PENGECUALIAN APLIKASI TINDAKAN PENGAMANAN PERDAGANGAN (SAFEGUARD MEASURE) TERHADAP NEGARA-NEGARA BERKEMBANG DALAM WORLD TRADE ORGANIZATION

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "PENGECUALIAN APLIKASI TINDAKAN PENGAMANAN PERDAGANGAN (SAFEGUARD MEASURE) TERHADAP NEGARA-NEGARA BERKEMBANG DALAM WORLD TRADE ORGANIZATION"

Transkripsi

1 1 PENGECUALIAN APLIKASI TINDAKAN PENGAMANAN PERDAGANGAN (SAFEGUARD MEASURE) TERHADAP NEGARA-NEGARA BERKEMBANG DALAM WORLD TRADE ORGANIZATION RUHUT MARHATA PEMBIMBING : ADIJAYA YUSUF DAN HADI RAHMAT PURNAMA ABSTRAK Judul : Pengecualian Aplikasi Tindakan Pengamanan Perdagangan (Safeguard Measure) terhadap Negara-Negara Berkembang dalam World Trade Organization Pengaturan tindakan safeguard dalam ketentuan World Trade Organization (WTO), yaitu Pasal XIX The General Agreement on Tariffs and Trade (GATT) dan Agreement on Safeguards (SA). Dalam menerapkan tindakan safeguard, harus diperhatikan unsur prosedural dan substantifnya. Dalam unsur prosedural, harus dipenuhi langkah-langkah investigasi, notifikasi, dan konsultasi. Dalam unsur substantif harus diperhatikan kenaikan impor yang menyebabkan kerugian serius atau ancamannya terhadap industri domestik. Selain itu, terdapat batasan-batasan yang harus diperhatikan dalam mengenakan tindakan safeguard terhadap negara lain, khususnya terhadap negara-negara berkembang. Negara-negara berkembang memiliki hak khusus berdasarkan Pasal 9.1 SA yang dapat dikecualikan atas dikenakannya tindakan safeguard, jika memenuhi persyaratan de minimis levels. Kasus tindakan safeguard di negara-negara berkembang terkait Pasal 9.1 SA ini terdapat dalam kasus US Line Pipe (2002), US Steel Safeguards (2003), dan Dominican Republic Polypropylene Bags and Tubular Fabric (2012). Kata Kunci: WTO, perdagangan internasional, safeguard, negara berkembang, GATT, Agreement on Safeguards. ABSTRACT Title : The Exception of Safeguard Measure for Developing Countries under World Trade Organization The regulations concerning safeguard measure under the provisions of World Trade Organization (WTO), which are Article XIX of The General Agreement on Tariffs and Trade (GATT) and Agreement on Safeguards (SA). In order to apply safeguard measure, the procedural and substantive elements must be observed. Procedurally, it shall meet the requirements of investigation, notification, and consultation. Substantively, it shall consider the increase of import that causes a serious injury or threat thereof to the domestic industry. Furthermore, there are limits in applying safeguard measure to other countries, especially developing countries. Developing countries have special rights pursuant to Article 9.1 SA, where they can be excluded from the safeguard measure application, if they fulfill the requirement of

2 2 de minimis levels. Studies some cases of safeguard measure in developing countries pursuant to Article 9.1 SA is contained in US Line Pipe (2002), US Steel Safeguards (2003), and Dominican Republic Polypropylene Bags and Tubular Fabric (2012). Keyword(s): WTO, international trade, safeguard, developing country, GATT, Agreement on Safeguards. PENDAHULUAN Pada tahun 1948, keberlakuan The General Agreement on Tariffs and Trade (GATT) awalnya merupakan perjanjian interim, kemudian menjadi satu-satunya instrumen di bidang perdagangan yang mengisi kekosongan kelembagaan perdagangan pada tingkat internasional akibat gagalnya pendirian ITO tersebut. 1 Dengan demikian, sistem perdagangan internasional yang diupayakan GATT ialah sistem yang dapat meningkatkan pertumbuhan ekonomi dan pembangunan di seluruh dunia. 2 Dalam mengatur permasalahan-permasalahan perdagangan dalam GATT maka terdapat Putaran Perdagangan (Trade Round). Hasil akhir Putaran Uruguay, memuat dokumen The Final Act Embodying The Results of the Uruguay Round of Multilateral Trade Negotiations, dokumen utama tersebut ialah The Agreement Establishing The World Trade Organization, atau yang lebih dikenal dengan nama Marrakesh Agreement mengenai pembentukan World Trade Organization (WTO). Prinsip yang terpenting sebagai negara anggota WTO ini adalah dilarang melakukan diskriminasi (pembedaan) terhadap negara anggota WTO lain, menjadi kunci utama dari hukum WTO tersebut dan sering menjadi subyek sengketa perdagangan antar anggota WTO. Larangan ini dapat ditemukan dalam dua kewajiban, yaitu most favoured nation (perlakuan MFN) dan national treatment (perlakuan nasional). 3 Prinsip-prinsip dasar GATT/WTO jelas mendukung terciptanya sistem perdagangan internasional yang harmonis, adil (fair), dan terbuka. Namun, disisi lain dalam mengeliminasi terjadinya penyimpangan-penyimpangan sebagai 1 Mitsuo Matsushita, Thomas J. Schoenbaum, dan Petros C. Mavroidis, The World Trade Organization Law, Practice, and Policy, (New York: Oxford University Press, 2003), hlm Olivier Long, Law and Limitations in the GATT Multilateral Trade System, Martinus Nijhoff Publisher, 1987, hlm Peter van den Bossche, Daniar Natakusumah, dan Joseph Wira Koesnadi, Pengantar Hukum WTO (World Trade Organization), (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2010), hlm. 8.

3 3 implikasi dari hubungan bisnis internasional, maka perlu dibentuk ketentuanketentuan sebagai instrumen pengamanan perdagangan yang dapat dipergunakan oleh seluruh negara anggota untuk melindungi kepentingannya dari praktik-praktik perdagangan curang yang dilakukan mitra bisnisnya. Jika dilihat dari beberapa pengecualian dari prinsip-prinsip GATT/WTO, terdapat beberapa unsur yang terkait dengan pengamanan perdagangan yang diakui oleh GATT/WTO dan negara-negara anggota diperkenankan untuk mempergunakan instrumen ini dalam melindungi industri dalam negerinya (domestic industry). Pengaturan antidumping, subsidi, dan safeguard mulai diakomodasi dalam GATT 1947 dan kemudian dipertegas lagi dalam GATT Kemudian, adanya pengecualian dalam keadaan ekonomi darurat yang telah diatur oleh WTO, pengecualian ini disebut safeguard. Terminologi safeguard atau safeguard measure ditujukan pada tindakan perdagangan yang diterapkan untuk melindungi industri domestik dari kompetisi impor yang menyebabkan kerugian atau ancaman kerugian serius padanya. 4 Terminologi safeguard ini dalam bahasa sering disebut sebagai tindakan pengamanan. 5 Pada istilah safeguard ini merupakan pengecualian yang memungkinkan negara anggota tertentu untuk menghindari kewajibannya sebagai anggota WTO dalam melakukan langkah darurat sementara (escape clause). Safeguard ini seperti halnya MFN merupakan salah satu prinsip perdagangan internasional yang penting. MFN menimbulkan akibat terjadinya pemerataan manfaat (sharing benefits) diantara semua anggota WTO, sementara dalam hal safeguard dimaksudkan untuk pembagian beban (sharing burdens). 6 Pada Pasal XIX GATT dan Perjanjian WTO mengenai safeguard yang disebut dengan the Safeguard Agreement atau SA memberi kewenangan pada para anggota dalam mengenakan pembatasan impor untuk memulihkan ke keadaan semula atau mencegah kerugian serius pada industri domestik yang disebabkan oleh kenaikan impor. Kemudian, telah dibedakannya tindakan umum safeguard (general safeguard measures) dari tindakan khusus safeguard (special safeguard measures) lainnya. 4 Patrick F.J. Macrory, Arthur E. Appleton, and Michael G. Plummer, ed., The World Trade Organization: Legal, Economic and Political Analysis, Volume 1, (New York: Springer Science + Business Media, Inc., 2005), hlm Republik Indonesia, Peraturan Pemerintah RI No. 34 Tahun 2011 Tentang Tindakan Antidumping, Tindakan Imbalan, dan Tindakan Pengamanan Perdagangan, Pasal 1 ayat (3). 6 Dian Ediana Rae, Pengantar Singkat World Trade Organization, dalam Transaksi Perdagangan Internasional, cet.2, (Jakarta: Pusat Pengkajian Hukum, 2005), hlm. 51.

4 4 Secepatnya, hal ini menjadi jelas bahwa tindakan tersebut selain dari Pasal XIX, tindakan safeguard terpaksa dilakukan oleh beberapa negara peserta jika suatu impor dipertimbangkan terdapat suatu kerugian. Hal ini timbulnya grey area measure atau daerah abu-abu yang juga meliputi Pembatasan Ekspor Secara Sukarela (Voluntary Export Restraints-VERs), 7 Kesepakatan Pengendalian Sukarela (Voluntary Restraint Arrangements-VRAs) dan Persetujuan Pasar Teratur (Orderly Marketing Arrangements-OMAs). 8 Dalam menerapkan safeguard, negara anggota pun harus memberitahukannya kepada Komite Safeguard, serta negara anggota harus menempuh beberapa prosedur khusus, yaitu konsultasi sebelum menerapkan safeguard tersebut. 9 Jika negara anggota WTO ingin menerapkan tindakan pengamanan (safeguard measure), terdapat persyaratan-persyaratan yang sangat ketat dalam Pasal XIX GATT 1994 dan Agreement on Safeguards yang harus terpenuhi. Selanjutnya dalam tindakan pengamanan perdagangan ini dikenakan terhadap perdagangan yang adil (fair), yaitu tidak terdapatnya kesalahan dari pengekspor atau tidak dijual dengan harga dumping ataupun telah diberikannya subsidi terhadap produk impor tersebut. Namun, hanya dikarenakan bahwa produk impor yang sangat kompetitif sehingga mereka memenangkan persaingan terhadap produk domestik di pasar. Karakteristik atau bentuk-bentuk dari safeguard, ialah bea masuk di atas batas tarif yang diperbolehkan untuk masing-masing negara atau berdasarkan kuota. Kemudian, difasilitasinya negara-negara berkembang anggota WTO terhadap sistem perdagangan dunia ini agar dapat mendorong pembangunan ekonominya. Negara-negara berkembang ini telah mendapatkan perlakuan yang khusus dan berbeda (special and differential treatment/s&d treatment) sebagaimana telah diatur oleh hampir semua perjanjian WTO. Perjanjian WTO 10 adalah suatu perjanjian 7 VER pada dasarnya merupakan suatu usaha negara untuk membujuk eksportir (negara maupun perusahaan swasta) agar sukarela membatasi ekspornya ke wilayah negara tersebut. Sistem ini pada dasarnya juga merupakan kuota yang inisiatifnya datang dari pihak pengekspor, dan bukannya pengimpor. Lihat Bob Sugeng Hadiwinata, Politik Bisnis Internasional, (Yogyakarta : Kanisius, 2002), hlm Perjanjian serupa dengan kuota antara sebuah negara pengimpor dan sebuah negara pengekspor pada pembatasan volume ekspor. Juga dikenal dengan voluntary export restraints (pembatasan ekspor sukarela). Lihat Cateora Graham, Pemasaran Internasional [International Marketing]. Diterjemahkan oleh Diana Angelica, ed. 13, (Jakarta : Salemba Empat, 2007), hlm Bhagirath Lal Das, The World Trade Organization, A Guide to the Framework for International Trade, (Penang: Zed Books Ltd. and Thirld World Network, 1999), hlm Perjanjian WTO (WTO Agreement) yang dimaksud adalah hasil dari negosiasi tentang perdagangan Multilateral Putaran Uruguay.

5 5 perdagangan untuk mempromosikan perdagangan internasional, serta menaikkan laju arus impor dengan konsesi yang saling menguntungkan. Tidak hanya itu, dalam mengenakan safeguard negara-negara berkembang telah mendapatkan perlakuan khusus di WTO, yaitu mereka dapat mengenakan safeguard dengan jangka waktu maksimum lebih dari delapan tahun sesuai Pasal 9.2 Agreement on Safeguards, 11 bahwa durasi dalam penerapan safeguard tersebut lebih panjang dibandingkan negara maju. Terlebih lagi, penerapan safeguard terhadap negara berkembang juga mendapat perlakuan khusus di WTO, bahwa negara pengimpor hanya bisa menerapkan tindakan safeguard dari barang negara berkembang jika negara berkembang menyuplai lebih dari 3% dari barang impor, atau jika anggota negara berkembang dengan kurang dari 3% saham kolektif impor dihitung lebih dari 9% dari total impor barang yang bersangkutan sesuai dengan Pasal 9.1 Agreement on Safeguards. 12 Oleh karena itu, hal ini sangat menarik perhatian bagaimana negara berkembang mendapat perlakuan khusus tidak hanya dalam negara berkembang menerapkan safeguard terhadap negara lain, namun juga penerapan safeguard terhadap produk negara berkembang. Tujuan umum penerapan safeguard ini yang terpenting guna melindungi kepentingan nasional, baik di dalam negeri maupun diluar negeri. Perlindungan di dalam negeri berarti menerapkan safeguard secara tepat guna melindungi kepentingan nasional ketika industri domestik terancam, tanpa harus melanggar ketentuan hukum internasional dan khususnya ketentuan WTO. PEMBAHASAN Sejak berlakunya GATT 1947, selalu disediakan skema katup pengaman tersebut, yang salah satunya adalah tindakan safeguard. Negara Amerika Serikat sebagai negara pertama kali yang memperkenalkan bentuk safeguard ini dikenal dengan 11 Pasal 9.2 SA, A developing country Member shall have the right to extend the period of application of a safeguard measure for a period of up to two years beyond the maximum period provided for in paragraph 3 of Article 7. Notwithstanding the provisions of paragraph 5 of Article 7, a developing country Member shall have the right to apply a safeguard measure again to the import of a product which has been subject to such a measure, taken after the date of entry into force of the WTO Agreement, after a period of time equal to half that during which such a measure has been previously applied, provided that the period of non-application is at least two years. 12 Pasal 9.1 SA, Safeguard measures shall not be applied against a product originating in a developing country Member as long as its share of imports of the product concerned in the importing Member does not exceed 3 per cent, provided that developing country Members with less than 3 per cent import share collectively account for not more than 9 per cent of total imports of the product concerned.

6 6 sebutan escape clause. Bentuk tersebut dapat kita temukan pada perjanjian perdagangan bilateral antara Amerika Serikat dan Meksiko pada tahun 1943, 13 yang berbunyi: If, as result of unforeseen developments and of the concession granted on any article enumerated and described in the schedules annexed to this agreement, such article is being imported in such increased quantities and under such conditions as to cause or threaten serious injury to domestic producers of like, or similar articles, the governments of either country shall be free to withdraw the concessions, in whole or in part, or to modify it to the extent and for such time as may be necessary to prevent such injury (Agreement between the United States and Mexico Respecting Reciprocal Trade Dec 23, 1942, Article XI). Klausula diatas menjadi acuan bagi pembentukan Pasal XIX GATT. Hal ini dapat kita lihat pada unsur-unsur atau syarat-syarat penerapan tindakan safeguard, yaitu adanya perkembangan yang tidak terduga (unforeseen development), adanya peningkatan impor yang berlebihan, mengakibatkan kerugian bagi industri dalam negeri, kewenangan negara importir untuk menarik atau mengubah pemberian konsesi perdagangan dalam jangka waktu yang diperlukan. 14 Perhatikan kata if pada ayat (1) butir a di atas, kata if merupakan syarat (conditional) yang artinya dalam situasi dimaksud berikut ini adalah kondisi tindakan safeguard dapat dilakukan. Sehubungan dengan tujuan escape clause dalam dokumen asli GATT, terdapat sedikit kontroversi mengenai hal tersebut, yaitu: 1. Penawaran perlindungan jangka pendek; 2. Ketentuan rebus sic stantibus 15, karena hal itu berlaku pada keadaan yang tidak terduga unforeseen, bahwa tidak dapat diprediksi pada saat perjanjian tersebut dibuat; Tanggapan sementara untuk mengubah keadaan perekonomian, dalam eksternal dan internal; 17 dan 13 Iman Rizani, Kebijakan Safeguard dalam Kerangka Pedagangan Internasional Ditinjau dari Hukum Internasional, (Skripsi Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Jakarta, 2003), hlm Ibid. 15 Asas yang dapat digunakan untuk memutuskan perjanjian secara sepihak apabila terdapat perubahan yang mendasar/fundamental dalam keadaan yang bertalian dengan perjanjian internasional yang telah disepakati. Lihat Pasal. 27 jo. Pasal. 46 ayat (1) VCLT dan Pasal 62 VCLT. 16 Kenneth W. Dam, The GATT, Law and International Economic Organization, (Chicago: The University of Chicago Press, 1970), hlm. 99.

7 7 4. Seharusnya memungkinkan pemerintah untuk membantu industri lokal yang tidak dapat berhasil untuk bersaing dengan beberapa impor. Walaupun Pasal XIX GATT secara eksplisit tidak menyatakannya, dapat diterimanya penangguhan atau penarikan kewajiban atau konsesi yang diterapkan berdasarkan asas non-diskriminasi. 18 Namun, dapat terlihat adanya justifikasi dalam selektivitas safeguard. 19 Singkatnya, ketentuan safeguard ini menunda akibat dari cepatnya produk yang berkompetisi masuk dan memberikan peluang pada produsen lokal untuk menyesuaikan dengan situasi yang baru dari sudut pandang struktural. 20 Safeguard dilakukan bukan untuk melindungi industri dalam negeri dari praktek perdagangan tidak adil (unfair), seperti dumping atau subsidi. Pengaturan tindakan pengamanan (safeguard) bertujuan untuk melakukan perlindungan/proteksi terhadap industri dalam negeri dari lonjakan barang-barang impor yang merugikan atau mengancam terjadinya kerugian pada industri dalam negeri. Prasyaratan yang tinggi atas kerugian serius serious injury ini menjustifikasikan penggunaan escape clause, dibandingkan dengan standar kerugian material material injury pada antidumping, 21 tindakan safeguard pada awalnya menawarkan standar yang lebih rendah untuk melakukan proteksi. Selain itu, sifat dari tindakan antidumping, tepat diterapkan pada negara tertentu atau pemasok yang membuat kerugian dari praktek dumping tersebut. Sedangkan, tindakan safeguard ini diterapkan atas dasar non-diskriminasi. Sampai pada akhir tahun tujuh puluhan, sembilan puluh lima tindakan safeguard ini telah 17 Olivier Long, Op. cit., hlm John H. Jackson, The World Trading System, Law and Policy of International Economic Relations, MIT Press, Lihat juga Mark Koulen, The Non-Discriminatory Interpretation of GATT article XIX(1): A Reply, 9 (Deventer: Legal Issues of Eur. Integration, 1983) hlm Lihat Marco C. E. J. Bronckers, Selective Safeguard Measures in Multilateral Trade Relations, (New York: Springer, 1985), hlm Tujuan dari selektivitas penerapan Pasal XIX bahwa hak negara pengimpor atas gangguan pasarnya market disruption, terhadap pemasok yang telah mengganggu disruptive atas pasarnya, tanpa mempertimbangkan negara pengekspor tersebut. Untuk pembahasan lebih lanjut mengenai justifikasi tersebut, Lihat Brian Hindley, Voluntary Export Restraints and Article XIX of the GATT, in Current Issues in Commercial Policy and Diplomacy (John Black & Brian Hindley, eds. 1979). Pada negosiasi Putaran Tokyo, anggota Persatuan Eropa European Community menganjurkan konsep selektivitas safeguard selective safeguard, contohnya, hak untuk perlindungan darurat melawan pemasok tertentu, yang telah melanggar filosofi GATT atas non-diskriminasi. Negara berkembang dengan lantang menentang usulan EEC, dan karena kebuntuan itu, tidak ada perjanjian untuk meningkatkan Safeguard Code. 20 John H. Jackson, Loc. cit. 21 J.F. Beseler, & A.N. Williams, Anti-Dumping and Anti-Subsidy: The European Communities, (London: Sweet & Maxwell, 1986), hlm. 50.

8 8 tercatat. 22 Safeguards telah lama dikenal pada praktek perdagangan internasional, bahkan sebelum GATT 1947 ditandatangani. 23 Pada 1 Desember 1993, hanya berjumlah 150 tindakan safeguard yang berdasarkan Pasal XIX GATT dilaporkan kepada Sekretariat GATT, banyak juga beberapa tindakan tersebut yang telah diberhentikan. Pada Desember 1992, hanya dua tindakan tersebut dilakukan oleh European Community berkaitan dengan anggur kering dan ceri olahan. 24 Amerika Serikat bukan hanya sebagai pelaku utama Pasal XIX GATT dalam negosiasi GATT pada pertengahan tahun 1940-an, namun juga sebagai kunci pendorong dalam Agreement on Safeguard pada tahun dalam negosiasi Putaran Uruguay. 25 Seperti yang ditujukan Administrasi Clinton dalam Statement of Administrative Action on the Agreement on Safeguards, Amerika Serikat mempunyai perhatian terhadap beberapa isu dalam S. 201 yang meninggalkan ketidakjelasan dalam Pasal XIX GATT. 26 Dalam Putaran Uruguay, negosiator Amerika Serikat berhasil menyakinkan rekan-rekan mereka untuk bekerja sama atas konsep S. 201 ke dalam Agreement on Safeguard pada WTO. 27 Pada Statement of Administrative Action mengindikasikan, Amerika Serikat memperhatikan dua ketentuan pada Pasal XIX GATT: Persyaratan tindakan escape clause dilakukan pada non-diskriminasi, dasar MFN; dan 2. Kemampuan suatu negara yang ekspornya diakibatkan oleh escape clause untuk melakukan retaliasi terhadap negara yang menerapkan escape clause jika mereka tidak memberikan kompensasi terhadap negara tersebut. (July 5, 1978). 22 Modalities of Aplication of Art. XIX: Note by the Secretariat, GATT Doc. L/4679 at J.F. Beseler, & A.N. Williams, Loc. cit. 24 Ernesto M. Hizon, The Safeguard Measure/VER Dilemma: The Jekyll and Hyde of Trade Protection, Volume 15 Issue 1 Fall, Northwestern Journal of International Law & Business, 1994, hlm Raj Bhala, Modern GATT Law A Treatise on The General Agreement on Tariffs and Trade, (London : Sweet & Maxwell Limited, 2005), hlm Ibid., hlm Ibid., hlm Ibid., hlm

9 9 Amerika Serikat berpendapat bahwa ketentuan ini menghalangi kegunaan dari escape clause. Ketentuan pertama membebankan sejumlah negara peserta lainnya dalam menyesuaikan biaya pada persaingan asing yang adil yang dikeluarkan oleh industri negara peserta yang telah menerapkan escape clause. Ketentuan kedua mengatur biaya retaliasi atau kompensasi pada negara peserta yang menerapkan escape clause. Dengan demikian, ketentuan kedua adalah disinsentif yang jelas dalam mengenakan escape clause. Efek individu dan gabungan dari ketentuan tersebut, mendesak Amerika Serikat, serta negara peserta menghindari Pasal XIX GATT. Namun, adanya lonjakan impor ini mereka malah menggunakan hal yang disebut sebagai daerah abu-abu (contohnya pembatasan ekspor sukarela voluntary export restraints). Oleh karena itu, "tujuan pelaku utama AS" dalam negosiasi Putaran Uruguay mengenai safeguard adalah untuk mengembangkan aturan pemakaian Pasal XIX GATT dan mendorong anggota WTO untuk menggunakan daripada menghindarinya. Tujuan ini sebagian besar telah tercapai. Perjanjian WTO mengenai safeguard, yang berlaku pada 1 Januari 1995, telah mengklarifikasi ketidakjelasan yang terdapat dalam Pasal XIX GATT. Kemudian, juga mengembangkan pengaturan Pasal XIX GATT agar dapat mendorong anggota WTO untuk menggunakan Pasal XIX GATT ini. Amerika Seikat dalam Putaran Uruguay mengidentifikasikan kedua kepentingan Agreement on Safeguard mengenai Pasal XIX GATT, bahwa pada klausa kedua dalam preamble, menyatakan: the need to clarify and reinforce the disciplines of Article XIX,...To re-establish multilateral control over safeguards and eliminate measures that escape such control. Kebutuhan untuk mengklarifikasi dan memperkuat disiplin Pasal XIX, dalam membangun kembali penguasaan multilateral safeguard dan mengeliminasi tindakantindakan yang telah dikecualikan atau ditanggalkan dari safeguard tersebut. Persetujuan safeguard (safeguard agreement) terdiri atas 14 pasal dan 1 lampiran, serta terdiri atas empat komponen. 29 Berdasarkan ketentuan yang berlaku secara internasional, yaitu Pasal XIX GATT 1994 dan Agreement on Safeguard (Safeguard Agreement), ada dua persyaratan harus dipenuhi dalam menentukan peningkatan impor yang dapat digunakan untuk mengambil tindakan safeguard. Pertama, 29 World Trade Organization (WTO), Agreement on Safeguards, diunduh pada 7 Mei 2013.

10 10 peningkatan impor yang harus disebabkan oleh adanya perkembangan yang tidak diperkirakan sebelumnya sebagai akibat dari tindakan memenuhi kewajiban internasional dalam rangka liberalisasi perdagangan. Kedua, peningkatan impor tersebut mengakibatkan kerugian serius atau ancaman kerugian serius bagi industri dalam negeri. Inti pada Pasal XIX GATT 1947 tetap dipertahankan tanpa diubah kedalam GATT Dalam perkembangannya, ketentuan tentang safeguard ditulis kembali kedalam formulasi yang agak berbeda dari yang dicantumkan dalam Persetujuan tentang Safeguard atau Agreement on Safeguards (Safeguard Agreement) yang merupakan salah satu bagian dalam Persetujuan WTO. Walaupun begitu, sebagaimana diterapkan oleh Appellate Body, pelaksanaan ketentuan Pasal XIX GATT 1994 dan Persetujuan Safeguard tetap dilakukan secara bersama. Kemudian, tujuan daripada Agreement on Safeguard ini secara eksplisit menerapkan kesetaraan terhadap negara-negara anggota. 30 Pada ketentuan mengenai perkembangan tidak terduga (unforeseen development) ini tidak terdapat pada Agreement on Safeguard, namun tercantum dalam Pasal XIX GATT Pada kasus Korea-Dairy Products, Korea dan Amerika Serikat keduanya berpendapat bahwa Agreement on Safeguards adalah satu-satunya yang mengatur mengenai ketentuan safeguard 31 sementara Uni Eropa berpendapat bahwa Pasal XIX GATT tetap berlaku dan menyediakan ketentuan tambahan yang tidak disebutkan pada SA. 32 SA tidak berisi ketentuan apapun yang mendiskripsikan mengenai hubungan hukumnya terhadap Pasal XIX GATT.. 33 Namun, Pasal II:2 pada Marrakesh Agreement Establishing the World Trade Organization, menetapkan bahwa : 30 World Trade Organization, Technical Information on Safeguard Measures, diunduh pada 7 Mei Panel Report, Korea Definitive Safeguard Measure on the Imports of Certain Dairy Products ( Korea Dairy Products ), WT/DS98/R (Report of the Panel, dated June 21, 1999), par , , Ibid., par dan SA hanya menetapkan bahwa Perjanjian menetapkan aplikasi safeguard measures terdapat dalam Pasal XIX GATT 1994 (Pasal 1). Sebaliknya, Pasal 1 pada Agreement on Implementation of Article VI GATT 1994 menetapkan hubungan hukum antara Perjanjian tersebut dengan ketentuan yang relevan pada GATT: [A]n antidumping measure shall be applied only under the circumstances provided for in Article VI of GATT 1994 and pursuant to investigations initiated and conducted in accordance with this Agreement. The following provisions govern the application of Article VI of GATT 1994 in so far as action is taken under antidumping legislation or regulation.

11 11 the agreements and associated legal instruments included in Annexes 1,2, and 3 [hereinafter referred to as Multilateral Trade Agreements ] are integral parts of this Agreement, binding on all Members, Hal ini mengkonfirmasikan keberlakuan umum Pasal XIX GATT 1994, sejak dimasukkan pada Annex 1 dalam perjanjian Marrakesh sebagai bagian dari GATT Hal ini terjadi adanya konflik antara ketentuan Pasal XIX GATT dan ketentuan SA, kemudian seharusnya berlaku sesuai dengan General Interpretative Note pada Annex 1A dalam perjanjian WTO. 35 Pada Korea-Dairy Products, Uni Eropa berpendapat bahwa keberadaan unforeseen development merupakan ketentuan dari Pasal XIX: 1 (a) GATT yang harus dibuktikan oleh negara yang menerapkan tindakan safeguard, walaupun klausa tertentu tidak dimasukkan pada perjanjian. 36 Sebaliknya, Korea berpendapat bahwa terdapat konflik antara ketentuan Pasal XIX: 1 (a) GATT dan Pasal 2.1 Perjanjian SA, dan ketentuan unforeseen development tidak efektif sejak ketentuan baru pada Pasal 2.1 SA tidak terdapat frasa tersebut. Amerika Serikat sebagai pihak ketiga, berpendapat sama dengan sudut pandang Korea. 37 Panel pada kasus Korea-Dairy Products menemukan bahwa tidak ada suatu konflik antara Pasal XIX (1) (a) GATT dan ketentuan yang relevan pada Agreement on Safeguards. 38 Namun, terdapat kontradiksi pendapat dari Uni Eropa, Panel tersebut mengkarakteristikan bahwa unforeseen development tidak sebagai prasyarat dalam penerapan safeguard namun hanya: An explanation of why an Article XIX measure may be needed, taking into account the fact that at the time (1947) the CONTRACTING PARTIES had just agreed (for the first time) on multilateral tariff bindings and on a general prohibition against quotas Posisi ini ditegaskan oleh Panel pada Korea Dairy Products, yang menetapkan, It is now well established that the WTO Agreement is a Single Undertaking and therefore all WTO obligations are generally cumulative and Members must comply with all of them simultaneously unless there is a formal conflict between them. Panel Report, Korea Dairy Products, par Dengan Catatan bahwa: In the event of conflict between a provision of the General Agreement on Tariffs and Trade 1994 and a provision of another agreement in Annex 1A to the Agreement Establishing the World Trade Organization (referred to in the agreement in Annex 1A as the WTO Agreement ), the provision of the other agreement shall prevail to the extent of the conflict. 36 Panel Report, Korea Dairy Products, par dan Ibid., par , , Ibid., par Ibid., par

12 12 Sebagai penjelasan mengapa tindakan Pasal XIX dapat dibutuhkan, dipertimbangkan bahwa fakta pada saat tahun 1947, Negara Peserta telah menyetujui pertama kalinya pengikatan tarif bea masuk multilateral (multilateral tariff bindings) dan larangan umum kuota (general prohibition against quotas). Namun, Panel menyatakan prinsip, bahwa the Safeguards Agreement does not supersede or replace Article XIX, dengan artian Safeguard Agreement tidak meniadakan atau menggantikan Pasal XIX GATT. 40 Panel pada Argentina-Footwear 41 berkesimpulan sama, bahwa penyelidikan safeguard yang diselenggarakan dan tindakan safeguard yang diterapkan setelah berlakunya perjanjian WTO telah memenuhi prasyaratan mengenai ketentuan Safeguard agreement yang baru harus memenuhi ketentuan Pasal XIX GATT. Pada Agreement on Safeguard (Safeguard Agreement) mengajukan aturan-aturan penerapan tindakan safeguard sesuai dengan Pasal XIX GATT Hubungan ini diuraikan dalam Pasal 1: General Provision, Agreement on Safeguard, yang berbunyi: This Agreement establishes rules for the application of safeguard measures which shall be understood to mean those measures provided for in Article XIX GATT Dalam Pasal 2.1 SA 42 terdapat pedoman untuk mengidentifikasikan peningkatan impor, yaitu bahwa barang impor yang masuk dalam wilayah kepabeanan suatu negara meningkat dalam jumlah secara absolut dan relatif dibandingkan dengan produksi dalam negeri serta mengakibatkan kerugian serius atau ancaman kerugian serius bagi industri yang menghasilkan barang yang serupa atau secara langsung tersaingi oleh barang impor tersebut. 43 Ada perbedaan mengenai pengidentifikasian 40 Ibid., par Panel Report, Argentina Safeguard Measure on the Imports of Footwear ( Argentina Footwear (EC) ), WT/DS121/R (Report of the Panel, dated June 25, 1999), par Pasal 2.1 SA, 1. A member may apply a safeguard measures to a product only if that Member has determined, pursuant to the provisions set out below, that such product is being imported into its territory in such increased quantities, absolute or relative to domestic production, and under such conditions as to cause or threaten to cause serious injury to the domestic industry that produces like or directly competitive product. 43 Komite Pengamanan Perdagangan Indonesia (KPPI), Perlindungan Industri dalam Negeri Melalui Tindakan Safeguard World Trade Organization, Jakarta, Agustus 2005, hlm. 5.

13 13 peningkatan impor antara Pasal XIX GATT 1994 dan Pasal 2.1 SA dalam Pasal 2.1 SA pengidentifikasian impor lebih diperjelas dengan pencantuman unsur pembedaan antara peningkatan absolut dan relatif yang tidak disinggung dalam Pasal XIX GATT Menurut Pasal 2.1 SA peningkatan impor dilihat dalam dua bentuk, yaitu secara absolut (misalnya, dalam ton atau satuan ukur lainnya) dan perbandingan secara relatif terhadap produksi dalam negeri atas barang serupa atau barang yang secara langsung tersaingi. Ketentuan peningkatan secara absolut dan relatif ini tidak mengikat. Misalnya, pada saat impor meningkat, terjadi juga peningkatan produksi dalam negeri sehingga secara relatif tidak terlihat peningkatan yang besar, atau sebaliknya, mungkin terjadi volume tidak menunjukkan peningkatan atau konstan, tetapi karena terjadi penurunan produksi dalam negeri yang besar mengakibatkan perbandingan antara impor dan produksi dalam negeri menjadi tinggi. Appellate Body membuat suatu guidance (pedoman) yang bersifat umum, yaitu bahwa peningkatan impor yang terjadi dalam rentang waktu yang paling akhir (recent), bersifat mendadak (sudden), cukup tajam dan cukup signifikan dalam hal kuantitas dan kualitas impornya yang menyebabkan kerugian serius (serious injury) atau ancaman kerugian serius (threaten serious injury) bagi industri dalam negeri. Anggota WTO dapat menerapkan tindakan safeguard perdagangan selama tindakan tersebut diperlukan untuk mencegah atau memulihkan kerugian atau ancaman kerugian dan memberikan industri domestik kesempatan dalam memperbaiki industrinya. Sebagaimana yang telah diatur dalam Pasal XIX GATT 1994 dan Pasal 2 Agreement on Safeguard, tindakan safeguard perdagangan hanya dapat diterapkan bila memenuhi tiga persyaratan substantif, yaitu persyaratan lonjakan/kenaikan impor, persyaratan kerugian serius atau ancaman daripadanya, dan persyaratan hubungan sebab-akibat (causal link) antara kenaikan impor dengan kerugian serius atau ancaman kerugian serius. Selain memenuhi persyaratan substantif, juga dipenuhinya persyaratan prosedural. Persyaratan prosedural tersebut terdiri dari penyelidikan, notifikasi, dan konsultasi. Jika persyaratan prosedural ini tidak dipenuhi, maka penerapan tindakan pengamanan perdagangan tersebut melanggar ketentuan WTO. 44 Selanjutnya, dalam menerapkan tindakan safeguard perlu diperhatikan batasan-batasan untuk mengaplikasikan tindakan tersebut. Dengan demikian, dalam menaikkan tarif, kuota, kuota tarif, atau tindakan safeguard lainnya, 44 Peter van den Bossche, Daniar Natakusumah, Joseph Wira Koesnaidi, Op. cit., hlm. 75.

14 14 haruslah dipertimbangkan mengenai paralelisme antara investigasi dengan penerapan safeguard, jangkauan safeguard dalam Pasal 5.1 SA, selektivitas penerapan safeguard, pengecualian negara-negara berkembang, peraturan administrasi atas hambatan kuantitatif dan tarif kuota menurut Pasal XIII GATT, dan jangka waktu dan peninjauan safeguard. Dalam sistem WTO bahwa negara-negara berkembang mendapatkan perlakuan istimewa, Special and Differential Treatment khususnya dalam penerapan tindakan safeguard. Kasus yang akan dianalisa adalah US Line Pipe (2002), US Steel Safeguards (2003), dan Dominican Republic Polypropylene Bags and Tubular Fabric (2012), yang akan dianalisa ini mengenai penerapan tindakan safeguard dengan mengecualikan negara-negara berkembang berdasarkan Pasal 9.1 SA, dalam Pasal tersebut tercantum bahwa: tindakan safeguard harus tidak dikenakan terhadap produk yang berasal dari negara-negara berkembang sepanjang impor produk tersebut di negara pengimpor tidak melampaui 3%, bila anggota negara berkembang memiliki impor kurang dari 3% secara kolektif yang memuat tidak lebih dari 9% dari impor produk keseluruhan. 45 Dengan dasar itulah negara berkembang mendapatkan perlakuan istimewa mengenai penerapan tindakan safeguard-nya, serta hubungan paralelisme antara penyelidikan safeguard dengan pengecualian aplikasi tindakan safeguard. Pada kasus US Line Pipe (2002) ini, berdasarkan bukti statistik, Appellate Body menegakkan keputusan Panel 46 dan menyimpulkan bahwa negara pengimpor bertindak tidak konsisten berdasarkan Pasal 9.1 SA dengan gagalnya mengambil seluruh langkah yang wajar take all reasonable steps yang dapat dilakukan, dan mengecualikan negara berkembang yang ekspornya kurang dari de minimis levels berdasarkan Pasal 45 Pasal 9.1 Agreement on Safeguards. 46 Panel menemukan bahwa tindakan safeguard tersebut tidak berisi pengecualian secara eksplisit express exclusion terhadap negara berkembang yang memenuhi syarat yang telah dideskripsikan dalam impor de minimis berdasarkan Pasal 9.S SA dan in the absence of any other elevant documentation, tindakan safeguard diterapkan terhadap negara berkembang dengan impor de minimis. Panel juga menetapkan bahwa Pasal 9.1 SA berisi kewajiban untuk tidak mengaplikasikan tindakan safeguard, namun tindakan tersebut dalam kasus US-Line Pipe telah diaplikasikan applies terhadap seluruh negara berkembang. Dengan demikian, Amerika Serikat tidak mentaati ketentuan berdasarkan Pasal 9.1 SA. Panel Report, United States Definitive Safeguard Measures on Imports of Circular Welded Carbon Quality Line Pipe From Korea ( United States Line Pipe ), WT/DS202/R (Report of the Panel, dated October 29, 2001), par

15 SA. 47 Bagaimanapun Appellate Body dalam kasus US-Line Pipe menetapkan bahwa Pasal 9.1 tidak mengindikasikan bagaimana negara anggota harus memenuhi kewajibannya dalam menyediakan secara khusus tidak diaplikasikannya (nonapplication) tindakan safeguard dan hal tersebut memungkinkan untuk memenuhi Pasal 9.1 SA tanpa meyediakan daftar khusus negara anggota yang dikecualikan dari tindakan safeguard: 48 There is nothing, for example, in the text of Article 9.1 to the effect that countries to which the measure will not apply must be expressly excluded from the measure. Although the Panel may have a point in saying that it is reasonable to expect an express exclusion, we see nothing in Article 9.1 that requires one. Appellate Body juga setuju dengan Amerika Serikat bahwa dimungkinkannya untuk memenuhi ketentuan Pasal 9.1 tanpa memberika daftar secara khusus negara anggota baik yang diikut-sertakan atau dikecualikan dari tindakan safeguard. Walaupun daftar tersebut dapat berguna dan membantu dalam memberikan transparansi untuk kepentingan seluruh negara anggota yang berkepentingan, namun Appellate Body melihat pada Pasal 9.1 SA tidak memberikan mandat seperti itu. 49 Pada kasus US-Line Pipe ini, tindakan safeguard yang diterapkan dalam bentuk tarif tambahan (supplemental duty), bahwa dikenakannya tarif terhadap impor yang melebihi kuota ton, hal ini merupakan bentuk dari kadar kuota tarif (tariff rate quota). Dalam tindakan safeguard inilah yang hanya dapat menggunakan tariff rate quota. 50 Kemudian dalam kasus ini, tidak adanya bukti yang telah dibawakan sebelum Panel bahwa, negara anggota pengimpor mengusahakan negara berkembang yang impornya de minimis ini dikecualikan dari tindakan safeguard. Pada poin ini, Appellate Body mengamati bahwa negara anggota WTO diwajibkan untuk memenuhi ketentuan Pasal 9.1 SA. Dokumen yang tersedia telah mengungkapkan bahwa tidak adanya usaha apapun dari Amerika Serikat, terlepas dari klaim mengenai: 47 Panel Report, United States Line Pipe, par World Trade Organization (a). WTO Analytical Index: Guide to WTO Law and Practice, vol. 1, ed. 2, (New York : Cambridge University Press, 2007), hlm Panel Report, United States Line Pipe, par World Trade Organization. World Trade Report 2009 Trade Policy Commitments and Contingency Measures, (Geneva: WTO Publications, 2009), hlm.114.

16 16 automatic structure of the measure itself, to make certain that de minimis imports from developing countries were excluded from the application of the measure. 51 Bahwa terdapat struktur otomatis tindakan safeguard sendiri, yang membuat impor de minimis dari negara berkembang dikecualikan dari tindakan safeguard. 52 Kesimpulannya, berdasarkan keputusan Appellate Body pada kasus ini, dalam menerapkan tindakan safeguard terhadap negara berkembang yaitu 53 : a. Daftar secara khusus anggota-anggota WTO yang diterapkan atau dikecualikan dari safeguard tidak wajib berdasarkan Pasal 9.1 SA; b. Kalkulasi presentasi harus dilakukan berdasarkan data terakhir yang tersedia pada saat tindakan safeguard diterapkan berdasarkan pada Pasal 9.1 SA; dan c. Negara Anggota yang menerapkan tindakan safeguard harus mengambil seluruh tindakan yang layak untuk beberapa negara berkembang perngekspor yang memenuhi Pasal 9.1 SA dikecualikan dari tindakan safeguard. Kemudian pada kasus US Steel Safeguards (2003), keputusan Appellate Body bahwa menolak untuk diaturnya banding bersyarat (conditional appeals) oleh pihak penggugat mengenai Pasal 9.1 SA. 54 Pada kasus ini Panel menjalankan judicial economy, karena menyadari bahwa dibutuhkannya penyelesaian sengketa segera (prompt settlement) berdasarkan Pasal 3.3 DSU. 55 Berdasarkan prinsip judicial economy penolakan Panel dapat diduga, dalam kaitannya dengan efisiensi. Sebagaimana dinyatakan oleh Raj Bhala: 51 Ibid., par. 129 dan World Trade Organization (a). Op.cit., hlm. 947, par United Nations Conference on Trade and Development, Dispute Settlement World Trade Organization 3.8 Safeguard Measures, (New York and Geneva: United Nations, 2003), hlm Appellate Body Report, United States Definitive Safeguard Measures on Imports of Certain Steel Products ( United States Steel Products ), WT/DS 248 DS259/R (Report of the Panel, dated July 11, 2003), WT/DS 248 DS259/AB/R (Report of the Appellate Body, dated November 10, 2003), par. 513 (i). 55 Pasal 3.3 DSU, The prompt settlement of situations in which a Member considers that any benefits accruing to it directly or indirectly under the covered agreements are being impaired by measures taken by another Member is essential to the effective functioning of the WTO and the maintenance of a proper balance between the rights and obligations of Members.

17 17 judicial economy didasarkan pada lebih sekedar untuk menjaga sumber daya yudisial dan menghapus persoalan secara efisiensi. Ini merupakan sebuah prinsip utuk menahan diri. Bila adjudikator WTO memutuskan setiap isu yang dikemukakan oleh penggugat, mereka membuat hukum lebih dari yang seharusnya, tapi hanya menemukan hukum bagi penyelesaian sengketa. 56 Penolakan Panel mungkin dalam jangka pendek dapat dipahami, namun hal tersebut akan mempengaruhi jangka panjang, karena telah menciptakan ketidakpastian bagi kasus-kasus di masa yang akan datang terkait dengan tindakan safeguard. Membiarkan persoalan negara berkembang untuk tidak dipecahkan telah menghasilkan ambiguitas, terkait dengan apakah perujukan terhadap ketentuan negara berkembang seperti itu secara hukum benar. 57 Selanjutnya, kesimpulan Keputusan Panel dalam kasus Dominican Republic Polypropylene Bags and Tubular Fabric (2012) adalah: Republik Dominika telah konsisten dengan kewajibannya berdasarkan Pasal 2.1, 2.2, 3.1, 4.2, 6, dan 9.1 SA dengan tidak gagal atas penyelenggaraan analisa baru dalam menentukan kenaikan impor, kerugian, dan hubungan sebab-akibat (causal link) ketika mengecualikan impor dari Kolumbia, Indonesia, Meksiko, dan Panama. 2. Repubilk Dominika tidak konsisten terhadap kewajibannya berdasarkan Pasal 9.1 SA dengan gagalnya mengambil seluruh ukuran yang wajar (all reasonable measures) yang tersedia untuk mengecualikan Thailand dari aplikasi ketentuan tindakan safeguard. Pada Appellate Body dalam kasus US-Steel Safeguards yang telah ditetapkan, 59 prinsip paralelisme ini menggabungkan bahasa paralel yang digunakan dalam Pasal 2.1 dan 2.2 SA. Impor harus dipertimbangkan untuk tujuan penyelidikan safeguard dengan produk yang diterapkan safeguard (Pasal 2.2 SA) haruslah sama, dalam kasus 56 Raj Bhala, The Preceden Setters: De facto Stare Decisis in WTO Adjudication: Part Two of a Trilogy, 9 J. Tech. L. & Pol y 1,51 (1999). 57 Nandang Sutrisno, Pemajuan Kepentingan Negara-Negara Berkembang dalam Sistem WTO: Studi Atas Mekanisme Perlakuan Khusus & Berbeda Dengan Referensi Khusus Terhadap Indonesia, (Cianjur: IMR Press, 2012), hlm dan (i). 58 Panel Report, Dominican Republic Polypropylene Bags and Tubular Fabric, par. 8.1 (h) 59 Appellate Body Report, United States Steel Products, par. 441.

18 18 ini klaim oleh Komplainan bahwa Republik Dominika tidak memberikan analisa yang baru, pada saat penyelidikan impor dan telah dikecualikannya negara berkembang, hal inilah merupakan hubungan paralelisme karena pengaruhnya penyelidikan impor dengan negara yang sudah dikecualikan dari tindakan safeguard. Pada kasus US-Line Pipe, Appellate Body menegakkan keputusan Panel 60 dan menyimpulkan bahwa negara pengimpor bertindak tidak konsisten berdasarkan Pasal 9.1 SA dengan gagalnya mengambil seluruh langkah yang wajar take all reasonable steps yang dapat dilakukan, dan mengecualikan negara berkembang yang ekspornya kurang dari de minimis levels berdasarkan Pasal 9.1 SA. 61 Pada kasus ini, negara Republik Dominika tidak mengambil seluruh langkah yang wajar dalam mengecualikan negara Thailand sebagai negara berkembang yang impornya memenuhi de minimis berdasarkan Pasal 9.1 SA. PENUTUP Kesimpulan Maka dari keseluruhan pembahasan yang telah diuraikan dihubungkan dengan pokok permasalahan yang telah dirumuskan, maka penulis memberikan kesimpulan, yaitu: 1. Negara anggota diberi kewenangan dalam mengenakan pembatasan impor untuk memulihkan kepada keadaan semula atau mencegah kerugian serius pada industri domestik yang disebabkan oleh kenaikan impor ini disebut sebagai tindakan safeguard yang tercantum pada Pasal XIX GATT dan Agreement on Safeguards. Tujuan dari safeguard ialah untuk memberikan kebebasan bagi industri domestik serta memberikan waktu bagi industri domestik untuk dapat beradaptasi terhadap kondisi pasar yang baru. 2. Dalam Agreement on Safeguards melarang penerapan gray area measures, namun menyarankan agar tindakan safeguard dapat diterapkan 60 Panel menemukan bahwa tindakan safeguard tersebut tidak berisi pengecualian secara eksplisit express exclusion terhadap negara berkembang yang memenuhi syarat yang telah dideskripsikan dalam impor de minimis berdasarkan Pasal 9.S SA dan in the absence of any other elevant documentation, tindakan safeguard diterapkan terhadap negara berkembang dengan impor de minimis. Panel juga menetapkan bahwa Pasal 9.1 SA berisi kewajiban untuk tidak mengaplikasikan tindakan safeguard, namun tindakan tersebut dalam kasus US-Line Pipe telah diaplikasikan applies terhadap seluruh negara berkembang. Dengan demikian, Amerika Serikat tidak mentaati ketentuan berdasarkan Pasal 9.1 SA. Panel Report, United States Line Pipe, par Panel Report, United States Line Pipe, par. 132.

19 19 dengan memenuhi persyaratan sesuai dengan Pasal XIX GATT 1994 dan SA. Kemudian, dalam menerapkan tindakan safeguard harus memenuhi persyaratan substantif dan prosedural. Pertama, persyaratan prosedural yang harus dipenuhi adalah investigasi/penyelidikan, notifikasi, dan Konsultasi. Kedua, dipenuhinya persyaratan substantifnya yakni terdapatnya kenaikan impor secara absolut maupun relatif dan diakibatkan oleh unforeseen development, kenaikan tersebut menyebabkan kerugian serius atau ancaman kerugian serius terhadap industri domestik, serta adanya hubungan sebab-akibat (causal link) antara kenaikan impor dengan kerugian serius atau ancaman kerugian serius. Tindakan safeguard harus dikenakan dengan memperhatikan batasan-batasan yang ada berdasarkan ketentuan GATT dan SA. Bahwa harus memperhatikan paralelisme antara investigasi dengan penerapan tindakan safeguard tersebut, jangkauan safeguard menurut Pasal 5.1 SA, selektivitas penerapan safeguard, pengecualian negara berkembang menurut Pasal 9.1 SA, peraturan administrasi atas hambatan kuantitatif dan tarif kuota menurut Pasal XIII GATT, dan jangka waktu serta peninjauan safeguard. Negara anggota WTO harus mengecualikan negara berkembang yang pangsa impornya kurang dari 3% dari penerapan tindakan safeguard, kecuali jika total pangsa impor dari semua negara lebih dari 9%. Hal ini tercantum pada Pasal 9.1 SA. Haruslah dilakukan semua langkah yang wajar all reasonable steps untuk disesuaikan dengan pengecualian tersebut. 3. Perkembangan isu safeguard terhadap negara berkembang berdasarkan Pasal 9.1 SA ini ditandai dengan munculnya kasus-kasus yang berkaitan dengan hal tersebut Kasus-kasus tersebut antara lain adalah kasus US Line Pipe (2002), kasus US Steel Safeguard, dan kasus Dominican Republic Polypropylene Bags and Tubular Fabric (2012). Dalam kasus US Line Pipe (2002) ini mengenai tindakan safeguard berbentuk tarif kuota yang dikenakan terhadap negara anggota WTO yang impornya melebihi 9,000 ton, dalam kasus ini juga dapat dikenakan terhadap negara berkembang, jika telah melebihi 9,000 ton ketika 9,000 ton tersebut bukanlah lagi representasi dari de minimis levels. Dalam kasus US Steel

20 20 Safeguard mengenai klaim tindakan safeguard ini pada produk baja diangkat dalam suatu judicial economy. Pada khususnya, klaim dari negara Cina mengenai status negara berkembang menurut GSP Amerika Serikat atau Protokol Aksesi Cina, namun kedua hal tersebut tidak diangkat atau diatur lagi dalam putusan Appellate Body. Pada kasus Dominican Republic Polypropylene Bags and Tubular Fabric (2012) mengenai tindakan safeguard yang mengecualikan beberapa negara berkembang, dengan hubungan paralelisme berdasarkan Pasal 9.1 SA, serta harusnya mengambil seluruh ukuran yang wajar (all reasonable measures) dengan mengecualikan negara Thailand sebagai negara berkembang. WTO pada intinya sudah mengakomodir kepentingan masing-masing negara anggota dengan mencantumkan pengecualian-pengecualian dan juga ketentuanketentuan dalam perjanjian-perjanjin multilateralnya. Keberadaan ketentuanketentuan tersebut sudah merupakan bentuk komitmen WTO dalam mensinergikan praktik perdagangan internasional. Saran Setelah menguraikan kesimpulan dari skripsi ini, maka saran yang dapat diberikan oleh penulis adalah kepada negara-negara anggota WTO, yaitu: 1. Sebaiknya pemerintah negara-negara memaksimalkan penerapan tindakan safeguard, karena tindakan tersebut yang dapat melindungi industri dalam negeri dari kerugian maupun ancaman kerugian serius yang diakibatkan oleh adanya gelombang impor tetapi dalam praktik perdagangan yang adil (fair trade). Kemudian, dalam penerapan safeguard ini harus diperhatikan juga batasan-batasan yang ada, khususnya terhadap negara berkembang. 2. Harus benar-benar diselidiki dan dipisahkan dari faktor kenaikan impor dan faktor lainnya (non-attribution) dalam menerapkan tindakan safeguards agar dapat meminimalkan tuduhan melakukan tindakan safeguard tersebut secara berlebihan, yang dapat menyebabkan retaliasi.

21 21 DAFTAR PUSTAKA BUKU Beseler, J.F., & A.N. Williams. Anti-Dumping and Anti-Subsidy: The European Communities. London: Sweet & Maxwell, Bronckers, Marco C. E. J., Selective Safeguard Measures in Multilateral Trade Relations. New York: Springer, Bhala, Raj. Modern GATT Law A Treatise on The General Agreement on Tariffs and Trade. London : Sweet & Maxwell Limited, 2005., The Preceden Setters: De facto Stare Decisis in WTO Adjudication: Part Two of a Trilogy, 9 J. Tech. L. & Pol y 1, Graham, Cateora. Pemasaran Internasional [International Marketing]. Diterjemahkan oleh Diana Angelica, Ed. 13. Jakarta : Salemba Empat, Hadiwinata, Bob Sugeng. Politik Bisnis Internasional. Yogyakarta : Kanisius, Komite Pengamanan Perdagangan Indonesia (KPPI). Perlindungan Industri dalam Negeri Melalui Tindakan Safeguard World Trade Organization. Jakarta: Agustus Lal Das, Bhagirath. The World Trade Organization, A Guide to the Framework for International Trade. Penang: Zed Books Ltd. and Thirld World Network Long, Oliver. Law and Limitations in the GATT Multilateral Trade System, Martinus Nijhoff Publisher, Macrory, Patrick F.J., Arthur E. Appleton, and Michael G. Plummer. Ed. The World Trade Organization: Legal, Economic and Political Analysis. Volume 1. New York: Springer Science + Business Media, Inc., Matsushita, Mitsuo, Thomas J. Schoenbaum, dan Petros C. Mavroidis, The World Trade Organization : Law, Practice, and Policy, Ed.1. Oxford : Oxford University Press, Sutrisno, Nandang. Pemajuan Kepentingan Negara-Negara Berkembang dalam Sistem WTO: Studi Atas Mekanisme Perlakuan Khusus & Berbeda Dengan Referensi Khusus Terhadap Indonesia. Cianjur: IMR Press, United Nations Conference on Trade and Development. Dispute Settlement World Trade Organization 3.8 Safeguard Measures. New York and Geneva: United Nations, van den Bossche, Peter, Daniar Natakusumah dan Joseph Wira Koesnaidi. Pengantar Hukum WTO (World Trade Organization). Ed.1. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2010.

UNIVERSITAS INDONESIA

UNIVERSITAS INDONESIA UNIVERSITAS INDONESIA TINJAUAN YURIDIS ATAS PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP INDUSTRI DALAM NEGERI MELALUI PERATURAN NASIONAL DIKAITKAN DENGAN UPAYA SAFEGUARDS DALAM WORLD TRADE ORGANIZATION T E S I S SYLVIANA

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. World Trade Organization (WTO) secara resmi berdiri pada. tanggal 1 Januari 1995 dengan disepakatinya Agreement the World

BAB I PENDAHULUAN. World Trade Organization (WTO) secara resmi berdiri pada. tanggal 1 Januari 1995 dengan disepakatinya Agreement the World BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah World Trade Organization (WTO) secara resmi berdiri pada tanggal 1 Januari 1995 dengan disepakatinya Agreement the World Trade Organization ditandatangani para

Lebih terperinci

DUMPING DAN ANTI-DUMPING SEBAGAI BENTUK UNFAIR TRADE PRACTICE DALAM PERDAGANGAN INTERNASIONAL

DUMPING DAN ANTI-DUMPING SEBAGAI BENTUK UNFAIR TRADE PRACTICE DALAM PERDAGANGAN INTERNASIONAL DUMPING DAN ANTI-DUMPING SEBAGAI BENTUK UNFAIR TRADE PRACTICE DALAM PERDAGANGAN INTERNASIONAL Oleh: Ni Wayan Ella Apryani Ayu Putu Laksmi Danyathi Hukum Internasional Fakultas Hukum Universitas Udayana

Lebih terperinci

BAB III PRINSIP PENGATURAN SAFEGUARDS

BAB III PRINSIP PENGATURAN SAFEGUARDS BAB III PRINSIP PENGATURAN SAFEGUARDS 3.1 Ketentuan Safeguards dalam WTO 3.1.1 Safeguards dalam GATT 1947 Pada dasarnya pengaturan mengenai safeguards dalam GATT 1947 yang digunakan adalah ketentuan Article

Lebih terperinci

Latar Belakang dan Sejarah Terbentuknya. WORLD TRADE ORGANIZATION (WTO) Bagian Pertama. Fungsi WTO. Tujuan WTO 4/22/2015

Latar Belakang dan Sejarah Terbentuknya. WORLD TRADE ORGANIZATION (WTO) Bagian Pertama. Fungsi WTO. Tujuan WTO 4/22/2015 WORLD TRADE ORGANIZATION (WTO) Bagian Pertama Hanif Nur Widhiyanti, S.H.,M.Hum. Latar Belakang dan Sejarah Terbentuknya TidakterlepasdarisejarahlahirnyaInternational Trade Organization (ITO) dangeneral

Lebih terperinci

PERLINDUNGAN INDUSTRI DALAM NEGERI MELALUI TINDAKAN SAFEGUARD WORLD TRADE ORGANIZATION

PERLINDUNGAN INDUSTRI DALAM NEGERI MELALUI TINDAKAN SAFEGUARD WORLD TRADE ORGANIZATION PERLINDUNGAN INDUSTRI DALAM NEGERI MELALUI TINDAKAN SAFEGUARD WORLD TRADE ORGANIZATION Oleh : A.A. Istri Indraswari I Ketut Sudiarta Bagian Hukum Bisnis Fakultas Hukum Universitas Udayana ABSTRACT Protection

Lebih terperinci

Artikel 22 ayat 1, DSU Agreement.

Artikel 22 ayat 1, DSU Agreement. BAB IV KESIMPULAN World Trade Organization (WTO) atau Organisasi Perdagangan Dunia merupakan satu-satunya badan internasional yang secara khusus mengatur masalah perdagangan antar negara. Sistem perdagangan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Hubungan perdagangan antar negara yang dikenal dengan perdagangan internasional mengalami perkembangan yang pesat dari waktu ke waktu. Perdagangan internasional merupakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. membuat perubahan dalam segala hal, khususnya dalam hal perdagangan. Era

BAB I PENDAHULUAN. membuat perubahan dalam segala hal, khususnya dalam hal perdagangan. Era 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sudah menjadi hal yang wajar apabila perkembangan peradaban manusia membuat perubahan dalam segala hal, khususnya dalam hal perdagangan. Era perdagangan global yang

Lebih terperinci

MEKANISME PENYELESAIAN SENGKETA PERDAGANGAN INTERNASIONAL MELALUI DISPUTE SETTLEMENT BODY (DSB) WORLD TRADE ORGANIZATION

MEKANISME PENYELESAIAN SENGKETA PERDAGANGAN INTERNASIONAL MELALUI DISPUTE SETTLEMENT BODY (DSB) WORLD TRADE ORGANIZATION MEKANISME PENYELESAIAN SENGKETA PERDAGANGAN INTERNASIONAL MELALUI DISPUTE SETTLEMENT BODY (DSB) WORLD TRADE ORGANIZATION (WTO) (TINJAUAN TERHADAP GUGATAN INDONESIA KEPADA KOREA SELATAN DALAM PENGENAAN

Lebih terperinci

PRINSIP WTO IKANINGTYAS

PRINSIP WTO IKANINGTYAS PRINSIP WTO IKANINGTYAS PERLAKUAN YANG SAMA UNTUK SEMUA ANGGOTA (MOST FAVOURED NATIONS TREATMENT-MFN). Prinsip ini diatur dalam pasal I GATT 1994 yang mensyaratkan semua komitman yang dibuat atau ditandatangani

Lebih terperinci

PRINSIP-PRINSIP PERDAGANGAN DUNIA (GATT/WTO)

PRINSIP-PRINSIP PERDAGANGAN DUNIA (GATT/WTO) BAHAN KULIAH PRINSIP-PRINSIP PERDAGANGAN DUNIA (GATT/WTO) Prof. Sanwani Nasution, SH Dr. Mahmul Siregar, SH.,M.Hum PROGRAM STUDI MAGISTER ILMU HUKUM SEKOLAH PASCASARJANA USU MEDAN 2009 PRINSIP-PRINSIP

Lebih terperinci

Pengantar Hukum WTO. Peter Van den Bossche, Daniar Natakusumah dan Joseph Wira Koesnaidi 1

Pengantar Hukum WTO. Peter Van den Bossche, Daniar Natakusumah dan Joseph Wira Koesnaidi 1 Pengantar Hukum WTO Peter Van den Bossche, Daniar Natakusumah dan Joseph Wira Koesnaidi 1 PRAKATA Penulis mengucapkan terimakasih kepada Pak Adolf Warauw S.H., LL.M. dan Prof. Hikmahanto Juwana S.H., LL.M.,

Lebih terperinci

Kata Kunci: National Treatment, Pajak Impor Dalam Industri Telepon Genggam, Kebijakan Tingkat Kandungan Dalam Negeri

Kata Kunci: National Treatment, Pajak Impor Dalam Industri Telepon Genggam, Kebijakan Tingkat Kandungan Dalam Negeri TINJAUAN YURIDIS KEBIJAKAN TINGKAT KANDUNGAN DALAM NEGERI DAN PAJAK IMPOR DALAM INDUSTRI TELEPON GENGGAM DIKAITKAN DENGAN PRINSIP NATIONAL TREATMENT FIKY MARTINO 1287032 ABSTRAK Prinsip National Treatment

Lebih terperinci

BAB II KONSEP DAN PENGATURAN DUMPING SERTA ANTIDUMPING DALAM KERANGKA GATT WTO

BAB II KONSEP DAN PENGATURAN DUMPING SERTA ANTIDUMPING DALAM KERANGKA GATT WTO BAB II KONSEP DAN PENGATURAN DUMPING SERTA ANTIDUMPING DALAM KERANGKA GATT WTO A. Sejarah Terbentuknya GATT WTO Pada akhir Perang Dunia II, negara-negara pemenang Perang Dunia II berupaya menciptakan berbagai

Lebih terperinci

AMENDEMEN MONTREAL AMENDEMEN ATAS PROTOKOL MONTREAL YANG DIADOPSI OLEH PERTEMUAN KESEMBILAN PARA PIHAK

AMENDEMEN MONTREAL AMENDEMEN ATAS PROTOKOL MONTREAL YANG DIADOPSI OLEH PERTEMUAN KESEMBILAN PARA PIHAK PASAL 1: AMENDEMEN AMENDEMEN MONTREAL AMENDEMEN ATAS PROTOKOL MONTREAL YANG DIADOPSI OLEH PERTEMUAN KESEMBILAN PARA PIHAK A. Pasal 4, ayat 1 qua Ayat berikut wajib dimasukkan sesudah Pasal 4 ayat 1 ter

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Universitas Indonesia. Tinjauan yuridis..., Sylviana Kusuma Lestari, FH UI, 2010.

BAB I PENDAHULUAN. Universitas Indonesia. Tinjauan yuridis..., Sylviana Kusuma Lestari, FH UI, 2010. BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Globalisasi terjadi hampir di semua bidang kehidupan masyarakat. Globalisasi di bidang ekonomi dapat digambarkan dengan adanya suatu situasi di mana terjadi hubungan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. implikasi positif dan negatif bagi perkembangan ekonomi negara-negara

BAB I PENDAHULUAN. implikasi positif dan negatif bagi perkembangan ekonomi negara-negara BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Hukum dan perjanjian internasional yang berkenaan dengan masalah ekonomi yang mengarah pada perdagangan bebas dapat mengakibatkan implikasi positif dan negatif bagi

Lebih terperinci

BAHAN KULIAH HUKUM PERNIAGAAN/PERDAGANGAN INTERNASIONAL MATCH DAY 10

BAHAN KULIAH HUKUM PERNIAGAAN/PERDAGANGAN INTERNASIONAL MATCH DAY 10 BAHAN KULIAH HUKUM PERNIAGAAN/PERDAGANGAN INTERNASIONAL MATCH DAY 10 PENANAMAN MODAL TERKAIT PERDAGANGAN INTERNASIONAL DALAM KERANGKA WTO (THE TRADE RELATED INVESTMENT MEASURES-TRIMs) A. Agreement on Trade

Lebih terperinci

ANTI DUMPING DALAM PERDAGANGAN INTERNASIONAL: SINKRONISASI PERATURAN ANTI DUMPING INDONESIA TERHADAP WTO ANTI DUMPING AGREEMENT

ANTI DUMPING DALAM PERDAGANGAN INTERNASIONAL: SINKRONISASI PERATURAN ANTI DUMPING INDONESIA TERHADAP WTO ANTI DUMPING AGREEMENT ANTI DUMPING DALAM PERDAGANGAN INTERNASIONAL: SINKRONISASI PERATURAN ANTI DUMPING INDONESIA TERHADAP WTO ANTI DUMPING AGREEMENT TESIS Oleh : RITA ERLINA 047005012/HK SEKOLAH PASCASARJANA UNIVERSITAS SUMATERA

Lebih terperinci

KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 84 TAHUN 2002 TENTANG TINDAKAN PENGAMANAN INDUSTRI DALAM NEGERI DARI AKIBAT LONJAKAN IMPOR

KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 84 TAHUN 2002 TENTANG TINDAKAN PENGAMANAN INDUSTRI DALAM NEGERI DARI AKIBAT LONJAKAN IMPOR KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 84 TAHUN 2002 TENTANG TINDAKAN PENGAMANAN INDUSTRI DALAM NEGERI DARI AKIBAT LONJAKAN IMPOR PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa pelaksanaan komitmen

Lebih terperinci

BAHAN KULIAH HUKUM PERNIAGAAN/PERDAGANGAN INTERNASIONAL MATCH DAY 7 WORLD TRADE ORGANIZATION (WTO)

BAHAN KULIAH HUKUM PERNIAGAAN/PERDAGANGAN INTERNASIONAL MATCH DAY 7 WORLD TRADE ORGANIZATION (WTO) BAHAN KULIAH HUKUM PERNIAGAAN/PERDAGANGAN INTERNASIONAL MATCH DAY 7 WORLD TRADE ORGANIZATION (WTO) A. Sejarah WTO World Trade Organization (WTO) adalah suatu organisasi perdagangan antarbangsabangsa dengan

Lebih terperinci

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA Teks tidak dalam format asli. Kembali: tekan backspace LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No. 133, 2002 KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 84 TAHUN 2002 TENTANG TINDAKAN PENGAMANAN INDUSTRI DALAM

Lebih terperinci

BAB V PENUTUP. 1. Sengketa dagang antara Indonesia dan Korea Selatan bermula. pada saat KTC mengajukan petisi anti dumping dan melakukan

BAB V PENUTUP. 1. Sengketa dagang antara Indonesia dan Korea Selatan bermula. pada saat KTC mengajukan petisi anti dumping dan melakukan 114 BAB V PENUTUP A. Kesimpulan 1. Sengketa dagang antara Indonesia dan Korea Selatan bermula pada saat KTC mengajukan petisi anti dumping dan melakukan penyelidikan dumping terhadap perusahaan-perusahaan

Lebih terperinci

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA KEPUTUSAN PRESIDEN NOMOR 25 TAHUN 1989 TENTANG PENGESAHAN PERSETUJUAN MENGENAI PERLINDUNGAN HAK CIPTA ANTARA DAN AMERIKA SERIKAT PRESIDEN, Menimbang : a. bahwa di Washington, Amerika Serikat, pada tanggal

Lebih terperinci

Key Words: Indications, Practice of Dumping, Laws

Key Words: Indications, Practice of Dumping, Laws INDIKASI PRAKTIK DUMPING MENURUT KETENTUAN PERUNDANGAN INDONESIA oleh Putu Edgar Tanaya Ida Ayu Sukihana Hukum Perdata Fakultas Hukum Universitas Udayana ABSTRACT Indications Dumping Practices Legislation

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Pembangunan sektor pertanian saat ini telah mengalami perubahan

I. PENDAHULUAN. Pembangunan sektor pertanian saat ini telah mengalami perubahan I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pembangunan sektor pertanian saat ini telah mengalami perubahan orientasi yaitu dari orientasi peningkatan produksi ke orientasi peningkatan pendapatan dan kesejahteraan.

Lebih terperinci

ANALISIS TERHADAP KEPUTUSAN DISPUTE SETTLEMENT BODY WORLD TRADE ORGANIZATION

ANALISIS TERHADAP KEPUTUSAN DISPUTE SETTLEMENT BODY WORLD TRADE ORGANIZATION ANALISIS TERHADAP KEPUTUSAN DISPUTE SETTLEMENT BODY WORLD TRADE ORGANIZATION (WTO) PADA KASUS US-CLOVE CIGARETTES (TOBACCO CONTROL ACT) 2012 DIPANDANG DARI PENERAPAN PRINSIP NATIONAL TREATMENT (PERLAKUAN

Lebih terperinci

Conduct dan prosedur penyelesaian sengketa. GATT terbentuk di Geneva pada tahun 1947

Conduct dan prosedur penyelesaian sengketa. GATT terbentuk di Geneva pada tahun 1947 BAHAN KULIAH HUKUM PERNIAGAAN/PERDAGANGAN INTERNASIONAL MATCH DAY 6 GENERAL AGREEMENT on TARIFF and TRADE (GATT) A. Sejarah GATT Salah satu sumber hukum yang penting dalam hukum perdagangan internasional

Lebih terperinci

HARMONISASI REGULASI DAN EFEKTIVITAS KELEMBAGAAN SAFEGUARD DI INDONESIA

HARMONISASI REGULASI DAN EFEKTIVITAS KELEMBAGAAN SAFEGUARD DI INDONESIA Abdurrahman Alfaqiih Fakultas Hukum Universitas Internasional Batam, Jl. Gajah Mada, Simpang UIB Baloi Sei Ladi, Batam. Telp (0778) 74371111 Email: abdurrahman_alfaqiih@yahoo.com HARMONISASI REGULASI DAN

Lebih terperinci

Bagian 10. Seksi 1 Catatan untuk Jadwal Kerajaan Thailand

Bagian 10. Seksi 1 Catatan untuk Jadwal Kerajaan Thailand Bagian 10 Seksi 1 Catatan untuk Jadwal Kerajaan Thailand 1. Untuk maksud-maksud Pasal 16, kategori-kategori berikut yang ditunjukkan pada Kolom 4 di dalam Jadwal Uni Myanmar, pada Seksi 2 Bagian ini, wajib

Lebih terperinci

HUKUM PERDAGANGAN INTERNASIONAL Dumping dan Anti Dumping

HUKUM PERDAGANGAN INTERNASIONAL Dumping dan Anti Dumping BAHAN KULIAH HUKUM PERDAGANGAN INTERNASIONAL Dumping dan Anti Dumping Prof. Sanwani Nasution, SH Dr. Mahmul Siregar, SH.,M.Hum PROGRAM STUDI MAGISTER ILMU HUKUM SEKOLAH PASCASARJANA USU MEDAN 2009 DUMPING

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. World Trade Organization (WTO) saat ini merupakan satu satunya organisasi

BAB I PENDAHULUAN. World Trade Organization (WTO) saat ini merupakan satu satunya organisasi BAB I PENDAHULUAN A. Latar belakang Masalah World Trade Organization (WTO) saat ini merupakan satu satunya organisasi internasional yang secara khusus mengurus masalah perdagangan antarnegara di dunia.

Lebih terperinci

2 negara lain. Dari situlah kemudian beberapa negara termasuk Indonesia berinisiatif untuk membentuk organisasi yang berguna untuk mengatur seluruh pe

2 negara lain. Dari situlah kemudian beberapa negara termasuk Indonesia berinisiatif untuk membentuk organisasi yang berguna untuk mengatur seluruh pe BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Dalam era globalisasi ini, keterbukaan, keterkaitan, ketergantungan, serta persaingan antar negara khususnya dalam bidang ekonomi semakin tidak dapat dihindari.adanya

Lebih terperinci

BAB II PENGATURAN PERLINDUNGAN TERHADAP INDUSTRI DI DALAM NEGERI DALAM SISTEM PERDAGANGAN BEBAS WTO

BAB II PENGATURAN PERLINDUNGAN TERHADAP INDUSTRI DI DALAM NEGERI DALAM SISTEM PERDAGANGAN BEBAS WTO BAB II PENGATURAN PERLINDUNGAN TERHADAP INDUSTRI DI DALAM NEGERI DALAM SISTEM PERDAGANGAN BEBAS WTO WTO (World Trade Organization) adalah organisasi perdagangan dunia yang berfungsi untuk mengatur dan

Lebih terperinci

KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 84 TAHUN 2002 TENTANG TINDAKAN PENGAMANAN INDUSTRI DALAM NEGERI DARI AKIBAT LONJAKAN IMPOR

KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 84 TAHUN 2002 TENTANG TINDAKAN PENGAMANAN INDUSTRI DALAM NEGERI DARI AKIBAT LONJAKAN IMPOR KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 84 TAHUN 2002 TENTANG TINDAKAN PENGAMANAN INDUSTRI DALAM NEGERI DARI AKIBAT LONJAKAN IMPOR PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Menimbang : a. bahwa pelaksanaan komitmen

Lebih terperinci

DIPONEGORO LAW REVIEW Volume 5, Nomor 2, Tahun 2016 Website :

DIPONEGORO LAW REVIEW Volume 5, Nomor 2, Tahun 2016 Website : TINDAKAN PENGAMANAN PERDAGANGAN TERHADAP KAIN TENUN DARI KAPAS DAN BENANG KAPAS SEBAGAI AKIBAT PENINGKATAN VOLUME IMPOR TEKSTIL Mevy Adine*, Siti Mahmudah, F.X.Djoko Priyono Program Studi S1 Ilmu Hukum,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. mengalami perkembangan yang sangat pesat dari waktu ke waktu, di mana

BAB I PENDAHULUAN. mengalami perkembangan yang sangat pesat dari waktu ke waktu, di mana BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Dalam era globalisasi dewasa ini, perdagangan internasional telah mengalami perkembangan yang sangat pesat dari waktu ke waktu, di mana negara-negara di dunia saat ini

Lebih terperinci

KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 84 TAHUN 2002 TENTANG TINDAKAN PENGAMANAN INDUSTRI DALAM NEGERI DARI AKIBAT LONJAKAN IMPOR

KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 84 TAHUN 2002 TENTANG TINDAKAN PENGAMANAN INDUSTRI DALAM NEGERI DARI AKIBAT LONJAKAN IMPOR KEPUTUSAN PRESIDEN NOMOR 84 TAHUN 2002 TENTANG TINDAKAN PENGAMANAN INDUSTRI DALAM NEGERI DARI AKIBAT LONJAKAN IMPOR PRESIDEN Menimbang : a. bahwa pelaksanaan komitmen liberalisasi perdagangan dalam kerangka

Lebih terperinci

Bab I. Pendahuluan. adalah akumulasi keuntungan yang sebesar-besarnya (optimum profit). Tujuan ini

Bab I. Pendahuluan. adalah akumulasi keuntungan yang sebesar-besarnya (optimum profit). Tujuan ini Bab I Pendahuluan A. Latar Belakang Masalah Perdagangan internasional merupakan salah satu kegiatan ekonomi atau kegiatan bisnis yang akhir-akhir ini mengalami perkembangan yang sangat pesat. Perhatian

Lebih terperinci

BAB III PENUTUP. Faktor-faktor yang mempengaruhi ketidakefektifan penyelesaian sengketa

BAB III PENUTUP. Faktor-faktor yang mempengaruhi ketidakefektifan penyelesaian sengketa 64 BAB III PENUTUP A. Kesimpulan Berdasarkan hasil penelitian penulis, maka dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut : Faktor-faktor yang mempengaruhi ketidakefektifan penyelesaian sengketa DSB WTO dalam

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 34 TAHUN 2011 TENTANG TINDAKAN ANTIDUMPING, TINDAKAN IMBALAN, DAN TINDAKAN PENGAMANAN PERDAGANGAN

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 34 TAHUN 2011 TENTANG TINDAKAN ANTIDUMPING, TINDAKAN IMBALAN, DAN TINDAKAN PENGAMANAN PERDAGANGAN PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 34 TAHUN 2011 TENTANG TINDAKAN ANTIDUMPING, TINDAKAN IMBALAN, DAN TINDAKAN PENGAMANAN PERDAGANGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 34 TAHUN TENTANG TINDAKAN ANTIDUMPING, TINDAKAN IMBALAN, DAN TINDAKAN PENGAMANAN PERDAGANGAN

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 34 TAHUN TENTANG TINDAKAN ANTIDUMPING, TINDAKAN IMBALAN, DAN TINDAKAN PENGAMANAN PERDAGANGAN PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 34 TAHUN 2011 2010 TENTANG TINDAKAN ANTIDUMPING, TINDAKAN IMBALAN, DAN TINDAKAN PENGAMANAN PERDAGANGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK

Lebih terperinci

NASKAH PENJELASAN PENGESAHAN

NASKAH PENJELASAN PENGESAHAN NASKAH PENJELASAN PENGESAHAN SECOND PROTOCOL TO AMEND THE AGREEMENT ON TRADE IN GOODS UNDER THE FRAMEWORK AGREEMENT ON COMPREHENSIVE ECONOMIC COOPERATION AMONG THE GOVERNMENTS OF THE MEMBER COUNTRIES OF

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Establishing The World Trade Organization tersebut melalui Undang-undang

BAB I PENDAHULUAN. Establishing The World Trade Organization tersebut melalui Undang-undang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia telah terlibat dalam GATT sejak tanggal 24 Februari 1950. Sebagai Negara berkembang, Indonesia telah menunjukan sikap yang positif terhadap pengaturan perdagangan

Lebih terperinci

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 56 TAHUN 1994 TENTANG PENGESAHAN AGREEMENT BETWEEN THE GOVERNMENT OF THE REPUBLIC OF INDONESIA AND THE GOVERNMENT OF THE UNITED KINGDOM OFGREAT BRITAIN AND NOTHERN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. sekutu, maka dimulailah upaya membentuk lembaga-lembaga ekonomi

BAB I PENDAHULUAN. sekutu, maka dimulailah upaya membentuk lembaga-lembaga ekonomi 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pada pasca perang dunia kedua yang ditandai dengan kemenangan pihak sekutu, maka dimulailah upaya membentuk lembaga-lembaga ekonomi internasional. Pembentukan

Lebih terperinci

DAFTAR PUSTAKA. Adolf, Huala, 2004, Hukum Perdagangan Internasional, PT. Raja Grafindo persada, Jakarta;

DAFTAR PUSTAKA. Adolf, Huala, 2004, Hukum Perdagangan Internasional, PT. Raja Grafindo persada, Jakarta; DAFTAR PUSTAKA Literatur Aaronson, Susan, 1996, Trade and the American Dream: A Social History of Postwar Trade Policy, KY: University Press of Kentucky, Lexington; Adolf, Huala, 2004, Hukum Perdagangan

Lebih terperinci

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, KEPPRES 56/1994, PENGESAHAN AGREEMENT BETWEEN THE GOVERNMENT OF THE REPUBLIC OF INDONESIA AND THE GOVERNMENT OF THE UNITED KINGDOM OFGREAT BRITAIN AND NOTHERN IRELAND ON COPYRIGHT PROTECTION Oleh: PRESIDEN

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 34 TAHUN 1996 TENTANG BEA MASUK ANTIDUMPING DAN BEA MASUK IMBALAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 34 TAHUN 1996 TENTANG BEA MASUK ANTIDUMPING DAN BEA MASUK IMBALAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 34 TAHUN 1996 TENTANG BEA MASUK ANTIDUMPING DAN BEA MASUK IMBALAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: bahwa berdasarkan Pasal 20 dan Pasal 23 Undang-undang

Lebih terperinci

MULTILATERAL TRADE (WTO), FREE TRADE AREA DI TINGKAT REGIONAL (AFTA) ATAU FREE TRADE AGREEMENT BILATERAL

MULTILATERAL TRADE (WTO), FREE TRADE AREA DI TINGKAT REGIONAL (AFTA) ATAU FREE TRADE AGREEMENT BILATERAL MULTILATERAL TRADE (WTO), FREE TRADE AREA DI TINGKAT REGIONAL (AFTA) ATAU FREE TRADE AGREEMENT BILATERAL INDONESIA DAN PERDAGANGAN INTERNASIONAL (SERI 1) 24 JULI 2003 PROF. DAVID K. LINNAN UNIVERSITY OF

Lebih terperinci

KEKUATAN MENGIKAT RESOLUSI DEWAN KEAMANAN PBB DALAM PENYELESAIAN SENGKETA INTERNASIONAL

KEKUATAN MENGIKAT RESOLUSI DEWAN KEAMANAN PBB DALAM PENYELESAIAN SENGKETA INTERNASIONAL KEKUATAN MENGIKAT RESOLUSI DEWAN KEAMANAN PBB DALAM PENYELESAIAN SENGKETA INTERNASIONAL Oleh I Komang Oka Dananjaya Progam Kekhususan Hukum Internasional Fakultas Hukum Universitas Udayana ABSTRACT The

Lebih terperinci

PP 34/1996, BEA MASUK ANTIDUMPING DAN BEA MASUK IMBALAN BEA MASUK ANTIDUMPING DAN BEA MASUK IMBALAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PP 34/1996, BEA MASUK ANTIDUMPING DAN BEA MASUK IMBALAN BEA MASUK ANTIDUMPING DAN BEA MASUK IMBALAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Copyright (C) 2000 BPHN PP 34/1996, BEA MASUK ANTIDUMPING DAN BEA MASUK IMBALAN *34762 Bentuk: PERATURAN PEMERINTAH (PP) Oleh: PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Nomor: 34 TAHUN 1996 (34/1996) Tanggal: 4 JUNI

Lebih terperinci

Memperkuat Sistem Hukum Remedi Perdagangan, Melindungi Industri Dalam Negeri

Memperkuat Sistem Hukum Remedi Perdagangan, Melindungi Industri Dalam Negeri 230 Memperkuat Sistem Hukum Remedi Perdagangan, Melindungi Industri Dalam Negeri Nandang Sutrisno Dosen Fakultas Hukum UII Yogyakarta E-Mail: nandst@fh.uii.ac.id Abstract Trade remedies, i.e. Anti Dumping,

Lebih terperinci

SISTEM PERDAGANGAN INTERNASIONAL

SISTEM PERDAGANGAN INTERNASIONAL SISTEM PERDAGANGAN INTERNASIONAL GLOBAL TRADING SYSTEM 1. Tarif GATT (1947) WTO (1995) 2. Subsidi 3. Kuota 4. VERs 5. ad. Policy 6. PKL NEGARA ATAU KELOMPOK NEGARA NEGARA ATAU KELOMPOK NEGARA TRADE BARRIERS

Lebih terperinci

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 38 TAHUN 1993 TENTANG PENGESAHAN AGREEMENT BETWEEN THE GOVERNMENT OF THE REPUBLIC OF INDONESIA AND THE GOVERNMENT OF AUSTRALIA CONCERNING THE PROTECTION AND

Lebih terperinci

WORLD TRADE ORGANIZATION Structure & Membership FETRYCIA ANGELA OCTORY/ KEN SWARI MAHARANI /

WORLD TRADE ORGANIZATION Structure & Membership FETRYCIA ANGELA OCTORY/ KEN SWARI MAHARANI / WORLD TRADE ORGANIZATION Structure & Membership FETRYCIA ANGELA OCTORY/ 1206183161 KEN SWARI MAHARANI / 1206307164 World Trade Organization (WTO) atau Organisasi Pedagangan Dunia, berlaku efektif 1 Januari

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 34 TAHUN 1996 TENTANG BEA MASUK ANTIDUMPING DAN BEA MASUK IMBALAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 34 TAHUN 1996 TENTANG BEA MASUK ANTIDUMPING DAN BEA MASUK IMBALAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 34 TAHUN 1996 TENTANG BEA MASUK ANTIDUMPING DAN BEA MASUK IMBALAN PRESIDEN, Menimbang : bahwa berdasarkan Pasal 20 dan Pasal 23 Undang-undang Nomor 10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan,

Lebih terperinci

ABSTRAK. Kata kunci : WTO (World Trade Organization), Kebijakan Pertanian Indonesia, Kemudahan akses pasar, Liberalisasi, Rezim internasional.

ABSTRAK. Kata kunci : WTO (World Trade Organization), Kebijakan Pertanian Indonesia, Kemudahan akses pasar, Liberalisasi, Rezim internasional. ABSTRAK Indonesia telah menjalankan kesepakan WTO lewat implementasi kebijakan pertanian dalam negeri. Implementasi kebijakan tersebut tertuang dalam deregulasi (penyesuaian kebijakan) yang diterbitkan

Lebih terperinci

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Copyright (C) 2000 BPHN KEPPRES 88/1996, PENGESAHAN PROTOCOL AMENDING THE CONVENTION BETWEEN THE GOVERNMENT OF THE REPUBLIC OF INDONESIA AND THE GOVERNMENT OF THE UNITED STATES OF AMERICA FOR THE AVOIDANCE

Lebih terperinci

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 38 TAHUN 1992 TENTANG PENGESAHAN AGREEMENT BETWEEN THE GOVERNMENT OF THE REPUBLIC OF INDONESIA AND THE GOVERNMENT OF THE REPUBLIC OF THE SUDAN ON ECONOMIC AND

Lebih terperinci

ASEAN FREE TRADE AREA (AFTA) Lola Liestiandi & Primadona Dutika B.

ASEAN FREE TRADE AREA (AFTA) Lola Liestiandi & Primadona Dutika B. ASEAN FREE TRADE AREA (AFTA) Lola Liestiandi & Primadona Dutika B. Outline Sejarah dan Latar Belakang Pembentukan AFTA Tujuan Strategis AFTA Anggota & Administrasi AFTA Peranan & Manfaat ASEAN-AFTA The

Lebih terperinci

TUGAS MATA KULIAH HUKUM EKONOMI INTERNASIONAL. Posisi Indonesia dan Perkembangan Perundingan WTO (Doha Development Agenda) APRILIA GAYATRI

TUGAS MATA KULIAH HUKUM EKONOMI INTERNASIONAL. Posisi Indonesia dan Perkembangan Perundingan WTO (Doha Development Agenda) APRILIA GAYATRI TUGAS MATA KULIAH HUKUM EKONOMI INTERNASIONAL Posisi Indonesia dan Perkembangan Perundingan WTO (Doha Development Agenda) O l e h : APRILIA GAYATRI N P M : A10. 05. 0201 Kelas : A Dosen : Huala Adolf,

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 17 TAHUN 2017 TENTANG PENGESAHAN PROTOCOL AMENDING THE MARRAKESH AGREEMENT ESTABLISHING THE WORLD TRADE ORGANIZATION (PROTOKOL PERUBAHAN PERSETUJUAN MARRAKESH MENGENAI

Lebih terperinci

REPUBLIK INDONESIA CONCERNING SISTER CITY COOPERATION

REPUBLIK INDONESIA CONCERNING SISTER CITY COOPERATION REPUBLIK INDONESIA MEMORANDUM OF UNDERSTANDING BETWEEN THE CITY GOVERNMENT OF YOGYAKARTA, REPUBLIC OF INDONESIA AND THE DISTRICT GOVERNMENT OF COMMEWIJNE, REPUBLIC OF SURINAME CONCERNING SISTER CITY COOPERATION

Lebih terperinci

BAB III KETENTUAN ANTI DUMPING DALAM GATT DAN KETENTUAN ANTI DUMPING DI INDONESIA

BAB III KETENTUAN ANTI DUMPING DALAM GATT DAN KETENTUAN ANTI DUMPING DI INDONESIA BAB III KETENTUAN ANTI DUMPING DALAM GATT DAN KETENTUAN ANTI DUMPING DI INDONESIA A. Ketentuan Anti Dumping dalam General Agreement on Tariffs and Trade (GATT) 1994 Secara struktur General Agreement on

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Dewasa ini perkembangan perekonomian yang sangat pesat telah. mengarah kepada terbentuknya ekonomi global. Ekonomi global mulai

BAB I PENDAHULUAN. Dewasa ini perkembangan perekonomian yang sangat pesat telah. mengarah kepada terbentuknya ekonomi global. Ekonomi global mulai BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Dewasa ini perkembangan perekonomian yang sangat pesat telah mengarah kepada terbentuknya ekonomi global. Ekonomi global mulai terbentuk ditandai dengan berbagai peristiwa

Lebih terperinci

COPY OF REGULATION OF THE MINISTER OF FINANCE THE REPUBLIC OF INDONESIA NUMBER 96/PMK.011/2014 CONCERNING THE IMPOSITION OF SAFEGUARD MEASURE TAX

COPY OF REGULATION OF THE MINISTER OF FINANCE THE REPUBLIC OF INDONESIA NUMBER 96/PMK.011/2014 CONCERNING THE IMPOSITION OF SAFEGUARD MEASURE TAX COPY OF REGULATION OF THE MINISTER OF FINANCE THE REPUBLIC OF INDONESIA NUMBER 96/PMK.011/2014 CONCERNING THE IMPOSITION OF SAFEGUARD MEASURE TAX REGARDING IMPORTED PRODUCT OF COTTON YARN OTHER THAN SEWING

Lebih terperinci

IMPLIKASI PRINSIP MOST FAVOURED NATION DALAM UPAYA PENGHAPUSAN HAMBATAN PEDAGANGAN INTERNASIONAL

IMPLIKASI PRINSIP MOST FAVOURED NATION DALAM UPAYA PENGHAPUSAN HAMBATAN PEDAGANGAN INTERNASIONAL Prawitra Thalib: Implikasi Prinsip Most Favoured Nation 35 IMPLIKASI PRINSIP MOST FAVOURED NATION DALAM UPAYA PENGHAPUSAN HAMBATAN PEDAGANGAN INTERNASIONAL Prawitra Thalib, SH.,MH. Anwar Rachman dan rekan,

Lebih terperinci

PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP PRODUK BERAS DALAM NEGERI MENURUT HUKUM INTERNASIONAL DAN HUKUM NASIONAL. Oleh: Angelliyen

PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP PRODUK BERAS DALAM NEGERI MENURUT HUKUM INTERNASIONAL DAN HUKUM NASIONAL. Oleh: Angelliyen PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP PRODUK BERAS DALAM NEGERI MENURUT HUKUM INTERNASIONAL DAN HUKUM NASIONAL Abstact Oleh: Angelliyen Pembimbing: Maria Maya Lestari, SH., MSC., MH Ledy Diana, SH., MH Alamat: Jl.

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Industri TPT merupakan penyumbang terbesar dalam perolehan devisa

I. PENDAHULUAN. Industri TPT merupakan penyumbang terbesar dalam perolehan devisa I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Industri TPT merupakan penyumbang terbesar dalam perolehan devisa Indonesia. Pada kurun tahun 1993-2006, industri TPT menyumbangkan 19.59 persen dari perolehan devisa

Lebih terperinci

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.1298, 2012 BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA KEMENTERIAN PERDAGANGAN. Penyelidikan. Antidumping. Imbalan. Tata Cara. Pencabutan. PERATURAN MENTERI PERDAGANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 76/M-DAG/PER/12/2012

Lebih terperinci

ARAH KEBIJAKAN NASIONAL DALAM PERJANJIAN INTERNASIONAL PERDAGANGAN JASA DAN INVESTASI

ARAH KEBIJAKAN NASIONAL DALAM PERJANJIAN INTERNASIONAL PERDAGANGAN JASA DAN INVESTASI ARAH KEBIJAKAN NASIONAL DALAM PERJANJIAN INTERNASIONAL PERDAGANGAN JASA DAN INVESTASI FGD PEMBAHASAN CROSS-CUTTING ISSUES PADA INVESTMENT CHAPTER DALAM PERJANJIAN FTA Medan, 10 Desember 2015 Staf Ahli

Lebih terperinci

BAHAN KULIAH. Safeguard TRANSAKSI BISNIS INTERNASIONAL SEKOLAH PASCASARJANA USU MEDAN Dr. Mahmul Siregar, SH.,M.Hum

BAHAN KULIAH. Safeguard TRANSAKSI BISNIS INTERNASIONAL SEKOLAH PASCASARJANA USU MEDAN Dr. Mahmul Siregar, SH.,M.Hum BAHAN KULIAH TRANSAKSI BISNIS INTERNASIONAL Safeguard Dr. Mahmul Siregar, SH.,M.Hum Staf Pengajar Fakultas Hukum USU Jl. BungaAsoka Gg. AndalasNo. 1 AsamKumbang, Medan Cellphone : 081362260213, 77729765

Lebih terperinci

PERKEMBANGAN PERDAGANGAN INDONESIA - THAILAND PERIODE : JANUARI DESEMBER 2014

PERKEMBANGAN PERDAGANGAN INDONESIA - THAILAND PERIODE : JANUARI DESEMBER 2014 PERKEMBANGAN PERDAGANGAN INDONESIA - THAILAND PERIODE : JANUARI DESEMBER 2014 A. Perkembangan perekonomian dan perdagangan Thailand 1. Selama periode Januari-Desember 2014, neraca perdagangan Thailand

Lebih terperinci

KEDUDUKAN BILATERAL INVESTMENT TREATIES (BITs) DALAM PERKEMBANGAN HUKUM INVESTASI DI INDONESIA

KEDUDUKAN BILATERAL INVESTMENT TREATIES (BITs) DALAM PERKEMBANGAN HUKUM INVESTASI DI INDONESIA KEDUDUKAN BILATERAL INVESTMENT TREATIES (BITs) DALAM PERKEMBANGAN HUKUM INVESTASI DI INDONESIA LATIF, BIRKAH Pembimbing : Prof. Dr. Muchammad Zaidun, SH., Msi INTERNATIONAL LAW ; INVESTMENT, FOREIGN KKB

Lebih terperinci

2 b. bahwa Persetujuan dimaksudkan untuk menetapkan prosedur penyelesaian sengketa dan mekanisme formal untuk Persetujuan Kerangka Kerja dan Perjanjia

2 b. bahwa Persetujuan dimaksudkan untuk menetapkan prosedur penyelesaian sengketa dan mekanisme formal untuk Persetujuan Kerangka Kerja dan Perjanjia LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.93, 2015 PENGESAHAN. Agreement. Asosiasi Bangsa- Bangsa Asia Tenggara. Republik India. Penyelesaian Sengketa. Kerja Sama Ekonomi. PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

Lebih terperinci

IDENTITAS MATA KULIAH

IDENTITAS MATA KULIAH S I L A B I A. IDENTITAS MATA KULIAH NAMA MATA KULIAH : HUKUM EKONOMI INTERNASIONAL STATUS MATA KULIAH : WAJIB KODE MATA KULIAH : JUMLAH SKS : 2 PRASYARAT : SEMESTER SAJIAN : SEMESTER 4 KE ATAS B. DESKRIPSI

Lebih terperinci

BAB I. A. Latar Belakang

BAB I. A. Latar Belakang BAB I A. Latar Belakang Keamanan pangan merupakan kebutuhan paling mendasar bagi setiap negara. World Trade Organization (WTO) adalah organisasi internasional yang sejak tahun 1995 memiliki peran sentral

Lebih terperinci

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 88 TAHUN 1996 TENTANG PENGESAHAN PROTOCOL AMENDING THE CONVENTION BETWEEN THE GOVERNMENT OF THE REPUBLIC OF INDONESIA AND THE GOVERNMENT OF THE UNITED STATES

Lebih terperinci

PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP INDUSTRI DALAM NEGERI DARI PRAKTEK DUMPING

PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP INDUSTRI DALAM NEGERI DARI PRAKTEK DUMPING PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP INDUSTRI DALAM NEGERI DARI PRAKTEK DUMPING DI BALI ( STUDY PADA DINAS PERINDUSTRIAN DAN PERDAGANGAN PROVINSI BALI ) Oleh : I Made Ferry Gunawadi I Wayan Novy Purwanto Bagian

Lebih terperinci

PERLINDUNGAN INDUSTRI DOMESTIK DALAM PERDAGANGAN BEBAS

PERLINDUNGAN INDUSTRI DOMESTIK DALAM PERDAGANGAN BEBAS PERLINDUNGAN INDUSTRI DOMESTIK DALAM PERDAGANGAN BEBAS Budi Nugroho Widyaiswara Muda Balai Diklat Keuangan Yogyakarta Badan Pendidikan dan Pelatihan Keuangan Kementerian Keuangan Republik Indonesia Kata

Lebih terperinci

MEMORANDUM SALING PENGERTIAN ANTARA INSTITUT PENELITIAN EKONOMI UNTUK ASEAN DAN ASIA TIMUR DENGAN SADAN PUSAT STATISTIK REPUBLIK INDONESIA TENTANG

MEMORANDUM SALING PENGERTIAN ANTARA INSTITUT PENELITIAN EKONOMI UNTUK ASEAN DAN ASIA TIMUR DENGAN SADAN PUSAT STATISTIK REPUBLIK INDONESIA TENTANG REPUBLIK INDONESIA MEMORANDUM SALING PENGERTIAN ANTARA INSTITUT PENELITIAN EKONOMI UNTUK ASEAN DAN ASIA TIMUR DENGAN SADAN PUSAT STATISTIK REPUBLIK INDONESIA TENTANG PENYEDIAAN, PEMANFAATAN, DAN PENGEMBANGAN

Lebih terperinci

ABSTRACT. Bankruptcy is a general confiscation of all property and the administration

ABSTRACT. Bankruptcy is a general confiscation of all property and the administration ABSTRACT Bankruptcy is a general confiscation of all property and the administration of the bankruptcy debtor settlement done by curator under the supervision of the supervisory judge as set forth in this

Lebih terperinci

BAB II PERJANJIAN TRIPS YANG DIKELUARKAN OLEH WTO DAN RATIFIKASI INDONESIA

BAB II PERJANJIAN TRIPS YANG DIKELUARKAN OLEH WTO DAN RATIFIKASI INDONESIA BAB II PERJANJIAN TRIPS YANG DIKELUARKAN OLEH WTO DAN RATIFIKASI INDONESIA Bab ini akan menjelaskan mengenai awal mula lahirnya suatu perjanjian TRIPs yang dikeluarkan oleh WTO. Dimana di bab ini lebih

Lebih terperinci

Departemen Luar Negeri Indonesia dan Kementerian Luar Negeri Romania (selanjutnya disebut sebagai "Para Pihak";

Departemen Luar Negeri Indonesia dan Kementerian Luar Negeri Romania (selanjutnya disebut sebagai Para Pihak; MEMORANDUM SALING PENGERTIAN ANTARA DEPARTEMEN LUAR NEGERI REPUBLIK INDONESIA DENGAN KEMENTERIAN LUAR NEGERI ROMANIA TENTANG PEMBENTUKAN KONSUL TASI BILATERAL Departemen Luar Negeri Indonesia dan Kementerian

Lebih terperinci

CROSS-CUTTING ISSUES ANTARA SERVICES CHAPTER DAN INVESTMENT CHAPTER DALAM PERJANJIAN PERDAGANGAN INTERNASIONAL (FTA/EPA/CEPA)

CROSS-CUTTING ISSUES ANTARA SERVICES CHAPTER DAN INVESTMENT CHAPTER DALAM PERJANJIAN PERDAGANGAN INTERNASIONAL (FTA/EPA/CEPA) CROSS-CUTTING ISSUES ANTARA SERVICES CHAPTER DAN INVESTMENT CHAPTER DALAM PERJANJIAN PERDAGANGAN INTERNASIONAL (FTA/EPA/CEPA) HERLIZA DIREKTUR PERUNDINGAN PERDAGANGAN JASA DITJEN KERJA SAMA PERDAGANGAN

Lebih terperinci

KAJIAN YURIDIS KEBIJAKAN ANTIDUMPING DALAM PERDAGANGAN INTERNASIONAL 1 Oleh : Lusy K.F.R. Gerungan 2

KAJIAN YURIDIS KEBIJAKAN ANTIDUMPING DALAM PERDAGANGAN INTERNASIONAL 1 Oleh : Lusy K.F.R. Gerungan 2 KAJIAN YURIDIS KEBIJAKAN ANTIDUMPING DALAM PERDAGANGAN INTERNASIONAL 1 Oleh : Lusy K.F.R. Gerungan 2 PENDAHULUAN A. Latar belakang Hubungan dagang antar Negara yang di kenal dengan perdagangan internasional,

Lebih terperinci

SEKOLAH PASCASARJANA USU MEDAN 2009

SEKOLAH PASCASARJANA USU MEDAN 2009 BAHAN KULIAH WORLD TRADE ORGANIZATION Prof. Sanwani Nasution, SH Dr. Mahmul Siregar, SH.,M.Hum PROGRAM STUDI ILMU HUKUM SEKOLAH PASCASARJANA USU MEDAN 2009 SEJARAH TERBENTUKNYA GATT (1) Kondisi perekonomian

Lebih terperinci

PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 46 TAHUN 2005

PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 46 TAHUN 2005 PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 46 TAHUN 2005 TENTANG PENGESAHAN MONTREAL AMENDMENT TO THE MONTREAL PROTOCOL ON SUBSTANCES THAT DEPLETE THE OZONE LAYER ( AMENDEMEN MONTREAL ATAS PROTOKOL MONTREAL

Lebih terperinci

III KERANGKA PEMIKIRAN

III KERANGKA PEMIKIRAN III KERANGKA PEMIKIRAN 3.1. Kerangka Pemikiran Teoritis Pembentukan kerangka pemikiran dalam penelitian ini didukung oleh teori-teori yang terkait dengan tujuan penelitian. Teori-teori tersebut meliputi

Lebih terperinci

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 14 TAHUN 1991 TENTANG PENGESAHAN AGREEMENT BETWEEN THE GOVERNMENT OF THE REPUBLIC OF INDONESIA AND THE GOVERNMENT OF THE PEOPLE'S REPUBLIC OF BULGARIA ON ECONOMIC

Lebih terperinci

DAFTAR ISI. Halaman Judul... i. Halaman Persetujuan Pembimbing... ii. Halaman Pengesahan Skripsi... iii. Halaman Pernyataan... iv

DAFTAR ISI. Halaman Judul... i. Halaman Persetujuan Pembimbing... ii. Halaman Pengesahan Skripsi... iii. Halaman Pernyataan... iv DAFTAR ISI Halaman Halaman Judul... i Halaman Persetujuan Pembimbing... ii Halaman Pengesahan Skripsi... iii Halaman Pernyataan... iv Halaman Persembahan... v Kata Pengantar... vii Kutipan Undang-Undang...

Lebih terperinci

PERDAGANGAN INTERNASIONAL DAN INVESTASI

PERDAGANGAN INTERNASIONAL DAN INVESTASI BAHAN KULIAH PERDAGANGAN INTERNASIONAL DAN INVESTASI Prof. Sanwani Nasution, SH Dr. Mahmul Siregar, SH.,M.Hum PROGRAM STUDI MAGISTER ILMU HUKUM SEKOLAH PASCASARJANA USU MEDAN 2009 HUBUNGAN PERDAGANGAN

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. yang berbeda antara negara yang satu dengan negara lainnya. Salah satu usaha

I. PENDAHULUAN. yang berbeda antara negara yang satu dengan negara lainnya. Salah satu usaha I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Setiap negara selalu berusaha meningkatkan pembangunan, kesejahteraan dan kemakmuran rakyatnya. Usaha ke arah tersebut dilakukan dengan berbagai cara yang berbeda

Lebih terperinci

AKIBAT HUKUM PEMBATALAN INITIAL PUBLIC OFFERING TERHADAP EMITEN DAN INVESTOR

AKIBAT HUKUM PEMBATALAN INITIAL PUBLIC OFFERING TERHADAP EMITEN DAN INVESTOR TESIS AKIBAT HUKUM PEMBATALAN INITIAL PUBLIC OFFERING TERHADAP EMITEN DAN INVESTOR OLEH: HERNY WAHDANIYAH WAHAB, S.H. NIM: 031314253110 PROGRAM STUDI MAGISTER KENOTARIATAN FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS AIRLANGGA

Lebih terperinci

BAB II PENGATURAN TINDAKAN PENGAMANAN DALAM PERDAGANGAN INTERNASIONAL. A. Perdagangan Internasional Bagian dari Perekonomian Terbuka

BAB II PENGATURAN TINDAKAN PENGAMANAN DALAM PERDAGANGAN INTERNASIONAL. A. Perdagangan Internasional Bagian dari Perekonomian Terbuka 30 BAB II PENGATURAN TINDAKAN PENGAMANAN DALAM PERDAGANGAN INTERNASIONAL A. Perdagangan Internasional Bagian dari Perekonomian Terbuka Suatu negara dapat menganut sistem perekonomian terbuka atau perekonomian

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 2/PMK.010/2018 TENTANG PENGENAAN BEA MASUK TINDAKAN PENGAMANAN TERHADAP IMPOR

PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 2/PMK.010/2018 TENTANG PENGENAAN BEA MASUK TINDAKAN PENGAMANAN TERHADAP IMPOR PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 2/PMK.010/2018 TENTANG PENGENAAN BEA MASUK TINDAKAN PENGAMANAN TERHADAP IMPOR PRODUK I DAN H SECTION DARI BAJA PADUAN LAINNYA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG

Lebih terperinci

UU 7/1994, PENGESAHAN AGREEMENT ESTABLISHING THE WORLD TRADE ORGANIZATION (PERSETUJUAN PEMBENTUKAN ORGANISASI PERDAGANGAN DUNIA)

UU 7/1994, PENGESAHAN AGREEMENT ESTABLISHING THE WORLD TRADE ORGANIZATION (PERSETUJUAN PEMBENTUKAN ORGANISASI PERDAGANGAN DUNIA) Copyright 2002 BPHN UU 7/1994, PENGESAHAN AGREEMENT ESTABLISHING THE WORLD TRADE ORGANIZATION (PERSETUJUAN PEMBENTUKAN ORGANISASI PERDAGANGAN DUNIA) *8581 Bentuk: UNDANG-UNDANG (UU) Oleh: PRESIDEN REPUBLIK

Lebih terperinci

BAB II PUTUSAN ARBITRASE INTERNASIONAL DALAM PERSPEKTIF HUKUM INTERNASIONAL DAN HUKUM NASIONAL. A. Batasan-Batasan Putusan Arbitrase Internasional

BAB II PUTUSAN ARBITRASE INTERNASIONAL DALAM PERSPEKTIF HUKUM INTERNASIONAL DAN HUKUM NASIONAL. A. Batasan-Batasan Putusan Arbitrase Internasional BAB II PUTUSAN ARBITRASE INTERNASIONAL DALAM PERSPEKTIF HUKUM INTERNASIONAL DAN HUKUM NASIONAL A. Batasan-Batasan Putusan Arbitrase Internasional Untuk dapat mengetahui kekuatan hukum putusan arbitrase

Lebih terperinci