BAB VIII KESIMPULAN DAN IMPLIKASI

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "BAB VIII KESIMPULAN DAN IMPLIKASI"

Transkripsi

1 BAB VIII KESIMPULAN DAN IMPLIKASI 8.1. Kesimpulan Berdasarkan pada aspek kajian tentang peta sosial dan sumber-sumber kehidupan (livelihood resources) maka dapat disimpulkan bahwa komunitas petani pesisir relatif memiliki kelebihan dan kekuatan pada modal alam (natural capital), jika dibandingkan dengan komunitas petani pegunungan. Sedangkan komunitas pegunungan relatif memiliki kelebihan dan kekuatan pada modal manusia (human capital), kapital sosial (social capital), modal fisik (physical capital), dan modal keuangan (financial capital). Terdapat perbedaan dalam faktor penyebab terjadinya keterbatasan daya dukung sumberdaya lahan pada kedua komunitas. Dimana keterbatasan daya dukung sumberdaya lahan pada komunitas petani pegunungan di Desa Girijaya lebih disebabkan oleh faktor tekanan populasi penduduk, sedangkan pada kasus komunitas petani pesisir di Desa Cigadog lebih disebabkan oleh faktor kebijakan pemerintah dalam bidang agraria. Perbedaan kondisi sumber-sumber kehidupan di atas, menjadi faktor penyebab terjadinya perbedaan pola strategi nafkah yang dikembangkan oleh kedua komunitas tersebut dalam mengatasi keterbatasan sumber-sumber kehidupan yang ada di kedua komunitas. Hasil kajian ini juga menunjukan adanya fenomena pergeseran pola strategi nafkah yang dikembangkan oleh kedua komunitas. Dimana pola strategi nafkah komunitas petani pesisir mengalami pergeseran dari basis nafkah di sektor kelautan menuju ke basis nafkah di sektor pertanian. Keterbatasan akses terhadap sumberdaya lahan telah mendorong petani di komunitas pesisir untuk melakukan strategi nafkah yang beragam, mulai dari : (1) strategi nafkah ganda (petani-nelayanburuh), (2) melakukan aksi land reform by leverage., (3) melakukan migrasi untuk memperluas sumber-sumber mata pencaharian mulai dari menjadi buruh bangunan di kota-kota besar (Bandung, Jakarta dan sekitarnya), buruh perkebunan di Sumatera dan bahkan menjadi TKW di luar negeri. Teridentifikasi juga adanya gejala dimana jumlah tenaga kerja wanita (TKW) ke luar negeri semakin meningkat dari tahun ke tahun. 228

2 Sedangkan strategi nafkah komunitas petani pegunungan telah mengalami pergeseran dari basis nafkah dan perekonomian pertanian menuju kepada basis nafkah sektor perdagangan dan industri rumah tangga (home industry). Keterbatasan akses terhadap lahan pertanian yang lebih disebabkan oleh faktor tekanan populasi penduduk, telah mendorong para petani di komunitas pegunungan untuk melakukan strategi nafkah yang beragam mulai dari : (1) strategi nafkah ganda (petani-pedagang atau petani-buruh bangunan), (2) melakukan migrasi untuk memperluas sumbersumber penghidupan di luar wilayah ekosistemnya yakni dengan menjadi pedagang keliling (gordeng, rujak, es, dll.) hingga ke luar pulau Jawa (Sumatera, Kalimantan, Papua, dll.), (3) mengembangkan industri rumah tangga (home industry) yang berbasis pertanian, (4) mengembangkan kelembagaan cadangan pangan dan keuangan komunitas berbasis nilai gotong royong (lumbung paceklik, beras perelek, arisan, lembaga keuangan mikro desa), (5) mengembangkan kerjasama pemanfaatan dan pelestarian sumberdaya lahan dengan PT. Perhutani, melalui Program Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat (PHBM) Berdasarkan pada hasil kajian tentang implementasi program-program pemberdayaan kelembagaan yang terkait dengan ketahanan pangan, maka dapat disimpulkan pula bahwa proses dan hasil program-program pemberdayaan pada komunitas pegunungan relatif lebih baik jika dibandingkan dengan komunitas pesisir. Dimana komunitas petani pegunungan relatif lebih berhasil membangun kelembagaan pangan berkelanjutan berbasis pada pendekatan partisipatif, penguatan jejaring kerjasama (networking) dan sinergy yang bersifat positive sum dengan para pemangku kepentingan (stakeholders). Sedangkan komunitas petani pesisir belum berhasil membangun kelembagaan pangan berkelanjutan yang bersifat positive sum, dan hal ini disebabkan oleh relatif masih lemahnya : sumberdaya manusia (SDM), kapasitas kelembagaan komunitas petani, kapital sosial, jejaring kerjasama, serta dukungan teknis dan non-teknis dari pemerintahan atas desa. Sementara itu dari hasil analisis tentang tingkat partisipasi kelembagaan (lokal, pemerintah dan swasta) dalam mewujudkan ketahanan pangan komunitas desa melalui implementasi Program Desa Mandiri Pangan, jika ditinjau secara konseptual, maka program tersebut telah memperhatikan aspek partisipatif hingga pada tingkatan yang dalam (tinggi). Namun pada implementasinya di lapangan (kondisi faktual), 229

3 tingkat partisipatif multi-pihak dalam implementasi Program Desa Mapan dapat dikategorikan dalam (tinggi) pada tahap persiapan dan tahap penumbuhan, terutama untuk stakeholders di tingkat pedesaan dan lembaga aparat perencana dan pelaksana program. Sedangkan untuk tahap pengembangan, tingkatan partisipatif multi-pihak dapat dikategorikan dangkal (sangat rendah), terutama untuk stakeholders di tingkat supra desa (pemerintah daerah, swasta, perguruan tinggi dan LSM). Fenomena ini sangat ironis mengingat masalah dan tantangan terberat dalam tahapan Program Desa Mapan justru terletak pada tahap pengembangan. Terjadinya penurunan tingkat keterlibatan dan partisipasi para stakeholders pada tahap pengembangan sangat disayangkan, karena hasil-hasil Program Desa Mapan pada tahap persiapan dan penumbuhan sebenarnya berpotensi besar untuk dijadikan sebagai pintu masuk dan sekaligus ruang dialog bagi kelembagaankelembagaan yang ada di tingkat pedesaan dan supra desa untuk melakukan proses perubahan bersama (co-evolution). Perubahan bersama (co-evolution) kelembagaan ketahanan pangan tersebut diharapkan dapat terjadi pada tataran sistem nilai dan norma, serta proses membentuk pola perilaku para aktor. Disamping itu, melalui implementasi Program Desa Mapan ini sebenarnya kelembagaan-kelembagaan pangan dari berbagai aras/tingkatan (komunitas, desa, kabupaten, provinsi dan pusat) telah diberi ruang untuk secara bersama-sama beraktivitas dalam mengelola sumber-sumber kehidupan yang ada di pedesaan, guna menciptakan kondisi ketahanan pangan komunitas pedesaan yang stabil dan berkelanjutan. Berdasarkan pada hasil kajian dan analisis dinamika kelembagaan dan aktor (masyarakat, pemerintah, swasta, dan perguruan tinggi) dalam mengakses dan memanfaatkan sumber-sumber kehidupan di tingkat lokal guna mewujudkan ketahanan pangan komunitas desa, maka diperoleh tiga temuan utama yaitu : Pertama, perbedaan karakteristik sosiologis dan ekologis komunitas petani pesisir dan pegunungan menyebabkan terjadinya perbedaan dalam karakteristik kelembagaan ketahanan pangan yang ada. Perbedaan tersebut terutama terletak pada kapasitas kelembagaan, dimana kapasitas kelembagaan komunitas petani pegunungan relatif lebih kuat dibandingkan dengan kapasitas kelembagaan komunitas petani pesisir. Ditinjau dari aspek sosiologis, faktor yang menyebabkan timbulnya perbedaan kapasitas tersebut adalah karena proses evolusi bersama (co-evolution) 230

4 kelembagaan komunitas petani pegunungan telah ditopang oleh tiga pilar kelembagaan (regulative, normative, cultural-cognitive) secara kontinum. Sedangkan pada proses evolusi bersama (co-evolution) kelembagaan komunitas petani pesisir cenderung hanya ditopang oleh dua pilar saja yakni pilar regulative dan normative. Sementara itu, pilar cultural-cognitive nyaris tidak diberi ruang dalam proses perkembangan kelembagaan komunitas petani pesisir, terutama pada masa pemerintahan Orde Baru. Kondisi inilah yang menyebabkan mengapa kelembagaan komunitas petani pegunungan di Desa Girijaya relatif lebih efektif jika dibandingkan dengan kelembagaan komunitas petani pesisir di Desa Cigadog dalam menjalankan fungsi dan perannya dalam proses pembangunan ketahanan pangan komunitas pedesaan. Kedua, terdapat perbedaan dalam hal pola adaptasi yang dikembangkan kedua komunitas petani dalam mengatasi masalah kerawanan pangan. Pola adaptasi yang dikembangkan komunitas petani pegunungan dalam mengatasi kerawanan pangan cenderung bersifat jangka panjang (adaptive mechanism) yaitu dengan memperkuat sumber-sumber kehidupannya melalui membangun kelembagaan ekonomi yang berkelanjutan dengan berbasiskan pada nilai gotong royong (lumbung paceklik, beras perelek, tabungan, arisan dan lembaga keuangan desa). Sedangkan pada kasus komunitas petani pesisir, pola adaptasi yang dikembangkan guna mengatasi masalah kerawanan pangan cenderung bersifat jangka pendek (coping mechanism) terutama bertujuan untuk mengakses pangan secara langsung, dengan cara bergantung pada sumberdaya alam yang ada (pertanian dan kelautan) dan/atau meminjam dari tengkulak/bandar. Ketiga, ditemukannya gejala atau fenomena bahwa perkembangan kelembagaan ekonomi masyarakat di Desa Girijaya cenderung berkembang ke arah terciptanya kelembagaan ekonomi gotong royong dimana sifat jalinan kerjasamanya atau sinergy antar stakeholders cenderung bernilai positive-sum. Sedangkan untuk kasus kelembagaan ekonomi masyarakat petani pesisir di Desa Cigadog cenderung berkembang ke arah kelembagaan ekonomi kapitalis lokal atau rentenir (loanshark), dimana jalinan kerjasamanya bersifat zero-sum, terutama bagi petani kecil. 231

5 8.2. Implikasi Berdasarkan pada hasil-hasil penelitian yang secara umum terangkum dalam uraian tentang kesimpulan di atas, maka secara langsung maupun tidak langsung penemuan tersebut akan memberi implikasi terhadap aspek : (1) kebijakan dan program ketahanan pangan, dan (2) adanya peluang untuk pengembangan sebuah proposisi mengenai hubungan antara variabel kelembagaan dengan variabel ketahanan pangan pada komunitas petani pedesaan. Beberapa implikasi terhadap aspek kebijakan dan program pemberdayaan ketahanan pangan pada komunitas pedesaan diantaranya adalah : Pertama, pihak pemerintah dalam merencanakan dan memilih kebijakan, program dan kegiatan pemberdayaan kelembagaan pangan perlu memperhatikan perbedaan kondisi dan karakteristik sosiologis (sosial, budaya, ekonomi dan politik) dan ekologis yang ada di kedua komunitas tersebut. Dalam pengertian, kebijakan, program dan kegiatan pemberdayaan kelembagaan ketahanan pangan yang akan diterapkan tidak dapat dilakukan secara seragam untuk kedua komunitas petani pesisir dan pegunungan. Hal ini penting, karena masalah dan potensi ketahanan pangan yang ada pada komunitas petani pesisir dan pegunungan relatif memiliki karakter yang berbeda. Kedua, kebijakan, strategi dan proses implementasi pemberdayaan kelembagaan ketahanan pangan pada komunitas pesisir perlu memberi ruang yang lebih besar pada aspek cultural-cognitive. Dalam pengertian, perlu dikembangkan lebih besar lagi upaya-upaya dialog dalam menyelesaikan masalah-masalah sosial yang terkait dengan tarik menarik kepentingan antara petani penggarap (masyarakat) dengan pihak swasta (PT. Condong) dalam mengakses sumber-sumber kehidupan (terutama sumberdaya lahan dan air). Pola-pola relasi sosial dan kerjasama antar stakeholders yang berbasis pada budaya lokal perlu lebih dikembangkan, seperti halnya pola relasi sosial yang berbasis pada filosofi hidup komunitas masyarakat sunda yakni budaya saling asah, saling asuh dan saling asih. Disamping itu, nilai budaya semangat jiwa gotong royong dan rasa solidaritas sosial tampaknya perlu lebih ditingkatkan penerapannya dalam berbagai segi kehidupan komunitas petani pesisir. Ketiga, strategi pemberdayaan kelembagaan ketahanan pangan pada komunitas pesisir seyogyanya ditekankan pada upaya untuk meningkatkan kapasitas kelembagaan dan mengubah pola adaptasi kelembagaan komunitas yang bersifat 232

6 jangka pendek (coping mechanism) dalam menghadapi masalah kerawanan pangan, menuju pola adaptasi jangka panjang (adaptive mechanism), yakni dengan membangun kelembagaan pangan yang berkelanjutan yang bersifat positive sum. Pada tataran praktis, selain dibangunnya kelembagaan-kelembagaan ketahanan intervensi pemerintah (seperti halnya kelompok-kelompok afinitas dan LKD), maka perlu juga dibangkitkan kembali kelembagaan pangan lokal seperti lumbung paceklik dan beras perelek di tingkat komunitas. Sedangkan strategi pemberdayaan kelembagaan ketahanan pangan pada komunitas pegunungan di Desa Girijaya dapat dilakukan dengan memberi dukungan penuh pada apa-apa yang telah dicapai oleh komunitas tersebut dalam membangun kelembagaan pangan, terutama melalui peningkatan kapasitas kelembagaan, jaringan kerjasama dan sinergy antar stakeholders. Pada tataran praktis, misalnya saja kelembagaan pangan lokal (lumbung paceklik) yang ada di komunitas pegunungan dapat ditingkatkan jumlah dan kapasitasnya. Keempat, perlu ada kebijakan, strategi dan tindakan nyata untuk mengurangi atau bahkan memutus ketergantungan yang tinggi dari para petani pesisir kepada para bandar/tengkulak dalam hal penyediaan permodalan usaha pertanian yang dinilai sangat merugikan petani kecil. Pada tataran praktis, dalam jangka pendek peran dan fungsi KUD Kecamatan Cikelet perlu lebih ditingkatkan lagi, terutama dalam membantu para petani pesisir di Desa Cigadog dalam hal penyediaan pinjaman modal, sarana produksi pertanian dan bantuan pemasaran. Sementara dalam jangka panjang, lembaga keuangan desa (LKD) yang sudah terbentuk di tingkat desa dapat lebih diperkuat lagi kapasitas dan permodalannya sehingga diharapkan dapat membantu para petani di bidang permodalan usaha pertanian. Sedangkan untuk kasus LKD pada komunitas petani pegunungan di Desa Girijaya yang relatif sudah jauh lebih kuat jika dibanding dengan LKD di komunitas petani pesisir. Maka alternatif strategi pengembangannya adalah dengan meningkatkan kapasitas LKD tersebut misalnya menjadi sebuah badan usaha milik desa (BUMDES). Dimana dengan ditingkatkan kapasitas LKD menjadi BUMDES, maka ruang lingkup usahanya tidak hanya terbatas pada usaha simpan pinjam, melainkan bisa lebih meluas lagi misalnya mencakup bidang penyediaan sarana produksi pertanian (Saprotan), serta pemasaran produk-produk pertanian dan industri rumah tangga. 233

7 Kelima, strategi peningkatan ketahanan pangan komunitas petani pesisir seyogyanya dilakukan dengan mengoptimalkan pemanfaatan sumberdaya pertanian dan kelautan, terutama melalui dukungan teknis, berupa : inovasi teknologi baru pemanfaatan SDA (on-farm dan off-farm) yang bersifat padat karya, tepat guna serta ramah lingkungan, dan pembangunan infrastruktur (bendungan, irigasi, pasar, dan dermaga). Selain itu diperlukan juga adanya upaya-upaya serius untuk meningkatkan kapasitas diri dan kelembagaan komunitas petani pesisir. Pada tataran praktis, upaya ini diantaranya dapat dilakukan dengan meningkatkan kapasitas kelembagaan BPP Kecamatan Cikelet agar dapat meningkatkan jangkauan pelayanan penyuluhan pertanian kepada komunitas petani pesisir di Desa Cigadog. Sedangkan pada kasus komunitas pegunungan, strategi peningkatan ketahanan pangan dilakukan dengan mengembangan industrialisasi pedesaan berbasis pertanian melalui peningkatan kapasitas, jaringan kerjasama dan pemasaran usaha industri rumah tangga (off-farm). Pada tataran praktis, beragam industri rumah tangga yang terdapat di komunitas petani pegunungan dapat lebih ditingkatkan lagi kuantitas dan kualitas produk-produk usahanya agar dapat menembus dan menjangkau pasar yang lebih luas lagi. Upaya ini diantaranya dapat dilakukan dengan melakukan : (1) kegiatan pelatihan-pelatihan peningkatan keterampilan wirausaha, (2) inovasi teknologi baru dalam industri pengolahan pangan yang padat karya, tepat guna dan ramah lingkungan, (3) memperluas jaringan pemasaran produk melalui kegiatan pameran produk-produk industri rumah tangga serta membentuk asosiasi-asosiasi pengrajin dan industri rumah tangga di tingkat kabupaten. Jika upaya-upaya ini dapat dilakukan, maka dalam jangka pendek diperkirakan dapat meningkatkan pendapatan ekonomi rumah tangga dan ketahanan pangan komunitas petani pegunungan. Sementara itu dalam jangka panjang, upaya ini diperkirakan dapat menciptakan dan memperluas lapangan pekerjaan di pedesaan, sehingga diharapkan mampu mengurangi tingkat migrasi dan pengangguran. Keenam, pemerintah daerah Kabupaten Garut perlu melakukan upaya-upaya yang lebih serius dan nyata untuk mereduksi atau mengurangi kentalnya ego sektoral pada dinas/instansi pemerintah terkait dengan implementasi Program Desa Mapan khususnya, dan program-program lain yang berkaitan dengan pembangunan komunitas pedesaan. Upaya ini menjadi sangat penting terutama untuk 234

8 meningkatkan efektivitas dan efisiensi (ekonomi dan sosial) dalam implementasi berbagai program pembangunan pedesaan. Terkait dengan implementasi Program Desa Mapan, maka pada tataran praktis upaya ini dapat dilakukan dengan meningkatkan peran kelembagaan Dewan Ketahanan Pangan dan Pokja Kabupaten Garut dalam melakukan fungsi koordinasi dan singkronisasi program ketahanan pangan di tingkat kabupaten. Secara politis pihak Lembaga DPRD diharapkan dapat mendorong dan memberikan masukan kepada pihak eksekutif (Bupati) untuk lebih meningkatkan perhatian dan kinerjanya dalam mengentaskan masalah-masalah kerawanan pangan dan kemiskinan di pedesaan guna meningkatkan kondisi ketahanan pangan dan kesejahteraan komunitas petani pedesaan. Ketujuh, strategi implementasi Program Desa Mapan khususnya dan programprogram pembangunan lainnya di komunitas pedesaan, perlu memberikan perhatian yang lebih besar lagi terhadap aspek keberlanjutan sumberdaya alam dan lingkungan. Pada tataran praktis, untuk kasus komunitas petani pesisir maka perlu dilakukannya upaya penghijauan di sepanjang pesisir pantai dan memperkuat tanggul penahan abrasi pantai. Sedangkan untuk bidang pertanian perlu dikembangkan sistem usahatani yang ramah lingkungan dan berkelanjutan. Bermacam kegiatan penyuluhan dan pelatihan yang diharapkan dapat membantu mendorong dan mengembangkan sistem usahatani yang ramah lingkungan dan berkelanjutan misalnya : penyuluhan pengembangan diversifikasi tanaman pertanian, pelatihan pembuatan pupuk kompos/organik, pelatihan pengembangan bio-gas atau bio-energi. Sedangkan untuk kasus komunitas petani pegunungan, maka perlu ada upaya-upaya serius untuk melestarikan ekosistem Gunung Singkup, hal ini mengingat bahwa Gunung Singkup dan daerah sekitarnya memiliki fungsi ekologis yang vital. Dimana selain sebagai daerah tangkapan hujan dan resapan air, wilayah Gunung Singkup juga merupakan sumber mata air dan sumber mata pencaharian bagi sebagian besar penduduk Desa Girijaya. Pada tataran praktis, kegiatan yang dapat dilakukan untuk melestarikan ekosistem Gunung Singkup yaitu dengan melakukan penghijauan dan penghutanan kembali wilayah di sekitar Gunung Singkup. Disamping itu, para petani yang tergabung dalam implementasi Program PHBM di sekitar Gunung Singkup seyogyanya mengurangi kecenderungan menanam tanaman palawija 235

9 Kedelapan, terkait dengan kondisi ketahanan pangan bangsa Indonesia saat ini yang semakin melemah, dimana salah satunya penyebabnya adalah berkaitan dengan terlalu mudahnya pemerintah membuka keran bagi masuknya investasi asing di bidang pangan, maka pada tingkat nasional pemerintah sesungguhnya tidak memiliki pilihan lain, selain wajib hukumnya untuk mengambil dan menerapkan konsep kedaulatan pangan. Dimana konsep kedaulatan pangan sangat memperhatikan aspek sosio-produksi dan sosio-politis dari sebuah sistem pangan di suatu wilayah. Pilihan ini sangat penting dan mendasar karena pemerintah telah berjanji untuk memegang dan menjalankan amanah konstitusi UUD 1945, terutama terkait dengan Pasal 33 ayat 1,2,3 dan pasal 4 (perubahan). Dimana aspek sosio-produksi tercermin pada Pasal 2 yang secara eksplisit menyatakan bahwa cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara. Sedangkan aspek sosio-politis tercermin dalam ayat 4 (perubahan) yang secara tegas menyatakan bahwa Perekonomian nasional diselenggarakan berdasar atas demokrasi ekonomi dengan prinsip kebersamaan, efisiensi berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian, serta menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan Indonesia. Sedangkan pada tataran daerah dan desa, konsep kedaulatan pangan seyogyanya dapat diterapkan secara lebih longgar (fleksible), dalam pengertian tidak harus berarti bahwa daerah/desa tersebut harus berdaulat dalam keseluruhan sistem pangan (produksi, distribusi dan konsumsi). Melainkan disesuaikan dengan potensi sumber-sumber kehidupan dan kemampuan SDM daerah/desa tersebut dalam mewujudkan kedaulatan pangan. Tetapi satu prinsip yang tidak boleh diabaikan adalah bahwa cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak yang ada di suatu daerah/desa, tetap harus dikuasai oleh negara dan dimanfaatkan sebesar-besarnya untuk kemakmuran dan kesejahteraan rakyat secara berkelanjutan. Konsep kedaulatan pangan di atas tidak berarti bahwa pihak swasta tidak diijinkan untuk mengelola dan memanfaatkan sumber-sumber kehidupan yang ada di daerah/desa, melainkan pihak swasta tetap diijinkan namun harus diatur oleh negara sedemikian rupa sehingga dapat memberi sumbangsih yang nyata bagi upaya peningkatan kesejahteraan ekonomi dan sosial masyarakat yang ada di sekitarnya secara berkeadilan. Hal ini penting, terutama untuk mencegah timbulnya kasus 236

10 kerawanan pangan dan kemiskinan di suatu daerah/desa yang disebabkan (terutama) oleh faktor kebijakan pemerintah yang kurang adil dalam mengatur pengelolaan dan pemanfaatan sumber-sumber kehidupan yang ada di daerah/desa tersebut. Terkait dengan penelitian ini, fenomena seperti itu tercermin terutama dari timbulnya kasus kerawanan pangan dan kemiskinan pada komunitas petani pesisir di Desa Cigadog. Sementara itu, implikasi dari hasil penelitian ini terhadap aspek kerangka analisis atau kerangka teoritis adalah terutama terkait dengan adanya peluang untuk membangun sebuah kerangka analisis penelitian dan proposisi mengenai hubungan antara aspek kelembagaan dengan aspek ketahanan pangan, khususnya pada komunitas pedesaan. Sebagaimana telah dikemukakan sebelumnya, fokus dari penelitian ini adalah untuk mengkaji dinamika pemberdayaan kelembagaan komunitas petani pesisir dan pegunungan dalam mewujudkan ketahanan pangan yang berkelanjutan (sustainable food scurity) dengan berbasis pada keragaman sosiologis dan ekologis. Peneliti dalam kajian ini menggunakan tiga teori utama dan dua kerangka analisis penelitian yaitu : (1) teori dan konsep sustainable rural livelihood dari Chambers dan Conway (1991), (2) teori dan konsep entitlement dari Amartya Sen (1981), serta (3) paduan teori Carney dan Gedajlevic (2002) dan Scoot (2008) tentang proses evolusi bersama (co-evolution) antara kelembagaan dan organisasi yang ditopang oleh tiga pilar kelembagaan (regulative, normative dan cultural-cognitive). 29 Sedangkan dua kerangka analisis penelitian yang digunakan adalah bersumber dari Nasdian (2006 ; 2008) yaitu ; (1) kerangka analisis tentang pemberdayaan partisipatif komunitas pedesaan berbasis pengembangan dan penguatan kapasitas, jejaring kerjasama (networking), dan sinergy antar stakeholders (masyarakat, pemerintah dan swasta). 30 (2) Kerangka analisis tentang proses evolusi bersama (co-evolution) kelembagaan kecamatan. Dimana kedua kerangka analisis ini diterapkan oleh 29 Paduan teori Carney dan Gedajlevic (2002) dan Scoot (2008) yang digunakan untuk menganalisis co-evolution kelembagaan dan organisasi ini diadopsi dari kerangka analisis Nasdian (2008) dalam kajiannya tentang proses co-evolution lembaga kecamatan. 30 Menurut Nasdian (2006), melalui pendekatan pemberdayaan partisipatif ini, semua usaha swadaya masyarakat diintegrasikan dengan usaha-usaha pemerintah setempat dan stakeholders lainnya untuk meningkatkan taraf hidup, dengan sebesar mungkin ketergantungan pada inisiatif penduduk sendiri, serta pelayanan teknis sehingga proses pembangunan berjalan efektif. 237

11 peneliti terutama untuk menganalisis perubahan atau perkembangan pemberdayaan kelembagaan pangan komunitas petani pesisir dan pegunungan. Sebenarnya pada faktanya dalam menganalisis hasil-hasil penelitian ini, peneliti juga menggunakan beberapa teori dan metode atau kerangka analisis di luar dari apa yang telah disebutkan di atas. Hal ini sejalan dengan digunakannya paradigma konstruktivisme sebagai basis dari paradigma penelitian ini. Sehingga metode dan teori diletakan sedemikian rupa dalam posisi kritis, dalam pengertian metode dan teori yang dipilih oleh peneliti tidak hanya dilihat dari kemampuannya dalam menjelaskan, tetapi juga dalam menafsir realitas sosial yang dinamis, serta sedapat mungkin diupayakan agar dapat terbebaskan dari kepentingan ideologis. Berdasarkan pada hasil penelitian ini, maka secara teoritis dapat dijelaskan bahwa kondisi ketahanan pangan sebuah komunitas dipengaruhi oleh faktor-faktor : (1) kondisi sumber-sumber kehidupan (human capital, social capital, natural capital, physical capital dan financial capital) yang dimiliki komunitas tersebut, (2) Pola relasi sosial antar stakeholders dalam mengakses (pola entitlement) dan memanfaatkan sumbersumber kehidupan yang ada pada komunitas tersebut, (3) Tingkat kerentanan (vulnerability) atau kemampuan suatu komunitas tersebut dalam merespon perubahan yang disebabkan oleh adanya tekanan shock, trend dan seasonality, (4) Struktur dan proses perkembangan kelembagaan pangan (lokal & intervensi) yang ada pada komunitas tersebut, dan (5) Proses dan implementasi kebijakan terkait dengan ketahanan pangan pada komunitas tersebut. Kelima faktor yang mempengaruhi kondisi ketahanan pangan sebuah komunitas tersebut di atas, bersifat saling terkait dan saling mempengaruhi. Sehingga antara satu faktor dengan faktor lainnya tidak dapat dipisahkan. Hal ini juga memberi konsekwensi bahwa dalam menganalisis kondisi ketahanan pangan suatu komunitas, maka kelima faktor tersebut harus dikaji dan dianalisis sedemikian rupa agar dapat memberikan hasil kajian yang sifatnya terpadu dan menyeluruh (holistik). Terkait dengan hubungan antara kelembagaan dan ketahanan pangan komunitas petani pedesaan, maka dari hasil penelitian ini setidaknya dapat diajukan sebuah proposisi bahwa : suatu komunitas petani pedesaan dimana proses perubahan dan perkembangan kelembagaan ketahanan pangannya ditopang dengan tiga pilar 238

12 kelembagaan (regulative, normative, cultural-coginitive) secara kontinum, maka secara relatif akan menunjukan kondisi ketahanan pangan komunitas yang lebih kuat jika dibanding dengan komunitas petani pedesaan dimana proses perubahan dan perkembangan kelembagaan ketahanan pangannya hanya ditopang oleh dua pilar kelembagaan saja (regulative dan normative). Proposisi di atas sama sekali tidak ditujukan untuk membuat generalisasi karena pada dasarnya penelitian ini tidak ditujukan untuk verifikasi suatu teori atau hipotesis, melainkan lebih kepada untuk menjelaskan (explanatory) suatu realitas sosial yang berada dalam lingkup ruang dan waktu yang tertentu dan terbatas. Sehingga sudah dapat dipastikan bahwa fakta-fakta dan realitas sosial yang berhasil ditangkap dan dijelaskan oleh peneliti pada akhirnya juga akan bersifat relatif dan terbatas. 239

DINAMIKA PEMBERDAYAAN KELEMBAGAAN KOMUNITAS PETANI PESISIR DAN PEGUNUNGAN DALAM MEWUJUDKAN KETAHANAN PANGAN MASYARAKAT PEDESAAN RAIS SONAJI

DINAMIKA PEMBERDAYAAN KELEMBAGAAN KOMUNITAS PETANI PESISIR DAN PEGUNUNGAN DALAM MEWUJUDKAN KETAHANAN PANGAN MASYARAKAT PEDESAAN RAIS SONAJI DINAMIKA PEMBERDAYAAN KELEMBAGAAN KOMUNITAS PETANI PESISIR DAN PEGUNUNGAN DALAM MEWUJUDKAN KETAHANAN PANGAN MASYARAKAT PEDESAAN (Studi Kasus Pemberdayaan Kelembagaan Ketahanan Pangan Pedesaan di Desa Cigadog,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pangan adalah kebutuhan dasar manusia paling utama, dan pemenuhan kebutuhan akan pangan merupakan bagian dari hak asasi setiap individu. Ketahanan pangan, disamping

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. Latar Belakang

PENDAHULUAN. Latar Belakang PENDAHULUAN Latar Belakang Pembangunan pedesaan sebagai bagian dari pembangunan nasional memfokuskan diri pada masalah kemiskinan di pedesaan. Jumlah penduduk miskin di Indonesia pada bulan Maret 2006

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN

III. METODE PENELITIAN III. METODE PENELITIAN 3.1. Batasan Analisis Batasan analisis dalam penelitian ini adalah: Pertama, Pokok persoalan yang diangkat adalah persoalan keterbatasan lahan, tingkat kerentanan produk tembakau

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. lapangan kerja, pengentasan masyarakat dari kemiskinan. Dalam upaya

I. PENDAHULUAN. lapangan kerja, pengentasan masyarakat dari kemiskinan. Dalam upaya I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pembangunan pertanian yang berkelanjutan merupakan suatu kegiatan yang mutlak dilakukan dalam upaya pemenuhan kebutuhan pangan, memperluas lapangan kerja, pengentasan

Lebih terperinci

BAB VI LANGKAH KE DEPAN

BAB VI LANGKAH KE DEPAN BAB VI LANGKAH KE DEPAN Pembangunan Pertanian Berbasis Ekoregion 343 344 Pembangunan Pertanian Berbasis Ekoregion LANGKAH LANGKAH KEDEPAN Seperti yang dibahas dalam buku ini, tatkala Indonesia memasuki

Lebih terperinci

BAB III PENGALAMAN METODOLOGIS. 1. Pertanyaan tentang peta sosial dan kondisi sumber-sumber kehidupan komunitas petani pesisir dan pegunungan

BAB III PENGALAMAN METODOLOGIS. 1. Pertanyaan tentang peta sosial dan kondisi sumber-sumber kehidupan komunitas petani pesisir dan pegunungan BAB III PENGALAMAN METODOLOGIS 3.1. Hipotesa Pengarah Penelitian ini pada dasarnya menggunakan paradigma konstuktivisme dengan pendekatan kualitatif. Sehingga penelitian ini tidak dimaksudkan untuk melakukan

Lebih terperinci

III. RUMUSAN, BAHAN PERTIMBANGAN DAN ADVOKASI ARAH KEBIJAKAN PERTANIAN 3.3. PEMANTAPAN KETAHANAN PANGAN : ALTERNATIF PEMIKIRAN

III. RUMUSAN, BAHAN PERTIMBANGAN DAN ADVOKASI ARAH KEBIJAKAN PERTANIAN 3.3. PEMANTAPAN KETAHANAN PANGAN : ALTERNATIF PEMIKIRAN III. RUMUSAN, BAHAN PERTIMBANGAN DAN ADVOKASI ARAH KEBIJAKAN PERTANIAN Pada tahun 2009, Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian melakukan kegiatan analisis dan kajian secara spesifik tentang

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 63 TAHUN 2013 TENTANG PELAKSANAAN UPAYA PENANGANAN FAKIR MISKIN MELALUI PENDEKATAN WILAYAH

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 63 TAHUN 2013 TENTANG PELAKSANAAN UPAYA PENANGANAN FAKIR MISKIN MELALUI PENDEKATAN WILAYAH PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 63 TAHUN 2013 TENTANG PELAKSANAAN UPAYA PENANGANAN FAKIR MISKIN MELALUI PENDEKATAN WILAYAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang:

Lebih terperinci

PERANAN DINAS PERINDUSTRIAN DAN PERDAGANGAN DALAM PEMBINAAN USAHA KERAJINAN KERIPIK TEMPE DI KABUPATEN NGAWI SKRIPSI

PERANAN DINAS PERINDUSTRIAN DAN PERDAGANGAN DALAM PEMBINAAN USAHA KERAJINAN KERIPIK TEMPE DI KABUPATEN NGAWI SKRIPSI PERANAN DINAS PERINDUSTRIAN DAN PERDAGANGAN DALAM PEMBINAAN USAHA KERAJINAN KERIPIK TEMPE DI KABUPATEN NGAWI SKRIPSI Diajukan untuk memenuhi sebagai persyaratan memperoleh Gelar Sarjana pada FISIP UPN

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 63 TAHUN 2013 TENTANG PELAKSANAAN UPAYA PENANGANAN FAKIR MISKIN MELALUI PENDEKATAN WILAYAH

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 63 TAHUN 2013 TENTANG PELAKSANAAN UPAYA PENANGANAN FAKIR MISKIN MELALUI PENDEKATAN WILAYAH PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 63 TAHUN 2013 TENTANG PELAKSANAAN UPAYA PENANGANAN FAKIR MISKIN MELALUI PENDEKATAN WILAYAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang

Lebih terperinci

MENINGKATKAN PERAN SEKTOR PERTANIAN DALAM PENANGGULANGAN KEMISKINAN 1

MENINGKATKAN PERAN SEKTOR PERTANIAN DALAM PENANGGULANGAN KEMISKINAN 1 MENINGKATKAN PERAN SEKTOR PERTANIAN DALAM PENANGGULANGAN KEMISKINAN 1 A. KONDISI KEMISKINAN 1. Asia telah mencapai kemajuan pesat dalam pengurangan kemiskinan dan kelaparan pada dua dekade yang lalu, namun

Lebih terperinci

BAB V PROSES KEBIJAKAN DAN HASIL IMPLEMENTASI PROGRAM PEMBERDAYAAN DALAM MEWUJUDKAN KETAHANAN PANGAN KOMUNITAS DESA

BAB V PROSES KEBIJAKAN DAN HASIL IMPLEMENTASI PROGRAM PEMBERDAYAAN DALAM MEWUJUDKAN KETAHANAN PANGAN KOMUNITAS DESA BAB V PROSES KEBIJAKAN DAN HASIL IMPLEMENTASI PROGRAM PEMBERDAYAAN DALAM MEWUJUDKAN KETAHANAN PANGAN KOMUNITAS DESA 5.1. Kebijakan Ketahanan Pangan Nasional Perangkat hukum tertinggi yang memayungi dan

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kemiskinan di Indonesia merupakan masalah pokok nasional yang penanggulangannya tidak dapat ditunda dan harus menjadi pioritas utama dalam pelaksanaan pembangunan masyarakat.

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. menyebabkan terjadinya perubahan struktur penguasaan lahan pertanian, pola

I. PENDAHULUAN. menyebabkan terjadinya perubahan struktur penguasaan lahan pertanian, pola 1 I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Proses pelaksanaan pembangunan, dalam jangka menengah dan panjang menyebabkan terjadinya perubahan struktur penguasaan lahan pertanian, pola hubungan kerja dan stuktur

Lebih terperinci

BAB IV ANALISIS ISU-ISU STRATEGIS

BAB IV ANALISIS ISU-ISU STRATEGIS BAB IV ANALISIS ISU-ISU STRATEGIS Pada bab sebelumnya telah diuraikan gambaran umum Kabupaten Kebumen sebagai hasil pembangunan jangka menengah 5 (lima) tahun periode yang lalu. Dari kondisi yang telah

Lebih terperinci

- 1 - BAB I PENGUATAN REFORMASI BIROKRASI

- 1 - BAB I PENGUATAN REFORMASI BIROKRASI - 1 - LAMPIRAN PERATURAN MENTERI SOSIAL REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2016 TENTANG ROAD MAP REFORMASI BIROKRASI DI LINGKUNGAN KEMENTERIAN SOSIAL TAHUN 2015-2019. BAB I PENGUATAN REFORMASI BIROKRASI

Lebih terperinci

PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sektor pertanian mempunyai peranan yang sangat penting bagi perekonomian Indonesia. Peran pertanian antara lain adalah (1) sektor pertanian menyumbang sekitar 22,3 % dari

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 63 TAHUN 2013 TENTANG PELAKSANAAN UPAYA PENANGANAN FAKIR MISKIN MELALUI PENDEKATAN WILAYAH

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 63 TAHUN 2013 TENTANG PELAKSANAAN UPAYA PENANGANAN FAKIR MISKIN MELALUI PENDEKATAN WILAYAH SALINAN PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 63 TAHUN 2013 TENTANG PELAKSANAAN UPAYA PENANGANAN FAKIR MISKIN MELALUI PENDEKATAN WILAYAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Lebih terperinci

PROFESIONALISME DAN PERAN PENYULUH PERIKANAN DALAM PEMBANGUNAN PELAKU UTAMA PERIKANAN YANG BERDAYA

PROFESIONALISME DAN PERAN PENYULUH PERIKANAN DALAM PEMBANGUNAN PELAKU UTAMA PERIKANAN YANG BERDAYA PROFESIONALISME DAN PERAN PENYULUH PERIKANAN DALAM PEMBANGUNAN PELAKU UTAMA PERIKANAN YANG BERDAYA Fahrur Razi Penyuluh Perikanan Muda pada Pusat Penyuluhan Kelautan dan Perikanan email: fahrul.perikanan@gmail.com

Lebih terperinci

KESIAPAN KABUPATEN MAROS MELAKSANAKAN SDGs. Ir. H. M. HATTA RAHMAN, MM (BUPATI MAROS)

KESIAPAN KABUPATEN MAROS MELAKSANAKAN SDGs. Ir. H. M. HATTA RAHMAN, MM (BUPATI MAROS) KESIAPAN KABUPATEN MAROS MELAKSANAKAN Ir. H. M. HATTA RAHMAN, MM (BUPATI MAROS) LATAR BELAKANG KONDISI KABUPATEN MAROS PASCA MDGs (RPJMD PERIODE 2010 2015) DATA CAPAIAN INDIKATOR MDGs TAHUN 2010 2015 MENUNJUKAN

Lebih terperinci

BAB IV VISI, MISI, TUJUAN, SASARAN, STRATEGI DAN KEBIJAKAN

BAB IV VISI, MISI, TUJUAN, SASARAN, STRATEGI DAN KEBIJAKAN BAB IV VISI, MISI, TUJUAN, SASARAN, STRATEGI DAN KEBIJAKAN 4.1 Visi dan Misi SKPD Sejalan dengan tugas pokok dan fungsi BPPKP sebagaimana yang diamanatkan dalam Peraturan Bupati (Perbup) Nomor 52 Tahun

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. diperlukan suatu upaya untuk membantu kelancaran pembangunan pertanian yaitu

BAB I PENDAHULUAN. diperlukan suatu upaya untuk membantu kelancaran pembangunan pertanian yaitu BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Sebagai negara agraris Indonesia menempatkan pertanian sebagai sektor sentral yang didukung oleh tersebarnya sebagian besar penduduk Indonesia yang hidup sebagai

Lebih terperinci

Pembangunan Daerah Berbasis Pengelolaan SDA. Nindyantoro

Pembangunan Daerah Berbasis Pengelolaan SDA. Nindyantoro Pembangunan Daerah Berbasis Pengelolaan SDA Nindyantoro Permasalahan sumberdaya di daerah Jawa Barat Rawan Longsor BANDUNG, 24-01-2008 2008 : (PR).- Dalam tahun 2005 terjadi 47 kali musibah tanah longsor

Lebih terperinci

LD NO.14 PENJELASAN ATAS PERATURAN DAERAH KABUPATEN GARUT NOMOR 14 TAHUN 2012 TENTANG PENANAMAN MODAL I. UMUM

LD NO.14 PENJELASAN ATAS PERATURAN DAERAH KABUPATEN GARUT NOMOR 14 TAHUN 2012 TENTANG PENANAMAN MODAL I. UMUM I. UMUM PENJELASAN ATAS PERATURAN DAERAH KABUPATEN GARUT NOMOR 14 TAHUN 2012 TENTANG PENANAMAN MODAL 1. Pembangunan daerah merupakan bagian integral dari pembangunan nasional, sebagai upaya terus menerus

Lebih terperinci

Laporan Akhir Kajian Iventarisasi Potensi Sumber Daya Alam di Kabupaten Pelalawan Tahun 2009 PENDAHULUAN

Laporan Akhir Kajian Iventarisasi Potensi Sumber Daya Alam di Kabupaten Pelalawan Tahun 2009 PENDAHULUAN BA B PENDAHULUAN I 1.1. Latar Belakang Sebagai bangsa yang besar dengan kekayaan potensi sumber daya alam yang luar biasa, sebenarnya Indonesia memiliki peluang yang besar untuk menjadi pelaku ekonomi

Lebih terperinci

BAB IV VISI, MISI, TUJUAN, SASARAN, STRATEGI DAN KEBIJAKAN

BAB IV VISI, MISI, TUJUAN, SASARAN, STRATEGI DAN KEBIJAKAN BAB IV VISI, MISI, TUJUAN, SASARAN, STRATEGI DAN KEBIJAKAN 4.1. Visi dan Misi Badan Pelaksana Penyuluhan Pertanian, Perikanan, Kehutanan dan Ketahanan Pangan (BP4K2P) Kabupaten Jayawijaya merupakan Organsasi

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Pembangunan Pertanian Paradigma pembangunan pertanian berkelanjutan dapat menjadi solusi alternatif dalam upaya meningkatkan kesejahteraan rakyat tanpa mengabaikan kelestarian

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pasar belum tentu dapat dimanfaatkan oleh masyarakat yang kemampuan

BAB I PENDAHULUAN. pasar belum tentu dapat dimanfaatkan oleh masyarakat yang kemampuan BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Seiring dengan dinamika pembangunan, peningkatan kesejahteraan masyarakat telah menumbuhkan aspirasi dan tuntutan baru dari masyarakat untuk mewujudkan kualitas kehidupan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia adalah negara kaya yang dikenal sebagai negara kepulauan. Negara ini

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia adalah negara kaya yang dikenal sebagai negara kepulauan. Negara ini BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia adalah negara kaya yang dikenal sebagai negara kepulauan. Negara ini memiliki banyak wilayah pesisir dan lautan yang terdapat beragam sumberdaya alam. Wilayah

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. Latar Belakang

PENDAHULUAN. Latar Belakang PENDAHULUAN Latar Belakang Indonesia merupakan sebuah negara yang memiliki beragam suku bangsa yang menyebar dan menetap pada berbagai pulau besar maupun pulau-pulau kecil yang membentang dari Sabang sampai

Lebih terperinci

RANCANGAN RENCANA KERJA PEMBANGUNAN DAERAH (RKPD) KABUPATEN MALANG TAHUN 2012

RANCANGAN RENCANA KERJA PEMBANGUNAN DAERAH (RKPD) KABUPATEN MALANG TAHUN 2012 RANCANGAN RENCANA KERJA PEMBANGUNAN DAERAH (RKPD) KABUPATEN MALANG TAHUN 2012 PERMASALAHAN PEMBANGUNAN TAHUN 1. Perlunya memajukan pertanian (tanaman pangan, perkebunan, peternakan, perikanan kelautan)

Lebih terperinci

BAB III Visi dan Misi

BAB III Visi dan Misi BAB III Visi dan Misi 3.1 Visi Pembangunan daerah di Kabupaten Bandung Barat, pada tahap lima tahun ke II Rencana Pembangunan Jangka Panjang Daerah (RPJPD) atau dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah

Lebih terperinci

Walikota Tasikmalaya Provinsi Jawa Barat

Walikota Tasikmalaya Provinsi Jawa Barat - 1 - Walikota Tasikmalaya Provinsi Jawa Barat Menimbang PERATURAN DAERAH KOTA TASIKMALAYA NOMOR 5 TAHUN 2017 TENTANG KETAHANAN PANGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALI KOTA TASIKMALAYA, : a. bahwa

Lebih terperinci

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN GUNUNGKIDUL ( Berita Resmi Pemerintah Kabupaten Gunungkidul ) Nomor : 7 Tahun : 2013

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN GUNUNGKIDUL ( Berita Resmi Pemerintah Kabupaten Gunungkidul ) Nomor : 7 Tahun : 2013 LEMBARAN DAERAH KABUPATEN GUNUNGKIDUL ( Berita Resmi Pemerintah Kabupaten Gunungkidul ) Nomor : 7 Tahun : 2013 PERATURAN DAERAH KABUPATEN GUNUNGKIDUL NOMOR 7 TAHUN 2013 TENTANG PEMBERIAN INSENTIF DAN KEMUDAHAN

Lebih terperinci

Bab I Pendahuluan I.1 Latar Belakang

Bab I Pendahuluan I.1 Latar Belakang 1 Bab I Pendahuluan I.1 Latar Belakang Lahan merupakan salah satu sumber daya alam yang merupakan modal dasar bagi pembangunan di semua sektor, yang luasnya relatif tetap. Lahan secara langsung digunakan

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. Latar Belakang

PENDAHULUAN. Latar Belakang 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Salah satu isu yang muncul menjelang berakhirnya abad ke-20 adalah persoalan gender. Isu tentang gender ini telah menjadi bahasan yang memasuki setiap analisis sosial. Gender

Lebih terperinci

SEMINAR NASIONAL Dinamika Pembangunan Pertanian dan Pedesaan: Mencari Alternatif Arah Pengembangan Ekonomi Rakyat.

SEMINAR NASIONAL Dinamika Pembangunan Pertanian dan Pedesaan: Mencari Alternatif Arah Pengembangan Ekonomi Rakyat. SEMINAR NASIONAL Dinamika Pembangunan Pertanian dan Pedesaan: Mencari Alternatif Arah Pengembangan Ekonomi Rakyat Rumusan Sementara A. Pendahuluan 1. Dinamika impelementasi konsep pembangunan, belakangan

Lebih terperinci

Grafik 1. Area Bencana

Grafik 1. Area Bencana Untuk mendapatkan gambaran awal sejauh mana masyarakat Indonesia sadar akan isuisu lingkungan dan dampak kerusakan lingkungan yang ditimbulkan dalam jangka panjang, pada penghujung tahun 2013, WWF-Indonesia

Lebih terperinci

BAB V VISI, MISI, TUJUAN DAN SASARAN

BAB V VISI, MISI, TUJUAN DAN SASARAN BAB V VISI, MISI, TUJUAN DAN SASARAN 5.1 Visi Visi didefinisikan sebagai suatu kondisi ideal masa depan yang ingin dicapai dalam suatu periode perencanaan berdasarkan pada situasi dan kondisi saat ini.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Kegiatan ekonomi masyarakat dalam bidang perikanan Indonesia, telah menjadi

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Kegiatan ekonomi masyarakat dalam bidang perikanan Indonesia, telah menjadi BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Kegiatan ekonomi masyarakat dalam bidang perikanan Indonesia, telah menjadi salah satu kegiatan perekonomian penduduk yang sangat penting. Perikanan dan Kelautan

Lebih terperinci

PEMERINTAH KABUPATEN BANGKALAN

PEMERINTAH KABUPATEN BANGKALAN PEMERINTAH KABUPATEN BANGKALAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANGKALAN NOMOR 12 TAHUN 2010 TENTANG RENCANA PEMBANGUNAN JANGKA PANJANG DAERAH KABUPATEN BANGKALAN TAHUN 2005 2025 DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA

Lebih terperinci

DRAFT REKOMENDASI KEBIJAKAN

DRAFT REKOMENDASI KEBIJAKAN DRAFT REKOMENDASI KEBIJAKAN JUDUL REKOMENDASI Strategi Optimalisasi Unsur Unsur Positif Lokal untuk Mendukung Penerapan Prinsip Prinsip Blue Economy di Wilayah Coral Triangle SASARAN REKOMENDASI Kebijakan

Lebih terperinci

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.157, 2013 LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA KESEJAHTERAAN. Penanganan. Fakir Miskin. Pendekatan Wilayah. Pelaksanaan. (Penjelasan Dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5449) PERATURAN

Lebih terperinci

Shared Resources Joint Solutions

Shared Resources Joint Solutions Lembar Informasi Shared Resources Joint Solutions Sawit Watch - Padi Indonesia SRJS di Kabupaten Bulungan Program dengan pendekatan bentang alam ini memilih Daerah Aliran Sungai Kayan dengan titik intervensi

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KABUPATEN HULU SUNGAI SELATAN NOMOR 5 TAHUN 2012 TENTANG PENANGGULANGAN KEMISKINAN

PERATURAN DAERAH KABUPATEN HULU SUNGAI SELATAN NOMOR 5 TAHUN 2012 TENTANG PENANGGULANGAN KEMISKINAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN HULU SUNGAI SELATAN NOMOR 5 TAHUN 2012 TENTANG PENANGGULANGAN KEMISKINAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI HULU SUNGAI SELATAN, Menimbang : a. bahwa dalam rangka memenuhi

Lebih terperinci

PENDEKATAN TEORITIS. Tinjauan Pustaka. Taman Nasional

PENDEKATAN TEORITIS. Tinjauan Pustaka. Taman Nasional 5 PENDEKATAN TEORITIS Tinjauan Pustaka Taman Nasional Menurut UU No. 5 Tahun 1990 Taman nasional adalah kawasan pelestarian alam yang mempunyai ekosistem asli, dikelola dengan sistem zonasi yang dimanfaatkan

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 68 TAHUN 2002 TENTANG KETAHANAN PANGAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 68 TAHUN 2002 TENTANG KETAHANAN PANGAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 68 TAHUN 2002 TENTANG KETAHANAN PANGAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa ketahanan pangan merupakan hal yang sangat penting dalam rangka pembangunan

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 68 TAHUN 2002 TENTANG KETAHANAN PANGAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 68 TAHUN 2002 TENTANG KETAHANAN PANGAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 68 TAHUN 2002 TENTANG KETAHANAN PANGAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa ketahanan pangan merupakan hal yang sangat penting dalam rangka pembangunan

Lebih terperinci

TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA RI

TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA RI No. 5449 TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA RI KESEJAHTERAAN. Penanganan. Fakir Miskin. Pendekatan Wilayah. Pelaksanaan. (Penjelasan Atas Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2013 Nomor 157) PENJELASAN ATAS

Lebih terperinci

PERAN TEKNOLOGI PANGAN DALAM MEWUJUDKAN DESA MANDIRI PANGAN

PERAN TEKNOLOGI PANGAN DALAM MEWUJUDKAN DESA MANDIRI PANGAN PERAN TEKNOLOGI PANGAN DALAM MEWUJUDKAN DESA MANDIRI PANGAN Welli Yuliatmoko 1 Universitas Terbuka Email korespondensi : welli@ut.ac.id Abstrak Abstrak. Desa Mandiri Pangan adalah desa/kelurahan yang masyarakatnya

Lebih terperinci

BAB IV ANALISIS ISU-ISU STRATEGIS

BAB IV ANALISIS ISU-ISU STRATEGIS BAB IV ANALISIS ISU-ISU STRATEGIS A. Permasalahan Pembangunan Dari kondisi umum daerah sebagaimana diuraikan pada Bab II, dapat diidentifikasi permasalahan daerah sebagai berikut : 1. Masih tingginya angka

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. perekonomian nasional. Hal ini dapat dilihat dari kontribusi yang dominan, baik

BAB I PENDAHULUAN. perekonomian nasional. Hal ini dapat dilihat dari kontribusi yang dominan, baik BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sektor pertanian mempunyai peranan yang sangat penting dalam perekonomian nasional. Hal ini dapat dilihat dari kontribusi yang dominan, baik secara langsung maupun

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang PENDAHULUAN Latar Belakang Krisis ekonomi yang melanda Indonesia sejak pertengahan 1997 lalu, membawa dampak yang sangat besar terhadap hampir semua lapisan masyarakat. Angka kemiskinan dan pengangguran

Lebih terperinci

BAB V VISI, MISI,TUJUAN DAN SASARAN

BAB V VISI, MISI,TUJUAN DAN SASARAN BAB V VISI, MISI,TUJUAN DAN SASARAN Perencanaan pembangunan daerah adalah suatu proses penyusunan tahapantahapan kegiatan yang melibatkan berbagai unsur pemangku kepentingan, guna pemanfaatan dan pengalokasian

Lebih terperinci

Kimparswil Propinsi Bengkulu,1998). Penyebab terjadinya abrasi pantai selain disebabkan faktor alamiah, dikarenakan adanya kegiatan penambangan pasir

Kimparswil Propinsi Bengkulu,1998). Penyebab terjadinya abrasi pantai selain disebabkan faktor alamiah, dikarenakan adanya kegiatan penambangan pasir I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Wilayah pesisir merupakan wilayah yang memberikan kontribusi produksi perikanan yang sangat besar dan tempat aktivitas manusia paling banyak dilakukan; bahkan menurut

Lebih terperinci

Indonesia Climate Change Trust Fund Usulan Program Adaptasi & Ketangguhan

Indonesia Climate Change Trust Fund Usulan Program Adaptasi & Ketangguhan Indonesia Climate Change Trust Fund Usulan Program Adaptasi & Ketangguhan Judul Kegiatan: Provinsi/Kota/Kabupaten: Lembaga Pengusul : Jenis Kegiatan : Adaptasi dan Ketangguhan A. Informasi Kegiatan A.1.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. saat ini sudah mencapai kondisi yang cukup memprihatinkan. Jumlah penganggur

BAB I PENDAHULUAN. saat ini sudah mencapai kondisi yang cukup memprihatinkan. Jumlah penganggur BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Salah satu masalah yang cukup serius dihadapi Indonesia dewasa ini adalah masalah pengangguran. Pengangguran merupakan masalah ketenagakerjaan yang saat ini

Lebih terperinci

PEMERINTAH PROVINSI SULAWESI SELATAN PERATURAN DAERAH PROVINSI SULAWESI SELATAN NOMOR 3 TAHUN 2012

PEMERINTAH PROVINSI SULAWESI SELATAN PERATURAN DAERAH PROVINSI SULAWESI SELATAN NOMOR 3 TAHUN 2012 1 PEMERINTAH PROVINSI SULAWESI SELATAN PERATURAN DAERAH PROVINSI SULAWESI SELATAN NOMOR 3 TAHUN 2012 TENTANG PENANGGULANGAN KEMISKINAN DI PROVINSI SULAWESI SELATAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR

Lebih terperinci

Program Pengentasan Kemiskinan melalui Penajaman Unit Pengelola Keuangan

Program Pengentasan Kemiskinan melalui Penajaman Unit Pengelola Keuangan Program Pengentasan Kemiskinan melalui Penajaman Unit Pengelola Keuangan I. PENDAHULUAN Pembangunan harus dipahami sebagai proses multidimensi yang mencakup perubahan orientasi dan organisasi sistem sosial,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar belakang Akses pangan merupakan salah satu sub sistem ketahanan pangan yang menghubungkan antara ketersediaan pangan dengan konsumsi/pemanfaatan pangan. Akses pangan baik apabila

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KABUPATEN LUWU TIMUR NOMOR 08 TAHUN 2008 TENTANG

PERATURAN DAERAH KABUPATEN LUWU TIMUR NOMOR 08 TAHUN 2008 TENTANG PERATURAN DAERAH KABUPATEN LUWU TIMUR NOMOR 08 TAHUN 2008 TENTANG PERENCANAAN, PELAKSANAAN PEMBANGUNAN, PEMANFAATAN DAN PENDAYAGUNAAN KAWASAN PERDESAAN BERBASIS MASYARAKAT DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. perembesan air asin. Kearah laut wilayah pesisir, mencakup bagian laut yang

BAB I PENDAHULUAN. perembesan air asin. Kearah laut wilayah pesisir, mencakup bagian laut yang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Wilayah pesisir adalah daerah pertemuan antara darat dan laut. Kearah darat wilayah pesisir meliputi bagian daratan, baik kering maupun terendam air yang masih dipengaruhi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Provinsi Jawa Tengah merupakan salah satu daerah di Indonesia yang memiliki kekayaan sumberdaya ekonomi melimpah. Kekayaan sumberdaya ekonomi ini telah dimanfaatkan

Lebih terperinci

VIII. REKOMENDASI KEBIJAKAN

VIII. REKOMENDASI KEBIJAKAN VIII. REKOMENDASI KEBIJAKAN 8.1. Rekomendasi Kebijakan Umum Rekomendasi kebijakan dalam rangka memperkuat pembangunan perdesaan di Kabupaten Bogor adalah: 1. Pengembangan Usaha Ekonomi Masyarakat, adalah

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. Latar Belakang. Pembangunan di bidang kehutanan diarahkan untuk memberikan manfaat sebesarbesarnya

PENDAHULUAN. Latar Belakang. Pembangunan di bidang kehutanan diarahkan untuk memberikan manfaat sebesarbesarnya PENDAHULUAN Latar Belakang Salah satu kriteria keberhasilan pembangunan adalah meningkatnya kualitas hidup masyarakat melalui peningkatan partisipasinya dalam pembangunan itu sendiri. Pembangunan di bidang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia sebagai negara agraris memiliki kekayaan alam hayati yang

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia sebagai negara agraris memiliki kekayaan alam hayati yang 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia sebagai negara agraris memiliki kekayaan alam hayati yang sangat beragam yang menjadi andalan perekonomian nasional. Kondisi agroklimat di Indonesia sangat

Lebih terperinci

PENJELASAN PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA BARAT NOMOR : 10 TAHUN 2010 TENTANG PEMBERDAYAAN DAN PENGEMBANGAN KOPERASI, USAHA MIKRO, KECIL DAN MENENGAH

PENJELASAN PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA BARAT NOMOR : 10 TAHUN 2010 TENTANG PEMBERDAYAAN DAN PENGEMBANGAN KOPERASI, USAHA MIKRO, KECIL DAN MENENGAH PENJELASAN PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA BARAT NOMOR : 10 TAHUN 2010 TENTANG PEMBERDAYAAN DAN PENGEMBANGAN KOPERASI, USAHA MIKRO, KECIL DAN MENENGAH I. UMUM Pembangunan Daerah bertujuan untuk mewujudkan

Lebih terperinci

6.1. Strategi dan Arah Kebijakan Pembangunan

6.1. Strategi dan Arah Kebijakan Pembangunan BAB - VI STRATEGI DAN ARAH KEBIJAKAN 6.1. Strategi dan Arah Kebijakan Pembangunan Strategi adalah langkah-langkah berisikan program indikatif untuk mewujudkan visi dan misi, yang dirumuskan dengan kriterianya

Lebih terperinci

KEMANDIRIAN PANGAN DI DAERAH 1.

KEMANDIRIAN PANGAN DI DAERAH 1. KEMANDIRIAN PANGAN DI DAERAH 1. HM Idham Samawi Bupati Bantul Jika ada yang mengatakan bahwa mereka yang menguasai pangan akan menguasai kehidupan, barangkali memang benar. Dalam konteks negara dan perkembangan

Lebih terperinci

Konsep Sustainable Livelihoods. Fakultas Peternakan Universitas Brawijaya

Konsep Sustainable Livelihoods. Fakultas Peternakan Universitas Brawijaya Konsep Sustainable Livelihoods Eko Nugroho, S.Pt, M.Sc Fakultas Peternakan Universitas Brawijaya E-mail: eko_nug@yahoo.com Livelihood Secara sederhana = cara mencari nafkah Dalam konteks ketahanan pangan,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. merupakan salah satu upaya untuk mewujudkan cita-cita bangsa yakni terciptanya

BAB I PENDAHULUAN. merupakan salah satu upaya untuk mewujudkan cita-cita bangsa yakni terciptanya BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang. Pelaksanaan kegiatan pembangunan nasional di Indonesia sesungguhnya merupakan salah satu upaya untuk mewujudkan cita-cita bangsa yakni terciptanya kesejahteraan masyarakat

Lebih terperinci

MATRIK TAHAPAN RPJP KABUPATEN SEMARANG TAHUN

MATRIK TAHAPAN RPJP KABUPATEN SEMARANG TAHUN MATRIK TAHAPAN RPJP KABUPATEN SEMARANG TAHUN 2005-2025 TAHAPAN I (2005-2009) TAHAPAN I (2010-2014) TAHAPAN II (2015-2019) TAHAPAN IV (2020-2024) 1. Meningkatkan kualitas sumber daya masyarakat Kabupaten

Lebih terperinci

BAB IV LANDASAN PEMBERDAYAAN KOPERASI DAN UMKM

BAB IV LANDASAN PEMBERDAYAAN KOPERASI DAN UMKM BAB IV LANDASAN PEMBERDAYAAN KOPERASI DAN UMKM Pancasila dan Undang-undang Dasar Tahun 1945 merupakan landasan ideologi dan konstitusional pembangunan nasional termasuk pemberdayaan koperasi dan usaha

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 68 TAHUN 2002 TENTANG KETAHANAN PANGAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 68 TAHUN 2002 TENTANG KETAHANAN PANGAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 68 TAHUN 2002 TENTANG KETAHANAN PANGAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa ketahanan pangan merupakan hal yang sangat penting dalam rangka pembangunan

Lebih terperinci

ARAH KEBIJAKAN DAN STRATEGI PEMBANGUNAN DAN PEMBERDAYAAN MASYARAKAT DESA

ARAH KEBIJAKAN DAN STRATEGI PEMBANGUNAN DAN PEMBERDAYAAN MASYARAKAT DESA ARAH KEBIJAKAN DAN STRATEGI PEMBANGUNAN DAN PEMBERDAYAAN MASYARAKAT DESA SEMINAR INTERNASIONAL TEMU ILMIAH NASIONAL XV FOSSEI JOGJAKARTA, 4 MARET 2015 DR HANIBAL HAMIDI, M.Kes DIREKTUR PELAYANAN SOSIAL

Lebih terperinci

KORPORASI USAHA PERDESAAN SALAH SATU ALTERNATIF PENGEMBANGAN EKONOMI DESA SESUAI NAFAS PANCASILA

KORPORASI USAHA PERDESAAN SALAH SATU ALTERNATIF PENGEMBANGAN EKONOMI DESA SESUAI NAFAS PANCASILA KORPORASI USAHA PERDESAAN SALAH SATU ALTERNATIF PENGEMBANGAN EKONOMI DESA SESUAI NAFAS PANCASILA Ascosenda Ika Rizqi Dosen, Universitas Merdeka Pasuruan, Jl. H. Juanda 68, Kota Pasuruan Abstrak Desa merupakan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN TEORITIS

BAB II TINJAUAN TEORITIS BAB II TINJAUAN TEORITIS 2.1. Pengertian Tanah dan Fungsinya Sejak adanya kehidupan di dunia ini, tanah merupakan salah satu sumberdaya yang penting bagi makhluk hidup. Tanah merupakan salah satu bagian

Lebih terperinci

V BAB V PENYAJIAN VISI, MISI, TUJUAN, DAN SASARAN

V BAB V PENYAJIAN VISI, MISI, TUJUAN, DAN SASARAN V BAB V PENYAJIAN VISI, MISI, TUJUAN, DAN SASARAN Visi dan misi merupakan gambaran apa yang ingin dicapai Kota Surabaya pada akhir periode kepemimpinan walikota dan wakil walikota terpilih, yaitu: V.1

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Negara Kesatuan Republik Indonesia merupakan negara kepulauan. terbesar di dunia yang mempunyai lebih kurang pulau.

I. PENDAHULUAN. Negara Kesatuan Republik Indonesia merupakan negara kepulauan. terbesar di dunia yang mempunyai lebih kurang pulau. I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Negara Kesatuan Republik Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar di dunia yang mempunyai lebih kurang 18.110 pulau. Sebaran sumberdaya manusia yang tidak merata

Lebih terperinci

Tabel 6.1 Strategi, Arah dan Kebijakan Kabupaten Ponorogo TUJUAN SASARAN STRATEGI ARAH KEBIJAKAN

Tabel 6.1 Strategi, Arah dan Kebijakan Kabupaten Ponorogo TUJUAN SASARAN STRATEGI ARAH KEBIJAKAN Tabel 6.1 Strategi, Arah dan Kebijakan Kabupaten Ponorogo VISI : PONOROGO LEBIH MAJU, BERBUDAYA DAN RELIGIUS MISI I : Membentuk budaya keteladanan pemimpin yang efektif, guna mengembangkan manajemen pemerintahan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. mempunyai fungsi pokok pengawetan keanekaragaman tumbuhan dan satwa serta

BAB I PENDAHULUAN. mempunyai fungsi pokok pengawetan keanekaragaman tumbuhan dan satwa serta BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Berdasarkan Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, salah satu pengelompokan hutan berdasarkan fungsinya adalah hutan konservasi. Hutan konservasi merupakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1.Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1.Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang Dalam pembangunan pertanian, beras merupakan komoditas yang memegang posisi strategis. Beras dapat disebut komoditas politik karena menguasai hajat hidup rakyat Indonesia.

Lebih terperinci

KEBIJAKAN PEMBANGUNAN PERTANIAN: Upaya Peningkatan Produksi Komoditas Pertanian Strategis

KEBIJAKAN PEMBANGUNAN PERTANIAN: Upaya Peningkatan Produksi Komoditas Pertanian Strategis KEBIJAKAN PEMBANGUNAN PERTANIAN: Upaya Peningkatan Produksi Komoditas Pertanian Strategis 1 Pendahuluan (1) Permintaan terhadap berbagai komoditas pangan akan terus meningkat: Inovasi teknologi dan penerapan

Lebih terperinci

BAB V PROGRAM PENGEMBANGAN MASYARAKAT DI KELURAHAN TENGAH

BAB V PROGRAM PENGEMBANGAN MASYARAKAT DI KELURAHAN TENGAH 60 5.1. Latar Belakang Program BAB V PROGRAM PENGEMBANGAN MASYARAKAT DI KELURAHAN TENGAH Pembangunan Sosial berbasiskan komunitas merupakan pembangunan yang menitikberatkan pada pemberdayaan masyarakat

Lebih terperinci

BAB II PERENCANAAN KINERJA

BAB II PERENCANAAN KINERJA BAB II PERENCANAAN KINERJA A. RENCANA STRATEGIS (RENSTRA) A.1. Visi dan Misi Visi Badan Ketahanan Pangan dan Penyuluhan Provinsi Kalimantan Barat Tahun 2013 2018 adalah Terwujudnya masyarakat Kalimantan

Lebih terperinci

MATRIKS ARAH KEBIJAKAN WILAYAH PAPUA

MATRIKS ARAH KEBIJAKAN WILAYAH PAPUA MATRIKS ARAH KEBIJAKAN WILAYAH PAPUA Provinsi Papua PRIORITAS NASIONAL MATRIKS ARAH KEBIJAKAN BUKU III RKP 2012 WILAYAH PAPUA 1 Pendidikan Peningkatan akses pendidikan dan keterampilan kerja serta pengembangan

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Perekonomian padi dan beras merupakan pendukung pesatnya

II. TINJAUAN PUSTAKA. Perekonomian padi dan beras merupakan pendukung pesatnya II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Ekonomi Padi Perekonomian padi dan beras merupakan pendukung pesatnya pertumbuhan ekonomi Indonesia. Menurut Kasryno dan Pasandaran (2004), beras serta tanaman pangan umumnya berperan

Lebih terperinci

PENJELASAN ATAS PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA BARAT NOMOR 27 TAHUN 2010 TENTANG PERLINDUNGAN LAHAN PERTANIAN PANGAN BERKELANJUTAN

PENJELASAN ATAS PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA BARAT NOMOR 27 TAHUN 2010 TENTANG PERLINDUNGAN LAHAN PERTANIAN PANGAN BERKELANJUTAN I. UMUM PENJELASAN ATAS PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA BARAT NOMOR 27 TAHUN 2010 TENTANG PERLINDUNGAN LAHAN PERTANIAN PANGAN BERKELANJUTAN Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun

Lebih terperinci

Bab I. Pendahuluan. memberikan bantuan permodalan dengan menyalurkan kredit pertanian. Studi ini

Bab I. Pendahuluan. memberikan bantuan permodalan dengan menyalurkan kredit pertanian. Studi ini Bab I Pendahuluan Di setiap negara manapun masalah ketahanan pangan merupakan suatu hal yang sangat penting. Begitu juga di Indonesia, terutama dengan hal yang menyangkut padi sebagai makanan pokok mayoritas

Lebih terperinci

REFORMA AGRARIA SEBAGAI BAGIAN INTEGRAL DARI REVITALISASI PERTANIAN DAN PEMBANGUNAN EKONOMI PEDESAAN

REFORMA AGRARIA SEBAGAI BAGIAN INTEGRAL DARI REVITALISASI PERTANIAN DAN PEMBANGUNAN EKONOMI PEDESAAN REFORMA AGRARIA SEBAGAI BAGIAN INTEGRAL DARI REVITALISASI PERTANIAN DAN PEMBANGUNAN EKONOMI PEDESAAN Krisis ekonomi yang sampai saat ini dampaknya masih terasa sebenarnya mengandung hikmah yang harus sangat

Lebih terperinci

BUPATI PATI PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN DAERAH KABUPATEN PATI NOMOR 1 TAHUN 2016 TENTANG PEMBANGUNAN KAWASAN PERDESAAN

BUPATI PATI PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN DAERAH KABUPATEN PATI NOMOR 1 TAHUN 2016 TENTANG PEMBANGUNAN KAWASAN PERDESAAN SALINAN BUPATI PATI PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN DAERAH KABUPATEN PATI NOMOR 1 TAHUN 2016 TENTANG PEMBANGUNAN KAWASAN PERDESAAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI PATI, Menimbang : bahwa untuk

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 20 TAHUN 2008 TENTANG USAHA MIKRO, KECIL DAN MENENGAH PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 20 TAHUN 2008 TENTANG USAHA MIKRO, KECIL DAN MENENGAH PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 20 TAHUN 2008 TENTANG USAHA MIKRO, KECIL DAN MENENGAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa masyarakat adil dan makmur

Lebih terperinci

PENGARUSUTAMAAN ADAPTASI PERUBAHAN IKLIM DALAM PEMBANGUNAN NASIONAL

PENGARUSUTAMAAN ADAPTASI PERUBAHAN IKLIM DALAM PEMBANGUNAN NASIONAL PENGARUSUTAMAAN ADAPTASI PERUBAHAN IKLIM DALAM PEMBANGUNAN NASIONAL Endah Murniningtyas Deputi Bidang SDA dan LH Kementerian PPN/Bappenas Lokakarya Mengarusutamakan Adaptasi Perubahan Iklim dalam Agenda

Lebih terperinci

CUPLIKAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 41 TAHUN 2009 TENTANG PERLINDUNGAN LAHAN PERTANIAN PANGAN BERKELANJUTAN

CUPLIKAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 41 TAHUN 2009 TENTANG PERLINDUNGAN LAHAN PERTANIAN PANGAN BERKELANJUTAN CUPLIKAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 41 TAHUN 2009 TENTANG PERLINDUNGAN LAHAN PERTANIAN PANGAN BERKELANJUTAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a bahwa

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. makin maraknya alih fungsi lahan tanaman padi ke tanaman lainnya.

BAB I PENDAHULUAN. makin maraknya alih fungsi lahan tanaman padi ke tanaman lainnya. BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Lahan sawah memiliki arti penting, yakni sebagai media aktivitas bercocok tanam guna menghasilkan bahan pangan pokok (khususnya padi) bagi kebutuhan umat manusia.

Lebih terperinci

BAB V VISI, MISI, TUJUAN DAN SASARAN PEMBANGUNAN

BAB V VISI, MISI, TUJUAN DAN SASARAN PEMBANGUNAN BAB V VISI, MISI, TUJUAN DAN SASARAN PEMBANGUNAN A. Visi Mengacu kepada Peraturan Daerah Kabupaten Semarang Nomor 5 Tahun 2009 tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang Daerah Kabupaten Semarang Tahun

Lebih terperinci

MELIHAT POTENSI EKONOMI BAWEAN pada acara

MELIHAT POTENSI EKONOMI BAWEAN pada acara MELIHAT POTENSI EKONOMI BAWEAN pada acara PEMBUKAAN PSB KOTA SURABAYA Oleh: Dr. Asmara Indahingwati, S.E., S.Pd., M.M TUJUAN PROGRAM Meningkatkan pendapatan dan Kesejahteraan masyarakat Daerah. Mempertahankan

Lebih terperinci

BUPATI KOTABARU PROVINSI KALIMANTAN SELATAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN KOTABARU NOMOR 10 TAHUN 2017 TENTANG

BUPATI KOTABARU PROVINSI KALIMANTAN SELATAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN KOTABARU NOMOR 10 TAHUN 2017 TENTANG BUPATI KOTABARU PROVINSI KALIMANTAN SELATAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN KOTABARU NOMOR 10 TAHUN 2017 TENTANG PENYELENGGARAAN CADANGAN PANGAN PEMERINTAH DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG ESA BUPATI KOTABARU,

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI, KERANGKA PEMIKIRAN, DAN HIPOTESIS PENELITIAN

BAB II TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI, KERANGKA PEMIKIRAN, DAN HIPOTESIS PENELITIAN BAB II TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI, KERANGKA PEMIKIRAN, DAN HIPOTESIS PENELITIAN 2.1. Tinjauan Pustaka 2.1.1. Pengembangan Usaha Agribisnis Perdesaan (PUAP) Peran kelembagaan dalam membangun dan mengembangkan

Lebih terperinci