ANALISIS KELEMBAGAAN DAN BIAYA TRANSAKSI DALAM PENGELOLAAN SUMBERDAYA PERIKANAN DI KECAMATAN LABUAN KABUPATEN PANDEGLANG ROSI CAESARIA HUTABARAT

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "ANALISIS KELEMBAGAAN DAN BIAYA TRANSAKSI DALAM PENGELOLAAN SUMBERDAYA PERIKANAN DI KECAMATAN LABUAN KABUPATEN PANDEGLANG ROSI CAESARIA HUTABARAT"

Transkripsi

1 ANALISIS KELEMBAGAAN DAN BIAYA TRANSAKSI DALAM PENGELOLAAN SUMBERDAYA PERIKANAN DI KECAMATAN LABUAN KABUPATEN PANDEGLANG ROSI CAESARIA HUTABARAT DEPARTEMEN EKONOMI SUMBERDAYA DAN LINGKUNGAN FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2012

2 ANALISIS KELEMBAGAAN DAN BIAYA TRANSAKSI DALAM PENGELOLAAN SUMBERDAYA PERIKANAN DI KECAMATAN LABUAN KABUPATEN PANDEGLANG ROSI CAESARIA HUTABARAT H Skripsi ini merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ekonomi pada Fakultas Ekonomi dan Manajemen Institut Pertanian Bogor DEPARTEMEN EKONOMI SUMBERDAYA DAN LINGKUNGAN FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2012

3 ABSTRACT ROSI CAESARIA HUTABARAT. Institutional and Transaction Cost Analysis of Fishery Resources Management in District of Labuan, Pandeglang Regency. Supervised by Aceng Hidayat. Condition of District of Labuan which has a dense fishing waters, depletion and exploitation of fish resources tend to be difficult to control. This situation can branches out in to a dense or over fishing. Therefore, a proper fishery management is needed. One of which is a strong institutional system. Fishery resources management can not be separated from the intitutional that support it, the other way the institutional can not be separated from the actors (stakeholder), so it needs an integrated fishery resource management system. Institutional is an important factor that drives the performance of fishery resources management. Institutional rules or policies that result in a rule (rule of game) in resources management. Each actors play role and different activities in managing fishery resources. The aim of this research are 1) to analyze stakeholders involved in fishery resources management in the District of Labuan, 2) to identify the relevant rules in fishery resources management in the District of Labuan, 3) to analyze the transaction cost in fishery resources management in the District of Labuan. In this research, the data have been obtained were analyzed qualitatively and quantitatively. Processing and data analysis was done manually and using computer with Microsoft Office Excell program and are presented intabulated form and described descriptively. The data was analyzed by Stakeholder Analysis, Conflict Analysis, Rules Analysis and Transaction Cost Analysis. The result of research showed; 1) Stakeholders in fishery resources management in the District of Labuan consists of a) Subjects is Bakul/Traders Gatherer, Langgan/Skipper and Fish Processing Industry, b) Players is Department of Marine and Fisheries Banten Province, Department Marine and Fisheries Pandeglang Regency, Technical Unit PPI and TPI District of Labuan, Fish Auction Place, Pillars of the Fisherman, HNSI, Cooperative Fisheries and POKMASWAS Fishery Resources of Labuan, c) Bystanders is Village Police, District Goverment and Banking, d) Actors is Satpolair. There are 12 stakeholders who are directly involved in the fishery resources management in the District of Labuan, Department of Marine and Fisheries Banten Province, Department Marine and Fisheries Pandeglang Regency, Technical Unit PPI and TPI District of Labuan, Fish Auction Place, Pillars of the Fisherman, HNSI, Cooperative Fisheries, POKMASWAS Fishery Resources of Labuan, Bakul/Traders Gatherer, Langgan/Skipper, Fish Processing Industry and Satpolair. 2) The formal rules that apply have been set up fishery resources, for both economic and conservation objectives (protection of fishery resources). But, the obedience and the understanding to these rules is very low, it is caused of the lack socialization in society and the lack of supervision and the optimal legal system. Informal rules implicitly have the social, economic and conservation in support of the fishery resources management in the District of Labuan. This shows that how important a mechanism of social control that exist in society in the form of local wisdom. But, i

4 these informal rules have started to fade because it is no written. 3) Total transaction costs incurred by the government in the fishery resources management is Rp in a year. Meanwhile, the total transaction costs incurred by the fisherman in the fishery resources management is Rp in a year. Transaction costs incurred by the fishermen are much smaller than the transaction costs incurred by the government. This is caused the fisherman is not too much to pay for some activities, such as infrastructure development, monitoring of fishery resources and development costs. Keywords: Institutional, Stakeholders, Formal and informal rules, Transaction Cost ii

5 RINGKASAN ROSI CAESARIA HUTABARAT. Analisis Kelembagaan dan Biaya Transaksi dalam Pengelolaan Sumberdaya Perikanan di Kecamatan Labuan Kabupaten Pandeglang. Dibimbing Oleh Aceng Hidayat. Kecamatan Labuan yang memiliki kondisi perairan yang padat tangkap, pengurasan dan eksploitasi sumberdaya ikan cenderung sulit dikendalikan. Keadaan ini bisa berkembang menuju kondisi padat atau tangkap lebih. Oleh karena itu, dibutuhkan pengelolaan perikanan yang tepat. Salah satunya adalah perlu adanya sistem kelembagaan yang kuat. Pengelolaan sumberdaya perikanan tidak dapat dipisahkan dari kelembagaan yang mendukungnya dan sebaliknya kelembagaan tersebut juga tidak terlepas dari para pelaku (stakeholders) perikanan, sehingga dibutuhkan suatu sistem pengelolaan sumberdaya perikanan yang terintegrasi. Kelembagaan merupakan faktor penting yang menggerakkan kinerja dari pengelolaan sumberdaya perikanan. Kelembagaan menghasilkan peraturan atau kebijakan yang merupakan aturan main ( rule of game) dalam pengelolaan sumberdaya. Masing-masing pihak memiliki peran dan kegiatan yang berbeda-beda dalam mengelola sumberdaya perikanan. Tujuan penelitian ini adalah 1) Menganalisis stakeholders yang terlibat dalam pengelolaan sumberdaya perikanan di Kecamatan Labuan, 2) Mengidentifikasi aturan yang terkait dalam pengelolaan sumberdaya perikanan di Kecamatan Labuan, 3) Menganalisis biaya transaksi dalam pengelolaan sumberdaya perikanan di Kecamatan Labuan. Dalam penelitian ini, data yang telah diperoleh dianalisis secara kualitatif dan kuantitatif. Pengolahan dan analisis data dilakukan secara manual dan menggunakan komputer dengan program Microsoft Office Excell serta disajikan dalam bentuk tabulasi dan diuraikan secara deskriptif. Analisis yang digunakan adalah Analisis Stakeholder, Analisis Konflik, Analisis Peraturan dan Analisis Biaya Transaksi. Hasil penelitian menunjukkan : 1) Stakeholders yang berkaitan dengan pengelolaan sumberdaya perikanan di Kecamatan Labuan terdiri dari a) Subjects yaitu Bakul/Pedagang Pengumpul, Langgan/Juragan dan Industri Pengolah Ikan, b) Players yaitu Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Banten, Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Pandeglang, Unit Pelaksana Teknis PPI dan TPI Kecamatan Labuan, Tempat Pelelangan Ikan, Rukun Nelayan, HNSI, Koperasi Perikanan dan POKMASWAS Sumberdaya Perikanan Labuan, c) Bystanders yaitu Aparat Desa, Pemerintah Kecamatan dan Perbankan, d) Actors yaitu Satpolair. Jadi, aktor yang terlibat secara langsung dalam pengelolaan sumberdaya perikanan di Kecamatan Labuan ada 12 stakeholders yaitu Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Banten, Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Pandeglang, Unit Pelaksana Teknis PPI dan TPI Kecamatan Labuan, Tempat Pelelangan Ikan, Rukun Nelayan, HNSI, Koperasi Perikanan, POKMASWAS Sumberdaya Perikanan Labuan, Bakul/Pedagang Pengumpul, Langgan/Juragan, Industri Pengolah Ikan dan Satpolair, 2) Aturan-aturan formal yang berlaku telah mengatur sumberdaya perikanan, baik untuk tujuan ekonomi dan konservasi (perlindungan terhadap sumberdaya perikanan). Akan tetapi, kepatuhan terhadap i

6 aturan-aturan tersebut serta pengetahuan terhadap aturan-aturan yang ada sangat rendah, disebabkan kurangnya sosialisasi pada masyarakat serta kurangnya pengawasan dan sistem hukum yang optimal. Aturan-aturan informal secara implisit memiliki tujuan sosial, ekonomi dan konservasi dalam mendukung pengelolaan sumberdaya perikanan di Kecamatan Labuan. Hal ini menunjukkan bahwa betapa pentingnya suatu mekanisme kontrol sosial yang ada di masyarakat berupa kearifan lokal. Akan tetapi, aturan-aturan informal ini sudah mulai memudar karena sifatnya yang tidak tertulis, 3) Total biaya transaksi yang dikeluarkan oleh pemerintah dalam pengelolaan sumberdaya perikanan adalah Rp dalam setahun. Sementara itu, total biaya transaksi yang dikeluarkan nelayan dalam pengelolaan sumberdaya perikanan adalah Rp dalam setahun. Biaya transaksi yang dikeluarkan nelayan jauh lebih kecil dibandingkan dengan biaya transaksi yang dikeluarkan oleh pemerintah. Hal ini disebabkan nelayan tidak terlalu banyak mengeluarkan uang untuk beberapa kegiatan, seperti pembangunan sarana dan prasarana, pengawasan sumberdaya perikanan dan biaya pembinaan. Kata Kunci : Kelembagaan, Stakeholders, Aturan formal dan informal, Biaya Transaksi ii

7 PERNYATAAN DENGAN INI SAYA MENYATAKAN BAHWA SKRIPSI YANG BERJUDUL ANALISIS KELEMBAGAAN DAN BIAYA TRANSAKSI DALAM PENGELOLAAN SUMBERDAYA PERIKANAN DI KECAMATAN LABUAN KABUPATEN PANDEGLANG BELUM PERNAH DIAJUKAN PADA PERGURUAN TINGGI LAIN ATAU LEMBAGA LAIN MANAPUN UNTUK TUJUAN MEMPEROLEH GELAR AKADEMIK TERTENTU. SAYA JUGA MENYATAKAN SKRIPSI INI BENAR-BENAR HASIL KARYA SENDIRI DAN TIDAK MENGANDUNG BAHAN-BAHAN YANG PERNAH DITULIS ATAU DITERBITKAN OLEH PIHAK LAIN KECUALI BAHAN RUJUKAN YANG DINYATAKAN DALAM NASKAH. Bogor, Juni 2012 Rosi Caesaria Hutabarat H iii

8 Judul Nama NIM : Analisis Kelembagaan dan Biaya Transaksi dalam Pengelolaan Sumberdaya Perikanan di Kecamatan Labuan Kabupaten Pandeglang : Rosi Caesaria Hutabarat : H Menyetujui, Pembimbing, Dr.Ir. Aceng Hidayat, MT NIP Mengetahui, Ketua Departemen Ekonomi Sumberdaya dan Lingkungan, Dr. Ir. Aceng Hidayat, MT NIP Tanggal Lulus : iv

9 KATA PENGANTAR Puji dan syukur penulis ucapkan kepada Tuhan yang Maha Esa atas hikmat dan kasih-nya sehingga skripsi ini dapat diselesaikan. Skripsi ini berjudul Analisis Kelembagaan dan Biaya Transaksi dalam Pengelolaan Sumberdaya Perikanan di Kecamatan Labuan Kabupaten Pandeglang. Skripsi ini disusun untuk memenuhi salah satu syarat memperolah gelar sarjana pada Fakultas Ekonomi dan Manajemen. Hasil penelitian ini diharapkan dapat dijadikan referensi dan informasi bagi pihak yang berkepentingan. Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih banyak kekurangan. Perbaikan atas skripsi ini masih sangat diperlukan. Oleh sebab itu, penulis berharap kritik dan saran untuk melengkapi kesempurnaan skripsi ini. Semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi semua pihak yang membacanya. Bogor, Juni 2012 Rosi Caesaria Hutabarat H v

10 UCAPAN TERIMA KASIH Puji dan Syukur kehadirat Tuhan yang Maha Esa atas hikmat dan kasih- Nya telah memberikan kesehatan dan kekuatan sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan baik. Dalam kesempatan ini, penulis dengan segala kerendahan hati mengucapkan terima kasih kepada : 1. Bapak T. Hutabarat di sorga dan Ibu H. Sihombing buat dukungan, kasih sayang dan kesabaran yang sudah diberikan selama mengikuti perkuliahan, juga kepada Ka Freshia, Bang Freshia, Bang Potra atas setiap dukungan dan doa-doanya serta kasih sayang yang diberikan, terkhusus buat Ka Solin atas semua semangat, motivasi, kesabaran dan doanya selama ini, dan buat Anggi Panjaitan yang senantiasa mendukung dalam doa dan memberikan motivasi dan semangat dalam menyelesaikan skripsi ini. 2. Bapak Dr. Ir. Aceng Hidayat, MT selaku dosen pembimbing yang telah meluangkan waktunya untuk membimbing penulis dalam menyelesaikan skripsi ini. 3. Bapak Ir. Ujang Sehabudin dan Pak Rizal Bahtiar, S.Pi, M.Si selaku dosen penguji utama dan penguji perwakilan departemen atas masukanmasukan yang diberikan. 4. Staff pengajar dan pegawai departemen Ekonomi Sumberdaya dan Lingkungan atas semua bantuannya. 5. Ibu Eni dan Pak Una yang sudah bersedia menyedikan tempat selama penulis melakukan penelitian. 6. Para responden yang sudah memberikan waktunya untuk memberikan informasi buat penelitian saya. vi

11 7. Teman-teman kostan Qyu-qyu, Yana, Ka Golda, Eva, Sry, Ka Tiur, Ka Ririn, Ria, Vivin, Ka Gusty, Ka Greiss, Rina buat setiap kebersamaan dan setiap doa dan dukungannya. 8. Teman-teman di Komisi Kesenian dan Mantan Badan Pengurus Harian PMK IPB, Ando, Diana, Fiona dan Leni atas kebersamaan dan persahabatan selama perkuliahan. 9. Anak-anak kostan Gladys, Yuli, Ka Lina, Astri, Widya, Diana, Rara, Ka Helen, Ka Vivin, Ka Etha, Kristy, Gladys, Melisda, Ester atas dukungan dan doanya. 10. Parsadaan Anak Rantau Tarutung atas sambutan, dukungan dan kebersamaannya. 11. Teman-teman ESL 43, Risca, Ario, Osmaleli serta teman-teman yang lain yang tidak dapat disebutkan satu-persatu. Penulis juga mengucapkan terimakasih kepada semua pihak yang telah membantu penulis menyelesaikan skripsi ini yang tidak dapat disebutkan satu per satu. Bogor, Juni 2012 Rosi Caesaria Hutabarat H vii

12 DAFTAR ISI RINGKASAN... PERNYATAAN... PENGESAHAN... KATA PENGANTAR... UCAPAN TERIMA KASIH... DAFTAR ISI... DAFTAR TABEL... DAFTAR GAMBAR... DAFTAR LAMPIRAN... Halaman I. PENDAHULUAN Latar Belakang Perumusan Masalah Tujuan Penelitian Manfaat Penelitian Batasan Operasional... 9 II. TINJAUAN PUSTAKA Sumberdaya Perikanan Pengelolaan Sumberdaya Perikanan Ko-manajemen Perikanan Kelembagaan Biaya Transaksi III. KERANGKA PEMIKIRAN IV. METODE PENELITIAN Lokasi dan Waktu Penelitian Jenis dan Sumber data Pengumpulan Data Penentuan Responden Pengolahan dan Analisis Data Analisis Stakeholder Analisis Konflik Pengelolaan Sumberdaya Perikanan Analisis Peraturan Analisis Biaya Transaksi V. GAMBARAN UMUM Kondisi Umum Kecamatan Labuan Kondisi Geografis i iii iv v vi viii x xi xii viii

13 5.1.2 Keadaan Sosial Ekonomi Kondisi Umum Sumberdaya Perikanan Produksi dan Nilai Produksi Ikan di Kecamatan Labuan Unit Penangkapan Ikan di Kecamatan Labuan Daerah Penangkapan Musim Penangkapan Potensi Sumberdaya Perikanan Pemasaran Hasil Tangkapan VI. HASIL DAN PEMBAHASAN Stakeholder Pengelolaan dan Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan Identifikasi Stakeholder Pengaruh dan Kepentingan Stakeholder Hubungan antar Stakeholder Konflik Pengelolaan Sumberdaya Perikanan Kelembagaan sebagai Aturan Main dalam Pengelolaan Sumberdaya Perikanan Kelembagaan Formal Kelembagaan Informal Biaya Transaksi Pengelolaan Sumberdaya Perikanan Di Kecamatan Labuan VII. KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Saran DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN ix

14 DAFTAR TABEL Nomor Halaman 1. Nilai Volume dan Produksi Sumberdaya Perikanan Tahun Matriks Bentuk, Jenis dan Sumber data Matriks Prosedur Penelitian Penilaian Tingkat Kepentingan Penilaian Tingkat Pengaruh Ukuran Kuantitatif terhadap Identifikasi dan Pemetaan Stakeholders Luas Wilayah Desa di Kecamatan Labuan Jumlah Penduduk Menurut Jenis Kelamin di Kecamatan Labuan Tahun Komposisi Penduduk Kecamatan Labuan Berdasarkan Tingkat Pendidikan Komposisi Penduduk Kecamatan Labuan Berdasarkan Mata Pencaharian Perkembangan Volume Produksi dan Nilai Produksi Hasil Tangkapan di Kecamatan Labuan Perkembangan Jumlah Armada Penangkapan di Kecamatan Labuan Perkembangan Jumlah Alat Tangkap di Kecamatan Labuan Perkembangan Jumlah Nelayan di Kecamatan Labuan Identifikasi Stakeholder dan Perannya Konflik Pengelolaan Sumberdaya Perikanan di Kecamatan Labuan Aspek Pengelolaan Aturan Formal dalam Pengelolaan Sumberdaya Perikanan di Kecamatan Labuan Aturan-aturan Informal dalam Pengelolaan Sumberdaya Perikanan di Kecamatan Labuan Biaya Transaksi Pemerintah dalam Pengelolaan Sumberdaya Perikanan di Kecamatan Labuan Biaya Transaksi Nelayan dalam Pengelolaan Sumberdaya Perikanan di Kecamatan Labuan x

15 DAFTAR GAMBAR Nomor Halaman 1. Pengelolaan sumberdaya Perikanan dengan Pendekatan Ko-manajemen Kerangka Pemikiran Operasional Penelitian Matriks Hasil Analisis Stakeholder Perkembangan dan Kecenderungan Volume Produksi Hasil Tangkapan di Kecamatan Labuan Perkembangan dan Kecenderungan Nilai Produksi Hasil Tangkapan di Kecamatan Labuan Perkembangan Armada Penangkapan di KecamatanLabuan Perkembangan Alat Tangkap di Kecamatan Labuan Perkembangan Jumlah Nelayan di Kecamatan Labuan Pemetaan Stakeholder Pengelolaan Sumberdaya Perikanan di Kecamatan Labuan Hubungan antar Kelembagaan dan Aktor Pengelolaan Sumberdaya Perikanan Biaya Transaksi Pemerintah dalam Pengelolaan Sumberdaya Perikanan di Kecamatan Labuan Biaya Transaksi Nelayan dalam Pengelolaan Sumberdaya Perikanan di Kecamatan Labuan xi

16 Nomor DAFTAR LAMPIRAN Halaman 1. Peta Kecamatan Labuan Kuisioner Penelitian Responden Penelitian Nilai Skor Analisis Stakeholder Analisis Peraturan Nasional dan Daerah sebagai Dasar Hukum dalam Pengelolaan Sumberdaya Perikanan di Kecamatan Labuan Perhitungan Biaya Transaksi Pengelolaan Sumberdaya Perikanan oleh Kelompok Nelayan Perhitungan Biaya Transaksi Pengelolaan Sumberdaya Perikanan oleh Pemerintah Dokumentasi Penelitian xii

17 I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia adalah negara kepulauan terbesar di dunia karena memiliki luas laut dan jumlah pulau yang besar. Panjang garis pantai Indonesia mencapai km dengan jumlah pulau sebanyak Luas wilayah laut mendominasi total luas territorial Indonesia sebesar 7,7 juta km 2. Potensi tersebut menempatkan Indonesia sebagi negara yang dikarunia sumber daya kelautan yang besar termasuk kekayaan keanekaragaman hayati dan non hayati kelautan terbesar (SEKJEN KKP, 2011). Luasnya wilayah laut merupakan potensi alam yang bisa dimanfaatkan untuk pengembangan industri perikanan. Potensi perikanan nasional Indonesia dapat dilihat pada Tabel 1 berikut ini. Tabel 1. Nilai Volume dan Produksi Sumberdaya Perikanan Tahun 2010 Jenis Potensi Volume Produksi ( Ribu Ton ) Nilai Produksi ( Juta Rp ) Perikanan Tangkap di Laut Perikanan Tangkap di Perairan umum Perikanan Budidaya Laut Perikanan Budidaya Tambak Perikanan Budidaya Kolam Perikanan Budidaya Karamba Perikanan Budidaya Jaring Apung Perikanan Budidaya Sawah Total Sumber : SEKJEN KKP, 2011 Wilayah dua pertiga Indonesia yang berupa laut dikenal sebagai negara yang memiliki sumberdaya ikan yang melimpah. Akan tetapi, sektor perikanan masih menghadapi masalah, seperti pencurian ikan oleh kapal asing, terjadinya kelebihan tangkap (overfishing) dan rusaknya ekosistem laut akibat praktik penangkapan yang tidak ramah lingkungan. Berbagai alasan tersebut kemudian 1

18 mengharuskan Indonesia membangun sebuah strategi pengelolaan sumberdaya perikanan yang efektif dan berkelanjutan agar dapat memberikan berbagai manfaat, baik dari segi ekonomi maupun konservasi. Pengelolaan sumberdaya perikanan tidak bisa dilaksanakan oleh satu pihak saja, namun harus dilakukan oleh semua pihak yang terkait langsung maupun tidak langsung dengan sumberdaya perikanan seperti nelayan, pemerintah, lembaga/institusi non-pemerintah, akademisi, pelaku perikanan lainnya (pedagang, kelompok pengolah ikan) dan lain-lain. Para pihak (stakeholders) yang terkait harus memiliki kepedulian dan komitmen untuk melaksanakan pengelolaan sumberdaya perikanan. Pengelolaan sumberdaya perikanan tidak dapat dilakukan secara efektif dengan hanya mengandalkan kemampuan pemerintah dalam membuat dan menegakkan peraturan saja. Berbagai pemangku kepentingan (stakeholders) yang terkait dalam pengelolaan sumberdaya perikanan harus samasama menyadari perlunya pengelolaan sumberdaya perikanan dan kelautan serta dapat melakukan kegiatan pengelolaan sumberdaya dengan baik. Undang undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan menegaskan bahwa tujuan pengelolaan perikanan adalah untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat khususnya nelayan, menciptakan kesempatan kerja, mengoptimalkan serta menjaga kelestarian stok sumberdaya perikanan. Pengelolaan sumberdaya merupakan upaya penting dalam menjaga kesinambungan sumberdaya. Hal ini bertujuan agar sumberdaya perikanan tetap dapat dinikmati oleh generasi yang akan datang. Sumberdaya ikan masih dianggap memiliki sifat terbuka (open access) dan milik bersama (common property), artinya setiap orang mempunyai hak untuk 2

19 memanfaatkan sumberdaya tersebut. Persoalan hak memanfaatkan tidak hanya melibatkan satu pihak, yakni masyarakat lokal atau nelayan, tetapi juga pihakpihak lain seperti pengusaha dan pemerintah. Berbagai pihak yang memiliki kepentingan dalam pengelolaan sumberdaya merasa memiliki hak yang sama dalam memanfaatkan sumberdaya tersebut. Sifat pemanfaatan sumberdaya yang demikian akan mengakibatkan konflik antar pengguna sumberdaya. Besarnya potensi sumberdaya perikanan dan kelautan yang tersedia belum dimanfaatkan secara optimal, kontribusi sektor perikanan dan kelautan terhadap sektor pembangunan daerah secara umum dan pembangunan masyarakat pesisir secara khusus masih rendah. Di samping itu pemanfaatan sumberdaya perikanan dan kelautan belum memperhatikan kaidah-kaidah pelestarian lingkungan sehingga terjadi degradasi dan deplesi sumberdaya yang mengarah kepada menurunnya potensi sumberdaya perikanan dan kelautan nasional. Seiring dengan berlakunya UU No 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah yang menekankan pada desentralisasi pemerintahan maka kewenangan pengelolaan sumberdaya alam di perairan laut bergeser dari pemerintah pusat ke pemerintah daerah, khususnya sumberdaya ikan. Sesuai dengan kewenangan di sektor perikanan yang diserahkan pada daerah, maka perlu ditindaklanjuti dengan pembentukan aturan-aturan baik yang berkaitan dengan pengelolaan-pengelolaan maupun institusinya. Pengaturan dan penataan kelembagaan dimaksudkan agar pengelolaan sumberdaya perikanan guna meningkatkan nilai ekonomi dan keberlanjutan pengelolaan sumberdaya perikanan. Sehingga dapat dihindari terjadinya kesalahan kebijaksanaan dan kegagalan institusi dalam pengelolaan sumberdaya perikanan. 3

20 Dua komponen utama dalam bidang pengelolaan sektor perikanan adalah sumberdaya perikanan sebagai objek yang dimanfaatkan secara optimal dan berkelanjutan, serta sumberdaya manusia sebagai pengelola dengan dua pihak penting didalamnya yaitu pihak pengelola yang memiliki kewenangan dalam pengelolaan sektor perikanan dan pihak pengguna sektor perikanan yang memanfaatkan secara langsung sumberdaya perikanan. Pengelolaan sumberdaya perikanan tidak dapat dipisahkan dari kelembagaan yang mendukungnya dan sebaliknya kelembagaan tersebut juga tidak terlepas dari para pelaku (stakeholders) perikanan, sehingga dibutuhkan suatu sistem pengelolaan sumberdaya perikanan yang terintegrasi. Kelembagaan merupakan faktor penting yang menggerakkan kinerja dari pengelolaan sumberdaya perikanan. Kelembagaan menghasilkan peraturan atau kebijakan yang merupakan aturan main (rule of game) dalam pengelolaan sumberdaya. Masing-masing pihak memiliki peran dan kegiatan yang berbeda-beda dalam mengelola sumberdaya perikanan. Peran dan adanya kegiatan yang dilakukan oleh pihak-pihak tersebut mencerminkan kepentingan yang dimiliki oleh masingmasing pihak, baik itu untuk tujuan pengembangan sumberdaya perikanan maupun untuk tujuan lain. Masing-masing pihak juga mempunyai pengaruh positif maupun negatif terhadap pengelolaan sumberdaya perikanan seperti yang terjadi di Kecamatan Labuan. Oleh karena itu, perlu diketahui mekanisme hubungan para pihak dalam pengelolaan sumberdaya perikanan di Kecamatan Labuan. Dalam pelaksanaan pengelolaan sumberdaya perikanan tersebut diperlukan pelibatan pemerintah daerah dan komunitas nelayan setempat dengan 4

21 menerapkan pola pengelolaan yang sesuai dengan prinsip-prinsip perikanan berkelanjutan. Perlu dikelola secara arif dan bijaksana agar dapat menjadi sumber kesejahteraan bagi masyarakat, dan apabila tidak dikelola dengan baik akan sangat potensial menjadi sumber konflik bahkan menjadi sumber bencana yang dapat mengancam kehidupan masyarakat. Ketidakjelasan pengelolaan sumberdaya dan terbatasnya regulasi yang mengatur kegiatan penangkapan ikan diduga meningkatkan potensi konflik diantara pengguna sumberdaya, seperti antara nelayan lokal dengan nelayan pendatang maupun antara kelompok nelayan dengan pemerintah daerahnya. Disamping itu, konflik juga tidak terlepas dari adanya penyimpangan dan pelanggaran terhadap hukum perikanan serta belum terdefinisinya pengetahuan lokal masyarakat nelayan. Nelayan mengeksploitasi sumberdaya untuk memenuhi kebutuhan hidup khususnya sumberdaya perikanan laut tanpa memperhatikan keberlanjutannya (sustainability), dan hal ini akan mengakibatkan terjadinya kelebihan tangkap (overfishing), serta rusaknya ekosistem laut akibat pemakaian bahan peledak. Kenyataan seperti ini telah terjadi di wilayah Kecamatan Labuan. Tekanan dan pengrusakan terhadap sumberdaya yang terjadi di wilayah Kecamatan Labuan diperparah dengan kurang berfungsinya institusi (lembaga) yang mengatur dan mengawasi pemanfaatan sumberdaya di wilayah ini. Para pelaku destruktif dalam pemanfaatan sumberdaya tidak selalu mendapat sanksi dari kegiatan yang dilakukannya, dengan demikian aktivitas pengrusakan terus saja berlangsung. Pengaturan pengelolaan sumberdaya perikanan perlu dilakukan karena tuntutan kebutuhan untuk mengembangkan pembangunan sektor perikanan dan 5

22 kelautan yang berdimensi jangka panjang, dimana kepentingan-kepentingan ekonomi dan kelestarian lingkungan dapat dipadukan. Pengaturan pengelolaan sumberdaya perikanan dan kelautan merupakan langkah konstruktif untuk memulihkan kondisi sumberdaya perikanan. Bentuk pengelolaan sumberdaya perikanan dipengaruhi oleh rezim pengelolaan sumberdaya yang terdiri dari empat tipe, yaitu rezim milik negara, rezim milik swasta, rezim tanpa milik atau akses terbuka dan rezim milik bersama. Labuan merupakan salah satu kecamatan di Kabupaten Pandeglang yang dikenal dengan kegiatan perikanannya. Labuan sebagai sentra bagi kegiatan perikanan laut di pesisir barat Provinsi Banten. Banten memiliki potensi perikanan yang besar, karena Banten memiliki luas perairan laut sekitar km 2, dengan panjang garis pantai sekitar 517,42 km. Produksi perikanan Banten pada tahun 2010 yang berasal dari usaha penangkapan tercatat sebesar ton (Mulyana, 2011). Potensi produksi kandungan hayati ikan laut di Kabupaten Pandeglang, berdasarkan MSY (Maximum Sustainable Yield)/batas maksimum penangkapan ikan laut adalah ,7 ton/tahun dan baru dimanfaatkan sebanyak ,6 ton/tahun (28,4%). Potensi sumberdaya perikanan laut masih sangat terbuka untuk dilakukannya intensifikasi dan ekstensifikasi (pengembangan) produksi, mengingat Kabupaten Pandeglang memiliki panjang pantai 307 km yang membentang sepanjang pesisir Barat dan Selatan Kabupaten Pandeglang (BKPM Banten, 2010) Pengelolaan sumberdaya perikanan di Kecamatan Labuan tidak terlepas dari komponen aturan/kebijakan yang ditetapkan oleh pemerintah atau yang 6

23 tercipta dalam masyarakat itu sendiri. Selain itu, ada interaksi dan koordinasi antar pihak-pihak yang terlibat dalam pengelolaan. Keadaan ini menggambarkan adanya suatu kelembagaan dalam pengelolaan sumberdaya tersebut. Maraknya konflik-konflik antar nelayan, penggunaan alat tangkap yang merusak atau ilegal oleh beberapa masyarakat nelayan yang menyebabkan rusaknya sumberdaya perikanan dan kelautan dan belum terakomodasinya aspirasi masyarakat terhadap pengelolaaan sumberdaya perikanan merupakan permasalahan-permasalahan yang terjadi di lokasi penelitian. Permasalahan yang dihadapi akhir-akhir ini adalah munculnya indikasi degradasi laut yang diakibatkan oleh penggunaan bahan-bahan beracun seperti potasium dan bom serta tekanan terhadap sumberdaya karena padatnya penduduk. Kondisi ini dapat menjadi ancaman bagi kelestarian sumberdaya perikanan dan kelangsungan hidup masyarakat di Kecamatan Labuan. Pemanfaatan potensi sumberdaya perikanan di Kecamatan Labuan harus dilakukan secara terkontrol, sehingga kelestarian sumberdaya perikanan di perairan tersebut senantiasa dapat dipertahankan agar produktivitas optimum terus terjaga. Berdasarkan uraian di atas maka pengelolaan sumberdaya perikanan di Kecamatan Labuan perlu dilakukan dengan sistem kelembagaan yang kuat dengan melibatkan pemerintah, masyarakat dan stakeholder lainnya baik dalam setiap proses perencanaan, pelaksanaan, pemanfaatan dan pengawasan. Hal ini dimaksudkan agar pengelolaan sumberdaya perikanan dapat berjalan secara berkelanjutan dan bertanggung jawab. 7

24 1.2 Perumusan Masalah Dalam masyarakat Kecamatan Labuan yang memiliki kondisi perairan yang padat tangkap, pengurasan dan eksploitasi sumberdaya ikan cenderung sulit dikendalikan. Keadaan ini bisa berkembang menuju kondisi padat atau tangkap lebih. Selain itu, sering ditemui adanya konflik pemanfaatan sumberdaya ikan antar nelayan dalam hal wilayah penangkapan ikan serta penangkapan ikan dengan menggunakan bom dan potasium. Oleh karena itu, dibutuhkan pengelolaan perikanan yang tepat. Salah satunya adalah perlu adanya sistem kelembagaan yang kuat. Permasalahan yang akan dibahas dalam penelitian ini adalah: 1. Siapa saja stakeholders yang terlibat dalam pengelolaan sumberdaya perikanan di Kecamatan Labuan? 2. Apa saja aturan yang terkait dalam pengelolaan sumberdaya perikanan di Kecamatan Labuan? 3. Berapakah biaya transaksi pengelolaan sumberdaya perikanan di Kecamatan Labuan? 1.3 Tujuan Penelitian Berdasarkan perumusan masalah di atas, maka penelitian ini bertujuan untuk : 1. Menganalisis stakeholders yang terlibat dalam pengelolaan sumberdaya perikanan di Kecamatan Labuan. 2. Mengidentifikasi aturan yang terkait dalam pengelolaan sumberdaya perikanan di Kecamatan Labuan. 8

25 3. Menganalisis biaya transaksi dalam pengelolaan sumberdaya perikanan di Kecamatan Labuan. 1.4 Manfaat Penelitian Adapun manfaat dari penelitian ini adalah : 1. Menjadi sarana bagi penulis unuk mengaplikasikan dan mensinergikan ilmu- ilmu yang telah diperoleh di Departemen Ekonomi Sumberdaya dan Lingkungan 2. Menjadi bahan masukan bagi Pemerintah dalam mengelola sumberdaya perikanan. 3. Menjadi bahan masukan bagi masyarakat nelayan sehingga dapat meningkatkan partisipasi dalam pengelolaan sumberdaya perikanan. 4. Menjadi sumber referensi dan informasi untuk penelitian berikutnya. 1.5 Batasan Operasional 1. Sumberdaya perikanan adalah semua kekayaan/ potensi yang ada di laut meliputi ikan dan biota perikanan. 2. Pengelolaan sumberdaya perikanan adalah semua upaya yang bertujuan agar sumberdaya ikan dapat dimanfaatkan secara optimal dan berlangsung secara terus-menerus. 3. Pemanfaatan sumberdaya perikanan adalah usaha yang ditujukan untuk mengambil, menangkap, ataupun menggunakan sumberdaya ikan secara optimal yang dilakukan secara kontinyu. 4. Kelembagaan adalah lembaga-lembaga formal maupun informal yang berperan dalam pengelolaan sumberdaya perikanan serta aturan-aturan pusat dan kearifan lokal yang berlaku. 9

26 5. Kelembagaan formal adalah kelembagaan tertulis yang berpengaruh dalam pemanfaatan dan pengelolaan sumberdaya perikanan. 6. Kelembagaan informal adalah kelembagaan tidak tertulis atau kearifan lokal yang meliputi pengalaman, nilai-nilai tradisional, agama dan seluruh faktor yang berpengaruh dalam pemanfaatan dan pengelolaan sumberdaya perikanan. 7. Biaya transaksi adalah biaya-biaya yang digunakan untuk biaya informasi, biaya pengambilan keputusan dan biaya operasional bersama yang dipergunakan untuk pengelolaan sumberdaya perikanan. 10

27 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Sumberdaya Perikanan Secara umum sumberdaya alam dapat diklasifikasikan ke dalam dua kelompok, yaitu sumberdaya yang tidak dapat diperbaharui (non-renewable) yang terhabiskan (ekhaustable) dan yang dapat diperbaharui (renewable). Sumberdaya yang termasuk dalam kelompok sumberdaya yang tidak dapat diperbaharui seperti sumberdaya mineral, logam, minyak dan gas bumi. Sedangkan jenis sumberdaya yang termasuk ke dalam kelompok yang dapat diperbaharui adalah ikan (Fauzi, 2006). Sumberdaya perikanan sering dikemukakan sebagai wadah bersama (common pool resources) yaitu sumberdaya yang berada pada suatu wadah atau ekosistem dimana penangkapan ikan dilakukan secara bersama-sama. Sebagai suatu wadah bersama, sumberdaya perikanan memiliki sifat-sifat interkoneksitas, indivisibilitas dan substraktibilitas. Sifat interkoneksitas artinya bahwa sumberdaya perikanan memiliki saling keterkaitan antara suatu komponen, seperti antara jenis ikan serta antara ikan dengan lingkungannya. Sifat indivisibilitas artinya bahwa sumberdaya perikanan tidak mudah dibagi-dibagi menjadi bagian atau milik wilayah perairan tertentu. Sifat ini muncul karena ikan melakukan migrasi antar wilayah dan tidak bisa dibatasi pergerakannya dalam suatu ekosistem alam. Sifat substraktibilitas artinya bahwa sumberdaya ikan bila diambil oleh orang tertentu pada waktu tertentu akan mempengaruhi keberadaan dan ketersediaan ikan bagi orang lain di waktu yang lain. (Nikijuluw, 2005). 11

28 2.2 Pengelolaan Sumberdaya Perikanan Pengelolaan perikanan di wilayah perairan Indonesia tidak terlepas dari peraturan-peraturan yang berlaku baik berbentuk undang-undang maupun peraturan pemerintah dan keputusan menteri, dan juga peraturan-peraturan yang bersifat internasional. UU Nomor 45 Tahun 2009 Tentang Perikanan Pasal 1 menyatakan bahwa pengelolaan perikanan adalah semua upaya termasuk proses yang terintegrasi dalam pengumpulan informasi, analisis, perencanaan, konsultasi, pembuatan keputusan, alokasi sumber daya ikan, dan implementasi serta penegakan hukum dari perundang-undangan di bidang perikanan, yang dilakukan oleh pemerintah atau otoritas lain yang diarahkan untuk mencapai kelangsungan produktivitas sumber daya hayati perairan dan tujuan yang telah disepakati. Pada Pasal 2 dinyatakan bahwa pengelolaan perikanan dilakukan berdasarkan asas manfaat, keadilan, kemitraan, pemerataan, keterpaduan, keterbukaan, efisiensi dan kelestarian yang berkelanjutan. Tujuan pengelolaan perikanan tercantum pada Pasal 3, yaitu (1) meningkatkan taraf hidup nelayan kecil dan pembudidaya ikan kecil, (2) meningkatkan penerimaan dan devisa negara, (3) mendorong perluasan dan kesempatan kerja, (4) meningkatkan ketersediaan dan konsumsi sumber protein ikan, (5) mengoptimalkan pengelolaan sumber daya ikan, (6) meningkatkan produktivitas, mutu, nilai tambah dan daya saing, (7) meningkatkan ketersediaan bahan baku untuk industri pengolahan ikan, (8) mencapai pemanfaatan sumber daya ikan, lahan pembudidayaan ikan, dan lingkungan sumber daya ikan secara optimal, serta (9) menjamin kelestarian sumber daya ikan, lahan pembudidayaan ikan dan tata ruang. 12

29 Pengelolaan sumberdaya perikanan dapat dibagi dalam dua kelompok besar yaitu (1) res communes atau properti bersama, atau ada yang memiliki, dan (2) res nullius atau tanpa pemilik. Rezim sumberdaya yang dimiliki bersama (res communes) dapat dibagi menjadi : (1) dimiliki oleh semua orang sehingga pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya tersebut terbuka bagi setiap orang, (2) dimiliki oleh atau property masyarakat tertentu yang jelas batas-batasnya dan karena itu sumberdaya hanya terbuka bagi masyarakat itu dan tertutup bagi masyarakat lain, (3) properti pemerintah yang berarti bahwa hak-hak pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya tersebut ada di tangan pemerintah yang dapat saja dialihkan kepada masyarakat, dan (4) properti swasta dimana swasta selaku perusahaan atau individu memiliki hak pemanfaatan dan pengelolaan. Rezim sumberdaya perikanan tanpa pemilik (res nullius) artinya bahwa sumberdaya tidak dimiliki oleh siapapun. Rezim ini bisa berupa de-facto atau de-jure tanpa pemilik. De-facto tanpa pemilik artinya rezim tersebut secara de-jure memang dimiliki namun aturan-aturan yang mendasarinya tidak efektif sehingga akhirnya sumberdaya tersebut dalam kenyataannya seperti tanpa pemilik. De-jure artinya kondisi dimana ada sistem yang mendeklarasikan bahwa sumberdaya tersebut memng tidak dimiliki oleh siapapun (Nikijuluw, 2005). Pengelolaan sumberdaya perikanan memerlukan rencana yang baik yang harus disetujui dan didukung oleh segenap dari mereka yang terlibat dan yang berkepentingan, yakni para stakeholders (pemangku kepentingan). Dengan melibatkan seluruh stakeholders maka kewajiban dan tanggung jawab mereka terhadap pemanfaatan dan pengelolaan jangka panjang atas sumberdaya ikan dan ekosistemnya dapat ditingkatkan (Widodo, 2006). 13

30 Dalam kasus perikanan, Ruddle (1999) diacu dalam Satria (2009) mengidentifikasi unsur-unsur tata pengelolaan sebagai berikut: a) Batas wilayah: ada kejelasan batas wilayah yang kriterianya adalah mengandung sumberdaya yang bernilai bagi masyarakat. b) Aturan: berisi hal-hal yang diperbolehkan dan yang dilarang. Dalam dunia perikanan, aturan tersebut biasanya mencakup kapan, dimana, bagaimana, dan siapa yang boleh menangkap. c) Hak: pengertian hak bisa mengacu kepada seperangkat hak kepemilikan. d) Pemegang Otoritas: merupakan organisasi atau lembaga yang dibentuk masyarakat yang bersifat formal maupun informal untuk kepentingan mekanisme pengambilan keputusan. Ada pengurus dan susunan disesuaikan dengan kondisi. e) Sanksi: untuk menegakkan aturan diperlukan sanksi sehingga berlakunya sanksi merupakan indikator berjalan tidaknya suatu aturan. Ada beberapa tipe sanksi: sanksi sosial (seperti dipermalukan atau dikucilkan masyarakat), sanksi ekonomi (denda, penyitaan barang), sanksi moral (melalui mekanisme pengadilan formal) dan sanksi fisik (pemukulan) f) Pemantauan dan evaluasi oleh masyarakat secara sukarela dan bergilir yang bertujuan untuk meningkatkan efektivitas dan efisiensi pengelolaan. 2.3 Ko-manajemen Perikanan Salah satu permasalahan yang cukup penting dalam pengelolaan sumberdaya alam khususnya sumberdaya laut termasuk sumberdaya perikanan adalah keterbatasan hak atas sumberdaya (property right). Hal ini tidak terlepas dari karakter sumberdaya ikan yang bersifat common properties dan open access. 14

31 Karakter sumberdaya yang seperti ini juga diperburuk oleh adanya ketidakpastian (uncertenties) yang tinggi baik sumberdaya ikan, lingkungan, pasar, maupun kebijakan pemerintah, yang kemudian mendorong sumberdaya laut ke dalam berbagai bentuk kompetisi yang tidak sehat dan konflik. Sehingga untuk konflik dalam pemanfaatan sumberdaya diperlukan kerjasama semua pihak, baik pemerintah maupun kelompok pengguna sumberdaya. Dimana setiap pengguna diberi tugas dan tanggung jawab yang sama. Salah satu pendekatan pengelolaan yang memberikan ruang bagi adanya pembagian tugas dan tanggung jawab antara pemerintah dan pemangku kepentingan lainnya disebut ko-manajemen. Pengelolaan ini juga dapat didefinisikan sebagai pendesentralisasian pembuat keputusan yang melibatkan kelompok pengguna (pemangku kepentingan) dan pemerintah. Kelompok pengguna dalam hal ini meliputi nelayan, pengolah, pedagang ikan, perantara (middleman), industri alat tangkap, pemasok alat tangkap, konsumen, peneliti, pegawai pemerintah, penegak hukum, pemerhati lingkungan dan konservasi, LSM, dll (Widodo, 2006). Pola Pengelolaan sumberdaya perikanan dengan pendekatan ko-manajemen dapat dilihat pada Gambar 1 berikut ini. Pengelolaan oleh Masyarakat Pengelolaan oleh Pemerintah Dikelola sendiri oleh masyarakat Informatif Advisori Kooperatif Konsultatif Instruktif Ko-manajemen Pengelolaan secara sentralistik oleh pemerintah Gambar 1. Pengelolaan Sumberdaya Perikanan dengan Pendekatan Komanajemen (Widodo, 2006) 15

32 Pembagian distribusi tanggung jawab antara pemerintah dan pelaku perikanan sangat bervariasi mulai dari tipe informatif hingga tipe instruktif. Tipetipe dalam ko-manajemen yaitu: informatif, pemerintah mendelegasikan pengambilan keputusan kepada pelaku perikanan kemudian diinformasikan kepda pemerintah), (2) advisori, dalam kerangka ini pelaku perikanan memberikan input bagi pengambilan keputusan tentang perikanan kemudian pemerintah menetapkan keputusan tersebut, (3) kooperatif, dalam level ini pemerintah dan pelaku perikanan bekerja sama dalam pengambilan keputusan sebagai partner yang memiliki posisi tawar yang sama (equal partner), (4) konsultatif, terdapat mekanisme dialog antar pemerintah dan pelaku perikanan tetapi pengambilan keputusan masih dilakukan pemerintah, dan (5) instruktif, tipe ini terjadi ketika terdapat komunikasi dan tukar informasi yang minimal antara pemerintah dan pelaku perikanan. Menurut Pomeroy dan Berkes (1997) terdapat sepuluh tingkatan bentuk co-management yang dapat disusun dari bentuk yang paling sedikit partisipasi masayarakat hingga yang paling tinggi partisipasi masyarakat. Bila suatu tanggung jawab dan wewenang masyarakat rendah pada suatu bentuk comanagement maka tanggung jawab pemerintah akan tinggi. Sebaliknya bila tanggung jawab dan wewenang masyarakat tinggi, maka tanggung jawab dan wewenang pemerintah rendah. Kesepuluh bentuk co-management tersebut adalah: (1) Masyarakat hanya memberikan informasi kepada pemerintah dan informasi tersebut digunakan sebagai bahan rumusan kebijakan; (2) Masyarakat dikonsultasikan oleh pemerintah; (3) Masyarakat dan pemerintah saling bekerjasama; (4) Masyarakat dan pemerintah saling berkomunikasi; (5) 16

33 Masyarakat dan pemerintah saling bertukar informasi; (6) Masyarakat dan pemerintah saling memberi nasehat dan saran; (7) Masyarakat dan pemerintah melakukan kegiatan atau aksi bersama; (8) Masyarakat dan pemerintah bermitra; (9) Masyarakat melakukan pengawasan terhadap peraturan yang dibuat oleh pemerintah; (10) Masyarakat berperan dalam melakukan koordinasi antar lokasi atau antar daerah dan hal tersebut didukung oleh pemerintah. 2.4 Kelembagaan Kelembagaan adalah suatu gugus aturan (rule of conduct) formal (hukum, kontrak, sistem politik, organisasi, pasar, dan lain sebagainya) serta informal (norma, tradisi, sistem nilai, agama, tren sosial, dan lain sebagainya) yang memfasilitasi koordinasi dan hubungan antara individu ataupun kelompok (Kherallah dan Kirsten, 2001 diacu dalam Fauzi, 2005). Kelembagaan dapat diartikan sebagai organisasi atau sebagai aturan main. Kelembagaan sebagai organisasi menunjuk pada lembaga-lembaga formal seperti Dinas Kelautan dan Perikanan, Pemerintah Daerah, Kelompok nelayan, Koperasi Unit Desa dan sejenisnya. Kelembagaan sebagai aturan main dapat diartikan sebagai himpunan aturan mengenai tata hubungan diantara orang-orang, dimana ditentukan hak-hak mereka, perlindungan atas hak-haknya, hak-hak istimewa dan tanggung jawabnya (Schmid, 1987 diacu dalam Sukmadinata, 1995). Dalam konsep pengelolaan sumberdaya perikanan, kelembagaan merupakan faktor penting yang menggerakkan kinerja dari pengelolaan. Kelembagaan sebagai aturan main (rule of the game) yang terlibat dalam pengelolaan. Kelembagaan memberikan ketentuan terhadap anggotanya mengenai hak-haknya, kewajiban dan tanggungjawabnya. Kelembagaan memberikan suatu 17

34 kondisi, setiap anggota menerima apa yang telah menjadi ketentuan, merasa aman dan hidup sewajarnya (Nurani, 2008). Pejovich (1999) dalam Suhana (2008) menyatakan bahwa kelembagaan memiliki tiga komponen, yakni: 1. Aturan formal (formal institutions), meliputi konstitusi, statuta, hukum dan seluruh regulasi pemerintah lainnya. Aturan formal membentuk sistem politik (struktur pemerintahan, hak-hak individu), sistem ekonomi (hak kepemilikan dalam kondisi kelangkaan sumberdaya, kontrak), dan sistem keamanan (peradilan, polisi) 2. Aturan informal (informal institutions), meliputi pengalaman, nilai-nilai tradisional, agama dan seluruh faktor yang mempengaruhi bentuk persepsi subjektif individu tentang dunia tempat hidup mereka; dan 3. Mekanisme penegakan (enforcement mechanism), semua kelembagaan tersebut tidak akan efektif apabila tidak diiringi dengan mekanisme penegakan. Dari sekian banyak pembatasan kelembagaan, minimal ada tiga lapisan kelembagaan yaitu sebagai norma-norma dan konvensi, kelembagaan sebagai aturan main, dan kelembagaan sebagai hubungan kepemilikan (Deliarnov, 2006) diacu dalam (Suhana, 2008). 1. Kelembagaan sebagai Norma-norma dan Konvensi Kelembagaan sebagi norma-norma dan konvensi ini lebih diartikan sebagai aransemen berdasarkan konsesus atau pola tingkah laku dan norma yang disepakati bersama. Norma dan konvensi umumnya bersifat informal, ditegakkan oleh keluarga, masyarakat, adat, dan sebagainya. Hampir semua aktivitas manusia 18

35 memerlukan konvensi-konvensi pengaturan yang memfasilitasi proses-proses sosial, dan begitu juga dalam setiap setting masyarakat diperlukan seperangkat norma-norma tingkah laku untuk membatasi tindakan-tindakan yang diperbolehkan. Jika aturan diikuti, proses- proses sosial bisa berjalan baik. Namun, jika dilanggar maka yang akan timbul hanya kekacauan dalam masyarakat. 2. Kelembagaan sebagai Aturan Main Bogason (2000) dalam Suhana (2008) mengemukakan beberapa ciri umum kelembagaan, antara lain adanya sebuah struktur yang didasarkan pada interaksi diantara para aktor, adanya pemahaman bersama tentang nilai-nilai dan adanya tekanan untuk berperilaku sesuai dengan yang telah disepakati. Lebih lanjut, Bogason (2000) menyatakan ada tiga level aturan, yaitu level aksi, level aksi kolektif, dan level konstitusi. Pada level aksi, aturan secara langsung mempengaruhi aksi nyata. Dalam hal ini biasanya ada standar atau rules of conduct. Pada level aksi kolektif, kita mendefinisikan aturan untuk aksi-aksi pada masa yang akan datang. Aktivitas penetapan aturan seperti ini sering juga disebut kebijakan. Terakhir, pada level konstitusi kita mendefinisikan prinsip-prinsip bagi pengambilan keputusan kolektif masa yang akan datang, seperti prinsip-prinsip demokrasi. Aturan-aturan pada level konstitusi ini biasanya ditulis secara formal. 3. Kelembagaan sebagai Pengaturan Hubungan Kepemilikan Sebagai pengaturan hubungan kepemilikan, kelembagaan dianggap sebagai aransemen sosial yang mengatur: (1) individu atau kelompok pemilik, (2) objek nilai bagi pemilik dan orang lain, serta (3) orang dan pihak lain yang terlibat dalam suatu kepemilikan. 19

36 2.5 Biaya transaksi Abdullah et al. (1998) mengelompokkan biaya transaksi dalam komanajemen perikanan menjadi tiga kategori, yaitu: (1) biaya informasi, (2) biaya pengambilan keputusan bersama, dan (3) biaya operasional. Kategori pertama dan kedua merupakan biaya transaksi sebelum kegiatan kontrak (ex ante transaction cost), sedangkan kategori ketiga merupakan biaya transaksi sesudah kegiatan (ex post transaction cost). Abdullah et al. (1998) menyatakan bahwa masing-masing kategori memiliki beberapa turunan aktivitas yang memungkinkan terdapatnya biaya transaksi. Pertama, biaya informasi mencakup beberapa aktivitas, yaitu (a) upaya untuk mencari dan memperoleh pengetahuan tentang sumberdaya, (b) memperoleh dan menggunakan informasi, dan (c) biaya penyusunan strategi dan free riding. Kedua, biaya pengambilan keputusan bersama mencakup beberapa aktivitas, yaitu (a) menghadapi permasalahan di bidang perikanan, (b) keikutsertaan dalam pertemuan atau rapat, (c) membuat kebijakan atau aturan, (d) menyampaikan hasil keputusan, dan (e) melakukan koordinasi dengan pihak yang berwenang di tingkat lokal dan pusat. Ketiga, biaya operasional bersama dalam ko-manajemen perikanan dijabarkan lagi menjadi tiga kelompok biaya, dimana masing-masing kelompok mencakup beberapa kegiatan. Ketiga kelompok biaya tersebut adalah : (1) Biaya pemantauan, penegakan dan pengendalian terdiri dari pemantauan aturan-aturan perikanan, pengelolaan laporan hasil tangkapan, pemantauan lokasi penangkapan, pemantauan input untuk kegiatan penangkapan, manajemen atau resolusi konflik, serta pemberian sanksi terhadap setiap pelanggaran. (2) Biaya mempertahankan kondisi sumberdaya terdiri dari 20

37 perlindungan terhadap hak-hak penangkapan, peningkatan stok sumberdaya, dan evaluasi terhadap kondisi sumberdaya. (3) Biaya distribusi sumberdaya terdiri dari distribusi hak penangkapan, dan biaya kelembagaan atau keikutsertaan. Menurut North dan Thomas (1973) diacu dalam Anggraini (2005), biaya transaksi meliputi : 1. Biaya pencarian (search cost) yaitu biaya untuk mendapatkan informasi tentang keuntungan atau kerugian suatu transaksi (cost of allocating information about opportunity of the exchange). 2. Biaya negosiasi (negotiation cost) yaitu biaya merundingkan syarat-syarat suatu transaksi (cost of negotiating the terms of the exchange). 3. Biaya pelaksanaan (enforcement cost) yaitu biaya untuk melaksanakan suatu kontrak (cost of enforcing the contract). 21

38 III. KERANGKA PEMIKIRAN Kondisi sumberdaya perikanan di Kecamatan Labuan sudah mengalami penurunan. Banyak hal yang diduga menjadi penyebab terjadinya penurunan sumberdaya perikanan tersebut, termasuk sistem kelembagaan dalam pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya perikanan. Pengelolaan sumberdaya perikanan di Kecamatan Labuan melibatkan berbagai aktor (stakeholders), sehingga dalam penelitian dianalisis para stakeholders yang terlibat dalam pengelolaan sumberdaya perikanan. Para aktor yang terlibat sangat menentukan keberlanjutan pengelolaan sumberdaya perikanan di Kecamatan Labuan. Oleh sebab itu, akan dianalisis masing-masing aktor yang terlibat, besarnya pengaruh dan kepentingan dalam pengelolaan sumberdaya perikanan, hubungan masing-masing aktor dan perannya dalam pengelolaan sumberdaya perikanan. Selain itu, akan diteliti konflik yang terjadi dalam pengelolaan sumberdaya perikanan. Selain aktor, aturan/regulasi merupakan salah satu sistem kelembagaan yang penting dalam pengelolaan sumberdaya perikanan di Kecamatan Labuan. Oleh karena itu perlu diidentifikasi aturan-aturan apa saja yang terkait dengan pengelolaan sumberdaya perikanan. Aturan formal dan aturan informal akan menggambarkan aturan main (rule of game) pengelolaan sumberdaya perikanan di Kecamatan Labuan. Selain aktor-aktor yang terlibat dan aturan-aturan yang berlaku, akan dianalisis biaya transaksi dalam pengelolaan sumberdaya perikanan di Kecamatan Labuan. Secara skematis, kerangka pemikiran dapat dilihat pada Gambar 2. 22

39 Pengelolaan Sumberdaya Perikanan Aturan Main Stakeholder Analisis Peraturan Analisis Stakeholder Analisis Konflik Aturan main formal dan aturan main informal Identifikasi, pemetaan, pengaruh dan kepentingan, hubungan stakeholder Konflik antar aktor Kelembagaan dalam Pengelolaan Sumberdaya Perikanan Biaya Transaksi Analisis Biaya Transaksi Biaya informasi, biaya pengambilan keputusan dan biaya operasional bersama Gambar 2. Kerangka Pemikiran Operasional Penelitian 23

40 IV. METODE PENELITIAN 4.1 Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di kawasan Kecamatan Labuan, Kabupaten Pandeglang, Banten. Pemilihan lokasi tersebut dilakukan secara sengaja (purposive), karena Labuan merupakan sentra perikanan laut di pesisir barat Provinsi Banten. Pengambilan data dilakukan awal Juli sampai Agustus Jenis dan Sumber Data Data yang digunakan dalam penelitian ini merupakan data primer dan data sekunder. Data primer dikumpulkan melalui pengamatan langsung di lapangan dan kuisioner oleh responden. Data sekunder diperoleh melalui studi pustaka, dan instansi-instansi pemerintah yang terkait dengan penelitian. Data sekunder sebagai data pelengkap dan penunjang. Pada penelitian ini, matriks bentuk, jenis dan sumber data yang diambil dapat dilihat pada Tabel 2. Tabel 2. Matriks Bentuk, Jenis dan Sumber Data Kelompok Data Data yang Diperlukan Bentuk Data Jenis Data Sumber Data Data Primer Data Sekunder Keadaan Umum Lokasi Kondisi Geografis Data Sekunder Kondisi Sosial Ekonomi Keadaan Sumberdaya Perikanan Informasi mengenai kondisi geografis wilayah Informasi mengenai keadaan sosial ekonomi masyarakat, misalnya mata pencaharian, jumlah penduduk Informasi mengenai kondisi perikanan, produksi ikan,jumlah kapal, jenis kapal, jenis alat tangkap Data Sekunder Data Sekunder Pemerintah setempat, DKP Pandeglang, TPI Labuan Pemerintah Setempat Pemerintah setempat, DKP Pandeglang, TPI Labuan 24

41 Lanjutan Tabel 2. Kelompok Data Stakeholder Aturan Biaya Transaksi Data yang Diperlukan Stakeholder dalam pengelolaan sumberdaya perikanan Aturan formal dan informal Biaya transaksi pengelolaan sumberdaya perikanan Bentuk Data Jenis Data Sumber Data Data Primer Data Sekunder Identifikasi para Data Responden aktor, peran masingmasing Primer aktor, hubungan antar aktor, konflik antar aktor Aturan formal bisa berupa UU, peraturan menteri, peraturan daerah, keputusan bupati,dll Aturan informal bisa berupa kesepakatan yang terjadi dalam masyarakat Biaya informasi, biaya pengambilan keputusan dan biaya operasional bersama Data Primer Data Primer Data sekunder Data sekunder Responden, pemerintah setempat, DKP Pandeglang, TPI Labuan Nelayan, DKP Pandeglang 4.3 Pengumpulan Data Pengumpulan data dilakukan dengan cara berikut : 1) Observasi, yaitu teknik pengumpulan data melalui pengamatan langsung terhadap latar dan objek penelitian. Sasaran yang ingin dicapai dalam observasi adalah mendapatkan gambaran secara umum tentang pokok kajian sebelum melakukan penelusuran secara sistematis terhadap objek penelitian, yaitu melalui penelusuran secara bertahap kepada beberapa informan tentang berbagai macam pelapisan dan pengelompokan yang berada dalam objek penelitian. 2) Wawancara, yaitu teknik dalam penelitian yang dilakukan melalui wawancara yang dilakukan oleh peneliti kepada responden dengan menggunakan kuisioner. 3) Pencatatan, yaitu teknik pengumpulan data dengan cara mencatat data sekunder yang tersedia. Pada penelitian ini prosedur penelitian yang digunakan dapat dilihat pada Tabel 3. 25

42 Tabel 3. Matriks Prosedur Penelitian No Tujuan Jenis Data Metode Analisis Data 1 Menganalisis Stakeholders dalam pengelolaan sumberdaya perikanan di Kecamatan Labuan 2 Menganalisis aturan formal dan informal yang terkait dalam pengelolaan sumberdaya perikanan di Kecamatan Labuan 3 Menganalisis biaya transaksi dalam pengelolaan sumberdaya perikanan di Kecamatan Labuan Primer Primer dan sekunder Primer dan sekunder Analisis Stakeholder dan Analisis Konflik Analisis Peraturan Analisis Biaya Transaksi 4.4 Penentuan Responden Pengambilan sampel untuk para stakeholders yang memiliki kepentingan di Kecamatan Labuan diambil dengan menggunakan teknik purposive sampling dengan penggalian data menggunakan panduan kuisioner. Responden berasal dari berbagai kalangan mulai dari pemerintah, masyarakat dan pengusaha perikanan/swasta. Jumlah responden sebanyak 30 orang. 4.5 Pengolahan dan Analisis Data Dalam penelitian ini, data yang telah diperoleh dianalisis secara kualitatif dan kuantitatif. Pengolahan dan analisis data dilakukan secara manual dan menggunakan komputer dengan program Microsoft Office Excell serta disajikan dalam bentuk tabulasi dan diuraikan secara deskriptif Analisis Stakeholder Analisis stakeholder adalah analisis yang dilakukan untuk mengidentifikasi dan memetakan aktor (tingkat kepentingan dan pengaruhnya) 26

43 dalam pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya perikanan serta potensi kerjasama dan konflik antar aktor (Grimble dan Chan, 1995 diacu dalam Haswanto, 2006). Analisis stakeholder dapat dikatakan sebagai suatu sistem untuk mengumpulkan informasi mengenai kelompok atau individu yang terkait, mengkategorikan informasi, dan menjelaskan kemungkinan konflik antar kelompok, dan kondisi yang memungkinkan terjadinya trade-off. Langkahlangkah yang dilakukan dalam menganalisis stakeholder adalah: 1) Identifikasi stakeholders dan perannya 2) Membedakan dan mengkategorikan stakeholders berdasarkan kepentingan dan pengaruhnya. 3) Mendefinisikan hubungan antar stakeholders. Stakeholder dipetakan ke dalam matriks analisis stakeholder berdasarkan besarnya kepentingan dan pengaruh. Besarnya kepentingan dan pengaruh diberi nilai sesuai dengan panduan yang telah dibuat. Untuk menilai besarnya kepentingan digunakan panduan penilaian untuk mengetahui tingkat kepentingan seprti pada Tabel 4 sedangkan untuk mengetahui besarnya pengaruh digunakan panduan penilaian untuk mengetahui besarnya pengaruh seperti pada Tabel 5. Jumlah nilai yang didapatkan oleh masing-masing stakeholder adalah 25 poin untuk besarnya kepentingan dan 25 poin untuk besarnya pengaruh. 27

44 Tabel 4. Penilaian Tingkat Kepentingan No Variabel Indikator Skor 1 Keterlibatan Terlibat seluruh proses Terlibat 3 proses Terlibat 2 proses Terlibat 1 proses Tidak terlibat Manfaat Pengelolaan Mendapat 4 manfaat Mendapat 3 manfaat Mendapat 2 manfaat Mendapat 1 manfaat Tidak mendapatkan manfaat 3 Sumberdaya yang disediakan Menyediakan semua sumberdaya Menyediakan 3 sumberdaya Menyediakan 2 sumberdaya Menyediakan 1 sumberdaya Tidak menyediakan sumberdaya apapapun 4 Prioritas Pengelolaan Sangat menjadi prioritas Prioritas Cukup Kurang Tidak menjadi prioritas 5 Ketergantungan terhadap sumberdaya % bergantung % bergantung % bergantung % bergantung 20 % bergantung Tabel 5. Penilaian Tingkat pengaruh No Variabel Indikator Skor 1 Aturan/kebijakan pengelolaan Terlibat semua proses Terlibat dalam 3 proses Terlibat dalam 2 proses Terlibat dalam 1 proses Tidak terlibat Peran dan partisipasi Berkontribusi pada semua point Berkontribusi dalam 3 point Berkontribusi dalam 2 point Berkontribusi dalam 1 point Tidak berkontribusi 3 Kemampuan dalam berinteraksi Berinteraksi dalam semua point Berinteraksi dalam 3 point Berinteraksi dalam 2 point Berinteraksi dalam 1 point Tidak melakukan interaksi apapun 4 Kewenangan dalam pengelolaan Kewenangan dalam semua proses Kewenangan dalam 3 proses Kewenangan dalam 2 proses Kewenangan dalam 1 proses Tidak memiliki kewenangan 5 Kapasitas sumberdaya yang disediakan Semua sumberdaya 3 sumberdaya 2 sumberdaya 1 sumberdaya Tidak menyediakan sumberdaya apapun

45 Setelah diketahui besarnya nilai kepentingan dan pengaruh masing-masing stakeholder dipetakan ke dalam matriks kepentingan pengaruh (Gambar 3) TINGGI K E P E N T I N G A N Subject (Kuadran I) Bystanders (Kuadran III) Players (Kuadran II) Actors (Kuadran IV) TINGGI Gambar 3. Matriks Hasil Analisis Stakeholder Pengolahan data kualitatif hasil wawancara dikuantitatifkan dengan mengacu pada pengukuran data berjenjang lima, seperti yang ditunjukkan pada Tabel 6. Tabel 6. Ukuran Kuantitatif terhadap Identifikasi dan Pemetaan Stakeholder Skor Nilai Kriteria Keterangan Kepentingan Stakeholder Sangat Tinggi Sangat bergantung pada keberadaan sumberdaya Tinggi Ketergantungan tinggi pada keberadaan sumberdaya Cukup Cukup bergantung pada keberadaan sumberdaya Rendah Ketergantungan pada keberadaan sumberdaya Sangat Rendah Tidak bergantung pada keberadaan sumberdaya Pengaruh Stakeholder Sangat Tinggi Sangat mempengaruhi pengeloaan sumberdaya Tinggi Mempengaruhi pengelolaan sumberdaya Cukup Cukup mempengaruhi pengelolaan sumberdaya Rendah Kurang mempengaruhi pengelolaan sumberdaya Sangat Rendah Tidak mempengaruhi pengelolaan sumberdaya Sumber :Abbas (2005) PENGARUH 29

46 Kuadran I (Subject) menunjukkan kelompok yang memiliki kepentingan yang tinggi terhadap kegiatan tetapi rendah pengaruhnya, mencakup anggota organisasi yang melakukan kegiatan dan responsif terhadap pelaksanaan kegiatan tetapi bukan pengambil kebijakan Kuadran II (Players) merupakan kelompok aktor yang memiliki derajat pengaruh dan kepentingan yang tinggi untuk mensukseskan kegiatan seperti tokoh masyarakat, kepala instansi terkait, dan kepala pemerintahan. Kuadran III (Bystanders) mewakili kelompok aktor yang rendah pengaruh dan kepentingannya, Interest mereka dibutuhkan untuk memastikan dua hal yakni: (a) interest-nya tidak terpengaruh sebaliknya, dan (b) kepentingan dan pengaruhnya tidak mengubah keadaan. Kuadran IV (actor) merupakan aktor yang berpengaruh tetapi rendah kepentingannya dalam pencapaian tujuan dan hasil kebijakan Analisis Konflik Pengelolaan Sumberdaya Perikanan Untuk menganalisis berbagai konflik dalam pemanfaatan sumberdaya ikan di Kecamatan Labuan digunakan pendekatan yang dilakukan oleh Fisher et al. (2000) dalam Suhana (2008). Dalam metode analisis ini, sebelumnya dipahami dahulu mengapa konflik itu terjadi : (1) agar dipahami latar belakang dan sejarah suatu situasi dan kejadian-kejadian saat ini, (2) identifikasi kelompok yang terlibat, dan tidak hanya kelompok yang menonjol saja; (3) agar memahami pandangan semua kelompok dan lebih mendalami bagaimana hubungan mereka satu sama lain; (4) identifikasi faktor-faktor dan kecenderungan-kecenderungan yang mendasari konflik; dan (5) agar belajar dari kegagalan dan juga kesuksesan. 30

47 4.5.3 Analisis Peraturan Analisis ini dilakukan dengan mengidentifikasi dan mengkaji aturan formal maupun informal yang dikeluarkan oleh pemerintah baik pusat maupun daerah serta oleh masyarakat setempat dalam mengelola sumberdaya perikanan di Kecamatan Labuan Analisis Biaya Transaksi Abdullah et al. (1998) mengelompokkan biaya transaksi dalam komanajemen perikanan menjadi tiga kategori, yaitu : (1) biaya informasi, (2) biaya pengambilan keputusan, dan (3) biaya operasional bersama. Biaya transaksi dalam penelitian ini merupakan nilai uang tunai yang akan dikeluarkan terhadap pihak lain karena adanya aturan main (rules of game) yang terjadi, baik secara formal maupun informal. Persamaan yang digunakan untuk biaya transaksi adalah : Dimana : TrC = Total biaya transaksi (Rp/tahun) Z i = Komponen Biaya Transaksi 31

48 V. GAMBARAN UMUM WILAYAH 5.1 Kondisi Umum Kecamatan Labuan Kondisi Geografis Kecamatan Labuan terletak di Kabupaten Pandeglang, Provinsi Banten. Daerah ini memiliki luas 15,65 Km 2. Kecamatan Labuan terdiri dari 9 desa, 71 rukun warga (RW) dan 216 rukun tetangga (RT). Luas wilayah Desa di Kecamatan Labuan disajikan pada Tabel 7. Tabel 7. Luas Wilayah Desa di Kecamatan Labuan No Desa/Kelurahan Luas (Km 2 ) Persentase Terhadap Luas Kecamatan(%) 1 Cigondang 0,98 6,26 2 Sukamaju 1,84 11,76 3 Rancateureup 1,80 11,50 4 Kalanganyar 0,99 6,33 5 Labuan 0,97 6,20 6 Teluk 0,97 6,20 7 Banyumekar 2,35 15,02 8 Banyubiru 2,55 16,09 9 Caringin 3,20 20,45 Jumlah 15, Sumber : BPS Kabupaten Pandeglang, 2009 Wilayah Kecamatan Labuan secara geografis terletak antara Lintang Selatan dan Bujur Timur. Kecamatan Labuan berjarak 41,1 km dari Kabupaten Pandeglang dengan batas-batas wilayah sebagai berikut : (1) Sebelah utara berbatasan dengan Kecamatan Carita; (2) Sebelah selatan berbatasan dengan Kecamatan Pagelaran; (3) Sebelah barat berbatasan dengan Selat Sunda; (4) Sebelah timur berbatasan dengan Kecamatan Cikedal. Bentuk topografi wilayah Kecamatan Labuan pada umumnya merupakan dataran seperti Desa Rancateureup, Kalanganyar, Labuan, Banyumekar, Banyubiru serta pesisir pantai seperti Desa Cigondang, Sukamaju, Teluk dan Caringin dengan ketinggian rata-rata dibawah 50 m dari permukaan laut (dpl). 32

49 Kondisi iklim di Kecamatan Labuan diklasifisikan ke dalam iklim type A yaitu 0,3 % - 14,3 % dan type B yaitu 14,3 % - 33,3 %. Curah hujan rata-rata tahunan adalah sebesar mm, sedangkan hari hujan rata-rata tahunan sebesar 101 hari. Musim hujan pada umumnya jatuh pada bulan Januari, Februari, Maret, November dan Desember dengan curah hujan rata-rata 374 mm/bulan. Musim kemarau jatuh pada bulan April, Mei, Juni, Juli, Agustus, September dan Oktober dengan curah hujan rata-rata 209 mm/bulan Keadaan Sosial Ekonomi Jumlah penduduk Kecamatan Labuan berdasarkan data statistik pada tahun 2009 tercatat sebanyak jiwa, dengan jumlah penduduk laki-laki sebanyak jiwa dan perempuan sebanyak jiwa. Jumlah penduduk disajikan pada Tabel 8. Tabel 8. Jumlah Penduduk Menurut Jenis Kelamin di Kecamatan Labuan Tahun 2009 No Desa/ Kelurahan Jumlah Penduduk Laki-laki Perempuan Jumlah 1 Cigondang Sukamaju Rancateureup Kalanganyar Labuan Teluk Banyumekar Banyubiru Caringin Jumlah Sumber: Data Monografi Desa/Kelurahan Kecamatan Labuan, 2009 Tingkat pendidikan masyarakat di Kecamatan Labuan masih rendah. Hal ini terlihat dari jumlah penduduk yang tamat SD memiliki persentase yang paling besar yaitu 25,90 % dan persentase terkecil pada tingkat perguruan tinggi yaitu 33

50 sebesar 2,34 %. Komposisi penduduk Kecamatan Labuan berdasarkan pendidikan disajikan pada Tabel 9. Tabel 9. Komposisi Penduduk Kecamatan Labuan Berdasarkan Tingkat Pendidikan No Tingkat Pendidikan Jumlah ( orang ) Persentase ( % ) 1 Belum Sekolah ,50 2 Tidak Sekolah ,52 3 Tidak Tamat sekolah ,93 4 Tamat SD ,90 5 Tamat SLTP ,15 6 Tamat SLTA ,60 7 Tamat Akademi (D1-D3) ,08 8 Tamat Perguruan Tinggi (S ,34 S3) Jumlah Sumber : Data Monografi Desa/Kelurahan Kecamatan Labuan (diolah), 2009 Mata pencaharian penduduk di Kecamatan Labuan beraneka ragam, antara lain : buruh tani, petani, pedagang, nelayan, dan lain sebagainya. Mayoritas mata pencaharian di Kecamatan Labuan adalah sebagai pedagang/wiraswasta/pengusaha yaitu sebesar 45,00 %. Kemudian nelayan yaitu sebesar 16,54 %. Komposisi penduduk berdasarkan mata pencaharian disajikan pada Tabel 10. Tabel 10. Komposisi Penduduk Kecamatan Labuan Berdasarkan Mata Pencaharian No Mata Pencaharian Jumlah ( orang ) Persentase 1 Buruh Tani ,57 2 Petani ,57 3 Pedagang/Wiraswasta/Pengusaha ,00 4 Pengrajin 889 3,99 5 Nelayan ,54 6 PNS 692 3,10 7 TNI/Polri 38 0,17 8 Penjahit 104 0,47 9 Montir 72 0,32 10 Sopir 496 2,22 11 Pramuwisata 12 0,05 12 Karyawan Swasta ,18 13 Kontraktor 13 0,06 14 Tukang Kayu 344 1,54 34

51 Lanjutan Tabel 10. No Mata Pencaharian Jumlah ( orang ) Persentase 15 Tukang Batu 267 1,20 16 Guru Swasta 300 1,20 17 Lainnya 149 0,67 Jumlah Sumber : Data Monografi Desa/Kelurahan Kecamatan Labuan (diolah), Kondisi Umum Sumberdaya Perikanan Aktivitas perikanan tangkap mendominasi pemanfaatan sumberdaya perikanan dan laut di Kecamatan Labuan dengan memanfaatkan perairan laut mulai dari perairan luar hingga perairan dalam tergantung pada alat tangkap yang digunakan. Aktivitas perikanan tangkap ini adalah aktivitas yang turun temurun bagi masyarakat di Kecamatan Labuan. Nelayan Labuan sangat bergantung kepada sumberdaya laut. Sebagian besar nelayan konsisten dengan alat tangkap yang digunakan, namun sebagian nelayan berganti-ganti sesuai dengan musim dan pertimbangan lain. Seluruh nelayan di Kecamatan Labuan pada dasarnya adalah nelayan harian (one day fishing), yakni melaut dalam waktu tidak lebih dari sehari, kecuali pada saat mereka berpindah lokasi penangkapan ketika musim barat Produksi dan Nilai Produksi Ikan di Kecamatan Labuan Perkembangan volume dan nilai produksi hasil tangkapan di Kecamatan Labuan pada periode dapat dilihat pada Tabel 11, Gambar 4 dan Gambar 5. Volume produksi cenderung mengalami penurunan, begitu juga dengan nilai produksi hasil tangkapan yang juga mengalami penurunan. Berbeda pada tahun 2009 terlihat volume produksi menunjukkan penurunan, akan tetapi memiliki nilai yang lebih besar dibandingkan dengan nilai tahun sebelumnya. Hal ini dikarenakan antara lain harga jual ikan cenderung tinggi karena keterbatasan 35

52 jumlah produksi yang didaratkan dan nilai tukar rupiah. Selain itu, jenis ikan yang didaratkan adalah ikan yang berniali ekonomis tinggi. Kondisi menurunnya hasil tangkapan tidak hanya disebabkan oleh penurunan jumlah armada penangkapan, tetapi juga dimungkinkan oleh beberapa faktor lain, yaitu stok sumberdaya ikan yang tersedia, musim penangkapan dan keterbatasan kemampuan jelajah armada penangkapan ikan. Apabila stok sumberdaya ikan tersedia, dan musim ikan terjadi, maka dengan upaya penangkapan ikan yang tetap, terlebih-lebih bila upaya penangkapan meningkat, secara langsung akan meningkatkan jumlah hasil tangkapan dan begitu pula sebaliknya. Kemampuan jelajah armada juga akan berpengaruh. Kapal-kapal yang sudah berumur tua dan kondisi mesin yang sudah mengalami penurunan akan berpengaruh pada hasil. Kapal yang masih baru memiliki kemampuan jelajah yang lebih baik dan mampu menemukan wilayahwilayah penangkapan yang tersedia banyak ikan dan sebaliknya. Perkembangan jumlah armada yang beroperasi juga berpengaruh terhadap hasil tangkapan yang diperoleh, apabila armada tangkap berkembang baik dari segi jumlah dan atau dari segi kapasitas muat (tonage) maka secara langsung akan meningkatkan hasil tangkapan dan sebaliknya. Nelayan di Kecamatan Labuan mengenal 4 kategori tingkat perolehan ikan, yaitu: paila (perolehan sangat sedikit atau tidak ada), kosong (perolehan sedikit, namun ada cukup ikan untuk dibawa ke rumah), along (perolehan cukup atau lebih untuk membayar biaya melaut dan jatah memadai bagi awak kapal) dan along besar (perolehan berlebih banyak untuk membayar biaya melaut dan jatah awak kapal). 36

53 Tabel 11. Perkembangan Volume Produksi dan Nilai Produksi Hasil Tangkapan di Kecamatan Labuan Tahun Volume Produksi Pertumbuhan (%) Nilai Poduksi Pertumbuhan (%) (Ton) (Juta Rp) , , , , , , , ,1 Rata-rata Sumber : Dinas Kelautan dan Perikanan kabupaten Pandeglang, 2009 Gambar 4. Perkembangan dan Kecenderungan Volume Produksi Hasil Tangkapan di Kecamatan Labuan Gambar 5. Perkembangan dan Kecenderungan Nilai Produksi Hasil Tangkapan di Kecamatan Labuan 37

54 5.2.2 Unit Penangkapan Ikan di Kecamatan Labuan Unit penangkapan ikan adalah satu kesatuan teknis dalam melakukan operasi penangkapan yang terdiri dari armada penangkapan, alat tangkap dan nelayan Armada Penangkapan Armada penangkapan merupakan salah satu faktor yang menentukan jumlah dan hasil tangkapan nelayan. Armada penangkapan di Labuan dapat diklasifikasikan menjadi tiga jenis, yaitu perahu tanpa motor (PTM), perahu motor (PM) dan kapal motor (KM). Perahu tanpa motor adalah perahu yang pengoperasiannya tidak menggunakan mesin tetapi menggunakan layar. Perahu motor adalah kapal/perahu yang pengoperasiannya menggunakan mesin motor tempel (outboard motor), sedangkan kapal motor adalah kapal yang pengoperasiannya menggunakan mesin yang disimpan di dalam badan kapal (inboard motor). Perkembangan jumlah armada penangkapan di Kecamatan Labuan dapat dilihat pada Tabel 12 sedangkan perkembangannya dapat dilihat pada Gambar 6. Jumlah armada penangkapan tahun tidak mengalami pertumbuhan. Hal ini disebabkan karena tidak adanya perkembangan skala usaha yang dilakukan oleh dinas setempat. Tabel 12. Perkembangan Jumlah Armada Penangkapan di Kecamatan Labuan Tahun Jumlah armada (unit) Pertumbuhan Total PTM PM KM , ,06 Sumber : Dinas Kelautan dan Perikanan kabupaten Pandeglang,

55 Gambar 6. Perkembangan Armada Penangkapan di Kecamatan Labuan Alat Tangkap Alat tangkap yang beroperasi di Kecamatan Labuan terdiri dari jenis Payang, Dogol, Arad, Purse seine, Gillnet, Jaring Rampus, Jaring klitik, Bagan tancap, Bagan rakit dan Pancing. Alat tangkap dapat dibedakan atas dua kategori, yaitu alat tangkap yang menggunakan kasko kesil (seperti jenis Arad) dan alat tangkap yang menggunakan kasko besar (jenis purse seine dan payang). Perkembangan jumlah alat tangkap yang beroperasi dari tahun dapat dilihat pada Tabel 13 sedangkan perkembangannya dapat dilihat pada Gambar 7. Perkembangan jumlah alat tangkap yang beroperasi di Kecamatan Labuan selama periode mengalami fluktuasi setiap tahunnya. Alat tangkap yang dominan digunakan oleh nelayan adalah jaring arad. Berdasarkan wawancara dengan nelayan, alat tangkap arad memiliki jumlah yang dominan karena dianggap efektif untuk menghasilkan ikan dalam jumlah besar, harganya lebih murah, dapat menghasilkan hasil tangkapan ikan yang lebih banyak dibandingkan dengan alat tangkap lain, serta komoditas yang ditangkap bernilai ekonomis seperti udang. 39

56 Tabel 13. Perkembangan Jumlah Alat Tangkap di Kecamatan Labuan No Alat tangkap Tahun Payang Dogol Arad Purse seine Gillnet Jaring Rampus Jaring Klitik Bagan Tancap Bagan Rakit Pancing Jumlah Sumber : Dinas Kelautan dan Perikanan kabupaten Pandeglang, 2009 Gambar 7. Perkembangan Alat Tangkap di Kecamatan Labuan Nelayan Mayoritas nelayan yang menetap di Kecamatan Labuan merupakan penduduk lokal (asli). Selain penduduk lokal, juga terdapat nelayan pendatang yang umumnya berasal dari daerah Jawa Tengah, Surabaya, Dadap dan Tegal. Perkembangan jumlah nelayan di Kecamatan Labuan cenderung mengalami penurunan dengan kisaran pertumbuhan -7,56 % sampai 2,82 %. Perkembangan jumlah nelayan di Kecamatan Labuan pada periode dapat dilihat pada Tabel 14 dan Gambar 8. 40

57 Tabel 14. Perkembangan Jumlah Nelayan di Kecamatan Labuan Tahun Nelayan (Jiwa) Jumlah Pertumbuhan Lokal Pendatang (jiwa) (%) , , , ,08 Rata-rata Sumber : Dinas Kelautan dan Perikanan kabupaten Pandeglang, 2009 Gambar 8. Perkembangan Jumlah Nelayan di Kecamatan Labuan Daerah Penangkapan Bentuk kegiatan usaha penangkapan ikan di Kecamatan Labuan dikategorikan sebagai usaha perikanan yang berskala kecil. Kegiatan penangkapan dapat dilakukan sepanjang tahun dan sangat bergantung dari musim. Hal ini akan berdampak pada penentuan daerah penangkapan (fishing ground) yang menjadi sasaran penangkapan. Daerah penangkapan ikan di Kecamatan Labuan adalah Selat Sunda, Selatan Jawa/Samudera hindia dan Laut Jawa. Berdasarkan wawancara dengan nelayan daerah penangkapan yaitu sekitar Selat Sunda, Tanjung Panaitan, Kepulauan seribu, Kerakatau, Rompang, Sumur, Kelapa Koneng, Pulau Pucang, 41

58 Kalianda, Cemara, Karang bawah dan Batu Item. Daerah penangkapan ini ditempuh para nelayan sekitar 3 4 jam perjalanan. Penentuan daerah penangkapan ikan yang dilakukan oleh nelayan-nelayan di Kecamatan Labuan umumnya masih berpedoman pada faktor-faktor alam. Nelayan masih menggunakan pengetahuan sederhana seperti adanya burung yang terbang di atas perairan atau riak di air yang menandakan adanya ikan. Dengan hanya mengandalkan sebatas pengetahuan tradisional ini maka nelayan yang beroperasi menangkap ikan berada pada keadaan berburu atau pergi dengan tujuan mencari yang tidak pasti letaknya. Akan tetapi karena tingkah laku ikan yang sudah diketahui nelayan yaitu dimana ikan memijah dan dimana ikan biasa berkelompok mencari makan maka hal ini dapat digunakan nelayan dalam menentukan posisi ikan. Keberadaan kelompok ikan juga juga dapat diketahui dengan melihat permukaan laut yang berbuih, adanya ikan-ikan yang melompatmelompat di permukaan atau burung yang menukik dan menyambar ke permukaan laut. Selain itu, penentuan daerah penangkapan juga ditentukan berdasarkan pengalaman dan informasi dari kapal yang baru mendarat Musim Penangkapan Intensitas penangkapan ikan oleh nelayan sengat dipengaruhi oleh keadaan musim angin. Terdapat tiga musim penangkapan yaitu 1) puncak musim atau musim timur, pada musim ini aktivitas penangkapan mencapai frekuensi tertinggi sehingga menyebabkan terjadinya musim puncak pendaratan ikan yang biasanya terjadi sekitar bulan Mei sampai Agustus. Nelayan Labuan menyebutnya dengan rejeh (musim ketika perolehan ikan banyak), 2) musim normal atau musim peralihan, pada musim ini aktivitas penangkapan yang dilakukan nelayan berada 42

59 pada frekuensi normal dan menghasilkan volume produksi ikan normal terjadi dua kali dalam setahun, yaitu musim peralihan awal yang terjadi sekitar bulan Maret sampai April dan musim peralihan akhir yang terjadi sekitar bulan September sampai Oktober, 3) musim paceklik atau musim barat, pada musim ini cuaca dalam kondisi yang buruk sehingga nelayan jarang atau bahkan sama sekali tidak pergi melaut dengan alasan keamanan dan keselamatan sehingga hal ini mengakibatkan frekuensi pendaratan ikan rendah. Umumnya terjadi sekitar bulan November sampai Februari. Nelayan Labuan menyebutnya musim paila ( musim ketika perolehan ikan sedikit ) Potensi Sumberdaya Perikanan Kabupaten Pandeglang termasuk daerah dengan potensi sumberdaya ikan yang cukup tinggi. Potensi besar tersebut berada di sebelah barat dan selatan Pandeglang yaitu di perairan Selat Sunda dan Samudera Hindia. Potensi produksi kandungan hayati ikan laut di Kabupaten Pandeglang, berdasarkan MSY (Maximum Sustainable Yield)/batas maksimum penangkapan ikan laut adalah ,7 ton/tahun dan baru dimanfaatkan sebanyak ,6 ton/tahun (28,4%). Potensi sumberdaya perikanan laut masih sangat terbuka untuk dilakukannya intensifikasi dan ekstensifikasi (pengembangan) produksi, mengingat Kabupaten Pandeglang memiliki panjang pantai 307 km yang membentang sepanjang pesisir Barat dan Selatan Kabupaten Pandeglang (BKPM Banten, 2010) Produksi hasil tangkapan di Kecamatan Labuan berupa kelompok jenis ikan karang, ikan pelagis dan ikan demersal. Beberapa jenis ikan pelagis yang didaratkan adalah cakalang, tongkol, tenggiri, tembang, kembung dan lain-lain. 43

60 Hasil tangkapan yang didaratkan beberapa diantaranya merupakan jenis yang bernilai tinggi seperti tenggiri, bawal, kerapu, cumi-cumi, kakap, dan ikan kuwe Pemasaran Hasil Tangkapan Aktivitas Pemasaran Proses pemasaran hasil tangkapan nelayan di Kecamatan Labuan dilakukan dengan 3 (tiga) cara, yaitu: 1) Langsung dibeli oleh langgan atau pihak yang membiayai proses penangkapan ikan atau bahkan membiayai pembelian armada penangkapan. Hasil tangkapan yang diperoleh nelayan, untuk jenis udang khususnya, dengan biaya melaut berasal dari langgan akan langsung dibawa ke tempat langgan karena hal ini sesuai dengan perjanjian kedua pihak tersebut. Harga ikan akan ditentukan oleh pihak langgan. 2) Langsung dibeli pada saat di tempat hasil tangkapan didaratkan (tanpa melalui TPI). Pada saat hasil tangkapan sampai di daratan para pembeli ikan yang di daerah ini sudah menunggu di tempat pendaratan untuk membeli ikan yang akan dijual langsung oleh pemilik kapal yang tidak memiliki langgan dan tidak akan menjual hasil tangkapannya melalui tempat pelelangan ikan. 3) Dibawa langsung ke TPI untuk dilakukan penjualan dengan proses pelelangan. Waktu dimulainya proses pelelangan dilakukan setelah seluruh kapal selesai mendaratkan dan membawa seluruh hasil tangkapannya yang akan dilelang ke TPI. Proses pelelangan ikan dilakukan sebanyak dua kali dalam sehari. Pada TPI 1 dilakukan sekitar pukul WIB dan pukul WIB 44

61 sedangkan di TPI 2 proses pelelangan dilakukan sekitar pukul WIB dan pukul WIB. Lamanya proses pelelangan ikan tergantung banyaknya hasil tangkapan yang dilelang, dalam suatu proses lelang dibutuhkan waktu sekitar menit untuk melelang ikan sebanyak kg. Proses pelelangan dimulai setelah seluruh ikan yang akan dilelang telah ditimbang dan diletakkan di atas lantai lelang. Ikan diletakkan di lantai tanpa menggunakan wadah dan ditumpuk, untuk ikan-ikan dengan ukuran besar tumpukan disusun secara beraturan seperti tuna, manyung, dan lain-lain, sedangkan ikan dengan ukuran kecil seperti kurisi, cumi-cumi, dan lain-lain tumpukan tidak disusun rapi atau disebut gundukan. Pelelangan dipimpin oleh seorang juru tawar yang didampingi oleh juru catat yang berasal dari pihak TPI dan dihadiri oleh pemilik ikan dan peserta lelang. Pada saat proses pelelangan dimulai juru tawar akan menentukan harga awal ikan yang dilelang sesuai dengan harga ikan yang berlaku di pasar saat itu, kemudian harga akan dinaikkan per seribu rupiah dan para peserta lelang akan mengacungkan tangan tanda setuju dengan penawaran yang diberikan juru tawar. Peserta lelang yang setuju dengan harga tertinggi di atas harga lelang awal akan mendapatkan ikan yang dilelang dengan menyetujui untuk membayar sesuai harga penawaran yang diberikan oleh juru tawar. Pembayaran dilakukan oleh pihak pembeli/bakul dengan cara dicicil sebanyak dua kali; pertama pada saat mengajukan menjadi peserta lelang dan kedua setelah ikan terjual kepada pihak selanjutnya. Terdapat dua tempat dilakukannya pelelangan, yaitu di dalam dan di luar gedung TPI. Pelelangan yang dilakukan diluar gedung TPI tidak memungut biaya retribusi kepada peserta lelang. Pembeli yang membeli ikan dengan cara ini pada 45

62 umumnya adalah sama dengan pembeli pada proses pelelangan di TPI, yaitu pengumpul ikan, pengecer dan pengolah ikan. Setelah proses pelelangan tersebut selesai; maka untuk selanjutnya ikan akan didistribusikan dan dijual hingga sampai ke tangan konsumen. Retribusi dalam proses pelelangan yang diselenggarakan oleh pihak TPI merupakan hal yang bersifat wajib untuk disetorkan oleh pihak nelayan/penjual ikan dan pembeli ikan (bakul). Berlakunya retribusi lelang ini yang menjadi salah satu penyebab nelayan memilih untuk tidak menjual ikannya melalui proses lelang di TPI. Adapun rincian retribusi lelang di TPI Labuan berdasarkan Peraturan Daerah Kabupaten Pandeglang No. 12 tahun 2001 adalah sebagai berikut: Sumber pungutan berasal dari : Nelayan/penjual ikan sebesar 2% Bakul/pembeli ikan sebesar 2% Diperuntukkan: Pemda melalui bendahara Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Pandeglang sebesar 4% Pungutan lainnya sebesar 4% diperuntukkan: Biaya pelelangan ikan sebesar 2% Tabungan Nelayan sebesar 1% Dana Paceklik yang dibagikan setiap tahun sekali menjelang Hari Raya Idul Fitri sebesar 0,5% Dana kecelakaan di laut dan asuransi sebesar 0,5% 46

63 Daerah Pemasaran Ikan-ikan hasil tangkapan dipasarkan secara lokal (dalam kabupaten), antar kota dalam provinsi, Cilegon, Tangerang atau keluar provinsi seperti Lampung dan Jakarta. Daerah-daerah tujuan pemasaran dalam kabupaten meliputi kecamatan yang ada di Kabupaten Pandeglang., diantaranya yaitu: - Kecamatan Menes, dengan jarak 10 km dari Labuan - Kecamatan Saketi, dengan jarak 20 km dari Labuan - Kecamatan Cimanuk, dengan jarak 35 km dari Labuan - Kecamatan Pandeglang, dengan jarak 41 km dari Labuan Daerah tujuan pemasaran antar kota dalam provinsi diantaranya yaitu daerah Serang dengan jarak 100 km dan Tangerang dengan jarak 200 km dari Labuan. Tujuan pemasaran luar propinsi yaitu Jakarta dengan jarak 300 km dari Labuan dan Lampung dengan satu hari perjalanan. 47

64 VI. HASIL DAN PEMBAHASAN 6.1. Stakeholder Pengelolaan dan Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan Stakeholders dalam pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya perikanan adalah para pihak atau aktor yang terkait dalam pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya perikanan di Kecamatan Labuan. Stakeholders ini terdiri dari pemerintah, kelompok nelayan dan swasta/pengusaha perikanan Identifikasi Stakeholder Berdasarkan hasil penelitian, diperoleh 12 stakeholder dalam pengelolaan sumberdaya perikanan di Kecamatan Labuan. Stakeholder tersebut dibedakan menjadi stakeholder yang mempunyai kepentingan dan memberikan pengaruh secara langsung terhadap kegiatan pengelolaan perikanan serta stakeholder yang mempunyai kepentingan lain dan memberikan pengaruh secara tidak langsung terhadap kegiatan pengelolaan sumberdaya perikanan. Stakeholder dengan berbagai peran dapat dilihat pada Tabel 15. Tabel 15. Identifikasi Stakeholder dan Perannya No Stakeholder Peranan 1 Dinas Kelautan dan Perikanan (DKP) - Menetapkan kebijakan dalam pengelolaan sumberdaya perikanan Provinsi Banten - Melakukan perencanaan pengelolaan sumberdaya perikanan - Melakukan pembinaan dalam pelaksanaan kegiatan pengelolaan sumberdaya perikanan - Melakukan koordinasi dan fasilitasi dalam rangka kelancaran pengelolaan perikanan - Memberikan dukungan pendanaan kegiatan pengelolaan sumberdaya perikanan - Melakukan pemantauan dan evaluasi 48

65 Lanjutan Tabel 15. No Stakeholder Peranan 2 Dinas Kelautan dan Perikanan (DKP) - Menetapkan kebijakan dalam pengelolaan sumberdaya perikanan Kabupaten Pandeglang - Melakukan pembinaan pelaksanaan kegiatan pengelolaan sumberdaya perikanan - Melakukan koordinasi dan fasilitasi aktifitas yang mendorong kegiatan pengelolaan sumberdaya perikanan - Memberikan dukungan pendanaan pengelolaan sumberdaya perikanan 3 UPT (Unit Pelaksana Teknis) PPI (Pangkalan Pendaratan Ikan) dan TPI (Tempat Pelelangan Ikan) Kecamatan Labuan 4 TPI (Tempat Pelelangan Ikan) - Melakukan pemantauan dan evaluasi - Menyelenggarakan pengelolaan dan pembinaan kegiatan Pangkalan Pendaratan Ikan dan Tempat Pelelangan Ikan - Bertanggung jawab menyelenggarakan pembangunan, pengembangan, pemeliharaan dan pengelolaan sarana pokok dan penunjang - Menyelengggarakan pelaksanaan teknis terhadap kapal perikanan, ketertiban dan kebersihan. - Membantu memasarkan hasil perikanan - Memberikan perlindungan bagi nelayan dalam hal penentuan harga 5 Rukun Nelayan - Memberikan masukan dalam pengelolaan sumberdaya perikanan - Saluran untuk mengakomodir permasalahan yang ada di dalam kehidupan melaut nelayan - Sarana silaturahmi antar nelayan - Wadah untuk menampung informasi dari masyarakat 6 HNSI Labuan - Mediator antara nelayan yang menjadi anggotanya dengan pihak-pihak yang berkepentingan - Memberikan masukan hal-hal yang terkait dalam pengelolaan sumberdaya perikanan 49

66 Lanjutan Tabel 15. No Stakeholder Peranan 7 Koperasi Perikanan - Meningkatkan sarana dan prasarana produksi - Pemasaran hasil tangkapan - Menciptakan iklim yang mendukung penyediaan tempat usaha - Melakukan penyuluhan dan memberikan informasi lainnya. 8 Bakul/Nelayan - Pengumpul hasil tangkapan nelayan Pengumpul 9 Langgan/Juragan - Memberi pinjaman kepada pihak nelayan yang ingin memulai usaha dalam bidang perikanan - Memberikan keperluan nelayan sebelum mereka melaut, dapat berupa bahan makanan, umpan maupun kebutuhan lain yang dibutuhkan oleh nelayan dalam menangkap ikan 10 Industri Pengolah Ikan - Konsumen hasil tangkapan para nelayan sebagai bahan baku industrinya 11 Kelompok Masyarakat Pengawas (POKMASWAS) Sumberdaya Perikanan Labuan - Mengawasi pemanfaatan sumberdaya perikanan, terutama pemanfaatan oleh nelayan luar - melakukan pengawasan terhadap aktivitasaktivitas masyarakat yang mencemari lingkungan pesisir seperti membuang sampah, limbah manusia dan lain-lain 12 Satpolair - Menjaga keamanan dan ketertiban - Pengawas dan penegak hukum Sumber: Data diolah, Pengaruh dan Kepentingan Stakeholder Stakeholder yang telah teridentifikasi memiliki nilai kepentingan dan pengaruh (Lampiran 4). Hasil pemetaan stakeholder berdasarkan derajat kepentingan dan pengaruhnya di dalam pengelolaan sumberdaya perikanan di Kecamatan Labuan dapat dilihat pada Gambar 9. 50

67 Gambar 9. Pemetaan Stakeholder Pengelolaan Sumberdaya Perikanan di Kecamatan Labuan Ket : 1) Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Banten (DKP Provinsi banten), 2) Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Pandeglang (DKP Kabupaten Pandeglang), 3) Unit Pelaksana Teknis (UPT) PPI dan TPI Kecamatan Labuan, 4) Tempat Pelelangan Ikan (TPI), 5) Aparat Desa, 6) Pemerintah Kecamatan, 7) Kelompok Rukun Nelayan, 8) HNSI, 9) Koperasi Perikanan, 10) Bakul/Pedagang Pengumpul, 11) Langgan/Juragan, 12) Industri Pengolah Ikan, 13) Perbankan, 14) Kelompok Masyarakat Pengawas (POKMASWAS) Sumberdaya Perikanan Labuan, 15) Satpolair Subjects Subjects memiliki kepentingan yang besar, akan tetapi memiliki pengaruh yang kecil dalam pengelolaan sumberdaya perikanan di Kecamatan Labuan. Kuadran ini ditempati oleh bakul/pedagang pengumpul, langgan/juragan dan industri pengolah ikan. 1. Kepentingan Berdasarkan hasil analisis stakeholder, diperoleh hasil bahwa stakeholder pada kuadran subjects yang memiliki nilai kepentingan tertinggi adalah industri pengolah ikan. Stakeholder lainnya adalah bakul/pedagang pengumpul dan langgan/juragan. 51

68 Jika dilihat dari keterlibatan stakeholder, ketiga kelompok dalam kuadran ini tidak memiliki keterlibatan dalam perencanaan, pengorganisasian dan pengawasan/evaluasi dalam pengelolaan sumberdaya perikanan di Kecamatan Labuan. Bakul/pedagang pengumpul, langgan/juragan dan industri pengolah ikan mendapat manfaat dari keberadaan sumberdaya perikanan di Kecamatan Labuan yaitu sebagai sumber mata pencaharian. Keberadaan sumberdaya perikanan dibutuhkan untuk kelangsungan hidup. Selain itu, kelompok juragan/langgan dan kelompok industri pengolah ikan berharap dengan adanya pengelolaan sumberdaya perikanan, memberikan manfaat dalam menjaga keberlanjutan sumberdaya perikanan sehingga dapat digunakan pada masa yang akan datang. Dilihat dari sumberdaya yang disediakan, ketiga kelompok dalam kuadran subjects ini, menyediakan sumberdaya manusia dalam pengelolaan sumberdaya perikanan, yaitu sebagai pihak pengumpul atau konsumen hasil tangkapan nelayan. Jadi, kelompok ini berperan dalam membantu nelayan memasarkan hasil tangkapannya. Selain itu, kelompok juragan/langgan merupakan pihak yang membantu nelayan dalam memberi pinjaman untuk memulai usaha dalam bidang perikanan serta memberikan keperluan nelayan sebelum mereka melaut, dapat berupa bahan makanan, umpan maupun kebutuhan lain yang dibutuhkan oleh nelayan dalam menangkap ikan. Dilihat dari fokus pengelolaan, pihak bakul/pedagang pengumpul, langgan/juragan dan industri pengolah ikan cukup menjadikan sumberdaya perikanan sebagai fokus pengelolaannya, karena kelompok ini memiliki fokus 52

69 dibidang lain, yaitu pekerjaan selain pengumpul dan konsumen hasil tangkapan ikan. Tingkat ketergantungan kelompok dalam kuadaan ini terkait dengan kebutuhan akan hasil tangkapan ikan sebagai bahan baku untuk usahanya yaitu untuk pengasinan dan pembuatan ikan pindang dan sebagai sumber pendapatan. 2. Pengaruh Besarnya pengaruh yang dimiliki oleh masing-masing stakeholder dalam kuadran subjects rendah. Kelompok dalam kuadran ini tidak memiliki kewenangan dalam mengendalikan pengelolaan sumberdaya perikanan di Kecamatan Labuan. Dalam hal aturan dan kebijakan, stakeholders dalam kuadran ini hanya berperan dalam pelaksanaan aturan dan kebijakan yang terkait sumberdaya perikanan. Jika melanggar aturan dan kebijakan akan mendapat hukuman. Peranan dan partisipasi stakeholders dalam kuadran ini adalah sebagai pihak yang membantu usaha penangkapan ikan oleh nelayan sebagai pengumpul dan konsumen. Sedangkan dalam pengelolaan sumberdaya perikanan untuk menjaga kelestarian sumberdaya perikanan tidak memberikan kontribusi yang berarti tetapi terlibat dalam pemanfaatan hasil perikanan. Stakeholders yang berada dalam kudaran subjects ini tidak memiliki kemampuan dalam berinteraksi baik dalam mengadakan forum, kerjasama ataupun mengubah arah pengelolaan sumberdaya perikanan Players Players merupakan stakeholder yang paling aktif dalam pengelolaan sumberdaya perikanan di Kecamatan Labuan karena memiliki kepentingan dan 53

70 pengaruh yang besar. Kuadran ini ditempati oleh DKP Provinsi Banten, DKP Kabupaten Pandeglang, UPT PPI dan TPI Kecamatan Labuan, Tempat pelelangan Ikan (TPI), Kelompok Rukun Nelayan, HNSI, Koperasi Perikanan dan POKMASWAS Sumberdaya Perikanan Labuan. 1. Kepentingan Jika dilihat dari aspek keterlibatan, pihak DKP Provinsi Banten dan DKP Kabupaten Pandeglang terlibat dalam semua proses pengelolaan sumberdaya perikanan, yaitu perencanaan, pengorganisasian, pelaksanaan dan pengawasan. Stakeholder lainnya yaitu UPT PPI dan TPI Kecamatan Labuan, Tempat pelelangan Ikan (TPI), Kelompok Rukun Nelayan, HNSI, Koperasi Perikanan dan POKMASWAS Sumberdaya Perikanan Labuan hanya terlibat dalam pelaksanaan dan pengawasan pengelolaan sumberdaya perikanan. Keberadaan sumberdaya perikanan memberikan manfaat yang berbedabeda kepada stakeholder yang terlibat dalam pengelolaanya. Pihak DKP Provinsi Banten, DKP Kabupaten Pandeglang, UPT PPI dan TPI Kecamatan Labuan, dan Tempat Pelelangan Ikan mendapat manfaat dalam penerimaan daerah dan keberadaan sumberdaya perikanan membuka peluang untuk berinteraksi dengan pihak luar dengan potensi sumberdaya perikanan yang ada. Rukun nelayan, HNSI, Koperasi Perikanan dan POKMASWAS Sumberdaya Perikanan Labuan mendapat manfaat sebagai sumber mata pencaharian dan penyerapan tenaga kerja. Selain itu, dengan adanya pengelolaan sumberdaya perikanan, stakeholder dalam kudaran ini mendapat manfaat dalam hal keberlanjutan sumberdaya perikanan sehingga dapat digunakan pada masa yang akan datang. 54

71 Stakeholder dalam kuadran ini memberikan berbagai sumberdaya dalam pengelolaan sumberdaya perikanan di Kecamatan Labuan baik sumberdaya manusia, dana, fasilitas maupun informasi. Pihak DKP, baik DKP Provinsi Banten maupun Kabupaten Pandeglang melakukan perencanaan pengelolaan perikanan, melakukan pembinaan, dan memberikan bantuan pendanaan serta melakukan pengawasan dalam pengelolaan sumberdaya perikanan di Kecamatan Labuan. Pihak UPT PPI dan TPI Kecamatan Labuan melakukan pembinan, pemeliharaan sarana dan prasarana perikanan serta pelaksanaan teknis terhadap kapal perikanan. Pihak TPI dan Koperasi perikanan terlibat dalam pemasaran hasil tangkapan dan membantu usaha penangkapan ikan nelayan. Rukun nelayan dan HNSI memberikan masukan dalam pengelolaan sumberdaya perikanan serta menjadi wadah untuk menampung aspirasi masyarakat serta saluran untuk mengakomodir permasalahan dalam kehidupan melaut. Pengelolaan sumberdaya perikanan menjadi prioritas dari stakeholders dalam kuadran ini. Kegiatan-kegiatannya difokuskan untuk pengelolaan sumberdaya perikanan supaya dapat memberikan manfaat baik dari segi ekonomi maupun keberlanjutan sumberdaya perikanan. Sumberdaya perikanan menjadi fokus pengelolaan karena memiliki ketergantungan pada keberadaan sumberdaya perikananan, baik sebagai lokasi penangkapan, hasil tangkapan, maupun untuk konservasi atau perlindungan sumberdaya perikanan. 2. Pengaruh Besarnya pengaruh yang dimiliki oleh masing-masing stakeholder dalam kuadran players tinggi. Kelompok dalam kuadran ini memiliki kewenangan dalam mengendalikan pengelolaan sumberdaya perikanan di Kecamatan Labuan. 55

72 Stakeholders yang berperan dalam menetapkan aturan dan kebijakan dalam pengelolaan sumberdaya perikanan baik yang terkait usaha penangkapan dan pelestarian sumberdaya perikanan adalah pihak DKP Provinsi Banten dan DKP Kabupaten pandeglang. Sedangkan pihak yang melaksanakan aturan dan kebijakan adalah UPT PPI dan TPI Kecamatan Labuan, Tempat pelelangan Ikan (TPI), Kelompok Rukun Nelayan, HNSI, Koperasi Perikanan dan POKMASWAS Sumberdaya Perikanan Labuan. Selain itu, pengawasan dan pemantauan dalam pengelolaan sumberdaya perikanan juga dilakukan oleh semua stakeholders dalam kuadran players. Stakeholders dalam kuadran ini memiliki kemampuan dalam berinteraksi. Masing-masing kelompok selalu mengadakan forum untuk membicarakan masalah-masalah dalam pengelolaan perikanan dan mengadakan pertemuan serta sosialisasi dengan masyarakat. Akan tetapi yang memiliki wewenang dalam mengubah arah pengelolaan adalah pemerintah yaitu DKP Provinsi Banten dan DKP Kabupaten Pandeglang. Dari segi kewenangan, stakeholders dalam kuadran ini memiliki kewenangan yang berbeda-beda. DKP Provinsi Banten dan DKP Kabupaten Pandeglang memiliki kewenangan dalam perlindungan/pengawasan sumberdaya perikanan, pembangunan sarana dan prasarana perikanan, pemberdayaan masyarakat dan pelayanan perizinan. Tempat Pelelangan Ikan dan Koperasi Perikanan melakukan pengawasan dan pemberdayaan masyarakat dalam hal memberikan perlindungan bagi nelayan dalam penentuan harga hasil tangkapan. UPT PPI dan TPI Kecamatan Labuan melakukan pengawasan dan pelayanan perizinan dalam pengelolaan sumberdaya perikanan di Kecamatan Labuan. Rukun 56

73 Nelayan, HNSI dan POKMASWAS Sumberdaya Perikanan Labuan melakukan pengawasan dalam pengelolaan sumberdaya perikanan di Kecamatan Labuan. Kontribusi yang diberikan stakeholders dalam kuadran ini terdiri dari sumberdaya manusia, fasilitas, dana dan informasi. Masing-masing pihak melakukan kegiatan-kegiatan yang mendukung pengelolaan sumberdaya perikanan. Masing-masing kelompok ini mengadakan progran penyuluhan dan sosialisasi kepada masyarakat, memberikan informasi yang terkait dengan pengelolaan sumberdaya perikanan, serta pelatihan dan penyediaan fasilitas dalam usaha perikanan Bystanders Bystanders merupakan stakeholder dengan kepentingan dan pengaruh yang rendah dalam pengelolaan sumberdaya perikanan di Kecamatan Labuan. Kuadran ini ditempati oleh Aparat Desa, Pemerintah Kecamatan dan Perbankan (Bank BRI Labuan). 1. Kepentingan Dilihat dari keterlibatan, manfaat yang diperoleh, sumberdaya yang disediakan, fokus pengelolaan dan tingkat ketergantungan terhadap keberadaan sumberdaya perikanan, stakeholders dalam kuadran ini memiliki nilai yang sangat rendah. Kelompok ini hanya menjalankan tugas-tugas administrasi yang menyangkut masalah kependudukan. Kelompok ini tidak terlalu bergantung terhadap sumberdaya perikanan karena memiliki mata pencaharian diluar bidang perikanan. 57

74 2. Pengaruh Dilihat dari penetapan dan pelaksanaan aturan/kebijakan, peranan, kemampuan dalam interaksi, kewenangan dan kapasitas sumberdaya yang disediakan, stakeholders dalam kuadran ini memiliki nilai yang sangat rendah, dan tidak memberikan kontribusi dalam pengelolaan sumberdaya perikanan di Kecamatan Labuan Actors Actors merupakan stakeholder yang memiliki kepentingan yang rendah, tetapi memiliki pengaruh yang tinggi dalam pengelolaan sumberdaya perikanan di Kecamatan Labuan. Kuadran ini ditempati oleh satuan polisi perairan. 1. Kepentingan Polisi perairan terlibat dalam pengawasan sumebrdaya perikanan di Kecamatan Labuan. Kelompok ini mengadakan koordinasi teknis di lapangan dengan pihak pemerintah dan kelompok nelayan dalam pengawasan dan pemantauan pengelolaan sumberdaya perikanan di Kecamatan Labuan. Kelompok ini menyediakan aparat untuk mengawasi sumberdaya perikanan serta fasilitas berupa speed boat. 2. Pengaruh Kelompok ini berpengaruh besar dalam pengawasan dan penegakan hukum dalam pengelolaan sumberdaya perikanan, tetapi tidak bergantung pada keberadaan sumberdaya perikanan. Polisi perairan berperan dalam menangani berbagai masalah kriminal serta tindakan-tindakan merusak yang terjadi dalam pengelolaan sumberdaya perikanan di Kecamatan Labuan. 58

75 Berdasarkan analisis stakeholder di atas, aktor-aktor yang terlibat dalam pengelolaan sumberdaya perikanan di Kecamatan Labuan dikelompokkan menjadi: 1. Kelompok Nelayan, terdiri dari Rukun Nelayan dan HNSI 2. Pemerintah, yaitu DKP Provinsi banten, DKP Kabupaten Pandeglang, UPT PPI dan TPI Kecamatan Labuan dan Tempat Pelelangan Ikan. 3. Kelompok Usaha/Swasta, terdiri dari Bakul/Pedagang Pengumpul, Bakul/Juragan, Industri Pengolah Ikan dan Koperasi perikanan. 4. Kelompok Keamanan, terdiri dari Kelompok Masyarakat Pengawas Sumberdaya Perikanan Labuan dan Satpolair Pos Labuan Hubungan antar Stakeholder Dalam menganalisis hubungan antar aktor dalam kelembagaan pengelolaan sumberdaya perikanan di Kecamatan Labuan dapat dikelompokkan menjadi dua level, yaitu: 1) Level Penentu Kebijakan (Colective Choice Level) Level ini berperan dalam penentuan berbagai kebijakan yang perlu dilakukan dalam pengelolaan sumberdaya perikanan di Kecamatan Labuan. Pada level ini kelompok yang terlibat adalah pemerintah meliputi DKP Provinsi Banten yang berkoordinasi dengan DKP Kabupaten Pandeglang. Kelompok ini berperan dalam menyusun dan menentukan kebijakan dan aturan main formal dalam pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya perikanan di Kecamatan Labuan. 2) Level Operasional (Operational Choice Level) Level ini berperan dalam mengimplementasikan berbagai kebijakan yang telah ditetapkan. Selain itu, level ini juga bertugas memberi dukungan dan 59

76 mengkoordinasikan aspek usaha pengelolaan sumberdaya perikanan di Kecamatan Labuan. Kelompok ini terdiri atas : 1) Kelompok nelayan 2) Kelompok swasta/usaha 3) Kelompok keamanan 4) Kelompok pemerintah, yaitu UPT PPI dan TPI Kecamatan Labuan dan Tempat Telelangan Ikan. Hubungan antar kelembagaan dan aktor pengelolaan sumberdaya perikanan dapat dilihat pada Gambar 10. Collective Choice Level Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi banten Kelompok Pemerintah Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Pandeglang UPT PPI dan TPI Tempat Pelelangan Ikan Operational Choice Level Kelompok keamanan Kelompok Nelayan Aksess Dana Kelompok Usaha/Swasta Satpolair (Satuan Polisi Perairan), Kelompok Masyarakat Pengawas Sumberdaya Perikanan Labuan HNSI dan Rukun Nelayan Nelayan Pengolah Ikan, Bakul/Pedagang Pengumpul, Langgan/Juragan, Koperasi Perikanan Ket: Gambar 10. Hubungan antar Kelembagaan dan Aktor Pengelolaan Sumberdaya Perikanan : Garis Koordinasi : Garis Koordinasi Teknis di lapangan : Garis Instruksi : Garis Konsultasi Pelaksanaan pengelolaan sumberdaya perikanan di Kecamatan Labuan dilakukan oleh berbagai pihak. Semua pihak yang disebutkan di atas memiliki peranan yang berbeda. Masing-masing aktor di dalam pengelolaan sumberdaya 60

77 perikanan saling berinteraksi satu-sama lain sesuai dengan perannya. Tipe pengelolaan sumberdaya perikanan di kecamatan Labuan tergolong ke dalam tipe konsultatif dan instruktif. Pada tipe konsultatif, terdapat mekanisme dialog antar pemerintah dan pelaku perikanan tetapi pengambilan keputusan masih dilakukan pemerintah. Sedangkan tipe instruktif, terjadi ketika terdapat komunikasi dan tukar informasi yang minimal antara pemerintah dan pelaku perikanan. Proses perencanaan dan pembuatan kebijakan seharusnya melalui proses dialogis yang melibatkan semua pihak yang terkait, baik pemerintah, nelayan, maupun swasta, akan tetapi karena kurangnya komunikasi, bimbingan dan informasi seringkali tidak sesuai dengan kebutuhan masyarakat. Komunikasi antara aparat pemerintah dengan masyarakat tidak berjalan dengan baik. Selain itu, pengambilan keputusan tetap berada di tangan pemerintah. Masyarakat tidak memiliki proporsi yang cukup untuk menetapkan keputusan. Hubungan kerjasama antar stakeholder yang berbeda kepentingan dapat dikatakan jarang. Sering kali tidak ada koordinasi antar stakeholder. Hal ini disebabkan belum adanya suatu lembaga formal yang khusus mengkoordinasikan masing-masing kepentingan di antara aktor. Pola hubungan antara masyarakat dan pemerintah diwakili oleh lembagalembaga-lembaga yang ada. Lembaga pemerintah diwakili oleh Dinas Kelautan dan Perikanan sedangkan pihak masyarakat diwakili oleh pihak kelompok nelayan. Kewenangan lembaga pemerintah ditujukan untuk melegalisir peraturanperaturan yang telah disepakati dan dibuat secara bersama. Adanya peraturan yang telah dilegalisasi oleh pemerintah menjadi sebuah pegangan kuat untuk dipatuhi bukan hanya oleh masyarakat nelayan setempat namun juga ditujukan untuk 61

78 masyarakat nelayan dari daerah lain yang menangkap ikan di Kecamatan Labuan. Peraturan tersebut seharusnya memiliki kekuatan hukum yang mengikat semua stakeholders di dalam pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya. Kegiatan pemanfaatan sumberdaya perikanan mendapatkan pengawasan dari pemerintah dan masyarakat nelayan. Satpolair dan POKMASWAS merupakan lembaga yang bertanggung jawab atas permasalahan pengamanan dan penegakan hukum. Proses pengawasan terus berlangsung setiap harinya bersamaan dengan aktivitas nelayan ketika mencari ikan. Selama ini kegiatan pengawasan kurang berlangsung dengan baik karena keterbatasan sumberdaya. Pengawasan yang dilakukan menggunakan motor boat/kapal cepat. Pengawasan tidak dapat dilakukan setiap hari karena luasnya wilayah dan terbatasnya petugas. Minimnya pengawasan menyebabkan tidak terkontrolnya kegiatan penangkapan ikan. Hal ini semakin parah oleh pemahaman masyarakat yang menganggap sumberdaya laut adalah milik bersama. Hasil tangkapan menurun dari hari ke hari. Permasalahan terjadi karena sumberdaya yang open access, pertambahan jumlah nelayan, dan homogenitas kegiatan perikanan. Terjadi kerusakan laut secara perlahan-lahan, menyebabkan berkurangnya hasil tangkapan nelayan lokal. Kelembagaan lokal lainnya yang berperan dalam pengelolaan sumberdaya perikanan adalah Kelompok Nelayan dan Kelompok usaha/swasta. Kelompok nelayan lebih bersifat sebagai lembaga yang merepresentasikan nelayan di dalam pelaksanaan pengelolaan sumberdaya. Kelompok nelayan merupakan wadah yang menampung segala informasi yang dibutuhkan sebagai dasar pembuatan kebijakan. Informasi-informasi yang diberikan oleh anggota masyarakat nelayan 62

79 disampaikan kepada pemerintah melalui kelompok nelayan. Akan tetapi, karena kurangnya forum dan pertemuan, informasi-informasi itu seringkali tidak tersampaikan. Kelompok usaha/swasta, berperan sebagai lembaga ekonomi lokal yang mengatur tentang pemasaran dan penyediaan segala kebutuhan operasional nelayan. Hasil analisis kualitatif dari hasil penelitian di Kecamatan Labuan menunjukkan bahwa pengelolaan sumberdaya perikanan di daerah ini menerapkan sistem co-management. Adanya pendampingan terhadap masyarakat yang dilakukan oleh lembaga-lembaga pemerintah. Pendampingan dilakukan untuk memberikan arahan dan bimbingan serta melakukan upaya peningkatan kemampuan sumberdaya manusianya. Sehingga mampu mengelola sumberdaya dengan lebih baik. Akan tetapi yang terjadi selama ini, tidak terjalin hubungan kerjasama yang baik antara pemerintah dengan para pelaku perikanan. Pemerintah daerah menerapkan pengelolaan tipe konsultatif dan instruktif dimana proses perencanaan dan pembuatan kebijakan seringkali tidak sesuai dengan kebutuhan masyarakat karena kurangnya komunikasi Konflik Pengelolaan Sumberdaya Perikanan Berdasarkan hasil analisis konflik, ada beberapa konflik yang terjadi di Kecamatan Labuan. Dari hasil analisis konflik, terdapat tiga sumber yang menjadi penyebab terjadinya konflik dalam pengelolaan sumberdaya perikanan di Kecamatan Labuan yaitu konflik alat tangkap, pelanggaran jalur penangkapan dan penggunaan bom dalam penangkapan ikan seperti pada Tabel

80 Tabel 16. Konflik Pengelolaan Sumberdaya Perikanan di Kecamatan Labuan No Tahun Penyebab Konflik Pihak yang Penyelesaian terlibat sekarang Amarah terhadap penggunaan cantrang yang digunakan oleh nelayan pendatang, nelayan lokal tidak menggunakan cantrang adalah untuk mempertahankan keberlanjutan sumberdaya karena cantrang dianggap sejenis trawl dan belum adanya izin yang membolehkan alat tangkap cantrang beroperasi di wilayah kecamatan Labuan Pelanggaran jalur penangkapan purse seine Penggunaan Bom dalam Penangkapan ikan Nelayan Labuan, Nelayan Tegal, DKP Kabupaten Pandeglang, Pokmaswas, Satpolair Satpolair, Nelayan purse seine, DKP Kabupaten Pandeglang Nelayan lokal, nelayan pendatang, Cantrang untuk sementara tidak boleh dioperasikan di sekitar perairan Kecamatan Labuan. Belum Terselesaikan sampai sekarang Musyawarah kekeluargaan, vonis penjara Satpolair Sumber : Diolah dari data Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Pandeglang (2009) dan data primer (2010) Pertama, nelayan pendatang dari Tegal yang menggunakan cantrang ditentang keras oleh nelayan lokal. Penggunaan cantrang ditentang keras karena penggunaan teknologi penangkapan ikan yang berbeda dengan masyarakat lokal. Berbagai upaya dilakukan oleh nelayan lokal untuk menolak kehadiran nelayan cantrang. Penggunaan cantrang dinilai sangat merugikan nelayan lokal, disamping itu telah meningkatnya pengetahuan masyarakat tentang keberlanjutan sumberdaya perikanan dan belum ada undang-undang yang merekomendasikan alat tangkap tersebut boleh dioperasikan di Kecamatan Labuan. Konflik terjadi tahun 2007, terjadi aksi pembakaran kapal melibatkan banyak orang. Pembakaran 64

81 terjadi karena nelayan Kecamatan Labuan merasa kesal sudah memperingatkan nelayan Tegal untuk tidak menggunakan alat tangkap cantrang. Nelayan Labuan membakar satu dari lima kapal yang berhasil ditangkap yang beroperasi. Alat tangkapnya ditahan sebagai barang bukti. Dalam mengatasi konflik tersebut pihak Dinas Kelautan dan Perikanan melakukan beberapa cara yaitu mengecek ulang dengan melakukan pengawasan ke lokasi kejadian bersama-sama nelayan Labuan dan pihak satpolair, menseleksi surat menyurat perizinan mengenai aktifitas penangkapan dari Kabupaten Tegal, pihak nelayan dari Tegal wajib lapor kepada Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Pandeglang apabila akan melakukan aktifitas penangkapan di perairan wilayah Labuan. Alat tangkap cantrang tersebut disita oleh masyarakat setempat kemudian pihak Dinas Perikanan dan Kelautan bekerjasama dengan Polair memberikan pembinaan, diberi peringatan dan apabila kembali lagi akan ditindak sesuai dengan aturan yang berlaku. Dinas Perikanan dan Kelautan Kabupaten Pandeglang melayangkan surat kepada Kadis Kelautan dan Perikanan Tegal sehubungan dengan permohonan izin andon, dengan beberapa ketentuan yang dipersyaratkan yaitu: 1. Tetap mengacu pada UU RI No. 31 tentang perikanan pasal 6 ayat (2) 2. Kep.Men.Tan. Nomor 392/KPTS/IK.120/4/99 tentang jalur-jallur penangkapan Ikan Sampai saat ini untuk sementara alat tangkap cantrang tidak boleh dioperasikan di sekitar perairan Kecamatan Labuan. Pokmaswas yang berkepentingan dalam melakukan pengelolaan kolaboratif secara intensif 65

82 melakukan pengawasan dan segera melaporkan kepada Dinas Perikanan jika cantrang masuk ke wilayah Kecamatan Labuan. Kedua, Sejak tahun 2008, terjadi bentrok antara satpolair, pihak DKP Kabupaten Pandeglang dengan nelayan purse seine. Pada awal terjadi pelanggaran jalur tangkapan, 3 ABK, 1 kapal nelayan diamankan, dan alat tangkap. Awalnya hanya diselesaikan dengan musyawarah kekeluargaan, akan tetapi karena sering terulang, maka divonis penjara. Pihak DKP dan satpolair mengadakan pertemuan dengan nelayan purse seine dan memberikan arahan dan bimbingan. Akan tetapi, sering terulang sehingga penyelesaiannya melalui jalur hukum yaitu tindakan pidana ringan yaitu vonis 6 bulan penjara terhadap nelayan. Sampai sekarang bentrok masih sering terjadi antara satpolair dengan nelayan karena nelayan tetap menganggap bahwa mereka bebas menangkap ikan di wilayah yang mereka mau. Penjelasan mengenai jalur penangkapan ikan tidak bisa diterima oleh pihak nelayan. Seperti yang tertuang dalam Keputusan Menteri Pertanian No. 392/Kpts/IK.120/4/99 tentang jalur penangkapan ikan. SK Mentan ini merupakan suatu upaya menuju kepada kegiatan penangkapan yang lebih teratur sehingga dapat menjamin keberlanjutan usaha dan mencegah timbulnya konflik perebutan daerah penangkapan ikan. Pelaksanaan penetapan jalur penangkapan tersebut di lapangan hingga saat ini masih sulit dilakukan, karena lemahnya sosialisasi dan pelaksanaan pengawasan. Ketiga, tahun terjadi konflik antara nelayan Labuan dengan nelayan pendatang yang menggunakan bom dan diperkirakan telah merusak habitat ikan di sekitar wilayah perairan Kecamatan Labuan. Namun kasus penggunaan bom ini seringkali tidak dapat dibuktikan oleh nelayan setempat, 66

83 karena sulit menemukan barang bukti. Nelayan pendatang yang menggunakan bom menggunakan kapal bermesin cepat (sejenis mesin speed boat), sehingga tidak berhasil mengejar unit kapal yang terlihat memasuki wilayah wilayah perairan Labuan. Selain itu, nelayan yang dicurigai melakukan penangkapan ikan menggunkan bom biasanya barang bukti langsung dibuang sehingga mereka tidak dapat diproses lebih lanjut sesuai dengan aturan. Selain itu, polisi perairan juga tidak memiliki fasilitas yang memadai untuk mengatasi berbagai pelanggaranpelanggaran yang terjadi di laut. 6.2 Kelembagaan sebagai Aturan Main dalam Pengelolaan Sumberdaya Perikanan Kelembagaan Formal Pengelolaan sumberdaya perikanan di Kecamatan Labuan mengacu pada aturan yang telah disahkan oleh pemerintah, baik pusat maupun daerah. Beberapa dasar hukum dan peraturan perundang-perundangan yang menjadi acuan dari kegiatan pengelolaan sumberdaya perikanan di Kecamatan Labuan adalah : a. Undang-undang No 31 tahun 2004 tentang Perikanan direvisi dengan Undang-undang No 45 tahun 2009 tentang Perikanan Undang-undang ini memuat beberapa aturan mengenai pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya ikan dengan mengedepankan prinsip-prinsip kelestarian dan keberlangsungan (sustainable), sehingga dapat mewujudkan pembangunan nasional dengan berdasarkan pada asas keadilan dan pemerataan dalam pemanfaatan serta peningkatan taraf hidup nelayan dan petani kecil. Dengan demikian, pola pemanfaatan sumberdaya ikan harus mengikuti aturan yang telah ditetapkan. UU No 45 Tahun 2009 merupakan revisi terhadap UU No 31 Tahun 67

84 2004, pada pasal 2 mengenai asas dan tujuan pengelolaan perikanan ditambahkan mengenai pembangunan yang berkelanjutan. Pengaturan Izin Penangkapan Pengaturan izin sudah didelegasikan kepada pemerintah daerah, sesuai dengan kewenangannya. Izin penangkapan meliputi Surat Izin Penangkapan Ikan (SIPI), Surat Izin Usaha Perikanan (SIUP) dan Surat Izin Kapal Pengangkut Ikan (SIKPI). Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pemberian SIPI, SIUP dan SIKPI diatur dengan Peraturan Menteri. Pengaturan Pungutan Perikanan Setiap orang yang memperoleh manfaat langsung dari sumberdaya perikanan dikenakan pungutan perikanan. Besarnya pungutan diatur dengan Peraturan Pemerintah. Pembinaan dan Pengawasan terhadap Usaha Perikanan Pengawasan perikanan dilakukan oleh pengawas perikanan beserta dengan masyarakat. Pemerintah mengadakan sarana dan prasarana pengawasan perikanan. Ketentuan lebih lanjut mengenai pengawas perikanan diatur dengan Peraturan Pemerintah. Pengaturan Zonasi dan Jalur Penangkapan Ikan Dalam rangka mendukung kebijakan pengelolaan sumberdaya ikan, Menteri menetapkan jenis, jumlah, ukuran dan penempatan alat bantu penangkapan ikan, daerah, jalur dan waktu atau musim penangkapan ikan. Sanksi terhadap Pelanggaran Setiap orang yang sengaja melakukan tindakan pelanggaran dalam bidang perikanan akan dikenankan hukum pidana penjara dan denda (Lampiran 5). 68

85 Menjaga Kelestarian Sumberdaya Perikanan Setiap orang dilarang melakukan tindakan yang dapat membahayakan kelestarian sumberdaya ikan dan lingkungannya seperti penggunaan bahan kimia, bahan biologis dan bahan peledak. Bentuk Usaha Perikanan Usaha perikanan dilaksanakan dalam sistem bisnis perikanan yang meliputi praproduksi, produksi, pengolahan, dan pemasaran. Ketentuan lebih lanjut mengenai praproduksi, produksi, pengolahan dan pemasaran diatur dalam Peraturan Menteri. b. Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor : Kep. 1O/Men/2003 tentang Perizinan Usaha Penangkapan Ikan Izin penangkapan meliputi Izin Usaha Perikanan (IUP), Surat Penangkapan Ikan (SPI) dan Surat Izin Kapal Pengangkut Ikan (SIKPI). IUP berlaku selama perusahaan masih melakukan kegiatan usaha penangkapan dan pengangkutan ikan. SPI berlaku selama 3 tahun untuk penangkapan ikan dengan menggunakan jenis alat tangkap Pukat Cincin, Rawai Tuna, Jaring Insang Hanyut, atau Huhate dan 2 tahun untuk alat tangkap lain. SIKPI berlaku selama 3 tahun. c. Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor : Kep. 58/Men/2001 tentang Tata Cara Pelaksanaan Sistem Pengawasan Masyarakat dalam Pengelolaan dan Pemanfaatan Sumberdaya Kelautan dan Perikanan Kelompok masyarakat pengawas (POKMASWAS) merupakan pelaksana pengawasan di tingkat lapangan yang terdiri dari unsur tokoh masyarakat, tokoh agama, tokoh adat, LSM, nelayan, petani ikan serta masyarakat maritim lainnya. Pemerintah dan atau pemerintah daerah wajib memfasilitasi pemberdayaan POKMASWAS melalui pembinaan, bimbingan dan pelatihan bagi peningkatan 69

86 kemampuan POKMASWAS. Masyarakat atau anggota POKMASWAS melaporkan informasi adanya dugaan pelanggaran dalam pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya kelautan dan perikanan kepada aparat pengawas terdekat seperti: Koordinator PPNS, Kepala Pelabuhan perikanan, Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan, Satpol-Airud (atau Polisi terdekat), TNI-AL terdekat atau Petugas karantina di pelabuhan dan PPNS. d. Keputusan Menteri Pertanian No. 392/ Kpts/ IK. 120/4/1999 Tentang Jalur Penangkapan Ikan Jalur-jalur penangkapan ikan sebagaimana yang tertuang dalam SK Menteri Pertanian No. 392/Kpts/ IK. 120/ 4/ 1999 yaitu: a) Jalur I (Perairan pantai diukur dari permukaan air laut pada surut terendah pada setiap pulau s/d 6 mil ke arah laut) - Dari 0 s/d 3 Mil laut, diperbolehkan untuk alat penangkapan ikan yang menetap, alat penangkapan ikan tidak menetap yang tidak dimodifikasi, dan kapal perikanan tanpa motor yang panjangnya 10 meter. Disamping itu wajib diberi tanda pengenal, yaitu: tanda pengenal jalur dengan cat warna putih ¼ lambung kiri dan kanan kapal, serta tanda pengenal alat tangkap. - Dari 3 s/d 6 Mil laut, diperbolehkan untuk alat penangkapan ikan yang tidak menetap. Kapal yang diperbolehkan yaitu panjangnya 10 meter tanpa dan/atau dengan motor tempel, motor tempel dan motor dalam 5 GT dengan panjang 12 meter, kapal pukat cincin (Purse Seine) 150 meter. Jaring berupa Drift Gill Net (jaring insang hanyut) meter dan wajib diberi tanda pengenal jalur dengan cat merah ¼ lambung kiri dan kanan kapal, serta tanda pengenal alat tangkap (ditetapkan oleh Dirjenkan). 70

87 b) Jalur II (6 s/d 12 Mil laut), diperbolehkan untuk kapal perikanan motor dalam 60 GT, Pukat Cincin 600 meter dengan kapal tunggal (bukan grup) atau dengan 2 kapal/ ganda (bukan grup), Tuna Long Line mata pancing, Jaring Insang Hanyut meter. Wajib diberi tanda pengenal, yaitu: tanda pengenal jalur dengan warna oranye ¼ lambung kiri dan kanan kapal, dan tanda pengenal alat tangkap (ditetapkan oleh DirjenKan). c) Jalur III (12 s/d 200 Mil laut atau batas terluar ZEE), diperbolehkan untuk kapal perikanan berbendera Indonesia 200 GT, kecuali yang menggunakan Pukat Cincin besar di Teluk Tomini, Laut Maluku, Laut Seram, Laut Flores, dan Laut Sawu dilarang untuk semua ukuran,kapal perikanan berbendera Indonesia 200 GT di ZEE Selat Malaka, kecuali yang menggunakan Pukat Ikan (Fish Net) 60 GT. Untuk perairan ZEE di luar ZEE Selat Malaka: - Kapal perikanan berbendera Indonesia dan asing 350 GT. - Kapal perikanan > GT yang menggunakan Pukat Cincin hanya boleh beroperasi diluar > 100 Mil laut dari garis pangkal kepulauan Indonesia. - Kapal perikanan yang menggunakan Pukat Cincin dengan sistem grup hanya boleh beroperasi > 100 Mil laut dari garis pangkal kepulauan Indonesia. - Kapal perikanan berbendera asing berdasarkan Peraturan pada Perundang- Undangan yang berlaku. 71

88 e. Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan No. PER.05/MEN/2008 tentang Usaha Perikanan Tangkap Pengaturan Izin Penangkapan Setiap orang atau badan hukum yang melakukan kegiatan penangkapan ikan dalam satuan armada penangkapan ikan wajib memiliki SIUP dan SIKPI dalam satuan armada penangkapan ikan. Setiap kapal penangkap ikan dan/atau kapal lampu dilengkapi dengan SIPI. Pembinaan dan Pengawasan terhadap Usaha Perikanan Pembinaan terhadap kegiatan usaha perikanan meliputi pembinaan pengelolaan usaha, sarana dan prasarana, teknik penangkapan dan produksi, dan mutu hasil perikanan. Pengawasan dan pengendalian dilakukan dengan sistem pemantauan, pengendalian, dan pemeriksaan lapangan terhadap operasional dan dokumen kapal perikanan, UPI, dan ikan hasil tangkapan oleh pengawas perikanan. Pengadaan Kapal Penangkap Ikan Setiap orang atau badan hukum Indonesia yang telah memiliki SIUP dapat mengadakan kapal penangkap ikan dan/atau kapal pengangkut ikan,baik dari dalam negeri maupun luar negeri. Pengaturan Pendaratan Ikan Setiap kapal penangkap ikan dan/atau kapal pengangkut ikan harus mendaratkan ikan hasil tangkapan di pelabuhan pangkalan yang tercantum dalam SIPI dan/atau SIKPI. 72

89 f. Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan PER.17/MEN/2006 tentang Usaha Perikanan Tangkap Peraturan Izin Penangkapan Setiap orang atau badan hukum yang melakukan kegiatan penangkapan ikan dalam satuan armada penangkapan ikan wajib memiliki SIUP atau APIPM, SIPI, dan SIKPI dalam satuan armada penangkapan ikan. Satuan armada penangkapan ikan terdiri dari kapal penangkap, kapal pengangkut ikan, dengan atau tanpa kapal lampu. Pembinaan dan Pengawasan terhadap Usaha Perikanan Pembinaan dan pengawasan terhadap kegiatan usaha perikanan di bidang penangkapan dan pengangkutan ikan dilakukan oleh Menteri, Gubernur dan Bupati/Walikota atau pejabat yang ditunjuk sesuai dengan kewenangannya. Pembinaan meliputi pembinaan pengelolaan usaha, sarana dan prasarana, teknik penangkapan dan produksi, dan mutu hasil perikanan. Pengadaan Kapal Penangkap Ikan Setiap orang atau badan hukum Indonesia yang telah memiliki SIUP dapat mengadakan kapal penangkap ikan dan/atau kapal pengangkut ikan,baik dari dalam negeri maupun luar negeri. Sanksi terhadap Pelanggaran Setiap orang atau badan hukum yang melakukan usaha perikanan tangkap yang melakukan pelangaaran terhadap ketentuan dalam Peraturan Menteri ini dapat dikenankan sanksi administratif atau sanksi pidana. Sanksi administratif dapat berupa peringatan tertulis, pembekuan, atau pencabutan SIUP, SIPI dan SIKPI. 73

90 g. Peraturan Pemerintah Nomor 54 Tahun 2002 tentang Usaha Perikanan Pengaturan Pungutan Perikanan Pungutan Pengusahaan Perikanan ditetapkan berdasarkan rumusan tarif per Gross Tonnage (GT) dikalikan ukuran GT kapal menurut jenis kapal perikanan yang digunakan. Bagi perusahaan perikanan skala kecil berdasarkan rumusan 1% (satu perseratus) dikalikan produktivitas kapal dikalikan Harga Patokan Ikan dan bagi perusahaan perikanan skala besar berdasarkan rumusan 2,5% (dua setengah perseratus) dikalikan produktivitas kapal dikalikan Harga Patokan Ikan. Untuk kegiatan pembudidayaan ikan sebesar 1% (satu perseratus dikalikan harga jual ikan hasil pembudidayaan. Pembinaan dan Pengawasan terhadap Usaha Perikanan Pembinaan terhadap kegiatan usaha perikanan di bidang penangkapan ikan dan pengangkutan ikan dilakukan oleh Menteri, Gubernur, dan Bupati/Walikota atau pejabat yang ditunjuk sesuai dengan kewenangannya. Pembinaan meliputi pembinaan iklim usaha, sarana usaha, tekni produksi, pemasaran, dan mutu hasil perikanan. Pengawasan dilakukan terhadap kegiatan penangkapan ikan dan pembudidayaan ikan serta penanganan hasil perikanan. h. Peraturan Daerah Provinsi Banten Nomor 6 Tahun 2004 tentang Izin Usaha Perikanan Peraturan Izin Penangkapan Setiap Warga Negara Indonesia, Badan Hukum atau Koperasi, yang melakukan kegiatan usaha perikanan wajib memiliki SIUP. Perusahaan Perikanan yang telah memperoleh SIUP, sebelum melakukan usaha penangkapan ikan dan pengangkutan ikan wajib memiliki SIPI atau SIKPI untuk setiap kapal yang 74

91 dipergunakan. SIUP berlaku selama perusahaan perikanan yang bersangkutan masih melakukan usaha perikanan. SIPI berlaku selama 3 tahun untuk penangkapan ikan dengan jenis alat tangkap pukat cincin, rawai tuna, jaring insang hanyut, atau huhate dan 2 (dua) tahun untuk jenis alat tangkap lainnya, SIKPI berlaku selama 3 tahun. Pengaturan Pungutan Perikanan Perusahaan Perikanan yang memiliki SIUP, SIPI, dan SIKPI dikenakan retribusi Izin Usaha Perikanan. Struktur dan besarnya tarif retribusi Izin Usaha Perikanan terlampir dalam Lampiran 5. Pembinaan dan Pengawasan terhadap Usaha Perikanan Pembinaan dan pengawasan terhadap Perusahaan Perikanan dilakukan oleh Gubernur sesuai dengan kewenangannya dan secara teknis operasional dilaksanakan oleh Kepala Dinas. Sanksi terhadap Pelanggaran Setiap orang yang melanggar dipidana dengan pidana kurungan paling lama 6 (enam) bulan atau denda paling banyak Rp (lima puluh juta). Menjaga Kelestarian Sumberdaya 1. Untuk menjaga kelestarian sumberdaya ikan, dilarang menggunakan bahan kimia, bahan biologis, bahan peledak, listrik, racun atau sejenisnya, alat dan/atau cara, dan/atau bangunan yang dapat merugikan dan/atau membahayakan dan dilarang melakukan kegiatan usaha perikanan di daerah tertentu yang telah ditetapkan oleh Pemerintah Daerah kecuali untuk kegiatan penelitian dan survey. 75

92 2. Dilarang menggunakan alat penagkap ikan trawl, mini trawl, atau alat tangkap lain yang telah dimodifkasi namun penggunaannya mirip trawl atau alat tangkap lain yang dilarang Pemerintah. 3. Dilarang melakukan Usaha Perikanan pada daerah selain yang telah ditentukan dalam SIUP. 4. Dilarang menggunakan alat tangkap statis dijalur pelayaran atau lalu lintas kapal. Bentuk Usaha Perikanan Usaha Perikanan meliputi usaha penangkapan ikan, usaha pembudidayaan ikan, usaha pengangkutan ikan, usaha pengolahan ikan dan usaha pemasaran ikan. i. Peraturan Daerah Kabupaten Pandeglang No 12 Tahun 2001 tentang Retribusi pasar Grosir dan Pertokoan Diperuntukkan Bagi Penyelenggaraan Pelelangan Ikan. Besarnya biaya retribusi pelelangan, ditetapkan sebesar 4% (empat perseratus) dari harga /nilai kotor atau raman pelelangan dan atau transaksi sebagai jenis barang di tempat pasar grosir yang dibebankan kepada: a. Pembeli/bakul sebesar 2% (dua perseratus) b. Penjual/Nelayan sebesar 2%(dua perseratus) Pungutan lain dalam kegiatan pelelangan ikan ditentukan berdasarkan musyawarah nelayan yang besarnya tidak lebih dari 4% (empat perseratus) dan hasilnya dituangkan dalam Keputusan Kepala Daerah/Kepala Dinas atas nama Kepala Daerah: a. Biaya pelelangan Ikan 2% b. Dana Sosial yang terdiri dari : - Tabungan Nelayan 1% 76

93 - Dana Paceklik 0,5% - Dana kecelakaan di laut dan asuransi nelayan 0,5% Aturan formal di atas mengatur sekitar sepuluh aspek pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya perikanan di Kecamatan Labuan. Kesepuluh aspek tersebut adalah Pengaturan izin penangkapan, Pengaturan pungutan perikanan, Pembinaan dan pengawasan terhadap usaha perikanan, Pengaturan zonasi dan jalur penangkapan ikan, Pengaturan alat penangkapan dan upaya penangkapan ikan, Pengadaan kapal penangkap ikan, Pengaturan pendaratan ikan, Sanksi terhadap pelanggaran, Menjaga kelestarian sumberdaya perikanan dan Bentuk usaha perikanan. Kesepuluh aspek tersebut dapat dilihat pada Tabel 17. Tabel 17. Aspek Pengelolaan Aturan Formal dalam Pengelolaan Sumberdaya Perikanan di Kecamatan Labuan No Aspek Tingkat Pengelolaan Pusat Daerah Keterangan 1 Pengaturan izin penangkapan X X Pengaturan izin penangkapan telah diatur di tingkat provinsi, akan tetapi masih terdapat banyak kapal yang tidak memiliki surat izin dan sudah 2 Pengaturan pungutan perikanan 3 Pembinaan dan pengawasan terhadap usaha perikanan melewati masa berlaku. X X Retribusi pelelangan tidak berjalan dengan lancar karena dianggap memberatkan oleh nelayan, sehingga seringkali nelayan menjual hasil tangkapan di luar TPI untuk menghindari pungutan restribusi X X Pembinaan telah dilakukan melalui sosialisasi, penyuluhan serta pelatihan kegiatankegiatan yang mendukung usaha perikanan. Pengawasan oleh pemerintah dan masyarakat telah dilakukan, tetapi belum maksimal karena keterbatasan sarana dan prasarana pengawasan. 77

94 Lanjutan Tabel 17. No Aspek Pengelolaan 4 Pengaturan zonasi dan jalur penangkapan ikan 5 Pengaturan alat penangkapan dan upaya penangkapan ikan 6 Pengadaan kapal penangkap ikan 7 Pengaturan pendaratan ikan 8 Sanksi terhadap pelanggaran 9 Menjaga kelestarian sumberdaya perikanan 10 Bentuk usaha perikanan Pusat x x Tingkat Daerah Keterangan Nelayan di Kecamatan Labuan belum memiliki sistem pengaturan atau pranata sosial (aturan masyarakat adat) yang ketat mengenai daerah perairan yang mana yang diperbolehkan dan daerah perairan laut yang dilarang dimasuki nelayan, dan pengaturan kawasan seperti zona preservasi, konservasi dan pemanfaatan Peraturan formal di tingkat provinsi telah mengatur jenisjenis alat tangkap apa saja yang boleh digunakan. x Tidak diatur dalam aturan formal tingkat provinsi dan kabupaten x Pendaratan ikan masih belum tertata rapi. Kapal didaratkan di pinggir pantai karena belum memiliki pelabuhan untuk pendaratan kapal. x x Belum maksimal dalam penegakan hukum. Beberapa tindakan pelanggaran masih diselesaikan melalui jalur musyawarah. x x Sebagian masyarakat pesisir sudah menjaga kelestarian sumberdaya perikanan, akan tetapi masih terdapat beberapa tindakan yang merusak baik penangkapan dengan menggunakan bom atau potas. Selain itu, daerah pantai Labuan masih dipenuhi sampah-sampah rumah tangga. x x Usaha perikanan meliputi penangkapan, pemasaran dan pengolahan ikan. 78

95 Beberapa aturan-aturan yang berlaku sudah diatur dalam peraturan formal di tingkat Provinsi dan Kabupaten. Peraturan perundang-perundangan yang berlaku telah mengatur sumberdaya perikanan, baik untuk tujuan ekonomi dan konservasi (perlindungan terhadap sumberdaya perikanan). Dari hasil analisis peraturan perundangan tersebut, sudah terlihat bahwa telah ada peraturan formal tentang pengelolaan sumberdaya perikanan. Akan tetapi yang menjadi masalah selama ini adalah bukan pada banyaknya peraturan, tetapi pada kepatuhan terhadap aturan-aturan tersebut serta pengetahuan terhadap aturan-aturan yang ada. Kegiatan perikanan di Kecamatan Labuan seperti terlepas dari berbagai aturan dan kebijakan tersebut. Tidak ada ketergantungan terhadap aturan formal yang berlaku. Peraturan yang berlaku sangat banyak, tetapi tidak ada pengawasan dan sistem hukum yang optimal. Kurangnya sosialisasi aturan-aturan formal pada seluruh masyarakat mengenai pengelolaan sumberdaya perikanan juga menyebabkan aturan merupakan hal yang kurang berpengaruh pada pengelolaan sumberdaya perikanan di Kecamatan Labuan. Selain itu, berbagai aturan yang diberlakukan dan dibentuk oleh pemerintah tanpa melibatkan masyarakat. Maka yang terjadi kemudian adalah kurangnya pemahaman masyarakat akan peraturan-peraturan yang ada dan berdampak pula pada rendahnya kesadaran masyarakat untuk melaksanakan aturan-aturan tersebut. Tidak adanya keterlibatan masyarakat dalam pembentukan aturan tersebut juga berarti pengabaian terhadap pengetahuan lokal (local knowledge) masyarakat setempat mengenai pengelolan sumberdaya perikanan. 79

96 6.2.2 Kelembagaan Informal Kearifan lokal berupa norma atau aturan tidak tertulis yang dikatakan dapat mendukung usaha-usaha pengelolaan sumberdaya perikanan di Kecamatan Labuan, antara lain adalah : pertama, adanya larangan untuk melakukan aktivitas penangkapan ikan pada setiap hari Jum'at. Mayoritas penduduk yang beragama Islam menjadikan aturan ini melekat pada kegiatan perikanan yang masyarakat jalankan. Menurut masyarakat setempat, hari Jumat adalah hari yang dikhususkan untuk beribadah. Sehingga pada hari tersebut, nelayan yang biasanya pergi melaut akan menggunakan waktunya untuk memperbaiki alat-alat yang digunakan pada kegiatan perikanan yang mereka lakukan. Kebiasan untuk tidak melaut pada hari Jumat ini juga berdampak baik bagi lingkungan, karena memberikan sedikit waktu bagi pemulihan kondisi alam. Hari jumat juga digunakan untuk bertemu dan bersilaturahmi dengan anggota masyarakat yang lain. Bagi para nelayan, hari Jumat merupakan satu-satunya waktu yang dapat mereka gunakan untuk dudukduduk bersama sambil minum kopi. Kedua, perasaan sebagai bagian dari suatu komunitas untuk tujuan pemerataan sumberdaya. Nelayan yang memiliki tingkat teknologi yang lebih tinggi biasanya akan menghindari daerah penangkapan yang sama dengan nelayan tradisional. Ketiga, masyarakat nelayan mengizinkan bagi nelayan dari daerah luar untuk menangkap ikan di daerah mereka dengan syarat mereka menghormati seluruh masyarakat yang tinggal di Labuan dan menggunakan alat tangkap yang sama dengan nelayan-nelayan dari daerah setempat. Keempat, adanya kesepakatan bagi para pelaku tidak melakukan tindakan-tindakan yang merugikan nelayan lain, seperti aktivitas pencurian ikan dan alat tangkap serta perusakan alat tangkap. Kelima, dilarang melakukan 80

97 pencemaran atau penangkapan ikan tidak ramah lingkungan, misalnya dengan bom, potasium, dan lain-lain. Larangan ini dicetuskan atas dasar kesadaran masyarakat setempat akan bahaya penggunaan bom dan potasium bagi keberlangsungan sumberdaya perikanan. Keenam, adanya aturan berbagi yaitu dalam penangkapan ikan-ikan pelagis yang tampak dari permukaan, seperti jenis tongkol, apabila ikan tersebut tertangkap sebagai hasil kerja dari beberapa kapal penangkap, maka ikan yang diperoleh harus dibagi dua antara kapal yang menangkap ikan dengan kapal yang pertama kali melihat disana memburu gerombolan ikan tersebut. Ketujuh, tidak boleh berbicara kotor dan kasar ketika berada ditengah laut. Kearifan tradisional dalam pengelolaan sumberdaya perikanan merupakan kebiasaan yang berlaku secara turun temurun oleh masyarakat dan belum menjadi hukum tertulis. Legalitasnya berasal dari kepercayaan, jika tidak ditaati akan ada peringatan dari yang maha kuasa. Kearifan lokal lambat laun mengalami kepunahan, semakin memudarnya aturan-aturan tak tertulis/kesepakatan yang pernah ada. Tabel 18. Aturan-aturan informal perikanan di Kecamatan Labuan No Aturan Informal 1 Larangan melakukan aktivitas penangkapan ikan pada setiap hari Jum'at. 2 Nelayan yang memiliki tingkat teknologi yang lebih tinggi biasanya menghindari daerah penangkapan yang sama dengan nelayan tradisional. 3 Masyarakat nelayan mengizinkan bagi nelayan dari daerah luar untuk menangkap ikan di daerah mereka. dalam pengelolaan sumberdaya Tujuan Sosial Ekonomi Konservasi X X X X X X 81

98 Lanjutan Tabel 18. No Aturan Informal 4 Kesepakatan bagi para pelaku tidak melakukan tindakan-tindakan yang merugikan nelayan lain. 5 Dilarang melakukan pencemaran atau penangkapan ikan tidak ramah lingkungan. Tujuan Sosial Ekonomi Konservasi X 6 Adanya aturan berbagi X X X 7 Tidak boleh berbicara kotor di tengah laut X Sumber: Data diolah (2010) Sebagian aturan-aturan informal tersebut sudah mulai memudar. Aturanaturan formal ini dulunya cukup efektif dalam mereduksi dan mencegah konflikkonflik dalam pemanfaatan sumberdaya perikanan. Aturan-aturan informal tersebut memiliki tujuan implisit yang mungkin tidak disadari oleh masyarakat nelayan dan sangat mendukung dalam pengelolaan sumberdaya perikanan yaitu untuk tujuan sosial, ekonomi dan konservasi. Hal ini menunjukkan bahwa betapa pentingnya suatu mekanisme kontrol sosial yang ada di masyarakat berupa kearifan lokal. Akan tetapi, aturan-aturan informal ini sudah mulai memudar dan mungkin tidak akan bertahan lama apabila tidak segera dikukuhkan menjadi aturan formal dan diakui oleh pemerintah. Pada umumnya, nelayan di Kecamatan Labuan belum memiliki sistem pengaturan atau pranata sosial (aturan masyarakat adat) yang ketat mengenai daerah perairan yang mana yang diperbolehkan dan daerah perairan laut yang dilarang dimasuki nelayan, dan pengaturan kawasan seperti zona preservasi, konservasi dan pemanfaatan. Dengan kata lain, di Kecamatan Labuan berlaku status rezim open access (no property rights) dalam pemanfaatan sumberdaya ikan, yang khusus berlaku dikalangan internal masyarakat Kecamatan Labuan, X 82

99 karena memang tidak ditemukan kelembagaan adat yang mengatur fishing ground yang buka dan tutup (close and open season) untuk kegiatan perikanan berdasarkan daerah penangkapan ikan pada lokasi tertentu. Masyarakat di Kecamatan Labuan tidak mengenal klaim atas kepemilikan laut sehingga merupakan sumberdaya yang bersifat common property/milik bersama. Masyarakat menganut paham laut merupakan milik bersama dan boleh dimanfaatkan oleh siapa saja. 6.3 Biaya Transaksi Pengelolaan Sumberdaya Perikanan di Kecamatan Labuan Berdasarkan hasil analisis aktor terlihat bahwa aktor pemain utama dalam kelembagaan pengelolaan sumberdaya perikanan adalah kelompok pemerintah dan kelompok nelayan. Oleh karena itu, analisis biaya transaksi yang dilakukan dalam penelitian ini difokuskan pada kelompok tersebut Kelompok Pemerintah Secara sistematis biaya transaksi yang dikeluarkan oleh pemerintah dalam pengelolaan sumberdaya perikanan di Kecamatan Labuan dapat dilihat pada Gambar 11. Biaya Transaksi Biaya informasi Biaya operasional bersama Biaya pengambilan keputusan Biaya Konsultasi Masterplan Minapolitan Biaya Pertemuan Biaya Sosialisasi Biaya Pembangun an sarana dan prasarana perikanan Biaya Pembinaan dan pelatihan iklim usaha, sarana usaha, tekhnik produksi, pemasaran dan mutu hasil perikanan Biaya pengawasan dan perizinan Biaya pelatihan pengadaan sarana dan prasarana budidaya ikan Gambar 11. Biaya Transaksi Pemerintah dalam Pengelolaan Sumberdaya Perikanan di Kecamatan Labuan 83

100 Berdasarkan Gambar 11 di atas, total biaya transaksi yang dikeluarkan oleh pemerintah dalam pengelolaan sumberdaya perikanan meliputi : (1) biaya informasi yaitu biaya konsultasi masterplan minapolitan, (2) biaya pengambilan keputusan yaitu biaya pertemuan dan biaya sosialisasi dan (3) biaya operasional bersama yaitu biaya pembangunan sarana dan prasarana perikanan, biaya pembinaan dan pelatihan iklim usaha, sarana usaha, tekhnik produksi, pemasaran dan mutu hasil perikanan, biaya pengawasan dan perizinan, serta biaya pelatihan pengadaan sarana dan prasarana budidaya ikan. Besarnya biaya transaksi yang dikeluarkan oleh pemerintah dalam pengelolaan sumberdaya perikanan dapat dilihat pada Tabel 19. Tabel 19. Biaya Transaksi Pemerintah dalam Pengelolaan Sumberdaya Perikanan di Kecamatan Labuan No Jenis Biaya Biaya Per tahun (Rp) 1 Biaya Informasi - Biaya konsultasi masterplan minapolitan 2 Biaya Pengambilan Keputusan - Biaya Pertemuan - Biaya Sosialisasi 3 Biaya Operasional Bersama - Biaya Pembangunan sarana dan prasarana perikanan - Biaya Pembinaan dan pelatihan iklim usaha, sarana usaha, tekhnik produksi, pemasaran dan mutu hasil perikanan - Biaya pengawasan dan perizinan - Biaya pelatihan pengadaan sarana dan prasarana budidaya ikan Total Biaya Transaksi Sumber : Diolah dari Dokumen Pelaksanaan Anggaran Satuan Kerja Perangkat Daerah (DPA SKPD) Belanja Aparatur dan Publik Tahun Anggaran 2010 Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Pandeglang 84

101 Berdasarkan Tabel 19 di atas, total biaya transaksi yang dikelurkan oleh pemerintah setiap tahunnya sekitar Rp Biaya terbesar yang dikeluarkan adalah biaya operasional bersama sebesar Rp Hal ini disebabkan banyaknya jenis-jenis biaya transaksi yang harus dikeluarkan dalam kegiatan operasional pengelolaan sumberdaya perikanan di Kecamatan Labuan Kelompok Nelayan Secara sistematis biaya transaksi yang dikeluarkan oleh kelompok nelayan dalam pengelolaan sumberdaya perikanan di Kecamatan Labuan dapat dilihat pada Gambar 12 Biaya Transaksi Biaya Pengambilan Keputusan Biaya Operasional Bersama Biaya Pertemuan Biaya Koordinasi Biaya Sosialisasi Biaya Pelatihan Biaya Pengawasan Gambar 12. Biaya Transaksi Nelayan dalam Pengelolaan Sumberdaya Perikanan di Kecamatan Labuan Berdasarkan Gambar 12 di atas, total biaya transaksi yang dikeluarkan oleh nelayan dalam pengelolaan sumberdaya perikanan meliputi : (1) biaya pengambilan keputusan yaitu biaya pertemuan, biaya koordinasi dan biaya sosialisasi dan (2) biaya operasional bersama yaitu biaya pelatihan dan biaya pengawasan. Besarnya biaya transaksi yang dikeluarkan oleh pemerintah dalam pengelolaan sumberdaya perikanan dapat dilihat pada Tabel

102 Tabel 20. Biaya Transaksi Nelayan dalam Pengelolaan Sumberdaya Perikanan di Kecamatan Labuan No Jenis Biaya Biaya per Tahun (Rp) 1 Biaya pengambilan Keputusan - Biaya Pertemuan - Biaya Koordinasi - Biaya Sosialisasi 2 Biaya Operasional Bersama - Biaya pelatihan - Biaya pengawasan Total Biaya Sumber : Data primer diolah, 2010 Berdasarkan tabel di atas, total biaya transaksi yang dikeluarkan oleh nelayan dalam pengelolaan sumberdaya perikanan setiap tahunnya sekitar Rp Biaya terbesar yang dikeluarkan adalah biaya pengambilan keputusan sebesar Biaya transaksi yang dikeluarkan nelayan jauh lebih kecil dibandingkan dengan biaya transaksi yang dikeluarkan oleh pemerintah. Hal ini disebabkan nelayan tidak terlalu banyak mengeluarkan uang untuk beberapa kegiatan, seperti pembangunan sarana dan pasarana, pengawasan sumberdaya perikanan dan biaya pembinaan. 86

103 VII. KESIMPULAN DAN SARAN 7.1 Kesimpulan 1. Stakeholders yang berkaitan dengan pengelolaan sumberdaya perikanan di Kecamatan Labuan sebagai berikut : a. Subjects yaitu Bakul/Pedagang Pengumpul, Langgan/Juragan dan Industri Pengolah Ikan. b. Players yaitu Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Banten, Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Pandeglang, Unit Pelaksana Teknis PPI dan TPI Kecamatan Labuan, Tempat Pelelangan Ikan, Rukun Nelayan, HNSI, Koperasi Perikanan dan POKMASWAS Sumberdaya Perikanan Labuan. c. Bystanders yaitu Aparat Desa, Pemerintah Kecamatan dan Perbankan d. Actors yaitu Satpolair. Jadi, aktor yang terlibat secara langsung dalam pengelolaan sumberdaya perikanan di Kecamatan Labuan ada 12 stakeholder yaitu Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Banten, Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Pandeglang, Unit Pelaksana Teknis PPI dan TPI Kecamatan Labuan, Tempat Pelelangan Ikan, Rukun Nelayan, HNSI, Koperasi Perikanan, POKMASWAS Sumberdaya Perikanan Labuan, Bakul/Pedagang Pengumpul, Langgan/Juragan, Industri Pengolah Ikan dan Satpolair. 2. Aturan-aturan formal yang berlaku telah mengatur sumberdaya perikanan, baik untuk tujuan ekonomi dan konservasi (perlindungan terhadap sumberdaya perikanan). Akan tetapi, kepatuhan terhadap aturan-aturan tersebut serta pengetahuan terhadap aturan-aturan yang ada sangat rendah, 87

104 disebabkan kurangnya sosialisasi pada masyarakat serta kurangnya pengawasan dan sistem hukum yang optimal. Aturan-aturan informal secara implisit memiliki tujuan sosial, ekonomi dan konservasi dalam mendukung pengelolaan sumberdaya perikanan di Kecamatan Labuan. Hal ini menunjukkan bahwa betapa pentingnya suatu mekanisme kontrol sosial yang ada di masyarakat berupa kearifan lokal. Akan tetapi, aturan-aturan informal ini sudah mulai memudar karena sifatnya yang tidak tertulis. 3. Total biaya transaksi yang dikeluarkan oleh pemerintah dalam pengelolaan sumberdaya perikanan adalah Rp dalam setahun. Sementara itu, total biaya transaksi yang dikeluarkan nelayan dalam pengelolaan sumberdaya perikanan adalah Rp dalam setahun. Biaya transaksi yang dikeluarkan nelayan jauh lebih kecil dibandingkan dengan biaya transaksi yang dikeluarkan oleh pemerintah. Hal ini disebabkan nelayan tidak terlalu banyak mengeluarkan uang untuk beberapa kegiatan, seperti pembangunan sarana dan pasarana, pengawasan sumberdaya perikanan dan biaya pembinaan. 7.2 Saran 1. Bagi stakeholders agar dapat terus berperan aktif dalam pengelolaan sumberdaya perikanan sehingga dapat bermanfaat bagi keberlanjutan generasi mendatang. 2. Pengelolaan sumberdaya perikanan di Kecamatan Labuan perlu dilakukan dengan sistem kelembagaan yang kuat. Aturan main formal yang sudah ditetapkan harus dijalankan. Selain meningkatkan pemahaman dan sosialisasi aturan, perlu tindakan tegas dalam penegakan peraturan yang 88

105 berlaku. Perlu adanya dukungan dari pemerintah dalam pengukuhan aturanaturan informal sehingga lebih diakui keberadaannya. Hal ini dimaksudkan agar pengelolaan sumberdaya perikanan dapat berjalan secara berkelanjutan dan bertanggung jawab. 3. Perlu adanya penelitian lanjutan tentang design kelembagaan yang paling tepat untuk diterapkan dalam pengelolaan sumberdaya perikanan di Kecamatan Labuan. 89

106 DAFTAR PUSTAKA Abbas, Rahmat Mekanisme Perencanaan Partisipasi Stakeholder Taman nasional Gunung Rinjani. [Disertasi]. Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Bogor. Abdullah N.M.R., K. Kuperan and R.S. Pomeroy Transaction cost and fisheries co-management. Marine Resource Economics Volume 13 : Anggraini, Eva Analisis Biaya Transaksi Dan Penerimaan Nelayan Dan Petani Di Pelabuhanratu Kabupaten Sukabumi. Tesis. Sekolah Pasca Sarjana. Institut Pertanian Bogor. Bogor. Badan Koordinasi Penanaman Modal Banten Potensi Kabupaten Pandeglang. Diakses tanggal 10 November Badan Pusat Statistik Provinsi Banten Banten Dalam Angka Diakses tanggal 19 April Fauzi, Akhmad Kebijakan Perikanan dan Kelautan. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta. Fauzi, Akhmad Ekonomi Sumber Daya Alam dan Lingkungan. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta. Haswanto, A. I Studi Konstruksi Kelembagaan Pengelolaan Sea Farming (Kasus di Pulau Panggang Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu). Tesis. Sekolah Pasca Sarjana. Institut Pertanian Bogor. Bogor. Mulyana, Banten Targetkan Perikanan Budidaya 105 Ribu Ton. Diakses tanggal 23 Mei Nikijuluw, Politik Ekonomi Perikanan Bagaimana dan Kemana Bisnis Perikanan. PT Fery Agung Corporation. Jakarta. Nurani, T.W Pengembangan Perikanan Berbasis Karakteristik Spesifik dari Potensi Daerah [Desertasi]. Bogor:IPB. Pomeroy R.S, Berkes F Two to Tango: the role of government in fisheries co-management. Marine Policy 21: Riyadi, D.M.M Kebijakan Pembangunan Sumberdaya Pesisir Sebagai Alternatif Pembangunan Indonesia Masa Depan. Diakses pada tanggal 18 April

107 Rudyanto, A Kerangka Kerjasama Dalam Pengelolaan Sumberdaya Pesisir Dan Laut. Diakses pada tanggal 18 April Satria, Arif Pesisir dan Laut untuk rakyat. IPB Press. Bogor Sekretariat Jenderal Kementerian Kelautan dan perikanan Data Pokok Kelautan dan Perikanan Periode s.d Oktober oktober-2011.pdf/. Diakses pada tanggal 23 Mei Suhana Analisis Ekonomi Kelembagaan Dalam Pengelolaan Sumberdaya Ikan Teluk Palabuhanratu Kabupaten Sukabumi. Tesis. Sekolah Pasca Sarjana. Institut Pertanian Bogor. Bogor. Sukmadinata, Taswa Kajian Kelembagaan Transaksi dalam Pemasaran Hasil Usaha Penangkapan Ikan di Jawa Timur. Tesis. Sekolah Pasca Sarjana. Institut Pertanian Bogor. Bogor. Widodo, Johanes dan Suadi Pengelolaan Sumberdaya Perikanan Laut. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta. 91

108 LAMPIRAN 92

109 Lampiran 1. Peta Kecamatan Labuan 93

110 Lampiran 2. Kuisioner Penelitian INSTITUT PERTANIAN BOGOR FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN DEPARTEMEN EKONOMI SUMBERDAYA DAN LINGKUNGAN Jl. Kamper Level 5 Wing 5 Kampus IPB Darmaga Bogor Telp/ Fax : (0251) Identifikasi Pengelolaan dan Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan No responden : Nama : Jabatan : Umur : I. Umum 1. Berapa potensi sumberdaya ikan di Kecamatan Labuan? Bagaimana tingkat pemanfaatan ikan sepuluh tahun terakhir? [ ] Meningkat [ ] Menurun [ ] Tetap 3. Jenis ikan apa saja yang ada di Kecamatan Labuan? Jenis ikan apa yang dominan ditangkap oleh nelayan? II. Identifikasi Aktor 1. Apa saja bentuk keterlibatan terkait pengelolaan sumberdaya perikanan?

111 Bagaimana peranan dan kontribusi dalam pengelolaan sumberdaya perikanan? Bagaimana hubungan lembaga (kelompok) dengan pihak lain. - Koordinasi : Konsultasi: Instruksi: Pihak mana saja yang pernah membantu anda mengelola sumberdaya perikanan: [ ] DKP Provinsi [ ] DKP Kabupaten [ ] Pemerintah Daerah [ ] Perguruan Tinggi [ ] LSM [ ] Swasta [ ] Organisasi masyarakat [ ] Perorangan, [ ] Lainnya : 95

112 5. Bagaimana hubungan komunikasi dengan pihak lain dalam pengelolaan sumberdaya perikanan? Bagaimana tipe pengelolaan sumberdaya perikanan? [ ] instruktif, terdapat komunikasi dan tukar informasi yang minimal antara pemerintah dan pelaku perikanan [ ] konsultatif, terdapat mekanisme dialog antar pemerintah dan pelaku perikanan tetapi pengambilan keputusan masih dilakukan pemerintah [ ] kooperatif, pemerintah dan pelaku perikanan bekerja sama dalam pengambilan keputusan sebagai partner yang memiliki posisi tawar yang sama (equal partner) [ ] advisori, pelaku perikanan memberikan input bagi pengambilan keputusan tentang perikanan kemudian pemerintah menetapkan keputusan tersebut [ ] informatif, pemerintah mendelegasikan pengambilan keputusan kepada pelaku perikanan kemudian diinformasikan kepda pemerintah. III. Konflik 1. Apakah pernah terjadi konflik dalam pengelolaan sumberdaya perikanan [ ] Pernah (langsung ke pertanyaan 2) [ ] Belum Pernah 2. Bagaimana intensitas konflik dalam sepuluh tahun terakhir [ ] Sering [ ] Jarang 3. Bagaimana sejarah konflik?

113 Apa yang menjadi penyebab terjadinya konflik [ ] Pelanggaran Jalur Penangkapan [ ] Penurunan jumlah ikan [ ] Lainnya, sebutkan: Siapa saja pihak yang terlibat? Bagaimana mekanisme penyelesaian konflik? IV. Peraturan 1. Apakah ada peraturan formal yang mengatur sumberdaya perikanan di kecamatan Labuan? [ ] Ya : No Jenis Peraturan Hal-hal yang di atur [ ] Tidak 2. Apakah ada peraturan informal yang mengatur sumberdaya perikanan di kecamatan Labuan? 97

114 [ ] Ya : No Jenis Peraturan Hal-hal yang di atur [ ] Tidak V. Biaya Transaksi 1. Biaya Informasi No Biaya nominal Keterangan/alasan Biaya Pengambilan Keputusan Bersama No Biaya nominal Keterangan/alasan Biaya Operasional Bersama No Biaya nominal Keterangan/alasan

115 INSTITUT PERTANIAN BOGOR FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN DEPARTEMEN EKONOMI SUMBERDAYA DAN LINGKUNGAN Jl. Kamper Level 5 Wing 5 Kampus IPB Darmaga Bogor Telp/ Fax : (0251) Identifikasi Pengaruh dan Kepentingan Stakeholder Panduan Scoring Penilaian Tingkat Kepentingan Stakeholders terhadap Pengelolaan Sumberdaya Perikanan 1. Keterlibatan stakeholders terkait Pengelolaan Sumberdaya Perikanan Skor 5: Terlibat dalam perencanaan, pengorganisasian, pelaksanaan dan pengawasan/evaluasi Skor 4 : Keterlibatan dalam 3 point saja Skor 3 : Keterlibatan dalam 2 point saja Skor 2 : Keterlibatan dalam 1 point saja Skor 1 : Tidak terlibat 2. Manfaat Pengelolaan sumberdaya Perikanan Skor 5 : Untuk penerimaan daerah/mata pencaharian, penyerapan tenaga kerja, menjaga keberlanjutan sumberdaya, dapat berinteraksi dengan orang luar Skor 4 : mendapat 3 manfaat Skor 3 : mendapat 2 manfaat Skor 2 : mendapat 1 manfaat Skor 1 : tidak mendapatkan manfaat 3. Sumberdaya yang disediakan Skor 5 : Menyediakan sumberdaya manusia, dana, fasilitas dan informasi Skor 4 : menyediakan 3 sumberdaya Skor 3 : menyediakan 2 sumberdaya Skor 2 : menyediakan 1 sumberdaya Skor 1 : tidak menyediakan sumberdaya apapun 4. Apakah pengelolaan sumberdaya perikanan menjadi prioritas Skor 5 : sangat menjadi prioritas, jika seluruh kegiatannya hanya fokus untuk pengelolaan sumberdaya perikanan 99

116 Skor 4 : prioritas, jika jika 80% dari kegiatannya untuk pengelolaan sumberdaya perikanan Skor 3 : cukup menjadi prioritas, jika 60% dari kegiatannya untuk pengelolaan sumberdaya perikanan Skor 2 : kurang menjadi prioritas, jika 40% kegiatannya untuk pengelolaan sumberdaya perikanan Skor 1 : tidak menjadi prioritas sama sekali, jika kurang dari 20% dari seluruh kegiatannya yang digunakan untuk pengelolaan sumberdaya perikanan 5. Tingkat ketergantungan terhadap sumberdaya perikanan Skor 5 : 100 % bergantung terhadap keberadaan sumberdaya perikanan (lokasi penangkapan, hasil tangkapan, budidaya, konservasi) Skor 4 : 80 % Skor 3 : 60 % Skor 2 : 40 % Skor 1 : 20 % 100

117 No Kepentingan Aspek Jawaban Skor Keterlibatan Stakeholder a.perencanaan b.pengorganisasian c.pelaksanaan d.pengawasan/evaluasi 2 Manfaat Pengelolaan Sumberdaya Perikanan a.penerimaan daerah/mata pencaharian b.penyerapan tenaga kerja c.menjaga keberlanjutan sumberdaya d.dapat berinteraksi dengan orang luar 3 Sumberdaya yang disediakan a.sumberdaya Manusia b.dana c.fasilitas d.informasi 4 Pengelolaan sumberdaya menjadi prioritas a.sangat menjadi prioritas b.prioritas c.cukup menjadi prioritas d.kurang menjadi prioritas e.tidak menjadi prioritas 5 Tingkat ketergantungan terhadap sumberdaya perikanan a.lokasi penangakapan b.hasil Tangkapan c.budidaya d.konservasi 101

118 Panduan Scoring Penilaian Tingkat Pengaruh Stakeholders terhadap Pengelolaan Sumberdaya Perikanan 1. Aturan atau kebijakan pengelolaan sumberdaya perikanan Skor 5 : Menetapkan aturan dan kebijakan, melaksanakan aturan dan kebijakan, penegakan hukum, pemantauan/pengawasan Skor 4 : Hanya menyebutkan tiga saja Skor 3 : Hanya menyebutkan dua saja Skor 2 : Hanya menyebutkan satu saja Skor 1 : Tidak melakukan apapun 2. Peran dan partisipasi dalam perencanaan atau pengambilan keputusan dalam pengelolaan sumberdaya perikanan Skor 5: Sangat besar, memberikan kontribusi berupa dana, SDM, fasilitas dan dalam pelaksanaannya Skor 4 : besar, jika berkontribusi terhadap tiga point Skor 3 : cukup besar, jika hanya berkontribusi terhadap dua point saja Skor 2 : kurang, jika hanya berkontribusi terhadap salah satu point saja Skor 1 : sangat kecil, tidak mempunyai kontribusi sama sekali 3. Kemampuan dalam berinteraksi Skor 5 : Mengadakan forum untuk membahas rencana pengelolaan, mengadakan kerjasama, saling mempengaruhi antara stakeholder yang bekerjasama, mengubah arah pengelolaan Skor 4 : hanya menyebutkan tiga saja Skor 3 : hanya menyebutkan dua saja Skor 2 : hanya menyebutkan salah satu saja Skor 1 : jika tidak melakukan apapun 4. Kewenangan Stakeholder terkait dengan Pengelolaan Skor 5 : Kewenangan dalam perlindungan/pengamanan/pengawasan sumberdaya perikanan,pembangunan sarana dan prasarana,pemberdayaan masyarakat, pelayanan perizinan Skor 4 : Kewenangan dalam 3 point saja Skor 3 : Kewenangan dalam 2 point saja Skor 2 : kewenangan dalam 1 point saja 102

119 Skor 1 : Tidak memiliki kewenangan 5. Bagaimana kapasitas / kondisi sumberdaya yang disediakan? Keterangan : SDM : jika penempatannya sesuai dengan bidang dan keahliannya, jika diberikan pelatihan, ada reward and punishment, Dana : jika dapat menghasilkan dana mandiri, penggunaan sesuai dengan tujuan, tidak mengalami defisit Fasilitas : jika fasilitasnya lengkap, sesuai kebutuhan, terawat. Informasi : jika dapat menjadi sumber informasi bagi pihak lain, informasi yang diberikan sesuai dengan bidang pengelolaannya, informasinya akurat Skor 5 : sangat baik, jika menyebutkan lebih dari 10 point Skor 4 : baik, jika instansi menyebutkan 7-9 point Skor 3 : cukup, jika menyebutkan 4-6 point Skor 2 : kurang, jika hanya menyebutkan 3 point saja Skor 1 : jika tidak menyediakan sumberdaya apapun 103

120 No Pengaruh Aspek Jawaban Skor Aturan/kebijakan Pengelolaan 2 Peran dan partisipasi 3 Kemampuan dalam berinteraksi 4 Kewenangan terkait Pengelolaan 5 Kapasitas / kondisi sumberdaya yang disediakan a.menetapkan aturan dan kebijakan, b.melaksanakan aturan dan kebijakan c.penegakan hokum d.pemantauan/penga wasan a.kontribusi berupa dana b.kontribusi Sumberdaya manusi c.kontribusi Fasilitas d.kontribusi dalam pelaksanaan a.mengadakan forum untuk membahas rencana pengelolaan b.mengadakan kerjasama c.saling mempengaruhi antara stakeholder yang bekerjasama d.mengubah arah pengelolaan a.perlindungan/peng amanan/pengawasan b.pembangunan sarana dan prasarana c.pemberdayaan masyarakat d.pelayanan perizinan a.sdm sesuai dengan bidang dan keahliannya b.fasilitas yang cukup c.dana mandiri d.informasi akurat 104

121 Lampiran 3. Responden Penelitian No Nama Responden Keterangan 1 Wahyu K, S.Pi.M.Si Seksi Pengendalian Sumberdaya Perikanan Dinas Perikanan dan Kelautan Provinsi Banten 2 Ir. Rachmat Ruhiyat Seksi Penanganan Pelanggaran Sumberdaya Perikanan Dinas Perikanan dan Kelautan Provinsi Banten 3 Agus Wahyudin S.Pi.M.Si Seksi Perikanan Tangkap Dinas Perikanan dan Kelautan Kabupaten Pandeglang 4 Juanda, SH.MM Bidang sarana Produksi Dinas Perikanan dan Kelautan Kabupaten Pandeglang 5 Drs. H. Samsudin, MM Bidang Bina Usaha Dinas Perikanan dan Kelautan Kabupaten Pandeglang 6 Yayat Hidayat Ketua UPT PPI dan TPI Labuan 7 Supardi Kepala Sub Bagian Tata Usaha UPT 8 H. Didin Ketua TPI I 9 H. Mahmud Ketua TPI II 10 Una Juru Lelang TPI II 11 H. Mualad Kepala Desa Teluk Kecamatan Labuan 12 H. Tawaluddin Kepala Desa Labuan Kecamatan Labuan 13 Zaenal, SH Camat Labuan 14 Atmawijaya Sekretaris Kecamatan (Sekmat) Labuan 15 H. Nur Hamid Ketua Rukun Nelayan (Tokoh masyarakat) Kecamatan Labuan 16 Yuyun Sutisna Sekretaris Rukun Nelayan Kecamatan Labuan 17 Endang Kurniawan Anggota Rukun Nelayan 18 H. Abduk Wahab Sekretaris HNSI Kabupaten Pandeglang 19 Syafruddin Anggota HNSI Kecamatan Labuan 20 H. Suradi Ketua Koperasi Perikanan Sinar Laut Kecamatan Labuan 21 Satori Pengelola Koperasi Perikanan 22 Samsudin Bakul/Pedagang Pengumpul 23 H. Kartogi Juragan/Langgan 24 Sardi Sukeni Pemilik Usaha Pengolahan Ikan asin (pengasinan) 25 Sudin Pemilik Usaha Pembuatan Ikan Pindang 26 Suprapto, SE Kepala Cabang bank BRI Labuan 27 H. Narafis Ketua Pokmaswas Bina Bersama Kecamatan Labuan 28 Asep Anggota Pokmaswas 29 Ir. Munandar, MS.i Polair 30 Martono Polair 105

122 Lampiran 4. Nilai Skor Analisis Stakeholder No Responden P1 P2 P3 P4 P5 K1 K2 K3 K4 K5 1 Seksi Pengendalian Sumberdaya Perikanan Dinas Perikanan dan Kelautan Provinsi Banten Seksi Penanganan Pelanggaran Sumberdaya Perikanan Dinas Perikanan dan Kelautan Provinsi Banten ,0 18,5 Seksi Perikanan Tangkap Dinas Perikanan dan Kelautan Kabupaten Pandeglang Bidang sarana Produksi Dinas Perikanan dan Kelautan Kabupaten Pandeglang Bidang Bina Usaha Dinas Perikanan dan Kelautan Kabupaten Pandeglang ,7 19,7 6 Ketua UPT PPI dan TPI Kecamatan Labuan Kepala Sub Bagian Tata Usaha PPI dan TPI Kecamatan Labuan ,0 15,5 8 Ketua TPI I Ketua TPI II Juru Lelang ,7 18,3 11 Kepala Desa Teluk Kecamatan Labuan Kepala Desa Labuan Kecamatan Labuan ,0 6,0 13 Camat Labuan Sekretaris Kecamatan (Sekmat) Labuan ,0 6,0 106

123 Lanjutan Lampiran 4. No Responden P1 P2 P3 P4 P5 K1 K2 K3 K4 K5 15 Ketua Rukun Nelayan (Tokoh masyarakat) Kecamatan Labuan Sekretaris Rukun Nelayan Kecamatan Labuan Anggota Rukun Nelayan ,0 16,0 18 Sekretaris HNSI Kabupaten Pandeglang Anggota HNSI Kecamatan Labuan ,0 17,0 20 Ketua Koperasi Perikanan Sinar Laut Kecamatan Labuan Pengelola Koperasi Perikanan ,0 18,0 22 Bakul/Pedagang Pengumpul , ,0 23 Langgan/Juragan , ,0 24 Pemilik Usaha Pengolahan Ikan asin (pengasinan) Pemilik Usaha Pembuatan Ikan Pindang ,0 15,0 26 Perbankan , ,0 27 Ketua Pokmaswas Bina Bersama Kecamatan Labuan Anggota Pokmaswas Bina Bersama Kecamatan Labuan ,0 18,0 29 Polair Polair ,0 11,0 107

124 Lampiran 5. Analisis Peraturan Nasional dan Daerah sebagai dasar Hukum Dalam Pengelolaan Sumberdaya Perikanan di Kecamatan Labuan No Aturan Jenis Peraturan Pasal dan ayat 1 Pengaturan Izin Penangkapan Undang-undang No 31 tahun 2004 tentang Perikanan Pasal 26 (1) Setiap orang yang melakukan usaha perikanan di bidang penangkapan, pembudidayaan, pengangkutan, pengolahan, dan pemasaran ikan di wilayah pengelolaan perikanan Republik Indonesia wajib memiliki SIUP. (2) Kewajiban memiliki sebagaimana dimaksud pada ayat (1), tidak berlaku bagi nelayan kecil dan atau pembudi daya-ikan kecil. Pasal 27 (1) Setiap orang yang memiliki dan/atau mengoperasikan kapal penangkap ikan berbendera Indonesia yang dipergunakan untuk melakukan penangkapan ikan di wilayah pengelolaan perikanan Republik Indonesia dan/atau laut lepas wajib memiliki SIPI. (2) Setiap orang yang memiliki dan/atau mengoperasikan kapal penangkap ikan berbendera asing yang dipergunakan untuk melakukan penangkapan ikan di wilayah pengelolaan perikanan Republik Indonesia wajib memiliki SIPI. (3) SIPI sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diterbitkan oleh Menteri (4) Kapal penangkap ikan berbendera Indonesia yang melakukan penangkapan ikan di wilayah yuridiksi negara lain harus terlebih dahulu mendapatkan persetujuan dari Pemerintah. Pasal 28 (1) Setiap orang yang memiliki dan/atau mengoperasikan kapal pngangkut ikan di wilayah pengelolaan perikanan Republik Indonesia wajib memiliki SIKPI. (2) SIKPI sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diterbitkan oleh Menteri Pasal 30 (1) Pemberian surat izin usaha perikanan kepada orang dan/atau badan hukum asing beroperasi di ZEEI harus didahului dengan perjanjian perikanan, pengaturan akses, atau pengaturan lainnya antara Pemerintah Republik Indonesia dan pemerintah negara berbendera kapal. (2) Perjanijian perikanan yang dibuat antara Pemerintah Republik Indonesia dan pemerintah negara berbendera kapal sebagaimana dimaksud pada ayat (1), harus mencantumkan kewajiban pemerintah negara bendera kapal untuk bertanggung jawab atas kepatuhan orang atau badan hukum negara bendera kapal untuk mematuhi perjanjian perikanan tersebut. (3) Pemerintah menetapkan pengaturan mengenai pemberian izin usaha perikanan kepada orang dan/atau badan hukum asing yang beroperasi di ZEEI, perjanjian perikanan, pengaturan akses, atau pengaturan lainnya antara Pemerintah Republik Indonesia dan pemerintah negara bendera kapal. Pasal 31 (1) Setiap kapal perikanan yang dipergunakan untuk menangkap ikan di wilayah pengelolaan perikanan Republik Indonesia wajib dilengkapi SIPI. (2) Setiap kapal perikanan yang dipergunakan untuk menangkap ikan di wilayah pengelolaan perikanan Republik Indonesia wajib dilengkapi SIKPI. Pasal 36 (1) Kapal perikanan milik orang Indonesia yang dioperasikan di wilayah pengelolaan perikanan Republik Indonesia wajib didaftarkan terlebih dahulu sebagai kapal perikanan Indonesia. 108

125 Undang-undang No 45 tahun 2009 tentang Perikanan (2) Pendaftaran kapal perikanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilengkapi dengan dokumen yang berupa: a. Bukti kepemilikan; b. Identitas pemilik; dan c. Surat ukur. (3) Pendaftaran kapal perikanan yang dibeli atau diperoleh dari luar negeri dan sudah terdaftar di negara asal untuk didaftar sebagi kapal perikanan Indonesia, selain dilengkapi dengan dokumen sebagaimana dimaksud pada ayat (2) harus dilengkapi pula dengan surat keterangan penghapusan dan daftar kapal yang diterbitkan oleh negara asal. (4) Ketentuan lebih lanjut mengenai pendaftaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1), (2), dan ayat (3) diatur dengan Peraturan Menteri (5) Kapal perikanan yang telah terdaftar sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Pasal 38 (1) Setiap kapal penangkap ikan berbendera asing yang tidak memiliki izin penangkapan ikan selama berada di wilayah pengelolaan perikanan Republik Indonesia wajib menyimpan alat penangkapan ikan di dalam palka. (2) Setiap kapal penangkap ikan berbendera asing yang telah memiliki izin penangkapan ikan dengan 1 (satu) jenis alat penangkapan ikan tertentu pada bagian tertentu di ZEEI dilarang membawa alat penangkapan ikan lainnya. (3) Setiap kapal penangkap ikan berbendera asing yang telah memiliki izin penangkapan ikan wajib menyimpan alat penangkapan ikan di dalam palka selama berada di luar daerah penangkapan ikan yang diizinkan di wilayah pengelolaan perikanan Republik Indonesia. Pasal 39 Kapal penangkap ikan berbendera Indonesia dengan ukuran dan jenis tertentu dimungkinkan menggunakan 2 (dua) jenis alat penangkapan ikan yang diizinkan secara bergantian berdasarkan musim dan daerah operasi penangkapan. Pasal 42 (1) Dalam rangka keselamatan pelayaran, ditunjuk syahbandar di pelabuhan perikanan (2) Setiap kapal perikanan yang akan berlayar dari pelabuhan perikanan wajib memiliki surat izin belayar kapal perikanan yang dikeluarkan oleh syahbandar. Pasal 43 Setiap kapal perikanan yang akan melakukan kegiatan perikanan wajib memiliki surat laik operasi kapal perikanan dari pengawas perikanan. Pasal 27 (1) Setiap orang yang memiliki dan/atau mengoperasikan kapal penangkap ikan berbendera Indonesia yang digunakan untuk melakukan penangkapan ikan di wilayah pengelolaan perikanan Negara Republik Indonesia dan/atau laut lepas wajib memiliki SIPI (2) Setiap orang yang memiliki dan/atau mengoperasikan kapal penangkap ikan berbendera asing yang digunakan untuk melakukan penangkapan ikan di ZEEI wajib memiliki SIPI. (3) Setiap orang yang mengoperasikan kapal penangkap ikan berbendera Indonesia di wilayah pengelolaan Negara Republik Indonesia atau mengoperasikan kapal penangkap ikan berbendera asing di ZEEI wajib membawa SIPI asli. (4) Kapal penangkap ikan berbendera Indonesia yang melakukan penangkapan ikan di wilayah yuridiksi negara lain harus terlebih dahulu mendapatkan persetujuan dari Pemerintah. (5) Kewajiban memiliki SIPI sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan/atau membawa SIPI asli sebagaimna 109

126 dimaksud pada ayat (3), tidak berlaku bagi nelayan kecil. Pasal 28 (1) Setiap orang yang memiliki dan/atau mengoperasikan kapal pngangkut ikan berbendera Indonesia di wilayah pengelolaan perikanan Negara Republik Indonesia wajib memiliki SIKPI (2) Setiap orang yang memiliki dan/atau mengoperasikan kapal pengangkut ikan berbendera asing yang digunakan untuk melakukan pengangkutan ikan di wilayah pengelolaan perikanan Negara Republik Indonesia wajib memiliki SIKPI. (3) Setiap orang yang mengoperasikan kapal pengangkut di wilayah pengelolaan perikanan Negara Republik Indonesia wajib membawa SIKPI asli. (4) Kewajiban memiliki SIKPI sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan/atau membawa SIKPI asli sebagaimana dimaksud pada ayat (3), tidak berlaku bagi nelayan kecil dan/atau pembudi daya-ikan kecil. Pasal 36 (1) Kapal perikanan milik orang Indonesia yang dioperasikan di wilayah pengelolaan perikanan Negara Republik Indonesia dan laut lepas wajib didaftarkan terlebih dahulu sebagai kapal perikanan Indonesia (2) Pendaftaran kapal perikanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilengkapi dengan dokumen yang berupa: a. Bukti kepemilikan; b. Identitas pemilik; dan c. Surat ukur. (3) Pendaftaran kapal perikanan yang dibeli atau diperoleh dari luar negeri dan sudah terdaftar di negara asal untuk didaftar sebagi kapal perikanan Indonesia, selain dilengkapi dengan dokumen sebagaimana dimaksud pada ayat (2) harus dilengkapi pula dengan surat keterangan penghapusan dan daftar kapal yang diterbitkan oleh negara asal. (4) Kapal perikanan yang telah terdaftar sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. (5) Ketentuan lebih lanjut mengenai pendaftaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1), (2), dan ayat (3) diatur dengan Peraturan Menteri. Pasal 38 (1) Setiap kapal penangkap ikan berbendera asing yang tidak memiliki izin penangkapan ikan selama berada di wilayah pengelolaan perikanan Republik Indonesia wajib menyimpan alat penangkapan ikan di dalam palka. (2) Setiap kapal penangkap ikan berbendera asing yang telah memiliki izin penangkapan ikan dengan 1 (satu) jenis alat penangkapan ikan tertentu pada bagian tertentu di ZEEI dilarang membaw alat penangkapan ikan lainnya. (3) Setiap kapal penangkap ikan berbendera asing yang telah memiliki izin penangkapan ikan wajib menyimpan alat penangkapan ikan di dalam palka selama berada di luar daerah penangkapan ikan yang diizinkan di wilayah pengelolaan perikanan Republik Indonesia. Pasal 39 Kapal penangkap ikan berbendera Indonesia dengan ukuran dan jenis tertentu dimungkinkan menggunakan 2 (dua) jenis alat penangkapan ikan yang diizinkan secara bergantian berdasarkan musim dan daerah operasi penangkapan. Pasal 42 (1) Dalam rangka keselamatan operasional kapal perikanan, ditunjuk syahbandar di pelabuhan perikanan (3) Setiap kapal perikanan yang akan berlayar melakukan penangkapan ikan dan/atau pengangkutan ikan dari pelabuhan perikanan wajib memiliki Surat Persetujuan Berlayar yang dikeluarkan oleh syahbandar di pelabuhan perikanan. 110

127 Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor : Kep. 10/Men/2003 tentang Perizinan Usaha Penangkapan Ikan Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan PER.17/MEN/2006 tentang Usaha Perikanan Tangkap Pasal 43 Setiap kapal perikanan yang melakukan kegiatan perikanan wajib memiliki surat laik operasi kapal perikanan dari pengawas perikanan tanpa dikenai biaya. Pasal 3 (1) Setiap perusahaan perikanan Indonesia atau perusahaan perikanan asing yang melakukan usaha penangkapan ikan di wilayah perairan Indonesia dan/atau pengangkutan ikan, wajib memiliki IUP bidang penangkapan ikan. Pasal 13 (1) Setiap kapal penangkap ikan yang akan melakukan penangkapan ikan atau kapal lampu (light boat) dalam satuan armada penangkapan ikan, baik berbendera Indonesia maupun berbendera asing, wajib dilengkapi dengan SPI. Pasal 23 (1) Setiap kapal pengangkut ikan, baik berbendera Indonesia maupun berbendera asing yang akan melakukan pengangkutan ikan, wajib dilengkapi dengan SIKPI Pasal 39 (1) IUP bidang penangkapan ikan bagi perusahaan perikanan Indonesia berlaku selama perusahaan dimaksud masih melakukan kegiatan usaha penangkapan dan/atau pengangkutan ikan sebagaimana tercantum dalam IUP. (2) IUP bidang penangkapan ikan bagi perusahaan perikanan asing berlaku sesuai jangka waktu berlakunya perjanjian bilateral antara pemerintah negara Republik Indonesia dengan pemerintah negara asing yang bersangkutan. Pasal 40 (1) SPI bagi kapal perikanan berbendera Indonesia, baik yang dioperasikan secara tunggal maupun dalam satuan armada penangkapan ikan berlaku selama: a. 3 (tiga) tahun, untuk penangkapan ikan dengan menggunakan jenis alat tangkap Pukat Cincin, Rawai Tuna, Jaring Insang hanyut, atau Huhate; b. 2 (dua) tahun, untuk penangkapan ikan dengan menggunakan jenis alat tangkap sebagaimana dalam huruf a; Pasal 42 (1) SIKPI bagi kapal perikanan berbendera Indonesia yang dioperasikan secara tunggal berlaku selama 3 (tiga) tahun dan dapat diperpanjang oleh pemberi izin untuk jangka waktu yang sama. Pasal 15 (1) Setiap orang atau badan hukum yang melakukan kegiatan penangkapan ikan dalam satuan armada penangkapan ikan wajib memiliki SIUP atau APIPM, SIPI, dan SIKPI dalam satuan armada penangkapan ikan. (2) Satuan armada penangkapan ikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), terdiri dari kapal penangkap, kapal pengangkut ikan, dengan atau tanpa kapal lampu. (3) Setiap kapal penangkap ikan dan/atau kapal lampu sebagaimana dimaksud pada ayat (2) wajib dilengkapi dengan SIPI. (4) Setiap kapal pengangkut ikan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) wajib dilengkapi dengan SIKPI. Pasal

128 Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia Nomor Per.05/Men/2008 tentang Usaha Perikanan Tangkap (1) Dokumen perizinan yang harus berada di atas kapal penangkap ikan dan/atau kapal pengangkut ikan pada saat beroperasi terdiri dari: a. SIPI asli bagi kapal penangkap ikan atau kapal lampu dan SIKPI asli bagi kapal penangkap ikan; b. Stiker barcode pada kapal perikanan yang telah memperoleh izin; c. Tanda pelunasan pungutan perikanan asli; d. Surat laik operasi (SLO) yang diterbitkan oleh Pengawas perikanan; e. Surat izin berlayar (SIB) yang diterbitkan oleh syahbandar yang diangkat oleh Menteri. Pasal 27 (1) SIUP bidang penangkapan ikan bagi perusahaan perikanan berlaku selama perusahaan dimaksud masih melakukan kegiatan usaha penangkapan dan/atau pengangkutan ikan sebagaimana tercantum dalam SIUP. Pasal 28 (1) SIPI bagi kapal penangkap ikan berbendera Indonesia, baik yang dioperasikan secara tunggal maupun dalam satuan armada penangkapan ikan berlaku selama: a. 3 (tiga) tahun, untuk penangkapan ikan dengan jenis alat tangkap pukat cincin, rawai tuna, jaring insang hanyut, atau huhate; b. 2 (dua) tahun, untuk penangkapan ikan dengan jenis alat tangkap selain sebagaimana dimaksud dalam huruf a; Pasal 14 (1) Setiap orang atau badan hukum Indonesia yang melakukan kegiatan penangkapan ikan dalam satuan armada penangkapan ikan wajib memiliki SIUP dan SIKPI dalam satuan armada penangkapan ikan. (2) Satuan armada penangkapan ikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), terdiri dari kapal penangkap, kapal pengangkut ikan, dengan atau tanpa kapal lampu. (3) Setiap kapal penangkap ikan dan/atau kapal lampu sebagaimana dimaksud pada ayat (2) wajib dilengkapi dengan SIPI. (4) Setiap kapal pengangkut ikan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) wajib dilengkapi dengan SIKPI. Pasal 28 (1) Dokumen perizinan yang harus berada di atas kapal penangkap ikan dan/atau kapal pengangkut ikan pada saat beroperasi terdiri dari: f. SIPI asli bagi kapal penangkap ikan atau kapal lampu dan SIKPI asli bagi kapal penangkap ikan; g. Stiker barcode pada kapal perikanan yang telah memperoleh izin; h. Tanda pelunasan pungutan perikanan asli; i. Surat laik operasi (SLO) yang diterbitkan oleh Pengawas perikanan; Surat izin berlayar (SIB) yang diterbitkan oleh syahbandar yang diangkat oleh Menteri. Pasal 29 (1) SIUP bagi perusahaan perikanan berlaku selama 30 (tiga puluh) tahun dan dapat diperpanjang untuk jangka waktu yang sama. Pasal 31 (1) SIPI bagi kapal penangkap ikan berbendera Indonesia, baik yang dioperasikan secara tunggal maupun dalam satuan armada penangkapan ikan berlaku selama: a. 3 (tiga) tahun, untuk penangkapan ikan dengan jenis alat tangkap pukat cincin, rawai tuna, jaring insang hanyut, atau huhate; b. 2 (dua) tahun, untuk penangkapan ikan dengan jenis alat tangkap selain sebagaimana dimaksud dalam 112

129 2 Pengaturan Pungutan Perikanan Peraturan Pemerintah Nomor 54 Tahun 2002 tentang Usaha Perikanan Peraturan Daerah Provinsi Banten Nomor 6 Tahun 2004 tentang Izin Usaha Perikanan Undang-undang No 31 tahun 2004 tentang Perikanan Undang-undang No 45 tahun 2009 tentang Perikanan huruf a; Pasal 5 (1) Perusahaan yang melakukan usaha perikanan, wajib memiliki Izin Usaha Perikanan (IUP). Pasal 7 (1) Perusahaan perikanan asing yang akan melakukan kegiatan penangkapan ikan di Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia wajib memiliki IUP. (2) IUP sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) berlaku sesuai dengan jangka waktu berlakunya persetujuan internasional antara pemerintah negara Republik Indonesia dengan pemerintah negara asing yang bersangkutan. Pasal 6 (1) Setiap Warga Negara Indonesia, Badan Hukum atau Koperasi, yang melakukan kegiatan usaha perikanan wajib memiliki SIUP. (2) Kewajiban memiliki SIUP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku bagi nelayan kecil dan atau pembudidaya ikan kecil. (3) Perusahaan Perikanan yang telah memperoleh SIUP, sebelum melakukan usaha penangkapan ikan dan pengangkutan ikan wajib memiliki SIPI atau SIKPI untuk setiap kapal yang dipergunakan. (4) SIPI atau SIKPI dimaksud pada ayat (3) diberikan kepada Warga Negara Indonesia, Badan Hukum dan Koperasi yang berdomisili di wilayah Provinsi Banten yang menggunakan kapal perikanan bermotor luar dan kapal perikanan bermotor dalam yang berukuran di atas 10 Grosse Tonnage (GT.10) dan tidak lebih dari 30 Grosse Tonnage (GT.30), serta tidak menggunakan modal dan atau tenaga kerja asing. Pasal 8 (1) SIUP berlaku selama perusahaan perikanan yang bersangkutan masih melakukan usaha perikanan. (2) SIPI berlaku selama: a. 3 (tiga) tahun, untuk penangkapan ikan dengan jenis alat tangkap pukat cincin, rawai tuna, jaring insang hanyut, atau huhate; b. 2 (dua) tahun, untuk penangkapan ikan dengan jenis alat tangkap selain sebagaimana dimaksud dalam hurf a; (3) SIKPI berlaku selama 3 (tiga) tahun. (4) Masa berlaku SIPI, SIKPI sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3) dapat diperpanjang oleh pemberi izin untuk jangka waktu yang sama. Pasal 48 (1) Setiap orang yang memperoleh manfaat langsung dari sumber daya ikan dan lingkungannya di wilayah pengelolaan Republik Indonesia dikenakan pungutan perikanan. (2) Pungutan perikanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak dikenakan bagi nelayan kecil dan pembudidaya-ikan kecil. Pasal 49 Setiap orang asing yang mendapat izin penangkapan ikan di ZEEI dikenakan pungutan perikanan. Pasal 50 Pungutan perikanan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 48 dan Pasal 49 dipergunakan untuk pembangunan perikanan serta kegiatan pelestarian sumberdaya ikan dan lingkungannya. Pasal 48 (1) Setiap orang yang memperoleh manfaat langsung dari sumber daya ikan dan lingkungannya di wilayah 113

130 Peraturan Pemerintah Nomor 54 Tahun 2002 tentang Usaha Perikanan Peraturan Daerah Provinsi Banten Nomor 6 Tahun 2004 tentang Izin Usaha Perikanan pengelolaan perikanan Negara Republik Indonesia dan di luar wilayah pengelolaan perikanan Negara Republik Indonesia dikenakan pungutan perikanan. (1a) Pungutan perikanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan penerimaan negara bukan pajak. (2) Pungutan perikanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak dikenakan bagi nelayan kecil dan pembudidaya-ikan kecil. Pasal 49 Setiap orang asing yang mendapat izin penangkapan ikan di ZEEI dikenankan pungutan perikanan. Pasal 50 Pungutan perikanan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 48 dan Pasal 49 dipergunakan untuk pembangunan perikanan serta kegiatan konservasi sumberdaya ikan dan lingkungannya. Pasal 18 (1) Perusahaan perikanan Indonesia yang melakukan usaha penangkapan ikan atau usaha pembudidayaan ikan dilaut atau perairan lainnya di wilayah perikanan Republik Indonesia, serta perusahaan perikanan asing yang melakukan usaha penangkapan ikan di Zona Ekonomi Ekslusif Indonesia dikenanakan pungutan perikanan. Pasal 20 (1) Pungutan perikanan di bidang penangkapan ikan yang dikenakan kepada perusahaan perikanan Indonesia terdiri dari: a. Pungutan Pengusahaan Perikanan. b. Pungutan Hasil Perikanan (2) Pungutan perikanan di bidang penangkapan ikan yang dikenakan kepada perusahaan perikanan asing adalah pungutan perikanan asing. Pasal 21 Pungutan Pengusahaan Perikanan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 ayat (1) huruf a ditetapkan berdasarkan rumusan tarif per Gross Tonnage (GT) dikalikan ukuran GT kapal menurut jenis kapal perikanan yang digunakan. Pasal 22 (1) Pungutan Hasil perikanan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 ayat (1) huruf b ditetapkan: a. Untuk kegiatan penangkapan ikan: 1) Bagi perusahaan perikanan skala kecil berdasarkan rumusan 1% (satu perseratus) dikalikan produktivitas kapal dikalikan Harga Patokan Ikan; 2) Bagi perusahaan perikanan skala besar berdasarkan rumusan 2,5% (dua setengah perseratus) dikalikan produktivitas kapal dikalikan Harga Patokan Ikan. b. Untuk kegiatan pembudidayaan ikan sebesar 1% (satu perseratus dikalikan harga jual ikan hasil pembudidayaan. Pasal 23 (1) Pungutan perikanan asing sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 ayat (2), ditetapkan berdasarkan rumusan tarif per Gross Tonnage (GT) dikalikan ukuran GT kapal menurut jenis kapal yang dipergunakan. (2) Pungutan perikanan asing dalam satu kesatuan armada penangkapan ikan ditetapkan berdasarkan rumusan tarif per Gross Tonnage (GT) dikalikan total GT kapal penangkap ikan dan kapal pendukung dipergunakan. Pasal 9 (1) Perusahaan Perikanan yang memiliki SIUP, SIPI, dan SIKPI dikenakan retribusi Izin Usaha Perikanan (2) Struktur dan besarnya tarif retribusi Izin Usaha Perikanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), tercantum 114

131 Peraturan Daerah Kabupaten Pandeglang No 12 Tahun 2001 tentang Retribusi pasar dalam Lampiran peraturan Daerah ini. STRUKTUR DAN BESARNYA TARIF RETRIBUSI IZIN USAHA PERIKANAN No Jenis Pungutan Satuan Tarif Rp. A SIUP 1 Penangkapan Ikan - Pukat Cincin (Purse seine): Pelagis Kecil GT 8.000,- - Jaring Insang (Gill Net) a. Jaring Insang hanyut b. Jaring Rampus c. Jaring Insang lainnya - Pukat kantong Lingkar a. Payang b. Lampara c. Jenis Payang lainnya - Pancing a. Rawai Tuna (tuna long line) b. Rawai lain c. Pancing Ulur d. Pancing Lain GT GT GT GT GT GT GT GT GT GT 7.500, , , , , , , , , ,- - Jaring Angkat Bagan Apung GT 7.000,- - Squid Jigging GT ,- - Huhate (pole & line) GT ,- - Bouke Ami GT ,- - Long Bag set net GT 9.000,- - Bubu GT 7.000,- B SIPI - Purse seine, rawai tuna, jaring insang hanyut, huhate GT/3 Th 4.000,- - Selain tersebut diatas GT/2 Th 4.000,- C SIKPI GT/3 Th 5.000,- Pasal 26 (1) Besarnya biaya retribusi pelelangan, ditetapkan sebesar 4% (empat perseratus) dari harga /nilai kotor atau raman pelelangan dan atau transaksi sebagai jenis barang di tempat pasar grosir yang dibebankan kepada: c. Pembeli/bakul sebesar 2% (dua perseratus) d. Penjual/Nelayan sebesar 2%(dua perseratus) (2) Hasil retribusi pelelangan sebagimana dimaksud pada ayat 1 pasal ini, disetorkan ke Kas daerah selambatlambatnya 1 x 24 jam. Pasal 27 (1) Pungutan lain dalam kegiatan pelelangan ikan ditentukan berdasarkan musyawarah nelayan yang besarnya tidak lebih dari 4% (empat perseratus) dan hasilnya dituangkan dalam Keputusan Kepala Daerah/Kepala Dinas atas nama Kepala Daerah: c. Biaya pelelangan Ikan 2% d. Dana Sosial yang terdiri dari : -Tabungan Nelayan 1% 115

132 3 Pembinaan dan Pengawasan terhadap usaha perikanan Undang-undang No 31 tahun 2004 tentang Perikanan Undang-undang No 45 tahun 2009 tentang Perikanan -Dana Paceklik 0,5% -Dana kecelakaan di laut dan asuransi nelayan 0,5% Pasal 66 (1) Pengawasan perikanan dilakukan oleh pengawas perikanan. (2) Pengawas perikanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bertugas untuk mengawasi tertib pelaksanaan perundang-undangan di bidang perikanan. (3) Pengawas perikanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas penyidik pegawai negeri sipil perikanan dan nonpenyidik pegawai negeri sipil perikanan. Pasal 67 Masyarakat dapat diikutsertakan dalam membantu pengawasan perikanan. Pasal 68 Pemerintah mengadakan sarana dan prasarana pengawasan perikanan Pasal 69 (1) Pengawas perikanan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 66 ayat (1), dalam melaksanakan tugas dapat dilengkapi dengan senjata api dan/atau alat pengaman diri lainnya serta didukung dengan kapal pengawas perikanan. (2) Kapal pengawas perikanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), berfungsi melaksanakan pengawasan dan penegakan hukum di bidang perikanan. (3) Kapal pengawas perikanan dapat menghentikan, memeriksa, membawa, dan menahan kapal yang diduga atau patut diduga melakukan pelanggaran di wilayah pengelolaan perikanan Republik Indonesia ke pelabuhan terdekat untuk pemrosesan lebih lanjut. (4) Kapal pengawas perikanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dapat dilengkapi dengan senjata api. Pasal 66 (1) Pengawasan perikanan dilakukan oleh pengawas perikanan. (2) Pengawas perikanan bertugas untuk mengawasi tertib pelaksanaan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perikanan. (3) Pengawas tertib pelaksanaan peraturan perundang-undangan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) meliputi: a. Kegiatan penangkapan ikan; b. Pembudidayaan ikan,perbenihan; c. Pengolahan, distribusi keluar masuk ikan; d. Mutu hasil perikanan; e. Distribusi keluar masuk obat ikan; f. Konservasi; g. Pencemaran akibat perbuatan manusia; h. Plasma nuftah; i. Penelitian dan pengembangan perikanan; dan j. Ikan hasil rekayasa genetik Pasal 67 Masyarakat dapat diikutsertakan dalam membantu pengawasan perikanan. Pasal 68 Pemerintah mengadakan sarana dan prasarana pengawasan perikanan Pasal

133 Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor : Kep. 58/Men/2001 tentang Tata Cara Pelaksanaan Sistem Pengawasan Masyarakat dalam Pengelolaan dan Pemanfaatan Sumberdaya Kelautan dan Perikanan (1) Kapal pengawas perikanan berfungsi melaksanakan pengawasan dan penegakan hukum di bidang perikanan dalam wilayah pengelolaan perikanan Negara Republik Indonesia. (2) Kapal pengawas perikanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1dapat dilengkapi senjata api. (3) Kapal pengawas perikanan dapat menghentikan, memeriksa, membawa, dan menahan kapal yang diduga atau patut diduga melakukan pelanggaran di wilayah pengelolaan perikanan Negara Republik Indonesia ke pelabuhan terdekat untuk pemrosesan lebih lanjut. (4) Dalam melaksanakan fungsi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) penyidik dan/atau pengawas perikanan dapat melakukan tindakan khusus berupa pembakaran dan/atau peneggelaman kapal perikanan yang berbendera asing berdasarkan bukti permulaan yang cukup. BAB II LINGKUP KEGIATAN SISWASMAS A. Pembentukan Jaringan SISWASMAS 1. Kelompok masyarakat pengawas (POKMASWAS) merupakan pelaksana pengawasan di tingkat lapangan yang terdiri dari unsur tokoh masyarakat, tokoh agama, tokoh adat, LSM, nelayan, petani ikan serta masyarakat maritim lainnya. B. Pemberdayaan POKMASWAS dan Peningkatan Kemampuan Kelompok-kelompok Pengawas 1. Tradisi atau budaya setempat yang merupakan perilaku ramah lingkungan seperti sasi, Awig-awig, panglima Laut, bajo dan lainnya merupakan budaya masyarakat yang perlu didorong kesertaannya dalam SISWASMAS. 2. Dalam rangka melakukan apresiasi pengawasan maka perlu ditumbuhkembangkan POKMASWAS melalui sosialisasi. 3. Sesuai dengan kemampuan pemerintah POKMASWAS dapat diberikan bantuan sarana dan prasarana pengawasan secara selektif serta disesuaikan dengan kondisi daerah setempat. 4. Pemerintah dan atau pemerintah daerah wajib memfasilitasi pemberdayaan POKMASWAS melalui pembinaan, bimbingan dan pelatihan bagi peningkatan kemampuan POKMASWAS. BAB III JARINGAN DAN MEKANISME OPERASIONAL 1. Masyarakat atau anggota POKMASWAS melaporkan informasi adanya dugaan pelanggaran dalam pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya kelautan dan perikanan kepada aparat pengawas terdekat seperti: - Koordinator PPNS; - Kepala Pelabuhan perikanan; - Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan; - Satpol-Airud (atau Polisi terdekat); - TNI-AL terdekat atau; - Petugas karantina di pelabuhan. - PPNS 2. Masyarakat pengawas juga dapat melaporkan adanya dugaan tindak pidana perikanan oleh Kapal Ikan Indonesia (KII) atau Kapal Ikan Asing (KIA) serta tindakan ilegal lain dalam pemanfaatan sumberdaya kelautan dan perikanan. 3. Petugas yang menerima laporan dari POKMASWAS melanjutkan informasi kepada PPNS dan/atau TNI-AL dan/atau Satpol-Airud dan/atau Kapal Inspeksi Perikanan. 4. Koordinator Pengawas perikanan atau Kepala Pelabuhan Perikanan yang menerima data dan informasi dari 117

134 4 Pengaturan Zonasi dan Jalur Penangkapan Ikan Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan PER.17/MEN/2006 tentang Usaha Perikanan Tangkap Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia Nomor Per.05/Men/2008 tentang Usaha Perikanan Tangkap Peraturan Pemerintah Nomor 54 Tahun 2002 tentang Usaha Perikanan Peraturan Daerah Provinsi Banten Nomor 6 Tahun 2004 tentang Izin Usaha Perikanan Undang-undang No 31 tahun 2004 tentang Perikanan Undang-undang No 45 tahun 2009 tentang Perikanan nelaya atau masyarakat maritim anggota POKMASWAS,melanjutkan informasi ke petugas seperti TNI-AL dan Satpol-Airud atau Kapal Inspeksi Perikanan. Pasal 67 (1) Pembinaan dan pengawasan terhadap kegiatan usaha perikanan di bidang penangkapan dan pengangkutan ikan dilakukan oleh Menteri, Gubernur dan Bupati/Walikota atau pejabat yang ditunjuk sesuai dengan kewenangannya. (2) Pembinaan sebagaimana dimaksud pada (1), meliputi pembinaan pengelolaan usaha, sarana dan prasarana, teknik penangkapan dan produksi, dan mutu hasil perikanan. (3) Pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dilakukan terhadap dipenuhinya ketentuan peratuan perundang-undangan di bidang penangkapan ikan serta ketentuan lainnya yang berkaitan dengan kegiatan sebagaimana dimaksud pada ayat (2). Pasal 77 (1) Pembinaan terhadap kegiatan usaha perikanan di bidang penangkapan ikan dan pengangkutan ikan dilakukan oleh Menteri, Gubernur, dan Bupati/Walikota atau pejabat yang ditunjuk sesuai dengan kewenangannya. (2) Pembinaan terhadap kegiatan usaha perikanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), meliputi pembinaan pengelolaan usaha, sarana dan prasarana, teknik penangkapan dan produksi, dan mutu hasil perikanan. Pasal 68 (1) Pengawasan dan pengendalian terhadap kegiatan usaha perikanan tangkap dilakukan terhadap dipenuhinya ketentuan peratuan perundang-undangan di bidang penangkapan ikan, pengangkutan ikan, dan/atau pengolahan ikan serta ketentuan lainnya yang berkaitan dengan kegiatan usaha perikanan tangkap. (2) Pengawasan dan pengendalian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan sistem pemantauan, pengendalian, dan pemeriksaan lapangan terhadap operasional dan dokumen kapal perikanan, UPI, dan ikan hasil tangkapan oleh pengawas perikanan. Pasal 24 (1) Pembinaan terhadap kegiatan usaha perikanan di bidang penangkapan ikan dan pengangkutan ikan dilakukan oleh Menteri, Gubernur, dan Bupati/Walikota atau pejabat yang ditunjuk sesuai dengan kewenangannya. (2) Pembinaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), meliputi pembinaan iklim usaha, sarana usaha, tekni produksi, pemasaran, dan mutu hasil perikanan. (3) Pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan terhadap dipenuhinya ketentuan dalam Peraturan Pemerintah ini dan ketentuan perundang-undangan lain yang berkaitan dengan kegiatan penangkapan ikan dan pembudidayaan ikan serta penanganan hasil perikanan. Pasal 14 Pembinaan dan pengawasan terhadap Perusahaan Perikanan dilakukan oleh Gubernur sesuai dengan kewenangannya dan secara teknis operasional dilaksanakan oleh kepala Dinas Pasal 7 (1) Dalam rangka mendukung kebijakan pengelolaan sumberdaya ikan, Menteri menetapkan: g. jenis, jumlah, ukuran dan penempatan alat bantu penangkapan ikan; h. daerah, jalur dan waktu atau musim penangkapan ikan. Pasal 7 (1) Dalam rangka mendukung kebijakan pengelolaan sumberdaya ikan, Menteri menetapkan: g. jenis, jumlah, ukuran dan penempatan alat bantu penangkapan ikan; 118

135 Surat Keputusan Menteri Pertanian No. 392/ Kpts/ IK. 120/4/1999 Tentang Jalur Penangkapan Ikan h. daerah, jalur dan waktu atau musim penangkapan ikan. r. kawasan konservasi perairan. Pasal 2 Wilayah Pemerintah Republik Indonesia dibagi menjadi 3 (tiga) jalur penangkapan ikan yaitu : a. Jalur penangkapan ikan I; b. Jalur penangkapan ikan II; dan c. Jalur penangkapan ikan III. Pasal 3 (1) Jalur penangkapan ikan I sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 huruf a, meliputi perairan pantai diukur dari permukaan air laut pada surut yang terendah pada setiap pulau sampai dengan 6 (enam) mil laut ke arah laut. (2) Jalur penangkapan ikan I sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dibagi menjadi sebagai berikut : a. Perairan pantai yang diukur dari permukaan air laut pada surut yang terendah sampai dengan 3 (tiga) mil laut; b. Perairan pantai di luar 3 (tiga) mil laut sampai denga 6 (enam) mil laut. (3) Perairan pantai yang diukur dari perairan air laut pada surut yang terendah sampai dengan 3 (tiga) mil laut sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) huruf a, hanya dibolehkan bagi : a. Alat penangkap ikan yang menetap; b. Alat penangkap ikan tidak menetap yang tidak dimodofikasi; dan atau c. Kapal perikanan tanpa motor dengan ukuran panjang keseluruhan tidak lebih dari 10 m. (4) Perairan pantai luar 3 (tiga) mil laut sampai dengan 6 (enam) mil laut, sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) huruf b, hanya dibolehkan bagi : a. Alat penangkap ikan tidak menetap yang dimodifikasi; b. Kapal perikanan : 1. tanpa motor dan atau bermotor-tempel dengan ukuran panjang keseluruhan tidak lebih dari 10 m; 2. bermotor tempel dan bermotor-dalam dengan ukuran panjang keseluruhan maksimal 12 m atau berukuran maksimal 5 GT dan atau: 3. pukat cincin (purce seine) berukuran panjang maksimal 150 m; 4. jaring insang hanyut (drift gill net) ukuran panjang maksimal 1000 m. (5) Setiap kapal perikanan yang beroperasi di jalur penangkapan ikan I wajib diberi tanda pengenal jalur dengan mengecat minimal ¼ (seperempat) lambung kiri dan kanan : a. dengan warna putih bagi kapal perikanan yang beroperasi di perairan sampai dengan 3 (tiga) mil laut diukur dari permukaan air laut pada surut yang terendah; b. dengan warna merah bagi kapal perikanan yang beroperasi di perairan pantai di luar 3 (tiga) mil laut sampai dengan 6 (enam) mil. Pasal 4 (1) Jalur penangkapan ikan II sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 huruf b, meliputi perairan di luar jalur penangkapan ikan I sampai dengan 12 (dua belas) mil ke arah laut. (2) Pada jalur penangkapan ikan II sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), dibolehkan bagi : a. Kapal perikanan bermotor-dalam berukuran maksimal 60 GT; b. Kapal perikanan dengan menggunakan alat penangkapa ikan. 119

136 5 Pengaturan Alat Penangkapan dan Upaya Penangkapan Ikan Undang-undang No 31 tahun 2004 tentang Perikanan 1. pukat cincin (purse seine) berukuran panjang maksimal 600 m dengan cara pengoperasian menggunakan 1 (satu) kapal (tunggal) yang bukan group atau maksimal 1000 m dengan cara (ganda) yang bukan group; 2. tuna long line (pancing tuna) maksimal 1200 buah mata pancing; 3. jaring insang hanyut (drift gill net), berukuran panjang maksimal 2500 m. (3) Setiap kapal perikanan yang beroperasi di jalur penangkapan ikan II, wajib diberi tanda pengenal jalur dengan mengecat minimal ¼ (seperempat) lambung kiri dan kana dengan warna orange. Pasal 5 Jalur penangkapan III sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), diatur sebagi berikut : a. Perairan Indonesia dibolehkan bagi kapal perikanan berbendera Indonesia berukuran maksimal 200 GT, kecuali yang menggunakan alat penangkap ikan Purse Seine pelagis besar di Teluk Tomini, Laut maluku, Laut Seram, Laut Banda, Laut Flores dan Laut Sawu dilarang untuk semua ukuran; b. Perairan ZEEI di Selat Malaka dibolehkan bagi kapal perikanan berbendera Indonesia berukuran maksimal 200 GT, kecuali yang menggunakan alat penangkap ikan Pukat Ikan (Fish Net) minimal berukuran 60 GT; c. Perairan ZEEI di luar ZEEI Selat Malaka dibolehkan bagi : 1) Kapal perikanan berbendera Indonesia dan berbendera asing berukuran maksimal 350 GT bagi semua alat penangkap ikan. 2) Kapal perikanan berukuran di atas 350 GT 800 GT yang menggunakan alat penangkap ikan Purse Seine, hanya boleh beroperasi di luar 100 (seratus) mil laut dari garis pangkal Kepulauan Indonesia. 3) Kapal perikanan dengan alat penangkap ikan Purse Seine dengan sistem group hanya boleh beroperasi di luar 100 (seratus) mil laut dari garis pangkal Kepulauan Indonesia. d. Kapal perikanan berbendera asing boleh dioperasikan pada jalur penangkapan ikan III sebagimana dimaksud dalam ayat (2) huruf c sepanjang dimungkinkan berdasarkan Peraturan Perundang-undangan yang berlaku. e. Setiap kapal perikanan yang beroperasi di jalur penangkapan ikan III, wajib diberi tanda pengenal jalur dengan mengecat minimal ¼ (seperempat) lambang kiri dan kanan dengan warna kuning. Pasal 6 (1) Semua alat penangkap ikan yang dipergunakan pada setiap jalur penangkapan ikan wajib diberi tanda Pengenal Alat Penangkap Ikan. (2) Ketentuan mengenai penggunaan tanda Pengenal Alat Penangkap Ikan sebagimana dimaksud dalam ayat (1) ditetapkan lebih lanjut Direktur Jenderal Perikanan. Pasal 7 Kapal perikanan yang menggunakan jaring dengan mata jaring kurang dari 25 mm (1 inch) dilarang untuk dioperasikan di semua Jalur Penangkapan Ikan, kecuali pukat teri dan jaring angkat (lift net). Pasal 37 (1) Setiap kapal perikanan Indonesia diberi tanda pengenal kapal perikanan berupa tanda selar, tanda daerah penangkapan ikan, tanda jalur penangkapan ikan, dan/atau tanda alat penangkapan ikan. Pasal 38 (1) Setiap kapal penangkap ikan berbendera asing yang tidak memiliki izin penangkapan ikan selama berada di 120

137 6 Pengadaan Kapal Penangkap Ikan Undang-undang No 45 tahun 2009 tentang Perikanan Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan PER.17/MEN/2006 tentang Usaha Perikanan Tangkap wilayah pengelolaan perikanan Republik Indonesia wajib menyimpan alat penangkapan ikan di dalam palka. (2) Setiap kapal penangkap ikan berbendera asing yang telah memiliki izin penangkapan ikan dengan 1 (satu) jenis alat penangkapan ikan tertentu pada bagian tertentu di ZEEI dilarang membawa alat penangkapan ikan lainnya. (3) Setiap kapal penangkap ikan berbendera asing yang telah memiliki izin penangkapan ikan wajib menyimpan alat penangkapan ikan di dalam palka selama berada di luar daerah penangkapan ikan yang diizinkan di wilayah pengelolaan perikanan Republik Indonesia. Pasal 39 Kapal penangkap ikan berbendera Indonesia dengan ukuran dan jenis tertentu dimungkinkan menggunakan 2 (dua) jenis alat penangkapan ikan yang diizinkan secara bergantian berdasarkan musim dan daerah operasi penangkapan. Pasal 37 (1) Setiap kapal perikanan Indonesia diberi tanda pengenal kapal perikanan berupa tanda selar, tanda daerah penangkapan ikan, tanda jalur penangkapan ikan, dan/atau tanda alat penangkapan ikan. Pasal 38 (1) Setiap kapal penangkap ikan berbendera asing yang tidak memiliki izin penangkapan ikan selama berada di wilayah pengelolaan perikanan Republik Indonesia wajib menyimpan alat penangkapan ikan di dalam palka. (2) Setiap kapal penangkap ikan berbendera asing yang telah memiliki izin penangkapan ikan dengan 1 (satu) jenis alat penangkapan ikan tertentu pada bagian tertentu di ZEEI dilarang membawa alat penangkapan ikan lainnya. (3) Setiap kapal penangkap ikan berbendera asing yang telah memiliki izin penangkapan ikan wajib menyimpan alat penangkapan ikan di dalam palka selama berada di luar daerah penangkapan ikan yang diizinkan di wilayah pengelolaan perikanan Republik Indonesia. Pasal 39 Kapal penangkap ikan berbendera Indonesia dengan ukuran dan jenis tertentu dimungkinkan menggunakan 2 (dua) jenis alat penangkapan ikan yang diizinkan secara bergantian berdasarkan musim dan daerah operasi penangkapan. Pasal 39 (1) Setiap orang atau badan hukum Indonesia yang telah memiliki SIUP dapat mengadakan kapal perikanan, baik dari dalam negeri maupun dari luar negeri. (2) Pengadaan kapal perikanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dapat dilakukan denga cara: a. Membangun atau mebeli kapal baru di dalam negeri; b. Membangun atau membeli kapal baru dari luar negeri; c. Membeli kapal bukan baru di dalam negeri atau dari luar negeri,atau d. Hibah. (3) Pengadaan kapal perikanan dengan cara membangun atau mebeli kapal baru di dalam negeri sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a, meliputi: a. Kapal penangkap ikan berukuran sampai dengan 600 GT; b. Kapal penangkap ikan berukuran sampai dengan 2000 GT. c. Pengadaan kapal perikanan dengan cara membangun atau membeli kapal baru atau bukan baru dari luar negeri sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b dan huruf c meliputi: a. Kapal penangkap ikan berukuran 100 GT sampai dengan 600 GT; b. Kapal pengangkut ikan berukuran 100 GT sampai dengan 2000 GT; (4) Pengadaan kapal dengan alat penangkapan ikan selain disebutkan ayat (3) dan ayat (4) diatur lebih lanjut 121

138 7 Pengaturan Pendaratan Ikan 8 Sanksi Terhadap pelanggaran Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia Nomor Per.05/Men/2008 tentang Usaha Perikanan Tangkap Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan PER.17/MEN/2006 tentang Usaha Perikanan Tangkap Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia Nomor Per.05/Men/2008 tentang Usaha Perikanan Tangkap Undang-undang No 31 tahun 2004 tentang Perikanan oleh Direktur Jenderal. Pasal 40 (1) Setiap orang atau badan hukum Indonesia yang telah memiliki SIUP dapat mengadakan kapal penangkap ikan dan/atau kapal pengangkut ikan,baik dari dalam negeri maupun luar negeri. (2) Pengadaan kapal penangkap ikan dan/atau kapal pengangkut ikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), hanya dapat dilakukan denga cara: a. Membangun atau membeli kapal baru di dalam negeri; b. Membangun atau membeli kapal baru dari luar negeri; c. Membeli kapal bukan baru di dalam negeri atau dari luar negeri, (3) Pengadaan kapal penangkap ikan dan/atau kapal pengangkut ikan dengan cara membangun atau membeli kapal baru di dalam negeri sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf adan huruf c, meliputi: a. Kapal penangkap ikan berukuran sampai dengan 600 (enam ratus) GT;dan b. Kapal pengangkut ikan berukuran sampai dengan 3.500(tiga ribu lima ratus) GT. (4) Pengadaan kapal-kapal penangkap ikan dan/atau kapal pengangkut ikan dengan cara membangun atau membeli kapal baru atau bukan baru dari luar negeri sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b dan huruf c meliputi: a. Kapal penangkap ikan berukuran 100 (seratus) GT sampai dengan 600(enam ratus) GT; b. Kapal pengangkut ikan berukuran 100(seratus) GT sampai dengan 3.500(tiga ribu lima ratus) GT; Pasal 61 Ikan hasil tangkapan dari kapal penangkap ikan dan atau kapal pengangkut ikan dalam rangka PMA dan PMDN didaratkan di pelabuhan pangkalan yang ditetapkan dalam SIPI dan/atau SIKPI. Pasal 16 (1) Setiap kapal penangkap ikan dan/atau kapal pengangkut ikan harus mendaratkan ikan hasil tangkapan di pelabuhan pangkalan yang tercantum dalam SIPI dan/atau SIKPI. Pasal 17 (1) Ikan hasil tangkapan dari kapal penangkap ikan dan/atau kapal pengangkut ikan wajib didaratkan seluruhnya di pelabuhan pangkalan yang tercantum dalam SIPI dan/atau SIKPI, kecuali terhadap ikan hidup, tuna untuk sashimi, dan/atau ikan lainnya yang menurut sifatnya tidak memerlukan pengolahan. Pasal 84 (1) Setiap orang yang dengan sengaja di wilayah pengelolaan perikanan Republik Indonesia melakukan penangkapan ikan dan/atau pembudidayaan ikan dengan menggunakan bahan kimia, bahan biologis, bahan peledak, alat dan/atau cara, dan/atau bangunan yang dapat merugikan dan/atau membahayakan kelestarian sumberdaya ikan dan/atau lingkungannya sebagaimana dimaksud dalam pasal 8 ayat (1), dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan denda paling banyak Rp ,00 (satu miliar dua ratus juta rupiah). (2) Nakhoda atau pemimpin kapal perikanan, ahli penangkapan ikan, dan anak buah kapal yang dengan sengaja di wilayah pengelolaan perikanan Republik Indonesia melakukan penangkapan ikan dengan menggunakan bahan kimia,bahan biologis,bahan peledak, alat dan/atau cara, dan/atau bangunan yang dapat merugkan dan/atau membahayakan kelestarian sumberdaya ikan dan/atau lingkungannya sebagaimana dimaksud dalam pasal 8 ayat (2), dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling banyak Rp ,00(satu miliar dua ratus juta rupiah). (3) Pemilik kapal perikanan, pemilik perusahaan perikanan, penangggungjawab perusahaan perikanan, dan/atau 122

139 operator kapal perikanan yang dengan sengaja di wilayah pengelolaan perikanan Republik Indonesia melakukan usaha penangkapan ikan dengan menggunakan bahan kimia,bahan biologis,bahan peledak, alat dan/atau cara, dan/atau bangunan yang dapat merugkan dan/atau membahayakan kelestarian sumberdaya ikan dan/atau lingkungannya sebagaimana dimaksud dalam pasal 8 ayat (3), dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling banyak Rp ,00(dua miliar rupiah). (4) Pemilik perusahaan pembudidayaan ikan, kuasa pemilik perusahaan pembudidaya ikan, dan/atau penanggung jawab perusahaan pembudidayaan ikan yang dengan sengaja melakukan usaha pembudidayaan ikan di wilayah pengelolaan perikanan Republik Indonesia menggunakan bahan kimia, bahan biologis, bahan peledak, alat dan/atau cara, dan/atau bangunan yang dapat merugkan dan/atau membahayakan kelestarian sumberdaya ikan dan/atau lingkungannya sebagaimana dimaksud dalam pasal 8 ayat (4), dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling banyak Rp ,00(dua miliar rupiah). Pasal 85 Setiap orang yang dengan sengaja di wilayah pengelolaan perikanan Republik Indonesia memiliki, menguasai, membawa, dan/atau menggunakan alat penangkapan ikan dan/atau alat bantu penangkapan ikan yang berada di kapal penangkap ikan yang tidak sesuai dengan ukuran yang ditetapkan, alat penangkapan ikan yang tidak sesuai dengan persyaratan, atau standar yang ditetapkan untuk tipe alat tertentu dan/atau alat penangkapan ikan yang dilarang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9, dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling banyak Rp ,00(dua miliar rupiah). Pasal 86 (1) Setiap orang dengan sengaja di wilayah pengelolaan perikanan Republik Indonesia melakukan perbuatan yang mengakibatkan pencemaran dan/atau kerusakan sumberdaya ikan dan/atau lingkungannya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (1), dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling banyak Rp ,00 (dua miliar rupiah). (2) Setiap orang yang dengan sengaja di wilayah pengelolaan perikanan Republik Indonesia membudidayakan ikan yang dapat membahayakan sumberdaya ikan dan/atau lingkungan sumberdaya ikan dan/atau kesehatan manusia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (2), dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan denda paling banyak Rp ,00(satu miliar lima ratus juta rupiah). (3) Setiap orang yang dengan sengaja di wilayah pengelolaan perikanan Republik Indonesia membudidayakan ikan hasil rekayasa genetika yang dapat membahayakan sumberdaya ikan dan/atau kesehatan manusia sebagimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (3), dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan denda paling banyak Rp ,00(satu miliar lima ratus juta rupiah) (4) Setiap orang yang dengan sengaja di wilayah pengelolaan perikanan Republik Indonesia menggunakan obatobatan dalam pembudidayaan ikan yang dapat membahayakan sumberdaya ikan dan/atau lingkungan sumberdaya ikan dan/atau kesehatan manusia sebagimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (4), dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan denda paling banyak Rp ,00(satu miliar lima ratus juta rupiah). Pasal 87 (1) Setiap orang yang dengan sengaja di wilayah pengelolaan perikanan Republik Indonesia merusak plasma nuftah yang berkaitan dengan sumberdaya ikan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (4), dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun dan denda paling banyak Rp ,00(satu miliar rupiah) (2) Stiap orang yang karena kelalaiannya di wilayah pengelolaan perikanan Republik Indonesia mengakibatkan 123

140 rusaknya plasma nuftah yang berkaitan dengan sumberdaya ikan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (4), dipidana dengan pdana penjara paling lama 1 (satu) tahun dan denda paling banyak Rp ,00(lima ratus juta rupiah). Pasal 88 Setiaporang yang dengan sengaja memasukan, mengeluarkan, mengadakan, mengedarkan, adn/atau memelihara ikan yang merugikan masyarakat, pembudidayaan ikan, sumberdaya ikan, adn.atau lingkungan sumebrdaya ikan ke dalam dan.atau ke luar wilayah pengelolaan perikanan republik Indonesia sebagimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (1), dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan denda paling banyak Rp ,00(satu miliar lima ratus juta rupiah). Pasal 89 Setiap orang yang melakukan penanganan dan pengolahan ikan yang tidak memenuhi dan tidak menrapkan persyaratan kelayakan pengolahan ikan, sistem jaminan mutu., dan keamanan hasil perikanan sebagimana dimaksud dala Pasal 20 ayat (3), dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun dan denda paling banyak Rp ,00(delapan ratus juta rupiah). Pasal 90 Setiap orang yang dengan sengaja melakukan pemasukan atau pengeluaran ikan dan/atau hasil perikanan dari dan/atau ke wilayah perikanan republik Indonesia yang tidak dilengkapi sertifikat kesehatan untuk konsumsi manusia sebagimana yang dimaksud pada Pasal 21, dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun dan denda paling banyak Rp ,00(delapan ratus juta rupiah). Pasal 91 Setiap orang yang dengan sengaja menggunakan bahan baku, bahan tambahan makanan, bahan penolong, dan/atau alat yang membahayakan kesehatan manusia dan/atau lingkungan dalam melaksanakan penanganan dan pengolahan ikan sebagimana yang dimaksud dalm Pasal 23 ayat (1), dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan denda paling banyak Rp ,00(satu miliar lima ratus juta rupiah). Pasal 92 Setiap orang yang dengan sengaja di wilayah pengelolaan perikanan Republik Indonesia melakukan usaha perikanan di bidang penangkapan, pembudidayaan, pengangkutan, pengolahan, dan pemasaran ikan, yang tidak memiliki SIUP sebagimana yang dimaksud dalam Pasal 26 ayat (1), dipidana dengan pidana penjara paling lama 8 (delapan) tahun dan denda paling banyak Rp ,00(satu miliar lima ratus juta rupiah). Pasal 93 (1) Setiap orang yang memiliki dan/atau mengoperasikan kapal penangkap ikan berbendera Indonesia melakukan penangkapan ikan di wilayah pengelolaan perikanan Republik Indonesia dan/atau di laut lepas, yang tidak memiliki SIPI sebagimana yang dimaksud dalam Pasal 27 ayat (1), dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan denda paling banyak Rp ,00(dua miliar rupiah). (2) Setiap orang yang memiliki dan/atau mengoperasikan kapal penangkap ikan berbendera asing melakukan penangkapan ian di wilayah pengelolaan perikanan Republik Indonesia dan/atau di laut lepas, yang tidak memiliki SIPI sebagimana yang dimaksud dalam Pasal 27 ayat (2), dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan denda paling banyak Rp ,00(dua miliar rupiah). Pasal 94 Setiap orang yang memiliki dan/atau mengoperasikan kapal pengangkut ikan di wilayah pengelolaan perikanan Republik Indonesia yang melakukan pengangkutan ikan atau kegiatan yang terkait yang tidak meiliki SIKPI sebagaiman yang dimaksud dalam Pasal 28 ayat (1), dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan denda paling banyak Rp ,00(satu miliar lima ratus juta rupiah). 124

141 Undang-undang No 45 tahun 2009 tentang Perikanan Pasal 95 Setiap orang yang mebangun, mengimpor, atau memodifikasi kapal perikanan yang tidak mendapat persetujuan terlebih dahulu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 ayat (1), dipidana dengan pidana paling lama 1 (satu) tahun dan denda paling banyak Rp ,00(enam ratus juta rupiah). Pasal 96 Setiap orang yang mengoperasikan kapal perikanan di wilayah pengelolaan perikanan republik Indonesia yang tidak mendaftarkan kapal perianannya sebgai kapal Indonesia sebagimana yang dimaksud dalam Pasal 36 ayat (1), dipidana dengan pidana paling lama 1 (satu) tahun dan denda paling banyak Rp ,00(delapan ratus juta rupiah). Pasal 97 (1) Nakhoda yang mengoperasikan kapal penangkap ikan berbendera asing yang tidak memiliki izin penangkapan ikan, yang selama berada di wilayah pengelolaan perikanan Republik Indonesia tidak menyimpan alat penangkapan di dalam palka sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 38 ayat (1),dipidana dengan pidana denda paling banyak Rp ,00(lima ratus juta rupiah). (2) Nakhoda yang mengoperasikan kapal penangkap ikan berbendera asing yang telah memiliki izin penangkapan ikan dengan 1 (satu) jenis alat penangkapan ikan tertentu pada bagian tertentu di ZEEI yang mebawa alat penangkapan ikan lainnya sebagaimana yang dimaksud dalam pasal 38 ayat (2), dipidana denda paling banyak Rp ,00(satu miliar rupiah). (3) Nakhoda yang mengoperasikan kapal penangkap ikan berbendera asing yang telah memiliki izin penangkapan ikan, yang tidak menyimpan alat penangkapan ikan di dalam palka selama berada di luar daerah penangkapan ikan yang diizinkan di wilayah pengelolaan perikanan republik Indonesia sebagimana yang dimaksud dalam pasal 38 ayat (3), dipidan dengan pidana denda paling banyak Rp ,00(lima ratus juta rupiah). Pasal 98 Nakhoda yang berlayar tidak memiliki surat izin berlayar kapal perikanan yang dikeluarkan oleh syahbandar sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 42 ayat (1), dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun dan denda paling banyak Rp ,00(dua ratus juta rupiah). Pasal 99 Seiap orang asing yang melakukan penelitian perikanan di wilayah pengelolaan perikanan Republik Indonesia yang tidak memiliki izin dari pemerintah sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 55 ayat (1), dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun dan denda paling banyak Rp ,00 *satu miliar rupiah) Pasal 100 Setiap orang yang melanggar ketentuan yang ditetapkan dimaksud dalam Pasal 7 ayat (2) dipidana dengan pidana denda paling banyak Rp ,00 (dua ratus lima puluh juta rupiah). Pasal 84 (1) Setiap orang yang dengan sengaja di wilayah pengelolaan perikanan Republik Indonesia melakukan penangkapan ikan dan/atau pembudidayaan ikan dengan menggunakan bahan kimia, bahan biologis, bahan peledak, alat dan/atau cara, dan/atau bangunan yang dapat merugikan dan/atau membahayakan kelestarian sumberdaya ikan dan/atau lingkungannya sebagaimana dimaksud dalam pasal 8 ayat (1), dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan denda paling banyak Rp ,00 (satu miliar dua ratus juta rupiah). (2) Nakhoda atau pemimpin kapal perikanan, ahli penangkapan ikan, dan anak buah kapal yang dengan sengaja 125

142 di wilayah pengelolaan perikanan Republik Indonesia melakukan penangkapan ikan dengan menggunakan bahan kimia,bahan biologis,bahan peledak, alat dan/atau cara, dan/atau bangunan yang dapat merugkan dan/atau membahayakan kelestarian sumberdaya ikan dan/atau lingkungannya sebagaimana dimaksud dalam pasal 8 ayat (2), dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling banyak Rp ,00(satu miliar dua ratus juta rupiah). (3) Pemilik kapal perikanan, pemilik perusahaan perikanan, penangggungjawab perusahaan perikanan, dan/atau operator kapal perikanan yang dengan sengaja di wilayah pengelolaan perikanan Republik Indonesia melakukan usaha penangkapan ikan dengan menggunakan bahan kimia,bahan biologis,bahan peledak, alat dan/atau cara, dan/atau bangunan yang dapat merugkan dan/atau membahayakan kelestarian sumberdaya ikan dan/atau lingkungannya sebagaimana dimaksud dalam pasal 8 ayat (3), dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling banyak Rp ,00(dua miliar rupiah). (4) Pemilik perusahaan pembudidayaan ikan, kuasa pemilik perusahaan pembudidaya ikan, dan/atau penanggung jawab perusahaan pembudidayaan ikan yang dengan sengaja melakukan usaha pembudidayaan ikan di wilayah pengelolaan perikanan Republik Indonesia menggunakan bahan kimia, bahan biologis, bahan peledak, alat dan/atau cara, dan/atau bangunan yang dapat merugkan dan/atau membahayakan kelestarian sumberdaya ikan dan/atau lingkungannya sebagaimana dimaksud dalam pasal 8 ayat (4), dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling banyak Rp ,00(dua miliar rupiah). Pasal 85 Setiap orang yang dengan sengaja memiliki, menguasai, membawa, dan/atau menggunakan alat penangkapan ikan dan/atau alat bantu penangkapan ikan yang yang mengganggu dan merusak keberlanjutan sumberdaya ikan di di wilayah pengelolaan perikanannegara Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9, dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling banyak Rp ,00(dua miliar rupiah). Pasal 86 (1) Setiap orang dengan sengaja di wilayah pengelolaan perikanan Republik Indonesia melakukan perbuatan yang mengakibatkan pencemaran dan/atau kerusakan sumberdaya ikan dan/atau lingkungannya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (1), dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling banyak Rp ,00 (dua miliar rupiah). (2) Setiap orang yang dengan sengaja di wilayah pengelolaan perikanan Republik Indonesia membudidayakan ikan yang dapat membahayakan sumberdaya ikan dan/atau lingkungan sumberdaya ikan dan/atau kesehatan manusia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (2), dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan denda paling banyak Rp ,00(satu miliar lima ratus juta rupiah). (3) Setiap orang yang dengan sengaja di wilayah pengelolaan perikanan Republik Indonesia membudidayakan ikan hasil rekayasa genetika yang dapat membahayakan sumberdaya ikan dan/atau kesehatan manusia sebagimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (3), dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan denda paling banyak Rp ,00(satu miliar lima ratus juta rupiah). (4) Setiap orang yang dengan sengaja di wilayah pengelolaan perikanan Republik Indonesia menggunakan obatobatan dalam pembudidayaan ikan yang dapat membahayakan sumberdaya ikan dan/atau lingkungan sumberdaya ikan dan/atau kesehatan manusia sebagimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (4), dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan denda paling banyak Rp ,00(satu miliar lima ratus juta rupiah). Pasal

143 (1) Setiap orang yang dengan sengaja di wilayah pengelolaan perikanan Republik Indonesia merusak plasma nuftah yang berkaitan dengan sumberdaya ikan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (4), dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun dan denda paling banyak Rp ,00(satu miliar rupiah). (2) Stiap orang yang karena kelalaiannya di wilayah pengelolaan perikanan Republik Indonesia mengakibatkan rusaknya plasma nuftah yang berkaitan dengan sumberdaya ikan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (4), dipidana dengan pdana penjara paling lama 1 (satu) tahun dan denda paling banyak Rp ,00(lima ratus juta rupiah). Pasal 88 Setiaporang yang dengan sengaja memasukan, mengeluarkan, mengadakan, mengedarkan, adn/atau memelihara ikan yang merugikan masyarakat, pembudidayaan ikan, sumberdaya ikan, adn.atau lingkungan sumebrdaya ikan ke dalam dan.atau ke luar wilayah pengelolaan perikanan republik Indonesia sebagimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (1), dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan denda paling banyak Rp ,00(satu miliar lima ratus juta rupiah). Pasal 89 Setiap orang yang melakukan penanganan dan pengolahan ikan yang tidak memenuhi dan tidak menrapkan persyaratan kelayakan pengolahan ikan, sistem jaminan mutu., dan keamanan hasil perikanan sebagimana dimaksud dala Pasal 20 ayat (3), dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun dan denda paling banyak Rp ,00(delapan ratus juta rupiah). Pasal 90 Setiap orang yang dengan sengaja melakukan pemasukan atau pengeluaran ikan dan/atau hasil perikanan dari dan/atau ke wilayah perikanan republik Indonesia yang tidak dilengkapi sertifikat kesehatan untuk konsumsi manusia sebagimana yang dimaksud pada Pasal 21, dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun dan denda paling banyak Rp ,00(delapan ratus juta rupiah). Pasal 91 Setiap orang yang dengan sengaja menggunakan bahan baku, bahan tambahan makanan, bahan penolong, dan/atau alat yang membahayakan kesehatan manusia dan/atau lingkungan dalam melaksanakan penanganan dan pengolahan ikan sebagimana yang dimaksud dalm Pasal 23 ayat (1), dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan denda paling banyak Rp ,00(satu miliar lima ratus juta rupiah). Pasal 92 Setiap orang yang dengan sengaja di wilayah pengelolaan perikanan Republik Indonesia melakukan usaha perikanan di bidang penangkapan, pembudidayaan, pengangkutan, pengolahan, dan pemasaran ikan, yang tidak memiliki SIUP sebagimana yang dimaksud dalam Pasal 26 ayat (1), dipidana dengan pidana penjara paling lama 8 (delapan) tahun dan denda paling banyak Rp ,00(satu miliar lima ratus juta rupiah). Pasal 93 (1) Setiap orang yang memiliki dan/atau mengoperasikan kapal penangkap ikan berbendera Indonesia melakukan penangkapan ikan di wilayah pengelolaan perikanan Negara Republik Indonesia dan/atau di laut lepas, yang tidak memiliki SIPI sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 27 ayat (1), dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan denda paling banyak Rp ,00(dua miliar rupiah). (2) Setiap orang yang memiliki dan/atau mengoperasikan kapal penangkap ikan berbendera asing melakukan penangkapan ian di ZEEI ayang tidak memiliki SIPI sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 27 ayat (2), dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan denda paling banyak Rp ,00(dua miliar rupiah). 127

144 (3) Setiaporang yang mengoperasikan kapal penangkap ikan berbendera Indonesia di wilayah pengelolaan perikanan Negara Republik Indonesia, yang tidak membawa SIPI asli sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat (3), dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan denda paling banyak Rp ,00(dua miliar rupiah). (4) Setiaporang yang mengoperasikan kapal penangkap ikan berbendera asing di ZEEI, yang tidak membawa SIPI asli sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat (3), dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan denda paling banyak Rp ,00(dua miliar rupiah). Pasal 94 Setiap orang yang memiliki dan/atau mengoperasikan kapal pengangkut ikan di wilayah pengelolaan perikanan Republik Indonesia yang melakukan pengangkutan ikan atau kegiatan yang terkait yang tidak meiliki SIKPI sebagaiman yang dimaksud dalam Pasal 28 ayat (1), dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan denda paling banyak Rp ,00(satu miliar lima ratus juta rupiah). Pasal 94 A Setiap orang yang memalsukan dan/atau menggunakan SIUP,SIPI dan SIKPI palsu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28A dipidana dengan pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun dan denda paling banyak Rp ,00(tiga mmiliar rupiah). Pasal 95 Setiap orang yang mebangun, mengimpor, atau memodifikasi kapal perikanan yang tidak mendapat persetujuan terlebih dahulu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 ayat (1), dipidana dengan pidana paling lama 1 (satu) tahun dan denda paling banyak Rp ,00(enam ratus juta rupiah). Pasal 96 Setiap orang yang mengoperasikan kapal perikanan di wilayah pengelolaan perikanan republik Indonesia yang tidak mendaftarkan kapal perianannya sebgai kapal Indonesia sebagimana yang dimaksud dalam Pasal 36 ayat (1), dipidana dengan pidana paling lama 1 (satu) tahun dan denda paling banyak Rp ,00(delapan ratus juta rupiah). Pasal 97 (1) Nakhoda yang mengoperasikan kapal penangkap ikan berbendera asing yang tidak memiliki izin penangkapan ikan, yang selama berada di wilayah pengelolaan perikanan Republik Indonesia tidak menyimpan alat penangkapan di dalam palka sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 38 ayat (1),dipidana dengan pidana denda paling banyak Rp ,00(lima ratus juta rupiah). (2) Nakhoda yang mengoperasikan kapal penangkap ikan berbendera asing yang telah memiliki izin penangkapan ikan dengan 1 (satu) jenis alat penangkapan ikan tertentu pada bagian tertentu di ZEEI yang mebawa alat penangkapan ikan lainnya sebagaimana yang dimaksud dalam pasal 38 ayat (2), dipidana denda paling banyak Rp ,00(satu miliar rupiah). (3) Nakhoda yang mengoperasikan kapal penangkap ikan berbendera asing yang telah memiliki izin penangkapan ikan, yang tidak menyimpan alat penangkapan ikan di dalam palka selama berada di luar daerah penangkapan ikan yang diizinkan di wilayah pengelolaan perikanan republik Indonesia sebagimana yang dimaksud dalam pasal 38 ayat (3), dipidan dengan pidana denda paling banyak Rp ,00(lima ratus juta rupiah). Pasal 98 Nakhoda kapal perikanan yang tidak memiliki surat persetujuan berlayar sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 42 ayat (3), dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun dan denda paling banyak 128

145 9 Menjaga Kelestarian Sumberdaya Perikanan Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan PER.17/MEN/2006 tentang Usaha Perikanan Tangkap Peraturan Daerah Provinsi Banten Nomor 6 Tahun 2004 tentang Izin Usaha Perikanan Undang-undang No 31 tahun 2004 tentang Perikanan Rp ,00(dua ratus juta rupiah). Pasal 99 Seiap orang asing yang melakukan penelitian perikanan di wilayah pengelolaan perikanan Republik Indonesia yang tidak memiliki izin dari pemerintah sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 55 ayat (1), dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun dan denda paling banyak Rp ,00 *satu miliar rupiah) Pasal 100 Setiap orang yang melanggar ketentuan yang ditetapkan dimaksud dalam Pasal 7 ayat (2) dipidana dengan pidana denda paling banyak Rp ,00 (dua ratus lima puluh juta rupiah). Pasal 68 (1) Setiap orang atau badan hukum yang melakukan usaha perikanan tangkap yang melakukan pelangaaran terhadap ketentuan dalam Peraturan Menteri ini dapat dikenankan sanksi administratif atau sanksi pidana. (2) Sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dapat berupa peringatan tertulis, pembekuan, atau pencabutan SIUP, SIPI, SIKPI, dan/atau APIM. (3) Pengenaan sanksi administratif sebagimana dimaksud pada ayat (2), dilakukan denga tahapan: a. Peringatan tertulis diberikan sebanyak 3 (tiga) kali berturut-turut, masing-masing dalam tenggang waktu 1 (satu) bulan oleh Direktur Jenderal kepada yang melakukan pelanggaran; b. Dalam hal peringatan tertulias sebagaimana dimaksud dalam huruf a, tidak diindahkan selanjutnya dilakukan pembekuan terhadap SIUP, SIPI, SIKPI, dan/atau APIM selama 1 (satu) bulan; c. Apabila pembekuan sebagaimana dimaksud dalam huruf b, tidak diindahkan selanjutnya pencabutan terhadap SIUP, SIPI,SIKPI, dan/atau APIM. (5) Sanksi pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dilaksanakan sesuai dengan peraturan perundangundangan yang berlaku. Pasal 16 (1) Setiap orang yang melanggar dipidana dengan pidana kurungan paling lam 6 (enam) bulan atau denda paling banyak Rp ,- (lima puluh juta). (2) Tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) adalah pelanggaran. Pasal 7 (5) Menteri menetapkan jenis ikan dan kawasan perairan yang masing-masing dilindungi, termasuk taman nasional laut, untuk kepentingan ilmu pengetahuan, kebudayaan, pariwisata, dan/atau kelestarian sumberdaya ikan dan/atau lingkungannya. Pasal 8 (1) Setiap orang dilarang melakukan penangkapan ikan dan/atau pembudidayaan ikan dengan menggunakan bahan kimia, bahan biologis, bahan peledak, alat dan/atau cara, dan/atau bangunan yang dapat merugikan dan/atau membahayakan kelestarian sumberdaya ikan dan/atau lingkungannya di wilayah pengelolaan perikanan Republik Indonesia. (2) Nakhoda atau pemimipin kapal perikanan, ahli penangkapan ikan, dan anak buah kapal yang melakukan penangkapan ikan dilarang menggunakan bahan kimia, bahan biologis, bahan peledak, alat dan/atau cara, dan/atau bangunan yang dapat merugikan dan/atau membahayakan kelestarian sumberdaya ikan dan/atau lingkungannya di wilayah pengelolaan perikanan Republik Indonesia. (3) Pemilik kapal perikanan, pemilik perusahaan perikanan, penangggung jawab perusahaan perikanan, dan/atau operator kapal perikanan dilarang menggunakan bahan kimia, bahan biologis, bahan peledak, alat dan/atau 129

146 Undang-undang No 45 tahun 2009 tentang Perikanan Peraturan Daerah Provinsi Banten Nomor 6 Tahun 2004 tentang Izin Usaha Perikanan - 10 Bentuk Usaha Perikanan Undang-undang No 31 tahun 2004 tentang Perikanan Undang-undang No 45 tahun 2009 tentang Perikanan cara, dan/atau bangunan yang dapat merugikan dan/atau membahayakan kelestarian sumberdaya ikan dan/atau lingkungannya di wilayah pengelolaan perikanan Republik Indonesia. (4) Pemilik perusahaan pembudidayaan ikan, kuasa pemiliki pembudidayaan ikan, dan/atau penanggungjawab perusahaan pembudidayaan ikan yang melakukan usaha pembudidayaan ikan dilarang menggunakan bahan kimia, bahan biologis, bahan peledak, alat dan/atau cara, dan/atau bangunan yang dapat merugikan dan/atau membahayakan kelestarian sumberdaya ikan dan/atau lingkungannya di wilayah pengelolaan perikanan Republik Indonesia. Pasal 8 (1) Setiap orang dilarang melakukan penangkapan ikan dan/atau pembudidayaan ikan dengan menggunakan bahan kimia, bahan biologis, bahan peledak, alat dan/atau cara, dan/atau bangunan yang dapat merugikan dan/atau membahayakan kelestarian sumberdaya ikan dan/atau lingkungannya di wilayah pengelolaan perikanan Republik Indonesia. (2) Nakhoda atau pemimipin kapal perikanan, ahli penangkapan ikan, dan anak buah kapal yang melakukan penangkapan ikan dilarang menggunakan bahan kimia, bahan biologis, bahan peledak, alat dan/atau cara, dan/atau bangunan yang dapat merugikan dan/atau membahayakan kelestarian sumberdaya ikan dan/atau lingkungannya di wilayah pengelolaan perikanan Republik Indonesia. (3) Pemilik kapal perikanan, pemilik perusahaan perikanan, penangggung jawab perusahaan perikanan, dan/atau operator kapal perikanan dilarang menggunakan bahan kimia, bahan biologis, bahan peledak, alat dan/atau cara, dan/atau bangunan yang dapat merugikan dan/atau membahayakan kelestarian sumberdaya ikan dan/atau lingkungannya di wilayah pengelolaan perikanan Republik Indonesia. (4) Pemilik perusahaan pembudidayaan ikan, kuasa pemiliki pembudidayaan ikan, dan/atau penanggungjawab perusahaan pembudidayaan ikan yang melakukan usaha pembudidayaan ikan dilarang menggunakan bahan kimia, bahan biologis, bahan peledak, alat dan/atau cara, dan/atau bangunan yang dapat merugikan dan/atau membahayakan kelestarian sumberdaya ikan dan/atau lingkungannya di wilayah pengelolaan perikanan Republik Indonesia. Pasal 13 (1) Untuk menjaga kelestarian sumberdaya ikan, dilarang menggunakan bahan kimia, bahan biologis, bahan peledak, listrik, racun atau sejenisnya, alat dan/atau cara, dan/atau bangunan yang dapat merugikan dan/atau membahayakan dan dilarang melakukan kegiatan usaha perikanan di daerah tertentu yang telah ditetapkan oleh Pemerintah Daerah kecuali untuk kegiatan penelitian dan survey. (2) Dilarang menggunakan alat penagkap ikan trawl, mini trawl, atau alat tangkap lain yang telah dimodifkasi namun penggunaannya mirip trawl atau alat tangkap lain yang dilarang Pemerintah. (3) Dilarang melakukan Usaha Perikanan pada daerah selain yang telah ditentukan dalam SIUP. (4) Dilarang menggunakan alat tangkap statis dijalur pelayaran atau lalu lintas kapal. Pasal 25 Usaha perikanan dilaksanakan dalam sistem bisnis perikanan yang meliputi praproduksi, produksi, pengolahan, dan pemasaran. Pasal 25 (1) Usaha perikanan dilaksanakan dalam sistem bisnis perikanan yang meliputi praproduksi, produksi, pengolahan, dan pemasaran. (2) Ketentuan lebih lanjut mengenai praproduksi, produksi, pengolahan dan pemasaran sebagaimana dimaksud 130

147 Peraturan Daerah Provinsi Banten Nomor 6 Tahun 2004 tentang Izin Usaha Perikanan pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Menteri. Pasal 4 (1) Usaha Perikanan meliputi usaha penangkapan ikan, usaha pembudidayaan ikan, usaha pengangkutan ikan, usaha pengolahan ikan dan usaha pemasaran ikan. 131

148 Lampiran 6. Perhitungan Biaya Transaksi Pengelolaan Sumberdaya Perikanan oleh Kelompok Nelayan Aktor Biaya Pertemuan (Rp/Tahun) Biaya Pengambilan Keputusan Biaya Koordinasi (Rp/Tahun) Biaya sosialisasi (Rp/Tahun) Biaya Pelatihan (Rp/Tahun) Biaya Operasional Biaya Pengawasan (Rp/Tahun) Total Biaya Transaksi (Rp/Tahun) HNSI Cabang Labuan Rukun Nelayan Koperasi Perikanan POKMASWAS Labuan Rata-rata

149 Lampiran 7. Perhitungan Biaya Transaksi Pengelolaan Sumberdaya Perikanan oleh Pemerintah No Biaya Transaksi Pemerintah 1 Biaya Informasi Biaya (Rp/Tahun) Biaya Konsultasi Masterplan Minapolitan Biaya Pengambilan Keputusan Biaya Sosialisasi Biaya Transportasi Biaya Akomodasi Biaya Akomodasi Peserta Biaya Pertemuan Biaya Transportasi Biaya Akomodasi Biaya Bantuan kepada nelayan Biaya Akomodasi Peserta Total Biaya Operasional Bersama Biaya Pembangunan Sarana dan Prasarana Perikanan Rehabilitasi TPI Pengadaan Alat Tangkap Biaya Pembinaan dan pelatihan iklim usaha, sarana usaha, tekhnik produksi, pemasaran dan mutu hasil perikanan Biaya Transportasi dan akomodasi Biaya Insentif Biaya Peralatan Biaya Peserta Biaya Pengawasan dan perizinan Biaya Transportasi dan akomodasi Biaya pelatihan pengadaan sarana dan prasarana budidaya ikan Biaya Transportasi dan akomodasi Biaya Peralatan Biaya Peserta Total Total Biaya Transaksi

150 Lampiran 8. Dokumentasi Penelitian TPI I LABUAN TPI II LABUAN TPI I LABUAN TPI II LABUAN Tepian Pantai Labuan Penambatan Kapal Wawancara Kapal Penangkapan Ikan 134

151 RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Tarutung pada tanggal 15 April 1988, merupakan anak ke empat dari empat bersaudara dari pasangan Bapak Tamrin Hutabarat dan Ibu Hotma Sihombing. Pada tahun 1994 penulis mengawali pendidikan di Sekolah Dasar Inpres Tarutung. Pada tahun 2000 penulis melanjutkan pendidikan di SLTP Negeri 2 Tarutung. Pada tahun 2003 penulis melanjutkan pendidikan di SMU Negeri 1 Tarutung. Penulis diterima sebagai mahasiswa Institut Pertanian Bogor melalui jalur Undangan Seleksi Mahasiswa IPB ( USMI ) pada tahun Pada tahun 2007 penulis masuk pada Departemen Ekonomi Sumberdaya dan Lingkungan, Fakultas Ekonomi dan Manajemen. Selama menjadi mahasiswa, penulis aktif pada kegiatan organisasi dan kemahasiswaan. Penulis pernah aktif sebagai Staf Divisi Internal Development, Himpro REESA FEM IPB ( ), Staf Divisi Study Researces and Development, Himpro REESA FEM IPB ( ), Bendahara Komisi Kesenian UKM PMK (Persekutuan Mahasiswa Kristen) IPB ( ) dan Bendahara Umum UKM PMK (Persekutuan Mahasiswa Kristen) IPB (2009/2010). Penulis penah menjadi asisten prasktikum Ekonomi Umum Tahun Ajaran 2009/

I. PENDAHULUAN. Indonesia adalah negara kepulauan terbesar di dunia karena memiliki luas

I. PENDAHULUAN. Indonesia adalah negara kepulauan terbesar di dunia karena memiliki luas I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia adalah negara kepulauan terbesar di dunia karena memiliki luas laut dan jumlah pulau yang besar. Panjang garis pantai Indonesia mencapai 104.000 km dengan jumlah

Lebih terperinci

METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan di kawasan Kecamatan Labuan, Kabupaten

METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan di kawasan Kecamatan Labuan, Kabupaten IV. METODE PENELITIAN. Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di kawasan Kecamatan Labuan, Kabupaten Pandeglang, Banten. Pemilihan lokasi tersebut dilakukan secara sengaja (purposive),

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. dengan dua pertiga wilayahnya berupa perairan serta memiliki jumlah panjang garis

I. PENDAHULUAN. dengan dua pertiga wilayahnya berupa perairan serta memiliki jumlah panjang garis I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia sebagai negara kepulauan terbesar di dunia memiliki 17.508 pulau dengan dua pertiga wilayahnya berupa perairan serta memiliki jumlah panjang garis pantai 91.000

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Indonesia merupakan negara maritim dengan garis pantai sepanjang 81.290 km dan luas laut termasuk Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) seluas 5,8 juta km 2 (Dahuri et al. 2002).

Lebih terperinci

BAB 9 IMPLIKASI KEBIJAKAN

BAB 9 IMPLIKASI KEBIJAKAN BAB 9 IMPLIKASI KEBIJAKAN Kegiatan perikanan tangkap sangat tergantung pada tersedianya sumberdaya perikanan, baik berupa sumberdaya alam, sumberdaya manusia maupun sumberdaya buatan (sarana dan prasarana

Lebih terperinci

EKONOMI KELEMBAGAAN UNTUK SUMBERDAYA DAN LINGKUNGAN (ESL 327 ) Ko-Manajemen. Kolaborasi Pengelolaan Sumberdaya dan Lingkungan

EKONOMI KELEMBAGAAN UNTUK SUMBERDAYA DAN LINGKUNGAN (ESL 327 ) Ko-Manajemen. Kolaborasi Pengelolaan Sumberdaya dan Lingkungan EKONOMI KELEMBAGAAN UNTUK SUMBERDAYA DAN LINGKUNGAN (ESL 327 ) Ko-Manajemen Kolaborasi Pengelolaan Sumberdaya dan Lingkungan PSALBM VS PSALP, Mana yang Lebih Baik? Keunggulan PSALBM 1. Sesuai aspirasi

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Perikanan sebagai salah satu sektor unggulan dalam pembangunan nasional mempunyai peranan penting dalam mendorong pertumbuhan ekonomi di masa mendatang, serta mempunyai

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia memiliki wilayah perairan yang luas, yaitu sekitar 3,1 juta km 2 wilayah perairan territorial dan 2,7 juta km 2 wilayah perairan zona ekonomi eksklusif (ZEE)

Lebih terperinci

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN TANGERANG NOMOR 8 TAHUN 2012

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN TANGERANG NOMOR 8 TAHUN 2012 LEMBARAN DAERAH KABUPATEN TANGERANG NOMOR 8 TAHUN 2012 PERATURAN DAERAH KABUPATEN TANGERANG NOMOR 8 TAHUN 2012 TENTANG PENGELOLAAN DAN PENYELENGGARAAN TEMPAT PELELANGAN IKAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA

Lebih terperinci

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN BREBES. Nomor : 6 Tahun : 2010 PERATURAN DAERAH KABUPATEN BREBES NOMOR 2 TAHUN 2010 TENTANG

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN BREBES. Nomor : 6 Tahun : 2010 PERATURAN DAERAH KABUPATEN BREBES NOMOR 2 TAHUN 2010 TENTANG LEMBARAN DAERAH KABUPATEN BREBES Nomor : 6 Tahun : 2010 PERATURAN DAERAH KABUPATEN BREBES NOMOR 2 TAHUN 2010 TENTANG PENGELOLAAN DAN RETRIBUSI TEMPAT PELELANGAN IKAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KABUPATEN BREBES

PERATURAN DAERAH KABUPATEN BREBES PERATURAN DAERAH KABUPATEN BREBES LEMBARAN DAERAH Menimbang : a. bahwa dalam rangka pelaksanaan urusan bidang kelautan dan perikanan khususnya Tempat Pelelangan Ikan (TPI) berdasarkan Peraturan Pemerintah

Lebih terperinci

2 KERANGKA PEMIKIRAN

2 KERANGKA PEMIKIRAN 2 KERANGKA PEMIKIRAN Berdasarkan latar belakang, perumusan masalah dan tujuan penelitian yang telah dirumuskan pada Bab Pendahuluan, maka penelitian ini dimulai dengan memperhatikan potensi stok sumber

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANDUNG BARAT NOMOR 2 TAHUN 2010 TENTANG PENGELOLAAN PERIKANAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANDUNG BARAT NOMOR 2 TAHUN 2010 TENTANG PENGELOLAAN PERIKANAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA 1 PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANDUNG BARAT NOMOR 2 TAHUN 2010 TENTANG PENGELOLAAN PERIKANAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BANDUNG BARAT, Menimbang : a. bahwa potensi pembudidayaan perikanan

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KABUPATEN BREBES

PERATURAN DAERAH KABUPATEN BREBES LEMBARAN DAERAH KABUPATEN BREBES Nomor : 6 Tahun : 2010 Menimbang : a. bahwa dalam rangka pelaksanaan urusan bidang kelautan dan perikanan khususnya Tempat Pelelangan Ikan (TPI) berdasarkan Peraturan Pemerintah

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Isu-isu tentang pemanfaatan dan pengelolaan sumberdaya alam, seperti air, tanah, hutan dan kelautan-perikanan, merupakan topik yang semakin penting dalam kajian akademik,

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 42 TAHUN 2008 TENTANG PENGELOLAAN SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 42 TAHUN 2008 TENTANG PENGELOLAAN SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 42 TAHUN 2008 TENTANG PENGELOLAAN SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : bahwa untuk melaksanakan ketentuan

Lebih terperinci

11 KEBIJAKAN PENGEMBANGAN PERIKANAN PELAGIS KEBERLANJUTAN KOTA TERNATE

11 KEBIJAKAN PENGEMBANGAN PERIKANAN PELAGIS KEBERLANJUTAN KOTA TERNATE 257 11 KEBIJAKAN PENGEMBANGAN PERIKANAN PELAGIS KEBERLANJUTAN KOTA TERNATE 11.1 Pendahuluan Perikanan tangkap merupakan salah satu aktivitas ekonomi yang sangat kompleks, sehingga tantangan untuk memelihara

Lebih terperinci

BAB V. KEBIJAKAN PENGELOLAAN KAWASAN KONSERVASI PERAIRAN DAERAH KABUPATEN ALOR

BAB V. KEBIJAKAN PENGELOLAAN KAWASAN KONSERVASI PERAIRAN DAERAH KABUPATEN ALOR BAB V. KEBIJAKAN PENGELOLAAN KAWASAN KONSERVASI PERAIRAN DAERAH KABUPATEN ALOR 5.1. Visi dan Misi Pengelolaan Kawasan Konservasi Mengacu pada kecenderungan perubahan global dan kebijakan pembangunan daerah

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. tanah. Air dalam pengertian ini termasuk air permukaan, air tanah, air hujan dan

TINJAUAN PUSTAKA. tanah. Air dalam pengertian ini termasuk air permukaan, air tanah, air hujan dan II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pengertian Sumberdaya Air Air adalah semua air yang terdapat di atas maupun di bawah permukaan tanah. Air dalam pengertian ini termasuk air permukaan, air tanah, air hujan dan

Lebih terperinci

X. ANALISIS KEBIJAKAN

X. ANALISIS KEBIJAKAN X. ANALISIS KEBIJAKAN 10.1 Alternatif Kebijakan Tahapan analisis kebijakan pada sub bab ini merupakan metode pengkajian untuk menghasilkan dan mentransformasikan flow of thinking dari serangkaian analisis

Lebih terperinci

BUPATI PACITAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN PACITAN NOMOR 11 TAHUN 2013 TENTANG

BUPATI PACITAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN PACITAN NOMOR 11 TAHUN 2013 TENTANG BUPATI PACITAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN PACITAN NOMOR 11 TAHUN 2013 TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN DAERAH KABUPATEN PACITAN NOMOR 15 TAHUN 2011 TENTANG PENGELOLAAN SUMBER DAYA KELAUTAN DAN PERIKANAN

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. dalam PDB (Produk Domestik Bruto) nasional Indonesia. Kontribusi sektor

I. PENDAHULUAN. dalam PDB (Produk Domestik Bruto) nasional Indonesia. Kontribusi sektor I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sektor perikanan merupakan salah satu sektor andalan bagi Indonesia untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi, baik dalam skala lokal, regional maupun negara, dimana sektor

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KABUPATEN BELITUNG TIMUR NOMOR 10 TAHUN 2012 TENTANG PERIZINAN USAHA PERIKANAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN DAERAH KABUPATEN BELITUNG TIMUR NOMOR 10 TAHUN 2012 TENTANG PERIZINAN USAHA PERIKANAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA SALINAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN BELITUNG TIMUR NOMOR 10 TAHUN 2012 TENTANG PERIZINAN USAHA PERIKANAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA KABUPATEN BELITUNG TIMUR, Menimbang : a. bahwa sebagai kekayaan

Lebih terperinci

BUPATI BANGKA TENGAH

BUPATI BANGKA TENGAH BUPATI BANGKA TENGAH PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANGKA TENGAH NOMOR 10 TAHUN 2011 TENTANG PENGELOLAAN TERUMBU KARANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BANGKA TENGAH, Menimbang : a. bahwa ekosistem

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Laut dan sumberdaya alam yang dikandungnya dipahami secara luas sebagai suatu sistem yang memberikan nilai guna bagi kehidupan manusia. Sebagai sumber kehidupan, potensi

Lebih terperinci

PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 16 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kabupaten Halmahera Utara sebagai salah satu kabupaten kepulauan di Provinsi Maluku Utara, memiliki sumberdaya kelautan dan perikanan yang sangat potensial untuk dikembangkan.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Manusia telah melakukan kegiatan penangkapan ikan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya sejak jaman prasejarah. Sumberdaya perikanan terutama yang ada di laut merupakan

Lebih terperinci

BUPATI TABANAN PROVINSI BALI PERATURAN DAERAH KABUPATEN TABANAN NOMOR 5 TAHUN 2017 TENTANG

BUPATI TABANAN PROVINSI BALI PERATURAN DAERAH KABUPATEN TABANAN NOMOR 5 TAHUN 2017 TENTANG BUPATI TABANAN PROVINSI BALI PERATURAN DAERAH KABUPATEN TABANAN NOMOR 5 TAHUN 2017 TENTANG PERLINDUNGAN, PEMBERDAYAAN NELAYAN KECIL DAN PEMBUDI DAYA IKAN KECIL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI DALAM NEGERI NOMOR 30 TAHUN 2010 TENTANG PEDOMAN PENGELOLAAN SUMBER DAYA DI WILAYAH LAUT DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN MENTERI DALAM NEGERI NOMOR 30 TAHUN 2010 TENTANG PEDOMAN PENGELOLAAN SUMBER DAYA DI WILAYAH LAUT DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI DALAM NEGERI REPUBLIK INDONESIA PERATURAN MENTERI DALAM NEGERI NOMOR 30 TAHUN 2010 TENTANG PEDOMAN PENGELOLAAN SUMBER DAYA DI WILAYAH LAUT DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI DALAM NEGERI,

Lebih terperinci

[Type the document subtitle]

[Type the document subtitle] PENGAKUAN KEBERADAAN KEARIFAN LOKAL LUBUK LARANGAN INDARUNG, KABUPATEN KUANTAN SINGINGI PROVINSI RIAU DALAM PENGELOLAAN DAN PERLINDUNGAN LINGKUNGAN HIDUP [Type the document subtitle] Suhana 7/24/2008 PENGAKUAN

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI DALAM NEGERI NOMOR 30 TAHUN 2010 TENTANG PEDOMAN PENGELOLAAN SUMBER DAYA DI WILAYAH LAUT DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN MENTERI DALAM NEGERI NOMOR 30 TAHUN 2010 TENTANG PEDOMAN PENGELOLAAN SUMBER DAYA DI WILAYAH LAUT DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN MENTERI DALAM NEGERI NOMOR 30 TAHUN 2010 TENTANG PEDOMAN PENGELOLAAN SUMBER DAYA DI WILAYAH LAUT DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI DALAM NEGERI, Menimbang Mengingat : bahwa untuk melaksanakan

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia adalah negara kepulauan terbesar di dunia. Berdasarkan data PBB pada tahun 2008, Indonesia memiliki 17.508 pulau dengan garis pantai sepanjang 95.181 km, serta

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Informasi tentang kerusakan alam diabadikan dalam Al-Qur an Surah

BAB I PENDAHULUAN. Informasi tentang kerusakan alam diabadikan dalam Al-Qur an Surah BAB I PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang Informasi tentang kerusakan alam diabadikan dalam Al-Qur an Surah Ar-Ruum ayat 41, bahwa Telah nampak kerusakan didarat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan

Lebih terperinci

PARTISIPASI MASYARAKAT DALAM PENGELOLAAN KOLABORATIF TAMAN NASIONAL KARIMUNJAWA. Frida Purwanti Universitas Diponegoro

PARTISIPASI MASYARAKAT DALAM PENGELOLAAN KOLABORATIF TAMAN NASIONAL KARIMUNJAWA. Frida Purwanti Universitas Diponegoro PARTISIPASI MASYARAKAT DALAM PENGELOLAAN KOLABORATIF TAMAN NASIONAL KARIMUNJAWA Frida Purwanti Universitas Diponegoro Permasalahan TNKJ Tekanan terhadap kawasan makin meningkat karena pola pemanfaatan

Lebih terperinci

BUPATI LANDAK PROVINSI KALIMANTAN BARAT PERATURAN DAERAH KABUPATEN LANDAK NOMOR 3 TAHUN 2014 TENTANG

BUPATI LANDAK PROVINSI KALIMANTAN BARAT PERATURAN DAERAH KABUPATEN LANDAK NOMOR 3 TAHUN 2014 TENTANG BUPATI LANDAK PROVINSI KALIMANTAN BARAT PERATURAN DAERAH KABUPATEN LANDAK NOMOR 3 TAHUN 2014 TENTANG PERLINDUNGAN SUMBER DAYA IKAN DAN LARANGAN PENANGKAPAN IKAN DENGAN ALAT SETRUM, TUBA DAN BAHAN KIMIA

Lebih terperinci

WALIKOTA PEKALONGAN PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN DAERAH KOTA PEKALONGAN NOMOR 11 TAHUN 2015 TENTANG PENGELOLAAN TEMPAT PELELANGAN IKAN

WALIKOTA PEKALONGAN PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN DAERAH KOTA PEKALONGAN NOMOR 11 TAHUN 2015 TENTANG PENGELOLAAN TEMPAT PELELANGAN IKAN WALIKOTA PEKALONGAN PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN DAERAH KOTA PEKALONGAN NOMOR 11 TAHUN 2015 TENTANG PENGELOLAAN TEMPAT PELELANGAN IKAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA PEKALONGAN, Menimbang

Lebih terperinci

KONFLIK DAN REZIM PENGELOLAAN SUMBERDAYA ALAM (Kuliah VII)

KONFLIK DAN REZIM PENGELOLAAN SUMBERDAYA ALAM (Kuliah VII) KONFLIK DAN REZIM PENGELOLAAN SUMBERDAYA ALAM (Kuliah VII) Tim Pengajar MK Ekologi Manusia 2010 HAK KEPEMILIKAN (PROPERTY RIGHT) Rezim Hak Kepemilikan Hak Kepemilikan Tipe Hak Kepemilikan Akses Terbuka

Lebih terperinci

VOLUNTARY NATIONAL REVIEW (VNR) TPB/SDGs TAHUN 2017 TUJUAN 14 EKOSISTEM LAUTAN

VOLUNTARY NATIONAL REVIEW (VNR) TPB/SDGs TAHUN 2017 TUJUAN 14 EKOSISTEM LAUTAN VOLUNTARY NATIONAL REVIEW (VNR) TPB/SDGs TAHUN 2017 TUJUAN 14 EKOSISTEM LAUTAN Voluntary National Review (VNR) untuk Tujuan 14 menyajikan indikator mengenai rencana tata ruang laut nasional, manajemen

Lebih terperinci

KEPUTUSAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN NOMOR : KEP.38/MEN/2004 TENTANG PEDOMAN UMUM PENGELOLAAN TERUMBU KARANG MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN,

KEPUTUSAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN NOMOR : KEP.38/MEN/2004 TENTANG PEDOMAN UMUM PENGELOLAAN TERUMBU KARANG MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN, KEPUTUSAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN NOMOR : KEP.38/MEN/2004 TENTANG PEDOMAN UMUM PENGELOLAAN TERUMBU KARANG MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN, Menimbang : a. bahwa sumberdaya terumbu karang dan ekosistemnya

Lebih terperinci

Laporan Akhir Kajian Iventarisasi Potensi Sumber Daya Alam di Kabupaten Pelalawan Tahun 2009 PENDAHULUAN

Laporan Akhir Kajian Iventarisasi Potensi Sumber Daya Alam di Kabupaten Pelalawan Tahun 2009 PENDAHULUAN BA B PENDAHULUAN I 1.1. Latar Belakang Sebagai bangsa yang besar dengan kekayaan potensi sumber daya alam yang luar biasa, sebenarnya Indonesia memiliki peluang yang besar untuk menjadi pelaku ekonomi

Lebih terperinci

VII. PENGELOAAN SUMBERDAYA IKAN DI PERAIRAN PELABUHANRATU Analisis Stakeholder dalam Pengelolaan Sumberdaya Perikanan Di Pelabuhanratu

VII. PENGELOAAN SUMBERDAYA IKAN DI PERAIRAN PELABUHANRATU Analisis Stakeholder dalam Pengelolaan Sumberdaya Perikanan Di Pelabuhanratu VII. PENGELOAAN SUMBERDAYA IKAN DI PERAIRAN PELABUHANRATU 7.1. Analisis Stakeholder dalam Pengelolaan Sumberdaya Perikanan Di Pelabuhanratu Identifikasi stakeholder dapat dilihat pada Tabel 23. Nilai kepentingan

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pembangunan sub-sektor perikanan tangkap merupakan bagian integral dari pembangunan kelautan dan perikanan yang bertujuan untuk : (1) meningkatkan kesejahteraan masyarakat

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 50 TAHUN 2015 TENTANG PEMBERDAYAAN NELAYAN KECIL DAN PEMBUDIDAYA-IKAN KECIL

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 50 TAHUN 2015 TENTANG PEMBERDAYAAN NELAYAN KECIL DAN PEMBUDIDAYA-IKAN KECIL PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 50 TAHUN 2015 TENTANG PEMBERDAYAAN NELAYAN KECIL DAN PEMBUDIDAYA-IKAN KECIL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: bahwa

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Seiring dengan meningkatnya jumlah penduduk dan kebutuhan akan bahan pangan dan gizi yang lebih baik, permintaan ikan terus meningkat dari tahun ke tahun. Permintaan ikan

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang 1 PENDAHULUAN 20 1.1 Latar Belakang Pembangunan kelautan dan perikanan saat ini menjadi salah satu prioritas pembangunan nasional yang diharapkan menjadi sumber pertumbuhan ekonomi Indonesia. Dengan mempertimbangkan

Lebih terperinci

GUBERNUR MALUKU PERATURAN DAERAH PROVINSI MALUKU NOMOR 3 TAHUN 2016 TENTANG PERLINDUNGAN DAN PENGELOLAAN TELUK DI PROVINSI MALUKU

GUBERNUR MALUKU PERATURAN DAERAH PROVINSI MALUKU NOMOR 3 TAHUN 2016 TENTANG PERLINDUNGAN DAN PENGELOLAAN TELUK DI PROVINSI MALUKU 1 GUBERNUR MALUKU PERATURAN DAERAH PROVINSI MALUKU NOMOR 3 TAHUN 2016 TENTANG PERLINDUNGAN DAN PENGELOLAAN TELUK DI PROVINSI MALUKU DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR MALUKU, Menimbang : a. bahwa

Lebih terperinci

*14730 UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA (UU) NOMOR 7 TAHUN 2004 (7/2004) TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

*14730 UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA (UU) NOMOR 7 TAHUN 2004 (7/2004) TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA Copyright (C) 2000 BPHN UU 7/2004, SUMBER DAYA AIR *14730 UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA (UU) NOMOR 7 TAHUN 2004 (7/2004) TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

Lebih terperinci

Lampiran 1. Kuisioner Penelitian KUESIONER

Lampiran 1. Kuisioner Penelitian KUESIONER Lampiran 1. Kuisioner Penelitian KUESIONER ANALISIS FUNGSI KELEMBAGAAN NON-PASAR (NON- MARKET INSTITUTIONS) DALAM EFISIENSI ALOKASI SUMBERDAYA PERIKANAN (Studi Kasus: Pelabuhanratu, Kab. Sukabumi) RIAKANTRI

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Informasi tentang kerusakan alam diabadikan dalam Al-Qur an Surah

BAB I PENDAHULUAN. Informasi tentang kerusakan alam diabadikan dalam Al-Qur an Surah BAB I PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang Informasi tentang kerusakan alam diabadikan dalam Al-Qur an Surah Ar-Ruum ayat 41, bahwa Telah nampak kerusakan didarat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan

Lebih terperinci

ANALISIS KEBERLANJUTAN PENGELOLAAN SUMBERDAYA LAUT GUGUS PULAU KALEDUPA BERBASIS PARTISIPASI MASYARAKAT S U R I A N A

ANALISIS KEBERLANJUTAN PENGELOLAAN SUMBERDAYA LAUT GUGUS PULAU KALEDUPA BERBASIS PARTISIPASI MASYARAKAT S U R I A N A ANALISIS KEBERLANJUTAN PENGELOLAAN SUMBERDAYA LAUT GUGUS PULAU KALEDUPA BERBASIS PARTISIPASI MASYARAKAT S U R I A N A SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2009 PERNYATAAN MENGENAI TESIS

Lebih terperinci

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN ALOR TENTANG PENGELOLAAN SUMBER DAYA LINGKUNGAN HIDUP KAWASAN PESISIR DAN LAUT DI KABUPATEN ALOR

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN ALOR TENTANG PENGELOLAAN SUMBER DAYA LINGKUNGAN HIDUP KAWASAN PESISIR DAN LAUT DI KABUPATEN ALOR LEMBARAN DAERAH KABUPATEN ALOR NO. : 20, 2005 PERATURAN DAERAH KABUPATEN ALOR NOMOR 14 TAHUN 2005 TENTANG PENGELOLAAN SUMBER DAYA LINGKUNGAN HIDUP KAWASAN PESISIR DAN LAUT DI KABUPATEN ALOR DENGAN RAHMAT

Lebih terperinci

BUPATI KEBUMEN PERATURAN BUPATI KEBUMEN NOMOR 72 TAHUN 2008 TENTANG

BUPATI KEBUMEN PERATURAN BUPATI KEBUMEN NOMOR 72 TAHUN 2008 TENTANG BUPATI KEBUMEN PERATURAN BUPATI KEBUMEN NOMOR 72 TAHUN 2008 TENTANG RINCIAN TUGAS POKOK, FUNGSI DAN TATA KERJA DINAS PETERNAKAN, PERIKANAN DAN KELAUTAN KABUPATEN KEBUMEN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 07 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 07 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 07 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa sumber daya air merupakan karunia Tuhan

Lebih terperinci

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN TANGERANG PERATURAN DAERAH KABUPATEN TANGERANG NOMOR 03 TAHUN 2010 TENTANG PENGELOLAAN SUNGAI DAN DRAINASE

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN TANGERANG PERATURAN DAERAH KABUPATEN TANGERANG NOMOR 03 TAHUN 2010 TENTANG PENGELOLAAN SUNGAI DAN DRAINASE LEMBARAN DAERAH KABUPATEN TANGERANG NOMOR : 03 TAHUN 2010 PERATURAN DAERAH KABUPATEN TANGERANG NOMOR 03 TAHUN 2010 TENTANG PENGELOLAAN SUNGAI DAN DRAINASE DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI TANGERANG,

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Menimbang : a. bahwa sumber daya air merupakan karunia Tuhan Yang

Lebih terperinci

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.44, 2013 BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA KEMENTERIAN KELAUTAN DAN PERIKANAN. Industrialisasi. Kelautan. Perikanan. Pedoman. PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR PER.27/MEN/2012

Lebih terperinci

III. KERANGKA PEMIKIRAN Analisis Kelembagaan dan Pembangunan (Institutional Analysis and Development, IAD)

III. KERANGKA PEMIKIRAN Analisis Kelembagaan dan Pembangunan (Institutional Analysis and Development, IAD) 3.1. Kerangka Teoritis III. KERANGKA PEMIKIRAN 3.1.1. Analisis Kelembagaan dan Pembangunan (Institutional Analysis and Development, IAD) Analisis ini digunakan untuk mengetahui siapa saja pihak-pihak yang

Lebih terperinci

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER INFORMASI

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER INFORMASI ANALISIS INSTITUSI KONSERVASI DI KAWASAN TAMAN NASIONAL UJUNG KULON, DESA TAMANJAYA, KAMPUNG CIBANUA, KECAMATAN SUMUR, KABUPATEN PANDEGLANG, PROVINSI BANTEN MONIKA BR PINEM PROGRAM STUDI MANAJEMEN BISNIS

Lebih terperinci

VI. HASIL DAN PEMBAHASAN Stakeholder Pengelolaan dan Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan

VI. HASIL DAN PEMBAHASAN Stakeholder Pengelolaan dan Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan VI. HASIL DAN PEMBAHASAN 6.1. Stakeholder Pengelolaan dan Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan Stakeholders dalam pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya perikanan adalah para pihak atau aktor yang terkait

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Menimbang: a. bahwa sumber daya air merupakan karunia Tuhan Yang

Lebih terperinci

II. TinjauanPustaka A. Definisi Sasi

II. TinjauanPustaka A. Definisi Sasi II. TinjauanPustaka A. Definisi Sasi Sasi merupakan bentuk aturan pengelolan sumberdaya alam berbasis masyarakat yang telah dilakukan oleh masyarakat pedesaan di Maluku. Sasi merupakan kearifan tradisional

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 50 TAHUN 2015 TENTANG PEMBERDAYAAN NELAYAN KECIL DAN PEMBUDIDAYA-IKAN KECIL

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 50 TAHUN 2015 TENTANG PEMBERDAYAAN NELAYAN KECIL DAN PEMBUDIDAYA-IKAN KECIL PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 50 TAHUN 2015 TENTANG PEMBERDAYAAN NELAYAN KECIL DAN PEMBUDIDAYA-IKAN KECIL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : bahwa

Lebih terperinci

QANUN KABUPATEN ACEH BESAR NOMOR 7 TAHUN 2013 TENTANG PENGELOLAAN SUMBER DAYA PERIKANAN DI PERAIRAN UMUM BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM

QANUN KABUPATEN ACEH BESAR NOMOR 7 TAHUN 2013 TENTANG PENGELOLAAN SUMBER DAYA PERIKANAN DI PERAIRAN UMUM BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM QANUN KABUPATEN ACEH BESAR NOMOR 7 TAHUN 2013 TENTANG PENGELOLAAN SUMBER DAYA PERIKANAN DI PERAIRAN UMUM BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM DENGAN RAHMAT ALLAH YANG MAHA KUASA BUPATI ACEH BESAR, Menimbang : a. bahwa

Lebih terperinci

BAPPEDA KAB. LAMONGAN

BAPPEDA KAB. LAMONGAN BAB IV VISI DAN MISI DAERAH 4.1 Visi Berdasarkan kondisi Kabupaten Lamongan saat ini, tantangan yang dihadapi dalam dua puluh tahun mendatang, dan memperhitungkan modal dasar yang dimiliki, maka visi Kabupaten

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. keanekaragaman hayati tertinggi di dunia. Kekayaan hayati tersebut bukan hanya

I. PENDAHULUAN. keanekaragaman hayati tertinggi di dunia. Kekayaan hayati tersebut bukan hanya I. PENDAHULUAN A. Latar belakang Sebagai negara kepulauan terbesar di dunia, wilayah daratan Indonesia ( 1,9 juta km 2 ) tersebar pada sekitar 17.500 pulau yang disatukan oleh laut yang sangat luas sekitar

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sektor kelautan dan perikanan merupakan salah satu pilihan yang strategis untuk dikembangkan, terutama di Kawasan Timur Indonesia (KTI) karena memiliki potensi yang sangat

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 31 TAHUN 2004 TENTANG PERIKANAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 45 TAHUN 2009 TENTANG

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 31 TAHUN 2004 TENTANG PERIKANAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 45 TAHUN 2009 TENTANG UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 31 TAHUN 2004 TENTANG PERIKANAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 45 TAHUN 2009 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 31 TAHUN 2004 TENTANG PERIKANAN PEMERINTAH

Lebih terperinci

PEMERINTAH KABUPATEN LUWU TIMUR PERATURAN DAERAH KABUPATEN LUWU TIMUR NOMOR 14 TAHUN 2010 TENTANG IRIGASI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI

PEMERINTAH KABUPATEN LUWU TIMUR PERATURAN DAERAH KABUPATEN LUWU TIMUR NOMOR 14 TAHUN 2010 TENTANG IRIGASI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI PEMERINTAH KABUPATEN LUWU TIMUR PERATURAN DAERAH KABUPATEN LUWU TIMUR NOMOR 14 TAHUN 2010 TENTANG IRIGASI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI LUWU TIMUR, Menimbang : a. bahwa irigasi mempunyai peranan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Menimbang: a. bahwa sumber daya air merupakan karunia Tuhan Yang

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Menimbang : a. bahwa sumber daya air merupakan karunia Tuhan Yang

Lebih terperinci

BAB X PEMBANGUNAN SUMBER DAYA ALAM DAN LINGKUNGAN HIDUP

BAB X PEMBANGUNAN SUMBER DAYA ALAM DAN LINGKUNGAN HIDUP BAB X PEMBANGUNAN SUMBER DAYA ALAM DAN LINGKUNGAN HIDUP A. UMUM Berbagai kebijakan dan program yang diuraikan di dalam bab ini adalah dalam rangka mendukung pelaksanaan prioritas pembangunan nasional yang

Lebih terperinci

Hubungan Partisipasi Nelayan dan Peran Pemangku Kepentingan Dalam Pengelolaan Kawasan Konservasi Perairan Daerah Pulau Tuan, Aceh Besar

Hubungan Partisipasi Nelayan dan Peran Pemangku Kepentingan Dalam Pengelolaan Kawasan Konservasi Perairan Daerah Pulau Tuan, Aceh Besar Hubungan Partisipasi Nelayan dan Peran Pemangku Kepentingan Dalam Pengelolaan Kawasan Konservasi Perairan Daerah Pulau Tuan, Aceh Besar Fisherman and Stakeholder Relation in Management of Pulau Tuan Conservation

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Peranan subsektor perikanan tangkap semakin penting dalam perekonomian nasional. Berdasarkan data BPS, kontribusi sektor perikanan dalam PDB kelompok pertanian tahun

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH PROVINSI SUMATERA SELATAN NOMOR 21 TAHUN 2010 TENTANG IRIGASI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA, GUBERNUR SUMATERA SELATAN,

PERATURAN DAERAH PROVINSI SUMATERA SELATAN NOMOR 21 TAHUN 2010 TENTANG IRIGASI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA, GUBERNUR SUMATERA SELATAN, PERATURAN DAERAH PROVINSI SUMATERA SELATAN NOMOR 21 TAHUN 2010 TENTANG IRIGASI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA, GUBERNUR SUMATERA SELATAN, Menimbang Mengingat : a. bahwa sumber daya air adalah merupakan

Lebih terperinci

PEMERINTAH KABUPATEN KEPULAUAN MERANTI KECAMATAN RANGSANG BARAT DESA BOKOR PERATURAN DESA NOMOR 18 TAHUN 2015

PEMERINTAH KABUPATEN KEPULAUAN MERANTI KECAMATAN RANGSANG BARAT DESA BOKOR PERATURAN DESA NOMOR 18 TAHUN 2015 PEMERINTAH KABUPATEN KEPULAUAN MERANTI KECAMATAN RANGSANG BARAT DESA BOKOR PERATURAN DESA NOMOR 18 TAHUN 2015 TENTANG PENGELOLAAN LINGKUNGAN LAUT TAHUN 2015 PEMERINTAH KABUPATEN KEPULAUAN MERANTI KECAMATAN

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KABUPATEN BREBES NOMOR 13 TAHUN 2008 TENTANG

PERATURAN DAERAH KABUPATEN BREBES NOMOR 13 TAHUN 2008 TENTANG LEMBARAN DAERAH KABUPATEN BREBES Nomor : 21 Tahun : 2008 PERATURAN DAERAH KABUPATEN BREBES NOMOR 13 TAHUN 2008 TENTANG I R I G A S I DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BREBES, Menimbang : a. bahwa

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH PROVINSI SUMATERA SELATAN NOMOR 5 TAHUN 2013 TENTANG PENGELOLAAN DAERAH ALIRAN SUNGAI TERPADU DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN DAERAH PROVINSI SUMATERA SELATAN NOMOR 5 TAHUN 2013 TENTANG PENGELOLAAN DAERAH ALIRAN SUNGAI TERPADU DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA 1 PERATURAN DAERAH PROVINSI SUMATERA SELATAN NOMOR 5 TAHUN 2013 TENTANG PENGELOLAAN DAERAH ALIRAN SUNGAI TERPADU DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR SUMATERA SELATAN, Menimbang : a. bahwa Daerah

Lebih terperinci

PENGAWASAN DINAS PERIKANAN DAN KELAUTAN TERHADAP PENGENDALIAN SUMBERDAYA PERIKANAN DI KOTA BANDAR LAMPUNG

PENGAWASAN DINAS PERIKANAN DAN KELAUTAN TERHADAP PENGENDALIAN SUMBERDAYA PERIKANAN DI KOTA BANDAR LAMPUNG 1 PENGAWASAN DINAS PERIKANAN DAN KELAUTAN TERHADAP PENGENDALIAN SUMBERDAYA PERIKANAN DI KOTA BANDAR LAMPUNG Yasir Al-Halim Ardi Koesoema, Dr. Tisnanta, S.H.M.H, Satria Prayoga,S.H.M.H, Hukum Adsminitrasi

Lebih terperinci

BUPATI KOTABARU PROVINSI KALIMANTAN SELATAN

BUPATI KOTABARU PROVINSI KALIMANTAN SELATAN BUPATI KOTABARU PROVINSI KALIMANTAN SELATAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN KOTABARU NOMOR 28 TAHUN 2014 TENTANG PENGELOLAAN PANGKALAN PENDARATAN IKAN DAN TEMPAT PELELANGAN IKAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA

Lebih terperinci

PERANAN KOPERASI UNIT DESA (KUD) TERHADAP P0ENGEMBANGAN USAHA TERNAK SAPI PERAH

PERANAN KOPERASI UNIT DESA (KUD) TERHADAP P0ENGEMBANGAN USAHA TERNAK SAPI PERAH PERANAN KOPERASI UNIT DESA (KUD) TERHADAP P0ENGEMBANGAN USAHA TERNAK SAPI PERAH (Studi Kasus Peternakan Sapi Perah KUD Mandiri Kecamatan Cisurupan Kabupaten Garut) CHICHI RIZKY DEPARTEMEN EKONOMI SUMBERDAYA

Lebih terperinci

Code Of Conduct For Responsible Fisheries (CCRF) Tata Laksana Perikanan Yang Bertanggung Jawab

Code Of Conduct For Responsible Fisheries (CCRF) Tata Laksana Perikanan Yang Bertanggung Jawab Code Of Conduct For Responsible Fisheries (CCRF) Tata Laksana Perikanan Yang Bertanggung Jawab Code Of Conduct For Responsible Fisheries (CCRF) adalah salah satu kesepakatan dalam konferensi Committee

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KABUPATEN PASURUAN NOMOR 28 TAHUN 2012 TENTANG USAHA PERIKANAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI PASURUAN,

PERATURAN DAERAH KABUPATEN PASURUAN NOMOR 28 TAHUN 2012 TENTANG USAHA PERIKANAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI PASURUAN, PERATURAN DAERAH KABUPATEN PASURUAN NOMOR 28 TAHUN 2012 TENTANG USAHA PERIKANAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI PASURUAN, Menimbang : a. bahwa guna menunjang pembangunan sektor kelautan dan perikanan

Lebih terperinci

PEMERINTAH KABUPATEN LOMBOK TIMUR

PEMERINTAH KABUPATEN LOMBOK TIMUR PEMERINTAH KABUPATEN LOMBOK TIMUR PERATURAN DAERAH KABUPATEN LOMBOK TIMUR NOMOR 2 TAHUN 2009 TENTANG LARANGAN PENGAMBILAN KARANG LAUT DI WILAYAH KABUPATEN LOMBOK TIMUR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. mempengaruhi debit air khususnya debit air tanah. Kelangkaan sumberdaya air

II. TINJAUAN PUSTAKA. mempengaruhi debit air khususnya debit air tanah. Kelangkaan sumberdaya air II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Kelangkaan Sumberdaya Air Peningkatan jumlah penduduk merupakan salah satu penyebab pemanfaatan berlebihan yang dilakukan terhadap sumberdaya air. Selain itu, berkurangnya daerah

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Menimbang : a. bahwa sumber daya air merupakan karunia Tuhan Yang

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa sumber daya air merupakan karunia Tuhan Yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Data pokok kelautan dan perikanan 2010 1 menggolongkan Indonesia sebagai negara kepulauan terbesar di dunia karena memiliki luas laut dan jumlah pulau yang banyak.

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Telah menjadi kesepakatan nasional dalam pembangunan ekonomi di daerah baik tingkat

I. PENDAHULUAN. Telah menjadi kesepakatan nasional dalam pembangunan ekonomi di daerah baik tingkat I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Telah menjadi kesepakatan nasional dalam pembangunan ekonomi di daerah baik tingkat Provinsi/Kabupaten/Kota pada seluruh pemerintahan daerah bahwa pelaksanaan pembangunan

Lebih terperinci

STRATEGI PENGELOLAAN KAWASAN KONSERVASI PERAIRAN INDRAPURWA LHOK PEUKAN BADA BERBASIS HUKUM ADAT LAOT. Rika Astuti, S.Kel., M. Si

STRATEGI PENGELOLAAN KAWASAN KONSERVASI PERAIRAN INDRAPURWA LHOK PEUKAN BADA BERBASIS HUKUM ADAT LAOT. Rika Astuti, S.Kel., M. Si STRATEGI PENGELOLAAN KAWASAN KONSERVASI PERAIRAN INDRAPURWA LHOK PEUKAN BADA BERBASIS HUKUM ADAT LAOT Rika Astuti, S.Kel., M. Si rika.astuti87@yahoo.com Simposium Nasional Konservasi Perairan Pesisir dan

Lebih terperinci

PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Perairan Selat Sunda secara geografis menghubungkan Laut Jawa serta Selat Karimata di bagian utara dengan Samudera Hindia di bagian selatan. Topografi perairan ini secara

Lebih terperinci

REVITALISASI KEHUTANAN

REVITALISASI KEHUTANAN REVITALISASI KEHUTANAN I. PENDAHULUAN 1. Berdasarkan Peraturan Presiden (PERPRES) Nomor 7 Tahun 2005 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) Nasional Tahun 2004-2009 ditegaskan bahwa RPJM merupakan

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH PROVINSI SULAWESI TENGAH NOMOR : 02 TAHUN 2009 TENTANG I R I G A S I DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR SULAWESI TENGAH,

PERATURAN DAERAH PROVINSI SULAWESI TENGAH NOMOR : 02 TAHUN 2009 TENTANG I R I G A S I DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR SULAWESI TENGAH, PERATURAN DAERAH PROVINSI SULAWESI TENGAH NOMOR : 02 TAHUN 2009 TENTANG I R I G A S I DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR SULAWESI TENGAH, Menimbang : a. bahwa air mempunyai fungsi sosial dalam

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KABUPATEN LUWU TIMUR NOMOR 08 TAHUN 2008 TENTANG

PERATURAN DAERAH KABUPATEN LUWU TIMUR NOMOR 08 TAHUN 2008 TENTANG PERATURAN DAERAH KABUPATEN LUWU TIMUR NOMOR 08 TAHUN 2008 TENTANG PERENCANAAN, PELAKSANAAN PEMBANGUNAN, PEMANFAATAN DAN PENDAYAGUNAAN KAWASAN PERDESAAN BERBASIS MASYARAKAT DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Menimbang : a. bahwa sumber daya air merupakan karunia Tuhan Yang

Lebih terperinci

DEPARTEMEN KELAUTAN DAN PERIKANAN DIREKTORAT JENDERAL KELAUTAN, PESISIR DAN PULAU-PULAU KECIL DIREKTORAT KONSERVASI DAN TAMAN NASIONAL LAUT

DEPARTEMEN KELAUTAN DAN PERIKANAN DIREKTORAT JENDERAL KELAUTAN, PESISIR DAN PULAU-PULAU KECIL DIREKTORAT KONSERVASI DAN TAMAN NASIONAL LAUT DEPARTEMEN KELAUTAN DAN PERIKANAN DIREKTORAT JENDERAL KELAUTAN, PESISIR DAN PULAU-PULAU KECIL DIREKTORAT KONSERVASI DAN TAMAN NASIONAL LAUT POTENSI SUMBER DAYA HAYATI KELAUTAN DAN PERIKANAN INDONESIA 17.480

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Tata Ruang dan Konflik Pemanfaatan Ruang di Wilayah Pesisir dan Laut

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Tata Ruang dan Konflik Pemanfaatan Ruang di Wilayah Pesisir dan Laut 6 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Tata Ruang dan Konflik Pemanfaatan Ruang di Wilayah Pesisir dan Laut Menurut UU No. 26 tahun 2007, ruang adalah wadah yang meliputi ruang darat, ruang laut, dan ruang udara,

Lebih terperinci

KEPALA KEPOLISIAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

KEPALA KEPOLISIAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA KEPALA KEPOLISIAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NASKAH KAPOLRI SEBAGAI KEYNOTE SPEECH PADA RAKORNAS PEMBERANTASAN ILLEGAL, UNREPORTED AND UNREGULATED FISHING TANGGAL 11 JULI 2017 ASSALAMU ALAIKUM Wr. Wb. SALAM

Lebih terperinci

PEMERINTAH DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA RANCANGAN PERATURAN DAERAH DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA NOMOR. TAHUN. TENTANG PENGELOLAAN TAMAN HUTAN RAYA BUNDER

PEMERINTAH DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA RANCANGAN PERATURAN DAERAH DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA NOMOR. TAHUN. TENTANG PENGELOLAAN TAMAN HUTAN RAYA BUNDER PEMERINTAH DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA RANCANGAN PERATURAN DAERAH DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA NOMOR. TAHUN. TENTANG PENGELOLAAN TAMAN HUTAN RAYA BUNDER DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR DAERAH ISTIMEWA

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Laut Arafura merupakan salah satu bagian dari perairan laut Indonesia yang terletak di wilayah timur Indonesia yang merupakan bagian dari paparan sahul yang dibatasi oleh

Lebih terperinci

1.1 Latar Belakang Selanjutnya menurut Dahuri (2002), ada enam alasan utama mengapa sektor kelautan dan perikanan perlu dibangun.

1.1 Latar Belakang Selanjutnya menurut Dahuri (2002), ada enam alasan utama mengapa sektor kelautan dan perikanan perlu dibangun. 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Krisis ekonomi yang melanda bangsa Indonesia telah menjadi krisis multidimensional yang dampaknya masih dirasakan dalam setiap aspek kehidupan bangsa. Untuk itu agenda

Lebih terperinci