BAB II TINJAUAN PUSTAKA

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "BAB II TINJAUAN PUSTAKA"

Transkripsi

1 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Umum Kepolisian 1. Kepolisian a. Pengertian Menurut Erma Yulihastin dalam bukunya berjudul: Bekerja Sebagai Polisi, kata polisi dapat merujuk kepada tiga hal, yaitu orang, institusi (lembaga), atau fungsi. Kata polisi yang merujuk kepada orang pengertiannya adalah anggota badan pemerintah yang bertugas memelihara keamanan dan ketertiban umum. Kata polisi yang bermakna institusi, biasa disebut dengan kepolisian, contohnya Kepolisian Negara Republik Indonesia atau Polri, dan Kepolisian Daerah atau Polda. Sedangkan arti polisi sebagai fungsi atau sebagai kata kerja, berasal dari bahasa inggris to police, yaitu pekerjaan mengamati, memantau, mengawasi segala sesuatu untuk menangkap gejala yang terjadi (Erma Yulihastin, 2008: 3). Sedangkan pengertian kepolisian menurut Van Vollenhoven dalam bukunya berjudul Politie Overzee mengatakan bahwa pengertian politie meliputi organ-organ pemerintah yang berwenang dan berkewajiban untuk mengusahakan pengawasan dan pemaksaan jika diperlukan, agar yang diperintah untuk berbuat atau tidak berbuat menurut kewajiban masingmasing. Maka, dari pengertian tersebut makna polisi mengandung arti

2 9 sebagai organ dan fungsi, yakni sebagai organ pemerintah dengan tugas mengawasi, jika perlu menggunakan paksaan supaya yang diperintah menjalankan dan tidak melakukan larangan perintah (Pudi Rahardi, 2014: 2). Selanjutnya sejalan dengan pemikiran Van Vollenhoven, dikatakan oleh Sadjijono. Dalam buku karyanya berjudul Etika Profesi Hukum Suatu Telaah Filosofis Terhadap Konsep dan Implementasi Kode Etik Profesi Polri, menjelaskan bahwa, selama ini polisi dipahami sebagai suatu organ, lembaga atau institusi. Dengan demikian istilah kepolisian dimaknai sebagai organ beserta fungsinya (Sadjijono, 2008: 20). Menurut G. W. Bawengan, dalam buku karyanya berjudul Pengantar Psikologi Kriminal, memaknai kepolisian sebagai fungsi. Kepolisian sebagai fungsi, menunjuk pada tugas dan wewenang yang diberikan oleh undang-undang, yaitu fungsi preventif dan fungsi represif. Fungsi preventif yaitu berupa tindakan-tindakan kepolisian yang dilakukan dengan maksud untuk mencegah agar tidak terjadi suatu kejahatan. Fungsi represif yaitu tindakan-tindakan seperti mengadili, menjatuhkan hukuman terhadap tertuduh (G. W. Bawengan, 1991: 187). Menurut Pudi Rahardi, dalam buku karyanya berjudul Kemandirian Profesionalisme dan Reformasi Polri, bahwa kepolisian dimaknai pula sebagai lembaga atau organ. Maksudnya adalah kepolisian merupakan suatu lembaga pemerintah yang terorganisasi dan terstruktur dalam ketatanegaraan

3 10 yang oleh undang-undang diberi tugas dan wewenang serta tanggung jawab untuk menyelenggarakan kepolisian (Pudi Rahardi, 2014: 2-3). Pendapat lain dikemukakan oleh Kamisa. Menurut Kamisa dalam kamus bahasa Indonesia yang berhasil disusunnya, mengartikan kata polisi adalah badan yang dibentuk pemerintah sebagai pemelihara keamanan dalam negeri (Kamisa, 1997: 422). Pengertian kepolisian terdapat pula dalam Undang-undang R.I. Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia. Pada Pasal 1 ayat (1) dikatakan bahwa: Kepolisian adalah segala hal-ihwal yang berkaitan dengan fungsi dan lembaga polisi sesuai dengan peraturan perundang-undangan (UU R.I. No.2 Tahun 2002 tentang Kepolisian). b. Tugas Tugas pokok kepolisian merupakan tugas-tugas yang harus dikerjakan atau dijalankan oleh lembaga kepolisian. Dengan demikian tugas lembaga yang dijalankan oleh anggota kepolisian dapat dimaknai sebagai bentuk atau jenis dari pekerjaan khusus, yakni khusus dalam bidang pengayoman, dan bidang pelayanan (Sadjijono, 2008: 35). Adapun tugas pokok kepolisian dalam Pasal 13 Undang-undang R.I Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian. Untuk tercapainya tujuan negara yang aman tentram dan damai, kepolisian melaksanakan tugas pokok, yaitu: a. Memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat. b. Menegakkan hukum.

4 11 c. Memberikan perlindungan, pengayoman dan pelayanan kepada masyarakat (UU R.I. No.2 Tahun 2002 tentang Kepolisian). Dalam Pasal 14 Undang-undang R.I. Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian, disebutkan mengenai tugas yang harus dilaksanakan oleh Polri. Adapun bunyi pasal tersebut, sebagai berikut: Pasal 14: (1) Dalam melaksanakan tugas pokok sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13, Kepolisian Negara Republik Indonesia bertugas: a. Melaksanakan pengaturan, penjagaan, pengawalan, dan patroli terhadap kegiatan masyarakat dan pemerintah sesuai kebutuhan. b. Menyelenggarakan segala kegiatan dalam menjamin keamanan, ketertiban, dan kelancaran lalu lintas di jalan. c. Membina masyarakat untuk meningkatkan partisipasi masyarakat, kesadaran hukum masyarakat serta ketaatan warga masyarakat terhadap hukum dan peraturan perundang-undangan. d. Turut serta dalam pembinaan hukum nasional. e. Memelihara ketertiban dan menjamin keamanan umum. f. Melakukan koordinasi, pengawasan, dan pembinaan teknis terhadap kepolisian khusus, penyidik pegawai negeri sipil, dan bentukbentuk pengamanan swakarsa. g. Melakukan penyelidikan dan penyidikan terhadap semua tindak pidana sesuai dengan hukum acara pidana dan peraturan perundangundangan lainnya. h. Menyelenggarakan identifikasi kepolisian, kedokteran kepolisian, laboratorium forensik dan psikologi kepolisian untuk kepentingan tugas kepolisian. i. Melindungi keselamatan jiwa raga, harta benda, masyarakat, dan lingkungan hidup dari gangguan ketertiban dan/atau bencana termasuk memberikan bantuan dan pertolongan dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia. j. Melayani kepentingan warga masyarakat untuk sementara sebelum ditangani oleh instansi dan/atau pihak yang berwenang. k. Memberikan pelayanan kepada masyarakat sesuai dengan kepentingannya dalam lingkup tugas kepolisian. l. Melaksanakan tugas lain sesuai dengan peraturan perundangundangan.

5 12 (2) Tata cara pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf f diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah. Terkait pelaksanaan tugas Polri sebagaimana telah disebutkan dalam Pasal 13 dan Pasal 14 Undang-undang R.I. Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian, Polri memiliki kewenangan khusus di bidang proses pidana. Kewenangan tersebut sebagaimana diatur dalam Pasal 16 Undang-undang R.I. Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian, yang berbunyi: Pasal 16: (1) Dalam rangka menyelenggarakan tugas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 dan 14 di bidang proses pidana, Kepolisian Negara Republik Indonesia berwenang untuk: a. Melakukan penangkapan, penahanan, penggeledahan dan penyitaan. b. Melarang setiap orang meninggalkan atau memasuki tempat kejadian perkara untuk kepentingan penyidikan. c. Membawa dan menghadapkan orang kepada penyidik dalam rangka penyidikan. d. Menyuruh berhenti orang yang dicurigai dan menanyakan serta memeriksa tanda pengenal diri. e. Melakukan pemeriksaan dan penyitaan surat. f. Memanggil orang untuk didengar dan diperiksa sebagai tersangka atau saksi. g. Mendatangkan orang ahli yang diperlukan dalam hubungannya dengan pemeriksaan perkara. h. Mengadakan penghentian penyidikan. i. Menyerahkan berkas perkara kepada penuntut umum. j. Mengajukan permintaan secara langsung kepada pejabat imigrasi yang berwenang di tempat pemeriksaan imigrasi dalam keadaan mendesak atau mendadak untuk mencegah atau menangkal orang yang disangka melakukan tindak pidana. c. Peran Keberadaan lembaga kepolisian sangat diperlukan oleh masyarakat. Tidak ada satupun masyarakat yang tidak mempunyai institusi kepolisian.

6 13 Polisi bertugas memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat (Kamtibmas). Di samping itu, polisi juga berperan sebagai aparat penegak hukum. Polisi merupakan bagian dari criminal justice system bersama aparat penegak hukum lain, yaitu kejaksaan dan pengadilan (Pudi Rahardi, 2014: viii). Adapun peran polisi menurut Undang-undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian. Dalam Pasal 5 ayat (1) Undang-undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian dikatakan bahwa: Kepolisian Negara Republik Indonesia merupakan alat negara yang berperan dalam memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat, menegakkan hukum, serta memberikan perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat dalam rangka terpeliharanya keamanan dalam negeri (UU R.I. No.2 Tahun 2002 tentang Kepolisian). d. Fungsi Fungsi kepolisian sebagaimana diatur dalam Pasal 2 Undang-undang R.I. Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian adalah menjalankan salah satu fungsi pemerintahan negara dalam tugas penegakan hukum selain perlindungan, pengayoman dan pelayanan masyarakat. Hal tersebut dipertegas dalam Pasal 14 ayat (1) huruf g Undang-undang R.I. Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian, bahwa polisi berwenang melakukan penyidikan terhadap semua tindak pidana. Hal demikian menyatakan bahwa polisi adalah penyidik dan berwenang melakukan penyidikan tindak pidana

7 14 yang sebelumnya didahului oleh tindakan penyelidikan oleh penyelidik (Pudi Rahardi, 2014: 25). e. Daerah Hukum Kepolisian Setiap kepolisian memiliki tugas. Dalam pelaksanaan tugas pokok Polri, kepolisian melaksanakan tugas di daerah hukumnya masing-masing. Adapun daerah hukum kepolisian dalam Pasal 4 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2007 tentang Daerah Hukum Kepolisian Negara Republik Indonesia, antara lain: 1. Daerah hukum Kepolisian Markas Besar (Mabes), untuk wilayah Negara Republik Indonesia. 2. Daerah hukum Kepolisian Daerah (Polda), untuk wilayah propinsi. 3. Daerah hukum Kepolisian Resort (Polres), untuk wilayah kabupaten/kota. 4. Daerah hukum Kepolisian Sektor (Polsek), untuk wilayah kecamatan. f. Visi dan Misi Kepolisian mempunyai visi dan misi. Adapun visi dan misi profesi kepolisian, sebagaimana dikemukakan oleh mantan Kepala Polisi Republik Indonesia (Kapolri) (Jenderal Polisi Sutanto), yakni: Visi: Alat negara penegak hukum dan sebagai pemeliharaan keamanan dalam negeri yang profesional, dekat dengan masyarakat, bertanggung jawab, dan mempunyai komitmen terhadap masyarakat. Misi:

8 15 1. Menegakkan hukum secara adil, bersih, dan menghormati HAM. 2. Memelihara keamanan dalam negeri dengan memperhatikan norma-norma dan nilai-nilai yang berlaku di masyrakat. 2. Melindungi, mengayomi, dan melayani masyarakat. 3. Mendorong meningkatnya kesadaran dan keputusan hukum masyarakat (Sadjijono, 2008: 51). 2. Kepolisian Resort (Polres) a. Pengertian Dalam Bab I Ketentuan Umum, dalam Pasal 1 angka 5 Peraturan Kepala Kepolisian R.I. Nomor 23 Tahun 2010 tentang Susunan Organisasi dan Tata Kerja pada Tingkat Polres dan Polsek, terdapat penjelasan mengenai pengertian Kepolisian Resort (Polres). Dalam pasal tersebut mengatakan: Kepolisian Resort yang selanjutnya disingkat Polres adalah pelaksana tugas dan wewenang Polri di wilayah kabupaten/kota yang berada di bawah Kapolda (Perkap No.23 Tahun 2010 tentang Susunan Organisasi dan Tata Kerja pada Tingkat Polres dan Polsek). Dalam Bab II tentang Organisasi Polres, dalam Pasal 4 ayat (1) Peraturan Kepala Kepolisian R.I. Nomor 23 Tahun 2010 tentang Susunan Organisasi dan Tata Kerja pada Tingkat Polres dan Polsek, pada bagian kesatu bab tersebut menjelaskan perihal kedudukan, tugas dan fungsi Polres. Dalam pasal tersebut mengatakan: Kepolisian Resort (Polres) merupakan satuan organisasi Polri yang berkedudukan di ibukota kabupaten/kota di

9 16 daerah hukum masing-masing (Perkap No.23 Tahun 2010 tentang Susunan Organisasi dan Tata Kerja pada Tingkat Polres dan Polsek). Polres terdiri dari 4 (empat) tipe. Dalam Pasal 4 ayat (2) Peraturan Kepala Kepolisian R.I. Nomor 23 Tahun 2010 tentang Susunan Organisasi dan Tata Kerja pada Tingkat Polres dan Polsek, menyebutkan bahwa Polres terdiri dari: a. Tipe Kepolisian Resort Metropolitan (Polresmetro). b. Tipe Kepolisian Resort Kota Besar (Polrestabes). c. Tipe Kepolisian Resort Kota (Polresta). d. Tipe Kepolisian Resort (Polres). b. Tugas Polres mempunyai tugas yang harus dilaksanakan dengan baik. Tugas Polres dirumuskan dalam Pasal 5 Peraturan Kepala Kepolisian R.I. Nomor 23 Tahun 2010 tentang Susunan Organisasi dan Tata Kerja pada Tingkat Polres dan Polsek. Dalam pasal tersebut mengatakan: Polres bertugas menyelenggarakan tugas pokok Polri dalam memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat, menegakkan hukum, serta memberikan perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat dan melaksanakan tugas-tugas Polri lainnya dalam daerah hukum Polres, sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan (Perkap No.23 Tahun 2010 tentang Susunan Organisasi dan Tata Kerja pada Tingkat Polres dan Polsek).

10 17 c. Fungsi Setiap organisasi pasti memiliki fungsi, begitu juga dengan Polres. Adapun susunan organisasi Polres sebagaimana dijelaskan dalam Pasal 6 Peraturan Kepala Kepolisian R.I. Nomor 23 Tahun 2010 tentang Susunan Organisasi dan Tata Kerja pada Tingkat Polres dan Polsek, berbunyi: Pasal 6: Dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud Pasal 5, Polres menyelenggarakan fungsi: a. Pemberian pelayanan kepolisian kepada masyarakat, dalam bentuk penerimaan dan penanganan laporan/pengaduan, pemberian bantuan dan pertolongan termasuk pengamanan kegiatan masyarakat dan instansi pemerintah, dan pelayanan surat izin/keterangan, serta pelayanan pengaduan atas. b. Pelaksanaan fungsi intelijen dalam bidang keamanan guna terselenggaranya deteksi dini (early detection) dan peringatan dini (early warning). c. Penyelidikan dan penyidikan tindak pidana, fungsi identifikasi dan fungsi laboratorium forensik lapangan dalam rangka penegakan hukum, serta pembinaan, koordinasi, dan pengawasan Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS). d. Pembinaan masyarakat, yang meliputi pemberdayaan masyarakat melalui perpolisian masyarakat, pembinaan dan pengembangan bentukbentuk pengamanan swakarsa dalam rangka peningkatan kesadaran dan ketaatan warga masyarakat terhadap hukum dan ketentuan peraturan perundang-undangan, terjalinnya hubungan antara Polri dengan masyarakat, koordinasi dan pengawasan kepolisian khusus. e. Pelaksanaan fungsi Sabhara, meliputi kegiatan pengaturan, penjagaan pengawalan, patroli (Turjawali) serta pengamanan kegiatan masyarakat dan pemerintah, termasuk penindakan tindak pidana ringan (Tipiring), pengamanan unjuk rasa dan pengendalian massa, serta pengamanan objek fital, pariwisata dan Very Important Person (VIP). f. Pelaksanaan fungsi lalu lintas, meliputi kegiatan Turjawali lalu lintas, termasuk penindakan pelanggaran dan penyidikan kecelakaan lalu lintas serta registrasi dan identifikasi kendaraan bermotor dalam rangka penegakan hukum dan pembinaan keamanan, keselamatan, ketertiban, dan kelancaran lalu lintas.

11 18 g. Pelaksanaan fungsi kepolisian perairan, meliputi kegiatan patroli perairan, penanganan pertama terhadap tidak pidana perairan, pencairan dan penyelamatan kecelakaan di wilayah perairan, pembinaan masyarakat perairan dalam rangka pencegahan kejahatan, dan pemeliharaan keamanan di wilayah perairan. h. Pelaksanaan fungsi-fungsi lain, sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. d. Susunan Organisasi Pada bab II bagian kedua, dalam Pasal 7 Peraturan Kepala Kepolisian R.I. Nomor 23 Tahun 2010 tentang Susunan Organisasi dan Tata Kerja pada Tingkat Polres dan Polsek terdapat penjelasan mengenai susunan organisasi Polres. Terdapat 5 (lima) unsur di dalam susunan organisasi Polres. Adapun susunan organisasi Polres yang dimaksud dalam pasal tersebut, antara lain: Pasal 7: Susunan organisasi Polres terdiri dari: a. Unsur Pimpinan. b. Unsur Pengawas dan Pembantu Pimpinan. c. Unsur Pelaksana Tugas Pokok. d. Unsur Pendukung. e. Unsur Pelaksana Tugas Kewilayahan. Polres mempunyai pimpinan. Dalam Pasal 8 Peraturan Kepala Kepolisian R.I. Nomor 23 Tahun 2010 tentang Susunan Organisasi dan Tata Kerja pada Tingkat Kepolisian Resort dan Kepolisian Sektor dijelaskan mengenai unsur pimpinan Polres. Adapun bunyi pasal tersebut, adalah sebagai berikut: Pasal 8: Unsur pimpinan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 huruf a, terdiri dari: a. Kapolres.

12 19 b. Wakil Kapolres (Wakapolres). Untuk terlaksananya tugas kepolisian dan tercapainya tujuan kepolisian (Polres), dibutuhkan peran pengawas dan pembantu pimpinan. Adapun penjelasan mengenai kedua hal tersebut terdapat dalam Pasal 9 Peraturan Kepala Kepolisian R.I. Nomor 23 Tahun 2010 tentang Susunan Organisasi dan Tata Kerja pada Tingkat Polres dan Polsek, yang berbunyi: Pasal 9: Unsur pengawas dan pembantu pimpinan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 huruf b, terdiri dari: a. Bagian Operasional (Bagops). b. Bagian Perencanaan (Bagren). c. Bagian Sumber daya (Bagsumda). d. Seksi Pengawas (Siwas). e. Seksi Profesi dan Pengamanan (Sipropam). f. Seksi Keuangan (Sikeu). g. Seksi Umum (Sium). Polres mempunyai tugas. Terkait dengan tugas dan untuk terselenggaranya tugas Polres tersebut, maka perlu peran unsur pelaksana tugas pokok. Adapun unsur pelaksana tugas pokok (Polres) dalam Pasal 10 Peraturan Kepala Kepolisian R.I. Nomor 23 Tahun 2010 tentang Susunan Organisasi dan Tata Kerja pada Tingkat Polres dan Polsek, antara lain: Pasal 10: Unsur pelaksana tugas pokok sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 huruf c, terdiri dari: a. Sentra Pelayanan Kepolisian Terpadu (SPKT). b. Satuan Intelejen Keamanan (Sat Intelkam). c. Satuan Reserse Kriminal (Sat Reskrim). d. Satuan Reserse Narkoba (Sat Resnarkoba). e. Satuan Pembinaan Masyarakat (Sat Binmas). f. Satuan Samapta Bhayangkara (Sat Sabhara).

13 20 g. Satuan Lalu Lintas (Sat Lantas). h. Satuan Pengamanan Objek Vital (Sat Pam Obvit). i. Satuan Polisi Perairan (Sat Pol air). h. Satuan Perawatan Tahanan dan Barang Bukti (Sat Tahti). Untuk terselenggaranya fungsi Polri (Polres) berkenaan dengan bidang teknologi informasi, dibutuhkan peran unsur pendukung dalam bidang tersebut. Dalam Pasal 11 Peraturan Kepala Kepolisian R.I. Nomor 23 Tahun 2010 tentang Susunan Organisasi dan Tata Kerja pada Tingkat Polres dan Polsek, unsur pendukung Polres, yaitu Seksi Teknologi dan Informasi Kepolisian (Sitipol). Dalam Pasal 1 angka 24 Peraturan Kepala Kepolisian R.I. Nomor 23 Tahun 2010 tentang Susunan Organisasi dan Tata Kerja pada Tingkat Polres dan Polsek dikatakan bahwa, Sitipol adalah unsur pendukung di bidang pelayanan teknologi dan informasi Polri pada tingkat Polres yang berada di bawah Kapolres. Susunan organisasi polres yang terakhir adalah unsur pelaksana tugas kewilayahan. Dalam Pasal 12 Peraturan Kepala Kepolisian R.I. Nomor 23 Tahun 2010 tentang Susunan Organisasi dan Tata Kerja pada Tingkat Polres dan Polsek, unsur pelaksana tugas kewilayahan, yaitu Kepolisian Sektor (Polsek). Dalam Pasal 1 angka 25 Peraturan Kepala Kepolisian R.I. Nomor 23 Tahun 2010 tentang Susunan Organisasi dan Tata Kerja pada Tingkat Polres dan Polsek, dikatakan bahwa, Polsek adalah unsur pelaksana tugas pokok fungsi kepolisian di wilayah kecamatan yang berada di bawah

14 21 Kapolres (Perkap No.23 Tahun 2010 tentang Susunan Organisasi dan Tata Kerja pada Tingkat Polres dan Polsek). 3. Satuan Reserse Kriminal (Sat Reskrim) a. Pengertian Dalam Bab I Ketentuan Umum, dalam Pasal 1 angka 16 Peraturan Kepala Kepolisian R.I. Nomor 23 Tahun 2010 tentang Susunan Organisasi dan Tata Kerja pada Tingkat Polres dan Polsek, terdapat penjelasan mengenai pengertian Satuan Reserse Kriminal (Sat Reskrim). Dalam pasal tersebut dikatakan: Satuan Reserse Kriminal yang selanjutnya disingkat Sat Reskrim adalah unsur pelaksana tugas pokok fungsi reserse kriminal pada tingkat Kepolisian Resort (Polres) yang berada di bawah Kepala Kepolisian Resort (Kapolres) (Perkap No.23 Tahun 2010 tentang Susunan Organisasi dan Tata Kerja pada Tingkat Polres dan Polsek). b. Tugas Dalam Bab II tentang Organisasi Polres, pada bagian kelima Pasal 43 Peraturan Kapolri Nomor 23 Tahun 2010 tentang Susunan Organisasi dan Tata Kerja pada Tingkat Polres dan Polsek dijelaskan tentang unsur pelaksana tugas pokok Satuan Reserse Kriminal (Sat Reskrim). Dalam Pasal tersebut, berbunyi: (1) Sat Reskrim sebagaimana dimaksud Pasal 10 huruf c merupakan unsur pelaksana tugas pokok yang berada di bawah Kapolres. (2) Sat Reskrim bertugas melaksanakan penyelidikan, penyidikan dan pengawasan penyidikan tindak pidana, termasuk fungsi identifikasi dan

15 22 c. Fungsi laboratorium forensik lapangan serta pembinaan, koordinasi dan pengawasan penyidik pegawai negeri sipil (PPNS). Fungsi Sat Reskrim terdapat dalam Pasal 43 ayat (3) Peraturan Kepala Kepolisian R.I. Nomor 23 Tahun 2010 tentang Susunan Organisasi dan Tata Kerja pada Tingkat Polres dan Polsek. Adapun fungsi Sat Reskrim dalam pasal tersebut, berbunyi: Pasal 43 ayat (3): (3) Dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud pada Pasal 43 ayat (2), Sat Reskrim menyelenggarakan fungsi a. Pembinaan teknis terhadap administrasi penyelidikan dan penyidikan, serta identifikasi dan laboratorium forensik lapangan. b. Pelayanan dan perlindungan khusus kepada remaja, anak, dan wanita baik sebagai pelaku maupun korban sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. c. Pengidentifikasian untuk kepentingan penyidik dan pelayanan umum. d. Penganalisisan kasus beserta penanganannya, serta mengkaji efektifitas pelaksanaan tugas Sat Reskrim. e. Pelaksanaan pengawasan penyidikan tindak pidana yang dilakukan oleh penyidik pada Unit Reskrim Polsek dan Sat Reskrim Polres. f. Pembinaan, koordinasi dan pengawasan penyidik pegawai negeri sipil (PPNS) baik di bidang operasional maupun administrasi penyidikan sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan. g. Penyelidikan dan penyidikan tindak pidana umum dan khusus, antara lain tindak pidana ekonomi, korupsi, dan tindak pidana tertentu di daerah hukum Polres. d. Susunan Organisasi Suatu organisasi pasti mempunyai pimpinan, tanpa kecuali. Unsur pimpinan mempunyai peran yang sangat penting dalam terlaksananya tugas dan tujuan yang telah ditetapkan. Begitu pula Sat Reskrim, dalam

16 23 pelaksanaan tugas dan untuk terselenggaranya fungsi reserse kriminal, juga terdapat seorang pimpinan sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 44 Peraturan Kepala Kepolisian R.I. Nomor 23 Tahun 2010 tentang Susunan Organisasi dan Tata Kerja pada Tingkat Polres dan Polsek. Dalam pasal tersebut berbunyi: Sat Reskrim dipimpin oleh seorang Kepala Satuan Reserse Kriminal (Kasat Reskrim) yang bertanggungjawab kepada Kepala Kepolisian Resort (Kapolres) dan dalam pelaksanaan tugas sehari-hari di bawah kendali Wakil Kepala Kepolisian Resort (Waka Polres) (Perkap No.23 Tahun 2010 tentang Susunan Organisasi dan Tata Kerja pada Tingkat Polres dan Polsek). Kepala Satuan Reserse Kriminal (Kasat Reskrim) memiliki tugas yang merupakan tanggungjawabnya sebagai seorang pimpinan. Ada kalanya dalam pelaksanaan tugas dibantu oleh seorang Wakil Kepala Satuan Reserse Kriminal (Wakasat Reskrim). Semuanya sudah diatur terlebih dahulu dalam peraturan perundang-undangan dan sebagai anggota Polri harus tunduk pada isi dari peraturan-peraturan yang terkandung di dalamnya. Ketentuan tersebut dirumuskan dalam Pasal 45 Peraturan Kepala Kepolisian R.I. Nomor 23 Tahun 2010 tentang Susunan Organisasi dan Tata Kerja pada Tingkat Polres dan Polsek. Pasal tersebut berbunyi: Khusus pada Kepolisian Resort tipe Metropolitan (Polres Metro), Kepolisian Resort Kota Besar (Polrestabes), dan Kepolisian Resort Kota (Polresta), Kepala Satuan

17 24 Reserse Kriminal (Kasat Reskrim) dalam melaksanakan tugasnya dibantu oleh Wakil Kepala Satuan Reserse Kriminal (Wakasat Reskrim). Satuan Reserse Kriminal (Sat Reskrim) mempunyai beberapa organ. Organ-organ tersebut masing-masing mempunyai tugas tersendiri dalam rangka terlaksananya tugas Satuan Reserse Kriminal (Sat Reskrim) sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 43 ayat (2) tentang Susunan Organisasi dan Tata Kerja pada Tingkat Polres dan Polsek. Adapun organ/unsur Sat Reskrim dijelaskan dalam Pasal 46 Peraturan Kepala Kepolisian R.I. Nomor 23 Tahun 2010 tentang Susunan Organisasi dan Tata Kerja pada Tingkat Polres dan Polsek, yang berbunyi: Pasal 46: Sat Reskrim dalam melaksanakan tugas dibantu oleh: a. Urusan Pembinaan Operasional (Urbinopsnal), yang bertugas melakukan pembinaan dan pengawasan terhadap administrasi serta pelaksanaan penyelidikan dan penyidikan, menganalisis penanganan kasus dan mengevaluasi efektivitas pelaksanaan tugas Sat Reskrim. b. Urusan Administrasi dan Ketatausahaan (Urmintu), yang bertugas menyelenggarakan kegiatan administrasi dan ketatausahaan. c. Urusan Identifikasi (Urident), yang bertugas melakukan identifikasi dan laboratorium forensik lapangan, dan pengidentifikasian untuk kepentingan penyidikan dan pelayanan umum. d. Unit, terdiri dari paling banyak 6 (enam) Unit, yang bertugas melakukan penyelidikan dan penyidikan tindak pidana umum, khusus, dan tertentu di daerah hukum Polres, serta memberikan pelayanan dan perlindungan khusus kepada remaja, anak, dan wanita baik sebagai pelaku maupun korban sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

18 25 B. Kepolisian Sebagai Aparat Penegak Hukum 1. Sebagai Penyelidik Menurut Pasal 1 angka 4 KUHAP yang disebut penyelidik adalah pejabat polisi Negara Republik Indonesia yang diberi wewenang oleh undang-undang ini (KUHAP) untuk melakukan penyelidikan. Dalam Pasal 4 KUHAP, penyelidik adalah setiap pejabat polisi Negara Republik Indonesia. Dengan demikian, dalam Pasal 1 angka 5 KUHAP, yang dimaksud penyelidikan adalah serangkaian tindakan penyelidik untuk mencari dan menemukan suatu peristiwa yang diduga sebagai tindak pidana guna menentukan dapat/tidaknya dilakukan penyidikan menurut cara yang diatur dalam undangundang. Kewenangan penyelidik dirumuskan dalam Pasal 5 KUHAP, antara lain: (1) Penyelidik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 KUHAP: a. Karena kewajibannya mempunyai wewenang: 1. Menerima laporan/pengaduan dari seseorang tentang adanya tindak pidana. 2. Mencari keterangan dan barang bukti. 3. Menyuruh berhenti seseorang yang dicurigai dan menanyakan serta memeriksa tanda pengenal diri. 4. Mengadakan tindakan lain menurut hukum yang bertanggung jawab. b. Atas perintah penyidik dapat melakukan tindakan berupa: 1. Penangkapan, larangan meninggalkan tempat, penggeledahan dan penyitaan. 2. Pemeriksaan dan penyitaan surat. 3. Mengambil sidik jari dan memotret seseorang. 4. Membawa dan menghadapkan seseorang pada penyidik. (2) Penyelidik membuat dan menyampaikan laporan hasil pelaksanaan tindakan sebagaimana tersebut pada ayat (1) huruf a dan b kepada penyidik (UU No.8 Tahun 1981 tentang KUHAP).

19 26 2. Sebagai Penyidik Polisi adalah penyidik dan berwenang melakukan penyidikan tindak pidana yang sebelumnya didahului oleh tindakan penyelidikan oleh penyelidik. Tindak pidana yang dimaksudkan adalah pelanggaran dan kejahatan berdasarkan peraturan perundang-undangan yang diatur dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) maupun yang tersebar di luar Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) (Pudi Rahardi, 2014: 25). Menurut Ismu Gunadi dan Jonaedi Efendi, fungsi kepolisian dalam sistem peradilan pidana sangat penting. Sebab ia menjadi garda terdepan dalam penegakkan hukum pidana. Dalam hukum acara pidana fungsi kepolisian yang sangat mendasar adalah fungsi penyidikan (Ismu Gunadi dan Jonaedi Efendi, 2014: 53). Secara singkat tugas penyidik adalah melakukan penyidikan. Kegiatan penyidikan merupakan tindak lanjut penyelidikan, yang tidak terlalu banyak telah menemukan konstruksi peristiwa pidana yang terjadi (Bambang Waluyo, 2008: 44). Keberhasilan penyidikan juga dipengaruhi hasil penyelidikan. Tindakan penyelidikan memang harus mengarah kepada kepentingan penyidikan. Untuk itu undang-undang menegaskan bahwa dalam pelaksanaan tugas penyelidikan, penyelidik dikoordinasi, diawasi, dan diberi petunjuk oleh penyidik (Bambang Waluyo, 2008: 44).

20 27 Menurut Pasal 1 angka 1 KUHAP yang disebut penyidik adalah pejabat polisi Negara Republik Indonesia atau pejabat pegawai negeri sipil tertentu yang diberi wewenang khusus oleh undang-undang untuk melakukan penyidikan. Adapun yang dimaksud penyidik dalam Pasal 6 KUHAP, adalah sebagai berikut: (1) Penyidik adalah: a. Pejabat polisi Negara Republik Indonesia. b. Pejabat PNS tertentu yang diberi wewenang khusus oleh undangundang. (2) Syarat kepangkatan pejabat sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) akan diatur lebih lanjut dalam peraturan pemerintah (UU No.8 Tahun 1981 tentang KUHAP). Kewenangan penyidik tercantum dalam Pasal 7 KUHAP. Dalam pasal tersebut berbunyi: (1) Penyidik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) huruf a karena kewajibannya mempunyai wewenang: a. Menerima laporan/pengaduan dari seseorang tentang adanya tindak pidana. b. Melakukan tindakan pertama pada saat di tempat kejadian. c. Menyuruh berhenti seorang tersangka dan memerikasa tanda pengenal diri tersangka. d. Melakukan penangkapan, penahanan, penggeledehan, dan penyitaan. e. Melakukan pemeriksaan dan penyitaan surat. f. Mengambil sidik jari dan memotret seseorang. g. Memanggil orang untuk didengar dan diperiksa sebagai tersangka atau saksi. h. Mendatangkan orang ahli yang diperlukan dalam hubungannya dengan pemeriksaan perkara. i. Mengadakan penghentian penyidikan. j. Mengadakan tindakan lain menurut hukum yang bertanggung jawab. (2) Penyidik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) huruf b mempunyai wewenang sesuai dengan undang-undang yang menjadi dasar hukumnya masing-masing dan dalam pelaksanaan tugasnya berada di bawah koordinasi dan pengawasan penyidik tersebut dalam Pasal 6 ayat (1) huruf a. (3) Dalam melakukan tugasnya sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2), penyidik wajib menjunjung tinggi hukum yang berlaku.

21 28 Dengan demikian, dalam Pasal 1 butir 2 KUHAP dijelaskan mengenai pengertian penyidikan. Penyidikan adalah serangkaian tindakan penyidik dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam undang-undang untuk mencari serta mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu membuat terang tentang tindak pidana yang terjadi dan guna menemukan tersangkanya. C. Tinjauan Umum Judi 1. Pengertian Judi Perjudian merupakan salah satu bentuk penyakit masyarakat. Penyakit masyarakat menurut para ahli ilmu penyakit (patolog) disebut sebagai patologi sosial (Kartini Kartono, 2011: 57). Penyakit masyarakat adalah segala bentuk tingkah laku yang dianggap tidak sesuai, melanggar norma-norma umum, adat-istiadat, hukum formal, atau tidak bisa diintegrasikan dalam pola tingkah laku umum. Disebut sebagai penyakit masyarakat karena gejala sosialnya yang terjadi di tengah masyarakat itu meletus menjadi penyakit (Kartini Kartono, 1986: 4). Menurut R. Soesilo (1991: 222) yang dikutip oleh Ismu Gunadi dan Jonaedi Efendi dalam bukunya yang berjudul: Cepat dan Mudah Memahami Hukum Pidana menjelaskan bahwa, permainan judi dalam bahasa asingnya disebut hazardspel. Namun, tidak semua permainan dikategorikan sebagai hazardspel. Hazardspel yaitu tiap-tiap permainan yang mendasarkan pengharapan untuk menang pada umumnya bergantung kepada untung-untungan

22 29 saja, dan juga kalau pengharapan itu jadi bertambah besar karena kepintaran dan kebiasaan pemain (Ismu Gunadi, dan Jonaedi Efendi, 2014: 202). Adapun pendapat menurut Kamisa mengenai judi. Dalam Kamus Bahasa Indonesia yang disusunnya, secara singkat dijelaskan bahwa, judi adalah permainan yang memperebutkan uang (Kamisa, 1997: 263). Pendapat berbeda dikemukakan oleh Kartini Kartono. Ia mengemukakan bahwa, judi atau perjudian adalah pertaruhan dengan sengaja yaitu memperebutkan satu nilai atau sesuatu yang dianggap bernilai dengan menyadari adanya risiko dan harapan-harapan tertentu pada peristiwa-peristiwa permainan, pertandingan, perlombaan dan kejadian-kejadian yang tidak/belum pasti hasilnya (Kartini Kartono, 2011: 58). Dilihat dari sudut pandang agama Islam, judi dikenali sebagai Al-Maisir dan Al-Qimar, yaitu permainan yang mengandung unsur taruhan dan orang yang menang dalam permainan itu berhak mendapat taruhan tersebut. Kesemuanya itu diharamkan dalam Islam. Hal tersebut sesuai Firman Allah dalam Al-Qur an Surat Al-Baqarah:219, dalam surat tersebut Allah berfirman: Mereka bertanya kepadamu tentang khamar dan judi, katakanlah bahwa pada keduanya terdapat dosa besar dan beberapa manfaat bagi manusia, tetapi dosa keduanya lebih besar dari manfaatnya ( Definisi judi terdapat pula di dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP). Dalam Pasal 303 ayat (3) KUHP yang disebut permainan judi adalah tiap-tiap permainan, di mana pada umumnya kemungkinan mendapat untung

23 30 bergantung pada peruntungan belaka, juga karena pemainnya lebih terlatih atau lebih mahir. Di situ termasuk segala pertaruhan tentang keputusan perlombaan atau permainan lain-lainnya yang tidak diadakan antara mereka yang turut berlomba atau bermain, demikian juga segala pertaruhan lainnya. Dali Mutiara, dalam tafsiran KUHP, seperti yang dikutip oleh Kartini Kartono dalam bukunya yang berjudul: Patologi Sosial Jilid 1 menafsirkan bahwa, permainan judi harus diartikan dalam arti yang luas, juga termasuk segala pertaruhan tentang kalah menangnya suatu pacuan kuda atau pertandingan lain, atau segala pertaruhan dalam perlombaan-perlombaan yang diadakan antara dua orang yang tidak ikut sendiri dalam perlombaan-perlombaan itu. Misalnya: totalisator, dan lain-lain (Kartini Kartono, 2011: 58). Menurut Ismu Gunadi dan Jonaedi Efendi, yang mengutip dari buku karya Wiryono Prodjodikoro (1986: 128) menyatakan bahwa, dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) terdapat dua pasal yang merumuskan tentang perjudian. Dua pasal yang dimaksud yaitu Pasal 303 dalam Titel XIV Buku II tentang Kejahatan Melanggar Kesopanan, dan Pasal 542 dalam Titel VI Buku III tentang Pelanggaran Mengenai Kesopanan (Ismu Gunadi, dan Jonaedi Efendi, 2014: 202). Setelah dikeluarkannya Undang-undang Nomor 7 Tahun 1974 tentang Penertiban Perjudian, di dalam undang-undang tersebut terdapat pasal yang menjelaskan mengenai perubahan sebutan Pasal 542 KUHP, yakni pada Pasal 2 ayat (4). Pada Pasal 2 ayat (4) dikatakan bahwa, merubah sebutan Pasal 542

24 31 KUHP menjadi Pasal 303 bis atau dengan kata lain Pasal 542 KUHP ditiadakan (penjelasan UU No.7 Tahun 1974 tentang Penertiban Perjudian). Dalam Pasal 1 Undang-undang Nomor 7 Tahun 1974 menyatakan, semua tindak pidana perjudian sebagai kejahatan. Undang-undang tersebut juga menegaskan mengenai perubahan ancaman hukuman yang terdapat dalam pasalpasal yang mengatur perihal perjudian dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP), yakni Pasal 303 ayat (1) KUHP, Pasal 542 ayat (1) dan ayat (2) KUHP (sekarang menjadi Pasal 303 bis). Perubahan ancaman hukumannya menjadi diperberat. Berikut ini adalah perubahan yang dimaksud: Pasal 1: Menyatakan semua tindak pidana perjudian sebagai kejahatan. Pasal 2: (1) Merubah ancaman hukuman dalam Pasal 303 ayat (1) KUHP, dari hukuman penjara selama-lamanya dua tahun delapan bulan atau denda sebanyakbanyaknya sembilan puluh ribu rupiah menjadi hukuman penjara selamalamanya sepuluh tahun atau denda sebanyak-banyaknya dua puluh lima juta rupiah. (2) Merubah ancaman hukuman dalam Pasal 542 ayat (1) KUHP, dari hukuman kurungan selama-lamanya satu bulan atau denda sebanyak-banyaknya empat ribu lima ratus rupiah menjadi hukuman penjara selama-lamanya empat tahun atau denda sebanyak-banyaknya sepuluh juta rupiah. (3) Merubah ancaman hukuman dalam Pasal 542 ayat (2) KUHP, dari hukuman kurungan selama-lamanya tiga bulan atau denda sebanyak-banyaknya tujuh ribu lima ratus rupiah menjadi hukuman penjara selama-lamanya enam tahun atau denda sebanyak-banyaknya lima belas juta rupiah. (4) Merubah sebutan Pasal 542 menjadi Pasal 303 bis. Terkait Pasal 1 Undang-undang Nomor 7 Tahun 1974, yang menyatakan semua perjudian sebagai kejahatan, perihal kejahatan telah diatur secara

25 32 sistematis dalam KUHP. Tentang kejahatan diatur di dalam buku kedua KUHP, terdiri dari 31 bab dan 384 pasal, yaitu Pasal 104 sampai dengan Pasal 488, dan kejahatan yang diatur di dalam pasal-pasal tersebut adalah sebagai berikut: 1. Kejahatan terhadap keamanan negara, terdiri dari 25 pasal yaitu dari Pasal 104 sampai Pasal Kejahatan terhadap martabat Presiden dan Wakil Presiden, terdiri dari 9 pasal yaitu dari Pasal 130 sampai Pasal Kejahatan terhadap negara sahabat dan terhadap kepala negara sahabat serta wakilnya, terdiri dari 6 pasal yaitu, dari Pasal 139 sampai Pasal Kejahatan terhadap melakukan kewajiban dan hak kenegaraan, terdiri dari 7 pasal, yaitu Pasal 146 sampai Pasal Kejahatan terhadap ketertiban umum, terdiri dari 27 pasal, yaitu Pasal 154 sampai Pasal Perkelahian tanding, terdiri dari 4 pasal, yaitu Pasal 182 sampai sampai Pasal Kejahatan yang membahayakan keamanan umum bagi orang atau barang, terdiri dari 19 pasal (Mardani, 2008: 63). Van Bemmelen merumuskan kejahatan adalah tiap kelakuan yang bersifat tidak susila dan merugikan yang menimbulkan begitu banyak ketidaktenangan dalam suatu masyarakat tertentu, sehingga masyarakat itu berhak untuk mencelanya dan menyatakan penolakannya atas kelakuan itu dalam bentuk nestapa dengan sengaja diberikan karena kelakuan tersebut. Ia menegaskan,

26 33 kejahatan bukan hanya yang dilarang oleh hukum pidana tetapi juga tingkah laku yang oleh masyarakat dianggap merugikan walaupun tidak diatur dalam hukum pidana (B. Simandjuntak, 1981: 72-73). Menurut W.A. Bonger kejahatan adalah perbuatan yang sangat anti sosial yang memperoleh tentangan dengan sadar dari negara berupa pemberian penderitaan (hukuman atau tindakan). Kejahatan hanyalah perbuatan yang melanggar pasal hukum pidana saja (W.A. Bonger, 1995: 23). Dari suatu sudut pandang yang agak berbeda, Richard Quinney menyatakan bahwa kejahatan adalah suatu rumusan tentang perilaku manusia yang diciptakan oleh yang berwenang dalam suatu masyarakat yang secara politis terorganisasi. Kejahatan merupakan suatu hasil rumusan perilaku yang diberikan terhadap sejumlah orang oleh orang-orang lain, dengan begitu kejahatan adalah sesuatu yang diciptakan (Soerjono Soekanto, dkk, 1981: 49). Pasal-pasal dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana yang mengatur larangan judi salah satunya adalah Pasal 303 ayat (1) KUHP. Ancaman hukuman dalam pasal tersebut yang berlaku saat ini, setelah adanya perubahan atas Undang-undang Nomor 7 Tahun 1974 tentang Penertiban Perjudian, yakni: Pasal 303: (1) Pelaku diancam dengan pidana penjara paling lama sepuluh tahun atau pidana denda paling banyak dua puluh lima juta rupiah, barang siapa tanpa mendapat izin: 1. Dengan sengaja menawarkan atau memberikan kesempatan untuk permainan judi dan menjadikannya sebagai pencarian, atau dengan sengaja turut serta dalam suatu perusahaan untuk itu.

27 34 2. Dengan sengaja menawarkan atau memberi kesempatan kepada khalayak umum untuk bermain judi atau dengan sengaja turut serta dengan perusahaan untuk itu, dengan tidak peduli apakah untuk menggunakan kesempatan adanya sesuatu syarat atau dipenuhinya sesuatu tata cara. 3. Menjadikan turut serta pada permainan judi sebagai penjudi. (2) kalau yang bersalah melakukan kejahatan tersebut dalam menjalankan pencahariannya, maka dapat dicabut haknya untuk menjalankan pencaharian itu. Pasal 303 bis: Dalam pasal lain, yakni Pasal 303 bis KUHP. Pasal tersebut berbunyi: (1) Diancam dengan pidana penjara paling lama empat tahun atau pidana denda paling banyak sepuluh juta rupiah: 1. Barang siapa menggunakan kesempatan main judi, yang diadakan dengan melanggar ketentuan Pasal Barang siapa ikut serta main judi di jalan umum atau di pinggir jalan umum atau di tempat yang dapat dikunjungi umum, kecuali kalau ada izin dari penguasa yang berwenang yang telah memberi izin untuk mengadakan perjudian itu. (2) Jika ketika melakukan pelanggaran belum lewat dua tahun sejak ada pemidanaan yang menjadi tetap karena salah satu dari pelanggaran ini, dapat dikenakan pidana penjara paling lama enam tahun atau pidana denda paling banyak lima bellas juta rupiah. 2. Unsur-unsur Judi Ada 3 (tiga) unsur agar suatu perbuatan dapat dinyatakan sebagai judi. Unsur-unsur yang dimaksud, antara lain: a. Permainan/perlombaan Perbuatan yang dilakukan biasanya berbentuk permainan atau perlombaan. Jadi bersifat rekreatif. Namun para pelaku tidak harus terlibat dalam permainan, karena boleh jadi mereka adalah penonton (orang yang ikut bertaruh terhadap jalannya sebuah permainan atau perlombaan).

28 35 b. Untung-untungan Untuk memenangkan permainan/perlombaan, lebih banyak digantungkan kepada unsur spekulatif atau kepintaran pemain yang sudah terbiasa/terlatih. c. Ada taruhan Dalam permainan/perlombaan ada taruhan yang dipasang oleh para pihak (pemain atau bandar), baik dalam bentuk uang ataupun harta benda lainnya. Unsur ini merupakan unsur yang paling utama untuk menentukan apakah sebuah perbuatan dapat disebut sebagai judi atau bukan ( a/?_e_pi_=7%2cpage_id10%2c ). 3. Bentuk dan Jenis Perjudian Bentuk dan jenis perjudian disebutkan dalam Pasal 1 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1981 tentang Pelaksanaan Undang-undang Nomor 7 Tahun 1974 tentang Penertiban Perjudian. Bentuk dan jenis yang dimaksud dalam pasal tersebut, antara lain: 1. Perjudian di Kasino, antara lain: roulette, blackjack, baccarat, creps, keno, tombola, super ping-pong, lotto fair, satan, paykyu, slot machine (jackpot), ji si kie, big six wheel, chuc a luck, lempar paser/bulu ayam pada sasaran atau papan yang berputar, pachinko, poker, twenty one, hwa-hwe, kiu-kiu. 2. Perjudian di tempat-tempat keramaian, antara lain: lempar paser atau bulu ayam pada papan atau sasaran yang tidak bergerak, lempar gelang, lempar uang (coin), kim, pancingan, menembak sasaran yang tidak berputar, lempar

29 36 bola, adu ayam, adu sapi, adu kerbau, adu domba/kambing, pacu kuda, karapan sapi, pacu anjing, hailai, mayong/ macak, erek-erek. 3. Perjudian yang dikaitkan dengan alasan-alasan lain, antara lain perjudian yang dikaitkan dengan kebiasaan, seperti: adu ayam, adu sapi adu kerbau pacu kuda, karapan sapi, adu domba/kambing. D. Tinjauan Umum Judi Toto Gelap (Togel) 1. Pengertian Judi Toto Gelap (Togel) Secara etimologi, togel berasal dari bahasa Indonesia. Togel merupakan singkatan dari kata toto dan gelap. Toto berarti pertaruhan dan gelap berarti tertutup. Dari kedua kata tersebut, bila digabungkan menghasilkan kata toto gelap yang disingkat menjadi togel. Sehingga arti togel adalah pertaruhan (judi) yang dilakukan secara tertutup atau dilakukan secara sembunyi-sembunyi ( Adapula definisi dari 3 kalangan masyarakat, yaitu masyarakat umum, pemain online, dan tokoh masyarakat. Menurut pandangan umum masyarakat, togel adalah toto gelap atau judi gelap yang dilakukan dengan membeli angka kepada pengecer togel. Lain halnya pendapat menurut pemain online yang mengartikan togel adalah angka yang dipesan secara offline dan online yang jika tebakannya tepat akan diberi hadiah berkali lipat. Berbeda pula pendapat menurut tokoh masyarakat yang mendefinisikan togel adalah sebuah bentuk perjudian

30 37 yang meresahkan masyarakat dan biasanya berkaitan dengan perilaku kriminal lainnya ( Demikian definisi togel dari beberapa pendapat. Jadi, dari definisi secara etimologi dan beberapa pengertian tersebut, dapat disimpulkan bahwa toto gelap atau togel adalah permainan judi dengan cara mengundi angka yang pemenangnya memiliki angka yang keluar sama dengan angka yang dibeli, baik secara online maupun offline ( xhtml). 2. Aturan Umum Bermain Judi Toto Gelap (Togel) Satu kupon togel minimal berharga Rp.1000,00 (seribu rupiah) dan berlaku kelipatannya. Setiap kupon hanya bisa diisi dengan 1 bilangan, mulai dari 2 angka (2D/deret), 3 angka (3D/deret), atau 4 angka (4D/deret). Jika tebakan benar, maka pemain mendapat hadiah dengan ketentuan sesuai jumlah angka tebakan yang dipasang sebagai berikut: No Harga Kupon Rp 1000,00 Rp 2000,00 Rp 3000,00 Dst Tabel 1 Kalkulasi Kupon Judi Toto Gelap (Togel) Rp ,00 Rp ,00 Rp ,00 Dst Perolehan Hadiah 2D 3D 4D Rp ,00 Rp ,00 Rp ,00 Dst Sumber: Misalnya: keluar nomor Berarti pemenang untuk: 4D adalah D adalah D adalah 34. Rp ,00 Rp ,00 Rp ,00 Dst

31 38 Bila pemain memasang/membeli 2D (2 angka) dengan harga kupon Rp 1000,00, maka, bila pemain menang akan mendapatkan uang sebesar Rp ,00, yang diperoleh dari: harga kupon x 60. Sehingga uang yang diperoleh adalah Rp 1.000,00 x 60 = Rp ,00, dan berlaku kelipatannya. Maksud berlaku kelipatannya yaitu bila harga kupon Rp 2000,00 berarti Rp 2000,00 x 60 = Rp ,00, dan seterusnya. Bila pemain memasang/membeli 3D (3 angka) dengan harga kupon Rp 1000,00, maka, bila pemain menang akan mendapatkan uang sebesar Rp ,00, yang diperoleh dari: harga kupon x 300. Sehingga uang yang diperoleh adalah Rp 1.000,00 x 300 = Rp ,00, dan berlaku kelipatannya. Maksud berlaku kelipatannya yaitu bila harga kupon Rp 2000,00 berarti Rp 2000,00 x 300 = Rp ,00, dan seterusnya. Bila pemain memasang/membeli 4D (4 angka) dengan harga kupon Rp 1000,00, maka, bila pemain menang akan mendapatkan uang sebesar Rp ,00, yang diperoleh dari: harga kupon x Sehingga uang yang diperoleh adalah Rp 1.000,00 x = Rp ,00, dan berlaku kelipatannya. Maksud berlaku kelipatannya yaitu bila harga kupon Rp 2000,00 berarti Rp 2000,00 x = Rp ,00, dan seterusnya. 3. Pasaran dan Jenis Judi Toto Gelap di Media Online Berbagai macam pasaran togel yang dapat dimainkan oleh masyarakat Indonesia. Tetapi hanya ada dua jenis pasaran togel yang banyak diminati, yakni

32 39 pasaran Singapura dan Hongkong. Pasaran judi togel lainnya, seperti: Sydney, Romania, South Korea dan lain-lain ( Judi togel dapat pula dimainkan melalui media online (internet). Di media online terdapat berbagai macam situs judi togel, seperti: sakura4d.com, toko4d.com, dan lain-lain. Dalam situs tersebut terdapat banyak sekali jenis permain, mulai dari: 4D,3D dan 2D, 2D posisi, colok bebas, colok bebas 2D/macau, paket colok 4D, colok naga, colok jitu, tengah/tepi dan lain-lain ( Terkait dengan perjudian yang dilakukan menggunakan media informasi elektronik sebagai media pembantunya, pemerintah sudah membuat peraturan khusus, yakni Undang-undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE). Perbuatan yang dilarang terkait perjudian dijelaskan dalam Pasal 27 ayat (2) Undang-undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, dalam Pasal tersebut dikatakan bahwa setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau dokumen Elektronik yang memiliki muatan perjudian diancam hukuman pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun atau pidana denda paling banyak Rp ,00 (satu miliar rupiah) (Maskun, 2013: 33-34).

PERATURAN PEMERINTAH (PP) PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA. Nomor: 9 TAHUN 1981 (9/1981) 14 MARET 1981 (JAKARTA) Sumber: LN 1981/10; TLN NO.

PERATURAN PEMERINTAH (PP) PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA. Nomor: 9 TAHUN 1981 (9/1981) 14 MARET 1981 (JAKARTA) Sumber: LN 1981/10; TLN NO. Bentuk: Oleh: PERATURAN PEMERINTAH (PP) PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Nomor: 9 TAHUN 1981 (9/1981) Tanggal: 14 MARET 1981 (JAKARTA) Sumber: LN 1981/10; TLN NO. 3192 Tentang: Indeks: PELAKSANAAN PENERTIBAN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. hukum dan merugikan masyarakat (Bambang Waluyo, 2008: 1). dengan judi togel, yang saat ini masih marak di Kabupaten Banyumas.

BAB I PENDAHULUAN. hukum dan merugikan masyarakat (Bambang Waluyo, 2008: 1). dengan judi togel, yang saat ini masih marak di Kabupaten Banyumas. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Seiring dengan kemajuan budaya, ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek), perilaku manusia di dalam hidup bermasyarakat dan bernegara justru semakin kompleks dan

Lebih terperinci

BAB II PENGATURAN TINDAK PIDANA JUDI ONLINE DI INDONESIA. 1. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 Tentang Kitab Undang -Undang Hukum Pidana ( KUHP )

BAB II PENGATURAN TINDAK PIDANA JUDI ONLINE DI INDONESIA. 1. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 Tentang Kitab Undang -Undang Hukum Pidana ( KUHP ) BAB II PENGATURAN TINDAK PIDANA JUDI ONLINE DI INDONESIA A. Pengaturan Tindak Pidana Judi 1. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 Tentang Kitab Undang -Undang Hukum Pidana ( KUHP ) Undang-Undang Nomor 1 Tahun

Lebih terperinci

Dari pengertian diatas maka ada tiga unsur agar suatu perbuatan dapat dinyatakan sebagai judi. Yaitu adanya unsur :

Dari pengertian diatas maka ada tiga unsur agar suatu perbuatan dapat dinyatakan sebagai judi. Yaitu adanya unsur : 1.2. Pengertian Judi Dalam Ensiklopedia Indonesia[1] Judi diartikan sebagai suatu kegiatan pertaruhan untuk memperoleh keuntungan dari hasil suatu pertandingan, permainan atau kejadian yang hasilnya tidak

Lebih terperinci

BAB II PENGATURAN HUKUM POSITIF TERHADAP TINDAK PIDANA PERJUDIAN DI INDONESIA. A. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 Tentang Kitab Undang-Undang

BAB II PENGATURAN HUKUM POSITIF TERHADAP TINDAK PIDANA PERJUDIAN DI INDONESIA. A. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 Tentang Kitab Undang-Undang BAB II PENGATURAN HUKUM POSITIF TERHADAP TINDAK PIDANA PERJUDIAN DI INDONESIA A. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 Tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 Tentang Kitab

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 2 TAHUN 2002 TENTANG KEPOLISIAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 2 TAHUN 2002 TENTANG KEPOLISIAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 2 TAHUN 2002 TENTANG KEPOLISIAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa keamanan dalam negeri

Lebih terperinci

BAB II KETENTUAN TINDAK PIDANA JUDI BERDASARKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN YANG BERLAKU DI INDONESIA

BAB II KETENTUAN TINDAK PIDANA JUDI BERDASARKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN YANG BERLAKU DI INDONESIA BAB II KETENTUAN TINDAK PIDANA JUDI BERDASARKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN YANG BERLAKU DI INDONESIA Penegakan hukum pidana dalam menanggulangi perjudian memiliki perjalanan yang panjang. Hal ini dikarenakan

Lebih terperinci

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA Teks tidak dalam format asli. Kembali: tekan backspace mencabut: UU 28-1997 LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No. 2, 2002 (Penjelasan dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4168) UNDANG-UNDANG

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Pengertian tindak pidana dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP)

II. TINJAUAN PUSTAKA. Pengertian tindak pidana dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) 18 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian Tindak Pidana Pengertian tindak pidana dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) dikenal dengan istilah stratbaar feit dan dalam kepustakaan tentang hukum pidana

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. memberi petunjuk kepada manusia bagaimana ia bertindak dan bertingkah

BAB I PENDAHULUAN. memberi petunjuk kepada manusia bagaimana ia bertindak dan bertingkah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Pesatnya perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi berdampak pula pada dinamika kehidupan masyarakat. Perkembangan dalam kehidupan masyarakat terutama yang

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. 1. Pengertian Kepolisian Negara Republik Indonesia. Negara Republik Indonesia disebutkan bahwa Kepolisian bertujuan untuk

II. TINJAUAN PUSTAKA. 1. Pengertian Kepolisian Negara Republik Indonesia. Negara Republik Indonesia disebutkan bahwa Kepolisian bertujuan untuk II. TINJAUAN PUSTAKA A. Kepolisian Republik Indonesia 1. Pengertian Kepolisian Negara Republik Indonesia Menurut Pasal 4 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 Tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia disebutkan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG TINDAK PIDANA PERJUDIAN

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG TINDAK PIDANA PERJUDIAN BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG TINDAK PIDANA PERJUDIAN A. Pengertian Tindak Pidana Perjudian Dalam Undang-Undang No. 1 Tahun 1946 Tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), tindak pidana perjudian

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. norma yang ada, melanggar kepentingan orang lain maupun masyarakat yang

BAB I PENDAHULUAN. norma yang ada, melanggar kepentingan orang lain maupun masyarakat yang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Di dalam suatu masyarakat terdapat nilai-nilai yang merupakan suatu rangkaian konsepsi-konsepsi abstrak yang hidup dalam alam pikiran sebagian besar kelompok

Lebih terperinci

Bab XIV : Kejahatan Terhadap Kesusilaan

Bab XIV : Kejahatan Terhadap Kesusilaan Bab XIV : Kejahatan Terhadap Kesusilaan Pasal 281 Diancam dengan pidana penjara paling lama dua tahun delapan bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah: 1. barang siapa dengan

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. sehingga mereka tidak tahu tentang batasan umur yang disebut dalam pengertian

II. TINJAUAN PUSTAKA. sehingga mereka tidak tahu tentang batasan umur yang disebut dalam pengertian II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian Anak dan Anak Nakal Pengertian masyarakat pada umumnya tentang anak adalah merupakan titipan dari Sang Pencipta yang akan meneruskan keturunan dari kedua orang tuanya,

Lebih terperinci

LEMBARAN DAERAH KOTA BOGOR PERATURAN DAERAH KOTA BOGOR NOMOR 11 TAHUN 2005 TENTANG PENCEGAHAN PERMAINAN JUDI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

LEMBARAN DAERAH KOTA BOGOR PERATURAN DAERAH KOTA BOGOR NOMOR 11 TAHUN 2005 TENTANG PENCEGAHAN PERMAINAN JUDI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA LEMBARAN DAERAH KOTA BOGOR TAHUN 2005 NOMOR 7 SERI E PERATURAN DAERAH KOTA BOGOR NOMOR 11 TAHUN 2005 TENTANG PENCEGAHAN PERMAINAN JUDI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA BOGOR, Menimbang : a. bahwa

Lebih terperinci

BAB II PENGATURAN TENTANG PERAN POLISI DALAM TINDAK PIDANA PENCURIAN KELAPA SAWIT

BAB II PENGATURAN TENTANG PERAN POLISI DALAM TINDAK PIDANA PENCURIAN KELAPA SAWIT BAB II PENGATURAN TENTANG PERAN POLISI DALAM TINDAK PIDANA PENCURIAN KELAPA SAWIT Keberadaan organisasi Polri di dalam lingkup TNI dan menyatu dangan ABRI seperti yang terjadi pada masa Orde Baru menjadikan

Lebih terperinci

BUPATI SUKOHARJO PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN DAERAH KABUPATEN SUKOHARJO NOMOR 4 TAHUN 2016 TENTANG PENYIDIK PEGAWAI NEGERI SIPIL

BUPATI SUKOHARJO PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN DAERAH KABUPATEN SUKOHARJO NOMOR 4 TAHUN 2016 TENTANG PENYIDIK PEGAWAI NEGERI SIPIL BUPATI SUKOHARJO PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN DAERAH KABUPATEN SUKOHARJO NOMOR 4 TAHUN 2016 TENTANG PENYIDIK PEGAWAI NEGERI SIPIL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI SUKOHARJO, Menimbang : a. bahwa

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KABUPATEN KOLAKA UTARA NOMOR 5 TAHUN 2011 T E N T A N G PELARANGAN PERJUDIAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN DAERAH KABUPATEN KOLAKA UTARA NOMOR 5 TAHUN 2011 T E N T A N G PELARANGAN PERJUDIAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN DAERAH KABUPATEN KOLAKA UTARA NOMOR 5 TAHUN 2011 T E N T A N G PELARANGAN PERJUDIAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI KOLAKA UTARA, Menimbang Mengingat : a. bahwa Daerah Kolaka Utara adalah

Lebih terperinci

GUBERNUR BANTEN PERATURAN GUBERNUR BANTEN

GUBERNUR BANTEN PERATURAN GUBERNUR BANTEN GUBERNUR BANTEN PERATURAN GUBERNUR BANTEN NOMOR 21 TAHUN 2010 TENTANG PETUNJUK TEKNIS PENYIDIKAN BAGI PENYIDIK PEGAWAI NEGERI SIPIL DAERAH PROVINSI BANTEN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR BANTEN,

Lebih terperinci

PENDIDIKAN PANCASILA DAN KEWARGANEGARAAN Oleh DANIEL ARNOP HUTAPEA, S.Pd Materi Ke-2 Mencermati Peradilan di Indonesia

PENDIDIKAN PANCASILA DAN KEWARGANEGARAAN Oleh DANIEL ARNOP HUTAPEA, S.Pd Materi Ke-2 Mencermati Peradilan di Indonesia PENDIDIKAN PANCASILA DAN KEWARGANEGARAAN Oleh DANIEL ARNOP HUTAPEA, S.Pd Materi Ke-2 Mencermati Peradilan di Indonesia PENGERTIAN PERADILAN Peradilan adalah suatu proses yang dijalankan di pengadilan yang

Lebih terperinci

BUPATI BARITO UTARA PROVINSI KALIMANTAN TENGAH PERATURAN DAERAH KABUPATEN BARITO UTARA NOMOR 4 TAHUN 2016 TENTANG PENYIDIK PEGAWAI NEGERI SIPIL DAERAH

BUPATI BARITO UTARA PROVINSI KALIMANTAN TENGAH PERATURAN DAERAH KABUPATEN BARITO UTARA NOMOR 4 TAHUN 2016 TENTANG PENYIDIK PEGAWAI NEGERI SIPIL DAERAH BUPATI BARITO UTARA PROVINSI KALIMANTAN TENGAH PERATURAN DAERAH KABUPATEN BARITO UTARA NOMOR 4 TAHUN 2016 TENTANG PENYIDIK PEGAWAI NEGERI SIPIL DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BARITO UTARA,

Lebih terperinci

PERATURAN KEPALA KEPOLISIAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3 TAHUN 2009 TENTANG SISTEM OPERASIONAL KEPOLISIAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

PERATURAN KEPALA KEPOLISIAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3 TAHUN 2009 TENTANG SISTEM OPERASIONAL KEPOLISIAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA HSL RPT TGL 5 MART 09 PERATURAN KEPALA KEPOLISIAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3 TAHUN 2009 TENTANG SISTEM OPERASIONAL KEPOLISIAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA KEPALA KEPOLISIAN

Lebih terperinci

BAB III PERJUDIAN MENURUT HUKUM POSITIF

BAB III PERJUDIAN MENURUT HUKUM POSITIF BAB III PERJUDIAN MENURUT HUKUM POSITIF 3.1. Pengertian dan Dasar Hukum Perjudian 3.1.1. Pengertian Perjudian Judi atau permainan judi atau perjudian menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah Permainan

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 2 TAHUN 2002 TENTANG KEPOLISIAN REPUBLIK INDONESIA

RANCANGAN UNDANG-UNDANG TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 2 TAHUN 2002 TENTANG KEPOLISIAN REPUBLIK INDONESIA RANCANGAN UNDANG-UNDANG TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 2 TAHUN 2002 TENTANG KEPOLISIAN REPUBLIK INDONESIA KOMISI III DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA JAKARTA 2015 [1] RANCANGAN UNDANG-UNDANG

Lebih terperinci

PERATURAN WALIKOTA MALANG NOMOR 53 TAHUN 2014 TENTANG MANAJEMEN PELAKSANAAN TUGAS PENYIDIK PEGAWAI NEGERI SIPIL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN WALIKOTA MALANG NOMOR 53 TAHUN 2014 TENTANG MANAJEMEN PELAKSANAAN TUGAS PENYIDIK PEGAWAI NEGERI SIPIL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA SALINAN NOMOR 52/2014 PERATURAN WALIKOTA MALANG NOMOR 53 TAHUN 2014 TENTANG MANAJEMEN PELAKSANAAN TUGAS PENYIDIK PEGAWAI NEGERI SIPIL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA MALANG, Menimbang : a. bahwa

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 16 TAHUN 2004 TENTANG KEJAKSAAN REPUBLIK INDONESIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK

Lebih terperinci

PERATURAN KEPALA BADAN PEMELIHARA KEAMANAN KEPOLISIAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 2011 TENTANG PENANGANAN TINDAK PIDANA RINGAN (TIPIRING)

PERATURAN KEPALA BADAN PEMELIHARA KEAMANAN KEPOLISIAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 2011 TENTANG PENANGANAN TINDAK PIDANA RINGAN (TIPIRING) PERATURAN KEPALA BADAN PEMELIHARA KEAMANAN KEPOLISIAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 2011 TENTANG PENANGANAN TINDAK PIDANA RINGAN (TIPIRING) DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA KEPALA BADAN PEMELIHARA

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 9 TAHUN 1992 TENTANG KEIMIGRASIAN

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 9 TAHUN 1992 TENTANG KEIMIGRASIAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 9 TAHUN 1992 TENTANG KEIMIGRASIAN Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan: Bab I KETENTUAN UMUM Pasal 1 1. Keimigrasian adalah hal ihwal lalu lintas orang yang

Lebih terperinci

STANDARD OPERASIONAL PROSEDUR TENTANG TIPIRING

STANDARD OPERASIONAL PROSEDUR TENTANG TIPIRING 1 KEPOLISIAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA DAERAH KEPULAUAN BANGKA BELITUNG RESOR PANGKALPINANG STANDARD OPERASIONAL PROSEDUR TENTANG TIPIRING I. PENDAHULUAN 1. UMUM a. Polri sebagai aparat negara yang bertugas

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia. Peraturan perundang-undangan untuk mengatur jalannya

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia. Peraturan perundang-undangan untuk mengatur jalannya BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Perkembangan global dewasa ini mendorong meningkatnya mobilitas penduduk dunia dari satu negara ke negara lain. Hal ini menimbulkan berbagai dampak, baik yang menguntungkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. perbuatan menyimpang yang ada dalam kehidupan masyarakat. maraknya peredaran narkotika di Indonesia.

BAB I PENDAHULUAN. perbuatan menyimpang yang ada dalam kehidupan masyarakat. maraknya peredaran narkotika di Indonesia. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pertumbuhan dan perkembangan teknologi yang sangat cepat, berpengaruh secara signifikan terhadap kehidupan sosial masyarakat. Dalam hal ini masyarakat dituntut

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa negara Republik Indonesia adalah

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH PROVINSI KALIMANTAN BARAT NOMOR 2 TAHUN 2013 TENTANG PENYIDIK PEGAWAI NEGERI SIPIL DI LINGKUNGAN PEMERINTAH PROVINSI KALIMANTAN BARAT

PERATURAN DAERAH PROVINSI KALIMANTAN BARAT NOMOR 2 TAHUN 2013 TENTANG PENYIDIK PEGAWAI NEGERI SIPIL DI LINGKUNGAN PEMERINTAH PROVINSI KALIMANTAN BARAT PERATURAN DAERAH PROVINSI KALIMANTAN BARAT NOMOR 2 TAHUN 2013 TENTANG PENYIDIK PEGAWAI NEGERI SIPIL DI LINGKUNGAN PEMERINTAH PROVINSI KALIMANTAN BARAT DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR KALIMANTAN

Lebih terperinci

PEMERINTAH KOTA TANJUNGPINANG

PEMERINTAH KOTA TANJUNGPINANG PEMERINTAH KOTA TANJUNGPINANG PERATURAN DAERAH KOTA TANJUNGPINANG NOMOR 12 TAHUN 2012 TENTANG PENYIDIK PEGAWAI NEGERI SIPIL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA TANJUNGPINANG, Menimbang : a. bahwa

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. dirasakan tidak enak oleh yang dikenai oleh karena itu orang tidak henti hentinya

I. PENDAHULUAN. dirasakan tidak enak oleh yang dikenai oleh karena itu orang tidak henti hentinya I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Hukum Pidana merupakan bagian dari keseluruhan hukum yang berlaku disuatu negara yang dibuat oleh penguasa untuk mengatur kehidupan berbangsa dan bernegara yang membedakan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. sangat sering kita jumpai di lingkungan sekitar kita bahkan kita sendiri pernah melakukan

I. PENDAHULUAN. sangat sering kita jumpai di lingkungan sekitar kita bahkan kita sendiri pernah melakukan I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Tindak pidana perjudian merupakan suatu perbuatan yang banyak dilakukan orang, karena hasil yang akan berlipat ganda apabila menang berjudi. Perjudian merupakan tindak

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang telah tercakup dalam undang-undang maupun yang belum tercantum dalam

BAB I PENDAHULUAN. yang telah tercakup dalam undang-undang maupun yang belum tercantum dalam BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kejahatan dalam kehidupan manusia merupakan gejala sosial yang akan selalu dihadapi oleh setiap manusia, masyarakat, dan bahkan negara. Kenyataan telah membuktikan,

Lebih terperinci

STANDART OPERASIONAL PROSEDUR (SOP) SATUAN SABHARA

STANDART OPERASIONAL PROSEDUR (SOP) SATUAN SABHARA KEPOLISIAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA DAERAH NUSA TENGGARA BARAT RESOR BIMA KOTA STANDART OPERASIONAL PROSEDUR (SOP) SATUAN SABHARA T ENT ANG TINDAK PIDANA RINGAN (TIPIRING) DI W ILAYAH HUKUM POL R E S

Lebih terperinci

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN BEKASI

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN BEKASI LEMBARAN DAERAH KABUPATEN BEKASI NO : 7 2001 SERI : D PERATURAN DAERAH KABUPATEN BEKASI NOMOR : 11 TAHUN 2001 TENTANG PENYIDIK PEGAWAI NEGERI SIPIL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BEKASI Menimbang

Lebih terperinci

PERJUDIAN DALAM PERSPEKTIF HUKUM PIDANA

PERJUDIAN DALAM PERSPEKTIF HUKUM PIDANA PERJUDIAN DALAM PERSPEKTIF HUKUM PIDANA A. TINJAUAN UMUM TENTANG PERJUDIAN Perjudian merupakan suatu bentuk permainan yang telah lazim dikenal dan diketahui oleh setiap orang. Perjudian ini diwujudkan

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 60 TAHUN 2017 TENTANG TATA CARA PERIZINAN DAN PENGAWASAN KEGIATAN KERAMAIAN UMUM, KEGIATAN MASYARAKAT LAINNYA, DAN PEMBERITAHUAN KEGIATAN POLITIK DENGAN RAHMAT

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA MADIUN,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA MADIUN, WALIKOTA MADIUN PROPINSI JAWA TIMUR SALINAN PERATURAN DAERAH KOTA MADIUN NOMOR 5 TAHUN 2017 TENTANG PEJABAT PENYIDIK PEGAWAI NEGERI SIPIL DI LINGKUNGAN PEMERINTAH KOTA MADIUN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA

Lebih terperinci

PROVINSI JAWA BARAT DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI KARAWANG,

PROVINSI JAWA BARAT DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI KARAWANG, PROVINSI JAWA BARAT PERATURAN DAERAH KABUPATEN KARAWANG NOMOR : 14 TAHUN 2014 TENTANG PENYIDIK PEGAWAI NEGERI SIPIL DAERAH DI LINGKUNGAN PEMERINTAH KABUPATEN KARAWANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Sekarang ini masyarakat sangat membutuhkan peran Polisi sebagai pelindung

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Sekarang ini masyarakat sangat membutuhkan peran Polisi sebagai pelindung BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Sekarang ini masyarakat sangat membutuhkan peran Polisi sebagai pelindung dan pengayom masyarakat. Hal ini terbukti dari banyaknya jenis tindak pidana dan modus

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang bersifat terang-terangan maupun secara sembunyi-sembunyi. Dalam

BAB I PENDAHULUAN. yang bersifat terang-terangan maupun secara sembunyi-sembunyi. Dalam BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pada hakekatnya perjudian merupakan perbuatan yang bertentangan dengan norma agama, moral, kesusilaan maupun hukum, serta membahayakan bagi penghidupan dan kehidupan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Dalam kehidupan di masyarakat sering sekali terjadi pelanggaran terhadap

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Dalam kehidupan di masyarakat sering sekali terjadi pelanggaran terhadap BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dalam kehidupan di masyarakat sering sekali terjadi pelanggaran terhadap norma kesusilaan dan norma hukum. Salah satu dari pelanggaran hukum yang terjadi di

Lebih terperinci

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN SUMEDANG PERATURAN DAERAH KABUPATEN SUMEDANG NOMOR 12 TAHUN 2006 TENTANG PENYIDIK PEGAWAI NEGERI SIPIL

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN SUMEDANG PERATURAN DAERAH KABUPATEN SUMEDANG NOMOR 12 TAHUN 2006 TENTANG PENYIDIK PEGAWAI NEGERI SIPIL LEMBARAN DAERAH KABUPATEN SUMEDANG NOMOR 15 TAHUN 2006 SERI E =============================================================== PERATURAN DAERAH KABUPATEN SUMEDANG NOMOR 12 TAHUN 2006 TENTANG PENYIDIK PEGAWAI

Lebih terperinci

PROVINSI PAPUA BUPATI MERAUKE PERATURAN DAERAH KABUPATEN MERAUKE NOMOR 4 TAHUN 2015 TENTANG PENYIDIK PEGAWAI NEGERI SIPIL

PROVINSI PAPUA BUPATI MERAUKE PERATURAN DAERAH KABUPATEN MERAUKE NOMOR 4 TAHUN 2015 TENTANG PENYIDIK PEGAWAI NEGERI SIPIL PROVINSI PAPUA BUPATI MERAUKE PERATURAN DAERAH KABUPATEN MERAUKE NOMOR 4 TAHUN 2015 TENTANG PENYIDIK PEGAWAI NEGERI SIPIL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI MERAUKE, Menimbang : a. bahwa dalam rangka

Lebih terperinci

ANALISIS PERAN POLISI DALAM MEMBERANTAS PERJUDIAN TOGEL DI WILAYAH HUKUM POLRESTA KOTA JAYAPURA

ANALISIS PERAN POLISI DALAM MEMBERANTAS PERJUDIAN TOGEL DI WILAYAH HUKUM POLRESTA KOTA JAYAPURA ANALISIS PERAN POLISI DALAM MEMBERANTAS PERJUDIAN TOGEL DI WILAYAH HUKUM POLRESTA KOTA JAYAPURA, SH.,MH 1 Abstrak : Bahwa kendala yang dialami oleh Polres Kota Jayapura dalam memberantas tindak pidana

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH PROVINSI BANTEN NOMOR 3 TAHUN 2016 TENTANG PENYELENGGARAAN KETENTERAMAN, KETERTIBAN UMUM DAN PERLINDUNGAN MASYARAKAT

PERATURAN DAERAH PROVINSI BANTEN NOMOR 3 TAHUN 2016 TENTANG PENYELENGGARAAN KETENTERAMAN, KETERTIBAN UMUM DAN PERLINDUNGAN MASYARAKAT PERATURAN DAERAH PROVINSI BANTEN NOMOR 3 TAHUN 2016 TENTANG PENYELENGGARAAN KETENTERAMAN, KETERTIBAN UMUM DAN PERLINDUNGAN MASYARAKAT DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR BANTEN, Menimbang : a. bahwa

Lebih terperinci

PERATURAN KEPALA KEPOLISIAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 2010 TENTANG MANAJEMEN PENYIDIKAN OLEH PENYIDIK PEGAWAI NEGERI SIPIL

PERATURAN KEPALA KEPOLISIAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 2010 TENTANG MANAJEMEN PENYIDIKAN OLEH PENYIDIK PEGAWAI NEGERI SIPIL PERATURAN KEPALA KEPOLISIAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 2010 TENTANG MANAJEMEN PENYIDIKAN OLEH PENYIDIK PEGAWAI NEGERI SIPIL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA KEPALA KEPOLISIAN NEGARA REPUBLIK

Lebih terperinci

PEMERINTAH PROVINSI SULAWESI SELATAN PERATURAN DAERAH PROVINSI SULAWESI SELATAN NOMOR 2 TAHUN 2013

PEMERINTAH PROVINSI SULAWESI SELATAN PERATURAN DAERAH PROVINSI SULAWESI SELATAN NOMOR 2 TAHUN 2013 SALINAN PEMERINTAH PROVINSI SULAWESI SELATAN PERATURAN DAERAH PROVINSI SULAWESI SELATAN NOMOR 2 TAHUN 2013 TENTANG PENYIDIK PEGAWAI NEGERI SIPIL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR SULAWESI SELATAN,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Dalam kehidupan masyarakat perjudian di Indonesia merupakan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Dalam kehidupan masyarakat perjudian di Indonesia merupakan 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dalam kehidupan masyarakat perjudian di Indonesia merupakan suatu hal yang masih di persoalkan. Banyaknya kasus yang berhasil di temukan oleh penegak hukum,

Lebih terperinci

PEMERINTAH KABUPATEN LAMONGAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN LAMONGAN NOMOR 4 TAHUN 2013 TENTANG PENYIDIK PEGAWAI NEGERI SIPIL DI KABUPATEN LAMONGAN

PEMERINTAH KABUPATEN LAMONGAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN LAMONGAN NOMOR 4 TAHUN 2013 TENTANG PENYIDIK PEGAWAI NEGERI SIPIL DI KABUPATEN LAMONGAN SALINAN PEMERINTAH KABUPATEN LAMONGAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN LAMONGAN NOMOR 4 TAHUN 2013 TENTANG PENYIDIK PEGAWAI NEGERI SIPIL DI KABUPATEN LAMONGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI LAMONGAN,

Lebih terperinci

MEKANISME PENYELESAIAN KASUS KEJAHATAN KEHUTANAN

MEKANISME PENYELESAIAN KASUS KEJAHATAN KEHUTANAN MEKANISME PENYELESAIAN KASUS KEJAHATAN KEHUTANAN POLTABES LOCUSNYA KOTA BESAR KEJAKSAAN NEGERI KOTA PENGADILAN NEGERI PERISTIWA HUKUM PENGADUAN LAPORAN TERTANGKAP TANGAN PENYELIDIKAN, PEYIDIKAN BAP Berdasarkan

Lebih terperinci

BUPATI GROBOGAN PROVINSI JAWA TENGAH RANCANGAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN GROBOGAN NOMOR TAHUN 2015 TENTANG

BUPATI GROBOGAN PROVINSI JAWA TENGAH RANCANGAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN GROBOGAN NOMOR TAHUN 2015 TENTANG BUPATI GROBOGAN PROVINSI JAWA TENGAH RANCANGAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN GROBOGAN NOMOR TAHUN 2015 TENTANG PEJABAT PENYIDIK PEGAWAI NEGERI SIPIL DI LINGKUNGAN PEMERINTAH KABUPATEN GROBOGAN DENGAN RAHMAT

Lebih terperinci

NOMOR 1 TAHUN 2013 TENTANG PENYIDIK PEGAWAI NEGERI SIPIL DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI JEPARA,

NOMOR 1 TAHUN 2013 TENTANG PENYIDIK PEGAWAI NEGERI SIPIL DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI JEPARA, 1 SALINAN BUPATI JEPARA PERATURAN DAERAH KABUPATEN JEPARA NOMOR 1 TAHUN 2013 TENTANG PENYIDIK PEGAWAI NEGERI SIPIL DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI JEPARA, Menimbang : a. bahwa dalam rangka

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. dipakai sebagai pengganti "strafbaar feit". Dalam perundang-undangan negara kita

II. TINJAUAN PUSTAKA. dipakai sebagai pengganti strafbaar feit. Dalam perundang-undangan negara kita II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian Tindak Pidana Tindak pidana merupakan pengertian dasar dalam Hukum Pidana. Istilah tindak dipakai sebagai pengganti "strafbaar feit". Dalam perundang-undangan negara

Lebih terperinci

TENTANG PENYIDIK PEGAWAI NEGERI SIPIL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA SURABAYA,

TENTANG PENYIDIK PEGAWAI NEGERI SIPIL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA SURABAYA, SALINAN PERATURAN DAERAH KOTA SURABAYA NOMOR 18 TAHUN 2014 TENTANG PENYIDIK PEGAWAI NEGERI SIPIL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA SURABAYA, Menimbang : a. bahwa dalam rangka penegakan hukum di

Lebih terperinci

tulisan, gambaran atau benda yang telah diketahui isinya melanggar kesusilaan muatan yang melanggar kesusilaan

tulisan, gambaran atau benda yang telah diketahui isinya melanggar kesusilaan muatan yang melanggar kesusilaan Selain masalah HAM, hal janggal yang saya amati adalah ancaman hukumannya. Anggara sudah menulis mengenai kekhawatiran dia yang lain di dalam UU ini. Di bawah adalah perbandingan ancaman hukuman pada pasal

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KOTA TANGERANG NOMOR 5 TAHUN 2009 TENTANG PENYIDIK PEGAWAI NEGERI SIPIL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA TANGERANG,

PERATURAN DAERAH KOTA TANGERANG NOMOR 5 TAHUN 2009 TENTANG PENYIDIK PEGAWAI NEGERI SIPIL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA TANGERANG, PERATURAN DAERAH KOTA TANGERANG NOMOR 5 TAHUN 2009 TENTANG PENYIDIK PEGAWAI NEGERI SIPIL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA TANGERANG, Menimbang : a. bahwa berdasarkan pasal 149 ayat (2) dan ayat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Dalam kehidupan masyarakat di Indonesia perjudian masih menjadi

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Dalam kehidupan masyarakat di Indonesia perjudian masih menjadi BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dalam kehidupan masyarakat di Indonesia perjudian masih menjadi permasalahan, banyaknya kasus yang ditemukan oleh aparat penegak hukum merupakan suatu bukti

Lebih terperinci

Lex et Societatis, Vol. IV/No. 2/Feb/2016. PENERTIBAN PERJUDIAN MENURUT HUKUM PIDANA INDONESIA 1 Oleh : Tessani Justishine Tarore 2

Lex et Societatis, Vol. IV/No. 2/Feb/2016. PENERTIBAN PERJUDIAN MENURUT HUKUM PIDANA INDONESIA 1 Oleh : Tessani Justishine Tarore 2 PENERTIBAN PERJUDIAN MENURUT HUKUM PIDANA INDONESIA 1 Oleh : Tessani Justishine Tarore 2 ABSTRAK Tujuan dilakukannya penelitian ini adalah untuk mengetahui apakah substansi (materi pokok) dari Pasal 303

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 11 TAHUN 2008 TENTANG INFORMASI DAN TRANSAKSI ELEKTRONIK

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 11 TAHUN 2008 TENTANG INFORMASI DAN TRANSAKSI ELEKTRONIK RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR TAHUN TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 11 TAHUN 2008 TENTANG INFORMASI DAN TRANSAKSI ELEKTRONIK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK

Lebih terperinci

PEMERINTAH KABUPATEN BELITUNG

PEMERINTAH KABUPATEN BELITUNG PEMERINTAH KABUPATEN BELITUNG PERATURAN DAERAH KABUPATEN BELITUNG NOMOR 9 TAHUN 2012 TENTANG PENYIDIK PEGAWAI NEGERI SIPIL DI LINGKUNGAN PEMERINTAH KABUPATEN BELITUNG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. pidana. Dalam hal penulisan penelitian tentang penerapan pidana rehabilitasi

II. TINJAUAN PUSTAKA. pidana. Dalam hal penulisan penelitian tentang penerapan pidana rehabilitasi II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian Hukum Pidana Sebagaimana yang telah diuraikan oleh banyak pakar hukum mengenai hukum pidana. Dalam hal penulisan penelitian tentang penerapan pidana rehabilitasi terhadap

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN TEORI. akan menentukan secara konkrit apa yang disebut sebagai penegakan. ketertiban (Satjipto Rahardjo, 2009:117).

BAB II KAJIAN TEORI. akan menentukan secara konkrit apa yang disebut sebagai penegakan. ketertiban (Satjipto Rahardjo, 2009:117). BAB II KAJIAN TEORI A. Tinjauan tentang Polisi 1. Pengertian Polisi Menurut Satjipto Raharjo polisi merupakan alat negara yang bertugas memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat, memberikan pengayoman,

Lebih terperinci

GUBERNUR JAWA TENGAH PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA TENGAH NOMOR 9 TAHUN 2014 TENTANG

GUBERNUR JAWA TENGAH PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA TENGAH NOMOR 9 TAHUN 2014 TENTANG GUBERNUR JAWA TENGAH PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA TENGAH NOMOR 9 TAHUN 2014 TENTANG PENYIDIK PEGAWAI NEGERI SIPIL DI LINGKUNGAN PEMERINTAH PROVINSI JAWA TENGAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KOTA BANJAR NOMOR 18 TAHUN 2004 TENTANG PENYIDIK PEGAWAI NEGERI SIPIL DENGAN RAKHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA BANJAR,

PERATURAN DAERAH KOTA BANJAR NOMOR 18 TAHUN 2004 TENTANG PENYIDIK PEGAWAI NEGERI SIPIL DENGAN RAKHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA BANJAR, PERATURAN DAERAH KOTA BANJAR NOMOR 18 TAHUN 2004 TENTANG PENYIDIK PEGAWAI NEGERI SIPIL DENGAN RAKHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA BANJAR, Menimang : a. b. bahwa dalam upaya penegakan Peraturan Daerah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang bertujuan mengatur tata tertib dalam kehidupan masyarakat.

BAB I PENDAHULUAN. yang bertujuan mengatur tata tertib dalam kehidupan masyarakat. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Negara kesatuan Republik Indonesia adalah negara hukum yang berlandaskan pada Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 (UUD 1945). Negara juga menjunjung tinggi

Lebih terperinci

- 1 - GUBERNUR JAWA TIMUR

- 1 - GUBERNUR JAWA TIMUR - 1 - GUBERNUR JAWA TIMUR PERATURAN GUBERNUR JAWA TIMUR NOMOR 26 TAHUN 2014 TENTANG PETUNJUK PELAKSANAAN PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA TIMUR NOMOR 4 TAHUN 2013 TENTANG PENYIDIK PEGAWAI NEGERI SIPIL GUBERNUR

Lebih terperinci

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN JOMBANG TAHUN 2010 S A L I N A N

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN JOMBANG TAHUN 2010 S A L I N A N 4 Nopember 2010 LEMBARAN DAERAH KABUPATEN JOMBANG TAHUN 2010 S A L I N A N SERI E NOMOR 3 Menimbang : PERATURAN DAERAH KABUPATEN JOMBANG NOMOR 3 TAHUN 2010 TENTANG PENYIDIK PEGAWAI NEGERI SIPIL DAERAH

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa negara Republik Indonesia adalah

Lebih terperinci

LEMBARAN DAERAH PROVINSI SUMATERA BARAT TAHUN 2010

LEMBARAN DAERAH PROVINSI SUMATERA BARAT TAHUN 2010 No. Urut: 09 LEMBARAN DAERAH PROVINSI SUMATERA BARAT TAHUN 2010 PERATURAN DAERAH PROVINSI SUMATERA BARAT NOMOR 9 TAHUN 2010 TENTANG PEJABAT PENYIDIK PEGAWAI NEGERI SIPIL DI LINGKUNGAN PEMERINTAH PROVINSI

Lebih terperinci

PUSANEV_BPHN PERANAN POLRI MEMELIHARA KAMTIBMAS DAN MENEGAKKAN HUKUM. Oleh: Kombes Pol. DR. W. Marbun, S.H.,M.Hum Analis Utama Divkum Polri.

PUSANEV_BPHN PERANAN POLRI MEMELIHARA KAMTIBMAS DAN MENEGAKKAN HUKUM. Oleh: Kombes Pol. DR. W. Marbun, S.H.,M.Hum Analis Utama Divkum Polri. PERANAN POLRI MEMELIHARA KAMTIBMAS DAN MENEGAKKAN HUKUM Oleh: Kombes Pol. DR. W. Marbun, S.H.,M.Hum Analis Utama Divkum Polri Pada FGD dan Evaluasi Hukum Dalam Rangka Penguatan Sistem Pertahanan Negara

Lebih terperinci

PERLUNYA NOTARIS MEMAHAMI PENYIDIK & PENYIDIKAN. Dr. Widhi Handoko, SH., Sp.N. Disampaikan pada Konferda INI Kota Surakarta, Tanggal, 10 Juni 2014

PERLUNYA NOTARIS MEMAHAMI PENYIDIK & PENYIDIKAN. Dr. Widhi Handoko, SH., Sp.N. Disampaikan pada Konferda INI Kota Surakarta, Tanggal, 10 Juni 2014 PERLUNYA NOTARIS MEMAHAMI PENYIDIK & PENYIDIKAN Dr. Widhi Handoko, SH., Sp.N. Disampaikan pada Konferda INI Kota Surakarta, Tanggal, 10 Juni 2014 Ketentuan Undang-Undang Nomor 8 tahun 1981 tentang Kitab

Lebih terperinci

- 1 - PEMERINTAH DAERAH PROVINSI JAWA TIMUR PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA TIMUR NOMOR 4 TAHUN 2013 TENTANG PENYIDIK PEGAWAI NEGERI SIPIL

- 1 - PEMERINTAH DAERAH PROVINSI JAWA TIMUR PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA TIMUR NOMOR 4 TAHUN 2013 TENTANG PENYIDIK PEGAWAI NEGERI SIPIL - 1 - PEMERINTAH DAERAH PROVINSI JAWA TIMUR PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA TIMUR NOMOR 4 TAHUN 2013 TENTANG PENYIDIK PEGAWAI NEGERI SIPIL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR JAWA TIMUR, Menimbang

Lebih terperinci

BUPATI TASIKMALAYA PROVINSI JAWA BARAT PERATURAN DAERAH KABUPATEN TASIKMALAYA NOMOR 10 TAHUN 2016 TENTANG PENYIDIK PEGAWAI NEGERI SIPIL

BUPATI TASIKMALAYA PROVINSI JAWA BARAT PERATURAN DAERAH KABUPATEN TASIKMALAYA NOMOR 10 TAHUN 2016 TENTANG PENYIDIK PEGAWAI NEGERI SIPIL SALINAN BUPATI TASIKMALAYA PROVINSI JAWA BARAT PERATURAN DAERAH KABUPATEN TASIKMALAYA NOMOR 10 TAHUN 2016 TENTANG PENYIDIK PEGAWAI NEGERI SIPIL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI TASIKMALAYA, Menimbang

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH PROVINSI SUMATERA BARAT NOMOR 9 TAHUN 2010

PERATURAN DAERAH PROVINSI SUMATERA BARAT NOMOR 9 TAHUN 2010 PERATURAN DAERAH PROVINSI SUMATERA BARAT NOMOR 9 TAHUN 2010 T E N T A N G PEJABAT PENYIDIK PEGAWAI NEGERI SIPIL DI LINGKUNGAN PEMERINTAH PROVINSI SUMATERA BARAT DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR

Lebih terperinci

QANUN KABUPATEN ACEH TIMUR NOMOR 8 TAHUN 2010 TENTANG PENYIDIK PEGAWAI NEGERI SIPIL DAERAH BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM

QANUN KABUPATEN ACEH TIMUR NOMOR 8 TAHUN 2010 TENTANG PENYIDIK PEGAWAI NEGERI SIPIL DAERAH BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM QANUN KABUPATEN ACEH TIMUR NOMOR 8 TAHUN 2010 TENTANG PENYIDIK PEGAWAI NEGERI SIPIL DAERAH BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM DENGAN RAHMAT ALLAH YANG MAHA KUASA BUPATI ACEH TIMUR, Menimbang : a. bahwa dalam upaya

Lebih terperinci

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN GUNUNGKIDUL ( Berita Resmi Pemerintah Kabupaten Gunungkidul ) Nomor : 3 Tahun : 2013

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN GUNUNGKIDUL ( Berita Resmi Pemerintah Kabupaten Gunungkidul ) Nomor : 3 Tahun : 2013 LEMBARAN DAERAH KABUPATEN GUNUNGKIDUL ( Berita Resmi Pemerintah Kabupaten Gunungkidul ) Nomor : 3 Tahun : 2013 PERATURAN DAERAH KABUPATEN GUNUNGKIDUL NOMOR 3 TAHUN 2013 TENTANG PENYIDIK PEGAWAI NEGERI

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KABUPATEN PURWOREJO NOMOR 1 TAHUN 2015 TENTANG PENYIDIK PEGAWAI NEGERI SIPIL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI PURWOREJO,

PERATURAN DAERAH KABUPATEN PURWOREJO NOMOR 1 TAHUN 2015 TENTANG PENYIDIK PEGAWAI NEGERI SIPIL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI PURWOREJO, SALINAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN PURWOREJO NOMOR 1 TAHUN 2015 TENTANG PENYIDIK PEGAWAI NEGERI SIPIL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI PURWOREJO, Menimbang : a. bahwa dalam rangka penyelenggaraan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Dalam kehidupan di masyarakat sering sekali pelanggaran terhadap

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Dalam kehidupan di masyarakat sering sekali pelanggaran terhadap BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dalam kehidupan di masyarakat sering sekali pelanggaran terhadap norma kesusilaan dan norma hukum. Salah satu dari pelanggaran hukum yang terjadi di masyarakat

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA KEPALA KEPOLISIAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA KEPALA KEPOLISIAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA, PERBAIKAN DR SETUM 13 AGUSTUS 2010 PERATURAN KEPALA KEPOLISIAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 20 TAHUN 2010 TENTANG KOORDINASI, PENGAWASAN DAN PEMBINAAN PENYIDIKAN BAGI PENYIDIK PEGAWAI NEGERI SIPIL DENGAN

Lebih terperinci

Dengan Persetujuan Bersama DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH KOTA JAMBI dan WALIKOTA JAMBI M E M U T U S K A N :

Dengan Persetujuan Bersama DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH KOTA JAMBI dan WALIKOTA JAMBI M E M U T U S K A N : WALIKOTA JAMBI PERATURAN DAERAH KOTA JAMBI NOMOR 2 TAHUN 2014 TENTANG PEMBERANTASAN PELACURAN DAN PERBUATAN ASUSILA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA JAMBI, Menimbang a. bahwa pelacuran dan perbuatan

Lebih terperinci

BUPATI BANDUNG BARAT PROVINSI JAWA BARAT

BUPATI BANDUNG BARAT PROVINSI JAWA BARAT Menimbang : a. Mengingat : 1. BUPATI BANDUNG BARAT PROVINSI JAWA BARAT PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANDUNG BARAT NOMOR 1 TAHUN 2016 TENTANG PENYIDIK PEGAWAI NEGERI SIPIL DI LINGKUNGAN PEMERINTAH DAERAH

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa salah satu alat bukti yang

Lebih terperinci

BUPATI CILACAP PERATURAN BUPATI CILACAP NOMOR 38 TAHUN 2014 TENTANG SEKRETARIAT PENYIDIK PEGAWAI NEGERI SIPIL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BUPATI CILACAP PERATURAN BUPATI CILACAP NOMOR 38 TAHUN 2014 TENTANG SEKRETARIAT PENYIDIK PEGAWAI NEGERI SIPIL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI CILACAP PERATURAN BUPATI CILACAP NOMOR 38 TAHUN 2014 TENTANG SEKRETARIAT PENYIDIK PEGAWAI NEGERI SIPIL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI CILACAP, Menimbang : a. bahwa dalam rangka efektifitas

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA KEPALA KEPOLISIAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA KEPALA KEPOLISIAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN KEPALA KEPOLISIAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 20 TAHUN 2010 TENTANG KOORDINASI, PENGAWASAN DAN PEMBINAAN PENYIDIKAN BAGI PENYIDIK PEGAWAI NEGERI SIPIL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA KEPALA

Lebih terperinci

bahwa perbuatan pidana adalah perbuatan yang oleh suatu aturan hukum dilarang

bahwa perbuatan pidana adalah perbuatan yang oleh suatu aturan hukum dilarang 16 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian Tindak Pidana Penadahan 1. Pengertian Tindak Pidana Tindak pidana merupakan suatu masalah sosial yaitu masalah yang timbul di dalam suatu kalangan masyarakat, dimana

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Banyaknya tawuran antar pelajar yang terjadi di kota kota besar di

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Banyaknya tawuran antar pelajar yang terjadi di kota kota besar di BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah. Banyaknya tawuran antar pelajar yang terjadi di kota kota besar di Indonesia merupakan sebuah fenomena yang menarik untuk di bahas. Perilaku pelajar yang anarkis

Lebih terperinci

STANDAR OPERASIONAL PROSEDUR (SOP) BAG OPS POLRES PARIAMAN

STANDAR OPERASIONAL PROSEDUR (SOP) BAG OPS POLRES PARIAMAN 1 KEPOLISIAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA DAERAH SUMATERA BARAT RESOR PARIAMAN Jalan Imam Bonjol 37 Pariaman 25519 STANDAR OPERASIONAL PROSEDUR (SOP) BAG OPS POLRES PARIAMAN Pariaman, 02 Januari 2012 2 KEPOLISIAN

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa negara Republik Indonesia adalah

Lebih terperinci

PERATURAN KEPALA KEPOLISIAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 2010 TENTANG MANAJEMEN PENYIDIKAN OLEH PENYIDIK PEGAWAI NEGERI SIPIL

PERATURAN KEPALA KEPOLISIAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 2010 TENTANG MANAJEMEN PENYIDIKAN OLEH PENYIDIK PEGAWAI NEGERI SIPIL PERATURAN KEPALA KEPOLISIAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 2010 TENTANG MANAJEMEN PENYIDIKAN OLEH PENYIDIK PEGAWAI NEGERI SIPIL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA KEPALA KEPOLISIAN NEGARA REPUBLIK

Lebih terperinci

PEMERINTAH PROVINSI NUSA TENGGARA BARAT

PEMERINTAH PROVINSI NUSA TENGGARA BARAT PEMERINTAH PROVINSI NUSA TENGGARA BARAT PERATURAN DAERAH PROVINSI NUSA TENGGARA BARAT NOMOR 5 TAHUN 2006 T E N T A N G PEMBENTUKAN, KEDUDUKAN, TUGAS, FUNGSI, SUSUNAN ORGANISASI DAN TATA KERJA SATUAN POLISI

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KOTA MATARAM NOMOR 5 TAHUN 2012 TENTANG PENANGGULANGAN ANAK JALANAN, GELANDANGAN DAN PENGEMIS DI KOTA MATARAM

PERATURAN DAERAH KOTA MATARAM NOMOR 5 TAHUN 2012 TENTANG PENANGGULANGAN ANAK JALANAN, GELANDANGAN DAN PENGEMIS DI KOTA MATARAM PERATURAN DAERAH KOTA MATARAM NOMOR 5 TAHUN 2012 TENTANG PENANGGULANGAN ANAK JALANAN, GELANDANGAN DAN PENGEMIS DI KOTA MATARAM DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA MATARAM, Menimbang Mengingat :

Lebih terperinci

BAB II TINDAK PIDANA JUDI MENURUT HUKUM POSITIF. harapan tertentu pada peristiwa-peristiwa permainan, perlombaan dan kejadiankejadian

BAB II TINDAK PIDANA JUDI MENURUT HUKUM POSITIF. harapan tertentu pada peristiwa-peristiwa permainan, perlombaan dan kejadiankejadian BAB II TINDAK PIDANA JUDI MENURUT HUKUM POSITIF A. Sejarah Perjudian Perjudian adalah pertaruhan dengan sengaja yaitu mempertaruhkan satu nilai atau sesuatu yang dianggap bernilai, dengan menyadari adanya

Lebih terperinci

BAB II PENGATURAN HUKUM PIDANA TENTANG LARANGAN TERHADAP PERJUDIAN. ditanggulangi karena sudah ada sejak adanya peradaban manusia.

BAB II PENGATURAN HUKUM PIDANA TENTANG LARANGAN TERHADAP PERJUDIAN. ditanggulangi karena sudah ada sejak adanya peradaban manusia. 56 BAB II PENGATURAN HUKUM PIDANA TENTANG LARANGAN TERHADAP PERJUDIAN A. Pengertian Tindak Pidana Judi Perjudian pada hakikatnya bertentangan dengan norma agama, kesusilaan dan moral Pancasila serta membahayakan

Lebih terperinci

PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN

PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN Hasil PANJA 12 Juli 2006 Dokumentasi KOALISI PERLINDUNGAN SAKSI Hasil Tim perumus PANJA, santika 12 Juli

Lebih terperinci