi buatan. Mutasi alami terjadi secara spontan dan berkaitan dengan faktor-faktor lingkungan. Mutasi alami terjadi secara lambat, tetapi berlangsung secara terus-menerus sehingga memerlukan waktu yang lama untuk mengakumulasi mutan dalam populasi alami (Damayanti 2002). Mutasi buatan adalah mutasi yang diinduksi yang digunakan sebagai salah satu cara untuk menimbulkan keragaman genetik. Mutasi dapat diinduksi dengan cara fisik menggunakan radiasi atau dengan cara kimia menggunakan senyawa yang bersifat mutagen (van Harten 1998), dan akhir-akhir ini penggunaan elemen transposon yang dikenal dengan mutagenesis insersi dan kultur jaringan yang menimbulkan keragaman somaklonal dinyatakan sebagai teknik biologi untuk menghasilkan mutasi (Bird & Neuffer 1987). Mutasi buatan telah memberikan kontribusi nyata terhadap perbaikan tanaman di dunia (Maluszynski et al. 1995). Radiasi yang umum digunakan adalah sinar-x atau gamma, sedangkan mutasi kimia antara lain menggunakan colchicin, dietil sulfat (DES), etilenimin (EI), nitroso etil urea, nitroso metil urea, dan etilmetan sulfonat (EMS). EMS termasuk senyawa alkil yang mempunyai potensi tinggi sebagai mutagen yang efisien untuk tanaman tinggi. EMS merupakan mutagen kimia yang paling banyak digunakan karena mudah dibeli, harganya murah dan tidak meninggalkan racun setelah hidrolisat (van Harten 1998). Frekuensi mutasi tinggi diperoleh pada

43 22 kacang tanah yang diberi perlakuan EMS dengan konsentrasi % (Gowda et al. 1996). Pada tanaman barley, EMS menimbulkan laju mutasi hingga 4-5 kali lebih tinggi dibandingkan dengan radiasi sinar-x, terutama untuk mutasi klorofil (van Harten 1998). Kombinasi antara EMS (0,3%) dan dimetil sulfonat atau DMSO (4%) telah berhasil meningkatkan frekuensi mutasi pada tanaman pisang (Matsumoto et al. 1995). Keragaman somaklonal merupakan keragaman genetik dari tanaman yang dihasilkan melalui berbagai macam kultur jaringan (Semal & Lepoivre 1990). Keragaman somaklonal dapat berasal dari keragaman genetik yang sebelumnya sudah ada (pre-existing) pada eksplan dan keragaman yang diinduksi selama fase kultur jaringan (Skirvin et al. 1994). Keragaman yang timbul akibat induksi pada kultur in vitro lebih sering terjadi dan mudah diamati, karena varian diperoleh dari tempat yang terbatas dan dalam waktu singkat (Ahloowalia 1986). Keragaman somaklonal terdiri dari dua tipe yaitu: heritabel dan epigenetik. Keragaman heritabel adalah keragaman yang stabil dan diwariskan melalui siklus seksual maupun propagasi akseksual yang berulang, sementara keragaman epigenetik tidak stabil meskipun dipropagasi secara aseksual (Skirvin et al. 1994). Keragaman somaklonal dapat berupa defisiensi klorofil, mutasi gen tunggal, poliploidi, perubahan kromosom, modifikasi hasil, kualitas, ketahanan penyakit, atau kadang-kadang muncul keragaman yang sebelumnya tidak pernah ada di alam (Ahloowalia 1986). Adapun faktor-faktor yang mempengaruhi terbentuknya keragaman somaklonal pada kultur jaringan adalah: fase pertumbuhan awal, genotipe, zat pengatur tumbuh, sumber jaringan eksplan (Karp 1995) dan protokol atau prosedur regenerasi plantlet (Semal & Lepoivre 1990). Keragaman somaklonal memiliki potensi untuk perbaikan varietas karena: menimbulkan sifat-sifat baru yang tidak diperoleh dari persilangan atau mutasi, dan pada somaklonal tidak terdapat hambatan yang sering dijumpai pada hibridisasi seperti: fertilitas rendah, kurangnya keragaman genetik, atau lamanya waktu yang dibutuhkan (Semal & Lepoivre 1990). Menurut Cai dan Butler (1996) penggunaan keragaman somaklonal bersama-sama dengan pemuliaan konvensional dapat meningkatkan efisiensi pemuliaan karena dapat memperluas keragaman dan menyingkat waktu proses pemuliaan.

44 23 Kombinasi kultur jaringan dengan mutasi buatan dapat mempercepat program pemuliaan mulai dari peningkatan keragaman hingga multiplikasi genotipe yang diinginkan. Pada spesies-spesies yang berkembang biak secara vegetatif (misal: kentang, pisang, abaka dsb.), mutasi yang dikombinasi dengan teknik kultur jaringan merupakan metode yang paling tepat untuk perbaikan kultivar (Maluszynski et al. 1995). Kombinasi antara mutasi dengan kultur jaringan dapat menghasilkan mutan dengan frekuensi tinggi dalam waktu singkat dan mengurangi terjadinya kimera (Nagatomi, 1996). SELEKSI IN VITRO Seleksi in vitro ditujukan untuk memilih mutan secara efektif dan efisien yang mempunyai sifat sesuai dengan yang diinginkan. Seleksi in vitro yang dikombinasikan dengan keragaman somaklonal telah banyak digunakan untuk memperoleh tanaman resisten terhadap penyakit pada berbagai jenis tanaman (Ahmed et al. 1996). Sebagai contoh adalah untuk memperoleh tanaman tebu toleran terhadap fitotoksin yang dihasilkan oleh Drechslera sacchari (toksin DS) dari varietas yang sangat rentan (Leal et al. 1996). Keragaman somaklonal memberikan kemungkinan terbentuknya resistensi terhadap patogen tanaman dan sangat berguna untuk perbaikan resistensi tanaman terhadap fungi. Keragaman akan lebih terarah dengan adanya tekanan seleksi (patogen itu sendiri, toksin atau filtrat kultur) baik selama fase regenerasi tunas atau sesudah regenerasi tanaman (Orlando et al. 1997). Sistem yang paling banyak digunakan untuk evaluasi in vitro terhadap resistensi/suseptibilitas adalah penggunaan toksin murni atau filtrat jamur (Morpurgo et al. 1994). Asam Fusarat yang dihasilkan oleh berbagai spesies Fusarium merupakan toksin yang menyebabkan gejala layu. Seleksi in vitro mutan-mutan yang toleran terhadap asam fusarat merupakan metode yang efiektif untuk memperoleh tanaman toleran terhadap Fusarium (Matsumoto et al. 1995). Umumnya, ketahanan terhadap toksin yang diekspresikan pada saat regenerasi tanaman memiliki korelasi dengan tingkat ketahanannya terhadap penyakit, karena ketahanan telah ditransmisikan kepada keturunan tanaman yang terseleksi (Ahmed et al. 1991).

45 24 Teknik filtrat kultur Fusarium spp. juga telah umum digunakan untuk memperoleh somaklon resisten terhadap senyawa toksik yang diproduksi oleh patogen tersebut pada tanaman gandum (Ahmed et al. 1996). Filtrat kultur dapat menghambat pertumbuhan sel dan sel-sel dari spesies inang lebih sensitif terhadap toksin dibandingkan tanaman bukan inang. Kalus tanaman anyelir yang rentan terhadap Fusarium oxysporum f.sp dianthi bila ditanam pada media yang mengandung filtrat kulturnya dapat menghasilkan tanaman resisten terhadap patogen tersebut (Thakur et al. 2002). Penggunaan filtrat kultur lebih baik bila ditambah dengan pengamatan parameter biokimia, misalnya: senyawa fenol. Peroksidase merupakan enzim penting yang berkorelasi dengan mekanisme pertahanan aktif tanaman dengan menyediakan senyawa fenol untuk membentuk lignin (Morpurgo et al. 1994). Pada tanaman strawberry, meningkatnya ketahanan terhadap patogen berkorelasi dengan bertambahnya senyawa fenol terutama ortodihidroksifenol (Orlando et al. 1997).

46 25 BAB III METODE INOKULASI DAN KERAPATAN KONIDIUM Fusarium oxysporum f.sp. cubense UNTUK MENGINFEKSI TANAMAN ABAKA ABSTRAK Abaka (Musa textilis Nee) merupakan salah satu tanaman industri penting, namun pengembangannya di Indonesia masih mengalami kendala karena adanya penyakit layu Fusarium (penyakit Panama) yang disebabkan oleh infeksi cendawan Fusarium oxysporum f.sp. cubense (Foc). Perbaikan tanaman untuk memperoleh genotipe abaka yang resisten terhadap Foc membutuhkan metode inokulasi yang efektif untuk penapisan plasma nutfah. Penelitian ini bertujuan untuk (1) mengevaluasi efektivitas metoda inokulasi Foc dan (2) kerapatan konidia Foc untuk menginduksi munculnya infeksi Foc pada bibit abaka, serta (3) mengevaluasi respon sepuluh genotipe abaka terhadap infeksi Foc. Hasil penelitian menunjukkan bahwa metode inokulasi dengan memotong akar bibit abaka di bagian ujung dan merendamnya selama dua jam dalam suspensi konidia Foc sebelum tanam (INO-2) pada kerapatan 10 6 konidia/ml (KON-2) merupakan metode yang paling efektif untuk menginduksi infeksi penyakit pada bibit abaka. Perlakuan tersebut menimbulkan gejala dan intensitas penyakit paling tinggi pada genotype-genotipe abaka yang dievaluasi. Dari sepuluh genotype yang diuji, tidak ada satupun yang resisten terhadap infeksi Foc. Kata kunci: layu Fusarium, penyakit panama, respon penyakit, Musa textilis

47 26 INOCULATION METHODS AND CONIDIAL DENSITIES OF Fusarium oxysporum f.sp. cubense FOR INFECTING ABACA ABSTRACT Despite abaca (Musa textilis Nee) is an important industrial crop; its cultivation in Indonesia is hamperred by Fusarium wilt (Panama disease) due to infection of Fusarium oxysporum f.sp. cubense (Foc). Development of Foc resistance abaca genotypes requires availability of established and reliable screening method for resistance against Foc. The objectives of this study were (1) to evaluate effectiveness of Foc inoculation methods and (2) Foc conidial densities - to induce disease infection in abaca, and (3) to evaluate the responses of ten abaca clones against Foc infection. Results of the experiment showed method of inoculation by wounding roots and submerging abaca planting materials for 2 hours in suspension of Foc conidia before planting and the use of suspension of 10 6 Foc konidium/ml were the most effective method for inducing disease infection in abaca. These treatments resulted in the most severe disease symptoms and disease incidence among tested abaca. Out of ten abaca clones evaluated, none was resistance against Foc infection. Keywords : Fusarium wilt, panama disease, disease response, Musa textilis. PENDAHULUAN Penyakit layu Fusarium, yang juga dikenal sebagai Panama disease, merupakan salah satu penyakit yang sangat merugikan pada tanaman pisang, termasuk abaka (Musa textilis Nee) yang ditanam di daerah tropika. Penyakit yang disebabkan oleh cendawan Fusarium oxysporum Schlecht.f.sp. cubense (E.F. Smith) Snyd & Hans ini telah menyerang pertanaman pisang di Asia, Afrika, Australia, dan daerah tropika di Amerika sejak 50 tahun yang lalu (Hwang & Ko 2004). Di Leyte-Filipina F. oxysporum f.sp. cubense (Foc) dilaporkan telah menimbulkan kerusakan antara 5-65% dari pertanaman abaka di lapangan (Bastasa & Baliad 2005). Di Indonesia, Foc diketahui telah menyerang tanaman pisang hingga seluas ha di 3 provinsi di Sumatera (Nasir & Jumjunidang 2003). Keberadaan patogen ini di berbagai daerah lain di Indonesia juga telah diketahui. Hal tersebut menjadi kendala pengembangan abaka di Indonesia mengingat klon abaka yang resisten terhadap Foc belum tersedia. Di lapangan pengendalian Foc sulit dilakukan karena cendawan ini mampu

48 27 bertahan lama dalam bentuk miselium diantara sisa-sisa tanaman yang terserang atau dalam bentuk klamidospora di tanah (Agrios 1997). Pengendalian penyakit layu Fusarium disarankan dilakukan secara terpadu dengan penggunaan bibit sehat dari klon abaka yang resisten, penggunaan mikroba antagonis, dan penggunaan pestisida nabati (Djatnika et al. 2003; Di Pietro et al. 2003). Walaupun demikian, efektivitas mikroba antagonis untuk pengendalian Foc masih terbatas, efektivitasnya di lapangan masih belum diketahui, dan belum ada mikroba antagonis yang dapat diandalkan untuk secara tuntas mengendalikan Foc (Bastasa & Baliad 2005). Sejauh ini, penggunaan klon yang resisten merupakan metode alternatif pengendalian Foc yang efektif (Ploetz 2000) Penanaman klon abaka yang resisten terhadap serangan Foc diharapkan merupakan cara alternatif untuk mengatasi kendala serangan layu Fusarium di Indonesia. Dalam usaha untuk mengidentifikasi klon abaka yang resisten terhadap Foc maka perlu dilakukan penapisan respons plasma nutfah abaka yang ada terhadap serangan Foc. Keberhasilan kegiatan penapisan ditentukan oleh tersedianya metode inokulasi Foc yang efektif pada tanaman abaka. Selama ini metode penapisan yang ada untuk evaluasi respons tanaman pisang terhadap Foc tidak praktis dalam penerapannya (Ishak & Dwimahyani 2005). Penelitian yang dilakukan bertujuan untuk (1) mengevaluasi efektivitas metoda inokulasi dan (2) kerapatan konidium Foc untuk menginduksi munculnya gejala pada bibit abaka, serta (3) mengevaluasi respons sepuluh klon abaka terhadap serangan Foc. BAHAN DAN METODE Isolat F. oxysporum f.sp cubense dan Bahan Tanaman. Cendawan Foc diisolasi dari tanaman abaka yang terinfeksi Foc di perkebunan abaka PT. Bayu Lor, Banyuwangi (Foc isolat Banyuwangi) dan kebun percobaan Balai Penelitian Tembakau dan Tanaman Serat (Balittas) di Sumberejo, Bojonegoro (Foc isolat Bojonegoro) dan di Karangploso, Malang (Foc isolat Malang). Isolat cendawan yang digunakan sebagai sumber inokulum telah dimurnikan dengan menggunakan kultur potongan hifa, diperbanyak dalam media potato dextrose agar (PDA) dan diinkubasikan dalam ruang bersuhu 29-

49 28 30 o C selama 7 hari. Ke dalam botol kultur dengan volume 250 ml dan berisi media potato dextrose broth (PDB) 100 ml diinokulasikan 3 potongan agar (diameter 1 cm) dengan hifa Foc. Kultur digoyang dengan pengocok (shaker) berkecepatan putaran 60 rpm selama 14 hari (Gambar 2.a). Plantlet abaka hasil kultur jaringan yang telah berakar ditanam dalam pot plastik berisi media pasir steril, diinkubasikan di ruangan yang terkontrol kelembaban dan pencahayaannya selama 1 minggu, dan dipindahkan ke rumah kaca hingga bibit berumur 2 bulan (tinggi cm). Hanya bibit abaka sehat dan tidak menunjukkan gejala serangan hama dan penyakit yang digunakan dalam percobaan (Gambar 2.b). Abaka klon Tangongon digunakan dalam evaluasi efektivitas metode inokulasi, sedangkan abaka klon Tangongon, Sangihe-1 dan UB-3 digunakan dalam evaluasi efektivitas kerapatan konidia Foc untuk memunculkan gejala infeksi Foc pada bibit abaka yang diuji. Dalam evaluasi respon klon abaka terhadap infeksi Foc digunakan 10 klon abaka yang dibibitkan dari hasil perbanyakan in vitro. Semua bibit ditumbuhkan dalam kantong plastik (polybag) berisi media campuran tanah:pasir (2:1 b/b). Efektivitas Metode Inokulasi. Dalam percobaan ini dievaluasi metode inokulasi 1 (INO-1): penanaman bibit abaka dalam media tanam yang terkontaminasi Foc. Media terkontaminasi diperoleh dengan mencampur Foc yang dibiakkan dalam media beras dengan media tanam dan diinkubasikan selama satu minggu sebelum bibit abaka ditanam, dengan perbandingan 10 g beras pada 3 kg tanah. Metode INO-2: penanaman bibit abaka yang akarnya telah dipotong ± 1 cm di bagian ujung dan direndam selama dua jam dalam suspensi konidia Foc (10 6 konidia/ml) pada media tanam steril. Metode INO-3: penanaman bibit abaka dalam media tanam steril dan penyiraman dengan 50 ml suspensi konidia Foc (10 6 konidia/ml). Bibit abaka yang tidak diinokulasi Foc digunakan sebagai kontrol. Satuan percobaan terdiri atas 5 pot yang ditanami dengan satu bibit abaka per pot dan diulang 3 kali sehingga total terdapat 15 bibit untuk masing-masing perlakuan. Pengamatan dilakukan terhadap persentase bibit bergejala layu karena infeksi Foc, rataan skor gejala layu, dan intensitas penyakit (IP) pada 30 hari sesudah inokulasi (HSI). Untuk semua data

50 29 yang dihasilkan, hanya nilai rataan skor gejala saja yang dianalisis secara statistik. Persentase tanaman bergejala dan intensitas penyakit tidak dianalisis secara statistik. Pengaruh Kerapatan Konidia Foc terhadap Intensitas Penyakit. Percobaan ini mengevaluasi pengaruh penggunaan dua tingkat kerapatan konidia terhadap munculnya gejala dan intensitas penyakit layu Fusarium pada tiga klon abaka (Tangongon, Sangihe-1 dan UB-3). Kerapatan konidia Foc isolat Banyuwangi yang dievaluasi terdiri atas: 10 5 konidia/ml (KON-1) dan 10 6 konidia/ml (KON-2). Kerapatan stok konidia Foc dihitung menggunakan haemocytometer (5 bidang pandang) dan kerapatan konidia yang diinginkan diperoleh dengan pengenceran stok konidia menggunakan akuades steril. Sebelum ditanam, bibit abaka yang digunakan dilukai perakarannya dan direndam selama 2 jam dalam suspensi konidia Foc dengan kerapatan sesuai perlakuan. Selanjutnya bibit abaka ditanam dalam kantong plastik berisi media tanam sebagaimana telah diuraikan sebelumnya. Bibit abaka yang tidak diinokulasi (direndam dalam air akuades, KON-0) digunakan sebagai pembanding. Unit percobaan terdiri atas 3 pot yang masing-masing ditanami satu bibit abaka. Setiap perlakuan diulang tiga kali sehingga total digunakan 9 bibit abaka untuk setiap perlakuan. Pengamatan dilakukan pada 30 dan 60 HSI terhadap persentase bibit yang bergejala layu, rataan skor gejala layu dan intensitas penyakit. Pengamatan gejala nekrosis pada bonggol bibit abaka dilakukan pada saat 60 HSI (saat bibit dipanen). Respon 10 Klon Abaka terhadap Infeksi Foc. Percobaan ini mengevaluasi munculnya gejala, rataan skor gejala dan intensitas penyakit layu Fusarium pada 10 klon abaka (Banjar, BL Manado, Cilacap, Cirebon, Layahan, Mb B, Sangihe-1, Sangihe-2, Tangongon dan UB3) setelah diinokulasi Foc isolat Banyuwangi. Satuan percobaan terdiri atas empat bibit abaka dan untuk masing-masing klon diulang 3 kali sehingga digunakan total 12 bibit abaka untuk setiap klon. Sebelum ditanam, bibit abaka yang digunakan dilukai perakarannya dan

51 30 direndam selama 2 jam dalam suspensi konidia Foc dengan kerapatan 10 6 konidia/ml. Selanjutnya bibit abaka ditanam dalam kantong plastik berisi media tanam sebagaimana telah diuraikan sebelumnya. Bibit abaka yang tidak diinokulasi digunakan sebagai pembanding. Pengamatan dilakukan pada saat 30 dan 60 HSI terhadap persentase bibit yang bergejala layu, rataan skor gejala layu dan intensitas penyakit. Skoring Gejala dan Intensitas Penyakit. Skoring gejala layu pada bibit abaka akibat infeksi Foc (skor 0 4) dilakukan mengikuti kriteria yang dikembangkan Epp (1987), yaitu: skor 0 bibit sehat dan tidak menunjukkan gejala layu; skor 1 daun bagian bawah sedikit menguning dan mengering; skor 2 peningkatan jumlah daun yang menguning dan bibit mulai layu; skor 3 seluruh bibit mengering kecuali daun yang baru atau belum membuka; skor 4 bibit mati (Gambar 2.c-g). Gejala nekrosis pada bonggol bibit abaka ditandai dengan perubahan warna bonggol dari putih kehijauan menjadi coklat kehitaman. Skoring gejala nekrosis pada bonggol abaka dilakukan sebagai berikut: skor 0 tidak terjadi perubahan warna bonggol; skor 1 nekrosis antara 0-5%; skor 2 nekrosis 5-35%; skor 3 nekrosis 35-50%; skor 4 nekrosis 50-75%; dan skor 5 nekrosis % dari lingkar batang (Mak et al. 2004b). Intensitas penyakit (IP) untuk gejala layu dan nekrosis bonggol ditentukan dengan rumus sebagai berikut: IP=[?(ni x si)/(n x S)] x 100%; dengan ni: jumlah bibit dengan skor gejala i, si: skor gejala i, N: jumlah total bibit yang diamati, S: skor gejala tertinggi (Cachinero et al. 2002). Penentuan respon bibit abaka yang diuji terhadap infeksi Foc dilakukan dengan kriteria sebagai berikut: imun (I) jika IP=0%; tahan (T) jika IP antara 0-5%; agak tahan (AT) jika IP antara 5-10%; agak rentan (AR) jika IP antara 10-25%; rentan (R) jika IP antara 25-50%; dan sangat rentan (SR) jika IP>50% (Yusnita & Sudarsono 2004). Pengamatan Anatomis Akar. Akar dari bibit abaka contoh diambil secara acak pada 30 HSI, dicuci

52 31 dengan air, dan diawetkan dengan larutan formalin acetic acid (FAA). Contoh akar diiris melintang menggunakan pisau silet dan diamati gejala kerusakannya akibat infeksi Foc, yang ditandai dengan warna lebih gelap pada jaringan yang rusak (Nasir et al. 2003). HASIL Efektivitas Metode Inokulasi. Bibit abaka yang tidak diinokulasi tidak menunjukkan gejala layu sedangkan yang diinokulasi menunjukkan berbagai tingkatan gejala layu pada 30 HSI. Hasil reisolasi dari bibit yang bergejala layu menggunakan media PDA menghasilkan biakan Foc, yang mengindikasikan keterkaitan antara gejala layu dan patogen Foc. Metode INO-2 mampu menghasilkan rataan skor gejala dan nilai IP yang lebih tinggi dibandingkan metode inokulasi lainnya untuk tiga isolat Foc yang digunakan. Selain itu, hanya metode INO-2 yang secara konsisten menghasilkan 100% bibit bergejala (Tabel 1). Isolat Foc yang berasal dari Banyuwangi, Malang dan Bojonegoro mampu menginfeksi dan menimbulkan gejala layu pada bibit abaka yang diinokulasi dengan metode INO-2. Untuk perlakuan INO-1 atau INO- 3, selain tidak semua isolat mampu menghasilkan tanaman bergejala 100% juga menghasilkan intensitas penyakit yang lebih rendah dibandingkan INO-2. Pengaruh Kerapatan Konidia Foc. Perendaman bibit abaka dalam suspensi konidia Foc dengan kerapatan 10 5 konidia/ml (KON-1) atau 10 6 konidia/ml (KON-2) sama-sama mampu menyebabkan munculnya gejala layu pada 3 klon abaka yang diuji. Pada 30 HSI, bibit abaka yang diinokulasi menunjukkan rataan skor gejala layu lebih kecil dari 2 (Tabel 2). Kecuali untuk klon Tangongon pada 30 HSI, perlakuan KON-2 menghasilkan persentase bibit bergejala, rataan skor gejala, dan nilai IP yang lebih tinggi dibandingkan KON-1. Pada 60 HSI, perlakuan KON-1 dan KON-2 samasama mampu menyebabkan 100% bibit klon Tangongon bergejala layu. Sedangkan untuk klon Sangihe-1 dan UB-3 pada 60 HSI, perlakuan KON-2

53 32 Tabel 1. Pengaruh metode inokulasi F. oxysporum f.sp. cubense isolat Banyuwangi (Bw), Bojonegoro (Bn) atau Malang (Ml) terhadap persentase tanaman bergejala, rataan skor gejala kelayuan dan intensitas penyakit pada bibit abaka klon Tangongon. Pengamatan dilakukan pada 30 hari setelah inokulasi. Metode Tanaman bergejala (%) Rataan skor gejala Intensitas penyakit (%) inokulasi Bw Bn Ml Bw Bn Ml Rataan Bw Bn Ml Kontrol c* INO b INO a INO b Keterangan: *Angka dengan huruf yang sama, tidak berbeda nyata berdasarkan uji jarak berganda Duncan dengan α=5%. menghasilkan persentase gejala layu yang lebih tinggi dibandingkan KON-1. Selain itu pada 60 HSI, KON-2 juga menghasilkan rataan skor gejala dan nilai IP yang lebih tinggi dibandingkan KON-1 untuk tiga klon abaka yang diuji (Tabel 2). Perlakuan 10 6 konidium/ml juga menyebabkan persentase bonggol bibit abaka bergejala nekrosis dan nilai intensitas penyakit yang lebih tinggi dibandingkan perlakuan 10 5 konidium/ml (Tabel 3). Tetapi kedua perlakuan mempunyai rataan skor gejala nekrosis yang sama. Tabel 2. Pengaruh kerapatan konidia F. oxysporum f.sp. cubense isolat Banyuwangi yang digunakan untuk menginokulasi bibit abaka klon Tangongon (Tg), Sangihe-1 (Sh), atau UB-3 (Ub) terhadap persentase bibit bergejala, rataan skor gejala kelayuan (SGK), dan intensitas penyakit (IP). Hari pengamatan & jumlah konidium/ml Pengamatan saat 30 hsi: Bibit bergejala (%) Skor gejala layu Intensitas penyakit (%) Tg Sh Ub Tg Sh Ub Rataan Tg Sh Ub 0 (KON-0) b* (KON-1) a (KON-2) a Pengamatan saat 60 hsi: 0 (KON-0) c (KON-1) b (KON-2) a Keterangan: *Angka dengan huruf yang sama, tidak berbeda nyata berdasarkan uji jarak berganda Duncan dengan α=5%.

54 33 Tabel 3. Pengaruh kerapatan konidia F. oxysporum f.sp. cubense isolat Banyuwangi yang digunakan untuk menginokulasi bibit abaka klon Tangongon (Tg), Sangihe-1 (Sh), atau UB-3 (Ub) terhadap persentase bibit bergejala, rataan skor gejala nekrosis (SGN) pada bonggol bibit, dan intensitas penyakit (IP). Pengamatan dilakukan pada 60 hari sesudah inokulasi. Kerapatan Bibit bergejala (%) Rataan SGN IP (%) (konidia/ml) Tg Sh Ub Tg Sh Ub Rataan Tg Sh Ub 0 (KON-0) b* (KON-1) a (KON-2) a Keterangan: *Angka dengan huruf yang sama, tidak berbeda nyata berdasarkan uji jarak berganda Duncan dengan α=5%. Hasil pengamatan anatomis akar pada 30 HSI menunjukkan bibit yang diinokulasi Foc mengalami kerusakan jaringan epidermis dan korteks yang ditandai dengan adanya warna coklat kehitaman (Gambar 2.h). Pengamatan pada 30 HSI yang dilakukan menunjukkan kerusakan jaringan belum mencapai jaringan pengangkut (xylem, phloem dan empulur). Pada Gambar 2.i disajikan penampang melintang akar bibit abaka yang tidak diinokulasi Foc sebagai standar. Respon 10 klon abaka terhadap infeksi Foc. Semua klon abaka yang diinokulasi menunjukkan persentase dan rataan skor gejala serta intensitas penyakit lebih besar dibandingkan yang tidak diinokulasi (Tabel 4). Berdasarkan nilai IP (Tabel 4), 10 klon abaka yang diuji tergolong sangat rentan (SR, 9 klon) atau rentan (R, 1 klon). PEMBAHASAN Keberhasilan infeksi Foc merupakan proses kompleks yang melibatkan beberapa tahapan, yaitu: (1) pendeteksian signal dari akar pisang yang terluka oleh Foc, (2) penempelan Foc pada permukaan akar dan penetrasi hifa Foc ke jaringan akar, (3) penetrasi hifa Foc ke dalam korteks dan degradasi sistem pertahanan fisik jaringan akar untuk mencapai jaringan pembuluh, (4) proliferasi hifa Foc dan produksi mikrokonidia dalam jaringan xilem, dan (5) sekresi senyawa toksin dan ensim hidrolisis oleh Foc yang menyebabkan kerusakan lebih lanjut jaringan tanaman (Di Pietro et al. 2003). Adanya luka pada jaringan

55 34 Tabel 4. Respon 10 klon abaka terhadap infeksi Fusarium oxysporum f.sp. cubense isolat Banyuwangi. Pengamatan dilakukan pada 60 hari sesudah inokulasi. Klon dan karakter unggul abaka: Banjar TT > 2 m, RS > 3% BL Manado TT > 2 m, RK >70% Cilacap TT > 3 m, RS > 3% Cirebon TT > 2 m, RS > 3% Bibit bergejala (%) Rataan skor gejala Intensitas penyakit (%) kelayuan INO Tanpa INO INO Tanpa INO Respon terhadap Foc SR SR SR SR Layahan JA > SR MbB R Sangihe-1 TT > 2 m, RK > 70% Sangihe-2 TT > 2 m, RS > 3% SR SR Tangongon SR UB SR Keterangan: Deskripsi karakter unggul kultivar abaka sesuai dengan yang dipublikasikan oleh Setyo-Budi et al. (2001); TT: tinggi tanaman di lokasi Kebun Percobaan Karangploso, Malang; RS: rendemen serat; RK: rendemen kertas; JA: jumlah anakan; SR: sangat rentan; R: rentan. akar merupakan salah satu proses awal infeksi Foc pada tanaman pisang. Di lapangan, pelukaan jaringan tanaman dapat terjadi antara lain akibat pemangkasan anakan, aktivitas serangga penusuk, atau aktivitas infeksi nematoda (Ploetz 2000). Djatnika et al. (2003) menyebutkan bahwa Foc bersifat tular tanah, menginfeksi tanaman melalui akar rambut lateral, dan dapat menginfeksi jaringan melalui luka yang disebabkan oleh nematoda Radopholus similis. Dalam penelitian ini, metode INO-2 dilakukan dengan memberikan pelukaan pada akar bibit abaka yang diuji, diikuti dengan perendaman bibit dalam suspensi konidium Foc. Sebaliknya, dalam perlakuan INO-1 dan INO-3 tidak ada tindakan pelukaan terhadap bibit abaka yang diuji, meskipun bibitnya diberi inokulum Foc dengan konsentrasi inokulum yang tinggi. Bibit abaka yang diinokulasi dengan metode INO-2 menunjukkan gejala layu dan intensitas penyakit yang lebih tinggi. Hal ini sejalan dengan tahapan proses infeksi Foc pada tanaman abaka yang harus dilewati, yaitu adanya luka

56 35 pada jaringan akar. Pada metode INO-2, pelukaan jaringan akar yang dilakukan dan perendaman bibit pada suspensi konidia Foc menjamin terjadinya proses awal infeksi. Pada metode INO-1 dan INO-3 masih terjadi infeksi meskipun tidak terlalu parah. Hal ini disebabkan karena patogen secara aktif dapat melukai jaringan tanaman secara kimia yaitu mengeluarkan enzim untuk mendegradasi dinding sel tanaman atau secara mekanik menggunakan kapak penetrasi. Namun terjadinya pelukaan oleh Foc membutuhkan waktu dan ada kemungkinan gagal sehingga perlu dibantu dengan perlakuan pelukaan buatan. Perlakuan pelukaan jaringan tanaman yang diuji telah dilaporkan membantu penetrasi inokulum cendawan ke dalam sel/jaringan tanaman yang diinokulasi (Yusnita & Sudarsono 2004; Sakamoto & Gordon 2006). Sesuai dengan tahapan infeksi, kerusakan jaringan akar yang terjadi akibat infeksi Foc dimulai dari jaringan epidermis, diikuti jaringan korteks dan akhirnya jaringan pembuluh (xylem). Tahapan proses infeksi Foc dimulai dari penempelan dan penetrasi jaringan akar dan diikuti penyebaran ke jaringan pembuluh (Mak et al. 2004a; Salerno 2000). Gejala layu yang diamati pada tajuk tanaman terjadi akibat tersumbatnya jaringan pembuluh akar oleh miselia cendawan dan akibat induksi tilosis atau kerusakan jaringan parenkimatis oleh enzim dan asam fusarat yang diproduksi Foc. Pada penelitian yang dilakukan pada bibit abaka ini, kerusakan jaringan akar yang terjadi baru mencapai jaringan korteks setelah 30 HSI. Pengamatan anatomis menunjukkan jaringan akar yang mengalami kerusakan akibat infeksi Foc menjadi berwarna gelap atau coklat kehitaman (Gambar 2.h). Warna gelap pada jaringan akar yang rusak terjadi sebagai akibat penguraian senyawa fenol menjadi senyawa-senyawa yang lebih sederhana oleh enzim fenol oksidase yang dihasilkan Foc dan penyerapan senyawa-senyawa tersebut oleh dinding sel jaringan akar (Semangun 1996). Dengan demikian, perubahan warna jaringan yang diinokulasi menjadi coklat atau kehitaman (gelap) pada preparat anatomis mengindikasikan terjadinya kerusakan pada jaringan akar tanaman abaka yang diinokulasi. Dalam penelitian ini, meskipun pada 30 HSI kerusakan akar yang terjadi baru mencapai jaringan korteks, bibit abaka yang diuji telah menunjukkan gejala

57 36 layu dengan rataan skor Korteks merupakan jaringan penyusun akar yang terdiri atas sel-sel parenkimatis dan berperan dalam pengangkutan dan penyimpanan oksigen untuk proses respirasi. Meskipun tidak langsung berfungsi dalam proses pengangkutan air, kerusakan jaringan korteks dapat berpengaruh terhadap pengangkutan air dari akar ke jaringan tajuk sehingga menyebabkan munculnya gejala layu. Pada 60 HSI, persentase bibit bergejala, rataan skor gejala kelayuan dan intensitas penyakit yang diamati menjadi lebih tinggi. Meningkatnya keparahan gejala infeksi Foc pada 60 HSI tersebut diduga sebagai akibat hifa Foc sudah mulai merusak jaringan stele (xylem) akar, yang berperan dalam pengangkutan air dan hara yang diserap dari dalam tanah. Kerusakan yang terjadi pada jaringan xylem berdampak langsung terhadap pengangkutan air dari jaringan akar ke tajuk sehingga gejala layu yang terjadi semakin meningkat. Pada kondisi infeksi yang parah, Foc juga menyebabkan terjadinya nekrosis pada jaringan bonggol tanaman pisang. Dalam penelitian ini, gejala nekrosis pada bonggol bibit abaka yang diinokulasi Foc belum menghasilkan nilai intensitas penyakit yang tinggi, terutama pada klon Tangongon. Hal ini mengindikasikan bahwa infeksi Foc pada bibit abaka hingga 60 HSI menyebabkan terjadinya kerusakan sistem perakaran dan belum mencapai jaringan pembuluh batang. Kerapatan konidia Foc yang lebih tinggi untuk menginokulasi bibit abaka terbukti meningkatkan munculnya gejala layu bibit dan nekrosis bonggol. Hal ini sesuai dengan yang diharapkan karena semakin banyak inokulum yang digunakan berpotensi lebih besar untuk menimbulkan gejala penyakit (Agrios 1997). Ben- Yephet et al. (1996) melaporkan adanya korelasi positif antara konsentrasi inokulum awal dengan timbulnya penyakit layu Fusarium pada tanaman anyelir, sedangkan Mak et al. (2004b) melaporkan perbedaan kerapatan inokulum yang digunakan dapat menghasilkan perbedaan respon tanaman yang diuji. Pada tanaman pisang, penggunaan inokulum spora Foc dengan kerapatan 5x10 2 spora/ml menyebabkan munculnya gejala penyakit ringan, 5x10 4 spora/ml - gejala sedang, dan pada 5x10 6 spora/ml - gejala parah (Mak et al. 2004b). Dari sepuluh klon abaka yang diuji dalam percobaan ini tidak satupun yang tergolong tahan terhadap infeksi Foc. Sembilan klon abaka yang diuji tergolong

58 37 sangat rentan (SR) dan 1 klon tergolong rentan (R). Basuki (2003) menyatakan tanaman pisang (termasuk abaka) dan kapas diketahui tidak mempunyai gen ketahanan terhadap layu Fusarium. Sebaliknya pada tanaman tomat (Lycopersicon esculentum) dilaporkan mempunyai beberapa gen ketahanan terhadap infeksi F. oxysporum f.sp. lycopersici (Fol). Demikian pula pada tanaman melon terhadap Fusarium oxysporum f.sp. melonis (Burge et al. 2003). Tanaman abaka di Indonesia diketahui mempunyai keragaman genetik rendah dan hal ini telah dibuktikan dari hasil studi marka molekuler (Hadipoentyanti et al. 2001). Secara umum Roux et al. (1999) menyatakan bahwa tanaman yang diperbanyak secara vegetatif seperti Musa spp. pada umumnya memiliki keragaman genetik terbatas karena sifat tanamannya yang mandul jantan dan poliploid. Dengan demikian, respon sepuluh klon abaka yang semuanya terinfeksi Foc diduga mengindikasikan tidak adanya gen ketahanan terhadap Foc dan sempitnya keragaman genetik abaka di Indonesia. SIMPULAN Dari penelitian ini dapat disimpulkan bahwa metode inokulasi dengan cara melukai akar bibit abaka diikuti dengan perendaman dalam suspensi konidia Foc dengan kerapatan 10 6 konidia/ml dapat digunakan untuk penapisan respon plasma nutfah abaka terhadap Foc. Berdasarkan nilai IP yang diamati, 10 klon abaka yang ditanam di Indonesia tergolong sangat rentan terhadap infeksi Foc. Untuk itu, peningkatan keragaman genetik abaka, terutama yang membawa sifat ketahanan terhadap infeksi Foc perlu dilakukan. Karena abaka merupakan tanaman yang berkembangbiak secara vegetatif, induksi keragaman genetik melalui mutasi atau induksi variasi somaklonal merupakan alternatif cara yang dapat digunakan. Metode ini akan lebih berhasil dan terarah apabila dikombinasikan dengan seleksi in vitro menggunakan filtrat kultur (toksin) yang dihasilkan Foc.

59 38 a b c d e f g ep ep kt st kt h i st Gambar 2. (a) Biakan Fusarium oxysporum f.sp. cubense (Foc) dalam media PDB; (b) Bibit abaka umur 2 bulan yang digunakan dalam penelitian dan siap diinokulasi dengan Foc; (c) Fenotipe bibit dengan gejala layu skor 0, (d) skor 1, (e) skor 2, (f) skor 3, dan (g) skor 4, sesuai dengan kriteria yang dikembangkan oleh Epp (1986); (h) Fotomikrograf penampang melintang akar abaka pada 30 hari sesudah inokulasi dengan Foc (200x) menunjukan adanya kerusakan jaringan penyusun akar yang ditunjukkan oleh warna coklat kehitaman pada jaringan epidermis dan korteks; (i) penampang melintang akar abaka sehat, yang tidak diinokulasi dengan Foc. (ep) epidermis, (kt) korteks, dan (st) jaringan stele.

60 39 DAFTAR PUSTAKA Agrios GN Plant Pathology. San Diego: Academic Press, Inc. Bastasa GN, Baliad AA Biological control of Fusarium wilt of abaka (Fusarium oxysporum) with Trichoderma and yeast. Philippines J Crops Sci 30: Basuki S Identification of DNA markers and recombinations events in the vinicity of the Fusarium oxysporum f.sp. licopersici resistance gene I-3 of tomato (Lycopersicon esculentum) [Thesis]. Brisbane: School of Land & Food Sciences and School of Molecular & Microbiology Sciences, The University of Queensland. Ben-Yephet Y, Reuven M, Zviebil A, Shtienberg D Effects of initial inoculum and cultivar resistance on incidence of Fusarium wilt and population densities of Fusarium oxysporum F.sp. dianthi on carnation and in soil. Phytopathology 86: Burge Y, Katzir N, Tzuri G, Portnoy V, Saar U, Shriber S, Perl-Treves R, Cohen R Variation in thense of melon genotypes to Fusarium oxysporum f.sp. melonis race 1 determine by inoculation tests and molecular markers. Plant Pathol 52: Cachinero JM, Hervas A, Jimenez-Diaz RM, Tena M Plant defence reactions against Fusarium wilt in chickpea induced by incopatible race 0 of Fusarium oxysporum f.sp. ciceris and non-host isolates of F. oxysporum. Plant Pathol 51: Di Pietro A, Madrid MP, Caracuel Z, Delgado-Jarana J, Roncero MIG Fusarium oxysporum: exploring the molecular arsenal of a vascular wilt fungus. Mol Plant Pathol 4: Djatnika I, Hermanto C, Eliza Pengendalian hayati layu Fusarium pada tanaman pisang dengan Pseudomonas fluorescens dan Gliocladium sp. J Hort 13: Epp D Somaclonal variation in banana: a case study with Fusarium wilt. Di dalam: Persley GJ, De Langhe EA (ed). Banana and Plantain Breeding Strategies. Canbera: ACIAR Publ, hlm Hadipoentyanti E, Ratnadewi D, Solihat L Variabilitas genetic berbagai varietas abaka (Musa textilis Nee) dan kerabat liar melalui analisis RAPD. Zuriat 12: Hwang SC, Ko WH Cavendish banana cultivars resistant to Fusarium wilt acquired through somaclonal variation in Taiwan. Plant Dis 88:

61 40 Ishak, Dwimahyani I Evaluasi pertumbuhan dan ketahanan galur mutan pisang terhadap F. oxysporum fsp. Cubense (FOC). J Stigma XIII: Mak C, Ho YW, Liew KW, Asif JM a. Biotechnology and in vitro mutagenesis for banana improvement. Di dalam: Jain SM, Swennen R (ed). Banana Improvement: Cellular, Molecular Biology, and Induced Mutations. Enfield: Sci Pub, Inc. hlm Mak C, Mohamed AA, Liew KW, Ho YW b. Early screening technique for Fusarium wilt resistance in banana micropropagated plants. Di dalam: Jain SM, Swennen R (ed). Banana Improvement: Cellular, Molecular Biology, and Induced Mutations. Enfield: Sci Publ, Inc. hlm Nasir N, Jumjunidang Karakterisasi ras Fusarium oxysporum f.sp. cubense dengan metode vegetative compatibility group test dan identifikasi kultivar pisang yang terserang. J. Hort. 13(4): Nasir N, Jumjunidang, Eliesti F, dab Meldia Y Penyakit Layu Panama pada pisang: observasi ras 4 Fusarium oxysporum f.sp. cubense di Jawa Barat. J. Hort 13: Ploetz RC Banana disease: a classic and destructive disease of banana. Online Plant Health Progress. Diakses tanggal: 23/2/2006. Roux N, Toloza A, Dolezel J, Swennen R, Lepoivre P, Zapata-Arias FJ Usefulness of embriogenic cell suspension for the induction and selection of mutants in Musa spp. Promusa 4: Sakamoto JM, Gordon TR Factors influencing infection of mechanical wounds by Fusarium cincinatum on Monterey pines (Pinus radiata). Plant Pathol 55: Salerno MI, Gianinazzi S, Gianinazzi-Pearson V Effects on growth and comparison of root tissue colonization pattern of Eucaliptus viminalis by pathogenic and non-pathogenic strains of Fusarium oxysporum. New Pythol 146: Semangun H Pengantar Ilmu Penyakit Tumbuhan. Yogyakarta: Universitas Gadjah Mada Press. Setyo-Budi U, Sudjindro, Purwati RD Status plasma nutfah abaca: Menyongsong program agribisnis abaca di Indonesia. Di dalam: Kasno A et al., editor. Kontribusi Pemuliaan dalam Inovasi Teknologi Ramah Lingkungan. Malang, 28 Agustus Bandung: PERIPI. hlm Yusnita, Sudarsono Metode inokulasi dan reaksi ketahanan 30 genotipe kacang tanah terhadap penyakit busuk batang Sclerotium. Hayati 11:53-58.

62 41 BAB IV INDUKSI MUTAN SOMAKLONAL DENGAN PERLAKUAN EMS PADA KULTUR KALUS EMBRIOGEN ABAKA (Musa textilis Nee) ABSTRAK Penelitian ini bertujuan untuk (1) mengetahui konsentrasi EMS yang tepat untuk menginduksi variasi somaklonal, (2) meregenerasikan populasi plantlets varian dari kalus embriogen abaka (Musa textilis Nee) yang diberi perlakuan dengan EMS, dan (3) mengevaluasi tipe dan frekuensi keragaman fenotipe diantara plantlets yang diregenerasi tersebut. Kalus embriogen abaka klon Tangongon dan Sangihe-1 setelah diberi perlakuan ethylmethane sulfonate (EMS), diproliferasikan dan diregenerasikan menjadi plantlets. Genotoksisitas EMS diukur berdasarkan daya hambatnya terhadap proliferasi kalus embriogen. Evaluasi tipe dan frekuensi varian somaklon diantara plantlets hasil regenerasi dari kalus embriogen yang diperlakukan dengan EMS dilakukan saat plantlets berumur 3-4 bulan setelah dipindahkan ke polybag di rumah kaca. Hasil penelitian mengindikasikan bahwa perlakuan EMS pada kalus embriogen abaka menghambat proliferasi tunas dan meningkatkan tipe maupun frekuensi variasi somaklonal diantara populasi plantlets hasil regenerasi. Tipe variasi fenotipe yang diamati antara lain: daun variegata, daun berkerut, pelepah berwarna hitam, pelepah menyatu dan batang ramping. Keberadaan variasi somaklonal diantara plantlets abaka yang diregenerasi menunjukkan meningkatnya keragaman genetika abaka; dengan demikian membuka peluang untuk melakukan induksi variasi somaklonal kalus embriogen abaka menggunakan EMS hingga diperoleh genotipe mutan yang diinginkan seperti tahan penyakit layu Fusarium. Untuk itu perlu didukung dengan teknik seleksi in vitro yang menggunakan filtrat kultur Foc atau asam fusarat sebagai agens penyeleksi. Kata kunci: variasi somaklonal, EMS, mutagenesis in vitro, Musa textilis

63 42 INDUCTION OF SOMACLONAL MUTANTS BY COMBINING EMS TREATMENTS ON EMBRYOGENIC CALLI OF ABACA [Musa textilis Nee] ABSTRACT The objectives of this study were (1) to determine suitable concentration of EMS to induce somaclonal variation, (2) to regenerate population of plantlet variants from EMS treated embryogenic calli of abaca (Musa textilis Nee), and (3) to evaluate types and frequencies of fenotypic variance among regenerated plantlets. Embryogenic calli of abaca clone Tangongon and Sangihe-1 were treated with ethyl methanesulphonate (EMS), proliferated and regenerated into plantlets. The genotoxycity of EMS were measured based on its inhibition effects on shoot proliferation of embryogenic calli. The regenerated plantlets were evaluated for the presence and frequency of somaclonal variants 3-4 months after transplanting in the glasshouse. Results of the experiment indicated that EMS treatment on embryogenic calli of abaca inhibited shoot proliferation and increased types and frequencies of somaclonal variation among regenerated plantlets. Types of phenotypic variances include: leaf variegation, curly leaf, black petioles, fused petioles, and slender trunk. The existance of somaclonal variants among regenerated abaca plantlet indicate the increased genetic variability of abaca; therefore, open the possibility of using embryogenic calli treated with EMS to obtain desirable mutant such as Fusarium wilt resistance. For this purpose, the support of in vitro selection techniques using culture filtrates of Fusarium oxysporum f.sp. cubense or fusaric acid solution, is required. Keywords : somaclonal variation, EMS, in vitro mutagenesis, Musa textilis PENDAHULUAN Keberadaan Fusarium oxysporum Schlecht f.sp. cubense (E.F. Smith) Snyd & Hans (Foc) patogen penyebab penyakit layu Fusarium (Panama disease) di berbagai daerah di Indonesia telah diketahui dan menjadi kendala pengembangan abaka (Musa textilis Nee) mengingat klon yang resisten belum tersedia (Damayanti 2004). Penapisan respon 10 klon abaka dan evaluasi metode inokulasi Foc yang efektif telah dilakukan. Sembilan dari 10 klon yang diuji tergolong sangat rentan dan satu klon tergolong rentan terhadap infeksi Foc. Tanaman Musa spp. termasuk abaka diperbanyak secara vegetatif sehingga mempunyai keragaman genetika rendah karena tidak terjadi hibridisasi seksual (Roux 2004). Keragaman genetika tanaman dengan karakteristik seperti Musa

64 43 spp. dapat ditingkatkan melalui induksi variasi somaklonal, sebagaimana yang dilakukan pada tanaman nanas, kentang, ubi jalar, dan ubi kayu (Ahloowalia & Maluszynski 2001). Metode kultur jaringan yang dapat menghasilkan banyak plantlet dan mampu menginduksi variasi somaklonal merupakan syarat penerapan seleksi in vitro. Metode baku in vitro untuk produksi plantlet telah tersedia (Rahajeng 2006) tetapi kemampuannya untuk menginduksi variasi somaklonal belum dievaluasi. Etil metansulfonat (EMS) yang mudah dibeli, setelah dihidrolisis tidak bersifat mutagenik, dan terbukti merupakan mutagen yang efektif (van Harten 1998) dan O-phenylene diamine telah digunakan untuk meningkatkan frekuensi terjadinya mutasi (Chen et al. 2000; Gichner et al. 2001; Schierholt et al. 2001; Mangal & Sharma 2002; Sakamoto et al. 2002; Arumingtyas & Indriyani 2005; Spasibionek 2006). Namun demikian, di seluruh dunia selama 70 tahun terakhir ini baru dilepas sebanyak varietas tanaman hasil mutasi (Ahloowalia et al. 2004). Penelitian ini bertujuan untuk mengevaluasi efektivitas EMS untuk meningkatkan keragaman somaklonal plantlet abaka yang diregenerasikan dari kultur kalus embriogen. Tujuan khusus penelitian antara lain (1) menentukan konsentrasi EMS yang tepat untuk menginduksi keragaman somaklonal pada kultur kalus embriogen abaka, (2) meregenerasikan populasi plantlet abaka hasil kultur in vitro kalus embriogen dengan perlakuan EMS, dan (3) mengevaluasi tipe dan frekuensi fenotipe varian yang muncul diantara populasi bibit abaka. BAHAN DAN METODE Induksi dan proliferasi kalus embriogen abaka. Anakan abaka klon Sangihe-1 (tinggi ± 30 cm) dikupas pelepahnya hingga mencapai diameter ± 3 cm, direndam dalam fungisida Benlate 2 g/l selama 10 menit, rifampicin 600 mg/l - 30 menit, alkohol 70 % - 1 menit, dan larutan pemutih Bayclin 50 % - 10 menit. Setelah dibilas dengan akuades steril, pelepah dikupas hingga diameter tunasnya menjadi ± 1 cm dan panjangnya 1-2 cm. Tunas dibelah menjadi 4 bagian pada titik tumbuhnya. Abaka klon Tangongon dalam bentuk kultur embriogen diperoleh dari Dr. Ika Mariska (BB Biogen, Bogor).

65 44 Semua kultur ditanam pada media induksi kalus embriogen (MK) yang terdiri atas media MS (Murashige & Skoog 1962) dengan penambahan BAP 5 mg/l, thidiazuron (TDZ) 0.4 mg/l dan vitamin C 100 mg/l, diinkubasikan dalam ruang kultur bersuhu 25 ± 2 o C dan diberi penyinaraan lux selama 16 jam. Kalus embriogen yang berkembang diverifikasi dengan pewarnaan menggunakan methylene blue dan diamati menggunakan mikroskop. Setelah diproliferasi selama 3 tahun (klon Tangongon) atau selama 8 bulan (klon Sangihe-1) dalam media MK, kalus embriogen digunakan sebagai eksplan untuk penelitian selanjutnya. Daya hambat EMS terhadap proliferasi kalus embriogen. Kalus embriogen abaka dengan ukuran 3x3x3 mm 3 (800 kalus) direndam dalam EMS (0.3%, 0.4%, 0.5% atau 0.6% w/v) yang dilarutkan dalam dimetil sulfonat (DMSO) 4% (v/v). Kalus embriogen yang tidak direndam dalam EMS digunakan sebagai standar (EMS 0%). Eksplan digoyang dengan mesin penggoyang pada kecepatan 100 rpm selama 2 jam, dibilas dengan akuades steril, dikulturkan dalam media MK, dan diinkubasikan dalam ruang kultur bersuhu 25±2 o C dengan penyinaran lux menggunakan lampu TL selama 16 jam. Daya hambat (genotoksisitas) perlakuan EMS ditentukan dengan mengamati kemampuan kalus embriogen yang diberi perlakuan EMS untuk memproliferasikan tunas. Keragaman fenotipik bibit abaka akibat perlakuan EMS. Kalus embriogen yang diberi perlakuan EMS diproliferasikan dalam media induksi tunas (media MT, media MS dengan penambahan BAP 0.5 mg/l dan vitamin C 100 mg/l) sehingga berkembang menjadi tunas majemuk (multiple bud clumps [MBC]). MBC dipisah-pisah menjadi individu tunas dan diinduksi membentuk akar dalam media pengakaran (MP, media MS dengan penambahan arang aktif 2 g/l). Setelah tingginya mencapai ± 10 cm, dipilih secara acak 60 plantlet dari setiap perlakuan EMS untuk diaklimatisasi dengan cara menanam plantlet ke dalam gelas plastik 200 ml berisi pasir steril, menyiram bibit dengan larutan MS ¼ konsentrasi normal, dan meletakkan bibit di tempat teduh selama 7 hari. Bibit yang hidup setelah aklimatisasi dipindahkan ke rumah kaca dan

66 45 ditumbuhkan dalam kantong plastik (polybag) berukuran 15x15x30 cm berisi 5kg campuran tanah:pupuk kandang steril (1:1 v/v). Pengamatan keragaman fenotipe bibit abaka dilakukan saat bibit berumur 3-4 bulan. HASIL Induksi dan proliferasi kalus embriogen abaka. Abaka klon Tangongon dan Sangihe-1 yang dikulturkan dalam media induksi kalus (MK) mampu berkembang menjadi kalus embriogen (Gambar 3.a). Keberadaan kalus embriogen abaka klon Tangongon dan Sangihe-1 disimpulkan berdasarkan adanya jaringan embrio somatik berbentuk jantung (heart shape) dan globular (globular shape) yang berkembang dari jaringan kalus (Gambar 3.b-c). Daya hambat EMS terhadap proliferasi kalus embriogen. Pada umur 2 bulan, kalus embriogen dengan perlakuan standar (EMS 0%) memproliferasikan tunas per eksplan lebih banyak dibandingkan yang diberi perlakuan EMS (Gambar 3.d-f). Persentase eksplan bertunas dari abaka klon Tangongon dengan perlakuan standar mencapai 98% sedangkan untuk klon Sangihe-1 mencapai 100% (Tabel 5). Eksplan bertunas klon Tangongon pada perlakuan EMS 0.3% dan 0.4% mencapai 71% dan 81% sedangkan klon Sangihe- 1 mencapai 70% dan 76%. Pada perlakuan EMS 0.5% dan 0.6% eksplan bertunas klon Tangongon hanya mencapai 34% dan 47% sedangkan klon Sangihe-1 mencapai 42% dan 47% (Tabel 5). Kalus embriogen abaka dengan perlakuan standar mampu menghasilkan 20 tunas/eksplan (klon Tangongon) atau 22 tunas/eksplan (klon Sangihe-1). Pada perlakuan EMS 0.3% dan 0.4%, kalus embriogen abaka klon Tangongon menghasilkan rataan jumlah tunas per eksplan 5.5 dan 9.6 tunas, sehingga jumlah total tunas yang didapat jika dibandingkan dengan perlakuan standar menurun sebesar 80% (jumlah total tunas pada EMS 0.3% hanya 20% dari EMS 0%) atau menurun 60% (EMS 0.4%). Pada perlakuan EMS 0.5% atau 0.6%, rataan jumlah tunas abaka klon Tangongon hanya 3.9 atau 3.5 tunas per eksplan sedangkan jumlah total tunas yang didapat menurun sebesar 93% (EMS 0.5%) atau menurun

67 46 Tabel 5. Pengaruh perlakuan berbagai konsentrasi larutan mutagen EMS pada eksplan kalus embriogen abaka klon Tangongon dan Sangihe-1 terhadap persentase eksplan bertunas, jumlah tunas per eksplan, dan penurunan jumlah total tunas. Pengamatan dilakukan 5 bulan setelah perlakuan EMS. Klon abaka dan konsentrasi larutan EMS (%) Eksplan bertunas (%) Jumlah tunas per eksplan Penurunan jumlah total tunas (%) Abaka klon Tangongon: a* bc b bc c 92 Abaka klon Sangihe-1: a* b c b b 79 Keterangan: Penurunan jumlah total tunas (PJT) dihitung dengan rumus: PJT=[(x 0 *y 0 - x 1 *y 1 )/(x 0 *y 0 )]*100%; x 0 dan y 0: berturut-turut adalah persentase eksplan bertunas dan jumlah tunas per eksplan pada perlakuan standar (larutan EMS 0%), sedangkan x 1 dan y 1: berturut-turut adalah persentase eksplan bertunas dan jumlah tunas per eksplan pada masing-masing perlakuan penambahan EMS (0.3%, 0.4%, 0.5%, atau 0.6%). *Untuk masing-masing klon abaka, angka dalam kolom yang diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata berdasarkan uji jarak berganda Duncan (DMRT) pada taraf a= % (EMS 0.6%) dibandingkan perlakuan standar (Tabel 5). Pola respon jumlah tunas per eksplan dan penurunan jumlah total tunas yang didapat dari abaka klon Sangihe-1 mirip dengan klon Tangongon. Perlakuan EMS terhadap kalus embriogen abaka klon Sangihe-1 menurunkan rataan jumlah tunas per eksplan dan menurunkan jumlah total tunas jika dibandingkan dengan perlakuan standar (Tabel 5). Keragaman fenotipik bibit abaka akibat perlakuan EMS. Fenotipe varian untuk karakter kualitatif yang diamati diantara bibit abaka klon Tangongon dan klon Sangihe-1 yang diregenerasikan dari kalus embriogen tanpa perlakuan EMS, yaitu varian daun variegata dan daun berkerut (klon Tangongon), ditambah varian tunas kerdil dan pelepah daun warna ungu

68 47 Tabel 6. Tipe dan persentase keragaman karakter kualitatif diantara populasi bibit abaka klon Tangongon dan Sangihe-1 varian yang diregenerasikan dari kalus embriogen setelah diberi perlakuan berbagai konsentrasi EMS. Pengamatan dilakukan saat bibit abaka berumur 3 bulan setelah aklimatisasi. Klon abaka dan karakter varian Jumlah dan persentase varian diantara populasi bibit yang diregenerasikan dari kalus embriogen dengan perlakuan EMS Klon Tangongon: 0% (56)* 0.3% (49) 0.4% (55) 0.5% (52) 0.6% (55) Daun Variegata 4 (7)** 1 (2) 2 (4) 4 (8) 5 (9) Daun berkerut 1 (2) 1 (2) 1 (2) - 3 (5) Kerdil (2) 1 (2) 2 (4) Pelepah hitam - 1 (2) Pelepah menyatu (2) - Batang ramping (4) - - Total 5 (9) 3 (6) 6 (12) 6 (12) 10 (18) Klon Sangihe-1: 0% (43)* 0.3% (44) 0.4% (47) 0.5% (46) 0.6% (53) Daun Variegata 4 (9)** 3 (6) 1 (2) 1 (2) Daun berkerut 2 (5) Kerdil 1 (2) (4) 1 (2) Pelepah hitam 1 (2) Pelepah menyatu Batang ramping Total 8 (18) - 3 (6) 3 (6) 2 (4) Keterangan: *m(n) = angka menunjukkan m konsentrasi larutan mutagen EMS dan n jumlah bibit yang dievaluasi untuk masing-masing perlakuan mutagen EMS. **o(p) = angka menunjukkan o jumlah bibit dengan fenotipe varian dan p persentase bibit varian terhadap bibit yang dianalis is. kehitaman (klon Sangihe-1). Pada populasi bibit yang diregenerasikan dari kalus embriogen dengan perlakuan EMS, selain empat macam fenotipe varian tersebut juga diamati adanya fenotipe varian pelepah daun menyatu dan batang ramping. Tipe varian, jumlah dan persentase varian yang diamati diantara populasi bibit abaka yang diregenerasikan dari kalus embriogen dengan atau tanpa perlakuan EMS dapat dilihat pada Tabel 6. sedangkan contoh bibit abaka dengan beberapa fenotipe varian yang diamati disajikan pada Gambar 4. Populasi bibit abaka yang didapat dari kalus embriogen dengan perlakuan EMS secara umum mempunyai rataan panjang, lebar, dan rasio panjang/lebar daun serta rataan tinggi bibit mendekati bibit abaka standar yang diregenerasikan dari kalus embriogen tanpa perlakuan EMS (Tabel 7). Pada Gambar 5 dan 6 disajikan distribusi bibit abaka klon Tangongon dan Sangihe-1 yang diregenerasikan berdasarkan karakter panjang, lebar dan rasio panjang/lebar daun serta tinggi bibit di rumah kaca.

69 48 Tabel 7. Rataan berbagai karakter kuantitatif pada populasi bibit abaka klon Tangongon dan Sangihe-1 varian yang diregenerasikan dari kalus embriogen setelah diberi perlakuan berbagai konsentrasi EMS. Pengamatan dilakukan saat bibit abaka berumur 3 bulan setelah aklimatisasi. Klon abaka dan karakter varian Nilai rataan peubah yang diamati diantara bibit varian yang diregenerasikan dari kalus embriogen dengan perlakuan EMS Klon Tangongon: 0% (56)* 0.3% (49) 0.4% (55) 0.5% (52) 0.6% (55) Tinggi bibit (cm) Panjang daun (cm) Lebar daun (cm) Ratio panjang:lebar Klon Sangihe-1: 0% (43)* 0.3% (44) 0.4% (47) 0.5% (46) 0.6% (53) Tinggi bibit (cm) Panjang daun (cm) Lebar daun (cm) Ratio panjang:lebar Keterangan: *x(y) = angka menunjukkan x konsentrasi larutan mutagen EMS dan y jumlah bibit yang dievaluasi untuk masing-masing perlakuan mutagen EMS. Hasil pengamatan menunjukkan pada populasi abaka bibit klon Tangongon terdapat 4 klon varian pada perlakuan EMS 0.3% dan masing-masing 2 klon varian pada EMS 0.5% dan 0.6% dengan fenotipe daun yang lebih pendek dari daun bibit abaka standar (Gambar 5). Masing-masing satu bibit varian dengan fenotipe daun yang lebih lebar dan rasio p/l daun yang lebih besar dari daun bibit abaka standar diamati pada populasi bibit dengan perlakuan EMS 0.5% (Gambar 5). Selain itu, terdapat sejumlah bibit varian klon Tangongon dengan tinggi yang lebih rendah dibandingkan dengan bibit standar (masing-masing 3 klon dari perlakuan EMS 0.3% dan 0.6% serta 2 klon dari EMS 0.5%) dan sejumlah bibit varian dengan tinggi bibit lebih tinggi dibandingkan dengan bibit standar (masingmasing 1 klon dari perlakuan EMS 0.4% dan 0.6%)(Gambar 5). Pada bibit abaka klon Sangihe-1 terdapat sejumlah bibit varian dengan panjang daun yang lebih kecil dari daun bibit abaka standar (masing-masing 3 klon dari perlakuan EMS 0.3% dan 0.4% serta 2 klon dari perlakuan EMS 0.5%) (Gambar 6). Tetapi bibit abaka varian dengan perubahan fenotipe lebar daun atau fenotipe tinggi tanaman tidak diamati diantara populasi abaka klon Sangihe-1 hasil perlakuan EMS. Semua bibit yang dihasilkan dari perlakuan EMS mempunyai kisaran lebar daun dan tinggi tanaman yang sama dengan bibt abaka standar (Gambar 6). Selain itu terdapat bibit varian dengan rasio panjang/lebar

70 49 daun yang lebih besar dari daun bibit abaka standar, yaitu masing-masing satu bibit dengan rasio p/l daun antara dan rasio p/l daun > 3.5 dari perlakuan EMS 0.4% (Gambar 6). PEMBAHASAN Keefektifan induksi varian somaklonal dari kultur in vitro ditentukan oleh tersedianya metode yang efisien untuk meregenerasikan sel/jaringan yang telah mengalami proses dediferensiasi (jaringan kalus) menjadi plantlet. Hasil penelitian (Mak et al. 2004a) menunjukkan kalus embriogen merupakan eksplan yang memenuhi kriteria tersebut karena merupakan jaringan kalus yang mampu menghasilkan bibit dalam jumlah banyak melalui pembentukan embrio somatik. Bibit yang diregenerasikan dari kalus embriogen/embrio somatik telah terbukti mampu menghasilkan berbagai fenotipe varian (Widoretno et al. 2003; Yusnita et al. 2005). Induksi kalus embriogen abaka telah dilakukan dengan menggunakan media MK (Rahajeng 2006) tetapi dalam penelitian sebelumnya tidak dievaluasi keragaman genetika bibit yang didapat. Dalam penelitian ini ditunjukkan media MK mampu menginduksi pembentukan kalus embriogen dari eksplan. Evaluasi keragaman genetika bibit abaka yang didapat dari kalus embriogen juga telah dilakukan. Dalam percobaan ini, perlakuan EMS pada eksplan kalus embriogen abaka bersifat menghambat pertumbuhan dan perkembangan eksplan dan daya hambatnya tergantung pada konsentrasi. Bibit hasil regenerasi dari kalus embriogen abaka yang diberi perlakuan EMS 0.6% memiliki keragaman genetika lebih besar dibandingkan dengan yang berasal dari konsentrasi EMS lebih rendah. Pada penelitian sebelumnya dilaporkan perlakuan mutagen menghambat pertumbuhan serta multiplikasi tunas aksilar Musa sp. dan daya hambatnya meningkat sejalan dengan meningkatnya konsentrasi mutagen (Mak et al. 2004a). Daya hambat (genotoksisitas) EMS terhadap pertumbuhan dan perkembangan eksplan salah satunya diduga disebabkan oleh kerusakan DNA pada sel/jaringan eksplan yang diberi perlakuan mutagen (Gichner 2003). Setelah mengalami perbaikan DNA (DNA repair), mutasi dapat terjadi secara acak pada

71 50 gen-gen tertentu di dalam genom sel tanaman varian. Populasi bibit abaka klon Tangongon dan klon Sangihe-1 mempunyai tipe dan frekuensi fenotipe varian yang berbeda. Perbedaan repon antar kultivar tersebut mengilustrasikan pengaruh genetika terhadap tipe dan frekuensi bibit varian. Perbedaan respon antar klon abaka tersebut diduga juga berhubungan dengan perbedaan umur proliferasi kalus embriogen yang digunakan. Keragaman somaklonal pada tanaman pisang sangat dipengaruhi oleh genotipe yang digunakan, umur kultur dan frekuensi sub-kultur yang dilakukan (Strosse et al. 2004). Keberadaan fenotipe varian diantara populasi bibit abaka dari kalus embriogen tanpa perlakuan EMS mengindikasikan adanya sel/jaringan kalus yang telah mengalami mutasi (sel/jaringan varian) sebelum atau selama proses kultur in vitro. Sel/jaringan varian dapat muncul dalam kultur in vitro karena pengaruh berbagai faktor, antara lain: zat pengatur tumbuh dan sumber eksplan yang digunakan (Skirvin et al. 1994). Penggunaan zat pengatur tumbuh tertentu dalam media dapat menyebabkan perubahan jumlah dan struktur kromosom (Kumar & Matur 2004). Kecepatan multiplikasi sel/jaringan eksplan dalam media yang mengandung zat pengatur tumbuh tertentu juga dapat meningkatkan frekuensi terjadinya variasi somaklonal (Hwang & Ko 2004). Karakter varian somaklonal yang diamati diantara populasi bibit abaka secara umum kurang menguntungkan, antara lain: daun variegata, daun berkerut, batang kerdil, dan batang ramping. Daun variegata merupakan karakter varian yang paling banyak dijumpai diantara populasi bibit abaka yang diregenerasikan dari kalus embriogen setelah diberi perlakuan EMS. Hal ini sejalan dengan hasil penelitian sebelumnya pada tanaman gandum (van Harten 1998). Kebanyakan varian daun variegata terjadi karena mutasi di dalam genom inti sel yang menyebabkan kelainan pada kloroplas (Chen et al. 2000; Sakamoto et al. 2002). Fenotipe varian lain yang frekuensinya tinggi diantara bibit abaka adalah varian daun berkerut dan batang kerdil. Pada tanaman pisang sejumlah fenotipe varian yang diamati meliputi antara lain varian daun variegata, varian bentuk daun, dan varian batang kerdil (dwarf), dan resistensi terhadap penyakit layu Fusarium (Hwang & Ko 1987; Hwang & Ko 2004).

72 51 Tanaman pisang pada umumnya mempunyai ratio panjang dan lebar daun 2.29 (Hwang & Ko 1987). Dalam penelitian ini, diperoleh varian bibit abaka dengan ratio panjang dan lebar daun > 3.1 (daun lebih sempit atau lebih panjang). Karakter varian dengan fenotipe tersebut diduga menguntungkan karena meningkatkan efisiensi penyerapan enerji matahari dan mengurangi insiden kejadian penyakit. Dari penelitian yang dilakukan juga diperoleh beberapa varian dengan tinggi bibit lebih tinggi dari populasi bibit standar. Karakter tinggi tanaman merupakan karakter penting karena berpengaruh terhadap produktivitas serat abaka yang diekstraksi dari pelepah (batang semu). Fenotipe varian dapat dikelompokkan menjadi dua, yaitu: yang dikendalikan secara genetika dan diturunkan ke zuriatnya secara seksual atau yang dikendalikan secara epigenetika dan tidak diwariskan secara seksual. Untuk membuktikan hal ini, evaluasi fenotipe varian harus dilakukan pada generasi R0 (somaklon primer), generasi R1 (zuriat dari generasi R0), dan generasi-generasi selanjutnya. Fenotipe varian yang diamati diantara populasi bibit abaka dari kalus embriogen abaka dengan perlakuan EMS tidak dievaluasi sebagai varian yang dikendalikan secara genetika atau epigenetika karena abaka diperbanyak secara vegetatif sehingga tidak memproduksi biji hasil hibridisasi seksual. SIMPULAN Dari hasil percobaan dapat disimpulkan perlakuan EMS terhadap kalus embriogen abaka menghambat proliferasi tunas dan meningkatkan tipe varian somaklonal diantara bibit abaka yang diregenerasikan dari kalus embriogen. Tipe varian somaklonal yang dijumpai diantara bibit abaka antara lain: daun variegata, daun berkerut, pelepah berwarna ungu kehitaman, pelepah menyatu dan batang ramping. Keberadaan sejumlah fenotipe varian diantara bibit abaka hasil perlakuan EMS pada kalus embriogen mengindikasikan meningkatnya keragaman genetika bibit abaka sehingga membuka peluang penggunaan kalus embriogen yang dikombinasikan dengan perlakuan EMS untuk mendapatkan karakter unggul tertentu seperti resistensi terhadap layu Fusarium. Untuk itu perlu didukung dengan teknik seleksi in vitro menggunakan filtrat kultur Foc atau asam fusarat.

73 52 a b c d e f Gambar 3. Eksplan kalus embriogen dan perkembangan embrio somatik abaka dengan atau tanpa perlakuan EMS. (a) Close up eksplan kalus embriogen dengan ukuran 3x3x3 mm 3, (b) Embrio somatik abaka klon Tangongon (pembesaran 20x) berbentuk jantung (heart shape), (c) Embrio somatik abaka klon Sangihe-1 berbentuk globular (globular shape) pada fase polarisasi (pembesaran 10x), (d) proliferasi kalus embriogen tanpa perlakuan EMS menjadi tunas, (e) penghambatan proliferasi kalus embriogen yang diberi perlakuan EMS 0.3% dan (f) yang diberi perlakuan EMS 0.5% - setelah 3 bulan dalam media proliferasi tunas. a b normal kerdil dv br ph c d e Gambar 4. Populasi bibit abaka varian, diregenerasikan dari kalus embriogen yang telah diberi perlakuan larutan mutagen EMS. (a) Representatif bibit abaka yang dievaluasi keragaman somaklonalnya, (b) Bibit varian dengan fenotipe kate (kerdil) dibandingkan dengan bibit normal hasil kultur jaringan (tanpa perlakuan EMS), (c) Bibit varian dengan fenotipe daun variegata (dv), (d) Bibit varian dengan fenotipe batang semu yang ramping (br), dan (e) bibit varian dengan pelepah berwarna ungu-kehitaman (ph). Pengamatan dilakukan pada saat bibit berumur 2 bulan sesudah aklimatisasi.

74 53 60 Jumlah klon EMS 0.3% 0.4% 0.5% 0.6% 0% <13.3 <19.3 <25.3 <31.4 >31.4 Kisaran panjang daun (cm) 5 6 Jumlah klon <8.1 <14.0 <20.0 <25.9 >25.9 Kisaran lebar daun (cm) 60 Jumlah klon <2.2 <2.6 <3.1 <3.5 >3.5 Kisaran rasio P/L daun 60 Jumlah klon <9.7 <15.3 <21.0 <26.6 >26.6 Kisaran tinggi bibit (cm) Gambar 5. Jumlah klon bibit varian, diregenerasikan dari kalus embriogen abaka klon Tangongon yang telah diberi perlakuan EMS, berdasarkan nilai panjang, lebar, rasio panjang/lebar daun (rasio p/l), dan tinggi bibit abaka yang ditumbuhkan di rumah kaca. Tanda panah menunjukkan bibit varian untuk masing-masing fenotipe.

75 54 60 Jumlah klon % 0.5% 0% 0.3% 0.4% EMS <13.3 <19.3 <25.3 <31.4 >31.4 Kisaran panjang daun (cm) 60 Jumlah klon <8.1 <14.0 <20.0 <25.9 >25.9 Kisaran lebar daun (cm) 60 Jumlah klon <2.2 <2.6 <3.1 <3.5 >3.5 Kisaran rasio P/L daun 60 Jumlah klon <9.7 <15.3 <21.0 <26.6 >26.6 Kisaran tinggi bibit (cm) Gambar 6. Jumlah klon bibit varian yang diregenerasikan dari kalus embriogen abaka klon Sangihe-1 yang telah diberi perlakuan EMS, berdasarkan nilai panjang, lebar, rasio panjang/lebar daun (rasio p/l), dan tinggi bibit abaka yang ditumbuhkan di rumah kaca. Tanda panah menunjukkan bibit varian untuk masing-masing fenotipe.

76 55 DAFTAR PUSTAKA Ahloowalia BS, Maluszynski M Induced mutation - A new paradigm in plant breeding. Euphytica 118: Ahloowalia BS, Maluszynski M, Nichterlein K Global impact of mutationderived varieties. Euphytica 135: Arumingtyas EL, Indriyani S Induksi variabilitas genetika percabangan tanaman kenaf (Hibiscus cannabinus L.) dengan mutagen kimia Ethyl Methane Sulfonate (EMS). Natural J 8: Chen M, Choi Y, Voytas DF, Rodermel S Mutations in the Arabidopsis VAR2 locus cause leaf variegation due to the loss of chloroplast FtsH protease. Plant J 22: Damayanti F Seleksi in vitro tanaman abaka (Musa textilis Nee) dengan filtrat Fusarium oxysporum untuk ketahanan terhadap penyakit layu Fusarium. Bioscientiae 1: Gichner T, Stavevra DA, van Breusegem F O-phenylene diamine-induce DNA damage and mutagenicity in tobacco seedlings is light-dependent. Mutation Res 495: Gichner T Differential genotoxicity of ethyl methanesulphonate, N-ethyl- N-nitrosourea and maleic hydrazide in tobacco seedlings based on data of the Comet assay and two recombination assay. Mutation Res 538: Hwang SC, Ko WH Somaclonal variation of bananas and screening for resistance to Fusarium wilt. Di dalam: Persley GJ. De Langhe EA (ed.) Banana and Plantain Breeding Strategies. Canberra: ACIAR. Hlm Hwang SC, Ko WH Cavendish banana cultivars resistant to Fusarium wilt acquired through somaclonal variation in Taiwan. Plant Dis 88: Kumar PS, Matur, VL Chromosomal instability in callus culture of Pisum sativum. Plant Cell Tiss Org Cult 78: Mak C, Ho YW, Liew KW, Asif JM. 2004a. Biotechnology and in vitro mutagenesis for banana improvement. Di dalam: Jain SM, Swennen R (ed). Banana Improvement: Cellular, Molecular Biology, and Induced Mutations. Enfield: Sci Pub, Inc. Hlm Mangal M, Sharma DR In vitro mutagenesis and cell selection for the induction of black rot resistance in cauliflower. J Hort Sci Biotech 77:

77 56 Rahajeng W Interaksi genotipe klon-klon abaka (Musa textilis Nee) dengan beberapa komposisi media pada kultur in vitro. [Skripsi]. Malang: Jurusan Budidaya Pertanian, Faperta, Universitas Brawijaya. Roux NS Mutation induction in Musa a review. Di dalam: Jain SM, Swennen R (ed). Banana Improvement: Cellular, Molecular Biology, and Induced Mutations. Enfield: Sci Pub, Inc. Hlm Sakamoto W, Tamura T, Hanba-Tomita Y, Sodmergen, Murata M The VAR1 locus of Arabidopsis encodes a chloroplastic FtsH and is responsible for leaf variegation in mutant alleles. Genes to Cell 7: Schierholt A, Rucker B, Becker HC Inheritance of high oleic acid mutations in winter oilseed rape (Brasica napus L.). Crop Sci 41: Skirvin RM, McPheeters KD, Norton M Sources and frequency of somaclonal variation. HortScience 29: Spasibionek S New mutants of winter rapeseed (Brasica napus L.) with changed fatty acid composition. Plant Breeding 125: Strosse H, Van den Houwe I, Panis B Banana cell and tissue culture a review. Di dalam: Jain SM, Swennen R (ed). Banana Improvement: Cellular, Molecular Biology, and Induced Mutations. Enfield: Sci Pub, Inc. hlm van Harten AM Mutation Breeding: Theory and Practical Application. Cambridge: Cambridge Univ Pr. hlm Widoretno W. Harran S, Sudarsono Keragaman karakter kualitatif dan kuantitatif pada populasi tanaman somaklon kedelai dari embrio somatik hasil seleksi in vitro. Hayati 10: Yusnita, Widodo, Sudarsono In vitro selection of peanut somatic embryos on medium containing culture filtrate of S. rolfsii and plantlet regeneration. Hayati 12:50-56.

78 57 BAB V KERAGAAN DI LAPANGAN DARI KLON VARIAN ABAKA YANG DIINDUKSI DENGAN ETHYL METHANESULPHONATE (EMS) ABSTRAK Mutasi in vitro dengan perlakuan mutagen maupun tanpa perlakuan mutagen dapat digunakan untuk meningkatkan keragaman genetika abaka melalui keragaman somaklonal. Penelitian yang dilakukan bertujuan: (1) menentukan konsentrasi optimum EMS untuk induksi keragaman somaklonal dalam kultur kalus embriogen abaka, (2) meregenerasikan bibit abaka varian dari kalus embriogen yang diberi perlakuan EMS, dan (3) mengevaluasi tipe dan frekuensi keragaman karakter kualitatif dan kuantitatif yang muncul diantara populasi tanaman mutan abaka yang didapat dari regenerasi kalus embriogen yang diberi perlakuan EMS. Hasil penelitian menunjukkan bahwa konsentrasi optimum mutagen EMS untuk menginduksi keragaman somaklonal adalah 0.6%. Varian yang diperoleh menunjukkan karakter kualitatif dan kuantitatif abnormal. Tipe varian tersebut umumnya bersifat negatif dan kurang menguntungkan dibandingkan dengan populasi standar. Tipe dan frekuensi keragaman kualitatif dan kuantitatif pada klon Tangongon berbeda dengan klon Sangihe-1, mengindikasikan adanya pengaruh genotipe terhadap variasi somaklonal. Varian dari abaka klon Tangongon dengan produktivitas serat tertinggi (161.0 g dan g/tanaman) diperoleh dari perlakuan EMS 0.3% (klon T dan T ), sedangkan dari klon Sangihe-1, hasil serat tertinggi (35.0 g dan 40.0 g/tanaman) diperoleh dari perlakuan EMS 0.6% (S dan S lines). Produksi serat tanaman kontrol klon Tangongon dan Sangihe-1 masing-masing g dan 70 g/tanaman. Kata kunci: keragaman somaklonal, EMS, mutagenesis, in vitro, Musa textilis

79 58 FIELD PERFORMANCE OF ABACA VARIANT LINES INDUCED BY ETHYL METHANESULPHONATE [EMS] ABSTRACT In vitro mutation with or without mutagen treatment can be used to increase genetic variability of abaca by inducing somaclonal variation. The objectives of the experiments were to (1) determine optimum concentration of EMS to induce abaca somaclonal variation, (2) produce abaca lines from EMS treated embryogenic calli and evaluate their performance in the field, and (3) evaluate type and frequency of qualitative and quantitative variant characters among regenerated abaca lines. The results showed that EMS treatment on abaca embryogenic calli induced variation and the optimum EMS concentration was 0.6%. The variants exhibited a number of abnormal qualitative and quantitative characters. They were generally negative characters since they showed less value as compared to control population. The presence of different types of qualitative and quantitative variant characters was genotype dependent. Variants from Tangongon abaca clones with the highest yield of fibre (161.0 g and g/plant) were obtained from 0.3% EMS treatment (T and T lines). While variants from Sangihe-1 abaca clones with the highest yield of fibre (35.0 g and 40.0 g/plant) were obtained from 0.6% EMS treatment (S and S lines). The fibre yield of control Tangongon and Sangihe-1 clones were g and 70 g/plant, respectively. Keywords : Induced mutation, somaclonal variation, field evaluation, Musa textilis PENDAHULUAN Pengembangan klon unggul abaka melalui hibridisasi relatif sulit dilakukan karena sempitnya keragaman genetika tanaman ini. Menurut Roux (2004) peningkatan keragaman genetika tanaman Musa spp. termasuk abaka, yang diperbanyak secara vegetatif biasanya sulit untuk dilakukan melalui hibridisasi. Sebagai alternatif, peningkatkan keragaman genetika tanaman abaka dapat dilakukan dengan induksi keragaman somaklonal dalam kultur in vitro (Ahloowalia & Maluszynski 2001) dan bilamana perlu dikombinasikan dengan induksi mutasi pada eksplan serta seleksi in vitro untuk mengidentifikasi varian dengan karakter unggul tertentu. Induksi mutasi dalam kultur in vitro telah

80 59 digunakan untuk meningkatkan keragaman genetika tanaman apel, berbagai jenis bunga (anyelir, mawar, krisan, dan tulip), kentang, nenas, pisang, ubi jalar, dan ubi kayu (Ahloowalia & Maluszynski 2001). Mutasi gen dapat diinduksi menggunakan radiasi sinar γ atau mutagen kimia. Mutagen kimia yang sering digunakan antara lain kolkisin untuk penggandaan kromosom dan etil metansulfonat (EMS) untuk menginduksi mutasi acak. Senyawa EMS merupakan senyawa alkil yang berpotensi sebagai mutagen untuk tanaman tingkat tinggi. Dibandingkan dengan mutagen kimia lainnya, EMS paling banyak digunakan karena mudah dibeli, murah harganya dan tidak bersifat mutagenik setelah terhidrolisis (van Harten 1998). Induksi keragaman genetika tanaman menggunakan EMS telah berhasil dilakukan pada berbagai spesies tanaman, seperti tembakau (Gichner et al. 2001), Arabidopsis (Chen et al. 2000; Sakamoto et al. 2002), kubis bunga (Mangal & Sharma, 2002), pisang (Roux 2004), kenaf (Arumingtyas & Indriyani 2005), dan Brasica napus (Schierholt et al. 2001; Spasibionek 2006). Tujuan umum penelitian adalah meningkatkan keragaman genetika abaka dengan perlakuan EMS pada kultur kalus embriogen dan mengidentifikasi fenotipe varian diantara populasi abaka yang diregenerasikan dari kalus embriogen dengan perlakuan EMS, yang ditumbuhkan di di lapangan. Tujuan khusus penelitian adalah: (1) menetapkan konsentrasi EMS yang mampu menginduksi keragaman somaklonal pada tanaman abaka, (2) meregenerasikan bibit abaka varian dari kalus embriogen yang diberi perlakuan EMS, dan (3) mengevaluasi keragaan karakter kualitatif dan kuantitatif tanaman varian abaka di lapangan. Hasil percobaan digunakan untuk mengidentifikasi klon abaka varian dengan karakter kuatitatif dan kualitatif unggul tertentu. BAHAN DAN METODE Induksi varian dengan EMS dan regenerasi tanaman. Sebanyak 300 potong kalus embriogen abaka (ukuran 3x3x3 mm 3 ) direndam dalam berbagai konsentrasi larutan EMS (0%, 0.3, 0.4%, 0.5%, atau 0.6%) dan digojog selama 2 jam dengan kecepatan 60 rpm. Setelah diproliferasi selama

81 60 enam bulan dalam media induksi kalus (MK) yaitu: media MS (Murashige & Skoog 1962) dengan penambahan BAP 5 mg/l, thidiazuron (TDZ) 0,4 mg/l dan vitamin C 100 mg/l. Selanjutnya kalus embriogen abaka ditumbuhkan hingga membentuk tunas dalam media induksi tunas (MT) yaitu: media MS dengan penambahan BAP 0.5 mg/l dan vitamin C 100 mg/l. Tunas abaka yang didapat ditumbuhkan dalam media perakaran (media MS dengan penambahan arang aktif 1 g/l) hingga membentuk plantlet. Plantlet abaka varian yang telah berakar ditanam dalam pot plastik berisi pasir steril, diaklimatisasi selama satu minggu sebelum dipindahkan ke rumah kaca. Setelah aklimatisasi, bibit abaka dipindahkan ke dalam kantong plastik (polybag, dengan ukuran 15x15x30 cm) yang berisi media campuran tanah:pasir (2:1 b/b) 5 kg dan dipelihara di rumah kaca hingga bibit berumur 5 bulan. Bibit abaka sehat dan tidak menunjukkan gejala serangan hama atau penyakit dipilih dan ditanam di lapangan. Penanaman bibit abaka varian di lapangan. Bibit abaka varian yang telah disiapkan, ditanam di lapangan dengan jarak 2 m antar baris dan 2 m dalam baris (2x2 m) dalam lubang tanam berukuran 25x25x25 cm (p x l x d). Dalam setiap lubang tanam dimasukkan pupuk kandang (kotoran sapi atau kambing) 7.5 kg pada saat 7 hari menjelang tanam. Unit percobaan terdiri atas satu tanaman dan untuk masing-masing perlakuan konsentrasi EMS ditanam 40 tanaman. Dalam percobaan ini, pemeliharaan tanaman yang dilakukan disesuaikan dengan kondisi di lapangan, meliputi penyiangan gulma, penggemburan tanah, pengairan dan pembuangan daun-daun yang telah kering. Pemupukan dengan pupuk ZA 1 kg/rumpun tanaman abaka diberikan setiap 6 bulan. Kondisi populasi tanaman abaka yang ditanam di lapangan setelah berumur 16 bulan dapat dilihat pada Gambar 1.a. Karakter kualitatif tanaman di lapangan. Populasi tanaman abaka yang ditanam di lapangan dievaluasi berbagai karakter kualitatifnya. Populasi tanaman abaka yang diberi perlakuan EMS 0%, digunakan sebagai populasi standar. Setiap karakter kualitatif tanaman hasil

82 61 perlakuan EMS, yang menyimpang dari klon abaka awal dicatat sebagai karakter varian dan dihitung frekuensinya. Karakter kuantitatif tanaman di lapangan. Karakter kuantitatif yang diamati pada fase pertumbuhan vegetatif meliputi tinggi tanaman, lingkar batang, panjang dan lebar daun. Pengamatan dilakukan setiap 2 bulan, sejak tanaman berumur 1 bulan hingga 16 bulan setelah tanam di lapangan. Karakter kuantitatif yang dievaluasi pada saat panen, meliputi bobot batang semu, bobot dan jumlah pelepah, berat serat kering, rendemen serat dari batang dan pelepah, dan kekuatan serat. Untuk masing-masing peubah, nilai pengamatan dikelompokkan ke dalam 5 kelas, dan individu tanaman yang menyimpang dari sebaran nilai pengamatan dari tanaman standar dianggap sebagai varian. Kualitas warna serat diduga berkorelasi dengan keberadaan tipe sel tertentu (sel getah) di dalam jaringannya. Pewarnaan kalus embriogen yang berkembang dalam media MT dengan pewarna biru metilen (methylene blue) dan diikuti dengan pengamatan jaringan menggunakan mikroskop dilakukan untuk menduga keterkaitan antara keberadaan sel getah dengan warna serat yang dipanen. HASIL Karakter kualitatif tanaman di lapangan. Karakter kualitatif varian yang diamati diantara populasi abaka klon Tangongon dan Sangihe-1 hasil kultur jaringan tanpa perlakuan EMS meliputi daun variegata, daun berkerut, ujung daun mengecil, dan tanaman kerdil. Pada populasi tanaman yang diregenerasikan dari kalus embriogen dengan perlakuan EMS, terdapat sejumlah karakter varian tambahan yaitu tepi daun menggulung, warna daun kekuningan, dan duduk daun berhadapan seperti kipas. Tipe varian serta jumlah dan persentase tanaman varian yang diamati diantara populasi tanaman abaka di lapangan dapat dilihat pada Tabel 8. Contoh karakter kualitatif varian yang diamati diantara populasi tanaman abaka di lapangan disajikan pada Gambar 7.b-f.

83 62 Tabel 8. Tipe karakter kualitatif varian dan frekuensinya diantara populasi abaka klon Tangongon dan Sangihe-1 yang diregenerasikan dari kalus embriogen dengan perlakuan berbagai konsentrasi EMS. Pengamatan dilakukan terhadap tanaman di lapangan hingga 16 bulan. Klon abaka dan karakter Jumlah tanaman varian dan persentasenya pada EMS: kualitatif varian 0% 0.3% 0.4% 0.5% 0.6% Abaka klon Tangongon: o Daun variegata 4 (10) 2 (5) 2 (5) 2 (5) o Daun berkerut 8 (20) 15 (37.5) 5 (12.8) 4 (10) 7 (17.5) o Tepi daun menggulung 1 (2.6) 2 (5) o Ujung daun mengecil 1 (2.6) 2 (5) o Warna daun kekuningan 2 (5) 1 (2.5) o Tanaman kerdil 4 (10) 4 (10) 6 (15) 6 (15) 5 (12.5) o Posisi duduk daun seperti kipas 1 (2.5) Abaka klon Sangihe-1: o Daun variegata 3 (7.5) 1 (2.6) o Daun berkerut 4 (10) 2 (5) 1 (2.8) o Tepi daun menggulung 1 (2.5) o Ujung daun mengecil 1 (2.5) o Warna daun kekuningan 4 (11) o Tanaman kerdil 3 (7.5) 8 (21) 2 (5) 7 (17.9) 1 (2.8) o Posisi duduk daun seperti kipas 1 (2.6) Karakter kuantitatif tanaman di lapangan. Populasi tanaman abaka klon Tangongon yang diregenerasikan dari kalus embriogen dengan perlakuan EMS setelah ditanam di lapangan mempunyai rataan yang lebih rendah dibandingkan populasi standar (EMS 0%) untuk sebagian besar karakter kuantitatif yang diamati (Tabel 9). Tetapi untuk kekuatan serat, nilai rataan populasi hasil perlakuan EMS 0.4% lebih tinggi dibandingkan EMS 0%. Berbagai karakter kuantitatif pada populasi tanaman abaka klon Sangihe-1 yang diregenerasikan dari kalus embriogen dengan perlakuan EMS memiliki nilai rataan yang bervariasi dibandingkan dengan populasi standar (Tabel 9). Populasi dengan perlakuan EMS mempunyai nilai rataan panjang serat, rendemen serat, dan jumlah tanaman produktif per rumpun yang lebih tinggi dibandingkan populasi standar. Populasi yang dihasilkan dari perlakuan EMS 0.5% mempunyai nilai rataan lebar daun, rasio p/l daun, tinggi tanaman, lingkaran batang, bobot serat, panjang serat, dan kekuatan serat yang sama atau lebih tinggi dari populasi standar (Tabel 9).

84 63 Tabel 9. Rataan karakter kuantitatif tanaman pada populasi abaka klon Tangongon dan Sangihe-1 yang diregenerasikan dari kalus embriogen dengan perlakuan berbagai konsentrasi EMS. Pengamatan dilakukan terhadap tanaman di lapangan hingga 16 bulan. Karakter kuantitatif Abaka klon Tangongon Nilai rata-rata populasi pada perlakuan EMS: 0% 0.3% 0.4% 0.5% 0.6% o Panjang daun (cm) o Lebar daun (cm) o Ratio p:l daun o Tinggi tanaman (cm) o Lingkar Batang (cm) o Bobot Batang (kg) o Jumlah Pelepah o Bobot Pelepah (kg) o Bobot serat (g) o Panjang serat (cm) o Kekuatan serat (g/tex) o Rendemen serat dari batang (%) o Rendemen serat dari pelepah (%) o Jumlah Anakan o Tanaman produktif per rumpun Abaka klon Sangihe-1 o Panjang daun (cm) o Lebar daun (cm) o Ratio p:l daun o Tinggi tanaman (cm) o Lingkar Batang (cm) o Bobot Batang (kg) o Jumlah Pelepah o Bobot Pelepah (kg) o Bobot serat (g) o Panjang serat (cm) o Kekuatan serat (g/tex) o Rendemen serat dari batang (%) o Rendemen serat dari pelepah (%) o Jumlah Anakan o Tanaman produktif per rumpun Karakter kuantitatif dari populasi abaka klon Tangongon dengan perlakuan EMS yang menyebar dengan kisaran sama dengan sebaran individu pada populasi standar adalah rasio p/l daun, jumlah anakan per rumpun, bobot serat dan pelepah per tanaman, serta rendemen serat. Sedangkan karakter kuantitatif yang menyebar di luar sebaran individu pada populasi standar adalah panjang dan lebar daun,

85 64 tinggi dan lingkaran batang, jumlah pelepah dan panjang serat per tanaman, serta kekuatan serat. Individu tanaman pada populasi abaka klon Tangongon dengan perlakuan EMS yang mempunyai nilai karakter kuantitatif di luar sebaran nilai individu pada populasi standar dikelompokkan sebagai varian, yang pada klon Tangongon merupakan varian negatif (nilainya lebih rendah dari tanaman standar). Contoh sebaran nilai individu untuk karakter panjang dan bobot serat per tanaman, bobot pelepah per tanaman, serta tinggi batang dari abaka abaka klon Tangongon dengan atau tanpa perlakuan EMS dapat dilihat pada Gambar 8. Pada Tabel 10 disajikan karakter kuantitatif dari klon abaka klon Tangongon varian terpilih dengan bobot serat per tanaman yang tertinggi untuk masing-masing perlakuan EMS (0.3%, 0.4%, 0.5%, dan 0.6%) serta perlakuan standar (EMS 0%). Karakter kuantitatif dari populasi abaka klon Sangihe-1 dengan perlakuan EMS yang menyebar dengan kisaran sama dengan sebaran individu pada populasi standar adalah panjang, lebar dan rasio p/l daun, tinggi, lingkaran dan bobot batang, jumlah anakan per rumpun, bobot pelepah per tanaman, panjang serat per tanaman, bobot serat per tanaman, serta rendemen serat. Sedangkan karakter kuantitatif yang menyebar di luar sebaran individu pada populasi standar adalah jumlah pelepah per tanaman dan kekuatan serat. Individu tanaman pada populasi abaka klon Sangihe-1 dengan perlakuan EMS yang mempunyai nilai karakter kuantitatif di luar sebaran nilai individu pada populasi standar dan merupakan varian negatif (nilainya lebih rendah dari tanaman standar) adalah jumlah pelepah per tanaman sedangkan yang merupakan varian yang positif adalah kekuatan serat. Contoh sebaran nilai individu untuk karakter bobot dan kekuatan serat per tanaman, jumlah pelepah per tanaman, serta tinggi batang dari abaka abaka klon Sangihe-1 dengan atau tanpa perlakuan EMS dapat dilihat pada Gambar 9. Pada Tabel 10 disajikan karakter kuantitatif dari klon abaka klon Sangihe-1 varian terpilih dengan bobot serat per tanaman yang tertinggi untuk masing-masing perlakuan EMS (0.3%, 0.4%, 0.5%, dan 0.6%) serta perlakuan standar (EMS 0%). Hasil pengamatan karakter kualitatif dan kuantitatif menunjukkan bahwa tanaman abaka varian banyak terdapat pada populasi yang diregenerasikan dari

86 65 kalus embriogen yang diberi perlakuan EMS % (Tabel 8, Gambar 8-9). Populasi bibit abaka yang didapat dari kalus embriogen dengan perlakuan EMS secara umum mempunyai warna serat yang berbeda (Gambar 7.g) antara klon Tangongon (warna serat putih) dan Sangihe-1 (warna serat lebih gelap). Pada jaringan klon Sangihe-1 terdapat sel getah yang menyerap pewarna biru metilen (Gambar 7.h) sedangkan pada klon Tangongon tidak terdapat. Hal ini diduga berkorelasi dengan warna serat abaka yang dihasilkan oleh kedua klon tersebut. Tabel 10. Karakter kuantitatif tanaman abaka klon Tangongon dan Sangihe-1 varian dengan hasil serat per tanaman tertinggi untuk masing-masing perlakuan EMS 0.3%, 0.4%, 0.5% dan 0.6% dan perlakuan standar (EMS 0%). No. Klon varian Rasio p/l daun Batang: Pelepah: Serat kering: Tg Lkr Bbt Bbt Jml Pjg Bbt Kek Abaka klon Tangongon: EMS 0.3%: T T EMS 0.4%: T T EMS 0.5%: T T EMS 0.6%: T T EMS 0%: TK TK Abaka klon Sangihe-1: EMS 0.3%: o S o S EMS 0.4%: o S o S EMS 0.5%: o S o S EMS 0.6%: o S o S EMS 0%: o SK o SK Keterangan: Tg: tinggi, Lkr: lingkar, Bbt: bobot, Jml: jumlah, Pjg: panjang, Kek: kekuatan

87 66 PEMBAHASAN Perlakuan EMS pada kalus embriogen abaka menyebabkan munculnya varian untuk sifat kualitatif tanaman, yang meliputi morfologi daun dan pertumbuhan tanaman yang abnormal. Selain itu, perlakuan EMS juga menurunkan berbagai sifat kuantitatif dari tanaman abaka varian yang diuji di lapangan. Peningkatan konsentrasi EMS yang diberikan cenderung menghasilkan tanaman varian dengan sifat kuantitatif yang semakin menurun dibandingkan dengan populasi standar. Penurunan sifat kuantitatif tanaman diduga disebabkan oleh mutasi acak (random mutation) yang terjadi akibat perlakuan mutagen (Gichner 2003), seperti EMS yang digunakan dalam penelitian. Meskipun tidak bersifat letal, mutasi yang terjadi dapat menon-aktifkan sejumlah gen yang mengendalikan sifat kualitatif maupun kuantitatif di dalam genom sel tanaman varian (Ahloowalia 1986). Secara umum, karakter kualitatif dan kuantitatif varian yang diamati diantara populasi tanaman abaka hasil perlakuan EMS tidak menguntungkan, antara lain: daun variegata dan berbagai kelainan morfologi daun. Daun variegata merupakan karakter varian yang paling banyak dijumpai dalam penelitian ini. Hasil penelitian sebelumnya menunjukkan varian daun variegata terjadi karena mutasi gen tunggal dalam genom inti yang menyebabkan kelainan pada kloroplas, seperti degradasi protein tilakoid atau rusaknya plastida (Chen et al. 2000; Sakamoto et al. 2002). Tinggi dan bobot batang semu merupakan karakteristik penting yang terkait dengan produksi serat per tanaman karena serat abaka diperoleh dari batang semunya. Klon varian yang mempunyai tinggi tanaman dan bobot batang semu lebih tinggi dari populasi standar tidak berhasil diperoleh. Sejumlah varian dari klon Sangihe-1 hasil perlakuan EMS diketahui mempunyai kekuatan serat yang lebih tinggi dibandingkan populasi standar (>41.38 g/tex). Klon abaka varian tersebut adalah: S , S , dan S Tetapi meskipun mempunyai kekuatan serat yang lebih baik, daya hasil serat masing-masing klon varian tersebut hanya 25 g, 20 g, dan 34 g/tanaman. Secara umum, warna serat abaka yang dihasilkan dari abaka klon

88 67 Tangongon berbeda dengan Sangihe-1. Warna serat klon Sangihe-1 cenderung lebih gelap (coklat tua) dibandingkan dengan klon Tangongon (putih). Perbedaan warna serat yang diamati diduga berhubungan dengan keberadaan sel getah di dalam jaringan tanamannya. Sel getah diketahui mengandung berbagai senyawa kimia, antara lain: tanin dan amilosa yang dapat menyebabkan timbulnya warna coklat. Dugaan ini dibuktikan dengan adanya sel getah pada jaringan abaka klon Sangihe-1 yang dapat menyerap pewarna biru metilen, sedangkan pada jaringan abaka klon Tangongon tidak terdapat sel getah tersebut. Tipe varian kualitatif dan kuantitatif diantara populasi tanaman abaka klon Tangongon dengan perlakuan EMS umumnya lebih banyak dibandingkan dengan klon Sangihe-1, yang mengilustrasikan adanya pengaruh genetika tanaman terhadap keberadaan varian. Pada penelitian sebelumnya telah dilaporkan, variasi somaklonal pada tanaman pisang dipengaruhi oleh kultivar yang digunakan, umur kultur dan frekuensi sub-kultur yang dilakukan (Strosse et al. 2004). SIMPULAN Dari hasil percobaan dapat disimpulkan perlakuan EMS pada kalus embriogen abaka klon Tangongon dan Sangihe-1 berhasil menginduksi keragaman. Keberhasilan menginduksi varian diantara populasi yang diuji juga ditunjukkan dengan adanya sejumlah karakter kualitatif yang abnormal. Untuk karakter kuantitatif, kebanyakan varian yang didapat bersifat negatif, sehingga nilai karakter kuantitatif yang diamati pada individu varian lebih rendah dibandingkan populasi standar (EMS 0%). Konsentrasi EMS yang banyak menghasilkan keragaman somaklonal adalah %. Namun, varian dengan hasil serat per tanaman tertinggi untuk klon Tangongon diperoleh dari perlakuan EMS 0.3%, yaitu klon T dan T dengan hasil serat per tanaman masing-masing 161 g dan 154 g/tanaman, sedangkan untuk klon Sangihe-1 dari perlakuan EMS 0.6%, yaitu klon S dan S dengan hasil serat per tanaman masing-masing 35 g dan 40 g/tanaman. Klon Tangongon dan Sangihe-1 standar yang tertinggi hasil seratnya masing-masing 193 g dan 70 g/tanaman.

89 68 a b c d e f Sh Gt Tg g g h Gambar 7. (a) Populasi tanaman abaka yang ditumbuhkan di lapangan, (b) daun variegata pada tanaman induk dan anakannya, (c) Tanaman abaka varian dengan fenotipe kate (kerdil), (d) daun berkerut dan tepi daun menggulung, (e) daun berkerut, (f) duduk daun berhadapan, seperti kipas, (g) Perbedaan warna serat antara klon Sangihe-1 dan Tangongon, (h) sel getah (gt) yang diamati diantara sel-sel dari jaringan kalus embriogen abaka klon Sangihe-1 (pembesaran 20x).

90 69 Jumlah klon EMS: 0.3% 0.4% 0.5% 0.6% 0% <93.7 <126.3 <159.0 >159.0 Kisaran panjang serat (cm) 13 Jumlah klon EMS: 0.3% 0.4% 0.5% 0.6% 0% <51.3 <98.5 <145.8 >145.8 Kisaran bobot serat (g/tanaman) Jumlah klon EMS: 0.3% 0.4% 0.5% 0.6% 0% <2493 <4895 <7298 >7298 Kisaran bobot pelepah (g/tanaman) Jumlah klon EMS: 0.3% 0.4% 0.5% 0.6% 0% <92.1 <140.7 <189.2 >189.2 Kisaran tinggi batang (cm) Gambar 8. Sebaran nilai dan jumlah klon berdasarkan peubah panjang serat, bobot serat, bobot pelepah, dan tinggi batang tanaman di lapangan diantara populasi abaka klon Tangongon varian yang diregenerasikan dari kalus embriogen dengan perlakuan EMS 0%, 0.3%, 0.4%, 0.5%, dan 0.6%. Tanda panah menunjukkan bibit varian untuk masing-masing fenotipe.

91 70 Jumlah klon EMS: 0.3% 0.4% 0.5% 0.6% 0% <51.3 <98.5 <145.8 >145.8 Kisaran bobot serat (g/tanaman) Jumlah klon EMS: 0.3% 0.4% 0.5% 0.6% 0% <30.67 <36.03 <41.38 >41.38 Kisaran kekuatan serat (g/tex) Jumlah klon EMS: 0.3% 0.4% 0.5% 0.6% 0% <5 <8 <11 >11 Kisaran jumlah pelepah Jumlah klon EMS: 0.3% 0.4% 0.5% 0% 0.6% <92.1 <140.7 <189.2 >189.2 Kisaran tinggi batang (cm) Gambar 9. Sebaran nilai dan jumlah klon berdasarkan peubah bobot dan kekuatan serat, jumlah pelepah per tanaman serta tinggi batang tanaman di lapangan diantara populasi tanaman abaka klon Sangihe -1 varian yang diregenerasikan dari kalus embriogen dengan perlakuan EMS 0%, 0.3%, 0.4%, 0.5%, dan 0.6%. Tanda panah menunjukkan bibit varian untuk masing-masing fenotipe.

92 71 DAFTAR PUSTAKA Ahloowalia BS Limitation to the use of somaclonal variation in crop improvement. Di dalam: Semal J, editor. Somaclonal Variation and Crop Improvement. New York: Martinus Nijhoff Pub. hlm Ahloowalia BS, Maluszynski M Induced mutation - A new paradigm in plant breeding. Euphytica 118: Arumingtyas EL, Indriyani S Induksi variabilitas genetika percabangan tanaman kenaf (Hibiscus cannabinus L.) dengan mutagen kimia Ethyl Methane Sulfonate (EMS). Natural J 8: Chen M, Choi Y, Voytas DF, Rodermel S Mutations in the Arabidopsis VAR2 locus cause leaf variegation due to the loss of chloroplast FtsH protease. Plant J 22: Gichner T, Stavevra DA, van Breusegem F O-phenylene diamine-induce DNA damage and mutagenicity in tobacco seedlings is light-dependent. Mutation Res 495: Gichner T Differential genotoxicity of ethyl methanesulphonate, N-ethyl- N-nitrosourea and maleic hydrazide in tobacco seedlings based on data of the Comet assay and two recombination assay. Mutation Res 538: Mangal M, Sharma DR In vitro mutagenesis and cell selection for the induction of black rot resistance in cauliflower. J Hort Sci Biotech 77: Murashige T, Skoog F A revised medium for rapid growth and bioassays with tobacco tissue culture. Physiol Plant 15: Roux NS Mutation induction in Musa a review. Di dalam: Jain SM, Swennen R (ed). Banana Improvement: Cellular, Molecular Biology, and Induced Mutations. Enfield: Sci Pub, Inc. Hlm Sakamoto W, Tamura T, Hanba-Tomita Y, Sodmergen, Murata M The VAR1 locus of Arabidopsis encodes a chloroplastic FtsH and is responsible for leaf variegation in mutant alleles. Genes to Cell 7: Schierholt A, Rucker B, Becker HC Inheritance of high oleic acid mutations in winter oilseed rape (Brasica napus L.). Crop Sci 41: Spasibionek S New mutants of winter rapeseed (Brasica napus L.) with changed fatty acid composition. Plant Breeding 125:

93 72 Strosse H, Van den Houwe I, Panis B Banana cell and tissue culture a review. Di dalam: Jain SM, Swennen R (ed). Banana Improvement: Cellular, Molecular Biology, and Induced Mutations. Enfield: Sci Pub, Inc. Hlm van Harten AM Mutation Breeding: Theory and Practical Application. Cambridge: Cambridge Univ Pr. hlm

94 73 BAB VI SELEKSI IN VITRO UNTUK RESISTENSI ABAKA TERHADAP F. oxysporum f.sp. cubense MENGGUNAKAN FILTRAT KULTUR SEBAGAI AGENS PENYELEKSI ABSTRAK Abaka (Musa textilis Nee) merupakan salah satu tanaman industri penting, namun pengembangannya di Indonesia masih mengalami kendala karena adanya penyakit layu Fusarium (penyakit Panama) yang disebabkan oleh infeksi cendawan Fusarium oxysporum f.sp. cubense (Foc). Penelitian ini bertujuan untuk (1) mengevaluasi daya hambat filtrat kultur (FK) dari tiga isolat Foc terhadap pertumbuhan tunas abaka, (2) menentukan konsentrasi sub-letal FK Foc, yaitu konsentrasi FK yang mempunyai daya hambat terhadap pertumbuhan tunas abaka minimal 90%, (3) meregenerasikan sel/jaringan varian abaka yang insensitif terhadap FK Foc menjadi plantlet, dan (4) mengevaluasi respon plantlet yang didapat dari hasil seleksi in vitro terhadap infeksi Foc. Hasil penelitian menunjukkan bahwa tiga isolat Foc yang dievaluasi memiliki daya hambat yang berbeda terhadap pertumbuhan tunas abaka. Isolat yang paling kuat daya hambatnya adalah isolat Banyuwangi. Konsentrasi sub-letal FK Foc isolat Banyuwangi adalah 40%. Dari seleksi in vitro kalus embriogen pada media yang berisi 40% FK Foc isolat Banyuwangi diperoleh sebanyak 326 tunas abaka klon Tangongon dan 176 tunas abaka klon Sangihe-1 yang insensitif terhadap FK Foc. Setelah diaklimatisasi dan diinokulasi dengan konidia Foc diperoleh plantlet imun sebanyak 4 klon, resisten 2 klon dan agak tahan 2 klon dari 45 klon/varian klon Tangongon yang dievaluasi. Sedangkan dari 10 varian abaka klon Sangihe-1 yang diuji didapatkan 2 klon resisten dan 1 klon agak tahan. Kata kunci: layu Fusarium, seleksi in vitro, Filtrat kultur, EMS, Musa textilis

95 74 IN VITRO SELECTION OF ABACA FOR RESISTANCE AGAINST F. oxysporum f.sp. cubense USING FUNGAL CULTURE FILTRATES AS SELECTIVE AGENTS ABSTRACT Abaca (Musa textilis Nee) is an important industrial crop; however, its cultivation in Indonesia is hampered by Fusarium wilt (Panama disease) due to infection of Fusarium oxysporum f.sp. cubense (Foc). The objectives of this study were (1) to evaluate inhibitory effects of culture filtrates (CF) of three isolates of Foc on abaca shoot growth, (2) to determine sub-lethal concentration of Foc CF, the concentration causing death of at least 90% of abaca shoots, (3) to isolate variant cells/tissues insensitive to Foc CF regenerate plantlets, and (4) to evaluate response of plantlets against Foc infection. Results of the experiment showed culture filtrates (CF) of three tested Foc isolates inhibited abaca shoots growth and CF of Banyuwangi isolate inhibited the most. Sub-lethal concentration of CF was 40% for Banyuwangi isolate. From abaca clone Tangongon, 326 shoots were regenerated while from clone Sangihe-1, 176 shoots were regenerated from CF insensitive embriogenic calli. Following acclimatization and Foc inoculation, 4 immune, 2 resistant, and 2 moderately resistant plantlets against Foc were identified out of 45 tested variants of abaca clone Tangongon. On the other hand, 2 resistant and 1 moderately resistant plantlets were identified out of 10 tested variants of abaca clone Sangihe-1. Keywords : Fusarium wilt, in vitro selection, culture filtrate, EMS, Musa textilis PENDAHULUAN Penapisan respon plasma nutfah abaka terhadap infeksi dan evaluasi metode inokulasi Fusarium oxysporum Schlecht f.sp. cubense (E.F. Smith) Snyd & Hans (Foc) yang efektif pada tanaman abaka (Musa textilis Nee) telah dilakukan sebagai usaha untuk mendapatkan klon yang resisten terhadap infeksi Foc. Dari sepuluh klon abaka yang diuji, sembilan klon tergolong sangat rentan dan satu klon tergolong rentan terhadap infeksi Foc. Keberadaan Foc di berbagai daerah di Indonesia menjadi kendala pengembangan abaka mengingat klon yang resisten terhadap Foc belum tersedia (Damayanti 2004). Pengembangan klon abaka yang resisten terhadap Foc penting untuk dilakukan di Indonesia. Abaka mempunyai keragaman genetik rendah dan diperbanyak secara klonal

96 75 sehingga peningkatan keragaman genetikanya dapat dilakukan melalui induksi variasi somaklonal (Ahloowalia & Maluszynski 2001). Seleksi in vitro dapat digunakan untuk menapis sifat unggul tertentu diantara varian somaklonal (Yusnita et al. 2005). Seleksi in vitro dan induksi variasi somaklonal telah digunakan untuk menghasilkan klon tanaman yang resisten terhadap penyakit (Ahmed et al. 1996; Jin et al. 1996; Hidalgo et al. 1999; Yunus et al. 2000; Borras et al. 2001; Thakur et al. 2002; Inayati 2003). Keberhasilan seleksi in vitro ditentukan antara lain oleh tersedianya (1) metode kultur jaringan yang efektif yaitu mampu menghasilkan plantlet dalam jumlah besar dan sekaligus mampu menginduksi terjadinya variasi somaklonal pada plantlet dan (2) media selektif yang mampu menghambat pertumbuhan sel/jaringan normal dan memproliferasikan sel/jaringan varian dengan sifat tertentu menjadi plantlet (Yusnita et al. 2005). Metode baku regenerasi plantlet abaka dalam jumlah besar secara in vitro telah tersedia (Mariska & Sukmadjaja 2003). Sedangkan untuk mendapatkan ketahanan terhadap infeksi Fusarium, penggunaan filtrat kultur (FK) Fusarium terbukti dapat digunakan sebagai agens penyeleksi (Thakur et al. 2002; Inayati 2003; Damayanti 2004). Dengan demikian, dua persayaratan yang menunjang keberhasilan seleksi in vitro untuk mendapatkan klon abaka yang resisten terhadap Foc telah tersedia. Penelitian yang dilakukan bertujuan untuk mengevaluasi efektivitas metoda seleksi in vitro menggunakan FK dan mengisolasi plantlet varian yang toleran. Penelitian yang dilakukan mempunyai tujuan khusus: (1) mengevaluasi daya hambat FK (FK) dari tiga isolat Foc terhadap pertumbuhan tunas abaka, (2) menentukan konsentrasi sub-letal FK isolat Foc terpilih, yaitu konsentrasi FK yang mempunyai daya hambat terhadap pertumbuhan tunas abaka minimal 90%, (3) meregenerasikan sel/jaringan varian abaka yang insensitif terhadap FK Foc menjadi plantlet, dan (4) mengevaluasi respon plantlet yang didapat dari hasil seleksi in vitro terhadap infeksi Foc. Penyiapan FK Foc. BAHAN DAN METODE Isolasi cendawan Foc isolat Banyuwangi, Bojonegoro, dan Malang yang

97 76 digunakan telah dilaporkan sebelumnya (pada Bab III). Setelah diperbanyak dalam media potato dextrose agar (PDA) dan diinkubasikan selama 7 hari, hifa cendawan ditumbuhkan dalam media potato dextrose broth (PDB) dan digoyang dengan mesin penggoyang pada kecepatan 60 rpm selama 14 hari untuk memproduksi filtrat kultur (FK). Kultur disterilisasi menggunakan autoklaf (suhu 121 o C selama 20 menit), FK disaring untuk menghilangkan miselia dan digunakan sebagai agens penyeleksi. Daya hambat FK tiga isolat Foc. Daya hambat FK dari tiga isolat Foc dievaluasi dengan menambahkan FK 10%, 20%, 30%, 40%, 50% atau 60% (v/v) ke dalam media induksi tunas (MT) abaka, yaitu media MS (Murashige & Skoog 1962) dengan BAP 0.5 mg/l dan asam askorbat 100 mg/l. Media MT tanpa FK (0%) digunakan sebagai standar. Tunas abaka klon Tangongon dan Sangihe-1 hasil kultur jaringan (tinggi 2-3 cm) ditanam dalam media selektif. Tunas disubkultur dua kali dalam periode tiga bulan ke media selektif yang sama, diinkubasikan dalam ruang kultur bersuhu 25+2 o C dan diberi penyinaran lux selama 16 jam. Satuan percobaan terdiri atas satu tunas yang ditanam dalam satu botol kultur dan setiap perlakuan diulang 20 kali. Pengamatan terhadap persentase kematian dan tingkat kerusakan tunas dilakukan setelah 3 bulan. Skoring tingkat kerusakan tunas ditentukan sebagaimana dilakukan Epp (1987), yaitu: skor 0 tunas sehat dan hijau, serta tidak mengalami gejala penguningan daun; skor 1 daun bagian bawah menguning tetapi tunas tumbuh normal atau tunas tetap hijau tetapi pertumbuhannya terhambat; skor 2 pangkal batang mulai membusuk dan pertumbuhan tunas terhambat, daun yang menguning semakin meluas, dan daun yang baru membuka berwarna kuning pucat; skor 3 pangkal batang membusuk dan pertumbuhan tunas terhambat, seluruh daun telah menguning; skor 4 tunas membusuk dan mati (Gambar 10). Seleksi in vitro dengan FK Foc. Perlakuan mutagenesis menggunakan ethyl methanesulphonate (EMS)

98 77 dilakukan untuk meningkatkan frekuensi induksi mutan/varian. Masing-masing 100 kalus embriogen abaka klon Tangongon dan Sangihe-1 (ukuran 3x3x3 mm 3 ) direndam dengan EMS 0.6% (w/v) dan digoyang selama 2 jam dengan mesin penggoyang kecepatan 100 rpm. Kalus embriogen ditanam dalam media induksi kalus (MK) yaitu media MS dengan penambahan BAP 5 mg/l, thidiazuron [TDZ] 0.4 mg/l, dan asam askorbat 100 mg/l (Mariska & Sukmadjaya 2003), diperbanyak selama 6 bulan sehingga diperoleh minimal 150 potong kalus embriogen (3x3x3 cm 3 ) dan digunakan sebagai eksplan pada tahapan seleksi in vitro dalam media MT dengan FK Foc isolat Banyuwangi 40% (v/v). Selama periode 6 bulan, eksplan disub-kultur 3 kali ke dalam media selektif yang masih segar. Pengamatan dilakukan terhadap persentase eksplan yang hidup, eksplan bertunas, dan rataan jumlah tunas per eksplan setelah 6 bulan dalam media seleksi. Regenerasi dan Evaluasi Tunas Varian Hasil Seleksi in vitro. Tunas insensitif terhadap FK Foc hasil seleksi in vitro (R0) ditumbuhkan dalam media MT hingga mencapai ukuran >2 cm dan diakarkan dalam media pengakaran (MP) yaitu media MS dengan penambahan arang aktif 1 g/l. Plantlet (tunas yang telah berakar) diaklimatisasi dan bibit yang diperoleh ditumbuhkan di rumah kaca. Respon bibit terhadap infeksi Foc dievaluasi secara tidak langsung dengan metode detached leaf dual culture test (Pratt 1996). Tujuh potongan daun bibit abaka dengan ukuran 1x1 cm 2 diinokulasi dengan hifa cendawan Foc dan diinkubasikan dalam media agar (agar-agar 8 g/1) selama 12 hari. Potongan daun abaka dari lapang yang diinokulasi dengan Foc digunakan sebagai standar. Persentase potongan daun bergejala dan skor gejala kerusakan (SGK) yang terjadi digunakan untuk menghitung intensitas penyakit. Kriteria skor gejala kerusakan daun adalah: skor 0 tidak ada nekrosis, skor 1 nekrosis daun kurang dari 35%, skor 2 nekrosis antara 35 70%, skor 3 nekrosis > 75% dan mulai muncul gejala pembusukan daun, dan skor 4 daun telah membusuk total. Intensitas penyakit (IP) dihitung dengan rumus IP=[S(nixsi)/(NxS)]x100%; ni: jumlah potongan daun dengan skor kerusakan ke-i, si skor gejala kerusakan ke-i; N jumlah potongan daun yang diamati, dan S skor kerusakan tertinggi

99 78 (Cacchinero et al. 2002). Respon bibit abaka terhadap infeksi Foc disimpulkan dari hasil perhitungan IP, yaitu sebagai imun (I) jika IP=0%; tahan (T) jika IP antara 0-5%; agak tahan (AT) jika IP antara 5-10%; agak rentan (AR) jika IP antara 10-25%; rentan (R) jika IP antara 25-50%; dan sangat rentan (SR) jika IP>50% (Yusnita & Sudarsono 2004). HASIL Daya hambat FK tiga isolat Foc. Tunas abaka klon Tangongon atau klon Sangihe-1 tidak ada yang mati dalam media tanpa FK Foc. Untuk klon Tangongon dan Sangihe-1, rataan skor kerusakan tunas (SKT) pada media tanpa FK masing-masing 0.1 dan 0. Tunas abaka klon Tangongon dan Sangihe-1 yang ditanam dalam media selektif dengan penambahan FK Foc isolat Banyuwangi sebagian telah mati pada perlakuan konsentrasi 10%. Pada konsentrasi FK 10-30%, persentase kematian tunas berkisar dari 8% hingga 40% (Klon Tangongon) dan 21% hingga 62% (Klon Sangihe-1). Sedangkan pada konsentrasi FK 40-60%, tingkat kematian tunas abaka klon Tangongon dan Sangihe-1 berkisar dari % (Tabel 11). Filtrat kultur Foc isolat Malang dan Banyuwangi mempunyai daya hambat lebih rendah dibanding isolat Banyuwangi. Kematian tunas abaka klon Tangongon baru terjadi pada perlakuan FK Foc dengan konsentrasi 40% (isolat Malang) atau 50% (isolat Bojonegoro) sedangkan untuk klon Sangihe-1, pada perlakuan FK 30% (isolat Malang dan Bojonegoro) (Tabel 11). Data SKT abaka yang ditanam dalam media selektif dengan penambahan FK tiga isolat Foc juga menunjukkan pola respon yang sama (Tabel 11). Berdasarkan SKT yang diamati, abaka klon Sangihe-1 lebih sensitif terhadap FK Foc dan daya hambat FK Foc isolat Banyuwangi lebih tinggi dibandingkan dengan isolat Malang atau isolat Bojonegoro. Konsentrasi FK Foc isolat Banyuwangi 40% dan 50% menyebabkan terjadinya kematian tunas sebesar 90% dan 94% (klon Tangongon) atau 90% dan 100% (klon Sangihe-1), sehingga konsentrasi 40% dipilih sebagai konsentrasi sub-letal dan digunakan dalam percobaan berikut. Contoh penghambatan pertumbuhan tunas abaka akibat

100 79 berbagai konsentrasi FK Foc dapat dilihat pada Gambar 11. Seleksi in vitro dengan FK Foc. Kalus embriogen abaka diberi perlakuan EMS 0.6% untuk menginduksi terjadinya mutasi pada sel/jaringan kalus embriogen. Meskipun perlakuan EMS menghambat proliferasi tunas tetapi dari kalus embriogen yang direndam EMS 0.6% dapat diregenerasikan rata-rata 20 tunas (klon Tangongon) dan 18 tunas (klon Sangihe-1) per eksplan kalus embriogen (Tabel 11). Kalus embriogen yang telah diberi perlakuan EMS dan diseleksi dalam media selektif dengan penambahan FK Foc 40% (konsentrasi sub-letal) sebagian besar membusuk dan hanya sedikit yang mampu menghasilkan kalus embriogen, tunas ruset, atau tunas normal abaka yang insensitif terhadap FK Foc diantara jaringan yang membusuk. Contoh perkembangan kalus embriogen yang diseleksi dalam media selektif dengan penambahan FK Foc 40% dapat dilihat pada Gambar 12 a-e. Tabel 11. Daya hambat filtrat kultur (FK) Fusarium oxysporum f.sp. cubense (Foc isolat Banyuwangi [Bw], Malang [Ml], atau Bojonegoro [Bn]) terhadap pertumbuhan tunas abaka klon Tangongon dan Sangihe-1. Pengamatan dilakukan 3 bulan setelah penanaman tunas abaka dalam media selektif. Klon abaka dan KT* dalam FK Foc isolat: SKT* dalam FK Foc isolat: konsentrasi FK (%) Bw Ml Bn Bw Ml Bn Abaka klon Tangongon: ae** 0.1 ad 0 af ad 0.3 bd 0 cf ac 0.8 bc 0.4 ce ab 1.0 bc 1.2 bd aa 3.2 bb 1.7 cc aa 3.8 aa 3.2 bb aa 3.9 aa 3.9 aa Abaka klon Sangihe-1: ae 0 ae 0.1 af ad 1.0 bd 0.4 ce ac 1.4 bc 1.1 cd ab 2.8 bb 1.9 cc aab 3.9 aa 2.1 bbc aa 4.0 aa 2.3 bb aa 4.0 aa 3.4 ba Keterangan: *KT: kematian tunas (%); SKT: skor kerusakan tunas. **Angka pada baris yang diikuti dengan huruf kecil atau pada kolom dengan huruf kapital yang sama tidak berbeda nyata berdasarkan uji jarak berganda Duncan pada α=5%.

101 80 Tabel 12. Hasil seleksi in vitro kalus embriogen abaka yang telah diberi perlakuan EMS dalam filtrat kultur (FK) Fusarium oxysporum f.sp. cubense isolat Banyuwangi dengan konsentrasi 40% v/v (sub-letal). Pengamatan dilakukan 6 bulan setelah tanam. Peubah yang diamati Abaka klon Tangongon Abaka klon Sangihe-1 tanpa FK dengan FK tanpa FK Dengan FK Eksplan yang hidup: o Bertunas (%) o Dorman (%) Rataan jumlah tunas/eksplan Jumlah tunas: o <2 cm o > 2 cm* o Total Penurunan (%) jumlah tunas dibandingkan tanpa FK 88** 92** Catatan: *Tunas >2 cm merupakan tunas yang siap disub-kultur ke media perakaran. **Persentase penurunan jumlah tunas (%) dihitung dengan rumus [(xo*yo - x1*yo)/(xo*yo)] x 100%. xo dan yo berturut-turut adalah % eksplan bertunas dan jumlah tunas per eksplan untuk perlakuan tanpa FK, sedangkan x1 dan y1 berturut-turut adalah % eksplan bertunas dan jumlah tunas per eksplan untuk perlakuan dengan FK. Tingkat keberhasilan seleksi in vitro menggunakan FK Foc 40% terhadap kalus embriogen abaka klon Tangongon dan Sangihe-1 disajikan dalam Tabel 12. Seleksi in vitro dalam media MT dengan penambahan FK Foc 40% menghasilkan total 326 tunas abaka klon Tangongon dan 176 tunas abaka klon Sangihe-1 yang insensitif terhadap FK (Tabel 12). Selanjutnya, tunas abaka yang insensitif FK hasil seleksi in vitro, diaklimatisasi dan ditumbuhkan di rumah kaca. Evaluasi Tunas Varian Hasil Seleksi In vitro. Dalam detached leaf dual culture test, tanaman awal abaka klon Tangongon dan Sangihe-1 dikelompokkan sebagai sangat rentan (Tabel 13). Tunas abaka insensitif FK Foc hasil seleksi in vitro yang berhasil melewati tahapan aklimatisasi, dievaluasi responnya terhadap infeksi Foc menggunakan metode yang sama dan hasil evaluasinya dapat dilihat pada Tabel 13. Hasil evaluasi menunjukkan dari 45 tunas abaka klon Tangongon hasil seleksi in vitro yang diuji, berhasil diidentifikasi 4 klon varian/mutan yang imun dan tidak mengalami kerusakan daun akibat inokulasi dengan Foc, 2 klon yang tahan, dan 2 klon agak tahan terhadap infeksi Foc. Sedangkan untuk tunas abaka klon Sangihe-1, dari 10 tunas hasil seleksi in vitro yang diuji, berhasil diidentifikasi 2 klon varian yang tahan dan 1 klon agak tahan terhadap infeksi Foc.

102 81 Tabel 13. Persentase daun bergejala (DB), rataan skor gejala kerusakan (SGK), intensitas penyakit (IP), dan ketahanan klon varian abaka klon Tangongon (Tg) dan Sangihe-1 (Sh) hasil seleksi in vitro dalam media dengan penambahan filtrat kultur Fusarium oxysporum f. sp. cubense (Foc) isolat Banyuwangi, yang ditentukan berdasarkan hasil uji inokulasi daun dengan Foc isolat Banyuwangi menggunakan teknik detached leaf dual cultures. Klon abaka awal dan varian DB (%) Rataan SGK IP (%) Ketahanan Daun tanaman awal: Tg dari lapang SR Sh dari lapang SR Daun bibit hasil seleksi: Klon Tangongon Tg Foc I Tg Foc I Tg Foc I Tg Foc I Tg Foc T Tg Foc T Tg Foc AT Tg Foc AT Daun bibit hasil seleksi: Klon Tangongon Sh Foc T Sh Foc T Sh Foc AT Sh Foc AR Sh Foc AR Sh Foc AR Sh Foc AR Sh Foc AR Sh Foc SR Sh Foc SR *Keterangan: I imun, T tahan, AT agak tahan, AR agak rentan, dan SR sangat rentan. PEMBAHASAN Mutagenesis pada kultur in vitro dengan atau tanpa seleksi in vitro telah digunakan untuk mempercepat didapatkannya plasma nutfah dengan sifat unggul tertentu untuk mendukung program pemuliaan tanaman, khususnya tanaman yang dikembangbiakkan secara vegetatif (Roux et al. 1999, Maluszynski et al. 1995, Joseph et al. 2004). Peningkatan keragaman genetika tanaman merupakan langkah awal untuk mengembangkan klon yang resisten terhadap infeksi penyakit. Hal ini dapat dilakukan melalui perlakuan mutagen pada eksplan dan diikuti dengan pengkulturan eksplan secara in vitro sehingga didapatkan proliferasi sel/jaringan

103 82 varian. Selanjutnya, sel/jaringan varian dapat diseleksi dalam media selektif dengan penambahan agens penyeleksi tertentu untuk mengidentifikasi sel/jaringan varian yang insensitif. Regenerasi plantlet dari sel/jaringan varian dapat menghasilkan tanaman yang resisten terhadap infeksi penyakit yang diinginkan. Pada penelitian ini digunakan EMS (ethyl methanesulphonate) untuk menginduksi keragaman genetika abaka dan dilanjutkan dengan seleksi in vitro menggunakan FK Foc untuk mengidentifikasi varian yang resisten terhadap Foc. Dari hasil penelitian, FK Foc isolat Banyuwangi, Bojonegoro, dan Malang mempunyai daya hambat yang berbeda. Filtrat kultur tiga isolat Foc yang digunakan berpengaruh negatif terhadap pertumbuhan tunas abaka klon Tangongon dan Sangihe-1. Tetapi FK Foc isolat Banyuwangi menunjukkan daya hambat lebih tinggi dibandingkan isolat Bojonegoro dan Malang. Perbedaan tersebut berhubungan dengan produksi toksin oleh masing-masing isolat, karena isolat yang memproduksi toksin lebih tinggi dapat menimbulkan penghambatan lebih kuat (Cachinero et al. 2002). Fusarium oxysporum f.sp. cubense merupakan patogen yang menyerang abaka dan dalam proses infeksi mensekresikan non-host-specific toxin yang dapat membantu proses infeksi. Penggunaan FK Foc untuk seleksi in vitro telah dilakukan untuk mendapatkan klon tomat, gandum, kedelai, nenas, tebu dan anyelir yang resisten terhadap infeksi Fusarium sp. (Toyoda et al. 1984a; Fadel & Wenzel 1993; Ahmed et al. 1996; Jin et al. 1996; Hidalgo et al. 1999; Yunus 2000; Borras et al. 2001; Thakur et al. 2002; Inayati 2003). Selain mensekresikan toksin, Foc diketahui juga mensekresikan zat pengatur tumbuh tanaman (ZPT) seperti auksin atau giberelin atau berbagai alkaloid, protein, steroid, serta terpenoid (Goodman et al. 1986; Rademacher 1994; Thrane 2001) sehingga dapat berpengaruh positif terhadap proliferasi jaringan yang insensitif terhadap toksin. Data hasil penelitian menunjukkan tunas abaka yang insensitif terhadap FK Foc yang ditanam dalam media dengan penambahan FK Foc mempunyai rataan jumlah tunas lebih banyak dibanding perlakuan standar, diduga sebagai akibat pengaruh ZPT atau senyawa lain yang disekresikan oleh Foc. Daya hambat FK Foc yang diamati dalam percobaan menggunakan abaka

104 83 ini sejalan dengan percobaan pada tanaman anyelir (Thakur et al. 2002) dan nanas (Hidalgo et al. 1999). Dalam berbagai percobaan sebelumnya juga telah ditunjukkan peningkatan konsentrasi FK Foc dalam media meningkatkan persentase kematian eksplan yang diseleksi (Thakur et al. 2002; Li et al. 1999; Borras et al. 2001). Respon yang berbeda antara abaka klon Tangongon dan Sangihe-1 juga diamati dalam percobaan yang dilakukan. Meskipun dari kalus embriogen abaka klon Tangongon dan Sangihe-1 dengan perlakuan EMS 0.6% dapat dihasilkan tunas abaka yang insensitif FK Foc, tidak semua bibit yang diregenerasikan dari tunas hasil seleksi in vitro bersifat resisten terhadap infeksi Foc (sebagian rentan terhadap infeksi Foc). Hal ini diduga antara lain akibat terbentuknya tunas kimera atau terjadinya escaped dalam proses seleksi in vitro. Tunas kimera yang tersusun dari jaringan varian (resisten) dan jaringan normal (rentan) dapat bertahan dalam media selektif yang mengandung FK Foc sehingga terjadi salah identifikasi hasil seleksi in vitro. Sel/jaringan kimera yang escaped dari seleksi tidak 100% terdiri atas sel/jaringan varian yang insensitif terhadap FK Foc tetapi juga terdapat sel/jaringan normal. Pada tahapan proliferasi, sel/jaringan yang escaped dari seleksi juga akan menghasilkan bibit yang rentan terhadap infeksi Foc. Pada tahapan proliferasi dalam media tanpa penambahan FK Foc, tunas baru dapat berkembang dari sel/jaringan normal sehingga menghasilkan bibit dengan fenotipe rentan terhadap infeksi Foc (bibit escaped). SIMPULAN Dari hasil percobaan dapat disimpulkan filtrat kultur dari tiga isolat Foc mampu menghambat pertumbuhan kalus embriogen abaka tetapi daya hambat FK Foc isolat Banyuwangi lebih tinggi dibanding kedua isolat yang lain. Konsentrasi sub-letal dari FK Foc isolat Banyuwangi adalah 40%. Dari kalus embriogen abaka yang insensitif FK Foc hasil seleksi in vitro telah diperoleh 326 tunas abaka varian dari klon Tangongon dan 176 tunas dari klon Sangihe-1. Setelah tahapan aklimatisasi, pembibitan, dan evaluasi respon terhadap inokulasi Foc berhasil diperoleh empat bibit varian yang diduga imun, empat resisten, dan tiga agak resisten.

105 84 Skor 0 Skor 1 Skor 2 Skor 3 Skor 4 Gambar 10. Representasi tunas abaka dengan skoring gejala kerusakan tunas 0 hingga 4 (berdasarkan kriteria yang dikembangkan oleh Epp 1987) setelah ditanam dalam media selektif dengan penambahan filtrat kultur Fusarium oxysporum f.sp. cubense isolat Banyuwangi. FK: 0% 10% FK: 0% 20% FK: 0% 30% FK: 0% 40% FK: 0% 50% FK: 0% 60% Gambar 11. Daya hambat filtrat kultur (FK) Fusarium oxysporum f.sp. cubense (Foc) isolat Banyuwangi terhadap pertumbuhan dan proliferasi tunas abaka klon Tangongon. Perkembangan tunas dalam media tanpa FK (FK 0%) atau dalam media selektif dengan FK Foc 10%, 20%, 30%, 40%, 50%, atau 60%.

106 85 a b jm jm jm c ti d tm e ke Gambar 12. Seleksi in vitro kalus embriogen abaka dalam media yang mengandung filtrat kultur (FK) Fusarium oxysporum f.sp. cubense (Foc) isolat Banyuwangi. Kalus embriogen abaka klon Tangongon (a) mengalami proliferasi tunas dalam media tanpa FK, (b) sebagian besar membusuk dan dorman (tidak bertunas), atau membusuk dan memproliferasikan (c) tunas, (d) tunas roset, serta (e) kalus embriogen - yang insensitif FK dalam media selektif dengan penambahan FK Foc isolat Banyuwangi dengan konsentrasi 40 %. jm: jaringan eksplan yang membusuk, ke: kalus embriogen, ti: tunas insensitif FK, tm: tunas majemuk (multiple bud clump). DAFTAR PUSTAKA Ahloowalia BS, Maluszynski M Induced mutation - A new paradigm in plant breeding. Euphytica 118: Ahmed KZ, Masterhazy A, Bartok T, Sagi F In vitro techniques for selecting wheat (Triticum aesticum L.) for Fusarium-resistance II. Culture filtrate technique and inheritance of Fusarium-resistance in the somaclones. Euphytica 91:

107 86 Borras O, Santos R, Matos AP, Cabral RS, Arzola M A first attemp to use a Fusarium subglutinans culture filtrate for the selection of pineapple cultivars resistant to fusariose disease. Plant Breeding 120: Cachinero JM, Hervas A, Jimenez-Diaz RM, Tena M Plant defence reactions against Fusarium wilt in chickpea induced by incopatible race 0 of Fusarium oxysporum f.sp. ciceris and non-host isolates of F. oxysporum. Plant Pathol 51: Damayanti F Seleksi in vitro tanaman abaka (Musa textilis Nee) dengan filtrat Fusarium oxysporum untuk ketahanan terhadap penyakit layu Fusarium. Bioscientiae 1: Epp D Somaclonal variation in banana: a case study with Fusarium wilt. Di dalam: Persley GJ, De Langhe EA, editor. Banana and Plantain Breeding Strategies. Canbera: ACIAR Publ., hlm Fadel F, Wenzel G In vitro selection for tolerance to Fusarium in F1 microspore population of wheat. Plant Breeding 110: Goodman RN, Kiraly Z, Wood KR The biochemistry and physiology of plant disease. Missouri: The University of Missouri Pr. 433 hlm. Hidalgo OB, Santos R, Tussel RT, dematos AP, Cabral RS, Arzola M, Perez MC Phytotoxicity of Fusarium subglutinans culture filtrates on in vitro plantlets and calli of resistant and susceptible pineapple (Ananas comosus). Plant Pathol 48: Inayati A Seleksi ketahanan in vitro plantlet vanili terhadap Fusarium oxysporum f.sp. vanilae menggunakan teknik double layer, kultur filtrat dan asam fusarat [Tesis]. Yogyakarta: Pascasarjana, UGM. Jin H, Hartman GL, Huang YH, Nickell CD, Widholm JM Regeneration of soybean plants from embryogenic suspension cultures treated with toxic culture filtrate of Fusarium solani and screening of regenerants for resistance. Phytopathology 86: Joseph R, Yeoh H-H, Loh C-S Induced mutations in cassava using somatic embryos and the identification of mutant plants with altered starch yield and composition. Plant Cell Rep 23: Li S, Hartman GL, Widholm JM Viability staining of soybean suspensioncultured cells and a seedling stem cutting assay to evaluate phytotoxicity of Fusarium solani f.sp. glycines culture filtrates. Plant Cell Rep 18: Maluszynski M, Ahloowalia BS, Sigurbjörnsson B Application of in vivo and in vitro mutation techniques for crop improvement. Euphytica 85:

108 87 Mariska I, Sukmadjaja D Perbanyakan Bibit Abaka Melalui Kultur Jaringan. Bogor: Balai Penelitian Bioteknologi dan Sumberdaya Genetik. Murashige I, Skoog F A revised medium for rapid growth and bioassays with tobacco tissue culture. Physiol. Plant 159: Pratt RG Screening for resistance to Sclerotinia trifoliarum in alfalfa by inoculation of excised leaf tissue. Phytopathology 86: Rademacher W Gibberellin formation in microorganism. Plant Growth Reg 15: Roux N, Toloza A, Dolezel J, Swennen R, Lepoivre P, Zapata-Arias FJ Usefulness of embriogenic cell suspension for the induction and selection of mutants in Musa spp. Promusa 4: Thakur M, Sharma DR, Sharma SK In vitro selection and regeneration of carnation (Dianthus caryophyllus L.) plants resistant to culture filtrate of Fusarium oxysporum f.sp. dianthi. Plant Cell Rep 20: Thrane U Development in the taxonomy of Fusarium species based on secondary metabolites. Di dalam: Sumerell BA, Leslie JF, Backhouse D, Bryden WL, Burgess LW, editor. Fusarium. Minnesota: APS Press. hlm Toyoda H, Tanaka N, Hirai T. 1984a. Effects of the culture filtrate of Fusarium oxysporum f.sp. lycopersici on tomato callus growth and the selection of resistant callus cells to the filtrate. Ann Phytopathol Soc Japan 50: Yunus A Pengaruh ekstrak Fusarium moniliforme terhadap pertumbuhan dan resistensi tanaman tebu terhadap penyakit pokahbung. Agrosains 2:1-9. Yusnita, Sudarsono Metode inokulasi dan reaksi ketahanan 30 genotipe kacang tanah terhadap penyakit busuk batang Sclerotium. Hayati 11: Yusnita, Widodo, Sudarsono In vitro selection of peanut somatic embryos on medium containing culture filtrate of Sclerotium rolfsii and plantlet regeneration. Hayati 12:

109 88 BAB VII SELEKSI IN VITRO UNTUK RESISTENSI ABAKA TERHADAP F. oxysporum f.sp. cubense MENGGUNAKAN ASAM FUSARAT SEBAGAI AGENS PENYELEKSI ABSTRAK Penelitian ini bertujuan untuk (1) mengevaluasi daya hambat pertumbuhan kalus embriogen abaka, (2) mengetahui konsentrasi sub-letal AF, (3) mengidentifikasi varian embrio somatik abaka yang insensitif AF melalui seleksi in vitro yang dilanjutkan dengan regenerasi plantlet, dan (4) mengevaluasi resistensi plantlet hasil regenerasi terhadap infeksi Foc. Pengkulturan kalus embriogen dan tunas abaka pada medium tunas (MT) yang mengandung berbagai konsentrasi AF digunakan untuk mengetahui pengaruh daya hambat AF. Konsentrasi sub-letal ditentukan sebagai konsentrasi yang paling tinggi menghambat proliferasi kalus embriogen dan tunas abaka. Seleksi in vitro untuk mengidentifikasi embrio somatik yang insensitif AF dilakukan dengan konsentrasi sub-letal. Setelah regenerasi dan aklimatisasi plantlet, klon abaka hasil regenerasi ditanam di rumah kaca untuk pengujian ketahanan terhadap Foc menggunakan metode detached leaf dual culture. Hasil penelitian menunjukkan bahwa AF menghambat pertumbuhan kalus embriogen dan tunas abaka, sedangkan konsentrasi sub-letal AF adalah 50 mg/l. Dari seleksi in vitro dihasilkan 85 plantlet klon Tangongon dan 28 plantlet klon Sangihe-1 yang diregenerasikan dari embrio somatik yang insensitif AF. Genotipe asli Tangongon termasuk dalam kelompok sangat rentan terhadap infeksi Foc, sedangkan dua dari tiga varian dari klon Tangongon yang diuji menunjukkan imun dan satu agak rentan. Pada penelitian ini, pengujian resistensi terhadap infeksi Foc varian yang berasal dari klon Sangihe-1 belum dapat dilakukan. Kata kunci: Layu Fusarium, keragaman somaklonal, toksin cendawan, EMS, Musa textilis

110 89 IN VITRO SELECTION OF ABACA FOR RESISTANCE AGAINST F. oxysporum f.sp. cubense USING FUSARIC ACID AS SELECTIVE AGENT ABSTRACT The objectives of this study were to (1) evaluate growth inhibition of abaca embriogenic calli (EC) and shoots by FA, (2) determine sub-lethal concentration of FA, (3) identify FA insensitive variants of abaca somatic embryos (SE) through in vitro selection followed by plantlet regeneration, and (4) evaluate resistance of regenerated plantlets against Foc infection. Culturing abaca EC and shoots on MT medium containing various FA concentrations was used to determine FA inhibition effects. Sub-lethal concentration was defined as one of highest inhibiting in proliferation of abaca EC and shoots. In vitro selection to identify FA insensitive SE was conducted using FA sub-lethal concentration. Following plantlet regeneration and acclimatization, the regenerated abaca lines were grown in the glasshouse for testing against Foc using detached leaf dual culture test. Results of the experiment showed FA inhibited abaca EC and shoots growth while sub-lethal concentration of FA was 50 mg/l. Following in vitro selection, 85 plantlets of Tangongon and 28 of Sangihe-1 were regenerated from FA insensitive SE. The original Tangongon genotype was very susceptible against Foc infection. Meanwhile, among three Foc tested lines derived from Tangongon, two lines were considered immune and one was slightly susceptible. However, resistance against Foc of variants derived from Sangihe-1 have not been evaluated in this experiment. Keywords: Fusarium wilt, somaclonal variation, fungal toxin, EMS, Musa textilis PENDAHULUAN Berdasarkan data yang ada, belum ditemukan klon abaka (Musa textilis Nee) yang terbukti resisten terhadap infeksi Fusarium oxysporum Schlecht f.sp. cubense (E.F. Smith) Snyd & Hans, cendawan penyebab penyakit layu Fusarium (Panama disease) yang sangat merusak kelompok tanaman pisang, termasuk abaka (Ploetz 2000; Bastasa & Baliad 2005; Hwang and Ko 2004; Nasir et al. 2003). Hasil penelitian pada Bab III menunjukkan dari 10 klon abaka yang diuji, sembilan klon tergolong sangat rentan dan satu klon tergolong rentan terhadap infeksi Foc isolat Banyuwangi (Foc Bw). Mengingat penggunaan klon abaka yang resisten merupakan metode yang

111 90 paling efektif untuk pengendalian Foc (Ploetz 2000), pengembangan klon abaka yang resisten Foc penting untuk dilakukan di Indonesia. Untuk mencapai tujuan tersebut perlu dilakukan peningkatan keragaman genetika abaka menggunakan kombinasi perlakuan mutagenesis dan perbanyakan tanaman secara in vitro, yang terbukti efektif untuk tanaman yang keragaman genetiknya rendah dan diperbanyakan secara klonal (Roux 2004). Mutan/varian yang resisten terhadap infeksi Foc dapat diidentifikasi melalui seleksi secara in vitro dalam media dengan penambahan asam fusarat (AF). Sebagai non-host specific toxin yang disekresikan oleh Foc dalam proses infeksi (Bacon et al. 1996), AF terbukti berkorelasi positif dengan virulensi isolat Foc terhadap tanaman inang. Karena AF merupakan komponen penting dalam proses infeksi, tanaman inang yang insensitif terhadap AF diduga juga resisten/toleran terhadap infeksi Foc. Penggunaan AF sebagai agens penyeleksi dalam seleksi in vitro dapat menghasilkan sel/jaringan mutan/varian insensitif terhadap AF, sehingga setelah diregenerasikan menjadi tanaman dapat menghasilkan klon abaka yang resisten/toleran terhadap infeksi Foc. Identifikasi mutan/varian yang insensitif terhadap AF dengan seleksi in vitro telah dilakukan pada tanaman tomat (Toyoda et al. 1984b), pisang (Morpurgo et al. 1994; Matsumoto et al. 1995), gladiol (Remotti et al. 1997), dan nanas (Borras et al. 2001). Tetapi tidak semua penelitian tersebut mampu menghasilkan tanaman varian yang terbukti resisten terhadap infeksi Foc (Morpurgo et al. 1994). Penelitian ini berusaha memperbesar peluang keberhasilan mengisolasi sel/jaringan mutan/varian abaka yang insensitif terhadap AF dengan menggunakan metode kultur kalus embriogen untuk mendapatkan plantlet dalam jumlah banyak, meningkatkan keragaman genetika kalus embriogen abaka dengan perlakuan EMS, menentukan konsentrasi AF sub-letal untuk memperkecil peluang terjadinya escaped, dan menyeleksi secara in vitro kalus embriogen abaka selama tiga kali siklus seleksi, masing-masing siklus selama tiga bulan dalam media dengan penambahan AF sub-letal. Berdasarkan hal tersebut, penelitian yang dilakukan bertujuan untuk (1) mengevaluasi daya hambat asam fusarat (AF) terhadap pertumbuhan kalus/tunas abaka, (2) menentukan konsentrasi sub-letal AF, yaitu konsentrasi yang mempunyai daya hambat paling tinggi terhadap

112 91 pertumbuhan dan proliferasi tunas abaka, (3) meregenerasikan sel/jaringan varian yang insensitif AF menjadi plantlet abaka, dan (4) mengevaluasi respon plantlet yang didapat dari hasil seleksi in vitro terhadap infeksi Foc. BAHAN DAN METODE Daya hambat AF. Percobaan untuk menentukan besarnya daya hambat AF terhadap proliferasi jaringan kalus embriogen abaka dilakukan dengan menanam eksplan dalam media induksi tunas (MT) abaka (media MS dengan penambahan BAP 0.5 mg/l dan asam askorbat 100 mg/l) dengan penambahan AF (Sigma-Aldrich Co.) 30, 45, atau 60 mg/l dan mengamati perkembangan embrio somatiknya. Penanaman kalus embriogen dalam media MT tanpa penambahan AF (0 mg/l) digunakan sebagai pembanding. Eksplan kalus embriogen abaka klon Tangongon dan Sangihe-1 dengan ukuran ± 3x3x3 mm 3 ditanam dalam media selektif yang telah disiapkan. Satuan percobaan terdiri atas satu kalus yang ditanam dalam satu botol kultur dan setiap perlakuan diulang 20 kali. Kalus disubkultur tiga kali dalam periode lima bulan ke media selektif yang sama. Inkubasi kultur dilakukan dalam ruang kultur bersuhu o C dan dengan penyinaran lux selama 16 jam menggunakan lampu TL. Pengamatan terhadap persentase kalus embriogen yang mampu membentuk tunas, jumlah tunas per eksplan dan penurunan jumlah tunas dilakukan pada akhir percobaan (setelah lima bulan dalam media selektif). Daya hambat AF juga ditentukan dengan menanam tunas abaka ke dalam media MT dengan penambahan AF 40, 45, atau 50 mg/l. Tunas yang ditanam dalam media MT tanpa penambahan AF (0 mg/l) digunakan sebagai pembanding. Tunas abaka klon Tangongon dan Sangihe-1 hasil kultur jaringan dengan tinggi tunas 2-3 cm ditanam dalam media selektif yang telah disiapkan. Satuan percobaan terdiri atas satu tunas yang ditanam dalam satu botol kultur dan setiap perlakuan diulang 30 kali. Tunas disubkultur tiga kali dalam periode tiga bulan ke media selektif yang sama. Inkubasi kultur dilakukan dalam ruang kultur bersuhu 25+2 o C dan dengan penyinaran lux selama 16 jam menggunakan lampu TL.

113 92 Pengamatan terhadap persentase kematian dan tingkat kerusakan tunas dilakukan pada akhir percobaan (setelah 3 bulan dalam media selektif). Tingkat kerusakan tunas ditentukan berdasarkan skoring sebagaimana dilakukan oleh Epp (1987), yaitu: skor 0 tunas sehat dan hijau, serta tidak mengalami gejala penguningan daun; skor 1 daun bagian bawah sedikit menguning tetapi tunas tumbuh normal atau tunas tetap hijau tetapi pertumbuhannya terhambat; skor 2 pangkal batang mulai membusuk dan pertumbuhan tunas terhambat, daun yang menguning semakin meluas, dan daun yang baru membuka berwarna kuning pucat; skor 3 pangkal batang membusuk dan pertumbuhan tunas terhambat, seluruh daun telah menguning; skor 4 tunas membusuk dan mati (Gambar 13). Peningkatan keragaman abaka dengan EMS. Untuk meningkatkan frekuensi mutan/varian, kalus embriogen abaka diberi perlakuan mutagenesis menggunakan larutan ethyl methanesulphonate (EMS). Sebanyak masing-masing 100 kalus embriogen abaka klon Tangongon dan Sangihe-1 (ukuran 3x3x3 mm 3 ) direndam dengan larutan EMS 0.6% selama dua jam dan digojok menggunakan shaker berkecepatan 100 rpm dalam ruangan bersuhu 28+2 o C. Untuk memperbanyak biomasa, kalus embriogen yang telah diberi perlakuan EMS diproliferasikan dalam media induksi kalus (MK) abaka dengan komposisi: media MS ditambah BAP 5 mg/l, Thidiazuron 0.4 mg/l dan asam askorbat 100 mg/l (Mariska & Sukmadjaya 2003) selama 6 bulan, diinkubasikan dalam ruangan bersuhu 28+2 o C, dan diberi penyinaran lux selama 16 jam menggunakan lampu TL. Seleksi in vitro dengan AF. Kalus embriogen yang telah diberi perlakuan EMS (300 potong untuk klon Tangongon dan 250 potong kalus untuk klon Sangihe-1 dengan ukuran 3x3x3 cm 3 ) diseleksi secara in vitro dalam media MT dengan penambahan AF 50 mg/l. Eksplan disub-kultur ke dalam media selektif yang sama yang masih segar setiap dua bulan selama periode enam bulan. Pengamatan dilakukan terhadap persentase kalus embriogen yang mampu bertahan hidup dan bertunas, serta rataan jumlah tunas yang terbentuk per kalus embriogen setelah enam bulan periode seleksi.

114 93 Selanjutnya, tunas abaka insensitif AF hasil seleksi in vitro ditanam dalam media MT hingga mencapai ukuran 2-3 cm sebelum diaklimatisasi dan dievaluasi responnya terhadap infeksi Foc. Evaluasi tunas varian hasil seleksi in vitro. Tunas abaka insensitif AF hasil seleksi in vitro dievaluasi responnya terhadap infeksi Foc Bw secara tidak langsung dengan metode detached leaf dual culture test (Pratt 1996). Tujuh potongan daun dengan ukuran 1x1 cm 2 dari masing-masing tunas varian diinokulasi dengan hifa cendawan Foc Bw dan diinkubasikan dalam media agar (agar-agar 8 g dalam 1 liter air) selama 12 hari. Potongan daun bibit abaka hasil kultur jaringan digunakan sebagai pembanding. Persentase potongan daun yang mengalami nekrosis dan gejala kerusakan daun yang terjadi diamati serta digunakan untuk menentukan tingkat kerusakan daun (intensitas penyakit). Gejala kerusakan daun diskor menggunakan kriteria sebagai berikut: skor 0 tidak ada nekrosis, skor 1 nekrosis daun kurang dari 35%, skor 2 nekrosis antara 35 70%, skor 3 nekrosis > 75% dan mulai muncul gejala pembusukan daun, dan skor 4 daun telah membusuk semuanya. Tingkat kerusakan daun (intensitas penyakit; IP) dihitung dengan rumus IP=[S(nixsi)/(NxS)]x100%; ni: jumlah potongan daun dengan skor kerusakan ke i, si: skor gejala ke i; N: jumlah potongan daun yang diamati, dan S: skor kerusakan tertinggi (Cachinero et al. 2002). Respon tunas varian abaka yang diuji terhadap infeksi Foc disimpulkan dari nilai hasil perhitungan IP, yaitu imun (I) jika IP=0%; tahan (T) jika IP antara 0-5%; agak tahan (AT) jika IP antara 5-10%; agak rentan (AR) jika IP antara 10-25%; rentan (R) jika IP antara 25-50%; dan sangat rentan (SR) jika IP>50% (Yusnita & Sudarsono 2004). HASIL Daya hambat AF. Kalus embriogen abaka klon Tangongon dan Sangihe-1 tidak ada yang berkembang pada media MT dengan penambahan AF 60 mg/l, sebaliknya 90% kalus mampu berproliferasi menjadi tunas dalam media tanpa AF (0 mg/l). Pada 5

115 94 Tabel 14. Persentase kalus bertunas, jumlah tunas per eksplan, total tunas dan persentase penurunan tunas abaka klon Tangongon (Tg) dan Sangihe-1 (Sh) yang dipanen setelah ditanam dalam media selektif dengan penambahan berbagai konsentrasi asam fusarat (AF). Pengamatan dilakukan 5 bulan setelah tanam. Konsentrasi AF (mg/l) Kalus bertunas (%) Jumlah tunas/eksplan Total tunas Penurunan tunas (%)* Tg Sh Tg Sh Tg Sh Tg Sh *Catatan: Penurunan tunas (%) dihitung denngan rumus [(Xo*Yo - X1*Y1)/(Xo*Yo)] x 100%. Xo dan Yo berturut-turut adalah % kalus bertunas dan jumlah tunas per kalus dari perlakuan tanpa AF, sedangkan X1 dan Y1 berturut-turut adalah % kalus bertunas dan jumlah tunas per kalus dari perlakuan dengan AF. bulan setelah tanam, penurunan kemampuan kalus berproliferasi pada perlakuan penambahan AF 60 mg/l mencapai 100%, pada AF 45 mg/l mencapai 95%, dan pada AF 30 mg/l mencapai 88% (Tabel 14). Nilai persentase kalus yang mengalami proliferasi dan jumlah tunas yang terbentuk per eksplan dipengaruhi oleh konsentrasi AF yang ditambahkan dalam media selektif. Pada Gambar 14. dapat dilihat contoh penghambatan pertumbuhan dan proliferasi kalus embriogen abaka klon Tangongon dan Sangihe-1 yang ditanam dalam media MT dengan penambahan berbagai konsentrasi AF. Tunas abaka klon Tangongon tidak mati dan tidak rusak (skor 0) ketika ditanam dalam media MT tanpa AF. Sebagian tunas abaka yang diuji mati dalam media MT dengan penambahan AF 40 mg/l. Meningkatnya konsentrasi AF yang ditambahkan berakibat meningkatnya persentase kematian tunas (Tabel 15). Penanaman tunas abaka dalam media selektif dari 30 hari ke 60 hari juga meningkatkan persentase kematian tunas sedangkan dari 60 hari ke 90 hari relatif sama (Tabel 15). Setelah penanaman selama 30 hari dan 60 hari dalam media MT selektif, skor kerusakan tunas (SKT) abaka akibat penambahan AF 45 mg/l dan 50 mg/l tidak berbeda nyata, tetapi pada penambahan AF 40 mg/l nyata lebih rendah dibandingkan AF 45 mg/l atau 50 mg/l (Tabel 15). Sebaliknya setelah 90 dalam media MT selektif, perlakuan penambahan AF 50 mg/l menghasilkan SKT tertinggi sedangkan SKT pada perlakuan AF 40 mg/l dan 45 mg/l tidak berbeda

116 95 Tabel 15. Persentase kematian tunas dan rataan skor kerusakan tunas abaka klon Tangongon yang ditanam dalam media selektif dengan penambahan berbagai konsentrasi asam fusarat (AF). Pengamatan dilakukan setelah 30, 60, dan 90 hari sesudah tanam. Konsentrasi AF Persentase kematian tunas (%) Skor kerusakan tunas (mg/l) 30 hr 60 hr 90 hr 30 hr 60 hr 90 hr c 0 c 0 c b 2.6 b 3.2 b a 3.3 a 3.3 b a 3.4 a 3.5 a nyata (Tabel 15). Pada Gambar 15. dapat dilihat contoh penghambatan pertumbuhan dan proliferasi tunas abaka klon Tangongon yang ditanam dalam media MT dengan penambahan berbagai konsentrasi AF. Seleksi in vitro dengan AF. Kalus embriogen abaka yang telah ditingkatkan keragamannya dengan perlakuan EMS tidak terhambat proliferasi tunasnya dalam media MT tanpa AF. Dalam MT tanpa AF, kalus embriogen abaka yang ditanam mampu menghasilkan rata-rata 20 (klon Tangongon) dan 18 (klon Sangihe-1) tunas per eksplan. Tabel 16. Penghambatan pertumbuhan kalus embriogen dua klon abaka yang ditanam dalam media proliferasi tunas dengan atau tanpa penambahan asam fusarat (AF). Pengamatan dilakukan 6 bulan setelah tanam. Peubah yang diamati Abaka klon Tangongon Abaka klon Sangihe-1 tanpa AF dengan AF tanpa AF dengan AF Jumlah eksplan: o Awal o Diamati Kalus yang hidup: o Bertunas (%) o Dorman (%) Rataan jumlah tunas/eksplan Jumlah tunas total: o < 1 cm o 1 2 cm o > 2 cm o Total Penurunan jumlah tunas (dibanding tanpa FK) 98* 99* *Catatan: Penurunan jumlah tunas (%) dihitung denngan rumus [(Xo*Yo - X1*Y1)/(Xo*Yo)] x 100%. Xo dan Yo berturut-turut adalah % kalus bertunas dan jumlah tunas per kalus dari perlakuan tanpa AF, sedangkan X1 dan Y1 berturut-turut adalah % kalus bertunas dan jumlah tunas per kalus dari perlakuan dengan AF.

117 96 Penanaman kalus embriogen yang telah diberi perlakuan EMS dalam media MT dengan penambahan AF 50 mg/l menyebabkan seluruh eksplan membusuk atau sebagian besar membusuk, tetapi diantara kalus yang membusuk berkembang kalus embriogen, tunas ruset, atau tunas normal abaka yang insensitif terhadap AF. Pada Gambar 16. disajikan contoh perkembangan kalus embriogen yang diseleksi dalam media MT dengan penambahan AF 50 mg/l. Tingkat keberhasilan seleksi in vitro dalam media MT dengan penambahan AF 50 mg/l terhadap kalus embriogen abaka klon Tangongon dan Sangihe-1 disajikan dalam Tabel 16. Seleksi in vitro yang dilakukan menghasilkan total 85 tunas dari abaka klon Tangongon dan 28 tunas dari klon Sangihe-1 yang insensitif terhadap AF (Tabel 16). Selanjutnya, tunas hasil seleksi in vitro dengan tinggi > 2 cm ditanam pada media induksi akar (media MS dengan penambahan arang aktif 2 g/l), diaklimatisasi dan ditanam di dalam kantong plastik (polybag) berisi campuran tanah:pupuk kandang (1:1). Setelah periode tiga bulan, bibit abaka yang tetap hidup dievaluasi responnya terhadap infeksi Foc. Evaluasi tunas varian hasil seleksi in vitro. Daun abaka klon Tangongon pembanding yang diuji mengalami pembusukan total akibat infeksi Foc Bw sehingga tergolong sangat rentan. Hasil evaluasi respon tunas abaka insensitif AF yang didapat dari seleksi in vitro dalam media MT dengan penambahan AF 50 mg/l terhadap infeksi Foc Bw dapat dilihat pada Tabel 17. Dari tiga bibit abaka klon Tangongon hasil seleksi in vitro yang diuji, berhasil diidentifikasi dua bibit varian/mutan yang tidak mengalami kerusakan daun akibat inokulasi dengan Foc Bw (imun) dan satu tunas yang tergolong agak rentan (Tabel 17). Dalam percobaan ini, bibit abaka klon Sangihe-1 hasil seleksi in vitro belum dapat dievaluasi responnya terhadap Foc Bw karena plantlet hasil seleksi in vitro belum diaklimatisasi dan bibit yang diperlukan belum siap diuji. PEMBAHASAN Keberhasilan seleksi in vitro dipengaruhi oleh ketersediaan metode regenerasi plantlet dalam jumlah banyak dan keefektifan agen penyeleksi yang

118 97 Tabel 17. Persentase daun bergejala (PDB), rataan skor gejala kerusakan (SGK), intensitas penyakit (IP), dan ketahanan abaka klon Tangongon (Tg) dari lapang dan klon hasil seleksi in vitro dalam media dengan penambahan asam fusarat. Respon ketahanan ditentukan berdasarkan hasil uji inokulasi daun dengan F. oxysporum f. sp. cubense isolat Banyuwangi. Klon abaka PDB (%) Rataan SGK IP (%) Ketahanan Tg dari kultur jaringan: o Tg SR Tg dari seleksi in vitro: o Tg AF AR o Tg AF IM* o Tg AF IM* Catatan: *hifa Foc tumbuh di atas potongan daun, tetapi daun tidak mengalami kerusakan. SR: sangat rentan, AR: agak rentan, IM: imun. digunakan. Metode regenerasi abaka secara in vitro telah dikembangkan oleh peneliti sebelumnya dengan menggunakan tunas pucuk atau mata tunas sebagai eksplan dan ditumbuhkan pada media dasar MS dengan penambahan BAP serta Thidiazuron (Mariska & Sukmadjaja 2003; Rahajeng 2006). Toksin utama yang diproduksi dan disekresikan oleh cendawan Foc adalah asam fusarat (Bacon et al. 1996). Asam fusarat (AF) telah digunakan sebagai agens penyeleksi dalam seleksi in vitro untuk memperoleh varian yang resisten terhadap Foc. Daya hambat in vitro dari AF terhadap pertumbuhan kalus dan tunas abaka klon Tangongon atau Sangihe-1 dipengaruhi oleh konsentrasi AF yang ditambahkan ke dalam media selektif. Penelitian sebelumnya telah menunjukkan penghambatan pertumbuhan jaringan yang diseleksi berkorelasi positif dengan konsentrasi AF yang ditambahkan dalam media (Matsumoto et al. 1995; Bouizgarne et al. 2006). Terhambatnya pertumbuhan kalus dan tunas yang ditanam dalam media selektif dengan penambahan AF diduga sebagai akibat terganggunya permeabilitas membran sel, terhambatnya oksidasi sitokrom dan respirasi pada mitokondria sehingga menghambat sintesis ATP, serta penurunan aktivitas fenol (Jin et al. 1996; Bouizgarne et al. 2006). Daya hambat AF terhadap pertumbuhan kalus dan tunas abaka klon Sangihe-1 lebih tinggi dibandingkan klon Tangongon, mengindikasikan adanya pengaruh faktor genetika. Adanya pengaruh faktor genetika telah diindikasikan berdasarkan hasil penelitian pada tanaman gladiol. Dari 10 genotipe gladiol yang secara genetika beragam, ketika ditanam dalam media dengan penambahan AF

119 98 mempunyai nilai respon insensitivitas yang berbeda terhadap AF yang ditambahkan ke dalam media in vitro (Remotti & Loffler 1996). Konsentrasi sub-letal AF yang mempunyai daya hambat paling tinggi terhadap pertumbuhan dan proliferasi kalus embriogen abaka klon Tangongon dan Sangihe-1 dicapai pada penambahan AF 45 mg/l ke dalam media MT selektif. Namun, setelah diverifikasi ulang dengan kisaran konsentrasi AF yang lebih sempit, diperoleh konsentrasi sub-letal AF pada konsentrasi 50 mg/l. Konsentrasi sub-letal perlu ditentukan untuk meningkatkan efektivitas dan keberhasilan seleksi in vitro (Yusnita et al. 2005). Selanjutnya penmabahan AF dengan konsentrasi 50 mg/l ke dalam media MT digunakan untuk seleksi in vitro kalus embriogen abaka. Kalus embriogen yang telah diberi perlakuan EMS 0.6% dan diseleksi dalam media MT selektif dengan penambahan AF 50 mg/l menunjukkan respon yang beragam (eksplan membusuk, diantara kalus yang membusuk berkembang kalus embriogen, tunas ruset, atau tunas normal abaka yang insensitif terhadap AF). Keragaman respon ini diduga terjadi sebagai akibat adanya sel-sel atau jaringan mutan dengan fenotipe insensitif terhadap AF yang diinduksi oleh perlakuan EMS diantara sel-sel atau jaringan wild-type yang sensitif AF. Sel atau jaringan mutan yang insensitif AF mampu tumbuh dan berkembang menjadi kalus embriogen, tunas ruset, atau tunas normal, sedangkan sel atau jaringan wild-type mati (membusuk) dalam media MT yang mengandung AF. Penggunaan kultur kalus embriogen sebagai eksplan dalam seleksi in vitro dapat mengurangi terjadinya kimera karena plantlet varian yang didapat umumnya diregenerasikan dari embrio somatik yang berkembang dari sel tunggal (Strosse et al. 2004). Seleksi in vitro dalam media MT dengan penambahan AF 50 mg/l menghasilkan 85 tunas abaka klon Tangongon dan 28 tunas abaka klon Sangihe-1 yang insensitif terhadap AF. Fenotipe insensitif terhadap AF dapat terjadi sebagai akibat terinduksinya enzim pada tanaman varian yang dapat mendetoksifikasi toksin, aktivasi ketahanan sistemik (SAR) atau elisitor untuk menghasilkan fitoaleksin (Jayasankar et al. 2000; Svabova & Lebeda 2005; Yusnita et al. 2005). Hasil evaluasi bibit varian yang diregenerasikan dari embrio somatik insensitif AF hasil seleksi in vitro dalam media dengan penambahan AF menunjukkan bahwa dua dari tiga bibit tersebut imun terhadap infeksi Foc Bw,

120 99 yang mengindikasikan bahwa seleksi in vitro dengan menggunakan 50 mg/l AF efektif untuk mengisolasi varian yang resisten terhadap infeksi Foc Bw. Hal ini mengkonfirmasi teori yang menyatakan bahwa resistensi tanaman yang diregenerasikan dari jaringan hasil seleksi in vitro menggunakan toksin terhadap infeksi patogennya berkorelasi dengan insensitivitas sel hasil seleksi terhadap toksin yang ditambahkan dalam media selektif (Svabova & Lebeda 2005). SIMPULAN Dari hasil percobaan dapat disimpulkan AF yang ditambahkan dalam media MT mampu menghambat proliferasi kalus embriogen dan tunas abaka. Konsentrasi sub-letal AF yang dapat menghambat proliferasi kalus embriogen atau tunas abaka paling tinggi adalah 50 mg/l yang ditambahkan dalam media MT. Dari kalus embriogen abaka yang insensitif AF hasil seleksi in vitro telah diperoleh 85 tunas varian abaka klon Tangongon dan 28 tunas varian klon Sangihe-1. Setelah tahapan aklimatisasi dan evaluasi respon terhadap infeksi Foc, berhasil diidentifikasi dua bibit varian - yang diduga imun dan satu bibit varian dari abaka klon Tangongon yang agak rentan terhadap infeksi Foc Bw. Skor 0 Skor 1 Skor 2 Skor 3 Skor 4 Gambar 13. Representasi tunas abaka dengan skoring gejala kerusakan tunas 0 hingga 4 (berdasarkan kriteria yang dikembangkan Epp 1987) setelah ditanam dalam media dengan penambahan asam fusarat.

121 100 AF: mg/l AF: mg/l Gambar 14. Daya hambat berbagai konsentrasi asam fusarat (AF) terhadap pertumbuhan dan proliferasi kalus embriogen abaka klon Tangongon (atas) dan Sangihe-1 (bawah). Foto diambil saat 5 bulan setelah penanaman ke dalam media selektif dengan penambahan AF. AF: mg/l Gambar 15. Daya hambat berbagai konsentrasi asam fusarat (AF) terhadap pertumbuhan dan proliferasi tunas klon Tangongon. Foto diambil saat 3 bulan setelah penanaman ke dalam media selektif dengan penambahan AF.

122 101 a b c d Gambar 16. Perkembangan eksplan kalus embriogen abaka setelah periode seleksi in vitro dalam media yang mengandung asam fusarat (AF). Kalus embriogen abaka (a) mengalami proliferasi tunas dalam media tanpa AF, (b) membusuk dalam media selektif, (c) membusuk dan memproliferasikan kalus embriogen yang insensitif AF dalam media selektif, dan (d) memproliferasikan tunas ruset yang insensitif AF dalam media selektif dengan penambahan AF 50 mg/l. DAFTAR PUSTAKA Bacon CW, Porter JK, Norred WP, Leslie JF Production of Fusaric acid by Fusarium species. Applied Env Microbiol 62: Borras O, Santos R, Matos AP, Cabral RS, Arzola M A first attemp to use a Fusarium subglutinans culture filtrate for the selection of pineapple cultivars resistant to fusariose disease. Plant Breeding 120: Bastasa GN, Baliad AA Biological control of Fusarium wilt of abaca (Fusarium oxysporum) with Trichoderma and yeast. Philippines J Crops Sci 30: Bouizgarne B, Bouteau HE, Frankart C, Reboutier D, Madiona K, Pennarun AM, Monestiez M, Trouverie J, Amiar Z, Briand J, Brault M, Rona JP, Ouhdouch Y, Hadrami IE, Bouteau F Early physiological responses of Arabidopsis thaliana cells to fusaric acid: toxic and signalling effects. New Phytologist 169: Cachinero JM, Hervas A, Jimenez-Diaz RM, Tena M Plant defence reactions against Fusarium wilt in chickpea induced by incopatible race 0 of Fusarium oxysporum f.sp. ciceris and non-host isolates of F. oxysporum. Plant Pathol 51: Epp D Somaclonal variation in banana: a case study with Fusarium wilt. Di dalam: Persley GJ, De Langhe EA (ed). Banana and Plantain Breeding Strategies. Canbera: ACIAR Publ, hlm

123 102 Hwang SC, Ko WH Cavendish banana cultivars resistant to Fusarium wilt acquired through somaclonal variation in Taiwan. Plant Dis 88: Jayasankar S, Li Z, Gray DJ In-vitro selection of Vitis vinifera Chardonnay with Elsinoe ampelina culture filtrate is accompanied by fungal resistance and enhanced secretion of chitinase. Planta 211: Jin H, Hartman GL, Huang YH, Nickell CD, Widholm JM Regeneration of soybean plants from embryogenic suspension cultures treated with toxic culture filtrate of Fusarium solani and screening of regenerants for resistance. Phytopathology 86: Mariska I, Sukmadjaja D Perbanyakan bibit abaka melalui kultur jaringan. Bogor: Balai Penelitian Bioteknologi dan Sumberdaya Genetik. Matsumoto K, Barbosa ML, Souza LAC, Teixeira JB Race 1 Fusarium wilt tolerance on banana plants selected by fusaric acid. Euphytica 84: Morpurgo R, Lopato SV, Afza R, Novak FJ Selection parameters for resistance to Fusarium oxysporum f.sp. cubense race 1 and 4 on diploid banana (Musa acuminata Colla). Euphytica 75: Nasir N, Jumjunidang, Eliesti F, Meldia Y Penyakit Layu Panama pada pisang: observasi ras 4 Fusarium oxysporum f.sp. cubense di Jawa Barat. J Hort 13: Ploetz RC Banana disease: a classic and destructive disease of banana. [23 Februari 2006]. Pratt RG Screening for resistance to Sclerotinia trifoliarum in alfalfa by inoculation of excised leaf tissue. Phytopathology 86: Rahajeng W Interaksi genotipe klon-klon abaka (Musa textilis Nee) dengan beberapa komposisi media kultur in vitro [Skripsi]. Malang: Jurusan Budidaya Pertanian, Fakultas Pertanian, Universitas Brawijaya. 43 hlm. Remotti PC, Loffler HJM The involvement of fusaric acid in the bulb-rot of Gladiolus. J Phytopathol 144: Remotti PC, Loffler HJM, Loten-Doting LV Selection of cell lines and regeneration of plants resistant to fusaric acid from Gladiolus x grandiflorus c.v. Peter Pear. Euphytica 96: Roux NS Mutation induction in Musa - review. Di dalam: Jain SM, Swennen R (ed). Banana Improvement: Cellular, Molecular Biology, and Induced Mutations. Enfield: Sci Pub, Inc. hlm

124 103 Strosse H, Van den Houwe I, Panis B Banana cell and tissue culturereview. Di dalam: Jain SM, Swennen R (ed). Banana Improvement: Cellular, Molecular Biology, and Induced Mutations. Enfield: Sci Pub, Inc. hlm Svabova L, Lebeda A In vitro selection for improved plant resistance to toxin-producing pathogens. J Phytopathol 153: Toyoda H, Hayashi H, Yamamoto K. 1984b. Selection of resistant tomato calli to fusaric acid. Ann Phytopathol Soc Japan 50: Yusnita, Sudarsono Metode inokulasi dan reaksi ketahanan 30 genotipe kacang tanah terhadap penyakit busuk batang Sclerotium. Hayati 11: Yusnita, Widodo, Sudarsono In vitro selection of peanut somatic embryos on medium containing culture filtrate of Sclerotium rolfsii and plantlet regeneration. Hayati 12:50-56.

125 104 BAB VIII RESISTENSI KLON ABAKA VARIAN SOMAKLONAL TERHADAP INFEKSI Fusarium oxysporum f.sp cubense ABSTRAK Penelitian ini bertujuan untuk (1) mengevaluasi respon klon-klon abaka yang diregenerasikan dari kalus embriogen (kultur jaringan), kalus embriogen yang diberi perlakuan EMS, dan hasil seleksi in vitro kalus embriogen yang dikulturkan pada medium dengan penambahan filtrat kultur Foc+EMS atau asam fusarat (AF) terhadap infeksi Foc, (2) untuk mengetahui pengaruh panjang akar dan tinggi bibit awal terhadap ketahanan klon-klon abaka yang diinokulasi dengan Foc, dan (3) mengidentifikasi ketahanan klon-klon abaka terhadap Foc. Empat populasi abaka yang diregenerasikan dari penelitian sebelumnya ditanam di rumah kaca dan diinokulasi dengan Foc isolat Banyuwangi (Foc Bw). Panjang akar dan tinggi bibit awal diamati sebelum inokulasi, sedangkan skor kerusakan bibit dan ketahanan diamati 60 hari setelah inokulasi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa panjang akar dan tinggi bibit awal tidak berpengaruh terhadap ketahanan klonklon yang diuji. Klon-klon abaka yang rentan mati sebelum umur 60 hari dan yang resisten tetap hidup. Klon abaka yang diregenerasikan dari kelompok kalus embriogen yang sama menunjukkan respon yang berbeda terhadap infeksi Foc isolat Bw mengindikasikan adanya populasi sel campuran. Klon baka yang resisten terhadap infeksi Foc Bw berhasil diidentifikasi pada empat populasi yang diuji, meskipun dengan frekuensi yang berbeda. Kata kunci: resisten, penyakit layu fusarium, seleksi in vitro, filtrat kultur, asam fusarat, EMS

126 105 RESISTANCE OF ABACA SOMACLONAL VARIANT LINES AGAINST Fusarium oxysporum f.sp. cubense ABSTRACT The objectives of this study was to evaluate response of abaca lines regenerated from embriogenic calli (TC), EMS treated embriogenic calli (EMS), EMS treated, followed by in vitro selection on F. oxysporum f.sp. cubense (Foc) culture filtrate (EMS+CF) or fusaric acid (EMS+AF) embriogenic calli population against Foc infection, to determine initial root length and seedling height effects on survival of inoculated abaca lines, and to identify Foc resistance of abaca lines. Four abaca populations regenerated from previous experiment were grown in the glasshouse and inoculated with Foc Banyuwangi isolate (Foc Bw). Initial root length and plant height were recorded prior to inoculation, while plant damage score, and survival were recorded at 60 days after inoculation. The results showed initial root length and plant height did not affect survival of tested lines. Regardless of their root length and plant height, susceptible lines died prior to 60 days while resistance one still alive. Abaca lines regenerated from the same clump of embryogenic calli showed an array of response against Foc Bw infection, indicating the existence of heterogeneous of cells populations. The Foc Bw resistance abaca lines were successfully identified from four abaca populations tested, although with different frequencies. Keywords: Fusarium wilts, resistance, in vitro selection, culture filtrate, fusaric acid, EMS. PENDAHULUAN Layu Fusarium yang disebabkan oleh cendawan Fusarium oxysporum Schlecht f.sp. cubense (E.F. Smith) Snyd & Hans ini merupakan salah satu penyakit yang menyerang tanaman pisang, termasuk abaka yang ditanam di daerah tropika. Di Leyte-Filipina, infeksi layu Fusarium dilaporkan menimbulkan kerusakan pada pertanaman abaka antara 5-65% (Bastasa & Baliad 2005). Sedangkan di berbagai

127 106 daerah di Indonesia, keberadaan patogen ini menjadi kendala pengembangan abaka karena klon yang resisten terhadap cendawan F. oxysporum f.sp cubense (Foc) belum tersedia (Damayanti 2004). Penggunaan kultivar abaka yang resisten merupakan alternatif metode pengendalian Foc yang efektif (Ploetz 2000). Induksi varian dengan perlakuan mutagenesis dan perbanyakan tanaman secara in vitro merupakan pendekatan yang efektif untuk meningkatkan keragaman genetika tanaman yang diperbanyak secara vegetatif atau klonal (Roux 2004) seperti abaka. Selanjutnya, varian dengan sifat unggul tertentu dapat diidentifikasi diantara populasi tanaman varian yang dihasilkan. Induksi variasi somaklonal dan seleksi in vitro telah digunakan untuk menghasilkan klon tanaman yang resisten terhadap berbagai penyakit tanaman (Ahmed et al. 1996; Jin et al. 1996; Hidalgo et al. 1999; Yunus et al. 2000; Borras et al. 2001; Thakur et al. 2002). Induksi klon abaka varian dengan perlakuan etil metilsulfonat (EMS) dan seleksi in vitro menggunakan filtrat kultur (FK) Foc atau asam fusarat (AF) telah dilakukan untuk meningkatkan keragaman bibit dan mengisolasi klon abaka yang resisten terhadap penyakit layu Fusarium (Panama disease). Dari penelitian sebelumnya telah berhasil diregenerasikan bibit varian abaka klon Tangongon dan Sangihe-1 dari kalus embriogen tanpa perlakuan dan dari kalus embriogen yang diberi perlakuan EMS. Dari penelitian sebelumnya juga berhasil diperoleh varian abaka dari klon Tangongon dan Sangihe-1 yang insensitif terhadap FK Foc isolat Banyuwangi (Foc Bw) atau insensitif terhadap AF hasil seleksi in vitro dalam media dengan penambahan FK Foc atau AF. Penelitian yang dilakukan bertujuan untuk (1) mengevaluasi respon bibit abaka varian yang diregenerasikan dari kalus embriogen (populasi KJ), dari kalus embriogen yang telah diberi perlakuan EMS (populasi EMS), dari kalus embriogen yang telah diberi perlakuan EMS, diikuti seleksi in vitro dalam media dengan penambahan FK Foc Bw (populasi EMS+FK), dan dari kalus embriogen yang telah diberi perlakuan EMS, diikuti seleksi in vitro dalam media dengan penambahan AF (populasi EMS+AF) terhadap infeksi Foc Bw di rumah kaca, (2) menentukan pengaruh panjang akar dan tinggi bibit awal terhadap survival bibit, dan mengidentifikasi klon abaka yang resisten terhadap Foc.

128 107 BAHAN DAN METODE Populasi bibit abaka. Plantlet abaka dalam populasi KJ diregenerasikan dari kalus embriogen sedangkan populasi EMS diregenerasikan dari kalus embriogen yang telah diberi perlakuan EMS. Plantlet abaka dalam populasi EMS+FK diregenerasikan dari kalus embriogen abaka yang telah diberi perlakuan EMS dan bertahan hidup melewati tahapan seleksi in vitro dalam media dengan penambahan FK Foc Bw. Sebaliknya, plantlet dalam populasi EMS+AF diregenerasikan dari kalus embriogen abaka yang telah diberi perlakuan EMS dan bertahan hidup melewati tahapan seleksi in vitro dalam media dengan penambahan AF. Regenerasi empat populasi plantlet abaka tersebut telah dilakukan sebelumnya. Semua plantlet diaklimatisasi dan ditumbuhkan di rumah kaca hingga berumur tiga bulan serta tinggi bibitnya antara cm serta dievaluasi resistensinya terhadap infeksi Foc Bw. Inokulasi bibit abaka dengan Foc Bw. Isolat Foc Bw ditumbuhkan dalam media PDA dan diinkubasikan dalam ruangan bersuhu o C selama 7 hari. Potongan PDA yang ditumbuhi hifa Foc Bw diinokulasikan ke dalam botol kultur dengan volume 250 ml yang berisi 100 ml media PDB. Kultur digoyang dengan shaker pada kecepatan 60 rpm hingga membentuk konidia (14 hari). Kerapatan konidia Foc Bw yang didapat dihitung menggunakan haemocytometer, diencerkan hingga 10 6 konidia/ml, dan digunakan sebagai inokulum. Semua bibit abaka dievaluasi resistensinya terhadap infeksi Foc Bw menggunakan metode uji yang telah dilaporkan pada bab III. Bibit abaka dilukai perakarannya dan direndam selama 2 jam dalam suspensi konidia Foc Bw. Setelah diinokulasi, bibit ditanam dalam polybag berukuran 15x15x30 cm yang berisi 5 kg media campuran tanah:pasir (2:1 b/b) steril dan diamati pertumbuhannya 60 hari sesudah inokulasi (HSI). Pengamatan dilakukan terhadap panjang akar dan tinggi bibit awal, skor kelayuan bibit (SKB) pada saat 60 HSI, dan umur saat bibit mati (hari).

129 108 Gejala infeksi Foc pada bibit yang diinokulasi di evaluasi dengan skor kelayuan bibit (SKB). Penentuan skor kelayuan bibit abaka akibat infeksi Foc Bw dilakukan mengikuti kriteria yang dikembangkan oleh Epp (1987) dan telah digunakan dalam penelitian sebelumnya. Contoh bibit abaka dengan berbagai nilai skor kelayuan bibit akibat infeksi Foc Bw dapat dilihat pada Gambar 17.a-e. HASIL Populasi bibit abaka. Dalam penelitian ini jumlah bibit abaka klon Tangongon dan Sangihe-1 yang dapat diregenerasikan dan dievaluasi resistensinya terhadap Foc Bw untuk populasi KJ masing-masing sebanyak 5 dan 4 bibit, populasi EMS sebanyak 12 dan 27 bibit, populasi EMS+FK sebanyak 17 dan 25 bibit, dan populasi EMS+AF sebanyak 8 bibit (hanya klon Tangongon). Populasi EMS+AF dari klon Sangihe-1 tidak ada yang dievaluasi dalam percobaan karena bibitnya tidak tersedia. Tabel 18. Respon bibit abaka yang diregenerasikan dari kalus embriogen (Populasi KJ), dari kalus embriogen dengan perlakuan EMS (Populasi EMS), dari EMS diikuti seleksi in vitro dalam filtrat kultur F. oxysporum f.sp. cubense (Populasi EMS+FK) atau dalam asam fusarat (Populasi EMS+AF) terhadap infeksi F. oxysporum f.sp. cubense isolat Banyuwangi. Pengamatan dilakukan 60 hari sesudah inokulasi. Jumlah Bibit Abaka: Persentase Populasi dan Klon Abaka: Bibit yang Diinokulasi Foc Mati Hidup Hidup (%) Populasi KJ:* o Tangongon o Sangihe Populasi EMS: o Tangongon o Sangihe Populasi EMS+FK: o Tangongon o Sangihe Populasi EMS+AF: o Tangongon o Sangihe-1 ND ND ND ND Keterangan: *Populasi KJ - bibit diregenerasikan dari kalus embriogen; Populasi EMS - dari kalus embriogen dengan perlakuan EMS, Populasi EMS+FK - dari kalus embriogen dengan perlakuan EMS dan diikuti seleksi in vitro dalam filtrat kultur F. oxysporum f.sp. cubense, Populasi EMS+AF - diregenerasikan dari kalus embriogen dengan perlakuan EMS dan diikuti seleksi in vitro dalam asam fusarat.

130 109 Tabel 19. Hubungan antara panjang akar dan tinggi bibit abaka awal dengan skor kerusakan bibit dan hari bibit mati setelah perlakuan inokulasi bibit abaka klon Tangongon dengan F. oxysporum f.sp. cubense isolat Banyuwangi di rumah kaca. No Populasi dan No. Klon Populasi KJ:* Panjang Akar Awal Tinggi Bibit Awal SKB (60 HSI) Hari Bibit Mati 1 Tg Tg Tg Tg Tg ** Populasi EMS: 1 Tg Tg Tg Tg Tg Tg Tg Tg Tg Tg Tg Tg Populasi EMS+FK: 1 Tg Tg Tg Tg Tg Tg Tg Tg Tg Tg Tg Tg Tg Tg Tg Tg Tg Populasi EMS+AF: 1 Tg Tg Tg Tg Tg Tg Tg Tg Keterangan: *Lihat keterangan pada Tabel 18. ** (-) mengindikasikan bibit mampu bertahan hidup hingga 60 hari dan tidak mati sesudah inokulasi Foc Bw.

131 110 Setelah diinokulasi dengan Foc Bw, diantara 5 bibit abaka klon Tangongon dan 4 bibit klon Sangihe-1 dari populasi KJ masing-masing berhasil diidentifikasi 1 bibit yang mampu bertahan hidup hingga 60 HSI. Sedangkan diantara 12 bibit abaka klon Tangongon dan 27 bibit klon Sangihe-1 dari populasi EMS, berhasil diidentifikasi masing-masing 8 dan 13 bibit abaka yang mampu bertahan hidup dan tidak mati setelah diinokulasi dengan Foc Bw (Tabel 18). Pada populasi EMS+FK, diantara 17 bibit abaka klon Tangongon dan 25 bibit klon Sangihe-1 yang diinokulasi Foc Bw berhasil diidentifikasi masingmasing 8 dan 12 bibit yang mampu tetap tumbuh hingga 60 HSI. Sedangkan diantara 8 bibit klon Tangongon dari populasi EMS+AF, berhasil didapat dua bibit yang mampu tetap tumbuh hingga akhir periode penelitian (60 HSI) setelah diinokulasi Foc Bw (Tabel 18). Respon individu bibit terhadap Foc Bw. Diantara semua bibit abaka dari empat populasi (Gambar 17. f) yang diuji resistensinya terhadap Foc Bw, tidak ada satupun yang mempunyai nilai SKB 0 (Gambar 17. a). Bibit dengan nilai SKB 1 atau 2 (Gambar 17. b-c) diamati ada pada populasi KJ, EMS, EMS+FK, dan EMS+AF (Tabel 19-21). Bibit dengan nilai SKB 1 atau 2 pada awalnya menunjukkan gejala infeksi Foc Bw tetapi mampu bertahan hidup serta tidak mati hingga 60 HSI (Gambar 17. g). Bibit dengan nilai SKB 1 atau 2 dikelompokkan sebagai klon yang meningkat resistensinya terhadap infeksi Foc Bw dibandingkan dengan klon abaka asalnya. Sebagian besar bibit abaka yang diuji mempunyai nilai SKB 4 (Gambar 17. e), sebagaimana respon bibit abaka klon Tangongon dan Sangihe-1 awal yang dijadikan sebagai sumber eksplan (data tidak disajikan). Bibit dengan nilai SKB 4 tersebut mati sebelum 60 HSI (Gambar 17. g), dan dikelompokkan sebagai klon yang sama tingkat resistensinya terhadap infeksi Foc Bw dengan klon abaka asalnya. Pada Gambar 18 disajikan sebaran respon bibit dari populasi KJ, EMS, EMS+FK, dan EMS+AF setelah diinokulasi dengan Foc Bw berdasarkan nilai SKB pada pengamatan 60 HSI.

132 111 Tabel 20. Hubungan antara panjang akar dan tinggi bibit abaka awal dengan skor kerusakan bibit (SKB) yang diamati 60 hari sesudah inokulasi dan hari bibit mati setelah perlakuan inokulasi bibit abaka klon Sangihe-1 dengan F. oxysporum f.sp. cubense isolat Banyuwangi di rumah kaca. No Populasi dan No. Klon Populasi KJ:* Panjang Akar Awal Tinggi Bibit Awal SKB Hari Bibit Mati 1 Sh Sh Sh Sh ** Populasi EMS: 1 Sh Sh Sh Sh Sh Sh Sh Sh Sh Sh Sh Sh Sh Sh Sh Sh Sh Sh Sh Sh Populasi EMS+FK: 1 Sh Sh Sh Sh Sh Sh Sh Sh Sh Sh Sh Sh Sh Sh Sh Sh Sh Sh Sh Keterangan: *Lihat keterangan pada Tabel 18. ** (-) mengindikasikan bibit mampu bertahan hidup hingga 60 hari dan tidak mati sesudah inokulasi Foc Bw.

133 112 Pengaruh panjang akar dan tinggi bibit awal terhadap resistensi. Dari hasil analisis data yang didapat, panjang akar awal (PAA) bibit abaka yang diuji dikelompokkan ke dalam lima kelompok, yaitu: kelompok PA-1 dengan PAA <12.5 cm, PA-2 antara 12.5 cm 18.8 cm, PA-3 antara 18.8 cm 25.0 cm, PA-4 antara 25.0 cm 31.3 cm, dan PA-5 > 31.3 cm. Demikian juga tinggi bibit awal (TBA). dikelompokkan ke dalam lima kelompok, yaitu: kelompok TB-1 dengan TBA <15.0 cm, TB-2 antara 15.0 cm 18.3 cm, TB-3 antara 18.3 cm 21.5 cm, TB-4 antara 21.3 cm 24.8 cm, dan TB-5 > 24.8 cm. Bibit abaka dengan nilai SKB 1 setelah diinokulasi dengan Foc Bw, mempunyai panjang akar dan tinggi bibit awal yang masuk ke dalam kelompok PA-2 hingga PA-5 dan TB-2 hingga TB-5 (Gambar 19). Demikian juga bibit abaka dengan nilai SKB 4, mempunyai panjang akar dan tinggi bibit awal yang masuk ke dalam kelompok PA-1 hingga PA-5 dan TB-1 hingga TB-5 (Gambar 19). Hal tersebut mengindikasikan, perbedaan PAA dan TBA dari masing-masing bibit abaka yang diuji tidak menentukan respon bibitnya. Perbedaan nilai SKB yang diamati lebih ditentukan oleh konstitusi genetika bibit dan bukan panjang akar atau tinggi bibit awalnya. Bibit abaka varian yang resisten (nilai SKB 1) setelah diinokulasi dengan Foc Bw, terlepas dari berapapun panjang akar atau tinggi bibit awalnya mampu bertahan hidup hingga akhir pengamatan (60 HSI). Sebaliknya, bibit abaka yang rentan (nilai SKB 4) setelah diinokulasi dengan Foc Bw, terlepas dari berapapun panjang akar atau tinggi bibit awalnya telah mati sebelum 60 HSI. Perbedaan respon klon yang berasal dari satu eksplan. Dalam penelitian yang dilakukan, dari satu kalus embriogen dengan perlakuan EMS atau hasil seleksi in vitro dapat dihasilkan lebih dari satu tunas abaka. Sejumlah bibit abaka yang diregenerasikan dari satu kalus embriogen dengan perlakuan EMS, setelah diinokulasi dengan Foc Bw tidak selalu menghasilkan respon yang sama (Tabel 21). Seleksi in vitro dalam media dengan FK Foc atau AF yang dilakukan tidak mampu mengeliminir fenomena tersebut. Sejumlah bibit abaka yang diregenerasikan dari satu kalus embriogen hasil seleksi in vitro juga menunjukkan respon yang berbeda terhadap infeksi Foc Bw (Tabel

134 113 Tabel 21. Keragaman respon terhadap infeksi F. oxysporum f.sp. cubense diantara bibit abaka klon Tangongon dan Sangihe-1 yang diregenerasikan dari satu kalus embriogen. Pengamatan skor kerusakan bibit (SKB) dilakukan 60 hari sesudah inokulasi Foc Bw pada bibit yang diuji. No. No. kode kalus embriogen Populasi EMS:* Bibit dari kalus Jumlah bibit dengan SKB: embriogen Abaka klon Tangongon Tg Tg Tg Tg Populasi EMS+FK: Tg Tg Tg Populasi EMS+AF: Tg Populasi EMS: Abaka klon Sangihe-1 Sh Sh Sh Sh Populasi EMS+FK: Sh Sh Sh Sh Keterangan: *Lihat keterangan pada Tabel , Gambar 17. h). Hal ini mengindikasikan adanya campuran sel dengan genetic make-up yang berbeda, yang pada tahapan selanjutnya masing-masing berkembang menjadi plantlet. PEMBAHASAN Meskipun tidak mendapatkan klon abaka yang terbebas 100% dari infeksi Foc Bw, penelitian yang dilakukan berhasil mengidentifikasi bibit abaka yang resisten terhadap infeksi Foc Bw, dengan nilai SKB 1 atau 2 dan mampu bertahan hidup hingga 60 HSI. Bibit yang dikelompokkan sebagai meningkat resistensinya dibandingkan klon abaka awalnya tersebut menunjukkan gejala infeksi Foc Bw,

135 114 tetapi pada periode berikutnya infeksi tidak berkembang dan bibit tetap mampu tumbuh dan berkembang serta tidak mati akibat infeksi Foc Bw. Berdasarkan responnya terhadap infeksi, bibit abaka varian dengan nilai SKB 1 atau 2 diduga mempunyai kemampuan untuk secara bertahap mengaktifkan mekanisme pertahanan terhadap infeksi Foc Bw, sehingga sempat menunjukkan gejala infeksi pada periode awal inokulasi dan pulih dari gejala infeksi (recovery) pada akhirnya. Karena klon abaka awal yang digunakan sebagai sumber eksplan tergolong sangat rentan terhadap Foc Bw (bab III), mekanisme ketahanan pada bibit abaka varian yang resisten diduga diakuisisi selama proses pengkulturan kalus embriogen. Hal ini didukung dengan berhasil didapatkannya bibit abaka yang resisten terhadap infeksi Foc Bw diantara populasi KJ, meskipun frekuensinya rendah, yaitu 1 diantara 4 atau 5 bibit yang diuji dalam percobaan ini. Data yang ada juga menunjukkan, perlakuan mutagenesis dengan EMS mampu meningkatkan frekuensi didapatkannya bibit abaka yang resisten terhadap infeksi Foc Bw. Frekuensi didapatkannya bibit abaka varian yang resisten Foc Bw diantara populasi EMS lebih tinggi dibandingkan populasi KJ. Sebaliknya, seleksi in vitro menggunakan media dengan penambahan FK Foc atau AF tidak meningkatkan frekuensi didapatkannya bibit abaka varian yang resisten terhadap Foc Bw. Seleksi in vitro hanya menapis sel/jaringan varian yang ada dan tidak meningkatkan frekuensi terjadinya mutasi. Hal ini terbukti dari data penelitian, frekuensi didapatkannya bibit abaka yang resisten terhadap infeksi Foc Bw diantara populasi EMS dan populasi EMS+FK hampir sama. Efektivitas penggunaan seleksi in vitro menggunakan AF tidak dapat dibandingkan dengan FK atau perlakuan EMS saja kerena jumlah bibit pada populasi EMS+AF yang dievaluasi hanya sedikit. Evaluasi bibit yang lebih banyak perlu dilakukan sebelum menentukan keefektifan seleksi in vitro menggunakan AF. Namun demikian data yang ada mengindikasikan seleksi in vitro menggunakan FK Foc lebih efektif dibandingkan dengan AF. Hal ini sejalan dengan hasil penelitian sebelumnya yang menyatakan AF bukan satu-satunya toksin yang ada dalam FK Foc karena di dalam FK Foc juga terdapat toksin yang lain seperti trichothecenes (Svabova & Lebeda 2005).

136 115 Dalam proses patogenisitasnya, Foc mensintesis dan mensekresikan fitotoksin AF yang dapat menurunkan aktivitas ensim fenol dan polyfenol oksidase serta mengakibatkan terganggunya mekanisme pertahanan tanaman inang (Svabova & Lebeda 2005; Bouizgarne et al. 2006). Dalam penelitian ini, bibit abaka varian yang resisten terhadap Foc diregenerasikan dari kalus embriogen yang insensitif terhadap FK Foc atau AF. Dengan demikian, mekanisme resistensi yang ada pada bibit abaka varian diduga melalui mekanisme detoksifikasi toksin. Umumnya, mekanisme alami resistensi tanaman terhadap patogen yang mensekresikan AF terjadi melalui degradasi AF pada awal infeksi (Svabova & Lebeda 2005). Beberapa enzim yang dilaporkan mampu mendegradasikan AF antara lain ensim peroksidase dan fenilalanin amonia-liase (PAL) (He et al. 2002). Penelitian lebih lanjut untuk membuktikan keberadaan mekanisme yang sama pada bibit abaka yang resisten terhadap Foc Bw masih perlu dilakukan. SIMPULAN Dari hasil percobaan dapat disimpulkan panjang akar dan tinggi bibit awal tidak berpengaruh terhadap respon bibit abaka terhadap infeksi Foc Bw. Tanpa melihat panjang akar atau tinggi awalnya, bibit abaka yang rentan akan mati sebelum 60 hari sedangkan bibit yang resisten mampu bertahan hidup, 60 hari sesudah diinokulasi dengan Foc Bw. Sejumlah bibit abaka yang diregenerasikan dari potongan kalus embriogen yang sama tidak selalu mempunyai konstitusi genetika yang sama sehingga juga menunjukkan respon yang bervariasi terhadap infeksi Foc Bw. Meskipun dengan frekuensi yang berbeda, bibit abaka yang resisten terhadap infeksi Foc Bw dapat diidentifikasi diantara empat populasi bibit abaka yang diuji. Tetapi klon abaka resisten terhadap infeksi Foc Bw dapat diperoleh dengan frekuensi yang tinggi dari kalus embriogen abaka yang diberi perlakuan EMS dan diseleksi secara in vitro dalam media dengan penambahan FK Foc. Dengan prosedur yang dikembangkan berhasil diidentifikasi 8 bibit untuk abaka klon Tangongon dan 8 bibit untuk abaka klon Sangihe-1 yang meningkat resistensinya terhadap infeksi Foc Bw.

137 116 a b c d e f g h Gambar 17. Fenotipe bibit abaka dengan skor gejala layu (a) skor 0, (b) skor 1, (c) skor 2, (d) skor 3, dan (e) skor 4, sesuai dengan kriteria yang dikembangkan oleh Epp (1987). (f) Representatif populasi bibit abaka yang dievaluasi responnya terhadap infeksi F. oxysporum f.sp. cubense isolat Banyuwangi di rumah kaca. (g) bibit abaka yang mati dan yang tetap bertahan hidup setelah diinokulasi dengan Foc. (h) variasi respon bibit abaka yang diregenerasikan dari satu kalus embriogen hasil seleksi in vitro terhadap infeksi Foc: fenotipe tidak mengalami kerusakan, sebagian mengering, hingga bibit mati.

VARIASI SOMAKLONAL DAN SELEKSI IN VITRO ABAKA (Musa textilis Nee) UNTUK KETAHANAN TERHADAP LAYU FUSARIUM RULLY DYAH PURWATI

VARIASI SOMAKLONAL DAN SELEKSI IN VITRO ABAKA (Musa textilis Nee) UNTUK KETAHANAN TERHADAP LAYU FUSARIUM RULLY DYAH PURWATI VARIASI SOMAKLONAL DAN SELEKSI IN VITRO ABAKA (Musa textilis Nee) UNTUK KETAHANAN TERHADAP LAYU FUSARIUM RULLY DYAH PURWATI SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2007 SURAT PERNYATAAN MENGENAI

Lebih terperinci

VARIASI SOMAKLONAL DAN SELEKSI IN VITRO ABAKA (Musa textilis Nee) UNTUK KETAHANAN TERHADAP LAYU FUSARIUM RULLY DYAH PURWATI

VARIASI SOMAKLONAL DAN SELEKSI IN VITRO ABAKA (Musa textilis Nee) UNTUK KETAHANAN TERHADAP LAYU FUSARIUM RULLY DYAH PURWATI VARIASI SOMAKLONAL DAN SELEKSI IN VITRO ABAKA (Musa textilis Nee) UNTUK KETAHANAN TERHADAP LAYU FUSARIUM RULLY DYAH PURWATI SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2007 SURAT PERNYATAAN MENGENAI

Lebih terperinci

BAB IX PEMBAHASAN UMUM

BAB IX PEMBAHASAN UMUM 120 BAB IX PEMBAHASAN UMUM Salah satu penyebab rendahnya produktivitas serat abaka antara lain karena adanya penyakit layu Fusarium atau Panama disease yang ditimbulkan oleh cendawan Fusarium oxysporum

Lebih terperinci

Pemanfaatan Teknik Kultur In Vitro Untuk Mendapatkan Tanaman Pisang Ambon Tahan Penyakit Fusarium

Pemanfaatan Teknik Kultur In Vitro Untuk Mendapatkan Tanaman Pisang Ambon Tahan Penyakit Fusarium Pemanfaatan Teknik Kultur In Vitro Untuk Mendapatkan Tanaman Pisang Ambon Tahan Penyakit Fusarium Pisang merupakan salah satu komoditas buah-buahan yang banyak dikonsumsi oleh masyarakat Indonesia karena

Lebih terperinci

BAB VI. SELEKSI IN VITRO UNTUK RESISTENSI ABAKA TERHADAP F. oxysporum f.sp. cubense MENGGUNAKAN FILTRAT KULTUR SEBAGAI AGENS PENYELEKSI

BAB VI. SELEKSI IN VITRO UNTUK RESISTENSI ABAKA TERHADAP F. oxysporum f.sp. cubense MENGGUNAKAN FILTRAT KULTUR SEBAGAI AGENS PENYELEKSI 73 BAB VI SELEKSI IN VITRO UNTUK RESISTENSI ABAKA TERHADAP F. oxysporum f.sp. cubense MENGGUNAKAN FILTRAT KULTUR SEBAGAI AGENS PENYELEKSI ABSTRAK Abaka (Musa textilis Nee) merupakan salah satu tanaman

Lebih terperinci

Penggunaan varietas unggul berdaya hasil tinggi, tahan hama dan

Penggunaan varietas unggul berdaya hasil tinggi, tahan hama dan PEMANFAATAN KOMBINASI PEMBERIAN MUTAGEN DAN KULTUR IN VITRO UNTUK PERAKITAN VARIETAS UNGGUL BARU Penggunaan varietas unggul berdaya hasil tinggi, tahan hama dan penyakit maupun cekaman lingkungan merupakan

Lebih terperinci

PENGGUNAAN ASAM FUSARAT DALAM SELEKSI IN VITRO UNTUK RESISTENSI ABAKA TERHADAP Fusarium oxysporum f.sp. cubense

PENGGUNAAN ASAM FUSARAT DALAM SELEKSI IN VITRO UNTUK RESISTENSI ABAKA TERHADAP Fusarium oxysporum f.sp. cubense Jurnal Littri 13(2), Juni 2007. Hlm. 64 72 ISSN 0852 8212 JURNAL LITTRI VOL.13 NO. 2, JUNI 2007 : 64-72 PENGGUNAAN ASAM FUSARAT DALAM SELEKSI IN VITRO UNTUK RESISTENSI ABAKA TERHADAP Fusarium oxysporum

Lebih terperinci

Perbaikan Ketahanan Abaka Terhadap Fusarium dan Prospek Pengembangannya

Perbaikan Ketahanan Abaka Terhadap Fusarium dan Prospek Pengembangannya Perspektif Vol. 7 No. 2 / Desember 2008. Hlm 80-91 Perbaikan Ketahanan Abaka Terhadap Fusarium dan Prospek Pengembangannya SUDJINDRO Balai Penelitian Tanaman Tembakau dan Serat Indonesian Tobacco and Fiber

Lebih terperinci

disukai masyarakat luas karena memiliki nilai ekonomi yang tinggi dalam kondisi aseptik secara in vitro (Yusnita, 2010). Pengembangan anggrek

disukai masyarakat luas karena memiliki nilai ekonomi yang tinggi dalam kondisi aseptik secara in vitro (Yusnita, 2010). Pengembangan anggrek I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang dan Masalah Indonesia merupakan negara yang memiliki kekayaan dengan keragaman varietas dan jenis tanaman hortikultura, misalnya tanaman anggrek. Anggrek merupakan tanaman

Lebih terperinci

IV. INDUKSI MUTASI DENGAN SINAR GAMMA

IV. INDUKSI MUTASI DENGAN SINAR GAMMA Latar Belakang IV. INDUKSI MUTASI DENGAN SINAR GAMMA MELALUI IRADIASI TUNGGAL PADA STEK PUCUK ANYELIR (Dianthus caryophyllus) DAN UJI STABILITAS MUTANNYA SAMPAI GENERASI MV3 Pendahuluan Perbaikan sifat

Lebih terperinci

Fusarium sp. ENDOFIT NON PATOGENIK

Fusarium sp. ENDOFIT NON PATOGENIK INDUKSI KETAHANAN KULTUR JARINGAN PISANG TERHADAP LAYU FUSARIUM MENGGUNAKAN Fusarium sp. ENDOFIT NON PATOGENIK Arif Wibowo, Aisyah Irmiyatiningsih, Suryanti, dan J. Widada Fakultas Pertanian, Universitas

Lebih terperinci

KERAGAMAN GENETIKA VARIAN ABAKA YANG DIINDUKSI DENGAN ETHYLMETHANE SULPHONATE (EMS)

KERAGAMAN GENETIKA VARIAN ABAKA YANG DIINDUKSI DENGAN ETHYLMETHANE SULPHONATE (EMS) Jurnal Littri (), Maret 8. Hlm 6- ISSN 85-8 KERAGAMAN GENETIKA VARIAN ABAKA YANG DIINDUKSI DENGAN ETHYLMETHANE SULPHONATE (EMS) RULLY DYAH PURWATI, SUDJINDRO, ENDANG KARTINI, SUDARSONO * Balai Penelitian

Lebih terperinci

INDUKSI KERAGAMAN GENETIK DENGAN MUTAGEN SINAR GAMMA PADA NENAS SECARA IN VITRO ERNI SUMINAR

INDUKSI KERAGAMAN GENETIK DENGAN MUTAGEN SINAR GAMMA PADA NENAS SECARA IN VITRO ERNI SUMINAR INDUKSI KERAGAMAN GENETIK DENGAN MUTAGEN SINAR GAMMA PADA NENAS SECARA IN VITRO ERNI SUMINAR SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2010 i ABSTRACT ERNI SUMINAR. Genetic Variability Induced

Lebih terperinci

Teknik Pengujian In Vitro Ketahanan Pisang terhadap Penyakit Layu Fusarium Menggunakan Filtrat Toksin dari Kultur Fusarium oxysporum

Teknik Pengujian In Vitro Ketahanan Pisang terhadap Penyakit Layu Fusarium Menggunakan Filtrat Toksin dari Kultur Fusarium oxysporum J. Hort. 15(2):135-139, 2005 Teknik Pengujian In Vitro Ketahanan Pisang terhadap Penyakit Layu Fusarium Menggunakan Filtrat Toksin dari Kultur Fusarium oxysporum f. sp. cubense Jumjunidang, N. Nasir, Riska,

Lebih terperinci

RESISTENSI PISANG AMPYANG

RESISTENSI PISANG AMPYANG 0 RESISTENSI PISANG AMPYANG (Musa acuminata, AAA, subgrup non-cavendish) TERHADAP Fusarium oxysporum f.sp. cubense HASIL MUTASI INDUKSI DAN SELEKSI IN VITRO RENI INDRAYANTI SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT

Lebih terperinci

Oleh : A. Farid Hemon

Oleh : A. Farid Hemon EFEKTIFITAS SELEKSI IN VITRO BERULANG UNTUK MENDAPATKAN PLASMA NUTFAH KACANG TANAH TOLERAN TERHADAP CEKAMAN KEKERINGAN DAN RESISTEN TERHADAP PENYAKIT BUSUK BATANG Sclerotium rolfsii Oleh : A. Farid Hemon

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Tomat (Lycopersicum esculentum Mill) termasuk sayuran buah yang

I. PENDAHULUAN. Tomat (Lycopersicum esculentum Mill) termasuk sayuran buah yang I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang dan Masalah Tomat (Lycopersicum esculentum Mill) termasuk sayuran buah yang tergolong tanaman semusim, tanaman ini biasanya berupa semak atau perdu dan termasuk kedalam

Lebih terperinci

PENGENDALIAN LAYU FUSARIUM PADA TANAMAN PISANG (Musa paradisiaca L.) SECARA KULTUR TEKNIS DAN HAYATI MIFTAHUL HUDA

PENGENDALIAN LAYU FUSARIUM PADA TANAMAN PISANG (Musa paradisiaca L.) SECARA KULTUR TEKNIS DAN HAYATI MIFTAHUL HUDA PENGENDALIAN LAYU FUSARIUM PADA TANAMAN PISANG (Musa paradisiaca L.) SECARA KULTUR TEKNIS DAN HAYATI MIFTAHUL HUDA DEPARTEMEN PROTEKSI TANAMAN FAKULTAS PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2010 ABSTRAK MIFTAHUL

Lebih terperinci

IV. SELEKSI IN VITRO EMBRIO SOMATIK KACANG TANAH PADA MEDIA DENGAN POLIETILENA GLIKOL YANG MENSIMULASIKAN CEKAMAN KEKERINGAN*)

IV. SELEKSI IN VITRO EMBRIO SOMATIK KACANG TANAH PADA MEDIA DENGAN POLIETILENA GLIKOL YANG MENSIMULASIKAN CEKAMAN KEKERINGAN*) IV. SELEKSI IN VITRO EMBRIO SOMATIK KACANG TANAH PADA MEDIA DENGAN POLIETILENA GLIKOL YANG MENSIMULASIKAN CEKAMAN KEKERINGAN*) Abstrak Pengembangan kultivar kacang tanah yang toleran terhadap cekaman kekeringan

Lebih terperinci

Keragaman Somaklonal. Yushi Mardiana, SP, MSi Retno Dwi Andayani, SP, MP

Keragaman Somaklonal. Yushi Mardiana, SP, MSi Retno Dwi Andayani, SP, MP Keragaman Somaklonal Yushi Mardiana, SP, MSi Retno Dwi Andayani, SP, MP Mekanisme Terjadinya Keragaman Somaklonal Keragaman somaklonal adalah keragaman genetik tanaman yang terjadi sebagai hasil kultur

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang produknya digunakan sebagai bahan baku industri serta sangat penting

BAB I PENDAHULUAN. yang produknya digunakan sebagai bahan baku industri serta sangat penting 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Vanilla planifolia Andrews atau panili merupakan salah satu tanaman industri yang produknya digunakan sebagai bahan baku industri serta sangat penting peranannya

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. ternyata dari tahun ke tahun kemampuannya tidak sama. Rata-rata

PENDAHULUAN. ternyata dari tahun ke tahun kemampuannya tidak sama. Rata-rata PENDAHULUAN Latar Belakang Tanaman kedelai merupakan tanaman hari pendek dan memerlukan intensitas cahaya yang tinggi. Penurunan radiasi matahari selama 5 hari atau pada stadium pertumbuhan akan mempengaruhi

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 14 BAB II TINJAUAN PUSTAKA TANAMAN ABAKA 1. Biologi dan manfaatnya Abaka (Musa textilis Nee) merupakan tanaman sejenis pisang penghasil serat termasuk dalam genus: Musa, famili: Musaceae, ordo: Zingiberales.

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Tebu (Saccharum officinarum L.) merupakan salah satu komoditas pertanian yang

I. PENDAHULUAN. Tebu (Saccharum officinarum L.) merupakan salah satu komoditas pertanian yang 1 I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang dan Masalah Tebu (Saccharum officinarum L.) merupakan salah satu komoditas pertanian yang bernilai ekonomi tinggi karena tingginya kandungan gula pada bagian batangnya.

Lebih terperinci

INDUKSI MUTASI KROMOSOM DENGAN KOLKISIN PADA TANAMAN STEVIA (Stevia rebaudiana Bertoni) KLON ZWEETENERS SECARA IN VITRO

INDUKSI MUTASI KROMOSOM DENGAN KOLKISIN PADA TANAMAN STEVIA (Stevia rebaudiana Bertoni) KLON ZWEETENERS SECARA IN VITRO INDUKSI MUTASI KROMOSOM DENGAN KOLKISIN PADA TANAMAN STEVIA (Stevia rebaudiana Bertoni) KLON ZWEETENERS SECARA IN VITRO Oleh: ASEP RODIANSAH A34302032 PROGRAM STUDI HORTIKULTURA FAKULTAS PERTANIAN INSTITUT

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kontribusi penyediaan lapangan kerja dan sumber devisa. Kondisi ini merupakan

BAB I PENDAHULUAN. kontribusi penyediaan lapangan kerja dan sumber devisa. Kondisi ini merupakan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Subsektor perkebunan merupakan salah satu bagian dari sektor pertanian yang mempunyai peranan penting dalam meningkatkan pertumbuhan perekonomian nasional. Sektor ini

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Nanas merupakan tanaman buah berupa semak yang memiliki nama ilmiah Ananas comosus. Nanas berasal dari Brasilia (Amerika Selatan) yang telah didomestikasi sebelum masa

Lebih terperinci

BIOTEKNOLOGI TERMINOLOGI DAN MACAM KULTUR JARINGAN

BIOTEKNOLOGI TERMINOLOGI DAN MACAM KULTUR JARINGAN BIOTEKNOLOGI TERMINOLOGI DAN MACAM KULTUR JARINGAN PEMBAGIAN KULTUR JARINGAN Kultur organ (kultur meristem, pucuk, embrio) Kultur kalus Kultur suspensi sel Kultur protoplasma Kultur haploid ( kultur anther,

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Dalam rangka memenuhi permintaan dalam negeri dan meningkatkan devisa negara dari sektor non migas, pemerintah telah menempuh beberapa upaya diantaranya pengembangan komoditas

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. berpotensi sebagai komoditas agribisnis yang dibudidayakan hampir di seluruh

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. berpotensi sebagai komoditas agribisnis yang dibudidayakan hampir di seluruh I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pisang merupakan komoditas penunjang ketahanan pangan dan juga berpotensi sebagai komoditas agribisnis yang dibudidayakan hampir di seluruh negara beriklim tropik maupun

Lebih terperinci

Kultur Jaringan Menjadi Teknologi yang Potensial untuk Perbanyakan Vegetatif Tanaman Jambu Mete Di Masa Mendatang

Kultur Jaringan Menjadi Teknologi yang Potensial untuk Perbanyakan Vegetatif Tanaman Jambu Mete Di Masa Mendatang AgroinovasI Kultur Jaringan Menjadi Teknologi yang Potensial untuk Perbanyakan Vegetatif Tanaman Jambu Mete Di Masa Mendatang Tanaman jambu mete (Anacardium occidentale. L.) merupakan salah satu tanaman

Lebih terperinci

Seleksi In Vitro dan Pengujian Mutan Tanaman Pisang Ambon Kuning untuk Ketahanan terhadap Penyakit Layu Fusarium

Seleksi In Vitro dan Pengujian Mutan Tanaman Pisang Ambon Kuning untuk Ketahanan terhadap Penyakit Layu Fusarium Jurnal AgroBiogen 9(2):66-76 Seleksi In Vitro dan Pengujian Mutan Tanaman Pisang Ambon Kuning untuk Ketahanan terhadap Penyakit Layu Fusarium Deden Sukmadjaja*, Ragapadmi Purnamaningsih, dan Tri P. Priyatno

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Masalah mengenai tebu yang hingga kini sering dihadapi adalah rendahnya

I. PENDAHULUAN. Masalah mengenai tebu yang hingga kini sering dihadapi adalah rendahnya 1 I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang dan Masalah Masalah mengenai tebu yang hingga kini sering dihadapi adalah rendahnya produktivitas tebu dan rendahnya tingkat rendemen gula. Rata-rata produktivitas tebu

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Pisang adalah tanaman penghasil buah yang paling banyak dikonsumsi dan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Pisang adalah tanaman penghasil buah yang paling banyak dikonsumsi dan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pisang adalah tanaman penghasil buah yang paling banyak dikonsumsi dan ditanam luas di Indonesia. Produksi pisang adalah yang paling tinggi di antara semua tanaman buah

Lebih terperinci

PERAN AGENS ANTAGONIS DAN TEKNIK BUDIDAYA DALAM PENGENDALIAN TERPADU PENYAKIT LAYU FUSARIUM PADA PISANG LANDES BRONSON SIBARANI

PERAN AGENS ANTAGONIS DAN TEKNIK BUDIDAYA DALAM PENGENDALIAN TERPADU PENYAKIT LAYU FUSARIUM PADA PISANG LANDES BRONSON SIBARANI PERAN AGENS ANTAGONIS DAN TEKNIK BUDIDAYA DALAM PENGENDALIAN TERPADU PENYAKIT LAYU FUSARIUM PADA PISANG LANDES BRONSON SIBARANI PROGRAM STUDI HAMA DAN PENYAKIT TUMBUHAN FAKULTAS PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Pisang raja bulu (Musa paradisiaca L var. sapientum) merupakan salah

I. PENDAHULUAN. Pisang raja bulu (Musa paradisiaca L var. sapientum) merupakan salah I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang dan Masalah Pisang raja bulu (Musa paradisiaca L var. sapientum) merupakan salah satu tanaman buah tropis yang dapat tumbuh baik pada dataran tinggi dengan kisaran ketinggian

Lebih terperinci

PENGARUH UMUR FISIOLOGIS KECAMBAH BENIH SUMBER EKSPLAN

PENGARUH UMUR FISIOLOGIS KECAMBAH BENIH SUMBER EKSPLAN 0 PENGARUH UMUR FISIOLOGIS KECAMBAH BENIH SUMBER EKSPLAN (Leaflet) TERHADAP INDUKSI EMBRIO SOMATIK DUA VARIETAS KACANG TANAH (Arachis hypogaea L.) SECARA IN VITRO Oleh Diana Apriliana FAKULTAS PERTANIAN

Lebih terperinci

No. 02 Hasil Penelitian Tahun Anggaran 2010

No. 02 Hasil Penelitian Tahun Anggaran 2010 No. 02 Hasil Penelitian Tahun Anggaran 2010 Perakitan Varietas dan Teknologi Perbanyakan Benih secara Massal (dari 10 menjadi 1000 kali) serta Peningkatan Produktivitas Bawang merah (Umbi dan TSS) (12

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Pisang Cavendish merupakan komoditas pisang segar (edible banana) yang

I. PENDAHULUAN. Pisang Cavendish merupakan komoditas pisang segar (edible banana) yang 1 I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pisang Cavendish merupakan komoditas pisang segar (edible banana) yang mendominasi 95% perdagangan pisang di dunia dan produsen pisang Cavendish banyak berasal dari

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. Kelapa sawit merupakan tanaman penghasil minyak nabati utama di

PENDAHULUAN. Kelapa sawit merupakan tanaman penghasil minyak nabati utama di 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Kelapa sawit merupakan tanaman penghasil minyak nabati utama di Indonesia, dan memegang peranan penting diantaranya iklim, tenaga kerja, dan kesediaan lahan yang masih cukup

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN HASIL DAN PEMBAHASAN Proliferasi Kalus Embriogenik Kalus jeruk keprok Garut berasal dari kultur nuselus yang diinduksi dalam media dasar MS dengan kombinasi vitamin MW, 1 mgl -1 2.4 D, 3 mgl -1 BAP, 300

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang PENDAHULUAN Latar Belakang Nenas (Ananas comosus (L) Merr) merupakan salah satu komoditas hortikultura yang mempunyai manfaat ganda, baik sebagai makanan segar, bahan industri makanan seperti pizza, rempah,

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Lili (Lilium L.) merupakan tanaman hias yang dibudidayakan untuk produksi umbi, bunga potong, tanaman pot dan taman (Straathof 1994). Tanaman ini memiliki nilai ekonomi

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN. Kedelai merupakan tanaman asli daratan Cina dan telah dibudidayakan sejak 2500

1. PENDAHULUAN. Kedelai merupakan tanaman asli daratan Cina dan telah dibudidayakan sejak 2500 1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Kedelai merupakan tanaman asli daratan Cina dan telah dibudidayakan sejak 2500 SM. Sejalan dengan makin berkembangnya perdagangan antarnegara yang terjadi pada

Lebih terperinci

TEKNOLOGI PERBANYAKAN BENIH PISANG dan STRAWBERI

TEKNOLOGI PERBANYAKAN BENIH PISANG dan STRAWBERI TEKNOLOGI PERBANYAKAN BENIH PISANG dan STRAWBERI Definisi Kultur jaringan : teknik mengisolasi bagian tanaman (sel,jaringan, organ) dan menanamnya dalam media buatan dalam botol tertutup serta lingkungan

Lebih terperinci

Jurnal Penelitian Pertanian Terapan Vol. 17 (2): ISSN eissn Online

Jurnal Penelitian Pertanian Terapan Vol. 17 (2): ISSN eissn Online Jurnal Penelitian Pertanian Terapan Vol. 17 (2): 132-137 http://www.jptonline.or.id ISSN 1410-5020 eissn Online 2047-1781 Uji Ketahanan Planlet Anggrek Bulan (Phalaenopsis amabilis (L.) Bl.) Hasil Seleksi

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN HASIL DAN PEMBAHASAN 1. Kondisi Umum Tanaman Phalaenopsis pada setiap botol tidak digunakan seluruhnya, hanya 3-7 tanaman (disesuaikan dengan keadaan tanaman). Hal ini disebabkan oleh pertumbuhan tanaman

Lebih terperinci

Pengujian Planlet Abaka Hasil Seleksi terhadap Fusarium oxysporum

Pengujian Planlet Abaka Hasil Seleksi terhadap Fusarium oxysporum Pengujian Planlet Abaka Hasil Seleksi terhadap Fusarium oxysporum Deden Sukmadjaja, Ika Mariska, Endang G. Lestari, M. Tombe, dan Mia Kosmiatin Balai Penelitian Bioteknologi dan Sumberdaya Genetik Pertanian

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA Karakteristik Lahan Kering Masam

TINJAUAN PUSTAKA Karakteristik Lahan Kering Masam 4 TINJAUAN PUSTAKA Karakteristik Lahan Kering Masam Definisi lahan kering adalah lahan yang pernah digenangi atau tergenang air pada sebagian besar waktu dalam setahun (Mulyani et al., 2004). Menurut Mulyani

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang tersebar di wilayah tropis dan subtropis. Dalam skala internasional, pisang

BAB I PENDAHULUAN. yang tersebar di wilayah tropis dan subtropis. Dalam skala internasional, pisang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Tanaman pisang (Musa spp.) merupakan tanaman monokotil berupa herba yang tersebar di wilayah tropis dan subtropis. Dalam skala internasional, pisang menduduki posisi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. tumbuhan di Indonesia merupakan sumber plasma nutfah yang sangat potensial

BAB I PENDAHULUAN. tumbuhan di Indonesia merupakan sumber plasma nutfah yang sangat potensial 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Permasalahan Indonesia dikenal sebagai negara dengan tingkat keanekaragaman sumber daya hayati yang tinggi, khususnya tumbuhan. Keanekaragaman genetik tumbuhan di

Lebih terperinci

REGENERASI TANAMAN SENGON (Albizia falcataria) MELALUI MULTIPLIKASI TUNAS AKSILAR DENGAN PENGGUNAAN KOMBINASI ZPT DAN AIR KELAPA SKRIPSI.

REGENERASI TANAMAN SENGON (Albizia falcataria) MELALUI MULTIPLIKASI TUNAS AKSILAR DENGAN PENGGUNAAN KOMBINASI ZPT DAN AIR KELAPA SKRIPSI. REGENERASI TANAMAN SENGON (Albizia falcataria) MELALUI MULTIPLIKASI TUNAS AKSILAR DENGAN PENGGUNAAN KOMBINASI ZPT DAN AIR KELAPA SKRIPSI Oleh: RAHADI PURBANTORO NPM : 0825010009 PROGRAM STUDI AGROTEKNOLOGI

Lebih terperinci

KAJIAN PEMBUATAN EDIBEL FILM KOMPOSIT DARI KARAGENAN SEBAGAI PENGEMAS BUMBU MIE INSTANT REBUS

KAJIAN PEMBUATAN EDIBEL FILM KOMPOSIT DARI KARAGENAN SEBAGAI PENGEMAS BUMBU MIE INSTANT REBUS KAJIAN PEMBUATAN EDIBEL FILM KOMPOSIT DARI KARAGENAN SEBAGAI PENGEMAS BUMBU MIE INSTANT REBUS ENDANG MINDARWATI SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2 0 0 6 Judul Tesis Nama NIM : Kajian

Lebih terperinci

SKRIPSI OLEH : MUTIA RAHMAH AET-PEMULIAAN TANAMAN PROGRAM STUDI AGROEKOTEKNOLOGI FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

SKRIPSI OLEH : MUTIA RAHMAH AET-PEMULIAAN TANAMAN PROGRAM STUDI AGROEKOTEKNOLOGI FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA SELEKSI INDIVIDU TERPILIH PADA TANAMAN KEDELAI (Glycine maxl.merrill) GENERASI M 5 BERDASARKAN KARAKTER PRODUKSI TINGGI DAN TOLERAN PENYAKIT BUSUK PANGKAL BATANG Athelia rolfsii(curzi) SKRIPSI OLEH : MUTIA

Lebih terperinci

BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat Bahan dan Alat

BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat Bahan dan Alat BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat Perbanyakan P. citrophthora dan B. theobromae dilaksanakan di Laboratorium Mikologi Tumbuhan Departemen Proteksi Tanaman, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor,

Lebih terperinci

PELUANG PERBANYAKAN BIBIT MELALUI KULTUR JARINGAN UNTUK MENDUKUNG PENGEMBANGAN RAMI

PELUANG PERBANYAKAN BIBIT MELALUI KULTUR JARINGAN UNTUK MENDUKUNG PENGEMBANGAN RAMI PELUANG PERBANYAKAN BIBIT MELALUI KULTUR JARINGAN UNTUK MENDUKUNG PENGEMBANGAN RAMI Rully Dyah Purwati dan Sudjindro *) PENDAHULUAN Industri tekstil dan produk tekstil (TPT) di Indonesia memiliki peranan

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Syarat Tumbuh

TINJAUAN PUSTAKA. Syarat Tumbuh 3 TINJAUAN PUSTAKA Syarat Tumbuh Tanah Jenis tanah yang sesuai untuk pertumbuhan kacang tanah adalah lempung berpasir, liat berpasir, atau lempung liat berpasir. Keasaman (ph) tanah yang optimal untuk

Lebih terperinci

EVALUASI KERAGAAN FENOTIPE TANAMAN SELEDRI DAUN

EVALUASI KERAGAAN FENOTIPE TANAMAN SELEDRI DAUN EVALUASI KERAGAAN FENOTIPE TANAMAN SELEDRI DAUN (Apium graveolens L. Subsp. secalinum Alef.) KULTIVAR AMIGO HASIL RADIASI DENGAN SINAR GAMMA COBALT-60 (Co 60 ) Oleh Aldi Kamal Wijaya A 34301039 PROGRAM

Lebih terperinci

PERAN DAUN CENGKEH TERHADAP PENGENDALIAN LAYU FUSARIUM PADA TANAMAN TOMAT

PERAN DAUN CENGKEH TERHADAP PENGENDALIAN LAYU FUSARIUM PADA TANAMAN TOMAT ISSN 1411939 PERAN DAUN CENGKEH TERHADAP PENGENDALIAN LAYU FUSARIUM PADA TANAMAN TOMAT Trias Novita Jurusan Budidaya Pertanian Fakultas Pertanian Universitas Jambi Kampus Pinang Masak, Mendalo Darat, Jambi

Lebih terperinci

PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Nenas merupakan buah tropika ketiga setelah pisang dan mangga yang diperdagangkan secara global (Petty et al. 2002) dalam bentuk nenas segar dan produk olahan. Hampir

Lebih terperinci

KETAHANAN DAN VIABILITAS Lactobacillus plantarum YANG DIENKAPSULASI DENGAN SUSU SKIM DAN GUM ARAB SETELAH PENGERINGAN DAN PENYIMPANAN

KETAHANAN DAN VIABILITAS Lactobacillus plantarum YANG DIENKAPSULASI DENGAN SUSU SKIM DAN GUM ARAB SETELAH PENGERINGAN DAN PENYIMPANAN KETAHANAN DAN VIABILITAS Lactobacillus plantarum YANG DIENKAPSULASI DENGAN SUSU SKIM DAN GUM ARAB SETELAH PENGERINGAN DAN PENYIMPANAN HENI RIZQIATI F 251020021 SEKOLAH PASCA SARJANA INSTITUT PERTANIAN

Lebih terperinci

Seleksi In Vitro Tanaman Lada untuk Ketahanan terhadap Penyakit Busuk Pangkal Batang

Seleksi In Vitro Tanaman Lada untuk Ketahanan terhadap Penyakit Busuk Pangkal Batang Jurnal AgroBiogen 1(1):13-19 Seleksi In Vitro Tanaman Lada untuk Ketahanan terhadap Penyakit Busuk Pangkal Batang Ali Husni dan Mia Kosmiatin Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Bioteknologi dan Sumberdaya

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Kedudukan krisan dalam sistematika tumbuhan (Holmes,1983)

TINJAUAN PUSTAKA. Kedudukan krisan dalam sistematika tumbuhan (Holmes,1983) TINJAUAN PUSTAKA Botani Tanaman Kedudukan krisan dalam sistematika tumbuhan (Holmes,1983) diklasifikasikan sebagai berikut : Kingdom : Plantae Subkingdom : Spermatophyta Superdivisio : Angiospermae Divisio

Lebih terperinci

EVALUASI LAPANGAN KERAGAMAN GENOTIPE-GENOTIPE SOMAKLONAL ARTEMISIA (Artemisia annua L.) HASIL INDUKSI MUTASI IRADIASI SINAR GAMMA

EVALUASI LAPANGAN KERAGAMAN GENOTIPE-GENOTIPE SOMAKLONAL ARTEMISIA (Artemisia annua L.) HASIL INDUKSI MUTASI IRADIASI SINAR GAMMA EVALUASI LAPANGAN KERAGAMAN GENOTIPE-GENOTIPE SOMAKLONAL ARTEMISIA (Artemisia annua L.) HASIL INDUKSI MUTASI IRADIASI SINAR GAMMA oleh Purwati A34404015 PROGRAM STUDI PEMULIAAN TANAMAN DAN TEKNOLOGI BENIH

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Kacang tanah (Arachis hypogaea L.) memiliki peran strategis dalam pangan

I. PENDAHULUAN. Kacang tanah (Arachis hypogaea L.) memiliki peran strategis dalam pangan I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kacang tanah (Arachis hypogaea L.) memiliki peran strategis dalam pangan nasional sebagai sumber protein dan minyak nabati, dalam setiap 100 g kacang tanah mentah mengandung

Lebih terperinci

tidak dipengaruhi oleh jumlah eksplan awal. Tetapi tahapan fase stasioner dari akar transgenik yang ditanam lebih cepat tercapai pada kultur dengan

tidak dipengaruhi oleh jumlah eksplan awal. Tetapi tahapan fase stasioner dari akar transgenik yang ditanam lebih cepat tercapai pada kultur dengan KULTUR AKAR TRANSGENIK DARI Trichosanthes cucumerina L.: BEBERAPA FAKTOR YANG BERPENGARUH TERHADAP PRODUKSI BIOMASSA DAN HASIL PROTEIN TOTAL, SERTA AKTIVITAS ANTICENDAWAN DARI PROTEIN ASAL AKAR TRANSGENIK

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang 1 BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Pisang merupakan salah satu jenis tanaman asal Asia Tenggara yang kini sudah tersebar luas ke seluruh dunia, termasuk Indonesia. Tanaman pisang memiliki ciri spesifik

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Cabai merah (Capsicum annuum L.) merupakan salah satu hasil pertanian

I. PENDAHULUAN. Cabai merah (Capsicum annuum L.) merupakan salah satu hasil pertanian 1 I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang dan Masalah Cabai merah (Capsicum annuum L.) merupakan salah satu hasil pertanian yang penting dan banyak dibudidayakan di Indonesia. Buah cabai memiliki aroma, rasa

Lebih terperinci

SKRIPSI OLEH : DESMAN KARIAMAN TUMANGGER Universitas Sumatera Utara

SKRIPSI OLEH : DESMAN KARIAMAN TUMANGGER Universitas Sumatera Utara PENGARUH KERAPATAN Trichoderma harzianum TERHADAP PENYAKIT LAYU FUSARIUM (Fusarium oxysporum Schlecht. f.sp. cepae (Hanz.) Snyd. et Hans.) PADA TANAMAN BAWANG MERAH (Allium ascalonicum L.) SKRIPSI OLEH

Lebih terperinci

KERAGAAN KARAKTER PURWOCENG (Pimpinella pruatjan Molk.) HASIL INDUKSI MUTASI SINAR GAMMA DI TIGA LOKASI. Oleh Muhammad Yusuf Pulungan A

KERAGAAN KARAKTER PURWOCENG (Pimpinella pruatjan Molk.) HASIL INDUKSI MUTASI SINAR GAMMA DI TIGA LOKASI. Oleh Muhammad Yusuf Pulungan A KERAGAAN KARAKTER PURWOCENG (Pimpinella pruatjan Molk.) HASIL INDUKSI MUTASI SINAR GAMMA DI TIGA LOKASI Oleh Muhammad Yusuf Pulungan A34403065 PROGRAM STUDI PEMULIAAN TANAMAN DAN TEKNOLOGI BENIH FAKULTAS

Lebih terperinci

TEKNOLOGI PERBANYAKAN BIBIT PISANG ABAKA DENGAN KULTUR JARINGAN DR IR WENNY TILAAR,MS

TEKNOLOGI PERBANYAKAN BIBIT PISANG ABAKA DENGAN KULTUR JARINGAN DR IR WENNY TILAAR,MS TEKNOLOGI PERBANYAKAN BIBIT PISANG ABAKA DENGAN KULTUR JARINGAN DR IR WENNY TILAAR,MS PENDAHULUAN. Kultur jaringan adalah suatu teknik untuk mengisolasi, sel, protoplasma, jaringan, dan organ dan menumbuhkan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Kacang tanah (Arachis hipogea L.) merupakan salah satu komoditas pertanian

I. PENDAHULUAN. Kacang tanah (Arachis hipogea L.) merupakan salah satu komoditas pertanian 1 I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kacang tanah (Arachis hipogea L.) merupakan salah satu komoditas pertanian yang cukup penting. Komoditas kacang tanah diusahakan 70% di lahan kering dan hanya 30% di

Lebih terperinci

Mengenal Penyakit Busuk Batang Vanili. Oleh : Umiati

Mengenal Penyakit Busuk Batang Vanili. Oleh : Umiati Mengenal Penyakit Busuk Batang Vanili Oleh : Umiati Vanili (Vanilla planifolia Andrews) merupakan salah satu tanaman industri yang mempunyai nilai terbaik dengan kadar vanillin 2,75% (Hadisutrisno,2004).

Lebih terperinci

PERBAIKAN KETAHANAN TANAMAN PANILI TERHADAP PENYAKIT LAYU MELALUI KULTUR IN VITRO. Endang G. Lestari, D. Sukmadjaja, dan I.

PERBAIKAN KETAHANAN TANAMAN PANILI TERHADAP PENYAKIT LAYU MELALUI KULTUR IN VITRO. Endang G. Lestari, D. Sukmadjaja, dan I. PERBAIKAN KETAHANAN TANAMAN PANILI TERHADAP PENYAKIT LAYU MELALUI KULTUR IN VITRO Endang G. Lestari, D. Sukmadjaja, dan I. Mariska Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Bioteknologi dan Sumberdaya Genetik

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA Botani dan Morfologi Padi

TINJAUAN PUSTAKA Botani dan Morfologi Padi 3 TINJAUAN PUSTAKA Botani dan Morfologi Padi Padi merupakan tanaman yang termasuk ke dalam genus Oryza Linn. Terdapat dua spesies padi yang dibudidayakan, yaitu O. sativa Linn. dan O. glaberrima Steud.

Lebih terperinci

Ralstonia solanacearum

Ralstonia solanacearum NAMA : Zuah Eko Mursyid Bangun NIM : 6030066 KELAS : AET-2A Ralstonia solanacearum (Bakteri penyebab penyakit layu). Klasifikasi Kingdom : Prokaryotae Divisi : Gracilicutes Subdivisi : Proteobacteria Famili

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN HASIL DAN PEMBAHASAN Stabilitas Galur Sidik ragam dilakukan untuk mengetahui pengaruh perlakuan terhadap karakter pengamatan. Perlakuan galur pada percobaan ini memberikan hasil berbeda nyata pada taraf

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Produktivitas tanaman ditentukan oleh interaksi antara lingkungan dan

BAB I PENDAHULUAN. Produktivitas tanaman ditentukan oleh interaksi antara lingkungan dan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pisang (Musa paradisiaca L.) merupakan salah satu jenis buah tropika yang mempunyai potensi cukup tinggi untuk dikelola secara intensif dengan berorientasi agribisnis,

Lebih terperinci

MENGENAL LEBIH DEKAT PENYAKIT LAYU BEKTERI Ralstonia solanacearum PADA TEMBAKAU

MENGENAL LEBIH DEKAT PENYAKIT LAYU BEKTERI Ralstonia solanacearum PADA TEMBAKAU PEMERINTAH KABUPATEN PROBOLINGGO DINAS PERKEBUNAN DAN KEHUTANAN JL. RAYA DRINGU 81 TELPON 0335-420517 PROBOLINGGO 67271 MENGENAL LEBIH DEKAT PENYAKIT LAYU BEKTERI Ralstonia solanacearum PADA TEMBAKAU Oleh

Lebih terperinci

DAN CABANG PADA ENAM KLON KARET ABSTRACT

DAN CABANG PADA ENAM KLON KARET ABSTRACT INFEKSI Fusarium sp. PENYEBAB PENYAKIT LAPUK BATANG DAN CABANG PADA ENAM KLON KARET Eko Heri Purwanto, A. Mazid dan Nurhayati J urusan Hama dan Penyakit Tumbuhan, Fakultas Pertanian Universitas Sriwijaya

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Kacang tanah (Arachis hypogaea L.) merupakan salah satu tanaman palawija yang

I. PENDAHULUAN. Kacang tanah (Arachis hypogaea L.) merupakan salah satu tanaman palawija yang I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kacang tanah (Arachis hypogaea L.) merupakan salah satu tanaman palawija yang berguna untuk bahan pangan, pakan, dan bahan baku industri. Selain itu, kacang tanah merupakan

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN Kondisi Umum

HASIL DAN PEMBAHASAN Kondisi Umum 17 HASIL DAN PEMBAHASAN Kondisi Umum Penelitian dimulai bulan November 2009 sampai dengan bulan Mei 2010. Kondisi curah hujan selama penelitian berlangsung berada pada interval 42.9 mm sampai dengan 460.7

Lebih terperinci

PENGARUH KONSENTRASI NAA DAN KINETIN TERHADAP MULTIPLIKASI TUNAS PISANG (Musa paradisiaca L. cv. Raja Bulu ) SECARA IN VITRO

PENGARUH KONSENTRASI NAA DAN KINETIN TERHADAP MULTIPLIKASI TUNAS PISANG (Musa paradisiaca L. cv. Raja Bulu ) SECARA IN VITRO PENGARUH KONSENTRASI NAA DAN KINETIN TERHADAP MULTIPLIKASI TUNAS PISANG (Musa paradisiaca L. cv. Raja Bulu ) SECARA IN VITRO SKRIPSI Oleh: Uswatun Khasanah NIM K4301058 FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN

Lebih terperinci

Eksplorasi Sumber Genetik Abaca di Kepulauan Sangihe-Talaud

Eksplorasi Sumber Genetik Abaca di Kepulauan Sangihe-Talaud Eksplorasi Sumber Genetik Abaca di Kepulauan Sangihe-Talaud Untung Setyo-Budi, B. Heliyanto, dan Sudjindro Balai Penelitian Tanaman Tembakau dan Serat, Malang ABSTRACT Exploration was conducted to be used

Lebih terperinci

EFEKTIVITAS FILTRAT KULTUR DAN IDENTIFIKASI EMBRIO SOMATIK DAN KECAMBAH KACANG TANAH KULTIVAR LOKAL BIMA PADA FILTRAT KULTUR CENDAWAN Fusarium sp

EFEKTIVITAS FILTRAT KULTUR DAN IDENTIFIKASI EMBRIO SOMATIK DAN KECAMBAH KACANG TANAH KULTIVAR LOKAL BIMA PADA FILTRAT KULTUR CENDAWAN Fusarium sp 147 EFEKTIVITAS FILTRAT KULTUR DAN IDENTIFIKASI EMBRIO SOMATIK DAN KECAMBAH KACANG TANAH KULTIVAR LOKAL BIMA PADA FILTRAT KULTUR CENDAWAN Fusarium sp EFFECTIVENESS OF CULTURE FILTRATE AND IDENTIFICATION

Lebih terperinci

INDUKSI KERAGAMAN GENETIK TANAMAN ANTHURIUM WAVE OF LOVE (Anthurium plowmanii Croat.) DENGAN RADIASI SINAR GAMMA DARI 60 Co SECARA IN VITRO

INDUKSI KERAGAMAN GENETIK TANAMAN ANTHURIUM WAVE OF LOVE (Anthurium plowmanii Croat.) DENGAN RADIASI SINAR GAMMA DARI 60 Co SECARA IN VITRO INDUKSI KERAGAMAN GENETIK TANAMAN ANTHURIUM WAVE OF LOVE (Anthurium plowmanii Croat.) DENGAN RADIASI SINAR GAMMA DARI 60 Co SECARA IN VITRO SRI IMRIANI PULUNGAN A24051240 DEPARTEMEN AGRONOMI DAN HORTIKULTURA

Lebih terperinci

CARA APLIKASI Trichoderma spp. UNTUK MENEKAN INFEKSI BUSUK PANGKAL BATANG (Athelia rolfsii (Curzi)) PADA BEBERAPA VARIETAS KEDELAI DI RUMAH KASSA

CARA APLIKASI Trichoderma spp. UNTUK MENEKAN INFEKSI BUSUK PANGKAL BATANG (Athelia rolfsii (Curzi)) PADA BEBERAPA VARIETAS KEDELAI DI RUMAH KASSA CARA APLIKASI Trichoderma spp. UNTUK MENEKAN INFEKSI BUSUK PANGKAL BATANG (Athelia rolfsii (Curzi)) PADA BEBERAPA VARIETAS KEDELAI DI RUMAH KASSA SKRIPSI OLEH: RAFIKA HUSNA 110301021/AGROEKOTEKNOLOGI PROGRAM

Lebih terperinci

Seleksi Silang Tunas Abaka dengan Asam Fusarat atau Filtrat F. oxysporum dan Regenerasinya Membentuk Planlet

Seleksi Silang Tunas Abaka dengan Asam Fusarat atau Filtrat F. oxysporum dan Regenerasinya Membentuk Planlet Seleksi Silang Tunas Abaka dengan Asam Fusarat atau Filtrat F. oxysporum dan Regenerasinya Membentuk Planlet Deden Sukmadjaja, Ika Mariska, Endang G. Lestari, Mia Kosmiatin, M esakh Tombe, dan Hobir Balai

Lebih terperinci

UJI KETAHANAN TANAMAN KEDELAI (Glycine max (L.) Merr.) HASIL RADIASI SINAR GAMMA (M 2 ) PADA CEKAMAN ALUMINIUM SECARA IN VITRO SKRIPSI OLEH:

UJI KETAHANAN TANAMAN KEDELAI (Glycine max (L.) Merr.) HASIL RADIASI SINAR GAMMA (M 2 ) PADA CEKAMAN ALUMINIUM SECARA IN VITRO SKRIPSI OLEH: UJI KETAHANAN TANAMAN KEDELAI (Glycine max (L.) Merr.) HASIL RADIASI SINAR GAMMA (M 2 ) PADA CEKAMAN ALUMINIUM SECARA IN VITRO SKRIPSI OLEH: Dinda Marizka 060307029/BDP-Pemuliaan Tanaman PROGRAM STUDI

Lebih terperinci

INDUKSI KERAGAMAN SOMAKLONAL PADA TUNAS KANTONG SEMAR (Nepenthes spp.) DENGAN RADIASI SINAR GAMMA SECARA IN VITRO

INDUKSI KERAGAMAN SOMAKLONAL PADA TUNAS KANTONG SEMAR (Nepenthes spp.) DENGAN RADIASI SINAR GAMMA SECARA IN VITRO INDUKSI KERAGAMAN SOMAKLONAL PADA TUNAS KANTONG SEMAR (Nepenthes spp.) DENGAN RADIASI SINAR GAMMA SECARA IN VITRO Fitri Damayanti 1, Ika Roostika 2 dan Samsurianto 3 1 Jurusan Biologi F. TMIPA Universitas

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. menggunakan satu eksplan yang ditanam pada medium tertentu dapat

I. PENDAHULUAN. menggunakan satu eksplan yang ditanam pada medium tertentu dapat I. PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Padi (Oryza sativa L.) merupakan salah satu tanaman budidaya terpenting dalam peradaban manusia. Padi sudah dikenal sebagai tanaman pangan penghasil beras sejak jaman prasejarah.

Lebih terperinci

Eksplorasi Sumber Genetik Abaca di Kepulauan Sangihe-Talaud

Eksplorasi Sumber Genetik Abaca di Kepulauan Sangihe-Talaud Eksplorasi Sumber Genetik Abaca di Kepulauan Sangihe-Talaud Untung Setyo-Budi, B. Heliyanto, dan Sudjindro Balai Penelitian Tanaman Tembakau dan Serat, Malang ABSTRACT Exploration was conducted to be used

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. Glycine ururiencis, merupakan kedelai yang menurunkan berbagai kedelai yang

PENDAHULUAN. Glycine ururiencis, merupakan kedelai yang menurunkan berbagai kedelai yang PENDAHULUAN Latar Belakang Kedelai merupakan tanaman pangan yang tumbuh tegak. Kedelai jenis liar Glycine ururiencis, merupakan kedelai yang menurunkan berbagai kedelai yang kita kenal sekarang (Glycine

Lebih terperinci

Topik VI. METODE BIOTEKNOLOGI TANAMAN

Topik VI. METODE BIOTEKNOLOGI TANAMAN MK. BIOTEKNOLOGI (SEM VI) Topik VI. METODE BIOTEKNOLOGI TANAMAN Paramita Cahyaningrum Kuswandi (email : paramita@uny.ac.id) FMIPA UNY 2015 16 maret : metode biotek tnmn 23 maret : transgenesis 30 maret

Lebih terperinci

PENGARUH AGENSIA HAYATI PSEUDOMONAD FLUORESEN TERHADAP PERKEMBANGAN PENYAKIT LAYU (Fusarium sp.) DAN PERTUMBUHAN TANAMAN CABAI (Capsicum Annum L.

PENGARUH AGENSIA HAYATI PSEUDOMONAD FLUORESEN TERHADAP PERKEMBANGAN PENYAKIT LAYU (Fusarium sp.) DAN PERTUMBUHAN TANAMAN CABAI (Capsicum Annum L. PENGARUH AGENSIA HAYATI PSEUDOMONAD FLUORESEN TERHADAP PERKEMBANGAN PENYAKIT LAYU (Fusarium sp.) DAN PERTUMBUHAN TANAMAN CABAI (Capsicum Annum L.) SKRIPSI Diajukan untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan dalam

Lebih terperinci

BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat Penelitian Bahan dan Alat

BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat Penelitian Bahan dan Alat BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian dilaksanakan mulai bulan Januari 2009 sampai dengan bulan Agustus 2009 di Laboratorium Bioteknologi Tanaman, Departemen Agronomi dan Hortikultura,

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN 18 HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil Pengujian Inokulasi Virus Tungro pada Varietas Hibrida dan Beberapa Galur Padi di Rumah Kaca Pengaruh Infeksi Virus Tungro terhadap Tipe Gejala Gambar 2 menunjukkan variasi

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Tanaman tebu (Saccharum officinarum L.) tergolong dalam famili Graminae yaitu

II. TINJAUAN PUSTAKA. Tanaman tebu (Saccharum officinarum L.) tergolong dalam famili Graminae yaitu 11 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Deskripsi Tanaman Tebu Tanaman tebu (Saccharum officinarum L.) tergolong dalam famili Graminae yaitu rumput-rumputan. Saccharum officinarum merupakan spesies paling penting

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. spesies. Klasifikasi tanaman ubikayu adalah sebagai berikut:

II. TINJAUAN PUSTAKA. spesies. Klasifikasi tanaman ubikayu adalah sebagai berikut: 7 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Botani ubikayu: taksonomi dan morfologi Dalam sistematika tumbuhan, ubikayu termasuk ke dalam kelas Dicotyledoneae. Ubikayu berada dalam famili Euphorbiaceae yang mempunyai sekitar

Lebih terperinci

EVALUASI DAYA HASIL 11 HIBRIDA CABAI BESAR IPB DI BOYOLALI. Oleh Wahyu Kaharjanti A

EVALUASI DAYA HASIL 11 HIBRIDA CABAI BESAR IPB DI BOYOLALI. Oleh Wahyu Kaharjanti A EVALUASI DAYA HASIL 11 HIBRIDA CABAI BESAR IPB DI BOYOLALI Oleh Wahyu Kaharjanti A34404014 PROGRAM STUDI PEMULIAAN TANAMAN DAN TEKNOLOGI BENIH FAKULTAS PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2008 EVALUASI

Lebih terperinci