BAB I PENDAHULUAN. kelas dua setelah kaum laki-laki (De Beauvoir, 1953:83). Kemampuan, kreativitas

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "BAB I PENDAHULUAN. kelas dua setelah kaum laki-laki (De Beauvoir, 1953:83). Kemampuan, kreativitas"

Transkripsi

1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Perempuan sejak zaman pra-sejarah hingga sekarang masih dianggap makhluk kelas dua setelah kaum laki-laki (De Beauvoir, 1953:83). Kemampuan, kreativitas dan kinerja sangat tidak identik dengan perempuan. Isu-isu yang sangat penting seperti mencari penghidupan atau bekerja di luar rumah sangat jauh dari perempuan. Hal produktif seperti menafkahi keluarga dilakukan oleh kaum laki-laki, sehingga laki-laki menjadi subjek penting. He is the Subject, he is the Absolute she is the Other (De Beauvoir, 1953:16). Konsep tradisional yang menempatkan perempuan sebagai makhluk kelas dua telah mengakar dalam masyarakat patriarki. Oxford Advanced Learner s Dictionary menyebutkan patriarchy refers to a society, a system, or a country that is ruled or controlled by men (2000: 1110). Setiap kekuasaan dalam masyarakat yang menganut sistem patriarki dikontrol oleh laki-laki. Perempuan hanya memiliki sedikit pengaruh dalam masyarakat atau bisa dikatakan tidak memiliki hak pada wilayah-wilayah umum dalam masyarakat. Mereka secara ekonomi, sosial, politik, dan psikologi tergantung pada laki-laki, khususnya dalam institusi pernikahan, sehingga dalam keluarga maupun masyarakat perempuan diletakkan pada posisi subordinat atau inferior. Menurut Madsen, pekerjaan perempuan hanya pada wilayah domestik, 1

2 mengurus suami, menjadi ibu dengan mengurus anak-anaknya. Peran-peran domestik tersebut dilekatkan pada sosok perempuan oleh masyarakat yang menganut sistem patriarki (2000:2). Mendobrak stereotip perempuan pada zamannya, penulis perempuan mulai menampilkan tokoh perempuan yang tidak mengikuti pola dalam masyarakat. Mereka ingin menunjukkan bahwa dalam masyarakat patriarkat yang menempatkan posisi laki-laki di atas perempuan, masih terdapat tokoh perempuan yang bisa berjuang untuk hidupnya sehingga bisa ditempatkan sejajar dengan laki-laki. Tokoh-tokoh perempuan yang berusaha melepaskan label inferior dengan kemandiriannya ini terdapat dalam beberapa karya Jane Austen dengan latar Inggris dan Selasih yang berlatar Indonesia. Jane Austen yang melihat ketimpangan posisi perempuan dalam masyarakatnya, mengkritik hal tersebut lewat karyanya, salah satunya Mansfield Park. Mansfield Park merupakan novel ketiga Jane Austen setelah Sense and Sensibility dan Pride and Prejudice, yang diterbitkan pada Juli Jane Austen adalah seorang novelis Inggris yang sering menyorot tajam kondisi sosial masyarakat pada masanya lewat karyanya, yang menjadikannya salah satu penulis terkenal dalam kesusastraan Inggris. Realitas zaman di saat Jane Austen hidup terefleksi jelas dalam banyak novelnya. Inilah masa dimana keluarga duduk dan berkumpul bersama di waktu malam, perempuan belajar dan praktik menjahit dan menenun, saling mengunjungi keluarga, dan membaca dengan suara keras-keras di pelataran. Seting 2

3 sosial di masa itu ditandai oleh semaraknya pesta-pesta dansa (balls) yang diadakan oleh orang-orang kelas atas sebagai sarana mencari pasangan hidup yang sepadan. Semua unsur ini secara jelas terekam dalam novel Austen, terutama Pride and Prejudice dan Mansfield Park. Austen merupakan penulis pertama yang dalam novelnya menyuguhkan tokoh-tokoh modern yang relatif berbeda lewat kecerdasan, realisme, simpati dan gaya prosa ala Austen. Ia mendasarkan gayanya pada kecerdasan dan ironi, dan memberikan definisi baru untuk sebuah konsep tokoh utama atau pahlawan. Lazimnya, tokoh utama dalam banyak karya sastra di era kebangkitan romantis (the Romantic Revival) dan masa Viktoria (Victorian era) masih didominasi oleh laki-laki dan dari kalangan keluarga berada. Namun, ini semua menjadi tidak begitu signifikan dalam karya-karya Jane Austen. Hal yang menjadi krusial adalah bagaimana seorang tokoh, sebagaimana terbaca dalam karya-karyanya, membuktikan dirinya pantas memperoleh penghormatan dan pujian dalam masyarakat. Jane Austen hidup pada masa pergerakan feminis gelombang pertama. Bentuk awal pergerakan feminis pada masa ini menyangkut persamaan hak antara perempuan dan laki-laki dalam kehidupan publik, lebih jauhnya berhubungan dengan persamaan status legal dalam rumah tangga. Ada beberapa teori feminisme gelombang pertama. Pertama, feminisme liberal yang menekankan pada hak individu serta kesempatan yang sama antara perempuan dan laki-laki. Paham ini menuntut perubahan kebijakan dengan melibatkan perempuan sebagai pengambil keputusan dan kebijakan, akar teori 3

4 ini bertumpu pada kebebasan dan kesetaraan rasionalitas. Perempuan adalah makhluk rasional, kemampuannya sama dengan laki-laki, sehingga harus diberi hak yang sama juga dengan laki-laki. Permasalahannya terletak pada produk kebijakan negara yang bias gender. Oleh karena itu, pada abad 18 sering muncul tuntutan agar perempuan mendapat pendidikan yang sama dan di awal abad 19 banyak upaya memperjuangkan kesempatan hak sipil dan ekonomi bagi perempuan. Kedua, feminisme radikal yang memfokuskan pada ketertindasan perempuan. Aliran ini bertumpu pada pandangan bahwa penindasan terhadap perempuan terjadi akibat sistem patriarki. Tubuh perempuan merupakan objek utama penindasan oleh laki-laki. Oleh karena itu, feminisme radikal mempermasalahkan beberapa hal seperti tubuh serta hak-hak reproduksi, seksualitas, seksisme, relasi kuasa perempuan dan laki-laki, dan dikotomi privat-publik. Ketiga, feminisme Marxis, menganggap bahwa negara bersifat kapitalis yakni menganggap bahwa negara bukan hanya sekedar institusi tetapi juga perwujudan dari interaksi atau hubungan sosial. Kaum Marxis berpendapat bahwa negara memiliki kemampuan untuk memelihara kesejahteraan, namun disisi lain, negara bersifat kapitalisme yang menggunakan sistem perbudakan kaum perempuan sebagai pekerja. Sedangkan feminisme sosialis muncul sebagai kritik atas feminisme Marxis. Aliran ini mengatakan bahwa patriarki sudah muncul sebelum kapitalisme dan tetap tidak akan berubah jika kapitalisme runtuh. Kritik kapitalisme harus disertai dengan kritik dominasi perempuan. Feminisme sosialis menggunakan analisis kelas dan gender untuk memahami penindasan perempuan. Aliran ini sepaham dengan feminism Marxis bahwa kapitalisme merupakan sumber penindasan perempuan. 4

5 Akan tetapi, aliran feminisme sosialis ini juga setuju dengan feminisme radikal yang menganggap bahwa partiarkilah sumber penindasan itu. Kapitalisme dan patriarki adalah dua kekuatan yang saling mendukung. Dapat disimpulkan bahwa feminisme sosialis menekankan pada penindasan gender dan kelas, sedangkan Marxis menekankan pada masalah kelas sebagai penyebab perbedaan fungsi dan status perempuan (Tong, 1997). Mansfield Park menyorot masalah perempuan yang sejalan dengan pergerakan feminis gelombang pertama. Mansfield Park terbit pada tahun 1814 yang merupakan masa kebangkitan romantis (the Romantic Revival) yang juga merupakan masa awal terjadinya revolusi industri sebelum masuknya masa Viktoria (Victorian era). Revolusi industri yang terjadi pada masa ini mempengaruhi kehidupan orang Inggris. Pada masa ini terjadi migrasi besar-besaran masyarakat desa yang sebelumnya bekerja sebagai petani, ke kota untuk bekerja pada sektor industri. Namun, bagi perempuan, rumah tetap menjadi tempat mereka bekerja (Mulgan, 1947:112). Pada masa ini, perempuan tidak memiliki hak politik, hak untuk menuntut dan hak atas kepemilikan. Perempuan tidak memiliki tempat dalam masyarakat. Satusatunya tempat bekerja bagi perempuan adalah di dalam rumah tangga melalui pernikahan. Pada masa ini, ketidakpastian pendapatan dan keadaan finansial seorang perempuan membuat mereka menjadi beban bagi keluarga mereka. Mendapatkan pernikahan ideal adalah salah satu cara untuk mendapatkan financial security. Untuk mendapatkan suami yang mapan, perempuan disiapkan seperti kuda pacuan. Selain 5

6 harus bisa menyanyi, memainkan alat musik dan bisa berbahasa Perancis atau Italia, kualitas yang harus dimiliki perempuan pada masa ini adalah berbudi luhur, lugu, patuh, dan tidak peduli terhadap pendapat intelektual (Cunnington, 1990:117). Baik menikah maupun lajang, perempuan pada masa Georgia dituntut untuk menjadi lemah dan tidak berdaya, halus dan rapuh, yang tidak mampu membuat keputusan di luar hal memilih menu masakan dan merawat anak. Perempuan yang baik dan berkedudukan diharuskan bisa memastikan bahwa rumah adalah tempat yang nyaman untuk suami dan anak-anaknya. Fungsi utama perempuan adalah untuk mengelola dan mengurus rumah tangga sehingga suaminya tidak perlu repot memikirkan hal-hal domestik. Semua hal rumah dibebankan pada perempuan sehingga laki-laki bisa melanjutkan mencari nafkah di luar rumah. Kehidupan rumah tangga bagi keluarga kelas pekerja sangat jauh dari kata nyaman. Daerah penuh sesak London merupakan daerah endemik yang dihuni oleh kelas pekerja. Pekerjaan domestik bagi perempuan tanpa pelayan berarti banyak mencuci pakaian dan gorden, serta membersihkan rumah dari debu pabrik yang menempel. Perabotan di dalam rumah akan sangat berdebu dan menghitam oleh asap batubara yang dikepulkan dari pabrik-pabrik di sekitar pemukiman mereka (Murray, 1982:179). Dalam hal hidup berpasangan, perempuan diharapkan hanya berhubungan dengan satu orang, yaitu suaminya. Sebaliknya, adalah hal yang dapat diterima jika 6

7 seorang laki-laki memiliki banyak istri maupun simpanan dalam hidupnya. Jika perempuan berhubungan dengan laki-laki selain suaminya, mereka akan dicap jelek dan dijauhi masyarakat. Karya sastra pada masa tersebut banyak mendeskripsikan keadaan ini. Perzinahan yang berakhir tragis dapat ditemukan dalam Anna Karenina oleh Tolstoy (1877) dan Madam Bovary oleh Flaubert (1856). Sedangkan dalam Tess of the d Ubervilles (1891), Thomas Hardy menggambarkan seorang tokoh pahlawan perempuan (heroine) yang dihukum oleh komunitasnya karena kehilangan keperawanannya sebelum menikah. Perempuan diharapkan tunduk pada aturan masyarakat dan hanya mengabdi pada seorang laki-laki yaitu suaminya. Ketidakadilan juga ditemukan dalam hal pendidikan. Pada masa ini, perempuan tidak diberikan kesempatan untuk mendapatkan ilmu pengetahuan yang sifatnya komersial dan berkelanjutan. Pendidikan dikategorikan berdasarkan gender, perempuan diberi kesempatan untuk mempelajari mata pelajaran umum seperti sejarah dan sastra umum yang memberikan topik menarik, namun tidak kontroversial untuk didiskusikan (Perkin,1993:89-90). Hal ini menyebabkan perempuan sulit untuk membebaskan diri dari batasan-batasan sosial untuk mencapai status ekonomi yang independen. Mendobrak stereotip perempuan pada masa itu, Jane Austen menghadirkan tokoh Fanny Price yang memiliki independensi untuk bersikap. Sebagai anak perempuan yang dibesarkan oleh kerabatnya, Fanny tidak mendapatkan pendidikan yang layak. Namun Fanny yang memiliki keingintahuan yang tinggi, tidak 7

8 menjadikan hal itu sebagai keterbatasan untuk memperoleh pengetahuan. Ia banyak belajar dari Edmund, putra kedua Sir Thomas dan juga satu-satunya penghuni Mansfield Park yang ramah terhadap Fanny, sehingga pola pikirnya berkembang. Fanny jauh lebih pintar dan cepat tanggap dibandingkan Maria dan Julia Bertram yang kekanak-kanakan, yang dibesarkan dengan harta berlimpah. Fanny merupakan karakter yang kuat dan menarik karena untuk ukuran perempuan pada zamannya, Fanny merupakan perempuan yang berbeda karena ia mampu menyuarakan pendapatnya di bawah dominasi laki-laki. Melalui tokoh Fanny, Austen menggambarkan sindiran-sindiran terhadap masyarakat Inggris pada masa itu, yang mengatur pernikahan berdasarkan kebutuhan finansial, dan bukanlah cinta. Ketidakadilan gender tidak hanya terjadi di Inggris pada masa Georgia, melainkan juga terlihat dalam beberapa karya sastra Indonesia pada masa penjajahan Belanda, salah satunya pada roman Kalau Tak Untung karangan Selasih. Selasih adalah seorang penulis dari angkatan Balai Pustaka. Selasih merupakan nama samaran Sariamin Ismail. Ia dilahirkan di Talu, Sumatra Barat pada 31 Juli Setelah lulus SD (Gouvernement School) pada 1921, ia kemudian melanjutkan pendidikan di sekolah guru (Meisjes Normaal School) dan tamat tahun Sejak itu ia terjun di dunia pendidikan. Sejalan dengan pekerjaannya sebagai guru, Selasih giat dalam pertunjukan sandiwara bertema pendidikan. Menulis di zaman penjajahan tidaklah mudah. Selain berbagai pembatasan yang dikenakan terhadap karya tulis, pengarang setiap saat juga harus siap mempertanggungjawabkan pikiran-pikiran yang 8

9 diuraikan di dalam tulisannya tersebut. Sariamin yang aktif sebagai anggota organisasi politik Indonesia Muda dan Gerakan Ingin Merdeka merasakan bahwa dirinya selalu berada di bawah ancaman jika ditemukan bukti melakukan perlawanan terhadap penjajah. Pada zaman itu, menjadi pengarang adalah sekaligus sebagai pejuang untuk kemerdekaan tanah air. Oleh karena itu, ia menggunakan sejumlah nama samaran agar ia dapat terhindar dari penciuman pihak keamanan (polisi) kolonial. Kalau Tak Untung yang terbit pada tahun 1933, menampakkan tema yang kentara tentang takdir dan upaya menempatkan perempuan pada kedudukannya yang utama sebagai sumber kearifan. Emansipasi yang digagas RA Kartini diterima Selasih dengan cara yang khas, tegas, namun dilandasi cinta kasih. Karena itu, Aman Datuk Madjoindo memberi komentar lewat Radio beberapa hari setelah novel itu diluncurkan, bahwa telah lahir pujangga putri pertama di Hindia Belanda. Selasih juga disebut sebagai pioner dalam penulisan novel dari gendernya. Melalui Kalau Tak Untung, Selasih memperlihatkan adanya nilai-nilai perempuan yang bergeser dari masa ke masa, khususnya perempuan Minangkabau. Selasih adalah penulis yang mampu menampilkan perempuan sebagai sosok yang kuat, pintar tapi tidak melupakan adat dan tata krama yang akan dikagumi pembaca. Selasih yang dilahirkan pada awal tahun 1900-an dan dibesarkan dalam pendarpendar primordialistik Minang, melalui novelnya memperlihatkan bagaimana pendidikan adalah hal yang langka pada waktu itu, khususnya bagi kaum perempuan 9

10 di Minangkabau. Pada waktu itu, jika seseorang berasal dari keluarga biasa, tidak mempunyai harta dan kedudukan dalam nagari (kampung), adalah mustahil baginya untuk dapat menyekolahkan anaknya, terutama anak perempuan. Kalau pun ada yang bersekolah, pada akhirnya hanya akan putus di tengah jalan. Banyaknya anak yang tidak dapat bersekolah disebabkan karena situasi ekonomi yang sangat sulit pada masa itu dan pengetahuan masyarakat yang sangat minim tentang pentingnya pendidikan. Yang dapat bersekolah hingga lulus hanyalah anak orang berada, yang memiliki harta dan kedudukan dalam masyarakat. Dan kebanyakan dari anak-anak yang bersekolah itu adalah anak laki-laki. Pada masa itu, anak perempuan hanya disuruh di rumah, mengerjakan pekerjaan rumah serta bekerja ke sawah dan ladang. Melawan arus pada masanya, dalam novelnya Selasih menghadirkan tokoh Rasmani, yang dibesarkan dalam keluarga yang tidak berada namun mengutamakan pendidikan. Kesulitan hidup yang dijalani keluarga Rasmani sangat jelas digambarkan dalam novel. Namun kesulitan ini tidak menjadi penghambat bagi orangtuanya untuk menyekolahkan Rasmani. Hal ini menjadi pro dan kontra dalam masyarakat. Sebagian berpendapat bahwa orangtua Rasmani sangat pintar mengelola keuangan hingga bisa menyekolahkan anaknya pada pendidikan formal dan juga menyekolahkan mengaji. Padahal mereka tidak punya harta pusaka, sawah dan ladang yang dikelolanya harus disewa dan kerbau pembajaknya pun kepunyaan orang lain. Tidak hanya disekolahkan, tetapi anaknya juga dididik seperti anak orang 10

11 berkedudukan pada masa itu; diajarkan menjahit dan merenda, menyulam, menerawang, memasak, membuat kue dan lain-lain. Hal ini mereka terapkan pada anak-anaknya agar mereka dapat tumbuh mandiri tanpa harus tergantung pada lakilaki, walaupun mereka perempuan. Dalam kedua novel ini penulis menemukan dua karakter heroine yang samasama kuat dan terbelenggu pada zaman dan budaya yang menempatkan perempuan sebagai warga kelas dua. Masing-masing novel ini menceritakan tentang perempuan yang hidup dalam aturan masyarakat yang menyebabkan keduanya memiliki keterbatasan dalam menyampaikan pendapat sehingga mereka hanya mampu memendam apa yang dirasakan. Kedua tokoh ini sebenarnya merupakan tokoh yang kuat secara rasio, yang menunjukkan bahwa mereka berbeda dari perempuanperempuan pada zamannya. Melalui penelitian ini, penulis ingin menunjukkan bahwa perempuan bukanlah warga kelas dua dan perempuan berhak untuk berpendapat seperti halnya laki-laki. Berdasarkan alasan di atas penulis tertarik untuk menganalisa Mansfield Park dan Kalau Tak Untung dari sudut pandang feminisme. Penulis ingin membandingkan tindakan perempuan dengan latar belakang yang berbeda dalam mengambil keputusan, terutama dalam urusan domestik dan pilihan hidup. Pada dasarnya, keduanya tidak berani mengungkapkan perasaan karena posisi mereka sebagai warga kelas dua yang selalu didominasi oleh laki-laki. Akan tetapi, dalam perjalanannya, mereka berani bersuara sebagai bentuk independensinya. 11

12 1.2 Rumusan Masalah Karya sastra yang ditulis oleh perempuan biasanya mencerminkan keadaan masyarakat tempat karya sastra tersebut lahir, dimana isu gender selalu hadir di dalamnya. Mansfield Park dan Kalau Tak Untung yang lahir pada masa dimana kebebasan perempuan untuk bersuara sangat terbatas, memperlihatkan adanya bentuk perlawanan atas keinferioritasan perempuan melalui independensi tokoh perempuan dalam masing-masing nove. Permasalahan yang ada dalam novel dapat dielaborasi sebagai berikut: 1. Independensi perempuan pada ranah domestik dalam Mansfield Park karya Jane Austen dan Kalau Tak Untung karya Selasih. 2. Independensi perempuan pada ranah publik dalam Mansfield Park karya Jane Austen dan Kalau Tak Untung karya Selasih. 1.3 Tujuan Penelitian Penelitian ini memiliki dua tujuan, tujuan umum dan khusus. Tujuan khusus penlitian ini adalah untuk menjawab permasalahan di atas, yaitu sebagai berikut: 1. Mengungkap independesi perempuan pada ranah domestik pada masa kebangkitan romantis (the Romantic Revival) di Inggris dan masa penjajahan Belanda di Indonesia khususnya di Minangkabau. 12

13 2. Mengungkap independensi perempuan pada ranah publik pada masa kebangkitan romantis (the Romantic Revival) di Inggris dan masa penjajahan Belanda di Indonesia khususnya di Minangkabau. Dengan menjawab pertanyaan mengenai perempuan dalam Mansfield Park karya Jane Austen dan Kalau Tak Untung karya Selasih, dapat ditarik tujuan umum yang lebih luas. Tujuan umum penelitian ini adalah untuk memberikan pengetahuan terhadap pembaca dan mengubah persepsi tentang karakteristik dan stereotip perempuan, khususnya dalam pandangan patriarki. 1.4 Manfaat Penelitian Manfaat penelitian terdiri dari manfaat teoritis dan manfaat praktis. Manfaat teoritis penelitian ini adalah untuk menerapkan kritik sastra feminis pada karya sastra. Manfaat praktis penelitian ini adalah untuk referensi penelitian-penelitian kritik sastra feminis berikutnya. 1.5 Tinjauan Pustaka Banyak karya sastra yang telah dianalisa dengan perpekstif kritik sastra feminis menggunakan beberapa pendekatan. Beberapa melihat posisi perempuan dalam masyarakat, namun penulis belum menemukan yang menganalisa dengan melihat independensi sebagai bentuk perjuangan perempuan. Dyen Siska dalam 13

14 Masculinity over Femininity in Shakespeare s Disguise Heroine (2008) telah menganalisa sifat maskulinitas tokoh heroin di bawah kekuasaan dan dominasi lakilaki di dalam karya William Shakespeare dan menemukan bahwa Shakespeare sebagai pengarang menginginkan tidak ada lagi dominasi laki-laki terhadap perempuan dengan menampilkan tokoh perempuan berkarakter kuat, mandiri, cerdik, pemberani melebihi perempuan pada umumnya. Dapat disimpulkan bahwa walaupun perempuan sering mendapat posisi di bawah laki-laki, mereka bisa berjuang untuk hidupnya sendiri seperti halnya laki-laki. Kesimpulan lain adalah bahwa oposisi biner yang disampaikan oleh Cixous tidak selalu benar. Resti Sriningsih dalam Perempuan dan Mitos (2008) menganalisa pola pembagian kerja perempuan dari masa ke masa dan menyimpulkan bahwa walaupun perempuan dari dahulunya ditempatkan dalam ranah domestiknya, seiring perkembangan zaman perempuan mulai merambah ke ranah laki-laki dan bisa mandiri dengan kemampuannya sendiri. S.E. Peni Adji dalam Karya Religius Danarto: Kajian Kritik Sastra Feminis (2003) menyebutkan bahwa perspektif ideologis dalam kritik sastra feminis menghasilkan kontruksi sikap dan posisi perempuan dalam cerpen-cerpen Danarto. Sikap-sikap perempuan sangatlah ambivalen dan posisi mereka juga bervariasi. Ambivalensi ini juga tercermin dalam sikap implied author dalam memandang patriarki dan isu gender. Di satu sisi ia menyadari adanya ketimpangan dalam sistem patriarki dalam menempatkan perempuan sehingga ia menyetujui gerakan feminis 14

15 yang berusaha menggugat ketimpangan patriarki itu, sebatas gerakan itu tidak menyebabkan perempuan memiliki citra negatif: jahat dan membunuh. Namun disisi lain ia juga tidak begitu menginginkan perubahan pada kemapanan dan kekokohan sistem patriarki itu sendiri sehingga keberhasilan perjuangan feminis baru dengan isu gendernya itu juga akan sulit terwujud. Selain itu, penulis juga menemukan analisa novel Mansfield Park dengan menggunakan teori yang berbeda. Tutik Mayasari dalam The English Social Condition as Reflected in Jane Austen Mansfield Park: A Sociological Study (2005), menemukan bahwa gereja memegang peranan penting dalam masyarakat, dimana semua hal diatur secara agama termasuk pernikahan, pendidikan, dan ekonomi. Yuda Iskandar dalam The Impacts of Male Domination toward Female Character in Jane Austen s Mansfield Park (2008) menemukan bahwa penindasan dari kaum patriarki yang dialami perempuan disebabkan oleh adanya pembagian kedudukan antara laki-laki dan perempuan berdasarkan jenis kelamin (gender). Pembagian ini menempatkan laki-laki sebagai superior dan perempuan sebagai inferior. Posisi laki-laki sebagai superior dalam masyarakat menjadikan dia berkuasa penuh terhadap kehidupan perempuan dengan cara mengaturnya sesuai keinginan mereka. Kekuasaan inilah yang membuat perempuan tertindas oleh dominasi kaum laki-laki dalam masyarakat. Penelitian ini jelas berbeda dengan penelitian sebelumnya, karena disini yang dianalisa adalah tentang independensi perempuan dalam masyarakat yang 15

16 menempatkan perempuan sebagai kelas dua yang bertujuan untuk mengubah persepsi pembaca tentang karakteristik dan stereotip perempuan dalam pandangan patriarki. Penulis berharap penelitian ini memiliki dampak lebih baik dari pada penelitian sebelumnya yang berada dalam ruang lingkup kritik sastra feminis Landasan Teori Karya sastra yang mengangkat tema perempuan tidak lepas dari pengaruh perkembangan pergerakan feminis. Feminisme menurut Goefe (Sugihastuti, 2003:37) adalah teori tentang persamaan antara laki-laki dan perempuan di bidang politik, ekonomi, dan sosial; atau kegiatan terorganisasi yang memperjuangkan hak-hak serta kepentingan perempuan. Kepentingan ini diperjuangkan karena perempuan telah sejak lama tersubordinasi dan menjadi objek dominasi laki-laki. Dipandang dari sudut sosial, feminisme muncul dari rasa ketidakpuasan terhadap sistem patriarki yang ada pada masyarakat. Pendapat tersebut dikemukakan oleh Millet (Selden, 1996:139) yang menggunakan istilah patriarki (pemerintahan ayah) untuk menguraikan sebab penindasan terhadap perempuan. Patriarki menurut Bhasin (1996:3) merupakan sebuah sistem dominasi dan superioritas laki-laki, sistem kontrol terhadap perempuan, dimana perempuan dikuasai. Dalam patriarki melekat ideologi yang menyatakan bahwa laki-laki lebih tinggi daripada perempuan, bahwa perempuan harus dikontrol oleh laki-laki dan bahwa perempuan adalah bagian dari 16

17 milik laki-laki (Bhasin, 1996:4). Dengan demikian, terciptalah konstruksi sosial yang tersusun atas perempuan dan laki-laki berkuasa penuh mengendalikan hal tersebut. Patriarki meletakkan perempuan sebagai inferior dan laki-laki superior. Kekuatan digunakan, baik secara langsung maupun tidak langsung dalam kehidupan sipil dan rumah tangga untuk membatasi perempuan Kritik Sastra Feminis Landasan teori yang dipakai untuk menjawab permasalahan yang telah dikemukakan di atas adalah kritik sastra feminis. Kritik sastra feminis ini terdiri dari beberapa perspekstif. Yang pertama adalah kritik ideologis, kritik ini melibatkan perempuan, khususnya feminis sebagai pembaca (Djajanegara, 2008: 28-29). Yang menjadi pusat perhatian pembaca adalah deskripsi serta stereotip perempuan dalam karya sastra. Pada dasarnya kritik ini merupakan cara menafsirkan suatu teks, khususnya teks tentang perempuan. Perspektif kedua adalah ginokritik yang mengkaji penulis-penulis perempuan. Kajian dalam kritik ini adalah masalah perbedaan antara tulisan laki-laki dan perempuan. Perspektif ketiga adalah sosialis atau marxis yang merupakan kritik sastra feminis yang meneliti tokoh-tokoh perempuan dari sudut pandang sosialis, yaitu kelas-kelas masyarakat tokoh perempuan dalam karya sastra lama adalah perempuan yang tertindas yang tenaganya dimanfaatkan untuk keperluan kaum laki-laki yang menerima bayaran. 17

18 Perspektif keempat adalah psikoanalitik, kritik sastra feminis yang diterapkan pada tulisan-tulisan perempuan, karena para feminis percaya bahwa pembaca perempuan biasanya mengidentifikasikan dirinya atau menempatkan dirinya pada si tokoh perempuan dalam karya sastra, sedang tokoh perempuan tersebut pada umumnya merupakan cermin penciptanya. Kritik sastra feminis ras atau kritik sastra feminis etnik merupakan perspektif kelima yang mengkaji tentang adanya diskriminasi seksual dari kaum laki-laki kulit putih atau hitam dan diskriminasi rasial dari golongan mayoritas kulit putih, baik laki-laki maupun perempuan. Perspektif terakhir adalah kritik feminis lesbian, kritik sastra feminis yang yang hanya meneliti penulis atau tokoh perempuan saja. Dalam kritik ini, para pengkritik sastra lesbian lebih keras untuk memasukkan perspektif feminis lesbian ke dalam kritik sastra feminis serta memasukkan teks-teks lesbian ke dalam ruang lingkup tradisional maupun feminis. Dalam penelitian ini Penulis menerapkan tiga perspektif dalam kritik sastra feminis yaitu kritik ideologis, ginokritik dan kritik sosialis. Secara ideologis, Penulis sebagai pembaca perempuan berusaha untuk menafsirkan stereotip perempuanyang terdapat dalam kedua novel. Dalam penelitian ini Penulis juga mengkaji tentang kedua pengarang novel yang merupakan perempuan yang menghadirkan tokoh perempuan dalam novelnya dengan dua latar belakang sosial yang berdeda. Penulis menerapkan kritik sosialis untuk melihat pengaruh latar belakang sosial dan kelas masyarakat dalam karya yang menyebabkan perempuan tertindas. 18

19 Dalam menganalisa karya sastra feminis, diperlukan teori pendukung yang akan mengungkap permasalahan seputar isu feminis di dalam karya. Pengaplikasian teori-teori ini akan memperjelas tujuan feminisme melalui karya sastra Superioritas dan Inferioritas dalam Patriarki Rueda mengatakan bahwa patriarki adalah penyebab penindasan terhadap perempuan (2007: 120). Masyarakat yang menganut sistem patriarki meletakkan lakilaki pada posisi dan kekuasaan yang dominan dibandingkan perempuan. Laki-laki dianggap memiliki kekuatan lebih dibandingkan perempuan, berada pada posisi lebih tinggi atau disebut juga dengan istilah superior. Pada semua bidang kehidupan, masyarakat memandang perempuan sebagai seorang yang lemah dan tidak berdaya, sebagai pihak yang tertindas (inferior). Menurut Masudi seperti yang dikutip Faturochman, sejarah masyarakat patriarki sejak awal membentuk peradaban manusia yang menganggap bahwa laki-laki lebih kuat (superior) dibandingkan perempuan baik dalam kehidupan pribadi, keluarga, masyarakat, maupun bernegara. Kultur patriarki ini secara turun-temurun membentuk perbedaan perilaku, status, dan otoritas antara laki-laki dan perempuan di masyarakat yang kemudian menjadi hirarki gender (2002: 16). Perbedaan biologis antara laki-laki dan perempuan dianggap sebagai awal pembentukan budaya patriarki. Masyarakat memandang perbedaan biologis antara keduanya merupakan status yang tidak setara. Perempuan yang tidak memiliki otot 19

20 dipercayai sebagai alasan mengapa masyarakat meletakkan perempuan pada posisi lemah (inferior). Millet menyatakan bahwa muscular weakness tidak dapat digunakan sebagai alasan peletakan perempuan pada posisi inferior. Laki-laki dianggap memiliki fisik kuat. Tetapi kekuatan fisik itu bukanlah sebuah faktor penting dalam hubungan antara laki-laki dan perempuan. Peradaban modern mampu menggantikan kekuatan fisik seperti, teknik persenjataan dan pengetahuan. Perbedaan yang lebih dalam antara laki-laki dan perempuan tampak karena masyarakat memperlakukan keduanya secara berbeda (1970: 27). Menurut Millet, institusi dasar dalam pembentukan budaya patriarki adalah keluarga, di mana ideologi patriarki terpelihara dengan baik dalam masyarakat tradisional maupun modern. Sebagai unit terkecil dari patriarki, keluarga memberikan kontribusi besar dalam penguatan ideologi ini (1970: 33). Keluarga mendorong setiap anggotanya untuk berpikir dan berperilaku sesuai dengan aturan masyarakat yang menganut patriarki. Ideologi patriarki dikenalkan kepada setiap anggota keluarga, terutama kepada anak. Anak laki-laki maupun perempuan belajar dari perilaku kedua orang tuanya mengenai bagaimana bersikap, karakter, hobi, status, dan nilai-nilai lain yang tepat dalam masyarakat. Perilaku yang diajarkan kepada anak dibedakan antara bagaimana bersikap sebagai seorang laki-laki dan perempuan. Menurut Millet, ideologi patriarki disosialisasikan ke dalam tiga kategori. Pertama, temperament, merupakan komponen psikologi yang meliputi pengelompokan kepribadian seseorang berdasar pada 20

21 kebutuhan dan nilai-nilai kelompok yang dominan. Hal itu memberikan kategori stereotype kepada laki-laki dan perempuan; seperti kuat, cerdas, agresif, efektif merupakan sifat yang melekat pada laki-laki, sedangkan tunduk (submissive), bodoh (ignorant), baik (virtuous), dan tidak efektif merupakan sifat yang melekat pada perempuan. Kedua, sex role, merupakan komponen sosiologis yang mengelaborasi tingkah laku kedua jenis kelamin. Hal ini membedakan gesture dan sikap pada setiap jenis kelamin. Sehingga terjadi pelekatan stereotype pada perempuan sebagai pekerja domestik (domestic service) dan laki-laki sebagai pencari nafkah. Ketiga, status yang merupakan komponen politis dimana laki-laki memiliki status superior dan perempuan inferior (1970: 26). Ideologi patriarki sangat sulit untuk dihilangkan dari masyarakat karena masyarakat tetap memeliharanya. Stereotip yang melekat kepada perempuan sebagai pekerja domestik membuatnya lemah karena dia tidak mendapatkan uang dari hasil kerjanya mengurus rumah tangga. Pekerjaan domestik tersebut dianggap remeh dan menjadi kewajibannya sebagai perempuan. Dia tidak perlu mendapatkan uang dari hasil kerjanya dan berakibat dia selalu tergantung kepada suaminya. Millet menyatakan bahwa ideologi patriarki tidak dapat diruntuhkan karena secara ekonomi perempuan tergantung pada laki-laki. Ketergantungan itu terjadi dalam seluruh kehidupannya. Secara konvensional laki-laki merupakan sumber utama pendapatan dalam keluarga sedangkan perempuan merupakan pengurus rumah tangga. Laki-laki bekerja di luar rumah untuk mencari nafkah sedangkan perempuan bekerja di dalam 21

22 rumah untuk melakukan semua pekerjaan rumah. Perempuan tidak diijinkan mencari uang sendiri karena laki-laki menjadikannya sebagai property ketika mereka menikah (1970: 40). Selain itu, keluarga yang menganut sistem patriarki memberi kesempatan untuk memperoleh pendidikan yang lebih tinggi kepada anak laki-laki daripada perempuan. Biasanya orang tua lebih mementingkan anak laki-lakinya untuk sekolah yang tinggi sedangkan anak perempuannya diminta di rumah. Sehingga anak perempuan kesulitan untuk mendapatkan akses pengetahuan. Sistem ini menurut Millet menjadikan kesempatan perempuan memperoleh pekerjaan lebih rendah dibandingkan laki-laki, sehingga perempuan tidak memiliki kapasitas ketika dirinya menikah meskipun ia mendapatkan pendidikan yang sama dengan laki-laki. Hal ini karena perempuan memiliki tanggung jawab ganda, yakni sebagai ibu yang harus merawat anak-anaknya dan istri yang melayani suaminya di rumah. Inilah yang mengakibatkan ketimpangan atau ketidaksetaraan gender antara laki-laki dan perempuan dalam berbagai hal (1970: 42). Ketimpangan atau bias gender terepresentasi melalui tokoh-tokoh dalam karya sastra dan menggambarkan baik diskriminasi, subordinasi, marginalisasi, pembagian kerja, stereotip, maupun kekerasan terhadap perempuan yang tertuang di dalamnya. Gender adalah sebuah bentuk perbedaan peran antara laki-laki dan perempuan yang lebih bersifat perilaku (behavioral differences) yang dikonstruksi secara 22

23 sosial dan kultural dan berlangsung dalam sebuah proses yang panjang. Jadi, gender merupakan bentukan sosial, maka penempatannya selalu berubah dari waktu ke waktu dan tidak bersifat universal, artinya antara masyarakat yang satu dengan yang lain mempunyai pengertian yang berbeda-beda dalam memahami gender. Gender berbeda dengan istilah seks. Seks merujuk pada perbedaan jenis kelamin yang secara biologis melekat pada diri perempuan dan laki-laki. (Oakley dalam Fakih, 2001:71-72). Menurut Fakih, dari analisis gender ternyata banyak ditemukan manifestasi ketidakadilan terhadap perempuan. Pertama, terjadi marginalisasi atau pemiskinan ekonomi. Kedua, subordinasi berupa akses pendidikan yang rendah bagi perempuan. Selain itu, perempuan tidak bisa menjadi pemimpin karena pembawaan perasaan atau emosionalnya. Ketiga, pelekatan stereotip tertentu yang membatasi dan menyulitkan kaum perempuan. Keempat adalah perbedaan peran yang diberikan kepada laki-laki dan perempuan. Kelima adalah tindak kekerasan fisik maupun mental terhadap perempuan. Hal inilah yang menimbulkan ketidaksetaraan gender antara laki-laki dan perempuan (2001: 72-76). Ketika hak-hak perempuan untuk memperoleh kesetaraan peran dalam keluarga maupun dalam masyarakat tidak dijamin maka terjadi tindak kekerasan terhadap perempuan oleh laki-laki. Dalam sistem patriarki laki-laki memiliki kuasa penuh terhadap perempuan sehingga mereka dapat melakukan apapun yang 23

24 diinginkan terhadap istrinya. Secara ekonomi perempuan tergantung kepada suaminya karena mereka tidak memperoleh uang atas jerih payah kerjanya. Menurut De Beauvoir, istri dianggap sebagai budak, sedangkan suami adalah tuannya. Hal ini dapat mengakibatkan terjadinya kekerasan dalam rumah tangga (1953: xv) Sexual Oppression Seksualitas perempuan merupakan sesuatu yang harus disembunyikan karena tidak pantas untuk diperdengarkan ke masyarakat. Orang tua biasanya tidak menjelaskan mengenai perkembangan seksualitas perempuan dengan detail kepada anak gadisnya. Millet menyatakan bahwa ada banyak hal tabu pada seksualitas perempuan. Misalnya, menstruasi dianggap sebagai hal yang rahasia dan kutukan Tuhan pada tubuh perempuan. Selain itu, perempuan diasingkan pada pondok di tepi desa pada kehidupan primitif. Selanjutnya ia mengatakan kebebasan seksual perempuan dianggap tabu dan mereka dituntut masih perawan sebelum menikah. Keperawanan dianggap sesuatu hal yang paling penting bagi perempuan. Mereka tidak diperbolehkan melakukan aborsi meskipun kehamilan itu berbahaya baginya atau mereka dipaksa melakukan aborsi yang berbahaya jika mereka belum menikah (1970: 47). Hal di atas dapat menjadikan penindasan seksual terhadap perempuan. Pada dasarnya sexual oppression pada perempuan terjadi di semua lini kehidupannya, 24

25 bahkan mulai masa kanak-kanak sampai mereka dewasa. Pertama, terkait akan perbedaan fisik anak laki-laki dan perempuan secara seksual. Anak gadis tidak memiliki penis dan mereka menganggap bahwa mereka memiliki tubuh lengkap. Tetapi kemudian anak gadis diperlihatkan berbeda oleh masyarakat dengan memberikan hak istimewa kepada laki-laki. Sehingga anak gadis menganggap bahwa perbedaan perlakuan oleh masyarakat diciptakan karena laki-laki dan perempuan berbeda secara seksual. Pada akhirnya anak gadis merasa inferior jika mereka bukan laki-laki (De Beauvoir, 1953: 3). Perbedaan tubuh antara laki-laki dan perempuan mengakibatkan perbedaan sikap masyarakat terhadap keduanya. Perempuan dalam masyarakat yang menganut budaya patriarki dianggap kurang karena dia tidak memiliki penis seperti laki-laki. De Beauvoir menyatakan ketidakberadaan penis pada tubuh perempuan memainkan peranan penting bagi nasibnya. Inferioritas perempuan berlanjut sampai masa pubertas. Pengalaman pubertas perempuan lebih cepat daripada laki-laki. Fase ini juga membawa perubahan penting bagi anak gadis. Tidak seperti laki-laki yang mengalami pubertas dengan bangga, anak gadis menghadapinya dengan rasa malu. Ketika payudara dan rambut yang ada ditubuhnya tumbuh, mereka terkejut. Rasa sakit yang mengikuti perubahan ini juga mengganggunya dan puncak dari rasa itu ketika mereka mengalami menstruasi pertama (De Beauvoir, 1953: 58). 25

26 Menstruasi pertama dianggap sebagai hal yang memalukan bagi perempuan. Perempuan biasanya akan malu jika seseorang mengetahui kondisinya. Perasaan ini menimbulkan inferioritas bagi perempuan (De Beauvoir, 1953: 62). Anak gadis diharapkan menjadi perempuan. Sayangnya, masyarakat patriarki menempatkannya pada posisi marginal. Anak gadis itu diharuskan melakukan tugas rumah. Mereka diharapkan tinggal di rumah dan melakukan pekerjaan rumah tangga. Mereka juga diajari menjadi perempuan seutuhnya dengan konsep feminin yaitu lemah lembut, pasif, dan penurut. Mereka harus menekan kata hatinya untuk memuaskan permintaan masyarakat (De Beauvoir, 1953: 231). Sexual Oppression pada perempuan berlanjut sampai dewasa. Sexual oppression akan lebih sering terjadi ketika mereka menikah. Perempuan diharapkan menikah. Menurut De Beauvoir, pernikahan dianggap takdir bagi perempuan. Masyarakat yang menganut budaya patriarki menganggap perempuan itu dinikahkan, direncanakan menikah, dan akan menderita jika tidak menikah (1953: 225). Perempuan dalam masyarakat yang menganut budaya patriarki biasanya dijodohkan, sehingga dia tidak bisa memilih calon suaminya. Sebaliknya, laki-laki dapat memilih calon istrinya. Perempuan diharapkan dapat memberikan anak dan melayani kebutuhan seksual suaminya. Selain itu mereka juga mengurus rumah tangga. Mereka berpikir bahwa pernikahan adalah karir yang menguntungkan karena mereka akan mendapatkan dukungan ekonomi dari suaminya. Apa yang mereka lakukan hanya membuat suaminya senang dengan memberikan pelayanan seksual dan 26

27 melakukan pekerjaan domestik (De Beauvoir, 1953: ). Kenyataannya anggapan ini hanya membuat perempuan semakin tergantung dengan suaminya. Hal itu sering menimbulkan kekerasan domestik dan sexual oppression tidak dapat diselesaikan. Hubungan seksual tidak dapat dipisahkan dari pernikahan. Hubungan seksual dianggap sebagai indikasi kebahagiaan dalam pernikahan. Namun kenyataannya, hubungan seksual kadangkala mengakibatkan sexual oppression bagi perempuan. De Beauvoir menyatakan ada dua bentuk sexual oppression pada perempuan yaitu keperawanan dan kenikmatan seksual. Perempuan harus dalam kondisi perawan ketika menikah dengan laki-laki dikarenakan laki-laki ingin menjadi pemilik eksklusif dari tubuh perempuan. Mereka meyakinkan kalau perempuan tidak membawa benih yang buruk. Selanjutnya dia menyatakan bahwa keperawanan hanya untuk perempuan karena laki-laki memperoleh kenikmatan dari hubungan seksual pertama dalam pernikahannya. Perempuan tidak dapat merasakan kesenangan seksual dan hanya laki-laki yang selalu memperolehnya. Bahkan sebaliknya, perempuan akan mendapatkan beban fungsi reproduksi setelah mereka melakukan hubungan seksual (hamil) (1953: ). 27

28 1.6.4 Independensi Kebebasan dalam konteks ini dihubungkan dengan cara berpikir dan bertindak. Pemikir seperti John Locke, Immanuel Kant, Karl Marx serta para pemikir kritis lainnya pada berbagai era dalam sejarah yang berbeda memikirkan dan mendeskripsikan kemungkinan realisasinya. Secara umum, diskusi tentang kebebasan ditandai oleh tiga hal pokok, yaitu cara mendefenisikan kebebasan, cara merealisasikan dan menjamin kebebasan, dan posisi batasan kebebasan dalam sebuah masyarakat. Kebebasan alami manusia ialah terbebas dari setiap kekuasaan duniawi (yang lebih tinggi), tidak tunduk pada kemauan atau kekuasaan seorang manusia (raja),melainkan sepenuhnya mengikuti aturan alami sebagai landasan hakhaknya. Kebebasan seorang manusia dalam sebuah masyarakat tidak berbasis pada kekuasaan (orang) lain yang dipaksakan berdasarkan keturunan, juga tidak pada kekuasaan dan keinginan atau keterbatasan sebuah undang-undang selain yangdiputuskan dalam parlemen yang bisa dipercaya. (Locke 1977: 213) Dalam tradisi Locke, tedapat tiga dimensi kebebasan: kebebasan diri sendiri, kebebasan terkait pemikiran dan perasaan sendiri serta kebebasan dari barang yang secara legal adalah miliknya. Tiga dimensi kebebasan ini mewarnai berbagai 28

29 konstitusi dan penetapan hak-hak asasi manusia. Banyak teori juga mengacu dan merupakan interpretasi defenisi kebebasannya John Locke. John Locke berangkat dari kebebasan alami yang dimiliki setiap manusia, bukan dikembangkan dalam masyarakat, tetapi sudah ada sejak dilahirkan. Namun, hak alami ini hanya bisa ditransformasikan dan ditanamkan menjadi hak setiap individu dalam sebuah masyarakat. Argumentasi Locke ini pada intinya mengikuti perubahan sesuai dengan perbedaan filosofis yang ada, hingga saat ini masih berfungsi dan selalu menjadi rujukan bila ingin memahami kebebasan sebagai sebuah nilai dasar. Locke dianggap sebagai pemikir liberalisme terpenting. Meskipun demikian, defenisi yang selalu menjadi rujukan tidak bisa menyembunyikan bahwa ini sekedar masalah historis yang tidak bisa dipahami tanpa mencermati persyaratan atau penyebab kelahirannya. Selain itu, hal ini tidak bisa dicangkokkan ke dalam kondisi hari ini. Hal ini juga bisa dilihat dari pertanyaan bagaimana kebebasan dalam sebuah masyarakat dijamin serta diwujudkan. Locke mengemukakan argumentasi melawan keyakinan bahwa ketidaksamaan manusia secara alami menjadi alasan ketidakbebasan sebagian besar manusia. Kebebasan alami dan dengan demikian kebebasan yang berlaku sama bagi semua, adalah sebuah argumentasi yang bersifat revolusioner dalam sebuah masyarakat absolutis di mana para raja melegitimisai kekuasaannya sebagai pemberian Tuhan, sama halnya laki-laki melegitimasi kekuasaannya atas perempuan sebagai aturan sosial. 29

30 Meskipun demikian, bagi Locke, kebebasan bukanlah sesuatu yang diberikan secara alami, tapi harus lewat kontrak sosial dalam sebuah masyarakat sebagai sesuatu yang alami. Dalam sebuah masyarakat kebebasan dijabarkan lewat kepemilikan seseorang, begitu pula kebebasan pikiran dan perasaan harus dijaga lewat partisipasi dalam pengambilan keputusan. Sementara kebebasan memiliki sesuatu memerlukan kebebasan bagi setiap orang untuk memiliki akses ke dunia luar. Kebebasan alami, dengan demikian tidak begitu saja diperoleh, tetapi harus dijamin lewat aturan-aturan dalam masyarakat. Ketika pertanyaan mengarah pada bagaimana merealisasikan kebebasan, sudah sejak abad ke-18 terdapat kritik terhadap teori John Locke. Pengritik terpenting adalah Jean-Jacques Rousseau, yang membantah sekaligus memperkaya Locke dalam empat butir utama berikut ini: 1. Sebuah kontrak sosial yang baik hanya bisa berfungsi ketika semua manusia sewaktu melahirkan (tatanan) masyarakat mengembalikan hak alaminya untuk kembali memperoleh hak-haknya sebagai warga dari tatanan tersebut. 2. Kontrak sosial mengacu pada masyarakat warga monarkis, bukanlah kontrak yang baik. 3. Kebebasan hanya bisa langgeng bila semua keputusan terkait hukum berlaku sama untuk semua. Dengan begitu, setiap manusia berada di bawah kemauannya sendiri dan bebas. 30

31 4. Lebih dari itu, bagi Rousseau, kebebasan juga terkait dengan perkembangan pemikiran. Pada setiap orang, ia melihat adanya kemampuan untuk mengembangkan berbagai kemampuan (perfectibilité) (Benner/Brüggen, 1996: 24). Kemampuan bukanlah sesuatu yang terlahir, tetapi dikembangkan lewat kemungkinan-kemungkinan belajar dan hidup dalam masyarakat. Dalam kehidupan sosial perempuan dipandang dengan banyak perspektif, secara umum perempuan dipandang sebagai sosok yang menanggung sektor domestik (memasak, mencuci, mengurus anak dan mengatur hal-hal di rumah tangga). Dalam kacamata sosiologi, perempuan bisa dikaji dengan banyak persektif, bisa mengguanakan kacamata teoritis, positivis maupun konflik. Dalam kacamata positivis yang dipelopori oleh Auguste Comte, secara garis besar masyarakat merupakan bentuk dari kesatuan yang tidak bisa terpisah dan selalu dalam keadaan stabil. Keadaan stabil ini disebabkan oleh adanya pemenuhan fungsi yang dijalankan oleh individu dalam masyarakat sehingga masyarakat selalu dalam keadaan yang equilibrium. Jika ada individu yang tidak bisa memenuhi fungsinya dalam masyarakat, maka individu tersebut dianggap menyimpang dan menyebabkan ketidakstabilan dalam masyarakat. Mengenai perempuan, Comte menganggap bahwa perempuan menjadi subordinat laki-laki jika perempuan tersebut sudah menikah. Hal ini disebabkan karena secara konstitusional perempuan bersifat inferior terhadap laki-laki, karena 31

32 kedewasaan mereka berakhir pada masa kanak-kanak (Ollenburber, 2002:2). Jika perempuan menolak menjadi subordinat laki-laki, maka dia dianggap tidak bisa memenuhi fungsinya dalam masyarakat dan menciptakan ketidakstabilan dalam masyarakat. Menurut perspektif konflik, masyarakat selalu berada dalam keadaan penuh pertentangan karena selalu adanya distingsi atau ketimpangan dalam masyarakat. Karl Marx menyebutkan bahwa di dalam masyarakat terdapat dikotomi antara kelas borjuis dan proletar. Dalam kajian khususnya mengenai perempuan, Fredrick Engles salah satu sahabat Marx mengungkapkan bahwa perempuan telah mengalami kekerasan yang dilakukan oleh kapitalis dan para lelaki dengan budaya patriarkinya. Hal ini terjadi karena perempuan khususnya kalangan menengah ke bawah harus menanggung beban ganda dengan bekerja di sektor publik untuk memenuhi kebutuhan keluarga dan juga tidak bisa meninggalkan sektor domestik yang dibebankan pada perempuan. Selain itu, perempuan yang hanya berkutat pada sektor domestik saja juga mengalami kekerasan dan penindasan karena suami yang bekerja pada sektor publik untuk mencari nafkah merasa lebih superior karena menafkahi keluarga, sementara istri inferior karena menurut mereka urusan sektor domestik tidak lebih penting dari sektor publik. Kapitalisme dan patriarki telah bergandengan tangan melakukan penindasan terhadap perempuan. Independensi dalam perspektif feminis adalah ketika terciptanya struktur masyarakat yang harmonis yang menempatkan perempuan pada posisi sejajar dengan laki-laki. Perempuan dapat memiliki pekerjaan yang sama dengan laki-laki, memiliki 32

33 hak untuk mengatur bisnis dan kekuatan legal yang dibutuhkan untuk mengejar kebebasan yang diinginkannya (De Beauvoir, 1953:160). Independensi perempuan sering diartikan dengan kemandirian kaum perempuan seingga tidak bergantung pada orang lain termasuk suami dalam urusan ekonomi dan peningkatan taraf hidup keluarga. Perempuan yang mandiri akan berdaya lebih baik dalam mayarakat secara umum dan keluarga secara khusus. Perempuan hendaknya bisa keluar rumah dengan bebas, bisa melihat dunia luar sehingga pandangan dan pengetahuannya terbuka. Perempuan bisa mengikuti rapat dan majelis kemasyarakatan, bisa menyuarakan pendapatnya dan dipertimbangkan dalam masyarakat. Perempuan hendaknya bisa bebas memilih bentuk tubuh yang diinginkannya tanpa harus mengikuti keinginan laki-laki dan norma yang berlaku di masyarakat. Perempuan hendaknya bebas memilih untuk menikah atau tidak, serta bebas memilih pasangan hidupnya. Namun pada kenyataannya, perempuan banyak yang terkurung di rumah tanpa hak-hak ekonomi, politik maupun seksual. Perempuan dinyatakan tercipta bagi keluarga, untuk kehidupan rumah tangga, bukan untuk politik dan bukan untuk fungsi publik. Menurut Auguste Comte, terdapat perbedaan-perbedaan radikal, fisik, dan moral antara laki-laki dan perempuan yang membuat statusnya terpisah (Ollenburber, 2002:5). Masalah mendasar perempuan terkait independensi adalah kebebasan perempuan menyesuaikan antara peran reproduksi dan peran kerja produktifnya. Sejak awal sejarah perempuan telah ditempatkan pada pekerjaan domestik yang 33

34 menghalanginya turut ambil peran diluar rumah, diluar dunianya, yang merupakan bentuk pemenjaraan perempuan pada fungsi generatif. Perempuan sebagai subjek yang mengandung anak, tidak hanya bertugas melahirkan, namun juga merawat dan membesarkan. Hal ini mennyebabkan pembagian kerja tergender yang hanya menempatkan perempuan pada wilayah domestik dan alokasi kekuasaan perempuan pada kekuasaan publik laki-laki. Pembagian kerja secara seksual mengakibatkan perempuan dijauhkan dari pekerjaan tertentu karena dianggap tidak mampu melakukannya. Hal ini menunjukkan realitas bahwa masyarakat telah mengatur alokasi aktivitas dan tanggung jawab secara murni dengan basis gender. Peran domestik membatasi alokasi waktu perempuan. Memasak, mencuci, membersihkan rumah, merawat anak, dan pekerjaan rumah tangga lain sangat memakan waktu. Bisa disimpulkan bahwa waktu yang dipunyai perempuan diatur untuk pemenuhan kebutuhan hidup anggota rumah tangga lainnya tanpa henti. Di lain pihak, tugas yang dilakukan laki-laki dalam ranah domestik hanyalah terbatas pada tugas yang sifatnya berkala seperti membuang sampah, memperbaiki kerusakan pipa air atau memotong rumput halaman. Jenis tugas ini tidak menuntut waktu banyak dan terus menerus, jadwalnya pun dapat diatur sebagai priotitas kesekian. Waktu yang dibutuhkan perempuan untuk mengurusi ranah domestik membuat mereka kesulitan untuk berkarya layaknya laki-laki di sektor publik. Pembatasan pada perempuan berdasarkan gender dan seksualitas ini mempersempit ruang privat mereka dan menjadikan laki-laki dominan di ruang publik. Jika bias gender ini bisa diabaikan 34

BAB IV KESIMPULAN. publik. Secara lebih khusus, Mansfield Park menceritakan posisi perempuan pada

BAB IV KESIMPULAN. publik. Secara lebih khusus, Mansfield Park menceritakan posisi perempuan pada BAB IV KESIMPULAN Mansfield Park dan Kalau Tak Untung merupakan novel yang mengandung unsur sosial historis yang kuat, terutama menyangkut kedudukan perempuan dalam hubungannya dengan laki-laki dan posisi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Gender merupakan konstruksi sosial mengenai perbedaan peran dan. kesempatan antara laki-laki dan perempuan. Perbedaan peran dan

BAB I PENDAHULUAN. Gender merupakan konstruksi sosial mengenai perbedaan peran dan. kesempatan antara laki-laki dan perempuan. Perbedaan peran dan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Gender merupakan konstruksi sosial mengenai perbedaan peran dan kesempatan antara laki-laki dan perempuan. Perbedaan peran dan kesempatan tersebut terjadi baik

Lebih terperinci

* Terdapat dua teori besar dalam ilmu social yang. 1. Teori struktural fungsionalisme, dan 2. Teori struktural konflik

* Terdapat dua teori besar dalam ilmu social yang. 1. Teori struktural fungsionalisme, dan 2. Teori struktural konflik Terdapat dua teori besar dalam ilmu social yang melahirkan aliran feminisme, yakni: 1. Teori struktural fungsionalisme, dan 2. Teori struktural konflik * *Tokoh : Robert Merton & Talcott Parsons. *Teori

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. tentunya sangat berkaitan dengan hidup dan kehidupan manusia serta kemanusiaan. Ia

BAB I PENDAHULUAN. tentunya sangat berkaitan dengan hidup dan kehidupan manusia serta kemanusiaan. Ia 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Sastra merupakan salah satu cabang kesenian yang selalu berada dalam peradaban manusia semenjak ribuan tahun lalu. Penelitian terhadap karya sastra penting

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Seiring dengan perkembangan Indonesia kearah modernisasi maka semakin banyak peluang bagi perempuan untuk berperan dalam pembangunan. Tetapi berhubung masyarakat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kondisi fisik yang lebih lemah dan dikenal lembut sering menjadi alasan untuk menempatkan kaum perempuan dalam posisi yang lebih rendah dari lakilaki. Secara

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. berperan penting atau tokoh pembawa jalannya cerita dalam karya sastra.

BAB I PENDAHULUAN. berperan penting atau tokoh pembawa jalannya cerita dalam karya sastra. BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Karya sastra memuat perilaku manusia melalui karakter tokoh-tokoh cerita. Hadirnya tokoh dalam suatu karya dapat menghidupkan cerita dalam karya sastra. Keberadaan

Lebih terperinci

BAB II KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia yang diterbitkan oleh Pusat Bahasa

BAB II KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia yang diterbitkan oleh Pusat Bahasa BAB II KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Konsep Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia yang diterbitkan oleh Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional ( 2005:588), konsep didefenisikan sebagai

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA DAN TELAAH KONSEPTUAL. Penelitian tentang perempuan etnis Tionghoa muslim belum

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA DAN TELAAH KONSEPTUAL. Penelitian tentang perempuan etnis Tionghoa muslim belum BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA DAN TELAAH KONSEPTUAL 2.1. Tinjauan Pustaka Penelitian tentang perempuan etnis Tionghoa muslim belum pernah ditulis di penelitian-penelitian di Kajian Wanita Universitas Indonesia.

Lebih terperinci

BAB IV KESIMPULAN. Perempuan sebagai subjek yang aktif dalam urusan-urusan publik

BAB IV KESIMPULAN. Perempuan sebagai subjek yang aktif dalam urusan-urusan publik 68 BAB IV KESIMPULAN Perempuan sebagai subjek yang aktif dalam urusan-urusan publik (ekonomi) merupakan konsep kesetaraan gender. Perempuan tidak selalu berada dalam urusan-urusan domestik yang menyudutkannya

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. 2008:8).Sastra sebagai seni kreatif yang menggunakan manusia dan segala macam

I. PENDAHULUAN. 2008:8).Sastra sebagai seni kreatif yang menggunakan manusia dan segala macam I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Sastra adalah suatu bentuk dan hasil pekerjaan seni kreatif yang objeknya adalah manusia dan kehidupannya dengan menggunakan bahasa sebagai mediumnya (Semi, 2008:8).Sastra

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. manusia kedua setelah laki-laki. Tatanan sosial memberi kedudukan perempuan

BAB I PENDAHULUAN. manusia kedua setelah laki-laki. Tatanan sosial memberi kedudukan perempuan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Perempuan oleh masyarakat kadang-kadang masih dianggap sebagai manusia kedua setelah laki-laki. Tatanan sosial memberi kedudukan perempuan tidak lebih penting

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. akar perselisihan. Isu dan permasalahan yang berhubungan dengan gender,

BAB I PENDAHULUAN. akar perselisihan. Isu dan permasalahan yang berhubungan dengan gender, 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masyarakat masih terkungkung oleh tradisi gender, bahkan sejak masih kecil. Gender hadir di dalam pergaulan, percakapan, dan sering juga menjadi akar perselisihan.

Lebih terperinci

BAB II. Kajian Pustaka. hukum adat. Harta orangtua yang tidak bergerak seperti rumah, tanah dan sejenisnya

BAB II. Kajian Pustaka. hukum adat. Harta orangtua yang tidak bergerak seperti rumah, tanah dan sejenisnya BAB II Kajian Pustaka 2.1. Perempuan Karo Dalam Perspektif Gender Dalam kehidupan masyarakat Batak pada umumnya dan masyarakat Karo pada khususnya bahwa pembagian harta warisan telah diatur secara turun

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Karya sastra lahir karena adanya daya imajinasi yang di dalamnya terdapat ide, pikiran, dan perasaan seorang pengarang. Daya imajinasi inilah yang mampu membedakan karya

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang 1 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Menurut (Ratna, 2009, hlm.182-183) Polarisasi laki-laki berada lebih tinggi dari perempuan sudah terbentuk dengan sendirinya sejak awal. Anak laki-laki, lebihlebih

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. pengarang menciptakan karya sastra sebagai ide kreatifnya. Sebagai orang yang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. pengarang menciptakan karya sastra sebagai ide kreatifnya. Sebagai orang yang 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Karya sastra tercipta sebagai reaksi dinamika sosial dan kultural yang terjadi dalam masyarakat. Terdapat struktur sosial yang melatarbelakangi seorang pengarang

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA. dan perempuan terjadi melalui proses yang sangat panjang. Oleh karena itu

BAB II KAJIAN PUSTAKA. dan perempuan terjadi melalui proses yang sangat panjang. Oleh karena itu BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1. Teori Relasi Kekuasaan Sejarah perbedaan gender (gender differences) antara manusia jenis laki- laki dan perempuan terjadi melalui proses yang sangat panjang. Oleh karena itu

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA

BAB II KAJIAN PUSTAKA BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Behavior dalam Pandangan Nitze tentang Perspektif Tuan dan Buruh Sosiologi perilaku memusatkan perhatian pada hubungan antara pengaruh perilaku seorang aktor terhadap lingkungan

Lebih terperinci

BAB IV KESIMPULAN. dalam menentukan dan membentuk konstruksi sosial, yaitu aturan-aturan dan batasan

BAB IV KESIMPULAN. dalam menentukan dan membentuk konstruksi sosial, yaitu aturan-aturan dan batasan BAB IV KESIMPULAN Secara formal, Era Victoria dimulai pada tahun 1837 hingga 1901 dibawah pimpinan Ratu Victoria. Era Victoria yang terkenal dengan Revolusi industri dan kemajuan di berbagai bidang kehidupan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Ilmu sastra pada hakikatnya selalu berkaitan dengan masyarakat. Sastra

BAB I PENDAHULUAN. Ilmu sastra pada hakikatnya selalu berkaitan dengan masyarakat. Sastra BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Ilmu sastra pada hakikatnya selalu berkaitan dengan masyarakat. Sastra diciptakan untuk dinikmati, dihayati, dan dimanfaatkan oleh masyarakat. Luxemburg (1989:6) mengatakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Permasalahan. upaya dari anggota organisasi untuk meningkatkan suatu jabatan yang ada.

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Permasalahan. upaya dari anggota organisasi untuk meningkatkan suatu jabatan yang ada. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Permasalahan Masyarakat hidup secara berkelompok dalam suatu kesatuan sistem sosial atau organisasi. Salah satu bidang dalam organisasi yaitu bidang politik (Wirawan,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Perempuan adalah tiang negara, artinya tegak runtuhnya suatu negara berada di tangan kaum perempuan. Penerus peradaban lahir dari rahim seorang perempuan,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Karya sastra merupakan gambaran tentang kehidupan yang ada dalam

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Karya sastra merupakan gambaran tentang kehidupan yang ada dalam 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Karya sastra merupakan gambaran tentang kehidupan yang ada dalam masyarakat. Kehidupan sosial, kehidupan individu, hingga keadaan psikologi tokoh tergambar

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA

II. TINJAUAN PUSTAKA II. TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan tentang Perilaku 1. Definisi Perilaku Menurut Skinner dalam Notoatmojo (2003), perilaku merupakan respon berdasarkan stimulus yang diterima dari luar maupun dari dalam

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Bicara tentang tokoh pendidikan ataupun pelopor perjuangan kaum

BAB I PENDAHULUAN. Bicara tentang tokoh pendidikan ataupun pelopor perjuangan kaum BAB I PENDAHULUAN 1. 1 LatarBelakang Bicara tentang tokoh pendidikan ataupun pelopor perjuangan kaum perempuan, sebagian besar masyarakat tentu lebih mengenal R.A Kartini. Memang, banyak tokoh perempuan

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, DAN KERANGKA TEORI. Berdasarkan penelitian sebelumnya yang telah berhasil dikumpulkan,

BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, DAN KERANGKA TEORI. Berdasarkan penelitian sebelumnya yang telah berhasil dikumpulkan, BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, DAN KERANGKA TEORI 2.1 Kajian Pustaka Berdasarkan penelitian sebelumnya yang telah berhasil dikumpulkan, diketahui bahwa terdapat beberapa penelitian yang dapat dijadikan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Indonesia saat ini memasuki era globalisasi yang ditandai dengan arus

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Indonesia saat ini memasuki era globalisasi yang ditandai dengan arus BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia saat ini memasuki era globalisasi yang ditandai dengan arus informasi dan teknologi yang canggih yang menuntut masyarakat untuk lebih berperan aktif

Lebih terperinci

BAB V SIMPULAN, IMPLIKASI DAN REKOMENDASI

BAB V SIMPULAN, IMPLIKASI DAN REKOMENDASI 318 BAB V SIMPULAN, IMPLIKASI DAN REKOMENDASI A. Simpulan Berdasarkan capaian hasil penelitian dan pembahasan seperti yang tertuang pada bab IV, bahwa penelitian ini telah menghasilkan dua analisis, pertama

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang Masalah Dalam penelitian ini, peneliti meneliti mengenai pemaknaan pasangan suami-istri di Surabaya terkait peran gender dalam film Erin Brockovich. Gender sendiri

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dari tulisan-tulisan ilmiah. Tidak juga harus masuk ke dalam masyarakat yang

BAB I PENDAHULUAN. dari tulisan-tulisan ilmiah. Tidak juga harus masuk ke dalam masyarakat yang 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Mengetahui pandangan budaya dalam suatu masyarakat, tidak hanya didapatkan dari tulisan-tulisan ilmiah. Tidak juga harus masuk ke dalam masyarakat yang bersangkutan,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. seorang pengarang yang dituangkan dalam bentuk tulisan berdasarkan

BAB I PENDAHULUAN. seorang pengarang yang dituangkan dalam bentuk tulisan berdasarkan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Karya sastra merupakan wujud atau hasil dari daya imajinasi seorang pengarang yang dituangkan dalam bentuk tulisan berdasarkan pengalaman pribadi atau dengan

Lebih terperinci

BAB IV KESIMPULAN. atau isu-isu yang sering terjadi dalam kehidupan perempuan. Melalui

BAB IV KESIMPULAN. atau isu-isu yang sering terjadi dalam kehidupan perempuan. Melalui BAB IV KESIMPULAN 4.1 Simpulan Hasil Analisis Novel Kinanti karya Margareth Widhy Pratiwi merekam fenomenafenomena atau isu-isu yang sering terjadi dalam kehidupan perempuan. Melalui novelnya yang berjudul

Lebih terperinci

BAB IV PENUTUP. masyarakat Eropa pada umumnya. Semangat revolusi Perancis sangat

BAB IV PENUTUP. masyarakat Eropa pada umumnya. Semangat revolusi Perancis sangat 119 BAB IV PENUTUP 4.1 Kesimpulan Didasarkan pada apa yang sudah ditanyakan pada penelitian ini sebagai rumusan masalah dan dibahas pada bab II dan III dapat ditarik kesimpulan bahwa revolusi perancis

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. menyampaikan gagasan-gagasan ataupun merefleksikan pandangannya terhadap

BAB I PENDAHULUAN. menyampaikan gagasan-gagasan ataupun merefleksikan pandangannya terhadap 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Karya sastra merupakan wadah yang digunakan oleh pengarang dalam menyampaikan gagasan-gagasan ataupun merefleksikan pandangannya terhadap berbagai masalah yang diamati

Lebih terperinci

Dekonstruksi Maskulinitas dan Feminitas dalam Sinetron ABG Jadi Manten Skripsi Disusun untuk memenuhi persyaratan menyelesaikan Pendidikan Strata 1

Dekonstruksi Maskulinitas dan Feminitas dalam Sinetron ABG Jadi Manten Skripsi Disusun untuk memenuhi persyaratan menyelesaikan Pendidikan Strata 1 Dekonstruksi Maskulinitas dan Feminitas dalam Sinetron ABG Jadi Manten Skripsi Disusun untuk memenuhi persyaratan menyelesaikan Pendidikan Strata 1 Jurusan Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu

Lebih terperinci

Analisis Gender dan Transformasi Sosial Pembahas: Luh Anik Mayani

Analisis Gender dan Transformasi Sosial Pembahas: Luh Anik Mayani Analisis Gender dan Transformasi Sosial Pembahas: Luh Anik Mayani Pokok bahasan dalam buku Analisis Gender dan Transformasi Sosial karya Mansour Fakih ini dibagi menjadi tiga bagian, yaitu tentang analisis

Lebih terperinci

BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN. historisnya, dipersoalkan oleh pemeluk agama, serta

BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN. historisnya, dipersoalkan oleh pemeluk agama, serta BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN 6.1 Kesimpulan Praktik poligami dalam bentuk tindakan-tindakan seksual pada perempuan dan keluarga dekatnya telah lama terjadi dan menjadi tradisi masyarakat tertentu di belahan

Lebih terperinci

Pemahaman Analisis Gender. Oleh: Dr. Alimin

Pemahaman Analisis Gender. Oleh: Dr. Alimin Pemahaman Analisis Gender Oleh: Dr. Alimin 1 2 ALASAN MENGAPA MENGIKUTI KELAS GENDER Isu partisipasi perempuan dalam politik (banyak caleg perempuan) Mengetahui konsep gender Bisa menulis isu terkait gender

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. gender. Kekerasan yang disebabkan oleh bias gender ini disebut gender related

BAB I PENDAHULUAN. gender. Kekerasan yang disebabkan oleh bias gender ini disebut gender related BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kekerasan terhadap perempuan adalah persoalan pelanggaran kondisi kemanusiaan yang tidak pernah tidak menarik untuk dikaji. Menurut Mansour Fakih (2004:17) kekerasan

Lebih terperinci

BAB V PENUTUP. Karya-karya Suparto Brata yang berjudul Ser! Ser! Plong!, Mbok Randha

BAB V PENUTUP. Karya-karya Suparto Brata yang berjudul Ser! Ser! Plong!, Mbok Randha BAB V PENUTUP 5.1 Kesimpulan Karya-karya Suparto Brata yang berjudul Ser! Ser! Plong!, Mbok Randha Saka Jogja, Cocak Nguntal Elo, dan Nona Sekretaris memperlihatkan gagasan tentang kehidupan perempuan

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN TEORI. dan Eksploitasi Wanita dalam Novel The Lost Arabian Women karya Qanta A.

BAB II KAJIAN TEORI. dan Eksploitasi Wanita dalam Novel The Lost Arabian Women karya Qanta A. BAB II KAJIAN TEORI 2.1 Penelitian yang Relevan Sebelumnya Kajian yang relevan dengan penelitian ini adalah penelitian yang telah dilakukan oleh Nikmawati yang berjudul Perlawanan Tokoh Terhadap Diskriminasi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. ataupun perasaan seseorang dari apa yang dialaminya. Ekspresi kreatif tersebut

BAB I PENDAHULUAN. ataupun perasaan seseorang dari apa yang dialaminya. Ekspresi kreatif tersebut BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Sastra merupakan ekspresi kreatif untuk menuangkan ide, gagasan, ataupun perasaan seseorang dari apa yang dialaminya. Ekspresi kreatif tersebut akan senantiasa

Lebih terperinci

2015 PERANAN ALICE PAUL DALAM MEMPEROLEH HAK SUARA BAGI WANITA DI AMERIKA SERIKAT

2015 PERANAN ALICE PAUL DALAM MEMPEROLEH HAK SUARA BAGI WANITA DI AMERIKA SERIKAT BAB V KESIMPULAN Bab ini merupakan kesimpulan dari penulisan skripsi ini, yang berjudul Peranan Alice Paul Dalam MemperolehHak Suara Bagi Wanita Di Amerika Serikat. Kesimpulan ini merujuk pada jawaban

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pengalaman pengarang. Karya sastra hadir bukan semata-mata sebagai sarana

BAB I PENDAHULUAN. pengalaman pengarang. Karya sastra hadir bukan semata-mata sebagai sarana BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Karya sastra merupakan bentuk realita dari hasil imajinasi dan pengalaman pengarang. Karya sastra hadir bukan semata-mata sebagai sarana ekspresi pengarang saja,

Lebih terperinci

2015 PERANAN PEREMPUAN DALAM POLITIK NASIONAL JEPANG TAHUN

2015 PERANAN PEREMPUAN DALAM POLITIK NASIONAL JEPANG TAHUN BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Jepang merupakan negara maju yang terkenal dengan masyarakatnya yang giat bekerja dan juga dikenal sebagai negara yang penduduknya masih menjunjung tinggi

Lebih terperinci

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN BAB V KESIMPULAN DAN SARAN 5.1 Kesimpulan Kesimpulan dalam penelitian terhadap perempuan dalam roman Au Bonheur des Dames karya Émile Zola yang diambil sebagai objek penelitian ini memiliki beberapa implikasi.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah. Karya sastra adalah salah satu jenis hasil budidaya masyarakat yang dinyatakan

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah. Karya sastra adalah salah satu jenis hasil budidaya masyarakat yang dinyatakan BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Karya sastra adalah salah satu jenis hasil budidaya masyarakat yang dinyatakan dengan bahasa, baik lisan maupun tulis, yang mengandung keindahan. Karya sastra

Lebih terperinci

Bab 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

Bab 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Bab 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Menurut Shuji dalam Olson (2006: 197) masyarakat Jepang adalah masyarakat patriarkal. Olson (2006: 125) juga menerangkan bahwa sistem patriarkal adalah suatu sistem

Lebih terperinci

BAB 5 SIMPULAN DAN SARAN

BAB 5 SIMPULAN DAN SARAN BAB 5 SIMPULAN DAN SARAN 5.1 Simpulan 5.1.1 Struktur Naskah Pertja Objek penelitian yang digunakan dalam kajian skripsi ini adalah naskah drama yang berjudul Pertja karya Benjon atau Benny Yohanes. Lakon

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. perhatian yang khusus. Perjuangan dalam pergerakan kebangsaan Indonesia

I. PENDAHULUAN. perhatian yang khusus. Perjuangan dalam pergerakan kebangsaan Indonesia 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Abad ke 20 bukan hanya menjadi saksi perjuangan bangsa Indonesia, akan tetapi dalam hal gerakan-gerakan anti penjajahan yang bermunculan di masa ini menarik perhatian

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. pandangan pengarang terhadap fakta-fakta atau realitas yang terjadi dalam

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. pandangan pengarang terhadap fakta-fakta atau realitas yang terjadi dalam digilib.uns.ac.id BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Sebagai karya sastra, novel muncul sebagai sebuah representasi atau pandangan pengarang terhadap fakta-fakta atau realitas yang terjadi dalam

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Gender adalah perbedaan jenis kelamin berdasarkan budaya, di mana lakilaki

BAB 1 PENDAHULUAN. Gender adalah perbedaan jenis kelamin berdasarkan budaya, di mana lakilaki BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Gender adalah perbedaan jenis kelamin berdasarkan budaya, di mana lakilaki dan perempuan dibedakan sesuai dengan perannya masing-masing yang dikonstruksikan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. ini. Terjadinya ketidakadilan gender kiranya dapat dipicu oleh masih kuatnya

BAB I PENDAHULUAN. ini. Terjadinya ketidakadilan gender kiranya dapat dipicu oleh masih kuatnya BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Permasalahan tentang perempuan pada saat ini masih menjadi perbincangan yang aktual dan tidak ada habisnya. Permasalahan berkaitan dengan perempuan seperti yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pekerja dan itu menjadi penanda waktu yang beremansipasi.

BAB I PENDAHULUAN. pekerja dan itu menjadi penanda waktu yang beremansipasi. BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Perempuan dalam televisi senantiasa hanya mempertentangkan antara wanita karir dan menjadi ibu-ibu rumah tangga. Dua posisi ini ada didalam lokasi yang berseberangan.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Dalam realitas kehidupan, perbedaan peran sosial laki-laki dan perempuan

BAB I PENDAHULUAN. Dalam realitas kehidupan, perbedaan peran sosial laki-laki dan perempuan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Dalam realitas kehidupan, perbedaan peran sosial laki-laki dan perempuan dimana laki-laki lebih diunggulkan dari perempuan. Seorang perempuan berlaku lemah lembut dan

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Perselingkuhan sebagai..., Innieke Dwi Putri, FIB UI, Universitas Indonesia

BAB 1 PENDAHULUAN. Perselingkuhan sebagai..., Innieke Dwi Putri, FIB UI, Universitas Indonesia 1 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Karya sastra menggambarkan jiwa masyarakat. Karya sastra sebagai interpretasi kehidupan, melukiskan perilaku kehidupan manusia yang terjadi dalam masyarakat. Segala

Lebih terperinci

BAB VI SIMPULAN DAN SARAN

BAB VI SIMPULAN DAN SARAN A. Simpulan BAB VI SIMPULAN DAN SARAN Berdasarkan analisis data, hasil analisis, dan pembahasan dapat disimpulkan dari cerpen Indonesia pengarang perempuan dekade 1970-2000-an beberapa hal berikut. Struktur

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. berbagai macam masalah kehidupan manusia secara langsung dan sekaligus.

BAB I PENDAHULUAN. berbagai macam masalah kehidupan manusia secara langsung dan sekaligus. 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Karya sastra hadir sebagai wujud nyata hasil imajinasi dari seorang penulis. Penciptaan suatu karya sastra bermula dari pengalaman batin pengarang yang dikontruksikan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Karya sastra diciptakan berdasarkan imajinasi dan berlandaskan pada bahasa yang digunakan untuk memperoleh efek makna tertentu guna mencapai efek estetik. Sebuah

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI

BAB II LANDASAN TEORI BAB II LANDASAN TEORI 2.1. Peran Pekerjaan dan Keluarga Fenomena wanita bekerja di luar rumah oleh banyak pihak dianggap sebagai sesuatu yang relatif baru bagi masyarakat Indonesia. Kendati semakin lumrah,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pada masyarakat yang menganut sistem patriarkhi seringkali menempatkan lakilaki

BAB I PENDAHULUAN. Pada masyarakat yang menganut sistem patriarkhi seringkali menempatkan lakilaki 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pada masyarakat yang menganut sistem patriarkhi seringkali menempatkan lakilaki pada posisi dan kekuasaan yang lebih dominan dibandingkan perempuan. Secara

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Patriarki adalah sebuah sistem sosial yang menempatkan laki-laki

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Patriarki adalah sebuah sistem sosial yang menempatkan laki-laki BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Patriarki adalah sebuah sistem sosial yang menempatkan laki-laki sebagai sosok otoritas utama yang sentral dalam organisasi sosial. Kebanyakan sistem patriarki juga

Lebih terperinci

BAB VII HUBUNGAN SOSIALISASI PERAN GENDER DALAM KELUARGA ANGGOTA KOPERASI DENGAN RELASI GENDER DALAM KOWAR

BAB VII HUBUNGAN SOSIALISASI PERAN GENDER DALAM KELUARGA ANGGOTA KOPERASI DENGAN RELASI GENDER DALAM KOWAR BAB VII HUBUNGAN SOSIALISASI PERAN GENDER DALAM KELUARGA ANGGOTA KOPERASI DENGAN RELASI GENDER DALAM KOWAR Norma dan nilai gender dalam masyarakat merujuk pada gagasan-gagasan tentang bagaimana seharusnya

Lebih terperinci

Issue Gender & gerakan Feminisme. Rudy Wawolumaja

Issue Gender & gerakan Feminisme. Rudy Wawolumaja Issue Gender & gerakan Feminisme Rudy Wawolumaja Feminsisme Kaum feminis berpandangan bahwa sejarah ditulis dari sudut pandang pria dan tidak menyuarakan peran wanita dalam membuat sejarah dan membentuk

Lebih terperinci

BAB IV ANALISIS PERLINDUNGAN HAK NAFKAH PEREMPUAN DALAM KOMPILASI HUKUM ISLAM DALAM PERSPEKTIF FEMINISME

BAB IV ANALISIS PERLINDUNGAN HAK NAFKAH PEREMPUAN DALAM KOMPILASI HUKUM ISLAM DALAM PERSPEKTIF FEMINISME 51 BAB IV ANALISIS PERLINDUNGAN HAK NAFKAH PEREMPUAN DALAM KOMPILASI HUKUM ISLAM DALAM PERSPEKTIF FEMINISME A. Analisis Terhadap Perlindungan Hak Nafkah Perempuan dalam Kompilasi Hukum Islam Hak perkawinan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 104).Secara historis keluarga terbentuk paling tidak dari satuan yang merupakan

BAB I PENDAHULUAN. 104).Secara historis keluarga terbentuk paling tidak dari satuan yang merupakan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Keluarga merupakan suatu kelompok primer yang sangat erat. Yang dibentuk karena kebutuhan akan kasih sayang antara suami dan istri. (Khairuddin, 1985: 104).Secara historis

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang luas. Tanaman tertentu adalah tanaman semusim dan atau tanaman

BAB I PENDAHULUAN. yang luas. Tanaman tertentu adalah tanaman semusim dan atau tanaman BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Perkebunan merupakan aktivitas budi daya tanaman tertentu pada lahan yang luas. Tanaman tertentu adalah tanaman semusim dan atau tanaman tahunan yang jenis

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. pada anak-anak sedini mungkin agar tidak menghambat tugas-tugas perkembangan anak

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. pada anak-anak sedini mungkin agar tidak menghambat tugas-tugas perkembangan anak BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kemandirian merupakan salah satu aspek kepribadian manusia yang tidak dapat berdiri sendiri, artinya terkait dengan aspek kepribadian yang lain dan harus dilatihkan

Lebih terperinci

BAB IV ANALISIS PEMIKIRAN RIFFAT HASSAN DAN MANSOUR FAKIH TENTANG KESETARAAN JENDER DALAM ISLAM: SEBUAH PERBANDINGAN

BAB IV ANALISIS PEMIKIRAN RIFFAT HASSAN DAN MANSOUR FAKIH TENTANG KESETARAAN JENDER DALAM ISLAM: SEBUAH PERBANDINGAN BAB IV ANALISIS PEMIKIRAN RIFFAT HASSAN DAN MANSOUR FAKIH TENTANG KESETARAAN JENDER DALAM ISLAM: SEBUAH PERBANDINGAN A. Persamaan antara Pemikiran Riffat Hassan dan Mansour Fakih tentang Kesetaraan Jender

Lebih terperinci

2016 EKSISTENSI MAHASISWI D ALAM BERORGANISASI D I LINGKUNGAN FAKULTAS PEND ID IKAN ILMU PENGETAHUAN SOSIAL

2016 EKSISTENSI MAHASISWI D ALAM BERORGANISASI D I LINGKUNGAN FAKULTAS PEND ID IKAN ILMU PENGETAHUAN SOSIAL BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Mahasiswa identik dengan kaum terdidik yang sedang menjalani proses pematangan intelektual. Peran ganda yang dijalani oleh mahasiswa mendorong mereka untuk

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. dilihat pada penyajian sampul-sampul buku karya sastra yang hampir selalu menjadikan sketsa

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. dilihat pada penyajian sampul-sampul buku karya sastra yang hampir selalu menjadikan sketsa BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Perempuan menjadi salah satu objek pembahasan yang menarik di dalam karya sastra. Perempuan bahkan terkadang menjadi ikon nilai komersil penjualan karya sastra. Hal

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Perempuan adalah tiang penyangga dalam rumah tangga. Istilah tersebut

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Perempuan adalah tiang penyangga dalam rumah tangga. Istilah tersebut 1 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Perempuan adalah tiang penyangga dalam rumah tangga. Istilah tersebut menunjukkan bahwa perempuan memiliki posisi vital di tengah-tengah keluarga dengan segala fungsi

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. mana perbedaan perempuan dan laki-laki yang bersifat kodrat sebagai ciptaan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. mana perbedaan perempuan dan laki-laki yang bersifat kodrat sebagai ciptaan BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Konsep Gender Istilah gender diketengahkan oleh para ilmuwan sosial untuk menjelaskan mana perbedaan perempuan dan laki-laki yang bersifat kodrat sebagai ciptaan Tuhan dan mana

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kesetaraan antara kaum pria dan wanita dalam bidang sosial, politik, dan ekonomi.

BAB I PENDAHULUAN. kesetaraan antara kaum pria dan wanita dalam bidang sosial, politik, dan ekonomi. 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Penelitian Feminisme merupakan suatu konsep yang menggambarkan tentang kesetaraan antara kaum pria dan wanita dalam bidang sosial, politik, dan ekonomi. Menurut

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. khalayak. Karena menurut McLuhan (dalam Rakhmat,2008:224), media

BAB I PENDAHULUAN. khalayak. Karena menurut McLuhan (dalam Rakhmat,2008:224), media BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pada saat ini, media massa sudah menjadi kebutuhan penting bagi khalayak. Karena menurut McLuhan (dalam Rakhmat,2008:224), media massa adalah perpanjangan alat indra.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. genre-genre yang lain. Istilah prosa sebenarnya dapat menyaran pada pengertian

BAB I PENDAHULUAN. genre-genre yang lain. Istilah prosa sebenarnya dapat menyaran pada pengertian BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Dunia kesastraan mengenal prosa sebagai salah satu genre sastra di samping genre-genre yang lain. Istilah prosa sebenarnya dapat menyaran pada pengertian yang lebih

Lebih terperinci

MARI BERGABUNG DI PROGRAM MENCARE+ INDONESIA!

MARI BERGABUNG DI PROGRAM MENCARE+ INDONESIA! MARI BERGABUNG DI PROGRAM MENCARE+ INDONESIA! 4 dari 5 laki-laki seluruh dunia pada satu masa di dalam hidupnya akan menjadi seorang ayah. Program MenCare+ Indonesia adalah bagian dari kampanye global

Lebih terperinci

PEREMPUAN DALAM BUDAYA PATRIARKHI

PEREMPUAN DALAM BUDAYA PATRIARKHI PEREMPUAN DALAM BUDAYA PATRIARKHI Napsiah Judul Asli : Ketertindasan Perempuan dalam Tradisi Kawin Anom. Subaltern Perempuan pada Suku Banjar dalam Perspektif Poskolonial Pengarang : Rosramadhana Nasution.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. memberantas kemiskinan yang tujuannya untuk mensejahterakan masyarakat.

BAB I PENDAHULUAN. memberantas kemiskinan yang tujuannya untuk mensejahterakan masyarakat. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kajian perempuan merupakan suatu kajian yang sangat menarik perhatian. Hal ini terbukti banyak penelitian tentang kaum perempuan. Perempuan merupakan hal penting

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. pulau-pulau dan lebih kebudayaan, upaya menguraikan kondisi hubungan

I. PENDAHULUAN. pulau-pulau dan lebih kebudayaan, upaya menguraikan kondisi hubungan 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Di Negara Indonesia ini terdapat berbagai macam suku bangsa, adat istiadat, pulau-pulau dan lebih kebudayaan, upaya menguraikan kondisi hubungan perempuan dan

Lebih terperinci

BAB V PENUTUP. Pada bab ini maka penulis akan mengakhiri seluruh penulisan tesis ini dengan

BAB V PENUTUP. Pada bab ini maka penulis akan mengakhiri seluruh penulisan tesis ini dengan BAB V PENUTUP Pada bab ini maka penulis akan mengakhiri seluruh penulisan tesis ini dengan melakukan kesimpulan dan mengusulkan saran, sebagai berikut: A. KESIMPULAN Indonesia adalah sebuah kata yang dapat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Di negara sedang berkembang kemiskinan adalah masalah utama. Menurut Chambers (1983), kemiskinan yang dialami oleh sebagian besar rakyat di negara sedang berkembang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. penting dan strategis dalam pembangunan serta berjalannya perekonomian bangsa.

BAB I PENDAHULUAN. penting dan strategis dalam pembangunan serta berjalannya perekonomian bangsa. BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Buruh adalah salah satu bagian sosial dari bangsa yang seharusnya dianggap penting dan strategis dalam pembangunan serta berjalannya perekonomian bangsa. Opini masyarakat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang Masalah Penelitian ini berfokus pada penggambaran peran perempuan dalam film 3 Nafas Likas. Revolusi perkembangan media sebagai salah satu sarana komunikasi atau penyampaian

Lebih terperinci

Sumardjo & Saini (1994: 3) mengungkapkan bahwa sastra adalah ungkapan pribadi

Sumardjo & Saini (1994: 3) mengungkapkan bahwa sastra adalah ungkapan pribadi BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah 1. Relasi antara Sastra, Kebudayaan, dan Peradaban Sumardjo & Saini (1994: 3) mengungkapkan bahwa sastra adalah ungkapan pribadi manusia yang berupa pengalaman,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Karya sastra merupakan karya yang imajinatif, baik berupa lisan maupun tulisan. Fenomena yang terdapat di dalam karya sastra ini merupakan gambaran suatu budaya

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI. terbagi menjadi dua gelombang dan pada masing-masing gelombang memiliki

BAB II LANDASAN TEORI. terbagi menjadi dua gelombang dan pada masing-masing gelombang memiliki BAB II LANDASAN TEORI 2.1 Feminisme 2.1.1 Sejarah feminisme Lahirnya gerakan Feminisme yang dipelopori oleh kaum perempuan terbagi menjadi dua gelombang dan pada masing-masing gelombang memiliki perkembangan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. memiliki fungsi menyampaikan ide-ide atau gagasan-gagasan seorang penulis

BAB I PENDAHULUAN. memiliki fungsi menyampaikan ide-ide atau gagasan-gagasan seorang penulis BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Karya sastra merupakan sebuah karya imajinatif seorang pengarang. Hal ini sesuai dengan ungkapan Wallek dan Austin Warren (1989:3) bahwa karya sastra adalah

Lebih terperinci

UKDW BAB I PENDAHULUAN 1. LATAR BELAKANG MASALAH

UKDW BAB I PENDAHULUAN 1. LATAR BELAKANG MASALAH BAB I PENDAHULUAN 1. LATAR BELAKANG MASALAH Perempuan di berbagai belahan bumi umumnya dipandang sebagai manusia yang paling lemah, baik itu oleh laki-laki maupun dirinya sendiri. Pada dasarnya hal-hal

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dilakukannya di kehidupan sehari-hari, sehingga akan terjadi beberapa masalah

BAB I PENDAHULUAN. dilakukannya di kehidupan sehari-hari, sehingga akan terjadi beberapa masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Perempuan merupakan makhluk yang diciptakan dengan berbagai kelebihan, sehingga banyak topik yang diangkat dengan latar belakang perempuan. Kelebihan-kelebihan

Lebih terperinci

BAB V KESIMPULAN. pedesaan yang sesungguhnya berwajah perempuan dari kelas buruh. Bagian

BAB V KESIMPULAN. pedesaan yang sesungguhnya berwajah perempuan dari kelas buruh. Bagian BAB V KESIMPULAN Bagian kesimpulan ini menyampaikan empat hal. Pertama, mekanisme ekstraksi surplus yang terjadi dalam relasi sosial produksi pertanian padi dan posisi perempuan buruh tani di dalamnya.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Emansipasi adalah suatu gerakan yang di dalamnya memuat tentang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Emansipasi adalah suatu gerakan yang di dalamnya memuat tentang 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Emansipasi adalah suatu gerakan yang di dalamnya memuat tentang perjuangan seorang perempuan yang ingin memperjuangkan perempuan lain, agar mendapatkan haknya. Tujuan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Republik Indonesia (NKRI) tidaklah kecil. Perjuangan perempuan Indonesia dalam

BAB I PENDAHULUAN. Republik Indonesia (NKRI) tidaklah kecil. Perjuangan perempuan Indonesia dalam BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Peran kaum perempuan Indonesia dalam menegakkan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) tidaklah kecil. Perjuangan perempuan Indonesia dalam menegakkan NKRI dipelopori

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Keberhasilan perusahaan dalam menghasilkan produk tidak hanya

BAB I PENDAHULUAN. Keberhasilan perusahaan dalam menghasilkan produk tidak hanya BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Keberhasilan perusahaan dalam menghasilkan produk tidak hanya tergantung pada keunggulan teknologi, sarana dan prasarana, melainkan juga tergantung pada kualitas

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. terjadi sebuah perubahan. Perlawanan budaya merupakan sebuah perjuangan

BAB I PENDAHULUAN. terjadi sebuah perubahan. Perlawanan budaya merupakan sebuah perjuangan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Perlawanan budaya merupakan perjuangan hak yang bertentangan agar terjadi sebuah perubahan. Perlawanan budaya merupakan sebuah perjuangan untuk melakukan perubahan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Karya sastra merupakan fenomena sosial budaya yang melibatkan

BAB I PENDAHULUAN. Karya sastra merupakan fenomena sosial budaya yang melibatkan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Karya sastra merupakan fenomena sosial budaya yang melibatkan kreativitas manusia. Karya sastra lahir dari pengekspresian endapan pengalaman yang telah ada dalam jiwa

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. tidak pantas atau tabu dibicarakan. 1. lainnya secara filosofis, sebenarnya manusia sudah kehilangan hak atas

BAB I PENDAHULUAN. tidak pantas atau tabu dibicarakan. 1. lainnya secara filosofis, sebenarnya manusia sudah kehilangan hak atas BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Seksualitas adalah sebuah proses sosial-budaya yang mengarahkan hasrat atau berahi manusia. Seksualitas berhubungan erat dengan tatanan nilai, norma, pengetahuan,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. antara lain sepeda, sepeda motor, becak, mobil dan lain-lain. Dari banyak

BAB I PENDAHULUAN. antara lain sepeda, sepeda motor, becak, mobil dan lain-lain. Dari banyak BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Transportasi sudah menjadi kebutuhan utama bagi manusia untuk menunjang aktivitasnya. Adanya transportasi menjadi suatu alat yang dapat mempermudah kegiatan

Lebih terperinci

DAFTAR ISI. HALAMAN PENGESAHAN SKRIPSI... ii. KATA PENGANTAR... iii. DAFTAR GAMBAR... viii BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah.

DAFTAR ISI. HALAMAN PENGESAHAN SKRIPSI... ii. KATA PENGANTAR... iii. DAFTAR GAMBAR... viii BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah. DAFTAR ISI Halaman HALAMAN JUDUL...i HALAMAN PENGESAHAN SKRIPSI... ii KATA PENGANTAR... iii DAFTAR ISI... v DAFTAR GAMBAR... viii ABSTRAKSI... ix BAB I PENDAHULUAN... 1 1.1. Latar Belakang Masalah. 1 1.2.

Lebih terperinci