Oleh. Fevrina Leny Tampubolon I Dosen Pembimbing: Dr. Arif Satria, SP, M.Si.

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "Oleh. Fevrina Leny Tampubolon I Dosen Pembimbing: Dr. Arif Satria, SP, M.Si."

Transkripsi

1 i HUBUNGAN ANTARA NELAYAN JEPARA DAN KARIMUNJAWA DALAM MEMANFAATKAN SUMBERDAYA PERIKANAN DI TAMAN NASIONAL KARIMUNJAWA Oleh Fevrina Leny Tampubolon I Dosen Pembimbing: Dr. Arif Satria, SP, M.Si. DEPARTEMEN SAINS KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2012

2 ii ABSTRACT FEVRINA LENY TAMPUBOLON Relationship between Jepara fisher and Karimunjawa fisher in use fisheries resources in Karimunjawa National Park. Supervised by ARIF SATRIA The objectives of this research are: (1) to find, identify, and analyze fisheries resource management by National Park Karimunjawa and Local Government Jepara; (2) to identify, and analyze social bridging social capital between fishers in Karimunjawa and fishers in Jepara; (3) to find, identify, and analyze the relationship between social capital and perception of conflict between fishers in Karimunjawa and fishers in Jepara. Bridging social capital consists of three aspects, the network outside the community, the participation and membership in groups outside the community, and the level of trust to the outside community. The research shows that there is a relationship between bridging social capital and perception of conflict. The low bridging social capital between fishers in Karimunjawa dan Jepara cause high perception of conflict among the fisher. Key words:bridging social capital, National Park, conflict, fisheries management.

3 iii RINGKASAN FEVRINA LENY TAMPUBOLON. Hubungan antara Nelayan Jepara dengan Karimunjawa dalam memanfaatkan sumberdaya perikanan di Taman Nasional Karimunjawa. Di bawah bimbingan ARIF SATRIA Konflik seringkali terjadi hanya disebabkan oleh kurangnya komunikasi antar komunitas nelayan dengan wilayah geografis dan identitas etnik yang berbeda sehingga aturan main seringkali dilanggar atau terjadi salah tafsir. Kejadian ini menggambarkan menipisnya jaringan antarkomunitas nelayan yang memiliki wilayah geografis dan identitas etnik yang berbeda (bridging social capital). Dalam mengelola sumberdaya perikanan diperlukan adanya jaringan antar komunitas yang baik sehingga tercipta komunikasi yang baik antar nelayan. Komunikasi yang baik antar nelayan dapat mewujudkan kesejahteraan sosial antar nelayan apabila disertai dengan kinerja yang baik oleh pemerintah dalam membuat produk hukum yang sinergis. Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui, mengidentifikasi, dan menganalisis pengelolaan sumberdaya perikanan yang dilakukan oleh Balai Taman Nasional Karimunjawa dan Pemerintah Daerah Jepara di Sekitar Taman Nasional Karimunjawa, modal sosial menyambung (bridging social capital) antara Nelayan Jepara dan Karimunjawa dalam memanfaatkan sumberdaya perikanan di sekitar Taman Nasional Karimunjawa dan hubungan modal sosial menyambung terhadap persepsi konflik antara Nelayan Jepara dengan Nelayan Karimunjawa dalam memanfaatkan sumberdaya perikanan di Sekitar Taman Nasional Karimunjawa. Pendekatan yang digunakan adalah kombinasi pendekatan kuantitatif dan kualitatif. Pendekatan kuantitatif yang digunakan adalah metode survai (deskriptif) dengan instrumen kuesioner. Metode kuantitatif dengan menggunakan survei melalui instrumen kuesioner untuk mengetahui bagaimana tingkat modal sosial menyambung antara Nelayan Karimunjawa dengan Nelayan Jepara dan pengelolaan sumberdaya perikanan yang dilakukan oleh Balai Taman Nasional Karimunjawa dan Pemerintah Daerah Jepara. Metode kualitatif digunakan untuk

4 iv mempertajam data dari metode kuantitatif yang dilakukan dengan wawancara mendalam mengenai pengelolaan sumberdaya perikanan oleh Taman Nasional Nasional Karimunjawa dan Pemerintah Daerah Jepara, pemanfaatan sumberdaya perikanan di Taman Nasional Karimunjawa oleh Nelayan Karimunjawa dan Nelayan Jepara. Populasi dari penelitian ini adalah nelayan di Desa Karimunjawa dan di Desa Ujungbatu. Sampel penelitiannya adalah individu Nelayan Karimunjawa dan Nelayan Jepara. Penentuan sampel dilakukan dengan menggunakan teknik aksidental stratifikasi. Sementara pemilihan informan dalam penelitian ini menggunakan teknik snowball sampling dan diperoleh informan kunci sebanyak enam orang di Karimunjawa dan tiga orang di Ujungbatu, Jepara. Pengelolaan sumberdaya perikanan yang dilakukan di Karimunjawa berbeda dengan pengelolaan perikanan yang dilakukan di Jepara. Pengelolaan sumberdaya perikanan di Karimunjawa bersifat kolaboratif karena masyarakat juga memiliki hak mengelola. Masyarakat turut serta dalam menetapkan peraturan pengelolaan sumberdaya perikanan di Karimunjawa. Nelayan Jepara hanya memiliki hak pemanfaatan yaitu menggunakan dan mengambil manfaat sumberdaya perikanan di Jepara. Peraturan pengelolaan pemanfaatan sumberdaya perikanan di Jepara bersifat terpusat. Modal sosial menyambung di Karimunjawa dan Jepara dapat digolongkan rendah. Jaringan kerja, tingkat partisipasi dan keanggotaan dalam organisasi Nelayan Jepara dan Nelayan Karimunjawa rendah. Tetapi, tingkat kepercayaan antara Nelayan Jepara dengan Nelayan Karimunjawa berbeda. Nelayan Jepara memiliki tingkat kepercayaan yang tinggi terhadap Nelayan Karimunjawa, sedangkan Nelayan Karimunjawa memiliki tingkat kepercayaan yang rendah terhadap Nelayan Jepara. Hal ini disebabkan karena Nelayan Jepara tidak merasa terancam atau terganggu dengan keberadaan Nelayan Karimunjawa. Nelayan Jepara dalam melakukan operasi penangkapan ikan membutuhkan banyak tenaga kerja. Tenaga kerja Nelayan Jepara berasal dari berbagai latar belakang kebudayaan dan daerah. Nelayan Jepara sudah terbiasa dengan adanya perbedaan sehingga menjadi lebih tebuka dan mudah menerima orang lain.

5 v Modal sosial menyambung memiliki pengaruh terhadap hubungan yang tercipta antara Nelayan Karimunjawa dengan Nelayan Jepara. Modal sosial menyambung Nelayan Karimunjawa dan Jepara yang rendah mengakibatkan hubungan antara kedua nelayan cenderung konflik. Berdasarkan hasil penelitian modal sosial menyambung berupa jaringan kerja, tingkat partisipasi dan keanggotaan dalam organisasi di luar komunitas memiliki pengaruh yang berbanding terbalik dengan hubungan Nelayan Karimunjawa dan Jepara. Modal sosial menyambung berupa tingkat kepercayaan tidak selalu berpengaruh pada hubungan antar Nelayan Karimunjawa dengan Jepara. Hubungan antar komunitas nelayan hanya dapat tercipta dengan baik apabila kedua belah pihak memiliki tingkat kepercayaan yang sama.

6 vi HUBUNGAN ANTARA NELAYAN JEPARA DAN KARIMUNJAWA DALAM MEMANFAATKAN SUMBERDAYA PERIKANAN DI TAMAN NASIONAL KARIMUNJAWA Oleh Fevrina Leny Tampubolon I Skripsi Sebagai Syarat untuk Memperoleh Gelar Sarjana Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat pada Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor DEPARTEMEN SAINS KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2012

7 vii PERNYATAAN DENGAN INI SAYA MENYATAKAN BAHWA SKRIPSI YANG BERJUDUL HUBUNGAN ANTARA NELAYAN JEPARA DAN KARIMUNJAWA DALAM MEMANFAATKAN SUMBERDAYA PERIKANAN DI TAMAN NASIONAL KARIMUNJAWA BENAR-BENAR HASIL KARYA SAYA SENDIRI YANG BELUM PERNAH DIAJUKAN SEBAGAI KARYA ILMIAH PADA PERGURUAN TINGGI ATAU LEMBAGA MANAPUN UNTUK TUJUAN MEMPEROLEH GELAR AKADEMIK TERTENTU, SERTA TIDAK MENGANDUNG BAHAN-BAHAN YANG PERNAH DITULIS ATAU DITERBITKAN OLEH PIHAK LAIN KECUALI SEBAGAI BAHAN RUJUKAN YANG DINYATAKAN DALAM NASKAH. DEMIKIAN PERNYATAAN INI SAYA BUAT DENGAN SESUNGGUHNYA DAN SAYA BERSEDIA BERTANGGUNGJAWAB ATAS PERNYATAAN INI. Bogor, Oktober 2012 FEVRINA LENY TAMPUBOLON I

8 viii DEPARTEMEN SAINS KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA INSTITUT PERTANIAN BOGOR Dengan ini menyatakan bahwa skripsi yang ditulis oleh: Nama Mahasiswa : Fevrina Leny Tampubolon NIM : I Judul Skripsi Skripsi : HUBUNGAN ANTARA NELAYAN DARI JEPARA DAN KARIMUNJAWA DALAM MEMANFAATKAN SUMBERDAYA PERIKANAN DI TAMAN NASIONAL KARIMUNJAWA dapat diterima sebagai syarat kelulusan untuk memperoleh gelar Sarjana pada Depertemen Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat, Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor. Mengetahui Dosen Pembimbing Dr. Arif Satria, SP, M.Si NIP Mengetahui, Ketua Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor Dr. Ir. Soeryo Adiwibowo, MS NIP Tanggal Pengesahan:

9 ix RIWAYAT HIDUP Penulis merupakan anak pertama dari lima bersaudara. Ayah penulis bernama Polen Tampubolon dan Ibu penulis bernama Darmawati Samosir. Penulis lahir di Ermera pada tanggal 5 November Penulis menamatkan sekolah di TK Mawar Gleno pada tahun , SD Negeri Ermera pada tahun kemudian pada tahun 1998 pindah ke SD N Sidikalang sampai menamatkan pendidikan SD. Pada tahun 2002 melanjutkan jenjang pendidikan ke SMP N 1 Sidikalang, dan pada tahun 2005 melanjut ke SMA N 1 Sidikalang. Pada tahun 2008 penulis diterima sebagai mahasiswi Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat, Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor Angkatan 45 melalui jalur SNMPTN (Seleksi Nasional Masuk Perguruan Tinggi Negeri). Kegiatan penulis selama di IPB adalah menjadi reporter di Koran Kampus pada tahun Kemudian setelah satu tahun, berhenti bekerja sebagai reporter Koran Kampus dan menjadi asisten Mata Kuliah Agama Kristen Protestan pada tahun Selain menjadi kakak asistensi juga bekerja sebagai pengajar mata kuliah kalkulus di bimbingan Mafia Club dari tahun Pada tahun menjadi asisten Mata Kuliah Sosiologi Umum. Penulis juga pernah mengikuti PKM (Program Kreativitas Mahasiswa) dalam bidang pengembangan masyarakat dan menjadi salah satu program yang didanai.

10 x KATA PENGANTAR Puji dan syukur kepada Tuhan Yesus Kristus karena anugrah-nya skripsi yang berjudul HUBUNGAN ANTARA NELAYAN JEPARA DAN KARIMUNJAWA DALAM MEMANFAATKAN SUMBERDAYA PERIKANAN DI TAMAN NASIONAL KARIMUNJAWA dapat selesai dengan baik. Penulis menyadari bahwa skripsi ini dapat terselesaikan dengan baik karena dukungan dan bantuan dari berbagai pihak. Pada kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada: 1. Dr. Arif Satria, SP, M.Si., dosen sekaligus bapak pembimbing yang telah memberikan banyak sekali masukan, saran, kritik, motivasi serta kesabarannya selama proses penulisan skripsi ini. 2. Bapak Polen Tampubolon dan Ibu Darmawati Samosir beserta adik-adik ku Saulina, Yanti, Putri, dan Tesya, keluarga yang selalu mendukung, memotivasi dan memberikan kekuatan baru untuk menyelesaikan penulisan skripsi ini. 3. Hellen yang sudah bersedia menemani selama penelitian di Karimunjawa dan Jepara. Terima kasih atas masukan dan kritikannya dalam penulisan skripsi saya. 4. Keluarga Besar Rahel yang sudah bersedia memberikan tumpangan selama di Semarang, keluarga BTN di Karimunjawa, warga Karimunjawa, Keluarga di Jepara, dan seluruh pihak yang telah membantu selama di tempat penelitian. 5. Keluarga besar YONM yang selalu memberikan dukungan moral, memberikan penguatan dan membantu dalam doa untuk penulisan skripsi ini. 6. Keluarga besar pondok delima, Swinda, Lia, Vita, Ayun, Riska yang telah memberikan semangat selama mengerjakan skripsi ini. 7. Teman seperjuangan Septi, Itaw dan teman-teman KPM 45, terimakasih atas semangat serta kebersamaan yang telah dibangun selama penulisan skripsi ini. Akhirnya, semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi semua pihak yang membacanya. Bogor, Oktober 2012 Penulis

11 xi DAFTAR ISI DAFTAR ISI... x DAFTAR TABEL... xiv DAFTAR GAMBAR... xvii DAFTAR LAMPIRAN... xviii BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Penelitian Tujuan Penelitian Kegunaan Penelitian... 5 BAB II PENDEKATAN TEORITIS 2.1. Tinjauan Pustaka Nelayan Pengelolaan Sumberdaya Perikanan Identifikasi Pemangku Kepentingan dan Lembaga Terkait Modal Sosial Hubungan Antar Nelayan Kerangka Penelitian Hipotesis Penelitian Definisi Konseptual Definisi Operasional BAB III PENDEKATAN LAPANG 3.1. Metode Penelitian Lokasi dan Waktu Penelitian Jenis Data dan Metode Pengumpulan Data Teknik Pengambilan Sampel Teknik Pengolahan dan Analisis Data BAB IV GAMBARAN LOKASI PENELITIAN 4.1. Desa Karimunjawa Kondisi Geografis... 34

12 xii Kondisi Sosial Ekonomi Masyarakat Pendidikan Desa Ujungbatu Kondisi Geografis Kondisi Sosial Ekonomi Masyarakat Pendidikan BAB V PENGELOLAAN SUMBERDAYA PERIKANAN DI KARIMUNJAWA DAN JEPARA 5.1. Pengelolaan Perikanan di Karimunjawa Pengelolaan Perikanan oleh Taman Nasional Karimunjawa Pengelolaan Perikanan oleh Dinas Kelautan dan Perikanan Pengelolaan Perikanan oleh Pemerintahan Kabupaten Jepara Pengelolaan Perikanan oleh Pemerintahan Desa Pengelolaan Sumberdaya Perikanan di Jepara Pengelolaan sumberdaya Perikanan oleh Nelayan Jepara Pengelolaan Perikanan oleh Dinas Kelautan dan Perikanan Kecamatan Jepara Status Kepemilikan Sumberdaya Alam BAB VI PEMANFAATAN SUMBERDAYA PERIKANAN OLEH NELAYAN KARIMUNJAWA DAN NELAYAN JEPARA 6.1. Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan yang dilakukan oleh Nelayan Karimunjawa Penggolongan Nelayan Karimunjawa Alat Tangkap yang digunakan oleh Nelayan Karimunjawa Musim Penangkapan Ikan di Karimunjawa Daerah Tangkap Nelayan Karimunjawa Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan yang Dilakukan Oleh Nelayan Jepara Penggolongan Nelayan Berdasarkan Karakteristik Usaha Alat Tangkap yang Digunakan Oleh Nelayan Jepara... 72

13 xiii Musim Tangkap di Jepara Daerah Tangkap Nelayan Jepara BAB VII MODAL SOSIAL MENYAMBUNG (BRIDGING SOCIAL CAPITAL) NELAYAN KARIMUNJAWA DAN NELAYAN JEPARA 7.1. Modal Sosial Menyambung Nelayan Karimunjawa Jaringan Kerja di Luar Komunitas Nelayan Karimunjawa Tingkat Partisipasi dan Keanggotan Kelompok di Luar Komunitas Nelayan Karimunjawa Tingkat Kepercayaan Nelayan Karimunjawa Modal Sosial Menyambung Nelayan Jepara Jaringan Kerja di Luar Komunitas Nelayan Jepara Tingkat Partisipasi dan Keanggotan Kelompok di Luar Komunitas Nelayan Jepara Tingkat Kepercayaan Nelayan Jepara Konflik Antara Nelayan Karimunjawa dengan Nelayan Jepara BAB VIII HUBUNGAN MODAL SOSIAL MENYAMBUNG DENGAN KONFLIK ANTARA NELAYAN KARIMUNJAWA DENGAN NELAYAN JEPARA DALAM MEMANFAATKAN SUMBERDAYA PERIKANAN DI TAMAN NASIONAL KARIMUNJAWA 8.1. Hubungan Antara Jaringan Kerja di Luar Komunitas Nelayan Karimunjawa Dengan Persepsi Masyarakat Mengenai Konflik di TNKJ Hubungan Antara Tingkat Keanggotaan Nelayan Karimunjawa dengan Persepsi Masyarakat Mengenai Konflik di TNKJ Hubungan Antara Tingkat Kepercayaan Nelayan Karimunjawa Dengan Persepsi Konflik di TNKJ... 88

14 xiv 8.4. Hubungan Antara Jaringan Kerja di Luar Komunitas Nelayan Jepara Dengan Persepsi Masyarakat Mengenai Konflik di Jepara Hubungan Antara Tingkat Keanggotaan Nelayan Jepara dengan Persepsi Masyarakat Mengenai Konflik di TNKJ Hubungan Antara Tingkat Kepercayaan Nelayan Jepara Dengan Persepsi Konflik di TNKJ BAB IX PENUTUP 9.1. Kesimpulan Saran DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN... 97

15 xv DAFTAR TABEL Nomor Halaman Tabel 1. Status Kepemilikan Sumberdaya Alam... 8 Tabel 2. Langkah-langkah Identifikasi Pemangku Kepentingan dan Lembaga Terkait Tabel 3. Aspek Struktural dan Kognitif Modal Sosial Tabel 4. Jadwal Pelaksanaan Penelitian Tahun Tabel 5. Pembagian Kawasan Wilayah Taman Nasional dan Luas Masing-Masing Wilayah Tahun Tabel 6. Jumlah Penduduk Berdasarkan Jenis Kelamin di Kecamatan Karimunjawa Tahun Tabel 7. Jumlah dan Persentase Masyarakat Karimunjawa berdasarkan Mata Pencaharian Pokok Masyarakat di Desa Karimunjawa, Kabupaten Jepara Tahun Tabel 8. Jumlah dan Persentase Masyarakat Karimunjawa berdasarkan Tingkat pendidikan Masyarakat di Desa Karimunjawa, Kabupaten Jepara Tahun Tabel 9. Jumlah Masyarakat Berdasarkan Jenis Kelamin di Desa Ujungbatu, Kecamatan Jepara Tahun Tabel 10. Jumlah Masyarakat Berdasarkan Mata Pencaharian Pokok Masyarakat di Desa Ujungbatu, Kecamatan Jepara Tahun Tabel 11. Jumlah dan Persentase Masyarakat Ujungbatu berdasarkan Tingkat pendidikan Masyarakat di Desa Ujungbatu, Kecamatan Jepara Tahun

16 xvi Tabel 12. Pembagian Zonasi Taman Nasional Karimunjawa Berdasarkan Keputusan Direktur Jendral Perlindungan Hutan Dan Konservasi Alam Nomor :SK.28/IV-SET/2012 Tahun Tabel 13. Pengelolaan sumberdaya perikanan yang dilakukan oleh berbagai aktor di Karimunjawa Tabel 14. Musim-musim penangkapan ikan di Karimunjawa Tabel 15. Pemanfaatan sumberdaya perikanan yang dilakukan oleh Nelayan Karimunjawa dan Nelayan Jepara Tabel 16. Jumlah dan Persentase Berdasarkan Jaringan Kerja di Luar Komunitas Nelayan Karimunjawa, Kecamatan Karimunjawa Tahun Tabel 17. Jumlah dan Persentase Berdasarkan Tingkat Partisipasi dan Keanggotaan Kelompok di Luar Nelayan Karimunjawa, Kecamatan Karimunjawa Tahun Tabel 18. Jumlah dan Persentase Berdasarkan Tingkat Kepercayaan Nelayan Karimunjawa, Kecamatan Karimunjawa Tahun Tabel 19. Jumlah dan Persentase Berdasarkan Jaringan Kerja di Luar Komunitas Nelayan Ujungbatu, Kecamatan Jepara Tahun Tabel 20. Jumlah dan Persentase Berdasarkan Tingkat Partisipasi dan Keanggotaan Kelompok di Luar Komunitas Nelayan Jepara, Kecamatan Jepara Tahun Tabel 21. Jumlah dan Persentase Berdasarkan Tingkat Kepercayaan Nelayan Karimunjawa, Kecamatan Karimunjawa Tahun

17 xvii Tabel 22. Jumlah dan Persentase Berdasarkan Persepsi Konflik Nelayan Karimunjawa dan Nelayan Jepara terhadap Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan di TNKJ Tahun Tabel 23. Modal Sosial Menyambung yang dimiliki Nelayan Karimunjawa dan Nelayan Jepara Tabel24. Persentase Hubungan antara Jaringan Kerjadi Luar Komunitas Nelayan Karimunjawa dengan Persepsi konflik Nelayan Karimunjawa di TNKJ, Kecamatan Karimunjawa, Kabupaten Jepara, Provinsi Jawa Tengah Tahun Tabel 25. Persentase Hubungan antara Keanggotaan dalam Organisasi Nelayan Karimunjawa dengan Persepsi Konflik Nelayan Karimunjawa di TNKJ, Kecamatan Karimunjawa, Kabupaten Jepara, Provinsi Jawa Tengah Tahun Tabel 26. Persentase Hubungan antara Tingkat Kepercayaan Nelayan Karimunjawa dengan Persepsi Konflik Nelayan Karimunjawa, Kecamatan Karimunjawa, Kabupaten Jepara, Provinsi Jawa Tengah Tahun Tabel 27.Persentase Hubungan antara Jaringan Kerja di Luar Komunitas Nelayan Jepara dengan Persepsi Konflik Nelayan Jepara di TNKJ, Kecamatan Karimunjawa, Kabupaten Jepara, Provinsi Jawa Tengah Tahun Tabel 28. Persentase Hubungan antara Partisipasi dan Keanggotaan Kelompok di Luar Komunitas dengan Persepsi Konflik Nelayan Jepara di TNKJ, Kecamatan Karimunjawa, Kabupaten Jepara, Provinsi Jawa Tengah Tahun Tabel 29. Persentase Hubungan antara Tingkat Kepercayaan Nelayan Jepara dengan Persepsi Konflik Nelayan Jepara di TNKJ, Kecamatan Karimunjawa, Kabupaten Jepara, Provinsi Jawa Tengah Tahun

18 xviii DAFTAR GAMBAR Nomor Halaman Gambar 1. Gambar 2. Kohesi Sosial sebagai Integrasi antara Modal Sosial Keterikatan Vertikal dengan Modal Sosial Keterikatan Horisontal Keterkaitan antara Modal Sosial Masyarakat dan Pemerintah Gambar 3. Kerangka Pemikiran Gambar 4. Peta Karimunjawa Gambar 5. Peta Kabupaten Jepara Gambar 6. Peta Zonasi Taman Nasional Karimunjawa Tahun Gambar 7. Persentase responden berdasarkan alat tangkap yang digunakan di Karimunjawa Gambar 8. Persentase responden berdasarkan status Nelayan Karimunjawa Gambar 9. Jumlah dan persentase responden berdasarkan teman menangkap ikan di Karimunjawa Gambar 10. Persentase responden berdasarkan alat tangkap yang digunakan oleh Nelayan Jepara Gambar 11. Jumlah dan persentase responden berdasarkan ada tidaknya teman menangkap ikan di Jepara Gambar 12. Kapal yang digunakan untuk menangkap ikan oleh Nelayan Jepara Gambar 13. Jumlah dan persentase responden berdasarkan status nelayan di Jepara... 72

19 xix DAFTAR LAMPIRAN Nomor Halaman Lampiran 1. Dokumentasi Penelitian... 97

20 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Data pokok kelautan dan perikanan menggolongkan Indonesia sebagai negara kepulauan terbesar di dunia karena memiliki luas laut dan jumlah pulau yang banyak. Berdasarkan data indikator fisik Indonesia, luas lautan Indonesia seluas 3,56 juta km 2. Indonesia memiliki panjang garis pantai mencapai km dengan luas wilayah laut mendominasi total luas teritorial Indonesia. Berdasarkan data dari DKP (Departemen Kelautan dan Perikanan) 2007, Indonesia juga dikaruniai sekitar jenis ikan di perairan laut dan tawar. Indonesia berada di wilayah pusat segitiga terumbu karang dunia sehingga memiliki berbagai jenis terumbu karang yang tersebar luas di seluruh wilayah Indonesia. Potensi tersebut menempatkan Indonesia sebagai negara yang dikaruniai sumberdaya kelautan yang besar termasuk kekayaan keanekaragaman hayati dan non hayati. Luas lautan Indonesia yang mendominasi, menempatkan sumberdaya kelautan menjadi salah satu kekayaan alam yang banyak dimanfaatkan oleh masyarakat terutama dalam bidang perikanan. Pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya perikanan pada dasarnya bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan seluruh masyarakat terutama di daerah pesisir. Oleh karena itu, kelestariannya harus dipertahankan sebagai landasan utama untuk mencapai kesejahteraan tersebut. Akan tetapi, pada kenyataannya sampai saat ini pemanfaatan sumberdaya perikanan kurang memerhatikan kelestariannya. Sumberdaya hayati perikanan dan kelautan di Indonesia telah mengalami kerusakan yang sangat parah. Berdasarkan riset Coremap LIPI (Lembaga Ilmu Pengetahuan Indoesia) dan LAPAN (Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional) akhir Tahun , hampir sepertiga kondisi terumbu karang di Indonesia berkategori rusak. Kerusakan juga terjadi di sektor perikanan dimana sumberdaya ikan telah terdegradasi yang menyebabkan menurunnya stok ikan. 1 Pusat data statistik dan informasi kementrian kelautan dan perikanan Data pokok kelautan dan perikanan Diunduh pada tanggal 29 Januari 2012, pukul WIB. 2 Riset Coremap LIPI dan LAPAN akhir tahun Diunduh pada tanggal 20 Desember 2011, pukul WIB.

21 2 Hal ini disebabkan karena sebagian besar WPP (Wilayah Pengelolaan Perikanan) Indonesia telah dieksploitasi secara berlebihan (DKP 2007). Degradasi sumberdaya ikan disebabkan oleh pengelolaan sumberdaya yang tidak ramah lingkungan dengan menggunakan alat tangkap yang merusak kelestarian sumberdaya ikan. Apabila kondisi ini terus terjadi dapat dipastikan potensi sumberdaya perikanan akan semakin menurun. Penurunan sumberdaya perikanan ternyata tidak diikuti dengan penurunan pemanfaatan sumberdaya perikanan seperti yang disebutkan dalam Kep 18/Men/ Pada tahun jumlah nelayan naik terus, yaitu 2,06%, sedangkan ikan makin langka. Penurunan potensi sumberdaya perikanan dan peningkatan jumlah nelayan dapat dipastikan akan meningkatkan persaingan di kalangan nelayan. Tidak menutup kemungkinan persaingan yang semakin ketat akan meningkatkan potensi konflik antar nelayan. Banyak pihak yang memiliki kepentingan dalam pemanfaatan sumberdaya alam bukan hanya masyarakat tetapi pemerintah bahkan swasta juga memiliki kepentingan. Konservasi menjadi suatu desain pengelolaan yang komprehensif dalam rangka mengatasi dergradasi sumber daya kelautan di Indonesia. Taman Nasional Laut adalah bentuk konservasi 4. Taman Nasional Karimunjawa adalah salah satu bentuk konservasi di Indonesia. Konservasi pada dasarnya adalah tindakan melindungi agar tercipta keberlangsungan atau keberlanjutan dari suatu sumberdaya. Penetapan zonasi dalam pemanfaatan sumberdaya perikanan merupakan salah satu tindakan konservasi yang dilakukan oleh Taman Nasional. Penetapan zonasi dilakukan sesuai dengan UU No.5 Tahun Perubahan dari Orde Baru kemudian menjadi Orde Reformasi menghasilkan dua produk hukum baru, yaitu UU No.22 Tahun 1999 dan Keppres tentang Pembentukan Departemen Kelautan dan Perikanan. UU No.22/1999 mengatur beberapa ketetapan dalam pemanfaatan sumberdaya laut. Pertama, menetapkan batas kewenangan dalam pengelolaan sumberdaya perikanan, dimana 12 mil kawasan laut dari garis pantai di bawah kekuasaan pemerintah propinsi dan 4 mil di bawah kekuasaan pemerintah kabupaten/ kota. Kedua, menetapkan 3 Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 18 Tahun 2011 tentang Pedoman Umum Minapolitan. 4 Tertulis di Dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990

22 3 kebijakan pengelolaan berupa kebijakan investasi, perpajakan, pengawasan berbasis masyarakat dan pengembangan kelembagaan (Satria dkk 2002). Selanjutnya, dalam Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 ditetapkan pembagian wilayah tersebut tidak berlaku bagi nelayan kecil Penetapan sistem zonasi dalam pemanfaatan sumber daya perikanan menghadapi banyak kendala. Hal ini juga dialami oleh Taman Nasional Karimunjawa dalam mengelola sumberdaya perikanan di Karimunjawa. Produk hukum dan peraturan yang tidak sinergis merupakan salah satu kendalanya. Pemerintah daerah mengunakan Undang-Undang No.32 Tahun 2004 sesuai dengan peraturan otonomi daerah. Taman Nasional Karimunjawa menggunakan UU No.5 Tahun 1990 untuk mengelola sumberdaya perikanan sesuai dengan landasan hukum konservasi. Pengelolaan yang dilakukan oleh Pemerintah Daerah Jepara dan Balai Taman Nasional Karimunjawa menimbulkan kaburnya batasbatas wilayah pemanfaatan oleh nelayan karena masing-masing pihak menetapkan batas wilayah pemanfaatan perikanan. Kaburnya batas-batas pengelolaan akhirnya menimbulkan perebutan wilayah tangkap dan konflik dalam pemanfaatan kawasan perikanan. Konflik tidak selalu terjadi karena permasalahan tersebut, seringkali konflik terjadi hanya disebabkan oleh kurangnya komunikasi antar komunitas nelayan dengan wilayah geografis dan identitas etnik yang berbeda sehingga aturan main seringkali dilanggar atau terjadi salah tafsir. Kejadian ini menggambarkan menipisnya jaringan antar komunitas nelayan yang memiliki wilayah geografis dan identitas etnik yang berbeda atau yang disebut juga bridging social capital (Grafton 2005; Satria 2009a). Dalam mengelola sumberdaya perikanan diperlukan adanya modal sosial menyambung (bridging social capital) yang baik sehingga tercipta komunikasi yang baik antar nelayan. Komunikasi yang baik antar nelayan dapat mewujudkan kesejahteraan sosial antar nelayan apabila disertai dengan kinerja yang baik oleh pemerintah dalam membuat produk hukum yang sinergis. Berdasarkan fakta-fakta tersebut, maka kajian mengenai hubungan antar Nelayan Jepara dan Karimunjawa dalam pemanfaatan sumberdaya perikanan di Karimunjawa menjadi menarik untuk diteliti.

23 Masalah Penelitian Berdasarkan latar belakang tersebut maka dirumuskan beberapa masalah diteliti, yaitu: 1. Bagaimana pengelolaan sumberdaya perikanan yang dilakukan oleh Pemerintah Daerah Jepara dan Balai Taman Nasional Karimunjawa di Sekitar Taman Nasional Karimunjawa? 2. Bagaimana modal sosial menyambung Nelayan Jepara dan Karimunjawa dalam memanfaatkan sumberdaya perikanan di sekitar Taman Nasional Karimunjawa? 3. Bagaimana hubungan antara modal sosial menyambung dengan persepsi konflik antara Nelayan Jepara dan Karimunjawa dalam memanfaatkan sumberdaya perikanan di Sekitar Taman Nasional Karimunjawa? 1.3. Tujuan Penelitian Berdasarkan perumusan yang telah dipaparkan diatas, maka tujuan dilaksanakannya penelitian adalah sebagai berikut: 1. Menganalisis pengelolaan sumberdaya perikanan yang dilakukan oleh Balai Taman Nasional Karimunjawa dan Pemerintah Daerah Jepara di Sekitar Taman Nasional Karimunjawa. 2. Menganalisis modal sosial menyambung antara Nelayan Jepara dan Karimunjawa dalam memanfaatkan sumberdaya perikanan di sekitar Taman Nasional Karimunjawa. 3. Menganalisis hubungan antara modal sosial menyambung dengan persepsi konflik antara Nelayan Jepara dan Karimunjawa dalam memanfaatkan sumberdaya perikanan di Sekitar Taman Nasional Karimunjawa Kegunaan Penelitian Mengacu kepada tujuan penelitian, maka kegunaan dilaksanakannya penelitian ini terbagi menjadi kegunaan penelitian bagi pemerintah dan akademisi. Kegunaan penelitian adalah sebagai berikut:

24 5 1. Kegunaan Penelitian bagi Pemerintah, Penelitian ini diharapkan dapat menjadi masukan dan bahan pertimbangan untuk pemerintah khususnya dalam membentuk kebijakan pengelolaan sumberdaya perikanan yang sinergis sehingga dalam pemanfaatan sumberdaya perikanan oleh nelayan konflik dapat diperkecil. 2. Kegunaan Penelitian bagi Akademisi, Penelitian ini diharapkan dapat memberikan tambahan hazanah pengetahuan kepada mahasiswa mengenai pengaruh kinerja pemerintah dan modal sosial berupa jaringan kerjasama antar nelayan terhadap kesejahteraan sosial nelayan dan membuka realitas pikiran bagi mahasiswa dalam menanggapi permasalahan ini.

25 6 BAB II PENDEKATAN TEORITIS 2.1. Tinjauan Pustaka Nelayan Nelayan sering didefinisikan sebagai orang yang melakukan kegiatan penangkapan ikan di Laut. UU No 45 Tahun 2009 yang merupakan revisi UU No. 31 Tahun 2004 mendefinisikan nelayan sebagai orang yang mata pencahariannya melakukan penangkapan ikan. Ditjen Perikanan (2000) diacu dalam Satria (2002) mendefinisikan nelayan sebagai orang yang secara aktif melakukan pekerjaan dalam operasi penangkapan ikan/binatang air lainnya/ tanaman air. Selanjutnya, Ditjen Perikanan (2002) dalam Satria (2002) mengklasifikasikan nelayan berdasarkan waktu yang digunakan untuk melakukan pekerjaan operasi penangkapan/ pemeliharaan, yaitu: 1. Nelayan ikan penuh yaitu orang yang seluruh waktu kerjanya digunakan untuk melakukan pekerjaan operasi penangkapan/pemeliharaan ikan/binatang air lainnya/tanaman air 2. Nelayan ikan sambilan yaitu orang yang sebagian waktu kerjanya digunakan untuk melakukan pekerjaan operasi penangkapan/pemeliharaan ikan/binatang air lainnya/tanaman air dan memiliki pekerjaan lain. 3. Nelayan ikan sambilan tambahan yaitu orang yang sebagian kecil waktu kerjanya digunakan untuk melakukan pekerjaan operasi penangkapan/pemeliharaan ikan/binatang air lainnya/tanaman air Berdasarkan kapasitas teknologi (alat tangkap dan armada), orientasi pasar dan karakteristik hubungan produksi, Satria (2002) menggolongkan nelayan menjadi empat tingkatan, yaitu: 1. Peasant fisher yang biasanya hanya berorientasi kepada pemenuhan kebutuhan sendiri. Umumnya, mereka masih menggunakan alat tangkap tradisional duyung maupun sampan tidak bermotor dan masih melibatkan anggota keluarga sebagai tenaga kerja utama.

26 7 2. Post-Peasant fisher yaitu nelayan yang menggunakan teknologi penangkapan ikan yang lebih maju seperti motor tempel atau kapal motor dan tenaga kerjanya tidak bergantung pada anggota keluarga saja. 3. Commercial fisher yaitu nelayan yang telah berorientasi pada peningkatan keuntungan. Skala usahanya sudah besar dan dicirikan dengan banyaknya jumlah tenaga kerja dengan status yang berbeda dari buruh sampai manajer. 4. Industrial-fisher, ciri nelayan industri menurut Pollnac (1988) dalam Satria (2002) adalah: a. Diorganisasi dengan cara-cara yang mirip dengan perusahaan argoindustri di negara-negara maju; b. Secara relatif lebih padat modal; c. Memberi pendapatan yang lebih tinggi daripada perikanan sederhana, baik untuk pemilik maupun awak kapal; dan d. Menghasilkan untuk ikan kaleng dan ikan beku yang berorientasi ekspor Pengelolaan Sumberdaya Perikanan Sebagai sumberdaya yang bersifat kolektif, laut ada yang memiliki dan mengelola sekecil apa pun tingkat pengelolaannya. Dalam pengelolaan sumberdaya kelautan nelayan biasanya memiliki seperangkat hak sebagaimana diklasifikasikan Ostrom dan Schlager (1990) dalam Satria (2009b), yaitu: 1. Hak akses yaitu hak untuk memasuki suatu wilayah sumberdaya yang memiliki batas-batas yang jelas dan untuk menikmati manfaat nonekstraktif. 2. Hak pemanfaatan yaitu hak untuk memanfaatkan sumberdaya atau berproduksi. 3. Hak pengelolaan yaitu hak untuk menentukan aturan operasional pemanfaatan sumberdaya. 4. Hak ekslusi yaitu hak untuk menentukan siapa saja yang boleh memiliki hak akses dan bagaimana hak akses tersebut dialihkan ke pihak lain.

27 8 5. Hak pengalihan yaitu hak untuk menjual atau menyewakan sebagian atau seluruh hak-hak kolektif tersebut diatas. Hak-hak pengelolaan status kepemilikan sumberdaya terhadap pesisir (Tabel 2) akan mengacu pada wilayah penangkapan, teknik penangkapan, peralatan penangkapan, teknologi yang digunakan, bahkan sumberdaya yang ditangkap dan dikumpulkan. Tabel 1. Status Kepemilikan Sumberdaya Alam Tipe Hak Owner Proprietor Claimant Authorized user Authorized entrant Akses X X X X X Pemanfaatan X X X X Pengelolaan X X X Eksklusi X X Pengalihan X Sumber: Ostrom dan Schlager (1996) dalam Satria (2009b) Merujuk pada konsep Berkes dan Scott (1989) dalam Satria (2009b) mengidentifikasi tiga dimensi pengelolaan sumberdaya pesisir oleh masyarakat. Pertama, dimensi normatif yang berisi sistem nilai yang menjadi dasar bagi proses pengelolaan sumberdaya pesisir. Disinilah tujuan pengelolaan dirumuskan. Kedua,adalah dimensi regulatif yang berisi tata pengelolaan sumberdaya pesisir. Ketiga,dimensi kognitif, yang berisi teknik pengelolaan dan pengetahuan lokal. Untuk kasus perikanan, Ruddle (1999) dalam Satria (2009b) mengidentifikasi unsur-unsur tata pengelolaan perikanan sebagai berikut: 1. Batas Wilayah: ada kejelasan batas wilayah yang kriterianya adalah yang mengandung sumberdaya yang bernilai bagi masyarakat. 2. Aturan: berisi hal-hal yang diperbolehkan dan yang dilarang. Dalam dunia perikanan, aturan tersebut biasanya mencakup kapan, dimana, bagaimana, dan siapa yang boleh menangkap. 3. Hak: pengertian hak bisa mengacu kepada seperangkat hak kepemilikan yang dirumuskan Ostorm dan Schlager. 4. Pemegang Otoritas: merupakan organisasi atau lembaga yang dibentuk masyarakat yang dibentuk masyarakat yang bersifat formal maupun

28 9 informal untuk kepentingan mekanisme pengambilan keputusan. Ada pengurus dan susunan disesuaikan dengan kondisi. 5. Sanksi: untuk menegakkan aturan diperlukan sanksi sehingga berlakunya sanksi merupakan indikator berjalan tidaknya suatu aturan. Ada beberapa tipe sanksi: sanksi sosial (seperti dipermalukan atau dikucilkan masyarakat), sanksi ekonomi (denda, penyitaan barang), sanksi formal (melalui mekanisme pengadilan formal), dan sanksi fisik ( pemukulan). 6. Pemantauan dan Evaluasi: terdapat mekanisme pemantauan dan evaluasi oleh masyarakat secara sukarela dan bergilir yang bertujuan untuk meningkatkan efektivitas dan efisiensi pengelolaan. Sumberdaya laut dan perikanan merupakan salah satu sumberdaya yang berbentuk akses terbuka. Akan tetapi pada aplikasinya jarang ada sumberdaya yang sepenuhnya akses terbuka karena selalu ada pengaruh baik dari pemerintah maupun peraturan lokal yang ditetapkan masyarakat. Pengelolaan sumberdaya perikanan di Indonesia didominasi oleh pemerintah. Pemerintah melakukan pengelolaan sumberdaya perikanan oleh dengan menetapkan berbagai aturanaturan seperti UU (Undang-Undang), PP (Peraturan Pemerintah), SK.Menteri (Surat Keputusan Menteri) dan Perda (Peraturan Daerah). Salah satu aturan yang dikeluarkan pemerintah dalam hal pengelolaan laut yaitu UU No.22 Tahun Undang-undang ini mengatur batas wilayah pengelolaan sumberdaya perikanan daerah kabupaten/kota yaitu sejauh sepertiga dari wilyah laut daerah Provinsi atau 4 (empat) mil laut yang diukur dari garis pantai ke arah laut lepas atau perairan kepulauan. Selanjutnya, Undang-Undang No. 32 Tahun Pasal 18 ayat 4,5, dan 6 menjelaskan lebih lanjut mengenai pengelolaan sumberdaya laut, yaitu: 1. Kewenangan untuk mengelola sumberdaya di wilayah laut paling jauh 12 (dua belas) mil laut diukur dari garis pantai ke arah laut lepas dan/atau ke arah perairan kepulauan untuk provinsi dan 1/3 (sepertiga) dari wilayah kewenangan provinsi untuk kabupaten/kota. 5 Undang-Undang No.32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah. Diunduh pada tanggal 18 Maret 2012 pukul WIB.

29 10 2. Apabila wilayah laut diantara 2 (dua) provinsi kurang dari 24 (dua puluh empat) mil, kewenangan untuk mengelola sumberdaya pesisir di wilayah laut dibagi ke dalam jarak yang sama atau diukur sesuai prinsip garis tengah dari wilayah antar 2 (dua) provinsi tersebut, dan untuk kabupaten/kota memperoleh 1/3 (sepertiga) dari wilayah kewenangan provinsi. 3. Ketentuan sebagaimana yang dimaksudkan diatas tidak berlaku terhadap penangkapan ikan oleh nelayan kecil. Batasan wilayah yang sudah ditetapkan, pihak kabupaten/kota mendapatkan kewenangan untuk melakukan eksplorasi, eksploitasi, konservasi, dan pengelolaan kekayaan laut. Eksploitasi atas sumberdaya alam dapat dilakukan dengan melakukan penangkapan ikan oleh nelayan. Dalam melakukan penangkapan ikan nelayan pada umumnya menggunakan alat tangkap. Berdasarkan Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia Nomor 06 Tahun 2010, Alat Penangkapan Ikan di Wilayah Pengelolaan Perikanan Negara Republik Indonesia dikelompokkan menjadi 10 (sepuluh) menurut jenisnya, yaitu: 1. Surrounding nets (Jaring lingkar); 2. Seine nets (Pukat tarik); 3. Trawls (Pukat hela); 4. Dredges (Penggaruk); 5. Lift nets (Jaring angkat); 6. Falling gears (Alat yang dijatuhkan); 7. Gillnets and entangling nets (Jaring insang); 8. Traps (Perangkap); 9. Hooks and lines (Pancing); dan 10. Grappling and wounding (Alat penjepit dan melukai) Identifikasi Pemangku Kepentingan dan Lembaga Terkait Identifikasi pemangku kepentingan dan lembaga terkait merupakan upaya memotret para pelaku dan perannya dalam pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya perikanan dan kelautan di daerah (Satria dkk 2002). Dengan adanya

30 11 identifikasi ini, kita bisa menemukan titik-titik kepentingan antara pemangku kepentingan sehingga dapat memudahkan dalam mengatasi masalah konflik yang selama ini sering terjadi. Identifikasi dilakukan dengan membuat tabel jenis kegiatan yang ada di wilayah laut daerah, jenis pelaku, masalah dan isu pokok, dan lembaga terkait. Selanjutnya, terhadap lembaga atau organisasi sosial juga perlu dilakukan pemetaan dan fungsi baik secara langsung maupun tidak langsung. Hal ini perlu dilakukan sebagai bahan penting dalam perencanaan dan pengelolaan sumberdaya perikanan. Tabel 2 menyajikan bagaimana melakukan identifikasi pemangku kepentingan dan lembaga terkait. Tabel 2. Langkah-langkah Identifikasi Pemangku Kepentingan dan Lembaga Terkait Jenis pelaku Jenis Kegiatan di Masalah dan Isu Lembaga Terkait Daerah Pokok Nelayan Penangkapan ikan dengan mini trawl Konflik dengan nelayan tradisional Dinas Perikanan dan Kelautan (DKP) Kerusakan ekologis HNSI/ organisasi nelayan Nelayan Penangkapan ikan Penataan lokasi bagan DKP dengan bagan HSNI/ organisasi nelayan Pembudidaya Budidaya laut Penataan lokasi DKP ikan HSNI/ organisasi nelayan Pengusaha Pelayaran Jalur-jalur pelayaran Dep.hub pelayaran Pengusaha Penyelaman dan Penataan daerah wisata Dinas Pariwisata wisata wisata bahari Pengusaha pasir Penambangan pasir Kerusakan ekologis Kerugian nelayan Dinas Pertambangan Sumber: Satria dkk Modal sosial Modal sosial merupakan seperangkat nilai, norma, organisasi, kepemimpinan dan jaringan sosial yang berpusat pada kepercayaan dan digunakan untuk mengelola modal fisik, modal uang, sumberdaya manusia, dan sumberdaya alam (Woolcock 1998; Sulaeman dkk 2010). Coleman (1990) dalam Vipriyanti (2007) berpendapat bahwa modal sosial adalah atribut struktur sosial dimana seseorang ada di dalamnya. Modal sosial melekat dalam struktur sosial dan memiliki karakteristik barang publik namun setara dengan modal finansial, modal

31 12 fisik dan modal manusia. Sedangkan Putnam (1993) dalam Lawang (2004) mendefinisikan modal sosial sebagai bagian dari organisasi sosial seperti kepercayaan, norma dan jaringan yang dapat meningkatkan efisiensi masyarakat dengan memfasilitasi tindakan-tindakan yang terkoordinasi. Lawang (2004) merumuskan konsep inti dari modal sosial, yaitu: 1. Kepercayaan yaitu keyakinan bahwa orang lain tidak akan berlaku maupun berniat buruk pada diri kita. 2. Norma adalah nilai-nilai yang bertujuan membangun kegiatan bersama dan menguntungkan bagi semua pihak dapat dilihat dari kemudahan menitipkan anak kepada tetangga, memberikan bantuan fisik, uang dan perilaku pemboncengan. 3. Jaringan kerja yaitu ikatan formal dan informal yang dimiliki seseorang dapat dilihat dari jumlah keanggotaan dalam organisasi serta jumlah teman yang berkeluh kesah kepadanya. Pretty dan Ward (2001) dalam Vipriyanti (2007) mengungkapkan bahwa terdapat empat aspek utama yang dapat membangun modal sosial yaitu (1) Hubungan dari rasa percaya; (2) Resiprositas dan pertukaran; (3) Aturan umum, norma, dan sanksi; (4) Koneksi kerjasama dan kelompok. Modal sosial menurut Uphoff (2000) dalam Yulidar (2003) adalah suatu akumulasi dari beragam jenis aset sosial, psikologis, budaya, kognitif, institusional dan sejenisnya yang meningkatkan jumlah (atau kemungkinan) perilaku kerjasama bagi kepentingan bersama. Uphoff memisahkan modal sosial menjadi dua kategori yang saling terkait yaitu kategori struktural dan kategori kognitif (Tabel 3).

32 13 Tabel 3. Aspek Struktural dan Kognitif Modal Sosial Struktural Kognitif Sumber dan Peran dan aturan Norma manifestasi Network dan hubungan Nilai interpersonal lainnya Tata cara dan keteladanan Sikap Kepercayaan Domain Organisasi sosial Kebudayaan Masyarakat Faktor dinamis Keterkaitan horisontal Keterkaitan vertikal Rasa percaya Solidaritas Kerjasama Kedermawanan Elemen utama Harapan yang mengarah pada perilaku bekerjasama yang menghasilkan manfaat bersama Sumber: Uphoff (2000) dalam Vipriyanti (2007) Woolcock (2000) dalam Vipriyanti (2007) membedakan modal sosial atas tiga tipe yaitu : modal sosial yang mengait (bonding social capital), modal sosial menyambung (bridging social capital) dan modal sosial mengait (linking social capital). Tipologi modal sosial dilihat dari bagaimana pola-pola interaksi yang terjadi dalam masyarakat. 1. Bonding Social Capital (Modal Sosial Mengikat) Modal sosial terikat cenderung bersifat ekslusif. Apa yang menjadi karakteristik dasar yang melekat pada tipologi ini, sekaligus sebagai ciri khasnya, yaitu baik kelompok maupun anggota kelompok, dalam konteks ide, relasi dan perhatian, lebih berorientasi kedalam dibandingkan berorientasi ke luar. Ragam masyarakat atau individu yang menjadi anggota kelompok ini umumnya memiliki persamaan. Misalnya, seluruh anggota kelompok berasal dari suku yang sama. Apa yang menjadi perhatian terfokus pada upaya menjaga nilai-nilai yang turuntemurun telah diakui dan dijalankan sebagai bagian dari tata perilaku dan perilaku moral dari suku atau entitas sosial tersebut. Mereka cenderung konservatif dan lebih mengutamakan kebersamaan atau solidaritas daripada hal-hal yang lebih nyata untuk membangun diri dan kelompok sesuai dengan tuntutan nilai-nilai dan norma masyarakat yang lebih terbuka (Hanafri 2009). Modal sosial yang bersifat mengikat berinteraksi secara intensif, langsung (face to face), dan saling

33 14 mendukung, contohnya ikatan kekeluargaan, bertetangga atau bersahabat (Vipriyanti, 2007). 2. Bridging Social Capital (Modal Sosial Menyambung) Bentuk modal sosial ini atau biasa juga disebut bentuk modern dari suatu pengelompokan, group, asosiasi atau masyarakat. Menurut Woolcock (2000) dalam Vipriyanti (2007), modal sosial menyambung adalah keterhubungan yang terbentuk dari interaksi antar kelompok dalam suatu wilayah dengan frekwensi yang relatif lebih rendah seperti kelompok agama, etnis, atau tingkat pendapatan tertentu. Prinsip-prinsip pengorganisasian yang dianut didasarkan pada prinsipprinsip universal tentang persamaan dan kemanusiaan, terbuka dan mandiri. Pertama yaitu persamaan bahwasanya setiap anggota dalam suatu kelompok memiliki hak-hak dan kewajiban yang sama. Kedua, adalah kebebasan, bahwasanya setiap anggota kelompok bebas berbicara, mengemukakan pendapat dan ide yang dapat mengembangkan kelompok tersebut. Ketiga, adalah kemajemukan dan humanitarian. Bahwasanya nilai-nilai kemanusiaan, penghormatan terhadap hak asasi setiap anggota dan orang lain merupakan prinsip-prinsip dasar dalam pengembangan asosiasi, grup, kelompok atau suatu masyarakat tertentu. Dengan sikap yang melihat ke luar memungkinkan untuk menjalin koneksi dan jaringan kerja yang saling menguntungkan dengan asosiasi atau kelompok di luar kelompoknya (Hanafri 2009). Sebagai konsekuensinya, masyarakat yang menyandarkan pada modal sosial menyambung biasanya heterogen dari berbagai ragam unsur latar belakang budaya dan suku. Setiap anggota kelompok memiliki akses yang sama untuk membuat jaringan atau koneksi keluar kelompoknya dengan prinsip persamaan, kemanusiaan, dan kebebasan yang dimiliki. Modal sosial menyambung akan membuka jalan untuk lebih cepat berkembang dengan kemampuan menciptakan jaringan (networking) yang kuat, menggerakkan identitas yang lebih luas dan resiprositas (pertukaran antar individu dan kelompok yang timbal-balik) yang lebih variatif, serta akumulasi ide yang lebih memungkinkan untuk berkembang sesuai dengan prinsip-prinsip pembangunan yang lebih diterima secara universal.

34 15 3. Linking Social Capital (Modal Sosial Mengait) Modal sosial yang berhubungan menunjuk pada sifat dan luas hubungan vertikal diantara kelompok orang yang mempunyai saluran terbuka untuk akses sumberdaya dan kekuasaan dengan siapa saja. Hubungan antara pemerintah dan komunitas termasuk di dalam modal sosial mengait. Sektor umum (seperti negara dan institusinya) adalah pusat untuk kegunaan dan kesejahteraan masyarakat (Hanafri 2009). Colletta dan Cullen (2000) dalam Yulidar (2003) menguraikan hubungan bidang sosial vertikal dan horizontal dengan kohesi sosial yang disajikan dalam Gambar 1. Negara dan pasar Modal sosial vertikal Modal sosial horizontal Kohesi sosial tinggi, konflik rendah: Akses dan kesamaan atas peluang Ketercakupan Masyarakat terbuka bonding bridging Kohesi sosial rendah, konflik tinggi: Ketidakadilan dan ketidaksamaan Keterpisahan Masyarakat tertutup Komunitas dan individu Sumber: Colleta dan Cullen, 2000 dalam Yulidar, 2003 Gambar 1. Kohesi Sosial sebagai Integrasi antara Modal Sosial Keterikatan Vertikal dengan Modal Sosial Keterikatan Horisontal Kuat atau lemahnya ikatan suatu kelompok dikenal dengan kohesi sosial yang merupakan variabel kunci yang berada diantara konflik dan modal sosial. Jika kohesi dalam suatu kelompok rendah (ditandai oleh adanya eksklusi, aturan yang otoriter, birokrasi yang tidak efisien, masyarakat yang tertutup dan

35 16 terjadinya ketidakadilan) maka konflik akan berlangsung secara keras atau ekstrim. Sebaliknya, jika kohesi di dalam suatu kelompok tinggi (ditandai oleh adanya inklusi, aluran yang demokrasi, birokrasi yang tidak efisien, masyarakat yang terbuka dan keadilan mengakses peluang) maka konflik berlangsung dalam tingkat yang lebih rendah. Konsep modal sosial merupakan konsep yang relevan baik di tingkat mikro, meso dan makro. Pada tingkat makro, modal sosial mencakup institusi seperti pemerintah, aturan hukum, hak sipil dan kebebasan politik. Pada tingkat meso dan mikro, modal sosial merujuk pada jaringan kerja dan norma yang membangun interaksi antar individu, rumah tangga, dan masyarakat. Modal sosial pada tingkat makro mencakup institusi seperti pemerintah. Woolcock dan Narayan (2000) dalam Vipriyanti (2007) menunjukkan bahwa terdapat keterkaitan antara modal sosial dengan kinerja pemerintah. Gambar 2 menyajikan bagaimana modal sosial yang dimiliki oleh masyarakat berpengaruh terhadap kinerja pemerintahan. Well Fuctioning State Low Level of Bridging Social Capital Exclution (Latent Conflict) Conflict Social And Economic Wellbeing Coping High Level of Bridging Social Capital Dysfunctional State Sumber: Woolcock dan Narayan, 2000 dalam Vipriyanti, 2007 Gambar 2. Keterkaitan antara Modal Sosial Masyarakat dan Pemerintah Kinerja pemerintah yang baik dan modal sosial yang kuat akan menciptakan kesejahteraan baik ekonomi maupun sosial. Sebaliknya,apabila kinerja pemerintah buruk dan modal sosial lemah maka akan berpeluang untuk terjadinnya konflik laten. Apabila kinerja pemerintah buruk maka konflik akan

36 17 muncul ke permukaan. Kuatnya modal sosial namun tidak disertai dengan kinerja pemerintahan yang baik akan mendorong terjadinya coping. Kelompok kelompok yang memiliki modal sosial kuat akan mengambil alih fungsi-fungsi formal pemerintahan Hubungan Antar Nelayan Secara sosiologis, kajian konflik merupakan bagian dari kajian proses sosial. Proses sosial sendiri adalah cara-cara berhubungan yang dapat diamati jika perorangan atau kelompok manusia saling bertemu. Menurut Gillin dan Gillin dalam Murdiyatmoko (2007) proses sosial ada dua bentuk yaitu proses sosial yang bersifat asosiatif dan proses sosial yang bersifat disosiatif. Proses sosial yang asosiatif, yaitu: 1. Kerjasama yang merupakan suatu usaha bersama antara orang atau kelompok manusia untuk mencapai suatu atau beberapa tujuan bersama. Kerjasama dapat dibagi menjadi tiga bentuk. Pertama, bargaining yang merupakan pelaksanaan perjanjian mengenai pertukaran barang-barang dan jasa-jasa antara dua organisasi. Kedua, co-optation yang merupakan proses penerimaan unsur-unsur baru dalam kepemimpinan atau pelaksanaan politik dalam suatu organisasi. Ketiga, coalition yang merupakan kombinasi antara dua organisasi yang berbeda tetapi memiliki tujuan-tujuan yang sama. Untuk sementara waktu akan terjadi stabilitas dalam struktur sosial akan tetapi karena ingin mencapai tujuan bersama maka dapat terjadi kerjasama. 2. Akomodasi dipergunakan dalam dua arti, yaitu untuk merujuk pada suatu keadaan dan pada suatu proses. Sebagai suatu keadaan, akomodasi berarti suatu keadaan seimbang dalam interaksi antar orang dan kelompok sehubungan dengan norma-norma sosial dan nilai-nilai sosial yang berlaku dalam masyarakat. Sebagai suatu proses, akomodasi menunjuk pada usaha-usaha untuk meredakan suatu pertentangan untuk mencapai kestabilan. 3. Asimilasi adalah sutu proses mengembangkan sikap-sikap yang sama. Asimilasi bertujuan untuk mencapai kesatuan atau integrasi dalam

37 18 organisasi sehingga dua kelompok yang berasimilasi dapat menghilangkan perbedaan diantara mereka. 4. Akulturasi adalah suatu proses sosial dimana suatu kelompok mendapatkan suatu unsur kebudayaan yang baru sebagai akibat dari pergaulan yang intensif dan lama dengan kelompok yang lain tanpa harus membentuk kebudayaan baru. Proses sosial yang asosiatif bersifat mendekatkan antara satu kelompok dengan kelompok lainnya. Berbeda dengan proses sosial dissosiatif yang bersifat menjauhkan satu kelompok dengan kelompok lainnya. Proses sosial disosiatif terdiri dari: 1. Persaingan yaitu suatu proses sosial ketika seseorang mencari keuntungan dari segala aspek kehidupan. Sepanjang proses persaingan masing-masing pihak berusaha untuk menarik perhatian publik untuk menguasai opini publik tanpa melakukan kegiatan-kegiatan yang bersifat ancaman atau pun kekerasan 2. Kontravensi yaitu bentuk proses sosial yang berada diantara persaingan dan konflik. Jika persaingan yang terjadi diikuti dengan gejala-gejala ketidakpastian, keraguan tentang sikap seseorang dan sikap tersembunyi atas gagasan dan budaya yang dimilikinya. Sikap tersembunyi dapat berkembang menjadi rasa benci dan curiga tetapi tidak menunjukkan indikasi pertentangan atau pun pertikaian di kedua belah pihak. 3. Konflik yaitu suatu kondisi dimana terdapat ketegangan dalam hubungan antar seseorang atau kelompok karena dikuasai amarah yang berlebihan. Situasi konflik ditandai dengan tindakan menentang pihak lain yang diikuti dengan ancaman dan tindakan kekerasan ( Soekanto 2002). Lebih ekstrim lagi, tindakan ini dilakukan dengan perasaan ingin melukai dan menghancurkan pihak lawan sehingga tidak jarang terjadi perkelahian atau bentrokan antara kedua belah pihak. Konflik pada dasarnya terjadi bila dalam satu peristiwa terdapat dua atau lebih pendapat atau tindakan yang dipertimbangkan, konflik tidak harus berarti perseteruan meski situasi ini dapat menjadi bagian dari situasi konflik. Fisher dkk

38 19 (2001), menjelaskan konflik sebagai hubungan antara dua pihak atau lebih (individu atau kelompok) yang memiliki atau yang merasa memiliki sasaransasaran yang tidak sejalan. Konflik terjadi ketika tujuan dalam masyarakat tidak sejalan. Konflik timbul karena adanya ketidakseimbangan antara hubungan hubungan sosial, seperti kesenjangan status sosial, kurang meratanya kemakmuran dan akses yang tidak seimbang yang kemudian menimbulkan masalah diskriminasi. Soekanto (2002) memberikan definisi konflik sebagai suatu proses sosial dimana individu atau kelompok berusaha untuk memenuhi tujuannya dengan jalan menentang pihak lawan yang disertai dengan ancaman atau kekerasan. Faktor penyebab utama terjadinya pertentangan adalah perbedaan individu yang meliputi perbedaan pendirian dan perasaan, perbedaan budaya yang berpengaruh pada kepribadian setiap individu, perbedaan kepentingan (dalam ekonomi, politik, dan lain sebagainya), dan perubahan sosial terhadap nilai dalam masyarakat. Bentukbentuk pertentangan (conflict) menurut Soekanto (2002) antara lain: 1. Pertentangan pribadi yaitu pertentangan antara dua orang dimana masingmasing pihak berusaha untuk memusnahkan pihak lawannya. 2. Pertentangan rasial yaitu pertentangan yang dilatarbelakangi oleh penampakan individu, perbedaan kepentingan dan kebudayaan. 3. Pertentangan antar kelas sosial yaitu pertentangan yang disebabkan oleh perbedaan kepentingan individu yang menempati kelas yang berbeda. 4. Pertentangan politik yaitu pertentangan antar golongan kelompok dalam masyarakat. Konflik nelayan adalah masalah yang perlu dicermati oleh karena itu berdasarkan berbagai kajian empiris yang telah dilakukan Satria (2006) dalam Satria (2009a) mengidentifikasikan konflik menjadi 7 tipologi, yaitu: 1. Konflik kelas, yaitu konflik antar kelas sosial nelayan dalam memperebutkan wilayah penangkapan, yang digambarkan dengan kesenjangan teknologi penangkapan ikan.

39 20 2. Konflik kepemilikan, yaitu konflik yang sering terjadi akibat dari isu kepemilikan sumberdaya, dimana kepemilikan laut serta ikan tidak dapat terdefinisi secara jelas milik siapa. 3. Konflik pengelolaan sumberdaya, yaitu konflik yang terjadi akibat pelanggaran aturan pengelolaan serta adanya isu-isu siapa yang berhak mengelola sumberdaya perikanan atau laut. 4. Konflik cara produksi/alat tangkap, yaitu konflik yang terjadi akibat perbedaan alat tangkap baik sesama alat tangkap tradisional maupun antara alat tangkap tradisional dan alat tangkap modern yang merugikan salah satu pihak. 5. Konflik lingkungan, yaitu konflik akibat kerusakan lingkungan karena praktek satu pihak yang merugikan nelayan lain. 6. Konflik usaha, yaitu konflik yang terjadi di darat sebagai akibat mekanisme harga maupun sistem bagi hasil yang merugikan sekelompok nelayan. 7. Konflik primordial, yaitu konflik yang terjadi akibat perbedaan primordial/identitas (ras, etnik, dan asal daerah). Akan tetapi konflik konflik primordial tidak pernah berdiri sendiri atau menjadi penyebab utama Kinseng (2007) membagi konflik sumberdaya yang terjadi di kalangan umum nelayan mencakup dua kategori utama. Pertama, konflik yang terjadi diantara sesama nelayan itu sendiri atau konflik internal. Kedua, konflik antara nelayan dengan pihak-pihak non-nelayan atau konflik eksternal. Konflik yang sering terjadi pada masyarakat nelayan sering tidak dapat diselesaikan. Kegagalan dalam menyelesaikan konflik terjadi karena kurang memahami asal-usul masalah sehingga langkah penyelesaian yang dilakukan tidak tepat sasaran. Oleh karena itu, Fishers dkk (2000) dalam Satria (2002) menjabarkan beberapa penyebab konflik, yaitu:

40 21 1. Teori Hubungan Masyarakat Konflik terjadi disebabkan oleh kegagalan dalam interaksi sosial karena arogansi masing-masing kelompok. Arogansi kelompok tersebut menimbulkan polarisasi yang berkepanjangan. Bahkan tidak jarang diikuti pula dengan ketidakpercayaan dan permusuhan antar kelompok yang berbeda dalam masyarakat. 2. Teori Negosiasi Prinsip Konflik terjadi karena terdapat perbedaan kepentingan dan ketidakselarasan di antara dua pihak yang tidak dapat memisahkan antara perasaan pribadi dari berbagai masalah dan isu. 3. Teori Kebutuhan Manusia Konflik terjadi ketika kebutuhan mendasar setiap manusia dihambat atau dibatasi seseorang atau suatu kelompok. Hambatan yang dirasakan akan menimbulkan perlawanan dari kelompok yang terdeskriminasi untuk memperjuangkan hak-hak mereka. 4. Teori Identitas Upaya penghancuran suatu kelompok masyarakat karena kekuasaan ataupun karena dendam sejarah akibat penderitaan masa lalu. Tindakan suatu kelompok dalam hal ini menjadi ancaman dan ketakutan bagi kelompok lain. 5. Teori Kesalahpahaman Antarbudaya Konflik terjadi karena kurangnya pengetahuan akan budaya lain. Selain itu, konflik semacam ini juga muncul karena streotipe negatif yang dibentuk satu pihak terhadap pihak lain yang mengurangi rasa saling menghormati di antara mereka. 6. Teori Transformasi Konflik Konflik terjadi karena ketidaksetaraan dan ketidakadilan yang muncul sebagai akibat masalah-masalah sosial, budaya dan ekonomi. Ketidaksetaraan dan ketidakadilan ini seringkali terbangun dalam struktur

41 22 sosial suatu masyarakat sehingga subordinasi ini dirasakan sebagai tekanan yang terus menerus. Berbagai bentuk kemungkinan intervensi dapat dilakukan apabila sifatsifat konflik yang memiliki potensi dan tantangan sendiri dapat digambarkan. Fisher dkk (2001) dalam Sembiring dkk (2010) mengajukan sifat konflik, yaitu: 1. Tanpa konflik, yaitu kesan umumnya baik. Dalam kehidupan bersifat dinamis, memanfaatkan konflik perilaku tujuan serta mengelola konflik secara kreatif. 2. Konflik laten, sifatnya tersembunyi dan perlu diangkat ke permukaan sehingga dapat ditangani secara efektif. 3. Konflik terbuka, berakar dalam dan sangat nyata. Memerlukan berbagai tindakan untuk mengatasi akar penyebab dan berbagai efeknya. 4. Konflik di permukaan, memiliki akar yang dangkal atau tidak berakar dan muncul hanya karena kesalahpahaman mengenai sasaran dimana dapat diatasi dengan komunikasi. Untuk menganalisis berbagai kasus konflik, Fisher dkk (2000) dalam Shaliza (2004) menawarkan penggunaan beberapa alat bantu yang dapat dikombinasikan satu dengan yang lainnya. Diantaranya sebagai berikut: 1. Urutan kejadian yang dipergunakan untuk menenunjukkan sejarah suatu konflik berdasarkan waktu kejadiannya (tahun, bulan, hari sesuai skalanya) yang ditampilkan secara berurutan. 2. Penahapan konflik yang dipergunakan untuk menganalisis berbagai dinamika yang terjadi pasa masing-masing tahap konflik. Analisis tersebut meliputi lima tahap yaitu prakonflik, konfrontasi, krisis, akibat dan pascakonflik. Pemetaan konflik yang merupakan visualisasi terhadap hubungan-hubungan dinamis antara pihak-pihak yang terlibat konflik. Selain ditujukan untuk mengidentikasi masalah atau isu-isu yang dihadapu oleh masing-masing pihak, alat ini juga berguna untuk menganalisis tingkat dan jenis hubungan di antara pihak-pihak tersebut.

42 Kerangka penelitian Indonesia merupakan negara kepulauan dan hampir dua per tiga luas wilayahnya merupakan perairan yang memiliki potensi besar di bidang perikanan. Luas lautan Indonesia seluas 3,56 juta km 2 dengan hak pengelolaan dan pemanfaatan Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) seluas 2,7 juta km 2. Disamping itu, Indonesia memiliki panjang garis pantai mencapai km merupakan suatu khasanah tersendiri yang sangat potensial untuk dikembangkan mulai dari usaha pertambakan hingga industri pariwisata. Sumberdaya perikanan dan kelautan Indonesia yang kaya menjadi daya tarik bagi masyarakat Indonesia untuk memanfaatkannya. Sumberdaya perikanan merupakan sumberdaya yang bersifat akses terbuka dimana setiap pihak dapat memanfaatkannya. Akan tetapi, pada kenyataannya tidak ada sumberdaya yang sepenuhnya bersifat akses terbuka karena adanya sistem pemerintahan dan masyarakat yang memiliki aturan dalam memanfaatkan sumberdaya perikanan. Pengelolaan sumberdaya perikanan di Indonesia bersifat desentralistik dimana pemerintah daerah memiliki kewenangan untuk mengatur potensi sumberdaya perikanan yang dimiliki. Pengelolaan sumberdaya perikanan dilandasi oleh Undang-Undang, Keputusan Menteri, dan peraturan-peraturan pemerintah. Sumberdaya perikanan yang potensial di Indonesia menempatkan perikanan sebagai salah satu sumber mata pencaharian masyarakat di Indonesia. Berkembangnya pemanfaatan sumberdaya perikanan dapat dilihat dari semakin bertambahnya jumlah nelayan di Indonesia. Kondisi tersebut dapat meningkatkan persaingan antar nelayan dalam memperebutkan wilayah tangkap. Persaingan yang semakin ketat dapat menghasilkan konflik. Konflik seringkali hanya disebabkan oleh karena kurangnya komunikasi. Kejadian ini menggambarkan menipisnya jaringan antar komunitas nelayan yang memiliki wilayah geografis dan identitas etnik yang berbeda atau yang disebut juga bridging social capital. Tingkat bridging social capital dapat di lihat dari partisipasi dan keanggotaan kelompok di luar komunitas, jaringan kerja di luar komunitas, tingkat kepercayaan.

43 24 Kerangka Pemikiran UU No.32 Tahun 2004 UU No 5 Tahun 1990 Pengelolaan sumberdaya perikanan oleh Pemerintah Daerah Pengelolaan sumberdaya perikanan oleh Balai Taman Nasional Karimunjawa Pemanfaatan sumberdaya perikanan oleh Nelayan Jepara Pemanfaatan sumberdaya perikanan oleh Nelayan Karimunjawa Tingkat Bridging Social Capital Partisipasi dan Keanggotaan Kelompok di Luar Komunitas Pengurus organisasi keagamaan Pengurus organisasi partai politik Pengurus organisasi nelayan Kehadiran rapat pengurus/ anggota (kelompok/perkumpulan) Jaringan Kerja di Luar Komunitas Merasa bagian komunitas nelayan Merasa sebagai tim saat bekerja Memiliki teman atas jaringan kerja Teman di luar daerah yang berhubungan dengan pekerjaan Tingkat Kepercayaan Terbuka dengan nelayan dari luar komunitas Saling memberikan pinjaman Saling memberikan bantuan Merasa aman hidup dengan komunitas lain Hubungan antara nelayan Persepsi Konflik Gambar 3. Kerangka Pemikiran Keterangan: Mempengaruhi : Aspek yang diteliti :

44 Hipotesis Penelitian Mengacu pada tujuan penelitian, kerangka pendekatan studi penelitian, serta beberapa literatur maka hipotesis dalam penelitian ini adalah terdapat hubungan antara modal sosial menyambung (bridging social capital) Nelayan Jepara dan Karimunjawa dengan persepsi konflik antara Nelayan Karimunjawa dan Jepara dalam memanfaatkan sumberdaya perikanan di sekitar Taman Nasional Karimunjawa Definisi konseptual 1. Pengelolaan sumberdaya perikanan adalah bagaimana pihak-pihak yang berwenang mengelola sumberdaya perikanan dimana didalamnya terdapat unsur-unsur berupa: a. Aturan: berisi hal-hal yang diperbolehkan dan yang dilarang. Dalam dunia perikanan, aturan tersebut biasanya mencakup kapan, dimana, bagaimana, dan siapa yang boleh menangkap. b. Hak: pengertian hak bisa mengacu kepada seperangkat hak kepemilikan yang dirumuskan Ostorm and Schlager. c. Pemegang Otoritas: merupakan organisasi atau lembaga yang dibentuk masyarakat yang dibentuk masyarakat yang bersifat formal maupun informal untuk kepentingan mekanisme pengambilan keputusan. Ada pengurus dan susunan disesuaikan dengan kondisi. d. Sanksi: untuk menegakkan aturan diperlukan sanksi sehingga berlakunya sanksi merupakan indikator berjalan tidaknya suatu aturan. Ada beberapa tipe sanksi: sanksi sosial (seperti dipermalukan atau dikucilkan masyarakat), sanksi ekonomi (denda, penyitaan barang), sanksi formal (melalui mekanisme pengadilan formal), dan sanksi fisik ( pemukulan). e. Pemantauan dan Evaluasi: terdapat mekanisme pemantauan dan evaluasi oleh masyarakat secara sukarela dan bergilir yang bertujuan untuk meningkatkan efektivitas dan efisiensi pengelolaan.

45 26 2. Pemanfaatan sumberdaya perikanan adalah cara yang dilakukan untuk memanfaatkan sumberdaya perikanan. 3. Hubungan antar nelayan adalah sebuah ikatan yang terbentuk dari komunikasi antar nelayan. Ikatan tersebut dapat bersifat asosiatif dan disosiatif. Ikatan yang bersifat asosiatif terdiri dari kerjasama, asimilasi, akulturisme dan akomodasi. Sedangkan ikatan yang bersifat disosiatif terdiri dari persaingan, kontravensi dan konflik Definisi Operasional 1. Tingkat modal sosial menyambung adalah tingkat keterhubungan yang terbentuk dari interaksi antar kelompok yang memiliki perbedaan agama, etnis, atau tingkat pendapatan tertentu (Woolcock 2000; Vipriyanti 2007). Tingkat modal sosial menyambung dapat di ukur dengan menggunakan indikator: a. Partisipasi dan Keanggotaan Kelompok di Luar Komunitas b. Jaringan kerja di luar komunitas adalah ikatan ikatan formal dan informal yang dimiliki seseorang c. Tingkat kepercayaan 2. Partisipasi dan Keanggotaan Kelompok di Luar Komunitas adalah keikutsertaan kelompok nelayan dalam suatu komunitas di luar kelompoknya dapat diukur dengan menggunakan indikator: a. Menjadi pengurus/anggota organisasi keagamaan (jika tidak sama sekali diberikan skor 1, tidak diberikan skor 2, ya diberikan skor 3, pasti diberikan skor 4). b. Menjadi pengurus/anggota organisasi partai politik (jika tidak sama sekali diberikan skor 1, tidak diberikan skor 2, ya diberikan skor 3, pasti diberikan skor 4).

46 27 c. Menjadi pengurus/anggota organisasi nelayan (jika tidak sama sekali diberikan skor 1, tidak diberikan skor 2, ya diberikan skor 3, pasti diberikan skor 4). d. Kehadiran rapat pengurus/ anggota (kelompok/perkumpulan) (jika tidak sama sekali diberikan skor 1, tidak diberikan skor 2, ya diberikan skor 3, pasti diberikan skor 4). 3. Jaringan kerja di luar komunitas adalah ikatan ikatan formal dan informal yang dimiliki seseorang dapat dilihat dari jumlah keanggotaan dalam organisasi serta jumlah teman yang berkeluh kesah kepadanya, dapat diukur dengan menggunakan indikator: a. Merasa bagian komunitas nelayan (jika tidak sama sekali diberikan skor 1, tidak diberikan skor 2, ya diberikan skor 3, pasti diberikan skor 4). b. Merasa sebagai tim saat bekerja melaut (jika tidak sama sekali diberikan skor 1, tidak diberikan skor 2, ya diberikan skor 3, pasti diberikan skor 4). c. Memiliki teman atas jaringan kerja sebagai nelayan (jika tidak sama sekali diberikan skor 1, tidak diberikan skor 2, ya diberikan skor 3, pasti diberikan skor 4). d. Teman di luar daerah yang berhubungan dengan pekerjaan sebagai nelayan (jika tidak sama sekali diberikan skor 1, tidak diberikan skor 2, ya diberikan skor 3, pasti diberikan skor 4). 4. Tingkat kepercayaan adalah keyakinan bahwa orang lain tidak akan berlaku maupun berniat buruk pada diri kita dapat diukur dengan menggunakan indikator sebagai berikut: a. Sikap terbuka dengan nelayan dari luar komunitas (jika sangat tidak setuju diberikan skor 1, tidak setuju diberikan skor 2, setuju diberikan skor 3, sangat setuju diberikan skor 4).

47 28 b. Saling memberikan pinjaman (jika sangat tidak setuju diberikan skor 1, tidak setuju diberikan skor 2, setuju diberikan skor 3, sangat setuju diberikan skor 4). c. Saling memberikan bantuan (jika sangat tidak setuju diberikan skor 1, tidak setuju diberikan skor 2, setuju diberikan skor 3, sangat setuju diberikan skor 4). d. Merasa aman hidup dengan komunitas lain (jika sangat tidak setuju diberikan skor 1, tidak setuju diberikan skor 2, setuju diberikan skor 3, sangat setuju diberikan skor 4). 5. Persepsi Konflik adalah pandangan mengenai suatu kondisi dimana terdapat ketegangan dalam hubungan antar seseorang atau kelompok karena dikuasai amarah yang berlebihan, dapat diukur dengan menggunakan indikator: a. Ancaman terhadap nelayan luar komunitas (jika tidak pernah diberikan skor 1, pernah diberikan skor 2, sering diberikan skor 3, sangat sering diberikan skor 4 ). b. Penyitaan atau perusakan alat tangkap nelayan luar komunitas (jika tidak pernah diberikan skor 1, pernah diberikan skor 2, sering diberikan skor 3, sangat sering diberikan skor 4 ). c. Pembakaran atau pengrusakan kapal nelayan luar komunitas (jika tidak pernah diberikan skor 1, pernah diberikan skor 2, sering diberikan skor 3, sangat sering diberikan skor 4 ). d. Pemukulan atau tindakan fisik kepada nelayan luar komunitas (jika tidak pernah diberikan skor 1, pernah diberikan skor 2, sering diberikan skor 3, sangat sering diberikan skor 4 ).

48 29 BAB III PENDEKATAN LAPANGAN 3.1. Metode Penelitian Penelitian ini menggunakan metode kuntitatif dan kuantitatif. Metode kuantitatif dengan menggunakan survei melalui instrumen kuesioner untuk mengetahui bagaimana tingkat modal sosial menyambung dan persepsi konflik antara Nelayan Karimunjawa dengan Nelayan Jepara dan pengelolaan sumberdaya perikanan yang dilakukan oleh Balai Taman Nasional Karimunjawa dan Pemerintah Daerah Jepara. Hasil survai yang didapat kemudian menjadi dasar untuk menganalisis bagaimana hubungan antara modal sosial menyambung terhadap hubungan antara Nelayan Karimunjawa dan Nelayan Jepara dalam memanfaatkan sumberdaya perikanan di Taman Nasional Karimunjawa akibat pengelolaan yang dilakukan oleh Balai Taman Nasional Karimunjawa dan Pemerintah Daerah Jepara. Metode kualitatif digunakan untuk mempertajam data dari metode kuantitatif yang dilakukan dengan wawancara mendalam mengenai pengelolaan sumberdaya perikanan oleh Taman Nasional Nasional Karimunjawa dan Pemerintah Daerah Jepara, pemanfaatan sumberdaya perikanan di Taman Nasional Karimunjawa oleh Nelayan Karimunjawa dan Nelayan Jepara. Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah explanatory research, yaitu untuk menguji hubungan antarvariabel yang dihipotesiskan. Sementara strategi penelitian yang digunakan adalah studi kasus yaitu suatu strategi penelitian multi-metode, lazimnya memadukan teknik pengamatan, wawancara, dan analisis dokumen (Sitorus 1998) Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilakukan di dua tempat yaitu Desa Karimunjawa dan Kabupaten Jepara, Propinsi Jawa Tengah. Penentuan lokasi penelitian dilakukan secara sengaja (purposive). Pemilihan lokasi penelitian ini dengan pertimbangan kondisi Laut di Taman Nasional Karimunjawa dikelola oleh pemerintah daerah dan Taman Nasional Karimunjawa. Nelayan Karimunjawa diatur oleh sistem pengelolaan Taman Nasional Karimunjawa sementara Nelayan Jepara diatur oleh

49 30 pengelolaan dari Pemerintah daerah. Sementara, pemanfaatan perikanan di Taman Nasional Karimunjawa tidak hanya dilakukan oleh Nelayan Karimunjawa tetapi juga nelayan dari Jepara. Pertemuan antara dua nelayan dapat menimbulkan konflik apabila tidak terdapat bridging social capital yang baik. Desa Karimunjawa dan Kabupaten Jepara dipilih sebagai tempat penelitian karena diharapkan dapat memberikan manfaat dan solusi dari permasalahan yang diteliti oleh penulis terhadap masyarakat Desa Karimunjawa. Pengumpulan data sekunder, dan data primer akan dilakukan selama satu bulan, dimulai pada bulan April bulan Mei 2012 (Tabel 4). Dalam kurun waktu satu bulan tersebut peneliti mengumpulkan semua data dan informasi yang akan digunakan dalam penyusunan skripsi. Tabel 4. Jadwal Pelaksanaan Penelitian Tahun 2012 Kegiatan April Mei Juni Juli Agustus No I Studi Lapang Pengumpul an data Analisis data II III Konsultasi data Penulisan laporan Analisis lanjutan Penyusuna n draft revisi Konsultasi laporan Ujian Skripsi Ujian Perbaikan dan pengganda an skripsi

50 Jenis Data dan Metode Pengumpulan Data Jenis data yang dikumpulkan dalam penelitian ini adalah data primer dan data sekunder. Data primer merupakan data yang pengumpulannya dilakukan sendiri oleh peneliti. Data tersebut didapatkan langsung dari responden dan informan dengan menggunakan kuesioner dan wawancara mendalam, serta hasil pengamatan langsung. Data primer berupa data bagaimana tingkat bridging social capital nelayan dan pengelolaan yang dilakukan oleh Balai Taman Nasional dan Pemerintah Daerah. Pengumpulan data dalam penelitian ini juga menggunakan data sekunder. Data sekunder adalah data yang dikumpulkan oleh pihak lain dan sudah diolah oleh pihak lain tersebut. Sumber data sekunder dapat diperoleh dari Kantor Desa Karimunjawa, Kantor Kabupaten Jepara, serta buku, internet, jurnal-jurnal penelitian, skripsi, tesis, dan laporan penelitian yang ada kaitannya dengan penelitian ini Teknik Pengambilan Sampel Populasi dari penelitian ini adalah Nelayan Karimunjawa dan Nelayan Jepara. Jumlah nelayan di Desa Karimunjawa adalah sebanyak 1750 orang dan nelayan di Desa Ujungbatu sebanyak 387 orang. Unit dari penelitian ini adalah individu yaitu nelayan Desa Karimunjawa dan nelayan Desa Ujungbatu, Kecamatan Jepara yang memanfaatkan sumberdaya perikanan di sekitar Taman Nasional Karimunjawa. Penentuan responden dilakukan dengan menggunakan teknik aksidental stratifikasi yang didasarkan pada kemudahan untuk ditemui Sampel yang terpilih karena berada pada waktu, situasi dan tempat yang tepat (Prasetyo dan Jannah 2005). Nelayan memiliki waktu kerja yang tidak dapat diperkirakan oleh karena itu apabila menggunakan kerangka sampling akan sulit mendapatkan data dari sampel yang sudah ditentukan. Nelayan Karimunjawa dan Jepara memiliki status dan alat tangkap yang cukup beragam. Sampel diambil dari berbagai status nelayan untuk mewakili kondisi populasi yang diteliti. Banyaknya sampel yang diambil di masing-masing daerah adalah 30 responden berdasarkan ketentuan batas minimal responden penelitian kuantitatif dalam Singarimbun dan Effendi (1989).

51 32 Jumlah informan dalam penelitian ini tidak dibatasi, dengan tujuan untuk memperkaya informasi mengenai hubungan antar Nelayan Karimunjawa dan Jepara. Penelitian akan dilakukan dengan menggunakan teknik bola salju (snowball sampling) yang memungkinkan perolehan data dari satu informan ke informan lainnya. Pencarian informan ini akan berhenti apabila tambahan informan tidak lagi menghasilkan pengetahuan baru atau sudah berada pada titik jenuh Teknik Pengolahan dan Analisis Data Data kuantitatif adalah informasi mengenai hal-hal yang dapat diukur dan dapat dikuantifikasikan. Data kuantitatif ini digunakan untuk mengetahui, mengidentifikasi dan menganalisis bridging social capital antar nelayan akibat pengelolaan sumberdaya perikanan yang dilakukan oleh Balai Taman Nasional dan Pemerintah Daerah Jepara. Pengolahan data kuantitatif dalam penelitian ini mengacu pada langkah-langkah pengolahan data dari Effendi dkk. (1989). Pertama, memasukkan data ke dalam kartu atau berkas (file) data. Kedua, membuat tabel frekuensi atau tabel silang. Ketiga, mengoreksi kesalahankesalahan yang ditemui setelah membaca tabel frekuensi atau tabel silang. Data kuantitatif yang dikumpulkan akan diolah dengan menggunakan program komputer SPSS 16 for Windows untuk menguji hubungan antar variabel yang kemudian dianalisis dan diinterpretasikan untuk melihat fakta yang terjadi dengan menggunakan analisis crosstab chi-square untuk data nominal dan ordinal, serta dianalisis secara deskriptif untuk menggambarkan hubungan antara tingkat bridging social capital terhadap hubungan antar nelayan nelayan. Sedangkan teknik analisis data kualitatif dilakukan sejak awal pengumpulan data. Dimana hasil wawancara mendalam dan pengamatan disajikan dalam bentuk catatan harian yang dianalisis sejak pertama kali datang ke lapangan dan berlangsung terus menerus. Analisis data kualitatif dilakukan secara terus menerus yang terdiri dari pengumpulan data, analisis data, reduksi data, penyajian data, dan penarikan kesimpulan. Analisis data primer mengacu pada pendapat Miles dan Huberman (1992) dalam Sitorus (1998), dimana data diolah dengan melakukan tiga tahapan kegiatan dan dilakukan secara bersamaan, yaitu reduksi data, penyajian data dan penarikan kesimpulan melalui verifikasi data.

52 33 Pertama, reduksi data dilakukan dengan tujuan untuk menajamkan, menggolongkan, mengarahkan, membuang data-data yang tidak diperlukan dan mengorganisir data sedemikian sehingga didapatkan kesimpulan akhir. Kedua, data yang telah disajikan dalam bentuk teks naratif hasil catatan lapang disusun dalam bentuk matriks yang menggambarkan bagaimana modal sosial menyambung antara Nelayan Karimunjawa dan Jepara. Dengan demikian memudahkan melihat apa yang sedang terjadi, dan menentukan apakah menarik kesimpulan yang benar ataukah terus melakukan analisis. Tahap ketiga, penarikan kesimpulan yaitu melalui verifikasi yang dilakukan peneliti sebelum peneliti menarik kesimpulan akhir. Verifikasi tersebut dilakukan dengan cara memikirkan ulang selama penulisan, tinjauan ulang pada catatan lapang, bertukar pikiran dengan teman sejawat dan dosen pembimbing. Artinya, terdapat satu tahapan dimana proses menyimpulkan tentang penelitian ini dilakukan bersama dengan para informan yang merupakan subjek dalam penelitian ini dan yang telah menyumbangkan data dan informasi terhadap penelitian ini.

53 34 BAB IV GAMBARAN LOKASI PENELITIAN 4.1. Desa Karimunjawa Kondisi Geografis Taman Nasional Karimunjawa (TNKJ) secara geografis terletak pada koordinat LS dan BT. Karimunjawa ditetapkan sebagai Cagar Alam Laut Karimunjawa sesuai SK Menhut No.123/Kpts-II/1986. Tingginya kepentingan berbagai sektor mendorong perubahan fungsi Karimunjawa dari Cagar Alam menjadi TNKJ. Berdasarkan Surat Keputusan Menteri Kehutanan dan Perkebunan No. 78/Kpts-II/1999, Cagar Alam Karimunjawa dan sekitarnya yang terletak di Kabupaten Dati II Jepara Provinsi Dati I Jawa Tengah ditetapkan menjadi Taman Nasional dengan nama TNKJ. Kawasan TNKJ terdiri dari pulau-pulau kecil dan perairan. Berikut ditampilkan gambar peta wilayah TNKJ. Gambar 4. Peta TNKJ TNKJ memiliki luas kawasan wilayah sebesar ha yang dibagi menjadi tiga kawasan wilayah. Kawasan wilayah TNKJ didominasi oleh perairan. Pembagian kawasan wilayah TNKJ disajikan dalam Tabel 5.

54 35 Tabel 5. Pembagian Kawasan Wilayah Taman Nasional dan Luas Masing-Masing Wilayah Tahun Kawasan Wilayah daratan di Pulau Karimunjawa yang berupa ekosistem hutan hujan tropis dataran rendah Wilayah daratan di Pulau Kemujan berupa ekosistem hutan mangrove Wilayah perairan Dalam perkembangannya kawasan ini ditetapkan sebagai kawasan pelestarian alam (KPA) berdasarkan Surat Keputusan Menhut No.74/Kpts- II/2001 tanggal 15 Maret 2001 Luas (hektar) 1.285,50 222, ,30 Total Luas Kawasan ,00 Sumber data: Statistik Balai Taman Nasional Karimunjawa, 2011 Hampir sembilan puluh sembilan persen kawasan Karimunjawa adalah perairan. Perairan Karimunjawa memiliki potensi berupa keindahan alam dan sumberdaya perikanan. Luas daratan hanya sekitar satu persen dari total kawasan TNKJ. Daratan Karimunjawa sebagian besar merupakan hutan magrove dan tanah merah yang kurang subur. Pulau Karimunjawa dan Kemujan adalah pulau yang memiliki kawasan daratan paling luas dibandingkan dengan pulau-pulau lain di Karimunjawa. Pulau Karimunjawa dan Kemujan menjadi pulau yang paling banyak dihuni oleh masyarakat Kondisi Sosial Ekonomi Masyarakat Masyarakat merupakan objek sekaligus subjek pembangunan di kawasan Taman Nasional Karimunjawa. Secara administratif, kawasan Taman Nasional Karimunjawa berada dalam wilayah kecamatan Karimunjawa, Kabupaten Jepara, Propinsi Jawa Tengah. Terdapat empat desa yang berada di sekitar kawasan yaitu Desa Karimunjawa, Kemujan, Parang, dan Nyamuk. Berdasarkan data sensus penduduk di Kecamatan Karimunjawa tahun 2011, di Sekitar kawasan Taman Nasional Karimunjawa terdapat jiwa penduduk.

55 36 Tabel 6. Jumlah Penduduk Berdasarkan Jenis Kelamin di Kecamatan Karimunjawa Tahun 2011 Desa Sensus 2011 L P L+P Karimunjawa Kemunjan Parang Total Sumber: BPS Tahun, 2010 dalam Zonasi Taman Nasional Karimunjawa, 2012 Masyarakat Karimunjawa menjadikan tiga pulau besar di Karimunjawa sebagai tempat tinggal. Pulau Karimunjawa dan Kemujan menjadi pulau yang paling banyak dihuni oleh masyarakat. Hal ini dipengaruhi oleh karena di Pulau Karimunjawa dan Kamujan memiliki luas daratan yang paling luas dibandingkan dengan pulau Parang yang memungkinkan masyarakat untuk menghuni pulau tersebut. Desa Karimunjawa adalah pusat pemerintahan dan pusat perekonomian Pulau Karimunjawa. Kondisi ini yang mendukung Desa Karimunjawa menjadi desa yang paling banyak dihuni oleh penduduk Karimunjawa. Mata pencaharian masyarakat Karimunjawa sangat beragam. Mayoritas masyarakat Karimunjawa bekerja sebagai Nelayan dan pembudidaya ikan. Pekerjaan yang menduduki posisi kedua sebagai sumber mata pencaharian masyarakat Karimunjawa adalah sebagai petani. Profesi sebagai pegawai negeri dan buruh tani menduduki posisi ketiga dan keempat sebagai sumber mata pencaharian masyarakat Karimunjawa. Sumber mata pencaharian yang paling sedikit dilakukan oleh masyarakat Karimunjawa adalah Dokter. Berikut adalah tabel yang menyajikan mata pencaharian masyarakat Karimunjawa.

56 37 Tabel 7. Jumlah dan Persentase Masyarakat Karimunjawa berdasarkan Mata Pencaharian Pokok Masyarakat di Desa Karimunjawa, Kabupaten Jepara Tahun Pekerjaan Jumlah (orang) Persentase Petani % Buruh tani % Buruh/Swasta % Pegawai negeri % Pengrajin % Pedagang % Peternak % Nelayan % Montir % Dokter % Total % Sumber: Data potensi desa diolah, 2008 Wilayah Karimunjawa yang terdiri dari perairan dan daratan dimanfaatkan oleh masyarakat sebagai sumber mata pencaharian. Wilayah perairan dimanfaatkan untuk melakukan kegiatan penangkapan ikan. Wilayah Daratan Karimunjawa dimanfaatkan menjadi lahan pertanian. Jumlah pegawai negeri yang tinggi di Karimunjawa disebabkan karena Karimunjawa merupakan pusat pemerintahan dan perekonomian. Di Desa Karimunjawa terdapat kantor kecamatan sekaligus kantor desa. Penduduk Karimunjawa sangat beragam, terdiri dari berbagai etnis (suku). Karimunjawa tidak memiliki suku asli. Suku-suku di Karimunjawa berasal dari berbagai suku yang datang ke Pulau Karimunjawa untuk menangkap ikan yang kemudian menetap di Karimunjawa. Keberagaman suku ini tercermin dari masih banyaknya rumah-rumah penduduk yang masih tradisional sesuai dengan tempat asal. Di dalamnya terdapat penduduk dari suku Jawa, Bugis, Makassar, dan Madura. Masyarakat Jawa banyak tinggal di Dukuh Karimunjawajawa, Dukuh Legon Lele, Dukuh Nyamplungan dan Dukuh Marican.

57 Pendidikan Tingkat pendidikan di Karimunjawa dapat dikatakan masih rendah. Penduduk Karimunjawa sebagian besar merupakan lulusan SD/ sederajat. Berdasarkan Tabel 8 ditunjukkan tingkat pendidikan masyarakat Karimunjawa. Tabel 8. Jumlah dan Persentase Masyarakat Karimunjawa berdasarkan Tingkat pendidikan Masyarakat di Desa Karimunjawa, Kabupaten Jepara Tahun Tingkat pendidikan Jumlah (orang) Persentase Belum sekolah % Pernah sekolah di SD tetapi tidak tamat % Tamat SD/ sederajat % SLTP/ sederajat % SLTA/sederajat % D % D % D % Total % Sumber : Data potensi desa diolah, 2008 Hampir setengah dari masyarakat Desa Karimunjawa merupakan lulusan SD. Hanya sedikit yang melanjutkan pendidikannya ke perguruan tinggi. Berdasarkan data yang disajikan dalam tabel belum ada masyarakat Desa Karimunjawa yang menjadi sarjana. Tingkat pendidikan di Karimunjawa yang rendah disebabkan oleh karena masih minimnya fasilitas pendidikan di Karimunjawa. Di Desa Karimunjawa belum terdapat perguruan tinggi. Lulusan SMA di Karimunjawa yang ingin melanjutkan pendidikannya ke perguruan tinggi harus pergi ke Jepara atau Semarang. Mahalnya biaya pendidikan menjadi kendala untuk masyarakat dapat melanjutkan pendidikannya ke perguruan tinggi. Mayoritas masyarakat Karimunjawa bekerja sebagai nelayan sehingga tidak membutuhkan pendidikan yang tinggi dalam melakukan pekerjaannya. Setiap anak-anak di Karimunjawa sudah terbiasa ikut menangkap ikan dengan orang tuanya sehingga tidak dibutuhkan sekolah lebih tinggi untuk menjadi nelayan.

58 Desa Ujungbatu Kondisi Geografis Desa Ujungbatu merupakan salah satu desa yang berada di Kecamatan Jepara. Desa Ujungbatu memiliki tipografi berupa persisir atau tepi laut dengan ketinggian wilayah kurang dari lima ratus meter. Desa Ujungbatu memililiki luas sebesar Ha dengan batas wilayah sebelah utara yaitu Desa Mulyoharjo, sebelah selatan berbatasan dengan Kelurahan Jobokuto, sebelah barat berbatasan dengan Laut Jawa dan sebelah timur berbatasan dengan Kelurahan Pengkol. Gambar 5. Peta Kabupaten Jepara Kondisi Sosial Ekonomi Jumlah penduduk di Desa Ujungbatu berdasarkan data Jepara dalam angka adalah 4386 orang. Jumlah antara perempuan dan laki-laki tidak begitu timpang. Pada usia dewasa jumlah perempuan lebih banyak dari pada jumlah laki-laki dan sebaliknya pada usia anak-anak jumlah laki-laki lebih banyak daripada jumlah perempuan.

59 40 Tabel 9. Jumlah Masyarakat Berdasarkan Jenis Kelamin di Desa Ujungbatu, Kecamatan Jepara Tahun 2010 Desa Dewasa Anak-anak L P L+P L P L+P Ujungbatu Sumber: Data Kecamatan Jepara dalam Angka diolah, 2011 Desa Ujungbatu dikenal sebagai kampung nelayan. Hal ini disebabkan karena mata pencaharian pokok masyarakat Desa Ujungbatu adalah nelayan. Tabel 10 menyajikan data mata pencaharian pokok masyarakat di Desa Ujungbatu. Tabel 10. Jumlah dan Persentase berdasarkan Mata Pencaharian Pokok Masyarakat di Desa Ujungbatu, Kecamatan Jepara Tahun Pekerjaan Jumlah (orang) Persentase Karyawan % Wiraswasta % Nelayan % Tani - - Pertukangan % Buruh tani - - Pensiunan % Pemulung % Jasa % Total % Sumber : Data Kelurahan Ujungbatu diolah, 2011 Hampir setengah penduduk Desa Ujungbatu yang bekerja sebagai nelayan. Kondisi geografis Desa Ujungbatu yang berbatasan dengan Laut Jawa menjadi salah satu faktor pendukung banyaknya masyarakat Desa Ujungbatu berprofesi sebagai nelayan. Mata pencaharian di Desa Ujungbatu tidak begitu beragam. Selain menjadi nelayan, masyarakat di Desa Ujungbatu bekerja sebagai karyawan, wiraswasta, bertukang, dan pemulung. Wilayah daratan di Desa

60 41 Ujungbatu tidak memiliki potensi untuk pertanian karena tanahnya berupa debu dan pasir. Selain itu, tidak ada lahan yang dapat digunakan untuk pertanian karena telah digunakan untuk pemukiman Pendidikan Pendidikan masyarakat di Desa Ujungbatu lebih maju dibandingkan dengan masyarakat di Desa Karimunjawa. Di Desa Ujungbatu sudah terdapat masyarakat yang memiiki gelar Sarjana. Hal ini dapat dilihat di Tabel 11 Penduduk Desa Ujungbatu rata-rata sudah memperoleh pendidikan di sekolah dasar. Tabel 11. Jumlah dan Persentase Masyarakat Ujungbatu berdasarkan Tingkat pendidikan Masyarakat di Desa Ujungbatu, Kecamatan Jepara Tahun Tingkat pendidikan Jumlah (orang) Persentase Belum sekolah % Pernah sekolah di SD % tetapi tidak tamat Tamat SD/ sederajat % SLTP/ sederajat % SLTA/sederajat % Perguruan tinggi % Akademi % Total % Sumber : Kecamatan Jepara dalam angka diolah, 2011 Masyarakat Desa Ujungbatu juga sudah sadar akan pentingnya pendidikan terbukti dengan cukup banyaknya penduduk yang melanjutkan pendidikan ke perguruan tinggi. Pekerjaan yang dilakukan oleh masyarakat Desa Ujungbatu menuntut tingkat pendidikan yang cukup tinggi. Pekerjaan seperti karyawan memerlukan tingkat pendidikan minimal SMP atau SMA. Fasilitas pendidikan berupa perguruan tinggi swasta atau akademi swasta yang tersedia di Jepara. Jarak antara Jepara dengan Semarang yang dekat sehingga memudahkan masyarakat untuk mendapatkan pendidikan yang lebih baik.

61 42 BAB V PENGELOLAAN SUMBERDAYA PERIKANAN DI KARIMUNJAWA DAN JEPARA 5.1. Pengelolaan Perikanan di Karimunjawa Sumber daya perikanan merupakan sumberdaya yang dapat diakses secara terbuka. Potensi sumberdaya perikanan yang tinggi terutama di Karimunjawa mendorong banyak pihak ingin memanfaatkan sumberdaya perikanan di Karimunjawa. Pihak-pihak yang berkepentingan memanfaatkan sumberdaya perikanan di Karimunjawa yaitu, Nelayan Karimunjawa, Nelayan luar Karimunjawa, Pemerintah Kabupaten Jepara, Pemerintah Desa Karimunjawa, dan Departemen Perikanan dan Kelautan. Dibutuhkan suatu sistem yang mengelola sumberdaya perikanan agar pemanfaatannya dapat dirasakan secara merata. Pengelolaan sumberdaya perikanan di Karimunjawa dilakukan oleh beberapa pihak yaitu Balai Taman Nasional Karimunjawa, Pemerintah Desa yang bekerjasama dengan Nelayan Karimunjawa, Pemerintah Provinsi, dan Departemen Perikanan dan Kelautan Pengelolaan Perikanan oleh Taman Nasional Karimunjawa Pengelolaan perikanan oleh Taman Nasional Karimunjawa (TNKJ) dilakukan dengan membuat sistem zonasi. Sistem zonasi mengatur batas-batas wilayah dalam memanfaatkan sumberdaya perikanan. Taman Nasional Karimunjawa dikelola berdasarkan sistem zonasi yang tertuang dalam Keputusan Dirjen Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam No.SK.79/IV/Set-3/2005 mengenai zonasi atau mintakat di dalam kawasan Taman Nasional Karimunjawa. Di dalam kawasan ini terdapat 7 zona yaitu zona inti, perlindungan, pemanfaatan pariwisata, pemukiman, rehabilitasi, budidaya dan zona pemanfaatan perikanan tradisional. Berdasarkan evaluasi yang dilakukan oleh Balai Taman Nasional maka dilakukan revisi terhadap zonasi yang telah ditetapkan dengan mengeluarkan Surat Keputusan Dirjen Perlindungan Hutan dan Konservasi No.SK.28/IV- SET/2012. Pembagian zonasi berdasarkan Surat Keputusan Dirjen Perlindungan Hutan dan Konservasi Tahun 2012 menetapkan terdiri dari delapan zona yaitu zona inti,

62 43 perlindungan bahari, pemanfaatan darat, pemanfaatan wisata bahari, budidaya bahari, religi dan sejarah, rehabilitasi dan perikanan Tradisional. Setiap zonasi memiliki deskripsi, tujuan dan aktivitas yang diperbolehkan dan tidak diperbolehkan. 1. Zona Inti Zona inti adalah bagian taman nasional yang mempunyai kondisi alam baik biota maupun fisiknya masih asli dan tidak atau belum diganggu oleh manusia dan mutlak dilindungi yang berfungsi untuk perlindungan keterwakilan keanekaragaman hayati dan ekosistemnya. Fungsi dan peruntukan zona inti adalah sebagai pengawetan perwakilan tipe ekosistem perairan laut yang khas/ alami/unik dan biota laut lainnya yang peka terhadap gangguan dan perubahan dan merupakan bank plasma nutfah dari biota laut, untuk kepentingan penelitian, pengembangan ilmu pengetahuan, pendidikan dan kegiatan penunjang budidaya. Kegiatan yang dapat dilakukan pada zona inti meliputi: a. Perlindungan dan pengamanan. b. Inventarisasi dan monitoring sumber daya alam hayati dengan ekosistemnya. c. Penelitian dan pengembangan, ilmu pengetahuan, pendidikan dan atau penunjang budidaya. d. Dapat dibangun sarana dan prasarana tidak permanen dan terbatas untuk kegiatan penelitian dan pengelolaan. Kegiatan-kegiatan yang dilarang adalah kegiatan yang dapat mengakibatkan perubahan terhadap keutuhan zona inti seperti: a. Mengurangi, menghilangkan fungsi dan luas zona inti serta menambah jenis tumbuhan dan satwa lain yang tidak asli. b. Sengaja maupun tidak sengaja melakukan penangkapan atau pengambilan sumberdaya laut seperti karang, ikan karang, molusca, penyu dan biota laut baik hidup, mati atau bagian-bagiannya. c. Sengaja atau tidak sengaja menggali, mengganggu atau memindahkan setiap bagian atau komponen ekosistem perairan laut. d. Melakukan kegiatan wisata bahari. e. Melakukan penambangan pasir.

63 44 2. Zona perlindungan Zona perlindungan adalah bagian taman nasional yang karena letak, kondisi dan potensinya mampu mendukung kepentingan pelestarian pada zona inti dan zona pemanfaatan. Sedangkan peruntukannya adalah sebagai wilayah untuk kegiatan pengawetan dan pemanfaatan sumberdaya alam bagi kepentingan penelitian, pendidikan konservasi, wisata terbatas, habitat satwa migran dan menunjang budidaya seta mendukung zona inti. Kegiatan yang dapat dilakukan pada zona perlindungan meliputi: a. Perlindungan dan pengamanan. b. Inventarisasi dan monitoring sumberdaya alam hayati dengan ekosistemnya. c. Pengembangan penelitian, pendidikan, wisata alam terbatas, pemanfaatan jasa lingkungan dan kegiatan penunjang budidaya. d. Pembinaan habitat dan populasi dalam rangka meningkatkan keberadaan populasi hidupan liar. e. Pembangunan sarana dan prasarana sepanjang untuk kepentingan pendidikan, penelitian dan wisata alam terbatas. Aktivitas atau kegiatan yang dilarang seperti : a. Mengurangi, menghilangkan fungsi dan luas zona perlindungan serta menambah jenis tumbuhan dan satwa lain yang tidak asli. b. Sengaja maupun tidak sengaja melakukan penangkapan atau pengambilan sumberdaya laut seperti karang, ikan karang, molusca, penyu dan biota laut lainya baik hidup, mati atau bagian-bagiannya. c. Melakukan penambangan pasir. 3. Zona pemanfaatan perikanan tradisional Zona pemanfaatan perikanan tradisional adalah kawasan perairan yang diperuntukkan sebagai daerah pemanfaatan perikanan tradisional oleh masyarakat yang karena kesejahteraan mempunyai ketergantungan dengan sumber daya alam. aktivitas yang tidak diperbolehkan adalah semua kegiatan di zona inti dan Introduksi jenis biota serta penangkapan ikan yang menggunakan alat tidak ramah lingkungan (mourami, jaring pocong, jaring cantrang, sianida).

64 45 4. Zona pemanfatan pariwisata Zona ini adalah untuk pengembangan aktivitas wisata alam alam bahari maupun wisata alam lainnya, rekreasi, jasa lingkungan, pendidikan, penelitian dan pengembangan yang menunjang pemanfaatan pendidikan dan atau kegiatan penunjang budidaya. Kegiatan yang dapat dilakukan pada zona pemanfaatan pariwisata meliputi: a. Perlindungan dan pengamanan. b. Inventarisasi dan monitoring sumberdaya alam hayati dan ekosistemnya c. Penelitian dan pengembangan pendidikan dan penunjang budidaya d. Pengembangan potensi dan daya tarik wisata alam. e. Pembinaan habitat dan populasi. f. Pengusahaan pariwisata alam dan pemanfaatan jasa lingkungan. g. Pembangunan sarana dan prasarana pengelolaan, pendidikan, wisata alam dan pemanfaatan jasa lingkungan. 5. Zona budidaya Zona yang diperuntukkan mendukung kepentingan budidaya perikanan seperti budidaya rumput laut, karamba jaring apung dan sebagainya oleh masyarakat setempat dengan tetap memperhatikan aspek konservasi. Kegiatan yang diperbolehkan adalah budidaya rumput laut, karamba jaring apung dan sebagainya. 6. Zona rehabilitasi Zona yang diperuntukkan untuk kepentingan pemulihan kondisi ekosistem terumbu karang yang telah mengalami kerusakan 75%. Kegiatan yang diperbolehkan a. Kegiatan rehabilitasi guna pemulihan ekosistem di zona ini. b. Kegiatan pendidikan, penelitian, pengembangan pendidikan dan penunjang budidaya. c. Pembinaan habitat dan populasi. 7. Zona Pemanfaatan darat Zona ini adalah untuk pengembangan aktivitas wisata alam alam bahari maupun wisata alam lainnya, rekreasi, jasa lingkungan, pendidikan, penelitian dan pengembangan yang menunjang pemanfaatan pendidikan dan atau kegiatan

65 46 penunjang budidaya. Kegiatan yang dapat dilakukan pada zona pemanfaatan pariwisata meliputi: a. Perlindungan dan pengamanan. b. Inventarisasi dan monitoring sumberdaya alam hayati dan ekosistemnya. c. Penelitian dan pengembangan pendidikan dan penunjang budidaya. d. Pengembangan potensi dan daya tarik wisata alam. e. Pembinaan habitat dan populasi. f. Pengusahaan pariwisata alam dan pemanfaatan jasa lingkungan. g. Pembangunan sarana dan prasarana pengelolaan, pendidikan, wisata alam dan pemanfaatan jasa lingkungan. 8. Zona Religi, Budaya dan Sejarah Zona yang diperuntukkan untuk melindungi nilai-nilai hasil karya budaya, sejarah, arkeologi, maupun keagamaan, sebagai wahana penelitian, pendidikan dan wisata alam sejarah, arkeologi dan religius. Kegiatan yang diperbolehkan adalah a. Kegiatan perlindungan dan pengamanan. b. Pemanfaatan wisata alam, penelitian, pendidikan dan religi. c. Pemeliharaan situs budaya dan sejarah serta keberlangsungan upacaraupacara ritual keagamaan/adat yang ada. Pelanggaran terhadap sistem zonasi dan penggunaan alat tangkap perikanan di Karimunjawa akan dikenakan sanksi sesuai dengan UU No.5 Tahun Berdasarkan UU NO.5 Tahun 1990 Pasal 40, setiap orang yang melakukan tindakan kejahatan berupa kegiatan yang dapat mengakibatkan perubahan terhadap keutuhan di kawasan zona inti, akan dikenakan sanksi berupa penjara paling lama sepuluh tahun dan denda berupa uang paling banyak Rp (dua ratus juta rupiah). Setiap orang yang melakukan tindakan pelanggaran berupa mengambil, merusak, memusnahkan, menjual tumbuhan atau organisme yang dilindungi oleh Taman Nasional, akan dikenakan sanksi berupa pidana kurungan paling lama satu tahun dan denda paling banyak Rp (seratus juta rupiah).

66 47 Tabel 12. Pembagian Zonasi Taman Nasional Karimunjawa Berdasarkan Keputusan Direktur Jendral Perlindungan Hutan Dan Konservasi Alam Nomor :SK.28/IV-SET/2012 Tahun No Pembagian Zona Zona Inti seluas 444,629 hektar, meliputi sebagian perairan Pulau Kumbang, Taka Menyawakan, Taka Malang, dan Perairan Tanjung Bomang. Zona Rimba seluas 1.451,767 hektar, meliputi Hutan Hujan Tropis, Dataran Rendah di Pulau Karimunjawa, dan Hutan Mangrove di Pulau Kemujan (Tanpa areal Legon Lele, areal Tracking Mangrove, dan areal makam Sunan Nyemplungan). Zona Perlindungan Bahari seluas 2.599, 770 hektar, meliputi perairan Pulau Sinto, Gosong Tengah, Pulau Bengkoang bagian utara, Pulau Cemara Besar bagian selatan, Pulau Menjangan Kecil, timur Pulau Nyamuk, Perairan Karang Kapal, Karang Besi bangian selatan, Krakal Besar bagian utara, Gosong Kumbang, Pulau Kembar dan Gosong Selikur. Zona Pemanfaatan Darat seluas 55,933 hektar, meliputi Pulau Menjangan Kecil, Pulau Cemara Besar, areal Legon Lele, areal Tracking Mangrove, areal Nyamplung Ragas. Zona Pemanfaatan Wisata Bahari seluas 2.733,735 hektar, meliputi perairan Pulau Menjangan Besar, perairan Pulau Menjangan Kecil, Perairan Pulau Menyawakan, Perairan Pulau Kembar, Perairan Pulau Tengah, Perairan Sebelah Timur Pulau Kumbang, Perairan Pulau Kumbang bagian selatan, Indonor, dan Perairan Pulau Cemara Besar bagian utara, Perairan Tanjung Gelam, Perairan Pulau Cemara Kecil bagian utara, Peraian Pulau Katang, Perairan Kerakal Besar bagian selatan, Perairan Kerakal Kecil, Perairan Pulau Cilik. Zona Budidaya Bahari seluas 1.370,729 hektar, meliputi Perairan Pulau Karimunjawa, Perairan Pulau Kemujan, Perairan Pulau Menjangan Besar, Perairan Pulau Parang dan Perairan Pulau Nyamuk, perairan Karang Besi bagian utara. Zona Religi Budaya dan Sejarah seluas 0,859 hektar, meliputi areal Makam Sunan Nyemplungan di Pulau Karimunjawa. Zona Rehabilitasi seluas 68,329 hektar, meliputi Perairan sebelah timur Pulau Parang, Perairan sebelah timur Pulau Nyamuk, perairan sebelah barat Pulau Kemujan dan perairan sebelah barat Pulau Karimunjawa. Zona Tradisional Perikanan seluas ,249 hektar, meliputi seluruh perairan di luar zona yang telah ditetapkan yang berada di dalam kawasan TN Karimunjawa. Sumber: Data Primer, 2012

67 48 Perubahan sistem zonasi yang dilakukan Balai Taman Nasional mengakibatkan terciptanya batas-batas sistem zonasi yang baru (Gambar 6). Revisi sistem zonasi yang dilakukan oleh TNKJ untuk menyesuaikan kepentingan dari pusat dengan kebutuhan dan kepentingan masyarakat Karimunjawa. Revisi yang dilakukan oleh Balai Taman Nasional dilakukan dengan melibatkan masyarakat untuk memberikan pendapat mengenai sistem zonasi yang seperti apa yang diinginkan oleh masyarakat. Hasil kesepakatan yang terbentuk dari masyarakat dengan Balai Taman Nasional yang kemudian dijadikan sebagai sistem Zonasi terbaru. Gambar 6. Peta Zonasi Taman Nasional Karimunjawa Tahun Pengelolaan Perikanan oleh Dinas Kelautan dan Perikanan Pengelolaan sumberdaya perikanan dilakukan berdasarkan peraturan pemerintah dalam Per.02/MEN/2011 dan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 yang telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 45 Tahun Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan berisi tentang pengaturan jalur-jalur pemanfaatan sumberdaya perikanan. Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang merupakan undang-undang tentang Perikanan. Per.02/MEN/2011 menetapkan jalur-jalur penangkapan ikan menjadi 3 jalur, yaitu:

68 49 1. Jalur penangkapan ikan I yang terdiri dari Jalur penangkapan ikan IA meliputi perairan pantai sampai dengan 2 (dua) mil laut yang diukur dari permukaan air laut pada surut terendah dan Jalur penangkapan ikan IB, meliputi perairan pantai di luar 2 (dua) mil laut sampai dengan 4 (empat) mil laut. 2. Jalur penangkapan ikan II, meliputi perairan di luar jalur penangkapan ikan I sampai dengan 12 (dua belas) mil laut diukur dari permukaan air laut pada surut terendah. 3. Jalur Penangkapan Ikan III meliputi ZEEI dan perairan di luar jalur penangkapan ikan II ( diatas 12 mil). Jalur penangkapan ikan di wilayah penangkapan perikanan di Indonesia ditetapkan berdasarkan karakteristik kedalaman perairan. Karakteristik kedalaman perairan dibedakan menjadi 2 (dua), yaitu: 1. Perairan dangkal ( 200 meter) yang terdiri dari: a. WPP-NRI 571, yang meliputi Perairan Selat Malaka dan Laut Andaman; b. WPP-NRI 711, yang meliputi Perairan Selat Karimata, Laut Natuna, dan Laut Cina Selatan; c. WPP-NRI 712, yang meliputi Perairan Laut Jawa; d. WPP-NRI 713, yang meliputi Perairan Selat Makassar, Teluk Bone, Laut Flores, dan Laut Bali; dan e. WPP-NRI 718, yang meliputi Perairan Laut Aru, Laut Arafura, dan Laut Timor Bagian Timur. 2. Perairan dalam (> 200 meter) yang terdiri dari: a. WPP-NRI 572, yang meliputi Perairan Samudera Hindia sebelah Barat Sumatera dan Selat Sunda; b. WPP-NRI 573, yang meliputi Perairan Samudera Hindia sebelah Selatan Jawa sampai dengan sebelah Selatan Nusa Tenggara, Laut Sawu, dan Laut Timor Bagian Barat;

69 50 c. WPP-NRI 714, yang meliputi Perairan Teluk Tolo dan Laut Banda; d. WPP-NRI 715, yang meliputi Perairan Teluk Tomini, Laut Maluku, Laut Halmahera, Laut Seram, dan Teluk Berau; e. WPP-NRI 716, yang meliputi Perairan Laut Sulawesi dan Sebelah Utara Pulau Halmahera; dan f. WPP-NRI 717, yang meliputi Perairan Teluk Cendrawasih dan Samudera Pasifik. Permen yang dikeluarkan Departemen Kelautan dan Perikanan pasal 22 sampai 31 mengatur alat- alat tangkap yang dapat digunakan di Karimunjawa, yaitu: 1. Jaring insang tetap (Set gillnets (anchored)) dioperasikan dengan menggunakan ukuran: a. Mesh size 1,5 inch, P 500 m, menggunakan kapal motor berukuran 10 GT, dan dioperasikan pada jalur penangkapan ikan IB, II, dan III. b. Mesh size 1,5 inch, P m, menggunakan kapal motor berukuran >10 s/d < 30 GT, dan dioperasikan pada jalur penangkapan ikan II dan III. 2. Jaring liong bun dioperasikan dengan menggunakan ukuran Mesh size 8 inch, P tali ris m, menggunakan kapal motor berukuran 30 GT, dan dioperasikan pada jalur penangkapan ikan III. 3. Jaring insang hanyut (Driftnets) dioperasikan dengan menggunakan ukuran: a. Mesh size 1,5 inch, P tali ris 500 m, menggunakan kapal motor berukuran 5 GT, dan dioperasikan pada jalur penangkapan ikan IB, II, dan III. b. Mesh size 1,5 inch, P tali ris m, menggunakan kapal motor berukuran > 5 s/d 10 GT, dan dioperasikan pada jalur penangkapan ikan IB, II, dan III. c. Mesh size 1,5 inch, P tali ris m, menggunakan kapal motor berukuran > 10 s/d < 30 GT, dan dioperasikan pada jalur penangkapan ikan III.

70 51 4. Jaring insang lingkar (encircling gillnets) dioperasikan dengan menggunakan ukuran Mesh size 1,5 inch, P tali ris 600 m, menggunakan kapal motor berukuran > 5 s/d 10 GT, dan dioperasikan pada jalur penangkapan ikan IB dan II. 5. Jaring insang berpancang (fixed gillnets (on stakes)) bersifat statis dan pasif dioperasikan dengan menggunakan ukuran Mesh size 1,5 inch, P tali ris 300 m, menggunakan kapal motor berukuran 5 GT, dan dioperasikan pada jalur penangkapan ikan IA. 6. Jaring klitik bersifat statis dan pasif dioperasikan dengan menggunakan ukuran Mesh size 1,5 inch, P tali ris 500 m, menggunakan kapal tanpa motor dan kapal motor berukuran 10 GT, dan dioperasikan pada jalur penangkapan ikan IA dan IB. 7. Bubu (pots) dioperasikan dengan jumlah bubu 300 buah, menggunakan kapal tanpa motor dan kapal motor semua ukuran, dan dioperasikan pada jalur penangkapan ikan IA, IB, dan II. 8. Bubu bersayap (fyke nets) bersifat statis dioperasikan dengan menggunakan ukuran Mesh size 1 inch; P tali ris 50 m, menggunakan kapal tanpa motor dan kapal motor berukuran < 30 GT, dan dioperasikan pada jalur penangkapan ikan IA. 9. Pancing ulur dioperasikan untuk semua ukuran kapal penangkap ikan, dan disemua jalur penangkapan ikan. 10. Pancing berjoran dioperasikan untuk semua ukuran kapal penangkap ikan, dan disemua jalur penangkapan ikan. a. Jumlah pancing 800 mata pancing nomor 6, menggunakan kapal tanpa motor dan kapal motor berukuran 10 GT, dan dioperasikan pada jalur penangkapan ikan IB, II, dan III. b. Jumlah pancing mata pancing nomor 6, menggunakan kapal motor berukuran > 10 s/d < 30 GT, dan dioperasikan pada jalur penangkapan ikan II dan III. c. jumlah pancing mata pancing nomor 6, menggunakan kapal motor berukuran 30 GT, dan dioperasikan pada jalur penangkapan ikan III.

71 Pancing layang-layang dioperasikan dengan menggunakan kapal tanpa motor dan kapal motor berukuran 5 GT, dan dioperasikan pada jalur penangkapan ikan IA dan IB 12. Panah dioperasikan dengan menggunakan kapal tanpa motor dan kapal motor berukuran 5 GT, dan dioperasikan pada jalur penangkapan ikan IA dan IB Permen Departemen Perikanan dan Kelautan tidak hanya menetapkan alatalat tangkap yang dapat digunakan untuk memanfaatkan sumberdaya perikanan di Karimunjawa, tetapi juga mengatur alat-alat tangkap yang dilarang beroperasi, yaitu: 1. Pukat hela dasar dua kapal (pair trawls) 2. Nephrops trawl (nephrops trawls) 3. Pukat hela pertengahan dua kapal (pair trawls). 4. Pukat hela pertengahan udang (shrimp trawls). 5. Pukat hela kembar berpapan (otter twin trawls). 6. Pukat dorong. 7. Perangkap ikan peloncat (aerial traps). 8. Muro ami. 9. Scottish seines. 10. Pair seines. Pelanggaran terhadap penggunaan alat tangkap dan alat bantu penangkapan yang idak sesuai dengan tingkat selektifitas dan kapasitas alat penangkapan, jenis dan ukuran alat bantu tangkap, ukuran kapal perikanan, dan jalur penangkapan ikan akan dikenakan sanksi pidana denda sesuai dengan ketentuan Pasal 100 dan Pasal 100C Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 45 Tahun 2009, dimana setiap orang yang melanggar ketentuan yang ditetapkan akan dikenakan denda paling banyak Rp (dua ratus lima puluh juta rupiah) Pengelolaan Perikanan oleh Pemerintahan Desa Pengelolaan perikanan yang diberlakukan oleh permerintah desa yaitu peraturan yang dibentuk berdasarkan kesepakatan Nelayan Karimunjawa dengan

72 53 pemerintah desa yaitu pengelolaan sumberdaya kelautan dan perikanan serta kearifan lokal. Isinya yang mengatur antara lain: 1. Setiap nelayan kompresor tidak boleh mengganggu nelayan pancing 2. Setiap nelayan kompresor setuju tidak mengambil ikan Sunuk Hitam selama-lamanya 3. Setiap nelayan kompresor setuju tidak mengambil ikan Kerapu Batu serta ikan Kerapu Kertang pada bulan Nopember sampai pada bulan maret di setiap tanggal Hijriah. 4. Setiap nelayan kompresor bila melanggar dapat dikenai sanksi berupa denda sebesar Rp ,00 ( dua juta rupiah) sampai dengan Rp ,00 (lima juta rupiah). 5. Setiap pedagang ikan tidak boleh membeli ikan Susuk Hitam selamalamanya dari tangkapan nelayan kompresor serta Kerapu Kertang dan Kerapu Batu, dari nelayan kompresor pada bulan nopember sampai dengan bulan Maret disetiap tanggal Hijriah, dan apabila melanggar dapat dikenai sanksi berupa denda sebesar Rp ,00 sampai dengan Rp ,00 (Lima juta rupiah) dan membuat pernyataan untuk tidak mengulanginya lagi. 6. Potasium dilarang keras di wilayah Desa Karimunjawa, dan apabila diketahui Nelayan Karimunjawa menggunakan obat/potasium tersebut, dapat dikenakan sanksi sesuai Undang-Undang yang berlaku. 7. Semua nelayan tidak boleh melakukan pengambilan ikan di Zona Inti 8. Hasil denda dapat digunakan untuk kegiatan umum dengan hasil musyawarah Sistem pengelolaan yang dilakukan oleh berbagai aktor di Karimunjawa memiliki perbedaan. Pengelolaan sumberdaya perikanan yang dilakukan oleh Balai Taman Nasional Karimunjawa (BTNKJ), Kabupaten Jepara, pemerintah Desa Karimunjawa dan Dinas Kelautan dan Perikanan disajikan dalam Tabel 13.

73 54 Tabel 13. Pengelolaan sumberdaya perikanan yang dilakukan oleh berbagai aktor di Karimunjawa Kategori peraturan pengelolaan BTNKJ Desa Karimunjawa Dinas Kelautan dan Perikanan Alat Tangkap yang dapat digunakan Wilayah Tangkap Alat tangkap tradisional yang ramah lingkungan. Alat tangkap yang tidak ramah seperti mourami, jaring pocong, cantrang dan sianida dilarang Zona Tradisional perikanan, kecuali zona inti, perlindungan bahari dan rehabilitasi. Sanksi Penjara atau pidana kurungan dan denda berupa uang paling banyak seratus juta rupah. Kompresor dan pancing. Kompresor tidak boleh mengganggu pancing. Potasium dilarang. Di kawasan zona inti. seluruh kecuali Denda sebesar dua juta rupiah sampai dengan lima juta rupiah dan membuat surat pernyataan. Semua alat tangkap yang ramah dengan lingkungan dan disesuaikan dengan jalur-jalur penangkapannya. Pancing dan panah Jalur-jalur penangkapan. Denda paling banyak dua ratus lima puluh juta rupiah. Pengelolaan sumberdaya perikanan di TNKJ yang dilakukan oleh berbagai aktor belum berjalan secara efisien. Peraturan yang ditetapkan oleh berbagai aktor belum dapat diaplikasikan oleh pihak-pihak yang terlibat dalam memanfaatkan sumberdaya perikanan. Hal ini terbukti dengan masih adanya pelanggaranpelanggaran dalam memanfaatkan sumberdaya perikanan seperti pelanggaran terhadap batas wilayah pemanfaatan dan penggunaan alat tangkap. Pelaksanaan peraturan yang tidak berjalan secara efien ini disebabkan oleh beberapa faktor, yaitu. Pertama, kurangnya sosialisasi peraturan yang dilakukan oleh pemerintah maupun pihak-pihak yang menetapkan peraturan sehingga pengetahuan masyarakat terhadap peraturan mini. Kedua, keinginan masyarakat untuk melakukan peraturan yang sudah ditetapkan juga rendah. Ketika diperhadapkan antara memenuhi kebutuhan hidup dan mematuhi peraturan, maka masyarakat

74 55 akan lebih memilih memenuhi kebutuhan hidup sekali pun harus melanggar peraturan. Ketiga, penegakan hukum yang lemah. Sosialisasi yang rendah dan keinginan masyarakat yang rendah untuk mematuhi peraturan dapat diatasi apabila terdapat sistem pengawasan terhadap peraturan yang kuat. Sistem penegakan hukum yang tegas dan kuat akan memaksa masyarakat untuk mau patuh dan menjalankan peraturan sebagaimana seharusnya Pengelolaan Sumberdaya Perikanan di Jepara Pengelolaan sumberdaya perikanan di Jepara lebih sederhana dibandingkan dengan TNKJ. Sumberdaya di Jepara hanya diatur oleh Nelayan Jepara dan Dinas Kelautan dan Perikanan Kecamatan Jepara Pengelolaan sumberdaya perikanan oleh Nelayan Jepara Nelayan Jepara memiliki peraturan sendiri dalam pengelolaan sumberdaya perikanan. Pengelolaan sumberdaya yang dilakukan oleh Nelayan Jepara yaitu dengan menetapkan peraturan tidak tertulis antara Nelayan Jepara dengan nelayan lain. Peraturan tidak tertulis tersebut merupakan bentuk kesepakatan antara Nelayan Jepara dengan nelayan yang memiliki alat tangkap yang berbeda. Apabila terjadi sebuah insiden antara Nelayan Jepara dengan nelayan lain yang berbeda alat tangkap maka akan dilakukan penyelesaian dengan cara kekeluargaan. Tidak ada peraturan terlulis yang menjadi pedoman bagi memanfaatkan sumberdaya perikanan di Jepara. Nelayan Jepara untuk Pengelolaan sumberdaya perikanan oleh Dinas Kelautan dan Perikanan Kecamatan Jepara Pengelolaan oleh Departemen Kelautan dan Perikanan dilakukan berdasarkan peraturan yang telah ditetapkan dari pusat yaitu Peraturan Menteri dan Undang-Undang. Peraturan menteri yang berlaku dalam mengelola sumberdaya perikanan baik di Jepara maupun di Karimunjawa sama yaitu Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor Per.02/Men/2011. Peraturan tersebut mengatur tentang jalur penangkapan ikan dan penempatan alat penangkapan ikan dan alat bantu penangkapan ikan di wilayah pengelolaan perikanan Negara Republik Indonesia. Selain peraturan menteri, landasan hukum

75 56 yang mengatur pengelolaan perikanan di Indonesia yaitu Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan sebagaimana telah diubah dengan Undang- Undang Nomor 45 Tahun Berdasarkan Permen yang dikeluarkan Departemen Kelautan dan Perikanan pasal 22 sampai 31 diatur alat- alat tangkap yang dapat digunakan di Jepara, yaitu: 1. Pukat cincin pelagis kecil dengan satu kapal, dioperasikan dengan menggunakan ukuran: a. Mesh size 1 inch dan tali ris atas 300 m, menggunakan rumpon dan lampu dengan total daya watt, menggunakan kapal motor berukuran 10 GT, dan dioperasikan pada jalur penangkapan ikan IB, II dan III b. Mesh size 1 inch dan tali ris atas 400 m, menggunakan rumpon dan lampu dengan total daya watt, menggunakan kapal motor berukuran > 10 s/d < 30 GT, dan dioperasikan pada jalur penangkapan ikan II dan III c. Mesh size 1 inch dan tali ris atas 600 m, menggunakan rumpon dan lampu dengan total daya watt, menggunakan kapal motor berukuran 30 GT, dan dioperasikan pada jalur penangkapan ikan III 2. Pukat cincin grup pelagis kecil, dioperasikan dengan menggunakan ukuran: a. Mesh size 1 inch dan tali ris atas 600 m, menggunakan kapal motor berukuran > 10 s/d < 30 GT, dan dioperasikan pada jalur penangkapan ikan II dan III b. Mesh size 1 inch dan tali ris atas 800 m, menggunakan kapal motor berukuran 30 GT, dan dioperasikan pada jalur penangkapan ikan III 3. Jaring lingkar tanpa tali kerut (without purse lines/lampara) dioperasikan dengan menggunakan ukuran Mesh size 1 inch dan tali ris atas 150 m, menggunakan kapal motor berukuran > 5 s/d 10 GT, dan dioperasikan pada jalur penangkapan ikan IB, II, dan III

76 57 4. Pukat tarik pantai (beach seines) dioperasikan dengan menggunakan ukuran Mesh size 1 inch dan tali ris atas 300 m, menggunakan kapal tanpa motor dan kapal motor berukuran 5 GT, dan dioperasikan pada jalurpenangkapan ikan IA 5. Pukat hela dasar berpalang (beam trawls) dioperasikan dengan menggunakan ukuran Mesh size 1 inch dan tali ris atas 10 m, menggunakan kapal motor berukuran 5 GT, dan dioperasikan pada jalur penangkapan ikan IB, II dan III. 6. Pukat labuh (long bag set net) bersifat statis dan pasif dioperasikan dengan menggunakan ukuran: a. Mesh size 1 mm; tali ris atas 30 m, menggunakan kapal motor berukuran > 5 s/d 10 GT, dan dioperasikan pada jalur penangkapan ikan IB. b. Mesh size 1 mm; tali ris atas 60 m, menggunakan kapal motor berukuran > 10 s/d < 30 GT, dan dioperasikan pada jalur penangkapan ikan IB. c. Mesh size 1 mm; tali ris atas 90 m, menggunakan kapal motor berukuran 30 GT, dan dioperasikan pada jalur penangkapan ikan IB. 7. Bagan tancap (shore-operated stationary lift nets) bersifat statis dioperasikan dengan menggunakan ukuran Mesh size 1 mm; P 5 m; dan L 5 m, menggunakan lampu dengan total daya watt, dan dioperasikan pada jalur penangkapan ikan IA dan IB. Pelanggaran terhadap penggunaan alat tangkap dan alat bantu penangkapan di Jepara akan dikenakan sanksi pidana denda sesuai dengan ketentuan Pasal 100 dan Pasal 100C Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 45 Tahun 2009, dimana setiap orang yang melanggar ketentuan yang ditetapkan akan dikenakan denda paling banyak Rp (dua ratus lima puluh juta rupiah). Pengelolaan perikanan di Jepara sama seperti yang terjadi di karimunjawa dari segi sosialisasi, kesadaran dan penegakan hukumnya masih lemah. Hal ini dibuktikan dengan masih adanya Nelayan Jepara yang melakukan penangkapan ikan di TNKJ dengan menggunakan alat tangkap yang tidak tradisional. Selain itu,

77 58 masih dilakukan pelanggaran-pelanggaran terhadap jalur-jalur tangkap yang sudah ditetapkan. Nelayan Jepara lebih memilih memenuhi kebutuhan hidupnya daripada mematuhi peraturan. Hal ini membuktikan bahwa kesadaran masyarakat untuk patuh terhadap peraturan juga masih rendah Status Kepemilikan Sumberdaya Alam Pengelolaan sumberdaya perikanan yang dilakukan di Karimunjawa melibatkan banyak pihak termaksud masyarakat. Peraturan yang ditetapkan oleh Balai Taman Nasional dilakukan dengan kesepakatan bersama masyarakat. Nelayan Karimunjawa cukup memiliki peranan dalam menetapkan peraturan tenntang pemanfaatan perikanan di Karimunjawa. Nelayan Karimunjawa berhak memasuki sumberdaya perikanan dan memanfaatkan sumberdaya atau melakukan tindakan produksi. Nelayan Karimunjawa juga berhak untuk menentukan aturan operasional dalam memanfaatkan sumberdaya perikanan melalui penetapan peraturan berdasarkan kearifan lokal masyarakat Karimunjawa. Selain itu, Nelayan Karimunjawa juga diikutsertakan dalam menetapkan zonasi di Karimunjawa. Sumberdaya perikanan di Jepara diatur oleh Departemen Perikanan dan Kelautan Kabupaten Jepara. Peraturan mengenai wilayah penangkapan, tehnik penangkapan, peralatan penangkapan, teknologi yang digunakan, bahkan sumberdaya yang ditangkap dan dikumpulkan semuanya diatur dalam Undang- Undang Nomor 31 Tahun 2004 dan Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor Per.02/Men/2011. Peraturan dilakukan secara terpusat, sementara Nelayan Jepara hanya berhak untuk melakukan pemanfaatan sumberdaya perikanan. Berdasarkan status kepemilikan sumberdaya menurut Ostorm and Scehlager (1990) dalam Satria (2002), Nelayan Karimunjawa memiliki hak pemanfaatan.

78 59 BAB VI PEMANFAATAN SUMBERDAYA PERIKANAN OLEH NELAYAN KARIMUNJAWADAN NELAYAN JEPARA 6.1. Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan yang dilakukan oleh Nelayan Karimunjawa Penggolongan Nelayan Karimunjawa Nelayan oleh Ditjen Perikanan (2002) dalam Satria (2002) digolongkan berdasarkan waktu yang digunakan untuk melakukan pekerjaan operasi penangkapan/pemeliharaan. Berdasarkan penggolongan nelayan tersebut, maka Nelayan Karimunjawa tergolong nelayan ikan penuh dan nelayan ikan sambilan. Pada dasarnya di Karimunjawa nelayan terbagi menjadi tiga bagian berdasarkan letak geografisnya yaitu nelayan Kampung Lego, Nelayan Daerah Tengah dan Nelayan Daerah Timur. Daerah tengah dan daerah timur banyak dibangun penginapan dan homestay berbeda dengan daerah Kampung Lego. Nelayan daerah tengah dan timur pada umumnya merupakan nelayan ikan sambilan. Selain melakukan pekerjaan sebagai nelayan. Nelayan daerah tengah dan timur juga ikut bekerja di bidang pariwisata sebagai pemandu wisata atau menyewakan kapal. Nelayan di Kampung Lego pada umumnya adalah nelayan ikan penuh yang seluruh waktu kerjanya digunakan untuk melakukan pekerjaan operasi penangkapan ikan. Hal ini disebabkan karena masih kurang meratanya pembagian peranan dalam sektor pariwisata di Desa Karimunjawa.. Satria (2002) menggolongkan nelayan berdasarkan kapasitas teknologi (alat tangkap dan armada), orientasi pasar dan karakteristik hubungan produksi. Berdarkan penggolongan yang dilakukan oleh Satria (2002), Nelayan Karimunjawa tergolong Nelayan Tradisional dan Nelayan Post-Tradisional. Berdasarkan tujuannya untuk melakukan penangkapan ikan, Nelayan Karimunjawa melakukan kegiatan penangkapan ikan hanya untuk memenuhi kebutuhan makan dan rumah tangga saja. Nelayan Karimunjawa pada umunya melakukan kegiatan penangkapan ikan di pagi atau di malam hari. Apabila selesai menangkap ikan dari laut, hasil tangkapannya langsung dikumpulkan dan dipilihpilih. Hasil tangkapan berupa ikan yang besar dan layak untuk dijual akan diserahkan kepada juragan. Hasil tangkapan ikan yang kecil-kecil biasanya

79 60 dikonsumsi sebagai lauk sendiri atau di jual ke pasar lokal seperti yang diungkapkan oleh EK (30 tahun). kalau ikan yang kecil-kecil biasanya dimakan sendiri mbak, nah kalau yang besar-besar seperti ini baru di jual ke juragan Nelayan di Desa Karimunjawa mayoritas menganut agama Islam. Mereka memegang kuat nilai-nilai keagamaan. Oleh karena itu, pada hari jumat mereka tidak melaut dan menggunkan waktu tersebut untuk beribadah ke mesjid. Selain hari jumat, mereka juga tidak melakukan penangkapan ikan pada saat terang bulan dan gelombang besar (baratan). Hanya nelayan-nelayan tertentu saja yang berani untuk tetap menangkap ikan pada saat musim baratan. Nelayan Karimunjawa memiliki sistem penanggalannya sendiri yaitu sistem penanggalan jawa sebagai acuan untuk melakukan kegiatan menangkap ikan. Kompresor 20% Pancing 80% Gambar 7. Persentase responden berdasarkan alat tangkap yang digunakan di Karimunjawa. Nelayan di Karimunjawa terbagi menjadi dua jenis yaitu nelayan yang melakukan kegiatan budidaya dan nelayan yang melakukan kegiatan penangkapan ikan secara langsung. Mayoritas Nelayan Karimunjawa merupakan nelayan yang melakukan penangkapan ikan secara langsung dengan menggunakan alat tangkap. Berdasarkan data yang disajikan dalam Gambar 7, mayoritas Nelayan Karimunjawa menggunakan alat tangkap pancing. Selain menggunakan pancing, Nelayan Karimunjawa juga menggunakan alat tangkap lain yang tradisional berupa tembak (panah), bubu, bagan dan jaring. Beberapa nelayan yang

80 61 beroperasi dengan menggunakan alat tangkap berupa pancing memiliki alat tangkap tambahan. Alat tangkap tambahan yang digunakan oleh nelayan pancing berupa jaring. Penangkapan ikan dapat dilakukan dengan orang lain atau sendirian. Ketika penangkapan ikan dilakukan dengan orang lain maka akan ada yang bertindak sebagai pemilik kapal dan anak buah kapal (ABK). Pemilik kapal menjadi pihak yang bertanggung jawab untuk menyediakan kapal, alat tangkap dan bahan bakar untuk melakukan kegiatan penangkapan ikan. Berdasarkan gambar, kebanyakan Nelayan Karimunjawa berstatus sebagai pemilik kapal (Gambar 8). Gambar 8. Persentase responden berdasarkan status Nelayan Karimunjawa. Pentingnya kapal sebagai sarana utama dalam melakukan penangkapan ikan sehingga mayoritas nelayan memiliki kapal sendiri. Jenis kapal yang digunakan oleh Nelayan Karimunjawa masih sederhana berupa sampan tidak bermotor dan kapal motor. Jenis mesin kapal masih sangat sederhana terdiri dari hanya terdiri dari satu atau dua buah mesin yang terdiri dari pk dan kapasitas kapal berada di bawah 5 GT (Gross Ton). Pengenalan nelayan akan alamnya dan alat tangkap yang didominasi oleh pancing menyebabkan kebanyakan Nelayan Karimunjawa melakukan operasi penangkapan ikan sendirian (Gambar 9). Dimana, dalam pengoperasiannya tidak membutuhkan banyak tenaga kerja. Nelayan pancing yang sudah berusia lima puluh tahun ke atas biasanya ditemani oleh saudara atau keluarganya. Nelayan

81 62 yang sudah berusia lima puluh tahun ke atas sudah mengalami penurunan daya tahan tubuh. Penangkapan ikan dengan menggunakan alat tangkap panah tidak dapat dilakukan seorang diri. Panah menggunakan alat bantu kompressor yang membutuhkan tenaga kerja lebih dalam pengoperasiannya. Penangkapan ikan dengan menggunakan alat tangkap panah biasanya dilakukan dengan saudara dan teman (tetangga). ABK di Karimunjawa homogen karena memiliki tanggung jawab yang sama dan berasal dari daerah yang sama yaitu Karimunjawa. Gambar 9. Jumlah dan persentase responden berdasarkan anggota kelompok dalam kegiatan penangkapan ikan di Karimunjawa Alat Tangkap yang digunakan oleh Nelayan Karimunjawa Nelayan Karimunjawa menggunakan beberapa alat penangkapan ikan untuk memanfaatkan sumberdaya perikanan di sekitar TNKJ. Alat tangkap yang digunakan oleh Nelayan Karimunjawa antara lain, yaitu pancing, bubu, jaring, dan branjang. Selain melakukan kegiatan pengkapan ikan, Nelayan Karimunjawa juga melakukan pembudidayaan ikan. 1. Pancing Pancing terdiri dari dua komponen utama, yaitu line (tali) dan hook (mata pancing). Tali pancing bisa terbuat dari bahan benang katun, nilon, polyethylin, plastik (senar), dan lain-lain. Mata pancing terbuat dari kawat baja, kuningan atau bahan lainnya yang tahan karat. Jumlah mata pancing yang terdapat pada tiap perangkat (satuan) pancing bisa tunggalmaupun ganda (dua-tiga buah) bahkan

82 63 banyak sekali (ratusan sampai ribuan) tergantung dari jenis pancingnya. Ukuran mata pancing bervariasi, disesuaikan dengan besar kecilnya ikan yang akan ditangkap/pancing. Jenis pancing yang digunakan oleh nelayan Kepulauan Karimunjawa adalah pancing tonda yang termasuk ke dalam jenis troll line (pancing tarik). Pancing ini terdiri dari pancing dan mata pancing, nelayan pada umumnya menggunakan imitation balt (umpan tiruan) berupa kain sutera dan bulu ayam dan true balt (umpan benar) yaitu cumi-cumi. Dalam pengoperasian pancing tonda ini dilakukan dengan menarik (baca: menonda) pancing tersebut dengan kapal motor secara horisontal menelusuri lapisan permukaan air, lapisan dalam maupun menelusuri dasar perairan. Musim tangkap para nelayan tonda dimulai pada bulan Juni hingga September setiap tahunnya, dengan hasil tangkapan utamanya adalah ikan tongkol dan tenggiri. Jumlah tenaga kerja dalam satu kapal antara satu hingga dua orang. Pada umumnya, nelayan tonda menangkap ikan setiap hari (malam-pagi) pada saat musim tangkap atau sekitar 26 hari dalam satu bulan musim tangkap. 2. Bubu Bubu merupakan alat tangkap berupa jebakan dan bersifat pasif. Bahan bubu umumnya terbuat dari anyaman bambu, rotan, dan kawat. Bentuk bubu bermacam-macam, seperti sangkar, silinder, gendang, segitiga memanjang (kubus) atau segi banyak, bulat setengah lingkaran, dan lain-lain. Secara garis besar, bubu terdiri dari tiga bagian yaitu badan, mulut, dan pintu. Badan berupa rongga, tempat ikan terkurung. Mulut bubu berbentuk seperti corong, merupakan pintu dimana ikan dapat masuk tetapi tidak dapat keluar dan pintu bubu merupakan tempat pengambilan hasil tangkapan. Dilihat dari cara operasional penangkapannya, bubu dibagi kedalam tiga golongan, yaitu bubu dasar, bubu apung dan bubu hanyut. Jenis bubu yang digunakan di TNKJ adalah bubu dasar yang dipasang di sekitar perairan karang atau di antara karang-karang. Bubu yang nelayan gunakan terbuat dari anyaman bambu dan kawat. Umur teknis dari bubu anyaman bambu adalah sekitar tiga sampai empat bulan, sedangkan umur teknis bubu kawat bisa mencapai satu tahun. Pengambilan hasil tangkapan dilakukan dua sampai tiga hari

83 64 setelah bubu dipasang. Musim tangkap bubu adalah sepanjang tahun, dengan hasil tangkapan utama berupa ikan Baronang, Kakatua dan Ekor Kuning. 3. Jaring Jenis jaring yang digunakan nelayan tradisional di kepulauan Karimunjawa adalah jaring insang. Jaring insang adalah suatu alat tangkap berbentuk empat persegi panjang yang dilengkapi dengan penampung, pemberat ris atas dan ris bawah (terkadang tanpa ris bawah untuk sebagian jaring udang barong). Besar mata jaring bervariasi disesuaikan dengan sasaran tangkap (udang, ikan). Ikan yang tertangkap akan terjerat dibagian belakang lubang penutup insang (operculum), terbelit dan terpuntai pada mata jaring yang terdiri dari satu lapis, dua lapis maupun tiga lapis (jaring kantong, trammel net). Jaring ini terdiri dari satuan-satuan jaring yang biasa disebut tinting. Dalam operasi penangkapan biasanya terdiri dari beberapa tinting yang digaung menjadi satu sehingga merupakan satu perangkat (unit) yang panjang ( m). Dilihat dari cara pengoperasiannya, alat tangkap ini dibedakan menjadi tiga, yaitu drift gill net (dihanyutkan), set gill net (dilabuhkan) dan encircling gill net (dilingkarkan) (Subani dan Barus, 1989). Nelayan disekitar TNKJ pada umumnya menggunakan jaring insang jenis insang labuh. Jaring insang ini didirikan secara tegak lurus. Mereka melabuhkan jaringnya di dasar, lapisan tengah, maupun di bawah lapisan atas kolom perairan. Musim tangkap nelayan jaring adalah pada bulan September hingga November. Ikan hasil tangkapan pada umumnya terdiri dari jenis badong, baronang, dandeng, cucut, ekor kuning, panti, ikan hijau, pari, selar, smadar, tongkol, tenggiri, udang topeng, toda dan tambak. 4. Branjang Branjang/waring atau jaring bagan merupakan alat tangkap yang digunakan untuk menangkap ikan teri. Jaring branjang ini umumnya berukuran 9 x 9 m, bahannya berasal dari benang katun atau nilon. Jaring ini diikatkan pada bingkai berbentuk persegi panjang yang terbuat dari kayu atau bambu. Jenis bagan yang digunakan oleh nelayan di sekitar TNKJ adalah bagan perahu (boot lift nets) yang beroperasi di perairan dalam. Penangkapan dengan bagan perahu ini hanya dilakukan pada malam hari (light fishing) dengan menggunakan lampu (pertomax)

84 65 sebagai alat bantu penangkapan. Musim tangkap nelayan branjang di Kepulauan Karimunjawa dimulai dari bulan Juni hingga Agustus. Ikan teri yang ditangkap terdiri dari dua jenis yaitu teri hitam dan putih, hasil tangkapan dijual dalam keadaan kering ke pedagang pengumpul setempat. 5. Panah (Speargun) Nelayan panah di sekitar TN Krimunjawa terdapat di Desa Karimunjawa dan Parang. Alat tangkap ini terdiri dari anak panah (stainless), tangkai senapan (kayu), karet pelenting dan pelatuk. Waktu penangkapan ikan adalah malam hari dengan musim tangkap sepanjang tahun. Nelayan menggunakan bantuan kompressor sebagai sumber oksigen, mereka pun membawa keranjang dan senter sebagai alat bantu dalam operasi penangkapan. Target utama penangkap adalah ikan karang yaitu ekor kuning, selain itu tertangkap pula kerapu dan betet. 6. Kegiatan Perikanan Budidaya Satu armada penangkapan ikan di Karimunjawa beranggotakan 4-6 orang nelayan. Kegiatan budidaya perikanan yang dilakukan di TNKJ terdiri dari dua komoditas yaitu kerapu dan rumput laut. Jumlah keramba yang berada di Karimunjawa berkisar 31 unit. Setiap unit terdiri dari beberapa lokal (kolam pemeliharaan dengan ukuran 3x3 m). Jenis kerapu yang dibudidayakan adalah kerapu macan dan kerapu bebek. Budidaya rumput laut di Karimunjawa tergolong ke dalam tiga filum yaitu Clorophyta, Phaeophyta, dan rhodophyta Musim Penangkapan Ikan di Karimunjawa Penangkapan ikan di Karimunjawa dilakukan pada saat musim timur. Musim baratan gelombang besar sehingga kebanyakan nelayan takut untuk melaut. Nelayan dari luar wilayah Karimunjawa banyak datang ke Karimunjawa pada musim timuran. Perubahan iklim memberikan dampak kepada musim penangkapan ikan di Karimunjawa. Musim baratan yang tahun sebelumnya terjadi pada bulan juni berubah menjadi sulit diprediksi karena sampai akhir juli belum terjadi baratan. Musim ikan di Karimunjawa juga mengalami perubahan, musim tongkol yang awalnya dimulai dari bulan Desember sampai Maret menjadi Agustus sampai September.

85 66 Tabel 14. Musim-musim penangkapan ikan di Karimunjawa Keadaan dan Kegiatan Musim Baratan Musim Timuran Musim Ikan Tenggiri Waktu Pelaksanaan atau Kejadian Januari Februari Maret Apr Mei Juni Juli Agustus September Oktober November Desember X X X X X X X X X X X X X Musim Ikan Sulir X X Musim Ikan Teri X X X Musim Cumi X X X Musim Ikan Tongkol X Musim Ikan Mahal Tanam Rumput Laut Tebar Bibit di Keramba X X X X X X X

86 Daerah Tangkap Nelayan Karimunjawa Penangkapan ikan oleh Nelayan Karimunjawa hanya dilakukan di sepanjang TNKJ. Jarak yang ditempuh oleh nelayan dalam melakukan penangkapan ikan berkisar 4-7 mil, mil dan paling jauh mil. Mayoritas Nelayan Karimunjawa melakukan penangkapan ikan di sekitar 4-7 mil saja. Kapal yang sederhana hanya berupa sampan, motor tempel yang menjadi pertimbangan nelayan untuk tidak melakukan penangkapan ikan pada jarak yang lebih jauh lagi Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan yang Dilakukan Oleh Nelayan Jepara Penggolongan Nelayan Berdasarkan Karakteristik Usaha Nelayan Ujung batu tergolong nelayan penuh, berdasarkan waktu yang digunakan untuk melakukan pekerjaan penangkapan. Nelayan Jepara adalah nelayan yang seluruh waktu kerjanya digunakan untuk melakukan penangkapan ikan. Berdasarkan karakteristik usahanya. Nelayan Jepara sudah tergolong Commercial fisher. Nelayan Jepara sudah beorientasi kepada peningkatan keuntungan. Skala usaha Nelayan Jepara sudah besar yaitu pasar domestik bahkan ada yang sudah masuk pasar eksport. Nelayan Jepara menjual hasil tangkapan ikan langsung ke TPI (Tempat Penampungan Ikan). Berbeda dengan Nelayan Karimunjawa yang menjual hasil tangkapannya kepada juragn ikan. Nelayan Jepara memilih untuk menjual hasil tangkapan ikan ke TPI karena di TPI tempat berkumpulnya juragan ikan yang sudah siap membeli ikan lelangan nelayan. Teknologi yang digunakan menengah yaitu kapal yang sudah bermotor dan alat tangkap berupa mini purse seine dan pukat harimau. Alat tangkap mini purse seine adalah alat tangkap yang paling banyak digunakan oleh nelayan.

87 Gambar 11. Jumlah dan persentase responden berdasarkan alat tangkap yang Gambar 10. Persentase responden berdasarkan alat tangkap yang digunakan oleh Nelayan Jepara. Nelayan Jepara melakukan penangkapan ikan dengan orang lain (Gambar 11). Alat tangkap mini purse seine menggunakan jaring yang cukup besar sehingga membutuhkan tenaga kerja yang cukup banyak untuk mengoperasikannya. Umumnya, mini purse seine hanya dapat dioperasikan oleh minimal 20 orang. Pangkapan ikan dengan menggunakan alat tangkap pukat harimau juga dilakukan dengan orang lain. Gambar 11. Jumlah dan persentase responden berdasarkan ada tidaknya anggota kelompok dalam kegiatan penangkapan ikan di Jepara.

88 69 Kapal yang digunakan oleh Nelayan Jepara dalam melakukan usaha penangkapan ikan sudah tergolong canggih yaitu kapal yang bermotor. Kebanyakan kapal di Ujungbatu memiliki kapasitas sebesar 20 GT. Data persentase muatan kapal nelayan Ujung batu disajikan gambar dibawah ini. Hanya sedikit nelayan di Ujungbatu yang memiliki kapal. Berdasarkan data yang disajikan pada Gambar 12 hampir semua nelayan tidak memiliki kapal. Mahalnya harga kapal dan biaya perawatan kapal menyebabkan hanya orang-orang yang memiliki modal yang besar yang dapat memiliki kapal. Gambar 12. Kapal yang digunakan untuk menangkap ikan oleh Nelayan Jepara. Hubungan produksi Nelayan Jepara lebih kompleks karena status nelayan tidak hanya terdiri dari pemilik kapal dan ABK. Terdapat beberapa peranan dalam penangkapan ikan yang menggunakan mini purse seine yaitu sebagai pemilik kapal, awak kapal, dan nakhoda. ABK yang ikut serta dalam penangkapan ikan sangat heterogen karena berasal dari daerah asal, status, dan tingkat pendidikan yang berbeda-beda. Pemilik kapal adalah pihak yang bertanggung jawab untuk memberikan modal berupa bahan bakar, alat tangkap, kapal dan perbaikan alat tangkap maupun kapal. Pemilik kapal juga bertanggungjawab untuk memberikan bantuan berupa pinjaman uang kepada ABK yang kesulitan keuangan. Pemilik kapal dan ABK saling bekerjasama dalam melakukan kegiatan penangkapan ikan. ABK dan

89 70 pemilik kapal saling membutuhkan satu dengan yang lainnya. Hasil tangkapan perikanan tidak selalu ada setiap kali melaut, sehingga ABK membutuhkan pemilik kapal sebagai orang yang dapat memberikan pinjaman untuk memenuhi kebutuhan ABK sehari-hari. Pemilik kapal membutuhkan ABK untuk membantu penangkapan ikan. Oleh karena itu, pemilik kapal dan ABK jarang terlibat konflik karena masingmasing pihak saling membutuhkan satu dengan yang lainnya. Gambar 13. Jumlah dan persentase responden berdasarkan status nelayan di Jepara Alat Tangkap yang Digunakan Oleh Nelayan Jepara Nelayan Jepara berbeda dengan Nelayan Karimunjawa terutama dalam hal alat tangkapnya. Nelayan Jepara menggunakan alat tangkap yang lebih modern. Alat tangkap yang digunakan oleh Nelayan Jepara dalam memanfaatkan sumberdaya perikanan mayoritas berupa mini purse seine dan pukat harimau. 1. Mini purse seine Mini purse seine merupakan salah satu bentuk alat tangkap pukat cincin. Mini purse seine adalah jenis alat tangkap yang terbuat dari jaring dengan ukuran besar, membutuhkan tenaga banyak untuk mengoperasiannya. Pukat cincin memiliki bentuk dasar berupa sebuah empat persegi panjang, tanpa kantong dan digunakan untuk

90 71 menangkap ikan. Alat tangkap ini dioperasikan secara aktif, yaitu menemukan, mengejar, dan mengurung kawanan ikan yang bergerombol dan bergerak cepat dalam jumlah besar. Mini purse seine dibentuk dari dinding jaring yang sangat panjang, biasanya tali ris bawah (leadline) sama atau lebih panjang daripada tali ris atas (floatline). Karakteristik jaring mini purse seine terletak pada cincin yang terdapat pada bagian bawah jaring. Dilihat dari segi konstruksi maka komponen jaring pukat cincin dapat dikelompokkan dalam lima bagian besar yaitu ; (1) badan jaring, (2) tali kerut, (3) cincin (ring), (4) pelampung dan pemberat, dan (5) tali selembar. Nelayan Jepara pada umumnya menggunakan jaring mini purse seine yang berukuran m yang dioperasikan dengan menggunakan satu kapal. 2. Pukat Harimau Pukat harimau merupakan sejenis alat tangkap berbentuk trawl. Jaring trawl merupakan jenis jenis jaring yang berbentuk kantong yang ditarik sebuah kapal bermotor dan menggunakan alat pembuka mulut jaring yang disebut gawang (beam) atau sepasang alat pembuka (otter board). Menurut P3MN 6 (Pusat Pengembangan dan Pengkajian Masyarakat Nelayan), pukat harimau terdiri dari beberapa komponen, yaitu : tali penarik (warp), papan pembuka mulut jaring (otter board) atau gawang (beam), tali lengan (and rope), sayap jaring (wing), mulut jaring, badan jaring (body), kantong (cod end). Pukat Harimau di Jepara telah diubah/dimodifikasi dan digunakan oleh nelayan usaha skala kecil yaitu nelayan yang memiliki sebuah kapal tidak bermotor atau bermotor luar atau bermotor tidak lebih dari 5 GT dan atau mesinnya berkekuatan tidak lebih dari 15 daya kuda, mesin berkekuatan tidak lebih dari 36 DK dan ukuran panjang bentangan sayap tidak kurang dari 60 meter. Nelayan Jepara yang menggunakan alat tangkap pukat harimau juga menggunakan alat tangkap lain sebagai alat tangkap tambahan yaitu pancing. 6 Leonardo Marbun TRAWL : DEFINISI, DAMPAK & KEBIJAKANNYA. Diuduh pada tanggal 30 juli 2012.

91 Musim Tangkap di Jepara Nelayan Jepara menggunakan sistem tanggalan yang sama dengan Nelayan Karimunjawa yaitu menggunakan tanggalan jawa. Nelayan Jepara hampir setiap hari melakukan penangkapan ikan. Penangkapan ikan biasanya dilakukan pada sore hari yaitu jam empat sore. Nelayan Jepara tidak melakukan penangkapan ikan hanya pada saat gelombang besar dan terang bulan. Bulan juni sampai bulan Agustus biasanya merupakan musim ikan sepi. Bulan Agustus merupakan musim tangkap tongkol. Nelayan Jepara pada bulan Agustus atau Oktober biasanya pergi ke Karimunjawa untuk menangkap tongkol Daerah Tangkap Nelayan Jepara Penangkapan ikan oleh Nelayan Jepara hanya dilakukan di sekitar Laut Jawa. Jarak yang ditempuh oleh nelayan dalam melakukan penangkapan ikan berkisar 12 mil keatas dan sekitar mil. Kebanyakan Nelayan Jepara melakukan penangkapan ikan pada jarak mil bahkan sampai ke daerah TNKJ. Jarak penangkapan ikan yang cukup jauh karena alat tangkap dan kapal yang digunakan sudah menggunakan mesin bermotor dan memiliki ukuran yang besar. Nelayan Karimunjawa dan Nelayan Jepara memiliki perbedaan dari segi penggolongan nelayan, alat tangkap yang digunakan, status nelayan, anggota kelompok dalam kegiatan penangkapan ikan, kapal menangkap ikan dan daerah penangkapan ikan. Tabel 15 menunjukkan bagaimana perbedaan antara Nelayan Karimunjawa dan Jepara dalam memanfaatkan sumberdaya perikanan.

92 73 Tabel 15. Pemanfaatan sumberdaya perikanan oleh Nelayan Karimunjawa dan Nelayan Jepara Kategori Nelayan Karimunjawa Nelayan Jepara Penggolongan nelayan nelayan tradisional dan posttradisional. Berdasarkan waku untuk melakukan operasi penangkapan ikan merupakan nelayan ikan penuh dan nelayan ikan sambilan. commercial fisher. Berdasarkan waku untuk melakukan operasi penangkapan ikan merupakan nelayan ikan penuh. Alat tangkap Kompresor, pancing, bubu, branjang, Mini purse seine, jaring, dan budidaya perikanan. pukat harimau dan Mayoritas menggunakan pancing. pancing. Mayoritas menggunakan mini purse seine. Status nelayan Mayoritas pemilik kapal Mayoritas ABK Anggota kelompok dalam kegiatan penangkapan ikan Kapal menangkap ikan Daerah penangkapan ikan Moyoritas sendiri Di bawah 5 GT Mayoritas dengan teman Di atas 5 GT Di TNKJ Di Jepara dan TNKJ

93 74 BAB VII MODAL SOSIAL MENYAMBUNG (BRIDGING SOCIAL CAPITAL) NELAYAN KARIMUNJAWA DAN NELAYAN JEPARA 7.1. Modal Sosial Menyambung Nelayan Karimunjawa Jaringan Kerja di Luar Komunitas Nelayan Karimunjawa Jaringan kerja di luar komunitas Nelayan Karimunjawa merupakan ikatan baik formal maupun non formal yang terbentuk antara Nelayan Karimunjawa dengan nelayan luar seperti Nelayan Jepara. Berdasarkan data Tabel 16, tingkat koneksi dan jaringan kerja Nelayan Karimunjawa tergolong rendah. Tabel 16. Jumlah dan Persentase berdasarkan Jaringan Kerja di Luar Komunitas Nelayan Karimunjawa, Kecamatan Karimunjawa Tahun 2012 Jaringan kerja di luar komunitas Responden Jumlah Persentase Tinggi 10 33% Rendah 20 67% Total % Tingkat jaringan kerja di luar komunitas yang rendah dapat disebabkan oleh beberapa faktor, antara lain: 1. Nelayan Karimunjawa hanya memiliki saudara dan teman dari Karimunjawa. Nelayan Karimunjawa adalah nelayan pendatang yang datang dari Jepara, Sulawesi dan berbagai tempat lain kemudian menetap dan menjadi warga Karimunjawa. Setelah bertahun-tahun berada di Karimunjawa akhirnya nelayan tersebut semakin bertambah banyak dan membentuk perkampungan di Karimunjawa. Anak-anak yang dilahirkan dan bertumbuh di Karimunjawa akhirnya memiliki keluarga dan kerabat yang berada di Karimunjawa juga seperti yang diungkapkan YA (28 tahun).

94 75 saya tidak memliki keluarga atau saudara di Jepara karena seluruh keluarga ada di Karimunjawa.. 2. Kekayaan sumberdaya alam perikanan di Karimunjawa yang melimpah yang menyebabkan Nelayan Karimunjawa selalu berkecukupan walaupun hanya melakukan penangkapan ikan di sekitar Karimunjawa. Hal ini mengakibatkan Nelayan Karimunjawa hanya melaut di sekitar TNKJ. Nelayan Karimunjawa memiliki kenalan nelayan dari Jepara karena pernah bertemu ketika nelayan dari Jepara melaut atau berlabuh di Karimunjawa seperti yang diungkapkan oleh MP (52 tahun). dulu, ikannya masih banyak di Karimunjawa, bahkan boleh dikatakan kita yang dikejar-kejar ikan. jadi, mancing di pinggirpinggir sini biasane sudah dapat banyak ikan.. 3. Kapal yang digunakan Nelayan Karimunjawa masih sederhana hanya berupa motor tempel atau sampan. Jenis kapal yang sederhana mengakibatkan jarak wilayah tangkap nelayan hanya beberapa mil dalam TNKJ. Hal ini mengakibatkan mobilisasi Nelayan Karimunjawa tidak begitu luas, hanya berada di sekitar TNKJ Tingkat Partisipasi dan Keanggotan Kelompok di Luar Komunitas Nelayan Karimunjawa Kegiatan keorganisasian yang dapat menghubungkan Nelayan Karimunjawa dengan Ujungbatu terdiri dari organisasi keagamaan, politik, dan nelayan. Organisasi keagamaan yang terdapat di Karimunjawa yaitu NU (Nadlotul Ulama), Muhammadiyah, dan Alitma. Organisasi politik yang terdapat di Karimunjawa terdiri dari organisasi partai politik seperti PPP (Partai Persatuan Pembangunan), PDI (Partai Demokrasi Indonesia), PKB (Partai Kebangkitan Bangsa), PKS (Partai Keadilan Sejahtera), PAN (Partai Amanat Nasional), dan Demokrat. Organisasi

95 76 nelayan di Karimunjawa yaitu berupa HNSI (Himpunan Nelayan Indonesia). Tingkat keanggotaan nelayan pada organisasi yang menghubungkan dengan Nelayan Jepara dapat dikatakan rendah. Tabel 17 menyajikan data Partisipasi dan keanggotaam kelompok di luar komunitas. Tabel 17. Jumlah dan Persentase berdasarkan Tingkat Partisipasi dan Keanggotaan Kelompok di Luar Komunitas Nelayan Karimunjawa, Kecamatan Karimunjawa Tahun 2012 Tingkat partisipasi dan keanggotaan kelompok di luar komunitas Jumlah Responden Persentase Tinggi 2 7% Rendah 28 93% Total % Sebagian besar masyarakat tidak menjadi anggota organisasi yang menghubungkan mereka dengan Nelayan Jepara. Hal ini ditunjukkan oleh data pada Tabel 17. Ada beberapa faktor yang menyebabkan terjadinya kondisi tersebut, yaitu: 1. Nelayan Karimunjawa pada umumnya hampir setiap hari melaut kecuali pada waktu-waktu tertentu seperti hari jumat, gelombang besar dan terang bulan. Banyak persiapan yang harus dilakukan oleh nelayan sebelum melakukan operasi penangkapan ikan. Apabila nelayan tersebut memancing pada pagi hari maka pada waktu subuh nelayan sudah memeriksa kapal, mengisi bahan bakar dan mempersiapkan alat tangkap yang dibutuhkan. Penangkapan ikan selesai dilakukan pada sore hari. Malam hari nelayan akan beristirahat untuk melakukan kegiatan yang sama lagi dengan hari sebelumnya. Sangat sedikit waktu yang dimiliki untuk ikut serta dalam kegiatan-kegiatan pertemuan atau keorganisasian. 2. Keanggotaan dalam organisasi di Karimunjawa belum terdistribusi secara merata. Ketua organisasi umunya lebih memprioritaskan anggota keluarga atau teman-teman yang terdekat dengannya untuk ikut serta dalam bergabung

96 77 dalam organisasi. Informasi untuk keikutsertaan organisasi tidak terbuka secara umum dan dipilih orang-orangnya seperti yang diungkapkan SI (32 tahun). saya ndak tau mbak organisasinya, biasane yang diajak yah keluarganya saja mbak sama orang-orang yang dekat dengan ketuane.. 3. Organisasi Perhimpunan Nelayan atau HNSI yang sudah tidak berjalan. Banyak nelayan yang menjadi anggota HNSI tetapi tidak pernah ikut kegiatan kelompok nelayan karena tidak ada kegiatan organisasi yang dilakukan bahkan tidak pernah ada pertemuan antar nelayan. Sisem pengelolaan organisasi yang buruk menyebabkan partisipasi dan keanggotaan masyarakat menjadi tidak jelas Tingkat Kepercayaan Nelayan Karimunjawa Tingkat kepercayaan adalah keyakinan bahwa orang lain tidak akan berlaku atau berniat buruk kepada kita. Berdasarkan data yang disajikan pada Tabel 18, tingkat kepercayaan Nelayan Karimunjawa kepada Nelayan Jepara tergolong rendah. Tabel 18. Jumlah dan Persentase berdasarkan Tingkat Kepercayaan Nelayan Karimunjawa, Kecamatan Karimunjawa Tahun 2012 Tingkat kepercayaan Jumlah Responden Persentase Tinggi 2 7% Rendah 28 93% Total % Rendahnya tingkat kepercayaan Nelayan Karimunjawa disebabkan oleh beberapa faktor, antara lain: 1. Perbedaan alat tangkap antara Nelayan Karimunjawa dan Nelayan Jepara mengakibatkan Nelayan Karimunjawa menganggap bahwa Nelayan Jepara sebagai saingan dalam melakukan penangkapan ikan di TNKJ. Alat tangkap yang

97 78 digunakan Nelayan Jepara lebih modern dibandingkan dengan Nelayan Karimunjawa. Nelayan Jepara dapat menangkap ikan jauh lebih banyak dari pada Nelayan Karimunjawa seperti yang diungkapkan MA (43 tahun). yah kita sih gak masalah itu mbak kalau Nelayan Jepara itu datang, tapi kalau alat tangkapnya itu udah beda, ya jadi masalah buat kita.. Nelayan Karimunjawa tidak keberatan apabila nelayan dari luar memanfaatkan sumberdaya perikanan di Karimunjawa asalkan alat tangkap yang digunakan sama. 2. Pengalaman Nelayan Karimunjawa yang kurang baik dengan nelayan luar komunitas lain mengakibatkan Nelayan Karimunjawa lebih berhati-hati terhadap nelayan lain. Alat tangkap seperti cantrang yang pernah digunakan Nelayan Jepara telah merusak karang. Nelayan Karimunjawa akhirnya memiliki pandangan bahwa alat tangkap nelayan luar baik Nelayan Jepara dinilai merusak alam. Nelayan Karimunjawa tidak begitu menyukai nelayan dari luar komunitasnya karena dianggap sebagai ancaman apalagi dengan alat dan kapal yang jauh lebih canggih. Akan tetapi, Nelayan Karimunjawa tetap memiliki keinginan untuk menolong nelayan dari luar komunitas apabila mereka membutuhkan pertolongan. Nelayan Karimunjawa tidak pernah mempermasalahkan apabila ada kapal-kapal dari daerah luar baik dari Jepara maupun di luar Jepara yang datang untuk berlabuh Modal sosial menyambung Nelayan Jepara Jaringan Kerja di Luar Komunitas Nelayan Jepara Kekuatan jaringan kerja antara Nelayan Jepara dengan Karimunjawa tergolong rendah. Data pada Tabel 19 menunjukkan bahwa 87 % nelayan memiliki

98 79 koneksi dan jaringan kerja yang rendah. Beberapa responden ada yang tidak memiliki kenalan di Karimunjawa, seperti yang diungkapkan SP (32 tahun). saya tidak memiliki kenalan di Karimunjawa mbak.. Tabel 19. Jumlah dan Persentase berdasarkan Jaringan Kerja di Luar Komunitas Nelayan Ujungbatu, Kecamatan Jepara Tahun 2012 Jaringan kerja di luar komunitas Jumlah Responden Persentase Tinggi 4 13% Rendah 26 87% Total % Nelayan Jepara pada umumnya tidak memiliki saudara atau teman di Karimunjawa. Sehingga hubungan antara Nelayan Karimunjawa dengan Nelayan Jepara hanya terjadi ketika Nelayan Jepara dan Karimunjawa memanfaatkan sumberdaya perikanan di wilayah tangkap yang sama. Nelayan Jepara mengeal Nelayan Karimunjawa ketika mereka datang ke Karimunjawa untuk melakukan penangkapan ikan tongkol. Jaringan kerja ini semakin melemah ketika diterapkan peraturan zonasi dan jalur penangkapan perikanan. Nelayan Jepara tidak diperbolehkan lagi melakukan penangkapan ikan di Karimunjawa. Nelayan Jepara lebih banyak berhubungan dan bekerjasama dengan nelayan Demak. Nelayan demak banyak yang bekerja di kapal-kapal Nelayan Jepara sebagai ABK Tingkat Partisipasi dan Keanggotaan Kelompok di Luar Komunitas Nelayan Jepara Tingkat partisipasi dan keanggotaan Nelayan Jepara dalam kelompok di luar komunitas nelayan tergolong rendah. Rendahnya partisipasi dan keanggotaan nelayan dapat di lihat pada Tabel 20.

99 80 Tabel 20. Jumlah dan Persentase berdasarkan Tingkat Partisipasi dan Keanggotaan Kelompok di Luar Komunitas Nelayan Jepara, Kecamatan Jepara Tahun 2012 Tingkat partisipasi dan keanggotaan kelompok di luar komunitas Jumlah Responden Persentase Tinggi 11 37% Rendah 19 63% Total % Tingkat partisipasi dan keanggotaan Nelayan Jepara dalam organisasi di luar komunitas nelayan karena mereka lebih berfokus dengan organisasi nelayan yang terdapat di Ujungbatu. Sementara, organisasi nelayan yang berada di Ujungbatu sangat jarang bekerjasama dengan organisasi nelayan yang berada di luar komunitas nelayan. Tidak adanya hubungan kerjasama antara Nelayan Jepara dengan nelayan di luar komunitasnya menyebabkan Nelayan Jepara jarang melakukan hubungan komunikasi dengan Nelayan Karimunjawa. Tingginya partisipasi dan keanggotaan pada kelompok didalam komunitas Nelayan Jepara karena sistem pengelolaan organisasi nelayan di Jepara berjalan dengan baik. Setiap nelayan di Jepara mendapatkan akses yang sama untuk menerima informasi dan menjadi anggota dalam organisasi nelayan. Setiap satu bulan sekali organisasi nelayan melakukan pertemuan Tingkat Kepercayaan Nelayan Jepara Tingkat kepercayaan Nelayan Jepara kepada Nelayan Karimunjawa tergolong tinggi. Tingkat kepercayaan nelayan di ukur berdasarkan perasaan aman yang dirasakan terhadap keberadaan pihak lain. Berdasarkan Tabel 21 ditunjukkan bahwa lebih dari setegah Nelayan Karimunjawa memiliki tingkat kepercayaan yang tinggi terhaap Nelayan Karimunjawa.

100 81 Tabel 21. Jumlah dan Persentase berdasarkan Tingkat Kepercayaan Nelayan Ujungbatu, Kecamatan Jepara Tahun 2012 Tingkat kepercayaan Jumlah Responden Persentase Tinggi 22 73% Rendah 8 27% Total % Tingkat kepercayaan Nelayan Jepara yang tinggi, disebabkan oleh beberapa faktor, antara lain yaitu: 1. Nelayan Jepara lebih terbuka dibandingkan dengan Nelayan Karimunjawa. Nelayan Jepara sudah terbiasa dengan nelayan komunitas lain. Nelayan Jepara sudah terbiasa berkerja dalam satu kapal dengan nelayan dari Demak. Oleh karena itu, Nelayan Jepara lebih bersikap toleran dan dapat menerima komunitas lain. 2. Perbedaan alat tangkap antara Nelayan Karimunjawa dan Jepara menyebabkan Nelayan Jepara tidak merasa terancam dengan keberadaan Nelayan Karimunjawa. Alat tangkap Nelayan Karimunjawa yang lebih sederhana dibandingkan dengan Nelayan Jepara yang mengakibatkan Nelayan Jepara tidak mempermasalahkan apabila Nelayan Karimunjawa menangkap ikan di Jepara. Nelayan Jepara mengganggap Nelayan Karimunjawa sebagai rekan kerja sesama nelayan ketika melakukan operasi penangkapan ikan. Nelayan Jepara tidak menjadikan Nelayan Karimunjawa sebagai saingan. 3. Alat tangkap Nelayan Jepara yang sudah lebih canggih daripada Nelayan Karimunjawa mempengaruhi hasil tangkapan nelayan. Hasil tangkapan nelayan Nelayan Jepara lebih banyak dibandingkan Nelayan Karimunjawa seperti yang diungkapkan FD (32 tahun).

101 82 kalo kita tidak ada masalah kalau Nelayan Karimunjawa nangkap ikan di sini karena alat tangkapnya juga sederhana kaya pancing seperti itu Persepsi Nelayan Karimunjawa dengan Nelayan Jepara terhadap Konflik dalam Memanfaatkan Sumberdaya Perikanan di TNKJ Konflik yang terjadi di dalam kehidupan nelayan dapat berupa perkelahian yang melibatkan benturan fisik atau ketidaksukaan terhadap kelompok tertentu. Konflik yang terjadi antara Nelayan Karimunjawa dengan Nelayan Jepara tergolong konflik kelas. Konflik yang disebabkan perebutan wilayah penangkapan yaitu di daerah TNKJ dan terdapat kesenjangan dalam teknologi penangkapan ikan. Konflik yang terjadi antara Nelayan Karimunjawa dan Jepara dapat dilihat dari persepsi nelayan terhadap konflik yang tinggi. Berdasarkan data Tabel 22 ditunjukkan bahwa persepsi Nelayan Jepara terhadap Konflik Nelayan Jepara lebih tinggi daripada Nelayan Karimunjawa. Tabel 22. Jumlah dan Persentase berdasarkan Persepsi Konflik Nelayan Karimunjawa dan Nelayan Jepara terhadap Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan di TNKJ Tahun 2012 Persepsi konflik Nelayan Karimunjawa Nelayan Jepara Jumlah Persentase Jumlah Persentase Tinggi 27 90% 22 73% Rendah 3 10% 8 27% Total % % Persepsi konflik Nelayan Karimunjawa dan Jepara di TNKJ yang tinggi disebabkan oleh banyaknya pengalaman kejadian konflik yang dialami seperti perusakan kapal atau pencekalan. Nelayan Jepara awalnya menggunakan cantrang dalam melakukan penangkapan ikan yang mengakibatkan banyak terumbu karang yang rusak dan penurunan jumlah ikan di laut. Nelayan Karimunjawa merasa

102 83 dirugikan dengan operasi penangkapan ikan yang dilakukan oleh Nelayan Jepara akhirnya merusak kapal Nelayan Jepara seperti yang diungkapkan oleh US (60 tahun). pernah, tapi sudah lama itu keajadiannya. Jadi kapalnya itu pernah di bakar mbak sama nelayan sini.. Penggunaan alat tangkap mini purse seine tidak terlepas dari masalah dengan Nelayan Karimunjawa. Nelayan Karimunjawa tidak setuju apabila Nelayan Jepara melakukan operasi penangkapan ikan dengan mini purse seine karena dinilai merugikan Nelayan Karimunjawa. Alat bantu penangkapan berupa lampu sorot mini purse seine menyebabkan ikan menjauh sehingga nelayan tradisional hanya mendapatkan sedikit ikan. Menurut pembagian sistem zonasi yang dilakukan oleh Balai Taman Nasional dan jalur penangkapan oleh DKP, Nelayan Jepara dapat melakukan penangkapan ikan di daerah TNKJ apabila menggunakan alat tangkap yang sederhana seperti pancing. Konflik sering kali terjadi karena nelayan dari Jepara tetap melakukan penangkapan ikan di wilayah TNKJ dengan menggunakan alat tangkap seperti mini purse seine sepertu yang diungkapkan oleh UT (34 tahun). sebenernya kita sudah ada jalur penangkapannya tapi kalau sudah urusan sudah perut yah kita tetap nangkap ke sana (Karimunjawa).. Modal sosial menyambung dapat dianalisis melalui jaringan kerja di luar komunitas, partisipasi dan keanggotaan kelompok di luar komunitas, dan tingkat kepercayaan. Terdapat perbedaan antara modal sosial menyambung di Nelayan Karimunjawa dengan nelayan di Jepara. Tabel 23 menyajikan modal sosial menyambung yang dimiliki Nelayan Karimunjawa dan Nelayan Jepara

103 84 Tabel 23. Modal Sosial Menyambung yang dimiliki Nelayan Karimunjawa dan Nelayan Jepara Modal Sosial Menyambung Nelayan Karimunjawa Nelayan Jepara Jaringan kerja di luar komunitas Tingkat partisipasi dan keanggotaan kelompok di luar komunitas Rendah Rendah Rendah Rendah Tingkat Kepercayaan Rendah Tinggi

104 85 BAB VIII HUBUNGAN MODAL SOSIAL MENYAMBUNG DENGAN PERSEPSI KONFLIK ANTARA NELAYAN KARIMUNJAWA DENGAN NELAYAN JEPARA DALAM MEMANFAATKAN SUMBERDAYA PERIKANAN DI TAMAN NASIONAL KARIMUNJAWA Tiga variabel modal sosial menyambung responden yang dianalisis hubungannya dengan hubungan antara nelayan, yaitu jaringan kerja di luar komunitas, partisipasi dan keanggotaan kelompok di luar komunitas, dan tingkat kepercayaan. Analisis ini dilakukan untuk mengetahui apakah modal sosial menyambung berhubungan dengan hubungan yang terjalin antar nelayan. Hubungan antar nelayan meliputi persepsi konflik yang terjadi dalam nelayan Hubungan Antara Jaringan Kerja di Luar Komunitas Nelayan Karimunjawa Dengan Persepsi Nelayan Karimunjawa terhadap Konflik dalam memanfaatkan Sumberdaya Perikanan di TNKJ Hasil analisis data menunjukkan bahwa terdapat hubungan antara jaringan di luar komunitas Nelayan Karimunjawa dengan persepsi konflik yang terjadi di Karimunjawa. Hubungan antara jaringan di luar komunitas dengan persepsi konflik merupakan hubungan yang berbanding terbalik. Semakin tinggi jaringan kerja di luar komunitas mengakibatkan rendahnya persepsi konflik yang terjadi dan semakin rendah jaringan kerja di luar komunitas mengakibatkan semakin tinggi persepsi konflik yang terjadi. Jaringan kerja di luar komunitas Nelayan Karimunjawa tergolong rendah oleh karena itu persepsi konflik yang terjadi di Karimunjawa juga tergolong tinggi. Tabel 24 menyajikan data mengenai persentase hubungan antara jaringan kerja di luar komunitas dengan persepsi konflik nelayan di Karimunjawa.

105 86 Tabel 24. Persentase Hubungan antara Jaringan Kerjadi Luar Komunitas Nelayan Karimunjawa dengan Persepsi Konflik Nelayan Karimunjawa di TNKJ, Kecamatan Karimunjawa, Kabupaten Jepara, Provinsi Jawa Tengah Tahun 2012 Jaringan Kerja di Luar Komunitas Persepsi Nelayan Karimunjawa terhadap Konflik Rendah Tinggi Total Rendah 0 (0%) 20 (67%) 20 (67%) Tinggi 3 (10%) 7(23%) 10 (33%) Total 3 (10%) 27 (90%) 30 (100%) 8.2. Hubungan Antara Tingkat Keanggotaan Nelayan Karimunjawa Dengan Persepsi Nelayan Karimunjawa terhadap Konflik dalam memanfaatkan Sumberdaya Perikanan di TNKJ Hasil analisis data menunjukkan bahwa terdapat hubungan antara tingkat partisipasi dan keanggotan kelompok di luar komunitas Nelayan Karimunjawa dengan persepsi konflik yang terjadi di Karimunjawa. Hubungan antara tingkat partisipasi dan keanggotaan di luar komunitas dengan persepsi konflik merupakan hubungan yang berbanding terbalik. Semakin tinggi tingkat partisipasi dan keanggotan kelompok di luar komunitas Nelayan Karimunjawa mengakibatkan rendahnya persepsi konflik dan sebaliknya semakin rendah tingkat partisipasi dan keanggotan kelompok di luar komunitas mengakibatkan semakin tinggi persepsi konflik. Tingkat partisipasi dan keanggotan kelompok di luar komunitas Nelayan Karimunjawa tergolong rendah oleh karena itu persepsi konflik yang terjadi di Karimunjawa juga tergolong tinggi. Tabel 25 menyajikan data mengenai persentase hubungan antara tingkat partisipasi dan keanggotan kelompok di luar komunitas Nelayan Karimunjawa dengan persepsi konflik nelayan di Karimunjawa.

106 87 Tabel 25. Persentase Hubungan antara Keanggotaan dalam Organisasi Nelayan Karimunjawa dengan Persepsi Konflik Nelayan Karimunjawa di TNKJ, Kecamatan Karimunjawa, Kabupaten Jepara, Provinsi Jawa Tengah Tahun 2012 Tingkat Partisipasi dan Keanggotaan Kelompok di Luar Komunitas Persepsi Nelayan Karimunjawa terhadap Konflik Rendah Tinggi Total Rendah 1 (3%) 27 (90%) 28 (93%) Tinggi 2 (7%) 0 (0%) 2 (7%) Total 3 (10%) 27 (90%) 30 (100%) 8.3. Hubungan Antara Tingkat Kepercayaan Nelayan Karimunjawa Dengan Persepsi Nelayan Karimunjawa terhadap Konflik dalam memanfaatkan Sumberdaya Perikanan di TNKJ Hasil analisis data menunjukkan bahwa di Karimunjawa tingkat kepercayaan Nelayan Karimunjawa berpengaruh terhadap persepsi konflik di TNKJ. Hubungan antara tingkat kepercayaan dengan persepsi konflik merupakan hubungan yang berbanding terbalik. Semakin tinggi tingkat kepercayaan mengakibatkan rendahnya persepsi konflik yang terjadi dan semakin rendah tingkat kepercayaan mengakibatkan semakin tinggi persepsi konflik yang terjadi. Tingkat kepercayaan Nelayan Karimunjawa tergolong rendah oleh karena itu persepsi konflik yang terjadi di Karimunjawa juga tergolong tinggi. Tabel 26 menyajikan data mengenai persentase hubungan antara tingkat kepercayaan dengan persepsi konflik nelayan di Karimunjawa.

107 88 Tabel 26. Persentase Hubungan antara Tingkat Kepercayaan Nelayan Karimunjawa dengan Persepsi Konflik Nelayan Karimunjawa di TNKJ, Kecamatan Karimunjawa, Kabupaten Jepara, Provinsi Jawa Tengah Tahun 2012 Tingkat Kepercayaan Persepsi Nelayan Karimunjawa terhadap Konflik Rendah Tinggi Total Rendah 1 (3%) 27 (90%) 28 (93%) Tinggi 2 (7%) 0 (0%) 2 (7%) Total 3 (10%) 27 (90%) 30 (100%) 8.4. Hubungan Antara Jaringan Kerja di Luar Komunitas Nelayan Jepara Dengan Persepsi Nelayan Jepara terhadap Konflik dalam memanfaatkan Sumberdaya Perikanan di TNKJ Hasil analisis data menunjukkan bahwa terdapat hubungan antara jaringan di luar komunitas dengan persepsi konflik Nelayan Jepara di TNKJ. Hubungan antara jaringan di luar komunitas dengan persepsi konflik merupakan hubungan yang berbanding terbalik. Semakin tinggi jaringan kerja di luar komunitas mengakibatkan rendahnya persepsi konflik yang terjadi dan semakin rendah jaringan kerja di luar komunitas mengakibatkan semakin tinggi persepsi konflik yang terjadi. Jaringan kerja di luar komunitas Nelayan Jepara tergolong rendah oleh karena itu persepsi konflik yang terjadi di Jepara juga tergolong tinggi. Tabel 27 menyajikan data mengenai persentase hubungan antara jaringan kerja di luar komunitas dengan persepsi terhadap persepsi konflik nelayan di Jepara.

108 89 Tabel 27. Persentase Hubungan antara Jaringan Kerja di Luar Komunitas Nelayan Jepara dengan Persepsi Konflik Nelayan Jepara di TNKJ, Kecamatan Karimunjawa, Kabupaten Jepara, Provinsi Jawa Tengah Tahun 2012 Jaringan Kerja di Luar Komunitas Nelayan Jepara Persepsi Nelayan Jepara terhadap Konflik Rendah Tinggi Total Rendah 4 (13%) 22 (74%) 26 (87%) Tinggi 4 (13%) 0 (0%) 4 (13%) Total 8 (26%) 22 (74%) 30 (100%) 8.5. Hubungan Antara Partisipasi dan Keanggotaan Nelayan Jepara Dengan Dengan Persepsi Nelayan Jepara terhadap Konflik dalam memanfaatkan Sumberdaya Perikanan di TNKJ Hasil analisis data menunjukkan bahwa terdapat hubungan antara tingkat partisipasi dan keanggotan kelompok di luar komunitas. Tingkat partisipasi dan keanggotaan kelompok nelayan yang rendah berpengaruh terhadap hubungan antara Nelayan Jepara dengan Karimunjawa.Tingkat partisipasi dan keanggotan kelompok di luar komunitas Nelayan Jepara rendah mengakibatkan persepsi nelayan terhadap konflik juga tinggi. Hal ini disebabkan karena organisasi kelompok nelayan di Jepara tidak memiliki hubungan kerjasama atau sangat jarang melakukan hubungan komunikasi dengan Nelayan Karimunjawa. Rendahnya hubungan komunikasi dan kerjasama yang tercipta antara Nelayan Jepara dengan Karimunjawa menyebabkan persepsi konflik Nelayan Jepara terhadap Nelayan Karimunjawa tinggi. Tabel 28 menyajikan data mengenai persentase hubungan antara tingkat partisipasi dan keanggotan kelompok di luar komunitas Nelayan Jepara dengan persepsi konflik nelayan di Jepara.

109 90 Tabel 28. Persentase Hubungan antara Partisipasi dan Keanggotaan Kelompok di Luar Komunitas dengan Persepsi Konflik Nelayan Jepara di TNKJ, Kecamatan Karimunjawa, Kabupaten Jepara, Provinsi Jawa Tengah Tahun 2012 Tingkat Partisipasi dan Keanggotaan Kelompok di Luar Komunitas Nelayan Jepara Persepsi Nelayan Jepara terhadap Konflik Rendah Tinggi Total Rendah 8 (27%) 11 (37%) 19 (63%) Tinggi 0 (0%) 11 (36%) 11 (37%) Total 8 (27%) 22 (73%) 30 (100%) 8.6. Hubungan Antara Tingkat Kepercayaan Nelayan Jepara Dengan Persepsi Nelayan Jepara terhadap Konflik dalam memanfaatkan Sumberdaya Perikanan di TNKJ Hasil analisis data menunjukkan bahwa tidak terdapat hubungan antara tingkat kepercayaan Nelayan Jepara dengan persepsi konflik Nelayan Jepara di TNKJ. Tingkat kepercayaan yang dimiliki Nelayan Jepara yang tinggi tidak diikuti oleh persepsi konflik yang rendah. Sebaliknya, tingkat kepercayaan nelayan tinggi dan persepsi konflik nelayan juga tinggi. Tabel 29 menyajikan data mengenai persentase hubungan antara tingkat kepercayaan dengan persepsi konflik nelayan di Jepara. Tabel 29. Persentase Hubungan antara Tingkat Kepercayaan Nelayan Jepara dengan Persepsi Nelayan Jepara terhadap Konflik di di TNKJ, Kecamatan Karimunjawa, Kabupaten Jepara, Provinsi Jawa Tengah Tahun 2012 Tingkat Kepercayaan Persepsi Nelayan Jepara terhadap Konflik Rendah Tinggi Total Rendah 0 (0%) 8 (27%) 8 (27%) Tinggi 8 (26%) 14 (47%) 22 (73%) Total 8 (26%) 22 (74%) 30 (100%)

110 91 Tingkat kepercayaan Nelayan Jepara tinggi dan persepsi Nelayan Jepara terhadap konflik juga tinggi. Hal ini ditunjukkan oleh data pada Tabel 29. Hubungan antara tingkat kepercayaan dengan persepsi konflik merupakan hubungan yang berbanding lurus. Kondisi ini disebabkan karena tingkat kepercayaan Nelayan Jepara yang tinggi tidak disertai dengan tingkat kepercayaan yang tinggi dari Nelayan Karimunjawa. Tingkat kepercayaan yang rendah dari salah satu pihak mempengaruhi komunikasi antar nelayan sehingga persepsi konflik yang tercipta juga tinggi.

111 92 BAB IX KESIMPULAN DAN SARAN 9.1. Kesimpulan Pengelolaan sumberdaya perikanan yang dilakukan di Karimunjawa berbeda dengan pengelolaan perikanan yang dilakukan di Jepara. Pengelolaan perikanan yang dilakukan di Karimunjawa dilakukan oleh beberapa aktor yaitu, Balai Taman Nasional dengan menetapkan sistem zonasi, Dinas Kelautan dan Perikanan dengan menetapkan peraturan jalur tangkap, Pemerintah Kabupaten Jepara sesuai dengan Surat Keputusan Gubernur dan kearifan lokal yang merupakan hasil kesepakatan yang dibuat oleh pemerintah desa dengan masyarakat. Pengelolaan sumberdaya perikanan di Karimunjawa bersifat kolaboratif karena masyarakat juga memiliki hak mengelola. Masyarakat turut serta dalam menetapkan peraturan pengelolaan sumberdaya perikanan di Karimunjawa. Nelayan Jepara hanya memiliki hak pemanfaatan yaitu menggunakan dan mengambil manfaat sumberdaya perikanan di Jepara. Peraturan pengelolaan pemanfaatan sumberdaya perikanan di Jepara bersifat terpusat. Dinas kelautan dan perikanan yang menetapkan sistem pengelolaan perikanan melalui jalur-jalur penangkapan. Penetapan pembagian wilayah yang dilakukan oleh berbagai aktor dalam pemanfaatan sumberdaya perikanan belum berjalan secara efisien. Hal ini disebabkan oleh karena rendahnya pengetahuan dan kesadaran masyarakat terhadap peraturan tersebut dan penegakan hukum (law enforcement) lemah. Modal sosial menyambung (bridging social capital) dapat diukur dengan menggunakan variabel jaringan kerja di luar komunitas, tingkat partisipasi dan keanggotaan dalam organisasi di luar komunitas, dan tingkat kepercayaan. Modal sosial menyambung di Karimunjawa dapat digolongkan rendah karena ketiga variabel modal sosial menyambung di Karimunjawa rendah. Modal sosial menyambung di Jepara dapat digolongkan rendah karena dari ketiga variabel modal sosial menyambung dua diantaranya tergolong rendah. Jaringan kerja, tingkat partisipasi

112 93 dan keanggotaan dalam organisasi Nelayan Jepara dengan Nelayan Karimunjawa rendah. Tetapi, tingkat kepercayaan Nelayan Jepara terhadap Nelayan Karimunjawa tinggi. Hal ini disebabkan karena Nelayan Jepara tidak merasa terancam atau terganggu dengan keberadaan Nelayan Karimunjawa. Nelayan Jepara dalam melakukan operasi penangkapan ikan membutuhkan banyak tenaga kerja. Tenaga kerja Nelayan Jepara berasal dari berbagai latar belakang kebudayaan dan daerah. Nelayan Jepara sudah terbiasa dengan adanya perbedaan sehingga menjadi lebih tebuka dan mudah menerima orang lain. Hubungan yang tercipta antara Nelayan Karimunjawa dengan Nelayan Jepara cenderung konflik. Hal ini dapat dibuktikan dengan Persepsi Nelayan Karimunjawa dan Nelayan Jepara yang tinggi terhadap persepsi konflik. Rendahnya modal sosial menyambung yang dimiliki oleh Nelayan Karimunjawa dan Nelayan Jepara mengakibatkan hubungan antara Nelayan Karimunjawa dan Nelayan Jepara cenderung konflik. Tingkat kepercayaan Nelayan Jepara yang tinggi tidak begitu berpengaruh terhadap persepsi konflik. Konflik hanya dapat dihindari apabila terdapat kepercayaan dari dua belah pihak, baik Nelayan Karimunjawa maupun Nelayan Jepara. Berdasarkan hal ini, maka dapat disimpulkan bahwa modal sosial menyambung memiliki hubungan dengan konflik Saran Konflik yang tercipta antara Nelayan Karimunjawa dengan Nelayan Jepara tidak hanya disebabkan oleh kurangnya komunikasi antar nelayan tetapi juga disebabkan oleh adanya sistem yang belum dapat mengatur dengan baik pemanfaatan sumberdaya perikanan di TNKJ. Saran yang dapat disampaikan berdasarkan hasil penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Pentingnya ada aturan-aturan yang jelas mengenai pemanfaatan sumberdaya perikanan mulai dari batas wilayah tangkap, jenis ikan yang dapat ditangkap, alat tangkap, dan sanksi.

113 94 2. Perlu diadakan sosialisasi aturan yang sudah ditetapkan kepada setiap pihak yang terkait sehingga setiap pihak dapat mengetahui status dan peranan serta hal-hal apa saja yang dapat dilakukan dan tidak dapat dilakukan dalam memanfaatkan sumberdaya perikanan. 3. Perlu dilakukan penegakan aturan (law enforcement) dengan menempatkan pengawas-pengawas yang berfungsi untuk mengawasi setiap pihak-pihak yang memanfaatkan sumberdaya perikanan agar peraturan yang ditetapkan dapat berjalan sesuai dengan fungsinya.

114 95 DAFTAR PUSTAKA Hanafri MI Hubungan Modal Sosial Dengan Kemiskinan Masyarakat Nelayan Di Desa Panimbang Jaya, Pandeglang. [skripsi]. Bogor [ID]: Institut Pertanian Bogor. 120 hal. Ilham, M Analisa Konflik Pengelolaan Sumber Daya Alam Masyarakat Desa Sekitar Hutan (Studi Kasus Masyarakat Desa Curugbitung, Kecamatan Nanggung, Kabupaten Bogor, Propinsi Jawa Barat). [skripsi]. Bogor [ID]: Institut Pertanian Bogor. 102 hal. Kinseng RA Konflik-Konflik Sumberdaya Alam di Kalangan Nelayan Indonesia.Sodality: Jurnal Transdisiplin Sosiologi, Komunikasi, dan Ekologi Manusia, 01(01): Lawang RZ Kapital Sosial dalam Perspektif Sosiologik. Jakarta [ID]: FSIP UI Press. 237 hal. Prasetyo dan Jannah Metode Penelitian Kuantitatif Teori dan Aplikasi. Jakarta [ID]: PT. Raja Grafindo Persada. 272 hal. Satria A. 2009a. Ekologi Politik Nelayan. Yogyakarta [ID]: Lkis. 410 hal b. Pesisir dan laut untuk rakyat. Bogor [ID]: IPB Press. 144 hal Pengantar sosiologi masyarakat pesisir. Jakarta [ID]: PT. Pustaka Cidesindo. 130 hal Satria A, Umbari A, Fauzi A, Purbayanto A, Sutarto E, Muchsin I, Muflikhati I, Karim M, Saad S, Oktariza W, dan Imran Z Menuju Desentralisi Kelautan. Jakarta [ID]: PT. Pustaka Cidesindo. 210 hal. Sembiring E Resolusi Konflik Pengelolaan Taman Nasional Teluk Cenderawasih di Kabupaten Teluk Wondama. [tesis]. Bogor [ID]: Institut Pertanian Bogor. 113 hal. Singarimbun M dan Effendi S Metode Penelitian Survai. Jakarta [ID]: LP3ES. Hal Sitorus MTF Penelitian Kualitatif. Bogor [ID]: Kelompok Dokumentasi Ilmuilmu Sosial Fakultas Pertanian IPB. 73 hal. Shaliza F. Dinamika Konflik antar Komunitas dan Transformasi Modal Sosial Studi Kasus Konflik antara Nelayan Parit III dan Melati di Kabupaten Bengkalis, Provinsi Riau. [tesis]. Bogor [ID]: Institut Pertanian Bogor. 160 hal.

115 96 Soekanto S Sosiologi: suatu pengantar. Jakarta [ID]: Rajawali Press. 296 hal. Vipriyanti NU Studi Sosial Ekonomi Tentang Keterkaitan antara Modal Sosial dan Pembangunan Ekonomi Wilayah Studi Kasus di Empat Kabupaten di Provinsi Bali. [disertasi]. Bogor [ID]: Institut Pertanian Bogor. 241 hal. Wahyono Indonesia Negara Maritim. Jakarta[ID]: Teraju. 212 hal. Yulidar AR Potensi dalam Pemberdayaan Nelayan Modal Sosial Komunitas Nelayan Desa Teluk Labuan, Banten. [tesis]. Bogor [ID]:Institut Pertanian Bogor. 123 hal.

116 LAMPIRAN 97

117 98 Lampiran 1. Dokumentasi penelitian 1. Diskusi Kelompok Terarah dengan nelayan di Desa Karimunjawa 2. Diskusi Kelompok Terarah dengan Juragan di Desa Karimunjawa

118 3. Wawancara dengan Nelayan Karimunjawa dan Nelayan Jepara 99

119 4. Kapal dan alat tangkap yang digunakan oleh Nelayan Karimunjawa 100

120 5. Kapal dan alat tangkap yang digunakan oleh Nelayan Jepara 101

121 6. Tempat pengumpulan ikan di Jepara 102

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Data pokok kelautan dan perikanan 2010 1 menggolongkan Indonesia sebagai negara kepulauan terbesar di dunia karena memiliki luas laut dan jumlah pulau yang banyak.

Lebih terperinci

HUBUNGAN ANTARA NELAYAN JEPARA DAN KARIMUNJAWA DALAM MEMANFAATKAN SUMBERDAYA PERIKANAN DI TAMAN NASIONAL KARIMUNJAWA

HUBUNGAN ANTARA NELAYAN JEPARA DAN KARIMUNJAWA DALAM MEMANFAATKAN SUMBERDAYA PERIKANAN DI TAMAN NASIONAL KARIMUNJAWA ISSN : 2302-7517, Vol. 01, No. 03 HUBUNGAN ANTARA NELAYAN JEPARA DAN KARIMUNJAWA DALAM MEMANFAATKAN SUMBERDAYA PERIKANAN DI TAMAN NASIONAL KARIMUNJAWA Relationhip between Fishers in Jepara and Karimunjawa

Lebih terperinci

HUBUNGAN ANTARA NELAYAN JEPARA DAN KARIMUNJAWA DALAM MEMANFAATKAN SUMBERDAYA PERIKANAN DI TAMAN NASIONAL KARIMUNJAWA

HUBUNGAN ANTARA NELAYAN JEPARA DAN KARIMUNJAWA DALAM MEMANFAATKAN SUMBERDAYA PERIKANAN DI TAMAN NASIONAL KARIMUNJAWA HUBUNGAN ANTARA NELAYAN JEPARA DAN KARIMUNJAWA DALAM MEMANFAATKAN SUMBERDAYA PERIKANAN DI TAMAN NASIONAL KARIMUNJAWA Relationhip between Fishers in Jepara and to Use Fisheries Resource in Nasional Park

Lebih terperinci

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER INFORMASI

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER INFORMASI ANALISIS INSTITUSI KONSERVASI DI KAWASAN TAMAN NASIONAL UJUNG KULON, DESA TAMANJAYA, KAMPUNG CIBANUA, KECAMATAN SUMUR, KABUPATEN PANDEGLANG, PROVINSI BANTEN MONIKA BR PINEM PROGRAM STUDI MANAJEMEN BISNIS

Lebih terperinci

KONFLIK DAN REZIM PENGELOLAAN SUMBERDAYA ALAM (Kuliah VII)

KONFLIK DAN REZIM PENGELOLAAN SUMBERDAYA ALAM (Kuliah VII) KONFLIK DAN REZIM PENGELOLAAN SUMBERDAYA ALAM (Kuliah VII) Tim Pengajar MK Ekologi Manusia 2010 HAK KEPEMILIKAN (PROPERTY RIGHT) Rezim Hak Kepemilikan Hak Kepemilikan Tipe Hak Kepemilikan Akses Terbuka

Lebih terperinci

VALUASI EKONOMI EKOSISTEM TERUMBU KARANG TAMAN NASIONAL KARIMUNJAWA RETNO ANGGRAENI

VALUASI EKONOMI EKOSISTEM TERUMBU KARANG TAMAN NASIONAL KARIMUNJAWA RETNO ANGGRAENI VALUASI EKONOMI EKOSISTEM TERUMBU KARANG TAMAN NASIONAL KARIMUNJAWA RETNO ANGGRAENI PROGRAM STUDI MANAJEMEN BISNIS DAN EKONOMI PERIKANAN KELAUTAN FAKULTAS PERIKANAN DAN KELAUTAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR

Lebih terperinci

ANALISIS KETERKAITAN DAYA DUKUNG EKOSISTEM TERUMBU KARANG DENGAN TINGKAT KESEJAHTERAAN NELAYAN TRADISIONAL

ANALISIS KETERKAITAN DAYA DUKUNG EKOSISTEM TERUMBU KARANG DENGAN TINGKAT KESEJAHTERAAN NELAYAN TRADISIONAL ANALISIS KETERKAITAN DAYA DUKUNG EKOSISTEM TERUMBU KARANG DENGAN TINGKAT KESEJAHTERAAN NELAYAN TRADISIONAL (Studi Kasus Kelurahan Pulau Panggang, Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu, Propinsi DKI Jakarta)

Lebih terperinci

BUPATI BANGKA TENGAH

BUPATI BANGKA TENGAH BUPATI BANGKA TENGAH PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANGKA TENGAH NOMOR 10 TAHUN 2011 TENTANG PENGELOLAAN TERUMBU KARANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BANGKA TENGAH, Menimbang : a. bahwa ekosistem

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Indonesia adalah negara kepulauan terbesar di dunia karena memiliki luas

I. PENDAHULUAN. Indonesia adalah negara kepulauan terbesar di dunia karena memiliki luas I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia adalah negara kepulauan terbesar di dunia karena memiliki luas laut dan jumlah pulau yang besar. Panjang garis pantai Indonesia mencapai 104.000 km dengan jumlah

Lebih terperinci

BUPATI TANJUNG JABUNG TIMUR PROVINSI JAMBI

BUPATI TANJUNG JABUNG TIMUR PROVINSI JAMBI BUPATI TANJUNG JABUNG TIMUR PROVINSI JAMBI PERATURAN DAERAH KABUPATEN TANJUNG JABUNG TIMUR NOMOR 14 TAHUN 2014 TENTANG PENGELOLAAN DAN PENANGKAPAN IKAN DI WILAYAH PERAIRAN KABUPATEN TANJUNG JABUNG TIMUR

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Isu-isu tentang pemanfaatan dan pengelolaan sumberdaya alam, seperti air, tanah, hutan dan kelautan-perikanan, merupakan topik yang semakin penting dalam kajian akademik,

Lebih terperinci

BAB 9 IMPLIKASI KEBIJAKAN

BAB 9 IMPLIKASI KEBIJAKAN BAB 9 IMPLIKASI KEBIJAKAN Kegiatan perikanan tangkap sangat tergantung pada tersedianya sumberdaya perikanan, baik berupa sumberdaya alam, sumberdaya manusia maupun sumberdaya buatan (sarana dan prasarana

Lebih terperinci

II. PENDEKATAN TEORITIS

II. PENDEKATAN TEORITIS II. PENDEKATAN TEORITIS 2.1. Tinjauan Pustaka 2.1.1. Teori Kepemilikan Sumber Daya (Property rights) Kondisi tragedy of the common didorong oleh kondisi sumber daya perikanan yang bersifat milik bersama

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang 101111111111105 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar di dunia, memiliki sumberdaya alam hayati laut yang potensial seperti sumberdaya terumbu karang. Berdasarkan

Lebih terperinci

BAB VIII HUBUNGAN PERUBAHAN PEREKONOMIAN NELAYAN DENGAN POLA ADAPTASI NELAYAN

BAB VIII HUBUNGAN PERUBAHAN PEREKONOMIAN NELAYAN DENGAN POLA ADAPTASI NELAYAN 102 BAB VIII HUBUNGAN PERUBAHAN PEREKONOMIAN NELAYAN DENGAN POLA ADAPTASI NELAYAN Terdapat empat variabel perubahan ekonomi responden nelayan non pariwisata dengan nelayan pariwisata dianalisis hubungannya

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA. Modal sosial atau social capital merupakan satu terminologi baru yang

BAB II KAJIAN PUSTAKA. Modal sosial atau social capital merupakan satu terminologi baru yang BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Modal sosial Modal sosial atau social capital merupakan satu terminologi baru yang dikembangkan oleh ahli-ahli sosial untuk memperkaya pemahaman kita tentang masyarakat dan komunitas.

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pembangunan di sub-sektor perikanan tangkap telah memberikan kontribusi yang nyata dalam pembangunan sektor kelautan dan perikanan. Hal ini ditunjukkan dengan naiknya produksi

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar yang diperkirakan memiliki kurang lebih 17 504 pulau (DKP 2007), dan sebagian besar diantaranya adalah pulau-pulau kecil

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian A. Latar Belakang Penelitian BAB I PENDAHULUAN Manusia pada hakikatnya adalah sebagai mahluk individu sekaligus mahluk sosial. Manusia sebagai mahluk sosial dimana manusia itu sendiri memerlukan interaksi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Wilayah pesisir Indonesia memiliki luas dan potensi ekosistem mangrove

BAB I PENDAHULUAN. Wilayah pesisir Indonesia memiliki luas dan potensi ekosistem mangrove BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Wilayah pesisir Indonesia memiliki luas dan potensi ekosistem mangrove yang cukup besar. Dari sekitar 15.900 juta ha hutan mangrove yang terdapat di dunia, sekitar

Lebih terperinci

PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Terumbu karang dan asosiasi biota penghuninya secara biologi, sosial ekonomi, keilmuan dan keindahan, nilainya telah diakui secara luas (Smith 1978; Salm & Kenchington

Lebih terperinci

Keterkaitan Aktifitas Ekonomi Nelayan Terhadap Lingkungan Pesisir Dan Laut SKRIPSI

Keterkaitan Aktifitas Ekonomi Nelayan Terhadap Lingkungan Pesisir Dan Laut SKRIPSI Keterkaitan Aktifitas Ekonomi Nelayan Terhadap Lingkungan Pesisir Dan Laut (Studi Deskriptif Di Desa Pekan Tanjung Beringin Dan Desa Pantai Cermin Kanan Kabupaten Serdang Bedagai) SKRIPSI Diajukan guna

Lebih terperinci

BUPATI SIGI PERATURAN DAERAH KABUPATEN SIGI NOMOR 5 TAHUN 2013 TENTANG PENGELOLAAN DANAU LINDU

BUPATI SIGI PERATURAN DAERAH KABUPATEN SIGI NOMOR 5 TAHUN 2013 TENTANG PENGELOLAAN DANAU LINDU BUPATI SIGI PERATURAN DAERAH KABUPATEN SIGI NOMOR 5 TAHUN 2013 TENTANG PENGELOLAAN DANAU LINDU PEMERINTAH KABUPATEN SIGI TAHUN 2013 0 BUPATI SIGI PERATURAN DAERAH KABUPATEN SIGI NOMOR 5 TAHUN 2013 TENTANG

Lebih terperinci

BAB IV GAMBARAN LOKASI PENELITIAN

BAB IV GAMBARAN LOKASI PENELITIAN 34 BAB IV GAMBARAN LOKASI PENELITIAN 4.1. Desa Karimunjawa 4.1.1. Kondisi Geografis Taman Nasional Karimunjawa (TNKJ) secara geografis terletak pada koordinat 5 0 40 39-5 0 55 00 LS dan 110 0 05 57-110

Lebih terperinci

PEMERINTAH PROVINSI GORONTALO PERATURAN DAERAH PROVINSI GORONTALO NOMOR 02 TAHUN 2006 TENTANG

PEMERINTAH PROVINSI GORONTALO PERATURAN DAERAH PROVINSI GORONTALO NOMOR 02 TAHUN 2006 TENTANG PEMERINTAH PROVINSI GORONTALO PERATURAN DAERAH PROVINSI GORONTALO NOMOR 02 TAHUN 2006 TENTANG PENGELOLAAN EKOSISTEM TERUMBU KARANG DI PROVINSI GORONTALO DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR PROVINSI

Lebih terperinci

BAB III PENDEKATAN LAPANGAN

BAB III PENDEKATAN LAPANGAN 29 BAB III PENDEKATAN LAPANGAN 3.1. Metode Penelitian Penelitian ini menggunakan metode kuntitatif dan kuantitatif. Metode kuantitatif dengan menggunakan survei melalui instrumen kuesioner untuk mengetahui

Lebih terperinci

GUBERNUR JAWA TIMUR PERATURAN GUBERNUR JAWA TIMUR NOMOR 36 TAHUN 2017 TENTANG

GUBERNUR JAWA TIMUR PERATURAN GUBERNUR JAWA TIMUR NOMOR 36 TAHUN 2017 TENTANG GUBERNUR JAWA TIMUR PERATURAN GUBERNUR JAWA TIMUR NOMOR 36 TAHUN 2017 TENTANG PETUNJUK PELAKSANAAN ATAS PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA TIMUR NOMOR 3 TAHUN 2016 TENTANG PERLINDUNGAN DAN PEMBERDAYAAN NELAYAN

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia memiliki wilayah perairan yang luas, yaitu sekitar 3,1 juta km 2 wilayah perairan territorial dan 2,7 juta km 2 wilayah perairan zona ekonomi eksklusif (ZEE)

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pada hakekatnya tujuan pembangunan adalah untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan mengurangi ketimpangan kesejahteraan antar kelompok masyarakat dan wilayah. Namun

Lebih terperinci

MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN NOMOR : KEP.33/MEN/2002 TENTANG ZONASI WILAYAH PESISIR DAN LAUT UNTUK KEGIATAN PENGUSAHAAN PASIR LAUT

MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN NOMOR : KEP.33/MEN/2002 TENTANG ZONASI WILAYAH PESISIR DAN LAUT UNTUK KEGIATAN PENGUSAHAAN PASIR LAUT KEPUTUSAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN NOMOR : KEP.33/MEN/2002 TENTANG ZONASI WILAYAH PESISIR DAN LAUT UNTUK KEGIATAN PENGUSAHAAN PASIR LAUT MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN, Menimbang : a. bahwa dalam

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia sebagai negara kepulauan terbesar di Dunia, yang terdiri dari 17.508 pulau dan garis pantai sepanjang 95.181 km (terpanjang ke empat di Dunia setelah Canada,

Lebih terperinci

GUBERNUR JAWA TIMUR PERATURAN GUBERNUR JAWA TIMUR NOMOR 97 TAHUN 2011 TENTANG RENCANA STRATEGIS WILAYAH PESISIR DAN PULAU-PULAU KECIL TAHUN

GUBERNUR JAWA TIMUR PERATURAN GUBERNUR JAWA TIMUR NOMOR 97 TAHUN 2011 TENTANG RENCANA STRATEGIS WILAYAH PESISIR DAN PULAU-PULAU KECIL TAHUN GUBERNUR JAWA TIMUR PERATURAN GUBERNUR JAWA TIMUR NOMOR 97 TAHUN 2011 TENTANG RENCANA STRATEGIS WILAYAH PESISIR DAN PULAU-PULAU KECIL TAHUN 2011-2030 GUBERNUR JAWA TIMUR, Menimbang : bahwa sebagai pelaksanaan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. mengenai hal tersebut menuai pro dan kontra. Kuswijayanti (2007) menjelaskan

BAB I PENDAHULUAN. mengenai hal tersebut menuai pro dan kontra. Kuswijayanti (2007) menjelaskan 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pada 2001, pembahasan mengenai penetapan Gunung Merapi sebagai kawasan taman nasional mulai digulirkan. Sejak saat itu pula perbincangan mengenai hal tersebut menuai

Lebih terperinci

BUPATI PACITAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN PACITAN NOMOR 11 TAHUN 2013 TENTANG

BUPATI PACITAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN PACITAN NOMOR 11 TAHUN 2013 TENTANG BUPATI PACITAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN PACITAN NOMOR 11 TAHUN 2013 TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN DAERAH KABUPATEN PACITAN NOMOR 15 TAHUN 2011 TENTANG PENGELOLAAN SUMBER DAYA KELAUTAN DAN PERIKANAN

Lebih terperinci

viii BAB VIII PENUTUP Kesimpulan Saran DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN... 91

viii BAB VIII PENUTUP Kesimpulan Saran DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN... 91 vi DAFTAR ISI Halaman DAFTAR TABEL... ix DAFTAR GAMBAR... x BAB I PENDAHULUAN... 1 1.1 Latar Belakang... 1 1.2 Perumusan Masalah... 2 1.3 Tujuan Penelitian... 3 1.4 Kegunaan Penelitian... 3 BAB II TINJAUAN

Lebih terperinci

VII PRIORITAS STRATEGI PENGEMBANGAN EKOWISATA TN KARIMUNJAWA

VII PRIORITAS STRATEGI PENGEMBANGAN EKOWISATA TN KARIMUNJAWA VII PRIORITAS STRATEGI PENGEMBANGAN EKOWISATA TN KARIMUNJAWA 7.1 Kerangka Umum Analytical Network Process (ANP) Prioritas strategi pengembangan TN Karimunjawa ditetapkan berdasarkan pilihan atas variabel-variabel

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pukat merupakan semacam jaring yang besar dan panjang untuk. menangkap ikan yang dioperasikan secara vertikal dengan menggunakan

BAB I PENDAHULUAN. Pukat merupakan semacam jaring yang besar dan panjang untuk. menangkap ikan yang dioperasikan secara vertikal dengan menggunakan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pukat merupakan semacam jaring yang besar dan panjang untuk menangkap ikan yang dioperasikan secara vertikal dengan menggunakan pelampung di sisi atasnya dan pemberat

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI DALAM NEGERI NOMOR 30 TAHUN 2010 TENTANG PEDOMAN PENGELOLAAN SUMBER DAYA DI WILAYAH LAUT DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN MENTERI DALAM NEGERI NOMOR 30 TAHUN 2010 TENTANG PEDOMAN PENGELOLAAN SUMBER DAYA DI WILAYAH LAUT DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI DALAM NEGERI REPUBLIK INDONESIA PERATURAN MENTERI DALAM NEGERI NOMOR 30 TAHUN 2010 TENTANG PEDOMAN PENGELOLAAN SUMBER DAYA DI WILAYAH LAUT DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI DALAM NEGERI,

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. Latar Belakang

PENDAHULUAN. Latar Belakang PENDAHULUAN Latar Belakang Indonesia merupakan sebuah negara yang memiliki beragam suku bangsa yang menyebar dan menetap pada berbagai pulau besar maupun pulau-pulau kecil yang membentang dari Sabang sampai

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI DALAM NEGERI NOMOR 30 TAHUN 2010 TENTANG PEDOMAN PENGELOLAAN SUMBER DAYA DI WILAYAH LAUT DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN MENTERI DALAM NEGERI NOMOR 30 TAHUN 2010 TENTANG PEDOMAN PENGELOLAAN SUMBER DAYA DI WILAYAH LAUT DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN MENTERI DALAM NEGERI NOMOR 30 TAHUN 2010 TENTANG PEDOMAN PENGELOLAAN SUMBER DAYA DI WILAYAH LAUT DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI DALAM NEGERI, Menimbang Mengingat : bahwa untuk melaksanakan

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Indonesia merupakan negara maritim dengan garis pantai sepanjang 81.290 km dan luas laut termasuk Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) seluas 5,8 juta km 2 (Dahuri et al. 2002).

Lebih terperinci

GUBERNUR MALUKU PERATURAN DAERAH PROVINSI MALUKU NOMOR 3 TAHUN 2016 TENTANG PERLINDUNGAN DAN PENGELOLAAN TELUK DI PROVINSI MALUKU

GUBERNUR MALUKU PERATURAN DAERAH PROVINSI MALUKU NOMOR 3 TAHUN 2016 TENTANG PERLINDUNGAN DAN PENGELOLAAN TELUK DI PROVINSI MALUKU 1 GUBERNUR MALUKU PERATURAN DAERAH PROVINSI MALUKU NOMOR 3 TAHUN 2016 TENTANG PERLINDUNGAN DAN PENGELOLAAN TELUK DI PROVINSI MALUKU DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR MALUKU, Menimbang : a. bahwa

Lebih terperinci

NILAI KERJA PERTANIAN PADA MAHASISWA BATAK TOBA (Kasus Pada Mahasiswa Batak Toba Angkatan Tahun 2005 Institut Pertanian Bogor)

NILAI KERJA PERTANIAN PADA MAHASISWA BATAK TOBA (Kasus Pada Mahasiswa Batak Toba Angkatan Tahun 2005 Institut Pertanian Bogor) NILAI KERJA PERTANIAN PADA MAHASISWA BATAK TOBA (Kasus Pada Mahasiswa Batak Toba Angkatan Tahun 2005 Institut Pertanian Bogor) Oleh: Rianti TM Marbun A14204006 PROGRAM STUDI KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA

BAB II KAJIAN PUSTAKA BAB II KAJIAN PUSTAKA 2. 1. Modal Sosial Konsep modal sosial menawarkan betapa pentingnya suatu hubungan. Dengan membagun suatu hubungan satu sama lain, dan memeliharanya agar terjalin terus, setiap individu

Lebih terperinci

BAB VII POLA ADAPTASI NELAYAN

BAB VII POLA ADAPTASI NELAYAN 89 BAB VII POLA ADAPTASI NELAYAN 7.1 Diversifikasi Pekerjaan Nelayan Karimunjawa telah menyadari terjadinya perubahan ekologis di kawasan Karimunjawa. Berbagai macam bentuk perubahan yang terjadi pada

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN Latar Belakang

1. PENDAHULUAN Latar Belakang 1 1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Provinsi Nusa Tenggara Barat dengan luas 49 307,19 km 2 memiliki potensi sumberdaya hayati laut yang tinggi. Luas laut 29 159,04 Km 2, sedangkan luas daratan meliputi

Lebih terperinci

PEMERINTAH KABUPATEN KEPULAUAN MERANTI KECAMATAN RANGSANG BARAT DESA BOKOR PERATURAN DESA NOMOR 18 TAHUN 2015

PEMERINTAH KABUPATEN KEPULAUAN MERANTI KECAMATAN RANGSANG BARAT DESA BOKOR PERATURAN DESA NOMOR 18 TAHUN 2015 PEMERINTAH KABUPATEN KEPULAUAN MERANTI KECAMATAN RANGSANG BARAT DESA BOKOR PERATURAN DESA NOMOR 18 TAHUN 2015 TENTANG PENGELOLAAN LINGKUNGAN LAUT TAHUN 2015 PEMERINTAH KABUPATEN KEPULAUAN MERANTI KECAMATAN

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Tata Ruang dan Konflik Pemanfaatan Ruang di Wilayah Pesisir dan Laut

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Tata Ruang dan Konflik Pemanfaatan Ruang di Wilayah Pesisir dan Laut 6 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Tata Ruang dan Konflik Pemanfaatan Ruang di Wilayah Pesisir dan Laut Menurut UU No. 26 tahun 2007, ruang adalah wadah yang meliputi ruang darat, ruang laut, dan ruang udara,

Lebih terperinci

vi panduan penyusunan rencana pengelolaan kawasan konservasi laut daerah DAFTAR GAMBAR Gambar 1. Tahapan Umum Penetapan KKLD 9 Gambar 2. Usulan Kelembagaan KKLD di Tingkat Kabupaten/Kota 33 DAFTAR LAMPIRAN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG

BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar di dunia dengan belasan ribu pulau besar dan kecil beserta juga dengan garis pantai terpanjang kedua di dunia (Christanto,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. besar sumberdaya pesisir dan pulau-pulau kecil, disisi lain masyarakat yang sebagian

BAB I PENDAHULUAN. besar sumberdaya pesisir dan pulau-pulau kecil, disisi lain masyarakat yang sebagian BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan salah satu Negara kepulauan, yang memiliki potensi besar sumberdaya pesisir dan pulau-pulau kecil, disisi lain masyarakat yang sebagian besar bertempat

Lebih terperinci

V KEBERGANTUNGAN DAN KERENTANAN MASYARAKAT TERHADAP SUMBERDAYA DANAU

V KEBERGANTUNGAN DAN KERENTANAN MASYARAKAT TERHADAP SUMBERDAYA DANAU V KEBERGANTUNGAN DAN KERENTANAN MASYARAKAT TERHADAP SUMBERDAYA DANAU 70 5.1 Kebergantungan Masyarakat terhadap Danau Rawa Pening Danau Rawa Pening memiliki peran penting dalam menciptakan keseimbangan

Lebih terperinci

PENGELOLAAN WILAYAH PESISIR BERBASIS MASYARAKAT UNTUK KEGIATAN EKOWISATA DI BALAI TAMAN NASIONAL KARIMUNJAWA (BTNKJ), SEMARANG, JAWA TENGAH

PENGELOLAAN WILAYAH PESISIR BERBASIS MASYARAKAT UNTUK KEGIATAN EKOWISATA DI BALAI TAMAN NASIONAL KARIMUNJAWA (BTNKJ), SEMARANG, JAWA TENGAH PENGELOLAAN WILAYAH PESISIR BERBASIS MASYARAKAT UNTUK KEGIATAN EKOWISATA DI BALAI TAMAN NASIONAL KARIMUNJAWA (BTNKJ), SEMARANG, JAWA TENGAH PRAKTIK KERJA MAGANG PROGRAM STUDI ILMU KELAUTAN JURUSAN PEMANFAATAN

Lebih terperinci

Kimparswil Propinsi Bengkulu,1998). Penyebab terjadinya abrasi pantai selain disebabkan faktor alamiah, dikarenakan adanya kegiatan penambangan pasir

Kimparswil Propinsi Bengkulu,1998). Penyebab terjadinya abrasi pantai selain disebabkan faktor alamiah, dikarenakan adanya kegiatan penambangan pasir I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Wilayah pesisir merupakan wilayah yang memberikan kontribusi produksi perikanan yang sangat besar dan tempat aktivitas manusia paling banyak dilakukan; bahkan menurut

Lebih terperinci

HUBUNGAN MODAL SOSIAL DENGAN KEMISKINAN MASYARAKAT NELAYAN DI DESA PANIMBANG JAYA, PANDEGLANG MUHAMMAD IQBAL HANAFRI

HUBUNGAN MODAL SOSIAL DENGAN KEMISKINAN MASYARAKAT NELAYAN DI DESA PANIMBANG JAYA, PANDEGLANG MUHAMMAD IQBAL HANAFRI HUBUNGAN MODAL SOSIAL DENGAN KEMISKINAN MASYARAKAT NELAYAN DI DESA PANIMBANG JAYA, PANDEGLANG MUHAMMAD IQBAL HANAFRI PROGRAM STUDI MANAJEMEN BISNIS DAN EKONOMI PERIKANAN-KELAUTAN FAKULTAS PERIKANAN DAN

Lebih terperinci

PUSANEV_BPHN. Prof. Dr. Suhaidi,SH,MH

PUSANEV_BPHN. Prof. Dr. Suhaidi,SH,MH Prof. Dr. Suhaidi,SH,MH Disampaikan pada Diskusi Publik Analisis dan Evaluasi Hukum Dalam Rangka Penguatan Sistem Pertahanan Negara Medan, 12 Mei 2016 PASAL 1 BUTIR 2 UU NO 3 TAHUN 2002 TENTANG PERTAHANAN

Lebih terperinci

KERANGKA PEMIKIRAN Kerangka Pemikiran

KERANGKA PEMIKIRAN Kerangka Pemikiran KERANGKA PEMIKIRAN Kerangka Pemikiran Kemiskinan dan kesenjangan sosial pada kehidupan nelayan menjadi salah satu perhatian utama bagi kebijakan sektor perikanan. Menurut pemerintah bahwa kemiskinan dan

Lebih terperinci

KEEFEKTIFAN KOMUNIKASI ORGANISASI DAN IMPLIKASINYA TERHADAP KINERJA KARYAWAN DI BAGIAN WEAVING PT. UNITEX TBK, BOGOR

KEEFEKTIFAN KOMUNIKASI ORGANISASI DAN IMPLIKASINYA TERHADAP KINERJA KARYAWAN DI BAGIAN WEAVING PT. UNITEX TBK, BOGOR KEEFEKTIFAN KOMUNIKASI ORGANISASI DAN IMPLIKASINYA TERHADAP KINERJA KARYAWAN DI BAGIAN WEAVING PT. UNITEX TBK, BOGOR Oleh EVITA DWI PRANOVITANTY A 14203053 PROGRAM STUDI KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT

Lebih terperinci

EFEKTIVITAS ORGANISASI DAN IMPLEMENTASI PROGRAM CORPORATE SOCIAL RESPONSIBILITY PT. INDOCEMENT TUNGGAL PRAKARSA TBK. Oleh: Annisa Rahmawati I

EFEKTIVITAS ORGANISASI DAN IMPLEMENTASI PROGRAM CORPORATE SOCIAL RESPONSIBILITY PT. INDOCEMENT TUNGGAL PRAKARSA TBK. Oleh: Annisa Rahmawati I EFEKTIVITAS ORGANISASI DAN IMPLEMENTASI PROGRAM CORPORATE SOCIAL RESPONSIBILITY PT. INDOCEMENT TUNGGAL PRAKARSA TBK. Oleh: Annisa Rahmawati I34060667 DEPARTEMEN SAINS KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT

Lebih terperinci

KETERLIBATAN WARGA PULAU PRAMUKA DALAM USAHA EKOWISATA DI KEPULAUAN SERIBU

KETERLIBATAN WARGA PULAU PRAMUKA DALAM USAHA EKOWISATA DI KEPULAUAN SERIBU KETERLIBATAN WARGA PULAU PRAMUKA DALAM USAHA EKOWISATA DI KEPULAUAN SERIBU Oleh : HESTI WORO TRIUTAMI I34051032 DEPARTEMEN SAINS KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA INSTITUT

Lebih terperinci

Penentuan Variabel Berpengaruh dalam Pengembangan Kawasan Strategis Ekonomi Pesisir Utara pada Bidang Perikanan di Kota Pasuruan

Penentuan Variabel Berpengaruh dalam Pengembangan Kawasan Strategis Ekonomi Pesisir Utara pada Bidang Perikanan di Kota Pasuruan C1 Penentuan Berpengaruh dalam Pengembangan Kawasan Strategis Ekonomi Pesisir Utara pada Bidang Perikanan di Kota Pasuruan Dwi Putri Heritasari dan Rulli Pratiwi Setiawan Perencanaan Wilayah dan Kota,

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KABUPATEN BELITUNG TIMUR NOMOR 10 TAHUN 2012 TENTANG PERIZINAN USAHA PERIKANAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN DAERAH KABUPATEN BELITUNG TIMUR NOMOR 10 TAHUN 2012 TENTANG PERIZINAN USAHA PERIKANAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA SALINAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN BELITUNG TIMUR NOMOR 10 TAHUN 2012 TENTANG PERIZINAN USAHA PERIKANAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA KABUPATEN BELITUNG TIMUR, Menimbang : a. bahwa sebagai kekayaan

Lebih terperinci

Penetapan kebijakan norma, standar, prosedur, dan kriteria penataan ruang laut sesuai dengan peta potensi laut.

Penetapan kebijakan norma, standar, prosedur, dan kriteria penataan ruang laut sesuai dengan peta potensi laut. - 602 - CC. PEMBAGIAN URUSAN PEMERINTAHAN BIDANG KELAUTAN DAN PERIKANAN 1. Kelautan 1. Penetapan kebijakan norma, standar, prosedur, dan kriteria pengelolaan sumberdaya kelautan dan ikan di wilayah laut

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. Sumberdaya perikanan laut di berbagai bagian dunia sudah menunjukan

PENDAHULUAN. Sumberdaya perikanan laut di berbagai bagian dunia sudah menunjukan PENDAHULUAN Latar Belakang Sumberdaya perikanan laut di berbagai bagian dunia sudah menunjukan adanya kecenderungan menipis (data FAO, 2000) terutama produksi perikanan tangkap dunia diperkirakan hanya

Lebih terperinci

BUPATI PATI PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN DAERAH KABUPATEN PATI NOMOR 1 TAHUN 2016 TENTANG PEMBANGUNAN KAWASAN PERDESAAN

BUPATI PATI PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN DAERAH KABUPATEN PATI NOMOR 1 TAHUN 2016 TENTANG PEMBANGUNAN KAWASAN PERDESAAN SALINAN BUPATI PATI PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN DAERAH KABUPATEN PATI NOMOR 1 TAHUN 2016 TENTANG PEMBANGUNAN KAWASAN PERDESAAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI PATI, Menimbang : bahwa untuk

Lebih terperinci

Oleh : Dewi Mutia Handayani A

Oleh : Dewi Mutia Handayani A ANALISIS PROFITABILITAS DAN PENDAPATAN USAHATANI PADI SAWAH MENURUT LUAS DAN STATUS KEPEMILIKAN LAHAN (Studi Kasus Desa Karacak, Kecamatan Leuwiliang, Kabupaten Bogor, Jawa Barat) Oleh : Dewi Mutia Handayani

Lebih terperinci

VI. KELEMBAGAAN PENGELOLAAN SUMBERDAYA PERIKANAN DI PELABUHANRATU. Pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya perikanan di perairan

VI. KELEMBAGAAN PENGELOLAAN SUMBERDAYA PERIKANAN DI PELABUHANRATU. Pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya perikanan di perairan VI. KELEMBAGAAN PENGELOLAAN SUMBERDAYA PERIKANAN DI PELABUHANRATU Pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya perikanan di perairan Pelabuhanratu selama ini mengacu kepada peraturan formal yang ditetapkan dan

Lebih terperinci

BAB VIII KESIMPULAN, SARAN DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN. (1). Potensi sumberdaya di kawasan pesisir Taman Konservasi Laut Olele.

BAB VIII KESIMPULAN, SARAN DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN. (1). Potensi sumberdaya di kawasan pesisir Taman Konservasi Laut Olele. 303 BAB VIII KESIMPULAN, SARAN DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN 8.1. Kesimpulan (1). Potensi sumberdaya di kawasan pesisir Taman Konservasi Laut Olele. Berdasarkan hasil penelitian, keberadaan sumberdaya dan potensi

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Wilayah pesisir dan laut merupakan daerah dengan karateristik khas dan bersifat dinamis dimana terjadi interaksi baik secara fisik, ekologi, sosial dan ekonomi, sehingga

Lebih terperinci

20. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 35 Tahun 1991 tentang Sungai (Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3445 Tahun 1991);

20. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 35 Tahun 1991 tentang Sungai (Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3445 Tahun 1991); RANCANGAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN SIAK NOMOR : 1 TAHUN 2002 TENTANG RENCANA TATA RUANG WILAYAH KABUPATEN SIAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI SIAK Menimbang : a. bahwa untuk mengarahkan pembangunan

Lebih terperinci

RANCANGAN PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN 2016

RANCANGAN PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN 2016 RANCANGAN PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN 2016 TENTANG PENGALIHAN SAHAM DAN BATASAN LUASAN LAHAN DALAM PEMANFAATAN PULAU-PULAU KECIL DAN PEMANFAATAN PERAIRAN DI SEKITARNYA DALAM RANGKA

Lebih terperinci

DAMPAK PELAKSANAAN PROGRAM CORPORATE SOCIAL RESPONSIBILITY

DAMPAK PELAKSANAAN PROGRAM CORPORATE SOCIAL RESPONSIBILITY DAMPAK PELAKSANAAN PROGRAM CORPORATE SOCIAL RESPONSIBILITY (CSR) PT. INDOCEMENT TUNGGAL PRAKARSA TBK TERHADAP MASYARAKAT LOKAL (Studi kasus di Desa Nambo, Kecamatan Klapanunggal, Kabupaten Bogor, Provinsi

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN Latar Belakang

1 PENDAHULUAN Latar Belakang 1 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Pengelolaan hutan lestari dibangun dari 3 (tiga) aspek pengelolaan yang berhubungan satu dengan lainnya, yaitu aspek produksi, aspek ekologi dan aspek sosial. Ketiga aspek

Lebih terperinci

BAB III ANALISIS. Komunitas belajar dalam Tugas Akhir ini dapat didefinisikan melalui beberapa referensi yang telah dibahas pada Bab II.

BAB III ANALISIS. Komunitas belajar dalam Tugas Akhir ini dapat didefinisikan melalui beberapa referensi yang telah dibahas pada Bab II. BAB III ANALISIS Sesuai dengan permasalahan yang diangkat pada Tugas Akhir ini, maka dilakukan analisis pada beberapa hal sebagai berikut: 1. Analisis komunitas belajar. 2. Analisis penerapan prinsip psikologis

Lebih terperinci

INTERAKSI SOSIAL ANTAR PEDAGANG BAN BEKAS SOCIAL INTERACTION BETWEEN USED TIRE DEALER SKRIPSI

INTERAKSI SOSIAL ANTAR PEDAGANG BAN BEKAS SOCIAL INTERACTION BETWEEN USED TIRE DEALER SKRIPSI INTERAKSI SOSIAL ANTAR PEDAGANG BAN BEKAS (Studi Deskriptif Pedagang Ban Bekas Di Dusun Pandan Ploso, Desa Plandi, Kecamatan Wonosari, Kabupaten Malang) SOCIAL INTERACTION BETWEEN USED TIRE DEALER (Descriptive

Lebih terperinci

BAB V. KEBIJAKAN PENGELOLAAN KAWASAN KONSERVASI PERAIRAN DAERAH KABUPATEN ALOR

BAB V. KEBIJAKAN PENGELOLAAN KAWASAN KONSERVASI PERAIRAN DAERAH KABUPATEN ALOR BAB V. KEBIJAKAN PENGELOLAAN KAWASAN KONSERVASI PERAIRAN DAERAH KABUPATEN ALOR 5.1. Visi dan Misi Pengelolaan Kawasan Konservasi Mengacu pada kecenderungan perubahan global dan kebijakan pembangunan daerah

Lebih terperinci

ANALISIS KEBERLANJUTAN PENGELOLAAN SUMBERDAYA LAUT GUGUS PULAU KALEDUPA BERBASIS PARTISIPASI MASYARAKAT S U R I A N A

ANALISIS KEBERLANJUTAN PENGELOLAAN SUMBERDAYA LAUT GUGUS PULAU KALEDUPA BERBASIS PARTISIPASI MASYARAKAT S U R I A N A ANALISIS KEBERLANJUTAN PENGELOLAAN SUMBERDAYA LAUT GUGUS PULAU KALEDUPA BERBASIS PARTISIPASI MASYARAKAT S U R I A N A SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2009 PERNYATAAN MENGENAI TESIS

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Informasi tentang kerusakan alam diabadikan dalam Al-Qur an Surah

BAB I PENDAHULUAN. Informasi tentang kerusakan alam diabadikan dalam Al-Qur an Surah BAB I PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang Informasi tentang kerusakan alam diabadikan dalam Al-Qur an Surah Ar-Ruum ayat 41, bahwa Telah nampak kerusakan didarat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KOTA PALU NOMOR 7 TAHUN 2005 RETRIBUSI PELAYANAN USAHA PERIKANAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA PALU,

PERATURAN DAERAH KOTA PALU NOMOR 7 TAHUN 2005 RETRIBUSI PELAYANAN USAHA PERIKANAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA PALU, PERATURAN DAERAH KOTA PALU NOMOR 7 TAHUN 2005 TENTANG RETRIBUSI PELAYANAN USAHA PERIKANAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA PALU, Menimbang : a. bahwa sumberdaya ikan sebagai bagian kekayaan Bangsa

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH PROVINSI KALIMANTAN TIMUR NOMOR 07 TAHUN 2009 TENTANG PENGELOLAAN SUMBER DAYA WILAYAH PESISIR, LAUT DAN PULAU PULAU KECIL

PERATURAN DAERAH PROVINSI KALIMANTAN TIMUR NOMOR 07 TAHUN 2009 TENTANG PENGELOLAAN SUMBER DAYA WILAYAH PESISIR, LAUT DAN PULAU PULAU KECIL PERATURAN DAERAH PROVINSI KALIMANTAN TIMUR NOMOR 07 TAHUN 2009 TENTANG PENGELOLAAN SUMBER DAYA WILAYAH PESISIR, LAUT DAN PULAU PULAU KECIL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR KALIMANTAN TIMUR, Menimbang

Lebih terperinci

PEMERINTAH PROVINSI MALUKU PERATURAN DAERAH PROVINSI MALUKU NOMOR 10 TAHUN 2014 TENTANG PENGELOLAAN EKOSISTEM TERUMBU KARANG

PEMERINTAH PROVINSI MALUKU PERATURAN DAERAH PROVINSI MALUKU NOMOR 10 TAHUN 2014 TENTANG PENGELOLAAN EKOSISTEM TERUMBU KARANG SALINAN PEMERINTAH PROVINSI MALUKU PERATURAN DAERAH PROVINSI MALUKU NOMOR 10 TAHUN 2014 TENTANG PENGELOLAAN EKOSISTEM TERUMBU KARANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR MALUKU, Menimbang : a. bahwa

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kawasan pesisir merupakan daerah peralihan antara ekosistem darat dan laut. Kawasan pesisir merupakan ekosistem yang kompleks dan mempunyai nilai sumberdaya alam yang tinggi.

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. manusia terutama menyangkut kegiatan sosial dan ekonomi. Peranan sektor

I. PENDAHULUAN. manusia terutama menyangkut kegiatan sosial dan ekonomi. Peranan sektor I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pariwisata merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari kehidupan manusia terutama menyangkut kegiatan sosial dan ekonomi. Peranan sektor pariwisata bagi suatu negara

Lebih terperinci

PEMERINTAH KABUPATEN PEMALANG PERATURAN DAERAH KABUPATEN PEMALANG NOMOR 6 TAHUN 2008 TENTANG KAWASAN PARIWISATA PANTAI WIDURI

PEMERINTAH KABUPATEN PEMALANG PERATURAN DAERAH KABUPATEN PEMALANG NOMOR 6 TAHUN 2008 TENTANG KAWASAN PARIWISATA PANTAI WIDURI PEMERINTAH KABUPATEN PEMALANG PERATURAN DAERAH KABUPATEN PEMALANG NOMOR 6 TAHUN 2008 TENTANG KAWASAN PARIWISATA PANTAI WIDURI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI PEMALANG, Menimbang : a. bahwa dengan

Lebih terperinci

BUPATI KOTAWARINGIN BARAT PERATURAN BUPATI KOTAWARINGIN BARAT NOMOR 20 TAHUN 2009 TENTANG

BUPATI KOTAWARINGIN BARAT PERATURAN BUPATI KOTAWARINGIN BARAT NOMOR 20 TAHUN 2009 TENTANG BUPATI KOTAWARINGIN BARAT PERATURAN BUPATI KOTAWARINGIN BARAT NOMOR 20 TAHUN 2009 TENTANG TUGAS POKOK DAN FUNGSI DINAS KELAUTAN DAN PERIKANAN KABUPATEN KOTAWARINGIN BARAT DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. keanekaragaman hayati tertinggi di dunia. Kekayaan hayati tersebut bukan hanya

I. PENDAHULUAN. keanekaragaman hayati tertinggi di dunia. Kekayaan hayati tersebut bukan hanya I. PENDAHULUAN A. Latar belakang Sebagai negara kepulauan terbesar di dunia, wilayah daratan Indonesia ( 1,9 juta km 2 ) tersebar pada sekitar 17.500 pulau yang disatukan oleh laut yang sangat luas sekitar

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Isu konservasi sumberdaya hayati menjadi salah satu bagian yang dibahas dalam Agenda 21 pada KTT Bumi yang diselenggarakan di Brazil tahun 1992. Indonesia menindaklanjutinya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dengan kekayaan sumber daya alam yang begitu besar, seharusnya Indonesia

BAB I PENDAHULUAN. dengan kekayaan sumber daya alam yang begitu besar, seharusnya Indonesia BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia secara garis besar merupakan negara kepulauan yang luas lautnya mencapai 70% total wilayah. Kondisi laut yang demikian luas disertai dengan kekayaan

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Peranan subsektor perikanan tangkap semakin penting dalam perekonomian nasional. Berdasarkan data BPS, kontribusi sektor perikanan dalam PDB kelompok pertanian tahun

Lebih terperinci

6 KESIMPULAN DAN SARAN

6 KESIMPULAN DAN SARAN 6 KESIMPULAN DAN SARAN 6.1 Kesimpulan Permasalahan konflik perikanan tangkap di perairan Kalsel ditinjau dari tipologi konflik terdiri dari (1) yuridiksi perikanan terjadi pada kasus daerah tangkap disebabkan

Lebih terperinci

FENOMENA TAWURAN SEBAGAI BENTUK AGRESIVITAS REMAJA

FENOMENA TAWURAN SEBAGAI BENTUK AGRESIVITAS REMAJA FENOMENA TAWURAN SEBAGAI BENTUK AGRESIVITAS REMAJA (Kasus Dua SMA Negeri di Kawasan Jakarta Selatan) ANGGA TAMIMI OESMAN DEPARTEMEN SAINS KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA

Lebih terperinci

APLIKASI CONTINGENT CHOICE MODELLING (CCM) DALAM VALUASI EKONOMI TERUMBU KARANG TAMAN NASIONAL KARIMUNJAWA FAZRI PUTRANTOMO

APLIKASI CONTINGENT CHOICE MODELLING (CCM) DALAM VALUASI EKONOMI TERUMBU KARANG TAMAN NASIONAL KARIMUNJAWA FAZRI PUTRANTOMO APLIKASI CONTINGENT CHOICE MODELLING (CCM) DALAM VALUASI EKONOMI TERUMBU KARANG TAMAN NASIONAL KARIMUNJAWA FAZRI PUTRANTOMO SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2010 PERNYATAAN MENGENAI

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Salah satu bentuk pemanfaatan sumberdaya pesisir dan lautan adalah melalui pengembangan kegiatan wisata bahari. Berbicara wisata bahari, berarti kita berbicara tentang

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Air merupakan kebutuhan dasar makhluk hidup dan sebagai barang publik yang tidak dimiliki oleh siapapun, melainkan dalam bentuk kepemilikan bersama (global commons atau common

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 5 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Cagar Biosfer Cagar biosfer adalah suatu kawasan meliputi berbagai tipe ekosistem yang ditetapkan oleh program MAB-UNESCO untuk mempromosikan konservasi keanekaragaman hayati

Lebih terperinci

ARAH KEBIJAKAN PENGEMBANGAN KONSEP MINAPOLITAN DI INDONESIA. Oleh: Dr. Sunoto, MES

ARAH KEBIJAKAN PENGEMBANGAN KONSEP MINAPOLITAN DI INDONESIA. Oleh: Dr. Sunoto, MES ARAH KEBIJAKAN PENGEMBANGAN KONSEP MINAPOLITAN Potensi dan Tantangan DI INDONESIA Oleh: Dr. Sunoto, MES Potensi kelautan dan perikanan Indonesia begitu besar, apalagi saat ini potensi tersebut telah ditopang

Lebih terperinci

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN BREBES. Nomor : 6 Tahun : 2010 PERATURAN DAERAH KABUPATEN BREBES NOMOR 2 TAHUN 2010 TENTANG

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN BREBES. Nomor : 6 Tahun : 2010 PERATURAN DAERAH KABUPATEN BREBES NOMOR 2 TAHUN 2010 TENTANG LEMBARAN DAERAH KABUPATEN BREBES Nomor : 6 Tahun : 2010 PERATURAN DAERAH KABUPATEN BREBES NOMOR 2 TAHUN 2010 TENTANG PENGELOLAAN DAN RETRIBUSI TEMPAT PELELANGAN IKAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pulau-pulau kecil memiliki potensi pembangunan yang besar karena didukung oleh letaknya yang strategis dari aspek ekonomi, pertahanan dan keamanan serta adanya ekosistem

Lebih terperinci

WALIKOTA PEKALONGAN PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN DAERAH KOTA PEKALONGAN NOMOR 11 TAHUN 2015 TENTANG PENGELOLAAN TEMPAT PELELANGAN IKAN

WALIKOTA PEKALONGAN PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN DAERAH KOTA PEKALONGAN NOMOR 11 TAHUN 2015 TENTANG PENGELOLAAN TEMPAT PELELANGAN IKAN WALIKOTA PEKALONGAN PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN DAERAH KOTA PEKALONGAN NOMOR 11 TAHUN 2015 TENTANG PENGELOLAAN TEMPAT PELELANGAN IKAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA PEKALONGAN, Menimbang

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Indonesia merupakan salah satu negara kepulauan yang terbentang antara

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Indonesia merupakan salah satu negara kepulauan yang terbentang antara 1 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan salah satu negara kepulauan yang terbentang antara Samudera Hindia dan Samudera Pasifik dan tersebar dari pulau Sumatera sampai ke ujung timur

Lebih terperinci