BAB II OUTSOURCING PADA INDUSTRI JASA PERBANKAN. suatu proses bisnis kepada pihak luar (perusahaan penyedia jasa outsourcing).

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "BAB II OUTSOURCING PADA INDUSTRI JASA PERBANKAN. suatu proses bisnis kepada pihak luar (perusahaan penyedia jasa outsourcing)."

Transkripsi

1 BAB II OUTSOURCING PADA INDUSTRI JASA PERBANKAN E. Pengertian Outsourcing Outsourcing adalah pendelegasian operasi dan managemen harian dari suatu proses bisnis kepada pihak luar (perusahaan penyedia jasa outsourcing). Melalui pendelegasian, maka pengelolaan tak lagi dilakukan oleh perusahaan, melainkan dilimpahkan kepada perusahaan jasa outsourcing. 9 Outsourcing adalah salah satu hasil samping dari Business Process Reengineering (BPR). BPR adalah perubahan yang dilakukan secara mendasar oleh suatu perusahaan dalam proses pengelolaannya, bukan hanya sekedar melakukan perbaikan. BPR adalah pendekatan baru dalam managemen yang bertujuan meningkatkan kinerja, yang sangat berlainan pendekatan lama yaitu continuous improvement process. BPR dilakukan untuk memberikan respons atas perkembangan ekonomi secara global dan perkembangan teknologi yang demikian cepat sehingga berkembang persaingan yang bersifat global dan berlangsung sangat ketat. 10 Menurut Candra Soewondo Outsourcing adalah Pendelegasian operasional dan manajemen harian dari suatu proses bisnis kepada pihak luar (penyedia jasa) 11 9 Sehat Damanik, Outsourcing dan Perjanjian Kerja menurut UU Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan (Jakarta : DSS Publishing, 2006), hlm Sonhaji, Aspek Hukum Hubungan Kerja Melalui Mekanisme Outsourcing berdasarkan UU No. 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan, Fakultas Hukum Universitas Diponegoro, Majalah Masalah-Masalah Hukum Vol. 36 No. 2 April-Juni 2007, hlm Candra Soewondo, Outsourcing Implementasinya Di Indonesia, (Jakarta: Elok Media Kompetindo, 2003) hlm-02 12

2 13 Sedangan menurut Greaver dalam Indrajit Outsourcing adalah tindakan mengalihkan atau menyerahkan aktivitas-aktivitas internal yang terjadi berulang kali dan hak-hak pembuatan keputusan yang dimiliki suatu perusahaan kepada jasa out side providers, sebagaimana yang tercantum dalam perjanjian kontrak 12 Di dalam undang-undang tidak menyebutkan secara tegas mengenai istilah outsorcing. Tetapi pengertian outsourcing dapat dilihat dalam ketentuan Pasal 64 UU Ketenagakerjaan, yang isinya menyatakan bahwa outsourcing adalah suatu perjanjian kerja yang dibuat antara pengusaha dengan tenaga kerja, dimana perusahaan tersebut dapat menyerahkan sebagian pelaksanaan pekerjaan kepada perusahaan lainnya melalui perjanjian pemborongan pekerjaan yang dibuat secara tertulis. 13 Pasal 1601 b KUH Perdata, outsourcing disamakan dengan perjanjian pemborongan sehingga pengertian outsourcing adalah suatu perjanjian dimana pemborong mengikat diri untuk membuat suatu kerja tertentu bagi pihak lain yang memborongkan mengikatkan diri untuk memborongkan pekerjaan kepada pihak pemborongan dengan bayaran tertentu. 14 Dari pengertian di atas maka dapat ditarik suatu definisi operasional mengenai outsourcing yaitu suatu bentuk perjanjian kerja antara perusahaan pengguna jasa dengan perusahaan penyedia jasa, dimana perusahaan pengguna jasa meminta kepada perusahaan penyedia jasa untuk menyediakan tenaga kerja 12 Indrajit RE dan Richardus Djokopranoto, Proses Bisnis Outsourcing, (Jakarta: Grasindo, 2003) hlm H.Zulkarnain Ibrahim, Praktek Outsourcing Dan Perlindungan Hak-Hak Pekerja, Internet : Simbur Cahaya No. 27 Tahun X Januari 2005, hlm I Wayan Nedeng, Lokakarya Dua Hari: Outsourcing Dan PKWT, (Jakarta: Lembangtek, 2003), hlm. 2

3 14 yang diperlukan untuk bekerja di perusahaan pengguna jasa dengan membayar sejumlah uang dan upah atau gaji tetap dibayarkan oleh perusahaan penyedia jasa. Pola perjanjian kerja dalam bentuk outsourcing secara umum adalah ada beberapa pekerjaan kemudian diserahkan ke perusahaan lain yang telah berbadan hukum, dimana perusahaan yang satu tidak berhubungan secara langsung dengan pekerja tetapi hanya kepada perusahaan penyalur atau pengerah tenaga kerja. Pendapat lain menyebutkan bahwa outsourcing adalah pemberian pekerjaan dari satu pihak kepada pihak lain dalam 2 (dua) bentuk, yaitu : 1. Menyerahkan dalam bentuk pekerjaan. 2. Pemberian pekerjaan oleh pihak I dalam bentuk jasa tenaga kerja. Perjanjian Outsourcing dapat disamakan dengan perjanjian pemborongan pekerjaan. Di bidang ketenagakerjaan, outsourcing dapat diterjemahkan sebagai pemanfaatan tenaga kerja untuk memproduksi atau melaksanakan suatu pekerjaan oleh suatu perusahaan, melalui perusahaan penyedia/pengerah tenaga kerja. Ini berarti ada dua perusahaan yang terlibat, yakni perusahaan yang khusus menyeleksi, melatih dan mempekerjakan tenaga kerja yang menghasilkan suatu produk/jasa tertentu untuk kepentingan perusahaan lainnya. Dengan demikian perusahaan yang kedua tidak mempunyai hubungan kerja langsung dengan tenaga kerja yang bekerja padanya; hubungan hanya melalui perusahaan penyedia tenaga kerja. Outsourcing adalah alternatif dalam melakukan pekerjaan sendiri. Tetapi outsourcing tidak sekedar mengontrakkan secara biasa, tetapi jauh melebihi itu. Bentuk dari perjanjian outsourcing adalah tertulis. Hal ini dimaksudkan agar memiliki kekuatan pembuktian yang lebih kuat dari pada yang berbentuk

4 15 lisan, apabila terjadi perselisihan, serta sebagai syarat untuk adanya perjanjian outsourcing. Berdasarkan Pasal 65 UU Ketenagakerjaan Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Republik Indonesia Nomor Kep. 220/Men/2004 Tahun 2004 tentang bentuk dan syarat-syarat penyerahan sebagian pelaksanaan pekerjaan kepada perusahaan lain (Kep. 220/Men/X/20040). Bentuk dan isi perjanjian outsourcing adalah sebagai berikut : 1. Penyerahan sebagian pelaksanaan pekerjaan kepada perusahaan lain yang dilaksanakan melalui perjanjian yang didibuat secara tertulis, 2. Pekerjaan yang dapat diserahkan kepada perusahaan lain Sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), maka harus memenuhi syaratsyarat sebagai berikut ; a. Di lakukan secara terpisah dari kegiatan utama baik manajemen maupun kegiatan pelaksanaan pekerjaan, b. Dilakukan dengan perintah langsung atau tidak dari pemberi pekerjaan untuk memberikan penjelasan tentang tata cara melaksanakan pekerjaan agar sesuai dengan standar yang di tetapkan oleh perusahaan pemberi pekerjaan, c. Merupakan kegiatan penunjang perusahaan secara keseluruhan, artinya kegiatan tersebut merupakan kegiatan yang mendukung dan memperlancar pelaksanaan pekerjaan sesuai dengan alur kegiatan kerja perusahaan pemberi pekerjaan,

5 16 d. Tidak menghambat proses produksi secara langsung. Artinya, kegiatan tersebut merupakan kegiatan tambahan yang apabila tidak dilakukan oleh perusahaan pemberi pekerjaan, proses pelaksanaan pekerjaan tetap berjalan sebagaimana biasanya, e. Perusahaan pemberi pekerjaan yang akan menyerahkan sebagian pelaksanaan pekerjaanya kepada perusahaan pemborongan pekerjaan wajib membuat alur kegiatan proses pelaksanaan pekerjaan, f. Berdasarkan alur kegiatan proses pelaksanaan pekerjaan maka perusahaan pemberi pekerjaan menetapkan jenis-jenis pekerjaan yang utama dan penunjang berdasarkan serta melaporkan kepada instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan setempat Pasal 6 ayat (2) Kep. 220/Men/ Penyerahan sebagian pelaksanaan pekerjaan kepada Perusahaan lain harus diserahkan kepada perusahaan yang berbadan hukum kecuali (Pasal 3 Kep/Men/X/2004) yaitu : a. Perusahaan pemborongan pekerjaan yang bergerak di bidang pengadaan barang ; b. Perusahaan pemborongan pekerjaan yang bergerak di bidang jasa pemeliharaan dan perbaikan serta jasa konsultasi yang dalam melaksanakan pekerjaan tersebut mempekerjakan pekerja/buruh kurang dari 10 (sepuluh) orang. 4. Apabila perusahaan pemborong pekerjaan sebagaimana yang dimaksud dalam ayat (1) akan menyerahkan lagi sebagian pekerjaan yang diterima dari

6 17 perusahaan pemberi pekerjaan, maka penyerahan tersebut dapat diberikan kepada perusahaan pemborong pekerjaan yang bukan berbadan hukum. Dalam hal perusahaan pemborong pekerjaan bukan berbadan hukum sebagaiman dimaksud dalam ayat (3) tidak melaksanakan kewajibanya untuk memenuhi hak-hak pekerja/buruh dalam hubungan kerja maka perusahaan yang berbadan hukum sebagaimana yang diamksud dalam ayat (1) bertanggung jawab dalam memenuhi kewajiban tersebut. 5. Dalam suatu daerah tidak terdapat perusahaan pemborongan pekerjaan yang berbadan hukum atau terdapat perusahaan pemborongan pekerjaan berbadan hukum tetapi tidak memenuhi kualifikasi untuk melaksanakan sebagian pekerjaan dari perusahaan pemberi pekerjaan, penyerahan sebagian pelaksanaan pekerjaan dapat diserahka kepada perusahaan pemborong pekejaan yang budan berbadan hukum (Pasal 4 ayat (1) Kep.220/Men/X/ Perusahaan penerima pemborongan pekerjaan yang bukan berbadan hukum sebagaiman dimaksud diatas bertanggung jawab untuk memenuhi hak-hak pekerja/buruh yang terjadi dalam hubungan kerja antara perusahaan yang budan berbada hukum tersebut dengan pekerjaanya/buruhnya dan tanggung jawab tersebut harus dituangkan dalam perjanjian pemboronga pekerjaan antara perusahaan pemberi pekerjaan dan perusahaan pemborong pekerjaan. 7. Hubungan kerja antara pekerja dan perusahaan pemborongan pekerjaan dalam pelaksanaan suatu pemborongan pekerjaan diatur dalam suatu perjanjian kerja secara tertulis antara perusahaan pemborongan pekerjaan dan pekerja yang dipekerjakanya yang dapat dituangkan dalam perjanjian kerja waktu tidak

7 18 tertentu selanjutnya disebut (PKWTT) dan PKWT tertentu apabila telah memenuhi persyaratan perjanjian karja waktu tertentu, sebagaimana yang diatur dalam Pasal 59 UU No. tahun 2003 tentang Penyediaan Jasa Pekerja. F. Pengaturan Outsourcing UU Ketenagakerjaan sebagai dasar hukum diberlakukannya outsourcing (Alih Daya) di Indonesia, membagi outsourcing menjadi dua bagian, yaitu: pemborongan pekerjaan dan penyediaan jasa pekerja/buruh. Pada perkembangannya dalam draft revisi UU Ketenagakerjaan outsourcing mengenai pemborongan pekerjaan dihapuskan, karena lebih condong ke arah sub contracting pekerjaan dibandingkan dengan tenaga kerja. 15 Pelaksanaan outsourcing melibatkan 3 (tiga) pihak yakni perusahaan penyedia tenaga kerja outsourcing, perusahaan pengguna tenaga kerja outsourcing, dan tenaga kerja outsourcing itu sendiri. Oleh karena itu perlu adanya suatu peraturan agar pihak-pihak yang terlibat tidak ada yang dirugikan khususnya tenaga kerja outsourcing. Mengingat bisnis outsourcing berkaitan erat dengan praktek ketenagakerjaan, maka UU Ketenagakerjaan merupakan salah satu peraturan pelaksanaan outsorcing di Indonesia yang ditemukan dalam Pasal 64, Pasal 65 dan Pasal Draft Revisi Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, diakses dari Sabar Sianturi, pembicara pada Seminar tentang Outsourcing (Alih Daya) dan Permasalahannya, 12 April 2006.

8 19 1. Dasar pelaksanaan Outsourcing Prinsip dasar pelaksanaan outsourcing adalah terjadinya suatu kesepakatan kerjasama antara perusahaan pengguna jasa tenaga kerja dan perusahaan penyedia jasa tenaga kerja dalam bentuk perjanjian pemborongan pekerjaan pekerjaan atau penyediaan jasa pekerja, dimana perusahaan pengguna tenaga kerja akan membayar suatu jumlah tertentu sesuai kesepakatan atas hasil pekerjaan dari tenaga kerja yang disediakan oleh perusahaan penyedia tenaga kerja. Sesuai dengan ketentuan yang tercantum dalam Pasal 64, yang berbunyi sebagai berikut : Perusahaan dapat menyerahkan sebagian pelaksanaan pekerjaan kepada perusahaan lainnya melalui perjanjian pemborongan pekerjaan atau penyediaan jasa pekerja/buruh yang dibuat secara tertulis. Dengan demikian outsorcing dapat terlaksana bila sudah ditandatangani suatu perjanjian antara pengguna jasa tenaga kerja dan penyedia jasa tenaga kerja yaitu perjanjian pemborongan kerja atau penyediaan jasa tenaga kerja. Pengertian perjanjian pemborongan menurut Pasal 1601 b Kitab Undang- Undang Hukum Perdata selanjutnya disebut (KUH Perdata) yang menyebut perjanjian pemborongan dengan pemborongan pekerjaan yakni sebagai perjanjian dengan mana pihak yang satu, sipemborong, mengikatkan diri untuk menyelenggarakan suatu pekerjaan bagi pihak yang lain, pihak yang memborongkan dengan menerima suatu harga yang ditentukan. Definisi tersebut kurang tepat karena menganggap perjanjian pemborongan adalah perjanjian sepihak karena pemborong hanya mempunyai kewajiban saja sedangkan yang memborongkan hanya memiliki hak saja.

9 20 F.X. Djumialdji, memberikan suatu definisi yaitu: Pemborongan pekerjaan adalah suatu persetujuan dengan mana pihak yang satu, si pemborong, mengikatkan diri untuk menyelenggarakan suatu pekerjaan, sedangkan pihak yang lain, yang memborong, mengikatkan diri untuk membayar suatu harga yang telah ditentukan. 16 Perjanjian pemborongan pekerjaan yang dilakukan oleh perusahaan pengguna tenaga kerja dan perusahaan penyedia tenaga kerja harus dalam bentuk tertulis, sesuai ketentuan Pasal 65 ayat (1) sebagai berikut: Penyerahan sebagian pelaksanaan pekerjaan kepada perusahaan lain dilaksanakan melalui perjanjian pemborongan pekerjaan yang dibuat secara tertulis. 2. Syarat-syarat pekerjaan yang dapat diserahkan kepada pihak lain. Pada dasarnya tujuan utama suatu perusahaan melakukan outsourcing adalah untuk meningkatkan kemampuan dan keunggulan kompetitif perusahaan agar dapat mempertahankan hidup dan berkembang. Mempertahankan hidup berarti tetap dapat mempertahankan pangsa pasar, sementara berkembang berarti dapat meningkatkan pangsa pasar, dengan tujuan strategis ialah bahwa dengan melakukan outsourcing, perusahaan ingin meningkatkan kemampuannya berkompetisi, atau ingin meningkatkan atau sekurang-kurangnya mempertahankan keunggulan kompetitifnya. Kompetisi antara perusahaan umumnya menyangkut tiga hal, yaitu harga produk, mutu produk dan layanan. Oleh karena itu, pekerjaan harus diserahkan pada pihak yang lebih profesional dan lebih berpengalaman hlm Djumadi, Hukum Perburuhan perjanjian Kerja (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2004),

10 21 daripada perusahaan sendiri dalam melaksanakan jenis pekerjaan yang diserahkan, tidak sekedar pihak ketiga saja. Namun demikian tidak semua pekerjaan dapat dialihkan dengan cara outsourcing, hanya pekerjaan yang memenuhi syarat-syarat tertentu saja yang dapat dialihkan kepada perusahaan lain. Perusahaan dalam hal ini dapat menyerahkan sebagian pelaksanaan pekerjaannya kepada perusahaan lainnya melalui : a. Pemborongan pekerjaan; atau b. Penyediaan jasa pekerja. Pasal 65 ayat (1) UU Ketenagakerjaan menyebutkan: Penyerahan sebagian pelaksanaan pekerjaan kepada perusahaan lain dilaksanakan melalui perjanjian pemborongan pekerjaan yang dibuat secara tertulis. Pekerjaan yang dapat diserahkan kepada perusahaan lain sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus memenuhi syarat-syarat yang diatur dalam Pasal 65 ayat (2) yaitu: a) Dilakukan secara terpisah dari kegiatan utama; b) Dilakukan dengan perintah langsung atau tidak langsung dari pemberi pekerjaan; c) Merupakan kegiatan penunjang perusahaan secara keseluruhan; d) Tidak menghambat proses produksi secara langsung. Berdasarkan Pasal 66 UU Ketenagakerjaan, outsourcing dibolehkan hanya untuk kegiatan penunjang dan kegiatan yang tidak berhubungan langsung dengan proses produksi. Dalam penjelasan Pasal 66 UU Ketenagakerjaan menyebutkan

11 22 bahwa: Kegiatan penunjang atau kegiatan yang tidak berhubungan langsung dengan proses produksi adalah kegiatan yang berhubungan di luar usaha pokok (core bussiness) suatu perusahaan. Kegiatan tersebut antara lain: usaha pelayanan kebersihan (cleaning service), usaha penyediaan makanan bagi pekerja/buruh catering, usaha tenaga pengaman (security/satuan pengamanan), usaha penunjang di pertambangan dan perminyakan, serta usaha penyediaan angkutan pekerja/buruh. Syarat-syarat pekerjaan yang dapat diserahkan kepada perusahaan lain diatur juga dalam Pasal 6 Kepmenakertrans No. KEP-220/MEN/X/2004 tentang Syarat-syarat Penyerahan Sebagian Pelaksanaan Pekerjaan Kepada Perusahaan lain yang bunyinya sebagai berikut : 1. Pekerjaan yang dapat diserahkan kepada pemborong pekerjaan harus memenuhi syarat : a. Dilakukan secara terpisah dari kegiatan utama, baik manajemen maupun kegiatan pelaksanaan pekerjaan; b. Dilakukan dengan perintah langsung atau tidak langsung dari pemberi pekerjaan; c. Merupakan kegiatan penunjang perusahaan secara keseluruhan; d. Tidak menghambat proses produksi secara langsung, artinya apabila pekerjaan yang diborong tersebut apabila tidak dilaksanakan, maka kegiatan utama tetap berjalan sebagaimana mestinya. 2. Perusahaan pemberi pekerjaan wajib membuat alur kegiatan proses pelaksanaan pekerjaan.

12 23 3. Perusahaan pemberi pekerjaan menetapkan jenis-jenis pekerjaan yang utama dan menunjang serta melaporkan kepada instansi ketenagakerjaan setempat. 3. Syarat-syarat Perusahaan Penyedia Jasa Tenaga Kerja Outsourcing. UU Ketenagakerjaan mengatur syarat-syarat perusahaan yang dapat menyediakan tenaga kerja agar kepentingan para pihak yang terlibat dalam perjanjian outsourcing, baik pihak-pihak yang berhubungan maupun terhadap pekerja/buruh yang dipekerjakan tidak ada yang dirugikan terutama tenaga kerja outsourcing yang biasanya berada pada posisi yang lemah. Syarat-syarat tersebut dalam Pasal 65 UU Ketenagakerjaan disebutkan 1. Perusahaan penyedia tenaga kerja haus berbentuk badan hukum (Pasal 65 ayat (3)) 2. Perusahaan penyedia tenaga kerja harus mampu memberikan perlindungan upah dan kesejahteraan, memenuhi syarat-syarat kerja sekurang-kurangnya sama dengan perusahaan pengguna tenaga kerja atau peraturan-perundangundangan yang berlaku. (Pasal 65 ayat (4)), dengan kata lain perusahaan penyedia tenaga kerja minimal harus memiliki Peraturan Perusahaan yang telah disetujui oleh Departemen Tenaga Kerja. Pasal 66 UU Ketenagakerjaan antara lain : 1. Ada hubungan kerja antara pekerja/buruh dengan perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh; 2. Perjanjian kerja yang berlaku dalam hubungan kerja adalah perjanjian kerja untuk waktu tertentu yang memenuhi persyaratan sebagaimana terdapat dalam

13 24 Pasal 59 UU Ketenagakerjaan dan/atau perjanjian kerja waktu tidak tertentu yang dibuat secara tertulis dan ditandatangani oleh kedua belah pihak. 3. Perlindungan upah dan kesejahteraan, syarat-syarat kerja, serta perselisihan yang timbul menjadi tanggung jawab perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh. 4. Perjanjian antara perusahaan pengguna jasa pekerja/buruh dan perusahaan penyedia pekerja/buruh dibuat secara tertulis dan wajib memuat pasal sebagaimana dimaksud dalam undang-undang ini. 5. Penyedia jasa pekerja/buruh merupakan bentuk usaha yang berbadan hukum dan memiliki izin dari instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan. Apabila ketentuan-ketentuan yang telah disebutkan di atas tidak terpenuhi, maka demi hukum status hubungan kerja antara pekerja/buruh dan perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh beralih menjadi hubungan kerja antara pekerja/buruh dan perusahaan pemberi pekerjaan. Syarat-syarat bagi perusahaan pelaksana pekerjaan juga terdapat pada Pasal 3, Pasal 5 Kepmenakertrans No. KEP-220/MEN/2004: Pasal 3 ayat (2) sampai dengan ayat (5) : 1) Penyerahan sebagian pelaksana pekerjaan kepada pemborong harus diserahkan kepada perusahaan yang berbadan hukum. 2) Ketentuan dalam ayat (1) dikecualikan bagi : a. Perusahaan pemborong pekerjaan yang bergerak dibidang pengadaan barang;

14 25 b. Perusahaan pemborong pekerjaan yang bergerak di bidang jasa pemeliharaan dan perbaikan serta jasa konsultasi yang memperkerjakan pekerja/buruh kurang dari 10 (sepuluh) orang. 3) Apabila pemborong yang akan menyerahkan lagi sebagian pekerjaan, maka penyerahan tersebut dapat diberikan kepada perusahaan pemborong pekerjaan yang tidak berbadan hukum. 4) Apabila perusahaan pemborong yang bukan berbadan hukum dimaksud ayat (3) tidak melaksanakan kewajibannya memenuhi hak-hak pekerja/buruh, maka perusahaan yang berbadan hukum dimaksud ayat (1) bertanggung jawab memenuhi kewajiban tersebut. Pasal 4 berbunyi : 1) Dalam hal disuatu daerah tidak terdapat pemborong pekerjaan berbadan hukum, atau terdapat pemborong pekerjaan berbadan hukum tetapi tidak memenuhi kualifikasi yang ditentukan perusahaan pemberi pekerjaan, maka penyerahan sebagian pelaksanaan pekerjaan dapat diserahkan kepada perusahaan pemborong yang tidak berbadan hukum. 2) Perusahaan penerima pemborongan yang tidak berbadan hukum dimaksud ayat (1) bertanggung jawab memenuhi hak-hak pekerja. 3) Tanggung jawab dimaksud ayat (2) harus dituangkan dalam perjanjian pemborongan pekerjaan antara pemberi pekerjaan dengan perusahaan pemborong pekerjaan. Kepmenakertrans No. KEP-101/MEN/VI/2004 Pasal 2 disebutkan untuk dapat menjadi perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh, perusahaan wajib memiliki

15 26 izin operasional dari instansi ketenagakerjaan di Kabupaten/Kota sesuai dengan domisili perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh untuk mendapatkan ijin operasional, dengan menyampaikan permohonan dengan melampirkan : a) Copy pengesahan sebagai badan hukum berbentuk Perseroan Terbatas atau koperasi; b) Copy anggaran dasar yang di dalamnya memuat kegiatan usaha penyedia jasa pekerja/buruh; c) Copy SIUP; d) Copy wajib lapor ketenagakerjaan yang masih berlaku. Dinas Tenaga Kerja Kota/Kabupaten harus sudah menerbitkan izin operasional terhadap permohonan yang telah memenuhi ketentuan diatas dalam waktu paling lama 30 hari sejak permohonan diterima. Izin operasional bagi perusahaan penyedia tenaga kerja berlaku diseluruh Indonesia untuk jangka waktu 5 tahun dan dapat diperpanjang untuk jangka waktu yang sama. 4) Perlindungan kerja dan syarat-syarat kerja bagi pekerja. Menyadari akan pentingnya pekerja bagi perusahaan, dalam dunia outsourcing, baik dalam pemborongan pekerjaan maupun penyediaan jasa tenaga kerja, perusahaan diwajibkan menjamin perlindungan/jaminan terhadap hak-hak pekerja/buruh.perlindungan tersebut dimulai dengan adanya kewajiban, bahwa perusahaan harus berbadan hukum. Bila kita berbicara masalah perlindungan kerja dan syarat-syarat kerja, maka hal ini merupakan

16 27 masalah yang sangat komplek karena akan berkaitan dengan kesehatan kerja, keselamatan kerja, upah, kesejahteraan, dan Jamsostek. Menurut Soepomo, perlindungan tenaga kerja dibagi menjadi 3 (tiga) macam, yaitu : 1. Perlindungan ekonomis, yaitu perlindungan tenaga kerja dalam bentuk penghasilan yang cukup, termasuk bila tenaga kerja tidak mampu bekerja di luar kehendaknya. 2. Perlindungan sosial, yaitu: perlindungan tenaga kerja dalam bentuk jaminan kesehatan kerja, dan kebebasan berserikat dan perlindungan hak untuk berorganisasi. 3. Perlindungan teknis, yaitu: perlindungan tenaga kerja dalam bentuk keamanan dan keselamatan kerja. 17 G. Alasan Penggunaan Outsourcing di Jasa Perbankan Hubungan ketenagakerjaan dengan sistem outsourching tidak hanya dilakukan oleh perusahaan yang bergerak dalam bidang industri, namun juga perusahaan yang bergerak dalam bidang jasa seperti perbankan. Salah satu alasan perusahaan melakukan praktek kerja outsourching yaitu, untuk efektifitas dan efisiensi biaya perusahaan. Dengan diberlakukannya sistem kerja outsourching, berarti perusahaan bisa melakukan efisiensi biaya dengan mempekerjakan tenaga kerja tetap dengan jumlah seminimal mungkin. Hal ini dilakukan agar perusahaan bisa lebih fokus 17 Abdul khakim, Pengantar Hukum Ketenagakerjaan Indonesia, (Jakarta: Citra Aditya Bakti 2003), hlm

17 28 memberikan kontribusi pada bagian inti perusahaan atau dikenal dengan istilah core business. 18 Dengan berkembangnya zaman, tujuan dari outsourcing tidak lagi hanya untuk membagi risiko ketenagakerjaan saja akan tetapi berubah menjadi lebih kompleks lagi. Namun praktek kerja outsourching yang dilakukan di Indonesia saat ini sudah mulai keluar dari pengertian yang sesungguhnya. Begitu banyak pekerja outsourching yang dirugikan dengan adanya praktek kerja ini. Meskipun semua aturan tentang outsourching sudah dijelaskan di dalam UU Ketenagakerjaan, tetapi aturan ini masih sering dilanggar oleh perusahaan. Hal ini menyebabkan terjadinya protes dari para pekerja outsourching yang akhirnya membuat MK melakukan beberapa kali revisi undang-undang demi melindungi hak-hak pekerja. Bank Indonesia selanjutnya disebut (BI) tetap membolehkan perbankan menggunakan jasa outsourcing, termasuk debt collector. Alasannya, penyusunan Peraturan Bank Indonesia selanjutnya disebut (PBI) ini mengacu pada UU Ketenagakerjaan. BI berharap, regulasi ini menghapus wilayah abu-abu penggunaan tenaga outsourcing di perbankan Michael F. Corbett, pendiri the outsourcing institute, mengemukakan bahwa outsourcing telah menjadi alat manajemen dimana outsourcing bukan hanya untuk menyelesaikan masalah, tetapi juga untuk mendukung tujuan dan sasaran bisnis. 18 Basel Committee on Banking..hlm 5

18 29 Cobbet kemudian mengindentifikasi alasan penggunaan outsourcing menjadi tiga bagian, yaitu : Lima alasan strategis (kesatuan jangka panjang) a. Meningkatkan fokus bisnis perusahaan b. Mendapatkan akses pada kemampuan kelas dunia 20 c. Mempercepat keuntungan dari teknologi baru (re-enginering) 21 d. Membagi risiko usaha 22 e. Menggunakan sumber-sumber yang ada untuk aktivitas yang lebih strategis 2. Lima taktikal (keuntungan jangka pendek) a. Mengurangi dan mengendalikan biaya-biaya operasional b. Membuat tersedianya dana-dana modal c. Menghasilkan pemasukan dana tunai d. Sumber daya tidak perlu tersedia secara internal e. Pemberdayaan fungsi yang sulit diatur di luar kendali 3. Lima alasan transformasional (perubahan) a. Membawa solusi baru kepada nasabah lebih cepat b. Reaksi untuk mempersingkat daur hidup produk c. Mengindentifikasikan ulang hubungan dengan penyedia jasa dan rekan bisnis 19 Chandra Suwondo, Op.Cit., hlm Richardus Eko Indrajit dan Richardus Djokopranoto, Proses Bisnis Outsourcing, (Jakarta: Gramedia Widiasarana Indonesia, 2003), hlm Ibid, hlm 5 22 Ibid, hlm 6

19 30 d. Mengungguli pesaing e. Masuk ke pasar-pasar yang baru dengan risiko kecil Permasalahan praktik sistem kerja kontrak dan outsourcing di Indonesia tentunya berbeda-beda antarperusahaan. Ada perusahaan yang menjalankan sesuai dengan ketentuan dan ada pula yang mencoba mengakali (melanggar) untuk meningkatkan keuntungan. Secara umum, permasalahan terjadi karena perusahaan berusaha untuk membuat/mempertahankan status buruh menjadi kontrak PKWT dan outsourcing dengan memanfaatkan kelemahan undang-undang, sementara buruh berusaha untuk menjadi buruh tetap PKWTT dan melihat usaha perusahaan sebagai pelanggaran ketentuan undang-undang. Alasan perusahaan berusaha menghindari status hubungan kerja tetap antara lain adalah agar: Perusahaan dapat lebih mudah menghentikan karyawan yang dianggap tidak produktif; 2. Perusahaan tidak perlu membayar biaya pesangon ketika menghentikan karyawan; 3. Perusahaan dapat lebih efisien mengelola karyawannya karena tidak perlu mengurusi berbagai tunjangan karyawan seperti tunjangan kesehatan, THR, 4. Di tengah gejolak ekonomi & politik yang tidak stabil, sangat mudah dan murah jika sewaktu-waktu perlu diperlukan perampingan karyawan 23 Wawancara dengan Bapak Andi, Peneliti Bank Indonesia Cabang Medan pada Direktorat Jenderal Penelitian dan Pengaturan Perbankan (DPNP) pada tanggal 11 Oktober 2013

20 31 Beberapa permasalahan biasanya yang terjadi dimana buruh menuding perusahaan telah melanggar ketentuan adalah sebagai berikut: 1. Jenis pekerjaan tertentu yang bisa menggunakan sistem kerja kontrak (PKWT) Jenis pekerjaan yang bisa menggunakan PKWT sesuai ketentuan adalah pekerjaan yang sekali selesai, yang bersifat sementara, atau musiman. Contoh pekerjaan ini adalah proyek konstruksi dimana pekerjaan berakhir setelah proyek jadi. Dalam prakteknya, banyak perusahaan yang menggunakan PKWT juga untuk pekerjaan yang bersifat rutin/tetap. 2. Perpanjangan jangka waktu PKWT. Ketentuan menyebutkan bahwa jangka waktu PKWT paling lama 2 (dua) tahun dan hanya boleh diperpanjang 1 (satu) kali untuk jangka waktu paling lama 1 (satu) tahun. Atau dapat juga dilakukan pembaharuan kontrak 1 (satu) kali dan paling lama 2 (dua) tahun. Dalam prakteknya, perusahaan melakukan perpanjangan masa kontrak lebih dari dua kali dan bahkan belasan kali tetapi status karyawan tetap PKWT. Selain itu, perusahaan juga memanfaatkan ketentuan jeda waktu 30 (tiga puluh) hari untuk bisa melakukan pembaharuan kontrak sehingga masa kerja karyawan dimulai kembali dari nol (tidak memperhitungkan masa kerja kontrak sebelumnya). Hal-hal ini menjadi sebab terdapat karyawan yang telah

21 32 bertahun-tahun bekerja di suatu perusahaan tetapi tetap berstatus kontrak. 24 Berjalannya sistem kerja kontrak dan outsourcing tentunya bukan karena tanpa alasan. Sebagaimana disebutkan di bagian latar belakang, praktik sistem kerja kontrak dan outsourcing dimulai dengan adanya kebijakan perbaikan iklim investasi. Tujuan awalnya adalah memperbaiki daya saing perusahaan yang tengah dilanda krisis dengan mengurangi cost terkait tenaga kerja. Dari tujuan awal tersebut, dapat diperkirakan bahwa kebijakan sistem kerja kontrak dan outsourcing akan lebih menguntungkan pihak perusahaan karena itulah tujuan awalnya. Meskipun kemudian muncul pendapat bahwa outsourcing juga diperlukan untuk melindungi buruh dengan menciptakan lapangan pekerjaan. Oleh karena itu, dampak positif bagi perusahaan adalah penurunan biaya, meningkatnya kemampuan bersaing, dan meningkatnya keuntungan perusahaan. Sedangkan dampak bagi buruh sebagian besar (jika tidak seluruhnya) negatif adalah sebagai berikut: Tidak ada kepastian pekerjaan Sesuai dengan jenisnya, PKWT (termasuk PKWT yang berada dalam sistem outsourcing) merupakan pekerjaan sementara sehingga buruh hanya dipekerjakan untuk jangka waktu tertentu saja. Keterbatasan jangka waktu ini menjadi kekhawatiran dan ketidakpastian bagi buruh karena buruh dapat sewaktuwaktu diberhentikan dan harus kembali mencari pekerjaan tanggal 18 Februari Tjandraningsih, Indrasari. dkk Praktek Kerja Kontrak dan Outsourcing Buruh di Sektor Industri Metal di Indonesia. Bandung: Laporan Penelitian. AKATIGA-FSPMI-FES

22 33 2. Kesejahteraan dan perlindungan kerja kurang Umumnya, ketentuan mengenai upah dan kesejahteraan untuk buruh kontrak PKWT adalah sesuai dengan kontrak yang dibuat, dimana pembuatan kontrak dilakukan dengan posisi buruh yang lebih lemah dibandingkan perusahaan. Oleh karena itu, umumnya upah/tunjangan yang diterima oleh buruh kontrak lebih rendah dari buruh tetap dan buruh outsourcing lebih rendah dari buruh kontrak. Selain itu, perusahaan juga banyak yang tidak mengikutsertakan karyawan kontrak dan outsourcing-nya dalam program perlindungan sosial (jamsostek). 3. Tidak mendapat kompensasi bila di-phk Buruh kontrak tidak berhak mendapatkan kompensasi jika masa kerja telah berakhir atau mengalami PHK (sebelum masa kontrak habis) kecuali ada perjanjiannya. Hal ini berbeda dengan buruh tetap yang berhak mendapat kompensasi (uang pesangon, uang penghargaan masa kerja, dan uang pengganti hak) saat di PHK. 4. Terhambat untuk berserikat Buruh kontrak dan outsourcing umumnya jarang menjadi anggota serikat buruh karena kekhawatiran kehilangan pekerjaan (karena berstatus outsourcing, takut di PHK, takut tidak diperpanjang kontrak, dilarang perusahaan). Selain itu, hubungan buruh outsourcing adalah dengan perusahaan penyalur dan bukan dengan perusahaan pengguna, sementara serikat buruh basisnya adalah perusahaan dengan siapa buruh membuat perjanjian. 5. Banyaknya biaya dan potongan penghasilan oleh perusahaan outsourcing

23 34 Perusahaan outsourcing juga mencari keuntungan dengan perannya sebagai penyalur buruh ke perusahaan. Hal ini biasanya dilakukan dengan adanya biaya yang harus dikeluarkan oleh buruh yang ingin disalurkan dan adanya potongan-potongan penghasilan sehingga penghasilan yang diperoleh buruh outsourcing menjadi semakin rendah. 6. Terjadi stratifikasi sosial di perusahaan Dengan pemberlakuan outsourcing, di perusahaan akan terdapat 3 (tiga) kelompok buruh yakni buruh tetap, buruh kontrak dan buruh outsourcing. Pengelompokan ini pada umumnya ditandai dengan perbedaan warna seragam yang dikenakan dan membawa efek stratifikasi dan jarak sosial di antara buruh tetap, kontrak dan outsourcing yang berimplikasi terhadap solidaritas dan kesadaran bersama sebagai buruh. 7. Terjadi diskriminasi usia dan status perkawinan Perusahaan cenderung mempekerjakan buruh berusia muda dan untuk perekrutan buruh outsourcing baru mensyaratkan buruh yang berusia tahun dan berstatus lajang dengan alasan produktivitas. Memilih buruh berstatus lajang membawa efek semakin sulitnya buruh yang sudah berkeluarga untuk memperoleh pekerjaan dan berpenghasilan. 8. Mematikan karir buruh Buruh kontrak dan outsourcing memiliki masa kerja kontrak yang terbatas dan sering berpindah-pindah sehingga masa kerja pun seringkali dimulai lagi dari nol. Hal ini membuat peluang karyawan untuk meningkatkan status dan karir sangat sulit.

24 35 H. Outsourcing pada Jasa Perbankan Indonesia Seiring dengan berkembangnya dunia usaha dan tingginya tingkat persaingan, mendorong semakin kompleks dan beragamanya kegiatannya usaha bank. Hal ini kemudian menyebabkan bank dituntut untuk berkonsentrasi pada pekerjaan pokoknya dan melaksanakan fungsinya sebagai lembaga intermediasi. Untuk lebih berkonsentrasi pada kegiatan pokoknya tersebut, maka bank melakukan penyerahan sebagian pelaksanaan pekerjaan penunjang kepada pihak lain. 26 Pada tanggal 9 Desember 2011, Bank Indonesia menerbitkan PBI No 13/25/PBI/2011 tentang prinsip kehati-hatian bagi Bank Umum yang akan melakukan praktek outsourching terhadap karyawannya. Peraturan ini menjadi pedoman bagi praktik outsourcing di industri perbankan nasional. Dalam PBI tersebut, pekerjaan di bank dibedakan dalam dua kelompok berdasarkan sifatnya, yakni pekerjaan pokok dan pekerjaan penunjang. Pekerjaan penunjang inilah yang diperbolehkan untuk di-outsource-kan atau dialih dayakan kepada pihak ketiga. Di dalam aturan itu dijelaskan bahwa praktek kerja outsourching hanya boleh dilakukan untuk bagian-bagian pekerjaan yang bersifat menunjang (non core business) atau kegiatan usaha pendukung usaha bank Bank Indonesia (a) PBI Outcoursing 27 diakses tanggal 17 Februari 2014

25 36 Kategori penunjang suatu pekerjaan harus memenuhi tiga kriteria, yakni berisiko rendah, tidak membutuhkan kualifikasi kompetensi perbankan yang tinggi, dan tidak terkait langsung dengan proses pengambilan keputusan yang mempengaruhi operasional bank. Yang termasuk dalam kategori ini misalnya call center, aktivitas pemasaran (telemarketing, direct sales/ sales representative), penagihan, jasa kurir, sekuriti, messenger, office boy dan sekretaris. Sedangkan untuk praktek kerja yang bersifat inti (core business) seperti, account officer, analis kredit, customer service, customer relation, teller, pekerjaan pemasaran, analis kelayakan, persetujuan, pencairan, pemantauan, penagihan kredit lancar merupakan bagian yang tidak boleh dilakukan outsourching. 28 Salah satu alasan pembentukan aturan PBI ini adalah untuk melindungi hak karyawan outsourching di dunia perbankan. Penerapan peraturan ini dilakukan karena pada kenyataannya banyak dari pekerja outsourching di dunia perbankan saat ini merupakan bagian inti bank, seperti teller dan customer service. Alasan perbankan melakukan outsourching karyawan yaitu, untuk meminimalisir biaya bank. Dengan melakukan outsourching berarti bank bisa meminimalisir pengeluaran karena gaji untuk karyawan outsourching cenderung lebih rendah dibandingkan gaji karyawan tetap. Hal ini tentunya tidak mencerminkan nilai hasil kewajaran atas posisinya dalam bekerja dengan hasil yang didapatkannya. 29 Peraturan PBI yang baru ini, merupakan salah satu upaya pemerintah dalam melindungi tenaga kerja yang memiliki posisi yang penting dalam suatu 28 Wawancara dengan Bapak Andi, Peneliti Bank Indonesia Cabang Medan pada Direktorat Jenderal Penelitian dan Pengaturan Perbankan (DPNP) pada tanggal 11 Oktober Ibid.

26 37 perbankan. Namun, melalui telaah konsep syariah dalam bekerja, sebenarnya perlindungan terhadap tenaga kerja harus memperhatikan unsur-unsur (maqashid syariah) dalam mencapai kesejahteraan (mashlahah) tenaga kerjanya. Bukan sekedar perlindungan terhadap tenaga kerja inti namun juga tenaga kerja yang berasal dari outsourching juga harus diperhatikan. Karena tidak jarang pegawai outsourcing memberikan kontribusi yang cukup banyak bagi perusahaan. Demi meningkatkan ketahanan perbankan dan menjaga bank tetap kuat serta sehat dalam menghadapi persaingan melalui pengelolaan yang lebih transparan dan mengacu pada prinsip tata kelola yang baik. Bank Indonesia kemudian menerbitkan mengenai prinsip kehati-hatian dalam melakukan outcoursing. 30 Kebijakan ini tertuang pada Peraturan Bank Indonesia No.13/25/PBI/2011 tentang Prinsip kehati-hatian bagi Bank Umum yang melakukan penyerahan sebagian pelaksanaan pekerjaan kepada pihak lain pada tanggal 9 Desember Berdasarkan hasil wawancara dengan salah satu Bank Indonesia pada Direktorat Penelitian dan Pengaturan Perbankan (DPNP). 31 Penerbitan PBI outcourcing pada UU Ketenagakerjaan. Latar belakang dari terbitnya PBI outcourcing ini sendiri, sebagaimana tercantum dalam bagian konsiderans adalah Bank Indonesia merasa perlu menetapkan pengaturan mengenai prinsip kehati-hatian bagi bank umum yang melakukan outcoursing, mengingat: Bank Indonesia, Ringkasan Eksekutif Ketahanan Perekonomian Indonesia di Tengah Ketidakjelasan Ekonomi Global. Laporan perekonomian Indonesia 2011, hlm Wawancara dengan Bapak Andi, Peneliti Bank Indonesia Cabang Medan pada Direktorat Jenderal Penelitian dan Pengaturan Perbankan (DPNP) pada tanggal 11 Oktober Bank Indonesia, Op.Cit., Konsiderans

27 38 1. Kegiatan usaha bank yang semakin kompleks dan beragam akibat semakin berkembangnya dunia usaha dan ketatnya tingkat persaingan. 2. Diperbolehkannya bank untuk melakukan outcourcing yang tidak lain agar bank dapat lebih focus pada pekerjaan pokoknya dalam rangka melaksanakan fungsi intermediasi dan sejalan dengan perundangundangan yang berlaku. PBI outcoursing ini memberikan dasar hukum yang tegas bagi bank untuk dapat melakukan outcoursing, sejalan dengan diperbolehkannya suatu perusahaan ketenagakerjaan. Hal ini sebagaimana bunyi Pasal 2 ayat (1) PBI bahwa Bank dapat melakukan outcoursing kepada perusahaan penyedia jasa Berdasarkan Pasal 66 ayat (1) UU Ketenagakerjaan kegiatan outcoursing hanya diperbolehkan untuk kegiatan jasa penunjang, yang berhubungan di luar usaha pokok (core business) suatu perusahaan atau dugaan kata lain hanya diperbolehkan untuk kegiatan non core. 33 Di bidang perbankan sendiri, bank kemudian menterjemahkan kegiatan core dan non core ini dengan persepsi yang berbeda-beda. Melihat hal ini, Bank Indonesia kemudian merasa perlu untuk memberikan suatu pengaturan khusus bagi perbankan terkait penggunaan tenaga outcoucing agar bank-bank memiliki kesamaan persepsi mengenai pelaksanaan kegiatan outcoucing yang sesuai dengan perbankan. Hal lain yang mendasari penerbitan PBI outcourcing ini ialah, sebagaimana dalam penjelasan umum PBI outcourcing, potensi meningkatnya risiko yang dihadapi bank akibat kegiatan outcourcing. Selain itu, kejelasan atas 33 Indonesia (b), Op. Cit., Pasal 66 ayat (1) jo Penjelasan Pasal 66 ayat (1)

28 39 tanggung jawab bank terhadap pekerjaan yang diserahkan kepada pihak lain tersebut, serta aspek perlindungan nasabah menjadi hal yang sangat penting untuk diperhatikan. Penguatan penerapan prinsip kehati-hatian dan menajemen risiko dalam kegiatan outcourcing yang diiiringi dengan terlindunginya kepentingan nasabah ini diharapkan dapat menjaga integritas sistem perbankan secara khusus dan sistem perbankan secara khusus dan sistem keuangan secara keseluruhan. 34 PBI outcourcing merupakan PBI yang memberikan landasan pengaturan umum bagi bank yang melakukan outcourcing dan memberikan aturan yang lebih ketat jelas dan tegas mengenai kewajiban bank menerapkan prinsip kehati-hatian. Dan manajemen risiko dalam kegiatan outcourcing. Terkait cukupan dari PBI outcourcing ini ialah hubungan antara bank dengan perusahaan penyedia jasa. Di dalam penjelasan Pasal 3 ayat (1) huruf (a) PBI outcourcing, ditegaskan bahwa PBI ini tidak mengatur mengenai pemborongan pekerjaan yang hasil akhirnya berupa barang atau yang pada umumnya dikenal sebagai pengadaan barang. 35 PBI ini membagi pengaturan mengenai kegiatan outcourcing dalam perbankan kedalam beberapa bagian, mulai dari ketentuan umum, kegiatan outcourcing itu sendiri, penerapan prinsip kehati-hatian dan manejemen risiko, pelaporan kepada Bank Indonesia serta sanksi yang dikenakan oleh Bank Indonesia apabila bank. Bank yang telah melakukan alih daya atas pekerjaan selain pekerjaan yang diperbolehkan wajib melakukan langkah-langkah berikut Bank Indonesia, (a) Op.Cit., Penjelasan Umum PBI Outcourcing 35 Ibid 36 diakses tanggal 27 Januari 2014

29 40 1. Menghentikan alih daya sejak berakhirnya perjanjian atau paling lama satu tahun sejak diberlakukannya PBI. 2. Dalam hal sisa jangka waktu perjanjian lebih dari satu tahun tetapi tidak lebih dari dua tahun, bank wajib menghentikan alih daya pada saat berakhirnya perjanjian atau dapat memperpanjang perjanjian paling lama dua tahun sejak diberlakukannya PBI. 3. Dalam hal sisa jangka waktu perjanjian lebih dari dua tahun, bank wajib menghentikan perjanjian alih daya paling lama dua tahun sejak diberlakukannya PBI. 4. Menyusun dan menyampaikan laporan rencana aksi (action plan) dalam rangka penyesuaian alih daya sebagaimana dimaksud pada poin-poin di atas

I. FENOMENA IMPLEMENTASI OUTSOURCING TERHADAP KETENAGAKERJAAN INDONESIA

I. FENOMENA IMPLEMENTASI OUTSOURCING TERHADAP KETENAGAKERJAAN INDONESIA I. FENOMENA IMPLEMENTASI OUTSOURCING TERHADAP KETENAGAKERJAAN INDONESIA Oleh : Basani Situmorang SH,Mhum Dampak dan Trend Outsourcing Tenaga kerja merupakan salah satu faktor produksi terpenting. Dilihat

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 8 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian Implementasi K3 Implementasi K3 adalah suatu proses pengarahan, penjurusan dan pemberian fasilitas kerja kepada orang-orang yang diorganisasikan dalam kelompok-kelompok

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI REPUBLIK INDONESIA NOMOR TAHUN 2012 TENTANG

PERATURAN MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI REPUBLIK INDONESIA NOMOR TAHUN 2012 TENTANG PERATURAN MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI REPUBLIK INDONESIA NOMOR TAHUN 2012 TENTANG SYARAT-SYARAT PENYERAHAN SEBAGIAN PELAKSANAAN PEKERJAAN KEPADA PERUSAHAAN LAIN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA

Lebih terperinci

MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI REPUBLIK INDONESIA

MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI REPUBLIK INDONESIA MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI REPUBLIK INDONESIA PERATURAN MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI REPUBLIK INDONESIA NOMOR 19 TAHUN 2012 TENTANG SYARAT-SYARAT PENYERAHAN SEBAGIAN PELAKSANAAN PEKERJAAN

Lebih terperinci

MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI REPUBLIK INDONESIA

MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI REPUBLIK INDONESIA MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI REPUBLIK INDONESIA PERATURAN MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI REPUBLIK INDONESIA NOMOR 19 TAHUN 2012 TENTANG SYARAT-SYARAT PENYERAHAN SEBAGIAN PELAKSANAAN PEKERJAAN

Lebih terperinci

PENJELASAN ATAS PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR: 13/25/PBI/2011 TENTANG PRINSIP KEHATI-HATIAN BAGI BANK UMUM YANG MELAKUKAN PENYERAHAN SEBAGIAN PELAKSANAAN PEKERJAAN KEPADA PIHAK LAIN UMUM Semakin berkembangnya

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR BANK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR BANK INDONESIA, PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR: 13/ 25 /PBI/2011 TENTANG PRINSIP KEHATI-HATIAN BAGI BANK UMUM YANG MELAKUKAN PENYERAHAN SEBAGIAN PELAKSANAAN PEKERJAAN KEPADA PIHAK LAIN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

Lebih terperinci

TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA R.I

TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA R.I TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA R.I KEUANGAN OJK. Bank. Pihak Lain. Pelaksanaan Pekerjaan. Prinsip. (Penjelasan Atas Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2016 Nomor 21) PENJELASAN ATAS PERATURAN OTORITAS

Lebih terperinci

1. Pasal 64 s.d Pasal 66 UU No.13 Tahun Permenakertrans RI. No.19 Tahun 2012 tentang Syarat- Syarat Penyerahan Sebagian PeKerjaan Kepada

1. Pasal 64 s.d Pasal 66 UU No.13 Tahun Permenakertrans RI. No.19 Tahun 2012 tentang Syarat- Syarat Penyerahan Sebagian PeKerjaan Kepada 1. Pasal 64 s.d Pasal 66 UU No.13 Tahun 2003 2. Permenakertrans RI. No.19 Tahun 2012 tentang Syarat- Syarat Penyerahan Sebagian PeKerjaan Kepada Perusahaan Lain Pasal 64 UU No.13 Tahun 2003 : Perusahaan

Lebih terperinci

BAB II KEABSAHAN PERJANJIAN KERJA ANTARA PERUSAHAAN PENYEDIA JASA PEKERJA DENGAN PEKERJA OUTSOURCING

BAB II KEABSAHAN PERJANJIAN KERJA ANTARA PERUSAHAAN PENYEDIA JASA PEKERJA DENGAN PEKERJA OUTSOURCING 15 BAB II KEABSAHAN PERJANJIAN KERJA ANTARA PERUSAHAAN 2.1 Hubungan Hukum Antara Perusahaan Penyedia Jasa Dengan Pekerja/Buruh Hubungan hukum antara pekerja/buruh dan perusahaan penyedia jasa itu sendiri

Lebih terperinci

perjanjian kerja waktu tertentu yakni terkait masalah masa waktu perjanjian yang

perjanjian kerja waktu tertentu yakni terkait masalah masa waktu perjanjian yang perjanjian kerja waktu tertentu yakni terkait masalah masa waktu perjanjian yang dibolehkan dan sifat kerja yang dapat dibuat perjanjian kerja waktu tertentu. Faktor pendidikan yang rendah dan kurangnya

Lebih terperinci

BAB III AKIBAT HUKUM APABILA PERJANJIAN KERJA TIDAK DILAPORKAN KE INSTANSI YANG MEMBIDANGI MASALAH KETENAGAKERJAAN

BAB III AKIBAT HUKUM APABILA PERJANJIAN KERJA TIDAK DILAPORKAN KE INSTANSI YANG MEMBIDANGI MASALAH KETENAGAKERJAAN 34 BAB III AKIBAT HUKUM APABILA PERJANJIAN KERJA TIDAK DILAPORKAN KE INSTANSI YANG MEMBIDANGI MASALAH KETENAGAKERJAAN 3.1 Pelaporan Perjanjian Kerja Antara Perusahaan Pemberi Pekerjaan Dengan Perusahaan

Lebih terperinci

SURAT EDARAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR: SE.04/MEN/VIII/2013 TENTANG

SURAT EDARAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR: SE.04/MEN/VIII/2013 TENTANG MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI REPUBLIK INDONESIA SURAT EDARAN MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI REPUBLIK INDONESIA NOMOR: SE.04/MEN/VIII/2013 TENTANG 26 Agustus 2013 PEDOMAN PELAKSANAAN PERATURAN

Lebih terperinci

Miftakhul Huda, S.H., M.H

Miftakhul Huda, S.H., M.H Miftakhul Huda, S.H., M.H Perjanjian Kerja Waktu Tidak Tertentu (PKWTT) Perjanjian kerja antara pekerja/buruh dengan pengusaha untuk mengadakan hubungan kerja yang bersifat tetap Dapat mensyaratkan masa

Lebih terperinci

BAB V PENUTUP DAFTAR PUSTAKA. Buku

BAB V PENUTUP DAFTAR PUSTAKA. Buku BAB V PENUTUP A. KESIMPULAN Berdassarkan uraian diatas penulis dapat menyimpulkan bahwa implementasi tanggung jawab pengusaha penyedia jasa pekerja dalam hal ini PT. Sandhy putra makmur terhadap pekerja

Lebih terperinci

OTORITAS JASA KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA SALINAN

OTORITAS JASA KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA SALINAN OTORITAS JASA KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA SALINAN PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN NOMOR 9 /POJK.03/2016 TENTANG PRINSIP KEHATI-HATIAN BAGI BANK UMUM YANG MELAKUKAN PENYERAHAN SEBAGIAN PELAKSANAAN PEKERJAAN

Lebih terperinci

JURNAL BERAJA NITI ISSN : Volume 3 Nomor 9 (2014) Copyright 2014

JURNAL BERAJA NITI ISSN : Volume 3 Nomor 9 (2014)  Copyright 2014 JURNAL BERAJA NITI ISSN : 2337-4608 Volume 3 Nomor 9 (2014) http://e-journal.fhunmul.ac.id/index.php/beraja Copyright 2014 ANALISIS YURIDIS TERHADAP PELAKSANAAN ALIH DAYA (OUTSOURCING) ANTARA PDAM DENGAN

Lebih terperinci

Created by : Ratih dheviana puru hitaningtyas

Created by : Ratih dheviana puru hitaningtyas Created by : Ratih dheviana puru hitaningtyas Pasal 64-66 UU no 13 tahun 2003 Permenakertrans No 19 tahun 2012 tentang Syarat-syarat Penyerahan Sebagian Pelaksanaan Pekerjaan kepada Perusahaan Lain yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. sebagai karyawannya. Ditengah-tengah persaingan ekonomi secara global, sistem

BAB I PENDAHULUAN. sebagai karyawannya. Ditengah-tengah persaingan ekonomi secara global, sistem BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Fenomena buruh kontrak semakin terlihat menaik secara grafik, hampir 70 % perusahaan-perusahaan di Indonesia telah memanfaatkan tenaga kontrak ini sebagai karyawannya.

Lebih terperinci

- 1 - GUBERNUR JAWA TIMUR PERATURAN GUBERNUR JAWA TIMUR NOMOR 25 TAHUN 2014 TENTANG

- 1 - GUBERNUR JAWA TIMUR PERATURAN GUBERNUR JAWA TIMUR NOMOR 25 TAHUN 2014 TENTANG - 1 - GUBERNUR JAWA TIMUR PERATURAN GUBERNUR JAWA TIMUR NOMOR 25 TAHUN 2014 TENTANG PETUNJUK PELAKSANAAN PERATURAN DAERAH POVINSI JAWA TIMUR NOMOR 9 TAHUN 2013 TENTANG PENYERAHAN SEBAGIAN PELAKSANAAN PEKERJAAN

Lebih terperinci

A. MAKNA DAN HAKIKAT PENYEDIAAN TENAGA KERJA DENGAN SISTEM OUTSOURCING

A. MAKNA DAN HAKIKAT PENYEDIAAN TENAGA KERJA DENGAN SISTEM OUTSOURCING makalah outsourcing BAB I PENDAHULUAN Kecenderungan beberapa perusahaan untuk mempekerjakan karyawan dengan sistem outsourcing pada saat ini, umumnya dilatarbelakangi oleh strategi perusahaan untuk melakukan

Lebih terperinci

KONTRAK DAN OUTSOURCING HARUS MAKIN DIWASPADAI

KONTRAK DAN OUTSOURCING HARUS MAKIN DIWASPADAI Seri Buku Saku AKATIGA KONTRAK DAN OUTSOURCING HARUS MAKIN DIWASPADAI Rina Herawati AKATIGA FES 2010 Kontrak dan Outsourcing Harus Makin Diwaspadai Penyusun: Rina Herawati Desain & Ilustrasi: Kebun Angan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. sebagai kelanjutan paket Undang-undang Ketenagakerjaan disahkan juga UU no 2

BAB I PENDAHULUAN. sebagai kelanjutan paket Undang-undang Ketenagakerjaan disahkan juga UU no 2 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Pada tanggal 25 Maret tahun 2003 telah disahkan UU no. 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan yang merubah secara cukup mendasar sistem ketenagakerjaan yang

Lebih terperinci

TINJAUAN HUKUM TERHADAP SYARAT-SYARAT PENYERAHAN SEBAGIAN PELAKSANAAN PEKERJAAN KEPADA PERUSAHAAN LAIN. Oleh:

TINJAUAN HUKUM TERHADAP SYARAT-SYARAT PENYERAHAN SEBAGIAN PELAKSANAAN PEKERJAAN KEPADA PERUSAHAAN LAIN. Oleh: TINJAUAN HUKUM TERHADAP SYARAT-SYARAT PENYERAHAN SEBAGIAN PELAKSANAAN PEKERJAAN KEPADA PERUSAHAAN LAIN Oleh: Ayu Puspasari, S.H., M.H Politeknik Negeri Sriwijaya Palembang Email: ABSTRAK Penyerahan sebagian

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. jasa tenaga kerja atau sering disebut dengan perusahaan outsourcing.

BAB I PENDAHULUAN. jasa tenaga kerja atau sering disebut dengan perusahaan outsourcing. 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kondisi perekonomian yang semakin buruk membuat pemerintah dan dunia usaha untuk lebih kreatif dalam menciptakan iklim usaha yang kondusif agar mampu membuka

Lebih terperinci

Penjelasan Mengenai Sistem Ketenagakerjaan di Indonesia

Penjelasan Mengenai Sistem Ketenagakerjaan di Indonesia Penjelasan Mengenai Sistem Ketenagakerjaan di Indonesia Penjelasan mengenai penentuan upah sehari Sesuai ketentuan Pasal 77 ayat (2) UU Ketenagakerjaan No. 13/2003, bahwa waktu kerja adalah: 1. a. 7 (tujuh)

Lebih terperinci

PT PLN (PERSERO) KEPUTUSAN DIREKSI PT PLN (PERSERO) NOMOR : 500.K/DIR/2013 TENTANG

PT PLN (PERSERO) KEPUTUSAN DIREKSI PT PLN (PERSERO) NOMOR : 500.K/DIR/2013 TENTANG PT PLN (PERSERO) KEPUTUSAN DIREKSI PT PLN (PERSERO) NOMOR : 500.K/DIR/2013 TENTANG PENYERAHAN SEBAGIAN PELAKSANAAN PEKERJAAN KEPADA PERUSAHAAN LAIN DI LINGKUNGAN PT PLN (PERSERO) DIREKSI PT PLN (PERSERO)

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN YURIDIS PERJANJIAN KERJA WAKTU TERTENTU DALAM UNDANG-UNDANG NOMOR 13 TAHUN 2003 TENTANG KETENAGAKERJAAN

BAB 2 TINJAUAN YURIDIS PERJANJIAN KERJA WAKTU TERTENTU DALAM UNDANG-UNDANG NOMOR 13 TAHUN 2003 TENTANG KETENAGAKERJAAN BAB 2 TINJAUAN YURIDIS PERJANJIAN KERJA WAKTU TERTENTU DALAM UNDANG-UNDANG NOMOR 13 TAHUN 2003 TENTANG KETENAGAKERJAAN 2.1 Perjanjian secara Umum Pada umumnya, suatu hubungan hukum terjadi karena suatu

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Secara normatif sebelum diatur dalam Undang-Undang Nomor 13

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Secara normatif sebelum diatur dalam Undang-Undang Nomor 13 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Secara normatif sebelum diatur dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (UU Ketenagakerjaan), sistem outsoucing ini sebenarnya sudah

Lebih terperinci

BAB III PENUTUP. Upaya hukum yang dilakukan pekerja outsourcing dalam. negosiasi terhadap atasan atau pengusaha PT. Vidya Rejeki Tama.

BAB III PENUTUP. Upaya hukum yang dilakukan pekerja outsourcing dalam. negosiasi terhadap atasan atau pengusaha PT. Vidya Rejeki Tama. 72 BAB III PENUTUP A. Kesimpulan Upaya hukum yang dilakukan pekerja outsourcing dalam meningkatkan upah di PT. Vidya Rejeki Tama yang ditempatkan di Universitas Atma Jaya Yogyakarta adalah melakukan pembicaraan

Lebih terperinci

Langkah Strategis Pelaksanaan Permenakertrans NO. 19 Tahun 2012 Terkait Outsourcing

Langkah Strategis Pelaksanaan Permenakertrans NO. 19 Tahun 2012 Terkait Outsourcing Langkah Strategis Pelaksanaan Permenakertrans NO. 19 Tahun 2012 Terkait Outsourcing Outsourcing Perusahaan dapat menyerahkan sebagian pelaksanaan pekerjaan kepada perusahaan lainnya melalui perjanjian

Lebih terperinci

BAB IV PENUTUP. atas, maka dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut: a) Perlindungan hukum yang diberikan oleh PT. Wahyu Septyan dan PT

BAB IV PENUTUP. atas, maka dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut: a) Perlindungan hukum yang diberikan oleh PT. Wahyu Septyan dan PT 124 BAB IV PENUTUP A. KESIMPULAN Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan yang telah penulis uraikan di atas, maka dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut: a) Perlindungan hukum yang diberikan oleh

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. maka manusia harus bekerja. Manusia sebagai mahluk sosial (zoon politicon)

BAB I PENDAHULUAN. maka manusia harus bekerja. Manusia sebagai mahluk sosial (zoon politicon) BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kehidupan dan pekerjaan adalah dua sisi mata uang, agar manusia dapat hidup maka manusia harus bekerja. Manusia sebagai mahluk sosial (zoon politicon) mempunyai kebutuhan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. maupun antar negara, sudah sedemikian terasa ketatnya. 3

BAB I PENDAHULUAN. maupun antar negara, sudah sedemikian terasa ketatnya. 3 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Era globalisasi dan pasar bebas belum berjalan sepenuhnya. Akan tetapi aroma persaingan antar perusahaan barang maupun jasa, baik di dalam negeri maupun antar negara,

Lebih terperinci

BAB III TINJAUAN UMUM TERHADAP PERJANJIAN KERJA SECARA YURIDIS. tegas dan kuat. Walaupun di dalam undang-undang tersebut hanya diatur

BAB III TINJAUAN UMUM TERHADAP PERJANJIAN KERJA SECARA YURIDIS. tegas dan kuat. Walaupun di dalam undang-undang tersebut hanya diatur BAB III TINJAUAN UMUM TERHADAP PERJANJIAN KERJA SECARA YURIDIS A. Tinjauan Umum Perjanjian Kerja Dengan telah disahkannya Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (UUKK), maka keberadaan

Lebih terperinci

BAB II PEMBAHASAN. A. Tinjauan Umum tentang Perjanjian Kerja

BAB II PEMBAHASAN. A. Tinjauan Umum tentang Perjanjian Kerja 25 BAB II PEMBAHASAN A. Tinjauan Umum tentang Perjanjian Kerja 1. Pengertian Perjanjian Kerja Berdasarkan ketentuan dalam Pasal 1 ayat (14) Undang-Undang No.13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan yang dimaksud

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN TEORI. manajemen, outsourcing diberikan pengertian sebagai pendelegasian operasi dan

BAB II KAJIAN TEORI. manajemen, outsourcing diberikan pengertian sebagai pendelegasian operasi dan BAB II KAJIAN TEORI A. Tinjauan Tentang Outsourcing 1. Pengertian Outsourcing Outsourcing dalam bidang ketenagakerjaan, diartikan sebagai pemanfaatan tenaga kerja untuk memproduksi atau melaksanakan suatu

Lebih terperinci

SALINAN SURAT EDARAN OTORITAS JASA KEUANGAN NOMOR 11 /SEOJK.03/2017

SALINAN SURAT EDARAN OTORITAS JASA KEUANGAN NOMOR 11 /SEOJK.03/2017 Yth. 1. Direksi Bank Umum Konvensional; dan 2. Direksi Bank Umum Syariah; di tempat. SALINAN SURAT EDARAN OTORITAS JASA KEUANGAN NOMOR 11 /SEOJK.03/2017 TENTANG PRINSIP KEHATI-HATIAN BAGI BANK UMUM YANG

Lebih terperinci

Bab III PENUTUP A. Kesimpulan

Bab III PENUTUP A. Kesimpulan Bab III PENUTUP A. Kesimpulan Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan maka dapat diambil kesimpulan sebagai berikut: Pemberian upah dan jaminan sosial pekerja outsourcing dalam menjalankan usaha

Lebih terperinci

BAB II PERJANJIAN KERJA DENGAN SISTEM OUTSOURCING DI INDONESIA. jasa yang terkait dengan kompetensi utamanya. Dengan adanya konsentrasi

BAB II PERJANJIAN KERJA DENGAN SISTEM OUTSOURCING DI INDONESIA. jasa yang terkait dengan kompetensi utamanya. Dengan adanya konsentrasi BAB II PERJANJIAN KERJA DENGAN SISTEM OUTSOURCING DI INDONESIA A. Pengertian Outsourcing Persaingan dalam dunia bisnis antara perusahaan, membuat perusahaan harus berkonsentrasi pada rangkaian proses atau

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. untuk memenuhi kebutuhan sendiri maupun untuk masyarakat". untuk kebutuhan sendiri atau untuk masyarakat.

BAB I PENDAHULUAN. untuk memenuhi kebutuhan sendiri maupun untuk masyarakat. untuk kebutuhan sendiri atau untuk masyarakat. 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pasal 1 ayat (2) Undang-Undang No. 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan menyatakan, "Tenaga kerja adalah setiap orang yang mampu melakukan pekerjaan guna

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Salah satu syarat keberhasilan pembangunan nasional kita adalah kualitas

BAB I PENDAHULUAN. Salah satu syarat keberhasilan pembangunan nasional kita adalah kualitas 1 BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH Salah satu syarat keberhasilan pembangunan nasional kita adalah kualitas Sumber Daya Manusia (SDM) Indonesia. Kenyataan telah membuktikan bahwa faktor ketenagakerjaan

Lebih terperinci

BAB II PERLINDUNGAN HAK-HAK PEKERJA KONTRAK YANG DI PHK DARI PERUSAHAAN

BAB II PERLINDUNGAN HAK-HAK PEKERJA KONTRAK YANG DI PHK DARI PERUSAHAAN BAB II PERLINDUNGAN HAK-HAK PEKERJA KONTRAK YANG DI PHK DARI PERUSAHAAN 2.1. Perjanjian Kerja Waktu Tertentu Dalam pasal 1 Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Replubik Indonesia Nomor Kep.100/Men/VI/2004

Lebih terperinci

Aspek Hubungan Kerja dan Perjanjian Kerja di Indonesia. Berdasarkan UU No 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan

Aspek Hubungan Kerja dan Perjanjian Kerja di Indonesia. Berdasarkan UU No 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan Aspek Hubungan Kerja dan Perjanjian Kerja di Berdasarkan UU No 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan Hubungan Kerja Hubungan kerja terjadi karena adanya perjanjian kerja antara pengusaha dan pekerja/buruh

Lebih terperinci

PENELITIAN PRAKTEK KERJA OUTSOURCING PADA SUB-SEKTOR PERBANKAN STUDI KASUS JAKARTA, SURABAYA DAN MEDAN. Laporan

PENELITIAN PRAKTEK KERJA OUTSOURCING PADA SUB-SEKTOR PERBANKAN STUDI KASUS JAKARTA, SURABAYA DAN MEDAN. Laporan PENELITIAN PRAKTEK KERJA OUTSOURCING PADA SUB-SEKTOR PERBANKAN STUDI KASUS JAKARTA, SURABAYA DAN MEDAN Laporan Rina Herawati Ratih Dewayanti Wulani Sriyuliani AKATIGA OPSI FES 2011 Page 1 of 65 RINGKASAN

Lebih terperinci

Oleh: Arum Darmawati. Disampaikan pada acara Carrier Training Preparation UGM, 27 Juli 2011

Oleh: Arum Darmawati. Disampaikan pada acara Carrier Training Preparation UGM, 27 Juli 2011 Oleh: Arum Darmawati Disampaikan pada acara Carrier Training Preparation UGM, 27 Juli 2011 Hukum Ketenagakerjaan Seputar Hukum Ketenagakerjaan Pihak dalam Hukum Ketenagakerjaan Hubungan Kerja (Perjanjian

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang melekat dan dilindungi oleh konstitusi sebagaimana yang diatur di dalam

BAB I PENDAHULUAN. yang melekat dan dilindungi oleh konstitusi sebagaimana yang diatur di dalam BAB I PENDAHULUAN I. Latar Belakang Masalah Perlindungan hukum terhadap pekerja merupakan pemenuhan hak dasar yang melekat dan dilindungi oleh konstitusi sebagaimana yang diatur di dalam Pasal 27 ayat

Lebih terperinci

2 Republik Indonesia Tahun 1951 Nomor 4); Menetapkan 2. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2000 tentang Serikat Pekerja/Serikat Buruh (Lembaran Negara Repub

2 Republik Indonesia Tahun 1951 Nomor 4); Menetapkan 2. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2000 tentang Serikat Pekerja/Serikat Buruh (Lembaran Negara Repub BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.2099, 2014 KEMENAKER. Peraturan Perusahaan. Pembuatan dan Pendaftaran. Perjanjian Kerja Sama. Pembuatan dan Pengesahan. Tata Cara. Pencabutan. PERATURAN MENTERI KETENAGAKERJAAN

Lebih terperinci

No. 14/ 20 /DPNP Jakarta, 27 Juni 2012 SURAT EDARAN. Kepada SEMUA BANK UMUM DI INDONESIA

No. 14/ 20 /DPNP Jakarta, 27 Juni 2012 SURAT EDARAN. Kepada SEMUA BANK UMUM DI INDONESIA No. 14/ 20 /DPNP Jakarta, 27 Juni 2012 SURAT EDARAN Kepada SEMUA BANK UMUM DI INDONESIA Perihal : Prinsip Kehati-hatian bagi Bank Umum yang Melakukan Penyerahan Sebagian Pelaksanaan Pekerjaan kepada Pihak

Lebih terperinci

Prosiding Ilmu Hukum ISSN: X

Prosiding Ilmu Hukum ISSN: X Prosiding Ilmu Hukum ISSN: 2460-643X Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial yang Disebabkan Karena Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) di PT. Planet Electrindo Berdasarkan Putusan Nomor 323K/Pdt.Sus-PHI/2015

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. perjanjian pada umumnya memuat beberapa unsur, yaitu: 1

BAB I PENDAHULUAN. perjanjian pada umumnya memuat beberapa unsur, yaitu: 1 1 BAB I PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Dalam menghadapi perkembangan era globalisasi pekerja dituntut untuk saling berlomba mempersiapkan dirinya supaya mendapat pekerjaan yang terbaik bagi dirinya sendiri.

Lebih terperinci

WALIKOTA PROBOLINGGO

WALIKOTA PROBOLINGGO WALIKOTA PROBOLINGGO SALINAN PERATURAN WALIKOTA PROBOLINGGO NOMOR 35 TAHUN 2009 TENTANG PELAKSANAAN PROGRAM JAMINAN SOSIAL TENAGA KERJA DI KOTA PROBOLINGGO WALIKOTA PROBOLINGGO, Menimbang : bahwa guna

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG NO. 13 TH 2003

UNDANG-UNDANG NO. 13 TH 2003 UNDANG-UNDANG NO. 13 TH 2003 BAB IX HUBUNGAN KERJA Pasal 50 Hubungan kerja terjadi karena adanya perjanjian kerja antara pengusaha dan pekerja/buruh. Pasal 51 1. Perjanjian kerja dibuat secara tertulis

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Perkembangan ekonomi global dan kemajuan teknologi yang sangat

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Perkembangan ekonomi global dan kemajuan teknologi yang sangat BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Perkembangan ekonomi global dan kemajuan teknologi yang sangat cepat mengakibatkan adanya persaingan usaha yang begitu ketat disetiap sektor. Hal ini menyebabkan

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI KETENAGAKERJAAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 28 TAHUN 2014 TENTANG

PERATURAN MENTERI KETENAGAKERJAAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 28 TAHUN 2014 TENTANG MENTERI KETENAGAKERJAAN MENTERI KETENAGAKERJAAN REPUBLIK INDONESIA PUBLIKDONESIA PERATURAN MENTERI KETENAGAKERJAAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 28 TAHUN 2014 TENTANG TATA CARA PEMBUATAN DAN PENGESAHAN PERATURAN

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI

BAB II LANDASAN TEORI BAB II LANDASAN TEORI 2.1 Konsep outsourcing Dalam pengertian umum, istilah outsourcing diartikan sebagai contract (work) out seperti ditemukan dalam Concise Oxford Dictionary, sementara mengenai kontrak

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang dibuat sendiri maupun berkerja pada orang lain atau perusahaan. Pekerjaan

BAB I PENDAHULUAN. yang dibuat sendiri maupun berkerja pada orang lain atau perusahaan. Pekerjaan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Manusia mempunyai kebutuhan yang berbeda-beda. Untuk memenuhi semua kebutuhannya, manusia dituntut untuk memiliki pekerjaan, baik pekerjaan yang dibuat sendiri

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Ketenagakerjaan khususnya tenaga kerja alih daya (outsourcing) merupakan

BAB I PENDAHULUAN. Ketenagakerjaan khususnya tenaga kerja alih daya (outsourcing) merupakan 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Ketenagakerjaan khususnya tenaga kerja alih daya (outsourcing) merupakan sesuatu yang menarik, menarik dalam arti konsep tersebut memenuhi kebutuhan kedua belah pihak

Lebih terperinci

ANALISIS PERMASALAHAN OUTSOURCING (ALIH DAYA ) DARI PERSPEKTIF HUKUM DAN PENERAPANNYA

ANALISIS PERMASALAHAN OUTSOURCING (ALIH DAYA ) DARI PERSPEKTIF HUKUM DAN PENERAPANNYA Analisis Permasalahan Outsourcing (Alih Daya) dari Perspektif Hukum Kanun Jurnal Ilmu Hukum Khairani No. 56, Th. XIV (April, 2012), pp. 53-68. ANALISIS PERMASALAHAN OUTSOURCING (ALIH DAYA ) DARI PERSPEKTIF

Lebih terperinci

PERATURAN TENTANG PEMBORONGAN PEKERJAAN (OUTSOURCING)

PERATURAN TENTANG PEMBORONGAN PEKERJAAN (OUTSOURCING) PERATURAN TENTANG PEMBORONGAN PEKERJAAN (OUTSOURCING) NurjadinSumonoMulyadi&Partners Law Office Mario Maurice Sinjal Senior Associate Jakarta, 12 April 2016 DasarHukum 1. Undang-Undang No. 13 Tahun 2013

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 2 Hadi Setia Tunggul, Pengantar Hukum Ketenagakerjaan Indonesia, Jakarta, Harvarindo, 2009, hal. 503

BAB I PENDAHULUAN. 2 Hadi Setia Tunggul, Pengantar Hukum Ketenagakerjaan Indonesia, Jakarta, Harvarindo, 2009, hal. 503 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Dalam pelaksanaan pembangunan di Indonesia sekarang yang menitikberatkan pada pembangunan dalam bidang ekonomi, hukum mempunyai fungsi yang sangat penting

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pertama disebutkan dalam ketentuan Pasal 1601a KUHPerdata, mengenai

BAB I PENDAHULUAN. pertama disebutkan dalam ketentuan Pasal 1601a KUHPerdata, mengenai 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Perjanjian kerja dalam Bahasa Belanda biasa disebut Arbeidsovereenkomst, dapat diartikan dalam beberapa pengertian. Pengertian yang pertama disebutkan dalam

Lebih terperinci

BAB II STATUS HUKUM TENAGA KERJA OUTSOURCING. A. Latar Belakang dan Pelaksanaan Outsourcing dalam Perspektif Hukum Ketenagakerjaan

BAB II STATUS HUKUM TENAGA KERJA OUTSOURCING. A. Latar Belakang dan Pelaksanaan Outsourcing dalam Perspektif Hukum Ketenagakerjaan BAB II STATUS HUKUM TENAGA KERJA OUTSOURCING A. Latar Belakang dan Pelaksanaan Outsourcing dalam Perspektif Hukum Ketenagakerjaan Kecenderungan beberapa perusahaan untuk mempekerjakan karyawan dengan sistem

Lebih terperinci

PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP TENAGA KERJA OUTSOURCING DI INDONESIA. Oleh :

PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP TENAGA KERJA OUTSOURCING DI INDONESIA. Oleh : Jurnal Advokasi Vol. 5 No. 1 Maret 2015 14 PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP TENAGA KERJA OUTSOURCING DI INDONESIA Oleh : Lis Julianti, S.H., M.H. Dosen Fakultas Hukum Universitas Mahasaraswati Denpasar Abstract

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pelaksanaan outsourcing (= alih daya) di Indonesia. Bahkan aksi ini disambut aksi serupa

BAB I PENDAHULUAN. pelaksanaan outsourcing (= alih daya) di Indonesia. Bahkan aksi ini disambut aksi serupa 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar belakang Akhir-akhir ini di bundaran HI Jakarta Pusat marak dengan aksi demo yang dilakukan para buruh yang meminta pemerintah mencabut ketentuan masalah pelaksanaan outsourcing

Lebih terperinci

TINJAUAN YURIDIS MENGENAI PERJANJIAN OUTSOURCING/ALIH DAYA ANTARA TENAGA KERJA DENGAN PT. PRAMUDITA PUTRA KARYA SEMARANG

TINJAUAN YURIDIS MENGENAI PERJANJIAN OUTSOURCING/ALIH DAYA ANTARA TENAGA KERJA DENGAN PT. PRAMUDITA PUTRA KARYA SEMARANG TINJAUAN YURIDIS MENGENAI PERJANJIAN OUTSOURCING/ALIH DAYA ANTARA TENAGA KERJA DENGAN PT. PRAMUDITA PUTRA KARYA SEMARANG SKRIPSI Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Dalam Menyelesaikan Program Studi Ilmu

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERLINDUNGAN HUKUM DAN PERJANJIAN KERJA PEMBORONGAN. A. Tinjauan Umum Tentang Perlindungan

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERLINDUNGAN HUKUM DAN PERJANJIAN KERJA PEMBORONGAN. A. Tinjauan Umum Tentang Perlindungan BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERLINDUNGAN HUKUM DAN PERJANJIAN KERJA PEMBORONGAN A. Tinjauan Umum Tentang Perlindungan 1. Pengertian Perlindungan Hukum Perlindungan berasal dari kata lindung yang berarti

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. penyedia jasa outsourcing atau penyedia tenaga kerja. 1. Meningkatkan konsentrasi bisnis. Kegiatan operasional telah

BAB I PENDAHULUAN. penyedia jasa outsourcing atau penyedia tenaga kerja. 1. Meningkatkan konsentrasi bisnis. Kegiatan operasional telah 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dewasa ini kondisi perekonomian Indonesia semakin kompetitif. Hal ini menjadi perhatian khusus bagi pemerintah dan pelaku usaha untuk lebih kreatif dalam menciptakan

Lebih terperinci

PERATURAN BUPATI PURWAKARTA NOMOR 72 TAHUN 2014 TENTANG PETUNJUK PELAKSANAAN JAMINAN SOSIAL KETENAGAKERJAAN DI KABUPATEN PURWAKARTA

PERATURAN BUPATI PURWAKARTA NOMOR 72 TAHUN 2014 TENTANG PETUNJUK PELAKSANAAN JAMINAN SOSIAL KETENAGAKERJAAN DI KABUPATEN PURWAKARTA BUPATI PURWAKARTA PERATURAN BUPATI PURWAKARTA NOMOR 72 TAHUN 2014 TENTANG PETUNJUK PELAKSANAAN JAMINAN SOSIAL KETENAGAKERJAAN DI KABUPATEN PURWAKARTA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI PURWAKARTA,

Lebih terperinci

- 1 - BUPATI BADUNG PROVINSI BALI PERATURAN DAERAH KABUPATEN BADUNG NOMOR 8 TAHUN 2014 TENTANG PENYELENGGARAAN PELAYANAN KETENAGAKERJAAN

- 1 - BUPATI BADUNG PROVINSI BALI PERATURAN DAERAH KABUPATEN BADUNG NOMOR 8 TAHUN 2014 TENTANG PENYELENGGARAAN PELAYANAN KETENAGAKERJAAN - 1 - BUPATI BADUNG PROVINSI BALI PERATURAN DAERAH KABUPATEN BADUNG NOMOR 8 TAHUN 2014 TENTANG PENYELENGGARAAN PELAYANAN KETENAGAKERJAAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BADUNG, Menimbang : a.

Lebih terperinci

KISI-KISI HUKUM KETENAGAKERJAAN

KISI-KISI HUKUM KETENAGAKERJAAN KISI-KISI HUKUM KETENAGAKERJAAN BAB 1 PERJANJIAN KERJA 1.1. DEFINISI Pasal 1 UU No. 13/2003 14. Perjanjian kerja adalah perjanjian antara pekerja / buruh dengan pengusaha atau pemberi kerja yang memuat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Persaingan dunia usaha menjadi semakin ketat dalam era globalisasi dan

BAB I PENDAHULUAN. Persaingan dunia usaha menjadi semakin ketat dalam era globalisasi dan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Persaingan dunia usaha menjadi semakin ketat dalam era globalisasi dan pasar bebas sekarang ini. Perusahaan dituntut untuk meningkatkan kinerja mereka secara

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah Gejala globalisasi mengakibatkan semakin banyaknya

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah Gejala globalisasi mengakibatkan semakin banyaknya 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Gejala globalisasi mengakibatkan semakin banyaknya perusahaan multinasional yang masuk dan ikut berperan dalam kancah perekonomian. Hal ini tentu saja menimbulkan

Lebih terperinci

HUKUM PERBURUHAN (PERTEMUAN IV) PERJANJIAN KERJA. copyright by Elok Hikmawati

HUKUM PERBURUHAN (PERTEMUAN IV) PERJANJIAN KERJA. copyright by Elok Hikmawati HUKUM PERBURUHAN (PERTEMUAN IV) PERJANJIAN KERJA copyright by Elok Hikmawati 1 PENDAHULUAN Perjanjian kerja adalah perjanjian antara pekerja/buruh dengan pengusaha atau pemberi kerja yang memuat syarat

Lebih terperinci

KEPMEN 226/MEN//VII/2003 Tentang TATA CARA PERIZINAN PENYELENGGARAAN PROGRAM

KEPMEN 226/MEN//VII/2003 Tentang TATA CARA PERIZINAN PENYELENGGARAAN PROGRAM KEPMEN 226/MEN//VII/2003 TATA CARA PERIZINAN PENYELENGGARAAN PROGRAM DAN KEPMEN 112/MEN/VII/2004 PERUBAHAN KEPUTUSAN MENAKERTRANS R.I Nomor : KEP. 226/MEN/VII/2003 TATA CARA PERIZINAN PENYELENGGARAAN PROGRAM

Lebih terperinci

- 1 - PEMERINTAH DAERAH PROVINSI JAWA TIMUR PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA TIMUR NOMOR 9 TAHUN 2013 TENTANG

- 1 - PEMERINTAH DAERAH PROVINSI JAWA TIMUR PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA TIMUR NOMOR 9 TAHUN 2013 TENTANG - 1 - PEMERINTAH DAERAH PROVINSI JAWA TIMUR PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA TIMUR NOMOR 9 TAHUN 2013 TENTANG PENYERAHAN SEBAGIAN PELAKSANAAN PEKERJAAN KEPADA PERUSAHAAN LAIN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA

Lebih terperinci

BAB I. KETENTUAN UMUM

BAB I. KETENTUAN UMUM BAB I. KETENTUAN UMUM 1 1 Otoritas Jasa Keuangan, yang selanjutnya disingkat OJK, adalah lembaga yang independen yang mempunyai fungsi, tugas, dan wewenang pengaturan, pengawasan, pemeriksaan, dan penyidikan

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Peran menurut Soerjono Soekanto (1982 : 60) adalah suatu sistem kaidah kaidah yang berisikan

TINJAUAN PUSTAKA. Peran menurut Soerjono Soekanto (1982 : 60) adalah suatu sistem kaidah kaidah yang berisikan TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian Peran Peran menurut Soerjono Soekanto (1982 : 60) adalah suatu sistem kaidah kaidah yang berisikan patokan patokan perilaku, pada kedudukan kedudukan tertentu dalam masyarakat,

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN KERJA, PERLINDUNGAN HUKUM DAN TENAGA KONTRAK

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN KERJA, PERLINDUNGAN HUKUM DAN TENAGA KONTRAK BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN KERJA, PERLINDUNGAN HUKUM DAN TENAGA KONTRAK 2.1 Perjanjian Kerja 2.1.1 Pengertian Perjanjian Kerja Secara yuridis, pengertian perjanjian diatur dalam Pasal 1313

Lebih terperinci

PENERAPAN SISTEM OUTSOURCING DI PERUSAHAAN SWASTA DALAM PERSPEKTIF PERLINDUNGAN HUKUM HAK-HAK PEKERJA KONTRAK

PENERAPAN SISTEM OUTSOURCING DI PERUSAHAAN SWASTA DALAM PERSPEKTIF PERLINDUNGAN HUKUM HAK-HAK PEKERJA KONTRAK PENERAPAN SISTEM OUTSOURCING DI PERUSAHAAN SWASTA DALAM PERSPEKTIF PERLINDUNGAN HUKUM HAK-HAK PEKERJA KONTRAK Oleh: Sri Rahayu Purwanidjati 1 Abstracts : Outsourcing is a transfer or certain job from a

Lebih terperinci

PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP PEKERJA DALAM PERJANJIAN KERJA DENGAN SISTEM OUTSOURCING DI INDONESIA

PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP PEKERJA DALAM PERJANJIAN KERJA DENGAN SISTEM OUTSOURCING DI INDONESIA PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP PEKERJA DALAM PERJANJIAN KERJA DENGAN SISTEM OUTSOURCING DI INDONESIA Oleh: Ida Ayu Dwi Utami I Ketut Sandi Sudarsana I Nyoman Darmadha Bagian Hukum Perdata Fakultas Hukum Universitas

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2003 TENTANG KETENAGAKERJAAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2003 TENTANG KETENAGAKERJAAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2003 TENTANG KETENAGAKERJAAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa pembangunan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Pembangunan ketenagakerjaan sebagai bagian integral dari

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Pembangunan ketenagakerjaan sebagai bagian integral dari BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pembangunan ketenagakerjaan sebagai bagian integral dari pembangunan nasional berdasarkan Pancasila dan Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945,

Lebih terperinci

PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 8/28/PBI/2006 TENTANG KEGIATAN USAHA PENGIRIMAN UANG GUBERNUR BANK INDONESIA,

PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 8/28/PBI/2006 TENTANG KEGIATAN USAHA PENGIRIMAN UANG GUBERNUR BANK INDONESIA, PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 8/28/PBI/2006 TENTANG KEGIATAN USAHA PENGIRIMAN UANG GUBERNUR BANK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa saat ini jumlah transaksi maupun nilai nominal pengiriman uang baik di

Lebih terperinci

2.1 Pengertian Pekerja Rumah Tangga dan Pemberi Kerja

2.1 Pengertian Pekerja Rumah Tangga dan Pemberi Kerja BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PEKERJA RUMAH TANGGA, PEMBERI KERJA, DAN PERJANJIAN KERJA 2.1 Pengertian Pekerja Rumah Tangga dan Pemberi Kerja 2.1.1. Pengertian pekerja rumah tangga Dalam berbagai kepustakaan

Lebih terperinci

Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003

Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Hubungan Kerja Hubungan antara buruh dengan majikan, terjadi setelah diadakan perjanjian oleh buruh dengan majikan, dimana buruh menyatakan kesanggupannya untuk bekerja pada majikan dengan menerima upah

Lebih terperinci

Pelaksanaan Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT) Menurut UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan

Pelaksanaan Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT) Menurut UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan Pelaksanaan Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT) Menurut UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan Taufiq Yulianto Staf Pengajar Teknik Elektro Politeknik Negeri Semarang ABSTRACT: A work agreement

Lebih terperinci

BAB III LANDASAN TEORI. A. Pengertian Perjanjian Kerja Waktu Tertentu. syarat-syarat kerja, hak dan kewajiban para pihak. 2 Perjanjian kerja wajib

BAB III LANDASAN TEORI. A. Pengertian Perjanjian Kerja Waktu Tertentu. syarat-syarat kerja, hak dan kewajiban para pihak. 2 Perjanjian kerja wajib BAB III LANDASAN TEORI A. Pengertian Perjanjian Kerja Waktu Tertentu Pengaturan perjanjian bisa kita temukan didalam buku III bab II pasal 1313 KUHPerdata yang berbunyi Perjanjian adalah suatu perbuatan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dengan memperkerjakan tenaga kerja seminimal mungkin untuk dapat

BAB I PENDAHULUAN. dengan memperkerjakan tenaga kerja seminimal mungkin untuk dapat BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Perusahaan berusaha meningkatkan kinerja usahanya melalui pengelolaan organisasi yang efektif dan efisien. Salah satu upaya yang dilakukan adalah dengan memperkerjakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Salah satu upaya tersebut adalah dengan melakukan sistim outsourcing.

BAB I PENDAHULUAN. Salah satu upaya tersebut adalah dengan melakukan sistim outsourcing. 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dalam iklim persaingan usaha yang semakin ketat, perusahaan berupaya menekan biaya produksi antara lain dengan menghemat pengeluaran biaya sumber daya manusia

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. diatur tegas di dalam Pasal 27 ayat (2) Undang-Undang Dasar Tahun penghidupan yang layak bagi kemanusian.

BAB I PENDAHULUAN. diatur tegas di dalam Pasal 27 ayat (2) Undang-Undang Dasar Tahun penghidupan yang layak bagi kemanusian. 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Setiap manusia harus berupaya memperoleh penghasilan untuk membiayai kebutuhan hidupnya. Bekerja merupakan salah satu upaya manusia dalam rangka memperoleh

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. A. Latar belakang masalah. Setelah kemerdekaan, Bangsa Indonesia telah menyadari bahwa

BAB 1 PENDAHULUAN. A. Latar belakang masalah. Setelah kemerdekaan, Bangsa Indonesia telah menyadari bahwa BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar belakang masalah Setelah kemerdekaan, Bangsa Indonesia telah menyadari bahwa pekerjaan merupakan kebutuhan hak asasi warga negara sebagaimana di atur dalam pasal 27 ayat (2)

Lebih terperinci

KEPUTUSAN MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI REPUBLIK INDONESIA NOMOR : KEP. 226 /MEN/2003

KEPUTUSAN MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI REPUBLIK INDONESIA NOMOR : KEP. 226 /MEN/2003 KEPUTUSAN MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI REPUBLIK INDONESIA NOMOR : KEP. 226 /MEN/2003 TENTANG TATA CARA PERIZINAN PENYELENGGARAAN PROGRAM PEMAGANGAN DI LUAR WILAYAH INDONESIA MENTERI TENAGA KERJA

Lebih terperinci

Penyimpangan Terhadap Ketentuan PKWT Dan Outsourcing Serta Permasalahannya Dan Kiat Penyelesaian

Penyimpangan Terhadap Ketentuan PKWT Dan Outsourcing Serta Permasalahannya Dan Kiat Penyelesaian 1 Penyimpangan Terhadap Ketentuan PKWT Dan Outsourcing Serta Permasalahannya Dan Kiat Penyelesaian Disampaikan Oleh : Dra. Endang Susilowati, SH., MH. Ketua Bidang Hukum Dan Advokasi DPN APINDO Pada Acara

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. memenuhi kebutuhan hidup. Manusia sebagai makhluk sosial (zoon politicon)

BAB I PENDAHULUAN. memenuhi kebutuhan hidup. Manusia sebagai makhluk sosial (zoon politicon) BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pekerjaan merupakan sebuah kebutuhan asasi bagi manusia untuk dapat memenuhi kebutuhan hidup. Manusia sebagai makhluk sosial (zoon politicon) mempunyai kebutuhan hidup

Lebih terperinci

PEMBATALAN BEBERAPA KETENTUAN DARI PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA BARAT NOMOR 6 TAHUN 2014 TENTANG PENYELENGGARAAN KETENAGAKERJAAN

PEMBATALAN BEBERAPA KETENTUAN DARI PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA BARAT NOMOR 6 TAHUN 2014 TENTANG PENYELENGGARAAN KETENAGAKERJAAN 1 LAMPIRAN KEPUTUSAN MENTERI DALAM NEGERI REPUBLIK INDONESIA NOMOR 560 2492 TAHUN 2015 TENTANG PEMBATALAN BEBERAPA KETENTUAN DARI PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA BARAT NOMOR 6 TAHUN 2014 TENTANG PENYELENGGARAAN

Lebih terperinci

MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI REPUBLIK INDONESIA KEPUTUSAN MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI REPUBLIK INDONESIA

MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI REPUBLIK INDONESIA KEPUTUSAN MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI REPUBLIK INDONESIA MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI REPUBLIK INDONESIA KEPUTUSAN MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI REPUBLIK INDONESIA NOMOR : KEP.100/MEN/VI/2004 TENTANG KETENTUAN PELAKSANAAN PERJANJIAN KERJA WAKTU

Lebih terperinci

S U R A T E D A R A N. Kepada SEMUA BANK UMUM DI INDONESIA

S U R A T E D A R A N. Kepada SEMUA BANK UMUM DI INDONESIA No. 6/43/DPNP Jakarta, 7 Oktober 2004 S U R A T E D A R A N Kepada SEMUA BANK UMUM DI INDONESIA Perihal : Penerapan Manajemen Risiko pada Bank yang Melakukan Kerjasama Pemasaran dengan Perusahaan Asuransi

Lebih terperinci

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.24, 2016 KEUANGAN OJK. BPR. Badan Kredit Desa. Transformasi. Status. (Penjelasan Dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5847) PERATURAN OTORITAS JASA

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Konstitusi bangsa Indonesia adalah Undang-Undang Dasar 1945 yang menjadi

BAB I PENDAHULUAN. Konstitusi bangsa Indonesia adalah Undang-Undang Dasar 1945 yang menjadi BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Negara Indonesia merupakan suatu negara berkembang yang mempunyai tujuan dalam sebuah konstitusi yang dijunjung tinggi oleh warga negaranya. Konstitusi bangsa

Lebih terperinci