BAB II PENGATURAN HUKUM PIDANA TENTANG LARANGAN TERHADAP PERJUDIAN. ditanggulangi karena sudah ada sejak adanya peradaban manusia.

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "BAB II PENGATURAN HUKUM PIDANA TENTANG LARANGAN TERHADAP PERJUDIAN. ditanggulangi karena sudah ada sejak adanya peradaban manusia."

Transkripsi

1 56 BAB II PENGATURAN HUKUM PIDANA TENTANG LARANGAN TERHADAP PERJUDIAN A. Pengertian Tindak Pidana Judi Perjudian pada hakikatnya bertentangan dengan norma agama, kesusilaan dan moral Pancasila serta membahayakan masyarakat, bangsa dan negara dan ditinjau dari kepentingan nasional. Perjudian mempunyai dampak yang negatif merugikan moral dan mental masyarakat. 80 Masalah judi merupakan problem sosial yang sulit ditanggulangi karena sudah ada sejak adanya peradaban manusia. Judi atau perjudian menurut Kamus besar Bahasa Indonesia adalah permainan dengan memakai uang sebagai taruhan. 81 Perjudian adalah permainan yang menggunakan uang dan/atau barang berharga sebagai taruhan seperti permainan dadu, kartu, dan lain-lain. 82 Berjudi berarti mempertaruhkan sejumlah uang atau harta dalam permainan tebakan berdasarkan kebetulan atau untung-untungan dengan tujuan mendapatkan sejumlah uang atau harta yang lebih besar daripada jumlah uang atau harta semula. 83 Pengertian ini mirip dengan yang dirumuskan dalam Pasal 303 KUH Pidana menentukan tiap-tiap permainan, di mana pada umumnya kemungkinan mendapat 80 Penjelasan Umum Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1981 Tentang Pelaksanaan Undang-Undang 7 Tahun 1974 Tentang Penertiban Perjudian. 81 Poerwadarminta, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1995), hal Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: balai Pustaka, 2005), hal Ibid. 41

2 57 untung bergantung pada peruntungan belaka, juga karena pemainnya lebih terlatih atau lebih mahir. Dalam rumusan itu termasuk segala pertaruhan tentang keputusan perlombaan atau permainan lain-lainnya yang tidak diadakan antara mereka yang turut berlomba atau bermain, demikian juga segala pertaruhan lainnya. Pengertian judi atau perjudian dalam Pasal 303 ayat (3) KUH Pidana merupakan pengertian yang setelah perubahan yaitu diubah melalui Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1974 Tentang Penertiban Perjudian yang menentukan sebagai berikut: Yang disebut permainan judi, adalah tiap-tiap permainan, di mana pada umumnya kemungkinan mendapatkan untung tergantung pada peruntungan belaka, juga karena permainannya lebih terlatih atau lebih mahir. Di situ termasuk segala pertaruhan tentang keputusan perlombaan atau permainan lain-lainnya, yang tidak diadakan antara mereka yang turut berlomba atau bermain, demikian juga segala pertaruhan lainnya. Unsur yang paling penting diperhatikan berdasarkan rumusan KUH Pidana mengenai judi adalah terdapat unsur keuntungan (untung) yang bergantung pada peruntungan (untung-untungan) atau kemahiran/kepintaran pemain. Selain itu dalam permainan judi juga melibatkan adanya pertaruhan. 84 Pengertian judi yang dirumuskan dalam Pasal 303 KUH Pidana menurut R. Soesilo sama dengan istilah hazardspel artinya permainan judi diakses tanggal 8 Januari Artikel yang ditulis oleh Iman Hadi, berjudul Permainan Yang Memenuhi Unsur Pidana Judi, dipublikasikan di website hukumoniline, Tanggal 9 Juni R. Soesilo, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), Serta Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal, (Bogor: Politeia, 1988), hal. 222.

3 58 Pengertian permainan judi dalam istilah hazardspel (Belanda) menurut referensi lain menyebutnya juga sebagai kansspel yaitu permainan untung-untungan yang dapat dihukum berdasarkan peraturan yang ada. 86 Judi menurut Henry Campbell Black dalam bahasa Inggris disebut gamble yang artinya play cards or other games for money; to risk money on a future event or possible happening, dan yang terlibat dalam permainan disebut a gamester atau a gambler yaitu, one who plays cards or other games for money. 87 Judi atau perjudian menurut Kartini Kartono adalah pertaruhan dengan sengaja mempertaruhkan satu nilai atau sesuatu yang dianggap bernilai dengan menyadari adanya risiko dan harapan-harapan tertentu pada peristiwa-peristiwa, permainan pertandingan, perlombaan dan kejadian-kejadian yang tidak/belum pasti hasilnya. 88 Hasil yang tidak pasti dalam permainan itulah yang membuat judi dilarang karena didasarkan pada untung-untungan belaka. Dali Mutiara menyebut permainan judi harus diartikan secara luas juga termasuk segala pertaruhan tentang kalah menangnya suatu pacuan kuda atau lainlain pertandingan, atau segala pertaruhan dalam perlombaan-perlombaan yang diadakan antara dua orang yang tidak ikut sendiri dalam perlombaan-perlombaan 86 N.E. algra dan RR.W. Gokkel, Kamus Istilah Hukum Fockema Andreae, diterjemahkan oleh Saleh Adiwinata dkk, (Jakarta: Bina Cipta, 1983), hal Lihat juga H. Van Der Tas, Kamus Hukum Belanda-Indonesia, (Jakarta: Timun Mas, 1961), hal. 132 dan hal Henry Campbell Black, Black s Law Dictionary, (St. Paul : West Publishing. Co, 1991), hal Kartini Kartono, Op. cit, hal. 56.

4 59 itu. 89 Contoh permianan judi yang disebutkan dalam penjelasan R. Soesilo terhadap Pasal 303 KUH Pidana tersebut harus diartikan lebih luas lagi, yakni segala permainan yang memenuhi unsur rumusan tindak pidana judi. Bahkan permainan yang legal sekalipun bisa menjadi illegal seperti pertandingan sepak bola dan lain-lain bisa mengarah kepada tindak pidana judi. Pasal 1 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1981 Tentang Pelaksanaan Undang-Undang 7 Tahun 1974 Tentang Penertiban Perjudian menjelaskan beberapa contoh permainan yang termasuk ke dalam perjudian yaitu: 1. Perjudian di Kasino, antara lain terdiri dari: roulette, blackjack, baccarat, creps, keno, tombola, super ping-pong, lotto fair, satan, paykyu, slot machine (jackpot), ji si kie, big six wheel, chuc a luck, lempar paser/bulu ayam pada sasaran atau papan yang berputar (paseran), pachinko, poker, twenty one, hwa-hwe, dan kiu-kiu. 2. Perjudian di tempat-tempat keramaian, antara lain terdiri dari perjudian yang dilakukan dengan cara: lempar paser atau bulu ayam pada papan atau sasaran yang tidak bergerak, lempar gelang, lempar uang (coin), kim, pancingan, menembak sasaran yang tidak berputar, lempar bola, adu ayam, adu sapi, adu kerbau, adu domba/kambing, pacu kuda, karapan sapi, pacu anjing, hailai, mayong/macak, dan erek-erek. 3. Perjudian yang dikaitkan dengan alasan-alasan lain, antara lain perjudian yang dikaitkan dengan kebiasaan seperti: adu ayam, adu sapi, adu kerbau, pacu kuda, karapan sapi, dan adu domba/kambing. Menurut penjelasan Pasal 1 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1981 ini tidak termasuk dalam perngertian penjelasan Pasal 1 huruf c di atas yaitu perjudian yang dikaitkan dengan alasan-alasan lain atau yang dikaitkan dengan kebiasaan apabila kebiasaan yang bersangkutan berkaitan dengan upacara keagamaan, dan sepanjang hal itu tidak merupakan perjudian. Undang-undang 89 Dali Mutiara, Tafsiran Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1962), hal. 220.

5 60 menentukan syarat suatu perbuatan masuk dalam kategori tindak pidana judi adalah sepanjang permainan apapun jenisnya maupun kebiasaan-kebiasaan ritual, dan lainlain tidak digunakan untuk pertaruhan untung-untungan, tidak termasuk tindak pidana judi. Sebaliknya jika permainan maupun kebiasaan-kebiasaan itu digunakan untuk pertaruhan untung-untungan, maka perbuatan itu termasuk ke dalam tindak pidana judi sebagaimana yang dirumuskan dalam undang-undang. Adami Chazawi menjelaskan bahwa suatu permainan yang kemungkinan memperoleh untung bergantung pada peruntungan atau nasib belaka. Menang atau kalah dalam arti memperoleh untung atau rugi hanyalah bergantung pada keberuntungan saja atau secara kebetulan saja. Permainan yang kemungkinan mendapatkan untung atau kemenangan tersebut sedikit banyaknya bergantung pada kepandaian dan kemahiran pemainnya. 90 Perbuatan-perbuatan dari permainan biasa menjadi perbuatan yang dilarang oleh hukum pidana (delik) harus dimaknai secara luas yaitu segala bentuk pertaruhan tentang keputusan perlombaan lainnya yang tidak diadakan oleh mereka untuk turut berlomba atau bermain. Misalnya dua orang bertaruh dalam suatu pertandingan sepak bola antara dua kesebelasan, dimana yang satu bertaruh dengan menebak satu kesebelasan sebagai pemenangnya dan yang satu pada kesebelasan lainnya. 91 Selain itu juga termasuk segala bentuk pertaruhan lainnya yang tidak ditentukan atau dengan kata lain tidak ditentukan bentuk pertaruhan itu secara 90 Adami Chazawi, Tindak Pidana Mengenai Kesopanan, (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2005), hal Ibid.

6 61 limitatif. Segala bentuk pertaruhan demikian ini dan dengan cara bagaimanapun serta dalam segala bentuk apapun adalah termasuk perjudian bila dilakukan secara pertaruhan dan untung-untungan. 92 Seperti permainan kuis untuk mendapatkan hadiah yang ditayangkan melalui televisi termasuk ke dalam perjudian dalam pasal ini. Akan tetapi oleh karena penyelenggaraan kuis tersebut telah memperoleh izin dari pihak yang berwajib, maka kuis tersebut tidak termasuk permainan judi yang dilarang karena bersifat hiburan dan telah memperoleh izin dari pihak yang berwenang. 93 Pendapat demikian bertentangan dengan Pasal 1 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1981 Tentang Pelaksanaan Undang-Undang 7 Tahun 1974 Tentang Penertiban Perjudian. Pasal 1 ayat (1) PP ini menentukan bahwa pemberian izin penyelenggaraan segala bentuk dan jenis perjudian dilarang, baik perjudian yang diselenggarakan di kasino, di tempat-tempat keramaian, maupun yang dikaitkan dengan alasan-alasan lain. Ketentuan rumusan dalam Pasal 303 KUH Pidana junto Pasal 303 bis KUH Pidana dengan Pasal 1 ayat (1) PP dan penjelasan PP ini tidak konsisten, karena antara rumusan unsur-unsurnya berbeda dengan penjelasannya. Dalam rumusan unsur-unsurnya dirumuskan secara luas, tetapi contoh-contohnya dalam penjelasan Pasal 1 ayat (1) PP ini dibatasi secara limitatif. Sangat disayangkan PP ini hanya menentukan contoh-contoh perjudian yang diselenggarakan di kasino, di tempattempat keramaian, maupun yang dikaitkan dengan alasan-alasan lain sebagaimana di 92 Yulia Christy Shintara Aruan, Op. Cit., hal Adami Chazawi, Loc. cit.

7 62 atas. Sedangkan bila dijabarkan lebih luas makna dari rumusan Pasal 1 ayat (1) PP ini seharusnya segala bentuk kegiatan apapun yang sifatnya bertaruh untuk memperoleh untung-untungan harus dilarang. Pengertian perjudian menurut Pasal 303 ayat (1) KUH Pidana meliputi orang yang sengaja menyediakan sarana atau memberi kesempatan untuk berbuat judi dan termasuk bagi orang yang memanfaatkan atau menggunakan sarana itu atau turut campur berbuat judi. Sedangkan dalam Pasal 27 ayat (2) UUITE terdapat kejanggalan mendefenisikan pengertian perjudian karena yang dilarang menurut pasal ini adalah setiap orang atau korporasi yang menyediakan sarana maupun prasarana dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik yang memiliki muatan perjudian. Bila dipahami maksud Pasal 27 ayat (2) UUITE ini berarti tidak mencakup bagi orang yang mengakses sarana itu untuk bermain judi. B. Tindak Pidana Judi Merupakan Kejahatan Pembahasan tentang tindak pidana judi sebagai kejahatan sehubungan dengan Pasal 1 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1974 Tentang Penertiban Perjudian, yang menyatakan: semua tindak pidana perjudian sebagai kejahatan. Oleh karena itu dalam bentuk apapun dan dalam kondisi bagaimanapun, judi tetap sebagai kejahatan dan orang-orang yang terlibat didalamnya, baik langsung maupun tidak langsung termasuk sebagai penjahat. Tidak boleh ada pengecualian, sebagaimana dibolehkan bila ada izin yang dimuat dalam Pasal 303 KUH Pidana.

8 63 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1974 Tentang Penertiban Perjudian mempertimbangkan tindak pidana judi sebagai kejahatan dengan alasan-alasan antara lain karena pada hakekatnya perjudian adalah bertentangan dengan agama, kesusilaan, dan moral pancasila, serta membahayakan bagi penghidupan dan kehidupan masyarakat, bangsa, dan negara. Ditinjau dari kepentingan nasional, dampak perjudian mempunyai ekses yang negatif dan merugikan terhadap moral dan mental masyarakat, terutama terhadap generasi muda. Meskipun kenyataan juga menunjukkan, bahwa hasil perjudian yang diperoleh Pemerintah, baik Pusat maupun Daerah, dapat digunakan untuk usaha-usaha pembangunan, namun ekses negatifnya lebih besar daripada ekses positifnya. Penjudian merupakan salah satu penyakit masyarakat yang manunggal dengan kejahatan, yang dalam proses sejarah dari generasi ke generasi ternyata tidak mudah diberantas. Melalui Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1974 Tentang Penertiban Perjudian perlu diusahakan agar masyarakat menjauhi melakukan perjudian, perjudian terbatas pada lingkungan sekecil-kecilnya, dan terhindarnya ekses-ekses negatif yang lebih parah untuk akhirnya dapat berhenti melakukan perjudian. Pemerintah melalui Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1974 Tentang Penertiban Perjudian perlu mengklasifikasikan segala macam bentuk tindak pidana perjudian sebagai kejahatan, dan memberatkan ancaman hukumannya, karena ancaman hukuman yang sekarang berlaku ternyata sudah tidak sesuai lagi dan tidak membuat pelakunya jera. Sehingga sangat tidak dapat diterima secara rasional bila kejahatan diperbolehkan berdasarkan izin. Lagi pula memberikan izin berarti sama

9 64 saja melegalkan judi, atau setidak-tidaknya izin dimaksud berdampak pada anggapan masyarakat kepada Pemerintah berfikir setengah-setangah (tidak serius) dalam memberantas judi oleh karena diperbolehkannya bila ada izin. Bambang poernomo memberikan ukuran atas perbedaan kejahatan dan pelanggaran yaitu kejahatan adalah criminal onrecht dan pelanggaran adalah politie onrecht. Criminal onrecht itu merupakan perbuatan yang bertentangan dengan kepentingan hukum. Politie onrecht itu merupakan perbuatan yang tidak menaati larangan atau keharusan yang ditentukan oleh penguasa negara. Ada pula kemungkinan pendapat lain yang memberikan arti criminal onrecht sebagai perbuatan yang bertentangan dengan norma-norma menurut kebudayaan atau keadilan yang ditentukan oleh Tuhan atau membahayakan kepentingan hukum, sedangkan arti politie onrecht sebagai perbuatan yang pada umumnya menitikberatkan pada peraturan penguasa atau negara. 94 Kejahatan menurut Bambang poernomo merupakan pemerkosaan terhadap kepentingan hukum (krengkings delicten) seperti pembunuhan, pencurian dan sebagainya atau juga membahayakan suatu kepentingan hukum dalam pengertian yang konkrit (concrete gavaarzettingsdelicten). Sedangkan pelanggaran adalah hanya membahayakan kepentingan hukum dalam arti yang abstrak abstracte fevaarzettingsdelicten) Bambang Poernomo, Asas-Asas Hukum Pidana, (Yogyakarta: Ghalia Indonesia, 1982), hal. 95 Ibid., hal. 97.

10 65 Kejahatan dan pelanggaran itu dibedakan oleh Bambang poernomo karena sifat dan hakekatnya berbeda, seperti ukuran perbedaan yang telah diuraikan terdahulu, akan tetapi ada pula perbedaan kejahatan dan pelanggaran didasarkan atas ukuran pelanggaran dipandang dari sudut kriminologi tidak begitu berat dibanding dengan kejahatan. Perbedaan yang demikian itu disebut perbedaan secara kualitatif dan kuantitatif. 96 Istilah kejahatan berasal dari kata jahat, maknanya berarti sangat tidak baik, sangat buruk, sangat jelek yang ditumpukan terhadap tabiat dan kelakuan orang. B. Simandjutak menyebut kejahatan adalah suatu tindakan anti sosial yang merugikan, tidak pantas, tidak dapat dibiarkan, dapat menimbulkan kegoncangan dalam masyarakat. Van Bammelen menyebut kejahatan adalah setiap kelakuan yang bersifat tercela yang merugikan dan menimbulkan begitu banyak ketidaktenangan dalam suatu masyarakat tertentu, sehingga masyarakat itu berhak mencelanya dan menyatakan menolak atas kelakuan itu. J. E. Sahetapy dan Mardjono Reksodipuro menyebut kejahatan dilekati sifat jahat. 97 Sedangkan pelanggaran dalam buku III KUH Pidana juga merupakan tindak pidana tetapi ancaman sanksinya lebih ringan dibandingkan dengan kejahatan. Jika seseorang melanggar atau tidak patuh terhadap ketentuan ini disebut dengan pelanggaran. Misalnya melanggar rambu-rambu lalu lintas, tidak tepat disebut 96 Ibid., hal Moeljatno, Asas-Asas Hukum Pidana, (Jakarta: Rineka Cipa, 2002), hal

11 66 sebagai kejahatan rambu-rambu lalu lintas, karena tidak patuh terhadap rambu-rambu lalu lintas bukan sebagai kejahatan tetapi pelanggaran. Pelanggaran hukum adalah perbuatan yang disadari oleh masyarakat sebagai suatu tindak pidana karena undang-undang menyebutnya sebagai suatu delik yang berupa pelanggaran terhadap perintah, yaitu tidak melakukan sesuatu yang diperintahkan atau yang diharuskan oleh undang-undang. Contoh lain dari pelanggaran adalah jika seseorang tidak mau menolong orang yang membutuhkan pertolongan sebagaimana diatur dalam Pasal 531 KUH Pidana, maka ia disebut melakukan pelanggaran, bukan melakukan kejahatan. KUH Pidana telah menentukan tindak pidana yang masuk dalam kelompok pelanggaran dalam buku III KUH Pidana yaitu pelanggaran tentang keamanan umum bagi orang dan barang serta kesehatan umum, pelanggaran terhadap ketertiban umum, pelanggaran terhadap kekuasaan umum, pelanggaran terhadap kedudukan warga, pelanggaran terhadap orang yang perlu ditolong, pelanggaran terhadap kesopanan, pelanggaran tentang polisi daerah, pelanggaran dalam jabatan, pelanggaran dalam pelayaran. 98 C. Pengaturan Hukum Pidana Tentang Larangan Terhadap Perjudian Pengaturan hukum pidana tentang larangan terhadap perjudian dapat ditemukan dalam perundang-undangan yaitu dalam KUH Pidana, Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1974 Tentang Penertiban Perjudian, Peraturan Pemerintah Nomor 9 98 R. Soesilo, Op. cit, hal. 9.

12 67 Tahun 1981 Tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1974 Tentang Penertiban Perjudian, dan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UUITE). 1. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUH Pidana) Pengaturan hukum pidana tentang larangan terhadap perjudian berdasarkan Pasal 303 KUH Pidana menentukan sebagai berikut: (1) Dengan penjara selama-lamanya sepuluh tahun atau denda sebanyakbanyaknya dua puluh lima juta rupiah dihukum barang siapa dengan tidak berhak: 1e Menuntut pencaharian dengan jalan sengaja mengadakan atau memberi kesempatan untuk main judi, atau sengaja turut campur dalam perusahaan main judi. 2e Sengaja mengadakan atau memberi kesempatan untuk main judi, atau sengaja turut campur dalam perusahaan untuk itu, biarpun ada atau tidak ada perjanjiannya atau caranya apa jugapun untuk memakai kesempatan itu. (2) Kalau si tersalah melakukan kejahatan itu dalam jabatannya, dapat ia dipecat dari jabatannya itu. (3) Yang dikatakan main judi yaitu tiap-tiap permainan, yang mendasarkan pengharapan buat menang pada umumnya bergantung pada untung-untungan saja, dan juga kalau pengharapan itu jadi bertambah besar karena kepintaran dan kebiasaan pemain. Yang juga terhitung masuk main judi ialah pertaruhan tentang keputusan perlombaan atau permainan lain, yang tidak diadakan oleh mereka yang turut berlomba atau bermain itu, demikian juga segala pertaruhan yang lain-lain. Objek larangan dalam Pasal 303 KUH Pidana ini adalah permainan judi yang dalam bahasa asing disebut juga dengan hazardspel. Menurut R. Soesilo hazardspel diartikan adalah tiap-tiap permainan yang mendasarkan pengharapan untuk menang dan pada umumnya bergantung kepada untung-untungan saja, serta juga pengharapannya menjadi bertambah besar karena kepintaran dan kebiasaan pemain.

13 68 Hazardspel ini juga diartikan sebagai pertaruhan tentang keputusan perlombaan atau permainan lain yang tidak diadakan oleh mereka yang turut berlomba atau bermain. 99 Perlu diketahui bahwa tidak semua permainan masuk ke dalam kategori judi (hazardspel), akan tetapi sesuai rumusan di dalam Pasal 303 ayat (3) KUH Pidana di atas menentukan bahwa yang diartikan hazardspel adalah setiap permainan yang mendasarkan pada pengharapan untuk menang dan bergantung pada untunguntungan, serta pengharapan membuat penghasilan, dan tidak perlu harus pintar dan terbiasa, dan termasuk membuat penghasilan menjadi berkurang atau rugi akibat permainan tersebut. Permainan judi (hazardspel) juga termasuk pertaruhan tentang keputusan perlombaan atau permainan lainnya yang tidak diadakan oleh mereka yang turut berlomba atau bermain atau termasuk segala bentuk pertaruhan dalam bentuk lainlain. Orang yang tidak ikut melakukan judi tetapi jika turut berada dan menyediakan kesempatan kepada orang lain untuk berbuat judi menurut ketentuan Pasal 303 ayat (1) huruf b KUH Pidana juga termasuk dalam pasal ini. Dengan kata lain tidak peduli apakah untuk menggunakan kesempatan adanya sesuatu syarat atau dipenuhinya sesuatu tata-cara atau tidak, yang penting turut serta terlibat dalam menyediakan praktik perjudian tersebut. Bentuk-bentuk permainan yang bisa disebut hazardspel menurut penafsiran R. Soesilo terhadap pasal ini adalah misalnya main dadu, main selikuren, main jemeh, kodok ulo, roulette, bakarat, kemping keles, kocok, keplek, tombola, dan juga 99 R. Soesilo, Op. cit, hal. 222.

14 69 termasuk pada pacuan kuda, pertandingan sepak bola, dan sebagainya. Sedangkan bentuk-bentuk yang tidak termasuk hazardspel antara lain adalah domino, bridge, ceki, koah, pei dan sebagainya, yang intinya dipergunakan untuk hiburan semata. 100 Praktik judi dalam perkembangannya saat ini bervariasi dalam berbagai ragam bentuk dan jenisnya sesuai dengan tuntutan perkembangan zaman. Bentuk-bentuk permainan judi saat ini yang dilakukan beraneka ragam antara lain perjudian dadu, sabung ayam, permianan ketangkasan, tebak angka seperti toto gelap (togel), sampai penggunaan telepon genggam seperti judi melalui telepon seluler atau melalui intrenet, bahkan olah raga seperti sepak bola dan pertandingan lainnya sekalipun juga tidak ketinggalan dijadikan sebagai ajang perjudian. 101 Menurut penjelasan Pasal 303 ayat (2) KUH Pidana perbuatan yang mengadakan atau memberi kesempatan main judi sebagai pencarian termasuk dalam pasal ini. Misalnya seorang bandar atau orang lain yang dapat pula berupa perusahaan membuka perjudian. Orang yang turut campur dalam hal ini juga dihukum. Menurut Pasal 303 ayat (2) KUH Pidana ini bila ditafsirkan lebih cermat maka dalam ini tidak perlu perjudian itu di tempat umum atau untuk umum. Meskipun perjudian itu dilakukan di tempat yang tertutup atau kalangan yang tertutup saja, sudah cukup menjadikannya sebagai orang yang turut melakukan judi menurut pasal ini, asal perjudian itu belum memperoleh izin dari pihak yang berwajib Ibid. 101 Yulia Christy Shintara Aruan, Loc. cit. 102 Ibid., hal. 60.

15 70 Pasal 303 ayat (2) KUH Pidana ini juga berlaku untuk perbuatan yang sengaja mengadakan atau memberi kesempatan untuk main judi kepada umum. Dalam hal ini juga berlaku dalam hal jika pelaku tidak membuatnya sebagai pencarian, tetapi dilakukan di tempat umum, atau yang dapat dikunjungi oleh umum. Singkatnya apabila telah ada izin dari pihak yang berwajib, tidak dihukum, menurut Pasal 303 ayat (2) KUH Pidana. 103 Berdasarkan penafsiran R. Soesilo terhadap rumusan Pasal 303 KUH Pidana ini berarti KUH Pidana sendiri masih memberikan kelonggaran kepada masyarakat untuk bisa melakukan praktik perjudian. Sebab ketentuan ini menentukan apabila ada izin dari aparat keamanan. Ketentuan syarat demikian bertentangan dengan normanorma agama dan nilai-nilai yang berlaku dalam masyarakat. Sekalipun judi dibolehkan dalam hal-hal tertentu karena tidak berhubungan langsung dengan kondisi ekonomi masyarakat kecil, namun dibolehkannya judi berdasarkan izin dari aparat akan terbentur pada bentuk pelanggaran terhadap norma-norma agama dan nilai-nilai dalam masyarakat. Alasan demikian juga ditegaskan dalam penjelasan umum Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1974 Tentang Penertiban Perjudian yang menegaskan bahwa perjudian bertentangan dengan agama, kesusilaan, dan moral pancasila, serta membahayakan bagi penghidupan dan kehidupan masyarakat, bangsa, dan negara. Bahkan bila ditinjau dari kepentingan nasional, penyelenggaraan perjudian mempunyai ekses yang negatif dan merugikan terhadap moral dan mental 103 R. Soesilo, Loc. Cit.

16 71 masyarakat, terutama terhadap generasi muda. Meskipun kenyataan dari hasil perjudian yang diperoleh pemerintah, baik pusat maupun daerah, dapat digunakan untuk usaha-usaha pembangunan, namun ekses negatifnya lebih besar daripada ekses positifnya. 104 Berdasarkan norma-norma agama, tidak satupun agama yang membolehkan perbuatan judi oleh karena unsurnya didasarkan pada untung-untungan. Berdasarkan nilai-nilai dalam masyarakat Indonesia yang menjunjung tinggi kesopanan, kepatutan, dan beradab sangat bertentangan bilamana judi dilegalkan dengan memberi izin pada hal-hal tertentu. Seolah-olah judi dibedakan dengan tindak pidana lainnya karena dibolehkannya judi melalui izin. Dengan demikian penanganan judi di Indonesia tidak menimbulkan efek penjeraan bilamana ada pengecualian dalam hal ini. Bukankah perbuatan judi telah disepakati sebagai kejahatan? Hal itu ditegaskan berdasarkan Pasal 1 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1974 Tentang Penertiban Perjudian, yang menyatakan: semua tindak pidana perjudian sebagai kejahatan. Oleh karena itu dalam bentuk apapun dan dalam kondisi bagaimanapun, judi tetap sebagai kejahatan dan orang-orang yang terlibat didalamnya, baik langsung maupun tidak langsung termasuk sebagai penjahat. Tidak boleh ada pengecualian, sebagaimana dibolehkan bila ada izin yang dimuat dalam Pasal 303 KUH Pidana. Penjelasan Pasal 303 ayat (3) KUH Pidana menjelaskan bahwa orang yang mengadakan main judi dihukum menurut pasal ini dan hukuman bagi orang-orang 104 Paragraf III Penjelasan Umum Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1974 Tentang Penertiban Perjudian.

17 72 yang ikut pada permainan itu dikenakan hukuman menurut Pasal 303 bis KUH Pidana. Pasal 303 bis KUH Pidana menentukan: (1) Diancam dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun atau pidana denda paling banyak Rp ,- (sepuluh juta rupiah): a. Barang siapa menggunakan kesempatan main judi yang diadakan dengan melanggar ketentuan Pasal 303. b. Barang siapa ikut serta main judi di jalan umum atau di pinggir jalan umum atau di tempat yang dapat dikunjungi umum, kecuali kalau ada izin dari penguasa yang berwenang yang telah memberi izin untuk mengadakan perjudian itu. (2) Jika ketika melakukan pelanggaran belum lewat dua tahun sejak ada pemidanaan yang menjadi tetap karena salah satu dari pelanggaran ini, dapat dikenakan pidana penjara paling lama enam tahun atau pidana denda paling banyak lima belas juta rupiah. Penjelasan Pasal 303 bis KUH Pidana menentukan pada masa dulu seorang yang berasal dan berbentuk sebuah perusahaan membuka perjudian dicancam pidana dalam Pasal 303 bis KUH Pidana sedangkan orang-orang yang mempergunakan kesempatan main judi dalam hal ini melanggar Pasal 303 dikenakan Pasal 542 KUH Pidana. Kemudian setelah diundangkannya UU Nomor 7 Tahun 1974 Tentang Penertiban Perjudian, maka Pasal 542 KUH Pidana tersebut diganti dengan Pasal 303 bis KUH Pidana. 105 Ketentuan hukum pidana dalam Pasal 303 bis KUH Pidana juga menentukan pengecualian judi berdasarkan izin. Ketentuan demikian sekaligus sebagai kelemahan dalam regulasi judi. Sebab dengan adanya pengecualian ini menimbulkan efek kepada masyarakat untuk memperoleh kesempatan bermain judi bila ada izin dari pihak yang 105 Pasal 542 KUH Pidana menentukan: Dengan Undang-Undang Penertiban Perjudian Tanggal 6 Novemver 1974 Nomor 7 pasal ini dihapuskan dan diganti dengan Pasal 303 bis KUH Pidana.

18 73 berwajib. Sangat tidak dapat diterima secara rasional bila kejahatan diperbolehkan berdasarkan izin. Lagi pula memberikan izin berarti sama saja melegalkan judi, atau setidak-tidaknya izin dimaksud berdampak pada anggapan masyarakat kepada Pemerintah berfikir setengah-setangah (tidak serius) dalam memberantas judi oleh karena diperbolehkannya bila ada izin. Kenyataan dewasa ini menunjukkan perjudian dengan segala macam bentuknya masih banyak dilakukan dalam masyarakat, sedangkan ketentuanketentuan perundang-undangan baik dalam KUH Pidana maupun dalam UU Nomor 7 Tahun 1974 Tentang Penertiban Perjudian dengan segala perubahan dan tambahannya, tidak sesuai dengan perkembangan keadaan, terutama mengenai pengecualian larangan perjudian dan termasuk ancaman pidana maupun denda. Sekali lagi ditegaskan bahwa sangat tidak dapat diterima secara rasional bila Pemerintah masih membuka izin bagi pihak-pihak tertentu untuk melakukan praktik judi. Syarat-syarat agar hukum lebih efektif dalam penerapannya menurut CG. Howard dan RS. Mumner, antara lain: 106 a. Undang-undang harus dirancang baik. b. Undang-undang seyogianya bersifat melarang bukan mengatur. c. Sanksi yang dicantumkan harus sepadan dengan sifat-sifat undang-undang yang dilanggar. d. Berat sanksi yang diancamkan kepada si pelanggar tidak boleh keterlaluan. e. Kemungkinan untuk mengamati dan menyelidiki atau menyidik perbuatan yang dilanggar undang-undang harus ada. f. Hukum yang mengandung larangan-larangan moral akan lebih efektif dari pada hukum yang tidak selaras dengan kaidah moral, atau yang netral. 106 Soetandyo Wignyosoebroto, Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Keefektifan Hukum Dalam Melaksanakan Fungsinya Sebagai Sarana Kontrol Sosial, terjemahan dari C.G. Howard dan R.S. Mumner, Law is Nature and Limits, (New Jersey Hall, 1975), hal

19 74 g. Mereka yang bekerja sebagai pelaksana-pelaksana hukum harus menunaikan tugasnya dengan baik. Syarat-syarat dari segi perumusan unsur dalam pasal-pasal peraturan perundang-undangan harus dirumuskan secara jelas dan terinci mengatur dan memberi sanksi agar tidak menimbulkan keraguan dalam penerapannya agar tercipta suatu keadilan dan kepastian hukum bagi pihak-pihak yang berperkara. 107 Sebagaimana Lawrence Milton Friedman juga telah menegaskan tiga elemen dalam sistem hukum yang sangat menentukan penegakan hukum yaitu substansi hukum, struktur hukum, dan budaya hukum. Khusus untuk substansi hukum menurutnya adalah mencakup keseluruhan aturan hukum, norma hukum, dan asas hukum, baik yang tertulis maupun yang tidak tertulis, termasuk putusan pengadilan yang bersifat mengikat dalam bentuk peraturan perundang-undangan. 108 Berdasarkan segi ancaman pidana mapun denda dalam Pasal 303 KUH Pidana juga masih mengandung kelemehan secara substantif. Ancaman pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun atau pidana denda paling banyak Rp ,- (dua puluh lima juta rupiah) sebagaimana yang ditentukan dalam Pasal 303 KUH Pidana mengandung kelemahan dari sisi pidana denda karena masih tergolong sangat rendah yaitu Rp ,- (dua puluh lima juta rupiah). Ancaman pidana maupun denda dalam Pasal 303 KUH Pidana pada masa dulu adalah ditentukan selama-lamanya (maksimal) 2 (dua) tahun 8 (delapan) bulan atau denda sebanyak-banyaknya (maksimal) Rp ,- (sembilan puluh ribu 107 Sugeng Tiyarto, Op. Cit., hal Lawrence M. Friedman dalam Achmad Ali, Loc. cit.

20 75 rupiah), yang diubah menjadi pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun atau pidana denda paling banyak Rp ,- (dua puluh lima juta rupiah) berdasarkan UU Nomor 7 Tahun 1974 Tentang Penertiban Perjudian. 109 Namun ancaman pidana denda ini masih sangat rendah bila dibandingkan dengan dampak dari judi itu sendiri. Seharusnya untuk dapat memberikan efek penjeraan kepada pelaku, undang-undang harus menentukan pidana denda harus lebih besar daripada pidana penjara, hingga dapat memaksa masyarakat agar tidak mau melakukan judi karena denda yang ditentukan itu di luar daripada kemampuannya. Ancaman pidana penjara maksimal masih dapat dijalani oleh narapidana judi selama di penjara, namun bila dikenakan kepadanya ancaman pidana denda di luar kemampuannya dan ditentukan dalam undang-undang dapat memberikan efek jera kepada pelaku. Hal ini didasarkan pada logika berfikir untuk mengadopsi dari prinsip debt collection yang dikenal dalam hukum kepailitan. Manifestasi penerapan debt collection kepada para pelaku judi adalah membereskan harta atau aset para pelaku untuk didirampas oleh negara. Sehingga dengan demikian akan menimbulkan efek penjeraan kepada para pelaku judi. Bukan tidak mungkin undang-undang dapat mengatur perampasan aset terhadap para pelaku judi sebagai salah satu upaya untuk memberikan efek penjeraan kepada para pelaku. 109 Pasal 2 ayat (1) UU Nomor 7 Tahun 1974 Tentang Penertiban Perjudian, merubah ancaman hukuman dalam Pasal 303 ayat (1) KUH Pidana dari hukuman penjara selama-lamanya dua tahun delapan bulan atau denda sebanyak-banyaknya sembilan puluh ribu rupiah menjadi hukuman penjara selama-lamanya sepuluh tahun atau denda sebanyak-banyaknya dua puluh lima juta rupiah.

21 76 Ancaman pidana penjara dan denda juga tidak sebanding dengan dampak dari judi itu sendiri sebagaimana yang ditentukan dalam Pasal 303 bis KUH Pidana adalah pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun atau pidana denda paling banyak Rp ,- (sepuluh juta rupiah). Sebelumnya berdasarkan Pasal 542 ayat (1) KUH Pidana diancam dengan kurungan selama-lamanya 1 (satu) bulan atau denda sebanyak-banyaknya Rp.4.500,- (empat ribu lima ratus rupiah). 110 Ini juga masih tergolong rendah untuk memberikan efek penjeraan kepada para pelaku judi. Analisisnya sama dengan ketentuan Pasal 303 KUH Pidana di atas. Sistem sanksi yang terdapat dalam KUH Pidana mengenal sistem tunggal dimana terhadap suatu kejahatan judi hanya bisa dijatuhkan satu hukuman pokok saja, tidak ada sanksi pidana tambahan untuk delik perjudian. Pada prinsipnya undang-undang membedakan 2 (dua) macam hukuman (pidana) yaitu pidana pokok dan pidana tambahan. Terhadap satu kejahatan atau pelanggaran hanya boleh dijatuhkan satu pidana pokok yang bisa dikumulasikan dengan pidana tambahan. Perumusan jenis sanksi pidana terhadap tindak pidana perjudian hanya menggunakan pidana penjara atau pidana denda. Artinya denda yang diancamkan dalam perumusan delik judi adalah suatu jumlah denda tertentu. Perumusan bentuk sanksi pidana terhadap tindak pidana perjudian juga bersifat alternatif. Dalam Pasal 2 ayat (2) UU Nomor 7 Tahun 1974 Tentang Penertiban Perjudian, merubah ancaman hukuman dalam Pasal 542 ayat (1) KUH Pidana dari hukuman kurungan selama-lamanya satu bulan atau denda sebanyak-banyaknya empat ribu lima ratus rupiah, menjadi hukuman penjara selama-lamanya empat tahun atau denda sebanyak-banyaknya sepuluh juta rupiah. 111 Sugeng Tiyarto, Op. Cit., hal. 128.

22 77 penerapannya jenis pidana denda jarang sekali dikenakan terhadap si pembuat, melainkan berupa pidana penjara Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1974 Tentang Penertiban Perjudian dan Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1981 Tentang Pelaksanaan Undang- Undang Nomor 7 Tahun 1974 Tentang Penertiban Perjudian Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1974 Tentang Penertiban Perjudian dan Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1981 Tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1974 Tentang Penertiban Perjudian, sifatnya hanya mengubah dan melengkapi ketentuan di dalam Pasal 303 KUH Pidana dan Pasal 303 bis KUH Pidana. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1974 Tentang Penertiban Perjudian ini hanya terdiri dari 5 (lima) pasal. Pasal 1 UU Nomor 7 Tahun 1974 ini menentukan semua tindak pidana perjudian sebagai kejahatan. Pasal 2 merubah ancaman hukuman dalam Pasal 303 ayat (1) KUH Pidana, dari hukuman penjara selama-lamanya dua tahun delapan bulan atau denda sebanyak banyaknya sembilan puluh ribu rupiah menjadi hukuman penjara selama-lamanya sepuluh tahun atau denda sebanyak-banyaknya dua puluh lima juta rupiah. Pasal 2 UU Nomor 7 Tahun 1974 juga merubah ancaman hukuman dalam Pasal 542 ayat (1) KUH Pidana, dari hukuman kurungan selama-lamanya satu bulan atau denda sebanyak-banyaknya empat ribu lima ratus rupiah, menjadi hukuman penjara selama-lamanya empat tahun atau denda sebanyak-banyaknya sepuluh juta rupiah. 112 Ibid.

23 78 Pasal 2 UU Nomor 7 Tahun 1974 juga merubah ancaman hukuman dalam Pasal 542 ayat (2) KUH Pidana, dari hukuman kurungan selama-lamanya tiga bulan atau denda sebanyak-banyaknya tujuh ribu lima ratus rupiah menjadi hukuman penjara selama-lamanya enam tahun atau denda sebanyak-banyaknya lima belas juta rupiah. Merubah sebutan Pasal 542 menjadi Pasal 303 bis. Pasal 3 UU Nomor 7 Tahun 1974 menentukan pemerintah mengatur penertiban perjudian harus sesuai dengan jiwa dan maksud undang-undang ini yang diatur lebih lanjut dalam peraturan perundang-undangan. Pasal 4 UU Nomor 7 Tahun 1974 menentukan bahwa terhitung mulai berlakunya peraturan perundang-undangan dalam rangka penertiban perjudian dimaksud pada Pasal 3 Undang-undang ini, mencabut Ordonansi tanggal 7 Maret 1912 (Staatsblad Tahun 1912 Nomor 230) sebagaimana telah beberapa kali dirubah dan ditambah, terakhir dengan Ordonansi tanggal 31 Oktober 1935 (Staatsblad Tahun 1935 Nomor 526). Pasal 5 UU Nomor 7 Tahun 1974 menentukan tentang aturan peralihan. Ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1974 Tentang Penertiban Perjudian tersebut di atas mengubah, mengganti, dan menambah ketentuan dalam Pasal 303 KUH Pidana junto Pasal 303 bis KUH Pidana, yang pada intinya masih banyak mengandung kelemahan antara lain: diaturnya pengecualian membuka praktik judi, ancaman pidana maupun pidana denda masih rendah sehingga tidak mampu memberikan efek penjeraan kepada para pelaku judi pada khususnya dan masyarakat pada umumnya.

24 79 Pengecualian pemberian izin tersebut setelah Pemerintah Republik Indonesia mengeluarkan Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1981 Tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1974 Tentang Penertiban Perjudian akhirnya dihapuskan. Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1981 ini hanya terdiri dari 4 (empat) pasal. 113 Berdasarkan ketentuan di dalam Pasal 303 KUH Pidana dan Pasal 303 bis KUH Pidana bila dibandingkan dengan ketentuan di dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1974 Tentang Penertiban Perjudian dan Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1981 Tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1974 Tentang Penertiban Perjudian, terdapat rumusan yang tidak kuat untuk menjerat pelaku yang memperoleh izin perjudian, karena larangannya dimuat dalam peraturan pemerintah dan tidak mempunyai sanksi hukum. 114 Sesuai Pasal 303 KUH Pidana yang diubah dalam Pasal 303 bis KUH Pidana berdasarkan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1974 Tentang Penertiban Perjudian 113 Pasal 1 menentukan: (1) Pemberian izin penyelenggaraan segala bentuk dan jenis perjudian dilarang, baik perjudian yang diselenggarakan di kasino, di tempat-tempat keramaian, maupun yang dikaitkan dengan alasan-alasan lain. (2) Izin penyelenggaraan perjudian yang sudah diberikan, dinyatakan dicabut dan tidak berlaku lagi sejak tanggal 31 Maret Pasal 2 menentukan: Berdasarkan ketentuan Pasal 4 Undang-undang Nomor 7 Tahun 1974 tentang Penertiban Perjudian (Lembaran Negara Tahun 1974 Nomor 54, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3040), dengan berlakunya Peraturan Pemerintah ini dinyatakan tidak berlaku lagi semua peraturan perundang-undangan tentang Perjudian yang bertentangan dengan Peraturan Pemerintah ini. Pasal 3 menentukan: Hal-hal yang berhubungan dengan larangan pemberian izin penyelenggaraan perjudian yang belum diatur di dalam Peraturan Pemerintah ini akan diatur tersendiri. Pasal 4 menentukan: Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan. Agar supaya setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Pemerintah ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia. 114 Sugeng Tiyarto, Iop. Cit., hal. 93.

25 80 masih terdapat ketentuan yang menentukan dibolehkannya izin untuk membuka praktik judi, padahal munculnya Pasal 303 bis KUH Pidana sebagai wujud dari diundangkannya Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1974 Tentang Penertiban Perjudian sementara tujuan dikeluarkannya Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1981 adalah untuk pelaksanaan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1974 Tentang Penertiban Perjudian. Izin untuk membuka praktik judi berdasarkan Pasal 1 Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1981 dengan sangat tegas menentukan larangan terhadap pemberian izin untuk penyelenggaraan segala bentuk dan jenis perjudian, baik perjudian yang diselenggarakan di kasino, di tempat-tempat keramaian, maupun dengan alasanalasan lain, dan izin penyelenggaraan perjudian yang sudah diberikan dinyatakan dicabut dan tidak berlaku lagi sejak tanggal 31 Maret 1981, namun sangat disayangkan PP ini tidak mengandung sanksi pidana maupun denda bagi orang atau korporasi yang memperoleh izin praktik judi. 115 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1974 Tentang Penertiban Perjudian dan Pasal 303, Pasal 303 bis KUH Pidana justru masih mengakui dilegalkannya pemberian izin praktik judi. Ketentuan yang mengecualikan dalam KUH Pidana demikian itu dapat menimbulkan polemik dalam ranah penegakan hukum karena tidak mengandung ancaman pidana maupun denda bagi orang ataupun korporasi yang memperoleh izin membuka praktik perjudian. 115 Dwidja Priyatno, Kebijakan Legislasi Tentang Sistem Pertanggungjawaban Pidana Korporasi di Indonesia, (Bandung: Utomo, 2004), hal. 51.

26 81 3. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik Sebagai bahan perbandingan antara KUH Pidana (lex generalis) dengan undang-undang lainnya adalah ketentuan lex spesialis dalam Pasal 27 ayat (2) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UUITE). Perbuatan yang dilarang berdasarkan Pasal 27 ayat (2) UUITE salah satunya adalah perbuatan judi. Pasal 27 ayat (2) UUITE menentukan: Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik yang memiliki muatan perjudian. Berdasarkan ketentuan Pasal 27 ayat (2) UUITE tersebut di atas terdapat rumusan unsur subjekti dan objektif 116 tindak pidana perjudian yaitu: a. Setiap orang (unsur subjektif); b. Dengan sengaja dan tanpa hak (unsur subjektif); c. Mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik yang memiliki muatan perjudian (unsur objektif). Unsur subjektif setiap orang dalam Pasal 27 ayat (2) UUITE tersebut berarti hanya berupa orang saja, akan tetapi sesuai Pasal 52 ayat (4) UUITE, perbuatan demikian berlaku pula kepada korporasi (badan hukum maupun non badan 116 Moeljanto, Asas-Asas Hukum Pidana, (Jakarta: Rineka Cipta, 2006), hal. 63.

27 82 hukum). 117 Unsur subjektif menyangkut diri si pelaku sedangkan unsur objektif menyangkut perbuatan si pelaku. 118 Unsur objektif dari ketentuan di atas mengandung sepihak saja karena dalam rumusan unsur mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik yang memiliki muatan perjudian, tidak terdapat unsur orang yang turut bermain judi atau terlibat bermain judi. UUITE berbeda dengan KUH Pidana yang sekarang ini masih berorientasi kepada subyek tindak pidana berupa orang dan bukan korporasi. 119 Ketentuan Pasal 27 ayat (2) UUITE tersebut hanya menyangkut perbuatan yang dilarang bagi orang atau korporasi yang menyediakan sarana maupun parasarana bermain judi, sedangkan bagi orang yang bermain atau turut melakukan permainan judi tidak tercakup dalam pasal ini. Sehingga dapat disimpulkan bahwa UUITE hanya melarang perbuatan setiap orang atau korporasi yang menyediakan sarana dan prasarana bermain bermain judi, sedangkan orang yang mengakses permainan judi tidak diatur dalam UUITE. Termasuk subjek yang dilarang sesuai Pasal 34 ayat (1) huruf a UUITE adalah setiap orang yang sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum memproduksi, menjual, mengadakan untuk digunakan, mengimpor, mendistribusikan, menyediakan, atau memiliki perangkat keras atau perangkat lunak komputer yang dirancang atau 117 Pasal 52 ayat (4) UUITE menentukan: Dalam hal tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 sampai dengan Pasal 37 dilakukan oleh korporasi dipidana dengan pidana pokok ditambah dua pertiga. 118 Moeljatno, Op. cit., hal Dwidja Priyatno, Op. cit, hal

28 83 secara khusus dikembangkan untuk memfasilitasi perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 sampai dengan Pasal 33. Berdasarkan Pasal 34 ayat (1) huruf a UUITE ini mempertegas bahwa subjek yang dilarang dalam UUITE adalah orang atau korporasi yang menyediakan sarana maupun prasarana saja, dan tidak termasuk bagi orang yang turut melakukan permainan judi atau orang yang mengakses permainan judi tersebut. Berdasarkan Pasal 52 ayat (4) UUITE semakin mempertegas pula bahwa bila perbuatan dalam Pasal 27 dilakukan oleh korporasi dipidana dengan pidana pokok ditambah dua pertiga, berarti pidana pokok berupa pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun bisa bertambah menjadi 12 (dua belas) tahun, sedangkan pidana denda dari Rp , (satu miliar rupiah) bisa menjadi Rp ,- (dua milyar tiga ratus tiga puluh juta rupiah). Analisis di atas sekaligus menunjukkan kelemahan pengaturan tentang larangan perjudian dalam UUITE yaitu tidak mengatur larangan bagi setiap orang yang turut bermain judi atau setiap orang yang mengakses permainan judi sekalipun pidana denda bagi korporasi ditentukan cukup besar. Dari segi ancaman pidana denda sesuai Pasal 45 ayat (1) UUITE sudah memenuhi syarat untuk memberikan efek penjeraan kepada pelaku. Pasal 45 ayat (1) UUITE menentukan: Setiap Orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat (1), ayat (2), ayat (3), atau ayat (4) dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan/atau denda paling banyak Rp ,00 (satu miliar rupiah).

29 84 Selanjutnya adalah mengenai ketentuan ancaman pidana dan denda. Mengenai ketentuan pidana sebagaimana ditentukan dalam Pasal 45 ayat (1) UUITE sangat berbeda dengan ancaman pidana yang ditentukan dalam Pasal 303 KUH Pidana dan Pasal 303 bis KUH Pidana. Perbedaan itu terlihat dari jumlah ancaman pidana penjara dan pidana denda. Ketentuan ancaman pidana yang menjadi sorotan dalam pasal ini adalah mengenai pidana denda. Pidana denda dalam Pasal 303 KUH Pidana dan Pasal 303 bis KUH Pidana lebih rendah daripada pidana denda di Pasal 45 ayat (1) UUITE. Pasal 303 KUH Pidana menentukan ancaman pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun atau pidana denda paling banyak Rp ,- (dua puluh lima juta rupiah) terhadap barang siapa tanpa mendapat izin melakukan perjudian. Kemudian dalam Pasal 303 bis KUH Pidana menentukan ancaman pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun atau pidana denda paling banyak Rp ,- (sepuluh juta rupiah). Sedangkan Pasal 45 ayat (1) UUITE menentukan ancaman pidana denda paling banyak Rp ,00 (satu miliar rupiah). Sebagaimana telah dibahas sebelumnya bahwa pidana denda sangat efektif memberikan efek penjeraan kepada para pelaku atau setidak-tidaknya dengan pidana denda dapat mengembalikan dan memperbaiki kerusakan ke arah yang lebih baik dan lebih bermanfaat dalam rangka merampas aset-aset hasil kejahatan daripada memenjarakan fisik/badan pelaku. Sangat disayangkan bahwa ketentuan ancaman pidana denda paling banyak Rp ,00 (satu miliar rupiah) tersebut hanya berlaku bagi setiap orang dan/atau korporasi yang menyediakan sarana maupun prasarana perjudian, UUITE

30 85 tidak mencakup bagi setiap orang yang turut bermain judi dan/atau mengakses permainan judi melalui internet. Konsekuensi dari ketentuan ini bagi orang yang turut bermain judi secara online berdasarkan ketentuan Pasal 27 ayat (2) UUITE junto Pasal 45 ayat (1) UUITE bisa bebas dari jeratan hukum oleh karena undang-undang tidak mengatur demikian.

PERATURAN PEMERINTAH (PP) PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA. Nomor: 9 TAHUN 1981 (9/1981) 14 MARET 1981 (JAKARTA) Sumber: LN 1981/10; TLN NO.

PERATURAN PEMERINTAH (PP) PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA. Nomor: 9 TAHUN 1981 (9/1981) 14 MARET 1981 (JAKARTA) Sumber: LN 1981/10; TLN NO. Bentuk: Oleh: PERATURAN PEMERINTAH (PP) PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Nomor: 9 TAHUN 1981 (9/1981) Tanggal: 14 MARET 1981 (JAKARTA) Sumber: LN 1981/10; TLN NO. 3192 Tentang: Indeks: PELAKSANAAN PENERTIBAN

Lebih terperinci

BAB II PENGATURAN HUKUM POSITIF TERHADAP TINDAK PIDANA PERJUDIAN DI INDONESIA. A. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 Tentang Kitab Undang-Undang

BAB II PENGATURAN HUKUM POSITIF TERHADAP TINDAK PIDANA PERJUDIAN DI INDONESIA. A. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 Tentang Kitab Undang-Undang BAB II PENGATURAN HUKUM POSITIF TERHADAP TINDAK PIDANA PERJUDIAN DI INDONESIA A. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 Tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 Tentang Kitab

Lebih terperinci

BAB II PENGATURAN TINDAK PIDANA JUDI ONLINE DI INDONESIA. 1. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 Tentang Kitab Undang -Undang Hukum Pidana ( KUHP )

BAB II PENGATURAN TINDAK PIDANA JUDI ONLINE DI INDONESIA. 1. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 Tentang Kitab Undang -Undang Hukum Pidana ( KUHP ) BAB II PENGATURAN TINDAK PIDANA JUDI ONLINE DI INDONESIA A. Pengaturan Tindak Pidana Judi 1. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 Tentang Kitab Undang -Undang Hukum Pidana ( KUHP ) Undang-Undang Nomor 1 Tahun

Lebih terperinci

Dari pengertian diatas maka ada tiga unsur agar suatu perbuatan dapat dinyatakan sebagai judi. Yaitu adanya unsur :

Dari pengertian diatas maka ada tiga unsur agar suatu perbuatan dapat dinyatakan sebagai judi. Yaitu adanya unsur : 1.2. Pengertian Judi Dalam Ensiklopedia Indonesia[1] Judi diartikan sebagai suatu kegiatan pertaruhan untuk memperoleh keuntungan dari hasil suatu pertandingan, permainan atau kejadian yang hasilnya tidak

Lebih terperinci

BAB II KETENTUAN TINDAK PIDANA JUDI BERDASARKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN YANG BERLAKU DI INDONESIA

BAB II KETENTUAN TINDAK PIDANA JUDI BERDASARKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN YANG BERLAKU DI INDONESIA BAB II KETENTUAN TINDAK PIDANA JUDI BERDASARKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN YANG BERLAKU DI INDONESIA Penegakan hukum pidana dalam menanggulangi perjudian memiliki perjalanan yang panjang. Hal ini dikarenakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. norma yang ada, melanggar kepentingan orang lain maupun masyarakat yang

BAB I PENDAHULUAN. norma yang ada, melanggar kepentingan orang lain maupun masyarakat yang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Di dalam suatu masyarakat terdapat nilai-nilai yang merupakan suatu rangkaian konsepsi-konsepsi abstrak yang hidup dalam alam pikiran sebagian besar kelompok

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG TINDAK PIDANA PERJUDIAN

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG TINDAK PIDANA PERJUDIAN BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG TINDAK PIDANA PERJUDIAN A. Pengertian Tindak Pidana Perjudian Dalam Undang-Undang No. 1 Tahun 1946 Tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), tindak pidana perjudian

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. hukum dan merugikan masyarakat (Bambang Waluyo, 2008: 1). dengan judi togel, yang saat ini masih marak di Kabupaten Banyumas.

BAB I PENDAHULUAN. hukum dan merugikan masyarakat (Bambang Waluyo, 2008: 1). dengan judi togel, yang saat ini masih marak di Kabupaten Banyumas. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Seiring dengan kemajuan budaya, ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek), perilaku manusia di dalam hidup bermasyarakat dan bernegara justru semakin kompleks dan

Lebih terperinci

BAB III PERJUDIAN MENURUT HUKUM POSITIF

BAB III PERJUDIAN MENURUT HUKUM POSITIF BAB III PERJUDIAN MENURUT HUKUM POSITIF 3.1. Pengertian dan Dasar Hukum Perjudian 3.1.1. Pengertian Perjudian Judi atau permainan judi atau perjudian menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah Permainan

Lebih terperinci

Lex et Societatis, Vol. IV/No. 2/Feb/2016. PENERTIBAN PERJUDIAN MENURUT HUKUM PIDANA INDONESIA 1 Oleh : Tessani Justishine Tarore 2

Lex et Societatis, Vol. IV/No. 2/Feb/2016. PENERTIBAN PERJUDIAN MENURUT HUKUM PIDANA INDONESIA 1 Oleh : Tessani Justishine Tarore 2 PENERTIBAN PERJUDIAN MENURUT HUKUM PIDANA INDONESIA 1 Oleh : Tessani Justishine Tarore 2 ABSTRAK Tujuan dilakukannya penelitian ini adalah untuk mengetahui apakah substansi (materi pokok) dari Pasal 303

Lebih terperinci

PERJUDIAN DALAM PERSPEKTIF HUKUM PIDANA

PERJUDIAN DALAM PERSPEKTIF HUKUM PIDANA PERJUDIAN DALAM PERSPEKTIF HUKUM PIDANA A. TINJAUAN UMUM TENTANG PERJUDIAN Perjudian merupakan suatu bentuk permainan yang telah lazim dikenal dan diketahui oleh setiap orang. Perjudian ini diwujudkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Dalam kehidupan di masyarakat sering sekali terjadi pelanggaran terhadap

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Dalam kehidupan di masyarakat sering sekali terjadi pelanggaran terhadap BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dalam kehidupan di masyarakat sering sekali terjadi pelanggaran terhadap norma kesusilaan dan norma hukum. Salah satu dari pelanggaran hukum yang terjadi di

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. memberi petunjuk kepada manusia bagaimana ia bertindak dan bertingkah

BAB I PENDAHULUAN. memberi petunjuk kepada manusia bagaimana ia bertindak dan bertingkah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Pesatnya perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi berdampak pula pada dinamika kehidupan masyarakat. Perkembangan dalam kehidupan masyarakat terutama yang

Lebih terperinci

Bab XIV : Kejahatan Terhadap Kesusilaan

Bab XIV : Kejahatan Terhadap Kesusilaan Bab XIV : Kejahatan Terhadap Kesusilaan Pasal 281 Diancam dengan pidana penjara paling lama dua tahun delapan bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah: 1. barang siapa dengan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Nullum delictun, nulla poena sine praevia lege poenali yang lebih dikenal

BAB I PENDAHULUAN. Nullum delictun, nulla poena sine praevia lege poenali yang lebih dikenal BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Suatu perbuatan hanya dapat dikenakan pidana jika perbuatan itu didahului oleh ancaman pidana dalam undang-undang. Artinya bahwa suatu perbuatan hanya dapat dikenai

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Dalam kehidupan di masyarakat sering sekali pelanggaran terhadap

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Dalam kehidupan di masyarakat sering sekali pelanggaran terhadap BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dalam kehidupan di masyarakat sering sekali pelanggaran terhadap norma kesusilaan dan norma hukum. Salah satu dari pelanggaran hukum yang terjadi di masyarakat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Dalam kehidupan masyarakat di Indonesia perjudian masih menjadi

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Dalam kehidupan masyarakat di Indonesia perjudian masih menjadi BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dalam kehidupan masyarakat di Indonesia perjudian masih menjadi permasalahan, banyaknya kasus yang ditemukan oleh aparat penegak hukum merupakan suatu bukti

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Dalam kehidupan masyarakat perjudian di Indonesia merupakan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Dalam kehidupan masyarakat perjudian di Indonesia merupakan 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dalam kehidupan masyarakat perjudian di Indonesia merupakan suatu hal yang masih di persoalkan. Banyaknya kasus yang berhasil di temukan oleh penegak hukum,

Lebih terperinci

Lex Crimen Vol. V/No. 1/Jan/2016. PENERAPAN PASAL 303 KITAB UNDANG- UNDANG HUKUM PIDANA TENTANG PERJUDIAN 1 Oleh : Christy Prisilia Constansia Tuwo 2

Lex Crimen Vol. V/No. 1/Jan/2016. PENERAPAN PASAL 303 KITAB UNDANG- UNDANG HUKUM PIDANA TENTANG PERJUDIAN 1 Oleh : Christy Prisilia Constansia Tuwo 2 PENERAPAN PASAL 303 KITAB UNDANG- UNDANG HUKUM PIDANA TENTANG PERJUDIAN 1 Oleh : Christy Prisilia Constansia Tuwo 2 ABSTRAK Penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui bagaimana pengaturan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 1974 TENTANG PENERTIBAN PERJUDIAN DENGAN RAKHMAT TUHAN YANG MAHAESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 1974 TENTANG PENERTIBAN PERJUDIAN DENGAN RAKHMAT TUHAN YANG MAHAESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 1974 TENTANG PENERTIBAN PERJUDIAN DENGAN RAKHMAT TUHAN YANG MAHAESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa perjudian pada hakekatnya bertentangan

Lebih terperinci

BAB II TINDAK PIDANA JUDI MENURUT HUKUM POSITIF. harapan tertentu pada peristiwa-peristiwa permainan, perlombaan dan kejadiankejadian

BAB II TINDAK PIDANA JUDI MENURUT HUKUM POSITIF. harapan tertentu pada peristiwa-peristiwa permainan, perlombaan dan kejadiankejadian BAB II TINDAK PIDANA JUDI MENURUT HUKUM POSITIF A. Sejarah Perjudian Perjudian adalah pertaruhan dengan sengaja yaitu mempertaruhkan satu nilai atau sesuatu yang dianggap bernilai, dengan menyadari adanya

Lebih terperinci

tulisan, gambaran atau benda yang telah diketahui isinya melanggar kesusilaan muatan yang melanggar kesusilaan

tulisan, gambaran atau benda yang telah diketahui isinya melanggar kesusilaan muatan yang melanggar kesusilaan Selain masalah HAM, hal janggal yang saya amati adalah ancaman hukumannya. Anggara sudah menulis mengenai kekhawatiran dia yang lain di dalam UU ini. Di bawah adalah perbandingan ancaman hukuman pada pasal

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI. Adapun yang menjadi tujuan upaya diversi adalah : 6. a. untuk menghindari anak dari penahanan;

BAB II LANDASAN TEORI. Adapun yang menjadi tujuan upaya diversi adalah : 6. a. untuk menghindari anak dari penahanan; BAB II LANDASAN TEORI 2.1. Uraian Teori 2.1.1.Diversi Diversi adalah pengalihan penanganan kasus-kasus anak yang diduga telah melakukan tindak pidana dari proses formal dengan atau tanpa syarat. Pendekatan

Lebih terperinci

BAB II BATASAN PENGATURAN KEKERASAN FISIK TERHADAP ISTRI JIKA DIKAITKAN DENGAN TINDAK PIDANA PENGANIAYAAN MENURUT KETENTUAN HUKUM PIDANA DI INDONESIA

BAB II BATASAN PENGATURAN KEKERASAN FISIK TERHADAP ISTRI JIKA DIKAITKAN DENGAN TINDAK PIDANA PENGANIAYAAN MENURUT KETENTUAN HUKUM PIDANA DI INDONESIA BAB II BATASAN PENGATURAN KEKERASAN FISIK TERHADAP ISTRI JIKA DIKAITKAN DENGAN TINDAK PIDANA PENGANIAYAAN MENURUT KETENTUAN HUKUM PIDANA DI INDONESIA A. Batasan Pengaturan Tindak Pidana Kekekerasan Fisik

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. peraturan perundangan undangan yang berlaku dan pelakunya dapat dikenai

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. peraturan perundangan undangan yang berlaku dan pelakunya dapat dikenai BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tindak Pidana Tindak pidana merupakan suatu perbuatan yang bertentangan dengan peraturan perundangan undangan yang berlaku dan pelakunya dapat dikenai dengan hukuman pidana.

Lebih terperinci

BAB III KETENTUAN SANKSI TERHADAP PELAKU TINDAK PIDANA. PERJUDIAN DALAM UU No. 7 TAHUN A. Latar Belakang Munculnya UU No.

BAB III KETENTUAN SANKSI TERHADAP PELAKU TINDAK PIDANA. PERJUDIAN DALAM UU No. 7 TAHUN A. Latar Belakang Munculnya UU No. BAB III KETENTUAN SANKSI TERHADAP PELAKU TINDAK PIDANA PERJUDIAN DALAM UU No. 7 TAHUN 1974 A. Latar Belakang Munculnya UU No. 7 Tahun 1974 Perjudian di Jakarta pada Tahun 1969 menghasilkan pemasukan 2,7

Lebih terperinci

Kata Kunci : Penegakan Hukum Pelaku Judi Sabung Ayam

Kata Kunci : Penegakan Hukum Pelaku Judi Sabung Ayam PENEGAKAN HUKUM TERHADAP PELAKU JUDI SABUNG AYAM DI POLRESTA PALU ARYA YUDHAWARMAN / D 101 10 392 Abstrak Perjudian adalah pertaruhan dengan sengaja yaitu mempertaruhkan suatu nilai atau sesuatu yang dianggap

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA DAN PENADAHAN. dasar dari dapat dipidananya seseorang adalah kesalahan, yang berarti seseorang

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA DAN PENADAHAN. dasar dari dapat dipidananya seseorang adalah kesalahan, yang berarti seseorang BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA DAN PENADAHAN 2.1. Pengertian Pertanggungjawaban Pidana Dasar dari adanya perbuatan pidana adalah asas legalitas, sedangkan dasar dari dapat dipidananya

Lebih terperinci

BAB II PERATURAN YANG BERKAITAN DENGAN PORNOGRAFI DALAM HUKUM POSITIF DI INDONESIA SEBELUM LAHIRNYA UU NO. 44 TAHUN 2008 TENTANG PORNOGRAFI

BAB II PERATURAN YANG BERKAITAN DENGAN PORNOGRAFI DALAM HUKUM POSITIF DI INDONESIA SEBELUM LAHIRNYA UU NO. 44 TAHUN 2008 TENTANG PORNOGRAFI 41 BAB II PERATURAN YANG BERKAITAN DENGAN PORNOGRAFI DALAM HUKUM POSITIF DI INDONESIA SEBELUM LAHIRNYA UU NO. 44 TAHUN 2008 TENTANG PORNOGRAFI A. Menurut Peraturan Sebelum Lahirnya UU No. 44 Tahun 2008

Lebih terperinci

Bab XXV : Perbuatan Curang

Bab XXV : Perbuatan Curang Bab XXV : Perbuatan Curang Pasal 378 Barang siapa dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum, dengan memakai nama palsu atau martabat palsu, dengan tipu muslihat,

Lebih terperinci

BAB III PIDANA DAN PEMIDANAAN TERHADAP PELAKU TINDAK PIDANA KORUPSI. A. Sanksi Pidana Terhadap Pelaku Tindak Pidana Korupsi yang Dimuat

BAB III PIDANA DAN PEMIDANAAN TERHADAP PELAKU TINDAK PIDANA KORUPSI. A. Sanksi Pidana Terhadap Pelaku Tindak Pidana Korupsi yang Dimuat BAB III PIDANA DAN PEMIDANAAN TERHADAP PELAKU TINDAK PIDANA KORUPSI A. Sanksi Pidana Terhadap Pelaku Tindak Pidana Korupsi yang Dimuat dalam Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi 1. Sanksi

Lebih terperinci

LAMPIRAN 1. Pedoman Wawancara

LAMPIRAN 1. Pedoman Wawancara 76 LAMPIRAN 1 Pedoman Wawancara 1. Sudah berapa lama berkecimpung dengan dunia sabung ayam? 2. Bagaimana cara membibitkan ayam jago yang baik? 3. Bagaimana cara merawat ayam jago? 4. Dari umur berapa dan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang bersifat terang-terangan maupun secara sembunyi-sembunyi. Dalam

BAB I PENDAHULUAN. yang bersifat terang-terangan maupun secara sembunyi-sembunyi. Dalam BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pada hakekatnya perjudian merupakan perbuatan yang bertentangan dengan norma agama, moral, kesusilaan maupun hukum, serta membahayakan bagi penghidupan dan kehidupan

Lebih terperinci

BAB II PENGATURAN HUKUM TENTANG PERLINDUNGAN TERHADAP KORBAN TINDAK PIDANA KORUPSI

BAB II PENGATURAN HUKUM TENTANG PERLINDUNGAN TERHADAP KORBAN TINDAK PIDANA KORUPSI 20 BAB II PENGATURAN HUKUM TENTANG PERLINDUNGAN TERHADAP KORBAN TINDAK PIDANA KORUPSI A. Undang-Undang Dasar 1945 Adapun terkait hal keuangan, diatur di dalam Pasal 23 Undang-Undang Dasar 1945, sebagaimana

Lebih terperinci

Bab XII : Pemalsuan Surat

Bab XII : Pemalsuan Surat Bab XII : Pemalsuan Surat Pasal 263 (1) Barang siapa membuat surat palsu atau memalsukan surat yang dapat menimbulkan sesuatu hak, perikatan atau pembebasan hutang, atau yang diperuntukkan sebagai bukti

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. tindak pidana atau melawan hukum, sebagaimana dirumuskan dalam Undang-

II. TINJAUAN PUSTAKA. tindak pidana atau melawan hukum, sebagaimana dirumuskan dalam Undang- 13 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian Pertanggungjawaban Pidana Pertanggungjawaban pidana memiliki makna bahwa setiap orang yang melakukan tindak pidana atau melawan hukum, sebagaimana dirumuskan dalam

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kebutuhan hidupnya dengan cara-cara yang tidak sesuai dengan norma serta

BAB I PENDAHULUAN. kebutuhan hidupnya dengan cara-cara yang tidak sesuai dengan norma serta BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Hukum sebagai konfigurasi peradaban manusia berjalan seiring dengan pertumbuhan dan perkembangan masyarakat sebagai komunitas dimana manusia tumbuh dan berkembang

Lebih terperinci

Jenis Kelamin. Umur : tahun

Jenis Kelamin. Umur : tahun 73 Nama Alamat Jenis Kelamin Agama Pekerjaan Pendidikan : : : : Umur : tahun : :. Berilah tanda silang ( X ) pada salah satu jawaban yang saudara anggap sesuai dengan pendapat saudara, apabila jawaban

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. sehingga mereka tidak tahu tentang batasan umur yang disebut dalam pengertian

II. TINJAUAN PUSTAKA. sehingga mereka tidak tahu tentang batasan umur yang disebut dalam pengertian II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian Anak dan Anak Nakal Pengertian masyarakat pada umumnya tentang anak adalah merupakan titipan dari Sang Pencipta yang akan meneruskan keturunan dari kedua orang tuanya,

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG TINDAK PIDANA KORUPSI. A. Pengertian Tindak Pidana Korupsi dan Subjek Hukum Tindak Pidana

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG TINDAK PIDANA KORUPSI. A. Pengertian Tindak Pidana Korupsi dan Subjek Hukum Tindak Pidana BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG TINDAK PIDANA KORUPSI A. Pengertian Tindak Pidana Korupsi dan Subjek Hukum Tindak Pidana Korupsi 1. Pengertian Tindak Pidana Korupsi Tindak pidana korupsi meskipun telah diatur

Lebih terperinci

BAB II PENGATURAN TINDAK PIDANA JUDI ONLINE DALAM PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN INDONESIA

BAB II PENGATURAN TINDAK PIDANA JUDI ONLINE DALAM PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN INDONESIA BAB II PENGATURAN TINDAK PIDANA JUDI ONLINE DALAM PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN INDONESIA A. Pengaturan Tindak Pidana Judi Dalam KUHP Istilah tindak pidana berasal dari istilah yang dikenal dalam hukum

Lebih terperinci

P U T U S A N. Nomor : 336/Pid.B/2013/PN. BJ.- DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA

P U T U S A N. Nomor : 336/Pid.B/2013/PN. BJ.- DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA P U T U S A N Nomor : 336/Pid.B/2013/PN. BJ.- DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA Pengadilan Negeri Binjai yang mengadili perkara-perkara pidana dengan acara pemeriksaan biasa pada tingkat

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG NOMOR 28 TAHUN

UNDANG-UNDANG NOMOR 28 TAHUN UNDANG-UNDANG NOMOR 28 TAHUN 2007 TENTANG PERUBAHAN KETIGA ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 6 TAHUN 1983 TENTANG KETENTUAN UMUM DAN TATA CARA PERPAJAKAN [LN 2007/85, TLN 4740] 46. Ketentuan Pasal 36A diubah sehingga

Lebih terperinci

Perlindungan Hukum Terhadap Animal Welfare. Oleh : Simplexius Asa Konsultan Hukum BAWA

Perlindungan Hukum Terhadap Animal Welfare. Oleh : Simplexius Asa Konsultan Hukum BAWA Perlindungan Hukum Terhadap Animal Welfare Oleh : Simplexius Asa Konsultan Hukum BAWA Tujuan : 1. Menyamakan persepsi tentang Perlindungan Hukum terhadap Animal Welfare; 2. Mendiskusikan upaya meningkatkan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. sangat sering kita jumpai di lingkungan sekitar kita bahkan kita sendiri pernah melakukan

I. PENDAHULUAN. sangat sering kita jumpai di lingkungan sekitar kita bahkan kita sendiri pernah melakukan I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Tindak pidana perjudian merupakan suatu perbuatan yang banyak dilakukan orang, karena hasil yang akan berlipat ganda apabila menang berjudi. Perjudian merupakan tindak

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KABUPATEN KOLAKA UTARA NOMOR 5 TAHUN 2011 T E N T A N G PELARANGAN PERJUDIAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN DAERAH KABUPATEN KOLAKA UTARA NOMOR 5 TAHUN 2011 T E N T A N G PELARANGAN PERJUDIAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN DAERAH KABUPATEN KOLAKA UTARA NOMOR 5 TAHUN 2011 T E N T A N G PELARANGAN PERJUDIAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI KOLAKA UTARA, Menimbang Mengingat : a. bahwa Daerah Kolaka Utara adalah

Lebih terperinci

BAB III ANALISA HASIL PENELITIAN

BAB III ANALISA HASIL PENELITIAN BAB III ANALISA HASIL PENELITIAN A. Analisa Yuridis Malpraktik Profesi Medis Dalam Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 merumuskan banyak tindak pidana

Lebih terperinci

LEMBARAN DAERAH KOTA BOGOR PERATURAN DAERAH KOTA BOGOR NOMOR 11 TAHUN 2005 TENTANG PENCEGAHAN PERMAINAN JUDI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

LEMBARAN DAERAH KOTA BOGOR PERATURAN DAERAH KOTA BOGOR NOMOR 11 TAHUN 2005 TENTANG PENCEGAHAN PERMAINAN JUDI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA LEMBARAN DAERAH KOTA BOGOR TAHUN 2005 NOMOR 7 SERI E PERATURAN DAERAH KOTA BOGOR NOMOR 11 TAHUN 2005 TENTANG PENCEGAHAN PERMAINAN JUDI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA BOGOR, Menimbang : a. bahwa

Lebih terperinci

Direktori Putusan Pengadilan Negeri Sibolga pn-sibolga.go.id

Direktori Putusan Pengadilan Negeri Sibolga pn-sibolga.go.id P U T U S A N Nomor 337/Pid.B/2014/PN.Sbg DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA Pengadilan Negeri Sibolga yang mengadili perkara pidana dengan acara pemeriksaan biasa dalam tingkat pertama

Lebih terperinci

BAB II. Regulasi penerbangan yang lama yaitu Undang-Undang Nomor 15 Tahun. itu harus mendasarkan pada ketentuan Pasal 102 ayat (1) KUHAP yang

BAB II. Regulasi penerbangan yang lama yaitu Undang-Undang Nomor 15 Tahun. itu harus mendasarkan pada ketentuan Pasal 102 ayat (1) KUHAP yang BAB II PERBUATAN-PERBUATAN YANG TERMASUK LINGKUP TINDAK PIDANA DI BIDANG PENERBANGAN DALAM PERSPEKTIF UNDANG UNDANG RI NOMOR 1 TAHUN 2009 TENTANG PENERBANGAN C. Perbandingan Undang-Undang Nomor 15 Tahun

Lebih terperinci

Bab XXVIII : Kejahatan Jabatan

Bab XXVIII : Kejahatan Jabatan Bab XXVIII : Kejahatan Jabatan Pasal 413 Seorang komandan Angkatan Bersenjata yang menolak atau sengaja mengabaikan untuk menggunakan kekuatan di bawah perintahnya, ketika diminta oleh penguasa sipil yang

Lebih terperinci

BAB II PERATURAN-PERATURAN HUKUM YANG BERKAITAN DENGAN TINDAK PIDANA PEMALSUAN UANG DI INDONESIA

BAB II PERATURAN-PERATURAN HUKUM YANG BERKAITAN DENGAN TINDAK PIDANA PEMALSUAN UANG DI INDONESIA BAB II PERATURAN-PERATURAN HUKUM YANG BERKAITAN DENGAN TINDAK PIDANA PEMALSUAN UANG DI INDONESIA Salah satu usaha penanggulangan kejahatan ialah menggunakan hukum pidana dengan sanksinya yang berupa pidana.

Lebih terperinci

RANCANGAN KESIMPULAN/KEPUTUSAN

RANCANGAN KESIMPULAN/KEPUTUSAN RANCANGAN LAPORAN SINGKAT RAPAT INTERNAL TIMUS KOMISI III DPR-RI DALAM RANGKA PEMBAHASAN RANCANGAN KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PIDANA --------------------------------------------------- (BIDANG HUKUM, HAM

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. ayam, judi mancing, judi balap liar, dan lain-lain. Perjudian merupakan

BAB I PENDAHULUAN. ayam, judi mancing, judi balap liar, dan lain-lain. Perjudian merupakan 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Di zaman modern sekarang ini berbagai macam jenis perjudian banyak ditemukan di tingkat lapisan masyarakat. Perjudian yang terjadi di masyarakat dapat dibedakan

Lebih terperinci

BAB II PENGATURAN TINDAK PIDANA PELAKU PEMBAKARAN LAHAN

BAB II PENGATURAN TINDAK PIDANA PELAKU PEMBAKARAN LAHAN BAB II PENGATURAN TINDAK PIDANA PELAKU PEMBAKARAN LAHAN Hukum merupakan sebuah instrumen yang dibentuk oleh pemerintah yang berwenang, yang berisikan aturan, larangan, dan sanksi yang bertujuan untuk mengatur

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. itu setiap kebijakan yang diambil harus didasarkan pada hukum. Hukum

BAB 1 PENDAHULUAN. itu setiap kebijakan yang diambil harus didasarkan pada hukum. Hukum A. Latar Belakang BAB 1 PENDAHULUAN Indonesia merupakan negara yang berdasarkan atas hukum. Dalam konteks itu setiap kebijakan yang diambil harus didasarkan pada hukum. Hukum berfungsi untuk mengatur seluruh

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR TAHUN TENTANG KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa untuk mewujudkan upaya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. eksistensi negara modern, dan oleh karena itu masing-masing negara berusaha

BAB I PENDAHULUAN. eksistensi negara modern, dan oleh karena itu masing-masing negara berusaha BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Hukum sebagai subsistem sosial menempati posisi penting dalam eksistensi negara modern, dan oleh karena itu masing-masing negara berusaha membangun sistem hukum

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kurang atau tidak memperoleh kasih sayang, asuhan bimbingan dan

BAB I PENDAHULUAN. kurang atau tidak memperoleh kasih sayang, asuhan bimbingan dan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Anak adalah bagian yang tidak terpisahkan dari keberlangsungan hidup manusia dan keberlangsungan bangsa dan negara. Dalam konstitusi Indonesia, anak memiliki peran strategis

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Fenomena juga diartikan sebagai berikut : a. Fenomena adalah hal-hal yang dapat disaksikan dengan pancaindra dan dapat

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Fenomena juga diartikan sebagai berikut : a. Fenomena adalah hal-hal yang dapat disaksikan dengan pancaindra dan dapat BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pengertian Fenomena Menurut Kamus Lengkap Bahasa Indonesia, fenomena diartikan sebagai hal-hal yang dinikmati oleh panca indra dan dapat ditinjau secara ilmiah (Kamus Lengkap

Lebih terperinci

BAB III SANKSI PIDANA ATAS PENGEDARAN MAKANAN TIDAK LAYAK KONSUMSI MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 8 TAHUN 1999 TENTANG PERLINDUNGAN KONSUMEN

BAB III SANKSI PIDANA ATAS PENGEDARAN MAKANAN TIDAK LAYAK KONSUMSI MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 8 TAHUN 1999 TENTANG PERLINDUNGAN KONSUMEN BAB III SANKSI PIDANA ATAS PENGEDARAN MAKANAN TIDAK LAYAK KONSUMSI MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 8 TAHUN 1999 TENTANG PERLINDUNGAN KONSUMEN A. Pengedaran Makanan Berbahaya yang Dilarang oleh Undang-Undang

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI

BAB II LANDASAN TEORI BAB II LANDASAN TEORI 2.1. Uraian Teori 2.1.1. Pengertian Tindak Pidana Penggelapan Dalam suatu tindak pidana, mengetahui secara jelas tindak pidana yang terjadi adalah suatu keharusan. Beberapa tindak

Lebih terperinci

PENEGAKAN HUKUM DALAM TINDAK PIDANA PEMALSUAN MATA UANG DOLLAR. Suwarjo, SH., M.Hum.

PENEGAKAN HUKUM DALAM TINDAK PIDANA PEMALSUAN MATA UANG DOLLAR. Suwarjo, SH., M.Hum. PENEGAKAN HUKUM DALAM TINDAK PIDANA PEMALSUAN MATA UANG DOLLAR Suwarjo, SH., M.Hum. Abstrak Pemberantasan dollar AS palsu di Indonesia terbilang cukup sulit karena tidak terjangkau oleh hukum di Indonesia.

Lebih terperinci

BAB III KETENTUAN UMUM TENTANG PERJUDIAN. 1. Pengertian umum tentang Perjudian

BAB III KETENTUAN UMUM TENTANG PERJUDIAN. 1. Pengertian umum tentang Perjudian BAB III KETENTUAN UMUM TENTANG PERJUDIAN A. Pengertian dan Ruang Lingkup Perjudian 1. Pengertian umum tentang Perjudian Perjudian merupakan salah satu permainan tertua di dunia hampir di seluruh Negara

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. (On-line), (29 Oktober 2016). 2

BAB I PENDAHULUAN. (On-line),  (29 Oktober 2016). 2 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pengaruh era globalisasi di segala bidang kehidupan berbangsa dan bernegara di masa kini tidak dapat terelakkan dan sudah dirasakan akibatnya, hampir di semua negara,

Lebih terperinci

TINJAUAN YURIDIS TERHADAP AKTIFITAS PERJUDIAN ONLINE DI INDONESIA SERTA PENGAWASAN DAN PENERAPAN SANKSI

TINJAUAN YURIDIS TERHADAP AKTIFITAS PERJUDIAN ONLINE DI INDONESIA SERTA PENGAWASAN DAN PENERAPAN SANKSI TINJAUAN YURIDIS TERHADAP AKTIFITAS PERJUDIAN ONLINE DI INDONESIA SERTA PENGAWASAN DAN PENERAPAN SANKSI Oleh William Dwi K. P. Marbun I Ketut Sudjana Bagian Hukum Bisnis, Fakultas Hukum Universitas Udayana

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Redaksi Bukune, Undang-Undang Dasar 1945 dan Perubahannya, Bukune, Jakarta, 2010, hlm

BAB I PENDAHULUAN. Redaksi Bukune, Undang-Undang Dasar 1945 dan Perubahannya, Bukune, Jakarta, 2010, hlm BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah negara yang berdasar atas hukum (rechtsstaat) dan bukan negara atas kekuasaan (machtsstaat), maka kedudukan hukum harus ditempatkan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. masing-masing wilayah negara, contohnya di Indonesia. Indonesia memiliki Hukum

I. PENDAHULUAN. masing-masing wilayah negara, contohnya di Indonesia. Indonesia memiliki Hukum I. PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Pidana denda merupakan salah satu jenis pidana yang telah lama diterima dan diterapkan dalam sistem hukum di berbagai negara dan bangsa di dunia. Akan tetapi, pengaturan

Lebih terperinci

FAKULTAS TEKNOLOGI INFORMASI Universitas Mercu Buana Yogyakarta Program Studi : 1. Teknik Informatika

FAKULTAS TEKNOLOGI INFORMASI Universitas Mercu Buana Yogyakarta Program Studi : 1. Teknik Informatika FAKULTAS TEKNOLOGI INFORMASI Universitas Mercu Buana Yogyakarta Program Studi : 1. Teknik Informatika Alamat: Kampus I, Jl. Wates. Km. 10 Yogyakarta. 55753. Telp.(0274) 649212,649211,Fax.(0274)-649213.

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 20 TAHUN 2001 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 31 TAHUN 1999 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dengan cara-cara yang tidak sesuai dengan norma serta kaidah hukum yang

BAB I PENDAHULUAN. dengan cara-cara yang tidak sesuai dengan norma serta kaidah hukum yang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Hukum sebagai konfigurasi peradaban manusia berjalan seiring dengan pertumbuhan dan perkembangan masyarakat sebagai komunitas dimana manusia tumbuh dan berkembang

Lebih terperinci

sendiri diatur dalam pasak 303 ayat (3) KUHP yang berbunyi:

sendiri diatur dalam pasak 303 ayat (3) KUHP yang berbunyi: Saat ini, berbagai macam dan bentuk perjudian sudah meluas dalam kehidupan masyarakat sehari-hari, baik secara terang-terangan maupun sembunyi-sembunyi. Sebagian masyarakat memandang bahwa perjudian sebagai

Lebih terperinci

BAB III TINDAK PIDANA PORNOGRAFI DALAM UNDANG UNDANG NO. 44 TAHUN A. Pengertian Pornografi Menurut Undang-Undang No.

BAB III TINDAK PIDANA PORNOGRAFI DALAM UNDANG UNDANG NO. 44 TAHUN A. Pengertian Pornografi Menurut Undang-Undang No. 72 BAB III TINDAK PIDANA PORNOGRAFI DALAM UNDANG UNDANG NO. 44 TAHUN 2008 A. Pengertian Pornografi Menurut Undang-Undang No. 44 Tahun 2008 Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2008 tentang pornografi telah diundangkan

Lebih terperinci

2008, No d. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, dan huruf c perlu membentuk Undang-Undang tentang Porno

2008, No d. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, dan huruf c perlu membentuk Undang-Undang tentang Porno LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.181, 2008 PORNOGRAFI. Kesusilaan Anak. (Penjelasan Dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4928) UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 44 TAHUN 2008

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR TAHUN TENTANG KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa untuk mewujudkan upaya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. seimbang. Dengan di undangakannya Undang-Undang No. 3 tahun Pasal 1 angka 1 Undang-Undang No.

BAB I PENDAHULUAN. seimbang. Dengan di undangakannya Undang-Undang No. 3 tahun Pasal 1 angka 1 Undang-Undang No. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Anak merupakan bagian dari generasi muda yang memiliki peran strategis dan mempunyai ciri-ciri dan sifat khusus. Oleh karena itu anak memerlukan perlindungan

Lebih terperinci

Direktori Putusan Pengadilan Negeri Sibolga pn-sibolga.go.id

Direktori Putusan Pengadilan Negeri Sibolga pn-sibolga.go.id P U T U S A N Nomor 331/Pid.B/2014/PN.Sbg DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA Pengadilan Negeri Sibolga yang mengadili perkara pidana dengan acara pemeriksaan biasa dalam tingkat pertama

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN TEORI Pengertian Polri Menurut UU No. 2 Tahun 2002 dan KUHAP

BAB II KAJIAN TEORI Pengertian Polri Menurut UU No. 2 Tahun 2002 dan KUHAP BAB II KAJIAN TEORI 2.1 Pengertian, Fungsi dan Tugas Polri 2.1.1 Pengertian Polri Menurut UU No. 2 Tahun 2002 dan KUHAP Dalam ketentuan Umum UU No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian terdapat rumusan mengenai

Lebih terperinci

BAB I PENAHULUHAN. norma dan aturan-aturan yang berlaku di dalam masyarakat. Setiap perbutan

BAB I PENAHULUHAN. norma dan aturan-aturan yang berlaku di dalam masyarakat. Setiap perbutan BAB I PENAHULUHAN A. Latar belakang masalah Hukum merupakan salah satu bagian terpenting dalam kehidupan manusia, hukum adalah suatu norma atau aturan yang mengikat dimana setiap perbuatan selalu ada batasanya,

Lebih terperinci

DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA

DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA P U T U S A N Nomor : 381/Pid.B/2014/PN.BJ. DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA Pengadilan Negeri Binjai yang memeriksa dan mengadili perkara-perkara pidana pada peradilan tingkat pertama

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR TAHUN TENTANG KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa untuk mewujudkan upaya

Lebih terperinci

BAB III UNDANG-UNDANG NOMOR 19 TAHUN 2002 TENTANG HAK CIPTA. A. Profil Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta

BAB III UNDANG-UNDANG NOMOR 19 TAHUN 2002 TENTANG HAK CIPTA. A. Profil Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta 45 BAB III UNDANG-UNDANG NOMOR 19 TAHUN 2002 TENTANG HAK CIPTA A. Profil Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta 1. Sejarah Perkembangan Undang-Undang Hak Cipta di Indonesia Permasalahan hak

Lebih terperinci

Bab I : Kejahatan Terhadap Keamanan Negara

Bab I : Kejahatan Terhadap Keamanan Negara Bab I : Kejahatan Terhadap Keamanan Negara Pasal 104 Makar dengan maksud untuk membunuh, atau merampas kemerdekaan, atau meniadakan kemampuan Presiden atau Wakil Presiden memerintah, diancam dengan pidana

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG MATA UANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG MATA UANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG MATA UANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa negara kesatuan negara Republik Indonesia

Lebih terperinci

Terdakwa tidak didampingi oleh Penasihat Hukum ;

Terdakwa tidak didampingi oleh Penasihat Hukum ; P U T U S A N Nomor 343/Pid.B/2014/PN.Sbg DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA Pengadilan Negeri Sibolga yang mengadili perkara pidana dengan acara pemeriksaan biasa dalam tingkat pertama

Lebih terperinci

Penerapan Tindak Pidana Ringan (Studi Putusan Pengadilan Negeri Kisaran Nomor 456/Pid.B/2013/PN.Kis)

Penerapan Tindak Pidana Ringan (Studi Putusan Pengadilan Negeri Kisaran Nomor 456/Pid.B/2013/PN.Kis) Penerapan Tindak Pidana Ringan (Studi Putusan Pengadilan Negeri Kisaran Nomor 456/Pid.B/2013/PN.Kis) 1. Dany Try Hutama Hutabarat, S.H.,M.H, 2. Suriani, S.H.,M.H Program Studi Ilmu Hukum, Fakultas Hukum,

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 11 TAHUN 2008 TENTANG INFORMASI DAN TRANSAKSI ELEKTRONIK

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 11 TAHUN 2008 TENTANG INFORMASI DAN TRANSAKSI ELEKTRONIK RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR TAHUN TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 11 TAHUN 2008 TENTANG INFORMASI DAN TRANSAKSI ELEKTRONIK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK

Lebih terperinci

BAB II PENGATURAN HUKUM TENTANG TINDAK PIDANA PELAYARAN DI INDONESIA. A. Pengaturan Tindak Pidana Pelayaran Di Dalam KUHP

BAB II PENGATURAN HUKUM TENTANG TINDAK PIDANA PELAYARAN DI INDONESIA. A. Pengaturan Tindak Pidana Pelayaran Di Dalam KUHP 29 BAB II PENGATURAN HUKUM TENTANG TINDAK PIDANA PELAYARAN DI INDONESIA A. Pengaturan Tindak Pidana Pelayaran Di Dalam KUHP Indonesia merupakan negara maritim terbesar di dunia, yang mana hal tersebut

Lebih terperinci

Lex Crimen Vol. V/No. 3/Mar/2016. KAJIAN HUKUM TERHADAP TINDAK PIDANA PERJUDIAN (PENERAPAN PASAL 303, 303 BIS KUHP) 1 Oleh: Geraldy Waney 2

Lex Crimen Vol. V/No. 3/Mar/2016. KAJIAN HUKUM TERHADAP TINDAK PIDANA PERJUDIAN (PENERAPAN PASAL 303, 303 BIS KUHP) 1 Oleh: Geraldy Waney 2 KAJIAN HUKUM TERHADAP TINDAK PIDANA PERJUDIAN (PENERAPAN PASAL 303, 303 BIS KUHP) 1 Oleh: Geraldy Waney 2 ABSTRAK Tujuan dilakukannya penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimana kualifikasi tindak

Lebih terperinci

Direktori Putusan Pengadilan Negeri Sibolga pn-sibolga.go.id

Direktori Putusan Pengadilan Negeri Sibolga pn-sibolga.go.id P U T U S A N Nomor 358/Pid.B/2014/PN.Sbg DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA Pengadilan Negeri Sibolga yang mengadili perkara pidana dengan acara pemeriksaan biasa dalam tingkat pertama

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dikembangkan potensi dan perannya untuk mewujudkan keamanan,

BAB I PENDAHULUAN. dikembangkan potensi dan perannya untuk mewujudkan keamanan, BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Lalu Lintas dan Angkutan Jalan mempunyai peran strategis dalam mendukung pembangunan dan integrasi nasional sebagai bagian dari upaya memajukan kesejahteraan

Lebih terperinci

Muatan yang melanggar kesusilaan

Muatan yang melanggar kesusilaan SKRIPSI HUKUM PIDANA Pasal 27 Jo Pasal 45 ayat (1) UU ITE: Distribusi, membuat dapat diaksesnya konten tertentu yg Ilegal - Author: Swante Adi Pasal 27 Jo Pasal 45 ayat (1) UU ITE: Distribusi, membuat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dilaksanakan secara bersama-sama oleh semua instansi terkait (stakeholders) bertanggung jawab di bidang jalan;

BAB I PENDAHULUAN. dilaksanakan secara bersama-sama oleh semua instansi terkait (stakeholders) bertanggung jawab di bidang jalan; BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Lalu Lintas dan Angkutan Jalan mempunyai peran strategis dalam mendukung pembangunan dan integrasi nasional sebagai bagian dari upaya memajukan kesejahteraan

Lebih terperinci

Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2010 Tentang Cagar Budaya

Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2010 Tentang Cagar Budaya Bab XXII : Pencurian Pasal 362 Barang siapa mengambil barang sesuatu, yang seluruhnya atau sebagian kepunyaan orang lain, dengan maksud untuk dimiliki secara melawan hukum, diancam karena pencurian, dengan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. telah ditegaskan dengan jelas bahwa Negara Indonesia berdasarkan atas hukum,

BAB I PENDAHULUAN. telah ditegaskan dengan jelas bahwa Negara Indonesia berdasarkan atas hukum, BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kehidupan manusia merupakan anugerah Tuhan Yang Maha Esa yang harus dijalani oleh setiap manusia berdasarkan aturan kehidupan yang lazim disebut norma. Norma

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. faktor sumber daya manusia yang berpotensi dan sebagai generasi penerus citacita

BAB I PENDAHULUAN. faktor sumber daya manusia yang berpotensi dan sebagai generasi penerus citacita BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Setiap anak adalah bagian dari penerus generasi muda yang merupakan faktor sumber daya manusia yang berpotensi dan sebagai generasi penerus citacita perjuangan bangsa

Lebih terperinci

LAMPIRAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANDUNG NOMOR : 8TAHUN 2010 TANGGAL : 6 SEPTEMBER 2010 TENTANG : TATA CARA PEMBENTUKAN PERATURAN DAERAH

LAMPIRAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANDUNG NOMOR : 8TAHUN 2010 TANGGAL : 6 SEPTEMBER 2010 TENTANG : TATA CARA PEMBENTUKAN PERATURAN DAERAH LAMPIRAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANDUNG NOMOR : 8TAHUN 2010 TANGGAL : 6 SEPTEMBER 2010 TENTANG : TATA CARA PEMBENTUKAN PERATURAN DAERAH SISTEMATIKA TEKNIK PEMBENTUKAN PERATURAN DAERAH DAN KERANGKA

Lebih terperinci

BAB II. kejahatan adalah mencakup kegiatan mencegah sebelum. Perbuatannya yang anak-anak itu lakukan sering tidak disertai pertimbangan akan

BAB II. kejahatan adalah mencakup kegiatan mencegah sebelum. Perbuatannya yang anak-anak itu lakukan sering tidak disertai pertimbangan akan BAB II KEBIJAKAN HUKUM PIDANA YANG MENGATUR TENTANG SISTEM PEMIDANAAN TERHADAP ANAK PELAKU TINDAK PIDANA DI INDONESIA A. Kebijakan Hukum Pidana Dalam Penanggulangan Kejahatan yang Dilakukan Oleh Anak Dibawah

Lebih terperinci

PERTIMBANGAN HAKIM DALAM MEMUTUSKAN PERKARA TINDAK PIDANA PENGGELAPAN SECARA BERLANJUT (Studi Kasus No. 55/Pid.B/2010/PN. Palu)

PERTIMBANGAN HAKIM DALAM MEMUTUSKAN PERKARA TINDAK PIDANA PENGGELAPAN SECARA BERLANJUT (Studi Kasus No. 55/Pid.B/2010/PN. Palu) PERTIMBANGAN HAKIM DALAM MEMUTUSKAN PERKARA TINDAK PIDANA PENGGELAPAN SECARA BERLANJUT (Studi Kasus No. 55/Pid.B/2010/PN. Palu) RISKA YANTI / D 101 07 622 ABSTRAK Penelitian ini berjudul Pertimbangan Hakim

Lebih terperinci

I. TINJAUAN PUSTAKA. Pengertian pidana yang bersifat khusus ini akan menunjukan ciri-ciri dan sifatnya yang khas

I. TINJAUAN PUSTAKA. Pengertian pidana yang bersifat khusus ini akan menunjukan ciri-ciri dan sifatnya yang khas I. TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian Dan Unsur-Unsur Tindak Pidana Pidana pada umumnya sering diartikan sebagai hukuman, tetapi dalam penulisan skripsi ini perlu dibedakan pengertiannya. Hukuman adalah pengertian

Lebih terperinci