BAB 1 PENDAHULUAN. Universitas Sumatera Utara

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "BAB 1 PENDAHULUAN. Universitas Sumatera Utara"

Transkripsi

1 BAB 1 PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Angka kejadian persalinan dengan bedah sesar menurut World Health Organization (WHO), diperkirakan 10% sampai 15% dari semua proses persalinan di Negara-negara berkembang 1. Proporsi persalinan dengan bedah sesar di 64 Rumah Sakit di Jakarta pada tahun 1993 adalah 45% dari persalinan 2. Data dari RSUP Cipto Mangunkusumo Jakarta tahun , menyebutkan bahwa proporsi persalinan dengan bedah sesar 30% dari 404 persalinan setiap bulan 3. Nyeri yang terjadi setelah bedah sesar akan membuat proses pemulihan menjadi sulit dan kontak antara ibu dan bayi tertunda, selain itu juga akan menjadi hambatan untuk posisi menyusui yang baik, perawatan diri, perawatan bayi baru lahir, dan untuk melakukan kegiatan sehari hari, jangka waktu rawatan di rumah sakit bertambah dan pada akhirnya akan meningkatkan biaya pengobatan. Nyeri paska bedah sesar sering diabaikan, sehingga dapat mempengaruhi kepuasan pasien dan mengurangi kualitas hidupnya 4,5,6. Anestesi regional merupakan pilihan utama dalam penatalaksanaan pasien selama bedah sesar. Penggunaan kembali anestesi intratekal sebagai teknik yang popular mungkin karena teknik yang sederhana dan perkembangan jarum bore kecil. Keuntungan lain, seperti: mula kerja yang cepat dan kemampuan dalam menghasilkan blok motorik dan sensorik yang sama jika dibandingkan dengan epidural anestesi. Kerugian utamanya berhubungan dengan masa kerjanya yang terbatas. Anestesi dan analgesia intratekal dapat diperpanjang dengan menggunakan adjuvan terhadap anestesi lokal seperti adrenalin, midazolam, opioid, neostigmin, klonidin, dan lain-lain. 4,6. Banyak faktor yang mempengaruhi ketepatan blok saraf sensorik untuk pembedahan, dosis lokal anestesi adalah penentu utama untuk 1

2 keberhasilannya. Beberapa buku ajar anestesi menganjurkan bupivakain pada dosis antara 12 sampai 15 mg. Bupivakain mempunyai mula kerja 5-10 menit dan lama kerja menit. Namun, penggunaan rentang dosis ini berhubungan dengan kejadian hipotensi pada ibu dari 69% sampai lebih dari 80%, menyebabkan morbiditas pada ibu dan bayi. Penggunaan dosis rendah bertujuan untuk mengurangi efek samping terhadap ibu (hipotensi, mual/muntah intra operasi), mengurangi waktu perawatan di unit perawatan paska bedah, dan meningkatkan kenyamanan ibu. Namun, strategi tersebut dapat melemahkan kecukupan anestesi, dan memerlukan obat analgesia tambahan, dengan kemungkinan resiko terhadap bayi, dan mungkin membutuhkan konversi ke anestesi umum 7. Lubis B (Medan, 2013) melakukan penelitian tentang efek analgesia dan efek samping hipotensi pada dosis 10 mg dan 15 mg hiperbarik bupivakain 0,5% pada bedah sesar dan didapati bahwa anestesi intratekal menggunakan 10 mg bupivakain hiperbarik 0,5% lebih efektif dibandingkan 15 mg bupivakain hiperbarik 0,5% karena menghasilkan analgesia intraoperatif yang adekuat dan hemodinamik yang lebih stabil (25% Versus 76,6% kejadian hipotensi) 8. Opioid intratekal dan anestesi lokal juga telah terbukti bekerja secara sinergis pada tingkat spinal. Keuntungan kombinasi dua jenis obat dengan cara ini dijelaskan dengan perbedaaan sifat analgetik dan kemampuannya untuk menghambat rasa nyeri di dua cara yang berbeda. Opioid menghasilkan efek analgesia dengan mengikat dan mengaktifkan reseptor opiat spesifik dalam substansia gelatinosa, sedangkan anestesi lokal menghasilkan efek analgesia dengan menghambat transmisi inpuls pada akar saraf dan ganglia akar dorsal 9. Morfin intratekal memperlihatkan efek anti nyeri yang efektif paska bedah sesar, jika dikombinasi dengan anestesi lokal, dengan dosis sekurang-kurangnya mcg, tetapi efek samping terhadap ibu sering dijumpai seperti mual, muntah, retensi urin dan pruritus. Efek samping yang jarang terjadi namun sangat berbahaya adalah depresi pernafasan 2

3 lambat, yang mungkin terjadi 6 sampai 12 jam setelah pemberian intratekal morfin, dan direkomendasikan secara klinis tidak lebih dari 300 mcg untuk mencegah depresi pernapasan tertunda 10,11. Yang T dkk (Canada, 1999), melakukan penelitian pada morfin 250 mcg dan 100 mcg intratekal sebagai analgesia pada pasien bedah sesar, tidak dijumpai perbedaan skor nyeri VAS atau jumlah ibu yang meminta opioid diantara kedua kelompok. Skor pruritus pada kelompok 100 mcg lebih rendah selama 24 jam pertama (p = 0.001). Beberapa ibu dengan dosis 100 mcg membutuhkan nalbupin untuk mengobati pruritus (p = 0.018). Skor mual lebih rendah pada kelompok 100 mcg (p < 0.001) 12. Slappendel R dkk (Belanda, 1999), melakukan penelitian tentang dosis optimal intratekal morfin pada operasi tulang panggul dengan membandingkan dosis 25 mcg, 50 mcg, 100 mcg dan 200 mcg, dan didapati bahwa dosis optimal intratekal morfin setelah operasi tulang panggul adalah 100 mcg. Pada dosis ini menghasilkan penanggulangan nyeri yang baik dan kebutuhan morfin sistemik yang minimal pada 24 jam paska bedah. Sedangkan pada dosis 200 mcg morfin intratekal tidak menghasilkan efek analgesia yang lebih baik, dengan angka kejadian gatal lebih tinggi dan hipotensi lebih sering dan berlangsung lama. Dosis morfin intratekal di bawah 100 mcg kurang efektif. Dari penelitian ini didapatkan nilai VAS tertinggi berturut turut 3,4, 3,4, 3, 2,5, dan total VAS 24 jam paska bedah adalah: 11,1, 9,5, 8,4, 6,3, dan penggunaan morfin PCA adalah ( mg ): 23,7, 17,8, 10,9, 9,9 13. Dahl JB dkk (Denmark, 1999), melakukan review sistematik untuk menilai efektifitas analgesia intraoperatif dan postoperatif serta efek samping opioid intratekal pada pasien-pasien bedah sesar yang dilakukan spinal anestesi. Didapati waktu pemberian analgesia tambahan paska bedah pada morfin dosis 100 mcg dan 200 mcg lebih lama. Dimana dosis 50 mcg tidak dijumpai efek yang bermakna terhadap plasebo. Waktu 3

4 permintaan analgetik tambahan pertama paska bedah pada beberapa penelitian adalah antara jam 14. Palashevska dkk (Yugoslavia, 2011), membandingkan morfin 0,05 mg dengan morfin 0,1 mg sebagai adjuvan bupivakain hidroklorida isobarik 17,5 mg secara intratekal pada operasi histerektomi pervaginam, paska operasi didapati bahwa masa kerja analgesia pada kelompok morfin 0,05 mg adalah 14,3 ± 1,1 jam dan secara bermakna lebih singkat dibandingkan 19,7 ± 1,7 jam pada kelompok morfin 0,1 mg (p<0.05), kejadian mual muntah tidak berbeda bermakna antara kedua kelompok, kejadian pruritus lebih sering pada morfin dosis 0,1 mg (p<0,05). Tidak dijumpai depresi pernapasan pada kedua kelompok 15. Carvalho FAE dkk (Brazil, 2012), meneliti tentang efek analgesia dan efek samping morfin dosis 50 mcg dan 100 mcg pada bedah sesar, dan didapati tidak berbeda bermakna secara statistik intensitas nyeri pada kedua kelompok, dimana nyeri sering terjadi pada jam ke 12 setelah dilakukan anestesi (p < 0.001). Konsumsi tramadol hidroklorida dan waktu untuk analgetik pertama sama pada kedua kelompok. Pruritus adalah efek samping yang paling sering terjadi, dengan angka kejadian secara statistik lebih tinggi pada kelompok morfin 100 mcg dibandingkan kelompok morfin 50 mcg yaitu 32% dan 12% (p = 0,026) 16. Sharma NR dkk (Nepal, 2013), melakukan penelitian pada morfin 100 mcg dan 200 mcg sebagai adjuvan bupivakain intratekal pada operasi bedah sesar didapati bahwa masa kerja analgesia lebih panjang pada morfin 200 mcg tetapi tidak bermakna secara statistik (p= 0.09). Kejadian pruritus, mual dan muntah lebih sering pada 200 mcg namun tidak bermakna secara statistik (p = 0.09 dan 0.373) 17. Trivedi DA dkk (India, 2013), melakukan penilaian morfin intratekal untuk analgesia paska bedah hysterectomy pervaginam dengan dosis morfin 100 mcg dibandingkan dengan plasebo sebagai adjuvan bupivakain 17,5 mg, dijumpai masa kerja analgesia rata-rata adalah 13,825 ± 4,206 jam pada kelompok morfin dan 4,762 ± 0,679 jam pada kelompok 4

5 plasebo (p<0,001). Frekuensi pernapasan dan saturasi oksigen adalah normal pada kedua kelompok pada setiap interval waktu selama operasi dan untuk 24 jam paska bedah 18. Ishak M dkk (Libanon, 2013), membandingkan intratekal morfin 50 mcg dengan intratekal morfin 100 mcg dalam bupivakain 0,5% 10 mg pada 48 pasien yang menjalani operasi bedah sesar dan didapati bahwa permintaan dosis analgetik pertama setelah 7 jam pada rata-rata ibu yang mendapat dosis morfin 50 mcg dan 9 jam pada ibu yang mendapat dosis morfin 100 mcg. Ibu yang mendapat morfin 50 mcg tidak dijumpai efek samping yang bermakna. Empat pasien pada grup 100 mcg mengalami mual 19. Weber EWG dkk (Belanda, 1999), membuktikan bahwa kejadian mual muntah adalah sama pada semua pasien ortopedi yang mendapat morfin intratekal. Lebih dari 60% pengalaman pasien dengan mual muntah terjadi pada 24 jam paska bedah tulang panggul. Dan kejadian mual muntah paska bedah tidak berhubungan dengan perbedaan dosis morfin intratekal, kejadian mual muntah juga sama pada pasien yang tidak mendapatkan morfin intratekal 20. Slappendel R dkk (Belanda, 1999), mendapati bahwa kejadian pruritus meningkat sesuai dengan dosis pada rentang dosis mcg morfin intratekal. Dimana kejadian tertinggi pruritus dijumpai pada 6 sampai 9 jam setelah pembedahan. Dengan angka kejadian dan lama (jam) rata rata pada dosis intratekal morfin 25 mcg, 50 mcg, 100 mcg, 200 mcg, berturut turut: angka kejadian pruritus ringan: 11%, 14%, 38%, 50%, pruritus sedang: 3%, 8%, 11%, 9%, dan pruritus berat: terjadi pada 3% pasien yang mendapat dosis 0,2 mg. Sedangkan lama waktu pruritus ( jam ) berturut-turut adalah 3,6, 3,4, 7,5, dan 6,7. Dengan perbandingan antara keempat kelompok terlihat bahwa lama pruritus hanya berbeda antara kelompok 25 mcg dan 50 mcg dibandingkan kelompok 100 mcg dan 200 mcg (p= 0,0000) 21. 5

6 Gehling M dan Tryba M (Germany, 2008), melakukan metaanalisis tentang resiko dan efek samping morfin intratekal dikombinasikan dengan anestesi spinal. Dibandingkan plasebo dosis morfin intratekal < 0,3 mg menghasilkan peningkatan mual (RR 1,4 CI 1,1-1,7) atau muntah (RR 3,1 CI 1,5-6,4) dan pruritus (RR 1,8 CI 1,4-2,2). Dosis morfin 0,3 mg menghasilkan rasio resiko pruritus (RR 5,0 CI 2,9-8,6), tetapi tidak berbeda pada mual (RR 1,2 CI 0,9-1,6) atau muntah (RR 1,3 CI 0,9-1,9). Secara keseluruhan intratekal morfin tidak meningkatkan depresi pernapasan 22. Klonidin intratekal telah digunakan pada rentang dosis 15 sampai 150 mcg, secara sendiri atau dicampur dengan anestesi lokal yang beragam dan opioid. Peningkatan aktivitas anestesi lokal terjadi karena blok hantaran saraf pada serabut A delta dan C, hiperpolarisasi saraf terisolasi karena peningkatan konduktansi kalium, dan vasokontriksi yang dimediasi oleh reseptor α2 adrenergik paska sinap sehingga absorbsi obat anestesi berkurang, meningkatkan waktu kontak jaringan saraf dengan obat tersebut 4,9,10,23,24,25. Reseptor α2 adrenergic dan reseptor opioid, dua reseptor ini memediasi fungsi fisiologis yang beragam, termasuk efek analgesia. Beberapa laporan telah menggambarkan peningkatan anti nyeri di spinal yang dimediasi opioid pada pemberian bersama agonis reseptor α2 adrenergic dosis rendah. Selain itu, telah dibuktikan secara luas perilaku dan elektrofisiologi co-aktivasi reseptor α2 adrenergik dan reseptor opioid akan menghasilkan interaksi sinergis di sumsum tulang belakang 9,10,23. Santiveri X dkk (India, 2002), melakukan penelitian tentang efek anestesi dan analgesia paska bedah klonidin intratekal sebagai obat tambahan pada prilocain pada operasi transuretra reseksi tumor kandung kemih dan didapatkan bahwa penambahan klonidin 75 mcg pada intratekal prilokain 75 mg meningkatkan masa kerja blok sensorik dan motorik dan mengurangi kebutuhan analgetik paska bedah 26. 6

7 Kunakeri S (India, 2011), melakukan penelitian pada klonidin intratekal 30 mcg sebagai adjuvan terhadap bupivakain pada operasi abdomen bagian bawah didapati peningkatan masa kerja analgesia pada kelompok klonidin yaitu 7.46 ± 2.18 jam sedang pada bupivakain saja 4.91 ± 1.41 jam 27,28. Bhushan SB dkk (India, 2012), melakukan penelitian pada 60 pasien yang menjalani operasi bedah sesar dengan klonidin 60 mcg, 30 mcg, atau 15 mcg sebagai adjuvan terhadap bupivakain 0,5% hiperbarik secara intratekal dan diamati bahwa masa kerja analgesia secara bermakna lebih lama pada kelompok klonidin 60 mcg dibandingkan dengan kelompok lain (598,7±140,47 vs. 436,65±149,84 dan 387,1±97,05 menit) namun sedasi juga lebih sering terjadi. Peneliti juga mendapatkan analgesia cukup baik dengan lebih sedikit sedasi pada dosis 15 mcg dan 30 mcg klonidin dan merupakan pilihan lebih baik ketika sedasi tidak dibutuhkan 29. Neves JFNP dkk (Brazil, 2006), melakukan penelitian pada 60 pasien bedah sesar dengan spinal anestesi dan dibagi menjadi 3 kelompok pasien yaitu pasien dengan intratekal bupivakain 0,5% hiperbarik (12,5 mg), morfin 100 mcg dan klonidin 15 atau 30 mcg. Pada jam ke 12 nilai VAS secara bermakna lebih rendah pada pasien kelompok klonidin 15 mcg dan 30 mcg jika dibandingkan dengan kelompok morfin saja (p < 0,05). Lama kerja analgesia paska bedah juga meningkat pada kelompok yang mendapat klonidin. Tidak ada perbedaan efek samping antara kelompok 30. E. Engelman dan C. Marsala (Belgia, 2012), melakukan suatu meta-analisis tentang efektifitas penambahan klonidin terhadap morfin intratekal pada nyeri akut paska bedah dan didapati bahwa klonidin meningkatkan masa kerja analgesia sampai 1,63 jam (CI: 0,93-2,33). Klonidin mengurangi jumlah penggunaan morfin paska bedah dengan ratarata 4,45 mg. Hanya kejadian hipotensi yang dijumpai meningkat pada klonidin 31. 7

8 Braga AFA dkk (Brazil, 2013), melakukan penelitian tentang efektifitas dan efek samping terhadap janin dan ibu pada dua dosis bupivakain dengan campuran morfin dan klonidin secara intratekal, pada penelitian ini juga dilakukan penilaian tentang karakteristik larutan anestesi dan didapati bahwa pencampuran bupivakain hiperbarik 0,5% 10 mg (2 ml) + klonidin 75 mcg (0,5 ml) + morfin 100 mcg (1 ml) + salin 0,9% (0,5 ml) dengan total volume sampai 4 ml menghasilkan densitas larutan pada suhu 37 ºC yaitu dan masih hiperbarik dibandingkan CSF. B. RUMUSAN MASALAH Apakah masa kerja analgesia klonidin 30 mcg morfin 50 mcg lebih lama dibandingkan dengan morfin 100 mcg sebagai adjuvan bupivakain hiperbarik 0,5% 10 mg intratekal pada bedah sesar. C. HIPOTESIS Masa kerja analgesia klonidin 30 mcg morfin 50 mcg lebih lama dibandingkan dengan morfin 100 mcg sebagai adjuvan bupivakain hiperbarik 0,5% 10 mg intratekal pada bedah sesar. D. TUJUAN UMUM Untuk mendapatkan obat adjuvan pada anestesi intratekal bupivakain hiperbarik 0,5% 10 mg yang memiliki masa kerja analgesia yang lama dengan efek samping yang rendah. E. TUJUAN KHUSUS 1. Untuk mengetahui masa kerja analgesia klonidin 30 mcg morfin 50 mcg sebagai adjuvan bupivacain hiperbarik 0,5% 10 mg pada bedah sesar. 2. Untuk mengetahui masa kerja analgesia morfin 100 mcg sebagai adjuvan bupivakain hiperbarik 0,5% 10 mg pada bedah sesar. 8

9 3. Untuk mengetahui perbandingan masa kerja analgesia klonidin 30 mcg morfin 50 mcg dengan morfin 100 mcg sebagai adjuvan bupivakain hiperbarik 0,5% 10 mg pada bedah sesar. 4. Untuk mengetahui perbandingan angka kejadian efek samping klonidin 30 mcg morfin 50 mcg dengan morfin 100 mcg sebagai adjuvan bupivakain hiperbarik 0,5% 10 mg intratekal pada bedah sesar. F. MANFAAT PENELITIAN 1. Manfaat Akademis Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai landasan dalam pemilihan adjuvan pada anestesi intratekal yang memiliki masa kerja analgesia yang lama dan efek samping yang minimal terutama pada bedah sesar 2. Manfaat Pelayanan Pasien 1. Untuk mendapatkan pasien dengan kualitas analgesia yang lebih baik pada bedah sesar. 2. Untuk mendapatkan obat adjuvan anestesi dengan masa kerja analgesia yang lama dan efek samping yang minimal pada bedah sesar. 3. Untuk mengurangi efek samping morfin intratekal yang merugikan pasien. 4. Mempercepat mobilisasi pasien sehingga menurunkan angka lamanya perawatan di rumah sakit dan biaya pengobatan. 5. Mempercepat mobilisasi ibu, sehingga mempercepat dan meningkatkan kualitas perawatan bayi oleh ibu. 9

10 BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Anestesi Intratekal dan Bedah Sesar Pada tahun 1885, J. Leonard Corning, seorang ahli neurologi menyuntikkan cocain kedalam ruang subarachnoid secara tidak sengaja menembus dura ketika melakukan percobaan terhadap anjing. Kemudian secara berulang dan sengaja menyuntikkan intradural cocain 3% dan menyarankan dapat digunakan pada pembedahan 4,6. Istilah Seksio Sesarea berasal dari bahasa latin caedere yang artinya memotong. Pengertian ini dapat dijumpai dalam hukum roma yaitu lex regia atau lex sesarea yang merupakan hukum yang menjelaskan bahwa prosedur tersebut dilakukan diakhir kehamilan pada seorang wanita yang dalam keadaan sekarat demi menyelamatkan calon bayinya. Secara definisi seksio sesarea adalah suatu tindakan untuk melahirkan bayi melalui insisi abdominal (laparatomi) dan dinding uterus (histereotomi). Definisi ini tidak mencakup pengeluaran janin pada kasus rupture uteri atau pada kasus kehamilan abdominal. Berdasarkan kamus kedokteran Dorland, 2002, bedah sesar merupakan suatu proses insisi dinding abdomen dan uterus untuk mengeluarkan janin 32,33,34. Pemilihan teknik anestesi pada ibu hamil yang akan menjalani bedah sesar adalah anestesi yang aman dan nyaman bagi ibu tanpa menyebabkan menurunnya kondisi janin dan bayi yang akan dilahirkan, oleh karena pemilihan teknik anestesi memiliki peranan sekitar 3-12% dari angka kematian ibu melahirkan. Pada saat ini, teknik regional anestesi yang paling sering digunakan oleh ahli anestesi selama bedah sesar adalah dengan menggunakan teknik anestesi regional subarakhnoid (anestesi intratekal). Hal ini di latar belakangi oleh karena tingginya angka mortalitas ibu yang menjalani bedah sesar dengan anestesi umum, yaitu hampir 17 kali lebih tinggi dibandingkan setelah penggunaan anestesi 10

11 regional dengan resiko komplikasi jalan napas pada anestesi umum, gagal intubasi, gagal ventilas-oksigenasi dan atau terjadinya aspirasi 32,33,35. Pada 16 agustus 1898, Keil August Bier melakukan anestesi intratekal terencana pertama kali pada manusia. Dia menyuntikkan 3 ml cocain 0,5% kedalam ruang subarachnoid kepada buruh umur 34 tahun yang sedang melakukan operasi ekstremitas bawah. Setelah menggunakannya pada 6 orang pasien, dia dan asistennya menyuntikkan cocain ke tekal masing masing 6,36,37. Heinrich Braun, ahli bedah dari Jerman pada tahun 1905 melaporkan penggunaan procain untuk anestesi intratekal. Dia juga melaporkan penggunaan epinephrine intratekal untuk memperpanjang lama kerja anestesi intratekal tetapi ini tidak diterima karena adanya ketakutan akan komplikasi neurologis. Barulah pada tahun 1945 Prickett dkk, menerbitkan laporan tentang keamanan neurologis penambahan intratekal epinephrine untuk memperpanjang lama kerja anestesi intratekal. Teknik anestesi intratekal baru diterima secara baik diseluruh dunia dan banyak yang melaporkan penggunaannya. Pada tahun berikutnya, popularitas anestesi intratekal menjadi meningkat dengan memperkenalkan obat-obat dan teknik terbaru 36,37. Anestesi intratekal adalah injeksi obat anestesi lokal kedalam ruang intratekal yang menghasilkan analgesia. Pemberian obat lokal anestesi kedalam ruang intratekal atau ruang subaraknoid di regio lumbal antara vertebra L2-3, L3-4, L4-5, untuk menghasilkan onset anestesi yang cepat dengan derajat kesuksesan yang tinggi. Walaupun teknik ini sederhana, dengan adanya pengetahuan anatomi, efek fisiologi dari anestesi spinal dan faktor faktor yang mempengaruhi distribusi anestesi lokal di ruang intratekal serta komplikasi anestesi spinal akan mengoptimalkan keberhasilan terjadinya blok anestesi intratekal 6,38,39. Kontraindikasi absolut anastesi intratekal meliputi pasien menolak, infeksi di daerah penusukan, koagulopati, hipovolemi berat, peningkatan 11

12 tekanan intrakranial, stenosis aorta berat dan stenosis mitral berat. Sedangkan kontraindikasi relatif meliputi pasien tidak kooperatif, sepsis, kelainan neuropati seperti penyakit demielinisasi sistem saraf pusat, lesi pada katup jantung serta kelainan bentuk anatomi tulang belakang yang berat. Ada juga menyebutkan kontraindikasi kontroversi yang meliputi operasi tulang belakang pada tempat penusukan, ketidakmampuan komunikasi dengan pasien serta komplikasi operasi yang meliputi operasi lama dan kehilangan darah yang banyak 6,38,39. Anestesi intratekal dihasilkan oleh injeksi larutan anestesi lokal kedalam ruang subarakhnoid lumbal. Larutan anestesi lokal dimasukkan kedalam cairan serebrospinal lumbal, bekerja pada lapisan superfisial dari korda spinalis, tetapi tempat kerja yang utama adalah serabut preganglionik karena mereka meninggalkan korda spinal pada rami anterior. Karena serabut sistem saraf simpatis preganglionik terblokade dengan konsentrasi anestesi lokal yang lebih rendah untuk mempengaruhi serabut sensoris dan motoris, tingkat denervasi sistem saraf simpatis selama anestesi intratekal meluas kira kira sekitar dua segmen spinal sefalad dari tingkat anestesi sensoris 6,38,39. Anestesi intratekal mempunyai beberapa keuntungan antara lain, perubahan metabolik dan respon endokrin akibat stress dapat dihambat, komplikasi terhadap jantung, otak, paru minimal, relaksasi otot maksimal pada daerah yang terblok sementara pasien dalam keadaan sadar. Selain keuntungan ada juga kerugian dari cara ini yaitu berupa komplikasi yang meliputi hipotensi, mual dan muntah, PDPH, nyeri pinggang dan lainnya 32-34, Anestesi intratekal pada ibu hamil yang menjalani bedah sesar memerlukan dosis obat anestesi lokal yang lebih sedikit untuk mendapatkan ketinggian blok yang cukup bila dibandingkan dengan pasien yang tidak hamil. Hal ini disebabkan oleh adanya peningkatan sensitifitas sel saraf terhadap anestesi lokal, penurunan jumlah cairan 12

13 serebrospinal, dan efek dari uterus gravid terhadap penyebaran obat intratekal kearah sefalad 39,43. Pada bedah sesar, ketinggian blok analgesia untuk menghasilkan bebas nyeri selama tindakan bedah sesar yang diperlukan adalah setinggi Th6 (batas bawah sternum). Hal ini dapat dicapai dengan 2-2,5 ml (10-12,5 mg) larutan bupivakain 0,5% hiperbarik ataupun isobarik 39,43, Anatomi Kolumna Vertebra Pengetahuan yang baik tentang anatomi kolumna vertebralis merupakan salah satu faktor keberhasilan tindakan anestesi intratekal. Disamping itu, pengetahuan tentang penyebaran anestesi lokal dalam cairan serebrospinal dan level analgesia diperlukan untuk menjaga keamanan tindakan anestesi intratekal. Vertebra lumbalis merupakan vertebra yang paling penting dalam anestesi intratekal, karena sebagian besar penusukan pada anestesi intratekal dilakukan pada daerah ini. Kolumna vertebralis terdiri dari 33 korpus vertebralis yang dibagi menjadi 5 bagian yaitu 7 servikal, 12 thorakal, 5 lumbal, 5 sakral dan 4 koksigeus. Kolumna vertebralis mempunyai empat lengkungan yaitu daerah servikal dan lumbal melengkung ke depan, daerah thorakal dan sakral melengkung ke belakang sehingga pada waktu berbaring daerah tertinggi adalah L3, sedang daerah terendah adalah L5,38,39,46. Lapisan yang harus ditembus untuk mencapai ruang subarakhnoid dari luar yaitu kulit, subkutis, ligamentum supraspinosum, ligamentum flavum dan duramater. Arakhnoid terletak antara duramater dan piamater serta mengikuti otak sampai medulla spinalis dan melekat pada duramater. Antara arakhnoid dan piamater terdapat ruang yang disebut ruang sub arakhnoid 38,39,46. Duramater dan arakhnoid berakhir sebagai tabung pada vertebra sakral 2, sehingga dibawah batas tersebut tidak terdapat cairan serebrospinal. Ruang subarakhnoid merupakan sebuah rongga yang 13

14 terletak sepanjang tulang belakang berisi cairan otak, jaringan lemak, pembuluh darah dan serabut saraf spinal yang berasal dari medulla spinalis. Pada orang dewasa medulla spinalis berakhir pada sisi bawah vertebra lumbal 38,39,46. Gambar 1. Kolumna Vertebralis. Gambar 2. Anatomi Vertebra Lumbal46. 14

15 Gambar 3. Ligamentum Vertebralis. 2.3 Anestesi Lokal Obat anestesi lokal adalah suatu senyawa amino organik. Pada pemakaian sehari-hari, obat ini dapat dibagi menjadi golongan amino ester dan golongan amino amida. Ikatan ester mempunyai sifat mudah dihidrolisis dalam hepar dan oleh plasma esterase, mula kerja lambat, lama kerja pendek dan hanya sedikit menembus jaringan. Sedangkan ikatan amida mudah menjadi tidak aktif oleh hepatic amidase, mula kerja cepat, lama kerja lebih lama dan lebih banyak menembus jaringan. Kelompok ester antara lain procaine, chloroprocaine dan tetracaine. Kelompok amida antara lain lidocaine, mepivacaine, bupivakaine dan etidocaine 47,48,49. Semua obat anestesi lokal bersifat stabilisasi membran yang menghambat transmisi nyeri. Mempunyai kemampuan yang reversibel untuk membuka dan menutup volgated gated sodium channel dari dalam, dengan demikian mencegah depolarisasi membran saraf dan perbedaan potensial aksi pada tempat suntikan obat (pertama kali dilaporkan pada tahun 1950), sehingga membran akson tidak akan dapat bereaksi dengan asetil kholin dan membran akan tetap dalam keadaan semipermiabel dan tidak tejadi perubahan potensial. Keadaan ini menyebabkan aliran implus yang melewati saraf tersebut terhenti, sehingga segala macam rangsang ataupun sensasi tidak akan sampai ke susunan saraf pusat, keadaan ini 15

16 menyebabkan timbulnya parastesia sampai analgesia, paresis sampai paralisis dan vasodilatasi pembuluh darah pada daerah yang terblok 47,48,49. Dengan menghentikan transmisi stimuli nyeri dan menghilangkan tonus otot rangka, blokade neuroaksial dapat memberikan kondisi pembedahan yang baik. Blokade sensoris menghambat nyeri somatik dan visceral, sedangkan blokade motoris menyebabkan relaksasi otot rangka. Efek obat anestesi lokal pada serabut saraf bervariasi bergantung pada ukuran serabut saraf, bermielin, konsentrasi obat anetesi lokal serta lamanya kontak. Akar serabut saraf spinalis terdiri dari gabungan bermacam serabut saraf. Serabut yang lebih kecil dan bermielin umumnya lebih mudah diblok daripada serabut saraf yang lebih besar dan tidak bermielin. Pada kenyataannya bahwa konsentrasi obat anestesi lokal akan menurun dengan semakin meningkatnya jarak dari level penyuntikan, hal ini menerangkan fenomena perbedaan blokade. Perbedaan blokade berakibat blok simpatis (yang ditentukan oleh sensitivitas temperatur) menjadi 2 segmen lebih tinggi daripada blok sensoris (nyeri, raba halus) yang 2 segmen lebih tinggi daripada blok motoris 47,48,49. Mula kerja obat bergantung pada beberapa faktor antara lain: 1. pka mendekati PH fisiologis sehingga konsentrasi bagian yang tidak terionisasi (bermuatan) meningkat dan dapat menembus membran sel saraf sehingga menghasilkan mula kerja yang cepat. 2. Alkalinisasi anestesi lokal membuat mula kerja cepat. 3. Konsentrasi obat anestesi lokal. Masa kerja obat dipengaruhi oleh : 1. Ikatan dengan protein plasma, karena reseptor anestesi lokal adalah protein. 2. Dipengaruhi oleh kecepatan absorbsi. 3. Dipengaruhi oleh banyaknya pembuluh darah perifer di daerah pemberian 47,48,49. 16

17 Seleksi Barisitas Larutan Anestesi Lokal Faktor-faktor yang mempengaruhi penyebaran larutan anestesi lokal pada Anestesi intratekal : 47,48,49 1. Gravitasi : Cairan serebrospinal pada suhu 37 C mempunyai BJ 1,0003 ( ). Jika larutan hiperbarik yang diberikan kedalam cairan serebrospinal akan bergerak oleh gaya gravitasi ketempat yang lebih rendah, sedangkan larutan hipobarik akan bergerak berlawanan arah dengan gravitasi seperti menggantung dan jika larutan isobarik akan tetap dan sesuai dengan tempat injeksi. 2. Postur tubuh : Makin tinggi tubuh seseorang, makin panjang medulla spinalisnya dan volume dari cairan serebrospinal di bawah L2 makin banyak sehingga penderita yang lebih tinggi memerlukan dosis yang lebih banyak dari pada yang pendek. 3. Tekanan intra abdomen : Peningkatan tekanan intra abdomen menyebabkan bendungan saluran pembuluh darah vena abdomen dan juga pelebaran saluran-saluran vena di ruang epidural bawah, sehingga ruang epidural akan menyempit dan akhirnya akan menyebabkan penekanan ke ruang subarakhnoid sehingga cepat terjadi penyebaran obat anestesi lokal ke kranial. Perlu pengurangan dosis pada keadaan seperti ini. 4. Anatomi kolumna vertebralis : Anatomi kolumna vertebralis akan mempengaruhi lekukan lekukan saluran serebrospinal, yang akhirnya akan mempengaruhi tinggi anestesi spinal pada 17

18 penggunaan anestesi lokal jenis hiperbarik. 5. Tempat penyuntikan : Makin tinggi tempat penyuntikan, maka analgesia yang dihasilkan makin tinggi. Penyuntikan pada daerah L2-3 lebih memudahkan penyebaran obat ke kranial dari pada penyuntikan pada L Manuver valsava : Setelah obat disuntikkan penyebaran obat akan lebih besar jika tekanan dalam cairan serebrospinal meningkat yaitu dengan cara mengedan. 7. Volume obat : Efek volume larutan bupivakain hiperbarik pada suatu percobaan yang dilakukan oleh Anellson, 1984, dikatakan bahwa penyebaran maksimal obat kearah sefalad dibutuhkan waktu kurang lebih 20 menit pada semua jenis volume obat( 1,5 cc, 2 cc, 3 cc dan 4 cc). Mula kerja untuk tercapainya blok motorik akan bertambah pendek waktunya dengan bertambahnya volume. Makin besar volume obat makin tinggi level blok sensoriknya. 8. Konsentrasi obat : Dengan volume obat yang sama ternyata bupivakain 0,75% hiperbarik akan menghasilkan penyebaran obat kearah sefalad lebih tinggi beberapa segmen dibandingkan dengan bupivakain 0,5% hiperbarik (WA Chamber, 1981). Lama kerja obat akan lebih panjang secara bermakna pada penambahan volume obat bupivakain 0,75%. Demikian pula perubahan kardiovaskuler akan berbeda bermakna pada bupivakain 0,75% hiperbarik. 9. Posisi tubuh : 18

19 Dalam suatu percobaan oleh J.A.W. Wildsmith dikatakan tidak ada pengaruh penyebaran obat jenis obat larutan isobarik pada perubahan posisi tubuh, sedangkan pada jenis larutan hiperbarik akan dipengaruhi posisi tubuh. Pada larutan hiperbarik posisi terlentang bisa mencapai level blok T4 sedangkan pada posisi duduk hanya mencapai T Lateralisasi : Lateralisasi pada larutan anestetika lokal jenis hiperbarik dapat dilakukan dengan posisi berbaring miring (lateral dekubitus). Pada percobaan oleh J.A.W. Wildsmith disimpulkan bahwa 5 menit setelah penyuntikan obat penyebaran obat pada sisi tubuh sebelah bawah mencapai T10, sedangkan sisi atas mencapai S1. 20 menit setelah obat disuntikkan, penyebaran obat pada sisi bawah mencapai T6, sedangkan pada sisi atas mencapai T Dampak Fisiologis a. Pengaruh terhadap sistem kardiovaskuler : Pada anestesi intratekal tinggi terjadi penurunan aliran darah jantung dan penghantaran (supply) oksigen miokardium yang sejalan dengan penurunan tekanan arteri rata rata. Penurunan tekanan darah yang terjadi sesuai dengan tinggi blok simpatis, makin banyak segmen simpatis yang terblok makin besar penurunan tekanan darah. Untuk menghindarkan terjadinya penurunan tekanan darah yang hebat, sebelum dilakukan anestesi spinal diberikan cairan elektrolit NaCl fisiologis atau ringer laktat ml/kgbb. Pada Anestesi spinal yang mencapai T4 dapat terjadi penurunan frekuensi nadi dan penurunan tekanan darah dikarenakan terjadinya blok saraf simpatis yang bersifat akselerator jantung

20 b. Terhadap Sistem Saraf Pusat (SSP). Sistem saraf pusat (SSP) paling rentan mengalami toksisitas obat anestesi lokal. Overdosis obat anestesi lokal jelas terlihat pada pasien yang sadar. Gejala awal seperti bibir kebas, lidah terasa seperti logam, parastesia lidah, bingung serta gangguan pada mulut dan penglihatan. Kejadian tersebut diikuti dengan tanda - tanda eksitatori (contoh: rasa lelah, agitasi, cemas, dan paranoid) yang dengan sangat cepat menjadi depresi pada SSP (contoh: bicara pelo, tidak sadar, kejang, henti nafas, kolaps kardiovaskuler). Neurotoksisitas seperti sindroma cauda equina pernah dilaporkan terjadi setelah penyuntikan lignokain 5% dan tetrakain 0,5% intratekal yang berulang-ulang c. Terhadap sistem pernafasan : Pada anestesi intratekal blok motorik yang terjadi 2-3 segmen di bawah blok sensorik, sehingga umumnya pada keadaan istirahat pernafasan tidak banyak dipengaruhi. Tetapi apabila blok yang terjadi mencapai saraf frenikus yang mempersarafi diafragma, dapat terjadi apnoe d. Terhadap sistem pencernaan : Oleh karena terjadi blok serabut simpatis preganglionik yang kerjanya menghambat aktifitas saluran pencernaan (T4-5), maka aktifitas serabut saraf parasimpatis menjadi lebih dominan, tetapi walapun demikian pada umumnya peristaltik usus dan relaksasi spingter masih normal. Pada anestesi spinal bisa terjadi mual dan muntah yang disebabkan karena hipoksia serebri akibat dari hipotensi mendadak, atau tarikan pada pleksus terutama yang melalui saraf vagus

21 Gambar 4. Mekanisme Kerja Anestesi Lokal 2.4 Morfin Pemisahan morfin dari opium oleh Seturner pada tahun 1803 dan pengenalan jarum suntik dan jarum berongga untuk praktek klinis oleh Wood, pada tahun 1853 akhirnya penggunaan opioid diizinkan dengan pengukuran dosis secara hati hati (Foldes 1963). Morfin sering digunakan secara intramuskular pada medikasi preoperative sebagai suplementasi analgesia selama penggunaan ether dan chloroform. Pada akhir abad ke 19 sejumlah besar opioid (1 sampai 2 mg/kg) digunakan pada intravena dengan dosis yang berbeda beda, secara intramuskular atau keduanya, sebagai anestesi yang menyeluruh 9,51,53. Reseptor opioid dijumpai di otak dan korda spinalis tempat mereka menghasilkan efek analgesia. Pada tahun 1973 tiga peneliti independen menjelaskan keberadaan reseptor opioid pada jaringan saraf dan hipotesis bahwa substansi endogen menstimulasi strukturnya (Hughes, Kosterlitz, Terenius 1973). Pada momentum ini beberapa tipe reseptor 21

22 opioid di ketahui. Terutama, mu (µ), kappa (κ), delta (δ), sigma (σ) 52,53. Pada tahun 1979, dua laporan menjadi katalisator untuk mendorong beberapa penelitian tentang pemberian opioid secara intratekal. Wang dkk (1979). Melaporkan efektifitas morfin intratekal untuk menghilangkan nyeri malignan yang tak tertahankan pada 8 pasien. Behar dkk (1979), melaporkan efektifitas morfin dengan epidural pada pasien nyeri kronis. Kedua peneliti tersebut menunjukkan bahwa penyuntikan opioid intratekal sebenarnya lebih dekat kepada tempat kerja reseptor opiat 9,51, Farmakokinetik Intratekal Morfin Farmakokinetik opioid intratekal adalah complex mengikuti model multi-kompartemen, dan ditentukan oleh sifat fisikokimia opioid dan dinamika CSF. Pada sirkulasi sistemik, perhitungan data farmakokinetik seperti volume distribusi mengasumsikan pencampuran yang memadai dan keseimbangan obat diseluruh kompartemen. Namun CSF adalah kompartemen campuran yang buruk yang dibentuk oleh gradient cephalo - caudal untuk opioid setelah diberikan ke dalam CSF lumbal 9,51,53,55. Disposisi obat setelah pemberian secara intratekal bervariasi tergantung pada kelarutan masing-masing obat dalam lemak, terutama opioid. Setelah pemberian secara intratekal, khususnya pada cairan serebrospinalis (CSF) pada cisterna lumbar, obat didistribusikan di dalam CSF. Ummenhofer dkk, melaporkan dalam sebuah percobaan mengukur konsentrasi morfin, fentanyl, sufentanyl, dan alfentanyl didalam CSF, korda spinalis, lemak epidural dan plasma pada babi yang dianestesi secara intratekal pada lumbal. Dari data mereka, mereka mengembangkan sebuah model farmakokinetik multi-compartment yang menstimulasikan farmakologi dan menjelaskan banyak karakteristik klinis opioid yang digunakan sebagai analgesia intratekal. Nasib opioid setelah 22

23 pemberian obat secara intratekal sangat kompleks. Opioid intratekal menembus korda spinalis dan duramater untuk memasuki ruang epidural. Didalam korda spinalis, mereka berikatan dengan reseptor nonspesifik didalam lapisan putih serta reseptor spesifik pada tanduk dorsal. Obat pada korda spinalis akhirnya mencapai kopartmen plasma melalui pengambilan oleh vena. Pada ruang epidural, opioid memasuki jaringan lemak dan memasuki kompartmen plasma melalui pengambilan vena. Penjumlahan dari banyak jalan untuk disposisi obat menghasilkan karakteristik klinis dari obat ini. Sejumlah obat yang diberikan secara intratekal dengan cepat beredistribusi didalam CSF; opioid di jumpai pada cisterna magna setelah pemberian secara intratekal dalam 30 menit, termasuk obat yang bersifat lipofilik seperti sufentanyl. Memang, semua opioid bergerak didalam CSF dan distribusi cepat dalam CSF sepertinya terhitung dalam jumlah yang kecil, tetapi bermakna, kejadian depresi nafas teramati secara langsung setelah penyuntikkan intratekal 9,52,53. Morfin adalah opioid hidrofilik yang sering digunakan dan diteliti secara luas pada pemberian untuk penggunaan secara intratekal. Obat ini kali lebih hidrofilik dibandingkan fentanyl dengan koeficien oktanol: air yang rendah (1,4), menghasilkan difusi yang lambat kedalam ruang epidural. Morfin mengikat reseptor dengan afinitas tinggi pada tempat reseptor di tanduk dorsal, tetapi memperlihatkan kapasitas yang lebih rendah terhadap sisi non-reseptor pada myelin dan lapisan putih dari korda dibandingkan dengan fentanyl. Ini menghasilkan volume distribusi yang kecil didalam korda spinalis dan bertahan dalam konsentrasi yang tinggi didalam CSF. Terbukti pada pengamatan klinis memiliki area analgesi yang luas dan kecendrungan menyebar ke cephalad yang dapat menimbulkan depresi pernapasan lambat. Setelah pemberian morfin intratekal, konsentrasi CSF 23

24 dipertahankan dengan waktu kontak terhadap korda yang lama, diikuti oleh penurunan secara bertahap setelah 12 jam; adanya difusi lambat kedalam ruang epidural dengan konsekuensi peningkatan konsentrasi plasma yang lambat; penyebaran ke cephalad dengan konsentrasi obat terdeteksi secepat cepatnya 30 menit pada sistern CSF; penyebaran yang jelek dalam CSF sekitar korda dari titik penyuntikkan; dan metabolisme minimal untuk metabolit larut air dalam CSF dan sumsum tulang belakang. Radiolabelled (14C) morfin bertahan untuk 2 jam dengan hanya 4,5% dari dosis yang disuntikkan yang tersisa pada 3 jam paska penyuntikkan. Penarikan obat dari CSF difasilitasi melalui suatu sistem transport pembawa glycoprotein yang terletak pada plexus coroidalis 53,54,55,57,58. Morfin memiliki derajat ionisasi yang tinggi dan bersifat hidrofilik dan tidak menembus jaringan kaya lemak seperti yang terjadi pada fentanyl; morfin akan bertahan di CSF dalam jangka waktu yang lama. Morfin akan menyebar rostral di dalam cairan CSF melalui aliran bulk dan akan mencapai nervus trigeminalis secepat cepatnya 3 jam setelah penyuntikkan intratekal pada relawan sehat. Penyebaran ke rostral menghasilkan depresi pernapasan tertunda. Lama kerja analgesia juga sangat dipengaruhi oleh kelarutan dalam lemak, pada obat yang bersifat hidrofilik seperti morfin relatif memiliki lama kerja yang panjang pembersihannya dari cairan serebrospinal dan jaringan spinal terjadi dalam waktu yang lama 53,55,57,58. Pergerakan cephalad opioid yang disuntikkan ke dalam CSF di timbulkan oleh: 53,55,58 1. Aliran massal obat dalam arah caudal-cephalad. 2. Fluktuasi perubahan tekanan di dalam thorax sebagai hasil proses bernafas, memfasilitasi aliran cephalad dari CSF. 24

25 3. Ekspansi dan relaksasi otak, yang terjadi sebagai akibat dari siklus jantung. Hal ini membantu untuk menciptakan gerakan maju dan mundur dari CSF dengan perpindahan bersih opioid dalam arah cephalad Gambar 5. Opioid Intratekal setelah Injeksi Lumbal CSF Mekanisme Kerja Morfin dan Jenis Reseptor Stimulus nyeri aferen berkumpul di tanduk dorsal corda spinalis, dimana neuron nociceptif utama bersinap dengan interneuron dinamis yang lebar dan neuron nociceptif urutan kedua ditraktus spinotalamikus. Agonis dari reseptor opioid membantu untuk menekan stimulus nociceptif aferen dari lokasi nyeri dengan pelepasan peptida yang berhubungan dengan jalur nyeri 9,51,52,53,55,56,,57,58. Opiod menghasilkan analgesia dengan meniru kerja pada reseptor spesifik dari peptide opioid endogen, termasuk metenkephalin, beta-endorphin, dan dynorphin. Tiga tipe utama reseptor opioid, masing-masing dengan subtipenya, mu (µ), delta (δ), dan kappa (κ). Target opioid terpenting adalah reseptor µ (endorphin), dan opioid intratekal terlihat secara selektif memodulasi serabut C dan A dengan dampak minimal pada akson 25

26 di akar dorsal. Enkephalin adalah ligan endogen primer dari reseptor δ dan termasuk analgesia spinal. Dynorphin adalah prototype ligan untuk reseptor κ. Aktivasi reseptor κ menghasilkan analgesia spinal yang segmental dan sedasi. Beberapa campuran opioid agonis-antagonis (seperti, butorphanol) berikatan dengan κ reseptor 9,51,52,53,58. Tabel 1. Komponen Reseptor Opioid Sifat fisikokimia opioid intratekal menentukan mula kerja, lama kerja dan potensi opioid tersebut. Kelarutan dalam lemak yang tinggi dan pka yang rendah menghasilkan potensi opioid yang tinggi dengan mula kerja yang cepat, tetapi dengan lama kerja yang singkat. Sebaliknya dengan penurunan lipofilisitas obat akan meningkatkan lama kerja. Opioid larut lemak juga menyerupai anestesi lokal dalam hal pka, berat molekul, dan partisi koefisien koefisien yang dapat menjelaskan beberapa efek analgesic opioid di CSF 52,53,58. Pada PH fisiologis (7,4), kelompok opioid amin tersier terionisasi membuat mereka larut dalam air. Namun, kelompok hydroxyl pada molekul morfin yang bertanggungjawab terhadap kelarutannya yang lebih tinggi di dalam air dibandingkan dengan 26

27 opioid lain. Peningkatan kelarutan dalam air bertanggungjawab terhadap mula kerja yang lambat dan lama kerja yang panjang 9,51. Potensi opioid intratekal meningkat dengan meningkatnya hidropobisitas. Sebagai contoh, fentanyl hanya empat kali lebih kuat dibandingkan morfin ketika diberikan secara intratekal tetapi 100 kali lebih kuat setelah pemberian sistemik. Rasio potensi dosis sistemik dari opioid tidak dapat diaplikasikan terhadap obat yang sama setelah pemberian intratekal 9,51,58. Terdapat jumlah receptor opioid yang lebih besar di presinap dibandingkan dengan postsinap. Pengikatan opioid pada reseptor postsinap di tanduk dorsal menghasilkan pembukaan saluran potassium dan secara tidak langsung mengaktifkan jalur desending dari brainstem. Target lain yang mungkin pada opioid intratekal yang sedang diusulkan: 53. a. Opioid phenylpiperidine, termasuk fentanyl dan meperidine (phetidine), memperlihatkan kemiripan struktural dengan anestesi lokal. Fentanyl memperlihatkan efek anestesi lokal pada serabut saraf aferen primer sensorik C yang mungkin memfasilitasi efek analgesia. b. Peningkatan konsentrasi adenosin di lumbosakral pada cairan serebrospinal (CSF) setelah pemberian morfin intratekal pada hewan dan manusia. Adenosin diketahui dapat membuka saluran potassium yang akan menghasilkan hiperpolarisasi serabut saraf dan menurunkan aktivitas neuronal. c. Opioid intratekal meningkatkan pelepasan gamma amino butyric acid (GABA) dan glycine melalui proses calciumindependent pada saraf-saraf di tanduk dorsal. Ini akan muncul sebagai penghambat apa yang kita katakan secara intuitif sebagai damping down dari aktivitas neuronal dalam konteks efek analgesia. Sehingga dapat digambarkan bahwa opioid mungkin suatu disinhibit inhibitory phatway, sehingga 27

28 mengurangi transmisi nosiseptif. Ini memberi kita wawasan baru tentang kompleksitas mekanisme kerja opioid di tanduk dorsal Dosis Morfin Intratekal dan Penelitian Klinis Morfin intratekal menurunkan intensitas nyeri pada saat istirahat dan saat bergerak sampai 24 jam setelah operasi ortopedi mayor dan operasi abdomen jika dikombinasi dengan lokal anestesi, dengan dosis sekurang-kurangnya mcg, dan rekomendasi klinis tidak lebih dari 300 mcg untuk mencegah depresi pernapasan tertunda 53,55,57,58. R. Slappendel dkk (1999), melakukan penelitian tentang dosis optimal intratekal morfin pada operasi tulang panggul dengan membandingkan dosis 25 mcg, 50 mcg, 100 mcg dan 200 mcg, dan didapati bahwa dosis optimal morfin intratekal setelah operasi tulang panggul adalah 100 mcg. Pada dosis ini menghasilkan penanggulangan nyeri yang baik dan kebutuhan morfin sistemik yang minimal pada 24 jam paska bedah. Sedangkan pada dosis 200 mcg morfin intratekal tidak menghasilkan efek analgesia yang lebih baik, dengan angka kejadian gatal lebih tinggi dan hipotensi lebih sering dan berlangsung lama. Dosis morfin intratekal di bawah 100 mcg kurang efektif Efek Samping Morfin Intratekal Efek samping dimediasi oleh reseptor opioid setelah penyuntikkan opioid intratekal lebih ringan dibandingkan pemberian opioid secara sistemik. Survey terbaru secara prospektif pada 6000 pasien melaporkan kejadian efek samping yang rendah dan kenyamanan pasien yang baik setelah pemberian opioid intratekal dosis tunggal. Efek samping opioid intratekal seperti sedasi, berkeringat, 28

29 perlambatan pengosongan lambung, retensi urin, pruritus, mual muntah, dan depresi napas 53,54,55,57,58. Mual dan Muntah Morfin intratekal menyebabkan peningkatan muntah tergantung dosis pada sukarelawan. Namun, ketika menghadapi pasien dengan operasi yang sangat nyeri maka gambarannya menjadi kurang jelas. Beberapa penelitian temuan dosis menyelidiki efektivitas dan efek samping morfin intratekal. Kalso dkk, menemukan lebih dari 48 jam, sedikit tetapi tidak berbeda bermakna secara statistik dalam hal mual dan muntah setelah penambahan 0, 0.2, atau 0.4 mg morfin kedalam bupivakain untuk pembedahan orthopedic (40 vs 50 vs 55% masing-masing). Jacobson dkk, melaporkan tingkat PONV 60 vs 50 vs 100% setelah 0, 0.3, dan 1 mg morfin, masingmasing, digunakan pada operasi penggantian sendi. Sebuah penelitian pada 181 pasien yang terjadwal untuk transabdominal hysterectomy dengan anestesi spinal tetracain, pasien mendapatkan 0,1 mg morfin yang secara bermakna lebih memperlihatkan gejala muntah dibandingkan dosis antara 0,03 dan 0,08 mg. Weber dkk, melakukan pengamatan yang lebih luas termasuk 300 pasien yang menjalani pembedahan orthopedic mayor pada ekstremitas bawah, membandingkan bupivakain dengan bupivakain dan 0,2 mg morfin. Tidak ada perbedaan bermakna secara statistik antara kelompok berkaitan dengan perasaan atau konsumsi antiemetic (60 vs 56,6%) subyektif. Data ini menunjukkan bahwa, setidaknya dalam operasi yang lebih luas dimana efektif untuk menghilangkan rasa nyeri pada paska bedah yang masih diperbolehkan, morfin intratekal tidak berhubungan dengan tingkat yang lebih tinggi dari PONV dibanding analgesia sistemik yang berbasis opioid, terutama jika dosis yang dipilih kurang dari 0.1 mg. Penggunaan pada prosedur bedah minor belum dipelajari lebih lanjut, tetapi laporan tentang peningkatan insiden PONV setelah mg morfin intratekal pada TURP dibandingkan larutan bebas morfin harus lebih hati-hati. 29

30 Ketika morfin ditambahkan kepada anestesi lokal untuk menghasilkan anestesi spinal pada bedah sesar, peningkatan mual muntah terlihat pada paska bedah tetapi tidak intraoperatif. Hal ini terjadi pada pengamatan menunjukkan kejadian puncak mual dan muntah antara 4 dan 6 jam setelah selesai operasi ketika morfin intratekal diberikan. Selain itu, kejadian PONV lebih tinggi setelah pemberian dosis besar morfin (0,2 atau 0,25 mg) dibandingkan dengan 0,1 mg. Cordoso dkk, menunjukkan kecendrungan kearah gejala mual dan muntah lebih rendah dengan dosis yang lebih kecil dari 0,05 dan 0,025 mg dibandingkan 0,1 mg morfin dalam sebuah penelitian pada 120 wanita hamil cukup bulan. Sebuah metaanalisis menjelaskan tentang peningkatan kejadian PONV pada penggunaan morfin 53,56. Depresi Pernapasan Insidensi yang sesungguhnya dari depresi pernapasan tidak diketahui, suatu penelitian retrospektif besar mengutip insidensinya 0,03-7%. Sayangnya, masih kurangnya definisi yang tepat dari istilah depresi napas pada literature. Ulasan artikel baru-baru ini pada 96 artikel yang dipublikasi dalam 40 tahun. Ko dkk, menemukan bahwa hanya 46% yang didefinisikan sebagai depresi napas dan 24% dimasukkan dalam definisi frekwensi nafas saja. Frekwensi napas dan pulse oximetri merupakan penilaian yang buruk untuk menentukan depresi napas pada periode paska operasi. Level sedasi, dan analisa gas darah yang terbaru, lebih dapat dipercaya 53,54,57. Opioid intratekal dosis tinggi yang diberikan secara keliru dapat menyebabkan episode apnoe akut dan membutuhkan naloxon dan bantuan ventilasi. namun, dosis rendah opioid lipofilik intratekal menyebabkan secepat-cepatnya (0-1 jam) depresi napas, sementara opioid yang lipofilik dapat menyebabkan early atau late (sampai 24 jam) depresi napas. Morfin menyebabkan depresi pernapasan lambat terjadi antara 3,5 dan 12 jam setelah penyuntikkan dengan puncak pada jam ke 6. Laporan pertama tahun 1979 ketika dua pasien, yang diberikan 2 dan 5 mg morfin, dirawat 30

31 di ruang perawatan intensif. Namun, pada beberapa penelitian, 20 mg morfin hiperbarik intratekal tidak berhubungan dengan depresi napas. Ini mempelihatkan tidak dapat diprediksinya komplikasi yang serius ini 53,54,57. Faktor resiko untuk munculnya depresi napas termasuk penambahan usia, penggunaan bersama dengan obat sedatif kerja panjang, ventilasi tekanan positif, dan penyakit pernapasan sebagai penyerta. Pemberian bersama analgetik opioid selama jam setelah pemberian intratekal telah lama dikhawatirkan dapat berkembang menjadi depresi pernapasan dengan mula kerja cepat dan lambat, tetapi survey dalam skala besar telah membantah klaim ini 53,54,57. Gambar 6. Onset Depresi Pernafasan Fentanil dan Morfin Pruritus Pada beberapa literatur dikatakan bahwa insidensi pruritus tidak berhubungan dengan dosis dan bervariasi antara 0 sampai 100%. Pruritus lebih sering terjadi pada wanita hamil dimana hormon hormon kehamilan dapat menyebabkan perubahan dalam populasi reseptor opioid. Pruritus mempengaruhi leher wajah dan thorax bagian atas lebih sering dengan tanpa korelasi antara intensitas gatal dan dosis opioid 53,54,57. 31

32 Mekanisme yang mendasari pruritus belum sepenuhnya diketahui. Studi neurophisiologik mendefinisikan kelas baru dari serabut C yang memediasi respon pruritus yang terhubung dengan jaringan reseptor yang terletak di sentral. Jaringan ini secara alamiah tidak diketahui dengan pasti, tetapi ada banyak reseptor opioid mu dan 5-HT3 pada lokasi yang sama pada dan disekitar nukleus trigeminal 53,54,57. Pemberian obat antihistamin bukan merupakan terapi kausal untuk pruritus yang disebabkan rangsangan di sentral. Namun obat ini telah memperlihatkan keberhasilan yang tinggi pada banyak pasien. Pada penelitian yang dilakukan oleh Slappendel dkk hanya satu pasien saja yang tidak efektif dengan promethazine dan membutuhkan naloxon 13. Antagonis reseptor opioid seperti Naloxon (<2 mcg/kg/jam/iv) dan Naltrexon (6-9 mg/iv) telah dihubungkan dengan keberhasilan yang besar tanpa membalikkan efek analgesia. 53, Klonidin Gambar 7. Molekul Klonidin Klonidin adalah gabungan agonis adrenoseptor alfa-1 dan alfa-2 dengan kerja lebih dominan pada alfa-2. Secara tradisional, obat ini digunakan sebagai antihipertensi semenjak akhir tahun enam puluhan. Efek utamanya adalah simpatolisis dan menurunkan pelepasan norepinefrin dengan merangsang inhibisi prejunctional adrenoseptor alfa-2. Selanjutnya digunakan sebagai sedasi, anti cemas dan sebagai analgetik yang sedang dikembangkan 9,55,59. 32

33 Farmakokinetik dan Farmakodinamik Klonidin memiliki nama N-(2,6-dichlorophenyl)-4,5-dihydro-1Himidazol-2-amine dengan rumus kimia C9H9Cl2N3. Larut dalam lemak dan dapat dengan mudah menembus sawar darah otak untuk mencapai hipotalamus dan medulla ketika disuntikkan secara epidural. Obat ini merangsan alfa 2 adrenoreseptor untuk mengurangi transmisi saraf pusat pada sel saraf spinal. Menghambat substansi-p dipercaya dapat meningkatkan efek analgesia 59. Klonidin cepat diserap setelah pemberian secara oral. Dan mencapai kadar puncak di plasma dalam menit. Ketersediaan hayati obat ini adalah 75-95%. Sekitar 20-40% obat berikatan dengan protein. 50% obat dimetabolisme di hati menjadi bentuk yang tidak aktif kemudian diekskresikan didalam urin dan waktu paruh sekitar jam. Obat ini tidak berubah bentuk menjadi zat lain sebelum bekerja Mekanisme Kerja Agonis alfa-2 adrenergik menghasilkan efek klinis dengan mengikat reseptor alfa-2 yang memiliki 3 subtipe: alfa-2a, alfa-2b dan alfa-2c. reseptor alfa-2a memediasi sedasi, analgesia, dan simpatolisis 9,10,28,29,59. Reseptor alfa-2b memediasi vasokonstriksi dan mungkin mekanisme anti-shivering. Respon kejut mencerminkan aktivasi reseptor alfa-2c dan respon ini adalah respon otak dan tubuh terhadap rangsangan yang tak terduga, seperti kilatan cahaya, suara yang bising (reflek kejut akustik), atau suatu gerakan cepat disekitar wajah. Pada manusia, reaksinya termasuk berupa gerakan tubuh menghindar dari stimulus, kontraksi otot lengan dan kaki, mengedip dan juga termasuk tekanan darah, pernafasan, dan perubahan pola nafas 9,10,59. 33

34 Klonidin adalah agonis adrenergik parsial selektif sentral (alfa-2; alfa-1=220; 1). Reseptor alfa-2 ditemukan banyak terdapat di pons lokus ceruleus suatu sumber persarafan yang penting pada sistem saraf simpatis pada otak tengah dan suatu modulator penting untuk kewaspadaan. Efek sedasi ditimbulkan oleh agonis alfa-2 lebih sering disebabkan inhibisi pada nukleus ini 9,10,59. Klonidin juga menstimulasi alfa-2 adrenergik saraf inhibitor pada pusat vasomotor di medulla. Sebagai hasil, terjadi penurunan aliran keluar sistem saraf simpatis dari sistem saraf pusat (CNS) ke jaringan perifer. Menyebabkan redaman aliran keluar simpatis di sentral dan perifer serta aktivasi imidazol nonadrenergik reseptor. Penurunan aktivitas sistem saraf simpatis terlihat sebagai vasodilatasi perifer dan penurunan tekanan darah sistolik, denyut jantung dan curah jantung. Kemampuan klonidin memodifikasi kanal potassium di CNS dan dengan demikian membuat membran sel hiperpolarisasi mungkin suatu mekanisme pengurangan jumlah kebutuhan obat anestesi yang dihasilkan oleh klonidin 9,10,59,60. Pemberian klonidin secara neuroaksial menghambat pelepasan substansi P di spinal dan aliran rangsangan di saraf nosiseptik yang dihasilkan oleh stimulus nyeri. Alfa-2 aferen terminal terletak di pusat dan perifer. Di lamina superfisial dari korda spinalis dan sebagian besar nukleus di batang otak. Hal ini menunjukkan bahwa efek analgetik lebih nyata setelah pemberian secara neuroaksial 9,10, Efek Samping Pemberian klonidin mungkin berhubungan dengan mengantuk, mulut kering, bradikardi, hipotensi ortostatik dan impotensi. Pemutusan obat dapat menimbulkan rebund hipertensi dan menghasilkan krisis hipertensi. Oleh karena itu klonidin harus 34

35 dilanjutkan selama periode perioperatif. Klonidin dapat meningkatkan kadar gula darah dengan menghambat pelepasan insulin 9,10, Klonidin Sebagai Adjuvan Regional Anestesi Klonidin sebagai agonis α2 adrenergik sentral juga menghambat rangsangan nosiseptif dengan mengaktifkan α2 adrenoseptor pada tanduk dorsal dikorda spinalis. Jenis reseptor ini terletak pada terminal afferent primer ( pada perifer dan ujung spinal ), pada sel saraf di lamina superficial korda spinalis dan didalam beberapa nukleus batang otak yang menimbulkan analgesia. Klonidin meningkatkan dan memperpanjang blok sensorik dan motorik dari lokal anestesi pada epidural atau blok saraf perifer. Postulat untuk mekanisme ini bahwa klonidin menghambat konduksi serabut C dan A delta dan meningkatkan konduksi kalium pada sel saraf yang diisolasi secara in vitro, dengan demikian mengintensifkan blok konduksi. Kedua, klonidin menyebabkan vasokonstiksi lokal pada penggunaan klinis, sehingga mengurangi penyerapan oleh pembuluh darah zat anestesi lokal dari sekitar struktur saraf. Agonis α2 adrenergik juga meningkatkan analgesia dari opioid intratekal dengan berinteraksi pada pre dan paska sinap di korda spinalis. Pemberian klonidin secara neuroaksial juga memiliki efek lokal pada saraf simpatis di korda spinalis. Penggunaan klinis klonidin intratekal terhambat oleh efek samping sedasi, bradikardi, dan hipotensi; dimana klonidin dosis sampai 150 mcg ditambahkan sebagai blok pleksus dapat memperpanjang analgesia tanpa meningkatkan efek samping 9,10,28,29,60. Suatu uji coba oleh Wolf dengan rancangan untuk menilai efek analgesia seperti zat anestesi lokal pada klonidin di sel saraf tanduk dorsal superficial. Lamina superficial terdiri dari struktur penting untuk transmisi nyeri, menerima banyak masukan sensorik 35

36 primer nyeri dari serabut A delta dan C. Telah terbukti bahwa klonidin menekan lanjutan rangsangan potensial aksi pada sel saraf di tanduk dorsal spinal, dan bahwa klonidin juga memberi kontribusi pada analgesia selama anestesi lokal 9,10. Dobrydnjov melakukan penelitian RCT double-blinded tentang analgesia pada pasien yang mendapatkan anestesi lokal dengan penambahan klonidin dengan anestesi kombinasi spinalepidural pada operasi arthroplasti sendi panggul. Klonidin intratekal dosis rendah menghasilkan kualitas anestesi yang lebih baik dan analgesia paska bedah yang lebih lama. Penambahan intratekal klonidin 15 mcg ke bupivakain pada anestesi kombinasi spinal epidural menghasilkan kualitas anestesi yang lebih tinggi dan lama analgesia yang lebih panjang dibandingkan bupivakain tunggal. Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut untuk mencari dosis yang efektif dengan efek samping yang minimal 9,10,28,29. Pada suatu tinjauan sistematik dengan uji secara acak oleh Elia, mempelajari tentang klonidin sebagai adjuvan anestesi lokal secara intratekal pada pembedahan. Disimpulkan, bahwa penambahan intratekal klonidin untuk operasi meningkatkan lama blok motorik, meningkatkan analgesia intra operatif dan menunda penurunan blok sensorik serta waktu membutuhkan analgetik pertama. Beberapa penelitian melaporkan efek obat ini tergantung pada dosis, beberapa penelitian lain menyatakan tidak ada hubungan efek dengan dosis obat. Efek samping yang sering dijumpai intra operatif adalah hipotensi 9, Nyeri Fisiologi Nyeri Definisi nyeri berdasarkan International Association for the Study of Pain (IASP, 1979) adalah pengalaman sensori dan emosi yang tidak menyenangkan dimana berhubungan dengan kerusakan 36

37 jaringan atau potensial terjadi kerusakan jaringan. Sebagai mana diketahui bahwa nyeri tidaklah selalu berhubungan dengan derajat kerusakan jaringan yang dijumpai. Namun nyeri bersifat individual yang dipengaruhi oleh genetik, latar belakang kultural, umur dan jenis kelamin. Kegagalan dalam menilai faktor kompleks nyeri dan hanya bergantung pada pemeriksaan fisik sepenuhnya serta tes laboratorium mengarahkan kita pada kesalahpahaman dan terapi yang tidak adekuat terhadap nyeri, terutama pada pasien-pasien dengan resiko tinggi seperti orang tua, anak-anak dan pasien dengan gangguan komunikasi 5,6,61,62, MEKANISME NYERI Nyeri merupakan suatu bentuk peringatan akan adanya bahaya kerusakan jaringan. Pengalaman sensoris pada nyeri akut disebabkan oleh stimulus noksius yang diperantarai oleh sistem sensorik nosiseptif. Sistem ini berjalan mulai dari perifer melalui medulla spinalis, batang otak, thalamus dan korteks serebri. Apabila telah terjadi kerusakan jaringan, maka sistem nosiseptif akan bergeser fungsinya dari fungsi protektif menjadi fungsi yang membantu perbaikan jaringan yang rusak 63,67,. Sensitisasi Perifer Cedera atau inflamasi jaringan akan menyebabkan munculnya perubahan lingkungan kimiawi pada akhir nosiseptor. Sel yang rusak akan melepaskan komponen intraselulernya seperti adenosine trifosfat, ion K +, ph menurun, sel inflamasi akan menghasilkan sitokin, chemokine dan growth factor. Beberapa komponen diatas akan langsung merangsang nosiseptor (nociceptor activators) dan komponen lainnya akan menyebabkan nosiseptor menjadi lebih hipersensitif terhadap rangsangan berikutnya (nociceptor sensitizers) 67,68. Komponen sensitisasi, misalnya prostaglandin E2 akan mereduksi ambang aktivasi nosiseptor dan meningkatkan kepekaan ujung saraf 37

38 dengan cara berikatan pada reseptor spesifik di nosiseptor. Berbagai komponen yang menyebabkan sensitisasi akan muncul secara bersamaan, penghambatan hanya pada salah satu substansi kimia tersebut tidak akan menghilangkan sensitisasi perifer. Sensitisasi perifer akan menurunkan ambang rangsang dan berperan dalam meningkatkan sensitifitas nyeri di tempat cedera atau inflamasi 67,68. Gambar 8. Mekanisme sensitisasi perifer dan sensitisasi sentral 68. Sensitisasi Sentral Sama halnya dengan sistem nosiseptor perifer, maka transmisi nosiseptor di sentral juga dapat mengalami sensitisasi. Sensitisasi sentral dan perifer bertanggung jawab terhadap munculnya hipersensitivitas nyeri setelah cidera. Sensitisasi sentral memfasilitasi dan memperkuat transfer sinaptik dari nosiseptor ke neuron kornu dorsalis. Pada awalnya proses ini dipacu oleh input nosiseptor ke medulla spinalis (activity dependent), kemudian terjadi perubahan molekuler neuron (transcription dependent) NOSISEPTOR (RESEPTOR NYERI) Nosiseptor adalah reseptor ujung saraf bebas yang ada di kulit, otot, persendian, viseral dan vaskular. Nosiseptor-nosiseptor ini 38

39 bertanggung jawab terhadap kehadiran stimulus noksius yang berasal dari kimia, suhu (panas, dingin), atau perubahan mekanikal. Pada jaringan normal, nosiseptor tidak aktif sampai adanya stimulus yang memiliki energi yang cukup untuk melampaui ambang batas stimulus (resting). Nosiseptor mencegah perambatan sinyal acak (skrining fungsi) ke SSP untuk interpretasi nyeri 6,63,69,70. Nosiseptor viseral, tidak seperti nosiseptor kutaneus, tidak didesain hanya sebagai reseptor nyeri karena organ dalam jarang terpapar pada keadaan yang potensial merusak. Banyak stimulus yang sifatnya merusak (memotong, membakar, kepitan) tidak menghasilkan nyeri bila dilakukan pada struktur viseralis. Selain itu inflamasi, iskemia, regangan mesenterik, dilatasi, atau spasme viseralis bisa menyebabkan spasme berat. Stimulus ini biasanya dihubungkan dengan proses patologis, dan nyeri yang dicetuskan untuk mempertahankan fungsi 6,63, PERJALANAN NYERI (NOCICEPTIVE PATHWAY) Perjalanan nyeri termasuk suatu rangkaian proses neurofisiologis kompleks yang disebut sebagai nosiseptif (nociception) yang merefleksikan empat proses komponen yang nyata yaitu transduksi, transmisi, modulasi dan persepsi, dimana terjadinya stimuli yang kuat diperifer sampai dirasakannya nyeri disusunan saraf pusat (cortex cerebri) 4,65,71. Proses Transduksi Proses dimana stimulus noksius diubah ke impuls elektrikal pada ujung saraf. Suatu stimuli kuat (noxion stimuli) seperti tekanan fisik kimia, suhu dirubah menjadi suatu aktifitas listrik yang akan diterima ujung ujung saraf perifer (nerve ending) atau organorgan tubuh (reseptor meisneri, merkel, corpusculum paccini, golgi mazoni). Kerusakan jaringan karena trauma baik trauma 39

40 pembedahan atau trauma lainnya menyebabkan sintesa prostaglandin, dimana prostaglandin inilah yang akan menyebabkan sensitisasi dari reseptor-reseptor nosiseptif dan dikeluarkannya zat-zat mediator nyeri seperti histamin, serotonin yang akan menimbulkan sensasi nyeri. Keadaan ini dikenal sebagai sensitisasi perifer 4,65,69,71. Proses Transmisi Proses penyaluran impuls melalui saraf sensori sebagai lanjutan proses transduksi melalui serabut A-delta dan serabut C dari perifer ke medulla spinalis, dimana impuls tersebut mengalami modulasi sebelum diteruskan ke thalamus oleh tractus spinothalamikus dan sebagian ke traktus spinoretikularis. Traktus spinoretikularis terutama membawa rangsangan dari organ-organ yang lebih dalam dan viseral serta berhubungan dengan nyeri yang lebih difus dan melibatkan emosi. Selain itu juga serabut-serabut saraf disini mempunyai sinaps interneuron dengan saraf-saraf berdiameter besar dan bermielin. Selanjutnya impuls disalurkan ke thalamus dan somatosensoris di cortek cerebri dan dirasakan sebagai persepsi nyeri 4,65,69,71. Proses Modulasi Proses perubahan transmisi nyeri yang terjadi disusunan saraf pusat (medulla spinalis dan otak). Proses terjadinya interaksi antara sistem analgesik endogen yang dihasilkan oleh tubuh kita dengan input nyeri yang masuk ke kornu posterior medulla spinalis merupakan proses assenden yang dikontrol oleh otak. Analgesik endogen (enkefalin, endorphin, serotonin, noradrenalin) dapat menekan impuls nyeri pada kornu posterior medulla spinalis. Dimana kornu posterior sebagai pintu dapat terbuka dan tertutup untuk menyalurkan impuls nyeri untuk analgesik endogen tersebut. Inilah yang menyebabkan persepsi nyeri sangat subjektif pada setiap orang 4,65,69,71. 40

41 Persepsi Hasil akhir dari proses interaksi yang kompleks dari proses tranduksi, transmisi dan modulasi yang pada akhirnya akan menghasilkan suatu proses subjektif yang dikenal sebagai persepsi nyeri, yang diperkirakan terjadi pada thalamus dengan korteks sebagai diskriminasi dari sensorik 4,65,69,71. Gambar 9. Pain Pathway PENILAIAN NYERI Ada beberapa skala penilaian nyeri pada pasien sekarang ini: 4,5, Wong-Baker Faces Pain Rating Scale Skala dengan enam gambar wajah dengan ekspresi yang berbeda, dimulai dari senyuman sampai menangis 41

42 karena kesakitan. Skala ini berguna pada pasien dengan gangguan komunikasi, seperti anak-anak, orang tua, pasien yang kebingungan atau pada pasien yang tidak mengerti dengan bahasa lokal setempat. Gambar 10. Wong Baker Faces Pain Rating Scale 2. Verbal Rating Scale (VRS) Pasien ditanyakan tentang derajat nyeri yang dirasakan berdasarkan skala lima poin ; tidak nyeri, ringan, sedang, berat dan sangat berat. Gambar 11. Verbal Rating Scale 3. Numerical Rating Scale (NRS) Pertama sekali dikemukakan oleh Downie dkk pada tahun 1978, dimana pasien ditanyakan tentang derajat nyeri yang dirasakan dengan menunjukkan angka 0 5 atau 0 10, dimana angka 0 menunjukkan tidak ada 42

43 nyeri dan angka 5 atau 10 menunjukkan nyeri yang hebat. Gambar 12. Numerical Rating Scale 4. Visual Analogue Scale (VAS) Skala yang pertama sekali dikemukakan oleh Keele pada tahun 1948 yang merupakan skala dengan garis lurus 10 cm, dimana awal garis (0) penanda tidak ada nyeri dan akhir garis (10) menandakan nyeri hebat. Pasien diminta untuk membuat tanda digaris tersebut untuk mengekspresikan nyeri yang dirasakan. Penggunaan skala VAS lebih gampang, efisien dan lebih mudah dipahami oleh penderita dibandingkan dengan skala lainnya. Penggunaan VAS telah direkomendasikan oleh Coll dkk karena selain telah digunakan secara luas, VAS juga secara metodologis kualitasnya lebih baik, dimana penggunaannya realtif mudah, hanya dengan menggunakan beberapa kata sehingga kosa kata tidak menjadi permasalahan. Willianson dkk juga melakukan kajian pustaka atas tiga skala ukur nyeri dan menarik kesimpulan bahwa VAS secara statistik paling kuat rasionya karena dapat menyajikan data dalam bentuk rasio. Nilai VAS antara 0 4 cm dianggap sebagai tingkat nyeri yang rendah dan digunakan sebagai target untuk tatalaksana 43

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Anestesi Intratekal dan Bedah Sesar Pada tahun 1885, J. Leonard Corning, seorang ahli neurologi menyuntikkan cocain kedalam ruang subarachnoid secara tidak sengaja menembus dura

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A.Latar Belakang. diinginkan (Covino et al., 1994). Teknik ini pertama kali dilakukan oleh seorang ahli bedah

BAB I PENDAHULUAN. A.Latar Belakang. diinginkan (Covino et al., 1994). Teknik ini pertama kali dilakukan oleh seorang ahli bedah BAB I PENDAHULUAN A.Latar Belakang Sub Arachnoid Blok (SAB) atau anestesi spinal adalah salah satu teknik dalam anestesi yang dilakukan dengan cara menyuntikkan obat anestesi lokal ke dalam ruang subarachnooid

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG Anestesi regional saat ini semakin berkembang dan makin luas pemakaiannya dibidang anestesi. Mengingat berbagai keuntungan yang ditawarkan, di antaranya relatif murah,

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Anestesi Spinal Anestesi spinal adalah injeksi obat anestesi lokal ke dalam ruang intratekal yang menghasilkan analgesia. Pemberian obat lokal anestesi ke dalam ruang intratekal

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Anestesi spinal merupakan salah satu teknik anestesi regional yang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Anestesi spinal merupakan salah satu teknik anestesi regional yang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Anestesi spinal merupakan salah satu teknik anestesi regional yang dilakukan dengan cara menyuntikkan obat anestesi lokal ke dalam ruang subarachnoid untuk mendapatkan

Lebih terperinci

RINI ASTRIYANA YULIANTIKA J500

RINI ASTRIYANA YULIANTIKA J500 PERBANDINGAN PENURUNAN TEKANAN DARAH ANTARA LIDOKAIN 5% HIPERBARIK DENGAN BUPIVAKAIN 0,5% HIPERBARIK PADA ANESTESI SPINAL UNTUK OPERASI EKSTREMITAS INFERIOR DI RSO. Prof. Dr. R. SOEHARSO SURAKARTA SKRIPSI

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Universitas Sumatera Utara

BAB I PENDAHULUAN. Universitas Sumatera Utara BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang The International Association for The Study of Pain menggambarkan rasa sakit sebagai pengalaman sensorik dan emosional yang tidak menyenangkan dan dihubungkan dengan

Lebih terperinci

PRESENTASI KASUS ANESTESI SPINAL. Disusun Untuk Memenuhi Syarat Mengikuti Ujian Akhir Stase Anestesi di RSUD Tidar Magelang

PRESENTASI KASUS ANESTESI SPINAL. Disusun Untuk Memenuhi Syarat Mengikuti Ujian Akhir Stase Anestesi di RSUD Tidar Magelang PRESENTASI KASUS ANESTESI SPINAL Disusun Untuk Memenuhi Syarat Mengikuti Ujian Akhir Stase Anestesi di RSUD Tidar Magelang Diajukan Kepada : dr. Budi Aviantoro, Sp.An Disusun Oleh : ALDHIMAS MARTHSYAL

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. seluruh proses kelahiran, dimana 80-90% tindakan seksio sesaria ini dilakukan dengan anestesi

BAB I PENDAHULUAN. seluruh proses kelahiran, dimana 80-90% tindakan seksio sesaria ini dilakukan dengan anestesi 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indikasi tindakan seksio sesaria pada wanita hamil berkisar antara 15 sampai 20% dari seluruh proses kelahiran, dimana 80-90% tindakan seksio sesaria ini dilakukan

Lebih terperinci

PETIDIN, PROPOFOL, SULFAS ATROPIN, MIDAZOLAM

PETIDIN, PROPOFOL, SULFAS ATROPIN, MIDAZOLAM PETIDIN, PROPOFOL, SULFAS ATROPIN, MIDAZOLAM Annisa Sekar 1210221051 PEMBIMBING : dr.daris H.SP, An PETIDIN Merupakan obat agonis opioid sintetik yang menyerupai morfin yang dapat mengaktifkan reseptor,

Lebih terperinci

FARMAKOLOGI ANESTESI LOKAL

FARMAKOLOGI ANESTESI LOKAL Tugas Anestesi FARMAKOLOGI ANESTESI LOKAL disusun oleh ASTRI NURFIDAYANTI 110.2004.036 FK UNIVERSITAS YARSI KEPANITERAAN KLINIK PERIODE 14 FEBRUARI-19 MARET 2011 DEPARTEMEN ANESTESI DAN REANIMASI RUMAH

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. anestesiologi. 3. Universitas Sumatera Utara

BAB I PENDAHULUAN. anestesiologi. 3. Universitas Sumatera Utara BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Nyeri pascabedah masih merupakan masalah utama bagi penderita karena setelah obat anestesi hilang efeknya, penderita akan merasakan sakit. Saat ini nyeri masih menjadi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. seorang ahli anestesi. Suatu studi yang dilakukan oleh Pogatzki dkk, 2003

BAB I PENDAHULUAN. seorang ahli anestesi. Suatu studi yang dilakukan oleh Pogatzki dkk, 2003 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Penatalaksanaan nyeri akut pascaoperasi merupakan salah satu tantangan seorang ahli anestesi. Suatu studi yang dilakukan oleh Pogatzki dkk, 2003 melaporkan bahwa

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Pustaka 1. Anestesi Spinal a. Definisi Anestesi spinal adalah suatu cara memasukan obat anestesi lokal ke ruang intratekal untuk menghasilkan atau menimbulkan hilangnya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. subarachnoid sehingga bercampur dengan liquor cerebrospinalis (LCS) untuk mendapatkan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. subarachnoid sehingga bercampur dengan liquor cerebrospinalis (LCS) untuk mendapatkan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Anestesi spinal merupakan teknik anestesi regional yang paling sederhana dan paling efektif. Anestesi spinal dilakukan dengan memasukkan obat anestesi lokal ke dalam

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. letak insisi. Antara lain seksio sesaria servikal (insisi pada segmen bawah), seksio

BAB I PENDAHULUAN. letak insisi. Antara lain seksio sesaria servikal (insisi pada segmen bawah), seksio BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Seksio sesaria adalah persalinan buatan dimana janin dilahirkan melalui insisi pada dinding perut dan dinding rahim dengan syarat rahim dalam keadaan utuh serta berat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. menstimulasi pengeluaran CRH (Corticotropin Realising Hormone) yang

BAB I PENDAHULUAN. menstimulasi pengeluaran CRH (Corticotropin Realising Hormone) yang digilib.uns.ac.id BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Reaksi tubuh terhadap pembedahan dapat merupakan reaksi yang ringan atau berat, lokal, atau menyeluruh. Reaksi yang menyeluruh ini melibatkan

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Universitas Sumatera Utara. 1,2. Nyeri apabila tidak diatasi akan berdampak

BAB 1 PENDAHULUAN. Universitas Sumatera Utara. 1,2. Nyeri apabila tidak diatasi akan berdampak BAB 1 PENDAHULUAN 11 LATAR BELAKANG Nyeri paska bedah masih merupakan masalah utama bagi penderita karena setelah obat anestesi hilang efeknya, penderita akan merasakan sakit Nyeri bersifat subjektif,

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Universitas Sumatera Utara

BAB 1 PENDAHULUAN. Universitas Sumatera Utara BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG Nyeri paska bedah masih merupakan masalah utama bagi penderita karena setelah obat anestesi hilang efeknya, penderita akan merasakan sakit. Nyeri bersifat subjektif,

Lebih terperinci

BAB I 1PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Universitas Sumatera Utara

BAB I 1PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Universitas Sumatera Utara BAB I 1PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Nyeri merupakan masalah yang paling sering menyebabkan pasien mencari perawatan ke rumah sakit. Nyeri tidak melakukan diskriminasi terhadap manusia, nyeri tidak membeda-bedakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. modalitas sensorik tetapi adalah suatu pengalaman 1. The

BAB I PENDAHULUAN. modalitas sensorik tetapi adalah suatu pengalaman 1. The BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Nyeri didefinisikan sebagai suatu keadaan yang mempengaruhi seseorang dan ekstensinya diketahui bila seseorang pernah mengalaminya Nyeri bukan hanya suatu modalitas

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN Latar Belakang tua. 1 Berdasarkan data pada Agustus 2010, terdapat pasien anak berusia 2-12 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Anak-anak mempunyai kondisi berbeda dengan orang dewasa pada saat pra bedah sebelum masuk

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. memberikan respon stress bagi pasien, dan setiap pasien yang akan menjalani

BAB I PENDAHULUAN. memberikan respon stress bagi pasien, dan setiap pasien yang akan menjalani BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Tindakan pembedahan dan anestesi merupakan suatu kondisi yang dapat memberikan respon stress bagi pasien, dan setiap pasien yang akan menjalani pembedahan sudah tentunya

Lebih terperinci

BAB II TINAJUAN PUSTAKA. kali digunakan untuk prosedur pembedahan pada abad ke Blok sentral. penggunaan obat anestesi lokal yang lebih aman.

BAB II TINAJUAN PUSTAKA. kali digunakan untuk prosedur pembedahan pada abad ke Blok sentral. penggunaan obat anestesi lokal yang lebih aman. BAB II TINAJUAN PUSTAKA 2.1. ANESTESI SPINAL 2.1.1. Sejarah Anestesi Spinal Anestesi spinal termasuk ke dalam teknik neuroaksial blok, yang terdiri dari blokade spinal, kaudal, dan epidural. Blokade spinal,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. untuk prosedur tersebut. Angka bedah caesar pada ibu usia 35 tahun ke atas jauh

BAB I PENDAHULUAN. untuk prosedur tersebut. Angka bedah caesar pada ibu usia 35 tahun ke atas jauh BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pada awal tahun 1900 pesalinan dengan seksio sesarea (SC) menjadi salah satu pilihan yang dilakukan kebanyakan ibu tanpa memperhatikan indikasi untuk prosedur

Lebih terperinci

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. 1mm/KgBB + tramadol. Dalam hal ini, masing-masing data akan

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. 1mm/KgBB + tramadol. Dalam hal ini, masing-masing data akan BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Hasil Penelitian 1. Deskripsi Data Penelitian Deskripsi data menyajikan data yang terkumpul dari penelitian, yang terdiri dari data rasa nyeri yang diperoleh dari

Lebih terperinci

BAB 1 1. PENDAHULUAN

BAB 1 1. PENDAHULUAN BAB 1 1. PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG Penanganan nyeri paska bedah yang efektif adalah penting untuk perawatan pasien yang mendapat tindakan pembedahan. Penanganan nyeri yang efektif dengan efek samping

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Universitas Sumatera Utara

BAB I PENDAHULUAN. Universitas Sumatera Utara BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Bagi seorang anestesiologis, mahir dalam penatalaksanaan jalan nafas merupakan kemampuan yang sangat penting. Salah satu tindakan manajemen jalan nafas adalah tindakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG

BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG Dengan ditemukannya agen inhalasi yang baru, desflurane dan sevoflurane, muncul permasalahan baru yang dikenal dengan agitasi pulih sadar. Agitasi pulih sadar didefinisikan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Persalinan (labor) merupakan suatu proses fisiologis yang dimulai saat munculnya kontraksi uterus yang teratur, yang akan mengakibatkan pembukaan jalan lahir, hingga

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG. Anestesi spinal telah digunakan sejak tahun 1885 dan sekarang teknik ini dapat

BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG. Anestesi spinal telah digunakan sejak tahun 1885 dan sekarang teknik ini dapat BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG Anestesi spinal telah digunakan sejak tahun 1885 dan sekarang teknik ini dapat digunakan untuk prosedur pembedahan daerah abdomen bagian bawah, perineum dan ekstremitas

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar belakang. Meningkatkan derajat kesehatan yang adil dan merata seperti

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar belakang. Meningkatkan derajat kesehatan yang adil dan merata seperti BAB I PENDAHULUAN A. Latar belakang Meningkatkan derajat kesehatan yang adil dan merata seperti ditingkatkan melalui sikap respontif dan efektif dalam melakukan suatu tindakan untuk memberi kenyamanan

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Universitas Sumatera Utara

BAB 1 PENDAHULUAN. Universitas Sumatera Utara BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penanganan nyeri adalah hak dasar manusia tanpa memandang jenis kelamin dan usia. Telah diketahui bahwa transmisi dan persepsi nyeri timbul dan berfungsi sejak kehamilan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Tindakan pembedahan ekstremitas bawah,dapat menimbulkan respons,

BAB I PENDAHULUAN. Tindakan pembedahan ekstremitas bawah,dapat menimbulkan respons, BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Tindakan pembedahan ekstremitas bawah,dapat menimbulkan respons, mencangkup beberapa komponen inflamasi, berpengaruh terhadap penyembuhan dan nyeri pascabedah.sesuai

Lebih terperinci

1.1PENGERTIAN NYERI 1.2 MEKANISME NYERI

1.1PENGERTIAN NYERI 1.2 MEKANISME NYERI 1.1PENGERTIAN NYERI Nyeri merupakan sensasi yang terlokalisasi berupa ketidaknyamanan, kesedihan dan penderitaan yang dihasilkan oleh stimulasi pada akhiran saraf tertentu. Nyeri terjadi sebagai mekanisme

Lebih terperinci

SKRIPSI. Untuk memenuhi sebagian persyaratan. Mencapai derajat sarjana S-1. Diajukan Oleh : Yunita Ekawati J Kepada : FAKULTAS KEDOKTERAN

SKRIPSI. Untuk memenuhi sebagian persyaratan. Mencapai derajat sarjana S-1. Diajukan Oleh : Yunita Ekawati J Kepada : FAKULTAS KEDOKTERAN PERBANDINGAN ANTARA PEMASANGAN TOURNIQUET UNILATERAL DAN BILATERAL PADA EXTREMITAS INFERIOR UNTUK MENGURANGI PENURUNAN TEKANAN DARAH PADA ANESTESI SPINAL DI RSO. Prof. Dr. R. SOEHARSO SURAKARTA SKRIPSI

Lebih terperinci

Dr. Ade Susanti, SpAn Bagian anestesiologi RSD Raden Mattaher JAMBI

Dr. Ade Susanti, SpAn Bagian anestesiologi RSD Raden Mattaher JAMBI Dr. Ade Susanti, SpAn Bagian anestesiologi RSD Raden Mattaher JAMBI Mempunyai kekhususan karena : Keadaan umum pasien sangat bervariasi (normal sehat menderita penyakit dasar berat) Kelainan bedah yang

Lebih terperinci

Anestesi spinal adalah pemberian obat anestesi lokal ke dalam ruang subarachnoid.

Anestesi spinal adalah pemberian obat anestesi lokal ke dalam ruang subarachnoid. Anestesi spinal Anestesi spinal adalah pemberian obat anestesi lokal ke dalam ruang subarachnoid. Teknik anestesi spinal sederhana, cukup efektif dan mudah dikerjakan. Indikasi anestesi spinal yaitu untuk

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. sebelum pindah ke ruang perawatan atau langsung dirawat di ruang intensif. Fase

BAB I PENDAHULUAN. sebelum pindah ke ruang perawatan atau langsung dirawat di ruang intensif. Fase 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Setiap prosedur pembedahan harus menjalani anestesi dan melalui tahap pasca bedah, maka setiap pasien yang selesai menjalani operasi dengan anestesi umum

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Informed consent 2.1.1 Definisi Informed consent Informed consent adalah suatu persetujuan mengenai akan dilakukannya tindakan kedokteran oleh dokter terhadap pasiennya. Persetujuan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Dari data antara tahun 1991 sampai 1999 didapatkan bahwa proses

BAB I PENDAHULUAN. Dari data antara tahun 1991 sampai 1999 didapatkan bahwa proses BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Dari data antara tahun 1991 sampai 1999 didapatkan bahwa proses persalinan yang disertai dengan anestesi mempunyai angka kematian maternal yang rendah (sekitar

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. manajemen neoplasma primer dan metastasis neoplasma pada otak. 1 Tindakan

BAB I PENDAHULUAN. manajemen neoplasma primer dan metastasis neoplasma pada otak. 1 Tindakan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Kraniotomi merupakan tindakan bedah yang paling sering dilakukan pada manajemen neoplasma primer dan metastasis neoplasma pada otak. 1 Tindakan bedah tersebut bertujuan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. emosional atau mengalami cemas akan mengalami rasa nyeri yang hebat setelah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. emosional atau mengalami cemas akan mengalami rasa nyeri yang hebat setelah 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Nyeri yang tidak ditangani dengan baik akan mengganggu mobilisasi pasien pasca operasi yang dapat berakibat terjadinya tromboemboli, iskemi miokard, dan aritmia.

Lebih terperinci

MANAJEMEN NYERI POST OPERASI

MANAJEMEN NYERI POST OPERASI MANAJEMEN NYERI POST OPERASI Ringkasan Manajemen nyeri post operasi bertujuan untuk meminimalisasi rasa tidak nyaman pada pasien, memfasilitasi mobilisasi dini dan pemulihan fungsi, dan mencegah nyeri

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. PONV juga menjadi faktor yang menghambat pasien untuk dapat segera

BAB 1 PENDAHULUAN. PONV juga menjadi faktor yang menghambat pasien untuk dapat segera A. Latar Belakang BAB 1 PENDAHULUAN Mual dan muntah pascaoperasi (Postoperative Nausea and Vomiting / PONV) masih merupakan komplikasi yang sering dijumpai setelah pembedahan. PONV juga menjadi faktor

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Persalinan adalah rangkaian proses fisiologis yang berakhir dengan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Persalinan adalah rangkaian proses fisiologis yang berakhir dengan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Persalinan adalah rangkaian proses fisiologis yang berakhir dengan pengeluaran hasil konsepsi oleh ibu. Proses yang fisiologis pada umumnya dimulai dengan adanya kontraksi

Lebih terperinci

Fungsi. Sistem saraf sebagai sistem koordinasi mempunyai 3 (tiga) fungsi utama yaitu: Pusat pengendali tanggapan, Alat komunikasi dengan dunia luar.

Fungsi. Sistem saraf sebagai sistem koordinasi mempunyai 3 (tiga) fungsi utama yaitu: Pusat pengendali tanggapan, Alat komunikasi dengan dunia luar. Pengertian Sistem saraf adalah sistem yang mengatur dan mengendalikan semua kegiatan aktivitas tubuh kita seperti berjalan, menggerakkan tangan, mengunyah makanan dan lainnya. Sistem Saraf tersusun dari

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. abdomen dan uterus untuk mengeluarkan janin. 1 Prevalensi terjadinya sectio. keadaan ibu dan janin yang sedang dikandungnya.

BAB I PENDAHULUAN. abdomen dan uterus untuk mengeluarkan janin. 1 Prevalensi terjadinya sectio. keadaan ibu dan janin yang sedang dikandungnya. BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sectio cesarea didefinisikan sebagai tindakan pembedahan melalui dinding abdomen dan uterus untuk mengeluarkan janin. 1 Prevalensi terjadinya sectio cesarea semakin

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG Anestesi umum merupakan teknik yang sering dilakukan pada berbagai macam prosedur pembedahan. 1 Tahap awal dari anestesi umum adalah induksi anestesi. 2 Idealnya induksi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Stroke merupakan suatu penyakit kegawatdaruratan neurologis yang berbahaya

BAB I PENDAHULUAN. Stroke merupakan suatu penyakit kegawatdaruratan neurologis yang berbahaya BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Stroke merupakan suatu penyakit kegawatdaruratan neurologis yang berbahaya dan dapat menyebabkan terjadinya disfungsi motorik dan sensorik yang berdampak pada timbulnya

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Universitas Sumatera Utara

BAB 1 PENDAHULUAN. Universitas Sumatera Utara BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG Tindakan laringoskopi dan intubasi endotrakhea merupakan hal yang rutin dilakukan pada anastesi umum. Namun tindakan laringoskopi dan intubasi tersebut dapat menimbulkan

Lebih terperinci

BAB I. PENDAHULUAN. perubahan klinis dan psikologis sehingga meningkatkan morbiditas, mortalitas,

BAB I. PENDAHULUAN. perubahan klinis dan psikologis sehingga meningkatkan morbiditas, mortalitas, BAB I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Setiap jenis pembedahan akan menimbulkan nyeri. Penanganan nyeri pascaoperasi yang tidak adekuat dan ditangani dengan baik akan menyebabkan perubahan klinis

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dilakukan oleh Kementerian Kesehatan Republik Indonesia tahun 2007 dan

BAB I PENDAHULUAN. dilakukan oleh Kementerian Kesehatan Republik Indonesia tahun 2007 dan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kesehatan gigi dan mulut masyarakat Indonesia masih memerlukan perhatian yang serius. 1 Hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) yang dilakukan oleh Kementerian Kesehatan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dapat menyebabkan perubahan hemodinamik yang signifikan.

BAB I PENDAHULUAN. dapat menyebabkan perubahan hemodinamik yang signifikan. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Propofol telah digunakan secara luas untuk induksi dan pemeliharaan dalam anestesi umum. Obat ini mempunyai banyak keuntungan seperti mula aksi yang cepat dan pemulihan

Lebih terperinci

Clinical Science Session Pain

Clinical Science Session Pain Clinical Science Session Pain Disusun oleh : Nurlina Wardhani 1301-1214-0658 William Reinaldi 1301-1214-0503 Preseptor : Arnengsih, dr., Sp.KFR BAGIAN ILMU KESEHATAN FISIK DAN REHABILITASI FAKULTAS KEDOKTERAN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Tindakan operasi seksio sesaria menurut Sarwono (2008) dalam buku Ilmu

BAB I PENDAHULUAN. Tindakan operasi seksio sesaria menurut Sarwono (2008) dalam buku Ilmu BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Tindakan operasi seksio sesaria menurut Sarwono (2008) dalam buku Ilmu Kebidanan merupakan proses persalinan dimana janin dilahirkan melalui insisi pada dinding perut

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. anestesi yang dilakukan terhadap pasien bertujuan untuk mengetahui status

BAB I PENDAHULUAN. anestesi yang dilakukan terhadap pasien bertujuan untuk mengetahui status BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Evaluasi pra anestesi adalah langkah awal dari rangkaian tindakan anestesi yang dilakukan terhadap pasien bertujuan untuk mengetahui status fisik (ASA) pasien pra operatif,

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN KEPUSTAKAAN

BAB II TINJAUAN KEPUSTAKAAN BAB I PENDAHULUAN Istilah anestesi artinya hilangnya sensasi nyeri (rasa sakit) yang disertai hilangnya kesadaran 1. Spinal anestesi telah digunakan secara luas dan aman selama kurang lebih 100 tahun,

Lebih terperinci

Pengantar Farmakologi

Pengantar Farmakologi Pengantar Farmakologi Kuntarti, S.Kp, M.Biomed 1 PDF Created with deskpdf PDF Writer - Trial :: http://www.docudesk.com 4 Istilah Dasar Obat Farmakologi Farmakologi klinik Terapeutik farmakoterapeutik

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Hipertensi merupakan penyulit medis yang sering ditemukan pada kehamilan yang dapat meningkatkan morbiditas dan mortalitas baik ibu maupun perinatal. Hipertensi dalam

Lebih terperinci

Sistem syaraf otonom (ANS) merupakan divisi motorik dari PNS yang mengontrol aktivitas viseral, yang bertujuan mempertahankan homeostatis internal

Sistem syaraf otonom (ANS) merupakan divisi motorik dari PNS yang mengontrol aktivitas viseral, yang bertujuan mempertahankan homeostatis internal Sistem syaraf otonom (ANS) merupakan divisi motorik dari PNS yang mengontrol aktivitas viseral, yang bertujuan mempertahankan homeostatis internal Perbandingan antara Sistem syaraf Somatik dan Otonom Sistem

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. selama berabad-abad. Bagaimanapun, kemajuan tehnik anestesi modern. memungkinkan operasi menjadi lebih aman. Ahli anestesi yang

BAB I PENDAHULUAN. selama berabad-abad. Bagaimanapun, kemajuan tehnik anestesi modern. memungkinkan operasi menjadi lebih aman. Ahli anestesi yang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pelayanan anestesi untuk menunjang tindakan operasi telah dilakukan selama berabad-abad. Bagaimanapun, kemajuan tehnik anestesi modern memungkinkan operasi menjadi lebih

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sectio Caesarea (SC) merupakan suatu teknik kelahiran perabdomen untuk menghentikan perjalanan persalinan normal, dengan cara melakukan insisi di dinding abdomen (laparatomi)

Lebih terperinci

PENELITIAN PENGARUH TERAPI MUSIK RELIGI TERHADAP TINGKAT KECEMASAN PASIEN PRE OPERASI DI RUANG BEDAH RSUP. DR. M. DJAMIL PADANG TAHUN 2012

PENELITIAN PENGARUH TERAPI MUSIK RELIGI TERHADAP TINGKAT KECEMASAN PASIEN PRE OPERASI DI RUANG BEDAH RSUP. DR. M. DJAMIL PADANG TAHUN 2012 PENELITIAN PENGARUH TERAPI MUSIK RELIGI TERHADAP TINGKAT KECEMASAN PASIEN PRE OPERASI DI RUANG BEDAH RSUP. DR. M. DJAMIL PADANG TAHUN 2012 Penelitian Keperawatan Jiwa SITI FATIMAH ZUCHRA BP. 1010324031

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Anestesi Spinal pada Bedah Sesar Istilah seksio sesarea berasal dari bahasa latin caedere yang artinya memotong. Pengertian ini dapat dijumpai dalam hukum roma yaitu lex regia

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. diakhiri dengan penutupan dan penjahitan luka (Sjamsuhidajat dan Jong, 2005).

BAB I PENDAHULUAN. diakhiri dengan penutupan dan penjahitan luka (Sjamsuhidajat dan Jong, 2005). BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pembedahan merupakan suatu tindakan pengobatan yang menggunakan cara invasif dengan membuka dan menampilkan bagian tubuh yang akan ditangani. Pembukaan bagian tubuh

Lebih terperinci

Sistem Saraf. Dr. Hernadi Hermanus

Sistem Saraf. Dr. Hernadi Hermanus Sistem Saraf Dr. Hernadi Hermanus Neuron Neuron adalah unit dasar sistem saraf. Neuron terdiri dari sel saraf dan seratnya. Sel saraf memiliki variasi dalam bentuk dan ukurannya. Setiap sel saraf terdiri

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. pengalaman emosional yang berkaitan dengan kerusakan atau potensi kerusakan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. pengalaman emosional yang berkaitan dengan kerusakan atau potensi kerusakan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Rasa sakit didefinisikan sebagai perasaan tidak nyaman dan suatu pengalaman emosional yang berkaitan dengan kerusakan atau potensi kerusakan tubuh (Levine, 2012), oleh

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. menimbulkan nyeri pascaoperasi dengan nilai VAS 7-8 sehingga manajemen

BAB I PENDAHULUAN. menimbulkan nyeri pascaoperasi dengan nilai VAS 7-8 sehingga manajemen BAB I PENDAHULUAN A. LatarBelakang Operasi ginekologi onkologi seperti total abdominal hysterectomy (TAH),bilateral salpingo-oophorectomy (BSO), maupun debulking tumor menimbulkan nyeri pascaoperasi dengan

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. di negara berkembang. Di negara miskin, sekitar 25-50% kematian wanita subur

BAB 1 PENDAHULUAN. di negara berkembang. Di negara miskin, sekitar 25-50% kematian wanita subur BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Mortalitas dan morbiditas pada wanita hamil dan bersalin adalah masalah besar di negara berkembang. Di negara miskin, sekitar 25-50% kematian wanita subur disebabkan

Lebih terperinci

anak didapatkan persebaran data hasil penelitian sebagai berikut :

anak didapatkan persebaran data hasil penelitian sebagai berikut : BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN A. Hasil Penelitian Pada penelitian farmakologi tentang efektivitas obat antinyeri parasetamol dan tramadol pada pasien sirkumsisi dengan sampel berjumlah 18 anak didapatkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Demam tifoid merupakan penyakit infeksi sistemik akut yang disebabkan oleh Salmonella thypi (S thypi). Pada masa inkubasi gejala awal penyakit tidak tampak, kemudian

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. adalah persalinan sectio caesarea. Persalinan sectio caesarea adalah melahirkan janin

BAB 1 PENDAHULUAN. adalah persalinan sectio caesarea. Persalinan sectio caesarea adalah melahirkan janin 1 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Hampir setiap wanita akan mengalami proses persalinan. Kodratnya wanita dapat melahirkan secara normal yaitu persalinan melalui vagina atau jalan lahir biasa (Siswosuharjo

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. sistem kardiovaskular dalam keadaan optimal yaitu dapat menghasilkan aliran

BAB 1 PENDAHULUAN. sistem kardiovaskular dalam keadaan optimal yaitu dapat menghasilkan aliran BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG Tujuan dari terapi cairan perioperatif adalah menyediakan jumlah cairan yang cukup untuk mempertahankan volume intravaskular yang adekuat agar sistem kardiovaskular

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Latar belakang. hilangnya kesadaran. Pada dasarnya anestesi digunakan pada tindakan-tindakan

BAB 1 PENDAHULUAN. Latar belakang. hilangnya kesadaran. Pada dasarnya anestesi digunakan pada tindakan-tindakan BAB 1 PENDAHULUAN Latar belakang Anestesi adalah hilangnya rasa sakit yang disertai atau tanpa disertai hilangnya kesadaran. Pada dasarnya anestesi digunakan pada tindakan-tindakan yang berkaitan dengan

Lebih terperinci

SEL SARAF MENURUT BENTUK DAN FUNGSI

SEL SARAF MENURUT BENTUK DAN FUNGSI SISTEM SARAF SEL SARAF MENURUT BENTUK DAN FUNGSI 1. SEL SARAF SENSORIK. 2. SEL SARAF MOTORIK. 3. SEL SARAF INTERMEDIET/ASOSIASI. Sel Saraf Sensorik Menghantarkan impuls (pesan) dari reseptor ke sistem

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. macam aspek, diantaranya pertolongan persalinan yang salah satunya adalah

BAB I PENDAHULUAN. macam aspek, diantaranya pertolongan persalinan yang salah satunya adalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pelayanan keperawatan bidang kesehatan modern mencakup berbagai macam aspek, diantaranya pertolongan persalinan yang salah satunya adalah sectio caesaria. Di negara

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dengan penutupan dan penjahitan luka (Syamsuhidajat, 2011). dibagian perut mana saja (Dorland, 1994 dalam Surono, 2009).

BAB I PENDAHULUAN. dengan penutupan dan penjahitan luka (Syamsuhidajat, 2011). dibagian perut mana saja (Dorland, 1994 dalam Surono, 2009). BAB I PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Pembedahan atau operasi adalah semua tindakan pengobatan yang menggunakan cara invasif dengan membuka atau menampilkan bagian tubuh yang akan di tangani. Pembukaan bagian

Lebih terperinci

ANESTESI REGIONAL. Department of Anesthesiology Faculty Of Medicine Padjadjaran University

ANESTESI REGIONAL. Department of Anesthesiology Faculty Of Medicine Padjadjaran University ANESTESI REGIONAL Department of Anesthesiology Faculty Of Medicine Padjadjaran University Anestesi Umum I.V I.M Inhalasi P.O P.Rectal Regional Topikal Infiltrasi Field Block Blok Saraf Tepi Spinal Epidural

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. (2010) dikutip dalam Andarmoyo (2013) menyatakan bahwa nyeri merupakan

BAB I PENDAHULUAN. (2010) dikutip dalam Andarmoyo (2013) menyatakan bahwa nyeri merupakan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Nyeri merupakan bentuk ketidaknyamanan yang bersifat sangat individual dan tidak dapat dibagi dengan orang lain. Tamsuri (2007) mendefenisikan nyeri sebagai suatu keadaan

Lebih terperinci

Kesetimbangan asam basa tubuh

Kesetimbangan asam basa tubuh Kesetimbangan asam basa tubuh dr. Syazili Mustofa, M.Biomed Departemen Biokimia, Biologi Molekuler dan Fisiologi Fakultas Kedokteran Universitas Lampung ph normal darah Dipertahankan oleh sistem pernafasan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. masa bayi ini sangat rawan karena memerlukan penyesuaian fisiologik agar

BAB I PENDAHULUAN. masa bayi ini sangat rawan karena memerlukan penyesuaian fisiologik agar BAB I PENDAHULUAN Pada bab ini akan dijelaskan tentang latar belakang, rumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian sebagai berikut : A. Latar Belakang Kelahiran seorang bayi merupakan peristiwa yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. digambarkan dalam bentuk kerusakan tersebut. Berdasarkan intensitasnya, nyeri

BAB I PENDAHULUAN. digambarkan dalam bentuk kerusakan tersebut. Berdasarkan intensitasnya, nyeri BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Nyeri merupakan pengalaman sensorik dan emosional yang tidak menyenangkan akibat kerusakan jaringan baik aktual maupun potensial atau yang digambarkan dalam bentuk

Lebih terperinci

ANTAGONIS KOLINERGIK. Dra.Suhatri.MS.Apt FAKULTAS FARMASI UNIVERSITAS ANDALAS

ANTAGONIS KOLINERGIK. Dra.Suhatri.MS.Apt FAKULTAS FARMASI UNIVERSITAS ANDALAS ANTAGONIS KOLINERGIK Dra.Suhatri.MS.Apt FAKULTAS FARMASI UNIVERSITAS ANDALAS PENDAHULUAN Antagonis kolinergik disebut juga obat peng hambat kolinergik atau obat antikolinergik. Yang paling bermanfaat

Lebih terperinci

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. dilaksanakan di RSGM UMY dengan tujuan untuk melihat adanya

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. dilaksanakan di RSGM UMY dengan tujuan untuk melihat adanya BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Hasil Penelitian Berdasarkan penelitian eksperimental quasi yang telah dilaksanakan di RSGM UMY dengan tujuan untuk melihat adanya pengaruh obat anti ansietas

Lebih terperinci

Pengertian Nyeri. Suatu gejala dalam merasakan subyek dan pengalaman emosional

Pengertian Nyeri. Suatu gejala dalam merasakan subyek dan pengalaman emosional Pengertian Nyeri. Suatu gejala dalam merasakan subyek dan pengalaman emosional termasuk suatu komponen sensori, komponen diskriminatri, responrespon yang mengantarkan atau reaksi-reaksi yang ditimbulkan

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Universitas Sumatera Utara

BAB 1 PENDAHULUAN. Universitas Sumatera Utara 16 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Popularitas anestesi lokal yang semakin meluas dan meningkat dalam bidang kedokteran gigi merupakan cerminan dari efisiensi, kenyamanan dan adanya kontraindikasi

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian Kompres 1. Kompres hangat Adalah memberikan rasa hangat pada daerah tertentu dengan menggunakan kantung berisi air hangat yang menimbulkan rasa hangat pada bagian

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dari kerusakan jaringan yang aktual atau potensial (Brunner & Suddarth, 2002).

BAB I PENDAHULUAN. dari kerusakan jaringan yang aktual atau potensial (Brunner & Suddarth, 2002). 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Nyeri adalah pengalaman sensori dan emosional yang tidak menyenangkan akibat dari kerusakan jaringan yang aktual atau potensial (Brunner & Suddarth, 2002). Nyeri

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. maksud untuk mengetahui dan memperbaiki kerusakan otak (Brown CV, Weng J,

BAB I PENDAHULUAN. maksud untuk mengetahui dan memperbaiki kerusakan otak (Brown CV, Weng J, BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kraniotomy adalah operasi untuk membuka tengkorak (tempurung kepala) dengan maksud untuk mengetahui dan memperbaiki kerusakan otak (Brown CV, Weng J, 2005). Pembedahan

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Kecemasan Pada Anak-Anak Pembedahan dan anestesi dapat menimbulkan stres emosional pada anak dan orang tua. Hal ini dapat terjadi pada saat preoperatif dan post operatif. Untuk

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUHAN. kelahiran hidup, 334/ kelahiran hidup, dan 307/ kelahiran

BAB I PENDAHULUHAN. kelahiran hidup, 334/ kelahiran hidup, dan 307/ kelahiran 1 BAB I PENDAHULUHAN A. Latar Belakang Pada saat ini, Angka Kematian Ibu (AKI) di Indonesia masih sangat tinggi. Gambaran penurunan AKI menurut Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia (SDKI) dari tahun

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Tindakan bedah pada pasien menunjukkan peningkatan seiring tumbuhnya

BAB I PENDAHULUAN. Tindakan bedah pada pasien menunjukkan peningkatan seiring tumbuhnya BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Tindakan bedah pada pasien menunjukkan peningkatan seiring tumbuhnya kepercayaan masyarakat terhadap perkembangan ilmu kesehatan. Hipotensi pada parturien (kondisi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Masalah kesehatan anak merupakan salah satu masalah utama

BAB I PENDAHULUAN. Masalah kesehatan anak merupakan salah satu masalah utama BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah kesehatan anak merupakan salah satu masalah utama dalam bidang kesehatan yang saat ini terjadi di negara Indonesia. Angka kesakitan bayi menjadi indikator kedua

Lebih terperinci

Bab 2 Tinjauan Pustaka

Bab 2 Tinjauan Pustaka Bab 1 Pendahuluan Anestesi adalah pemberian obat untuk menghilangkan kesadaran secara sementara dan biasanya ada kaitannya dengan pembedahan. Secara garis besar anestesi dibagi menjadi dua kelompok yaitu

Lebih terperinci

EFIKASI PATIENT CONTROLLED ANALGESIA MORFIN SUBKUTAN TERHADAP PATIENT CONTROLLED ANALGESIA MORFIN INTRAVENA PASCAOPERASI SEKSIO SESAREA

EFIKASI PATIENT CONTROLLED ANALGESIA MORFIN SUBKUTAN TERHADAP PATIENT CONTROLLED ANALGESIA MORFIN INTRAVENA PASCAOPERASI SEKSIO SESAREA ABSTRAK EFIKASI PATIENT CONTROLLED ANALGESIA MORFIN SUBKUTAN TERHADAP PATIENT CONTROLLED ANALGESIA MORFIN INTRAVENA PASCAOPERASI SEKSIO SESAREA Seksio sesarea menimbulkan nyeri sedang hingga berat dalam

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. penyesuaian dari keperawatan, khususnya keperawatan perioperatif. Perawat

BAB 1 PENDAHULUAN. penyesuaian dari keperawatan, khususnya keperawatan perioperatif. Perawat BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kemajuan yang pesat di bidang pembedahan dan anestesi menuntut penyesuaian dari keperawatan, khususnya keperawatan perioperatif. Perawat perioperatif mempunyai peranan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. mempertahankan tekanan onkotik dan volume intravaskuler. Partikel ini tidak

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. mempertahankan tekanan onkotik dan volume intravaskuler. Partikel ini tidak 6 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Koloid Larutan koloid adalah larutan homogen yang mengangandung partikel dengan berat molekul besar yaitu >20.000 dalton sehingga dapat digunakan untuk mempertahankan tekanan

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Definisi Menurut Fadila, Nadjmir dan Rahmantini (2014), dan Deliana (2002), kejang demam ialah bangkitan kejang yang terjadi pada kenaikan suhu tubuh (suhu rektal di atas 38

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. para ibu ingin melaksanakan fungsi ini dengan cara yang mereka

BAB 1 PENDAHULUAN. para ibu ingin melaksanakan fungsi ini dengan cara yang mereka BAB 1 PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Melahirkan merupakan fungsi yang bersifat fisiologis. Wajar apabila para ibu ingin melaksanakan fungsi ini dengan cara yang mereka pertimbangkan paling tepat. Anggapan

Lebih terperinci