BAB II HUKUM PERJANJIAN SECARA UMUM. mengatur tentang perikatan (verbintenissenrecht), di mana tercakup pula

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "BAB II HUKUM PERJANJIAN SECARA UMUM. mengatur tentang perikatan (verbintenissenrecht), di mana tercakup pula"

Transkripsi

1 BAB II HUKUM PERJANJIAN SECARA UMUM A. Tinjauan Umum Perihal Perjanjian 1. Pengertian Perjanjian Buku III Kitab Undanng-Undang Hukum Perdata (KUH Perdata) mengatur tentang perikatan (verbintenissenrecht), di mana tercakup pula istilah perjanjian (overeenkomst). Dikenal tiga terjemahan dari verbintenis, yaitu perikatan, perutangan, dan perjanjian, sedangkan overeenkomst terdapat dua terjemahan, yaitu perjanjian dan persetujuan. 29 Jadi, istilah perjanjian merupakan terjemahan dari kata verbintenis, overeenkomst (Belanda) atau contract (Inggris). yaitu: 30 Secara garis besar perjanjian dapat di bedakan menjadi dua, a. Perjanjian dalam arti luas, adalah setiap perjanjian yang menimbulkan akibat hukum sebagaimana yang telah dikehendaki oleh para pihak, misalnya perjanjian tidak bernama atau perjanjian jenis baru. b. Perjanjian dalam arti sempit, adalah hubungan-hubungan hukum dalam lapangan harta kekayaan seperti yang dimaksud dalam Buku III KUH Perdata. Misalnya, perjanjian bernama. Perjanjian mengandung pengertian sebagai suatu hubungan hukum kekayaan/harta benda antara dua orang atau lebih, yang memberi 29 Handri Raharjo, Hukum Perjanjian di Indonesia, (Yogyakarta : Pustaka Yustisia, 2009), hal Ibid., hal

2 kekuatan hak pada satu pihak untuk memperoleh prestasi dan sekaligus mewajibkan pada pihak lain untuk menunaikan prestasi. 31 Pengertian singkat di atas dapat disimpulkan beberapa unsur yang memberi wujud pengertian perjanjian, antara lain hubungan hukum (rechtbetrekking) yang menyangkut hukum kekayaan antara dua orang (persoon) atau lebih, yang memberi hak pada satu pihak dan kewajiban pada pihak lain tentang suatu prestasi. 32 Eksistensi perjanjian sebagai salah satu sumber perikatan dapat ditemui landasannya pada ketentuan Pasal 1233 KUH Perdata yang menyatakan bahwa; Tiap-tiap perikatan dilahirkan, baik karena perjanjian baik karena undang-undang. Rumusan Pasal 1233 KUH Perdata menyatakan bahwa di luar perjanjian dan karena hal-hal yang ditetapkan oleh undang-undang tidak ada perikatan. Perikatan melahirkan hak dan kewajiban dalam lapangan hukum harta kekayaan bagi pihak-pihak yang membuat perjanjian. Hal ini menunjukkan perjanjian juga akan melahirkan hak dan kewajiban dalam lapangan hukum harta kekayaan bagi pihak-pihak yang membuat perjanjian. Para pihak secara sukarela mengikatkan diri untuk menyerahkan sesuatu, berbuat sesuatu atau untuk tidak berbuat sesuatu guna kepentingan dan keuntungan dari pihak terhadap siapa ia telah berjanji atau mengikatkan diri, dengan jaminan atau tanggungan berupa harta kekayaan yang dimiliki dan akan dimiliki oleh pihak yang membuat 31 M. Yahya Harahap, Segi-Segi Hukum Perjanjian, (Bandung : Alumni, 1986), hal Ibid.

3 perjanjian atau yang telah mengikatkan diri tersebut. Sifat sukarela dari perjanjian harus lahir dari kehendak dan harus dilaksanakan sesuai dengan maksud dari pihak yang membuat perjanjian. 33 Pernyataan sukarela menunjukkan bahwa perikatan yang bersumber dari perjanjian tidak mungkin terjadi tanpa dikehendaki oleh para pihak yang terlibat atau membuat perjanjian tersebut. Hal ini berbeda dari perikatan yang lahir dari undang-undang, yang menerbitkan kewajiban bagi salah satu pihak dalam perikatan tersebut, meskipun sesungguhnya para pihak tidak menghendakinya. Kaitan hukum harta kekayaan dalam perjanjian dimaksudkan untuk membatasi bahwa perjanjian yang dimaksudkan adalah perjanjian yang berkaitan dengan harta kekayaan seseorang sebagaimana dijamin dengan ketentuan Pasal 1131 KUH Perdata yang berbunyi, Segala kebendaan milik debitor, baik yang bergerak maupun yang tidak bergerak, baik yang sudah ada maupun yang baru akan ada di kemudian hari, menjadi tanggungan untuk segala perikatannya perseorangan. Pengertian tersebut menunjukkan tidak meliputi perjanjian sebagaimana diatur dalam Buku I tentang Orang dan Keluarga KUH Perdata mengenai perjanjian kawin. Pengertian perjanjian menurut KUH Perdata terdapat dalam Pasal 1313 KUH Perdata berbunyi: Perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu pihak atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang atau Kartini Muljadi dan Gunawan Widjaja, Perikatan yang Lahir dari Perjanjian, (Jakarta : Raja Grafindo Persada, 2003), hal 2. (Selanjutnya disebut Kartini Muljadi dan Gunawan Widjaja- I) 34 Ibid., hal 3.

4 lebih. Unsur-unsur perjanjian yang dapat di lihat menurut pasal ini bahwa suatu perjanjian adalah : a. Suatu perbuatan; b. Antara sekurangnya dua orang (dapat lebih dari dua orang) c. Perbuatan tersebut melahirkan perikatan di antara puhak-pihak yang berjanji tersebut. Sehingga definisi perjanjian dalam Pasal 1313 ini adalah : 35 a. Tidak jelas, karena setiap perbuatan dapat disebut perjanjian b. Tidak tampak asas konsensualisme c. Bersifat dualisme. Tidak jelasnya definisi ini disebabkan di dalam rumusan tersebut hanya disebutkan perbuatan saja, sehingga yang bukan perbuatan hukum pun disebut dengan perjanjian. Ada dua macam teori yang membahas tentang pengertian perjanjian : teori lama dan teori baru. Menurut doktrin (teori lama), yang disebut perjanjian adalah perbuatan hukum berdasarkan kata sepakat untuk menimbulkan akibat hukum. Definisi di atas, telah tampak adanya asas konsensualisme dan timbulnya akibat hukum (tumbuh/lenyapnya hak dan kewajiban). 36 Menurut teori baru yang dikemukakan oleh Van Dunne, yang diartikan dengan perjanjian, adalah : Suatu hubungan hukum antara dua 35 Salim HS, Pengantar Hukum Perdata Tertulis (BW), (Jakarta : Sinar Grafika, 2002), hal 160. (Selanjutnya disebut Salim HS-III) 36 Ibid., hal 161.

5 pihak atau lebih berdasarkan kata sepakat untuk menimbulkan akibat hukum. 37 Teori baru tersebut tidak hanya melihat perjanjian semata-mata, tetapi juga harus dilihat perbuatan-perbuatan sebelumnya atau yang mendahuluinya. Ada tiga tahap dalam membuat perjanjian menurut teori baru, yaitu: 38 a. Tahap prakontractual, yaitu adanya penawaran dan penerimaan; b. Tahap kontractual, yaitu adanya persesuaian pernyataan kehendak antara para pihak; c. Tahap post kontractual, yaitu pelaksanaan perjanjian. Unsur-unsur perjanjian menurut teori lama, yaitu: 39 a. Adanya perbuatan hukum; b. Persesuaian pernyataan kehendak dari beberapa orang c. Persesuaian kehendak ini harus dipublikasikan dinyatakan; d. Perbuatan hukum itu terjadi karena kerja sama antara dua orang atau lebih; e. Pernyataan kehendak (wilsverklaring) yang sesuai itu harus saling bergantung satu sama lain; f. Kehendak itu ditujukan untuk menimbulkan akibat hukum; g. Akibat hukum itu untuk kepentingan yang satu atas beban yang lain atau timbal balik; h. Persesuaian kehendak itu harus dengan mengingat peraturan perundang-undangan. 2. Pihak-Pihak Dalam Perjanjian Pihak-pihak dalam perjanjian diatur secara sporadis di dalam KUH Perdata, yaitu Pasal 1315, Pasal 1340, Pasal 1317, Pasal Mengingat 37 Van Dunne, Wanprestasi dan Keadaan Memaksa, Ganti Kerugian, Ibid. 38 Ibid. 39 Ibid.

6 bahwa hukum harus dipelajari sebagai satu sistem, maka penting untuk mencari kaitan diantara pasal-pasal tersebut. 40 Pengertian subjek perjanjian adalah pihak-pihak yang terikat dengan diadakannya suatu perjanjian. 41 Pihak-pihak yang terikat dalam perjanjian sekurang-kurangnya harus ada dua orang tertentu. Masingmasing orang itu menduduki tempat yang berbeda. Satu orang menjadi pihak kreditur, dan yang seorang lagi sebagai pihak debitur. Kreditur dan debitur inilah yang menjadi subjek perjanjian. Kreditur mempuyai hak atas prestasi dan debitur wajib memenuhi pelaksanaan prestasi. Beberapa orang kreditur berhadapan dengan seorang debitur atau sebaliknya, tidak mengurangi sahnya perjanjian. Jika pada mulanya kreditur terdiri dari beberapa orang kemudian yang tinggal hanya seorang kreditur saja berhadapan dengan debitur, juga tidak mengurangi nilai sahnya perjanjian. 42 KUH Perdata membedakan tiga golongan yang tersangkut pada perjanjian yaitu : a. Para pihak yang mengadakan perjanjian itu sendiri; b. Para ahli waris mereka dan mereka yang mendapat hak dari padanya; c. Pihak ketiga. Ketiga golongan ini pada awalnya dapat kita lihat dalam Pasal 1315 KUH Perdata yang menyatakan; Pada umumnya tak dapat 40 Mariam Darus Badrulzaman, Kompilasi Hukum Perjanjian, Dalam Rangka Memperingati Memasuki Masa Purna Bakti Usia 70 Tahun, (Bandung : Citra Aditya Bakti, 2001), hal 69. (Selanjutnya disebut Mariam Darus Badrulzaman-I) 41 Ibid., hal M. Yahya Harahap, Op.cit., hal 15.

7 mengikatkan perjanjian diri atas nama sendiri atau meminta ditetapkan suatu janji daripada untuk dirinya sendiri. Kemudian Pasal 1340 KUH Perdata disebutkan: Persetujuan-persetujuan hanya berlaku antara pihak-pihak yang membuatnya. Suatu perjanjian tidak dapat membawa rugi kepada pihakpihak ke tiga; tak dapat pihak-pihak ke tiga mendapat manfaat karenanya, selain dalam hal yang diatur dalam pasal Pasal 1317 KUH Perdata, yang menyatakan; Lagi pun diperbolehkan juga untuk meminta ditetapkannya suatu janji guna kepentingan seorang pihak ketiga, apabila suatu penetapan janji, yang dibuat oleh seorang untuk dirinya sendiri, atau suatu pemberian yang dilakukannya kepada seorang lain, memuat suatu janji: yang seperti itu. Siapa yang telah memperjanjikan sesuatu seperti itu tidak boleh menariknya kembali, apabila pihak ketiga tersebut telah menyatakan hendak mempergunakannya. Pasal 1318; Jika seorang minta diperjanjikan sesuatu hal, maka dianggap bahwa itu adalah untuk ahli waris-ahli warisnya dan orang-orang, yang memperoleh hak daripadanya, kecuali jika dengan tegas ditetapkan atau dapat disimpulkan dari sifat persetujuan tidak sedemikian maksudya. Pada asasnya suatu perjanjian berlaku bagi pihak yang mengadakan perjanjian itu sendiri. Asas ini merupakan asas pribadi (Pasal 1315 jo KUH Perdata). Para pihak tidak dapat mengadakan perjanjian yang mengikat pihak ketiga, kecuali dalam apa yang disebut

8 janji guna pihak ketiga (beding ten behoeve van derden) Pasal 1317 KUH Perdata. 43 Apabila seseorang membuat sesuatu perjanjian, maka orang itu dianggap mengadakan perjanjian bagi ahli warisnya dan orang-orang yang memperoleh hak daripadanya (Pasal 1318 KUH Perdata). Beralihnya hak kepada ahli waris tersebut adalah akibat peralihan dengan alas hak umum (onder algemene titel) yang terjadi pada ahli warisnya. Beralihnya perjanjian kepada orang-orang yang memperoleh hak berdasarkan atas alas-alas hak khusus (onder bijzondere titel), misalnya menggantikan pembeli, mendapatkan haknya sebagai pemilik. Hak yang terikat kepada suatu kualitas itu dinamakan hak kualitatif. 44 Menurut Pasal 1340 ayat 2 KUH Perdata, persetujuan-persetujuan tidak dapat membawa rugi kepada pihak ketiga, tidak dapat pihak ketiga, mendapat manfaat karenanya, selain dari yang diatur dalam pasal 1317 KUH Perdata. Oleh karena itu, asas seseorang tidak dapat mengikat diri selain atas nama sendiri mempunyai suatu kekecualian, yaitu dalam bentuk yang dinamakan janji untuk pihak ketiga (derden beding). Pasal 1317 KUH Perdata menyebutkan bahwa lagipun diperbolehkan juga untuk meminta ditetapkannya suatu janji guna kepentingan seorang pihak ketiga, apabila suatu penetapan janji yang dibuat oleh seorang untuk dirinya sendiri atau, suatu pemberian yang dilakukannya pada seorang lain memuat suatu janji yang seperti itu. Siapa yang telah memperjanjikan 43 Mariam Darus Badrulzaman-I, Op.cit., hal Ibid.

9 sesuatu seperti itu tidak boleh menariknya kembali apabila pihak ketiga tersebut telah menyatakan kehendaknya atau kemauan untuk mempergunakannya. Ketentuan ini dapat disimpulkan bahwa janji untuk pihak ketiga itu merupakan suatu penawaran (offerte) yang dilakukan oleh pihak yang meminta diperjanjikan hak (stipulator) kepada mitranya (promissor) agar melakukan prestasi kepada pihak ketiga. Stipulator tadi tidak dapat menarik kembali perjanjian itu apabila pihak ketiga telah menyatakan kehendaknya menerima perjanjian itu Syarat Sahnya Perjanjian Syarat sahnya perjanjian dapat dilihat dalam ketentuan Pasal 1320 KUH Perdata yang berbunyi; Untuk sahnya suatu perjanjian diperlukan empat syarat : a. Sepakat mereka yag mengikatkan dirinya, b. Kecakapan untuk membuat suatu perikatan, c. Suatu hal tertentu, d. Suatu sebab yang halal. Empat unsur tersebut dalam doktrin ilmu hukum yang berkembang, digolongkan ke dalam : 46 a. Dua unsur pokok yang menyangkut subyek (pihak) yang mengadakan perjanjian (unsur subyektif), dan b. Dua unsur pokok lainnya yang berhubungan langsung dengan obyek perjanjian (unsur obyektif). 45 Ibid. 46 Kartini Muljadi dan Gunawan Widjaja-I, Op,cit., hal 93.

10 Unsur subyektif mencakup adanya unsur kesepakatan secara bebas dari para pihak yang berjanji, dan kecakapan dari pihak-pihak yang melaksanakan perjanjian. Sedangkan unsur obyektif meliputi keberadaan dari pokok persoalan yang merupakan obyek yang diperjanjikan, dan causa dari obyek yang berupa prestasi yang disepakati untuk dilaksanakan tersebut haruslah sesuatu yang tidak dilarang atau diperkenankan menurut hukum. Tidak terpenuhinya salah satu unsur dari ke empat unsur tersebut menyebabkan cacat dalam perjanjian, dan perjanjian tersebut diancam dengan kebatalan, baik dalam bentuk dapat dibatalkan (jika terdapat pelanggaran terhadap unsur subyektif), maupun batal demi hukum (dalam hal tidak terpenuhinya unsur obyektif), dengan pengertian bahwa perikatan yang lahir dari perjanjian tersebut tidak dapat dipaksakan pelaksanaannya. a. Sepakat (Toestemming) Sepakat merupakan Kesesuaian, kecocokan, pertemuan kehendak dari yang mengadakan perjanjian atau pernyataan kehendak yang disetujui antara pihak-pihak. Unsur kesepakatan yaitu; 47 1) Offerte (penawaran) adalah pernyataan pihak yang menawarkan. 2) Acceptasi (penerimaan) adalah pernyataan pihak yang menerima penawaran. 47 Mariam Darus Badrulzaman, KUH Perdata Buku III, (Bandung : Alumni, 2006), hal 98. (Selanjutya disebut Mariam Darus Badrulzaman-II)

11 Jadi kesepakatan itu penting diketahui karena merupakan awal terjadinya perjanjian. Untuk mengetahui kesepakatan itu terjadi ada beberapa macam teori/ajaran, yaitu : 48 1) Teori Pernyataan, mengajarkan bahwa sepakat terjadi saat kehendak pihak yang menerima tawaran menyatakan bahwa ia menerima penawaran itu, misalnya saat menjatuhkan bolpoin untuk menyatakan menerima. Kelemahannya sangat teoritis karena dianggap terjadinya kesepakatan secara otomatis 2) Teori Pengiriman, mengajarkan bahwa sepakat terjadi pada saat kehendak yang dinyatakan itu dikirim oleh pihak yang menerima tawaran. Kelemahannya adalah bagaimana hal tersebut bisa diketahui. Sebab, bisa saja walaupun sudah dikirim tetapi tidak diketahui oleh pihak yang menawarkan. 3) Teori Pengetahuan, mengajarkan bahwa pihak yang menawarkan seharusnya sudah mengetahui bahwa tawarannya diterima (walaupun penerimaan itu belum diterimanya dan tidak diketahui secara langsung). Kelemahannya, bagaimana ia bisa mengetahui isi penerimaan itu apabila ia belum menerimanya. 4) Teori Penerimaan, mengajarkan kesepakatan terjadi pada saat pihak yang menawarkan menerima langsung jawaban dari pihak lawan. 48 Salim HS., Perkembangan Hukum Kontrak Innominaat di Indonesia, (Jakarta : Sinar Grafika, 2003), hal 9. (Selanjutnya disebut Salim HS-I)

12 Kata sepakat harus diberikan secara bebas, dalam arti tidak ada paksaan, penipuan, dan kekhilafan. Suatu perjanjian dapat dibatalkan, apabila terjadi ketiga hal tersebut, sebagaimana ditentukan Pasal 1321 KUH Perdata yang berbunyi: Tiada suatu perjanjian pun mempunyai kekuatan jika diberikan karena kekhilafan atau diperoleh dengan paksaan atau penipuan. Kesepakatan dalam perjanjian merupakan perwujudan dari kehendak dua atau lebih pihak dalam perjanjian mengenai apa yang mereka kehendaki untuk dilaksanakan, bagaimana cara melaksanakannya, kapan harus dilaksanakan, dan siapa yang harus melaksanakan. Pada dasarnya sebelum para pihak sampai pada kesepakatan mengenai hal-hal tersebut, maka salah satu atau lebih pihak dalam perjanjian tersebut akan menyampaikan terlebih dahulu suatu bentuk pernyataan mengenai apa yang dikehendaki oleh pihak tersebut dengan segala macam persyaratan yang mungkin dan diperkenankan oleh hukum untuk disepakati oleh para pihak. Pernyataan tersebut dikenal dengan nama penawaran. 49 Jadi penawaran itu berisikan kehendak dari salah satu atau lebih pihak dalam perjanjian, yang disampaikan kepada lawan pihaknya, untuk memperoleh persetujuan dari lawan pihaknya tersebut. Pihak lawan dari pihak yang melakukan penawaran, selanjutnya harus menentukan apakah ia akan menerima 49 Kartini Muljadi dan Gunawan Widjaja-I, Op.cit., hal 95.

13 penawaran yang disampaikan oleh pihak yang melakukan penawaran tersebut. Apabila pihak lawan dari pihak yang melakukan penawaran menerima penawaran yang diberikan, maka tercapailah kesepakatan tersebut. Sedangkan jika pihak lawan dari pihak yang melakukan penawaran tidak menyetujui penawaran yang disampaikan tersebut, maka ia dapat mengajukan penawaran balik, yang memuat ketentuan-ketentuan yang dianggap dapat dipenuhi atau yang sesuai dengan kehendaknya yang dapat dilaksanakan dan diterima olehnya. 50 Hal yang demikian maka kesepakatan belum tercapai. Keadaan tawar menawar ini akan terus berlanjut hingga pada akhirnya kedua belah pihak mencapai kesepakatan mengenai halhal yang harus dipenuhi dan dilaksanakan oleh para pihak dalam perjanjian tersebut. Saat penerimaan yang paling akhir dari serangkaian penawaran atau bahkan tawar-menawar yang disampaikan dan dimajukan oleh para pihak, adalah saat tercapainya kesepakatan. Hal ini adalah benar untuk perjanjian konsensuil, di mana kesepakatan dianggap terjadi pada saat penerimaan dari penawaran yang disampaikan terakhir. 51 b. Kecakapan Setiap manusia baik warga negara maupun orang asing adalah pembawa hak (subjek hukum) yang memiliki hak dan 50 Ibid., hal Ibid.

14 kewajiban untuk melakukan perbuatan hukum. Meskipun setiap subjek hukum mempunyai hak dan kewajiban untuk melakukan perbuatan hukum, namun perbuatan tersebut harus di dukung oleh kecakapan dan kewenangan hukum. 52 Kecakapan bertindak ini dalam banyak hal berhubungan dengan masalah kewenangan bertindak dalam hukum. Meskipun kedua hal tersebut secara prinsipil berbeda, namun dalam membahas masalah kecakapan bertindak yang melahirkan suatu perjanjian yang sah, maka masalah kewenangan untuk bertindak juga tidak dapat dilupakan. Jika masalah kecakapan untuk bertindak berkaitan dengan masalah kedewasaan dari orang perorangan yang melakukan suatu tinndakan atau perbuatan hukum, masalah kewenangan berkaitan dengan kapasitas orang perorangan tersebut yang bertindak atau berbuat dalam hukum. Dapat saja seorang yang cakap bertindak dalam hukum, tetapi ternyata tidak berwenang untuk melakukann suatu perbuatan hukum dan sebaliknya seorang yang dianggap berwenang untuk bertindak melakukan suatu perbuatan hukum, ternyata karena suatu hal menjadi tidak cakap untuk bertindak dalam hukum. 53 Pada dasarnya yang paling pokok dan mendasar adalah masalah kecakapan untuk bertindak. Setelah seseorang dinyatakan cakap untuk bertindak atas nama dirinya sendiri, baru kemudian 52 R. Soeroso, Perbandingan Hukum Perdata, (Jakarta : Sinar Grafika, 1999), hal Kartini Muljadi dan Gunawan Widjaja-I, Op,cit., hal 127.

15 dicari tahu apakah orang perorangan yang cakap bertindak dalam hukum tersebut, juga berwenang untuk melakukan suatu tindakan atau perbuatan hukum tertentu. 54 Hal-hal yang berhubungan dengan kecakapan dan kewenangan bertindak dalam rangka perbuatan untuk kepentingan diri pribadi orang-perorangan ini diatur dalam Pasal 1329 sampai dengan Pasal 1331 KUH Perdata. Pasal 1329 KUH Perdata menyatakan bahwa : Setiap orang adalah cakap untuk membuat perikatan-perikatan, jika ia oleh udang-undang tidak dinyatakan tak cakap. Rumusan tersebut membawa arti positif, bahwa selain dinyatakan tidak cakap maka setiap orang adalah cakap dan berwenang untuk bertindak dalam hukum. Pasal 1330 KUH Perdata memberikan limitasi orang-orang mana saja yang dianggap tidak cakap untuk bertindak dalam hukum dengan menyatakan bahwa : Tak cakap untuk membuat suatu perjanjian adalah: 1) Orang-orang yang belum dewasa; 2) Mereka yang ditaruh di bawah pengampuan; 3) Orang-orang perempuan, dalam hal-hal yang ditetapkan oleh undang- undang, dan pada umumnya semua orang kepada siapa undang-undang telah melarang membuat perjanjianperjanjian tertentu. KUH Perdata memandang bahwa seorang wanita yang telah bersuami tidak cakap untuk mengadakan perjanjian. Sejak 54 Ibid.

16 tahun 1963 dengan Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) Nomor 3/1963 yang ditujukan kepada Ketua Pengadilan Negeri dan Pengadilan Tinggi di seluruh Indonesia, kedudukan wanita yang telah bersuami diangkat ke derajat yang sama dengan pria, untuk mengadakan perbuatan hukum dan menghadap di depan pengadilan, sehingga ia tidak memerlukan bantuan lagi dari suaminya. Oleh sebab itu ketentuan sub 3 dari Pasal 1330 KUH Perdata sudah tidak berlaku lagi, sehingga orang yang tidak cakap (tidak berwenang melakukan perbuatan hukum), dapat dibagi menjadi : 55 1) Mereka yang belum cukup umur Mereka yang belum cukup umur maksudnya adalah mereka yang berlum dewasa. Menurut Pasal 330 KUH Perdata menentukan bahwa; Belum dewasa adalah mereka yang belum mencapai umur genap dua puluh satu tahun, dan tidak lebih dahulu telah kawin. Apabila perkawinan itu dibubarkan sebelum umur mereka genap dua puluh satu tahun, maka mereka tidak kembali lagi dalam keadaan belum dewasa. Mereka yang belum dewasa dan tidak berada di bawah kekuasaan orang tua, berada di bawah perwalian atas dasar dan dengan cara sebgaimana diatur dalam bagian ke tiga, ke empat, ke lima dan ke enam bab ini. Yang dimaksud perwalian sebagaimana disebut dalam Pasal 330 KUH Perdata adalah pengawasan atas orang (anak-anak yang belum dewasa yang tidak ada di 55 Handri Raharjo, Op,cit., hal. 53.

17 bawah kekuasaan orangtua) sebagaimana diatur dalam undang-undang dan pengelolaan barang-barang dari anak yang belum dewasa. 2) Mereka yang diletakkan di bawah pengampuan Hal ini diatur dalam Pasal KUH Perdata tentang pengampuan. Pengampuan adalah keadaan di mana seseorang (disebut curandus) karena sifat-sifat pribadinya dianggap tidak cakap atau tidak di dalam segala hal cakap untuk bertindak sendiri (atau pribadi) di dalam lalu lintas hukum, karena orang tersebut (curandus), oleh putusan hakim dimasukkan ke dalam golongan orang yang tidak cakap bertindak dan lantas diberi seorang wakil menurut undang-undang yang disebut pengampu (curator/curatrice). Sedangkan pengampuannya disebut curatele. Sifat-sifat pribadinya yang dianggap tidak cakap adalah (Pasal 433 KUH Perdata) a) Keadaan dungu; b) Sakit ingatan/gila/mata gelap (dianggap tidak cakap melaksanakan sendiri hak dan kewajibannya); c) Pemboros dan pemabuk (ketidakcakapan bertindak terbatas pada perbuatan-perbuatan dalam bidang hukum harta kekayaan saja). Pengampuan terjadi karena putusan hakim yang didasarkan adanya permohonan. Yang dapat mengajukan permohonan diatur di dalam Pasal KUH Perdata yaitu keluarga, diri sendiri, dan jaksa dari kejaksaan.

18 c. Suatu Hal Tertentu Suatu hal tertentu maksudnya berbicara tentang objek perjanjian (Pasal 1332 s/d 1334 KUH Perdata). Objek perjanjian yang dapat dikategorikan dalam pasal tersebut adalah: 56 1) Objek yang akan ada (kecuali warisan), asalkan dapat ditentukan jenis dan dapat dihitung. 2) Objek yang dapat diperdagangkan (barang-barang yang dipergunakan untuk kepentingan umum tidak dapat menjadi objek perjanjian). Ketentuan Pasal 1332 KUH Perdata menyatakan bahwa: Hanya kebendaan yang dapat diperdagangkan saja yang dapat menjadi pokok perjanjian. Pada dasarnya pasal ini hanya menegaskan kembali bahwa yang masuk dalam rumusan perjanjian ini, yang dapat menjadi obyek dalam perikatan adalah kebendaan yang masuk dalam lapangan harta kekayaan. Jadi kebendaan, baik yang berwujud maupun tidak berwujud, yang berada di luar lapangan harta kekayaan (yang terutama diatur dalam Buku II KUH Perdata tentang kebendaan) tidaklah dapat menjadi pokok perjanjian, karena kebendaan tersebut tidak termasuk dalam rumusan kebendaan menurut Pasal 1131 KUH Perdata, sehingga tidak dapat dijadikan jaminan bagi pelunasan perikatan orang perorangan tersebut. 57 Pasal 1334 KUH Perdata mengatur mengenai perjanjian, yang melahirkan perikatan bersyarat. Dengan rumusan; 56 Mariam Darus Badrulzaman-II, Op.cit., hal Kartini Muljadi dan Gunawan Widjaja-I, Op.cit., hal 158.

19 Kebendaan yang baru akan ada di kemudian hari dapat menjadi pokok suatu perjanjian. Tetapi tidak diperkenankan untuk melepaskan suatu warisan yang belum terbuka, ataupun untuk meminta diperjanjikan sesuatu hal yang mengenai warisan itu, sekalipun dengan sepakatnya orang yang nantinya akan meninggalkan warisan yang menjadi pokok perjanjian itu; dengan tidak mengurangi ketetentuan Pasal-Pasal 169, 176, dan 178. Ketentuan ini pada dasarnya merupakan suatu bentuk penegasan bahwa dalam suatu perjanjian, hanya seseorang yang dapat berbuat bebas dengan kebendaan yang menjadi pokok perjanjian saja yang dapat membuat perjanjian yang mengikat kebendaan tersebut. Suatu warisan yang belum terbuka pada pokoknya bukanlah kebendaan milik dari orang yang akan memperoleh warisan. Hal ini menunjuk pada ketidakpastian mengenai apakah orang yang akan memperoleh warisan tersebut pasti akan memperoleh kebendaan yang akan diwariskan tersebut sebagai hak milik. Bahkan dalam rumusan Pasal 178 ayat (2) KUH Perdata dinyatakan bahwa suatu hibah yang diberikan sebelum pemberi hibah meninggal akan menjadi gugur apabila pemberi hibah hidup lebih lama, juga dari anak-anak dan keturunan penerima hibah. Jelaslah bahwa sesuatu yang belum pasti akan dimiliki tidak dapat dijadikan obyek perjanjian. Perjanjian hanya sah dan mengikat jika obyeknya yang berupa kebendaan telah ditentukan jenisnya, demikianlah Pasal 1333 KUH Perdata Ibid., hal 160.

20 d. Suatu Sebab yang Halal Sebab yang halal diatur dalam Pasal 1335 hingga Pasal 1337 KUH Perdata. Pasal 1335 KUH Perdata menyatakan bahwa : Suatu perjanjian tanpa sebab, atau yang telah dibuat karena sesuatu sebab yang palsu atau terlarang, tidak mempuyai kekuatan. KUH Perdata tidak memberikan pengertian atau definisi dari sebab yang dimaksud dalam Pasal 1320 KUH Perdata. Hanya saja dalam Pasal 1335 KUH Perdata, dijelaskan bahwa yang disebut dengan sebab yang halal adalah: 1) Bukan tanpa sebab; 2) Bukan sebab yang palsu; 3) Bukan sebab yang terlarang. Pada dasarnya hukum tidak memperhatikan apa yang ada dalam benak, ataupun hati seseorang. Yang diperhatikan oleh hukum adalah apa yang tertulis, yang pada pokoknya menjadi perikatan yang harus atau wajib dilaksanakan oleh debitor dalam perjanjian tersebut. Oleh karena itu masih adanya kebebasan para pihak sebagaimana dinyatakan Pasal 1336 KUH Perdata bahwa: Jika tidak dinyatakan suatu sebab, tetapi ada sebab yang tidak terlarang, atau jika ada sebab lain selain daripada yang dinyatakan itu, perjanjian itu adalah sah. Pasal ini menjelaskan bahwa undang-undang tidak pernah mempersoalkan apakah yang menjadi alasan atau dasar dibentuknya perjanjian tertentu di antara para

21 pihak, karena suatu perjanjian dapat dibuat berdasarkan alasan yang tidak mutlak sama antara kedua belah pihak yang mengadakan perjanjian tersebut Akibat Perjanjian Adapun rumusan mengenai sebab yang terlarang disamping sebab yang halal. Ketentuan tersebut terdapat dalam Pasal 1337 KUH Perdata menyatakan bahwa : Suatu sebab adalah terlarang, apabila dilarang oleh undang-undang atau apabila berlawanan dengan kesusilaan baik atau ketertiban umum. Perjanjian yang dibuat dengan sebab yang demikian tidak mempunyai kekuatan (Pasal 1335 KUH Perdata). a. Perjanjian yang Sah adalah Undang-undang Pasal 1338 KUH Perdata menyatakan bahwa : Semua persetujuan yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya. Persetujuan-persetujuan itu tidak dapat ditarik kembali selain dengan sepakat kedua belah pihak atau karena alasan-alasan yang oleh undang-undang dinyatakan cukup untuk itu. Persetujuan-persetujuan harus dilaksanakan dengan itikad baik. Istilah semua maka pembentuk undang-undang menunjukkan bahwa perjanjian yang dimaksud bukanlah hanya semata-mata perjanjian bernama, tetapi juga meliputi perjanjian yang tidak bernama Ibid., hal Mariam Darus Badrulzaman-I, Op.cit., hal 82.

22 Istilah secara sah pembentuk undang-undang menunjukkan bahwa pembuatan perjanjian harus memenuhi syaratsyarat yang ditentukan. Semua persetujuan yang dibuat menurut hukum atau secara sah (Pasal 1320 KUH Perdata) adalah mengikat sebagai undang-undang terhadap para pihak. Hal tersebut tersimpul realisasi asas kepastian hukum. Pasal 1338 ayat (1) KUH Perdata menunjukkan kekuatan kedudukan kreditur dan sebagai konsekuensinya perjanjian itu tidak dapat ditarik kembali secara sepihak. Namun kedudukan ini diimbangi dengan Pasal 1338 ayat (3) KUH Perdata yang mengatakan bahwa perjanjian harus dilaksanakan dengan itikad baik. Hal ini memberikan perlindungan pada debitur dan kedudukan antara kreditur dan debitur menjadi seimbang, sehingga merupakan realisasi dari asas keseimbangan. 61 b. Asas Kebebasan Berkontrak Asas kebebasan berkontrak merupakan asas yang menduduki posisi sentral di dalam hukum kontrak, meskipun asas ini tidak dituangkan menjadi aturan hukum namun mempunyai pengaruh yang sangat kuat dalam hubungan kontraktual para pihak. 62 Asas ini bermakna bahwa setiap orang bebas membuat perjanjian dengan siapa pun, apa pun isinya, apa pun bentuknya 61 Ibid. 62 Agus Yudha Hernoko, Hukum Perjanjian Asas Proporsionalitas dalam Kontrak Komersial, (Jakarta : Kencana Prenada Media Group, 2010), hal 108.

23 sejauh tidak melanggar undang-undang, ketertiban umum, dan kesusilaan (Pasal 1337 dan 1338 KUH Perdata). 63 Latar belakang lahirnya asas kebebasan berkontrak adalah adanya paham indiviualisme yang secara embrional lahir dalam zaman Yunani, yang diteruskan oleh kaum Epicuristen dan berkembang pesat dalam zaman renaisance melalui antara lain ajaran-ajaran Hugo de Grecht, Thomas Hobbes, Jhon Locke dan Rosseau. 64 Menurut paham individualisme, setiap orang bebas untuk memperoleh apa yang dikehendakinya. Asas ini dalam hukum kontrak diwujudkan dalam kebebasan berkontrak. Teori leisbet fair in menganggap bahwa the invisible hand akan menjamin kelangsungan jalannya persaingan bebas, karena pemerintah sama sekali tidak boleh mengadakan intervensi di dalam kehidupan (sosial ekonomi) masyarakat. Paham individualisme memberikan peluang yang luas kepada golongan kuat (ekonomi) untuk menguasai golongan lemah (ekonomi). Pihak yang kuat menentukan kedudukan pihak yang lemah. Pihak yang lemah berada dalam cengkeraman pihak yang kuat, diungkapkan dalam exploitation de homme par l homme R. Subekti, Hukum Perjanjian, (Jakarta : Intermasa, 1987), hal Salim HS, Hukum Kontrak Teori dan Teknik Penyusunan Kontrak, (Jakarta : Sinar Grafika, 2011), hal 9. (Selanjutnya disebut Salim HS-II) 65 Ibid.

24 Pada akhir abad ke-19, akibat desakan paham etis dan sosialis, paham individualisme mulai pudar, terlebih-lebih sejak berakhirnya Perang Dunia II. Paham ini tidak mencerminkan keadilan. Masyarakat ingin pihak yang lemah lebih banyak mendapat perlindungan. Oleh karena itu, kehendak bebas tidak lagi diberi arti mutlak, akan tetapi diberi arti relatif dikaitkan selalu dengan kepentingan umum. Pemerintah sebagai pengemban kepentigan umum menjaga keseimbangan kepentingan individu dan masyarakat. Melalui penerobosan hukum kontrak oleh pemerintah maka terjadi pergeseran hukum kontrak ke bidang hukum publik. Adanya campur tangan pemerintah ini terjadi lah permasyarkatan (vermastchappelijking) hukum kontrak. 66 Perkembangan yang bersifat relatif tersebut, maksudnya adalah kebebasan berkontrak yang bertanggung jawab. Asas inilah yang menyebabkan hukum perjanjian bersistem terbuka. Pasalpasal dalam hukum perjanjian sebagian besar (karena Pasal 1320 KUH Perdata bersifat pemaksa) dinamakan hukum pelengkap karena para pihak boleh membuat ketentuan-ketentuan sendiri yang menyimpang dari pasal-pasal hukum perjanjian namun bila mereka tidak mengatur sendiri sesuatu soal maka mereka (para pihak) mengenai soal itu tunduk pada undang-undang dalam hal ini Buku III KUH Perdata. Jika dipahami secara saksama maka asas 66 Ibid.

25 kebebasan berkontrak memberikan kebebasan kepada para pihak untuk : 67 1) Membuat atau tidak membuat perjanjian; 2) Mengadakan perjanjian dengan siapa pun; 3) Menentukan isi perjanjian, pelaksanaan, dan persyaratannya; 4) Menentukan bentuknya perjanjian yaitu secara tertulis atau lisan. Namun, keempat hal tersebut boleh dilakukan dengan syarat tidak melanggar undang-undang, ketertiban umum, dan kesusilaan. Menurut Sri Soedewi Maschoen Sofwan, pembatasan kebebasan berkontrak akibat adanya : 68 1) Perkembangan masyarakat dibidang sosial ekonomi (misal: karena adanya penggabungan atau sentralisasi perusahaan; 2) Adanya campur tangan pemerintah untuk melindungi kepentingan umum atau pihak yang lemah; 3) Adanya aliran dalam masyarakat yang menginginkan adanya kesejahteraan sosial. c. Asas Konsensualisme Asas ini dapat ditemukan dalam Pasal 1320 dan Pasal 1338 KUH Perdata. 69 Asas konsensualisme merupakan asas yang menyatakan bahwa perjanjian pada umumnya tidak diadakan secara formal, tetapi cukup dengan adanya kesepakatan kedua 67 Handri Raharjo, Op.cit., hal Ridwan Khairandy, Iktikad Baik dalam Kebebasan Berkontrak dalam buku Agus Yudha Hernoko, Op.cit., hal Mariam Darus Badrulzaman-I, Op.cit., hal 87.

26 belah pihak. Kesepakatan merupakan persesuaian antara kehendak dan pernyataan yang dibuat oleh kedua belah pihak. 70 Asas konsensualisme muncul diilhami dari hukum Romawi dan hukum Jerman. Hukum Germani tidak dikenal asas konsensualisme, tetapi yang dikenal adalah perikatan riil dan perikatan formal. Perikatan rill adalah suatu perikatan yang dibuat dan dilaksanakan secara nyata (kontan dalam hukum adat), sedangkan yang disebut perikatan formal adalah suatu perikatan yang telah ditentukan bentuknya yaitu tertulis (baik berupa akta autentik maupun akta di bawah tangan). Hukum Romawi dikenal istilah Contractus Verbis Literis dan Contractus innominat, yang artinya bahwa terjadinya perjanjian, apabila memenuhi bentuk yang telah ditetapkan. Asas konsensualisme yang dikenal dalam KUH Perdata adalah berkaitan dengan bentuk perjanjian. 71 Pasal 1320 KUH Perdata penyebutannya tegas sedangkan dalam Pasal 1338 KUH Perdata ditemukan dalam istilah semua. Kata-kata semua menunjukkan bahwa setiap orang diberi kesempatan untuk menyatakan keinginannya, yang dirasakan baik untuk menciptakan perjanjian. Asas ini sangat erat hubungannya dengan asas kebebasan mengadakan perjanjian Salim HS-II, Op.cit., hal Salim HS-I, Op.cit., hal Mariam Darus Badrulzaman-I, Op.cit., hal 87.

27 d. Asas Kekuatan Mengikat Suatu perjanjian terkandung suatu asas kekuatan mengikat. Terikatnya para pihak pada perjanjian itu tidak semata-mata pada apa yang diperjanjikan, akan tetapi juga terhadap beberapa unsur lain sepanjang dikehendaki oleh kebiasaan dan kepatutan serta moral. Demikianlah sehingga asas-asas moral, kepatutan, dan kebiasaan yang mengikat para pihak. 73 Perkembangan asas kekuatan mengikat kontrak dapat ditelusuri sejalan dengan perkembangan Hukum Romawi berdasarkan corak dan struktur masyarakat yang paling sederhana sampai yang telah maju (modern). Menurut David Allan, sejak 450 tahun sebelum Masehi sampai sekarang telah terjadi empat tahap perkembangan pemikiran mengenai kekuatan mengikat kontrak, yaitu: 74 1) Tahap pertama, disebut dengan contracts re; 2) Tahap kedua, disebut dengan contracts verbis; 3) Tahap ketiga, disebut dengan contracts litteris; 4) Tahap keempat, disebut dengan contracts consensus. e. Asas Iktikad Baik Asas iktikad baik dapat disimpulkan dari Pasal 1338 ayat (3) KUH Perdata. Pasal 1338 ayat (3) KUH Perdata berbunyi : Perjanjian harus dilaksanakan dengan iktikad baik. Maksudnya 73 Ibid. 74 Taryana Soenandar, Prinsip-prinsip UNIDROIT sebagai Sumber Hukum Kontrak dan Penyelesaian Bisnis Internasional, Agus Yudha Hernoko, Op.cit., hal 125.

28 perjanjian itu dilaksanakan menurut kepatutan dan keadilan. Pengertian iktikad baik dalam dunia hukum mempunyai arti yang lebih luas daripada pengertian sehari-hari. 75 Menurut Hoge Raad, dalam putusannya tanggal 9 Februari 1923 (Nederlandse Jurisprudentie, hlm. 676) memberikan rumusan bahwa : perjanjian harus dilaksanakan volgens de eisen van redelijkheid en billijkheid, artinya iktikad baik harus dilaksanakan meurut kepatutan dan kepantasan. 76 P.L. Werry menerjemahkan redelijkheid en billijkheid dengan istilah budi dan kepatuhan, beberapa terjemahan lain menggunakan istilah kewajaran dan keadilan atau kepatutan dan keadilan. 77 Redelijkheid artinya rasional, dapat diterima oleh nalar dan akal sehat (reasonable; raisonable), sedangkan billijkheid artinya patut dan adil. Jadi, redelijkheid en billijkheid meliputi semua yang dapat dirasakan dan dapat diterima nalar dengan baik, wajar dan adil, yang diukur dengan norma-norma objektif yang bersifat tidak tertulis dan bukan berasal dari subjektivitas para pihak. 78 Menurut P.L. Werry norma ini pada hakikatnya sama dengan norma kecermatan yang patut dalam masyarakat pada norma tidak tertulis yang tercantum dalam Pasal 1365 KUH Perdata (perbuatan melanggar hukum) Ibid., hal P.L. Werry, Perkembangan Hukum tentang Iktikad Baik di Netherland, (Jakarta : Percetakan Negara RI, 1990), hal Ibid., hal Ibid. 79 Ibid.

29 Asas iktikad baik dibagi menjadi dua macam, yaitu iktikad baik nisbi dan iktikad baik mutlak. Pada iktikad baik nisbi, orang memperhatikan sikap dan tingkah laku yang nyata dari subjek, sedangkan iktikad baik mutlak, penilaiannya terletak pada akal sehat dan keadilan, dibuat ukuran yang objektif untuk menilai keadaan (penilaian tidak memihak) menurut norma-norma yang objektif. 80 Simposium Hukum Perdata Nasional yang diselenggarakan Badan Pembinaan Hukum Nasional (BPHN), iktikad baik hendakya diartikan sebagai: 81 1) Kejujuran pada waktu membuat kontrak; 2) Pada tahap pembuatan ditekankan, apabila kontrak dibuat di hadapan pejabat, para pihak dianggap beriktikad baik (meskipun ada juga pendapat yang menyatakan keberatannya); 3) Sebagai kepatutan dalam tahap pelaksanaan, yaitu terkait suatu penilaian baik terhadap perilaku para pihak dalam melaksanakan apa yang telah disepakati dalam kontrak, semata-mata bertujuan untuk mencegah perilaku yang tidak patut dalam pelaksanaan kontrak tersebut. Selain asas di atas, dalam Lokakarya Hukum Perikatan yang diselenggarakan oleh BPHN, Departemen Kehakiman dari tanggal 17 sampai dengan tanggal 19 Desember 1985 telah berhasil dirumuskan delapan asas hukum perikatan nasional, yaitu : Salim HS-II, Op.cit., hal Badan Pembinaan Hukum Nasional (BPHN), Simposium Hukum Perdata Nasional, Kerjasama Badan Pembinaan Hukum Nasional (BPHN), Agus Yudha Hernoko, Op.cit., hal Salim HS-I, Op.cit., hal 158.

30 a. Asas Kepercayaan (Vertrouwensbeginsel) Seseorang yang mengadakan perjanjian dengan pihak lain, menumbuhkan kepercayaan di antara kedua pihak itu bahwa satu sama lain akan memegang janjinya, dengan kata lain akan memenuhi prestasinya di belakang hari. Tanpa adanya kepercayaan itu, maka perjanjian itu tidak mungkin akan diadakan oleh para pihak. Adanya kepercayaan ini, kedua pihak mengikatkan dirinya dan untuk keduanya perjanjian itu mempunyai kekuatan mengikat sebagai undang-undang. b. Asas Persamaan Hukum Asas ini menempatkan para pihak di dalam persamaan derajat, tidak ada perbedaan, walaupun ada perbedaan kulit, bangsa, kekayaan, kekuasaan, jabatan, dan lain-lain. Masingmasing pihak wajib melihat adanya persamaan ini dan mengharuskan kedua pihak untuk menghormati satu sama lain sebagai manusia cipataan Tuhan. c. Asas Keseimbangan Asas ini menghendaki kedua pihak memenuhi dan melaksanakan perjanjian itu. Asas keseimbangan ini merupakan kelanjutan dari asas persamaan. Kreditur mempunyai kekuatan untuk menuntut prestasi dan jika diperlukan dapat menuntut pelunasan prestasi melalui kekayaan debitur, namun kreditur

31 memikul pula beban untuk melaksanakan perjanjian itu dengan itikad baik. Dapat dilihat di sini bahwa kedudukan kreditur yang kuat diimbangi dengan kewajibannya untuk memperhatikan itikad baik, sehingga kedudukan kreditur dan debitur seimbang. d. Asas Kepastian Hukum Perjanjian sebagai suatu figur hukum harus mengandung kepastian hukum. Kepastian ini terungkap dari kekuatan mengikat perjanjian itu yaitu sebagai undang-undang bagi para pihak. e. Asas Moral Asas ini terlihat dalam perikatan wajar, di mana suatu perbuatan sukarela dari seseorang tidak menimbulkan hak baginya untuk menggugat kontraprestasi dari pihak debitur. Hal ini juga terlihat di dalam zaakwaarneming, di mana seseorang yang melakukan suatu perbuatan dengan sukarela (moral) yang bersangkutan mempunyai kewajiban (hukum) untuk meneruskan dan menyelesaikan perbuatannya. Asas ini dapat kita lihat dalam Pasal 1339 KUH Perdata. Faktor-faktor yang memberikan motivasi pada yang bersangkutan melakukan perbuatan hukum tersebut didasarkan pada kesusilaan (moral), sebagai panggilan dari hati nuraninya. f. Asas Kepatutan Asas ini dituangkan dalam Pasal 1339 KUH Perdata, di mana asas ini berkaitan dengan ketentuan mengenai isi perjanjian.

32 Asas ini harus lah di pertahankan, sebab dengan adanya asas ini maka ukuran tentang hubungan ditentukan juga oleh rasa keadilan dalam masyarakat. g. Asas kebiasaan Asas ini dipandang sebagai bagian dari perjanjian. Suatu perjanjian tidak hanya mengikat untuk apa yang secara tegas diatur, akan tetapi juga hal-hal yang menurut kebiasaan lazim diikuti. h. Asas perlidungan Asas perlindungan mengandung pengertian bahwa antara debitur dan kreditur harus dilindungi oleh hukum. Namun, yang perlu mendapat perlindungan itu adalah pihak debitur, karena pihak debitur berada pada pihak yang lemah. Asas-asas inilah yang menjadi dasar pijakan dari para pihak dalam menentukan dan membuat kontrak. 5. Hapusnya Perjanjian Banyak cara dan macam yang dapat menghapuskan perjanjian. Pada Pasal 1381 KUH Perdata diatur berbagai cara hapusnya perikatanperikatan untuk perjanjian dan perikatan yang lahir dari undang-undang dan cara-cara yang ditunjukkan oleh pembentuk undang-undang itu tidaklah bersifat membatasi para pihak untuk menciptakan cara yang lain untuk menghapus suatu perikatan. Berikut hapusnya perikatan menurut Pasal 1381 KUH Perdata :

33 a. Pembayaran (Pasal KUH Perdata) Pembayaran adalah pelunasan utang (uang, jasa, barang) atau tindakan pemenuhan prestasi oleh debitur kepada kreditur. 83 Pihak-pihak yang wajib melaksanakan pembayaran berdasarkan Pasal 1382 KUH Perdata adalah : 1) Debitur yang bersangkutan; 2) Mereka yang memiliki kepentingan (kawan berhutang atau penanggung); 3) Seorang pihak ketiga yang tidak memiliki kepentingan, dengan syarat pihak ketiga itu bertindak atas nama dan untuk melunasi utang-utangnya debitur atau bertindak atas namanya sendiri asalkan dia tidak menggantikan hak-hak kreditur. Kawan berutang dan penanggung adalah mereka yang mempunyai hubungan dengan pihak debitur dan isi perjanjian yang ada antara debitur dan kreditur, bahwa mereka berkepentingan agar perjanjian itu terlaksana. Apabila tidak, mereka dapat ditegur dan mempunyai kewajiban untuk memenuhi perjanjian tersebut. Mereka yang sama sekali tidak mempunyai kepentingan, yang melaksanakan pembayaran atas nama debitur dan yang membebaskan debitur itu dari kewajibannya ialah pesuruh (last hebber) dan seorang yang mengurus kepentingan orang lain secara sukarela (Pasal 1354 KUH Perdata-Pasal 1358 KUH Perdata). 84 Seorang pihak ketiga dapat juga melaksanakan prestasi atas namanya sendiri dengan syarat bahwa dengan pemenuhan prestasi 83 Handri Raharjo, Op,cit., hal Mariam Darus Badrulzaman-I, Op.cit., hal 117.

34 tadi debitur bebas dari utangnya, dengan perkataan lain pihak ketiga yang atas namanya melaksanakan prestasi tersebut tidak menggantikan kedudukan kreditur lama (subrogasi). Sebab dalam hal ini hubungan hukum antara debitur dan kreditur lama beralih kepada kreditur baru dan di dalam hal ini berarti pembayaran itu hanyalah bersifat relatif. 85 Berdasarkan Pasal 1385 KUH Perdata pihak-pihak yang berhak menerima pembayaran adalah : 1) Kreditur sendiri; 2) Seorang yang diberi kuasa oleh kreditur; 3) Seorang yang diberi kuasa oleh hakim atau undang-undang. Penentuan pihak-pihak yang berhak menerima pembayaran di atas tidak bersifat mutlak artinya masih diberikan kemungkinan bagi debitur untuk membayarkan prestasi kepada orang yang tidak berhak menerima pembayaran asalkan memenuhi syarat, yaitu kreditur membenarkan pembayaran tersebut atau nyata-nyata telah mendapatkan manfaat dari padanya. Bila debitur melakukan pembayaran kepada kreditur yang tidak cakap maka pembayaran itu tidak sah, hal ini tertuang di dalam Pasal 1387 KUH Perdata Ibid. 86 Handri Raharjo, Op.cit., hal 96.

35 Selain pihak yang berhak menerima pembayaran, ada pun pihak-pihak yang tidak sah menerima pembayaran dan pengecualiannya, yaitu : 87 1) Pembayaran yang dilakukan kepada orang selain yang disebutkan di atas, maka pembayaran tersebut adalah tidak sah, kecuali dalam hal pembayaran itu ditetapkan sebagai berikut: a) Si kreditor telah menyetujuinya; b) Si kreditor nyata-nyata telah memperoleh manfaat dari pembayaran tersebut. 2) Pembayaran terhadap orang yang memegang surat piutang, yang mana surat piutang tersebut kemudian diserahkan kepada pihak lain karena suatu penghukuman adalah tidak sah, kecuali jika pembayaran tersebut dilakukan oleh debitur dengan iktikad baik. 3) Pembayaran yang dilakukan terhadap kreditor yang menurut hukum tidak cakap menerima pembayaran adalah tidak sah, kecuali jika debitur membuktikan bahwa kreditor sungguh-sungguh memperoleh manfaat dari pembayaran itu. b. Penawaran pembayaran tunai diikuti dengan penyimpanan/penitipan (konsignasi) Penawaran adalah suatu cara hapusnya perikatan di mana debitur hendak membayar utangnya tetapi pembayaran ini ditolak oleh kreditur, maka debitur dapat menitipkan pembayaran melalui kepaniteraan Pengadilan Negeri setempat. Perihal tentang konsigasi diatur dalam Pasal KUH Perdata. 88 Undang-undang telah memberi kemungkinan bagi debitur melunasi hutang perjanjian dengan jalan penawaran pembayaran tunai yang diikuti dengan konsignasi/penitipan. Hal seperti ini bisa 87 Ahmadi Miru, Hukum Kontrak Perancangan Kontrak, (Jakarta : Raja Grafindo Persada, 2011), hal Handri Raharjo, Op.cit., hal 97.

36 terjadi apabila kreditur lalai atau enggan menerima pembayaran atau penyerahan benda prestasi. Adanya tindakan penawaran pembayaran tunai yang diikuti dengan konsignasi, debitur telah dibebaskan dari pembayaran dengan mengakibatkan hapusnya perjanjian. Ini sesuai dengan ketentuan pasal 1381; yang telah menetapkan, bahwa salah satu cara menghapuskan perjanjian ialah dengan tindakan penawaran pembayaran tunai yang diikuti dengan konsignasi. Penawaran pembayaran tunai yang diikuti dengan penitipan hanya mungkin terjadi dalam perjanjian yang berbentuk : 89 1) Pembayaran sejumlah uang, atau 2) Perjanjian menyerahkan (levering) sesuatu benda bergerak. Oleh karena itu dalam perjanjian yang berbentuk objek prestasinya melakukan atau tidak melakukan sesuatu, maupun dalam levering/penyerahan benda tidak bergerak, penawaran dan penitipan/konsignasi tidak mungkin dilakukan. Hal ini dikarenakan pada perjanjian yang objek prestasinya melakukan atau tidak melakukan sesuatu, prestasi tidak mungkin dikonsignasi, harus dilakukan oleh debitur sendiri. Demikian juga halnya dalam penyerahan benda tidak bergerak, tidak mungkin dilakukan konsignasi. Sebab disamping penyerahan nyata, diperlukan lagi penyerahan yuridis. Maka dari itu, apa yang di atur dalam pasal- 89 M. Yahya Harahap, Op.cit., hal 153.

37 pasal 1406, 1407 KUH Perdata dan seterusnya, tiada lain dari penawaran pembayaran tunai yang diikuti konsignasi terhadap perjanjian pembayaran uang dan penyerahan benda-benda bergerak. 90 Jadi agar penawaran pembayaran yang dilakukan oleh debitur tersebut sah, maka harus memenuhi syarat antara lain: 91 1) Dilakukan kepada kreditor atau kuasanya; 2) Dilakukan oleh debitur atau yang berkuasa membayar; 3) Yang ditawarkan adalah utang pokok, bunga, biaya yang telah ditetapkan maupun yang belum ditetapkan, tetapi ditetapkan kemudian; 4) Telah jatuh tempo (kalau dibuat untuk kepentingan kreditor); 5) Syarat dengan mana utang dibuat telah terpenuhi; 6) Dilakukan di tempat yang diperjanjikan, kalau tidak diperjanjikan, kepada kreditor pribadi atau di tempat tinggal sesungguhnya atau tempat tinggal yang dipilihnya; 7) Dilakukan oleh seorang notaris atau jurusita, yang disertai dua orang saksi. Di sisi lain, untuk sahnya suatu penyimpanan atau penitipan, tidak harus barang yang dititipkan tersebut betul-betul dikuasai oleh hakim, tetapi sudah cukup jika sebagai berikut: 92 1) Penyimpanan itu didahului oleh keterangan yang diberitahukan kepada kreditor tentang penentuan hari, jam, dan tempat di mana barang yang ditawarkan tersebut akan disimpan. 2) Debitur telah melepaskan barang yang ditawarkan dengan menitipkannya pada kas penyimpanan atau penitipan di kepaniteraan pengadilan, yang disertai bunga sampai pada hari penitipan. 3) Oleh notaris atau juru sita yang disertai dua orang saksi dibuat suatu berita acara yang menerangkan wujud mata 90 Ibid. 91 Ahmadi Miru, Op.cit, hal Ibid., hal 97.

38 uang yang ditawarkan, penolakan kreditor atau bahwa kreditor tidak datang menerimanya, dan tentang dilakukannya penyimpanan itu sendiri. 4) Jika kreditor tidak datang menerimanya, berita acara penitipan tersebut disampaikan kepadanya dengan peringatan untuk mengambil apa yang telah dititipkan itu. c. Novasi/pembaharuan hutang (Pasal KUH Perdata) Novasi adalah perjanjian antara debitur dengan kreditur di mana perikatan yang sudah ada dihapuskan dan kemudian dibuat suatu perikatan yang baru. 93 Novasi berdasarkan Pasal 1413 KUH Perdata terdiri dari 3 bentuk, yaitu : 1) Debitur dan kreditur mengadakan perjanjian baru sedangkan perjanjian yang lama dihapuskan, hal ini disebut novasi objektif. 2) Penggantian debitur dari debitur baru menggantikan debitur lama dan debitur lama dibebaskan dari perikatannya, hal ini disebut novasi subjektif yang pasif. 3) Penggantian kreditur dari kreditur baru menggantikan kreditur lama dan kreditur lama dibebaskan dari perikatannya, hal ini disebut novasi subjektif yang aktif. Seperti halnya kontrak pada umumnya, maka pembaruan utang ini juga hanya dapat dilaksanakan oleh orang-orang yang cakap menurut hukum untuk melakukan kontrak, dan pembaruan ini harus tegas ternyata dari perbuatannya, dan tidak boleh terjadi hanya dengan persangkaan. 94 Berbeda halnya novasi dengan cara-cara penghapusan perjanjian lainnya, sekalipun pada prinsipnya novasi bertujuan menghapuskan perjanjian, namun hubungan hukum perjanjian lama dilanjutkan dalam bentuk perjanjian baru. Hal ini terjadi 93 Handri Raharjo, Op.cit., hal Ahmadi Miru, Op.cit., hal 99.

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN DAN PENGATURAN MENURUT KUH PERDATA. A. Pengertian Perjanjian dan Asas Asas dalam Perjanjian

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN DAN PENGATURAN MENURUT KUH PERDATA. A. Pengertian Perjanjian dan Asas Asas dalam Perjanjian BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN DAN PENGATURAN MENURUT KUH PERDATA A. Pengertian Perjanjian dan Asas Asas dalam Perjanjian 1. Pengertian Perjanjian Pasal 1313 KUH Perdata menyatakan Suatu perjanjian

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN A. Pengertian Perjanjian Perjanjian merupakan sumber terpenting yang melahirkan perikatan. Perikatan yang berasal dari perjanjian dikehendaki oleh dua orang atau

Lebih terperinci

istilah perjanjian dalam hukum perjanjian merupakan kesepadanan Overeenkomst dari bahasa belanda atau Agreement dari bahasa inggris.

istilah perjanjian dalam hukum perjanjian merupakan kesepadanan Overeenkomst dari bahasa belanda atau Agreement dari bahasa inggris. BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG HUKUM PERJANJIAN A.Pengertian perjanjian pada umumnya a.1 Pengertian pada umumnya istilah perjanjian dalam hukum perjanjian merupakan kesepadanan dari istilah Overeenkomst

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG HUKUM PERJANJIAN. dua istilah yang berasal dari bahasa Belanda, yaitu istilah verbintenis dan

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG HUKUM PERJANJIAN. dua istilah yang berasal dari bahasa Belanda, yaitu istilah verbintenis dan BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG HUKUM PERJANJIAN A. Pengertian Perjanjian Di dalam Buku III KUH Perdata mengenai hukum perjanjian terdapat dua istilah yang berasal dari bahasa Belanda, yaitu istilah verbintenis

Lebih terperinci

BAB II PERJANJIAN MENURUT KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PERDATA. tentang Pembuktian dan Kadaluwarsa/Bewijs en Verjaring.

BAB II PERJANJIAN MENURUT KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PERDATA. tentang Pembuktian dan Kadaluwarsa/Bewijs en Verjaring. 28 BAB II PERJANJIAN MENURUT KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PERDATA A. Pengertian Perjanjian Hukum perjanjian diatur dalam Buku III KUH Perdata sebagai bagian dari KUH Perdata yang terdiri dari IV buku. Buku

Lebih terperinci

BAB II PERJANJIAN JUAL BELI. undang-undang telah memberikan nama tersendiri dan memberikan

BAB II PERJANJIAN JUAL BELI. undang-undang telah memberikan nama tersendiri dan memberikan A. Pengertian Perjanjian Jual Beli BAB II PERJANJIAN JUAL BELI Jual beli termasuk dalam kelompok perjanjian bernama, artinya undang-undang telah memberikan nama tersendiri dan memberikan pengaturan secara

Lebih terperinci

BAB II PERJANJIAN DAN WANPRESTASI SECARA UMUM

BAB II PERJANJIAN DAN WANPRESTASI SECARA UMUM BAB II PERJANJIAN DAN WANPRESTASI SECARA UMUM A. Segi-segi Hukum Perjanjian Mengenai ketentuan-ketentuan yang mengatur perjanjian pada umumnya terdapat dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata pada Buku

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN KERJASAMA. 2.1 Pengertian Perjanjian Kerjasama dan Tempat Pengaturannya

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN KERJASAMA. 2.1 Pengertian Perjanjian Kerjasama dan Tempat Pengaturannya 36 BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN KERJASAMA 2.1 Pengertian Perjanjian Kerjasama dan Tempat Pengaturannya Perjanjan memiliki definisi yang berbeda-beda menurut pendapat para ahli yang satu dengan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN. tidak ada dirumuskan dalam undang-undang, tetapi dirumuskan sedemikian rupa

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN. tidak ada dirumuskan dalam undang-undang, tetapi dirumuskan sedemikian rupa 16 BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN A. Hukum Perikatan Pada Umumnya 1. Pengertian Perikatan Hukum perikatan diatur dalam buku III KUH Perdata. Definisi perikatan tidak ada dirumuskan dalam undang-undang,

Lebih terperinci

BAB II PERJANJIAN PADA UMUMNYA. Istilah perjanjian dalam hukum perjanjian merupakan kesepadanan dari

BAB II PERJANJIAN PADA UMUMNYA. Istilah perjanjian dalam hukum perjanjian merupakan kesepadanan dari BAB II PERJANJIAN PADA UMUMNYA A. Pengertian Perjanjian Istilah perjanjian dalam hukum perjanjian merupakan kesepadanan dari kata ovreenkomst dalam bahasa Belanda atau istilah agreement dalam bahasa Inggris.

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM MENGENAI PERJANJIAN. Kata perjanjian berasal dari terjemahan overeenkomst dan

BAB II TINJAUAN UMUM MENGENAI PERJANJIAN. Kata perjanjian berasal dari terjemahan overeenkomst dan BAB II TINJAUAN UMUM MENGENAI PERJANJIAN A. Pengertian Perjanjian Kata perjanjian berasal dari terjemahan overeenkomst dan verbintenis, yang diterjemahkan dengan menggunakan istilah perjanjian maupun persetujuan.

Lebih terperinci

BAB II PERJANJIAN MENURUT KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PERDATA. terwujud dalam pergaulan sehari-hari. Hal ini disebabkan adanya tujuan dan

BAB II PERJANJIAN MENURUT KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PERDATA. terwujud dalam pergaulan sehari-hari. Hal ini disebabkan adanya tujuan dan BAB II PERJANJIAN MENURUT KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PERDATA A. Pengertian Perjanjian Hubungan antara manusia yang satu dengan manusia yang lainnya selalu terwujud dalam pergaulan sehari-hari. Hal ini disebabkan

Lebih terperinci

BAB II KEDUDUKAN CORPORATE GUARANTOR YANG TELAH MELEPASKAN HAK ISTIMEWA. A. Aspek Hukum Jaminan Perorangan Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata

BAB II KEDUDUKAN CORPORATE GUARANTOR YANG TELAH MELEPASKAN HAK ISTIMEWA. A. Aspek Hukum Jaminan Perorangan Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata 29 BAB II KEDUDUKAN CORPORATE GUARANTOR YANG TELAH MELEPASKAN HAK ISTIMEWA A. Aspek Hukum Jaminan Perorangan Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Istilah jaminan merupakan terjemahan dari bahasa Belanda,

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN JUAL BELI. 2.1 Pengertian dan Pengaturan Perjanjian Jual Beli

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN JUAL BELI. 2.1 Pengertian dan Pengaturan Perjanjian Jual Beli BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN JUAL BELI 2.1 Pengertian dan Pengaturan Perjanjian Jual Beli Sebelum membahas tentang pengertian dan pengaturan juali beli, terlebih dahulu perlu dipahami tentang

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN DAN WANPRESTASI. Perjanjian atau persetujuan merupakan terjemahan dari overeenkomst,

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN DAN WANPRESTASI. Perjanjian atau persetujuan merupakan terjemahan dari overeenkomst, BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN DAN WANPRESTASI A. Pengertian Perjanjian Perjanjian atau persetujuan merupakan terjemahan dari overeenkomst, Pasal 1313 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUH Perdata)

Lebih terperinci

BAB II PERJANJIAN JUAL BELI MENURUT KUH PERDATA

BAB II PERJANJIAN JUAL BELI MENURUT KUH PERDATA BAB II PERJANJIAN JUAL BELI MENURUT KUH PERDATA Perjanjian jual beli diatur dalam Pasal 1457-1540 Kitab Undang-undang Hukum Perdata. Dalam Pasal 1457 KUH Perdata pengertian jual beli adalah suatu persetujuan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN MENGENAI KONTRAK SECARA UMUM. Istilah kontrak berasal dari bahasa Inggris, yakni contract yang

BAB II TINJAUAN MENGENAI KONTRAK SECARA UMUM. Istilah kontrak berasal dari bahasa Inggris, yakni contract yang BAB II TINJAUAN MENGENAI KONTRAK SECARA UMUM A. Pengertian kontrak Istilah kontrak berasal dari bahasa Inggris, yakni contract yang bermakna perjanjian. Dalam bahasan belanda kontrak dikenal dengan kata

Lebih terperinci

Hukum Perikatan Pengertian hukum perikatan

Hukum Perikatan Pengertian hukum perikatan Hukum Perikatan Pengertian hukum perikatan Perikatan dalam bahasa Belanda disebut ver bintenis. Istilah perikatan ini lebih umum dipakai dalam literatur hukum di Indonesia. Perikatan dalam hal ini berarti

Lebih terperinci

Asas asas perjanjian

Asas asas perjanjian Hukum Perikatan RH Asas asas perjanjian Asas hukum menurut sudikno mertokusumo Pikiran dasar yang melatar belakangi pembentukan hukum positif. Asas hukum tersebut pada umumnya tertuang di dalam peraturan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN. tertulis atau dengan lisan yang dibuat oleh dua pihak atau lebih, masing-masing

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN. tertulis atau dengan lisan yang dibuat oleh dua pihak atau lebih, masing-masing BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN A. Pengertian Perjanjian Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, perjanjian adalah persetujuan tertulis atau dengan lisan yang dibuat oleh dua pihak atau lebih, masing-masing

Lebih terperinci

BAB II PROSEDUR PERALIHAN HAK GUNA USAHA MELALUI PERIKATAN JUAL BELI SEKALIGUS ALIH FUNGSI PENGGUNAAN TANAH

BAB II PROSEDUR PERALIHAN HAK GUNA USAHA MELALUI PERIKATAN JUAL BELI SEKALIGUS ALIH FUNGSI PENGGUNAAN TANAH BAB II PROSEDUR PERALIHAN HAK GUNA USAHA MELALUI PERIKATAN JUAL BELI SEKALIGUS ALIH FUNGSI PENGGUNAAN TANAH A. Pengaturan tentang Perikatan Jual Beli Pasal 1233 Kitab Undang-undang Hukum Perdata (selanjutnya

Lebih terperinci

ASAS-ASAS DALAM HUKUM PERJANJIAN

ASAS-ASAS DALAM HUKUM PERJANJIAN ASAS-ASAS DALAM HUKUM PERJANJIAN Selamat malam semua Bagaimana kabarnya malam ini? Sehat semua kan.. Malam ini kita belajar mengenai Asas-asas dalam Hukum Perjanjian ya.. Ada yang tahu asas-asas apa saja

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN DAN KOPERASI. Perikatan-Perikatan yang dilahirkan dari Kontrak atau Perjanjian,

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN DAN KOPERASI. Perikatan-Perikatan yang dilahirkan dari Kontrak atau Perjanjian, 23 BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN DAN KOPERASI 2.1 Pengertian Perjanjian Kredit Pasal 1313 KUHPerdata mengawali ketentuan yang diatur dalam Bab Kedua Buku III KUH Perdata, dibawah judul Tentang

Lebih terperinci

BAB II PERJANJIAN PADA UMUMNYA. Dari ketentuan pasal di atas, pembentuk Undang-undang tidak menggunakan

BAB II PERJANJIAN PADA UMUMNYA. Dari ketentuan pasal di atas, pembentuk Undang-undang tidak menggunakan BAB II PERJANJIAN PADA UMUMNYA A. Pengertian Perjanjian Dalam Pasal 1313 KUH Perdata bahwa perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain

Lebih terperinci

BAB II PENGERTIAN PERJANJIAN PADA UMUMNYA. Manusia dalam hidupnya selalu mempunyai kebutuhan-kebutuhan atau

BAB II PENGERTIAN PERJANJIAN PADA UMUMNYA. Manusia dalam hidupnya selalu mempunyai kebutuhan-kebutuhan atau BAB II PENGERTIAN PERJANJIAN PADA UMUMNYA Manusia dalam hidupnya selalu mempunyai kebutuhan-kebutuhan atau kepentingan-kepentingan untuk mempertahankan kelangsungan hidupnya. Manusia di dalam memenuhi

Lebih terperinci

ASAS-ASAS HUKUM PERJANJIAN: SUATU LANDASAN DALAM PEMBUATAN KONTRAK

ASAS-ASAS HUKUM PERJANJIAN: SUATU LANDASAN DALAM PEMBUATAN KONTRAK ASAS-ASAS HUKUM PERJANJIAN: SUATU LANDASAN DALAM PEMBUATAN KONTRAK M. Muhtarom Dosen Jurusan Syariah Fakultas Agama Islam Universitas Muhammadiyah Surakarta Jl. Ahmad Yani, tromol pos I Pabelan Kartasura

Lebih terperinci

ASAS KEBEBASAN BERKONTRAK DALAM PERJANJIAN BAKU 1 Oleh: Dyas Dwi Pratama Potabuga 2

ASAS KEBEBASAN BERKONTRAK DALAM PERJANJIAN BAKU 1 Oleh: Dyas Dwi Pratama Potabuga 2 ASAS KEBEBASAN BERKONTRAK DALAM PERJANJIAN BAKU 1 Oleh: Dyas Dwi Pratama Potabuga 2 ABSTRAK Tujuan dilakukannya penelitian adalah untuk mengetahui bagaimana ketentuan hukum mengenai pembuatan suatu kontrak

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN. pengaturan yang berbeda-beda, Buku I mengenai perorangan (personenrecht),

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN. pengaturan yang berbeda-beda, Buku I mengenai perorangan (personenrecht), 14 BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN A. Pengertian Perjanjian Pengaturan mengenai perjanjian terdapat di dalam Buku III KUH Perdata (selanjutnya disebut dengan KUH Perdata) yang merupakan bagian

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan tentang Perjanjian Pada Umumnya 1. Pengertian dan Dasar Hukum Perjanjian Pengertian perjanjian di dalam Buku III KUH Perdata diatur di dalam Pasal 1313 KUH Perdata,

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN, WANPRESTASI DAN LEMBAGA PEMBIAYAAN KONSUMEN

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN, WANPRESTASI DAN LEMBAGA PEMBIAYAAN KONSUMEN BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN, WANPRESTASI DAN LEMBAGA PEMBIAYAAN KONSUMEN 2.1 Perjanjian 2.1.1 Pengertian Perjanjian Definisi perjanjian diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Selanjutnya

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM MENGENAI PERJANJIAN. dua pihak, berdasarkan mana pihak yang satu berhak menuntut sesuatu hal dari

BAB II TINJAUAN UMUM MENGENAI PERJANJIAN. dua pihak, berdasarkan mana pihak yang satu berhak menuntut sesuatu hal dari BAB II TINJAUAN UMUM MENGENAI PERJANJIAN A.Pengertian Perjanjian Suatu perikatan adalah suatu perhubungan hukum antara dua orang atau dua pihak, berdasarkan mana pihak yang satu berhak menuntut sesuatu

Lebih terperinci

BAB III TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN. Perjanjian menurut pasal 1313 KUH Perdata adalah suatu perbuatan dengan

BAB III TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN. Perjanjian menurut pasal 1313 KUH Perdata adalah suatu perbuatan dengan BAB III TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN A. Perjanjian Dalam istilah perjanjian atau kontrak terkadang masih dipahami secara rancu, banyak pelaku bisnis mencampuradukkan kedua istilah tersebut seolah merupakan

Lebih terperinci

Lex Privatum, Vol. III/No. 4/Okt/2015

Lex Privatum, Vol. III/No. 4/Okt/2015 PEMBERLAKUAN ASAS KEBEBASAN BERKONTRAK MENURUT HUKUM PERDATA TERHADAP PELAKSANAANNYA DALAM PRAKTEK 1 Oleh : Suryono Suwikromo 2 A. Latar Belakang Didalam kehidupan sehari-hari, setiap manusia akan selalu

Lebih terperinci

AKIBAT HUKUM TERHADAP PERJANJIAN HUTANG MENURUT KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PERDATA. Istiana Heriani*

AKIBAT HUKUM TERHADAP PERJANJIAN HUTANG MENURUT KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PERDATA. Istiana Heriani* Al Ulum Vol.61 No.3 Juli 2014 halaman 17-23 17 AKIBAT HUKUM TERHADAP PERJANJIAN HUTANG MENURUT KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PERDATA Istiana Heriani* ABSTRAK Masalah-masalah hukum yang timbul dalam perjanjian

Lebih terperinci

BAB III TINJAUAN TEORITIS. menjadi sebab lahirnya suatu perikatan, selain sumber lainya yaitu undangundang.jika

BAB III TINJAUAN TEORITIS. menjadi sebab lahirnya suatu perikatan, selain sumber lainya yaitu undangundang.jika 1 BAB III TINJAUAN TEORITIS A. Tinjauan Umum Tentang Perjanjian 1. Pengertian Perjanjian Pembahasan tentang perjanjian kiranya tidak dapat dilepaskan dari pembahasan tentang perikatan, hal tersebut disebabkan

Lebih terperinci

BAB III TINJAUAN TEORITIS. dapat terjadi baik karena disengaja maupun tidak disengaja. 2

BAB III TINJAUAN TEORITIS. dapat terjadi baik karena disengaja maupun tidak disengaja. 2 BAB III TINJAUAN TEORITIS A. Wanprestasi 1. Pengertian Wanprestasi Wanprestasi adalah tidak memenuhi atau lalai melaksanakan kewajiban sebagaimana yang ditentukan dalam perjanjian yang dibuat antara kreditur

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG GADAI

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG GADAI 25 BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG GADAI 2.1 Pengertian Gadai Salah satu lembaga jaminan yang obyeknya benda bergerak adalah lembaga gadai yang diatur dalam Pasal 1150 sampai dengan Pasal 1160 KUHPerdata.

Lebih terperinci

BAB II HUKUM PERJANJIAN. Dalam Burgerlijk Wetboek (BW) yang kemudian diterjemahkan oleh. R.

BAB II HUKUM PERJANJIAN. Dalam Burgerlijk Wetboek (BW) yang kemudian diterjemahkan oleh. R. BAB II HUKUM PERJANJIAN A. Pengertian Perjanjian Dalam Burgerlijk Wetboek (BW) yang kemudian diterjemahkan oleh. R. Subekti, SH dan R. Tjitrosudibio menjadi Kitab Undang-Undang Hukum Perdata bahwa mengenai

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Perjanjian atau persetujuan merupakan terjemahan dari overeenkomst, mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Perjanjian atau persetujuan merupakan terjemahan dari overeenkomst, mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih. BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Uraian Teori 2.1.1. Pengertian Perjanjian dan Wanprestasi Perjanjian atau persetujuan merupakan terjemahan dari overeenkomst, Pasal 1313 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUH

Lebih terperinci

BAB III TINJAUAN TEORITIS TENTANG PERJANJIAN

BAB III TINJAUAN TEORITIS TENTANG PERJANJIAN BAB III TINJAUAN TEORITIS TENTANG PERJANJIAN A. Pengertian Perjanjian Dalam Pasal 1313 KUH Perdata, bahwa suatu persetujuan adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya

Lebih terperinci

BAB II PERJANJIAN JUAL BELI MENURUT KUHPERDATA. antara dua orang atau lebih. Perjanjian ini menimbulkan sebuah kewajiban untuk

BAB II PERJANJIAN JUAL BELI MENURUT KUHPERDATA. antara dua orang atau lebih. Perjanjian ini menimbulkan sebuah kewajiban untuk BAB II PERJANJIAN JUAL BELI MENURUT KUHPERDATA A. Pengertian Perjanjian Jual Beli Menurut Black s Law Dictionary, perjanjian adalah suatu persetujuan antara dua orang atau lebih. Perjanjian ini menimbulkan

Lebih terperinci

KLASIFIKASI PERJANJIAN KELOMPOK I DWI AYU RACHMAWATI (01) ( )

KLASIFIKASI PERJANJIAN KELOMPOK I DWI AYU RACHMAWATI (01) ( ) PENGERTIAN PERJANJIAN KLASIFIKASI PERJANJIAN KELOMPOK I DWI AYU RACHMAWATI (01) (166010200111038) FANNY LANDRIANI ROSSA (02) (166010200111039) ARLITA SHINTA LARASATI (12) (166010200111050) ARUM DEWI AZIZAH

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM MENGENAI PERJANJIAN, JAMINAN DAN GADAI. politicon). Manusia dikatakan zoon politicon oleh Aristoteles, sebab

BAB II TINJAUAN UMUM MENGENAI PERJANJIAN, JAMINAN DAN GADAI. politicon). Manusia dikatakan zoon politicon oleh Aristoteles, sebab BAB II TINJAUAN UMUM MENGENAI PERJANJIAN, JAMINAN DAN GADAI 2.1 Perjanjian 2.1.1 Pengertian Perjanjian Masalah perjanjian itu sebenarnya merupakan adanya ikatan antara dua belah pihak atau antara 2 (dua)

Lebih terperinci

BAB III TINJAUAN PUSTAKA

BAB III TINJAUAN PUSTAKA BAB III TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian Perjanjian Dalam Pasal 1313 KUH Perdata, bahwa suatu persetujuan adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang

Lebih terperinci

Hukum Perjanjian menurut KUHPerdata(BW)

Hukum Perjanjian menurut KUHPerdata(BW) Hukum Perjanjian menurut KUHPerdata(BW) Pengertian Perjanjian Pasal 1313 KUHPerdata: Suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih. Oleh: Nama

Lebih terperinci

BAB II TANGGUNG JAWAB PARA PIHAK DALAM PELAKSANAAN KONTRAK KEAGENAN MINYAK TANAH YANG DIBUAT ANTARA PARA AGEN DENGAN PERTAMINA

BAB II TANGGUNG JAWAB PARA PIHAK DALAM PELAKSANAAN KONTRAK KEAGENAN MINYAK TANAH YANG DIBUAT ANTARA PARA AGEN DENGAN PERTAMINA 51 BAB II TANGGUNG JAWAB PARA PIHAK DALAM PELAKSANAAN KONTRAK KEAGENAN MINYAK TANAH YANG DIBUAT ANTARA PARA AGEN DENGAN PERTAMINA A. Pengertian Perjanjian pada Umumnya Perjanjian adalah suatu peristiwa

Lebih terperinci

BAB II PENGIKATAN JUAL BELI TANAH SECARA CICILAN DISEBUT JUGA SEBAGAI JUAL BELI YANG DISEBUT DALAM PASAL 1457 KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PERDATA

BAB II PENGIKATAN JUAL BELI TANAH SECARA CICILAN DISEBUT JUGA SEBAGAI JUAL BELI YANG DISEBUT DALAM PASAL 1457 KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PERDATA 25 BAB II PENGIKATAN JUAL BELI TANAH SECARA CICILAN DISEBUT JUGA SEBAGAI JUAL BELI YANG DISEBUT DALAM PASAL 1457 KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PERDATA A. Perjanjian 1. Pengertian Perjanjian Hukum perjanjian

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN KEPUSTAKAAN. Dalam Bab ini, sesuai dengan judulnya, Penulis mengemukakan suatu

BAB II TINJAUAN KEPUSTAKAAN. Dalam Bab ini, sesuai dengan judulnya, Penulis mengemukakan suatu BAB II TINJAUAN KEPUSTAKAAN Dalam Bab ini, sesuai dengan judulnya, Penulis mengemukakan suatu tinjauan atau analisis kepustakaan mengenai prinsip-prinsip dan kaedah hukum yang mengatur mengenai keadaan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN TENTANG PERJANJIAN KREDIT. Perjanjian kredit merupakan salah satu jenis perjanjian yang segala

BAB II TINJAUAN TENTANG PERJANJIAN KREDIT. Perjanjian kredit merupakan salah satu jenis perjanjian yang segala BAB II TINJAUAN TENTANG PERJANJIAN KREDIT A. Perjanjian Kredit Perjanjian kredit merupakan salah satu jenis perjanjian yang segala ketentuan umumnya didasarkan pada ajaran umum hukum perikatan yang terdapat

Lebih terperinci

BAB II PERJANJIAN PADA UMUMNYA. satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih. 11

BAB II PERJANJIAN PADA UMUMNYA. satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih. 11 BAB II PERJANJIAN PADA UMUMNYA A. Pengertian Perjanjian Dalam Pasal 1313 KUH Perdata bahwa perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Dalam sejarah perkembangan kehidupan, manusia pada zaman apapun

BAB I PENDAHULUAN. Dalam sejarah perkembangan kehidupan, manusia pada zaman apapun BAB I PENDAHULUAN A. Latar belakang Dalam sejarah perkembangan kehidupan, manusia pada zaman apapun selalu hidup bersama serta berkelompok. Sejak dahulu kala pada diri manusia terdapat hasrat untuk berkumpul

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN (KONTRAK) masyarakat. Istilah perjanjian berasal dari bahasa Inggris, yaitu contracts.

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN (KONTRAK) masyarakat. Istilah perjanjian berasal dari bahasa Inggris, yaitu contracts. BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN (KONTRAK) A. Pengertian Perjanjian Istilah perjanjian sudah lazim dipergunakan dalam lalu lintas hidup masyarakat. Istilah perjanjian berasal dari bahasa Inggris,

Lebih terperinci

ASAS-ASAS HUKUM PERDATA. apapun juga, baik yang telah diatur dalam undang-undang, maupun yang belum diatur dalam

ASAS-ASAS HUKUM PERDATA. apapun juga, baik yang telah diatur dalam undang-undang, maupun yang belum diatur dalam ASAS-ASAS HUKUM PERDATA 1. Asas kebebasan berkontrak, Asas ini mengandung pengertian bahwa setiap orang dapat mengadakan perjanjian apapun juga, baik yang telah diatur dalam undang-undang, maupun yang

Lebih terperinci

BAB II PENGATURAN ATAS JUAL BELI SAHAM DALAM PERSEROAN TERBATAS DI INDONESIA. dapat dengan mudah memahami jual beli saham dalam perseroan terbatas.

BAB II PENGATURAN ATAS JUAL BELI SAHAM DALAM PERSEROAN TERBATAS DI INDONESIA. dapat dengan mudah memahami jual beli saham dalam perseroan terbatas. BAB II PENGATURAN ATAS JUAL BELI SAHAM DALAM PERSEROAN TERBATAS DI INDONESIA A. Tinjauan Umum tentang Jual Beli 1. Pengertian Jual Beli Sebelum membahas mengenai aturan jual beli saham dalam perseroan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM MENGENAI PERJANJIAN. KUH Perdata, yang memiliki sifat terbuka artinya isinya dapat ditentukan oleh para

BAB II TINJAUAN UMUM MENGENAI PERJANJIAN. KUH Perdata, yang memiliki sifat terbuka artinya isinya dapat ditentukan oleh para BAB II TINJAUAN UMUM MENGENAI PERJANJIAN A. Ruang Lingkup Perjanjian 1. Pengertian Perjanjian Hukum Perjanjian diatur dalam bab II dan bab V sampai dengan Bab XVIII buku III KUH Perdata, yang memiliki

Lebih terperinci

BAB II KEDUDUKAN HUKUM BILA PENANGGUNG KEHILANGAN KECAKAPAN BERTINDAK DALAM PERJANJIAN PENANGGUNGAN

BAB II KEDUDUKAN HUKUM BILA PENANGGUNG KEHILANGAN KECAKAPAN BERTINDAK DALAM PERJANJIAN PENANGGUNGAN 31 BAB II KEDUDUKAN HUKUM BILA PENANGGUNG KEHILANGAN KECAKAPAN BERTINDAK DALAM PERJANJIAN PENANGGUNGAN A. PENANGGUNGAN ADALAH PERJANJIAN Sesuai defenisinya, suatu Penanggungan adalah suatu persetujuan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN A. Pengertian dan Syarat Sahnya Perjanjian 1. Pengertian perjanjian Perjanjian secara umum diatur dalam Buku III KUHPerdata tentang Perikatan. Dalam KUHPerdata Buku

Lebih terperinci

BAB III HUTANG PIUTANG SUAMI ATAU ISTRI TANPA SEPENGETAHUAN PASANGANNYA MENURUT HUKUM POSITIF DI INDONESIA

BAB III HUTANG PIUTANG SUAMI ATAU ISTRI TANPA SEPENGETAHUAN PASANGANNYA MENURUT HUKUM POSITIF DI INDONESIA 53 BAB III HUTANG PIUTANG SUAMI ATAU ISTRI TANPA SEPENGETAHUAN PASANGANNYA MENURUT HUKUM POSITIF DI INDONESIA A. Pengertian Hutang Piutang Pengertian hutang menurut etimologi ialah uang yang dipinjam dari

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN PEMBIAYAAN KONSUMEN. Istilah perjanjian secara etimologi berasal dari bahasa latin testamentum,

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN PEMBIAYAAN KONSUMEN. Istilah perjanjian secara etimologi berasal dari bahasa latin testamentum, 19 BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN PEMBIAYAAN KONSUMEN 2.1 Perjanjian Pembiayaan Konsumen 2.1.1 Pengertian Perjanjian Pembiayaan konsumen Istilah perjanjian secara etimologi berasal dari bahasa

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN DAN PERJANJIAN KONSINYASI. dan perikatan itu merujuk pada dua hal yang berbeda, perikatan ialah suatu hal

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN DAN PERJANJIAN KONSINYASI. dan perikatan itu merujuk pada dua hal yang berbeda, perikatan ialah suatu hal 16 BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN DAN PERJANJIAN KONSINYASI 2.1. Perjanjian 2.1.1. Pengertian Perjanjian Dalam ilmu hukum yang kita pelajari menjelaskan bahwa suatu perjanjian dan perikatan itu

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN TENTANG PERJANJIAN. sebagai makhluk sosial (zoon politicon). Melalui interaksi sosial yang selalu

BAB II TINJAUAN TENTANG PERJANJIAN. sebagai makhluk sosial (zoon politicon). Melalui interaksi sosial yang selalu BAB II TINJAUAN TENTANG PERJANJIAN F. Pengertian dan Asas-Asas Perjanjian Dinamika perkembangan masyarakat tidak terlepas dari kodrat manusia sebagai makhluk yang saling membutuhkan satu sama lain atau

Lebih terperinci

BAB II PENGIKATAN PERJANJIAN LISENSI DAN KETENTUAN ROYALTI DITINJAU KETENTUAN HUKUM PERJANJIAN

BAB II PENGIKATAN PERJANJIAN LISENSI DAN KETENTUAN ROYALTI DITINJAU KETENTUAN HUKUM PERJANJIAN BAB II PENGIKATAN PERJANJIAN LISENSI DAN KETENTUAN ROYALTI DITINJAU KETENTUAN HUKUM PERJANJIAN A. Pengertian Perjanjian pada Umumnya Perbuatan hukum yang mengikat antara para pihak yang terlibat dalam

Lebih terperinci

BAB II GAMBARAN UMUM TENTANG PERJANJIAN PINJAM MEMINJAM. mempunyai sifat riil. Hal ini disimpulkan dari kata-kata Pasal 1754 KUH Perdata

BAB II GAMBARAN UMUM TENTANG PERJANJIAN PINJAM MEMINJAM. mempunyai sifat riil. Hal ini disimpulkan dari kata-kata Pasal 1754 KUH Perdata 23 BAB II GAMBARAN UMUM TENTANG PERJANJIAN PINJAM MEMINJAM A. Pengertian Pinjam Meminjam Perjanjian Pinjam Meminjam menurut Bab XIII Buku III KUH Pedata mempunyai sifat riil. Hal ini disimpulkan dari kata-kata

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Pasal 1313 KUH Perdata merumuskan perjanjian, yaitu: Suatu perjanjian adalah

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Pasal 1313 KUH Perdata merumuskan perjanjian, yaitu: Suatu perjanjian adalah BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Perjanjian Pada Umumnya 1. Pengertian Perjanjian. Pasal 1313 KUH Perdata merumuskan perjanjian, yaitu: Suatu perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN 21 BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN A. Pengertian Perjanjian dan Jenis-jenis Perjanjian Definisi perjanjian telah diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUH Perdata) Pasal 1313, yaitu bahwa

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. kewajiban untuk memenuhi tuntutan tersebut. Pendapat lain menyatakan bahwa

II. TINJAUAN PUSTAKA. kewajiban untuk memenuhi tuntutan tersebut. Pendapat lain menyatakan bahwa II. TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Tentang Perjanjian 1. Pengertian Perjanjian Perjanjian adalah suatu hubungan hukum antara dua pihak, yang isinya adalah hak dan kewajiban, suatu hak untuk menuntut sesuatu

Lebih terperinci

BAB III TINJAUAN UMUM KONTRAK DAN PERJANJIAN. Perjanjian, adapun yang dimaksud dengan perikatan oleh buku III KUH

BAB III TINJAUAN UMUM KONTRAK DAN PERJANJIAN. Perjanjian, adapun yang dimaksud dengan perikatan oleh buku III KUH BAB III TINJAUAN UMUM KONTRAK DAN PERJANJIAN A. Pengertian Kontrak atau Perjanjian Buku III KUH Perdata berjudul perihal perikatan perkataan perikatan (verbintenis) mempunyai arti yang lebih luas dari

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Perjanjian merupakan sumber terpenting yang melahirkan perikatan, perikatan

II. TINJAUAN PUSTAKA. Perjanjian merupakan sumber terpenting yang melahirkan perikatan, perikatan 7 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian Perjanjian Pada Umumnya 1. Pengertian Perjanjian Perjanjian merupakan sumber terpenting yang melahirkan perikatan, perikatan yang berasal dari perjanjian dikehendaki

Lebih terperinci

BAB III TINJAUAN TEORITIS. Dalam Pasal 1233 KUH Perdata menyatakan, bahwa Tiap-tiap perikatan dilahirkan

BAB III TINJAUAN TEORITIS. Dalam Pasal 1233 KUH Perdata menyatakan, bahwa Tiap-tiap perikatan dilahirkan BAB III TINJAUAN TEORITIS A. Pengertian Perjanjian Dalam Pasal 1233 KUH Perdata menyatakan, bahwa Tiap-tiap perikatan dilahirkan baik karena persetujuan, baik karena undang-undang, ditegaskan bahwa setiap

Lebih terperinci

BAB III TINJAUAN TEORITIS. bantuan dari orang lain. Untuk itu diperlukan suatu perangkat hukum demi

BAB III TINJAUAN TEORITIS. bantuan dari orang lain. Untuk itu diperlukan suatu perangkat hukum demi BAB III TINJAUAN TEORITIS A. Pengertian Perjanjian Dalam menjalankan bisnis pada dasarnya manusia tidak bisa melakukannya dengan sendiri, tetapi harus dilakukan secara bersama atau dengan mendapat bantuan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. khusus (benoemd) maupun perjanjian umum (onbenoemd) masih berpedoman

BAB I PENDAHULUAN. khusus (benoemd) maupun perjanjian umum (onbenoemd) masih berpedoman 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Sampai sekarang pembuatan segala macam jenis perjanjian, baik perjanjian khusus (benoemd) maupun perjanjian umum (onbenoemd) masih berpedoman pada KUH Perdata,

Lebih terperinci

BAB 2 PEMBAHASAN. Jual beli tanah..., Ni Wayan Nagining Sidianthi, FH UI, , halaman 17. Universitas Indonesia

BAB 2 PEMBAHASAN. Jual beli tanah..., Ni Wayan Nagining Sidianthi, FH UI, , halaman 17. Universitas Indonesia 16 BAB 2 PEMBAHASAN 2.1. Pengertian dan Pelaksanaan Jual Beli Tanah di Hadapan Pejabat Pembuat Akta Tanah 2.1.1. Pengertian dan Syarat Sahnya Perjanjian Manusia adalah makhluk sosial yang kodratnya harus

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM SUATU PERJANJIAN

BAB II TINJAUAN UMUM SUATU PERJANJIAN BAB II TINJAUAN UMUM SUATU PERJANJIAN A. Pengertian Perjanjian Sebelum membahas lebih lanjut mengenai perjanjian kerjasama maka perlu dipahami terlebih dahulu mengenai perngertian dari suatu perjanjian.

Lebih terperinci

BAB II SEKILAS TENTANG HUKUM PERJANJIAN DAN KONTRAK PENYEDIA JASA PEKERJA DI INDONESIA

BAB II SEKILAS TENTANG HUKUM PERJANJIAN DAN KONTRAK PENYEDIA JASA PEKERJA DI INDONESIA BAB II SEKILAS TENTANG HUKUM PERJANJIAN DAN KONTRAK PENYEDIA JASA PEKERJA DI INDONESIA A. Rumusan Perjanjian dalam Peraturan dan Ahli Hukum Perjanjian. Menurut ketentuan Pasal 1313 KUHPerdata Perjanjian

Lebih terperinci

BAB III TINJAUAN TEORITIS. landasan yang tegas dan kuat. Walaupun di dalam undang-undang tersebut. pasal 1338 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata:

BAB III TINJAUAN TEORITIS. landasan yang tegas dan kuat. Walaupun di dalam undang-undang tersebut. pasal 1338 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata: BAB III TINJAUAN TEORITIS A. Tinjauan Umum Perjanjian Kerja 1. Pengertian Perjanjian Kerja Dengan telah disahkannya undang-undang Nomor 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (UUKK) maka keberadaan perjanjian

Lebih terperinci

AKIBAT HUKUM DARI PERJANJIAN BAKU (STANDART CONTRACT) BAGI PARA PIHAK PEMBUATNYA (Tinjauan Aspek Ketentuan Kebebasan Berkontrak) Oleh:

AKIBAT HUKUM DARI PERJANJIAN BAKU (STANDART CONTRACT) BAGI PARA PIHAK PEMBUATNYA (Tinjauan Aspek Ketentuan Kebebasan Berkontrak) Oleh: AKIBAT HUKUM DARI PERJANJIAN BAKU (STANDART CONTRACT) BAGI PARA PIHAK PEMBUATNYA (Tinjauan Aspek Ketentuan Kebebasan Berkontrak) Oleh: Abuyazid Bustomi, SH, MH. 1 ABSTRAK Secara umum perjanjian adalah

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM MENGENAI HUKUM JAMINAN KREDIT. Istilah hukum jaminan berasal dari terjemahan zakerheidesstelling,

BAB II TINJAUAN UMUM MENGENAI HUKUM JAMINAN KREDIT. Istilah hukum jaminan berasal dari terjemahan zakerheidesstelling, BAB II TINJAUAN UMUM MENGENAI HUKUM JAMINAN KREDIT A. Pengertian Hukum Jaminan Kredit Istilah hukum jaminan berasal dari terjemahan zakerheidesstelling, zekerheidsrechten atau security of law. Dalam Keputusan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG WANPRESTASI KARENA FORCE MAJEURE DALAM PERJANJIAN

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG WANPRESTASI KARENA FORCE MAJEURE DALAM PERJANJIAN 20 BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG WANPRESTASI KARENA FORCE MAJEURE DALAM PERJANJIAN 1.1 Wanprestasi 2.1.1 Pengertian Dan Dasar Hukum Wanprestasi Perkataan wanprestasi berasal dari Bahasa Belanda yang artinya

Lebih terperinci

PELAKSANAAN PERJANJIAN ANTARA AGEN DENGAN PEMILIK PRODUK UNTUK DI PASARKAN KEPADA MASYARAKAT. Deny Slamet Pribadi

PELAKSANAAN PERJANJIAN ANTARA AGEN DENGAN PEMILIK PRODUK UNTUK DI PASARKAN KEPADA MASYARAKAT. Deny Slamet Pribadi 142 PELAKSANAAN PERJANJIAN ANTARA AGEN DENGAN PEMILIK PRODUK UNTUK DI PASARKAN KEPADA MASYARAKAT Deny Slamet Pribadi Dosen Fakultas Hukum Universitas Mulawarman Samarinda ABSTRAK Dalam perjanjian keagenan

Lebih terperinci

HUKUM PERJANJIAN & PERIKATAN HUBUNGAN BISNIS ANDRI HELMI M, SE., MM.

HUKUM PERJANJIAN & PERIKATAN HUBUNGAN BISNIS ANDRI HELMI M, SE., MM. HUKUM PERJANJIAN & PERIKATAN HUBUNGAN BISNIS ANDRI HELMI M, SE., MM. PERIKATAN & PERJANJIAN Perikatan adalah suatu perhubungan hukum antara dua orang berdasarkan mana yang satu berhak menuntut hal dari

Lebih terperinci

BAB II PERJANJIAN PADA UMUMNYA. lebih. Perjanjian telah diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata

BAB II PERJANJIAN PADA UMUMNYA. lebih. Perjanjian telah diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata BAB II PERJANJIAN PADA UMUMNYA A. Pengertian Perjanjian Perjanjian merupakan suatu kata yang sudah tidak asing lagi bagi kita. Dengan mendengar sebuah kata perjanjian maka kita akan langsung berfikir bahwa

Lebih terperinci

TEKNIK PENYUSUNAN KONTRAK

TEKNIK PENYUSUNAN KONTRAK TEKNIK PENYUSUNAN KONTRAK Sularto MHBK UGM PERISTILAHAN Kontrak sama dengan perjanjian obligatoir Kontrak sama dengan perjanjian tertulis Perjanjian tertulis sama dengan akta Jadi antara istilah kontrak,

Lebih terperinci

URGENSI PERJANJIAN DALAM HUBUNGAN KEPERDATAAN. Rosdalina Bukido 1. Abstrak

URGENSI PERJANJIAN DALAM HUBUNGAN KEPERDATAAN. Rosdalina Bukido 1. Abstrak URGENSI PERJANJIAN DALAM HUBUNGAN KEPERDATAAN Rosdalina Bukido 1 Abstrak Perjanjian memiliki peran yang sangat penting dalam hubungan keperdataan. Sebab dengan adanya perjanjian tersebut akan menjadi jaminan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. manusia menjadi hal yang tidak terelakkan, terutama dalam memenuhi kebutuhan

BAB I PENDAHULUAN. manusia menjadi hal yang tidak terelakkan, terutama dalam memenuhi kebutuhan 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah. Pada saat ini dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan tehnologi maka hubungan antar manusia menjadi hampir tanpa batas, karena pada dasarnya manusia adalah

Lebih terperinci

BAB II PERJANJIAN DAN AKIBAT HUKUMNYA

BAB II PERJANJIAN DAN AKIBAT HUKUMNYA BAB II PERJANJIAN DAN AKIBAT HUKUMNYA E. Pengertian Perjanjian Pasal 1313 KUH Perdata berbunyi: Suatu persetujuan adalah suatu perbuatan dengan mana 1 (satu) orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap

Lebih terperinci

BAB II PERJANJIAN KERJASAMA PENJUALAN VOUCHER HOTEL ANTARA PT. EKA SUKMA TOUR DENGAN HOTEL JW MARRIOT MEDAN

BAB II PERJANJIAN KERJASAMA PENJUALAN VOUCHER HOTEL ANTARA PT. EKA SUKMA TOUR DENGAN HOTEL JW MARRIOT MEDAN 32 BAB II PERJANJIAN KERJASAMA PENJUALAN VOUCHER HOTEL ANTARA PT. EKA SUKMA TOUR DENGAN HOTEL JW MARRIOT MEDAN A. Perjanjian Kerjasama dalam Praktek Travel 1. Perjanjian Kerjasama Perjanjian merupakan

Lebih terperinci

BAB II HUKUM PERJANJIAN SECARA UMUM. A. Pengertian Umum Tentang Perjanjian. kewajiban dalam lapangan harta kekayaan. Rumusan tersebut membawa

BAB II HUKUM PERJANJIAN SECARA UMUM. A. Pengertian Umum Tentang Perjanjian. kewajiban dalam lapangan harta kekayaan. Rumusan tersebut membawa BAB II HUKUM PERJANJIAN SECARA UMUM A. Pengertian Umum Tentang Perjanjian Sebelum penulis menguraikan apa itu perjanjian, ada baiknya jika penulis membicarakan dulu apa yang dimaksud dengan perikatan.

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN PENITIPAN BARANG DAN PERJANJIAN MELAKUKAN JASA TERTENTU

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN PENITIPAN BARANG DAN PERJANJIAN MELAKUKAN JASA TERTENTU BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN PENITIPAN BARANG DAN PERJANJIAN MELAKUKAN JASA TERTENTU A. Perjanjian 1. Pengertian Perjanjian Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, perjanjian adalah persetujuan

Lebih terperinci

BAB III TINJAUAN UMUM TENTANG PEMBORONGAN KERJA. 1. Perjanjian untuk melakukan jasa-jasa tertentu; 2. Perjanjian kerja/perburuhan dan;

BAB III TINJAUAN UMUM TENTANG PEMBORONGAN KERJA. 1. Perjanjian untuk melakukan jasa-jasa tertentu; 2. Perjanjian kerja/perburuhan dan; BAB III TINJAUAN UMUM TENTANG PEMBORONGAN KERJA A. Pengertian Pemborongan Kerja Undang-undang membagi perjanjian untuk melakukan pekerjaan dalam tiga macam yaitu : 1. Perjanjian untuk melakukan jasa-jasa

Lebih terperinci

ASPEK HUKUM PERSONAL GUARANTY. Atik Indriyani*) Abstrak

ASPEK HUKUM PERSONAL GUARANTY. Atik Indriyani*) Abstrak ASPEK HUKUM PERSONAL GUARANTY Atik Indriyani*) Abstrak Personal Guaranty (Jaminan Perorangan) diatur dalam buku III, bab XVII mulai pasal 1820 sampai dengan pasal 1850 KUHPerdata tentang penanggungan utang.

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM MENGENAI PERJANJIAN. A. Pengertian Perjanjian dan Unsur-Unsur Perjanjian

BAB II TINJAUAN UMUM MENGENAI PERJANJIAN. A. Pengertian Perjanjian dan Unsur-Unsur Perjanjian BAB II TINJAUAN UMUM MENGENAI PERJANJIAN A. Pengertian Perjanjian dan Unsur-Unsur Perjanjian 1. Pengertian Perjanjian Perjanjian adalah salah satu sumber perikatan. Perjanjian melahirkan perikatan yang

Lebih terperinci

BAB III TINJAUAN PUSTAKA

BAB III TINJAUAN PUSTAKA BAB III TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian Perjanjian Pasal 1313 KUH Perdata berbunyi: Suatu persetujuan adalah suatu perbuatan dengan mana 1 (satu) orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap 1 (satu) orang

Lebih terperinci

BAB 4 ANALISIS PERJANJIAN NOMINEE

BAB 4 ANALISIS PERJANJIAN NOMINEE 60 BAB 4 ANALISIS PERJANJIAN NOMINEE SAHAM SEBAGAI PERJANJIAN INNOMINAAT TERHADAP UNDANG-UNDANG NOMOR 40 TAHUN 2007 TENTANG PERSEROAN TERBATAS DAN KUH PERDATA SERTA EFEKTIVITAS PENEGAKKAN HUKUMNYA 4.1

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG ASAS SUBROGASI DAN PERJANJIANASURANSI

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG ASAS SUBROGASI DAN PERJANJIANASURANSI BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG ASAS SUBROGASI DAN PERJANJIANASURANSI 2.1 Asas Subrogasi 2.1.1 Pengertian asas subrogasi Subrogasi ini terkandung dalam ketentuan Pasal 284 Kitab Undang- Undang Hukum Dagang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Manusia di dalam kehidupannya mempunyai bermacam-macam kebutuhan

BAB I PENDAHULUAN. Manusia di dalam kehidupannya mempunyai bermacam-macam kebutuhan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Manusia di dalam kehidupannya mempunyai bermacam-macam kebutuhan dalam hidupnya. Kebutuhan itu berfungsi untuk mempertahankan kelangsungan hidupnya. Oleh karena itu

Lebih terperinci

BAB II TENTANG PERJANJIAN. A. Pengertian Perjanjian dan Asas-Asas Hukum Perjanjian

BAB II TENTANG PERJANJIAN. A. Pengertian Perjanjian dan Asas-Asas Hukum Perjanjian BAB II TENTANG PERJANJIAN A. Pengertian Perjanjian dan Asas-Asas Hukum Perjanjian Berdasarkan Pasal 1313 KUHPerdata : Perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI

BAB II LANDASAN TEORI BAB II LANDASAN TEORI 2.1.Uraian Teori Beberapa teori akan dipakai sebagai acuan dalam penelitian ini, yaitu pengertian perjanjian, pembiayaan leasing dan teori fidusia. 2.1.1. Tinjauan Umum Tentang Perjanjian

Lebih terperinci

A. Pengertian dan Akibat Hukum Dari Suatu Perjanjian Pada Umumnya. lain dalam memenuhi kebutuhan hidup. Hubungan ini tentunya tidak selamanya dengan

A. Pengertian dan Akibat Hukum Dari Suatu Perjanjian Pada Umumnya. lain dalam memenuhi kebutuhan hidup. Hubungan ini tentunya tidak selamanya dengan A. Pengertian dan Akibat Hukum Dari Suatu Perjanjian Pada Umumnya Kehidupan manusia tidak dapat terlepas dari hubungan kausal dengan manusia lain dalam memenuhi kebutuhan hidup. Hubungan ini tentunya tidak

Lebih terperinci

EKSEKUSI OBJEK JAMINAN FIDUSIA

EKSEKUSI OBJEK JAMINAN FIDUSIA EKSEKUSI OBJEK JAMINAN FIDUSIA A. PENDAHULUAN Pada era globalisasi ekonomi saat ini, modal merupakan salah satu faktor yang sangat dibutuhkan untuk memulai dan mengembangkan usaha. Salah satu cara untuk

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Perjanjian A.1 Pengertian perjanjian Perjanjian merupakan salah satu sumber perikatan, hal ini berdasarkan bahwa perikatan dapat lahir karena perjanjian dan undang undang. Sebagaimana

Lebih terperinci