BAB II TINJAUAN PUSTAKA

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "BAB II TINJAUAN PUSTAKA"

Transkripsi

1 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Kerangka Teori 1. Tinjauan Sistem Peradilan Pidana Anak Sub-sistem dalam sistem peradilan anak mempunyai kekhususan terhadap anak sebagai suatu kajian hukum yang khusus, membutuhkan aparat-aparat yang secara khusus diberi wewenang untuk menyelenggarakan proses peradilan pidana terhadap anak yang berhadapan dengan hukum. Secara garis besar, aparat peradilan pidana bagi anak yang melakukan kenakalan sama dengan Sistem Peradilan Pidana (SPP) yang berlaku bagi orang dewasa (ada Polisi, Jaksa Penuntut Umum, Hakim pemutus perkara, dan Lembaga Kemasyarakatan). Akan tetapi bagi anak ada kekhususan-kekhususan yang dipersyaratkan bagi aparat penegak hukum tersebut sehingga sistem peradilan pidana anak adalah sistem peradilan pidana bagi anak. Hal-hal yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak antara lain : a. Batasan Umur Anak Batasan umur anak merupakan salah satu hal yang sangat penting dalam perkara pidana anak, hal tersebut dipergunakan untuk mengetahui seseorang yang diduga melakukan kejahatan termasuk dalam kategori anak atau bukan (Gatot Supramono.2000 : 19). Batasan umur anak juga sudah disebutkan dalam beberapa peraturan perundang-undangan. Pengetian anak menurut beberapa undang-undang antara lain : (MZ INYONK pengertian-anak-menurut-beberapa-uu.html diakses tanggal 17 Februari 2016). 14

2 15 1) Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (BW) Pasal 330 ayat (1) memuat batas antara belum dewasa (minderjarigheid) dengan telah dewasa (meerderjarigheid) yaitu 21 tahun, kecuali anak tersebut telah kawin sebelum berumur 21 tahun dan Pendewasaan (venia aetetis). 2) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak Pasal 1 angka 2 mendefinisikan bahwa anak adalah seseorang yang belum berusia 21 (dua puluh satu) tahun. 3) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) KUHP tidak merumuskan secara eksplisit tentang pengertian anak, tetapi dapat dijumpai antara lain pada Pasal 45 dan Pasal 72 yang memakai batasan usia 16 (enam belas) tahun. 4) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Lembaga Pemasyarakatan Pasal 1 angka 8 huruf a, b dan c Undang-Undang tentang Lembaga Pemasyarakatan menyebutkan bahwa anak didik pemasyarakatan baik Anak Pidana, Anak Negara dan Anak Sipil untuk dapat dididik di Lembaga Pemasyarakaan Anak adalah paling tinggi sampai berumur 18 (delapan belas) tahun. 5) Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia Pasal 1 sub 5 dinyatakan bahwa anak adalah setiap manusia yang berusia di bawah 18 (delapan belas) tahun dan belum menikah, termasuk anak yang masih dalam kandungan apabila hal tersebut demi kepentingannya. 6) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana disebut Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) Undang-undang ini tidak secara eksplisit mengatur tentang batas usia pengertian anak, namun dalam Pasal 153 ayat (5) memberi

3 16 wewenang kepada hakim untuk melarang anak yang belum mencapai usia 17 tahun untuk menghadiri sidang 7) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 sebagaimana dirubah dengan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak Pasal 1 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak mendefenisikan bahwa Anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan 8) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak Undang-undang ini juga mendefenisikan bahwa anak di bawah umur sebagai anak yang telah berumur 12 tahun tetapi belum berumur 18 tahun. Batasan umur yang terdapat dalam beberapa ketentuan peraturan perundang-undangan menunjukan bahwa yang disebut anak yang dapat diperkarakan secara pidana dibatasi ketika berumur 12 (dua belas) tahun sampai dengan sebelum genap 18 (delapan belas) tahun. Pasal 86 ayat (1) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak mengatur mengenai anak yang belum selesai menjalani pidana di Lembaga Pembinaan Khusus Anak (LPKA) dan telah mencapai umur 18 (delapan belas) tahun maka anak dipindahkan ke lembaga pemasyarakatan pemuda. Walaupun pengaturan tersebut tidak ada dalam Pasal 61 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak, akan tetapi kedua peraturan perundang-undangan tersebut sama-sama mengatur bahwa penempatan anak di Lembaga Pemasyarakatan dilakukan dengan menyediakan blok tertentu bagi mereka yang telah mencapai umur 18 (delapan belas) tahun sampai 21 (dua puluh satu) tahun. (Penjelasan

4 17 Pasal 86 ayat (2) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak dan Penjelasan Pasal 61 ayat (2) Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak). b. Undang-Undang Nomor 11 Tahun tentang Sistem Peradilan Pidana Anak membagi anak dalam beberapa pengertian yaitu : 1) Pasal 1 angka 3 Undang-Undang Sistem Peradilan Pidana Anak : Anak yang berhadapan dengan hukum adalah anak yang berkonflik dengan hukum, anak yang menjadi korban tindakan pidana, dan anak yang menjadi saksi tindak pidana. Disebut anak yang berkonflik dengan hukum adalah anak yang telah berumur 12 (dua belas) tahun, tetapi belum berumur 18 (delapan belas) tahun yang diduga melakukan tindak pidana. 2) Pasal 1 angka 4 Undang-Undang Sistem Peradilan Pidana Anak : Anak yang menjadi korban tindak pidana yang selanjutnya disebut anak korban adalah anak yang belum berumur 18 (delapan belas) tahun yang mengalami penderitaan fisik, mental, dan/atau kerugian ekonomi yang disebabkan oleh tindak pidana. 3) Pasal 1 Undang-Undang Sistem Peradilan Pidana Anak : Anak yang menjadi saksi tindak pidana yang selanjutnya disebut anak saksi adalah anak yang belum berumur 18 (delapan belas) tahun yang dapat memberikan keterangan guna kepentingan penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan disidang pengadilan tentang suatu perkara pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri dan /atau ia alami sendiri c. Tujuan Sistem Peradilan Pidana Anak Tujuan sistem peradilan pidana berupa resosialisasi pelaku karena penyelenggaraan peradilan pidana berguna untuk pembinaan pelaku sehingga ketika kembali ke masyarakat sudah menjadi baik, sedangkan tujuan pencegahan kejahatan maksudnya dengan putusan

5 18 pengadilan dapat menjaga pelaku untuk berbuat kejahatan. Tujuan ini lebih bersifat pada fungsinya hukum preventif bagi masyarakat umumnya untuk tidak melakukan tindak pidana (Barda Nawawi Arief.2007:143). Substansi yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak antara lain mengatur tentang penempatan anak yang menjalani proses peradilan, dapat ditempatkan di Lembaga Pembinaan Khusus Anak (LPKA). Substansi yang paling mendasar dalam undang-undang ini adalah pengaturan secara tegas mengenai Keadilan Restoratif dan Diversi yang dimaksudkan untuk menghindari dan menjauhkan anak dari proses peradilan sehingga dapat menghindari stigmatisasi terhadap anak yang berhadapan dengan hukum dan diharapkan anak dapat kembali ke dalam lingkungan sosial secara wajar. Keadilan Restoratif merupakan suatu proses Diversi, yaitu semua pihak yang terlibat dalam suatu tindak pidana tertentu bersamasama mengatasi masalah serta menciptakan suatu kewajiban untuk membuat segala sesuatunya menjadi lebih baik dengan melibatkan korban, anak, dan masyarakat dalam mencari solusi untuk memperbaiki, rekonsiliasi, dan menenteramkan hati yang tidak berdasarkan pembalasan. Begitu juga tindak pidana persetubuhan yang dilakukan oleh anak dapat diselesaikan dengan jalur perdamaian perdamaian. Penyidik menerapkan restorative justice dalam proses penyidikan terhadap anak sebagai pelaku (Rahmawati hukum.studentjournal.ub.ac.id/index.php/hukum/article/view/1022 diakses tanggal 22 Februari 2016). Sedangkan diversi adalah pengalihan penyelesaian Perkara Anak dari proses peradilan pidana ke proses di luar peradilan pidana.

6 19 Undang-Undang mengamanatkan adanya upaya diversi dalam sistem peradilan anak. Oleh karena itu hakim yang diminta oleh Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak lebih memahami segala hal ikhwal anak, agar tidak begitu saja menjatuhkan pidana penjara yang di dalam aturan positif Indonesia adalah sebagai upaya yang terakhir. Beberapa ketentuan mengenai diversi adalah : 1) Pasal 6 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak menyebutkan tujuan Diversi yaitu : a) Mencapai perdamaian antara korban dan Anak; b) Menyelesaikan perkara Anak di luar proses peradilan; c) Menghindari Anak dari perampasan kemerdekaan; d) Mendorong masyarakat untuk berpartisipasi; dan e) Menanam rasa tanggung jawab kepada Anak. Diberlakukannya Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak maka terdapat ketentuan lex specialis terhadap tugas dan wewenang kepolisian, kejaksaan dan hakim. Salah satu yang khas dan membedakan adalah bentuk Diversi. Pada tingkat penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan perkara anak di Pengadilan Negeri wajib di upayakan Diversi oleh aparat penegak hukum. Diversi sebagaimana dimaksud dilaksanakan dalam hal tindak pidana yang dilakukan diancam dengan pidana penjara dibawah 7 (tujuh) tahun dan bukan merupakan pengulangan tindak pidana (Pasal 7 ayat (1) dan (2) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak). 2) Pasal 8 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak mengatur mengenai diversi, yaitu :

7 20 a) Proses Diversi dilakukan melalui musyawarah dengan melibatkan Anak dan orangtua/walinya, korban dan/atau orangtua/walinya, Pembimbing Kemasyarakatan, dan Pekerja Sosial Profesional berdasarkan pendekatan Keadilan Restoratif. b) Dalam hal diperlukan, musyawarah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat melibatkan Tenaga Kesejahteraan Sosial, dan/atau masyarakat. c) Proses Diversi wajib memperhatikan : kepentingan korban, kesejahteraan dan tanggung jawab Anak, penghindaran stigma negatif, penghindaran pembalasan, keharmonisan masyarakat, dan kepatutan, kesusilaan, dan ketertiban umum. 3) Pasal 9 ayat (1) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak menyebutkan : (1) Penyidik, Penuntut Umum dan Hakim dalam melakukan Diversi harus mempertimbangkan : a. Kategori tindak pidana; b. Umur Anak; c. Hasil penelitian kemasyarakatan dari Bapas dan; d. Dukungan lingkungan keluarga dan masyarakat. Proses peradilan pidana Anak dilanjutkan dalam hal proses diversi, jika tidak dapat menghasilkan kesepakatan maka diversi tidak dilaksanakan. Oleh karena itu maka akan diberlakukan hukum formil yang tunduk pada Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak dalam persidangan.

8 21 d. Asas-asas dalam Sistem Peradilan Pidana Anak Undang-Undang Sistem Peradilan Pidana Anak menyebutkan asas-asas dalam sistem peradilan sesuai dengan Pasal 2 Undang- Undang Sstem Peradilan Anak (M.Nasir Djamil.2013: ), antara lain : 1) Asas perlindungan, meliputi kegiatan yang besifat langsung dan tidak langsung dari tindakan yang membahayakan anak secara fisik dan/ atau psikis 2) Asas keadilan, adalah bahwa setiap penyelesaian perkara anak harus mencerminkan rasa keadilan bagi anak. Penyelesaian suatu perkara anak tidak boleh melanggar hak dari anak tersebut 3) Asas nondiskriminasi, adalah tidak adanya perlakuan yang berbeda pada suku, agama, ras, golongan, jenis kelamin, etnik, budaya dan bahasa, status hukum anak, urutan kelahiran anak, serta kondisi fisik dan/mental 4) Asas kepentingan terbaik bagi anak adalah segala pengambilan keputusan harus selalu mempertimbangkan kelangsungan hidup dan tumbuh kembang anak 5) Asas penghargaan terhadap pendapat anak, adalah penghormatan atas hak anak untuk berpatisipasi dan menyatakan pendapatnya dalam pengambilan keputusan, terutama jika menyangkut hal yang mempengaruhi anak 6) Asas kelangsungan hidup dan tumbuh kembang anak, adalah hak asasi yang paling mendasar bagi anak yang dilindungi oleh semua pihak baik Negara, pemerintah, masyarakat, keluarga maupun orang tua 7) Menghindarkan anak dari perampasan kemerdekaan 8) Mendorong masyarakat untuk berpatisipasi 9) Meningkatkan keterampilan hidup anak

9 22 Tujuan dari adanya pengaturan mengenai Sistem Peradilan Pidana Anak pada dasarnya adalah supaya hak-hak anak tetap terjamin dan anak tidak kehilangan masa depannya yang masih panjang. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak juga sudah mengatur beberapa hal antara lain mengenai : e. Hak-Hak Anak Dalam Proses Pemeriksaan Persidangan : 1) Pasal 3 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak menyebutkan bahwa : Setiap anak dalam proses peradilan pidana berhak atas : a) diperlakukan secara manusiawi dengan memperhatikan kebutuhan sesuai dengan umurnya; b) dipisahkan dari orang dewasa; c) memperoleh bantuan hukum dan bantuan lain secara efektif; d) melakukan kegiatan rekreasional; e) bebas dari penyiksaan, penghukuman atau perlakuan lain yang kejam, tidak manusiawi, serta merendahkan derajat dan martabatnya; f) tidak dijatuhi pidana mati atau pidana seumur hidup; g) tidak ditangkap, ditahan, atau dipenjara, kecuali sebagai upaya terakhir dan dalam waktu yang paling singkat; h) memperoleh keadilan di muka pengadilan anak yang objektif, tidak memihak, dan dalam sidang yang tertutup untuk umum; i) tidak dipublikasikan identitasnya; j) memperoleh pendampingan orang tua/wali dan orang yang dipercaya oleh anak;

10 23 k) memperoleh advokasi sosial; l) memperoleh kehidupan pribadi; m) memperoleh aksesibilitas, terutama bagi anak cacat; n) memperoleh pendidikan; o) memperoleh pelayananan kesehatan; dan p) memperoleh hak lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Pasal 32 ayat (2) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak menyatakan bahwa penahanan terhadap anak hanya dapat dilakukan dengan syarat anak telah berumur 14 (empat belas) tahun, atau diduga melakukan tindak pidana dengan ancaman pidana penjara 7 (tujuh) tahun atau lebih. Jika masa penahanan sebagaimana yang disebutkan di atas telah berakhir, anak wajib dikeluarkan dari tahanan demi hukum. Didalam peradilan anak terdapat aktivitas pemeriksaan dan pemutusan perkara yang tertuju pada kepentingan anak yaitu segala aktivitas yang dilakukan polisi, jaksa, hakim, dan pejabat lain harus didasarkan pada prinsip demi kesejahteraan anak dan kepentingan anak (Sudarto.1981:129). f. Sanksi Hukum Bagi Anak yang Berhadapan Dengan Hukum Seorang pelaku tindak pidana anak dapat dikenakan dua jenis sanksi, yaitu tindakan, bagi pelaku tindak pidana yang berumur di bawah 14 (empat belas) tahun dan Pidana, bagi pelaku tindak pidana yang berumur 15 (lima belas) tahun ke atas. 1) Pasal 82 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak menyebutkan tindakan yang dapat dikenakan pada anak yaitu: (1) Tindakan yang dapat dikenakan kepada Anak meliputi :

11 24 a. pengembalian kepada orang tua/wali; b. penyerahan kepada seseorang; c. perawatan di rumah sakit jiwa; d. perawatan di LPKS; e. kewajiban mengikuti pendidikan formal dan/atau pelatihan yang diadakan oleh pemerintah atau badan swasta; f. pencabutan surat izin mengemudi; dan/atau g. perbaikan akibat tindak pidana. (2) Tindakan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d, huruf e, dan huruf f dikenakan paling lama 1 (satu) tahun. (3) Tindakan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat diajukan oleh Penuntut Umum dalam tuntutannya, kecuali tindak pidana diancam dengan pidana penjara paling singkat 7 (tujuh) tahun. (4) Ketentuan lebih lanjut mengenai tindakan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah. 2) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Anak juga mengatur mengenai sanksi pidana yang diatur dalam Pasal 71 Undang-Undang Sistem Peradilan Pidana Anak. Pasal 71 Undang-Undang Sistem Peradilan Pidana Anak Pidana Pokok terdiri atas : (1) Pidana pokok bagi Anak terdiri atas : a. Pidana peringatan b. Pidana dengan syarat, yang terdiri atas pembinaan di luar lembaga, pelayanan masyarakat, atau pengawasan

12 25 c. Pelatihan kerja d. Pembinaan dalam lembaga e. Penjara. (2) Pidana Tambahan terdiri atas : a. Perampasan keuntungan yang diperoleh dari tindak pidana; atau b. Kewajiban adat. (3) Apabila dalam hukum materiil diancam pidana kumulatif berupa penjara dan denda, pidana denda diganti dengan pelatihan kerja. (4) Pidana yang dijatuhkan kepada Anak dilarang melanggar harkat dan martabat Anak. (5) Ketentuan lebih lanjut mengenai bentuk dan tata cara pelaksanaan pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) diatur dengan Peraturan Pemerintah. 2. Tinjauan Tentang Pembuktian dan Alat Bukti a. Pengertian Pembuktian Pembuktian adalah ketentuan-ketentuan yang berisi penggarisan dan pedoman tentang cara-cara yang dibenarkan undang-undang untuk membuktikan kesalahan yang didakwakan kepada terdakwa. Pembuktian juga merupakan ketentuan yang mengatur alat-alat bukti yang dibenarkan oleh undang-undang dan boleh dipergunakan hakim membuktikan kesalahan yang didakwakan (M. Yahya Harahap.1988: 793). Penuntut Umum, hakim, terdakwa maupun penasehat hukumnya tidak boleh menggunakan bukti di luar apa yang telah digariskan undangundang. Dalam hal ini Penuntut Umum bertindak sebagai aparat yang diberi wewenang untuk mengajukan segala daya upaya membuktikan segala kesalahan yang didakwakan kepada terdakwa.

13 26 Terdakwa atau penasehat hukumnya juga mempunyai hak untuk melemahkan dan melumpuhkan pembuktian yang diajukan Penuntut Umum sesuai dengan cara yang dibenarkan undang-undang. Cara tersebut dapat berupa sangkalan atau bantahan yang beralasan dengan saksi yang meringankan atau saksi de charge. Hakim sendiri harus benar-benar sadar dan cermat menilai dan mempertimbangkan kekuatan pembuktian yang melekat pada setiap alat bukti yang ada. Pasal 183 KUHAP menyebutkan bahwa : Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seorang kecuali apabila dengan sekurangkurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya. Pasal 184 ayat (1) telah menentukan secara limitatif alat bukti yang sah menurut undang-undang. Diluar alat bukti itu, tidak dibenarkan dipergunakan untuk membuktikan kesalahan terdakwa. Yang dinilai sebagai alat bukti dan yang dibenarkan mempunyai kekuatan pembuktian hanya terbatas pada alat-alat bukti itu saja. Pembuktian dengan alat bukti diluar jenis alat bukti yang disebut pada Pasal 184 ayat (1) tidak mempunyai nilai serta tidak mempunyai kekuatan pembuktian yang mengikat. 1) Jenis Alat Bukti yang Sah Menurut Pasal 184 KUHAP a) Keterangan Saksi Pengertian Saksi Pasal 1 butir 26 KUHAP : Saksi adalah orang yang dapat memberikan keterangan guna kepentingan penyidikan, penuntutan, dan peradilan tentang suatu perkara pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri, dan ia alami sendiri. Pengertian keterangan saksi Pasal 1 butir 27 KUHAP : Keterangan saksi adalah salah satu alat bukti dalam perkara

14 27 pidana yang berupa keterangan dari saksi mengenai suatu peristiwa pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri, dan ia alami sendiri. Perluasan pengertian keterangan saksi berdasarkan putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 65/PUUVIII/ 2010, definisi keterangan saksi sebagai alat bukti adalah keterangan dari saksi mengenai suatu peristiwa pidana yang ia dengar sendiri, ia melihat sendiri, dan ia alami sendiri dengan menyebut alasan pengetahuannya itu, termasuk pula keterangan dalam rangka penyidikan, penuntutan, dan peradilan suatu tindak pidana yang tidak selalu ia dengar sendiri, ia lihat sendiri, dan ia alami sendiri. Keterangan saksi adalah alat bukti yang pertama disebut dalam Pasal 184 KUHAP. Aturan-aturan khusus tentang keterangan saksi hanya diatur di dalam 1 (satu) pasal saja, yaitu Pasal 185 KUHAP, yang antara lain menjelaskan apa yang dimaksud dengan keterangan saksi, bagaimana tentang kekuatan pembuktiannya. Pasal 185 KUHAP : (1) Keterangan saksi sebagai alat bukti ialah: apa yang saksi nyatakan di sidang peradilan. (2) Keterangan seorang saksi saja tidak cukup untuk membuktikan bahwa terdakwa bersalah terhadap perbuatan yang didakwakan kepadanya. (3) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) tidak berlaku apabila disertai dengan alat bukti yang sah lainnya. (4) Keterangan beberapa saksi yang berdiri sendirisendiri tentang suatu kejadian atau keadaan dapat

15 28 digunakan sebagai suatu alat bukti yang sah apabila keterangan saksi itu ada hubungan satu dengan yang lainnya sedemikian rupa, sehingga dapat membenarkan adanya suatu kejadian atau keadaan tertentu. (5) Baik berpendapat maupun rekaan, yang diperoleh dari hasil pemikiran saja, bukan merupakan keterangan saksi. (6) Dalam menilai kebenaran keterangan seorang saksi, hakim harus bersungguh-sungguh memperhatikan : a) Persesuaian antara saksi satu dengan yang lainnya b) Persesuaian saksi dengan alat bukti lainnya. c) Alasan yang mungkin dipergunakan oleh saksi untuk memberi keterangan yang tertentu. d) Cara hidup dan kesusilaan saksi serta segala sesuatu yang pada umumnya dapat mempengaruhi dapat tidaknya keterangan itu dipercaya. (7) Keterangan dari saksi yang tidak disumpah meskipun sesuai satu dengan yang lain, tidak merupakan alat bukti, namun apabila keterangan itu sesuai dengan keterangan saksi yang disumpah dapat dipergunakan sebagai tambahan alat bukti sah yang lain. Hukum acara pidana juga mengatur mengenai siapa yang tidak dapat diambil keterangannya sebagai saksi adalah :

16 29 (a) Mereka yang relatif tidak berwenang memberi kesaksian, adalah diatur dalam Pasal 168 KUHAP kecuali ditentukan lain dalam undang-undang ini, maka tidak dapat didengar keterangannya dan dapat mengundurkan diri sebagai saksi yaitu : (1) Keluarga sedarah atau semenda dalam garis lurus ke atas atau ke bawah sampai derajat ketiga dari terdakwa atau yang bersama-sama sebagai terdakwa; (2) Saudara dari terdakwa atau bersama-sama sebagai terdakwa, saudara ibu dan saudara bapak, juga mereka yang mempunyai hubungan karena perkawinan dan anak-anak saudara terdakwa sampai derajat ketiga; (3) Suami atau istri terdakwa meskipun sudah bercerai atau yang bersama-sama sebagai terdakwa. Orang-orang yang tersebut dalam Pasal 168 KUHAP disebut Relatif tidak berwenang (Relatif Onbevoegd) untuk memberi kesaksian, karena jika Penuntut Umum dan terdakwa serta orang-orang tersebut menyetujuinya, maka mereka dapat didengar sebagai saksi (Pasal 169 (1) KUHAP). Namun demikian, walaupun ketiga golongan tersebut tidak setuju untuk memberi kesaksian, yaitu Penuntut Umum, Terdakwa, dan orang-orang tersebut di atas, hakim masih bisa memutuskan untuk mendengar mereka tetapi hanya untuk memberi keterangan saja tanpa sumpah. (b) Mereka yang Absolut tidak berwenang memberi kesaksian

17 30 Pasal 171 KUHAP, yang boleh diperiksa untuk memberi keterangan tanpa sumpah ialah : (1) Anak yang umurnya belum cukup lima belas tahun dan belum pernah kawin (2) Orang yang sakit ingatan atau sakit jiwa meskipun kadang-kadang ingatannya baik kembali Mengingat bahwa anak yang belum berumur lima belas tahun, demikian juga orang yang sakit ingatan, sakit jiwa, sakit gila, meskipun hanya kadang-kadang saja, yang dalam ilmu penyakit jiwa disebut Psychopat, mereka ini tidak dapat dipertanggung jawabkan secara sempurna dalam hukum pidana, maka mereka tidak diambil sumpah atau janji dalam memberikan keterangan, karena itu mereka hanya dipakai sebagai petunjuk saja. Para saksi menurut Pasal 265 ayat (3) HIR dan Pasal 160 ayat (3) KUHAP, sebelum didengar keterangannya, harus disumpah lebih dahulu menurut cara yang ditetapkan oleh agamanya masing-masing, bahwa mereka akan memberikan keterangan yang mengandung kebenaran dan tidak lain dari pada kebenaran. Penyumpahan semacam ini dilakukan secara Promissoris (secara sanggup berbicara benar) lain cara ialah yang dinamakan, secara Assertoris (menempatkan kebenaran pembicaraan yang telah lalu), yaitu saksi didengar terlebih dahulu keterangannya kemudian baru disumpah bahwa yang telah diceritakan itu adalah benar. b) Keterangan ahli Pengertian keterangan ahli Pasal 1 butir 28 KUHAP : Keterangan ahli adalah keterangan yang diberikan oleh

18 31 seseorang yang memiliki keahlian khusus tentang hal yang diperlukan untuk membuat terang suatu perkara pidana guna kepentingan pemeriksaan. Keterangan Ahli diatur dalam Pasal 186 KUHAP yang mengatakan bahwa keterangan ahli ialah: apa yang seorang ahli nyatakan di sidang pengadilan. Keterangan ahli pada hakikatnya merupakan keterangan pihak ketiga untuk memperoleh kebenaran sejati, ia dijadikan saksi karena keahliannya bukan ia terlibat dalam suatu perkara yang sedang disidangkan. Hakim karena jabatan atau karena permintaan pihak-pihak dapat meminta bantuan seseorang atau lebih saksi saksi ahli, keterangan ahli merupakan keterangan yang diberikan oleh seseorang yang memiliki keahlian khusus dan obyektif dengan maksud membuat terang suatu perkara atau guna menambah pengetahuan hakim sendiri dalam suatu hal tertentu. Kekuatan pembuktian keterangan ahli adalah sebagai alat bukti bebas artinya diserahkan kepada kebijaksanaan penilaian hakim, hakim bebas untuk menerima, percaya, atau tidak terhadap keterangan ahli. c) Surat Pemeriksaan surat di persidangan langsung dikaitkan dengan pemeriksaan saksi-saksi dan persidangan terdakwa, pada saat pemeriksaan saksi, ditanyakan mengenai surat-surat yang ada keterkaitan dengan saksi yang bersangkutan dan kepada terdakwa pada saat memeriksa terdakwa. Surat sebagaimana tersebut pada Pasal 184 ayat (1) huruf c, dibuat atas sumpah jabatan atau dikuatkan dengan sumpah, dalam hal ini diatur dalam Pasal 187 KUHAP.

19 32 Pasal 187 KUHAP menyebutkan : (1) Berita acara dan surat lain dalam bentuk resmi yang dibuat oleh pejabat umum yang berwenang atau yang dibuat di hadapannya. Yang memuat keterangan tentang kejadian atau keadaan yang didengar, dilihat atau yang dialaminya sendiri, disertai dengan alasan yang jelas dan tegas tentang keterangan itu. (2) Surat yang dibuat menurut ketentuan peraturan perundang-undangan atau surat yang dibuat oleh pejabat mengenai hal yang termasuk dalam tata laksana yang menjadi tanggung jawabnya dan diperuntukkan bagi pembuktian sesuatu hal atau sesuatu keadaan. (3) Surat dari seseorang keterangan ahli yang memuat pendapat berdasarkan keahliannya mengenai sesuatu hal atau sesuatu keadaan yang diminta secara resmi dari padanya (4) Surat lain yang hanya dapat berlaku jika ada hubungannya dengan isi dari alat pembuktian lain. Surat dapat digunakan sebagai alat bukti dan mempunyai nilai pembuktian apabila surat tersebut dibuat sesuai dengan apa yang yang diharuskan oleh undangundang.

20 33 d) Petunjuk Alat bukti petunjuk dapat dilihat dalam Pasal 188 KUHAP yang berbunyi : (1) Petunjuk adalah perbuatan, kejadian atau keadaan, yang karena persesuainya, baik antara yang satu yang lainnya, maupun dengan tindak pidana itu sendiri, menandakan bahwa telah terjadi suatu tindak pidana dan siapa pelakunya. (2) Petunjuk sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) hanya dapat diperoleh dari : a. Keterangan saksi; b. Surat c. Keterangan terdakwa. (3) Penilaian atas penilaian pembuktian dari suatu petunjuk dalam setiap keadaan tertentu dilakukan oleh hakim dengan arif dan bijaksana, setelah ia mengadakan pemeriksaan dengan penuh kecermatan kesaksamaan berdasarkan hati nuraninya. Berdasarkan pasal di atas, maka dapat dikatakan bahwa petunjuk adalah merupakan alat bukti tidak langsung, karena hakim dalam mengambil kesimpulan tentang pembuktian, haruslah menghubungkan suatu alat bukti dengan alat bukti lainnya dan memilih yang ada persesuaiannya satu sama lain. e) Keterangan Terdakwa. Penjelasan mengenai Keterangan Terdakwa terdapat dalam Pasal 189 KUHAP :

21 34 (1) Keterangan terdakwa adalah apa yang terdakwa nyatakan di sidang tentang tentang perbuatan yang ia lakukan atau yang ia ketahui sendiri atau alami sendiri. (2) Keterangan terdakwa yang diberikan di luar sidang dapat digunakan untuk membantu menemukan bukti di sidang, asalkan keterangan itu didukung oleh suatu alat bukti yang sah sepanjang mengenai hal yang didakwakan kepadanya. (3) Keterangan terdakwa hanya dapat digunakan terhadap dirinya sendiri. (4) Keterangan terdakwa saja tidak cukup dengan untuk membuktikan bahwa ia bersalah melakukan perbuatan yang didakwakan kepadanya, melainkan harus disertai dengan alat bukti yang lain. 2) Prinsip-prinsip Pembuktian Dalam Hukum Acara Pidana Pembuktian pidana memiliki beberapa prinsip yang harus diketahui, yaitu: a) Hal yang Secara Umum Sudah Diketahui Tidak Perlu Dibuktikan Diatur dalam Pasal 184 ayat (2) KUHAP yang pada intinya, hal yang secara umum sudah diketahui tidak perlu dibuktikan. Notoire feiten adalah suatu kesimpulan umum yang didasarkan pada pengalaman umum bahwa suatu keadaan atau peristiwa akan senantiasa menimbulkan kejadian atau akibat yang selalu demikian. Hanya dengan notoire feiten tanpa dikuatkan dengan alat bukti lain yang sah menurut undang-undang. Hakim tidak boleh yakin akan kesalahan terdakwa.

22 35 b) Menjadi Saksi adalah Kewajiban Syarat seseorang wajib menjadi saksi adalah orang yang dapat memberikan keterangan guna kepentingan penyidikan, penuntutan dan peradilan tentang suatu perkara pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri dan ia alami sendiri. c) Satu Saksi Bukan Saksi (unus testis nullus testis) Pasal 185 ayat (2) KUHAP yang berbunyi Keterangan seorang saksi saja tidak cukup untuk membuktikan terdakwa bersalah terhadap perbuatan yang didakwakan kepadanya. Prinsip ini disebut dengan istilah unus testis nullus testis yang artinya satu saksi bukan saksi. Menurut undang-undang, menjadi saksi adalah wajib dan berdasarkan pengalaman praktik, keterangan saksi merupakan alat bukti yang paling banyak atau dominan dalam mengadili perkara pidana di pengadilan. Hampir tidak ada perkara pidana dalam acara pemeriksaan biasa yang pembuktiannya tidak dikuatkan dengan alat bukti keterangan saksi yang diberikan oleh satu orang saksi tanpa dikuatkan atau didukung saksi lain atau alat bukti lain yang sah. Kesaksian yang berdiri sendiri yang demikian itu tidak cukup membuktikan kesalahan terdakwa dan untuk itu hakim harus membebaskan terdakwa dari tuntutan Penuntut Umum. d) Keterangan Terdakwa hanya mengikat dirinya Asas ini terdapat dalam Pasal 189 ayat (3) KUHAP yang menyatakan bahwa Keterangan terdakwa hanya dapat digunakan terhadap dirinya sendiri. Keterangan terdakwa tidak boleh digunakan untuk membuktikan kesalahan terdakwa lainnya.

23 36 e) Pengakuan Terdakwa tidak Menghapus Kewajiban Penuntut Umum Membuktikan Kesalahan Terdakwa Prinsip ini merupakan penegasan dari lawan pembuktian terbalik yang tidak dikenal hukum acara pidana yang berlaku di Indonesia. Pasal 184 ayat (4) KUHAP menyatakan keterangan terdakwa saja tidak cukup membuktikan bahwa ia bersalah melakukan perbuatan yang didakwakan kepadanya, melainkan harus disertai dengan alat bukti lain. 3) Sistem Pembuktian Dalam Hukum Acara Pidana Sistem atau teori pembuktian dalam hukum acara pidana menilai kekuatan pembuktian alat-alat bukti yang ada. Adapun sistem atau teori pembuktian sebagai berikut: a) Sistem Positif (Positif Wettelijk) Pembuktian menurut undang-undang secara positif, keyakinan hakim tidak ikut ambil bagian dalam membuktikan kesalahan terdakwa. Keyakinan hakim tidak ikut berperan menentukan salah atau tidaknya terdakwa. Sistem ini berpedoman pada prinsip pembuktian dengan alat-alat bukti yang ditentukan undang-undang (M. Yahya Harahap.2003: 278). Sistem ini berdasarkan undang-undang mengatur jenis alat-alat bukti dan cara mempergunakan atau menentukan kekuatan pembuktian. Dengan demikan walaupun hakim tidak yakin dengan kesalahan terdakwa tetapi perbuatannya sudah memenuhi syarat dan ketentuan pembuktian menurut undang-undang maka sudah cukup menentukan kesalahan terdakwa.

24 37 Sistem ini memiliki kebaikan karena bersifat obyektif, hakim berkewajiban untuk mencari dan menemukan kebenaran salah atau tidaknya terdakwa sesuai dengan tata cara pembuktian yang telah ditentukan undang-undang. Dengan pembuktian yang obyektif maka hakim tidak perlu menguji hasil pembuktian tersebut dengan keyakinan hati nuraninya. b) Sistem Negatif (Negatief Wettelijk) Sistem Negatief Wettelijk memadukan unsur subektif dan obyektif dalam menentukan salah atau tidaknya terdakwa. Tidak ada yang paling dominan diantara kedua unsur tersebut. Jika salah satu unsur dari keduannya tidak ada maka tidak akan cukup untuk mendukung keterbuktian suatu kesalahan terdakwa. Pembuktian menurut sistem ini seorang hakim ditentukan/dibatasi mempergunakan alat-alat bukti. Alatalat bukti tertentu telah ditentukan undang-undang. Hakim tidak diperkenankan mempergunakan alat bukti lain. Cara menilai/menggunakan alat bukti tersebut pun telah diatur oleh undang-undang. Hakim harus mempunyai keyakinan atas adanya kebenaran. Menurut M. Yahya Harahap, sistem pembuktian menurut undang-undang secara negatif merupakan teori antara sistem pembuktian menurut undang-undang secara positif dengan sistem pembuktian menurut keyakinan atau conviction intime. Untuk menentukan salah tidaknya seorang terdakwa menurut sistem ini, terdapat 2 (dua) komponen, yaitu:

25 38 (1) Pembuktian harus dilakukan menurut cara dan dengan alat-alat bukti yang sah menurut undang-undang. (2) Dan keyakinan hakim yang juga harus didasarkan atas cara dan dengan alat-alat bukti yang sah menurut undang-undang. Sistem pembuktian negatif ini dianut oleh KUHAP yakni Pasal 183 : Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada orang kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwa yang bersalah melakukannya. Kalimat tersebut nyata bahwa pembuktian harus didasarkan pada KUHAP, yaitu alat bukti yang sah tersebut dalam Pasal 184 KUHAP, disertai dengan keyakinan hakim yang diperoleh dari alat-alat bukti tersebut (Andi Hamzah.2009: 254). c) Sistem atau Teori Pembuktian Keyakinan Hakim Berdasarkan Alasan Yang Logis (Conviction Rasionee) Hakim dapat memutuskan seseorang bersalah berdasarkan keyakinannya, keyakinan yang didasarkan kepada dasar-dasar pembuktian disertai dengan suatu kesimpulan (conclusive) yang berlandaskan kepada peraturan-peraturan pembuktian tertentu (Andi Hamzah.2008:253). Sistem pembuktian berdasarkan keyakinan hakim tetap memiliki batas dimana setiap keyakinan hakim dalam memutus suatu perkara pidana harus berdasarkan alasan-alasan yang logis dalam menguraikan dan menjelaskan alasan-alasan apa yang

26 39 mendasari keyakinannya atas kesalahan terdakwa sehingga bisa mengambil suatu putusan. d) Sistem atau Teori Pembuktian Keyakinan Hakim Melulu (Conviction In time) Suatu pengakuan terdakwa tidak menjamin bahwa terdakwa benar-benar melakukan perbuatan yang didakwakan. Menurut Andi Hamzah teori Conviction In Time atau disebut juga teori pembuktian menurut keyakinan hakim melulu merupakan teori yang berlawanan dengan teori pembuktian menurut undang-undang. Teori berdasar keyakinan hakim melulu didasarkan kepada keyakinan hati nurani hakim sehingga pemidanaan dimungkinkan tanpa didasarkan kepada alat-alat bukti dalam undang-undang (Andi Hamzah.2008: 252). Keyakinan hakim yang menentukan keterbuktian kesalahan terdakwa. Keyakinan hakim dapat diambil dan disimpulkan hakim dari alat-alat bukti yang diperiksanya dalam sidang pengadilan dan bisa juga hasil pemeriksaan alat-alat bukti itu diabaikan hakim dan langsung menarik keyakinan dari keterangan atau pengakuan terdakwa (M. Yahya Harahap.2001: 277). 3. Tinjauan Tentang Pertimbangan Hakim a. Pengertian Pertimbangan Hakim Hakim adalah organ pengadilan yang memegang kekuasaan kehakiman. Kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan Negara yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila demi terselenggaranya Negara Hukum Republik Indonesia (Bambang Poernomo.1988:30).

27 40 Pertimbangan hakim merupakan salah satu aspek terpenting dalam menentukan terwujudnya nilai dari suatu putusan hakim yang mengandung keadilan (ex aequo et bono) dan mengandung kepastian hukum, di samping itu juga mengandung manfaat bagi para pihak yang bersangkutan sehingga pertimbangan hakim ini harus disikapi dengan teliti, baik, dan cermat. Apabila pertimbangan hakim tidak teliti, baik, dan cermat, maka putusan hakim yang berasal dari pertimbangan hakim tersebut akan dibatalkan oleh Pengadilan Tinggi/Mahkamah Agung (Mukti Arto.2004 : 140). Hakikat pertimbangan hakim hendaknya juga memuat tentang hal-hal sebagai berikut : 1) Pokok persoalan dan hal-hal yang diakui atau dalil-dalil yang tidak disangkal 2) Adanya analisis secara yuridis terhadap putusan segala aspek menyangkut semua fakta/hal-hal yang terbukti dalam persidangan. 3) Adanya semua bagian dari petitum Penuntut Umum harus dipertimbangkan/diadili secara satu demi satu sehingga hakim dapat menarik kesimpulan tentang terbukti/tidaknya dan dapat dikabulkan/tidaknya tuntutan tersebut dalam amar putusan (Mukti Arto.2004 : 142). b. Dasar Pertimbangan Hakim Dalam Menjatuhkan Putusan Kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka dalam ketentuan ini mengandung pengertian bahwa kekuasaan kehakiman bebas dari segala campur tangan pihak kekuasaan ekstra yudisial, kecuali hal-hal sebagaimana disebut dalam Undang-Undang Dasar Kebebasan dalam melaksanakan wewenang yudisial bersifat tidak mutlak karena tugas hakim adalah menegakkan hukum

28 41 dan keadilan berdasarkan Pancasila, sehingga putusannya mencerminkan rasa keadilan rakyat Indonesia. Pasal 24 ayat (2) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman menegaskan bahwa Kekuasan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi (Andi Hamzah.1996 : 94). Seorang hakim diwajibkan untuk menegakkan hukum dan keadilan dengan tidak memihak. Hakim dalam memberi suatu keadilan harus menelaah terlebih dahulu tentang kebenaran peristiwa yang diajukan kepadanya kemudian memberi penilaian terhadap peristiwa tersebut dan menghubungkannya dengan hukum yang berlaku. Setelah itu hakim baru dapat menjatuhkan putusan terhadap peristiwa tersebut. Seorang hakim dianggap tahu hukum sehingga tidak boleh menolak memeriksa dan mengadili suatu peristiwa yang diajukan kepadanya. Hal ini diatur dalam Pasal 16 ayat (1) Undang-Undang Nomor 35 Tahun 1999 jo Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman yang berbunyi Pengadilan tidak boleh menolak untuk memeriksa dan mengadili suatu perkara yang diajukan dengan dalih bahwa hukum tidak atau kurang jelas, melainkan wajib untuk memeriksa dan mengadilinya. Seorang hakim dalam menemukan hukumnya diperbolehkan untuk bercermin pada yurisprudensi dan pendapat para ahli hukum terkenal (doktrin). Hakim dalam memberikan putusan tidak hanya berdasarkan pada nilai-nilai hukum yang hidup dalam masyarakat, hal ini dijelaskan dalam Pasal 28 ayat (1) Undang-Undang Nomor 48 tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman yang berbunyi: Hakim wajib

29 42 menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum yang hidup dalam masyarakat. Putusan yang dijatuhkan hakim terhadap suatu perkara, harus benar-benar memahami dan menghayati arti amanah dan tanggung jawab yang diberikan kepadanya sesuai dengan fungsi dan kewenangannya masing-masing. Hakikat pada pertimbangan yuridis hakim merupakan pembuktian unsur-unsur dari suatu tindak pidana yang dapat menunjukkan perbuatan terdakwa tersebut memenuhi dan sesuai dengan tindak pidana yang didakwakan oleh penuntut umum sehingga pertimbangan tersebut relevan terhadap amar atau diktum putusan hakim (Lilik Mulyadi.2007:193). 1) Jenis pertimbangan hakim dalam menjatuhkan suatu putusan yaitu : a) Pertimbangan Yuridis Pertimbangan yuridis adalah pertimbangan hakim yang didasarkan pada fakta-fakta yuridis yang terungkap dalam persidangan dan oleh undang-undang ditetapkan sebagai hal yang harus dimuat dalam putusan (Muhammad Rusli.2007: ). Pertimbangan yang bersifat yuridis ini diantaranya yaitu : (USU /1/09E01948 diakses tanggal 19 Oktober 2015). (1) Dakwaan Jaksa Penuntut Umum Dakwaan adalah surat atau akte yang memuat rumusan tindak pidana yang didakwakan kepada terdakwa yang disimpulkan dan ditarik dari hasil pemeriksaan penyidikan, dan merupakan dasar serta landasan bagi hakim dalam pemeriksaan di muka pengadilan. Dalam menyusun sebuah surat dakwaan, hal-hal yang harus diperhatikan adalah syarat-syarat formil dan materilnya. Dakwaan berisi

30 43 identitas terdakwa juga memuat uraian tindak pidana serta waktu dilakukannya tindak pidana dan memuat pasal yang dilanggar (Pasal 143 ayat (2) KUHAP). (2) Tuntutan Pidana Tuntutan pidana biasanya menyebutkan jenis-jenis dan beratnya pidana atau jenis-jenis tindakan yang dituntut oleh Jaksa Penuntut Umum untuk dijatuhkan oleh pengadilan kepada terdakwa. Dengan menjelaskan karena telah terbukti melakukan tindak pidana yang mana Jaksa Penuntut Umum telah mengajukan tuntutan pidana tersebut di atas. Penyusunan surat tuntutan oleh Jaksa Penuntut Umum disesuaikan dengan dakwaan Jaksa Penuntut Umum dengan melihat proses pembuktian dalam persidangan, yang disesuaikan pula dengan bentuk dakwaan yang digunakan oleh Jaksa Penuntut Umum sebelum sampai pada tuntutannya didalam requisitoir. Penuntut Umum menjelaskan satu demi satu tentang unsur-unsur tindak pidana yang ia dakwakan kepada terdakwa, dengan memberikan alasan tentang anggapannya tersebut. (3) Keterangan Saksi Keterangan saksi adalah salah satu alat bukti dalam perkara pidana yang merupakan keterangan dari saksi mengenai suatu peristiwa pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri, dan ia alami sendiri dengan menyebut alasan dari pengetahuannya itu. Keterangan saksi merupakan alat bukti seperti yang diatur dalam Pasal 184 ayat (1) huruf a KUHAP. Keterangan saksi harus disampaikan dalam sidang pengadilan dengan mengangkat sumpah. Keterangan saksi

31 44 yang disampaikan di muka sidang pengadilan yang merupakan hasil pemikiran saja atau hasil rekaan yang diperoleh dari kesaksian orang lain tidak dapat dinilai sebagai alat bukti yang sah. Kesaksian semacam ini dalam hukum acara pidana disebut dengan istilah testimonium de auditu. Kesaksian de auditu dimungkinkan dapat terjadi di persidangan. (4) Keterangan Terdakwa Pasal 184 ayat (1) KUHAP huruf e : keterangan terdakwa digolongkan sebagai alat bukti. Keterangan terdakwa adalah apa yang dinyatakan terdakwa di sidang tentang perbuatan yang ia lakukan atau yang ia ketahui sendiri atau yang ia alami sendiri, hal ini diatur dalam Pasal 189 KUHAP. Keterangan terdakwa dapat meliputi keterangan yang berupa penolakan dan keterangan yang berupa pengakuan atas semua yang didakwakan kepadanya. (5) Barang-barang Bukti Barang bukti adalah barang yang dipergunakan oleh terdakwa untuk melakukan suatu tindak pidana atau barang sebagai hasil dari suatu tindak pidana. Barang yang digunakan sebagai bukti yang diajukan dalam sidang pengadilan bertujuan untuk menguatkan keterangan saksi, keterangan ahli, dan keterangan terdakwa untuk membuktikan kesalahan terdakwa. Adanya barang bukti yang diperlihatkan pada persidangan akan menambah keyakinan hakim dalam menilai benar tidaknya perbuatan yang didakwakan kepada terdakwa. Dengan adanya barang bukti tentu hakim akan lebih yakin

32 45 apabila barang bukti itu dikenal dan diakui oleh terdakwa maupun para saksi. b) Pertimbangan Non Yuridis Selain pertimbangan yang bersifat yuridis, hakim dalam menjatuhkan putusan membuat pertimbangan yang bersifat non yuridis. Pertimbangan yuridis saja tidaklah cukup untuk menentukan nilai keadilan, tanpa didukung dengan pertimbangan non yuridis yang bersifat sosiologis, psikologis, kriminologis dan filosofis dari diri terdakwa. Aspek sosiologis berguna untuk mengkaji latar belakang sosial mengapa seseorang melakukan suatu tindak pidana, sedangkan aspek psikologis berguna untuk mengkaji kondisi psikologis pelaku pada saat melakukan suatu tindak pidana dan setelah menjalani pidana, sedangkan aspek kriminologi diperlukan untuk mengkaji sebab-sebab seseorang melakukan tindak pidana dan bagaimana sikap serta perilaku seseorang yang melakukan tindak pidana. Dengan demikian hakim diharapkan dapat memberikan putusan yang adil sesuai dengan kebutuhan pelaku. Selain itu, seorang hakim dalam menjatuhkan putusan harus mempertimbangkan apakah terdakwa benar-benar melakukan perbuatan yang di dakwakan kepadanya. Hakim juga harus mempertimbangkan hal-hal yang memberatkan dan meringankan terdakwa. Dalam hal penjatuhan pidana, hakim dipengaruhi oleh banyak hal yang dapat dipakai sebagai pertimbangan untuk menjatuhkan berat ringannya pemidanaan, baik yang terdapat di dalam maupun di luar undang-undang. Hal ini sesuai dengan rumusan Pasal 197 huruf f KUHAP : Pasal peraturan perundang-undangan yang menjadi dasar

33 46 pemidanaan atau tindakan dan pasal peraturan perundangundangan yang menjadi dasar hukum dari putusan disertai keadaan yang memberatkan dan meringankan terdakwa. 2) Faktor yang harus diperhatikan hakim dalam menentukan berat ringannya pidana yang dijatuhkan kepada terdakwa. Faktor yang harus diperhatikan ada 2 (dua) yaitu: a) Pertimbangan yang Memberatkan Hal-hal yang dijadikan alasan memberatkan pidana, yaitu pertama, sedang memangku suatu jabatan (Pasal 52 KUHP). Pemberatan karena jabatan ditentukan dalam Pasal 52 KUHP yang rumusannya sebagai berikut: bilamana seseorang pejabat karena melakukan tindakan pidana, melanggar suatu kewajiban khusus dari jabatannya atau pada waktu melakukan tindak pidana memakai kekuasaan, kesempatan, atau sarana yang diberikan kepadanya karena jabatannya, pidananya dapat ditambah sepertiganya. Yang kedua yaitu recidive atau pengulangan. KUHP menganut sistem Recidive khusus artinya, pemberatan pidana hanya dikenakan pada pengulangan jenisjenis tindak pidana (kejahatan atau pelanggaran) tertentu dan yang dilakukan dalam tenggang waktu tertentu, serta gabungan atau semenloop (orang yang melakukan beberapa peristiwa pidana). Selain itu alasan memberatkan pidana pada putusan pengadilan juga berupa perbuatan tindak pidana yang meresahkan masyarakat. b) Pertimbangan yang Meringankan Alasan-alasan yang dapat meringankan pidana juga diatur dalam KUHP yaitu : (1) Belum dewasa atau minderjarigheid (Pasal 47). (2) Percobaan (Pasal 53 ayat (2) dan (3) );

34 47 (3) Membantu atau medeplichgqheid (Pasal 57 ayat (1) dan (2)). Selain itu hal-hal yang dapat meringankan dalam persidangan adalah sebagai berikut : (1) Sikap correct dan hormat terdakwa terhadap pengadilan, dan pengakuan terus terang sehingga memperlancar jalannya persidangan; (2) Pada kejahatannya tersebut tidak ada motif yang berhubungan dengan latar belakang publik; (3) Dalam persidangan, terdakwa telah menyatakan penyesalan atas perbuatannya. 4. Tinjauan Tentang Tindak Pidana Persetubuhan Anak a. Pengertian Persetubuhan Pengertian persetubuhan adalah tindakan memasukan kemaluan laki laki kedalam kemaluan perempuan yang pada umumnya menimbulkan kehamilan, dengan kata lain bilamana kemaluan itu mengeluarkan air mani di dalam kemaluan perempuan (Andi Zainal Abidin Farid.2007:339). Menurut kalangan ahli hukum suatu persetubuhan tidak harus diakhiri dengan ejakulasi. Bahkan penetrasi yang ringan, yaitu masuknya kepala zakar diantara kedua bibir luar, sudah dapat dianggap sebagai tindakan persetubuhan (Dahlan Sofwan.2000: 108). Persetubuhan dibagi menjadi dua macam yaitu persetubuhan yang dilakukan secara legal dan tak legal. Persetubuhan terhadap wanita dianggap legal jika wanita itu sudah cukup umur, tidak dalam ikatan perkawinan dengan laki-laki dan dilakukan dengan izinnya atau persetujuannya. Berdasarkan hukum yang berlaku di Indonesia,

35 48 seorang wanita dianggap cukup umur dalam soal persetubuhan jika ia sudah genap berumur 15 (lima belas) tahun. Sedangkan yang dimaksud dengan persetubuhan dengan wanita yang belum cukup umur ialah persetubuhan dengan wanita bukan istrinya yang umurnya belum genap 15 (lima belas) tahun. b. Pengaturan Sanksi Tindak Pidana Persetubuhan Terhadap Anak dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 sebagaimana dirubah dengan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak Tindak pidana kesusilaan yang melibatkan anak di dalamnya diatur dalam Pasal 81, Pasal 82 dan Pasal 88 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 sebagaimana dirubah dengan Undang-Undang Nomor 35 tahun 2014 tentang Perlindungan Anak. Pasal 81 ayat (1) dan (2) Undang-Undang Perlindungan Anak mengatur tentang tindak pidana persetubuhan terhadap seorang anak. Pasal 81 Undang-Undang Perlindungan Anak : (1) Setiap orang yang dengan sengaja melakukan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa anak melakkan persetubuhan dengannya atau dengan orang lain, dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan paling singkat 3 (tiga) tahun dan denda paling banyak Rp ,00 (tiga ratus juta rupiah) dan paling sedikit Rp ,00 (enam puluh juta rupiah). (2) Ketentuan pidana sebagimana dimaksud dalam ayat (1) berlaku pula bagi setiap orang yang dengan sengaja melakukan tipu muslihat, serangkaian kebohongan, atau membujuk anak melakukan persetubuhan dengannya atau dengan orang lain.

36 49 Hukum Pidana Indonesia berlaku asas lex specialis derogat legi generalis menurut asas ini peraturan yang khusus mengesampingkan peraturan yang umum. Oleh karena itu, dengan adanya Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 sebagaimana dirubah dengan Undang-Undang Nomor 35 tahun 2014 tentang Perlindungan Anak yang mengatur mengenai persetubuhan pada anak yaitu Pasal 81 maka ketentuan didalam Pasal 287 KUHP yang mengatur mengenai persetubuhan pada anak tidak dapat lagi diterapkan. B. Kerangka Pemikiran Alat Bukti Pasal 184 KUHAP Perkara Persetubuhan Oleh Anak Terhadap Anak Pembuktian Pertimbangan Hakim Pasal 183 KUHAP jopasal 193 (1) KUHAP Undang-Undang Nomor 35 tahun 2014 tentang Perlindungan Anak KUHAP Pidana Penjara Pasal 71 (1) huruf e Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak Kerja Sosial Pasal 71 ayat (3) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak Gambar 1. Kerangka Pemikiran Putusan Nomor 2/Pid.Sus.Anak/2015/PN.Dps

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 11 TAHUN 2012 TENTANG SISTEM PERADILAN PIDANA ANAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 11 TAHUN 2012 TENTANG SISTEM PERADILAN PIDANA ANAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 11 TAHUN 2012 TENTANG SISTEM PERADILAN PIDANA ANAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa anak merupakan amanah dan karunia

Lebih terperinci

BAB II. kejahatan adalah mencakup kegiatan mencegah sebelum. Perbuatannya yang anak-anak itu lakukan sering tidak disertai pertimbangan akan

BAB II. kejahatan adalah mencakup kegiatan mencegah sebelum. Perbuatannya yang anak-anak itu lakukan sering tidak disertai pertimbangan akan BAB II KEBIJAKAN HUKUM PIDANA YANG MENGATUR TENTANG SISTEM PEMIDANAAN TERHADAP ANAK PELAKU TINDAK PIDANA DI INDONESIA A. Kebijakan Hukum Pidana Dalam Penanggulangan Kejahatan yang Dilakukan Oleh Anak Dibawah

Lebih terperinci

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.153, 2012 LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 11 TAHUN 2012 TENTANG SISTEM PERADILAN PIDANA ANAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 11 TAHUN 2012 TENTANG SISTEM PERADILAN PIDANA ANAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 11 TAHUN 2012 TENTANG SISTEM PERADILAN PIDANA ANAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 11 TAHUN 2012 TENTANG SISTEM PERADILAN PIDANA ANAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: Mengingat: a. bahwa anak merupakan amanah

Lebih terperinci

BAB II KEDUDUKAN ANAK DIBAWAH UMUR SEBAGAI SAKSI DALAM HUKUM ACARA PIDANA

BAB II KEDUDUKAN ANAK DIBAWAH UMUR SEBAGAI SAKSI DALAM HUKUM ACARA PIDANA 79 BAB II KEDUDUKAN ANAK DIBAWAH UMUR SEBAGAI SAKSI DALAM HUKUM ACARA PIDANA A. Tinjauan Umum Keterangan Anak Dalam Hukum Acara Pidana 1. Pengertian Anak Dibawah Umur Dalam Hukum Indonesia Pengertian anak

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 11 TAHUN 2012 TENTANG SISTEM PERADILAN PIDANA ANAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 11 TAHUN 2012 TENTANG SISTEM PERADILAN PIDANA ANAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 11 TAHUN 2012 TENTANG SISTEM PERADILAN PIDANA ANAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: Mengingat: a. bahwa anak merupakan amanah

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN, Menimbang : a. bahwa setiap warga negara berhak mendapatkan rasa aman dan

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 65 TAHUN 2015 TENTANG PEDOMAN PELAKSANAAN DIVERSI DAN PENANGANAN ANAK YANG BELUM BERUMUR 12 (DUA BELAS) TAHUN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa setiap warga negara

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 65 TAHUN 2015 TENTANG

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 65 TAHUN 2015 TENTANG PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 65 TAHUN 2015 TENTANG PEDOMAN PELAKSANAAN DIVERSI DAN PENANGANAN ANAK YANG BELUM BERUMUR 12 (DUA BELAS) TAHUN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. tentang Kekuasaan Kehakiman Pasal 1 mengatakan bahwa kekuasaan kehakiman

II. TINJAUAN PUSTAKA. tentang Kekuasaan Kehakiman Pasal 1 mengatakan bahwa kekuasaan kehakiman 18 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pertimbangan dalam Putusan Hakim Hakim diberi kebebasan untuk menjatuhkan putusan dalam setiap pengadilan perkara tindak pidana, hal tersebut sesuai dengan bunyi UU No. 48 tahun

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. nampaklah bahwa pembuktian itu hanyalah diperlukan dalam berperkara dimuka

II. TINJAUAN PUSTAKA. nampaklah bahwa pembuktian itu hanyalah diperlukan dalam berperkara dimuka II. TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Umum Tentang Pembuktian Pengertian dari membuktikan ialah meyakinkan Hakim tentang kebenaran dalil atau dalil-dalil yang dikemukakan dalam suatu persengketaan. Dengan demikian

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 10 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Kerangka Teori 1. Tinjauan tentang Pembuktian a. Pengertian Pembuktian Pembuktian adalah usaha dari yang berwenang untuk mengemukakan kepada hakim sebanyak mungkin hal-hal

Lebih terperinci

BAB IV HASIL PENELITAN DAN PEMBAHASAN. A. Analisis Hakim Dalam Menjatuhkan Putusan No.13/Pid.B/2011/PN.

BAB IV HASIL PENELITAN DAN PEMBAHASAN. A. Analisis Hakim Dalam Menjatuhkan Putusan No.13/Pid.B/2011/PN. BAB IV HASIL PENELITAN DAN PEMBAHASAN A. Analisis Hakim Dalam Menjatuhkan Putusan No.13/Pid.B/2011/PN. Marisa Tentang Tindak Pidana Pencabulan Yang Dilakukan Oleh Anak Setelah proses pemeriksaan dipersidangan

Lebih terperinci

PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 11 TAHUN 2012 TENTANG SISTEM PERADILAN PIDANA ANAK

PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 11 TAHUN 2012 TENTANG SISTEM PERADILAN PIDANA ANAK PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 11 TAHUN 2012 TENTANG SISTEM PERADILAN PIDANA ANAK I. UMUM Anak adalah bagian yang tidak terpisahkan dari keberlangsungan hidup manusia dan keberlangsungan

Lebih terperinci

TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA RI

TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA RI No.5332 TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA RI PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 11 TAHUN 2012 TENTANG SISTEM PERADILAN PIDANA ANAK I. UMUM Anak adalah bagian yang tidak terpisahkan dari keberlangsungan

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Pasal 1 angka 11 Bab 1 tentang Ketentuan Umum Kitab Undang-Undang Hukum

II. TINJAUAN PUSTAKA. Pasal 1 angka 11 Bab 1 tentang Ketentuan Umum Kitab Undang-Undang Hukum II. TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Umum tentang Putusan Pengadilan Pasal 1 angka 11 Bab 1 tentang Ketentuan Umum Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) menyebutkan bahwa : Putusan Pengadilan adalah

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, bahwa setiap warga negara berhak mendapatkan

Lebih terperinci

2 BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan Pemerintah ini yang dimaksud dengan: 1. Sistem Peradilan Pidana Anak adalah keseluruhan proses penyeles

2 BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan Pemerintah ini yang dimaksud dengan: 1. Sistem Peradilan Pidana Anak adalah keseluruhan proses penyeles LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.194, 2015 PIDANA. Diversi. Anak. Belum Berumur 12 Tahun. Pedoman. (Penjelasan Dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5732). PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK

Lebih terperinci

Perbandingan Penghukuman Terhadap Anak dengan Minimal yang Disebut sebagai Anak

Perbandingan Penghukuman Terhadap Anak dengan Minimal yang Disebut sebagai Anak Perbandingan Penghukuman Terhadap Anak dengan Minimal yang Disebut sebagai Anak 1. Indonesia Undang-undang yang mengatur tentang anak yang berhadapan dengan hukum adalah Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. tercipta pula aturan-aturan baru dalam bidang hukum pidana tersebut. Aturanaturan

BAB I PENDAHULUAN. tercipta pula aturan-aturan baru dalam bidang hukum pidana tersebut. Aturanaturan BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah Globalisasi menyebabkan ilmu pengetahuan kian berkembang pesat termasuk bidang ilmu hukum, khususnya dikalangan hukum pidana. Banyak perbuatan-perbuatan baru yang

Lebih terperinci

PERLINDUNGAN TERHADAP ANAK YANG BERHADAPAN DENGAN HUKUM MELALUI PENDEKATAN RESTORATIVE JUSTICE. Oleh : Dheny Wahyudhi 1. Abstrak

PERLINDUNGAN TERHADAP ANAK YANG BERHADAPAN DENGAN HUKUM MELALUI PENDEKATAN RESTORATIVE JUSTICE. Oleh : Dheny Wahyudhi 1. Abstrak PERLINDUNGAN TERHADAP ANAK YANG BERHADAPAN DENGAN HUKUM MELALUI PENDEKATAN RESTORATIVE JUSTICE Oleh : Dheny Wahyudhi 1 Abstrak Perlindungan terhadap anak yang berhadapan dengan hukum dalam proses peradilan

Lebih terperinci

: UPAYA PERLINDUNGAN ANAK BERHADAPAN HUKUM DALAM SISTEM PERADILAN ANAK FAKULTAS : HUKUM UNIVERSITAS SLAMET RIYADI SURAKARTA ABSTRAK

: UPAYA PERLINDUNGAN ANAK BERHADAPAN HUKUM DALAM SISTEM PERADILAN ANAK FAKULTAS : HUKUM UNIVERSITAS SLAMET RIYADI SURAKARTA ABSTRAK Judul : UPAYA PERLINDUNGAN ANAK BERHADAPAN HUKUM DALAM SISTEM PERADILAN ANAK MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 11 TAHUN 2012 Disusun oleh : Ade Didik Tri Guntoro NPM : 11100011 FAKULTAS : HUKUM UNIVERSITAS SLAMET

Lebih terperinci

*14671 UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA (UU) NOMOR 4 TAHUN 2004 (4/2004) TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

*14671 UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA (UU) NOMOR 4 TAHUN 2004 (4/2004) TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Copyright (C) 2000 BPHN UU 4/2004, KEKUASAAN KEHAKIMAN *14671 UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA (UU) NOMOR 4 TAHUN 2004 (4/2004) TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3 TAHUN 1997 TENTANG PENGADILAN ANAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3 TAHUN 1997 TENTANG PENGADILAN ANAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3 TAHUN 1997 TENTANG PENGADILAN ANAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa anak adalah bagian dari generasi muda sebagai

Lebih terperinci

Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (RUU-KUHAP) Bagian Keempat Pembuktian dan Putusan

Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (RUU-KUHAP) Bagian Keempat Pembuktian dan Putusan Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (RUU-KUHAP) Bagian Keempat Pembuktian dan Putusan Pasal 176 Hakim dilarang menjatuhkan pidana kepada terdakwa, kecuali apabila hakim memperoleh keyakinan

Lebih terperinci

IMPLEMENTASI PERLINDUNGAN ANAK MELALUI PENDEKATAN RESTORATIVE JUSTICE DI TINGKAT PENYIDIKAN DI TINJAU DARI UU

IMPLEMENTASI PERLINDUNGAN ANAK MELALUI PENDEKATAN RESTORATIVE JUSTICE DI TINGKAT PENYIDIKAN DI TINJAU DARI UU IMPLEMENTASI PERLINDUNGAN ANAK MELALUI PENDEKATAN RESTORATIVE JUSTICE DI TINGKAT PENYIDIKAN DI TINJAU DARI UU NOMOR 11 TAHUN 2012 TENTANG SISTEM PERADILAN PIDANA ANAK (STUDI KASUS POLRESTA SURAKARTA) SKRIPSI

Lebih terperinci

BAB II PENGATURAN HUKUM TERKAIT DIVERSI DALAM PERMA NOMOR 4 TAHUN 2014 TENTANG PEDOMAN PELAKSANAAN DIVERSI DALAM SISTEM PERADILAN PIDANA ANAK

BAB II PENGATURAN HUKUM TERKAIT DIVERSI DALAM PERMA NOMOR 4 TAHUN 2014 TENTANG PEDOMAN PELAKSANAAN DIVERSI DALAM SISTEM PERADILAN PIDANA ANAK 24 BAB II PENGATURAN HUKUM TERKAIT DIVERSI DALAM PERMA NOMOR 4 TAHUN 2014 TENTANG PEDOMAN PELAKSANAAN DIVERSI DALAM SISTEM PERADILAN PIDANA ANAK A. Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 4 Tahun

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa negara Republik Indonesia adalah

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2004 TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2004 TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2004 TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa kekuasaan kehakiman menurut Undang-Undang

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2004 TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2004 TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2004 TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa kekuasaan kehakiman menurut Undang-Undang

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2004 TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2004 TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2004 TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa kekuasaan kehakiman menurut Undang-Undang

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2004 TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2004 TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2004 TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa kekuasaan kehakiman menurut Undang-Undang

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Kerangka Teori

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Kerangka Teori BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Kerangka Teori 1. Tinjauan tentang Terdakwa a. Pengertian Terdakwa Tersangka dan terdakwa merupakan sebutan atau status bagi pelaku tindak pidana sesuai tingkat atau tahap pemeriksaan.

Lebih terperinci

Lex Privatum, Vol. IV/No. 7/Ags/2016

Lex Privatum, Vol. IV/No. 7/Ags/2016 SISTEM PERADILAN PIDANA ANAK DI INDONESIA MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 11 TAHUN 2012 TENTANG SISTEM PERADILAN PIDANA ANAK 1 Oleh: Karen Tuwo 2 ABSTRAK Penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kurang atau tidak memperoleh kasih sayang, asuhan bimbingan dan

BAB I PENDAHULUAN. kurang atau tidak memperoleh kasih sayang, asuhan bimbingan dan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Anak adalah bagian yang tidak terpisahkan dari keberlangsungan hidup manusia dan keberlangsungan bangsa dan negara. Dalam konstitusi Indonesia, anak memiliki peran strategis

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Menurut Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945 amandemen ke- Empat, telah ditegaskan bahwa Negara Indonesia merupakan negara yang berdasarkan atas hukum.

Lebih terperinci

NOMOR 3 TAHUN 1997 TENTANG PENGADILAN ANAK

NOMOR 3 TAHUN 1997 TENTANG PENGADILAN ANAK UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3 TAHUN 1997 TENTANG PENGADILAN ANAK Menimbang: DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, a. bahwa anak adalah bagian dari generasi muda sebagai

Lebih terperinci

Dengan Persetujuan Bersama. DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA dan PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA MEMUTUSKAN:

Dengan Persetujuan Bersama. DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA dan PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA MEMUTUSKAN: RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa salah satu alat bukti

Lebih terperinci

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA Teks tidak dalam format asli. Kembali: tekan backspace mencabut: UU 14-1970::UU 35-1999 file PDF: [1] LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.8, 2004 HUKUM. KEHAKIMAN. Lembaga Peradilan. Badan-badan Peradilan.

Lebih terperinci

Hukum Acara Pidana Untuk Kasus Kekerasan Seksual

Hukum Acara Pidana Untuk Kasus Kekerasan Seksual Hukum Acara Pidana Untuk Kasus Kekerasan Seksual Hukum Acara Pidana dibuat adalah untuk melaksanakan peradilan bagi pengadilan dalam lingkungan peradilan umum dan Mahkamah Agung dengan mengatur hak serta

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2004 TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2004 TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2004 TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa kekuasaan kehakiman menurut Undang-Undang

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. A. Pengertian Tindak Pidana, Pelaku Tindak Pidana dan Tindak Pidana Pencurian

II. TINJAUAN PUSTAKA. A. Pengertian Tindak Pidana, Pelaku Tindak Pidana dan Tindak Pidana Pencurian II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian Tindak Pidana, Pelaku Tindak Pidana dan Tindak Pidana Pencurian Tindak pidana merupakan perbuatan yang dilakukan oleh seseorang dengan melakukan suatu kejahatan atau

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULAN. dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia dalam Pasal 1 Ayat (3)

BAB I PENDAHULAN. dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia dalam Pasal 1 Ayat (3) BAB I PENDAHULAN A. Latar Belakang Masalah Negara Indonesia adalah negara berdasarkan hukum. Hal ini ditegaskan dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia dalam Pasal 1 Ayat (3) yang berbunyi

Lebih terperinci

IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. Penulisan skripsi ini dilakukan dengan menggunakan penelitian lapangan dengan

IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. Penulisan skripsi ini dilakukan dengan menggunakan penelitian lapangan dengan IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Karakteristik Responden Penulisan skripsi ini dilakukan dengan menggunakan penelitian lapangan dengan wawancara terhadap sejumlah responden yang akan memberikan gambaran

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Umum Tentang Diversi 1. Pengertian Diversi Proses peradilan perkara anak sejak ditangkap, ditahan dan diadili pembinaannya wajib dilakukan oleh pejabat khusus yang memahami

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Hakim memiliki peranan penting dalam suatu proses persidangan yaitu. mengambil suatu keputusan hukum dalam suatu perkara dengan

I. PENDAHULUAN. Hakim memiliki peranan penting dalam suatu proses persidangan yaitu. mengambil suatu keputusan hukum dalam suatu perkara dengan I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Hakim memiliki peranan penting dalam suatu proses persidangan yaitu mengambil suatu keputusan hukum dalam suatu perkara dengan mempertimbangkan semua bukti-bukti yang ada.

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. dimana keturunan tersebut secara biologis berasal dari sel telur laki-laki yang kemudian

II. TINJAUAN PUSTAKA. dimana keturunan tersebut secara biologis berasal dari sel telur laki-laki yang kemudian II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian Anak dibawah Umur Pengertian anak menurut Kamus Bahasa Indonesia yang dapat disimpulkan ialah keturunan yang kedua yang berarti dari seorang pria dan seorang wanita yang

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa salah satu alat bukti yang

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG NOMOR 21 TAHUN 2007 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG [LN 2007/58, TLN 4720 ]

UNDANG-UNDANG NOMOR 21 TAHUN 2007 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG [LN 2007/58, TLN 4720 ] UNDANG-UNDANG NOMOR 21 TAHUN 2007 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG [LN 2007/58, TLN 4720 ] BAB II TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG Pasal 2 (1) Setiap orang yang melakukan perekrutan,

Lebih terperinci

Kekerasan fisik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 huruf a adalah perbuatan yang mengakibatkan rasa sakit, jatuh sakit, atau luka berat.

Kekerasan fisik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 huruf a adalah perbuatan yang mengakibatkan rasa sakit, jatuh sakit, atau luka berat. 1 UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa setiap warga

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. faktor sumber daya manusia yang berpotensi dan sebagai generasi penerus citacita

BAB I PENDAHULUAN. faktor sumber daya manusia yang berpotensi dan sebagai generasi penerus citacita BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Setiap anak adalah bagian dari penerus generasi muda yang merupakan faktor sumber daya manusia yang berpotensi dan sebagai generasi penerus citacita perjuangan bangsa

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Tindak pidana merupakan pengertian dasar dalam hukum pidana ( yuridis normatif ). Kejahatan

II. TINJAUAN PUSTAKA. Tindak pidana merupakan pengertian dasar dalam hukum pidana ( yuridis normatif ). Kejahatan II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian Tindak Pidana Tindak pidana merupakan pengertian dasar dalam hukum pidana ( yuridis normatif ). Kejahatan atau perbuatan jahat dapat diartikan secara yuridis atau kriminologis.

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Peradilan Pidana di Indonesia di selenggarakan oleh lembaga - lembaga peradilan

II. TINJAUAN PUSTAKA. Peradilan Pidana di Indonesia di selenggarakan oleh lembaga - lembaga peradilan II. TINJAUAN PUSTAKA A. Sistem Peradilan Pidana Peradilan Pidana di Indonesia di selenggarakan oleh lembaga - lembaga peradilan pidana, yaitu Kepolisian, Kejaksaan, Pengadilan serta Lembaga Pemasyarakatan

Lebih terperinci

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.621, 2015 JAKSA AGUNG. Diversi. Penuntutan. Pelaksanaan. Pedoman. PERATURAN JAKSA AGUNG REPUBLIK INDONESIA NOMOR PER- 006/A/J.A/04/2015 TENTANG PEDOMAN PELAKSANAAN DIVERSI

Lebih terperinci

TATA CARA PELAKSANAAN DIVERSI PADA TINGKAT PENYIDIKAN DI KEPOLISIAN

TATA CARA PELAKSANAAN DIVERSI PADA TINGKAT PENYIDIKAN DI KEPOLISIAN 1 TATA CARA PELAKSANAAN DIVERSI PADA TINGKAT PENYIDIKAN DI KEPOLISIAN Suriani, Sh, Mh. Fakultas Hukum Universitas Asahan, Jl. Jend Ahmad Yani Kisaran Sumatera Utara surianisiagian02@gmail.com ABSTRAK Pasal

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA DISTRIBUSI II UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa salah satu alat

Lebih terperinci

BAB II HUBUNGAN KUHP DENGAN UU NO. 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA

BAB II HUBUNGAN KUHP DENGAN UU NO. 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA 40 BAB II HUBUNGAN KUHP DENGAN UU NO. 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA A. Ketentuan Umum KUHP dalam UU No. 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga Dalam

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. A. Pengertian dan Ruang Lingkup Hukum Pidana. hukum yang berlaku disuatu negara yang mengadakan dasar-dasar dan aturanaturan

II. TINJAUAN PUSTAKA. A. Pengertian dan Ruang Lingkup Hukum Pidana. hukum yang berlaku disuatu negara yang mengadakan dasar-dasar dan aturanaturan II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian dan Ruang Lingkup Hukum Pidana Menurut Moeljatno (2000: 1), hukum pidana adalah bagian dari pada keseluruhan hukum yang berlaku disuatu negara yang mengadakan dasar-dasar

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa negara Republik Indonesia adalah

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Kerangka Teori

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Kerangka Teori BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Kerangka Teori 1. Tinjauan Umum Tentang Pembuktian a. Pengertian Pembuktian Pada Umumnya Pembuktian adalah ketentuan-ketentuan yang berisi penggarisan dan pedoman tentang cara-cara

Lebih terperinci

Kekuatan Keterangan Saksi Anak Dibawah Umur dalam Pembuktian Perkara Pidana

Kekuatan Keterangan Saksi Anak Dibawah Umur dalam Pembuktian Perkara Pidana 1 Kekuatan Keterangan Saksi Anak Dibawah Umur dalam Pembuktian Perkara Pidana Novelina MS Hutapea Staf Pengajar Kopertis Wilayah I Dpk Fakultas Hukum USI Pematangsiantar Abstrak Adakalanya dalam pembuktian

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN (yang telah disahkan dalam Rapat Paripurna DPR tanggal 18 Juli 2006) RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG NOMOR 31 TAHUN 1999 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI [LN 1999/140, TLN 3874]

UNDANG-UNDANG NOMOR 31 TAHUN 1999 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI [LN 1999/140, TLN 3874] UNDANG-UNDANG NOMOR 31 TAHUN 1999 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI [LN 1999/140, TLN 3874] BAB II TINDAK PIDANA KORUPSI Pasal 2 (1) Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang Mengingat : a. bahwa salah satu alat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Negara Indonesia adalah Negara hukum sebagaimana diatur dalam. Undang-Undang Dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia Tahun 1945

BAB I PENDAHULUAN. Negara Indonesia adalah Negara hukum sebagaimana diatur dalam. Undang-Undang Dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia Tahun 1945 A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN Negara Indonesia adalah Negara hukum sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia Tahun 1945 khususnya dalam Pasal 1 ayat

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Anggota Tentara Nasional Indonesia (TNI) adalah warga negara Indonesia yang

I. PENDAHULUAN. Anggota Tentara Nasional Indonesia (TNI) adalah warga negara Indonesia yang I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Anggota Tentara Nasional Indonesia (TNI) adalah warga negara Indonesia yang memenuhi persyaratan yang ditentukan dalam peraturan perundang-undangan dan diangkat oleh pejabat

Lebih terperinci

Penerapan Tindak Pidana Ringan (Studi Putusan Pengadilan Negeri Kisaran Nomor 456/Pid.B/2013/PN.Kis)

Penerapan Tindak Pidana Ringan (Studi Putusan Pengadilan Negeri Kisaran Nomor 456/Pid.B/2013/PN.Kis) Penerapan Tindak Pidana Ringan (Studi Putusan Pengadilan Negeri Kisaran Nomor 456/Pid.B/2013/PN.Kis) 1. Dany Try Hutama Hutabarat, S.H.,M.H, 2. Suriani, S.H.,M.H Program Studi Ilmu Hukum, Fakultas Hukum,

Lebih terperinci

BAB II PENAHANAN DALAM PROSES PENYIDIKAN TERHADAP TERSANGKA ANAK DIBAWAH UMUR. penyelidikan yang merupakan tahapan permulaan mencari ada atau tidaknya

BAB II PENAHANAN DALAM PROSES PENYIDIKAN TERHADAP TERSANGKA ANAK DIBAWAH UMUR. penyelidikan yang merupakan tahapan permulaan mencari ada atau tidaknya BAB II PENAHANAN DALAM PROSES PENYIDIKAN TERHADAP TERSANGKA ANAK DIBAWAH UMUR 2.1. Penyidikan berdasarkan KUHAP Penyidikan merupakan tahapan penyelesaian perkara pidana setelah penyelidikan yang merupakan

Lebih terperinci

Bab XIV : Kejahatan Terhadap Kesusilaan

Bab XIV : Kejahatan Terhadap Kesusilaan Bab XIV : Kejahatan Terhadap Kesusilaan Pasal 281 Diancam dengan pidana penjara paling lama dua tahun delapan bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah: 1. barang siapa dengan

Lebih terperinci

PENGADILAN ANAK Undang-Undang No. 3 Tahun 1997 Tanggal 3 Januari 1997 DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PENGADILAN ANAK Undang-Undang No. 3 Tahun 1997 Tanggal 3 Januari 1997 DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PENGADILAN ANAK Undang-Undang No. 3 Tahun 1997 Tanggal 3 Januari 1997 DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa anak adalah bagian dari generasi muda sebagai salah

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Negara Indonesia adalah Negara yang berdasarkan atas hukum (rechtsstaat), tidak

I. PENDAHULUAN. Negara Indonesia adalah Negara yang berdasarkan atas hukum (rechtsstaat), tidak I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Negara Indonesia adalah Negara yang berdasarkan atas hukum (rechtsstaat), tidak berdasarkan atas kekuasaan belaka (machtsstaat). Pernyataan tersebut secara tegas tercantum

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. A. Tugas dan Wewenang Hakim dalam Proses Peradilan Pidana. Kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan negara yang merdeka untuk

II. TINJAUAN PUSTAKA. A. Tugas dan Wewenang Hakim dalam Proses Peradilan Pidana. Kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan negara yang merdeka untuk II. TINJAUAN PUSTAKA A. Tugas dan Wewenang Hakim dalam Proses Peradilan Pidana 1. Kekuasaan Kehakiman Kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan negara yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI. Adapun yang menjadi tujuan upaya diversi adalah : 6. a. untuk menghindari anak dari penahanan;

BAB II LANDASAN TEORI. Adapun yang menjadi tujuan upaya diversi adalah : 6. a. untuk menghindari anak dari penahanan; BAB II LANDASAN TEORI 2.1. Uraian Teori 2.1.1.Diversi Diversi adalah pengalihan penanganan kasus-kasus anak yang diduga telah melakukan tindak pidana dari proses formal dengan atau tanpa syarat. Pendekatan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa setiap warga negara

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 48 TAHUN 2009 TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 48 TAHUN 2009 TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 48 TAHUN 2009 TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA Menimbang PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, : a. bahwa kekuasaan kehakiman menurut Undang-Undang

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NO. 31 TAHUN 1999 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI BAB I

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NO. 31 TAHUN 1999 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI BAB I UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NO. 31 TAHUN 1999 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI BAB I Pasal 1 Dalam undang-undang ini yang dimaksud dengan: 1. Korporasi adalah kumpulan orang dan atau kekayaan

Lebih terperinci

Lex Crimen Vol. VII/No. 1 /Jan-Mar/2018. H. Rusli Muhammad, Hukum Acara Pidana Kontemporer, PT Citra Aditya Bakti, Bandung, 2007, hlm. 185.

Lex Crimen Vol. VII/No. 1 /Jan-Mar/2018. H. Rusli Muhammad, Hukum Acara Pidana Kontemporer, PT Citra Aditya Bakti, Bandung, 2007, hlm. 185. KEKUATAN ALAT BUKTI KETERANGAN AHLI DALAM PEMBUKTIAN PERKARA PIDANA MENURUT KUHAP 1 Oleh: Sofia Biloro 2 Dosen Pembimbing: Tonny Rompis, SH, MH; Max Sepang, SH, MH ABSTRAK Tujuan dilakukannya penelitian

Lebih terperinci

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA Direktorat Jenderal Peraturan Perundang-undangan Teks tidak dalam format asli. LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No. 95, 2004 (Penjelasan dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4419)

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa setiap warga negara

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : Mengingat : a. bahwa setiap

Lebih terperinci

ANALISIS PUTUSAN HAKIM NO.13/PID.B/2011/PN. MARISA TENTANG TINDAK PIDANA PENCABULAN YANG DI LAKUKAN OLEH ANAK DI KOTA MARISA

ANALISIS PUTUSAN HAKIM NO.13/PID.B/2011/PN. MARISA TENTANG TINDAK PIDANA PENCABULAN YANG DI LAKUKAN OLEH ANAK DI KOTA MARISA 1 ANALISIS PUTUSAN HAKIM NO.13/PID.B/2011/PN. MARISA TENTANG TINDAK PIDANA PENCABULAN YANG DI LAKUKAN OLEH ANAK DI KOTA MARISA Siti Afriani Ohi Pembimbing I: Dr. Fence M.Wantu, SH.,MH Pembimbing II: Suwitno

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa salah satu alat bukti yang

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3 TAHUN 1997 TENTANG PENGADILAN ANAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3 TAHUN 1997 TENTANG PENGADILAN ANAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3 TAHUN 1997 TENTANG PENGADILAN ANAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa anak adalah bagian dari generasi muda

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Negara Indonesia adalah negara hukum ( rechtstaats), maka setiap orang yang

I. PENDAHULUAN. Negara Indonesia adalah negara hukum ( rechtstaats), maka setiap orang yang I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Negara Indonesia adalah negara hukum ( rechtstaats), maka setiap orang yang melakukan tindak pidana harus mempertanggungjawabkan perbuatannya melalui proses hukum.

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa setiap warga negara

Lebih terperinci

Tindak pidana adalah kelakuan manusia yang dirumuskan dalam undang-undang, melawan

Tindak pidana adalah kelakuan manusia yang dirumuskan dalam undang-undang, melawan I. TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian dan Jenis-Jenis Tindak Pidana 1. Pengertian Tindak Pidana Tindak pidana adalah kelakuan manusia yang dirumuskan dalam undang-undang, melawan hukum, yang patut dipidana

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. meminta. Hal ini sesuai dengan ketentuan Konvensi Hak Anak (Convention on the

I. PENDAHULUAN. meminta. Hal ini sesuai dengan ketentuan Konvensi Hak Anak (Convention on the I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Setiap anak mempunyai harkat dan martabat yang patut dijunjung tinggi dan setiap anak yang terlahir harus mendapatkan hak-haknya tanpa anak tersebut meminta. Hal

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa setiap warga negara

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA 1 UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA

Lebih terperinci

Abstrak. Kata kunci: Peninjauan Kembali, Kehkilafan /Kekeliranan Nyata, Penipuan. Abstract. Keywords:

Abstrak. Kata kunci: Peninjauan Kembali, Kehkilafan /Kekeliranan Nyata, Penipuan. Abstract. Keywords: Abstrak Penelitian hukum ini bertujuan untuk mengetahui kesesuaian alasan terpidana pelaku tindak pidana penipuan dalam mengajukan upaya hukum Peninjauan Kembali dengan dasar adanya suatu kehilafaan hakim

Lebih terperinci

BAB II BATASAN PENGATURAN KEKERASAN FISIK TERHADAP ISTRI JIKA DIKAITKAN DENGAN TINDAK PIDANA PENGANIAYAAN MENURUT KETENTUAN HUKUM PIDANA DI INDONESIA

BAB II BATASAN PENGATURAN KEKERASAN FISIK TERHADAP ISTRI JIKA DIKAITKAN DENGAN TINDAK PIDANA PENGANIAYAAN MENURUT KETENTUAN HUKUM PIDANA DI INDONESIA BAB II BATASAN PENGATURAN KEKERASAN FISIK TERHADAP ISTRI JIKA DIKAITKAN DENGAN TINDAK PIDANA PENGANIAYAAN MENURUT KETENTUAN HUKUM PIDANA DI INDONESIA A. Batasan Pengaturan Tindak Pidana Kekekerasan Fisik

Lebih terperinci

KEJAKSAAN AGUNG REPUBLIK INDONESIA JAKARTA

KEJAKSAAN AGUNG REPUBLIK INDONESIA JAKARTA KEJAKSAAN AGUNG REPUBLIK INDONESIA JAKARTA Nomor : B-69/E/02/1997 Sifat : Biasa Lampiran : - Perihal : Hukum Pembuktian Dalam Perkara Pidana -------------------------------- Jakarta, 19 Pebruari 1997 KEPADA

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 13 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Kerangka Teori 1. Tinjauan tentang Proses Persidangan Anak Undang-undang sistem peradilan pidana anak menjelaskan bahwa upaya hakim dalam menangani perkara anak nakal di luar

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 14 TAHUN 1985 TENTANG MAHKAMAH AGUNG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 14 TAHUN 1985 TENTANG MAHKAMAH AGUNG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No. 73, 1985 (ADMINISTRASI. KEHAKIMAN. LEMBAGA NEGARA. Mahkamah Agung. Penjelasan dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3316) UNDANG-UNDANG REPUBLIK

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Tindak pidana bisa terjadi kepada siapa saja dan dimana saja. Tidak terkecuali terjadi terhadap anak-anak, hal ini disebabkan karena seorang anak masih rentan

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Pembuktian merupakan masalah yang memegang peranan penting dalam proses

II. TINJAUAN PUSTAKA. Pembuktian merupakan masalah yang memegang peranan penting dalam proses II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian Pembuktian Pembuktian merupakan masalah yang memegang peranan penting dalam proses pemeriksaan sidang pengadilan serta hal paling utama untuk dapat menentukan dapat atau

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 13 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian Hakim 1. Hakim Hakim adalah pejabat peradilan negara yang diberi wewenang oleh undangundang untuk mengadili (Pasal 1 butir 8 KUHAP). Sedangkan istilah hakim artinya

Lebih terperinci

BAB II PENGATURAN HAK RESTITUSI TERHADAP KORBAN TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG DI INDONESIA

BAB II PENGATURAN HAK RESTITUSI TERHADAP KORBAN TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG DI INDONESIA 16 BAB II PENGATURAN HAK RESTITUSI TERHADAP KORBAN TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG DI INDONESIA A. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 21 Tahun 2007 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang

Lebih terperinci

RUMAH DUTA REVOLUSI MENTAL KOTA SEMARANG. Diversi : Alternatif Proses Hukum Terhadap Anak Sebagai Pelaku

RUMAH DUTA REVOLUSI MENTAL KOTA SEMARANG. Diversi : Alternatif Proses Hukum Terhadap Anak Sebagai Pelaku Diversi : Alternatif Proses Hukum Terhadap Anak Sebagai Pelaku Copyright@2017 Hak cipta dilindungi Undang-Undang Sanksi Pelanggaran Pasal 72 Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2002 Tentang Hak Cipta Barangsiapa

Lebih terperinci