BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN PENITIPAN BARANG DAN PERJANJIAN MELAKUKAN JASA TERTENTU

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN PENITIPAN BARANG DAN PERJANJIAN MELAKUKAN JASA TERTENTU"

Transkripsi

1 BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN PENITIPAN BARANG DAN PERJANJIAN MELAKUKAN JASA TERTENTU A. Perjanjian 1. Pengertian Perjanjian Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, perjanjian adalah persetujuan tertulis atau dengan lisan yang dibuat oleh dua pihak atau lebih, masing-masing bersepakat akan menaati apa yang tersebut dalam persetujuan itu. 15 Pengertian dari perjanjian dapat ditemukan di dalam Buku III Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata) tentang Perikatan Pasal Pasal 1313 KUHPerdata menyebutkan: "suatu perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih." Definisi perjanjian menurut Pasal 1313 KUHPerdata ini tidak jelas. Tidak jelasnya definisi ini disebabkan di dalam rumusan tersebut hanya disebutkan perbuatan saja, sehingga yang bukan perbuatan hukum pun disebut dengan perjanjian. 16 Perjanjian adalah sumber perikatan, disamping sumber-sumber lainnya. Suatu perjanjian juga dinamakan persetujuan, karena dua pihak 15 Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Ikthasar Indonesia Edisi Ketiga, Jakarta: Balai Pustaka, 2005, hal Salim H.S., 2002, Pengantar Hukum Perdata Tertulis (BW), Jakarta: Sinar Grafika, hal

2 21 atau lebih itu setuju untuk membuat perjanjian. Dapat dikatakan bahwa dua perkataan (perjanjian dan persetujuan) itu adalah sama artinya. 17 Adapula yang berpendapat bahwa perjanjian tidak sama dengan persetujuan. Perjanjian merupakan terjemahan dari oveereenkomst sedangkan perjanjian merupakan terjemahan dari toestemming yang ditafsirkan sebagai wilsovereenstemming (persesuaian kehendak/ kata sepakat). 18 Perbedaan pandangan dari para sarjana tersebut diatas, timbul karena adanya sudut pandang yang berbeda, yaitu pihak yang satu melihat objeknya dari perbuatan yang dilakukan subyek hukumnya. Sedangkan pihak yang lain meninjau dari hubungan hukumnya. Hal itu menyebabkan banyak sarjana yang memberikan batasan sendiri mengenai istilah perjanjian tersebut. Menurut pendapat yang banyak dianut (communis opinion cloctortinz) perjanjian adalah perbuatan hukum berdasarkan kata sepakat untuk menimbulkan suatu akibat hukum. Hal itu sependapat pula dengan Sudikno, yang berpendapat bahwa perjanjian merupakan hubungan hukum antara dua pihak atau lebih berdasar kata sepakat untuk menimbulkan suatu akibat hukum. 19 Menurut Subekti, suatu perjanjian merupakan suatu peristiwa dimana seseorang berjanji kepada orang lain, atau di mana dua orang saling berjanji untuk melaksanakan sesuatu hal. 20 R. Setiawan, menyebutkan bahwa perjanjian ialah suatu perbuatan hukum dimana satu hal Subekti, loc.cit. 18 Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia, Yogyakarta: Liberty, 1985, 19 Ibid, hal Subekti, Pokok-Pokok Hukum Perdata, Jakarta: PT. Intermasa, 2001, hal. 36.

3 22 orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang atau lebih. 21 Sri Soedewi Masjchoen Sofwan, berpendapat bahwa perjanjian merupakan perbuatan hukum dimana seseorang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap seorang lain atau lebih. 22 Pendapat lainnya yaitu menurut M. Yahya Harahap mengemukakan perjanjian mengandung suatu hubungan hukum kekayaan atau harta benda antara dua orang atau lebih, yang memberi kekuatan hak pada satu pihak untuk memperoleh prestasi sekaligus mewajibkan pada pihak lain untuk menunaikan prestasi. 23 Menurut Wirjono Prodjokoro, yang dimaksud dengan perjanjian adalah sebagai suatu hubungan hukum mengenai harta benda antara dua pihak, dalam mana satu pihak berjanji atau dianggap berjanji untuk melakukan sesuatu hal atau tidak melakukan sesuatu hal, sedangkan pihak lain berhak menuntut pelaksanaan janji itu. 24 Dari pendapat-pendapat di atas, maka pada dasarnya perjanjian adalah proses interaksi atau hubungan hukum dan dua perbuatan hukum yaitu penawaran oleh pihak yang satu dan penerimaan oleh pihak yang lainnya sehingga tercapai kesepakatan untuk menentukan isi perjanjian yang akan mengikat kedua belah pihak. Selanjutnya pengertian perjanjian yang dibahas pada Pasal 1313 KUHPerdata, ternyata mendapat kritik dari para sarjana karena 21 R. Setiawan, Hukum Perikatan-Perikatan Pada Umumnya, Bandung: Bina Cipta, 1987, hal Sri Sofwan Masjchoen, Hukum Jaminan di Indonesia, Yogyakarta: Liberty Offset, 2003, hal M. Yahya Harahap, Segi-Segi Hukum Perjanjian, Bandung: Alumni, 1986, hal Wirjono Prodjokoro, Asas-asas Hukum Perjanjian, Bandung: Sumur, 1981, hal. 9.

4 23 mengandung kelemahan-kelemahan. Sehingga di dalam prakteknya menimbulkan berbagai keberatan sebab di satu pihak batasan tersebut sangat kurang lengkap, namun di pihak lain terlalu luas. Rumusan pengertian tentang perjanjian menurut Pasal 1313 KUHPerdata tersebut memberikan konsekuensi hukum bahwa dalam suatu perjanjian akan selalu ada dua pihak, di mana satu pihak adalah pihak yang wajib berprestasi (debitor) dan pihak lainnya adalah pihak yang berhak atas prestasi tersebut (kreditor). Dari pengertian perjanjian menurut Pasal 1313 KUHPerdata tersebut mengandung unsur: a) Perbuatan Penggunaan kata "perbuatan" pada perumusan tentang perjanjian ini lebih tepat jika diganti dengan kata perbuatan hukum atau tindakan hukum, karena perbuatan tersebut membawa akibat hukum bagi para pihak yang memperjanjikan; b) Satu orang atau lebih terhadap satu orang lain atau lebih Untuk adanya suatu perjanjian, paling sedikit harus ada dua pihak yang saling berhadap-hadapan dan saling memberikan pernyataan yang cocok/pas satu sama lain. Pihak tersebut adalah orang atau badan hukum. c) Mengikatkan dirinya Di dalam perjanjian terdapat unsur janji yang diberikan oleh pihak yang satu kepada pihak yang lain. Dalam perjanjian ini orang terikat kepada akibat hukum yang muncul karena kehendaknya sendiri.

5 24 Sebelum suatu perjanjian disusun perlu diperhatikan identifikasi para pihak, penelitian awal tentang masing-masing pihak sampai dengan konsekuensi yuridis yang dapat terjadi pada saat perjanjian tersebut dibuat. 25 Setelah subjek hukum dalam perjanjian telah jelas, termasuk mengenai kewenangan hukum masing-masing pihak, maka pembuat perjanjian harus menguasai materi atas perjanjian yang akan dibuat oleh para pihak. Dua hal paling penting dalam perjanjian adalah objek dan hakikat daripada perjanjian serta syarat-syarat atau ketentuan yang disepakati Syarat Sahnya Perjanjian Tiap-tiap perjanjian mempunyai dasar pembentukan. Ilmu hukum mengenal empat unsur pokok yang harus ada agar suatu perbuatan hukum dapat disebut dengan perjanjian yang sah, menurut Pasal 1320 KUHPerdata, sahnya perjanjian harus memenuhi empat syarat yaitu: 1) Sepakat untuk mengikatkan diri; 2) Kecakapan untuk membuat suatu perjanjian; 3) Suatu hal tertentu; 4) Sebab yang halal. Berikut ini akan penulis uraikan lebih lanjut mengenai syarat sahnya perjanjian diatas: 25 Salim H.S. dkk, Perancangan Kontrak dan Memorandum of Understanding (MoU), Jakarta: Sinar Grafika, 2007, hal Ibid, hal. 120.

6 25 Ad.1. Sepakat untuk mengikat diri Sepakat maksudnya adalah bahwa para pihak yang mengadakan perjanjian itu harus bersepakat, setuju untuk seia sekata mengenai segala sesuatu yang diperjanjikan. Kata sepakat ini harus diberikan secara bebas, artinya tidak ada pengaruh dipihak ketiga dan tidak ada gangguan. Sepakat atau dinamakan juga perizinan, bahwa kedua belah pihak, dalam suatu perjanjian harus mempunyai kehendak yang bebas untuk mengikatkan diri pada yang lain. Kehendak ini dapat dinyatakan dengan tegas atau secara diam-diam. Kehendak yang bebas ini dianggap tidak ada jika perjanjian itu terjadi karena paksaan (dwang), kehilafan (dwaling), atau penipuan (bedrog). 27 Dengan diperlakukannnya kata sepakat mengadakan perjanjian, maka berarti bahwa kedua belah pihak haruslah mempunyai kebebasan kehendak. Para pihak tidak mendapat sesuatu tekanan yang mengakibatkan adanya cacat bagi perwujudan kehendak tersebut. 28 Pengertian sepakat dilukiskan sebagai pernyataan kehendak yang disetujui antara para pihak. Pernyataan pihak yang menawarkan dinamakan tawaran (offerte). Pernyataan pihak yang menerima tawaran dinamakan akseptasi (acceptatie). Ada beberapa teori yang menjelaskan saat-saat terjadinya perjanjian antara pihak, yaitu: 27 Juajir Sumardi, Aspek-aspek Hukum Perjanjian, Bandung: Citra Aditya Bakti, 1995, hal Mariam Darus Badrulzaman, Sutan Remy Sjahdeini, Heru Soepraptomo, Faturrahman Djamil, dan Taryana Soenandar, Kompilasi Hukum Perikatan, Jakarta: Citra Aditya Bakti, 2001, hal. 73.

7 26 a. Teori kehendak (willtheorie) mengajarkan bahwa kesepakatan terjadi pada saat kehendak pihak penerima dinyatakan, misalnya dengan menuliskan surat. b. Teori pengiriman (verzendtheorie) mengajarkan bahwa kesepakatan terjadi pada saat kehendak yang dinyatakan itu dikirim oleh pihak yang menerima tawaran. c. Teori pengetahuan (vernemingstheorie) mengajarkan bahwa pihak yang menawarkan seharusnya sudah mengetahui tawarannya diterima. d. Teori kepercayaan (vertrouwenstheorie) mengajarkan bahwa kesepakatan itu terjadi pada saat pernyataan kehendak dianggap layak diterima oleh pihak yang menawarkan. 29 Ad.2. Kecakapan untuk membuat suatu perjanjian; Kecakapan adalah adanya kecakapan untuk membuat suatu perjanjian. Menurut hukum, kecakapan termasuk kewenangan untuk melakukan tindakan hukum pada umumnya, dan menurut hukum setiap orang adalah cakap untuk membuat perjanjian kecuali orang-orang yang menurut undang-undang dinyatakan tidak cakap. Orang-orang yang tidak cakap untuk membuat perjanjian menurut Pasal 1330 KUHPerdata adalah sebagai berikut: 29 Ibid, hal. 74.

8 27 a. Orang-orang yang belum dewasa Ketentuan mengenai orang-orang yang belum dewasa terdapat perbedaan antara satu undang-undang dengan undang-undang lainnya, yaitu: Dasar Hukum Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek) UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan UU No. 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak Pasal Pasal 330, Belum dewasa adalah mereka yang belum mencapai umur genap dua puluh satu tahun dan tidak kawin sebelumnya. Pasal 47, Anak yang dimaksud dalam UU Perkawinan adalah yang belum mencapai 18 tahun. Pasal 1 angka 26, Anak adalah setiap orang yang berumur di bawah 18 (delapan belas) tahun. Pasal 1, Anak adalah orang yang dalam perkara anak nakal telah mencapai umur 8 (delapan) tahun tetapi belum mencapai umur 18 (delapan belas) tahun dan belum pernah kawin. Pasal 1 angka 5 Anak adalah setiap manusia yang berumur di bawah 18 (delapan belas) tahun dan belum menikah, termasuk anak yang masih dalam kandungan apabila hal tersebut adalah demi kepentingannya. Pasal 1 ayat (1) Anak adalah seseorang yang belum berumur 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan. Tabel Umur Anak/ Belum dewasa Diana Kusumasari, Perbedaan Batasan Usia Cakap Hukum dalam Peraturan Perundang-Undangan, diakses pada tanggal 19 Januari 2017, pukul WIB.

9 28 Adapun dari tabel diatas, maka apabila seseorang belum memenuhi ketentuan dikatakan sudah dewasa maka ia belum cakap bertindak dalam hukum termasuk untuk membuat suatu perjanjian. b. Mereka yang ditaruh di bawah pengampuan (curatele) Orang-orang yang berada di bawah pengampuan adalah setiap orang yang berada dalam keadaan dungu, sakit otak, gelap mata, dan pemboros. 31 Orang yang sudah dewasa, yang menderita sakit ingatan menurut undang-undang harus ditaruh di bawah pengampuan atau curatele. Selanjutnya diterangkan, bahwa seorang dewasa juga dapat ditaruh dibawah curatele dengan alasan bahwa ia mengobralkan kekayaannya. Kedudukan seorang yang telah dewasa ditaruh di bawah curatele, sama seperti orang yang belum dewasa. Ia tak dapat lagi melakukan perbuatan-perbuatan hukum secara sah. Akan tetapi seorang yang ditaruh di bawah curatele atas alasan mengobralkan kekayaannya, menurut undang-undang masih dapat membuat testamen dan juga masih dapat melakukan perkawinan serta membuat perjanjian perkawinan, meskipun untuk perkawinan ini ia harus selalu mendapat izin dan bantuan curator (orang yang mengampu) serta weeskamer (Balai Harta Peninggalan). Bahwa seorang yang ditaruh di bawah curatele atas alasan sakit ingatan tidak dapat membuat suatu testamen dan juga tidak dapat melakukan perkawinan tidak usah diterangkan lagi, karena untuk 31 Ahmadi Miru, Hukum Kontrak & Perancangan Kontrak, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2007, hal

10 29 perbuatan-perbuatan tersebut diperlukan pikiran yang sehat dan kemauan yang bebas. 32 c. Orang perempuan dalam hal-hal yang ditetapkan oleh undang-undang telah dilarang membuat perjanjian-perjanjian tertentu. 33 Baik yang belum dewasa maupun masih dibawah pengampuan apabila mereka akan melakukan perbuatan hukum harus diwakilkan oleh wali mereka. Ketentuan dalam KUHPerdata dalam Pasal 108 dan 110 mengenai seorang perempuan bersuami pada saat melakukan perbuatan hukum harus mendapat izin dari suaminya sudah tidak berlaku lagi, yaitu berdasarkan Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) Nomor 3 Tahun 1963, yang menyatakan "Pasal-Pasal 108 dan 110 B.W. tentang wewenang seorang istri untuk melakukan perbuatan hukum dan untuk menghadap di muka Pengadilan tanpa izin atau bantuan dari suami. Dengan demikian tentang hal ini tidak ada lagi perbedaan diantara semua Warga Negara Indonesia". Selain itu juga sudah diperkuat menurut ketentuan Pasal 31 Undang-Undang No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yang ayat (1) menyatakan "Hak dan kedudukan istri adalah seimbang dengan hak dan kedudukan suami dalam kehidupan rumah tangga dan pergaulan hidup bersama dalam masyarakat". Dan ayat (2) yang menyatakan "masingmasing pihak berhak untuk melakukan perbuatan hukum". 32 Subekti, Pokok-Pokok Hukum Perdata, op.cit, hal Subekti, Hukum Perjanjian, op.cit, hal. 17.

11 30 Ad.3. Suatu hal tertentu Syarat ketiga untuk sahnya perjanjian bahwa suatu perjanjian harus mengenai oleh suatu hal tertentu yang merupakan pokok perjanjian yaitu objek perjanjian. Suatu hal tertentu berkaitan dengan objek perjanjian (Pasal 1332 sampai dengan Pasal 1334 KUHPerdata). Objek perjanjian yang dapat dikategorikan dalam Pasal 1332 sampai dengan Pasal 1334 adalah: 1. Objek yang akan ada, asalkan dapat ditentukan jenis dan dapat dihitung. 2. Objek yang dapat diperdagangkan (barang-barang yang dipergunakan untuk kepentingan umum tidak dapat menjadi objek perjanjian). 34 Perjanjian yang objeknya tidak jelas karena tidak dapat ditentukan jenisnya, atau tidak dapat diperdagangkan, atau tidak dapat dinilai dengan uang, atau yang tidak mungkin dilakukan, menjadi batal demi hukum. Syarat ini diperlukan untuk dapat menentukan kewajiban debitur jika terjadi perselisihan. Pasal 1333 KUHPerdata menyatakan bahwa suatu perjanjian harus mempunyai sebagai suatu pokok yang paling sedikit ditetapkan jenisnya, tidaklah menjadi halangan bahwa suatu barang tidak ditentukan/tertentu, asalkan saja jumlahnyakemudian dapat ditentukan/ dihitung, dalam Pasal 1334 KUHPerdata barang-barang yang baru akan ada dikemudian hari dapat menjadi pokok perjanjian, dengan hal ini jelas bahwa yang dapat menjadi pokok perjanjian adalah barang-barang yang sudah ada dan baru akan ada Mariam Darus Badrulzaman, KUHPERDATA Buku III, Bandung: Alumni, 2006, hal.

12 31 Ad.4. Suatu sebab yang halal Perkataan sebab merupakan padanan kata dari bahasa Belanda oorzaak dan bahasa latin causa. 35 Sebab ialah tujuan antara dua belah pihak yang mempunyai maksud untuk mencapainya. Menurut Pasal 1337 KUHPerdata, sebab yang tidak halal ialah jika ia dilarang oleh undangundang, bertentangan dengan tata susila atau ketertiban. 36 Menurut Pasal 1335 KUHPerdata, perjanjian tanpa sebab yang palsu atau dilarang tidak mempunyai kekuatan atau batal demi hukum. Dengan demikian tidak ada dasar menuntut pemenuhan perjanjian dimuka hakim karena semula dianggap tidak ada perjanjian. Apabila perjanjian yang dibuat tidak ada causa maka tidak ada suatu perjanjian. Dari keempat syarat sahnya suatu perjanjian tersebut diatas, harus benar-benar dipenuhi didalam membuat suatu perjanjian. Pada dua syarat yang pertama yaitu kesepakatan dan kecakapan yang disebut syarat-syarat subyektif. Sedangkan dua syarat yang terakhir dinamakan syarat objektif, karena mengenai perjanjian itu sendiri atau obyek dari perbuatan hukum yang dilakukan. 37 Apabila syarat kesatu dan kedua (syarat subjektif) tidak dipenuhi, maka perjanjian tersebut dapat dibatalkan, artinya salah satu pihak dapat meminta pada Hakim agar perjanjian itu dibatalkan sedangkan apabila syarat ketiga dan keempat (syarat objektif) tidak dipenuhi, maka perjanjian itu batal demi hukum artinya sejak semula tidak pernah dilahirkan suatu perjanjian. 35 Wirjono Prodjodikoro, op.cit, hal Juajir Sumardi, op.cit, hal Ali Hasymi, Hukum Asuransi Indonesia, Jakarta: Sinar Grafika Offset, 2011, hal.56.

13 32 3. Asas-Asas Perjanjian Dalam hukum perjanjian dikenal berbagai asas. Arti asas secara etimologi adalah dasar yaitu sesuatu yang menjadi tumpuan berpikir atau berpendapat. 38 Menurut Mahadi, bahwa asas adalah sesuatu yang dapat dijadikan sebagai alas, sebagai dasar, sebagai tumpuan, sebagai tempat untuk menyandarkan, untuk mengembalikan sesuatu hal, yang hendak dijelaskan. 39 Di dalam suatu hukum kontrak terdapat 5 (lima) asas yang dikenal menurut hukum perdata, sebagaimana halnya dengan perjanjian pada umumnya yang diatur dalam KUHP Perdata, asas itu antara lain adalah: 1) Asas kebebasan berkontrak (Freedom of Contract) Asas kebebasan berkontrak dapat dianalisis dari ketentuan Pasal 1338 ayat (1) KUHPerdata, yang berbunyi: Semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya. Asas ini merupakan suatu asas yang memberikan kebebasan kepada para pihak untuk: a. Membuat atau tidak membuat perjanjian; b. Mengadakan perjanjian dengan siapa pun; c. Menentukan isi perjanjian, pelaksanaan, dan persyaratannya; d. Menentukan bentuk perjanjiannya apakah tertulis atau lisan. 40 Dipertegas kembali dengan ketentuan ayat 2 yang menyatakan bahwa perjanjian yang disepakati tidak dapat ditarik kembali secara sepihak oleh salah satu pihak dalam perjanjian tersebut tanpa adanya 38 Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, 1990, hal Mahadi, Falsafah Hukum Suatu Pengantar, Bandung: Citra Aditya Bakti, 1989, hal Ali Hasymi, op.cit, hal.69.

14 33 persetujuan dari lawan pihak atau dalam dimana oleh undang-undang dinyatakan cukup adanya alasan itu. 2) Asas konsensualisme (Concensualism) Asas konsensualisme dapat disimpulkan dalam Pasal 1320 ayat (1) KUHPerdata. Pada pasal tersebut ditentukan bahwa salah satu syarat sahnya perjanjian adalah adanya kata kesepakatan antara kedua belah pihak. Asas ini merupakan asas yang menyatakan bahwa perjanjian pada umumnya tidak diadakan secara formal, melainkan cukup dengan adanya kesepakatan kedua belah pihak. 3) Asas kepastian hukum (Pacta Sunt Servanda) Asas kepastian hukum atau disebut juga dengan asas pacta sunt servanda merupakan asas yang berhubungan dengan akibat perjanjian. Asas pacta sunt servanda merupakan asas bahwa hakim atau pihak ketiga harus menghormati substansi kontrak yang dibuat oleh para pihak, sebagaimana layaknya sebuah undang-undang. Mereka tidak boleh melakukan intervensi terhadap substansi kontrak yang dibuat oleh para pihak. 41 Pasal 1338 KUHPerdata menetapkan bahwa segala perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang untuk mereka yang membuatnya. Perjanjian itu pada umumnya tidak dapat ditarik kembali, kecuali dengan persetujuan kedua belah pihak atau berdasarkan alasan- 41 Abdul Kadir Muhammad, Hukum Perikatan, Bandung: Citra Aditya Bakti, 1990, hal.70.

15 34 alasan yang ditetapkan oleh undang-undang. Adakalanya juga suatu perjanjian, meskipun dengan persetujuan bersama tidak boleh dicabut kembali. Misalnya perjanjian perkawinan (Pasal 149 KUHPerdata), penarikan kembali atau pengakhiran oleh suatu pihak hanyalah mungkin dalam perjanjian-perjanjian di mana hal itu diizinkan. Biasanya dalam perjanjian-perjanjian yang kedua pihak terikat untuk suatu waktu yang tidak tertentu, dibolehkan pengakhiran oleh salah satu pihak dengan tidak usah menyebutkan sesuatu alasan. Misalnya dalam perjanjian kerja dan perjanjian penyuruhan (pemberian kuasa). 42 4) Asas itikad baik (Good Faith) Asas itikad baik tercantum dalam Pasal 1338 ayat (3) KUHPerdatayang berbunyi: Perjanjian harus dilaksanakan dengan itikad baik. Maksud kalimat ini bahwa cara menjalankan suatu perjanjian tidak boleh bertentangan dengan kepatutan dan keadilan 43. Asas ini merupakan asas bahwa para pihak, yaitu pihak kreditur dan debitur harus melaksanakan substansi kontrak berdasarkan kepercayaan atau keyakinan yang teguh maupun kemauan baik dari para pihak. Asas itikad baik terbagi menjadi dua macam, yakni itikad baik nisbi dan itikad baik mutlak. 44 Pada itikad yang pertama, seseorang memperhatikan sikap dan ingkah laku yang nyata dari subjek. Pada itikad yang kedua, penilaian terletak pada akal sehat dan keadilan serta dibuat ukuran yang obyektif untuk menilai keadaan (penilaian tidak memihak) menurut norma-norma yang objektif. 42 Subekti, Pokok-Pokok Hukum Perdata, op.cit, hal Ibid., hal Ibid,. hal.70.

16 35 5) Asas kepribadian (Personality) Asas kepribadian merupakan asas yang menentukan bahwa seseorang yang akan melakukan dan/ atau membuat kontrak hanya untuk kepentingan perseorangan saja. Hal ini dapat dilihat dalam Pasal 1315 dan Pasal 1340 KUHPerdata. Pasal 1315 KUHPerdata menegaskan: Pada umumnya seseorang tidak dapat mengadakan perikatan atau perjanjian selain untuk dirinya sendiri. Inti ketentuan ini sudah jelas bahwa untuk mengadakan suatu perjanjian, orang tersebut harus untuk kepentingan dirinya sendiri. Pasal 1340 KUHPerdata berbunyi: Perjanjian hanya berlaku antara pihak yang membuatnya. Hal ini mengandung maksud bahwa perjanjian yang dibuat oleh para pihak hanya berlaku bagi mereka yang membuatnya. Namun demikian, ketentuan itu terdapat pengecualiannya sebagaimana dalam Pasal 1317 KUHPerdata yang menyatakan: Dapat pula perjanjian diadakan untuk kepentingan pihak ketiga, bila suatu perjanjian yang dibuat untuk diri sendiri, atau suatu pemberian kepada orang lain, mengandung suatu syarat semacam itu. Pasal ini mengkonstruksikan bahwa seseorang dapat mengadakan perjanjian/ kontrak untuk kepentingan pihak ketiga, dengan adanya suatu syarat yang ditentukan. Sedangkan di dalam Pasal 1318 KUHPerdata, tidak hanya mengatur perjanjian untuk diri sendiri, melainkan juga untuk kepentingan ahli warisnya dan untuk orang-orang yang memperoleh hak daripadanya. Kedua pasal itu jika dibandingkan, maka Pasal 1317 KUHPerdata mengatur tentang perjanjian untuk pihak ketiga, sedangkan dalam Pasal

17 KUHPerdata untuk kepentingan dirinya sendiri, ahli warisnya dan orang-orang yang memperoleh hak dari yang membuatnya. Dengan demikian, Pasal 1317 KUHPerdata mengatur tentang pengecualiannya, sedangkan Pasal 1318 KUHPerdata memiliki ruang lingkup yang luas. 45 Selain kelima asas di atas, Mariam Darus Badrulzaman (dkk) dalam bukunya Kompilasi Hukum Perikatan mengemukakan beberapa asas lain yang diatur dalam KUH Perdata yaitu: 6) Asas kepercayaan (vertrouwensbeginsel) Seseorang yang mengadakan perjanjian dengan pihak lain menumbuhkan kepercayaan di antara kedua belah pihak itu bahwa satu sama lain akan memegang janjinya, dengan kata lain akan memenuhi prestasinya di belakang hari. Tanpa adanya kepercayaan itu, maka perjanjian itu tidak mungkin akan diadakan oleh para pihak. Dengan kepercayaan ini, kedua pihak mengikatkan dirinya dan untuk keduanya perjanjian itu mempunyai kekuatan mengikat sebagai undang-undang. 7) Asas persamaan hukum Asas ini menempatkan para pihak di dalam persamaan derajat, tidak ada perbedaan, walaupun ada perbedaan kulit, bangsa, kekayaan, kekuasaan, jabatan, dan lain-lain. Masing-masing pihak wajib melihat adanya persamaan ini dan mengharuskan kedua pihak untuk menghormati satu sama lain sebagai manusia ciptaan Tuhan. 45 Juanjir Sunardi, op.cit, hal. 101.

18 37 8) Asas keseimbangan Asas ini menghendaki kedua pihak memenuhi dan melaksanakan perjanjian itu. Asas keseimbangan ini merupakan kelanjutan dari asas persamaan. Kreditur mempunyai kekuatan untuk menuntut prestasi dan jika diperlukan dapat menuntut pelunasan prestasi melalui kekayaan debitur, namun kreditur memikul pula beban untuk melaksanakan perjanjian itu dengan iktikad baik. Kedudukan kreditur yang kuat diimbangi dengan kewajibannya untuk memperhatikan itikad baik sehingga kedudukan kreditur dan debitur seimbang. 9) Asas kepastian hukum Perjanjian sebagai suuatu fitur hukum harus mengandung kepastian hukum. Kepastian ini terungkap dari kekuatan mengikat perjanjian itu yaitu sebagai undang-undang bagi para pihak. 10) Asas moral Asas ini terlihat dalam perikatan wajar dimana suatu perbuatan sukarela dari seseorang tidak menimbulkan hak baginya untuk menggugat kontraprestasi dari pihak debitur juga hal ini terlihat di zaman zaakwarneming dimana seseorang yang melakukan suatu perbuatan dengan sukarela (moral) yang bersangkutan mempunyai kewajiban (hukum) untuk meneruskan dan menyelesaikan perbuatannya, asas ini terdapat dalam Pasal 1339 KUH Perdata. Faktor-faktor yang memberikan motivasi pada yang bersangkutan melakukan perbuatan hukum itu

19 38 berdasarkan pada kesusilaan (moral) sebagai panggilan dari hati nuraninya. 11) Asas kepatutan Asas ini dituangkan dalam Pasal 1339 KUH Perdata, asas kepatutan di sini berkaitan dengan ketentuan mengenai isi perjanjian. Asas kepatutan ini harus dipertahankan karena melalui asas ini ukuran tentang hubungan ditentukan juga oleh rasa keadilan dalam masyarakat. Munir Fuady juga menyebutkan beberapa asas lainnya dalam hukum perjanjian, yaitu: 12) Asas kebiasaan Pasal 1339 KUH Perdata menentukan bahwa suatu kontrak tidak hanya mengikat terhadap isi kontrak tersebut, melainkan mengikat dengan hal-hal yang merupakan kebiasaan. Suatu kontrak dagang misalnya juga mengikat dengan kebiasaan dagang, termasuk kebiasaan menafsirkan katakata dalam kontrak dagang (trade usage), seperti apabila kontrak jual beli satu rim kertas dimana satu rim kertas berisikan 400 lembar kertas, akan tetapi jika ada pembelian satu rim kertas dan satu rim tersebut berisikan 395 lembar, hal tersebut belum bisa dikatakan bahwa pihak penjual telah melakukan wanprestasi dengan mengirim 395 lembar kertas (bukan 400 lembar) sebab menurut kebiasaan dagang (trade usage), kelebihan atau kekurangan 10 lembar dalam satu rim dapat ditoleransi dan biasa dalam bisnis semacam itu.

20 39 13) Asas tidak melanggar prinsip kepentingan umum Suatu pembuatan dan pelaksanaan kontrak tidaklah boleh melanggar prinsip kepentingan umum (openbaar orde) karena sesuai dengan prinsip hukum yang universal dan sangat mendasar bahwa kepentingan umum tidak boleh dikalahkan oleh kepentingan pribadi. Oleh karena itu, jika ada kontrak yang bertentangan dengan kepentingan/ ketertiban umum, maka kontrak tersebut sudah pasti bertentangan dengan undang-undang yang berlaku yang menurut Pasal 1339 KUH Perdata, hal tersebut tidak dibenarkan. Contoh kontrak yang bertentangan dengan kepentingan/ ketertiban umum adalah kontrak jual beli obat bius Wanprestasi Adakalanya suatu perjanjian telah memenuhi syarat-syarat sahnya suatu perjanjian, tidak juga dapat terlaksana sebagaimana yang telah diperjanjikan. Perjanjian pada umumnya akan diakhiri dengan pelaksanaaan sesuai dengan persyaratan yang tercantum di perjanjian. Pemenuhan perjanjian atau hal-hal yang harus dilaksanakan disebut prestasi, sebaliknya apabila pihak yang lainnya tidak melaksanakannya, maka ia disebut wanprestasi. Perkataan ini berasal dari bahasa Belanda yang berarti prestasi buruk (bandingkan: wanbeheer yang berarti pengurusan buruk, wandaad yang berarti perbuatan buruk). 46 Munir Fuady, Hukum Kontrak (Dari Sudut Pandang Hukum Bisnis), Bandung: Citra Aditya Bakti, 2001, hal

21 40 Wanprestasi atau tidak dipenuhinya janji dapat terjadi baik karena disengaja maupun tidak disengaja. Pihak yang tidak sengaja wanprestasi ini dapat terjadi karena memang tidak mampu untuk memenuhi prestasi tersebut atau juga karena terpaksa untuk tidak melakukan prestasi tersebut. 47 Wanprestasi dapat berupa: a. Sama sekali tidak memenuhi prestasi; b. Prestasi tidak dilakukan dengan sempurna; c. Terlambat memenuhi prestasi; d. Melakukan apa yang dilarang dalam perjanjian; Akibat terjadinya wanprestasi, pihak yang melakukan wanprestasi harus menanggung akibat dari tuntutan pihak lawan yang dapat berupa tuntutan: 48 a. Pembatalan kontrak saja; b. Pembatalan kontrak disertai tuntutan ganti rugi; c. Pemenuhan kontrak saja; d. Pemenuhan kontrak disertai tuntutan ganti rugi. Sedangkan menurut Subekti, tuntutan atas terjadinya wanprestasi, antara lain: 49 a. Pemenuhan perjanjian; b. Pemenuhan perjanjian disertai ganti rugi; c. Ganti rugi saja; d. Pembatalan Perjanjian; e. Pembatalan disertai ganti rugi. 47 Ahmadi Miru, 2007, op.cit, hal Ibid., hal Subekti, Pokok-Pokok Hukum Perdata, op.cit., hal. 53.

22 41 Tetapi juga tidak semua kerugian dapat dimintakan penggantian. Undang-undang dalam hal ini mengadakan pembatasan, dengan menetapkan hanya kerugian yang dapat dikira-kirakan atau diduga pada waktu perjanjian dibuat (te voorzien) dan yang sungguh-sungguh dapat dianggap sebagai suatu akibat langsung dari kelalaian si berhutang saja dapat dimintakan penggantian. Dan jika barang yang harus diserahkan itu berupa uang tunai, maka yang dapat diminta sebagai penggantian kerugian ialah bunga uang menurut penetapan undang-undang. 50 Pihak yang dituduh wanprestasi (yang pada umumnya adalah debitur), dapat mengajukan tangkisan-tangkisan untuk membebaskan diri dari akibat buruk wanprestasi tersebut. Tangkisan atau pembelaan tersebut dapat berupa: 51 a. Wanprestasi terjadi karena keadaan memaksa (overmacht); b. Wanprestasi terjadi karena pihak lain juga wanprestasi (exception non adimple contractus); c. Wanprestasi terjadi karena pihak lawan telah melepaskan haknya atas pemenuhan prestasi. Dalam KUHPerdata, keadaan memaksa (overmacht) diatur dalam Pasal 1244 dan Pasal Pasal 1244 KUHPerdata: Debitur harus dihukum untuk mengganti biaya, kerugian dan bunga, bila ia tak dapat membuktikan bahwa tidak dilaksanakannya perikatan itu atau tidak tepatnya waktu dalam melaksanakan perikatan itu disebabkan oleh suatu hal yang tak 50 Ibid, hal Ibid, hal. 76.

23 42 terduga, yang tak dapat dipertanggungkan kepadanya, walaupun tidak ada itikad buruk padanya. Pasal 1245 KUHPerdata: Tidak ada penggantian biaya, kerugian dan bunga, bila karena keadaan memaksa atau karena hal yang terjadi secara kebetulan, debitur terhalang untuk memberikan atau berbuat sesuatu yang diwajibkan, atau melakukan suatu perbuatan yang terlarang baginya. Dari pasal-pasal di atas, dapat dilihat bahwa keadaan memaksa adalah suatu kejadian yang tak terduga, tak disengaja, dan tak dapat dipertanggungjawabkan kepada debitur serta memaksa dalam arti debitur memaksa tidak menepati janjinya. 52 Ada pun unsur-unsur yang harus memenuhi keadaan memaksa yaitu: 53 a. Tidak memenuhi prestasi; b. Ada sebab yang terletak di luar kesalahan tersebut c.faktor penyebab itu tidak diduga sebelumnya dan tidak dapat dipertanggungjawabkan kepada debitur. Akibat keadaan memaksa, yaitu: 54 a. Kreditur tidak dapat menuntut agar perikatan itu dipenuhi; b. Tidak dapat mengatakan debitur berada dalam keadaan lalai dan karena itu tidak dapat menuntut; c. Kreditur tidak dapat meminta pemutusan perjanjian; 52 Ibid., hal Mariam Darus Badrulzaman, Sutan Remy Sjahdeini, Heru Soepraptomo, Faturrahman Djamil, dan Taryana Soenandar, op.cit., hal Ibid., hal. 26.

24 43 B. Perjanjian Penitipan Barang 1. Pengertian Perjanjian Penitipan Barang Pengertian dari perjanjian penitipan barang yang diatur dalam KUHPerdata terdapat dalam pasal 1694 yang menyebutkan: penitipan adalah terjadi, apabila seorang menerima sesuatu barang dari seorang lain, dengan syarat bahwa ia akan menyimpannya dan mengembalikannya dalam ujud asalnya. Berdasarkan ketentuan Pasal 1694 KUHPerdata ini diketahui bahwa penitipan baru terjadi jika barang yang menjadi pokok perjanjian telah diserahkan. Oleh karena itu perjanjian penitipan barang merupakan termasuk jenis perjanjian riil. Perjanjian riil adalah perjanjian yang baru terjadi kalau dilakukan suatu perbuatan yang nyata yaitu adanya penyerahan barang yang dititipkan tersebut. 55 Jadi perjanjian penitipan barang tidak seperti perjanjian-perjanjian lainnya pada umumnya yang lazimnya adalah konsensual, yaitu sudah dilahirkan pada saat tercapainya kata sepakat tentang hal-hal yang pokok dari perjanjian itu Jenis-Jenis Penitipan Barang Di dalam KUHPerdata, ada dua jenis penitipan barang, yaitu penitipan yang sejati dan sekestrasi. Berikut dijelaskan mengenai jenis-jenis penitipan barang tersebut. 55 Subekti, Pokok-Pokok Hukum Perdata, op.cit., hal: Subekti, Aneka Perjanjian, Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 1995, hal: 108

25 44 a. Penitipan Barang yang Sejati Penitipan barang yang sejati diatur dalam Buku III Bab Ke-sebelas Bagian Ke-dua, mulai dari pasal 1696 sampai dengan pasal 1729 KUHPerdata. Pasal 1696 ayat (1) KUHPerdata menyebutkan bahwa penitipan barang yang sejati dianggap telah dibuat dengan cuma-cuma, jika tidak diperjanjikan sebaliknya. Kemudian ayat (2) nya menyatakan bahwa penitipan barang yang sejati ini hanya dapat mengenai barangbarang yang bergerak. Selanjutnya Pasal 1697 KUHPerdata menyatakan bahwa perjanjian tersebut tidaklah telah terlaksana selainnya dengan penyerahan barangnya secara sungguh-sungguh atau secara dipersangkakan. Ketentuan ini mengambarkan lagi sifatnya rill dari perjanjian penitipan, yang berlainan dari sifat perjanjian-perjanjian lain yang pada umumnya adalah konsesual. Penitipan barang yang sejati ada dua macam, yaitu sebagai berikut: Penitipan Barang dengan Sukarela Dari ketentuan Pasal 1699 KUHPerdata, dapat diketahui bahwa penitipan barang dengan sukarela terjadi karena sepakat bertimbal balik antara pihak yang menitipkan barang dan pihak yang menerima titipan. Penitipan barang dengan sukarela hanyalah dapat terjadi antara orangorang yang mempunyai kecakapan untuk membuat perjanjianperjanjian. Namun jika itu seorang yang cakap untuk untuk membuat perjanjian, menerima penitipan suatu barang dari seorang yang tidak cakap untuk membuat perjanjian, maka tunduklah ia pada semua kewajiban yang dipikul oleh seorang penerima titipan yang sungguh-

26 45 sungguh (Pasal 1701 KUHPerdata). Yang dimaksudkan oleh ketentuan tersebut adalah bahwa meskipun penitipan sebagai suatu perjanjian yang sah hanya dapat diadakan antara orang-orang yang cakap menurut hukum, namun apabila seorang yang cakap menerima suatu penitipan barang dari seorang yang tidak cakap maka si penerima titipan harus melakukan semua kewajiban yang berlaku dalam suatu perjanjian penitipan yang sah. 57 Kemudian Pasal 1702 KUHPerdata mengatakan jika penitipan dilakukan oleh seorang yang berhak kepada seorang yang tidak cakap untuk membuat perjanjian, maka pihak yang menitipkan hanyalah mempunyai hak terhadap pihak yang menerima titipan untuk menuntut pengembalian barang yang dititipkan, selama barang ini masih ada pada pihak yang terakhir itu; atau, jika barangnya sudah tidak ada lagi pada si penerima titipan, maka dapatlah ia menuntut pemberian ganti rugi sekadar si penerima titipan itu telah memperoleh manfaat dari barang tersebut. Maksudnya adalah, bahwa jika seorang yang cakap menurut hukum menitipkan barang kepada seorang yang tidak cakap, maka ia memikul risiko kalau barang itu dihilangkan. Hanyalah, kalau si penerima titipan itu ternyata telah memperoleh manfaat dari barang yang telah dihilangkan, maka orang yang menitipkan dapat menuntut pemberian ganti rugi. Si penerima titipan dapat dikatakan telah memperoleh manfaat dari barang yang telah dihilangkan itu umpamanya kalau ia telah menjualnya dan uang pendapatan penjualan 57 Subekti, loc.cit.

27 46 telah dipakainya. Jadi kalau barangnya hilang dicuri orang karena si penerima titipan tidak menyimpannya dengan baik, tidak ada tuntutan ganti rugi. Dengan sendirinya tuntutan pemberian gani rugi ini harus dilakukan terhadap orangtua atau wali dari si penerima titipan. 58 Penitipan Barang Karena Terpaksa Menurut Pasal 1703 KUHPerdata, yang dinamakan penitipan barang karena terpaksa adalah penitipan yang terpaksa dilakukan oleh seseorang karena timbulnya suatu malapetaka, misalnya: kebakaran, runtuhnya gedung, perampokan, karamnya kapal, banjir, dan lain-lain peristiwa yang tak tersangka. Kemudian disebutkan dalam Pasal 1705 KUHPerdata, penitipan barang karena terpaksa ini diatur menurut ketentuan seperti yang berlaku terhadap penitipan sukarela. Maksudnya adalah bahwa suatu penitipan yang dilakukan secara terpaksa itu mendapat perlindungan dari undang-undang yang tidak kurang dari suatu penitipan yang terjadi secara sukarela. b. Penitipan Barang Sekestrasi Penitipan barang sekestrasi diatur dalam Buku III Bab Ke-sebelas Bagian Ke-tiga, mulai dari pasal 1730 sampai dengan pasal 1739 KUHPerdata. Definisi dari sekestrasi disebutkan dalam Pasal 1730 ayat (1) KUHPerdata yang berbunyi: sekestrasi ialah penitipan barang tentang mana ada perselisihan, diatangannya seorang pihak ketiga yang 58 Ibid, hal. 109.

28 47 mengikat diri untuk, setelah perselisihan itu diputus, mengembalikan barang itu kepada siapa yang akan dinyatakan berhak, beserta hasilhasilnya. Penitipan barang sekestrasi ini terdiri atas dua macam, yaitu: Sekestrasi yang Terjadi dengan Perjanjian atau Persetujuan Sekestrasi yang terjadi dengan perjanjian atau persetujuan adalah apabila barang yang menjadi sengketa diserahkan kepada seorang pihak ketiga oleh satu orang atau lebih secara sukarela (Pasal 1731 KUHPerdata). Sekestrasi dapat mengenai baik barang-barang bergerak maupun barang-barang tak bergerak (Pasal 1734 KUHPerdata), jadi berlainan dari penitipan barang yang sejati, yang hanya dapat mengenai barang yang bergerak saja (lihat Pasal 1696 KUHPerdata). Si penerima titipan yang ditugaskan melakukan sekestrasi tidak dapat dibebaskan dari tugasnya, sebelum persengketaan diselesaikan, kecuali apabila semua pihak yang berkepentingan menyetujuinya atau apabila ada suatu alasan lain yang sah (Pasal 1735 KUHPerdata). Sekestrasi atas Perintah Hakim Sekestrasi atas perintah Hakim terjadi apabila Hakim memerintahkan supaya suatu barang tentang mana ada sengketa, dititipkan kepada seorang (Pasal 1736 KUHPerdata). Selanjutnya mengenai sekestrasi ini dijelaskan dalam Pasal 1737 KUHPerdata sebagai berikut: Sekestrasi guna keperluan Pengadilan diperintahkan kepada

29 48 seorang yang disetujui oleh pihak-pihak yang berkepentingan atau kepada seorang yang ditetapkan oleh Hakim karena jabatan. Dalam kedua-duanya hal, orang kepada siapa barangnya telah dipercayakan, tunduk kepada segala kewajiban yang terbit dalam halnya sekestrasi dengan persetujuan, dan selainnya itu ia diwajibkan saban tahun, atas tuntutan Kejaksaan, memberikan suatu perhitungan secara ringkas tentang pengurusannya kepada Pengadilan, dengan memperlihatkan ataupun menunjukkan barang-barang yang dipercayakan kepadanya, namunlah disetujuinya perhitungan itu tidak akan dapat diajukan terhadap para pihak yang berkepentingan. Hakim dapat memerintahkan sekestrasi: Terhadap barang-barang bergerak yang telah disita ditangannya seorang berutang (debitor). Terhadap suatu barang bergerak maupun tak bergerak, tentang mana hak miliknya atau hak penguasaannya menjadi persengketaan; Terhadap barang-barang yang ditawarkan oleh seorang berutang (debitor) untuk melunasi utangnya (Pasal 1738 KUHPerdata). Penyitaan yang disebutkan poin pertama diatas adalah penyitaan conservatoir yang telah dilakukan atas permintaan seorang penggugat, sedangkan penawaran barang-barang oleh seorang debitor kepada kreditornya untuk melunasi utangnya, sebagaimana disebutkan poin ke- 3, dilakukan dalam hal kreditor itu menolak pembayaran yang akan dilakukan debitornya, sehingga debitor ini terpaksa meminta bantuan

30 49 seorang jurusita atau notaris untuk menawarkan barang atau uang tersebut (secara resmi) kepada kreditor tersebut. Apabila penawaran tersebut ditolak oleh kreditor, maka barang atau uang tersebut dapat dititipkan dikepaniteraan Pengadilan atau kepada seorang yang ditunjuk oleh Hakim. Perbuatan ini akan disusul oleh suatu gugatan dari debitor tersebut untuk menyatakan sah penitipan tersebut, dan dengan disahkannya penitipan itu, maka si debitor dibebaskan dari utangnya Hak dan Kewajiban Para Pihak Perjanjian Penitipan Barang Dalam perjanjian penitipan barang, pihak-pihak yang terkait adalah pihak yang menitipkan barang dan pihak yang menerima titipan. Para pihak tersebut memiliki hak dan kewajibannya masing-masing. Berikut akan dijelaskan mengenai apa-apa saja yang menjadi hak dan kewajiban para pihak dalam perjanjian penitipan barang sebagaimana diatur dalam KUHPerdata, yaitu antara lain: Untuk perjanjian penitipan barang yang sejati, baik dengan sukarela maupun terpaksa, di dalam Pasal 1706 mewajibkan si penerima titipan, mengenai perawatan barang yang dipercayakan kepadanya, memeliharanya dengan minat yang sama seperti ia memelihara barang miliknya sendiri. Ketentuan tersebut menurut Pasal 1707 harus dilakukan lebih keras dalam beberapa hal, yaitu: a. jika si penerima titipan telah menawarkan dirinya untuk menyimpan barangnya; 59 Ibid, hal. 117.

31 50 b. jika ia telah meminta diperjanjikannya sesuatu untuk penyimpanan itu; c. jika penitipan telah terjadi sedikit banyak untuk kepentingan si penerima titipan; dan d. jika telah diperjanjikan bahwa si penerima titipan akan menanggung segala macam kelalaian. Tidak sekali-kali si penerima titipan bertanggung jawab tentang peristiwaperistiwa yang tak dapat disingkiri, kecuali apabila ia lalai dalam pengembalian barang yang dititipkan. Bahkan dalam hal yang terakhir ini ia tidak bertanggung jawab jika barangnya juga akan musnah seandainya telah berada ditangannya orang yang menitipkan (Pasal 1708). Menurut Subekti, peristiwa yang tak dapat disingkiri itu adalah yang lazimnya dalam bahasa hukum dinamakan keadaan memaksa (bahasa Belanda: overmacht atau force majeur ), yaitu suatu kejadian yang tak disengaja dan tak dapat diduga. Resiko kemusnahan barang karena suatu keadaan memaksa itu memang pada asasnya harus dipikul oleh pemilik barang. Namun apabila si penerima titipan itu telah lalai mengembalikan barangnya sebagaimana ditetapkan dalam perjanjian, maka (juga menurut asas umum hukum perjanjian) ia mengoper tanggung jawab tentang kemusnahan barangnya jika terjadi sesuatu. Tanggung jawab ini hanya dapat dilepaskan jika ia dapat membuktikan bahwa barangnya juga akan musnah seandainya sudah diserahkan kepada orang yang menitipkan, misalnya barang itu mengandung suatu cacat yang pasti juga akan menyebabkan kemusnahannya biarpun ia berada ditangannya orang yang menitipkan Ibid, hal. 110.

32 51 Selanjutnya mengenai kewajiban bagi orang-orang yang menyelenggarakan Rumah Penginapan dan Losmen, dimana Pasal 1709 meletakkan tanggung jawab kepada pengurus rumah penginapan dan penguasa losmen terhadap barang-barang para tamu yaitu memperlakukan pengurus rumah penginapan dan penguasa losmen tersebut sebagai orang yang menerima titipan barang. Penitipan barang oleh para tamu itu dianggap sebagai suatu penitipan karena terpaksa. Selanjutnya Pasal 1710 menetapkan bahwa mereka itu bertanggung jawab tentang pencurian atau kerusakan pada barang-barang kepunyaan para penginap, baik pencurian itu dilakukan atau kerusakan itu diterbitkan oleh pelayan-pelayan atau lain-lain pekerja dari rumah penginapan, maupun oleh setiap orang lain. Namun (demikian Pasal 1711 seterusnya) mereka tidak bertanggung jawab tentang pencurian yang dilakukan dengan kekerasan atau yang dilakukan oleh orang-orang yang telah dimasukkan sendiri oleh si penginap. Dalam praktek para pengurus rumah penginapan dan penguasa losmen itu membatasi tanggung jawab mereka dengan menempelkan pengumuman bahwa mereka tidak bertanggung jawab tentang hilangnya barang-barang yang berharga (uang, perhiasan) yang tidak secara khusus dititipkan pada mereka. Melepaskan tanggung jawab seluruhnya terhadap semua barang tentunya tidak dibolehkan. 61 Si penerima titipan barang tidak diperbolehkan memakai barang yang dititipkan untuk keperluan sendiri tanpa izinnya orang yang menitipkan barang, yang dinyatakan dengan tegas atau dipersangkakan, atas ancaman penggantian 61 Ibid, hal. 111.

33 52 biaya, kerugian dan bunga jika ada alasan untuk itu (Pasal 1712). Selanjutnya ia tidak diperbolehkan menyelidiki tentang wujudnya barang yang dititipkan jika barang itu dipercayakan kepadanya dalam suatu kotak tertutup atau dalam suatu sampul tersegel (Pasal 1713). Si penerima titipan diwajibkan mengembalikan barang yang sama yang telah diterimanya. Dengan demikian maka jumlah-jumlah uang harus dikembalikan dalam mata uang yang sama seperti yang dititipkan, tak peduli apakah mata uang itu telah naik atau telah turun nilainya (Pasal 1714). Si penerima titipan hanya diwajibkan mengembalikan barang yang dititipkan dalam keadaannya pada saat pengembalian itu. Kemundurankemunduran yang dialami barangnya diluar kesalahan si penerima titipan, adalah atas tanggungan pihak yang menitipkan (Pasal 1715). Jika barangnya dengan paksaan dirampas dari tangannya si penerima titipan dan orang ini telah menerima harganya atau sesuatu barang lain sebagai gantinya, maka ia harus menyerahkan apa yang diterimanya sebagai ganti itu kepada orang yang menitipkan barang (Pasal 1716). Seorang ahli waris dari si penerima titipan, yang, karena ia tidak tahu bahwa suatu barang adalah barang titipan, denga itikad baik telah menjual barang tersebut, hanyalah diwajibkan mengembalikan harga pembelian yang diterimanya, atau jika ia belum menerima harga itu, menyerahkan hak tuntutannya terhadap si pembeli barang (Pasal 1717). Jika ia menjualnya barang itu dengan itikad buruk, maka dengan sendirinya, selainnya ia harus

34 53 mengembalikan uang pendapatan penjualan itu, ia juga dapat dituntut membayar ganti rugi. 62 Jika barang yang dititipkan itu telah memberikan hasil-hasil yang dipungut atau diterima oleh si penerima titipan, maka ia diwajibkan mengembalikannya (Pasal 1718 ayat (1)). Dalam hal yang dititipkan itu uang, si penerima titipan tidak diharuskan membayar bunga, selainnya sejak hari ia lalai mengembalikannya, setelah diperingatkan (Pasal 1718 ayat (2)). Ketentuan tersebut adalah wajar, karena menurut hakekat perjanjian penitipan si penerima tidak boleh memakai uang yang dititipkan itu, bahkan ia harus mengembalikannya dalam mata uang yang sama seperti yang diterimanya (lihat Pasal 1714). Tetapi kalau ia lalai mengembalikan uang titipan itu setelah ia diperingatkan, orang yang menitipkan akan menderita kerugian karena ia sudah mulai memerlukan uang itu, sehingga pembebanan pembayaran bunga itu pantas pula. Dan bunga yang dibebankan ini tentunya adalah yang dinamakan bunga moratoir, terhitung mulai pengembalian uang titipan itu dituntutnya dimuka pengadilan. Apa yang dikenal sebagai deposito dengan bunga (meskipun deposito artinya penitipan), bukan penitipan yang kita bicarakan disini, karena pihak yang menerima deposito (uang) dibolehkan (dan malahan itulah yang dimaksudkan) untuk memakai uang yang dititipkan dan menyanggupi untuk membayar bunga atas penitipan itu. Pada hakekatnya perjanjian deposito uang itu adalah suatu perjanjian pinjam uang dengan bunga Ibid, hal Subekti, loc.cit.

35 54 Selanjutnya, si penerima titipan tidak diperbolehkan mengembalikan barangnya titipan selainnya kepada orang yang menitipkannya kepadanya atau kepada orang yang atas namanya penitipan itu telah dilakukan atau yang ditunjuk untuk menerima kembali barangnya (Pasal 1719). Si penerima titipan tidak boleh menuntut dari orang yang menitipkan barang, suatu bukti bahwa orang itu pemilik barang tersebut. Namun, jika ia mengetahui bahwa barang itu adalah barang curian, dan siapa pemiliknya sebenarnya, maka haruslah ia memberi tahu kepada orang ini bahwa barangnya dititipkan kepadanya, disertai peringatan supaya meminta kembali barang itu didalam suatu waktu tertentu yang patut. Jika orang kepada siapa pemberitahuan itu telah dilakukan, melalaikan untuk meminta kembali barangnya, maka si penerima titipan dibebaskan secara sah jika ia menyerahkan barang itu kepada orang dari siapa ia telah menerimanya (Pasal 1720). Selanjutnya, apabila orang yang menitipkan barang meninggal, maka barangnya hanya dapat dikembalikan kepada ahli warisnya. Jika ada lebih dari seorang ahli waris, maka barangnya harus dikembalikan kepada mereka kesemuanya atau kepada masing-masing untuk bagiannya. Jika barang yang dititipkan tidak dapat dibagi-bagi, maka para ahli waris harus mengadakan mufakat tentang siapa yang diwajibkan mengopernya (Pasal 1721). Jika orang yang menitipkan barang berubah kedudukannya misalnya seorang perempuan yang pada waktu menitipkan barang tidak bersuami, kemudian kawin; seorang dewasa yang menitipkan barang ditaruh dibawah pengampuan; dalam hal ini dan dalam hal-hal semacam itu, barang yang

36 55 dititipkan tidak boleh dikembalikan selainnya kepada orang yang melakukan pengurusan atas hak-hak dan harta-benda orang yang menitipkan barang, kecuali apabila orang yang menerima titipan mempunyai alasan-alasan yang sah untuk tidak mengetahui perubahan kedudukan tersebut (Pasal 1722). Tentang seorang perempuan tak bersuami yang kemudian kawin, sekarang tidak merupakan halangan lagi bagi si penerima titipan; untuk tetap mengembalikan barangnya titipan kepada perempuan itu, tanpa ijin tertulis atau bantuan dari suaminya, sejak adanya yurisprudensi yang menyatakan Pasal 108 KUHPerdata sudah tidak berlaku lagi. Jika penitipan barang telah dilakukan oleh seorang wali, seorang pengampu, seorang suami (sudah tidak berlaku) atau seorang penguasa dan pengurusan mereka itu telah berakhir, maka barangnya hanya dapat dikembalikan kepada orang yang diwakili oleh wali, pengampu, suami atau penguasa tersebut (Pasal 1723). Pengembalian barang yang dititipkan harus dilakukan ditempat yang ditunjuk dalam perjanjian. Jika perjanjian tidak menunjuk tempat itu, barangnya harus dikembalikan ditempat terjadinya penitipan. Adapun biaya yang harus dikeluarkan untuk itu harus ditanggung oleh orang yang menitipkan barang (Pasal 1724). Barang yang dititipkan harus dikembalikan kepada orang yang menitipkan, seketika apabila dimintanya, sekalipun dalam perjanjiannya telah ditetapkan suatu waktu lain untuk pengembaliannya, kecuali apabila telah dilakukan suatu penyitaan atas barang-barang yang berada ditangannya si penerima titipan (Pasal 1725). Dari ketentuan ini dapat disimpulkan bahwa apabila dalam

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN DAN PENGATURAN MENURUT KUH PERDATA. A. Pengertian Perjanjian dan Asas Asas dalam Perjanjian

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN DAN PENGATURAN MENURUT KUH PERDATA. A. Pengertian Perjanjian dan Asas Asas dalam Perjanjian BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN DAN PENGATURAN MENURUT KUH PERDATA A. Pengertian Perjanjian dan Asas Asas dalam Perjanjian 1. Pengertian Perjanjian Pasal 1313 KUH Perdata menyatakan Suatu perjanjian

Lebih terperinci

BAB II PERJANJIAN PADA UMUMNYA. Dari ketentuan pasal di atas, pembentuk Undang-undang tidak menggunakan

BAB II PERJANJIAN PADA UMUMNYA. Dari ketentuan pasal di atas, pembentuk Undang-undang tidak menggunakan BAB II PERJANJIAN PADA UMUMNYA A. Pengertian Perjanjian Dalam Pasal 1313 KUH Perdata bahwa perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG HUKUM PERJANJIAN. dua istilah yang berasal dari bahasa Belanda, yaitu istilah verbintenis dan

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG HUKUM PERJANJIAN. dua istilah yang berasal dari bahasa Belanda, yaitu istilah verbintenis dan BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG HUKUM PERJANJIAN A. Pengertian Perjanjian Di dalam Buku III KUH Perdata mengenai hukum perjanjian terdapat dua istilah yang berasal dari bahasa Belanda, yaitu istilah verbintenis

Lebih terperinci

BAB II PERJANJIAN DAN WANPRESTASI SECARA UMUM

BAB II PERJANJIAN DAN WANPRESTASI SECARA UMUM BAB II PERJANJIAN DAN WANPRESTASI SECARA UMUM A. Segi-segi Hukum Perjanjian Mengenai ketentuan-ketentuan yang mengatur perjanjian pada umumnya terdapat dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata pada Buku

Lebih terperinci

BAB II PERJANJIAN PADA UMUMNYA. satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih. 11

BAB II PERJANJIAN PADA UMUMNYA. satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih. 11 BAB II PERJANJIAN PADA UMUMNYA A. Pengertian Perjanjian Dalam Pasal 1313 KUH Perdata bahwa perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain

Lebih terperinci

BAB II PERJANJIAN JUAL BELI. undang-undang telah memberikan nama tersendiri dan memberikan

BAB II PERJANJIAN JUAL BELI. undang-undang telah memberikan nama tersendiri dan memberikan A. Pengertian Perjanjian Jual Beli BAB II PERJANJIAN JUAL BELI Jual beli termasuk dalam kelompok perjanjian bernama, artinya undang-undang telah memberikan nama tersendiri dan memberikan pengaturan secara

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN. tertulis atau dengan lisan yang dibuat oleh dua pihak atau lebih, masing-masing

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN. tertulis atau dengan lisan yang dibuat oleh dua pihak atau lebih, masing-masing BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN A. Pengertian Perjanjian Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, perjanjian adalah persetujuan tertulis atau dengan lisan yang dibuat oleh dua pihak atau lebih, masing-masing

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM MENGENAI PERJANJIAN. dua pihak, berdasarkan mana pihak yang satu berhak menuntut sesuatu hal dari

BAB II TINJAUAN UMUM MENGENAI PERJANJIAN. dua pihak, berdasarkan mana pihak yang satu berhak menuntut sesuatu hal dari BAB II TINJAUAN UMUM MENGENAI PERJANJIAN A.Pengertian Perjanjian Suatu perikatan adalah suatu perhubungan hukum antara dua orang atau dua pihak, berdasarkan mana pihak yang satu berhak menuntut sesuatu

Lebih terperinci

BAB III TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN. Perjanjian menurut pasal 1313 KUH Perdata adalah suatu perbuatan dengan

BAB III TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN. Perjanjian menurut pasal 1313 KUH Perdata adalah suatu perbuatan dengan BAB III TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN A. Perjanjian Dalam istilah perjanjian atau kontrak terkadang masih dipahami secara rancu, banyak pelaku bisnis mencampuradukkan kedua istilah tersebut seolah merupakan

Lebih terperinci

istilah perjanjian dalam hukum perjanjian merupakan kesepadanan Overeenkomst dari bahasa belanda atau Agreement dari bahasa inggris.

istilah perjanjian dalam hukum perjanjian merupakan kesepadanan Overeenkomst dari bahasa belanda atau Agreement dari bahasa inggris. BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG HUKUM PERJANJIAN A.Pengertian perjanjian pada umumnya a.1 Pengertian pada umumnya istilah perjanjian dalam hukum perjanjian merupakan kesepadanan dari istilah Overeenkomst

Lebih terperinci

BAB III TINJAUAN PUSTAKA

BAB III TINJAUAN PUSTAKA BAB III TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian Perjanjian Dalam Pasal 1313 KUH Perdata, bahwa suatu persetujuan adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN KERJASAMA. 2.1 Pengertian Perjanjian Kerjasama dan Tempat Pengaturannya

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN KERJASAMA. 2.1 Pengertian Perjanjian Kerjasama dan Tempat Pengaturannya 36 BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN KERJASAMA 2.1 Pengertian Perjanjian Kerjasama dan Tempat Pengaturannya Perjanjan memiliki definisi yang berbeda-beda menurut pendapat para ahli yang satu dengan

Lebih terperinci

BAB III TINJAUAN TEORITIS. dapat terjadi baik karena disengaja maupun tidak disengaja. 2

BAB III TINJAUAN TEORITIS. dapat terjadi baik karena disengaja maupun tidak disengaja. 2 BAB III TINJAUAN TEORITIS A. Wanprestasi 1. Pengertian Wanprestasi Wanprestasi adalah tidak memenuhi atau lalai melaksanakan kewajiban sebagaimana yang ditentukan dalam perjanjian yang dibuat antara kreditur

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM PERJANJIAN PENITIPAN BARANG. Dalam kehidupan sehari-hari seringkali kita mendengar kata perjanjian,

BAB II TINJAUAN UMUM PERJANJIAN PENITIPAN BARANG. Dalam kehidupan sehari-hari seringkali kita mendengar kata perjanjian, 17 BAB II TINJAUAN UMUM PERJANJIAN PENITIPAN BARANG 2.1 Pengertian Perjanjian Pada Umumnya Dalam kehidupan sehari-hari seringkali kita mendengar kata perjanjian, namun ada banyak pengertian perjanjian.

Lebih terperinci

Hukum Perikatan Pengertian hukum perikatan

Hukum Perikatan Pengertian hukum perikatan Hukum Perikatan Pengertian hukum perikatan Perikatan dalam bahasa Belanda disebut ver bintenis. Istilah perikatan ini lebih umum dipakai dalam literatur hukum di Indonesia. Perikatan dalam hal ini berarti

Lebih terperinci

Asas asas perjanjian

Asas asas perjanjian Hukum Perikatan RH Asas asas perjanjian Asas hukum menurut sudikno mertokusumo Pikiran dasar yang melatar belakangi pembentukan hukum positif. Asas hukum tersebut pada umumnya tertuang di dalam peraturan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN DAN WANPRESTASI. Perjanjian atau persetujuan merupakan terjemahan dari overeenkomst,

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN DAN WANPRESTASI. Perjanjian atau persetujuan merupakan terjemahan dari overeenkomst, BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN DAN WANPRESTASI A. Pengertian Perjanjian Perjanjian atau persetujuan merupakan terjemahan dari overeenkomst, Pasal 1313 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUH Perdata)

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN A. Pengertian Perjanjian Perjanjian merupakan sumber terpenting yang melahirkan perikatan. Perikatan yang berasal dari perjanjian dikehendaki oleh dua orang atau

Lebih terperinci

BAB II PENGERTIAN PERJANJIAN PADA UMUMNYA. Manusia dalam hidupnya selalu mempunyai kebutuhan-kebutuhan atau

BAB II PENGERTIAN PERJANJIAN PADA UMUMNYA. Manusia dalam hidupnya selalu mempunyai kebutuhan-kebutuhan atau BAB II PENGERTIAN PERJANJIAN PADA UMUMNYA Manusia dalam hidupnya selalu mempunyai kebutuhan-kebutuhan atau kepentingan-kepentingan untuk mempertahankan kelangsungan hidupnya. Manusia di dalam memenuhi

Lebih terperinci

ASAS-ASAS DALAM HUKUM PERJANJIAN

ASAS-ASAS DALAM HUKUM PERJANJIAN ASAS-ASAS DALAM HUKUM PERJANJIAN Selamat malam semua Bagaimana kabarnya malam ini? Sehat semua kan.. Malam ini kita belajar mengenai Asas-asas dalam Hukum Perjanjian ya.. Ada yang tahu asas-asas apa saja

Lebih terperinci

BAB II PERJANJIAN JUAL BELI MENURUT KUHPERDATA. antara dua orang atau lebih. Perjanjian ini menimbulkan sebuah kewajiban untuk

BAB II PERJANJIAN JUAL BELI MENURUT KUHPERDATA. antara dua orang atau lebih. Perjanjian ini menimbulkan sebuah kewajiban untuk BAB II PERJANJIAN JUAL BELI MENURUT KUHPERDATA A. Pengertian Perjanjian Jual Beli Menurut Black s Law Dictionary, perjanjian adalah suatu persetujuan antara dua orang atau lebih. Perjanjian ini menimbulkan

Lebih terperinci

BAB II PERJANJIAN JUAL BELI MENURUT KUH PERDATA

BAB II PERJANJIAN JUAL BELI MENURUT KUH PERDATA BAB II PERJANJIAN JUAL BELI MENURUT KUH PERDATA Perjanjian jual beli diatur dalam Pasal 1457-1540 Kitab Undang-undang Hukum Perdata. Dalam Pasal 1457 KUH Perdata pengertian jual beli adalah suatu persetujuan

Lebih terperinci

BAB II PERJANJIAN MENURUT KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PERDATA. tentang Pembuktian dan Kadaluwarsa/Bewijs en Verjaring.

BAB II PERJANJIAN MENURUT KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PERDATA. tentang Pembuktian dan Kadaluwarsa/Bewijs en Verjaring. 28 BAB II PERJANJIAN MENURUT KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PERDATA A. Pengertian Perjanjian Hukum perjanjian diatur dalam Buku III KUH Perdata sebagai bagian dari KUH Perdata yang terdiri dari IV buku. Buku

Lebih terperinci

BAB II ASPEK HUKUM TENTANG MEMORANDUM OF UNDERSTANDING DAN PERJANJIAN

BAB II ASPEK HUKUM TENTANG MEMORANDUM OF UNDERSTANDING DAN PERJANJIAN BAB II ASPEK HUKUM TENTANG MEMORANDUM OF UNDERSTANDING DAN PERJANJIAN A. Dasar Hukum Memorandum Of Understanding Berdasarkan Pembukaan Undang-undang Dasar 1945 alinea keempat yang berbunyi : Kemudian daripada

Lebih terperinci

BAB II GAMBARAN UMUM TENTANG PERJANJIAN PINJAM MEMINJAM. mempunyai sifat riil. Hal ini disimpulkan dari kata-kata Pasal 1754 KUH Perdata

BAB II GAMBARAN UMUM TENTANG PERJANJIAN PINJAM MEMINJAM. mempunyai sifat riil. Hal ini disimpulkan dari kata-kata Pasal 1754 KUH Perdata 23 BAB II GAMBARAN UMUM TENTANG PERJANJIAN PINJAM MEMINJAM A. Pengertian Pinjam Meminjam Perjanjian Pinjam Meminjam menurut Bab XIII Buku III KUH Pedata mempunyai sifat riil. Hal ini disimpulkan dari kata-kata

Lebih terperinci

BAB II PENGIKATAN JUAL BELI TANAH SECARA CICILAN DISEBUT JUGA SEBAGAI JUAL BELI YANG DISEBUT DALAM PASAL 1457 KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PERDATA

BAB II PENGIKATAN JUAL BELI TANAH SECARA CICILAN DISEBUT JUGA SEBAGAI JUAL BELI YANG DISEBUT DALAM PASAL 1457 KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PERDATA 25 BAB II PENGIKATAN JUAL BELI TANAH SECARA CICILAN DISEBUT JUGA SEBAGAI JUAL BELI YANG DISEBUT DALAM PASAL 1457 KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PERDATA A. Perjanjian 1. Pengertian Perjanjian Hukum perjanjian

Lebih terperinci

HUKUM PERJANJIAN. Aspek Hukum dalam Ekonomi Hal. 1

HUKUM PERJANJIAN. Aspek Hukum dalam Ekonomi Hal. 1 HUKUM PERJANJIAN Ditinjau dari Hukum Privat A. Pengertian Perjanjian Suatu perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain/lebih (Pasal

Lebih terperinci

BAB II KEDUDUKAN CORPORATE GUARANTOR YANG TELAH MELEPASKAN HAK ISTIMEWA. A. Aspek Hukum Jaminan Perorangan Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata

BAB II KEDUDUKAN CORPORATE GUARANTOR YANG TELAH MELEPASKAN HAK ISTIMEWA. A. Aspek Hukum Jaminan Perorangan Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata 29 BAB II KEDUDUKAN CORPORATE GUARANTOR YANG TELAH MELEPASKAN HAK ISTIMEWA A. Aspek Hukum Jaminan Perorangan Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Istilah jaminan merupakan terjemahan dari bahasa Belanda,

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN, WANPRESTASI DAN LEMBAGA PEMBIAYAAN KONSUMEN

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN, WANPRESTASI DAN LEMBAGA PEMBIAYAAN KONSUMEN BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN, WANPRESTASI DAN LEMBAGA PEMBIAYAAN KONSUMEN 2.1 Perjanjian 2.1.1 Pengertian Perjanjian Definisi perjanjian diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Selanjutnya

Lebih terperinci

BAB III TINJAUAN TEORITIS. landasan yang tegas dan kuat. Walaupun di dalam undang-undang tersebut. pasal 1338 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata:

BAB III TINJAUAN TEORITIS. landasan yang tegas dan kuat. Walaupun di dalam undang-undang tersebut. pasal 1338 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata: BAB III TINJAUAN TEORITIS A. Tinjauan Umum Perjanjian Kerja 1. Pengertian Perjanjian Kerja Dengan telah disahkannya undang-undang Nomor 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (UUKK) maka keberadaan perjanjian

Lebih terperinci

URGENSI PERJANJIAN DALAM HUBUNGAN KEPERDATAAN. Rosdalina Bukido 1. Abstrak

URGENSI PERJANJIAN DALAM HUBUNGAN KEPERDATAAN. Rosdalina Bukido 1. Abstrak URGENSI PERJANJIAN DALAM HUBUNGAN KEPERDATAAN Rosdalina Bukido 1 Abstrak Perjanjian memiliki peran yang sangat penting dalam hubungan keperdataan. Sebab dengan adanya perjanjian tersebut akan menjadi jaminan

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN TEORI TENTANG PERJANJIAN PADA UMUMNYA DAN PERJANJIAN UTANG PIUTANG

BAB II KAJIAN TEORI TENTANG PERJANJIAN PADA UMUMNYA DAN PERJANJIAN UTANG PIUTANG BAB II KAJIAN TEORI TENTANG PERJANJIAN PADA UMUMNYA DAN PERJANJIAN UTANG PIUTANG A. Perjanjian Pada Umumnya 1. Pengertian Perjanjian Pengertian perjanjian menurut pasal 1313 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN 21 BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN A. Pengertian Perjanjian dan Jenis-jenis Perjanjian Definisi perjanjian telah diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUH Perdata) Pasal 1313, yaitu bahwa

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM MENGENAI PERJANJIAN. Kata perjanjian berasal dari terjemahan overeenkomst dan

BAB II TINJAUAN UMUM MENGENAI PERJANJIAN. Kata perjanjian berasal dari terjemahan overeenkomst dan BAB II TINJAUAN UMUM MENGENAI PERJANJIAN A. Pengertian Perjanjian Kata perjanjian berasal dari terjemahan overeenkomst dan verbintenis, yang diterjemahkan dengan menggunakan istilah perjanjian maupun persetujuan.

Lebih terperinci

BAB II PERJANJIAN PADA UMUMNYA. Istilah perjanjian dalam hukum perjanjian merupakan kesepadanan dari

BAB II PERJANJIAN PADA UMUMNYA. Istilah perjanjian dalam hukum perjanjian merupakan kesepadanan dari BAB II PERJANJIAN PADA UMUMNYA A. Pengertian Perjanjian Istilah perjanjian dalam hukum perjanjian merupakan kesepadanan dari kata ovreenkomst dalam bahasa Belanda atau istilah agreement dalam bahasa Inggris.

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG GADAI

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG GADAI 25 BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG GADAI 2.1 Pengertian Gadai Salah satu lembaga jaminan yang obyeknya benda bergerak adalah lembaga gadai yang diatur dalam Pasal 1150 sampai dengan Pasal 1160 KUHPerdata.

Lebih terperinci

BAB III TINJAUAN TEORITIS. Dalam Pasal 1233 KUH Perdata menyatakan, bahwa Tiap-tiap perikatan dilahirkan

BAB III TINJAUAN TEORITIS. Dalam Pasal 1233 KUH Perdata menyatakan, bahwa Tiap-tiap perikatan dilahirkan BAB III TINJAUAN TEORITIS A. Pengertian Perjanjian Dalam Pasal 1233 KUH Perdata menyatakan, bahwa Tiap-tiap perikatan dilahirkan baik karena persetujuan, baik karena undang-undang, ditegaskan bahwa setiap

Lebih terperinci

BAB II PERJANJIAN MENURUT KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PERDATA. terwujud dalam pergaulan sehari-hari. Hal ini disebabkan adanya tujuan dan

BAB II PERJANJIAN MENURUT KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PERDATA. terwujud dalam pergaulan sehari-hari. Hal ini disebabkan adanya tujuan dan BAB II PERJANJIAN MENURUT KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PERDATA A. Pengertian Perjanjian Hubungan antara manusia yang satu dengan manusia yang lainnya selalu terwujud dalam pergaulan sehari-hari. Hal ini disebabkan

Lebih terperinci

BAB III TINJAUAN TEORITIS TENTANG PERJANJIAN

BAB III TINJAUAN TEORITIS TENTANG PERJANJIAN BAB III TINJAUAN TEORITIS TENTANG PERJANJIAN A. Pengertian Perjanjian Dalam Pasal 1313 KUH Perdata, bahwa suatu persetujuan adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN PEMBIAYAAN KONSUMEN. Istilah perjanjian secara etimologi berasal dari bahasa latin testamentum,

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN PEMBIAYAAN KONSUMEN. Istilah perjanjian secara etimologi berasal dari bahasa latin testamentum, 19 BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN PEMBIAYAAN KONSUMEN 2.1 Perjanjian Pembiayaan Konsumen 2.1.1 Pengertian Perjanjian Pembiayaan konsumen Istilah perjanjian secara etimologi berasal dari bahasa

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN JUAL BELI. 2.1 Pengertian dan Pengaturan Perjanjian Jual Beli

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN JUAL BELI. 2.1 Pengertian dan Pengaturan Perjanjian Jual Beli BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN JUAL BELI 2.1 Pengertian dan Pengaturan Perjanjian Jual Beli Sebelum membahas tentang pengertian dan pengaturan juali beli, terlebih dahulu perlu dipahami tentang

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG WANPRESTASI KARENA FORCE MAJEURE DALAM PERJANJIAN

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG WANPRESTASI KARENA FORCE MAJEURE DALAM PERJANJIAN 20 BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG WANPRESTASI KARENA FORCE MAJEURE DALAM PERJANJIAN 1.1 Wanprestasi 2.1.1 Pengertian Dan Dasar Hukum Wanprestasi Perkataan wanprestasi berasal dari Bahasa Belanda yang artinya

Lebih terperinci

PELAKSANAAN PERJANJIAN ANTARA AGEN DENGAN PEMILIK PRODUK UNTUK DI PASARKAN KEPADA MASYARAKAT. Deny Slamet Pribadi

PELAKSANAAN PERJANJIAN ANTARA AGEN DENGAN PEMILIK PRODUK UNTUK DI PASARKAN KEPADA MASYARAKAT. Deny Slamet Pribadi 142 PELAKSANAAN PERJANJIAN ANTARA AGEN DENGAN PEMILIK PRODUK UNTUK DI PASARKAN KEPADA MASYARAKAT Deny Slamet Pribadi Dosen Fakultas Hukum Universitas Mulawarman Samarinda ABSTRAK Dalam perjanjian keagenan

Lebih terperinci

Hukum Perjanjian menurut KUHPerdata(BW)

Hukum Perjanjian menurut KUHPerdata(BW) Hukum Perjanjian menurut KUHPerdata(BW) Pengertian Perjanjian Pasal 1313 KUHPerdata: Suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih. Oleh: Nama

Lebih terperinci

BAB III TINJAUAN TEORITIS. bantuan dari orang lain. Untuk itu diperlukan suatu perangkat hukum demi

BAB III TINJAUAN TEORITIS. bantuan dari orang lain. Untuk itu diperlukan suatu perangkat hukum demi BAB III TINJAUAN TEORITIS A. Pengertian Perjanjian Dalam menjalankan bisnis pada dasarnya manusia tidak bisa melakukannya dengan sendiri, tetapi harus dilakukan secara bersama atau dengan mendapat bantuan

Lebih terperinci

Lex Privatum, Vol. III/No. 4/Okt/2015

Lex Privatum, Vol. III/No. 4/Okt/2015 PEMBERLAKUAN ASAS KEBEBASAN BERKONTRAK MENURUT HUKUM PERDATA TERHADAP PELAKSANAANNYA DALAM PRAKTEK 1 Oleh : Suryono Suwikromo 2 A. Latar Belakang Didalam kehidupan sehari-hari, setiap manusia akan selalu

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN. tidak ada dirumuskan dalam undang-undang, tetapi dirumuskan sedemikian rupa

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN. tidak ada dirumuskan dalam undang-undang, tetapi dirumuskan sedemikian rupa 16 BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN A. Hukum Perikatan Pada Umumnya 1. Pengertian Perikatan Hukum perikatan diatur dalam buku III KUH Perdata. Definisi perikatan tidak ada dirumuskan dalam undang-undang,

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN A. Pengertian Perjanjian Suatu perikatan adalah suatu perhubungan hukum antara dua orang atau dua pihak, berdasarkan mana pihak yang satu berhak untuk menuntut sesuatu

Lebih terperinci

Undang-Undang Merek, dan Undang-Undang Paten. Namun, pada tahun waralaba diatur dengan perangkat hukum tersendiri yaitu Peraturan

Undang-Undang Merek, dan Undang-Undang Paten. Namun, pada tahun waralaba diatur dengan perangkat hukum tersendiri yaitu Peraturan KEDUDUKAN TIDAK SEIMBANG PADA PERJANJIAN WARALABA BERKAITAN DENGAN PEMENUHAN KONDISI WANPRESTASI Etty Septiana R 1, Etty Susilowati 2. ABSTRAK Perjanjian waralaba merupakan perjanjian tertulis antara para

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Perjanjian merupakan sumber terpenting yang melahirkan perikatan, perikatan

II. TINJAUAN PUSTAKA. Perjanjian merupakan sumber terpenting yang melahirkan perikatan, perikatan 7 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian Perjanjian Pada Umumnya 1. Pengertian Perjanjian Perjanjian merupakan sumber terpenting yang melahirkan perikatan, perikatan yang berasal dari perjanjian dikehendaki

Lebih terperinci

BAB III TINJAUAN TEORITIS. ataulebih. Syarat syahnya Perjanjian menurut pasal 1320 KUHPerdata :

BAB III TINJAUAN TEORITIS. ataulebih. Syarat syahnya Perjanjian menurut pasal 1320 KUHPerdata : BAB III TINJAUAN TEORITIS A. Pengertian Perjanjian Perjanjian menurut pasal 1313 KUHPerdata adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikat dirinya terhadap satu orang ataulebih. Syarat

Lebih terperinci

JURNAL IPTEKS TERAPAN Research of Applied Science and Education V8.i4 ( )

JURNAL IPTEKS TERAPAN Research of Applied Science and Education V8.i4 ( ) PENERAPAN PASAL 1320 KUHPERDATA TERHADAP JUAL BELI SECARA ONLINE (E COMMERCE) Herniwati STIH Padang Email: herni@yahoo.co.id Submitted: 22-07-2015, Rewiewed: 22-07-2015, Accepted: 23-07-2015 http://dx.doi.org/10.22216/jit.2014.v8i4.13

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. ditentukan oleh manusia. Salah satu cara untuk mengurangi risiko tersebut di

BAB I PENDAHULUAN. ditentukan oleh manusia. Salah satu cara untuk mengurangi risiko tersebut di BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kehidupan dan kegiatan manusia, pada hakikatnya mengandung berbagai hal yang menunjukkan sifat hakiki dari kehidupan itu sendiri. Sifatsifat hakiki yang dimaksud di

Lebih terperinci

ASAS KEBEBASAN BERKONTRAK DALAM PERJANJIAN BAKU 1 Oleh: Dyas Dwi Pratama Potabuga 2

ASAS KEBEBASAN BERKONTRAK DALAM PERJANJIAN BAKU 1 Oleh: Dyas Dwi Pratama Potabuga 2 ASAS KEBEBASAN BERKONTRAK DALAM PERJANJIAN BAKU 1 Oleh: Dyas Dwi Pratama Potabuga 2 ABSTRAK Tujuan dilakukannya penelitian adalah untuk mengetahui bagaimana ketentuan hukum mengenai pembuatan suatu kontrak

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Perjanjian atau persetujuan merupakan terjemahan dari overeenkomst, mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Perjanjian atau persetujuan merupakan terjemahan dari overeenkomst, mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih. BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Uraian Teori 2.1.1. Pengertian Perjanjian dan Wanprestasi Perjanjian atau persetujuan merupakan terjemahan dari overeenkomst, Pasal 1313 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUH

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM MENGENAI PERJANJIAN, JAMINAN DAN GADAI. politicon). Manusia dikatakan zoon politicon oleh Aristoteles, sebab

BAB II TINJAUAN UMUM MENGENAI PERJANJIAN, JAMINAN DAN GADAI. politicon). Manusia dikatakan zoon politicon oleh Aristoteles, sebab BAB II TINJAUAN UMUM MENGENAI PERJANJIAN, JAMINAN DAN GADAI 2.1 Perjanjian 2.1.1 Pengertian Perjanjian Masalah perjanjian itu sebenarnya merupakan adanya ikatan antara dua belah pihak atau antara 2 (dua)

Lebih terperinci

BAB II PROSEDUR PERALIHAN HAK GUNA USAHA MELALUI PERIKATAN JUAL BELI SEKALIGUS ALIH FUNGSI PENGGUNAAN TANAH

BAB II PROSEDUR PERALIHAN HAK GUNA USAHA MELALUI PERIKATAN JUAL BELI SEKALIGUS ALIH FUNGSI PENGGUNAAN TANAH BAB II PROSEDUR PERALIHAN HAK GUNA USAHA MELALUI PERIKATAN JUAL BELI SEKALIGUS ALIH FUNGSI PENGGUNAAN TANAH A. Pengaturan tentang Perikatan Jual Beli Pasal 1233 Kitab Undang-undang Hukum Perdata (selanjutnya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. adalah, kendaraan bermotor roda empat (mobil). kendaraan roda empat saat ini

BAB I PENDAHULUAN. adalah, kendaraan bermotor roda empat (mobil). kendaraan roda empat saat ini BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Salah satu alat transportasi yang banyak dibutuhkan oleh manusia adalah, kendaraan bermotor roda empat (mobil). kendaraan roda empat saat ini menjadi salah satu

Lebih terperinci

Penerapan Pasal 1320 KUHPerdata terhadap jual beli secara online (e commerce) Herniwati, SH, MH. Dosen STIH Padang. Abstrak

Penerapan Pasal 1320 KUHPerdata terhadap jual beli secara online (e commerce) Herniwati, SH, MH. Dosen STIH Padang. Abstrak Penerapan Pasal 1320 KUHPerdata terhadap jual beli secara online (e commerce) Herniwati, SH, MH Dosen STIH Padang Abstrak Pasar 1320 KUHPerdata mengatur tentang syarat-syarat sah perjanjian. Ketentuan

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI. Koperasi secara etimologi berasal dari kata cooperation, terdiri dari kata

BAB II LANDASAN TEORI. Koperasi secara etimologi berasal dari kata cooperation, terdiri dari kata BAB II LANDASAN TEORI 2.1. Uraian Teori 2.1.1. Pengertian Koperasi Koperasi secara etimologi berasal dari kata cooperation, terdiri dari kata co yang artinya bersama dan operation yang artinya bekerja

Lebih terperinci

AKIBAT HUKUM DARI PERJANJIAN BAKU (STANDART CONTRACT) BAGI PARA PIHAK PEMBUATNYA (Tinjauan Aspek Ketentuan Kebebasan Berkontrak) Oleh:

AKIBAT HUKUM DARI PERJANJIAN BAKU (STANDART CONTRACT) BAGI PARA PIHAK PEMBUATNYA (Tinjauan Aspek Ketentuan Kebebasan Berkontrak) Oleh: AKIBAT HUKUM DARI PERJANJIAN BAKU (STANDART CONTRACT) BAGI PARA PIHAK PEMBUATNYA (Tinjauan Aspek Ketentuan Kebebasan Berkontrak) Oleh: Abuyazid Bustomi, SH, MH. 1 ABSTRAK Secara umum perjanjian adalah

Lebih terperinci

BAB IV KEKUATAN HUKUM MEMORANDUM OF UNDERSTANDING DALAM PERJANJIAN BERDASARKAN BUKU III BURGERLIJKE WETBOEK

BAB IV KEKUATAN HUKUM MEMORANDUM OF UNDERSTANDING DALAM PERJANJIAN BERDASARKAN BUKU III BURGERLIJKE WETBOEK BAB IV KEKUATAN HUKUM MEMORANDUM OF UNDERSTANDING DALAM PERJANJIAN BERDASARKAN BUKU III BURGERLIJKE WETBOEK A. Kekuatan Hukum Memorandum Of Understanding dalam Perjanjian Berdasarkan Buku III Burgerlijke

Lebih terperinci

BAB III HUTANG PIUTANG SUAMI ATAU ISTRI TANPA SEPENGETAHUAN PASANGANNYA MENURUT HUKUM POSITIF DI INDONESIA

BAB III HUTANG PIUTANG SUAMI ATAU ISTRI TANPA SEPENGETAHUAN PASANGANNYA MENURUT HUKUM POSITIF DI INDONESIA 53 BAB III HUTANG PIUTANG SUAMI ATAU ISTRI TANPA SEPENGETAHUAN PASANGANNYA MENURUT HUKUM POSITIF DI INDONESIA A. Pengertian Hutang Piutang Pengertian hutang menurut etimologi ialah uang yang dipinjam dari

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI

BAB II LANDASAN TEORI BAB II LANDASAN TEORI 2.1.Uraian Teori Beberapa teori akan dipakai sebagai acuan dalam penelitian ini, yaitu pengertian perjanjian, pembiayaan leasing dan teori fidusia. 2.1.1. Tinjauan Umum Tentang Perjanjian

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM MENGENAI HUKUM JAMINAN KREDIT. Istilah hukum jaminan berasal dari terjemahan zakerheidesstelling,

BAB II TINJAUAN UMUM MENGENAI HUKUM JAMINAN KREDIT. Istilah hukum jaminan berasal dari terjemahan zakerheidesstelling, BAB II TINJAUAN UMUM MENGENAI HUKUM JAMINAN KREDIT A. Pengertian Hukum Jaminan Kredit Istilah hukum jaminan berasal dari terjemahan zakerheidesstelling, zekerheidsrechten atau security of law. Dalam Keputusan

Lebih terperinci

Common Law Contract Agreement Agree Pact Covenant Treaty. Civil Law (Indonesia) Kontrak Sewa Perjanjian Persetujuan Perikatan

Common Law Contract Agreement Agree Pact Covenant Treaty. Civil Law (Indonesia) Kontrak Sewa Perjanjian Persetujuan Perikatan Common Law Contract Agreement Agree Pact Covenant Treaty Civil Law (Indonesia) Kontrak Sewa Perjanjian Persetujuan Perikatan 2 Prof. Subekti Perikatan hubungan hukum antara 2 pihak/lebih, dimana satu pihak

Lebih terperinci

Berdasarkan Pasal 1 ayat (2) Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998 tersebut, maka salah satu cara dari pihak bank untuk menyalurkan dana adalah dengan mem

Berdasarkan Pasal 1 ayat (2) Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998 tersebut, maka salah satu cara dari pihak bank untuk menyalurkan dana adalah dengan mem BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pembangunan di bidang ekonomi yang semakin meningkat mengakibatkan keterkaitan yang erat antara sektor riil dan sektor moneter, di mana kebijakan-kebijakan khususnya

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. kewajiban untuk memenuhi tuntutan tersebut. Pendapat lain menyatakan bahwa

II. TINJAUAN PUSTAKA. kewajiban untuk memenuhi tuntutan tersebut. Pendapat lain menyatakan bahwa II. TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Tentang Perjanjian 1. Pengertian Perjanjian Perjanjian adalah suatu hubungan hukum antara dua pihak, yang isinya adalah hak dan kewajiban, suatu hak untuk menuntut sesuatu

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan tentang Perjanjian Pada Umumnya 1. Pengertian dan Dasar Hukum Perjanjian Pengertian perjanjian di dalam Buku III KUH Perdata diatur di dalam Pasal 1313 KUH Perdata,

Lebih terperinci

Prosiding Ilmu Hukum ISSN: X

Prosiding Ilmu Hukum ISSN: X Prosiding Ilmu Hukum ISSN: 2460-643X Akibat Hukum dari Wanprestasi yang Timbul dari Perjanjian Kredit Nomor 047/PK-UKM/GAR/11 Berdasarkan Buku III KUHPERDATA Dihubungkan dengan Putusan Pengadilan Nomor

Lebih terperinci

BAB III TINJAUAN PUSTAKA

BAB III TINJAUAN PUSTAKA BAB III TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian Perjanjian Pasal 1313 KUH Perdata berbunyi: Suatu persetujuan adalah suatu perbuatan dengan mana 1 (satu) orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap 1 (satu) orang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Dalam sejarah perkembangan kehidupan, manusia pada zaman apapun

BAB I PENDAHULUAN. Dalam sejarah perkembangan kehidupan, manusia pada zaman apapun BAB I PENDAHULUAN A. Latar belakang Dalam sejarah perkembangan kehidupan, manusia pada zaman apapun selalu hidup bersama serta berkelompok. Sejak dahulu kala pada diri manusia terdapat hasrat untuk berkumpul

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN. ketentuan Buku III Kitab Undang Undang Hukum Perdata, dengan menyatakan

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN. ketentuan Buku III Kitab Undang Undang Hukum Perdata, dengan menyatakan 17 BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN A. Perjanjian Pada Umumnya Ketentuan Pasal 1233 Kitab Undang Undang Hukum Perdata mengawali ketentuan Buku III Kitab Undang Undang Hukum Perdata, dengan menyatakan

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. pengirim. Dimana ekspeditur mengikatkan diri untuk mencarikan pengangkut

II. TINJAUAN PUSTAKA. pengirim. Dimana ekspeditur mengikatkan diri untuk mencarikan pengangkut 1 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Perjanjian Ekspedisi Perjanjian ekspedisi adalah perjanjian timbal balik antara ekspeditur dengan pengirim. Dimana ekspeditur mengikatkan diri untuk mencarikan pengangkut yang

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Perikatan merupakan hubungan hukum yang tercipta karena adanya peristiwa

II. TINJAUAN PUSTAKA. Perikatan merupakan hubungan hukum yang tercipta karena adanya peristiwa 8 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Perjanjian dan Syarat Sah Perjanjian 1. Pengertian Perjanjian Perikatan merupakan hubungan hukum yang tercipta karena adanya peristiwa hukum antara para pihak yang melakukan perjanjian.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. manusia menjadi hal yang tidak terelakkan, terutama dalam memenuhi kebutuhan

BAB I PENDAHULUAN. manusia menjadi hal yang tidak terelakkan, terutama dalam memenuhi kebutuhan 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah. Pada saat ini dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan tehnologi maka hubungan antar manusia menjadi hampir tanpa batas, karena pada dasarnya manusia adalah

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN MENGENAI KONTRAK SECARA UMUM. Istilah kontrak berasal dari bahasa Inggris, yakni contract yang

BAB II TINJAUAN MENGENAI KONTRAK SECARA UMUM. Istilah kontrak berasal dari bahasa Inggris, yakni contract yang BAB II TINJAUAN MENGENAI KONTRAK SECARA UMUM A. Pengertian kontrak Istilah kontrak berasal dari bahasa Inggris, yakni contract yang bermakna perjanjian. Dalam bahasan belanda kontrak dikenal dengan kata

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN PENGANGKUTAN. Menurut R. Djatmiko Pengangkutan berasal dari kata angkut yang berarti

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN PENGANGKUTAN. Menurut R. Djatmiko Pengangkutan berasal dari kata angkut yang berarti 17 BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN PENGANGKUTAN 2.1 Pengertian Perjanjian Pengangkutan Istilah pengangkutan belum didefinisikan dalam peraturan perundangundangan, namun banyak sarjana yang mengemukakan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN TENTANG PERJANJIAN KREDIT. Perjanjian kredit merupakan salah satu jenis perjanjian yang segala

BAB II TINJAUAN TENTANG PERJANJIAN KREDIT. Perjanjian kredit merupakan salah satu jenis perjanjian yang segala BAB II TINJAUAN TENTANG PERJANJIAN KREDIT A. Perjanjian Kredit Perjanjian kredit merupakan salah satu jenis perjanjian yang segala ketentuan umumnya didasarkan pada ajaran umum hukum perikatan yang terdapat

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Pengertian perjanjian menurut Pasal 1313 KUHPerdata adalah :

II. TINJAUAN PUSTAKA. Pengertian perjanjian menurut Pasal 1313 KUHPerdata adalah : II. TINJAUAN PUSTAKA A. Perjanjian Pada Umumnya 1. Pengertian Perjanjian Pengertian perjanjian menurut Pasal 1313 KUHPerdata adalah : Suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya

Lebih terperinci

Heru Guntoro. Perjanjian Sewa Menyewa

Heru Guntoro. Perjanjian Sewa Menyewa Heru Guntoro. Perjanjian Sewa Menyewa... 473 Kewajiban pihak yang satu adalah menyerahkan barangnya untuk dinikmati oleh pihak yang lain, sedangkan kewajiban pihak yang terakhir ini adalah membayar harga

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pembangunan dilakukan manusia sudah berabad-abad. Pembangunan adalah usaha untuk

BAB I PENDAHULUAN. Pembangunan dilakukan manusia sudah berabad-abad. Pembangunan adalah usaha untuk BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pembangunan dilakukan manusia sudah berabad-abad. Pembangunan adalah usaha untuk menciptakan kemakmuran dan kesejahteraan, oleh karena itu dapat dikatakan hukum tentang

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN A. Pengertian dan Syarat Sahnya Perjanjian 1. Pengertian perjanjian Perjanjian secara umum diatur dalam Buku III KUHPerdata tentang Perikatan. Dalam KUHPerdata Buku

Lebih terperinci

KEKUATAN HUKUM MEMORANDUM

KEKUATAN HUKUM MEMORANDUM 1 KEKUATAN HUKUM MEMORANDUM OF UNDERSTANDING ANTARA KEJAKSAAN TINGGI GORONTALO DENGAN PT. BANK SULAWESI UTARA CABANG GORONTALO DALAM PENANGANAN KREDIT MACET RISNAWATY HUSAIN 1 Pembimbing I. MUTIA CH. THALIB,

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Dasar berlakunya perjanjian sewa beli adalah Pasal 1338 ayat (1) KUH

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Dasar berlakunya perjanjian sewa beli adalah Pasal 1338 ayat (1) KUH 12 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Asas Kebebasan Berkontrak Sebagai Dasar Lahirnya Perjanjian Sewa Beli Dasar berlakunya perjanjian sewa beli adalah Pasal 1338 ayat (1) KUH Perdata yang menentukan bahwa

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN TENTANG PERJANJIAN. sebagai makhluk sosial (zoon politicon). Melalui interaksi sosial yang selalu

BAB II TINJAUAN TENTANG PERJANJIAN. sebagai makhluk sosial (zoon politicon). Melalui interaksi sosial yang selalu BAB II TINJAUAN TENTANG PERJANJIAN F. Pengertian dan Asas-Asas Perjanjian Dinamika perkembangan masyarakat tidak terlepas dari kodrat manusia sebagai makhluk yang saling membutuhkan satu sama lain atau

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Sesuai dengan laju pertumbuhan ekonomi Negara Kesatuan Republik Indonesia dari

BAB I PENDAHULUAN. Sesuai dengan laju pertumbuhan ekonomi Negara Kesatuan Republik Indonesia dari BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Sesuai dengan laju pertumbuhan ekonomi Negara Kesatuan Republik Indonesia dari tahun ke tahun terus berupaya untuk melaksanakan peningkatan pembangunan di berbagai

Lebih terperinci

BAB II PENGATURAN ATAS JUAL BELI SAHAM DALAM PERSEROAN TERBATAS DI INDONESIA. dapat dengan mudah memahami jual beli saham dalam perseroan terbatas.

BAB II PENGATURAN ATAS JUAL BELI SAHAM DALAM PERSEROAN TERBATAS DI INDONESIA. dapat dengan mudah memahami jual beli saham dalam perseroan terbatas. BAB II PENGATURAN ATAS JUAL BELI SAHAM DALAM PERSEROAN TERBATAS DI INDONESIA A. Tinjauan Umum tentang Jual Beli 1. Pengertian Jual Beli Sebelum membahas mengenai aturan jual beli saham dalam perseroan

Lebih terperinci

BAB II PENGERTIAN UMUM PERJANJIAN BAKU. A. Pengertian Perjanjian dan Syarat-Syarat Sah Suatu Perjanjian

BAB II PENGERTIAN UMUM PERJANJIAN BAKU. A. Pengertian Perjanjian dan Syarat-Syarat Sah Suatu Perjanjian BAB II PENGERTIAN UMUM PERJANJIAN BAKU A. Pengertian Perjanjian dan Syarat-Syarat Sah Suatu Perjanjian Menurut pasal 1313 KUHPerdata: Suatu perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau

Lebih terperinci

HUKUM PERJANJIAN & PERIKATAN HUBUNGAN BISNIS ANDRI HELMI M, SE., MM.

HUKUM PERJANJIAN & PERIKATAN HUBUNGAN BISNIS ANDRI HELMI M, SE., MM. HUKUM PERJANJIAN & PERIKATAN HUBUNGAN BISNIS ANDRI HELMI M, SE., MM. PERIKATAN & PERJANJIAN Perikatan adalah suatu perhubungan hukum antara dua orang berdasarkan mana yang satu berhak menuntut hal dari

Lebih terperinci

BAB IV PENYELESAIAN WANPRESTASI DALAM PERJANJIAN SEWA BELI KENDARAAN BERMOTOR. A. Pelaksanaan Perjanjian Sewa Beli Kendaraan Bermotor

BAB IV PENYELESAIAN WANPRESTASI DALAM PERJANJIAN SEWA BELI KENDARAAN BERMOTOR. A. Pelaksanaan Perjanjian Sewa Beli Kendaraan Bermotor BAB IV PENYELESAIAN WANPRESTASI DALAM PERJANJIAN SEWA BELI KENDARAAN BERMOTOR A. Pelaksanaan Perjanjian Sewa Beli Kendaraan Bermotor Menurut sistem terbuka yang mengenal adanya asas kebebasan berkontrak

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN (KONTRAK) masyarakat. Istilah perjanjian berasal dari bahasa Inggris, yaitu contracts.

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN (KONTRAK) masyarakat. Istilah perjanjian berasal dari bahasa Inggris, yaitu contracts. BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN (KONTRAK) A. Pengertian Perjanjian Istilah perjanjian sudah lazim dipergunakan dalam lalu lintas hidup masyarakat. Istilah perjanjian berasal dari bahasa Inggris,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. mendesak para pelaku ekonomi untuk semakin sadar akan pentingnya

BAB I PENDAHULUAN. mendesak para pelaku ekonomi untuk semakin sadar akan pentingnya BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Dewasa ini, globalisasi ekonomi guna mencapai kesejahteraan rakyat berkembang semakin pesat melalui berbagai sektor perdangangan barang dan jasa. Seiring dengan semakin

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. macam kegiatan untuk memenuhi kebutuhan tersebut. Untuk dapat memenuhi

BAB I PENDAHULUAN. macam kegiatan untuk memenuhi kebutuhan tersebut. Untuk dapat memenuhi 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Manusia selalu berusaha untuk mencapai kesejahteraan dalam hidupnya. Hal ini menyebabkan setiap manusia di dalam kehidupannya senantiasa melakukan berbagai

Lebih terperinci

BAB III TINJAUAN UMUM KONTRAK DAN PERJANJIAN. Perjanjian, adapun yang dimaksud dengan perikatan oleh buku III KUH

BAB III TINJAUAN UMUM KONTRAK DAN PERJANJIAN. Perjanjian, adapun yang dimaksud dengan perikatan oleh buku III KUH BAB III TINJAUAN UMUM KONTRAK DAN PERJANJIAN A. Pengertian Kontrak atau Perjanjian Buku III KUH Perdata berjudul perihal perikatan perkataan perikatan (verbintenis) mempunyai arti yang lebih luas dari

Lebih terperinci

Hukum Kontrak Elektronik

Hukum Kontrak Elektronik Kontrak Elektronik (E-Contract) Hukum Kontrak Elektronik Edmon Makarim menggunakan istilah kontrak online (online contract) bagi kontrak elektronik (e-contract) dan mendefinisikan kontrak online sebagai:

Lebih terperinci

BAB II PERJANJIAN SEWA-MENYEWA DAN PENGATURAN HUKUM DALAM KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PERDATA. A. Pengertian Bentuk-bentuk dan Fungsi Perjanjian

BAB II PERJANJIAN SEWA-MENYEWA DAN PENGATURAN HUKUM DALAM KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PERDATA. A. Pengertian Bentuk-bentuk dan Fungsi Perjanjian 19 BAB II PERJANJIAN SEWA-MENYEWA DAN PENGATURAN HUKUM DALAM KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PERDATA A. Pengertian Bentuk-bentuk dan Fungsi Perjanjian Perjanjian merupakan sumber terpenting yang melahirkan perikatanperikatan

Lebih terperinci

BAB II KEDUDUKAN HUKUM BILA PENANGGUNG KEHILANGAN KECAKAPAN BERTINDAK DALAM PERJANJIAN PENANGGUNGAN

BAB II KEDUDUKAN HUKUM BILA PENANGGUNG KEHILANGAN KECAKAPAN BERTINDAK DALAM PERJANJIAN PENANGGUNGAN 31 BAB II KEDUDUKAN HUKUM BILA PENANGGUNG KEHILANGAN KECAKAPAN BERTINDAK DALAM PERJANJIAN PENANGGUNGAN A. PENANGGUNGAN ADALAH PERJANJIAN Sesuai defenisinya, suatu Penanggungan adalah suatu persetujuan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN, PERJANJIAN BAKU DAN KREDIT BANK Pengertian Perjanjian dan Dasar Hukumnya

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN, PERJANJIAN BAKU DAN KREDIT BANK Pengertian Perjanjian dan Dasar Hukumnya 16 BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN, PERJANJIAN BAKU DAN KREDIT BANK 2.1 Perjanjian 2.1.1 Pengertian Perjanjian dan Dasar Hukumnya Dalam bahasa Belanda, perjanjian disebut juga overeenkomst dan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. berinteraksi dengan alam kehidupan sekitarnya. 1. ketentuan yang harus dipatuhi oleh setiap anggota masyarakat.

BAB I PENDAHULUAN. berinteraksi dengan alam kehidupan sekitarnya. 1. ketentuan yang harus dipatuhi oleh setiap anggota masyarakat. 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Manusia diciptakan oleh Allah SWT sebagai makhluk sosial, oleh karenanya manusia itu cenderung untuk hidup bermasyarakat. Dalam hidup bermasyarakat ini

Lebih terperinci