LAPORAN PELAKSANAAN KEGIATAN PENGEMBANGAN USAHA AGRIBISNIS PERDESAAN RESPONSIF GENDER TAHUN 2015

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "LAPORAN PELAKSANAAN KEGIATAN PENGEMBANGAN USAHA AGRIBISNIS PERDESAAN RESPONSIF GENDER TAHUN 2015"

Transkripsi

1 LAPORAN PELAKSANAAN KEGIATAN PENGEMBANGAN USAHA AGRIBISNIS PERDESAAN RESPONSIF GENDER TAHUN 2015 KEMENTERIAN PERTANIAN DIREKTORAT JENDERAL PRASARANA DAN SARANA PERTANIAN

2 Direktorat Jenderal Prasarana dan Sarana Pertanian Tahun 2015

3 Kata Pengantar Pengarusutamaan gender telah menjadi satu strategi pemberdayaan masyarakat yang di dalamnya diharapkan adanya kesetaraan peran serta laki laki dan perempuan dalam setiap proses pelaksanaan kegiatan, dalam konteks ini adalah usaha pertanian. Direktorat Jenderal Prasarana dan Sarana Pertanian berkomitmen untuk selalu mendukung keberhasilan program program responsive gender yang berada dalam lingkup tugas pokok dan fungsinya secara berkesinambungan. Diantara usaha tersebut, Direktorat Jenderal Prasarana dan Sarana Pertanian melaksanakan Pengembangan Usaha Agribisnis Perdesaan responsive gender untuk memberikan nilai lebih pada pelaksanaan kegiatan tersebut dalam hal pemberdayaan dan penyeteraan gender, dengan tanpa mengabaikan kearifan lokal dan budaya setempat. Akhir kata, semoga pelaksanaan PUAP responsive gender dapat memberikan kontribusi lebih dalam usaha pengembangan pertanian di Indonesia dengan komitmen dan kerja keras bersama dari semua pihak terkait Jakarta, Desember 2015 Sekretaris Direktorat Jenderal Prasarana dan Sarana Pertanian Abdul Madjid i

4 Daftar Isi Kata Pengantar... i Daftar Isi... ii Pendahuluan... 1 Dasar Hukum... 3 Tujuan... 4 Ruang Lingkup... 5 Kerangka Analisis Kegiatan Responsif Gender... 6 Model Teknis Analisis Gender... 6 Metode Analisis GAP (Gender Analysis Pathway)... 7 Pelaksanaan Pengembangan Usaha Agribisnis Perdesaan Lembaga Keuangan Mikro Agribisnis Pelaksanaan PUAP Tahun Aspek Gender Pelaksanaan PUAP Gapoktan Sadar, Kabupaten Malang Gapoktan Sambirejo, Kabupaten Jombang Penutup Kesimpulan Saran ii

5 Pendahuluan Kesulitan petani dalam mengakses modal masih diyakini sebagai salah satu faktor sulit berkembangnya usaha pertanian di kelas petani kecil. Di sisi lain, kurangnya modal memberikan ruang gerak yang sempit pada petani untuk mengusahakan transformasi usaha tani ke level yang lebih tinggi, yaitu pengolahan hasil pertanian, yang mampu memberikan nilai tambah pada usaha pertanian mereka. Kementerian Pertanian telah melaksanakan beberapa program terkait dengan peningkatan aksessibilitas petani terhadap modal, diantaranya adalah PUAP (Pengembangan Usaha Agribisnis Perdesaan), di bawah koordinasi Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat Mandiri (PNPM-Mandiri) dan berada dalam kelompok program pemberdayaan masyarakat. Bantuan ini berbentuk uang tunai penyaluran dana PUAP 2015 kepada pelaku agribisnis melalui Gapoktan. Selain itu, PUAP memberikan pendampingan atas akses pasar dan teknologi, serta penguatan organisasi tani. Sebagai salah satu program strategis pemerintah yang diharapkan mampu memberikan solusi permodalan kepada petani, PUAP selayaknya mampu menampung aspirasi laki-laki dan perempuan sepanjang proses pelaksanaannya, yaitu dari proses perencanaan, pelatihan, dan pengelolaan anggaran, hingga proses monitoring dan evaluasi. 1

6 Melalui kebijakan pemberdayaan petani tersebut, partisipasi dan peran serta petani (laki-laki dan perempuan) dalam pengembangan agribisnis perdesaan dapat semakin ditingkatkan dan dilakukan dalam setiap tahapan kegiatan sejak perencanaan, pelaksanaan, pengawasan, pemantauan dan evaluasi serta pemanfaatan hasil, termasuk kelancaran pengembalian pinjaman, sehingga petani (laki-laki dan perempuan) mempunyai rasa memiliki dan bertanggung jawab terhadap hasil pembangunan/pengembangan agribisnis perdesaan. Atas dasar pengalaman dan informasi dari beberapa propinsi sebenarnya partisipasi petani yang sensitif gender dalam pengembangan agribisnis perdesaan cukup dapat diandalkan sepanjang petani (laki-laki dan perempuan) diberi kesempatan dan kepercayaan untuk ikut berperan serta dalam pembinaan serta bimbingan yang dilakukan secara terus menerus dari aparat pemerintah terkait seperti Dinas Pertanian, Dinas UKM, Bappeda dan lembaga formal atau informal lain. Untuk melihat keikutsertaan masyarakat berdasarkan gender, perlu dilakukan pengumpulan data terkait kontribusi laki-laki dan perempuan dalam pelaksanaan PUAP, baik itu di tingkat usaha tani, PMT, maupun badan/dinas pendamping pelaksanaan kegiatan. Pengumpulan Data Terpilah Pengarusutamaan Gender kegiatan PUAP ini dimaksudkan untuk mengidentifikasi hal tersebut, sehingga sebisa mungkin dapat melihat karakteristik kontribusi gender dalam lingkup organisasi maupun lingkup pelaksanaan kegiatan. Partisipasi dan aksesibilitas perempuan terhadap kegiatan pertanian di perdesaan dapat diukur dengan melakukan evaluasi dalam beberapa hal terakit dengan pemanfaatan dana PUAP tersebut. Dengan demikian, 2

7 perlu dilakukan evaluasi tentang pemanfaatan program PUAP apakah bias gender atau responsif gender. Jika perempuan ikut andil tidak hanya berpartisipasi dalam kegiatan agribisnis, tetapi dapat juga mengakses modal dan menggulirkannya dalam modal agribisnis serta turut mengakses teknologi, pengambilan keputusan dan juga memperoleh manfaat dari kegiatan PUAP tersebut, maka dapat digolongkan sebagai responsif gender. Tetapi jika perempuan hanya berpartisipasi dalam kegiatan agribisnis tetapi tidak ikut andil dalam mengakses modal PUAP, teknologi, pengambilan keputusan dan manfaat maka dapat digolongkan masih terjadi bias gender. Jika terjadi bias gender, maka perlu dicarikan solusi agar melalui sosialisasi, bagaimana suatu kegiatan menjadi responsif gender. Dasar Hukum 1. Undang-undang No. 7 Tahun 1984 Tentang Pengesahan Konvensi Mengenai Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Wanita (CONVENTION ON THE ELIMINATION OF ALL FORMS OF DISCRIMANATION AGAINST WOMEN). 2. Instruksi Presiden No. 9 Tahun 2000 Tentang Pengarusutamaan Gender Dalam Pembangunan Nasional 3. Peraturan Presiden No. 5 Tahun 2010 Tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional Tahun Peraturan Menteri Keuangan No. 93/PMK.02/2011 Tentang Petunjuk Penyusunan Dan Penelaahan Rencana Kerja Dan Anggaran Kementerian Negara/Lembaga 3

8 5. Peraturan Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan Dan Perlindungan Anak Republik Indonesia Nomor 01 Tahun 2011 Tentang Strategi Nasional Sosial Budaya Untuk Mewujudkan Kesetaraan Gender 6. Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 15 Tahun 2008 Tentang Pedoman Umum Pelaksanaan Pengarusutamaan Gender di Daerah 7. Peraturan Menteri Pemberdayaan Perempuan Republik Indonesia Nomor 06 Tahun 2009 Tentang Penyelenggaraan Data Gender dan Anak Tujuan Tujuan kegiatan Pengembangan Usaha Agribisnis Perdesaan yang responsif gender adalah: 1. Meningkatkan pola pemberdayaan yang responsif gender dalam melaksanakan pengembangan usaha agribisnis perdesaan, mulai dari perencanaan, pelaksanaan kegiatan, serta evaluasi pelaksanaannya. 2. Mengembangkan dan meningkatkan kesadaran petani laki-laki dan perempuan dan Gapoktan penerima manfaat kegiatan tentang pentingnya penerapan kesetaraan gender dalam pelaksanaan PUAP. 3. Meningkatkan rasa kebersamaan, rasa memiliki dan rasa tanggung jawab dari petani, baik laki-laki ataupun perempuan, dan Gapoktan dalam mengelola pembiayaan dari bantuan PUAP yang efektif, efisien dan berkelanjutan. 4

9 Ruang Lingkup Ruang lingkup kegiatan Pengembangan Usaha Agribisnis Perdesaan (PUAP) yang responsif gender yaitu: 1. Tahap Persiapan Sebelum pelaksanaan kegiatan diterapkan di tingkat petani, dilaksanakan penentuan atau penetapan lokasi dan kelompok penerima manfaat oleh BPTP dan PMT yang membantu mengidentifikasi Gapoktan serta potensinya yang dinilai mampu dan sesuai dengan kriteria yang ditentukan. 2. Tahap Pelaksanaan Kegiatan Kegiatan Pengembangan Usaha Agribisnis Perdesaan adalah: bantuan modal usaha Gabungan Kelompoktani dalam menumbuhkembangkan usaha agribisnis sesuai dengan potensi pertanian desa sasaran. 5

10 Kerangka Analisis Kegiatan Responsif Gender Analisis Gender adalah proses yang dibangun secara sistematis untuk mengidentifikasi dan memahami pembagian kerja/peran laki-laki dan perempuan, akses dan kontrol terhadap sumber-sumber daya pembangunan, partisipasi dalam proses pembangunan dan manfaat yang mereka nikmati, pola hubungan antara laki-laki dan perempuan yang timpang, yang di dalam pelaksanaannya memperhatikan faktorfaktor lainnya seperti kelas sosial, ras, dan suku bangsa. Model Teknis Analisis Gender Ada beberapa model teknik analisis gender yang telah dikembangkan oleh beberapa ahli, antara lain: 1. Model Harvard, dikembangkan oleh Harvard Institute for International Development bekerjasama dengan Kantor Women in Development (WID)-USAID. Model Harvard didasarkan pada pendekatan efisiensi WID yang merupakan kerangka analisis gender dan perencanaan gender paling awal. Model analisis Harvard lebih sesuai digunakan untuk perencanaan proyek, menyimpulkan data basis atau data dasar. 2. Model Moser, didasarkan pada pendapat bahwa perencanaan gender bersifat teknis dan politis, kerangka ini mengasumsikan adanya konflik dalam perencanaan dan proses transformasi serta mencirikan perencanaan sebagai suatu debat. Terdapat kelemahan dalam model ini yang tidak memperhitungkan kebutuhan strategis laki-laki. 6

11 3. Model SWOT, (Strengths, Weaknesses, Opportunities and Threats) dengan analisis manajemen dengan cara mengidentifikasi secara internal mengenai kekuatan dan kelemahan dan secara eksternal mengenai peluang dan ancaman. 4. Model PROBA (Problem Base Approach) yang dikembangkan atas kerjasama Kementerian Pemberdayaan Perempuan, BKKBN dan UNFPA di tingkat pusat, provinsi dan kabupaten/kota, teknik ini sedikit berbeda dengan Gender Analysis Pathway. 5. Model GAP (Gender Analysis Pathway) atau Alur Kerja Analisis Gender (AKAG), adalah alat analisis gender yang dikembangkan oleh BAPPENAS yang dapat digunakan untuk membantu para perencana dalam melakukan pengarusutamaan gender dalam perencanaan kebijakan, program, proyek dan atau kegiatan pembangunan. Dari kelima model teknik analisis yang telah dikembangkan tersebut di atas disarankan untuk menggunakan teknik analisis gender dengan metode GenderAnalysis Pathway (GAP). Metode Analisis GAP (Gender Analysis Pathway) Analisis GAP ini dimulai dengan menggunakan data pembuka wawasan yang dipilah menurut jenis kelamin (lelaki dan perempuan) dan data gender digunakan untuk mengidentifikasi adanya kesenjangan gender (gender gap) dan permasalahan gender (gender issues). Dengan menggunakan GAP ini dapat diidentifikasi kesenjangan gender dan permasalahan gender sekaligus menyusun rencana kebijakan/program/kegiatan yang ditujukan untuk memperkecil atau menghapus kesenjangan gender tersebut. 7

12 Beberapa istilah yang harus dipahami dalam melakukan analisis, diantaranya: 1. Gender adalah konsep yang mengacu pada peran-peran dan tanggung jawab laki-laki dan perempuan yang terjadi akibat dari dan dapat berubah oleh keadaan sosial dan budaya masyarakat. 2. Kesetaraan Gender adalah kesamaan kondisi bagi laki-laki dan perempuan untuk memperoleh kesempatan dan hak-haknya sebagai manusia, agar mampu berperan dan berpartisipasi dalam kegiatan politik, ekonomi, sosial budaya, pertahanan dan keamanan nasional, dan kesamaan dalam menikmati hasil pembangunan tersebut. 3. Keadilan Gender adalah suatu proses untuk menjadi adil terhadap laki-laki dan perempuan. 4. Data Terpilah adalah nilai dari variabel-variabel yang sudah terpilah antara laki-laki dan perempuan berdasarkan topik bahasan/hal-hal yang menjadi perhatian. 5. Data Kuantitatif adalah nilai variabel yang terukur. 6. Data Kualitatif adalah nilai variabel yang tidak terukur dan sering disebut atribut. 7. Responsif Gender adalah kebijakan/program/kegiatan yang sudah memperhitungkan laki-laki dan perempuan 8. Perencanaan adalah suatu upaya optimalisasi pemanfaatan sumber daya, ilmu pengetahuan dan teknologi serta informasi, untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan, melalui pemilihan alternatif tindakan yang rasional. 8

13 9. Perencanaan Kebijakan adalah perencanaan yang dilakukan oleh pemerintah, dan lembaga negara secara menyeluruh untuk menyusun kebijakan jangka menengah (setiap lima tahun), atau jangka pendek (setiap tahun) yang dibutuhkan bagi penyelenggaraan pemerintahan nasional dan pemerintahan daerah (provinsi, kabupaten/kota) berdasarkan atau mengacu pada Renstra. 10. Perencanaan Program adalah perencanaan yang dilakukan oleh pemerintah dan lembaga negara secara menyeluruh untuk menyusun rencana kegiatan jangka menengah dan jangka pendek (setiap tahun), yang dibutuhkan bagi penyelenggaraan pemerintahan nasional dan pemerintahan daerah (provinsi, kabupaten/kota), berdasarkan atau mengacu pada kebijakan yang telah ditetapkan. 11. Perencanaan Kegiatan adalah perencanaan yang dilakukan oleh pemerintah dan lembaga negara secara menyeluruh untuk menyusun rencana kegiatan jangka menengah dan jangka pendek (setiap tahun), yang dibutuhkan bagi penyelenggaraan pemerintahan nasional dan pemerintahan daerah (provinsi, kabupaten/kota), berdasarkan atau mengacu pada program yang telah ditetapkan. 12. Akses adalah peluang atau kesempatan dalam memperoleh atau menggunakan sumber daya tertentu. 13. Peran adalah keikutsertaan atau partisipasi seseorang/kelompok dalam suatu kegiatan dan atau dalam pengambilan keputusan 9

14 14. Kontrol adalah penguasaan atau wewenang atau kekuatan untuk mengambil keputusan. 15. Manfaat adalah kegunaan sumber yang dapat dinikmati secara optimal. 16. Netral Gender adalah kebijakan/program/kegiatan atau kondisi yang tidak memihak pada salah satu jenis kelamin. 17. Indikator adalah alat ukur berupa statistik yang dapat menunjukan perbandingan, kecenderungan atau perkembangan. GAP dibuat dengan menggunakan metodologi sederhana dengan delapan langkah yang harus dilakukan dalam tiga tahap, yaitu: 1. Tahap I: Analisis Kebijakan Responsif Gender; tahap ini diperlukan karena secara umum kebijakan, program dan kegiatan pembangunan selama ini masih netral gender (didasarkan pada asumsi bahwa pembangunan memberikan manfaat dan berdampak sama kepada perempuan dan laki-laki) 2. Tahap II: Formulasi Kebijakan yang responsif Gender; 3. Tahap III: Rencana Aksi yang Responsif Gender Langkah-langkah dalam Model GAP adalah sebagai berikut: 1. Langkah-langkah pada tahap pertama Analisis Kebijakan Responsif Gender: a) Mengidentifikasi tujuan dan sasaran kebijakan/program/kegiatan pembangunan pertanian yang ada dari masing-masing unit sesuai tugas pokok dan fungsi. Apakah kebijakan/program/kegiatan telah dirumuskan dan ditetapkan untuk mewujudkan kesetaraan gender. 10

15 b) Menyajikan data kuantitatif dan atau kualitatif yang terpilah menurut jenis kelamin sebagai data pembuka wawasan. Apakah data yang ada mengungkapkan kesenjangan atau perbedaan yang cukup berarti antara perempuan dan laki-laki. c) Menganalisis sumber dan atau faktor-faktor penyebab terjadinya kesenjangan gender (gender gap); mencakup (a). akses yang sama terhadap sumber-sumber daya pembangunan sektor pertanian; (b). kontrol terhadap sumbersumber daya pembangunan pertanian; (c). partisipasi perempuan dan laki-laki dalam berbagai tahapan pembangunan pertanian termasuk dalam proses pengambilan keputusan; (d). manfaat yang sama dari hasil pembangunan pertanian atau sumber daya pembangunan pertanian yang ada. d) Mengidentifikasi masalah-masalah gender (gender issues) berdasarkan keempat faktor penyebab terjadinya kesenjangan gender dengan menjawab 5 W dan 1 H. Apa masalah-masalah gender yang diungkapkan oleh faktor-faktor kesenjangan gender; dimana terjadinya kesenjangan antara perempuan dan laki-laki dalam masyarakat publik; mengapa terjadi kesenjangan tersebut; apakah kebijakan/program/kegiatan pembangunan sektor pertanian yang ada justru memperlebar kesenjangan, mempersempit kesenjangan atau tetap, dan apakah akar permasalahan. 2. Langkah-langkah pada tahap kedua Formulasi Kebijakan Yang Responsif Gender, yaitu: 11

16 a) Merumuskan kembali kebijakan/program/kegiatan pembangunan pertanian yang reponsif gender. Dengan mempertimbangkan hasil proses analisis gender yang dilakukan pada langkah 1 sampai 4 tahap pertama, sehingga menghasilkan kebijakan/program/kegiatan pembangunan yang responsif gender. b) Mengidentifikasi indikator gender (gender indicator) dari setiap kebijakan/program/kegiatan pembangunan pertanian dari langkah e. 3. Langkah-langkah pada tahap ketiga Rencana Aksi Yang Responsif Gender: a) Menyusun Rencana Aksi; yang didasarkan pada kebijakan/program/kegiatan pembangunan responsif gender dengan tujuan untuk mengurangi/menghilangkan kesenjangan antara perempuan dan laki-laki. Seluruh rencana aksi yang disusun sesuai dengan tujuan kebijakan yang telah responsif gender yang telah diidentifikasi dalam langkah 5. b) Mengidentifikasi sasaran (secara kuantitatif dan atau kualitatif) bagi setiap rencana aksi butir 7. Hasil identifikasi memastikan bahwa dengan rencana aksi tersebut mengurangi dan atau menghapus kesenjangan gender. c) Pengukuran hasil dengan menggunakan data dasar dan indikator yang jelas. Indikator gender diarahkan untuk meningkatkan peran pelaku usaha. 12

17 Secara ringkas dan skematis, alur kerja analisis gender secara umum dimulai dari identifikasi kebijakan responsif gender, formulasi, rencana aksi dan identifikasi sasaran serta pengukuran hasil disajikan pada Bagan-1 berikut. 13

18 Pelaksanaan Pengembangan Usaha Agribisnis Perdesaan 2015 Pengembangan Usaha Agribisnis Perdesaan (PUAP) merupakan program strategis Kementerian Pertanian untuk mengurangi kemiskinan dan pengangguran di perdesaan. Dalam rangka mempercepat keberhasilan PUAP dilakukan berbagai upaya dan strategi pelaksanaan yang terpadu melalui pengembangan kegiatan ekonomi rakyat yang diprioritaskan pada penduduk miskin perdesaan dengan peningkatan kualitas sumber daya manusia, penguatan modal bagi petani, buruh tani dan rumah tangga tani, dan penguasaan teknologi produksi, pemasaran hasil dan pengelolaan nilai tambah. Pengembangan Usaha Agribisnis Perdesaan atau lebih dikenal dengan PUAP adalah bantuan modal usaha Gabungan Kelompoktani dalam menumbuhkembangkan usaha agribisnis sesuai dengan potensi pertanian desa sasaran. Pola dasar PUAP dirancang untuk meningkatkan keberhasilan penyaluran dana BLM PUAP 2015 kepada Gapoktan dalam mengembangkan Usaha Produktif petani untuk mendukung swasembada pangan dan meningkatkan kesejahteraan petani. Untuk mencapai tujuan PUAP, yaitu mengurangi tingkat kemiskinan dan pengangguran, PUAP difokuskan untuk mempercepat pengembangan usaha ekonomi produktif yang diusahakan petani di perdesaan. Pelaksanaan kegiatan PUAP Tahun 2015 diatur di dalam Peraturan Menteri Pertanian Republik Indonesia Nomor 14

19 06/Permentan/OT.140/2/2015 Tentang Pedoman Pengembangan Usaha Agribisnis Perdesaan Tahun Anggaran Kriteria desa calon lokasi PUAP adalah: 1. Desa berbasis pertanian 2. Memiliki Gapoktan yang sudah aktif, dan 3. Desa belum pernah memperoleh dana BLM-PUAP Gapoktan calon penerima dana BLM PUAP 2015 harus berada pada desa calon lokasi PUAP yang memenuhi kriteria sebagai berikut: 1. memiliki Sumber Daya Manusia (SDM) untuk mengelola usaha agribisnis; 2. mempunyai kepengurusan yang aktif dan dikelola oleh petani; dan 3. pengurus Gapoktan adalah petani, bukan Kepala Desa/Lurah atau Sekretaris Desa/Sekretaris Lurah. Gapoktan yang akan diusulkan sebagai calon penerima dana BLM PUAP 2015 diketahui oleh Kepala Desa dan Kepala BPP/BP3K. Pada setiap desa calon lokasi PUAP, akan ditetapkan 1 (satu) Gapoktan penerima dana BLM PUAP Pengembangan Gabungan Kelompok Tani (Gapoktan) diarahkan pada peningkatan kemampuan Gapoktan dalam melaksanakan fungsinya, peningkatan kemampuan para anggota dalam mengembangkan agribisnis, penguatan kelompok tani menjadi organisasi petani yang kuat dan mandiri Untuk pencapaian tujuan tersebut di atas, komponen utama dari pola dasar pengembangan PUAP, yaitu: 1) Keberadaan Gapoktan; 15

20 2) Keberadaan Penyuluh dan PMT sebagai pendamping; 3) Penyaluran dana BLM kepada petani pemilik penggarap, petani penggarap, buruh tani maupun rumah tangga tani; 4) Pembekalan pengetahuan tentang PUAP bagi pengurus Gapoktan dan lain-lain. Indikator keberhasilan (Output) PUAP yaitu ditinjau dari: 1. htersalurkannya dana Bantuan Langsung Masyarakat (BLM) PUAP 2015 kepada petani, buruh tani dan rumah tangga tani miskin anggota Gapoktan sebagai modal untuk melakukan usaha produktif pertanian; 2. terlaksananya fasilitasi penguatan kapasitas dan kemampuan sumber daya manusia pengelola Gapoktan, Penyuluh dan PMT. Indikator keberhasilan (Outcome) PUAP yaitu: 1. meningkatnya kemampuan Gapoktan dalam memfasilitasi dan mengelola bantuan modal usaha untuk petani anggota baik petani pemilik penggarap, petani penggarap, buruh tani maupun rumah tangga tani; 2. meningkatnya jumlah petani, buruh tani dan rumah tangga tani yang mendapatkan bantuan modal usaha; 3. meningkatnya aktivitas kegiatan usaha agribisnis (hulu, budidaya dan hilir) di perdesaan. Indikator keberhasilan (Benefit) PUAP yaitu: 1. berkembangnya usaha agribisnis di perdesaan; 2. berfungsinya Gapoktan sebagai lembaga ekonomi petani di perdesaan yang dimiliki dan dikelola oleh petani; 16

21 3. berkurangnya jumlah petani miskin dan pengangguran di perdesaan. Lembaga Keuangan Mikro Agribisnis Gapoktan sebagai pelaksana program PUAP diharapkan dapat menjalankan fungsi-fungsi kelembagaan ekonomi perdesaan dengan menumbuhkan Lembaga Keuangan Mikro Agribisnis (LKM-A) sebagai salah satu unit usaha yang dimiliki oleh Gapoktan. Sejalan dengan format penumbuhan Gapoktan menjadi kelembagaan tani di perdesaan, pada kelembagaan tersebut diharapkan agar mempunyai unit usaha otonom antara lain unit pengolahan dan pemasaran hasil, unit penyediaan saprodi, unit permodalan (rintisan simpan pinjam menjadi LKM-A) dan lainnya. Untuk itu Gapoktan PUAP harus dibina dan didorong dalam mengembangkan lembaga ekonomi yang difokuskan kepada kelembagaan keuangan mikro agribisnis sebagai salah satu unit usaha dalam Gapoktan untuk mengelola dan melayani pembiayaan usaha bagi petani sebagai anggota. Hal tersebut sejalan dengan mekanisme pelaksanaan program PUAP, yaitu pada Tahun pertama, dana PUAP dimanfaatkan oleh Gapoktan untuk membiayai usaha produktif sesuai dengan usulan anggota secara berjenjang melalui Rencana Usaha Anggota (RUA), Rencana Usaha Kelompok (RUK) dan Rencana Usaha Bersama (RUB). Dana penguatan modal usaha PUAP digulirkan Gapoktan kepada para anggota kelompok tani sebagai pinjaman sehingga pada Tahun kedua Gapoktan sudah dapat mengembangkan Usaha Simpan Pinjam (U-S/P). Gapoktan penerima dana BLM-PUAP diharapkan dapat menjaga perguliran/perputaran dana sampai 17

22 pada fase pembentukan Lembaga keuangan Mikro Agribinis (LKM-A) pada Tahun ketiga. LKM A yang berhasil ditumbuh kembangkan oleh Gapoktan diharapkan dapat meningkatkan akumulasi modal melalui dana keswadayaan yang dikumpulkan oleh anggota melalui tabungan maupun melalui saham anggota. Penumbuhan dan pengembangan LKM-A di dalam Gapoktan PUAP merupakan salah satu langkah strategis untuk menyelesaikan persoalan pembiayaan petani mikro dan buruh tani yang selama ini sulit mendapatkan pelayanan keuangan melalui lembaga keuangan formal. Sebagai langkah pemberdayaan lebih lanjut dari Gapoktan PUAP menjadi LKM-A dimaksudkan untuk: (1) memberikan kepastian pelayanan serta kemudahan akses petani pada fasilitas pembiayaan; (2) prosedur yang sederhana dan cepat; (3) kedekatan lokasi pelayanan dengan tempat usaha petani; dan (4) Pengelola LKM-A sangat memahami karakterpetani sebagai nasabah. Persyaratan yang harus dipenuhi oleh Gapoktan PUAP untuk membentuk LKM-A yaitu : (1) Mempunyai Anggaran Dasar Anggaran Rumah Tangga LKM-A dan peraturan lainnya. (2) Pengelolaan LKM-A terpisah dari Gapoktan termasuk pembukuan dan laporannya (3) Mempunyai anggota yang terdaftar dan berusaha dibidang agribisnis (4) Memiliki kantor/tempat usahadan kelengkapan, antara lain papan nama LKM-A, stempel LKM-A. 18

23 (5) Mempunyai badan hukum koperasi simpan pinjam (paling lambat Januari 2015) dengan jenis kegiatan dibidang agribisnis. (6) Mempunyai Ijin Usaha simpan pinjam (paling lambat Januari 2015) dengan jenis kegiatan di bidang agribisnis Sesuai Undang - Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2013 Tentang Lembaga Keuangan Mikro, khususnya pasal 4 maka pendirian Lembaga Keuangan Mikro paling sedikit harus memenuhi persyaratan sebagai berikut : a. Bentuk badan hukum, yang terdiri dari Koperasi atau Perseroan Terbatas (PT). b. Permodalan 1. Koperasi Simpan Pinjam modal minimal Rp ,- (Lima Puluh Juta Rupiah). 2. Perseroan Terbatas (PT) dalam bentuk perbankan (Bank Perkreditan Rakyat) modal minimal Rp ,- (Satu Milyar Rupiah) jika kantor operasionalnya di ibukota kecamatan, sementara jika kantor operasionalnya di ibukota kabupaten/kota modal minimal Rp ,- (Dua Milyar Rupiah). a. Perseroan Terbatas : Sahamnya paling sedikit 60% (enam puluh persen) dimiliki oleh Pemerintah kabupaten/kota atau Badan Usaha Milik Desa/Kelurahan; b. Sisa kepemilikan saham Perseroan Terbatas dapat dimiliki oleh WNI dan/atau Koperasi; c. Kepemilikan setiap WNI atas saham Perseroan Terbatas paling banyak sebesar 20% (dua puluh persen). 19

24 c. Mendapat Izin Usaha 1. Untuk LKM-A berbadan hukum koperasi simpan pinjam maka ijin usahanya dikeluarkan oleh menteri (dinas yang mengurusi koperasi). 2. Untuk LKM-A berbadan hukum PT maka ijin usahanya dikeluarkan oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Untuk memperoleh izin usaha LKM harus dipenuhi persyaratan paling sedikit mengenai: 1. Susunan organisasi dan kepengurusan; 2. Permodalan; 3. Kepemilikan; 4. Kelayakan rencana kerja. Pemilihan badan hukum LKM-A disesuaikan hasil kesepakatan anggota Gapoktan. Sesuai karakteristik dari BUMP yang dibentuk oleh, dari dan untuk petani melalui Gapoktan maka bentuk badan hukum yang sarankan untuk LKM-A yang melaksanakan prinsip simpan pinjam adalah Koperasi Simpan Pinjam (KSP). Diharapkan sebelum tanggal 8 Januari 2015 semua LKM maupun unit otonom simpan pinjam yang dimiliki Gapoktan PUAP harus sudah memiliki badan hukum dan memiliki ijin usaha. Dalam rangka mempercepat proses pengurusan badan hukum KSP, pengurus LKM-A Gapoktan PUAP dapat berkoordinasi dengan PMT, Tim Teknis PUAP Kabupaten/Kota dan Tim Pembina PUAP Provinsi serta instansi yang mengurusi perkoperasian. Dari tahun 2008 hingga 2015 telah disalurkan sebanyak paket bantuan PUAP kepada Gapoktan penerima manfaat di seluruh Indonesia. 20

25 Jumlah penerima manfaat variatif tiap tahunnya, dengan tren menurun pada selang waktu tersebut. Gambar 1. Kegiatan PUAP Tahun Dari sejumlah tersebut, sebanyak Gapoktan telah membentuk LKMA pada tahun ketiga setelah menerima dana PUAP, atau sebesar 7,47%. LKMA ini dikategorikan menjadi lima, yaitu kriteria sangat baik (A), baik (B), sedang (C), cukup (D), dan kurang (E). Kategorisasi tersebut ditentukan berdasarkan kriteria sebagai berikut (kriteria ditetapkan oleh Direktorat Pembiayaan dalam evaluasi PUAP-LKMA): Gapoktan Penerima PUAP Tahun 2008: 1. Sangat Baik (A) : > Rp ,- 2. Baik (B) : Rp ,- s.d. Rp ,- 3. Sedang (C) : Rp ,- s.d. Rp ,- 4. Cukup (D) : Rp ,- s.d. Rp ,- 5. Kurang (E) : Rp Gapoktan Penerima PUAP Tahun 2009: 1. Sangat Baik (A) : > Rp ,- 2. Baik (B) : Rp ,- s.d. Rp ,- 21

26 3. Sedang (C) : Rp ,- s.d. Rp ,- 4. Cukup (D) : Rp ,- s.d. Rp ,- 5. Kurang (E) : Rp ,- Gapoktan Penerima PUAP Tahun 2010: 1. Sangat Baik (A) : > Rp ,- 2. Baik (B) : Rp ,- s.d. Rp ,- 3. Sedang (C) : Rp ,- s.d. Rp ,- 4. Cukup (D) : Rp ,- s.d. Rp ,- 5. Kurang (E) : Rp ,- Gapoktan Penerima PUAP Tahun 2011: 1. Sangat Baik (A) : > Rp ,- 2. Baik (B) : Rp ,- s.d. Rp ,- 3. Sedang (C) : Rp ,- s.d. Rp ,- 4. Cukup (D) : Rp ,- s.d. Rp ,- 5. Kurang (E) : Rp ,- Gapoktan Penerima PUAP Tahun 2012: 1. Sangat Baik (A) : > Rp ,- 2. Baik (B) : Rp ,- s.d. Rp ,- 3. Sedang (C) : Rp ,- s.d. Rp ,- 4. Cukup (D) : Rp ,- s.d. Rp ,- 5. Kurang (E) : Rp ,- Gapoktan Penerima PUAP Tahun 2013: 1. Sangat Baik (A) : > Rp ,- 2. Baik (B) : Rp ,- s.d. Rp ,- 3. Sedang (C) : Rp ,- s.d. Rp ,- 22

27 4. Cukup (D) : Rp ,- s.d. Rp ,- 5. Kurang (E) : Rp ,- Hingga awal tahun 2015, terdapat sebanyak LKMA (data per- Januari 2015) yang terbentuk di dalam Gapoktan yang mendapatkan bantuan PUAP pada tahun ketiga setelah 2008 hingga Berikut grafiknya: Gambar 2. LKMA terbentuk dari Bantuan PUAP Tahun di Indonesia Perbandingan antara LKMA dengan PUAP cukup kecil, dimana tiap tahun bantuan PUAP, hanya sebanyak 7,47% -nya terbentuk LKMA. Persentase tertinggi pembentukan LKMA adalah pada tahun 2009, dimana dari Gapoktan yang mendapatkan bantuan pada tahun tersebut, (10,94%) diantaranya mampu membentuk LKMA. 23

28 Gambar 3. Perbandingan LKMA dan PUAP Tahun Pelaksanaan PUAP Tahun 2015 Di tahun 2015, dilaksanakan Kegiatan PUAP dengan disalurkan kepada Gapoktan yang tersebar dari Sabang hingga Merauke sebanyak paket. Ini berarti ada sebanyak 3000 Gapoktan yang mendapatkan bantuan PUAP di tahun Tabel 1 menunjukkan rekapitulasi penerima bantuan PUAP Tahun 2015 berdasarkan provinsi. Gambar 4. Grafik Penerima Bantuan PUAP Tahun 2015 Berdasarkan Provinsi 24

29 Tabel 1. Tabel Penerima Bantuan PUAP Tahun 2015 Berdasarkan Provinsi No. Propinsi Target Realisasi Pagu (Rp) Fisik Keuangan (Rp) Fisik 1 Aceh 5,200,000, ,200,000, Sumatera Utara 13,800,000, ,800,000, Sumatera Barat 1,800,000, ,800,000, Riau 3,600,000, ,600,000, Jambi 4,500,000, ,500,000, Sumatera Selatan 13,300,000, ,300,000, Bengkulu 4,900,000, ,900,000, Lampung 20,200,000, ,200,000, Kepulauan Bangka Belitung 100,000, ,000, Kepulauan Riau DKI Jakarta Jawa Barat 21,100,000, ,100,000, Jawa Tengah 45,900,000, ,900,000, D.I.Yogyakarta Jawa Timur 58,100,000, ,100,000, Banten 1,800,000, ,800,000, Bali Nusa Tenggara Timur 8,500,000, ,500,000, Nusa Tenggara Barat 18,100,000, ,100,000, Kalimantan Barat 1,300,000, ,300,000, Kalimantan Tengah 5,600,000, ,600,000, Kalimantan Selatan 8,000,000, ,000,000, Kalimantan Timur 400,000, ,000, Kalimantan Utara 600,000, ,000, Sulawesi Barat Sulawesi Utara 9,400,000, ,400,000, Sulawesi Tengah 12,300,000, ,300,000, Sulawesi Selatan 14,700,000, ,700,000, Sulawesi Tenggara 8,600,000, ,600,000, Gorontalo 3,200,000, ,200,000, Maluku 2,200,000, ,200,000, Maluku Utara 3,400,000, ,400,000, Papua Barat 4,100,000, ,100,000, Papua 5,300,000, ,300,000, Indonesia 300,000,000,000 3, ,000,000,000 3,000 Provinsi Jawa Timur merupakan Provinsi yang menerima Bantuan PUAP terbanyak di tahun 2015 dengan banyaknya Gapoktan penerima manfaat sebanyak 581 Gapoktan. Provinsi kedua terbesar adalah 25

30 Provinsi Jawa Tengah, dengan 459. Sementara ada beberapa Provinnsi yang pada tahun 2015 tidak ada Gapoktan yang menerima bantuan PUAP, yaitu Kepulauan Riau, DKI Jakarta, DI. Yogyakarta, Bali, dan Sulawesi Barat. Aspek Gender Pelaksanaan PUAP 2015 Sampel Gapoktan penerima manfaat kegiatan PUAP Tahun 2015 yang diambil sebagai representasi pelaksanaan PUAP responsive gender tahun 2015 adalah dua Gapoktan di Provinsi Jawa Timur, yaitu Gapoktan Sadar di Kabupaten Malang dan Gapoktan Sambirejo di Jombang. Dalam mengamati peranserta gender dalam kegiatan PUAP, beberapa indicator sederhana bisa diamati dengan mengumpulkan data terpilahnya. Diantaranya adalah, komposisi gender anggota, pengurus, peminjam, besarnya pinjaman, serta segregasi gender dari Gapoktan yang diamati. Selain itu, untuk memberikan insight yang lebih dalam, dapat dilihat komposisi kepengurusan atau keanggotaan berdasarkan usia serta tingkat pendidikannya. Informasi-informasi tersebut tentunya menjadi penting karena pada tahap awal pendeteksian bias gender dalam suatu kegiatan, variabelvariabel tersebut dapat digunakan sebagai parameter karakteristik gender pada sampel yang diamati. Berikutgambaran data terpilah pada kegiatan PUAP di dua Gapoktan yang diamati: 26

31 Gapoktan Sadar, Kabupaten Malang Gapoktan Sadar terletak di Kabupaten Malang, Provinsi Jawa Timur. Gapoktan ini berdiri tahun 2006 dan mendapatkan bantuan PUAP di tahun Bidang usaha yang digeluti oleh petani dalam Gapoktan Sadar adalah: 1. Aspek Pertanian. Bidang usaha pertanian di Gapoktan ini dikembangkan untuk komoditas padi dan jagung. Dalam RUA yang diajukan, bantuan dana PUAP digunakan untuk biaya produksi, yaitu dalam proses pengolahan tanah, pembelian pupuk, dan biaya perawatan. 2. Aspek Perkebunan Bidang usaha perkebunan di Gapoktan Sadar dikembangkan untuk komoditas tebu, papaya, dan kayu sengon. Dalam RUA yang diajukan, bantuan dana PUAP digunakan untuk biaya produksi, yaitu pada proses pengolahan tanah, pembelian pupuk, dan biaya perawatan. 3. Aspek Perdagangan Bidang usaha perdagangan di Gapoktan Sadar dikembangkan untuk pedagang sayur, pedagang buah, dan pedagang pasar kecil. Dalam RUA yang diajukan, bantuan dana PUAP digunakan untuk tambahan modal dalam usaha perdagangan tersebut. 4. Aspek Peternakan Bidang usaha peternakan di Gapoktan Sadar dikembangkan untuk peternakan ayam, bebek, dan sapi. Pemanfaat dana PUAP di Gapoktan Sadar memiliki komposisi yang sama dengan anggota Gapoktan, yaitu sebanyak 29 orang laki-laki dan 27

32 9 orang perempuan, dengan besarnya perbandingan pennggunaan anggaran yang sama dengan angka tersebut. Jika dinyatakan dalam bentuk persen, proporsi keanggotaan, peminjam, dan besarnya pinjaman adalah 23,68% perempuan dan 76,32% laki-laki. Gambaran ketiganya disajikan dalam grafik sebagai berikut: Gambar 5. Profil Keanggotaan, Peminjam, dan Pinjaman di Gapoktan Sadar pada PUAP 2015 Dari segi kepengurusan, kesenjangan gender nampak sangat nyata, dimana dalam Gapoktan Sadar, 100% pengurusnya adalah laki-laki. Ini berarti tidak ada perempuan yang disertakan dalam kepengurusan di Gapoktan ini. Gambaran proporsi gender kepengurusan di Gapoktan Sadar ini dinyatakan pada grafik berikut: 28

33 Gambar 6. Profil Kepengurusan Berdasarkan Jenis Kelamin di Gapoktan Sadar, Kabupaten Malang, Jawa Timur Jika dilihat dari segi usia pengurusnya, pengurus Gapoktan Sadar cukup bervariasi. Menariknya, di Gapoktan ini terdapat 25% pengurus yang berusia di bawah 30 tahun. Ini menunjukkan mulai adanya kontribusi usia muda dalam Gapoktan, sehingga memberikan peluang kaderisasi dan meningkatkan peluang perbaikan output pelatihan. Selain itu, usia tertua pengurus Gapoktan ini adalah 57 tahun, sehingga dapat dikatakan bahwa pengurus Gapoktan Sadar masih berada pada usia produktif. Gambar 7. Profil Kepengurusan Berdasarkan Usia di Gapoktan Sadar, Kabupaten Malang, Jawa Timur 29

34 Diamati dari tingkat pendidikan pengurus Gapoktan yang disajikan dalam Gambar 8, dapat dilihat bahwa semua pengurus Gapoktan Sadar memiliki tingkat pendidikan yang cukup tinggi, yaitu SMA atau sederajat. Gambar 8. Profil Kepengurusan Berdasarkan Tingkat Pendidikan di Gapoktan Sadar, Kabupaten Malang, Jawa Timur Lebih jauh, untuk melihat segregasi gender di Gapoktan Sadar, dilakukan analisis AKPM. Namun karena kegiatan PUAP di Gapoktan ini belum berjalan lama, maka aspek manfaat belum bisa diukur. Oleh karena itu beberapa aspek yang diukur adalah aspek akses, partisipasi, dan manfaat. Hingga saat ini, aktiva yang dimiliki oleh Gapoktan Sambirejo adalah sebesar Rp ,- dengan besarnya uang administrasi Rp ,-. 30

35 Tabel 2. Analisis Gender Kegiatan PUAP Tahun 2015 pada Gapoktan Sadar, Kabupaten Malang, Jawa Timur Akses Laki laki (%) Perempuan (%) 1 Informasi adanya bantuan Informasi adanya sosialisasi Informasi pelatihan/training Menjadi panitia dalam sosialisasi Mengikuti rapat penyusunan skema pinjaman Informasi adanya bantuan pada anggota Gapoktan Informasi adanya sosialisasi pada anggota Gapoktan Informasi pelatihan/training pada Anggota Gapoktan Mengakses Kredit Partisipasi 10 Mengikuti Sosialisasi Membuat Undangan Menyebarkan undangan Berpartisipasi dalam Mengikuti Sosialisasi sebagai peserta Mengikuti Pelatihan Kepengurusan Fasilitasi lokasi dan kebutuhan sosialisasi Menyusun Laporan dan administrasi Membayarkan cicilan Mengambil uang kredit Mendaftar menjadi debitur Kontrol 20 Menyusun Skema pinjaman Penentuan penggunaan uang administrasi Terlibat dalam penentuan pengurus PUAP Menentukan debitur yg bisa mengambil kredit Menentukan waktu dan tempat sosialisasi Menentukan posko PUAP Menentukan sanksi keterlambatan ASPEK DAN ATRIBUT Melakukan kontrol dalam kelancaran penyaluran dan pengembalian dana PUAP yang dimanfaatkan oleh petani Berhubungan dg Bank (tempat menyimpan uang PUAP) dan PMT atau stakeholder lain Menentukan kebutuhan ATK dan kebutuhan lain Belanja ATK dan kebutuhan lain Menentukan anggaran untuk kebutuhan ATK dan kebutuhan lain Kontrol pemanfaatan kredit Budgeting dalam pembayaran kredit Keterangan 31

36 Pada sebagian besar proses pelaksanaan kegiatan PUAP yang terkait dengan aspek akses, didapati bahwa akses laki-laki lebih besar daripada perempuan dengan rata-rata perbandingan segregasi gender sebesar 80:20. Begitu pula pada aspek partisipasi, sebagian besar proses kegiatan melibatkan partisipasi laki-laki yang lebih besar daripada perempuan, dengan rata-rata perbandingan segregasi gender yang sama dengan aspek akses. Namun di beberapa atribut nampak dominasi laki-laki sangat tinggi, yaitu sebesar 100%, yaitu pada atribut Mengikuti Pelatihan Kepengurusan, Menyusun Laporan dan Administrasi, dan Mendaftar jadi debitur. Meskipun dalam pertanyaan yang lebih lanjut, laki-laki dan perempuan memiliki hak yang sama untuk mendaftarkan namanya sebagai debitur. Pada Aspek Kontrol, rata-rata nampak lebih besar segregasi gender antara laki-laki dan perempuan. Gapoktan Sambirejo, Kabupaten Jombang Gapoktan Sambirejo terletak di Kabupaten Jombang, Provinsi Jawa Timur. Gapoktan ini berdiri tahun 2007 dan mendapatkan bantuan PUAP di tahun Pemanfaat dana PUAP di Gapoktan Sambirejo memiliki komposisi yang sama dengan anggota Gapoktan, yaitu sebanyak 55 orang laki-laki dan 45 orang perempuan, dengan besarnya perbandingan penggunaan anggaran yang sama dengan angka tersebut. Jika dinyatakan dalam bentuk persen, proporsi keanggotaan, peminjam, dan besarnya pinjaman adalah 45% perempuan dan 55% laki-laki. Gambaran ketiganya disajikan dalam grafik sebagai berikut: 32

37 Gambar 9. Profil Keanggotaan, Peminjam, dan Pinjaman di Gapoktan Sambirejo pada PUAP 2015 Dari segi kepengurusan, kesenjangan gender nampak sangat nyata, dimana dalam Gapoktan Sambirejo, 100% pengurusnya adalah laki-laki. Ini berarti tidak ada perempuan yang disertakan dalam kepengurusan di Gapoktan ini. Gambaran proporsi gender kepengurusan di Gapoktan Sadar ini dinyatakan pada grafik berikut: Gambar 10. Profil Kepengurusan Berdasarkan Jenis Kelamin di Gapoktan Sambirejo, Kabupaten Jombang, Jawa Timur 33

38 Jika dilihat dari segi usia pengurusnya, pengurus Gapoktan Sambirejo cukup bervariasi. Pengurus yang berada pada rentang usia tahun adalah sebesar 42,86%, selanjutnya pengurus yang berada pada usia dan tahun memiliki persentase sama, yaitu sebesar 28,57%. Selain itu, usia tertua pengurus Gapoktan ini adalah 56 tahun, sehingga dapat dikatakan bahwa pengurus Gapoktan Sadar masih berada pada usia produktif. Gambar 11. Profil Kepengurusan Berdasarkan Jenis Kelamin di Gapoktan Sambirejo, Kabupaten Jombang, Jawa Timur Diamati dari tingkat pendidikan pengurus Gapoktan yang disajikan dalam Gambar xxx, dapat dilihat bahwa semua pengurus Gapoktan Sambirejo memiliki tingkat pendidikan yang cukup tinggi, yaitu SMP dan SMA atau sederajat. Yang berpendidikan SMP atau sederajat adalah pengurus yang berusia di atas 51 tahun. Sehingga Nampak bahwa pengurus-pengurus muda Gapoktan ini berpendidikan SMA atau sederajat. 34

39 Gambar 12. Profil Kepengurusan Berdasarkan Tingkat Pendidikan di Gapoktan Sambirejo, Kabupaten Jombang, Jawa Timur Lebih jauh, untuk melihat segregasi gender di Gapoktan Sambirejo, dilakukan analisis AKPM. Namun karena kegiatan PUAP di Gapoktan ini belum berjalan lama, maka aspek manfaat belum bisa diukur. Oleh karena itu beberapa aspek yang diukur adalah aspek akses, partisipasi, dan manfaat. Hingga saat ini, aktiva yang dimiliki oleh Gapoktan Sambirejo adalah sebesar Rp ,- dengan besarnya uang administrasi Rp ,- Pada proses pelaksanaan kegiatan PUAP yang terkait dengan aspek akses, segregasi gender pada Gapoktan Sambirejo sangat bervariasi, dalam rentang akses laki-laki berada pada persentase 55% hingga 90%. Begitu pula pada aspek partisipasi, sebagian besar proses kegiatan melibatkan partisipasi laki-laki yang lebih besar daripada perempuan. Pada Aspek Kontrol, terdapat tiga atribut dimana perempuan memiliki control yang sangat besar, mencapai 100%, yaitu pada atribut menentukan sanksi keterlambatan, melakukan control dalam kelancaran penyaluran dan pengembalian dana PUAP yang 35

40 dimanfaatkan oleh petani, serta ketika berhubungan dengan bank, PMT, atau stakeholder lain. Sementara pada atribut penentuan uang administrasi, tidak ada perempuan yang dilibatkan pada proses ini, dengan kata lain, proses ini semuanya dikontrol oleh laki-laki. 36

41 Tabel 3. Analisis Gender Kegiatan PUAP Tahun 2015 pada Gapoktan Sadar, Kabupaten Malang, Jawa TImur Laki laki (%) Perempuan (%) Akses 1 Informasi adanya bantuan Informasi adanya sosialisasi Informasi pelatihan/training Menjadi panitia dalam sosialisasi Mengikuti rapat penyusunan skema pinjaman Informasi adanya bantuan pada anggota Gapoktan Informasi adanya sosialisasi pada anggota Gapoktan Informasi pelatihan/training pada Anggota Gapoktan Mengakses Kredit Partisipasi 10 Mengikuti Sosialisasi Membuat Undangan Menyebarkan undangan Berpartisipasi dalam Mengikuti Sosialisasi sebagai peserta Mengikuti Pelatihan Kepengurusan Fasilitasi lokasi dan kebutuhan sosialisasi Menyusun Laporan dan administrasi Membayarkan cicilan Mengambil uang kredit Mendaftar menjadi debitur Kontrol 20 Menyusun Skema pinjaman Penentuan penggunaan uang administrasi Terlibat dalam penentuan pengurus PUAP Menentukan debitur yg bisa mengambil kredit Menentukan waktu dan tempat sosialisasi Menentukan posko PUAP Menentukan sanksi keterlambatan ASPEK DAN ATRIBUT Melakukan kontrol dalam kelancaran penyaluran dan pengembalian dana PUAP yang dimanfaatkan oleh petani Berhubungan dg Bank (tempat menyimpan uang PUAP) dan PMT atau stakeholder lain Menentukan kebutuhan ATK dan kebutuhan lain Belanja ATK dan kebutuhan lain Menentukan anggaran untuk kebutuhan ATK dan kebutuhan lain Kontrol pemanfaatan kredit Budgeting dalam pembayaran kredit Keterangan 37

42 Penutup Kesimpulan Dari pelaksanaan kegiatan Pengembangan Usaha Agribisnis Perdesaan responsif gender, program Penyediaan dan Pengembangan Prasarana dan Sarana Pertanian Tahun 2015 dapat disimpulkan sebagai berikut: 1. Kegiatan Pengembangan Usaha Agribisnis Perdesaan responsif gender di tingkat pemanfaat kegiatan dilaksanakan oleh laki-laki dan perempuan dengan perbandingan rata-rata 80:20 dan 90: Terberdayakannya perempuan dalam pembangunan pertanian khususnya dalam Pengembangan Usaha Agribisnis Perdesaan, baik melalui aspek Akses, Partisipasi dan Kontrol dari kegiatan PUAP. 3. PUAP yang telah dilaksanakan sejak 2008 telah memberikan bantuan kepada petani melalui Gapoktan sebanyak paket. Dari sejumlah tersebut, hingga awal Januari 2015 hanya sebanyak Gapoktan (7,47%) yang sudah membentuk LKMA. 4. Dengan adanya kegiatan PUAP responsif gender yang dilaksanakan dengan pola swakelola masyarakat: a. Dapat meningkatkan dinamika, rasa memiliki dan swadaya petani (laki-laki dan perempuan) dalam kegiatan PUAP, dari perencanaan, pelaksanaan, hingga implementasi kesetaraan gender dalam mengakses permodalan. b. Telah meningkatkan penerapan pola partisipatif petani (laki-laki dan perempuan) dalam pelaksanaan PUAP di tingkat usahatani, mulai dari perencanaan, pelaksanaan kegiatan, dan evaluasi pelaksanaan termasuk aspek pembiayaan terhadap operasional 38

43 Saran dan pemeliharaan sarana dan prasarana irigasi di tingkat usahatani. c. Dapat mengembangkan dan meningkatkan kesadaran petani (laki-laki dan perempuan) dan Gapoktan tentang pentingnya penerapan kesetaraan gender (responsive gender) dalam pelaksanaan pengelolaan permodalan di tingkat usahatani. d. Dapat meningkatkan rasa kebersamaan, rasa memiliki dan rasa tanggung jawab dari petani (laki-laki dan perempuan) dan Gapoktan dalam pengelolaan permodalan yang lebih efisien, efektif, dan berkelanjutan. 1. Dengan rendahnya persentase LKMA menunjukkan bahwa ada halhal yang perlu dievaluasi dalam pelaksanaan PUAP, sehingga ke depannya kegiatan PUAP ini benar-benar dapat memberikan solusi terhadap permasalahan permodalan petani di Indonesia. 2. Perlunya pelatihan bagi petugas dan petani dalam perspektif gender (laki-laki dan perempuan) tentang pengembangan usaha agribisnis perdesaan dalam menunjang peningkatan pendapatan keluarga (perencanaan, pengelolaan, pelaksanaan, pemanfaatan, pemasaran, dll). 3. Sosialisasi dan diskusi yang lebih aktif kepada petugas Kabupaten/kota oleh petugas Propinsi dan Pusat antara lain dari Ditjen PSP. Petugas lapangan sebagai ujung tombak pelaksana kegiatan, agar lebih mengetahui dan menerapkan hal-hal yang menyangkut kegiatan pengembangan usaha agribisnis perdesaan yang produktif dan responsif gender. 39

Gender Analysis Pathway (GAP) (Alur Kerja Analisis Gender (AKAG)

Gender Analysis Pathway (GAP) (Alur Kerja Analisis Gender (AKAG) Modul: Gender Analysis Pathway (GAP) (Alur Kerja Analisis Gender (AKAG) Oleh : Suyatno, Ir. M.Kes Fakultas Kesehatan Masyarakat UNDIP Semarang Tujuan pembelajaran: 1. Menjelaskan pengertian analisis gender

Lebih terperinci

ANALISIS GENDER. SUYATNO, Ir. MKes FKM UNDIP SEMARANG, 2009

ANALISIS GENDER. SUYATNO, Ir. MKes FKM UNDIP SEMARANG, 2009 ANALISIS GENDER SUYATNO, Ir. MKes FKM UNDIP SEMARANG, 2009 Analisa Gender Adalah proses yang dibangun secara sistematis untuk mengidentifikasi dan memahami: pembagian kerja/peran laki-laki dan perempuan,

Lebih terperinci

PEMERINTAH KABUPATEN SIDENRENG RAPPANG

PEMERINTAH KABUPATEN SIDENRENG RAPPANG PEMERINTAH KABUPATEN SIDENRENG RAPPANG PERATURAN DAERAH KABUPATEN SIDENRENG RAPPANG NOMOR 04 TAHUN 2011 TENTANG PENGARUSUTAMAAN GENDER DALAM PEMBANGUNAN DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI

Lebih terperinci

KEBIJAKAN TEKNIS PROGRAM PENGEMBANGAN USAHA AGRIBISNIS PERDESAAN

KEBIJAKAN TEKNIS PROGRAM PENGEMBANGAN USAHA AGRIBISNIS PERDESAAN KEBIJAKAN TEKNIS PROGRAM PENGEMBANGAN USAHA AGRIBISNIS PERDESAAN Disampaikan Pada Rakornas Gubernur Dan Bupati/Walikota DEPARTEMEN PERTANIAN Jakarta, 31 Januari 2008 1 LATAR BELAKANG Pengembangan Usaha

Lebih terperinci

BUPATI BULUKUMBA PROVINSI SULAWESI SELATAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN BULUKUMBA NOMOR 16 TAHUN 2014 TENTANG PENGARUSUTAMAAN GENDER

BUPATI BULUKUMBA PROVINSI SULAWESI SELATAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN BULUKUMBA NOMOR 16 TAHUN 2014 TENTANG PENGARUSUTAMAAN GENDER BUPATI BULUKUMBA PROVINSI SULAWESI SELATAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN BULUKUMBA NOMOR 16 TAHUN 2014 TENTANG PENGARUSUTAMAAN GENDER DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BULUKUMBA, Menimbang : a. bahwa

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Sektor pertanian merupakan sektor dengan penyerapan tenaga kerja paling banyak di Indonesia dibandingkan dengan sektor lainnya. Badan Pusat Statistik (2009) melaporkan

Lebih terperinci

BUPATI LOMBOK UTARA PROVINSI NUSA TENGGARA BARAT PERATURAN DAERAH KABUPATEN LOMBOK UTARA NOMOR 2 TAHUN 2016 TENTANG PENGARUSUTAMAAN GENDER

BUPATI LOMBOK UTARA PROVINSI NUSA TENGGARA BARAT PERATURAN DAERAH KABUPATEN LOMBOK UTARA NOMOR 2 TAHUN 2016 TENTANG PENGARUSUTAMAAN GENDER BUPATI LOMBOK UTARA PROVINSI NUSA TENGGARA BARAT PERATURAN DAERAH KABUPATEN LOMBOK UTARA NOMOR 2 TAHUN 2016 TENTANG PENGARUSUTAMAAN GENDER DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI LOMBOK UTARA, Menimbang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penduduk miskin di Indonesia berjumlah 28,55 juta jiwa dan 17,92 juta jiwa diantaranya bermukim di perdesaan. Sebagian besar penduduk desa memiliki mata pencarian

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI DAN KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS PENELITIAN

BAB II TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI DAN KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS PENELITIAN BAB II TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI DAN KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS PENELITIAN 2.1. Tinjauan Pustaka Tahun 2002 pemerintah melalui Departemen Pertanian RI mengeluarkan kebijakan baru dalam upaya

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI PERTANIAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 06/Permentan/OT.140/2/2015 TENTANG

PERATURAN MENTERI PERTANIAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 06/Permentan/OT.140/2/2015 TENTANG PERATURAN MENTERI PERTANIAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 06/Permentan/OT.140/2/2015 TENTANG PEDOMAN PENGEMBANGAN USAHA AGRIBISNIS PERDESAAN TAHUN ANGGARAN 2015 DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI PERTANIAN

Lebih terperinci

LAMPIRAN PERATURAN MENTERI PERTANIAN NOMOR : 72/Permentan/OT.140/10/2011 TANGGAL : 31 Oktober 2011

LAMPIRAN PERATURAN MENTERI PERTANIAN NOMOR : 72/Permentan/OT.140/10/2011 TANGGAL : 31 Oktober 2011 LAMPIRAN PERATURAN MENTERI PERTANIAN NOMOR : 72/Permentan/OT.140/10/2011 TANGGAL : 31 Oktober 2011 PEDOMAN FORMASI JABATAN FUNGSIONAL PENYULUH PERTANIAN BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pembangunan

Lebih terperinci

PEDOMAN FORMASI JABATAN FUNGSIONAL PENYULUH PERTANIAN BAB I PENDAHULUAN

PEDOMAN FORMASI JABATAN FUNGSIONAL PENYULUH PERTANIAN BAB I PENDAHULUAN LAMPIRAN PERATURAN MENTERI PERTANIAN NOMOR : 72/Permentan/OT.140/10/2011 TANGGAL : 31 Oktober 2011 PEDOMAN FORMASI JABATAN FUNGSIONAL PENYULUH PERTANIAN A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN Pembangunan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia merupakan salah satu negara berkembang di dunia yang masih banyak menghadapi permasalahan diberbagai bidang seperti ekonomi, sosial, hukum, politik dan bidang-bidang

Lebih terperinci

BUPATI KEBUMEN PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN DAERAH KABUPATEN KEBUMEN NOMOR 1 TAHUN 2015 TENTANG PENGARUSUTAMAAN GENDER

BUPATI KEBUMEN PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN DAERAH KABUPATEN KEBUMEN NOMOR 1 TAHUN 2015 TENTANG PENGARUSUTAMAAN GENDER SALINAN BUPATI KEBUMEN PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN DAERAH KABUPATEN KEBUMEN NOMOR 1 TAHUN 2015 TENTANG PENGARUSUTAMAAN GENDER DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI KEBUMEN, Menimbang Mengingat :

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI PERTANIAN NOMOR 72/Permentan/OT.140/10/2011 TENTANG PEDOMAN FORMASI JABATAN FUNGSIONAL PENYULUH PERTANIAN

PERATURAN MENTERI PERTANIAN NOMOR 72/Permentan/OT.140/10/2011 TENTANG PEDOMAN FORMASI JABATAN FUNGSIONAL PENYULUH PERTANIAN PERATURAN MENTERI PERTANIAN NOMOR 72/Permentan/OT.140/10/2011 TENTANG PEDOMAN FORMASI JABATAN FUNGSIONAL PENYULUH PERTANIAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI PERTANIAN, Menimbang : a. bahwa berdasarkan

Lebih terperinci

PEDOMAN UMUM PENGEMBANGAN USAHA AGRIBISNIS PERDESAAN (PUAP) BAB I PENDAHULUAN

PEDOMAN UMUM PENGEMBANGAN USAHA AGRIBISNIS PERDESAAN (PUAP) BAB I PENDAHULUAN 5 2012, No.149 LAMPIRAN PERATURAN MENTERI PERTANIAN TENTANG PEDOMAN UMUM PENGEMBANGAN USAHA AGRIBISNIS PERDESAAN (PUAP) NOMOR : 04/Permentan/OT.140/2/2012 TANGGAL : 1 Pebruari 2012 PEDOMAN UMUM PENGEMBANGAN

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI PERTANIAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : 01/Permentan/OT.140/1/2014 TENTANG

PERATURAN MENTERI PERTANIAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : 01/Permentan/OT.140/1/2014 TENTANG PERATURAN MENTERI PERTANIAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : 01/Permentan/OT.140/1/2014 TENTANG PEDOMAN PENGEMBANGAN USAHA AGRIBISNIS PERDESAAN TAHUN ANGGARAN 2014 DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI PERTANIAN

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI, KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS PENELITIAN

TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI, KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS PENELITIAN TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI, KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS PENELITIAN Tinjauan Pustaka PUAP adalah sebuah program peningkatan kesejahteraan masyarakat, merupakan bagian dari pelaksanaan program

Lebih terperinci

PERATURAN WALIKOTA SABANG NOMOR TAHUN 2013 TENTANG PERENCANAAN DAN PENGANGGARAN RESPONSIF GENDER DALAM PEMBANGUNAN DENGAN RAHMAT ALLAH YANG MAHA KUASA

PERATURAN WALIKOTA SABANG NOMOR TAHUN 2013 TENTANG PERENCANAAN DAN PENGANGGARAN RESPONSIF GENDER DALAM PEMBANGUNAN DENGAN RAHMAT ALLAH YANG MAHA KUASA PERATURAN WALIKOTA SABANG NOMOR TAHUN 2013 TENTANG PERENCANAAN DAN PENGANGGARAN RESPONSIF GENDER DALAM PEMBANGUNAN DENGAN RAHMAT ALLAH YANG MAHA KUASA WALIKOTA SABANG, Menimbang : a. bahwa dokumen perencanaan

Lebih terperinci

PROVINSI KEPULAUAN RIAU PERATURAN DAERAH KABUPATEN KARIMUN NOMOR 6 TAHUN 2015 TENTANG PELAKSANAAN PENGARUSUTAMAAN GENDER DALAM PEMBANGUNAN

PROVINSI KEPULAUAN RIAU PERATURAN DAERAH KABUPATEN KARIMUN NOMOR 6 TAHUN 2015 TENTANG PELAKSANAAN PENGARUSUTAMAAN GENDER DALAM PEMBANGUNAN 1 PROVINSI KEPULAUAN RIAU PERATURAN DAERAH KABUPATEN KARIMUN NOMOR 6 TAHUN 2015 TENTANG PELAKSANAAN PENGARUSUTAMAAN GENDER DALAM PEMBANGUNAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI KARIMUN, Menimbang

Lebih terperinci

PEDOMAN PELAKSANAAN PENUMBUHAN DAN PENGEMBANGAN PENYULUH PERTANIAN SWADAYA TAHUN 2016

PEDOMAN PELAKSANAAN PENUMBUHAN DAN PENGEMBANGAN PENYULUH PERTANIAN SWADAYA TAHUN 2016 PEDOMAN PELAKSANAAN PENUMBUHAN DAN PENGEMBANGAN PENYULUH PERTANIAN SWADAYA TAHUN 2016 PUSAT PENYULUHAN PERTANIAN BADAN PENYULUHAN DAN PENGEMBANGAN SDM PERTANIAN KEMENTERIAN PERTANIAN 2015 PEDOMAN PELAKSANAAN

Lebih terperinci

PEMERINTAH PROVINSI KALIMANTAN SELATAN

PEMERINTAH PROVINSI KALIMANTAN SELATAN PEMERINTAH PROVINSI KALIMANTAN SELATAN PERATURAN DAERAH PROVINSI KALIMANTAN SELATAN NOMOR 5 TAHUN 2009 TENTANG PENGARUSUTAMAAN GENDER DALAM PEMBANGUNAN DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI, KERANGKA PEMIKIRAN, DAN HIPOTESIS PENELITIAN

BAB II TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI, KERANGKA PEMIKIRAN, DAN HIPOTESIS PENELITIAN BAB II TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI, KERANGKA PEMIKIRAN, DAN HIPOTESIS PENELITIAN 2.1. Tinjauan Pustaka 2.1.1. Pengembangan Usaha Agribisnis Perdesaan (PUAP) Peran kelembagaan dalam membangun dan mengembangkan

Lebih terperinci

BERITA DAERAH PROVINSI NUSA TENGGARA BARAT

BERITA DAERAH PROVINSI NUSA TENGGARA BARAT 1 BERITA DAERAH PROVINSI NUSA TENGGARA BARAT NOMOR 39 TAHUN 2014 PERATURAN GUBERNUR NUSA TENGGARA BARAT NOMOR 39 TAHUN 2014 TENTANG PANDUAN TEKNIS PENGARUSUTAMAAN GENDER DI PROVINSI NUSA TENGGARA BARAT

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI PERTANIAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 01/Permentan/OT.140/1/2014 TENTANG

PERATURAN MENTERI PERTANIAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 01/Permentan/OT.140/1/2014 TENTANG PERATURAN MENTERI PERTANIAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 01/Permentan/OT.140/1/2014 TENTANG PEDOMAN PENGEMBANGAN USAHA AGRIBISNIS PERDESAAN TAHUN ANGGARAN 2014 DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI PERTANIAN

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI PERTANIAN NOMOR : 11/Permentan/OT.140/3/2011 TENTANG

PERATURAN MENTERI PERTANIAN NOMOR : 11/Permentan/OT.140/3/2011 TENTANG PERATURAN MENTERI PERTANIAN NOMOR : 11/Permentan/OT.140/3/2011 TENTANG PERUBAHAN LAMPIRAN PERATURAN MENTERI PERTANIAN NOMOR 09/PERMENTAN/OT.140/2/2011 TENTANG PEDOMAN UMUM PENGEMBANGAN USAHA AGRIBISNIS

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH PROVINSI LAMPUNG NOMOR 10 TAHUN 2011 TENTANG PENGARUSUTAMAAN GENDER DALAM PEMBANGUNAN DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN DAERAH PROVINSI LAMPUNG NOMOR 10 TAHUN 2011 TENTANG PENGARUSUTAMAAN GENDER DALAM PEMBANGUNAN DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN DAERAH PROVINSI LAMPUNG NOMOR 10 TAHUN 2011 TENTANG PENGARUSUTAMAAN GENDER DALAM PEMBANGUNAN DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR LAMPUNG, Menimbang Mengingat : a. bahwa dalam rangka

Lebih terperinci

Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 23 tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2015 Nomor 58 Tambahan Le

Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 23 tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2015 Nomor 58 Tambahan Le WALIKOTA PAREPARE PROVINSI SULAWESI SELATAN PERATURAN WALIKOTA PAREPARE NOMOR 79 TAHUN 2016 TENTANG PEDOMAN RENCANA KERJA SATUAN KERJA PEMERINTAH DAERAH BERPERSPEKTIF GENDER KOTA PAREPARE WALIKOTA PAREPARE

Lebih terperinci

EFEKTIVITAS PUG DALAM PELAKSANAAN PEMBANGUNAN PSP

EFEKTIVITAS PUG DALAM PELAKSANAAN PEMBANGUNAN PSP EFEKTIVITAS PUG DALAM PELAKSANAAN PEMBANGUNAN PSP Oleh : Sekretariat Direktorat Jenderal Prasarana dan Sarana Pertanian Disampaikan Pada Acara Koordinasi dan Sinkronisasi Pengarusutamaan Gender dalam Mendukung

Lebih terperinci

. Keberhasilan manajemen data dan informasi kependudukan yang memadai, akurat, lengkap, dan selalu termutakhirkan.

. Keberhasilan manajemen data dan informasi kependudukan yang memadai, akurat, lengkap, dan selalu termutakhirkan. S ensus Penduduk, merupakan bagian terpadu dari upaya kita bersama untuk mewujudkan visi besar pembangunan 2010-2014 yakni, Terwujudnya Indonesia yang Sejahtera, Demokratis dan Berkeadilan. Keberhasilan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sektor pertanian berperan penting dalam perekonomian Indonesia dan dalam pembangunan nasional. Pembangunan dan perubahan struktur ekonomi tidak bisa dipisahkan dari

Lebih terperinci

BUPATI BINTAN PROVINSI KEPULAUAN RIAU PERATURAN DAERAH KABUPATEN BINTAN NOMOR 4 TAHUN 2014 TENTANG PENGARUSUTAMAAN GENDER DALAM PEMBANGUNAN DIDAERAH

BUPATI BINTAN PROVINSI KEPULAUAN RIAU PERATURAN DAERAH KABUPATEN BINTAN NOMOR 4 TAHUN 2014 TENTANG PENGARUSUTAMAAN GENDER DALAM PEMBANGUNAN DIDAERAH 1 BUPATI BINTAN PROVINSI KEPULAUAN RIAU PERATURAN DAERAH KABUPATEN BINTAN NOMOR 4 TAHUN 2014 TENTANG PENGARUSUTAMAAN GENDER DALAM PEMBANGUNAN DIDAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BINTAN, Menimbang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Upaya pemerintah Indonesia dalam pengembangan pertanian yang berbasis agribisnis dimasa yang akan datang merupakan salah satu langkah yang harus dilakukan untuk

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KOTA BANJARBARU NOMOR 4 TAHUN 2010 TENTANG PENGARUSUTAMAAN GENDER DALAM PEMBANGUNAN DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN DAERAH KOTA BANJARBARU NOMOR 4 TAHUN 2010 TENTANG PENGARUSUTAMAAN GENDER DALAM PEMBANGUNAN DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GAWI SABARATAAN PERATURAN DAERAH KOTA BANJARBARU NOMOR 4 TAHUN 2010 TENTANG PENGARUSUTAMAAN GENDER DALAM PEMBANGUNAN DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA BANJARBARU, Menimbang : a. bahwa dalam

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA,LANDASAN TEORI, KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS PENELITIAN

TINJAUAN PUSTAKA,LANDASAN TEORI, KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS PENELITIAN TINJAUAN PUSTAKA,LANDASAN TEORI, KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS PENELITIAN Tinjauan Pustaka Pengembangan Usaha Agribisnis Pedesaan (PUAP) Seiring dengan perkembangan dan perubahan kepemimpinan di pemerintahan,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Sektor pertanian dan agribisnis di pedesaan merupakan sumber pertumbuhan perekonomian nasional. Agribisnis pedesaan berkembang melalui partisipasi aktif petani

Lebih terperinci

BUPATI TANGERANG PROVINSI BANTEN PERATURAN BUPATI TANGERANG NOMOR 119 TAHUN 2015 TENTANG

BUPATI TANGERANG PROVINSI BANTEN PERATURAN BUPATI TANGERANG NOMOR 119 TAHUN 2015 TENTANG BUPATI TANGERANG PROVINSI BANTEN PERATURAN BUPATI TANGERANG NOMOR 119 TAHUN 2015 TENTANG PETUNJUK TEKNIS PENYUSUNAN PERENCANAAN DAN PENGANGGARAN RESPONSIF GENDER DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI

Lebih terperinci

TEKNIK ANALISIS GENDER. Oleh: Dr. Nahiyah Jaidi Faraz, M.Pd

TEKNIK ANALISIS GENDER. Oleh: Dr. Nahiyah Jaidi Faraz, M.Pd TEKNIK ANALISIS GENDER Oleh: Dr. Nahiyah Jaidi Faraz, M.Pd FAKULTAS EKONOMI UNIVERSITAS NEGERI YOGYAKARTA 2012 MAKALAH TEKNIK ANALISIS GENDER Dr. Nahiyah Jaidi Faraz M.Pd nahiyah@uny.ac.id Pengertian Analisis

Lebih terperinci

PERATURAN WALIKOTA MALANG NOMOR 35 TAHUN 2011 TENTANG PENGARUSUTAMAAN GENDER DALAM PEMBANGUNAN DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN WALIKOTA MALANG NOMOR 35 TAHUN 2011 TENTANG PENGARUSUTAMAAN GENDER DALAM PEMBANGUNAN DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA SALINAN NOMOR 29/E, 2011 PERATURAN WALIKOTA MALANG NOMOR 35 TAHUN 2011 TENTANG PENGARUSUTAMAAN GENDER DALAM PEMBANGUNAN DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA MALANG, Menimbang : a. bahwa dalam

Lebih terperinci

WALIKOTA PROBOLINGGO

WALIKOTA PROBOLINGGO WALIKOTA PROBOLINGGO SALINAN PERATURAN WALIKOTA KOTA PROBOLINGGO NOMOR 10 TAHUN 2013 TENTANG PENGARUSUTAMAAN GENDER DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA PROBOLINGGO, Menimbang : a. bahwa dalam rangka

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KABUPATEN BULUNGAN NOMOR 7 TAHUN 2011 TENTANG PENGARUSUTAMAAN GENDER DALAM PEMBANGUNAN DAERAH

PERATURAN DAERAH KABUPATEN BULUNGAN NOMOR 7 TAHUN 2011 TENTANG PENGARUSUTAMAAN GENDER DALAM PEMBANGUNAN DAERAH PERATURAN DAERAH KABUPATEN BULUNGAN NOMOR 7 TAHUN 2011 TENTANG PENGARUSUTAMAAN GENDER DALAM PEMBANGUNAN DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BULUNGAN, Menimbang : a. bahwa dalam rangka meningkatkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Tujuan pembangunan nasional adalah mewujudkan masyarakat adil dan makmur berdasarkan Pancasila. Pembangunan merupakan salah satu cara untuk mencapai keadaan tersebut,

Lebih terperinci

BERITA DAERAH KOTA BOGOR. Nomor 26 Tahun 2016 Seri E Nomor 18 PERATURAN WALIKOTA BOGOR NOMOR 26 TAHUN 2016 TENTANG

BERITA DAERAH KOTA BOGOR. Nomor 26 Tahun 2016 Seri E Nomor 18 PERATURAN WALIKOTA BOGOR NOMOR 26 TAHUN 2016 TENTANG BERITA DAERAH KOTA BOGOR Nomor 26 Tahun 2016 Seri E Nomor 18 PERATURAN WALIKOTA BOGOR NOMOR 26 TAHUN 2016 TENTANG PEDOMAN UMUM PELAKSANAAN PENGARUSUTAMAAN GENDER KOTA BOGOR Diundangkan dalam Berita Daerah

Lebih terperinci

LAMPIRAN PERATURAN MENTERI PERTANIAN NOMOR : 16/Permentan/OT.140/2/2008 TANGGAL : 11 Pebruari 2008 BAB I PENDAHULUAN. 1.1.

LAMPIRAN PERATURAN MENTERI PERTANIAN NOMOR : 16/Permentan/OT.140/2/2008 TANGGAL : 11 Pebruari 2008 BAB I PENDAHULUAN. 1.1. LAMPIRAN PERATURAN MENTERI PERTANIAN NOMOR : 16/Permentan/OT.140/2/2008 TANGGAL : 11 Pebruari 2008 BAB I 1.1. Latar Belakang PENDAHULUAN Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) pada tahun 2007 jumlah

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kemiskinan di Indonesia merupakan masalah pokok nasional yang penanggulangannya tidak dapat ditunda dan harus menjadi pioritas utama dalam pelaksanaan pembangunan masyarakat.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Pembangunan termasuk didalamnya berbagai upaya penanggulangan

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Pembangunan termasuk didalamnya berbagai upaya penanggulangan BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pembangunan termasuk didalamnya berbagai upaya penanggulangan kemiskinan, sesungguhnya adalah suatu proses perubahan sosial ekonomi masyarakat menuju ke arah yang

Lebih terperinci

KEMENTERIAN PERTANIAN PEDOMAN UMUM. Pengembangan Usaha Agribisnis Perdesaan

KEMENTERIAN PERTANIAN PEDOMAN UMUM. Pengembangan Usaha Agribisnis Perdesaan KEMENTERIAN PERTANIAN PEDOMAN UMUM Pengembangan Usaha Agribisnis Perdesaan 2011 PERATURAN MENTERI PERTANIAN NOMOR : TENTANG PEDOMAN UMUM PENGEMBANGAN USAHA AGRIBISNIS PERDESAAN (PUAP) DENGAN RAHMAT TUHAN

Lebih terperinci

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN TANAH LAUT NOMOR 1 TAHUN 2014

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN TANAH LAUT NOMOR 1 TAHUN 2014 LEMBARAN DAERAH KABUPATEN TANAH LAUT NOMOR 1 TAHUN 2014 PERATURAN DAERAH KABUPATEN TANAH LAUT NOMOR 1 TAHUN 2014 TENTANG PENGARUSUTAMAAN GENDER DALAM PEMBANGUNAN DAERAH KABUPATEN TANAH LAUT DENGAN RAHMAT

Lebih terperinci

PROVINSI KALIMANTAN SELATAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN HULU SUNGAI TENGAH NOMOR 1 TAHUN 2017 TENTANG PELAKSANAAN PENGARUSUTAMAAN GENDER DI DAERAH

PROVINSI KALIMANTAN SELATAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN HULU SUNGAI TENGAH NOMOR 1 TAHUN 2017 TENTANG PELAKSANAAN PENGARUSUTAMAAN GENDER DI DAERAH PROVINSI KALIMANTAN SELATAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN HULU SUNGAI TENGAH NOMOR 1 TAHUN 2017 TENTANG PELAKSANAAN PENGARUSUTAMAAN GENDER DI DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI HULU SUNGAI TENGAH,

Lebih terperinci

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.1292, 2012 KEMENTERIAN NEGARA KOPERASI DAN USAHA KECIL DAN MENENGAH. Dekonsentrasi. Kegiatan. Anggaran. Pedoman. PERATURAN MENTERI NEGARA KOPERASI DAN USAHA KECIL DAN

Lebih terperinci

DAFTAR ALAMAT MADRASAH TSANAWIYAH NEGERI TAHUN 2008/2009

DAFTAR ALAMAT MADRASAH TSANAWIYAH NEGERI TAHUN 2008/2009 ACEH ACEH ACEH SUMATERA UTARA SUMATERA UTARA SUMATERA BARAT SUMATERA BARAT SUMATERA BARAT RIAU JAMBI JAMBI SUMATERA SELATAN BENGKULU LAMPUNG KEPULAUAN BANGKA BELITUNG KEPULAUAN RIAU DKI JAKARTA JAWA BARAT

Lebih terperinci

PEMBIAYAAN USAHA PERTANIAN: Peran dan Fungsi FP2S Dalam Akselerasi KUR

PEMBIAYAAN USAHA PERTANIAN: Peran dan Fungsi FP2S Dalam Akselerasi KUR PEMBIAYAAN USAHA PERTANIAN: Peran dan Fungsi FP2S Dalam Akselerasi KUR Direktorat Pembiayaan, Direktorat Jenderal Prasarana dan Sarana Pertanian, Kementerian Pertanian Jakarta, Agustus 2017 Pendahuluan

Lebih terperinci

BAB II JAWA BARAT DALAM KONSTELASI NASIONAL

BAB II JAWA BARAT DALAM KONSTELASI NASIONAL BAB II JAWA BARAT DALAM KONSTELASI NASIONAL 2.1 Indeks Pembangunan Manusia beserta Komponennya Indikator Indeks Pembangunan Manusia (IPM; Human Development Index) merupakan salah satu indikator untuk mengukur

Lebih terperinci

BUPATI SOPPENG PROVINSI SULAWESI SELATAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN SOPPENG NOMOR 2 TAHUN 2017 TENTANG PENGARUSUTAMAAN GENDER DALAM PEMBANGUNAN DAERAH

BUPATI SOPPENG PROVINSI SULAWESI SELATAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN SOPPENG NOMOR 2 TAHUN 2017 TENTANG PENGARUSUTAMAAN GENDER DALAM PEMBANGUNAN DAERAH 1 BUPATI SOPPENG PROVINSI SULAWESI SELATAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN SOPPENG NOMOR 2 TAHUN 2017 TENTANG PENGARUSUTAMAAN GENDER DALAM PEMBANGUNAN DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI SOPPENG,

Lebih terperinci

GUBERNUR KALIMANTAN TENGAH

GUBERNUR KALIMANTAN TENGAH 1 SALINAN GUBERNUR KALIMANTAN TENGAH PERATURAN GUBERNUR KALIMANTAN TENGAH NOMOR 68 TAHUN 2013 TENTANG PELAKSANAAN PENGARUSUTAMAAN GENDER DI PROVINSI KALIMANTAN TENGAH GUBERNUR KALIMANTAN TENGAH, Menimbang

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Kebijakan pembangunan merupakan persoalan yang kompleks, karena

I. PENDAHULUAN. Kebijakan pembangunan merupakan persoalan yang kompleks, karena I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kebijakan pembangunan merupakan persoalan yang kompleks, karena melibatkan seluruh sistem yang terlibat dalam suatu negara. Di negara-negara berkembang modifikasi kebijakan

Lebih terperinci

2015, No dan Usaha Kecil dan Menengah yang dilaksanakan dan dikelola secara efisien, efektif, berdaya guna dan berhasil guna yang dikelola Satua

2015, No dan Usaha Kecil dan Menengah yang dilaksanakan dan dikelola secara efisien, efektif, berdaya guna dan berhasil guna yang dikelola Satua BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.236, 2015 KEMENKOP-UKM. Pedoman. Kegiatan. Anggaran Dekonsentrasi. PERATURAN MENTERI KOPERASI DAN USAHA KECIL DAN MENENGAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR/PER/M.KUKM/II/2015

Lebih terperinci

BUPATI TRENGGALEK PROVINSI JAWA TIMUR

BUPATI TRENGGALEK PROVINSI JAWA TIMUR BUPATI TRENGGALEK PROVINSI JAWA TIMUR PERATURAN BUPATI TRENGGALEK NOMOR 62 TAHUN 2015 TENTANG BENTUK-BENTUK PERLINDUNGAN PEREMPUAN DAN MEKANISME PENGARUSUTAMAAN GENDER DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

Lebih terperinci

MENTERI DALAM NEGERI REPUBLIK INDONESIA KEPUTUSAN MENTERI DALAM NEGERI NOMOR : 132 TAHUN 2003 TENTANG

MENTERI DALAM NEGERI REPUBLIK INDONESIA KEPUTUSAN MENTERI DALAM NEGERI NOMOR : 132 TAHUN 2003 TENTANG MENTERI DALAM NEGERI REPUBLIK INDONESIA KEPUTUSAN MENTERI DALAM NEGERI NOMOR : 132 TAHUN 2003 TENTANG PEDOMAN UMUM PELAKSANAAN PENGARUSUTAMAAN GENDER DALAM PEMBANGUNAN DI DAERAH MENTERI DALAM NEGERI, Menimbang

Lebih terperinci

WALIKOTA PEKANBARU PROVINSI RIAU PERATURAN WALIKOTA PEKANBARU NOMOR 41 TAHUN 2016 TENTANG PELAKSANAAN PENGARUSUTAMAAN GENDER DALAM PEMBANGUNAN DAERAH

WALIKOTA PEKANBARU PROVINSI RIAU PERATURAN WALIKOTA PEKANBARU NOMOR 41 TAHUN 2016 TENTANG PELAKSANAAN PENGARUSUTAMAAN GENDER DALAM PEMBANGUNAN DAERAH WALIKOTA PEKANBARU PROVINSI RIAU PERATURAN WALIKOTA PEKANBARU NOMOR 41 TAHUN 2016 TENTANG PELAKSANAAN PENGARUSUTAMAAN GENDER DALAM PEMBANGUNAN DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA PEKANBARU,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Permasalahan tingginya tingkat kemiskinanberhubungan erat dengan permasalahan pertanian di Indonesia. Menurut Nasution (2008), beberapa masalah pertanian yangdimaksud

Lebih terperinci

CATATAN ATAS PRIORITAS PENANGGULANGAN KEMISKINAN DALAM RKP Grafik 1. Tingkat Kemiskinan,

CATATAN ATAS PRIORITAS PENANGGULANGAN KEMISKINAN DALAM RKP Grafik 1. Tingkat Kemiskinan, CATATAN ATAS PRIORITAS PENANGGULANGAN KEMISKINAN DALAM RKP 2013 A. Perkembangan Tingkat Kemiskinan Jumlah penduduk miskin di Indonesia pada bulan September 2011 sebesar 29,89 juta orang (12,36 persen).

Lebih terperinci

FORUM KOORDINASI DEWAN RISET DAERAH SE-SUMATERA Periode Tahun

FORUM KOORDINASI DEWAN RISET DAERAH SE-SUMATERA Periode Tahun FORUM KOORDINASI DEWAN RISET DAERAH SE-SUMATERA Periode Tahun 2017-2020 SK KETUA DEWAN RISET NASIONAL NOMOR: 27/Ka.DRN/X/2017 TENTANG PEMBENTUKAN FORUM KOORDINASI DEWAN RISET DAERAH SE-SUMATERA PERIODE

Lebih terperinci

2016, No c. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan huruf b, perlu menetapkan Peraturan Menteri Koperasi dan Usaha

2016, No c. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan huruf b, perlu menetapkan Peraturan Menteri Koperasi dan Usaha BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.35, 2016 KEMEN-KUKM. Anggaran. Dekonsentrasi. Pelaksanaan. Pedoman. Tahun 2016 PERATURAN MENTERI KOPERASI DAN USAHA KECIL DAN MENENGAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 /PER/M.KUKM/XII/2015

Lebih terperinci

BAB. II TINJAUAN PUSTAKA. a. INPRES No. 9 Tahun 2000 tentang Pengarusutamaan Gender (PUG) dalam

BAB. II TINJAUAN PUSTAKA. a. INPRES No. 9 Tahun 2000 tentang Pengarusutamaan Gender (PUG) dalam 10 BAB. II TINJAUAN PUSTAKA A. Pengarusutamaan Gender (PUG) 1. Kebijakan Pengarusutamaan Gender Terkait dengan Pengarusutamaan Gender (PUG), terdapat beberapa isitilah yang dapat kita temukan, antara lain

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KABUPATEN SINJAI NOMOR 12 TAHUN 2013 TENTANG PENGARUSUTAMAAN GENDER KABUPATEN SINJAI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI SINJAI,

PERATURAN DAERAH KABUPATEN SINJAI NOMOR 12 TAHUN 2013 TENTANG PENGARUSUTAMAAN GENDER KABUPATEN SINJAI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI SINJAI, PERATURAN DAERAH KABUPATEN SINJAI NOMOR 12 TAHUN 2013 TENTANG PENGARUSUTAMAAN GENDER KABUPATEN SINJAI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI SINJAI, Menimbang : a. bahwa dalam rangka penyelenggaraan

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH PROVINSI LAMPUNG NOMOR 10 TAHUN 2011 TENTANG PENGARUSUTAMAAN GENDER DALAM PEMBANGUNAN DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN DAERAH PROVINSI LAMPUNG NOMOR 10 TAHUN 2011 TENTANG PENGARUSUTAMAAN GENDER DALAM PEMBANGUNAN DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN DAERAH PROVINSI LAMPUNG NOMOR 10 TAHUN 2011 TENTANG PENGARUSUTAMAAN GENDER DALAM PEMBANGUNAN DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR LAMPUNG, Menimbang Mengingat : a. bahwa dalam rangka

Lebih terperinci

MENTERI PERTANIAN REPUBLIK INDONESIA PERATURAN MENTERI PERTANIAN NOMOR: 17/Permentan/OT.140/3/2011 TENTANG

MENTERI PERTANIAN REPUBLIK INDONESIA PERATURAN MENTERI PERTANIAN NOMOR: 17/Permentan/OT.140/3/2011 TENTANG MENTERI PERTANIAN REPUBLIK INDONESIA PERATURAN MENTERI PERTANIAN NOMOR: 17/Permentan/OT.140/3/2011 TENTANG PEDOMAN PENILAIAN GABUNGAN KELOMPOK TANI BERPRESTASI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI

Lebih terperinci

GUBERNUR ACEH PERATURAN GUBERNUR ACEH NOMOR 6 TAHUN 2014 TENTANG

GUBERNUR ACEH PERATURAN GUBERNUR ACEH NOMOR 6 TAHUN 2014 TENTANG GUBERNUR ACEH PERATURAN GUBERNUR ACEH NOMOR 6 TAHUN 2014 TENTANG PEDOMAN PELAKSANAAN PERENCANAAN DAN PENGANGGARAN RESPONSIF GENDER PADA SATUAN KERJA PERANGKAT ACEH DENGAN RAHMAT ALLAH YANG MAHA KUASA GUBERNUR

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI PENDIDIKAN NASIONAL REPUBLIK INDONESIA

PERATURAN MENTERI PENDIDIKAN NASIONAL REPUBLIK INDONESIA MILIK NEGARA TIDAK DIPERDAGANGKAN PERATURAN MENTERI PENDIDIKAN NASIONAL REPUBLIK INDONESIA NOMOR 84 TAHUN 2008 TENTANG PEDOMAN PELAKSANAAN PENGARUSUTAMAAN GENDER BIDANG PENDIDIKAN KEMENTERIAN PENDIDIKAN

Lebih terperinci

Populasi Ternak Menurut Provinsi dan Jenis Ternak (Ribu Ekor),

Populasi Ternak Menurut Provinsi dan Jenis Ternak (Ribu Ekor), Babi Aceh 0.20 0.20 0.10 0.10 - - - - 0.30 0.30 0.30 3.30 4.19 4.07 4.14 Sumatera Utara 787.20 807.40 828.00 849.20 871.00 809.70 822.80 758.50 733.90 734.00 660.70 749.40 866.21 978.72 989.12 Sumatera

Lebih terperinci

RILIS HASIL AWAL PSPK2011

RILIS HASIL AWAL PSPK2011 RILIS HASIL AWAL PSPK2011 Kementerian Pertanian Badan Pusat Statistik Berdasarkan hasil Pendataan Sapi Potong, Sapi Perah, dan Kerbau (PSPK) 2011 yang dilaksanakan serentak di seluruh Indonesia mulai 1-30

Lebih terperinci

- 1 - PEMERINTAH DAERAH PROVINSI JAWA TIMUR PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA TIMUR NOMOR 13 TAHUN 2013 TENTANG

- 1 - PEMERINTAH DAERAH PROVINSI JAWA TIMUR PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA TIMUR NOMOR 13 TAHUN 2013 TENTANG - 1 - PEMERINTAH DAERAH PROVINSI JAWA TIMUR PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA TIMUR NOMOR 13 TAHUN 2013 TENTANG PEMBERDAYAAN MASYARAKAT DESA DAN KELURAHAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR JAWA TIMUR,

Lebih terperinci

MENTERI SOSIAL REPUBLIK INDONESIA KEPUTUSAN MENTERI SOSIAL REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 / HUK / 2012 TENTANG

MENTERI SOSIAL REPUBLIK INDONESIA KEPUTUSAN MENTERI SOSIAL REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 / HUK / 2012 TENTANG KEPUTUSAN NOMOR 23 / HUK / 2012 TENTANG PENETAPAN NAMA NAMA PENERIMA DANA PROGRAM ASISTENSI SOSIAL LANJUT USIA TAHUN 2012 Menimbang :, a. bahwa jumlah lanjut usia yang membutuhkan perhatian dan penanganan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. peningkatan penduduk dari tahun 2007 sampai Adapun pada tahun 2009

I. PENDAHULUAN. peningkatan penduduk dari tahun 2007 sampai Adapun pada tahun 2009 I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Berdasarkan Badan Pusat Statistik (2008), Provinsi Jawa Barat mengalami peningkatan penduduk dari tahun 2007 sampai 2009. Adapun pada tahun 2009 jumlah penduduk Jawa

Lebih terperinci

RENCANA KERJA BADAN PPSDMP DAN EVALUASI E-PROPOSAL TAHUN 2016

RENCANA KERJA BADAN PPSDMP DAN EVALUASI E-PROPOSAL TAHUN 2016 RENCANA KERJA BADAN PPSDMP DAN EVALUASI E-PROPOSAL TAHUN 2016 OLEH : SEKRETARIS BADAN PPSDMP Disampaikan pada : Pra-Musrenbangtannas Kementerian Pertanian Jakarta, 12 Mei 2015 ARAH KEBIJAKAN 2015-2019

Lebih terperinci

KATA PENGANTAR. Pedoman Pengembangan Lembaga Keuangan Mikro Agribisnis (LKM-A) Gapoktan PUAP

KATA PENGANTAR. Pedoman Pengembangan Lembaga Keuangan Mikro Agribisnis (LKM-A) Gapoktan PUAP KATA PENGANTAR Program Pengembangan Usaha Agribisnis Perdesaan (PUAP) adalah sebagai bagian dari pelaksanaan program PNPM Mandiri. Program pemberdayaan yang dilaksanakan oleh Kementerian Pertanian telah

Lebih terperinci

PEDOMAN PEMBINAAN TENAGA HARIAN LEPAS TENAGA BANTU PENYULUH PERTANIAN BAB I PENDAHULUAN

PEDOMAN PEMBINAAN TENAGA HARIAN LEPAS TENAGA BANTU PENYULUH PERTANIAN BAB I PENDAHULUAN LAMPIRAN PERATURAN MENTERI PERTANIAN NOMOR : 03//Permentan/OT.140/1/2011 TANGGAL : 31 Januari 2011 PEDOMAN PEMBINAAN TENAGA HARIAN LEPAS TENAGA BANTU PENYULUH PERTANIAN BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

Lebih terperinci

WALI KOTA DEPOK PROVINSI JAWA BARAT

WALI KOTA DEPOK PROVINSI JAWA BARAT SALINAN WALI KOTA DEPOK PROVINSI JAWA BARAT PERATURAN WALI KOTA DEPOK NOMOR 6 TAHUN 2017 TENTANG PEDOMAN PENGARUSUTAMAAN GENDER DI KOTA DEPOK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALI KOTA DEPOK, Menimbang

Lebih terperinci

RENCANA KINERJA TAHUNAN (RKT) DIREKTORAT PEMBIAYAAN PERTANIAN TA. 2014

RENCANA KINERJA TAHUNAN (RKT) DIREKTORAT PEMBIAYAAN PERTANIAN TA. 2014 RENCANA KINERJA TAHUNAN (RKT) DIREKTORAT PEMBIAYAAN PERTANIAN TA. 2014 DIREKTORAT JENDERAL PRASARANA DAN SARANA PERTANIAN KEMENTERIAN PERTANIAN 2013 DAFTAR ISI KATA PENGANTAR... i DAFTAR ISI... ii BAB

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI DALAM NEGERI NOMOR 15 TAHUN 2008 TENTANG PEDOMAN UMUM PELAKSANAAN PENGARUSUTAMAAN GENDER DI DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN MENTERI DALAM NEGERI NOMOR 15 TAHUN 2008 TENTANG PEDOMAN UMUM PELAKSANAAN PENGARUSUTAMAAN GENDER DI DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN MENTERI DALAM NEGERI NOMOR 15 TAHUN 2008 TENTANG PEDOMAN UMUM PELAKSANAAN PENGARUSUTAMAAN GENDER DI DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI DALAM NEGERI, Menimbang : a. bahwa dalam penyelenggaraan

Lebih terperinci

PENGEMBANGAN USAHA AGRIBINIS PEDESAAN (PUAP) DI PROVINSI BENGKULU

PENGEMBANGAN USAHA AGRIBINIS PEDESAAN (PUAP) DI PROVINSI BENGKULU KODE: 26/1801.019/012/RDHP/2013 PENGEMBANGAN USAHA AGRIBINIS PEDESAAN (PUAP) DI PROVINSI BENGKULU PENELITI UTAMA Dr. Wahyu Wibawa, MP. BALAI PENGKAJIAN TEKNOLOGI PERTANIAN BENGKULU 2013 LEMBAR PENGESAHAN

Lebih terperinci

PEDOMAN PENYUSUNAN RENCANA DEFINITIF KELOMPOKTANI DAN RENCANA DEFINITIF KEBUTUHAN KELOMPOKTANI BAB I PENDAHULUAN

PEDOMAN PENYUSUNAN RENCANA DEFINITIF KELOMPOKTANI DAN RENCANA DEFINITIF KEBUTUHAN KELOMPOKTANI BAB I PENDAHULUAN LAMPIRAN II PERATURAN MENTERI PERTANIAN NOMOR : 82/Permentan/OT.140/8/2013 TANGGAL : 19 Agustus 2013 PEDOMAN PENYUSUNAN RENCANA DEFINITIF KELOMPOKTANI DAN RENCANA DEFINITIF KEBUTUHAN KELOMPOKTANI BAB I

Lebih terperinci

BUPATI MALANG PERATURAN BUPATI MALANG NOMOR 34 TAHUN 2012 TENTANG PETUNJUK TEKNIS PENYUSUNAN PERENCANAAN DAN PENGANGGARAN RESPONSIF GENDER (PPRG)

BUPATI MALANG PERATURAN BUPATI MALANG NOMOR 34 TAHUN 2012 TENTANG PETUNJUK TEKNIS PENYUSUNAN PERENCANAAN DAN PENGANGGARAN RESPONSIF GENDER (PPRG) BUPATI MALANG PERATURAN BUPATI MALANG NOMOR 34 TAHUN 2012 TENTANG PETUNJUK TEKNIS PENYUSUNAN PERENCANAAN DAN PENGANGGARAN RESPONSIF GENDER (PPRG) BUPATI MALANG, Menimbang : a. bahwa dalam rangka mengintegrasikan

Lebih terperinci

PENINGKATAN PRODUKSI DAN PRODUKTIVITAS TANAMAN TAHUNAN PEDOMAN TEKNIS KOORDINASI KEGIATAN PENGEMBANGAN TANAMAN TAHUNAN TAHUN 2015 (REVISI)

PENINGKATAN PRODUKSI DAN PRODUKTIVITAS TANAMAN TAHUNAN PEDOMAN TEKNIS KOORDINASI KEGIATAN PENGEMBANGAN TANAMAN TAHUNAN TAHUN 2015 (REVISI) PENINGKATAN PRODUKSI DAN PRODUKTIVITAS TANAMAN TAHUNAN PEDOMAN TEKNIS KOORDINASI KEGIATAN PENGEMBANGAN TANAMAN TAHUNAN TAHUN 2015 (REVISI) DIREKTORAT JENDERAL PERKEBUNAN KEMENTERIAN PERTANIAN MARET 2015

Lebih terperinci

2011, No Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1984 tentang Pengesahan Konvensi Mengenai Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Pe

2011, No Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1984 tentang Pengesahan Konvensi Mengenai Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Pe No.927, 2011 BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA KEMENTERIAN DALAM NEGERI. Pengarusutamaan Gender. Daerah. Pedoman. PERATURAN MENTERI DALAM NEGERI REPUBLIK INDONESIA NOMOR 67 TAHUN 2011 TENTANG PERUBAHAN

Lebih terperinci

MENTERI PERTANIAN REPUBLIK INDONESIA. PERATURAN MENTERI PERTANIAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 130/Permentan/SR.130/11/2014 TENTANG

MENTERI PERTANIAN REPUBLIK INDONESIA. PERATURAN MENTERI PERTANIAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 130/Permentan/SR.130/11/2014 TENTANG MENTERI PERTANIAN REPUBLIK INDONESIA PERATURAN MENTERI PERTANIAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 130/Permentan/SR.130/11/2014 TENTANG KEBUTUHAN DAN HARGA ECERAN TERTINGGI (HET) PUPUK BERSUBSIDI UNTUK SEKTOR PERTANIAN

Lebih terperinci

MENTERI PERTANIAN REPUBLIK INDONESIA. PERATURAN MENTERI PERTANIAN NOMOR : 03/Permentan/OT.140/1/2011 TENTANG

MENTERI PERTANIAN REPUBLIK INDONESIA. PERATURAN MENTERI PERTANIAN NOMOR : 03/Permentan/OT.140/1/2011 TENTANG MENTERI PERTANIAN REPUBLIK INDONESIA PERATURAN MENTERI PERTANIAN NOMOR : 03/Permentan/OT.140/1/2011 TENTANG PEDOMAN PEMBINAAN TENAGA HARIAN LEPAS TENAGA BANTU PENYULUH PERTANIAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG

Lebih terperinci

BUPATI KOTABARU PERATURAN DAERAH KABUPATEN KOTABARU NOMOR 16 TAHUN 2013 TENTANG PENGARUSUTAMAAN GENDER DALAM PEMBANGUNAN KABUPATEN KOTABARU

BUPATI KOTABARU PERATURAN DAERAH KABUPATEN KOTABARU NOMOR 16 TAHUN 2013 TENTANG PENGARUSUTAMAAN GENDER DALAM PEMBANGUNAN KABUPATEN KOTABARU BUPATI KOTABARU PERATURAN DAERAH KABUPATEN KOTABARU NOMOR 16 TAHUN 2013 TENTANG PENGARUSUTAMAAN GENDER DALAM PEMBANGUNAN KABUPATEN KOTABARU BUPATI KOTABARU, Menimbang : a. bahwa dalam rangka meningkatkan

Lebih terperinci

2013, No Instruksi Presiden Nomor 9 Tahun 2000 tentang Pengarusutamaan Gender Dalam Pembangunan Nasional; 3. Peraturan Menteri Pertahanan Nom

2013, No Instruksi Presiden Nomor 9 Tahun 2000 tentang Pengarusutamaan Gender Dalam Pembangunan Nasional; 3. Peraturan Menteri Pertahanan Nom No.157, 2013 BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA KEMENTERIAN PERTAHANAN. Pengarusutamaan Gender. Pelaksanaan. Pedoman. PERATURAN MENTERI PERTAHANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 42 TAHUN 2012 TENTANG PEDOMAN PELAKSANAAN

Lebih terperinci

DUKUNGAN PASCAPANEN DAN PEMBINAAN USAHA

DUKUNGAN PASCAPANEN DAN PEMBINAAN USAHA DUKUNGAN PASCAPANEN DAN PEMBINAAN USAHA PEDOMAN TEKNIS PENILAIAN USAHA PERKEBUNAN TAHUN 2013 DIREKTORAT JENDERAL PERKEBUNAN KEMENTERIAN PERTANIAN DESEMBER 2012 KATA PENGANTAR Puji syukur kami panjatkan

Lebih terperinci

DUKUNGAN PASCAPANEN DAN PEMBINAAN USAHA

DUKUNGAN PASCAPANEN DAN PEMBINAAN USAHA DUKUNGAN PASCAPANEN DAN PEMBINAAN USAHA PEDOMAN TEKNIS PEMBINAAN USAHA PERKEBUNAN TAHUN 2013 DIREKTORAT JENDERAL PERKEBUNAN KEMENTERIAN PERTANIAN DESEMBER 2012 KATA PENGANTAR Puji syukur kami panjatkan

Lebih terperinci

GUBERNUR SULAWESI SELATAN PERATURAN GUBERNUR PROVINSI SULAWESI SELATAN NOMOR : 62 TAHUN 2011 TENTANG

GUBERNUR SULAWESI SELATAN PERATURAN GUBERNUR PROVINSI SULAWESI SELATAN NOMOR : 62 TAHUN 2011 TENTANG GUBERNUR SULAWESI SELATAN PERATURAN GUBERNUR PROVINSI SULAWESI SELATAN NOMOR : 62 TAHUN 2011 TENTANG TATA CARA PELAKSANAAN PENGARUSUTAMAAN GENDER DI LINGKUP PEMERINTAH PROVINSI SULAWESI SELATAN BADAN PEMBERDAYAAN

Lebih terperinci

Skim Pembiayaan Mikro Agro (SPMA)

Skim Pembiayaan Mikro Agro (SPMA) 28 Bab V. Analisis Kebijakan Kapital, Sumberdaya Lahan dan Air Skim Pembiayaan Mikro Agro (SPMA) Pendahuluan Latar Belakang Peraturan Presiden (PERPRES) Republik Indonesia Nomor 7 tahun 2005 tentang Rencana

Lebih terperinci

BUPATI JEPARA PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN DAERAH KABUPATEN JEPARA NOMOR 1 TAHUN 2015 TENTANG PENGARUSUTAMAAN GENDER DALAM PEMBANGUNAN DAERAH

BUPATI JEPARA PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN DAERAH KABUPATEN JEPARA NOMOR 1 TAHUN 2015 TENTANG PENGARUSUTAMAAN GENDER DALAM PEMBANGUNAN DAERAH BUPATI JEPARA PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN DAERAH KABUPATEN JEPARA NOMOR 1 TAHUN 2015 TENTANG PENGARUSUTAMAAN GENDER DALAM PEMBANGUNAN DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI JEPARA, Menimbang

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI, KERANGKA PEMIKIRAN, HIPOTESIS PENELITIAN

BAB II TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI, KERANGKA PEMIKIRAN, HIPOTESIS PENELITIAN BAB II TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI, KERANGKA PEMIKIRAN, HIPOTESIS PENELITIAN 2.1. Tinjauan Pustaka Tahun 2002 pemerintah melalui Departemen Pertanian RI mengeluarkan kebijakan baru dalam upaya untuk

Lebih terperinci

MENTERI PERTANIAN REPUBLIK INDONESIA. PERATURAN MENTERI PERTANIAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 130/Permentan/SR.130/11/2014 TENTANG

MENTERI PERTANIAN REPUBLIK INDONESIA. PERATURAN MENTERI PERTANIAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 130/Permentan/SR.130/11/2014 TENTANG MENTERI PERTANIAN REPUBLIK INDONESIA PERATURAN MENTERI PERTANIAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 130/Permentan/SR.130/11/2014 TENTANG KEBUTUHAN DAN HARGA ECERAN TERTINGGI (HET) PUPUK BERSUBSIDI UNTUK SEKTOR PERTANIAN

Lebih terperinci

Disampaikan pada acara : Rapat Koordinasi Nasional Pemberdayaan KUMKM Tahun 2014

Disampaikan pada acara : Rapat Koordinasi Nasional Pemberdayaan KUMKM Tahun 2014 Kementerian Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah Republik Indonesia Disampaikan pada acara : Rapat Koordinasi Nasional Pemberdayaan KUMKM Tahun 2014 Deputi Menteri Bidang Produksi Jakarta, Desember 2014

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA DAN LANDASAN TEORI

TINJAUAN PUSTAKA DAN LANDASAN TEORI TINJAUAN PUSTAKA DAN LANDASAN TEORI Tinjauan Pustaka Gabungan Kelompok Tani (Gapokan) PERMENTAN Nomor 16/Permentan/OT.140/2/2008 tentang Pedoman Umum Pengembangan Usaha Agribisnis Perdesaan (PUAP) menetapkan

Lebih terperinci

PENERAPAN PUG DALAM MENDUKUNG PEMBANGUNAN KELAUTAN DAN PERIKANAN

PENERAPAN PUG DALAM MENDUKUNG PEMBANGUNAN KELAUTAN DAN PERIKANAN PENERAPAN PUG DALAM MENDUKUNG PEMBANGUNAN KELAUTAN DAN PERIKANAN DEPUTI BIDANG PUG BIDANG EKONOMI KEMENTERIAN PEMBERDAYAAN PEREMPUAN DAN PERLINDUNGAN ANAK PERPRES NO. 5 TAHUN 2010 RPJMN 2010-2014 A. 3

Lebih terperinci